You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
12 Aneka <strong>Bisnis</strong><br />
EDISI <strong>295</strong>/TAHUN 06, 15 - 22 JANUARI 2017<br />
Tauzia Gandeng PressReader<br />
Terus berinovasi. Hal itu,<br />
dilakukan Tauzia Hotel<br />
Management, salah<br />
satu operator hotel Indonesia<br />
peraih penghargaan tersebut baru<br />
saja menandatangani perjanjian<br />
kerjasama dengan PressReader,<br />
sebuah aplikasi premium konten<br />
majalah dan surat kabar online yang<br />
dapat diakses melalui smartphone.<br />
Kerjasama itu dilakukan demi<br />
mengikuti perkembangan tren<br />
digital untuk wisatawan domestik<br />
maupun internasional mulai Januari<br />
2017. “Kami yakin kerjasama ini<br />
menjadikan Tauzia sebagai jaringan<br />
hotel yang inovatif, sekaligus<br />
merupakan komitmen perusahaan<br />
yang mendukung gerakan ramah<br />
lingkungan melalui upaya menekan<br />
sampah kertas,” kata Irene Janti,<br />
Chief Brands & Marketing Officer –<br />
Tauzia Hotel Management.<br />
PressReader sendiri<br />
menyediakan lebih dari 5.000 konten<br />
online lebih dari 100 negara dengan<br />
60 bahasa, segera setelah konten<br />
dipublikasi. Beberapa fitur yang<br />
memungkinkan tamu menggunakan<br />
aplikasi tanpa hambatan antara lain,<br />
akses sepuasnya keseluruh katalog<br />
konten tanpa perlu login, termasuk<br />
update otomatis untuk kontenkonten<br />
baru, terjemahan instan<br />
ke-27 bahasa, fitur audio untuk<br />
tamu-tamu on-the-go dan masih<br />
banyak lagi.<br />
“Kelebihan aplikasi kita adalah<br />
menyediakan akses yang sangat<br />
mudah untuk berita diseluruh<br />
dunia bagi pelanggan. Kebanyakan<br />
dari pelanggan memiliki ekspektasi<br />
tinggi terhadap pelayanan, dalam<br />
meningkatkan pengalaman<br />
pelanggan memerlukan pendekatan<br />
inovatif dan mudah untuk<br />
menemukan cara baru dalam<br />
memenuhi kebutuhan,” kata<br />
Jean Baptiste Chauvin, Direktur<br />
PressReader.<br />
“Teknologi tersebut juga<br />
menyediakan kebutuhan khusus<br />
bagi pelanggan dengan memberikan<br />
akses bagi mereka untuk mencari,<br />
dengan kata kunci secara cepat,”<br />
imbuhnya. (lely)<br />
SYARIAH DALAM PERSPEKTIF FILOLOGI<br />
Oleh :<br />
Dr. Fidiana, S.E., M.S.A.<br />
Amat mengejutkan bahwa di setiap<br />
forum-forum ekonomi Islam yang saya<br />
hadiri dan kemudian ada pertanyaan kepada<br />
anggota forum (catat: para dosen<br />
ekonomi syariah) apakah memiliki rekening<br />
di bank syariah ternyata sebagian<br />
besar menyatakan belum punya atau tidak<br />
punya. Saat ditanya mengapa, beberapa di<br />
antaranya menyatakan bahwa bank syariah<br />
sama saja dengan bank konvensional.<br />
Bagi saya, fenomena ini menyediakan<br />
jawaban mengapa sebagian besar pemain<br />
atau nasabah bank syariah bukan orang<br />
Islam.<br />
Padahal industri syariah khususnya<br />
industri keuangan syariah sudah terekspansi<br />
bukan hanya pada lingkup bank<br />
syariah namun telah meluas pada bisnis<br />
asuransi syariah, pasar modal syariah, dan<br />
koperasi syariah. Dukungan pemerintah<br />
juga makin tampak dengan digulirkannya<br />
beberapa regulasi yang menjadi pedoman<br />
pelaksanaan bisnis dan transaksi syariah.<br />
Perangkat penting serta instrumen yang<br />
dibutuhkan regulator untuk mengawasi<br />
bisnis syariah juga telah terbentuk.<br />
Sejumlah alasan lainnya bisa saja<br />
menjadi pilihan yang mengesahkan adanya<br />
kesalahan entah pada aspek produknya<br />
yang belum murni syariah atau pada<br />
sistem ekonomi kita yang tidak mendukung<br />
terciptanya pasar syariah atau pasar<br />
(masyarakat) yang tidak responsif (untuk<br />
tidak menyatakan tidak peduli) pada<br />
produk-produk syariah atau bahkan seluruh<br />
aspek tersebut salah secara simultan.<br />
Masing-masing berhak berpendapat dan<br />
bersandar pada apa yang diyakini sebagai<br />
benar. Saya pribadi tertarik untuk mencermati<br />
aspek bahasa dalam hal pilihan kata,<br />
tepatnya pada istilah syariah itu sendiri.<br />
Sungguh sangat menyedihkan saat<br />
saya tidak berhasil menemukan istilah<br />
atau term syariah di negara lain selain Indonesia<br />
untuk merepresentasi kehadiran<br />
ekonomi atau bisnis berbasis nilai-nilai<br />
Islam. Di banyak negara, mereka menggunakan<br />
satu istilah yaitu bank Islam (Islamic<br />
Bank). Afiliasi dengan kata (teks)<br />
Islam, mengarahkan pada penggunaan<br />
akad-akad Islam untuk kepentingan transaksi.<br />
Sedangkan dengan menggunakan<br />
term syariah, jika dipahami dalam lingkup<br />
syariah Islam, belum jadi masalah.<br />
Namun siapa yang bisa menjamin bahwa<br />
setiap orang mempersepsikan syariah selalu<br />
direlasikan dengan Islam? Bagaimana<br />
jika syariah dipenggal pada sebatas<br />
interpretasi sebagai aturan tanpa afiliasi<br />
dengan Islam?<br />
Memang, ada banyak alasan rasional<br />
yang sangat bisa diterima saat para pahlawan<br />
penggagas bank syariah menyampaikan<br />
histori dan perjuangan mereka agar<br />
produk syariah (catat: bank syariah) lahir<br />
dan bertumbuh di tanah air. Pertimbangan<br />
situasi dan kondisi saat itu (sensitifitas<br />
politik dalam negeri) memang tidak<br />
mengijinkan atribut berbau Islam hadir<br />
dengan terang-terangan di negeri berpenduduk<br />
mayoritas Islam ini. Digunakanlah<br />
istilah syariah sebagai representasi produk<br />
keuangan “Islam” sudah harus disyukuri<br />
sebagai istilah yang paling bisa diterima<br />
banyak pihak terutama pihak penguasa,<br />
pada masa itu. Yang penting, niat untuk<br />
mengimplementasi produk keuangan Islam<br />
terwujud walau dengan susah payah.<br />
Poin bahasa (istilah) ini menggugah<br />
saya untuk turut ambil bagian (sekalipun<br />
teramat kecil) dalam kapasitas sebagai<br />
akademisi untuk melanjutkan perjuangan.<br />
Saya meyakini bahwa bahasa, istilah,<br />
dan dunia makna memiliki peran penting<br />
pada sebuah peradaban. Salah satunya<br />
melalui mekanisme konotasi. Contoh<br />
konkritnya telah dibuktikan oleh sistem<br />
ekonomi kapitalis melalui penggunaan<br />
kata bunga untuk merepresentasi tambahan<br />
atas tabungan dan pinjaman. Praktis,<br />
banyak orang Islam bahkan para ulama<br />
di tahun 1990an secara tanpa sadar berasumsi<br />
bahkan menyatakan bahwa bunga<br />
bank itu halal. Mengapa? Mereka terperangkap<br />
pada konotasi term bunga yang<br />
umumnya dipahami sebagai keuntungan<br />
atas investasi. Baru kemudian setelah<br />
tumbuhnya bank-bank syariah dengan<br />
publikasi masal tentang istilah riba, sebagian<br />
masyarakat Islam (dan para ulama)<br />
segera “melek” dan kemudian menggeser<br />
keyakinannya secara perlahan tentang<br />
haramnya bunga bank. Sungguh tepat<br />
dan sempurna Islam dalam memilih kata.<br />
Riba adalah kata yang sederhana, tepat,<br />
dan jelas untuk mengindikasi keuntungan<br />
yang diperoleh dari aktivitas simpan atau<br />
pinjam sekaligus langsung mengindikasi<br />
pada status keharamannya.<br />
Ijinkan saya memperjelasnya melalui<br />
contoh kata tunasusila dan pekerja seks<br />
komersial (PSK). Dengan kata tunasusila<br />
saya mengkonotasinya sebagai pelanggaran<br />
terhadap aspek susila. Oleh karena itu,<br />
praktik yang berkaitan dengan hal ini selalu<br />
tersembunyi karena dianggap merusak<br />
tatanan moral masyarakat. Pemerintah<br />
juga seakan bertanggungjawab untuk<br />
memberantas, menyantuni, dan mengentaskannya<br />
laiknya mengentas kemiskinan.<br />
Bagaimana dengan kini? Tampaknya<br />
term tunasusila yang berkonotasi negatif<br />
telah menemukan caranya agar bisa diterima<br />
masyarakat secara lebih positif dengan<br />
memilih term yang mendekati konotasi<br />
positif. Ya, term pekerja seks komersial<br />
(PSK) lebih berterima umum dan berkonotasi<br />
positif sehingga mengubah mindset<br />
melalui pemosisian PSK pada domain<br />
profesi. Gelar profesional ini berdampak<br />
pada bahwa PSK bukan lagi beban<br />
masyarakat atau pemerintah. Bahkan,<br />
dengan konotasi profesi pula, ia masuk<br />
dalam lingkup aktivitas bisnis yang berarti<br />
boleh ditransaksikan secara terbuka dan<br />
terang-terangan. Sementara itu, dengan<br />
term yang dipinjam dalam teks Islam, kita<br />
hanya dapat menjumpai satu kata yang<br />
tepat yaitu “zina”. Kata ini merefer pada<br />
perbuatan haram dalam Islam sehingga<br />
perlu dijauhi sedemikian rupa serta merupakan<br />
aib bagi para pelakunya.<br />
Kembali pada term syariah. Secara<br />
umum syariah akan dipahami sebagai<br />
aturan atau hukum. Dengan menggunakan<br />
term syariah kita akan menyepakati<br />
bahwa aturan yang dimaksud di sini<br />
adalah aturan atau hukum dalam teritorial<br />
Islam sehingga syariah akan dipahami<br />
sebagai hukum Islam atau aturan Islam.<br />
Lalu, apa yang salah dengan istilah syariah?<br />
Sepanjang ada yang bisa menjamin<br />
bahwa masyarakat mengetahui bahwa<br />
produk keuangan syariah adalah produkproduk<br />
dengan akad Islam mungkin tidak<br />
ada masalah. Faktanya, saya telah membuktikan<br />
bahwa tidak seluruh masyarakat<br />
sepakat bahwa syariah berarti aturan [Islam].<br />
Karenanya syah-syah saja mengembangkan<br />
akad yang semakin jauh dari ruh<br />
Islam atau hanya sekedar meminjam label<br />
Islam padahal secara substansial sama<br />
sekali tidak Islam.<br />
Syariah yang berafiliasi dengan Islam<br />
saja masih menyisakan masalah. Saya<br />
mencoba mengaitkannya dengan kreativitas<br />
akad-akad syariah yang disiapkan<br />
untuk mengakomodasi transaksi atas<br />
produk-produk keuangan syariah. Saya<br />
menjumpai ada lebih dari satu akad yang<br />
dipasang untuk mencapai ke-syariah-an<br />
sebuah produk. Katakanlah semacam<br />
modifikasi akad walau kadang terkesan<br />
tumpang tindih. Salah satu tujuannya<br />
adalah agar produk yang semula konvensional<br />
dapat dijual dengan kemasan<br />
atau label syariah. Tidakkah ini menjadi<br />
rumit? Saya berpikir tentang kesederhanaan<br />
akad, sesederhana pemahaman saya<br />
akan Islam. Islam yang mana? Bukankah<br />
Islam itu universal? Bukankah sejak awal<br />
kelahirannya Islam tidak pernah terkotakkotak<br />
ke dalam Islam Arab dan Islam<br />
Non-Arab atau Islam Nusantara?<br />
Islam adalah ajaran yang sempurna<br />
dan purna (final); berlaku hingga akhir<br />
zaman. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa<br />
Sallam diwafatkan dalam keadaan ajaran<br />
Islam telah sempurna (lihat Al-Maidah<br />
ayat 3). Seluruh kebaikan telah beliau<br />
sampaikan demikian pula seluruh larangan<br />
telah terjelaskan. Sedangkan implementasi<br />
praktis pelaksanaan ajaran telah<br />
dirinci melalui skenario-skenario kejadian<br />
dan transaksi seperti yang beliau contohkan<br />
(hadits) dan melalui ijtihad para<br />
sahabat (khulafaur rasyidin). Tidak ada<br />
seorang muslimpun yang patut meragukan<br />
kesempurnaan dan kelengkapan ajaran<br />
yang beliau bawa yang bahkan hingga<br />
menyentuh pada tatacara buang hajat.<br />
Dapatkah Anda temukan kesempurnaan<br />
ajaran Islam di keyakinan yang lain? Ini<br />
berarti dengan kembali pada [teks] Islam<br />
akan memudahkan untuk menggunakan<br />
akad yang tepat untuk segala macam transaksi.<br />
Bisa jadi yang dibutuhkan sebenarnya<br />
adalah sifat qanaah (merasa cukup) dengan<br />
Islam. [Teks] Islam akan selalu cocok<br />
dengan konteks apapun. Kita hanya diminta<br />
secara sukarela bersandar pada ajaran<br />
Islam di setiap aspek; bukan sebaliknya<br />
Islam yang diminta untuk menyesuaikan<br />
dengan kebutuhan bisnis kita. Mengimani<br />
bahwa tidak ada realitas atau fenomena<br />
atau bahkan transaksi yang benar-benar<br />
baru bisa jadi merupakan poin penting sehingga<br />
tidak mudah tertarik untuk menerbitkan<br />
fatwa atau dalil baru demi melegalkan<br />
sebuah akad. Bukankah semua<br />
realitas sebenarnya repetitif atas fenomena<br />
yang pernah terjadi sebelumnya? Yang<br />
kontemporer mungkin hanya kemasan<br />
(casing) saja, sementara substansinya sebenarnya<br />
sama saja. Jika ada realitas yang<br />
benar-benar baru saat ini, tentu kita tidak<br />
akan pernah direkomendasi untuk belajar<br />
dari sejarah dan dari masa lalu. Qur’an<br />
juga didominasi oleh kisah (sejarah) umatumat<br />
terdahulu sebagai pembelajaran.<br />
Tidak berhenti di situ. Cara pandang<br />
dan keyakinan bahwa ada fenomena atau<br />
transaksi yang baru; belum pernah ada di<br />
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam<br />
sehingga perlu ada ijtihad untuk keluar dari<br />
kejumudan; dalam pemikiran saya adalah<br />
sama halnya dengan mengklaim bahwa<br />
Islam, ajaran Nabi, dan Qur’an telah kadaluwarsa,<br />
sudah tidak cocok lagi dengan<br />
perkembangan zaman. Jika demikian,<br />
bukankah sama halnya dengan mengklaim<br />
bahwa Islam dan Qur’an bukan lagi<br />
sebuah ajaran universal dan kehilangan<br />
kekiniannya; sehingga patut direvisi dan<br />
diperbarui?<br />
Saya berasumsi bahwa tidakkah cara<br />
pikir kita yang perlu diperbaiki? Untuk<br />
menerima bahwa Islamlah yang paling<br />
andal dalam memberi petunjuk untuk setiap<br />
urusan kita? <strong>Bisnis</strong> kita? Ibadah kita?<br />
Muamalah kita? Jika jawabannya iya,<br />
berarti kita tidak pernah ragu dan tidak<br />
pernah malu menjadikan Islam sebagai<br />
identitas dalam segala hal termasuk sebagai<br />
label bisnis, label transaksi, dan label<br />
ekonomi atau label akad. Saya meyakini<br />
bahwa dengan kembali kepada [teks] Islam<br />
merupakan solusi tepat untuk keluar<br />
dari kebingungan sehingga sangat memungkinkan<br />
untuk menghindari [konteks]<br />
multi akad.<br />
Sangat diakui bahwa mungkin memang<br />
kondisi praktik tidak selalu sejalan<br />
dengan harapan teori. Akan tetapi, perlu<br />
diingat kembali bahwa Islam sangat dekat<br />
dengan aspek praktis. Ia bukan wacana<br />
langit yang tidak membumi, justru ajaran<br />
Islam diturunkan untuk penduduk bumi<br />
(manusia). Ia juga tidak boleh sekedar<br />
menjadi ilmu (wawasan) tanpa pengamalan,<br />
justru ia dituntut untuk diamalkan. Ini<br />
berarti ajaran Islam akan selalu bisa dipraktikkan.<br />
Kekhawatiran mungkin lebih banyak<br />
mengarah pada mahalnya harga jika<br />
menggunakan akad yang benar-benar<br />
Islam pada sistem ekonomi yang tidak<br />
sepenuhnya Islami. Kekhawatiran ini sebenarnya<br />
kurang beralasan, karena begitu<br />
banyak orang [sebenarnya] yang bersedia<br />
membeli kehalalan produk meski dengan<br />
harga lebih mahal dari yang semestinya.<br />
Ini perlu pembuktian empiris…<br />
A.994