18.01.2018 Views

Novel_Bingkai Batas

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BINGKAI BATAS<br />

“Memahami secara konprehensif pertikaian inheren turun<br />

temurun sebagai ferleksi sukma yang tidak bahagia”<br />

Erwin Basrin<br />

1


2


<strong>Bingkai</strong> <strong>Batas</strong><br />

By Erwin Basrin<br />

All rights reserved<br />

Ilustrasi sampul oleh Bdikar Anumtiko<br />

Editing oleh Javas Titon Nararya<br />

Diterbitkan pertama kali oleh<br />

Akar Foundation 2018<br />

Hak cipta dilindungi oleh<br />

Tuhan Yang Maha Esa<br />

3


1<br />

Liburan naik kelas tahun ini aku ajak anakku<br />

pulang kampung. Liburan tempat nenek mereka. Kami<br />

naik sepeda motor yang baru saja satu bulan lunas<br />

angsurannya. Motor ini kami beli tiga tahun lalu. Untung<br />

saja hujan tidak turun hari ini. Kami butuh lima jam<br />

perjalanan untuk sampai di kampungku. Jam tiga sore<br />

kami sampai di rumahku. Ibuku senang sekali. Itu<br />

pertanda rumah mereka akan ramai. Dia peluk cucunya<br />

yang kecil. Aku tahu itu pelukan rindu. Sudah sepuluh<br />

bulan dia tidak ketemu cucunya. Setelah aku turunkan tas<br />

dan bawaan kami, aku parkirkan motorku di depan<br />

rumah tetangga. Mamak Modon lewat. Seperti biasa dia<br />

selalu meyapaku dan menyalamiku ketika aku pulang.<br />

Sekedar basa basi menanyakan kenapa pulang, lalu minta<br />

rokok. Tetapi dari tatapannya ketika melihat dan<br />

menyapaku. Aku tahu, itu mengingatkan masa kecil dia<br />

bersama bapakku.<br />

Mamak Modon. Semua orang kampung<br />

memanggilnya dengan Mamak, Paman. Dia masih ada<br />

4


hubungan keluarga denganku. Dan, dia juga teman<br />

sekolah bapakku. Dia suka tersenyum dan tertawa<br />

sendiri, hobi mengupil, sedikit bisa berbahasa Inggris.<br />

Tidak mau dikasihani. Dia pekerja berat. Dan, tetap awet<br />

muda meski umurnya sudah lima puluh lima tahun.<br />

Tetapi, dia tidaklah normal. Dia mengalami gangguan<br />

jiwa. Ketika dia menjadi pelajar di Sekolah Rakyat atau<br />

SD. Mamak Modon dasarnya anak pintar secara<br />

intelektual. Kemudian di tuduh mencuri. Padahal, dia<br />

bukanlah pelakunya. Gegar otaknya karena di pukul atau<br />

disiksa. Pukulan mengenai kepala bagian belakangnya,<br />

akibatnya syaraf nomal otak dan psikologisnya<br />

terganggu. Ganguan jiwanya permanen.<br />

Setiap melihat dan ketemu dia. Aku selalu berpikir<br />

mungkin benar, penguasa atau aparat atau Polisi yang<br />

menuduh dia mencuri termasuk kaum mendustakan<br />

agama sebab mereka bukan saja menghardik anak yatim,<br />

melainkan juga menjatuhkan hukuman yang salah dan<br />

berlebihan.<br />

Dan hukuman itu mengakhiri segalanya secara<br />

teragis.<br />

5


Seorang warga pada suatu hari melaporkan<br />

kehilangan seekor ayam jantan. Modon, seorang bocah<br />

perantauan untuk menuntut ilmu, karena dikampungnya<br />

belum ada sekolah yang lebih layak. Lima belas tahun<br />

usianya, dan tak berayah. Kedapatan sedang membopong<br />

seekor ayam jantan pula. Ayam itu baru didapatinya dari<br />

keluarganya. Dari pamannya. Dari desa lain yang jauh<br />

dari tempat tinggalnya. Ayam itu untuk di jual. Hasilnya<br />

untuk membantu cicilan sewa rumah yang sudah<br />

menunggak tiga bulan.<br />

Tapi apa boleh buat. Modon kecil ditangkap dan<br />

dihukum.<br />

Pak Polisi merendamnya semalam suntuk di sungai<br />

yang mengalir melintasi dekat rumah sewa itu.<br />

Paginya.<br />

Ketika ditarik ke atas. Modon kecil menggigil,<br />

wajahnya pucat.<br />

Bibirnya kebiru-biruan.<br />

Ia sejak hari itu jatuh sakit, panas tubuhnya<br />

semakin tinggi. Dan dimalam hari, selama seminggu<br />

sakit, ia sering mengigau.<br />

6


“Dari igauannya orang-orang yang menjaganya<br />

mendengar Modon berkata bahwa ia tidak mau diajak<br />

pergi jika tidak bersama Polisi yang menangkapnya.” Itu<br />

cerita Bapakku mengenang. Karena tempat tinggal<br />

bapakku tidaklah jauh dari tempat tinggal Mamak<br />

Modon. Mereka menyewa kamar masing-masing. Mereka<br />

anak-anak kampung yang dikirim oleh orang tuanya<br />

untuk menuntut ilmu di kota.<br />

Orang-orang mulai cemas melihat gelagat Modon.<br />

Tapi Pak Polisi yang menangkap Modon, dikenal<br />

pemberani. Memiliki ilmu-ilmu “lahir batin” dan besar<br />

pengaruhnya bagi warga setempat, Cuma berkomentar<br />

pendek dan entang.<br />

“Modon itu Cuma takut di penjara, kecuali bersama<br />

saya,” katanya.<br />

Jawaban itu agak masuk akal. Orang-orang<br />

kemudian punya alasan untuk menenangkan diri. Begitu<br />

juga perasaan Sitiraha. Ibu janda, ibu kandung Modon<br />

yang murung. Dan baru datang dari kampung setelah tiga<br />

hari Modon ditangkap.<br />

7


Tidak ada orang yang berani melawan Pak Polisi,<br />

orang takut kepadanya bukan karena kewibawaannya<br />

melainkan karena dia agak kejam.<br />

Dan Mak Sitiraha, tentu saja lebih tidak berdaya<br />

lagi biarpun harga diri dan rasa keadilannya seperti<br />

dicabik-cabik oleh lelaki perkasa yang kebetulan saja<br />

sedang berkuasa disana.<br />

Di hari kedua dia datang ke kota. Ia pernah datang<br />

sendiri ke rumah Polisi, agar “berkenan” menenangkan<br />

jiwa Modon yang selalu gelisah dan ketakutan dimalam<br />

hari. Tetapi sekali lagi dia menjawab dengan enak, tanpa<br />

beban, bahwa Modon Cuma takut dibawa ke Penjara.<br />

Memang bukan perkara takut dibawa ke Penjara itu<br />

rupanya. Soalnya, Modon keesokkan harinya mulai<br />

linglung dan terganggu jiwanya. Mak Sitiraha kelihatan<br />

sangat terpukul sebab Modon satu-satunya gantungan<br />

hidup masa depannya. Meskipun begitu ia tampak pasrah<br />

ketika empat lelaki dari kampung ingin membawanya<br />

pulang ke kampung dan merencanakan untuk memasung<br />

anaknya di emperan rumahnya yang sangat sederhana.<br />

8


Tak ada yang tampak istimewa dalam iring-iringan<br />

yang mengantar Modon pulang kampung, tetapi<br />

kegemparan terjadi.<br />

Modon kecil itu, tiba-tiba tak bisa diangkat dari<br />

tempat duduknya ke mobil yang akan membawanya<br />

pulang ke kampung. Empat orang yang memikulnya tadi<br />

diduga lelah. Dan orang lain dengan tenaga segar, yang<br />

biasa mengangkat potongan pohon kelapa untuk<br />

digergaji, mengantikan mereka. Tapi aneh, mereka tak<br />

berdaya mengangkat tubuh Modon. Kenang Bapakku.<br />

Secara spontan. Orang-orang menoleh Pak Polisi<br />

yang juga hadir disana, orang kuat yang memiliki<br />

“Kesaktian”, ia mengerti. Ia diminta membantu. Dan<br />

setelah penuh dengan keyakinan menyuruh orang lain<br />

menyingkir. Pak Polisi memang mampu membopong<br />

sendirian Modon. Tak seorangpun tahu sebabnya, Pak<br />

Polisi tersungkur ketika tubuh kecil modon berada di<br />

kuris belakang mobil.<br />

Napasnya sejenak kelihatan tersenggal-sengal.<br />

Kemudian tubuhnya lunglai.<br />

Pak Polisi tak lagi bernapas.<br />

9


Orang-orang mengerti sekarang bahwa, Modon<br />

benar tak mau diajak pergi jika tidak bersama Pak Polisi.<br />

Ketika direndam didalam Sungai, bocah itu boleh jadi<br />

diam-diam menuntut keadilan. Dan keadilan itu alangkah<br />

cepat datangnya.<br />

“Tuhan memang tidak pernah tidur.” Kata<br />

Bapakku.<br />

“Ada rokok?” kata si Modon. Ketika aku menaikan<br />

tangga rumah ibuku. Kuberikan rokokku yang hanya<br />

tersisa lima batang. Dia kemudian pergi sambil senyumsenyum<br />

sendiri. Tetapi, kali ini penampilannya rapi.<br />

Dengan kaos oblong warna putih, jaket jean. Celana jean<br />

dengan ikat pinggang yang ketat dan tinggi, sebelah kiri<br />

dilipat setinggi lutut sehingga tampaklah kaos kakinya<br />

yang beda warna dan dia memakai sepatu karet warna<br />

hitam yang biasa dia pakai untuk ke kebun.<br />

Setelah duduk sebentar. Aku kemudian membantu<br />

istriku mengeluarkan baju-baju dari tas dan<br />

menyimpannya di dalam lemari kayu. Lemari yang biasa<br />

aku pakai ketika kecil dulu untuk menyiman buku-buku<br />

pelajaran sekolahku.<br />

10


Aku menemukan sebuah buku yang sampai saat ini<br />

masih tersimpan dengan baik. Buku itu digunakan ibuku<br />

sebagai alas baju. Buku tulis tipis bersampul warna<br />

hitam. Begitu aku buka dihalaman pertama bertulis<br />

“barang siapa menanam mengetam”.<br />

Pak Abdulah atau Pak Ib, guru yang paling sering<br />

menjewer kupingku ketika itu menterjemahkan “barang<br />

siapa rajin belajar, maka ia akan menikmati nilai-nilai<br />

yang baik diraportnya”. Kita tentu saja boleh memberi<br />

interpretasi. Pribahasa itu bahkan juga berlaku tak cuma<br />

dalam kehidupan pribadi. “barang siapa menanam<br />

mengetam” itu melekat dibenakku. Ia selalu menjadi<br />

penerjemah bagi berbagai peristiwa, ia menerangi sudutsudut<br />

yang gelap.<br />

Diruang tamu aku mulai mendengar keributan.<br />

Suara tawa anakku dengan cumbuan nenek dan kakeknya<br />

yang rindu. Aku keluar lalu duduk dekat Bapakku. Ini<br />

kursi rotan yang sama ketika dulu aku kecil, aku sering<br />

ikut obrolan bapakku. Obrolan dengan Wak Odon, Wak<br />

Salim. Dan obrolan bapakku dengan empat orang<br />

tamunya yang datang dari Jakarta, meminta bapakku<br />

menghitung debit arus sungai untuk dibangun PLTA.<br />

11


Dan, untung saja tidak jadi. Padahal ketika mereka<br />

berdiskusi aku duduk disamping bapakku seperti<br />

penterjemah Presiden Soeharto.<br />

“Pak Polisi memang sudah menanam bibit<br />

kesewenangan,” Kata Bapakku tiba-tiba. Sepertinya dia<br />

tahu apa yang ada di dalam pikiranku. Bukan karena dia<br />

sakti tetapi dia tahu aku barusan ketemu dengan Mamak<br />

Modon.<br />

“Ia tidak pernah gentar kepada orang, karena<br />

dikanan kirinya orang-orang serba tunduk.”<br />

“Mungkin ia lupa bahwa ketika ia berurusan tidak<br />

hanya dengan orang. Ia lupa ada kekuatan lain yang<br />

tersembunyi dibalik hidup kita.” Lanjut bapakku.<br />

“Sekarang ini kesewenangan-kesewenangan serupa<br />

merebak kemana-mana.” Jawabku ingatan jadi kemanamana<br />

tapi tidak tahu apa yang aku ingatkan.<br />

“Jangan-jangan apa yang dilakukan oleh Polisi<br />

kepada Mamak Modon merupakan bentuk dari imbasan<br />

wajar dari ketidakadilan maupun kesewenangan orangorang<br />

yang lebih besar, lebih berkuasa, di pusat-pusat<br />

kekuasaan di kota.” Lanjutku.<br />

12


“Jangan-jangan Pak Polisi tersebut seperti laku<br />

seorang bocah, Cuma meniru-niru tokoh yang<br />

dianggapnya layak ditiru. Jangan-jangan Pak Polisi itu<br />

sadar, bahwa jika ia sendiri kedapatan salah, atau<br />

dicurigai salah, akan mungkin pula akan menjadi korban<br />

buat melindungi pihak lain yang lebih penting, lebih<br />

berkuasa.” Bapakku tersenyum. Dia tahu anak yang<br />

duduk disamping dia sudah menjadi bapak. Tidak lagi<br />

anak kecil yang selalu menyimak pembicaraan, lalu di<br />

suruh jadi tukang pijat betis sebagai imbalan mengikuti<br />

obrolan orang-orang tua.<br />

“Ia.”<br />

“Ini penyakit yang menjangkiti kita, baik secara<br />

individu maupun secara kolektif.”<br />

“Kita kehilangan Jiwa.”<br />

“Jiwa ini kemudian terwujud tidak hanya melalui<br />

tindakan, karakter, kepribadian tetapi juga tewujud di<br />

dalam struktur sosial, budaya, pola kepemimpinan dan<br />

mempengaruhi sudut pandang kita.” Katanya dengan<br />

bijak sambil mengulung rokok tembakau daun nipah<br />

kesukannya sejak 35 tahun lalu. Tembakau ini tidak<br />

13


membuat dia terserang kangker, sesak napas dan<br />

gangguan lain.<br />

“Kita sering merasa benar dengan kecenderungan<br />

menonjol dan aktif untuk menyalahkan orang lain dan<br />

mencari kambing hitam.” Jawabku<br />

“Kecenderungan menyalahkan adalah prilaku<br />

defensif yang mengantikan renungan dan intropeksi jujur<br />

atas kehidupan, yang sesungguhnya merupakan landasan<br />

yang paling diperlukan untuk mencari bimbingan saat<br />

kita salah langkah atau salah arah,”<br />

“Kontradiksi-kontradiksi kita banyak nilai<br />

negatifnya,” kataku sambil mengulung daun nipah. Aku<br />

belum terbiasa dengan tembakau hasil olahan petani<br />

kampungku yang jadi langanan bapakku. tembakaunya<br />

berserakan ketika aku menggulungnya dengan daun<br />

nipah.<br />

Kecenderungan menyalahkan. Kata-kata bapakku<br />

ini seperti tidak pernah aku dengar dari obrolan yang<br />

dilakukan di kursi dan ruangan ini ketika aku masih kecil<br />

dulu. Ada yang berubah. Bergeser.<br />

Saat ini. Kita tidak hanya kehilangan dan<br />

mengalami ganguan jiwa. Kontradiksi kita mengarah<br />

14


pada kecenderungan egois, picik dan pendengki.<br />

Kecenderungan ini mengerogoti hati dan jiwa kita. Tetapi<br />

anehnya kita semakin mengantungkan diri kepada sifat<br />

ini. Dorongan ini terwujud dari hasrat, namun sekaligus<br />

penolakan diri, menciptakan perasaan frustasi dan sifat<br />

obsesif.<br />

“Jiwa, karakter dan tindakan.” Kata-kata ini<br />

membuat aku trauma. Dan aku ingat kata-kata ibu tentang<br />

moralitas yang dia ajarkan kepadaku ketika aku masih<br />

kecil dan ketahuan berbohong karena di suruh menjaga<br />

sawah dari hama burung dan aku malah asik ngobrol<br />

dengan Wak Wahit, kakak ibuku.<br />

Aku jadi ingat dengan kata-katanya. Tingkat<br />

kebohongan itu biasanya ditentukan dari hasil proses<br />

pendifinisian mereka mengenai diri mereka sendiri. Dari<br />

kombinasi gagasan bawaan dan pengaruh kental budaya<br />

dan lingkungan tempat tumbuh, hasilnya adalah kita<br />

memiliki keyakinan tentang sifat dasar termasuk<br />

kebohongan. Keyakinan itu masuk ketingkat sangat<br />

dalam pada sistem psikosomatis kita, pikiran dan otak<br />

kita, sistem syaraf, sistem endoktrin bahkan dalam darah<br />

dan otot kita. Jadi kita bertindak, berbicara dan berpikir<br />

15


atas dasar keyakinan kita tadi. Dan kebohongan itu<br />

adalah buat dari jiwa yang tersesat.<br />

Terbayang-bayang senyum Mamak Modon, Ayam<br />

dan Pak Polisi. Aku bukan Pak Polisi.<br />

Jadi. Demi Allah, aku tidak tahu motif tindakannya.<br />

Bisa saja berbagai kemungkinan tadi separuhnya<br />

benar. Artinya, ketidakadilan Pak Polisi bisa saja Cuma<br />

bagian dari ketidakadilan dalam struktur hidup sosial kita<br />

secara keseluruhan.<br />

Meskipun begitu, tak seorang waras pun bisa<br />

menerima dengan rasa dingin perlakuan Pak Polisi pada<br />

Modon. Demi rasa keadilan yang terkoyak dan solidaritas<br />

pada Modon, kita wajib menuntut agar hal yang sama tak<br />

mudah terulang.<br />

Benar bahwa, ibarat kanker, sikap semacam itu<br />

mudah menyebar kemana-mana.<br />

Benar hal itu ibarat kanker ganas, tapi kita wajib<br />

yakin bahwa penyakit, betapapun ganasnya, pasti ada<br />

obatnya.<br />

“Kita membunuh jiwa kita sendiri,”<br />

“Kita dibutakan akan sifat dirinya sendiri.” Katakata<br />

ini muncul dari orang yang mirip diriku yang duduk<br />

16


di sudut ruang belakang pintu rumahku. Mirip dengan<br />

ujudku ketika masih anak-anak dulu.<br />

“Padahal mengenal dan memahami diri adalah<br />

syarat dasar untuk bisa menuntaskan permasalahan kita<br />

yang telah tupang tindih.” Dia menghilang bersama<br />

sapuan asap rokok bapakku.<br />

Ibuku mengendong cucunya, anak bungsuku. Lalu<br />

datang. Dia tidak keluar dari dapur. Tersenyum dan<br />

membawa tampan, di atasnya tersaji tape dari beras ketan<br />

yang dibungkusi daun kemiri.<br />

“Begitu aku dapat kabar kalian akan pulang, aku<br />

langsung buat tape dari beras ketan.” Katanya.<br />

Bau beraroma alkoholnya yang keluar dari tetesan<br />

bungkusan tape mengigatkanku pada sosok Nenek Pia.<br />

Kata ibuku dia masih rutin membuat tape dan sering<br />

menanyakan kabar diriku.<br />

Mamak Modon datang dan muncul lagi, kali ini dia<br />

senyum-senyum sambil mengeluarkan asap rokoknya<br />

dari hidung. Anak bungsuku senang. Dan, memberikan<br />

dia dua bungkus tape buatan neneknya. Dia lalu duduk di<br />

kursi dekat pintu menikmati tape lalu pergi tanpa pamit.<br />

17


Dan, kami berebut menikmati tape. Dengan melupakan<br />

semua pernik jiwa.<br />

18


2<br />

Sore dan tempat favorit kami adalah sungai. Mandi<br />

di sungai. Ritual mandi di sungai ini kami lakukan setiap<br />

kali kami pulang kampung. Sungai di mana dulu ari-ariku<br />

dihanyut. Sungai dimana bayi-bayi yang baru dilahirkan<br />

diritualkan disini. Sungai dimana aku sering mengawani<br />

bapakku mencari ikan dengan jala, dengan sumpit, jaring<br />

dan kail. Dan, di sungai ini aku membantu mencatat debit<br />

dan kecepatan arus untuk pembangunan Pembangkit<br />

Listrik dan untungnya tidak jadi.<br />

Ada sejarah adat yang melekat di sungai ini. Itu<br />

diceritakan oleh nenekku. Seorang putri dihayutkan pakai<br />

rakit dari bambu oleh saudara laki-lakinya. Putri<br />

Serindang Bulan. Kemudian lahirlah adat Beleket. Sistem<br />

kawin jujur untuk Perempuan. Perempuan dipindahkan<br />

haknya dari keluarga patrilinial kepada pihak suaminya.<br />

Dalam system adat di Kampungku, patrilineal berarti<br />

mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah.<br />

Ini konsep kesimbangan hak, bukan kesetaraan hak<br />

perempuan. Tujuan dari system perkawinan ini untuk<br />

19


mencapai keseimbangan dalam clan yang sering juga<br />

disebut kerabat luas atau keluarga besar. Maka<br />

perkawinan merupakan bagian dari pembentuk sistem<br />

sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang<br />

sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral baik<br />

melalui garis ayah (patrilineal) maupun garis ibu<br />

(matrilineal). Dan tentu saja dilakukan atas nama<br />

penghormatan dan cinta perempuan kepada saudara lakilakinya.<br />

Kami harus berjalan jauh untuk sampai di sungai<br />

ini. Dulu ketika aku masih kecil. Penduduk mengunakan<br />

sungai untuk mandi, cuci dan kakus. Dan di sana dulu<br />

ada mesin kincir untuk menumbuk padi. Jadi, jalannya<br />

terawat dan ramai sekali. Untuk sampai di sungai kita<br />

mesti melewati terowongan yang di gali kakekku. Kini.<br />

Jalannya jarang sekali digunakan kecuali oleh orangorang<br />

tua yang masih setia dengan sungai, setia dengan<br />

kebiasaan atau sekedar keterikatan mengingatkan memori<br />

kolektif mereka. Namun semakin hari jumlahnya semakin<br />

sedikit.<br />

Air sungai ini semakin kecil, tetapi tidak ada yang<br />

berubah, agregatnya masih seperti dahulu. Batu-batunya<br />

20


tetap berdiri kokoh, Airnya masih jernih, sejernih ketika<br />

dulu aku sering mandi dan menyelam ketika bulan<br />

ramadhan. Menyelam sambil minum air. Dan itu<br />

membantu sekali menahan haus ketika kita berpuasa.<br />

Sekali menyelam setara dengan seteguk air<br />

Anak bungsuku belajar berenang dan dia tampak<br />

kegirangan, dia ajarkan oleh kakek dan kakak sepupunya.<br />

Aku duduk di sebuah batu yang dulu sering aku gunakan<br />

untuk berdiri, aku berdiri tegak seperti berdiri di puncak<br />

dunia yang berdekatan dengan surya. Dari batu inilah aku<br />

melocat ke dalam air, berenang sampai menggigil,<br />

menggigil dalam kehangatan kebahagiaan bersama<br />

kawan sebayaku.<br />

Aku duduk dengan anak tertuaku. Bdikar.<br />

“Lihatlah Nak, dan pahamilah sungai yang<br />

mengalir ini,”<br />

“Kau akan tahu dan mengerti akan rahasia<br />

kehidupan yang kaya didalamnya.” Pikiranku melayang<br />

ketika dulu pernah jadi saksi ritual membersihkan sungai.<br />

Aku duduk di samping sang Dukun. Dan jangan sesekali<br />

berkirim surat melalui sungai, demikian pesan tua-tuan<br />

kampung setelah asap kemenyan menghilang.<br />

21


“Oh, begitu,” Kata Bdikar, kakinya bergerak-gerak<br />

seperti bersiap untuk terjun ke sungai dari tempat kami<br />

duduk.<br />

“Kau akan melihat betapa kedalamannya bermainmain<br />

beribu mutiara gemerlapan, udara yang segar<br />

berenang di permukaannya dan kebiruan cahaya langit<br />

yang berkaca kepadanya.”<br />

“Belajarlah dari dia, cintai dia, maka akan<br />

terbukalah bagimu berjuta rahasia.” Bdikar mulai buka<br />

bajunya, sepertinya tidak dia dengar dan perhatikan apa<br />

yang barusan aku bicarakan. Dia meloncat seperti kodok.<br />

Menyelam lalu berenang. Adiknya tertawa kegirangan<br />

melihat gaya renang abangnya.<br />

Aku kemudian menatap aliran sungai. Dulu aku<br />

sering berlomba menyeberanginya bersama-sama teman<br />

sebayaku. Yang kalah dan hanyut akan mendarat di<br />

lokasi khusus yang difungsikan untuk kakus terbuka.<br />

Orang yang buang hajat disana, duduk mencangkung dan<br />

menutupi mukanya dengan sarung, tampaklah knalpot<br />

yang membuang kotoran padat berwarna kekuningan.<br />

Ternyata kemaluan itu ada di muka dan kepala. Kata<br />

temanku Bambang.<br />

22


“Buktinya mereka menutup muka.” Sambungnya.<br />

“Dan kehilangan muka adalah ungkapan yang biasa<br />

digunakan untuk rasa malu, makanya muka harus<br />

ditutup.” Ia menguatkan argumenya.<br />

Setelah membuang hajad barulah mereka mandi.<br />

Mengunakan arang yang haluskan untuk mengosok gigi.<br />

Dan, dengan batu yang di gosok di betis dan tangan untuk<br />

menghilangkan daki.<br />

Aliran sungai ini masih bening dan berarus deras.<br />

Suara jeram arus ini memicu hatiku seakan terbuka dan<br />

memahami sebuah makna. Karena, Rahasia sungai ini<br />

adalah rahasia perjalanan hidupku. Arus dan sungai ini<br />

tetap berada seperti dahulu. Kenangku. Senantiasa disana,<br />

arusnya seperti merindukan sesuatu dalam perjalanannya,<br />

namun justru dalam kerinduannya itu ia menjadi selalu<br />

baru.<br />

Lamunanku berhenti, ketika ada tepukan di bahuku.<br />

Itu Bambang, dia sepupu jauhku dan teman sekolah,<br />

teman sebangku dan teman mencuri buku-buku<br />

diperpustakaan. Karena perpustakaanya selalu terkunci.<br />

Maka mencurilah satu-satunya cara untuk melihat deretan<br />

23


huruf dan angka yang tertulis didalam buku yang<br />

sebagian sudah rapuh dimakan rayap.<br />

“Buku itu untuk dibaca bukan untuk disimpan di<br />

lemari kemudian jadi makanan rayap,” itu pembelaanya<br />

kalau kami ketahuan oleh Guru Kepala Sekolah. Dan, dia<br />

yang selalu di depan dan pertama kami merasakan<br />

mendaratnya telapak tangan Guru Kepala Sekolah kami.<br />

Biasanya dia selalu menoleh kebelakang. Antrian<br />

selanjutnya adalah aku. Dia selalu meyeringai seperti<br />

kesakitan dengan mulut komat-kamit. Katanya dia sedang<br />

melapaskan ajian tahan pukul yang dia pelajari dari<br />

kakeknya untuk menetralisir rasa sakit. Ajian tahan<br />

pukulah yang membuat wajah putihnya memerah lalu<br />

muncul jejak telapak tangan. Sekarang dia menjadi<br />

seorang pegawai Negeri sipil dan bertugas di<br />

Kampungku. Anaknya pendiam. Diam-diam nakal tetapi<br />

pandai sekali merangkai kata lalu menjadikan bait-bait<br />

puisi.<br />

“Apa yang kau lihat?” Tanya dia lalu duduk<br />

disampingku. Bdikar tersenyum dengan Waknya, dan<br />

kepalanya menghilang masuk kedalam air. Bambang tahu<br />

aku pulang dan mandi ke sungai dari ibuku. Ketika dia<br />

24


lewat depan rumah, ibuku bilang aku sedang mandi di<br />

sungai dengan anak-anakku. Lalu dia menyusul. Kami<br />

selalu ketemu kalau aku pulang kampung. Kami punya<br />

kenangan di sungai ini, selain kenangan ketika berurusan<br />

dengan Perpustakaan sekolah. Dialah yang mengajariku<br />

pertama kali menyelam sambil minum air ketika kami<br />

sama-sama berpuasa. Awalnya dia tidak mau mengaku<br />

ketika aku tanyakan kenapa setiap dia menyelam<br />

gelembung udara selalu muncul.<br />

“Tidakkah dari sungai ini kau mengerti akan suatu<br />

rahasia, bahwa sebenarnya waktu itu tidak ada dalam<br />

kehidupanmu?” tanya Bambang.<br />

“Sungai itu ada dimana-mana dan sama. Ia sama di<br />

mata airnya, sama di muaranya, airnya tetap sama meski<br />

ia mengarugi air terjun, terjepit di sela-sela bukit dan<br />

pengunungan. Ia sama dalam amarahnya ketika<br />

mengamuk menjadi air bah. Sama seperti dalam<br />

keramahannya ketika bernyanyi menjadi sungai kecil.”<br />

Kami terdiam.<br />

Dia menunjukan arus deras tempat kami sering<br />

berlomba-lomba menyeberanginya. Dia selalu saja kalah,<br />

beberapa kali aku bantu dia menyeberang dengan<br />

25


menarik tangannya. Aku di untungkan dengan<br />

pengetahuanku menghitung kekuatan lalu debit arus yang<br />

diajari bapakku. Jangan sesekali menyeberang sungai<br />

dimulai dengan kaki kanan. Kemungkian hanyut semakin<br />

besar, ini pelajaran pertama bapakku. Pelajaran ini<br />

membuat aku tahu di titik di mana aku memulai berenang<br />

menyeberangi arus. Pernah suatu kali, kami berlomba<br />

lalu aku tarik tangannya, celananya lepas karena arus<br />

terlalu kuat dan ikatan celananya longgar. Dia lepaskan<br />

pegangan tangannya membiarkan hanyut lalu mengejar<br />

celananya yang hanyut dan mendarat di sebuah batu<br />

tempat orang-orang duduk dan menutup mukanya dengan<br />

sarung.<br />

Bambang selalu lemah di hitung-hitungan. Dia kuat<br />

di pelajaran sejarah, bahasa dan pencinta buku dan cerita<br />

roman. Dialah yang menceritakanku tentang kisahnya<br />

Qais dan Laila. Dia gambarkannya dalam bait puisi; Aku<br />

berseru pada singgasana langit, berilah kami kebahagiaan<br />

dalam cinta. Singkaplah tirai derita yang selalu<br />

membelenggu kalbu. Bagaimana mungkin aku tidak gila,<br />

bila melihat gadis bermata indah yang wajahnya bak<br />

26


mentari pagi bersinar cerah. Menggapai balik bukit,<br />

memecah kegelapan malam.<br />

“Sama seperti dalam kesedihannya ketika ia<br />

merintih menjadi hujan gerimis rintik-rintik,” Jawabku<br />

bak berbalas pantun. Beginilah kebiasaan kami<br />

berkomunikasi sejak dahulu. Kami selalu mengunakan<br />

kata-kata berkias. Aku memaksa diri mengikutinya.<br />

Seperti terjun Balanda. Selalu saja dia yang membetulkan<br />

redaksi dan susunan kata-kataku yang salah. Dan sejak<br />

dulu aku selalu seperti anak yang baru bisa belajar bicara.<br />

Dia gurunya.<br />

“Pahamkah kau sekarang dengan arti masa lalu dan<br />

masa depanmu. Kau tetap sama”<br />

“Tapi hendaklah kesamaamu selalu membuahkan<br />

kerinduan. Supaya hidupmu selalu baru. Kerinduan itulah<br />

yang membuatmu tak pernah muda, tak pernah tua,”<br />

“Itulah hakekat waktu dan dalam waktu itulah<br />

hidupmu berada.” Dia mulai bijak dan aku sengaja<br />

biarkan dia sendiri yang menjawab pertanyaan<br />

sebelumnya bahwa sebenarnya waktu itu tidak ada dalam<br />

kehidupan? Karena aku tahu dia semakin banyak belajar.<br />

Sejak dulu dia hampir tidak pernah meninggalkan<br />

27


kampung. Kami sering ikut menikmati obrolan tua-tua<br />

kampung. Dia selalu diam, tidak berani berkomentar.<br />

Setelah itu barulah kami mempraktekkan dan<br />

mendiskusikan obrolan tua-tua kampung.<br />

Kata-katanya tentang waktu dan hidup<br />

mengingatkanku pada mimpi tahun lalu. Mimpi ketika<br />

aku berada di suatu tempat yang tidak mengenal katakata<br />

siang dan malam. Dalam mimpiku aku merasa<br />

mengengam bulan dan matahari. Gelap dan terang<br />

sekaligus. Tapi tiba-tiba mencuat sebuah cahaya,<br />

mengulung menjadi awan yang berarak gemerlapgemerlap<br />

di iringi suara musik pada bidadari. Entah dari<br />

mana asalnya.<br />

Aku ceritakan dengannya tentang mimpiku. Aku<br />

tahu. Sejak dulu dia juga sering meraba-raba tentang<br />

masa depan. Dia sering berlagak bak peramal. Seakanakan<br />

dirinya Nostradamus. Meski setiap ramalannya<br />

selalu meleset dan tidak tepat. Sama ketika dia<br />

menyebarangi arus. Hitunganya selalu saja meleset.<br />

Tiba-tiba Bdikar datang, lalu bersalaman dengan<br />

Bambang. Belum ada tanda-tanda dia kedinginan, dia<br />

ambil ancang-ancang lalu meloncat terjun dari batu<br />

28


dimana kami duduk. Kali ini jaraknya semakin jauh di<br />

banding loncatan pertamanya. Kami tersenyum. Itu<br />

mengingatkan kami ketika kecil dulu.<br />

“Kau selalu saja kalah jauh ketika kita lomba locat<br />

dari batu ini.” Kenangku. Dia tersenyum sambil menoleh<br />

ke arah hilir dimana dulu sering difungsikan orang-orang<br />

untuk buang hajad.<br />

“Waktu yang meyediakan ruang kebahagian dan<br />

penderitaan sekaligus,” Jawab dia dengan kata-kata yang<br />

bersayap.<br />

“Jangan terkejut, cahaya. Seperti dalam mimpimu<br />

itu adalah penunjuk dalam hatimu.” Di bersemangat.<br />

“Maka jangan ikuti aku”<br />

“Ikuti hatimu.” Kali ini dia benar. Kami tertawa<br />

ketika aku ceritakan betapa dia sering salah mendarat<br />

ketika menyeberang arus dan sejak itu aku mesti<br />

mempertimbangkan untuk mengikuti setiap sarannya.<br />

“Kebijaksanaan terembunyi di dalam hatimu, sama<br />

seperti malam yang bersayap terang. Seperti kehidupan<br />

bersayapkan kematian.” Dia seperti tahu betapa aku<br />

sering meratapi hatiku yang sering mengalir kelemahan<br />

29


erupa penderitaan dan kesengsaraan. Aku perantau dan<br />

tidak bawa bekal apapun dalam perkelanaanku.<br />

Pernah suatu kali aku mulai hilang harapan.<br />

Kehilangan harapan karena ada banyak<br />

ketidakadilan yang aku lihat dalam struktur sosial,<br />

budaya, pola kepemimpinan dan mempengaruhi sudut<br />

pandangku. Ekpektasiku. Tapi aku tidak bisa berbuat apaapa.<br />

Kecenderungan menyalahkan, yang aku saksikan<br />

adalah prilaku defensif yang mengantikan renungan dan<br />

intropeksi jujur atas kehidupan, yang sesungguhnya<br />

merupakan landasan yang paling diperlukan untuk<br />

mencari bimbingan saat kita salah langkah atau salah<br />

arah.<br />

“Kini buatlah hatimu menjadi keindahan,” Katanya.<br />

Kali ini seperti Kakak yang menasehati adik yang mulai<br />

putus asah.<br />

“Karena kaindahan itulah milik rahasiamu.<br />

Keindahan itu tak dapat kau pelajari lebih daripada<br />

kebenaran”<br />

“Keindahan yang bagaimana?” Tanyaku.<br />

“Keindahan itu adalah keseimbangan,<br />

keseimbangan antara kebahagian dan penderitaan, antara<br />

30


kegembiraan dan kedukaan. Antara harapan dan<br />

kenyataan,” kata-kata ini sering juga aku dengan dari Pak<br />

Salim Senawar. Bambang adalah anaknya. Anak<br />

Sulungnya.<br />

“Dan justru dalam keseimbangan itulah kebahagian<br />

dan penderitaan lenyap, harapan dan kenyataan<br />

menghilang.” Dia membujuk. Tetapi kalimat ini belum<br />

aku mengerti. Aku lebih fokus melihat kedua putraku<br />

berenang.<br />

“Keindahan yang dibalut dengan cinta.” Jawabku<br />

pura-pura mengerti. Aku mulai tertantang dengan katakata<br />

yang berkias. Sepertinya dia mulai menantangku.<br />

“Air sungai ini bisa hilang kesegarannya bila tiba di<br />

muara, tetapi cinta mereka hidup dari pagi sampai<br />

malam”<br />

“Lihatlah!” Kataku<br />

“Maski telah berganti, tidak ada lagi Mesin kincir<br />

untuk menumbuk padi, tidak ada lagi orang-orang duduk<br />

dengan menutup kepala di tepian sungai. Fungsinya<br />

sudah dipindahkan keruangan yang orang modern sebut<br />

WC. Tak ada lagi para gadis dan ibu-ibu mencuci beras<br />

dalam baki. Tetapi keindahan sungai ini sangup membuat<br />

31


dunia kembali kepada masa mudanya yang tak bercela.”<br />

Lanjutku.<br />

“Ia.”<br />

“Karena cinta menuntun arusnya melewati jalan<br />

sempit, cinta juga menjerumuskan mereka ke dalam<br />

juruang-jurang dalam, tetapi cinta juga mengangkat<br />

mereka ke puncak gunung. Dan cinta juga menyeret<br />

mereka masuk ke dalam pondok yang hampir rubuh jika<br />

dilihat dari luar,”<br />

“Begitulah kawan,”<br />

“Dalam cinta kebahagian dan penderitaan itu<br />

bersatu, lebur menjadi kehidupan,” Kata Bambang.<br />

Kami tertawa. Sungai ini bukan hanya mampu<br />

mengingatkan ingatan kolektif kami, sungai ini menjadi<br />

saksi dalam diam perjalaan hidup kami, hidup orangorang<br />

kampung, perjalanan budaya. Sungai ini juga<br />

mengajari kami siapa yang pernah berpikir, makin<br />

kencang badai melanda makin jauh swagaloka<br />

ditinggalkan.<br />

Seperti biasa. Kami mandi dengan basahan, dengan<br />

kain penutup aurat kami. Kami bukan anak-anak lagi.<br />

Aku tantang dia berenang menantang arus sampai<br />

32


kesebarang. Arusnya tidaklah sekuat dan sebesar ketika<br />

kami masih kecil dulu. Anakku tertawa memberi<br />

semangat. Pada hitungan ketiga kami sama-sama<br />

meloncat. Kali ini aku yang tidak bisa sampai ke<br />

seberang.<br />

Dan aku hanyut. Untungnya tempat aku merapat<br />

tidak lagi di gunakan untuk buang hajad. Bambang<br />

tertawa. Dia tetap menungguku di sebarang. Lalu aku<br />

ulangi lagi kali ini dengan ancang-ancang. Meloncat<br />

dengan diawali kaki sebelah kiri aku meloncat. Dia<br />

tangkap tangganku dan kami sama-sama akhirnya di<br />

seberang arus. Kami duduk di atas batu cadas tempat<br />

tumbukan arus. Dari atas cadas ini tampaklah batu besar<br />

ditengah arus yang biasa digunakan untuk berbagai ritual<br />

yang berhubungan dengan sungai.<br />

Aku melihat ada badan halus yang berkeliaran di<br />

atas batu tempat ritual itu. Memakai pakaian serba halus<br />

dengan renda-renda putih. Menyala dalam terang yang<br />

sangat halus pula. Berpendar seperti kunang-kunang<br />

senja, hanya mereka seperti tidak berdaya. Lalu berlahan<br />

berubah ujud, ujud hati. Hati yang tidak berdaya di bawa<br />

himpitan tangan-tangan nafsu kedurhakaan. Bambang<br />

33


meloncat. Cipratan air meyadarkan lamunanku. Aku<br />

meloncat dan menyelam aku tersandung batu, air sungai<br />

mulai keruh, pertanda airnya akan naik karena hutan<br />

dihulunya mulai bsanyak yang berubah fungsi.<br />

Ini tanda dan peringatan, sungai menyampaikan<br />

sesuatu atas dasar cinta. Sungai masih bersahabat seperti<br />

dulu. Semoga saja tidak ada yang berkirim surat ke<br />

sungai dan membuat dia murka, karena nyanyian<br />

kemurkaannya adalah badai yang mengerikan. Aku tahu<br />

dihulunya hutan semakin menurun kwalitasnya karena<br />

keterdesakan kebutuhan warga kampungku. Tapi<br />

gelombang hidup pun harus mengayun, menuntun setiap<br />

doa dan mimpi manusia yang masih memiliki cinta dan<br />

gairah pada kehidupan. Cinta jua yang akan menuntun<br />

arusnya melewati jalan sempit, cinta juga menjerumuskan<br />

mereka ke dalam juruang-jurang dalam, tetapi cinta juga<br />

mengangkat mereka ke puncak gunung.<br />

Kami kemudian berhenti mandi dan pulang kembali<br />

ke rumah. Tidak ada obrolan sepanjang jalan pulang.<br />

Jalan mendaki. Dengkul gemetaran dan nafas kami<br />

seperti berpacu seperti arus sungai yang mengalir menuju<br />

muara.<br />

34


Sampai di rumah, ibuku sudah menyiapkan pisang<br />

goreng, pisang yang baru diambilnya dikebun ketika<br />

kami mandi ke sungai.<br />

35


3<br />

Melengkapi liburan. Kami ikut menemani ibuku ke<br />

sawah. Padinya mulai menguning. Sawah ibuku berada di<br />

wilayah desa tetangga. Untuk sampai disawah kami<br />

berjalan kaki. Sepanjang perjalanan kami ketemu orangorang<br />

kampung, bersalaman dan mereka selalu<br />

menanyakan “kapan pulang?”, “pulang bersama<br />

keluarga?”. Itu Cuma basa-basi. Pertanyaan itu selalu di<br />

tutup dengan “sering-seringlah pulang”. Kata terakhir ini<br />

adalah kata-kata hati yang di lisankan oleh mulut. Aku<br />

tahu dari cara pengungkapan dan intonasi suara mereka.<br />

Di ujung kampung kami melewati Gedung Sekolah<br />

Dasar. Di gedung sekolah inilah aku diajarkan<br />

pengetetahuan dasar. Tidak ada yang berubah dari bentuk<br />

fisik gedungnya, kecuali pagar dan warna cat.<br />

“Ini sekolah bapak dulu ya?” tanya Bdikar, ketika<br />

kami melewati depan pintu masuk gedung sekolah.<br />

“Iya.”<br />

“Di sinilah dulu aku sekolah.” Kenangku sambil<br />

melihat-lihat dari luar posisi ruang perpustakaan yang<br />

dulu sering aku bawa buku-bukunya tanpa pengetahuan<br />

36


guru. Ruang itu sekarang telah berubah menjadi ruang<br />

belajar.<br />

“Nak, ruang itu.” Aku menunjukan salah satu<br />

ruangan yang berada di sudut yang tempak dari luar.<br />

“Itu ruangan ketika aku duduk kelas satu.”<br />

Terangku sambil melihat ibuku yang berjalan di<br />

belakangku. dan pikiranku melayang jauh ketika dulu<br />

pertama kali aku masuk ke kompleks sekolah SD Inpres<br />

ini.<br />

“Aku diantarkan oleh ibukku.” Terangku ke Bdikar.<br />

“Kami berjalan kaki bersama beberapa anak<br />

lainnya yang juga diantar oleh ibu mereka.”<br />

“Ketika itu aku berjalan di belakang ibuku dengan<br />

sangat mantap,” Lanjutku sambil senyum-senyum, aku<br />

masih ingat dengan detail ketika aku pertama kali<br />

memakai seragamku. Seragam merah putih baru,<br />

seragam hasil jahitan perantau minang yang tinggal<br />

dikampungku. Dangan teman-teman sekelas yang<br />

semuanya adalah anak tertua dikeluargannya, Kami<br />

disuruh berbaris dan kemudian masuk ke dalam ruangan.<br />

Di satukan dalam satu ruang kelas. Seorang guru tegak di<br />

depan pintu. Kami menyalami, tapi tidak mencium<br />

37


tangannya. Begitu duduk dengan tangan bersilang dan<br />

bertumpu di papan meja, nyanyian lagu Indonesia<br />

Rayapun berkumandang. Tentu saja kami belum hafal<br />

lagu ini, mistar papan berbahan dasar dari kayu dia<br />

ketuk-ketukan ke papan tulis. Itu memudahkan untuk<br />

menyimak mengikuti intonasi dan resonansi yang keluar<br />

dari mulut Guru yang karismatik itu.<br />

Aku menoleh ke dinding sebelah kananku. Ibuku<br />

masih berada di luar, mengintip melalui celah-celak<br />

jendela yang hanya di tutupi dengan kawat besi. Dia<br />

masih mengendong adikku. Mengendong dengan kain<br />

gendongan bermotif bunga berwarna merah. Kain khas<br />

gendongan bayi yang biasa digunakan di kampungku.<br />

Kain yang sudah pudar warnanya. Kain itu juga yang<br />

digunakannya dulu ketika aku masih bayi. Aku melirik<br />

ibuku karena ada perasaan takut ketika berada di ruangan<br />

kelas ini. Mungkin ini adalah ruang pijakan pertamaku<br />

mengenal dunia yang lebih luas. Aku tentu saja punya<br />

cita-cita tapi aku tidak tahu seperti apa masa depan.<br />

Ketika dia bantu pasang baju seragamku, sebelum<br />

berangkat tadi pagi. Ibuku bilang bahwa dunia ini keras<br />

dan kejam. Pendidikan adalah bekal untuk tidak<br />

38


menjadikan kita predatisme. Jadi predator maupun jadi<br />

mangsa. Tentu saja aku takut.<br />

“Pendidikan akan memandu kamu menuju cita-cita<br />

dan mengenal lebih baik masa depan.” Pesan singkat<br />

ibuku. Dia buru-buru ingin cepat segera sampai di<br />

Sekolah. Ini juga pengalaman pertama dia<br />

menyekolahkan anaknya.<br />

Tegak didepan kelas dengan wajah wibawa namun<br />

pengasih adalah Bapak Abdulah. Biasa pangil dengan<br />

sebutan Bapak Ib, dia guru tua tanpa sertifikasi, dia<br />

menjadi guru sejak pertama sekolah ada di kampungku.<br />

Dari dulu, yang diajarinnya tidak hanya soal penguatan<br />

kognitif, mengajari dan menuntun murid-muridnya untuk<br />

memperoleh pengetahuan melalui aktivitas mengingat,<br />

menganalisis, memahami, membayangkan dan berbahasa.<br />

Dia membekalkan muridnya dengan kemampuan afektif<br />

sebuah sikap tentang kepedulian yang berbasis<br />

pengetahuan.<br />

“Dia membantu membentuk watak perilaku,<br />

perasaan, sikap, emosi dan nilai.” Kenangku ke Bdikar.<br />

Dia tersenyum sambil mengulum permen yang baru di<br />

belinya di sebuah warung depan sekolah.<br />

39


“Seseorang dapat diramalkan perubahannya bila<br />

seseorang telah memiliki kekuasaan dan penguasaan<br />

kognitif.” Dia meyakinkan sekaligus memberikan<br />

motivasi kepada kami.<br />

Aku ingat. Disuatu pagi setelah upacara bendera,<br />

dia pernah bilang bahwa huruf A, B, C bukanlah sebuah<br />

deretan huruf tanpa makna, ada makna yang luas dan<br />

dalam yang terkandung didalamnya. Lalu, dia<br />

menganalogikan tentang gelas, Sambang dan gerigik<br />

(tempat air dari bambu) dan ember. Media ini bukan<br />

hanya media tapi ada substansi yang terkandung<br />

didalamnya yaitu tempat menampung air. Tentu kami<br />

tidak mengerti apa yang dibicarakannya.<br />

Sama seperti fungsi tempat menampung air. Maka<br />

pendidikan yang salah satunya mempelajari huruf/teks<br />

yang membentuk kata, kalimat dan paragrap.<br />

“Semakin besar dan dalam kita memehami media<br />

belajar maka semakin banyaklah yang bisa ditampung.”<br />

Kata Pak Ib. Karena, semakin banyaklah pengetahuan<br />

yang akan tersedot didalamnya. Kita sudah punya tempat<br />

menampung yang kapasitasnya besar sekali. Namanya<br />

otak. Kata John von Naeumann memperkirakan kapasitas<br />

40


otak manusia adalah 35 exabyte atau sekitar 1 milyar giga<br />

dan terdiri dari 100 juta sel saraf neuron.<br />

Dia mulai memancing otak kami berpikir tentang<br />

pembacaan teks yang didalamnya ada konstruksi sosial.<br />

Huruf yang membentuk teks dan setiap teks ini tidak<br />

boleh mengacu pada makna final. Karena, katanya teks<br />

hadir sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya<br />

dalam sejarah. Itu yang selalu dia katakan kepada kami,<br />

tentu kami tidak paham maksudnya. Yang kami tahu,<br />

kami harus belajar, belajar dan belajar. Belajar membaca<br />

dan belajar menulis.<br />

Dari metode pengajaran yang diterapkannya. Aku<br />

mulai paham bagaimana mempedulikan diri terhadap<br />

pendidikan. Metodelogi psikomotorik yang diajarkan itu<br />

membekas dalam diri kami. Ketelitian misalnya<br />

merupakan suatu keterampilan yang berhubungan dengan<br />

kegiatan melakukan gerakan secara teliti dan benar<br />

dengan kontrol yang lebih baik dan kesalahan yang lebih<br />

sedikit. Begitu juga dengan perangkaian.<br />

“Kami berlahan mampu merangkai suatu rangkaian<br />

gerakan dengan membuat urutan tepat, atau konsistensi<br />

41


internal antara gerakan-gerakan yang berbeda.” Ceritaku<br />

kepada Bdikar.<br />

Metode ini. salah satunya membuat kami merasa<br />

mencintai dan penduli terhadap huruf-huruf yang ditulis<br />

dengan kapur di papan berwarna hitam. Setelah penuh<br />

tulisan harus segera dihapus dan angka dan huruf itu<br />

berterbangan bersama debu putih memaksa kami<br />

menyimpan berbagai tulisan dalam memori kognitif<br />

kami. Kami kekurangan alat-alat tulis. Buku dan pensil.<br />

Kami harus sehemat mungkin mengunakan lembaran<br />

buku. Untuk satu tahun ajaran. Kami punya hanya satu<br />

buku tulis. Semua pelajaran ada di dalamnya. Untuk<br />

menulis di ujung pensil selalu kami balutkan dengan<br />

karet gelang, fungsinya sebagai penghapus. Menghapus<br />

tulian yang tidak perlu. Kondisi serba kekurangan ini<br />

memaksa kami melibatkan dalam berproses<br />

emansipatoris, bersama-sama mengembangkan diri,<br />

berbagi hafalan lalu menjadi akumulasi pengetahuan.<br />

Kami terbiasa dengan berbagi hafalan dan<br />

pengetahuan. Kalau aku hanya hafal bahwa Jawa Barat<br />

itu berada di Pulau Jawa, lalu teman sebangku menghafal<br />

ibu Kota Propinsi Jawa Barat adalah Bandung, setelah di<br />

42


akumulasi, menjadi kalimat utuhnya adalah Jawa Barat<br />

adalah salah satu Propinsi di Pulau Jawa dan nama Ibu<br />

Kotanya adalah Bandung. Menarik sekali proses berbagi<br />

pengetahuan, proses saling belajar yang diajarkannya.<br />

“Apakah dulu ada PS?” Bdikar menyela. Aku tahu<br />

maksudnya playstation, tempat ngumpulnya anak-anak<br />

kota setelah pulang sekolah.<br />

“Belum ada”<br />

“Ketika itu di Desa kami hanya ada 1 buah<br />

televisi.” Jawabku.<br />

“Tipi desa.” Bdikar tertawa ketika aku sebut tipi.<br />

Televisi milik desa. Televisi ini hanya di hidupkan dari<br />

jam 19.00-21.30 oleh Kepala Desa. Posisinya di rumah<br />

Kepala Desa dan diletakkan di tempat yang agak tinggi.<br />

Kami berjejeran di halaman kediaman Kepala Desa yang<br />

kami sebut Ginde. Kami selalu membawa dan memakai<br />

sarung ketika menonton televisi ini. Fungsinya untuk<br />

menghangatkan tubuh dan menghindar dari gigitan<br />

nyamuk.<br />

“Pasti Bapak tidak tahu dengan Ratchet dan Clank<br />

3. Game, Dead to Rights” kata Bdikar mengejek.<br />

43


“Yang aku ingat, ketika itu bulan September.”<br />

Jawabku. Tepat jam 21.00 ada gambar hitam putih dunia<br />

yang berputar. Kemudian ada tulisan Dunia Dalam Berita<br />

dan ucapan selamat malam dari penyiarnya, Laki-laki<br />

berambut ikal. Berita tentang Pembantaian Sabra dan<br />

Shatila. Pembataian ini terjadi pada September 1982 di<br />

Beirut Lebanon yang saat itu diduduki oleh Israeal,<br />

dilakukan oleh para milisi Kristen Maronit Lebanon atas<br />

para pengungsi Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra<br />

dan Shatila. Pasukan-pasukan Maronit berada langsung di<br />

bawah komando Elie Hobeika yang belakangan menjadi<br />

anggota parlemen Lebanon. Aku takut, marah, ketika<br />

menonton berita ini, seperti ada keberanian di dadaku.<br />

Predatisme telah terjadi.<br />

“Kan sama dengan Disgaea, Hour of Darkness,”<br />

kataku tidak mau kalah dengan anakku. Game ini yang<br />

diperankan Laharl anak Raja Krichevskoy yang arogan<br />

untuk membuktikan bahwa ia adalah penguasa terkuat di<br />

Netherworld setelah ayahnya meninggal.<br />

Televisi yang hanya satu-satunya ini menjadi alat<br />

konsolidasi dan soliditas di kampung. Kami menikmati<br />

aroma daki dan keringat ketika berdesakan untuk<br />

44


mendapatkan posisi strategis untuk bisa menonton<br />

televisi. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua<br />

menikmati tabung ajaib berukuran 14 inch ini. Televisi<br />

ini juga jadi wadah interaksi dan berbagi informasi bagi<br />

tua-tua kampung.<br />

“Mereka membicarakan sesuatu yang telah mereka<br />

tonton, terutama berita-berita dunia yang sudah<br />

disampaikan oleh penyiar berambut ikal itu.”<br />

“Itu sama dengan kalian yang suka cerita tentang<br />

jagoan kalian di PS itu.” Kataku ke Bdikar.<br />

Setelah televisi dimatikan. Penonton bubar, orangorang<br />

tua saling berkunjung. Mereka mengobrol banyak<br />

hal sebelum mereka pulan dan tidur. Dikampung mereka<br />

menyebutnya “becelomok”. Mengobrol tentang berbagai<br />

hal. Di mulai dari obrolan tentang pekerjaan,<br />

perkembangan kampung, tentang ilmu kanuragaan,<br />

tentang aji-ajian dan biasanya diakhiri dengan kajian<br />

tasawuf yang mereka sebut dengan Kaji Dalam.<br />

“Obrolan ini bisa sampai malam.” Kataku. Bahkan<br />

ada yang sampai ayam berkokok, sampai subuh. Untuk<br />

belajar tentang kajian dalam ini, sang murid rela berjalan<br />

jauh hanya untuk bertandang dan menemui sang Guru.<br />

45


Bahkan mereka dengan suka rela membantu pekerjaan<br />

yang sedang guru kerjakan, misalnya menebang hutan<br />

dan membersihkan kebun dan sawah. Itu semua<br />

dilakukan agar bisa belajar.<br />

Aku tidak suka membuka pelajaran sekolah ketika<br />

di rumah. Aku lebih suka duduk dan kemudian ikut<br />

hanyut di obrolan tua-tua kampung. Sesekali ketika<br />

mereka sibuk berinteraksi dan berdiskusi, aku yang<br />

paling kecil dan belum tahu apa-apa sering diminta untuk<br />

mengungkapkan pendapat. Kadang-kadang mereka<br />

tertawa lalu membenarkan pendapat yang aku<br />

kemukakan, pendapat yang keluar dari tema obrolan<br />

mereka.<br />

Ketika masuk sesi tentang ilmu kanuragan/ilmu<br />

batin. Aku suka mencuri-curi dengar. Aku rela menjadi<br />

tukang pijit atau tukang pembuat kopi. Butuh kerja keras<br />

untuk menghidangkan kopi. Aku harus ke dapur dan<br />

menghidupkan api dengan pokok kayu. Kalau kayunya<br />

basah dan belum kering, merahlah mata. Kita harus lama<br />

meniup agar bara menjadi api. Dan rasa pedih dimata itu<br />

akan terbalas ketika ada imbalan. Imbalan pengetahuan<br />

Kaji Dalam.<br />

46


Beberapa dari mereka dengan suka rela<br />

menurunkan ilmu dan jampi-jampi, aku diharuskan<br />

menghafalkan jampi-jampi tersebut tetapi tidak boleh di<br />

catat. Itu di sela-sela Kaji Dalam. Ada satu jampi yang<br />

masih aku hafal sampai saat ini, mereka bilang jampi<br />

pelet. Tentu saja aku senang menghafalnya. Setelah hafal<br />

di luar kepala, akupun merapalkannya dekat nenek yang<br />

biasa aku sebut dengan Sebei. Akulah satu-satunya cucu<br />

kesayangannya diantara tujuh puluh enam orang cucunya.<br />

Dia tertawa, lalu dia bilang itu jampi untuk memotong<br />

pusat bayi. Aku tersipu malu dan jengkel karena dikibuli<br />

oleh tua-tua kampung. Bdikar tertawa mendengar<br />

ceritaku.<br />

“Tapi demikianlah caranya mereka melestarikan<br />

dan menurunkan ilmu. Beberapa kali jampi-jampi ini<br />

dimodifikasi menjadi sepeti nyanyian. Ternyata itu<br />

strategi agar cepat diingat dan dihafal.” Bdikar mulai<br />

berkeringat karena matahari semakin meninggi. Lalu, aku<br />

berikan dia topi untuk menutupi kepalanya.<br />

“Suatu hari aku pernah ikut diminta oleh mereka<br />

menyelesaikan kasus adat.” Kataku sambil membenarkan<br />

letak topi di kepalanya.<br />

47


“Kasus apa.”<br />

“Seperti Game Special Enquity itu ya.” Dia suka<br />

sekali memainkan game Game Special Enquity.<br />

“Kasus pencemaran sungai.” Jawabku.<br />

“Tiba-tiba ikan di sungai tempat biasanya kami<br />

mandi dan bersenda gurau itu banyak yang mati. Bisanya,<br />

ikan-ikan tersebut hanya boleh diambil dengan pancing,<br />

jala dan alat-alat tradisional. Sungai menjadi memutih<br />

dan bau menyengat bangkai ikan. Lalu masyarakat<br />

seperti panen, sebagian mengambil ikan-ikan yang besarbesar<br />

dan masih segar, sebagian diam saja karena takut<br />

dengan racun yang membunuh dan terkandung didalam<br />

tubuh ikan.”<br />

“Ini akibat pencemaran yang disengaja?” Potong<br />

Bdikar.<br />

“Ia.”<br />

“Dari aromanya ini Racun Endrin kata salah<br />

seorang tetua kampung ketika itu,” Aku masih ingat betul<br />

dengan tetua yang duduk bersarung dipingir sungai ketika<br />

meneliti ikan yang mati. Ketika waktu SMP aku baru<br />

tahu bahwa Racun Endrin ditumpahkan di sungai. Racun<br />

48


ini termasuk dalam golongan Rodentisida untuk<br />

membasmi tikus.<br />

“Racun berwarna putih ini tidak larut dan terurai di<br />

dalam air, sehingga sepanjang aliran sungai akan teracuni<br />

oleh racun ini.” Kataku seperti agen NYPD dalam Game<br />

Special Enquity.<br />

“Tua-tua kampung berkumpul, dan tidak ada yang<br />

bisa dijadikan tersangka pada kasus ini.” Bdikar<br />

tersenyum, seperti senyum melecehkan agen NYPD<br />

gagal memecahkan kasus.<br />

“Racun Endrin ini punya daya rusak luar biasa,<br />

berbeda dengan Tuba alam dari jenis-jenis tumbuhan<br />

yang biasa digunakan untuk meracun ikan.”<br />

“Tuba?” tanya Bdikar.<br />

“Tuba itu Racun alami yang di ambil dari sejenis<br />

tanaman” Terangku. Tuba yang biasa digunakan adalah<br />

dari jenis Derris elliptica Bth anggota suku Fabaceae<br />

(Leguminosae) yang memiliki kandungan rotenona<br />

(rotenone), sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga<br />

(insektisida) tapi cepat larut dan terurai dalam air,<br />

interval pengaruhnya tidak lama dan panjang.<br />

“Tapikan merusak juga?”<br />

49


“Tuba tidak membunuh semua jenis ikan.”<br />

Jawabku.<br />

Pada proses peradilan adat. Terjadi dialog dan<br />

debat di antara tetua kampung, akhirnya mereka<br />

bersepakat memutuskan bahwa kasus ini tersangkanya<br />

adalah semua warga desa. Semua warga desa wajib turut<br />

membayar denda untuk memulihkan keseimbangan<br />

sosiologis. Masyarakat sudah saling curiga.<br />

Keseimbangan alam juga terganggu, maka harus segera<br />

dipulihkan, kata Tetua. Mereka sepakat akan<br />

mengadakan ritual adat. Diadakanlah “kedurai”. Ritual<br />

adat untuk menyampaikan permohonan maaf kepada<br />

penguasa gaib dan penjaga sungai. Permohonan maaf<br />

karena telah bersalah dan lalai kepada makluk yang<br />

terdapat disepanjang sungai.<br />

“Kelestarian sungai ini menjadi penting bagi warga<br />

kampung.”<br />

“Sore nanti berenang lagi ya pak!”<br />

“Kalau cepat pulang dari sawah kita berenang lagi.”<br />

Jawabku.<br />

Kami mengangap bahwa Sungai seperti aliran<br />

darah dalam tubuh manusia, sungai tersebut sebagai saksi<br />

50


perjalan panjang sebuah peradaban, sungai ini menjadi<br />

sumber utama pengerak dan sumber hidup ekosistem<br />

yang berada pada daerah hamparan daerah alirannya.<br />

Ceritaku betapa pentingnya sungai.<br />

“Dan, sungai tempat berenang.” Potong Bdikar<br />

sambil tersenyum.<br />

Kalau sungai ini tergangu maka terganggulah hidup<br />

warganya. Orang kampung menyebut mencemari sungai<br />

dengan ungkapan “berkirim surat ke laut”, dan<br />

mempercayai bahwa polutan yang dibawa oleh sungai itu<br />

akan bermuara di pusaran laut atau posok laut.<br />

“Pusaran laut.?” Tanya Bdikar.<br />

”Meskipun belum pernah melihat, mereka percaya<br />

pusaran laut ini membentuk maelstorm, memicu<br />

terbentuknya pusaran air yang besar dengan<br />

downdraft yang sangat kuat.”<br />

“Pada pusaran ini mereka mempercayai sebagai<br />

tempat berkumpulnya induk penyakit. Ketika “surat”<br />

yang dikirim lewat sungai itu diterima, surat itu pasti<br />

berbalas dan balasannya berupa penyakit.<br />

“Oh,”<br />

51


“Maka Kedurai itu menjadi penting sebagai sebagai<br />

bentuk dan pengakuan kesalahan berkirim surat.”<br />

“Bapak diminta membantu menyiapkan kebutuhan<br />

ritual.” Terangku.<br />

Ritual Kudurai dilaksanakan diatas batu besar<br />

ditengah arus yang mengalir. Aku duduk di samping<br />

kanan Dukun (orang yang dianggap bisa berkomunikasi<br />

dengan alam dan gaib). Aku mendengar dengan jelas<br />

jampi-jampi yang dirapalkannya sambil membakar<br />

kemenyan di dupa yang disiapkan ibu-ibu dikampung.<br />

Kemenyan di bakar di atas dupa dan asap mengepul<br />

berbau pengap. Ada nuansa mistis yang sangat kuat<br />

ketika itu, seakan-akan jari pada dedemit dan para dewa<br />

membelai tubuh kami. Aku merasakan bulu-bulu<br />

ditubuhku mulai tegak. Aku merinding.<br />

Begitu asap kemenyan menari di udara. Beras<br />

kuning yang diwarnai dengan kunyit di taburi ke sungai.<br />

Komat-kamit mulut Dukun merapalkan “hai sepanjang<br />

hidung, hai sepajang hidung, hai sepanjang hidung, dio<br />

uku madep kumu, kumu do tekadeak temungau biyoa,<br />

kemuaso biyoa, temungau tang aai, kumu kulo do jemago<br />

lot ngen ai tang aai, uku medeu kumu bae ngami, asep<br />

52


kemenyenku melayang, belas kemunik uku mamua, awei<br />

o kulu adat bahasoku ngenkumu, dio ade iben ngen<br />

rokok, awei o kulu pembuk pangen kumu berupo sabai,<br />

baso uku menok kedeu kumu yo, uku lok madea keturuak,<br />

baso bilai yo bilai baik bulen betuweak................”. setiap<br />

helaan napas, beras kuningpun di taburi di sungai.<br />

Kedurai selesai. Wajah kami kembali berseri.<br />

Anehnya, tidak ada lagi rasa kecurigaan diantara kami.<br />

Kami telah mengakui dan menanggung kesalahan yang<br />

hanya dilakukan oleh satu orang secara bersama-sama.<br />

Sebelum pulang si Dukun bilang ke kami.<br />

“Permintaan maaf telah diterima secara bersyarat.” Surat<br />

akan berbalas ketika kami mengulang kesalahan yang<br />

sama.<br />

Si Dukun dan tetua kembali ke kampung dan kami<br />

masih bermain-main dan mandi disungai. Kami berenang<br />

sampai dingin menggigil. Setelah merasa dingin kamipun<br />

menghangatkan badan dan berjemur dengan<br />

menempelkan badan kami pada batu-batu panas karena<br />

terik matahari.<br />

53


Sambil berjemur memeluk batu, aku dan kawankawan<br />

seumuran mulai mendekontruksi proses Ritual<br />

akibat “berkirim Surat ke laut”.<br />

“Lalu, kami tahu maksudnya,”<br />

“Apa?”<br />

“Rapalan mantera itu seperti teks yang hadir<br />

sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam<br />

sejarah.” Jawabku. Teks ini hadir dan berkembang seiring<br />

perkembangan budaya, berjalan menuju kesempurnaan<br />

melalui dialog yang orang awam tidak akan tahu<br />

maksudnya. Rapalan ini seperti berkamuflase, dinamis<br />

dan bermetamorfosis menuju keseimbangan, dan pada<br />

titik ini, rapalan ini akan menjadi bagian dari sebuah<br />

peradaban. Terangku. Pasti Bdikar tidak mengerti apa<br />

yang sedang aku jelaskan.<br />

“Setelah mandi kami berjemur seperti anak<br />

biawak.” Bdikar tertawa. Terlalu lama berjemur kulit<br />

kami biasanya menghitam lalu mengelupas. Setelah<br />

badan hangat kami kemudian terjun lagi ke sungai.<br />

Ceritaku.<br />

54


Tidak terasa kami berjalan sampai disebuah tebing.<br />

Dari atas tebing ini tampahlah hamparan sawah yang<br />

menguning.<br />

“Itu sawah nenekmu” kataku.<br />

Seharian kami bercengkrama, keliling sawah,<br />

memancing, makan, duduk menikmati sepoi sangin dan<br />

aroma padi. Sore ini kami tidak jadi berenang. Bdikar dan<br />

adiknya keasikan mandi di pancuran dari bambu yang<br />

dibuat oleh kakeknya.<br />

55


4<br />

Aku dibangunkan pagi-pagi oleh Ibuku, dan itu<br />

pagi sekali. Dia suruh aku sholat subuh. Kedua anakku<br />

masih meringkuk kedinginan. Istriku sudah bangun dan<br />

bersiap-siap sholat subuh. Kami sholat berjamaah yang di<br />

imami oleh Bapakku. Setelah sholat aku ke dapur.<br />

Minum kopi dan menghangatkan badan di tungku dan<br />

menunggu pisang yang berenang berubah warna menjadi<br />

kuning kemerah-merahan yang di goreng istriku.<br />

Pikiranku melayang aku inggat ketika kecil dulu.<br />

Ketika kokok pertama ayam jantan, ketika aku<br />

meringkuk dengan lutut menempel di dagu di gulung<br />

selimut lusuh dan robek. Selimutku tariknya. Hawa<br />

dingin kembali menusuk-nusuk sampai sum-sum. Aku<br />

disuruh mandi, cukup lama aku duduk dekat ember<br />

penampung air, duduk sambil berhayal mentransfer<br />

energi panas ke dalam wadah air. Berharap ketika air<br />

tersebut nempel dikulit tidak mengeluarkan uap asap<br />

akibat reaksi kulit ketika bertemu dengan dinginnya air.<br />

Di kampungku ketika itu, minyak goreng saja beku, harus<br />

diiris pakai pisau kalau mau digunakan untuk mengoreng.<br />

56


Dinginnya luar biasa, belum ada pengaruh rumah kaca<br />

dan pemanasan global. Semuanya masih berjalan normal.<br />

Keteraturan cuaca dan keteraturan musim berjalan pada<br />

sistem alami dan tunduk pada skema alam.<br />

“Cepat mandi, kita mesti cepat nanti tidak kebagian<br />

tempat sholatnya.” bahasa perintah Ibuku ini membuat<br />

gagal transfer energi panas ke dalam ember tempat<br />

menampung air. Dan benar saja ketika guyuran air<br />

membasahi tubuhku, uap asappun keluar, aku seperti<br />

kena malaria stadium empat, gemetar kedinginan, lutut<br />

tidak bisa tegak lurus dan gigi atas dan bawahku saling<br />

bertabrakan. Pagi itu adalah hari Lebaran/idul fitri 1402<br />

H, lebaran di tahun 1982. Kami menyebutnya bilai rayo<br />

atau hari lebaran.<br />

Bersama ibu dan bapakku kami berangkat ke<br />

Masjid yang tidak jauh dari rumah, aku duduk samping<br />

Bapakku. Berdua berbagi sejadah. Masjid ini kata ibuku<br />

adalah cenderamata dari Ayahnya, masjid permanen<br />

pertama di kampungku ini dibangun oleh tangan<br />

Kakekku. Ayah dari ibuku. Maka setiap pulang dari<br />

masjid, terutama setelah sholat idul fitri atau lebaran, Ibu<br />

dan nenekku pasti menangis sedih, dan itu berlangsung<br />

57


lama. Aku tahu dia pasti rindu dengan ayahnya. Masjid<br />

kenangan ini mampu mengugah ingatan kolektif keluarga<br />

kami terhadap kakek yang kini sudah tiada.<br />

Pulang sholat. Kampung masih berkabut, tapi<br />

udaranya segar dan dingin, dinginnya seperti nempel<br />

dikulit dan menusuk-nusuk ke tulang. Lalu, kami<br />

hangatkan tubuh dengan kue tanpa pengawet buatan<br />

ibuku. Sambil menikmati kerenyahan kue, telinggaku<br />

juga menikmati tangisan rindu ibuku pada Ayahnya. Air<br />

mata itu obat. Obat mereduksi rindu. Dia rindu dengan<br />

ayahnya yang telah tiada dan itu bisa lama kalau ada<br />

saudaranya yang lain datang ke rumah. Jadilah ritual<br />

menagis. Sampai aku hapal nada dan cara mereka<br />

menagis. Biasanya tangisan itu akan berhenti ketika<br />

Kakak tertua Ibuku datang. Dia pemimpin tertinggi<br />

dikeluarga kami. Dialah presentatif Kakekku di keluarga<br />

patrilinial kami. Aku punya tradisi, biasannya ketika dia<br />

datang. Langsung aku pijit betisnya. Karena pasti ada<br />

kejutan-kejutan yang akan keluar dari mulutnya, mulut<br />

yang hapal habis isi Al Quran. Kedatangannya juga akan<br />

meredakan tangisan komunal yang aku hapal di luar<br />

kepala pemiliknya<br />

58


“Kita tidak mungkin menentukan secara mutlak<br />

momen kematian, karena fisiologi membuktikan bahwa<br />

kematian bukanlah sesuatu fenomena yang langsung dan<br />

sejenak, tapi suatu proses yang berlangsung lama,”<br />

Katanya membuka obrolan dan aku menganguk tanda<br />

tidak mengerti dan dia tersenyum kemudian sambil<br />

merebahkan kepalanya setalah memakan makanan yang<br />

sudah disiapkan ibuku.<br />

“Begini, setiap makluk hidup itu adalah momen<br />

yang sama atau berbeda,”<br />

“Nah,”<br />

“Dalam setiap momen kematian misalnya, ketika<br />

sel-sel tubuh itu sendiri mengalami kematian maka pada<br />

momen yang lain membangun sendiri yang baru.”<br />

Lanjutnya. Dan. Akupun tambah tidak mengerti, umurku<br />

baru 6 tahun ketika itu, masih kelas 2 SD dan belum<br />

lancar baca tulis.<br />

Sambil menyengir dan memijit betisnya, aku lihat<br />

dia mulai tertidur, lalu pikiraku melayang. Aku membuat<br />

tafsir bebas. Sesuka hatiku. Mungkin ini bentuk dari<br />

patah tubuh hilang berganti yang sering aku dengar dari<br />

celoteh tetua kampung kalau mereka sedang berkumpul.<br />

59


Mereka juga beranggap bahwa setiap makluk hidup<br />

adalah dirinya sendiri namun juga sesuatu yang lain dari<br />

dirinya.<br />

Jadi Kakekku boleh saja meninggal. Dia tetap<br />

bagian dari kami, tapi kami tetap harus hidup. Lalu,<br />

merefleksi apa yang telah dia lakukan, kemudian berbuat<br />

dan merancang untuk perkembangan berkesinambungan.<br />

Tentu kami harus lebih baik dari beliau dan menjadikan<br />

kebaikan ajaran dan jejaknya sebagai alas pijakan kami.<br />

Imajinasiku mulai berdialektika.<br />

“Itu masa lalu, kemudian masa kini lalu masa<br />

depan, kesemuanya adalah proses pembentukan sejarah.”<br />

jawab teman imajiku yang keluar tiba-tiba dari dalam<br />

sarung yang aku pakai lalu menghilang.<br />

Pada lebaran tahun itu, tidak ada baju baru yang<br />

dibelikan ibuku seperti anak-anak lainnya. Bagiku harihari<br />

itu berjalan sangat alami, alami dalam<br />

kesederhanaan. Tidak perlu yang baru. Yang penting<br />

tangisan mereda. Sepertinya kedatangan kakak tertua<br />

ibuku mampu secara simbolik mengantikan kehadiran<br />

Ayahnya. Buktinya, tidak ada lagi bunyi tangisan.<br />

60


Semua saudara dari keluarga ibuku sudah<br />

berkumpul. Di Dalam tradisi. Setiap keluarga harus<br />

mempunyai rumah tua. Tempat pulang. Rumah ibuku,<br />

rumah peninggalan Kakekku. Disepakati sebagai “Rumah<br />

Tua”. Rumah tempat pulang dan berkumpul keluarga<br />

besar kami. Keluarga besar yang dihitung atas akumulasi<br />

lima generasi di atas kakekku, beserta keturunannya. Jadi<br />

aku tidak perlu capek-capek berkunjung kerumah saudara<br />

kami kalau lebaran untuk maaf-maafan, cukup tunggu<br />

dan duduk-duduk dirumah, lalu mereka yang akan datang<br />

dengan sendirinya. Aku menikmati dan kebagian berkah<br />

dari fungsi “rumah tua” ini.<br />

Dan belum lagi kalau dihitung, aku satu-satunya<br />

anggota kelurga yang disayangi dalam keluarga besar ini.<br />

Di sayang karena berpenyakitan, aku sejak lahir sampai<br />

umur sepuluh tahunan aku selalu diserang oleh berbagai<br />

penyakit dan selalu jenisnya bergantian, sumber penyakit<br />

terlalu dekat dengan tubuhku, penyebab utamanya pasti<br />

karena kurangnya asupan dan suplai gizi.<br />

Setelah semuanya berkumpul, ibu dan para<br />

saudaranya menyiapkan makanan untuk syukuran. Kami<br />

menyebutnya Beduo, berdoa yang diakhiri dengan makan<br />

61


ersama. Ini bentuk pesta makan setelah satu bulan<br />

berpuasa. Setelah pesta dan doa makan, tradisi<br />

selanjutnya mengunjungi makam tua yang terletak di<br />

ujung desa. Makam ini dipercayai sebagai makam leluhur<br />

yang melahirkan tradisi adat dan agama di Kampungku.<br />

Semua warga kampung berkumpul di makam ini. Ada<br />

yang hanya berdoa, membaca yasin, membayar nazar<br />

bahkan mengucapkan tekat, niat dan keinginan. Bisanya<br />

mereka berjanji akan membangun kuburan, memasang<br />

atap, memotong kambing dan macam-macam ketika<br />

keinginan mereka terkabul.<br />

Jaraknya cukup jauh untuk sampai ke makam ini.<br />

makam ini berada di ujung desa, dia atas jurang. Dalam<br />

perjalanan ke Makam untuk bersiarah. Aku berhayal.<br />

Penghuni Kubua Penungea (nama kompleks kuburan)<br />

pasti dimasa hidupnya telah banyak meninggalkan jejak<br />

entitas. Sesuatu yang sungguh ada. Diketahui dan jadi<br />

acuan karena mengandung ajaran mungkin saja sangat<br />

ideologis. Buktinya ada eksistensi fisik yang reflektif<br />

sehingga kami anak keturunannya bisa memamahi<br />

sejarah kami. Dan bersimpul di makamnya.<br />

62


“Ada pohon sejarah yang sukses dengan fondasi<br />

akar yang kuat, batang yang menjulang dan ranting yang<br />

merindang serta buah sejarah yang bisa dinikmati<br />

sepanjang musim. Lalu ada pohon sejarah yang rapuh,<br />

akar yang tercabut dari bumi, akhirnya mudah runtuh<br />

dan rubuh.” kata ibuku yang tiba-tiba berjalan<br />

disampingku. Dia membawa tikar, buku yasin dan teko<br />

tempat air.<br />

Antrian panjang sekali di makam tua ini, setelah<br />

bedoa dan tabur bunga. Keluarga besar kami ke komplek<br />

pemakaman kakekku. Keluarga besar kami duduk rapi<br />

mengelilingi kuburan kakekku yang sepertinya sudah<br />

mulai di kramatkan. Belum ada kesepakatan menjadikan<br />

Makam kakekku sebagai Makam Tua. Sepertinya,<br />

mungkin karena wibawa yang besar dalam memimpin<br />

keluarga besarnya menuju pemahaman realitas inderawi.<br />

Sebuah kemampuan memahami dunia luar dari manusia.<br />

Dia dihormati waktu hidup dan matinya.<br />

Menurut cerita dari tua-tua kampung yang pernah<br />

belajar dengan beliau. Kakekku ketika masih hidup<br />

semangat sekali mengajari orang-orang kampung Ilmu<br />

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, Thariqah ini<br />

63


merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar,<br />

yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah<br />

yang didirikan oleh seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-<br />

Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh<br />

Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. inti<br />

pokok ajarannya adalah sama-sama menekankan<br />

pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul<br />

Wujud, menuntun pada kesempurnaan suluk, adab (etika),<br />

dzikir, dan murakabah. Secara sederhana mengajarkan<br />

survive material untuk tetap hidup sehingga mampu<br />

membentuk kesalehan sosial dan kesalehan individu<br />

berjalan secara pararel.<br />

Sepulangnya dari kuburan, aku sempat bermainmain<br />

dengan teman-teman sekampung yang berbanga<br />

dengan baju barunya, ada perasaan minder ketika itu.<br />

Cuma aku yang tidak memakai baju baru. Tapi tidak apaapa.<br />

Bukankah sehari setelah lebaran baju itupun jadi<br />

barang usang. Kemudian, menjadi bagian dari masa lalu.<br />

Bagian dari sejarah.<br />

“Ini realitas historis,”<br />

“Realitas yang berubah.” Aku menghibur diri<br />

sendiri.<br />

64


Oleh karena itu, konsepsi kita terhadap sejarah<br />

haruslah bermula dan berdasar pada realita yang utuh,<br />

seperti setiap makluk hidup adalah dirinya sendiri namun<br />

juga sesuatu yang lain dari dirinya, kata-kata yang selalu<br />

diucapkan para tetua dikampungku berfilosofi.<br />

Tentu saja kemudian konsepsi kita tidak boleh<br />

fragmentatif yang memisahkan objek dan subjek,<br />

mengisolasi gerak dalam diam, memutuskan rangkaian<br />

sebab dan akibat, sejauh mana kita melihat realitas,<br />

sejauh itu pula konsepsi kita terbangun, ini adalah<br />

substansi dari ritual Mulang Apei. Ritual pulang. Pulang<br />

kerumah Tua. Mengunjungi makam leluhur. Mulang<br />

Apei, bukan hanya aktivitas kembali ketempat leluhur,<br />

bukan aktivitas secara priodik mengenang sejarah.<br />

Mempelajari artepak-artepak dan jejak leluhur, bukan<br />

pula prosesi metaforis.<br />

“Tetapi, mengajarkan pengungkapan konsepsi<br />

sejarah, konsepsi tentang sejarah panjang dari peradaban<br />

masyarakat manusia.” Kata ibuku ketika menjelang<br />

malam hari. Aku duduk disamping ibuku ketika dia<br />

sedang menyiapkan makan kami dari sisa Syukuran/Doa<br />

siang tadi.<br />

65


“Keluarga yang berkumpul dan menangis-nagis<br />

siang tadi sesungguhnya sedang mengingat sejarah<br />

identitas mereka, mereka sedang melaksanakan kaidahkaidah<br />

formal tradisi.”<br />

“Itulah bentuk peradaban,” Katanya<br />

Peradaban ini menyisihkan dialektika dan kondisi<br />

historis masyarakat lain sebelum kita.<br />

“Jadi nak,” katanya lembut.<br />

“wujud sosial kita yang bisa kita pahami dari<br />

Mulang Apei ini hanya bisa dipahami secara realistis<br />

sebagai individu di suatu masyarakat, tidak ada individu<br />

yang berdiri sendiri di luar kumpulannya.”<br />

“Jadi tujuan masyarakat manusia kapan pun dan<br />

dimanapun adalah hidup, yakni melestarikan hidup dalam<br />

hubungan alamiah dan hubungan sosialnya.” Otakku<br />

belum bisa pahami kata-kata ibuku ini, tapi hatiku<br />

berbunga karena yakin dia pasti pintar seperti Abang<br />

tertuanya, yang selalu aku pijit betisnya setiap ketemu.<br />

Lamunanku berhenti ketika istriku tersenyum<br />

sambil memindahkan pisang goreng dari kuali yang ke<br />

piring, aku menggigitnya. Pisang ini terlalu panas dan<br />

keluar lagi dari mulutku.<br />

66


67


5<br />

Mata hari mulai meninggi. Masuk melalui celahcelah<br />

papan dapur rumah ibuku. Sepiring penuh goreng<br />

pisang sudah berpindah ke perutku. Ibu datang dengan<br />

membawa beberapa ruas bambu muda. Dia ambil dari<br />

rumah tetangga. Gerigik. Demikian sebutan untuk Bambu<br />

muda kalau di fungsikan sebagai tempat air.<br />

“Kita akan masak sambal.” Kata ibuku. Bahanbahan<br />

sudah disiapkan oleh ibuku. Mereka memasukan<br />

semua bahan-bahan ke dalam bambu lalu ditegakkan di<br />

tungku dekat api yang menyala-nyala.<br />

“Bambu ini kalau untuk kentongan, namanya<br />

Ke’tuk” Kataku sambil membenarkan pokok kopi yang<br />

mulai padam apinya.<br />

“Dulu, ketika kecil cita-citamu jadi Pak Sahak”<br />

Kata ibuku tersenyum. Pak Sahak sudah meninggal. Dua<br />

dia bertugas sebagai tukang ke’tuk. Menyampaikan berita<br />

untuk warga kampung. Senyum ibuku mengingatkanku,<br />

mengingat memori yang masih tersusun dengan rapi di<br />

memori di thalamus, dalam ruang otak yang berfungsi<br />

sebagai tempat penerimaan sensor data dan sinyal-sinyal<br />

68


motorik. Memori ini tersusun dengan rapi secara setelah<br />

melalui proses selektif dan subjektif atas pengalaman<br />

masa lalu. Tahun dimana dulu pertama kalinya aku<br />

masuk Sekolah, Sekolah Dasar Inpres. Sekolah ini di<br />

bangun oleh Orde Baru untuk mendukung program wajib<br />

belajar. Merupakan program pembangunan Sekolah<br />

Dasar (SD) di daerah-daerah terpencil. Tujuannya<br />

memperluas kesempatan siswa untuk mendapatkan<br />

pendidikan, mempermudah akses menuju sekolah bagi<br />

siswa yang tinggal di daerah pelosok, memaksimalkan<br />

potensi siswa cerdas. Infrasrukturnya untuk mendukung<br />

program aksarawan fungsional. Program belajar<br />

membaca, menulis dan keterampilan lainnya.<br />

Semua pengalaman, tentang pengalaman masa<br />

pertumbuhan dan perkembanganku disebuah<br />

perkampungan tua dan dingin. Pengalaman itulah yang<br />

berproses dalam ruang lobus temporan ketika kenangan<br />

itu berhubungan dengan bahasa. Bahasa ibu, dan yang<br />

berhubungan dengan ingatan. Ingatanku.<br />

“Belajarlah yang baik, karena masa depan adalah<br />

milik kamu, kamu akan jadi apa saja nantinya dan itu<br />

tergantung dengan apa yang terjadi sekarang, jangan<br />

69


terputus dengan akar meskipun kau sejajar dengan<br />

bintang nantinya.” Kata-kata ini kuat sekali sehingga<br />

terkonsolidasi dalam lobus parietal, dan lobus occipital.<br />

Tempat yang berfungsi sebagai lembaga sensor data pada<br />

otak membantu kita mencerna antara penglihatan dan<br />

persepsi. Aku ingat banyak hal. Tentang batu tempat<br />

ritual, kemenyan, kuburan tua, kain untuk mengendong<br />

adikku. Dan bambu yang dibuat khusus untuk fingsi<br />

ket’uk atau kentongan. Alat andalan di kampungku dulu<br />

untuk menyampaikan sesuatu selain beduk menandakan<br />

buka puasa.<br />

Ke’tuk adalah alat yang masih detail aku ingat baik<br />

bentuk, panjang, besar dan bunyi ketika dipukul. Benda<br />

ini adalah alat yang mampu mensugesti orang sekampung<br />

untuk berkumpul lalu memperhatikan kata-kata yang<br />

keluar setelah ketukan ketiga. Ke’tuk ini terbuat dari satu<br />

ruas bambu yang tengahnya dibuat lobang kemudian<br />

dipukul. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan<br />

Kentongan. Kentongan atau Ke’tuk ini adalah alat<br />

komunikasi, alat konsolidasi sekaligus berperan sebagai<br />

intruksi.<br />

70


Tuk...tuk...tuk...waktu itu habis sholat magrib,<br />

waktu paling efektif untuk menyampaikan informasi,<br />

masyarakat biasanya istirahat dan ada di rumah masingmasing,<br />

lalu aku berlari keluar, karena biasanya Pak<br />

Sahak pasti lewat depan rumah kami untuk<br />

menyampaikan informasi tentang apa saja. Setelah<br />

ketukan tiga kali, suaranya melengking dan<br />

menyampaikan pengumuman “dio periteak kundei<br />

Ginde, bulen adep ite harus tu’un bumai sesamo, api do<br />

lok mok pupuk neak koperasi harus lunas bayar pajak<br />

kileak, amen ati bayar pajak mako akan ade petugas<br />

kemnek tu’un umeak temagiak pajak kumu dau yo” (Ini<br />

perintah Kepala Desa bulan depan sudah boleh turun<br />

sawah, siapa saja yang mau beli pupuk di koperasi<br />

syaratnya harus lunas pajak, kalau belum lunas pajak<br />

maka akan ada petugas yang akan turun naik rumah<br />

untuk menagih tagihan pajak). Aku menirukan Pak<br />

Sahak. Ibuku tersenyum.<br />

“Kau ternyata masih ingat dengan Pak Sahak” Kata<br />

ibuku. Wajahnya berseri.<br />

Pak Sahak, biasa dipangil Pak Sahril, kerena anak<br />

tertuanya adalah Sahrir. Dialah yang bertugas keliling<br />

71


kampung, tidak ada yang bisa mengantikan dia, kecil<br />

tubuhnya tapi lincah, intonasi suaranya lantang, bak<br />

orator ulung, setiap dia menyampaikan pesan, layaknya<br />

sedang di depan massa ribuan orang, anehnya semua<br />

orang diam. Karena dia tidak pernah mau menyampaikan<br />

pesan untuk kedua kalinya, kecuali menyawab<br />

pertanyaan-pertanyaan yang sipatnya teknis.<br />

Ketika itu, aku baru kelas satu SD, maka ketika<br />

ditanya apa cita-citaku. Dengan meyakinkan jawabanku<br />

ingin menjadi “Pak Sahak”. Penyampai berita, tentu saja<br />

seperti Pak Sahak, konten berita mudah dicerna dan<br />

dipahami, setiap kata-kata di turuti, sedikit sekali ruang<br />

diskusi. Seperti demokrasi terpimpin saja. Aku sering<br />

ikut dia berkeliling kampung untuk menyebarkan berita,<br />

kata-katanya jujur dan tidak hiper-realitas, tidak<br />

menciptakan kepalsuan bersatu dengan keaslian, tidak<br />

menciptakan fakta bersimpang siur dengan rekayasa, dan<br />

dusta bersenyawa dengan kebenaran.<br />

Pernah suatu sore, Aku sedang membantu ibuku<br />

menumbuk Padi di samping rumahnya yang sedehana,<br />

lalu adu duduk di teras rumahnya. Ketika itu Pak Sahak<br />

72


sedang membersihkan alat komunikasi andalannya, alat<br />

ini biasanya digantung di depan pintu utama rumahnya.<br />

“Wak, kapan mulainya kita mengunakan alat ini?”<br />

tanyaku.<br />

“Bukan kita nak, Tapi Manusia.” Jawabnya sambil<br />

membenarkan ikatan sarungnya lalu duduk di kursi papan<br />

Sambil menghisap rokok yang terbuat dari daun Nipah<br />

dengan tembakau yang ditanamnya sendiri.<br />

“Sebelum mengenal tulisan, zaman ini disebut<br />

dengan Pra-Aksara, atau zaman palaeolithikum dan<br />

Mesolithikum, manusia ketika itu hidupnya berpindahpindah<br />

lalu untuk memberikan informasi mereka<br />

membuat petroglif atau lukisan dan coretan di dinding<br />

gua, permukaan batu. Gambar lukisan ini biasanya<br />

menceritakan tentang pengalaman dan harapan atas<br />

kehidupan mereka.” Dia mulai bercerita. Aku tertarik,<br />

karena dia memang pencerita yang ulung.<br />

Lalu, dia melanjutkan kembali ceritanya, namun<br />

tidak berapi-api seperti ketika dia menyampaikan<br />

informasi dengan kentongannya.<br />

“Setelah mereka membentuk desa-desa kecil,<br />

mereka perlu melakukan komunikasi satu sama lain yang<br />

73


lebih tinggi intensitasnya. Mereka sudah saling megenal<br />

dan memiliki ikatan emosional satu sama lain. Dan pada<br />

zaman logamlah komunikasi ini semakin insten, zaman<br />

ini telah tersusun golongan masyarakat dengan<br />

kemunculan golongan undagi atau kelompok yang<br />

memiliki keahlian menciptakan barang. Pembagian kerja<br />

mulai teratur. Mereka butuh alat komunikasi dalam<br />

menjalankan sistem transaksi.” Penjelasannya berhenti.<br />

Istrinya yang sering mengurut perutku kalau aku<br />

sedang sakit itu keluar membawa pisang yang sudah<br />

digoreng, dari aromanya, goreng pisang ini pasti di<br />

goreng dengan minyak buah Kepahiang.<br />

Dia melanjutkan ceritanya.<br />

“Sekitar abad ke-2 SM.” Katanya. Banyak yang<br />

mengunakan kuda untuk mengirim pesan, misalnya di<br />

Mesir dan Cina, lalu mereka membangun stasiun<br />

pengirim pesan, sebagian ada yang mengunakan sinyal<br />

api dari stasiun tersebut. Dan Bangsa Romawilah yang<br />

berjasa mengembangkan jasa pos mereka menyebutnya<br />

Cursus Publicus yang nantinya diwarisi oleh Kekaisaran<br />

Bysantium. Fungsi Cursus Publicus ini untuk<br />

mengirimkan pesan, surat resmi dan pajak antar wilayah.<br />

74


Mereka juga tercatat sebagai penguna pertama Heliograf,<br />

cermin untuk mengirimkan pesan. Cermin ini<br />

mengunakan pantulan dari sinar matahari. Aku<br />

mengangguk sambil menelan goreng pisang suguhan<br />

istrinya Pak Sahak, sambil terkagum-kagum dengan<br />

pengetahuannya tentang pekerjaan swadaya yang<br />

digelutinya. Swadaya, karena dia tidak pernah dibayar<br />

atas pekerjaanya sebagai penyampai pesan itu.<br />

“Ke’tuk.” Lanjut Pak Sahak, adalah alat<br />

komunikasi yang dikembangan sejak abat ke-2 SM<br />

namun masih efektif digunakan sampai saat ini.<br />

“Ini sungguh suatu bentuk keajaiban alat<br />

komunikasi.”<br />

“Perkembangannya tidak banyak,” Sambung Pak<br />

Sahak.<br />

Beberapa perubahan hanya pada ritme ketukan,<br />

ketukan ini kemudian menjadi sugesti, ketukan<br />

menyampaikan informasi, tentu berbeda dengan ketukan<br />

ketika adanya bencana, dan lain-lain. Dia mengajariku<br />

soal kode bunyi.<br />

“Kenapa Ke’tuk ini bisa bikin orang tersugesti dan<br />

bertahan sampai saat ini? Karena konten berita yang<br />

75


disampaikan jujur dan tidak hiper-realitas, tidak<br />

menciptakan kepalsuan bersatu dengan keaslian, tidak<br />

menciptakan fakta bersimpang siur dengan rekayasa, dan<br />

dusta bersenyawa dengan kebenaran.” Kata-kata terakhir<br />

ini diucakannya dengan menaikan intonasi suaranya.<br />

Nanti. Aku berhayal. Di Kampungku tidak ada lagi<br />

Pak Sahak, atau generasi penerus Pak Sahak. Alat<br />

komunikasi pasti berkembangan. Akhir abad ke-20 wajah<br />

dunia berubah, itu yang aku dengar obrolan tua-tua<br />

kampung. Perubahan ini dibentuk oleh riuh rendah<br />

citraan elektronik (televisi, film, game, virtual reality,<br />

foto digital, internet).<br />

Perkembangan teknologi digital ini pasti tidak<br />

mampu mensugesti seperti kata Pak Sahak. Tetapi telah<br />

membawa fantasi manusia menembus batas, menciptakan<br />

ruang-ruang tiga dimensi berikut obyek-obyek di<br />

dalamnya, sampai pada tahap di mana realitas visual telah<br />

dilampaui dengan manipulasi pencitraan visual, sehingga<br />

seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia<br />

fantasi, dunia maya yang tampak nyata.<br />

Permasalahannya pasti menjadi semakin rumit<br />

ketika komunikasi ini menjadi sangat massal, kerumitan<br />

76


ini bertambah ketika dihadapkan pada realita bahwa<br />

perkembangan teknologi tersebut membawa pula dampak<br />

negatif. Itu terjadi pada saat teknologi memuaskan<br />

hasrat/nafsu manusia, memberikan pesona ekstasi, maka<br />

nilai-nilai moral seakan rontok satu per satu. Karena<br />

komunikasi ini menciptakan sejarah simulacra, sejarah<br />

imitasi, reproduksi persoalan makna, orisinalitas dan<br />

identitas.<br />

“Ke’tuk,” aku peluk ke’tuk yang sudah dibersihkan<br />

oleh Pak Sahak sebelum dia gantung di atas tangga<br />

beranda rumahnya. Pasti benda ini nantinya berganti<br />

dengan nilai guna komoditas dan nilai imperatif sebuah<br />

produksi. Pun berganti digantikan oleh model, kode,<br />

tontonan dan hiperrealisme “simulasi”.<br />

Perubahan ini sudah pasti membuat semua orang<br />

terjebak dalam permainan simulacra yang tidak<br />

berhubungan dengan "realitas eksternal". Akhirnya<br />

kitapun hidup di dunia simulacra, dunia yang dipenuhi<br />

citra atau penanda.<br />

“Ya, kita hidup di dunia yang penuh dengan<br />

simulasi.”<br />

77


“Tidak nyata, dan tidak asli. Dimana<br />

masyarakatnya sudah sirna dan digantikan oleh massa.”<br />

“Massa yang tidak mempunyai predikat, atribut,<br />

kualitas maupun reference.”<br />

“Pendeknya, massa tidak mempunyai realitas<br />

sosiologikal.”<br />

Ah, nanti ketika aku sudah besar pastilah aku<br />

merindukan duduk diteras rumah Pak Sahak. Kemudian<br />

mengikuti dia ketika keliling Kampung buat<br />

menyampaikan berita.<br />

Api terlalu besar, sambal dalam bambu meloncatloncat<br />

tumpah. Aku buru-buru menarik beberapa pokok<br />

batang kopi dan api mengecil.<br />

“Ingat Pak Sahak?” tanya ibuku.<br />

“Bukan, aku ingat dengan istrinya yang suka<br />

mengurut perutku dulu.” Kataku berbohong. Aku<br />

menciptakan kepalsuan bersatu dengan rekayasa, dan<br />

bersenyawa dengan dusta.<br />

Tapi ibuku tahu aku berbohong.<br />

78


6<br />

Hari minggu, seperti biasa aku harus bangun cepat<br />

pagi ini, kebiasaan menemani ibuku menyiapkan<br />

santapan pagi untuk kami sekeluarga membuat aku<br />

terbiasa bangun cepat. Ibuku hanya punya dua anak lakilaki,<br />

kondisi inilah yang mendidik kami untuk terlibat<br />

membantu pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh anak<br />

perempuan, mengiris bawang, mengiling cabe dan<br />

menanak nasi adalah bagian tugas rutin dan menjadi<br />

salah satu keahlianku. Selain makan dan duduk<br />

bermalasan dekat tungku menemani ibuku memasak.<br />

Tidak pedulilah aku dengan dinginnya pagi, bagiku<br />

menemani ibu pagi-pagi adalah kebangaaan, kebangaan<br />

seorang anak laki-laki tertua dikeluarga kecil kami. Dan<br />

aku tahu ada banyak ekspektasi yang dibebankan<br />

dipundakku nantinya. Dan, yang paling penting bagiku,<br />

ibuku adalah segala-galanya, dia pertama bagiku, guru<br />

pertamaku, cinta pertama dan tidak akan pernah<br />

tergantikan oleh apa dan siapapun.<br />

79


“Dapur ini dulu tinggi. Kami punya kandang itik di<br />

bawahnya.” Bdikar duduk di samping neneknya.<br />

Menemani nenek dan ibunya memasak.<br />

“Setelah ruang dapur ini di renovasi, dapur ini<br />

direndahkan posisinya oleh Kakekmu,” Kata ibuku ke<br />

anakku, Bdikar. Bapakmu suka sekali menemani ketika<br />

aku masak pagi-pagi, sesekali dia juga membantu.<br />

“Setelah cuci muka, tugasnya memungut telur itik”<br />

posisi kandangnya tepat di tempat kita duduk sekarang<br />

ini. Kenang ibuku.<br />

Dulu, aku harus merangkak melalui pintu seukuran<br />

tubuhku, lalu memungut beberapa telur dan<br />

mengeluarkan beberapa ekor itik, begitu itik-itik ini<br />

keluar, pada wajan yang terbuat dari bambu aku harus<br />

memberi itik-itik ini makan. Ada perasaan aneh ketika<br />

aku melihat itik-itik ini makan. Perasaan itu, perasaaan<br />

senang, mungkin ini bentuk terima kasihku atas telurtelur<br />

yang dikeluarkannya. Setelah memastikan semua<br />

itik-itik mendapat jatah makan, aku naik ke ruang dapur<br />

sambil membawa beberapa butir telur, dan pagi ini aku<br />

berhasil mengumpulkan sebelas bitur dari dua puluh satu<br />

80


ekor itik, artinya ada delapan ekor yang tidak berproduksi<br />

pagi ini, karena dua ekor lainnya adalah pejantan.<br />

“Bapakmu tahu betul ciri-ciri itik pejantan.”<br />

Katanya.<br />

“Ekor dan bulu yang jantan cenderung menekuk ke<br />

atas, intonasi suaranya relatif lebih pelan dibanding yang<br />

betina, lalu ketika berjalan ia selalu di depan.” Kata ibuku<br />

dan Bdikar tertawa senang.<br />

“Dulu,” kataku lalu duduk sambil peluk Bdikar.<br />

“Ibuku lalu menyimpan telur-telur ini dalam bakul<br />

hasil anyaman yang dibuatnya beberapa bulan<br />

sebelumnya,” aku pegang tangan ibuku. Tangan yang<br />

mulai keriput.<br />

“Tangan inilah dulu yang membersihkan sarang<br />

laba-laba yang menempel di kepalaku.” Kenangku. Dan<br />

membenarkan posisi duduk di bangku tepat dipingir<br />

tungku, menghangatkan tubuh, ini kebiasaanku sambil<br />

menemani ibuku dulu kalau sedang memasak.<br />

Aku menikmati hangatnya tungku yang bersumber<br />

dari proses pembakaran kayu bakar dari pokok kopi.<br />

Dulu batang kopi ini aku yang membantu bawa dari<br />

kebun setelah ibuku potong menjadi beberapa bagian.<br />

81


“Nak.” Kata ibuku sambil mengangkat wadah<br />

tempat air yang sudah mendidih, lalu mengantikannya<br />

dengan periuk nasi yang sudah menghitam pekat karena<br />

meng-arangnya asap. Dia lalu membuatkan segelas teh<br />

hangat untukku. Dan masih terniang-niang kata-kata ini<br />

ditelinggaku.<br />

“Nanti tidak ada lagi periuk, tidak ada lagi kerak,<br />

tidak ada lagi gerigik (tempat air dari bambu) semua<br />

bahasa untuk menyebutkan periuk, kerak, gerigik akan<br />

hilang dan beberapa berganti seiring berkembangnya<br />

kebudayaan dan teknologi.” kata ibuku.<br />

Selain sebagai anak laki-laki yang menemani<br />

ibunya memasak, obrolan-obrolan seperti inilah yang aku<br />

suka. Karena ada banyak kalimat yang akan keluar dari<br />

mulut bijak ibuku. Aku mengangap ini adalah sekolah<br />

pertamaku.<br />

“Bukankahkah kita punya sistem batutun bak jale,<br />

Mak.?” Jawabku.<br />

Aku tahu dari ibuku batutun bak jale ini adalah<br />

sistem bertutur yang mengacu pada induk kata lalu<br />

dipecahkan menjadi beberapa anak kata dan terbentuklah<br />

kalimat, selebihnya aku tidak tahu secara detail.<br />

82


“Ia, selain itu kita punya ketibeak baso.” Jawab<br />

ibuku.<br />

Ketibeak baso ini cara menyampaikan bahasa yang<br />

mengacu pada objek, ruang dan waktu, sehingga bahasa<br />

mampu mengartikulasi verbalitas pikiran. Sambung<br />

ibuku sambil menambah dan menyilangkan kayu bakar<br />

pada tungku, itu membuat asap semakin menjadi dan<br />

apinya semakin mengecil, pertanda aku harus meniup<br />

tungku ini untuk menyalakan apinya. Tanpa diperintah,<br />

akupun meniupkan api dengan alat bantu dari bambu<br />

yang terbuka kedua ruasnya. Tipuan pada ujung akan<br />

mengkonsentrasi keluaran tiupan dan kosentrasi oksigen<br />

di ujung yang lain, lalu terjadilah reaksi radikal bebas<br />

secara berantai dan ini sangat membantu proses<br />

percepatan pembakaran dan menyalanya api.<br />

“Apa maksudnya Mak.? Ketibeak baso yang<br />

mampu mengartikulasi verbalitas ini?” tanyaku sambil<br />

menggosok-gosok mata yang pedih akibat asap, ketika<br />

aku tiup tunggu, asap berhambutan karena angin pagi<br />

yang lewat dari sela-sela dinding, asappun tertuju pada<br />

muka dan mataku.<br />

83


“Maksudnya begini Nak.” Ibuku berhenti dia lalu<br />

mengusap mataku yang mengeluarkan air karena asap<br />

dengan telapak tangannya. Aneh, telapak tangannya<br />

dingin tepatnya adem, dan terasa nyaman sekali. Dan, itu<br />

langsung meredakan pedih mataku akibat asap. Aku tahu,<br />

itu telapak tangan iklas dan penuh kasih sayang. Bukan<br />

telapak tanggannya yang menempel di mataku, tetapi<br />

hatinya. Hati yang penuh kasih dan cinta tak terbatas.<br />

“Pertama,” sambung ibuku.<br />

“Bahasa itu berasal dari teori kata kerja dan<br />

proposisi. Bahasa bukanlah bermula dari ekspresi tetapi<br />

dari suatu uraian pikiran, kata yang keluar dari mulut<br />

manusia dapat dikenali merupakan elemen dari sebuah<br />

bangunan uraian atau proposisi.” Akupun binggung.<br />

Lalu ibuku memberikan contoh.<br />

“Misalnya, bila ada orang yang mengatakan<br />

‘Tidak’ dalam teori ini, itu bukan berarti langsung bisa<br />

dipahamai sebagai suatu penolakan, tapi kata ‘tidak’<br />

harus diletakan dahulu dalam keseluruhan proposisi,<br />

karena ia merupakan bagian dari semisal pikiran,” Aku<br />

masih tetap binggung, ibuku tahu aku binggung, aku<br />

tidak mengeluarkan kata-kata meski mulutku terbuka.<br />

84


Tidak ada penjelasan lanjut dari ibuku. Lalu aku mulai<br />

berpikir dan berdialektika, ‘aku tidak bisa berpikir’<br />

bukankan ‘tidak” pada kalimat itu bukan berarti<br />

penolakan untuk berpikir.? Atau aku tidak bisa<br />

mendengar, dan ‘tidak’ pada kata mendengar bukan<br />

berarti aku menolak untuk mendengar.?<br />

“Kedua.” Lanjutnya.<br />

Dan itu membuyarkan dialog imajinatifku yang<br />

mencoba-coba menganalisa teori pertama dari ibuku.<br />

“Bahasa itu tentang artikulasi, pada posisi ini<br />

bahasa menyatakan bahwa betapapun murninya,<br />

sederhana atau arkeisnya sebuah bunyi, bunyi tersebut<br />

pasti mempresentasikan artikulasi dan intonasi tertentu,<br />

yang mempresentasikan pikiran di balik bunyi itu.”<br />

“atau sederhananya,”<br />

“Tidak ada sesuatu bunyi bebaspun yang tidak<br />

mendenomisasikan sebuah nama tertentu.” Mulutkupun<br />

semakin melebar, ibuku terlalu cepat menjelaskannya.<br />

“Misalnya tangisan.” ibuku mulai menganalogi, dia<br />

tahu kebingunganku akan memicu masuknya beberapa<br />

ekor lalat ke mulutku nantinya.<br />

85


“Setiap tangisan mengartikulasi pikiran di balik<br />

bunyi, ada tangisan takut, tangisan kesakitan bahkan<br />

tangisan sedih, intonasinya pasti berbeda. Bunyi ini<br />

berasal dari kontak dental yang diakibatkan kekokohan<br />

gigi yang sejalan dengan bibir yang senantiasa bergerak<br />

fleksibel yang menghasilkan intonasi berkesan nyaring,<br />

berisik dan kuat, ini mengartikulasikan pikiran mengenai<br />

fenomena keriuhan maupun kelembutan.” Dan, aku<br />

masih saja belum mengerti.<br />

Malah pikiranku tertuju pada 2 ekor itik jantan,<br />

betapa berdaulat, tepatnya, betapa nikmatnya ia diantara<br />

19 ekor itik betina, bukankah ia tidak perlu proses bahasa<br />

dan komunikasi yang berbelit untuk merayu para<br />

betinanya. Cukup mengeluarkan suara serak-serak nakal<br />

atau cukup mengerakkan sayap dan ekor proses<br />

pembuatan telurpun jadi.<br />

“Ketiga.” Dan itu membuyarkan lamunanku pada<br />

itik pejantan itu.<br />

“Bagaimana bahasa kemudian bertindak sebagai<br />

sebuah instrumen petunjuk, pada asal mulanya tidak<br />

bermula dari ekspresi atau gerak alamiah, tapi dari<br />

kemampuan untuk menganalisa tanda. Pada posisi ini,<br />

86


ahasa adalah alat untuk memberi nama. Ia berangkat<br />

dari kemampuan membaca, menerima dan<br />

mengekspresikan tanda sebagai sebuah substitusi<br />

pikiran.” Kali ini ibuku menjelaskannya lebih cepat dan<br />

itu dilakukannya sambil menggaduk nasi yang mulai<br />

mendidih, aroma yang keluar dari uap yang berasal dari<br />

air nasi yang kental berwarna putih itu, membuat perut<br />

semakin lapar. Lagi-lagi pikiranku tertuju pada dua ekor<br />

itik pejantan.<br />

“Bahasa pada posisi ini, melengkapi gerak-gerak<br />

dan isyarat-isyarat alami untuk menunjukan sesuatu yang<br />

diucapkan oleh badan seperti gerak menudingkan jari ke<br />

arah benda yang dituju” sambung ibuku.<br />

Dia tetap saja menjelaskan secara rinci meskipun<br />

dia tahu betapa aku tidak mengerti penjelasannya yang<br />

sangat membingungkan itu, padahal dia tahu anak yang<br />

diajaknya berbicara itu baru kelas tiga SD.<br />

“Nah, ini yang terakhir.” kata ibuku.<br />

Nasipun mulai mengering, dia mulai menyiakan<br />

irisan cabe, bawang, dan enam biji telur itik. Dan, yang<br />

ini aku tahu, perpaduan antara bawang, cabe, minyak dan<br />

beberapa butir telur pasti keluarannya adalah sambal<br />

87


goreng telur itik. Sambal ini adalah simbol sekaligus<br />

pertanda menunjukan waktu makan pagi semakin dekat.<br />

“Teori ini menjelaskan persoalan persebaran<br />

bahasa, atau derivasi. Pada posisi ini, mobilitas dan<br />

perkembangan bahasa tidak ditentukan oleh dimensi<br />

waktu, tetapi bahasa ditemukan oleh dimensi ruang.<br />

Faktor lokus ruang membuat antar bahasa satu dengan<br />

bahasa lain memiliki kebiasan atau cara yang berbedabeda<br />

dibanding perjalanan waktu bahasa itu sendiri.”<br />

“Dari empat teori bahasa ini, selain membentuk<br />

hubungan fungsional yang sejajar secara otomatis juga<br />

membentuk hubungan fungsional yang diagonal.” Jelas<br />

ibuku dan aku semakin tidak mengerti dengan penjelasan<br />

ibuku ini.<br />

Sungguh aku tidak kosentrasi dan mengikuti<br />

penjelasan rinci ibuku ini, pikiranku berada di atara<br />

sambal goreng telur itik dan posisi strategis dua ekor itik<br />

pejantan diantara sembilan belas betinanya.<br />

Nasipun matang, lalu periuk berganti posisi dengan<br />

kuali. Ibuku menuangkan minyak goreng yang beku<br />

karena dingin. Lalu bawang daun berenang diantara<br />

merahnya warna cabe giling. Bawangpun layu di atas<br />

88


minyak yang mencair dan panas. Lalu, berenang seperti<br />

itik ketika ketemu kolam dan layu seperti pejantan telah<br />

menunaikan tugasnya untuk betina.<br />

Aku kagum dengan ibuku ditengah kebingunganku<br />

atas penjelasanya. Dia seperti filsuf, terlibat di dalam<br />

aktivitas praktis, aktivitas praktis secara implisit berisi<br />

konsep tentang dunianya, dunia bahasa selain<br />

kemampuan praktisnya memasak, dan sekaligus<br />

menyiapkan makanan bagi kami.<br />

Bahasa ibu. Dan bukankah bahasa ibu adalah<br />

bahasa pengantar pertama bagi kita, bahasa untuk<br />

komunikasi yang titik kosentrasinya adalah posistif, lalu<br />

dipakai untuk memahami realitas sosial, digunakan selalu<br />

untuk mengartikulasi praktek sosial budaya, dan bahasa<br />

kemudian mampu mengambarkan pencapaian<br />

kebudayaan bukan hanya sekedar alat komunikasi satu<br />

pihak dengan pihak lainnya.<br />

Penggunaan bahasa dalam praktek budaya secara<br />

umum dilihat sebagai sesuatu yang bersifat dialogis,<br />

artinya bahasa tertentu atau formasi diskursifnya<br />

menentukan apa yang mungkin dikatakan pada topik<br />

tertentu. Formasi diskursif terdiri dari peraturan yang<br />

89


tidak tertulis yang berusaha mengatur apa yang dapat<br />

ditulis, dipikir dan dilakukan pada dan untuk hal-hal<br />

tertentu. Itu semuanya bermula dari mulut ibu, mulut<br />

yang senantiasa mengeluarkan kata-kata bijak, sayang,<br />

cinta, lafaz doa dan mulut yang selalu menempel<br />

dikening menjelang tidurku.<br />

Kami duduk berbaris di meja makan, dulu kami<br />

hanya berempat setelah nenekku meninggal. Sekarang<br />

bertambang tiga orang, dua orang anaku dan istriku. Nasi<br />

telah berpindah dari priuk ke piring. Tidak ada telur itik<br />

berwarna merah menyala, Ibuku tersenyum. Dan dia<br />

duduk disamping bapakku yang sudah berganti baju<br />

untuk siap-siap ke sawah.<br />

90


7<br />

Di dekat lemari piring masih ada sisa beberapa<br />

potongan bambu muda sisa ibuku memasak sambal<br />

kemaren. Ada sepuluh batang lagi. Kami bergotong<br />

royong memasak lemang. Kedua anakku asik membantu<br />

memasukan beras yang sudah dicampur dengan kelapa<br />

dan pisang. Yang sudah selesai aku tegakkan dekat api<br />

bertumpu pada kayu yang aku pasang melintang rendah<br />

seperti tiang gawang.<br />

“Dulu orang Belanda binggung cara memasak<br />

lemang ini,” ceritaku bercanda. Dan itu benar karena<br />

tidak ada budaya memasak Lemang di Belanda.<br />

“Dari mana Bapak tahu.” Tanya Titon anak<br />

bungsuku.<br />

“Dari Sejarah” jawab Bdikar<br />

“Iya, dari sejarah,” Jawabku. Dulu. Kenangku<br />

Sepulang sekolah aku bergegas mengantikan baju<br />

seragam pramukaku yang sudah lusuh, hari ini hari sabtu.<br />

Dan, tadi disekolah kami belajar tentang pelajaran<br />

sejarah. Tepatnya mata Pelajaran Sejarah Perjuangan<br />

Bangsa (PSPB). Setelah seragam sekolahku berganti<br />

91


dengan pakaian “kotor”, pakaian ini pakaian khusus,<br />

kotor dan tambalan ada di mana-mana. Biasanya dipakai<br />

kalau ke kebun atau kesawah. Siang ini aku kebagian<br />

menjaga hama burung dan tikus yang mulai sering<br />

menyerang sawah kami yang sebentar lagi akan panen.<br />

Aku harus buru-buru kesawah selain sudah ditunggu oleh<br />

ibuku, dan tentu aku harus makan siang di sawah hari ini.<br />

Sore ini juga aku ditugasi membantu Wakku, dia kakak<br />

ibuku namanya Dulaha. Kami biasa panggil dia Wok<br />

Odon. Sore ini dia akan membuat ritual untuk mengusir<br />

hama tikus disawah kami. Namanya “betikeun”, setelah<br />

ritual ini dilaksanakan, kata ibuku, jika ada tikus yang<br />

nekat masuk kesawah maka tikus-tikus itu akan mati<br />

dengan badan yang membengkak.<br />

Ritual “betikeun” ini sering dilakukan ketika padi<br />

mulai memunculkan butiran buahnya, ketika itulah air<br />

sawah mulai dikurangi dan tikus punya kesempatan untuk<br />

memotong batang-batang padi. Tidak banyak orang yang<br />

bisa melaksanakan ritual ini. Hanya orang-orang terpilih.<br />

Orang-orang turun waris. Begitu juga dengan jenis dan<br />

sistem pengelolaan padi. Hanya padi lokal yang dikelola<br />

92


dengan pola tradisional saja yang bisa dilaksanakan ritual<br />

ini.<br />

Wak Odon adalah salah satu orang turun waris<br />

sebagai pelafas jambi ritual “betikeun”. Selain punya<br />

kemampuan kanuragan, ilmu-ilmu kampung yang<br />

bernuansa mistis. Wakku ini didik oleh pendidikan<br />

Belanda dan Jepang. Tentu bahasa Belanda dan<br />

Jepangnya bagus sekali, dan pengetahuannya juga sudah<br />

pasti luas sekali. Sehingga. Kemudian, dia pernah<br />

menjadi Asisten peneliti M.A Jaspan, seorang<br />

anstropologi dari Australia dan pernah juga menjadi<br />

pimpinan desa ketika masa kritis pemberontakan PRRI,<br />

dan anaknya pernah ditembak oleh Gerombolan PRRI<br />

dan mati dipelukan istrinya.<br />

Menjelang magrib dia baru tiba di sawah kami.<br />

Lalu, ritualpun dimulai. Aku duduk disampingnya,<br />

didepan kami ada tujuh batang benik dari beras ketan<br />

hitam dan paha ayam kampung panggang yang sudah<br />

disiapkan oleh ibuku. Benik adalah nasi yang dimasak<br />

dalam bambu, di Sumatera dikenal dengan Lemang.<br />

Mataku melotot dan fokus ke batang-batang lemang dan<br />

paha ayam panggang yang mengeluarkan minyak dan<br />

93


warna merah, air liurku mencair, mulai menetes keluar<br />

lewat kiri mulutku. Sementara Wakku merapalkan<br />

mantera-mantera yang tidak aku mengerti, setelah selesai<br />

ritual, aku diajak Wakku mengelilingi sawah, bibirnya<br />

gemetar pertanda dia masih melapaskan mantera. Aku<br />

berjalan dibelakangnya. Pikirankku masih tertuju ke<br />

batang lemang dan paha ayam.<br />

Setelah selesai mengelilingi sawah kami, dia pamit<br />

pulang dan akupun langsung berlari menuju titik ritual<br />

pertama, ada sesuatu yang harus aku ambil dan<br />

selamatkan.<br />

“Pasti Lemang dan paha ayam panggang.” Potong<br />

Bdikar.<br />

“Ia,”<br />

Setelah sholat magrib, Aku, ibu dan adikku pulang<br />

ke rumah. Bapakku masih bertugas menjaga sawah<br />

malam ini. Malam berikutnya tidak perlu di tunggu lagi<br />

pesan Wakku. Ceritaku sambil membolak balik lemang<br />

di batang bambu yang mulai hangus.<br />

“Setelah habis sholat isya.” Lanjutku. Wakku<br />

datang bertandang ke rumah kami. Rumah adik<br />

perempuannya. Yang sebenarnya adalah rumah ibunya.<br />

94


Ibuku adalah bungsu dari sepuluh orang saudaranya, dan<br />

aku tahu betul kakak-kakaknya sangat menyangi ibuku.<br />

Malam ini Wakku datang dengan syal sulaman warna<br />

biru yang selalu menempel di lehernya, berbaju sapari<br />

warna biru muda, sarung kotak-kota dan peci hitam.<br />

Garis wajahnya tegas, bersih, berwibawa dan<br />

kharismanya memancarkan aura yang sangat kuat sekali.<br />

Tangan kecilku tiba-tiba langsung menyambar betisnya.<br />

Aku memulai ritual pijatan di betis kirinya, dia tersenyum<br />

sambil memegang kepalaku. Dia tahu sebagai ‘‘barter”<br />

atau sebutlah upah memijat betisnya, dia harus bercerita.<br />

Semakin panjang cerita maka semakin lamalah durasi<br />

pijatanku.<br />

“Win, tadi disekolah balajar apa?”. Belajar Sejarah,<br />

jawabku cepat.<br />

Biasanya ini pertanda cerita akan dimulai. Dia<br />

tersenyum, telinggaku sepertinya bergerak dan lobangnya<br />

membesar. Dia merepon dengan mengubah posisi<br />

duduknya.<br />

“Tadi kata guru kami, Indonesia dijajah selama 350<br />

tahun”. Aku mulai memancing ceritanya.<br />

95


Dan itu lama sekali kita menjadi bangsa terjajah<br />

yang terbelakang, kemudian bermental inlender, lanjutku.<br />

Wajahnya tidak berubah, menandakan kematangan<br />

emosional.<br />

“Kita tidaklah minderwardheid, minder atau tidak<br />

percaya diri” katanya bijak. Dari hasil penelitian yang<br />

lebih teliti, Belanda baru dapat mengkonsolidasi<br />

kekuasaanya atas Nusantara dan efektif menguasai<br />

Nusantara cuma 70 tahun, catatannya apabila Aceh dan<br />

Bali baru ditaklukkan di abat ke 20. Dia mulai<br />

melanjutkan cerita. Seperti biasa, jawabannya selalu<br />

memancing pertanyaan-pertanyaan baru dariku.<br />

“Aku lebih percaya di angka 350 tahun”, pijitankku<br />

semakin kuat.<br />

“Nyatanya, entitas bangsa nusantara kita<br />

mengalami kehancuran berlahan-lahan menjadi<br />

berkeping-keping, menyebabkan kehancuran moral dan<br />

mental, serta tidak adannya konsolidasi kebangsaan<br />

sebagai satu bangsa yang merdeka, kalau hanya 70 tahun<br />

tidak seperti ini kejadiannya”. Lanjutku.<br />

Dia terdiam, aku senang, tiba-tiba dia melepaskan<br />

peci dan minum kopi buatan ibuku. Di belakangku,<br />

96


sambil menjahit dan memasang lambang Pramuka di<br />

bajuku, ibuku melirik dan menahan senyum. Jawaban<br />

panjangku pasti mampu mengangkat ingatan kolektif<br />

Wakku yang hidup dan mengalami masa jajajah maupun<br />

pergolakan setelah Indonesia Merdeka.<br />

“Belanda pertama kali datang ke Maluku dengan<br />

maksud memonopoli pasar rempah-rempah dan<br />

setelahnya mencari pangkalan tetap, yang kemudian<br />

ditemukannya di Batavia. Setelah perang melawan<br />

Kerajaan Mataram, Belanda menguasai konsesi di<br />

Priangan dan Semarang. Kejadian ini memperlemah<br />

posisi Mataram”. Lobang telingaku semakin membesar.<br />

“Di tahun 1705 VOC memperoleh daerah<br />

perniagaan Cirebon dan Madura, baru di Tahun 1743<br />

memperolah seluruh pantai Utara Mataram, lalu tahun<br />

1755 Kerajaan Mataram ini diserahkan kepada VOC,<br />

perusahan kongsi dagang Belanda. Pada priode ini<br />

kekuasaan politik Belanda dimulai”. Dia melanjutkan<br />

dengan rinci dan lebih detail dibandingkan Guru<br />

Sejarahku di Sekolah tadi.<br />

“Lah, kenapa Belanda berubah dari kongsi dagang<br />

ke kongsi Politik?”. Tanyaku.<br />

97


Mata kami saling bertatapan, dan aku menunduk,<br />

tidak sanggup lama-lama menatap sorotan matanya yang<br />

tajam.<br />

“Pada dasarnya, tidak ada yang berubah. Setelah<br />

diadakannya berbagai kebijakan agraria guna menguasai<br />

produk pertanian bagi pasar dunia yang dilaksanakan<br />

sejak abad ke 18 lewat kerja rodi dan penanaman paksa.<br />

Lalu, bentuk kongsi dagang VOC dianggap tidak lagi<br />

efisien dan produktivitas penanaman paksa mulai<br />

dipertanyakan”. Lanjutnya, tapi kali ini dia akhiri dengan<br />

senyuman.<br />

Dan, akupun tambah bersemangat memijat<br />

betisnya. Sepertinya barter kami malam ini, barter pijatan<br />

dengan cerita mulai saling menguntungkan.<br />

“Oleh karenanya”. Di berhenti untuk menyulutkan<br />

rokok Nipahnya.<br />

“Sejak tahun 1800 dimulailah di Jawa satu negara<br />

kolonial modern Hindia Belanda, yang dasar-dasarnya<br />

dimulai sejak Gubernur Jendral Dendels. Dan, pada masa<br />

Raffles di perkenalkan sewa tanah individual yang<br />

mencerminkan liberalisme Inggris, sehingga sejak saat itu<br />

dimulai seterusnya titik berat ekonomi kolonial kepada<br />

98


pertanian, dan bukan lagi perdagangan, sebagaimana<br />

strategi awal VOC”. Kalimat ini keluar dari mulutnya<br />

bersamaan dengan asap rokok yang membuat dadaku<br />

sesak, aku terbatuk kecil dan lobang hidungkupun mulai<br />

mengecil, ini bentuk respon alamiah pertahanan tubuh<br />

ketika ada serangan dari luar. Tapi, dia tidak peduli<br />

dengan keberatan tubuhku dengan asap rokok yang<br />

tembakaunya ditaman sendiri oleh dia.<br />

Sepertinya dia memaksa tubuhku beradaptasi<br />

dengan serangan asap rokoknya.<br />

“Meskipun demikian elemen-elemen merkatilisme<br />

masih kuat di Belanda, karena itulah didirikan badan<br />

usaha baru. Namanya NHK (Nederlandche Handel<br />

Maatschappij) pada tahun1824.” Bahasa Belandanya<br />

menyebutkan kepanjangan NHK sangat Fasih. Aku<br />

terkagum-kagum penguasaan Bahasa Belandanya.<br />

“Maskapai ini sebagian besar sahamnya masih di<br />

kuasai oleh Raja Belanda untuk mengusahakan berbagai<br />

komoditi pertanian.” Lanjutnya, asap rokoknya semakin<br />

tebal saja.<br />

“Di tahun 1830 dimulai kembali sistem tanam<br />

paksa di bawah Van Den Bosch dengan pemaksaaan<br />

99


untuk menanam tanaman ekspor, yang merupakan bentuk<br />

penghisapan surplus pertanian paling efektif”. Lanjut dia<br />

semangat.<br />

“Dengan riwayat tadi, riwayat kolonialismeimprealisme.”<br />

Dia tersenyum ketika mendengar aku<br />

menyebutkan istilah kolonialisme-imprealisme. Dalam<br />

hatiku mungkin dia kagum anak kelas lima SD bisa<br />

menyebutkan istilah kolonialisme-imprealisme. Tetapi,<br />

cuma itu yang aku dengar dan ingat dari penjelasan guru<br />

Sejarah di Sekolahku tadi.<br />

“Proses tersebut telah merusak semua pencapaian<br />

masyarakat yang ada sebelumnya, semuanya telah<br />

ditaklukkan untuk tunduk dan hanya mengikuti perintah<br />

dari pemerintahan seberang lautan, pertanian kemudian<br />

menjadi subsistens, karena semuanya disedot keluar<br />

untuk pemerintahan Belanda”. Lanjutku bersemangat.<br />

Kata-kata sedot sebenarnya untuk Wakku, untuk<br />

sedotan batang rokoknya yang mulai menganggu<br />

pernapasanku. Pesanku sampai, dia lalu mematikan<br />

rokoknya. Tetapi masih ada tiga batang rokok nipah yang<br />

sudah disiapkannya dan pasti akan ada sedotan lagi yang<br />

100


akan mengeluarkan asap tebal yang bisa buat sesak<br />

dadaku yang sedang mengalami pertumbuhan.<br />

“Pada tahun 1870, Undang-undang tanah Agraria<br />

diberlakukan, dan dimulainya sistem perkebunan besar,<br />

petani dipaksakan untuk menyewa tanahnya kepada<br />

perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar,<br />

sementara petaninya tinggal menjadi kuli upahan.<br />

Akibatnya terjadi peningkatan produksi dan berakibat<br />

pula terjadinya depresi yang hasilnya memunculkan<br />

kosentrasi kapital pada perusahaan besar.” Dia mulai<br />

memprovokasiku.<br />

“Kolonialisme telah merubah Indonesia menjadi<br />

keadaaan yang sekarang ini, yaitu timbulnya masalahmasalah<br />

paska-kolonial yang rumit dan kompleks,<br />

bukankan struktur agraria pra-kolonialisme berupa<br />

kuatnya sistem perhambaan feodal dan lembaga bagi<br />

hasil”. Aku tiba-tiba memotong penjelasannya.<br />

“Ia.” Jawabnya sambil menjulurkan kakinya<br />

sebelah kanan, setelah tangan kecilku merayap padat di<br />

betis kirinya.<br />

“Pada masa penjajajahn Belanda, guna melayani<br />

sistem tanam paksa dihidupkan kembali komunalisme<br />

101


desa. Sistem tanam paksa ini sistem yang unik, yaitu<br />

mengkombinasikan dipertahankannya kekuasaan feodal<br />

dengan kepentingan kolonialisme dari luar.” Lanjutnya.<br />

Suaranya kemudian diturunkan.<br />

“Hasilnya adalah memadukan cara produksi yang<br />

komunal dan feodal, petani mendapatkan tanah, statusnya<br />

sebagai petani hamba yang menyerahkan tenaga kerjanya<br />

untuk tanaman komoditas yang diharuskan oleh<br />

Pemerintah sebagai ganti pembayaran pajak. Bersamaan<br />

dengan itu kelas tuan tanah diperlemah”. Suaranya<br />

mengeluarkan intonasi sedih, berbanding terbalik dengan<br />

intonasinya ketika membaca mantera sore tadi di sawah<br />

ibuku.<br />

“Padahal”. Lanjutnya sambil menghidupkan rokok<br />

daunnya, asapnyapun memenuhi rongga mulutnya.<br />

“Pada abad ke 15 di Jepang, feodalisme matang<br />

disempurnakan oleh dinasti Shogun Tokugawa yang<br />

berkuasa stabil selama 270 tahun. Setelahnya<br />

ditransformasikan ke dalam pemerintahan borjuasi di<br />

bawah restorasi Meiji”. Ah, dia mulai memecahkan<br />

kosentrasiku.<br />

102


“Dan, akhirnya dinasti terakhir Shogun Tokugawa,<br />

Yoshinobu akhirnya disingkirkan oleh para samurai<br />

muda, yang merasa kecewa dengan konsesi-konsesi yang<br />

diberikan pemerintah Tokugawa kepada pihak asing.<br />

Peristiwa ini kemudian kita kenal dengan istilah restorasi<br />

itu.” Lanjutnya.<br />

“Setalah kita Merdeka, kondisi dan hubungan sosial<br />

dari sisa-sisa feodal dan kolonial yang lama tetap<br />

berlangsung, sehingga Pemerintah Indonesia yang baru<br />

kesulitan untuk bisa menerapkan suatu rencana besar<br />

pembangunan yang jelas dalam memecahkan warisan<br />

struktur tersebut.” Ternyata dia ajak pikiranku untuk<br />

membandingkan kondisi Jepang dengan Indonesia.<br />

Aku terdiam, aku kesulitan menghubungkan<br />

kondisi di Jepang dengan alur sejarah yang terjadi di<br />

Negaraku, Indonesia. Atau Wakku sengaja mengalihkan<br />

perhatianku supaya durasi pijatan semakin lama.<br />

“Lalu, apa yang terjadi di Indonesia, ketika kita<br />

awal Merdeka,”<br />

“Adakah restorasi?” Tanyaku menghubunghubungkan.<br />

103


Restorasi dengan kemerdekaan meskipun aku<br />

sendiri tidak paham maksud pertanyaanku. Dia ternyata<br />

berhasil memanjangkan durasi pijatanku.<br />

“Kondisinya begini, para tuan kolonial lama,<br />

condong kepada dekolonisasi politik tetapi bukan<br />

ekonom, karena itu mereka bersiap-siap berfungsi<br />

melalui kelompok-kelompok nasionalis yang pantas dan<br />

moderat, komprador neo-imprealisme dan neokolonialisme<br />

yang setelah pemindahan kekuasaan<br />

berhadapan dengan para nasionalis radikal dan komunis<br />

serta kelompok lain yang mengajurkan dekolonisasi<br />

total”. Dia mencoba menjelaskan meski dia tahu aku pasti<br />

tidak mengerti maksud dari penjelasanya.<br />

“Tiba-tiba diluar rumah ada suara ribut.”<br />

“Suara gentongan.” Ceritaku.<br />

“Suara apa.” Tanya Bdikar<br />

“Suara Gentongan,” Jawabku.<br />

Dari ketukannya, biasanya akan ada pengumuman.<br />

Aku langsung meloncat keluar rumah. Aku melepaskan<br />

diri dari semburan asap rokok dan memulihkan pegalnya<br />

tanganku setalah merayap pada di kedua betis Wakku.<br />

104


“Tuk..tuk..tuk..tuk.” Aku pukul batang-batang<br />

lemang menirukan bunyi pukulan pada bambu yang<br />

menjadi alat gentongan.<br />

Setelah ketukan itu berhenti Pak Sahak yang di<br />

tugasi menyampaikan pengumuman. Suaranya keras<br />

melengking “Besok akan dilaksanakan sensus penduduk<br />

naik rumah turun rumah, gunanya untuk pendataan<br />

kelayakan mendapatkan bantuan pendanaan program<br />

bimbingan masyarakat atau BIMAS. Pemerintah akan<br />

membantu peningkatan usaha pertanian sebagai basis<br />

ekonomi rakyat, jadi besok jangan ada yang pergi ke<br />

sawah atau ke kebun demi suksesnya Sensus ini.<br />

Demikian pengumuman ini disampaikan.”<br />

Biasanya aku ikut mengawal Pak Sahak keliling<br />

desa menyampaikan pengumuman ini. Karena Wakku<br />

masih ada di rumah kami, jadi setelah mendengarkan<br />

penguman ini aku kembali duduk di samping Wakku.<br />

Ceritaku.<br />

“Sudah saatnya perencanaan pembangunan itu<br />

beralih dari ekonomi neo-liberal kepada perekonomian<br />

yang heterodoks atau non-mainstream.”<br />

“Ini sangat penting,”<br />

105


“Karena neo-liberal atau ekonomi pasar<br />

menyebabkan tidak adanya pilihan-pilihan pembangunan<br />

yang beragam dan tidak adanya ruang publik yang<br />

berbeda dengan mekanisme pasar. Pertumbuhan ekonomi<br />

yang berkualitas hanya bisa terjadi jika kebijakan<br />

ekonomi mementingkan kepentingan rakyat.” Lanjutnya<br />

tiba-tiba. Akupun mengangguk-angguk tidak mengerti.<br />

Dia kemudian pamit pulang ke ibuku. Dua batang<br />

rokoknya tertinggal, aku berlari kedapur.<br />

Ada aroma sesuatu yang hangus. Dua batang<br />

Lemang menghitam.<br />

“Apinya terlalu besar.” Kata ibuku. Lemang yang<br />

hangus ini kamu buka. Jadilah dua batang ini berpindah<br />

habis ke perut ku dan kedua anakku.<br />

106


8<br />

Hari ini ibuku membersihkan rumah. Aku ikut<br />

membantu. Semua barang-barang yang tidak terpakai dia<br />

masukan ke kamar kecil, kamar kecil ini dulu aku pakai<br />

untuk tempat tidurku. Sekarang berubah fungsi menjadi<br />

gudang. Aku membantu menyusun barang-barang yang<br />

berserakan. Buku-bukuku ketika SD masih tersusun rapi<br />

tapi warnannya mulai pudar dimakan usia.<br />

Ketika aku merapikan buku-buku ini, ada photo<br />

yang jatuh dari lipatannya. Pas photo hitam putih<br />

berukuran 4 x 3. Ukuran pas photo yang biasa di<br />

tempelkan di buku raport. Aku masih ingat ini photonya<br />

Dewa. Wanita teman sekelasku. Wanita yang sempat<br />

singgah dihatiku. Cinta pertama, membuatku seperti<br />

cintanya bunga pada harum aroma, seperti cintanya<br />

matahari atas cahaya dan penyempurnaannya. Seperti<br />

harapan rembulan pada cerahnya malam.<br />

Aku mabuk.<br />

Pernah di suatu malam.<br />

Malam Senen, belum begitu malam sebenarnya.<br />

Malam gelap setelah hutan badai.<br />

107


Jam dinding yang di belikan ibuku di pasar desa,<br />

desa tetangga itu menunjukan jam 22.28. Belakangan ini<br />

pikiranku tidak bisa fokus. Aku mulai takut apakah ini<br />

akibat pengaruh ketika aku kesetanan melahap lemang<br />

dan paha ayam, kesetanan makan seperti para dedemit<br />

penunggu mantera ritual betikeun pengusir tikus.<br />

Atau. Bisa jadi aku terserang kesapo atau kena<br />

teguran makluk halus seperti yang dipercayai oleh<br />

banyak orang di kampungku. Mereka masih sangat<br />

percaya secara gaib, padi dan tikus dikendalikan peri<br />

perempuan. Tanda-tanda terserang kesapo ini biasanya<br />

dimulai dengan demam dan suhu tubuh semakin panas.<br />

Beberapa kali aku raba. Suhu tubuhku normal.<br />

Aku cenderung suka menyendiri dan imajinasiku<br />

semakin liar. Terutama dengan sosok yang berlainan<br />

jenis. Aku tidak tahu dengan apa yang terjadi pada dada<br />

sebelah kiriku. Seperti ada yang sedang bergejolak. Apa<br />

lagi ketika aku ketemu dengan teman sekolahku.<br />

Namanya Dewa. Dia teman sekelas dan masih ada<br />

hubungan keluarga denganku jika di hitung dari garis<br />

keluarga bapakku.<br />

108


Di sekolah. Posisi duduknya berada di depan<br />

bangkuku. Dan ketika dia menoleh ke belakang, pantulan<br />

matanya, kalau kami saling bertatapan membuat dadaku<br />

bergetar. Sulit sekali dijelaskan getaran ini. Dan.<br />

membuat Aku malu sendiri. Getaran ini menganggu,<br />

apalagi ketika malam mulai larut. Aku seperti terserang<br />

jampi pelet seburuk tulang. Pelet yang akan<br />

mempengaruhi dan mengendalikan jiwa seseorang.<br />

Legendanya. Seseorang yang kena ajian pelet jenis ini,<br />

bahkan ketika sudah meninggalpun. Rohnya akan<br />

gentayangan mencari dengan cinta orang yang<br />

melepaskan ajian pelet ini. dan, malam ini aku tidak bisa<br />

pejamkan mataku.<br />

Dan. Malam ini. Udara terasa dingin menusuk<br />

sampai sum-sum tulang. Aku meringkuk dalam kain<br />

sarung petak-petak pemberian bapakku. Tiba-tiba saja<br />

terdengar ada suara ketukan di jendela teras rumahku<br />

yang sudah retak dan berdebu kacanya. Tetapi anehnya<br />

tak ada siapa-siapa. Daun jendela tiba-tiba saja terbuka,<br />

di belakangnya sosok buruk rupa dengan suara serak dan<br />

bernada resah menyapa, lalu dia menyebutkan namaku.<br />

109


Bulu-bulu di tengkukku berdiri seperti ada yang meniup<br />

berlahan-lahan dari belakang.<br />

“Denawa..!” dan itu bukanlah namaku.<br />

Kuberanikan diri buka pintu kayu jendela, lalu<br />

sosok buruk rupa itu menghilang dan hanya<br />

meninggalkan bayang-bayang hitam, dan sayup-sayup<br />

terdengar nama, Dewa...!<br />

Ada arak-arakan pelan di depan beranda rumahku,<br />

kutatap, lalu senyap ada barisan nisan pusara jiwa di luar<br />

jendela. Aku ketakutan tapi penasaran.<br />

Komat-kamit mulutku membaca ayat-ayat pengusir<br />

setan yang diajari ibuku, sambil kusapa embun pada<br />

kelopak mawar yang merambat di pagar rumah, tetapi<br />

embun itu begitu culas padaku. Seakan mau memberiku<br />

badai yang akan mengguncangkan jiwa.<br />

“Denawa” suara itu lantang datang dari pintu<br />

rumahku disertai dengan ketukan beberapa kali.<br />

Suara perempuan yang selalu hadir dalam<br />

thalamus, ruang otak tempat sensor data dan sinyal-sinyal<br />

motorik. Dan itu jelas sekali suara Dewa.<br />

Dia, perempuan yang aku kenal beberapa tahun<br />

lalu, aku ingat betul ketika dia dengan teman-temannya<br />

110


membantu ibu-ibu menyiapkan ritual cuci kampung.<br />

Ritula yang kami sebut kedurai agung. Itu ritual tahunan<br />

untuk mengusir pengaruh jahat dikampungku.<br />

Setelah peristiwa itu lama Dewa menghilang, tentu<br />

aku mulai melupakan Dewa. Tidak lama kemudian aku<br />

baru tahu, Dewa menghilang karena kecelakaan,<br />

setenggah tulang yag ada di badannya remuk. Dia jatuh<br />

dari jembatan ketika liburan kenaikan kelas. Ketika dia<br />

ikut membantu ibunya di kebun yang jauh dari kampung.<br />

Tali yang terbuat dari kawat sebelah kanan bawah<br />

jembatan putus. Posisi Dewa berada pas di perempat<br />

jembatan dan sedang membawa perbekalan keluargannya<br />

selama berada di kebun. Dia jatuh menimpa tumpukan<br />

batu sungai. Cuma itu yang aku tahu. Tahu dari ceritacerita<br />

yang beredar dikampung.<br />

Pagi itu, dengan di antar ibunya, Dewa muncul di<br />

sekolahku. Tidak ada yang berubah, dia berdiri tegak<br />

tetapi di tompang dua tongkat ditubuhnya, matanya tetap<br />

tajam, cantik. Mata kami saling berpandangan. Sorot<br />

mata bulat yang bisa membuat dadaku bergetar.<br />

Setelah jam istirahat. Kakiku bergerak sendiri<br />

menemui Dewa yang sedang bersandar di diding kelas<br />

111


kami yang retak, dan sudah mulai tampak bilah-bilah<br />

bambu pengikat semennya. Kami bercerita banyak<br />

tentang kejadian ketika dia jatuh dan beberapa rencana<br />

aktivitas yang menjadi ambisinya. Dia ingin jadi perawat<br />

dan guru mengaji. Setelah itu dia selalu datang sekolah<br />

dan tak kami sia-siakan waktu bersama.<br />

Kami banyak cerita, cerita tentang perempuan,<br />

tentang desa, tentang batu, tentang novel-novel yang ada<br />

di perpustakaan sekolah kami. Tetapi tetap saja selalu ada<br />

getar ketika mata kami bertatapan.<br />

Malam ini. Dia datang menemuiku, buru-buru aku<br />

buka pintu. Dewa, dengan dua tongkat penumpuh<br />

badannya, Dewa tegak di depan pintu, matanya merah<br />

seperti habis menangis. Seperti kebiasaanku, aku usap<br />

kepala dan rambutnya, lalu aku papah dia masuk dan<br />

kami duduk di kursi rotan reot peninggalan kakekku.<br />

Dan, Dewa Duduk bersandar pada sebuah bantalan<br />

berwarna merah di ruang tamu rumahku. Bantalan yang<br />

di jahit oleh tangan ibuku.<br />

Hubungan di antara kami terjalin seperti kisah yang<br />

diceritakan tanpa naskah, hanya menjalani rasa,<br />

menuruti kata hati dan naluri, tanpa terikat janji. Kami<br />

112


sedang mengalami dialektis emosi dalam berhubungan,<br />

saling mempengaruhi menuju kedewasaan yang berujung<br />

pada keutuhan keperibadian.<br />

“Ini proses bercinta kami.” Kata Dewa<br />

“Untuk menghindari mu, ternyata sembunyi saja<br />

tidak cukup letih jika terus berkejar-kejaran seperti ini”<br />

lanjutnya dan laluku peluk dia dalam-dalam.<br />

“Itu karena kita menyamarkan luka masing-masing<br />

lalu saling menutupi kesedihan, menutupi realitas dan<br />

mimpi,” Jawabku. Dan dengan beberapa puisi yang tak<br />

pernah dibukukan, sebab yang kita yakini, puisi itu<br />

takkan pernah mati dan selalu menjadi spasi dalam<br />

iringan setiap kata-kata” Intonasi dan hatikupun bergetar.<br />

“Kita,” lanjutku. Berhenti sebentar untuk<br />

mengontrol getaran suaraku<br />

“Kita, harus menentukan alternatif yang harus<br />

diambil, regresi atau progresi, untuk kembali ke<br />

eksistensi pola bercinta. Ini kebiasaanku berteori ketika<br />

berbicara dan berdiskusi dengan Dewa. Kami satu tim<br />

cerdas cermat di SD kami. Dan beberapa kali memenangi<br />

cerdas cermt di tingkat Kecamatan. Dia jago hapalan dan<br />

aku menguasai pelajaran hutungan.<br />

113


“Ketika kita kembali ketitik awal sudah pasti<br />

mengelami penderitaan, dan kalau di lanjutkan pasti<br />

menakutkan sekaligus menyakitkan. Ketakutan dan<br />

keragu-raguan bukanlah pilihan bijak pada posisi ini”<br />

terangku.<br />

“Aku” jawab Dewa, dan dia semakin tengelam<br />

dalam pelukkanku.<br />

Aku cuma butuh cinta, cinta yang berwujud<br />

penyatuan disaat aku sedang mempertahankan<br />

keterpisahan yang memungkinkan perwujudan dari<br />

aktifitas batin secara penuh.<br />

“Karena ketika adanya kamu, realitas cinta<br />

membuat eksistensi individuku meningkat, dan aku<br />

meraskan pengalaman mistis dari gairah penyatuan kita,”<br />

Lanjut Dewa, nada suaranya juga gemetar.<br />

“Cinta antara kita harus mulai dari titik orientasi<br />

produktif” jawabku dan ku cium kening Dewa, ciuman<br />

buat menenangkannya.<br />

“Orientasi produktif ini harus bersentuhan dengan<br />

realitas penalaran, itu akan membuat kita lebih kuat dan<br />

bahagia. Maka konsef penghargaan, keberanian, kesetian<br />

114


dan nilai-nilai estetis haruslah menjadi bagian simbolik<br />

dari cinta kita.” Lanjutku.<br />

“Aku tahu, tapi pada titik ekstrim, bukankah cinta<br />

itu pembebasan dari dorongan insting murni? lalu dia<br />

bisa menjadi bentuk sublimasi dan di sisi lain<br />

kepemilikan yang dilakukan oleh dorongan dan<br />

mengarah pada pengrusakan diri?” jawab Dewa.<br />

“Pengrusakan diri?” tanyaku.<br />

Begini, akupun berdialektika secara sederhana,<br />

cinta itu hidup, dia tidak semata-mata tentang inti,<br />

melainkan soal arus. Dia seperti bunga, seperti sungai<br />

yang tidak pernah berhenti mengalir, bunga, sejak kuncup<br />

mungil yang muncul diantara dedaunan, batang tumbuh<br />

berlahan, lalu muncul kelopak berwarna putih dari<br />

kehijauan kuncupnya, hingga menjadi bunga yang bulat,<br />

putih, dan ceriah yang membuka dan menutup melalui<br />

beberapa fajar, beberapa senja. Bunga itu bertahta<br />

anggun, lalu berlahan keriput dan menghilang secara<br />

mistrius, tidak ada titik, tidak ada jedah, hanya ada arus<br />

kecil yang mengalir tanpa henti. Begitulah cinta. Tiada<br />

berujung.<br />

115


“Maka cinta diantara kita harus banyak<br />

menghasilkan bunga mekar yang harum” Terangku.<br />

Lalu akupun melanjutkan<br />

“Karena Cinta pada dasarnya bukanlah kekuatan<br />

emosional, tetapi kekuatan ontologis, ia inti kehidupan,<br />

lebih tepatnya penyatuan dinamis atas sesuatu yang<br />

tercerai-berai.” Lanjutku lalu diam<br />

Aku diam menunggu jawaban Dewa, tidak ada<br />

tanda-tanda dia menjawab, biasanya setiap argumenku<br />

aku selalu memancing daya kritisnya, biasanya aku<br />

menikmati kepenasaran Dewa. Dewa sedang diam dan<br />

berpikir, tentu aku tahu apa yang sedang dipikirkannya,<br />

bukankah beberapa hari lalu dia berbicara tentang batas<br />

senja.<br />

“Pada akhirnya kita harus sepakat, bahwa<br />

hubungan ‘kita’ dibatasi senja. Kita harus sepakat bahwa<br />

bercinta seperti ini sudah sangat cukup mengurangi<br />

dahaga”. Demikian yang dia bilang padaku di suatu<br />

siang.<br />

Lama kami saling diam, lalu, ada genangan<br />

dimatanya, kusapu tetesan yang keluar dari matanya<br />

dengan jempol sebelah kananku. Wajah kami semakin<br />

116


mendekat, Dewa pejamkan matanya, setelah beberapa<br />

saat bibir kami menyatu, ada gerakan aneh pada lidah<br />

kami, gerakan ahamkara, gerakan yang menuntun kami<br />

menuju ketentraman jiwa, jiwa kami melayang tanpa<br />

ingat kepentingan pribadi kami, kami melebur dalam<br />

sensasi magis.<br />

Peleburan dan pergumulan kami terhenti ketika<br />

tanganku menyentuh paha kanannya yang belum pulih<br />

akibat kecelakaan. Dewa kesakitan. Lama kami saling<br />

diam dan berpandangan. Dan, akupun menyalakan rokok,<br />

rokok daun nipah Bapakku. Tentu Dewa tidak suka<br />

dengan asap rokok, bukan karena polusi tapi karena<br />

kesehatanku.<br />

Ciuman itu ternyata mampu membuat peleburan<br />

cara berpikir antara kami, kami mulai membangun peta<br />

realitas-sadarnya, respon-respon emosi dalam rentang<br />

yang luas melekat pada apa yang kami rasa dan pikirkan,<br />

mungkin saja ini merupakan variabel dari keyakinan, dan<br />

karena itulah yang memicu emosi pada setiap gerakan<br />

ahamkara pada lidah kami.<br />

“Emosi tidak hanya membantu kita<br />

mempertahankan keyakinan, keyakinan bahwa kita<br />

117


mencintai, mencintai dengan memberi” Aku mulai<br />

membuka pembicaraan lagi.<br />

“Tetapi juga membela kita dari keyakinankeyakinan<br />

lain yang mengancam keyakinan kita, caranya<br />

dengan mencari konsistensi dan pertalian dari apa yang<br />

kita yakini.” Tambahku, sambil memeluk dan mendekap<br />

Dewa di pangkuanku<br />

“Ia, keyakinan terkadang selalu berubah, bahwa<br />

otak kita terus menerus membayangkan dan<br />

menghasilkan perspektif alternatif tentang realita,<br />

kelenturan ini boleh jadi adaptasi pikirian terhadap situasi<br />

baru dan tak lazim, seperti hubungan kita” Jawab Dewa,<br />

sambil membenarkan kancing bajunya.<br />

“Perspektif alternatif, tentu saja lahir dari<br />

interpretasi cara kita berpikir, produknya adalah<br />

keyakinan” tambahku.<br />

Aku tahu Dewa belum mengerti maksudku.<br />

“Jadi begini” jelasku kembai berdialegtika, seperti<br />

musik yang merupakan interpretasi saraf atas bunyi,<br />

warna adalah interpretasi atas cahaya, mata dan sistim<br />

visual membantu membedakan berbagai frekwensi<br />

cahaya, kita tidak melihat frekwensi melainkan cahaya<br />

118


sebagai konsef. Merah, hitan, putih adalah kesepakatan<br />

atas konsef yang membentuk realita. Sama dengan<br />

matematika, meskipun dia ilmu pasti tapi sesungguhnya<br />

matematika adalah ilmu tentang kesepakatan, dan<br />

penjumlahan terjadi jika hanya jika kita sepakat<br />

mengunakan sistem bilangan desimal/persepuluhan.<br />

“Poinnya begini, bahwa mencintai tidak boleh<br />

tunduk pada variabel konsef misalnya norma tabu apa<br />

lagi batas senja, mencintai adalah mencintai, cinta adalah<br />

soal eksistensi manusia, soal apa yang kita yakini. Cinta<br />

yang demikian tentu saja tidak boleh resesif estatik,<br />

resesif pada lokus lalu menekan ekspresi lokus lain.”<br />

Sampai disini aku diam, aku merelakan menampar pipiku<br />

sendiri.<br />

“Maafkan aku, Dewa”, bujukku.<br />

Aku mulai sadar. Aku tahu selama ini aku<br />

cenderung resesif bahkan terlalu agresif, aku selalu saja<br />

mulai dari diriku, kepentingan egoku. Tak pernah aku<br />

berpikir yang titik pijaknya adalah kamu. Benar bahwa<br />

pribadi yang mementingkan dirinya sendiri tidak mampu<br />

mencintai orang lain, namun juga tidak mampu mencintai<br />

dirinya sendiri.<br />

119


Sementara bukankah kamu pernah bilang padaku<br />

“Aku mencari dan memburu agar tahu, aku ingin belajar<br />

tentang hal yang menjadi ketertarikan mu....Dan jika<br />

nanti aku telah menemukan diriku jatuh cinta, maka, aku<br />

tidak tahu untuk apa.” Lanjutku.<br />

Di luar hujan mulai turun, ku peluk Dewa, tak ku<br />

biarkan dia pulang meninggalkanku malam ini, malam ini<br />

senja tak lagi menjadi membatas. Pada kursi reot<br />

bersandaran bantal berwarna merah itu, Dewa tidur<br />

dipangkuanku.<br />

Aku tetap duduk menjaga tidurnya sambil berbisik<br />

“Biarlah hanya kita yang paham rasa, aku mengembara<br />

dalam dirimu, terima kasih tuhan Engkau telah mengirim<br />

Dewa untukku, karena pada dirinyalah letak<br />

penyempurna kisah.”<br />

Hujan sepertinya berhenti, lalu terdengar azan<br />

subuh dari Masjid seberang jembatan, aku terbangun dari<br />

tidurku, tidak ada jendela yang terbuka, tidak ada pintu<br />

yang belum di tutup dan tidak ada Dewa dipangkuanku.<br />

Bantal berwarna merah yang menjadi sandaran kursi itu<br />

basah oleh air mataku. Air mata dari permulaan getaran-<br />

120


getaran yang memisahkan kekasih dari ruang dan matra<br />

lalu membawa mereka pada ilham dan impian.<br />

Aku simpan kembali photo hitam putih ini dalam<br />

lipatan buku dengan hati-hati seperti menyimpan mimpi.<br />

Mimpi untuk memuaskan atau pemenuhan hasrat (wish<br />

fulfillment) atas dorongan akumumulasi insting alamiah<br />

yang tersumbat dan dibatasi senja. Senja yang memakan<br />

banyak waktu, ketika yang di harap hanya tergerus<br />

semu. Dan aku masih memakai seragam merah putih<br />

jahitan ibuku.<br />

Aku tersenyum. “Merayaplah” kataku dalam hati.<br />

Merayap diantara hatiku. Tiuplah seruling cintamu agar<br />

hari-hariku melagu rindu.<br />

Aku penasaran.<br />

Aku buka kembali lipatan buku.<br />

“Tetapi kita terlampau asing untuk senja,” kataku<br />

sambil melihat detail photo.<br />

Marilah sejenak kita duduk di tepian danau, pada<br />

batu yang disusun tahun lalu oleh tangan kekar para<br />

buruh. Dan lihatlah, senja mati menelikung biduk-biduk,<br />

berpendar-pendar, berpacu dengan kabut dan badai laut<br />

121


senjapun tampak malam. Kembali imajinasiku terganggu.<br />

Aku seperti dirasuki.<br />

Mungkinkah ini bentuk peristiwa perubahan<br />

biologis yang terjadi pada makhluk hidup? berupa<br />

perubahan ukuran yang bersifat ireversibel (tidak berubah<br />

kembali ke asal). Ada perubahan ukuran yang terjadi<br />

pada pertumbuhan. Perubahan ukuran volume, tinggi,<br />

masa, dan mungkin aku sudah berada di gerbang<br />

pubertas.<br />

Aku semakin suka berhayal.<br />

Dengarkanlah Dewaku.<br />

“Suatu hari di sepi ini kau akan percaya cinta itu<br />

seperti mata pisau tidak hanya memukau tetapi<br />

menganiaya.”<br />

Maka jika pura-pura tidaklah akan jadi apa-apa.<br />

Bukankah pada jelang senja sore itu, ketika kau datang<br />

bersama ibumu, kau berdiri depan pintu dengan<br />

tongkatmu dan akupun terharu.<br />

“Kita seperti mengikuti garis jodoh, aku bahkan<br />

lebih suka menyebutnya garis hidup.” Aku memaksa.<br />

Pertemuan itu seperti cermin yang sama-sama kita<br />

cari terselip dan tertinggal entah dimana, tiba-tiba kita<br />

122


sudah saling berhadapan, saling berseru tentang laba-laba<br />

yang membangun sarang di mata kita masing-masing.<br />

Tetapi kenapa kita terlalu cepat membuang wajah.?<br />

Lalu, hari-hari berikutnya diam-diam kita saling<br />

meneliti kembali, kita temukan entah berapa banyak debu<br />

menutupi pori-pori kulit kita. Debu di tubuhmu dan juga<br />

ditubuhku bertutur tentang jalan panjang, penuh kelok<br />

dan curam. Tapi kita tetap tertawa sekaligus bersedih<br />

laksana magma dan luap bara. Pada debu di tubuh, angin<br />

dan gerimis pagi sampai siang itu sempat mengusapnya,<br />

namun malam menyempurnakan kelabunya kitapun cepat<br />

menutup tubuh.<br />

“Dan, jika pada penyempurnaan malam aku<br />

melupakan jatuh cinta, berarti aku telah lupa cara<br />

menjatuhkan airmata.” Itu ucap janjiku ketika aku antar<br />

kau pulang lewat gang.<br />

“Gang penanda waktu senja, waktu pemisahan<br />

dua hati yang harusnya tetap bersatu dalam bercinta,”<br />

itu katamu.<br />

Tahukah kau, Gang itu membuatku pada<br />

penghujung malam sering terbangun dari tidur lelap,<br />

bayangmu, senyummu bahkan tatapan gelisah menari-<br />

123


nari tepat diatas kepalaku. Pada udara basah yang turun<br />

bersama embun menjelang pagi, kenangan-kenangan<br />

yang lahir lewat mimpi, tarian wajahmu dipelupuk mata<br />

menjelang jaga malamku seringkali ikut tumpah dan<br />

rindupun terpuruk, dan menjadi kenangan mengetuk.<br />

Saat fajar aku menyatu dengan angin, ada asa<br />

menyeruak lewat mentari yang malu-malu dari balik<br />

hijau dan birunya gunung. Aku tertawa sendiri lalu<br />

menyatu, menyeru mengumumkan datangnya terang.<br />

Pagipun basah, burung pipit terbang mencari sarangnya<br />

yang hilang dengan gelisah. Rindupun kembali<br />

menghangatkan dan aku bersemangat, dan<br />

menikmatinya berulang-ulang dengan segenap<br />

perasaan.<br />

Pernah suatu hari, kau kirim aku tulisan meski<br />

kita sedang berhadapan, ku lihat sejenak ada semburan<br />

tetesan madu keluar dari bibir meronamu, lalu aku baca<br />

pesan yang kau tulis “apa begini cara kerja sesuatu yang<br />

engkau sebut cinta. Engkau bertemu seseorang, lalu kita<br />

perlahan-lahan merasa nyaman berada disekitarnya. Jika<br />

dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika<br />

dia menjauh.” Kalimat itu cukup membuat aku terbang,<br />

124


kalimat itu agung bersemayam bak ayat-ayat pembunuh<br />

sepi. Lalu, mengalirlah kata-kataku di sungaimu,<br />

berenang dan berkecipak jadi angsa-angsa yang riang<br />

bersaksi bagi laut yang redup.<br />

Senjapun datang lagi, Dewa.! Di tengah senja<br />

semua arloji kuhancurkan, agar pelukan tak mengenal<br />

kata pulang. Tapi, kemudian terbanglah kau menjauh<br />

bersama sayap rindu yang bukan aku, biarkan aku di<br />

sini menuliskanmu dalam puisi sendu. Duduk aku<br />

sendiri pada meja yang patah kaki. Dan, telah juga<br />

kugambar sayap di punggung agar rindu terbang<br />

mencari panggung. Di cintamu semoga semua berujung.<br />

Dalam hati penuh harap janganlah kau jadikan<br />

selendangku layang-layang bertaruh pada angin dan<br />

benang gelasan. Kini kau sudah terbangkan<br />

selendangku untuk mengubah warna langit<br />

menjauhkannya dari burung-burng terbang rendah yang<br />

melenggangkan tiap helai rambutku, rambut yang<br />

melukai mata angin kemudian mengintai hitam peta di<br />

tubuhku.<br />

Tentu saja aku tidak boleh terlalu<br />

berpengharapan, tapi kau mungkin mengenang<br />

125


lambaian tangan dan pesan-pesan agar berkabar setelah<br />

sampai tujuan. Adakah kau siap siaga mengintai debar<br />

jiwaku dan selalu berhasrat menghukumku. Kenapa kau<br />

menemuiku bagai cahaya yang melesat seketika alam di<br />

sekitar padam.<br />

Hayalanku berhenti ketika teriakan ibuku. Minyak<br />

lampu kaleng yang jarang sekali digunakan itu tumpah.<br />

Aku keluar kamar dengan badan penuh keringat. Aku<br />

kepanasan.<br />

126


9<br />

Rumah tua ini menyimpan banyak kenangan masa<br />

kecilku dulu. Pernah suatu hari, hari menjelang bulan<br />

Puasa, bulan ramadhan. Suasana kampung sepi, pagi-pagi<br />

tidak seperti biasanya. Tidak ada asap yang mengepul<br />

dari tungku dan kayu pokok kopi. Tidak ada bau<br />

gemercik minyak panas dan tidak ada bau kerak hangus.<br />

Aku sengaja tidak berhitung berapa hari menjelang<br />

Puasa. Karena bisanya ada yang sudah mulai, ada yang<br />

belum bahkan mundur jadwalnya tergantung pilihan<br />

mazhab atau keyakinan yang semakin hari semakin<br />

banyak sekali tafsir mazhab atau keyakinan. Awal bulan<br />

puasa ditandai oleh bulan naik atau bulan turun, yang<br />

dipelajari secara turun-temurun.<br />

Di kampung, ada beragam masyarap jika mengikuti<br />

ajaran yang berkembang. Ada Naqsyabandiyah,<br />

Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan banyak lainnya.<br />

Perbedaan ini semakin tajam saja jika memasuki bulan<br />

ramadhan atau idul fitri. Tetapi yang terjadi di<br />

kampungku. Hanya adat yang bisa mengikat dan<br />

menumpulkan tajamnya perbedaan keyakinan ini.<br />

127


Bahkan ada yang sengaja satu bulan penuh tidak<br />

menunaikan ibadah wajib yang disyaratkan dalam rukun<br />

Islam ini. Tentu alasannya macam-macam. Aku tidak<br />

akan bercerita tentang puasa di bulan ramadhan, bisa jadi<br />

pilihanku nantinya tidak mengikuti mazhab apapun<br />

dalam menjalankan kewajiban atau bisa jadi aku<br />

membebaskan diri dari kewajiban ini.<br />

Menjelang Ramadhan kali ini, bulan sya’ban. Bulan<br />

kedelapan dalam penangalan Hijriyah. Aku mulai<br />

membaca buku pada pertengahan Syah’ban. Buku<br />

kisahnya Layla dan Majnun. Majnun adalah sebuah lilin<br />

yang perlahan membakar habis dirinya dengan api hasrat<br />

di hadapan gadis itu. Keindahan Layla bak taman bunga<br />

mawar. Majnun bagaikan menara api yang menyala<br />

dengan kerinduan. Layla menebarkan benih-benih cinta.<br />

Majnun menyiraminya dengan air matanya. Layla dan<br />

Majnun adalah kisah cinta dari negeri Timur yang cukup<br />

termasyhur. Sebuah kisah tentang cinta sejati yang<br />

menjelma menjadi kekuatan yang tak ada habisnya. Qays<br />

mencintai Layla dengan segenap jiwanya.<br />

Meski rasa cinta itu terhalang, ia menolak untuk<br />

menyerah. Kekuatannya bahkan memelihara rasa cinta<br />

128


itu. Ia berjalan tak tentu arah sambil mendendangkan<br />

lagu-lagu cintanya, menitikkan air-mata kesedihannya.<br />

Orang-orang yang berpapasan dengannya meneriakkan<br />

namanya, si “Majnun” (si “Orang gila”).<br />

Ini buku pertama yang di belikan oleh Bapakku.<br />

Dia beli di toko buku bekas di kota Curup ketika<br />

mengantar sepupunya beli televisi hitam putih 14 inch.<br />

Setelah membaca buku ini dengan serius. Ada<br />

dialog yang terjadi dalam diriku. Dialog ini semakin liar.<br />

Bahkan sangat terpengaruh dengan Dewa, dengan Senja.<br />

Terpengaruh dengan perubahan biologis anak laki-laki<br />

yang bersifat ireversibel.<br />

“Nah, sekarang mari kita mulai dengan Cinta dan<br />

Sex.” Aku berbicara dengan diriku sendiri. Dan itu terjadi<br />

di hari ke 3 dimana aku menjalankan ibadah puasa.<br />

Cinta yang menyasar tapi dalam arti luas dan sex<br />

yang sempit. Cinta, kata para psikolog dan para pujanga<br />

tempatnya bersemayamnya dihati posisinya di bawah<br />

diafragma, di sebelah kanan rongga perut dengan massa<br />

yang lebih besar pada sisi kanan dan memanjang sedikit<br />

lebih ke kiri dari garis tengah. Dengan kata lain, jika<br />

Anda meraba dengan hati-hati tepat di bawah arkus kosta<br />

129


kanan Anda (di bawah tulang rusuk kanan). Tapi anehnya<br />

kita sering merasa sakitnya tuh di sini (di dada sebelah<br />

kiri). Aku menjelaskan pada diriku sendiri. Dan lalu aku<br />

menjelaskan ke seseoarang yang berada di kursi rotan.<br />

Dia mirip dengan diriku. Matanya terlihat merah tapi<br />

tidak bertanduk.<br />

Cinta bisa saja melompat dari pijakan apa saja dan<br />

pada akhirnya capaiannya adalah kenyamanan,<br />

kedamaian. Kenyamanan ini abstrak tapi bisa di buat<br />

indikatornya. Bisa jadi indikatornya muncul dari mata,<br />

maksudnya tatapan mata, tatapan yang bersinar, lisan<br />

yang manis dan lembut, bahkan bau badan. Pokoknya<br />

ketika sampai pada rasa nyaman, rasa ini akan<br />

mempengaruhi indera lain dengan rentang waktu yang<br />

lama bahkan ada yang cuma numpang lewat hanya<br />

sebentar. Naluri anak tertuaku muncul. Suka memaksa<br />

kehendak. Teman imajinasiku terlihat seperti menganguk.<br />

“Lalu, Sex. Sex yang berhubungan dengan kelamin.<br />

Sex ini dia bisa saja menyasar lain jenis maupun yang<br />

sejenis. Capaian terjauhnya adalah kepuasan, dan rentan<br />

waktunya hanya sebentar tapi bisa bekali-kali.” Aku<br />

130


mulai nakal dan keluar tabu adat. Dan teman imajinasiku<br />

mulai tersenyum tapi tidak lebar dan terbahak-bahak.<br />

Lalu, apa hubungannya cinta dan sex.? Aku mulai<br />

bingung dengan pertanyaan ini, lalu mencari jawaban.<br />

“Begini.” Seperti ada yang berbisik. Masingmasing<br />

orang tentu berbeda dalam melihat cinta dan sex<br />

ini, dan sangat mungkin tergantung dengan pemahaman,<br />

kepentingan, pengetahuan bahkan pengalaman soal cinta<br />

dan sex. Semakin berpengalaman biasanya semakin<br />

canggihlah jawabannya. Kata teman imajinasiku sambil<br />

mengeserkan kursinya.<br />

“Cinta dan sex ini satu mata rantai yang tidak<br />

terpisahkan.” Aku berkesimpulan kawan imajinasiku ini<br />

punya pengalaman dan sekaligus rakus soal cinta dan sex,<br />

dalam satu kesempatan dia mau dapat kepuasan dan<br />

kenyamanan sekaligus.<br />

Padahal menurutku yang belum berpengalaman ini.<br />

“Cinta seperti katabolisme atau respirasi,<br />

merupakan proses pemecahan dan melepaskan sejumlah<br />

energi (reaksi eksergonik).” Aku mulai berteori. Energi<br />

yang lepas tersebut digunakan untuk membentuk<br />

adenosin trifosfat (ATP), yang merupakan sumber energi<br />

131


untuk seluruh aktivitas kehidupan yang positif. Sehingga<br />

cinta ini pada prinsipnya sama seperti katabolisme<br />

merupakan reaksi reduksi-oksidasi (redoks), karena itu<br />

dalam reaksi tersebut diperlukan akseptor elektron. Mari<br />

kemudian kita sebut dengan sex gunanya seperti dalam<br />

reaksi kimia hanya untuk menerima elektron dari reaksi<br />

oksidasi organik. Aku mulai memaksa lagi.<br />

“Ini kalau cinta setara antar lain jenis atau sejenis.”<br />

Tanya teman imajinasiku. Dia mulai memaksa.<br />

“Lalu mari kita perluas sebaran capaian cinta.” Aku<br />

tidak mau kalah. Cinta sesama tapi bukan sejenis. Cinta<br />

persahabatan, cinta dengan ibu, cinta dengan pekerjaan.<br />

Kata ibuku cinta antara dia dengan anaknya, itu aku.<br />

Cinta itu tak bersyarat seperti putik jadi buah dan rela<br />

jatuhkan dirinya pada tangan rapuh, tangan retak, tangan<br />

yang rela menampung hidup pahit.<br />

Cinta itu bukan romantisme kolektif, tapi<br />

penyerahan, penderitaan bahkan pengorbanan, untuk<br />

sikap, untuk pilihan, untuk senyum bahkan untuk sedih<br />

yang berurai air mata. Ini seperti paradoks. Cinta tak<br />

bersayarat bukan cinta yang megejar kenyamanan. Pada<br />

posisi ini cinta setara (antar lawan jenis maupun sejenis)<br />

132


terlalu sempit apalagi ada pariabel sex, mungkin dengan<br />

momen puasa cinta seperti ini bisa dikoreksi. Jelasku.<br />

Karena berpuasa bisa jadi salah satu tujuannya adalah<br />

pengorbanan untuk cinta, cinta akan kawajiban umat<br />

teradap keyakinannya.<br />

Ah, aku mulai binggung sendiri menjelaskan soal<br />

ini, karena keterbatasan pengalamanku soal cinta dan sex.<br />

Jadi aku harus berhenti untuk berdialog.<br />

“Tapi begini saja, dalam perjalananya. Bisa jadi<br />

kita sudah mendapatkan kenyamanan dan kepuasan atau<br />

kita dalam proses menuju dua hal tersebut, baiknya buat<br />

komitmen atau tetaplah pada komitmen yang sudah<br />

terlajur dibuat. Dan, bisa jadi kita akan ketemu dengan<br />

cinta yang penyerahan, cinta tak bersyarat walau diiringi<br />

dengan urai air mata, karena disitulah kita akan<br />

menemukan cinta yang sesunguhnya.” Aku mulai<br />

berkesimpulan dan teman imajinasiku tersenyum<br />

mengejek.<br />

Aku menjadi ingat kata Rubi’ah Al-Adawiyah. Dia<br />

bilang bahwa jarak antara orang yang mencintai dan<br />

dicintai tidak ada internal atau jarak, cinta itu ungkapan<br />

kerinduan dan gambaran perasaan yang terdalam. Siapa<br />

133


yang mengenalinya pasti akan merasakannya.<br />

“Tuhanku,” dia berdoa. Jika ibadahku untuk surgamu<br />

jauhkan surga itu dariku, jika sembah sujudku karena<br />

takut pada-Mu bara dan nyalakan api nerakamu bakarlah<br />

jasadku. Jadi sanggupkan kita bilang jika yang ingin aku<br />

capai dalam cintaku adalah kenyamanan maka<br />

buatkanlah hatiku terbakar cemburu dan menderita?<br />

Karena dalam prosesnya akan ada perasaan sedih ketika<br />

dimabuk cinta, hati mengelepar menahan rindu, terputus<br />

lalu nyambung teradang ketemu surga dan tak jarang<br />

ketemu neraka. Cinta itu seperti pertarungan yang tidak<br />

berpantai kata Kata Rubi’ah Al-Adawiyah.<br />

Ku tendang kursi yang berada di sudut ruang itu,<br />

dan teman imajinasiku melompat lalu berlari lewat celah<br />

kayu jendela. Mendengar suara kursi roboh, ibu datang<br />

sambil membawa baki rendaman beras. Lalu memintaku<br />

untuk menjadikannya tepung, sore nanti akan dia olah<br />

jadi pembuka puasa kami.<br />

134


10<br />

Nenek Pia berkunjung ke rumah kami. Dia tahu aku<br />

pulang kampung. Katanya dia rindu dan malam tadi dia<br />

mengaku ketemu denganku, ketemu dalam mimpi. Dia<br />

sudah enam tahun tidak ketemu denganku. Kami<br />

mengobrol di dapur ibuku. Fisiknya masih terlihat masih<br />

sehat di usianya yang sepuh. Tidak tuli, gigi-giginya<br />

masih utuh, matanya masih awas. Dulu dia pembuat tape<br />

terbaik dikampungku. Aku adalah langganan dan<br />

penyuka tape buatannya. Setalah ngobrol, dia pamit<br />

pulang. Dia mesti ke kebun di ujung desa. Dia panen<br />

cabe dan terong. Aku janji sore akan ajak anak-anakku<br />

berkunjung ke kebunnya.<br />

Melihat punggungnya aku ingat puluhan tahun lalu.<br />

Setelah pulang Sholat Jumat di Masjid yang satu-satunya<br />

ada di Kampungku. Rumah kami kedatangan tamu.<br />

Mereka datang dari Jakarta. Sengaja ketemu dengan<br />

Bapakku. Mereka empat orang. Katanya mereka akan<br />

membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air dengan<br />

mengunakan aliran Sungai yang mengalir deras di<br />

135


kampungku. Dan katanya sebelumnya ada teman mereka<br />

yang juga datang menemui Bapakku. Aku masih inggat,<br />

itu beberapa tahun lalu. Dua diantarnya berpenampilan<br />

rapi dan kulitnya putih bersih. Kontras dengan kulit kami<br />

yang dekil dan ada peninggalan jejak-jejak penyakit kulit.<br />

Dua agak hitam tapi bersih. Mereka mengobrol di<br />

beranda rumah kami. Dan aku duduk seperti penterjemah<br />

disamping Bapakku.<br />

Bapakku tidak terlalu bersemangat untuk meminta<br />

mereka menginap dirumah, selain tidak ada kamar tamu,<br />

dipan, kasur, kamar mandi dan WC. Untuk kebutuhan<br />

MCK biasanya kami hajadkan di sungai kecil yang kami<br />

sebut dengan Uneu. terletaknya 500 meter dari rumah<br />

kami. Bapakku, dan harus aku akui jika di bandingkan<br />

dengan empat tamunya sama sekali tidak mencerminkan<br />

gempita era industrialisasi, globalisasi seperti yang aku<br />

dengar-dengan di televisi umum milik desa itu. Pada<br />

akhirnya mereka mereka tidak menginap di Kampungku,<br />

sesudah Bapakku biarkan obrolan berkepanjangan tanpa<br />

ada tanda-tanda mempersiakan mereka menginap.<br />

Tengah asik kami mengobrol, tentang potensi<br />

PLTA, tentang perubahan debit arus, tentang hutan di<br />

136


hulu Sungai tentang persiapan awal feasibility study. Itu<br />

yang aku dengar dari pembicaraan mereka. Aku tentu<br />

tidak malu. Bapakku mampu mengimbangi obrolan ini.<br />

tiba-tiba datang Nenek Pia yang mungil tubuhnya dan<br />

amat keriput wajahnya, dia sering mengurut perutku<br />

kalau aku sakit atau demam. Dia datang menemui<br />

Bapakku. Dia menawarkan bungkusan-bungkusan tape<br />

beras di bungkus dengan sejenis daun. Makanan<br />

kesukaanku. Bapakku langsung membeli. Itu bukan<br />

karena sok terharu oleh semangat hidup orang Nenek Pia<br />

yang telah ditinggalkan oleh Suaminya 18 tahun lalu, tapi<br />

karena tape beras buatannya memang enak sekali<br />

rasanya, entah bumbu apa selain ragi<br />

yang dicampurkannya ketika meramu tape, tapi rasa<br />

enaknya terutama berasal dari keperibadian dan<br />

keiklasannya.<br />

Tapi, ternyata uang di saku bapakku, cuma ada<br />

hanya enam ribu rupiah. Aku mengintip ketika dia<br />

membuka dompet dan menghitung lembaran uang yang<br />

tersedia di dompetnya. Itu hasil dia mengangut semen<br />

untuk irigasi yang sedang dibangun di kampungku.<br />

137


Padahal untuk tamu yang datang sebanyak ini<br />

setidaknya perlu dua bungkus dan sebunghkusnya<br />

seharga lima ribu rupiah. Maka seorang tamu dari Jakarta<br />

langsung berinisiatif mengeluarkan sepuluh ribu rupiah<br />

dan langsung di berikan ke Nenek ini enam belas ribu<br />

rupiah untuk dua bungkus. Tiba-tiba Nenek itu kemudian<br />

mengembalikan satu lembar ribuan dan selanjutnya<br />

mengembalikan yang lima ribuan, “Aduh ini<br />

bagaimana?” protesnya. “ambil dua bungkus kok<br />

uangnya enambelas ribu rupiah!”<br />

“Loh, Nek Bapak ini memang sengaja memberikan<br />

semua ini kepada nenek.” Aku coba menjelaskan.<br />

Aku tahu dia cukup akrab dan sayang padaku.<br />

Kemudian tiba-tiba wajah nenek menyala, sorot matanya<br />

meluncurkan anak panah kewajah kami.<br />

“Jangan merendahkan kami orang kecil.” Katanya<br />

keras sambil pergi membawa baki dari anyaman bambu<br />

sisa tape yang belum laku.<br />

Kami semua terkesima untuk beberapa lama, shock<br />

rasanya, bahkan tamu Bapakku yang datang dari Jakarta<br />

itu tersiam dan gelisah sangat lama. Kami merasa<br />

138


terpukul sangat keras oleh sesuatu, tetapi pikiran kami<br />

tidak cukup sigap untuk menguraikan apa gerangan itu.<br />

“Kenapa dia begitu tersinggung dan agak marah?”<br />

celetuk salah seorang dari mereka yang berbaju merah<br />

kotak-kotak.<br />

“Aku yang bersalah sok mau amal.” Jawabku<br />

namun terbata. Padahal maksudku mau pamer ke Nenek<br />

bawa ada teman bapakku yang datang dari Jakarta dan<br />

mereka kaum berduit dan akan punya proyek besar.<br />

Proyek pembangunan PLTA di Kampungku.<br />

Sedang asik-asiknya mereka mengobrol ibu datang<br />

dan menawari mereka makan. Ibuku tahu tidak ada<br />

rumah makan di kampungku. Mereka makan dengan lauk<br />

apa adanya. Setelah itu mereka pamit dan meninggalkan<br />

tugas untuk Bapakku yang sudah mereka obrolkan<br />

sebelum makan. Tugas itu mengukur debit arus sungai.<br />

Dari obrolan singkat itu Bapakku mencatat meteode yang<br />

digunakan adalah metode Equal Discharge Increment<br />

(EDI) dan Equal Width Increment (EWI). Metode Equal<br />

Discharge Increment dilakukan dengan cara membagi<br />

debit pengukuran menjadi bagian yang sama sejumlah<br />

sampel yang akan diambil. Itu petunjuknya. Lalu.<br />

139


Metode Equal Width Increment dilakukan dengan cara<br />

membagi lebar penampang sungai menjadi beberapa<br />

bagian yang sama tergantung dari jumlah sampel yang<br />

akan diambil. Vertikal pengambilan sampel terletak pada<br />

tengah-tengah dari bagian penampang tempat<br />

pengambilan sampel. Cara pengambilan sampel dapat<br />

dilakukan dengan metode point sample dan depth<br />

integrated. Lamanya waktu pengambilan ditentukan<br />

berdasarkan kecepatan aliran. Ada dua buah alat yang<br />

mereka tinggalkan. Namanya Flowatch FL-03. Tidak ada<br />

pertanyaan dari Bapakku pertanda dia sudah tahu<br />

mengunakan alat ini.<br />

Seminggu setelah mereka datang. Aku selalu<br />

menemani Bapakku mengukur arus Sungai yang ada di<br />

Kampungku. Setiap hari dilakukan selama dua kali. Pagi<br />

dan sore. Sore itu aku yang selalu bertugas membawa<br />

buku dan mencatat hasil perhitungan Bapkku. Di jalan<br />

menuju Sungai, kami berpas-pasan dengan Nenek Pia.<br />

Dia dari habis menumbuk beras menjadikanya tepung di<br />

mesin kincir kayu yang ada disungai. Dia terbungkukbungkum<br />

memikul keranjang yang berisi tepung beras.<br />

Keranjang yang sama ketika dia datang menjual tape<br />

140


minggu lalu. Dia tersenyum padaku. Dan aku seperti<br />

ditampar.<br />

Aku duduk ditepian sungai dan bapakku sibuk<br />

dengan alat ukurnya. Aku belum bisa melupakan<br />

peristiwa minggu lalu.<br />

Jelas ada sesuatu yang menganjal hatiku.<br />

Senyum Nenek Pia.<br />

Dan aku merasa sangat bersalah.<br />

Bersalah dengan sikap dan psikologis kelas, sok<br />

priyai, borjuasi, kelas atas dan sok kaya. Memandang<br />

kebawah dan menganggap Nenek Pia yang tua dan janda<br />

itu orang rendahan yang bisa di hina dengan pemberian<br />

beberapa ribu rupiah. Aku yang merasa jadi aristokrat<br />

karena di datangi tamu dari Jakarta dan merasa bahwa<br />

Nenek ini orang kecil yang akan berbahagia dan<br />

menyembah-yembah karena kita beri kemurahan amal.<br />

Aku tidak bisa memendam rasa. Sampai di rumah<br />

ibuku sedang sibuk meramu tape. Begitu dia tahu kami<br />

masuk ruangan dapur, dia bertanya “ada bawa gula.”<br />

Bapakku langsung jawab “ada” pertanyaan dan jawaban<br />

ini menandakan tape yang dibuat akan manis. Aku duduk<br />

disampingnya. Lalu bercerita tentang Nenek Pia. Dengan<br />

141


senyum dia kemudian menjelaskan bahwa manusia hanya<br />

memperoleh sebatas yang dikerjakannya, manusia tak<br />

berhak menerima upah yang berlebih, apalagi merampok<br />

kelebihan itu, entah melalui kecurangan politik<br />

perekonomian, melalui monopili, nepotism atas<br />

pembocoran system-sistem.<br />

“Hanya maling dan pengemis yang melakukan itu,”<br />

Kata ibuku sambil membungkus Tape dengan daun<br />

kemiri.<br />

Aku mulai berpikir apakah nilai semacam ini<br />

mengakar secara alamiah dalam hati nurani keperibadian<br />

sang Nenek Pia. Ataukah ini sekedar peristiwa normal<br />

tentang kemandirian manusia. Dalam hatiku. Seandainya<br />

Nenek setua itu datang mengemis, kami pasti<br />

memberikannya uang meskipun sekedar ratusan atau<br />

ribuan, tetapi tampaknya ia sama sekali tak punya mental<br />

pengemis, ia baru merasa sah untuk hidup jika atas hasil<br />

keringatnya sendiri dan atau serupiah pun ia tidak<br />

bersedia menerima lebih dari takaran hasil kerjanya.<br />

Aku jadi berhayal kalau kita menjaul beras seharga<br />

seratus ribu rupiah untuk tiga kaleng beras lantas orang<br />

membelinya dengan dua ratus ribu rupiah, akankah tidak<br />

142


kita terima uang itu? Kita bahkan akan menerima uang<br />

seratus ribu rupiah tanpa tukar jasa pun dari kita.<br />

Bahkah. Dari cerita orang-orang kampung ketika<br />

pulang lebaran, orang-orang modern di kota-kota besar<br />

suka sekali mengemis-ngemis, menjilat-jilat, menyogoknyogok.<br />

Bahkan katanya. Lebih dari itu. Mereka<br />

merampok, merampas, merebut tidak hanya ratusan ribu<br />

bahkan juta-an, miliaran, beribu hektar tanah,<br />

bersamudra-samudra hak dan kedaulatan orang banyak.<br />

“Seandainya kita bekerja tanpa gaji, kita akan<br />

protes, dan seandainya kita digaji tanpa kerja, pasti kita<br />

terima. Sebab, yang kita cari uang, bukan kerja.” Kata<br />

mereka di suatu ketika. Dan aku membayangkan betapa<br />

keras dan kejamnya Jakarta dan kota-kota besar.<br />

Bayangan itu semakin menjadi ketika aku menonton film<br />

Kejamnya Ibu Titi Tidak Sekejam Ibu Kota. Film yang di<br />

produksi di tahun 1981 yang diperankan oleh Ateng dan<br />

Ishak yang menceritakan betapa menderita keduanya di<br />

Jakarta.<br />

“Itulah Nenek tua renta, orang tua dan kuno yang<br />

tidak berpendidikan, wajah keriput dan pakaian kumuh<br />

yang tidak tersentuh dengan gegap-gempita<br />

143


pembangunan, moderinisasi, perkembangan ekonomi<br />

Negara, kemerdekaan dari penjajah, inovasi pemikiran<br />

ultramodern, kecangihan teknologi, serta omong besar<br />

dari Pemilu ke Pemilu. Maka belajarlah cara dan<br />

bagaimana dia hidup.” Pesan Bapakku. Dia pasti Bela<br />

karena Nenek Pia itu adalah saudara dekat Bapaknya.<br />

“Nenek ini bekerja, namun tidak memperbudak<br />

dirinya pada orientasi keuntungan sebesar-besarnya,”<br />

Tambah Bapakku sambil memeriksa catatan arus sungai<br />

yang aku catat tadi. Ada nada marah. Sepertinya ada<br />

catatan yang salah aku tulis.<br />

“Nenek Pia berjualan tetapi tidak kapitalistik, dia<br />

mencari nafkah tapi tahu memerangi keserakahan. Tapi<br />

kemudian orang-orang yang nyaring berpidato tentang<br />

kemandirian dan kehormatan sebagai anak bangsa,<br />

mereka jugalah yang menceramahi mereka tentang<br />

profesionalisme dan progresivitas manusia industrialis.”<br />

Dia melanjutkan. Intonasinya tetap sama kemudian dia<br />

meninggalkan kami di ruang dapur dan aku Cuma bisa<br />

terdiam. Kata-katanya menyerang sanubariku yang sudah<br />

mulai gemar membaca buku hasil curian dari ruang<br />

perpustakaan sekolahku.<br />

144


Aku merenung.<br />

Bukankah kita jua yang memompa kepala besar<br />

kita dengan cara memandang mereka. Kitalah yang,<br />

dengan kebobrokan keperibadian kita, dengan<br />

keterpecahan mentalitas kita, dengan mental pengemis<br />

dan penindas kita, menguburkan mereka dalam timbunan<br />

kata-kata angkuh yang penuh estetika dan daya intelek,<br />

serta yang membingungkan diri kita sendiri. Kita jugalah<br />

yang berusaha melupa-lupakan fenomena kecemerlangan<br />

manusia-manusia semacam itu sambil mengangkat bahu<br />

dan berkata<br />

“Ah, romantic!”<br />

Nenek Pia ini pasti tidak tergolong berjasa atas<br />

negeri dan bangsa ini, sehingga tidak menagih apa-apa<br />

buat nasibnya, tidak meminta perkebunan, bukit, atau<br />

saham-saham, tetapi mungkin itu yang membuatnya<br />

mandiri, bekerja keras dan menjaga kehormatannya<br />

sebagai manusia hingga buram senja hari tuanya. Itu pula<br />

yang tampaknya membuat sang Nenek tetap kuat. Tidak<br />

tuli telinganya, tidak rabun matanya dan tidak sakit<br />

pinggangnya.<br />

145


11<br />

Aliran Sungai Hulu Ketahun ini selain dugunakan<br />

untuk kebutuhan MCK dan Pengairan areal persawahan.<br />

Juga digunakan untuk Pembangkit Lintrik Tenaga Air<br />

(PLTA). Potensinya luar biasa. Makanya Bapakku dulu<br />

diminta untuk mengukur Debit Sungai. Rencananya akan<br />

di bangun satu lagi Pembangkit dan akan merendam<br />

empat perkampungan dan ratusan hektar areal<br />

persawahan. Akan ada ganti rugi. Itu desas-desus yang<br />

aku dengar. Padahal masyarakat di hulu Sungai ini sangat<br />

tergantung sekali dengan Sungai ini. Sungai ini adalah<br />

identitas bagi mereka. Simbol-simbol adat dan<br />

kepercayaan mistik. Kepercayaan ini muaranya adalah<br />

sungai.<br />

Sebagai komunitas adat. Masyarakat kampungku<br />

beranggapan bahwa ada kekuatan lain diluar kekuatan<br />

manusia yang dimanifestasikan kedalam bentuk<br />

kepercayaan terhadap penguasan alam yang tampak dan<br />

penguasan alam yang gaib, kepercayaan ini seakan-akan<br />

melekat dengan erat dengan kehidupan warganya.<br />

146


Di suatu pagi pernah aku antar dan kawani<br />

Bapakku mengukur debit arus sungai. Pagi Jumat. Dan<br />

aku tidak masuk sekolah karena kelender menunjukan<br />

hari besar Agama Islam.<br />

“Hari tanggal merah.”<br />

“Hari libur nasional.” Ceritaku ke pada Bdikar<br />

ketika mengantar dia berenang. Meskipun berada di hulu<br />

sungai dan terisolasi, kampungku juga mengalami<br />

akulturasi budaya. Warna akulturasi ini kontras sekali<br />

dengan pengaruh masuknya kebudayaan islam.<br />

Tambahku.<br />

“Salah satu aplikasi dari system kearifan local<br />

dimana kepercayaan gaib ini melekat dalam system<br />

budaya dapat dilihat dari proses awal kelahiran seorang<br />

bayi.”. Ritual ini disebut dengan ‘mbin cupik moi<br />

muneau’. Jelasku. Ritual dimana bayi yang baru lahir<br />

dibawa ke tempat pemandian umum.<br />

“Ritual ini untuk memperkenalkan bagi bayi<br />

kepada alam dan makluk yang dipercayai sebagai<br />

penunggu air (semat medek ilia, dung/ular, ke’it, gulung<br />

kasua, kebeu biyoa, sebei beleket).” Kata Bapakku ketika<br />

aku mengantar dia menghidung debit air.<br />

147


Aku merinding mendengar nama-nama penunggu<br />

gaib ini. Informasi yang sering aku dengar jenis-jenis<br />

makluk penunggu air dipercayai bisa membawa bahaya<br />

dan bencana bagi manusia.<br />

“Ritual ini bentuk permohonan agar si bayi ketika<br />

dewasa bisa selamat ketika dia punya dengan urusan air.”<br />

Jelas Bapakku. Ketika kami duduk sambil menghitung<br />

debit air. Lalu aku tanyakan apakah aku juga ketika bayi<br />

dilakukan juga ritual ini. Dan cerita Bapakku membuat<br />

kutakut. Belum tahu sampai kapan aku berhenti<br />

membantu dia mengukur debit arus sungai ini. tentu ritual<br />

ini menjadi garansi keselamatanku selama berada di<br />

sungai<br />

“Ada beberapa proses yang harus dipersiapkan<br />

dalam melaksanakan ritual,” Kata Bapakku. Sepertinya<br />

dia akan menceritakan pengalaman dia ketika aku bayi<br />

dulu.<br />

“Apa saja Bak,?” Tanyaku<br />

Pertama keluarga yang akan melaksanakan ritual<br />

ini harus mengadakan rembuk keluarga (basen asuak<br />

basuak, basen sesanok) untuk membicarakan keperluan<br />

yang harus dipersiapkan dan berbagi pekerjaan dalam<br />

148


pelaksanaan ritual. Setelah itu dilakukanlah Berasan<br />

Kutai (basen kutai) untuk menjadikan ritual/hajatan<br />

keluarga tetapi menjadi ritual komunitas. Jelas Bapakku,<br />

sambil menampakkan angka-angka di Flowatch dan aku<br />

mencatat.<br />

Isi basen kutai menyepakati: kesepakatan hari<br />

mendirikan kemujung (tempat dilaksanakannnya jamuan,<br />

mendirikan kemujung ini dilakukan secara gotong<br />

royong) juga dengan penyiapan bahan material untuk<br />

seperti bamboo, akar-akaran dan kayu, serta keperluan<br />

untuk bahan makanan utamanya rempah-rempah<br />

dilakukan gotong royong. penetapan hari pelaksanaan<br />

ritual.<br />

“Pemotongan seekor kambing adalah syarat agama<br />

yang di sebut aqiqah yang dilakukan dalam ritual adat.”<br />

Tambah Bapakku.<br />

Seperti dukun saja Bapakku kemudian menjelaskan<br />

beberapa bahan keperluan untuk ritual tersebut<br />

diantaranya sekapur sirih (iben meson, iben mateak),<br />

rokok yang terbuat dari daun nipah, bahan percikan (guik<br />

minyok), dupa kemenyan, kain warna hitam, mangkok<br />

putih yang diisi dengan daun tertentu (setabea), sapu lidi<br />

149


yang terbuat dari lidi kelapa hijau yang diikat dengan<br />

benang tiga warna yang disertai dengan beberapa sejenis<br />

daun yang dipercayai sebagai penangkal dari gangguan<br />

makluk gaib serta tikar yang terbuat dari daun pandan.<br />

Selain bahan-bahan tersebut juga dipersiapkan<br />

seberapa bahan lain yang akan digunakan ketika<br />

memandikan sang bayi antara lain kemiri, kunyit, pisau<br />

ada juga yang pakai keris, duit logam, bara api dari<br />

kayu/putung opoi, sembilan jenis bunga, jeruk<br />

nipis/lemeo langgia, air tangis tepok, sejenis alu/kelicung<br />

dan wadah tempat memandikan bayi/reseng.<br />

“Bahan-bahan makanan juga dipersiapkan.<br />

biasanya kue-kue local rejang (bajik, lemang/benik, Kue<br />

Apam/sabai, ta buruk dan serawo yang terbuat dari beras<br />

ketan yang dibumbui dengan kelapa yang dicampur<br />

dengan gula aren.” Katanya. Dan perutku berbunyi ketika<br />

mendengar jenis-jenis makanan ini. dari pagi belum<br />

sarapan.<br />

Pembagian peran dilakukan secara rinci kata<br />

bapakku. Dukun laki-laki biasanya membawa lidi kelapa<br />

hijau yang sudah diikat dengan kain warna hitam. Ada<br />

yang membawa dupa. Dan dukun bayi perempuan<br />

150


memandikan bayi, bayi digendong oleh seorang anak<br />

(bayi laki-laki dibawa oleh laki-laki dan begitu juga kalau<br />

bayinya perempuan di bawa oleh anak perempuan),<br />

bujang dan gadis memakai baju adat juga ikut<br />

mengantarkan bayi, ulubalang membawa tombak, pedang<br />

dan keris, kedua orang tua dan beberapa tua-tua<br />

komunitas/desa serta anak-anak biasanya ramai ikut<br />

dalam ritual mengantarkan sang bayi ketempat<br />

pemandian. Jelas Bapakku. dan aku berbungga-bungga<br />

bukankah aku dulu ketika bayi di arak oleh orang<br />

sekampung lalu dimandikan di sungai yang sekarang aku<br />

hitung arus debitnya.<br />

Begitu sampai di tempat pemandian si dukun<br />

menyiapkan bahan-bahan lalu membakar kemenyan di<br />

dupa yang telah disiapkan. Si dukun berkomunikasi<br />

dengan penguasa gaib dan arwah para leluhur untuk<br />

meminta izin pelaksanaan ritual memandikan bayi.<br />

“Sama seperti proses Kedurai ya,” Tanyaku<br />

“Ia.” Jawab bapakku lalu diam, sepertinya dia<br />

mengingatkan atau menghapal sesuatu. Mulutnya komat<br />

kamit jelas bukan di tujukan kepadaku.<br />

151


Kemudian melapaskan seperti puji-pujian dengan<br />

nada aneh.<br />

“Hai sepanjang hidung, hai sepajang hidung, hai<br />

sepanjang hidung, dio uku madep kumu, kumu do<br />

tekadeak temungau biyoa, kemuaso biyoa, temungau tang<br />

aai, kumu kulo do jemago lot ngen ai tang aai, uku medeu<br />

kumu bae ngami, asep kemenyenku melayang, belas<br />

kemunik uku mamua, awei o kulu adat bahasoku<br />

ngenkumu, dio ade iben ngen rokok, awei o kulu pembuk<br />

pangen kumu berupo sabai, baso uku menok kedeu kumu<br />

yo, uku lok madea keturuak, baso bilai yo bilai baik<br />

bulen betuweak, keme mi’ing anok keme di betegen<br />

….(nama bayi) moi muneun, penan dik kenuaso kumu,<br />

ujud maksud keme mbin si moi muneun yo, dio keme<br />

melei namen made keturuak magea kumu dik tekadeak<br />

penguaso biyoa, kemuaso lubuk, dik temungau lubuk,<br />

temungau tebing, waei o kuo magea kumu do temungau<br />

kiyeu, keme teko magea kumu yo, lok minget supeak<br />

semanyo janjai setio kumu mena’o, amen keme melei<br />

pemuk pangen kumu mako kumu coa buliak, keniayo<br />

magea umat manusio, neak bilai yo keme magiak pemuk<br />

pangen kumu kiro ne kumu dapet temimo ngen kumu<br />

152


temimo pembuk pangen yo mako kumu, coa buliak<br />

kemniayo magea anok keme do betegen…… (nama<br />

bayi), amen kiro ne si telonok waktaumendai tulung<br />

kumu mbiding ne, amensi tendem tulung kumu cemungas<br />

ne, amen si ade saleak pemiling, saleak pengenea,<br />

mneakkumu tema’ok senapo si, mbeak kulo kumu<br />

temawe. Dio ba kecek do perlu uku semapei, dio uku<br />

magiak pembuk kumu.” Aku merinding mendengarkan<br />

puji-pujian ini. Lalu dia menjelaskan arti kata-kata apa<br />

yang di lapaskan ini. Dan menjelaskan dia dulu belajar<br />

dari Kakeknya tapi dia belum dibolehkan untuk<br />

melaksanakan ritual.<br />

“Nah,” dia melanjutkan penjelasannya.<br />

Setelah dukun melapaskan pujia-pujian ini kue<br />

apam/sabai di lemparkan ke arah air dan lidi dari kelapa<br />

hijau ditancapkan di pingir air. Bayi dimandikan di dalam<br />

wadah tempat memandikan bayi yang diisi dengan air<br />

dicampurkan dengan sembilan macam bunga dan bara<br />

api, dan duit logam. Bayi dimandikan oleh dukun bayi<br />

perempuan. Ketika inilah banyak jampi dan mantera di<br />

baca dan di sugesti menjadi pelindung sayang bayi.<br />

153


“Setelah dimandikan sang bayi diperciki dengan<br />

setepung setawar, sebelum pulang dari tempat pemadian<br />

semua bahan yang dibawa ditinggalkan di tempat<br />

pemandian. Begitu sampai dirumah. Ketika akan menaiki<br />

tangga rumah, ibu sang bayi diwajibkan untuk melangkah<br />

atau melewati sabut kelapa yang telah dibakar,” Lanjut<br />

Bapakku.<br />

Begitu sampai didalam rumah. Ibu sang bayipun<br />

diwajibkan mencuci tangan dukun perempuan dengan air<br />

yang telah dipersiapakan dalam wadah mangkuk<br />

berwarna putih dan memberikan sabun, duit, kain<br />

(keracok matea) sebagai ujud ucapan terima kasih<br />

terhadap dukun perempuan dan begitu juga terhadap<br />

dukun laki-laki yang telah membantu proses kelahiran<br />

sampai proses dimana bagi dibawa ke luar rumah/mbin<br />

moi muneun.<br />

Ritual ini berakhir ketika dukun mengendong bayi<br />

sambil mengucapkan “Bismillah hirahman nirrahim,<br />

aluhumma sali allla muhamad wa alai muhammat<br />

(sebanayak 3 kali) dio cupik keme, coa si gering keno<br />

panes, coa telep kenu ujen, cupik keme teko ne kundei<br />

awing-awang, cupik keme teko ne kundei tebo lekat sapei<br />

154


ulen penuak hu…..cupik keme”. Berakhirlah ritual adat<br />

kemudian dilanjutkan dengan ritual agama. Jelas<br />

Bapakku.<br />

“Oh, itu seperti adat memulai dan agama<br />

mengahiri,” Tanyaku sok tahu.<br />

“Ia,”<br />

“Jamuan kutai?”<br />

“Memotong rambut bayi yang diiringi oleh lapas<br />

shalawatan oleh tokoh-tokoh agama, itukan?” Tanyaku<br />

lagi.<br />

“Dan kali ini aku tahu.” Lanjutku.<br />

Aku sering diminta untuk mengendong bayi yang<br />

akan di cukur rambutnya. Anak tetangga dan anak-anak<br />

ponakanku. Proses ini sering juga disebut dengan parsanji<br />

atau marhaban perpaduan antara adat dan agama.<br />

Biasanya si bayi digendong oleh seorang anak. Ada<br />

gunting yang akan digunakan untuk memotong rambut<br />

bayi dicelup kedalam kelapa muda hijau yang telah<br />

dihiasi sebelumnya yang disertai dengan wewangian.<br />

Bayi dibawa keliling mengikuti barisan orangorang<br />

yang melapaskan persanji/marhaban. Ketika<br />

memotong rambut bayi beberapa tua-tua desa/komunitas<br />

155


iasanya mengucapkan jampi-jampi dan doa-doa untuk<br />

keselamatan sang bayi. Setelah semua orang-orang yang<br />

hadir memotong rambu sang bayi maka mulailah<br />

dilaksanakan acara jamuan atau makan-makan. Ritual<br />

biasanya diakhir juga dengan membongkar kemujung<br />

secara gotong royong membongkar kemujung.<br />

“Dulu cerita Nenek aku juga dimandikan di sungai<br />

ya pak?” tanya Bdikar.<br />

“Ia” Jawabku. Aku jadi ingat ketika membawanya<br />

Cuma dengan memakai motor. Umurnya belum 30 hari<br />

ketika itu. Mata besarnya melotot ketika ibuku menyiram<br />

dia dengan air rendaman keris. Tapi dia tidak menangis<br />

meski kedinginan.<br />

“Kenapa ketika dimandikan, sedingin apapun air<br />

yang digunakan bayi tidak akan menangis,” Tanyanya<br />

menyelidik. Dia tahu, diceritakan ibuku. Neneknya.<br />

“Tidak tahu,”<br />

“Mungkin tubuhnya diselimuti oleh kekuatan gaib”<br />

Jawabku seadanya.<br />

“Katanya Nenek, kalau bayi dilakukan ritual dia<br />

akan terhindar dari banyak penyakit,?”<br />

156


“Tidak adanya hubungan penyakit, kalau berprilaku<br />

kotor penyakit akan mendekat.”<br />

“Penyakit itu berhubungan dengan prilaku”<br />

“Oh” dia terdiam.<br />

“Dulu, ketika aku bayi,”<br />

“Juga di ritualkan, bahkan ari-ariku dihayutkan<br />

olehku atas perintah dukun” ceritaku ke Bdikar<br />

“Kenapa dihanyutkan?” tanyanya.<br />

“Hibahkan bulat-bulat,” Bdikar binggung.<br />

“Yakinlah,”<br />

“Mereka akan menjaga mu.”<br />

“Tetapi tetap jaga sikap.” Jawab kusingkat sambil<br />

mengajari Bdikar berenang menyeberangi sungai.<br />

Tiba-tiba aku lincah sekali berenang. Padahal hari<br />

ini hari terakhir kami di kampung. Besok pagi kami akan<br />

pulang ke rumah kami. Pulang dengan motor yang sama<br />

ketika dulu aku bawa Bdikar yang belum berumur 30<br />

hari.<br />

157


12<br />

Waktu telah berjalan seperti meloncat. Meski<br />

waktu berjalan ada kenangan yang masih tersisa tentang<br />

kampungku yang beberapa hari lalu kami kunjungi.<br />

Pulang. Tidak hanya mengingak kembali suatu yang<br />

pernah terjadi tetapi bisa kita lihat perkembangannya<br />

ketika waktu meloncat-loncat. Kampungku semakin<br />

ramai, semakin padat, semakin terang dan semakin<br />

tergerus kearifan yang dulu menompang hidup<br />

masyarakatnya.<br />

Aku sesekali pulang. Itu hanya untuk menemui Ibu<br />

dan Bapakku. Kalau aku pulang tidaklah sendiri lagi.<br />

Tetapi bersama rombongan. Anak-anakku dan cucu-cucu<br />

ibuku. Anak tertuaku Bdikar, ketika umur berumur 20<br />

hari adalah perjalan pertama dia mengunjungi kampung<br />

leluhurnya. Dia, tidak sakit dan menangis ketika dalam<br />

perjalanan selama 5 jam. Dia seperti menunggu-nunggu<br />

sejak dalam kandungan untuk di ritualkan oleh<br />

Kakeknya. Bapakku. Ritual membawa bayi ke air. Bdikar<br />

di mandikan dengan air sungai rendaman keris<br />

158


peninggalan leluhurku. Ini ritual terakhir yang aku<br />

saksikan.<br />

Ada mantera yang dirafalkan di tubuhnya oleh tuatua<br />

kampung ketika dia selesai di mandikan di sungai.<br />

Bdikar tumbuh beriring-iringan dengan pergeseran<br />

budaya kampung. Dia suka membaca, punya bakat<br />

menjadi orator, keras kepala dan suka sekali berdiskusi,<br />

mendengar dan pencerita yang baik.<br />

Sedang asik-asiknya Bdikar dengan ibunya belajar<br />

tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), tiba-tiba listrik<br />

mati dan Bdikar sepertinya kegirangan karena lepas dari<br />

cengkeraman ibunya, karena setiap belajar, maka volume<br />

suara ibunya selalu tinggi dan melengking. Udara malam<br />

ini panas, karena kipas angin tidak bisa dihidupkan dan<br />

kamipun pindah ke teras rumah. Teras rumah adalah<br />

bagian favorit dari rumah kami. Dengan hanya diterangi<br />

lilin, kami tidur-tiduran di sela koleksi bunga yang belum<br />

lengkap jenisnya, ada beberapa sansivera, bromelia dan<br />

antorium yang sudah dirawat sejak 3 tahun lalu.<br />

Kopipun datang tapi tidak ada goreng pisang,<br />

sepertinya lengkap sudah kebahagian ini.<br />

159


“Cerita lagi pak, tentang masa kecil bapak yang<br />

sederhana itu.” Minta Bdikar.<br />

Mendengar permintaan Bdikar, Titon adiknya<br />

mulai mendekat, dia senang sekali kalau aku cerita<br />

tentang apa saja.<br />

“Dulu, yang mengajari bapak membaca namanya<br />

Bapak Abdullah.” Ujarku memulai bercerita.<br />

“Dia masih ada hubungan keluarga dengan Bapak,<br />

cara dia mengajari murud-muridnya membaca tidaklah<br />

dengan mengenal huruf tetapi lebih dari itu, dia mulai<br />

dengan penguatan kognitif lalu afektif kemudian<br />

psikomotorik tapi dilakukannya dengan pelan-pelan.”<br />

Jelasku dengan cepat.<br />

“Bapak mestinya pakai bahasa yang sederhana saja<br />

biar mereka mengerti.” potong ibunya.<br />

“Jadi begini caranya mengajari kami nak,” Akupun<br />

menjelaskannya secara sederhana dengan analogi. Dia<br />

seperti memperkenalkan kami kepada Sungai kemudian<br />

menyuruh kami berenang keseberangnya, dimulai dengan<br />

memperkenalkan sungai dan beberapa elemenya sampai<br />

kami bisa menginggati bahwa itu sungai, lalu berinisiatif<br />

mau berenang kemudian berpikir bagaimana caranya agar<br />

160


isa berenang. Setelah ada inisiatif, kami diajarkan agar<br />

bisa beradaptasi dengan sungai, dengan temperatur, pola<br />

arus dan setelah kami bisa beradaptasi maka kami mulai<br />

berenang.<br />

“Oh, begitu caranya.” kata Bdikar. Dari caranya<br />

menjawab saya tahu dia pasti belum mengerti dengan<br />

analogi yang aku sampaikan itu.<br />

“Sebelum berangkat sekolah, Bapak biasanya<br />

dikasih sarapan nasi goreng, nasi yang disangrai hanya<br />

dengan mengunakan minyak kepahiang atau minyak<br />

kelapa.” Aku mengalihkan isue biar tidak menambah<br />

binggung anak-anakku dengan metode pendidikan kami<br />

dulu dikampung.<br />

“Berangkat ke Sekolah, Bapak tidak pernah dikasih<br />

uang jajan oleh Nenekmu.” Karena memang tidak ada<br />

duitnya. Bapak ingat betul, ketika pertama kali masuk<br />

sekolah, seragam bapak dibelikan dan di jahit oleh<br />

penjahit Minang tetangga kami. Dan, itu setelah<br />

Kakekmu mendapat upah angkut semen untuk bagunan<br />

irigasi yang sedang dibangun ketika itu. Ceritaku<br />

Tetapi sesekali kalau hari Senen, baru dikasih Jajan<br />

sebesar Rp. 100, karena hari senen itu hari pasar desa,<br />

161


yang lokasi pasarnya berdekatan dengan sekolah kami.<br />

Sesekali kalau lagi istirahat dengan modal Rp. 100 itu,<br />

bisa jadi Rp.500 atau Rp 1.000, duit jajan itu Bapak<br />

gunakan untuk taruhan judi, namanya “Dadu Kuncang”.<br />

Bapak paham betul angka apa yang akan keluar, itu<br />

tergantung dengan cara mengoyangkan penutupnya,<br />

kecenderungan angka kelipatan tiga yang keluar biasanya<br />

besar.<br />

Bapak selalu menang dalam permainan ini,<br />

biasanya dapat Rp.500 atau lebih, Rp. 100nya bapak<br />

tabung, dan sisanya bapak teraktir teman-teman bapak<br />

yang tidak dapat jatah jajan dari orang tuanya. Selain<br />

main Dadu, kebiasaan buruk Bapak ketika itu membawa<br />

buku-buku dari perpustakaan sekolah pulang kerumah<br />

dan tidak pernah bapak kembalikan.<br />

Pernah suatu hari bapak ketahuan tidak<br />

mengembalikan buku-buku tersebut, tetapi Kepala<br />

Sekolah kami tidak berani marah, karena Bapak menjadi<br />

salah satu perwakilan dari SD untuk ikut cerdas cermat di<br />

tingkat Kecamatan, alasan bapak buku-buku itu akan<br />

dibaca untuk bahan cerdas cermat. Tapi beberapa kali<br />

162


ketahuan, berbekaslah telapak tangan guru Kepala<br />

Sekolah di pipi Bapak.<br />

“Bdikar juga suka main tarik benang disekolah<br />

pak.” Ini kebiasannya Bdikar ketika mendengarkan<br />

cerita, dia juga terpancing untuk cerita juga tentang tema<br />

yang sama.<br />

“Bapak. Satu kelas dengan Bdikar itu ada teman<br />

Bdikar, Ibunya sudah meningal dan bapaknya menikah<br />

lagi, dia sekarang dititip di panti asuhan, aku setiap hari<br />

kasih dia Rp.1.000 rupiah untuk jajannya, kasian dia<br />

pak.” sambung Bdikar.<br />

“Ia baguslah kalau begitu, tapi jangan keseringan<br />

ya, nanti dia tergantung dengan Bdikar, kalau sesekali<br />

tidak apa-apa.” Kata ibunya yang selalu menonjolkan<br />

naluri pengelolaan keuangan berbasis cosh in dan ketat<br />

pada cosh flow kalau menyangkut tentang keuangan, dan<br />

bisa detail sekali. Dulu dia kuliah di Jurusan Akuntansi<br />

dan sekarang sebagai kepala dan mengatur sistem<br />

keuangan di rumah tangga kami yang pendapatannya<br />

tidak menentu.<br />

Akupun melanjutkan cerita. Begitu pulang sekolah<br />

biasanya Bapak biasa bantu Nenekmu di sawah atau ke<br />

163


Kebun, kalau tidak ke kebun atau kesawah, Bapak sering<br />

juga upahan bersama kawan-kawan jadi kuli angkut<br />

pasir, itupun kalau ada tetangga yang bangun rumah<br />

biasanya dapat Rp.300-Rp.500, pasirnya diambil dari<br />

sungai dekat kampung. Begitu sore datang, kami<br />

biasanya main bola, dulu ada lapangan bola, setelah<br />

lapangan itu dijadikan Sekolah SMP kami sering main<br />

bola di sawah yang berada di sekitar kampung.<br />

Begitu malam datang kami belajar membaca<br />

Alquran, tetapi Bapak lebih sering dan lebih suka belajar<br />

silat atau mendengar beberapa orang tua-tua berdiskusi<br />

tentang banyak hal dibanding belajar membaca Alquran.<br />

Aku sering mendengar cerita tentang ilmu yang berbau<br />

jampi-jampi, tentang makna dan perkembangan<br />

kehidupan. Aku suka dengan cara mereka berfalsafah.<br />

Dari obrolan mereka, aku tahu walaupun mereka<br />

tidak sekolah, mereka bijak sekali melihat penomena<br />

yang ada, visioner dan yang paling penting aku<br />

dibolehkan ikut dalam obrolan bersama dan mereka<br />

sesekali mendengarkan pendapatku. Mereka egaliter.<br />

Sekarang aku tahu bahwa ruang bagi anak-anak untuk<br />

terlibat bicara itulah wujud dari demokrasi yang sering<br />

164


dibicarakan itu. Kalau sudah tengah malam obrolan<br />

biasanya tentang tentang agama, mereka menyebutnya<br />

“Kajian Dalam”, kajian pengenalan atas Tuhan dimulai<br />

dari pengenalan tentang diri kita.<br />

“Sesi inilah yang paling bapak suka,” Lanjutku.<br />

Sering Bapak dengar tentang sifat 20 dan kata berdirinya<br />

Zat pada Sifat. Metode kongnitif, afektif dan<br />

psikomotorik yang diajarkan di Sekolah ternyata<br />

membantu Bapak bisa memahami obrolan mereka.<br />

“Sifat 20 itu apa.?” Tanya Bdikar<br />

“Sifat Allah”<br />

“Misalnya Sifat Allah itu adalah Ruh bagi<br />

manusia.” Ruh itu ditiupkan melalui ubun-ubun kepada<br />

qalbi manusia, semasih ia dalam kandungan rahim ibu.<br />

Jelasku.<br />

“Lalu?”<br />

“Dari jantung itulah kehidupan Ruh itu dipompakan<br />

keseluruh tubuh melalui pembuluh-pembuluh<br />

darah/vessel, maka gerak tubuh itu adalah gerak ruh<br />

dengan kendali hati.”<br />

“Baik kendali hati, baiklah gerak ruh yang zahir<br />

kepada jasad (raga).”<br />

165


Begitulah sebaliknya. Itulah sebabnya antara<br />

Syariát dengan Hakikat tidak boleh terpisah dan<br />

Thareqatlah yang mengaturnya., dan barangsiapa<br />

menceraikan antara keduanya, maka terbakarlah dirinya.<br />

Ketika itu tinggallah segala Rabithah (penuntun). Jelasku<br />

menirukan tua-tua kampung ketika itu. Bdikar dan<br />

adiknya mengganguk-angguk kepalanya.<br />

Karena siring ikut obrolan tetua kampung, mereka<br />

sering tanya apa cita-cita Bapak? maka Bapak jawab,<br />

cita-citanya mau menjadi tukang “ketuk” atau tukang<br />

menyampaikan informasi kepada Publik.<br />

“Dulu Nak. Di kampung Bapak ada Bapak Ishak<br />

namanya, dia sudah tua sekali waktu itu, dia bertugas<br />

menyampaikan pengumuman atau informasi apa saja<br />

keliling kampung, dia selalu membawa kentongan dari<br />

bambu, dipukulnya beberapa kali dan orang-orangpun<br />

berkumpul, begitu orang berkumpul, barulah dia<br />

sampaikan pengumuman dan informasi, misalnya<br />

informasi harus bayar pajak, turun sawah, pembagian<br />

pupuk. Pembagian pupuk ini bagian dari program<br />

Bimbingan Masyarakat (BIMAS) dari Pemerintahan<br />

Soeharto, katanya program ini akan membuat Indonesia<br />

166


menjadi Negara Surplus Beras, tetapi kenyataannya<br />

secara berlahan program ini menghilangkan varietas padi<br />

lokal yang tidak perlu pupuk, dan nyatanya sampai<br />

sekarang petani dikampung sangat tergantung akan<br />

pupuk.” Ceritaku panjang sambil membayangkan mulut<br />

tipis dan lengkingan suara Pak Ishak idolaku masih kecil<br />

dulu.<br />

“Ia, Bapak pernah ceritakan itu ketika di rumah<br />

Nenek waktu kita pulang dua bulan lalu” potong Bdikar.<br />

Setelah Program BIMAS, tiba-tiba di Kampung<br />

Bapak masuk Program Reboisasi atau penghijauan,<br />

masyarakat diberikan bibit kayu, Kakekmu ikut juga<br />

mendapakan jatah bibit ini. Setelah bibit itu ditanam<br />

dikebun-kebun masyarakat, kemudian ada aparat<br />

melakukan pengukuran dan pematokan. Mereka tidak<br />

pernah menyampaikan informasi untuk apa beberapa<br />

kawasan itu diikur atau diberi batas. Mereka tidak seperti<br />

Bapak Ishak yang sangat informatif itu.<br />

Baru setelah pengukuran, kawasan tersebut<br />

dijadikan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Aku<br />

tahu tujuannya ketika mendengar obrolan mereka di<br />

167


pertemuan di Rumah Kepala Desa. Ketika ketika Bapak<br />

di minta jadi tukang buat kopi.<br />

“Mereka akan menjadikan kawasan itu menjadi<br />

kawasan yang dilindungi”<br />

“Dilindungi?”<br />

“Sekarang kawasan itu jadi Taman Nasional, Hutan<br />

Lindung, Cagar Alam” Jelasku.<br />

“Baguslah kan hutan tidak rusak?”<br />

“Ia, tapi sebagian bukan hutan, ada sawah, kebun,<br />

petalangan masyarakat”<br />

“Memangnya tidak boleh memanfaatkan ya pak?”<br />

“Tidak boleh ada aktivitas ekonomi”<br />

“Kenapa?”<br />

“Karena hutan bisa rusak”<br />

“Tapikan orang butuh untuk hidup”<br />

Aku terdiam, pertanyaannya tidak bisa aku jawab.<br />

Untung tiba-tiba lampu hidup, dan kami berlari menuju<br />

depan televisi untuk menunaikan ritual neorotik, ritual<br />

kaum perkotaan, begitu televisi dihidupkan muncul<br />

tayangan yang tidak berbobot, reality show yang<br />

menampilkan lagu dan goyangan Kereta Malam dan<br />

168


Oplosan ternyata Anak Bungsuku yang baru 4 tahun<br />

hapal dengan lagu dan goyangannya.<br />

169


13<br />

“Nak.” ceritaku dimulai ketika kami duduk di teras<br />

rumah kami yang belum selesai dibangun sejak 6 tahun<br />

lalu. Malam menjelang munculnya bulan membentuk<br />

sabit setelah hujan turun yang Cuma membasahi bunga<br />

tanah. Ada sisa-sisa hujan tersisa di ujung kelopak bunga<br />

bromelia dalam pot semen berwarna hitam.<br />

“Bapak itu dilahirkan disebuah perkampungan.<br />

Perkampungan itu perkampungan tua dan tua sekali.”<br />

“Aku tahu tapi tidak tahu itu kampung tua” Jawab<br />

Bdikar<br />

Menurut sejarah. Lanjutku, perkampungan ini<br />

sudah berdiri sebelum adanya Kerajaan Sriwijaya dan<br />

Majapahit. Nama perkampungan itu diambil dari nama<br />

batang Tongkat pendiri kampung itu, kanon legendanya<br />

dia itu seorang ayah yang menjelma menjadi anak. Dia<br />

bertapa bersama istrinya untuk mengenapkan anaknya<br />

menjadi tujuh orang. Mereka bertapa dalam sangkar<br />

ayam. Keduanya menghilang. Kami menyebutnya raib.<br />

Dan tiba-tida dalam sangkar ayam itu ada bayi laki-laki<br />

170


yang panjang kukunya. Dia manusia keturunan para dewa<br />

yang turun dari Istana Makedum Rajo Diwo, itulah<br />

leluhur kalian nak.” Aku memulai ceritaku.<br />

Kampung ini berada di lereng bukit barisan yang<br />

memanjang membelah Sumatera, para sejarawan<br />

menyebutnya dataran tinggi dan berada di titik tengah<br />

Pulau Sumatera. Udaranya dingin dan segar,<br />

pemandagannya hijau, kampungnya asri dipenuhi rumahrumah<br />

tinggi dari papan. Papan yang disusun berdiri<br />

tegak. Dibawah rumah tersusun rapi pokok kayu untuk<br />

bahan bakar.<br />

“Disanalah dulu Bapak dilahirkan,”<br />

Kata Kakekmu. aku dilahirkan hari Selasa tanggal<br />

12 Juli, tanggal itu mengingatkan dia pada Thariq bin<br />

Ziyat yang berhasil memasuki Spanyol sekaligus<br />

perkembangan politik dan tindakan sepihak oleh Fretilin<br />

yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Timur<br />

Timor. Yang, sekarang benar-benar Merdeka dan jadi<br />

Negara Demokratik Timur Leste.<br />

Tangisan pertama Bapak, melengking di sebuah<br />

kamar pengap yang sering kita tiduri ketika kita pulang<br />

ke rumah nenekmu. Itu pertarungan hidup mati nenekmu.<br />

171


Kakekmulah yang mengumandangkan azan di kedua<br />

telinggaku. Kelahiran Bapak mengobati duka yang<br />

dialami nenekmu, dua tahun sebelumnya dia juga<br />

melahirkan anak yang hanya sempat berumur 3 bulan<br />

kemudian dipangil Tuhan. Tidak ada yang tahu apa<br />

penyebab kematiannya, ketika itu belum ada dokter atau<br />

bidan yang bisa mendeteksi penyebab kematiannya. Saat<br />

itu hanya ada dukun dan jampi-jampi. Tidak ada susu,<br />

aku dibesarkan dengan air nasi. Air nasi yang mendidih<br />

ditampung ibuku ketika dia menanak nasi diatas tungku<br />

dengan pokok kayu kopi.<br />

“Hidup kami disana berjalan dengan sederhana dan<br />

bahkan sangat sederhana sekali.” Ceritaku sambil melihat<br />

bulan muncul melalui celah daun batang sawo yang<br />

pertama kali aku taman ketika membeli tanah yang<br />

kemudian diatasnya berdiri setengah kokoh rumah kami.<br />

Mereka pasti tidak bisa bayangkan kesederhanaan itu.<br />

Mataku berlinang ada perasaan rindu pada Ayahku yang<br />

tidak lagi kekar ototnya, badanya mulai kurus dan<br />

keriput, rambutnya semakin putih dan sering sakitsakitan.<br />

Lalu, selintas ada bayangan senyum karismatik,<br />

dan bau harum peluhnya ketika mengendong aku yang<br />

172


selalu sakit-sakitan ketika kecil. Lamunan rindu itu<br />

buyar. Dengan agresor dan keingintahuannya, Bdikar<br />

anak tertua kami yang sekarang baru 8 tahun memotong<br />

lamunanku,<br />

“Sederhana seperti apa maksudnya pak.?” Tanya<br />

dia.<br />

“Sederhana sekali nak.” jawabku sambil<br />

membenarkan letak kepala Adiknya yang mulai miring<br />

dibantal berwarna merah kesayangannya. Dia tidurtiduran<br />

di teras rumah kami. Kata kakekmu, ari-ari Bapak<br />

dihanyutkan di Sungai, sungai yang menjadi saksi sejarah<br />

perjalan kebudayaan sekaligus berfungsi sebagai denyut<br />

utama kehidupan warga di sana. Katanya itu simbol<br />

supaya ketika Bapak besar nanti bisa seperti Thariq bin<br />

Ziyat, bisa menjadi penerus garis wali lalu melakukan<br />

invansi kebudayaan. Sepertinya, bapak itu sengaja jiwa<br />

dan raganya di hibahkan. Itu simbol kenapa ari-ari itu<br />

hanyut tidak dikuburkan seperti anak-anak lainnya.<br />

Ketika mulai besar, tidak ada injeksi imunisasi<br />

BCG, Polio, DPT, Hepatitis B dan Campak yang wajib<br />

diberikan kepada setiap Bayi. Tidak satu selpun tubuh<br />

Bapak di berikan vaksin. Ritual adatlah yang menjadi<br />

173


ganti imunisasi. Bapak lalu diperkenalkan kepada alam<br />

melalui ritual Mbin Cupik moi Munen. Membawa bayi ke<br />

Air adalah ritual yang wajib dilakukan setiap bayi lahir<br />

dan berumur 40 hari, bagi masyarakat modern umur 40<br />

hari sudah wajib di kasih asupan imunisasi. Bapak<br />

dicelup dan dimandikan di Sungai, tepat pada umur 40<br />

hari, ini mengingatkan pada kelahiran Achilles anaknya<br />

Peleus dan Thetis yang dicelupkan oleh ibunya ke sungai<br />

Styx agar menjadi Immortal.<br />

Bayi Bapak yang masih merah diserahkan kepada<br />

alam dan gaib melalui proses ritual, itu dipercayai untuk<br />

menjaga kesehatan, kebugaran dalam masa pertumbuhan.<br />

Tapi, tidak ada ritual melumuri tubuh bayi dengan<br />

Ambrosia, dan dibaringkan di atas api. Bapak hanya<br />

dipandu dengan jampi-jampi yang dilapaskan oleh para<br />

Dukun dan tetua kampung. Boleh jadi, jampi-jampi ini<br />

adalah doa yang dipanjatkan kepada sang Penguasa Alam<br />

melalui karomah para arwah leluhur. Kami percaya doadoa<br />

dan jampi-jampi ini merupakan imunisasi dan<br />

vaksinasi yang akan mengalir dalam denyut darah yang<br />

kemudian mengakumulasi di bawah permukaan kulit<br />

kami, lalu berfungsi seperti selaput Vernix Caceosa<br />

174


sepanjang hayat hidup kami, tetua kampung<br />

menyebutnya sebagai Kerajat Tu’un atau pakaian lahir<br />

yang berfungsi menangkal bahaya dari 8 penjuru dan<br />

menjaga dari kami dari 4 waktu dan pintu sial keturunan.<br />

Selama masa pertumbuhan, tidak ada susu bayi,<br />

tidak ada makan buatan siap saji yang padat nutrisi dan<br />

gizi. Asupan-asupan yang masuk ke tubuh Bapak adalah<br />

makakan yang dibuat dan dimasak oleh tengan lembut<br />

Nenekmu. Nenekmu tidak perlu membeli telur, beras,<br />

ikan, daging dan minyak sebagian bahan untuk<br />

mengelolanya menjadi makanan yang siap kami makan.<br />

Kami punya beberapa ekor itik dan ayam kampung yang<br />

tiap pagi tinggal masuk ke kandang lalu mengumpulkan<br />

telurnya, kami punya lumbung beras yang tiap tahun<br />

selalu surplus, kami menyebutnya dengan Poi Usang,<br />

untuk menjadikan beras kami cukup numpang di ‘kincir<br />

alu’ yang digerakkan oleh air, berasnya pasti bagus dan<br />

masih banyak bekatulnya.<br />

“Nak,”<br />

“Bekatul itu adalah lapisan yang ada di beras,<br />

terdiri dari lapisan aleuron dan perikarp yang kaya gizi<br />

175


aik, katanya bagus untuk mencegah diabetes dan<br />

hipertensi.” Lanjutku.<br />

“Berarti beras sekarang tidak ada bekatulnya ya<br />

pak.? Makanya banyak penderita diabetes dan<br />

hipertensi?” Potong Bdikar seperti biasanya.<br />

“Tidak begitu juga nak,” jawabku, kan ada banyak<br />

sebab lainya, misalnya makanan yang kadar gulanya<br />

tinggi maka secara tidak langsung akan meningkatkan<br />

kadar hormon angiotensi 2 yang akan mengakibatkan<br />

terjadinya hipertensi. Jelas saya seadanya saja.<br />

Dulu, kalau mau makan ikan, tinggal ke kolam<br />

yang ada disawah atau malam-malam sebentar saja bapak<br />

dengan kakekmu ke sungai, dengan peralatan seadanya<br />

kami bisa dapat ikan untuk 3-4 hari. Ibuku atau nenekmu<br />

itu, kalau sedang tidak ada pekerjaan di kebun atau<br />

sawah, dia rajin sekali membuat minyak goreng dari buah<br />

Kepayang (Pangium Edule, tumbuhan berbentuk pohon),<br />

atau sesekali ‘menanak’ kelapa, minyak ini non kolestrol<br />

dan nikmat sekali jika nenekmu memasak nasi goreng<br />

atau mengoreng pisang di setiap pagi buat kami sarapan.<br />

Setelah besar, setiap hari kalau tidak mandi di<br />

sungai, kami mandi di pemandian umum, bisa lama kalau<br />

176


mandi, selain airnya masih sangat segar dan bersih,<br />

sambilan mandi kami bisa bercerita atau mendengarkan<br />

cerita para ibu-ibu dan orang tua tentang banyak hal yang<br />

terjadi di kampung. Mereka itu sangat akrab sekali, tidak<br />

ada kecurigaan antar mereka dan kalau ada masalah atau<br />

pekerjaan, semuanya dikerjakan secara kolektif, semua<br />

ikut membantu.<br />

“Kami sering disebut orang udik”<br />

“Penunggu hulu air,”<br />

“Kenapa?” Tanya Bdikar<br />

Karena kami gagap dengan kemajuan. Kemajuan<br />

yang sebagian besarnya bisa jadi sebagai perusak struktur<br />

sosial dan budaya yang telah dibangun ratusan tahun<br />

lamanya oleh leluhur kami. Pernah sesekali ada mobil<br />

pejabat yang masuk ke kampung, seperti semut<br />

mengerubungi gula kemudian kami berebut memegang<br />

mobil pejabat sampai dimarahi oleh tetua kampung,<br />

mungkin karena malu oleh tingkah kami, setelah itu<br />

kamipun terkaget-kaget ternyata asap yang keluar dari<br />

lubang belakang mobil itu bisa membuat batuk, sesak<br />

napas dan membuat pedih mata.<br />

177


Dulu tidak ada listrik di kampung kami, untuk<br />

penerangan cukup mengunakan lampu minyak, kemudian<br />

dipadamkan kalau sudah mau tidur. Kami diajari untuk<br />

tidak takut gelap. Makanya kami terbiasa untuk tidak<br />

mengutuk kegelapan. Kami diuntungkan dengan belum<br />

adanya listrik ini, karena medan elektromagnetik bisa<br />

berdampak terhadap kesehatan jika terjadi pemajanan<br />

dengan intensitas yang sangat tinggi. Kondisi ini tidak<br />

berdampak pada DNA, RNA, dan sintesis protein,<br />

proliferasi sel, respon imun serta transduksi signal<br />

membran. Efek ini membuktikan bahwa pada tingkat<br />

pajanan yang tinggi akan terjadi gangguan dan pada sisi<br />

fisiologis dapat mempegaruhi beberapa fungsi seperti<br />

fungsi reproduksi, kardiovaskular, saraf, hematopoetik,<br />

endokrin, mutagenesis, sistem imun.<br />

“Banyak sekalikan akibatnya bagi kesehatan<br />

tubuh?” Jelasku meniru guru Biologiku ketika duduk di<br />

Kelas 2 SMP.<br />

Di dalam tubuh makhluk hidup, dalam tubuh kita<br />

sebenarnya terdapat medan listrik endogen yang<br />

mempunyai peranan kompleks dalam mengontrol<br />

mekanisme fisiologis tubuh, seperti aktivitas saraf otot,<br />

178


sekresi kelenjar, fungsi membran sel, perkembangan dan<br />

pertumbuhan, serta perbaikan jaringan. Aku menjelaskan.<br />

Kalau kami sedikit takut gelap cukup nyalan lampu<br />

minyak, lalu kemudian matikan. Lampu minyak inilah<br />

yang membantu kami ketika malam, waktu untuk belajar.<br />

Belajar pelajaran yang kami dapatkan dari Sekolah SD<br />

satu-satunya yang ada di Desa kami. Kami menyebutnya<br />

sekolah 24 jam. Karena bisa bertanya apapun dan<br />

dimanapun dengan guru kami untuk sesuatu yang perlu<br />

ditahu atau tanyakan.<br />

Loh, kenapa Bdikar yang biasanya suka bertanya<br />

kok diam.? Ternyata keduanya sudah pulas tidur sambil<br />

memeluk bantal guling berwarna merah yang dijahit oleh<br />

tangan ibunya tadi siang.<br />

179


14<br />

Malam itu kami harus berebut nonton televisi yang<br />

cuma satu-satunya yang kami miliki, ada beberapa siaran<br />

yang serempak ditayangkan dan masing-masing kami<br />

berbeda hobinya, anak-anak lebih suka nonton film<br />

kartun, aku suka dengan acara dialog para praktisi hukum<br />

dan ibunya suka dengan acara ajang pencarian bakat.<br />

Kami ribut dan masing-masing tentu saja tidak ada yang<br />

rela mengalah, sialnya waktu jedah iklan masing-masing<br />

stasiun ini serempak pula.<br />

Akhirnya suara kami kalah, kami menyerah pada<br />

satu-satunya suara perempuan yang ada diantara kami,<br />

bukan kalah karena jumlah suara tapi kalah dengan<br />

lengkingan vokal ibunya, lalu kami meringkuk tanda<br />

kalah. Celakanya lagi kami tidak boleh kemana-maka<br />

harus tetap didepan televisi, menemani perempuan yang<br />

melenging suaranya itu.<br />

“Dulu ketika masih di kampung, baru kelas 4 SD<br />

kami barulah bisa nonton televisi, dan itu satu-satunya<br />

milik Kepala Desa.” Akupun mulai bercerita dengan dua<br />

putraku, dan istrikupun diam sambil menahan senyum<br />

180


sebagai tanda kemenangan. Televisinya hanya<br />

dihidupkan malam hari, itupun sampai selesai Dunia<br />

Dalam Berita, dari Dunia Dalam Berita itulah bapak<br />

kemudian tahu kita ini berada di Negara yang namanya<br />

Indonesia, Negara kita ini luas sekali bahkan di beberapa<br />

tempat ada pergerakan yang pengacaukan keamanan,<br />

mereka tidak puas dengan sistem bernegara kita.<br />

“Irian Jaya itu nama Politik untuk Papua, Irian itu<br />

singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.”<br />

kata Bak Wo yang pensiunan Tantara ketika aku duduk<br />

diatas pangkuannya sambil nonton berita tentang Papua.<br />

“Nak,”<br />

Kalau nonton Televisi, Bapak duduknya selalu<br />

dibarisan belakang, kadang-kadang dipangku oleh orang<br />

yang lebih besar fisiknya. Acara yang paling tinggi rating<br />

dan paling banyak pengemarnya adalah acara Kelompok<br />

Pencapir, acara “cerdas cermat” bagi Petani, pada acara<br />

ini sering hadir Presiden kita, namanya Soeharto, dia<br />

senang sekali tersenyum yang ditemani oleh isterinya.<br />

Dia juga sering hadir di acara-acara multi nasional,<br />

katanya Negara kita itu tergabung dalam OPEC sebagai<br />

Negara produsen minyak, anggota Persatuan Bangsa-<br />

181


Bangsa (PBB), PBB ini konsorsium Negara-negara<br />

Merdeka, disana ada Rusia, China, Jerman dan lain-lain.<br />

“Dulu sudah ada Listrik Pak.?” Tanya Bdikar.<br />

“Belum ada nak,” Jawabku.<br />

Televisi ketika itu pakai Accu, makanya hidup<br />

cuma 2-3 jam saja, sekitar 8 bulan setelah itu ada orang<br />

kampung yang bisa menghasilkan listrik dari mesin<br />

pengilingan padi, listriknya hanya dialiri ke rumah-rumah<br />

orang kaya, Cuma mereka yang mampu beli alat-alat<br />

instalasi. Listriknya menyala dari jam 18.00- 23.00. Dan<br />

rumah Nenekmu masih tetap pakai lampu minyak, karena<br />

Kakekmu tidak cukup duit beli alat instalasi listriknya.<br />

“Lalu, setelah listrik swadaya ini menyala, selain<br />

Rumah Kepala Desa, ada 1 keluarga lagi yang beli<br />

televisi, mereka keluarga terhormat dan orang kaya di<br />

kampung, Bapak ikut gotong royong ketika pasang tiang<br />

Antena yang tingginya lebih dari 30 meter, kalau layar<br />

televisinya banyak “semut” tiang antenanya lalu diputarputar,<br />

eh.. televisinya menyala, tenyata setelah Aneka Ria<br />

Sapari, ada Eliyas Pical yang lagi lawan Ju Do Chun,<br />

Eliyas Pical ini petinju kebangaan Kakekmu nak.” Bdikar<br />

dan Titon tersenyum tersipu-sipu mendengar ceritaku.<br />

182


Bapak masih ingat, ketika listrik swadaya ini<br />

menyala, ketika itu musim panen padi. Di kampung<br />

musim panen padi ini disebut dengan musim Mengetem<br />

ada banyak pantangan ketika musim panen ini, Padi<br />

hanya bisa dipanen dengan alat yang namanya Tuwei atau<br />

Ani-Ani, papan yang diberikan pisau di ujungnya<br />

kemudian dijepit di antara jari tengah dan telunjuk.<br />

Tidak boleh pakai Arit, karena itu dipercayai akan<br />

menyakitkan dewi padi. Padi dengan tangkai yang sudah<br />

dipanen selanjutnya sipimpan dalam Tuwoa, Tuwoa ini<br />

rumah-rumah kecil yang terbuat dari bambu yang<br />

fungsinya sebagai lumbung padi, padi-padi ini tidak<br />

boleh dijual hanya untuk dikonsumsi selama 1 tahun,<br />

karena panennya hanya setahun sekali. Anehnya,<br />

meskipun hanya panen setahun sekali, padi-padi ini<br />

selalu surplus makanya ketika itu Kampung Bapak sering<br />

disebut dengan daerah penghasil padi atau daerah<br />

lumbung padi.<br />

Sepuluh bulan setelah panen, Ada teman Kakekmu<br />

dari Kota berkunjung ke rumah, katanya dia teman<br />

sekelas Kakekmu ketika SMP di Kota Curup, dia bekerja<br />

di Perusahaan Negara Pembangkit Listrik Negara (PLN),<br />

183


mereka saling bercerita tetang kisah-kisah susah ketika<br />

masih Sekolah, dan yang Bapak dengar Kampung Bapak<br />

akan di pasang tiang Listrik, tidak detail informasi yang<br />

bapak dapat karena waktu itu Bapak lagi bantu Nenekmu<br />

buat bubuk kopi dengan Alu. Baru sebulan setelah itu,<br />

ada beberapa mobil truk membawa tiang dari besi<br />

panjangnya sekitar 4 meter, tiang ini kemudian ditegakan<br />

dengan jarak masing 60 meter oleh orang-orang dari kota,<br />

setelah semua tiang tegak baru Bapak tahu, tiang ini<br />

namanya Tiang Listrik. Butuh waktu 7 bulan setelah<br />

tiang ini ditegakkan, instalasinya baru dipasang, tiang ini<br />

sering digunakan oleh Bapak dengan teman-taman untuk<br />

lomba memanjati tiang ini, dan kalau bulan puasa tiang<br />

ini ternyata efektif mengantikan beduk untuk<br />

membangunkan warga untuk Makan Sahur dan Buka<br />

Puasa.<br />

“Instalasipun dipasang.”<br />

“Dan listrikpun menyala.”<br />

“Rumah Kakekmu juga di aliri listrik,”<br />

Bayarannya tidak terlalu mahal, ada kopensasi dari<br />

teman kakekmu yang bekerja di PLN itu. Pertama-tama<br />

tentu saja kami gagap dengan listrik ini, mata kami harus<br />

184


eradaptasi dengan cahaya dari lampu pijar yang<br />

warnanya kuning dan membuat sakit kepala.<br />

Kampung bapakpun semakin semarak, kami mulai<br />

menikmati kemajuan teknologi penerangan ini.<br />

“Jam mengaji dan belajar kami mulai berkurang,<br />

kalau tidak keluyuran malam-malam, kami pasti keasikan<br />

nonton televisi di rumah-rumah tetangga.”<br />

“Ada yang jual kerbau untuk beli televisi, beli<br />

kulkas, beli kipas angin padahal udara sangat dingin di<br />

kampung ketika itu, karena dinginnya minyak gorengpun<br />

beku.”<br />

Masyarakatpun mulai mengkonsumsi barangbarang<br />

yang tidak menjadi kebutuhannya, obrolan dan<br />

gaya merekapun mengikuti acara di televisi itu, kalau<br />

sedang ada turnamen Bulu Tangkis, semua<br />

membicarakan Icuk Sugiarto, Lim Swie King, lalu<br />

merekapun mulai menyukai Elvie Sukaesih, Masyur S.<br />

Kalau sedang di Unen tepat pemandian umum, mereka<br />

lebih lama dari biasanya karena mereka saling bercerita<br />

tentang idolanya. Sedang asiknya bercerita. Eh, tiba-tiba<br />

ibunya mengantikan Chanel Televisi yang menyiarkan<br />

Goyangan Caesar dan goyangan oplosan, iniah acara<br />

185


yang paling netral yang bisa kami tonton bersama-sama,<br />

dan sayapun berhenti bercerita.<br />

186


15<br />

Malam ini, makan malam kami agak lambat, karena<br />

memang tidak ada yang harus di masak. Malam ini<br />

sepertinya kebalikan dari malam sebelumnya dimana ada<br />

4 menu yang tersedia di meja makan, perpaduan antara<br />

komoditas lokal dan impor. Ada tempoyak, bahan<br />

utamanya adalah durian dan lemea, bahan dari frementasi<br />

bambu muda atau rebung, dua menu ini adalah menu<br />

kesukaan saya. Ada ayam goreng yang dibeli dari rumah<br />

makan cepat saji, tentu saja ini menu impor, semua<br />

berbahan impor atau setidaknya punya lisensi berbasis<br />

impor walaupun sebagian besarnya berbahan lokal. Ini<br />

menu kesukaan anak-anak kami. Aku tidak menemukan<br />

dimana sisi nikmat menu ini, Aku hanya tahu penetrasi<br />

kapitalisme melalui makanan ini sudah sampai di meja<br />

makan kami yang sudah mulai dimakan rayap.<br />

Karena lapar, akhirnya si pemegang otoritas<br />

logistik dapur di rumah kami, istriku memasak nasi<br />

dengan sambal terasi, perpaduan antara terasi yang<br />

dibakar, lalu tomat dan ada juga cabe. Sambalnya cukup<br />

187


pedas, membuat keringat keluar dari kening dan ubunubun.<br />

“Diam, jangan banyak komentar, nikmati saja<br />

pedasnya, pedas cabe itu bisa buat badan sehat dan kuat.”<br />

kata istriku sambil menyiapkan minuman dari kulkas.<br />

Tentu kami tidak berani komentar atas masakannya.<br />

Habis makan, pedasnya masih menempel di lidah,<br />

lalu sambil duduk di teras sambil menghisap rokok. Aku<br />

mulai cerita dengan dua anakku yang keduanya keluar<br />

dengan tidak berbaju dengan muka memerah karena<br />

kepedasan.<br />

“Bapak dari kecil memang tidak biasa makan<br />

pedas, karena sejak kecil bapak ini sakit-sakitan nak.”<br />

Aku mulai membuka cerita.<br />

Kalau makan makanan yang pedas perut bapak<br />

langsung bereaksi, lalu bergemuruh, ketika perut mulai<br />

bergemuruh maka harus segera berangkat ke Unen,<br />

tempatnya sekitar 800 meter dari rumah. Unen multi<br />

fungsi, perpaduan antara tenpat untuk mandi, cuci dan<br />

kakus. Dengan tiga fungsi ini, maka mandi dan cuci<br />

berada di hulu dan kakus di bagian hilirnya. Nah, untuk<br />

fungsi kakus ini biasanya ada dua buah batu yang<br />

188


fungsinya sebagai tempat bertumpuhnya kaki ketika kita<br />

jongkok, dan batu-batu ini berderet rapi, sehingga kalau<br />

lagi buang air besar, kami berderet secara rapi, seperti<br />

WC deret yang berjejer panjang. Dulu, bapak tidak malu<br />

walau harus buang hajad di depan umum, mungkin kami<br />

sadar bahwa ini manusiawi, ini hukum alam yang harus<br />

ditunaikan segera, jadi kenapa harus malu.<br />

“Nak, Unen ini bentuk dari aplikasi pemanfaatan<br />

ruang komunal.” Lalu Bdikar tanya apa maksudnya<br />

ruang komunal ini.<br />

“Komunal itu apa?”<br />

Aku lalu menjelaskan secara sederhana ruang<br />

komunal. Ruang umum, yang dimiliki oleh siapa saja dan<br />

diperuntukan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas<br />

penggunanya. Dalam pemanfaatan ruang milik umum ini,<br />

etika, tata tertib disepakati secara bersama, biasanya<br />

kalau dalam bentuk aturan, maka aturannya tidak ditulis,<br />

aturanya tidak rinci, hanya memuat garis-garis besarnya<br />

saja tapi anehnya aturan ini sangat efektif dan tidak ada<br />

yang berani untuk melanggarnya.<br />

“Unen ini bertahan sampai kami SMP,” terangku.<br />

189


Awalnya ada pembangunan WC Umum yang<br />

modelnya berbeda dengan Unen, WC umum ini<br />

bentuknya bangunan permanen yang oleh Pemerintahan<br />

Desa. Kata Kepala Desa waktu itu Bangunan WC ini<br />

untuk meminalisir penyakit yang ditimbulkan oleh<br />

kotoran manusia, jadi kotoran manusia yang baunya tidak<br />

sedap dan bentuknya tidak menarik ini harus disimpan di<br />

dalam lubang yang disebut dengan septic tank. Padahal<br />

Kepala Desa ini sampai umurnya 67 tahun ketika itu<br />

selalu mengunakan Unen ini untuk kebutuhan<br />

pembuangan kotorannya, dan tidak ada penyakit yang<br />

ditularkannya.<br />

Setelah pembangunan WC umum ini, ada<br />

perubahan secara berlahan yang kami rasakan, awalnya<br />

semua dilakukan secara bersama-sama di ruang publik,<br />

lalu berlahan masuk kedalam ruang-ruang privat, ruangruang<br />

yang sifatnya sangat pribadi. Tetapi ada benarnya<br />

juga Kepala Desa kami, dulu kalau lewat hilir Unen ini<br />

biasanya kita mesti tutup hidup, karena aromanya luar<br />

biasa, setelah ada Pembangunan WC umum ini,<br />

sepertinya ada yang hilang, baunya menguap entah<br />

190


kemana, tentu kemudian kami senang meskipun ada rasa<br />

kehilangan.<br />

“Oh, begitu” kata Bdikar.<br />

Sementara Adiknya tetap melotot binggung dan<br />

sepertinya mereka belum bisa bayangkan Unen ini seperti<br />

apa, bentuknya apa dan bagaimana mengunakannya.<br />

“Unen, itu seperti kamar mandi kita nak,” jelasku.<br />

Kamar mandi yang kita gunakan secara bersamasama,<br />

tapi kalau di kamar mandi kita, kita mesti antrian,<br />

nah kalau Unen ini kita gunakan bisa pada saat<br />

bersamaan. Mereka menganguk, sepertinya sedikit mulai<br />

mengerti.<br />

Sekarang, kalau kita pulang ke kampung, maka<br />

tidak kita temukan lagi Unen ini, jelas saya. Mereka<br />

mulai mengerti tentang kekerabatan dan keakraban yang<br />

lahir dari fungsi Unen ini. Dan sekarang jelasku sambil<br />

menghisap rokok dan membayangkan kondisi kampung<br />

dimana kedua orang tua saja masih disana.<br />

“Semua sudah sangat pribadi sifatnya. Ruang-ruang<br />

publik hampir terkikis oleh sistem privat ini. Tentu saja<br />

kondisi ini kemudian berdampak pada sistem sosial yang<br />

dulunya diikat dengan sistem kekerabatan mulai<br />

191


mengecil dan terjebak pada sistem pasar, sistem sosial ini<br />

kemudian bertransaksi nak.!” Lanjutku. Struktur<br />

kemasyarakatan yang mulai di eliminasi, mereka lebih<br />

percaya kepada struktur formal, ini membuat mereka<br />

seperti yang Adek pakai baju Abang. Akupun beranologi.<br />

“Oh, kebesaran pak, tidak bisa Adek lari dan kalau<br />

kena angin bisa melayang Adek pak.” Potong Titon anak<br />

Bungsuku.<br />

“Ia nak, tapi ada juga manfaatnya juga, kalau kita<br />

kebelet e’ek kan tidak perlu jauh-jauh sambil lari, kita<br />

tinggal ke WC langsung e’ek, Sungai bisa bebas dari<br />

pencemaran, tidak ada penyakit yang disebabkan dari<br />

mengkonsumsi air sungai, dulukan waktu bapak masih<br />

kecil, Bapakkan cacingan.” jawab saya pada si Bungsu,<br />

dia pun tersenyum mungkin mambayangkan bapaknya<br />

waktu kecil, badan kurus, biji mata besar melotot seakan<br />

mau meloncat keluar, perut buncit.<br />

“Sudah ceritanya.? Hari sudah malam masuklah..!”<br />

bentak ibunya, tapi intonasinya lebih lembut ketimbang<br />

ketika kami makan kepedasan tadi, sekali lagi kami harus<br />

mengalah dengan satu-satunya perempuan dirumah kami.<br />

192


16<br />

Diam-diam Bdikar mulai menunjukan<br />

pemberontakan-pemberontakan kecil, tapi aku mulai<br />

menikmati nada suaranya yang memenuhi ruangan rumah<br />

kami yang dindingnya hanya dilapisi susunan bata.<br />

Suaranya memang terdengar mengema lalu menantul.<br />

Sepertinya frekwensi resonansi berkeja dengan baik di<br />

rumah kami.<br />

“Saat ini kita mengalami ketidaksadaran kolektif,<br />

yang dibentuk oleh kesadaran masa lalu dan sebagian<br />

terbentuk atas pengalaman empiris,” Kata Bdikar pada<br />

sore hari sehabis membantu ibunya menyiram bunga.<br />

“Bapak boleh Periksa.”<br />

“Kita sudah sangat biasa dituntun dan diperintah,”<br />

“Kita kemudian tidak punya kepercayaan diri dan<br />

terus menerus butuh pengakuan dan penghargaan, oleh<br />

karena itu kita sering mencari status tanpa substansi,<br />

demontrasi-demontrasi tanpa henti yang kita anggap<br />

sebagai cerminan demokrasi, kebutuhan berbagai<br />

kelompok baik etnis maupun keagamaan untuk<br />

menonjolkan diri mereka dalam cara-cara menarik<br />

193


perhatian yang tidak selalu konstruktif, cenderung<br />

memecah belah,” dia seperti membaca sebuah tulisan tapi<br />

aku lupa buku apa.<br />

Sampai disitu aku potong omongannya yang mulai<br />

memojokkan itu.<br />

“Bukankah masih ada kelompok-kelompok<br />

intelektual, cendikia yang punya kemampuan ilmiah,<br />

rasional dan kesadaran kritis untuk keluar dari<br />

ketidaksadaran kolektif.?”<br />

“Tunggu dulu, saya akan selesaikan dulu<br />

kalimatnya,” Seperti biasa dengan sifatnya yang tidak<br />

mau dikalahkan dalam berargumentasi.<br />

”Yang terjadi kemudian secara masif kita menjadi<br />

komunitas imajiner, menjadi bangsa yang panakut tanpa<br />

jiwa besar, menjadi masyarakat yang iri dan pedengki.”<br />

“Kemudian menciptakan rasa frustasi dan obsesif<br />

karena bertahun-tahun dikontruksikan secara sosial, lalu<br />

kita terobang-ambing antara membohongi diri atau<br />

mengamuk tak terkendali.!”<br />

Bdikarpun kemudian termenung sebentar kemudian<br />

dengan gaya bicaranya yang sering mempelototi lawan<br />

194


icaranya, seperti mempelototi ayam goreng buatan<br />

ibunya.<br />

“Menjawab pertanyaan bapak tadi,” dia berhenti<br />

sejenak. Tidak seperti biasanya. Pertanyaannya standarstandar<br />

saja.<br />

“Seharusnya memang begitu, tapi juga<br />

kecenderungan banyak kaum intektual kita menjadi<br />

selebritas, yang lebih sedang muncul di televisi dan<br />

mengungkapkan pendapat mereka tentang apa saja atau<br />

mengulang-ulang apa yang telah mereka katakan.”<br />

“Tidak ada pikiran dan ide baru,” Dia berhenti tarik<br />

napas<br />

“Mereka tidak mau turut merenung dan<br />

menghasilkan pengetahuan demi terciptanya masyarakat<br />

baru, ini praktik akademik yang memalukan!” tambah<br />

dia.<br />

Sambil menghisap rokok bergambar tomur di leher,<br />

aku kemudian coba memastikan dia harus bertanggung<br />

jawab atas statemennya.<br />

“Sampai disitu aku sepakat,” aku hisab lagi rokok<br />

sampil tertawa dalam hati, ingat dialog interaktif disalah<br />

195


satu stasion televisi yang sering menghadirkan kaum<br />

intelektual, kemudian aku melanjutkan pertanyaan.<br />

“Tapi apakah kamu punya indikator lain atau paling<br />

tidak dampak ketidaksadaran kolektif yang kamu<br />

sebutkan itu.?”<br />

Sepertinya dia mulai gerah dengan pertanyaan itu.<br />

“Pertanyaan Bapak itu adalah ciri-ciri pertanyaan<br />

masyarakat yang aku jelaskan tadi, selalu merasa benar<br />

dan cenderung menonjol sekaligus memojokkan<br />

kemudian mulai menyalahkan orang lain,”<br />

“Metalitas superior-inferior merupakan dasar<br />

psikologis budaya kekerasan yang kemudian jadi<br />

sadomasokistis dan itu adalah prilaku depensif yang aku<br />

sebut diawal yang mengantikan renungan dan intropeksi<br />

jujur atas kehidupan dan kondisi yang terjadi,”<br />

“Kita ini irasional dan sebagai akibatnya sering<br />

terlalu emosional.” Aku tertawa tetapi tidak terbahakbahak,<br />

menertawakan diri sendiri. Lalu. Mulai terasa<br />

muka mulai memerah dan mulai tersingung dibuatnya.<br />

Sepertinya Bdikar tahu dan tetap saja dia<br />

menikmati ketersingunganku. ketersingunganku<br />

psikologis bawaan anak sulung yang tidak mau di atur.<br />

196


“Secara kultural, kita masih berorientasi feodal baik<br />

dalam mentalitas maupun dalam struktur sosial” tambah<br />

dia.<br />

Dia mulai menikam pertahanan terdalam yang aku<br />

miliki, kumatikan rokok kemudian menyulut batang<br />

rokok yang baru untuk menjembunyikan hasrat feodal<br />

sebagai bawaan anak sulung dan kepala patriarki<br />

keluarga kecil kami.<br />

“Kamu tidak boleh terlalu berpikir begitu, untuk<br />

memahami jiwa Indonesia kamu mesti mengerti kontek<br />

keberadaanya, kamu mestinya percaya pada gagasan<br />

anima mundi atau jiwa dunia, kita hidup pada entitas<br />

kosmik, kesatuan organisme yang memiliki jasad dan<br />

sukmanya sendiri” Aku pun berhenti. Ibunya Bdikar<br />

membawa kopi dan sambil tersenyum menyaksikan<br />

perdebatan kami. Dialah biasanya yang mampu<br />

menundukkan kami ketika kami bertengkar.<br />

“Bapak,” Lanjut Bdikar yang mulai sadar bahwa<br />

dia berhadapan dengan Bapak biologisnya.<br />

Senyuman ibunya.<br />

Dia menurunkan intonasi suaranya.<br />

197


“Tapi Bapak, filosofis itu kemudian diartikan<br />

sebagai gagasan Desa Global, Entitas Global yang<br />

diciptakan dengan serat optik dan kemudian kita<br />

dipaksanakan ditarik kedalamnya, penafsiran ini di<br />

dampingi oleh kebekuan budaya,”<br />

“Tidak ada puisi.”<br />

“Tidak ada ritual.”<br />

“Yang ada hanya ritual neurotik, makan makanan<br />

olahan, tidak ada imajinasi, tidak ada kesucian.”<br />

“Ini adalah bentuk syndrom modernisme yang<br />

ditanam dan tertaman dalam diri kita penyebab utamanya<br />

adalah rusaknya sukma, secara global kita hidup dalam<br />

priode materialisme dan konsumerisme yang ditandai<br />

hilangnya nilai-nilai dan pergeseran standar estetika.”<br />

Aku ingat Wak Odon, Wak Salim Senawar, Ibuku,<br />

Bapakku dan ingatan tentang Nenek Pia itu melekat<br />

sekali di ruang penghubung kedua telinggaku.<br />

“Oh, lalu apa yang harus dilakukan kalau begitu?”<br />

Aku coba menyelesaikan perdebatan ini.<br />

“Kita dibekali sifat tenggang rasa, tapi tidak<br />

ditanamkan sikap analitis dan kritis, keduanya harus<br />

seimbang, memilih salah satunya akan mengakibatkan<br />

198


cara berpikir yang katagoris dan reduksionis” Jawab<br />

Bdikar.<br />

Kemudian berlahan dia mulai menaikan kembali<br />

intonasi suaranya.<br />

“Indonesia sekarang ini sesungguhnya belum<br />

mencapai tarap hidup modern yang berlandaskan<br />

pendekatan intektual, rasional, terbuka, egaliter dan<br />

pluralistik namun terlanjur meningalkan tradisi lama.<br />

Maka keberanian memahami keraifan tradisi lama,<br />

kejujuran atas kajian dan kejadian sejarah, memahami<br />

secara konprehensi pertikaian inheren turun temurun<br />

sebagai refleksi sukma yang tidak bahagia dan semu yang<br />

terpecah-pecah itu kemudian kita juga perlu menyalakan<br />

kembali nasionalisme sehat dan tentu saja kita mesti<br />

berani berdamai dengan diri kita sendiri.”<br />

“Dan sejarah kita,”<br />

“Karena jika tidak kita akan terkatung-katung dan<br />

tidak pernah berkembang menjadi bangsa yang kuat.”<br />

Kata penutupnya sangat abstrak dan prematur,<br />

sepertinya dia buru karena ada 4 orang temannya<br />

menuggu ingin bermain sepeda, dia kemudian berlari<br />

keluar sambil gotong sepedanya dan membiarkan<br />

199


pikiranku jadi berantakan oleh statemennya yang pedas<br />

dan keras. Aku seperti di tampar sekeras smassnya Liem<br />

Siau Bok. Smash-smash tajamnya yang turut<br />

mengantarkan Indonesia merebut dua medali emas di<br />

arena SEA Games. Tepatnya pada SEA Games 1981 di<br />

Manila, Filipina dan SEA Games 1987 di Jakarta untuk<br />

Cabang Voly ball.<br />

Akupun terdiam sendiri dikursi reot yang belum<br />

tahu kapan aku mampu mengantikannya dan sambil<br />

berhayal; bukankah dulu pernah ada MANIFOL USDEK<br />

(Manifesto Politik; UUD 1945, Sosialisme, Demokrasi,<br />

Ekonomi dan Kepribadian), sehingga berdaulat dalam<br />

politik, mandiri diekonomi dan bermartabat dalam<br />

budaya, Pancasila, ada Repelita, ada GBHN, ada<br />

Reformasi, ada Otonomi, tapi entahlah rokok habis dan<br />

kopipun sudah kering, sepertinya aku harus<br />

menyelesaikan siraman bunga yang belum diselesaikan<br />

oleh Bdikar. Kemudian mandi, rebus mie instan lalu<br />

menikmati ritual neurotik. Nonton televisi.<br />

Ah.. Bdikar ada-ada saja.<br />

200


17<br />

Pernah aku memimpin advokasi bagi komunitas<br />

adat yang ada di kampung, yang hak-haknya diabaikan.<br />

Itu 5 tahun lalu. Salah satu hak yang diabaikan itu adalah<br />

hak perempuan. Perempuan adat. Titik tekannya<br />

mengeluarkan posisi perempuan dari pusaran subordinat,<br />

diskriminasi ganda posisi perempuan. Lalu, aku bingung,<br />

apa alat yang menjadi pegangan untuk melihat proses<br />

dominasi ini. Dengan gender, feminisme, emansipasi?<br />

Dominasi ini terjadi pada ruang yang sangat lokalitas.<br />

Akupun mulai mendokumentasikan pijakan<br />

“advokasi” ini, ada feminis. Tapi tidak aku ajak Bdiar<br />

diskusi soal ini. Tamparan bak kena smassnya Liem Siau<br />

Bok masih membekas merah di pipiku.<br />

Rupanya, kata feminis ini ternyata sebuah kata<br />

yang diambil dari kalimat Perancis (féminisme) asalnya<br />

dari kata Latin (femind), dan mengalami sedikit<br />

perubahan. Dalam bahasa Inggris dan juga Jerman, kata<br />

itu mempunyai arti yang sama. Feminine (feminim)<br />

bermakna wanita atau jenis perempuan. Istilah<br />

201


Feminisme dapat digunakan untuk dua makna. Makna<br />

pertama adalah makna yang telah digunakan secara<br />

umum dan telah dikenal, yakni sebuah pemikiran dan<br />

kebangkitan untuk membela hak-hak wanita atas laki-laki<br />

dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik. Dan Makna<br />

kedua sangat sederhana: Sifat dan prilaku kewanitaan<br />

yang nampak pada laki-laki.<br />

Yang hampir mirip-mirip dengan feminis, ada juga<br />

gender, basisnya adalah konsep kultural yang merujuk<br />

pada karakteristik yang membedakan antara wanita dan<br />

pria baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial<br />

budaya.<br />

Gender melihat pria dan wanita secara sexual<br />

berbeda. Begitu pula secara perilaku dan mentalitas.<br />

Namun perannya di masyarakat dapat disejajarkan<br />

dengan batasan-batasan tertentu. Sehingga secara<br />

sederhana dan tafsir bebas, akupun mendifiniskan gender<br />

itu sebagai aturan atau normal perilaku yang<br />

berhubungan dengan jenis kelamin dalam suatu sistem<br />

masyarakat. Karena itu, gender sering kali di identikan<br />

dengan jenis kelamin atau sex. Meski sebenarnya kedua<br />

202


jenis kata ini yaitu sex dan gender memiliki konsep yang<br />

berbeda.<br />

Selain faminisme dan gender, ada juga emansipasi,<br />

sebuah metode yang dikembangkan sejak abad ke 14.<br />

Emansipasi ini berasal dari bahasa latin “emancipatio”<br />

yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan, dan<br />

definisi sederhananya: persamaan hak dalam berbagai<br />

aspek kehidupan masyarakat, dalam ruang yang lebih<br />

kecil, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.<br />

Indonesia punya tokoh yang mempopulerkan emansipasi<br />

ini, dia RA Kartini, saya tahu itu sejak Sekolah Dasar<br />

dari buku-buku perpustakaan sekolah kami yang berdebu,<br />

dan aku sering mencuri buku-buku dari perustakaan<br />

sekolah ini, karena perpustakaan ini selalu terkunci.<br />

Dari tiga acuan ini, Gender, Feminisme dan<br />

Emansipasi, lalu bagai mana memposisikan dan<br />

mendudukannya pada ruang yang sangat lokal, ruang<br />

kampung. Aku tentu saja sepakat bahwa kampungpun<br />

adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ruang<br />

global, yang selanjutnya disebut dengan global village<br />

itu, dunia yang dianalogikan sebagai sebuah kampung<br />

besar, ada koneksitas satu dengan lainnya. Nah,<br />

203


masalahnya kemudian di titik mana muaranya akan<br />

ketemu, dalam bahasa yang sok akademiknya;<br />

menemukan titik universalisme dengan relativisme<br />

budaya (cultural relativism).?<br />

Dari pada kesulitan memahami tiga hal dan dua<br />

titik binner ini, yang tentu saja sulit dan tidak aku<br />

pahami, lalu bayangan ibuku yang biasa aku sebut<br />

dengan Mak, bayangan Mak mondar-mandir dalam<br />

otakku yang volumenya dan kapasitas berpikirnya lemah<br />

dan tidak up date. Aku membayangkan feminisme,<br />

gender dan emansipasi itu dalam sosok Makku.<br />

Makku adalah wanita kampung, dia bungsu dari 13<br />

saudara diantara 10 laki-laki dan 3 orang perempuan.<br />

Karakternya kuat dia punya kharisma melebihi kakakkakaknya,<br />

perpaduan antara bapak dan ibunya.<br />

Bapaknya, itu kakekku punya karakter dan sikap yang<br />

kuat. Dia pernah dipenjara karena berbeda sikap dengan<br />

Pemerintahan Belanda, dia menolak penindasan dan<br />

melakukan konsolidasi perlawanan. Ketika<br />

pemberontakan PRRI, ketika itu kampungya di bakar, dia<br />

berada garis depan membuat dia tertembak, dan peluru<br />

yang bersarang dibetis itu dibawahnya sampai mati. Lalu<br />

204


ibunya, itu nenekku seorang wanita yang tegar, dia harus<br />

mengantikan posisi suaminya ketika masa-masa sulit,<br />

masa berjuang dan sampai suaminya berakhir di penjara<br />

Belanda, dialah yang membesarkan anak-anaknya.<br />

Makku, dan aku lupa kapan dia berbicara keras<br />

kemudian memarahiku, tidak pernah protes dengan posisi<br />

dia sebagai pendamping Bakku, itu suaminya. “Saya<br />

harus membaca 1.000 kali Surah Al-Ikhlas sebagai Mas<br />

kawin, membuat keringatku bercucuran dan itu 3 jam<br />

baru selesai” cerita Bakku.<br />

Dan itu aku pikir itu pantas untuk seorang wanita<br />

seperti ibuku. Surah Al-Ikhlas dilafaskan oleh Bakku<br />

pada tahun 1974, Surah ini cukup pendek, hanya terdiri<br />

dari 4 ayat dan intinya menegaskan bahwa tentang<br />

Keesaan Allah SWT dan menolak segala penyekutuan<br />

terhadap-Nya.<br />

Sebagai anak putri bungsu dalam keluarganya,<br />

maka dia diposisi dan memposisikan diri sebagai<br />

tumpuan dari keluarganya. Dan itu tidak hanya bagi<br />

anggota keluarganya yang ada hubungan geneologi tetapi<br />

dia menggangap bahwa semua orang bagian yang<br />

ter”esa”kan dalam pusaran dirinya, dia tumpahkan semua<br />

205


asa sayangnya, dan itu membuat dia sering dirindukan<br />

oleh angota keluarga dan orang-orang yang pernah dia<br />

beri rasa sayangnya sebagai ibu. Tidak peduli dia orang<br />

kampung atau orang kota, jelek dan genteng, miskin dan<br />

kaya, bahkan berlainan agama.<br />

Dalam kesederhanaanya, aku tahu dia punya<br />

pemehaman juga tentang penindasan terhadap kaumnya.<br />

Pernah suatu kali ketika aku kelas 3 SD itu di tahun 1984,<br />

saat itu sore hari dan aku sedang baca buku tentang RA<br />

Kartini, dia lalu duduk disampingku sambil<br />

memperhatikan gambar RA Kartini di buku, lalu dia<br />

bilang begini “Hukum dan sistem hak asasi manusia<br />

termasuk kesetaraan itu adalah sistem yang sangat<br />

maskulin dan patriarki, yang dibangun dengan cara<br />

berfikir dunia laki-laki yang lebih memperhatikan dan<br />

kemudian menguntungkan laki-laki lalu melegitimasi<br />

situasi yang tidak menguntungkan perempuan.” Apa<br />

maksudnya tanyaku binggung, karena tidak ada dalam<br />

catatan dalam buku yang sedang aku baca.<br />

“Hal tersebut dilihat dari beberapa hal pertama,<br />

pendikotomian antara wilayah publik dan privat; kedua,<br />

konsepsi pelanggaran hak asasi manusia sebagai<br />

206


pelanggaran yang dilakukan oleh negara; ketiga,<br />

pendekatan kesamaan dan perbedaan yang dipakai oleh<br />

beberapa instrumen pokok hak asasi manusia; keempat,<br />

pemilahan dan prioritas hak sipil dan politik, ketimbang<br />

hak ekonomi, sosial dan budaya”. Jelas dia. Dan aku<br />

bertambah binggung ketika itu.<br />

“Sederhananya begini,” dia melanjutkan setelah<br />

melihat tatapan kosong mataku.<br />

“Pemilahan antara wilayah lingkup dan publik dan<br />

prioritas perlindungan hak pada wilayah publik sangat<br />

dilematis dalam konteks penegakan hak asasi manusia<br />

terhadap manusia yang berjenis kelamin perempuan.<br />

Sebab, dalam banyak pengalaman perempuan, wilayah<br />

domestik dan privat ini malah menjadi arena di mana<br />

kekerasan dan diskriminasi berlangsung sangat serius dan<br />

massif.” Dia berhenti sebentar.<br />

Dengan pelan-pelan dengan intonasi suara<br />

keibuannya dia melanjutkan “Namun, situasi kekerasan<br />

tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi<br />

manusia dan hanya dikategorikan sebagai perlakuan<br />

kriminal semata. Konsepsi pemilahan publik dan<br />

domestik pun berjalin dengan pandangan bahwa pelaku<br />

207


pelanggaran hak asasi manusia adalah negara (state<br />

actor) yang kemudian meminggirkan berbagai<br />

pengalaman perempuan. Dalam kasus “penyiksaan”<br />

(torture), misalnya, pendekatan hak asasi manusia<br />

konvensional hanya akan melihat kasus penyiksaan<br />

sebagai pelanggaran hak asasi manusia jika dilakukan<br />

oleh aparat negara dan terjadi di wilayah publik.” Lalu<br />

akupun semakin binggung dan kepalaku mulai berputarputar.<br />

Penjelasan ibuku di tahun 1984 itu, menambahkan<br />

kebinguanku tentang titik universalisme dengan<br />

relativisme budaya. Awal tahun 2008, akupun pulang<br />

kampung meminta penjelasannya terkait dengan program<br />

yang sedang aku kembangkan, program Perempuan Ada.<br />

Suatu sore, kami duduk dikursi, dibawah batang pohon<br />

nangka yang aku tanam ditahun 1982 di depan teras<br />

rumah. Belum sempat aku tanyakan sama tentang<br />

perspektifnya terhadap feminisme, gender dan<br />

emansipasi. Tiba-tiba lewat Saudara sekampungnya,<br />

saudara sepupu jauh Bakku, Saya menyebutnya Mamak<br />

Lan, dia buta, kemana-mana dia dituntun oleh isteri dan<br />

anak perempuannya secara bergantian.<br />

208


“Begitulah seharusnya sebagai Perempuan”.<br />

Celetuk ibuku tiba-tiba. Tentu aku tahu maksudnya<br />

adalah istrinya Mamak Lan.<br />

“Perempuan tidak boleh lebih maju atau di depan,<br />

dan tidak boleh juga lebih mundur atau di belakang lakilaki,”<br />

lanjutnya.<br />

Dia juga bercerita tentang Istrinya Mamak Lan<br />

yang buta itu, pernah dibujuk oleh saudara-saudaranya<br />

untuk menceraikan Mamak Lan karena cacat fisik,<br />

istrinya cuma bilang “Dulu dia tidak buta, setelah kami<br />

menikahlah dia buta, maka akan saya jaga suamiku<br />

meskipun dia cacat, karena itu akan meninggikan<br />

derajatku sebagai Perempuan”. Mereka itu saling berbagi<br />

Peran, Jelas ibuku, sesekali suaminya mengerjakan tugas<br />

isterinya begitu juga sebaliknya, mereka berdua tidak<br />

mau terjebak pada prinsif maskulinitas maupun<br />

femininitas.<br />

Aku tahu, ibuku yang sudah pasti tahu tentang<br />

kegalauan anaknya ini.<br />

“Jadi pendekatan ‘kesamaan’ (sameness) dan<br />

‘perbedaan’ (differences) dalam sistem yang sangat<br />

maskulin dan patriarki itu tidak boleh dibangun dengan<br />

209


cara berfikir dunia laki-laki yang lebih memperhatikan<br />

dan kemudian menguntungkan laki-laki lalu melegitimasi<br />

situasi yang tidak menguntungkan perempuan.” Dia<br />

lanjutkan. Dan jangan memaksakan men-download<br />

universalisme lalu di instal dengan relativisme budaya<br />

(cultural relativism) karena nanti berkonflik, biarkanlah<br />

dia pada posisi binner, seperti Lan yang buta dengan<br />

istrinya.<br />

Tiba-tiba Bapakku datang membawa HPnya,<br />

katanya ada Abang Jordan Saragih yang mau dengar<br />

suara ibuku. Ternyata Abang Angkatku yang orang Batak<br />

beragama Nasrani rindu, aku tahu dari dari obrolan<br />

mereka. Abang Jordan ini pernah dapat limpahan kasih<br />

sayang ibuku, bahkan dia harus ke Gereja untuk<br />

menikahkan dia dengan istrinya. Dari Cerita Bapakku,<br />

banyak sekali anak angkatnya di luar pengetahuanku.<br />

Ah, untungya setelah 5 tahun aku mulai<br />

mengurangai advokasi soal perempuan adat ini, jadi tidak<br />

perlu mendalami soal hak Perempuan. Yang sesunguhnya<br />

sangat sederhana sekali, jika itu mau disederhanakan.<br />

210


211


18<br />

Hampir 8 tahun terakhir, sebagian besar aku<br />

habiskan untuk bersama masyarakat di Kampungkampung<br />

yang sebagian besar adalah kaum minoritas<br />

yang tidak banyak di catat dalam perjalanan sejarah<br />

bangsa ini. Ini pencarianku. Jelajah alam komunitas yang<br />

aku lakukan bak pelintas membuat aku tahu bahwa<br />

mereka adalah struktur terbesar pembentuk Negara ini<br />

namun ironisnya menjadi ‘korban’ dari kebijakan Negara<br />

atas nama pembangunan, aplikasi kebijakan dan hanya<br />

dianggap sebagai ‘penumpang’ gelap di kendaraan yang<br />

namanya Indonesia.<br />

“Kami ibarat perahu yang kehilangan dermaga.”<br />

jelas Pak Salim Senawar ketika menceritakan hak<br />

adatnya atas tanah terkoptasi.<br />

Dan. Di sisi lain dilakukan penghancuran strukturstruktur<br />

local secara struktural yang diyakini lebih<br />

mampu untuk mengatur hubungan antar sesama maupun<br />

hubungan dengan alam dan gaib yang diaplikasikan<br />

dengan nilai-nilai kearifan local dan tidak ekploitatif.<br />

212


“Koptasi ini membuat kami seperti orang-rang<br />

kalah,”<br />

“Orang-orang kalah yang terkatung-katung tidak<br />

saja dalam ketiadaan harapan, tapi bahkan dalam<br />

kepungan ancaman-ancaman.”<br />

“Sebagai orang kalah, kami tidak mencari<br />

pahlawan, melainkan sekedar haus terhadap sahabat.<br />

Kami tidak menuntut agar dipindahkan dari kekalahan ke<br />

kemenangan, tetapi setidaknya kami mempunyai sahabat<br />

dalam kekalahan.” Kata Pak Salim Bijak.<br />

Dalam hati dan pengalaman menapakku lama-lama<br />

aku menjadi tahu: ada banyak orang-orang kalah dan<br />

dikalahkan tetapi belum tahu bagaimana menjadi sabahat<br />

yang baik dalam kekalahan. Aku bahkan belum tahu di<br />

file kategori mana menyimpan kenyataan dimana ratusan<br />

pedagang, petani yang penghasilannya belum bisa<br />

mencapai kata “cukup”. Yang ruang kelola hidupnya<br />

secara paksa digusur atau dalam bahasa klisenya<br />

direlokasi atas nama pembangunan yang sesungguhnya<br />

diselimuti kepentingan ekonomi yang sangat individual<br />

kapitalistik, atau mungkin saja atas kesepakatan dan<br />

sadera atas komitmen “diam” politik. Ditolong dan<br />

213


ditemani tidak oleh orang yang digaji hidupnya dari iuran<br />

pajak dalam bentuk distribusi dari kaum yang<br />

penghasilannya belum bisa mencapai kata “cukup”,<br />

melainkan oleh orang-orang muda yang belum menentu<br />

hidupnya? Bahkan mereka ini pula yang dengan setianya<br />

bersama untuk satu napas mengapai asa “kemenangan”.<br />

“Jumlah orang-orang kalah semakin membengkak<br />

saja dari hari kehari.” Terangku<br />

“Dan jumlah itu semakin tidak terkirahkan lagi<br />

takkala kita mengetahui bahwa orang-orang yang<br />

mengalahpun.” Aku terdiam.<br />

“Bahwa orang-orang yang memperoleh<br />

kemenangan atas orang lainpun sesungguhnya adalah<br />

orang-orang kalah.” Lanjutku mulai kompromis.<br />

“Tuhan tidak memintamu untuk menang melawan<br />

orang lain. Yang diminta-Nya adalah kemenangan<br />

melawan diri sendiri.” Jawab Pak Salim yang tahu<br />

penyerahakku.<br />

Pak Salim berusaha melawan kenyataan filosofi<br />

populer yang berlaku dimana-mana. Dunia membuka<br />

lapangan kompetisi agar seseorang mengalahkan lainnya.<br />

214


Dengan kata lain: agar seseorang menjadi pemenang,<br />

sementara yang lainnya menjadi orang kalah.<br />

“Kalau begitu betapa tidak membahagiakan dunia<br />

semacam itu!”<br />

“Betapa setiap keindahan dalam kemenangan<br />

semacam itu sesungguhnya palsu! Kemenangan dan<br />

keindahankah yang didapatkan oleh seseorang Kades<br />

yang berhasil tidak memperhatikan kesejahteraan<br />

penduduknya, bahkan menguras kekayaan penduduk itu<br />

untuk perutnya sendiri?” Tanyaku Pak Salim tertawa<br />

Pikiranku melayang jauh ke tapak dimana jejakku<br />

tertinggal. Masyarakat adat Bermani, dimana wilayah<br />

kelola warganya masuk ke dalam kawasan hutan negara,<br />

hutan lindung. Oleh Negara ini kawasan-kawasan ini<br />

hanya difungsikan untuk konservasi (perlindungan,<br />

pengawetan jika mengacu pada faham konservasi alam<br />

klasik (classic nature conservation).<br />

Kebijakan yang membuka peluang masyarakat<br />

untuk terlibat didalamnya melalui sistem Hutan<br />

Kemasyarakatan (HKm) belum membawa manfaat<br />

ekonomi bagi masyarakat, belum mapu penompang<br />

kehidupan yang lebih jauh sebagai sistem pertahanan<br />

215


warganya baik secara ekonomi, sosial, bidaya dan<br />

religius.<br />

Dibagian lain komunitas adat Sungai Ipuh yang<br />

menghormati system kaum/kelembagaan adat yang<br />

dicerminkan dengan pepatah adat sutan hidayat mudik<br />

bekudo, kudo tuanku pagaruyung, lubuk adat gedung<br />

lembaga, urang tuo kepalo kaum. Hamparan wilayah<br />

adatnya kemudian berganti dengan hamparan perkebunan<br />

besar swasta, kebijakan lewat konversi hutan dalam<br />

mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit<br />

skala besar. Dalam prakteknya telah menimbulkan<br />

berbagai dampak negatif terhadap lingkungan maupun<br />

dampak sosial dan berkontribusi terhadap rusaknya<br />

tatanan struktur-struktur sosial masyarakat yang hidupnya<br />

bergantung pada pengelolaan hutan dan lahan.<br />

Perkebunan besar juga munculkan masalah sosial<br />

lainnya, dengan ekspansi perkebunan yang masif telah<br />

menyebabkan perubahan yang sangat mendasar pada tata<br />

cara pengusahaan sumber daya alam dimana akhirnya<br />

lahir konflik sosial.<br />

Konflik ini disebabkan oleh diklaimnya lahan hutan<br />

dan pertanian masyarakat menjadi areal perkebunan<br />

216


kelapa sawit. Perbedaan kepentingan ekonomi ini<br />

membuat negara lebih berpihak pada pengusaha dengan<br />

mengesampingkan hak-hak masyarakat lokal atas hutan<br />

dan tanah yang telah mereka kelola sacara turun temurun.<br />

Mereka pun terjerat dan kemudian mereka ‘dipaksakan’<br />

untuk menjadi buruh di atas tanah mereka karena alasan<br />

bertahan hidup.<br />

Suku Tengah Kepungut salah satu sub suku dalam<br />

Sistem Adat Lembak, mereka dipaksanakan untuk<br />

meningalkan kebun-kebun garapan mereka karena di atas<br />

tanah tersebut akan dibangun Projek Tranmigrasi. Project<br />

Pusat yang harus dilaksanakan oleh Pemerintahan<br />

Daerah. Klaim Pemerintahan Daerah. Mereka yang<br />

dikalahkan melakukan perlawanan. Dan, berhasil<br />

menghentikan pembangunan project tersebut untuk<br />

sementara waktu.<br />

System penguasaan tanah dalam konflik ini<br />

menjelaskan hak miliki atas tanah, hak atas tanah tidak di<br />

pegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di<br />

bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah<br />

pihak yang memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut<br />

secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-<br />

217


eda (bundle of rights) antar negara dan hak kepemilikan<br />

warga.<br />

Sementara landasan kebijakan pengelolaan<br />

sumberdaya alam di Indonesia adalah Undang-Undang<br />

Dasar 1945—yang sudah diamandemen empat kali—<br />

khususnya pasal 33 ayat 3 yang isinya : “Bumi, air dan<br />

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai<br />

oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk<br />

kemakmuran rakyat”. Konsep “Negara menguasai bumi,<br />

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” ini<br />

dikenal sebagai konsep ‘Hak Menguasai Negara’.<br />

Dengan demikian politik sumberdaya alam di<br />

Indonesia yang diwakili pasal 33 UUD 1945 berpusat<br />

pada kekuasaan yang besar dari Negara terhadap<br />

penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya<br />

alam. Dari beberapa persoalan dari catatan kasus di atas<br />

merupakan dampak dari Hak Menguasai Negara yang<br />

menekankan pada paradigma stated based natural<br />

resources, bahwa ‘paradigma pengelolaan sumberdaya<br />

alam yang berbasis Negara cenderung memberikan<br />

kewenangan yang penuh kepada Negara untuk<br />

mengklaim, menguasai, memiliki dan mengatur<br />

218


pengelolaan sumberdaya alam, sehingga secara sistemik<br />

Negara menegasikan klaim-klaim Masyarakat Adat, local<br />

dan lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alamnya’.<br />

Paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang<br />

didominasi oleh Negara ini dibuat dengan sangat<br />

sentralistik yang disebabkan kondisi Negara yang<br />

terhegemoni atas system kapitalis dan system politik<br />

Negara yang berkembang, kondisi ini terlihat dari<br />

kebijakan yang dibuat hanya untuk berpihak dengan<br />

pemilik modal, Negara memberikan berbagai fasilitas<br />

kemudahan yang memungkinkan para pemilik modal<br />

untuk menguasai sumber-sumber daya alam untuk<br />

kepentingakn akumulasi modal dan menegasi<br />

kepentingan masyarakat adapt atau local lainnya.<br />

Eforia reformasi maupun sebelumnya ‘perlawanan’<br />

dalam menuntut hak atas milik masyarakat yang dikuasai<br />

oleh Negara tersebut telah dilakukan di berbagai tempat<br />

dengan issue yang sama dan system gerak yang berbeda,<br />

ini menunjukkan di satu sisi semakin “gilanya” tekanan<br />

struktural kapitalisme yang menyengsarakan rakyat dan<br />

di sisi lain meluasnya perlawanan dan keresahan rakyat<br />

tapi dalam formasi yang tersebar, tidak saling terhubung,<br />

219


dan cenderung tidak signifikan dalam mendorong<br />

akselerasi perubahan politik baik dalam skala lokal<br />

maupun nasional.<br />

Dimana Kaum-kaum muda yang mencoba untuk<br />

mengeliminasi ‘kekalahan’ dan mencoba mengapai asa<br />

kemenangan bersama kaum yang kalah dan dikalahkan<br />

itu.<br />

“Tidak ada orang menang, melainkan orang kalah,”<br />

ini penomena, demikian sering Pak Salim bilang.<br />

“Orang kalah.”<br />

“Orang yang dikalahkan.”<br />

“Oleh siapa?”<br />

“Oleh orang lain.” Oleh kehidupan yang tikaman<br />

pisaunya amat menyakitkan. Oleh kekuasaan yang datang<br />

dari luar dirinya.<br />

Ternyata aku masih disini, masih bersama orangorang<br />

yang dikalahkan. Menjadi sahabat baik kekalahan.<br />

220


19<br />

Hari minggu, sinar matahari mulai mengintip<br />

melalui celah-celah daun jambu dan sawo yang aku<br />

tanam sendiri. Daun-duannya berguguran akibat hujan<br />

badai malam tadi. Habis berolah pagi raga aku sapu<br />

daun-daun yang berguguran. Anak kecilku tiba-tiba<br />

datang dengan sepeda kecil kesayangannya. Begitu<br />

selesai menyapu halaman, aku di panggil istriku kopi<br />

pahit kesukaanku sudah tersaji.<br />

Ini hari pertama di bulan kedua 2015. Bulan kasih<br />

sayang, konon pada bulan ini valentine membuktikan<br />

penyerahan cintanya, cinta penyatuan dengan seseorang<br />

atau sesuatu diluar dirinya, pada saat seseorang sedang<br />

mempertahankan keterpisahan dan integritas dirinya.<br />

Seperti biasanya, di hari minggu. Hari minggu<br />

bagiku hari untuk memastikan hak ibu dari anakku<br />

sebagai perempuan terpenuhi, aku ambil kendali semua<br />

pekerjaan rutin rumahnya. Dan, dia bebas melakukan apa<br />

saja hari ini.<br />

Hari mulai meninggi, aku duduk di gerasi<br />

sederhana rumahku, sambil menikmati kopi dan rokok<br />

221


kesukaanku. Ku panggil kedua putraku. Yang bungsu ku<br />

angkat dan dia duduk dipangkuanku, sedang yang sulung<br />

duduk sebelah kiriku.<br />

“Nak.” Sambil aku matikan rokokku.<br />

Akan Bapak ceritakan tentang Nenekku.<br />

“Dia ibu dari nenekmu.” Keduanya mulai serius,<br />

karena biasanya setelah aku ceritakan sesuatu ke mereka,<br />

pastilah setelah itu mereka akan ceritakan dengan ibunya,<br />

atau dengan temannya dengan cara dan bahasa mereka.<br />

Dulu, dirumah kami hanya ada 5 orang penghuni<br />

resminya, aku dan adikku, nenek dan kakek kalian, itu<br />

ibu dan bapakku, dan nenekku, itu Poyang kalian. Ruang<br />

yang selalu menyatukan kami adalah ruang dapur, pagi<br />

hari, kami sama menghangatkan tubuh dekat tungku kayu<br />

sambil menikmati aroma yang akan kami santap pagi itu.<br />

Lalu, di sore hari kami makan malam bersama setelah<br />

sholat magrib, kami duduk melingkar dan bersila diatas<br />

tikar bambu hasil anyaman tangan keriput Nenenkku, aku<br />

selalu duduk disampingnya, dialah yang selalu<br />

menambah nasiku.<br />

Namanya Hadijah, Hajjah Hadijah. Dia<br />

mendapatkan gelar Hajjah ketika anak bungsunya<br />

222


erumur 6 tahun. Itu ibuku. Nenek kalian. Ibuku, anak<br />

yang 13 dilahirkannya. Dulu, ketika dia baru punya dua<br />

orang anak, suaminya ditahan pemerintahan Belanda<br />

karena ketahuan melakukan perencanaan dan<br />

pemberontakan. Sebelum tidur, karena aku selalu tidur<br />

dibelakang punggunya, aku sering memperhatikan garisgaris<br />

pada wajahnya, garis tegar yang menandakan dia<br />

sebagai perempuan bukan sebagai wanita. Suaminya<br />

meninggal ketika ibuku berumur 8 tahun, dan itu sungguh<br />

sangat siap dia mengendalikan keluarga besar tanpa<br />

suaminya, tanpa kakekku.<br />

Dia tumpahkan kasih sayangnya padaku, dan aku<br />

beruntung diantara 67 orang cucu-cucunya. Dari<br />

mulutnyalah aku diberitahu tentang betapa besar dan<br />

kuatnya cinta Bujang Kurung dengan Dayang Kerne,<br />

mitologi cinta yang dibatasi langit dan bumi. Cinta yang<br />

mengorbankan sebagian untuk memenuhi dan menutupi<br />

kekurangan cinta yang lain. Lalu, dia juga yang ceritakan<br />

tentang kisah romantis antara Cerlik Cerilang dengan<br />

Sinatung Natak, kekuatan cinta yang mampu<br />

menghidupkan yang mati, cinta mulo bangun, kata-kata<br />

223


penutup diakhir cerita. Cerita-cerita yang keluar dari<br />

mulutnya, adalah cerita mengugah emosi.<br />

“Dia tidaklah sekolah nak, tapi dia tahu bahwa<br />

emosi tidak hanya membantu kita mempertahankan<br />

keyakinan tetapi juga membela kita dari keyakinankeyakinan<br />

lain yang mengancam pandangan kita tentang<br />

dunia,” Ceritaku.<br />

Menurut dia konsesus menjadi bagian penting dari<br />

proses pembentukan keyakinan yang mengabungkan<br />

pengalaman perseptual, nilai-nilai emosional dan<br />

gambaran kongnitif ke dalam sesuatu yang utuh dan<br />

secara sosial diterima.” Kedua putraku serius mendengar<br />

cerita perempuan leluhur mereka.<br />

Dia tidak cerewet, tubuhnya tegak, tinggi dan<br />

berkulit putih, ada bercak-bercak merah tanda termakan<br />

usia di kulitnya. Aku selalu belajar bagaimana cara<br />

menghindari perdebatan dan pertentangan bila sistem<br />

kayakinan bertabrakan?<br />

“Di keluarga besar Suaminya, dia menjadi tiang<br />

tengah,”<br />

“Dia memposisikan sebagai poros utama.”<br />

Terangku.<br />

224


Tabrakan keyakinan dan gesekan pastilah ada.<br />

Jawabanya kemudian aku tahu perlu kerja keras untuk<br />

membangun toleransi, pada titik ini, ia membutuhkan<br />

upaya sadar terus-menerus menerapkan ideal-ideal<br />

spiritual dan humanistik.<br />

“Ini realitas historis,”<br />

“Aku tahu maksud bapak”<br />

“Apa?” tanyaku<br />

“Sebuah kemampuan memahami dunia luar dari<br />

manusia realitas yang berubah.” Jawab Bdikar.<br />

“Betul. Oleh karena itu, konsepsi kita terhadap<br />

sejarah haruslah bermula dan berdasar pada realita yang<br />

utuh,”<br />

“Seperti setiap makluk hidup adalah dirinya sendiri<br />

namun juga sesuatu yang lain dari dirinya,” Kedua<br />

anakku menganguk-anguk.<br />

Kita bisa saja mengisi celah dengan keyakinankeyakinan<br />

rumit, tetapi kebimbangan dan ketaidakpastian<br />

tetap ada. Inilah yang menarik kita semakin jauh ke<br />

dalam pencarian akan pengetahuan, makna kebenaran.<br />

“Kita terus berputar-putar karena manakala ada<br />

misteri, otak kita ditakdirkan untuk menyelajahinya.”<br />

225


Aku yakin Bdikar mulai tertarik dengan ceritaku, tetapi<br />

dari tadi dia diam saja. Tidak ada respon apa-apa.<br />

Secara logis bisa saja kita pakai sebab akibat, kita<br />

berusaha untuk menjadikannya masuk akal-memberi<br />

alasan, penyebab.<br />

“Jadi kita bisa menjelaskan sesuatu,” Bdikar<br />

terpacing<br />

“Iya,” Jawabku<br />

Kita mungkin menyebutkannnya sihir, mukjizat<br />

atau halusinasi, bergantung pada penjelasan mana yang<br />

lebih masuk akal atau memberikan kita banyak<br />

kedamaian dan harapan.<br />

“Tetapi, ketika kita tidak dapat membuat koneksi<br />

kausal ini maka kita akan merasa terasing dan<br />

menghalangi kita membedakan antara keyakinan dan<br />

kejadian imajiner dan kebetulan.” Bdikar tertawa. Dia<br />

tandang keras-keras bola adiknya. Lalu keduanya berebut<br />

bola dan berkelahi sampai ibunya datang. Jurus Auman<br />

Singa ibunya menghentikan perkelahian kedua anak lakilakiku.<br />

226


20<br />

Nak, malam ini bapak tidak di Rumah. Tapi tetap<br />

akan aku antarkan tidur kalian dengan cerita, meskipun<br />

Bapak tidak ada disana, tapi kalian tetap ada di hati<br />

Bapak. Cerita itu Bapak tulis dalam lembaran-lemaran<br />

setiap sel darah, kemudian Bapak simpan dalam bentuk<br />

narasi tanpa jeda dari rindu yang kian dalam terpatri di<br />

dada dan di sanalah kalian tidur dalam dekapan hangat<br />

dan tak biarkan kalian mengigil dingin dan panas<br />

berkeringat.<br />

“Ah, sudahlah,”<br />

“Yang penting jangan nakal,”<br />

Karena auman dan cubitan ibumu bisa sampai<br />

merah perut kalian nanti.<br />

“Oh ya,”<br />

“Apakah sekolah Abang sudah dibuka segelnya.?”<br />

Kemaren waktu Bapak antar Abang ke sekolah,<br />

dalam hati Bapak marah sekaligus kasihan, kalian belajar<br />

di emperan rumah bedengan itu. Karena gedung sekolah<br />

disegel oleh orang yang mengaku pemilik lahan,<br />

227


sementara “penguasa” disana diam saja seakan tidak ada<br />

masalah.<br />

Padahal mereka tahu mereka berkewajiban untuk<br />

memastikan hak kalian untuk mendapatkan pendidikan<br />

yang tidak hanya layak tetapi berkualitas, tapi tidak apaapa<br />

bukankah dulu mereka disumpah untuk<br />

melaksanakan perintah pelayanan itu.?<br />

“Secara hukum,”<br />

“Mungkin saja tidak bisa kita paksakan lalu<br />

menempelkan sangsi ke mereka, tapi yakinlah sangsi<br />

sosial secara pelan-pelan akan masuk ke dalam otak,<br />

jantung dan kemudian menyerang ke sel-sel pembuluh<br />

darah, lalu kutukan sosial ini secara genetik akan turun ke<br />

keturunannya sampai pada turunan yang ketujuh barulah<br />

kutukan itu netral.”<br />

SMS ibumu malam tadi buat hati Bapak senang,<br />

pemilik lahan sekolahmu itu mulai lunak hatinya<br />

kemudian membuka segel dan kalian bisa belajar<br />

kembali, tapi tetap saja “Penguasa” yang lehernya pendek<br />

itu bisa tidur nyenyak di istana yang dibangun dari pajak<br />

yang Bapak bayar seperti biasanya.<br />

“Bapak berangkat tadi Abang masih di Sekolah,”<br />

228


“Bapak naik Garuda nak,”<br />

“Ini pesawat katanya milik Negara,”<br />

Bapak beruntung duduk di baris kedua dari dinding<br />

pembatas kelas ekonomi dan bisnis, posisi duduk itu<br />

menguntungkan sekali, sehingga Bapak bisa merasakan<br />

betapa nikmatnya kalau duduk di Kelas Bisnis,<br />

bangkunya luas, pramugarinya ramah-ramah lagi.<br />

Bapak dapat bangku di tengah.<br />

Kiri kanan Bapak duduk dua orang laki-laki. Dari<br />

penampilannya, sepertinya mereka pejabat tinggi dan<br />

tentu mereka sangat sibuk. Itu terlihat dari mulai mereka<br />

duduk, masing-masing kedua tangan mereka pegang HP,<br />

dari merknya Bapak tahu harganya pasti mahal sekali,<br />

pasti harganya 50 kali lipat dari harga HP Bapak yang<br />

cuma harganya Rp. 200.000.<br />

Lalu, Bapak pura-pura tidur sambil mengintip<br />

tulisan apa yang sibuk mereka baca, ternyata isinya SMS<br />

ecek-ecek, sepertinya ada janjian tapi tidak ada<br />

hubungannya dengan pekerjaan mereka. Kalaupun ada<br />

portal berita, berkali-kali mereka buka portal dengan<br />

berita yang sama.<br />

229


“Bapak sekarang sedang ada di Kota yang dulunya<br />

disebut dengan Batavia nak.”<br />

“Suatu hari kalian juga akan sampai ke sini.”<br />

Bapak berangkat tadi tidak dimulai dari angka nol,<br />

tapi berangkat dari Minus 10. Ada banyak yang belum<br />

diselesaikan, tidak hanya tentang persoalan rumah kita.<br />

Istana kecil kita yang dipenuhi bunga ditanami ibumu,<br />

tapi bertumpuk persoalan di rumah kedua Bapak. Rumah<br />

kedua itu rumah tempat Bapak kerja nak.<br />

Ada banyak persoalan butuh diselesaikan, temanteman<br />

Bapak tadi ketika Bapak berangkat ke Bandara, di<br />

masing-masing kening mereka sepertinya ada angka III<br />

Romawi, kedua alis mereka seakan-akan bersatu. Seakanakan<br />

mereka mau melahap habis semua persoalan yang<br />

terjadi di Negeri ini, dan ini konras sekali dengan para<br />

Pejabat yang duduk disamping Bapak tadi.<br />

Hati Bapak mulai kasihan dan iba, terutama dengan<br />

satu Perempuan yang suka pakai jilbab dan jean warna<br />

merah, sepertinya dia harus berpikir keras, karena dialah<br />

yang harus mengatur segala hal agar Rumah kedua itu<br />

agar tetap seperti biasanya, meskipun pada saat yang<br />

230


sama terjadi tumpukan dan tunggakan masalah yang juga<br />

harus dia selesaikan.<br />

“Dan pagi ini dengan segaris banyangan kalian<br />

seakan melangkah dari cangkir kopi”. Kopi bapak<br />

dibautkan oleh tangan kekar teman Bapak.<br />

“Dulu kampungnya integrasi dan sekarang sudah<br />

Merdeka”<br />

Bayangan kalian pelan-pelan mencoba jauh berlari<br />

mengendap-endap bersembunyi diantara hati dan jantung<br />

yang setiap debar gumamnya akan terjaga oleh semu<br />

geletar menjalar dari paras tidur kalian yang berpendar.<br />

Dan itu tentu saja cukup buat Bapak membariskan<br />

diri kemudian membiarkan impian terus saja mengusik<br />

diri membayangkan jutaan impian yang kian berseri,<br />

impian yang akan mengisi ruang kosong yang enggan<br />

singgahi oleh Petinggi Negeri ini.<br />

“Nanti akan aku kirim cerita-cerita buat pengantar<br />

tidur kalian.” Bisikku dalam hati.<br />

231


21<br />

“Sudah tidurkah kalian disana Nak.?”<br />

“Kalau Bapak tidak di rumah siapa yang menjadi<br />

Pemimpin.?” Ini pertanyaan yang sering aku lontarkan<br />

kepada anak tertuaku.<br />

“Aku yang akan memimpin.” Jawabanmu dengan<br />

yakin.<br />

Pasti kalian tidak nakalkan, karena tidak akan ada<br />

yang bela kalian ketika bentakan dan cubitan ibumu<br />

menempel dikulit kalian. Apakah ibumu tadi cerita<br />

tentang hidup.? Dimana nanti yang kalian hadapi adalah<br />

suatu masa dimana jiwa bergejolak duka ketika<br />

pertumpahan hati tak lagi bisa bersua dan garis<br />

kehidupan haruslah tetap kalian jalani sambil meniti<br />

jejak-jejak yang mungkin saja salah tapi yakinlah semua<br />

akan berakhir indah seperti pada bagai bunga mawar<br />

mewangi yang di tanam ibumu pada teras rumah kita.<br />

Dalam doa yang selalu kami tiupkan pada ubunubun<br />

kalian adalah bahwa damai akan selalu bernaung<br />

232


pada kebahagiaan, damai itu kejujuran dan kebahagiaan<br />

itu tujuan.<br />

“Oh ya nak,” Sekarang Bapak sudah di Cirebon, di<br />

Kesepuhan Cigugur kalau secara Adminstratif sudah<br />

masuk wilayah Kuningan, di sini dingin sekali sama<br />

seperti di Kampung Nenek kalian. Masyarakatnya ramah<br />

dan setiap tuturnya halus, mereka berbahasa Sunda, saya<br />

senang disini.<br />

Mereka menghormati keberagaman, mereka satu<br />

suku, satu bahasa tapi keyakinan mereka berbeda. Bapak<br />

tidur dirumah Penduduk, mereka hanya berdua saja di<br />

sini, kami diterima dengan baik. Tuan rumah banyak<br />

bercerita tentang kehidupannya, mereka punya tiga putri<br />

semuanya sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari<br />

kampung. Mereka Nasrani nak, tapi tak apa-apa<br />

bukankah soal keyakinan adalh soal hubungan antara<br />

manusia dengan tuhannya.<br />

Ini kali pertamanya Bapak kesini, Bapak berangkat<br />

dari kota Batavia itu, kami harus kumpul di stasiun dekat<br />

Monumen yang katanya sebagian besar emas yang<br />

menghiasai monomen ini dari kampung Bapak, ini<br />

bentuk kontribusi terhadap Negara ini. Bapak berjumpa<br />

233


dengan teman-teman lama Bapak, ada yang dari Propinsi<br />

yang tiap tahun selalu saja menghasilkan kabut asap,<br />

karena penetrasi kapitalisme melalui ekploitasi<br />

perkembunan sangat masif disana. Ada juga dari<br />

Palembang, Borneo dan Selebes, mereka orang-orang<br />

hebat nak, mereka pembela rakyat sejati.<br />

Kami sama-sama menuju Cirebon memalui kereta<br />

api, Bapak tentu saja menikmati perjalanan ini,<br />

disepanjang perjalanan sawah terbentang luas, mungkin<br />

dua puluh tahun lagi, pasti sudah berubah menjadi<br />

kawasan industri yang hanya mempruduksi buruh dan<br />

kemiskinan bagi masyarakat sekitarnya. Sepanjang<br />

perjalanan yang terpikir oleh Bapak ternyata memang<br />

basis Negara kita hanya agraris dan maritim, bukan yang<br />

lain-lain, tapi kenapa ya.? Keduanya menjadi daftar<br />

terakhir yang menjadi prioritas pembangunan. Dan<br />

bukankah penjajah dulu datang ke sini hanya butuh hasil<br />

pertanian itu.?<br />

Nak, tidak sengaja karena asiknya menikmati<br />

hamparan sawah, tiba-tiba sekilas saja lirikan Bapak<br />

tertuju pada seorang perempuan berkaca mata. Memori<br />

kolektif Bapak tiba-tiba berbalik pada 10 tahun yang<br />

234


lalu, Bapak jadi ingat dengan dua orang perempuan<br />

berkaca mata yang megisi kisi-kisi hati Bapak ketika itu.<br />

Satu berjilbab dan berkacamata, tururnya lembut karena<br />

memang anak bungsu dikeluarganya, ada ada juga<br />

berkaca mata lainnya, mandiri, lincah dan tegas.<br />

Perempuan berkacamata pertama yang Bapak kenal<br />

ketika di Bis menuju kota tempat Kuliah, ketika itu<br />

Bapak tidak sehat badan dan AC mobil yang rusak, dia<br />

duduk disamping Bapak kemudian dengan bermurah hati<br />

dia berikan jaketnya untuk Bapak, kami kuliah di kota<br />

yang sama tapi tempatnya beda. Mulai saat itu ada<br />

perasaan aneh kepada dia, lalu di tingkat 5 di Gedung<br />

jalan Damar itu kami sepakat untuk saling menyatuhkan<br />

hati kami.<br />

Ada banyak waktu yang kami habiskan bersama,<br />

sampai pada akhirnya kami harus terpisah karena Bapak<br />

tidak lagi bisa melanjutkan Kuliah Bapak. Bapak ketemu<br />

dia kembali setelah 8 tahun terpisah dan umurmu ketika<br />

itu 1 tahun. Dia menangis histeris nak, lalu dia bercerita<br />

banyak tentang perjalanan hidupnya ketika kami tidak<br />

lagi bersama. Setelah manamatkan kuliahnya, dia sampai<br />

kemudian dia bekerja untuk Negara ini, dia tutup hatinya<br />

235


untuk lelaki lain sampai dia ketemu dengan seseorang<br />

yang mirip dengan Bapak dan seseorang itu telah<br />

berkeluarga, jadilah dia simpanan lelaki itu. Semuanya<br />

dia ceritakan sambil berurai air mata histeris nak, Bapak<br />

kemudian menggelus dada betapa dia mencintai Bapak.<br />

Tentu Bapak merasa bersalah. Meninggalkan hati yang<br />

mencintai dengan tulus tanpa ada rasa bersalah.<br />

Tiga tahun yang lalu, perempuan berkacamata<br />

kedua datang ke kota kita nak. Dia teman lama dan di<br />

beberapa kesempatan kami sering berdua untuk belajar<br />

menyelesaikan persoalan yang terjadi di Negeri ini. Dia<br />

datang ke kota kita. Tapi bukan untuk pekerjaan yang<br />

biasa kami lakukan, tapi dia dapat tugas dari Negara.<br />

Karena dia bekerja untuk Negara ini. Sebagai teman lama<br />

tentu saja Bapak ajak dia keliling kota kita, sampai dia<br />

pulang kembali ke Ibu kota. Dia bekerja untuk sebuah<br />

Departemen nak. Awalnya kami tidak ada apa-apa.<br />

Semuanya berjalan seperti apa adanya, sampai suatu<br />

malam, telepon Bapak berdering dan ternyata Namanya<br />

yang muncul. Dia bilang ketika itu, ada yang tertinggal di<br />

Bengkulu, dan itu hati untuk Bapak nak. Dua bulan<br />

setelah itu, Bapak berkunjung ke kotanya, kami habiskan<br />

236


indu dan hasrat kami sampai tidak ada yang tersisa. Lalu<br />

Bapak harus menjawab benyak pertanyaan dan pilihan,<br />

tentu pilihan pada akhirnya kalianlah yang Bapak pilih.<br />

Bapak tahu berkepinglah hatinya, ada banyak komitmen<br />

dan espektasi pada dia, namun tak bisa Bapak penuhi.<br />

Bapak bisa rasakan betapa sakitnya dia atas rasa itu.<br />

Tentu saja Bapak besikap, bahwa kalianlah<br />

segalanya. Selama 7 tahun bapak bangun cinta bapak<br />

dengan ibumu sebelum kemudian kami ikat cinta itu<br />

dengan pernikahan dan itu yang membuat kalian lahir,<br />

lahir dari sebuah rasa cinta. Tentu saja si kaca mata itu<br />

hanyalah jadi bagian yang menghiasi perjalanan Bapak.<br />

Sedikit saja rasa itu mampir kemudian bayangan kalian<br />

dan ibumu menghapus bayangan semu itu. Tentu saja itu<br />

bersalah ketika rasa itu tak berbalas, tapi kemudian dia<br />

kasih tahu ke Bapak bahwa dia akan melanjutkan<br />

hubungannya dengan seorang pria yang di sayangi<br />

meskipun tidak sebesar rasanya kepada Bapak.<br />

Meskipun dia hanya sebentar mampir dihati Bapak<br />

kemudian permanen di hatinya, ada pelajaran yang<br />

menarik dari perjalanan singkat kami.<br />

237


Dia pernah bilang “bahwa rasa itu tidak boleh<br />

disimpan dihati, jika seandainya rasa itu menguat maka<br />

dia harus dilisankan, meskipun kemudian menyebabkan<br />

rasa sakit dihati, itulah konsekwensi dari apa yang<br />

menjadi pilihan termasuk pilihan hati”. Sikap ini tentu<br />

saja dipengaruhi oleh pendidikan dan pergaulannya<br />

ketika dia melanjutkan pendidikannya diluar Negeri.<br />

Bapak senang dengan sikap dia yang keluar dari<br />

pakem perempuan timur yang malu-malu padahal itu<br />

munafik dan menafikan sikap yang ada dihatinya. “Nak,<br />

tapi ini jangan disampaikan ke Ibu kalian ya, nanti bisa<br />

ada perang dunia ke III”.<br />

“Tapi tidak apa-apa,” Beberapa kali pernah Bapak<br />

cerita dengan ibumu, dan dia mengerti.<br />

“Tentu saja dia mengerti nak kami 18 tahun sudah<br />

bersama, jadi tidak ada yang harus ditutupi, dan itu akan<br />

menguatkan konsolidasi dan hubungan kami.” Mataku<br />

berair dan mulai merindukan teras rumah dan bau<br />

keringat anak bungsuku.<br />

238


22<br />

“Bapak, sudah malam. Mari tidur dan cerita lagi<br />

yuk.” bujuk Titon, ketika pulang setelah sekian hari<br />

berkelana diluar.<br />

Titon. Dia putra kecilku yang masih berumur 4<br />

tahun, Akupun matikan Televisi yang sedang menyiarkan<br />

siaran yang tidak bermutu itu, kemudian bergegas ke<br />

kamar tidur. Dan seperti malam sebelumnya, posisi<br />

tidurku selalu di pingir. Karena setiap malam aku harus<br />

cerita sebagai pengantar tidur mereka. Aku mulai<br />

kehabisan bahan, aku tahu menyampaikan cerita<br />

menjelang tidur itu bagus sekali untuk anak-anak yang<br />

sedang dalam masa pertumbuhan, selain untuk relaksasi,<br />

juga berguna untuk membantu keterampilan problem<br />

solving serta mampu merangsang imajinasi, kreatifitas<br />

dan keterampian berpikir bagi anak.<br />

“Baik nak, untuk malam ini saya akan bercerita<br />

tentang Peradilan Sang Kancil” jawab saya sambil<br />

membenarkan posisi tidur untuk memastikan bahwa kami<br />

saling berinteraksi.<br />

239


Akupun memulai cerita. Pada suatu pagi, ketika itu<br />

sinar mata hari mulai mengintip dari balik dedaunan yang<br />

tumbuh rindang disepanjang spadang sungai. Seekor<br />

biawak menjemur anaknya yang baru lahir 4 hari yang<br />

lalu, dan diletakkannya di salah satu bebatuan di pinggir<br />

sungai. Induk biawak meninggalkan anaknya.<br />

Tak lama kemudian datanglah anak kijang yang<br />

meloncat-locat seperti kegirangan. Tidak sengaja diapun<br />

menginjak anak biawak yang masih berwarna kemerahmerahan.<br />

“Anak biawak itupun tewas.” Ceritaku. Mata Titon<br />

membesar. Induk biawak datang, dia sedih dan marah.<br />

Dapati anaknya sudah tewas mengenaskan, sekujur<br />

tubuhnya penuh jejak kaki anak rusa.<br />

Dia yakin bahwa yang membunuh anaknya adalah<br />

anak rusa. Dia menuntut keadilan. Pengadilan dipimpin<br />

oleh sang kancil. Visum dan indok biawak di periksa dan<br />

diminta keterangannya. Hasil dari Berita Acara<br />

Pemeriksaaan dan visum disebutkan bahwa kematian<br />

anaknya disebabkan oleh kaki anak rusa. Jejak kakinya<br />

terang di mata hukum.<br />

Lalu, digelarlah peradilan.<br />

240


Anak rusapun dipangil ke pengadilan untuk<br />

diperiksa keterangan, statusnya saksi yang akan dijadikan<br />

tersangka. Anak rusa mengakui bahwa dialah yang<br />

menginjak anak biawak.<br />

“Akulah yang menginjak anak biawak, karena<br />

waktu itu aku sedang menari karena mendengar bunyi<br />

gendang monyet.” Akui anak rusa.<br />

“Oh ternyata kamu tidak salah yang salah adalah<br />

monyet,” Kata si Kancil. Akibat monyet menabuh<br />

gendang, anak rusa menari lalu terinjak anak rusa.<br />

“Pangil monyet kesini biar kita minta<br />

pertanggungjawabannya.” Perintah si hakim. Kancil.<br />

Monyet datang ke pengadilan.<br />

“Benar kamu yang menabuhkan gendang,” tanya si<br />

hakim kepada monyet yang duduk sambil garut-garut<br />

kepala.<br />

“Benar yang mulia hakim,” jawab monyet. Waktu<br />

itu aku melihat udang mondar mandir membawa senjata<br />

lengkap dan aku pikir akan ada perang maka akupun<br />

menaguhkan gendang. Gendang perang. Lanjut monyet.<br />

“Oh, kalau begitu bukan monyet yang salah,” kata<br />

si hakim, pangil Udang biar kita dengar penjelasan<br />

241


Udang. Lanjutnya sambil mengetuk palu bahwa sidang<br />

akan dilanjutkan besok hari.<br />

Pagi-pagi Udang sudah hadir diruang pengadilan,<br />

sidangpun dilanjutkan dan diawali dengan pertanyaan si<br />

hakim.<br />

“Udang! benar kau yang mondar mandir dengan<br />

senjata lengkap beberapa hari lalu.? Sehingga monyet<br />

menabuh gendang perang, anak rusa menari, lalu terinjak<br />

anak biawak. Anak biawak itu mati, karena<br />

perbuatanmu.!”<br />

“Betul Pak Hakim, karena waktu itu aku lihat si<br />

siput mondar mandir dengan baju besinya”<br />

“Baju besi menandakan bahwa siput siap turun ke<br />

medan perang, akupun berpatroli dengan senjata<br />

lengkap”<br />

“Aku berjaga-jaga meskipun aku belum tahu siapa<br />

lawannya.”<br />

Kancil terdiam. Lalu berkesimpulan bukan udang<br />

yang salah tapi Siput.<br />

Siput di spirindik. Dia dengan suka rela pada<br />

pangilan pertama datang. Dia mengakui di pagi itu<br />

memakai baju besi. Baju perang. Dia menjelaskan<br />

242


alasannya memakai baju besi karena dia melihat setiap<br />

ikat sepat. Matanya merah seperti sedang marah, untuk<br />

mengatisipasi kemarahan ikan sepat, Siput memakai baju<br />

besi. Kancil pemutuskan siput tidak bisa di jadikan<br />

tersangka apalagi terdakwa dalam kasu ini.<br />

Keluarlah surat pemangilan untuk ikan Sepat.<br />

Ceritaku. Mata Titon mulai redup.<br />

Sepatpun datang ke pengadilan. Kancil yang<br />

bertanya “Sepat, benar pada waktu itu, matamu merah<br />

seperti orang yang sedang marah.?”<br />

“Siput ketakutan kemudian dia pakai baju besi,<br />

udang mondar mandir dengan senjata lengkap, dan<br />

monyet mengendangkan gendang perang, mendengar<br />

bunyi gendang anak rusa menari, dia terinjak anak<br />

biawak, lalu tewas!” Tanya Kancil. Intonasi<br />

pertanyaannya mengadung ancaman beratnya sangsi yang<br />

akan diberikan kepada ikan Sepat jika bersalah.<br />

Ikan sepatpun mengerti kenapa tuduhan itu<br />

ditujukan padanya. Dengan santai dia jawab.<br />

“Benar yang mulia Kancil, mataku dan mata temanteman<br />

merah karena air sungai tempat kami hidup kami<br />

243


keruh. Keruh dari hulunya akibat perbuatan Induk<br />

Biawak” jawabnya santai.<br />

“Mendengar jawaban ikan Sepat,” kancil binggung.<br />

Lalu dia pangil beberapa ahli hukum untuk meminta<br />

pertimbangan, setelah bermusyawarah, sidang vonispun<br />

dimulai.<br />

Dengan lantang kancil membaca keputusan sidang.<br />

“Mengingat dan mempertimbangakan bahwa<br />

sidang ini memperhatikan akar dari masalah yang terjadi,<br />

maka kami putusakan yang bersalah adalah Induk<br />

Biawak, karena atas perbuatan yang disengaja telah<br />

membuat air sungai keruh dan kotor, akibatnya ikan sepat<br />

merah, siput memakai baju besi dan udangpun siap<br />

berperang. Gendang perang digendangkan oleh monyet<br />

dan menarilah anak rusa dan menginjak anak biawak,”<br />

“Lalu kami memutuskan yang bersalah adalah<br />

Induk Biawak.!” Terang kancil dengan yakinnya sambil<br />

mengetuk palu sidang.<br />

Lagi-lagi anak tua kami Bdikar, sudah tertidur<br />

sebelum cerita berakhir, untung adiknya masih merem<br />

melek sambil pegang dot susunya, lalu saya padamkan<br />

lampu dan tidurlah kami.<br />

244


245


23<br />

Entah siang ini aku bosan. Obat bosan biasanya<br />

Cuma bau keringat anak kecilku dan wajah ibuku. Ibu<br />

yang dari kecil aku pangil mak. Makku jauh di kampung<br />

dan aku belum punya banyak waktu untuk<br />

menginjunginya. Aku kemudian ambil pena, tintanya<br />

berwarna biru. Lalu pada kertas buran aku mulai menulis<br />

untuk Makku.<br />

“Mak,”<br />

Aku memulai dengan kata Mak. Sampai hari ini<br />

anakmu masih tegak pada posisi dan bekerja untuk<br />

kemanusian/humanism meskipun aku kesulitan<br />

mendekontruksi makna kemanusian itu, aku cuma tahu<br />

bahwa aku hanya bekerja, jadi pekerja Mak. Takut aku<br />

sebut sebagai aktivis, karena aku dapat sesuatu dari yang<br />

aku kerjakan setidaknya ada kepuasan batin disana selain<br />

sedikit material untuk bertahan. Tapi aku tidak<br />

mengantungkan hidup dari sana. Paragraf terakhir ini aku<br />

yakinkan dia bahwa aku akan menghidupi cucunya<br />

dengan nafkah halal.<br />

246


Mak. Aku melanjutkan dengan paragraf kedua,<br />

dengan paragraf pertama tanpa coretan. Sebelum aku<br />

sampaikan lebih jauh tentang apa yang aku kerjakan dan<br />

tentu saja ada teman-temanku yang mengerjakan hal yang<br />

sama dengan motif yang berbeda. “Begini Mak,” aku<br />

bayangkan di duduk di depanku. Aku akan menjelaskan<br />

tentang apa itu humanisme atau aliran kemanusiaan itu,<br />

dari Buku-bukunya Ali Syari’ati yang aku baca. Dia<br />

menyebutkan humanisme sebagai himpunan prinsipprinsip<br />

dasar kemanusiaan yang berorientasi pada<br />

keselamatan dan kesempurnaan manusia. Dia ternyata<br />

berangkat dari sudut pandang etimologis (human atau<br />

homo = manusia dan isme = paham atau pandangan).<br />

Istilah humanisme ini merupakan terma yang hanya<br />

dikenal dalam diskursus filsafat, namun humanisme<br />

sebagai pandangan mengenai konsep dasar kemanusiaan<br />

dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, seperti sains<br />

dan spiritualisme. Aku yakin Makku akan tertawa ketika<br />

membaca paragraf ini.<br />

“Baiklah Mak,” seakan akan aku sedang presentasi<br />

meyakinkan Makku, seperti ketika dulu aku minta jajan<br />

untuk beli lontong di sekolah. Akan Aku mulai dari sains<br />

247


dulu. Dalam diktum fisika Newton yang menyatakan<br />

”tiada fenomena yang tak dapat diukur dalam filsafat<br />

eksperimental”. Diktum ini melahirkan pandangan<br />

positivisme yang menekankan metode empirikaleksperimentatif<br />

dalam memahami realitas. Metode ini<br />

meniscayakan lahirnya paradigma reduksionismeatomistik<br />

yang menghasilkan pengerusan pada makna<br />

dan hakekat realitas. Secara sederhananya dalam tinjauan<br />

sains, memandang manusia tak lebih dari fakta empirikal<br />

(nomotetis) dan bersifat mekanistik-deterministik serta<br />

mereduksi manusia dari hal-hal non empiris, seperti nilai<br />

dan kesadaran. Konstruksi manusia dalam pandangan<br />

saintifik ini mencapai titik ekstrimnya dalam pandangan<br />

Julien O de Lametrie yang menyamakan manusia dengan<br />

mesin (L’Homme machine). Menulis paragraf ini aku<br />

berhayal jadi Bapak Abdulah Guru SD ku yang<br />

kharismatik tetapi bersarang TBC di tubuhnya.<br />

Mak. ini adalah suatu kondisi akibat<br />

perkembangan teknologi menghasilkan pergeseran<br />

mendasar dari human thought kepada thinking of machine<br />

yang mengakibatkan manusia tergeser dari pusat<br />

peradaban hingga ke “margin-margin” peradaban. Nah,<br />

248


kalau menurut Filsafat Humanisme ini mendasarkan<br />

dirinya pada akal sebagai realitas sublim pada diri<br />

manusia, sederhananya filosofis memandang manusia<br />

tidak hanya sebatas realitas material belaka yang statis<br />

dan determinis, melainkan juga sebagai realitas ideografis<br />

yang memiliki persepsidan kesadaran yang bersifat<br />

dinamis.<br />

Kalau menurut filsafat humanis ini kemudian<br />

membagi eksistensi manusia secara bidimensional, yaitu<br />

l’ etre ensoi (ada dalam diri) dan l’ etre pour soi (ada<br />

untuk diri), dengan akalnya, manusia berperan sebagai<br />

“lakus dunia” yang dapat mempersepsi, mengubah, serta<br />

memberi nilai dan makna pada dunia dan hidupnya. Jika<br />

kita menelusuri humanisme dari sudut pandang filsafat<br />

maka kita akan terbawa pada perdebatan panjang yang<br />

tiada henti mengenai nilai dan makna kehidupan<br />

manusia. Jika sains memandang manusia dari sisi<br />

matternya, filsafat memandang manusia dari sudut<br />

pandang mindnya, maka spiritualisme memandang<br />

manusia dari sudut pandang spirit (ruh)nya. Secara<br />

ontologis, spiritualisme mendasarkan pandangannya<br />

bahwa manusia selain memiliki dimensi eksoteris<br />

249


(tubuh), manusia juga memiliki sisi esoteris (ruh) yang<br />

bersifat ransenden dan Ilahiyah. Dua paragraf ini aku<br />

tulis seakan-akan Wak Wahitku yang pintar sekali<br />

mengajari tasawuf itu, mengintip di belakang telinggaku.<br />

Aku mendengar suaranya sayup-sayup.<br />

Mak. Terangku. Yang coba aku kerjakan itu<br />

berharap manusia berperan sebagai “lakus dunia” yang<br />

dapat mempersepsi, mengubah, serta memberi nilai dan<br />

makna pada dunia dan hidupnya secara aplikatif. Kami<br />

menyebutnya dengan istilah ‘Gerakan’, kadang-kadang<br />

kami lakukan dengan penekatan kasus, kadang kami juga<br />

melakukan dengan pendekatan politik tapi kami selalu<br />

kalah.<br />

Mak... ternyata wacana yang coba kami sampaikan<br />

terhegemoni secara masif oleh banyak kepentingan.<br />

Akupun menjelaskan makna Hegemoni kepada Makku.<br />

Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang<br />

dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang<br />

kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara<br />

institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan<br />

seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius<br />

250


dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial,<br />

khususnya dalam makna intelektual dan moral.<br />

“Mak. itu yang aku, anakmu baca dari<br />

pengagasanya Antonio Gramsci.” Jelasku. Untuk<br />

meyakinkan Makku akupun menjelaskan.<br />

“Atau secara sederhanya, hegemoni ini sebuah<br />

kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya<br />

mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui<br />

pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual.<br />

Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat<br />

tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas<br />

sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif<br />

mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan<br />

makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka<br />

pada struktur kekuasaan yang ada.”<br />

“Lalu apa hubungannya kemanusian dengan<br />

hegemoni ini?” Seakan-akan Makku bertanya.<br />

“Kali ini saya tidak akan berteori Mak,” Jawabku.<br />

ternyata upaya dalam menuju kemanusiaan dimana<br />

outputnya manusia itulah berperan sebagai “lakus dunia”<br />

yang dapat mempersepsi, mengubah, serta memberi nilai<br />

251


dan makna pada dunia dan hidupnya secara sukarela<br />

digerus atas banyak kepentingan.<br />

Ada kepentingan eksternal, ini untuk menyebutkan<br />

sesuatu diluar kami, dia adalah sistem globalisasi,<br />

liberalisasi dan sederet ideologi untuk mendehumanisasi<br />

yang namanya manusia, sementara dari internal kami<br />

banyak sekali kepentingan disana, jika mereka mau<br />

melakukan kerja-kerja humanisme itu mereka buat<br />

proposal. Aku tidak tahu dengan siapa saja.<br />

Sebagian lagi kami ribut-ribut ketika yang lain<br />

mendapat prioritas lebih untuk melakukan kerja-kerja<br />

humanisme ini, mereka saling klaim bahwa merekalah<br />

yang paling hebat, paling bisa menyelesaikan yang<br />

namanya humanisme tanpa menyebutkan indokatorindikator<br />

yang rinci, mereka rajin mengobral kata-kata<br />

‘pokoknya’, ‘hanya kita’, tentu saja mereka kemudian<br />

inclusif.<br />

Anehnya juga ada yang hobi nulis depan<br />

komputernya dan dijadikan status media jejaring<br />

sosialnya lantang berteriak soal humanisme tapi tetap saja<br />

tidak beranjak dari depan komputernya.<br />

252


Sejauh ini saya capek tapi tidak tahu harus berhenti<br />

kapan, dan sesadarnya hanya dua tangan dan dua kaki<br />

yang saya punya, tidak akan selesai olehku dan kami jika<br />

saja antara kami friksinya semakin tajam dan terjebak<br />

pada hegemoni oleh tangan yang tidak tampak yang nun<br />

jauh sana.<br />

Mak, aku selesaikan surat ini dulu sampai disini.<br />

Nanti akan aku tulis lagi curahan hati yang galau dan<br />

lemah ini, semoga doanya selalu tercurah untuk anakmu<br />

yang lemah ini.<br />

24<br />

Malam itu habis magrib, aku duduk di teras rumah<br />

sambil menikmati sisa senja, menikmati sulutan asap<br />

rokok dan tentu dengan segelas kopi. Bdikar anak<br />

tertuaku datang lalu duduk disampingku. “Sebei” ini<br />

untuk sebutan Neneknya, itu ibuku.<br />

253


“Kenapa Sebei tidak pernah marah, Pak?” tanyanya<br />

tiba-tiba.<br />

Aku tentu harus hati-hati menjawabnya<br />

pertanyaannya. Karena berurusan dengan ibuku, orang<br />

yang paling aku cintai sekaligus aku hormati.<br />

“Sebeimu seinggatku memang tidak pernah marah,<br />

tapi kalau Bapak buat salah sedikit saja, duduk dekat dia<br />

saja seperti kambing ketemu harimau, berat sekali kaki<br />

bapak untuk lari menjauh dari dia, meskipun tidak ada<br />

omelan yang keluar dari mulut tipisnya.” Jawabku<br />

seadanya<br />

“Nak, dulu ketika masih kecil bapak pernah buat<br />

tiga kesalahan dalam waktu yang hampir bersamaan, dia<br />

tidak marah Cuma tersenyum saja, dan sedikit kasih<br />

nasehat, setelah itu air mata bapak bercucuran” ceritaku.<br />

“Terus, kesalahan apa yang telah diperbuat<br />

bapak.?”<br />

“Dan reaksi Sebei bagaimana ketika itu,”<br />

Ini pertanyaan khas Bdikar, aku seperti di introgasi,<br />

matanya mulai fokus, mimik wajahnya mulai serius dan<br />

posisi duduknya mulai dekat ini pertanda dia sudah<br />

sangat siap mendengar cerita.<br />

254


“Dulu” aku mulai bercerita.<br />

Ketika itu umurku baru 10 tahun dan duduk di<br />

kelas 5 SD. Tepatnya di hari minggu bulan Agustus, tiga<br />

bulan menjelang musim panen padi. Waktu sedang<br />

banyaknya hama burung. Burung pipit (amandava<br />

amandava) spesies burung dari keluarga estrildidaer dari<br />

genus Amandava. Jadi, hari itu aku dapat jatah menjaga<br />

sawah. Sawah kami tidak jauh dari sawah Wakku. Wak<br />

Wahid, kakak tertua ibuku. Beliau ketika itu sedang<br />

semangatnya mengajar “Ilmu Kajian Dalam”. Kajian<br />

tasawuf Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, Thariqah<br />

ini merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar,<br />

yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah<br />

yang didirikan oleh seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-<br />

Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh<br />

Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. inti<br />

pokok ajarannya adalah sama-sama menekankan<br />

pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul<br />

Wujud, menuntun pada kesempurnaan suluk.<br />

Sebelum berangkat sambil menyiapkan bekalku<br />

untuk seharian ada tiga pesan ibuku, dia bilang begini<br />

255


“burung pipit biasanya datang menjelang sore, tepatnya<br />

menjelang Azhar nak.! Jadi jangan sampai lalai.”<br />

“Dan kalau mampir di sawah wakmu, jangan terlalu<br />

banyak tanya tentang Kajian tasawuf Thariqah Qadiriyah<br />

Naqsabandiyah, umur, otak dan pengetahuan agamamu<br />

masih dangal. Dan jangan bermain-main di anak sungai<br />

yang ada di dekat sawah karena anak sungai itu angker.!”<br />

Pesannya padat dan sangat jelas. Aku mengagguk lalu<br />

pergi kesawah.<br />

Sampai di sawah jam 9 pagi, aku lalu menyalan api<br />

dari batang pokok kayu yang sudah disiapkan ibuku<br />

beberapa hari lalu. Pagi lumayan cerah dan tidak tampak<br />

seekorpun burung yang datang. Aku mulai kepanasan. Di<br />

dinding pondok ada pancing, lalu aku menuju anak<br />

sungai yang tidak jauh dari sawah. Aku duduk di atas<br />

batang kayu yang sudah roboh, lalu mancing. Ikannya<br />

lumayan banyak, aku asik menaikan ikan mujair<br />

(oreochromis mossambicus) dari air dengan kailku. Pasti<br />

ibuku senang pikirmu, ada hasil tambahan selain laporan<br />

“pengusiran burung pipit”. Lamunanku berhenti ketika<br />

pancinganku tersangkut. Aku turun ke air, dan airnya<br />

256


terasa segar sekali. Aku mandi, dan baru sadar pesan<br />

ibuku setelah aku menggigil kedinginan.<br />

Dengan pakaian yang basah. Aku kembali ke<br />

pondok dari bambu yang dibangun dengan tangan<br />

Bapakku. Ikan hasil pancingan aku masukan ke dalam<br />

bakul, wadah dari bambu hasil ayaman ibuku. Hari mulai<br />

meninggi, tampak dari jauh Wakku sedang menunaikan<br />

Sholat Zuhur tepat di bawah pohon jambu depan<br />

pondoknya. Dia seakan-akan memangilku untuk kawan<br />

mengobrol. Pangilan itu begitu kuat masuk ke dalam<br />

alam pikiranku, wajah bersih dan senyum yang<br />

kharismatik itu menganggu sekali. Begitu dia selesai<br />

sholat, aku berlarian ke pondoknya yang memang tidak<br />

jauh dari Pondok sawah kami. Dia senang sekali ketika<br />

aku sampai di pondoknya, keluarlah ubi rebus, secara<br />

reflek aku langsung bergegas menyeduh kopi dengan<br />

gula aren.<br />

Kami duduk diteras pondoknya, angin sepoi-sepoi<br />

yang membawa aroma padi meniup wajah kami. Dia<br />

mulai cerita tentang ajaran Thariqah Qadiriyah<br />

Naqsabandiyah, karena semangat. Dia tidak sadar ketika<br />

itu umurku baru 8 tahun. Otak belakangku bagian kiri<br />

257


mulai sakit, tapi masih saja aku bertahan dengan<br />

penjelasannya. Sesekali aku bertanya di sela penjelasan<br />

untuk sesuatu yang membingungkanku. Tentu saja aku<br />

menikmati penjelasannya, kali ini sampai pada materi<br />

sifat 18 dari sifat 20 tentang berdirinya zat pada sifat.<br />

Tidak terasa sudah tiga jam berjalan. Penjelasannya<br />

berhenti. Dia harus menunaikan sholat Azhar. Aku<br />

langsung ingat pesan ibuku, bukankah menjelang Azhar<br />

pasukan Burung akan meng-agresi lalu meng-okupasi<br />

sawah kami, aku harus buat perlawanan untuk<br />

mempertahankan wilayah sawah kami.<br />

Sawah yang akan menghasilkan padi dua bulan<br />

mendatang, alat pital bagi pertahanan hidup keluarga<br />

kami. Begitu aku sampai di sawah, burung sudah<br />

berlarian tanpa aku usir. Terbang karena kekenyangan.<br />

Aku duduk di anak tangga, seperti tantara kalah perang,<br />

duduk dengan dagu yang menempel pada lutut. Aku<br />

menyesal, pertanahan hidup keluarga kami terancam<br />

untuk satu tahun kedepan. Dan terjadi dimulai dari<br />

kelalaianku menjaga pesan Ibuku, dan dilakukan secara<br />

runut dan sistematis pada hari yang sama pula.<br />

258


Menjelang Magrib aku baru pulang ke rumah,<br />

langkahku gontai dan lesu. Sampai dirumah ibu<br />

tersenyum, dia sepertinya mencium ketakutan dan<br />

kekalahanku atas agresi burung pipit, lalu dia bersihkan<br />

ikan mujair (oreochromis mossambicus) hasil<br />

pancinganku. Habis makan malam dengan lauk ikan<br />

mujair hasil pancingan dari sungai terlarang itu. Akupun<br />

belum berani untuk mengakui kesalahanku, mulutku<br />

seperti kena “tulah”. Seperti kena sepuluh bencana yang<br />

didatangkan oleh Tuhan atas bangsa Mesir. Aku tidak<br />

bisa berkata apapun seperti di jahit dengan ribuan mata<br />

pancing. Rasa bersalah itu membuat malam itu aku tidak<br />

bisa tidur.<br />

Menjelang Subuh ibuku bangun. Itu kebiasaanya<br />

yang aku tahu, selesai Sholat Subuh yang di imami oleh<br />

Bapakku, dia biasanya menyiapkan sarapan dan makan<br />

pagi buat kami sekeluarga. Aku yang biasanya paling<br />

disiplin menemani ibuku menyiapkan sarapan pagi kami.<br />

Pagi ini ada yang berbeda, bisanya hanya dengan<br />

nasi sisa sore kemaren yang disangarai hanya di campur<br />

dengan minyak jelantah dan garam. Pagi ini ada pisang<br />

yang akan di goreng. Pisang yang diberikan oleh Wakku,<br />

259


encananya memang aku yang bawa. Karena kelupaan<br />

akhirnya dia yang antar sendiri ke Ibuku. Dan, ketika dia<br />

ketemu ibuku, dia cerita banyak tentang kegiatanku di<br />

sawah sepanjang hari.<br />

“Kenapa pesan ibu di abaikan nak?” tanyanya<br />

lembut sambil memasukan pisang ke dalam kuali yang<br />

minyaknya mulai mendidih. Hatiku seperti pisang yang<br />

berenang di minyak panas. Wajahku mulai berkeringat,<br />

beban dikakiku mulai terasa berat. Akupun menjawab<br />

terbata-bata dengan sejuta alasan sambil menunjukkan<br />

senyuman yang tidak dari hati, penjelasanku kadangkadang<br />

terlalu cepat kadang terlalu lambat. Tentu, Ibuku<br />

langsung mendeteksi setiap kebohongan atas alasanalasanku.<br />

Bdikarpun tertawa mendengar ceritaku.<br />

“Tapi, bukankah dari dua hal, mancing dapat ikan<br />

dan belajar Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah itukan<br />

bagus?” Tanya Bdikar.<br />

“Ia,”<br />

“Itu positif sekali”<br />

“Dapat ikan dan dapat ilmu tapi dampaknya, sawah<br />

kami bisa gagal panen, mau makan apa kami selama satu<br />

260


tahun.” Jawabku dan air mataku belinang, bayangan<br />

ibuku sedang mengoreng pisang pagi itu masih saja<br />

melekat dipikiranku.<br />

“Nenek ngomong apa kemudian pak.?” Tanya<br />

Bdikar, sepertinya dia mulai penasaran mau mendengar<br />

apakah Neneknya pernah marah atau memang punya stok<br />

sabar yang berlimpah.<br />

“Pisang dalam pengorengannya dibolak balik.”<br />

lanjutku cerita.<br />

Begitu matang pisang dia angkat dan<br />

menghidangkannya untuk kami. Sambil membenarkan<br />

selendangnya berwarna merah dia bilang begini.<br />

“Nak, emosi-emosi negatif sulit ditutupi oleh<br />

banyak orang.” kata-katanya bersayap.<br />

Sebagian besar orang tidak begitu saja<br />

mengerakkan otot-otot tertentu yang diperlukan untuk<br />

menyembunyikan perasaan tertekan atau takut secara<br />

masuk akal. Dari senyumanmu, ibu sudah tahu bahwa<br />

kamu berbohong dan mengingkari pesanku, ibu tahu<br />

kamu berbohong sebelum Wakmu cerita kepada ibu.<br />

Gelagat ketidakjujuran atau kebocoran dapatlah ibu lihat<br />

dari perubahan ekspresi wajah, gerakan tubuh, perubahan<br />

261


pada suara, gerakan menelan ludah, tarikan napas, jedah<br />

panjang ketika mengucapkan kata-kata, selip lidah,<br />

eksperesi wajah mikro dan gerakan yang tidak disengaja.<br />

“Dari sore kemaren tanda-tanda itulah yang<br />

kemudian bercerita sehingga ibu tahu kamu telah buat<br />

salah.” Terangnya sambil membolak-balik pisang di<br />

pengorengan, penjelasannya rinci dan runut dengan suara<br />

lembut tapi berkharisma.<br />

“Jadi,” sambungnya.<br />

Tingkat kebohongan itu biasanya ditentukan dari<br />

hasil proses pendifinisian mereka mengenai diri mereka<br />

sendiri. Dari kombinasi gagasan bawaan dan pengaruh<br />

kental budaya dan lingkungan tempat tumbuh, hasilnya<br />

adalah kita memiliki keyakinan tentang sifat dasar<br />

termasuk kebohongan. Keyakinan itu masuk ketingkat<br />

sangat dalam pada sistem psikosomatis kita, pikiran dan<br />

otak kita, sistem syaraf, sistem endoktrin bahkan dalam<br />

darah dan otot kita. Jadi kita bertindak, berbicara dan<br />

berpikir atas dasar keyakinan kita tadi. Dia menjelaskan<br />

seperti dosen psikologis.<br />

“Berbohong itu nak,” lanjut ibuku.<br />

262


“Itu hanya untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan<br />

egosentris kita. Selama kita berbohong maka jangan<br />

pernah kita berharap kita bisa menbantu dan<br />

berkontribusi kepada orang lain.” Akupun belumlah lega<br />

atas rasa bersalah, tentu aku berjanji dengan diriku<br />

sendiri tidak akan mengulangi kebohongan atas<br />

ketidaktaatan atas pesan siapapun.<br />

“Mak.” Mataku berlinang, entah oleh sebab apa.<br />

“Hukumlah aku dengan hukuman apapun dan aku<br />

bersedia menerimanya” aku menyela meskipun aku<br />

sudah tahu tidak akan ada hukuman buatku.<br />

“Tidak nak.” jawabnya lembut.<br />

“Bagi ibu kalianlah segalanya.”<br />

“tetapi lain kali, belajarlah melakukan tindakan<br />

rekonsiliasi eudaemonisme. Kamu boleh dan tentu saja<br />

punya hak untuk melakukan keinginanmu mungkin itu<br />

akan bertentangan dengan kepuasan orang lain, tapi kamu<br />

harus memilih di antara keinginan yang kamu usahakan<br />

untuk dipenuhi dan berusaha mendamaikannya dengan<br />

keinginan orang lain.”<br />

263


“Pada posisi ini mungkin saja akan lahir<br />

keselarasan.” Kataya bijak, lalu berhenti sambil<br />

mengangkat pisang yang sudah matang dari pengorengan.<br />

“Pada titik ini keselarasan bisalah sebut dengan<br />

etika, yang merupakan bentuk sarana dibanding sebagai<br />

tujuan akhir.” Kata-kata ini menyentuh sekaligus<br />

mengugah hatiku.<br />

“Etika yang ibu maksud ini memiliki nilai derivatif<br />

atau instrumental ketimbang nilai intrinsik atau final,”<br />

“Secara rasional tidak dapat dibangun hanya<br />

berdasar atas apa yang “seharusnya” diinginkan<br />

melainkan atas apa yang kita inginkan” sambungnya<br />

menjelaskan sambil mendinginkan gorengan dan tentu<br />

akan diberikan untukku yang telah berbuat salah. Pisang<br />

sudah dingin, setelah kukunyah susah sekali pisang<br />

goreng ini melewati tenggorokanku.<br />

“Apakah Bapak kemudian di hukum oleh Sebei.?”<br />

Tanya Bdikar memotong ceritaku, sepertinya dia mau<br />

mendengar cerita betapa menderitanya aku ketika<br />

mendapat hukuman.<br />

Aku kembali menyulutkan rokokku yang hanya<br />

tinggal sebatang. Aku hisap dalam-dalam. Bayangan<br />

264


ibuku ketika itu masih tetap menempel di alam pikiranku.<br />

Mataku kembali berlinang entah oleh sebab apa.<br />

“Tentu saja ada hukuman dari Sebeimu untuk<br />

Bapak nak. Sampai sekarang Bapak sedang menjalankan<br />

hukuman itu.!” Jawabku.<br />

Dan Bdikar bertambang bingung.<br />

“Hukumannya adalah menemukan bentuk secara<br />

sungguh-sungguh untuk melakukan “rekonsiliasi” antara<br />

egoisme dan altruisme dan setidaknya untuk setiap apa,<br />

saja termasuk efeksi, yang sebagian besarnya haruslah<br />

dipengaruhi asumsi ini”. Jelasku.<br />

“Intinya nak, janganlah meminta atau<br />

mengharapkan kepada orang lain untuk berbuat pada kita<br />

lebih daripada yang akan kita inginkan untuk dilakukan<br />

oleh orang lain, atau terimalah orang lain hanya sebesar<br />

ekspektasi yang ingin kita berikan kepada mereka jika<br />

kita berada dalam posisi mereka.” Tambahku.<br />

“Maksudnya apa itu pak.?” Tanya Bdikar.<br />

Aku binggung dengan cara menjelaskannya kepada<br />

Bdikar, umurnya baru 10 tahun. Aku terpaksa telepon<br />

ibuku di kampung. Aura suaranya di ponselku membuat<br />

aku ingin menangis. Aku lalu cerita tentang obrolanku<br />

265


dengan Cucunya tentang kesalahanku 27 tahun lalu. Dia<br />

tertawa, dan memberi jawaban pertanyaan Cucunya.<br />

“Sebeimu tadi bilang begini nak, jika ada dua orang<br />

dan terjadi konflik, kalau memakai prinsif yang diajari<br />

Sebeimu itu. Masing-masing harus mempertimbangkan<br />

kepentingan keduanya, niscaya mereka akan secara<br />

niscaya bertindak dalam keselarasan, keselarasan ini<br />

merupakan sikap yang terdapat dalam keharmonisan,<br />

mutualisme yang meluas menjadi sentimen atau prinsip<br />

keadilan.”<br />

“Untuk itu berbuatlah adil,” Aku menirukan ibuku.<br />

“Bayangkanlah ketika kita berada pada posisi<br />

mereka. Tugas kita memberikan ruang bagi mereka untuk<br />

memperbaiki diri, memaafkan dan sekaligus<br />

memperbaiki diri kita.” Penjelasankupun berhenti.<br />

Ibunya Bdikar keluar dan memberikan perintah<br />

kepada kami bahwa waktunya makan malam tiba.<br />

Kami berlarian menuju meja makan. Menu<br />

utamanya kami malam ini adalah ikan mujair<br />

(oreochromis mossambicus) goreng. Ini persis menu<br />

makan malamku 27 tahun silam.<br />

266


Mudah-mudahan tidak ada kesalahan yang aku<br />

perbuat siang tadi.<br />

267


25<br />

Sore itu setelah seharian bacaan The Old Man and<br />

The Sea. Aku bergegas keluar menuju teras. Duduk, lalu<br />

menyulut rokok. Tidak lama kemudian lewat Pak Imam<br />

Masjid RT kami. Dia tertatih-tatih berjalan menuju<br />

Masjid. Teriakan keras azan ini memaksa dia buru-buru.<br />

Tidak peduli dia dengan kondisi kakinya yang pernah<br />

terserang struk 2 tahun lalu. Aku menjadi ingat dengan<br />

Wak Salim, Sepupu ibuku. Aku menyebutnya penjaga<br />

adat dan menguasai kearifan intelektual.<br />

Nama lengkapnya Salim Senawar, rambutnya mulai<br />

banyak yang ubanan, wajar saja umurnya sekarang<br />

sekitar 65 tahun, tetapi tatapan matanya tetap tajam,<br />

berjenggot, wajahnya bersih dan bersinar, gerak tubuhnya<br />

lentur karena memang dia ahli dan guru silat. Daya tahan<br />

tubuhnya luar biasa, tahan dia berdiskusi sampai<br />

menjelang subuh.<br />

Diskusi tentang apa saja. Apalagi kalau dilakukan<br />

dengan pola dialog, maka keluarlah dari mulutnya yang<br />

tidak bisa lepas dari rokok, tentang adat, sejarah adat,<br />

tentu sangat lengkap dan rinci dia jelaskan penomena-<br />

268


penomena adat di berbagai generasi. Begitu juga dengan<br />

diskusi tentang agama, bahkan tentang kajian “dalam”,<br />

kajian-kajian tasawuf dilahapnya habis, dia mampu<br />

mendekontruksi ayat-ayat dalam Al Quran dengan<br />

penomena-penomena bumi, mampulah dia berdikusi<br />

tentang perkembangan politik mutakhir, sangup dia<br />

keluar dari cara pandang politik mainstream, lalu dia baca<br />

persoalan politik dengan sangat jernih dan arif. Inilah<br />

gambaran Pak Salim Senawar yang berjengot yang<br />

memilih tinggal di kampung tua Topos, ketika beberapa<br />

kali aku bertandang kerumah tua tempat dia<br />

menghabiskan sisa hidupnya.<br />

“Kadang-kadang kita ini seperti daun salam saja,<br />

dibutuhkan dan dicari-cari ketika akan masak, lalu<br />

dibuang dan menjadi sampah ketika masakan tersebut<br />

matang.” Katanya memulai obrolan kami di teras<br />

rumahnya di suatu ketika. Adat hanya dibutuhkan untuk<br />

kebutuhan seremonial, masyarakatnya hanya dibutuhkan<br />

ketika pemilu, pilpres dan pemilukada lanjut Pak Salim<br />

sambil meyuguhkan kopi dengan cangkir dari alumanium<br />

yang mulai karatan.<br />

269


“Hasilnya tentu saja kekacauan sosiologis, tidak<br />

ada yang mampu mereduksi kekacauan ini selain adat<br />

yang benar-benar adat.” Lanjut dia berteori.<br />

Pak Salim menjelaskan adat sejati adalah adat<br />

peninggalan nenek moyang atau leluhur yang sering<br />

dikatakan tidak lapuk kena hujan dan tidak lekang karena<br />

panas.<br />

“Intinya adalah adat yang memahat sepanjang<br />

garis, bertarah di dalam sifat, bertanam di dalam pagar,<br />

berjalan di hati jalan dan berkata dalam adat.” Terang dia.<br />

Lalu, ada adat yang diadatkan adalah adat<br />

tambahan pada sejati adat baik yang merupakan suatu<br />

peraturan dari Tuai Kutai yang merupakan hasil<br />

kesepakatan dan musyawarah dalam Kutai maupun<br />

kebiasan tertentu yang sudah menjadi adat yang teradat,<br />

seperti berbagi sama banyak, bermuka sama terang dan<br />

bertanak di dalam periuk, bersumpah bersemanyo,<br />

berjanji bersetio dan yang terpenting adalah kalah adat<br />

karena janji. Pak Salim mampu menjelaskannya secara<br />

runut.<br />

Dengan arif dia bercerita tentang kondisi kekinian,<br />

bahwa di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan<br />

270


krisis identitas budaya lokal yang telah melumat habis<br />

ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat,<br />

dia berpendapat kekuatan adat harus terus dipelihara<br />

untuk memperkuat teladan dan kearifan budaya, kearifan<br />

menyelesaikan konflik dan pertikaian melalui pendekatan<br />

kemanusiaan dan persaudaraan yang sangat luhur. Salah<br />

satu bentuk kearifan budaya itu berupa tradisi<br />

mempergunakan media tepung tawar dalam meresolusi<br />

konflik, katanya dengan menurunkan intonasi suaranta.<br />

Apabila ada konflik, kekerasan yang saling melukai satu<br />

sama lain, dengan menggunakan tradisi tepung tawar itu,<br />

diantara orang yang bertikai dapat saling berdamai dan<br />

akur kembali.<br />

Sambil menghisap rokok dari daun nipahnya<br />

kemudian dia menceritakan pengalamanya melakukan<br />

damai “tepung tawar”; dulu ada konflik antara pemuda<br />

desa dengan pemuda tetangga desa sebelahnya saat acara<br />

pesta pernikahan. Kedua pemuda itu sudah saling<br />

melukai walaupun belum ada yang terbunuh. Konflik<br />

antar kedua pemuda itu sudah berkembang aromanya ke<br />

arah konflik antar komunitas adat dalam satu Marga.<br />

Namun tokoh adat setempat segera berinisiatif menemui<br />

271


sang keluarga yang bertikai untuk mencari kebenaran asal<br />

usul dan penyebab pertikaian. Setelah diketemukan<br />

dengan tokoh adat dari pihak yang bersalah itu kemudian<br />

mendatangi keluarga pihak yang bertikai lainnya sambil<br />

membawa “iben/sirih” yakni sebagai alat atau sarana<br />

yang harus dibawah kepada keluarga korban atau yang<br />

tidak bersalah dalam konflik itu, di dalamnya<br />

seperangkah sirih lengkap dan sebungkus rokok.<br />

Sirih atau iben itu sebagai bentuk ungkapan<br />

penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga<br />

korban. Kalau sudah ada iben dibawa, biasanya keluarga<br />

korban merasa puas dan dihormati, lalu langsung<br />

menerima ungkapan maaf dengan lapang dada tanpa ada<br />

perasaan dendam. Usai pemberian iben, kemudian<br />

dilanjutkan dengan tradisi tepung tawar dan makan<br />

serawo atau punjung mentah, pemuda atau orang yang<br />

saling bertikai itu kemudian saling mengoleskan tepung<br />

tawar di badannya. Sesudah itu, maka kedua pemuda<br />

yang bertikai tadi sudah dianggap menjadi bagian dari<br />

saudaranya sendiri. Usai melakukan tradisi punjung<br />

mentah dan tepung tawar, konflik yang sudah makin<br />

memanas itu kemudian menjadi reda, ungkap Bapak<br />

272


Salim. Ia sendiri sebagai pemangku adat cukup sering<br />

menjadi ‘duta’ perdamaian dan melakukan tradisi lokal<br />

semacam itu.<br />

“Kalau semua konflik harus diselesaikan secara<br />

hukum, nyatanya makin repot dan cenderung<br />

menimbulkan konfliknya turunan, selain karena aparat<br />

negara lambat, butuh ongkos yang lebih dan masyarakat<br />

juga kurang puas, hasilnya jauh lebih ampuh dengan<br />

pendekatan adat atau budaya lokal, media tepung tawar<br />

ini tidak hanya berlaku bagi komunitas yang seidentitas<br />

budaya saja, tapi juga dapat dilakukan oleh orang luar<br />

yang kebetulan sedang berselisih paham atau berkonflik<br />

dengan orang adat.” lanjut Pak Salim sambil menghisap<br />

rokok daun nipah kesukaanya.<br />

“Adat itu dinamis, adat itu lahir dari kesepakatan<br />

pat sepakat lemo sempurno, empat pihak yang bersepakat<br />

dengan cara musyawarah dan menjadi sempurna ketika<br />

kesepakatan itu menjadi komitmen.” Seperti biasa dia<br />

mulai dengan statement provokatif memancing<br />

pertanyaan kritis.<br />

Makanya untuk beberapa kasus, adat bisa<br />

berkompromi dengan agama, dengan perkembangan<br />

273


umat manusia, itulah hakekatnya adat yang tidak lekang<br />

karena panas dan tidak lapuk karena hujan. Kalimat ini<br />

biasa disampaikannya kepada orang-orang yang<br />

bertandang kerumahnya. Dia percaya sejak dari Masa<br />

Makedum Rajo Diwo (asal titik nol adat atau zaman mula<br />

jadi) sampai zaman milenium, adat itu akan tetap dan<br />

selalu hidup, adat akan berkelit dinamis dan pada<br />

akhirnya akan survive.<br />

Dengan komitmen yang kuat dalam menjaga adat,<br />

Pak Salim yang berjengot ini sering bersyair dan<br />

mengutip bait-bait Sambei Siyen Kutai “Ape disurat oleh<br />

aur; tiran ulung layang putiak, ado disano, tiran ulung<br />

pandai membace, layang putiak pandai menyurat, laju<br />

bepesan burung tiran ulung, amun cikundu ngadap<br />

keteluk, besok kundu sare tangungan, kundu menengah<br />

jarang balik, patah kundu hilang di ratau (apa yang<br />

tersurat pada bambu; tiran/burung hitam dan tiran putih,<br />

ada disana, burung hitam pandai membaca, burung putih<br />

pandai menulis, berpesanlah burung/tiran hitam, kalaulah<br />

pemalu menghadaplah ke sudut, tinggilah<br />

semangat/harapan besarlah tangungan, semangat<br />

setengah-setengah jaranglah pulang, patah semangat<br />

274


hilang di rantau). Inilah pedoman dan gambaran atas<br />

berkomitmen ketika kita bertekat untuk menjaga,<br />

berkomitmen dan berjuang untuk adat.<br />

“Seperti mengenggam sembilu, gengaman kita<br />

harus sekuat mungkin, kalau ragu-ragu tangan kita yang<br />

akan luka dan berdarah karenanya.” Nasehatnya kepada<br />

para pemuda yang belajar pengetahuan tentang adat<br />

dengan dia.<br />

Badanya gemetaran, lalu berkeringat kemudian<br />

urat-urat ditubuhnya berkelipan seperti digerakan oleh<br />

seribu jampi, seperti digerakan oleh arwah leluhur ketika<br />

mendengar kecurangan. Apalagi ketika dia mendengar<br />

ada pihak yang mendegradasi nilai-nilai dalam adat.<br />

“Kita”, katanya dengan meninggikan intonasi<br />

suaranya.<br />

“Janganlah seperti abung cerite lamun jauh,<br />

besaklah ikan lamun luput, ayam betabang senimar<br />

elang, ikan dipangang tingal tulang, igak berigak padi<br />

masak, igak beragam badan tue, igak bedindang biduk<br />

anyut,” inilah gambaran hidup yang sia-sia, menyiayiakan<br />

waktu, menyia-yiakan usia, hidup tidak membawa<br />

manfaat, manfaat buat dirinya dan bermanfaat untuk<br />

275


orang lain. Jelasnya dengan intonasi suara yang kuat<br />

tetapi bijak.<br />

Dia berpandangan secara konsisten dalam melihat<br />

penomena adat. Bahwa sistem sosial-budaya yang ada<br />

dalam adat menciptakan resource yang sifatnya sangat<br />

umum, yaitu makna, makna yang ditata oleh kedua<br />

subsistem fungsional sehingga bisa sampai pada level<br />

kinerja ekonomi dan politik yang diinginkan, lalu dia<br />

menyederhanakan, atas kondisi ini inputnya adalah<br />

reproduksi simbol kehidupan mengikuti logika nonfungsional.<br />

Dia sering mencontohkan norma dan hukum<br />

adat harus mengikuti standar internal tertentu, konsistensi<br />

logis dan kesatuan prosedural, pada hal adat ada di<br />

baliknya. Lalu, adat itu didistorsi, hanya simbol-simbol<br />

saja yang naik ke permukaan. Hak atas berhukum, hak<br />

berorganisasi lewat lembago adat, hak atas taneak tanai<br />

dan imbo piadan atau wilayah dan hutan di abaikan<br />

secara masif. Seringlah dia menganalogikan hukum dan<br />

lembaga adat seperti kapal yang kehilangan dermaga.<br />

“Adat dalam keadaan krisis” katanya.<br />

Hanya kekuatan objektif yang bisa menyebuhkan<br />

adat dari krisis, adat harus dibebaskan dari<br />

276


keterperangkapan krisis. Pembebasan ini menurut dia,<br />

tidak hanya bersifat memaksa dari luar, tetapi juga<br />

memaksa dari dalam adat yang menjadikannya terasing<br />

dari identitas dirinya.<br />

Cara berpikirnya runut dalam melihat dan<br />

menjelaskan penomena, mungkin ini disebut dengan<br />

kearifan intelektual. Dia tidaklah tamat sekolah dasar di<br />

zamannya.<br />

“Dari kecil saya biasa berada dibalik punggung tuatua<br />

kampung, ketika mereka bercelomok atau berdiskusi<br />

tentang makna hidup, saya sering mencuri-curi dengar<br />

dan beberapa kali dilibatkan dalam obrolan mereka.”<br />

Jelas dia dan matanyapun berlinang.<br />

Saat ini “ritual” bercelomok atau berdiskusi<br />

digantikan dengan ritual neorotik, orang lebih suka<br />

menonton televisi dibanding diskusi atas penomena yang<br />

ada. Curhat Pak Salim.<br />

Inilah akibatnya, lanjut Pak Salim “tiliklah tang<br />

desa ninik mamak disini, desa serut laman sunyi, desa<br />

digepung oleh betung, desa disindang oleh lalang, rumah<br />

berarik tiang serik satu idak tiang duduk, peratin kurang<br />

perite, sude digepung dengan ringgit, sude disindang<br />

277


dengan redai, bujang gadis kurang pengunyung.”<br />

Pemerintah kurang perintah, lalu prihatin tanpa kerja,<br />

pemerintah menikmati kepungan ringgit. Pemuda dan<br />

pemudi sibuk dengan urusannya sendiri, berharap<br />

diselamatkan dan percaya pada determinasi berbagai<br />

konstelasi bintang secara astrologis. Padahal katanya,<br />

Tuhan sudah berjanji tidak akan merubah nasib kita,<br />

sebelum kita berusaha merubahnya.<br />

Dia tentu saja prihatin, tetapi bekerja, dia juga yang<br />

mengumpulkan para pemuda di desannya. Maka saat itu<br />

lahirnya organisasi adat. Dia juga yang memperkenalkan<br />

nilai-nilai kearifan intelektual kepada para pemuda di<br />

akmpungnya. Pak Salim yang berjengot itu memulai<br />

metode pelajarannya melalui konsolidasi persepsi, lalu<br />

dia kuatkan pemahaman kongnitif, kemudian di bawa dan<br />

benturkan dua hal ini pada penomena dan konsesus sosial<br />

pada posisi inilah akan muncul bibit-bibit kearifan<br />

intelektual.<br />

“Bagi saya, semua orang itu hidup dizamannya,<br />

tidak boleh orang bermimpi atas kebesaran masa lalu,<br />

tidak boleh juga takut atas kesuraman masa depan.”<br />

Katanya bijak.<br />

278


Pilihannya cuma dua.<br />

“Rambai sayap terbang layang, pendek sayap<br />

terbang sayup.” Lanjutnya<br />

Meski mempunyai kelebihan kapasitas, tetap saja<br />

dia tidak mau menonjolkan diri, dia selalu ada di Sap<br />

kedua kalau sholat berjamaah meskipun imam Masjid<br />

berguru sama dia tentang agama. Dia selalu bicara<br />

terakhir ketika ada musyawarah adat dikampungnya.<br />

Dia “ia” kan pendapat yang benar dan lurus, lalu di<br />

patahkan secara bijak pendapat yang dianggapnya salah,<br />

diplomasinya luar biasa dalam mematahkan pendapat<br />

orang lain.<br />

“Harus seperti yang tikus tidak boleh luka, dan<br />

kucing tidak boleh malu atau seperti menarik rambut<br />

dalam tepung, rambut tidak boleh putus dan tepung tidak<br />

boleh tumpah.” Sering dia jelaskan begitu.<br />

Ini ajaran yang sangat sulit sekali di lakukan<br />

ditengah krisis identitas dan konsolidasi subjektivisme.<br />

Pak Salim yang berjenggot, dia tetap konsisten<br />

menjadi piawang (penjaga) kampung dengan kelebihan<br />

yang dimilikinya jarang ada yang berani “berhadaphadapan”<br />

dengan dia. Pernah beberapa kali dia marah,<br />

279


dia pernah mengembalikan bantuan seperangkat alat<br />

kesenian adat dari Pemerintahan Kabupaten, dia<br />

tersinggung karena sebelumnya syarat bantuan itu cukup<br />

rumit dan pelik.<br />

“Saya suruh mereka bawa kembali alat-alat<br />

kesenian yang mereka dibawa, cukup banyak ada dua<br />

truk, pertama kami sudah punya alat yang sama<br />

pengadaannya secara swadaya oleh masyarakat kampung,<br />

kedua saya tidak mau diperalat mereka.” cerita Pak Salim<br />

sambil tertawa dan tampaklah gigi-giginya yang<br />

menghitam akibat nikotin rokok. Dan bayangan Pak<br />

Salim menmbuat aku rindu pulang. Pulang ke kampung<br />

dimana darah pertamaku tumpah. Dimana ari-ariku<br />

dihanyutkan. Kampung yang membentuk tubuh dan<br />

pikiranku.<br />

280


26<br />

Hari ini ada acara wisuda di salah satu universitas<br />

yang ada di kampungku. Rame-ramelah orang dari<br />

kampung yang datang. Pak Salim Senawar salah satunya,<br />

karena yang berwisuda masih ada hubungan dengan dia.<br />

Dia pemabuk. Dia tidak datang dengan mobil bersama<br />

rombongan keluarga yang berwisuda, dia sengaja naik<br />

sepeda motor bersama kakak iparku orang Batak<br />

bermarga Sitompul.<br />

Malam ini Pak Salim Senawar datang berkunjung<br />

kerumah kami. Berbaju koko putih, celana dari sarung<br />

dan peci hitam yang mulai koyak warnanya. Kami<br />

mengobrol di ruang tamu. Tidak duduk di kursi, tapi<br />

duduk di lantai. Dia kepanasan. Cuma kami bertiga di<br />

ruang tamu. Aku, Pak Salim dan kakak Iparku orang<br />

Batak bermarga Sitompul. Di kampung kalau tidak ke<br />

kebun. Dia selalu berdua dengan Pak Salim. Pak Salim<br />

ini terhitung mertua Sitompul. Tetapi mereka sangat<br />

akrab, seperti anak dan Bapak.<br />

Pak Salim lalu menanyakan seputar aktivitasku.<br />

Perkembangan politik di kotaku, Lalu obrolan kami<br />

281


mengarah pada seputaran adat. Hukum adat. Dia juga<br />

ceritakakan padaku, yang diwisuda itu jurusan Hukum<br />

dan ketika dia menyaksikan proses wisuda, ketemu<br />

dengan salah seorang dosen hukum yang pernah lama<br />

penelitian di rumahnya.<br />

“Hukum adat itu seperti kapal yang kehilangan<br />

dermaga, tidak ada tempat untuk melempar sauh, lalu di<br />

ayun-ayun oleh gelombang.” Dia mulai memancing.<br />

“Tidak akan sampai tengelam tapi hancur dan<br />

berkeping-keping.” Katanya aku mengangguk.<br />

Padahal menurut dia, hukum adat ini hidup dan<br />

berkembang lalu di masuk kedalam denyut hidup<br />

warganya.<br />

“Hukum adat tidak hanya mampu menciptakan<br />

keseimbangan sosiologis tetapi mampu menekan<br />

persoalan horizontal maupun vertikal yang terjadi pada<br />

warganya.” Pak Salim meyakinkanku.<br />

“Karena dinamis dalam berkembang, maka hukum<br />

adat mampu mengambarkan realitas lebih akurat, mampu<br />

mengikuti perubahan-perubahan sosial, konstalasi politik<br />

dan perubahan budaya bagi warganya” Katanya seperti<br />

Dosen Fakultas Hukum.<br />

282


Sitompul nampak tersenyum-senyum. Tersenyum<br />

menyindir seakan-akan mau kasih tahu bahwa dia sudah<br />

semengerti Pak Salim tentang Hukum Adat.<br />

Aku kemudian menjadi ingat dengan Eugene<br />

Ehrlich menyebutnya sebagai Living Law (hukum yang<br />

hidup). Sebagai hukum yang hidup, itulah substansi yang<br />

digambarkan dalam filosofi, tidak lapuk karena hujan dan<br />

tidak lekang karena panas dalam hukum adat.<br />

Sama dengan Pak Salim hukum adat menurutnya,<br />

kedinamisannya terkesan akomodatif dalam prakteknya.<br />

Misalnya, sangat akomodatif dengan hukum Agama<br />

bahkan terkesan kompromis dengan hukum Negara.<br />

“Tetapi secara substansi hukum, hukum adat ini<br />

tetap tegak berdiri.”<br />

“Dinamis maksudnya bisa menerima sesuatu diluar<br />

dirinya.” Kata Sitompul ikut berpendapat. Aku tahu<br />

belakangan ini Sitompul giat belajar dan mengali sistem<br />

adat Rejang. Katanya ada kedekatan dan kesamaan<br />

dengan Budaya asalnya. Budaya Batak. Paling tidak<br />

masyarakatnya sama-sama penunggu dataran tinggi<br />

Sumatera. Bagi orang Batak terangnya. Marga sama<br />

283


seperti yang ada di Rejang. Marga atau Tarombo penting<br />

untuk di cari dan diperjelas.<br />

Pernah satu kali dia mengajari cara dan notasi<br />

kelintang untuk mengiringi tari Kejai, tarian sakral milik<br />

suku Rejang. Yang diajarinya adalah pemilik sanggar<br />

adat di kabupaten tetanganya. Cerita Pak Salim. Pemilik<br />

sanggar bingung kesenian orang Rejang dimainkan oleh<br />

orang Batak bermarga Sitompul.<br />

“Orang Batak menyadari bahwa mereka adalah<br />

Dongan-Sabutuha, mereka berasal dari rahim yang sama.<br />

Baik secara matrilinial maupun patrilinial. “<br />

“Dan hukum adat memandu pencarian ini.”<br />

Katanya.<br />

“Adat didahulukan baru kemudian agama, dan<br />

syarak bahkan hukum negara yang harus<br />

dikemudiankan.” Katanya. Kami tersenyum. Pengetahuan<br />

lumayan berkembang.<br />

“Sekarang mari kita lihat seperti apa gambaran<br />

hukum adat, dalam hal ini hukum adat Rejang, mari kita<br />

sebut sebagai hukum adat Jang, hukum yang dianggap<br />

mampu menciptakan keseimbangan sosiologis yang<br />

sifatnya Living Law atau hukum yang hidup itu.”<br />

284


Sambung Sitompul bersemangat. Lalu dengan logat<br />

Batak dia menceritakan hasil pembelajarannya dengan<br />

“penjaga adat”. Salim Senawar ini, guru sekaligus<br />

mertuanya.<br />

“Sebagai outonomous social field.” Katanya,<br />

sepertinya dia juga mulai banyak membaca buku. Tibatiba<br />

dia menyebut istilah Inggris dengan pronunciation<br />

berlogat Bapak. Masyarakat Adat Jang adalah kesatuan<br />

kekeluargaan yang timbul dari system unilateral yang<br />

kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja<br />

dengan system garis keturunannya yang partrinial. Dari<br />

pihak laki-laki. Dan, cara perkawinannya yang eksogami,<br />

sekalipun mereka berada di mana-mana. Dia<br />

menjelaskan. Pak Salim Merem melek takut salah sebut<br />

si Batak ini.<br />

“Kesatuan kelembagan outonomous social field<br />

disebut dengan Kutai,” Katanya<br />

Sebuah kesatuan Hukum masyarakat Adat asli Jang<br />

yang berdiri sendiri, genelogis dan tempat berdiamnya<br />

jurai-Jurai atau suku-suku. Kesatuan masyarakat komunal<br />

ini diikat dengan sistem hukum, hukum ini disebut degan<br />

Hukum adat Jang dalam bahasa lokal disebut dengan<br />

285


adat beak nyoa pinang. Aku mulai kagum dengan Kakak<br />

Iparku ini. Aku ingat betul ketika dia melamar kakak<br />

perempuanku. Dia belum bisa berbahasa Rejang. Mereka<br />

berbeda keyakinan. Atas nama cinta dia kemudian dia<br />

iklas masuk ke keyakinan kami. Aku menjadi saksi<br />

pernikahannya. Dia mualaf ketika itu. Dan akulah<br />

mengantar dia ke kuburan lelulurku. Tradisi kampungku<br />

ketika menerima keluarga baru lewat ikatan perkawinan.<br />

“Adat Beak nyoa pinang?” Tanyaku.<br />

“Ia.”<br />

“Isinya memuat norma yang tumbuh dan<br />

berkembang serta dipatuhi dan mengikat masyarakat adat<br />

Jang.” Dia selalu meyebut Jang, bukan Rejang. Jang itu<br />

nama lokal argumennya.<br />

“Didalamnya mengandung nilai-nilai kekeluargaan,<br />

gotong royong, musyawarah, mufakat, kepatutan, magis,<br />

religius, arif dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap<br />

permasalahan yang timbul di batas-batas wilayah hukum<br />

adat Jang.” Dia lancar sekali menjelaskannya. Tetapi dia<br />

masih mirip dengan Pak Salim.<br />

“Jadi begini.” Kata Pak Salim memotong, dia takut<br />

sang murid keceplosan.<br />

286


“Dalam prakteknya hukum adat adat beak nyoa<br />

pinang ini dilaksanakan oleh peradilan adat jang, ini alat<br />

atau yang bertugas menjalankan mekanisme penyelesaian<br />

sengketa”.<br />

“Prakteknya harus menciptakan keseimbangan dan<br />

mendorong memberikan daya koersif kepada warga<br />

supaya mau tunduk pada aturan yang hidup dalam<br />

masyarakat tersebut.” Dia berhenti sampai karena<br />

tembakau yang di bawa dari kampung jatuh. Aku hanya<br />

menjadi pendengar dan tuan rumah yang baik. Mereka<br />

semangat sekali mengajariku.<br />

Dalam prakteknya Kelpiak Ukum Adat dipakai<br />

sebagai acuan “beracara dan berdelik”. Isinya kumpulan<br />

dokumen yang berisikan tentang tata aturan penyelesaian<br />

sengketa adat termasuk sangsi dan denda atas perkara<br />

yang terjadi di satu kesatuan wilayah hukum adat Jang.<br />

Lanjut Pak Salim bijak.<br />

“Acuan yang dimaksud benar-benar acuan, sebagai<br />

referensi dan tidak boleh menjadi bahan keputusan<br />

dalam menyelesaikan kasus.” Sitompul memotong.<br />

Eksekutor pada praktek hukum adat jang ini<br />

disebut dengan hakim adat, jenang kutai.<br />

287


“Bahkan ada yang menyebutnya majelis kutai,”<br />

Lanjut dia mulai binggung.<br />

“Mereka ini adalah perangkat peradilan adat yang<br />

teridiri dari beberapa personal yang merupakan<br />

representatif dari struktur pemerintahan adat Jang dan<br />

memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menjalankan<br />

sistem tata aturan hukum adat.”<br />

Ada pepatah adat saleak cong udi bepapet, mu’eak<br />

kakane ade beripit kakea ne coa, bepatet bekenek<br />

bejenjang tu’un,“ Potongku. Aku mulai tidak sabar<br />

mengali tentang Hukum Adat ini. Di dalam hatiku<br />

bertanya-tanya sejauh mana, hukum yang sedang kami<br />

diskusikan ini kuat jika di hadapkan dengan pihak luar.<br />

Karena sepengatahuanku praktek hukum ini mampu<br />

menciptakan keseimbangan bukan keadilan.<br />

“Itu hanya kiasan saja” Kata Pak Salim<br />

“Sebagian dari kiasan berisikan nilai-nilai sebagai<br />

pegang pakai masyarakat adat Jang untuk pemulihan<br />

kondisi keseimbangan atas perselisihan atau<br />

persengketaan atau terjadinya perkara adat di dalam<br />

wilayah hukum adat Jang.”<br />

288


Dari penjelasan Pak Salim aku bisa mengambil<br />

kesimpulan, dan tentu saja aku tidak mau aku debatkan<br />

dengan dua tamuku ini, bahwa adat, atau hukum adat itu<br />

adalah sebuah mekanisme yang lahir dari sebuah<br />

kesepakatan.<br />

“Adat itu adalah kesepakatan.” Kataku. Lalu aku<br />

mencontohkan hubungan Pak Salim dengan Sitompul ini<br />

adalah hubungan Mertua dan Menantu. Adat<br />

komunikasinya harus melereng. Tetapi karena sudah<br />

sangat dekat kemudian bersepakat komunikasinya bisa<br />

melereng, mendaki dan mendatar. Maka itulah adat<br />

mereka berdua. Dan beda lagi jika Sitompul<br />

berkomunikasi dengan mertua dia selain Pak Salim.<br />

Terangku. Sitompul sepertinya kurang yakin.<br />

“Begini”<br />

“Kata-kata selengan-lengan dendo adeba iben<br />

desaghen sebenek-benek dendo adeba bangun mayo,<br />

denda paling ringan adalah sekapur sirih dan denda<br />

paling berat adalah bangun mayo, untuk denda dan sangsi<br />

menghilangkan nyawa orang.”<br />

“Ini acuan saja, hasil akhirnya adalah kesepakatan<br />

kedua belah pihak yang bersengketa” Terangku. Sitompul<br />

289


melirik dan melerengkan tubuhnya ke arah Pak Salim.<br />

Pertanda bendera putih dan meminta dikirim bala<br />

bantuan.<br />

“Lalu, pertanyaannya apakah diluar hukum adat,<br />

bisa disebut dengan hukum adat?” Akupun memancing.<br />

“Jika hukum itu dibuat atas dasar kesepakatan<br />

bersama oleh para pihak atau paling tidak lahir dari<br />

konsensus sosial, yang tujuannya adalah mendamaikan<br />

dan membuat keseimbangan sosiologis, bolehlah itu<br />

disebut dengan hukum adat.” Kata Pak Salim. Kali ini<br />

tidak ada bala bantuan untuk Sitompul.<br />

“Karena hukum adat ini tidaklah boleh diciptakan<br />

oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberikan<br />

keuntungan dan merugikan pihak lain.” Lanjut Pak<br />

Salim. Dari alur pikirannya dia sebenarnya sedang<br />

menjelaskan bahwa membahas pluralisme hukum.<br />

Membahas hukum yang lain, termasuk di dalamnya<br />

adalah Hukum Adat tidak lain adalah melakukan kritik<br />

terhadap positivisme hukum.<br />

“Sederhananya,” Kataku. Positivisme hukum dapat<br />

dipahami sebagai sebuah teori hukum yang menyatakan<br />

bahwa hukum adalah yang dibuat oleh penguasa.<br />

290


Positivisme hukum dikritik karena dinilai gagal mencapai<br />

tujuan hukum, yang mencakup kepastian, keadilan dan<br />

kemanfaatan.<br />

“Kepastian, belum tentu memberikan keadilan atau<br />

kemanfaatan. Ada situasi tumpang tindih. Kepastian<br />

tercapai, apakah keadilan tercapai?”<br />

“Belum tentu,” Sitompul masih diam, sepertinya<br />

pelajaran dia belum sampai tahap ini.<br />

“Abang mesti belajar lagi.” Kataku. Dia tertawa<br />

sambil mengarut kepala dan tertunduk.<br />

“Lalu,”<br />

“Marilah kita kembali ke kondisi hukum adat yang<br />

ibarat perahu,”<br />

“Layarnya semakin miring dan ombak semakin<br />

kencang.” Tanyaku. Ini bentuk pertanyaan kritis kita atas<br />

kondisi yang ada. Aku menatap Sitompul.<br />

“Apakah kemudian ramalannya perahu itu akan<br />

hancur berkeping lalu terombang-ambing oleh<br />

gelombang? Karena kita tahu bahwa pada sisi lain<br />

terdapat sentralisme hukum (hukum positif) yang secara<br />

nyata dan menyakinkan merugikan hukum adat karena<br />

291


memberikan perbandingan yang salah terhadap kondisi<br />

kedua hukum yang cenderung berhadap-hadapan ini.”<br />

“Pada hal, pada saat yang bersamaan menunjukan<br />

bahwa hukum positif ini belum mampu menciptakan<br />

keadilan bahkan tidak terlalu mengikat masyarakat<br />

modern untuk taat dan tunduk pada sistem hukum ini.”<br />

“Belum lagi jika sisi lainnya terdapat hukum lain,<br />

hukum nasional dan hukum negara.”<br />

Sebagai bagian untuk mengkontruksi “dermaga”<br />

yang sudah hancur, maka kontek penerapan hukum adat,<br />

perluasan kajian ditengah pesatnya perubahan struktur<br />

sosial dan budaya masyarakat serta penetrasi global.<br />

“Bukankah kita tahu hukum mainsteram ada hukum<br />

negara dan internasional dibuat untuk melayani<br />

kebutuhan liberalisasi pasar?” aku memprovokasi.<br />

“Kalau demikian”<br />

“Hukum adat perlu direvitalisasi kembali dalam<br />

kontek yang lebih luas,”<br />

“Rekontruksi dermaga itu penting.” Kata Pak<br />

Salim.<br />

“Lalu dari mana mulai dari mana?’ Tanya<br />

Sitompul.<br />

292


Pertanyaannya membuat kami terdiam. Ada<br />

inisiatif yang telah dibangun. Ada model kompromis<br />

dibangun. Mengangakat kayu terendam, meminjam<br />

pepatah Minang adalah pekerjaan berat.<br />

Pak Salim kecapean. Tidak mau dia tidur di kamar<br />

tidur yang telah disiapkan oleh istriku. Dia lebih suka<br />

tidur dilantai ruang tamu.<br />

Mereka berdua lalu tidur, aku matikan lampu dan<br />

ku lihat dalam wajah mereka ada kerinduan di hati<br />

mereka pada adat sebagai ibu peradaban.<br />

Meminjam Gibran. Ibu merupakan kata tersejuk<br />

yang dilantunkan oleh bibir-bibir manusia. Dan “Ibuku”<br />

merupakan sebutan terindah. Kata yang semerbak cinta<br />

dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari<br />

kedalaman jiwa.<br />

Tetapi aku masih diruangan ini. Ruangan rumahku.<br />

293


27<br />

Sore kemaren, aku antar istriku belanja untuk<br />

kebutuhan bulanan. Tempat belanjanya tidak ditempat<br />

biasa, di pasar yang sampahnya berserakan dan para<br />

pedagangnya sudah pasti tidak mandi selama 3 hari. Atau<br />

di warung tetangga dimana ibu-ibu biasanya bertukar<br />

informasi negatif tentang tetangganya.<br />

Kali ini kami belanja di sebuah super market<br />

terbesar dikotaku. Aku memanfaatkannya untuk jalanjalan<br />

dengan anakku. Aku berdua dengan Bdikar. Titon<br />

ikut ibunya. Aku seperti kena syndrom gagap urban,<br />

tulang terasa ngilu dan nyeri karena ruangannya berhawa<br />

dingin buatan.<br />

Susunan pajangan barang-barang tersusun rapi,<br />

tidak ada penjaga yang bisa diajak tawar menawar. Dan<br />

disalah satu sudut, terdapat pajangan lengkap alat<br />

elektronik. Tersedia juga harga tunai, juga harga kredit<br />

atau beli dengan cicilan, kalau tidak cukup duit kita bisa<br />

cicil, pilihan waktu angsurnya beragam.<br />

“Inilah skenario transaksi pasar pada kapitalisme<br />

mutakhir, kita dibuat tidak punya pilihan untuk masuk<br />

294


skenario pasar, kemudian terjebak dalam konsumerisme<br />

lalu membuat kita gagap?” Kataku ke Bdikar dengan<br />

nada emosi karena tidak mampu beli salah satu alat<br />

elektronik ini untuk kami.<br />

Ketika antrian di kasir, ada banyak orang<br />

sepertiku, sekedar gaya-gayaan karena hanya beli 2 botol<br />

minuman mineral, ada yang serius belanja yang<br />

‘mengunungkan’ troli yang mereka dorong.<br />

Sambil bercanda istriku bilang.<br />

“Inilah konsep kritis medis menuju konsep kritis<br />

secara dramaturgis,”<br />

“Ini proses titik balik yang tidak hanya memaksa<br />

dari luar, tetapi juga memaksa dari dalam diri yang<br />

menjadikannya terasing dari identitas pribadinya,”<br />

makanya kita kemudian tergagap-gapap katanya. Aku<br />

menganguk-anguk, sambil berbisik dengan istriku.<br />

“Kita ternyata dibatasi oleh ruang dan waktu,<br />

sehingga kelangsungan eksistensi kita sangat ditentukan<br />

oleh nilai-nilai tujuan yang rentan perubahannya, dapat<br />

ditoleransi dan ditakar, kita dipaksa untuk tetap tinggal di<br />

dalam sebuah lingkungan hiperkomplek.”<br />

295


“Dipaksa dengan cara melakukan perombakan<br />

terhadap unsur-unsur sistem, nilai-nilai tujuan atau<br />

keduanya sekaligus, tidak peduli apakah sistem baru<br />

tersebut mengandung kekacauan moral atau sistem<br />

tersebut berangkat dari perpecahan-perpecahan tradisi.”<br />

Bisikku.<br />

Ketika keluar dari kasir aku seperti kuntil anak,<br />

tidak menginjak bumi dan tidak tergantung ke langit,<br />

identitasku hilang, atau ini karena pengendalian yang<br />

tidak selesai.?<br />

Karena krisis identitas.<br />

Sambil mendorong sedikit hasil belanjaan, akupun<br />

berpikir, kondisi ini seperti anomali sebuah kesadaran<br />

atas kenyataan subyektif, berhubungan secara dialektis<br />

dengan masyarakat yang dibentuk oleh proses-proses<br />

sosial, lalu seseorang kehilangan rasa kesamaan pribadi<br />

dan kesinambungan historis.<br />

Beberapa bungkus hasil belanjaan aku gantungkan<br />

di motor yang setia mengantar kami sekeluarga. Aku<br />

suka motor. Kami keluar dari perantaran parkir, tentu saja<br />

harus bayar meskipun kami sudah menghabiskan<br />

beberapa rupiah di tepat ini, begitu habis bayar parkir,<br />

296


aku boleh keluar. Entah tiba-tiba aku ingat dengan Carl<br />

Gustav Jung, dia mengatakan bahwa keperibadian yang<br />

menempel dalam identitas itu terdiri dari tiga sistem yang<br />

terpisah tetapi saling berintraksi satu sama lain.<br />

Sistem itu adalah aku yang ego, ketidaksadaran<br />

pribadi dan ketidaksadaran kolektif. Lalu apakah ini<br />

merupakan persona atau topeng yang dipakai pribadi<br />

sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan<br />

tradisi masyarakat, tuntutan tentang arketipenya sendiri,<br />

yang kemudian menciptakan kesan tertentu pada orang<br />

lain dan seringkali ia melupakan hakikat kepribadian<br />

sesungguhnya.<br />

Tiba-tiba anakku yang duduk dipangkuanku di<br />

depan minta dibelikan makan makanan cepat saji yang<br />

pemiliknya berjengot itu.<br />

Lalu aku melirik ke kiri kanan jalan. Dimana pecal<br />

lele, sate padang, tempoyak yang merupakan produk<br />

lokal dan bagian dari identitas diri, bisikku dalam hati.<br />

“Cari apa?” tanya istriku dari belakang.<br />

“Pecal lele, sate padang, atau gorengan” Jawabku.<br />

297


“Baiknya kita ucapkan selamat datang Global<br />

Village,” aku tahu maksudnya dia mendukung untuk<br />

dibelikan makanan sepat saji itu.<br />

“Kenapa?” Tanyaku.<br />

“Kita akan menjadi sebuah kesatuan dalam desa<br />

global ini. Konsekuensinya menghilangkan bagian dari<br />

identitas kita kemudian berlahan-lahan bermimikri<br />

supaya dapat diterima dalam komunitas global itu.”<br />

Jawabnya.<br />

Begitu sampai di rumah. Hasil belanjaan yang<br />

hanya beberapa jenis itu kami tumpahkan di atas meja<br />

makan kami.<br />

“Bermimikri boleh saja tapi harus atas kesadaran.”<br />

“Iya”<br />

“Sadar yang bagaimana?” Jawab istriku singkat.<br />

“Kesadaran itu ada dua, kesadaran kelas dan<br />

kesadaran palsu” Jawabku meniru Georg Lucas yang<br />

pengikut Marxisme Hegelian itu. Aku baca pendapat<br />

mereka beberapa tahun lalu.<br />

Kesadaran kelas mengacu pada system keyakinan<br />

yang dianut oleh orang yang menduduki posisi kelas<br />

yang sama, sedangkan kesadaran palsu adalah kelas-kelas<br />

298


dalam masyarakat kapitalis umumnya tidak menyadari<br />

kepentingan kelas mereka yang sebenarnya.<br />

“Kelas yang tidak tahu diri.” Jelasku sambil<br />

tertawa.<br />

“Jadi?” Tanya dia.<br />

“Kesadaran itu merupakan kondisi dimana kita<br />

memahami situsi dan kondisi watak masyarakat dimana<br />

kita hidup,”<br />

“Kesadaran adalah basis dari segala kehidupan dan<br />

ladang dari seluruh kemungkinan.”<br />

“Hakikatnya memperluas dan melipatgandakan<br />

potensi sepenuhnya?” Tanyanya.<br />

“Dengan demikian dorongan untuk berkembang<br />

melekat dalam hakekat kehidupan,” Jawabku. Kondisi<br />

berpikir logis tentang sesuatu yang terjadi dan kemudian<br />

direspon dengan tindakan melalui metode sistematis dan<br />

terukur, ketika kita ingin menuju perubahan.<br />

“Tentu saja perubahan itu tidak datang dengan tibatiba,”<br />

“Tidak datang dengan bim salabim, ia butuh proses<br />

rasional, pematangan system dan momentum tindakan,”<br />

299


“Artinya proses menuju perubahan ini butuh proses<br />

pembongkaran menyeluruh?” Tanyanya sambil<br />

menyimpan bungkusan minyak ke dalam lemari.<br />

“Betul”<br />

“Berpikir sistematis inilah yang disebut dengan<br />

kesadaran dimana akan menempatkan diri manusia sesuai<br />

dengan apa yang diyakininya,”.<br />

Kesadaran ini diungkapkan dengan refleksi, cikal<br />

bakal gagasan dan tindakan. Ketika kesadaran itu<br />

terhambat dan terjebak pada artikulasi dan pemaknaan<br />

diri, klaim diri paling hebat terjebak pada nilai-nilai<br />

subjectivisme yang sempit maka kesadaran itu belum<br />

terkelola dengan baik, kesadaran itu masih dalam taraf<br />

dirinya. Jelasku.<br />

Secara otomatis kita tidak mampu menyadarkan<br />

pihak lain diluar kita dengan kesadaran palsu.<br />

“Etre pour soi e” Kataku sambil membuka bungkus<br />

rokok yang juag dibelikan istriku ketika di kasir tadi.<br />

“Apa itu?”<br />

“Kesadaran berjarak, kesadaran kita terhadap<br />

sesuatu menyatakan adanya perbedaan antara kita dengan<br />

300


sesuatu, kita tidak sama dengan sesuatu yang kita sadari,<br />

ada jarak antara kita dengan object yang kita lihat,”<br />

“Misalnya?” Tanya dia lagi. Aku terdiam mencari<br />

jawaban yang tepat.<br />

“Jadi begini” aku mengambil jedah untuk<br />

menjawab.<br />

“Maka prasyarat utamanya adalah distansi,<br />

penandaan pada jarak.” Karena kesadaran adalah pondasi<br />

tindakan yang mengunakan media kewaspadaan, maka<br />

kesadaran ini muncul ketika subjek berhadapan dengan<br />

realitas ruang. Jelasku. Dia tidak begitu yakin dengan<br />

jawabanku. Kebiasanku selalu menjawab pertanyaanya<br />

yang berputar-putar.<br />

“Intinya gagasan, sikap dan aksi, yang diperoleh<br />

dari interaksi subject dengan object melalui panca indera<br />

terverifikasi melalui akal rasional, harus mengacu pada<br />

struktur yang sitematis pengetahuan.”<br />

“Pengetahuan?”<br />

“Ia, karena pengetahuan akan melahirkan konsep<br />

kecerdasan dan kematangan jiwa untuk menyeimbangi<br />

kecerdasan emosional yang merupakan pondasi<br />

rasionalisme,”<br />

301


“Oh,”<br />

“Kecerdasan ini bisa bisa memotivasi kondisi jiwa<br />

agar menjadi pribadi yang matang secara social<br />

berkenaan dengan eksistensinya sebagai entitas social,”<br />

“Wujudnya dalam bentuk kemampuan merasakan,<br />

memahami dan secara efektif menerapkan daya dan<br />

kepekaan emosi” Jelasku.<br />

“Aku mulai mengerti,” Kata dia sambil<br />

menuangkan air panas ke dalam gelas yang sudah<br />

diisinya kopi tanpa gula.<br />

“Sebagai sumber energy yang menyulut kretivitas<br />

yang tentu saja mengarahkan manusia ke arah yang lebih<br />

baik.” Sambungnya sambil mengaduk kopi.<br />

“Kesadaran jiwa ini menyiratkan kesediaan<br />

manusia untuk memikul amanah, beban, kepedulian yang<br />

tidak diikuti oleh komitmen terhadap sikap mendua.”<br />

Aku menarik lebih dekat gelas kopi.<br />

Sumber utama konplik jiwa ini adalah kebodohan<br />

dalam mendifinisikan makna tindakan fisiologis, hawa<br />

nafsu, keinginan buta, ambisi atau sikap yang munafik,<br />

atau penghianatan.<br />

302


Wilayah kesadaran yang harus dikuasai agar bisa<br />

melakukan perubahan yang optimal, satu-satunya untuk<br />

mengubah secara permanen dunia luar kita adalah dengan<br />

mengubah dunia dalam kita.<br />

“Kita tidak melihat dunia seperti seharusnya, kita<br />

hanya melihat dunia seperti yang kita mau lihat,”<br />

“Kita hanya akan melihat berdasarkan keyakinan<br />

bukan kanyataan.” Lanjutku sambil minum kopi.<br />

Hanya tindakan yang dilakukan sesuai dengan<br />

keyakinan yang mendominasi pikiran dan hati akan<br />

membuahkan hasil, keyakinan yang utuh hasil dari proses<br />

reflektif yang panjang dan teruji dilapangan akan<br />

melahirkan sebuah karakter yang nantinya menjadi<br />

cermin bagi pergerakan perubahan.<br />

Obrolan kami terhenti ketika anakku berlari keluar<br />

mendengar pangilan mamang penjual sate yang menjadi<br />

langanannya.<br />

“Mamang kenapa lama tidak jualan?” terdengar<br />

ananku bertanya.<br />

“Mamang sakit ya?<br />

“Tidak nak, kemaren kami pulang kampung” kata<br />

Mamang sate.<br />

303


“Dua bungkus ya mang”<br />

“Iya”<br />

“Kuahnya ditambah mang”<br />

“Iya,”<br />

“Kerupuknya juga”<br />

“Berapa Mang?”<br />

“Rp. 5.000”<br />

“Boleh kurang?”<br />

Kami tersenyum. Mamang sate penjelaskan bahanbahan<br />

sate sehingga harganya Rp. 5.000. kalau kurang<br />

volume satenya akan dikurangi juga. Mereka seperti tidak<br />

berjarak, mereka sadar ruang, sadar posisi dan tidak<br />

terleminasi dari produk dan kebutuhannya.<br />

304


305


Tentang penulis<br />

Erwin Basrin adalah Pegiat isue lingkungan, kerakyatan<br />

dan penulis lepas dan penikmat sastra yang berlatar<br />

belakang Pendidikan Teknik Sipil Univerasitas Ekasakti,<br />

Padang. Pemegang mandat Direktur Eksekutif Akar<br />

Foundation sejak tahun 2014, sebuah NGOs local di<br />

Bengkulu yang bergerak pada isue Masyarakat Adat,<br />

Kehutanan dan Tata Kelola Kekayaan Alam yang<br />

Demokratis dan Berkelanjutan. Menjadi pegiat Aktif dan<br />

pendamping Perhutanan Sosial, Reforma Agraria serta<br />

isue transparansi Industri Ekstractive di Bengkulu,<br />

Pendiri Pendidikan Alternatif dan Rumah Literasi “Mata<br />

Hati”, tahun 2003-2007 menjadi Sekretaris Jenderal<br />

Aliansi Masyarakat Adat Bengkulu (AMA Bengkulu)<br />

dan Dewan Nasional Masyarakat Adat Nusantara<br />

(DAMAN) Priode 2003-2004. Dan, sampai saat ini masih<br />

menikmati hidup menjadi Petani hutan dan sesekali<br />

menikmati tanaman bunga.<br />

306


307

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!