03.05.2013 Views

Halaman 40 - Badan Pemeriksa Keuangan

Halaman 40 - Badan Pemeriksa Keuangan

Halaman 40 - Badan Pemeriksa Keuangan

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

GALLERY FOTO<br />

Ketua BPK RI Hadi Poernomo tengah<br />

memberikan kata sambutan pada saat<br />

“family gathering” di Cibubur.<br />

Sekjen BPK RI Hendar Ristriawan<br />

memberikan piala pada peringatan<br />

HUT BPK ke-64<br />

Pemberian Piagam dan Piala pada lomba karya tulis tingkat SMU<br />

dalam rangka memperingati HUT BPK ke-64, oleh Anggota IV BPK<br />

Ali Masykur Musa.<br />

Suasana kegiatan<br />

“family gathering” di Cibubur.<br />

Santunan kepada anak yatim piatu<br />

dalam rangka memperingati HUT BPK<br />

ke-64<br />

Ketua BPK RI Hadi Poernomo<br />

tengah memasak disaksikan<br />

oleh sekjen BPK RI<br />

Hendar Ristriawan<br />

Anggota V BPK RI Sapto Amal Damandari<br />

meresmikan Kantor BPK RI<br />

Perwakilan Provinsi Bengkulu<br />

Ketua BPK RI Hadi Poernomo dan<br />

Mario Teguh<br />

Ketua BPK RI dan Sekjen BPK RI bersama<br />

Kapolri, Wakapolri dan Irwasum Polri pada saat<br />

MoU antar BPK dan Polri<br />

<strong>40</strong> FEBRUARI 2011 Warta BPK<br />

Warta BPK<br />

FEBRUARI 2011 41<br />

<strong>40</strong> - 41 galeri foto.indd <strong>40</strong>-41 23/02/2011 19:39:57


pantau<br />

PLN boros,<br />

Perlu audit investigatif<br />

Panja Komisi VII<br />

DPR meminta <strong>Badan</strong><br />

<strong>Pemeriksa</strong> <strong>Keuangan</strong><br />

(BPK) untuk melakukan<br />

audit dengan tujuan<br />

tertentu terhadap PT<br />

Perusahaan Listrik<br />

Negara (Persero).<br />

Alasannya, selama ini<br />

PLN telah melakukan<br />

pemborosan.<br />

Sejumlah anggota Komisi<br />

VII DPR dan Ketua Panja<br />

Sektor Hulu Listrik Effendi<br />

Simbolon bertandang ke<br />

kantor BPK pada 18 januari.<br />

Kedatangan tamu istimewa ini diterima<br />

oleh anggota BPK ali masykur musa.<br />

Pertemuan membahas persoalan penting<br />

menyangkut sektor hulu listrik.<br />

Kedatangan mereka untuk meminta<br />

BPK melakukan audit dengan tujuan<br />

tertentu terhadap PT PlN. menurut effendi<br />

Simbolon, berdasarkan hipotesa<br />

n ali Masykur Musa n Effendi Simbolon<br />

yang dilakukan Komisi VII, perusahaan<br />

pelat merah itu dianggap telah melakukan<br />

pemborosan belanja. Buktinya, ada<br />

banyak pembangkit yang seharusnya<br />

menggunakan gas atau batu bara tetapi<br />

malah memakai BBm. “Persoalan ini<br />

tidak bisa dibiarkan terus-menerus,”<br />

tegasnya.<br />

Dia menambahkan pemborosan itu<br />

menimbulkan Dana Penyediaan Produksi<br />

(DPP) untuk setiap kwh sangat tinggi.<br />

Selain itu, juga mengakibatkan harga<br />

jual listrik tetap tinggi. Kondisi ini menyebabkan<br />

subsidi makin besar, yang<br />

pada gilirannya membebani rakyat.<br />

Semua hasil hipotesa yang dikumpulkan<br />

Panja Komisi VII, tambahnya,<br />

akan dijadikan masukan bagi BPK. Sambil<br />

menunggu hasil audit BPK tersebut,<br />

Panja Komisi VII akan melakukan rapat<br />

serta kunjungan untuk meneliti sejauh<br />

mana data-data hasil hipotesa bisa dipertanggungjawabkan.<br />

“Terutama soal pemborosan PlN<br />

yang disengaja atau tidak dan pemberlakuan<br />

diskriminatif terhadap pemasokpemasok<br />

energi seperti batu bara, gas,<br />

atau BBm,” ujarnya.<br />

Effendi menduga ketidakbecusan<br />

dalam pengelolaan PlN bisa disebabkan<br />

oleh regulasi maupun pengaruh pihak<br />

lain. Namun, juga bisa disebabkan oleh<br />

tidak adanya aturan yang memaksa untuk<br />

melaksanakan sistem yang sudah<br />

ditentukan.<br />

42 FeBRuaRI 2011<br />

Warta BPK<br />

42 - 44 pantau.indd 42 23/02/2011 19:42:54


“Komisi VII tidak ingin persoalan<br />

listrik ini selesai di hilir saja. Persoalan<br />

yang mendasar justru ada di sektor<br />

hulu.”<br />

mengenai kerugian negara akibat<br />

pemborosan PLN, Effendi belum dapat<br />

memastikan. menurut dia, untuk menentukan<br />

jumlah kerugian negara<br />

harus berdasarkan hasil audit BPK.<br />

apalagi, obyek pemeriksaan dalam<br />

melakukan audit investigasi itu, lanjutnya,<br />

BPK tidak hanya memeriksa PlN<br />

tetapi juga pihak lain, termasuk kaitannya<br />

dengan pasokan energi primer.<br />

“Seperti kementerian eSDm, BP<br />

migas, BPh migas, dan Pertamina.<br />

Dengan begitu audit BPK menjadi<br />

satu kesatuan yang komprehensif,”<br />

tuturnya. Yang jelas, lanjut Effendi, dengan<br />

adanya audit BPK pihaknya ingin<br />

PLN lebih efisien dan memberikan<br />

pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.<br />

untuk itu, kinerjanya akan<br />

ditingkatkan dan sistemnya diperbaiki,<br />

termasuk yang terkait dengan pemasok.<br />

“Karena itulah perlu anatomi<br />

yang benar melalui mekanisme audit<br />

BPK ini,” katanya.<br />

Dalam rapat konsultasi itu, Komisi<br />

VII sudah mendapat kepastian BPK<br />

akan menyelesaikan seluruh audit terhadap<br />

PlN akhir juni 2011. menurut<br />

dia, pihaknya menyerahkan sepenuhnya<br />

kepada BPK untuk melakukan<br />

audit.<br />

n Suasana antrian pembayaran rekening PLN<br />

Warta BPK<br />

“meskipun Komisi VII diberitahu<br />

mengenai skema pemeriksaannya,<br />

akan tetapi bagaimana tata cara audit<br />

serta pelaksanaannya, sepenuhnya<br />

merupakan kewenangan BPK.”<br />

Effendi menambahkan Komisi VII<br />

akan menggunakan barometer hasil<br />

audit untuk memperbaiki PlN. Pasalnya,<br />

DPR tidak ingin berpolemik di<br />

luar fakta yang dihasilkan oleh tim<br />

audit. “akhir juni selesai, komprehensif,<br />

detil sampai berapa belanja energi<br />

primer setiap item, dari mulai mesin<br />

diesel, BBm, gas, sampai ke panas<br />

bumi. lengkap, selama ini belum pernah<br />

terungkap,” tegasnya.<br />

Uang Pelanggan<br />

menyinggung mengenai uang jaminan<br />

listrik pelanggan, anggota Panja<br />

Sektor hulu listrik Komisi VII Daryatmo<br />

mardianto meminta BPK juga<br />

mengaudit dana itu.<br />

“uang tersebut sudah dipungut<br />

selama berpuluh-puluh tahun, sejak<br />

19<strong>40</strong>, sehingga akumulasinya sudah<br />

cukup besar. Tidak hanya saat pemasangan<br />

tarif, tetapi juga ketika pelanggan<br />

hendak menambah besarnya<br />

daya. Uang tersebut sudah mencapai<br />

Rp6 triliun,” tuturnya.<br />

Dia menegaskan uang jaminan ini<br />

bukan merupakan Pendapatan Negara<br />

Bukan Pajak (PNBP), tetapi uang itu<br />

telah diinvestasikan oleh PlN.<br />

“Kemana uang itu? Kalaupun disimpan<br />

dalam rekening, atas nama<br />

siapa. Sebab sebagai uang rakyat, jika<br />

diinvestasikan PlN wajib meminta<br />

izin kepada rakyat atau minimal kepada<br />

wakil rakyat. Karena itu, PlN harus<br />

dapat mempertanggungjawabkan<br />

keberadaan serta peruntukkannya.”<br />

usulan ini mendapat dukungan<br />

dari anggota Panja Komisi VII lainnya<br />

azwir Dainy Tara dari Fraksi PG.<br />

Menurut dia, pasca­bencana gempa<br />

dan banjir, masyarakat korban tidak<br />

lagi menggunakan listrik.<br />

“Seharusnya uang jaminan yang<br />

sudah mereka bayarkan itu, dikembalikan<br />

oleh PlN. Selain itu, selama ini<br />

dengan nomimal yang cukup tinggi<br />

pasti PlN mendapatkan bunga dari<br />

uang tersebut. lalu bagaimana dengan<br />

hasil bunganya, PlN pergunakan<br />

untuk apa, bagaimana PlN mempertanggungjawabkannya,”<br />

tanya azwir<br />

menanggapi pernyataan itu, auditor<br />

utama <strong>Keuangan</strong> Negara VII BPK<br />

Ilya avianti menyatakan pihaknya<br />

akan melakukan audit investigasi terhadap<br />

PLN secara menyeluruh, termasuk<br />

mengenai uang jaminan pelanggan.<br />

BPK sepakat jika PlN selama ini<br />

tidak transparan. Pada 2009, uang<br />

jaminan ini sudah menjadi temuan<br />

BPK sebesar Rp5,9 triliun. (bw)<br />

FeBRuaRI 2011<br />

42 - 44 pantau.indd 43 23/02/2011 19:42:54<br />

43


pantau<br />

Polri Paling banyak Diadukan<br />

Tiga institusi penegak hukum yaitu kepolisian, peradilan<br />

dan kejaksaan menjadi tiga lembaga yang paling banyak<br />

menerima pengaduan publik berdasarkan data Satuan Tugas<br />

Pemberantasan Mafia Hukum per 20 Januari 2011.<br />

Kepolisian mendapat 1059 pengaduan, peradilan 1008<br />

pengaduan dan kejaksaan 544 pengaduan dari total sebanyak<br />

3.759 pengaduan. Namun tidak ada informasi dari<br />

jumlah pengaduan sebanyak itu, berapa yang telah ditindaklanjuti.<br />

No. Nama Lembaga Jumlah<br />

1 Kepolisian 1059<br />

2 Peradilan 1008<br />

3 Kejaksaan 554<br />

4 Pemda (provinsi, kab/kota), DPRD 330<br />

5 bPN 207<br />

6 Lain-lain 152<br />

7 Perusahaan (bUMN, Swasta, bank) 135<br />

8 Kemkeu (Kantor Pajak, bC) 41<br />

9 TNi 41<br />

10 KPK 26<br />

11 Kementerian Hukum dan HaM 22<br />

12 advokat, Notaris 21<br />

13 Kementerian Kehutanan 20<br />

14 KPU 18<br />

15 Lembaga Pemasyarakatan 15<br />

16 Kementerian Pendidikan Nasional 11<br />

17 Kementerian Dalam Negeri 11<br />

Total Lembaga/instansi yang diLaporkan 3759<br />

Yang menarik, Kementerian <strong>Keuangan</strong> khususnya Ditjen<br />

Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai yang dalam satu tahun<br />

terakhir dipenuhi dengan kasus Gayus justru hanya<br />

mendapat 41 pengaduan. Dewan Perwakilan Rakyat yang<br />

selama ini mendapat kesan dan pemberitaan negatif di<br />

media massa, namun hanya mendapat 5 pengaduan. Tercatat<br />

ada 34 instansi yang mendapat pengaduan publik.<br />

(wit)<br />

No. Nama Lembaga Jumlah<br />

18 bKN, Kantor Pelayanan Kekayaan 10<br />

19 Kementerian ESDM 9<br />

20 Kemenakertrans 9<br />

21 Kementerian agama 8<br />

22 Kementerian Pekerjaan Umum 7<br />

23 Presiden Ri 6<br />

24 Setkab/Setneg 5<br />

25 Komisi Yudisial 5<br />

26 DPR 5<br />

27 Kementerian KP 5<br />

28 Mahkamah Konstitusi 4<br />

29 Kementerian bUMN 4<br />

30 bNN 3<br />

31 Kementerian Kesehatan 3<br />

32 Kementerian Pariwisata 2<br />

33 Kementerian Perdagangan 2<br />

34 Kementerian Luar Negeri 1<br />

44 FeBRuaRI 2011<br />

Warta BPK<br />

42 - 44 pantau.indd 44 23/02/2011 19:42:54


Kepastian Ekonomi dan<br />

Lindung Nilai APBN<br />

Oleh : Anggito Abimanyu<br />

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta<br />

PEREkOnOmIAn Indonesia saat ini dan ke depan dipengaruhi<br />

dengan ketidakseimbangan global dan<br />

ketidakpastian. Pada pertemuan tahunan World<br />

Economic Forum (WEF) tahun 2011 di Davos baru-baru<br />

ini, para pemimpin global menggarisbawahi adanya unsur<br />

ketidakpastian dan ketidakseimbangan yang berasal dari<br />

tiga sumber yaitu sektor keuangan, energi, dan pangan.<br />

meskipun bersifat global, akan tetapi ketiganya erat kaitannya<br />

dengan masalah sosial, politik dan kemiskinan dalam<br />

negeri.<br />

korbannya secara khusus adalah negara negara berkembang<br />

yang tidak memiliki sumberdaya yang memadai<br />

untuk mengurangi gejolak perekonmian yang secara langsung<br />

dan tidak langsung mempengaruhinya.<br />

Di sektor keuangan misalnya, krisis utang 2008 terus<br />

berlanjut di Eropa telah mengakibatkan stagnasi perekonomian<br />

di wilayah tersebut. Gejolak kurs dan suku bunga<br />

akan terus terjadi di negara berkembang, apalagi AS dan<br />

China terlibat perang kurs untuk mempertahankan daya<br />

saing ekspornya.<br />

masalah pangan dan energi juga menjadi sorotan yang<br />

cukup tajam oleh banyak pemimpin dunia di Davos. masalah<br />

kenaikan harga pangan dan energi terjadi karena ketidakpastian<br />

produksi dunia. Risiko kegagalan produksi sebagai<br />

akibat perubahan iklim justru akan semakin tinggi.<br />

kenaikan harga pangan dan energi dunia juga disebabkan<br />

adanya reorientasi para pemodal pasar uang ke pasar komoditas<br />

seperti pangan dan energi.<br />

Investasi portofolio pasar uang tidak lagi menarik karena<br />

pelemahan dolar AS, dan modal bermigrasi ke investasi<br />

di bursa komoditas yang harganya terus meningkat.<br />

ketidakpastian dan ketidakseimbangan tersebut menuntut<br />

setiap negara akan melakukan perlindungan atau<br />

asuransi terhadap kemungkinan gejolak perekonomiannya.<br />

Gejolak perekonomian tersebut muncul dari kenaikan<br />

atau perubahan yang tiba-tiba dari nilai tukar, harga energi,<br />

khususnya minyak dan harga pangan dunia seperti beras,<br />

gula dan minyak goreng.<br />

Warta BPK<br />

FEBRUARI 2011<br />

KOLOM<br />

Acapkali negara harus mengorbankan anggarannya,<br />

baik sisi penerimaan maupun pengeluaran untuk menanggulangi<br />

gejolak perubahan harga yang cepat. Dari sisi penerimaan<br />

berupa pencabutan berbagai jenis pajak dalam<br />

negeri, seperti PPn (pajak pertambahan nilai) dan bea<br />

masuk yang menjadi selama ini menjadi unsur harga jual.<br />

Dampaknya, penerimaan menjadi berkurang sebesar PPn<br />

atau bea masuk yang seharusnya ditarik dalam perencanaan.<br />

Sementara di sisi belanja, ketidakpastian akan membuat<br />

APBN harus mengalokasikan dana risiko fiskal yang lebih besar,<br />

baik risiko nilai tukar, suku bunga maupun risiko besaran<br />

belanja dan kemungkinain tambahan belanja subsidi energi<br />

dan pangan agar harga kebutuhan pokok tersebut terjangkau.<br />

Lindung Nilai<br />

Indonesia tidak terkecuali. Gejolak harga, baik nilai tukar,<br />

maupun harga komoditas telah menekan perekonomian<br />

di 2011 dan untuk mempertahankan stabilitas harga,<br />

maka kebijakan fiskal melalui APBN dimanfaatkan menjadi<br />

instrumennya. Namun, respons kebijakan fiskal tersebut<br />

pada umumnya bersifat reaktif dan tidak didasarkan akan<br />

prognosa yang akurat mengenai situasi perkembangan perekonomian<br />

dan harga-harga komoditas.<br />

meskipun sulit untuk melakuan prediksi yang akurat,<br />

idealnya APBn mampu mendisain pengeluaran asuransi<br />

yang berupa lindung nilai terhadap berbagai gejolak harga.<br />

minimal melakukan disain lindung nilai terhadap gejolak<br />

nilai tukar, suku bunga, harga minyak dan harga beras.<br />

Pengeluaran jenis ini mengandung unsur pengeluaran<br />

yang pasti dari premi asuransi, tetapi benefit dalam bentuk<br />

nilai uang belum pasti. Apabila peristiwa yang dilindungi,<br />

misalnya kenaikan harga minyak hingga US$100 per barel<br />

tidak kejadian, tidak ada manfaat langsung yang diperolehnya.<br />

Ibaratnya seperti peribahasa mengatakan ‘sedia payung<br />

sebelum hujan’. Payung harus disediakan, akan tetapi<br />

jika tidak hujan seolah-olah penyediaan payung tersebut<br />

sia-sia. Bahkan, dapat dianggap pemborosan atau pengelu-<br />

45 - 46 kolom anggito.indd 45 23/02/2011 19:44:34<br />

45


KOLOM<br />

aran yang tidak berdasar.<br />

kementerian (dahulu Departemen)<br />

keuangan pernah mengambil<br />

inisiatif untuk melakukan pengeluaran<br />

guna lindung nilai terhadap kenaikan<br />

harga minyak. Seperti diketahui<br />

kenaikan harga minyak mengakibatkan<br />

kenaikan subsidi BBm dan listrik.<br />

Untuk mengurangi risiko kenaikan<br />

subsidi akibat kenaikan harga itu dilakukan<br />

pengeluaran risiko fiskal dalam<br />

APBn.<br />

Pengeluaran risiko fiskal adalah<br />

cadangan alokasi belanja yang disediakan<br />

apabila terjadi kenaikan harga<br />

minyak yang mengakibatkan kenaikan<br />

belanja subsidi. Dan kebijakan seperti<br />

itu dapat diterima oleh pengawas/<br />

auditor internal dan eksternal, BPk<br />

(<strong>Badan</strong> <strong>Pemeriksa</strong> keuangan) karena<br />

bersifat pengeluaran cadangan atau<br />

jaga-jaga.<br />

namun, ketika akan melakukan<br />

lindung nilai berupa alokasi belanja<br />

premi asuransi yang pasti terhadap<br />

kenaikan harga di atas asumsi APBn,<br />

muncul pendapat yang tidak setuju.<br />

Yang tidak setuju mengatakan bahwa<br />

pengeluaran jenis itu tidak diterima<br />

oleh pengawas khususnya BPk.<br />

Pengeluaran jenis ini mengandung<br />

risiko ‘kerugian negara’ apabila yang<br />

terjadi adalah sebaliknya yakni harga<br />

turun di bawah asumsi APBn.<br />

Saya justru berpendapat sebaliknya,<br />

pengeluaran premi asuransi untuk<br />

melindungi risiko APBn tersebut<br />

seharusnya dapat diterima oleh BPk.<br />

meskipun pengeluaran premi asuransi<br />

tidak membawa manfaat langsung<br />

atau pasti karena kejadian masa<br />

depan masih bersifat probabilitas.<br />

menghitung probabilitas itu adalah<br />

tanggung jawab pemerintah, dan kalau<br />

diyakini memiliki probabilitas<br />

tinggi akan terjadi di masa yang akan<br />

datang maka layak untuk dilindungi<br />

untuk mencegah pengeluaran yang<br />

jauh lebih besar.<br />

Sudah banyak metoda dan teknik<br />

untuk menghitung asuransi lindung<br />

nilai dan sudah banyak dilaksanakan<br />

oleh korporasi yang menghadapi ketidakpastian<br />

bisnis.<br />

meksiko, pada 2009 pernah melakukan<br />

lindung nilai dari penurunan<br />

harga minyak agar pendapatan negara<br />

tidak tergerus. Waktu itu, harga<br />

minyak pernah mencapai US$120 per<br />

barel dan diprediksi akan menurun.<br />

Pada tingkat harga US$100, meksiko<br />

mengeluarkan dana APBn-nya untuk<br />

melakukan premi asuransi harga<br />

di tingkat US$80. kejadiannya, harga<br />

minyak bahkan turun di bawah<br />

US$50 dan pendapatan APBn negara<br />

“Saya menghimbau<br />

agar BPK terbuka pada<br />

berbagai perkembangan<br />

perekonomian yang<br />

semakin penuh dengan<br />

ketidakpastian dan<br />

ketidakseimbangan.”<br />

itu aman. Bahkan memperoleh klaim<br />

asuransi lindung nilai sebesar US$10<br />

miliar.<br />

memang ada cara lain yang dapat<br />

dilakukan oleh pemerintah yaitu<br />

lindung nilai dilakukan oleh BUmn<br />

pelaksana PSO seperti Pertamina dan<br />

PLn atau membentuk perusahaan di<br />

bawah kementerian keuangan seperti<br />

PT PII (Penjamin Infrastruktur Indonesia)<br />

untuk melakukan penjaminan<br />

pada risiko infrastruktur.<br />

meskipun dimungkinkan, akan<br />

tetapi karena APBn adalah urusan<br />

pemerintah dan untuk kadar kepraktisan<br />

dan efisiensi seharusnya dapat<br />

dilakukan dengan menggunakan mekanisme<br />

APBn.<br />

Asuransi bencana dan risiko<br />

sistemik<br />

Ide pembentukan asuransi benca-<br />

na nasional adalah serupa yakni melindungi<br />

negara dari pengeluaran pemulihan<br />

bencana yang besar. karena<br />

berskala nasional maka harus dilakukan<br />

dengan mekanisme APBn bukan<br />

swasta.<br />

Premi dari asuransi bencana akan<br />

dibeli oleh pemerintah, pemda, BUmn,<br />

dan swasta untuk mencegah biaya<br />

yang sangat besar jika terjadi bencana<br />

nasional seperti tsunami, gempa<br />

Padang, Bantul, dan merapi. Pengeluaran<br />

seperti ini melalui mekanisme<br />

APBn seharusnya juga dapat diterima<br />

oleh BPk.<br />

Saya menghimbau agar BPk terbuka<br />

pada berbagai perkembangan<br />

perekonomian yang semakin penuh<br />

dengan ketidakpastian dan ketidakseimbangan.<br />

Pola-pola mekanisme<br />

APBn yang bersifat perlindungan,<br />

percegahan dan asuransi, baik di sisi<br />

penerimaan dan pengeluaran, seharusnya<br />

dapat diterima sebagai kebijakan<br />

untuk menghindari dari biaya<br />

yang lebih besar.<br />

meskipun UU yang terkait dengan<br />

keuangan negara tidak secara eksplisit<br />

mengungkapkan hal-hal yang terkait<br />

dengan mekanisme pencegahan<br />

dalam APBn, akan tetapi BPk perlu<br />

melihat dalam kerangka perbaikan<br />

dan pencegahan krisi ekonomi. ke depan<br />

akan semakin banyak pola-pola<br />

mekanisme APBn yang bertujuan untuk<br />

mencegah terjadinya pemburukan<br />

ekonomi dan yang pada umumnya belum<br />

dapat direncanakan pengeluarannya<br />

dalam APBn.<br />

Pengeluaran pencegahan krisis keuangan<br />

akan paling banyak terjadi karena<br />

sektor tersebut memang sangat<br />

rentan terhadap gejolak di dalam dan<br />

luar negeri. Gejolak di luar negeri<br />

dapat mengakibatkan terjadinya krisis<br />

yang sistemik dalam sekejap waktu.<br />

maka perlindungan sektor terhadap<br />

dampak krisis tetap harus diupayakan<br />

dengan mekanisme APBn.<br />

Bahkan saya tetap berpendapat pengeluaran<br />

negara untuk pencegahan<br />

krisis sistemik seperti dalam peristiwa<br />

bank century seharusnya juga dapat<br />

diterima oleh BPk.<br />

46 FEBRUARI 2011<br />

Warta BPK<br />

45 - 46 kolom anggito.indd 46 23/02/2011 19:44:35


Warta BPK<br />

Ketua BPK Hadi<br />

Poernomo menegaskan<br />

bahwa opini Wajar Tanpa<br />

Pengecualian (WTP)<br />

bukan berarti bersih dari<br />

korupsi. Penegasan ini<br />

disampaikan di hadapan<br />

peserta workshop dan<br />

diklat dalam rangka<br />

persiapan pemeriksaan<br />

Laporan <strong>Keuangan</strong><br />

Pemerintah Pusat (LKPP)<br />

dan Laporan <strong>Keuangan</strong><br />

Kementerian dan<br />

Lembaga (LKKL) tahun<br />

2010 di Pusdiklat BPK ,<br />

belum lama ini.<br />

“WTP<br />

Bukan Berarti<br />

PEnjElAsAn tersebut dilontarkan lantaran<br />

masih banyaknya anggapan masyarakat<br />

atas opini WTP yang diartikan<br />

tidak ada korupsi atau penyelewengan.<br />

Anggapan ini dimaklumi. Pasalnya, masyarakat<br />

kurang memahami tujuan dari pemeriksaan BPK<br />

atas laporan keuangan dan makna dari opini yang<br />

diberikan.<br />

Hadi kembali menegaskan bahwa tujuan dari<br />

rekomendasi atas laporan keuangan bukan untuk<br />

menemukan terjadinya korupsi. namun, untuk<br />

memberikan opini apakah laporan keuangan<br />

sudah disajikan dengan benar, wajar, dan sesuai<br />

dengan prinsip akuntansi yang diterima umum di<br />

Indonesia.<br />

Opini BPK mencerminkan tindakan edukatif<br />

dan preventif ketimbang mencari-cari dugaan<br />

aksentuasi<br />

Bebas Korupsi”<br />

korupsi. sementara dari sisi edukatif, baik secara<br />

langsung maupun tidak langsung, BPK sebagai<br />

lembaga pemeriksa keuangan negara memberikan<br />

pembelajaran bagaimana semua institusi<br />

pengelola keuangan negara membuat laporan<br />

keuangan yang transparan, akuntabel, dan sesuai<br />

aturan yang berlaku.<br />

“Dari sisi preventif, justru akan membuat semua<br />

institusi pengelolaan keuangan negara tak<br />

bisa lari dari prinsip transparansi, akuntabilitas,<br />

dan taat aturan hukum dalam mengelola uang negara.,”<br />

jelasnya.<br />

Menurut dia, jika sampai tak memenuhi<br />

prinsip-prinsip itu, tak pelak dugaan korupsi pun<br />

bermunculan. selain itu, penyelewengan atau<br />

penyalahgunaan keuangan dan kinerja akan dinilai<br />

negatif. jika itu terjadi, tentu akan mencoreng<br />

FEBRUARI 2011<br />

47 - 48 aksentuasi.indd 47 23/02/2011 19:48:03<br />

47


aksentuasi<br />

institusi itu sendiri.<br />

“lebih dari itu, tak ada insentif atau<br />

penghargaan dari pemerintah pusat<br />

dalam penyaluran APBn terhadap institusi<br />

tersebut. Hal ini tentu tak diinginkan.”<br />

Hadi Poernomo mengatakan bahwa<br />

jika BPK memberikan opini WTP,<br />

bukan berarti menjamin institusi yang<br />

menjadi auditee (pihak yang diperiksa<br />

BPK) tidak terjadi penyimpangan atau<br />

korupsi dalam mengelola keuangan<br />

negara. Pasalnya, tanggung jawab<br />

pemeriksa hanya terbatas pada opini<br />

yang diberikannya.<br />

“Tanggung jawab untuk memastikan<br />

bila terjadi korupsi dalam pengelolaan<br />

keuangan negara sebuah entitas<br />

[auditee], terletak pada manajemennya<br />

sendiri. Biasanya dikenal dengan<br />

Managament Representation letter<br />

[MRl] yang ditandatangani oleh pimpinan<br />

entitas yang mengelola keuangan<br />

negara.”<br />

MRl ini merupakan bentuk tanggung<br />

jawab dari manajemen atau<br />

sering disebut dengan statement of<br />

Responsibility. Ini terkait dengan tidak<br />

adanya pelanggaran terhadap peraturan<br />

perundang-undangan yang berlaku<br />

di dalam pengelolaan keuangan negara<br />

di institusinya.<br />

namun demikian, lanjutnya, tujuan<br />

pemeriksaan BPK atas laporan<br />

keuangan memang bukan untuk<br />

mengungkap adanya penyimpangan,<br />

ketidakpatuhan, dan dugaan korupsi.<br />

Dia menegaskan pemeriksa BPK yang<br />

memberikan opini WTP harus yakin<br />

bahwa semua informasi signifikan<br />

yang dimuat dalam laporan keuangan<br />

telah diuji dari aspek teknis akuntansi,<br />

aspek legal, dan substansinya.<br />

“jadi, kita harus menguji apakah<br />

formalnya atau materialnya bisa dipertanggungjawabkan.<br />

Kalau kita ingin<br />

menguji materialnya terhadap kebenaran,<br />

tentu atas jumlahnya. Kalau<br />

ingin menguji kelengkapannya, tentu<br />

kelengkapanatas akun-akunnya. Kalau<br />

ingin menguji kejelasannya, kita harus<br />

jelas sumber-sumbernya.”<br />

Dapat ditekankan, tegas Ketua BPK,<br />

untuk menguji signifikansi daripada<br />

suatu perkiraan, harus dilihat dulu,<br />

benarkah jumlahnya, lengkapkah itemnya,<br />

atau akunnya, juga sumbernya.<br />

setelah itu, baru pemeriksa bisa mengatakan<br />

bahwa mudah-mudahan dengan<br />

keyakinannya itu bisa wajar.<br />

“jangan sampai kita hanya memeriksa<br />

jumlahnya benar, item-nya lengkap,<br />

tetapi sumbernya tidak jelas.<br />

juga harus diperhatikan, sumber dan<br />

jumlahnya benar, tetapi tidak lengkap<br />

itemnya. jadi tiga fungsi ini tolong diuji<br />

secara baik, sehingga kita bisa meyakini,”<br />

papar Hadi.<br />

Dengan pengujian pada aspek teknis<br />

akuntansi, legal, dan substansinya<br />

itu, bisa memastikan bahwa BPK menjadi<br />

lembaga pemeriksa keuangan yang<br />

kredibel. Dengan kata lain, hasil pemeriksaan<br />

BPK harus dapat diterima oleh<br />

publik dan proses pemeriksaan BPK<br />

telah melalui quality control, quality<br />

assurance, yang memastikan tidak adanya<br />

kesalahan (zero defact). (and)<br />

48 FEBRUARI 2011<br />

Warta BPK<br />

47 - 48 aksentuasi.indd 48 23/02/2011 19:48:09


TEMPO DOELOE<br />

Dewan Pengawas <strong>Keuangan</strong><br />

(1949-1959)<br />

Warta BPK<br />

SAlAh satu kesepakatanantara<br />

Pemerintah<br />

Kerajaan Belanda<br />

dengan<br />

Negara Kesatuan Republik<br />

Indonesia (NKRI) pada Konferensi<br />

Meja Bundar (1949)<br />

adalah menghentikan agresi<br />

militer Belanda terhadap wilayah<br />

Indonesia, mengakui<br />

Indonesia sebagai negara<br />

merdeka, dan bentuk negara<br />

Indonesia menjadi Republik<br />

Indonesia Serikat (RIS).<br />

Konsekuensi dari bentuk<br />

negara RIS ini, UUD 45 hanya<br />

dipakai oleh NKRI yang<br />

berada di bawah negara induk<br />

yaitu RIS. Seiring dengan<br />

hal itu, konstitusi negara<br />

RIS memakai Undang-Undang<br />

Dasar Sementara 1950<br />

(UUDS 50/Konstitusi RIS).<br />

Disebut UUDS karena menunggu<br />

undang-undang dasar<br />

tetap yang rencananya<br />

akan dibahas dan ditetapkan<br />

oleh Konstituante/DPR<br />

hasil pemilu yang segera diselenggarakan.<br />

Perubahan bentuk negara<br />

dan konstitusi ini juga<br />

menyebabkan reorganisasi<br />

<strong>Badan</strong> Pengawas <strong>Keuangan</strong><br />

(BPK). Nama BPK pun berubah<br />

menjadi Dewan<br />

Pengawas <strong>Keuangan</strong>. Secara<br />

organisasil, dewan ini<br />

merupakan penggabungan<br />

dari Algemene Rekenkamer<br />

(ARK) kolonial Belanda yang<br />

berkedudukan di Bogor dan<br />

<strong>Badan</strong> <strong>Pemeriksa</strong> <strong>Keuangan</strong><br />

yang berkedudukan di Yo-<br />

FEBRUARI 2011<br />

49 - 50 TEMPO DULU.indd 49 23/02/2011 19:49:25<br />

49


TEMPO DOELOE<br />

gyakarta.<br />

Sebagai ketuanya dipilih<br />

R. Soerasno, yang sebelumnya<br />

menjabat sebagai Ketua BPK<br />

yang pertama. Dia memimpin Dewan<br />

Pengawas <strong>Keuangan</strong> sampai 1957, sebelum<br />

kemudian diganti oleh A. Karim<br />

Pringgodigdo.<br />

Kantor Pusat Dewan Pengawas <strong>Keuangan</strong><br />

berkedudukan di Bogor, yang<br />

notabene kantor dari ARK. Sementara<br />

kantor BPK di Yogyakarta menjadi<br />

Kantor Cabang Dewan Pengawas <strong>Keuangan</strong>.<br />

Dasar hukum Dewan Pengawas<br />

<strong>Keuangan</strong> terdapat dalam Pasal 80<br />

dan 81 UUDS 50. Fungsi dan tugasnya<br />

terdapat pada Pasal 112 dan 116 yaitu<br />

mengawasi dan memeriksa tanggung<br />

jawab keuangan negara. hasil pengawasan<br />

dan pemeriksaan diinformasikan<br />

kepada DPR.<br />

landasan hukum dan pelaksanaan<br />

tata kerja sebenarnya masih<br />

peninggalan masa kolonial Belanda<br />

yaitu Indische Comptabilietswet<br />

(ICW), Indische Bedrijvenswet (IBW),<br />

Indische Staatrecht (IS), dan Intructie<br />

Voor het Algemene Rekenkamer (IAR).<br />

Oleh karena itu, dalam pelaksanaan<br />

tugasnya, Dewan Pengawas <strong>Keuangan</strong><br />

tetap menyelenggarakan fungsi operatif,<br />

rekomendasi, dan yudikatif.<br />

Susunan keanggotaannya terdiri<br />

dari seorang ketua, wakil ketua, dan<br />

tiga orang anggota. Secara realitas<br />

masa itu, susunan keanggotaan tidak<br />

pernah lengkap. hal ini dikarenakan<br />

jabatan anggota dianggap kurang<br />

menarik. Konstalasi itu ditunjukkan<br />

oleh pemberitaan<br />

Dewan Pengawas<br />

<strong>Keuangan</strong> pada<br />

1955.<br />

Setidaknya ada<br />

dua faktor yang<br />

menyebabkan jabatan<br />

anggota kurang<br />

menarik. Pertama,<br />

pelaksanaan tugas<br />

selalu berhadapan<br />

dengan pemerintah.<br />

Pada saat itu,<br />

segalanya belum<br />

tertata dengan<br />

baik. Tentu hal ini<br />

menyulitkan pelaksanaan tugas.<br />

Kedua, ada larangan bahwa anggota<br />

dewan, termasuk ketua dan wakil<br />

ketua, tidak diperbolehkan merangkap<br />

jabatan di pemerintahan juga tidak<br />

boleh melakukan usaha dagang<br />

sehingga dari sisi mata pencaharian<br />

hanya tergantung dari penghasilan sebagai<br />

pegawai negeri.<br />

Sejak berlakunya UUDS 50, Dewan<br />

Pengawas <strong>Keuangan</strong> mengalami perubahan<br />

organisasi sebanyak satu kali.<br />

Perubahan terjadi pada 1958, setelah<br />

terbitnya Surat Keputusan No.3371/<br />

TU/58 tertanggal 7 Agustus 1958.<br />

Isinya, menambah jumlah inspektorat<br />

dari enam menjadi sembilan, yang<br />

disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan<br />

administrasi keuangan<br />

negara.<br />

Sementara struktur organisasi Dewan<br />

Pengawas <strong>Keuangan</strong> pada masa<br />

RIS ini terdiri dari:<br />

1. Unsur Pimpinan, yaitu dewan<br />

yang terdiri atas Ketua, Wakil<br />

Ketua, dan para anggota.<br />

2. Unsur Pembantu Pimpinan,<br />

Sekretaris yang memimpin<br />

Sekretariat Dewan Pengawas<br />

<strong>Keuangan</strong><br />

3. Unsur Pelaksana Pemerik<br />

saan, inspektorat-inspektorat<br />

dan kantor cabang<br />

4. Unsur Penunjang, kepegawai<br />

an, umum, dan keuangan<br />

5. Unsur Pengatur Meja, bagian<br />

yang membantu dewan dalam<br />

menyajikan materi atau masa<br />

lah yang akan dibahas dalam<br />

Sidang Dewan.<br />

Tugas pokok Dewan Pengawas<br />

<strong>Keuangan</strong> adalah memeriksa dan<br />

menguji pengeluaran anggaran dan<br />

menilai perhitungan anggaran negara.<br />

Juga memeriksa anggaran perusahaan<br />

negara, perseroan terbatas, dan yayasan<br />

dimana negara punya kepentingan<br />

di dalamnya.<br />

Sejak tahun 1951, dewan ini juga<br />

melakukan pemeriksaan atas pinjaman<br />

luar negeri. Dalam melaksanakan<br />

pemeriksaannya, Dewan Pengawas<br />

<strong>Keuangan</strong> bersandar pada laporan pemeriksaan<br />

yang diberikan oleh Djawatan<br />

Akuntan Negara.<br />

Dalam hal pemeriksaan, Dewan<br />

Pengawas <strong>Keuangan</strong>, melakukannya<br />

dengan dua cara yaitu cara pemeriksaan<br />

buril dan pemeriksaan di tempat.<br />

hasil pemeriksaan diberitahukan kepada<br />

DPR dalam bentuk Pemberitaan<br />

Dewan Pengawas keuangan yang dibuat<br />

setiap tahun.<br />

Berkaitan dengan pemberitaan tahunan<br />

itu, Dewan Pengawas <strong>Keuangan</strong><br />

tetap memantau bagaimana penyelesaian<br />

hal-hal yang telah diberitahukan<br />

kepada DPR.<br />

Selain itu, dari tataran fungsi yudikatif,<br />

berkaitan dengan tuntutan pebendaharaan<br />

dan tuntutan ganti rugi.<br />

Dewan Pengawas <strong>Keuangan</strong> mewajibkan<br />

semua orang atau badan yang oleh<br />

negara diberi tugas menerima, menyimpan,<br />

membayar, dan menyerahkan<br />

uang atau surat berharga dan barang,<br />

untuk menyampaikan pertanggungjawabannya<br />

kepada Dewan Pengawas<br />

<strong>Keuangan</strong> tentang pengurusan yang<br />

telah mereka jalankan.<br />

Jika ada kekurangan (tekor) atau<br />

penolakan atas pengeluaran tertentu<br />

dalam daftar pertanggungjawabannya,<br />

Dewan Pengawas <strong>Keuangan</strong><br />

dapat melakukan upaya pembebanan<br />

ganti rugi.<br />

Dengan kata lain, Dewan Pengawas<br />

<strong>Keuangan</strong> dapat mewajibkan supaya<br />

orang atau badan membayar kembali<br />

jumlah pengeluaran yang sebetulnya<br />

tidak boleh menjadi beban kas negara.<br />

(and)<br />

50 FEBRUARI 2011<br />

Warta BPK<br />

49 - 50 TEMPO DULU.indd 50 23/02/2011 19:49:25


eformasi birokrasi<br />

Makin:<br />

Sistem Untuk Mengoptimalkan<br />

kinerja Pegawai<br />

Sebagai perwujudan dari reformasi birokrasi sumber daya manusia (SDM) dan pengoptimalkan kinerja<br />

pegawai, Biro SDM BPK memunculkan program Manajemen Kinerja Individu (MAKIN). Penyiapan konsep<br />

ini dimulai sejak 2007. Biro SDM BPK melakukan pilotproject kepada beberapa satuan kerja, baik di<br />

kantor pusat maupun di kantor perwakilan, tahun lalu.<br />

UntUk di pusat, Akn I, Akn II, dan Akn VII, dipilih<br />

sebagai pilot project. Sementara di kantor<br />

perwakilan, dipilih BPk Perwakilan Provinsi<br />

Jawa Barat, i DkI Jakarta, dan Provinsi Banten.<br />

Sejumlah kekurangan pun ditemukan yang selanjutnya<br />

diperbaiki, khususnya pada formulir MAkIn.<br />

Sistem ini akan diimplementasikan pada unsur pemeriksa<br />

terlebih dahulu pada tahun ini. Menurut ketua<br />

Implementasi MAkIn yang juga kabag Pengembangan<br />

kompetensi dan Penilaian kerja (PkPk) Biro SDM BPk Erwin<br />

Miftah, prioritas penerapan kepada unsur pemeriksa.<br />

Dengan pertimbangan unsur pemeriksa merupakan Core<br />

Employees BPk. Selain itu, uraian jabatan yang sudah leng-<br />

Warta BPK<br />

kap, baik, dan terperinci adalah<br />

unsur pemeriksa.<br />

“Perangkat yang mendukung<br />

konsep MAkIn, pertama, adalah<br />

uraian jabatan. Uraian jabatan<br />

harus jelas. kita memulainya<br />

dengan pemeriksa. Dalam uraian<br />

jabatan pemeriksa itu paling<br />

jelas. Ada panduan manajemen<br />

pemeriksaan, SPkn, dan jabatan<br />

fungsional BPk. Secara jumlah,<br />

<strong>Pemeriksa</strong> juga punya porsi<br />

yang besar di BPk,” ucap Erwin.<br />

Setelah diterapkan pada<br />

unsur pemeriksa, pada 2012,<br />

MAkIn akan diterapkan pada<br />

pegawai struktural. Rencananya<br />

pada semester pertama tahun<br />

ini, Biro SDM akan mensosialisasikan<br />

penggunaan MAkIn<br />

kepada unsur pemeriksa dalam<br />

pelaksanaan tugasnya, baik<br />

yang ada di kantor pusat maupun di kantor perwakilan.<br />

Untuk memantapkan program ini, Biro SDM bekerjasama<br />

dengan Biro teknologi Informasi untuk membangun<br />

aplikasi secara elektronik. Penerapan aplikasi ini diharapkan<br />

untuk mempermudah dalam penggunaan SIMAk yang<br />

sebelumnya masih bersifat paper based.<br />

Walau penerapan aplikasi secara elektronik diterapkan,<br />

saat ini, belum sepenuhnya aplikasi secara elektronik<br />

tersebut digunakan. Penggunaan kertas masih dilakukan<br />

agar dalam pelaksanaan SIMAk ini masih bisa didokumentasikan<br />

secara fisik dalam kertas kerja aplikasi. Ke depan,<br />

aplikasi elektronik secara penuh diharapkan bisa direalisasikan.<br />

FEBRUARI 2011<br />

51 - 53 reformasi birokrasi.indd51 51 23/02/2011 19:51:49<br />

51


eformasi birokrasi<br />

Penerapan MAkIn sendiri bukannya<br />

tanpa hambatan. Ada beberapa<br />

hambatan yang akan ditemui. Hambatan<br />

yang jelas justru datang dari pegawai<br />

sendiri, dalam hal ini unsur pemeriksa,<br />

satuan kerja pertama yang akan<br />

menerapkan MAkIn.<br />

Sebagai hal yang baru, biasanya<br />

akan sulit untuk diterima. Apalagi sistem<br />

ini seolah-olah justru menambah<br />

beban pekerjaan pegawai. Oleh karena<br />

itu, perlu ada kesamaan persepsi dan<br />

pemahaman agar pegawai dapat melihat<br />

sisi positif dari sistem ini.<br />

“Berarti mereka harus meluangkan<br />

waktu untuk merencanakan, melakukan<br />

pembimbingan, kemudian dialog.<br />

Oleh karena itu, kita edukasi pegawai<br />

supaya mereka tidak salah paham.<br />

kita adakan sosialisasi, kita bikin banner,<br />

kita datangi setiap satuan kerja,”<br />

ucap Erwin.<br />

Selain itu, masalah pembangunan<br />

aplikasi MAkIn secara elektronik<br />

pun menjadi kendala tersendiri. Permasalahan<br />

yang akan muncul adalah<br />

membuat aplikasi elektronik yang<br />

mudah untuk digunakan, bukan malah<br />

menjadi sulit digunakan. Selain pembangunan<br />

aplikasi secara elektronik,<br />

permasalahan yang muncul lainnya<br />

adalah masalah kekuatan jaringan dalam<br />

mendukung aplikasi secara elektronik<br />

ini.<br />

Erwin mengakui untuk mendukung<br />

aplikasi MAkIn secara elektronik,<br />

jaringan masih belum begitu kuat.<br />

Bahkan, di Jakarta sendiri, jaringan<br />

kerap terganggu, apalagi di daerah-daerah<br />

yang notabene secara infrastruktur<br />

relatif belum sebaik di Jakarta.<br />

Apa itu MAkIn?<br />

Secara konseptual, MAkIn merupakan<br />

proses perencanaan, evaluasi,<br />

coaching, dan counseling, serta penilaian<br />

kinerja pegawai untuk mewujudkan<br />

objektif organisasi sekaligus mengoptimalkan<br />

potensi diri pegawai.<br />

Sebelum MAkIn dibangun, selama<br />

ini pengelolaan SDM BPk mengacu<br />

pada Daftar Penilaian Prestasi Pegawai<br />

( DP3). Dalam DP3, pegawai setiap<br />

tahun dinilai prestasinya. Dengan kata<br />

lain, titikberat pada penilaian saja. Di<br />

Input, Output dan Outcome MAkIn<br />

sisi lain, DP3 diterapkan pada seluruh<br />

pegawai negeri.<br />

Hal inilah yang membuat Biro<br />

SDM BPk, seiring dengan reformasi<br />

birokrasi, menilai banyak yang perlu<br />

diperbaiki. terutama karena penilaian<br />

dengan DP3 tidak sesuai karakter dan<br />

tidak mencerminkan hal yang spesialis<br />

dan unik dari institusi BPk sendiri.<br />

Oleh karena itulah muncul konsep<br />

MAkIn.<br />

“Hingga sekarang DP3 dilakukan<br />

umumnya, berdasarkan nilai sebelumnya.<br />

tidak disertai dengan bukti-bukti.<br />

nah, dalam MAkIn penilaian disertai<br />

dengan bukti-bukti ,” ungkap Erwin.<br />

tidak seperti DP3, sistem ini tidak<br />

hanya bicara soal penilaian saja, tetapi<br />

menyoroti juga masalah perencanaan,<br />

pembimbingan, dan follow up dari kinerja<br />

individu pegawainya. Sedangkan<br />

aspek yang direncanakan, dibimbing,<br />

dan dinilai dalam program MAkIn ini<br />

adalah sasaran kinerja, seperti penyusunan<br />

kkP secara sistematis, lengkap,<br />

dan tepat waktu<br />

Sasaran kinerja individu tersebut<br />

sebagian diturunkan (cascading) dari<br />

indikator kinerja utama yang merupakan<br />

hasil dari SIMAk. Dalam kurun<br />

waktu 2009 telah diturunkan Indikator<br />

kinerja Utama dari eselon II ke<br />

eselon III, dan indikator kinerja Utama<br />

dari eselon III ke eselon IV. Proses<br />

cascading ini dilakukan agar terdapat<br />

keterkaitan antara sasaran individu<br />

dengan sasaran satuan kerja. Selain<br />

itu, telah dilakukan uji coba formulir<br />

MAkIn untuk pemeriksa pada unit<br />

kerja pemeriksaan kantor pusat dan<br />

perwakilan.<br />

Di sisi lain, MAkIn berbasiskan<br />

pada indikator kinerja yang sifatnya<br />

hard goals dan soft goals. Hard goals<br />

merupakan sasaran. Hard Goals contohnya<br />

capaian waktu yang ditetapkan<br />

dalam menyusun kertas kerja <strong>Pemeriksa</strong>an<br />

(kkP) pada penerapannya di<br />

unsur pemeriksa.<br />

“Contohnya menyusun kkP, itu sasaran.<br />

Misal, paling lambat kkP disusun<br />

tujuh hari, setelah melaksanakan<br />

pemeriksaan. nah, itu namanya sasaran<br />

kita,” ucapnya lagi.<br />

Sementara soft goals merupakan<br />

standar kompetensi. Standar kompe-<br />

52 FEBRUARI 2011<br />

Warta BPK<br />

51 - 53 reformasi birokrasi.indd52 52 23/02/2011 19:51:50


tensi ini dibagi menjadi dua: kompetensi<br />

teknis dan kompetensi perilaku.<br />

kompetensi teknis , sudah bersifat<br />

teknis atau hard skill. Dengan kata<br />

lain kompetensi dalam hal kemampuan<br />

atau keahlian teknis khusus yang<br />

menjadi bidang pekerjaan seorang<br />

pegawai. Misalnya, hard skill auditor<br />

adalah dalam menyusun kertas kerja<br />

<strong>Pemeriksa</strong>an (kkP) yang baik. Artinya,<br />

seorang auditor harus mempu-<br />

nyai kompetensi teknis itu.<br />

kalau kompetensi perilaku disebut<br />

dengan soft skill. Lebih mengarah<br />

pada keahlian atau kemampuan yang<br />

sifatnya umum. Dalam arti berlaku di<br />

semua bidang pekerjaan. Misalnya,<br />

kemampuan berpikir analitis. Pada semua<br />

bidang pekerjaan kemampuan ini<br />

harus ada.<br />

“Berpikir analitis harus senantiasa<br />

diasah. karena kemampuan kita berpikir<br />

analitis bisa berkembang. Seperti<br />

misalnya kita kurang memperhatikan<br />

faktor ekonomi, tapi ketika kita belajar<br />

bahwa ekonomi itu penting, berpikir<br />

analitisnya lebih tajam,” terang Erwin.<br />

Untuk mendapatkan kedua jenis<br />

standar kompetensi tersebut, medianya<br />

adalah pendidikan, pelatihan,<br />

magang, dan penugasan. Dengan media<br />

tersebut, bisa diharapkan para pegawai<br />

BPk mampu mencapai standar<br />

kompetensi yang diharapkan.<br />

Sistem ini juga memanfaatkan ha-<br />

Warta BPK<br />

sil assessment (penilaian) untuk membantu<br />

atasan langsung atau pejabat<br />

fungsional guna melakukan perencanaan,<br />

bimbingan dan penilaian pemeriksa.<br />

Setelah pengembangan MAkIn<br />

selama 2010, mulai tahun ini diimplementasikan<br />

untuk pemeriksa.<br />

Selanjutnya tahun 2012 dan berikutnya<br />

akan diimplementasikan untuk<br />

pejabat struktural dan staf. Output<br />

MAkIn sendiri digunakan untuk men-<br />

n Sosialisasi MAkIn di BPk RI Perwakilan Provinsi<br />

nusa tenggara timur n Sosialisasi MAkIn di kantor Pusat BPk RI<br />

gembangkan kompetensi pegawai,<br />

promosi mutasi, sertifikasi jabatan<br />

fungsional pemeriksa, dan pemberian<br />

intensif atau remunerasi.<br />

Tujuan Makin<br />

tujuan MAkIn adalah untuk pengembangan<br />

kualitas individu pegawai<br />

yang sesuai dengan bidang kerjanya<br />

atau tepat sasaran. Seperti kata pepatah<br />

the right person on the right place.<br />

Sehingga bisa diharapkan optimalisasi<br />

kinerja, baik secara individu pegawai<br />

sendiri maupun satuan kerjanya yang<br />

bermuara pada tercapainya tujuan organisasi.<br />

“Semua akan dicatat. kelemahan<br />

pegawai yang berdampak pada satuan<br />

kerjanya itu ada dimana. kemudian<br />

untuk pemetaan pemeriksa kita.<br />

Sebenarnya berapa yang sudah memenuhi<br />

standar, berapa yang belum,<br />

berapa yang melebihi standar. nah, itu<br />

kan dipetakan.”<br />

Setelah dipetakankan, tuturnya,<br />

nanti bisa di-arrange, untuk kebutuhan<br />

untuk promosi dan mutasi. Setelah<br />

MAkIn dijalankan, bisa saja dalam<br />

satuan kerja itu, banyak pegawai<br />

yang mampu menjadi ketua tim.<br />

“Sementara di satuan kerja lain,<br />

banyak pegawai yang kemampuannya<br />

hanya menjadi anggota tim. kalaupun<br />

menjadi ketua tim, itu anggota<br />

tim yang dikarbitkan. Dengan MAkIn<br />

kita jadi tahu mana yang bisa menjadi<br />

ketua tim mana yang tidak,” papar Erwin.<br />

Selain itu, dengan MAkIn juga bisa<br />

memberikan motivasi kepada pegawai<br />

untuk berkinerja secara baik. karena<br />

dengan MAkIn, orang yang berkinerja<br />

baik akan dihargai. Untuk melihat kinerja<br />

pegawai di BPk perwakilan juga<br />

akan lebih memudahkan.<br />

“tanpa MAkIn, pegawai di BPk<br />

perwakilan yang punya kinerja baik<br />

hanya diketahui oleh pimpinannya.<br />

Pusat tak mengetahuinya. namun,<br />

dengan sistem ini, jajaran pimpinan<br />

di tingkat pusat pun mengetahui siapa<br />

pegawai di perwakilan yang kinerjanya<br />

baik dan siapa yang kurang baik.”<br />

kegunaan MAkIn itu tentu saja karena<br />

didukung oleh sistem database.<br />

Dengan menggunakan sistem e-SDM<br />

dan juga hasil assessment. Semuanya<br />

ada di database. Fungsi-fungsi SDM<br />

pun diintegrasikan pada sistem ini.<br />

FEBRUARI 2011<br />

51 - 53 reformasi birokrasi.indd53 53 23/02/2011 19:51:53<br />

53

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!