02.07.2013 Views

marthasari

marthasari

marthasari

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

pengetahuan pertanian,” katanya. Oleh karena itu,<br />

dalam urusan desain dan pemasaran, Hastjarjo<br />

bisa mengandalkan saudara-saudaranya itu.<br />

Mereka lantas membentuk sebuah usaha keluarga<br />

yang bengkel kerjanya memanfaatkan<br />

sebagian lahan keluarga seluas 7.500 meter persegi<br />

di kawasan Parung, Bogor. Enam kakakberadik<br />

ini lantas patungan semampunya. Ada<br />

yang menyerahkan modal Rp 5 juta, ada yang<br />

Rp 3 juta. Bengkel sederhana pun didirikan, berikut<br />

rumah pengeringan kayu yang juga sederhana.<br />

Hastjarjo mengaku bahwa untuk membangun<br />

rumah pengeringan kayu dengan oven mesin<br />

yang harganya ratusan juta rupiah, secara finansial<br />

ia tidak mampu. Akhirnya, dipilih pengeringan<br />

kayu secara alami. “Mesinnya adalah pemberian<br />

Tuhan. Itu..., matahari,” ujarnya sambil menunjuk<br />

ke langit.<br />

Maka dibangunlah rangka kayu, dinding<br />

tripleks, dan lantai semen, semacam gudang<br />

untuk tumpukan potongan kayu kelapa yang<br />

didatangkan dari Banten dan Lampung. Sebagai<br />

atap dipakai lembar plastik khusus seperti yang<br />

digunakan di rumah kaca (green house). Panas<br />

pun menerobos masuk ruangan dan mengeringkan<br />

kayu di dalamnya. Untuk mengurangi<br />

kelembapan, sepasang exhauster dipasang di<br />

dinding-dinding samping. Di pintu gudang,<br />

sebuah terometer menunjukkan suhu 50 derajat<br />

celcius.<br />

“Meski waktu yang dibutuhkan tidak pendek<br />

(kayu tipis bisa seminggu, sementara kayu<br />

setebal 6 - 7 cm membutuhkan waktu lebih dari<br />

2 bulan), secara teoritis pengeringan berlahan<br />

seperti ini justru lebih baik,” ujar ayah dari tiga<br />

anak, Eko, Dewi, dan Arif yang semuanya<br />

mengikuti jejak sang kakek, masuk Fakultas<br />

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Alasannya,<br />

penyedotan air dan kelembapan secara<br />

mendadak dari batang kayu menyebabkan kayu<br />

mudah retak.<br />

Meski dalam statistik jumlah pohon kelapa di<br />

Indonesia mencapai 250 juta pohon (tersebar di<br />

2,5 juta hektar lahan perkebunan rakyat dan<br />

swasta hanya menguasai 150.000 hektar), tidak<br />

mudah bagi Hastjarjo untuk mendapatkan batang<br />

kelapa yang tidak produktif lagi. Katanya, kalau<br />

ada dua batang di sini, yang tiga batang lagi berada<br />

beberapa puluh meter dari dua batang yang<br />

Pembelajaran 11 - Kompetensi Dasar 2.11<br />

115<br />

pertama.<br />

“Memilih pohonnya juga harus teliti,” katanya,<br />

“karena syaratnya, pohon harus berusia lebih dari<br />

50 tahun dan buahnya sedikit, pohon masih hidup<br />

dan tingginya minimal 15 meter, batangnya<br />

lurus (tidak boleh bengkok di tengah), batangnya<br />

sehat dan tidak lapuk atau berlubang, dan lingkar<br />

batang minimal 90 cm.”<br />

Berbeda dengan jenis kayu lain yang bisa<br />

dimanfaatkan seluruh batangnya, kayu kelapa<br />

hanya bisa dipakai sekitar 40 - 50 persen.<br />

Gelondong paling keras adalah empat meter<br />

pertama dari bawah. Empat meter kedua dan<br />

empat meter ketiga tingkat kekerasannya sering<br />

berkurang.<br />

Gelondong empat meteran itu kemudian dibelah-belah.<br />

Kayu luar adalah yang paling bagus.<br />

Ketebalannya sekitar 6,5 cm sesudah kulit ke<br />

arah dalam. Meskipun lebih lunak, bagian dalam<br />

masih bisa dipakai untuk penyangga yang tidak<br />

terlalu tinggi bebannya.<br />

“Ini yang membedakannya dengan kayu jati,<br />

misalnya. Bagian paling dalam kayu jati adalah<br />

yang tertua. Jadi, makin ke tengah makin keras.<br />

Sementara, kayu kelapa, karena perbedaan serat,<br />

yang paling luar adalah yang paling keras.<br />

Yang paling tua adalah bagian bawah, ini paling<br />

baik,” kata Hastjarjo Sumardjan.<br />

Selain modal yang masih pas-pasan, persoalan<br />

mencari kayu kelapa yang berkualitas<br />

membuat Selotani belum berani memosisikan<br />

diri sebagai perusahaan yang bisa memproduksi<br />

perabot dari kayu kelapa secara besar-besaran.<br />

“Bayangkan, untuk mendapat satu meter kubik<br />

saja, sekurang-kurangnya kami harus menebang<br />

tiga pohon,” katanya.<br />

Meski begitu, tawaran memproduksi rumah<br />

utuh beserta isinya kini semakin banyak, mulai<br />

dari Jakarta sampai Madagaskar dan Prancis.<br />

Kayu keras dengan serat rami rupanya mulai disukai,<br />

meskipun untuk memakunya, kata<br />

Hastjarjo, harus di bor dulu.<br />

Kompas, 21 November 1999

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!