marthasari
marthasari
marthasari
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Teknologi pemalsuan sangat beragam. Sebagian<br />
pemalsu membuat produk tiruan dengan cara<br />
kasar sehingga gampang dikenali. Kepala<br />
Badan POM, dr. Husniah Rubiana Thamrin Akib,<br />
Ms, M.Kes, Sp.FK, memberi contoh kemasan<br />
kaplet Ponstan palsu. Obat aslinya dikemas dalam<br />
blister dengan posisi kaplet berbaris miringmiring,<br />
tidak sejajar dengan sisi blister. Tapi pada<br />
produk bajakannya, “Ponstan” ini secara konyol<br />
dikemas dalam blister dengan arah kaplet berbaris<br />
lurus, sejajar dengan sisi strip (lihat gambar).<br />
Bagi mereka yang terbiasa memeriksa obat,<br />
seperti pegawai apotek, pemalsuan ini jelas sangat<br />
kentara. Tapi bagi konsumen awam, bisa<br />
saja ciri-ciri fisik yang jelas ini luput dari perhatian.<br />
Di sinilah perlunya konsumen membekali diri<br />
dengan pengetahuan dasar tentang obat palsu.<br />
Pemalsu lainnya lebih canggih lagi. Menurut<br />
catatan Pusat Informasi Obat Nasional, Badan<br />
POM, para pemalsu itu bisa meniru kemasan betulbetul<br />
mirip dengan aslinya. Palsu tidaknya hanya<br />
bisa diketahui dari pemeriksaan laboratorium.<br />
“Bahkan segel dan hologram pun bisa mereka<br />
palsu. Saya sendiri kadang sulit membedakannya<br />
dengan yang asli,” ujar Anny. Kalau Anny saja bisa<br />
tertipu, apalagi kita sebagai konsumen awam.<br />
Untuk produk-produk bajakan tertentu, konsumen<br />
memang menjadi korban yang tidak bisa<br />
berbuat apa-apa. Tapi tidak semua produk bajakan<br />
dibuat dengan ketelitian tinggi. Untuk<br />
produk-produk bajakan seperti ini, konsumen bisa<br />
ikut berperan dalam memerangi peredarannya.<br />
Dibandingkan dengan aslinya<br />
Cara sederhana memeriksa keaslian obat adalah<br />
membandingkan dengan obat yang sudah<br />
dipastikan asli. Dari kemasannya saja, kadang<br />
obat palsu kelihatan berbeda dari obat aslinya.<br />
Pertama dari jenis kemasannya. Contoh gambar<br />
gampang adalah Viagra dan Cialis, dua obat<br />
antidisfungsi ereksi. Keduanya diproduksi dalam<br />
kemasan blister. Tapi lucunya, dipasaran banyak<br />
tersedia Viagra dan Cialis dalam kemasan botol.<br />
Tak perlu ditanyakan lagi, obat-obat ini jelas gadungan.<br />
Kasus serupa juga pernah terjadi pada<br />
Norvask (antihipertensi).<br />
Jika bentuk kemasannya sama, indikasi palsu<br />
kadang bisa dilihat dari tampilan visualnya,<br />
Biasanya terlihat dari intensitas warna yang berbeda,<br />
mungkin terlalu pudar atau terlalu tua. Bisa<br />
juga terlihat dari kelengkapan informasi dari kemasan.<br />
Misalnya, tidak menyertakan tanda obat<br />
keras berupa huruf “K” di dalam lingkaran merah<br />
(lihat contoh gambar Plavix). Bisa juga tidak mencantumkan<br />
nomor registrasi, logo produsen,<br />
Pembelajaran 13 - Kompetensi Dasar 2.13<br />
141<br />
Gambar 13.2<br />
Plavix asli (atas) dan palsu (bawah).<br />
Intisari, Mei 2007<br />
atau batas kadaluwarsa.<br />
Ciri palsu lainnya bisa dilihat dari jenis ukuran<br />
huruf (font) yang dipakai di kemasan. Jika dengan<br />
mata telanjang saja bisa dilihat perbedaannya,<br />
misalnya font-nya lebih tipis atau lebih besar dari<br />
font aslinya, sangat mungkin produk itu bajakan<br />
(lihat contoh gambar Neupogen).<br />
Bagi pihak apotek, cara pengujian ini gampang<br />
dilakukan sebab mereka sudah biasa memeriksa<br />
obat dan punya pembandingnya. Namun bagi konsumen<br />
awam, cara ini mungkin merepotkan<br />
karena mereka biasanya tidak punya pembanding.<br />
Untungnya, kerepotan ini bisa disiasati dengan<br />
cara, misalnya, konsumen menyimpan sisa kemasan<br />
obat asli yang sering diminum. Contohnya,<br />
jika kita berlangganan minum Ponstan,<br />
Norvask, atau obat antidiabetes, kita bisa menyimpan<br />
sisa kemasan untuk dipakai sebagai pembanding<br />
ketika membeli obat baru. Tentu cara<br />
ini tidak bisa berhasil untuk semua produk obat<br />
yang dibeli, tapi setidaknya kita telah melakukan<br />
sesuatu yang memang bisa kita lakukan.<br />
Selain cara di atas, obat palsu bisa diketahui<br />
saat digunakan. Anny memberi contoh sediaan<br />
injeksi antibiotok cefotaksim. Kasus ini pernah<br />
ditemukan di rumah sakit. Ketika perawat menambahkan<br />
pelarut sebelum disuntikkan ke pasien,<br />
antibiotik itu sulit larut padahal biasanya<br />
mudah. Karena dicurigai palsu, obat ini kemudian<br />
dikirim ke Unit Layanan Pengaduan Konsumen<br />
(ULPK) Badan POM. Hasil uji laboratorium memang<br />
membuktikan obat suntik itu palsu.<br />
Toko obat lebih berisiko<br />
Distribusi obat sebetulnya teregulasi dengan<br />
sangat rapi. Semua prosesnya terdokumentasi<br />
mulai dari industri farmasi sampai ke apotek.<br />
Untuk menembus regulasi yang ketat itu, para<br />
pemalsu biasanya menggunakan jalur distribusi