Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org
Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org
Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Bagian 2. Pembelajaran:<br />
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan<br />
Pengantar<br />
Bagian ini mengulas pembelajaran tentang bagaimana <strong>perempuan</strong> desa mencari <strong>keadilan</strong> saat menghadapi<br />
kasus hukum. 13 Kasus hukum yang dialami umumnya terkait dengan hukum keluarga, serta diskriminasi dan<br />
kekerasan terhadap <strong>perempuan</strong>. Dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini memperlihatkan<br />
pengalaman <strong>perempuan</strong> desa mengakses <strong>keadilan</strong>, baik melalui sistem hukum non negara di desa maupun<br />
sistem hukum negara di luar desa. Secara umum kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa akses mereka<br />
terhadap <strong>keadilan</strong> masih lemah. Mereka harus menghadapi berbagai tembok-tembok institusional bahkan<br />
sejak tahap awal saat ingin mencari pertolongan dari pihak ketiga. Ketakutan dan rasa malu, kebutaan<br />
terhadap sistem dan proses hukum, serta penilaian, penghakiman dan penerimaan masyarakat, mewarnai<br />
sikap dan tindakan mereka untuk mencari pertolongan.<br />
Saat suara jeritan mereka mulai terdengar oleh pihak ketiga, baik secara sengaja ataupun tidak, maka<br />
saat itulah mereka mulai dapat mengakses <strong>keadilan</strong>. Karena saat itulah mereka dapat dikatakan mulai<br />
mengakses sistem hukum yang ada. Saat mereka bisa mengakses sistem hukum untuk mencari pertolongan,<br />
keberhasilan mereka meraih <strong>keadilan</strong> masih sangat dipengaruhi oleh respon dan kinerja sistem hukum yang<br />
ada. Sistem hukum non negara umumnya masih menjadi pilihan pertama penyintas saat ingin mengakses<br />
<strong>keadilan</strong>, terutama karena aktor-aktor penyelesaian sengketa melalui mekanisme non negara ini telah<br />
dikenal, mudah ditemui, dan praktis tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk bertemu dan berkonsultasi<br />
dengan mereka. Studi ini memperlihatkan bahwa keberadaan sistem hukum negara dan non negara tidak<br />
bersifat ekslusif satu sama lain. Beberapa kasus yang diselesaikan melalui sisem hukum negara, ternyata<br />
sebelumnya telah dicoba penyelesaiannya melalui sistem hukum non negara. Tidak berhasil diselesaikan<br />
oleh sistem hukum non negara, maka penyintas, baik karena kesadarannya sendiri maupun rujukan dari<br />
pihak lain, kemudian menempuh jalur sistem hukum negara. Berikut ini adalah salah satu kisah seorang<br />
<strong>perempuan</strong> desa mengakses <strong>keadilan</strong> untuk kasus kekerasan yang dialaminya.<br />
Studi Kasus 1: Kasus incest di Cianjur<br />
A (16 tahun) diperkosa ayah kandungnya (37 tahun) sebanyak tiga kali sejak ia tinggal bersama ayahnya dan<br />
istri mudanya, setelah kematian ibu kandungnya. Ia diperkosa dengan ancaman dan kekerasan. A sempat<br />
menceritakan apa yang dialaminya kepada ibu tirinya, tapi tidak dipercaya. Saat A lari dari rumah dan tinggal<br />
di rumah sahabatnya, ayahnya memaksanya kembali ke rumah. Karena khawatir dirinya telah hamil, akhirnya<br />
A bercerita ke seorang ibu tetangganya. Dari situ berita mulai tersebar dan massa mulai melakukan tindakan<br />
anarki terhadap ayah A. Ketua RT memanggil A dan ayahnya untuk dimintai keterangan. Ayah A awalnya tidak<br />
mengakui perbuatannya, namun setelah diancam oleh penduduk desa, akhirnya mau mengakui dan sebagai<br />
akibatnya ia dipukuli penduduk. Berusaha mengamankan, Ketua RT bersama seorang tokoh agama segera<br />
membawa ayah A ke kantor desa, dan kemudian oleh Polisi Desa (Babinmas) diserahkan ke Kantor Polsek<br />
Cimacan. Sementara itu, A dibawa keluarganya ke bidan desa. Seorang warga melaporkan kejadian kepada<br />
Kader Hukum B yang sudah dikenal masyarakat, yang kemudian segera menemui A di tempat bidan desa. Ia<br />
kemudian mendampingi A menjalani penyidikan di Polsek Cimacan dan pemeriksaan visum et repertum di<br />
RS Cimacan. Hasil visum menunjukkan A mengalami kekerasan seksual. Ayah A dikenakan tuduhan tindak<br />
pidana pelanggaran Pasal primer 81 UU No. 23 Tahun 2002 dan subsider Pasal 285 Jo. 294 KUHP, yaitu dengan<br />
sengaja melakukan persetubuhan dengan anak yang belum dewasa dan ditahan di Polsek Cimacan sejak<br />
tanggal 22 April 2006, dua bulan setelah pertama kali ia memperkosa anaknya sendiri.<br />
Konflik keluarga timbul setelah ayah A ditangkap. Keluarga dari pihak ayah A, bahkan kakak kandung A,<br />
menuduh A telah berbohong. A hanya mendapat pembelaan dari keluarga pihak ibu kandungnya. Keluarga<br />
yang pro ayah A mencoba mencari kambing hitam, dengan menuduh seorang teman lelaki A sebagai pihak<br />
yang harus bertanggungjawab dan memaksanya untuk menikahi A dengan tawaran sejumlah uang dan<br />
teror surat kaleng. A dan teman lelakinya itu sempat diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang<br />
13 Fakta bahwa banyak <strong>perempuan</strong> desa yang bahkan tidak dapat melaporkan kasus hukumnya kepada pihak ketiga atau otoritas<br />
penyelesaian sengketa yang ada, sehingga tidak dapat mengakses <strong>keadilan</strong>, tidak menjadi fokus dari penelitian ini.<br />
22 <strong>Akses</strong> Perempuan <strong>Terhadap</strong> Keadilan di Indonesia: