09.11.2014 Views

Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org

Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org

Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Bagian 3. Best Practice:<br />

Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan<br />

bertahun-tahun... Tapi buktinya begitu ditelusuri, ada kerjasama antara penyidik, JPU, dan Apik, tidak hanya<br />

lepas-lepas begitu saja, mencari kekurangan-kekurangannya, akhirnya terdakwa bisa sampai dihukum 15<br />

tahun, itu kan ngga main-main.” Pengacara LSM kasus perkosaan , di Lombok.<br />

2. Pemberdayaan Hukum Meningkatkan <strong>Akses</strong>ibilitas Sistem Hukum Negara<br />

Walaupun beberapa kasus memperlihatkan sistem hukum negara efektif dalam menyelesaikan kasus,<br />

aksesibilitasnya terbatas. Studi ini memperlihatkan bahwa rendahnya aksesibilitas sistem hukum negara<br />

dapat mulai teratasi saat adanya suatu mekanisme pemberdayaan hukum yang melakukan pemberdayaan<br />

di tingkat akar rumput tetapi juga memperkuat kapasitas institusi hukum negara untuk responsif terhadap<br />

kebutuhan masyarakat akar rumput tersebut. Kondisi ini diperlukan untuk memastikan penyintas dapat<br />

sadar hukum dan kemudian bertindak mengakses sistem hukum negara yang dapat memberikan <strong>keadilan</strong><br />

atas penyelesaian kasusnya.<br />

Pentingnya penyadaran hukum untuk membuka akses ke sistem hukum negara<br />

Rendahnya kesadaran hukum penyintas menjadi hambatan utama mereka untuk mengakses sistem hukum<br />

negara. Beberapa kasus dalam studi ini memperlihatkan bahwa proses penyadaran hukum yang dilakukan<br />

oleh Fasilitator Hukum di desa, yaitu sebagai kegiatan dari program pemberdayaan hukum PEKKA, terbukti<br />

efektif meningkatkan kesadaran hukum <strong>perempuan</strong> desa, terutama berkaitan dengan hal-hal perkawinan<br />

dan perceraian secara legal serta kekerasan dalam rumah tangga. Kasus-kasus tersebut juga memperlihatkan<br />

bahwa penyintas dapat mengakses sistem hukum negara saat mereka mulai sadar hukum, yaitu saat mereka<br />

menyadari bahwa agar hak dan kepentingannya dapat terjamin, kasusnya perlu diselesaikan secara hukum<br />

negara.<br />

Proses penyadaran hukum umumnya berlangsung di tingkat desa, melalui berbagai kegiatan, baik yang<br />

bersifat formal seperti pertemuan-pertemuan PEKKA, pengajian dan PKK, maupun bersifat informal seperti<br />

saat santai berkumpul bersama tetangga atau bekerja di sawah. Saat penyintas mengerti akan hak-hak<br />

hukumnya dan bentuk-bentuk praktek kekerasan dan diskriminasi terhadap <strong>perempuan</strong>, mereka mulai<br />

dapat mengidentifikasi perkara yang mereka hadapi sebagai suatu kasus hukum. Pada saat inilah kebutuhan<br />

terhadap sistem hukum negara untuk menyelesaikan kasusnya muncul. Hal ini terlihat pada kasus-kasus<br />

perceraian, penipuan dan kekerasan terhadap TKW serta perburuhan.<br />

Uniknya, beberapa penyintas menerima proses penyadaran hukum tidak secara langsung dari Fasilitator<br />

Hukum desa, tetapi justru dari informasi yang terus menyebar ke seluruh penjuru desa. Seorang penyintas<br />

yang mengalami KDRT di Lombok secara tidak langsung mendengar dan terlibat dalam obrolan warga<br />

tentang informasi-informasi hukum yang mereka terima dari Fasilitator Hukum, antara lain adalah bahwa<br />

kekerasan terhadap <strong>perempuan</strong> adalah suatu tindak pidana. Kesadaran hukum ini akhirnya membuat<br />

penyintas melaporkan suaminya ke Polisi setelah mengalami penganiayaan cukup berat. Dengan demikian,<br />

penyadaran hukum merupakan hal pertama yang dibutuhkan oleh <strong>perempuan</strong> desa untuk mengakses<br />

<strong>keadilan</strong>, walau adanya informasi hukum tidak selalu menjamin akan adanya tindakan hukum.<br />

Pada beberapa kasus lainnya, terlihat bahwa informasi hukum sebatas pengetahuan akan hak-hak hukum<br />

saja seringkali tidak cukup untuk membuat penyintas bertindak mencari pertolongan hukum, terutama pada<br />

kasus perkosaan atau kekerasan yang dilakukan oleh suami, ayah atau majikan. 21 Selain rasa takut dan malu,<br />

ketidaktahuan kemana harus melapor dan sejauh mana mereka akan mendapat perlindungan adalah halhal<br />

yang menyebabkan penyintas ragu untuk mencari pertolongan. Tampaknya, informasi teknis mengenai<br />

bagaimana mengakses lembaga-lembaga bantuan hukum serta lokasi tempat perlindungan (’rumah aman’<br />

21 Temuan Baseline Survey program Pemberdayaan Hukum Perempuan Justice for the Poor, Bank Dunia (2006) juga mengungkapkan<br />

bahwa meskipun kesadaran dan pengetahuan hukum tentang kekerasan dalam rumahtangga cukup tinggi, namun hal tersebut<br />

tidak menjamin akan adanya tindakan hukum yang diambil.<br />

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok<br />

53

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!