Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org
Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org
Akses perempuan Terhadap keadilan - psflibrary.org
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Bagian 2. Pembelajaran:<br />
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan<br />
yang dialami penyintas, namun perlindungan dan pemenuhan <strong>keadilan</strong> belum dapat terjamin sepenuhnya.<br />
Kedua, sistem ini tidak berhasil menyelesaikan kasus-kasus KDRT dan perkosaan karena gagal memberikan<br />
sanksi yang jelas untuk pelanggaran yang terjadi. Kalaupun ada sanksi, gagal untuk memastikan penerapan<br />
dan penegakannya.<br />
Minim perlindungan hak <strong>perempuan</strong><br />
Praktek-praktek perceraian bawah tangan (non legal), suami menjatuhkan talak kepada istri dengan fasilitasi<br />
penghulu desa, masih sangat marak terjadi di desa, bahkan pada pasangan-pasangan yang menikah secara<br />
legal (tercatat di Kantor Urusan Agama/KUA). Perceraian ini berlaku tidak sah, karena tanpa melalui proses<br />
persidangan dan pencatatan di Pengadilan Agama. Padahal, berdasarkan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam<br />
(KHI), perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (PA).<br />
Penghulu Desa yang umumnya menjadi pihak pertama yang didatangi penduduk desa untuk urusan<br />
pernikahan dan perceraian, seharusnya berfungsi memberikan konsultasi hukum tentang perlunya<br />
mengurus perceraian secara resmi melalui Pengadilan Agama. Namun seringkali informasi tersebut tidak<br />
disampaikan. Sementara pandangan kebanyakan penduduk desa tentang sah tidaknya suatu perceraian<br />
masih rancu, mereka mencampuradukan pengertian perceraian yang resmi berdasarkan agama dan yang<br />
resmi berdasarkan negara. Dengan demikian, absennya informasi tentang legalitas perceraian dari Pembantu<br />
Penghulu kepada penduduk yang mencari bantuannya, membuat praktek perceraian bawah tangan terus<br />
berlangsung di desa.<br />
Seorang Amil di Cianjur menjelaskan alasannya tidak merujuk kasus ke Pengadilan Agama:<br />
“Saya bukannya tidak mengerti bahwa perceraian seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama (PA), tapi<br />
orang desa, masuk ke kantor desa saja masih buka sandal, apalagi ke PA.... Belum lagi masalah biaya. Biaya<br />
mengurus perceraian di PA sangat besar untuk penduduk desa. Padahal, seringkali pasangan suami-istri<br />
yang ingin bercerai hanya sedang emosional. Jadi untuk mendamaikan, saya minta mereka pulang dulu<br />
untuk berpikir lagi. Kalau mereka tetap mau cerai, baru dibantu.... Sering juga mereka yang baru bercerai<br />
sudah datang lagi minta dinikahkan kembali, jadi daripada disuruh pergi ke PA, lebih baik musyawarah<br />
dilakukan di desa saja.” Amil kasus perceraian bawah tangan, di Cianjur.<br />
Box 3. Profil Pembantu Penghulu (Amil/Lebe) di desa<br />
Pembantu Penghulu, yang disebut juga Amil di Jawa Barat dan Lebe di Jawa Tengah, adalah tokoh desa yang pertama kali dicari<br />
warga berkaitan dengan kasus-kasus perceraian maupun perkawinan. Mereka pada dasarnya adalah bagian dari struktur Kantor<br />
Urusan Agama (KUA) di kecamatan dengan status kepegawaian sebagai non PNS yang tidak menerima gaji. Penghasilan mereka<br />
diperoleh dari pendapatan desa, terkadang mereka diberikan sebidang tanah yang dapat digarap sebagai sumber penghasilan.<br />
Mereka mengemban sejumlah peran, yakni melayani masyarakat utamanya dalam hal perkawinan, perceraian dan kematian.<br />
Selain itu, mereka juga menjadi perpanjangan tangan dari Badan Penasehat Pelestarian Perkawinan (B4P) yang ada di KUA, untuk<br />
membantu memberikan nasehat perkawinan dalam rangka mempertahankan keutuhan rumah tangga penduduk di tingkat desa.<br />
Sesuai dengan tugasnya, setiap kali menghadapi pasangan suami istri yang bersengketa dan ingin bercerai, mereka pertama-tama<br />
harus melakukan upaya untuk mendamaikan kedua pihak. Namun saat kedua pasangan suami istri tetap berkeras ingin bercerai,<br />
maka Amil/Lebe merujuk kasus untuk diselesaikan di Pengadilan Agama.<br />
Pada kasus-kasus perceraian di Brebes, surat pengantar dari Lebe dibutuhkan oleh Pengadilan Agama. Sementara itu, di Cianjur<br />
dan Lombok ditemui kasus perceraian yang difasilitasi langsung oleh Penghulu Desa/Amil sebagai saksi perceraian, tanpa merujuk<br />
pasangan suami istri tersebut ke Pengadilan Agama. Sebagai bukti sudah terjadi perceraian, mereka membuatkan surat keterangan<br />
cerai yang ditandatangani oleh suami, istri dan saksi.<br />
Tiga kasus perceraian bawah tangan di Cianjur dan Lombok memperlihatkan bahwa sistem hukum non negara<br />
di desa belum dapat menjamin hak-hak <strong>perempuan</strong> atas proses dan hasil perceraian. Kasus-kasus tersebut<br />
memperlihatkan beberapa konsekuensi yang dialami oleh <strong>perempuan</strong> desa saat perceraian dilakukan secara<br />
bawah tangan. Pertama, <strong>perempuan</strong> tidak memiliki kesempatan untuk membela dirinya dan mengeluarkan<br />
30 <strong>Akses</strong> Perempuan <strong>Terhadap</strong> Keadilan di Indonesia: