dan kekerabatan antarsuku akan mendorong terciptanya penghargaan, penghormatan, saling menjunjung adat dan kebudayaan, saling melindungi di antara masing-masing suku dan masyarakatnya. Sehingga akan tercipta keharmonisan, persatuan, dan kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara di negara Pluralitis. 46 Harmoni di Mata Kaum Muda
Bahasa Indonesia, Suryakanta Rakyat Indonesia Oleh: Anastasia SMA Santa Ursula Pos, Jakarta Pusat E nam puluh delapan tahun sudah bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan bangsa asing. Indonesia pun menjadi salah satu negara kepulauan terluas di dunia yang multikultural; memiliki beraneka ragam suku, agama, ras, budaya, dan bahasa. Pluralitas budaya di Indonesia memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, antara lain ialah bahasa lokal dapat memberikan tambahan istilah bagi bahasa Indonesia dan kearifan budaya lokal dapat memperkaya strategi pembangunan sesuai lokasinya. Sedangkan dampak negatifnya antara lain ialah adanya sistem nilai dan orientasi religi yang berbeda dapat menimbulkan konflik sosial antaretnis. Konflik sosial ini bahkan bisa berkembang menjadi konflik berdarah dalam skala yang luas dan dapat memakan korban jiwa ataupun korban harta benda. Misalnya saja konflik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Ambon, Maluku, atau Poso (Brata,2007:36-37). Koentjoroningrat menyatakan bahwa menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (Brata,2007:5). Gagasan mengenai perbedaan sebagai suatu perpecahan berasal dari sebuah generasi yang hidup di masa lampau, yang dihidupi oleh generasi kini melalui aktivitasnya, dan diwariskan sebagai suatu kebudayaan pada generasi yang akan datang melalui proses pembelajaran. Indonesia membutuhkan solusi atas hal yang bersifat kontinu ini. Indonesia memiliki tiga masalah pokok yang perlu diperhatikan dalam upaya mempersatukan penduduk yang beraneka ragam. Tiga masalah pokok tersebut ialah masalah mempersatukan aneka suku bangsa dengan stereotip tertentu, masalah menyatukan kelima agama besar yang diakui di Indonesia beserta aliran kepercayaan lainnya, dan masalah diskriminasi penduduk minoritas. (Brata, 2007:85) Indonesia memiliki empat faktor pendukung integrasi sosial yakni ikatan historis, Sumpah Pemuda 1928, nasionalisme, dan persamaan bahasa (Brata, 2007:86). Ditinjau dari latar belakang sejarah, awal kehidupan harmonis antar umat beragama di Nusantara dimulai dengan kemunculan Prasasti Kelurak dan kakawin pada zaman Kerajaan Majapahit yang berjudul Purudasanta, atau lebih dikenal dengan nama Sutasoma karya Mpu Tantular. Dalam kakawin berjudul Sutasoma tersebut, Mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pada zaman Kerajaan Majapahit, Bhinneka Tunggal Ika dikenal sebagai sebuah semboyan untuk mempersatukan umat yang beragama Hindu dengan Buddha. Persatuan dalam hal ini tidaklah berarti sinkritisme, dimana kedua agama tersebut bersatu dan membentuk agama baru. Persatuan dalam hal ini berarti kehidupan harmonis, dimana kedua agama saling menghargai satu sama lain. Kehidupan antar umat beragama yang harmonis tersebut dibuktikan dengan dibuatnya dua arca sebagai peringatan meninggalnya Raja Kertanegara dalam wujud Dewa Siwa dan Buddha. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perumusan mengenai persatuan, baik dalam wujud sastra maupun arsitektur merupakan daya kreatif rakyat untuk mengatasi masalah keanekaragaman agama (Kartodirdjo,1993:7). Dalam proses perjalanannya, Bhinneka 47 Selusin Naskah Lomba Sosial Budaya 2013