Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Ragam Pengawasan<br />
SELAMAT DATANG BPHTB DI DAERAH<br />
Sejarah, Pajak Pusat, Latar Belakang UU PDRD,<br />
dan Permasalahan dalam Implementasi<br />
(Bagian Pertama dari dua tulisan)<br />
Oleh : Heru Susanto (Auditor Inspektorat VII)<br />
Pada saat penulis melintasi Jalan Raya<br />
Bogor terlihat spanduk iklan rumah<br />
yang mencantumkan promosi “Bebas<br />
BPHTB” untuk transaksi pembelian<br />
rumah. Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah<br />
konsumen tidak wajib membayar BPHTB atas<br />
transaksi pembelian rumah? Apakah tindakan<br />
tidak membayar BPHTB tidak melanggar undangundang?<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan<br />
Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis<br />
pajak yang menjadikan tanah dan bangunan<br />
sebagai sumber pendapatannya. Mengapa BPHTB<br />
dinamai Bea, bukan pajak sebagaimana pungutan<br />
Negara lainnya? Ada beberapa ciri khusus yang<br />
membuat pungutan ini dinamai bea, yaitu :<br />
a. Saat pembayaran pajak terjadi lebih dahulu<br />
daripada saat terutang misalnya, pembeli tanah<br />
bersertifikat sudah diharuskan membayar<br />
BPHTB terutang sebelum terjadi saat terutang<br />
(sebelum akta dibuat dan ditandatangani).<br />
Kondisi serupa sama dalam Bea Meterai (BM),<br />
siapapun pihak yang membeli meterai tempel<br />
berarti ia sudah membayar BM walaupun<br />
belum terjadi saat terutang pajak;<br />
b. Dalam pembayaran BPHTB yang menggunakan<br />
Surat Setoran BPHTB (SSB) tidak membutuhkan<br />
nomor identitas seperti NPWP;<br />
c. Frekuensi pembayaran BPHTB terutang dapat<br />
dilakukan secara isidentil ataupun berkalikali<br />
dan tidak terikat dengan masa ataupun<br />
tahunan.<br />
2. SEJARAH BPHTB<br />
Pada masa lalu ada pungutan pajak<br />
dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam<br />
Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor<br />
291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap<br />
perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang<br />
ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan<br />
harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh<br />
orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di<br />
Indonesia. Yang dimaksud dengan harta tetap<br />
dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang<br />
tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang<br />
pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan<br />
akta menurut cara yang diatur dalam undangundang,<br />
yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad<br />
1834 Nomor 27.<br />
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5<br />
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok<br />
Agraria (UUPA), hak-hak kebendaan yang dimaksud<br />
di atas tidak berlaku lagi, karena semuanya sudah<br />
diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam<br />
UUPA. Sebelum diberlakukan UUPA, di Indonesia<br />
terjadi dualisme Hukum Pertanahan yaitu hak atas<br />
harta tetap dengan titel Hukum Barat yang diatur<br />
dalam KUH Perdata dan hak atas harta tetap orang<br />
40<br />
VOL V No. <strong>28</strong> | Edisi Januari - Februari 2012