11.07.2015 Views

prospek penegakan ham - Elsam

prospek penegakan ham - Elsam

prospek penegakan ham - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

perspektifANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAjubah politik oleh rezim Orde Baru.Di era transisional Habibie,Gus Dur, Megawati hingga SBY watakotoritarian ini mengalami penyusutan,dan hanya unsur daya dan otoritas yangdipelihara, hal itu bisa dilihat darieskalasi kekerasan struktural danpemasungan hak-hak dan kebebasandasar relatif berkurang. Hanya bedanyadi era SBY watak neo-otoritarian itu telahditransformasi ke dalam proyek-proyekregulasi dan peraturan administratiflainnya yang paradoks dengansemangat demokratisasi. Cerdiknya,watak itu dibungkus dengan ideologidemokrasi dan HAM.Fenomena seperti ini pernahterjadi di negara-negara kawasan EropaTimur dan Amerika Selatan yangmengalami transisi rezim secara radikal,kendati demikian rezim-rezim pengganti(successor rezim) mampu mengkonsolidasidemokrasi (Rutti G. Teitel, 2000,John Markoff 1996, Larry Diamond, 2003atau Fareed Zakaria, 2003) sehinggatercipta iklim politik kondusif sementaraskor kebebasan atau perlindungan hakhakdan kebebasan dasar individusemakin membaik.Relokasi EliteDalam kasus transisi politikIndonesia, yang terjadi adalah“relokasi” elite dari rezim Orde Baruk e r e z i m - r e z i m t r a n s i s i o n a lberikutnya. Artinya, refomasi tidakberbuah apa-apa, demokratisasi punhanya menjadi jargon politiknyarezim-rezim pengganti. Propagandademokratisasi mencuat pada saatmenjelang Pemilu Presiden dan DPR,sementara reproduksi demokratisasitidak tercermin dalam isi atau kontenproduk kebijakannya.Dari kajian sosiologi politik,ada dua faktor yang memicu hal ituterjadi, pertama, peristiwa reformasimembuat pemerintah transisi tidakp e r c a y a d i r i m e n j a l a n k a nkekuasaannya (Markoff 1996), iniakibat dari manajemen politiktransisional yang amburadul. Padamasa transisi potensi yang munculadalah krisis politik dan ekonomikemudian berubah menjadi krisissosial, jika ini tidak diatasi denganbaik akan memunculkan “krisislegitimasi” yaitu suatu situasi di manahilangnya makna, kesetiaan dankepercayaan rakyat terhadap rezimrezimtransisi, (Habermas, 1975).Biasanya tipologi kekuasaan rezimtransisi dalam mengantisipasi krisiskesetian dan kepercayaan, adalahmemproduk kebijakan-kebijakanyang relatif mengekang hak-hak dankebebasan dasar.Kedua, akibat lemahnyakonsolidasi demokrasi, sehingga yangtampak hanyalah rezim demokrasisemu (Larry Diamond, 2003) dimanadominasi kelompok-kelompok neootoritariansemakin menguat. Kondisiseperti ini menurut George Sorensen(1993) menyebutnya sebagai frozendemocracy atau demokrasi beku,meliputi empat indikator antara lain;pertama, sempoyongannya kondisiekonomi baik di tingkat nasionalmaupun lokal; kedua, terjadikemandegan proses pembentukancivil society; ketiga, konsolidasi sosialpolitik tidak pernah mencapai soliditastapi cenderung semu; keempat,penyelesaian masalah sosial, politikdan hukum yang diwariskan rezimpendahulu tidak pernah tuntas sepertip e l a n g g a r a n H A M , K K N d a n<strong>penegakan</strong> hukum. Model demokrasiyang cenderung semu dan mandegpernah diungkap oleh Clifford Geertz(1976) sebagai bentuk “involusi politik”yaitu suatu kondisi yang menunjukanbahwa telah terjadi perubahan sosial(proses reformasi) namun perubahanperubahanitu justru berjalan di tempat.Dengan merujuk pada studiperintisnya Huntington (1991), yangmenyarankan arti pentingnyakonsolidasi demokrasi perlu dilakukansecara berkala, untuk mencegahterjadinya arus balik demokratisasi. Intikonsolidasi demokrasi adalahmencegah erosi dan keruntuhandemokrasi dan mengorganisirdemokrasi secara berkelanjutan(Laurence Withehead dalam RobertPastor, 1989) sehingga demokrasitidak sampai jatuh lagi ke lembah nistaotoritarianisme. Untuk itu, sebaiknyakonsolidasi demokrasi dimulai sejakdini, sebab dari gejala-gejala yang ada,hantu neo-otoritarianisme sudah mulaimerangsek masuk mencengkramIstana dan Senayan. Gejala ini bisadilihat dari lanskap kekuasaan diParlemen dan di Kabinet IndonesiaBersatu dengan adanya afiliasigerakan antara kelompok-kelompokultra-konservatif dan atau gerakangaris keras berhaluan ideologi transnasional(baca: Ilusi Negara Islam,2009) maupun gerakan kelompokkelompoknasionalis ekstrim (baca:Menelusuri Akar Otoritarianisme diIndonesia, 2007).Lebih dari itu, watak otokrasidapat dilihat dari gaya politikkekuasaan SBY pasca pemilu yangmenuding adanya gerakan-gerakanpolitik untuk memboikot hasil pemiludan menduduki KPU, gerakan AntiKorupsi ditunggangi oleh kelompokpolitisi yang dendam yang hendakmenumbangkan pemerintahan, dandisusul dengan penolakan penonaktifanSri Mulyani dan Boediono atasrekomendasi Panitia Khusus DPRkarena terlibat dalam skandal BankCentury. Dalam masa transisidemokrasi, menguatnya tipologikekuasaan otokrasi seperti ini lazimdisebut neo-otoritarianisme di manabangkit kembalinya otoriterismedengan menggunakan jubah danatribut-atribut kekuasaan baru,kemudian dibungkus dengan ”lampin”demokrasi. Maka konsolidasidemokrasi segera diaplikasikan gunamengantisipasi gerak-gerik kekuasaanneo-otoritarian. Jika tidakdiantisipasi, niscaya Indonesiakembali lagi bernostalgia dengangaya kekuasaan otoriterisme dimasa lalunya.EDISI NOVEMBER-DESEMBER 200915

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!