12.07.2015 Views

Buletin Asasi Elsam Edisi Maret-April 2013

Buletin Asasi Elsam Edisi Maret-April 2013

Buletin Asasi Elsam Edisi Maret-April 2013

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utamapengembangan mekanisme demokrasi internal, serta5dukungan pemberitaan media massa.Para anggota Komnas HAM babak I mampumeraih kepercayaan publik. Kepercayaan publik inilahyang modal politik bagi Komnas HAM untuk bekerjamelampaui mandat yang dimilikinya. Dengan itu pula,Komnas HAM babak I membangun reputasi danwibawa hukum yang mumpuni. Meski mandatpendiriannya hanyalah sebuah Keputusan Presiden,tidak UU yang kedudukannya lebih tinggi.Jatuhnya Reputasi Komnas HAM dalam TigaBabakKomnas HAM babak I sangat fokus pada kinerja danindependensi. Namun mereka melupakan satu halyang penting di masa depan, yaitu membangun sistemdan kelembagaan internal yang mandiri dan kuat.Alhasil, reputasi itu dibangun di atas fondasi yangsangat rapuh, mudah berubah ketika komisionerberganti.Asumsi ini tidak meleset. Pada tiga babakberikutnya, Komnas HAM gagal mempertahankanreputasi dan wibawa hukum. Ini sangat ironis karenaterjadi ketika keberadaan Komnas HAM diperkuatmelalui UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UUNo 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di sisilain, situasi ini terjadi justru terjadi setelahpemerintahan otoriter Orde Baru bangkrut dankebebasan sipil mulai tumbuh.Melemahnya Komnas HAM Babak Kedua(1998-2002) disebabkan ketidakmampuan lembagaini mengatasi fragmentasi di tingkat internal. Konflikideologis terjadi antara “Kubu Nonnegara” yangmenginginkan Komnas HAM tetap independen darinegara dengan “Kubu Pronegara” yang mendorongKomnas HAM menjadi bagian dari Pemerintah.Fragmentasi itu sedikitnya ditegaskan dalamproses rekrutmen anggota Komnas HAM serta debattentang posisi “Sekretaris Jenderal (Sesjen) harusPNS” dalam draft amandemen UU No. 39 Tahun 1999yang tidak pernah disepakati. Fragmentasi itukemudian berimbas pula pada kegagalan SidangParipurna untuk mengesahkan keputusan mengenai6perbaikan mekanisme kerja Komnas HAM.Pada periode ini Komnas HAM juga gagapmenghadapi perubahan besar paska 1998. Ketikakebebasan sipil menemukan bentuknya pascakejatuhanSoeharto, wacana HAM mengalamipendalaman isu (Pratikno dan Lay, 2002). PersoalanHAM tidak lagi sekedar urusan hak sipil dan politik(sipol), tetapi juga mulai bergeser ke isu yang lebihdalam, mulai dari Hak-hak Ekonomi, Sosial, danBudaya (ekosob), hak masyarakat adat, globalisasi,dan pembangunan.Persoalan internal diwariskan pada KomnasHAM Babak III (2002-2007) yang makin mengalamidisfungsi. Pada periode ini kegiatan Komnas HAMlebih banyak melaksanakan seminar dan pelatihanHAM. Para anggota Komnas HAM jugamenghabiskan energinya untuk konflik internal yangtidak ideologis. Enny Soeprapto mencatat jumlahanggota yang terlampau banyak mengakibatkanSidang Paripurna yang seharusnya menjadi forumpenggarisan kebijakan dan pengambilan keputusansangat sering menjadi forum diskusi yang tidak efektif7dan berkepanjangan.Kinerja Komnas HAM yang buruk berimbaspada kepercayaan publik yang merosot. Kondisitersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama,proses integrasi sistem pengelolaan sumberdayautamanya kepegawaian dan keuanganke dalam rejimbirokrasi sejak diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999tentang HAM. PNS-isasi staf mengakibatkan jabatanjabatanstruktural yang strategis dipegang olehpejabat impor dari kementerian lain yang tak memilikisistem nilai, budaya, dan perspektif HAM.K e d u a , r e s t r u k t u r i s a s i s u b k o m i s iberdasarkan tema hak (Subkomisi Hak-hak Sipil danPolitik, Subkomisi Hak-hak Ekonomi, Sosial, danBudaya, dan Subkomisi Perlindungan Hak-hakKelompok Khusus). Restrukturisasi ini tidakmendasarkan pada pemikiran bahwa permasalahanHAM bersifat saling berkaitan satu sama lain(indivisible). Akibatnya, terjadinya fenomena “lemparkasus” antarsubkomisi untuk kasus-kasus kecil atau“rebutan kasus” untuk kasus-kasus “seksi” yangberdampak publisitas media.Ketiga, jumlah anggota yang terlalu banyakdan bernuansa “pelangi” tidak ditopang olehkepemimpinan dan manajerial yang kuat. Komisi inilalu gagal menyatukan energi kolektif seperti padababak pertama Komnas HAM. Komnas HAM babak IIImakin terjebak dalam labirin involusi.Komnas HAM babak IV (2007-2012) takmampu bangkit dari keterpurukannya. Sejumlahlangkah dilakukan tetapi tidak menyentuh akar soal.Restrukturisasi subkomisi dilakukan denganmengubah struktur subkomisi berdasarkan fungsi.Namun perubahan ini tak cukup membantu. Aspekyang lebih penting dalam membangun sistem tidakdiubah: kepemimpinan tetap lemah, manajerial tidakmendukung penguatan kualitas SDM, keuangan, danpelaksanaan fungsi.Ini belum ditambah soal budaya organisasi.Kultur lama Komnas HAM yang lekat denganegalitarianisme, voluntarisme, dan transparansidalam tata kelola organisasi sudah tergerus olehkultur birokrasi yang dibawa pejabat impor darikementerian lain, terutama dalam soal rekrutmenSDM, transparansi keuangan, dan etos kerja.Titik Nadir Reputasi Komnas HAM Babak VKomnas HAM Babak Kelima (2012-2017) yang diisioleh muka-muka baru, namun, lagi-lagi, publik haruskecewa. Baru bekerja seumur jagung, Komisi inimeributkan hal-hal remeh. Pada awal Januari <strong>2013</strong>,Sidang Paripurna Komnas HAM memutuskan12ASASI EDISI MARET-APRIL <strong>2013</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!