profil Lucky Fathul Aziz Hadibrata, Komisaris Bank BTN: Kejujuran Sang Pencetak Uang Bagi saya, betul-betul menjadi pembelajaran yang menarik. Karena soal perumahan ini dari sisi demand tak akan pernah berhenti sampai kapan pun, sementara dari sisi supply sendiri ada keterbatasan. Foto-foto: Dahlan RP 22 Paras EDISI MARET <strong>2016</strong>
Kejujuran Sang Pencetak Uang “Kejujuran tak bisa ditawar lagi.” Kalimat itulah yang terlontar dari Lucky Fathul Aziz Hadibrata, Komisaris Bank BTN, ketika ditanya prinsip hidupnya. Berbekal kejujuran, karier sarjana peternakan Universitas Padjajaran ini terus melejit di dunia perbankan. “Saya masih harus terus belajar banyakbanyak selama enam bulan menjadi komisaris di Bank BTN ini,” begitu kalimat pertama Lucky, panggilan akrabnya, saat ditemui <strong>PARAS</strong>, di ruangannya, Lantai 20, Gedung Bank BTN, Jakarta Pusat, pada Selasa (12/1/<strong>2016</strong>). Menurut Lucky, masalah pembiayaan perumahan yang menjadi core bisnis Bank BTN sangat menarik. “Bagi saya, betulbetul menjadi pembelajaran yang menarik. Karena soal perumahan ini dari sisi demand tak akan pernah berhenti sampai kapan pun, sementara dari sisi supply sendiri ada keterbatasan,” ujar penyandang gelar MA dari Boston University ini. Apalagi saat ini, konsep Bank BTN sudah supply change bussines process. “Itu menarik. Nantinya mulai dari hulu sampai ke hilir, ada proses bisnis yang Bank BTN lakukan,” katanya. Lucky mulai menjadi Komisaris Bank BTN melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pada 24 <strong>Maret</strong> 2015. Dan mulai dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per 27 Juli 2015. Pembicara di Perlemen Rusia Perjalanan karier Lucky di dunia perbankan memang melejit. Setelah malangmelintang di Bank Indonesia (BI) sejak tahun 1982, pada Desember 2012 ditugaskan untuk ikut merintis berdirinya OJK. Penugasan di OJK sangat berkesan baginya. “ Bayangkan, merintis organisasi dari tidak ada menjadi ada. Apalagi menggabungkan budaya yang beda, mulai dari Kementerian Keuangan, Bapepam LK dan BI,” ujar Lucky yang sempat menjabat Deputi Komisioner Manajemen Strategis OJK. Dan kini, Lucky boleh bernafas lega melihat OJK yang dibidaninya tumbuh menjadi lembaga yang kredibel. “Sekarang ini, hampir semua orang tahu, apa itu OJK,” ujarnya. Perjalanan karier di BI juga tak kalah mengilap. Lucky mulai memegang posisi penting, saat dipercaya menjabat Direktur Direktorat Pengedaran Uang, sejak Juli 2004 hingga Desember 2005. Sebelumnya, sejak 2001, dia sudah menjabat deputi direktur di direktorat yang juga bertugas mencetak rupiah tersebut. Setelah itu, ditugaskan menjadi Kepala Perwakilan BI di New York, Amerika Serikat, sejak 2007 hingga 2010. Saat ditarik kembali ke Indonesia pada Oktober 2010, dipercaya menjadi Kepala Perwakilan bank Indonesia Wilayah VI yang berpusat di Bandung. Selanjutnya pada Desember 2012, Lucky ditugaskan oleh BI untuk ikut mempersiapkan kelahiran OJK. Bagi Lucky, pengalaman paling berkesan selama di BI, tak lain saat bertugas di Direktorat Pengedaran Uang. Bagaimana tidak, saat itu, dia sempat diundang ke Rusia untuk menjadi pembicara di depan anggota parlemen, di Gedung Parlemen Duma. Materi yang dibawakan “The Experience of Indonesia in using Polymer Banknotes” atau pengalaman Indonesia menggunakan uang dari plastik polimer. Pada awalnya, Lucky kaget menerima undangan dari Kementerian Keuangan Rusia yang memintanya untuk menjadi pembicara di depan parlemen Rusia tersebut. “Mengapa harus saya? Kan BI punya banyak ahli untuk bicara soal uang plastik,” katanya. Dia sempat mengusulkan nama lain penggantinya kepada Kementerian Keuangan Rusia, namun ditolak. Lucky pun akhirnya berangkat ke Rusia. Sesampai di Duma, tahulah Lucky bahwa sos<strong>ok</strong> pengundangnya tak lain, Vladimir, sahabatnya yang merupakan agen pemas<strong>ok</strong> kertas uang dari Goznak, perusahaan kertas uang milik pemerintah Rusia. “Apa kabar Lucky? Saya maunya hanya Anda yang bicara pada parlemen kami,” kata Vladimir saat itu. Lucky pun kemudian berbicara mengenai uang dari bahan polimer atau plastik yang pernah dipergunakan Indonesia untuk pecahan Rp 100 ribu, pada tahun 1999. Saat itu, persoalan yang dihadapi Indonesia, tak lain soal bahan baku polimer yang hanya bisa dicetak oleh Note Printing Australia, anak usaha Reserve Bank of Australia. Pada intinya, Lucky mengatakan bahwa uang dari bahan polimer lebih rentan terhadap pemalsuan jika dibandingkan menggunakan bahan baku kertas. Maklum, jika menggunakan bahan kertas, bisa dicantumkan benang pengaman dengan ramuan zat-zat kimia tertentu yang tak mudah dipalsu. Belakangan setelah kembali ke Tanah Air, tahulah Lucky bahwa materi pembicaraannya soal uang plastik, ternyata menjadi pijakan bagi parlemen Rusia untuk menolak tawaran pihak Australia untuk mencetak rubel dalam bentuk polimer. Apalagi kemudian, PM Australia John Howard sempat menelepon Presiden Megawati untuk menanyakan, siapa pejabat bank di Indonesia yang telah mempengaruhi parlemen Rusia sehingga menolak mencetak rubel dalam bentuk polimer. “Hahaha...., saya tidak tahu bahwa materi yang saya bawakan berdampak sejauh itu,” kata Lucky. Kini, Lucky telah siap mendukung Bank BTN agar sukses meraih visinya menjadi bank terdepan dalam hal pembiayaan perumahan. Berbekal kejujuran yang selalu dipegang teguh, dia optimis untuk itu. • Paras 23 EDISI MARET <strong>2016</strong>