11.07.2017 Views

Ulin News 2017

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

EDISI 057 / MEI JUNI <strong>2017</strong><br />

ULIN<br />

Media Informasi RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<strong>News</strong><br />

PENYAKIT TAK KENAL BATAS<br />

RSUD ULIN BANJARMASIN<br />

JL. JEND. A. YANI NO. 43 BANJARMASIN-KALIMANTAN SELATAN<br />

TELP. (0511) 3252180, 3257471. 3257472 (HUNTING)<br />

FAX. (0511) 3252229 www.rsulin.com<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 1


TIM REDAKSI MEDIA INFORMASI ULIN NEWS<br />

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ULIN BANJARMASIN<br />

Pelindung :<br />

Direktur RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

Pemimpin Redaksi :<br />

Dr.dr. Dwi Laksono Adiputro, SpJP (K) FIHA<br />

Wakil Pemimpin Redaksi :<br />

dr. Muhammad Siddik, SpKFR<br />

Editor :<br />

Hj. Maya Midiyatie Afridha, S.Gz,RD<br />

Sekretaris Redaksi :<br />

Muji Noviyana, S.Gz<br />

Anggota Redaksi:<br />

1. dr. H.Pribakti, SpOG(K)<br />

2. dr. Robiana M Noor, SpKK<br />

3. dr. Miftahul Arifin, SpPK<br />

4. Wahyu Hardi Prasetiyo, SSTGizi, MPH,RD<br />

5. H. Yan Setiawan, Ns. M. Kep<br />

6. Maya Fauzi, S. Kep, Ns. MM<br />

7. M Hakim,AMG<br />

Konsultan Hukum:<br />

Dr. Machli Riyadi, SH,MH<br />

Bagian Sirkulasi :<br />

Agus Supriyadi<br />

M. Syarif<br />

Bagian Dokumentasi :<br />

Rody Anhadi<br />

Sekretariat :<br />

Instalasi Promosi Kesehatan Rumah Sakit<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

Jl.A.Yani 43 Banjarmasin<br />

Telpon. 0511 3252180<br />

Fax. 0511 3252229<br />

Email :<br />

ulinnews@yahoo.co.id<br />

Printed By:<br />

Salam Pembaca<br />

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi<br />

di bidang Kedokteran terus berlangsung, semua<br />

perkembangan ini diharapkan terus meningkatkan<br />

kualitas kesehatan umat manusia dan terutama kualitas<br />

hidup kita.<br />

<strong>Ulin</strong> <strong>News</strong> terus berusaha menghadirkan berbagai<br />

tema tulisan yang menarik dan bermanfaat untuk<br />

menambah pengetahuan dan informasi. Pada edisi kali<br />

ini topik yang kami sampaikan berupa penyakit Lupus,<br />

toksikologi dari sudut pandang forensik, penerapan<br />

terapi sensori integrasi pada anak-anak, dan berbagai<br />

artikel menarik lainnya.<br />

Berbagai informasi seputar kegiatan di RSUD<br />

<strong>Ulin</strong> juga turut mewarnai edisi kali ini, seperti kunjungan<br />

Menteri Kesehatan, penerapan kawasan bebas<br />

asap rokok di RSUD <strong>Ulin</strong>, pengaruh media sosial pada<br />

kesehatan, profil Instalasi Patologi Klinik, dan sosok<br />

Prof. Dr. dr. Ruslan Muhyi, SpA(K). Semoga <strong>Ulin</strong><br />

<strong>News</strong> edisi kali ini semakin menambah pengetahuan<br />

kita semua.<br />

Dalam kesempatan ini segenap Dewan Redaksi<br />

<strong>Ulin</strong> <strong>News</strong> menyampaikan selamat Idul Fitri 1438<br />

H, mohon maaf lahir dan batin, semoga Allah SWT<br />

menerima seluruh amal ibadah kita semua.<br />

Cover : Hari Lupus Se-dunia<br />

Foto : Dokumentasi Pribadi<br />

Layout & : PKRS RSUD <strong>Ulin</strong><br />

Desain<br />

PERCETAKAN<br />

PT. GRAFIKA WANGI KALIMANTAN<br />

(Banjarmasin Post Group)<br />

Jl. Pelaihari Km.20,8 Liang Anggang<br />

Landasan<br />

<strong>Ulin</strong> Barat Banjarbaru<br />

Kalsel 70722 - Indonesia<br />

Telp. (0511) 4705900, 4705901<br />

Ext. 107 Fax. (0511) 4705814<br />

Redaksi menerima tulisan untuk dimuat<br />

di <strong>Ulin</strong> <strong>News</strong>, panjang tulisan 2 kwarto dengan<br />

spasi 1,5.Redaksi berhak mengedit tulisan Sesuai<br />

dengan visi dan misi RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

2 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


DAFTAR ISI<br />

DARI<br />

2<br />

REDAKSI<br />

DAFTAR<br />

ISI 3<br />

4<br />

LAYANAN BARU DI TAHUN <strong>2017</strong> POLIKLINIK<br />

ULIN MAHABARI<br />

JANTUNG-WARFARIN<br />

LAPORAN UTAMA<br />

INFO MEDIS<br />

TIPS DAN TRIK<br />

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE)<br />

” PENYAKIT SERIBU WAJAH”<br />

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA<br />

PENYAKIT LUPUS<br />

GIZI SEIMBANG UNTUK PENDERITA LUPUS<br />

6<br />

10<br />

12<br />

UNTUK KITA<br />

SOSOK<br />

TOPIK KITA<br />

SEBAIKNYA ANDA TAHU<br />

CEGAH INFEKSI KUMAN RESISTENSI ANTIBIOTIKA<br />

DENGAN MELAKUKAN KEBERSIHAN TANGAN<br />

MENCIPTAKAN RS YANG BERSIH<br />

PROF. DR.DR. RUSLAN MUHYI, SP.A (K)<br />

KERACUNAN DAN TOKSIKOLOGI FORENSIK<br />

MEDIA SOSIAL DAN DAMPAKNYA<br />

TERHADAP KESEHATAN<br />

14<br />

16<br />

19<br />

20<br />

22<br />

MEDIKA<br />

KEGAWATDARURATAN<br />

VENTILATOR<br />

PENGGUNAAN<br />

24<br />

SAINS<br />

PROFIL UNIT<br />

PERISTWA<br />

ALBUM 32<br />

MENGENAL TERAPI SENSORI INTEGRASI<br />

INSTALASI PATALOGI KLINIK RSUD ULIN<br />

BANJARMASIN<br />

PENEGAKAN PERDA KAWASAN TANPA<br />

ROKOK (KTR) DI RSUD ULIN<br />

KUNJUNGAN MENTERI KESEHATAN RI<br />

KE RSUD ULIN<br />

26<br />

28<br />

30<br />

31<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 3


ULIN MAHABARI<br />

LAYANAN BARU DI TAHUN <strong>2017</strong><br />

POLIKLINIK JANTUNG-WARFARIN<br />

Oleh: dr. Teguh Wahyu Purnomo, SPJP,FIHA<br />

Kepala SMF Jantung RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

Mengawali tahun<br />

<strong>2017</strong>, kami membuka<br />

layanan baru<br />

yaitu Poliklinik Jantung-Warfarin.<br />

Meski sudah berjalan beberapa bulan,<br />

masih banyak yang belum mengetahui, apa itu<br />

Poliklinik Jantung-Warfarin, pasien apa saja<br />

yang dilayani, mengapa harus diberikan waktu<br />

khusus untuk pelayanan tersebut, dan banyak<br />

pertanyaan lain yang muncul terkait dibukanya<br />

layanan tersebut. Melalui tulisan ini, kami dari<br />

SMF/ Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskular<br />

RSUD <strong>Ulin</strong>, mencoba mensosialisasikan<br />

pelayanan tersebut dan rencana pengembangan<br />

di tahun <strong>2017</strong> ini.<br />

Hal pertama yang selalu ditanyakan, apa<br />

yang disebut sebagai warfarin. Warfarin adalah<br />

derivate coumadine yang menghambat pembekuan<br />

darah (anti koagulasi) melalui pembatasan<br />

produksi vitamin K-dependent clotting<br />

factors. Warfarin menghambat enzim vitamin K<br />

epoxide reductase complex 1 (VKORC1), yang<br />

berperan dalam pembentukan kembali vitamin K<br />

epoxide menjadi vitamin K; dimana vitamin K<br />

berperan penting dalam aktivasi beberapa faktor<br />

pem-bekuan (II, VII, IX, dan X). Secara umum<br />

dikata-kan warfarin adalah antagonis dari vitamin<br />

K.<br />

Pada kondisi pasien seperti apa yang harus<br />

mendapatkan terapi warfarin? Ada beberapa<br />

indikasi, dimana pasien harus mendapatkan terapi<br />

warfarin yaitu: pasien dengan fibrilasi atrium,<br />

pasien dengan riwayat trombo-emboli vena, dan<br />

pasien dengan katup jantung prostetik (metal).<br />

Tujuan pemberian terapi warfarin pada kondisi<br />

tersebut, antara lain untuk menurunkan risiko<br />

stroke yang mana meningkat 4-6 kali pada pasien<br />

dengan fibrilasi atrium. Pada kondisi trombo-emboli<br />

vena, untuk menghentikan pembentukan<br />

bekuan darah dan mencegah rekurensi.<br />

Pada pasien dengan katup jantung prostetik,<br />

pemberian warfarin bertujuan untuk men-cegah<br />

thrombosis katup dan embolisasi sistemik. Dari<br />

data yang ada di RSUD <strong>Ulin</strong>, banyak sekali pasien<br />

dengan kondisi tersebut diatas yang belum<br />

mendapatkan terapi secara optimal, sehingga<br />

berdampak pada morbiditas dan mortalitas ke depan.<br />

Inilah yang menjadi tujuan utama dibukanya<br />

layanan Poliklinik Jantung–Warfarin tersebut.<br />

Untuk mencapai tujuan dari terapi tersebut,<br />

dosis warfarin yang diberikan haruslah tepat,<br />

karena diketahui rentang terapi warfarin<br />

sangat sempit. Apabila dosisnya kurang menjadi<br />

tidak bermanfaat; sebaliknya bila berlebihan,<br />

pasien dihadapkan pada risiko perdarahan yang<br />

tinggi, sehingga diperlukan pemeriksaan kadar<br />

terapi secara berkala melalui pemeriksaan laboratorium<br />

yaitu INR (International Normalized<br />

Ratios). Pada kebanyakan indikasi, rentang terapi<br />

INR, dianjurkan 2.0-3.0.<br />

Berbagai faktor dapat mempengaruhi<br />

INR. Interaksi obat-obatan (khususnya antibiotik)<br />

dengan warfarin sangat sering terjadi dan<br />

menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang<br />

bermakna. Dalam penilaian interaksi obat, harus<br />

diperhitungkan semua terapi yang didapat, termasuk<br />

herbal, terapi komplementer dan obat-obatan<br />

over-the-counter. Selain itu, perubahan diet atau<br />

asupan yang dramatik juga mempengaruhi INR,<br />

akibat kadar vitamin K dalam berbagai makanan.<br />

Demikian pula, perubahan status kesehatan pun<br />

berpengaruh pada INR (gangguan fungsi ginjal<br />

dan hati), dimana dapat terjadi gangguan sintesis<br />

faktor pembekuan atau perubahan metabolisme<br />

warfarin.<br />

4 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


Tabel 1. Indikasi Pemberian Terapi Warfarin.<br />

Indikasi Target INR Rekomendasi durasi minimal<br />

Perbaikan Katup<br />

Katup bioprostetik<br />

2-3 6 minggu post op<br />

DVT<br />

PE<br />

2-3 3 bulan<br />

AF<br />

Kondisi hiperkoagulasi, ireversibel<br />

2-3 seumur hidup<br />

AVR Mekanikal tanpa faktor risiko #<br />

Katup jantung mekanikal risiko tinggi<br />

MVR mekanikal<br />

AVR mekanikal dengan faktor risiko # 2.5-3.5 seumur hidup<br />

#faktor risiko: atrial fibrilasi, riwayat trombo-emboli vena, kondisi hiperkoagulasi, disfungsi ventrikel kiri, AVR generasi awal<br />

Pada kondisi apa saja terapi warfarin harus<br />

hati-hati atau tidak bisa diberikan? Kontraindikasi<br />

yang utama adalah adanya pendarahan.<br />

Penyakit liver yang berat dapat menyebabkan<br />

pendarahan melalui beberapa mekanisme: ketidakmampuan<br />

liver untuk mensintesis protein<br />

pembekuan darah, menurunnya klirens warfarin,<br />

trombositopenia akibat hipertensi portal, dan<br />

adanya varises esofagus. Pertimbangan untuk tidak<br />

memberikan terapi warfarin harus dilakukan<br />

pada orangtua dengan risiko jatuh. Tidak adanya<br />

fasilitas untuk memeriksa INR. Kesulitan pendengaran,<br />

peng-lihatan juga menjadi pertimbangan.<br />

Terapi warfarin harus dihindari pemberiannya<br />

pada wanita yang sedang mengandung karena<br />

bersifat teratogenik.<br />

Tabel 2. Kontraindikasi Pemberian Warfarin (absolute & Relatif)<br />

Apa saja yang akan didapatkan oleh pasien<br />

yang berobat ke Poli warfarin? Yang pertama<br />

tentunya adalah pemeriksaan laboratorium INR<br />

secara berkala sesuai protokol yang sudah ditentukan<br />

sehingga tercapai kadar optimal. Pasien akan<br />

diedukasi mengenai asupan makanan yang sebaiknya<br />

dibatasi agar kadar INR tetap stabil, diajarkan<br />

mengenali tanda-tanda awal perdarahan, diberikan<br />

logbook catatan kadar INR disertai dosis warfarin,<br />

yang akan diisi oleh Dokter yang memeriksa pada<br />

saat pasien kontrol.<br />

Meskipun saat ini sudah ditemukan beberapa<br />

obat anti koagulasi yang baru, terapi menggunakan<br />

warfarin belum tergantikan. Terkendala<br />

dengan mahalnya harga obat-obatan yang baru<br />

dan indikasi medis untuk beberapa kondisi belum<br />

didukung data klinis yang mencukupi. Saat<br />

ini Poliklinik Jantung-warfarin buka seminggu<br />

sekali. Setiap hari Sabtu. Dalam waktu dekat<br />

kami berencana untuk memberikan layanan minimal<br />

2 kali seminggu. Mengingat poli ini memberikan<br />

layanan spesifik yang tidak ada di RS<br />

lain di Kalimantan Selatan bahkan di Kalimantan,<br />

sehingga dapat menjadi salah satu unggulan<br />

pelayanan di era JKN apabila dibina dengan baik<br />

dan mendapat dukungan penuh dari pihak menajemen<br />

RSUD <strong>Ulin</strong>. Ke depan, kami ingin berkolaborasi<br />

dengan bagian laboratorium, farmasi<br />

dan gizi untuk memberikan layanan yang lebih<br />

baik dan memudahkan pasien.<br />

Pendarahan<br />

Penyakit liver berat<br />

Resiko terjatuh<br />

tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan INR<br />

Gangguan Pendengaran, penglihatan<br />

Kehamilan<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 5


LAPORAN UTAMA<br />

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMATIK (SLE)<br />

“PENYAKIT SERIBU WAJAH”<br />

Oleh: dr. I Nyoman Suarjana, S.PD-KR<br />

Divisi Reumatologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK ULM<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

Penyakit lupus eritematosus sistemik atau<br />

lebih dikenal dengan sebutan SLE atau LES<br />

atau berbagai istilah lainnya seperti penyakit<br />

dengan seribu wajah, merupakan salah satu<br />

penyakit reumatik autoimun yang memerlukan<br />

perhatian khusus, baik dalam mengenali tampilan<br />

klinis penyakitnya maupun pengelolaannya.<br />

Karakteristik penyakit SLE berupa inflamasi<br />

yang tersebar luas yang dapat menyerang semua<br />

organ atau sistem dalam tubuh. Pola gambaran<br />

klinis pada umumnya berhubungan dengan jenis<br />

autoantibodi yang ada dalam tubuh. Etiopatologi<br />

SLE belum diketahui secara pasti, diduga melibatkan<br />

interaksi yang kompleks dan multifaktorial<br />

antara variasi genetik dan faktor lingkungan.<br />

Penyakit ini terutama menyerang perempuan<br />

usia reproduksi dengan angka kematian<br />

yang cukup tinggi. Manifestasi klinis SLE sangat<br />

luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,<br />

sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf<br />

pusat (SSP) dan sistem imun. Manifestasi klinis<br />

terbanyak berturut-turut adalah artritis, ruam malar,<br />

gangguan ginjal/nefropati, foto sensitivitas,<br />

keterlibatan neurologis dan demam, sedangkan<br />

manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah<br />

miositis, ruam diskoid, anemia hemolitik, dan<br />

lesi subkutaneus akut.<br />

Perjalanan penyakit SLE sangatlah dinamis,<br />

sehingga seringkali menyulitkan diagnosis<br />

manakala profesional medik dihadapkan pada<br />

tampilan gejala atau keluhan yang tidak lengkap.<br />

Pengenalan dini terhadap kemungkinan seseorang<br />

terkena penyakit ini sangatlah penting karena<br />

kematian dapat terjadi dengan cepat terkait<br />

aktivitas penyakitnya pada tahun-tahun pertama.<br />

Selain itu, penyulit lanjut terutama pada sistem<br />

kardiovaskular dan terganggunya berbagai fungsi<br />

organ akibat progresifitas perjalanan alamiah<br />

penyakit memberikan kontribusi yang besar terhadap<br />

morbiditas maupun mortalitas penderita<br />

SLE atau sering disebut sebagai orang dengan<br />

lupus (ODAPUS).<br />

Manifestasi klinis yang beragam, seringkali<br />

menyulitkan profesional medik yang<br />

menangani penderita tersebut sehingga terjadi<br />

keterlambatan diagnosis. Tidak jarang selama<br />

berhari-hari, berminggu-minggu hingga berbulan-bulan<br />

atau bahkan sampai bertahun-tahun<br />

pasien didiagnosis berdasarkan manifestasi<br />

klinis yang dominan terlihat seperti anemia, glomerulonefritis,<br />

dermatitis dan sebagainya. Manifestasi<br />

yang muncul dapat terjadi dalam rentang<br />

waktu yang panjang. Kelambatan dalam menegakkan<br />

diagnosis akan berpengaruh terhadap tingkat<br />

keberhasilan pengelolaan maupun harapan hidup<br />

penderita SLE.<br />

Kewaspadaan Akan Penyakit SLE<br />

Kecurigaan terhadap penyakit SLE perlu<br />

dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria<br />

dibawah ini, yaitu:<br />

1.Wanita muda dengan keterlibatan dua organ<br />

atau lebih.<br />

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa<br />

bukti infeksi) dan penurunan berat badan.<br />

3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis<br />

4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar<br />

rash), fotosensitivitas, lesi membran mukosa, alopesia,<br />

fenomena Raynaud, purpura, urti-karia, vaskulitis.<br />

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma<br />

nefrotik<br />

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen<br />

7. Paru-paru: pleuritis, hipertensi pulmonal, lesi<br />

parenkhim paru.<br />

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis<br />

9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati,<br />

splenomegali, hepatomegali)<br />

10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombosi-topenia<br />

11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak<br />

organik, mielitis transversa, gangguan kognitif,<br />

neuropati kranial dan perifer.<br />

Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan<br />

eksklusi terhadap penyakit lainnya.<br />

Diagnosis SLE<br />

Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan<br />

gambaran klinis dan laboratorium. The American<br />

College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun<br />

1997, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE,<br />

dimana bila didapatkan 4 kriteria maka diagnosis<br />

SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah: (1)<br />

Ruam malar, (2) Ruam discoid, (3) Fotosensitifitas,<br />

(4) Ulkus mulut atau orofaring, (5) Artritis,(6)<br />

Serositis (pleuritis atau perikarditis), (7) Kelainan<br />

ginjal (proteinuria menetap>0.5 gram/hari atau ><br />

3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif<br />

atau terdapat silinder seluler, (8) Gangguan neurologis<br />

(kejang-kejang atau psikosis), (9) Gangguan<br />

hematologis (anemia hemolitik atau leukopenia<br />

atau limfopenia atau trombositopenia), (10) Kelainan<br />

imunologis (anti-DNA positif atau anti-Sm<br />

positif atau tes serologis untuk sifilis positif palsu)<br />

dan (11) Antibodi antinuklear (ANA) positif.<br />

6 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas,<br />

diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan<br />

spesifisitas 95%, sedangkan bila hanya 3 kriteria<br />

dan salah satunya ANA positif, maka sangat<br />

mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada<br />

pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,<br />

maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya<br />

tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak<br />

ada, maka belum tentu SLE dan perlu dilakukan<br />

observasi jangka panjang.<br />

Namun, mengingat dinamisnya keluhan<br />

maupun tanda SLE dan pada kondisi tertentu<br />

seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus<br />

(NPSLE), maka bisa saja kriteria tersebut belum<br />

terpenuhi. Terkait dengan dinamisnya perjalanan<br />

penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah<br />

ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali<br />

bermanifestasi sebagai penyakit lain seperti artritis<br />

reumatoid, glomerulo-nefritis, anemia, dermatitis<br />

dsb, sehingga kecurigaan dini pada gejala<br />

penyakit SLE sangat penting.<br />

Pemeriksaan serologi pada SLE<br />

Tes imunologis awal yang diperlukan<br />

untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes<br />

ANA (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA<br />

dikerjakan/ diperiksa hanya pada pasien dengan<br />

tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita<br />

SLE ditemukan tes ANA positif sebesar<br />

95-100%, akan tetapi hasil tes ANA positif bisa<br />

didapatkan pada beberapa penyakit lain yang<br />

mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE<br />

misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit<br />

autoimun lain {seperti Mixed connective tissue<br />

disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun},<br />

keganasan atau pada orang normal.<br />

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan<br />

segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan<br />

penyakit reumatik sistemik termasuk SLE<br />

seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan<br />

pengulangan tes ANA pada waktu yang<br />

akan datang terutama jika didapatkan gambaran<br />

klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA negatif,<br />

dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya<br />

diagnosis SLE dapat disingkirkan.<br />

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan<br />

setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap<br />

antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsD-<br />

NA, Sm, nRNP, Ro (SSA), La (SSB), Scl-70 dan<br />

anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil<br />

ANA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik<br />

untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit<br />

lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA<br />

yang tinggi hampir pasti menunjukkan<br />

diagnosis SLE. Jika titernya sangat rendah mungkin<br />

dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.<br />

Diagnosis banding<br />

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah<br />

ini seringkali mempunyai gambaran klinis atau<br />

beberapa hasil tes laboratoriumnya serupa, yaitu:<br />

Undi-fferentiated connective tissue disease,<br />

Sindroma Sjögren, Sindroma antibodi antifosfolipid<br />

(APS), Fibromialgia (ANA positif), Purpura<br />

trombositopenik idiopatik, Lupus imbas obat,<br />

Artritis reumatoid dini, Vaskulitis.<br />

Derajat berat ringannya penyakit SLE<br />

Seringkali terjadi kebingungan dalam<br />

proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut<br />

obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama<br />

pemberian dan pemantauan efek samping obat<br />

yang diberikan pada penderita. Salah satu upaya<br />

yang dilakukan untuk memperkecil berbagai<br />

kemungkinan kesalahan adalah dengan menetapkan<br />

tingkat keparahan SLE. Berdasarkan tingkat<br />

keparahannya, penyakit SLE dapat dikategorikan<br />

menjadi 3 yaitu SLE ringan, sedang, dan berat<br />

atau mengancam nyawa.<br />

* Kriteria SLE dengan tingkat keparahan ringan<br />

yaitu:<br />

1. Secara klinis tenang<br />

2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam<br />

nyawa<br />

3. Fungsi organ normal atau stabil.<br />

Contoh SLE dengan tingkat keparahan ringan<br />

yaitu SLE dengan manifestasi artritis dan kulit.<br />

* Kriteria SLE dengan tingkat keparahan sedang<br />

yaitu:<br />

1. Nefritis ringan sampai sedang (lupus nefritis<br />

kelas I dan II)<br />

2. Trombositopenia (trombosit 20-50 x103/mm3)<br />

3. Serositis mayor<br />

* Kriteria SLE dengan tingkat keparahan berat<br />

atau mengancam nyawa yaitu apabila ditemukan<br />

kondisi sebagai berikut:<br />

1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis<br />

arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung,<br />

hipertensi maligna<br />

2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan<br />

paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis<br />

interstisial.<br />

3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika<br />

4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous<br />

5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai<br />

ulkus atau melepuh (blister)<br />

6. Neurologi: kejang, acute confusional state,<br />

koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis,<br />

polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma<br />

demielinasi<br />

7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia<br />

(leukosit


pendekatan yang lebih holistik yaitu pendekatan<br />

biopsikososial. Tujuan pengelolaan adalah<br />

meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita<br />

melalui pengenalan dini dan pengobatan yang<br />

paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah:<br />

a) Mendapatkan masa remisi yang panjang,<br />

b) Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin,<br />

c) Mengurangi rasa nyeri dan memelihara<br />

fungsi organ supaya aktivitas hidup sehari-hari<br />

tetap baik agar tercapai kualitas hidup optimal.<br />

Pilar Pengobatan<br />

Pada SLE derajat ringan, sedang, maupun<br />

berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan<br />

atau disebut dengan pilar pengobatan. Pilar pengobatan<br />

SLE ini seyogyanya dilakukan secara<br />

bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan<br />

pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan<br />

penyakit mulai dari dokter umum di<br />

perifer sampai ke tingkat dokter konsultan reumatologi.<br />

Adapun pilar pengobatan SLE adalah sbb:<br />

I. Edukasi dan konseling<br />

II. Program rehabilitasi<br />

III. Pengobatan medikamentos: OAINS, anti- malaria,<br />

steroid, imunosupresan/sitotoksik dan terapi<br />

lain.<br />

Edukasi penderita SLE<br />

• Pada dasarnya penderita SLE memerlukan informasi<br />

yang benar dan dukungan dari orang di sekitarnya<br />

dengan maksud agar penderita bisa hidup<br />

mandiri. Perlu dijelaskan tentang perjalanan penyakit<br />

dan kompleksitasnya.<br />

• Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat<br />

penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita<br />

SLE, terutama pada penderita yang baru<br />

terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan<br />

langsung kepada penderita atau dengan<br />

membentuk kelompok penderita yang bertemu<br />

secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya.<br />

• Pada umumnya penderita SLE mengalami fotosensitifitas<br />

sehingga harus selalu diingatkan<br />

supaya tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari.<br />

Mereka dinasehatkan agar selalu menggunakan<br />

krem pelindung matahari (tabir surya), baju lengan<br />

panjang, topi atau payung bila akan berjalan<br />

di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi<br />

terhadap paparan sinar matahari dari jendela.<br />

• Kejadian infeksi sering terjadi pada penderita<br />

SLE, sehingga penderita harus selalu diingatkan<br />

bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,<br />

terutama pada penderita yang memperoleh<br />

kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,<br />

penderita dengan gangguan ginjal, vegetasi katup<br />

jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis<br />

antibiotik perlu dipertimbangkan pada penderita<br />

yang akan menjalani prosedur genitourinarius,<br />

cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.<br />

• Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat<br />

badan, atau terjadi dislipidemia. Penderita SLE<br />

juga harus menghindari rokok.<br />

• Pengaturan kehamilan sangat penting pada<br />

penderita SLE dengan nefritis atau penderita<br />

yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi<br />

untuk kehamilan seperti siklo-fosfamid,<br />

metotreksat dll. Kehamilan juga dapat<br />

mencetuskan eksaserbasi akut SLE dan memiliki<br />

resiko tersendiri terhadap fetus.<br />

Terapi Medikamentosa<br />

Obat-obat yang digunakan untuk terapi<br />

SLE antara lain: obat antiinflamasi nonsteroid<br />

(OAINS), kortikosteroid, anti malaria (kloroquin/<br />

hidroksikloroqiun), azatioprin, siklofosfamid,<br />

metotreksat, mikofenolat mofetil dan<br />

siklosporin A. Kortikosteroid (KS) digunakan<br />

sebagai pengobatan utama pada penderita dengan<br />

SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya<br />

banyak laporan efek samping, KS tetap<br />

merupakan obat yang banyak dipakai sebagai<br />

antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang<br />

digunakan juga bervariasi. Terminologi pembagian<br />

dosis kortikosteroid tersebut adalah sbb:<br />

• Dosis rendah:7,5mg, tetapi 30 mg, tetapi 100 mg prednison atau<br />

setara/hari<br />

• Terapi pulse : > 250 mg prednison atau setara/<br />

hari untuk 1 hari atau beberapa hari.<br />

Pemantauan<br />

Batasan operasional pemantauan adalah<br />

dilakukannya observasi secara aktif menyangkut<br />

gejala dan tanda baru terkait dengan<br />

perjalanan penyakit dan efikasi/efek samping<br />

pengobatan. Proses ini dilakukan seumur hidup<br />

penderita SLE. Pemantauan tersebut meliputi:<br />

a. Anamnesis<br />

Demam, penurunan berat badan, kelelahan,<br />

rambut rontok meningkat, nyeri dada pleuritik,<br />

nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini<br />

dilakukan setiap kali penderita datang berobat.<br />

b. Fisik<br />

Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid,<br />

alopesia, ulkus membran mukosa, lesi vaskulitis,<br />

fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan<br />

fisik yang baik. Bantuan pemeriksaan dari<br />

ahli lain seperti spesialis mata perlu dilakukan<br />

bila dicurigai adanya perburukan fungsi mata<br />

atau jika klorokuin/hidroksiklorokuin diberikan.<br />

c. Penunjang<br />

Hematologi rutin, urin rutin, serologi,<br />

kimia darah dan radiologi tergantung kondisi<br />

klinis.<br />

8 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


SLE dan Kehamilan<br />

Kesuburan penderita SLE sama dengan<br />

populasi perempuan bukan SLE. Beberapa penelitian<br />

mendapatkan terjadi kekambuhan SLE selama<br />

kehamilan namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan<br />

terjadi pada saat nefritis masih aktif maka<br />

50-60% penderita akan mengalami eksaserbasi, sedangkan<br />

bila kehamilan terjadi pada nefritis lupus<br />

yang telah mengalami remisi selama 3-6 bulan sebelum<br />

konsepsi maka kejadi-an eksaserbasi hanya<br />

7-10%. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia<br />

dan eklampsia juga meningkat pada penderita<br />

dengan nefritis lupus yang disertai faktor predisposisi<br />

hipertensi atau sindroma anti fosfolipid (APS).<br />

Penatalaksanaan SLE sebelum, selama kehamilan<br />

dan pasca persalinan sangatlah penting.<br />

Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:<br />

1. Jika penderita SLE ingin hamil maka dianjurkan<br />

sekurang-kurangnya setelah 6 bulan aktivitas penyakitnya<br />

terkendali atau dalam keadaan remisi total.<br />

Pada lupus nefritis jangka waktunya lebih lama yaitu<br />

sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat mengurangi<br />

kekambuhan SLE selama hamil.<br />

2. Medikamentosa:<br />

a. Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin<br />

yaitu tidak melebihi 7,5 mg/hari prednison atau<br />

yang setara.<br />

b. DMARD atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan<br />

dengan penuh hati-hati.<br />

Kontraindikasi untuk hamil pada perempuan<br />

dengan SLE<br />

Sebaiknya penderita SLE tidak hamil dalam kondisi<br />

berikut ini:<br />

• Hipertensi pulmonal yang berat (perkiraan PAP<br />

sistolik > 50 mm Hg atau simptomatik)<br />

• Penyakit paru restriktif (FVC < 1 L)<br />

• Gagal jantung<br />

• Gagal ginjal kronis (kreatinin > 2.8 mg/dl)<br />

• Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya<br />

atau sindroma HELLP (Hemolitic anemia, elevated<br />

liver function test, low platelet) walaupun sudah diterapi<br />

dengan aspirin dan heparin<br />

• Pernah menderita stroke pada 6 bulan terakhir<br />

• Kekambuhan lupus berat pada 6 bulan terakhir<br />

Pengaruh kehamilan pada SLE terhadap janin adalah<br />

adanya kemungkinan peningkatan risiko terjadi<br />

fetal heart block (kongenital) sebesar 2%. Kejadian<br />

ini berhubungan dengan adanya antibodi anti-Ro/<br />

SSA atau anti-La/SSB.<br />

Metoda kontrasepsi untuk SLE<br />

Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada<br />

para penderita lupus sangatlah terbatas, dan masing-masing<br />

harus diberikan secara individual, tergantung<br />

kondisi penderita. Kontrasepsi oral merupakan<br />

pilihan bagi penderita dengan keadaan yang<br />

stabil, tanpa sindrom antifospolipid (APS). Kekhawatiran<br />

penggunaan kontrasepsi oral ini sebelumnya<br />

adalah kekambuhan penyakit akibat hormon<br />

estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi, namun<br />

hasil penelitian mendapat-kan bahwa bukti<br />

ini sangat lemah. Kontrasepsi oral merupakan<br />

kontraindikasi pada penderita SLE dengan APS<br />

karena dapat mengakibatkan trombosis.<br />

Penggunaan intra uterine device (IUD)<br />

pada penderita yang mendapat kortikosteroid<br />

atau obat imunosupresan tidak direkomendasikan,<br />

karena risiko terjadinya infeksi, sehingga<br />

pilihan hanya terbatas pada kondom. Depomedroxy<br />

progesteron acetate (DMPA) dapat<br />

digunakan, namun akhir-akhir ini dikhawatirkan<br />

adanya kemungkinan efek negatifnya terhadap<br />

masa tulang yaitu osteoporosis, sehingga hanya<br />

diberikan berdasarkan indikasi tiap-tiap individu,<br />

contohnya mereka dengan kelainan perdarahan<br />

dan keterbelakangan mental, DPMA merupakan<br />

pilihan yang terbaik. Konsultasi dengan para<br />

ahli sangat penting untuk menentukan pilihan<br />

kontrasepsi bagi penderita SLE, masing-masing<br />

harus didasarkan atas aktivitas penyakit, faktor<br />

risiko terhadap trombosis atau osteoporosis, gaya<br />

hidup dan kepercayaan masing-masing individu.<br />

Vaksinasi terhadap penyakit lain pada SLE<br />

Penderita SLE memiliki risiko tinggi untuk<br />

terjadi infeksi. Vaksinasi pada penderita SLE<br />

aman, kecuali vaksin hidup. Efikasi vaksin lebih<br />

rendah pada penderita SLE dibandingkan dengan<br />

orang sehat, tetapi proteksinya cukup baik.<br />

Tidak ada panduan khusus pemberian vaksinasi<br />

pada penderita SLE, namun pada tahun 2002 The<br />

British Society for Rheumatology menerbitkan<br />

panduan praktis penggunaan vaksin hidup bagi<br />

penderita dengan gangguan autoimun yaitu:<br />

a. Vaksin hidup yang dilemahkan merupakan<br />

kontraindikasi untuk pasien dalam terapi imunosupresi.<br />

Contoh vaksin hidup yang dilemahkan<br />

antara lain: vaksin polio oral, varicella, vaksin<br />

influenza hidup yang dilemahkan, vaksin tifoid<br />

oral, bacillus CalmetteGuerin (BCG) dan measles-mumps-rubella<br />

(MMR).<br />

b. Setelah mendapat vaksinasi hidup yang<br />

dilemahkan, tunggu 4 minggu sebelum memulai<br />

terapi imunosupresi.<br />

c. Terapi steroid pada dosis minimal 20 mg/hari<br />

mempunyai efek imunosupresif sampai 2 minggu<br />

sesudah setelah terapi.<br />

Vaksin influenza rekombinan, pneumokokus dan<br />

hepatitis B dilaporkan masih aman diberikan<br />

pada penderita SLE.<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 9


INFO MEDIS<br />

PEMERIKSAAN LABORATORIUM<br />

PENYAKIT LUPUS<br />

Oleh: dr. Miftahul Arifin, SpPK<br />

Kepala Instalasi BDRS RSUD ULIN BANJARMASIN<br />

hormon, khususnya estrogen, menjadi<br />

pencetus lupus.<br />

* Faktor Sinar Matahari<br />

Sinar matahari memancarkan<br />

sinar ultraviolet yang dapat merangsang<br />

peningkatan hormon estrogen<br />

yang cukup banyak sehingga mempermudah<br />

terjadinya reaksi autoimun.<br />

Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh<br />

biasanya akan membuat anti-bodi yang<br />

fungsinya melindungi tubuh dari berbagai<br />

macam serangan virus, kuman, bakteri maupun<br />

benda asing lainnya (anti-gen). Pada penyakit<br />

autoimun seperti lupus, sistem kekebalan tubuh<br />

seperti ke-hilangan kemampuan melihat perbedaan<br />

antara substansi asing dengan sel maupun<br />

jaringan tubuhnya sendiri. Pada lupus, produksi<br />

anti-bodi yang seharusnya normal menjadi berlebihan.<br />

Akibatnya, antibodi ini tidak lagi berfungsi<br />

untuk menyerang virus, kuman atau bakteri<br />

yang ada di tubuh, tetapi justru menyerang<br />

sistem kekebalan sel dan jaringan tubuhnya<br />

sendiri. Anti-bodi seperti ini disebut auto anti-bodi.<br />

Ia bereaksi dengan anti-gen membentuk<br />

immune complex/ komplek imun.<br />

ETIOLOGI<br />

Hingga kini, faktor penyebab hadirnya<br />

lupus di tubuh belum diketahui secara pasti,<br />

namun beberapa penelitian kemungkinan lupus<br />

hadir melalui beberapa faktor diantaranya :<br />

* Faktor Lingkungan Infeksi<br />

Stres, makanan, antibiotik (khususnya<br />

kelompok sulfa & penisilin), ultraviolet dan<br />

penggunaan obat-obat tertentu .<br />

* Faktor Genetik<br />

Sampai saat ini, tidak diketahui gen-gen<br />

yang menjadi penyebabnya, lupus diturunkan<br />

angkanya relatif kecil, kemungkinan hanya 10%<br />

.* Faktor Hormon<br />

Faktor hormonal bisa menjelaskan mengapa<br />

wanita lebih sering terkena lupus dibanding<br />

pria. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit<br />

lupus sebelum periode menstruasi atau selama<br />

masa kehamilan mendukung keyakinan bahwa<br />

JENIS-JENIS LUPUS<br />

A. Lupus Eritematosus Diskoid<br />

Paling sering menyerang dan merupakan<br />

lupus kulit dengan manifestasi beberapa<br />

jenis kelainan kulit. Kelainan biasanya<br />

berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung,<br />

pipi, telinga atau leher). Ruam kulit berupa<br />

makula eritem, berbatas jelas dengan sumbatan<br />

keratin pada folikel-folikel rambut (follicular<br />

plugs). Bila ruam atau lesi di atas hidung dan pipi<br />

berkonfluensi dapat seperti kupu-kupu (Butterfly<br />

Erythema). Ruam biasanya tidak nyeri dan bukan<br />

penyakit gatal, tetapi bekasnya dapat menyebabkan<br />

hilangnya rambut permanen. 5-10% pasien<br />

dengan lupus diskoid dapat berkembang menjadi<br />

lupus eritematosus sistemik. Ruam ini pulih<br />

dengan meninggalkan parut, diskoid lupus tidak<br />

serius dan jarang sekali melibatkan organ-organ<br />

lain.<br />

B. Lupus Eritematosus Sistemik<br />

Kriteria A.R.A (The American Rheumatism<br />

Association) 1982 :<br />

1. Eritema fasial (butterfly rash)<br />

2. Lesi diskoid<br />

3. Fotosensitivitas<br />

4. Ulserasi di mulut dan rinofaring<br />

5. Arthritis (non erosif, mengenai dua atau lebih<br />

sendi perifer)<br />

6. Serositis (pleuritis, pericarditis)<br />

7. Kelainan ginjal: Proteinuri 0,5 g/dl atau>3<br />

Cellular cast : sel darah merah, Hb, granular, tubular<br />

atau mix<br />

8. Kelainan neurologi : (kelelahan, psikosis)<br />

9. Kelainan darah: Hemolitik anemia dengan retikulosit,<br />

Leukopenia, Trombositopenia<br />

10. Kelainan imunologi : Anti-DNA, Anti-Sm<br />

(Positif semu test pada serologik untuk sifilis)<br />

10 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


11. Anti-bodi antinuklear (ANA)<br />

Gejala atau Simptom<br />

1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95%<br />

2. Demam di atas 380 C 90%<br />

3. Bengkak pada sendi (arthritis) 90%<br />

4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue)<br />

berkepanjangan 81%<br />

5. Ruam pada kulit 74%<br />

6. Anemia 71%<br />

7. Gangguan ginjal 50%<br />

8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45%<br />

9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada<br />

pipi dan hidung 42%<br />

10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30%<br />

11. Rambut rontok 27%<br />

12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20%<br />

13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena<br />

Raynaud’s) 17%<br />

14. Stroke 15%<br />

15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan<br />

12%<br />

16. Selera makan hilang > 60%<br />

PEMERIKSAAN PENUNJANG LUPUS ER-<br />

IMATOSUS<br />

1. Patologi Anatomi<br />

* Epidermis atrofi<br />

* Degenerasi pada junction dermal-epidermal<br />

* Dermis edema<br />

* Infiltrat limfositosis dermal<br />

* Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan<br />

dinding pembuluh darah<br />

2. Imunofloresensi Kulit<br />

* LBT (Lupus Band Test)<br />

* Direct imunofloresensi demonstrasi IgG, IgM,<br />

C3<br />

3. Serologi<br />

* ANA positif<br />

* Anti double strand DNA antibodies<br />

* Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific<br />

* Anti-kardiolipin auto anti-bodi<br />

4. Hematologi<br />

* Anemia<br />

* Limpopenia<br />

* Trombositopenia<br />

* Elevasi ESR<br />

5. Urinalisa : Proteinuria<br />

# Tes antibodi anti-nuklir (anti-nuclear anti-body/ANA)<br />

Tes ini digunakan untuk memeriksa keberadaan<br />

sel antibodi tertentu dalam darah, yaitu<br />

antibodi anti-nuklir. Jenis antibodi ini merupakan<br />

ciri utama SLE. Sekitar 95% penderita SLE<br />

memiliki antibodi ini. Tetapi hasil yang positif tidak<br />

selalu berarti pasien mengidap SLE, jadi tes<br />

antibodi anti-nuklir tidak bisa dijadikan patokan<br />

untuk penyakit ini. Tes lain juga dibutuhkan untuk<br />

memastikan diagnosis.<br />

# Tes antibodi anti-DNA<br />

Tes lain yang digunakan untuk memeriksa<br />

keberadaan antibodi tertentu dalam darah<br />

adalah tes anti-DNA. Adanya antibodi anti-DNA<br />

dalam darah akan meningkatkan risiko Anda<br />

terkena SLE. Jumlah antibodi anti-DNA akan<br />

meningkat saat SLE bertambah aktif. Karena itu,<br />

hasil tes akan meningkat drastis saat mengalami<br />

serangan yang parah. Tetapi orang-orang yang<br />

tidak men-derita SLE juga dapat memiliki antibodi<br />

ini.<br />

# Tes komplemen C3 dan C4<br />

Dokter mungkin akan menganjurkan<br />

pemeriksaan tingkat komplemen dalam darah<br />

untuk mengecek keaktifan SLE. Komplemen<br />

adalah senyawa dalam darah yang membentuk<br />

sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen<br />

dalam darah akan menurun seiring aktifnya<br />

SLE.<br />

Pemeriksaan lanjut yang dianjurkan Setelah<br />

Diagnosis SLE Positif<br />

Penderita SLE memiliki risiko untuk terkena<br />

penyakit lain, misalnya gangguan ginjal<br />

atau anemia. Karena itu, pemantauan rutin untuk<br />

melihat dampak SLE pada tubuh orang yang<br />

positif mengidap SLE sangat dibutuhkan. Proses<br />

ini akan membantu dokter untuk memantau penyakit-penyakit<br />

lain yang mungkin muncul sehingga<br />

dapat segera ditangani. Pemeriksaan lain<br />

yang mungkin Anda butuhkan untuk mengecek<br />

dampak SLE pada organ dalam adalah rontgen,<br />

USG, dan CT scan. Sebelum membuat diagnosa<br />

SLE harus melihat riwayat klinis dan gejala gejala<br />

penyakit lain yang mengarah pada kecurigaan<br />

terhadap SLE. Jika seseorang memiliki beberapa<br />

gejala seperti diatas, maka Dokter akan mencari<br />

bukti-bukti keberadaan auto anti-bodi pada tubuh<br />

pasien.<br />

Pemeriksaan laboratorium yang dapat<br />

membuktikan secara tepat Apakah seseorang<br />

terkena penyakit Lupus atau tidak?<br />

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium<br />

yang dapat membantu Dokter untuk membuat<br />

diagnosa SLE antara lain :<br />

1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA),<br />

yaitu pemeriksaan untuk menentukan apakah<br />

auto-antibodi terhadap inti sel sering muncul di<br />

dalam darah.<br />

2. Pemeriksaan anti ds DNA(Anti double stranded<br />

DNA), yaitu untuk menentukan apakah pasien<br />

memiliki antibodi terhadap materi genetik di dalam<br />

sel.<br />

3. Pemeriksaan anti-Sm antibodi, yaitu untuk<br />

menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm<br />

(protein yang ditemukan dalam sel protein inti).<br />

4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan<br />

immune-complexes (kekebalan) dalam darah.<br />

5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari<br />

serum complement (kelompok protein yang<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 11


TIPS DAN TRIK<br />

dapat terjadi pada reaksi kekebalan ) dan pemeriksaan<br />

untuk menilai tingkat spesifikasi dari C3<br />

dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan<br />

ini.<br />

6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep), yaitu pemeriksaan<br />

darah untuk mencari keberadaan jenis<br />

sel tertentu yang dipengaruhi membesarnya antibodi<br />

terhadap lapisan inti sel lain, pemeriksaan<br />

ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan<br />

pemeriksaan ANA tes, karena pemeriksaan ANA<br />

lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus<br />

dibandingkan dengan LE cell prep.<br />

7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit<br />

8. Urine Rutin<br />

9. Antibodi Antiphospholipid<br />

10. Biopsy Kulit<br />

11. Biopsy Ginjal<br />

* Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir<br />

semua pasien dengan sistemik lupus dan ini merupakan<br />

pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada<br />

saat ini untuk mengenali sistema lupus.<br />

* Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan<br />

bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab sakitnya<br />

orang tersebut. Walaupum sangat jarang terjadi<br />

dimana SLE muncul ditemukannya ANA.<br />

Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan<br />

ANA positif akan meningkat seiring<br />

dengan meningkatnya usia. Pola dari pemeriksaan<br />

ANA sangat membantu dalam menentukan<br />

jenis penyakit auto immun yang muncul dan menentukan<br />

program pengobatan seperti apa yang<br />

cocok bagi seorang pasien lupus. Hasil pemeriksaan<br />

ANA bisa positif pada banyak keadaan,<br />

oleh karena itu dalam pemeriksaan ANA harus<br />

didukung dengan catatan kesehatan pasien serta<br />

gejala gejala klinis lainnya. Karena itu apabila<br />

hasil tes laboratorium ANA positif (hanya lupus<br />

saja) tidak cukup untuk mendiagnosa lupus. Lain<br />

halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap<br />

lupus, akan tetapi tidak sepenuhnya mengenyampingkan<br />

adanya penyakit tersebut.<br />

Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan<br />

ANA positif, bukan bukti keberadaan lupus,<br />

karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap<br />

keadaan :<br />

• Orang-orang dengan penyakit connective lainnya.<br />

• Pasien yang sedang diobati dengan obat tertentu,<br />

misal Prokainamid, Hidralazin, Izoniasid, Klorpromazin<br />

dan orang dengan kondisi selain dari lupus<br />

seperti skloderma, sjorgen syndrome, rematik<br />

arthritis, penyakit kelenjar gondok dan penyakit<br />

hati.<br />

Semoga Bermanfaat<br />

Oleh: Hj. Maya Midiyantie Afridha, S. Gz, RD<br />

Dietisien RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

GIZI SEIMBANG<br />

UNTUK PENDERITA LUPUS<br />

Penyakit lupus merupakan penyakit yang<br />

membahayakan. Penyakit lupus akan mengacaukan<br />

sistem kekebalan tubuh pada manusia<br />

sehingga akan menyerang tubuh sendiri.<br />

Selain itu penyakit lupus merupakan penyakit<br />

yang sulit dikenali gejalanya bahkan baru diketahui<br />

menderita lupus ketika penyakit sudah parah.<br />

Penyakit lupus bukan merupakan penyakit<br />

yang disebabkan oleh mikroorganisme (kuman<br />

ataupun virus) sehingga bukan merupakan<br />

penyakit yang menular. Penting sekali penderita<br />

lupus atau Odapus mendapatkan dukungan dari<br />

lingkungan sekitar untuk medapatkan motivasi<br />

kesembuhan. Penyakit lupus memang penyakit<br />

yang membutuhkan kesabaran dan dukungan<br />

dari lingkungan karena membutuhkan waktu<br />

yang cukup panjang dalam proses penyembuhan.<br />

Pada artikel kali ini mengenai pola hidup<br />

yang dibutuhkan oleh penderita lupus yang akan<br />

membahas mengenai gizi dan nutrisi yang dibutuhkan<br />

untuk tetap membantu proses penyembuhan<br />

penyakit lupus. Selain itu pola hidup sehat<br />

12 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


dapat menentukan proses penyembuhan penderita<br />

lupus.<br />

Penyakit Lupus dan Gizi Seimbang<br />

Para penderita lupus membutuhkan perhatian<br />

khusus. Penyakit lupus merupakan penyakit yang<br />

menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga yang<br />

seharusnya menyerang benda asing (bakteri dan<br />

virus), sedangkan pada penderita lupus menyerang<br />

tubuh sendiri sehingga penderita lupus seringkali<br />

mengalami pembengkakan, peradangan atau kerusakan<br />

organ tubuh seperti jantung, paru-paru, sendi<br />

dan kulit. Sebenarnya tidak ada makanan yang dapat<br />

memicu penyakit lupus ataupun dapat menyembuhkan<br />

penyakit lupus akan tetapi penyakit lupus<br />

berhubungan dengan kekebalan tubuh yang mana<br />

dibutuhkan nutrisi yang sangat baik dalam merawat<br />

penyakit lupus secara keseluruhan.<br />

Penderita penyakit lupus disarankan untuk<br />

menjaga diet yang seimbang. Penyakit lupus dapat<br />

menyebabkan peradangan apabila salah dalam<br />

memilih makanan akan memperburuk peradangan.<br />

Sehingga mengkonsumsi makanan dan minuman<br />

yang dapat mencegah proses peradangan semakin<br />

buruk sangat dibutuhkan. Salah satu contoh yang<br />

dibutuhkan oleh penderita penyakit lupus adalah kebutuhan<br />

kalsium. Penyakit lupus akan menyebabkan<br />

penderita kekurangan kalsium dari tulang sehingga<br />

lebih tinggi berisiko osteoporosis sehingga penyakit<br />

lupus membutuhkan asupan kalsium ekstra.<br />

Berikut ini adalah kebutuhan gizi yang seimbang<br />

yang dibutuhkan oleh penderita lupus sehingga<br />

membantu dalam mengurangi resiko pengembangan<br />

dari penyakit lupus :<br />

1. Omega 3<br />

Penderita penyakit lupus membutuhkan<br />

asupan omega 3. Penyakit lupus dapat mengakibatkan<br />

risiko penyakit jantung sehingga untuk<br />

mencegahnya dapat mengkonsumsi asam omega<br />

3 yang bisa mengurangi peradangan sehingga<br />

membantu dalam melindungi jantung. Kandungan<br />

omega 3 didapat dari jenis ikan laut seperti<br />

tuna, salmon, mackerel dll.<br />

2. Konsumsi Kalsium<br />

Mengkonsumsi kalsium dapat membantu<br />

penderita lupus dalam penipisan tulang sehingga<br />

dapat membantu seseorang terhindar fraktur.<br />

Mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin<br />

D dan kalsium sangat dibutuhkan penderita<br />

lupus. Sehingga dapat meningkatkan kesehatan<br />

tulang, maka konsumsi keju, susu, yogurt dan<br />

sayuran hijau seperti bayam.<br />

3. Hindari makanan yang mengandung minyak<br />

jenuh<br />

Makanan yang mengandung minyak jenuh<br />

akan memperburuk peradangan yang menyebabkan<br />

penderita penyakit lupus mengalami risiko<br />

yang lebih berbahaya. Hindari makanan yang dipanggang,<br />

sup krim, daging merah, daging olahan,<br />

produk susu tinggi lemak, mentega, keju dan<br />

gorengan. Selain itu makanan yang terlalu tinggi<br />

mengandung asam omino akan mengganggu<br />

peradangan sehingga harus dikurangi untuk<br />

penderita lupus.<br />

4. Makanan yang mengandung Asam Folat<br />

Sayuran hijau dan buah-buahan dapat membantu<br />

untuk mengurangi risiko pengembangan<br />

penyakit lupus. Penderita lupus yang mengalami<br />

mual disebabkan obat dapat mengkonsumsi<br />

makanan kecil yang akan membantu dalam<br />

mengkonsumsi makanan yang dibutuhkan tubuh.<br />

Beberapa makanan kecil yang dapat mengenyangkan<br />

seperti biskuit dan roti gandum.<br />

5. Menghindari Garam<br />

Kandungan garam yang tinggi tidak baik<br />

untuk kesehatan. Selain itu garam dapat menggangu<br />

penderita lupus. Garam dapat meningkatkan<br />

tekanan darah dan juga kandungan garam<br />

yang berlebihan meningkatkan risiko penyakit<br />

jantung. Bagi penderita penyakit lupus sebaiknya<br />

menghindari kandungan garam yang berlebih<br />

dan mengganti dengan rempah rempah lain seperti<br />

bawang putih, lemon atau lada.<br />

6. Hindari Alfalfa<br />

Alfalfa termasuk di dalam keluarga kacang-kacangan.<br />

Tumbuhan ini mengandung<br />

L-cana-vatine yang mengandung asam amino.<br />

Asam amino yang terkandung pada jenis alfalfa<br />

jenis kacang dengan bunga berwarna ungu dan<br />

tumbuh sehingga satu meter akan mengakibatkan<br />

hiperaktif. Kandungan sistem imun di tubuh<br />

penderita lupus akan bertambah terganggu.<br />

Makanan bukan merupakan penyebab lupus<br />

akan tetapi beberapa akibat kondisi tubuh yang<br />

disebabkan oleh lupus akan mengalami perubahan<br />

pada kondisi kesehatan yang semakin buruk.<br />

Kondisi kesehatan penderita lupus mengalami<br />

peradangan, kehilangan kalsium, anemia dan nyeri<br />

sendi. Sehingga dibutuhkan beberapa gizi dan nutrisi<br />

yang dapat membantu untuk mengurangi terjadinya<br />

gangguan kesehatan yang semakin buruk.<br />

Selain itu pola hidup yang sehat akan membantu<br />

proses penyembuhan penderita lupus. Mereka<br />

akan membutuhkan motivasi dari lingkungannya.<br />

Dukungan yang baik dari keluarga dan teman<br />

teman sangat dibutuhkan sehingga membantu dalam<br />

mengurangi stress yang seringkali dialami oleh<br />

odapus. Inilah cara yang terbaik dalam mendukung<br />

penderita lupus cepat sembuh.<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 13


UNTUK KITA<br />

CEGAH INFEKSI KUMAN RESISTENSI<br />

ANTIBIOTIKA DENGAN MELAKUKAN<br />

KEBERSIHAN TANGAN<br />

Oleh: H. AKHMAD ZARKASI,S.Kep,Ners,M.Kes<br />

IPCN RSUD ULIN BANJARMASIN<br />

Memperingati Global Hand Hygiene Day<br />

atau Hari Kebersihan Tangan Dunia setiap<br />

5 Mei, RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

mengkampanyekan budaya cuci tangan pada hari<br />

Jumat (05/05/<strong>2017</strong>) dengan tema dari WHO yaitu<br />

“Fight Antibiotik Resistance, Its in Your Hand“<br />

bertempat di halaman RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin.<br />

Kegiatan yang diikuti tak kurang dari 500 peserta<br />

meliputi karyawan dan mitra ini terdiri dari Sosialisasi<br />

tentang kebersihan tangan 6 langkah dan Five<br />

Moments dalam melawan resistensi Antibiotika,<br />

dilanjutkan gerakan cuci tangan bersih dan diakhiri<br />

foto Hands Up bersama untuk berkomitmen dalam<br />

membudayakan kebersihan tangan di area kerja<br />

masing-masing.<br />

Direktur RSUD <strong>Ulin</strong> dr. Hj. Suciati, M.Kes<br />

mengatakan, menjaga kebersihan tangan sangat<br />

penting untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri<br />

pada tubuh, sehingga mengurangi penggunaan obat<br />

antibiotik. Penggunaan antibiotik sebisa mungkin<br />

dihindari dan jika terpaksa diberikan harus dalam<br />

dosis yang tepat. Hal ini harus menjadi perhatian<br />

pasien maupun dokter, karena penggunaan antibiotik,<br />

secara tidak langsung membuat bakteri resisten<br />

(kebal) terhadap obat. “Memang bakteri yang<br />

sensitive akan mati oleh obat antibiotik, namun<br />

ada bakteri yang resisten (kebal) yang kemudian<br />

bermutasi dan menularkan sifat kekebalannya itu<br />

ke bakteri yang lain. Jika ini tidak dikontrol akan<br />

menjadi masalah kesehatan dunia di masa yang<br />

akan datang. Bakteri akan sulit dibunuh dengan<br />

antibiotik,” terang beliau.<br />

Pada tahun <strong>2017</strong> ini, Pekan Kesadaran Antibiotik<br />

Dunia akan diselenggarakan pada tanggal<br />

13-19 November <strong>2017</strong>. WHO mendorong semua<br />

negara anggota, mitra kesehatan dan siswa, juga<br />

masyarakat untuk bergabung dalam kampanye ini<br />

untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat<br />

akan resistensi antibiotik. Seperti kita ketahui,<br />

saat ini dibutuhkan antibiotik baru untuk 12<br />

keluarga bakteri, WHO bahkan merilis daftar resistensi<br />

antibiotik terhadap pathogen prioritas termasuk<br />

bakteri yang merupakan ancaman terbesar bagi<br />

kesehatan manusia.<br />

Daftar ini dimaksudkan untuk memandu<br />

dan mempromosikan penelitian dan pengembangan<br />

antibiotik baru dalam upaya mengatasi resistensi<br />

global terhadap obat antimikroba. Resistensi<br />

anti mikroba (AMR) adalah kemampuan mikroorganisme<br />

(seperti bakteri, virus, dan beberapa<br />

parasit) untuk menghentikan anti mikroba (seperti<br />

antibiotik, antiviral dan anti malaria) agar tidak<br />

bekerja melawannya. Akibatnya, perawatan standar<br />

menjadi tidak efektif, infeksi terus berlanjut<br />

dan menyebar ke orang lain.<br />

Tak seorang pun menginginkan mendapatkan<br />

infeksi saat menerima perawatan kesehatan,<br />

namun kenyataannya ratusan juta orang terinfeksi<br />

setiap tahun. WHO mengatakan bahwa 1 dari 10<br />

pasien mendapat infeksi saat menerima perawatan,<br />

dimana lebih dari 50% terjadi resisten antibiotic<br />

pada kasus infeksi luka operasi (ISS). (www.who.<br />

int/infection-prevention).<br />

Memahami hal tersebut WHO mendesak<br />

kita untuk focus memerangi resistensi antibiotik<br />

dalam konteks program pencegahan dan pengendalian<br />

infeksi (PPI) dan hand hygiene. Pencegahan<br />

dan pengendalian infeksi (PPI) adalah pendekatan<br />

praktis berbasis bukti yang mencegah pasien dan<br />

petugas kesehatan mendapatkan infeksi yang tidak<br />

diharapkan (Healthcare Asosiated Infections/<br />

HAIs) dan memastikan pasien mendapatkan perawatan<br />

kesehatan yang berkualitas meliputi; praktik<br />

rekomendasi kebersihan tangan dari WHO,<br />

memiliki lingkungan yang bersih dan higienis, pemantauan<br />

infeksi dan perencanaan tindakan untuk<br />

mengurangi angka kejadian infeksi, penggunaan<br />

jarum suntik yang aman dan penggunaan antibiotik<br />

hanya bila benar-benar dibutuhkan untuk mengurangi<br />

risiko resistensi anti mikroba.<br />

Tindakan utama yang paling sederhana dan<br />

paling penting dalam pengendalian dan pencega-<br />

14 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


han infeksi tersebut adalah dengan melakukan<br />

kebersihan tangan atau Hand Hygiene (HH).<br />

Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah<br />

yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan.<br />

(Kepmenkes RI) Nomor 270 Tahun 2007<br />

tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan<br />

Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas<br />

Pelayanan Kesehatan Lain dan Kepmenkes<br />

382 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan<br />

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah<br />

Sakit. Kedua aturan ini akan dijadikan pijakan<br />

hukum untuk menerapkan standardisasi fasilitas<br />

kesehatan di RS.<br />

Pemerintah juga telah memasukkan indikator<br />

pencegahan dan pengendalian infeksi ke<br />

dalam Standard Pelayanan Minimal (SPM) dan<br />

bagian dari penilaian akreditasi RS. Ini menunjukkan<br />

komitmen yang kuat bagi pemerintah agar<br />

setiap RS dapat menjalankan program pencegahan<br />

dan pengendalian infeksi RS.<br />

Selain kegiatan audit hand hygiene kepada<br />

petugas kesehatan secara regular, Tim PPI<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin juga melakukan kegiatan<br />

edukasi hand hygiene untuk pasien, keluarga,<br />

dan pengunjung setiap satu bulan sekali. Hal ini<br />

dilakukan agar upaya pencegahan HAIs melalui<br />

kegiatan hand hygiene mencakup seluruh orang<br />

yang berada di RS.<br />

Bertepatan dengan Hari Cuci Tangan Sedunia<br />

yang jatuh pada tanggal 5 Mei <strong>2017</strong>, maka<br />

Tim PPI RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin berkomitmen<br />

untuk mendukung program WHO dengan<br />

melakukan kampanye kebersihan tangan, sesuai<br />

dengan materi kampanye WHO yaitu ”Fight Antibiotik<br />

Resistance, Its In Your Hand” dengan<br />

dukungan penuh dari managemen RSUD <strong>Ulin</strong><br />

Banjarmasin.<br />

Ada pepatah “Lebih baik mencegah daripada<br />

mengobati”. Upaya pencegahan primer<br />

terhadap penyakit merupakan upaya yang paling<br />

baik dalam mencegah penggunaan antibiotik<br />

yang tidak rasional. Infeksi dapat dicegah dengan<br />

menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Mencuci<br />

tangan adalah langkah termudah dalam menjamin<br />

kebersihan dan mencegah infeksi. Cucilah<br />

tangan setelah bersentuhan dengan orang sakit<br />

atau menyentuh benda di lingkungan orang sakit,<br />

sebelum makan dan sebelum melakukan aktivitas<br />

yang berpotensi menularkan penyakit. Jika<br />

Anda sakit, gunakan masker dan cucilah tangan<br />

sebelum bersentuhan dengan orang lain karena<br />

berpotensi menularkan ke orang lain.<br />

Penggunaan antibiotik untuk mengatasi<br />

infeksi telah menyelamatkan banyak nyawa. Resistensi<br />

antibiotik yang berkembang pesat adalah<br />

suatu ancaman global yang berbahaya. Penggunaan<br />

antibiotik secara tepat dapat membantu<br />

menghambat laju perkembangan resistensi bakteri<br />

terhadap antibiotik.<br />

Bersama Direktur RSUD <strong>Ulin</strong>, dr.Hj. Suciati, M.Kes<br />

melakukan praktek Hand hygiene<br />

Peserta upacara melakukan praktek Hand Hygiene<br />

Foto bersama usai upacara peringatan Hari Cuci Tangan Sedunia<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 15


MENCIPTAKAN RUMAH SAKIT<br />

YANG BERSIH<br />

Oleh: Rachmad Arifuddin, AMKL<br />

Kepala Instalasi Sanitasi & Pengelolaan Limbah<br />

Rumah Sakit menurut UU Nomor 44 Tahun 2009 adalah institusi<br />

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan<br />

perorangan secara paripurna. Pelayanan Kesehatan Paripurna<br />

adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Oleh<br />

karena itu Rumah Sakit bukan hanya melayani pasien dengan cara pengobatan (kuratif dan<br />

rehabilitatif) tetapi juga harus melayani masyarakat dengan cara menjaga lingkungan tempat<br />

Rumah Sakit itu berada agar bersih dan bebas dari sumber penyakit infeksius (promotif dan<br />

preventif).<br />

Berdasarkan Kepmenkes Nomor 1204<br />

tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan<br />

Lingkungan Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan<br />

kesehatan, rumah sakit merupakan tempat<br />

berkumpulnya orang sakit maupun orang<br />

sehat, sehingga dapat menjadi tempat penularan<br />

penyakit atau saat ini dikenal dengan Hospital<br />

Associated Infections (HAIs) serta memungkinkan<br />

terjadinya pencemaran lingkungan. Untuk<br />

menghindari risiko pencemaran lingkungan dan<br />

gangguan kesehatan seperti disebut diatas, maka<br />

penyelenggaraan kesehatan lingkungan Rumah<br />

Sakit (RS) harus sesuai dengan persyaratan<br />

kesehatan dan kebersihan.<br />

Kebersihan rumah sakit adalah suatu<br />

keadaan atau kondisi yang bebas dari bahaya<br />

dan risiko minimal untuk terjadinya HAIs<br />

maka untuk mencapainya perlu adanya strategi<br />

dan teknis pelaksanaan yang benar-benar baik,<br />

mulai dari tenaga pelaksana kebersihan, fasilitas<br />

atau alat kebersihan dan yang tidak kalah penting<br />

peran serta seluruh pihak yang ada di lingkungan<br />

Rumah Sakit itu sendiri yakni pegawai administrasi,<br />

perawat, dokter, pegawai penunjang dalam<br />

pelayanan, pasien rawat jalan, pasien rawat inap<br />

beserta pengunjung lainnya.<br />

Kebersihan rumah sakit yang diharapkan<br />

meliputi kebersihan halaman dan ruangan<br />

baik dari segi fisik, sampah umum, limbah medis<br />

padat dan cair, air bersih, serangga dan binatang<br />

pengganggu (tikus, kucing, anjing, lalat,<br />

kecoa, nyamuk, semut, dll). Area yang harus<br />

menjadi prioritas dalam mewujudkan rumah<br />

sakit bersih diantaranya adalah halaman atau<br />

ruang terbuka di sekitar rumah sakit, lobby/ruang<br />

tunggu, kantin, toilet, ruang periksa/poliklinik,<br />

ruang/bangsal perawatan, dan Instalasi Gawat<br />

Darurat (IGD).<br />

Lingkungan rumah sakit yang bersih harus<br />

bebas dari sampah yang menumpuk, air limbah,<br />

tercukupinya ketersediaan air bersih, bebas<br />

serangga dan binatang pengganggu terutama tikus<br />

dan kecoa, serta tatacara pemeliharaan yang<br />

tepat sangat diperlukan untuk tetap bisa mempertahankan<br />

mutu kebersihan. Rumah sakit yang<br />

kotor tentu akan berdampak pada menurunnya<br />

citra rumah sakit serta memberikan gambaran<br />

secara umum tentang mutu pelayanannya.<br />

Namun untuk Menciptakan kebersihan di<br />

rumah sakit cukup sulit serta bersifat kompleks,<br />

karena banyak aspek yang menentukan keberhasilan<br />

kebersihan di rumah sakit, antara lain<br />

budaya/kebiasaan, perilaku masyarakat, kondisi<br />

lingkungan, sosial, dan teknologi. Oleh sebab itu<br />

maka perlu mempertimbangkan beberapa aspek<br />

khusus, yaitu :<br />

1. Aspek biologis, yakni sebagai tempat berbagai<br />

bakteri patogen bila lingkungan rumah sakit<br />

kotor.<br />

2. Aspek kimia, yakni pada kondisi khusus,<br />

keberadaan bakteri diperlukan untuk menguraikan<br />

air limbah, sehingga semaksimal<br />

mungkin tidak mengunakan bahan pembersih<br />

kimia.<br />

3. Aspek geografis, yakni iklim tropis Indonesia<br />

dengan kelembaban yang tinggi menyebabkan<br />

mikroorganisme mudah berkembang.<br />

4. Aspek kuantitas, yakni fasilitas kebersihan<br />

seperti toilet, tempat sampah, alat kebersihan, dll<br />

harus disesuaikan dengan kebutuhan<br />

5. Aspek budaya, meliputi masalah perilaku dan<br />

kebiasaan pasien, pengunjung dan karyawan<br />

rumah sakit.<br />

Masyarakat di dalam lingkungan rumah<br />

sakit yang terdiri dari pasien, pengunjung dan<br />

karyawan memberikan konstribusi kuat terhadap<br />

kotornya lingkungan rumah sakit.<br />

Dalam upaya menciptakan rumah sakit<br />

yang bersih, ada beberapa kegiatan yang harus<br />

dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:<br />

16 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


1. Kebersihan fisik halaman<br />

Tersedia tempat sampah tertutup yang mudah dijangkau.<br />

* Tidak ada sampah berserakan.<br />

* Tidak terdapat genangan air.<br />

* Terdapat pohon peneduh.<br />

* Pembatas jalan selalu bersih dari noda dan kotoran.<br />

* Tersedia penerangan luar ruangan (outdoor).<br />

* Taman terpelihara<br />

* Tersedia kran air untuk pembersihan dan penyiraman.<br />

* Pengaturan parkir yang baik dan tempat parkir<br />

yang memadai.<br />

* Tidak mengizinkan penjual untuk berjualan di<br />

halaman.<br />

* Menetapkan area khusus untuk berjualan.<br />

* Mengatur kemiringan halaman menuju saluran.<br />

* Menyediakan drainase dengan kemiringan yang<br />

tepat.<br />

* Membersihkan saluran.<br />

* Memasang himbauan untuk memelihara lingkungan<br />

dan menjaga kebersihan.<br />

* Mengendalikan binatang pengganggu.<br />

* Melakukan pembersihan minimal dua kali sehari.<br />

2. Kebersihan fisik Bangunan<br />

* Tersedia tempat sampah tertutup yang mudah dijangkau.<br />

* Tidak terdapat sampah berserakan.<br />

* Lantai bersih dan tidak licin.<br />

* Dinding berwarna terang dan bersih.<br />

* Ventilasi udara cukup atau menggunakan peralatan<br />

mekanik.<br />

* Sirkulasi udara baik<br />

* Langit-langit bersih dan tidak bocor.<br />

* Penerangan cukup.<br />

* Instalasi kabel dan pipa rapi.<br />

* Bebas serangga dan binatang pengganggu.<br />

* Tidak berdebu.<br />

* Tersedia sarana cuci tangan pakai sabun/desinfektan.<br />

* Menyediakan tempat sampah yang mudah dijangkau.<br />

* Cat dinding mudah dibersihkan.<br />

* Ventilasi dilengkapi kasa anti nyamuk.<br />

* Tanaman pot dalam ruangan, kecuali ruangan steril.<br />

* Terdapat himbauan menjaga kebersihan dan larangan<br />

merokok.<br />

* Menyediakan air bersih yang cukup dan memenuhi<br />

syarat.<br />

* Melakukan pengendalian serangga dan binatang<br />

pengganggu secara rutin.<br />

* Melakukan pembersihan minimal tiga kali sehari.<br />

3. Kebersihan fisik Toilet dan Kamar Mandi<br />

* Tersedia toilet yang cukup untuk pasien, pengunjung,<br />

dan petugas serta berfungsi dengan baik.<br />

* Toilet bersih, tidak berbau, dan kering.<br />

* Tersedia sarana cuci tangan pakai sabun/desinfektan.<br />

* Bebas serangga dan binatang pengganggu.<br />

* Kemiringan lantai cukup.<br />

* Tidak terdapat genangan air.<br />

* Sirkulasi udara baik.<br />

* Dilakukan pembersihan minimal tiga kali sehari.<br />

* Menyediakan tempat sampah.<br />

* Melengkapi dengan exhauster fan.<br />

* Menyediakan air yang cukup.<br />

4. Penanganan sampah<br />

* Adanya pemilahan antara sampah medis dan non<br />

medis.<br />

* Sampah tidak berserakan<br />

* Tempat sampah bertutup dan dilapisi kantong<br />

plastik sesuai jenis sampah.<br />

* Tersedia tempat penampungan sementara dan<br />

alat angkut khusus ke TPS.<br />

* Tersedia fasilitas pemusnahan sampah medis<br />

atau bekerjasama dengan pihak ketiga.<br />

* Menyediakan tempat sampah medis dan non-medis<br />

dalam jumlah yang cukup.<br />

* Sampah diangkut dari ruangan minimal sekali sehari<br />

atau tempatnya telah ¾ penuh.<br />

* Frekuensi pengangkutan sampah non medis dari<br />

TPS ke TPA minimal satu kali sehari<br />

5. Ketersediaan air bersih<br />

* Tersedia air bersih yang cukup untuk setiap kegiatan.<br />

* Kualitas air bersih yang memenuhi syarat<br />

* Dilakukan pemeriksaan kualitas air minimal<br />

tiga bulan sekali<br />

* Terdapat himbauan hemat air<br />

6. Hygiene dan sanitasi makanan<br />

* Makanan dikemas/disajikan dalam wadah bersih<br />

dan tertutup.<br />

* Penjamah makanan sehat, bersih, dan menggunakan<br />

APD (alat pelindung diri).<br />

* Peralatan pengolahan pangan hingga penyajiannya<br />

memenuhi syarat tara pangan (food grade).<br />

* Penjamah makanan melakukan pemeriksaan<br />

kesehatan minimal 6 bulan sekali.<br />

7. Pengolahan air limbah<br />

* Memiliki Instalasi Pengelolaan Air Limbah<br />

(IPAL)<br />

* Saluran air limbah tertutup dan lancar.<br />

* Kualitas outlet air limbah memenuhi baku mutu<br />

* Dilakukan pemeliharaan pada saluran/sewerage<br />

line.<br />

* Pengawasan rutin pada bak kontrol.<br />

* Dilakukan monitoring air limbah minimal setiap<br />

1 bulan sekali.<br />

8. Penanganan serangga dan binatang pengganggu<br />

* Kepadatan jentik Aedes sp. yang diamati melalui<br />

indeks kontainer harus 0.<br />

* Semua ventilasi dilengkapi dengan kasa anti<br />

nyamuk<br />

* Semua ruangan bebas dari kecoa terutama dapur,<br />

gudang makanan, dan ruang steril<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 17


* Tidak ditemukannya tanda-tanda keberadaan<br />

tikus, terutama pada bangunan tertutup<br />

* Tidak ditemukan lalat dalam ruang tertutup<br />

* Dilakukan pengendalian serangga dan binatang<br />

penganggu secara rutin.<br />

* Pelestarian lingkungan<br />

* Terdapat pohon pelindung yang cukup.<br />

* Terdapat biopori.<br />

* Adanya pengelolaan sampah organik menjadi<br />

pupuk kompos.<br />

* Program penghijauan/penanaman pohon<br />

* Efisiensi penggunaan air.<br />

9. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pelaksana<br />

Kebersihan/Cleaning Service<br />

10. Promosi kesehatan<br />

* Adanya media promosi tentang kebersihan.<br />

* Memasang himbauan, stiker, poster, leaflet tentang<br />

kebersihan, larangan merokok (Kawasan<br />

Tanpa Rokok), CTPS, dilarang meludah sembarangan,<br />

dan pojok ASI.<br />

dievaluasi sehingga ada mekanisme Plan, Do,<br />

Check dan Action (PDCA) atau Plan, Do, Study<br />

dan Action (PDSA) yang semuanya selalu dijalankan<br />

dan setiap kekurangam yang ditemukan<br />

diperbaiki maka niscaya tujuan untuk menciptakan<br />

rumah sakit yang bersih dapat tercapai.<br />

Terkait dengan upaya Pelestarian<br />

lingkungan, RSUD <strong>Ulin</strong> pada tanggal 21 April<br />

<strong>2017</strong> yang bertepatan dengan Peringatan Hari<br />

Kartini melaksanakan kegiatan penanaman 200<br />

batang pohon yang merupakan hasil kerjasaman<br />

dengan Balai Pelayanan Penatausahaan Hasil<br />

Hutan Barito Muara Provinsi Kalsel.<br />

Kegiatan tersebut dilaksanakan bersama<br />

seluruh staf Instalasi Sanitasi RSUD <strong>Ulin</strong> dan<br />

Staf BPPH. Bibit diserahkan secara simbolis<br />

oleh Kepala Balai Ir. H.M. Supiani, MP kepada<br />

Ibu Direktur RSUD <strong>Ulin</strong> dan para Wakil Direktur<br />

yaitu Wadir SDM, Dilkit & Hukum serta Wadir<br />

Medik dan Keperawatan.<br />

Apabila berbagai macam kegiatan yang<br />

harus dilaksanakan tersebut diatas dapat dijalankan<br />

secara baik, yang dalam hal ini adalah<br />

harus terprogram, terencana, ada anggaran biaya<br />

yang mencukupi, ada mekanisme pelaksanaan<br />

(SPO) yang jelas, serta ada indikator yang jelas<br />

dan terdokumentasi dengan baik sehingga dapat<br />

Penyerahan bibit pohon oleh Kepala Balai Pelayanan<br />

Penatausahana hasil hutan Barito Muara Provinsi<br />

Kalsel kepada Direktur RSUD <strong>Ulin</strong><br />

Penyerahan bibit pohon oleh Kepala Balai Pelayanan<br />

Penatausahana hasil hutan Barito Muara Provinsi<br />

Kalsel kepada Wadir SDM, Diklit & Hukum<br />

Penyerahan bibit pohon oleh Kepala Balai Pelayanan<br />

Penatausahana hasil hutan Barito Muara Provinsi<br />

Kalsel kepada Wadir Medik &Keperawatan<br />

Direktur RSUD <strong>Ulin</strong> melakukan penanaman bibit<br />

pohon di depan RS didampingi oleh Kepala Balai<br />

Pelayanan Penatausahaan hasil hutan Barito Muara<br />

Provinsi Kalsel<br />

18 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


SOSOK<br />

Prof. Dr. dr. Ruslan<br />

Muhyi, Sp.A(K)<br />

Prof. Dr.dr. Ruslan Muhyi, Sp.A(K), nama yang tidak asing lagi<br />

bagi warga RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin. Beliau adalah salah satu<br />

dokter spesialis anak RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin yang juga sebagai<br />

ketua divisi Neurologi Ilmu Kesehatan Anak FK ULM RSUD<br />

<strong>Ulin</strong> Banjarmasin. Putra pertama dari pasangan Nangudin Muhyi dan<br />

Maleha ini lahir di Palembang, 60 tahun silam, tepatnya 03 Oktober<br />

1957. Walaupun lahir di Palembang, namun Dokter yang memiliki<br />

hobi membaca dan bermain bola pingpong ini banyak menghabiskan<br />

masa kecilnya di kota Balikpapan.<br />

Pendidikan sekolah dasar hingga sekolah<br />

menengah atas ditempuh beliau di kota Balikpapan.<br />

Kemudian pendidikan S1 Kedokteran beliau<br />

tempuh di FK Universitas Brawijaya Malang dan<br />

lulus di tahun 1984. Awal karier sebagai dokter beliau<br />

dimulai di Puskesmas Penajam. Di puskesmas<br />

ini beliau sempat menjabat sebagai Kepala Puskesmas<br />

Penajam dari tahun 1985 hingga 1988. Namun,<br />

di tahun 1988 hingga 1989 beliau pindah tugas ke<br />

Puskesmas Baru Ilir II Balikpapan dengan jabatan<br />

serupa.<br />

Pendidikan spesialis beliau selesaikan di<br />

FK Universitas Sriwijaya Palembang pada tahun<br />

1993. Dilanjutkan pendidikan subspesialis beliau<br />

selesaikan di tahun 2005. Mantan Dekan FK Unlam<br />

periode 2012 hingga 2016 ini juga menyelesaikan<br />

pendidikan S3 di FK Universitas Airlangga Surabaya<br />

pada tahun 2008. Selanjutnya Pengukuhan Guru<br />

Besar beliau terima di tahun 2009. Selain pencapaian<br />

akademis beliau yang begitu cemerlang, adapun<br />

beberapa program fellowship yang pernah beliau<br />

tempuh antara lain; Neonatal Resuscitation Course<br />

Standard American Academy of Pediatrics di Banjarmasin<br />

tahun 2003, Short Course EEG di Singapura<br />

tahun 2005, Short Course EEG dan EMG<br />

di Bandung tahun 2005, Sub Bagian Neurologi FK<br />

UI/RSCM di Jakarta tahun 2005 dan Kursus Ventilator<br />

di Jakarta tahun 2006.<br />

Kembali lagi dalam perjalanan karier beliau,<br />

awal profesi sebagai dokter spesialis anak<br />

beliau jalani di RS Tanjung tahun 1993 dan sempat<br />

menjabat sebagai Kepala UPF RSU Tanjung.<br />

Kemudian pada tahun 1998, beliau dipindah tugaskan<br />

ke RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin hingga saat ini.<br />

Sempat mengalami perpindahan instansi dari Departemen<br />

Kesehatan ke Departemen Pendidikan di<br />

tahun 2002. Sehingga selain aktif menjalani profesi<br />

sebagai seorang dokter, beliau juga aktif sebagai<br />

dosen pengajar di FK Unlam Banjarmasin. Selama<br />

aktif dalam dunia pendidikan, beliau sempat menjabat<br />

sebagai Ketua Program Studi Autisme FK<br />

Unlam Banjarmasin dan menjabat sebagai Dekan<br />

FK Unlam periode 2012 hingga 2016. Sejak tahun<br />

2016 beliau aktif sebagai fungsional kembali.<br />

Meskipun disibukkan dengan profesi Dokter<br />

dan Dosen, beliau juga tetap berkecimpung dalam<br />

beberapa organisasi antara lain anggota IDAI<br />

cabang Jatim perwakilan Kalsel (1998-2001),<br />

Sekretaris IDI Cabang Banjarmasin (1998-2003),<br />

Sekretaris Komite Medik RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

(1998-2003), Sekretaris IDAI cabang Kalsel<br />

(1998-2003), anggota Perinasia cabang Kalsesl<br />

(1998-sekarang) dan Ketua Tim KMKB (Kendali<br />

Mutu Kendali Biaya) BPJS Kesehatan Provinsi<br />

Kalsel.<br />

Selain kegiatan-kegiatan di atas, beliau<br />

juga aktif dalam melakukan kegiatan penelitian<br />

dan menghasilkan karya tulis atau jurnal antara lain<br />

“”Peran Hsp47 sebagai Faktor Predikator Prognosis<br />

EAN (studi Experimental Demam Mempelajari<br />

Perjalanan Penyakit SGB Menggunakan<br />

Mencit Mus Musculus Balb/C).National Seminar<br />

of Translational Research;What Have We Done to<br />

More Directly Connect the Basic Research to the<br />

Patient Care??(FK Unair Surabaya, Dewan Research<br />

Nasional 18 Oktober 2008” dan publikasi<br />

“Reactice Oxygen Species, NF-kB and p53 Levels<br />

in Tissue of Differentiated Nasopharyngeal Carcinoma,<br />

Journal Oxidant and Antioxidants in Medical<br />

Science, 2013” (Novi/red).<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 19


TOPIK KITA<br />

KERACUNAN & TOKSIKOLOGI FORENSIK<br />

Oleh: dr. Nila Nirmalasari, M.Sc, Sp.F<br />

SMF Forensik RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

Toksikologi Forensik terdiri dari dua kata<br />

yaitu toksikologi dan forensik. Toksikologi<br />

adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari<br />

tentang racun, sedangkan Forensik adalah ilmu<br />

yang mempelajari dan mengaplikasi ilmu pengetahuan<br />

untuk kepentingan hukum.<br />

Pengertian racun sendiri adalah zat / bahan<br />

yang dalam jumlah tertentu bila terjadi kontak<br />

atau masuk kedalam tubuh akan menyebabkan<br />

penyakit dan/atau kematian. Beberapa hal yang<br />

perlu ditekankan dalam anamnesis kasus keracunan<br />

meliputi :<br />

1. Jenis racun<br />

2. Cara masuk racun (route of administration)<br />

3. Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban.<br />

4. Keadaan psikiatri korban<br />

5. Keadaan kesehatan fisik korban<br />

6. Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang<br />

digunakan seperti penyakit, riwayat alergi atau<br />

idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (komedikasi)<br />

Racun bisa masuk kedalam tubuh bisa<br />

karena kecelakaan (tidak sengaja karena orang<br />

lain atau diri sendiri), pembunuhan, atau bunuh<br />

diri. Cara masuk racun ke dalam tubuh bisa<br />

melalui : mulut/peroral, saluran pernafasan/inhalasi,<br />

suntikan/parenteral, per rektal/anus, per<br />

vaginal, dan melalui kulit.<br />

Faktor yang mempengaruhi kerja racun<br />

dalam tubuh antara lain :<br />

1. Cara pemberian, pada umumnya racun akan<br />

paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara<br />

inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.k/<br />

sub kutan), ingesti, absorbsi melalui mukosa dan<br />

yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke<br />

dalam tubuh melalui kulit yang sehat.<br />

2. Keadaan Tubuh: umur, keadaan umum, kebiasaan,<br />

dan hipersensitifitas,<br />

a. Umur, pada umumnya anak-anak dan orang tua<br />

lebih sensitif terhadap racun bila dibandingkan<br />

dengan orang dewasa, tetapi pada beberapa jenis<br />

racun, seperti barbiturat dan belladonna, justru<br />

anak-anak lebih tahan<br />

b. Kesehatan, pada orang-orang yang menderita<br />

penyakit hati atau penyakit ginjal biasanya akan<br />

lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan<br />

orang yang sehat.<br />

Pada mereka yang menderita penyakit<br />

yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit<br />

pada saluran pencernaan, penyerapan racun<br />

biasanya jelek, sehingga jika pada penderita<br />

tersebut terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-buru<br />

mengambil kesimpulan bahwa kematian<br />

penderita diakibatkan oleh racun.<br />

c. Kebiasaan, faktor ini berpengaruh dalam hal<br />

dosis racun yang dapat menimbulkan gejala-gejala<br />

keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya<br />

toleransi.<br />

d. Hipersensitif (alergi-idiosinkrasi), banyak<br />

preparat-preparat seperti vitamin B1, penisilin,<br />

streptomisin dan preparat-preparat yang mengandung<br />

yodium menyebabkan kematian, karena<br />

si korban sangat rentan terhadap preparat-preparat<br />

tersebut.<br />

20 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


3. Racunnya sendiri, meliputi dosis, konsentrasi,<br />

bentuk, kombinasi fisik, addisi dan sinergisme,<br />

dan antagonisme<br />

a. Dosis, besar kecilnya dosis racun akan menentukan<br />

berat ringannya akibat yang ditimbulkan,<br />

dalam hal ini tidak boleh dilupakan adanya toleransi/intoleransi<br />

individu. Pada intoleransi, gejala<br />

keracunan akan tampak walaupun racun yang<br />

masuk ke dalam tubuh belum mencapai level<br />

toksik.<br />

b. Konsentrasi, untuk racun-racun yang kerjanya<br />

dalam tubuh bersifat lokal, misalnya zat-zat<br />

korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan<br />

dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda<br />

dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana<br />

dalam hal ini dosislah yang berperan dalam<br />

menentukan berat ringannya akibat yang ditimbulkan<br />

oleh racun tersebut.<br />

c. Bentuk, racun yang berbentuk cair tentunya<br />

akan lebih cepat menimbulkan efek bila dibandingkan<br />

dengan racun yang berbentuk padat<br />

d. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan<br />

lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan<br />

bila dibandingkan dengan orang yang menelan<br />

racun dalam keadaan lambungnya berisi<br />

makanan.<br />

e. Addisi dan sinergisme. Barbiturate misalnya,<br />

jika diberikan bersama-sama dengan alkohol,<br />

morfin atau CO, dapat menyebabkan kematian,<br />

walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh<br />

dibawah dosis letal.<br />

f. Antagonisme, kadang-kadang dijumpai kasus<br />

dimana seseorang memakan lebih dari satu macam<br />

racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa,<br />

oleh karena racun-racun tersebut saling menetralisir.<br />

Dalam hal klinik sifat antagonistik ini dimanfaatkan<br />

untuk pengobatan, misalnya nalorfin<br />

dan naloxone dipakai untuk mengatasi depresi<br />

pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi<br />

pada keracunan akut obat-obat golongan narkotika.<br />

Dalam pembuktian kasus keracunan sebagai<br />

tindak pidana, banyak hal yang harus<br />

dibuktikan dan dalam pembuktiannya banyak<br />

melibatkan dokter forensik klinis. Hal<br />

yang dibuktikan antara lain :<br />

1. Bukti hukum (legally proving): bukti hukum<br />

yang dapat diterima di pengadilan (adminissible)<br />

sangat tergantung dari keaslian<br />

bukti tersebut sehingga penatalaksanaan<br />

terhadap bukti-bukti pada korban sangat<br />

diperlukan.<br />

2. Pembuktian motif keracunan.<br />

3. Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya<br />

racun seperti adanya resep, toko<br />

obat atau toko yang menyediakan substansi<br />

yang digunakan.<br />

4. Bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan<br />

korban, gangguan kepribadian, kondisi kesehatan,<br />

dan penyakit serta kesempatan dilibatkannya<br />

racun.<br />

5. Bukti kesengajaan (intentional).<br />

6. Bila korban meninggal harus ditentukan sebab<br />

kematian korban adalah racun dengan menyingkirkan<br />

sebab kematian yang lainnya.<br />

7. Bukti peracunan adalah homicide.<br />

Spektrum kerja racun terbagi menjadi :<br />

1. Lokal : zat-zat korosif (contohnya: lisol, asam<br />

kuat, dan basa kuat), iritan (contohnya: arsen,<br />

HgCl2), dan anestetik (contohnya: kokain, asam<br />

karbol)<br />

2. Sistemik: narkotika, barbiturat dan alkohol<br />

(terutama berpengaruh terhadap susunan saraf<br />

pusat), digitalis dan asam oksalat (terutama berpengaruh<br />

terhadap jantung), karbonmonoksida<br />

dan sianida (terutama berpengaruh terhadap<br />

sistem enzim pernafasan dalam sel), dan cantharides<br />

dan HgCl2 (terutama berpengaruh terhadap<br />

ginjal).<br />

3. Lokal dan sistemik: asam oksalat, asam karbol,<br />

arsen, dan garam Pb.<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 21


Sebaiknya Anda Tahu<br />

MEDIA SOSIAL DAN DAMPAKNYA<br />

TERHADAP KESEHATAN<br />

Oleh: dr . Pribakti B, SpOG(K)<br />

Dokter RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

Pada zaman globalisasi saat ini, ilmu pengetahuan<br />

dan teknologi berkembang begitu<br />

pesat dalam kehidupan sehari-hari. Hampir<br />

semua aktivitas di seluruh elemen masyarakat<br />

baik itu di dalam dunia karier, bisnis, pendidikan,<br />

sosial menggunakan teknologi untuk<br />

membantu dalam menjalankan aktivitas tersebut.<br />

Salah satunya adalah media sosial yang merupakan<br />

layanan dalam bidang teknologi yang dapat<br />

membantu kegiatan masyarakat dalam bersosialisasi.<br />

Namun dibalik kemudahan dan kecanggihan<br />

teknologi banyak juga pengaruh positif dan<br />

negatifnya bagi kita. Misalnya saja para pengguna<br />

gadget biasanya menggunakan gadget lebih<br />

dari 7 jam per hari. Banyak penelitian yang telah<br />

dilakukan mengenai penggunaan media sosial<br />

yang berlebihan memiliki pengaruh buruk dari<br />

segi kesehatan, psikologi, spiritual, pendidikan<br />

dan lain-lain.<br />

Berdasarkan penelitian yang dilakukan<br />

di bidang kesehatan, ditemukan banyak dampak<br />

buruk media sosial juga dapat memengaruhi kesehatan<br />

tubuh kita. Contoh seseorang yang aktif di<br />

media sosial tidak lepas dari penggunaan handphone<br />

yang berlebihan menyebabkan meningkatnya<br />

risiko kanker otak. WHO menyatakan<br />

bahwa risiko remaja terkena kanker otak yang<br />

disebabkan oleh penggunaan smartphone lebih<br />

besar dibandingkan pada orang tua, karena gaya<br />

hidup remaja yang lebih sering kontak langsung<br />

sehingga lebih sering terkena radiasi dari<br />

smartphone tersebut. Kebiasaan menaruh<br />

smartphone pada saku dapat meningkatkan<br />

risiko penyakit kanker payudara<br />

pada wanita. Mata yang terlalu<br />

lama melihat<br />

layar smartp<br />

h o n e<br />

d a p a t<br />

mengakibatkan<br />

penglihatan<br />

terganggu.<br />

Gangguan<br />

pengelihatan ini<br />

disebut Computer Vision<br />

Syndrome (CVS) dengan<br />

gejala mata kering karena jarang berkedip. Mata<br />

yang jarang berkedip juga menyebabkan otot mata<br />

menjadi tegang sehingga pandangan menjadi kabur<br />

(blurry vision).<br />

Untuk itu sebaiknya setelah menggunakan<br />

smartphone yang begitu lama pejamkan mata selama<br />

10 detik sebelum memandang ke arah yang<br />

berbeda. Radiasi elektromagnetik pada smartphone<br />

dapat memicu meningkatnya produksi hormon<br />

stress kortisol pada tubuh pada penggunaan smartphone<br />

yang terlalu lama.<br />

Akibatnya membuat seseorang menjadi lebih<br />

mudah stress dan depresi. Selain itu otot mata<br />

yang tegang dan posisi leher yang selalu melihat<br />

ke layar smartphone menyebabkan sakit kepala dan<br />

kelainan postur tubuh. Untuk meminimalisir risiko<br />

tersebut dapat dikurangi dengan istirahat yang<br />

cukup, kurangi penggunaan smartphone, jangan<br />

membungkuk saat menggunakan smartphone, dan<br />

memberi jarak mata dengan layar smartphone setidaknya<br />

20 cm Terlalu sering aktif di media sosial<br />

juga menyebabkan kualitas tidur terganggu.<br />

Istirahat yang kurang menyebabkan<br />

sistem kekebalan tubuh menurun sehingga mudah<br />

terserang penyakit. Untuk itu lebih baik mematikan<br />

smartphone sebelum tidur dan jauhkan smartphone<br />

saat tidur untuk mengurangi radiasinya. Rasa nyeri<br />

dan kesemutan pada jari disebut Carpal Tunnel<br />

Syndrome. Penyakit ini timbul karena terlalu sering<br />

chatting sebagai reaksi dari iritasi saraf median<br />

di pergelangan tangan. Penggunaan media sosial<br />

selama berjam-jam dapat mengurangi daya ingat<br />

manusia.<br />

22 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


Paparan radiasi dari ponsel juga bisa menyebabkan<br />

ingatan kita menjadi terganggu. Sebuah penelitian<br />

dari Northwestern University di Chicago<br />

menyatakan bahwa penggunaan smartphone pada<br />

jam tidur bisa menyebabkan obesitas/kegemukan.<br />

Hal ini dapat terjadi karena adanya paparan sinar<br />

biru dari smartphone yang dapat meningkatkan<br />

hormon ghrelin yang berfungsi memberi sinyal<br />

lapar pada tubuh.<br />

Meskipun demikian didapat juga dampak<br />

positif media sosial, pada sebuah survei terbaru melaporkan<br />

bahwa 61% dari pengguna internet resor<br />

untuk internet untuk informasi kesehatan. Satu fakta<br />

yang telah terungkap dari survei ini adalah bahwa<br />

pasien perlahan-lahan menjadi lebih bertanggung<br />

jawab untuk kesehatan sendiri, dan mengambil<br />

langkah-langkah untuk menjadi lebih mandiri. Ini<br />

adalah keuntungan yang luas dari masuknya media<br />

sosial dalam industri kesehatan. Sebab media<br />

sosial telah mengubah sifat dan kecepatan interaksi<br />

antara ahli kesehatan, individu dan organisasi<br />

kesehatan. Masyarakat, pasien, dan profesional<br />

kesehatan umum menggunakan media sosial untuk<br />

berkomunikasi tentang masalah kesehatan. Seperti<br />

dikutip dari The Social Life of Health Information,<br />

di Amerika Serikat, 61% dari orang dewasa mencari<br />

informasi kesehatan lewat media sosial secara<br />

online dan 39% lainnya lewat Facebook.<br />

Untuk mengurangi dampak negatif dari<br />

media sosial baik dari sisi kesehatan ada beberapa<br />

cara yang dapat dilakukan. Apabila pengguna media<br />

sosial terlalu asyik dengan “dunia maya” maka<br />

mulailah untuk memperhatikan lingkungan sekitar<br />

dan ubahlah kebiasaan bersosialisasi di dunia<br />

maya menjadi bersosialisasi di dunia nyata. Kurangi<br />

penggunaan gadget dan lakukanlah interaksi<br />

dengan orang lain. Penggunaan media sosial<br />

dapat menyebabkan kecanduan, maka kurangi<br />

sedikit demi sedikit penggunaan smartphone.<br />

Alihkan perhatian dengan mengisi hal-hal yang<br />

lebih bermanfaat. Untuk itu kenalilah waktu dan<br />

tempat sehingga dapat menggunakan smartphone<br />

dengan bijaksana. Hindari mem-buang<br />

waktu berjam-jam hanya untuk mengoperasikan<br />

smartphone dan gunakanlah smartphone dengan<br />

tujuan yang penting saja.<br />

Tetapkan batas waktu maksimal penggunaan<br />

smartphone untuk menghindari kecanduan<br />

smartphone. Tinggalkan smartphone anda dan<br />

mulailah untuk berolahraga. Selain membuat tubuh<br />

kita sehat, olahraga dapat membuat perasaan<br />

kita menjadi senang dan melepaskan hormon<br />

stress dan depresi yang mungkin dapat terjadi<br />

karena penggunaan smartphone yang berlebihan.<br />

Mengubah kebiasaan menaruh handphone pada<br />

saku baju/celana dengan menyimpan smartphone<br />

ke dalam tas. Hal ini untuk menurunkan adanya<br />

risiko kanker payudara dan menghindari penyakit<br />

reproduksi yang disebabkan paparan radiasi<br />

dari smartphone. Untuk menghindari paparan<br />

radiasi dari handphone lebih baik matikan handphone<br />

sebelum tidur dan jauhkan handphone dari<br />

tempat tidur. Hal ini dilakukan agar kita dapat<br />

sepenuhnya beristirahat setelah lelah menjalankan<br />

aktivitas seharian karena saat beristirahat tubuh<br />

akan mengumpulkan energi kembali untuk<br />

memulai aktivitas di keesokan harinya.<br />

Telah beredar di Kalimantan Selatan<br />

Bulletin ULIN<strong>News</strong><br />

Berminat Pasang Iklan???<br />

Hubungi CP Kami:<br />

Novi 0819 1676 7204<br />

Email:<br />

ulinnews@yahoo.co.id<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 23


MEDIKA<br />

KEGAWATDARURATAN PENGGUNAAN VENTILATOR<br />

Oleh: Dr. Mahendra Purnama Adhi, Sp.An<br />

SMF Anasthesi RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

Ventilator adalah alat yang sering digunakan untuk<br />

memberikan ventilasi mekanik, ventilasi buatan untuk<br />

membantu atau menggantikan pernapasan spontan<br />

dari pasien. Pada prinsipnya, ventilator merupakan alat<br />

yang bisa menghembuskan gas (dalam hal ini oksigen) ke<br />

dalam paru-paru pasien. Ventilator sering disalahkaprahkan<br />

dengan istilah respirator. Respirator sendiri merupakan alat<br />

berbentuk masker yang rapat ke wajah dan berguna untuk<br />

melindungi si pemakai dari kontaminan udara lingkungan.<br />

Pemberian ventilasi mekanik, yang selalu<br />

disertai dengan tindakan intubasi endotrakea<br />

merupakan tindakan kegawatdaruratan pada pasien-pasien<br />

yang mengalami gangguan jalan napas,<br />

pernapasan dan sirkulasi. Ventilasi mekanik<br />

atau napas buatan untuk menghantarkan oksigen<br />

ke dalam paru-paru pasien, diberikan dengan cara<br />

menghubungkan ventilator ke pipa endotrakea.<br />

Namun perlu diketahui, tidak semua pasien yang<br />

terpasang pipa endotrakea harus menggunakan<br />

ventilator. Pada pasien dengan permasalahan<br />

jalan napas; obstruksi jalan napas atau berisiko<br />

mengalami obstruksi, ketidakmampuan mempertahankan<br />

jalan napas, risiko aspirasi, tanpa<br />

ada bukti terjadinya gangguan pernapasan, tidak<br />

memerlukan pemasangan ventilator. Sebagai<br />

contoh, pasien dengan edema laryng, trauma<br />

inhalasi, trauma maxillofacial dengan risiko aspirasi<br />

darah, tindakan intubasi dan pemasangan<br />

pipa endotrakea dilakukan untuk mempertahankan<br />

patensi jalan napas, tanpa harus dilakukan<br />

support ventilasi.<br />

Penggunaan Ventilator<br />

Ventilasi mekanik diindikasikan bila<br />

terjadi apnea (henti napas) atau ditemukan tanda-tanda<br />

gagal napas. Gagal napas dapat diketahui<br />

melalui tanda klinis dan pemeriksaan laboratorium,<br />

dimana pasien tidak mampu mempertahankan<br />

jalan napas, oksigenasi dan atau ventilasi yang tidak<br />

adekuat, frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit,<br />

hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang<br />

dari 70 mmHg, PaCO2 lebih dari 60 mmHg,<br />

AaDO2 dengan O2 100% hasilnya lebih dari 350<br />

mmHg, vital capacity kurang dari 15 ml / kg BB.<br />

Indikasi medis tersering untuk penggunaan<br />

ventilator adalah :<br />

• Apnea, contohnya pada pasien dengan henti jantung.<br />

• Gagal napas akut (gagal napas hypoxemia, gagal<br />

napas hypercapnia).<br />

• Ancaman terjadinya gagal napas, contohnya penyakit<br />

neuromuscular, status asmatikus.<br />

• Gagal napas kronis, contohnya PPOM, fibrosis<br />

paru, obesitas hipoventilasi sindrom.<br />

• Profilaksis support ventilasi, contohnya pada kasus<br />

cedera otak, kondisi syok yang berlangsung lama,<br />

bedah mayor.<br />

Gambar Ventilator<br />

Gambar Pasien dengan Ventilator<br />

• Terapi hiperventilasi<br />

Ventilator dapat digunakan untuk pemakaian<br />

jangka pendek, misalnya pada operasi dan perawatan<br />

pasien dengan penyakit kritis (ICU). Selain melalui<br />

pipa endotrakea, ventilator juga dapat dihubungkan<br />

melalui face mask, laryngeal mask airway, dan trakeostomi.<br />

24 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


Berdasarkan cara kerja dari ventilator, dapat dibagi<br />

menjadu dua tipe :<br />

1. Ventilator tekanan negatif. Memasukkan udara ke<br />

dalam paru-paru dengan cara membuat tekanan ke<br />

sekeliling dada negatif. Saat ini, ventilator tekanan<br />

negatif sudah jarang digunakan.<br />

2. Ventilator tekanan positif. Memberikan tekan-an<br />

positif ke dalam paru-paru pasien. Udara mengalir<br />

berdasarkan perbedaan tekanan dari tekanan tinggi<br />

ke tekanan rendah. Tekanan dalam rongga thorak<br />

akan positif<br />

3. Saat inspirasi dan negatif saat ekspirasi. Ventilator<br />

tekanan positif saat ini lebih sering digunakan.<br />

Berdasar mekanisme kerja, ventilator tekanan positif<br />

dapat dibagi menjadi empat mode; volume cycled,<br />

pressure cycled, time cycled dan flow cycled.<br />

Untuk tujuan penggunaannya, ada beberapa<br />

jenis ventilator :<br />

1. Ventilator transport. Ukurannya kecil dan kompak,<br />

digunakan untuk keperluan transport pasien<br />

yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik selama<br />

perjalanan.<br />

2. Ventilator rawat intensif. Ukurannya lebih besar<br />

dan memiliki mode bantuan ventilasi yang lebih<br />

lengkap.<br />

3. Ventilator neonatal. Didesain khusus untuk pasien<br />

neonatus, untuk menghantarkan volume dan tekanan<br />

yang lebih kecil dan akurat.<br />

Gambar Ventilator<br />

Transport<br />

Komplikasi penggunaan ventilator<br />

Penggunaan ventilator merupakan tindakan<br />

menyelamatkan nyawa, namun jika tidak dilakukan<br />

secara benar, memiliki resiko komplikasi yang dapat<br />

meperburuk keadaan pasien. Komplikasi yang dapat<br />

timbul akibat pemakaian ventilator adalah :<br />

1. Komplikasi ke sistem pernapasan: barotrauma<br />

pneumothorax, emphysema subkutis, pneumomediastinum,<br />

pneumoperitoneum) yang diakibatkan<br />

tekanan positif berlebihan, Acute Lung Injury<br />

dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ALI/<br />

ARDS), serta atropi diafragma akibat ventilasi mekanik<br />

control.<br />

2. Komplikasi ke sistem kardiovaskuler: terjadi<br />

penurunan cardiac output akibat peningkatan<br />

tekanan intra thorakal.<br />

3. Komplikasi ke ginjal, hati dan saluran cerna: ventilator<br />

tekanan positif mengakibatkan penurunan<br />

fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan volume<br />

urine dan ekskresi sodium. Penurunan fungsi<br />

hati diakibatkan penurunan cardiac output, peningkatan<br />

tahanan pembuluh darah hati dan peningkatan<br />

tahanan saluran empedu. Sedangkan untuk saluran<br />

cerna, terjadi iskemi mukosa lambung yang<br />

dapat berujung pada perdarahan lambung akibat<br />

penurunan cardiac output dan peningkatan tekanan<br />

vena lambung.<br />

Untuk mencegah terjadinya komplikasi pemakaian<br />

ventilator, perlu pengawasan fungsi jantung,<br />

tekanan darah, saturasi oksigen dan end tidal<br />

CO2 serta pemeriksaan foto thorak. Pemeriksaan<br />

Analisa gas darah dilakukan secara rutin. Mode<br />

ventilator yang digunakan harus dievaluasi berkala.<br />

Selain itu, untuk memberi rasa nyaman<br />

pada pasien dengan ventilator, perlu diberikan sedasi<br />

dan analgetik yang baik. Pada pasien yang<br />

kooperatif, informasi dan edukasi tentang alasan<br />

penggunaan ventilator perlu disampaikan.<br />

Perawatan pasien dengan ventilator<br />

Pasien yang terpasang ventilator memerlukan<br />

perawatan khusus, termasuk pencegahan<br />

komplikasi akibat dari ventilator. Pipa endotrakea<br />

penghubung ventilator diperiksa secara berkala,<br />

untuk memastikan tidak terjadi perpindahan letak<br />

atau terlepas dan adanya sumbatan di pipa endotrakeal.<br />

Suctioning lender, plaque atau mucus pada<br />

pipa endotrakeal hanya dilakukan bila perlu saja.<br />

Perawatan oral hygiene pada pasien dilakukan untuk<br />

mencegah risiko terjadinya infeksi. Posisi baring<br />

pasien perlu diubah setiap 2 jam, dengan cara<br />

memosisikan miring kiri, kanan dan terlentang untuk<br />

mencegah terjadinya risiko luka decubitus dan<br />

pneumonia.<br />

Humidifier dari mesin ventilator perlu diawasi,<br />

termasuk sambungan pipa penghantar oksigen<br />

dari ventilator, dari risiko terlepas dan adanya<br />

air yang terjebak di pipa tersebut. Kebutuhan nutrisi<br />

pada pasien harus diperhatikan. Nutrisi dapat<br />

diberikan melalui pipa nasogastric. Selain itu juga<br />

dapat diberikan secara intravena.<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 25


Sains<br />

MENGENAL TERAPI<br />

SENSORI INTEGRASI<br />

Oleh: dr. Fathia Arsyiana Sp.KFR<br />

SMF REHABILITASI MEDIK<br />

RSUD ULIN BANJARMASIN<br />

Autis adalah suatu gangguan perkembangan<br />

pada anak dalam hal komunikasi sosial, interaksi<br />

sosial, dan perilaku. Anak kesulitan<br />

berkomunikasi baik secara verbal atau non verbal,<br />

bila anak dapat berbicara kata-kata yang dikeluarkan<br />

tanpa arti seperti bahasa planet. Gangguan<br />

dalam interaksi sosial dapat dilihat bahwa anak tidak<br />

mau melihat mata lawan bicara atau tidak bisa<br />

bermain dengan temannya. Anak juga mengalami<br />

masalah perilaku dimana anak menunjukkan gerakan<br />

berulang-ulang tanpa tujuan seperti menepuk<br />

tangan, melompat, atau berlari-lari. Ada beberapa<br />

gejala dan tanda autis lainnya, namun tidak<br />

dijelaskan secara detil di sini. Secara sederhana<br />

yang tampak dari anak autis adalah mereka seperti<br />

hidup di dalam dunia mereka sendiri.<br />

Sekitar 42% hingga 88% anak dengan autis<br />

terdapat masalah dalam sensori integrasi (SI).<br />

Gangguan SI ini bila tidak diatasi dapat mengganggu<br />

keberhasilan terapi. Oleh karena itu terapi<br />

SI merupakan salah satu terapi yang diberikan<br />

kepada anak autis selain terapi obat-obatan, terapi<br />

perilaku, dan terapi wicara. Terapi SI merupakan<br />

bagian dari terapi okupasi. Terapi ini berlandaskan<br />

teori SI yang dikenalkan pertama kali oleh A.<br />

Jean Ayres pada tahun 1991. Sebelum membahas<br />

mengenai terapi SI, ada baiknya kita mengetahui<br />

lebih dahulu apa yang dimaksud dengan sensori<br />

integrasi.<br />

# Sensori Integrasi<br />

Informasi dari tubuh dan atau lingkungan<br />

di sekitar masuk ke dalam tubuh melalui sistem<br />

sensori. Sistem sensori ini berupa tujuh indera<br />

yaitu visual (penglihatan/mata), olfaktori (penciuman/hidung),<br />

gustatori (pengecapan/lidah), auditori<br />

(pendengaran/telinga), taktil (raba/kulit),<br />

vestibular (keseimbangan/telinga dalam), dan proprioseptif<br />

(posisi dan gerak tubuh/otot dan sendi).<br />

Otak mengolah informasi yang masuk untuk menentukan<br />

respon terhadap sesuatu.<br />

Tahapan SI adalah informasi sensori yang<br />

masuk dari ketujuh indera tersebut diregistrasi,<br />

diorientasi, diinterpretasi, diorganisasi, kemudian<br />

dieksekusi dalam bentuk respon. Respon tersebut<br />

berupa motorik, emosi, kognisi, bahasa, dan perilaku.<br />

Sebagai contoh, saat anak makan kerupuk,<br />

anak akan merasakan tekstur kerupuk yang keras,<br />

rasanya yang asin, bau krupuk, dan mendengar<br />

suara kunyahan kerupuk dalam mulutnya. Respon<br />

yang diharapkan saat anak diberikan kerupuk,<br />

anak akan mengambil kerupuk, memasukkan ke<br />

mulutnya, mengunyahnya, dan menelannya.<br />

Contoh lain, saat anak mengendarai sepeda<br />

roda tiga, anak akan mengetahui apakah tempat<br />

duduk sepeda terasa keras atau empuk, apakah<br />

sepeda berjalan maju atau mundur, apakah<br />

kaki anak berada di pedal atau di tanah. Bila ada<br />

sesuatu yang menghalangi jalan sepeda, apakah<br />

anak terus menabrak atau menghindar dengan<br />

membelokkan sepeda atau menghentikan sepeda.<br />

Anak juga dapat merespon dalam bentuk emosi<br />

dan bahasa seperti berteriak, menangis, atau tertawa.<br />

Tentu saja respon yang diharapkan saat anak<br />

mendapat halangan saat bersepeda adalah anak<br />

menghindar atau menghentikan sepeda. Bila anak<br />

tertabrak atau jatuh, anak akan menangis atau berteriak<br />

karena sakit atau terkejut.<br />

Bila terdapat masalah dalam SI, maka<br />

akan terjadi hal berikut:<br />

1. Hipersensitif atau menjauhi stimulus sensori<br />

anak tidak mau atau menjauh dari stimulus, seperti<br />

tidak mau disentuh kepalanya, tidak mau melihat<br />

orang, sukar melakukan gerak halus, ketakutan<br />

mendengar suara keras seperti suara blender,<br />

dan lain-lain.<br />

2. Hiposensitif atau mencari stimulus sensori anak<br />

justru melakukan perbuatan berulang-ulang untuk<br />

mendapatkan stimulus, seperti menjilati tangan,<br />

melompat terus menerus, membenturkan kepala,<br />

senang bermain lampu senter, dan lain-lain.<br />

Kedua hal ini mengganggu respon dalam<br />

motorik, emosi, kognisi, bahasa, dan perilaku<br />

anak. Respon yang muncul dapat tidak sesuai<br />

dengan stimulus sensori yang diterima. Sebagai<br />

contoh, anak saat bersepeda, anak berulang kali<br />

menabrakkan sepeda ke dinding tanpa takut, atau<br />

saat anak makan kerupuk, anak berulang kali<br />

menjilati kerupuk atau anak tidak mau mendengar<br />

bunyi kerupuk yang keras saat dikunyah.<br />

* Terapi Sensori Integrasi<br />

Terapi SI diberikan hanya pada anak autis<br />

yang terdapat gangguan SI. Hal ini disebabkan<br />

tidak semua anak autis mengalami masalah ini.<br />

Oleh karena itu identifikasi masalah sangat penting.<br />

Identifikasi dilakukan oleh profesional (dok-<br />

26 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


ter dan terapis okupasi) bersama orangtua dan atau<br />

pengasuh anak.<br />

Tujuan terapi ini untuk memperbaiki sensori<br />

modulasi yang berhubungan dengan perilaku dan<br />

atensi, dan dapat meningkatkan kemampuan untuk<br />

interaksi sosial, keahlian akademik, dan kemandirian<br />

melalui sensori integrasi yang lebih baik.<br />

Prinsip terapi SI:<br />

Terapi SI didesain untuk menyediakan input<br />

sensori yang terkontrol, yang sesuai dengan keperluan<br />

anak. Stimulus sensori diberikan kepada tujuh<br />

indera tubuh, namun dititikberatkan pada taktil,<br />

vestibular, dan proprioseptif.<br />

Anak diharapkan dapat mengintegrasikan<br />

stimulus sensori yang ada dan memberikan respon<br />

adaptif. Respon adaptif ini menunjukkan kemampuan<br />

anak dalam merespon suatu input sensori yang<br />

baru atau adanya perubahan lingkungan. Partisipasi<br />

aktif dari anak sangat diperlukan untuk efektivitas<br />

terapi, dimana anak mengarahkan sendiri aktivitasnya<br />

sedangkan terapis okupasi mengarahkan<br />

lingkungannya.<br />

Terapi SI diberikan individual berdasarkan<br />

usia anak, gangguan sensorinya, dan responnya.<br />

Terapi diberikan bertahap sesuai toleransi anak.<br />

Pada anak yang hipersensitif terapi diberikan dengan<br />

stimulus sensori yang sangat rendah kemudian<br />

bertahap ke tingkat normal. Misalkan anak yang<br />

tidak suka disentuh, anak diberikan terapi berupa<br />

menyikat perlahan dan tekanan sangat ringan tubuh<br />

anak dengan sikat halus, kemudian bertahap intensitasnya<br />

ditambah.<br />

Untuk anak yang hiposensitif, terapi diberikan<br />

stimulus yang tinggi kemudian bertahap diturunkan<br />

ke tingkat normal. Misalkan pada anak<br />

yang tidak ada rasa takut yang suka berayun dengan<br />

keras, anak diberikan terapi tidur di atas bola besar<br />

kemudian diberikan ayunan dari keras ke pelan.<br />

Terapi SI tentu saja memerlukan waktu<br />

yang tidak sebentar. Dukungan orang tua, pengasuh<br />

anak, dan orang di sekitar sangat mempengaruhi<br />

keberhasilan terapi karena sebagian besar<br />

waktu anak dihabiskan bersama orang tua dan<br />

atau pengasuh. Terapi SI dikerjakan oleh terapis<br />

okupasi, tersedia di Poliklinik Rehabilitasi Medik<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> setiap hari kerja.<br />

Contoh stimulasi vestibular dan proprioseptif dengan<br />

bola yang dikombinasikan dengan latihan motorik<br />

halus dan koordinasi<br />

sumber gambar:<br />

http://autism.wikia.com/wiki/Sensory_integration_<br />

therapy<br />

contoh stimulasi taktil dengan sikat halus<br />

sumber gambar http://www.pdxpediatrics.com/<br />

Jalan Mata Tertutup<br />

Barel Act<br />

Kolam Bola<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 27


Profil Unit<br />

INSTALASI PATOLOGI KLINIK<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

Oleh : dr. FX Hendriyono, Sp.PK<br />

Kepala Instalasi Patalogi klinik<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin adalah rumah sakit<br />

rujukan tipe A pendidikan di Kalimantan<br />

Selatan. Salah satu program pelayanan di<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin adalah pelayanan laboratorium<br />

Patologi Klinik (PK). Keberadaan laboratorium<br />

PK dirumah sakit sangat penting karena<br />

fungsinya sebagai penegak dan penunjang<br />

diagnostik, monitoring pengobatan, menentukan<br />

prognosis dan sebagai data dasar bagi pasien.<br />

Laboratorium Patologi Klinik bekerja<br />

dengan melakukan pemeriksaan cairan tubuh<br />

seperti darah, urin, feces, sputum, saliva, sperma,<br />

sekret, pus, cairan otak, cairan pleura, cairan<br />

sendi, cairan asites, cairan pericard dan sumsum<br />

tulang, dll.<br />

Instalasi Laboratorium PK RSUD <strong>Ulin</strong><br />

menempati 3 lokasi di RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin<br />

yaitu Lt 1 Gedung diagnostik, Lt 2 Gedung diagnostik<br />

dan Lt 4 Gedung diagnostik ruang MCU.<br />

Kegiatan tiap lantai : Lantai 1 untuk pendaftaran<br />

pasien, sampling darah pasien dan pelayanan<br />

24 jam/cito; Lantai 2 untuk proses analisa, pengambilan<br />

sumsum tulang, pengambilan sampel<br />

mikrobiologi, laboratorium riset, gudang logistik,<br />

kantor SMF, kantor dokter Sp.PK; Lantai 4<br />

untuk pelayanan laboratorium medical check up<br />

(MCU).<br />

Jumlah pegawai di laboratorium PK ada<br />

53 orang terdiri dari 4 orang dokter Spesialis<br />

Patologi Klinik : dr. FX Hendriyono, Sp.PK,<br />

dr. Dewi Indah NP, M.Kes., Sp.PK, dr. Wivina<br />

Riza Devi, Sp.PK, dr. Azma Rosida, Sp.PK dan 1<br />

orang dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik dr.<br />

Munawaroh Pasaribu, Sp.MK serta ada 39 orang<br />

analis dan 9 orang tenaga administrasi.<br />

Instalasi laboratorium PK RSUD <strong>Ulin</strong><br />

mempunyai 4 divisi yaitu divisi hematologi, divisi<br />

infeksi, divisi kimia klinik dan divisi imunoserologi.<br />

Fungsi divisi ini adalah untuk pengawasan<br />

mutu dan pengembangan ilmu Patologi<br />

Klinik. Instalasi laboratorium PK setiap tahun<br />

mengikuti pemantapan mutu eksternal yang diadakan<br />

oleh Kemenkes.<br />

Prasarana yang dimiliki oleh instalasi<br />

laboratorium PK antara lain LIS (Laboratory Information<br />

System) yang menghubungkan hasil<br />

mengukuran oleh mesin langsung ke komputer<br />

hasil. Sarana LIS memungkinkan hasil dari alat<br />

tidak diinput secara manual sehingga mengurangi<br />

kesalahan penulisan dan mempercepat pengeluaran<br />

hasil. Saat ini rata-rata jumlah pasien<br />

berkisar 300 orang per hari dengan 2–10 item<br />

pemeriksaan per pasien. Keberadaan LIS sangat<br />

penting di Instalasi Laboratorium PK RSUD<br />

<strong>Ulin</strong> karena tuntutan standart pelayanan medis<br />

yang mengharuskan hasil dalam waktu 140<br />

menit sesudah pengambilan darah harus selesai.<br />

Ke depannya sedang dikembangkan jaringan<br />

LIS dapat menyentuh semua bangsal perawatan<br />

dan IGD dilingkungan RSUD <strong>Ulin</strong> agar dokter<br />

dapat “real time” melihat hasil di depan layar<br />

komputer. Disamping itu sedang dikembangkan<br />

juga untuk pasien rawat jalan dapat melihat hasil<br />

laboratorium melalui aplikasi android bagi yang<br />

menginginkannya.<br />

Sarana baru yang dibangun saat ini adalah<br />

adanya Aerocom yaitu suatu sarana mengantaran<br />

spesimen dan berkas pemeriksaan pasien<br />

melalui kapsul berjalan dalam jaringan pipa.<br />

Adanya Aerocom memungkin spesimen cepat<br />

sampai di laboratorium sehingga cepat juga diproses.<br />

Jaringan pipa Aerokom saat ini sudah<br />

Gambar 1<br />

Para Dokter Spesialis Instalasi Patologi Klinik<br />

28 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


mencapai 10 station yaitu laboratorium PK lantai<br />

1 dan lantai 2 gedung diagnostik; ruang rawat<br />

inap anggrek lantai 1, 2, 3 dan 4; IGD, hemodialisa<br />

umum dan hemodialisa VIP lantai 3 gedung diagnostik;<br />

MCU lantai 4 gedung diagnostik.<br />

Jumlah item pemeriksaan laboratorium<br />

PK saat ini mencapai 100 item dengan unggulan<br />

dapat melakukan pemeriksaan PCR menggunakan<br />

“Gene Expert” untuk menegakkan TB MDR,<br />

melakukan pemeriksaan hitung jumlah sel CD4,<br />

identifikasi kuman dan resistensi antibiotik menggunakan<br />

Vitex 2, melakukan pemeriksaan PCR<br />

H5N1 dan pengambilan serta analisa sumsum<br />

tulang.<br />

Pengambilan sumsum tulang untuk pemeriksaan<br />

dan pengiriman jika ada permintaan<br />

immunophenotyping dilakukan di lantai 2 gedung<br />

diagnostik. Pelayanan ini buka setiap hari senin<br />

sampai sabtu jam 09.00 - 12.00.<br />

Laboratorium PK ke depannya masih<br />

membutuhkan pengembangan pemeriksaan dengan<br />

melengkapi berbagai alat laboratorium yang<br />

dapat menunjang pelayanan RS tipe A Pendidikan.<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> merupakan barometer bagi kegiatan<br />

medis di Kalsel serta tempat bekerjanya para dokter<br />

spesialis dan sub spesialis yang mendidik calon<br />

dokter dan calon dokter spesialis.<br />

Harapannya dimasa depan laboratorium<br />

PK RSUD <strong>Ulin</strong> mampu melakukan pemeriksaan<br />

bagi sebagian besar permintaan laboratorium secara<br />

mandiri dan berkualitas.<br />

Gambar 2.<br />

Dokter dan staff Instalasi Patologi Klinik<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 29


Peristiwa<br />

PENEGAKAN PERDA<br />

KAWASAN TANPA ROKOK (KTR)<br />

DI RSUD ULIN<br />

Oleh: Yan Setiawan, Ns. M.Kep<br />

Kepala Seksi Humas & Informasi<br />

Pada tanggal 26 April<br />

<strong>2017</strong>, Kabid Penegakan<br />

Perda Satpol PP<br />

Kota Banjarmasin H. Eddy Taswin Noor melakukan<br />

operasi yustisi di lingkungan RSUD <strong>Ulin</strong>,<br />

dalam rangka penegakan Perda Nomor 7 Tahun<br />

2013 tentang kawasan tanpa rokok. Operasi tersebut<br />

dilakukan RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin bersama<br />

dengan tim gabungan dari anggota Satpol PP Kota<br />

Banjarmasin dan anggota Polresta Banjarmasin.<br />

Hasilnya, delapan orang yang sedang merokok di<br />

kawasan RSUD <strong>Ulin</strong> ditangkap dalam kegiatan<br />

operasi tersebut.<br />

Operasi yustisi tersebut langsung ditindaklanjuti<br />

oleh anggota Satpol PP Kota Banjarmasin<br />

kepada para perokok di kawasan tanpa rokok<br />

dilanjutkan dengan Berita Acara Pemeriksaan<br />

(BAP). Setelah dilakukan pemeriksaan dibawa<br />

langsung ke persidangan di Pengadilan Negeri<br />

Banjarmasin.<br />

Sebelum melakukan operasi tersebut,<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> bekerjasama Satpol PP Kota Banjarmasin<br />

sudah beberapa kali memberikan himbauan,<br />

teguran serta pembinaan kepada pengunjung rumah<br />

sakit tentang larangan merokok. Berdasarkan<br />

Perda tersebut yang melanggar akan kena sanksi<br />

yaitu denda Rp 100 ribu menunggu untuk setiap<br />

kali pelanggaran atau ancaman pidana kurungan<br />

tiga bulan atau denda Rp 50 Juta.<br />

Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan<br />

efek jera tidak hanya kepada masyarakat pengunjung<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> Banjarmasin tetapi juga terhadap<br />

karyawan RSUD <strong>Ulin</strong> untuk tidak merokok<br />

di lingkungan rumah sakit sesuai dengan Perda<br />

Provinsi Kalsel Nomor 4 Tahun 2012 tentang<br />

Penyelenggaraan Kesehatan di Kalimantan Selatan,<br />

Pergub Nomor 018 Tahun 2014 dan Keputusan<br />

Direktur Nomor 188.4/0144/ Kep-KUM/2015<br />

tentang Kawasan Tanpa Rokok.<br />

Pihak Rumah Sakit mengharapkan agar<br />

masyarakat, pengunjung ataupun karyawan RSUD<br />

<strong>Ulin</strong> tidak ada lagi yang merokok di lingkungan<br />

Rumah Sakit Umum Daerah <strong>Ulin</strong> karena Rumah<br />

Sakit merupakan tempat orang berobat dan sehat.<br />

Pengarahan oleh Kabid Penegak Perda Satpol PP<br />

Kota Banjarmasin kepada anggota satpol PP<br />

Tim Gabungan satpol PP Kota Banjarmasin dan Pihak<br />

Kepolisian menangkap seorang perokok<br />

Seorang Perokok yang tertangkap tengah menjalani<br />

proses BAP oleh Satpol PP Kota Banjarmasin<br />

Persidangan di Pengadilan Negeri Kota Banjarmasin<br />

30 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>


Kunjungan Menteri Kesehatan<br />

Republik indonesia ke RSUD <strong>Ulin</strong><br />

Oleh: Yan Setiawan, Ns. M.Kep<br />

Kepala Seksi Humas & Informasi<br />

Usai menggelar kunjungan kerja di kabupaten<br />

Tanah Bumbu bersama Presiden RI,<br />

Joko Widodo, pada tanggal 07 Mei <strong>2017</strong><br />

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nila Djuwita<br />

F. Moeloek melakukan kunjungan kerja ke<br />

RSUD <strong>Ulin</strong> dalam rangka melihat secara langsung<br />

permasalahan yang ada di bidang kesehatan di<br />

daerah untuk bersama-sama memperbaikinya. Kedatangan<br />

Menkes RI ke RSUD <strong>Ulin</strong> disambut oleh<br />

Wadir Pelayanan Medik dan Keperawatan RSUD<br />

<strong>Ulin</strong> yaitu Dr.dr. Mohamad Isa SpP(K) beserta jajaran,<br />

Plt. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan<br />

Selatan H. Muhammad Muslim. Pertemuan ini<br />

juga dihadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota<br />

se-Kalsel, Direktur Rumah Sakit<br />

se-Kalsel dan Organisasi Profesi Kesehatan serta<br />

Perguruan Tinggi Kesehatan se-Kalsel.<br />

Beliau bangga melihat lingkungan RS <strong>Ulin</strong><br />

yang sudah lumayan bagus dan beliau menyanjung<br />

fasilitas kesehatan di Kalsel. Menteri Kesehatan<br />

juga mengungkapkan Indonesia dewasa ini<br />

kelebihan tenaga perawat sehingga diberikan kesempatan<br />

kepada tenaga perawat untuk bekerja di<br />

luar negeri.<br />

Pada kesempatan tersebut Menteri Kesehatan<br />

RI tidak hanya melihat langsung pelayanan<br />

kesehatan tetapi juga menghadapi sejumlah permasalahan<br />

terkait status gizi masyarakat, masih<br />

tingginya angka kematian bayi (AKB) dan angka<br />

kematian ibu (AKI). Beliau menyatakan hal itu<br />

menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi.<br />

Usai Pertemuan dengan jajaran kesehatan<br />

di Kalsel, sebelum meninggalkan RSUD <strong>Ulin</strong>,<br />

Menkes melakukan penanaman bibit pohon ulin di<br />

halaman RSUD <strong>Ulin</strong> sebagai kenang-kenangan.<br />

ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong> 31


Album<br />

Pelatihan Teknik Kebakaran dan Evaluasi Pasien<br />

Tanggal 16 Mei <strong>2017</strong><br />

Pertemuan koordinasi dengan mitra kerja dalam<br />

rangka menghimpun masukan untuk rencana<br />

kerja dan program/ kegiatan RSUD <strong>Ulin</strong> 2018<br />

Tanggal 24 Mei <strong>2017</strong><br />

Buka Puasa Bersama di Mesjid Asy-syifa RSUD <strong>Ulin</strong> dan pembagian bingkisan kepada pasien Kelas III,<br />

Cleaning Service dan Security tanggal 02 Juni <strong>2017</strong><br />

Pembukaan Pasar Murah Ramadhan RSUD <strong>Ulin</strong><br />

yang berlangsung pada tanggal 15 -17 Juni <strong>2017</strong><br />

(Maya/red)<br />

Visitasi Persiapan PPDS Anestesiologi dan Terapi<br />

Intensif dan Ilmu Kesehatan Anak tanggal 17<br />

Juni <strong>2017</strong><br />

32 ULIN <strong>News</strong> Edisi 57 Mei - Juni <strong>2017</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!