15.10.2019 Views

Suara - Edisi 20 - Majalah Komisi Pemilihan Umum

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

SUARA PUSTAKA<br />

CERDAS MEMILIH<br />

Nalar Politik Rente<br />

Ruang Pertarungan<br />

Altruistik Politik<br />

Dalam doktrin etik, yang diperke<br />

nalkan Auguste Comte, ada<br />

istilah populer altruism, yaitu<br />

doktrin etik di mana setiap indi vidu<br />

termotivasi memberikan manfaat bagi<br />

orang banyak. Sedangkan egoisme<br />

adalah sikap sebaliknya.<br />

Penulis berusaha memahami politik<br />

dengan nalar idealis-moralis ala Aristoteles<br />

yang melihat politik sebagai usaha<br />

yang dilakukan warga negara untuk<br />

menghadirkan kemaslahatan bersama.<br />

Kontestasi kekuasaan dilakukan un ­<br />

tuk mendapat kesempatan menjadi ma ­<br />

nu sia bermanfaat dalam kebaikan. Maka<br />

itu, sejatinya nalar politik berada pada<br />

bingkai sikap mental altruisme, dengan<br />

kata lain etika politik dengan pena ­<br />

laran altruisme, di mana politik ditem ­<br />

patkan sebagai jalan untuk menghadirkan<br />

kemaslahatan bagi orang banyak.<br />

Namun, das sein sering kali tidak sejalan<br />

dengan das sollen. Das sein, politik secara<br />

etik berubah men jadi ruang yang penuh<br />

kompetisi egoisme.<br />

Kompetisi untuk memenuhi syahwat,<br />

kepentingan pribadi, dan kelompok<br />

sehingga tidak jarang politik identitas<br />

menjadi ‘bumbu’ penting dalam<br />

setiap kompetisi politik, karena memang<br />

praktiknya semua tentang upaya untuk<br />

memaksimalkan utilitas individu.<br />

Upaya memaksimalkan utilitas individu<br />

tersebut, identik dengan etika ekono<br />

mi, sehingga perburuan rente menjadi<br />

jamak sebagai fenomena politik<br />

kekinian. Politik bak pasar ekonomi, di<br />

mana transaksi mengejar keuntungan<br />

pribadi dan kelompok dimaksimalkan.<br />

Kartel-kartel partai politik pun<br />

terbentuk dengan sendirinya untuk<br />

memas tikan kepuasan pribadi dan<br />

kelompok itu bisa dipenuhi politik<br />

uang dalam berbagai bentuk. Mulai<br />

prak tik mahar politik untuk mendapat<br />

dukungan partai politik bagi calon<br />

kepala daerah, praktik suap petugas<br />

pemilu, bagi-bagi uang kepada pemilih,<br />

dan berbagai praktik transaksi politik<br />

lainnya ramai menghiasi politik kita.<br />

Pimpinan partai atau pendiri partai<br />

seringkali berlaku bak pemilik peru sahaan.<br />

Partai politik tidak lebih seka dar<br />

menjadi perusahaan kesekian bagi pendiri<br />

atau pemimpin puncak partai po litik,<br />

meskipun penulis tidak berani me nye but<br />

semua partai politik seperti itu.<br />

Partai politik menjadi mesin perburuan<br />

rente, tentu penggerak mesin<br />

tersebut adalah para pengurus partai<br />

politik yang memiliki jabatan penting<br />

politik mulai legislatif sampai eksekutif,<br />

mulai dari tingkat daerah sampai<br />

tingkat pusat.<br />

Dengan demikian, tidak ada tempat<br />

untuk nalar kesejatian politik, yakni<br />

nalar altruisme. Semua berubah men jadi<br />

upaya memenuhi egoisme, per bu ruan<br />

rente. Politisi yang berusaha mera wat<br />

nalar politik altruistik sering kali tidak<br />

mendapat tempat. Mereka harus bertarung<br />

melalui berbagai cara ber ha dapan<br />

dengan nalar politik rente para elite,<br />

bahkan tidak jarang juga akan ber hadapan<br />

dengan nalar politik rente voters.<br />

Nalar politik rente tersebut memben<br />

tuk pasar politik yang bersifat oligopoli.<br />

Pasar politik Indonesia, mulai dari<br />

pusat sampai daerah, dikuasai kartelkartel<br />

partai politik dengan politisi yang<br />

memiliki ‘darah biru’ politik atau uang<br />

banyak. Bila ada salah satu kesuksesan<br />

demokrasi Indonesia, adalah karena<br />

publik yang sadar terhadap peran<br />

pen ting mereka sebagai bagian dalam<br />

proses demokrasi.<br />

Era sosial media menjadi instrumen<br />

penting dalam membangun kesadaran<br />

nalar politik altruisme untuk melawan<br />

nalar politik rente. Kesadaran kolektif<br />

kelas menengah ini harus digerakkan<br />

dan dimobilisasi untuk melawan nalar<br />

politik rente tersebut. Tujuannya agar<br />

kelompok yang lebih besar dan nyaris<br />

tidak peduli dengan praktik politik<br />

selama ini, bangkit bersama. (rur)<br />

Bahasa : Indonesia<br />

Penerbit : Booknesia<br />

Penulis : Dahnil Anzar Simanjuntak<br />

Jumlah halaman : 276<br />

Deklarasi Kampanye Damai Pemi<br />

lu <strong>20</strong>19 mengisyaratkan<br />

kampanye anti hoax, karena<br />

ba ha yanya bisa mengancam kehidupan<br />

ber bangsa dan bernegara. Sosiolog<br />

Uni ver sitas Gajah Mada, Arie Sujito<br />

me ni lai hoax terbukti menyebabkan<br />

kon flik an tar kelompok dan krisis keper<br />

ca yaan yang mengancam kualitas<br />

de mo krasi.<br />

Penelitian Polmark Indonesia (<strong>20</strong>17)<br />

me nye butkan hoax akan menghantui<br />

pe mi lihan <strong>20</strong>19. Hasil penelitiannya<br />

se ba nyak 60,8% responden pernah<br />

men da pat kan hoax dengan intensitas<br />

klarifikasi ren dah.<br />

Kekuatan Penyelenggara<br />

Sebenarnya penyelenggara pemilu<br />

punya kekuatan menangkal hoax lewat<br />

me dia sosial (medsos). KPU jika dihitung<br />

jumlah yang terlibat aktif seperti PPK,<br />

PPS, anggota, dan sekretariat jumlahnya<br />

lebih dari 7 ribu orang.<br />

Ini belum termasuk tenaga pen dukung<br />

dan relawan demokrasi. Jika satu<br />

orang punya 1 akun chating dengan<br />

kontak 100 orang, maka bisa menyebarkan<br />

informasi kepada 700 ribu<br />

orang. Apalagi jika punya 3<br />

grup dengan anggota mi nim<br />

10 orang, maka bisa menye<br />

bar kan ke 210 ribu<br />

orang.<br />

Ini baru dari satu aplikasi, belum<br />

Facebook, Instagram, Twitter,<br />

dan Youtube. Sejatinya KPU bisa<br />

memegang kendali atas informasi<br />

kepemiluan. Apalagi bila Bawaslu dan<br />

DKPP juga melakukan hal serupa.<br />

Perang terhadap hoax dapat kita<br />

menangkan.<br />

Hasil penelitian Asosiasi Penye lenggara<br />

Jasa Internet Indonesia pada <strong>20</strong>17<br />

me nunjukkan komposisi pengguna Inter<br />

net usia 19 – 34 tahun adalah yang<br />

ter besar, yaitu 49,52%. Usia ini juga<br />

punya tingkat penetrasi terbesar kedua<br />

(74,23%) yakni 75,50%. Ini adalah usia<br />

potensial dari pemilih di Indonesia<br />

yang punya peran menentukan<br />

penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.<br />

Kampanye<br />

Anti Hoax,<br />

Penyelenggara<br />

Harus Cerdas<br />

Ber-Medsos<br />

Wajib Melek Media<br />

Melek media jadi tuntutan bagi<br />

penyelenggara pemilu <strong>20</strong>19. Kun ci nya<br />

hanya satu, paham dan tahu ke kuatan<br />

medsos yang digunakan. Ke sa lahan<br />

yang sering dilakukan yaitu mem perla<br />

ku kannya sebagai penyebar in for masi<br />

satu arah dan kaku.<br />

Medsos bukan sekedar me nyampaikan<br />

informasi, tapi penerima pesan<br />

dan melakukan feedback, bahkan memung<br />

kinkan mereproduksi ulang<br />

pesan tersebut. Kita juga harus melihat<br />

karakteristik setiap medsos. Bahkan<br />

seharusnya setiap akun medsos yang<br />

digunakan mewakili segmen basis<br />

pemilih.<br />

Dari penelitian We Are Social<br />

dengan Hootsuite, menyebutkan<br />

platform favorit di Indonesia adalah<br />

YouTube 43%, Facebook 41%,<br />

WhatsApp 40%, Instagram 38%, Line<br />

33%, BBM 28%, Twitter 27%, Google+<br />

25%, FB Messenger 24%, LinkedIn<br />

16%, Skype 15%, dan WeChat 14%.<br />

Dari angka tersebut, kita bisa memilih<br />

medsos yang efektif dan efisien untuk<br />

memerangi hoax.<br />

Pengelolaan medsos sebenarnya<br />

mudah. Cukup sehari satu posting<br />

dalam tiap akun. Tapi harus ber kesi<br />

nam bungan. Kemudian membuat<br />

hastag pemilu nasional dan mention ke<br />

orang dengan jumlah follower banyak<br />

juga membantu informasi tersebar luas.<br />

Yang harus diingat, jangan mem perlakukan<br />

medsos seperti media massa<br />

online. Karena medsos adalah media<br />

interaksi berbasis pengguna, di mana<br />

setiap pengguna bisa memproduksi dan<br />

menyebarkan pesan secara realtime.<br />

Jadi, cerdas dalam menggunakan<br />

dan mengelola media sosial saat<br />

ini adalah kewajiban bagi seluruh<br />

penyelenggara pemilu, utamanya<br />

dalam memerangi hoax.<br />

76<br />

SUARA KPU September-Oktober <strong>20</strong>18<br />

September-Oktober <strong>20</strong>18 SUARA KPU 77

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!