Majalah Santunan edisi Juni 2011 - Kementerian Agama Prov Aceh

kan kaki menuju tempat menambang
emas.
“Tuk, tuk, tuk,” Suara benturan
benda keras menggema ketika hampir
setengah jam sudah perjalan dari camp.
Dari kejauhan dibalik pohon-pohon
besar, mataku menangkap banyak tenda
berwarna-warni yang menjamur. Aku
terus mengikuti langkah Cek Dam dan
Cek Lem menuju tempat mereka bekerja.
Mereka menyebutnya “lobang”.
Kami terus melewati tenda-tenda
itu. Sepanjang perjalanan mataku
terus memperhatikan kiri-kanan jalan
setapak yang terbentuk karena lalu
lalang penambang itu. Dalam semaksemak
terlihat lobang seperti sumur
yang disisinya berdiri dua orang.
Mereka terlihat menarik sesuatu dari
dalam lobang.
“Yang mereka tarik itu sampel
emas,” Cek Lem menjelaskan, seakan
beliau tahu tentang keingintahuanku.
Semakin ke dalam kami berjalan
semakin banyak terlihat lobang-lobang
yang berjejer, antara satu lobang dengan
lobang lain hanya terpaut kirakira
20 m saja.
“Kita sudah sampai, itu lobang
kita.” Cek Lem menunjuk ke arah
lobang yang tepat berada di sebelah
kananku.
Aku segera menoleh, terlihat seorang
lelaki berbadan kurus baru saja
keluar dari lobang sambil menarik tanah
didalam ember besar. Sepertinya
aku mengenalnya, potongan rambut
yang menutup telinga itu tidak asing
bagiku.
“Oh, De Kiwi lagoe,” sapanya
akrabnya.
“Cek Ra.” Aku balas menyapa adik
Cek Lem itu, sambil kembangkan senyum
di wajahku.
“Gimana perjalanannya tadi, capek
ya.”
“Lumayan, tapi seru,” kataku bersemangat.
“Baginilah pekerjaan kami tiap
hari, bergelut dengan kerasnya
tanah.” Kutangkap nada tegas disana,
sepertinya Cek Ra ingin menjelaskan
sesuatu padaku.
Aku hanya diam, berlahan kuarahkan
mataku ke bibir lobang. Aku
melihat banyak alat-alat bangunan
yang berserakan. Tanganku bergegas
mengambil sebuah palu godam kerena
penasaran akan beratnya.
“Palu ini berapa kilo cek?” tanyaku
penasaran.
“Itu masih ringan, 3 kilo, bahkan
ada yang memakai sampai 5 kilo.”
Aku terperangah, segini beratnya
masih ringan. Aku meletakkan kembali
palu itu. Keingintahuanku lebih jauh
mendorongku memasuki lobang yang
mereka gali menyerupai terowongan
sambil membawa palu dan drep. Di
kepalaku terikat sebuah senter untuk
menerangi lobang yang dalamnya sekitar
7 m itu. Lobang yang sudah sangat
dalam digunakan blower untuk pergantian
udara dan diterangi lampu-lampu.
Pengaman lain juga dibuat seperti melapisi
dinding lobang dengan papan
agar tidak longsor. Penambang liar itu
masih menggunakan cara yang masih
sangat sederhana dalam bekerja.
Memang belum banyak hal yang
aku tahu, setidaknya aku mulai paham
bahwa urat-urat emas yang dicari itu
disebut storing atau sampel. Kemudian
sampel itu akan di bawa ketempat
pengolah yang jaraknya hampir 3
km untuk diolah menjadi emas. Air
raksa (mercury) digunakan untuk
menangkap emas sehingga hasilnya
berwarna perak, terus dibakar agar
mercury itu terbakar hingga tinggallah
emas. 1 mg emas berharga sekitar
tigaratusan ribu.
***
Matahari kini berdiri tegak diujung
tongkat. Teriknya hanya bisa mengintip
di antara pepohonan yang telah ditebang.
Entah bagaimana nasib penambang
jika hujan menghujam bumi. Aku
mengikuti Cek Ra yang kini menuruni
gunung. Semangat ku kembali terisi
setelah beberapa saat istirahat tadi.
Mataku terus memperhatikan Cek Ra
yang tak pernah lelah bekerja. Sekarung
batu karang dipikul dipundaknya.
Langkahnya tergopoh sembari menjaga
keseimbangan tubuh. Batu karang
itu akan ditesnya di tenda, aku masih
penasaran bagaimana bentuk emas
murni itu.
Di balik pepohonan, mataku menangkap
sesuatu, tenda berwarna
kuning. Secercah cahaya memasuki hatiku,
perut terus terasa bergulat tidak
lama lagi akan mendapatkan jatahnya.
Kakiku terus melangkah mengarungi
sungai kecil di samping tenda kami.
Cek Ra menjatuhkan sampel yang
Santunan JUNI 2011
Sastra
diangkutnya di samping tenda. Ia
bergegas menuju alue, gemericik air
menyembur saat tubuhnya menerjang
air.
“De Kiwi! Mandi sini, airnya segar
nih.”
Tanganku melepaskan sepatu pacok
satu persatu. Kancing baju perlahan
kubuka, kutanggalkan semua pakaian
yang melekat ditubuh. Hanya tersisa
celana pendek kebanggaan yang begitu
setia menemani terutama ketika
bermain bola. Mataku menatap tajam
ke arah air. Bening, mengalir pelan
membasuh bebatuan yang nampak
kehitaman. Hasratku begitu besar
ingin segera bercengkrama dengan
lelehan air gunung ini.
“Chess!” Air itu terasa menembus
otot-otot dagingku. Membekukan aliran
darah. Bibirku bergetar hebat, lututku
mulai tak mampu menahan beban
tubuhku. Hawa dingin merasuki
pelosok ragaku, melenyapkan jejak
peluh di poriku. Kesegaran menyempurnakan
perjalanan terindahku.
Asap mulai mengepul di balik dapur
mungil tenda kami. Setelah sejenak
membasuh diri di alue tadi ternyata
Cek Ra sedang bergelut dengan dapur.
Tangannya telah mengibas-ngibas mengusir
asap yang kian menusuk matanya.
Aku memperhatikan dari dalam
alue. Tak tega membiarkan Cek Ra
sendiri mempersiapkan makan siang
kami, aku bangkit menuju tenda. Satu
lagi pembelajaran berharga aku dapatkan,
membantu Cek Ra masak. Aku
diajarkan cara menanak nasi, pengalaman
yang berharga. Selama ini aku
berfikir bahwa memasak adalah tugas
perumpuan. Kenyataan hari ini menjelaskan
padaku bahwa laki-laki juga
perlu bisa memasak, karena tidak selamanya
kita bisa meminta mereka untuk
melakukannya. Aku dan Cek Ra terus
mempersiapkan sarapan siang kami.
Menu ikan asin dan rebusan kangkung
akhirnya siap kami hidangkan. Sambil
menunggu yang lain datang, aku sejenak
sandarkan tubuhku di pohon
samping tenda. Pikiranku menerawang
jauh, terus menyusuri jejak-jejak hidup.
Perjalanan ini terasa sempurna bagiku.
Sebuah liburan yang sangat indah dan
bermakna. Hingga tak terasa akhirnya
terlelap dalam mimpi terindah. n
Penulis adalah murid kelas XA MAS
Jeumala Amal Lueng Putu
55