Project ULAMA: MENDAYUNG DI ANTARA BANYAK KARANG
Project ULAMA: MENDAYUNG DI ANTARA BANYAK KARANG
Project ULAMA: MENDAYUNG DI ANTARA BANYAK KARANG
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
Review Buku, Edisi 013, April 2012<br />
P r o j e c t<br />
i t a<br />
i g<br />
D<br />
k a a n<br />
<strong>ULAMA</strong>: <strong>MENDAYUNG</strong> <strong>DI</strong><br />
<strong>ANTARA</strong> <strong>BANYAK</strong> <strong>KARANG</strong><br />
Ulil Abshar-Abdalla<br />
1
Edisi 013, April 2012<br />
Informasi Review Buku Buku: Muhammad Qasim<br />
Zaman, The Ulama in Contemporary<br />
Islam; Custodians of Change, (Princeton:<br />
Princeton University Press, 2002), 293<br />
halaman.<br />
ABSTRAK<br />
Studi mengenai ulama, terutama pandangan<br />
keagamaan mereka, akhir-akhir ini agaknya<br />
kurang begitu diminati oleh kalangan<br />
sarjana modern, baik di Barat maupun<br />
di dunia Islam sendiri. Alasannya tentu<br />
banyak. Di kalangan sarjana Barat,<br />
perhatian akademis dalam kurun waktu<br />
satu hingga dua dekade terakhir ini lebih<br />
banyak dicurahkan untuk melihat fenomena<br />
“Islamic resistance”, pembangkangan<br />
kelompok-kelompok di dalam masyarakat<br />
Islam terhadap apa yang secara ambigu<br />
disebut dengan Barat. Studi mengenai ulama<br />
tampak kurang “sexy”.<br />
Alasan lain berkaitan dengan semacam<br />
“modernist prejudice”: bahwa ulama adalah<br />
kategori sosial yang statis. Mereka adalah<br />
relik dari masa lampau yang sama sekali<br />
kurang lagi relevan saat ini. Alasan-alasan<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
2
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
ini secara eksplisit disebutkan oleh Qasim<br />
Zaman dalam bukunya yang kita diskusikan<br />
saat ini, The Ulama in Contemporary Islam<br />
(2002).<br />
P r o j e c t<br />
I<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Saya tambahkan alasan lain terkait<br />
dengan ketiadaan perhatian yang<br />
cukup di kalangan sarjana Islam sendiri<br />
terhadap ulama sebagai kelas sosial.<br />
Di kalangan yang terakhir ini, ada<br />
sekurang-kurangnya dua sikap: yang<br />
pertama adalah anggapan bahwa<br />
ulama adalah suatu kelas sosial yang<br />
perannya sudah dianggap alamiah,<br />
“given”, dalam masyarakat Islam. Secara<br />
normatif mereka diandaikan sebagai<br />
kelas sosial yang sudah seharusnya ada<br />
sebagai “the guardian of faith”, atau<br />
dalam rumusan yang populer: sebagai<br />
pewaris para Nabi (warathat al-anbiya’).<br />
Yang kedua, “modernist prejudice”,<br />
hingga tingkat tertentu, juga diidap<br />
oleh sebagian sarjana Muslim: mereka<br />
3
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
memandang kelas sosial yang terakhir ini<br />
sebagai peninggalan masa lampau yang<br />
cenderung menentang perubahan.<br />
Pandangan-pandangan semacam ini<br />
“menderita” kelemahan yang sama:<br />
seolah-olah ulama adalah kelas sosial<br />
yang membeku, dan cenderung gagal<br />
menyesuaikan diri dengan perubahan. Di<br />
hadapan perubahan yang terus mengalir<br />
tanpa bisa dibendung, ulama, dalam<br />
pandangan yang klise ini, hanya bisa<br />
mengulang-ulang mantra yang sama,<br />
yaitu taqlid. Pandangan semacam ini<br />
yang hendak dikoreksi oleh Muhammad<br />
Qasim Zaman dalam bukunya ini. Tesis<br />
utama buku ini ialah bahwa ulama<br />
bukan sekedar penjaga tradisi tapi juga<br />
pengawal perubahan – “custodian of<br />
change”, meminjam istilah Zaman.<br />
Qasim mencoba melihat posisi ulama<br />
sebagai kelas sosial yang terjepit di<br />
antara dua model “intelektual baru”<br />
dalam masyarakat Islam, yaitu intelektual<br />
modernis yang, di hadapan Barat yang<br />
perkasa, cenderung bersikap apologetik,<br />
dan intelektual Islamis yang secara kaku<br />
hendak menghidupkan corak Islam<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
4
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
P r o j e c t<br />
yang pristin dari masa lampau di masa<br />
modern. Kedua kelompok intelektual ini,<br />
mempunyai sikap yang sama terhadap<br />
pada ulama dalam pengertian tradisional<br />
yang dikenal selama ini oleh umat Islam<br />
di manapun: yaitu, mereka cenderung<br />
sinis dan mengambil jarak.<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Peralatan hermeneutis yang selalu<br />
dipakai oleh ulama dalam menghadapi<br />
setiap bentuk perubahan adalah taklid.<br />
Tetapi, taklid sering disalah-artikan<br />
oleh baik kalangan sarjana Barat atau<br />
Muslim yang mengidap “modernist<br />
prejudice”. Zaman merujuk kepada<br />
penelitian yang pernah dilakukan oleh<br />
Sherman Jackson tentang seorang<br />
juris dari lingkungan mazhab Maliki,<br />
Shihabuddin al-Qarafi (w. 1285).<br />
Dengan baik, Jackson memperlihatkan<br />
bahwa taklid bukan sekedar merawat<br />
keterhubungan dengan tradisi dari<br />
masa lampau, tetapi juga sarana untuk<br />
menjaga otonomi bagi model diskursus<br />
tertentu yang dikembangkan oleh para<br />
ulama – otonomi yang dibutuhkan<br />
oleh kalangan yang terakhir ini untuk<br />
melindungi dirinya dari intervensi politik<br />
5
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
dari penguasa. Taklid juga bukan berarti<br />
ketiadaan sikap lentur (inflexibility)<br />
dan kekakuan. Mengutip observasi<br />
Martin van Bruinessen yang membuat<br />
pengamatan berdasarkan penelitiannya<br />
di Indonesia, Zama menyatakan<br />
bahwa. “Taqlid is notnecessarily rigid.<br />
Ironically, in the late 20th century,<br />
traditionalist ulama [of Nahdlatul<br />
Ulama] often appear more flexible than<br />
the [modernist] spokesmen for reformist<br />
Islam.” (hal. 188).<br />
Dengan kata lain, bagi Zaman, ulama<br />
bukanlah kelas sosial yang statis.<br />
Pandangan-pandangan mereka<br />
terus berubah dari waktu ke waktu,<br />
dan kemampuan mereka untuk<br />
menyesuaikan diri dengan zaman, sambil<br />
terus menjaga tradisi yang mereka warisi<br />
dari masa lampau, terutama tradisi<br />
mazhab, sangat mengagumkan. Meang,<br />
kata Zaman, kesediaan para ulama itu<br />
untuk berkompromi terhadap perubahan<br />
itu bukanlah karena mereka memang<br />
sejak awal membela perubahan, tetapi<br />
karena alasan “survival”, menjaga<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
6
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
P r o j e c t<br />
keutuhan dan integritas tradisi. Dengan<br />
kata lain, para ulama itu memang<br />
cenderung menerima perubahan karena<br />
hanya dengan begitulah tradisi mereka<br />
bisa terus dirawat. Jika mereka tak<br />
melakukan itu, boleh jadi yang harus<br />
dikorbankan adalah tradisi mereka<br />
sendiri.<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Fokus penelitian Zaman adalah ulama di<br />
kawasan India dan Pakistan, meskipun<br />
secara komparatif dia mencoba melihat<br />
perubahan-perubahan yang terjadi pada<br />
institusi ulama di banyak negeri lain,<br />
seperti Mesir dan Saudi Arabia. Melalui<br />
bukunya ini, Zaman ingin menunjukkan<br />
bahwa lembaga ulama, dengan seluruh<br />
tantangan yang dihadapinya, bukan saja<br />
tetap bertahan hingga sekarang tetapi<br />
mencoba untuk tetap relevan hingga<br />
saat ini.<br />
II<br />
Apa yang disebut ulama dalam buku<br />
Zaman ini ialah kelas sosial dalam<br />
masyarakat Islam yang mendasarkan<br />
legitimasi sosialnya pada peran<br />
7
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
intelektual sebagai penerus tradisi<br />
pemikiran yang berasal dari Islam klasik.<br />
Medium melalui mana kelas sosial ini<br />
melakukan transmisi intelektual adalah<br />
madrasah. Diskursus utama yang<br />
dikembangkan oleh kelas sosial ini ialah<br />
kajian ilmu agama/Islam dengan metode<br />
tertentu. Dalam konteks madrasah<br />
yang berkembang di India dan Pakistan,<br />
salah satu contoh penting dari tradisi<br />
ini digambarkan melalui kurikulum<br />
yang disebut dengan dars-i nizami<br />
yang mula-mula diadopsi oleh lembaga<br />
pendidikan yang didirikan oleh keluarga<br />
Firangi Mahall, di bawah pengaruh Mulla<br />
Nizam al-Din Muhammad (w. 1748).<br />
Kurikulum ini kemudian luas dipakai<br />
oleh semua madrasah tradisional di<br />
India dan Pakistan, meskipun terus<br />
mengalami modifikasi. Ada tiga ilmu<br />
utama yang dipelajari dalam kurikulum<br />
ini: pertama al-‘ulum al-naqliyyah (ilmuilmu<br />
tradisional seperti tafsir, hadis,<br />
fikih, kalam, dan ilmu-ilmu pembantunya<br />
[ancillary knowldgeses] seperti morfologi<br />
[sharf], sintaksis [nahw], retorika<br />
[balaghah]), al-‘ulum al-‘aqliyyah (ilmuilmu<br />
rasional, seperti falsafah dan<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
8
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
logika), dan tasawwuf (mistik Islam).<br />
P r o j e c t<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Sejak bermulanya era kolonial<br />
Islam di dunia Islam, lembaga ulama<br />
dan madrasah mengalami tekanan<br />
yang luar biasa. Zaman, dalam bukuny<br />
ini, membahas sejumlah tantangan<br />
yang dihadapi oleh dua institusi ini<br />
di India dan Pakistan – fenomena<br />
yang tampaknya dengan derajat yang<br />
berbeda-beda kita jumpai di berbagai<br />
negeri Islam yang lain. Tantang pertama<br />
tentunya adalah dari pemerintah kolonial<br />
sendiri, yakni pemerintah kolonial<br />
Inggris di India. Kebijakan pendidikan<br />
pemerintah kolonial Inggris di India<br />
didasarkan pada dua fondasi utama.<br />
Yang pertama adalah pemisahan antara<br />
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekular<br />
yang, dalam kaca mata administratur<br />
kolonial, “bermanfaat”. Pemisahan ini<br />
tentu berasal dari redefinisi terhadap<br />
pengertian “religion” dalam masyarakat<br />
Eropa setelah Era Pencerahan. Kedua,<br />
lembaga pendidikan hanya berkewajiban<br />
untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang<br />
bermanfaat (useful).<br />
9
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
Pemisahan antara dua model<br />
pengetahuan –agama dan umum—<br />
yang sebetulnya kita jumpai di banyak<br />
negeri Muslim menimbulkan reaksi yang<br />
ambigu di kalangan masyarakat Islam.<br />
Kaum modernis Muslim dan Islamis<br />
tampaknya bersepakat bahwa dualisme<br />
ilmu pengetahuan semacam ini kurang<br />
sehat bagi perkembangan intelektual<br />
di masyarakat Islam. Kedua kubu ini,<br />
meskipun banyak berbeda pandangan<br />
dalam banyak hal, mempunyai titik<br />
temu dalam satu hal, yakni pentingnya<br />
mengatasi dualisme ini. Hanya saja,<br />
pendekatan yang ditempuh oleh kedua<br />
kubu ini berbeda. Kubu modernis<br />
menganjurkan jalan penggabungan<br />
antara ilmu-ilmu tradisional yang berasal<br />
dari tradisi Islam sendiri dan ilmu-ilmu<br />
sekular yang datang dari Barat. Kaum<br />
Islami menempuh jalur lain, yaitu<br />
semacam “Islamisasi” atas pengetahuan<br />
yang datang dari Barat. Pada periode<br />
yang dibicarakan oleh Zaman ini, yakni<br />
abad ke-18, 19 dan awal abad ke-20,<br />
istilah “Islamisasi pengetahuan” tentu<br />
belum dipakai oleh kalangan Islamis<br />
yang diwakili oleh orang-orang seperti<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
10
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
P r o j e c t<br />
Abul A’la Mawdudi, misalnya. Tetapi ide<br />
mereka yang bertumpu pada gagasan<br />
pokok, yakni Islamisasi pada level sosial<br />
dan negara, sebetulnya merupakan<br />
embrio dari gagasan yang berkembang<br />
belakangan di kalangan Islamis untuk<br />
melakukan Islamisasi pengetahuan.<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Kebijakan untuk mengatasi dualisme<br />
pengetahuan semacam ini juga ditempuh<br />
pemerintah di negeri Muslim yang lahir<br />
setelah berakhirnya era kolonialisme<br />
Eropa. Contoh yang paling baik adalah<br />
Pakistan. Sejumlah kebijakan pendidikan<br />
ditempuh oleh pemerintah Pakistan<br />
untuk melakukan reformasi terhadap<br />
lembaga pendidikan Islam, termasuk<br />
madrasah. Mewarisi sindrom yang<br />
berasal dari era kolonial berkaitan<br />
dengan pemisahan antara dua jenis<br />
pendidikan (agama dan umum),<br />
pemerintah di Pakistan mencoba<br />
melakukan unifikasi, tetapi juga sekaligus<br />
modernisasi atas madrasah.<br />
Yang menarik adalah reaksi ulama<br />
atas dualisme pengetahuan semacam<br />
ini. Di mata ulama, baik pandangan<br />
11
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
kaum 1 modernis atau Islamis, ataupun<br />
kebijakan “reformis” negeri-negeri<br />
Muslim pasca-kemerdekaan, ketiganya<br />
mengancam eksistensi lembaga<br />
madrasah dengan kurikulumnya yang<br />
sudah mapan. Pandangan semacam ini,<br />
misalnya, diwakili oleh ulama Pakistan<br />
yang terdidik dalam tradisi madrasah<br />
Deobandi, Mawlana Muhammad Yusuf<br />
Ludhianawi (w. 2000). Menurut dia,<br />
mengintegrasikan sistem pendidikan<br />
madrasah ke dalam sistem pendidikan<br />
nasional yang diprakarsai oleh negara,<br />
meskipun dengan alasan “ideologis”<br />
untuk memuluskan jalan menuju<br />
Islamisasi masyarakat Islam sendiri,<br />
akan mengancam Islam itu sendiri<br />
sebagai agama. Para ulama tradisional<br />
yang berbasis di madrasah mengajukan<br />
argumen bahwa jika spesialisasi adalah<br />
salah satu ciri khas pendidikan modern,<br />
kenapa ulama tidak diperbolehkan<br />
mengembangkan pendidikan khusus<br />
dengan spesialisasi di bidang ilmu<br />
agama?<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
Sementara itu, gagasan tentang ilmu<br />
yang bermanfaat yang dikembangkan<br />
12
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
P r o j e c t<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
oleh pemerintah kolonial Inggris<br />
jelas sangat dipengaruhi oleh filsafat<br />
utilitarian yang sedang menjadi mode<br />
di Inggris pada abad ke-19, terutama<br />
di tangan para filsuf seperti James Mill<br />
dan anaknya, James Stuart Mill. James<br />
Mill pernah menulis bahwa pendidikan<br />
yang hanya mengajarkan ajaran<br />
agama Hindu atau Islam hanyalah<br />
mengerjakan hal yang kurang berguna<br />
dan sepele (frivolous). Bagi dia, tugas<br />
lembaga pendidikan kolonial adalah<br />
mengajarkan, baik kepada bangsa<br />
Hindu atau Muslim, ilmu-ilmu yang<br />
bermanfaat. Diskursus tentang ilmu<br />
bermanfaat ini kemudian menimbulkan<br />
tanggapan yang luas di kalangan ulama.<br />
Mereka mengembangkan diskursus<br />
tandingan yang mereka sebut sebagai<br />
ilmu-ilmu yang nafi’ atau membawa<br />
manfaat – istilah yang kebetulan<br />
memang sudah ada dalam tradisi<br />
intelektual Islam sendiri. Tentu saja, apa<br />
yang disebut dengan ilmu yang “useful”<br />
dalam pandangan pemerintah kolonial<br />
maupun ilmu yang “nafi’”, sangat<br />
berbeda.<br />
13
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
14<br />
Di tengah hantaman yang datang dari<br />
berbagai arah ini, lembaga madrasah<br />
harus menempuh segala siasat<br />
agar tetap bertahan dan sekaligus<br />
relevan. Reformasi dilakukan oleh<br />
ulama terhadap lembaga madrasah.<br />
Sekurang-kurangnya ada tiga lembaga<br />
madrasah dalam pengertian tradisional<br />
yang dikembangkan oleh ulama di<br />
India. Pertama adalah madrasah<br />
yang dikembangkan oleh kelompok<br />
yang disebut Barelwi. Kedua adalah<br />
madrasah yang dikembangkan kelompok<br />
Deobandi. Dan ketiga adalah madrasah<br />
yang dikembangkan oleh Ahl-i Hadith.<br />
Madrasah dari kelompok pertama mirip<br />
dengan pesantran yang dikembangkan<br />
kalangan NU di Indonesia, dengan<br />
tekanan pada tradisi mistik yang kuat.<br />
Sementara madrasah dari kelompok<br />
kedua mirip dengan lembaga pendidikan<br />
yang dikembangkan oleh Pesantren<br />
Gontor atau yang sejenis. Ciri lembaga<br />
ini ialah menggabungkan antara dua<br />
tradisi: tradisi reformis yang berasal<br />
dari kelompok Wahabi, dengan tekanan<br />
pokok pada studi hadis, dan tradisi<br />
mazhab Hanafi. Madrasah Deobandi<br />
inilah yang memiliki pengaruh paling<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
P r o j e c t<br />
besar di dalam menjaga tradisi<br />
keulamaan di India dan Pakistan hingga<br />
saat ini. Sementara madrasah ketiga<br />
lebih dikenal dengan tekanannya pada<br />
studi hadis. Persaingan keras biasanya<br />
terjadi antara kelompok Deobandi dan<br />
kelompok Ahl-i Hadith, terutama karena<br />
masalah keterikatan pada mazhab –<br />
hal yang menjadi sasaran serangan<br />
kelompok hadis/salafi/Wahabi di<br />
banyak negeri Muslim.<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Salah satu medium yang dipakai oleh<br />
ulama tradisional untuk menjaga<br />
tradisi intelektual mereka adalah<br />
apa yang disebut dengan tradisi<br />
syuruh atau “commentaries”, yakni<br />
menulis komentar atas karya klasik<br />
atau kompendium (kumpulan) hadis.<br />
Melalui karya-karya komentar semacam<br />
ini, ulama mencoba meraih dua hal<br />
sekaligus, yakni mempertahankan<br />
kontinyuitas tradisi yang ada, tetapi<br />
pada saat yang sama juga memberikan<br />
komentar atas masalah yang dihadapi<br />
oleh masyarakat Islam pada saat karya<br />
tersebut ditulis. Contoh yang sangat<br />
baik adalah I’la al-Sunan karya Mawlana<br />
Zafar Ahmad ‘Uthmani, yang terdiri<br />
dari dua puluh jilid. Karya ini adalah<br />
15
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
komentar atas sejumlah hadis yang<br />
berkaitan dengan hukum Islam (ahadith<br />
al-ahkam). Dengan karya ini, Mawlana<br />
‘Uthmani hendak mencapai dua tujuan<br />
sekaligus: mempertahankan validitas<br />
mazhab Hanafi dari serangan kaum Ahl-i<br />
Hadith, sekaligus mengulas sejumlah<br />
isu kontemporer yang berkembang<br />
pada masanya. Contoh yang baik adalah<br />
polemik yang dia lakukan melalui karya<br />
ini melawan ulama Deobandi lain<br />
mengenai soal nasionalisme (qaymiyyat)<br />
– apakah ide nasionalisme sesuai dengan<br />
keyakinan Islam atau tidak. Lawan debat<br />
dia adalah Mawlana Husayn Ahmad<br />
Madani yang juga ulama dari madrasah<br />
Deobandi. Debat ini tentu mengingatkan<br />
kita pada debat serupa yang pernah<br />
terjadi di tanah air kita antara Ahmad<br />
Hassan dan Sukarno mengenai topik<br />
serupa: nasionalisme. Hanya saja, yang<br />
menarik, perdebatan ini terjadi bukan<br />
antara seorang nasionalis sekular dan<br />
ulama, seperti terjadi dalam konteks<br />
Indonesia, tetapi antara ulama sendiri.<br />
Posisi Mawlana ‘Uthmani adalah<br />
menentang nasionalisme vis-a-vis<br />
Mawlana Madani yang mendukung ide<br />
itu.<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
16
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
III<br />
P r o j e c t<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Setelah berakhirnya era kolonialisme<br />
yang kemudian ditandai dengan<br />
lahirnya sejumlah negeri-negeri<br />
Muslim, tantangan yang dihadapi<br />
oleh lembaga ulama tidaklah surut,<br />
bahkan makin akut. Di berbagai negeri<br />
Muslim, termasuk India dan Pakistan,<br />
sejumlah negeri Muslim mencoba<br />
melakukan konsolidasi, antara lain<br />
melalui reformasi lembaga-lembaga<br />
tradisional yang ada dalam masyarakat<br />
Islam, seperti lembaga keulamaan dan<br />
madrasah. Proyek reformasi ini, yang<br />
menarik, didukung baik oleh kalangan<br />
Islamis, modernis, maupun (sebagian)<br />
kalangan sekularis. Reformasi ini bisa<br />
mengambil banyak bentuk, antara lain<br />
modernisasi madrasah, perombahakan<br />
kurikulum, penyatuan administrasi<br />
lembaga-lembaga yang menjadi sumber<br />
pembiayaan ulama (seperti waqaf) di<br />
bawah adminitrasi negara, atau pun<br />
reorganisasi lembaga ulama itu sendiri.<br />
Contoh yang baik adalah Universitas<br />
Al-Azhar, lembaga pendidikan Islam<br />
tradisional yang menjadi pusat<br />
pengembangan ilmu-ilmu Islam klasik.<br />
17
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
Inilah lembaga yang memproduksi<br />
secara terus-menerus selama ratusan<br />
tahun kelas sosial yang disebut<br />
ulama. Lembaga ini, seperti pernah<br />
ditulis dengan baik oleh Malika<br />
Zeghal dalam karyanya yang sudah<br />
menjadi klasik (Gardiens de l’Islam:<br />
Les ulama d’al-Azhar dans l’Egypte<br />
conremporaine [1995]), mengalami<br />
perubahan-perunbahan penting,<br />
terutama sejak abad ke-19. Perubahan<br />
paling penting tentu dimulai dengan<br />
reformisme Muhammad Abduh yang<br />
kemudian, secara internal, dieksekusi<br />
lebih jauh oleh dua ulama penting,<br />
Musthafa al-Maraghi dan Mahmoud<br />
Syaltout. Perubahan paling radikal<br />
terjadi pada 1961, setelah Presiden<br />
Nasser meletakkan lembaga ini di<br />
bawah kontrol pemernintah secara<br />
penuh, antara lain ditandai dengan<br />
jabatan rektor yang diangkat oleh<br />
negara dan posisi Syaikh al-Azhar yang<br />
diletakkan di bawah kementerian wakaf.<br />
Sementara itu, pengelolaan wakaf yang<br />
menjadi basis pembiayaan lembaga<br />
ini diletakkan di bawah wewenang<br />
kementerian wakaf. Dengan demikian,<br />
otonomi ulama menjadi berkurang jauh<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
18
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
dibandingkan dengan era sebelumnya.<br />
Dengan bentuk yang beragam, model<br />
yang ditempuh oleh pemerintah Mesir ini<br />
terjadi di negeri-negeri Islam yang lain.<br />
P r o j e c t<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Yang menarik adalah proyek Islamisasi<br />
negara yang berkembang di sejumlah<br />
negeri Muslim, antara lain Pakistan<br />
pasca-partisi pada 1947, tidak seluruhnya<br />
menguntungkan ulama sebagai kelas<br />
sosial. Pada saat Presiden Zia ul-Haq<br />
melancarkan program Islamisasi, antara<br />
lain melalui Shari’a Ordinance pada 1988,<br />
ada kehendak politis dari pemerintah<br />
Pakistan saat itu untuk menyelaraskan<br />
semua hukum yang ada di negeri itu<br />
dengan syariah Islam. Semua UU atau<br />
hukum yang berlawanan dengan syariah<br />
akan dibatalkan. Inilah yang disebut<br />
dengan “repugnance clauses”. Hanya<br />
saja, wewenang untuk menentukan<br />
apakah sebuah perundang-undangan<br />
sesuai atau tidak dengan syariah berada<br />
pada High Court atau Mahkamah Agung<br />
yang umumnya didominasi oleh para<br />
juris yang terdidik dalam sistem hukum<br />
Barat, bukan pada Federal Shari’at Court.<br />
Munculnya ide “negara Islam” sebagai<br />
proyek politik, dengan demikian,<br />
19
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
tidak dengan sendirinya menaikkan<br />
reputasi dan pengaruh ulama sebagai<br />
kelas sosial. Dalam praktek seharihari,<br />
apa yang disebut “negara Islam”<br />
biasanya hanya menguntungkan<br />
dua pihak: kalangan modernis atau<br />
Islamis/revivalis. Sementara kalangan<br />
ulama sendiri cenderung berada pada<br />
pinggiran, dan kurang memainkan peran<br />
yang penting dalam administrasi atau<br />
penyelenggaraan lembaga yang berkaitan<br />
dengan kepentingan umat Islam sendiri,<br />
seperti madrasah misalnya. Dengan kata<br />
lain, proyek negara Islam, pada akhirnya,<br />
mewarisi sindrom politik serupa yang<br />
dialami oleh negara nasional non-agama<br />
yang lain. Negara-negara nasional yang<br />
lahir pasca era kolonial ini, termasuk<br />
di negeri-negeri Muslim sendiri, pada<br />
akhirnya dihadapkan pada imperative<br />
konsolidasi negara, unifikasi sistem<br />
hukum, reformasi lembaga-lembaga<br />
sosial, yang keseluruhannya cenderung<br />
menempatkan kelas ulama pada posisi<br />
defensif.<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
En toch demikian, kelas ulama tetap<br />
berhasil menjada terus eksistensinya<br />
sebagai kelas sosial, berikut lembaga-<br />
20
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
lembaga yang menyokongnya. Melalui<br />
praktek diskursif yang sudah dikenal<br />
oleh kelas ini sejak lama, misalnya fatwa<br />
atau syuruh (komentar atas karya klasik<br />
yang sudah ada), mereka mencoba<br />
mempertahankan dirinya tetap relevan.<br />
P r o j e c t<br />
D<br />
k a a n<br />
i t a<br />
i g<br />
Yang menarik adalah bahwa berbeda<br />
dengan kalangan modernis atau Islamis/<br />
revivalis, kalangan ulama cenderung<br />
a-politis dan, hingga tingkat tertentu,<br />
juga berwatak “quietist” atau “damai”<br />
(tak membangkang pada kekuasaan<br />
yang ada). Ini diperlihatkan, misalnya,<br />
dengan munculnya dua gerakan ulama di<br />
India. Yang pertama adalah munculnya<br />
kelompok Nadwat al-Ulama (Abul Hasan<br />
Ali al-Nadwi adalah ulama yang populer<br />
yang lahir dari kelompok ini) yang<br />
mencoba melakukan reformasi atas Islam<br />
tetapi dengan tetap menjaga semangat<br />
a-politisme ala Muhammad Abduh.<br />
Yang kedua adalah gerakan Tabligh-i<br />
Jamaat yang terkenal itu. Kedua gerakan<br />
yang diprakarsai oleh ulama di India ini<br />
memperlihatkan watak a-politis yang<br />
sangat kuat. Mungkin karena watak yang<br />
semacam inilah, kelas ulama di negeri<br />
Islam manapun paling mudah melakukan<br />
21
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
kompromi dengan kekuasaan politik<br />
yang ada di negeri mereka masingmasing<br />
– sikap yang kontras dengan<br />
kalangan Islamis yang umumnya<br />
“resistant”, baik terhadap kekuasaan<br />
eksternal (hegemoni Barat, misalnya)<br />
atau kekuasaan domestik yang mereka<br />
anggap sekular.[]<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
22
l<br />
Edisi 013, April 2012<br />
Review Buku<br />
P r o j e c t<br />
D<br />
k a a n<br />
© 2012<br />
Review Buku ini diterbitkan oleh<br />
Democracy <strong>Project</strong>,<br />
Yayasan Abad Demokrasi.<br />
i t a<br />
Jika Anda berminat mendapatkan buku<br />
(ebook) yang direview, silakan isi<br />
form permintaan.<br />
i g<br />
Kode buku: MQZ001<br />
23