11.07.2015 Views

Membela Kebebasan Beragama 2 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 2 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 2 - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–MEMBELAKEBEBASAN BER AGAMAKPercakapan tentang Sekularisme,LIberalisme, dan Pluralisme(Buku 2)Penyunting:Budhy Munawar-RachmanPenyunting Pelaksana:Tantowi AnwariPengantar:Ihsan Ali-FauziSamsu Rizal PanggabeanTrisno S. SutantoEdisi DigitalJakarta 2011


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–MEMBELA KEBEBASAN BERAGAMAPercakapan tentang Sekularisme, LIberalisme, dan PluralismePenyunting:Budhy Munawar-RachmanPenyunting Pelaksana:Tantowi AnwariPewawancara:Muhammad Akib, Didi Ahmadi, Saidiman, Moh. Syifa Amin, Widigdo,Iqbal Hasanuddin, Rifah Zainani, Moh. Hanifudin Mahfuds, AhmadMustopa, Moh. ShofanPengantar:Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean, dan Trisno S, SutantoPewajah Sampul: mps creativaFoto Isi: KhoeminiEdisi DigitalDiterbitkan oleh:<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>Yayasan Abad Demokrasiwww.abad-demokrasi.comLayout dan Redesain cover: Aryo CeriaRedaksi: Anick HT


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong><strong>Beragama</strong>Percakapan tentang Sekularisme,Liberalisme, dan Pluralisme(Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pemisahan antara agama dan politik dalam sekularisasi berkaiterat dengan pemisahan antara ruang privat dan publik dalamliberalisme, yang menjunjung tinggi kebebasan individu, kebebasanpolitik dalam partisipasi demokratis, kesamaan antarmanusia,dan pluralisme. Dalam konteks pluralisme, liberalismedikaitkan dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan menganutbentuk-bentuk kehidupan tertentu. Liberalisme pun menegaskan:setiap pengambilan kebijakan publik harus dipisahkanantara problem-problem yang menyangkut publik secara luas(tanpa membedakan agama, etnisitas, dan orientasi politik) denganbentuk-bentuk kehidupan spesifik. Itulah yang disebut sebagaithe problem of justice. Maka, model ideal yang lebih tepatuntuk Indonesia adalah masyarakat demokratis, pluralistik, danmultikultural yang diwadahi oleh budaya Islam yang moderat,liberal, dan toleran.F. Bud Hardman –477


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tertentu. Oleh karena itu, yang sentral dalam liberalisme adalahpemisahan antara ruang publik dan ruang privat.Mengapa demikian? Karena berabad-abad totalitarianisme agamadi Abad Pertengahan Eropa telah dilihat sebagai tidak adanyapemisahan antara ruang publik dan ruang privat. Otoritas politis,pada masa itu, menganggap dirinya memiliki kewenangan untukmengarahkan sikap-sikap individual dalam nilai-nilai yang sangatpersonal, seperti agama, etika dan sebagainya. Akibatnya kekuasaannegara menjadi berlebihan. Ditambah lagi Eropa di awal jamanmodern telah mengalami perang agama antara Katolik dan Protestanselama tiga dasawarsa. Salah satu hikmah dari perang agamayang kemudian ditarik oleh liberalisme adalah asas netralitaspolitik dari pandangan-pandangan hidup spesifik keagamaan. Didalam perang agama ada klaim-klaim kemutlakan dari masingmasingagama yang saling berbenturan dan ingin memaksakankalim-klaim itu kepada penganut agama lain. Hal itu menurutliberalisme hanya bisa diatasi dengan pemisahan antara ruang publikdan ruang privat. Pemisahan kedua hal itu sendiri, berbeda denganpemisahan antara agama dan politik dalam sekularisasi, meskipunkeduanya saling berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain,liberalisme mengandaikan sekularisasi karena masyarakat dan negaradipisahkan seperti juga negara dan agama.Yang disebut the problem of justice dan the problem of good lifeitu berasal dari diskursus etika politik abad ke-20 antara golonganliberalisme dan komunitarianisme, sebagaimana terjadi antara MichaelSandel, Alasdair McIntyre dan Charles Taylor di satu pihakdan John Rawls di lain pihak. Buku Sandel Liberalism and the Limitof Justice dan buku Ralws A Theory of Justice sangat sentral dalamdiskusi itu. Diskusi itu sendiri, sejatinya, lebih matang dan progre-F. Bud Hardman –481


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–berkait dengan komunitas-komunitas tertentu entah agama, etnik,maupun organisasi-organisasi dengan basis nilai tertentu. Kelompok-kelompokyang beragam dalam masyarakat lebih sulit mencapaisaling pengertian mengenaigood life ini daripada Kata sekularisme itu sendiri adalahmengenai justice. Karena itu ‘tipe ideal’ (dalam pengertian Maxnegara liberal secara normatifmembatasi dirinya pada Saya katakan tipe ideal karenaWeber) untuk suatu bentuk pemikiran.the problem of justice. Kelompok-kelompokdari berbagaikita, dalam konteks itu, mencobamengidealkan suatu sikap. Meskidemikian kita tidak bisa mengatakanorientasi nilai religius, etnis,bahwa bentuk ideal itu akanpolitis dan seterusnya. mestidipraktikkan secara sama di berbagaisepakat tentang infrastrukturnegara. Lebih daripada itu, dalamdan manajemen politik yang kenyataannya tidak ada seorangdapat mewujudkan keadilan manusiapun yang sangat sekularistis.sebagai fairness dalam masyarakatmajemuk itu. Namun seperti itu, maka dia adalah orangKalau bisa ditemukan orang yangmereka tidak perlu mencari yang berpandangan sangat sempitkesepakatan mengenai jalan sedemikian rupa sehingga hanyakeselamatan yang secara spesifikditawarkan secara ber-mengakui keberadaan atau eksistensidunia ini seraya menolak dimensitransendental.beda-beda oleh agama yangberbeda-beda. Kita bahkanboleh membayangkan penerimaan semacam pasar bebas penyebaranagama sebagai konsekuensi sikap liberal, sejauh misi pentobatan itumenjauhkan diri dari paksaan, manipulasi dan kekerasan. Negarabertindak hanya jika ada kebebasan individu atau kelompok yangdilukai atau jika ada masalah keadilan.F. Bud Hardman –483


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekarang marilah kita lihat masyarakat kita yang sangat majemuk.Di situ ada begitu banyak gaya hidup dan orientasi nilai.Sebut saja orang-orang kebatinan, komunitas Muslim, komunitasKristiani dengan berbagai macam aliran dan praktik di dalamnya,yang masing-masing mempunyai cara berpikir spesifik, dan kelompokberambut punk yang juga ada di beberapa tempat. Belumlagi ada suku-suku yang masing-masing mempunyai bayangan-bayanganspesifik tentang bagaimana menjadi bahagia sebagai anggotakelompok-kelompok itu. Kaum kaya dan kaum miskin jugamenambah cara kategorisasi sosial itu. Masing-masing memilikiorientasi nilainya yang berkembang lewat ruang dan waktu. Pemudapunk mungkin saja merasa berbahagia dengan perlawanannyaterhadap kultur mapan. Para penjaga tradisi melihat kebahagiaandalam pemeliharaan nilai-nilai kultural mereka. Belum lagi yangterkait iman religus, seperti ajaran-ajaran tentang keselamatan finaldan kebenaran iman. Semua itu memiliki implikasi praktis dalamorganisasi, visi, cara bertindak dan sikap-sikap terhadap kelompokklompoklain. Banyak kontradiksi nilai dalam masyarakat majemukseperti masyarakat kita, dan nilai-nilai yang dianggap benaroleh satu kelompok tidak dapat diuniversalkan begitu saja untukkelompok-kelompok lain, sehingga nilai-nilai itu tetap partikular.Itulah contoh aspek yang disebut the problem of good life.Tentang kemajemukan ini liberalisme menempatkannya padaruang otonom yang tidak dicampuri oleh negara. Salah satu kalimattermasyhur berasal dari seorang filosof Pencerahan Jerman diabad ke-18, Immanuel Kant, yang dalam posisi ini dikenal sebagaiperintis liberalisme. Dia mengatakan bahwa tak seorang pun bolehmemaksaku untuk menjadi bahagia. Menurutnya kebahagianadalah masalah personal dan privat. Kant mengatakan ini dalam484– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kaitan dengan negara. Baginya, otoritas politis tidak berwewenanguntuk menentukan jalan hidup warganya agar menjadi bahagia.Negara juga tidak berwewenang atas keputusan eksistensial individuatas keselamatannya, maka orientasi-orientasi nilai partikularseperti agama atau etnisitas berada di bawah wewenang kelompokkelompokpartikular itu.Suatu otoritas politis seperti pemerintah negara yang merasaberhak untuk menentukan jalan hidup, kebahagiaan atau keselamatanfinal para warganya telah mengaburkan batas antara ‘membahagiakan’dan ‘menindas’.Misi untuk menyelamatkanLiberalisme adalahjiwa dari api neraka yang dilakukanoleh negara macam suatu problem, yaitu absolutisme danstrategi untuk menghadapiitu pastilah dialami oleh paratotalitarianisme agama.individu sebagai teror. Karenaitu perpaduan antara agamadan politik di tangan satu otoritas akan mengancam kebebasansipil warga negara. Doktrin keselamatan suatu agama, jika dipakaisebagai doktrin resmi negara, akan berubah menjadi ideologi kejiyang menindas agama-agama lain.Apakah distingsi semacam itu tidak akan condong pada suatu sikappemisahan absolut, sehingga akan menjurus kepada ketidakadilantertentu. Misalnya, terhadap kalangan pemeluk agama tertentu yangmerasa harus menerapkan nilai-nilai yang diyakininya ke dalamaturan legal-formal?Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa distingsi-distingsiitu harus kita terapkan dalam ranah yang berbeda-beda. KalauF. Bud Hardman –485


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–berbicara tentang distingsi antara negara dan masyarakat, atau ruangpublik dan ruang privat, kita sedang berbicara secara institusionaldan struktural, yakni tentang bagaimana masyarakat liberalmenata dirinya. Sedangkan kalau berbicara tentang the problemof justice dan the problem of good life berarti kita sedang berbicaramengenai macam-macam tema persoalan dan bentuk kebijakandalam demokrasi. Kita alokasikan di mana problem itu sehinggatidak tercampur satu sama lain, lebih dari kerangka metodologidan epistemologi. Bila suatu konsensus atas norma publik tertentumerupakan ungkapan kepentingan kelompok tertentu dan tidakmencerminkan kepentingan umum, kita sebut itu sebagai theproblem of good life, namun bila suatu diskusi melibatkan persoalanyang menyangkut kepentingan kemanusiaan, kita sebut itu theproblem of justice.Persoalan yang tadi Anda ajukan adalah apakah distingsi semacamitu tidak akan condong pada suatu sikap absolut pemisahan, sehinggaakan menjurus kepada ketidakadilan tertentu juga. Itu benar.Namun, liberalisme itu sendiri terus berkembang. Kita bisa melihatbahwa dewasa ini, dari akhir abad ke-20, praktik masyarakat-masyarakatliberal tidak sungguh-sungguh liberal seperti dalam teorinya.Hampir setiap kelompok dalam masyarakat liberal mengklaim diriliberal, meski sebetulnya juga neo-konservatif. Bisa dikatakan bahwaideologi liberalisme dewasa ini telah mengalami kemerosotan karenavariasi-variasi dalam pelaksanaannya. Ide tentang pasar bebas dansebagainya juga tidak secara murni diterapkan di berbagai negara.Begitu juga soal pemisahan ruang publik dan ruang privat. Sebab banyakkaum liberal sendiri yang justru menentangnya. Kaum feminis,misalnya, sangat tidak nyaman dengan pemisahan itu, karena justrubegitu banyak proteksi ketidakadilan atas nama pemisahan itu.486– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ada satu diskusi di Amerika dan Eropa tentang asas netralitasyang sangat sentral dalam proses legislasi dalam sistem hukumliberal. Asas itu mengatakan bahwa negara harus bersikap netralterhadap masalah good life tadi dan tidak mengintervensi apa-apayang berada di ranah privat. Kalau ada kekerasan dalam rumahtangga lalu diproteksi dengan suatu alasan bahwa masalah itu adalahmasalah privat yang tidak bisa dimasukkan ke dalam diskusipublik, tentu kaum feminis akan sangat berkeberatan.Lantas, apa makna netralitas itu? Dalam diskusi itu beberapapihak, seperti Habermas di Jerman, sampai pada kesimpulan bahwaasas netralitas tidak bisa dipahami secara mutlak. Artinya isuisudi dalam ruang privat juga boleh ditampilkan ke ruang publiksejauh relevan sebagai masalah publik. Lebih dari itu, karena isuisudalam ruang privat terkadang juga bersentuhan dengan masalahkeadilan. Tegasnya, isu privat tidak bisa langsung diblokir untuktidak boleh dibicarakan sebagai diskusi publik. Blokade semacamitu hanyalah alasan untuk melakukan represi terhadap problemproblemyang sebenarnya bisa masuk ke dalam ruang publik. Tetapi,hasil dari diskusi itu, meskipun ada inklusivitas dan fairnessserta keterbukaan dalam masalah privat yang bisa diangkat ke ruangpublik, tidak semua masalah dalam ruang privat bisa mendapatkualifikasi publik. Masalah itu harus terlebih dahulu diujisecara publik, apakah benar-benar bisa masuk ke masalah publik,atau tetap hanya menjadi masalah privat. Misalnya, seorang anakdilecehkan secara seksual oleh bapaknya, atau seorang istri diperkosadi dalam rumah tangganya. Masalah-masalah seperti ini sangatlahsubtil. Apakah ini persoalan keadilan atau masalah privat?Determinasi itu haruslah diperiksa di bawah sorotan publik juga.Artinya, dalam diskusi publiklah kekerasan dalam rumah tanggaF. Bud Hardman –487


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dapat ditentukan sebagai persoalan privat atau publik. Itu tak bolehdiblokade oleh aturan hukum begitu saja. Tema tidak bolehdibatasi dengan asas netralitas itu, namun prosedur diskusi publiksedapat mungkin harus tetap netral dari intervensi pemerintahdan kepentingan pasar.Itu satu hal. Lain hal dengan yang Anda tanyakan. Agama,dalam berbagai ekspresinya, memang boleh berperan di dalampartisipasi demokratis. Kendatipun begitu, yang harus dipastikansebelumnya adalah mana yang memang menjadi problem privatdan mana yang bisa masuk sebagai problem publik, seperti dalambidang pendidikan yang cukup dilematis dalam menentukangaris batas privat-publiknya. Pendidikan bersifat publik, karenapendidikan membuka aksesnya kepada publik dan publik bisa secaraluas berpartisipas di dalamnya. Dan mengapa disebut privat?Karena diselenggarakan oleh masyarakat dengan orientasi nilainyamasing-masing.Lalu kalau itu diselenggarakan oleh lembaga agama dengan ekspresikeagamannya yang sangat spesifik, bolehkah lembaga pendidikanini ikut serta di dalam kebijakan publik pendidikan? Dalampolitik sekular jawabannya adalah boleh, sejauh tidak membawaalasan religius ke dalam pengambilan keputusan publik. Misalnya,separasi antara pria dan wanita di dalam sekolah-sekolah denganalasan norma religius yang melarang persentuhan di antara keduajender. Masalah seperti itu seharusnya bisa dinalar tidak sematadari sudut teologi moral yang sangat spesifik dalam agama itu,melainkan juga dari sudut hak-hak asasi manusia universal. Dalamterang hak-hak asasi manusia itulah persoalan itu dapat dibahaspada level publik, sementara kebandelan untuk bertahan padaperspektif religius sektarian justru membuat persoalan itu tetap488– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–berciri partikular. Ternyata di hadapan norma universal hak-hakasasi manusia, alasan-alasan teologis moral spesifik yang mendasaripengaturan sosial-religius-pedagogis itu tampak sebagai problemketidaksetaraan jender. Ini merupakan the problem of justice, makamenjadi minat publik. Memblokade kebijakan separasi itu sebagaipersoalan privat kelompok religius tentulah semacam legitimasi bagiketidakadilan jender. Publik yang lebih luas daripada komunitaseksklusif yang mengklaimprivasi itu berkepentingan Liberalisme adalah ideologi modernuntuk mempersoalkan ketidaksetaraanjender. Sebab bermacam-macam sikap dalampar-excellence. Gagasan ini memilikiitu, pemisahan publik dan ekspresinya. Prinsipnya adalahprivat tidak bisa mutlak.menjunjung tinggi kebebasanindividu, kebebasan politik dalamSebaliknya, alasan-alasanpartisipasi demokratis, kesamaanreligius kadang juga mengandungnilai-nilai univer-antar-manusia, dan pluralisme.sal. Misalnya, pandanganpandangantentang kemanusiaan universal dan solidaritas moralumat manusia yang berciri inklusif dan kosmopolitan tentulahmerupakan impuls positif bagi pluralisme yang terkandung dalamsetiap agama. Di samping ciri eksklusifnya dalam mengklaim solusikeselamatan final, agama-agama juga memiliki ciri inklusif dalampandangan humanisnya dan keadilan sosial bagi semua manusia.Bagaimanapun modernitas dengan humanisme universalnya turutmembebaskan potensi agama-agama untuk melihat manusia lebihluas daripada sesempit umat mereka saja. Vitalitas potensi ini merupakankontribusi bagi toleransi.Kembali pada pertanyaan Anda. Sebenarnya pemisahan itutidaklah rigid. Itu hanya cara bicara dan cara memandang yangF. Bud Hardman –489


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kemudian masuk ke dalam praktik-praktik hukum, yang masihfleksibel terhadap diskusi terus-menerus.Ada kekhawatiran yang sangat akut bahwa kalau agama juga ikutterlibat ke dalam wilayah publik, dengan memaksakan nilai-nilainyamenjadi aturan publik, yang akan terjadi adalah tindakan eksklusiterhadap agama dan keyakinan yang lain. Tetapi hal itu dibantahdengan contoh lain, bahwa gereja, sebagai simbol agama, seperti diFilipina atau di Amerika justru membantu mendiseminasikan wacanaliberalisme. Makanya kemudian ada konsep deprivatisasi. Agamatidak lagi hanya menjadi urusan individu yang selalu berada di ruangprivat, melainkan bisa menampakkan wajah publiknya dengan lebihmenghargai nilai-nilai liberalisme dan pluralisme. Justru konteks itulahyang paling bisa dipakai untuk saat sekarang. Kita juga mengenal,kendati mungkin masih debatable, ada gagasan pos-sekular. Apakahmasyarakat pos-sekular akan membuat wajah baru agama di mukapublik menjadi ramah dan toleran; atau seperti apakah masyarakatpos-sekular itu sebenarnya? Dan bagaimana seharusnya wajah publikagama ditampakkan?Ada sebuah buku baru yang ditulis oleh Peter Sloterdijk yangberjudul Zeit und Zorn (Waktu dan Murka). Tesis yang diwakilinyaadalah bahwa masyarakat Barat dibangun atas kemarahan.Filsuf kontemporer ini membuat interpretasi bahwa dari zaman kezaman isi peradaban Barat adalah revolusi dan kemarahan. Salahsatu bentuk kemarahan itu semestinya juga apa yang lalu menjadiliberalisme itu. Maksud saya liberalisme adalah suatu strategi untukmengatasi suatu ekses atau trauma yang ada di masa lalu dalamtotalitarianisme agama. Untuk menghilangkan totalitarianisme aga-490– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ma, masyarakat Barat bertindak eksesif dengan membuat pemisahanyang absolut (liberalisme). Namun dari situ, mereka juga menemukankebijaksanaan dan sikap-sikap yang bisa mereka pakai untukmenghadapi pluralitas seperti yang ada sekarang. Liberalisme adalahstrategi untuk menghadapi suatu problem, yaitu absolutisme dantotalitarianisme agama. Dalam arti ini, jalan sejarah Barat cukupkhas. Namun jika menilik bahwa modernitas di Timur juga berbenturandengan feodalisme,proses emansipasi untuk Negara liberal secara normatifmenjadi liberal ternyata universal,meski tak harus lewat of justice. Kelompok-kelompok darimembatasi dirinya pada the problemrevolusi seperti di Barat. berbagai orientasi nilai religius, etnis,politis dst. mesti sepakat tentangKalau melihat suatu persoalan,kita tidak bisa begi-infrastruktur dan manajemen politikyang dapat mewujudkan keadilantu saja menerapkan kebijakanliberal seolah-olah suatumajemuk itu.sebagai fairness dalam masyarakattongkat ajaib yang dapat menyelesaikannyadengan seketika.Maka menjawab persoalan agama yang hendak ikut sertadalam kebijakan publik pun kita tidak bisa menjawabnya secarahitam putih. Memang peran agama dalam pengambilan keputusanpublik tidak pasti mengacaukan. Akan tetapi pastilah mengacaukanjika politk agama itu bersikap picik, tidak dewasa, berkutat denganperspektif etnosentrisnya, tidak mencoba mentransendensi perspektifnyadengan mengambil alih perspektif kelompok lain, dan bersikeraspada pandangan dunianya yang imune terhadap kritik danmasukan dari luar. Bahaya sesungguhnya tidak berasal dari alasanreligius itu sendiri, melainkan dari sikap-sikap kaku dan tertutupuntuk menolak komunikasi.F. Bud Hardman –491


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya membedakan antara para penganut agama pada umumnyadengan para penganut agama yang mengalami kepanikan. Sebut sajaorang-orang yang panik ini adalah orang-orang yang tidak tahanmelihat kemajemukan dan mencari sistem kepastian yang eksklusifdalam agama mereka. Oleh sebab itu mereka kemudian membentuksuatu pulau sendiri guna mengimunisasi diri dari luar dan merasabahwa sudut pandangnya itu adalah yang terbaik dan paling benar.Kalau orang-orang panik ini masuk ke dalam diskusi publikdan ikut campur dalam kebijakan-kebijakan publik bisa berbahayakarena perspektif triumphalistis mereka akan memacetkan dialog.Fundamentalisme bukanlah sekadar persoalan politis atau ideologis.Ada akar-akar psikologis yang dapat menjelaskan mengapaseseorang menjadi begitu kaku, sempit dan tertutup dalam keyakinanreligiusnya, yakni pencarian kepastian deduktif atas segalapersoalan di tengah-tengah kepanikan hatinya berkonfrontasi denganrelativisme nilai dewasa ini. Dalam fanatismenya ia merasamendapatkan tongkat ajaib untuk menyelesaikan segala persoalanitu. Tentu saja keyakinan semacam itu absurd, sebab dunia di luarkepala sang fanatikus tentulah lebih kompleks dan plural daripadadunia di dalam kepalanya. Kesulitan berdialog dengan mereka disebabkanantara lain oleh mekanisme sistem imun dalam jiwanyayang sedang panik yang tanpa disadarinya telah beralih menjadikeyakinan berlebihan tentang dogma imannya.Tetapi orang-orang beragama atau orang-orang beriman tidaksemuanya panik seperti itu. Ada yang tenang, sumeleh, dan terbukaterhadap bermacam-macam nilai di dalam masyarakat. Bahkandari agama sendiri ada nilai-nilai universal yang bisa dibangununtuk gerakan seperti yang ada di Filipina. Jadi persoalan sesungguhnyamungkin tidak semata-mata terletak pada agama itu sen-492– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–diri, tetapi pada proses marginalisasi sosial, ekonomis atau politis.Marginalisasi akan menghasilkan dua sikap, mereka yang panikdan mereka yang, karena kultur dan kedalaman penghayatannya,lebih tenang dan tidak panik. Mereka yang panik, langsung akanmerespons dengan fanatisme, merasa bahwa agama menjadi satusatunyasolusi untuk menyelesaikan persoalan. Di sini agama segeraberubah menjadi alat kuasa. Yang sakral dalam agama dinodaidengan agresi dan arogansi.Saya sepakat bahwa cukup banyak gerakan demokrasi di berbagainegara yang dimotori oleh kelompok-kelompok denganorientasi religius. Karena dalam nilai-nilai agama juga terdapatmotivasi untuk bergerak sebagaimana diperlihatkan oleh MartinLuther King Jr di Amerika Serikat dan Mahatma Gandhi di India.Keduanya membangun civilcourage dan motivasi untukLiberalisme mengandaikan sekularisasiberkorban. Menurut hematkarena masyarakat dan negarasaya, semangat dan motivasisemacam itu tidak se-dan agama.dipisahkan seperti juga negaramata-mata berasal dari liberalisme,melainkan berakarjauh ke dalam spritualitas religius mereka. Liberalisme, jika hanyadimengerti sebagai kebebasan negatif, bahkan bisa menghasilkankrisis motivasi atau lost of meaning, seperti banyak diulas dalamteori-teori kritis tentang modernitas. Dalam agama ada sumber takhabis-habis untuk menimba motivasi guna keberanian bertindakdan membangun solidaritas. Jika orang memiliki kedewasaan iman,dari agama manapun orang ini akan memiliki cukup keyakinan diridan kemantapan untuk menerima perbedaan nilai dalam berbagaiagama. Karena itu kedewasaan iman juga memberi kontribusi mo-F. Bud Hardman –493


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tivasi yang signifikan untuk formasi keutamaan-keutamaan wargadalam masyarakat demokratis.Selanjutnya tentang masyarakat pos-sekular. Masyarakat possekularmerupakan hasil refleksi dari masyarakat liberal yang sudahmatang. Bagi masyarakat pos-sekular, sudah saatnya sekarang, dalamproses demokrasi, juga harus mengikutsertakan warga negaradengan latar belakang religius untuk berpartisipasi, dan tidak begitusaja memblokade alasan-alasan religius yang diberikan. Mereka yangmau datang dalam proses demokratisasi dengan membawa alasanalasanreligius, harus berusaha sedapat mungkin menemukan intiepistemis dari alasan religius itu, yaitu inti yang bisa dimengertioleh orang-orang dari agama lain supaya bisa dikomunikasikan.Ambil contoh ini: Suatu kelompok religius yang menerima bunuhdiri sebagai tindakan religius yang sakral, tentulah sulit dimengertioleh kelompok-kelompok lain, sampai kelompok ini memberikan‘alasan rasional’ yang ada di balik doktrin tentang bunuh diri itu.Tentu pada akhirnya kelompok pro-bunuh diri ini harus melegitimasikanposisinya dalam wawasan rasionalitas hak-hak asasi manusiauniversal agar dapat diterima secara rasional. Tingkat kesulitanuntuk mencapai saling pengertian dalam hal ini tentu sangattinggi, namun komunikasi rasional itu sendiri sedikit banyak dapatmengubah pandangan-pandangan sempit. Ini contoh ekstrem untukmenjelaskan bahwa dalam diskusi publik kita harus menerjemahkanalasan religius itu menjadi alasan yang lebih rasional. Ada banyakhal lainnya, seperti: praktik korban hewan versus sikap para penyayanghewan, sorban di kepala versus aturan pemakaian helm, danseterusnya. Era pos-sekular dewasa ini telah membuka ruang diskusiantara pihak-pihak dengan latar belakang religius dan pihak-pihak494– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dengan latar belakang sekular di atas platform yang sama, yaitu demokrasidan pluralisme.Tetapi bagaimana dengan konteks Indonesia? Seringkali orang mengatakanbahwa Indonesia ini bukan negara agama, sekaligus jugabukan negara sekular. Padahal kalau kita lihat beberapa elemen dasarnegara, jelas bahwa negarakita dibangun atas dasar Dalam liberalisme, kebebasan itunilai-nilai yang sekular. Itu dipahami dalam kerangka hukum:terbukti dengan kemenangankelompok nasionalis pada mutlak. Dalam liberalisme, orangtidak ada kebebasan yang bersifatpemilu pertama negara kita. yang melanggar hak orang lain bisaAnda sendiri melihat negara dikenakan sanksi. Hal seperti ituini seperti apa?tampak dalam praksis kebebasanmasyarakat liberal sendiri. Bila AndaKita adalah negara yang berkunjung ke masyarakat liberal,masih berada dalam formasi.Kita belum menemukan Yang akan Anda temukan adalahAnda tidak akan menemukan anarki.bentuk yang bisa diartikulasikansecara teoretis-epis-tatanan liberal yang sangat hormatterhadap hukum. <strong>Kebebasan</strong> dalammasyarakat liberal distabilisasikantemologis-metodologis tentangnegara macam apa yangoleh system of rights.sedang kita jalani ini. Kalaumengatakan bukan negara agama dan bukan negara sekular ituhanya “teologi negatif” untuk menentukan suatu identitas. Kalaubukan negara kapitalis, bukan sosialis, bukan negara agama dannegara sekular, kita akan ditagih untuk menjawab pertanyaan: lalunegara apa? Kalau disebut negara Pancasila, negara pancasila itusendiri negara apa? Kita harus menjelaskan modelnya. Persisnya,F. Bud Hardman –495


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–model inilah yang belum terbentuk di negara ini. Model ini masihdalam eksperimen di dalam proses demokratisasi. Kita sedangditantang untuk menemukan kesepakatan inklusif tentang modelyang dapat mewadahi kemajemukan nilai dalam masyarakat kita.Untuk itu memang dibutuhkan tidak hanya kreativitas, melainkanjuga kematangan.Saya justru melihat bahwa proses pembentukannya dimulai dengangerakan reformasi. Sebelumnya, yang lebih bertindak dalameksperimen kita adalah sistem politik. Sekarang masyarakat harusikut berpartisipasi dalam proses pembentukan modelnya. Publik “daribawah” harus ikut serta membentuk model itu. Kalau kita lihat kebelakang, maka, agaknya, nasib menjadi Indonesia itu terkait denganmultikulturalisme dan pluralisme. Kalau mau membuat modelnya,kita tidak bisa lepas dari pluralisme dan multikulturalisme. Apakahmultikulturalisme dan pluralisme ini lebih mempunyai nada dasaratau tekanan komunitarian atau liberal, hal itu bisa berjalan hilir-mudikdalam zamannya. Kalau melihat negara-negara Asia, tampaknya,tekanan komunitarian akan sangat kuat. Yang saya maksud adalahmeskipun masyarakat kita ini majemuk, pluralistik, dan multikultural,kita tetap ingin memberi sedikit banyak sisi substantif tentangkeindonesiaan. Suatu komunitas politis selalu ingin mempunyai kesatuan,warna yang sama. Pancasila tentu merupakan titik-tolak yangvisioner untuk menata pluralitas kultural masyarakat kita, artinyalebih komunitarian. Kutub ini akan selalu mempunyai lawannya,yaitu yang liberal. Jika kita mengambil jalan liberal, suatu gagasaninduk seperti Pancasila tidak boleh dipahami secara substantivistissebagai semacam doctrina domus (ajaran rumah), melainkan hanyasecara kategorial sebagai ruang-ruang interpretasi bebas tanpa sabuknilai-nilai komunitarian.496– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Mungkin model yang lebih tepat untuk Indonesia adalah masyarakatyang demokratis, pluralistik, multikultural yang diwadahioleh budaya Islam yang moderat, liberal dan toleran. Kita tidakbisa lepas dari horison Islam sebagai agama mayoritas. Pluralitasyang lepas sama sekali dari budaya mayoritasnya itu hampir tidakmungkin. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa rumusan atau modelseperti itu mengandung suatu konsekuensi bahwa Islam yangmenjadi horison Indonesia haruslah Islam yang toleran dan moderat.Katakanlah ‘Islam kultural’ dan bukan Islamisme atau Islamideologis. Islam sebagai horizon kultural tentulah berbeda dari Islamsebagai bentuk politis. Pemisahan antara agama dan negaraitu tak bisa ditawar, maka Islam kultural yang menjadi horizonitu memberi kontribusi motivasional utama dalam keutamaan-keutamaanpublik dalam demokrasi pluralistis. Agama harus menghormatiotonomi negara, seperti juga negara harus menghormatiotonomi agama.Bahkan negara liberal Barat pun tetap memiliki nada dasarKristiani-kultural, kendati lebih pada multikulturalisme dan netralitaskulturalnya. Masalah dalam negeri kita akan muncul kalauIslam-nya menjadi rigid. Corak Islamisme macam itu justru akanberbahaya bagi koeksistensi damai dalam kemajemukan. Jika negaramenerapkan kebijakan-kebijakan islamistis tanpa mendengar aspirasiminoritas, akan terjadi atomisasi, isolasi, bahkan bisa menjadiapartheid dan bisa menyebabkan terjadinya disintegrasi nasional.Nasib menjadi Indonesia adalah menjadi demokrasi pluralistik.Nada dasarnya mau bersifat komunitarian atau liberal, tergantungkekuatan politik yang masuk dan menguasai. Kalau mau komunitarian,nada dasar Islam toleran dan moderat harus ada di dalamnyadan kalau mau liberal, mungkin tendensi modernis BaratF. Bud Hardman –497


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang akan banyak berperan di sana. Tegangan ini sendiri mengasyikkan,karena darinya pemikiran-pemikiran sosial akan tumbuhdi negeri ini.Kendati Anda sudah banyak menyinggung masalah liberalisme, tetapikami ingin mendapat klarifikasi tentang anggapan banyak orangyang mengartikan liberal sebagai kebebasan tanpa batas dan terkaitdengan ekonomi kapitalis yang hanya memberi ruang kepada yangkuat. Itu tentu saja pandangan-pandangan yang sudah dimasuki olehnilai-nilai tertentu. Menurut Anda apa dan bagaimana sebenarnyaliberalisme?Ada buku yang menarik dari Rainer Forst, Kontexte der Gerechtigkeit(konteks-konteks Keadilan). Di situ dikatakan bahwa secarahistoris memang liberalisme berjalan bergandengan dengan kapitalisme,karena liberalisme juga sebetulnya muncul sebagai impulsdari perkembangan filsafat dan ilmu-ilmu alam. Pandangan duniamekanistis dalam ilmu-ilmu alam membebaskan manusia dari diktealam dan dari takhayul. Ini disusul dengan emansipasi lain dalamliberalisme, yakni individu terbebas dari dikte kelompok. Karenaitu, liberalisme juga terkait dengan proses ekonomi pasar bebas dimana individu boleh berusaha dan usahanya bisa tanpa batas. Batasusaha individu dalam konteks liberalisme itu hanya ketika berbenturandengan kepentingan orang lain. Maka kepentingan diri,dalam liberalisme, merupakan suatu hal yang tidak diharamkan.Namun, dalam perkembangan lebih lanjut, liberalisme dankapitalisme jelas menjadi dua hal yang berbeda. Mereka yang meresponssisi negatif dari liberalisme, lebih mengacu gagasan tersebutpada abad ke-19, masa awal liberalisme. Liberalisme sekarang498– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–berkembang lebih jauh. Dalam buku Forst ini jelaslah bahwa liberalismesebetulnya bukan kebebasan mutlak tanpa batas dari individu,melainkan suatu konsephukum. Liberalisme bukanhanya sebuah ideologi,Tentang kemajemukan, liberalismemenempatkannya pada ruang otonommelainkan juga suatu theoryof right. Dalam konsep Salah satu kalimat termasyhur berasalyang tidak dicampuri oleh negara.hukum, seorang individu dari seorang filsuf Pencerahan Jermanakan merasa bebas kalau di abad ke-18, Immanuel Kant, yanghak-haknya dijamin secara dalam posisi ini dikenal sebagai perintishukum. Individu mempunyairuang untuk bergerak tak seorang pun boleh memaksakuliberalisme. Dia mengatakan bahwauntuk menjadi bahagia. Menurutnyakarena ada jaminan hukumnya.Namun, untuk men-kebahagian adalah masalah personaldan privat. Kant mengatakan inidapatkan hak itu, seorangdalam kaitan dengan negara. Baginya,individu terlebih dahulu harusmemenuhi kewajiban-untuk menentukan jalan hidupotoritas politis tidak berwewenangkewajiban hukum tertentu. warganya agar menjadi bahagia.Jadi, konsep hak dan kewajibanitu komplementer keputusan eksistensial individu atasNegara juga tidak berwewenang atasdalam liberalisme. Dengan keselamatannya, maka orientasiorientasinilai partikular sepertikata lain, dalam liberalisme,kebebasan itu dipahami dalamkerangka hukum: tidakagama atau etnisitas berada di bawahwewenang kelompok-kelompokpartikular itu.ada kebebasan yang bersifatmutlak. Dalam liberalisme,orang yang melanggar hak orang lain bisa dikenakan sanksi. Halseperti itu tampak dalam praksis kebebasan masyarakat liberalsendiri. Bila Anda berkunjung ke masyarakat liberal, Anda tidakF. Bud Hardman –499


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–akan menemukan anarki. Yang akan Anda temukan adalah tatananliberal yang sangat hormat terhadap hukum. <strong>Kebebasan</strong> dalammasyarakat liberal distabilisasikan oleh system of rights.Jadi kelirulah anggapan bahwa liberalisme adalah kebebasansemutlak-mutlaknya. Pada ide liberalisme awal memang ada ideseperti yang dibayangkan para penentang liberalisme di Indonesia.Misalnya pada Thomas Hobbes dalam Leviathan. Bagi Hobbes, kebebasanadalah tidak adanya kendala untuk bertindak. <strong>Kebebasan</strong>dalam arti ini diartikan oleh Hobbes sebagai hak untuk melakukanapa saja. Konsep hak semacam ini disebut natural liberty, tapijelas bukan civil liberty.<strong>Kebebasan</strong> alamiah semacam itulah yang tersirat pada anarki,yang mungkin menetap pada pikiran orang yang salah mengertitentang liberalisme. Padahal, konsep Hobbes tentang hak itu sudahdikritik dan diatasi oleh Hobbes sendiri dengan mengatakanbahwa kita tidak mungkin mempertahankan hak alamiah semacamitu dalam liberalisme. Kita harus beralih menjadi civil liberty, kebebasansipil. <strong>Kebebasan</strong> sipil itu terjadi lewat kontrak. Sedangkankontrak itu sendiri terjadi lewat melepaskan hak-hak natural untukkemudian tunduk kepada hukum bersama. Hak dan kebebasansipil itulah yang dianut oleh liberalisme. Masyarakat liberal akantunduk kepada hukum yang dilegislasi bersama.Terkait dengan netralitas negara dalam menjamin dan melindungihak-hak individu, bagaimana negara mengupayakan suatu tatananyang fair, adil bagi semua kelompok?Fairness dan netralitas dalam bentuk konkretnya adalah tidakmemihak kepada salah satu aliran termasuk yang mayoritas. Asas500– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–netralitas tidak menghendaki adanya regulasi publik yang dilakukanatas nama agama tertentu tapi mengikat orang dari agama lain.Itu pengertian pertama. Kedua, sebelum ada proses pengambilankebijakan publik, sedapat mungkin negara mengikutsertakan berbagaimacam bentuk kelompok di dalam masyarakat dengan bermacam-macamorientasi nilainya untuk memberikan kontribusipandangan, sehingga akhirnya ditemukan suatu titik tengah yangbisa memuaskan semua pihak. Semua itu normatif. Pada faktanya,tidak semua keputusan publik akan mencapai titik tengah sepertiitu. Yang bisa dilakukan adalah upaya dan adanya itikad baik untukmencapai titik tersebut.Apabila kebijakan publik Iman secara spesifik cenderungkita secara terang-terangan mengeksklusikan iman lain, jikamemihak kelompok tertentu,dalam masyarakat pluralhal itu berkaitan dengan identitaskolektif. Namun jika iman menyentuhkedalaman kemanusiaan universal,hal itu akan langsung dilihatsebagai pemihakan. Haldari iman itu juga termuat suatuharapan untuk melampaui identitasitu justru kontraproduktif.kolektif yang dikira berasal darinya.Maka peraturan-peraturandaerah yang berhaluan padaagama tertentu juga bisa kontraproduktif kalau semata-mata untukmemberi isi identitas. Hal itu adalah bentuk dari politik identitas didaerah-daerah dan akan berbahaya bagi negara secara keseluruhan.Regulasi-regulasi daerah semacam itu kontraproduktif karena akanmengundang sentimen masyarakat yang membuat mereka salingmengisolasikan diri satu sama lain dengan ongkos raibnya solidaritasnasional. Identitas politis tak seharusnya ditimba dari agama,melainkan seharusnya dari konstitusi republik kita.F. Bud Hardman –501


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pada level ini negara harus segera bertindak untuk menengahiprosesnya sehingga perda-perda itu lebih berorientasi nasionalatau bahkan kosmopolitan. Tetapi suatu masyarakat yang hendakberorientsai nasional atau kosmopolitan banyak bergantung padapendidikan, pertumbuhan ekonomi, kematangan kebudayaan, kontakdengan bermacam-macam elemen baik di dalam maupun diluar negeri, dan tentunya juga politik. Pemerintah harus sensitifdan tegas terhadap tendensi-tendensi politik identitas yang mulaimarak di daerah-daerah.Salah satu usul untuk menciptakan suatu tatanan ideal yang seringAnda kemukakan di beberapa media dan kesempatan adalah melauipublic reasoning. Proses itu sendiri meniscayakan semua komponenmasyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk menyumbangkanpendapatnya. Kalau dalam praktiknya, dalam konteks Indonesia,bagaimana public reasoning itu dapat dijalankan? Melalui negaraatau civil society?Tidak boleh melalui negara, harus melalui civil society. Kalau melaluinegara, yang kita dapat hanyalah perpanjangan tangan kekuasaan,seperti dalam klompencapir di masa Orde Baru. Itu kesalahanyang sudah kita lakukan di masa lalu. Saya sangat senang denganradio-radio yang sudah mulai membicarakan tentang kebijakanpresiden, menteri-menteri, bupati dan lain sebagainya, dan kemudianditanggapi oleh pemirsa atau pendengar dengan sangat cerdasdalam memberikan alasan. Forum-forum seminar di kampus danhotel-hotel, diskusi-diskusi di dalam surat kabar, LSM dan lainlainjuga vitalitasnya sangat menggembirakan di Indonesia. Jangansalah mengira bahwa diskusi-diskusi publik kita dangkal-dangkal502– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–saja. Kalau dibandingkan dengan apa yang ada di negara liberal,saya menduga, kedalaman komentar dan kritik dalam pembahasanpersoalan, seperti UU pornografi, mungkin pandangan-pandanganyang dikemukakan masyarakat Indonesia lebih dalam, beragam, danterbuka. Kita kadang-kadang memandang remeh apa yang ada dinegeri kita dan mengagumi yang ada di luar. Padahal, ternyata, apayang berkembang di Indonesia ini sangat menakjubkan.Satu hal yang belum ada di Indonesia yaitu upaya untuk mendokumentasi,mengartikulasikan, mengingat dan menjadikan suatuperistiwa sebagai momentum yang selalu diingat bersama, lantasmembuat suatu studi komprehensif untuk mengetahui arahnya. Sebutsaja, seminar, diskusi dan problem besar yang ada di Indonesia,semuanya hampir hanya seperti performance atau reality show yangmuncul sporadis lalu hilang dilupakan oleh zaman. Tidak ada upayauntuk mencari jalan keluar dan secara komprehensif menyelesaikanmasalah-masalah itu, sehingga kalau suatu ketika ditanya, kitatak mempunyai progress report yang jelas mengenainya. Di wilayahinilah orang kita sangat kurang memberikan respons. Mungkin karenamasyarakat kita terlalu kompleks, atau karena masyarakat kitahanya senang berbicara namun kurang senang mendokumentasi.Masyarakat kita lebih gemar hidup dalam budaya lisan, kurangmembiasakan diri dengan budaya tertulis, mendokumentasikansesuatu, dan mengembangkannya. Akibatnya, begitu banyak peristiwadan tragedi kolektif yang tidak terselesaikan karena kita tidakpernah mau membuka dan mendokumentasikannya.Saya baru saja datang dari Hiroshima, kota yang dulu rata olehbom dan hanya menyisakan satu gereja dan dome, yang mungkinkarena konstruksinya lebih kuat dibanding bangunan lain. SekarangHiroshima menjadi kota modern dan penduduknya menjadiF. Bud Hardman –503


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–orang-orang yang anti-perang. Saya mengunjungi satu museum disana yang isinya dokumentasi lengkap dari jumlah korban sampaicerita individual tentang korban yang dapat diakses melalui internet.Misalnya ada cerita pengalaman seorang korban pengebomanyang berasal dari Jerman yang terdokumentasi secara lengkap. Adajuga cerita korban tentang anak yang pada saat pengeboman kotaitu sedang membawa kotak makanan untuk makan siang. Kotakmakannya masih ada dan cerita mengenai anak itu, mungkin melaluicerita ibunya atau orang-orang yang melihat dan tetap survive,semuanya lengkap terdokumentasi. Hampir semua rombonganpelajar yang berkunjung ke museum ini adalah anak-anak Jepang.Bagaimana mereka belajar dari sejarah sangatlah menakjubkan.Kita juga mempunyai cerita-cerita seperti itu. Kita punya peristiwaG 30 S/PKI, kerusuhan Mei, dan masih banyak lagi, yangsayangnya tidak pernah selesai diungkap. Orang kita perlu beraniuntuk jujur terhadap sejarah, sehingga mampu juga melihat prestasi-prestasisejarah di samping pengalaman-pengalaman negatif didalamnya. Sejak reformasi, kita juga mempunyai prestasi-prestasidalam deliberasi, misalnya kasus tentang RUU-APP (RancanganUndang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi) yang akhirnyadirevisi. Artinya, sistem politik kita memperhatikan juga apa yangberkembang di publik. Itu salah satu prestasi deliberasi yang seharusnyajuga terdokumentasi secara lengkap. Begitu banyak prestasideliberasi lain yang harus dianggap sebagai capaian-capaian. Sebutsaja kasus-kasus pengadilan HAM yang seharusnya disosialisasikanke masyarakat. Banyak yang belum terungkap karena kurangnyakedaulatan pengadilan, namun setiap prestasi kecil yang dihasilkanperlu diapresiasi. Untuk terwujudnya semua itu, kita harus mempunyaiknowledge management yang bagus sehingga sistem pendidikan504– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita dapat menyerap kejadian itu sebagai pelajaran yang objektifdan mencerahkan. Cerita di bangku-bangku sekolah jangan lagihanya memuat cerita masa lalu, tetapi juga yang sekarang: prestasideliberasi kita apa saja, apa yang menjadi demokratis, kebebasanpers bagaimana, dan sebagainya. Tentu semua ini harus berasal daribawah. Jika tidak demikian, hal itu tak lebih daripada propagandapemerintah lagi.Public reasoning merupakan mekanisme yang hanya mengakomodasiwacana yang rasional. Bukankah hal ini sama artinya dengan upayamengeksklusi atau meminggirkan pandangan-pandangan lainnyayang tidak rasional?Jika Anda mempunyai seorang teman yang sedang marah.Salah satu sikap yang mungkin Anda lakukan adalah diam. Karenakalau diajak bicara, hasil pembicaraannya juga mungkintidak akan produktif. Namunyang harus diperhatikan,orang yang marah itu agama, masyarakat Barat bertindakUntuk menghilangkan totalitarianismepada dasaranya ingin menyampaikansesuatu supa-yang absolut (liberalisme). Namuneksesif dengan membuat pemisahanya Anda dengar. Cara yang dari situ, mereka juga menemukankebijaksanaan dan sikap-sikap yangmemungkinkan itu, dia harusmenenangkan diri ter-bisa mereka pakai untuk menghadapipluralitas seperti yang ada sekarang.lebih dahulu untuk tidakLiberalisme adalah strategi untukmarah kemudian baru berbicara.Kalau marah terus-absolutisme dan totalitarianismemenghadapi suatu problem, yaitumenerus dia tidak pernahagama.akan dapat menyampaikanF. Bud Hardman –505


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–apa yang dia inginkan, lalu kita tidak akan pernah saling mengerti.Jadi langkah yang harus dilakukan dalam kasus itu, pertama,Anda harus diam supaya dia tenang. Dan kedua, dia jugaharus menenangkan diri supaya bisa berbicara. Pada akhirnya tohdia juga bicara.Kalau perumpamaan itu saya transfer ke dalam kehidupanbersama secara politis, kelompok-kelompok radikal di masyarakatadalah ibarat orang yang sedang marah. Mereka merasa dirugikandan dimarginalisasikan. Tetapi sebenarnya mereka mau berbicara.Hanya saja, bicara dalam kemarahan adalah kontraproduktif. Olehkarena itu, mereka harus terlebih dahulu menenangkan diri. Harusmencari alasan rasional untuk bisa menyampaikan pesannya. Sebaliknya,kita yang mendengarkan juga harus menenangkan diri,jangan mengajak bicara terus-menerus karena hanya akan menghasilkanhal yang kontraproduktif dan hanya akan menyulut terjadinyaperkelahian. Artinya, selama kelompok-kelompok radikalini emosional dan menggunakan alasan-alasan yang tidak rasional,maka tidak akan pernah bisa memulai pembicaraan, selama itupula tertundalah komunikasi. Tetapi hal itu merugikan kedua belahpihak. Maka, sekali lagi, dalam konteks hidup bersama secarapolitis, pihak yang sedang marah, agar gagasannya bisa diterima,harus terlebih dahulu menenangkan diri dan mencari argumen.Dalam demokrasi tidak ada jalan lain selain menjadi masyarakatyang rasional. Namun rasionalitas sendiri mempunyai berbagai macamvariannya. Salah satu yang harus diperhatikan dalam konteksini adalah rasionalitas publik. Melalui rasionalitas inilah sikap dantindakan seseorang dapat dimengerti oleh publik. Melalui rasionalitasini juga tindak kekerasan terhadap yang lain menjadi sesuatuyang terlarang. Kekerasan hanyalah efek dari frustasi, dan frustasi506– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terjadi karena defisit rasionalitas. Defisit rasionalitas muncul karenakepanikan yang ada di dalam jiwa seseorang. Sedangkan sikappanik sendiri muncul karena marginalisasi dalam masyarakat.Jadi terhadap alasan yang tidak rasional, dalam konteks demokrasi,ada dua sikap yang bisa dikedepankan. Pertama, menundakomunikasi sampai lawan menemukan alasan rasional untuk berbicaradengan kita, dan kitasendiri menenangkan diri Pandangan-pandangan tentanguntuk mencoba mendekati kemanusiaan universal dan solidaritaslawan supaya dicapai titik moral umat manusia yang berciritemu yang saling bisa mendekati.Dan kemungkinan merupakan impuls positif bagiinklusif dan kosmopolitan tentulahkedua, selama lawan yang pluralisme yang terkandung dalamemosional tidak sabar dansetiap agama.tetap melakukan kekerasan,polisi harus turun tangan. Dalam demokrasi, kita membutuhkanpolisi yang kuat. Kalau polisi sudah bersikap netral, aktif, dan adil,keamanan akan bisa ditegakkan.Jadi, mungkinkah dalam konteks Indonesia kesepakatan melalui publicreasoning bisa dicapai, kalau pada faktanya Indonesia terfragmentasisebegitu rupa sehingga sangat sulit menemukan titik temu?Ini masalah yang sangat pelik. Tetapi, untuk tidak mematahkanharapan, dalam buku Niklas Luhmann Soziale Systeme (Sistem-sistemSosial), ada suatu formula yang sangat penting bahwa sistemmerupakan ‘reduksi kompleksitas’. Kalau masyarakat kita begitukompleks, dan kompleksitas itu tidak direduksi, kita tidak akanpernah lepas dari krisis. Salah satu jalan untuk mereduksi komplek-F. Bud Hardman –507


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sitas adalah sistem manajerial negara yang bersih, good governance,sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan keadilansosial masayarakat. Adanya berbagai macam pandangan di dalammasyarakat tidak akan menghabisi negara. Tidak membuat negaramenjadi bubar. Mengapa? Mungkin jawabannya karena kita tetapmemiliki kepentingan bersama, yaitu ingin fasilitas publik bersama,jalan-jalan umum yang tidak macet, ingin birokrasi negara yangtidak memihak, urusan surat-surat yang bebas korupsi, mengurustanah mudah dan baik, mengurus ijin usaha juga lancar, danlain sebagainya. Kita sebagai warga negara dengan macam-macamorientasi nilai tetap ingin mempunyai satu platform bersama hinggabisa saling kita mengerti dalam bidang sosial, politik, ekonomi,dan lain-lain. Jangan membayangkan seolah-olah negara modernitu bisa menjadi monolitis seperti komunitas adat, karena bayanganitu juga berbahaya jika menjadi kebijakan politis. Yang perludicari adalah tatanan bagi pluralitas.Apa yang disebut kepentingan bersama ini akan tetap ada. Salahsatu kepentingan bersama yang tetap ada adalah bahwa seluruhpihak ingin menjadi masyarakat yang demokratis dan pluralistis.Kalau pemerintahnya konsisten pada wilayah itu, disertai denganpertumbuhan ekonomi yang meningkat dan keadilan distributifyang baik, beragam pandangan pun akan bisa dikoordinasikan dandimobilisasi untuk sepakat pada negara. Artinya, negara akan menjadimilik bersama. Tetapi kalau itu gagal, kelompok-kelompok yangtidak sejalan dengan negara (pemerintah) akan merasa mempunyaialternatif untuk memberikan solusi. Itulah bagian dari dinamikapolitik. Bisa saja suatu kelompok menawarkan suatu solusi, meskipun,bisa jadi, nantinya akan dilawan oleh kelompok lain. Namundemikian substratumnya adalah bahwa kita tetap ingin plural, di508– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mana dalam pluralitasnya kita tetap menginginkan pertumbuhanekonomi yang mengesankan dengan keadilan distributif yang dapatdinikmati oleh setiap orang. Tentang perbedaan ideologi dan sebagainya,lama-kelamaan, dalam prosesnya, akan menjadi tidak begitusentral lagi. Seperti dalamnegara maju, perbedaan Pluralisme harus dimengerti sebagaiideologi sudah tidak menjadi suatu tatanan sekaligus sebagai suatusoal hidup dan mati, tetapi kondisi kebebasan tertentu.hanya menjadi cara berpikir.Masyarakat pada fase itu sudah berada pada tingkat moderasi tertentu.Kita belum mencapai tingkat itu, dan perlulah keyakinanbahwa suatu saat kita juga akan bisa mencapainya.Dapatkah Anda mengomentari, pertama, perihal masa depan kemajemukanIndonesia yang iklimnya semakin tidak menggembirakan,terutama ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkanpluralisme, dengan salah satu alasan bahwa pluralisme dapat berakibatpada sinkretisme, pembauran aneka ragam agama dan keyakinanmenjadi satu, sehingga tidak jelas lagi yang mana iman Islamyang murni, yang mana Kristen, Hindu, Budha dan lain sebagainya,sehingga dapat mendangkalkan iman umat; kedua, pluralisme yangjuga dinilai negatif karena hanya akan menghasilkan relativisme?Pemahaman pluralisme seperti itu sangat spesifik MUI. Danperlu ditekankan di sini juga bahwa MUI adalah suatu lembagadengan adresat-nya umat Islam. Dalam konteks itu, berarti MUIbicara pro-domo, untuk rumah, bukan untuk publik, bukan untukorang-orang dari agama lain. Institusi agama memang biasa sepertiitu, karena mempunyai kepentingan untuk integritas dan memberiF. Bud Hardman –509


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–identitas pada umatnya. Persoalan di Indonesia menjadi merembeske mana-mana lantaran Islam menjadi mayoritas dan di kalanganIslam sendiri mungkin belum mempunyai kesepakatan mengenaisekularisasi (apakah agama dan politik itu dipisah atau tidak). Kalaudi dalam gereja Katolik dan Protestan perihal sekularisasi sudahdisepakati sejak lama. Sehingga kalau pemimpinnya mengatakan:“Lawan New age! atau lawan posmodernisme!” hal semacam ituakan ditanggapi sebagai masalah moral dan pembinaan iman, danbukan masalah politik. Masalah di MUI juga seperti itu, yang laludikaitkan dengan politik, kelompok lain, dan sebagainya. Sejauhumat Islam bisa menyikapi bahwa itu adalah fatwa pro-domo, tidakmasalah. Itu persoalan intern, diskursus dalam Islam di Indonesia.Saya tidak bisa menanggapi perdebatan itu. Tetapi kalau fatwa itudimaksudkan untuk seluruh masyarakat, saya keberatan, karenapluralisme tidak sama dengan sinkretisme dan relativisme.Lebih dari itu, sinkretisme bukan sesuatu yang mempunyaikonotasi negatif. Dalam tingkat tertentu, agama-agama juga sinkretis.Setiap agama juga berdialog dan menghasilkan pencampurantertentu dengan kebudayaannya. Meski setiap agama jugamempunyai suatu pretensi untuk murni dari budaya. Itu pretensi.Sementara faktanya setiap agama selalu tercampuri budaya tertentu.Kita bisa mengatakan bahwa mereka yang berpretensi murnisebenarnya hanya berpretensi untuk membentuk kebudayaan sendiri,yaitu kebudayaan puritan. Puritanisme bukan budaya hakiki,melainkan tetap salah satu bentuk kultural.Karena itu, sulit untuk menerima begitu saja bahwa pluralismedan sinkretisme secara umum negatif. Tetapi kalau fatwa itudiucapkan pro-domo, berarti hanya dimaksudkan untuk memberikanbimbingan spiritual. Kalau ini diterima umatnya, maka no510– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–problem. Tetapi kalau umatnya sendiri memberikan respon yangbertentangan dengan fatwa, itu tanda bahwa sebenarnya di situterdapat masalah.Banyak yang mengatakan bahwa pluralisme, dalam konteks Indonesiayang cukup majemuk ini, adalah suatu keniscayaan. Kira-kira modelpluralisme seperti apa yangdalam pandangan Anda lebih Tak ada pertentangan logis antarasantun dan bisa merawat kemajemukantanpa ada perti-sebaliknya, toleransi bersumber dariberiman dan menjadi toleran. Justrukaian dan sebagainya?iman yang benar dan seharusnyamenjadi bagian identitas agama.Pertanyaan ini berbedaSeringkali militansi dan toleransidengan pertanya-an tentang dipertentangkan satu sama lain,MUI. Seka-rang kita berada seolah tidak mungkin menjadidi luar konteks pro-domo. kesatuan: orang yang militan pastiPembedaan publik dan privattetap berguna, meskipun yang toleran tidak militan. Toleransitidak toleran dan sebaliknya orangjangan terlalu rigid. Ketikakita berhadapan denganmilitan adalah suatu pandanganbahwa perjuangan untuk mewujudkantoleransi antaragama merupakankonteks pluralisme di Indonesia,dengan kemajemukanbagian dari pergumulan iman sejatipara warganegara yang religius.agamanya, maka yang harusmasuk adalah wacana nasional,bukan wacana agama. Tetapi jika untuk kalangan intern, wacanaagama jelas diperbolehkan. Sebut saja kalau sebuah seminardihadiri oleh orang dari bermacam-macam agama, maka kita tidakbisa berbicara hanya dalam terminologi agama sendiri. Harus adaF. Bud Hardman –511


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–platform bersama yang kita sepakati sebagai bangsa, demos, warganegara.Modelnya seperti apa? Seperti yang saya katakan tadi, sejarahmembuktikan bahwa pluralisme dikehendaki sejak awal oleh masyarakatkita. Tadi saya katakan, nada dasarnya bisa kita pilih, entahkomunitarian atau liberal – yang dalam hal ini bisa hilir-mudik.Yang saya maksud komunitarian adalah ada warna kultural Islamyang menjadi horison utamanya, dan perlu diingat, Islamnya bukanyang islamisme, melainkan yang toleran, Islam kultural. Halitu akan bisa kita terima bersama. Bahkan orang Kristen yang keluar negeri juga mengatakan bahwa mereka berasal dari masyarakatdengan mayoritas Islam, namun demikian mereka sebagai Kristenmerasa mendapatkan ruang untuk berekspresi di Indonesia. Olehkarena itu, orang Kristiani Indonesia merasa berasal dari latar belakangkultur Islam dan tahu bagaimana Islam di Indonesia. Sungguhpunbegitu mereka tidak merasa bahwa dengan cara demikian,lantas akan beralih iman menjadi Islam. Mereka adalah seorangKristen yang memahami kultur Islam di Indonesia.Atau, pilihannya kita menjadi liberal sama sekali. Artinya, kitatidak sama sekali berbicara tentang Islam. Ini adalah negara RepublikIndonesia yang sekular. Pertanyaannya, apakah Indonesia bisa sepertiitu? Tentunya hal ini tergantung kekuatan politik mana yang maubergerak. Tampaknya kalau melihat dasawarsa-dasawarsa yang lalu,nada dasar komunitarianlah yang lebih diambil, meskipun hal itutetap menggelisahkan mereka yang mencintai kebebasan individu.Indonesia akan memiliki wajah liberal jika makin banyak individuyang menghargai kebebasan dirinya dan kebebasan orang lain.Selera akan kebebasan ini belum cukup tampak, sementara banyakorang mencari tambatan pada komunitas dan otoritas.512– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam perkembangan pemikiran, terutama di Barat, ada kecenderunganmembenturkan antara pluralisme dengan monisme, yang dalamagama tercermin lewat semangat monoreligius dengan karaktermenyingkirkan perbedaan agama dan keyakinan ke dalam pahamagama yang tunggal. Demikian pun yang terjadi di negeri ini, dimana banyak kalangan warga yang melihat Indonesia hanya terjebakpada perbedaan-perbedaan besar, Islam-Kristen, Jawa-sunda, dantidak melihat pada yang lebih mendasar, yaitu perbedaan-perbedaannilai di masing-masing komunitas yang teramat plural. Bagaimanapandangan Anda tentang itu semua?Semua itu, pada dasarnya, masalah steoreotipifikasi kategorikategorisosial. Dalam buku Clifford Geertz yang saya baca edisiJermannya, Die Welt in Stücken (aslinya dalam bahasa Inggris. Artinya:Dunia yang Tercabik-cabik), ditunjukkan bahwa apa yangdikatakan Samuel P. Hantington tentang benturan peradaban, yangmana seolah-olah Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konfusianis merupakankategori-kategori monolotis yang saling dibenturkan. Geertzmembuktikan bahwa yang sebenarnya terjadi tidaklah demikian.Peradaban yang dibentuk oleh agama-agama itu dan praktik agamaagamaitu sendiri tidaklah monolitis, melainkan sangat pluralistis.Dalam buku tersebut ditunjukkan bahwa Indonesia adalah salahsatu contoh di mana begitu banyak kemajemukan yang terbangundari sejarahnya, yakni formasi lapisan-lapisan nilai yang berasaldari etnisitas, bahasa, agama, birokrasi kolonial, modernitas danseterusnya. Kalau melihat seperti itu, benturan antara monisme,dan pluralisme di negeri kita, seperti yang Anda katakan itu, merupakanakibat tidak memahami fakta pluralitas negeri ini. Kitasemua yang mendiami kepulauan nusantara ini mau tidak mauF. Bud Hardman –513


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–harus mengambil sikap pro-pluralisme, jika mau hidup bersamasecara damai.Sekarang persoalannya apakah pluralisme merupakan suatu kondisiyang kemudian hanya kita biarkan. Artinya, kita pasif dan tidakmelakukan aksi sama sekali, atau kita mempunyai suatu proyek untukmemobilisasi sedemikian rupa sehingga pluralisme berada dalamtatanan tertentu yang bisa menjamin keutuhan sebuah masyarakat.Saya cenderung pada yang kedua. Pendapat yang pertama cenderungpada sikap laissez-faire, membiarkan pluralisme menjadi liarterpecah-pecah dan tidak saling mengerti satu sama lain. Dari siniakan terbentuk isolasionisme. Membentuk ‘pulau-pulau’ yang tidaksaling mengerti satu sama lain. Maka dari itu pluralisme harusdimengerti sebagai suatu tatanan sekaligus sebagai suatu kondisikebebasan tertentu. Jika di dalam sebuah agama, misalnya, terdapatbermacam-macam aliran atau sekte, sekurang-kurangnya adasuatu organisasi yang cukup fleksibel yang mencoba mendekatkanmereka untuk saling mengerti. Gerakan-gerakan solidaritas semacamgerakan ekumene dalam kekristenan adalah salah satu contohupaya untuk saling mengerti di antara yang terpecah.Fleksibilitas itu harus ditunjukkan sebagai gerakan solidaritaskemanusiaan yang inklusif, dan bukan sebagai kontrol atau dominasidoktriner. Kita tidak harus mereduksi pluralitas, melainkanmenatanya. Gerakan untuk saling mengerti ini tidak boleh mengeksklusipihak-pihak yang terlepas jauh, yakni yang sangat berbedadari mayoritas, karena sikap eksklusif macam itu justru akanmeradikalkan sikap pihak yang dieksklusi. Sikap yang tepat adalahmengajak bicara sambil membiarkan berkembangnya suatu kategoriyang lebih inklusif untuk menampung pluralitas. Kemampuan dankemauan untuk bersikap inklusif ini tentu saja banyak tergantung514– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pada sejarah identitas dan kedewasaan umat. Begitu juga pluralitaskultural dalam masyarakat kita perlu ditata secara inklusif danbertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang melampauitembok-tembok agama, suku, ideologi, ras, dan seterusnya.Apakah semua yang Anda paparkan tersebut terkait dengan proyekbesar menuju apa yang Anda sebut sebagai toleransi militan?Toleransi militan itu suatu konsep embrional yang lahir prematur,karena belum saya pikirkan secara sistematik. Inti dari konsepitu sendiri berangkat dari anggapan bahwa setiap orang mempunyaiiman, keyakinan dan paham tentang kebenarannya sendirisendiri.Seorang yang beriman dengan tekun tidak bisa mengatakanbahwa semua agama sama saja. Adanya hal-hal yang samadalam berbagai agama tidakberarti bahwa semua agamaIman yang benar tidaksama saja. Anggapan seperti mendehumanisasi manusia-manusiaitu juga yang mau dihindari dari kelompok lain sebagai musuh,oleh agama manapun. Kebenarandi dalam agamaku ti-mendorong upaya-upaya salingkafir atau sesat, melainkan justrupengertian. Seorang yang tolerandak bisa ditawar lagi, namunsecara militan bukanlah sosok yangpengakuan kebenaran ini tidakharus dengan mengeks-mudah goyah di tengah-tengahpluralisme nilai, lalu menjadi laissezklusikan pihak lain sebagaifaire terhadap imannya sendiri. Diatidak selamat. Sebagai suatu malah berupaya menemukan acuanacuankosmopolitan dari khasanahkeyakinan yang menyentuhfondasi eksistensial manusia, religiusnya untuk mendukungagama memang cenderungtoleransi.menjadi sistem pandanganF. Bud Hardman –515


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dewasa yang merasa geli mengenang kepicikan yang dilakukan dimasa kanak-kanaknya.Maka itu, tidaklah mengherankan bahwa dalam perbincanganspiritual, seorang rohaniwan Muslim yang memilik kedalaman spiritualdan seorang rohaniwan Kristani atau Budhis yang juga sangatdalam spiritualitasnya akan dapat berjumpa satu sama lain untukkemanusiaan, meskipunmereka melihat dari perigi Seorang yang beriman dengan tekunrohani yang berbeda-beda. tidak bisa mengatakan bahwa semuaBertolak dari keyakinannya agama sama saja. Adanya hal-hal yangdan dari pengalaman mistiknyasendiri-sendiri, seorang berarti bahwa semua agama samasama dalam berbagai agama tidakberagama yang sangat tinggi saja. Anggapan seperti itu juga yangmau dihindari oleh agama manapun.spiritualitasnya dapat menemukanmistik kemanusiaanKebenaran di dalam agamaku tidakbisa ditawar lagi, namun pengakuanyang sama. Jadi, platform kemanusiaandi semua agama mengeksklusikan pihak lain sebagaikebenaran ini tidak harus denganpada dasarnya sama. Merekabisa bertemu satu samatidak selamat.lain. Persoalan kenapa umatkebanyakan malah saling bertengkar, tak lain karena ajaran-ajaranreligius telah diideologisasi dan membentuk sikap doktriner dandogmatis yang ekstrem bagi umat. Sikap ini yang bisa membentukumat menjadi militan dan tidak toleran. Atau militan atau laissezfairebukanlah sebuah pilihan real bagi toleransi militan. Militansipolitis atas dasar agama seringkali justru berasal dari kurangnyakedalaman iman. Sebaliknya, sikap laissez-faire kerap merupakanbukti ketidaktekunan dalam beriman. Toleransi militan memadukankesalehan religius dan humanisme universal.F. Bud Hardman –517


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Setelah pemaparan panjang lebar di atas. bagaimana Anda melihatpluralisme di Indonesia ke depan? Apakah ada harapan bahwa pluralismeIndonesia akan menuju pada arah yang lebih cerah atau justruIndonesia akan semakin terancam dengan disintegrasi dan sebagainya?Cukup banyak alasan untuk pesimis, meski juga masih banyak alasanuntuk optimis.Sulit untuk memastikan akan seperti apakah Indonesia ini kedepan. Tapi kalau ingatan dan memori masyarakat kita cukup kuat,maka akan terlihat benang merah dalam sejarah, dan benang merahnyaadalah kebersamaan dalam kemajemukan. Tampaknya disamping alasan yang sangat pesimis bahwa mungkin ada segmensegmenradikal-ekstrem dalam masyarakat kita yang sewaktu-waktudapat mengambil alih kekuasaan dan sebagainya, tetap ada alasanuntuk optimis bahwa benang merah itu menunjukkan tendensipluralisme yang cukup kuat. Itu bergantung pada banyak faktor,baik intern maupun ekstern. Termasuk ke dalam faktor ekstern iniadalah politik internasional dan politik HAM yang sewaktu-waktubisa menekan kalau ada rejim militer atau rejim fundamentalisyang mengambil alih kekuasaan di suatu negara.Jadi, benang merah itu akan memberi suatu harapan buatIndonesia bahwa ke depannya kita akan tetap bergerak pada jalurmasyarakat majemuk, meskipun ini juga sebuah perjuangan.Orang-orang yang toleran dan berpikiran pluralis, yang sebenarnyabagian mayoritas dari masyarakat kita, harus semakin beraniberbicara. Mereka sekarang adalah the silence majority yang harusmendapat akses lebih besar untuk berbicara dan menolak segalamacam bentuk intoleransi dan monisme di negara ini. Inilah yangsaya tulis dalam buku saya Memahami Negativitas (Kompas, 2005).Masyarakat kita itu mudah diprovokasi, karena banyak yang ter-518– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–marginalisasi. Mereka yang termarginalisasi kemudian menjadi panikdan mudah terprovokasi dalam gerakan-gerakan massa. Dalammasyarakat kita, bahkan di dunia pada umumnya, ada kelompokyang dapat memanfaatkan situasi seperti ini dengan sangat baik.Ada pihak-pihak dalam masyarakat kita yang secara cerdikdapat memprovokasi massa, dengan memainkan politik uang dansebagainya, serta dapat menggerakkan semuanya dalam proses demokrasi,mungkin dengan semboyan pembersihan dari korupsiatau mencitrakan diri sebagai rejim yang jujur meski diarahkanoleh kepentingan ideologi tertentu. Situasi seperti itu juga yangterjadi dalam fasisme. Suatu bahaya yang juga tidak tertutup bagimasyarakat kita. Maka kelompok yang dapat memanfaatkan situasiitu akan muncul sebagai pesona baru, sebagai rejim yang cukupbersih namun keras, dan secara diam-diam akan membawa seluruhmasyarakat ini pada ideologi yang diperjuangkannya. Itu bahayadan kita harus terus mewaspadainya. Menurut saya, rejim monistisyang mungkin bersih dari korupsi itu, jika ada, akan berlangsungsementara saja. Setelah keuntungan yang diinginkannya diperoleh,mereka akan membawa masyarakat kepada maksud-maksudnyayang semula. Di situ kebebasan dan pluralisme dirugikan. Sekarangkita berada dalam situasi yang seperti itu. Menegangkan. Jadi, duabenang merah itu terdapat di negara kita. <strong>Kebebasan</strong> kita sebagaiwarga negara diberkati oleh pluralitas masyarakat kita, tetapi padasaat yang sama bahaya homogenisasi tetap mengancam, karenabanyak kelompok dalam masyarakat kita masih dapat digerakkansebagai “massa”.Wawancara dilakukan di Jakarta, 12 Juni 2007F. Bud Hardman –519


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganFachry AliFachry Ali, Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia(LSPEUI). Ia memperoleh gelar MA dari Monash University, Australia.Ia juga pernah aktif di LP3ES.520


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Semua gagasan yang terkandung dalam Pancasila terlahir dariagama, apapun agamanya. Karena itu proses yang menempatkanhak agama dan non-agama secara terpisah membutuhkan waktuyang sangat panjang. Sehingga sampai beberapa dekade ke depansekularisasi di negeri ini belum bisa berjalan alamiah. Harusdiakui, pertumbuhan negara kita tidaklah kaya gagasan, kecualiyang tersedia dari agama-agama yang ada. Sedangkan langgengnyasuatu agama lantaran kemampuannya memberi inspirasi bagaimanaseharusnya dunia ini ditafsir dan bagaimana menstrukturkansistem tingkah laku dalam menyikapi realitas. Karenanya,di tengah kehidupan bangsa yang beragam, harus tetap menjagasikap kritis dan kesejatian kita sebagai rakyat. Maka, toleransi yangbersumber dari sikap etik, yang merupakan kata hati dan saripatiagama, sangat penting ditanamkan.Fachry Al –521


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana pandangan Anda mengenai sekularisme? Apakah perlu dibedakanantara sekularisme, sebagai ideologi, dan sekularisasi, sebagaiproses, sebagaimana pernah ditulis oleh Nurcholish Madjid?Memperbincangkan gagasan tersebut sangat tergantung bagaimanakita memaknainya. Sekular yang dimaksudkan dalam pengertianCak Nur adalah sekularisasi. Sekularisasi merupakan sebuahproses di mana orang diminta untuk menempatkan di mana hakagama dan di mana hak non-agama. Gagasan Cak Nur ini sebenarnyalebih merupakan sebuah usaha mendekonstruksi sistem pemikirankeagamaan yang sudah mapan pada waktu itu, yaitu ketikabanyak hal-hal yang seharusnya tidak terlalu urgen disinggungkandengan agama justru mengalami proses peng-agama-an. Yang palingkonkret dicontohkan, misalnya, menjadikan partai sebagai barometerkeislaman. Orang yang masuk ke dalam partai Masyumiatau NU dianggap telah beragama Islam secara benar atau berhakdipanggil sebagai aktivis Islam. Sedangkan mereka yang di luar itu,walaupun Muslim, tidak berhak menyandang predikat keislamandalam perjuangan, karir, dan seterusnya.Sekularisasi Cak Nur mengarah kepada pembetulan atau koreksikonseptual tentang apa yang dimaksud sebagai agama dannon-agama. Sebab apa yang dilakukan oleh para pengusung danaktivis partai Islam lebih bersifat politis, dalam pengertian bahwamereka yang beragama Islam, yang bergerak di luar institusi-institusikeislaman, berhak menyatakan diri sebagai Muslim dan diatas segala-galanya absah sebagai Muslim.Sekularisasi Cak Nur berkaitan juga dengan proses desakralisasi,bukan saja atas tempat-tempat keramat, melainkan juga tokoh-tokohyang dianggap suci. Para pemimpin agama, di dalam konsepsekularisasi ini, tidak secara otomatis menjadi tokoh paling suci,522– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–paling tidak berdosa, melainkan harus tetap dianggap sebagai manusiabiasa. Juga tidak adatempat-tempat yang lebih Untuk konteks Indonesia, pemisahansuci atau keramat ketimbangtempat lainnya. Se-dimungkinkan, karena sangat terbatasnyanegara dan agama masih tidakmua tempat pada dasarnyasama.gagasan. Jika tanpa agama, Anda maupersyaratan-persyaratan sumber dayamendirikan atau menjalankan negara iniInti sekularisasi dalamdengan menggunakan sumber gagasanpengertian Cak Nur tersebutadalah penggabung-apa? Paling mengambil dari gagasan Baratseperti demokrasi. Tetapi untuk gagasanan dari dua hal. Pertama, tentang keadilan, dari mana mau AndaWahhabisme. Gagasan sekularisasiCak Nur berakar kita tumbuh memang tidak kaya denganambil kalau bukan dari agama? Negaralangsung pada jantung keislaman,yaitu Wahhabis-agama-agama yang ada. Karena itu, agamagagasan, kecuali dengan tawaran darime. Sebab Wahhabi dalam tetap ada karena dia memberikan inspirasihal tertentu sangat sekulardalam berpikir. Makamharus bagaimana dunia ini kita tafsirkandan bagaimana kita menstrukturkan sistemtingkah laku dalam memperlakukan dunia.Nabi, bagi kaum ini, tidakboleh ada, sebab ka-Artinya bagaimana Anda melihat diriAnda, bagaimana Anda melihat alam danlau ada akan dikeramatkanorang lain, baik sebagai individu maupunoleh orang-orang terutama kelompok, dan bagaimana Anda melihatumat Muslim. Kedua, sebagaikonsekuensi terjadi-yang berbeda pandangan dan agamanya,orang-orang yang sama atau orang-orangnya pertemuan antara gagasansekularisasi Cak Nur pandang itu berasal dari agama.maka seluruh sumber gagasan atau caradengan gagasan Barat, perihalthe idea of progress, yang menempatkan manusia pada statusyang dominan (subyek) dan alam sebagai obyek. Maka, karenaFachry Al –523


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–alam diposisikan sebagai obyek, alam boleh diperlakukan bagaimanapunjuga, sepanjang perlakuan itu membantu tercapainyasurvivalitas manusia.Sekarang, di dalam konteks yang dikembangkan oleh kaumintelektual dan para pemikir agama, sekularisme sebenarnya lebihdipahami sebagai pemisahan antara agama dan negara. Tuntutanpembubaran MUI, misalnya, atau ramainya protes terhadap perda-perda,yang secara sepihak dikatakan sebagai perda syariah danseterusnya, adalah sebuah usaha untuk memisahkan antara agamadan negara. Jadi, demikianlah sekularisasi atau sekularisme yangsaya pahami sebagaimana terpantul dari tuntutan-tuntutan paraaktor civil society sekarang ini.Pertanyaannya, apakah hal itu mungkin secara antropologismaupun sosiologis? Apakah mungkin agama dipisahkan dari negaradi dalam konteks sejarah politik Indonesia? Kalau kita lihat kecenderungansekarang, mengapa Aa Gym, Zaenuddin MZ dan kiaikiaimuda itu bermunculan, karena pada dasarnya sebagian besarmasyarakat kita tidak mau bersusah payah untuk mencari sendiripemahaman agamanya. Yang mereka butuhkan adalah tuntunan.Makanya ketika muncul pendakwah-pendakwah baru selalu diikutidengan munculnya para pengikut. Yang mereka inginkan adalahsemacam adanya division of labour. Sebagai contoh, baiklah sayabekerja dalam bidang yang selama ini saya tekuni, apakah pedagang,kaum profesional, dosen, politisi dan seterusnya, tetapi untukurusan agama saya akan menyerahkan kepada orang yang memangsecara khusus mempelajarinya. Inilah alasan pertama kenapa sulitmelakukan pemisahan antara agama dan negara, khususnya dalamkonteks Indonesia.524– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Alasan kedua, karena ada unsur spiritual sanctions, sangsisangsidan persetujuan-persetujuan dalam persoalan keagamaan.Pada umumnya masyarakat Indonesia mempunyai kecenderunganuntuk tidak terlalu masuk ke dalam persoalan agama karena merekatakut. Sebab, ada konsep surga dan neraka. Konsep ini merupakankonsep baku di tengah masyarakat, bukan hanya umatIslam, tetapi juga Kristen dan sebagainya. Karena mereka takuttergelincir menyalahgunakan agama, yang karena itu akan masukneraka, maka sebaiknya mereka tidak ikut campur ke dalam persoalanagama. Faktor-faktor inilah yang kemudian memunculkantokoh-tokoh agama. Atau, inilah yang memberikan penjelasan kepadakita mengapa orang-orang seperti Zaenuddin MZ, Aa Gymdan sebagainya akan terus tumbuh di tengah-tengah masyarakat.Contoh yang lebih menarik lagi adalah, sebagaimana saya saksikandi makam raja-raja Jawa, di Imogiri, saya melihat rakyat datangberduyun-duyun, naik tangga yang jumlahnya sangat banyak, lalududuk di depan pintu gapura – padahal makam raja-rajanya itumasih sangat jauh – kemudian mereka berdoa. Jadi, secara antropologismaupun sosiologis, sebenarnya kebutuhan untuk penguatanspiritual masih sangat kuat sekali.Bagaimana dengan konsep negara dan hubungannya dengan agama?Di dalam konteks ini kita melihat bahwa konsep negara sebenarnyamerupakan institusi asing di dalam pengalaman kolektifmasyarakat kita. Hal ini terjadi karena mereka memang tidak secaralangsung bersentuhan dengan negara. Oleh karena itu, merekatidak begitu mengenal simbol-simbol negara modern. DenganFachry Al –525


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kondisi seperti ini, maka yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimananegara kemudian bisa dipahami dan melekat ke dalam sistemkognisi mereka. Jalan satu-satunya adalah melalui simbol-simbolyang mereka kenal, yaitu simbol-simbol agama. Di samping sikapmasyarakat yang tampak asing dengan negara, celakanya kemudiannegara juga memanfaatkan energi agama untuk melegitimasi kekuatannya,di mana pada saat yang sama juga menciptakan agamanyasendiri, yang disebut dengan civic religion.Kalau Anda melihat upacara 17 Agustus, deru langkah orangbaris-berbaris, menaikkan bendera, lalu presiden menerima benderadari paskibraka, di tambah suasana upacara yang dibikin seheningmungkin dengan lagu-lagu pemujaan terhadap negara-bangsa, itulahperwujudan civic religion. Artinya, bahkan negara sekalipunmembangun dan menggunakan simbol-simbol dari agama untukmembangun ritual tersendiri. Maka tidak heran jika pemisahanantara agama dan negara adalah pandangan yang dalam realitasnyamasih sangat jauh.Di negara-negara maju, seperti Amerika dan terutama Australia,karena saya sekolah di sana, saya lihat bahwa praktik sekularisasiitu dijalankan oleh negara dengan tidak mendukung seluruhhal yang berhubungan dengan agama, baik itu pelajaran agama,organisasi gereja, ataupun perkumpulan-perkumpulan lain yangberkaitan dengan aktivitas agama. Kebijakan-kebijakan negarajuga bukan merupakan kebijakan yang menguntungkan salah satuagama. Makanya, kalau Anda lihat perdebatan seperti di Prancistentang larangan penggunaan simbol-simbol agama, baik jilbab,salib atau kopiah orang Yahudi adalah salah satu bukti dari praktiksekularisasi.526– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Di sana, pada masyarakat Barat, sangat mungkin terjadi sekularisasi,walaupun pasti tidak ada yang sempurna. Anda lihat GeorgeBush sendiri sangat terinspirasi oleh agama dalam kebijakan-kebijakannya,termasuk kebijakan untuk berperang. Tetapi secara umum,sejarah ekonomi atau lebih tepat sejarah kemanusiaan masyarakatBarat sudah sangat lama dan memberikan kesempatan yang jauhlebih luas untuk mengkonstruksikansistem ideologi sekular.Karena sejak jatuhnya atau ramainya protes terhadapTuntutan pembubaran MUI, misalnya,Roma pada awal abad masehi,sebagaimana kita keta-dikatakan sebagai perda syariat danperda-perda, yang secara sepihakhui, kekristenan meluas ke seterusnya, adalah sebuah usahawilayah-wilayah Eropa. Lalu untuk memisahkan antara agama danRoma sebagai pusat keagamaanmenguasai seluruh as-atau sekularisme yang saya pahaminegara. Jadi, demikianlah sekularisasisebagaimana terpantul dari tuntutantuntutanpara aktor civil societypek, baik ekonomi maupunpolitik dan aspek kehidupansekarang ini.lainnya. Begitupun raja-rajaEropa juga lebih mempersepsikandiri mereka sebagai wakil dari Roma ketimbang sosokyang mewakili “bangsa”-nya sendiri. Kemunculan sekte-sekte agamayang lantas menguasai panggung politik, pada saat itu, cenderungdisikapi dengan menyingkirkan sekte atau agama yang berbeda.Penekanan terhadap anti-Yahudi juga habis-habisan dilakukan dansangat mewarnai perjalanan sejarah Eropa. Intinya, yang terjadi diEropa sejak abad ke-9, 10 atau 11, sampai habisnya masa AbadPertengahan, adalah dominasi gereja yang sangat kuat.Kondisi seperti inilah yang kemudian melahirkan gejolak danpemberontakan yang berkepanjangan. Namun demikian, pembe-Fachry Al –527


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rontakan yang dilakukan sebenarnya bukanlah pemberontakan pemikiran,melainkan lebih pada pemberontakan atas cengkeramanagama terhadap sistem sosial, politik, maupun ekonomi yang sangatdominan dalam masyarakat Eropa pada saat itu. Dalam beberapahal, sistem feodal juga mencerminkan adanya peranan agama dalammenstrukturisasi sistem kemasyarakatan. Land lord atau kaumbangsawan bukan hanya sebagai pemimpin politik atau hakim,tetapi sekaligus juga menjadi pemimpin agama dan pemilik tanahyang sangat luas, pemilik sumber daya ekonomi. Jadi pada sistemseperti itu, antara kepemimpinan agama dan kontrol terhadap ekonomidan politik memiliki hubungan yang sangat kuat. Kalaupunkemudian mereka, masyarakat Eropa, melakukan pemberontakankepada gereja, hal itu lebih dikarenakan adanya specific historicalcourse, jalan sejarah yang sangat spesifik dalam pengalaman sejarahkemanusiaan masyarakat Eropa pada waktu itu, bersamaan semakinmenguatnya otonomi manusia dengan munculnya temuan-temuanteknologi sebagai basis bagi perkembangan industrialisasi. Dariprakondisi inilah pemberontakan terhadap agama yang sekarangkita kenal dengan sekularisasi, mendapatkan pembenaran strukturalnya.Dari kasus Eropa tersebut, kesimpulan yang dapat diambiladalah bahwa sebetulnya pemberontakan terjadi ketika kapital jauhlebih dominan menentukan sistem tingkah laku masyarakat secarakolektif, ketimbang yang lainnya.Untuk Indonesia, sejarah negara modern kita sebenarnya sangatbaru apabila diukur dari 17 Agustus 1945, hari kelahiran bangsa.Kalau kita ukur dari pertemuan antara Barat dan Timur, makapaling banter berumur sekitar 3 atau 4 abad. Meskipun demikian,persentuhan yang sudah mulai intensif, yang memunculkan sebuahmasyarakat yang terdidik, masih sangat terbatas sekali. Kalau Anda528– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–melihat sejarahnya, pada tahun 40-an, orang-orang yang terdidik secaraBarat (modern) di Indonesia tidak sampai 25 ribu orang dari70 juta penduduk Indonesia. Coba Anda bayangkan bahwa sebagianbesar masyarakat kita menjelang kemerdekaan bangsanya, ternyatamasih uneducated. Orientasinyamasih pada kerajaan,jauh dari sistem nation-Buat saya, otentisitas keagamaantetap harus dipertahankan. Sebab,state seperti sekarang. Pada agama adalah tempat kembali bagi1946 atau 1947, saya melihatgambar-gambar ulang di “rumah”. Dalam pengalamanorang-orang yang pernah berdiamtahun kemerdekaan kita, keagamaan saya, momen ritual sepertitampak terlihat jelas bahwa pembacaan shalawat dan sebagainyamasih dominan masyarakat itulah di mana saya merasa kembaliyang menganggap negara ini ke “rumah” saya, meski saya jugatahu bahwa itu hanyalah simbolsimbol.Saya tidak akan menyanyisebagai kerajaan yang dipimpinoleh seorang maharaja.Jingle Bell dan lain sebagainya, yangDi situ terlihat ada orangmemang dari dulu tidak terdapat didari Jawa Barat yang pergi ke“rumah” saya.Yogyakarta, sebagai ibu kotanegara pada waktu itu, yangmembawa hasil-hasil pertanian untuk diberikan kepada presiden Soekarno.Lalu mereka meyembah Soekarno seperti halnya dahulu, yakniupacara ketika pemberian upeti kepada raja. Baginya, Soekarnobukanlah presiden yang memimpin negara, tetapi lebih sebagai rajadari sebuah kerajaan.Kalau Anda lihat penelitian UIN Jakarta (PPIM UIN Jakarta)yang dipresentasikan baru-baru ini, hasilnya memperlihatkan bahwaresponden ketika ditanya apakah Anda lebih merasa sebagai orangIndonesia atau seorang Muslim, sebagian besarnya masih mengata-Fachry Al –529


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan lebih merasa sebagai Muslim, baru setelah itu sebagai orangIndonesia. Sementara ketika ditanya akan lebih patuh kepada pemimpinagama atau presiden, mereka menjawab ulama.Jadi, maksud saya, proses sekularisasi itu mungkin akan membutuhkanwaktu yang lebih panjang, sampai beberapa dekade kedepan. Dan sekularisasi di Indonesia belum bisa berjalan secaraalamiah.Yang justru akan terjadi adalah kesimpangsiuran persepsi. Apayang terjadi di Turki, sebagai ikon negara yang sebagian besar penduduknyaMuslim dengan sistem negara yang sekular, sekarangsekarangini sangat membingungkan. Tulisan Mahmud Ayyub, diThe Jakarta Post, menyatakan bahwa kaum sekular di sana telahberkubu kepada kaum militer maupun the establishment, yangberhadapan dengan kekuatan-kekuatan baru yang dimotori olehpartai-partai Islam, yang berkiblat pada sistem ekonomi pasar danmengarahkan atau menyesuaikan politiknya kepada sistem global.Di dalam konteks ini, kita melihat sesuatu yang terbalik. Orangorangyang vested interest, yang mengaku sebagai benteng sekular,pada dasarnya adalah orang-orang yang berpikiran sempit. Karenakepentingan-kepentingannya terjepit, mereka kemudian mengatakanbahwa sekularisasi sedang berada dalam bahaya. Padahal dengansekularisasi, mereka tengah mempertahankan struktur sosialekonomiyang menguntungkan mereka dan menolak perubahanyang lebih besar.Sekularisme atau sekularisasi tidak hanya bermakna separation, pemisahan,ia juga diartikan differentiation, pembedaan, sebagaimanayang terjadi di beberapa negara Eropa. Bagaimana pendapat Anda?530– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Untuk konteks Amerika, sekularisme lebih merupakan anomalimodernisasi. Bahwa setidak-tidaknya sepanjang partai Republik yangberkuasa, maka semakin modern masyarakat Amerika, semakin merekaberagama. Sementara itu, Eropa sudah sekular “habis-habisan.”Di dalam beberapa hal, Australia juga mirip dengan Eropa, di manaagama sudah tidak ada fungsinya lagi. Agama tidak lagi menjadiinspirasi secara resmi keputusan-keputusan politik di tingkat negara.Dengan mengatakan seperti itu, sebenarnya bukan berarti bahwamereka tidak punya etika.Kesan saya melihat negara Proses sekularisasi itu mungkin akanmaju yang sekular di Eropa membutuhkan waktu yang lebihadalah bahwa di sana telah panjang, sampai beberapa dekade kemuncul etika publik yang depan. Dan sekularisasi di Indonesiatelah menjadi substitusi atau belum bisa berjalan secara alamiah.pengganti atas agama. Hal Yang justru akan terjadi adalahyang sama sulit kita temukanpada masyarakat Ame-kesimpangsiuran persepsi.rika. Anda akan melihat bahwa penyerangan terhadap Iraq justrudianggap sebagai bagian dari kewajiban keagamaan yang merekalakukan. Inilah anomali. Oleh karena itu, orang-orang Amerikamelakukan kritik keras terhadap Eropa. Pertama-tama tentu sajakarena sikap Eropa yang tidak mendukung sikap Amerika dalammelakukan penyerangan ke Iraq, yang kemudian berbuntut padakecaman mereka terhadap sekularisasi Eropa. Saya baca di majalahThe Economist bahwa betapa Amerika telah mengorbankan anakanakterbaik mereka pada Perang Dunia ke-2, dalam mempertahankankedaulatan negara-negara Eropa dalam melawan fasismedan Nazisme di Italia dan Jerman. Tetapi mana bantuan mereka(Eropa) untuk perang Irak, terlebih mereka kini sudah tidak meng-Fachry Al –531


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–anggap lagi adanya Tuhan. Gereja-gereja sudah dialihkan menjadi,kadang-kadang, tempat disko, klub malam dan sebagainya, yangsama sekali jauh dari nilai-nilai agama.Untuk konteks Indoenesia, pemisahan negara dan agama masihtidak dimungkinkan, karena sangat terbatasnya sumber daya gagasan.Jika tanpa agama, Anda mau mendirikan atau menjalankan negaraini dengan menggunakan sumber gagasan apa? Paling mengambildari gagasan Barat seperti demokrasi. Tetapi untuk gagasan tentangkeadilan, dari mana mau Anda ambil kalau bukan dari agama? Negarakita tumbuh memang tidak kaya dengan gagasan, kecuali dengantawaran dari agama-agama yang ada. Karena itu, agama tetapada karena dia memberikan inspirasi harus bagaimana dunia inikita tafsirkan dan bagaimana kita menstrukturkan sistem tingkahlaku dalam memperlakukan dunia. Artinya bagaimana Anda melihatdiri Anda, bagaimana Anda melihat alam dan orang lain, baiksebagai individu maupun kelompok, dan bagaimana Anda melihatorang-orang yang sama atau orang-orang yang berbeda pandangandan agamanya, maka seluruh sumber gagasan atau cara pandang ituberasal dari agama.Negara Indonesia, yang muncul karena revolusi, pasti bersifatdadakan. Satu hari sebelum 17 Agustus 1945, tentunya, Indonesiabelum ada. Begitu diproklamirkan, Indonesia ada, tanpa adasebuah gagasan atau formulasi gagasan yang dianut sebelumnya,kecuali kata merdeka. Akhirnya, bagaimana kita mengorganisasikankekuasaan kecuali harus kita pinjam pada tradisi orang lain. Sehingganegeri ini diberi nama republik – yang turunannya kemudianadalah parlemen, presiden dan wakil presidennya dan seterusnya.Jadi, republik itu sendiri bukan istilah Indonesia. Bagaimanapunharus diakui, di luar itu semua, sebenarnya kekayaan gagasan kita532– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak ada. Kalau demikian, dari mana kita menggali etika publikkalau bukan dari agama?Bukankah awal terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara melaluiperdebatan panjang dan alot, misalnya, melalui PPKI?Itu sebenarnya sama sekali tidak panjang. Terlebih lagi lembaga-lembagaitu terlahir lebih karena janji Jepang. Sebelumnya apakahmotif orang untuk berontak? Tak lain adalah agama. Makanya,Clifford Geertz mengarang sebuah artikel yang berjudul TheJavanese Kijaji; the Changing Role of Cultural Broker. Dia mengatakanbahwa ketika bangsa Indonesia baru bangkit, dengan kelahirannyayang secara tiba-tiba, masyarakat tidak kenal dengan apayang dinamakan negara secara konseptual. Sehingga memaksa kiaiuntuk memerankan diri sebagai cultural broker, sebagai mediatoryang menjembatani antara kelahiran negara yang begitu moderndengan massa yang uneducated. Negara tidak punya apa-apa; quasimbol, qua gagasan, qua sumber-sumber etik. Kita hanya mempunyaiagama. Maka kemudian kita membutuhkan dan mengambilpandangan-pandangan atau gagasan-gagasan keagamaan untukmembangun negara kita supaya dikenal dan recognized, diakui.Kalau saya ceritakan tentang Aceh, di sana dapat dikatakanbahwa Indonesia itu lahir di masjid ketika Teungku MuhammadDaud Beureueh, pemimpin Islam di Aceh, mengatakan siapa sajayang gugur mempertahankan kemerdekaan berarti dia (mati) syâhid.Itu gagasan dari mana kalau bukan dari agama. Pidato BungTomo yang kita dengar pada 10 November 1945, yang memakaipekikan Allâhu akbar segala, dari mana gagasannya, kalau bukandari agama. Lalu sekarang orang seenaknya saja mau memisahkanFachry Al –533


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–agama dari negara. Itu artinya mau enak sendiri dan, bagi saya,itu tidak masuk akal.Gagasan seperti itu adalah upaya menempelkan sesuatu yangasing ke dalam struktur tradisi kita, yang lain, yang dirasa tidakcocok. Lantas kita katakan semuanya salah, yang benar adalah gagasanyang asing itu.Agama dalam konteks sekularisasi berperan sebagai inspirasi bukan aspirasi.Artinya, konsep-konsep umum yang dimiliki oleh agama, sepertikonsep tentang keadilan dan kesetaraan, dalam sekularisasi, kemudianditurunkan menjadi bukan lagi dalam bahasa agama, melainkandalam bahasa publik yang sekular. Bagaimama menurut Anda?Sekarang saya mau tanya: dalam praktiknya yang merumuskanundang-undang itu siapa? Tentunya DPR. Makanya anggota DPRkemudian disebut law maker, pembuat undang-undang. DPR dipiliholeh rakyat. Sebelumnya, ketika berkampanye, yang dijualoleh anggota-anggota yang sekarang terpilih adalah agama, karenakonstituennya adalah masyarakat yang berbasis agama. Hal yangsama bisa dilihat pada pemilihan baik presiden, gubernur, maupunpimpinan-pimpinan lainnya. Calon yang akan maju pada pemilihangubernur Jakarta, misalnya, mendadak memakai sorban danperlengkapan baju Muslim lainnya ketika hendak menemui konstituennya.Hal itu dilakukan karena dia sadar bahwa para calonpemilihnya merupakan masyarakat yang masih menjadikan agamasebagai basisnya. Lantas setelah terpilih, kalau keputusan yang diambilkemudian ternyata radically different dengan aspirasi rakyatyang sudah memberikan wewenang kepadanya, misalnya dengan534– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–membuat undang-undang yang sama sekali di luar harapan mereka,apakah tidak akan membuat discrepancy?Oleh karena itu, yang harus dipahami oleh mereka, para pembelasekularisasi, adalah sejarah sosialnya. Sejarah itu memberitahukanbahwa kita tidak bergerak dari nol. Sekarang cobalah Andabaca Babad Diponegoro. Maksud dan tujuan dia memberontak terhadappenjajah tak lain adalahsebagai upaya melawan Di dalam kehidupan kita, pluralismeorang kafir. Pemberontakan itu terjadi, bahkan di dalam Islampara petani di Banten juga itu sendiri. Karena itu, kita harusdemikian. Pada dua contoh menerima adanya perbedaankasus itu, seandainya tidak pandangan semacam itu. Penerimaanada gagasan agama, pastilahsemuanya akan menye-didasarkan pada sebuah etik publikperbedaan pandangan itu tentunyayang berlaku di Indonesia, dan iturah begitu saja kepada penjajah.Hanya karena ada Is-tetap berujung pada agama.”lam yang menolak keberadaanpenjajah yang kafir, sehingga terjadilah perlawanan. Muncullahapa yang dinamakan boundary, batas antara kita dan mereka. Sekalilagi saya katakan bahwa agama terlalu kaya untuk memberikaninspirasi tentang bagaimana realitas itu diinterpretasikan. Halini dapat menjelaskan kenapa kemarin SBY harus datang juga ketempat seorang habib yang meninggal, dengan memakai kopiah,sorban putih dan berpidato. SBY sebagai representasi dari state datangkarena dia tahu membutuhkan konstituen yang percaya terhadapkekuatan agama. Karena itu konstituen memberi dukungankepada SBY bukan dengan cek kosong. Sehingga, harus ada kebijakan-kebijakannegara yang menguntungkan mereka. Kalau tidakdemikian, ia akan ditinggalkan.Fachry Al –535


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah hal semacam itu bukan politisasi agama?Secara struktural kebijakannya harus berjalan seperti itu. Sekarang,yang sebenarnya dibutuhkan dan perlu ditekankan adalahtoleransi. Itu yang tadi saya katakan sebagai etika publik, yang sebenarnyabersumber dari agama juga. Yang harus ditekankan adalahbagaimana berhadapan dengan perbedaan, tetapi juga jangandengan cara yang norak, jangan dengan cara memancing-mancingemosi orang. Kalau umat Muslim, misalnya, dikasih “pantat,” sepertiyang dilakukan oleh Inul Daratista, apakah mereka tidak akanmarah? Kalau saya, sebagai orang beradab, akan tersingung, karenapantat adalah simbol dari penghinaan. Coba Anda lakukan itukepada dosen Anda, pasti dia akan marah. Lantas kenapa “pantat”ini yang malah kalian bela? Sungguh sebuah hal yang sangat lucu.Inul yang tidak memberikan sumbangsih peradaban apapun, kalianbela. Ketika dia kasih “pantat”, kalian bersorak. Ditaruh di manaotak kalian semua? Hal-hal seperti itulah yang harus dipikirkanoleh kaum sekular.Bukankah founding fathers negara kita sendiri sepakat untuk tidakmenjadikan Indonesia sebagai negara agama, sekaligus juga tidaksecara eksplisit menjadikan Indonesia sebagai negara sekular? Alternatifnya,rumusan yang diberikan oleh para pendiri negara, adalahPancasila.Pertanyaannya, kalau tidak ada agama bisakah ada Pancasila?Apakah tanpa agama akan terpikirkan oleh para pendiri negara initentang gagasan keadilan sosial, musyawarah dan lain sebagainya?Semua itu diambil dari agama.536– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sebelum Islam datang ke Indonesia, pada masa-masa kerajaan sudahada nilai-nilai keadilan sosial, musyawarah, bahkan pemilihan ketuasuku dilakukan berdasarkan suara rakyat, dan sebagainya.Itu betul. Tetapi, semua gagasan Pancasila terlahir dari agama,apapun agamanya. Taruhlah agamanya Hindu, karena dia lebihawal daripada Islam, sungguhpun demikian, tetap namanya adalahagama. Maksud saya, mereka, kaum sekular, berpikirnya ahistoris.Tiba-tiba saja karena di Amerika seperti ini, kita harus begini. Tanpamelihat komposisi darikekuatan masyarakat kita Yang perlu diperhatikan adalah bahwayang terbentuk oleh sejarahyang khusus. Sangat macam pandangan yang moderat danseruan tentang toleransi, dan macam-susah untuk melakukan liberal, bagaimanapun harus disampaikanstandarisasi pada semua tidak dengan cara meledek, menyindirhal. Kalau selera mungkinatau cara semacamnya.bisa, seperti apa yang kitakenal sekarang dengan istilah McDonaldization. Kamu bisa makanMc Donald sekaligus gudeg, nasi Padang, dan sebagai-nya padasaat yang sama. Tetapi orang yang makan Kentucky dan sebagainya,jalan pikirannya tetap saja agama. Jadi, maksud dari seluruhuraian tadi, saya hendak betul-betul menganjurkan, khususnya kepadakaum sekular, agar berpikir secara historis. Karena demikianitulah fakta kita.Lantas, apakah Anda ingin mengatakan bahwa Indonesia sebagai negaraagama?Fachry Al –537


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalau kita perhatikan dari sejak berdirinya negara ini sampaisekarang, sama sekali tidak ada yang dinamakan negara agama.Bagaimanapun negara kita – yang, konon, bukan negara agamadan bukan negara sekular – berasal dari rumusan yang dibangunoleh Orde Baru. Karena itu, bagi saya, sebenarnya hal-hal semacamitu bukan sesuatu yang harus diperdebatkan lagi. Yang perludilakukan adalah toleransi. Toleransi harus berangkat dari sikapetik. Sikap etik adalah kata hati.Kalau Anda menyaksikan di tv dan media lainnya yang memberitakantentang rumah dan tempat beribadah orang Ahmadiyahdiserang oleh sekelompok masyarakat di Mataram dan di beberapadaerah lainnya, kata hati kita pasti akan menolak sikap semacamitu. Kita akan mengatakan bahwa itu adalah tindakan yang salahdan bukan merupakan tindakan yang didasarkan pada agama, karenatelah merusak nilai-nilai kemanusiaan. Kalau Anda melakukanpengeboman di pasar, seperti yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan,maka tidak bisa mengatasnamakan Tuhan untuk membenarkanperbuatannya. Pada titik itulah perlunya mengembangkansikap toleran dalam kehidupan. Tetapi jangan pula berharap bahwatoleransi itu akan taken for granted berjalan. Sebab pada dasarnyamereka, yang sekarang bersikap kurang atau tidak toleran itu, jugamelihat ketidakadilan di tingkat dunia. Siapa yang mau mengadiliAmerika? Urusan apa Amerika datang ke Irak dan Afghanistan?Lantas, kenapa orang-orang sekular tidak memprotes Amerika beramai-ramai?Apakah karena akan mengganggu harmonisasi agamadi Indonesia sendiri? Bukankah mereka tidak melakukan protesitu? Sebaliknya, yang mereka serang malah MUI.538– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bukankahkah pada 2003, semua masyarakat, termasuk kalangan liberal-sekularjuga melakukan protes atas perang yang dilakukan Amerikadi Afghanistan dan Irak?Demonstrasi ada, tapi uangnya kalian terima juga. Point yangingin saya katakan untuk hal-hal yang telah saya sebutkan di atasadalah bahwa harus ada sikap kritis dari kita sebagai akademisi.Itulah yang dikritik oleh Harry J. Benda terhadap pendekatan HerbertFeith, ketika dia menulisThe Decline of Constitutional<strong>Democracy</strong> in Indonesia. pemikiran harus diarahkan atauHemat saya, substansi dari liberalisasiDi situ Feith mencoba menerapkansebuah pendekatan esensinya dibutuhkan olehmencerminkan apa yang padaatau kerangka penglihatanmasyarakat lintas kelas.yang asing. Lalu Feith, sebagaimanakata Benda, mengatakan bahwa demokrasi Indonesiasudah gagal. Padahal, kata Benda, lapisan dasar masyarakat jugamerupakan sistem bernegara yang dipakai oleh Indonesia, di manaitu semua adalah sebuah sejarah pembentukan kemasyarakatan yangberbeda dari Barat, yang tampilannya seperti kita sekarang ini. Lihatsaja, begitu demokrasi muncul, yang bermunculan adalah partaipartaiIslam. Pertanyaannya, dari manakah mereka muncul? Bagisaya, mereka tetap ada, bahkan pada masa Orde Baru pun sebenarnyaada, hanya saja tidak diberi ruang gerak oleh pemerintah.Itu yang harus Anda lihat dalam konteks seperti ini. Kritik di atasyang saya maksudkan adalah dilakukan secara logis. Kalau tidak,kita hanya menjadi “pion-pion” mereka saja.Termasuk tentang Pancasila yang sebenarnya tidak ada yangtidak cocok dengan agama. Sekarang apakah Pancasila bekerja?Fachry Al –539


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dulu Pancasila bekerja karena dukungan kekuasaan. Kita semuadulu mengikuti penataran P4 sebelum masuk SLTP atau SLTA.Praktik seperti itu tak lain karena kekuasaan. Yakni kekuasaan yangkemudian berpretensi untuk melakukan penyeragaman penafsiranatas Pancasila. Oleh karena itu, menurut saya, agar Pancasila tetapdiakui sebagai dasar negara, harus dibiarkan untuk diinterpretasikansecara agama, karena memang agamalah yang mereka kenal.Kalau Anda membiarkan dia sebagai sesuatu yang sekular, makaakan asing di dalam sistem kognisi masyarakat. Oleh karena itu,Pancasila tidak akan berjalan, kecuali jika Anda paksakan lagi.Jika Pancasila dipahami secara sekular, apakah menurut Anda iamenjadi kurang memadai sebagai dasar negara?Saya tidak tahu apakah sekarang ini Pancasila berlaku atautidak. Buktinya sekarang perekonomian kita menggunakan sistemekonomi pasar, bukan ekonomi Pancasila. Bagi saya, sesuatuatau sistem yang dikatakan berlaku atau berjalan haruslah sistemyang dibangun dari gagasan yang menggambarkan struktur sistemtingkah laku kita secara individual maupun kolektif. Lalu keputusan-keputusansosial, politik, dan ekonominya semua berlangsungatau berasal dari gagasan yang sama. Pada tingkat gagasandan praktiknya sekarang ini, apakah negara ini sudah seperti itu?Apakah Undang-Undang Penanaman Modal yang baru disahkanoleh DPR, yang memberikan kesempatan kepada investor asinguntuk bisa menguasai lahan Indonesia selama seratus tahun dankalau masih kurang masih ditambah 2x25 tahun lagi, artinya bisa150 tahun, adalah cerminan dari ideologi Pancasila? Pada hematsaya, sama sekali bukan. Karena aturan tersebut secara struktural540– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak punya akar, bahkan di dalam susunan keputusan-keputusanyang bersifat kenegaraan. Jadi, sistem berpikir kita yang harus kitalihat kembali secara kritis.Anda hampir selalu menyimpulkan bahwa kalau mau membicarakanIndonesia maka tidak bisa lepas dari agama. Bukankah sebuahnegara seperti Indonesia tidak hanya cukup diurusi memakai pendekatanagama?Memang tidak harus negara ini selalu dikaitkan dengan agama.Nilai-nilai seperti toleransi dan sebagainya diharapkan akan mampumenopang demokrasi yang sedang kita bangun. Artinya, toleransi kitapahami bersama sebagai penyamarataan bagi semua warga negara,komunitas, agama, dan bahasa, sehingga terwujud masyarakat yangdemokratis. Bagaimana tanggapan Anda?Bagi saya pemikiran seperti itu akan menjebak diri sendiri.Sekarang, yang mayoritas di Indonesia adalah Islam, dan dalamdemokrasi, yang menang adalah yang mayoritas. Makanya, sebagaimanasaya katakan tadi, lagi-lagi, yang perlu diajarkan di siniadalah toleransi. Toleransi di sini artinya bagaimana orang melihatperbedaan sebagai gejala alamiah. Pertanyaannya, apakah itu tidakdiajarkan oleh agama? Pasti di ajarkan. Oleh karenanya interpretasikita terhadap realitas juga harus obyektif.Dulu, ketika ICMI muncul, kaum sekular pada ribut. Sekarangkamu cari di negeri lain, adakah Beni Moerdani-nya Islamdi Filipina, misalnya? Ada atau tidak menteri di Filipina yang ber-Fachry Al –541


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–agama Islam? Makanya, daripada mendera orang Islam Indonesiaterus-menerus seperti itu, bikinlah perbandingan: di mana adaorang minoritas menguasai ekonomi secara mayoritas kalau bukandi Indonesia. Apakah fakta seperti itu menunjukkan masyarakatIndonesia tidak toleran? Meski mungkin juga karena kebodohan,misalnya. Siapa yang menguasai panggung wacana publik? Siapayang mempunyai koran-koran besar dan stasiun-stasiun televisidi negeri ini? Koran Islam tingkat nasional di Indonesia cumaada dua buah, yaitu Republika dan Pelita, yang saya yakin kalian,orang-orang sekular, tidak membaca. Kalian pasti hanya membacaKompas. Lihatlah di Filipina, adakah orang Islam yang mempunyaikoran? Itu yang saya maksud dengan berpikir kritis tadi. Janganhanya mencuci otak kita dengan pandangan dan nilai-nilai barutanpa ada sikap kritis yang memadai. Di dalam kehidupan kitapluraslisme sudah secara otomatis terjadi, bahkan di dalam Islamsendiri. Karena itu, kita harus menerima adanya perbedaan pandangansemacam itu. Penerimaan perbedaan pandangan itu tentunyadidasarkan pada sebuah etika publik yang berlaku di Indonesia,dan itu tetap berujung pada agama.Faktanya, sikap tidak toleran justru seringkali muncul dari kelompokmayoritas keagamaan terhadap kelompok minoritas, seperti komunitasEden, Ahmadiyah, dan pengrusakan terhadap rumah ibadah kelompokminoritas.Persis pada titik itulah toleransi harus diajarkan. Tetapi bahwaorang mau memperjuangkan sesuatu untuk masuk menjadi keputusannegara, sepanjang itu dilakukan secara demokratis, kita juga tidakbisa berbuat apa-apa. Soal toleransi ini memang menjadi problem542– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–paling besar di negara kita. Makanya, seperti tadi telah saya katakan,cara untuk tetap melestarikannya adalah dengan tidak membuatpanas perasaan oranglain. Mas Dawam saya kritikwaktu acara peluncuran yang baru, seperti Islam Liberal atauSubstansi dari gagasan keagamaanbukunya, karena dia berkata apapun namanya, itu seharusnya“asal saya tidak disebut Muhammadiyah”.Kalau sikapjangan terjebak pada kecenderungankelas di mana kita berada. Hal lainyang juga perlu diperhatikan adalahorang-orang atau kelompokjangan menghabiskan energi kitayang konon menjunjung toleransidan pluralisme sajapertentangan pemikiran,hanya untuk melayani pertentangan-seperti itu, lantas kapan toleransibenar-benar dapat dan mencurahkan energi kitasementara tidak memperhatikandiwujudkan, sementara kelompokyang ingin mendi-penegakan keadilan ekonomi dan lainuntuk pemberantasan kemiskinan,seminasikan toleransi sendiri sebagainya, yang lebih esensial.tidak toleran. Dalam al-Qurandisebutkan panggillah mereka dengan panggilan hikmah, bi alhikmahwa al-maw‘izhah al-hasanah. Nilai-nilai toleransi seperti itusudah ada di dalam Islam, masa mau dibuang juga.Bagaimana sikap intoleran yang ditunjukkan oleh sebagian umatMuslim?Coba Anda lihat di India atau Amerika; coba baca Catatan PinggirGoenawan Mohamad hari ini (Edisi 21-27 Mei 2007) tentangseorang pendeta Kristen yang fundamentalis. Ternyata intoleransidan fundamentalisme bukan hanya terjadi pada orang Islam saja.Jadi, janganlah selalu mendera orang Islam Indonesia seperti itu.Fachry Al –543


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Akhir-akhir ini banyak aksi dan tuntutan memberlakukan syariat Islam,bahkan di beberapa daerah sudah sampai tingkat peraturan daerah,meskipun tidak disebut sebagai perda syariah. Menurut Anda apakahkecenderungan seperti ini sebagai pertanda makin menguatnya tuntutanuntuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam?Kalau Anda lihat sejarah, sebenarnya yang berjuang untuk kemerdekaanitu siapa? Yang paling banyak tentunya orang Islam. Merekamelakukan semua itu atas nama agama. Masalahnya, mereka yangberjuang atas nama agama itu adalah orang-orang yang uneducated,karena memang didiskriminasikan oleh Belanda. Pada waktu itu,semua yang memiliki kedekatan dengan Islam disingkirkan. Bacalahbuku Heather Sutherland yang menceritakan bagaimana orangorangyang dekat dengan kiai tidak bakal bisa menjadi bupati.Orang-orang seperti inilah yang berjuang untuk negeri ini denganmengatasnamakan agama. Mereka adalah orang-orang yang tidakbisa menulis dan sebagainya. Oleh karena itu, pada periode berikutnya,orang-orang yang mendapat pendidikan Belandalah yangmerumuskan negara. Coba saat itu diberi opsi untuk melakukanreferendum, mungkin hasilnya bisa lain. Karena para founding fatherskita kebanyakan memperoleh pendidikan dari Belanda, makadapat dipahami jika kemudian yang menuntut tujuh kata dalamPiagam Jakarta, yang merupakan orang Islam, dibujuk oleh Hattauntuk tidak usah memasuk-kannya ke dalam dasar negara. Faktaini juga seharusnya diungkap, supaya kita bisa jernih melihatnya.Demikian kira-kira konteks sejarahnya.Dari awal saya sudah mengatakan bahwa toleransi yang harusterus dibangun. Saya sama sekali tidak setuju dengan orangyang melakukan pengrusakan dan penghancuran terhadap fasilitas544– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–agama lain atau fasilitas umum. Yang paling dramatis seperti penyeranganrumah-rumah orang Ahmadiyah. Bagi saya, polisi memangharus menangkap mereka, karena itu tindakan yang samasekali bukan persoalan agama. Itu sama sekali bukan tindakanislami. Justru negara wajib melindungi warga negaranya apapunlatar belakang agamanya.Yang perlu diperhatikan adalah bahwa seruan tentang toleransi,dan macam-macam pandangan yang moderat dan liberal, bagaimanapunharus disampaikan tidak dengan cara meledek, menyindir ataucara semacamnya. Makanya, saya tidak setuju dengan si Oneng (RiekeDyah Pitaloka) yang sangat meledek orang-orang yang mendukungRUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Mereka yang diledekitu juga tahu, karena di rumahnya juga terdapat alat untukmengakses informasi seperti tv dan lain sebagainya. Yang dilakukankebanyakan orang-orang yang sekular terhadap kalangan Islamyang tidak disetujuinya bukan dengan cara mendamaikan, bukanal-maw‘izhah al-hasanah. Cara yang lebih baik untuk mengkampanyekantoleransi tetap harus santun. Kalau tidak, sama saja denganmembuang bensin dalam api yang sudah terbakar. Saya mengatakankepada kawan-kawan yang menolak RUU APP, kalau kalianturun dengan cara-cara seperti itu, maka yang muncul nanti adalahreaksi balik, yaitu kemarahan dari pihak yang merasa ditentang.Jadi, hendaknya kalian turun ramai-ramai menentang pornografidan RUU APP dengan santun, pasti akan lain ceritanya. Menurutsaya, yang menjadi problem di sini sebenarnya adalah diplomasi.Bagaimana pandangan Anda tentang liberalisme? Dan apakah liberalismeyang masuk ke dunia Islam di Indonesia bersifat produktifatau malah sebaliknya?Fachry Al –545


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalau kita lihat sejarahnya, sebenarnya gerakan kaum Padri,atau gerakan Persatuan Ulama Seluruh Aceh yang berdiri pada1939, misalnya, adalah pemberontakan terhadap dominasi adat.Pemimpin-pemimpinnya yang menjadi aktor utama dalam gerakanperlawanan terhadap penjajah pada saat itu adalah kaum liberal.Dengan pengertian bahwa liberal pada waktu itu lebih sebagaiusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan adat dan tradisi.Makanya Snouck Hurgronje cenderung mengatakan bahwa merekaadalah kaum perusak, karena selalu berusaha mentransformasikanmasayarakat.Pada konteksnya, gerakan pembaharuan yang mereka lakukansudah sangat produktif. Masalahnya kemudian, gerakan pembaharuanitu mengalami institusionalisasi, seperti Muhammadiyah, dandalam beberapa hal juga Nahdlatul Ulama (NU). Institusionalisasiinilah yang kemudian memunculkan elite-elite tersendiri, yangmengambil otoritas sebagai penafsir realitas berdasarkan pandangan-pandangankeagamaan yang ada. Di situ kebekuan muncul.Proses pemapanan pandangan yang dikangkangi oleh eliteelitetadi inilah yang menyebabkan gagasan-gagasan keagamaanyang sebelumnya transformatif lantas menjadi fosil. Cak Nur, dalamkonteks ini, adalah pemberontak paling awal dengan gagasansekularisasinya. Itulah kenapa kemudian Cak Nur yang tampil?Karena dia yang paling menguasai persoalan. Dialah, pada saatitu, yang menguasai baik persoalan keagamaan maupun perkembangandi luar agama. Dia bisa mengombinasikan keduanyasecara bertanggung jawab. Kalau Anda tidak paham agama dantiba-tiba mau menjadi liberal, bagaimana akan mempertanggungjawabkanpersoalan itu secara etis. Makanya wajar atau menjadi546– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–alamiah jika pemikir liberal, saya sebenarnya tidak setuju denganistilah ini, jumlahnya sedikit.Hal itu tak lain karena untuk mencetak orang seperti Cak Nurmembutuhkan persiapan dan waktu yang cukup lama. Kecuali merekayang terdidik seperti Ahmad Wahib, yang mengatakan bahwasetiap orang sebenarnya berhakuntuk mempunyai mazhabsendiri, dalam konteks Amerika dan terutama Australia,Di negara-negara maju, sepertibahwa individu harus mencari,menginterpretasi, dan lihat bahwa praktik sekularisasi itukarena saya sekolah di sana, sayamenginternalisasi sendiri gagasanatau ajaran-ajaran ke-dijalankan oleh negara dengantidak mendukung seluruh hal yangberhubungan dengan agama, baik ituagamaan yang mereka anut.pelajaran agama, organisasi Gereja,Persoalannya apakah orangataupun perkumpulan-perkumpulanpunya waktu? Lihatlah paralain yang berkaitan dengan aktivitaspetani. Kita punya waktu agama. Kebijakan-kebijakan negarakarena kita tahu bahwa besokkita masih bisa makan. menguntungkan salah satu agama.juga bukan merupakan kebijakan yangTetapi para petani, tukang Makanya, kalau Anda lihat perdebatanbecak, pembantu rumah seperti di Prancis tentang larangantangga, buruh, dan sebagainya,kapan mereka punya baik jilbab, salib atau kopiah orangpenggunaan simbol-simbol agama,Yahudi adalah salah satu bukti dariwaktu untuk, misalnya, sekadarmembaca buku. Olehpraktik sekularisasi.karena itu, secara strukturalmereka memang mau tidak mau hanya bisa taklid dalam berbagaiurusan, khususnya keagamaan. Lebih dari itu, kalaupun semuaorang ingin menjadi pembaharu, maka sebenarnya sudah tidakFachry Al –547


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ada lagi yang dinamakan pembaharu, karena semua orang sudahberada pada kondisi yang sama.Di dalam sejarah Jawa, kenapa pada waktu dulu hanya kaumpriyayi yang bisa menulis adalah karena mereka tidak bertani, hanyaduduk di kursi goyang, melihat burung peliharaan, dan semuanyaserba dilayani. Mereka punya banyak waktu. Maka wajar kalau kemudianmerekalah yang bisa melahirkan ajaran-ajaran, karya sastra,dan lain-lain. Namun, karena secara sosiologis, mereka belum bisamelepaskan diri dari status kelasnya di masyarakat, sehingga karyayang dilahirkan pun akhirnya tetap bias dengan kelasnya.Jadi pada hemat saya, substansi dari liberalisasi pemikiran harusdiarahkan atau mencerminkan apa yang pada esensinya dibutuhkanoleh masyarakat lintas kelas. Pertanyaannya, apakah gagasan Islamliberal atau liberalisasi Islam tidak bias pada kelas para penyokongnya?Saya pernah berkata kepada Ulil Abshar-Abdalla ketika diamengeluh “masak ada anak ITS (Institut Teknologi Surabaya) yangbertanya kepada saya, ketika ingin membuat skripsi, tentang spayang islami – seolah-olah Islam mengatur segala persoalan”. Sayakatakan kepada Ulil, “itulah realitas keberagamaan di Indonesia”.Ulil tidak dilihat sebagai tokoh sekular, justru dilihat sebagai salahsatu kutub kiai yang baru muncul, seperti mereka memahamimunculnya Aa Gym, Zaenuddin MZ, dan sebagainya.Oleh karena hal-hal seperti itulah, bagi saya, sekali lagi sayakatakan, sikap kritis kita dan kesejatian kita sebagai rakyat yangharus tetap dijaga. Kritik saya kepada Islam Liberal adalah sayautarakan dengan pertanyaan yang sangat struktural, untuk apakahmenyesuaikan agama dengan modernitas? Pertanyaan ini sayalontarkan dengan beberapa refleksi, pertama, dia (agama) akankehilangan otentisitasnya. Kedua, bukankah modernitas itu me-548– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rupakan barang baru, sedangkan Islam muncul jauh lebih awal.Selanjutnya, ketiga, sebagaimana dikatakan gagasan Marxis, bahwaseluruh gagasan kita tidak lain adalah refleksi dari superstruktur.Karena superstruktur kita kapitalis, sadar atau tidak sadar, makagagasan keagamaan, sistem hukum, dan sistem pendidikan kitajuga bersifat kapitalis. Semuanya dibuat untuk menyerap tenagakerja. Gerakan keagamaan harus mempunyai kesadaran strukturalseperti itu. Kalau tidak, maka bisa jadi setiap hari akan bermunculangerakan yang berbeda-beda dan kita senantiasa harus selalumenyesuaikannya.Permasalahan yang dapat muncul, ketika ide modernisasi diterapkandalam agama, akan sangat banyak. Di antaranya adalah persoalanreligious intimacy. Secara naluriah, begitupun dalam konteksberagama, ketika berada dalam situasi tersendiri kita akan merasaasing, tidak tahu lagi tempat untuk pulang. Lantas ke mana lagitempat itu dapat kita temukan kalau otentisitas agama kita sendiritelah hilang? Cobalah Anda sekolah ke luar negeri. Di sana Andatidak bisa mendengar lagi suara azan, orang mengaji dan lain sebagainya.Mau kembali ke manakah kita pada saat seperti itu? Jawabannyaadalah agama.Jadi, buat saya, otentisitas keagamaan tetap harus dipertahankan.Sebab, agama adalah tempat kembali bagi orang-orang yangpernah berdiam di “rumah”. Dalam pengalaman keagamaan saya,momen ritual seperti pembacaan shalawat dan sebagainya itulahdi mana saya merasa kembali ke “rumah” saya, meski saya jugatahu bahwa itu hanyalah simbol-simbol. Saya tidak akan menyanyiJingle Bell dan lain sebagainya, yang memang dari dulu tidakterdapat di “rumah” saya.Fachry Al –549


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Substansi dari gagasan keagamaan yang baru, seperti Islam Liberalatau apapun namanya, itu seharusnya jangan terjebak padakecenderungan kelas di mana kita berada. Hal lain yang juga perludiperhatikan adalah jangan menghabiskan energi kita hanya untukmelayani pertentangan-pertentangan pemikiran, sementara tidakmemperhatikan dan mencurahkan energi kita untuk pemberantasankemiskinan, penegakan keadilan ekonomi dan lain sebagainya,yang lebih esensial. Selama ini, yang terjadi di kita adalah salingejek antarkelompok yang berseberangan. Islam liberal terus dikritikdan dihujat, sementara kemiskinan tetap didiamkan.Dulu, ketika saya di LP3ES, kita bersatu dalam satu paradigmapembangunan yang menekankan keadilan dan pemerataan,di situ tidak ada persoalan agama. Dengan ini jugalah, kemudiankita menentang negara yang otoriter. Kenapa sekarang hal sepertiitu seolah-olah tidak terlihat lagi? Salah satu faktornya, bagi saya,kalau kita lihat lagi pada sejarah, adalah penghancuran ICMI. Karenadalam sejarahnya, ICMI didirikan, saya ingat sekali karenasaya juga ikut hadir pada waktu itu, di rumah pak Habibie, justrubertujuan untuk mengantisipasi munculnya Islam radikal, di samping(tujuan lainnya) agar Islam memiliki representasi yang kuatdi dalam negara. Sayangnya, oleh kaum sekular, ICMI malah dihancurkanpasca-presiden Soeharto. Maka sangat wajar kalau kemudiankotak pandora itu pun terbuka dan unpredictable.Wawancara dilakukan di Jakarta550– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganFaqihuddin Abdul KodirFaqihuddin Abdul Kodir, staf pengajar STAIN Cirebon dan Sekretaris JenderalFahmina Institute Cirebon. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Syariah UniversitasDamaskus, Syiria, dan program Magister bidang Fikih dan Ushul Fikih dari FakultasIlmu Wahyu Universitas Islam Internasional Kuala Lumpur, Malaysia.551


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Untuk meruntuhkan kuatnya intervensi pemerintah terhadapkehidupan beragama warganya dan untuk mengatasi pelbagaisalah paham masyarakat ataupun aktivis pro-demokrasi terhadapfenomena perda syariah adalah membuka seluas-luasnya ruanguntuk mendialogkan nilai-nilai yang bersifat publik-kemanusiaan.Sehingga warga terbebas dari kungkungan sistem yang zalim.Maka jangan sampai menyakralkan suatu nilai agama ke dalamranah politik. Bagaimanapun al-Quran bukan monopoli seseorangatau kelompok tertentu untuk membuat klaim kebenaranabsolut seraya menutup pelbagai nilai dan opini yang berbeda.Pun pada dasarnya fikih adalah filsafat hukum Islam yang rasionaldan masuk akal (ma‘qûliyat al-ma’nâ) yang mendorong ijtihaddan prinsip perbedaan pendapat.552– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme memiliki citra sangat buruk di Indonesia. Sebagian kalanganmemaknainya sebagai paham antiagama. Menurut Anda,apakah sekularisme harus diposisikan sebagai term yang datang dariBarat dan karenanya tidak tepat untuk Indonesia, atau sebenarnyaIslam sendiri punya nilai-nilai tertentu yang afirmatif dengan sekularisme?Menurut saya, istilah apapun, tidak hanya sekularisme, ketikadimunculkan ke publik menjadi milik semua orang dan memilikimakna berbeda-beda. Tergantung pada siapa yang memaknai. Tidakada makna yang tunggal. Problemnya, terkadang kita memaksakanpemaknaan kita terhadap sesuatu kepada orang lain. Inilah yang terjadidengan sekularisme. Sekularisme yang dipahami Majelis UlamaIndonesia (MUI) berusaha digeneralisir sehingga seolah-olah semuaorang memahami sekularisme seperti itu. Atas dasar pemahamantersebut, MUI mengharamkan sekularisme. Celakanya, lalu banyakorang mempercayai makna tunggal sekularisme yang diharamkanini. Padahal, nyatanya, makna sekularisme sebenarnya mengalamiberbagai perubahan sesuai dengan karakter masing-masing individuatau bangsa yang memahami dan mempraktikannya. Saya yakinpara intelektual pun memiliki pemahaman yang berbeda tentangsekularisme. Meski demikian, secara pribadi, saya bisa memahamimengapa MUI mengharamkan sekularisme.Tantangan terhadap sekularisme sebenarnya telah diungkapkanKaren Amstrong dalam dua bukunya: Sejarah Tuhan dan PerangDemi Tuhan. Dia memprediksi akan terjadi kilas balik penyeranganterhadap sekularisme. Hal ini terjadi karena para pelopor sekularismecenderung tidak ramah terhadap agama. Beberapa pegiatsekularisme memerangi agama dengan penuh kebencian, tanpaFaquddn Abdul Kodr –553


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–apresiasi sedikit pun. Model sekularisme seperti inilah yang memunculkanserangan balik dari agama (tokoh-tokoh pembela agama).Meskipun ada model sekularisme lain, yang ramah terhadapagama dan bertujuan kemanusiaan, ia tetap sulit diterima umatIslam. Hal itu di antaranya lebih karena adanya propaganda dariorang-orang yang tidak paham dengan sekularisme.Beberapa kebijakan politik negara utara terhadap negara Islam,pada sisi yang lain, juga ikut memperburuk citra sekularisme.Terutama kebijakan Amerika Serikat terhadap Afghanistan,Irak, Iran, dan Palestina. Karena itu, banyak kritik yang disuarakanbeberapa aktivis di negara-negara Eropa terhadap kebijakanpemerintah Amerika Serikat. Kata mereka, kebijakan sepertiitulah yang justru akan menghancurkan demokrasi dan sekularismeitu sendiri. Sekali lagi, dari sisi ini juga, saya bisa memahamimengapa MUI mengharamkan sekularisme, sekalipun sayatidak setuju.Fatwa MUI sendiri, menurut saya, sebenarnya tidak perluditanggapi secara serius. Ia cukup ditanggapi dengan fatwa lain,atau pandangan dari kyai lain, seperti pendapat KH Mustofa Bisriatau lainnya. Tetapi, sebagai pendidikan publik, kita harus mendiskusikannyasecara publik. Kita biarkan publik mengetahui lebihbanyak dan secara dewasa memilihnya sendiri. Dari sisi inilahsaya tidak setuju dengan fatwa MUI, karena telah menunggalkandefinisi ‘sekularisme’ yang sesungguhnya tidak tunggal. Sehinggapublik, lewat fatwa MUI, tidak memperoleh pemahaman yang cukupmengenai sekularisasi atau sekularisme dari pihak-pihak lain.Akibatnya mereka takut belajar dan memahami pluralisme, karenasudah diharamkan MUI.554– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sisi lain, saya tidak setuju dengan fatwa MUI karena memilikitendensi politis untuk memperoleh dukungan publik di hadapanpemerintah. Dulu, posisi MUI secara kultural dan strukturalsangat lemah, kini iasedang mencari posisi danSaya tidak setuju dengan fatwa MUI,berkembang mencari kekuatan.MUI ingin menguasai ‘sekularisme’ yang sesungguhnya tidakkarena telah menunggalkan definisiemosi publik untuk bargainingdi hadapan pemerintah. MUI, tidak memperoleh pemahamantunggal. Sehingga publik, lewat fatwaTentu saja ini hanya kecurigaansaya.atau sekularisme dari pihak-pihakyang cukup mengenai sekularisasiPada awalnya MUI tidakmemiliki kekuatan kul-lain. Akibatnya mereka takut belajardan memahami pluralisme, karenasudah diharamkan MUI.tural dan politik seperti NU(Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah.Sekarang, mereka sedang membangun kekuasaankultural untuk menggantikan kekuatan NU dan Muhammadiyah.MUI sedang membangun label sebagai ‘pembela Islam dan umatIslam.’ <strong>Membela</strong> umat Islam, artinya MUI diasumsikan oleh ulamatertentu sekarang ini sebagai lembaga pembela umat Islam. Berbedadengan zaman Orde Baru, di mana MUI dianggap membelapemerintah, karena MUI hanya dijadikan lembaga pemberi fatwayang mendukung kebijakan pemerintah. MUI sekarang tidak secaralangsung mengamini fatwa pemerintah. Sebelum mengeluarkanfatwa, ia terlebih dahulu melihat perkembangan yang terjadidi dalam umat Islam Indoensia.Menurut Anda adakah preseden sekularisme di dalam Islam?Faquddn Abdul Kodr –555


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dengan makna sekularisme yang saya pahami, menurut saya,itu ada. Bagi saya, sekularisme adalah pembedaan antara Tuhandan hamba. Dalam tauhid kita mengenal kalimat “lâ ilâha illâ’l-Lâh.” Tidak ada Tuhan selain Allah. Kalimat itu merupakanungkapan sekularisme. Artinya, kita membedakan mana yangsakral dan tidak sakral, mana Tuhan yang harus disembah dandisucikan dan mana yang bukan Tuhan dan tidak boleh mintadisucikan atau diagung-agungkan. Pembedaan yang hampir miripdengan ini, kita temui pada kitab-kitab ushûl al-fiqh, termasukpada kitab firqah: al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani.Dalam kitab itu, dia membedakan mana yang disebut ibadahdan bukan ibadah. Ibadah pun dibedakan: ibadah mahdlah danghayru mahdlah.Ketika kita membedakan Tuhan dan hamba berarti membedakanhal-hal yang bersifat ‘ibâdî (kehambaan) dari ilâhî (ketuhanan).Sekalipun sesungguhnya, tidak ada nilai ketuhanan yanglepas dari kemanusiaan. Tetapi pembagian seperti ini harus dimaknaiuntuk kemanusiaan. Pembagian ini juga untuk mempertegas:selain Tuhan itu sendiri, adalah manusia yang bisa berijtihad;melakukan kontrol dan dikontrol; bisa melakukan perdebatandan saling mengkritisi satu sama lain. Kontrol dan kritik untukpenyempurnaan dan penemuan kebaikan.Lepas dari perbedaan maknanya, saya kira, makna sekularismeakan mengikuti perubahan peradaban. Tapi saya ingin menegaskanbahwa sejak awal sudah ada upaya untuk membedakan mana wilayahTuhan dan mana wilayah manusia. Wilayah manusia tidakbisa disakralkan dan dianggap seperti Tuhan, yang tidak bisa dikritik,dikontrol dan dimodifikasi untuk perbaikan.556– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Banyak kalangan menganggap Islam merupakan kesatuan bentuk antaraal-dîn dan al-dawlah. Pendapat Anda sendiri bagaimana?Menurut saya, sebenarnya secara akademis sulit untuk mencariliteratur Islam yang membedakan antara al-dîn dan al-dawlah. Misalnya,ketika membicarakan al-dîn, orang langsung mengasumsikannyadengan agama. Kemudian ada juga pembedaan antara ilmuagama dan bukan agama.Contohnya Imam Al-Ghazali.Dia membedakan ‘ulûmDalam tauhid kita mengenal kalimat“lâ ilâha illâ ’l-Lâh”. Tidak ada Tuhanal-syar‘îyah dan ghayr alsyar‘îyah.Ini dilematis. Apa-ungkapan sekularisme. Artinya, kitaselain Allah. Kalimat itu merupakankah betul al-dawlah dalam membedakan mana yang sakralIslam lepas dari al-dîn? Dan dan tidak sakral, mana Tuhan yangal-dîn dalam Islam lepas dari harus disembah dan disucikan danal-dawlah? Secara akademis mana yang bukan Tuhan dan tidakitu sulit dibedakan. Dari segiboleh minta disucikan atau diagungagungkan.”definisi, menurut saya, jugamasih dilematis. Karena sayasangat yakin kalau Islam juga memuat berbagai prinsip-prinsippengelolaan negara. Nabi juga menggunakan dan mempraktikkanhukum-hukum tertentu kepada penduduk Madinah. Sementarahukum sendiri adalah salah satu pilar dari negara.Tetapi, saya setuju, agar urusan-urusan yang bersifat publik dikeloladengan nilai-nilai yang bersifat publik-kemanusiaan. Tidakdisakralkan. Publik-kemanusiaan artinya adalah orang tidak bisamengatakan bahwa sesuatu adalah urusan Tuhan, yang tidak bisadidialogkan di antara anggota masyarakat, atau tidak bisa hanyadiserahkan kepada kelompok manusia yang mengatasnamakan Tu-Faquddn Abdul Kodr –557


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–han. Karena, pada praktiknya, itu merupakan urusan publik yangharus dikelola secara publik. Dalam konteks ini, biasanya yangmengatakan “Ini adalah urusan Tuhan” adalah ulama.Misalnya konsep ahl al-halli wa al-‘aqdi yang terdapat di dalamfikih. Menurut saya, konsep itu sudah tidak bisa diaplikasikanuntuk zaman sekarang. Itu merupakan model demokrasi denganperwakilan rakyat oleh anggota elite yang sangat sedikit. Ini tidakbisa lagi menjadi rujukan dalam perumusan kebijakan di masa sekarang.Sayang, mereka yang menginginkan khilâfah, menganggapahl al-halli wa al-‘aqdi merupakan konsep dari Tuhan. Ia suci, sakraldan tidak bisa ditafsirkan atau disesuaikan dengan kebutuah zaman.Padahal, itu merupakan konsep fikih. Ketika khalifah sudah tidakbisa mengelola sendirian, lalu muncullah ahl al-halli wa al-‘aqdi.Pada perkembangan berikutnya, ahl al-halli wa al-‘aqdi juga tidakcukup untuk mengelola berbagai urusan yang ada, dengan anggotayang sangat terbatas. Konsep ini tidak bisa lagi diaplikasikan sekarang,karena persoalan kebangsaan dan kemanusiaan terus bergulirdan memerlukan pendekatan dari berbagai ilmu pengetahuan.Karena itu perlu lebih banyak orang. Dan perlu berbagai modelyang lebih menjamin kepentingan publik agar tidak dibajak olehkelompok elite tertentu.Karena itu, menurut saya, orang yang membawa sakralitasagama, apapun agamanya, ke dalam konteks politik patut dicurigai.Mereka sendiri melakukan itu, biasanya, lebih disebabkanoleh kurangnya modal untuk membicarakan urusan publik secaralebih teratur, terukur, transparan dan bisa dikontrol secara bersama.Sebab, ketika agama masuk, atau tepatnya ketika membawanama Allah, ada asumsi bahwa tidak boleh ada orang lain yangmengkritiknya.558– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tetapi, sekali lagi, secara akademis sulit untuk memisahkanantara agama dan negara. Sekalipun saya setuju dengan pemikiranAli Abdul Raziq, tapi terma tersebut masih dilematis. Karenadefinisi al-dîn juga sesungguhnya bukan hanya urusan ibadah. Al-Dîn juga secara bahasa bisa berarti tanggungan hutang. Dalam literaturIslam, urusan politik pun disebut urusan al-dîn. Pada saatyang sama, urusan salat (ibadah) pun ada aspek ‘siasat’nya. Karenaitu, ada al-siyâsah al-syar‘îyah, politik syariah, baik untuk halhalibadah atau yang lain. Dan politik syariah mencakup urusanibadah juga.Problem akan muncul jika ibadah juga diatur oleh pemerintah.Secara pribadi saya tidak setuju jika ibadah diatur pemerintah.Pemerintah tidak berhak menentukan mana ibadah yang sah danmana yang tidak. Jika ini dilakukan, akan banyak ijtihad-ijtihadulama yang dibatalkan pemerintah, hanya karena ada usulan darisatu orang ulama atau sekelompok orang. Imam Malik pernah menolakhal ini, ketika kitab al-Muwaththa’ akan dijadikan undangundangoleh Khalifah al-Mansur. Kata Imam Malik, “biarkanlahsetiap kota memiliki imamnya masing-masing, jangan dipaksa untukmengikuti pandangan saya dalam kitab al-Muwaththa’.” Kitabitu sendiri hanya berisi ayat al-Quran dan Hadits.Di samping itu, kalau pemerintah mengatur masalah-masalahibadah, ia pasti akan lalai terhadap urusan-urusan publik. Tidakcukup waktu untuk melayani kebutuhan-kebutuhan warga negara.Ibadah juga terkait dengan urusan perasaan atau kedekatan seseorangkepada Allah. Kalau urusan perasaan diatur oleh pemerintah,maka sulit akan memperoleh kedekatan dengan Allah sebagaiesensi dari ibadah. Sebab, pendekatan kepada Allah merupakanpengalaman yang sangat pribadi.Faquddn Abdul Kodr –559


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah sekularisme memang sulit dipraktikkan di dalam Islam?Yang sulit bukan Islamnya, tapi umat Islamnya. Pengalamanpolitik umat Islam cenderung ditentukan oleh kelompok ulama,jika kelompok bukan ulama yang berkuasa tidak mampu memberikankebutuhan-kebutuah publik. Jika umat sedang galau denganurusan kemanusiaan yang tidak bisa diselesaikan dengan aturanaturankemanusiaan, biasanya cenderung mendekat ke agama.Kalau kondisinya seperti itu, mempraktikkan sekularisme di duniaIslam akan sulit. Karena, di tengah kondisi demikian, semuaorang sedang memimpikan simbol-simbol agama sebagai jawabandari sekularisme yang gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.Terlebih tidak sedikit praktik sekularisme yang memusuhiidentitas keagamaan.Sebaliknya, ketika seseorang bosan dengan peraturan ulama,sekularisme dalam pengertian pemisahan antara agama dan negaraakan muncul dan diterima umat dengan baik. Ini yang pernahterjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ulama-ulamaseperti Syekh Jamaluddin al-Afghani dan Syekh al-Azhar MuhammadAbduh, ulama tafsir Syekh Rasyid Ridla, justru mengampanyekannasionalisme dan hak-hak publik, yang semua itu menjadipilar sekularisme.Kepemimpinan ulama, dalam sejarah, juga pernah dirindukanpada masa Dinasti Umayyah. Karena itu muncul khalifah AbdulMalik ibn Marwan . Dia adalah salah satu dari tujuh ulama ahlifikih di Madinah. Sejak kecil, dia selalu berkompetisi dengan cucuRasulullah, Zainal Abidin. Ia muncul di tengah kegalauan masyarakatterhadap kepemimpinan sekular dan merindukan kepemimpinanulama. Pada saat itu, para politisi sekular yang tidak mempunyaikapasitas untuk berijtihad dan tidak banyak paham agama, banyak560– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–melakukan kesewenang-wenanganterhadap masyarakat.Sehingga umat berpi-dikelola dengan nilai-nilai yangUrusan-urusan yang bersifat publikkir untuk mencari penggantimereka dari figur ulama.bersifat publik-kemanusiaan. Tidakdisakralkan. Publik-kemanusiaanartinya adalah orang tidak bisaKarena itu, Abdul Malik ibnmengatakan bahwa sesuatu adalahMarwan dipilih. Padahal diaurusan Tuhan, yang tidak bisabukan anak khalifah yang didialogkan di antara anggotaketika itu menjabat. Dia hanyaanak paman dari khali-diserahkan kepada kelompokmasyarakat, atau tidak bisa hanyafah sebelumnya. Tapi dia dipilihuntuk menyelamatkan Tuhan. Karena, pada praktiknya, itumanusia yang mengatasnamakanDinasti Umayyah. Sebab, merupakan urusan publik yang haruskalau yang memimpin bukanulama, pemberontakandikelola secara publik.akan terjadi di mana-mana. Di Madinah ketika itu sudah terjadipemberontakan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair. Demikianjuga di Mesir. Dipilihnya Abdul Malik ibn Marwan sebagaikhalifah rupanya mampu meredam amarah publik. Sekalipun tetapada beberapa pemberontakan.Tetapi, ternyata selain seorang ulama, Abdul Malik ibn Marwanjuga seorang politisi. Dia justru menjadi orang yang palingkejam. Sehingga pada saat itu banyak Sahabat Nabi yang dibunuh.Dan dia punya dalil untuk menjustifikasi tindakannya. Diabisa memainkan istilah bughât dan lainnya. Karena demikian kejamnya,kemudian orang berbalik lagi menjadi tidak suka dengankepemimpinan ulama.Saya bisa menyimpulkan bahwa masa depan sekularisme sangattergantung pada konteks sosial politiknya. Sekarang kenapaFaquddn Abdul Kodr –561


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sulit? Karena, menurut saya, publik global, terutama yang dimotoriAmerika yang dipimpin Bush, sedang tidak ramah terhadap umatIslam. Mereka menyerang Afghanistan, Irak, mungkin juga nantiIran, dengan alasan-alasan yang sulit diterima publik global, apalagidunia Islam. Padahal, pada saat yang sama, publik juga tahu,seperti kata Noam Chomsky (intelektual Yahudi Amerika), bahwasemua negara, dengan pimpinan Amerika, telah berbuat tidakadil dan melakukan kejahatan terhadap bangsa Palestina, denganmembiarkannya dijajah Israel terus-menerus. Padahal seluruh publikdunia sudah menyatakan komitmen pada kemerdekaan, kebebasandan Hak Asasi Manusia.Umat Islam juga bosan dengan jargon-jargon demokrasi yangtidak mensejahterakan dan tidak memberikan keadilan. Bahkanmereka menjadi korban kekerasan atas nama demokrasi. Karenaitu, menurut saya, sekularisme pasti akan mengalami resistensi didunia Islam, sampai benar-benar nyata bisa menghadirkan kehidupanyang baik dan adil. Atau sampai mereka sadar bahwa kepemimpinandari elite agama justru akan mempersulit kehidupanmereka sehari-hari.Dalam kasus lain, kehadiran fikih justru akan membatasi kehidupanyang sekular. Apakah memang fikih tidak bisa sekular?Sebenarnya kerinduan orang bukan kepada fikih, tapi pada sosokulamanya. Seperti pernah disinggung Fareed Zakaria, ini merupakanantitesa dari kegagalan demokrasi yang dipegang pemimpin-pemimpindunia Islam yang otoriter dan zalim. Dia menyarankanuntuk memberi kesempatan kepada kepemimpinan ulama,jika dipercaya publik melalui demokrasi. Biar masyarakat memiliki562– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pengalaman, karena sesungguhnya ulama juga akan menemui kesulitanuntuk bisa mensejahterakan dan mengurus urusan publik.Yang problem menurut Zakaria adalah standar ganda Amerika ketikamenggunakan demokrasi untuk mengatur dunia Islam. Ketikaterpilih pemimpin dari pihak ulama secara demokratis ternyatatetap tidak direstui Amerika. Amerika malah melakukan intervensiuntuk menaikkan pemerintah otoriter, tidak demokratis, asal maubekerja sama dengan mereka. Inilah yang terjadi di Tunisia, Aljazair,Turki dan Mesir. Amerika malah bekerja sama dengan SaudiArabia yang patuh terhadapnya, sekalipun memiliki pemerintahanyang didasarkan pada agama, otoriter dan tidak demokratis.Inilah yang memperbesar kebencian orang terhadap sekularismedan demokrasi. Pada saat yang sama, meningkatkan kerinduanorang terhadap kepemimpinan Islam dan ulama.Hal itu wajar, karena banyak masyarakat dunia – termasukumat Islam – merasa terancam oleh promosi demokrasi dan sekularismedunia Barat. Sistem demokrasi, sayangnya, disuarakanoleh orang-orang yang berstandar ganda seperti pemerintah Amerikasaat ini. Sehingga publik tidak nyaman. Mereka melihat politikglobal memposisikan mereka dalam kehidupan yang penuhdengan ketakutan dan intimidasi global. Mereka kerap dituduh teroris,jahat, dan stigma-stigma buruk lainnya. Sehingga saya yakinbanyak orang, bukan hanya orang Islam, yang merasa terancamidentitasnya. Mereka kemudian merindukan orang lain, selain dariorang yang menyuarakan sekularisme dan demokrasi, yaitu ulama.Sedangkan ulama yang lebih menonjol adalah ulama fikih.Faquddn Abdul Kodr –563


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Munculnya perda syariah di Indonesia juga karena mengagungkanfikih, walaupun hanya berkutat pada simbol-simbol, seperti jilbab,baca al-Quran dan sebagainya. Itu merupakan pendulum balik dariarus sekularisme atau sekularisasi yang digulirkan di Indonesia dalamrangka mendukung konsolidasi demokrasi. Bagaimana komentarAnda?Secara pribadi, saya kurang sepakat dengan beberapa aktivisdemokrasi yang membicarakan perda syariah. Kita bicara fikih sajadahulu. Fikih, menurut saya, sangat kaya akan pandangan dan literatur.Kekayaan itulah yang akhirnya menjadi sumber bagi siapapun untuk memaknai Islam, baik yang ekstrem kanan maupunyang kiri. Yang menjadi masalah adalah ketika fikih dibicarakanlepas dari konteksnya. Sehingga tidak lagi membawa pesan-pesandasar atau maqâshid al-syarî‘ah-nya. Lalu fikih dipahami sebagaitujuan, bukan sebagai media. Hal itu bermasalah, sebab sesuatuyang mestinya menjadi alat dijadikan tujuan.Perda syariah sendiri sebenarnya lebih merupakan persoalanidentitas dan perebutan kekuasaan politik lokal. Sementara kita,aktivis demokrasi, menyerangnya sebagai perda syariah. Menurutsaya serangan itu salah alamat. Kalau yang kita serang syariahnya,maka banyak umat Islam yang akan marah. Sekalipun kebanyakanmereka sesungguhnya tidak paham dengan syariah. Inilah problemnya.Secara strategis, ketika kita mengatakan perda syariah sebetulnyakita telah salah besar. Mereka sendiri tidak mengatakannya sebagaiperda syariah. Kita-lah yang membangunkan kesadaran publik mengenaiadanya ancaman terhadap syariah. Saya tidak tahu mengapakita menjadi demikian sharia phobia? Padahal itu hanyalah permainanpolitik lokal yang dilakukan oleh orang-orang yang takut564– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kehabisan jabatan dan untukPemerintah tidak berhak menentukanmenutupi korupsi. Merekamana ibadah yang sah dan manamencari orang-orang yangyang tidak. Jika ini dilakukan, akanbaru muncul menjadi ulama banyak ijtihad-ijtihad ulama yanguntuk dikaitkan dan membentengikepentingannya. ada usulan dari satu orang ulama ataudibatalkan pemerintah, hanya karenaDi berbagai daerah, rupanya,yang membuat per-sekelompok orang.da syariah adalah beberapa partai yang dulunya dianggap bergelimangmasalah dan dosa, seperti Partai Golkar. Karena itu sayakurang sepakat dengan para aktivis demokrasi yang kurang jelibagaimana mendudukkan problem semacam ini.Isu perda syariah, saat ini, masih merupakan isu pengalihandari persoalan yang dihadapai pemerintah daerah, yang sulit merekapecahkan. Mulai ketidakefektifan birokrasi, korupsi para aparatdan ketidakmampuan memberikan pelayanan kepada publik. Perdasyariah menjadi tiket murah untuk meraih dukungan publik.Atau minimal dukungan sekelompok orang yang bersedia berbicarake publik. Kendati begitu, masyarakat pasti akan bangun, ketikapada akhirnya perda-perda itu tidak memberikan manfaat dalamkehidupan nyata mereka.Anda sering ke Aceh, bagaimana Anda melihat penerapan syariat Islamdi sana? Apakah antara tuntutan dan pelaksanaannya sesuai? Apayang menguntungkan dari pelaksanaan syariat Islam dan apa jugasisi yang merugikannya?Secara budaya, yang menguntungkan dari syariat Islam di Acehadalah dapat membentengi masyarakat Aceh dari pengaruh ber-Faquddn Abdul Kodr –565


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagai nilai luar atau asing. Pasca terjadinya tsunami, sebagaimanakita ketahui, banyak sekali bantuan yang masuk, baik dari NGOdalam negeri maupun luar negeri. Mereka masuk secara mendadakdan dalam jumlah yang sangat banyak dengan beragam agenda.Masing-masing pasti memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan yanglain. Di tengah terpaan nilai-nilai asing itu, menurut saya, syariatIslam sedikit banyak dapat menjadi upaya terakhir yang membentengimasyarakat Aceh untuk berpikir sejenak guna memahamisecara lebih seksama terhadap nilai-nilai baru yang masuk. Untuksementara mereka hanya bisa menolak. Sekalipun penolakannyajuga tidak jelas, ya hanya sekadar menolak. Setidaknya merekapunya jeda untuk berpikir terlebih dahulu, untuk menyerap lebihbaik terhadap nilai-nilai yang dianggapnya asing.Dalam pantauan saya, sebenarnya banyak orang Aceh yang menguasaikhazanah fikih. Tapi pembacaan fikih mereka tidak munculdi diskusi publik ketika membicarakan syariat Islam. Karena,di mana-mana, yang berkuasa secara riil dan yang bersuara justruorang-orang yang kurang paham syariat Islam. Di lapangan, sepertidiceritakan berbagai media, banyak anggota masyarakat biasa yangdengan mudah melakukan kekerasan dengan dalih syariah.Di lapangan, banyak masyarakat yang memanfaatkan istilah‘syariah’ untuk sesuatu yang memuaskan emosi sesaat mereka. Akibatnyatindakan tersebut terkadang bertentangan dengan tujuansyariah itu sendiri, seperti menggunting rambut dan jilbab perempuan,menelanjangi orang yang ketahuan berbuat salah, memukul,mengusir atau tindak kekerasan yang lain. Masyarakat Aceh seringmenggunakan dua kata ampuh untuk menolak suara-surara ataupandangan yang lain, yaitu ‘damai’ dan ‘syariah.’ Jika merasa adaancaman terhadap kebudayaan Aceh, atau dengan kepentingan dia566– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sendiri, seseorang akan melawannyadengan ungkapan Orang yang membawa sakralitas“ini mengancam perdamaian”atau “ini akan meng-konteks politik patut dicurigai. Merekaagama, apapun agamanya, ke dalamsendiri melakukan itu, biasanya,hancurkan syariat Islam.”lebih disebabkan oleh kurangnyaKata-kata itu memungkinkanseseorang untuk meno-modal untuk membicarakan urusanpublik secara lebih teratur, terukur,lak pihak-pihak yang membawasesuatu yang berbeda. bersama. Sebab, ketika agama masuk,transparan dan bisa dikontrol secaraSayangnya, dua kata itu juga atau tepatnya ketika membawa namamenjadi kata mujarab yang Allah, ada asumsi bahwa tidak bolehdigunakan oleh orang yang ada orang lain yang mengkritiknya.punya power untuk selalumemperoleh bargaining. Kepemimpinan perempuan, misalnya,ditolak beberapa kalangan dengan alasan syariat Islam. Padahal,Aceh pada masa kerajaan yang didasarkan pada Islam, telah memilikisejarah kepemimpinan perempuan yang cukup lama dandiakui ulama.Di sinilah kelamnya persoalan penerapan syariat Islam. Dengangegap gempita syariat Islam, hal-hal yang mestinya menjadi perhatianmalah terbengkalai. Semuanya beralih ke simbol-simbol yangsebenarnya tidak memiliki kaitan dengan kebutuhan masyarakat.Ini merugikan mereka sendiri. Dan ini sebenarnya disadari oleh banyakpihak, termasuk Kepala Dinas Syariah sendiri, Bapak AliyasaAbu Bakar. Syariat Islam pada akhirnya menjadi semacam bola liaryang tidak bisa dikendalikan, bahkan oleh ulamanya sendiri.Walaupun kemasygulan seperti itu tidak disuarakan di publik,tapi dapat dirasakan oleh semua orang. Karena syariat Islam padaFaquddn Abdul Kodr –567


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–praktiknya, yang melakukan eksekusi adalah masyarakat yang tidakpaham.Ada banyak hal yang menjadi perhatian para pemerhati sosialdi Aceh, misalnya salah seorang kawan saya, Tengku Danial, ulamadari Lhokseumawe, menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakatAceh sedang dalam posisi kalah dan terjepit. Kalah karena konflik,dan terjepit karena datangnya orang-orang luar. Padahal, diamerasa, dulu dirinya jaya dan pintar. Dan Aceh adalah SerambiMekah. Sekarang, semua itu tidak mereka dapatkan lagi secara sosial.Karena itu, mereka ingin menunjukkan kehebatannya dengankata ‘damai’ atau ‘syariah.’ Jadi, semacam penunjukan identitas.Itu tidak murni agama. Dan itu tidak hanya dikatakan oleh orangatas, masyarakat pun melakukannya. Mereka ingin menunjukkanbahwa “kami punya identitas, kamu yang dari luar, jangan macammacammemasukkan agenda ke dalam Aceh.”Konstitusi Indonesia tidak bersumber dari agama. Tetapi, konstitusikita dibentuk jauh sebelum Kovenan HAM diratifikasi. Meski begitu,beberapa kalangan meyakini bahwa konstitusi kita adalah sekular,meskipun masih menyebut kata dan kalimat perihal ketuhanan. Benarkahdemikian, atau justru konstitusi kita tidak tegas memisahkanantara urusan agama dan negara?Konstitusi kita sudah cukup baik. Ia justru terinspirasi dariajaran-ajaran agama. Saya tidak setuju dengan istilah bahwa agamatidak boleh ikut campur. Saya lebih setuju bahwa agama sebagaisumber inspirasi, sebagaimana dinyatakan Gus Dur dan Kang SaidAgil Siradj. Islam menginspirasi dalam banyak hal, termasuk memi-568– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sahkan institusi agama dan institusi negara. Yang problem adalahketika pemerintah mengurus keberagamaan masyarakatnya.Konstitusinya sudah cukup baik dan tidak perlu diubah.Yang kita khawatirkan adalah penafsiran konstitusi pada tataranpraktik, yang bisa jadi bertentangan dengan semangat konsititusiitu sendiri. Seperti sekarang, pengusiran kelompok Ahmadiyah,dianggap tidak bermasalah dari sisi konstitusi. Negara pun sepertinyadiam saja, tidak melakukan pembelaan terhadap wargaAhmadiyah dari segala ancaman kekerasan dan pengusiran.Sebab, pada dasarnya perdebatan apakah konstitusi kita sekularatau berdasarkan agama, juga soal perebutan makna. Artinya,perlu strategi untuk mengamankan konstitusi.Tapi jangan sampai konstitusi bersumber hanya dari agama?Menurut saya konstitusi kita masih bersumber dari agama,tapi dalam makna menginspirasi, bukan dalam makna menerapkanagama. Dalam hal ini saya setuju dengan kata-kata dari ImamKasani dalam kitab Badai’ Shana’i, yang menjelaskan tujuh maknanegara Islam dan negara kafir. Di antaranya dia mengatakan bahwadâr al-Islâm adalah negara yang menjamin keamanan, makanyadisebut dâr al-amn atau dâr al-aman. Sementara dâr al-kufr adalahnegara yang tidak aman. Dengan definisi ini, maka Indonesiabisa dikatakan sebagai negara Islam. Ada pula yang mengatakannegara Islam adalah negara yang pemimpinnya Muslim, sekalipunmayoritas penduduknya kafir. Dari sisi ini, Indonesia juga berartinegara Islam. Demikianpun ada yang mengatakan bahwa negaraIslam adalah negara yang mayoritas penduduknya Muslim sekalipunpemimpinnya bukan orang Islam, selama umat Islam men-Faquddn Abdul Kodr –569


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dapat jaminan mengamalkan ritual ibadahnya. Ada yang mengatakannegara Islam adalah negara yang pemimpinnya membiarkanmasyarakat melaksanakan praktik-praktik agama yang fundamentalseperti salat, sekalipun pemimpinnya tidak melakukan itu, asal diatidak menunjukkan ke publik dan dia tidak melakukan maksiatbesar seperti berzina. Dari definisi-definisi itu, Indonesia masihdapat dikategorikan sebagai negara Islam.Definisi-definsi di atas menunjukkan bahwa definisi fikih tentangnegara Islam masih sangat longgar, dan tidak ada fikih yangmengatakan bahwa negara Islam adalah negara yang melaksanakanseluruh syariat Islam. Karena, dalam sejarahnya, baik di KhalifahUmayyah maupun Abbasiyah juga tidak seperti itu. Oleh karenaitu, kalau merujuk ke fikih, Indonesia dapat disebut sebagai negaraIslam. Sebagaimana sudah diputuskan oleh NU.Liberalisme juga dinilai sangat pejoratif, bahkan salah satu pintu kebebasanberijtihad dalam Islam pun berusaha ditutup oleh orang Islam sendiri.Menurut Anda, harus dipahami seperti apakah liberlisme itu?Secara terma, sama dengan lainnya, liberalisme bisa dimaknaisecara beragam oleh masing-masing pihak. Dia bisa bermasalah,bisa juga tidak. Kalau liberalisme juga memasukkan liberalismeekonomi, saya ikut menentang liberalisme. Tetapi kalau liberalismeyang dipahami oleh Asghar Ali Engineer yaitu libertarian, sayasangat sepakat.Lantas apa dan bagaimana memaknainya? Kalau MUI memaknainyake arah kebebasan tanpa batas, saya tidak sepakat denganpemaknaan ini. Sebab para pemikir liberal pun saya kira tidakada yang berpikir seperti itu. Artinya MUI bermain dengan570– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–simbol, politik, dan bukan dengan fenomena sesungguhnya. Kalaudia mau membicarakan liberalisme mestinya dia mengundangpakar liberal, mendiskusikan secara matang, baru kemudian dapatmemutuskan. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu. MUI malahsengaja memunculkan, kemudian mencoba mencari keuntungansebagai pembela Islam dan umat Islam. Padahal yang dibela, tentusaja, diri mereka sendiri.Kini, di mana-mana, para mubaligh dalam ceramahnya mengancamorang-orang yang dianggap liberal. Siapapun yang dianggapmenyuarakan pemikiran yang berbeda atau baru, dianggap liberal.Fatwa MUI digunakan untuk mengancam setiap upaya pembaruandan perbaikan. Mereka membangun stigma bahwa orang yangliberal adalah salah dan tempatnya adalah di neraka. Sementaramereka dan MUI adalah yang benar dan berhak mendapatkantiket masuk ke surga. Padahal belum tentu orang yang dianggapbaik benar-benar berkelakuan baik. Kita lihat, MUI sendiri laporankeuangannya tidak pernah diaudit. Dan sekarang selalu memintaanggaran untuk memberangus orang-orang yang dianggapmenyimpang.Saya sendiri sebenarnya tidak sepenuhnya sepakat dengan JILdalam memahami liberalisme. Saya mempunyai makna sendiritentang liberalisme. Bagi saya, yang penting dari liberalisme adalahisinya. Istilahnya bisa menggunakan yang lainnya. Karena itu,orang sering mengatakan bahwa sebenarnya yang pantas disebutliberal itu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena artinya PartaiLiberal Indonesia. Secara bahasa mereka liberal, tapi maknanyabisa berbeda-beda. Hizbut Tahrir (HT) sendiri sulit diterima dinegara-negara Arab. Dulu pernah ada di Yordania tapi kemudiandiusir. Dan lucunya, orang-orang HT yang aktif di pergerakan Ti-Faquddn Abdul Kodr –571


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mur Tengah, hidupnya malah di Eropa. HT besar di London danAustralia. Banyak kelompok garis keras Islam yang sulit hidup dinegara-negara Islam, justru mereka hidup nyaman dan memperolehdukungan untuk eksis di negara-negara Barat. Justru merekamemanfaatkan demokrasi dan liberalisme untuk kepentinganmereka sendiri.Secara umum, saya memaknai liberalisme sebagai pembebasanseseorang dari kungkungan sistem yang zalim, tidak adil dan memaksa,tanpa memberikan ruang kepada individu-individu untukbisa berpikir secara rasional, sadar akan masa depan dan bertanggungjawab pada apa yang dilakukannya.Dalam konteks itukah lembaga Anda, Fahmina, menempatkan danmengembangkan fikih sebagai yang membebaskan. Fikih yang cobalari dari kungkungan formal pemahaman konservatif Islam. Lantas,bagaimana Anda melihat model fikih perempuan yang sering disalahpahamidan apa yang bisa ditawarkan?Sebenarnya, dalam memaknai syariah yang bersumber pada al-Quran dan Hadits, seringkali orang merasa bebas nilai, sehinggakebenarannya adalah murni. Padahal dia membawa nilainya sendiri,yaitu konstruksi sosial budaya yang melingkupinya. Sementarakonstruksi sosial budaya seringkali lebih memperkokoh orang yangsecara struktur sudah kuat. Ketika bicara laki-laki dan perempuan,maka di situ akan terlihat laki-laki diposisikan lebih kuat dari perempuan.Padahal itu konstruk sosial budaya dari sebagian besarmasyarakat. Pada saat itulah maka pemahaman keagamaan akanmemungkinkan adanya kelompok yang dirugikan, dalam hal ituperempuan.572– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi ketika memaknai teks, di situlah selalu terjadi persoalan.Contohnya bisa banyak, salah satunya: kita tahu Aisyah merupakanistri Nabi yang banyak disebut lantang berbicara. Dia sempatmengkritik Nabi, sempat menyalahkan Nabi, dan sempat mendiamkanNabi selama hampir dua bulan, karena nafkahnya kurang.Lalu turunlah surat al-Tahrîm yang menceritakan “Yang kita khawatirkan adalahtawaran Nabi kepada para penafsiran konstitusi pada tataranpraktik, yang bisa jadi bertentanganistri, untuk hidup bersamadengan semangat konsititusi itudengan kesederhanaan atausendiri. Seperti sekarang, pengusiranberpisah dan akan diberikankelompok Ahmadiyah, dianggapharta.tidak bermasalah dari sisi konstitusi.Penglihatan orang terhadapkasus di atas berbe-tidak melakukan pembelaan terhadapNegara pun sepertinya diam saja,da-beda. Yang struktur sosialnyamelihat perempuan ancaman kekerasan dan pengusiran.”warga Ahmadiyah dari segalasebagai mahluk lemah, emosionaldan sebagainya, akan melahirkan pandangan yang tidak adilkepada perempuan. Mereka menyalahkan Aisyah, yang emosional,bawel dan suka menuntut, sebagaimana biasanya perempuan. Tapi,Nabi justru banyak memuji Aisyah, menganggapnya sebagai separuhsumber agama Islam. Bahkan Nabi tidak pernah memarahidengan kata-kata kasar, sekalipun Aisyah pernah melawan. Begitubesar penghormatan Nabi kepada perempuan. Padahal, kalau oranglain, Sahabat misalnya, pasti sudah melakukan kekerasan dan menamparistrinya yang banyak menuntut.Ketika Nabi memuji Khadijah, Aisyah marah, dia bilang, “Untukapa mengingat perempuan yang sudah tua, sementara di sampingmuada wanita yang muda dan cantik?” Kata-kata seperti itu untukFaquddn Abdul Kodr –573


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–konteks sekarang, bisa jadi dianggap lancang terhadap Nabi. TetapiNabi tidak marah. Kemudian, ketika Nabi diperkenankan untuk kawinlagi, Aisyah mengatakan, “Kayaknya Allah itu mengikuti hawanafsumu saja.” Kata-kata tersebut kalau diucapkan pada zaman sekarangmungkin akan memunculkan demonstrasi besar-besaran untukmenghancurkan Aisyah. Tetapi, lagi-lagi, Nabi tidak pernah marah.Sampai akhirnya Abu Bakar, orang tuanya Aisyah, memegangnyadan mau menempeleng Aisyah, karena dianggap tidak sopan. Tapi,Nabi memegang tangan Abu Bakar dan mengatakan, “Walaupundia anak kamu, tapi dia adalah istri saya, saya lebih berhak untukmemperlakukan dia dengan baik.”Hal yang sama terjadi juga pada Umar ibn Khattab. Dia bermaksudmenempeleng Hafsah anaknya, karena sering mengikutiAisyah yang suka protes pada Nabi. Ummu Salamah justru menasihatiUmar dengan mengatakan, “Kamu aneh sekali, selalu mauikut campur urusan-urusan kami. Nabi sendiri mendengarkan ketikakita berbicara. Nabi sendiri diam ketika kita mengkritik. Nabijustru memilih untuk berkata baik ketika kita kasar. Kok kamumarah-marah, dan menempelang?” Lalu Umar berkata, “Jadi begitucara Nabi, kalau begitu saya akan meniru.” Dulu, sebagaimanadiceritakan Umar sendiri, sepanjang hidupnya tidak pernah membiarkanistrinya berbicara di hadapannya, apalagi memintanya berbicaraatau mengajak berbicara. Ketika mendengar fakta itu, Umarbaru berpikir akan mengajak bicara dengan istrinya. Itu Haditsnyasahih, dalam Bukhari.Jadi terdapat problem konstruksi sosial yang melatari seseorangdalam melihat teks dan melihat sejarah masa lalu. Orang yangmempunyai konstruk sosial yang tidak ramah pada perempuan,akan menilai: begitulah perempuan (Aisyah, Hafsah, dan Ummu574– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Salamah), bawel, rewel, banyak menuntut dan sebagainya. TetapiNabi sendiri tidak berkata seperti itu. Kenapa itu terjadi? Inilahyang justru baru saya temukan pada Karen Amstrong dalam bukuSejarah Muhammad. Pada buku itu dia berkata, “Di sinilah letakkeberhasilan Nabi mendidik perempuan.” Artinya perempuan yangdulu tidak berani berbicara menjadi berani bicara dan tampil, kemudianmempengaruhi para Sahabat, di antaranya Umar yangkemudian jadi mau berbicara dengan istrinya. Para perempuanpun kemudian, ketika mengalami tindak kekerasan, jadi beranimengadukannya ke Nabi. Jadi, ketika pada waktu itu perempuandipukul oleh suaminya, seperti kasus Zaid ibn Tsabit dan banyaklainnya, mereka mengadu ke Nabi. Dengan demikian, fenomenaihwal perempuan menuntut, melapor, meminta jatah, dan sebagainya,sudah terjadi sejak zaman Nabi, dan Nabi mendengar danmemberikan haknya. Inilah kebebasan yang diperoleh perempuanpada masa Nabi.Semangat inilah yang harus dimiliki ketika membaca danmemformulasikan fikih pada konteks sekarang. Misalnya kitamembicarakan surat al-Mujâdalah tentang perempuan yang proteskepada Nabi, karena sudah tua, sudah punya anak, kemudiandi-zhihâr oleh suaminya. Zhihâr sendiri sebenarnya kultur Arab,bukan kultur Islam. Zhihâr dilakukan suami untuk membiarkanistri tanpa nafkah, tetapi statusnya tidak dicerai, karena sudah dianggapseperti ibunya. Ketika seorang perempuan di-zhihâr diadianggap bukan sebagai istri lagi, karena itu tidak diberi nafkaholeh suaminya. Tetapi pada saat yang sama dia tidak bisa kawinlagi dengan orang lain, karena statusnya masih istri, sehingga diaakan terkatung-katung sampai meninggal.Faquddn Abdul Kodr –575


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Itulah kultur Arab pada saat itu. Sehingga, perempuan tadimenuntut ke Rasulullah, lantaran praktik seperti itu masih ada didalam Islam. Sementara ia tahu bahwa Islam telah membebaskanyadari kultur yang menzalimi. “Ketika muda, saya dinikahi oleh suamisaya, tapi ketika kepemudaan saya sudah hilang, dia men-zhihârsaya, saya sudah tidak bisa bekerja dan tidak laku lagi”. Lalu Nabiberkata, “Tunggu wahyu turun.” Wahyu pun kemudian turun danmengatakan bahwa zhihâr tidak boleh dilakukan lebih dari empatbulan. Artinya empat bulan itu menjadi batas di mana orang disuruhmemilih, membiarkan sebagai istrinya atau cerai. Kalau suamimen-zhihâr dan tidak kembali ke istrinya, maka akan diputuscerai oleh pengadilan setelah empat bulan 10 hari. Sehingga sangistri bisa kawin dengan siapa saja. Di samping ia juga punya hakmuth‘ah demikianpun nafkah atas perceraian, untuk menutupi kebutuhanpasca-perceraian. Ini merupakan penyelesaian situasi sosialyang terjadi pada saat itu. Semangatnya adalah pembebasan.Tetapi, ketika zhihâr dibawa ke masyarakat Indonesia menjadisulit, sebab mereka tidak paham makna zhihâr. Ketika seorangsuami mengatakan, “Kamu seperti ibu saya,” dia bukan sedangmenyakiti istrinya, tapi justru sedang memuji. Itu konteks Indonesia.Sebaliknya dalam konteks Arab, kalimat semacam itu adalahmakian buat sang istri (zhihâr).Jadi, praktik dalam kultur Arab tidak bisa diterapkan begitusaja. Sebab hal itu memiliki perbedaan makna yang signifikan antaradi Arab dengan di Indonesia.Contoh lainnya tentang mahram. Dalam fikih terdapat sebuahdoktrin, perempuan yang keluar rumah harus disertai muhrim.MUI pernah membuat aturan yang mewajibkan itu untukorang haji dan TKI. Tetapi kemudian MUI mencabut larangan576– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagi perempuan yang hendak haji dan mengadu nasib menjadiTKW tanpa disertai muhrimnya. Namun, beberapa perda justrukembali menyebutkan itu: perempuan tidak boleh bepergian dimalam hari tanpa muhrim. Saya melihat Hadits mahram itu sesungguhnyaadalah konsep perlindungan, bukan pembatasan. Kenapaperlu dilindungi, karena pada saat itu di Arab yang padangpasir sering terjadi perang besar-besaran. Siapa pun, terlebih perempuan,jika situasinya tidak aman, kalau pergi harus ditemani.Hadits ini muncul ketika ada Sahabat yang bertanya kepada Rasulullah,“Ya Rasulullah kita semua mau pergi perang, istri sayamau berangkat ke Mekah sendirian.” Lalu Rasulullah mengatakan,“Tidak dihalalkan bagi perempuan yang beriman kepada Allah danhari akhir untuk bepergian selama tiga hari kecuali ditemani olehmuhrim.” Kalau mahram artinya pelarangan, maka Rasulullah akanmengatakan jemput istrimu, suruh dia pulang, tetapi Rasul tidakdemikian. Rasulullah mengatakan “Temui istrimu dan temani diasampai memenuhi keperluannya.” Itu jelas sekali Haditsnya.Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bârî, mengutip salahseorang ulama Syafiiyah, al-Royani, yang mengatakan bahwaseorang perempuan boleh pergi sendirian ke mana pun jika kondisinyaaman. Perlunya muhrim adalah jika kondisinya memangtidak aman. Sayangnya kebanyakan ulama tidak memahami penekananini. Karena ini sesungguhnya bukan persoalan fikih, melainkankonstruksi sosial yang melatari pemahaman ulama. Dalamkonteks sekarang, muhrim, atau tepatnya ‘mahram’, adalah tanggungjawab negara. Bisa berbentuk undang-undang, keamanan,jalan harus terang, dan lainnya. Ketika kondisinya terancam, siapapun tidak boleh keluar tanpa didampingi orang lain, atau kelu-Faquddn Abdul Kodr –577


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–arga dekat. Terutama bagi mereka yang rentan, seperti anak-anakdan perempuan.Yang jadi masalah adalah fikih seringkali dipahami untuk mengekangperempuan, sehingga perempuan tidak memperoleh hakhaknya.Menurut saya, pemahaman ini lebih dipengaruhi olehkonteks sosial politik yang ada di daerah tersebut dibanding olehliteratur. Sekalipun saya setuju kesadaran gender sebagai kesadaransosial baru, yang dulu tidak ada, namun sebagai kesadaran bahwasetiap manusia mempunyai hak yang sama itu sudah ada. Karenaitu, kalau kita membaca fikih, akan menemukan ada satu dua orangyang berpikir berbeda dengan mainstream. Bahkan ada mainstreamyang berpikir berbeda dengan mainstream lainnya.Kalau dulu ada perbudakan, kini Anda sering menyebut fenomenaperdagangan manusia (human traficking) juga sebagai perbudakanmodern. Kira-kira semangat apa yang harus ditumbuhkan untukmenghilangkan perbudakan ini?Saya kira hampir semua ulama mengharamkan human traficking.Karena taktik, cara dan lainnya itu melanggar Islam. Yangproblem adalah ulama tidak tergerak untuk membela mereka.Kenapa? Karena mereka mengasumsikan perdagangan perempuanterjadi karena kesalahan dari perempuan itu sendiri. Karena itu,yang harus ditumbuhkan adalah cara pandang untuk tidak menyalahkankorban, yaitu perempuan. Hal itu terjadi karena negarayang tidak melindungi masyarakatnya. Buktinya, negara lain sepertiThailand atau Filipina punya bargaining untuk melindungiburuh migran mereka. Kita tidak punya bargaining. Sebaliknya,MUI malah menyalahkan perempuan. Parahnya lagi, bukan ha-578– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya MUI, tapi sebagian besar ulama masih punya pemikiran yangcenderung menyalahkan perempuan. Sikap yang sama juga ketikasebagian ulama lebih menyudutkan perempuan ketika terjadi kekerasandalam rumah tangga (KDRT). Pada kasus itu, tak pelak,kebanyakan orang menyalahkan perempuan.Artinya, perempuan berada pada relasi yang timpang denganlaki-laki. Perempuan selalu dianggap lemah, cerewet dan sebagainya.Ini juga terjadi karena relasi sosial kita yang selalu menguntungkanyang kuat. Karena itu, perlu terus menumbuhkan kesadaran genderdi tengah masyarakat.Tetapi, kita juga tidak bisa Tidak ada fikih yang mengatakanhanya menyalahkan ulama, bahwa negara Islam adalah negaraatau MUI. Perlu kesadaran yang melaksanakan seluruh syariatsemua orang untuk meluruskanrelasi yang timpang baik di Khalifah Umayah maupunIslam. Karena, dalam sejarahnya,ini. Karena biasanya laki-laki Abbasiyah tidak seperti itu.yang diberi kekuasaan lebihketimbang perempuan. Pada konteks seperti inilah, perempuanselalu disalahkan, dan untuk memudahkannya, tak jarang orangmenggunakan agama. Karena masyarakat kita cenderung tidak akanprotes kalau dikatakan berdasar agama.Di Indonesia kita memang telah memiliki UU PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Tapi problemnya,seperti UU lainnya, kesadaran terhadap UU itu sendiri belumtumbuh. Karena UU memerlukan tiga hal: konten, kultur danaparatus. Kontennya mungkin baik, tapi kalau kultur dan aparaturnyatidak baik, maka akan percuma. UU KDRT sudah lamadisahkan, sejak 2004, tapi sampai sekarang orang masih berpikirtidak apa-apa memukul perempuan. Polisinya sendiri mungkinFaquddn Abdul Kodr –579


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–masih berpikir jangan-jangan istrinya yang salah. Jadi, ini jelasmemerlukan waktu yang cukup panjang. Tetapi, minimal denganadanya UU, orang jadi membahasnya. Minimal, kalau pemerintahtidak bertanggung jawab terhadap masalah traficking, publik yangmempunyai kesadaran dapat melakukan clash action. Tapi, sekalilagi, UU PTPPO merupakan capaian yang sangat maju bagi Indonesiadibandingkan dengan Malaysia dan lainnya. Saya yakin semuaulama sepakat mengatakan bahwa perdagangan orang adalahharam, termasuk ulama Arab Saudi. Tetapi, karena dia tidak maudisalahkan, sehingga tidak mau memberlakukan UU PTPPO.Tapi bukan hanya Arab Saudi, kemarin saya baru menemukanbahwa ternyata Amerika termasuk negara yang belum meratifikasiCEDAW, Konvensi internasional mengenai penghapusansegala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Ini sangat ironis.Padahal kita mengenal Amerika sebagai kampiun demokrasi. CE-DAW selalu dibahas di Kongres Amerika, tapi juga selalu ditolak.Dan, lagi-lagi, ini mungkin disebabkan oleh poblem kekuasaan.Orang akan merasa rendah diri jika harus mengikuti Undang-Undang orang lain. Mungkin, tetapi persisnya saya tidak tahu.Padahal, Arab Saudi saja sudah meratifikasi CEDAW pada tahun2005. Karena itu, Arab Saudi selalu mempertanggungjawabkanpraktik CEDAW-nya di PBB. Artinya, betapa timpangnya duniaini. Wajar kalau umat Islam kerap menganggap Amerika hanyamembohongi mereka. Meski memang dalam setiap pembahasankonvensi intenasional selalu ada keinginan negara-negara tertentuuntuk mendominasi negara lain.Kita kembali pada istilah liberalisme sebagai pembebasan darisegala bentuk ketidakadilan. Karena itu, kita tidak bisa menempatkanmanusia sebagai objek manusia lain, sehingga menjadi korban580– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ketidakadilan. Itulah misi pembebasan yang saya kira Islami. Dansemangat inilah yang harus ditumbuhkan pada persoalan kejahatanperdagangan manusia. Sehingga suami tidak menjadi lagi zalimkepada istri, orang tua kepada anak, majikan kepada buruh, negarakepada rakyat. Misi penghormatan kemanusiaan dalam Islamseharusnya menjadi kesadaran semua orang untuk melihat oranglain secara terhormat. Jika ini terjadi, tidak akan ada orang yangmenjadi korban kejahatan traficking.Semangat seperti ini yang sering hilang dalam pembicaraanmengenai fikih atau syariat Islam. Secara pribadi, saya sebenarnyatidak mempersoalkan tuntutan syariat Islam. Asalkan misinyamenjadi kebutuhan publik,selama bisa didiskusikan secarapublik, bukan menja-pembebasan seseorang dariSaya memaknai liberalisme sebagaidi monopoli orang tertentu kungkungan sistem yang zalim, tidakyang merasa berhak mendefinisikansyariah. Hal yang ruang kepada individu-individu untukadil dan memaksa, tanpa memberikansama juga saya pakai untuk bisa berpikir secara rasional, sadardemokrasi. Kalau demokrasihanya dimonopoli orang-akan masa depan dan bertanggungjawab pada apa yang dilakukannya.orang tertentu, maka tidakada gunanya sama sekali. Ruang publik lalu tidak ada, hanya akanada orang-orang tertentu yang merasa paling hebat dalam hal ‘demokrasi’dan tidak bisa dikontrol. Orang yang mengatasnamakansyariah dan membawa-bawa Allah, seringkali merasa benar sendiri,seraya menutup dialog publik. Itu yang menjadi problem.Tetapi kalau syariat Islam sudah dimanusiakan, maka sifatnyaseperti fikih. Fikih itu rendah hati. Dalam kitab-kitab fikihselalu ditutup dengan kalimat wallâhu a‘lam bi al-shawâb. Fikih,Faquddn Abdul Kodr –581


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–seperti kata Imam Syafii, berpegang pada prinsip: saya benar,tapi bukan berarti orang lain salah. Saya mungkin juga salahdan orang lainlah yang benar. Sepanjang peradaban fikih, tidakada ulama fikih yang menghendaki pandangan fikihnya dijadikanundang-undang pada sebuah negara. Fikih hanya pernahjadi mazhab. Dan mazhab tidak bisa diwajibkan kepada semuaorang. Dia hanya dipraktikkan secara konsekuen oleh orangorangyang mengikutinya.UU sebenarnya melindungi hak perempuan. Artinya Indonesia tidakperlu lagi aturan lebih khusus. Konstitusi kita sudah menjamin danmelindungi hak-hak dan kebebasan setiap warga negara. Oleh karenaitu pula, tidak perlu muncul perda syariah.Ya, saya pikir demikian. Tetapi perda itu, menururt saya, lebihmerupakan politik lokal atau bisa jadi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanlokal semata. Terkadang perda dikeluarkanuntuk mengatur moral masyarakat, padahal tidak ada kejelasanmengenai moral masyarakat. Yang kita perlukan adalah kejelasandefinisi moral.Tapi perda syariah merupakan bagian dari pengaturan kehidupanberagama?Saya kira tidak sepenuhnya demikian. Perda hanya mengaturkehidupan publik saja, menurut latar lokal masing-masing. Samaseperti pengaturan seragam, waktu masuk kantor, atau yang lainnya.Problemnya, dulu tidak sensitif nilai budaya atau agama tertentu,sekarang menjadi sensitif.582– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tetapi mereka yang merumuskan perda syariah mengklaim berdasarkanal-Quran?Bisa jadi. Tapi, sebenarnya tidak sepenuhnya tepat. Karenakitab suci bisa dimaknai oleh siapapun. Pendapat yang dilontarkanseseorang bisa saja mengklaim berasal dari kitab suci, karenaagama memang milik semua orang. Problemnya adalah bagaimanaagar klaim itu tidak menutup opini yang berbeda dari orang lain.Karena itu, buka perdebatan ke publik, apakah betul secara fikihorang boleh menangkap perempuan yang keluar malam? Seharusnyadibicarakan terlebih dahulu dengan banyak orang sebelummemutuskan. Perda itu sama seperti UU yang lain, bisa dianulirdan bisa dibatalkan.Mereka mencantumkan dasar al-Quran dan Hadits dalam setiapperda yang kita sebut perda syariah itu. Meski tanpa kejelasan ayatdan teks Hadits yang mana, juga tanpa kejelasan penafsiran. Tidakseperti keputusan bahts al-masâ’il NU atau tarjîh Muhammadiyah,yang menjelaskan argumentasi pemikiran sebelum membuat keputusanhukum. Ini yang perlu dibuka dan diperdebatkan ke publik.Sehingga tidak ada yang merasa paling qurani. Dan ketika kitamengkritik perda, yang katanya berdasar pada al-Quran itu, kitatidak sedang menyalahkan al-Quran. Tetapi sedang mendiskusikanperda yang dibuat oleh keputusan politik.Dalam konteks otonomi daerah, urusan agama menjadi kewenanganpusat, bukan pemerintah daerah. Lantas bagaimana Anda menjelaskanposisi perda syariah?Undang-undang menyatakan bahwa urusan agama menjadi hakpusat, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksudFaquddn Abdul Kodr –583


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–agama. Ternyata, kalau dari pagu anggaran, yang dimaksud agamaadalah urusan-urusan Departemen Agama. Artinya urusan birokrasi,seperti haji dan wakaf. Itulah problem bangsa ini yang tidak tegasuntuk memisahkan agama dan negara. Konstitusi itu dimaknaioleh semua orang. Kalau NU yang berkuasa, konstitusi dimaknaisecara NU. Dan kalau Muhammadiyah yang berkuasa, konstitusidimaknai secara Muhammadiyah. Di sinilah perlu kearifan untukmemunculkan karakter kebangsaan untuk semua.Apakah perda syariah kontra-produktif bagi semangat dasar otonomidaerah?Saya melihat problem otonomi daerah adalah problem sosialpolitik. Perda yang bermasalah bukan hanya perda syariah, tapibanyak sekali. Jumlahnya sekitar 460-an perda. Kebanyakan adalahpersoalan keuangan dan birokrasi. Tapi, kita tidak ada yangmengkritisi hal itu. Padahal sama saja bermasalah. Menurut saya,justru perda syariah dimunculkan untuk melupakan masalah itu.Sehingga kita sibuk mengurusi perda-perda syariah dan melupakanproblem perda yang lainnya. Akhirnya, kita dan mereka punsama saja, sama-sama melupakan orang-orang yang terpinggirkan.Membiarkan rakyat menjadi korban ketimpangan sistem birokrasi,politik dan sosial yang ada. Secara politik dan kebijakan, sebenarnyaperda-perda itu bisa dianulir. Tapi jangan dilakukan sepotongsepotong.Ini problem otonomi daerah, ketika orang-orang berpikirmemperoleh dukungan publik dengan cara murah.Menurut saya, kita terlalu membesarkan perda syariah sebagaisesuatu yang mengancam Indonesia. Sementara, yang betul-betulmenghancurkan, tidak kita bicarakan. Kita bilang itu bukan ba-584– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gian dari kita, itu bagian orang lain. Akhirnya kita terjebak padapemahaman agama itu sendiri. Itu kerena nafsu. Pertanyaannya,siapakah yang memperoleh manfaat dari otonomi daerah itu? Setiaporang ingin mewujudkan identitasnya masing-masing. Inilahyang kemudian menutupi persoalan yang sedang dihadapi, sepertikekerasan, kemiskinan dan korupsi, yang kemudian bukan dianggapoleh pemerintah sebagai fakta, melainkan aib. Sehingga semuapersoalan tersebut harus ditutupi, bukan diselesaikan. Sementara,cara orang menutupi aibnya sendiri berbeda-beda. Ada yang dengannonton film Ayat-Ayat Cinta, lalu menangis di situ, sementarasoal lumpur Lapindo dibiarkansaja. Sementara ada jugaKitab suci bisa dimaknai olehyang dengan menggulirkan siapapun. Pendapat yang dilontarkantuntutan membuat perdaperdasyariah.dari kitab suci, karena agama memangseseorang bisa saja mengklaim berasalDi Indramayu, contohnya,korupsi terjadi besar-adalah bagaimana agar klaim itumilik semua orang. Problemnyabesaran tetapi tidak ada yang tidak menutup opini yang berbedaberani mengusut. Seluruhdari orang lain.masyarakat diam karena ditutupioleh syariah Islam. Jadi, problem sebenarnya terkadang tidakkita ketahui lebih detil, kemudian buru-buru menyalahkan syariahIslam. Akhirnya, banyak yang marah karena itu. Orang kemudianjustru membela Bupati, karena dia tetap menggunakan simbolsimbolagama. Dia menghajikan dan mengumrohkan ulama. Ituterjadi di mana-mana. Kita pun terjebak dengan melihatnya sebagaimomok. Padahal, bukan itu persoalannya. Saya sendiri tidaktahu, jangan-jangan mereka juga punya pakar untuk men-settingkondisi seperti itu.Faquddn Abdul Kodr –585


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalau melihat praktiknya, benarkah agama Islam tampak anti-pluralisme?Saya merujuk pada pengalaman umat Islam. Problem pluralisme,menurut saya, sama dengan problem demokrasi, yaitu problemkomunitas. Problem mayoritas dan minoritas. Orang yang hanyapunya agama, akan menggunakan agamanya. Dan yang memilikisuku, akan menggunakan kesukuannya. Belakangan, bahkan dinegara kampiun pluralisme, Belanda, ternyata muncul sosok GeertWilders yang membuat film antipluralisme. Di Belanda, kini,telah banyak orang-orang yang antipluralisme, mungkin sampai30%. Ini merupakan problem sosial. Jadi, kita malah mencari justifikasinyamasing-masing. Tetapi, pada masa pemerintahan Islam,di Spanyol, semua orang dari tiga kelompok agama besar (Islam,Kristen dan Yahudi), hidup rukun.Dalam pandangan saya, fikih juga menyediakan banyak literaturtentang pluralisme atau anti-pluralisme. Tergantung bagaimanamembacanya. Yang menentukan sekarang adalah sikap kita. Saya,secara pribadi, sangat setuju dengan ulama NU yang mengatakanbahwa negara Indonsia adalah final. Konstitusi Indonesia merupakansatu-satunya rujukan kehidupan sosial. Kalau konstitusi menjadirujukan, kita tidak boleh melakukan kekerasan pada siapapun yangberbeda. Perbedaan harus dihargai, dan orang-orangnya memperolehjaminan hidup di negara ini. Itulah keputusan ulama IslamIndonesia mengenai pluralisme.Hampir di setiap negara Islam terdapat pengalaman menyerang danmemasung pemikiran berbeda. Demikianpun yang belakangan terjadi586– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di Indonesia dengan munculnya fatwa haram untuk pemikiran danaliran tertentu yang berbeda.Saya lebih setuju kalau kita menyebutnya umat Islam, bukanIslamnya. Karena kalau umat Islam artinya pengalaman sejarah peradabanIslam. Dan pengalaman itu beragam. Misalnya, kalau kitamembaca Musyawarah Buku karya Khaled Abou El-Fadl, akan tahubahwa sepanjang peradabanIslam banyak ulama yangFikih telah menggariskan prinsipprinsipperbedaan pendapat, prinsipberpendapat terbuka sekaligusmengamalkan nilai-nilai ijtihad dan pertautan dengan nilainaillain yang berkembang. Fikihpluralisme, walaupun barusebatas tingkat tertentu dalamtoleransi. Meski definisi harus dikembangkan. Fikih sendiriitu penuh filsafat hukum. Ini yangpluralisme sendiri berbedabeda,fenomena dan ulamadikembangkan dengan penerimaanbahwa ajaran Islam rasional dan bisadipahami akal (ma‘qûliyyat al-ma‘nâ).yang berwawasan dan bersikapterbuka sangat mungkinsudah ada. Misalnya, dalam sejarah tercatat umat non-Muslim bisamasuk masjid, bahkan bisa ikut berperang. Sementara secara teologisgagasan pluralisme sangat rumit dan panjang.Sebaliknya, juga terjadi dalam sejarah peradaban umat Islamdi mana fatwa haram, sesat, bahkan tindak kekerasan dan pembunuhancukup sengit mengiringi. Perseturuan paling panjang yangkerap mempertontonkan sikap anti-pluralisme dalam sejarah adalahkonflik Syi’ah dan Suni. Tetapi semuanya tetap diakui sebagaiIslam, meski dengan argumentasi keislaman masing-masing. Didalam Suni sendiri perseturuan seperti itu pernah terjadi antaraHambali dan Hanafi. Jadi, masih antar-mereka yang mengatasna-Faquddn Abdul Kodr –587


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–makan Islam. Misalnya kasus al-Hallaj yang punya pengikut sangatbanyak. Walaupun orang mengatakan dia melakukan bidah,ia tetap punya umat. Di Kristen, perseturuan antara gereja dansekular juga begitu keras, sampai terjadi pergantian kepemimpinandari gereja ke sekular.Sementara Islam tidak memiliki demarkasi yang jelas antarapemerintahan Islam dan sekular. Sehingga, pertikain dalam Islamtidak sesadis dalam pengalaman Kristen. Kalau dalam sejarah peradabanBarat, konflik agama dan sekular tersebut terjadi sangatpanjang.Namun demikian, yang menguntungkan buat Barat dan gereja,konflik tersebut menghasilkan sintesa yang jelas. Sebab, dalam Islamkonfliknya masih abu-abu. Sehingga sintesanya juga abu-abu. Misalnya,seorang Din Syamsuddin yang dulunya pluralis, ketika masukMUI malah menjadi antipluralis. Dengan model-model demikian,tampaknya kita masih sulit memunculkan sebuah sintesa menujuyang sekular-plural.Kesulitan tersebut nyata dalam kasus Ahmadiyah. Kita punyakonstitusi, undang-undang, yang secara tegas menolak kekerasan.Kalau dari sisi mayoritas Muslim menyalahkan, menyesatkan,dan mengkafirkan, saya kira bukan hanya di Indonesia saja. Dimana-mana, hal yang sama juga terjadi. Menyalahkan yang lainsebenarnya tidaklah bermasalah, selama tidak menggunakan kekerasan.Yang problem adalah ketika pertikaian tersebut munculsebagai ancaman, seperti ungkapan akan membunuh warga Ahmadiyahdan sebagainya. Celakanya, pemerintah diam saja, karenalemah. Saya sendiri tidak tahu arah pemerintahan kita. Sayajuga tidak tahu siapa yang membuat skenario politik pluralismebangsa ini hendak dibawa ke mana. Padahal, kalau negara kuat588– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan melindungi warga negara, sebanyak apapun fatwa haram yangdibuat MUI, tidak akan menimbulkan kekerasan. Yang salah disini adalah negara. Saya melihatnya pada problem pemerintahankita sekarang yang tidak punya ketegasan.Bagaimana keterlibatan Fahmina Institute dalam advokasi wargaAhmadiyah di Manis Lor, Kuningan?Kami terlibat, tapi tidak menggunakan bendera Fahmina.Kami berpartisipasi lebih pada kemanusiaan, bukan kelembagaan.Kami menghimpun data dan memfasilitasi mereka untuk bertemudengan beberapa pihak. Kita sangat dekat dengan masyarakat.Dan, sejauh ini, kita bisamenjaga kedekatan tersebut. Kalau negara kuat dan melindungiSaya berpandangan demikianjuga karena saya punya membuat fatwa haram sebanyakwarga negara, maka MUI maupengalaman di masyarakat apapun, tidak akan terjadi kekerasan.lokal yang berhubungan erat Yang salah di sini negara, bukan MUI.”dengan masyarakat. Seberapabagusnya sebuah ide, kalau tidak menggunakan strategi yangjelas, maka, terkadang, tidak bisa diterima masyakat.Sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, apayang ingin disuarakan Fahmina terkait tiga isu besar sekularisme,liberalisme dan pluralisme?Ada dua pembicaraan yang sampai sekarang masih menjadimasalah aktual di kalangan aktivis. Apakah kita harus ikut mengurusinegara atau hanya memberdayakan masyarakat. Dulu, ke-Faquddn Abdul Kodr –589


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–banyakan orang mengatakan kita tidak perlu mengurus negara.Tapi ternyata sekarang negara yang bermain, atau dipermainkanpihak lain. Makanya, banyak juga yang berpikir kalau kita harusmasuk mengurusi negara. Terkait dengan tiga isu: sekularisme, liberalismedan pluralisme, saya lebih cenderung bagaimana menggunakanisu ini untuk memberikan pendidikan kepada masyarakatagar memahami hak-haknya sebagai warga negara. Mereka harusbisa menyadari haknya untuk mendapatkan kebutuhan, meningkatkankemampuan mereka dalam bernegosiasi dan menyuarakanaspirasi.Kita tidak bisa menjelaskan ketiga isu itu ke tengah masyarakatdengan teori. Apalagi setelah diterbitkannya fatwa MUIyang mengharamkannya. Kita akan ditolak. Tetapi, kalau kitamembicarakannya dengan contoh-contoh praktis, mereka mungkinakan menerimanya. Kami membicarakan ketiga konsep itudalam ruang tertutup. Sementara ketika di tingkat lokal, kitamembicarakan hak-hak perempuan, hak hidup warga, hak-hakAhmadiyah dan sebagainya. Tentu saja, kalau kita bicara hal itu,kita tidak ingin bermain-main dengan literatur yang tidak dipahamioleh publik.Anda dikenal sebagai pakar fikih. Bagaimana Anda merespon anggapanbahwa fikih merupakan sumber masalah? Lantas apa yangdisuarakan oleh fikih?Perubahan sosial di masyarakat tidak mungkin lepas dari potensisosial yang ada. Oleh karena itu, kita harus bisa membacapotensi ini. Masyarakat Muslim Indonesia kebanyakan hanya memahamifikih. Sedikit saja yang memahami teologi dan filsafat.590– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Mungkin ada juga yang memahami tasawuf. Karena itu, potensitersebut, harus diberdayakan untuk melakukan perubahan sosial.Perubahan sosial, akan menghadapi kesulitan jika berhadap-hadapandengan fikih atau syariat Islam. Di mana-mana, perubahanakan sulit dicapai tanpa menggunakan potensi-potensi yang ada.Problemnya adalah bagaimana kita menggunakan potensi itu. Kitabfikih yang kita baca mestinya harus mulai dipahami sebagaibukan fikih yang sebagaimana adanya. Kita harus memahaminyadengan semangat pembebasan. Bisa jadi, ini dianggap eklektik.Tapi, percayalah, tidak ada orang yang hidup di dunia ini tanpalaku eklektik, tanpa mengkombinasikan berbagai pengalaman danpengetahuan yang diperolehnya. Semua pandangan, pada akhirnya,adalah sintesa eklektis dari pandangan-pandangan yang sudah adaatau sedang berkembang.Faktanya, fikih yang Anda kembangkan mendapatkan tentangan dariorang lain yang mengklaim pandangannya berdasar fikih juga. BagaiamanaAnda mengomentarinya?Ya, saya paham. Dan itu terjadi tidak hanya di dalam fikih.Misalnya, kita mengklaim bahwa pluralisme, liberalisme dan sekularismeadalah milik Barat. Tapi ada juga yang berpandangansebaliknya. Misalnya saja Tariq Ali yang menyerang demokrasiBarat dari sisi Hak Asasi Manusia, begitu juga Noam Chomsky.Artinya, fikih juga bisa dimaknai banyak pihak. Bahkanada yang berpikir bahwa fikih sudah mandeg, sebagaimana padazaman awal. Namun juga tetap banyak yang berpikir bahwafikih itu bisa dan selalu progresif, memandang masalah untukmasa depan.Faquddn Abdul Kodr –591


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Artinya, ada sesuatu yang harus diluruskan dari perkembangan pemikiranfikih di Indonesia atau di dunia Islam secara umum?Kita harus memahami bahwa hidup itu berjalan ke depan,bukan ke belakang. Kalau kita berpikir ke depan, berarti berpikiruntuk kemajuan peradaban ke depan. Bukan ke belakang ataumembiarkan hidup kita ditarik-tarik ke romantisme masa lalu. Kalanganyang memandegkan fikih bermimpi seolah sedang beradadi fikih masa lalu. Padahal yang dihadapi adalah masa kini. Kesadaranhidup ke depan memungkinkan kita untuk membaca semuahal pada konteks kekinian dan ke depan, bukan pada kontekske belakang. Saya yakin, yang mengatakan bahwa pencuri harusdipotong tangannya, akan sulit diterjemahkan ke dalam Undangundang.Itu pikiran semu, yang pasti akan menemukan konflikdengan pikiran orang lain.Fikih telah menggariskan prinsip-prinsip perbedaan pendapat,prinsip ijtihad dan pertautan dengan nilai-nail lain yang berkembang.Fikih itu penuh filsafat hukum. Ini yang harus dikembangkan.Fikih sendiri dikembangkan dengan penerimaan bahwa ajaranIslam rasional dan bisa dipahami akal (ma‘qûliyat al-ma‘nâ). Akalmanusia harus banyak bekerja untuk fikih. Pada awalnya, kerja akalini memunculkan metode qiyâs, istihsân, mashlahah mursalah. Padaperkembangannya kemudian muncul konsep maqâshid al-syarî‘ah.Ini adalah perkembangan yang sangat menakjubkan. Sayang inikurang dikembangkan oleh umat Islam. Termasuk pada masa sekarang.Umat Islam masih kerap dicekoki paham bahwa ajaranIslam itu tidak memakai akal. “Kalau memakai akal tidak mungkinmengusap sepatu, ketika wudlu, di bagian atas kaki, padahalyang kotor di bagian bawah sepatu. Ini pembodohan,” demikian592– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kata mereka. Padahal banyaksekali ayat yang mengajakberpikir, merenung dan menyimpulkan.Ini yang perludikembangkan dalam kajianIslam.Fatwa MUI tidak akan dipedulikanmasyarakat, kalau kondisi ekonomimembaik dan negara bersikap tegas.Karena, sesungguhnya masyarakattidak mengetahui makna sekularisme,liberalisme, dan pluralisme. Yangmenyebabkan terjadinya kekerasandi masyarakat, sebenarnya lebihMelalui persentuhannya denganmasyarakat, apa yang atau kelompok untuk menguasaidipicu oleh keinginan seseorangAnda tangkap dari pemahamanmasyarakat terhadap fatwaorang lain.MUI yang mengharamkan sekularisme, liberalisme dan pluralisme?Apakah Anda melihat kondisi massa yang mengarah pada sikap politikinteloran? Lantas, bagaimana masa depan pluralisme di Indonesia?Menurut saya, fatwa MUI tidak akan dipedulikan masyarakat,kalau kondisi ekonomi membaik dan negara bersikap tegas. Karenamasyarakat sesungguhnya tidak mengetahui makna dari sekularisme,liberalisme dan pluralisme. Mereka bahkan tidak pernah tahu soalfatwa itu. Kekerasan di masyarakat sendiri sebenarnya lebih dipicuoleh keinginan seseorang atau kelompok untuk menguasai oranglain. Masyarakat sendiri bingung harus mendasarkan tindakannyapada alasan apa. Jika menggunakan hukum, tingkat legitimasinyalemah. Sebab tidak sakral. Maka, cara yang paling aman adalahmenggunakan fatwa MUI, sehingga dia punya alasan lebih kuat.Jadi, banyak faktor yang mendorong masyarakat untuk melakukantindakan kekerasan, diantaranya: kemiskinan, psikologi,tidak bekerja, kecemburan dan lain sebagainya. Hanya saja merekakebingungan untuk mencari alasan bertindak anarkis, sehing-Faquddn Abdul Kodr –593


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ga menggunakan fatwa MUI. Dengan basis argumentasi fatwaMUI, seolah mereka terbebas dari polisi, karena merasa sebagaipembela agama.Sebagai pendidikan publik, kita harus menghadirkan fatwa lainselain MUI. Atau menghadirkan pandangan dan kajian-kajian yanglebih baik mengenai pluralisme atau yang lain, agar masyarakat jugamemperoleh hak pengetahuan dan informasi yang cukup mengenaihal-hal itu. Selebihnya, kita biarkan mereka memahami secara dewasa,tidak dipaksa, membandingkan dan menerima secara bertanggungjawab. Pada titik inilah diperlukan adanya ruang sosial dan ruangpolitik yang mendidik semua orang.Untuk konteks Indonesia, ruang seperti ini memang agak sulitketika kebutuhan kebanyakan orang masih pada hal-hal dasar sepertimakan, papan dan sandang. Kejernihan memahami dan menerimapersoalan menjadi agak sedikit sulit, jika kebutuhan-kebutuhandasar itu tidak terpenuhi. Ini menjadi tugas kita semua.Dan kita sebenarnya punya potensi besar untuk sukses sebagaibangsa besar. Dari dulu, kita sudah terdiri dari berbagai ragam etnik,golongan, agama dan kepercayaan. Kita bisa mengelola itu dan kitatelah melampaui itu semua. Ke depan, kita pasti bisa. Yang terjadisekarang ini, hanyalah riak-riak kecil akibat dari perbenturan yangsesungguhnya terjadi di seberang sana, namun masuk ke Indonesia.Mudah-mudahan dengan cepat badai ini bisa berlalu.Wawancara dilakukan di Fahmina, Jumat, 11 April 2008594– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganFarid WajidiFarid Wajidi, Direktur LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta.Ia memperoleh gelar MA bidang Sejarah Islam Indonesi di Universitas Leiden, Belanda(1999) dan sekarang sedang menyelesaikan disertasi berjudul “Muslim Civil Societyin Transitional Indonesia: A study on Muslim NGOs and Alternative Informal Networksin Java” di Universitas Utrecht, Belanda.595


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tantangan bagi negara yang plural adalah bagaimana menerjemahkansetiap ketentuan partikular dari agama menjadi nilai yangbisa dirumuskan secara universal sehingga diterima oleh merekayang bukan penganutnya sekalipun. Karena itu jangan selalumembatasi pada satu sistem bentukan masa lalu untuk diterapkanpada kehidupan publik sekarang yang jauh lebih kompleks.Jangan pula negara diatur menurut ketentuan agama tertentutanpa melalui proses deliberasi yang melibatkan seluruh partisipasiwarga secara setara. Nabi mengisyaratkan, Antum a‘lamubi-umûri dunyâkum. Inilah pentingnya sekularisme, yang sejatinyamalah menjaga eksistensi agama agar terhindar dari upaya-upayapemerosotan lantaran menjadi alat kekuasaan belaka.596– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ramai pro dan kontra menyertai sekularisme. Bagi mereka yang pro,sekularisme dianggap sebagai usaha untuk menyelamatkan agama darikepentingan kelompok tertentu ataupun segelintir orang. Sebaliknya,mereka yang kontra menganggap sekularisme justru akan membunuhagama. Di Indonesia, puncak dari pro dan kontra itu adalah munculnyafatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkansekularisme bersama liberalisme dan pluralisme. Bagaimana pandanganAnda mengenai paham ini?Saya rasa ada kecenderungan untuk mereduksi pengertian sekularismeseolah-olah ia berarti pandangan antiagama. Pandanganini terutama sering dikemukakan oleh kelompok keagamaan yangtidak menyetujuinya. Jadi, seolah-olah kalau kita memilih sekularismekita bermaksud menolak hidup kita diatur oleh agama daneksistensi agama menjadi terancam karenanya. Memang ada sebagianpenganut sekularisme yang mengambil posisi seperti itu, karenapengalaman traumatik di masa lalu, tetapi itu bukan seluruhpengertian mengenai kata itu.Secara umum kita tahu bahwa sebagai sebuah konsep sekularismelahir sebagai respon terhadap sebuah situasi Eropa Abad Pertengahandi mana agama menjadi kekuatan yang sangat dominan,baik secara kultural, di mana ia menjadi alat ukur satu-satunyamengenai apa yang benar secara mutlak, maupun secara politikdi mana kekuasaan yang ditopang oleh Gereja menjadi kekuasaanyang sangat otoriter. Sekularisme lahir dari situasi yang otoriter danmenindas kebebasan berpikir seperti itu. Dan ia menjadi gerakanperlawanan yang keras di hadapan kecenderungan untuk menjadikanagama sebagai pusat dari seluruh pandangan dunia. Hal initentu saja menimbulkan krisis di kalangan agama.Fard Wajd –597


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dari sinilah, saya kira, asal mula dari pandangan negatif kalanganagamawan terhadap sekularisme. Jadi ada trauma besar atassejarah perselingkuhan kekuasaan politik dan kekuasaan agama.Orang-orang yang berpikir bebas kemudian menganggap agamasudah tidak lagi memadai menjawab persoalan kontemporer. Karenaitu, kalangan konservatif memandang bila sekularisme diterapkanmaka agama akan semakin terpinggirkan. Kehadiran ilmupengetahuan baru seolah-olah akan selalu berujung pada upayamenyudutkan agama. Jadi, saya bisa memahami penolakan terhadapsekularisme, tetapi segera harus diberi catatan bahwa ia tidakselalu harus berarti demikian.Bagi saya, sebagai sebuah konsep politik, sekularisme berartipemisahan antara otoritas agama dan negara, di mana urusanagama tidak diintervensi oleh negara sebaliknya diserahkan sepenuhnyakepada para penganutnya sendiri, begitupun negara tidakdiatur menurut ketentuan agama tertentu, melainkan harus ditanganimelalui proses deliberasi yang melibatkan partisipasi semuawarga negara secara setara.Anda ingin mengatakan bahwa sekularisme sebetulnya tidak meminggirkanagama?Ya. Sekularisme menyerahkan semua persoalan yang sifatnya publikterhadap orang-orang yang berkepentingan di dalamnya. Berbagaipersoalan publik harus diatur oleh semua kelompok berdasarkankesepakatan bersama. Saya beranggapan bahwa Nabi Muhammadmengisyaratkan sikap ini ketika beliau mengatakan: Antum a‘lamubi-umûri dunyâkum.598– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya sendiri memandang sekularisme sebagai sebuah keharusan,sebagian mungkin karena keyakinan dasar saya tentang kekuasaan.Kekuasaan selalu punya potensi untuk korup, dan tujuanutama penguasa setelahberkuasa pada umumnyaSekularisme berarti pemisahanadalah mempertahankan kekuasaannya.Jadi, sekularis-negara, di mana urusan agamaantara otoritas agama danme bagi saya berguna untuk tidak diintervensi oleh negaramenghalangi penggumpalan sebaliknya diserahkan sepenuhnyakekuasaan yang sangat besar, kepada para penganutnya sendiri,menjadi totaliter, dan tidak begitupun negara tidak diaturbisa dikoreksi.menurut ketentuan agama tertentu,melainkan harus ditangani melaluiNah, Abdullahi Ahmedproses deliberasi yang melibatkanAn-Na’im, pemikir Islampartisipasi semua warga negaraasal Sudan, menambahkansecara setara.aspek lain yang menarik dalamhal ini. Dia mengatakan,sekularisme justru diperlukan karena alasan untuk menjagaeksistensi agama itu sendiri, karena melalui sekularisme kita bisamenghindarkan agama mengalami pemerosotan lantaran menjadialat politik kekuasaan.Di Indonesia ada aspirasi dari sebagian kelompok Muslim untuk menerapkansyariat Islam. Menanggapi aspirasi ini, saya juga teringatAn-Na’im pernah mengatakan bahwa kita tidak dapat sepenuhnyamenolak penerapkan syariat Islam secara membabi-buta, karena syariahmemang ada bersama kita. Namun, pada saat yang sama, kita jugatidak bisa menerapkan syariah secara mentah-mentah, meskipun ituFard Wajd –599


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–oleh negara. Lantas rumusan seperti apa yang memungkinkan agamadapat diterima dan diterapkan dalam ruang publik?Saya setuju dengan An-Na’im. Dia mengatakan kecenderunganseseorang atau sebuah komunitas terhadap syariah adalah positif.Dalam arti ada semangat untuk menjunjung tinggi hukum, danini adalah sehat dalam sebuah masyarakat. Akan tetapi hukumseperti apa yang bisa dipakai? Dalam konteks masyarakat pluraltantangannya adalah bagaimana menurunkan ketentuan-ketentuanpartikular dari agama menjadi nilai yang bisa dirumuskansecara universal, sehingga bisa diterima bahkan oleh mereka yangbukan penganutnya. Misalnya, bila semangat menegakkan syariahkita terjemahkan ke dalam rumusan-rumusan yang mencerminkansemangat menegakkan keadilan, ia akan bisa lebih diterimadan beroleh titik temunya dengan komunitas lain. Semangat ituharus dihantarkan kepada pencarian dan perumusan nilai-nilaisubstantif agama yang juga bisa diterima oleh penganut agamayang lain.Yang amat menggelisahkan saya dari usaha penerapan syariahadalah, dan ini juga diungkapkan An-Na’im: pertama, kecenderunganuntuk mengeksklusi orang lain yang bukan penganutIslam; kedua, tampak sekali adanya tendensi untuk meminggirkanperempuan; dan ketiga, secara teknis rumusan-rumusan yangmereka tawarkan umumnya tidak memadai, karena kecenderunganuntuk menarik semuanya ke masa lalu. Padahal situasi hidupkita jauh lebih rumit dan kompleks ketimbang masa-masa formatifketika ketentuan-ketentuan syariah, atau lebih tepatnya fikih,dirumuskan dan dibakukan.600– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Mereka yang menolak sekularisme menawarkan konsep negara Islam.Mereka percaya bahwa Islam memiliki konsep yang jelas mengenaibagaimana negara mesti diatur, yaitu khilâfah Islamiyah. Apakahmenurut Anda pemerintahan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn hingga TurkiUtsmani sebagai prototipe pemerintahan Islam yang berbeda darisistem lainnya?Saya kira tidak. Bila kita kembali ke sejarah, kita melihat bahwasistem pemerintahan Islam di masa lalu tampak berbeda-beda.Ada yang kerajaan, khilâfah,dan demokrasi terbatas. Dan Dalam konteks masyarakat pluralperbedaan itu, terjadi pada tantangannya adalah bagaimanafase-fase awal dalam sejarah menurunkan ketentuan-ketentuanpartikular dari agama menjadiIslam. Saya lebih setuju bahwaIslam tidak mengajarkannilai yang bisa dirumuskan secarauniversal sehingga bisa diterimakonsep baku tentang sistembahkan oleh mereka yang bukankenegaraan, tapi lebih mengajarkanpada nilai-nilai. Khi-menegakkan syariah kita terjemahkanpenganutnya. Misalnya, bila semangatlâfah, menurut saya, tidak ke dalam rumusan-rumusanada bedanya dengan sistem yang mencerminkan semangatkekaisaran.menegakkan keadilan, ia akan bisaMenurut saya, sistem lebih diterima dan beroleh titikkhilâfah tidak bisa disebut temunya dengan komunitas lain.sebagai sistem yang islami,karena ia mewakili hanya satu episode dari perjalanan panjang sejarahIslam. Jadi, kenapa hanya episode itu yang diambil, bukanyang lain. Dari banyak episode, kita sebetulnya diberi banyak pilihanpula. Khusus mengenai mereka yang ingin membangkitkankembali gagasan mengenai khilâfah islamiyah, terus terang sayaFard Wajd –601


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–benar-benar tidak bisa mengerti. Pada level gagasan ia sangat problematis,tetapi yang lebih rumit adalah membayangkan pada tingkatimplementasinya. Dari mana mulainya, bagaimana membuatnegara-negara bangsa yang sudah terpisah-pisah itu menyatu tundukdi bawah suatu kekuasaan tunggal, bagaimana kesepakatan dibuat,dan seterusnya. Jadi, bagi saya, itu gagasan absurd. Tetapi, ya sudah,kalau itu menjadi keyakinan mereka. Sejauh tidak memaksa oranglain untuk ikut atau menempuh jalan kekerasan, biarkan saja.Bila membaca Farag Fauda, tampak jelas bahwa konsep khilâfahsebetulnya sangat tidak ideal, pun al-Khulafâ’ al-Râsyidûn. ApakahAnda setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa Piagam Madinah,yang kemudian menginspirasi lahirnya Piagam Jakarta, adalahsebuah rumusan pemerintahan Islam yang ideal?Memang ada warisan yang positif dari periode-periode awal pemerintahanIslam. Piagam Madinah itu sangat bagus. Akan tetapiketika kita menarik begitu saja satu model tertentu dari periodetertentu, yang mungkin terjadi justru akan memiskinkan referensikita, karena mengabaikan yang lain, dan akhirnya membuat kitaterperangkap di masa lalu.Prinsip menghargai keragaman di dalam Piagam Madinah adalahpandangan yang sangat maju, kalau kita melihat ke periodeitu. Namun begitu, saya tidak ingin mengatakan bahwa kita harusmeninggalkan warisan itu, tapi yang ingin saya tekankan adalah:jangan membatasi pada satu sistem yang dibentuk di masa laludan terus dibawa hingga sekarang. Menurut saya, upaya semacamitu justru tidak produktif, karena kini hidup kita lebih rumit dibandingmasa itu. Soal pluralisme, misalnya, pada saat ini sudah602– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sangat berbeda. Kita tidak bisa lagi melihat pluralisme hanya sebagaikenyataan yang berbeda-beda. Tetapi, sekarang pluralismeadalah sesuatu yang harus kita gumuli, kita sikapi lebih positif,dan harus bermuara pada penghormatan yang setara kepada semuakelompok. Misalnya, bagaimana kita menghayati keimanan kitaseraya akrab berhubungan dengan komunitas agama lain. Suasananyaakan sangat berbeda. Kesediaan kita untuk mau menggumulijustru membuat kita lebih kaya.Dengan begitu, apakah menurut Anda kemunculan wacana perdasyariah merupakan sesuatu yang justru tidak produktif?Kalau itu menjadi produk tertentu dari satu lembaga legislatifdi daerah tertentu berarti mewakili sebagian pendapat orang. Adaorang atau kelompok yang meyakini bahwa bangsa ini harus diselamatkandengan syariah, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).Dan kelompok seperti itu sebetulnya hanya kelompok kecil, tetapisangat gigih sehingga kelihatan mencolok kehadiran mereka. Sementaradi kelompok lain, terutama non-Muslim, ada kegelisahan.Mereka sampai bertanya-tanya: apakah kesepakatan nasional atasbentuk negara ini sudah diubah menjadi negara Islam?Apakah itu produktif? Di samping beberapa problem yangsudah saya utarakan tadi, keberatan saya atas tuntutan seperti iniadalah kecenderungannya untuk memecahkan semua persoalansemata-mata dari sisi moral. Satu contoh yang bisa saya sebutkan,misalnya, adalah kebijakan pemerintah Bantul untuk membuatPerda Larangan Pelacuran. Perda itu menimbulkan beberapa implikasidan akhirnya mendorong beberapa kelompok di Yogyakartamembentuk suatu aliansi untuk menolak Perda Larangan Pelacur-Fard Wajd –603


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–an. Contoh serupa gampang kita temukan di tempat lain. Padahal,persoalan pokoknya, pada hemat saya, bukan bahwa merekasetuju dengan pelacuran, tapi pendekatan yang diambil dianggaptidak akan menyelesaikan masalah. Karena, perda-perda semacamitu hanya melihat masalah semata-mata secara moralistik. Daripadamemecahkan masalah, kebijakan semacam itu berpotensi menimbulkanmasalah-masalah baru.Problem pertama, bila kita menggunakan pendekatan ini, kitatidak akan bisa memahami masalah yang sebenarnya dan kadangjustru kita menghindari masalah sebenarnya. Munculnya pelacuran,misalnya, umumnya terkait dengan persoalan ekonomi. Menangkapiorang-orang yang berada di luar rumah pada malam hari adalahpekerjaan yang tidak menyelesaikan masalah. Di Parangkusuma,misalnya, ada istri pejabat desa yang tertangkap karena kebetulandia jalan-jalan di pantai. Di daerah tersebut ada tradisi di manapada malam tertentu warga melakukan tirakat di luar rumah. Karenaada perda ini mereka menjadi terganggu.Menurut saya, membuat kebijakan semacam itu justru tidakakan menyelesaikan persoalan. Masalahnya bukan apakah orangbermoral atau tidak, tapi ada masalah lain yang harus diselesaikanterlebih dahulu. Ironis, bahwa upaya sekelompok orang untukmendorong pendekatan moralistik ini justru memperkuat kecenderunganpemerintah kita untuk menyelesaikan masalah secara gampangan.Seolah-olah pemerintah telah melakukan sesuatu. Padahalyang mereka kerjakan adalah, sengaja atau tidak, menghindaratau mengelak dari persoalan intinya: menyelesaikan problem kemiskinanyang tentu saja memerlukan komitmen yang lebih kuat,kegiatan yang terencana, dan pasti lebih sulit. Jadi, pendekatan inimendorong pemerintah cuci tangan.604– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagi saya, pendekatan moralistik seperti itu pertama-tamatidak mengatasi masalah; kedua, melahirkan risiko lain, misalnyapenyebaran HIV-AIDS yang lebih luas. Saya mendapat infodari seorang dokter bahwa angka pengidap HIV-AIDS di Bantulitu paling tinggi di wilayahYogyakarta. Menurut dokterYang amat menggelisahkan saya dariyang melakukan studi persebaranHIV-AIDS, kelom-dan ini juga diungkapkan An-Na’im:usaha penerapan syariah adalah,pok terbesar penderita adalahibu rumah tangga. Me-mengeksklusi orang lain yang bukanpertama, kecenderungan untukreka terjangkit HIV-AIDS penganut Islam; kedua, tampak sekalididuga karena praktik medis adanya tendensi untuk meminggirkanyang tidak sehat di puskesmas-puskesmasyang ada di rumusan-rumusan yang merekaperempuan; dan ketiga, secara teknistawarkan umumnya tidak memadai,Bantul.karena kecenderungan untuk menarikDari sini kita bisa melihatbahwa pendekatan inisemuanya ke masa lalu.tidak mampu mengurangiangka penderita secara medis. Karena ia menyelesaikan dari tingkatyang lain. Pengalaman di banyak tempat menunjukkan, jikatindakan dan pendekatan moralistik semacam itu yang dipilih,hal itu justru berpotensi memperparah keadaan, karena orangmenjadi cenderung tidak mau terbuka, akibat stigma terhadaporang-orang yang menderita HIV-AIDS. Alih-alih membantumemberantas HIV-AIDS, sebagaimana diklaim dinas kesehatanBantul, langkah itu justru menghilangkan sarana untuk mengontrolpenyebarannya.Fard Wajd –605


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bukankah model-model penerapan perda syariah seperti di Bantulyang cenderung restriktif dan hanya menyentuh persoalan moral secarasosial menunjukkan lemahnya kapasitas negara?Pada hal tertentu saya rasa memang demikian. Menyelesaikankemiskinan dan pelacuran, misalnya, memang pekerjaan yang luarbiasa susah. Kita tahu itu sangat berat. Tapi itulah salah satu tugaspokok pemerintah. Sayangnya, mereka bergerak ke arah lain,bukan pemecahan masalah yang sebenarnya.Dalam konteks banyaknya eksistensi kepercayaan lokal dan munculnyakelompok baru harus dipahami sebagai gejala dari proses transisi.Negara yang dulunya teramat kuat menjadi kehilangan kemampuannyauntuk mengontrol beberapa kelompok agama tertentu yangmenghendaki bubarnya Ahmadiyah dan paham keagamaan lainnyayang berbeda. Celakanya, negara bukan hanya membiarkan, bahkanjuga aktif menjebloskan mereka yang dianggap sesat oleh mainstreamke dalam penjara. Apakah ini bentuk mangkirnya pemerintah untukmelindungi dan menjamin hak-hak warga?Dalam hal ini memang terlihat jelas bahwa pemerintah sekarangtidak memfungsikan diri sebagaimana mestinya yaitu sebagaipelindung atas hak-hak dasar warga negaranya. Sebetulnya, bagisaya, ini soal kekuasaan. Pemerintah mengambil sikap yang cenderungmembenarkan sebuah fatwa yang diskriminatif, karena takutdianggap memusuhi Islam yang dianut mayoritas, atau tidak mencerminkankomitmennya pada Islam. Jadi, dalam hal ini memangkonteksnya secara politik negara lemah. Implikasinya, negara tidakmampu melindungi warga negaranya. Padahal, soal keyakinan606– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–adalah hak dasar dan tidak bisa dilanggar siapapun. Negara harusmelindungi semua warga negaranya secara sama.Apakah itu juga disebabkan negara yang terlalu mengurusi banyakpersoalan, sementara kekuatan yang dimilikinya terlampau kecil?Saya kira pemerintah itu bekerja tidak pada persoalan-persoalanyang riil. Situasinya juga sangat politis. Tapi secara teoretismemang benar, bahwa ketika negara terlalu banyak mengurusipekerjaan seperti itu maka akan terlalu banyak pekerjaan pentingyang terlewatkan.Sampai batas mana menerjemahkan agama dalam konteks yang mutakhir,yang lebih sesuai dengan tafsir HAM, kebebasan berpikir, dankehidupan publik yang plural?Sekularisme menyerahkan semuaTitik berangkatnya sayapersoalan yang sifatnya publikkira adalah penghormatanatas martabat manusia.terhadap orang-orang yangberkepentingan di dalamnya. BerbagaiSaya percaya kepada adanyapersoalan publik harus diatur olehHAM yang tak bisa diingkarioleh siapapun. Dan keper-kesepakatan bersama. Sayasemua kelompok berdasarkancayaan seperti itu kemudian beranggapan bahwa Nabi Muhammadmembentuk bagaimana saya mengisyaratkan sikap ini ketika beliaubersikap dan beriman. Kepercayaanitu menjadi ba-bi-umûri dunyâkum.mengatakan: Antum a‘lamugian dari keyakinan Islamyang saya anut. Pandangan diskriminatif, kalau itu didasarkan atasteks-teks keagamaan tertentu, menurut saya, harus ditafsir ulang.Fard Wajd –607


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita harus sadar bahwa semua pandangan keagamaan adalah hasilinterpretasi manusia atas teks-teks keagamaan. Artinya, dia mencerminkancara pandangan yang sangat dipengaruhi oleh kontekswaktu, kebudayaan, dan posisi sosial tertentu. Jadi, tidak bisa dibekukanuntuk berlaku dalam semua waktu dan konteks lainnya.Kita harus melihat ulang pandangan-pandangan keagamaan yangada dengan meletakkannya dalam konteks awalnya, baru kemudianmentransfer nilai-nilainya ke dalam konteks sosial dan budayayang baru.Dalam konteks ini seluruh kecenderungan untuk menutupdiskusi dan memaksa kita mengikuti pandangan yang mapan, sekalipuntidak relevan, harus dilawan. <strong>Kebebasan</strong> berpikir adalahsyarat dari beragama yang hakiki. Kelompok konservatif begitugemar mengkampanyekan bahwa ketika orang menggunakan akalsebebas-bebasnya, maka orang akan kehilangan imannya. Itu pandanganyang aneh. Justru sebaliknya, orang baru bisa beragama secaragenuine ketika dia memproses model keberagamaan dari kepalanyasendiri. Menolak kebebasan berpikir sendiri, menurut saya,tidak masuk akal. Karena kita sendiri tidak bisa meyakini apa-apabila tidak diawali dari akal kita sebagai sesuatu yang diyakini daripemberian Tuhan untuk menemukan kebenaran. Kita tidak akankehilangan iman, melainkan beriman dengan cara baru yang mestinyalebih kokoh dan kontekstual.Dalam konsep beragama, agama apa pun, kita kenal berbagai mazhab.Dengan munculnya beragam mazhab dan teologi memungkinkansetiap orang menjadi berbeda-beda, padahal bagi kebanyakan orangberagama memerlukan satu pegangan dan kepastian tertentu?608– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Iman bagi saya adalah sesuatu yang personal, dan kepastian ituharus kita tentukan sendiri. Mungkin dalam hal tertentu kita harusmengikuti pandangan seorang ulama karena keterbatasan waktudan kemampuan kita untukmenjelejahi seluruh khazanahpemikiran keagamaan di dalam Piagam Madinah adalahPrinsip menghargai keragamanmengenai isu tertentu, tetapiyang penting adalah bah-kita melihat ke periode itu. Namunpandangan yang sangat maju, kalaubegitu, saya tidak ingin mengatakanwa itu terjadi tetap denganbahwa kita harus meninggalkanmemikirkan seluruh argumennya.Dan dalam hal-halwarisan itu, tapi yang ingin sayatekankan adalah: jangan membatasitertentu, saya kira, kita bisapada satu sistem yang dibentuk dimemilih.masa lalu dan terus dibawa hinggaJadi, selalu ada pengecualian-pengecualian.Ada semacam itu justru tidak produktif,sekarang. Menurut saya upayateman saya yang Muslim, karena kini hidup kita lebih rumittapi dia tidak suka dengandibanding masa itu.praktik penyembelihan kambingsaat Idul Adha, dia bertanya: “Mengapa ekspresi keberagamaanharus diungkapkan dalam bentuk ini?” Saya kira dalam halitu dia bisa membuat pengecualian. Saya kira eklektisisme dalamberagama itu sah-sah saja.Tapi sebagian besar orang Islam menganggap pandangan liberal, yangmemberikan ruang bagi perbedaan keberagamaan, sangat berbahaya?Semua orang mempunyai hak untuk setuju atau tidak atassuatu pandangan keagamaan tertentu. Tidak jadi soal, malah bagus,kalau itu mendorong terjadinya dialog terus-menerus. YangFard Wajd –609


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–penting tidak ada pemaksaan, dan jangan pernah menggunakaninstrumen agama untuk memberlakukan aturan tertentu. Pentingdiingat, ini sama sekali bukan pemikiran yang baru dan tidak dikenaldalam tradisi Islam klasik. Para imam mazhab dalam masaformatif Islam tampaknya selalu sadar akan potensi perbedaan ini,dan mereka saling menenggang satu sama lain.Menarik, dulu Imam Ahmad, misalnya, pernah menolak ketikakhalifah al-Mansur berkeinginan agar kitabnya al-Muwaththa’ mauditetapkan sebagai kanon resmi negara saat itu. Beliau terkenalsebagai orang yang sangat ketat dalam pandangan keagamaannya,tapi toh tetap menolak formalisasi semacam itu. Beliau menolakpenyeragaman pandangan seperti yang sekarang diinginkan banyakkalangan islamis. Saya kira beliau sangat sadar bahwa sekali otoritasitu diberikan kepada kekuasaan politik, upaya mengontrolnyaagar tidak menjadi absolutis menjadi sangat berat.Apakah sikap liberal dalam pemikiran dan pandangan keagamaanjuga harus diikuti dengan dukungan terhadap liberalisme ekonomi?Ini isu penting yang harus didiskusikan, terutama sehubungandengan banyak diskusi mengenai kapitalisme global (atau neo-liberalisme)yang berjalan seiring dengan proses globalisasi sekarang.Saya kira jawabannya tidak harus demikian, tidak harus sama sebangunantara keduanya. Tentu saja, saya kira, kita harus menekankanadanya hak individu atas hak milik yang merupakan salahsatu hak dasar dalam pandangan Islam, sebagaimana yang seringdisebut dalam diskusi mengenai maqâshid al-syarî‘ah.Tetapi bagi saya sendiri selain prinsip kebebasan, prinsip keadilanadalah nilai yang juga sangat mendasar dalam pandangan610– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Islam. Di samping sumbangannya terhadap perkembangan ekonomimodern, liberalisme ekonomi dipandang sangat berpotensimenciptakan ketimpangan ekonomi yang membuat ketidakadilandalam kehidupan sosial kita semakin mencolok. Banyak studi jugamengatakan bahwa ketidakadilan sosial yang mencolok itu jugatelah menyumbang kepada pengerasan dalam pandangan keagamaanyang menjurus pada tindak kekerasan. Jadi, saya kira, upayauntuk mendorong perkembangan pemikiran keagamaan yangmoderat dan toleran itu harus juga dibarengi dengan upaya menyelesaikanproblem ketidakadilan ekonomi sampai pada tingkatyang bisa kita tolerir.Nah, dalam konteks ini, kembali ke diskusi kita di atas, sayakira kita perlu merumuskan pandangan yang lebih tepat mengenaisekularisme yang tidak dengan sendirinya berarti peminggiran sepenuhnyaterhadap peran agama dalam menangani problem-problemkemanusiaan yang riil. Ada beberapa konsep yang pernah ditawarkansejauh ini, apakah itu yang disebut dengan deprivatisasi atau publicreligion sebagaimana yang ditawarkan Casanova. Menurut sayakita sebenarnya berada dalam posisi yang baik untuk merumuskansejenis sekularisme yang tidak dilahirkan dari sebuah pengalamantraumatis sebagaimana terjadi dalam sejarah Eropa.Terkait dengan relasi negara dan masyarakat. Apakah konstitusi negarasaat ini, Pancasila dan UUD 45, Anda nilai sudah final dancukup memadai dalam mengatasi berbagai persoalan sosial di masyarakatsekarang ini?Untuk konteks sekarang saya kira cukup memadai. Dalam artiia memberikan pijakan bagi setiap kelompok dalam rangka mem-Fard Wajd –611


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pertahankan eksistensinya masing-masing, sehingga mereka diakuisebagai bagian yang sah dari warga negara. Jadi, dalam konteks itu,konstitusi sudah memadai, dibanding pandangan yang berkeinginanuntuk mengekslusi kelompok lain. Di situ bisa dirumuskan etikadan pola hubungan di antara berbagai kelompok. Konstitusi kitamemberikan ruang bagi setiap kelompok, sosial dan agama, walaupunia tetap harus diwarisi dengan sikap terbuka, yaitu tetapterbuka dengan penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan perkembanganmasyarakat. Sayangnya, pengalaman kita selama Orde Barutelah memacetkan upaya kita untuk mengembangkannya lebihjauh sesuai dengan kebutuhan perkembangan sosial kita. Kendatidemikian, diskusi seperti ini harus dimulai sekarang.Bagaimana Anda melihat fatwa MUI yang menurut sebagian pihakbertentangan dengan konstitusi, sebagaimana fatwa mengenai sesatnyaAhmadiyah, dan beberapa kelompok keagamaan seperti KomunitasEden dan Usman Roy?Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya rasa kita perlu mengklarifikasiterlebih dahulu mengenai bagaimana sebenarnya posisifatwa dalam sistem hukum Islam. Problemnya kadang-kadangbukan muncul dari fatwa itu sendiri, tetapi juga karena ada kesalahpahamanmengenai makna fatwa ini dan bagaimana umat seharusnyabersikap ketika sebuah fatwa dikeluarkan.Secara definisi fatwa adalah sebuah hasil perumusan hukumyang diambil oleh mereka yang dipandang otoritatif dalam bidangagama. Katakanlah, ia adalah hasil ijtihad. Tetapi yang jarang disadariorang adalah bahwa fatwa adalah pendapat hukum yang sifatnyatidak mengikat. Dalam banyak hal, sejak lama ulama kita612– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–seringkali berbeda pendapat, sehingga menyediakan banyak pilihanbagi umat Islam untuk mengikuti pendapat yang mana yang diarasakan cocok. Itu yang seringkali dikatakan bahwa perbedaan pendapatitu adalah rahmat. Implikasinya, seorang Muslim tidak harusmerasa berdosa kalau tidak mengikuti MUI, dan boleh mengikutipendapat yang lain. Salah satu masalah kita, lagi-lagi, adalah adanyakecenderungan untuk menyeragamkan pandangan keagamaantertentu dan kesalahpahamanbahwa setiap fatwa harus <strong>Kebebasan</strong> berpikir adalah syaratdiikuti oleh seluruh umat dari beragama yang hakiki.Islam, kalau perlu denganKelompok konservatif begitugemar mengkampanyekan bahwacara paksaan dan mengintimidasiorang yang tidakketika orang menggunakan akalsebebas-bebasnya, maka orang akanmenerimanya.kehilangan imannya. Itu pandanganLalu, soal fatwa itu sendiri,kita harus menempat-baru bisa beragama secara genuineyang aneh. Justru sebaliknya, orangkannya dalam konteks yang ketika dia memproses modeltepat. Terlepas dari setuju keberagamaan dari kepalanya sendiri.atau tidak dengan fatwayang dikeluarkan, kita harus melihatnya sebagai bentuk upayauntuk memberikan salah satu panduan keagamaan kepada umat.Hanya saja, dia harus berhenti pada titik itu, dan tidak menuntutnegara untuk menjadikannya sebagai pendapat resmi sebuahnegara mengenai isu keagamaan. Memang memprihatinkan bahwaMUI sekarang didominasi oleh kelompok konservatif, sehinggaproduk fatwanya lebih mencerminkan kepanikan moral yangakut di hadapan dunia yang berubah. Itulah realitas kita hari ini.Tapi MUI akan diting-galkan oleh sebagian besar umat Islam kalauterus begitu.Fard Wajd –613


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Berkenaan dengan sebuah fatwa mengenai eksistensi suatu kelompokkeagamaan yang hak-haknya dihormati dalam konstitusi,negara harus berdiri tegak di atas prinsip konstitusinya sendiri. Danitulah, saya kira, posisi yang tak bisa ditawar dari sebuah negarayang tidak berdasarkan agama tertentu, melainkan Pancasila yangmengakui eksistensi semua kelompok dan aliran agama. Apalaginegara kita juga sudah meratifikasi Deklarasi Umum HAM. Ratifikasiitu harus secara konsisten diikuti oleh pemerintah dengantindakan nyata di dalam setiap kebijakannya.Banyak orang sekarang dibuat gelisah oleh gejala merosotnya penghargaanterhadap pluralitas yang sejak lama menjadi bagian inheren dalammasyarakat. Di kalangan umat Islam, setelah keluarnya fatwa MUI,masyarakat menjadi jengah dengan kata pluralisme. Asumsi yang dibangunadalah pluralisme akan melahirkan sinkretisme dan relativisme.Menurut Anda, apakah makna pluralisme itu benar sesuai dengan apayang ditafsirkan MUI?Dalam pengertian tertentu, saya memang seorang relativis. Sayamemahami tindakan beragama adalah usaha untuk menangkap danberhubungan dengan realitas absolut yang disebut Tuhan. Dalamarti itu, seberapa pun dalamnya keyakinan saya sendiri atas caraberagama yang saya pilih, saya tetap harus meletakkannya sebagaipandangan yang relatif dan tidak bisa saya klaim secara pasti sebagaicara beragama yang pasti benar menurut Tuhan dan karenaitu menjadi kebenaran bagi setiap orang. Itu sudah cukup bagisaya dan tidak bisa lebih dari itu. Saya hanya bisa beragama dalamkapasitas saya sebagai manusia, yang memilik kelemahan danketerbatasan. Itu terjemahan saya atas makna tauhid.614– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Posisi ini pula yang akan saya pakai ketika saya bertemu oranglain, sehingga saya tidak bisa memutlakkan pikiran saya sendiri dantidak merasa mempunyai hak untuk menilai iman orang lain. Karenaitu saya berusaha menempatkan semua keyakinan secara sejajar. Yangdemikian itu membuat sayamenghargai pluralisme. Dalamarti bahwa pandangan adalah adanya kecenderunganSalah satu masalah kita, lagi-lagi,untuk menyeragamkan pandangankelompok lain harus diberikeagamaan tertentu dankesempatan untuk menunjukkanbahwa mereka jugakesalahpahaman bahwa setiap fatwaharus diikuti oleh seluruh umat Islam,punya potensi benar.kalau perlu dengan cara paksaan danMenurut saya, pandanganseperti ini bisa ditemu-menerimanya.mengintimidasi orang yang tidakkan dasarnya dalam al-Quran.Tuhan memberi tempat kepada orang Yahudi, Kristen, danagama lainnya, dan berjanji memberikan ganjaran atas perbuatanbaik yang mereka lakukan secara tulus.Apakah itu bisa menjadi pembenaran akan sebuah pandangan bahwaada keselamatan di luar Islam, seperti halnya doktrin Katolik yangmengakui adanya keselamatan di luar gereja. Tanggapan Anda?Ya. Tuhan, saya kira, tidak peduli dengan kotak-kotak agama.Yang terpenting adalah perbuatan baik, ketulusan, dan kerendahanhati. Bagi saya itulah yang masuk akal dan adil. Karena, kalausaya lahir dan besar dalam dan dengan komunitas agama Kristen,misalnya, saya tidak akan tumbuh kecuali dalam kapasitas sebagaiseorang Kristen. Dengan cara berpikir seperti ini, maka saya tidakbisa mengatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar Islam.Fard Wajd –615


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana konsep pluralisme yang dipahami sebagai sinkretismeagama?Kalau saya mendefinisikan beragama sebagai proses pencarian,sebagaimana saya sebut di atas. Maka saya juga tidak punya problemdengan sinkretisme. Kita akhirnya sadar bahwa yang terjadiadalah bahwa kita meramu sendiri bangunan keimanan kita melaluiproses bongkar pasang terus-menerus atas sejumlah warisankultural, agama, pemahaman atas berbagai kitab suci, pemikiranfilosofis, dan seterusnya. Sinkretisme dalam pengertian ini tidakterhindarkan. Dan itu terjadi pada setiap orang, saya kira. Masalahnya,apa kita mau melihat ini secara jujur atau tidak. Ini persisseperti kalau kita merenungi identitas diri kita, yang kalau kitapreteli satu per satu, kita mungkin tidak bisa lagi mendefinisikansiapa diri kita pada akhirnya.Wawancara dilakukan pada 22 Maret 2008616– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganFranz DahlerFranz Dahler, aktivis dialog antaragama kelahiran Swiss (St. Gallen).Sebelum kembali ke Swiss sebagai redaktur majalah Intrakultural, selama 1962-1979 iamenjadi Pastor Mahasiswa dan dosen Agama/Filsafat di Magelang, Semarang,dan Jakarta. Gelar Doktor Teologi ia peroleh dari the University of Innsbruck, Austria.Beberapa bukunya terbit dalam bahasa Indonesia, salah satunya “Pijar PeradabanManusia: Denyut Harapan Evolusi”, Kanisius (2000).617


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisasi memberi ruang bagi agama untuk berperan di ranahpublik. Namun agama tidak boleh merampas hak setiap warga.Sebab, yang pertama kali ditekankan agama bukanlah kebaktian(ritual), tapi bagaimana mencintai Tuhan dan manusia sekaligus(perikemanusiaan dan keadilan sosial). Jika begitu, semua pihakharus rendah hati dan mengakui bahwa pengetahuan kita, termasuktentang agama, terbatas dan tidak bisa meraih kebenaranmutlak. Artinya, diperlukan kerja sama dan tukar pikiran. Sebabrelativisme positif dalam beragama sekalipun lebih berupa kehendakuntuk menautkan keimanan kita pada iman lain dalamkerangka belajar dari agama lainnya. Dari sini, liberalisme denganspiritnya mengutamakan kebebasan individu, dalam bingkai danstruktur negara yang disebut demokrasi, patut didorong.618– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana Anda memahami sekularisme?Saya membedakan antara sekularisme dan sekularisasi. DawamRahardjo memberikan konotasi yang positif terhadap sekularisme,sedangkan saya tidak. Penggunaan kata sekularisme dan sekularisasidalam bahasa Barat atau juga di kalangan gereja memiliki arti yanglain. Sekularisme adalah sikap yang terarah melulu akan hal duniawitanpa memandang pemahaman agama, terlebih lagi kehidupandi akhirat. Menurut pandangan ini, hal-hal seperti itu sama sekalitidak memiliki arti. Gejala-gejala sekularisme adalah konsumerisme,entertainment, infotainment, dan merajalelanya kepentinganekonomis sampai timbul penghisapan baru atas diri manusia. Ituyang dinamakan sekularisme.Sedangkan sekularisasi merupakan pemisahan antara urusannegara dan agama. Sekularisasi mula-mula oleh gereja ditanggapinegatif dan ditakuti, sebagaimana sekarang juga dalam umat Islam.Dalam konsep itu seakan-akan agama diremehkan. Anggapan sepertiitu bisa muncul dalam proses sekularisasi, tetapi sebenarnyatidak perlu terjadi. Sebab sekularisasi juga bisa membawa dampakyang positif bagi agama. Seperti di Amerika Serikat ada pemisahanantara negara dan agama, tapi agama di situ justru berkembang.Gereja-gereja juga tidak kekurangan uang. Ketakutan akan sekularisasibagi kalangan agamawan, di beberapa negara Barat, adalahbahwa mereka akan bertambah miskin dengan tidak adanyasubsidi dari negara.Dari sekularisasi juga muncul konsep privatisasi agama. BagaimanaAnda melihat konsep ini?Franz Dahler –619


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Privatisasi dalam artian yang fanatis berarti agama tidak usahberbicara dalam bidang politik atau kehidupan sosial politik. Sayamemandang keliru privatisasi dalam arti seperti itu. Sebab agamatetap merupakan faktor penting dalam kehidupan masyarakat. Rataratadi negara Barat, di mana ada sekularisasi, diakui juga bahwaagama mempunyai peranan sebagai faktor sosial dan politis, bahkanseringkali diminta bantuan. Misalnya, dalam dunia pendidikanada sekolah-sekolah Katolik atau Protestan, private school atau jugadalam dunia pendidikan di sekolah-sekolah negeri biasanya diberikanpelajaran agama, kendati pelajaran agama sekarang mengalamiperubahan. Kalau dulu—saya ber-bicara mengenai Swiss karenasaya paling tahu keadaannya—biasanya ajaran agama itu ditujukanpada agama tertentu. Ajaran agama Katolik dipisahkan dariajaran Protestan, apalagi ajaran agama Islam. Sekarang di beberapatempat mulai diadakan ajaran agama Islam. Di sekolah dasarmasih ada tuntutan agar pengajaran agama diwajibkan. Sementaradi sekolah negeri yang merupakan mayoritas, beberapa tahun yanglalu ada kecenderungan ingin menghapuskan ajaran agama. Tetapiada yang protes: mengapa seorang murid harus pandai ilmu bumi,ilmu eksak, ilmu sosial, tapi dalam ilmu agama dia bodoh? Diaseharusnya mengetahui agama juga. Dia harus diberikan pengetahuanagama, tidak hanya mengenai agama Kristen, tetapi jugaagama lain, seperti Islam, Hindu, dan Budha. Di Swiss agamaBudha sangat diminati.Namun ajaran agama tidak boleh sampai menjadi tekananbuat anak didik, misalnya tekanan mengikuti kebaktian Kristen.Jadi ada pemisahan antara kebaktian dan pengetahuan. Dulu dibeberapa tempat masih ada pewajiban seperti itu. Sebelum pelajarandimulai, ada doa, begitupun doa penutup ketika pelajaran620– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–usai. Sekarang tradisi seperti itu tidak ada lagi. Sehingga pelajaranagama bersifat pengetahuan dan kemudian diujikan, dengan begitusiswa mendapatkan nilai. Sebagaimanadi Indonesia, agamamenjadi mata pelajaran melulu akan hal duniawi tanpaSekularisme adalah sikap yang terarahwajib dan diujikan. Tetapi memandang pemahaman agama,terlebih lagi kehidupan di akhirat...tentu saja itu tidak sama diSedangkan sekularisasi merupakansemua negara Eropa.pemisahan antara urusan negara danagama. Sekularisasi, mula-mula dalamAda semacam koreksi terhadap gereja ditanggapi negatif dan ditakuti,sebagaimana sekarang juga dalamsekularisasi yang cenderungumat Islam. Dalam konsep itu seakanakanagama diremehkan. Anggapanmemunculkan privatisasi agama.Koreksi ini dimunculkanseperti itu bisa muncul dalam prosesoleh Jose Casanova dengansekularisasi, tetapi sebenarnya tidakkonsep deprivatisasi agama. perlu terjadi. Sebab sekularisasiDengan menakar peran dan juga bisa membawa dampak yangfungsi agama, melalui konseppositif bagi agama.deprivatisasi, dalam meresponpersoalan yang tengah menimpa masyarakat, kira-kira sampai batasmana agama secara efektif berpihak untuk kesejahteraan umum?Seperti yang tadi saya bilang, saya memberikan definisi tentangsekularisasi yang sebetulnya masih dalam tanda tanya: bagaimanaurusan agama dipisahkan dari urusan negara? Apa urusan negaraitu? Apa kaitan agama dengan kesejahteraan umum? Menurut saya,urusan agama juga tidak lepas dari kesejahteraan umum. Agamamemperhatikan kesejahteraan umum, tetapi lebih dalam bidangspiritual berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan. Sedangkan negara,dalam proses sekularisasinya, tidak menanyakan faktor Tuhan. Ken-Franz Dahler –621


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–datipun, lagi-lagi, sudah disadari bahwa pemisahan mutlak antaraurusan negara dan agama tidaklah mungkin. Fenomena pemisahanmutlak itu mungkin paling keras terjadi di Prancis.Bagaimana Anda menanggapi fenomena partai politik agama? Dimana posisi partai agama dalam arus sekularisasi?Partai politik agama di Jerman ada, yaitu Christlich DemokratscheUnion (CDU); di Swiss juga ada, yakni Christliche Volkspartei(CVP). Tetapi tidak berarti bahwa semua orang Katolik masukke dalam partai itu. Saya secara pribadi tidak masuk partai itu,karena bagi saya ia terlalu kanan, sedangkan saya cenderung kiridan lebih memperhatikan faktor keadilan sosial dan nasib orangmiskin. Itu arah saya. Hal seperti itu lebih terpelihara dalam partaisosial demokrat daripada partai Katolik. Demikian juga di Jerman.Partai Katolik seringkali lebih dekat dengan kaum borjuisyang kaya. Walaupun tidak selalu demikian, sebab partai agamadi beberapa daerah juga ada sayap berhaluan sosial. Bapak sayadulu ikut di situ.Dalam definisi sekularisasi yang Anda sebutkan tadi, apakah partaipolitik punya tempat dalam konsep pemisahan antara agama dannegara?Ya, masih punya tempat seperti terlihat di Swiss dan Jerman,sementara di Prancis, Inggris dan Amerika, tidak. Jerman speakingcountries terdapat partai-partai yang menggunakan nama Katolikatau Kristen.622– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut pengamatan Anda, apa yang menjadi motivasi kalangan agamawanberkiprah di dunia politik melalui partai politik agama? Kenapamereka tidak memperjuangkanaspirasinya melalui Liberalisme adalah pandangan yangpartai politik sekular? Kenapa mengutamakan kebebasan pribadi.mesti ada partai agama? <strong>Kebebasan</strong> pribadi juga menyangkutkebebasan pers, kebebasan agamaDi Amerika Serikat, tidakterdapat partai agama, tercantum dalam deklarasi hak asasidan kebudayaan seperti yanghanya Demokrat, Republik, manusia (HAM). Sebetulnya deklarasidan partai kecil-kecil lain. HAM adalah cetusan dari spirit liberal.Di Inggris juga begitu. Di Liberal dalam arti historis, bukanItali sekarang partai Katolikdalam arti neoliberal.tidak berarti lagi. Seperti diIndonesia juga, ada partai Kristen dan Katolik, tetapi tidak berartibahwa partai itu menjadi pilihan orang-orang Kristen atau Katolik,yang justru kebanyakan memilih Golkar atau PDI. Di situ, bagimereka, mungkin malah lebih mempunyai pengaruh, ada lebih banyakhasil dibandingkan dengan partai yang memakai bendera agamayang jelas.Artinya, apakah proses sekularisasi dan sekularisme yang terjadi diBarat, juga di dunia lain, memang meminggirkan agama?Tidak bisa disangkal, bahwa bahaya itu ada. Tetapi agama harusberani menempuh risiko itu. Harus belajar positif, mengapabanyak orang menjadi ateis. Kadang-kadang bisa karena konsumerismeatau sekularisme yang kian buruk, tapi kadang-kadang orangjuga menjauhi agama atas pertimbangan yang lebih mendalam, ka-Franz Dahler –623


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rena kesalahan dan kekolotan para pimpinan agama sendiri yangkurang memperhatikan mental generasi muda. Sebagai tambahaninformasi, bahwa di Barat anak-anak yang sudah mencapai rataratausia 16 tahun sudah menentukan pilihan hidupnya sendiri.Kalau bapak-ibunya memaksa, mereka berontak. Saya pernah berbicaradengan anak-anak saya: “Kelihatan bahwa generasi mudasekarang meremehkan atau tidak mengindahkan agama”. Merekamenjawab: “Bapak salah”. Jadi tidak bisa ditafsirkan bahwa mereka,generasi muda di Barat, tidak punya penghargaan terhadap agama.Sementara itu, di sekolah-sekolah menengah pertama (SMP) dansekolah-sekolah menengah atas (SMA) ada pilihan sukarela antaramengikuti les agama atau tidak. Kebanyakan dari mereka masihmemilih mengikuti les agama, karena agama masih dianggap halyang tidak bisa diremehkan dan menjadi faktor penting dalam kehidupan.Tetapi jangan menyinggung atau membatasi kebebasanorang muda. Merekalah yang mau menentukan, tidak bisa ditakdirkandari atas.Bahwa agama semakin mundur dan tersisihkan, bukankah itu fakta?Ya, secara resmi, di Barat orang yang pergi ke gereja semakinberkurang. Berbeda dengan yang saya saksikan di Indonesia dan Malaysia.Ketika saya pergi ke Malaysia, gereja penuh sesak. Saya menjadiiri hati. Mereka yang pergi ke gereja banyak juga orang muda.Waktu saya di Yogyakarta, dan masuk ke gereja, di kiri-kanan sayasemua orang muda. Sedangkan kalau saya pergi ke gereja di Swiss, dikiri-kanan saya orang-orang yang seusia saya, atau malah lebih tua,kira-kira berusia di atas 50 tahun. Artinya, jika agama diartikan seba-624– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gai ibadah atau kebaktian, yamemang agama mundur. Tetapidalam hal penghayatan tunggal-ikaan. Jadi kesatuan tidakPluralisme adalah kebhineka-filsafat hidup, saya kira, yang begitu dipentingkan, sebab dapatateis itu minoritas. Mayoritas menjadikan perbedaan hilang.masih mengakui Tuhan. Minatuntuk mempelajari filsa-Perbedaan tetap dihargai, bahkansebaiknya harus tetap ada. Secarateologis, Tuhan sendiri menghendakifat atau teologi juga tidakkebhinekaan. Hal itu terlihat dalamberkurang. Kalau gereja Katolikmengalami kekurangan biodiversitas yang mengagumkan.dunia tumbuhan dan binatang, adapastor, salah satu sebabnya Kemajemukan berlaku juga padabanyak calon yang sebetulnyamempunyai minat dan perbedaan suku, bangsa, kebudayaan,dunia manusia, sehingga adabakat untuk menjadi pastor, bahasa dan agama. Pluralisme, secaranamun tidak mau diwajibkan teologis, mencerminkan cinta Tuhanuntuk tidak kawin (selibat).akan kebhinekaan.Tapi, lagi-lagi, minat generasimuda untuk mempelajari teologi tidak merosot. Dalam hal ini,minat terhadap agama, lebih-lebih dalam arti spiritual-psikologis(bahwa agama dibutuhkan untuk kesehatan jiwa dan pendalamanhidup) tidak merosot.Data tentang Eropa ini memang kasus yang khas Eropa, seperti kasuskartun Nabi Muhammad di Jyllan Posten, juga kasus di beberapawilayah di Eropa, seperti Denmark, Ceko atau wilayah Skandinavia,di mana antiagama sudah menjadi life style, sebagai fashion. Initidak bisa dimungkiri. Pertanyaannya: kira-kira apakah sekularisasiitu ancaman atau keniscayaan?Franz Dahler –625


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya kira orang Barat harus menemukan Tuhan dan agamanyasecara baru. Konsumerisme yang merajalela membuat banyakorang lebih mementingkan nikmat hidup duniawi ketimbang agamayang mengajarkan cita-cita luhur. Ini praktik sekularisasi dalamarti sangat negatif.Tetapi ada juga sekularisasi dalam artian yang tidak bisa ditafsirkannegatif, yakni keinginan membina filsafat hidup atas pertimbanganpikiran mereka sendiri. Seperti tadi saya katakan bahwadisiplin teologi dan filsafat tetap diminati. Putra saya hampir masukfakultas filsafat, dan putri saya sekarang masuk fakultas psikologi.Dalam psikologi pasti terdapat dimensi agama, materinya tidakbisa lepas dari agama. Jadi agama sebagai nilai hidup, saya rasa,tidak bisa begitu saja dibilang mundur, kalau saya boleh bicara atasnama generasi muda, yang saya masih menjaga banyak pergaulandengan mereka. Tetapi, catatan yang paling penting dari fenomenatersebut, jangan sekali-kali mengharuskan agama kepada mereka.Respon Vatikan terhadap fenomena itu sendiri bagaimana?Sebagai pimpinan tertinggi, Vatikan ingin mengkristenkanlagi generasi muda. Agenda ini disebut injilisasi, evangelisasi, ataupenginjilan dalam bahasa Indonesia. Paus Johannes Paulus II, yangsudah meninggal dua tahun yang lalu, menganjurkan programevangelisasi. Generasi muda harus diajarkan lagi agama Kristen.Ini maksudnya baik. Tetapi jangan mempertahankan hal-hal yangsudah tidak bisa dipertahankan lagi, misalnya pandangan puritanmengenai seksualitas. Generasi muda di Barat menentukan agamadan seksualitasnya sendiri. Perihal berhubungan seks dengan pacar,mereka sendirilah yang menentukan. Memang ada juga yang mau626– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menunggu sampai perkawinan, tetapi yang demikian ini minoritas.Mayoritas anak muda berpandangan bahwa sebelum perkawinanharus ada pengalaman seksual. Sementara kalangan gereja masihbersifat puritan, lebih keras dari saya. Faktor seksualitas generasimuda itu sangat mempengaruhi mereka dalam menjauhi gereja.Mereka juga menolak larangan terhadap alat-alat kontrasepsi, sepertikondom dan sebagainya. Meskipun demikian, selalu ada minoritasyang masih setuju dengan larangan itu, terutama yang dibimbingoleh badan tertentu (Opus Dei, misalnya). Ketika Paus berkunjungke Jerman dan Swiss, kaum mudanya berbondong-bondongseakan-akan mayoritas generasi muda mendukung Paus. Tetapimedia massa memberikan kesan keliru, lantaran dalam kenyataanmayoritas tidak mendukung Paus dalam masalah ini.Apakah dengan kasus itu bisa dikatakan bahwa agama-agama formal,dalam hal ini Katolik atau Kristen, tidak memberikan suatu formatyang bisa mengakomodasi aspirasi dari kalangan sekularis?Jawabannya tidak mudah. Ada bagian-bagian dalam gereja yangmemang kurang bisa menanggapi aspirasi kalangan sekularis. Tetapi,terutama setelah konsili Vatikan II (1962-1965), gereja tampakmengalami kemajuan besar. Konsili itu mengusahakan agar gereja beradaptasidengan dunia modern, juga mulai melihat akan kebutuhanumat manusia untuk perdamaian dan keadilan sosial. Sekarang gerejamulai menyadari masalah kelestarian alam. Aspirasi gereja terhadapumat manusia itu sekaligus juga mendekatkan agama Katolik danKristen, bahkan membuka jalan, menuju pergaulan yang baik denganagama Islam, Hindu, dan Budha. Sejauh menyangkut adaptasidengan generasi muda, betapa terasa pengaruh positif gereja, karenaFranz Dahler –627


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kaum muda rata-rata lebih sadar akan masalah perdamaian, keadilansosial, dan lingkungan yang diperjuangkan oleh sebagian gereja.Meskipun kaum muda bersimpati dengan sikap terbuka gereja,mereka tetap enggan pergi ke gereja pada hari Minggu. Merekamungkin bersedia berdoa di alam bebas atau dalam perkemahanatau di suatu kebaktian yang diadakan secara khusus bagi mereka.Musik modern, band, nyanyian yang bergairah menarik merekauntuk ikut dalam kebaktian. Tetapi usaha ke arah itu masih kurang.Faktor musik sangat penting bagi generasi muda. Jadi lagulaguiman yang up to date seperti musik spiritual gaya Amerikaberkenan sekali bagi mereka. Secara keseluruhan generasi mudatidak menyangkal relevansi agama.Kasus-kasus mengenai fenomena terpinggirkannya agama di setiaptempat berbeda-beda. Eropa, misalnya, punya style-nya sendiri. Berbedadari Eropa, di Amerika agama masih tampil agak eksplisit danmempunyai peran yang cukup penting. Berbeda lagi di negara-negaraTimur, misalnya di Indonesia atau negara-negara Arab, di sini agamamasih memunculkan bentuk yang lebih eksplisit dalam kehidupanpublik. Menurut Anda, kenapa kasusnya berbeda-beda?Saya sendiri bertanya pada diri sendiri kenapa perbedaan antaraAmerika dan Eropa itu begitu mencolok. Gereja-gereja di Amerikamasih penuh, dan banyak aliran-aliran atau sekte-sekte agamabaru yang muncul. Sedangkan di Eropa, meskipun juga terdapathal-hal yang semacam itu, namun masih kalah jauh dibandingkandengan Amerika. Lebih memprihatinkan lagi di Prancis atau JermanTimur yang dulu komunis. Masyarakat Jerman Timur rataratatidak peduli pada agama.628– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kenapa hal itu bisa terjadi?Banyak faktor, tidak bisa satu dimensi saja. Bisa saja faktorkonsumerisme dan kemakmuran yang me-’ninabobokan’. Negaranegarasekarang bertambah kaya. Dulu, 100 tahun yang lalu, daerahdi mana saya tinggal masih dianggap miskin. Sekarang hanya sedikitpenduduk yang miskin,terutama imigran-imigran. Pluralisme, secara teologis,Kemewahan yang terlampau mencerminkan cinta Tuhan akanmencolok. Anak-anak keluargakaya yang baru berusia politis berarti bahwa setiap lapisankebhinekaan. Pluralisme dalam arti20 tahun sudah dihadiahkan masyarakat punya hak hidup. Setiapmobil oleh orang tua mereka.Dengan mobil merekajenis masyarakat punya hakuntuk hidup.bisa ke sana-kemari. Laluhari Sabtu dan Minggu maunya ke disko dan pulang sangat malam.Saya tidak suka menyaksikan kenyataan yang demikian. Tetapikalaupun saya berontak tak ada gunanya.Di Eropa, meskipun masyarakatnya jarang ke gereja, mereka masihberetika, dalam pengertian menjunjung tinggi asas kemanusiaan. Tetapidi Amerika, gerejanya penuh dengan jemaat namun mereka kurangberetika, agak barbar. Dengan kata lain, Eropa lebih spiritual. Dalampraktik sekularisme atau sekularisasi di masing-masing tempat, adakahdasar ideal yang membuat adanya kesamaan yang hendaknya perlu dicapaioleh sebuah negara, dan dalam wilayah seperti apakah sehinggapraktiknya menampilkan wajah yang tidak seragam? Bagaimana jikadibandingkan dengan model Inggris, Kanada atau Turki serta negaranegaradi dunia belahan Timur?Franz Dahler –629


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ini suatu catatan yang baik dari Anda. Untuk kami orang Eropa—sayatidak hanya berbicara secara pribadi, tetapi untuk generasimuda di Eropa—Amerika Serikat adalah negara yang menjengkelkan.Perang, yang dicetuskan oleh presiden Bush misalnya, sama sekali tidakdidukung. Malahan Islam masih dapat sedikit simpati. Dulu Eropabersimpati pada Israel, sekarang pemerintah-pemerintah masih berpura-purabersimpati pada Israel, namun tidak demikian dengan rakyat.Mereka berada pada pihak Palestina. Saya dulu juga mendukung Israel.Saya tidak berkata bahwa negara Israel hendaknya hilang, ia tetappunya hak eksistensi, tidak seperti pernyataan Ahmadinejad dari Iranyang ingin melenyapkan Israel. Jadi, Israel mempunyai hak eksistensi,sayangnya mereka sudah keterlaluan. Sekarang Amerika masih terusmendukung Israel, itu sama sekali tidak bermoral bagi kita.Demikianpun dalam bidang perlindungan alam, Eropa lebihmaju daripada Amerika. Environment conscience Amerika ketinggalansekali. Amerika menghabiskan sepertiga atau seperempat tenagadari seluruh dunia. Amerika adalah salah satu negara yang tidakmau menandatangani protokol Kyoto mengenai pemanasan global.Maka dalam etika lingkungan dan masalah keadilan, Eropa lebihmaju. Namun harus diakui juga bahwa dalam universitas-universitasAmerika dan di pelbagai perusahaan, etika ekonomi lebihberkembang daripada di Eropa. Amerika merupakan masyarakatyang sangat multikultural, yang tetap mempunyai potensi besaruntuk masa depan.Jadi format negara sekular yang mana, apakah model Eropa, Amerika,Kanada yang dapat menciptakan tatanan hidup bersama yang lebihharmonis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan?630– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ditinjau dari segi sekularisasinya, baik model Amerika, Kanadamaupun kebanyakan negara Eropa, terutama bagian Utara, cukuplahmeyakinkan, dengan realisasi yang berbeda-beda. Yang menjadimasalah adalah Timur Tengah, seperti Israel dan kebanyakan negaraArab. Meskipun di Israelberlaku demokrasi, namun Dalam agama, relativisme positifgolongan agama Yahudi yang berarti selalu menghubungkankeras terlalu berpengaruh. Sedangkanmahkamah Agung agama lain; mau belajar dari agamaatau membandingkan diri dengandi Israel masih punya keberanianmelawan kebijakan pe-lainnya (misalnya orang Kristenbisa belajar dari semangat puasaIslam). Menyadari, bahwa setiapmerintah. Saudi Arabia, Sudan,dan Yaman merupakanagama sebenarnya bisa memberikankeselamatan dan kedamaian, makanegara agama yang keras, terpengaruholeh aliran Wahha-nuraninya; berusaha memperdalamsetiap orang harus menuruti hatibisme. Ada juga negara Arab agama; mencari kebenaran danyang cukup progresif seperti keyakinan, bahkan lewat studi danOman. Menurut United NationsDevelopment Programtukar pikiran.(UNDP) report kekayaan negara di negara itu terbagi dengan baikdan pendidikan anak-anak terjamin. Meskipun begitu, orang Eropaseringkali kurang tahu perbedaan di antara negara-negara Islam. Merekamenyamaratakan semua. Sekarang saya tahu bahwa ada cukupbanyak perbedaan antara negara-negara itu.Baru saja saya pulang dari Malaysia. Saya menyaksikan perbedaanyang cukup berarti antara Malaysia dan Indonesia, meskipunnegaranya dekat dan bangsanya hampir sama. Bedanya, di Malaysiaberlaku syariat Islam. Tetapi orang Kristen di situ tidak banyak mengeluh,meskipun tetap saja masih terdapat kekhawatiran pada diriFranz Dahler –631


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mereka. Mereka masih berpikir siapa tahu pada suatu saat keadaannyabisa memburuk. Sekarang saja telah ada gerakan antimurtad diMalaysia yang menuntut agar orang Islam yang masuk Kristen bisadihuku m, harus masuk camp konsentrasi, rehabilitation center dansebagainya. Tetapi ketika saya bertanya tentang kepastian hukum,bagaimana kalau gereja dirusak atau dibakar di Malaysia? Pendetasendiri menjawab, pasti akan mendapatkan hukuman. Di Sabah, diKinabalu, sepertiga umatnya beragama Kristen. Saya heran sekalidalam perjalanan ke gunung Kinabalu, saya tidak melihat masjid,melainkan berturut-turut gereja Katolik. Penduduknya kebanyakanKatolik. Ini tidak saya duga sama sekali. Jadi Malaysia merupakannegara Islam yang moderat.Dalam konsepsi Anda, apakah negara memang harus mendorong sekularisasiatau membiarkan sekularisasi itu berjalan secara alamiah?Atau mungkin seperti pertanyaan sebelumnya bahwa harus ada formulasikhusus untuk setiap negara, sementara proses sekularisasinyatidak harus disamakan?Sekularisasi hendaknya berjalan secara alamiah. Itu pandangansaya pribadi. Biarkan kekuatan rakyat bergerak sendiri ke arahitu menurut sejarah dan kebudayaan negara masing-masing. Jadi,proses sekularisasi bebeda-beda, sebagaimana saya paparkan tadi.Membiarkan sekularisasi berjalan secara alamiah, meskipun dalamnegara agama semacam Arab Saudi atau Iran?Kalau bisa alamiah. Tetapi karena Saudi Arabia itu negara feodalmaka perkembangan secara alamiah hampir tidak bisa. Oleh karena632– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–itu, mungkin di Saudi Arabia dibutuhkan pemberontakan. Kalau diIran, pernah ada harapan ketika di bawah presiden yang dulu, sebelumAhmadinejad, Mohammed Khatami. Bagaimanapun masih ada harapanyang bisa dicapai untuk menuju Iran ke arah yang lebih baik, karenabanyak penduduk yang berpendidikan cukup tinggi dan berpikirnyasekular, yang tidak suka padapara senior yang konservatif Ajaran agama tidak boleh sampaiyang mengawasi kesusilaan menjadi tekanan buat anak didik,dan keamanan. Mereka, para misalnya tekanan mengikuti kebaktianpemimpin dari generasi tua, Kristen. Jadi ada pemisahan antaratidak disukai oleh mahasiswa, kebaktian dan pengetahuan.terutama perempuan. Perempuancukup kuat di Iran. Pada hemat saya, Iran adalah suatu negarayang mempunyai potensi spiritual yang menumbuhkan harapan.Saya pernah melihat film-film Iran yang sangat bermutu. Satufilm yang saya ingat, menceritakan seorang pemuda 15 tahun yangdisuruh ziarah ke Mekkah oleh bapaknya.Dia berkata, “saya tidak mau”.“Mengapa kamu tidak mau?”, bapaknya bertanya.“Karena memboroskan banyak uang, lebih baik saya pakaiuang itu untuk orang miskin”.Itu juga pernah dikatakan oleh mistikus Al-Hallaj (858-922M), yang dijatuhi hukuman mati. Film tadi diproduksi oleh negaraIslam. Itu tanda kebangkitan spirit yang cukup tinggi. Sayasangat bersimpati kepada pemuda di film itu. Bagi saya, kebaktianselalu nomor dua. Yang pertama dalam agama adalah cinta kepadaTuhan dan manusia, perikemanusiaan, keadilan sosial, bukankebaktian. Kebaktian harus memberikan spirit ke arah itu, jangandimutlakkan. Pemuda Iran itu memahami inti sari agamanya. IniFranz Dahler –633


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–juga berlaku untuk gereja-gereja Kristen. Saya kenal satu keluargadi Jakarta yang terus-menerus melakukan kebaktian tiap minggu,tapi melalaikan kewajiban terhadap ibunya yang sudah tua. Kebaktianadalah nomor dua, nomor satu adalah pengabdian kepadamanusia. Dalam film tadi pesan seperti itu kentara sekali. Pemudaitu akhirnya tidak jadi berangkat ke Mekkah, meskipun itu suatukewajiban yang sangat tinggi dalam agama Islam. Saya tidak mengatakanbahwa ziarah ke Mekkah itu tidak baik, tetapi sekunder,jika dibandingkan dengan melakukan keadilan dan perikemanusiaan.Saya kira, Nabi Muhammad sendiri akan setuju kalau sayabicara begitu. Bacalah al-Quran: 107 (al-Mâ‘ûn).Anda tadi mengatakan bahwa corak keberagamaan di negara-negaraIslam beragam, tetapi secara umum memang agama sangat kuat disana. Pertanyaan saya pertama tadi adalah kenapa muncul perbedaan-perbedaanitu? Amerika dan Eropa berbeda. Ada yang mengatakanbahwa kenapa di Eropa terkesan agama dipinggirkan, karenamemang ada sejarah masa lalu di mana agama begitu menindas.Sementara di Amerika tidak ada sejarah penindasan yang dilakukanoleh agama. Tetapi ini menjadi masalah ketika kita melihat duniaIslam. Ternyata, setidaknya menurut Dawam Rahardjo, penindasanyang terjadi di dunia Islam justru lebih kuat daripada yang terjadidi Eropa.Saya tidak bicara terlalu pro-Barat. Waktu tentara Spanyolmerebut Amerika Selatan, mereka melakukan kekerasan terhadapbangsa asli Indian dan memaksakan agama katolik. Jadi pernahada penindasan, bahkan di Eropa. Tetapi mungkin satu keunggulanBarat sekarang ini adalah kesadaran akan kebebasan pribadi dan634– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perkembangan individu. Individualisme dalam arti negatif adalahegoisme. Individualisme dalam arti positif adalah perkembangankepribadian yang mantap, berani melawan dan tidak takut kepadaatasan, otonom dalam arti positif. Ini mungkin satu kekhususanBarat dan saya tidak tahu dari mana akarnya. Mungkin juga dariagama Kristen, karena dalam agama Kristen martabat manusiamendapat perhatian utama—kendati kemudian juga dilupakan dibanyak tempat—termasuk juga dalam kepemimpinan. Kita melihatteladan Yesus sendiri, seorang yang sangat berkemanusiaan.Itulah yang menjadikan saya tertarik pada kepribadiannya. Perikemanusiaanmenjadi cita-cita utama bagi dia dan teladan itu tidakpernah lenyap dalam sejarah gereja. Artinya, kesadaran akanmartabat manusia itu hidup terus. Dalam Islam juga, terutamapada abad ke-9 sampai ke-12, terdapat kesadaran akan martabatmanusia yang tinggi.Sekarang, sedikit kritik terhadap agama Islam, pada hemat saya,Islam terlalu mementingkan hukum. Buku Dawam Rahardjo sendiri,Islam dan Transformasi Budaya, yang saya suka itu, terus bicaratentang hukum. Mengapa hukum? Dalam gereja Abad Pertengahanhukum juga dipentingkan padahal sebenarnya hukum itu sekunder.Yang paling utama adalah cinta kepada Tuhan dan sesama. Bukanberarti bahwa tidak boleh ada hukum. Perlu ada disiplin, saya tidakmenyangkal perlunya hukum. Tetapi syariat Islam terlalu mementingkanhukum. Kemarin ketika saya ke tempat orang miskin diCilincing, saya bertanya kepada sopir saya, seorang yang beragamaIslam dan masih sangat muda, “apakah Anda setuju syariat Islam?”Dia berkata, “wah repot, disuruh segala-galanya”.Jadi menurutnya, dalam syariat Islam, semua diatur, banyakhal diharamkan dan mudah dikafirkan oleh penguasa hukum.Franz Dahler –635


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tetapi dalam Islam sendiri sebenarnya ada arus lain, yaitu arustasawuf, mistik. Mereka tidak terlalu mementingkan hukum, tetapiyang utama adalah pergaulan pribadi dengan Tuhan. Saya membacabuku Seyyed Hossein Nasr Islamic Spirituality Manifestationsmengenai sufisme di Asia tenggara, suatu studi yang memperkayaIslam. Pengarang tidak terus-menerus berbicara mengenai hukum,tafsiran hukum, melainkan pengalaman serta penghayatan akanAllah dan manusia yang mendalam. Dalam gereja Katolik dulu—dan kadang-kadang sekarang juga masih—ada kecenderungan untukmengatur semuanya. Generasi muda kurang suka pada gereja,karena terdapat terlalu banyak larangan dalam seksualitas. Duluciuman baru boleh kalau sudah bertunangan, tidak boleh menggunakanalat kontrasepsi, tidak boleh menyentuh tubuh pacar.Waktu saya berumur 8 tahun, saya menganggap menyentuh alatkelamin sendiri itu dosa, karena guru agama mengajarkan begitu.Akhirnya saya berpikir, bagaimana kalau saya ke toilet, sayaharus menyentuh alat kelamin saya. Lalu ada pertarungan antaraakal budi dalam diri saya dan ketaatan pada hukum agama.Untunglah akal budi dalam diri saya menang.Mengenai peraturan perundangan tentang pornografi, terutamaRancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi(RUU-APP) yang menjadi kontroversi di Indonesia, menurutsaya, jangan semuanya serba dilarang dan melemparkan kesalahanterutama pada perempuan. Karena jika tidak demikian, akan tidakproduktif, sebagaimana menjadi kekhawatiran sopir itu: wahsangat repot kalau pemerintah menerapkan syariat Islam. Sayakira itu reaksi spontan dan jujur dari masyarakat.636– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Analisis Anda menarik, bahwa hukum (syariah) yang terlampau dipentingkandalam Islam berimplikasi terhadap kemunduran ataukonservatisme Islam. Tetapi, mungkin ada faktor lain yang turut manyebabkanhal tersebut. Ada pendapat yang mengatakan bahwa tidakadanya pemberontakan atauperubahan yang berarti dalamdunia Islam disebabkanSatu keunggulan Barat sekarang iniadalah kesadaran akan kebebasanoleh begitu kuatnya sufisme. pribadi dan perkembangan individu.Sebab, penekanan tasawuf Individualisme dalam arti negatifyang cenderung mengabaikan adalah egoisme. Individualisme dalamhal-hal yang duniawi. Bagaimanapandangan Anda?kepribadian yang mantap,arti positif adalah perkembanganberanimelawan dan tidak takut kepadaHal seperti itu memang atasan, otonom dalam arti positif.ada dalam sufisme. Tetapi,saya pernah membuat serangkaiankuliah di Universitas Zurich mengenai pengalaman Tuhandi pelbagai agama, dari sana saya menemukan bahwa salah satupaham tasawuf sejati adalah tidak menghina hal duniawi, bahkanmau berkecimpung dalam politik. Dalam Islam contohnya adalahMunir yang dibunuh dalam pesawat terbang itu.Tetapi dia bukanlah seorang sufi?Dia bukan sufi, tetapi dia hidup dari semangat agama. Kekuatanspiritualnya jelas dari agama Islam, bukan dari Kristen. Dalamarti tertentu, sikap dia yang begitu kuat karena didasarkan padaiman. Jadi iman sejati tidak perlu mengarah secara resmi kepadasufisme, tetapi mengarah pada pengalaman sufi, pengalaman mis-Franz Dahler –637


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tik, yaitu tasawuf yang tidak melarikan diri dari dunia, malahanberkecimpung dalam dunia. Inilah juga sikap saya pribadi.Pendeta Jerman Dietrich Bonhoeffer, yang melawan sistem otoriterHitler, jelas seorang mistikus. Surat-suratnya kepada tunangannyajelas menandakan bahwa dia seorang mistikus. Dia mengalamidan menyadari bimbingan Tuhan dalam hati. Itu berarti mistik.Jadi, sufisme memiliki wajah yang lain: mengiyakan dunia. Sayasangat terpesona oleh Ibn Arabi (1165-1240 M). Katanya ia masukke dunia mistik karena pengalaman cinta perempuan. Cinta kepadaperempuan biasanya dianggap duniawi. Lain hal lagi denganal-Hallaj, yang pernah mengkritik pemerintahnya di Baghdad. Diajelas berpolitik. Memang saya tahu bahwa al-Hallaj adalah figurkontroversial dalam dunia Islam, karena dia pernah mengucapkanpernyataan yang sulit dicerna: anâ al-Haqq.Jadi, seorang sufi belum tentu melarikan diri dari dunia.Sampai batas tertentu memang kita perlu menjauhi dunia untukmencari yang transenden, mencari Tuhan. Kalau sibuk terus, tidakakan menemukan Tuhan. Sebaiknya kita menjauhkan diri daridunia untuk sementara, kemudian kembali ke dunia ini menjadimanusia baru.Apakah tasawuf yang Anda maksudkan itu bukan dalam arti gnostisisme?Ya, bukan dalam arti gnostis. Gnostis itu merupakan pelariandan terlalu mementingkan kerahasiaan, terlalu eliter dan sebetulnyamerendahkan keduniawian. Yesus tidak pernah merendahkankeduniawian. Dia menghargai dunia materi. Yang sekarang termasukdalam dunia materi adalah teknologi, seperti komputer. Saya638– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sangat berterimakasih dengan keberadaan komputer. Demikianhalnya dengan mobil. Kalau mobil dihargai, diperlakukan denganbaik, ia akan bertahan dua kali lebih lama dari yang biasa. VWyang saya beli pada 1972, masih berjalan di Jakarta.Cinta akan alam dan materi terkandung dalam setiap agama,juga dalam agama Hindu dan Budha. Budha, misalnya, sangat mencintaibinatang dan tidak membunuhnya. Bahkan banyak penganutagama Budha tidak makandaging. Jadi, agama yang Liberalisme, yang berasal dari revolusisejati tidak akan menghina Prancis, mengutamakan kebebasanmateri, justru menghargainya,termasuk seksualitas.persaudaraan dan kesamaan.manusia dengan tidak melupakanKemudian gerakan sosialisme lebihmemper-juangkan persamaan danTadi Anda menyinggung perihalketegangan antara putu-lebih mengutamakan kebebasanpersaudaraan, sedangkan liberalismesan gereja dengan akal budi. pribadi, yang diperjuangkan dalamDalam konteks sekularisasi, struktur negara yang disebutada diferensiasi antara negara demokrasi. Ini liberalisme yang historis.dan agama. Diferensiasi itujuga berlaku dalam pembedaan antara agama dan ilmu pengetahuan,antara wahyu dan akal. Bagaimana Anda melihat relasi antarailmu pengetahuan dan agama, antara akal dan wahyu?Agama jangan menjauhi akal budi. Islam pada abad ke-9, 10,11, 12 melebihi agama Kristen, dengan tokoh-tokoh intelektual besarseperti Ibn Rusyd, Ibn Sina, al-Biruni, al-Farabi, Ibn Arabi. Padamasa itu umat Islam dengan bagus melakukan perkawinan antarawahyu dan ilmu pengetahuan alam. Mereka sangat memperhatikanhasil-hasil dari ilmu pengetahuan. Kaum Mu’tazilah, dalam sejarahFranz Dahler –639


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Islam, mempertimbangkan pentingnya filsafat Yunani, bukan hanyawahyu. Jadi relasinya tidak berat sebelah. Tuhan menganugerahkanakal budi agar kita berpikir dan dengan demikian memperdalamiman. Baru setelah Baghdad runtuh oleh tentara kafir Mongolia,umat Islam mengatakan: “kita harus kembali ke wahyu”. Kemudianwahyu dimutlakkan dan akal budi diremehkan.Ketegangan antara agama dan ilmu alam dalam gereja Katolikkentara sekali pada kasus Galileo Galilei, yang memperkenalkansistem heliosentris, dan Darwin, yang mengajarkan teori evolusi.Dalam kasus tersebut, agama tidak bisa mendiktekan pandangannyasecara dominan. Kendati demikian, semua pihak harus rendahhati, mengakui bahwa pengetahuan kita tetap terbatas dan tidakbisa meraih kebenaran mutlak, juga dalam agama. Kebenaranmutlak hanya dimiliki oleh Tuhan, tidak bisa dimiliki oleh seorangmanusia. Mengakui keterbatasan itu memerlukan kerjasama, tukarpikiran. Dalam hal seksualitas misalnya gereja Katolik kurang mendengarkanpenyelidikan psikologi bahwa masturbasi belum tentumerupakan dosa besar atau kelainan psikis.Prasyarat bagi kemajuan suatu bangsa adalah luasnya ruang kebebasan.Di sinilah liberalisme hendaknya menjadi semangat yang mendasarinya.Celakanya, liberalisme sering disalahpahami oleh banyak orang.Mereka memahami liberalisme sebagai kebebasan tanpa batas yangmengakibatkan dekadensi moral. Liberalisme juga dipahami sebagaisuatu paham yang akan memunculkan benih-benih kolonialisme danimperialisme, karena membiarkan kapitalisme semakin menguat. Pemahamanmacam apakah yang seharusnya diberikan kepada khalayakumum tentang liberalisme?640– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sebaiknya kita membedakan antara liberalisme dan neo-liberalisme.Liberalisme, yang berasal dari revolusi Prancis, mengutamakankebebasan manusia dengan tidak melupakan persaudaraan dankesamaan. Kemudian gerakan sosialisme lebih memperjuangkanpersamaan dan persaudaraan, sedangkan liberalisme lebih mengutamakankebebasan pribadi yang diperjuangkan dalam struktur negarayang disebut demokrasi. Ini liberalisme yang historis. Lalu satuaspek dari liberalisme adalah kebebasan hak milik pribadi, yang sangatberkembang di dunia Barat. Dari sinilah kemudian liberalismemulai mengambil ciri yang agak antisosial. Kebanyakan orangborjuis masuk ke partai-partai liberal.Namun demikian liberalisme dari setiap negara berbeda-beda.Di Swiss nama liberal berbunyi positif. Di Jerman juga ada partailiberal. Rata-rata partai liberal lebih dekat dengan kelas menengahdan kelas orang kaya. Sedikit demi sedikit berkembang neoliberalisme,yang mendapat angin setelah jatuhnya komunisme padatahun 1989, waktu tembok Berlin runtuh. Kendali-kendali yang bisamembatasi hak milik pribadi mulai hilang. Seakan-akan setiap orangmempunyai hak milik pribadi yang mutlak, tidak pandang buluterhadap akibat sosial apapun. Dalam bidang perusahaan berkembangobsesi mengenai profit dalam jangka pendek. Perusahaan besarberpandangan bahwa jika profit dalam setengah tahun menurun,misalnya dari 10% menjadi 8%, harus menjadi gelisah. Sebagaiakibat mungkin sebagian buruh dan pegawai dibebastugaskan ataudiusahakan fusion dengan perusahaan lain, sehingga pengangguranbertambah. Ini mental neoliberalisme atau neokapitalisme. Neoliberalismemendapat tantangan dari dunia Barat sendiri, terutamadari partai-partai sosial demokrat, tidak jarang juga dari gerejaKristen dan Katolik.Franz Dahler –641


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sebenarnya kata asli ‘liberal’ sendiri memiliki arti yang dekatsekali dengan kebebasan manusia. Dalam kasus karikatur Muhammad,misalnya, kentara sekali perbedaan kebudayaan. Mungkinmayoritas masyarakat Barat tidak setuju dengan karikatur itu. Tetapimereka juga tidak setuju jika surat kabar yang menerbitkankarikatur itu dibredel atau dihukum. Mereka berpendapat bahwakebebasan pers lebih penting daripada ketersinggungan pihak lain.Ini liberal dalam arti yang agak esensial.Seorang sarjana ekonomi Austria, yang mendapatkan hadiahNobel, menjadi bapak dari neoliberalisme, yaitu Friedrich Augustvon Hayek. Menurut dia keadilan sosial untuk suatu perusahaanadalah nonsense. Menurutnya, perusahaan modern tidak bisamemperhatikan segi keadilan sosial. Dia sangat berpengaruh di kalanganneokapitalisme atau neoliberalisme. Zürcher Zeitung, suratkabar paling berwibawa di Swiss, rubrik ekonominya mengikutipandangan neoliberal. Namun surat kabar itu cukup terbuka untukkebebasan pandangan dan terkadang dimuat juga tulisan-tulisanyang melawan pandangan itu. Saya bertanya kepada seorangmahasiswa fakultas ekonomi St.Gallen Swiss, apakah teori ekonomidari von Hayek dan Milton Friedman (ekonom asal Amerika)masih berlaku. Menurutnya masih sangat berlaku, mempengaruhikeputusan-keputusan perusahaan besar, dunia perdagangan dankeuangan. Di sini kritik Islam dan Kristen terhadap neokapitalismebisa menyatu.Kalau umat Kristiani sendiri, bagaimana pandangannya terhadapneoliberalisme?642– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Gereja-gereja, juga PausJohannes Paulus II, persekutuanKristen ekumenis sedu-Agama tidak bisa mendiktekanpandangannya secara dominan.Kendati demikian, semua pihaknia mengecam secara tajamharus rendah hati, mengakui, bahwaneoliberalisme dan neokapitalisme.Mengenai liberal-dan tidak bisa meraih kebenaranpengetahuan kita tetap terbatasisme historis, Bung Karno mutlak, juga dalam agama. Kebenaranterlalu menjelek-jelekkan liberalisme,demokrasi liberal, tidak bisa dimiliki oleh seorangmutlak hanya dimiliki oleh Tuhan,sehingga nama liberal mendapatkankonotasi negatif di memerlukan kerjasama, tukar pikiran.manusia. Mengakui keterbatasan ituIndonesia. Sebaliknya, kalauorang di Swiss bilang, bahwa saya liberal, itu pasti merupakan pujian.“Orang liberal” berarti orang yang jembar atine (lapang dada),tidak kikir, berjiwa pluralis.Menurut Anda definisi kata liberal itu sendiri seperti apa?Liberalisme adalah pandangan yang mengutamakan kebebasanpribadi. <strong>Kebebasan</strong> pribadi juga menyangkut kebebasan pers,kebebasan agama dan kebudayaan seperti yang tercantum dalamdeklarasi hak asasi manusia (HAM). Sebetulnya deklarasi HAMadalah cetusan dari spirit liberal. Liberal dalam arti historis, bukandalam arti neoliberal.Apakah betul bahwa liberalisme itu akan bermuara pada sikap permisif,kekacauan dan sebagainya?Franz Dahler –643


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Demokrasi sama sekali tidak berarti bisa bertindak seenaknya.Dalam sistem demokrasi kedisiplinan sangat ditekankan secaraketat. Kalau orang tidak mematuhi aturan permainan liberal, diabisa dihukum. Misalnya kalau kejaksaan agung terbukti korupsiatau dipengaruhi eksekutif, bisa dituntut sampai dipecat. Jadi dalamdemokrasi liberal ada aturan yang harus ditaati. Hal ini bisadibandingkan dengan sepak bola, ada wasit resmi. Untuk itu rakyatsendiri dengan bantuan media massa, harus turut memperhatikanfairness dalam permainan. Jadi kalau pemerintah melakukanpelanggaran dalam suatu keputusan, pasti akan ada reaksi. Makaadalah kekeliruan besar jika liberal disamakan dengan kekacauan.Justru, liberal itu tertib. Tapi ketertiban yang bukan paksaan dariatas, melainkan kesadaran sendiri. Kita sadar bahwa ketidaktertibanakan menghancurkan demokrasi. Kalau dalam suatu voting mayoritasmenang dan minoritas melakukan protes dengan kekerasan, halitu tidak diterima. Minoritas harus tunduk kepada mayoritas. Tapimayoritas juga tidak boleh sombong, mereka harus memperhatikankepentingan minoritas. Sedapat mungkin diadakan kompromi lewatparlemen untuk mengakomodasi kepentingan minoritas. Permainandemokrasi itu berdisiplin atas dasar kedaulatan rakyat sendiri. Sayamengakui bahwa apa yang digambarkan sekarang ini terlalu idealtetapi sebenarnya tidak jauh dari kenyataan. Sebab hal itu betulbetulmerupakan cita-cita masyarakat demokratis.Perbincangan kita tentang liberalisme sudah memasuki wilayah sistem.Dalam liberalisme, tujuan yang paling penting adalah bagaimananegara bisa melindungi dan menjamin hak dan kebebasan warganegara. Bagaimana Anda melihat konsep negara dalam konteks libe-644– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ralisme, apakah harus berbentuk minimum state, membiarkan warganegara menentukan nasibnya sendiri?Negara harus menguatkan daya masyarakat untuk menentukannasibnya sendiri. Pemerintah tidak boleh melakukan intervensiseenaknya, biarpun atas nama rakyat. Tetapi demokrasi juga tidakberarti bahwa pemerintah tidak berwibawa. Di Prancis, sebelumPerang Dunia II, jika ada suatu keputusan pemerintah yang ditolakoleh DPR, pemerintah langsung mengundurkan diri. Sistemini sudah ditinggalkan. Pemerintah berhak bertindak dalam kerangkayang diberikan kepadanya oleh DPR atau langsung olehrakyat. Presiden seumur hidup berlawanan dengan sistem demokrasi.Sekarang ada kemajuan besar di Indonesia, bahwa presidentidak berkuasa lagi seumur hidup. Pemerintah yang berwibawadihargai oleh rakyat. Perlu dan boleh ada kritik. Untuk itu kebebasanmedia massa sangat penting. Dalam hal ini pun Indonesiamaju sejak presiden Habibie. Kritik harus berdasarkan fakta danmenghindari penghinaan.Terkait dengan demokrasi, yakni problem minoritas dan mayoritas,bahwa kritikan orang selama ini terhadap demokrasi adalah kekhawatiranpada sistem ini yang dapat jatuh ke dalam mayoritarianisme,di mana kepentingan mayoritas begitu diutamakan sehingga menindasyang minoritas. Bagaimana pandangan Anda?Dalam demokrasi baik kepentingan kelompok maupun individuperlu diperhatikan. Kelompok-kelompok masyarakat sepertikaum buruh, tani, nelayan, usahawan dan sebagainya bisa berkecimpungdalam salah satu partai untuk memperjuangkan kepen-Franz Dahler –645


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tingan mereka. Partai-partai itu sering berlawanan, misalnya paraburuh terhadap usahawan. Serikat buruh lebih condong ke partaisosialis yang kiri, sedangkan para usahawan ke partai kanan. Namunpartai-partai bisa juga bernegosiasi. Seperti contohnya di pemerintahanJerman sekarang. Pemerintahan kanselir Angela Merkelmerupakan suatu negosiasi antara partai kiri dan kanan, atau yangdianggap kurang lebih kanan. Mereka bisa berkompromi. Itu pentinguntuk sistem demokrasi. Jadi tidak terus-terusan keras padapandangannya saja. Saya mendengar di Indonesia terlalu banyakpartai. Tidak setiap pandangan pribadi atau golongan harus disertaidengan pendirian partai. Jadi harus belajar negosiasi, kompromi.Memang bisa ada kompromi busuk. Tetapi juga ada kompromiyang menyelamatkan kesejahteraan negara. Sehingga kepentinganminoritas tidak disingkirkan.Praktik dari pandangan bahwa demokrasi adalah sistem di mana yangpaling berkuasa adalah yang mayoritas, tampak tercermin di Indonesiadengan diterapkannya perda-perda syariah. Padahal, syariat Islam itusendiri dalam pengertian yang normatif adalah sistem yang antidemokrasi.Menurut Anda?Di Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam. Jika mayoritasterlalu memaksakan kehendaknya, misalnya menjadikansyariat Islam sebagai hukum negara, akibatnya minoritas sepertiHindu, Kristen dan sebagainya dikesampingkan, menjadi warganegara nomor dua. Ini bertentangan dengan spirit demokrasi. Iniharus ditolak. Dalam hal ini, saya ikut memperjuangkan hak-hakKristen.646– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana caranya agar demokrasi tidak dimanfaatkan untuk tujuan-tujuannilai yang antidemokrasi?Itu dapat dicapai lewat pendidikan. Pendidikan itu sangat penting,mulai dari TK sampai universitas. Saya kecewa karena gaji gurusekolah dasar (SD) di Indonesiaterlalu rendah. Ini harus Jika mayoritas terlalu memaksakandirombak secara total. Guru kehendaknya, misalnya menjadikanSD merupakan suatu jabatanyang sangat penting. Bu-negara, akibatnya minoritas sepertisyariat Islam sebagai hukumkan hanya mengajar bahasa Hindu, Kristen dan sebagainyaatau matematika, melainkan dikesampingkan, menjadi wargaakhlak. Semangat demokrasihanya bisa dicapai lewatnegara nomor dua. Ini bertentangandengan spirit demokrasi. Ini harusditolak. Dalam hal ini, saya ikutalat-alat pendidikan. Mediamemperjuangkan hak-hak Kristen.massa termasuk bagian daripendidikan. Sebab ia bisaedukatif. Contoh media massa yang seperti itu di Indonesia Kompasatau Tempo, misalnya, yang seringkali ada kolom-kolom yangberdasarkan ilmu yang cukup edukatif, tidak hanya hiburan. Mencapaidemokrasi secara cepat tidak mungkin. Itu membutuhkanwaktu yang panjang.Artinya, apakah demokrasi sebagai sebuah sistem politik tidak mempunyaitali pengaman untuk mempertahankan dirinya dari gerakan-gerakanyang bisa membunuh demokrasi itu sendiri? Misalnyapembajakan demokrasi yang dilakukan oleh Hitler. Nazi di Jermanmenang melalui proses demokrasi, melalui Pemilu. Setelah berkuasa,Nazi menghapus demokrasi.Franz Dahler –647


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tidak ada jalan lain kecuali dengan mengajarkan politik dilembaga-lembaga pendidikan agar masyarakat melek politik. Padasaat Hitler berkuasa, rakyat Jerman kecewa karena negaranya kalahdalam Perang Dunia I, sementara kekuatan tentaranya hebat.Lalu Hitler-lah yang paling banyak menyuarakan nasionalisme dancendekiawan-cendekiawan terlalu banyak termakan semangat nasionalisme.Nasionalisme merupakan anjuran buruk, meskipun jugaada nasionalisme yang baik. Cinta kepada tanah air itu nasionalismeyang baik. Tapi nasionalisme yang cenderung menghina danmeremehkan negara lain itu adalah bentuk yang destruktif. Padazaman Hitler rakyat kecewa dengan Perang Dunia I dan kecewaatas besarnya pengangguran. Hitler dapat angin, sementara cendekiawan-cendekiawan,yang bisa menganalisis keadaan, kurangbertanggung jawab. Sehingga Hitler akhirnya bisa terpilih secarademokratis, kemudian demokrasi dihancurkannya.Dalam banyak konsep atau teori politik, dikatakan bahwa untukbisa melindungi civil rights dan civil liberties, negara harus netral.Bagaimana Anda melihat netralitas negara?Netral dalam arti apa?Negara netral berarti negara yang adil secara hukum, tidak memberikantreatment khusus atau sebaliknya tidak memperlakukan kelompoktertentu secara diskriminatif. Netral juga berarti bahwa negara harusmendorong semua nilai dan tujuan yang ada dalam masyarakat.Pokoknya pemerintah harus menjamin agar demokrasi terusberlangsung dan bisa melindungi serta menjamin hak milik pri-648– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–badi, misalnya. Kalau hak milik pribadi dilanggar, seperti dalampraktik pencurian atau korupsi, pelakunya harus ditindak. Adanyapelaksanaan hukum adalah kewajiban pemerintah, selain menjagakeamanan dan ketertiban umum agar keadilan berlaku di dalammasyarakat. Tidak boleh ada suatu penindasan oleh golongan yangsatu terhadap golongan yang lain. Itu dilakukan lewat perjuanganpolitik. Lalu netral dalam arti bagaimana lagi?Apakah negara dengan pemerintahan yang liberal harus menjamindan melindungi setiap warganya bebas untuk beragama dan berkeyakinan?Ya, negara dalam hal agama harus netral. Jadi kalau mayoritasadalah agama Kristen, yang minoritas adalah agama Islam (praktikini sudah mulai berlaku untuk Jerman dan Prancis), pemerintah tidakboleh melakukan diskriminasi terhadap minoritas. Negara harusmemberikan hak yang sama kepada minoritas untuk voting dandalam hal kewarganegaraan. Begitupun dalam hal subsidi, tidakboleh mengutamakan satu agama saja. Demikian juga seharusnyadalam negara yang mayoritas Islam. Jadi kalau sekularisasi sudahsedikit berjalan di Indonesia, agama Islam tidak boleh mendapatkanterlalu banyak subsidi, sehingga tidak sesuai dengan jumlahmayoritas umat Islam. Umat lain juga harus mendapatkan perhatiandan perlindungan dari penguasa. Itu sudah dilakukan di negaradengan syariat Islam yang moderat seperti Malaysia. Sepertisaya sudah bilang di atas bahwa gereja dapat perlindungan. Orangtidak bisa seenaknya merusak gereja, sebab akan mendapatkan hukuman.Jadi saya akui bahwa syariat Islam juga bisa diinterpretasikansecara lunak.Franz Dahler –649


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Orang biasanya menyamakan begitu saja antara demokrasi dan liberalisme.Padahal demokrasi adalah sebuah seleksi untuk menggapaisebuah kekuasaan sementara liberalisme adalah nilai-nilai kebebasan,HAM, civil liberties. Fareed Zakaria pernah menulis tentang “illiberaldemocracy”. Dalam sebuah buku yang berjudul The Futureof Freedom, di negara-negara Timur Tengah, demokrasi formal dijalankan,ada Pemilu dan partai politik, tetapi hak-hak sipil, civilliberties, HAM dan lainnya sama sekali tidak dihargai. Perempuanjuga diperlakukan secara diskriminatif. Menurut Anda, bagaimanahubungan antara demokrasi sebagai sebuah sistem untuk mencapaikekuasaan dengan liberalisme sebagai pendasaran civil rights, civilliberties atau HAM?Liberal dalam arti filsafat berarti penghargaan terhadp hak-hakasasi manusia. Dalam hal ini, partai sosialis juga bisa diartikan liberal.Sedangkan liberal dalam arti politis itu lain lagi. Kalau satupartai menamakan diri liberal, bisa begitu mengutamakan hak kebebasanpribadi, sehingga melalaikan faktor sosial. Agama Kristen,Katolik, dan Islam sama pendapatnya, bahwa hak milik pribadimemiliki fungsi sosial. Jadi hak milik pribadi tidak bisa digunakandengan semena-mena. Zakat dalam Islam itu baik sekali, malahanmenjadi praktik resmi. Jadi kekayaan mempunyai fungsi sosial.Fungsi sosial juga terlaksana dengan membayar pajak secara jujur.Seringkali orang yang sangat kaya menghindari hukum pajak. Itumelanggar etika liberal sejati.Mungkinkah nilai-nilai liberal atau kebebasan itu ditegakkan tanpademokrasi?Tidak mungkin!650– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam negara dengan sistem kerajaan yang feodal, misalnya, tanpamenerapkan sistem demokrasi, mungkinkah dapat menjunjung tinggikebebasan beragama dan berpikir?<strong>Kebebasan</strong> agama dalam arti kebaktian mungkin terjamin. Tetapi,kebebasan berpikir pasti akan amat terbatas. Begitupun semangatagama yang mengarah pada keterlibatan sosial demi hakasasi manusia akan dibatasi juga, mungkin malahan dilarang. Harusdicatat di sini, bahwa dalam masyarakat modern yang dikuasaipaham neoliberal, kebebasanbisa dipreteli juga. Atas Adalah kekeliruan besar, jika liberalnama demokrasi golongan disamakan dengan kekacauan. Justru,ekonomi yang perkasa, the liberal itu tertib. Tapi ketertiban yanghaves, bisa menguasai suatunegara lewat perusahaan-kesadaran sendiri.bukan paksaan dari atas, melainkanperusahaan besar. Para buruhdan golongan bawah pada suatu saat bisa dibayar, bisa dibeli.Wujud lahir sistem demokrasi masih bertahan, tetapi sebetulnyasudah bukan demokrasi lagi, melainkan pengkhianatan terhadapdemokrasi. Itu bahaya dari neokapitalisme. Neokapitalisme punyapengaruh begitu besar hingga bisa mempengaruhi media massa,iklan-iklan dan pembentukan parlemen. Di Amerika Serikat, misalnya,Bush begitu lihai dalam persiapan kampanye pemilihanumum, sehingga dia berhasil menarik orang-orang kaya denganjanji, bahwa pajak mereka akan diringankan. Demikian juga janjinyaterhadap kalangan menengah. Perusahaan multinasional, karenamemiliki uang yang sangat banyak, bisa membeli segala-galanya.Sejauh saya dengar, sebelum pemilihan umum di Indonesia, adajuga pembagian uang yang dilakukan oleh Golkar.Franz Dahler –651


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ada anggapan bahwa kenapa demokrasi maupun liberalisme secaraumum sangat susah muncul di dunia Timur, karena mereka menganggapbahwa gagasan-gagasan tersebut lahir dari kebudayaan Barat.Makanya orang semacam Fareed Zakaria atau Lee Kuan Yew menganggapbahwa demokrasi memang tidak terlalu cocok dengan Timur,karena mereka memiliki budaya yang berbeda. Kolektivisme sangatdikedepankan di dunia Timur sementara di Barat individualismenyasangat kuat. Bagaimana respon Anda terhadap pandangan itu?Hal ini disinggung dalam buku Dawam Rahardjo, ReformasiBudaya Islam. Masalah ini sudah menjadi perdebatan sengit sejakpembentukan Republik Indonesia. Ada golongan yang lebih mementingkansistem liberal atau demokrasi Barat seperti Sutan TakdirAlisjahbana, sedangkan Soekarno tidak. Dia lebih mementingkanketimuran. Akhirnya pandangan Timur menang, lalu demokrasimerosot menjadi demokrasi terpimpin. Mahathir Mohamad dariMalaysia sering mengecam demokrasi Barat, demikian juga penguasadi Tiongkok yang kerap mencela demokrasi Barat, namunada udang di balik batu. Mereka sebetulnya menginginkan pemerintahanotoriter, di mana mereka bisa berkuasa seenaknya.Tapi ada benarnya juga, bahwa demokrasi harus mendapatkanwujud yang cocok dengan kebudayaan negara masing-masing.Mula-mula Soekarno dan Hatta memang mengusulkan Pancasila,itu diterangkan dalam buku Dawam Rahardjo. Pancasila itubijaksana, namun kemudian ketika Soekarno makin berkuasa,dia “main larang-larangan”: Masyumi dan Partai Sarekat Islam(PSI) dilarang, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pun mau dilarang.Soekarno menekan kelompok Islam. Akhirnya nilai-nilaidemokrasi dikhianati.652– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Namun, tidak seluruhnya benar apabila paham demokrasi didunia Timur tidak ada. Di desa-desa Jawa seorang lurah dipiliholeh rakyat. Baru kemudian di zaman Soeharto orang militer ditempatkanmenjadi lurah, ditentukan dari atas. Mungkin ilmuilmuhumaniora masih kurang menyelidiki unsur-unsur demokrasiyang asli di kebudayaanJawa. Di kebudayaan Batak, Dalam agama, relativisme positifDayak, Tionghoa pasti juga berarti selalu menghubungkanada, karena ajaran Konghucusendiri sebetulnya ber-agama lain; mau belajar dariatau membandingkan diri denganjiwa demokrasi. Konghucuagama lainnya.disalahgunakan oleh rejimotoriter Tiongkok. Padahal Konfusius sendiri menjadi pengkritikyang tajam sekali terhadap penguasa pada zamannya, sehingga diaditurunkan dari jabatannya. Kebudayaan Tionghoa pun memilikiunsur-unsur demokrasi yang asli. Mengapa? Because to be a free manis very natural. Setiap orang akhirnya menghendaki suatu kebebasan.Merdeka menjadi semboyan di mana-mana, karena itu manusiawi,hakiki pada manusia, bukan hanya pada orang Barat.Ada banyak contoh di mana demokrasi liberal justru dianggap sebagaisumber persoalan itu sendiri. Di Jerman, pada masa Otto von Bismarck,demokrasi justru dijadikan sebagai alat untuk melanggengkankekuasaan penguasa sebelumnya. Atau di negara-negara bekas UniSoviet, demokrasi justru dianggap menyebabkan konfllik berkepanjangan.Begitupun ketika demokrasi diterapkan dalam sebuah masyarakatyang belum terdidik, seperti banyak negara Dunia Ketiga,seringkali justru menimbulkan masalah baru. Itulah kira-kira yangFranz Dahler –653


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menyebabkan Lee Kuan Yew menolak demokrasi dan liberalisme. Bagaimanapandangan Anda?Bisa dikatakan bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang palingbaik dan paling sulit. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan moraldan kecerdasan. Menjadi orang cerdas harus giat belajar, tidak bisaterus-menerus mendengarkan musik atau pacaran. Menjadi cerdasmembutuhkan banyak tenaga dan juga uang. Masyarakat yang terlalumiskin tidak akan bisa bersekolah, tidak akan bisa mengenyampendidikan. Oleh karena itu, dengan dorongan pmerintah, masyarakatharus mementingkan pendidikan. Tetapi, sistemnya bukanlahmodel hafalan atau indoktrinasi. Guru harus bermutu tinggi, cerdas,dan bisa memancing pikiran anak-anak.Anak saya waktu berumur 5 tahun bermain dengan balok lego,yang bisa disatukan dan dipisahkan. Dia juga senang bercerita.Saya, misalnya, menceritakan kisah air bah Nuh. Waktu zamanNuh, umat yang berdosa dikirimi banjir sehingga mereka tenggelamdan mati. Lalu dia bertanya, mengapa Tuhan menghukum denganbanjir itu? Saya jawab, sebab mereka berdosa. “Dosa apa?” tanyaanak saya. Sulit saya menjelaskan. Mungkin dalam hati anak sayaterpendam pertanyaan: mengapa Tuhan menghukum umat begitukeras dan kejam? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan secaramemuaskan. Tetapi saya tidak bilang kepadanya “diamlah denganpertanyaan-pertanyaanmu ini”, saya berusaha terus menjawab,meskipun saya tidak pernah menemukan jawaban yang memadai.Karena menurut hati nurani saya sendiri Tuhan, dengan mengirimbanjir kepada umat yang berdosa itu, terlalu kejam. Jadi pertanyaananak saya itu masuk akal. Ia sebetulnya cerdas, tidak gampangpuas dengan jawaban saya. Dengan demikian paham agama bisa654– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–diperdalam. Sekarang saya tahu jawaban yang jitu tergantung dariinterpretasi Kitab Suci.Jadi kecerdasan harus dibina sejak anak kecil, dari pendidikantaman kanak-kanak. Di Magelang saya juga pernah mengajar agamadi SD, dengan senang hati,karena saya mencintai anakanak.Saya sajikan banyak mencampurkan agama, yangPluralisme itu tidak berarticerita, tidak hanya dari Kitab Anda sebut sinkretisme. JustruSuci, melainkan juga dari kehidupansehari-hari. Mereka perbedaan maka perbedaan itukarena pluralisme itu mengakuiperlu dikembangkan. Orang Islamjarang saya suruh menghafal.berbeda dengan orang Kristen,Tetapi, mereka justru senangHindu berbeda dengan Konghucu,kalau saya menanyakan pandanganmereka dan meng-orang Batak berbeda dengan orangJawa. Semuanya berhak berbeda,ajak untuk bertukar pikiran.Anak-anak Magelang itu adanya perbedaan.....pluralime tetapmalahan harus bangga denganternyata cerdas sekali kalau menghargai identitas pribadi, bangsa,pikiran mereka dirangsang. agama, budaya, tetapi identitasJangan sekali-kali meremehkankemampuan anak-anakyang tidak eksklusif.TK dan SD!Kalau saya melewati ruang sekolah dan guru tidak ada, merekamemanggil saya: “kesinilah, Romo!” “Ada apa?” Saya bertanya balik.Anak-anak menjawab: “pak guru tidak masuk”. Mengapa tidakmasuk? Karena dia mencari pekerjaan. Gajinya tidak cukup!Ada anggapan bahwa demokrasi yang diterapkan di Dunia Ketigadan negara-negara di Timur Tengah adalah illiberal demoracy. Na-Franz Dahler –655


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mun, kita tidak bisa memungkiri bahwa demokrasi yang disebarkanoleh negara-negara Barat seringkali dengan cara kekerasan, sepertiyang dilakukan oleh Amerika. Bagaimana pandangan Anda dengankenyataan ini?Saya setuju dengan pandangan ini. Amerika terlalu mementingkanekonomi dan, berkaitan dengan itu, kekuasaannya. Sehingga,nilai demokrasi dalam politik luar negerinya sering diabaikan.Bahkan Amerika tidak jarang mendukung rejim otoriter,asalkan rejim itu tunduk terhadap kepentingannya, sepertiSaudi Arabia.Sebetulnya demokrasi selalu berada dalam bahaya dan sistemini bisa runtuh kembali. Maka demokrasi harus terus diperjuangkan.Nilainya terlalu tinggi untuk tidak diperjuangkan. Harus selaluada koreksi dan kritik. Demokrasi juga sulit terwujud dalamnegara besar. Mungkin di Malaysia demokrasi bisa berjalan, karenanegara itu tidak terlalu besar. Sebaliknya di Indonesia lebih sulit,karena negara ini luas sekali. Begitupun di Rusia sama sekali belumjalan. Negara itu terlampau luas, sehingga seorang pemimpinyang otoriter selalu bisa naik lagi. Sedangkan negara-negara di Eropatidak terlampau luas, semuanya menengah atau kecil, sehinggademokrasi lebih mudah terwujud.Apakah terwujudnya demokrasi di negara-negara Barat lantaran merekahanya terdiri atas bangsa atau suku bangsa tertentu yang tidakbegitu heterogen sebagaimana Indonesia?Rata-rata negara Eropa memang berdasarkan satu bangsa tertentu.Tetapi ada beberapa pengecualian yang berarti, misalnya656– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sebagian dari Italia Utara (Südtirol) berbahasa Jerman. Di Swissada tiga bangsa dan tiga bahasa. Ada yang berbahasa Prancis,berbahasa Jerman dan berbahasa Italia. Kebudayaan Swiss-Prancisberbeda dengan Swiss-Jerman. Kendati begitu, tetap ada kesamaan.Mereka semua berjiwa demokratis dan minoritas Prancisdan Italia sangat dihargai. Paspor Swiss selalu dalam tiga bahasaitu. Negara Swiss terdiri dari satu nusa dengan tiga bangsa danbahasa. Swiss sudah punya ciri-ciri demokratis sebelum RevolusiPrancis. Pada saat itu Swiss masih merupakan federasi. Masingmasingdaerah punya otonomi sendiri. Ada sebagian yang feodal,sebagian lagi demokratis. Itu berlaku secara khas untuk Appenzell,daerah asal saya. Sejak hampir 600 tahun di situ umat berkumpulsetiap tahun untuk memilih pemerintah dan memecatorang yang dianggap tidak lagi cakap untuk memangku jabatan.Saya mengalami sendiri, waktu saya berumur 12 tahun, mandatmenteri kehakiman dicabut oleh masyarakat melalui pemilihanumum dan isterinya bisa menyaksikannya langsung dari jendelarumahnya! Saya terpesona sekali. Ini demokrasi langsung, directdemocracy. Kesimpulannya, demi terwujudnya demokrasi kesatuanbangsa tidak perlu terlalu dipentingkan, malahan boleh ada perbedaanbahasa dan budaya.Menakar heterogenitas elemen bangsa Indonesia, maka sangatlahfundamental untuk menjadikan gagasan pluralisme sebagai pondasibagi kehidupan bersama yang harmonis. Problemnya, pluralisme olehpelbagai kalangan masyarakat Indonesia sering ditolak karena duapemahaman. Pertama, pluralisme sering dianggap sebagai sinkretisme,menyamakan semua agama. Kedua, pluralisme dianggap mudahFranz Dahler –657


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terjerembab pada relativisme. Apa respon Anda terhadap persoalanpelik ini?Itu adalah tema diskusi saya di Atma Jaya yang membincangmultikulturalisme dan pluralisme. Pluralisme adalah kebhinekatunggalikaan.Jadi kesatuan tidak begitu dipentingkan, sebab dapatmenjadikan perbedaan hilang. Perbedaan tetap dihargai, bahkansebaiknya harus tetap ada. Secara teologis, Tuhan sendiri menghendakikebhinekaan. Hal itu terlihat dalam dunia tumbuhan danbinatang, ada biodiversitas yang mengagumkan. Kemajemukanberlaku juga pada dunia manusia, sehingga ada perbedaan suku,bangsa, kebudayaan, bahasa dan agama. Pluralisme, secara teologis,mencerminkan cinta Tuhan akan kebhinekaan. Dikatakan olehrektor Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Amin Abdullah,bahwa variasi warna juga ada dalam agama. Warna-warna ini tidakbisa dihilangkan atau dilebur dalam satu warna. Biru, hitam, putih,abu-abu dan lain-lain, semuanya membina keindahan duniaini. Dengan mengutip al-Quran, Nurcholish Madjid menyatakanbahwa kebhinekaan merupakan karya Tuhan.Pluralisme dalam arti politis berarti bahwa setiap lapisan masyarakatpunya hak hidup. Setiap jenis masyarakat punya hak untukhidup. Di Indonesia ada orang Bali, minoritas Hindu yang sangatkecil, memiliki hak yang sama untuk hidup dan mengembangkankebudayaan mereka. Demikian halnya dengan umat Konghucu,Kristen, masyarakat Dayak, Batak, Minangkabau, Manado dan seterusnya.Ini sudah sejak lama diakui oleh Indonesia secara resmi,tinggal dihidupkan kembali.Tetapi perlu diingat bahwa pluralisme itu tidak berarti mencampurkanagama, yang Anda sebut sinkretisme. Justru karena pluralisme658– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–itu mengakui perbedaan maka perbedaan itu perlu dikembangkan.Orang Islam berbeda dengan orang Kristen, Hindu berbeda denganKonghucu, orang Batak berbeda dengan orang Jawa. Semuanya berhakberbeda, malahan harus bangga dengan adanya perbedaan. Kebanggaanatas kebudayaan sendiri itu baik, karena itu Anda perlubangga sebagai orang Jawa,saya bangga sebagai orang Sistem demokrasi adalah sistemSwiss dan seterusnya. Tetapikebanggaan akan bang-Maka dibutuhkan pendidikan moralyang paling baik dan paling sulit.saku sendiri tidak menghalangicinta kepada bangsadan kecerdasan.lain. Saya juga bangga mengenal dan mencintai Indonesia. Sayaakan menulis biografi, judulnya Kisah seorang Indozell (kesatuankata antara Indonesia dan Appenzell).Jadi pluralime tetap menghargai identitas pribadi, bangsa, agama,budaya, tetapi identitas yang tidak eksklusif. Kadang-kadangorang Jawa dianggap sombong, angkuh, tidak menghargai suku-sukulain. Terlebih, orang lain kerap melihat Jawa dengan kejawennya.Padahal, orang Jawa sendiri bilang, “ko wong iki kejawen”, sedikitberlebihan. Artinya kurang menghargai suku, bangsa lain. Identitaspribadi terlindung dalam kebudayaan dan bangsa yang saya anutdengan tetap bisa menghargai yang lain. Mungkin dengan banyakpergaulan, tukar pikiran, ada osmose yang dalam ilmu hayat berartiada pertukaran zat antar-sel.Kebudayaan bukan sesuatu yang statis, bisa mengarah menujusinkretisme. Misalnya kebatinan Jawa cenderung sinkretis. Sinkretismedalam gereja Katolik, Protestan maupun agama Islam, seringmendapat konotasi negatif. Sebenarnya itu kurang adil, karena bagisaya ada sinkretisme kreatif, contohnya kebatinan Jawa. Waktu sayaFranz Dahler –659


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di Magelang, saya mempelajari aliran Pangestu dengan bantuan pakBupati, yang pada saat itu mengundang kita, kaum cendekiawan,untuk berdiskusi setiap bulan. Bahkan salah satu teman kami termasukdalam aliran kebatinan.Dalam aliran Pangestu, misalnya, baik Nabi Muhammadmaupun Yesus disebut sebagai sang guru sejati. Ini sinkretismeyang simpatik. Mengapa orang dilarang menimba yang baik dariagama lain? Dulu saya sangat antisinkretisme, sekarang tidak lagi,setelah saya mempelajari kebatinan. Nahdlatul Ulama (NU) jugasedikit sinkretis. Mereka menerima adat istiadat Jawa, seperti musikatau tradisi pewayangan yang tidak ada sangkut-pautnya denganagama Islam. Figur-figur seperti Semar, Arjuna tidak ada sangkutpautnyadengan Islam. Orang Islam yang agak keras menolak itu.Tetapi, dalam NU selalu diterima. Pada hemat saya, sinkretismeNU itu kreatif, mendamaikan, dan menenteramkan.Bertentangan dengan pluralisme adalah pandangan bahwa agamakumerupakan agama satu-satunya yang benar. Itu eksklusivismeatau fundamentalisme mutlak. Saya dulu, ketika masih studiteologi di Austria, juga berpandangan begitu. Saya yakin bahwaagama Kristen-Katolik adalah satu-satunya yang benar. Denganmengenal orang-orang dari agama lain saya kemudian berjiwaekumenis. Setelah saya ke Indonesia saya menjadi lebih ekumenislagi, mulai mengenal banyak orang Islam, yang saya hargai, yangbersikap sangat baik terhadap saya. Saya sadar bahwa memang adakebenaram ilahi dalam setiap agama. Ini juga dinyatakan dalamkonsili Vatikan II, 1962-1965. Secara eksplisit diutarakan bahwasemua agama mempunyai kebenaran. Ada kebenaran di luar gereja.Meskipun begitu, tidak berarti menyamaratakan. Menurut660– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–peribahasa Jawa, kabeh agama pada wae. Kebenaran berarti dalamwarna-warna yang berbeda-beda. Ini pluralisme.Lantas apakah memang pluralisme sama dengan relativisme?Saya mendengar bahwa Paus Benediktus XVI, memberikankonotasi negatif kepada relativisme. Jadi, menurut hemat saya, halini selalu tergantung bagaimana kita menginterpretasikan istilahtersebut. Kalau relativisme diartikan sebagai indiferentisme, yaknisikap acuh tak acuh, tak pandang bulu terhadap agama manapun,maka saya mendukung pendapat Paus. Karena sikap ini dangkalsekali, meremehkan segi kebenaran, yang bisa diketahui dari wahyuilahi, dari ilmu pengetahuan maupun suara hati.Tetapi menurut saya ada juga relativisme positif. Relativismeberarti menghubungkan, membandingkan sesuatu dengan sesuatuyang lain. Kata relativisme berasal dari kata latin relatio, hubungan,seserawungan dalam bahasaJawa. Bapak tidak hidup secaraabsolut, dia hidup da-bisa bertindak seenaknya. DalamDemokrasi sama sekali tidak berartilam hubungan, relasi dengan sistem demokrasi kedisiplinan sangatanak-anak dan isterinya. Kalauterlalu memutlakkan di-tidak mematuhi aturan permainanditekankan secara ketat. Kalau orangrinya sendiri, maka dia salah,liberal, dia bisa dihukum.dan tidak bisa disebut sebagaiseorang bapak lagi. Kalau semua hanya harus melayani dia, diatidak pantas lagi disebut bapak. Dia juga harus melayani anak danisterinya. Ia hidup dalam relasi.Dalam agama, relativisme positif berarti selalu menghubungkanatau membandingkan diri dengan agama lain; mau belajarFranz Dahler –661


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dari gama lainnya (misalnya orang Kristen bisa belajar dari semangatpuasa Islam). Menyadari, bahwa setiap agama sebenarnya bisamemberi-kan keselamatan dan kedamaian, maka setiap orang harusmenuruti hati nuraninya; berusaha memperdalam agama; mencarikebenaran dan keyakinan, bahkan lewat studi dan tukar pikiran.Namun, kita juga tidak bisa gampang pindah agama. Andaikanpacarnya beragama lain atau membawa keuntungan ekonomi, lantasharuskah seseorang pindah agama? Motif perpindahan agamaseperti itu mencurigakan. Saya tahu ada orang pindah ke agamaIslam karena Islam mayoritas dan mereka merasa lebih aman dalamhal ekonomi, karena dilindungi oleh mayoritas. Pertimbanganekonomis atau kepentingan pribadi bisa menyebabkan indiferentisme,agama gampang digantikan seperti mengganti pakaian. Itubukan jiwa pluralisme yang sejati.Francis D’Sa, yesuit India, yang pandai bergaul dengan orangHindu dan Islam, menyajikan suatu simbol, gegambaran, bagaimanakiranya hubungan antara kebudayaan dan agama yang berbeda-bedadapat hidup bersama secara damai dan harmonis. Iamembandingkan umat manusia dengan orkes. Dalam orkes setiapalat musik penting: biola, seruling, klarinet, trompet, genderangdll, terlebih lagi apabila bisa ditambah dengan kor yang bersuarabas, tenor, sopran dan alto. Justru karena alat-alat dan suara-suaraberbeda-beda dan memainkan peranan semurni mungkin, terbinasuatu harmoni yang kedengaran indah dan hebat, di bawah pimpinandirigen yang bijaksana dan cerdas. Artinya, kesatuan dalamkebhinekaan niscaya membahagiakan.Wawancara dilakukan di Jakarta, Oktober 2006662– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganFranz Magnis-SusenoFranz Magnis-Suseno, rohaniawan yang menjadi Guru Besar Filsafat Sosialdi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Ia memperoleh gelar doktordari Universitas München, Jerman (1973).663


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisasi adalah proses sosial budaya yang mencakup desakralisasi.Namun begitu, pengaruh agama tidak seluruhnya hilang.Ia tetap muncul dalam bentuk tuntutan-tuntutan moral. Sebab,hukum agama tidak bisa diformalkan karena bertentangan denganHAM. Di sisi lain, negara merupakan institusi manusia yangperlu disusun menurut tuntutan rasionalitas dan moralitas. Negaraharus netral, tidak memberikan perlakuan khusus pada salahsatu agama, apalagi yang mayoritas. Maka, Indonesia harus tetapmenjadi negara sekular, dalam pengertian negara berketuhanantetapi tidak mencampuri urusan agama warganya; meniscayakankebebasan politik dan keterbukaan agama (liberalisme);dan menerima secara baik dan adil perbedaan setiap agama dankeyakinan warganya.664– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana pandangan Anda tentang sekularisme?Sekularisme merupakan konsep yang memerlukan sedikit penjelasan.Untuk itu hendaknya dibedakan antara sekularisme dansekularisasi. Sekularisasi adalah sebuah proses sosial-budaya yangmencakup desakralisasi. Desakralisasi di sini dimaksudkan bahwabidang-bidang kehidupan termasuk juga benda-benda yang dianggapsakral mulai sekarang dilihat secara murni duniawi. Ada duacontoh, pertama, misalnya di sebuah desa ada pohon yang dianggapsakral, maka sekularisasi berarti bahwa pohon tersebut adalahsemata pohon, tidak lebih. Contoh kedua tidak lain adalah negara.Hampir di seluruh dunia, negara, khususnya dalam bentuk monarki,mengklaim memiliki semacam sakralitas. Misalnya, seorang rajamempunyai hubungan khusus dengan Tuhan atau diangkat olehTuhan. Sekularisasi berarti bahwa negara adalah institusi manusiayang perlu disusun menurut tuntutan rasionalitas dan moralitas.Dengan demikian sekularisasi juga berarti bahwa pengaruh agamatidak seluruhnya hilang, melainkan tetap muncul dalam bentuktuntutan-tuntutan moral.Gagasan ini sejak beberapa tahun menjadi salah satu pokokdalam diskursus filosof Jürgen Habermas. Habermas mengatakanbahwa dalam negara sekular, agama-agama tetap penting karenamempunyai alam nilai dan keyakinan-keyakinan moral yang harusmengisi formalisme demokratis. Habermas juga dengan kerasmengritik apabila sekularisasi disamakan dengan sekularisme. Sekularisme,sebagai sebuah isme, adalah suatu keyakinan politik dimana agama sama sekali tidak mempunyai tempat dalam kehidupanpublik. Publik harus steril dari agama. Contoh sekularisme yangkeras itu dapat ditemukan pada model laicití di Prancis.Franz Magns-Suseno –665


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Prancis, pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, membuatundang-undang yang sebenarnya diarahkan terhadap kebijakanpublik. Undang-undang itu melarang segala pengaruh agama, dalamhal ini pengaruh gereja, terhadap negara dan juga pemakaiansimbol-simbol keagamaan dalam wilayah publik seperti sekolahnegeri dan sebagainya. Fenomena inilah yang sejak sepuluh tahunbelakangan justru sangat dirasakan oleh komunitas Muslim yangada di Prancis. Perempuan Muslim Prancis tidak boleh memakaijilbab di sekolah. Padahal dahulu undang-undang itu dibuat tidakhanya melihat Muslim, melainkan simbol agama apa pun. Namunkarena Muslim di Prancis mayoritas berkeyakinan bahwa memakaijilbab merupakan keharusan, maka undang-undang itu kemudianmenjadi masalah bagi umat Islam di Prancis. Sekularisme dalamarti ini dianggap sebagai sebuah ideologi.Dalam konteks negara, yang mesti didukung adalah negarasekular yang tetap memberi tempat pada agama. Hal itu bisa dilihatpada dua negara, pertama Jerman yang jelas sekular. Di siniagama tidak bisa memerintahkan negara, demikian pula sebaliknya.Namun demikian, Jerman tetap memperhatikan agama-agama.Misalnya, Gereja Protestan maupun Katolik mempunyai birokhusus dengan pemerintah Jerman. Sekarang hal itu juga mulaidipikirkan untuk Islam, supaya agama –dalam hal kebijakan yangrelevan terhadap negara– dapat berdialog dan menciptakan suatudiskursus dengan pemerintah. Hal semacam itu dianggap sesuatuyang positif.Sedangkan contoh berikutnya adalah Amerika Serikat. Di Amerika,pemisahan antara agama dan negara terjadi dengan sangattajam. Misalnya, tidak boleh sama sekali terdapat salib di dalamsekolah negeri atau di luar sekolah negeri. Kendati demikian dalam666– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kenyataannya di wilayah publik suasana yang ada sangatlah agamis.Apakah dalam hal ini akibat dari pengaruh Injil atau bukan,pembahasan ini tidak sampai masuk ke situ. Karena itu Amerikatidak sekadar menuliskanIn God We Trust pada mata Sekularisasi adalah sebuah prosesuangnya, tetapi menganggappositif kehadiran aga-desakralisasi. Desakralisasi di sinisosial-budaya yang mencakupma-agama.dimaksudkan bahwa bidangbidangkehidupan termasuk jugaNamun demikian, halsemacam itu sangat berbeda benda-benda yang dianggapdengan Prancis yang telah sakral mulai sekarang dilihat secaramurni duniawi.meletakkan agama secara negatif.Dari situ dapat disimpulkanbahwa salah kalau menganggap sekularisme sebagai sebuahideologi yang hendak menyingkirkan keberadaan agama dari wilayahpublik. Itu tidak mungkin. Maka bagi suatu negara sekular,distingsi antara sekularisme dan sekularisasi menjadi begitu pentinguntuk meluruskan kesalahkaprahan pemahaman bahwa sekularismememiliki arti yang sama dengan penolakan negara agama.Ada yang beranggapan bahwa sekularisasi, sebagai suatu proses desakralisasiterhadap wilayah publik atau negara, pada dasarnya jugaakan mengarah kepada sekularisme. Apakah memang demikian?Negara-negara Barat, seperti Prancis yang memiliki kadar sekularitaspaling ekstrem, kini justru memperlihatkan hubungan antaranegara dan Gereja Katolik yang mengalami banyak kemajuan. NicolasSarkozy, sebagai salah satu kandidat pemilihan presiden padasaat itu, malah ingin mengubah beberapa ketentuan dari laiciti ituFranz Magns-Suseno –667


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sendiri. Upaya perubahan tersebut tidak hanya demi gereja Katolik,tetapi juga Islam. Sebab dia sadar betul bahwa perubahanmendesak dilakukan mengingat integrasi masyarakat Islam yangmakin besar di Prancis. Negara sudah sangat perlu untuk berbicaradengan masyarakat Muslim. Jadi, memajukan suatu kebijakandi mana negara begitu saja menganggap sepi eksistensi umatberagama, baik Kristen, Katolik, Islam atau yang lainnya, sejatinyasangat merugikan. Adalah penting bagi sebuah negara untukmembangun hubungan positif dengan seluruh masyarakat. Karenaitu, religiusitas tidak bisa diabaikan. Jadi, proses sekularisasi tidakmemiliki tendensi ke arah sekularisme.Pada prinsipnya sekularisme, sebuah ideologi yang pada abadke-18 dan 19 telah mempengaruhi Revolusi Prancis, merupakanreaksi terhadap kedudukan yang amat kuat dari gereja Katolik. Sekularismemuncul di negara yang warganya menganut Katolik untukmelawan Gereja yang pada abad ke-18, di zaman “orde lama”,begitu berpengaruh dalam Revolusi Prancis. Sayang kekuatan inikemudian justru diarahkan menjadi ateis. Dalam upayanya membikinPrancis sebagai negeri ateis, ribuan pastor dan suster dipenggalkepalanya, ditenggelamkan di laut, dan sebagainya. Suatu halyang luar biasa mengerikan. Itulah puncak sekularisme. Kendatibegitu, sekularisme tidak pernah sekeras itu di negara-negara lain.Semua itu tidak pernah terjadi di negara Protestan, begitupun dinegara Budha atau Hindu. India merupakan negara sekular, tetapijelas tidak ada Hinduisme. Di Islam, saya tidak cukup mengenalsituasinya, kecuali Turki. Turki adalah suatu negara yang secaranyata sekular, dan karenanya, untuk kalangan Islam, menjadi kasusyang sangat menarik.668– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kasus sekularisme Prancis justru lebih menarik lagi. Revolusi Prancisyang memakai jalan kekerasan sebagaimana dipelopori oleh MaximillianRobispiere, yang ternyata berakibat jauh pada proses ateisme, sepertinyabelakangan ini menjadi suatu fesyen. Anti-agama tengah menjadi lifestyle di Eropa (Prancis, Belanda, Denmark dan sebagainya), sebagaimanaterlihat pada mengemukanya kasus Jyllan Posten. Artinya,sekularisasi di Eropa mengarah pada anti-agama. Bagaimana Andamenjelaskan fenomena tersebut?Untuk melihat secara jelasihwal proses sekularisasidi Eropa, hendaknya di-kalau dianggap sebagai sebuahSekularisme, pada hematnya, salahbedakan beberapa kecenderunganyang terjadi di sana.ideologi yang hendak menyingkirkankeberadaan agama dari wilayahpublik. Itu tidak mungkin. Tetapi bagiAda sebuah kondisi di manasuatu negara sekular, sesungguhnyasekularisasi di beberapa negaraEropa terjadi dalam arti sekularisasi itu penting. Sebab haldistingsi antara sekularisme danbahwa kehidupan masyarakatsemakin berjalan “se-terhadap sekularisme adalahtersebut untuk meluruskan: penolakanakan-akan tidak ada agama sama artinya dengan penolakandan tidak ada Tuhan”. Itunegara agama.memang salah satu ciri modernitas,karena masyarakat modern menjadi fungsional. Sehingga,pelbagai wilayah kemanusiaan dipisahkan secara tajam. Misalnyahidup keluarga terpisah tajam dengan hidup profesional. Orangmeninggalkan rumah menuju ke tempat yang benar-benar profesionalkemudian kembali ke keluarga. Lalu mungkin ada macammacamunsur civil society. Barangkali ia anggota partai politik atauanggota klub catur, dan sebagainya. Di sisi lain, istrinya tidak ikutFranz Magns-Suseno –669


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pada klub yang sama. Atau, istri itu sendiri menjadi anggota suatuklub lainnya. Jadi, semua itu berjalan tanpa acuan pada negara;tidak juga pada agama.Kondisi semacam ini sebenarnya tidak bisa serta merta dikatakananti-agama. Pada sebuah kota di Jerman, sebagai tamsilan,apakah orang beragama Katolik, Protestan, partai Islam, ataupunbermacam jenis identitas agama lainnya, tidak akan ada perbedaannya.Begitu juga kalau orang tersebut dioperasi. Dia tidak akanbertanya apakah dokternya Katolik atau bukan. Dan sebagai pasien,dia juga tidak ditanya apa agamanya oleh pihak rumah sakit.Jadi, sekularisasi dalam arti ini seolah-olah menghilangkan eksistensiTuhan dari kehidupan. Jika demikian tidak usah ada agama.Agama dalam pengalaman keseharian orang Eropa, terutama EropaBarat, telah ‘menguap’. Di Eropa Barat, seperti Ceko, ada satukeunikan yang jika dicermati sebenarnya telah mengalami penurunanatau pengurangan keimanan kepada Tuhan yang sangat tajam.Di Skandinavia, orang-orang yang tidak lagi peduli apakah merekamasih anggota Gereja Protestan atau tidak juga cukup tinggi–mereka ini sebetulnya dapat dikatakan sebagai orang-orang yangtidak lagi beriman.Di Jerman Timur, negara bekas daerah komunis, orang yangdibaptis hanya berjumlah lebih kecil dari 40%. Berarti selebihnyatidak beragama sama sekali, bahkan mungkin ada yang tidaktahu makna dari hari natal. Yang mereka ketahui dari hari natalhanyalah pohon natal. Bahwa itu merupakan momen perenungandi mana Yesus lahir, banyak sekali yang tidak tahu. Ceko, menurutbanyak ahli, merupakan suatu pengecualian dari proyek modernitasEropa sesungguhnya. Itu semua bukanlah masa depanmodernitas yang ideal.670– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Amerika Serikat sama sekali berbeda. Di situ tidak ada sentimenantiagama sebagaimana terdapat di Denmark atau lebih jelas lagidi Prancis. Di Eropa Timur, Polandia dan sebagainya, juga tidakdemikian. Bahkan Polandia, Kroasia dan Slovakia justru menjadinegara-negara yang sangat religius. Begitupun Amerika Latin. Sedangkandi Asia dan Afrika tidak ada masalah sama sekali yangberkaitan dengan sentimen terhadap agama. Cina, yang notabeneKomunis, memiliki kemajuan agama, termasuk kekristenan, yangsangat pesat. Hal yang sama juga terdapat pada Korea Selatan.Kalau memang situasi Eropa demikian tidak ramah terhadapagama, maka ada beberapa hal yang harus segera diluruskan. Mengapademikian, karena masalah yang sebetulnya tidaklah berkaitandengan sekularisasi. Termasuk dalam hal ini adalah merebaknyakecurigaan terhadap Islam. Kecenderungan anti-agama yang merebakdi Eropa tidak lagi dialamatkan kepada gereja mereka sendiri,yang belakangan tidak terdengar lagi, melainkan kepada Islam. Islamdi Eropa seringkali muncul secara high profile. Di tengah masyarakatEropa, mereka memakai pakaian, potongan janggut, dansebagainya ‘yang lain’ dari orang Eropa pada umumnya. Dengancara seperti itu, mereka memperlihatkan diri sebagai Muslim. Tentusaja berbeda dengan di Indonesia, meski tetap ada orang-orangIslam yang muncul di tengah masyarakat dengan penampilan sepertiitu. Pasalnya, sebagian besar dari penduduk Indonesia adalahorang Muslim, sehingga orang-orang yang memunculkan diri sepertiitu tidak kelihatan sebagai ‘yang lain’, sebaliknya akan berbedadengan orang Kristen. Hal-hal seperti ini sebenarnya tidak lagiberkaitan dengan sekularisasi, meski menjadi masalah yang sangatserius: menumbuhkan prasangka antarumat beragama (apakah diFranz Magns-Suseno –671


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dalamnya terdapat clash of civilization? Itu masalah lain yang perlupemikiran lebih serius).Dalam proses sekularsasi muncul istilah ‘privatisasi’ agama. Konsepyang berusaha menempatkan agama semata pada wilayah yang sangatpribadi (privat) ini kemudian mendapatkan counter dari konsep“deprivatisasi”-nya Jose Casanova. Ia tidak setuju bila semangatdan nilai agama yang mulia tidak ditransfer dalam kehidupan sosial.Bagaimana Anda melihat konsep privatisasi, sebagai turunandari sekularisasi?Saya tidak terlalu suka dengan istilah privatisasi. Yang harusdiperjuangkan dalam masyarakat sekular adalah suatu sistem yangberdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjunjung tinggikebebasan beragama. Permasalahan yang ada di sini adalah berkisarpada relasi antara agama dan negara. Ihwal religiusitas ataupraktik religiusitas pada tingkat individu dalam melaksanakan keyakinanagamanya di samping menjadi tanggung jawab individujuga tetap ada pengaruh dari agama. Pada prinsipnya baik Islam,Katolik, maupun Protestan berpendapat bahwa agama mempunyaipengaruh yang sangat menentukan pada seluruh dimensi kehidupanorang yang beragama. Agama berpengaruh tidak hanya padalingkup pribadi dan keluarga, atau kalau bagi orang Katolik tidakterbatas pada hari Minggu saja. Jadi, meskipun profesi seseorangyang beragama Katolik tidak ada unsur agamanya sama sekali, pekerjaanyang digelutinya tidak akan benar-benar lepas dari nilainilaiagama, misalnya saja tentang kejujuran dan tanggung jawab.Orang Katolik akan melihat profesinya dari sudut agama di manasenantiasa menekankan kejujuran dan tanggung jawab. Begitu juga672– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dalam urusan politik. Orang Katolik merasa bebas memilih partaiapa saja –kecuali partai yang memperjuangkan kebijakan yangdianggap tidak bermoral. Tetapi jika dia seorang yang cukup intensifdan taat beragama, komitmen politik pun akan mencerminkankomitmen agama yang dipeluknya. Hal seperti itu juga yangdimaksud oleh Habermas.Dengan pengertian lain, agama bukan sesuatu yang murniprivat. Yang murni privat adalah penghargaan apa saja yang berkenaandengan seni. Apakah seseorang lebih menyukai lukisanatau plakat-plakat dan poster-poster,itu yang disebutSekularisasi berarti bahwa negaraurusan privat. Urusan privat adalah institusi manusia yang perlutidak mempengaruhi fungsi disusun menurut tuntutan rasionalitasorang tersebut pada profesi dan moralitas. Jadi sekularisasi jugayang digeluti atau partai politikyang dipilihnya. Tetapi seluruhnya hilang, melainkan tetapberarti bahwa pengaruh agama tidakberagama berarti bahwa seseoranghidup dalam ketatuntutanmoral.”muncul dalam bentuk tuntutanatanterhadap Tuhan. Danketaatan tidak memiliki batasan privat dan publik. Dalam negarasekular, itu terungkap sebagai sikap kritis dalam bernegara. Sebagaiwarga negara, seseorang berhak menuntut bahwa negara sekurangkurangnyatidak mengambil kebijakan yang bagi agama orang tersebutdianggap tidak etis.Gereja Katolik, misalnya, menentang undang-undang yang begitusaja mengijinkan abortus. Saya, secara pribadi, akan menentangundang-undang yang jelas akan merugikan kaum miskin, dan itubukan urusan gereja. Pemerintah harusnya membuat aturan yangjelas agar market tertata dengan tertib sekaligus dapat lebih banyakFranz Magns-Suseno –673


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menyediakan lapangan pekerjaan bagi kaum miskin. gereja tidakpunya hak apa pun untuk mengatur market. Tetapi supaya janganterjadi eksploitasi atas nama kebebasan hak asasi manusia dan modalusaha, kepentingan buruh tidak boleh diabaikan begitu saja.Saya kira, itulah yang dikatakan oleh gereja.Dalam arti seperti itulah privatisasi agama ditolak, meski agamatetap tidak boleh menguasai. Jadi, agama muncul dalam masyarakatmelalui media-media demokratis. Misalnya melalui pemilihanumum, di mana orang Katolik atau orang Islam bisa memilih siapayang mewakilinya.Konsep deprivatisasi atau agama publik Jose Casanova terjadi padatingkat civil society, bukan negara. Di situ agama mempunyai peranmoral untuk mengubah masyarakat atau membebaskan masyarakatdari ketertindasan. Menurut pandangan Anda, dalam kontekskeindonesiaan, sejauh mana dan pada tingkat apa seharusnya agamamemasuki dan berperan di ranah publik?Agama hanya bisa berperan sebagai bagian dari civil societyyang menyuarakan pandangan, tuntutan, dan keinginan untukmencoba mempengaruhi komponen civil society lain supaya sependapat.Hanya itulah kemungkinan yang ada. Contoh perandemikian dapat disebutkan seperti gereja Katolik yang bisa ikutmenentukan, membuat pernyataan, mengkritik, menuntut, denganmengharapkan bahwa moral dan semangat agama disertakan melaluimedia-media demokratis. Itulah yang oleh Habermas disebutpengepungan DPR oleh civil society supaya DPR atau parlementidak melupakan masyarakat. Masyarakat terus bersuara melaluimedia massa dan sebagainya.674– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Agama, misalnya Katolik atau Islam, sebagaimana juga diutarakanoleh Habermas, adalah salah satu bagian dari komponencivil society yang harus diberi ruang untuk bersuara. Tidakada monopoli di sini. Misalnyakebijakan publik mengenaiabortus itu ditentang Semua orang yang masuk dalam suatuTradisi tidak boleh dianggap sepi.keras oleh beberapa kelompokperempuan. Pendapat ke dalam suatu tradisi yang turun-agama berarti sekaligus juga masuktemurun diterima begitu saja. Karenasemacam itu sah-sah saja,itulah orang-orang liberal selamanyasebab wilayah civil societyakan mengatakan bahwa agama harusharus terbuka. Oleh karenadilihat secara kritis. Makna di dalamitu mereka berhak mengatakannya.gereja Katolik juga dan tambahan atau malah interpretasiagama mungkin terjadi pembekuantidak mempunyai kemungkinanuntuk memaksa nega-yang justru jauh dari maksud sabdamanusia yang mempersempit,ra. Negara akan mendengarkankedua-duanya. ArtinyaAllah itu sendiri.undang-undang tetap dibuat oleh parlemen (entah berdasarkanpertimbangan apa) tidak bisa dikontrol oleh civil society. Tetapicivil society akan terus-menerus mengomentari kebijakan-kebijakanyang tidak diharapkan. Dan bagi pembuat dan pemegang kebijakan,aspirasi dari civil society hendaknya dijadikan acuan. Parlementidak bisa mengabaikan itu sama sekali.Bagaimana merumuskan bentuk dan peran agama dalam level politik?Dalam ranah politik, setiap keputusan dari polemik politikdilakukan dalam badan legislatif dan eksekutif, agama tidak pu-Franz Magns-Suseno –675


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya peran. Tapi agama, sebagaimana warga masyarakat, diperlukanuntuk bisa terus-menerus menyuarakan pendapatnya. Semakinagama menganggap ini suatu yang relevan, yang dari sudut moralpenting atau malah ditolak, maka agama akan bersuara semakinkeras. Posisinya tidak mempunyai nilai lebih dan unggul, secarapolitis, dari suara dalam masyarakat. Dalam hal ini, agama samadengan semua komponen civil society, mereka tidak secara formalbisa memaksakan sesuatu terhadap legislatif dan eksekutif.Selama ini, di Indonesia, kita menyaksikan bermunculan tuntutanpenerapan syariat Islam melalui perda-perda, begitupun yang terjadidengan RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi dan lain sebagainya. Apapandangan Anda tentang tuntutan-tuntutan seperti itu?Pertanyaan tersebut dapat juga ditarik menjadi sampai sejauhmana tuntutan-tuntutan seperti itu bisa disesuaikan dengan Pancasila,Undang-Undang Dasar dan khususnya dengan hak asasimanusia. Kita bersyukur belum begitu lama gereja Katolik angkatbicara bahwa kenegaraan yang etis harus menjamin hak-hak asasimanusia. Pasalnya, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebuah kesepakatandalam zaman modern dan pascamodern yang etis, dankarena itu tidak bisa diatasi hanya dengan pemungutan suara mayoritas.Justru itulah fungsi HAM yang seharusnya, yakni mendorongbahwa dalam demokrasi, unsur-unsur yang sangat vital, yanglangsung menyangkut kehidupan seseorang dan kebutuhannya,tidak dapat dikenakan prosedur majoritarian.Demokrasi tanpa HAM akan merupakan kediktatoran mayoritas.Karena itu, dalam rangka mengikuti mekanisme demokratis,tentu saja orang bisa memakai kebebasan menyatakan penda-676– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pat untuk mengutarakan, “aku ingin supaya syariah diterapkan”.Tetapi, mestinya negara harus menolak. Hal itu hendaknya dibedakandengan kasus lainnya seperti tuntutan masyarakat mengenaikenaikan upah minimum atau menuntut untuk penegerian Freeport.Ini keputusan politik yang bisa dijalankan, tetapi bisa jugatidak dijalankan oleh negara,tidak tergantung HAM. Harus diakui bahwa liberalisme adalahTetapi tuntutan formalisasihukum agama jelas akan arti, yang semuanya berkaitan denganistilah yang mempunyai beberapabertentangan dengan HAM. kebebasan namun secara etis dinilaiBukan hanya bertentangan berbeda. Sehingga, terdapat bidangbidangdi mana liberalisme pantasdengan hak asasi nonmuslim,yang tidak langsungdikritik, tetapi ada juga bidang-bidangdi mana liberalisme itu sangat bagus.akan terkena akibatnya, tetapijustru hak asasi orangMisalnya, liberalisme ekonomi yangmelahirkan kapitalisme, sampaiMuslim sendiri.sekarang oleh kebanyakan, katakanOleh karena itu saya berpendapatbahwa pada prin-memilih mementingkan moralitas),saja, komunitas moral (komunitas yangsipnya negara tidak berhakdinilai negatif.untuk mengatur kehidupanberagama siapa pun, juga tidak berhak mengatur kehidupan beragamamayoritas. Seperti juga gereja Katolik yang tidak lagi dapatmenuntut, atau melalui keputusan mayoritas di negara yang mayoritaswarga negaranya Katolik, untuk membuat perceraian tidakmungkin. Di Italia, lama sekali hukum gereja menjadi hukumnegara. Sophia Laurent, seorang artis jaman dahulu, yang kawinketika berumur 16 tahun, kembali melakukan perkawinan denganproduser film Carlo Ponte setelah perkawinan pertamanya kandasdalam usia dua tahun. Perkawianan kedua itu diadakan di luarFranz Magns-Suseno –677


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Italia. Karena bagi gereja dan negara Italia perkawinan itu tidaksah. Setelah perkawinan itu, Sophia tidak berani kembali ke Italiakarena takut akan ditangkap. Padahal perkawinan yang keduanyaini kemudian berlangsung dengan sangat membahagiakan. Namun,sekarang kasus semacam itu tidak mungkin terjadi lagi. Sebab Italiatelah lama menghapus hukum tersebut. Kini setiap orang bisabercerai dan kawin lagi. Urusan semacam itu tentu saja harus diserahkankepada mayoritas. Artinya, bisa saja gereja menyatakansecara moral bahwa hal itu tidak boleh, tetapi tidak berarti bahwahak tersebut menjadi hangus. Hal itu berlaku juga pada persoalanapakah orang mau berpuasa atau tidak. Walaupun menurut sayaakan lebih bagus kalau dia mau berpuasa, negara tetap tidak berhakmenghukum orang yang tidak berpuasa.Konsep liberalisme banyak ditentang karena, pertama, liberalismedipahami oleh kebanyakan orang Indonesia sebagai kebebasan tanpabatas. Kedua, liberalisme mendorong lahirnya kapitalisme yang menyebabkankolonialisme dan imperialisme. Dalam pengertian sepertiapakah gagasan liberalisme harus tetap diperjuangkan?Harus diakui bahwa liberalisme adalah istilah yang mempunyaibeberapa arti, yang semuanya berkaitan dengan kebebasan namunsecara etis dinilai berbeda. Sehingga, terdapat bidang-bidang di manaliberalisme pantas dikritik dan bidang-bidang di mana liberalismesangat bagus. Misalnya, liberalisme ekonomi yang melahirkan kapitalisme,sampai sekarang oleh kebanyakan, katakan saja, komunitasmoral (komunitas yang memilih mementingkan moralitas),dinilai negatif. Kapitalisme tidak berhasil untuk diterima sebagaisistem ekonomi yang netral. Ia tetap sebagai sistem ekonomi yang678– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak sesuai, kalau dilaksanakan secara murni, dengan hak-hakasasi manusia dan hak-hak sosial yang ada. Gereja Katolik selamaini selalu mengutuk kapitalisme. Termasuk juga Paus Paulus ke-2yang sangat keras mengutuk kapitalisme.Banyak juga orang yang menganggap liberalisme, terutama padamodel liberalisme budaya, sebagai gagasan yang memperbolehkanmelakukan apa saja, asal tidak merugikan orang lain. Salah satuungkapan liberalisme sepertiitu adalah revolusi seksualyang di Barat baru mulaiDalam konteks negara, yang mestididukung adalah negara sekular yangpada tahun 60-an di abad tetap memberi tempat pada agama.yang lalu. Dalam revolusi Hal itu bisa dilihat pada dua negara,itu ada beberapa hal yang pertama Jerman yang jelas sekular. Disaya anggap sebagai sebuah sini agama tidak bisa memerintahkankewajaran, misalnya, dekriminalisasikelakuan homo-Namun demikian, Jerman tetapnegara, demikian pula sebaliknya.seksual. Secara pribadi sayamemperhatikan agama-agama.tidak setuju kalau dua orangsejenis melakukan hubungan seks di kamar lalu dihukum oleh negara.Hal seperti itu dahulu mutlak dilarang di Jerman. Padahalitu bukan urusan negara. Tetapi bahwa liberalisme yang diartikansebagai apa saja diperbolehkan, justru menyangkal adanya nilainilaidan norma-norma etis yang membatasinya. Misalnya adalahketidakpekaan terhadap perasaan orang yang taat beragama.Reaksi umat Islam terhadap kartun Nabi Muhammad, dalamkonteks ini, adalah sesuatu yang positif. Sebab, reaksi semacam itutidak pernah ditunjukkan secara demonstratif oleh orang Katolikketika agama dihina dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi.Karena itu, bagi umat Katolik, kemarahan umat Islam atasFranz Magns-Suseno –679


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–penghinaan dan penodaan agama dianggap sebagai tindakan yangsangat tepat dan patut untuk ditiru, karena agama Katolik danProtestan sudah sering dihina tetapi selalu dibiarkan saja. Tentusaja di dalam reaksi umat Islam tersebut, banyak juga yang berlebihan.Tetapi bahwa Islam marah dan tidak bisa menerima ataspenghinaan tersebut, banyak orang Katolik yang menghargai danmengaguminya. Mereka melihat, misalnya, instalasi seni di manaYesus diejek dengan memperlihatkan alat kelaminnya dan lain sebagainya.Hal-hal seperti itu bagi orang Kristiani adalah penghinaanluar bisaa. Tetapi di pengadilan Jerman, misalnya, tindakansemacam itu tidak berhasil ditolak, dengan alasan kebebasan penciptaanestetis.Di situ jelas bahwa liberalisme dengan kebebasan total bertentangandengan kesadaran bahwa kita terikat. Dalam dua dimensiliberalisme jelas memiliki konotasi yang positif. Dalam dimensipolitik, liberalisme melahirkan paham bahwa kekuasaan negaraharus berdasarkan sebuah undang-undang dasar. Jangan lupa, pada400 tahun yang lalu tidak ada negara dengan undang-undang dasar.John Locke merupakan orang pertama yang menuntut adanyaundang-undang dasar yang mengatur di mana hak eksekutif danhak legislatif. Liberalisme adalah paham yang memunculkan pembagiankekuasaan, pembatasan kekuasaan, toleransi, dan kebebasanberagama, begitu pula the rule of law, kedaulatan hukum denganhak asasi manusia.Liberalisme juga tidak selalu berkaitan dengan kapitalisme.Nurcholish Madjid yang lebih terlihat sosial-demokrat yang kerasdan tegas, juga Habermas yang berpaham kiri, secara politis telahdianggap liberal. <strong>Kebebasan</strong> berbicara untuk menyatakan pendapat,kebebasan berkumpul dan membentuk partai politik, adalah680– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kemajuan-kemajuan politik terbesar dalam sejarah modernitas yangdibawa oleh gerbong liberalisme. Semua itu merupakan sisi positifliberalisme yang patut disyukuri dan kita sendiri menikmatinya.Karena itu liberalisme politik adalah sesuatu yang positif.Dalam dimensi agama, kata liberal pada umumnya berartiorang yang berani mempertanyakan dan mengkritisi doktrin-doktrinteologi. Dengan pengertian lain dia bukan orang yang menerimabegitu saja apa yang dibawa oleh agama. Sebab, apabila seseorangsudah berkeyakinan bahwa kalaupun keberagamaannya dipaksakanatas kehendak Tuhan, dan tetap menganggapnya sebagai sesuatuyang baik dan benar, maka itu sudah merupakan kontradiksi.Memang, salah satu hakikat agama adalah ketaatan kepada Allah.Tidak mungkin beragama kalau tidak taat kepada Allah. Akan tetapi,seorang liberal akan berani mengatakan agar ia betul-betultaat kepada Allah, ia harus mempertanyakan apakah interpretasihukum agamanya yang berasal dari manusia itu betul-betul sesuaidengan kehendak Allah, yang pada-Nya-lah orang tersebut harustaat. Demikianlah pijakan dasar orang liberal. Dengan begitu, orangliberal tidak mau dengan serta-merta mengatakan, “terhadap TuhanAllah aku pasrah”, tetapi ia berani dengan kritis, sebagai subjek,mempertanyakan apa yang oleh tokoh-tokoh agama, para praktisiagama, termasuk gereja (Katolik), misalnya ajaran para Paus, didakwahkandan diyakini sebagai kekristenan yang asli.Di dalam wilayah kekristenan, hal-hal seperti itu pertama kalidipersoalkan secara besar-besaran oleh Protestantisme dengan mengatakanbahwa banyak praktik dan ajaran gereja sudah tidak sesuailagi dengan yang dibawa Yesus. Kemudian Kristen pecah. (Sayamerasa sayang dengan Protestan, mengapa kekristenan sampai haruspecah.) Tetapi, demi Kekristenan, gereja Katolik memang perluFranz Magns-Suseno –681


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mendapatkan kritik seperti itu. Dengan begitu baru dia menjadisadar akan masalah dan terbuka terhadap kritik.Pandangan liberalisme idealnya menyatakan bebas dari ketaatanmutlak terhadap interpretasi manusia. Sebab, umat beragama selalumendapat agama-nya dari manusia, tidak pernah langsung dariAllah. Agama memang sebuah realitas, sebuah komunitas historis.Namun demikian, tradisi itu sangat penting. Tradisi tidak bolehdianggap sepi. Semua orang yang masuk dalam suatu agama berartisekaligus juga masuk ke dalam suatu tradisi yang turun-temurunditerima begitu saja. Karena itulah orang-orang liberal selamanyaakan mengatakan bahwa agama harus dilihat secara kritis. Maknadi dalam agama mungkin terjadi pembekuan dan tambahan ataumalah interpretasi manusia yang mempersempit, yang justru jauhdari maksud sabda Allah itu sendiri.Jadi, liberalisme dalam agama bukan berarti apa saja diperbolehkan.Celakanya, jarang sekali ditemukan orang yang beragamaberani mempertanyakan apa saja yang terkait dengan agamanya.Yang dipertanyakan bukan lagi eksistensi dan kekuasaaan Allah,seperti “apakah Allah berhak menuntut sesuatu dari aku”; melainkanbertanya “apakah Allah memang menuntut kepadaku berbuatsuatu hal tertentu”. Sebab Uskup atau Paulus selalu mengatakandemikian, sementara mereka adalah seorang manusia. Oleh sebabitu, sebagai orang liberal seseorang akan bertanya apakah pendapatPaus itu sudah memiliki kebenaran yang pasti, sesuai dengankehendak Allah, ataukah tidak? Mungkin inspirasi seperti itu sejakmula datang dari Protetantisme, meski kemudian juga masuk kegereja Katolik. Jadi belakangan ini gereja Katolik juga belajar terhadapProtestantisme. Di situ para teolog mulai kritis terhadap gerejadan kerap mempertanyakan akan tetap dipertahankannya model682– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hierarki yang sejatinya tidak disukai lantaran berimplikasi terhadapterlembagaknnya kekuasaan dalam agama. Sebagai contoh, dalambahasa geraja Katolik sering disebut istilah “para gembala” di manaumat dianggap sebagai domba dari para penggembalanya (kalangangereja). Sehingga biasanyayang peka terhadap problem <strong>Kebebasan</strong> berbicara untukliberalisme adalah gereja, sebabkerap mendapat getah-berkumpul dan membentuk partaimenyatakan pendapat, kebebasannya. Begitu pula lembaga politik, adalah kemajuan-kemajuandari masing-masing agama.politik yang terbesar dalammodernitas yang dibawa oleh gerbongliberalisme. Semua itu merupakan sisiKembali ke konteks liberalisme positif liberalisme yang patut disyukuripolitik. Dalam beberapa tulisanAnda tampak bahwa li-Karena itu liberalisme politik adalahdan kita sendiri menikmatinya.beralisme juga mengandaikansesuatu yang positif.netralitas posisi negara, begitupula dengan apa yang diyakini oleh John Rawls. Pertanyaannya, seberapapentingkah netralitas dalam gagasan liberalisme politik?Netralitas dalam gagasan liberalisme politik berarti bahwa negaratidak memberikan special treatment, perlakuan khusus padasalah satu agama. Negara sebaiknya tidak memberikan perlakuankhusus terhadap satu agama minoritas, terlebih lagi terhadap agamamayoritas. Namun demikian negara harus tetap mendukungdan menjamin agar setiap hari-hari besar agama diselenggarakansecara nyaman dan hidmat. Hal ini harus tetap diupayakan agartidak sampai mengusik rasa adil para pemeluk agama minoritas.Negara tidak boleh membiarkan dan tidak peduli terhadap faktorkeamanan dan ketertiban perayaan upacara atau hari besarFranz Magns-Suseno –683


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–keagamaan agama minoritas, seraya secara berlebihan memberikankeberpihakan terhadap setiap upacara keagamaan dari agamamayoritas. Hal tersebut dapat menimbulkan pelanggaran atas asasnetralitas dan keadilan.Dengan begitu netralitas bukan berarti acuh tak acuh. Negaraharus menunjukkan kepedulian atas terselenggaranya upacarakeagamaan dari seluruh agama yang ada. Akan tetapi, lagi-lagi,kepedulian negara ditunjukkan dengan tetap menenggang danmenjunjung tinggi asas keadilan. Sebab secara prinsipil apabilakepedulian negara tersebut justru menerbitkan ketidakadilan, sepertitindakan negara atau pemerintah menutup tempat hiburandan warung makan (pada siang hari) selama beberapa hari untukmendukung suasana puasa, justru bukanlah tujuan dari netralitasnegara. Dalam negara sekularistis seperti Indonesia kebijakan sepertiitu tentu tidak dibenarkan, karena negara sama sekali tidakmempedulikan apakah 80% dari masyarakat Indonesia puasa atautidak, lantas bagaimana pula nasib perekonomian warga yang bergantungpada jenis pekerjaan yang ditutup pemerintah. Padahal,negara juga seharusnya peduli atas nasib seluruh warganya bukanmalah melakukan diskriminasi terhadap yang lain.Di samping netralitas dimaknai bahwa negara tidak boleh memberikanspecial treatment terhadap suatu nilai, ide, agama atau komunitastertentu, netralitas juga berarti negara harus mendorong segalajenis nilai yang ada, termasuk mungkin ateisme, komunisme, danlainnya. Dalam makna yang kedua ini, bagaimana Anda melihatkonsep netralitas negara?684– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita mulai dengan contoh komunisme. Sebetulnya relatif mudahuntuk menunjukkan mengapa komunisme tidak harus diijinkansebagai ideologi resmi sebuah partai. Sebab, ideologi komunismeyang berkembang dan dipraktikkan adalah Marxisme-Leninismeyang tidak mengakui demokrasi dan HAM. Dengan pengertianlain partai yang berdasar pada Marxisme-Leninisme tidak akanmemberikan jaminan bahwadia bermain menurut aturandemokrasi. Hal seperti masyarakat sekular adalah suatuYang harus diperjuangkan dalamini pernah terjadi di Eropa sistem yang berdasarkan Hak AsasiTimur sesudah Perang DuniaII, ketika sebuah partaiManusia (HAM) dan mejunjung tinggikebebasan beragama. Permasalahanyang ada di sini adalah berkisar padakomunis, atau koalisi partairelasi antara agama dan negara. Ihwalkomunis dan yang lain, memegangtampuk kekuasaan pada tingkat individu dalamreligiusitas atau praktik religiusitasseperti di Ceko dan Bulgaria.Di sana mereka selalu di samping menjadi tanggung jawabmelaksanakan keyakinan agamanyamenuntut menteri-menteri, individu juga tetap ada pengaruhkhususnya, kementerian dalamnegeri untuk menguasaidari agama.polisi dan menteri pertahanan utuk menguasai militer agar dapatmengubah negara menjadi komunis. Karena itu, misalnya di Jerman,partai komunis pernah dilarang selama 20 tahun. Kemudiandiijinkan lagi ikut serta dalam pemilu karena Jerman menilaibahwa lebih menguntungkan kalau partai ini tetap ikut pemilu–meski pada kenyataanya tidak akan dipilih oleh mayoritas– daripadadilarang.Mengenai ateisme, Indonesia mempunyai acuan yang jelasmelalui sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketuhanan Yang MahaFranz Magns-Suseno –685


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Esa itu berbobot sangat mendalam mirip dengan gunung es, dimana 1/11 belaka yang ada di permukaan, sementara 10/11 sisanyadi bawah permukaan. Yang di bawah permukaan adalahkonsensus nasional, bahwa di Indonesia tidak ada agama yang diistimewakan.Atau dengan kata lain, pada dasarnya sesuai dengankonsensus nasional sejak awal kemerdekaan, Islam tidak menuntutperlakuan khusus secara konstitusional ataupun dasar hukumyang sah di Indonesia. Itu sangat jelas tercantum dalam Pancasilasampai hari ini. Kompromi waktu itu tercapai atas dasar bahwaKetuhanan Yang Maha Esa dijunjung tinggi. Karena itulah hendaknyahal tersebut secara tepat diterjemahkan bahwa Indonesiaakan mendukung keagamaan.Sedangkan kaitannya dengan ateisme yang semestinya tidakdiberi persamaan kedudukan, apakah dengan begitu akan melanggarhak asasi manusia dan prinsip toleransi? Jawaban sederhananyaadalah bahwa Pancasila tidak berkaitan dengan tingkat kedalamanpribadi seseorang. Maka apabila ada orang yang secara pribadi ateis,tentu tidak bisa dikontrol. Pancasila atau negara, begitu pula setiapwarga negara, tidak sampai pada tahap memeriksa kepercayaan ataukeyakinan seseorang apakah seseorang percaya pada Tuhan atau tidak.Itu sama sekali bukan urusan kita. Persoalan kepercayaan seseorangsepenuhnya menjadi hak bagi setiap warga negara, di manasetiap orang juga mendapatkan semua hak sebagai warga negara,kewajiban warga negara, hak pilih aktif dan hak pilih pasif. Negarahanya mengatakan bahwa bangsa Indonesia mempunyai tradisiyang kaya akan religiusitas. Hal itu bagi kita adalah sebuah nilaiyang sangat tinggi dan karenanya secara resmi harus dilindungi dandilestarikan. Sehingga kita tidak mengijinkan kalau nilai-nilai itusampai digerogoti. Tentu saja, prinsip itu juga berlaku bagi orang686– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ateis. Jadi seorang ateis, dalam politik, harus tetap mendukungtindakan yang menunjang religiusitas bangsa. Dengan kata lain,hal itu tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.Konsep netralitas sejatinya selalu terkait dengan upaya negara untukmelindungi dan menjamin civil rights dan civil liberties. Yang hendakditanyakan, apabila nilai-nilai yang diajukan dalam suatu komunitas,masyarakat atau agama ditampung melalui sebuah partaipolitik yang mengikuti mekanisme demokratis, seperti Pemilu, kemudianmemenangkannya. Persoalan akan muncul ketika partai tersebutberkuasa dan membajak demokrasi, melanggar civil rights dan civilliberties. Kasus demikian terlihat seperti belakangan menjamur diIndonesia. Implementasi hukum agama tertentu melalui perda-perdasyariat Islam di berbagai daerah diklaim telah memenuhi prasyaratdemokrasi prosedural; begitu pula yang terjadi pada kasus yang telahlewat, partai nasionalis Jerman, Nazi. Bagaimana Anda menanggapihal ini?Pembajakan demokrasi oleh partai politik yang mengakibatkanpada tercabutnya hak dan kebebasan warga negara memangselalu menjadi masalah. Sebagaimana dicontohkan di atas, partaikomunis dan Nazi. Nazi berkuasa melalui cara yang legal, tidakmelalui revolusi sama sekali, lewat suatu pemilihan umum dankemudian membentuk pemerintahan demokratis. Namun setelahpartai tersebut berkuasa demokrasi dihabisi. Pada hematnya, iniperlu mendapat cukup penjelasan. Terlebih dahulu harus sudahada diskursus dalam masyarakat apakah ada partai politik yangmempunyai kecenderungan semacam itu di negara ini. Jika memangada seharusnya dikritik dan dikontrol oleh masyarakat. LebihFranz Magns-Suseno –687


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–penting dari itu, negara ini memang memerlukan dan tetap harusmempertahankan Undang-Undang Dasar yang sudah ada. Undang-Undang Dasar dan Pancasila tidak memungkinkan negara untukbegitu saja membuat hukum agama menjadi hukum negara. Kalaumau tetap dicoba, menurut saya, partai semacam itu akan mengalamikesulitan untuk bisa memperoleh suara 50%. Pada sisi lain,Mahkamah Konstitusi pun bisa membatalkan keikutsertaan suatupartai jika terbukti tidak demokratis. Sebaliknya kalau betul-betuldemokratis, maka tidak bisa dilakukan pembatalan. Kalau partaiyang tidak demokratis ini tetap menolak, maka dapat diartikankalau dia sudah melakukan kudeta. Jika sudah demikian, makanegara boleh mengambil tindakan kekerasan.Hanya saja, di Indonesia sulit kiranya sebuah partai bisa mencapai50%. Sebab kisaran paling mungkin bagi partai pemenangPemilu adalah 20% atau 30%, dengan demikian tidak akan mencapaisuara mayoritas mutlak. Tentu saja harus dibedakan denganupaya negara memfasilitasi perbankan Islam, ini merupakan kebijakanyang sama sekali tidak melanggar Undang-Undang Dasar,hak asasi manusia, ataupun netralitas negara. Sebab negarahanya memberikan fasilitas. Negara mempersilakan siapa saja untukmencobanya. Kalau kemudian perbankan Islam mendapatkanbanyak nasabah dan lebih maju, karena memang cukup bagus,misalnya, harus tetap mendapat jaminan dan dukungan negara.Begitu juga, negara seharusnya tidak sampai melanggar ketidakberpihakan(netralitas). Misalnya negara tetap boleh memfasilitasiibadah haji, meskipun kemudian tidak memfasilitasi ibadah hajibagi Katolik––karena memang Katolik tidak menjadikan ibadahhaji sebagai ritual peribadatannya.688– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi, pada dasarnya netralitas tidak usah dipahami secara formalatau kaku. Artinya, apabila umat Islam mengharapkan pelayanantertentu dari negara yang memang umat lain tidak membutuhkan,selama negara mampu memberikannya,maka tidaklah Pandangan liberalisme idealnyamenjadi persoalan. Ketika menyatakan bebas dari ketaatanjenis pelayanan yang pada mutlak terhadap interpretasi manusia.dasarnya memang harus berbeda,tentu tidak ada tun-mendapat agamanya dari manusia,Sebab, umat beragama selalututan terhadap negara untuk tidak pernah langsung dari Allah.bersikap netral. Artinya apa Agama memang sebuah realitas,sebuah komunitas historis.yang diberikan kepada umatIslam tidak harus persis samadiberikan kepada umat lain. Tetapi kalau diberikan bantuan untukmembangun suatu rumah ibadah tertentu, maka harus paralel jugadengan umat-umat lain tentunya dengan presentase yang wajar.Sudah seharusnya negara berlaku demikian supaya tidak menimbulkankontroversi.Jika mengaca lagi pada pengalaman demokrasi di Indonesia, kekuatanantidemokrasi kerap muncul di tengah kehidupan publik dengan pelbagaibentuk. Beberapa waktu lalu beredar isu tentang pembubaranOrmas anarkis, Ormas-ormas yang berpotensi membajak demokrasi.Bagaimana pandangan Anda tentang demokrasi yang, untuk menjagadirinya, harus berhadapan dengan Ormas-ormas semacam tadi?Saya tidak dapat melihat permasalahan tersebut secara teoritisataupun melalui sudut etika politik. Namun seharusnya negaratidak mengijinkan Ormas apa pun yang bersifat milisi. Untuk ituFranz Magns-Suseno –689


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ormas bersenjata sudah semestinya ditutup, apapun golongannya.Karena demokrasi menekankan negara hukum di mana monopolikekerasan berada di tangan polisi dan militer dengan perbedaanfungsi yang jelas. Sehingga dalam sebuah negara demokratis, dimana hukum menjadi panglimanya, tidak boleh ada milisi. Tentusaja itu berlaku bagi semua milisi, laskar, latihan paramiliter danlain sebagainya. Kelompok-kelompok itu harus dengan tegas dilarang. Di situ tidak termasuk organisasi semacam pencaksilat danilmu beladiri lainnya yang sama sekali tidak mengancam negara.Kalau milisi dan organisasi sejenis itu ditutup, berarti suatu pertandabahwa Indonesia adalah bentuk soft state, negara yang samasekali tidak melegalkan Ormas bersenjata. Dengan begitu ancamanbuat negara pun jadi berkurang.Negara-negara Islam pada umumnya, termasuk Indonesia, sangat rentanterhadap munculnya kekuatan antidemokrasi dengan menumpangsistem demokrasi. Ini terkait dengan definisi mereka tentang demokrasidan liberalisme sebagai paham atau tradisi yang tidak berasal dariIndonesia atau kawasan Timur, melainkan produk peradaban Baratyang mungkin dianggap tidak cocok untuk diterapkan di negara-negaraIslam. Karena, tampaknya, demokrasi selalu gagal di negaranegaraIslam. Ketika demokrasi diberikan, yang muncul kemudianadalah kekuatan-kekuatan yang menunggangi demokrasi, seperti Hamas,termasuk tuduhan terhadap FIS (Aljazair) atau partai-partairadikal yang muncul di Irak, juga di Indonesia. Apa pendapat Andaperihal fenomena semacam ini?Tidak sepenuhnya betul apabila dikatakan bahwa demokrasi selalugagal di seluruh negara yang islami. Contoh yang sangat nyata690– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–adalah Indonesia sendiri di mana beberapa kelompok yang agakfundamentalis tidak ada yang ingin menghapus demokrasi. Malaysiapun mempunyai sistem demokrasi yang cukup berfungsi. Bangladesh,negara yang sangat miskin dan mengalami bermacam gejolaksesudah merdeka, demokrasinya tetap berjalan. Ketidakberhasilandemokrasi di Pakistan belum tentu dikarenakan faktor agama Islam.Mungkin saja lebih karenasektor perekonomian negara Agama bukan sesuatu yang murnitersebut yang sangat lemah. privat. Yang murni privat adalahTidak gampang membangun penghargaan apa saja yang berkenaandemokrasi dalam situasi sepertiini. Lebih dari itu, Pa-menyukai lukisan atau plakat-plakatdengan seni. Apakah seseorang lebihdan poster-poster, itu yang disebutkistan adalah negara denganurusan privat. Urusan privat tidakmultibangsa yang jauh lebihsulit dipersatukan, bah-mempengaruhi fungsi orang tersebutpada profesi yang digeluti ataukan jika dibandingkan denganIndonesia. Situasinya beragama berarti bahwa seseorangpartai politik yang dipilihnya. Tetapidi sana jauh lebih kompleks. hidup dalam ketaatan terhadap Tuhan.Itu yang pertama.Dan ketaatan tidak memiliki batasanLalu yang kedua, di Indonesiakelompok Islam se-privat dan publik.cara historis tidak termasuk kelompok yang menentang demokrasi.Dulu partai yang paling mendukung demokrasi justru Masyumi,PSI, Partai Katolik, dan Parkindo (yang terbesar adalah Masyumi).Karena itu kemudian Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno. Sekarangdengan bermunculannya partai-partai Islam tetap tidak adamasalah dengan demokrasi. Mugkin saja ada partai yang antidemokrasi,tetapi untuk kondisi masyarakat Indonesia yang sangatplural, dukungan terhadapnya tidaklah signifikan. Dengan belajarFranz Magns-Suseno –691


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pada pengalaman demokrasi negara ini, partai baru yang berasaskanagama hanya mempunyai kemungkinan naik secara demokratispaling besar mencapai sekitar 10%. Dia tentunya bisa mengatakanapa saja, tetapi tidak bisa sampai menentukan nasib negara. Diaharus mendapat dukungan lebih banyak.Bagaimanapun partai-partai Islam juga memerlukan demokrasi.Meskipun bisa saja menghapus demokrasi jika didukung oleh50%, apalagi kalau mencapai 60% masyarakat. Akan tetapi inibutuh waktu dan perjuangan yang sangat lama, karena kondisifaktual Indonesia jauh dari bayangan seperti itu. Kita bisa lihat kasusseperti itu hampir terjadi di Aljazair, di mana FIS memenangkanPemilu dan seharusnya menjadi partai yang berkuasa, namunada coop militer. Setelah itu terjadi bermacam gejolak yang sangattraumatis di mana demokrasi kondisinya amat sekarat. Semua itudidasarkan atas kekhawatiran bahwa FIS akan mengislamkan Aljazair.Namun demikian, kejelasan itu tidak pernah muncul karenaFIS keburu di-coop oleh kekuatan militer sebelum memperolehkesempatannya. Belajar dari itu, kejadian semacam ini merupakansesuatu yang tidak akan cepat diulang kembali. Di Aljazair, kini,justru cenderung mulai terjadi stabilasasi.Di Indonesia sendiri, secara politis, belum terlihat situasi yangmengarah pada proses politik yang tidak diharapkan sebagaimanaterjadi di Aljazair. Bagaimanapun dari pemilihan-pemilihan umumyang bebas (pada tahun 1955, 1999, dan 2004) diakui sementaraini politik aliran masih amat kuat. Politik aliran berarti bahwamereka yang pernah memilih partai sekular, entah mereka berdoaatau tidak, mereka tetap saja memilih partai sekular. Anda mungkiningat bahwa di tahun 70-an, di Indonesia sebetulnya terjadisantrinisasi kaum abangan –sebagaimana Muslim Abdurrahman692– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pernah menulis itu– di mana kaum priyayi dan abangan yang tidakpernah berdoa dan melakukan ritual keagamaan lainnya, anakanakmereka kemudian ternyata melakukan ritual doa, mengaji,dan lain sebagainya. Sehingga mereka menjadi Muslim yang taatatau semacamnya. Kendatipun demikian, partai Islam hanya mendapatkurang dari 40% suara.Tidak hanya itu, menurut saya, mereka yang berangkat darilatar belakang Nahdlatul Ulama (NU) yang tradisional sulit, untuktidak mengatakan tidak akan pernah, memilih partai yang berasaldari latar belakang modernis. Itu sebabnya pak Amien Rais tidakpernah berhasil menjadi presiden karena hanya dipilih oleh kaummodernis. Untuk menjadipemimpin di Indonesia yang Salah satu hakikat agama adalahpertama-tama menentukan ketaatan kepada Allah. Tidak mungkinbukanlah kualitas. Sederhananya,Pak Amien itu jelasberagama kalau tidak taat kepadaAllah. Akan tetapi, seorang liberalakan berani mengatakan agar iaseorang modernis, sehinggabetul-betul taat kepada Allah, ia harustidak dipilih oleh orang NUmempertanyakan apakah interpretasidan tidak pula dipilih olehhukum agamanya yang berasal dariorang-orang dari partai sekular.Karena sebuah partai kehendak Allah, yang pada-Nya-lahmanusia itu betul-betul sesuai denganyang berhaluan Islam modernistentu akan mendapatorang tersebut harus taat.pendukung dari kalangan modernis, bukan dari kalangan tradisionalis.Entoh begitu, seandainya semua kalangan modernis ikutmemilih, setidaknya mereka tidak hanya memilih Partai AmanatNasional (PAN). Sebagian dari mereka juga banyak yang memilihPartai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan kalaupun mereka bergabungtidak akan mencapai 20%. Kecuali kalau mereka, partai-Franz Magns-Suseno –693


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–partai Islam berkoalisi, barangkali bisa mendudukkan pemimpinnyasebagai presiden. Namun demikian, dengan kondisi Indonesiaseperti sekarang ini, tetap saja akan sulit untuk membuat kebijakandi pemerintah menjadi satu arah kepentingan.Pluralisme, di Indonesia, sering disalahartikan sebagai sinkretisme ataurelativisme, sehingga banyak orang yang menentangnya. Bagaimanapendapat Anda sendiri tentang konsep pluralisme?Kata pluralisme memang selalu memerlukan definisi. Bagi saya,pluralisme pertama-tama adalah kesetiaan menerima pluralitas dalamhal agama. Hal itu sama sekali tidak sama dengan sinkretismeataupun juga relativisme agama. Jadi, seorang pluralis, yang hatinyasungguh pluralis, akan menerima bahwa di masyarakat terdapatumat beragama yang mempunyai keyakinanan betul-betul berbedadari keyakinan yang dimilikinya dan keberadaannya harus diterimasecara baik. Itu pluralisme yang saya anggap sangat penting.Pluralisme itu justru tidak mengatakan semua agama samasaja. Kalau semua agama sama saja atau seragam, lantas di manaletak pluralitasnya. Menurut saya, jelas semua agama tidak sama.Misalnya, antara Islam dan Kristiani memang banyak kesamaan,tetapi jelas antara keduanya terdapat perbedaan yang hakiki yangharus kita terima. Pluralisme berarti mengakui kenyataan sepertiitu dan sekaligus, misalnya saya sebagai orang Katolik, tidak akanmengatakan bahwa Islam, dalam semua hal, betul. Kalau sudahbegitu saya sudah menjadi seorang Muslim. Oleh sebab itu, sayaberpendapat bahwa orang Islam barangkali menghargai saya danorang Kristen, tetapi mustahil kalau mereka (orang Islam) mengakuibahwa Yesus itu Putra Allah. Mereka juga tentu tidak akan694– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mengakui bahwa Yesus itu adalah kepenuhan wahyu ilahi, sehinggasesudah Yesus tidak ada wahyu lagi. Padahal bagi umat Islamwahyu terakhir yang definitif adalah al-Quran. Sehingga, seorangpluralis bisa menerima itu tanpa mengatakan bahwa kita semuabenar. Pada akhirnya harus dikatakan dan diserahkan sepenuhnya:biarlah Allah sendiri yang mengetahui.Pluralisme juga tidak sama dengan sinkretisme. Namun harusdiperhatikan bahwa di Indonesia kadang-kadang sinkretisme dipakaiuntuk sesuatu yang sebetulnya bukan sinkretisme, melainkanmerupakan penghayatan religius pelbagai aliran kepercayaan. Sayakira, baik Islam maupun Kristiani tidak bisa menerima itu. Tetapisebagai seorang pluralis, saya menghargai bahwa mereka menghayatireligiusitas dalam hati, di mana simbol-simbol dengan mudahdiambil dari Hindu, Islam, Kristianitas, dan lain sebagainya.Namun demikian hal seperti itu, menurut saya, tetaplah menjadisebuah penghayatan tersendiri yang saya hormati, meskipun berbedadengan yang saya hayati sebagai orang Katolik.Yang penting untuk diperhatikan di sini adalah bahwa olehbanyak orang –juga oleh beberapa teolog dengan latar belakangKristiani– kata pluralisme terkadang dipakai untuk sesuatu yangseharusnya disebut relativisme. Pluralisme semacam itu saya tentangdengan keras. Penentangan semacam ini pernah saya lakukanketika pluralisme model tersebut diajukan dalam konferensiinternasional antaragama di Bali yang diselenggarakan oleh DepartemenLuar Negeri. Waktu itu saya mengritik tajam seorangteolog Katolik, kalau tidak salah dari Washington, yang membawapersis pluralisme model itu. Dia mengatakan bahwa dalamkonteks pluralisme agama-agama berada pada posisi yang palinggawat karena masing-masing mempunyai klaim kebenaran. DalamFranz Magns-Suseno –695


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pluralisme, klaim semacam itu harus dilepaskan. Sebab, lantaranagama merupakan ungkapan religiusitas manusia, dengan begitusemua agama benar dan tidak ada yang lebih benar daripada agamalainnya. Maka tidak masuk akal mengatakan agamaku yangpaling benar dan yang lain tidak; dan tentu saja tidak masuk akaljuga mempunyai misi untuk berdakwah.Kesimpulan dari seluruh pernyataan tersebut dianggap sebagairelativisme agama, yakni tidak ada kebenaran mutlak, yang sejatinyabukanlah yang dimaksudkan dengan gagasan pluralisme itusendiri. Saya sebagai seorang Kristen percaya bahwa Yesus adalahjalan hidup dan kebenaran. Itu adalah ucapan Yesus bagi setiaporang. Saya juga yakin bahwa orang yang tidak dibaptis bisa masuksurga. Gereja Katolik mengatakan, setiap orang yang masuksurga karena diselamatkan oleh Yesus, dan Yesus akan menggembirakanbagi semua. Saya juga tahu, tentu saja, orang Islam tidakakan percaya demikian. Tetapi seorang relativis akan mengatakanbahwa ini semua harus dilepaskan. Yesus, Muhammad, Buddha,dan lainnya adalah seorang religius personalities, seorang yang sangatmendalam penghayatan religiusitasnya. Karena itu kitab sucimereka mengungkapkan sesuatu yang sangat bernilai. Lagi-lagi,saya menolak anggapan ini, karena tidak sependapat bahwa al-Quranadalah ungkapan religiusitas (pribadi) nabi Muhammad. Jelasitu tidak benar. Sebab al-Quran datang dari Allah. Dalam imanIslam itu hakiki. Umat Islam percaya nabi Muhammad menerimaal-Quran dengan tidak mengubah dan tidak memberi bentukapapun. Sama halnya dengan orang Kristen yang berkeyakinanbahwa Yesus itu datang dari Allah, bukan seorang manusia yangsangat mendalam penghayatan relegiusitasnya. Barangkali Budhajuga seperti itu. Oleh Budhisme, Budha, tidak dianggap bersifat696– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ilahi, melainkan mungkin sebagai seorang spiritualis besar. Tetapihal tersebut tidak berlaku bagi Islam, Kristen dan Yahudi.Pandangan seperti di atas tadi harus ditolak. Jangan menyebutdirinya sebagai pluralis kalau menganggap bahwa semua agama merupakanungkapan religiusitas yang sama. Sebab dengan anggapantersebut maka pluralitas jadihilang. Menurut saya, agamatidak perlu melepaskanBagi saya, pluralisme pertama-tamaadalah kesetiaan menerima pluralitasklaim kebenaran. Yang saya dalam hal agama. Hal itu sama sekalikira penting adalah bahwa tidak sama dengan sinkretismesaya sebagai seorang Katolik, ataupun juga relativisme agama. Jadi,misalnya, mengakui bahwa seorang pluralis yang hatinya sungguhagama yang tidak saya anut, pluralis, dia akan menerima bahwaIslam, Budhisme, Hinduismejuga mempunyai kebe-yang punya keyakinan yang betul-di masyarakat ada umat beragamabetul berbeda, yang tidak menjadinaran masing-masing. Jadi,keyakinannya, tetapi keberadaannyakalau saya menganggap merekasemua salah, itu adalahhendaknya dia terima secara baik.Itu pluralisme yang saya anggapkampungan dan tidak memungkinkanbagi terwujud-sangat penting.nya pluralisme yang positif.Dalam Konsili Vatikan II, gereja Katolik akhirnya merumuskanbahwa orang Katolik harus menghormati umat agama lain,karena kepercayaan mereka terhadap Allah Yang Esa dan sebagainya.Jadi, bahwa kita tidak relativistis bukan berarti kita menyangkalbahwa ada kebenaran dalam agama-agama lain, tetapikita memang tidak mengakui kepenuhan kebenaran agama lain.Bagi saya, pandangan seperti itu tidak masalah. Karena sejatinyamemang ada perbedaan.Franz Magns-Suseno –697


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apabila melihat realitas sehari-hari di Indonesia dan peluang-peluangpluralisme itu sendiri, tidak dipungkiri kalau paham trersebutmeniscayakan suatu konflik dalam masyarakat. Terlebih jika setiapkomunitas, iman, agama atau etnik tertentu menonjolkan the ultimatetruth–nya masing-masing, maka kemungkinan konfliknya sangatbesar. Menurut Anda formulasi seperti apakah yang memampukanmasyarakat merawat kemajemukan bangsa agar setiap umat beragamadapat hidup rukun berdampingan?Saya berpendapat bahwa klaim agama atas kebenaran sebaiknyatidak disebut ultimate truth. Sebab, ultimate truth betul-betulhanya pada Allah, dan hanya pada Allah kita melihatnya. Apabilasaya percaya terhadap kebenaran agama saya, bukan berarti sayapercaya bahwa dia memiliki ultimate truth. Karena mengenai agama,Kristianitas dalam kepercayaan Katolik sendiri selalu hanyasebagian dan coba-coba; selalu harus diperdalam dan sering dikoreksi,bahkan belajar dari agama lain. Sebab, Katolik tidak hanyabanyak belajar dari Protestan, tetapi juga belajar dari Budhismemenganai hormat kepada nyawa. Soal itu dalam Budhisme lebihkuat dibanding dalam Kristianitas. Sementara dari Islam, Konsilisudah mengatakan bagaimana Islam menghormati Allah dalamkeesaan-Nya dan Allah sebagai Maha Pengasih, hal itu juga memberikansesuatu kepada kami. Jadi jangan karena Allah adalah ultimatetruth, lantas agama juga mengklaim memilikinya. Pendapatdalam setiap agama seharusnya dilihat dari dua sudut, pendapatdari Allah dan pendapat dari manusia. Kami orang Kristiani meyakinibahwa di dalam pribadi Yesus kebenaran Allah terungkap.Tetapi kami tidak pernah dapat menangkap seluruh pribadi Yesusyang sesungguhnya, seluruh ajaran yang sebenarnya. Keterbatasan698– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ini mudah sekali kita baca. Apabila kita melihat sejarahnya, makajalan Kristiani seringkali zig-zag dan sejarah gereja sendiri banyakmemiliki hal yang salah, buruk –meski baru disadari dan diakuibelakangan– yang dahulunya dianggap betul.Harus digaris bawahi juga bahwa ultimate truth sebenarnyamerupakan istilah yang berasal dari filsafat yang memang berlebihan.Saya khawatir andaikata setiap agama merasa memiliki ultimatetruth pada saat yangsama akan mengira memilikiultimate truth tentang pada umumnya berarti orangDalam dimensi agama, kata liberalapa saja. Tidak saja tentang yang berani mempertanyakan danmengritisi doktrin-doktrin teologi.agama, tetapi juga tentangDengan pengertian lain dia bukannegara, tentang keluarga,orang yang menerima begitu sajatentang bagaimana bermainsepakbola, dan lain se-apa yang dibawa oleh agama. Sebab,apabila seseorang sudah berkeyakinanbagainya. Kalau seperti ini bahwa kalaupun keberagamaannyamaka akan berbahaya sekali.Dalam arti ini saya tidak dan tetap menganggapnya sebagaidipaksakan atas kehendak Tuhan,percaya bahwa agama saya sesuatu yang baik dan benar, maka ituatau agama manapun mempunyaidan bahkan harussudah merupakan kontradiksi.mempunyai ultimate truth. Karena the ultimate truth sendiri adalahmutlak milik Allah. Artinya, jangan pernah sampai melupakanperbedaan antara Allah dan agama. Sebab agama itu selalukita reduksikan pada kemampuan kita sendiri. Oleh karena itu,tak aneh kalau sering terdapat kemiripan antara satu agama denganlainnya. Dari sini, agama memerlukan proses dialektis terusmenerus, memerlukan kritik agar tidak membeku dalam sebuahFranz Magns-Suseno –699


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–interpretasi kepicikan manusia yang akhirnya malah menyangkalisi agama itu sendiri.Jika the ultimate truth dari agama sama sekali tidak memadai, lantaranmenyebabkan dan mendororng munculnya klaim-klaim darisetiap agama yang tidak produktif bagi kebersaman, apakah berartiAnda cukup dengan menganggap nilai-nilai yang ada dalam agamabersifat universal?Ya, saya malah berpendapat bahwa antaragama perlu memilikinilai-nilai universal atau nilai-nilai bersama. Kalau iman dan akidahmasing-masing agama berbeda, kita tetap bisa hidup bersamadengan baik. Tetapi kalau nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan,kebaikan, persaudaraan, belas kasih, tanggung jawab, perihal kemanusiaanyang adil dan beradab berbeda, maka kita tidak bisa hidupbersama. Kalau yang saya anggap jujur itu Anda anggap penipuan,bagaimana kita bisa hidup bersama. Di situ kita perlu nilai-nilaibersama dan itu harus bisa kita gali dalam komunikasi.Untuk itu baik agama wahyu maupun agama-agama lainnyaperlu, secara institusional melaui para pemimpin masing-masing,untuk selalu rendah hati. Dengan demikian para agamawan harusrendah hati secara hakiki karena dia harus sadar bahwa pendapatdia selalu tidak memadai bila dibandingkan dengan Allah. Jadi dalamhal apapun hendaknya rendah hati. Bahkan dalam keputusanuntuk mengutuk suatu ajaran sesat atau tidak hendaknya tetaprendah hati, jangan pernah berlebihan. Sebab dalam sejarahnya,banyak sekali dosa agama ketika melawan ajaran-ajaran yang dianggapsesat, termasuk dalam agama saya. Menurut saya, banyaksekali sikap Katolik yang tidak rendah hati dalam menyikapi per-700– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–soalan tersebut, dan itu salah.Agamawan akan lebihmeyakinkan, bahkan akandapat meyakinkan orangyang tidak beragama kalaudia bersikap rendah hati. Sebabtidak sedikit dan paraagamawan pun mengetahuibahwa kelakuan orang beragamamalah menggelapkancahaya agama daripada mencerahkannya.Dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolikakhirnya merumuskan bahwa orangKatolik harus menghormati umatagama lain, karena kepercayaanmereka terhadap Allah Yang Esadan sebagainya. Jadi, bahwa kitatidak relativistis bukan berarti kitamenyangkal bahwa ada kebenarandalam agama-agama lain, tetapi kitamemang tidak mengakui kepenuhankebenaran agama lain. Bagi saya,pandangan seperti itu tidak masalah.Karena sejatinya memang adaperbedaan.Tetapi klaim universal nilaiagama seringkali dimanfaatkan oleh sekelompok orang. Misalnyanyata terjadi bahwa di dalam Islam kebenaran nilai-nilainya mutlakbersifat universal atau sering dipaksakan bahwa seluruh nilaiIslam diklaim sebagai rahmatan li al-‘âlamîn (rahmat bagi semestaalam). Dari sini muncul persoalan manakala pemahaman merekayang konservatif atas keuniversalan nilai-nilai agamanya menjadi doronganuntuk menafikan kebenaran nilai-nilai dari agama lainnya.Hal inilah yang sering disebut sebagai universalime monis (monisme)yang rentan menimbulkan konflik antar-agama. Padahal seharusnyauniversalitas jangan digiring ke dalam konsep yang monis. Apa pendapatAnda tentang hal ini?Dalam pandangan saya, universal membutuhkan pengertianbersama mengenai nilai-nilai substansial. Anggapan bahwa agamakuyang paling benar dan senantiasa bersifat universal, itu bukanlahFranz Magns-Suseno –701


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sebuah nilai. Itu adalah keyakinan dan itu boleh saja. Tetapi nilaiadalah apa yang betul-betul kita hayati sebagai baik. Sehingga, disitulah hal-hal seperti keadilan, kejujuran, persaudaraan, fairness,belas kasih, ketidakkekerasan, dan kesediaan untuk memaafkan,merupakan sikap-sikap yang menentukan kualitas seseorang. Itubisa dimiliki oleh orang dengan keyakinan agama apa pun. Kalaukita secara bersama-sama mempunyai nilai-nilai ini, maka perbedaankeyakinan mengenai agama yang benar, sama sekali tidak akanmengganggu. Apalagi kalau kita rendah hati. Kalau saya meyakinibetul dengan kebenaran agama saya, maka saya akan meyakininyadengan rendah hati dan tidak dengan semacam rasa superior.Ada satu alasan kenapa sikap-sikap seperti rendah hati terhadap keyakinansendiri, toleransi, dan membuka ruang dialog dengan lainnya,oleh kalangan dalam agama tertentu justru harus dihindari. Sebabkeyakinan seseorang terhadap agama atau terhadap nilai tertentu (akidah)dalam agamanya dapat berkurang karena bersentuhan dengannilai-nilai (agama) yang lain. Menurut keyakinan kekristenan Anda,sejauh mana keyakinan Anda akan terancam ketika bersentuhan dengankeyakinan lainnya?Menurut saya, iman saya tidak terancam sama sekali oleh nilai-nilaiyang tadi saya sebutkan. Justru nilai-nilai itu sangat cocokdengan iman saya. Tetapi iman saya bisa saja terancam, di satupihak, oleh keyakinan lain, sehingga lama-kelamaan saya menjaditidak mempercayai dan berpindah agama atau menjadi ateis.Kemungkinan seperti itu memang ada. Tetapi yang lebih seringmengalami “penguapan” agama adalah orang yang begitu hanyut,di satu pihak, oleh pekerjaan profesionalnya, dan di lain pihak oleh702– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–konsumerisme. Jadi kemungkinan semacam itu justru bukan darisesuatu yang formal, di mana akhirnya agama tidak lagi dipraktikkan,tidak lagi diingat. Ada orang Kristen yang hanya empat kalike gereja: tiga kali ketika hidup dan satu lagi setelah mati. Pertama,ketika ia dibaptis, lalu komuni pertama, ketiga, ketika menikah,dan terakhir ketika di dalam peti mayat. Hal yang sepertiitu banyak terjadi dalam Kristen. Memang bahaya seperti itu ada.Tetapi, mungkinkah persentuhan dengan agama lain akan menjadisuatu ancaman iman, kita tidak tahu persis. Menurut saya, justrukalau nilai-nilai substansial itu kita miliki maka kita tidak perluterlalu khawatir. Kita memang memiliki banyak persamaan. Sayabegitu banyak mempunyai teman Muslim di mana jelas memilikinilai-nilai kemanusiaan yang sama meskipun secara ritual doanyaberbeda.Anda sempat menyinggung tentang fairness. Beberapa pemikir adayang menghubungkan keterkaitan antara gagasan pluralisme denganliberalisme, di antaranya berkesimpulan bahwa kedua gagasan tersebutselalu sepadan dan tidak harus dipertentangkan. Misalnya IsaiahBerlin dan John Rawls. Jika disederhanakan, konsep Rawls tentangfairness pada dasarnya adalah sebuah upaya pemihakan terhadapminoritas. Apakah idealnya semacam itu?Persoalannya mayoritas tidak membutuhkan fairness. Posisi semacamini dalam konsepsi HAM memang selalu berpihak kepadayang lemah. Yang kuat tidak memerlukan pemihakan karena diasudah mempunyai segala-galanya. Tetapi pihak-pihak yang sukadilupakan, disingkirkan, dan lain sebagainya adalah minoritas atauyang secara sosial-politis lemah. Tidak harus minoritas, sebab da-Franz Magns-Suseno –703


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lam politik bisa juga kalangan elit yang sedikit namun bisa menentukansemuanya. Contoh lainnya, yang minoritas (elit politik)dalam kekuatan membuat undang-undang berkaitan dengan pembagianproduk nasional justru acap kali terjadi dengan cara yangtidak fair. Semua masuk ke kantong elit, sementara rakyat selalumendapat sedikit. Atau kasus lain seperti kalau orang besar melakukankorupsi hukumannya ringan, tetapi kalau orang kecil yangmelakukan hukumannya menjadi lebih berat. Jadi, fairness darisemua nilai sebenarnya melindungi yang lemah. Harus diingatpula, bahwa perlindungan terhadap yang lemah adalah salah satuciri kemanusiaan yang paling dini, yang membedakan manusiadari binatang. Kita tahu bahwa manusia seratus ribu tahun yanglalu sudah memelihara orang sakit dan itu tidak terjadi pada binatang,sebab binatang yang sakit terkadang ditinggalkan dan dibiarkanmati, dibiarkan menjadi mangsa binatang lain. Tetapi darifosil-fosil yang ada, kita mengetahui bahwa orang yang sakit itumasih dipertahankan dan itu sudah terjadi dan dilakukan seratusribu tahun yang lalu.Kalau begitu kondisi kita sekarang ini sebenarnya jauh lebihprimitif. Karena kita sering membiarkan nasib pihak-pihak yanglemah. Dengan pengertian lain, perhatian kepada yang lemah merupakansalah satu tanda kemanusiaan yang paling penting. Celakanyalagi, hal ini terancam karena ada kebencian-kebencian komunalyang terjadi tidak saja antar dan intra-agama, tetapi katakan sajakebencian luas di masyarakat terhadap orang Yahudi yang bertahanberabad-abad lamanya dan menghasilkan diskriminasi. Diskriminasimerupakan lawan dari fairness. Karena itu mereka (orang-orangYahudi) di dunia ini kerap diperlakukan secara tidak fair, dan jelasdidiskriminasikan. Hal demikian notabene terjadi di Barat yang704– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lebih mengerikan daripada di dunia Islam. Masalah Islam denganYahudi terjadi lebih karena setelah adanya masalah dengan Israel.Meski ini tetap merupakan masalah yang harus diatasi. Fairnessharus diberlakukan termasukbagi orang Yahudi dan bagi Universalisme membutuhkankelompok-kelompok minoritaslainnya. Di Jerman,pengertian bersama mengenainilai-nilai substansial. Anggapanbahwa agamaku yang paling benarmisalnya, ada kelompok-kelompokkecil yang berbahasadan senantiasa bersifat universal,itu bukanlah sebuah nilai. Itu adalahSlavia di mana mereka haruskeyakinan dan itu boleh saja. Tetapidiberi kemungkinan ruang nilai adalah apa yang betul-betulagar budaya mereka tidak kita hayati sebagai baik. Sehingga,terlindas oleh budaya Jerman.Fairness memang selalu kejujuran, persaudaraan, fairness, belasdi situlah hal-hal seperti keadilan,bagi yang lebih lemah. kasih, ketidakkekerasan, dan kesediaanuntuk memaafkan, merupakan sikapsikapyang menentukan kualitasApa harapan Romo terhadap seseorang. Itu bisa dimiliki olehBangsa ini ke depan?orang dengan keyakinan agamaapa pun. Kalau kita secara bersamasamamempunyai nilai-nilai ini, makaSudah menjadi kebutuhanyang jelas bahwa Indonesiaharus tetap menjadi agama yang benar, sama sekali tidakperbedaan keyakinan mengenainegara sekular. Namun demikian,sekular di sini da-akan mengganggu.lam arti menjadi negara yang berketuhanan dengan tidak adanyacampur tangan negara dalam urusan agama warganya. Meskipunbegitu negara harus tetap menunjang dan mendukung keagamaan.Artinya, negara tidak harus netral, misalnya, terhadap ateisme.Indonesia harus pluralistik karena Indonesia sangat plural. MakaFranz Magns-Suseno –705


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–apabila Indonesia tidak ditata secara inklusif, semua akan lebihmerasa di rumah masing-masing, tanpa ada kepedulian terhadapyang lainnya. Jika demikian kondisinya, maka Indonesia akan segeraberakhir dalam kekerasan.Sementara liberalisme, dalam arti kebebasan politik dan keterbukaanagama, perlu diterapkan dan dunia pun sudah sangatmenyadari pentingnya gagasan dan sistem tersebut. Liberalismeyang dimaksud bukan liberalisme yang sering disalahartikan sebagaisikap seenaknya, setiap orang bebas melakukan apa yangdikehendakinya.Wawancara dilakukan di Jakarta, Oktober 2006706– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganFuad JabaliFuad Jabali, pengajar Pascasarjana UIN Jakarta dan editor jurnal Studia Islamika.Dewan Penasihat PPIM UIN Jakarta ini meraih gelar MA bidang Islamic Societiesand Cultures dari School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London(1992) dan gelar PhD bidang Kajian Islam dari Institute of Islamic Studies,McGill University (1999)707


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pancasila merupakan kesepakatan yang islami, demikianpunkeputusan menerima demokrasi sebagai sistem pemerintahanIndonesia. Adalah tidak adil, dari sudut keagamaan sekalipun,mengadopsi dan melembagakan sistem nilai agama tertentu kedalam komunitas publik yang sangat beragam. Untuk itu, padalevel sosial harus selalu ada ruang relatif, tempat semua orangbertemu dan berdialog. Dengan sekularisasi semua nilai agamamemperoleh akses ke wilayah publik melalui negosiasi sehinggamelahirkan sistem nilai agama yang dewasa. Inilah mekanismedemokrasi yang melibatkan partisipasi publik lebih besar, yangdalam konteks Indonesia yang demikian plural tidak akan pernahmengizinkan berdirinya negara Islam. Faktanya, penerapansyariat Islam di daerah-daerah bukan cerminan dari keinginanmasyarakat, tetapi lebih kepentingan politik yang pragmatis.708– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan sekularisme?Saya melihat sekularisasi sebagai usaha pembebasan wilayahpublik, terutama negara, ekonomi, dan pendidikan, dari agama.Sebaliknya, islamisasi adalah usaha memasukkan nilai-nilai Islamke dalam negara, ekonomi, dan pendidikan. Maka kita mendengaristilah negara Islam, ekonomi Islam, bank Islam, dan pendidikanIslam. Islamisasi ilmu dan ekonomi sudah banyak dilakukan, sementaraislamisasi negara banyak menuai kontroversi.Pertama-tama, harus ditegaskan bahwa nilai-nilai agama tidakbisa dibersihkan dari wilayah publik. Sebab, tidak mungkin oranghidup di wilayah publik tanpa membawa sistem nilai yang ada didalam dirinya. Namun, walaupun wilayah publik tidak mungkinbisa bersih dari sistem nilai agama, melembagakan sistem nilai agamatertentu di wilayah publik dan menuntut agar sistem nilai agamayang terlembagakan tersebut diadopsi oleh komunitas publik yangsangat beragam, dari sisi agama hal seperti itu tidaklah adil. Bagaimanapun,saya tidak setuju sekularisasi dalam arti formalisasi ataupelembagaan sistem nilai di wilayah publik melalui paksaan.Banyak yang mengatakan bahwa sekularisasi pada akhirnya akan meminggirkanagama dari kehidupan publik, sehingga agama semakinberada di pojok-pojok kehidupan. Bagaimana menurut Anda?Itu tidak akan terjadi. Fomalisasi nilai-nilai agama justru akanmelahirkan hegemoni dan memojokkan kelompok-kelompok yangberbeda dengan hanya sistem nilai kelompok tertentu yang diformalkan.Ketika tidak ada formalisasi sistem nilai agama tertentumaka setiap orang punya akses yang sama di wilayah publik, danFuad Jabal –709


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang terjadi adalah negosiasi antarsistem nilai. Dengan demikianruang publik menjadi milik semua orang, tidak diklaim oleh suatuagama atau sebuah kelompok dalam suatu agama tertentu. Seseorangatau sekelompok orang yang mau membawa sistem nilai tertentuke wilayah publik harus melakukan negosiasi secara terus-menerusdengan kelompok lain, sehingga yang akan terjadi, menurut saya,adalah proses pendewasaan beragama.Tetapi tidak baik juga atas nama sekularisasi, lantas agama dipojokkan.Ketika agama dipojokkan justru akan melahirkan sistem keagamaanyang kerdil. Di negara yang berpenduduk mayoritas Muslimseperti Indonesia sangat tidak mungkin menghilangkan sistem nilaiIslam dari wilayah publik. Kalau Islam, misalnya, dipojokkan terusmenerusmaka yang akan lahir adalah Islam yang terpojok, Islamyang tidak pernah punya akses ke publik, Islam yang tidak punyakemampuan bernegosiasi dengan agama lain, Islam yang berwajahradikal. Orang Islam yang imannya dibesarkan dalam kesempitansangat berpotensi melakukan kekerasan, ketika kesempitan iman –yang diyakini benar itu – diterapkan di ruang publik.Sekularisasi seyogyanya dipahami sebagai media untuk membiarkansemua sistem nilai agama memperoleh akses ke wilayahpublik untuk melahirkan sistem nilai agama yang dewasa. Cobalihat perjalanan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kalau saja merekakampanye dengan Islam yang eksklusif, bisa dipastikan mereka tidakakan pernah bisa diterima publik dengan baik. Bagaimanapuntanpa legitimasi publik sebuah partai tidak akan berkembang. Merekaharus mengembangkan strategi yang lebih inklusif dan dialogisdan mengarah pada deformalisasi dan universalisasi. Sistem nilaiyang harus dikembangkan di wilayah publik adalah sistem nilaiyang diakui bersama oleh publik. Jadi tidak eksklusif.710– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Lagi-lagi, saya menolak formalisasi nilai-nilai agama di wilayahpublik dengan pemaksaan. Tetapi ketika dilakukan secara terbuka,dengan membiarkan semua orang terlibat dan berpendapat, menurutsaya, sebagai sebuah kemungkinan, silakan saja. Termasukmembawa ide mewujudkan negara Islam ke dalam perdebatanpublik. Tetapi orang-orang yang membawa ide negara Islam punharus memahami bahwa adajuga kelompok masyarakat Walaupun wilayah publik tidakyang anti terhadap ide negaraIslam tersebut.agama, melembagakan sistem nilaimungkin bisa bersih dari sistem nilaiagama tertentu di wilayah publik danJadi, harus ada ruangmenuntut agar sistem nilai agamayang sama, yang terbuka,yang terlembagakan tersebut diadopsitermasuk di dalam pikirankita. Apakah mungkin beragam, dari sisi agama hal sepertioleh komunitas publik yang sangatmendirikan negara Islam?itu tidaklah adil.Mengapa tidak? Tapi itutergantung pada semua orang. Walaupun, saya yakin, dalamrealitasnya tidak mungkin terjadi. Karena proses negosiasi lamakelamaanakan menghilangkan gagasan akan kemungkinan berdirinyanegara Islam.Itulah yang bagus dari demokrasi. Demokrasi mampu menjadipenawar radikalisme, apapun bentuknya – entah itu radikalismeagama, budaya, ataupun sosial. Lewat demokrasi hal semacam itumenjadi tawar, karena ia harus melalui uji coba ke wilayah publik.Sebab, mereka harus mendapat legitimasi. Oleh karena itu, merekaharus melakukan dialog dan kompromi. Jadi, ketika saya mengatakanbahwa gagasan negara Islam itu mungkin – bukan sesuatuyang mustahil – memang hanya dalam tataran teori (demokrasi),sementara pada realitasnya akan sangat sulit terjadi.Fuad Jabal –711


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ada kekhawatiran dari sebagian orang bahwa sekularisme atau sekularisasiakan mengikis iman pemeluk agama. Apakah menurut Andaseperti itu?Menurut saya tidak. Keimanan bukan sesuatu yang mati. Keimananadalah sesuatu yang terus tumbuh dan meningkat. Namunhal ini hanya mungkin kalau ada ruang bagi pertumbuhannya. Untukitu, ruang tersebut seharusnya tidak dimonopoli oleh sistemnilai kelompok tertentu. Bagaimana mungkin iman akan dewasadan kuat kalau hanya bertemu dengan orang yang seiman? Syi’ahbertemu Syi’ah, Sunni bertemu Sunni, mazhab Syafii bertemu Syafii,Islam bertemu Islam, Kristen bertemu Kristen dan seterusnya.Jika ruang iman sekadar demikian, tidak akan terjadi apa-apa. Tapikalau Syi’ah bertemu Sunni, Syafii bertemu Hambali, Ahl al-Hadîtsbertemu Mu’tazilah di wilayah publik, menurut saya, akan terjadiperdebatan dan akan mengakibatkan tumbuhnya kedewasaan.Kalau ruang publik hanya dibuka untuk kelompok yang sama,kemungkinan yang terjadi adalah pengecilan makna agama. Karenamereka berbicara terus di ruangnya sendiri, tidak ada dialog. Sehingga,tidak ada penguatan iman dan tidak ada pengayaan. Padahal,dengan kemajuan teknologi seperti saat ini, siapa yang mampumenahan informasi dari kelompok-kelompok lain, bahkan dengangagasan dan paham yang berbeda dan berlawanan sekalipun, untukmasuk ke wilayah kita. Justru kalau pembatasan atau pengkotakkotakanini dipertahankan, kita akan menjadi orang yang sangatgalak, dengan ketertutupannya, karena kita harus menjaga sistemnilai kita dalam wilayah publik yang – dengan bantuan teknologi– bagaimanapun sangat terbuka. Dan ini akan menjadi sangat tidakproduktif bagi tumbuhnya keimanan.712– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah yang Anda maksud dengan formalisasi nilai agama di ruangpublik melalui dialog yang terbuka sepadan dengan konsep publicreligion?Menurut saya begini, aturan dalam bentuk apapun kalau dibuatsecara terbuka dengan melibatkan semua sistem yang ada,pada ujungnya harus kita taati, apapun bentuknya. Kalau kitamenggunakan logika secaralurus, katakanlah, kalau hukumrajam masuk ke dalam sebagai media untuk membiarkanSekularisasi seyogyanya dipahamiwilayah publik dan menjadisemua sistem nilai agamabagian dari konstitusi kita, memperoleh akses ke wilayah publikdan proses masuknya melaluidiskusi dan dialog yangyang dewasa.untuk melahirkan sistem nilai agamapanjang dengan melibatkansegenap elemen masyarakat yang berbeda-beda, maka kita harusterima juga, sebagaimana juga hukuman mati di beberapa negarayang masih diterima.Jadi dari mana asal-muasal nilai itu, menurut saya, tidak relevan.Entah itu dari individu, kelompok, baik kecil atau besar, bagisaya tidak terlalu relevan. Begitu disepakati, kita harus terima.Tadi Anda menyinggung tentang negara Islam. Menurut Anda, apakahIslam memiliki blue print konsep negara yang berbeda sama sekalidengan konsep-konsep lain?Menurut saya tidak ada. Coba lihat setelah Nabi wafat, masyarakatMuslim terlibat konflik yang melibatkan tokoh-tokoh besarseperi Ali, menantu Nabi, Aisyah, istri Nabi, dan Muawiyah.Fuad Jabal –713


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Waktu terjadi konflik antara Muawiyah dengan Ali, umat Muslimdi Basrah dan Kufah menganggap itu sebagai permasalahan orangorangMadinah. Jadi mereka tidak mengganggap diri mereka sebagaibagian dari kelompok yang bisa mengambil keputusan. Padahalmereka sama-sama Muslim, dan sama-sama dikenai akibatoleh konflik itu. Apakah itu islami?Ketika Nabi masih hidup, Madinah menjadi pusat kekuasaanagama dan politik. Namun setelah Nabi mangkat, otoritas tunggaltidak ada. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa para Sahabatmenggantikan posisi Nabi. Akan tetapi masing-masing Sahabatyang menjadi khalifah pada kenyataannya mempunyai kebijakanyang berbeda-beda dan tidak semuanya dikelilingi oleh Sahabatyang memiliki otoritas.Abu Bakar, misalnya, mengirim orang-orang Madinah ke medanperang untuk menghadapi orang-orang Romawi dan Persia. Yangterjadi kemudian adalah Madinah kekurangan tokoh yang cukupterpandang dan mempunyai otoritas. Berbeda dengan Abu Bakar,Umar menahan para Sahabat “besar” untuk tidak maju ke medanperang dengan pertimbangan dia butuh teman diskusi. Khalifahselanjutnya, Utsman, tidak membuat kebijakan seperti Umar, sehinggaia justru dikelilingi oleh orang-orang yang tidak terpandangdan tidak memiliki otoritas. Hal ini kemudian menyulut konflikyang akhirnya membuat Utsman terbunuh.Ketika Ali naik tahta, di Madinah sebenarnya sudah tidak adafigur terpandang yang bisa diandalkan. Oleh karena itu, Ali memutuskanmemindah pusat kekuasaan ke Kufah, karena di sana tokohtokohtua dari Madinah bermukim. Setelah berperang mereka memutuskantidak kembali ke Madinah dan tinggal di Kufah. Sekarangyang didengar dan punya otoritas adalah orang-orang di luar Ma-714– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dinah. Sangat berbeda bukan? Hanya satu periode dari empat Khalifahsaja sudah ada perbedaan, bagaimana politik dan agama harusdikelola. Demikian juga yang terjadi pada masa Muawiyah, Abasyiah,Mamluk, dan lain-lain.Masing-masing berbeda.Seseorang atau sekelompok orangJadi kalau merujuk pada yang mau membawa sistem nilaitertentu ke wilayah publik harusmasa Sahabat dan menganggapsistem pada waktu itumelakukan negosiasi secaraterus-menerus dengan kelompokislami, pada level apakahlain, sehingga yang akan terjadi,itu disebut islami? Mereka menurut saya, adalah prosespunya integritas, kejujuran,pendewasaan beragama.dan keinginan berbakti padaorang banyak, tapi sistemnya berbeda-beda dari satu khalifah kekhalifah yang lain. Jadi, tidak ada sistem yang baku.Artinya, apakah klaim sebagian orang bahwa sistem khilâfah Islâmiyahtidak punya dasar sejarah benar belaka?Ada dasar sejarahnya, tetapi beragam. Khilâfah Islâmiyah yangdimaksud itu yang mana? Khilâfah banyak sekali. Pada masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn sendiri ada empat, Abu Bakar, Umar, Utsman,dan Ali. Sistem pemilihan mereka pun lain-lain. Di samping ituada kekhalifahan Bani Umayyah, Abasyiah, Utsmaniyah, dan lainlain.Jadi ketika mengatakan Khilâfah Islamiyah, yang dimaksuddengan khilâfah yang mana? Katakanlah al-Khulafâ’ al-Râsyidûn,tapi yang mana?Jadi, menurut saya, klaim tersebut tidak relevan. Tapi kita jugatidak bisa ujug-ujug menolak ide mereka, apalagi menakutinya. Biarkansaja masuk ke wilayah publik. Biarkan mereka bertanya atauFuad Jabal –715


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ditanya dan berdialog. Ide apapun yang masuk ke wilayah publikjika tidak didukung dengan argumen yang baik akan mengecil danditinggalkan orang.Saya tidak takut dengan klaim negara Islam, begitupun denganklaim sekularisme. Jadi biarkan saja mereka ke tengah. Bahkan kelompokNegara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) biarkanlahmereka ke tengah, beri ruang. Mereka akan ditanya banyakorang dan mereka harus menjelaskan. Mereka akan berdialog, danlama-lama kita akan semakin cerdas.Apakah proses dialog di ruang publik mesti didorong oleh negara ataudibiarkan saja tumbuh secara alamiah tanpa campur tangan negara?Menurut saya, biarkan ia berjalan normal, berjalan denganterbuka. Bagi saya, tidak relevan jika negara turut masuk. Justruwilayah publik yang terbuka pada akhirnya akan mengontrol perannegara. Tapi kalaupun negara mau masuk, silakan! Toh negarajuga harus melakukan negosiasi dengan rakyatnya. Jadi kita janganterlalu takut bahwa negara akan berlaku semena-mena. Inilah keuntungansistem demokrasi yang kita anut saat ini. Jadi terdapatwilayah publik yang akan menetralisir dan mengakomodasi seluruhkepentingan, baik kepentingan negara maupun individu. Siapa sajabisa masuk, asal jangan ada kekerasan atau pemaksaan. Bersikaplahdewasa, terbuka, bijak, dan dialogis – pada wilayah publik.Apakah menurut Anda tidak tertutup kemungkinan masuknya kepentinganprivat-individual, seperti kepentingan kelompok agama tertentuke dalam ruang publik?716– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Biarkan semua orang dan kepentingannya hadir di wilayahpublik. Ketika ada keinginan menghadirkan persoalan privat, hadirkansaja tanpa harus dibatasi oleh pembedaan antara privat denganpublik. Kita tidak bisa mengatakan bahwa karena ini persoalanprivat maka tidak boleh masuk ke wilayah publik. Menurutsaya, kalau seperti itu, malah kontraproduktif. Misalnya, persoalanjilbab yang dianggap persoalan privat, sehingga tidak boleh masukke wilayah publik. Menurut saya, masukkan saja ke wilayah publik,yang merupakan wilayah semua orang, untuk apa harus adayang dijaga-jaga. Kalau kemudian ada yang menjaganya, ini punharus berdasarkan kesepakatan bersama yang dibuat oleh publik.Inilah, saya kira, yang dipandang sebagai ijmak atau konsensus,keputusan jamaah. Dan, jamaahnya setiap kali berbeda-beda, bukan?Setiap generasi memiliki jamaah yang berbeda, dan jamaahinilah yang harus berfungsi.Dari penjelasan Anda, saya menangkap bahwa pemisahan publik-privatmenjadi tidak relevan lagi. Apakah Anda memaknai sekularisasitidak sebagai privatisasi agama melainkan deprivatisasi?Ya, bisa disebut dengan deprivatisasi. Artinya yang privat iniharus dibiarkan masuk ke wilayah publik. Jadi, biarkan saja. Kemudian,publik yang akan menilainya.Bukankah agama memiliki dua wajah yang paradoks: di satu sisimengajak pada perdamaian, tapi di sisi lain, agama juga mempunyaipotensi sebagai sumber kekerasan dan bersifat eksesif, karenanya agamaharus dibatasi perannya di ruang publik. Pandangan Anda?Fuad Jabal –717


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah kalau agama dijaga dari ruang publik tidak akan melahirkankekerasan? Justru sebaliknya akan melahirkan kekerasanketika agama dijauhkan dari wilayah publik. Karena by natureagama, terutama Islam, punya klaim lebih besar di wilayah publikdaripada di wilayah individu. Kalau, misalnya, wilayah publikyang demikian terbuka kemudian dipagari agar agama tidak masuk,dalam arti bahwa agama disimpan di rumah saja, dipenjarakan,lantas di mana mereka harus menjalankan aktivitas agama?Kalau orang dilarang membawa agama ke wilayah publik, itu akanmembuat frustasi.Coba Anda lihat, ada jarak yang luar biasa antara klaim Islamdan realitas hidup kita sebagai Muslim. Di Indonesia sekarang adakeinginan untuk menghidupkan segalanya serba menjadi Islam:bank Islam, negara Islam, islamisasi ilmu, semuanya ingin diislamisasi.Menurut hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat(PPIM) UIN Jakarta, tampak bahwa orang Islam semakinrajin beribadah, tapi kenapa Indonesia tetap disebut sebagai salahsatu negara terkorup di dunia? Kekerasan masih banyak terjadi,kelompok-kelompok Islam saling bentrok, orang dijatuhkan darikereta hanya karena uang seribu rupiah. Apa masalahnya?Ini ironis. Sebagian Muslim berpikiran bahwa untuk memperbaikinyakita membutuhkan pegangan di ruang publik yangbersumber dari agama. Kalau mereka tidak boleh membawa Islamke ruang publik, berarti Islamnya adalah Islam yang domestik dankerdil. Padahal untuk melakukan islamisasi perlu Islam yang besardan kaya. Sementara Islam yang sekarang muncul adalah Islam yangtumbuh dari kondisi yang banyak dipojokkan oleh prasangka. Jadiketika tantangan zaman tidak bisa dibendung lagi dan segalanyamenjadi terbuka, ternyata Islam yang merespons itu adalah Islam718– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang kurang siap, Islam yang telah dikerdilkan dan dipojokkan.Inilah kemudian yang menjadi masalah. Yang tersisa dari merekatinggal klaimnya saja, sementara pokok persoalannya tidak terjawab.Menurut saya, itu berbahaya, karena kita akan terperosok kedalam sebuah realitas semu dan akan mengeroposkan bangunanbangsa kita juga.Abdullahi Ahmed An-Naim mengatakan bahwa kita tidak bisa menyingkirkanagama dari kehidupan publik, tapi pada saat yang samakita pun tidak bisa menerapkan syariah secara semena-mena di wilayahpublik. Apa gagasan yang hendak Anda tawarkan demi menampilkanajaran agama ke wilayah publik?Ya, Islam yang ditawarkanadalah Islam yang telah Penerapan syariat Islam harusdilakukan melalui keterlibatandidewasakan dan sudah tahupublik yang lebih besar. Saya yakinbagaimana cara bersentuhanbegitu publik terlibat tidak akandengan sistem budaya lain.ada negara Islam. Dengan begitu,Islam seperti ini mendesak saya menegaskan sekali lagi bahwauntuk dibuat. Caranya, salah perubahan sistem menjadi negarasatunya, melalui pendidikan. Islam hanya terjadi dengan revolusiPerguruan tinggi, madrasah, atau dengan cara-cara yang otoriter.dan pesantren adalah sarana Kalau lewat mekanisme demokrasi, halyang dapat dilakukan untukitu tidak mungkin.mendewasakan Islam. PunIslam yang seharusnya diajarkan adalah Islam yang sudah dewasa,bukan Islam anak-anak atau bukan Islam yang telah “mati”, melainkanIslam yang tumbuh dan dinamis. Ketika anak didik lulusdari lembaga pendidikan tersebut dan mereka masuk ke wilayahFuad Jabal –719


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–publik, entah mereka jadi politisi, budayawan atau apapun, merekatidak akan menghadapi kesulitan, karena Islam yang mereka bawaadalah Islam yang sudah dewasa, Islam yang kaya.Saya kira penerapan syariat Islam memang tidak akan bisadihindarkan. Hanya saja bentuknya adalah bentuk Islam yangdewasa. Kalaupun aturan Islam diadopsi oleh publik, itu adalahaturan Islam yang sudah mengalami pendewasaan. Karena prosesnyasudah dilakukan sedemikian rupa, karena memang Islamsudah lebih kuat. Urusan membesarkan Islam pun harus menjadiurusan publik, bukan hanya menjadi urusan pribadi ataukelompok masyarakat dan lembaga tertentu. Jika demikian, kitabisa berharap bahwa masyarakat Muslim dapat melahirkan jenisIslam yang lebih baik untuk publik. Jangan kemudian publik tidakpeduli hanya karena alasan bahwa agama adalah persoalanprivat. Jangan berharap akan lahir Islam yang dewasa jika publiktidak peduli.Memang, tidak sedikit orang Barat, salah satunya Huntington,yang agak sinis ketika melihat bahwa negara-negara Islamtidak mampu menyerap nilai-nilai di luar Islam, kita sebut sajamisalnya nilai demokrasi. Kalau Anda bertanya apakah ada optimismebahwa Islam akan mencapai sebuah kedewasaan, menurutsaya itu bisa dicapai. Memang harus melalui proses yang panjang,tetapi saya yakin bisa. Kemakmuran salah satunya. Ada surveiyang menunjukkan bahwa semakin makmur sebuah negara makasemakin sekular. Sebaliknya semakin tidak makmur sebuah negaramaka semakin religius. Jadi orang menjadi sekular atau tidakdipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan kemakmuran. Artinya,kalau kita ingin mencetak orang yang terbuka, kita juga harusmemikirkan persoalan kesejahteraan mereka.720– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah menurut Anda sistem yang dipakai saat ini sudah merupakansistem terbaik untuk negara kita? Dan apakah negara kita sekularatau tidak?Saya kira, sampai saat ini atau mungkin untuk jangka yanglama, sistem kenegaraan kita sudah baik, the best among the worse,terbaik di antara yang terburuk. Mungkin dalam bahasa al-Ghazali,terbaik di antara yang mungkin. Namun, saya tidak melihat bahwademokrasi sebagai ujungdari dunia. Mungkin suatusaat kita akan memasuki yang islami. Demikianpun menerimaPancasila merupakan kesepakatantahapan lain. Sebagaimana demokrasi, menurut saya, keputusandulu orang berpikir bahwa islami. Karena ketika diadakan survei,sistem kerajaan adalah sistemyang terbaik, ternyata Muslim menjawab bahwa demokrasimisalnya, sekitar 70% respondensekarang berubah. Boleh jadi adalah sistem negara terbaiksuatu saat nanti sistem kerajaanatau sistem yang baruuntuk Indonesia.akan dianggap paling baik. Saya tidak melihat bahwa demokrasisebagai akhir dari perjalanan manusia. Tapi sekarang, saya masihmelihat demokrasi sebagai sistem terbaik dibanding sistem kenegaraanlain.Apakah negara kita sekular atau tidak, saya kira tergantung darisisi mana kita melihat. Bagi saya, sebagai seorang Muslim, apapunharus dilihat dalam konteks keislaman. Saya konservatif. Namunsaya berpandangan, selalu ada hal-hal yang berbeda dengan kita,tetapi tetap harus diakomodasi oleh sistem keagamaan kita. Demokrasibagian dari realitas yang tidak bisa dinafikan dan harus punyaperspektif. Bagi saya, sesuai dengan kemampuan saya menilai saatini, Indonesia adalah negara islami, bukan sekular.Fuad Jabal –721


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dari pernyataan itu apakah Anda ingin mengatakan bahwa negaraIndonesia adalah negara yang islami?Ya, menurut saya negara Indonesia islami, bukan sekular. Kalausaya mengatakan bahwa tidak islami, berarti saya mengatakan bahwasaya hidup seumur-umur di luar Islam. Saya menganggap bahwayang ada di dunia ini, apapun itu, harus menjadi bagian dari keislamansaya. Saya punya dua pilihan: menolak bentuk negara Indonesiaterus-terusan karena tidak islami, atau saya menganggap modelkeislaman saya adalah model keislaman yang mungkin dilakukan dimana saja sesuai dengan kemampuan saya.Pancasila merupakan kesepakatan yang islami. Demikianpunmenerima demokrasi, menurut saya, keputusan islami. Karena ketikadiadakan survei, misalnya, sekitar 70% responden Muslim menjawabbahwa demokrasi adalah sistem negara terbaik untuk Indonesia.Tetapi ketika ditanya apakah negara Islam adalah konsep negaraterbaik untuk Indonesia, juga sekitar 70% responden menyatakanya. Ini menunjukkan bahwa seorang Muslim sekaligus juga seorangyang demokratis.Jadi, untuk konteks Indonesia sekarang ini, untuk menjadi Muslimyang baik adalah menjadi seorang demokrat. Itu ijmak. Artinya,saya ingin mengatakan bahwa demokrasi adalah islami, dengan segalaketerbatasannya – karena tidak ada sistem yang sempurna. Walaupunsistem demoraksi yang dipraktikkan di Indonesia saat ini adalahislami, saya meyakini suatu saat kita akan punya sistem yang lebihbaik dari sistem demokrasi.Berbicara demokrasi, tidak bisa dilepaskan dari liberalisme. Namun,kata liberalisme sendiri sering disalahpahami. Liberalisme, misalnya,722– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dianggap sebagai bentuk budaya permisif, bebas melakukan segalagalanya.Menurut Anda?Menurut saya sangat tergantung pada apa yang dipahami masyarakat.Demokrasi macam apa yang dikehendaki bangsa ini akansangat ditentukan oleh kita sebagai masyarakat. Sedemokratis negariKanada, misalnya, konsep liberalisme masih diperdebatkan di sana.Apakah seorang gay dapat menikah atau tidak, masih jadi perdebatan.Di negara-negara yang menerima atau menolak perkawinansejenis sama-sama menggunakandemokrasi sebagai Penerapan syariat Islam, terutama,instrumen untuk menolak tidak mencerminkan keinginanatau menerimanya. Kalau masyarakat, tetapi lebih banyakkemudian dikatakan bahwadidorong oleh keinginan pragmatis.Misalnya, yang terjadi di Cianjur. Adapernikahan antara laki-lakiorang yang mencalonkan diri sebagaidengan laki-laki adalah tindakankebablasan, siapa yangbupati kemudian menggunakankendaraan atau memanfaatkanbisa menentukan standar kebablasanatau tidaknya kalau tidak mengakar dalam diri danisu-isu syariah yang sebetulnyabukan kita sendiri sebagaimasyarakatnya.masyarakat?Itu, sekali lagi, yang bagus dari sistem demokrasi. Demokrasimembiarkan seseorang untuk mengeluarkan isi kepalanya dan publikyang menilai, sehingga terjadi equilibrium. Kemudian dites lagi,misalnya, karena ada kelompok yang tidak puas, juga di wilayahpublik, lalu diperdebatkan dan kemudian ada equilibrium lagi, terusseperti itu. Jadi kebablasan atau tidak akan tergantung kita.Kalau saya, sebagai orang Muslim, menginginkan anak sayabaik, oleh karenanya, saya harus didik anak saya dengan nilai yangsaya anggap baik pula. Kalau semua orang melakukan kebaikan,Fuad Jabal –723


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–niscaya tidak akan terjadi demokrasi yang kebablasan. Adalah tidakfair ketika kita tidak mempersiapkan apa-apa untuk masyarakat, sementarakita menuntut demokrasi ini tidak kebablasan. Kalau tidakingin kebablasan, berbuat dong! Tidak ada yang gratis di dunia ini.Perbaiki sistem pendidikan! Perbaiki sistem nilai agama!Jadi, kita semua menanam. Hasilnya adalah demokrasi yangmendekati dengan apa yang kita cita-citakan. Kalau kita tidakmelakukan itu, yang disalahkan jangan sistemnya, melainkan kitasendiri yang tidak mau melakukan apa-apa.Artinya, Anda ingin mengatakan bahwa liberalisme tidak serta-mertanegatif?Ya. Secara prinsipil, demokrasi bisa liberal, juga bisa tidak. Tetapikalau liberal, tetap saja menyaratkan orang lain untuk diberikebebasan dalam mengemukakan yang diinginkan. Itu liberal.Jadi, liberal adalah prasyarat untuk apa saja. Misalnya, sayaingin mabuk dan menampar orang lain, tetapi karena publik tidakmenghendaki itu, maka saya tidak boleh melakukannya. Bagaimanapun,jika tidak ada liberalisme, maka tidak akan ada negosiasi.Untuk konteks Indonesia, demokrasi masih pincang. Sebab, padasisi partisipasi politik sudah bagus, tetapi pada aspek kebebasan sipilmasih ada persoalan, seperti kebebasan beragama. Apakah hal sepertiini menunjukkan substansi demokrasi Indonesia yang belum matangdan terkonsolidasi?Salah satu ide kenapa mata pelajaran civic education harus masukke dalam kurikulum perguruan tinggi dan pesantren adalah724– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–karena demokrasi perlu konsolidasi. Demokrasi kita tidak akanterkonsolidasi dengan sendirinya, melainkan harus ada usaha yangpanjang yang harus kita lakukan. Pada 1950-an ormas besar sepertiNahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mendukung negaraIslam. Sekarang keduanya menolak. Artinya, ada perubahan sikap.Dan, ini terjadi tidak secara gratis, tetapi perlu usaha. Dibanding1950-an bangsa ini relatif lebih maju. Karena itu, kita tidak bolehmendevaluasi apa yang telah kita kerjakan. Justru yang harus kitalakukan adalah meningkatkan capaian ini.Persoalannya, sekarang orang hanya mengetahui kata bebas, padahaldi balik kata bebas sebetulnya banyak kata yang menyertainya,seperti tanggung jawab sosial, etika, dan sebagainya. Mungkin iniyang harus dimengerti oleh masyarakat kita. Ketika mereka bebas,mereka harus mengetahui bahwa orang lain pun punya kebebasanyang sama, yang dengan kebebasan itu memungkinkan mereka memilikikepentingan yang berbeda-beda.Di mana-mana ada hudûd atau batas dan kepatutan, baik secarakultural maupun sosial. Jadi, siapapun tidak bisa sembaranganmemaknai kata bebas. Karena itu yang perlu diajarkan ke masyarakat:apa makna bebas sebenarnya.Bagaimana dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkanliberalisme?Bagi saya fatwa itu salah; tetapi bagi MUI, benar. Kata bebas sebetulnya,seperti kata-kata lainnya, tidak hanya memiliki satu makna,melainkan banyak makna. Makna sebetulnya tidak melekat padakata tersebut, ia diberikan oleh seseorang ataupun sistem tertentu.Jika diberikan, berarti makna tersebut akan sangat tergantung padaFuad Jabal –725


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–siapa yang memberikan makna tersebut. Dan itu pun akan sangattergantung kepada pengalaman, latar belakang, pendidikan, bacaan,teman bergaul, mimpi atau bahkan cita-cita orang yang memberimakna pada kata tersebut. Ketika saya menyebutkan pohon jambu,mungkin Anda yang mendengarnya akan biasa saja, tetapi ketikaada orang lain yang mendengarnya, dia langsung menangis, misalnya,karena dia mempunyai pengalaman putus dengan pacarnya dibawah pohon jambu. Kita tidak bisa menyalahkan orang tersebutkarena menangis, tetapi yang kita lakukan adalah memahami danmenyelami kenapa dia menangis.Begitupun ketika MUI memahami konsep liberalisme atau katabebas itu sendiri. Kita tidak bisa ujug-ujug menyalahkan mereka,tapi yang harus kita lakukan adalah kenapa mereka memahami sepertiitu. Mungkin anggota-anggota MUI mempunyai pengalamanyang buruk dengan kata liberalisme, sehingga mereka gerah ketikamendengar kata-kata itu. Begitupun seharusnya MUI berusahamemahami liberalisme yang dipahami berbeda oleh pendukunggagasan ini, dengan yang MUI pahami.Persoalannya adalah ketika apa yang dipahami oleh MUI menjadilegitimasi dan pemicu kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islamradikal.Ini memang tidak bijak. Mungkin orang tidak pernah terpikirbahwa pada akhirnya ucapannya akan menimbulkan kekerasan.Begitupun dari pihak yang melakukan kekerasannya. Kenapadalam benak anggota-anggota MUI tidak pernah terpikir bahwafatwa itu akan memicu semangat kalangan radikal Islam untukbertindak kekerasan.726– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–MUI mungkin berpikir kurang panjang. Alangkah lebih baikkalau sebelum mengeluarkan fatwa, MUI bisa melihat akibat yangpaling pahit dari fatwa yang mereka keluarkan, yakni munculnyatindak kekerasan. Untuk sekadar berasumsi, boleh jadi MUI punyakomitmen terhadap kebebasan, sehingga mereka punya kebebasanuntuk mengharamkan liberalisme. Untuk sebuah kebebasan kitamenghargai itu. MungkinMUI juga sedang meng-excercisekebebasannya. Kata-saya paling benar. Tapi bukanMenurut saya agama dan keyakinankanlah seperti itu. Tapi yang berarti saya bisa semena-menajadi persoalan adalah adanyakelompok yang menja-agama dan keyakinan saya sebagaimemperlakukan orang di luardi korban kekerasan denganorang-orang sesat.fatwa itu.Sejak reformasi, dalam bingkai kebijkakan otonomi daerah, banyakmuncul perda-perda yang bernuansa syariat Islam. Kemunculan perdaini banyak mengeksklusi kelompok minoritas. Bagaimana pandanganAnda?Dalam “bentuk” yang sekarang saya tidak setuju. Penerapansyariat Islam, terutama, tidak mencerminkan keinginan masyarakat,tetapi lebih banyak didorong oleh keinginan pragmatis. Misalnya,yang terjadi di Cianjur. Ada orang yang mencalonkan dirisebagai bupati kemudian menggunakan kendaraan atau memanfaatkanisu-isu syariah yang sebetulnya tidak mengakar dalam diridan masyarakatnya.Dalam “konteks” sekarang pun saya tidak setuju. Tetapi sayatidak sedang mengatakan bahwa ide itu harus sama sekali dimati-Fuad Jabal –727


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan. Hanya saja penerapan syariat Islam harus dilakukan melaluiketerlibatan publik yang lebih besar. Saya yakin begitu publik terlibattidak akan ada negara Islam. Dengan begitu, saya menegaskansekali lagi bahwa perubahan sistem menjadi negara Islam hanyaterjadi dengan revolusi atau dengan cara-cara yang otoriter. Kalaulewat mekanisme demokrasi, hal itu tidak mungkin.Menanggapi munculnya perda-perda bernuansa syariat Islam yang olehsebagian kalangan dinilai bertentangan dengan konstitusi, pemerintahdinilai tidak cukup tegas. Menurut Anda, apakah dengan kondisi sepertiini justru akan menghambat konsolidasi demokrasi?Saya yakin pemerintah daerah punya pertimbangan lain. Tetapikalau mereka mau melihat jauh ke depan, saya kira mereka harusberani memikirkan ulang apakah perda-perda bernuansa syariahitu baik untuk bangsa ini atau tidak.Perda itu muncul karena demokrasi juga. Tetapi, sebenarnya,demokrasi yang belum matang. Apapun posisi kita, orang yang melakukankampanye syariat Islam hendaknya dibiarkan saja selama tidakmenggunakan kekerasan. Lakukanlah dengan dialog. Kalaupunditekan mereka malah akan menjadi underground dan membahayakan.Dengan memberikan ruang terbuka, selain kita bisa berdialog,kita sekaligus bisa mengontrolnya.Seperti sekularisme dan liberalisme, pluralisme juga sering disalahpahami.Pluralisme dianggap sebagai bentuk lain sinkretisme dan relativismeyang akan mengancam akidah umat beragama. Bagi Anda,apa itu pluralisme?728– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pluralisme bukan sinkretisme. Saya meyakini bahwa agamasaya yang terbaik, karena itu saya tetap Muslim, meski saya punyapilihan untuk menjadi bukan Muslim. Ketika saya di luar Indonesia,misalnya, saya punya banyak pilihan: bisa tidak salat ataupuntidak puasa. Karena siapa yang mau peduli? Kendati demikian sayatetap memilih salat dan puasa, karena menurut saya agama dankeyakinan saya paling benar. Tapi bukan berarti saya bisa semenamenamemperlakukan orangdi luar agama dan keyakinansaya sebagai orang-orang Sebagai petunjuk, harus ada kepastianIslam adalah petunjuk hidup saya.sesat. Itu tidak bisa.dalam iman saya. Namun di level sosialBagi pemeluk Kristen harus selalu ada ruang relatif, tempatjustru agama mereka yang di mana semua orang bertemu danterbaik. Bisa saja kita yang berdialog. Bagi saya itu pluralisme.Muslim mengganggap merekayang Kristen sesat, namun di mata orang Kristen kitalah yangsesat. Kalau masing-masing pemeluk agama menggunakan keyakinannyauntuk menghakimi orang lain, pasti pecah konflik. Untukitu, setiap kali bertemu non-Muslim kita tidak boleh mengatakanbahwa mereka kafir dan akan masuk neraka. Mereka tentusaja akan tersinggung dan menyulut semangat keagamaannya. Jikasikap kita seperti itu, pasti dunia ini akan kacau-balau.Tetapi harus ditekankan di sini, bukan lantas saya meragukankebenaran iman saya. Kalau saya tidak meyakini benar apa yangsaya yakini, saya akan menjadi orang bingung yang tidak memilikipegangan. Islam adalah petunjuk hidup saya. Sebagai petunjuk,harus ada kepastian dalam iman saya. Namun di level sosial harusselalu ada ruang relatif, tempat di mana semua orang bertemu danberdialog. Bagi saya itu pluralisme.Fuad Jabal –729


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita tidak bisa mengatakan bahwa semua agama benar, baikpada level individu maupun pada level sosial. Karena berkeyakinanseperti itu sama artinya kita bisa berpindah-pindah iman setiapsaat. Saya hari ini bisa sebagai Muslim, besok saya pindah keKristen atau Budha. Itu bukan pluralisme.Terkait soal anggapan pluralisme sama dengan relativisme,menurut saya, logikanya seperti ini: agama tidak akan ada tanpamanusia. Kalau agama melibatkan manusia maka agama akanselalu mengandung relativisme. Begitu dibicarakan, agama berpindahdari wilayah Tuhan ke wilayah manusia. Tidak ada agamatanpa manusia. Kalau agama dipahami sebagai titik temuantara Tuhan dengan manusia, akal dengan wahyu, bumi denganlangit, maka agama akan menjadi relatif, termasuk Islam.Kita pun ingin menangkap agama yang paling benar, tetapi kebenaranmacam itu hanya dalam diri Tuhan, dan tentu saja kitatidak akan mampu menjamahnya. Dengan demikian pemahamanmasing-masing orang tentang agama akan selalu plural danrelatif, karena yang bisa kita lakukan adalah hanya mendekatiyang paling benar.Relatif dalam pengertian ketika kita berhadapan dengan sang UltimateTruth (Tuhan)?Benar. Karena itu, ketika dihadapkan pada ultimate truth, yaituTuhan, di sini tidak ada masalah. Tetapi ketika dihadapkan padasesama manusia, berbagai persoalan muncul. Kalau saya merelatifkaniman saya, apa gunanya saya beriman. Dalam diri saya harusada ketegasan yang hanya berlaku bagi saya sendiri. Tetapi ketikaberhadapan dengan orang lain saya tidak boleh memaksa mereka730– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–untuk berkeyakinan sama seperti saya. Memang rumit untuk mengatakanbahwa Islam saya adalah Islam yang paling benar, tetapipada saat yang sama juga menyadari kerelativannya. Kalau kurangkuat, kita bisa menjadi orang yang terpecah.Apakah dalam Islam ada konsep keselamatan bagi pemeluk agamalain, sebagaimana Katolik yang mengakui adanya keselamatan di luargereja melalui Konsili Vatikan II?Saya memahami Islam tidak tunggal. Ketika Anda mengatakanseperti itu, Islam siapa yang dimaksud, apakah Islam orangMu’tazilah yang rasional, ahlal-Hadîts yang tradisional,Begitu dibicarakan, agama berpindahatau Asy’ariyah yang berusahamemadukan kedua-manusia. Tidak ada agama tanpadari wilayah Tuhan ke wilayahnya? Orang Mu’tazilah tentu manusia. Kalau agama dipahamimeyakini bahwa non-Muslimdapat masuk neraka atau dengan manusia, akal dengan wahyu,sebagai titik temu antara Tuhansurga, seperti halnya dengan bumi dengan langit, maka agamaMuslim, karena mereka telah akan menjadi relatif, termasuk Islam.dilengkapi dengan akal. Melaluiakal itulah semestinyaKita pun ingin menangkap agamayang paling benar, tetapi kebenaranmacam itu hanya dalam diri Tuhan,manusia bisa mencapai kebenaranyang mutlak, yaitudan tentu saja kita tidak akan mampumenjamahnya.Tuhan. Sementara Asy’ariyahtidak meyakini seperti itu.Kebenaran hanya didasarkan pada wahyu, di luar wahyu orangtidak akan mendapat kebenaran. Jadi tergantung dari sudut pandangmana kita mendasarkan pemahaman.Fuad Jabal –731


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pada masa Orde Baru kerukunan umat beragama dilakukan denganmembuat sekat-sekat yang kita kenal dengan konsep Suku, Agama,Ras, dan Antargolongan (SARA). Konsep ini sebetulnya sangat rapuh,sehingga ketika Orba dengan segala kekuatan represifnya tumbang,konsep ini pun runtuh. Menurut Anda, bagiamana membangun kerukunanumat beragama berdasarkan keragamaan bangsa ini?Menurut saya harus dimulai dari proses penyadaran yang genuinedari semua pemeluk agama. Dan itu bisa dicapai kalau adaruang terbuka yang cukup dan jangan ada manipulasi. Kalau, misalnya,saya mengakui Yahudi sebagai sebuah realitas yang harusditerima, itu harus menjadi bagian dari kesadaran diri sendiri, bukandikatakan oleh orang lain. Kesadaran itu harus ada dan tumbuhdalam diri sendiri, bukan atas himbauan atau paksaan. Tetapikalau hanya dikatakan melalui mulut saja, seringkali di dalam hatimasih ada ganjalan. Ganjalan ini sebetulnya bisa dikeluarkan dandiungkapkan kalau tidak ada rasa takut. Entah takut disalahkan,takut rumahnya dilempari batu atau ketakutan-ketakutan lainnya.Jadi biarkan warga bertanya apa adanya dan apa saja dan harusmampu dijawab secara cerdas di antara mereka pula.Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di antara mereka janganditekan. Pertanyaan-pertanyaan dan rasa ketidakpuasan yang dibungkammelahirkan keterpaksaan, sikap penuh kepalsuan.Misalnya kita membiarkan muncul pertanyaan: Apakah mungkinLia Aminuddin yang mengaku menerima kabar dari Jibril itubenar? Bukankah Nabi dulu juga awalnya mengaku begitu dan tetappada pendiriannya, walaupun orang-orang kafir Quraisy mencemoohkannya?(Jangan-jangan kita seperti orang Kafir Quraisyitu! Orang yang menolak membuka mata dan hati kepada kebe-732– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–naran kenabian!) Atau pertanyaan: Apakah mungkin Ahmadiyahitu benar? Jangan-jangan Kristen itu yang benar?Biarkan saja pertanyaan itu muncul. Bukankah pertanyaanpertanyaanseperti itu sering muncul ketika kita berhadapan dengankomunitas agama lain dan kita harus menjawabnya sebaikmungkin?Dengan adanya keterbukaan dan dialog, memungkinkan orangsemakin sadar bahwa ternyata banyak persoalan yang sulit untukdijawab. Di Indonesia, sejauh ini, belum terjadi yang seperti itu,di mana diberikan ruang terbuka bagi setiap umat beragama untukberdialog.Di UIN Jakarta, langkah ini sudah dilakukan, seperti denganmemberikan ruang dan perlakuan yang sama bagi setiap pemikiran,mazhab dan agama. Misalnya, ketika orang Sunni melihat ataumenganalisis Syi’ah harus dilihat seobyektif mungkin: Sumber apayang dipakai orang Sunni untuk memahami Syi’ah? Pendekatandan metodologinya apa? Dan sebagainya.Jadi, persoalannya bukan apakah hasil dari suatu pemahamanitu benar atau salah, tetapi lebih pada pemahaman Islam sebagaisebuah disiplin akademis. Sekalipun ada bias, sebisa mungkinmenghindari bias tersebut. Kalau ada mahasiswa NU yang membahasMuhammadiyah, sebisa mungkin dia menghindari bias latarbelakangnya.Pendekatan ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan kita sehari-haridi antara seluruh umat beragama. Dan memang sejauh inibelum berjalan dengan baik. Sehingga, harus terus dilakukan prosespenyadaran dan pembelajaran.Fuad Jabal –733


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Melihat kondisi Indonesia saat ini yang banyak diwarnai aksi kekerasaan,baik dalam bentuk sosial, politi, budaya maupun agama,menurut Anda, apakah masa depan demokrasi di negara ini akanmenjadi lebih baik atau justru semakin menurun?Kalau lembaga-lembaga pendidikan berfungsi dengan baik, ormas-ormasjuga memperhatikan dan sekaligus ingin investasi untukmengembangkan pendidikan, niscaya perjalanan bangsa ini akancerah ke depannya. Kuncinya adalah pendidikan.Supaya umat Muslim tidak mudah terprovokasi, mereka harusmemiliki pemahaman yang baik tentang pluralisme, kebebasan,dan demokrasi; makna akan sebuah bangsa dan kehidupan dalamkonteks global; makna menjadi seorang Muslim dalam masyarakatyang plural, dan seterusnya.Pada konteks inilah saya memandang madrasah dan pesantrenkemudian menjadi sangat strategis untuk masa depan bangsa ini.Karena sekularisme atau sekularisasi tidak akan bisa menghilangkansistem nilai atau agama dari wilayah publik. Kecuali dihabisidengan genocide, kemudian diganti dengan generasi baru. Kalaukita ingin menyelesaikan permasalahan di Indonesia, selesaikan persoalanIslam dan umatnya. Kalau bangsa ini ingin kuat, menurutsaya, investasi yang paling berharga adalah di sekolah, madrasah,dan pondok pesantren. Suplailah lembaga-lembaga tersebut denganbanyak resources, supaya yang keluar dari sana adalah Islam yangbagus untuk publik.Lagi-lagi, dengan demokrasi memungkinkan orang untuk lebihke tengah. Saya optimis ketika berkaca pada 1960-an, di mana banyakyang terlibat konflik, namun sekarang sudah damai. Itu tidaklepas dari peran ormas agama seperti NU dan Muhammadiyah.Studi Saiful Mujani menjadi penting ketika melihat peran lemba-734– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ga-lembaga agama dalam demokratisasi di Indonesia. Artinya, kalauingin memperkuat demokrasi maka perkuat lembaga-lembagaagama, termasuk ormas dan pesantren. Saya mengatakan itu bukankarena saya orang UIN. Tetapi, saya mengatakannya karenaitu genuine, dan memang seperti itulah seharusnya.Wawancara dilakukan pada 14 Februari 2008Fuad Jabal –735


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganGadis AriviaGadis Arivia, dosen Filsafat dan Kajian Wanita di Universitas Indonesia.Mantan Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan ini memperoleh gelar MAbidang Psikologi Sosial dari E.H.E.S.S., Paris, Prancis dan gelar Doktor Filsafat dari UI.736


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<strong>Kebebasan</strong> perempuan bisa dijalankan hanya dalam negara sekulardan liberal. Di sana otonomi perempuan mendapatkan ruangyang luang. Karena itu perempuan hendaknya tidak didefinisikanoleh agama atau budaya tradisional tertentu. Namunbegitu, dalam negara yang sekular, liberal, plural, demokratis,dan membela HAM, tidak cukup dengan jaminan political rightssemata, tetapi juga harus memperhitungkan civil liberties. Jikatidak, pelanggaran HAM dan hak-hak perempuan menjadi peristiwasehari-hari. Maka, untuk dapat melihat secara jernih bahwasuatu hal merupakan persoalan sosial, kita harus punya liberalmind, sikap dan pikiran yang terbuka. Dari sini seseorang barubisa menentukan posisi teori dan analisa manakah yang akandipakai untuk memecahkan masalah tertentu.Gads Arva –737


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalau kita melihat diskursus yang berkembang dalam masyarakat, sekularismeseringkali dianggap sebagai penyebab terpinggirnya agamadari kehidupan masyarakat. Bahkan, di Eropa, khususnya di negaranegaraSkandinavia, anti-agama justru menjadi semacam life style.Bagaimana Anda melihat sekularisme?Sekularisme sebetulnya bukan antiagama. Ia digagas untuk memisahkanantara agama dan negara. Jadi, sekularisme bukan konsepyang antiagama. Bahkan seringkali orang yang sekular justru sangatagamis dalam wilayah privatnya. Tetapi, ketika di dalam wilayahpublik mereka percaya bahwa negara dan agama mesti dipisah.Praktik sekularisme yang berkembang di Eropa terasa lebih kuatkarena mereka selama ratusan atau bahkan ribuan tahun mengalamikonflik-konflik antaragama. Sehingga, mereka berpikir bahwa dalamnegara modern, untuk menghindari perang agama seperti dulu, harusdidirikan atas dasar pemisahan antara agama dan negara. Agama hanyabisa berperan dalam wilayah pribadi seseorang. Karena itu, ketika kitaberada dalam wilayah publik, kita harus berpikir secara lintas budayadan agama. Sebab kita berhubungan dengan orang-orang yang berlatarbelakang agama, politik, etnis, dan ras yang berbeda. Terlebihlagi untuk konteks Eropa Barat dan Amerika, karena negara merekamakmur, banyak sekali imigran yang datang sejak dulu hingga sekarang.Dengan latar yang demikian itu, lantas bagi mereka negara sekularharus menjadi pijakan. Karena mereka merasa bahwa dengansekularisme negara akan berfungsi secara maksimal. Artinya, merekamenyadari betul bahwa negara di mana mereka sekarang tinggal lebihbersifat multikultural. Bagaimanapun juga, corak multikulturalini hanya bisa diatur dengan konsep-konsep yang sekular dan liberal.738– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Karena dalam konsep sekularisme dan liberalisme terdapat toleransiyang sangat dibutuhkan bagi negara majemuk seperti sekarang.Apa yang hendak Anda desakkan terkait dengan konsep post-sekularismeyang pernah Anda lontarkan untuk konteks Indonesia? Dan bagaimanakonsep tersebut menjadi relevan terutama dengan isu-isu mengenaiperempuan?Bagi saya, kebebasan perempuanhanya bisa dija-Sekularisme sebetulnya bukan antiagama.Ia digagas untuk memisahkanlankan dalam negara sekulardan liberal. Dan, karena sekularisme bukan konsep yangantara agama dan negara. Jadi,beberapa bagian dari ajaran antiagama. Bahkan seringkali orangagama interpretasinya sangat yang sekular justru sangat agamiskonservartif dan tradisional, dalam wilayah privatnya. Tetapi ketikasehingga tidaklah mengagetkankalau sumber peninda-percaya bahwa negara dan agamadi dalam wilayah publik merekamesti dipisah.san justru seringkali datangdari agama. Liberal di siniberarti bahwa manusia otonom dan bebas. Karena itu pula, perempuandi sini hendaknya didefinisikan sebagai manusia yangotonom dan bebas; tidak didefinisikan oleh agama tertentu ataubudaya-budaya yang tradisional. Oleh sebab itu, mereka, kalanganfeminis, memilih pijakan yang sekular dan liberal.Gagasan post-sekularisme adalah proses di mana kita telah melewatitahapan sekular dan liberal. Ketika kita sudah merasa aman danpasti bahwa negara ini sekular dan liberal, baru kemudian gagasanpost-sekularisme ini bisa diterapkan. Artinya, dalam post-sekularismeidentitas agama tidak menjadi ancaman karena identitasnyaGads Arva –739


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak bersifat abadi dan terberi, akan tetapi temporer (orang bisaberalih agama sesuai dengan pilihannya). Agama di sini lebih merupakanpilihan pribadi yang bebas, tidak diturunkan atau diwariskan.Di dalam masyarkat post-sekular, tidak ada paksaan ataukebijakan-kebijakan yang didasarkan oleh agama-agama tertentu.Artinya, gagasan post-sekularisme memang hanya mungkin di negara-negaramapan dan dewasa.Sebaliknya, kalau tradisi keagamaan itu diterapkan, misalnyadi Aceh, di mana di sana gagasan liberal dan sekularnya belummapan, maka akan sangat banyak terjadi pelanggaran, terutamapelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Demikianlah gambaranyang tengah terjadi di Aceh, misalnya, di mana aturan soal pakaian,bagaimana harus bertingkah laku dan seterusnya sebagaimanaditetapkan dalam peraturan-peraturan yang dibuat oleh otoritasdaerah, ujungnya akan sangat merugikan perempuan.Demikian juga soal otonomi daerah. Gagasan post-sekularismedalam era otonomi daerah hanya akan berjalan jika kepemimpinandi daerah sudah bersifat liberal dan sekular. Artinya, model kepemimpinannyasungguh-sungguh memahami bahwa negara kitamemang adalah negara sekular, bukan negara berdasarkan agamatertentu. Hal tersebut mensyaratkan juga bahwa mereka harus bisamemutuskan masalah kepentingan-kepentingan daerah secara adil.Celakanya, yang muncul dalam otonomi daerah sekarang ini justruadalah unsur-unsur primordialisme yang disebabkan oleh ketidaksiapanpemimpinnya. Misalnya, pemimpinnya kurang berkualitas,tidak tahu arti demokrasi dan lemah terhadap penghargaan hakasasi manusia. Sebab, bagaimanpun juga, harus kita akui, bahwaselama ini kita melihat kepemimpinan di daerah-daerah tidak dibangunatas fondasi tersebut. Sehingga yang kemudian lahir adalah740– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–aturan atau perda-perda yang sangat merugikan perempuan. Karenamereka, para pemimpin daerah, hanya memakai pijakan agamatertentu. Padahal, pijakan agama seharusnya hanya diterapkan diruang pribadi dan bukan publik.Jadi, gagasan post-sekularisme memang tidak bisa diterapkan diIndonesia, karena masih ada masyarakat yang belum paham (atautidak rela) bahwa negara ini adalah negara sekular. Sebenarnya Indonesiasudah mengalami kemajuan dalam dua indikator utama,yakni dalam political rights dan civil liberties – karena memangdijamin oleh undang-undang dasar dan konstitusi kita, yang menyatakanbahwa negara kita memang bukan negara agama. Setelahreformasi, political rights dan civil liberties dianggap sudah berjalan,yakni dengan penerimaan yang bagus terhadap demokrasi.Namun dalam prosesnya tentu saja masih ada kekurangan dalamranah civil liberties, terutama pada kurangnya sikap kedewasaanmasyarakat, yang otonom dalam pilihan hidup dan menjunjunghak asasi manusia.Bedanya civil liberties kita dengan negara lain yang sudah mapanadalah bahwa yang mayoritas di Indonesia tidak mementingkan– bahkan mengabaikan – hak asasi manusia (HAM). Dalam halini, yang mayoritas adalah umat Muslim. Karena mereka menganggapbahwa mereka adalah mayoritas, maka kalangan tertentudari mereka merasa sah untuk menerapkan aturan Islam yang berlakudi tempat tertentu. Tetapi, sebetulnya, yang dianggap mayoritasadalah mereka yang selalu mengunggulkan nilai-nilai HAM.Atau, dengan pengertian lain, mereka yang selalu mengedepankankepentingan-kepentingan minoritas. Jadi, meskipun political rightskita sejak reformasi sudah bagus, yakni dengan terpilihnya presi-Gads Arva –741


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–den secara demokratis dan juga para kepala daerah, namun civilliberties kita yang masih kurang matang.Saya membaca sebuah laporan dari Freedom House yang mengatakanbahwa political rights dan civic liberties kita sudah bagus.Tetapi sebetulnya, menurut saya, masih ada problem. Karena dalamcivic liberties, harus kita akui, masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaranterhadap kelompok minoritas. Padahal, demokrasiartinya justru yang mayoritas melindungi yang minoritas.Jika prasyarat untuk mengimplementasikan gagasan post-sekularismeadalah masyarakat yang sekular dan liberal secara matang, denganjaminan dan perlindungan penuh terhadap political rights dan civilrights, maka dapat dikatakan gagasan tersebut hampir tidak mungkinuntuk konteks negara kita. Terlebih lagi apabila menengok ekspansiagama yang cukup agresif memarginalisasi nasib perempuan, misalnyayang tercermin dalam UU Perkawinan ’74, RUU APP perda syariatIslam dan sebagainya. Bagaimana Anda menyikapi setiap aturanhukum atau UU yang diskriminatif terhadap kaum perempuan yangberlaku di negara ini?Sebetulnya kalau kita melihat UUD ’45 dan platform yangdikemukakan oleh founding fathers negara ini, di sana disebutkansecara jelas bahwa negara kita bukanlah negara Islam atau negaraagama. Jadi kelompok yang menginginkan negara ini menjadinegara agama sebetulnya sudah kalah. Artinya, persoalan ini sebenarnyasudah selesai. Problemnya adalah ketika negara sendiri tidaksecara tegas menjaga visi awal negara ini. Hal ini terlihat jelas,misalnya, ketika negara atau pemerintah membiarkan munculnya742– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–undang-undang atau aturan hukum yang bertentangan denganUUD dan konstitusi kita.Sekularisme juga mendesakkansemangat ilmu pengeta-liberal atau liberalisme, kita harusBerbicara mengenai pandanganhuan modern dengan upayanyamembebaskan dari segala yang liberal dan posisi teori yangmembedakan antara konsep mindnilai, baik tradisi ataupunliberalisme.agama. Kendati demikian,ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tetap saja tidak bisa bebas darinilai-nilai budaya yang bersifat patriarkhal, phallocentris atau misoginis.Jika kenyataannya seperti itu, apakah berarti sekularisme dalamilmu pengetahuan sudah terjadi? Dan kalau sudah terjadi, apakah iasudah mulai memberi pemihakan terhadap perempuan?Pertama, sekularisme kita pahami sebagai upaya untuk membangunsebuah negara yang memisahkan agama dari negara, agarpengaturan negara bisa lebih baik. Bagaimanapun juga bentuk negarasekular sudah disepakati oleh founding fathers kita. Kedua, soaldiskriminasi terhadap perempuan yang terjadi karena kuatnya budayapatriarkhi yang ada di dalam negara dan juga di ilmu pengetahuan.Jadi, budaya patriarkhi juga masih ada di negara sekular.Untuk memerangi budaya patriarkhi membutuhkan waktu yanglama, karena budaya patriarkhi merupakan budaya terlama yangada di dunia. Maka, kalau kita berbicara mengenai ilmu pengetahuanyang bias jender, sebenarnya kita tengah berbicara mengenaipengaruh budaya patriarkhi.Sebagaimana kita ketahui, sejarah ilmu pengetahuan yang sudahdimulai dari abad ke-17 memang sedikit sekali menampilkan peranGads Arva –743


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perempuan. Perempuan saat itu dianggap tidak kompeten untukberpikir secara abstrak. Misalnya, kalau kita lihat tulisan Jean JacquesRousseau dalam Emile yang mengatakan bahwa laki-laki mampuberpikir abstrak-matematis, sedangkan perempuan lebih emosionaldan harus diberikan pendidikan praktis. Kondisi yang seperti iniberakibat pada perkembangan perempuan dalam ilmu pengetahuanyang mungkin sudah tertinggal 200 sampai 300 tahun dibandinglaki-laki yang lebih banyak mendapat akses.Kondisi sekarang ini mulai berubah: akses pendidikan atauilmu pengetahuan terbuka secara luas dan bisa dinikmati olehsiapa saja, terutama dengan adanya internet. Akses tersebut jugadinikmati oleh kelas sosial manapun. Oleh karena itu, dalam duniakontemporer, nilai-nilai juga harus berubah. Di sini kelompokminoritas, apakah perempuan atau kelompok minoritas yang lainbisa bersaing. Dengan pengertian lain, semua ini bisa dikatakansebagai optimisme dari globalisasi. Misalnya, seorang perempuandi sebuah desa di India bisa menyebarkan isunya secara menduniahanya dengan menyiarkannya lewat internet. Karena itulah sayamenganggap bahwa globalisasi justru sangat membantu perempuankarena ia bisa mengakses informasi seluas-luasnya.Kemudian soal sekularisme dalam ilmu pengetahuan. Beberapawaktu lalu ada pengalaman menarik yang dialami seorang dosen matakuliah estetika. Ia mengajarkan teori-teori estetika dengan memberikancontoh. Salah satunya adalah lukisan Salvador Dali. Dalam salah satulukisan Dali ada lukisan perempuan telanjang separuh badan. Kemudianada seorang mahasiswa yang meminta untuk tidak memakai contohtersebut dengan alasan bahwa lukisan tersebut dianggap porno,dan mahasiswa bersangkutan menganggap bahwa pornografi dilarangdi negeri ini. Ini adalah contoh konkret di mana paham sekularis-744– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–me terancam. Anda dapat membayangkannya: kejadian ini terjadi dilingkungan kampus (negeri). Ini adalah bentuk lain dari represi OrdeBaru yang melarang Marxisme karena dianggap bertentangan denganideologi Pancasila. Jadi bentuk represi seperti ini digunakan kembali,tetapi dengan bentuk yanglain. Kalau dulu kita melawan Pluralisme memang mempunyaibentuk represi negara, sekarangkita dihadapkan pada pada sesuatu yang sangat relatif.pengertian yang dapat mengarahbentuk represi komunal.Kalau kita memasukkan agama kedalam ruang pribadi kita, maka ia akanmenjadi sangat relatif.....pluralismeJika melihat fenomena fundamentalismeagama yang kian orang untuk memilih, membiarkanmenjadi relatif karena membiarkanmerebak dan dalam praktiknyamengancam hak-hak dan mengekslusifkan identitasnya,suara-suara lain masuk, tidakkebebasan setiap warga, terutamajuga kaum perempuan,dan tidak fixed.lantas, menurut Anda, bagaimana upaya gerakan feminis untuk tetapkonsisten menggaungkan agenda-agendanya di tengah ancaman gerakanfundamentalisme agama, terutama, terhadap cita-cita masyarakatyang adil dan setara (jender)?Fenomena bangkitnya gerakan fundamentalisme ini memangsangat mengkhawatirkan. Sebenarnya gerakan feminisme merupakangerakan minoritas untuk memperjuangkan hak-haknya yang tidakterlindungi. Tentu saja memang ada etnis minoritas, agama minoritas,dan lain sebagainya. Tetapi model minoritas perempuan jugadipakai untuk memahami minoritas lain. Bahayanya adalah ketikaagama masuk ke ruang publik dan mencoba untuk mengatur wilayahpribadi seseorang, misalnya pengaturan pakaian apa yang bo-Gads Arva –745


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–leh dipakai atau tidak boleh dipakai oleh perempuan. Pengaturansemacam ini mengancam kebebasan berekspresi perempuan. Pahampengaturan pakaian berasal dari paham agama karena dalam agamatertentu pakaian perempuan berkaitan erat dengan tubuh perempuan,sensualitas dan seksualitas perempuan. Seksualitas dan sensualitasperempuan dipandang sebagai tidak suci oleh agama tertentuatau sebagai sumber masalah. Jadi bila ada aturan yang mengaturpakaian seseorang maka tentu saja ini maksudnya untuk mengaturperempuan. Celakanya, begitu ia bisa mengatur perempuan, makaia nantinya akan bisa juga mengatur minoritas yang lain. Sekali kitabisa mendiskriminasi satu kelompok minoritas maka kita bisa mendiskriminasikelompok minoritas lainnya.Sekarang kebetulan saya sedang meneliti tentang kehidupanperempuan Indonesia di awal abad ke-20, terutama dari gaya berpakaiannya.Saya mencoba menggali cara berpakaian perempuanIndonesia mulai awal abad ke-20 (bahkan sebelumnya) sampai sekarang.Dan kalau kita hubungkan dengan budaya kita, saya melihatsoal aturan pakaian yang diatur-atur ini ada yang salah. Bahwasecara budaya, pakaian perempuan Indonesia, seperti kebaya, adalahpakaian yang seksi dan transparan. Apabila dicermati, pakaianperempuan Indonesia secara budaya memang sangat terbuka, danini bertentangan dengan aturan-aturan pakaian yang didasari olehpaham agama tertentu. Lantas, bagaimana kita menyelesaikan persoalaanini? Apakah paham suatu agama tentang berpakaian bisamasuk ke dalam aturan ruang publik? Kemudian, kriteria pakaianperempuan yang seperti apa yang harus ditertibkan? Apakah iaakan mengubah apa yang selama ini kita sebut sebagai perempuanIndonesia?746– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Yang saya pahami, Indonesia sejak dari awal sudah sekular dantidak pernah mempermasalahkan pakaian perempuan. Masalah inijustru muncul belakangan. Agama bila memaksakan diri masuk padapengaturan ruang publik, bagi saya, adalah perkembangan yang mundur(regress) dan bukan maju (progress). Kenapa kita mau memasukkanperempuan kembali ke zaman jahiliyah dan tidak membiarkanperempuan maju bersaing dalam dunia global?Contoh konkret lagi terjadi di Universitas Indonesia, di manaagama sudah masuk ke dalam aturan ruang publik akademis. Adakelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara Islam dan kemudianmembentuk kelompok di kampus ini dengan berusahamenyebarkan misi agar perempuan memakai jilbab. Terutama kalaumereka tahu bahwa mahasiswanya beragama Islam yang kebetulantidak memakai jilbab. Kegiatan ini paling intensif dilakukan padabulan-bulan penerimaan mahasiswa baru. Bahkan mereka mengiming-imingidengan beasiswa ataupun Jilbab Award. Ini merupakanwujud bahwa agama sudah masuk ke ruang publik kampus.Jangan lupa, ini adalah wilayah universitas. Anda bisa bayangkandi luar universitas, bagaimana pemaksaan bisa mereka lakukan dengansemena-mena atas nama agama. Sehingga, saya memahamimengapa orang cemas dengan soal fundamentalisme agama karenapersoalan yang dihadapi sangat nyata.Bagaimana jika semangat agama tertentu ketika masuk ke ruang publikjustru mendukung nilai-nilai demokrasi, seperti Gereja di Filipinadan Polandia?Sebetulnya ketika dikatakan bahwa agama berada di wilayahprivat dan bukan di wilayah publik, maka publik yang dimaksudGads Arva –747


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di sini adalah aturan-aturan perundangan yang dibuat dan berlakubagi segenap khalayak (warga negara). Jadi, maksudnya mengapaagama harus di wilayah privat adalah ketika kita membuat undangundangyang berlaku untuk semua orang, keyakinan agama tertentutidak masuk ke dalamnya. Bukan berarti bahwa kita tidak bolehmendiskusikan masalah agama di ruang publik. Hal itu boleh dilakukan.Kita juga boleh membentuk kelompok-kelompok agamadan lain sebagainya. Jadi yang dicegah adalah agama masuk ke dalamaturan-aturan hukum yang berlaku bagi semua orang, sepertiUndang-Undang Perkawinan, Pendidikan atau yang lain.Pendapat yang radikal justru menganggap atribut agama harusmasuk pada setiap aturan hukum dan ada representasi keagamaanyang kuat di ruang publik. Sebab, bagi mereka yang berpandanganradikal, politik identitas itu penting. Bagi seorang sekular, memakaijilbab tidak menjadi masalah selama ia tidak masuk dalamaturan hukum negara. Tetapi bagi yang radikal, aturan memakaijilbab adalah upaya memperjuangkan politik identitas, bahkan,mungkin bukan hanya memakai jilbab tapi juga tidak bersediabersalaman, misalnya, dengan pemeluk agama lain. Atau kalaudia laki-laki tidak mau bersalaman atau memandang mata perempuan.Jadi berbicara pada perempuan dilakukan dengan matayang memandang bukan kepada subyek yang diajak bicara, tapikepada obyek lain. Menghindari subyek perempuan.Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan merekayang radikal sekular, yang memang ingin mengeksklusikan semuaagama dari ruang publik, apakah hal itu bijaksana, karena padaakhirnya hal itu justru akan memancing kelompok-kelompok agamauntuk menampilkan diri? Tetapi, apakah kemudian kelompoksekular moderat lebih bijak (yang membiarkan agama selama ti-748– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dak masuk ke dalam aturanGagasan post-sekularisme dalam erahukum)? Maka kalau kitaotonomi daerah itu akan berjalanlihat kasus di Prancis dalamkasus pendidikan, mi-jika kepemimpinan di daerah sudahbersifat liberal dan sekular. Artinyasalnya, menjadi sangat menarikuntuk diperhatikan. negara kita memang adalah negarasungguh-sungguh memahami bahwaPrancis mempunyai konsep sekular, bukan negara berdasarkanyang disebut dengan laicité,agama tertentu.yaitu aturan bahwa dalampendidikan negeri, agama apapun tidak boleh masuk ke dalamkurikulum. Bagi kelompok sekular-radikal hal itu dianggap sudahbenar. Karena pendidikan adalah gerbang awal untuk menuju pengetahuanyang lebih luas, sebab kalau dimasuki doktrin agamamaka pelajar tidak bisa berpikir secara luas dan kritis.Bagi kelompok sekular-moderat, tidak masalah agama masukdalam pendidikan selama pendidikan yang bukan dibiayaioleh negara/publik. Di Jerman pernah ada kasus satu kelompokingin mendirikan sekolah agama, kebetulan Muslim, tapi ketikapemerintah meminta mereka untuk mempelajari juga agama lain,mereka menolak dengan alasan bahwa mereka Muslim. Salah satucontoh konkret ihwal tarik-menarik antara ilmu pengetahuan danagama terjadi di kampus ini (FIB UI), yaitu ketika salah satu dosenmengajar mengenai filsafat Timur dan salah satu tokoh yangdibahas adalah pemikir Hindu sehingga banyak mengutip ajaranHindu. Kemudian seorang mahasiswa meminta dosen untuk berhentidengan alasan bahwa yang diajarkan adalah ajaran agamaHindu. Saya kira memang harus ada penelitian mengapa banyakuniversitas yang ‘diserbu’ oleh kelompok fundamentalis.Gads Arva –749


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana pandangan Anda ihwal diskursus liberalisme? BagaimanaAnda meletakkan civil rights dan civil liberties yang seharusnyadijamin dan dilindungi negara dalam hubungannya dengan hak-hakperempuan yang kerap termarginalisasi?Berbicara mengenai pandangan liberal atau liberalisme, kita harusmembedakan antara konsep mind yang liberal dan posisi teoriliberalisme. Pembedaan tersebut, misalnya, dapat dilakukan dalammelihat feminisme. Feminisme sendiri memang ada delapan arusteori utama: mulai feminisme liberal, radikal, sampai feminismeposmodern dan ekofeminisme yang sekarang menguat. Namun dariseluruh delapan teori tersebut harus ada liberal mind yang kuat.Liberal mind berbeda dengan teori-teori itu sendiri. Liberal mindadalah suatu posisi pikiran di mana kita menerima posisi pikiranmanapun selama bisa dijelaskan dari akar sosialnya.Persoalan feminisme merupakan persoalan yang lahir dari konteksketidakadilan. Jadi, dalam feminisme persoalan yang ada dijelaskandari akar sosial ketidakadilan jender. Kita tidak bisa menjelaskanfeminisme dari akar moral, karena persoalan ketidakadilanditemui di dalam kondisi sosial, bukan dalam wilayah moral.Moral tetap berada di wilayah pribadi. Sehingga, lagi-lagi, kalaukita berbicara mengenai masalah feminisme, maka kita berbicaramengenai kondisi sosialnya. Kalau ada ketidakadilan dalam kondisisosial tertentu terhadap perempuan, di situlah feminisme harus masuk.Oleh karena itu, untuk melihat secara jernih bahwa suatu haladalah persoalan sosial, maka kita harus mempunyai liberal mind,artinya harus mempunyai sikap dan pikiran yang terbuka.Dari sinilah kemudian seseorang baru bisa menentukan posisiteori manakah yang akan dipakai untuk memecahkan masalahtertentu. Kita bisa memilih posisi liberal. Artinya, paham bahwa750– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–penindasan terhadap perempuan ini hanya bisa diselesaikan kalaukebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan jugadiselesaikan. Jadi misalnya kalau ada persoalan poligami – yang menurutpenelitian salah sebuah organisasi perempuan – yang menyebabkankekerasan dalam rumah tangga, bukan hanya terhadap istri,tapi juga terhadap anak,berarti kalau kita menganut Bagi saya, kebebasan perempuanteori liberal maka kita akan hanya bisa dijalankan dalambekerja dalam domain hukumnya.Artinya, kita akan beberapa bagian dari ajaran agamanegara sekular dan liberal. Karenaberusaha merevisi hukum interpretasinya sangat konservartifyang membolehkan laki-laki dan tradisional. Sehingga tidaklahmenikahi dua, tiga atau empatperempuan.mengagetkan kalau sumberpenindasan justru seringkali datangdari agama. Liberal di sini berarti bahwaTapi bagi feminis radikal,mereka akan mengam-manusia otonom dan bebas. Karenaitu pula, perempuan di sini hendaknyabil posisi yang lain. Karena, didefinisikan sebagai manusia yangbagi mereka, undang-undangapapun yang dihasildefinisikanoleh agama tertentu atauotonom dan bebas; dan tidak dikan,misalnya Undang-UndangAnti-Trafiking yang se-sebab itu, mereka, kalangan feminis,budaya-budaya yang tradisional. Olehkarang sudah ada, tetap saja memilih pijakan yang sekular danada kasus penjualan anak perempuan.Walaupun sudahliberal.ada Undang-Undang Perkawinan yang tidak membolehkan lakilakiberpoligami, tapi tetap saja akan ada laki-laki yang menikahdi bawah tangan, muth‘ah atau yang lain. Jadi, bagi feminis radikal,pilihan mutlak yang harus diubah adalah budaya patriarkhi,bukan sekadar kebijakannya.Gads Arva –751


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Lalu ada teori yang mengatakan bahwa persoalan perempuanadalah persoalan psikoanalisa atau psikologis, yaitu perasaan inferiorperempuan terhadap laki-laki. Kemudian ada juga kelompokfeminis Marxis yang mengatakan bahwa persoalannya adalahpersoalan ekonomi (infrastruktur). Jadi kalau perempuan mampumerebut ekonomi, atau independen secara ekonomi, maka perempuantidak akan tertindas. Ini merupakan perdebatan teoretis yangsangat ramai. Akan tetapi dalam masing-masing teori tersebut tetapmengandaikan adanya liberal mind. Jadi, pilihan apakah kitaberangkat dari mengubah kebijakannya; melalui pembongkarankesadaran dalam psikoanalisa; analisa ekonomi, dan lain sebagainya,hanya pilihan strategis kita. Namun harus ada liberal minddalam kesadaran kita.Persoalannya adalah ketika pikiran kita sudah tertutup dan tidakmempunyai liberal mind, maka kita tidak akan bisa menerimapendekatan-pendekatan yang berbeda. Sebab, kalau tidak mempunyailiberal mind maka yang terjadi adalah penolakan terhadappandangan yang berbeda: kalau ajaran agama mengatakan bahwalaki-laki boleh berpoligami dan perempuan tidak boleh berpoliandri,misalnya, maka tidak boleh ada pendapat lain yang bertentangandengan doktrin tersebut. Jadi, liberal mind di sini tidak ada.Kemudian soal civil and political rights dan civil liberties yang dinegeri ini terlampau susah untuk ditegakkan dalam memperoleh jaminannya,apa komentar Anda?Adalah menjadi suatu yang jelas bahwa civil rights dan civil libertiesadalah tanggung jawab negara. Maka, sangat disayangkan ketikapemerintahan kita melalaikan tanggung jawab tersebut. Sebab dalam752– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perspektif human rights halitu berarti pelanggaran negaraterhadap civil liberties berada di wilayah privat dan bukanKetika dikatakan bahwa agamadi wilayah publik, maka publik yangdan political rights warga.dimaksud di sini adalah aturan-aturanSaya kira, kita harus mempersoalkansecara terus-me-perundangan yang dibuat dan berlakubagi segenap khalayak (warga negara).nerus kelalaian negara. Karenakalau hal ini tidak di wilayah privat adalah ketika kitaJadi, maksudnya mengapa agama harusdilakukan akan merembet membuat undang-undang yang berlakuke persoalan lain. Misalnya untuk semua orang, keyakinan agamaseperti dana non-budgeter tertentu tidak masuk ke dalamnya.Departemen Kelautan danPerikanan (DKP). Bahwa sebuah partai tidak boleh menerima danadari pejabat negara, dan merupakan kekeliruan jika mereka menerimanya.Tetapi mengapa ‘dikabarkan’ oleh media tokoh-tokohseperti Amien Rais, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dantokoh-tokoh lainnya, yang kita anggap sebagai tokoh reformis,justru mau menerima. Ini cerminan dari civil liberties di Indonesiayang belum berjalan. Political rights dan demokrasinya sudahterbentuk tapi civil liberties-nya belum. Bila apa yang diberitakanmedia benar, maka mereka belum memahami betul mana persoalanyang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.Mereka mengaku justru setelah ketahuan. Itu semua menandakanbahwa civil liberties kita belum beranjak berkembang.Terkait dengan civil rights, political rights dan civil liberties bagikaum perempuan, negara ini sebenarnya sudah meratifikasi CEDAW.Tetapi, komitmen negara untuk membangun tatanan yang lebih setaraGads Arva –753


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan adil terhadap perempuan terasa masih sangat rendah. Lantas apayang harus dilakukan oleh aktivis-aktivis perempuan untuk mendesaknegara agar bertanggung jawab dalam menjamin dan melindungihak-hak dan kebebasan perempuan?Persoalannya, negara ini memang abai terhadap hak-hak dankebebasan perempuan. Kalau dari segi political rights, kita sudahmempunyai CEDAW, Undang-Undang Anti-Trafiking, Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Undang-UndangPerlindungan Anak, dan lain sebagainya. Tetapi jaminan danpenghargaan atas civil rights-nya yang memang tidak ada. Terlebih,pemerintah-pemerintah di daerah tidak mengerti bahwa merekaadalah orang yang diberi tanggung jawab untuk melindungiwarganya. Inilah yang seringkali membingungkan analis dari luar.Karena dari political rights-nya sudah sangat bagus jika dibandingkandengan negara lain, misalnya seperti Malaysia, karena sudahada kebijakan-kebijakan di atas, tetapi kenapa masih ada kejadian-kejadianyang memperlihatkan kurangnya civil rights. Misalnya,di Pati (Jawa Tengah) ada daerah di mana perempuannya dijualjustru dengan difasilitasi oleh perangkat pemerintahan setempat.Padahal mestinya mereka tahu bahwa mereka adalah orang yangberkewajiban untuk menjaga political rights dan civil rights warganya.Yang terjadi justru mereka yang paling besar menikmatikeuntungan penjualan perempuan, karena bisnis ini adalah bisnisdengan keuntungan besar.Jadi, menurut hemat saya, itu semua yang menjadi persoalan.Di satu sisi political rights kita bagus, bahwa perempuan bisa memilihdan dipilih dalam alam demokrasi, tetapi di sisi yang lain civilrights-nya tidak dijalankan dengan semestinya. Sebab, sejatinya, negarayang sekular, liberal, demokratis dan membela HAM ternyata754– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak cukup dengan political rights, tetapi juga harus memperhitungkancivil liberties. Kalau tidak demikian, maka akan selalu terjadihal-hal seperti sekarang ini, di mana pelanggaran HAM, terutama,hak-hak perempuan hampir menjadi peristiwa sehari-hari.Apakah advokasi yang dilakukan oleh aktivis perempuan hanya cukupmelalui civil society atau idealnya juga harus mendesak negarauntuk berpihak pada perempuan?Menurut saya, civil society kita sudah sangat luar biasa bagusjika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Bayangkan,sebelum reformasi 1998 organisasi perempuan sangat sedikitjumlahnya lantaran dikooptasi oleh Dharma Wanita. Sehingga,hampir tidak ada organisasiperempuan di luar itu. <strong>Kebebasan</strong> perempuan hanya bisaKalaupun pada waktu itudijalankan dalam negara sekular danliberal. Dan, karena beberapa bagianada organisasi perempuan,dari ajaran agama interpretasinyaitu hanya sebatas kelompokkelompokstudi. Lalu setelahsangat konservartif dan tradisional,sehingga tidaklah mengagetkan kalaureformasi, tercatat setidaknyaada organisasi perempu-datang dari agama.sumber penindasan justru seringkalian sebanyak 200 lembaga.Apalagi ketika lembaga donor membuka pendanaan untuk pembelaanhak-hak perempuan, banyak sekali bermunculan organisasiperempuan, bahkan mereka yang belum tentu feminis juga mendirikanlembaga agar mendapat dana dari lembaga donor.Maka, sekarang ini yang mendesak untuk dituntut adalah komitmennegara. Artinya, kalau civil society sudah relatif kuat mendukungkemajuan perempuan, maka sekarang komitmen negaraGads Arva –755


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang harus jelas dalam mendukung upaya tersebut. Kalau negaramerasa bahwa rancangan perundang-undangan, seperti RUU-APP,merugikan perempuan, maka ia harus tegas. Demikian juga denganperda-perda di daerah yang merugikan perempuan. Apalagijika kita mengacu pada laporan PBB mengenai perda-perda yangmembatasi perempuan yang ternyata merugikan negara sebanyak2,4 miliar dollar per-tahun. Karena dengan adanya perda-perdatersebut, partisipasi kerja perempuan menurun, yakni dari 52%perempuan yang bekerja sekarang menjadi 48% saja. Dan itu sangatmempengaruhi ekonomi negara kita.Hal yang sama juga terjadi dalam dunia pendidikan. Yangsebelumnya sebanyak 98% perempuan melek huruf, sekarang menurunmenjadi 95%. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Padahal inimerupakan persoalan yang sangat mendasar bagi berlangsungnyasuatu negara yang ingin terus berkembang maju. Lalu mengapaini terjadi? Apakah memang ada persoalan pada civil liberties-nya,meskipun political rights-nya dijamin? Jadi, kenyataan ini sangatmengkhawatirkan, bahkan, perda-perda syariat Islam tersebut ternyatajuga sangat mempengaruhi perekonomian kita. Kalau setengahpenduduknya bodoh, tidak sehat, dan tidak bisa bekerja,atau partisipasi kerjanya dibatasi, maka itu berarti setengah darinegara ini juga hancur.Bagaimana dengan globalisasi yang bagi sebagian kalangan dianggapmenempatkan perempuan sebagai obyek kapitalisme? Lantas bagaimanapula dengan kian demonstratifnya neoliberalisme jika dilihatdalam kaca mata seorang feminis seperti Anda?756– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Globalisasi seringkali dibenturkan dengan local values. Bahwaseseorang yang pro-globalisasi berarti ia tidak pro-local values ataunilai-nilai lokal. Sehingga, pada lokus inilah mestinya seorang feminisdapat menimbang-nimbang, di mana suara saya (perempuan)bisa terdengar: di masyarakat global atau di masyarakat yangmenganut nilai-nilai lokal? Padahal, kita semua tahu, selama beribu-ributahun budaya patriarkhi justru dibangun atas dasar localvalues. Yakni nilai-nilai lokal yang sangat kuat dan tidak dapatdiganggu gugat, yang mana nilai-nilainya tidak memberikan kesempatankepada perempuan. Di sini pun (di lingkungan kampusFIB UI), perdebatan yang terjadi juga seperti itu. Sebenarnya kitasudah mencoba percaya dengan local values, namun yang terjadikemudian ia menjadi nasionalisme yang sempit, sehingga menyebabkannegara yang korup. Sudah terbukti bahwa nilai-nilai lokalkita dipenuh dengan korupsi, penuh dengan tindak kekerasan,terlebih lagi, sarat dengan nilai-nilai yang diskriminatif terhadapperempuan.Pertanyaannya kemudian adalah: apakah saya sebagai perempuanakan lebih bisa beraktualisasi dalam local values ataukah di dalamdunia global? Globalisasi sebenarnya lintas jender dan lintas kelas.Misalnya saya bisa masuk lewat internet untuk membeli sahamwalaupun saya berasal dari kelas dan jender tertentu. FenomenaTukul, misalnya, merupakan fenomena globalisasi. Dia tidak perlusekolah S3 untuk mendapatkan uang yang banyak. Ini semuaadalah kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh globalisasi.Memang ada hal-hal yang buruk dari globalisasi, akan tetapidi sana juga ada banyak sekali kemungkinan dan kesempatan, terutamabagi kaum minoritas, seperti perempuan, kelompok agamaminoritas, kelompok minoritas secara seksual, dan lain sebagainya.Gads Arva –757


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi, menurut saya, kita hanya bisa berharap pada sesuatu yangmemberikan kemungkinan-kemungkinan atau possibilities bagi kemajuantatanan yang akomodatif terhadap perempuan.Kemudian soal kapitalisme. Kalau kita mau jujur, adakah pilihanlain bagi sebuah negara selain kapitalisme? Akan tetapi perludiingat, yang saya maksud dengan kapitalisme adalah kapitalismeyang sesungguhnya, bukan kapitalisme semu. Kalau kita menganggapbahwa kapitalisme itu buruk, tentu kita harus memberikanpilihan lain. Lantas apa pilihannya? Bentuk pasar seperti apa?Komunisme? Planned market seperti di negara sosialis? Yang perludigarisbawahi di sini, saya tidak lantas membenarkan kapitalismeitu sendiri, melainkan, bagi saya, dalam kapitalisme human rightsbenar-benar dijaga.Apabila kita mencoba untuk membandingkan sistem yangberseberangan dengan kapitalisme, komunisme, misalnya, secarakasar dapatkah kita melihat ada tokoh komunis yang seperti BillGates, yang memberikan uang sangat banyak untuk memberantaskemiskinan? Di dalam negara kapitalis yang membiarkan modaldan perusahaan berkembang tanpa batas, ternyata juga mempunyaiaturan-aturan hukum untuk melindungi para karyawannya.Anda bisa lihat siapa yang membuat aturan bahwa perempuan bisacuti haid, siapa yang membolehkan perempuan menjadi eksekutifatau direktur sekalipun. Semua kemungkinan semacam itu hanyabisa terjadi dalam dunia kapitalisme. Sampai sekarang saya belummenemukan sistem yang lebih baik ketimbang kapitalisme. Kitasudah melihat betapa sistem ekonomi yang tersentralisir seperti dinegara komunis runtuh. Lantas, apakah jawabannya sistem ekonomiPancasila? Apa itu sistem ekonomi Pancasila?758– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kritik yang biasa diajukan terhadap sistem ekonomi liberal-kapitalisadalah bahwa sistem ini pada akhirnya hanya memberi ruang bagikelompok yang kuat, sebaliknya menggilas yang lemah. Bagaimanapandangan Anda mengenai kritik ini?Bagi saya jika persoalannya semacam itu, sebenarnya sistemyang tidak berjalan di situ adalah pemerintahannya. Kalau soalpedagang kecil yang tidak bisa berkembang, maka jawabannya adalahbahwa mereka harus menyetorkanupeti kepada aparatpemerintahan, sementara dimulai dari abad ke-17 memangSejarah ilmu pengetahuan yang sudahmodal mereka terbatas. Lalu sedikit sekali menampilkan peranmengapa pedagang besar sepertiNewmont, misalnya, dianggap tidak kompeten untukperempuan. Perempuan saat ituberpikir secara abstrak.mereka bisa besar lantaranmemberikan upeti yang jugalebih besar. Jadi apakah sistemnya yang harus kita permasalahkanatau cara merawatnya ataukah regulatornya yang harus kita permasalahkan?Menurut saya, di situlah peran pemerintah menjadisangat signifikan, ketika dikaitkan dengan upaya pemerataan ekonomiyang kurang berjalan maksimal.Apa yang dilakukan oleh Muhammad Yunus, penerima Nobelekonomi Bangladesh, adalah hal yang sangat luar biasa. Mengapapemerintah tidak mau melakukan hal yang sama? Tetapi nyatanyapemerintah tidak mau melakukan hal yang seperti itu, denganpertimbangan bahwa pedagang kecil hanya memberikan sedikitkeuntungan. Sebenarnya pemerintah bisa membuat aturan yangmembatasi perusahaan besar macam Freeport atau menaikkanGads Arva –759


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pajaknya. Jadi, saya kira, kapitalisme harus berbarengan dengangood governance.Tapi bukankah globalisasi juga masih menyisakan persoalan yang dilematis?Di satu sisi, diversitas dimungkinkan, namun, di sisi lain, perempuanmasih didikte oleh pasar, seperti tampak dalam fenomena bonekaBarbie yang kemudian oleh para pemodal besar penyeragamannya dapatberubah sesuai dengan pangsa pasar di mana Barbie menjadi ikon dimasing-masing tempat. Menurut Anda, bagaimana kelompok aktivisperempuan mengantisipasi sisi negatif globalisasi?Lagi-lagi, itulah mengapa dibutuhkan tegaknya civil liberties.Di dalam dunia kapital boneka seperti Barbie, dengan mata biru,rambut blonde bisa menjadi acuan pasar selama memberikan keuntungansebesar-besarnya. Model seperti itu kemudian menjadiindentitas perempuan cantik, yakni bermata biru, putih, danblonde. Tetapi ternyata kemudian civil liberties berkembang, karenabisa jadi lantaran adanya perkembangan pendidikan HAM.Kemudian muncullah bratz, yakni boneka sejenis Barbie denganwarna cokelat, hitam, kuning, dan bahkan ada yang ungu denganwarna mata dan rambut yang berbeda-beda. Sehingga yang menjadikiblat bukan lagi model Marilyn Monroe, melainkan JenniferLopez dan Lucy Liu, misalnya.Di sini, hendaknya globalisasi mesti dibarengi dengan civilliberties yang berkembang dan memberikan pilihan-pilihan yangberagam kepada perempuan. Bagi negara yang pendidikan danHAM-nya belum kuat, perempuan akan terus menjadi obyek. Tetapikalau pendidikan dan HAM kita sudah kuat, maka perempuanakan memanfaatkan globalisasi untuk terus berkembang, sebagai-760– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mana yang terjadi di Cina. Kita tahu bahwa Cina berusaha masukmenjadi anggota WTO (World Trade Organization). Padahal Cinadianggap memiliki budaya luhur, nilai lokal yang begitu kuat, danlain sebagainya. Namun mereka berpikir bahwa bagaimanapunglobalisasi sudah ada di depan mata, dan yang harus mereka lakukanadalah memanfaatkannya. Karena itu mereka dengan sadarmemanfaatkannya.Bagaimana tanggapan Anda mengenai adanya MDG’s (MilleniumDevelopment Goal’s)? Apakah ia memberikan angin segar terhadapgerakan perempuan?Menurut saya programini sangat penting. Dalam Untuk melihat secara jernih bahwasuatu hal adalah persoalan sosial,program ini kita mempunyaimaka kita harus mempunyai liberalwaktu sampai 2015 untukmind, artinya harus mempunyaimengejar semua ketertinggalan.Di dalam program sinilah kemudian seseorang baru bisasikap dan pikiran yang terbuka. Dariini dikatakan bahwa wajah menentukan posisi teori manakahdominan kemiskinan adalah yang akan dipakai untuk memecahkanperempuan. Oleh karena itumasalah tertentu.yang perlu dilakukan adalahmengatasi masalah-masalah yang menimpa perempuan. Masalah perempuanyang diidentifikasi adalah masalah kemiskinan, kesehatan,budaya patriarkhis, dan lain sebagainya. Sebuah negara bisa mengatasimasalah kemiskinan kalau negara tersebut mampu mengatasimasalah-masalah perempuan. Oleh karena itu, program MDG’smenjadi penting. Namun kita hanya punya waktu relatif singkatuntuk segera bergerak.Gads Arva –761


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut laporan PBB beberapa waktu lalu, kemiskinan negarakita sangat memprihatinkan. Sementara dalam realitasnya, kemiskinanitu berwajah perempuan. Sehingga, persoalannya menjadisemakin rumit karena ternyata statistik mengenai peran perempuanmenurun. Sebagai contoh, kematian ibu melahirkan di rata-ratanegara lain hanya 166 per 100.000 kelahiran, sementara di negarakita mencapai lebih dari 300 per 100.000 kelahiran. Belum lagisoal penurunan partisipasi kerja perempuan, termasuk juga dalamwilayah pendidikan dan partisipasi politik, sebagaimana telah sayasampaikan di atas. Bagaimana mungkin kita kalah dengan negaranegaradi Afrika, yang tingkat IPU-nya, tingkat partisipasi politikperempuan mereka, lebih tinggi daripada negara kita. Sebab, partisispasipolitik kaum perempuan di negara kita di bawah 11%,sementara di Afrika ada yang di atas 12%.Padahal, partisipasi politik perempuan itu sangat penting. Kalaukita mau mengatasi masalah kemiskinan, dan kalau kemiskinanitu berwajah perempuan, maka kita membutuhkan politisi-politisiperempuan. Dengan jumlah penduduk perempuan yang sangat besarmaka sangat tidak cukup hanya diwakili oleh sembilan% wakilperempuan dalam politik.Memang, kaitannya dengan MDG’s, kita hanya mempunyaiwaktu relatif singkat, sehingga seringkali kita pesimis. Bagaimanakita mau bekerja sama dengan anggota dewan, misalnya, jika diantara mereka ada yang beristri lebih dari satu. Artinya dia tidakbisa menghargai hak-hak perempuan. Kita juga kecewa denganulama yang kita anggap mampu berperan besar, tetapi ternyatamasih menggunakan doktrin-doktrin yang melecehkan perempuan.Persoalannya tambah rumit ketika pemerintah daerah membuatkebijakan (perda-perda syariat Islam) yang kontra produktif,762– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–namun dibiarkan oleh negara. Akhirnya, kalau kita kembali padapandangan liberal maka yang dituntut adalah lebih pada wilayahindividu. Kita tidak bisa berharap pada kelompok untuk menentukankeputusan-keputusan hidup kita. Akan tetapi, individulahyang seharusnya diperkuat untuk bisa menentukan kehidupannyamereka sendiri.Terkait dengan kebebasan perempuan, dalam kritik sastra yang didasaritelaah psikoanalisa dan teori linguistik posmodern terdapat konsepecriture feminin. Yaitu suatu upaya penulisan atau lebih sebentuktestimoni perempuan atas pengalaman atau peristiwa-peristiwakebertubuhan yang melingkupi atau menimpa diri mereka, sekaligusbentuk perlawanan mereka terhadap logika phallus yang mendasaribudaya patriarkhi. Mungkin Anda bisa menjelaskan ide yang digagasoleh Helene Cixous dan Irigaray ini, dan apa urgensinya untukperempuan?Sebenarnya diskusi semacam ini bisa dimulai dengan CarolGilligan yang mengatakan bahwa perempuan sebenarnya mempunyaietika yang sangat baik, dan etika ini juga bisa diadopsi olehlaki-laki. Salah satunya adalah etika kepedulian (ethics of care).Etika kepedulian ini sangat kuat dalam diri perempuan karenadia adalah satu-satunya makhluk (manusia) yang melahirkan. Dankarena perempuan bisa mengandung dan melahirkan inilah yangkemudian mengubah cara pandang mereka dalam melihat dunia.Mereka melihat dunia sebagai keterhubungan, sebagai dunia rahimyang luas. Karena mereka melihat bahwa jika perempuan bisamelahirkan manusia, maka semua manusia merupakan bagian daridiri mereka.Gads Arva –763


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Cara pandang perempuan ini sangat berbeda dengan laki-lakiyang memiliki sejarah panjang kekerasan. Laki-laki memiliki sejarahagresif karena mereka tidak memiliki pengalaman mengandungdan melahirkan. Ini pendapat Carol Gilligan. Dengan konteks semacamitulah, kemudian laki-laki kontemporer mengadopsi ethicsof care dengan menjadi laki-laki feminis.Kemudian soal ecriture feminine, perempuan mempunyai pikirandan ekspresinya sendiri. Dan mereka merasa bahwa dunia merekabisa diwujudkan dengan cara mereka dan itu akan membuat dunialebih baik. Sebab, bagaimanapun harus diakui bahwa sejarahkekerasan sangat kental dengan budaya maskulin. Oleh karena itu,jika sejarah diisi dengan karakter feminin (dunia feminin) makasejarah kekerasan seperti yang terjadi di Irak sekarang ini mungkintidak akan terjadi. Dan mungkin jika George W. Bush maumemahami ethics of care mungkin ia akan mengurungkan niatnyamemerangi Irak.Ethics of care ini, menurut Helene Cixous, dianggap oleh budayapatriarkhi sebagai sikap cengeng, sehingga budaya patriarkhimenyusun budaya politik yang agresif, ekonomi yang akumulatif,etika lingkungan yang eksploitatif, dan lain sebagainya. Nah, Cixousberpendapat bahwa jika baik laki-laki maupun perempuanpercaya bahwa ethics of care ini penting untuk menyusun duniayang baru, berarti perempuan harus banyak menuliskan pengalaman-pengalamanmereka, sehingga kita kemudian bisa belajar untukmewujudkan dunia yang penuh dengan ethics of care.Oleh karena itu, Cixous berpendapat bahwa karena seksualitasperempuan selama ini tidak boleh ditulis atau tidak boleh dibagidalam ruang publik, langkah pertama yang harus dilakukan untukmengadopsi ethics of care ini adalah dengan menuliskan seksualitas764– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perempuan. Sebenarnya seksualitasperempuan merupakanawal dari hubungan an-bahwa civil rights dan civil libertiesAdalah menjadi suatu yang jelasadalah tanggung jawab negara.tar-manusia antara laki-lakiMaka, sangat disayangkan ketikadan perempuan melalui relasiseksual. Misalnya begini:pemerintahan kita melalaikantanggung jawab tersebut. Sebabkalau Anda peduli dengandalam perspektif human rights hal ituhubungan seksual Anda, yaitudengan bertanya kepada civil liberties dan political rights warga.berarti pelanggaran negara terhadappasangan Anda, apakah diaorgasme atau apakah Anda telah memuaskan pasangan Anda? Semuaitu sebenarnya merupakan kepedulian awal sebelum terjun dalammasyarakat. Ini adalah bentuk kepedulian terhadap the other.Karena itu, jika ada etika kepedulian dalam seksualitas, makaketika Anda masuk dalam kehidupan sehari-hari, Anda juga akanbersikap peduli terhadap the other. Pandangan ini sangat menarik,karena ternyata hubungan yang bersifat sangat privat mempunyaipengaruh yang sangat besar dalam dunia publik. Selain itu, caraseorang perempuan merawat anak dan lain sebagainya jika diterapkandalam mengatur negara ternyata akan mencapai hasil yangjauh lebih baik. Sehingga, Cixous mengusulkan untuk menuliskanpengalaman-pengalaman perempuan sebagai bahan untuk pembelajaranbersama.Adalah kemestian buat bangsa ini, yang teramat majemuk, untuk menyadaripentingnya gagasan pluralisme. Celakanya, oleh banyak kalanganpluralisme pada akhirnya sering dipahami akan mengarah padasinkretisme dan relativisme kebenaran. Bagaimana menurut Anda?Gads Arva –765


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Di sinilah letak pentingnya sekularisme, di mana ada pemisahanantara yang privat, seperti agama, dengan yang publik. Dalampersoalan publik kita bisa merumuskan bersama mengenai apayang benar dan apa yang salah. Sebab, kita sebagai bagian daripublik harus mengikuti kebenaran yang sudah disepakati bersamadan akan menerima hukuman jika kita melakukan kesalahanatau melanggarnya. Tetapi dalam wilayah privat di mana agamaberada, menurut saya, tidak ada aturan (publik) mengenai yangbenar dan yang salah. Karena kebenaran dalam wilayah privat dikembalikankepada individu masing-masing. Jadi, misalnya, jikaseseorang menganggap bahwa sembahyang menghadap ke timur,selatan, utara atau barat itu boleh, maka tidak ada sanksi (publik)bagi dia. Karena itu merupakan urusan dirinya dengan Tuhan.Atau itu semua kembali pada pilihan masing-masing.Pemahaman seperti inilah yang mungkin tidak dipahami olehkelompok yang menentang pluralisme. Oleh karena itu, merekamencampuradukkan agama dengan aturan publik. Bagi saya, agamaitu memang tidak seharusnya berada di wilayah publik, karenamemang tidak ada manual book-nya. Apakah orang mau berpuasaatau tidak, mau berjilbab atau tidak adalah pilihan dan tidak bisadipaksakan oleh kelompok tertentu. Jadi, pada dasarnya pengertian-pengertianyang secara clear dan jelas inilah yang tidak dimilikioleh kelompok-kelompok yang mencoba mendesakkan agama keruang publik. Kalau mereka sadar bahwa agama bukanlah wilayahpublik, tentu tidak akan terjadi kekerasan, dan mereka tentu sajaakan menerima pluralisme.Celakanya, kelompok-kelompok yang memaksakan agamamasuk ke dalam wilayah publik telah memperalat ayat-ayat kitabsuci. Sebagaimana pernah saya kemukakan bahwa fenomena ini766– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sebetulnya bisa kita analisis dariBagi saya, pluralisme memangaspek pemakaian bahasa. Misalnya,ketika kita mengucapkanmempunyai pengertian yangdapat mengarah pada sesuatuassalâmu‘alaykum, kita sebetulnyasudah menegaskan identitas memasukkan agama ke dalamyang sangat relatif. Kalau kitakita dan merasa setingkat lebih ruang pribadi kita maka ia akanbaik daripada orang yang hanya menjadi sangat relatif. Lalumengucapkan salam dengan kata pertanyaannya: apakah orangselamat siang, misalnya. Pemakaianbahasa seperti ini dalam kemudian dianggap murtadyang menganggap agama relatifataukah ia bukan manusiaruang publik menunjukkan bahwasebenarnya kita telah ber-lagi? Tentu saja tidak demikian.Memang pluralisme menjadimain dengan memakai politikrelatif karena membiarkan orangidentitas. Hal seperti ini, bagiuntuk memilih, membiarkansaya, berbahaya.suara-suara lain masuk, tidakKita harus mengakui bahwa mengekslusifkan iden-titasnya,kalaupun kita beragama Islam,dan tidak fixed.misalnya, sebenarnya hanya karenakita kebetulan lahir dari keluarga Muslim. Kalau kita lahirsebagai orang Israel dan Yahudi, tentu kita juga tidak mempunyaipilihan lain. Terus terang saya selalu terganggu jika menerima telepondan suara di seberang sana mengawali dengan assalâmu‘alaykum.Bagaimana jika yang menerima itu bukan Muslim atau tidakbisa berbahasa Arab? Itu berarti kita selama ini telah memaksakandunia privat kita pada dunia privat orang lain.Artinya, apakah jika demikian pluralisme memang mengarah padarelativisme?Gads Arva –767


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagi saya, pluralisme memang mempunyai pengertian yangdapat mengarah pada sesuatu yang sangat relatif. Kalau kita memasukkanagama ke dalam ruang pribadi kita, maka ia akanmenjadi sangat relatif. Lalu pertanyaannya: apakah orang yangmenganggap agama relatif kemudian dianggap murtad ataukahia bukan manusia lagi? Tentu saja tidak demikian. Memang pluralismemenjadi relatif karena membiarkan orang untuk memilih,membiarkan suara-suara lain masuk, tidak mengekslusifkanidentitasnya, dan tidak fixed. Kalau saya memakai atribut agamatertentu, maka hidup saya akan fixed, dan saya hanya akan bertemandengan orang tertentu yang seagama dengan saya. Demikianjuga saya akan mencari pasangan hidup yang seagama, makanan,buku-buku, dan seterusnya. Tetapi bagi orang yang tidak mematokidentitasnya, ia akan menjadi relatif dan fleksibel. Denganbegitu, bagi saya, kita bisa maju kalau semua orang memilih atasdasar pilihannya sendiri, bukan atas dasar kelompoknya atau atasdasar teks hidup yang sudah pasti atau didesain oleh agamanyabukan oleh dirinya sendiri.Ada yang mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang tolerandengan bukti sejarah di mana sejak dahulu sampai sekarang wargaIndonesia cenderung mudah untuk menerima agama, kelompok, danpaham asing. Bagaimana menurut Anda?Apakah benar seperti itu? Coba Anda lihat sejarah Indonesia1945, 1965, dan 1998. Apakah itu memperlihatkan bahwa kitaadalah bangsa yang toleran? Yang terjadi dalam budaya kita belakanganini sebetulnya adalah Arabisasi. Kalau kita melihat budayaasli kita, sebetulnya berangkat dari kepercayaan animisme.768– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Namun kemudian ketika Islam masuk ke Nusantara yang terjadiadalah percampuran antara Islam dengan budaya animisme danmistisisme yang tidak sama dengan budaya Arab. Jadi yang terjadibelakangan ini adalah usaha Arabisasi yang sebetulnya tidaksesuai dengan karakter budaya kita. Saya masih ingat bagaimananenek saya menjalankan ajaran agama Islam sesuai dengan budayalokal dia. Karena waktu itu tidak ada lembaga seperti MUI yangdemikian mudah membuat fatwa-fatwa untuk melarang suatukeyakinan Islam tertentu yang dianggapnya menyimpang. Dulupraktik-praktik keagamaan yang memadukan budaya lokal ataukepercayaan dibiarkan, tidak menjadi masalah.Perlu diingat bahwa Islam Indonesia tumbuh berdampingandengan budaya-budaya lokal yang ada di nusantara. Lalu kemudianmuncul orang-orang yang berpendidikan Timur Tengah danmengatakan bahwa praktik Islam di Indonesia salah, sesat. Merekasendiri tidak menyadari bahwa budaya yang mereka impor adalahbudaya yang sama sekali berbeda dengan budaya kita.Ketika salat idul fitri, dan kebetulan waktu itu saya berada diPrancis, teman saya yang berasal dari Iran membaca doa dalambahasa Persi, demikian juga teman saya yang dari Amerika membacadoa dalam bahasa Inggris, sementara saya berdoa dalam bahasaArab. Mereka merasa heran dengan cara berdoa saya. Lantasmereka bertanya kepada saya, mengapa saya tidak memakai bahasaIndonesia? Saya sendiri justru merasa heran dengan merekayang memakai bahasa ibu mereka untuk berdoa. Ini kemudianmenjadi tanda tanya bagi saya. Namun akhirnya saya pun menyadari,bahwa semestinya boleh berdoa dalam bahasa Indonesia,mengapa tidak? Tetapi, ironisnya, beberapa waktu lalu ada orangyang dihukum karena berdoa atau salat dalam bahasa Indonesia.Gads Arva –769


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Alasan kenapa ia dipenjarakan karena MUI tidak menghendakipraktik beragama seperti itu.Wawancara dilakukan di Depok, 24 Mei 2007770– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganHamid BasyaibHamid Basyaib, Direktur Program Freedom Institute, peneliti di Aksara Foundationdan The Indonesian Institute. Mantan Kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) ini pernahmenjadi wartawan Republika dan majalah Ummat.771


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Semangat besar al-Quran adalah individualisme. Dengan kebebasannyamanusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri—padaTuhan, kelak. Batas kebebasan seseorang adalah kebebasan oranglain. Artinya, ketika kebebasan seseorang, dengan keyakinan subyektifnya,merampas kebebasan beragama dan berkeyakinanorang lain, misalnya, maka berhadapan dengan hukum. Sebabpemaksaan keyakinan terhadap orang lain tidak menghargaiperbedaan yang paling elementer, karenanya melanggar HAM.Berbeda dengan keyakinan religius yang tidak bisa dikompromikan(dogmatis), pada urusan publik, yakni politik, semuanyabisa dikompromikan. Bisa terjadi tawar-menawar—bukan relativitasmoral—sehingga tercapai common denominator di tengahperbedaan. Karena itu pula jangan membawa urusan privat kedalam ranah publik.772– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apa yang Anda pahami tentang sekularisme, apakah berbeda dengankonsep yang pernah ditawarkan Cak Nur ketika itu? Dan apakah perluada perubahan paradigma dalam melihat sekularisme saat ini?Ide sekularisme muncul pertama kali di Eropa. Tetapi jauh sebelumitu, banyak sekali tonggaknya. Kalau kita ingin mengambiltonggak yang paling awal, yang paling besar, tentunya dari Yunani,yaitu dari pemikir-pemikir besar Yunani, kemudian berevolusi hinggake tonggak-tonggak pada masa modern, yaitu pada masa Prancis.Melalui Revolusi Prancis, mereka menyuarakan keinginan untukmengurangi sejauh mungkin peran agama yang diwakili oleh GerejaKatolik dalam urusan-urusan publik. Itu kata kuncinya.Jadi, mereka ingin agama yang notabene di wilayah privat, karenamenyangkut batin manusia, harus diserahkan kepada individumasing-masing. Idenya sebetulnya sangatlah gamblang dan jelas– meskipun suasana saat itu sangat revolusioner. Karena, sepertibiasa, ketika kita berada di wilayah tertentu, pada hal-hal yanggamblang pun kita kadangkala tidak punya jarak, sehingga kitaikut begitu saja. Begitu kita menarik diri ke luar dan melihat dariluar, persoalannya menjadi sangat gamblang, karena itu dengansendirinya benar. Itu sebetulnya truism.Jadi bahwa urusan kebatinan atau batiniah adalah urusan masing-masing,tidak bisa dibantah oleh siapapun. Semua orang pastitahu bahwa hati kita yang tahu adalah kita sendiri dan Tuhan –kalau memang kita percaya Tuhan. That is it. Karena di luar itukita tidak tahu. Maksud saya, manusia berbahasa bukan hanyauntuk mengungkapkan pikiran dan perasaan yang sebenarnya, tetapijustru seringkali untuk menyembunyikannya. Oleh karenanyaHamd Basyab –773


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dinamakan basa-basi. Itu menunjukkan bahwa hati manusia tidakada yang tahu.Dengan dasar itu, pemisahan antara agama dari kehidupanpublik, menurut saya, adalah sesuatu yang pasti benar. Karenalatar belakangnya begitu gamblang bahwa gereja waktu itu yangmewakili agama Katolik dan dengan sendirinya dianggap sebagaiperpanjangan tangan langsung dari Tuhan. Gereja mengurusi semuahal sejak dari dalam kandungan. Bahkan mereka sudah menarikpajak kepala sejak di dalam kandungan. Semua hal diurusgereja: dari soal perkawinan sampai partai politik. Pokoknya dariA sampai Z diurusi gereja. Ini berlangsung ratusan tahun di negara-negaraEropa dengan derajat yang masing-masing berbeda danyang pasti lebih parah dari dunia Islam. Di dunia Islam, khilâfahpada dasarnya sekular (nanti kita bahas tersendiri).Di Eropa sejarahnya pekat sekali. Setiap orang diatur dari ujungrambut sampai ujung kaki. Karena itu, ledakan pemberontakannyapun besar. Sebab ledakan selalu sebanding dengan tekanan. Yangpaling tragis di Prancis, sebuah negara yang dijuluki Putri GerejaKatolik. Maka tidak heran jika ledakan pemberontakan yang palingkeras terjadi di sana. Evolusinya seperti itu.Mereka, masyarakat Eropa, kemudian sepakat bahwa agama,dalam hal ini Katolisisme, tidak mungkin dibasmi karena penganutnyamasih banyak, tapi kekuasaan politiknya yang eksesif tidakboleh dilanjutkan. Kalau agama berpolitik, orang akan mendapatkanpolitik yang tidak bermutu, karena kitab suci tidak menyediakanpemikiran-pemikiran politik, manajemen berpolitik, dan sebagainya.Di sisi lain, orang juga tidak akan mendapatkan pemahamanagama yang benar karena agamanya pasti koruptif, lantaran mencampuripolitik. Menjadi tidak jelas lagi, waktu itu, ketika meli-774– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hat seorang pastur apakah ia tokoh agama atau tokoh politik. Jadiidentitasnya menyatu. Dan efeknya sangat luar biasa.Lantas mereka sepakat. Keganasan agama harus dijinakkan,jangan ditumpas. Kemudian Katolik diberi tempat, namanya Vatikan,yang besarnya hanya44 hektare, kalah dari bangunanRasuna Episentrum membawa urusan privat ke dalamInti dari sekularsime adalah janganyang mencapai 53 hektare,urusan publik. Yang termasuk urusanprivat di sini adalah keyakinankeyakinanreligius yang tidak bisakemudian dikirim kira-kiraseribu tentara sampai sekarang.Mungkin penduduk-dikompromikan. Padahal pada urusanpublik, yakni politik, semuanya bisanya hanya dua ribu, terdiri dikompromikan, artinya bisa tawarmenawar– bukan relativitas moral.dari seribu pastur dan seributentara. Itulah yang dianggapsebagai kerajaan spiritual, kerajaan agama, benar-benar dipisahtegas dari kekuasaan politik.Hal ini merupakan kompromi yang hebat sekali. Dari satusegi kita kagum, tentunya, setelah melewati proses yang berdarahdarahdan korbannya pun besar. Tidak pernah terjadi di tempatyang lain bagaimana darah yang tertumpah begitu banyaknya, sehinggamereka sangat traumatik. Meskipun di Islam atau di agamalainnya tidak terjadi sedahsyat itu, tapi sebetulnya semua agamamempunyai sisi gelap.Itulah yang terjadi hingga sekarang, agama dikandangkan diVatikan. Paus dipilih seumur hidup, bila mati baru diganti. Kemudianmereka mengirim pastur ke berbagai penjuru negeri, terutamake negara-negara berkembang dan miskin. Tetapi karena umumnyawarga negara Eropa kurang peduli atau mungkin sudah dewasasekali beragamanya, sehingga mereka tidak ekshibisionis.Hamd Basyab –775


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ini berbeda dengan Amerika. Mereka tidak punya sejarah sepertiitu, karenanya agama, terutama Protestan, sekarang kelihatanbergairah dan kaum fundamentalis semakin banyak.Jadi, inti sekularisme sebetulnya bukan membenci agama atauhendak menumpas Tuhan. Tuhan itu sesuatu yang tidak pasti adanya,namun kenyataannya banyak orang yang percaya. Dan sekularismeingin mengatakan, silakan saja. Yang penting keyakinanAnda yang tidak bisa dibuktikan itu jangan dipaksakan dan diterapkanuntuk orang lain.Berbeda dengan orang komunis. Bagi kaum komunis, kita tidakboleh bertuhan. Kalau seseorang mengakui keberadaan Tuhan,maka ia dibunuh dan dipenjara. Jadi, batin orang dibedah. Itu sisiburuk komunisme.Sementara sekularisme menyilakan kita untuk percaya pada agamaataupun tidak. Yang terpenting adalah bagaimana kita mencaricommon denominator atau titik temu dari perbedaan-perbedaan dilevel sosial. Saya tidak peduli agamamu apa dan Tuhan mana yangkau sembah. Namun demikian, yang penting bagaimana kita membangunjembatan yang kuat, membuat gedung pertunjukan musiksecara menarik, menciptakan sistem politik yang baik, membuatmanjamen sosial yang baik pula. Apapun motifnya, ihwal agamaadalah urusanmu. Lakum dînukum wa liya dîn, bagimu agamamudan bagiku agamaku. Itu sekularisme yang sebetulnya.Dengan ini saya ingin mengatakan bahwa ada banyak kesalahpahamanyang tidak perlu. Pertama, inti dari sekularsime adalahjangan membawa urusan privat ke dalam urusan publik. Yangtermasuk urusan privat di sini adalah keyakinan-keyakinan religiusyang tidak bisa dikompromikan. Padahal pada urusan publik, yaknipolitik, semuanya bisa dikompromikan, artinya bisa tawar-mena-776– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–war – bukan relativitas moral. Misalnya, saya ingin membangungedung dan duitnya ada sekian. Sementara, menurut Anda, lebihbaik bangun pabrik. Di sini terjadi tawar-menawar untuk mendapatkantitik temu. Itu maksudnya.Kalau seseorang atau sekelompok orang minta sesuatu berdasarkankeyakinan religius yang notabene tidak bisa dicek, hanyaberdasarkan keyakinan subyektif, bagaimana jadinya? Itu tidakmungkin. Karena, mereka cenderung menutup jalan kompromi.Padahal politik adalah the art of compromise, the art of possible, sesuatuyang serba mungkin, bukan sesuatu yang pasti. Sedangkanagama adalah sesuatu yang pasti bagi para penganutnya. Akibatnyaterjadi komplikasi. Itu yang terjadi di Eropa di masa lalu, karenaabsolutisme. Ajaran agamadari atas, dari Tuhan. Bagaimanaia mau dicek? Ia kebebasan orang lain. Di situlahBatas kebebasan seseorang adalahtidak bisa dibuktikan. Hal kemudian ada hukum sebagaiyang sama juga terjadi di perangkatnya. Jadi semuanyaIran, misalnya, dengan teokrasinya.merampas kebebasan orang lain akandiatur. Anda bebas, tetapi kalauLagi-lagi, inti sekularsimebukan membenci agama,berhadapan dengan hukum.tetapi menempatkan agama pada proporsinya. Sejatinya sesederhanaitulah sekularisme. Mestinya ia tidak harus menjadi perdebatanbesar, karena jelas sekali.Yang dikemukakan Cak Nur sebetulnya adalah sekularisme dilevel sosial yang juga bisa dibenarkan. Sementara konsentrasi sayaadalah di level politik. Level sosial adalah sesama umat beragama.Yang dibidik oleh Cak Nur adalah internal umat Islam yang masihmenganggap begitu banyak hal adalah sakral. Begitu banyakHamd Basyab –777


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hal sosial direligiuskan, dispiritualkan, disakralkan. Makanya diamengatakan bahwa yang sakral hanya satu, yaitu Allah itu sendiri.Bahkan agamanya sendiri tidak sakral. Itu bagi Cak Nur.Itu juga merupakan upaya Cak Nur untuk menerobos anggapanyang sangat berakar, yang merupakan kecenderungan umumumat beragama, yakni menerapkan semua hal berdasarkan perspektifagama. Anggapan ini diklaim ada dasarnya: bahwa agama (Islam)kâffah. Atau, pernyataan bahwa yang tidak memakai aturanMuhammad berarti ia bukan umatnya, dan sebagainya. Padahal,sebetulnya, itu hasil dari porses sejarah dan mungkin juga hasilpenafsiran.Jadi, sekali lagi, inti sekularisme bukan membenci agama, tapimenempatkan agama pada proporsinya yang tepat.Lantaran gagasan privatisasi ataupun prinsip pemisahan ilmu pengetahuandari agama, sekularisme kemudian dianggap berujung padaateisme dan menggiring pada pola hidup yang tidak bermoral. Bagaimanamendudukkan tuduhan seperti itu?Justru sekularisme harus disuarakan terus, kalau memang Andaingin mengubah pandangan umum. Jadi, pertama-tama, berikanlahpemahaman yang tepat dan proporsional. Kedua, yang keberatanitu sebenarnya siapa?Menurut saya yang keberatan adalah para pemuka agama, bukanpenganut agama. Sebab, ada soal kepentingan di sini. Di Katolikyang paling berkepentingan adalah para pastur dan paus. Inisoal power. Bukan hanya power dalam pengertian politik kelompokpengambil keputusan atau yang bisa memerintahkan, melainkanpower dalam arti political influence. Hal ini penting bagi mereka.778– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tentu Anda tahu bagaimana enaknya ketika seseorang menjadi pemuka.Sehingga, tidak heran jika mereka yang paling bersemangat.Di Eropa pun seperti itu. Jadi keberatan dan tuduhan pejoratifterhadap sekularisme tidak ada yang baru sebetulnya.Ketika para pengusung ide sekularisme menggusur otoritas gerejadi wilayah publik, mereka, para pemuka agama, habis-habisanbertahan. Tetapi setelah bertahun-tahun mereka akhirnya kalah. Nahsebenarnya kelahiran Protestan pun untuk menggusur kesahihanwewenang pastur dan paus dari internal gereja. Martin Luther inginmengatakan bahwa untuk berhubungan dengan Tuhan tidak haruslewat pemuka agama, semua orang boleh dan bisa. Hal ini sebetulnyaadalah upaya sekularisasi, sebab waktu itu untuk berhubungandengan Tuhan harus melalui satu gereja. Yang dilakukan MartinLuther masih tetap dalam kerangka agama. Yang awam sebenarnyasaat itu tidak terlalu peduli meskipun para pemukanya bertahan,walaupun akhirnya kalah.Sekarang pun polanya sama. Yang paling keberatan adalah merekayang berkepentingan. Sebetulnya kepentingan-kepentingannya adalahkepentingan non-agama. Ini yang harus dicatat bahwa lewat agamamereka mengagregasikan kepentingan non-agama. Kepentingan agamanyaitu sendiri kan tidak ada. Anda mau salat, ya jalankan saja,sementara yang lain-lain itu non-agama, termasuk dalam hal fasilitasyang pada dasarnya non-agama, non-spiritualitas. Sedangkan masalahspiritualitas sebenarnya sudah beres. Jadi perlu dijelaskan, yang keberatanterhadap sekularisme tidak lain adalah para pemuka agama dantentu jumlahnya hanya sedikit. Tapi mereka kemudian mengklaimsebagai representasi dari umatnya. Apa betul seperti itu?Klaim representasi ini tentu juga dinamis. Di masa lalu klaimrepresentasi ini tinggi, tapi kemudian karena ada kemajuan tek-Hamd Basyab –779


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nologi, diversifikasi sosial, dan lain-lain, kemudian mengikis representativenessterus-menerus. Orang Protestan, misalnya, sudahtidak percaya lagi dengan orang Katolik. Masalahnya, Protestankemudian mengental menjadi semacam Katolik baru dan padaakhirnya sama saja.Ini juga penyakit yang diidap The New Wave, yaitu ketika orangnon-agama berkumpul membuat syariah dan ritual sendiri, padaakhirnya persis seperti agama. Kelompok seperti Brahma Kumaris,Ananda Marga atau yang lain semua menjadi agama baru. Danmereka memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama karena adakitabnya, yang dikarang oleh ketuanya sendiri, ada nabi-nabinya, adasahabatnya, ada pemukanya, bahkan ada pakaian seragamnya.Anda tadi menyinggung soal ateisme. Coba sekarang Anda balik!Menurut saya orang seperti Richard Dawkins dan kawan-kawanyang sekular dan ateis, jutru jengkelnya bukan main terhadapsifat eksesif agama. Mereka melihat agama dalam posisinya sebagaiilmuwan. Orang seperti Daniel Denneth, Richard Dawkins – pendeknyakelompok-kelompok itu, ada AM Wilson dan BertrandRussell sebelumnya – yang justru mereaksi sifat eksesif agama. Apadasarnya agama, yang tentunya diwakili oleh pemuka-pemukanya,mengklaim bisa mengerti semua hal, berpretensi mengatur hiduporang lain – dari soal kesehatan reproduksi, mengecat rambut, termasukaspirasi politik, kegiatan ekonomi, atau preskripsi-preskripsiagama yang, menurut mereka, tidak bisa dicek?Persoalannya, kalangan agama bernafsu sekali, maka tidak heranjika kalangan ilmuwan jengkel terhadap setiap kelompok agama yangtidak ada nalarnya, tidak ada kerangka pikirnya, tidak bisa mempertanggungjawabkanklaimnya sehingga bisa diikuti oleh orang lain.Tidak ada metodologinya tapi mengklaim diri yang paling benar.780– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Prinsip ilmu pengetahuan adalah harus ada metode yang bisa diikutioleh setiap orang. Kalau orang mengikuti metode yang sama, hasilnyakemungkinan besar akan sama. Sementara agama tidak begitu,ia berdasarkan subyektivitas murni tapi pretensinya congkak sekali,tidak bisa dicek.Jadi berpikirnya dibalik. Bagi saya memang ada keluhan dariorang-orang seperti Richard Dawkins dan kawan-kawan, bahwaagama yang mengklaim diri sebagai ilmu tapi teramat sombong.Ilmu justru seharusnya rendah hati. Kenapa? Karena ilmu memakaipostulat-postulat yang gamblang,serta tidak berhenti Jadi perlu dijelaskan, yang keberatanpada postulat dan asumsi semata,tapi dieksperimentasi-adalah para pemuka agama danterhadap sekularisme tidak lainkan. Setelah itu diumumkan tentu jumlahnya hanya sedikit. Tapibahwa kalau kita mengikuti mereka kemudian mengklaim sebagaiprosedur dari A, B hingga G representasi dari umatnya.hasilnya X. Kalau ada yangtidak beres pasti ada kesalahan prosedur, dan itu bisa dicek bersama-sama.Jika setelah dicek ternyata salah maka harus mundur.Jangan lupa, komunitas ilmiah kritis sekali. Kalau ada yang kelirumaka tidak dipakai lagi. Selain itu, mereka rendah hati dalammengumumkan hal-hal yang ada di belakang pikiran mereka. Sebaliknyaagama tidak seperti itu. Agama sepenuhnya sombong,sementara ilmu rendah hati. Agama tidak bisa dicek. Ia tidak bisadiotak-atik, sebaliknya langsung main atur-atur. Itu yang saya maksudsombong. Agama juga berpretensi mengatur semuanya.Memang secara retorik kadang-kadang ilmuwan sombong, tapitidak perlu dipermasalahkan. Coba lihat lebih dalam dari itu, justrumetodologinya rendah hati. Dalam arti ia dicoba, dites, danHamd Basyab –781


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dikomunikasikan. Jika kemudian dikritik dan ternyata memangsalah, maka sang ilmuwan akan menerima itu dan masuk laboratoriumlagi. Seperti Saiful Mujani, misalnya, ketika prediksinyameleset kemudian ia mencoba lagi. Ini sikap rendah hati. Danitulah ilmu pengetahuan.Ada anggapan bahwa ilmu pengetahuan atau rasionalitas memilikibatas di mana ia harus berhenti. Dan di situlah Tuhan atau agamadihadirkan sebagai jawaban. Menurut Anda?Pertama-tama, pernyataan-pernyataan bahwa rasionalitas ada batasnyaadalah pernyataan orang yang sembrono atau malas. Merekabelum apa-apa sudah mengatakan ada batas, padahal dipakai saja belum.Itu sama halnya ketika saya mengatakan bahwa batas Indonesiaini adalah Bandung, sementara saya belum ke Bandung. Seharusnyasaya cek dulu apakah benar Bandung adalah batas Republik Indonesia.Mungkin bisa benar atau salah. Orang-orang yang menyatakanseperti itu belum ke mana-mana tapi sudah mengambil kesimpulan.Lagi-lagi, semua itu lebih menggambarkan ketundukan mereka padaayat-ayat kitab suci. Padahal klaim-klaim mereka akan keterbatasanrasio tidaklah valid, karena mereka belum pernah menerapkan rasio.Kedua, kalaupun benar, tapi kita tidak pernah tahu di manabatasnya, katakanlah bahwa rasionalitas manusia itu ada batasnya,tapi di mana batasnya. Apakah mereka tahu? Tidak tahu. Berarti,menurut saya, cara yang paling bisa dipertanggungjawabkan, palingvalid, sekaligus paling bijaksana adalah mengujinya. Sekalipun diaberbatas kita tetap mengujinya. Itulah yang dilakukan oleh ilmusecara terus-menerus, sehingga yang disebut batas itu menjadisangat relatif. Orang dari dulu mengatakan, beratus-ratus tahun782– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lalu, bahwa rasionalitas ada batasnya tapi ilmu tidak menyerah.Setelah didatangi batasnya ternyata bukan di situ. Demikian seterusnyadan ternyata setelah ditelusuri batasnya semakin menjauh.Juga yang penting dicatat, bahwa orang-orang yang seharusnyamengatakan bahwa rasionalitas ada batasnya adalah ilmuwan, bukanorang agama. Karena kalangan agama tidak pernah memakairasionalitasnya.Jadi lebih baik kita tidak perlu mempedulikan itu. Yang penting,kalau kita ingin bicara, adalah manfaatnya. Dicoba saja terus,tanpa memikirkan batasnya. Seperti ketika dikatakan bahwadi sungai banyak kepitingnya. Jangan kemudian langsung percayatanpa menceburkan kaki ke sungai untuk membuktikan ada kepitingatau tidak. Kalau ada, menggigit tidak. Kalau menggigit tarikkaki itu pindah ke sungai yang lain yang belum tentu ada kepitingnya.Jangan karena anggapan di sungai itu banyak kepitingnyakemudian tidak usah memasukkan kaki.Dengan ilmu kita mengerahkan segala daya dan upaya, eksperimentasilaboratorium, mengerahkan pikiran-pikiran terbaik untukmenemukan jawaban yang kita cari. Kalau dengan ilmu tidakketemu, apalagi dengan agama yang tidak pernah melakukan eksperimentasiseperti itu. Aneh sekali kalau ada orang mengatakanbahwa ilmu ada batasnya dan batasnya itu adalah agama. Berartiagama lebih tinggi dari ilmu. Menurut saya, anggapan itu tidakmasuk akal. Sebab, agama tidak melakukan eksperimentasi apapun.Agama hanya berdasar pada doktrin, lantas bagaimana maudiandalkan.Jadi menurut saya terjadi paralelisasi. Jangan mencoba-cobamencampuradukkan atau menjadikan ilmu dan agama sebagai tahap-tahapkebenaran. Menurut saya, sebaiknya paralel saja, berja-Hamd Basyab –783


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lan sendiri-sendiri dan tahu batasnya masing-masing. Batas dalamarti wilayah. Begitu saja. Jangan mencoba menggabungkan ilmupengetahuan dengan agama. Karena itu tidak akan ada gunanya.Yang terjadi pada akhirnya adalah apologetisme. Mungkin bisaterjadi dari dua belah pihak.Ada juga kalangan ilmuwan yang percaya pada pernyataan godof the gap, yakni ketika mereka sudah mentok lalu mengambil alternatifagama. Tapi jumlah ilmuwan seperti ini sedikit. Umumnyailmuwan tidak seperti itu. Jadi kita menggunakan istilah bahwaantara ilmu dan agama memakai jalurnya masing-masing. Sayakira ini istilah yang netral.Anda tadi menyinggung soal integrasi ilmu pengetahuan dan agama,bagaimana pandangan Anda soal islamisasi ilmu pengetahuan?Menurut saya, itu adalah cara pendekatan yang apologetik. Merekayang mengatakan seperti itu bukanlah ilmuwan. Mereka adalahfree rider. Dalam arti bahwa setelah para ilmuwan banting tulang,berdarah-darah, bekerja keras, mengabdikan seumur hidupnya untukmencari kebenaran, tiba-tiba kemudian diklaim oleh kalanganagama sembari mengatakan bahwa temuan itu sudah ada di dalamkitab suci, atau dalam konteks Islam di dalam al-Quran. Merekabicara seperti itu dari langgar mereka tanpa upaya ilmiah.Lantas bagaimana sebetulnya pertanggungjawaban etiknya? CharlesDarwin pada usia 26 pergi ke Galapagos, dengan risiko terkenamalaria dan sebagainya, untuk mengetahui kenapa hidup ini anehsekali, mau tahu kenapa ada daging, bagaimana dan dari mana kehidupanini. Dia mencatat temuan-temuannya berpuluh-puluh tahun.Namun setelah dia menulis buku, itupun dengan rendah hati,784– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–The Origin of Species, tiba-tiba kalangan agama mengklaim bahwaini sudah ada di al-Quran. Kenapa saya mengatakan rendah hati,karena di buku itu ia mengatakan ada missing link. Dari manakahasal-usul kita ini? Kalau dari monyet tapi ada yang putus, dan diamengakui belum menemukan jawaban yang pasti. Begitupun jugateori Einstein diklaim sudah ada di dalam al-Quran, yakni konseptentang ruang angkasa.Jadi kerangka besarnya Afghanistan adalah sebuah tragedisaja yang diklaim kalangankemanusiaan yang sangat memilukan,di mana segelintir orang memaksakanagama. Sebetulnya itu hanyalahklaim kosong, da-kehendaknya, mengajak banyakorang kembali ke masa silamlam arti bahwa mereka tidakbisa mempertanggungja-tidak tahu lagi mau ke mana. Karena(penerapan syariat Islam), setelah ituwabkan pernyataan mereka. bagaimanapun kita yang hidup diYang ada dalam kitab suci masa kini tidak mungkin kembali lagigaris besar sekali. Memangke masa silam.menakjubkan. Saya pribaditakjub. Tapi kita tidak boleh berhenti takjub, apalagi bangga hanyakarena di kitab suci kita ada. Kalau memang betul-betul inginmendapat kebenaran, kitab suci harus dipakai sebagai, katakanlah,mungkin salah satu inpirasi, bukan satu-satunya inspirasi. Sebagaiinspirasi harus dicoba, dieksperimentasi seperti yang dilakukkanoleh kaum ilmuwan. Kalau hanya berhenti pada pernyataan-pernyataanumum seperti itu, lantas apa gunanya.Itu sebabnya di dunia Islam, saya kira, walaupun al-Quranbegitu banyak memberi hints, aba-aba, dan tanda tentang beberapahasil temuan ilmuwan, tidak ada yang maju sedikitpun. Karenamereka berhenti pada kebanggaan yang sebetulnya untuk menutupiinferioritasnya berhadapan dengan kegairahan keilmuanHamd Basyab –785


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–orang lain. Orang lain tidak hanya berhenti di situ. Mereka kerjakeras, pergi dari satu tempat ke tempat lain. Sementara orang Islamdininabobokan hanya oleh pernyataan-pernyataan yang padatitik tertentu tidak ada gunanya sama sekali, bahkan bisa menimbulkankekonyolan-kekonyolan. Seperti di Pakistan, misalnya, adaorang membuat reaktor nuklir, kalau tidak salah, berdasarkan ayatal-Quran. Ada juga yang mau mengukur kecepatan malaikat danlain-lain. Implementasinya tidak bisa setelanjang itu, harus banyakstasiun antara. Kalau betul, katakanlah dia diilhami oleh al-Qurantentang kecepatan malaikat, persoalan pertama, kecepatan dial-Quran disebut dengan istilah yang bermacam-macam. Kecepatanitu tidak pernah satu, seperti disebutkan persamaan kecepatanmalaikat sama dengan 5000 tahun, satu detik malaikat kecepatannyalebih dari 5000 tahun di dunia. Apakah kecepatannya 5000kilometer perjam? Ada macam-macam penjelasan. Artinya, tidakbisa semudah itu, harus banyak antaranya. Oleh karenanya upayamacam itu tidak bisa memenuhi kualifikasi ilmiah.Jadi, selama sikap kita masih apologetik seperti itu, hanya denganbermodalkan satu-dua statemen, lalu kita mengatakan bahwakitab suci kita lebih lengkap dan lebih dahulu, itu tak lain pernyataankosong dan tidak berguna sama sekali.Setiap agama, terutama semit, bersifat eksesif dan ekspansif. Karenaitulah ia mempunyai hasrat yang sangat besar untuk masuk ke wilayahpublik, termasuk ke ranah politik. Bagaimana Anda melihatpersoalan ini?Pertama, dalam pemahaman saya, agama tidak dimaksudkanuntuk menjawab semua hal. Ini harus disadari dulu dengan rendah786– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hati. Sementara, kalangan agama terlalu yakin bahwa agama mampumenjawab semua hal. Kalaupun agama diyakini berasal dari luarsejarah, dia muncul dalam konteks kesejarahan tertentu. Ini kuncidasarnya. Ya, kita sepakat bahwa agama dari luar sejarah, dia dariTuhan, dari wahyu. Tetapi, dia turun tidak dalam keadaan vakum.Ia turun dalam konteks geografi tertentu, terutama sosio-kultural,sosio-ekonomi dan sistem politik tertentu. Kemudian agama beradadi tengah para pelakunya yang tak lain adalah manusia biasa,manusia yang berada di dalam lingkup budaya. Jadi itu dulu yangharus dipahami. Karena itu, otomatis agama tidak akan bisa berlakuselamanya, sepanjang sejarah dan di semua tempat. Tapi diaberevolusi. Kristen, misalnya, telah berevolusi. 2000 tahun yang laluKristen turun di Kana’an, lantas bagaimana Anda mau menerapkanuntuk orang di Kelapa Gading di abad dua puluh satu? Yang palingbisa diterapkan adalah prinsip-prinsip umumnya, seperti keadilan,kejujuran, dan sebagainya.Sebetulnya sebelum ada agama prinsip-prinsip umum tersebutsebenarnya sudah dikenal oleh manusia. Agama datang hanya untukmenggarisbawahi saja, mensistematiskannya. Karena penghormatanterhadap ibu, misalnya, tanpa agama orang sudah hormat.Apakah dulu ada ajaran agar orang memukuli ibunya? Komunitaspagan di Yunani, misalnya, yang tidak punya agama, tidak pernahada cerita orang memukuli ibunya. Jadi agama datang untukmenggarisbawahi prinsip-prinsip umum tersebut.Bahkan ada anggapan bahwa agama juga mampu membajakmoralitas. Jadi bukan sumber moralitas, sebaliknya agama jugapenghancur moralitas. Contohnya kasus Ahmadiyah. Menurut moralitassudah pasti salah memukuli orang, menghancurkan masjidorang, membakar rumah orang. Tetapi menurut agama hal terse-Hamd Basyab –787


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–but dibenarkan. Itu yang saya maksud agama membajak moralitas.Jangan dengan gampang mengatakan bahwa sumber moralitasadalah agama. Satu segi memang bisa, tapi di sisi lain, pada levelyang lebih dasar, dia justru menghancurkan moral, karena moralsudah ada sebelum manusia beragama.Kembali ke persoalan tadi, klaim-klaim bahwa agama mampumenjawab semua hal tidak didasarkan pada pemahaman kesejarahanyang tepat. Misalnya, soal khilâfah. Saya berulang kalimenyatakan, yang dimaksud khilâfah oleh para pengusungnya ituyang mana? Dalam sejarah Islam ada banyak kekhalifahan. Selainal-Khulafâ’ al-Râsyidûn, ada Muawiyah, Abbasiyah, Fatimiyah, danUtsmaniyah yang memiliki sistem politik yang berbeda-beda. Lantas,mana yang dimaksud khilâfah? Masing-masing rezim punyakarakter berbeda. Tetapi, menurut saya, ada titik temunya, yaitubahwa pada dasarnya wataknya sekular. Kecuali periode kecil padamasa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn yang 29 tahun lamanya. Muawiyah,misalnya, sangat sekular. Bagi mereka urusan agama sudah selesai,yang penting sekarang adalah membangun ekonomi, persis sepertiSoeharto.Tidak heran jika kemudian Hadits palsu banyak beredar. Ituadalah bentuk perlawanan kaum ulama menghadapi pemimpinkhilâfah yang berlaku seperti preman dan sekular. Mereka khawatiragama diremehkan. Dalam pandangan mereka, jika agama diremehkanmaka ia bisa terkikis. Karena banyaknya Hadits palsu,kemudian keluar Hadits yang berbunyi: barang siapa yang berdustaatas namaku, maka dia masuk neraka. Itu adalah cara meredambanyaknya Hadits palsu. Dan, sebetulnya, Hadits ini pun palsu.Kenapa dia palsu? Jelas, ketika Nabi masih hidup, tanpa berkataseperti itu, tidak akan ada orang yang mencatut-catut namanya.788– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dan kalaupun ada, dianggap sebagai ekses kecil dalam sosial saja.Ini mencerminkan betapa banyak Hadits palsu yang dibuat atasdasar politik.Jadi sebetulnya kehadiran Hadits-Hadits palsu untuk meresponpara sultan sekular yang mengatakan bahwa agama sudah beresdan tidak ada yang perlu ditambah lagi. Kalaupun ada yang perludiurus, tak lain adalah kesejahteraan ekonomi. Dan itu mencapaititik puncaknya di masa Abbasiyah, di Baghdad. Pada masa Abbasiyahtidak ada ulama yangterkenal, tidak ada ahli fikih Sebagai ide sekularisme tetap valid,yang hebat. Kenapa? Karenaagama dianggap sudah bagus sekali untuk kepentinganbahkan kalau kita boleh tambahkan,selesai. Yang muncul waktuitu adalah penyair hebat, negara sekularlah agama berkembangagama itu sendiri. Hanya di negara-seperti Abu Nawas, filosof dengan sehat. Lihat di Amerika danataupun dokter pintar. Itu Eropa. Di negara-negara yang sangatreligius, agamanya justru tidak sehat.menunjukkan bahwa pentaskultural nasional waktu itudiisi oleh diskursus nonagama. Dari studi-studi mengenai masaitu, ada yang menyatakan bahwa waktu itu sudah ada 800 dokterbersertifikat, artinya sudah ada sistem manajemen screening kualifikasimedis sampai abad 11dan 12. Pabrik kertas sudah dibuatwaktu itu. Memang berasal dari Cina, tapi dibuat di sana. Luarbiasa hebatnya prestasi yang dicapai. Dan tidak ada agama di situ.Agama dianggap bagian yang integral saja. Seperti saya denganAnda, tidak ditanyakan kamu salat atau tidak, kamu Islam ataubukan. Saya tidak tanya itu karena itu urusan Anda. Yang pentingadalah bagaimana membangun bersama. Itulah yang terjadidi Baghdad, juga di Cordoba. Karena itu mereka mempunyai ba-Hamd Basyab –789


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nyak waktu untuk menerjemahkan karya-karya dari luar, sepertikarya-karya Plato.Lagi-lagi pertanyaan saya, siapa ulama yang besar di masaitu? Tidak ada. Al-Ghazali itu bukan ulama. Dia adalah dosenbiasa yang mengajar filsafat, yang kemudian mengalami semacamspiritual enlightenment. Kemudian dia menulis al-Munqîzh minal-Dlalâl, dia merasa bahwa masa lalunya gelap. Artinya, selamakehidupan sebelumnya dia tidak berurusan dengan agama. Diasibuk belajar filsafat Yunani. Pengakuan itu pun setelah dia tua.Dan ada kecongkakan di situ, yaitu seolah-olah dia sudah berhasilkeluar dari kegelapan. Seolah-olah dia sudah sampai, padahalmanusia tidak akan pernah sampai.Adapun kemudian banyak dikenal nama-nama ulama sepertisekarang ini, tak lain adalah hasil penelitian sarjana-sarjanaorientalis, bukan oleh sarjana Muslim. Oleh sarjana orientalis ditemukanHasan Basri, al-Thabari, dan lain sebagainya. Ibn Khaldun,yang hidup pada abad ke-14 M, bukanlah seorang ulamamelainkan sejarawan. Ibn Taimiyah, mungkin ditemukan olehNicholson, mungkin oleh Montgomery Watt, Ignácz Goldziher,atau Joseph Schacht yang takjub bahwa zaman dulu ternyata adaulama yang tampil. Dalam konteks ini, para orientalis melihatbahwa agama ingin berperan melalui ulama yang membahas halyang bermacam-macam. Karena konteks waktu itu agama adalahdiskursus pinggiran.Saya kira pola umumnya seperti itu. Karena itu kalau sekarangada program atau ajakan menegakkan khilâfah, bagi saya,menggelikan sekali. Jangan-jangan mereka tidak tahu kekhilafahandi masa lalu itu seperti apa. Memang ada qâdlî sebagai hakimhukum positif, dan itu biasa saja. Seperti sekarang, di sini,790– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–adalah hakim yang mengerti hukum positif Belanda. Itu yangkemudian diangkat menjadi hakim. Tetapi yang ada di sana tidakhanya qâdlî, ada menteri keuangan yang profesor ekonomi,ada menteri urusan puisi, dan sebagainya. Jadi qâdlî dan hakimitu salah satu saja. Nah, itu yang menunjukkan bahwa sistemnyasekular, bukan dalam arti membenci agama, tetapi menempatkanagama dalam tempatnya yang tepat. Pemuka agamanya ada, hakimnyapun ada, tetapi tidak dominan. Mereka juga mengarangtafsir dan sebagainya, tetapi karya-karya mereka bukan karyayang dominan. Yang dominan waktu itu adalah novel, traktatfilsafat, bukan agama.Saya ingin hal ini benar-benar dipahami. Misalnya, Ibn Ishakmembuat biografi Nabi. Jadi, posisinya sebagai sejarawan,bukan seorang ulama. Lalu Ibn Hisyam, 100 tahun kemudianmenyempurnakan biografi ini, dia pun disebut sebagai sejarawan,ilmuwan.Jadi, saya kira, sangat jelas bahwa himbauan untuk kembalike khilâfah Islâmiyah, lagi-lagi, menggelikan sekali. Sederhananya,kalau saya hendak mengim-bau, coba dipelajari dulu yang benar,baru mengajak orang. Sebab kalau tidak begitu, jadi aneh danmenggelikan, dan bisa salah sasaran. Kebaikan yang mau dikejar,jangan-jangan malah keburukan yang datang, kalau kita menerimabegitu saja tanpa menelitinya terlebih dahulu.Intinya, masyarakat sebagai satu organisme sosial yang hiduptentu berevolusi ke depan, orientasi hidupnya ke masa depan, bukanke masa silam. Kalau orientasinya ke masa silam berarti melawansunatullah. Orang yang hatinya tertambat pada masa lalu tidakmungkin maju. Manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat,selalu menuju masa depan. Mereka, saya menduga, mau menarikHamd Basyab –791


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita ke masa silam, dan itu akan sia-sia belaka. Contohnya, Afghanistan.Afghanistan adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang sangatmemilukan, di mana segelintir orang memaksakan kehendaknya,mengajak banyak orang kembali ke masa silam (penerapan syariatIslam), setelah itu tidak tahu lagi mau ke mana. Karena bagaimanapunkita yang hidup di masa kini tidak mungkin kembali lagike masa silam.Penerapan membabi-buta khilâfah atau syariat Islam pada akhirnyaakan mencabut hak-hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan.Tapi bukankah sekularisme, sebagaimana praktiknya di Turki danPrancis, juga banyak melakukan hal yang sama, yaitu mengekang hakkebebasan dan keyakinan seseorang. Apa komentar Anda?Apakah di sana, di Turki dan Prancis, begitu? Saya kira tidakseperti itu.Bagaimana dengan larangan memakai jilbab di sekolah-sekolah negeridi Prancis? Atau larangan memperlihatkan identitas keagamaan didepan publik dalam acara kenegaraan di Turki?Jadi begini, kita harus melihatnya secara berbeda-beda. RevolusiPrancis, sebagaimana saya nyatakan di awal, merupakan hasil evolusipanjang sampai masyarakat waktu itu bersepakat untuk membendunghal-hal yang berbau agama agar jangan masuk ke ruangpublik. Konsensus itu pun tidak hanya berlaku untuk umat Islam,tapi semuanya. Menurut polling, saat warga Prancis ribut soal jilbab,warga Muslim Prancis yang setuju jilbab hanya 14%. Generasiawal warga Muslim yang tinggal Prancis juga tidak setuju dengan792– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kesepakatan tersebut. Tapi generasi kedua, ketiga, dan seterusnyasudah memahami kesepakatan tersebut. Karena itu mereka tidakkeberatan. Sementara itu, hukum ini pun tidak bisa dihapus, karenakonstitusinya memang menyatakan seperti itu.Bukankah dalam Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan mengekspresikankeyakinan agama merupakan derogable rights?Apakah dilarang?Seperti larangan memakai jilbab?Tetapi kalau di tempat umum kan tidak dilarang. Yang dilarangadalah memakai simbol-simbol agama di sekolah negeri. Halyang sama juga diberlakukan bagi pemeluk Yahudi, Katolik, danProtestan. Mereka dilarang memakai simbol-simbol keagamaan mereka.Kalau mau diubah, ubah dulu konstitusinya. Jadi ini hanyamenjalankan amanat undang-undang dan konstitusi.Kemudian di Turki. Turki memang terkadang eksesif. Itu sebabnya,bagi saya, Turki itu negara antiagama, bukan sekular tapiKemalis. Tapi itu juga harus dipahami berdasarkan perspektif sejarahnyayang panjang, sampai kemudian lahir Republik Turki modern.Pengalaman kaum nasionalis yang dipimpin oleh MustafaKemal pahit sekali. Bayangkan kekuasaan mereka yang begitu besarhingga Austria dalam sekejap runtuh. Mereka tentu saja sangat terpukuljiwanya. What’s wrong with us? Begitu runtuh, berdasarkankajian yang begitu lama dan mendalam, Kemal menyimpulkanbahwa persoalannya adalah agama. Dalam arti bahwa agama dipraktikkansecara keliru. Sebagaimana pernah dikatakan Soekarno,Hamd Basyab –793


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–seringkali Islam yang dipraktikkan adalah abunya, bukan apinya.Ungkapan ini sebenarnya berasal dari buku Amir Ali, Api Islam.Itu dasarnya.Sebagai contoh, waktu itu orang komunitas Yahudi sudah memilikisurat kabar, majalah, dan buku-buku. Begitupun Kristen,meskipun tidak memiliki media regular, mereka telah memilikibuku-buku. Sementara para ulama Islam mengatakan bahwa mesincetak haram. Ada analisis yang bagus dari Bernard Lewis, kenapaTurki bisa jatuh dengan mudah adalah karena mereka terlalu terikatpada simbol-simbol. Misalnya, pakaian perang mereka tidaksederhana dan terlalu berat, yang menyebabkan mereka tidak gesit,sehingga kalah perang. Oleh karena itu, mereka berpikir bahwa pakaianperangnya harus diubah, karena kurang ringkas dan membuattentara tidak bisa gesit. Sementara pakaian tentara Barat, sepertitentara Jerman, rapi dan ringkas, sehingga mereka lincah.Jadi mereka, para pemimpin Turki sebelum Kemal, sultan-sultannyayang terakhir, sudah memikirkan masalah ini. Akhirnya oleh Kemal,ketika ada momentumnya, dimaksimalkan. Setelah mereka kalahkemudian membuat perjanjian, dan mereka sepakat untuk membatasikekuasaan hanya di wilayah Turki dan membuat lembaran sejarahTurki yang baru sama sekali.Oleh karena itu, mereka alergi terhadap agama. Karena dalamhitungan mereka, agama menjadi faktor penyumbang yang signifikandalam keruntuhan kekaisaran Utsmani. Di masa lalu agama memangmenjadi tenaga yang kuat, tetapi dunia telah berubah. Orang-orangnyayang dulu ditaklukan dengan gampang, dengan spirit agama,belakangan mengembangkan diri dan tidak lama kemudian menggulungbalik. Jadi intinya, “baju” kemarin tidak bisa dipakai lagihari ini. Jadi kira-kira seperti ini.794– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ini yang kemudian sekularisme di Turki dianggap eksesif. Namunini bisa dikritik. Jangan segan-segan untuk mengkritik yangeksesif seperti ini. Tetapi, tanpa menghancurkan bangunan besarnya,sebagai ide.Sebagai ide sekularisme tetap valid, bahkan kalau kita bolehtambahkan, bagus sekali untuk kepentingan agama itu sendiri.Hanya di negara-negara sekularlah agama berkembang dengansehat. Lihat di Amerikadan Eropa. Di negaranegarayang sangat religius, yang jelas-jelas berlawanan denganYang tidak boleh adalah perdaagamanya justru tidak sehat. konstitusi. Ini yang harus ditinjau terusdengan judicial review. Oleh karenaKita bisa lihat di Arab Saudiitu, pemerintah pusat harus beraniatau Iran, misalnya. Apakahmembatalkan peraturan-peraturandi Arab Saudi ada gereja?apapun yang bertentangan denganTidak ada.konstitusi. Peraturan tertentu yangKenapa orang tidak bolehmengekspresikan agama-harus batal demi hukum.melanggar peraturan yang lebih tingginya? Lagi-lagi, kembali lagipada soal moralitas dan agama. Menurut moralitas jelas salah melarangorang mengekspresikan keyakinan agamanya. Tetapi, sebaliknya,menurut agama boleh, bahkan harus ditindas, harus diredampotensi kebangunannya. Jangankan Kristen, Syi’ah saja tidakboleh di Arab Saudi, sebagaimana Sunni tidak boleh di Iran. Itusemua, menurut moralitas, that’s totally wrong, tapi menurut agamadibenarkan.Kira-kira Indonesia bisa mencontoh model sekularisme negara mana?Karena harus diakui bahwa ada paradoks dalam konstitusi negaraHamd Basyab –795


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita. Pada satu sisi terkesan sekular, tapi di sisi lain restriktif terhadaphak-hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan.Secara umum kerangka negara kita jelas sangat sekular. Itutidak bisa dibantah. Dasarnya adalah Pancasila. Jelas sekali adaperdebatan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalisdi Konstituante. Itu dulu yang harus dipegang.Selain itu, turunannya pun jelas sekali meski tanpa disebut sekular.Kita sering sekali anti dengan istilah-istilah yang sebetulnyatidak kita pahami, atau sebaliknya menyukai istilah-istilah yangkita tidak pahami, seperti khilâfah.Jadi kerangka umumnya seperti itu. Bahwa dalam praktiknya disana-sini ada kesan paradoks, harus kita akui. Tapi itu adalah bagiandari pertumbuhan sejarah bangsa kita. Ada banyak contohnya, misalnyaacara Nuzûl al-Qur’ân, Isra Mi’raj harus ada di Istana Negaradan harus dihadiri presiden. Hal semacam ini adalah konvensi, tidakada dalam konstitusi, tapi juga tidak melanggar. Ada juga DepartemenAgama yang mengurusi agama orang. Tetapi wataknya jugatetap sekular, sebab Depag mempraktikkan “sekularisme dalam artiyang lain”, di mana yang dipedulikan hanya masalah-masalah yangada duitnya, misalnya haji dimonopoli. Apakah Depag mengurusiorang salat? Tidak. Paling-paling sifatnya hanya himbauan. Tapisecara umum Depag tidak dibenarkan mengurusi agama.Negara kita dibangun atas dasar kompromi. Lagi-lagi ini harusdilihat dalam perspektif sejarahnya, bagaimana bisa muncul kompromiperihal apakah negara ini dibangun atas dasar Islam atautidak. Yang setuju dengan dasar Islam akhirnya mundur, tapi memintakonsesi. Lalu dibentuklah Departemen Agama. Di sana jugaada tawar-menawar, karena negara kita terdiri dari beragam suku796– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan agama, lalu dibentuk direktorat jenderalnya atau dirjen-dirjenuntuk masing-masing agama. Jadi semuanya adalah hasil darikompormi. Dan ini berjalan terus sampai sekarang. Tapi, menurutsaya, kerangka besarnya sekular, yaitu Pancasila.Belakangan ini, di beberapa daerah, muncul perda-perda yang kentaldegan syariat Islam, meskipun tidak disebut secara langsung sebagaiperda syariah. Namun yang mengejutkan perda-perda ini sebagianbesar diusung oleh partai-partai sekular, seperti PDIP dan Golkar.Bukankah munculnya perda-perda tersebut bertentangan dengan konstitusi?Itulah yang disebut gejala creeping syariaization, pengsyariahansecara penggerogotan. Jadi payung di atasnya sekular, tapi digerogotidari bawah. Hal tersebut, dari satu segi, mencerminkan kekalahankaum islamis di levelnasional, karena tidak bisa Semangat besar al-Quran adalahmengubah konstitusi, kemudianmereka bergerilya poli-sendiri yang bertanggung jawab padaindividualisme, jelas sekali: Andatik di daerah. Itu faktanya. Tuhanmu di akhirat kelak, semuanyaApakah hal itu dibenarkan? tidak bisa menjawab kecuali organorgantubuh-mu, sehingga tidakHarus diuji dulu, harus adaada kemungkinan untuk berbohongjudicial review.dan ditolong orang lain. SyafaatKita pun harus cermat.Nabi dan lain sebagainya adalahSebagian perda-perda itu tidaksoal belakangan. Tapi bahwa kitaberlawanan dengan konstitusi, bertangung jawab atas diri sendiriwalaupun memakai kerangka adalah sesuatu yang gamblangsyariah. Misalnya aturan laranganjudi, minumandan jelas.keras,Hamd Basyab –797


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan lain-lain memang ada di dalam hukum positif kita. Saya mendugaumat Islam hanya kurang suka dengan hukum sekular, jadi harusselalu dengan motivasi agama. Kalau kamu menentang judi atas dasarsosial, tidak ada pahalanya. Tapi kalau melarang judi karena memangdilarang Allah, ada pahalanya. Karena dalam Islam ada kaidah innamâal-a‘mâlu bi al-nîyât. Oleh karena itu, harus pakai niat yang jelas.Kalau niatnya sekular percuma, di akhirat nanti tidak akan dapatpahala. Ini saya anggap sebagai bentuk pubertas religius. Dan, menurutsaya, hal ini boleh-boleh saja.Yang tidak boleh adalah perda yang jelas-jelas berlawanan dengankonstitusi. Ini yang harus ditinjau terus dengan judicial review.Oleh karena itu, pemerintah pusat harus berani membatalkanperaturan-peraturan apapun yang bertentangan dengan konstitusi.Peraturan tertentu yang melanggar peraturan yang lebih tinggiharus batal demi hukum. Hanya saja setelah reformasi, euforianyabelum selesai. Itu juga adalah bagian dari persepsi ketertindasanumat Islam, yang sebetulnya tidak sepenuhnya tertindas di masaOrde Baru (Orba). Apanya yang tertindas di masa Orba? Bagaimanamengatakan tertindas sementara Soeharto membuat programAmal Bakti Muslim Pancasila dengan mendirikan 1.000 masjid, iaselalu hadir dalam peringatan Nuzûl al-Qur’ân, dan lain sebagainya.Yang ditindas adalah kelompok Islam ekstrem, yang mengatasnamakankeislaman secara keseluruhan. Jadi yang dibabat adalahkelompok Muslim yang ekstrem dan radikal, yang melanggar hukum.Sementara kelompok Islam lain tidak dapat masalah. Setiapada musyawarah nasional, baik Nahdlatul Ulama (NU) maupunMuhammadiyah, Soeharto selalu datang. Semua organisasi kemasyarakatanIslam yang melakukan konferensi selalu dibantu olehpemerintah. Misalnya, pada Muktamar NU 1984 di Situbondo,798– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ketika Gus Dur terpilih, ABRI dikerahkan. Jadi, ketertindasanIslam itu soal persepsi.Karena itu, kelompok-kelompok yang berusaha mempromosikanperda syariah adalah kelompok-kelompok semacam itu. Yangperlu kita sesalkan adalah adanya kelompok-kelompok sekular, sebagaimanatadi Anda sebut, yang ikut dalam gelombang ini tanpamelihat latar belakang dan besarnya dukungan. Bila mereka mencermatihasil survei-survei, masyarakat tidak akan dukung. Karenasurvei-survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya,meyakinkan kita bahwa pendukung syariat Islam itu sebenarnyasedikit. Tapi meski mereka sedikit, mereka aktif menyuarakan isupenerapan syariat Islam. Itu juga disebabkan latar belakang orangorangpartai sekular yang mempunyai persepsi bahwa agama itusuci, sehingga mereka tidak berani menentang secara gamblang.Sebagian masyarakat yang tidak setuju pun tidak mau aktif menyuarakanpenolakan mereka terhadap ide penerapan syariat Islam,sehingga yang aktif hanyalah mereka yang mendukung penerapansyariat Islam. Ini yang kemudian ditangkap oleh elemen-elemensekular di parlemen dan dianggap sebagai representasi dari umatIslam.Ini adalah data yang ditemukan melalui survei-survei publik.Yang ingin saya katakan dan tekankan bahwa agama seharusnyadipandang sebagai salah satu bidang kehidupan saja, bukan satusatunyaatau yang terpenting. Kecenderungan ini bukan hanyapada Islam saja, tetapi juga terjadi di seluruh dunia bahwa agamadianggap sebagai sesuatu yang suci. Anggapan ini muncul darikepercayaan bahwa karena Tuhan itu suci maka segala sesuatuyang terkait dengan Tuhan suci pula. Itu dasar yang, menurutsaya, sangat keliru.Hamd Basyab –799


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Karenanya, kembali ke Cak Nur, ia sebenarnya mau menegaskanbahwa yang absolut dan sakral itu hanya Tuhan. Sementarayang lainnnya itu tidak suci, termasuk agama, pemuka agama, daninstitusi-institusi agama. Bagaimana mungkin mereka dianggapsuci kalau mereka adalah manusia biasa yang punya kepentingan?Namun demikian, susah sekali untuk menyadarkan orang bahwakalau Tuhan itu suci, bukan berarti semua yang terkait denganagama kemudian menjadi suci pula. Baik yayasannya, koperasinya,atau institusi-institusi lainnya. Semua itu tidak suci. Apakah karenakoperasinya memakai nama Al-Hikmah kemudian jadi suci? Tentusaja tidak. Ia sama saja dengan Carrefour atau Hero. Masjidnyajuga tidak suci. Karena uang yang digunakan untuk membangunnyaada yang berasal dari uang dagang yang juga mengandungsyubhat dan sebagainya.Berdasarkan dari anggapan seperti inilah (kesucian agama)kemudian banyak orang yang tidak berani menentang, termasukdari elite-elite partai sekular. Inilah yang kemudian menjadi peluangbesar untuk dimanipulasi oleh para petualang yang mengatasnamakanagama.Bahkan pemerintah sendiri – dengan merujuk UU No.1/PNPS/1965serta SKB dua menteri yang kemudian berganti Peraturan Bersama tentangpendirian rumah ibadah – mangkir dari tugas generiknya dalammelindungi dan mempromosikan kebebasan beragama dan berkeyakinan.Bagaimana komentar Anda?Saya ingin kembali mencurigai yang seperti ini. Yang namanyapemerintah atau negara akhirnya adalah kumpulan individu: ada pejabatnya,ada menterinya. Sebagai individu mereka juga tidak terlepas800– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dari nilai-nilai. Yang saya curigai, mereka juga men-share nilai-nilaikonservatif, dalam arti memeluk ortodoksi, konservatisme. Denganbegitu, para elite politik atau pejabat kita juga masih menghitunghitungpahala dan dosa, sama seperti rakyatnya.Karena itu seorang menteri agama yang menganut agama Islamcenderung menganut konservatisme dan ortodoksi, sehinggadalam konteks ini dia bias. Pertama-tama dia muncul bukan sebagaipejabat negara, tetapi sebagai Muslim dari kelompok tertentuyang mainstream. Karenanya, menurut keyakinan mereka, Ahmadiyahitu salah. Ketua MPR begitu juga, karena dia Muhammadiyah.Hidayat Nur Wahid beranggapan bahwa menurut ideologiMuhammadiyah, Ahmadiyah salah. Sedangkan peran dia sebagaiketua MPR nomor dua.Ini yang saya juga tidak tahu bagaimana mengatasinya. Sayakira yang kita perlukan adalah pejabat-pejabat yang sekular, sehinggabenar-benar bisa netral. Bagaimana kita bisa berharap padamereka kalau pertama-tama mereka memajukan akidah pribadinya,baru yang kedua kewajiban kenegaraannya. Kalau bukan itu apapenjelasannya? Bagaimana, misalnya, seorang ketua MPR mengatakanbubarkan saja Ahmadiyah.Belakangan perampasan hak-hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinanpersis praktik inkuisisi pada Abad Pertengahan. Negaramelalui Bakorpakem yang terdiri dari Polisi, Kejaksaan Agung, danDepartemen Agama melarang al-Qiyadah al-Islamiyah, mungkin juga,tinggal tunggu waktu, Ahmadiyah.Ya, itu yang tadi saya khawatirkan. Bakorpakem dan lain-lain ituakhirnya adalah kumpulan individu-individu. Tetapi, celakanya, da-Hamd Basyab –801


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lam hal ini, mereka merupakan individu yang mempunyai kekuasaan.Sehingga yang terjadi, sebagaimana juga di Eropa, dalam derajattertentu, tidak maksimum atau malah ekstrem – seperti pastur atauuskup di Eropa, tetapi mereka menggantikan dalam kadarnya sendiri,karena keyakinan subyektif religius mereka. Jaksa, misalnya, agamanyamungkin Islam, mungkin orang NU atau Muhammadiyah, yangdididik sejak kecil bahwa nabi yang terakhir itu adalah Muhammad.Lantas ketika berhadapan dengan kelompok seperti Ahmadiyah, yangmuncul pertama kali adalah dia sebagai Muslim mainstream, bukandia sebagai jaksa. Kemudian mereka berkumpul dengan orang Bakorpakemmelakukan inkuisisi. Ini yang sulit sekali untuk menjelaskannya.Bisakah disimpulkan bahwa karena negara lemah, kemudian banyakmuncul kekerasan?Ada gejala seperti itu, tetapi tidak seekstrem yang dikeluhkanoleh para aktivis agama. Saya keberatan dengan ekstremisasi analisismereka. Menurut saya, analisis mereka terlalu jauh. Sebab, yangterjadi tidak separah itu. Meskipun, memang, ada gejala seperti itu,karena, sebagaimana tadi saya katakan, persoalan dasarnya adalahakidah para pejabat negara.Di sisi lain, wartawan juga seperti itu. Belum tentu wartawanatau media punya garis kebijakan tertentu soal kebebasan beragama.Wartawannya mungkin anak HMI, IPNU, PMII atau yanglain, yang sejak kecil telah diberi pemahaman bahwa Muhammadadalah nabi terakhir. Kemudian laporan mereka pun bias, karenakeyakinan individualnya yang mencuat.802– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Adapun bahwa kemudiannegara disebut lemah, menurutsaya, belum sejauh itu. tentang kebebasan. Lagi-lagi iniLiberalisme bertolak dari pahamsangat alamiah dan sesuatu yangYang patut kita sesalkan adalahkurang tegasnya negara.tidak dapat dibantah bahwa manusiasebagai individu bebas. BagaimanaTapi untuk jangka panjangmembantahnya? Dia lahir sendiridan secara keseluruhan, masihjauh sekali para promokapasitasmental yang sudah adadari orang tuanya, lalu ada kapasitastorsyariah mencapai tujuan dalam dirinya; punya naluri untukmereka. Karena masih ada survive; berkehendak menyelamatkantentara. TNI, menurut saya, diri sendiri sebelum orang lain.masih tawar-menawar. Danjangan lupa ada banyak pejabat-pejabat kita yang sebenarnya tidakmendukung ide penerapan syariat Islam. Secara sporadik memangharus dilawan terus, tapi tidak harus reaktif. Sikap seperti itu lebihbaik agar para pejabat dan jajaran pemerintahan memperoleh kesanbahwa pengusung syariat Islam itu kecil. Kalau reaksi kita berlebihan,mereka senang. Jadi kita remehkan saja.Dalam konteks kebebasan berpendapat, berpikir, berekspresi, dan berkeyakinan,termasuk di dalamnya kebebasan beragama, sangat relevanjika kita berbicara mengenai liberalisme. Bagaimana Anda memahamiliberalisme, dan bagaimana ia mesti dipahami dalam konteks Indonesiasaat ini?Pertama-tama, liberalisme bertolak dari paham tentang kebebasan.Lagi-lagi ini sangat alamiah dan sesuatu yang tidak dapatdibantah bahwa manusia sebagai individu bebas. Bagaimana membantahnya?Dia lahir sendiri dari orang tuanya, lalu ada kapasi-Hamd Basyab –803


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tas-kapasitas mental yang sudah ada dalam dirinya; punya naluriuntuk survive; berkehendak menyelamatkan diri sendiri sebelumorang lain. Mengikuti Adam Smith, kalau ada kebakaran di daerahAnda atau ada peristiwa kematian 200 orang di Meksiko, danpada saat yang sama kelingking Anda bengkak, yang Anda pikirkanpertama kali tentu kelingking yang bengkak. Kaki kita yangsakit karena menginjak paku lebih penting ketimbang orang matidi luar sana. Siapa yang bisa bantah itu?Itu contoh-contoh yang gamblang bahwa manusia cenderungmementingkan kepentingannya sendiri. Justru karena demikianmalah bagus. Ketika kepentingan-kepentingan pribadi ini dalamkonteks sosial kemudian bertemu, maka terjadi interaksi yang salingmenguntungkan. Kalau saya menjual kue, saya mencari untung,bukan memikirkan supaya Anda memakan kue yang enak. Sayamencari untung makanya saya harus membuat kue yang enak, supayalaku, bukan agar membuat Anda bahagia. Bahwa kemudianada minat untuk itu (membahagiakan orang lain), soal lain. Yangpasti saya ingin untung dan untungnya untuk keluarga sendiri.Itu jelas sekali.Jadi yang perlu ditanamkan adalah pemahaman seperti itu.Orang itu bebas dan punya kepentingannya sendiri. Hal ini harusdirawat dalam konteks negara. Dan, negara juga harus memberipeluang bagi setiap orang untuk mengejar kapasitas mereka secaramaksimum, yang batas kebebasannya kita belum tahu. Jadi tugasnegara hanya memfasilitasi.Jangan khawatir bahwa nanti kebebasan itu akan eksesif karenayang dijamin oleh negara bukan hanya satu orang tapi berjuta-jutaorang. Jadi, sekali lagi, jangan khawatir. Karena adanyakepentingan yang bermacam-macam inilah kemudian terjadi kom-804– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–promi. Apa yang dapat mempertemukan kepentingan-kepentinganyang berbeda itu? Seperti yang dirumuskan oleh John Stuart Mill,bahwa batas kebebasan seseorang adalah kebebasan orang lain. Disitulah kemudian ada hukum sebagai perangkatnya. Jadi semuanyadiatur. Anda bebas, tetapi kalau merampas kebebasan orang lainakan berhadapan dengan hukum, apabila menghancurkan rumahorang lain ada hukumnya. Sebab, tetanggamu punya hak untukhidup aman. Jadi, jangan kau ganggu.Karenanya sangat mengherankan mengapa paham yang begitugamblang, alamiah, dan tidak bisa dibantah ini ditentang,bahkan diharamkan oleh MUI, apalagi dalam konteks Islam. Menurutsaya, semangat besaral-Quran adalah individualisme,jelas sekali: Anda sen-ilmu pengetahuan dengan agama.Jangan mencoba menggabungkandiri yang bertanggung jawab Karena itu tidak akan ada gunanya.pada Tuhanmu di akhirat Yang terjadi pada akhirnya adalahkelak, semuanya tidak bisaapologetisme.menjawab kecuali organ-organtubuhmu, sehingga tidak ada kemungkinan untuk berbohongdan ditolong orang lain. Syafaat Nabi dan lain sebagainya adalahsoal belakangan. Tapi bahwa kita bertangung jawab atas diri sendiriadalah sesuatu yang gamblang dan jelas. Itu Islam. Hebat sekali.Bagaimana tidak, manusia sebagai individu dipredikasi sebagaikhalîfah fî al-ardl.Sementara pengertian liberalisme, jika dikaitkan dengan pahamfilsafat Barat yang muncul di Eropa klasik, bisa didiskusikan lagi.Tapi secara alamiah, bagi saya, sama. Itu pada tataran teoretisnya.Di dalam praktiknya, seperti yang dikatakan Milton Friedman,orang yang sering berkoar-koar demi kepentingan publik atau de-Hamd Basyab –805


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ngan melandaskan kepentingannya pada kepentingan umum, biasanyaberakhir dengan merugikan publik dan hanya menguntungkandirinya sendiri. Tapi sebaliknya, orang yang didorong oleh semangatindividualistik sering berakhir pada kemaslahatan orang banyak. BillGates, misalnya, tidak pernah berpikir bagi orang lain. Dia, padausia 19 tahun, membuat software kemudian mendirikan Microsoft,apakah manfaatnya hanya untuk Bill Gates seorang? Beratus-ratusjuta orang diuntungkan. Kita, meskipun hanya dipojok dunia, bisaberselancar ke mana-mana gara-gara dia. Kalau tidak ada dia, ataukalau dia tidak memikirkan kepentingan pribadinya, bagaimanakita bisa mendapat Microsoft. Itu contoh-contoh ekstrem.Tuan Toyota, misalnya, dulu dibakar oleh nafsu untuk membuatmobil, tapi sekarang siapa yang pakai? Berjuta-juta orang dimudahkandengan adanya program itu. Demikian juga Boing dan lainsebagainya. Bahkan nabi sendiri adalah kerja individual. Demikianjuga ilmuwan, seperti Thomas Alfa Edison, James Watt, dan lainlain.Mereka semua bekerja secara individual. Mungkin kalau ditanyaapakah mereka memikirkan masyarakat, mungkin jawabannyabelum tentu. Pun jika ada motivasi untuk masyarakat, tetap adamotif atau passion individunya.Bagaimana dengan anggapan kelompok konservatif tentang permissivenessliberalisme yang diidentikkan dengan pornografi, seks bebas,dan sebagainya? Bahkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan banyakkalangan antikapitalisme, misalnya, melihat bahwa pangkal kemiskinanadalah liberalisme dalam ekonomi?Anggapan seperti itu, bagi saya, satu kesalahan fatal dan anggapanyang aneh sekali. Saya tidak mengerti dengan cara berpikir806– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mereka. Apa yang mereka maksud dengan pronografi, seks bebas,dan telanjang-telanjangan?Baiklah, pertama soal permissiveness. Mereka perlu tahu di negara-negaraBarat pun hal seperti itu juga dikeluhkan. Dalam pikiranmereka (umat Islam), orang Barat semua suka dengan telanjang-telanjanganatau pornografi. Justru karena dikeluhkan olehmasyarakat Barat sendiri, kemudian dicapai kebijakan kanalisasidan lokalisasi. Karena, lagi-lagi, itu tidak bisa dibantah, dan ituhak semua orang untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Ini faktakehidupan. Tetapi kalau kemudian orang sembarangan menyalurkanhasrat seksualnya di terminal, di warung makan, ini bisa disebutmasyarakat gila. Lantas diatur. Di Belanda eksperimennyalebih jauh, ada satu distrik yang membuat aturan seperti itu. Diluar daerah tersebut orang tidak akan berani. Artinya, di tempatlain beres semua. Itu dibuat, pertama, karena mereka merasa risih;kedua, apakah semua orang isi otaknya seks semata? Tentu tidak.Jadi itu mungkin pesan yang salah, yang tidak mencerminkan masyarakatBarat sebenarnya.Jadi harus disadari bahwa semua kecenderungan seperti ituada pada setiap manusia. Kalau terkait dengan kehidupan publik,maka dikompromikan, dicari jalan terbaik tanpa menimbulkanguncangan dan keresahan di antara masyarakat. Ini jauh lebih baikketimbang di negara-negara yang hipokrit, di mana kekerasan terjadidi berbagai ruang, di rumah, dalam bus dan sebagainya, danitu tanpa kontrol.Tentang ekonomi. Bagi saya, adalah analisis yang menggampangkanjika mengatakan bahwa ekonomi liberal telah gagal dansolusinya adalah syariat Islam atau sistem ekonomi Islam dan sebagainya.Dalam hidup ini orang berbeda-beda. Dan, itulah yangHamd Basyab –807


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menjadi faktor dasarnya, yaitu bahwa manusia berbeda-beda dantidak mungkin disamakan. Baik secara keluarga atau personal memangberbeda-beda. Sejarahnya, secara keseluruhan, sebagai bangsajuga berbeda-beda. Oleh sebab itu, kalau ada yang miskin, itualamiah, karena orangnya berbeda-beda. Ketika ada seribu orangdan yang lima puluh orang kreatif, sehingga mungkin lebih majumeninggalkan yang 950, jangan kemudian yang lima puluh orangdihukum hanya karena mereka lebih maju, lebih kreatif, lebih pintar,dan lebih keras kerjanya. Tetapi yang terpenting adalah bagaimanameningkatkan yang 950 orang ini agar seperti yang lima puluh.Jangan lantas menarik yang 50 supaya sama lagi.Sama halnya dengan negara. Kita tidak bisa meminta Inggrisuntuk jangan terlalu maju, agar terbelakang sedikit. Bagaimanalogikanya? Mereka sudah menata sistem pendidikannya denganbenar, mereka kerja keras, termasuk memang dengan mengkolonibangsa-bangsa lain. Itu adalah kesalahan mereka di masa lalu danmereka sudah meminta maaf. Dan kita tidak bisa terus-menerusmenyalahkan mereka. Untuk kasus Inggris, mereka menghimpunnegara-negara bekas koloninya dengan nama Commonwealth, negara-negarapersemakmuran. Itu adalah bentuk mereka menyatakandiri bersalah. Di dalamnya ada Pakistan, Malaysia, dan beberapanegara lain. Mereka umumnya maju. Kita saja, Indonesia, yang sialkarena dijajah oleh Belanda. Prancis juga melakukan hal serupa sebagaimanaInggris. Mereka masih menjalin hubungan dengan Tunisia,Maroko, Libya, dan Aljazair. Di negara-negara tersebut berdirisekolah-sekolah milik Prancis dan warganya juga dipersilakanuntuk sekolah ke Prancis. Hal semacam ini sudah dilakukan sejak1960-70-an. Kalau kita terus menyalahkan mereka, sama halnya808– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dengan orang Yahudi terus merengek bahwa 6 juta orang Yahudidibunuh. Jerman sudah minta maaf dan mengaku salah.Jadi satu-satunya jalan adalah mengejar mereka. Secara individu,misalnya, kalau penghasilan saya 10 juta dan Anda 1 juta, tidak mungkinpenghasilan saya diturunkan menjadi 1 juta, yang ada seharusnyaadalah Anda mengejar saya. Mungkin ketika Anda sampai 10 juta, bolehjadi saya sudah lebih. Kalau tidak begitu bagaimana? Moralnya dimana kalau saya dihukum karena kepintaran saya. Apakah Bill Gatesharus kita hukum karena dia terlalu pintar? Tentu tidak bisa sepertiitu. Atau kita juga tidak bisa melarang orang lain untuk membuatteknologi yang bagus. Bagaimana cara berpikirnya?Tapi kelompok yang menentang ekonomi liberal menilai ketimpangantersebut karena start-nya berbeda.Siapa yang mengatur start-nya? Itu alamiah. Bagaimana kitamengatur start-nya? Contoh sederhana, misalnya Anda dari desadan saya dari kota, kita berbeda. Tapi apa salah saya jika saya yanglahir di kota sudah menikmati listrik, ada tv, kulkas, gramophone,dan keluarga saya, misalnya, berorientasi ke Barat. Dan saya tidakpernah meminta untuk dilahirkan di tempat tertentu.Artinya, affirmative action itu sendiri bertolak belakang dengan ideliberalisme?Ya, secara in principal salah. Hanya saja kita harus realistis denganmenganggapnya sebagai kebijakan darurat, jangan dianggap luhur padadirinya. Tidak bisa orang maju dengan subsidi, dengan penganakemasan.Sebagai individu tidak bisa, sebagai komunitas apalagi.Hamd Basyab –809


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi kebenaran itu sendiri tidak tunggal. Kenapa kita harusterpaku pada satu kebaikan saja. Banyak yang bisa kita pilih. Kitalihat Malaysia. Mahatir ketika mau turun pada 2003, setelah 25tahun memimpin, mengakui bahwa dia gagal. Mungkin yang terangkathanya 25%. Bahkan dari segi lain dia melanggar HAM.Coba Anda bayangkan, orang Cina, misalnya, di Malaysia “dihalang-halangi”hanya karena dia lahir sebagai Cina. Dari manadasar kebenarannya? Dia lahir tanpa meminta menjadi Cina, lalusetelah lahir matanya sipit, karena itu tidak boleh mendapat kreditbank. Di mana dasar moralnya? Makanya di Malaysia masyarakatketurunan India mulai bergejolak. Padahal hanya karena merekaberkulit hitam, dan mereka tidak pernah meminta agar kulit merekaseperti ini, kemudian dilarang terlibat dalam kegiatan ekonomi.Bagaimana dasar moralnya?Di sini ada yang disebut semangat zaman. 300 tahun yang lalumemang ada perlakuan diskriminatif macam itu. Sekarang kesadaranmanusia sudah tumbuh bahwa itu adalah hal yang keliru.Jadi kesadaran tentang kemanusiaan 300 tahun yang lalu berbedadengan sekarang. Sekarang kita tidak mungkin lagi melecehkanperempuan. 30 tahun yang lalu kita masih bisa siul-siul kepadaperempuan sembarangan. Namun sekarang kita sudah malu padadiri sendiri. Artinya, mulai tumbuh kesadaran baru. Barangkaliseorang petani di desa masih seperti itu. Tapi meski kita berasaldari mereka, karena pendidikan, kita tidak akan berani lagi macam-macamdengan perempuan. Itu contoh-contoh di mana mentalseseorang berevolusi, bukan hanya fisiknya.Apakah Anda melihat adanya tren menaik ketertarikan negara-negaraMuslim terhadap demokrasi?810– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya melihat justruPasti saya secara pribadi menganggaptren sebaliknya. Yang terjadiadalah karena merekabahwa Islam paling benar. Tapi inianggapan subyektif saya sebagaidikoloni oleh negara-negaraBarat, justru mereka memaksakan keyakinan subyektif sayapenganutnya. Karena itu tidak mungkiningin menjauhi. Kalaupun kepada orang lain. Itu masalahnya,ingin mengadopsi, mungkinelemen-elemen sosia-suatu keyakinan tidak menghargaisebab melanggar HAM. Pemaksaanlistik dari negara-negara perbedaan yang paling elementer.penjajah. Misalnya, Hattayang sekolah di Belanda, yang dikembangkan adalah koperasi. JugaNatsir, yang mengambil sosialisme Arab, sementara dia menentangsosialisme Barat yang, menurutnya, dibawa oleh liberalisme. Tetapidi sisi lain, mereka tidak punya nomenklatur atau perbendaharaankata di luar sistem Barat untuk membentuk sebuah negara modern.Oleh karenanya, dibuatlah sistem presidensial-parlementer. Di situmereka meniru. Para pemimpin waktu itu mencari titik temu yangbisa diterapkan, tetapi pasti tidak secara keseluruhan. India jugabegitu, sosialis. Baru tumbuh kesadaran menjadi demokratis 15tahun belakangan ini. Setelah itu mereka menjelma menjadi nagabaru ekonomi di Asia. Demikian juga Cina.Jadi sangat jelas bahwa mereka menjauh untuk alasan-alasankesejarahan yang bisa dimengerti. Logikanya adalah bagaimanamungkin mereka meniru musuh sendiri. Sekalipun ada yang ditirutapi lebih pada unsur sosialistiknya. Ali Jinnah begitu, Nehru jugademikian. Tunisia, Maroko, semua sosialis. Tapi itu untuk alasanalasanyang bisa dimengerti.Namun kita sekarang harus berani meninggalkan itu semua.Masa lalu sudah selesai dan faktanya jelas sekali. Oleh karena itu,Hamd Basyab –811


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–saya tidak mengerti kenapa para aktivis susah sekali mengakuifakta kegagalan sistem sosialis. Yang ingin kita buat adalah sistemyang lebih baik, bukan sistem yang sempurna. Demokrasi pastibanyak cacatnya juga. Tapi kalau kita hitung pasti manfaatnya lebihbanyak dibanding mudaratnya. Sedangkan sistem sosialis pastibanyak manfaatnya, tapi lebih banyak lagi madaratnya. Fakta itudapat kita pastikan.Jadi, persoalannya begitu gamblang. Yang mangalami globalisasi,pasar bebas, memang tidak 100% rakyatnya terangkat, tapidi sistem yang lama jelas tidak ada yang bisa diangkat. Yang adahanyalah pemerataan penderitaan. Memang di sini belum terjadipemerataan kesejahteraan, tetapi orang yang meningkat kesejahteraannyamakin banyak. Tidak bisa dibantah. Di Cina 300 jutaan,India sudah 100 jutaan. Itu luar biasa sekali. Misalnya di Timemengungkap sisi gelap kota Mumbai. Meskipun di sana gemerlaptapi memang banyak sekali orang miskin. Tapi itu lebih baik karenadulu miskin semua. Dan pertumbuhannya cepat sekali. Awalnya disana memang banyak yang miskin, tapi tak lama kemudian naikantara 10-20%. Sementara sisanya stagnan, naiknya lama. Tapigenerasi setelahnya mungkin akan lebih cepat lagi. Mungkin barutercapai 100 tahun lagi. Cina diprediksi 30 tahun lagi akan lebihdahsyat dan melampaui Amerika.Ini fakta yang jelas sekali, sehingga saya tidak mengerti bagaimanapemikiran aktivis-aktivis kita. Kenapa mereka tidak ikutmembangun daripada terus berkoar-koar. Yang diteriakkan olehpara aktivis kita adalah aspek output-nya, selalu. Mereka tidak memikirkaninput-nya. Dalam ekonomi ada dua hal input dan output.Kalau kita terus meneriakkan pemerataan terhadap orang miskinsementara aspek input-nya ditinggalkan, sampai kapanpun mereka812– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–akan seperti itu. Sementarakita tahu yang memikirkaninput-nya adalah orangorangketurunan Tionghoa.Jadi, jangan heran jika merekayang lebih maju.Bagaimana pandangan Andatentang pluralisme yang seringdipahami sebagai sinkretismedan relativisme?Sekularisme sebetulnya bukanmembenci agama atau hendakmenumpas Tuhan. Tuhan itu sesuatuyang tidak pasti adanya, namunkenyataannya banyak orang yangpercaya. Dan sekularisme inginmengatakan, silakan saja. Yangpenting keyakinan Anda yang tidakbisa dibuktikan itu jangan dipaksakandan diterapkan untuk orang lain.Lagi-lagi ini soal ketidakpahaman yang akut dan parah. Pluralismemuncul sebagai paham justru bertitik-tolak dari perbedaan,bukan persamaan. Kalau kita sudah sama, tidak perlu ada urusanpluralisme. Jadi, orang yang menyebarkan pluralisme secara otomatismengakui perbedaan dan persamaan. Karenanya pendapat menyamakansemua agama, misalnya, dalam konteks ini mustahil, karenadasarnya sudah mengakui perbedaan. Yang diinginkan adalah kitamenghormati perbedaan itu sebagai fakta alamiah. Bahwa dasar ataunature manusia itu beda. Manusia, di satu sisi, persamaannya banyaksekali. Jangankan antara manusia dengan manusia, denganhewan pun sedikit sekali, terutama dengan simpanse dan gorila.Jadi jangan sombong. Beda genetik manusia hanya 1,6% dengansimpanse, 2,3% dengan gorila. Meleset sedikit saja, kita sama halnyadengan simpanse atau gorila.Rasisme tidak ada dasarnya sama sekali. Kita semua sama danbedanya sedikit saja. Tapi beda yang sedikit ini implikasinya ternyatabesar. Pada hewan tidak berimplikasi sebesar manusia. TapiHamd Basyab –813


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pada manusia menjadi besar sekali, sehingga menjadi beda stylemusiknya, berbeda agamanya, budayanya, dan sebagainya. Segalanyakemudian berbeda. Dan itu kemudian menjadi natural.Jadi, perbedaan yang sebetulnya sedikit sekali dan sejatinyajuga natural, kemudian dikembangkan oleh kebudayaan, sehinggakita jadi demikina berbeda. Tentu saja, masing-masing pihakmenganggap benar. Kalau saja saya menganggap bahwa agamasaya tidak benar, untuk apa saya beragama Islam. Pasti saya secarapribadi menganggap bahwa Islam paling benar. Tapi ini anggapansubyektif saya sebagai penganutnya. Karena itu tidak mungkinmemaksakan keyakinan subyektif saya kepada orang lain. Itumasalahnya, sebab melanggar HAM. Pemaksaan suatu keyakinantidak menghargai perbedaan yang paling elementer.Jadi, yang dimaksud dengan pluralisme bukan kebenaran yangrelatif, tapi kebenaran itu mutlak menurut pendapat subyektif masing-masing.Begitu dia menjadi program sosial, begitu dia dilemparke pentas sosial, dia menjadi relatif. Artinya, kebenaran Islamitu relatif menurut agama orang lain. Dan sebaliknya, benar mutlakagama Kristen bagi penganutnya, tapi menurut saya, sebagaiMuslim, tidak. Itulah yang dimaksud dengan pluralisme, justrudalam rangka menghargai perbedaan. Saya tidak mengerti kalaupluralisme kemudian dianggap kebenaran relatif. Silakan anggapmutlak berdasarkan anggapan masing-masing.Sebagai negara yang baru berdemokrasi, kita mengalami banyak sekalicobaan. Menurut Anda, apakah kita sudah pada jalur yang benar danmenuju kondisi yang lebih baik, atau sebaliknya kita akan kembalijatuh dalam kegelapan?814– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut saya, dua kemungkinan tersebut selalu terbuka. Kalausaya lihat, secara keseluruhan, kita mengarah kepada sistem sosial,ekonomi, politik yang makin lama makin baik. Memang kuncinyaekonomi. Kalau ekonomi kita membaik maka kehidupan kita punmembaik. Jadi, orang mulai mempunyai pleasure time dan kurangsibuk dengan urusan-urusan kebatinan yang nyata-nyata subyektif,dan bisa menyalurkan hasrat-hasrat kebatinannya itu melalui kesenian.Seperti kata Nasr Hamid Abu Zaid, bahwa di Eropa orangmengganti fungsi gereja sebagai gedung museum atau gedung konsermerupakan perpanjangan spiritualitas manusia. Jangan mengiraorang Eropa tidak religius. Religiusitas mereka berbeda. Kalaukita masih di masjid, mereka sudah menonton opera atau musik.Inikan untuk memenuhi hasrat batin mereka. Mudah-mudahan disini nantinya juga begitu.Kalau melihat kondisi pertumbuhan makro ekonomi kita sejauhini bagus, yaitu sampai 6% lebih, bahkan ada dugaan yangterlalu optimistik hingga 7%, seperti yang terjadi pada masa OrdeBaru. Namun bahwa belum ada pemerataan memang benar. Karenapersoalan kita jumlah penduduknya 200 juta lebih. Di Singapuragampang membuat pemerataan, penduduk mereka hanya 3 juta.Brunei apalagi. Tapi lagi-lagi, seperti yang saya katakan tadi, banyakorang saat ini yang terangkat tingkat ekonominya.Nah, itulah kuncinya. Kalau ekonominya berantakan terusmaka akan sulit bagi kita untuk keluar dari persoalan saat ini. Tapisaya melihat secara keseluruhan semangat kebangsaan bangsa inimasih cukup besar, dan menurut saya sangat ajaib. Begitu banyakperbedaan tapi umumnya masih ingin dalam keindonesiaan. Aceh,misalnya, setelah 32 tahun dibawah rezim otoriter kemudian diberikebebasan, mereka beres. Bahwa masih ada persoalan, harus kitaHamd Basyab –815


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–akui, tetapi intinya beres. Di Papua begitu juga, meskipun masihada yang berteriak-teriak. Itu, lagi-lagi, proses.Di Amerika perang saudara terjadi luar biasa mengerikan antaraSelatan dan Utara. Jadi jangan berlebihan-lebihan soal konflikyang terjadi di sini. Kalaupun ada masalah, anggap ini bagian darimasa transisi. Kalau masa otoritarian sebelumya tidak dialami selama32 tahun, mungkin euforia kebebasannya pun tidak sedahsyatsaat ini. Menurut saya, sebanding saja.Lantas, apa sebetulnya yang mendasari kekhawatiran itu? Kitasudah melaksanakan pilkada sampai 300 lebih dan sukses. Apakahmemakan korban? Satupun tidak ada darah yang tertumpah. Memangada keributan karena tidak puas. Tapi diperkirakan hanyasekitar 2%. Artinya, masyarakat yang selama ini dianggap bodohternyata siap. Kalau saja ini dibiasakan, kemudian elitenya bisamenerima, semuanya beres. Seperti yang terjadi di Amerika, saatkekalahan Al Gore, misalnya, dia mengakui kekalahannya dan saatitu pendukungnya mengikuti sikap elite. Sekalipun di Indonesiamasih terjadi ketidakpuasan atas pelaksanaan pilkada di sejumlahdaerah, tapi sikap mereka sudah dewasa dalam berpolitik. Kalautidak puas mereka mengajukan ke Mahkamah Agung. Itu sudahmemakai prosedur yang benar. Bukan mengerahkan pendukungdan kemudian saling membunuh. Secara keseluruhan, menurutsaya, sudah bagus. Dan kita harus ikut dalam arus besar ini, kalaukita mencintai bangsa ini.Wawancara dilakukan di Freedom Institute,11 Februari 2008816– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganHamka HaqHamka Haq, Ketua bidang Agama dan Kerohanian DPP PDIP dan ketua umumBaitul Muslimin Indonesia (Bamusi). Pendidikan doktoralnya ia peroleh di UIN SyarifHidayatullah Jakarta. Ia pernah menjadi Pembantu Rektor I UIN Alauddin, Makassar,kini menjadi guru besar di universitas tersebut. Pernah juga menjadi ketua MUISulawesiSelatan.817


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ruang publik harus kedap dari simbol-simbol keagamaan. Agamabisa masuk di dalamnya hanya jika sudah menjelma etos-etosyang bersifat universal dan tidak menimbulkan keberatan daripihak lain. Sehingga ia menjadi nilai milik bersama. Terlebih, dalamkonteks keindonesiaan, spirit keagamaan menjiwai Pancasiladan UUD ’45 sebagai tata nilai publik kehidupan berbangsa danbernegara yang menjadi kesepakatan seluruh warga. Jika demikian,setiap perbedaan, termasuk wilayah agama ataupun pahamteologi, yang jelas-jelas dijamin konstitusi, harus dihargai dengankearifan, bukan egoisme beragama, demi mencapai kedamaianyang penuh silaturrahim dan saling pengertian di antara yangberbeda. Sebab, demikianlah ketentuan Islam, yang merupakanagama pluralis, dalam menyikapi perbedaan.818– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kontroversialberupa pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Dari siniistilah-istilah tersebut menjadi sangat cemar di masyarakat. MenurutAnda sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan sekularisme?Dari segi sejarah, sekularisme muncul sebagai reaksi terhadapintervensi Gereja Katolik yang berlebihan dalam berbagai aktivitassosial dan politik masyarakat Eropa. Gerakan itu menjadi kuatselain karena muaknya masyarakat dengan tekanan dan kekanganajaran-ajaran dogmatis gereja, juga didukung oleh raja-raja yangkecewa dengan gereja yang telah mengintervensi pengangkatanmereka. Maka bangkitlah suatu gerakan yang ingin melepaskandiri dari keterikatan keagamaan yang sangat ketat.Namun demikian, gerakan ini, yang ideologinya sekular, bukanberarti meninggalkan agama. Dalam sejarahnya, sekularismetak lebih dari sekadar upaya untuk melepaskan diri dari pengaruhgereja yang terlampau jauh menekan rakyat dan penguasa di bidangsosial dan politik. Dengan demikian, sekali lagi perlu sayatekankan, sekularisme tidak berarti meninggalkan agama, melainkanmemisahkan antara urusan keagamaan dan urusan sosial kemasyarakatan.Bagaimana sekularisme dalam Islam?Secara umum Islam sendiri tidak dapat dilepaskan dari wilayahsosial, politik, dan ekonomi. Meski demikian, sejarah membuktikanbahwa sekularisme dapat diterapkan di dunia Islam. Contohnya diTurki. Sekularisme di Turki bergema di bawah kendali MustafaKemal Attaturk pada 1924. Dalam pandangan Kemal, sekularismeHamka Haq –819


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pun tak berarti meninggalkan agama, melainkan hanya memisahkanagama dari kekuasaan. Agama yang dimaksud Kemal bukanlah Islamitu sendiri, tapi kekuasaan para tokoh agama atau ulama Islam.Dalam konteks itu, Turki ingin memisahkan pengaruh tokoh-tokohagama Islam agar tidak terlalu jauh mencampuri persoalan politik.Khilâfah, sebagai bagian dari campur tangan tokoh-tokoh agama,dengan demikian harus diubah. Dengan begitu, sekularisasi sebenarnyaadalah upaya memisahkan secara mutlak antara agama dannegara, namun tidak berarti sama sekali meninggalkan agama.Di Indonesia banyak orang memandang negatif sekularisme, makanyaCak Nur memilih menggunakan istilah sekularisasi. Menurut Andapembedaan istilah seperti itu penting atau tidak dalam rangka mendiseminasikansekularisme?Saya kira penting, karena sebagian besar masyarakat, terutamaumat Islam, tidak mengetahui arti sekularisme. Sehingga banyakorang beranggapan bahwa orang sekular adalah orang yang tidakberagama. Padahal tidak seperti itu. Maka untuk mendidik masyarakatagar mengetahui makna sekularisme dan sekularisasi, sayakira kedua istilah tersebut masih perlu dibedakan.Sekularisasi yang saya pahami dari pandangan Cak Nur adalahupaya untuk melihat dan memilah antara urusan keagamaanyang patut disandarkan pada nash-nash kitab suci dan al-sunnahdengan urusan duniawi yang tidak harus selalu disandarkan padakedua sumber hukum Islam tersebut. Urusan duniawi, menurutCak Nur, memerlukan ijtihad dan pemikiran-pemikiran baru, yangmungkin ada kaitannya dengan sunnah, meski mungkin juga tidak.Memang, sejauh pengamatan saya, menggunakan istilah sekulari-820– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sasi lebih aman ketimbang sekularisme. Meski tetap menimbulkankontroversi.Kalau sekularisme diartikan sebagai pemisahan secara mutlakantara agama dan kehidupan duniawi, memang tidak cocok denganIslam. Tetapi dalam arti upaya yang lebih luas lagi, seperti yangdikemukakan Cak Nur, istilah itu justru mungkin dapat kita pakaisebagai slogan perubahan.Perubahan ialah pembaharuan,yang dalam Islam disebut memberikan wilayah yang lebih luasSekularisasi bertujuan untuktajdîd, sebuah upaya penyesuaianajaran Islam dengankepada akal pikiran, tetapi tidak berartiliberal seratus%. Ia tetap dilandasietos-etos keagamaan. Sehinggaperkembangan zaman yangpikiran-pikiran yang lahir tetapselalu berubah dan berbeda.dipandu oleh naluri-naluri keagamaanPada dasarnya tajdîd diterimaoleh para ulama sebagai tertentu yang merupakan bagian darinamun, di sisi lain, ada wilayah-wilayahbagian dari hukum sosial dalamakal, seperti ranah duniawi.Islam.Apakah dalam Islam terdapat landasan teologis yang mendukung sekularisme?Menurut saya ada. Nabi Muhammad saw pernah bersabda “antuma‘lamu bi-umûri dunyâkum,” engkau lebih mengetahui tentangurusan duniamu. Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullahtidak ingin campur tangan terlampau jauh dalam urusan duniawi.Oleh karena itu, dalam ushûl al-fiqh, yang biasa saya baca, Rasulberijtihad dalam wilayah-wilayah keduniaan. Sementara dalamwilayah keagamaan, khususnya ibadah, Rasul sendiri merasa tidakmemiliki otoritas untuk itu. Baginya, ibadah merupakan priori-Hamka Haq –821


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tas wahyu dari Tuhan. Sebagaimana manusia biasa, dalam urusanduniawi, Muhammad berijtihad bukan atas nama kerasulannya,tetapi atas nama pribadi. Sehingga ijtihad Rasul bisa jadi benardan bisa juga salah.Suatu ketika, Rasul melarang masyarakat Arab mengawinkankurma, itu bukan wahyu tapi hanya pikiran beliau, dan ternyatahasilnya kurang memuaskan. Maka, masyarakat Arab yang kurmanyakurang berhasil, mengajukan keberatan kepada Rasul yang telahmelarang mengawinkannya. Rasul sendiri merasa bersalah dankemudian menyadari bahwa anjurannya tersebut keliru. Contoh itumenunjukkan kesadaran Rasul agar secara pribadi tidak perlu campurtangan terlalu jauh terhadap urusan duniawi umat Islam, kecualimasalah ibadah yang memang sudah diatur atas otoritas wahyuTuhan. Dalam kehidupan duniawi, beliau bisa berijtihad, bisa jugaijtihadnya dilemparkan ke para Sahabat. Tetapi dalam kehidupanibadah, semuanya diatur oleh Tuhan, Rasul hanya pelaksana danpenyampai kepada masyarakat.Kendati demikian, sekularisasi ataupun sekularisme dikhawatirkan kalanganIslam tertentu, seperti juga oleh MUI, dapat mengikis agamadari kehidupan umat, karena merongrong akidahnya. Apa komentarAnda menanggapi hal tersebut?Menurut saya, sekularisasi tidak akan memberangus akidahumat. Karena, proses sekularisasi bertujuan untuk memberikanwilayah yang lebih luas kepada akal pikiran, tetapi tidak berartiliberal seratus persen. Ia tetap dilandasi etos-etos keagamaan. Sehinggapikiran-pikiran yang lahir tetap dipandu oleh naluri-nalurikeagamaan namun, di sisi lain, ada wilayah-wilayah tertentu yang822– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–merupakan bagian dari akal, seperti ranah duniawi. Dalam ranahduniawi, manusia boleh berpikir dan berkreasi secara bebas denganberlandaskan pada kerangka tradisi keilmuan dan seni. Kendati demikian,orang Muslim nyatanya tetap tidak menghilangkan nafaskeagamaan dalam berbagai kegiatan duniawinya.Sebagai contoh, tradisi rebana, gamelan, dan gendang, yangsekarang terkesan islami sebenarnya tidak ada dalam tradisi syariah,melainkan kreasi bebas budaya lokal masyarakat Indonesia. Meskidemikian, seni tersebut tetap diberikan sentuhan keagamaan olehsebagian umat Islam. Itulah yang saya maksud sebagai perbedaanpemahaman sekularisasi antara masyarakat Indonesia dan Barat.Dengan begitu, saya yakinbahwa sekularisasi yang terjadidi Indonesia tidak akan agama bersifat universal dan tidakBagi saya, sepanjang nilai-nilaimemberangus agama.mendatangkan keberatan dari pihaklain, maka nilai tersebut dapat menjadimilik bersama sebagai bagian dariSekularisme juga dipahami sebagaipemisahan antara ranahdari agama.kehidupan publik yang munculpublik dan privat. Agama dalamhal ini merupakan wilayah privat yang harus dipisahkan dari negarasebagai ranah publik. Bagaimana menurut Anda?Saya kira pembedaan tersebut ada benarnya. Tetapi, harus diketahui bahwa semua agama memiliki nilai-nilai universal. Dannilai-nilai universal tersebut, menurut saya, bisa menjadi nilai-nilaipublik. Bagi saya, sepanjang nilai-nilai agama bersifat universal dantidak mendatangkan keberatan dari pihak lain, maka nilai tersebutdapat menjadi milik bersama sebagai bagian dari kehidupan publikyang muncul dari agama.Hamka Haq –823


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam hal ibadah ritual, agama memang bagian dari ranahprivat. Tapi, menyangkut kehidupan sosial ekonomi masyarakat,ajaran agama bisa menjadi ranah publik, karena nilai-nilainya bersifatuniversal. Lain halnya jika nilai-nilai tersebut tidak bersifatuniversal, hanya milik kelompok tertentu saja, misalnya adat perkawinan.Perkawinan antara tradisi Islam dan Kristen berbeda. Namun,ada ranah dari prosesi perkawinan yang menjadi bagian daripublik yang bisa dilaksanakan oleh semua orang tanpa mengenalperbedaan agama dan etnis.Demikian juga dalam kehidupan ekonomi. Buktinya, ekonomisyariah tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesiamelainkan juga kaum non-Muslim di Amerika dan Eropa. Meskipunmereka tidak secara langsung menyebutnya syariah, nilainilaiuniversal syariah sebenarnya telah dilaksanakan oleh mereka.Maksud saya, agama dalam arti ibadah dan ritual adalah ranahpribadi, tetapi sisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang bersifatuniversal dari agama bisa menjadi nilai publik.Secara faktual masuknya agama ke ranah publik justru problematis.Munculnya perda-perda syariah di sejumlah daerah, misalnya, semakinmengukuhkan dominasi agama Islam atas agama lainnya. Implikasinyaadalah pelarangan terhadap hak-hak kelompok minoritasdan perempuan. Bagaimana Anda mendudukkan hal itu?Dalam konteks itu, kita membutuhkan kearifan. Maksud sayaadalah ketika nilai-nilai universal suatu agama masuk dalam ranahpubik dan bisa diterima oleh orang lain, maka simbol-simbol agamaharus segera dicabut. Perda yang melarang perjudian, misalnya,tidak perlu harus dikatakan sebagai perda syariah. Di sinilah salah824– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–satu arti dari sekularisasi. Untuk menjaga relevansi dengan konteksyang ada, nilai-nilai agama yang menjadi landasan kehidupan sosial,harus rela melepaskan diri dari simbol-simbol yang mengikatnya.Karena nilai itu sudah menjadi etos dari semua umat beragamadi Indonesia. Hal itulah yang membedakan antara sekularisasi diIndonesia dengan di Barat. Kalau di Barat, bukan hanya simbol,nilai juga harus dilepas.Untuk konteks Indonesia, saya kira menjadi penting nilai-nilaiagama melandasi berbagai produk hukum yang berlaku. Karenasila pertama Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi,seluruh produk hukum harus berwawasan ketuhanan. Artinya,setiap warga negara Indonesia harus merasa dirinya umat beragama.Tetapi harus dibedakan bahwa ada bagian agama yangmenjadi ranah privat, seperti ibadah dan ritual, yang tidak bisadicampur-adukkan dengan yang bisa diterima masyarakat umum,yakni nilai-nilai universal. Namun demikian, nilai-nilai universalyang dijadikan nilai bersama hendaknya melepaskan diri darisimbol-simbol agama sumbernya. Kalau tidak, munculnya reaksibalik yang cukup keras dari masyarakat adalah hal yang wajar.Dengan alasan itu pula, beberapa waktu lalu, Fraksi DamaiSejahtera di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menolak RancanganUndang Undang Perbankan Syariah, karena secara tegasmembawa simbol syariah yang notabene Islam. Untuk mengantisipasireaksi yang tidak produktif, mengapa tidak mengatakanRUU Perbankan Alternatif saja? Padahal, mungkin nilai-nilaiyang dikandung dalam sistem perbankan syariah juga cocokuntuk semua orang. Buktinya, sistem itu cocok di Eropa yangmayoritas warganya non-Muslim.Hamka Haq –825


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sejak perumusan konstitusi muncul perdebatan yang bermuara padakesimpulan apakah Indonesia negara Islam atau sekular. Sementara,negara juga mempunyai Departemen Agama (Depag) yang jelas-jelasmengurusi agama. Dari sini, kita tidak pernah secara hitam putihdapat mengatakan bahwa Indonesia adalah negara sekular atau negaraagama. Apa komentar Anda?Menurut saya, Indonesia bukan negara sekular, melainkan negaraberketuhanan. Dengan pengertian lain, Indonesia adalah negarayang beragama, tanpa berlandaskan pada syariat agama tertentu.Tetapi, secara universal agama telah menjiwai Pancasila dan UUD1945. Pada saat yang sama, secara moral, negara juga bertanggungjawab untuk menjaga dan menghidupkan semua agama.Konstitusi Indonesia sering dikatakan lebih mengadopsi konstitusi negara-negarademokrasi liberal. Sementara liberalisme sendiri menjadiistilah yang terlanjur dipahami dengan sangat pejoratif di Indonesia.Liberalisme kerap dituduh sebagai paham kebebasan tanpa batas. Apayang Anda pahami dengan liberalisme?Liberalisme, sebagaimana sekularisme, juga berasal dari Barat.Tapi tidak berarti liberalisme adalah kebebasan tanpa batas. LihatlahEropa dan Amerika, liberalisme yang berkembang di sanatetap mengacu pada ikatan-ikatan tertentu. Yang mengikat merekaadalah Undang-Undang Dasar atau konstitusinya. Betapapunliberalnya seseorang tetap dibatasi oleh konstitusi. Selain konstitusi,yang menjadi acuan dan referensi mereka adalah Hak AsasiManusia (HAM). Karena itu, betapapun liberalnya seseorang, ia826– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak boleh melanggar hak asasi orang lain. Jadi, kebebasan yangdimaksud bukan berarti tanpa batas.Saya kira, baik di Baratmaupun di Indonesia, Ketika nilai-nilai universal suatuliberalisme sebenarnya sama agama masuk dalam ranah pubik, danbisa diterima oleh orang lain, makasaja. Hanya mungkin carasimbol agama harus dicabut. Perdamenghadapinya yang berbeda.Antara pemerintah-pe-yang melarang perjudian misalnyatidak perlu dikatakan sebagai perdamerintah di Barat dan Indonesiaagak berbeda dalamsekularisasi.syariah. Di sinilah salah satu arti daricara menghadapi kebebasan.Ini bisa dimaklumi karena kita baru saja lepas dari Orde Baru yangcenderung represif, memberangus kebebasan yang sejatinya dimilikioleh semua warga negara. Liberalisme dalam segi agama punmenurut saya begitu. Karena Eropa sudah jauh lebih lama memisahkansecara mutlak hubungan agama dan kehidupan sehari-hari,sehingga bisa lebih longgar melihat liberalisme.Misalnya saja aborsi. Di Barat, sebagian negara telah memberlakukannya,walau tetap ada negara yang belum memberlakukannya.Sementara di Indonesia, tentu saja aborsi tidak bisa dimasukkansebagai bagaian dari liberalisme. Karena agama, yangmenjadi etos kerja bangsa sekaligus etos yang menafasi konstitusikita, melarangnya. Di Indonesia, tidak mungkin ada konstitusiyang memberikan kebebasan aborsi.Pada negara yang demokratis memungkinkan munculnya banyak partai.Di Indonesia, demokrasi yang berkembang kemudian memunculkanpartai politik yang berasaskan agama tertentu, seperti Islam danHamka Haq –827


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kristen. Pada titik ini, menurut Anda, tantangan seperti apa yangdihadapi demokrasi dan liberalisme?Partai-partai yang ada di Indonesia tumbuh dalam bingkaikonstitusi. Suatu partai tidak mungkin bisa hidup kalau bertentangandengan konstitusi. Karena itu, munculnya partai-partai yangberasaskan Islam tetap sejalan dengan konstitusi. Islam yang menjadiasas pasti merupakan pemahaman Islam yang sejalan denganPancasila dan UUD 1945. Islam yang demikian, berbeda denganIslam yang ada di negara Iran atau Arab Saudi.Islam yang menjadi asas partai-partai Islam adalah Islam yangsecara kultural dan ritual telah sejalan dengan Pancasila. Tidak dapatdibenarkan jika partai bertentangan dengan Pancasila. KarenaPancasila adalah nilai-nilai dasar yang menjadi konsensus bangsaIndonesia. Dan sejatinya, Pancasila sendiri merupakan pancarandari nilai-nilai universal Islam. Kini, yang harus digaris bawahi,bukan saatnya lagi menempatkan Islam dan Pancasila secara berhadap-hadapan.Bagaimana jika kemudian partai-partai agama justru mendesakkanagenda yang menentang konstitusi. Misalnya, sebagian partai masih adayang menginginkan Piagam Jakarta diberlakukan kembali. Artinya,partai-partai tersebut, yang secara formal mendefinisikan diri sebagaipartai Islam, pada saat yang sama akan menentang konstitusi?Sebelum menjawab, saya ingin menunjukkan penafsiran yanglebih bagus tentang asas Islam yang ada dalam Anggaran Dasardan Anggaran Rumah Tangga partai-partai Islam. Islam di situ,oleh sebagian partai Islam, dipahami sebagai berbasis pada umat828– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Islam. Artinya, dari segi keanggotaan, partai tersebut berbasis umatIslam; begitupun dari segi ideologi, berideologi Islam universal,bukan yang ekslusif. Ekslusif di sini, artinya hanya berjuang untukkepentingan Islam.Sebagai partai politik yang sah di negara ini, partai-partai tersebutseharusnya tak hanya berjuang untuk kepentingan umat Islam,melainkan membangun negara untuk kepentingan semua warganegara. Yang diperjuangkan adalah bangsa Indonesia yang meliputisemua agama dan etnis yang ada. Karena itu, mereka tetap akanmemberi ruang bagi kebebasan beragama. Hal ini bahkan menjadibagian dari perjuangan merekayang inklusif. Lain halnyajika mereka ekslusif. bahwa yang sah di IndonesiaKonstitusi tidak pernah menyebutkanhanyaIslam Sunni. Karena itu tak ada alasanuntuk mengusir dan memberangusBeberapa partai bersekongkolIslam yang lain, termasuk Ahmadiyah.dengan kepala daerah untukmemberlakukan perda syariah.Mereka pun mengklaim bahwa perda itu terlahir secara legal sesuaidengan prosedur demokrasi. Bagaimana Anda menilainya?Menurut saya, perda-perda seperti itu tetap bertentangan dengankonstitusi. Demokrasi yang mestinya dipahami adalah demokrasidi bawah payung konsitusi. Demokrasi jangan hanya dimaknaisebagai kekuatan yang bisa ditentukan dengan mengantongi suaraseperdua tambah satu. Itu namanya demokrasi prosedural. Di atassegalanya, demokrasi adalah penghargaan setinggi-tingginya terhadapkonstitusi, terhadap perundang-undangan yang berlaku.Sebenarnya, perda syariah bisa saja dibuat dan dijalankan jikaisinya bernilai universal dan tidak menggunakan nama syariat Is-Hamka Haq –829


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lam. Namakan saja dengan Perda Penghapusan Miras (minumankeras), contohnya. Tanpa simbol-simbol agama seperti itu, sayakira, malah akan lebih banyak mendapatkan apresisasi dari masyarakatluas. Miras bukan hanya urusan syariah, buktinya masyarakatPapua yang notabene mayoritas beragama Kristen pun kini berkeinginanuntuk menolaknya.Di Tangerang, misalnya, karena alasan penegakan syariah, perempuanyang keluar malam tanpa muhrim kemudian ditangkap, lantarandianggap pelacur. Di Padang, banyak siswi non-Muslim terpaksa memakaijilbab. Demikianpun di Aceh, banyak sekali perempuan yangmerasa terpaksa memakai jilbab. Apa pendapat Anda?Saya sepakat bahwa perda syariah kerap kontra-produktif bagibangsa kita. Betapa tidak, ketika di Tangerang dan Aceh diterapkanperda syariah, rupanya komunitas Kristen di Papua pun menuntutdiberlakukannya Perda Injil. Dan tak tertutup kemungkinan,ke depan, di Bali, akan ada tuntutan untuk menerapkanPerda Hindu.Demi keutuhan NKRI, alangkah bagusnya jika seluruh intisarinilai-nilai universal dari agama-agama yang ada di Indonesia digabungmenjadi suatu produk undang-undang dengan tanpa menggunakanlabel agama tertentu. Kita perlu kembali membangunkearifan untuk meninggalkan egoisme beragama. Agama mestinyaberkontribusi untuk memajukan bangsa, bukan malah menghancurkantatanan bangsa.Bagaimana pandangan Anda terhadap kebebasan berpikir dan menafsirkansumber-sumber agama?830– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<strong>Kebebasan</strong> berpikir dalam Islam menjadi sesuatu yang sangatterbuka, sepanjang hal yang ditafsirkan tersebut tidak memiliki keteranganpasti dari nash (teks) al-Quran atau al-Sunnah. Jika tidak adanash yang menerangkan suatu hal secara jelas, Anda bebas berpikiratau berijtihad. Tapi, kebebasan itu akan sedikit terbatasi jika adanash yang mengaturnya.Mengapa terbatas? Karenakebebasan berpikir da-Indonesia bukan negara sekular,melainkan negara berketuhanan.lam konteks itu tetap harusberpangkal pada, atau adalah negara yang beragama, tanpaDengan pengertian lain, Indonesiahanya coba memahami, berlandaskan pada syariat agamaayat atau Hadits yang sudahada. Kita diberikan ke-agama telah menjiwai Pancasilatertentu. Tetapi, secara universalbebasan dalam memaknai dan UUD 1945. Pada saat yangnash, dan tentunya akan sama, secara moral, negara jugabertanggung jawab untuk menjagalebih bebas lagi jika tidakdan menghidupkan semua agama.ada nash yang mengatakannya.Problem yang terjadi di Indonesia adalah munculnya banyak sekalitafsir yang mengatasnamakan nash tanpa dibarengi penghormatanatas tafsir yang berbeda. Satu tafsir yang dikeluarkan oleh golonganmainstream seringkali dipaksakan ke semua orang. Yang berbeda dianggapsalah, bahkan sesat. Bagaimana pendapat Anda dan bagaimanapula cara menghadapi para pemaksa tafsir seperti ini?Memang belum ada metodologi yang disepakati semua orangdalam menafsirkan ayat. Tapi, menurut saya, setidaknya penafsiranatas ayat tertentu hendaknya tidak bertentangan dengan ayatHamka Haq –831


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang lain. Sebab ayat-ayat al-Quran merupakan satu kesatuanyang tidak saling bertentangan. Meski demikian, jika ada orangyang menafsirkan secara berbeda, maka kita tidak boleh menghakimiatau mengenyahkan kelompok penafsir yang berbeda inidari pergaulan kita. Bagi saya, sepanjang masih bergelut denganayat, entah bentuk tafsirnya seperti apa, dia masih bagian darikita (Muslim).Pada tataran itu, maka perbedaan kita dengan Ahmadiyah takperlu diselesaikan dengan penghakiman. Mereka tidak bisa kita pisahkandari Islam. Karena nyatanya yang hingga kini mereka gelutiadalah al-Quran dan al-Sunnah. Tuhan mereka Allah dan nabinyaMuhammad saw. Yang membedakan hanya cara memahami al-Qurandan al-Sunnah. Mereka memahami bahwa al-Quran memberipeluang datangnya nabi baru untuk membantu kerasulan Muhammadsaw. Meski begitu, atas perbedaan tersebut, kita tidak berhakuntuk menghakimi, karena itu hanyalah hak Tuhan.Di Indonesia, para penganut Ahmadiyah adalah warga negarayang sah, yang berhak mendapatkan perlindungan kebebasan beragamadan berkeyakinan dari negara. Lantas, mengapa kita harusmengusir dan menghabisi mereka atau merusak rumah ibadah(masjid) dan harta benda mereka? Itu tidak benar.Kasus penghakiman terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Al-Qiyadah Islamiyah adalah bukti kealpaan negara atas kewajibannyamelindungi hak-hak dan kebebasan sipil yang dijamin konstitusi.Dalam kasus tersebut negara mengamini fatwa MUI, sehingga melegalkanpemberangusan suatu kelompok. Menurut Anda, bagaimanaseharusnya sikap negara menghadapi masalah perbedaan?832– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut saya, fatwa MUI sebenarnya tak terlampau istimewa.Fatwa tak ubahnya dengan pendapat. Dan pendapat MUI merepresentasikanpendapat kaum Sunni. Sebab, MUI adalah majelisulama kaum Sunni. Maka, jangankan Ahmadiyah, Syi’ah pun disalahkan,diharamkan. Kalau MUI ditanya, benarkah akidahnyaDuta Besar Iran di Indonesia itu? Jawabannya pasti salah, karenaDuta Besar Iran untuk Indonesia itu orang Syi’ah. Semua ajaranSyi’ah, Ahmadiyah, dan lainya, yang berbeda dengan MUI, akandianggap salah, sesat.Bagaimana pemerintah mesti bersikap? Menurut saya, pemerintahharus arif dan bijaksana. Dia harus tegas dan memiliki komitmenuntuk menegakkan konstitusi.Fatwa atau pendapat MUI bukan atau tidak sama bahkan jauhdi bawah konstitusi. Karena itu, fatwa MUI jelas tak dapat dijadikandasar bertindak bagipemerintah. Fatwa hanya Lihatlah Eropa dan Amerika,menjadi saran atau masukanuntuk Departemen Aga-liberalisme yang berkembang di sanatetap mengacu pada ikatan-ikatantertentu. Yang mengikat merekama, sebagai wakil pemerintah,untuk membina masya-adalah Undang-Undang Dasar ataukonstitusinya. Betapapun liberalnyarakat Sunni yang mungkinseseorang tetap dibatasi olehdikhawatirkan tertular olehkonstitusi.paham yang dianggapnya tidakbenar. Sekali lagi, fatwa itu hanya sebatas pembinaan, sehinggatidak boleh dianggap sebagai dasar untuk bertindak, menghakimipihak yang difatwa.Jadi, sebenarnya yang bersalah bukanlah MUI, karena MUIhanya sebatas berfatwa tanpa instruksi agar fatwanya dieksekusi.Hanya saja, ke depan kita berharap fatwa MUI seperti itu sebaik-Hamka Haq –833


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya disertai penjelasan bahwa fatwa hanya sebatas pendapat, yangseharusnya ditindaklanjuti dengan bimbingan persuasif kepadaumat, bukan tindakan amuk massa. Dengan demikian, insya Allahfatwa MUI tidak akan disalahgunakan lagi oleh masyarakat yangsedang beringas.Kenyataannya MUI tak sekadar bertindak sebagai ulama yang membinaumat (Sunni), tapi telah berperan layaknya negara. Fatwa MUIberimplikasi pada munculnya tindakan anarkis masyarakat untuk menindasdan menyingkirkan golongan lain. Di sisi lain, negara hanyamembiarkannya. Bagaimana Anda menilai sikap dan peran negaradalam menghadapi kasus semacam ini?Sekali lagi saya tegaskan mestinya fatwa MUI dipandang tidaklebih sebagai pendapat atau himbauan yang berlaku hanya dikalangan Islam Sunni, tidak untuk Ahmadiyah dan lainnya. Untukmenyikapi hal itu, maka negara harus kembali pada konstitusi(UUD 1945), Pancasila serta peraturan-peraturan pemerintah yangmengatur hak-hak masyarakat untuk beragama dan beribadah sesuaidengan keyakinannya. Konstitusi tidak pernah menyebutkanbahwa yang sah di Indonesia hanya Islam Sunni. Karena itu takada alasan untuk mengusir dan memberangus Islam yang lain,termasuk Ahmadiyah.Meski konstitusi menjamin hak-hak dan kebebasan berkeyakinansetiap warga, sayangnya negara, dalam hal ini pemerintahanPresiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak menjalankanamanat konstitusi. Pemerintah SBY lebih senang menjaga citradan menebar pesona. Maka tak heran jika sikapnya terhadap penanganankasus Ahmadiyah, Al-Qiyadah al-Islamiyah, Lia Eden,834– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan sebagainya, cenderung diam, terkesan membiarkan tindakananarkis menimpa mereka, bahkan mungkin ikut menghakimi mereka.Sikap tersebut dapat dibaca sebagai upaya SBY untuk meraihsimpati mayoritas umat Islam demi kepentingan Pemilu 2009mendatang. Saya kira kalau SBY konsisten dengan konstitusi sebagaiamanah yang harus dijalankan oleh pemerintah, kasus-kasusanarkisme tersebut tak akan terjadi.Pada sisi yang lain, Departemen Agama, sebagai representasi pemerintah,mestinya juga membina Muslim Sunni agar tidak tertularAhmadiyah, Lia Eden, dan Al-Qiyadah, bukan malah berusaha menindakdan menyingkirkan paham-paham keagamaan tersebut.Bukankah dengan keterlibatan Departemen Agama dalam membinamasyarakat malah akan menambah masalah? Karena sebagai representasinegara, kalau mau adil, Depag juga harus membina MuslimAhmadiyah, Lia Eden, dan aliran-aliran serta agama lainnya (di luarenam agama resmi)?Ya, memang posisi Depag dilematis. Karena faktanya Depagsendiri tidak merepresentasikan seluruh aliran Islam yang ada. Meskidi sana ada Bidang Penerangan Agama, tapi bidang itu tak ubahnyaPenerangan Agama Islam Sunni. Kalau Islam yang boleh berkembangdi Indonesia hanya Islam Sunni, maka akan banyak sekaliorang yang harus terusir dari negeri dan tanah air mereka sendiri.Kemudian, duta besar Iran yang mempercayai imâmah pun tak akandiperbolehkan tinggal di Indonesia.Dulu, ketika Petinju Legendaris Muhammad Ali sedang berjaya,ia menjadi kebanggaan Muslim Indonesia. Padahal, MuhammadAli bukan Muslim Sunni. Ia justru berasal dari kelompok BlackHamka Haq –835


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Muslim yang percaya bahwa Elijah Muhammad adalah Tuhan, atauminimal Rasul. Tapi, karena rasa kebanggaan pada Muhammad Ali,umat Islam Indonesia pun mengelu-elukannya. Sekarang, Ahmadiyahdan lain-lain tidak mungkin mendapatkan hal yang sama.Umat mereka malah hanya mendapatkan diskriminasi di negerinyasendiri. Padahal Ahmadiyah jelas-jelas telah berbadan hukum yangsah menurut Departemen Kehakiman.Hal itu saya ungkap, karena dulu ketika kuliah di Strata 1 (S-1), sikap saya mirip dengan MUI sekarang. Skripsi yang saya angkatadalah tentang Ahmadiyah. Isinya koreksi total atas paham keagamaandan ajaran Ahmadiyah. Sekarang saya sadar, bahwa meskipunskripsi itu menunjukkan perbedaan saya dengan Ahmadiyah,tapi saya akan salah kalau karena perbedaan itu, saya harus membenciAhmadiyah. Jadi, walaupun saya sependapat dengan MUItentang akidah Ahmadiyah, tapi sikap saya sekarang sama sekaliberbeda dengan MUI.Implikasi fatwa sesat MUI sangat nyata. Umat Islam mainstream yangmerujuk pada fatwa MUI sama sekali tidak toleran dan mengeksklusikalangan minoritas. Ditambah lagi konstitusi kita masih menyimpanpasal karet (pasal 156a tentang penodaan agama), yang sangatmenunjang pemberangusan kebebasan beragama dan berkeyakinan.Apa tanggapan Anda?Saya melihat, sekarang negara sedang digerakkan oleh pemerintahyang tidak konsisten dengan amanat konstitusi. Mungkin secarakonseptual mereka lalai, tapi mungkin juga pemerintah melakukannyadengan sengaja demi menjaga citra hingga pemilu 2009.836– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut Anda apakah menjaga citra hingga Pemilu 2009 menjadisalah satu motif pemerintah mendiamkan terjadinya kekerasan terhadapminoritas (crime byomission) dan merestui penerapanperda syariah?Dan pendapat MUIFatwa tak ubahnya dengan pendapat.merepresentasikanpendapat kaum Sunni. Sebab, MUIMungkin dari segi reaksiumat Islam, perda sya-Maka, jangankan Ahmadiyah, Syi’ahadalah majelis ulama kaum Sunni.riah merupakan bagian dari pun disalahkan, diharamkan.kultur dan keimanan mereka.Tapi dari sikap pemerintah yang membiarkan, saya kira lebihcenderung bermotif politik. Mereka, lagi-lagi, tidak mau citranyarusak di depan mayoritas umat Islam (Sunni) hanya karena melakukansedikit tindakan, misalnya membela atau lebih tepatnyabertindak adil terhadap kaum Ahmadiyah.Bisa dipertegas, Sunni mana yang Anda maksud, karena kalau bilangMUI, di sana jelas terdapat banyak kelompok yang berbeda-beda, adaNU, Muhammadiyah, Persis, HTI dan lainnya?Kelompok-kelompok yang sekarang ada di MUI semuanyamengaku Sunni. Kalau Syi’ah, Ahmadiyah, Lia Eden, itu bukanSunni. NU, Muhammadiyah dan lainya adalah Sunni. Meskipunkelompok-kelompok Sunni juga memiliki pandangan dan sikap yangberbeda satu sama lain. Ada yang cenderung radikal, sementara adajuga yang moderat bahkan liberal.Bagi sebagian kalangan, ekonomi liberal dianggap tidak pro-rakyat.Sebagai pengurus partai politik yang mengatasnamakan diri sebagaiHamka Haq –837


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–partainya wong cilik (PDIP), bagaimana Anda menilai baik buruknyapraktik liberalisme atau neoliberalisme dalam menciptakanpertumbuhan ekonomi di Indonesia?Prinsip partai kami adalah: dalam bidang ekonomi Indonesiaharus mandiri; politik Indonesia merdeka; dan pada bidang budayaIndonesia bermartabat. Mandiri tidak berarti harus menolakbekerja sama dengan negara lain. Pengertian mandiri di sini yaitukita harus berdaulat dalam bidang ekonomi, dengan menguatkanekonomi kerakyatan, utamanya kepada petani dan nelayan. Hal ituharus kita tumbuhkan, baik dalam arti dituangkan dalam undangundangdan peraturan-peraturan, maupun dalam arti bimbinganlangsung kepada rakyat. Itulah yang saya maksud ekonomi yangmerakyat, yakni ekonomi yang mandiri tetapi tidak berarti menolakberhubungan dengan dunia luar. Karena yang namanya bernegarapasti ada hubungan timbal-balik dengan negara lain, termasukdalam perdagangan dan jasa.Pemerintah sekarang, menurut penilaian saya, kurang berperandalam meningkatkan ekonomi kerakyatan, seperti petani dannelayan. Mestinya pemerintah berpihak kepada mereka, denganmenyediakan lahan pertanian yang lebih banyak, mengupayakantersedianya pupuk, bibit pertanian yang unggul, dan memajukanteknologi pertanian. Hal itu perlu dirumuskan dengan baik, bukanmalah meninggalkan petani ketika gagal panen. Selama ini, pemerintahlebih pro kepada pengusaha. Maka, kalau petani mengalamigagal panen, pemerintah meminta pengusaha untuk mengimporberas dari negara lain. Akibatnya, ketahanan pangan sekarang tidaklagi di tangan rakyat kecil atau petani, tetapi berada di tanganpengusaha. Itu terjadi karena secara konseptual, pemerintah tidakterketuk untuk berpikir bagaimana melakukan pemberdayaan dan838– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–penguatan ekonomi petanidan nelayan.Bagi banyak kalangan, Indonesiakini jelas-jelas mengadopsiekonomi yang liberal,sistem ekonomi yang pro-pasar,bagaimana Anda menyikapinya?Menurut mazhab Hanafi, orang bolehsalat tanpa menggunakan bahasaArab, dan itu banyak dianut olehumat Islam di Turki. Oleh sebab itu,ketika terjadi sekularisasi, di manaazan diubah dari bahasa Arab menjadibahasa Turki, masyarakat Islam Turkitidak menolak.Kebijakan semacam itu tidak benar. Kita harus kembali kepadakedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat mestinya tidak hanya diberlakukandalam bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Karenakalau kita mau melepaskan begitu saja perekonomian terhadap mekanismepasar, rakyat kecil, seperti petani dan nelayan yang masihtradisional, pasti kalah dan akan terusir. Lihatlah, berapa banyakpasar tradisional yang setiap hari tergusur oleh pengusaha-pengusahabesar. Pasar tradisional kini telah diganti Carrefour, Giant,dan sebagainya, yang berdiri megah di atas lahan-lahan yang sebelumnyamenjadi milik rakyat. Tetapi tidak berarti pasar moderntersebut dilarang. Pasar tersebut sah-sah saja, sepanjang memberikontribusi bagi pelibatan rakyat kecil dalam dunia perekonomian,misalnya dalam bentuk kemitraan, minimal tidak mematikan usahaekonomi yang selama ini digeluti oleh rakyat kecil.Kendati bagi para petani dan nelayan, sebagai produsen, sangat dirugikan,namun ada pandangan yang mengatakan bahwa keberadaanCarrefour, Giant dan lainnya justru menguntungkan rakyat (para kon-Hamka Haq –839


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sumen). Karena ternyata harga yang diberikan oleh supermarket tersebutrata-rata lebih murah dibanding dengan harga di pasar tradisional.Menurut Anda masyarakat yang manakah yang harus dilindungi?Memang, pertama kali secara instan liberalisme mungkin akanterlihat menguntungkan rakyat. Tapi, yang harus menjadi prioritaspemerintah sebenarnya bukan membuka pasar-pasar modern yangberskala besar, tapi, sebagai negara agraris, pemerintah harus memprioritaskanpembinaan secara konsisten kepada petani. Dengandemikian, petani dapat mengolah lahan pertaniannya sehingga berproduksilebih banyak dan lebih berkualitas, dengan harga jual yangtetap bisa rendah atau murah. Yang terjadi, karena semakin lamabiaya produksi kian mahal, pemerintah pun meninggalkan petani.Mestinya pemerintah memberdayakan petani, sehingga petani bisaberproduksi secara murah, dengan hasil maksimal, bukan malahmengimpor produk pertanian dari Thailand dan lain sebagainya.Itulah yang saya maksud dengan ekonomi kerakyatan.Selain mengharamkan sekularisme dan liberalisme, MUI juga mengharamkanpluralisme. Bagi MUI pluralisme sama dengan sinkretisme,mencampuradukkan ajaran-ajaran agama, dan relativisme, tidak adakebenaran yang satu melainkan banyak dan berada di mana-mana,karenanya tidak bisa mengklaim hanya satu agama yang benar. Bagaimanamenurut Anda sendiri?Pertama, pemahaman MUI bahwa pluralisme tak lain darisinkretisme adalah keliru. Karena, yang perlu ditekankan di sini,semua agama baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu maupun Budhatidak berpaham bahwa pluralisme berarti sinkretisasi dari seluruhagama yang ada. Kalau yang dimaksudkan haram oleh MUI adalah840– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pluralisme dalam pengertian seperti itu, maka saya menganggapfatwa tersebut sebagai suatu kemubaziran. Sebab, anggapan MUIbahwa pluralisme dalam arti sinkretisme itu haram, begitupun kalanganmasyarakat umum telah mafhum: mengharamkan sinkretisasiagama-agama. Maka, fatwa yang dikeluarkan pun tetap mubazir.Karena apabila masyarakat umum memang sudah mengharamkannya,mestinya hal itu tidakusah difatwakan. Fatwa tidak Pemahaman MUI bahwa pluralismeakan memiliki arti apa-apa tak lain dari sinkretisme adalah keliru.kalau hanya mengeluarkan Karena semua agama baik Islam,Kristen, Hindu, maupun Budha tidaksesuatu yang sama denganberpaham bahwa pluralisme berartianggapan kebanyakan orang,sinkretisasi agama-agama. Kalau yanganggapan masyarakat padadimaksud haram oleh MUI adalahumumnya.pluralisme dalam pengertian itu, makaKedua, tentang relativitaskebenaran agama. Me-sebagai suatu kemubaziran.saya menganggap fatwa tersebutnurut saya, justru memangseharusnya begitu. Saya sebagai seorang Muslim, mengakui Islamagama yang benar. Tetapi, pada saat yang sama, saya juga harus tetapmemberi hak kepada orang lain untuk mengakui bahwa agamamereka benar. Itu yang dimaksud pluralisme. Meskipun saya tidakpada posisi mengakui kebenaran agama mereka, tetapi saya harusmemberikan ruang kepada mereka, baik yang beragama Kristen,Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, maupun aliran-aliran kepercayaanuntuk mengakui kebenaran agama dan keyakinan mereka.Inilah yang disebut multi-kebenaran. Saya tentu mengakui bahwaagama saya benar, tetapi orang lain pun berhak mengakui kebenaranagamanya masing-masing.Hamka Haq –841


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam konteks ini, yang saya pahami dengan pluralisme adalahpaham untuk memberi ruang kepada semua agama mengakuikebenarannya masing-masing, tanpa saling mengganggu dan merendahkan.Kita tidak boleh marah ketika ada orang lain yangmengaku agamanya sebagai kebenaran, karena agama saya, tentunyamenurut saya, juga adalah kebenaran. Sikap-sikap yang tidaktoleran atas pengakuan kebenaran suatu agama atau keyakinan bagipara penganutnya, sudah seharusnya segera dibenahi. Maka, sekalilagi, pluralisme hendaknya ditunjukkan dengan tetap mengakui kebenaranagama masing-masing atau memberi ruang kepada oranglain untuk mengakui kebenaran agamanya, sebagaimana pengakuankebenaran atas agama saya, tanpa saling mengganggu.Dalam Islam pemahaman seperti itu memang sudah sejak awal jamakdiketahui melalui ayat-ayat al-Quran yang cenderung pluralistik.Namun demikian, tak dapat disangkal bahwa terdapat ayat-ayat al-Quran yang tidak bercorak pluralis. Melihat fakta tersebut, menurutAnda sebenarnya Islam adalah agama yang pluralis atau tidak?Menurut saya, Islam adalah agama yang pluralis. Yang tidakpluralis adalah penganutnya (Muslim). Al-Quran mengatakan bahwaorang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, yang berimandan beramal saleh, pahalanya akan tetap dihitung dan akan masuksurga tanpa terkecuali. Dalam terjemahan Departemen Agama, Sabi’indikatakan sebagai penyembah dewa, saya sendiri memaknainyasebagai penyembah dewa Syiwa (Shivaian) yang berarti Hindu. JadiHindu pun terakomodir dalam al-Quran. Dan al-Quran berkata,kalau mereka beriman dan beramal saleh akan masuk surga. Tapi,kalau Anda tidak mau mengakui mereka masuk surga, minimal842– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–berikanlah hak kepada mereka untuk mengakui kebenaran agamanya.Jangan memonopoli kebenaran dengan menutup ruang-ruanguntuk orang lain mengakui kebenaran yang berbeda.Celakanya, pemahaman yang mainstream di kalangan umat IslamIndonesia sekarang adalah pandangan yang monistik. Pandangan iniberanggapan bahwa kebenaran agama adalah satu, tidak bisa ditawarlagi. Karena agama saya benar, maka yang lain salah, sesat. Sehingga,kesesatan minoritas seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Usman Roy, danlainnya harus diberangus. Apa pendapat Anda menanggapi hal itu?Penyebab utamanya adalah karena mayoritas umat Islam Indonesiaterlanjur menganut mazhab Syafi’i. Mereka tidak pernah diperkenalkandengan mazhab-mazhab lain, khususnya mazhab Hanafi.Padahal, jika mereka diperkenalkan dengan mazhab Hanafi, pastiakan bisa memaklumi tindakan seperti yang dilakukan Usman Roy.Dari situ mereka akan tahu bahwa ada pendapat yang memperbolehkanorang untuk melakukan salat dengan dua bahasa. Menurutmazhab Hanafi, orang boleh salat tanpa menggunakan bahasa Arab,dan itu banyak dianut oleh umat Islam di Turki. Oleh sebab itu,ketika terjadi sekularisasi, di mana azan diubah dari bahasa Arabmenjadi bahasa Turki, masyarakat Islam Turki tidak menolak.Artinya, jika umat Islam Indonesia membuka wawasan keislamannyadengan tidak semata mengacu pada satu mazhab (Syafi’i),maka salat dengan menggunakan bahasa manapun tidak menjadimasalah. Tapi, itulah yang selama ini tidak disadari dan dipahamiumat Islam di Indonesia. Karena, sekali lagi, dari dulu Indonesiahanya diajari satu mazhab saja, yaitu Syafi’i. Tidak ada yang mautahu dengan mazhab Hanafi. Mazhab Hanafi yang cenderungHamka Haq –843


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–berperspektif terbuka agak diragukan di Indonesia, karena ketikaagama Islam masuk telah berdiri kesultanan dan kerajaan-kerajaanyang memerlukan kemapanan. Di antara empat mazhab besaryang terdapat dalam Islam, yang paling sesuai dan pro-kemapananadalah mazhab Syafi’i. Sehingga semakin “klop”lah mazhab ini dengankultur kepemimpinan yang mendambakan kemapanan dan,akhirnya juga, mapan di masyarakat kebanyakan.Menurut Anda, adakah budaya di Indonesia yang mendukung pandanganpluralisme? Sejak Indonesia terlahir dan kita mengikatkandiri sebagai satu kesatuan, apakah kita memang cenderung pluralis,toleran atau malah tidak toleran?Sebenarnya Islam yang datang ke Indonesia adalah Islam yangtoleran. Dalam sejarahnya, Islam dapat berkembang di Jawa denganmemanfaatkan instrumen-instrumen yang tidak pernah adadi Arab. Gamelan dan wayang yang merupakan produk budayalokal paling populer dimanfaatkan sebagai sarana berdakwah olehWalisongo. Saya kira dakwah yang mereka lakukan sangat toleranterhadap budaya-budaya yang ada di Indonesia.Sikap intoleransi justru muncul di Indonesia baru sekitar 30-an tahun yang lalu. Dulu, sebelum agama Islam berada pada perkembangannyaseperti sekarang, Muhammadiyah dan NU adalahorganisasi keagamaan sekaligus penyebar toleransi yang paling besar.Intoleransi kemudian muncul ketika Islam Indonesia banyakdipengaruhi mazhab yang berkembang di Arab Saudi, sepertiWahhabi. Wahhabisme berusaha mengembalikan kemurnian Islam(purifikasi) dengan tindakan yang tak jarang salah kaprah. Wataknyaagresif terhadap perbedaan. Wajah Islam yang kaya dan penuh844– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rahmat diringkus pada satupandangan keagamaan yangkonservatif, puritan, dan fundamentalistik.Tidak dapat dibenarkan jika partaibertentangan dengan Pancasila.Karena Pancasila adalah nilai-nilaidasar yang menjadi konsensus bangsaIndonesia. Dan sejatinya, PancasilaKonsep SARA yang dipraktikkanOrde Baru (Orba), meskinilai universal Islam.sendiri merupakan pancaran dari nilai-terlihat jitu meredam konflikantar-agama dan keyakinan, tak ubah seperti bara dalam sekam. Makanya,ketika Orba tumbang, tatanan itu pun seketika luluh, masyarakatcenderung berada pada kondisi anarkis, chaos. Apakah pola SARAjuga menjadi penyumbang terhadap sikap intoleran masyarakat belakanganini?Sebenarnya politik SARA dimaksudkan oleh Orba untuk meredammunculnya simbol-simbol keagamaan dalam berpolitik.Politik SARA sangat terlihat keampuhannya ketika pemerintahingin menundukkan Masyumi dan Partai-partai Islam lainnya.Saya kira, dari aspek politik, SARA cukup berhasil. Tapi, mungkinsaja aspek itu dapat berimplikasi pada praktik kultural masyarakat.Pandangan Anda ihwal SARA, pada wilayah kultural, sangatmungkin benar.Apakah Anda melihat keberhasilan politik SARA dalam meredampuritanisme agama; bukankah konsep SARA menciptakan segregasi,berhenti pada simbol-simbol dan tidak masuk dalam problem yangpaling fundamental; dan bukankah Orba tidak dapat membangun komunikasiantaragama yang intensif dan konstruktif bagi pluralitas?Hamka Haq –845


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Orba di satu sisi membuat aturan-aturan SARA dan di sisi lainmelakukan pengelompokan kekuatan politik dalam bentuk partaiIslam, Golkar, dan Nasionalis. Itulah yang justru, menurut saya,menjadi kekeliruan besar Orba. Seharusnya Orba tidak perlu mengelompokkanpartai politik berlatar belakang agama menjadi PartaiIslam, sebab di dalamnya mungkin ada yang progresif dan yangkonservatif. Lebih aman, kalau mau, mengelompokkan Muhammadiyahdan Protestan ke dalam kubu progresif, misalnya, sementarakubu konservatif berisi gabungan NU dan Katolik. Itu menurut sayalebih baik, karena tidak dikelompokkan dalam satu agama –ketimbangmembangun satu kubu yang semakin memperkuat isu SARAdan memicu tumbuhnya benih-benih perpecahan.Kita berharap bahwa kehidupan bangsa Indonesia ke depan akan semakindamai, tidak ada lagi perang dan tindak kekerasan antarumatberagama, suku, daerah dan sebagainya. Menurut Anda, akan sepertiapakah masa depan keberagaman Indonesia?Saya kira kalau gagasan pluralisme berjalan secara proporsionaldan tepat, kedamaian antarumat beragama akan terjalin. Tentusaja, kedamaian yang tidak semu, melainkan kedamaian yangpenuh silaturrahim dan saling pengertian antarsesama mereka yangberbeda. Dengan demikian, orientasi kita dalam membangun bangsaini semestinya bukan mengutamakan isu kebenaran agama dankeyakinan, tapi lebih kepada isu bagaimana keyakinan-keyakinanyang beragam ini bermanfaat untuk bangsa. Maka, mencari apayang lebih bermanfaat untuk kepentingan bangsa itulah yang lebihmenjamin terciptanya kedamaian.846– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita berharap kedamaian itu terwujud. Tapi itu tidak akantercapai kalau pemerintah tidak konsisten dengan konstitusi.Di samping itu, kita juga harus menyadari bahwa ada hal-halyang perlu dikoreksi dari kultur kita, terutama dalam bidang pendidikan.Dulu, ketika zaman penjajahan, pesantren dan madrasahmengajarkan ayat-ayat yang revolusioner. Sekarang, seiring denganperubahan zaman, ayat-ayat yang diajarkan beserta penafsirannyapun harus mengarah ke kebersamaan dan mengakui perbedaan.Kurikulum, secara lebih luas, hendaknya diubah dan dibenahi agarsemakin bertambah baik dan bermanfaat untuk kemajuan bangsa.Kurikulum kita, yang diajarkan dari Taman Kanak-kanak hinggaPerguruan Tinggi, hendaknya semakin banyak memperkenalkanwacana pluralisme agar dapat mengilhami anak didik untuk salingmenghormati satu sama lain.Wawancara dilakukan di Lenteng Agung, 11 Februari 2008Hamka Haq –847


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganHaryatmokoHaryatmoko, pengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Fakultas Ilmu PengetahuanBudaya (FIB), Universitas Indonesia, S3 Politik Universitas Indonesia,dan Pasca-Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.848


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Struktur pemaknaan kehidupan memiliki paradigma berbedabeda.Agama ditantang mampu memberi jawaban kontekstualdengan tidak berpuas diri apalagi memaksakan doktrin-doktrinnya.Sehingga “yang lain” tidak dianggap sebagai ancaman. Justrukehadiran “yang lain” memberi kesempatan bagi kita sebagaisaat-saat moral. Maka yang terlebih dahulu dipersiapkan dalammembangun hubungan antaragama adalah menciptakan suasanaperjumpaan. Untuk itu pluralisme dilihat bukan sebagai ideologi,tetapi bagaimana kemanusiaan semakin memanggil kitauntuk lebih terbuka terhadap yang lain, bukan mengancamnya.Kecenderungan pengelompokan atas dasar agama seharusnyajangan berhenti pada sebatas akivitas yang karenanya kita justrumelebarkan perbedaan dengan yang lain, sebaliknya ditingkatkanmenjadi aktivitas kelompok yang terbuka.Haryatmoko –849


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme sering disalahpahami sebagai paham yang menyebabkandecline of religion di mana fungsi dan peran agama di masyarakatterpinggirkan atau lebih jauh lagi menimbulkan ketidakpedualianmasyarakat terhadap agama yang berujung pada atheisme, bahkananti-agama. Bagaimana pandangan Anda tentang sekularisme?Apabila ditelaah dengan seksama, saya melihat ada beberapakemungkinan reaksi terhadap sekularisme. Reaksi pertama adalahmenentangnya. Karena itu reaksi ini lebih bersifat negatif. Reaksimodel pertama ini muncul lebih karena sekularisme merupakanbentuk dari rasionalisasi, sebagaimana dikatakan oleh Max Weber.Rasionalisasi menuntut agar rasionalitas kehidupan masyarakat danrasionalitas di dalam bertindak sungguh-sungguh didasari atas pertimbangan-pertimbanganmengenai tujuan dalam menentukan pilihansarana. Bagi saya, reaksi yang anti atau melawan sekularisme,sebagaimana reaksi pertama ini, hanya akan menjadi bumerang.Sebab, dengan sikap seperti itu justru masyarakat akan menjaditertinggal. Kehidupan masyarakat menjadi sesuatu yang archaicdan lama-kelamaan akan tersingkir.Sementara reaksi yang berikutnya lebih positif. Sebetulnya, reaksiyang positif terhadap sekularisme, terutama bagi agama sendiri,justru menjadikan agama-agama merasa lebih tertantang. Karenasekularisme menyatakan bahwa dalam kehidupan tidak hanyaterdapat satu paradigma kehidupan, sebagaimana dikatakan olehagama. Kalau meminjam istilahnya Foucault, episteme, agama dankehidupan bukan lagi berarti bahwa semua harus menuju padasatu Tuhan, tetapi bahwa struktur pemaknaan kehidupan niscayamemiliki paradigma bermacam-macam. Justru di situlah agama ditantanguntuk mencoba memberikan jawaban, tidak berpuas diri850– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan malah memaksakan doktrin-doktrinnya. Kini agama harus dapatmenawarkan jawaban-jawaban yang kontekstual. Agama ditantanguntuk menjadi lebih relevan dalam menjawab persoalan zaman:mengatasi problem ketidakadilandan kemiskinanmasyarakat. Sebab, kalau dalam kehidupan tidak hanyaSekularisme menyatakan bahwakita melihatnya secara lebih terdapat satu paradigma kehidupan,sebagaimana dikatakan oleh agama.kritis, jangan-jangan reaksiKalau meminjam istilahnya Foucault,berlebihan yang ditunjukkanagama-agama terhadapepisteme: agama dan kehidupanbukan lagi berarti bahwa semuasekularisme justru memang harus menuju pada satu Tuhan, tetapimenunjukkan ketidakmampuannyauntuk berhadapan niscaya memiliki paradigmabahwa struktur pemaknaan kehidupandengan tantangan-tantanganbaru.agama ditantang untuk mencobabermacam-macam. Justru di situlahmemberikan jawaban, tidak berpuasdiri dan malah memaksakan doktrindoktrinnya.Kini agama harus dapatApa yang dipaparkan Andapersis seperti gagasan yang ditawarkanJose Casanova ten-yang kontekstual.menawarkan jawaban-jawabantang deprivatisasi: menghadirkankembali fungsi dan peran agama ke dalam ranah publik.Ia mengoreksi privatisasi agama yang, menurutnya, pada akhirnyahanya meyebabkan peminggiran agama. Menurut Anda bagaimanakahagar agama tetap terlihat santun di ruang publik dalam konteksIndonesia?Menurut saya, salah satu caranya adalah agama harus beranimenawarkan model-model interpretasi yang kritis terhadap dirisendiri. Artinya, di dalam menafsirkan teks-teks agama, kita ha-Haryatmoko –851


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rus bertitik tolak dari kenyataan di mana kita hidup. Di sini sayasepakat dengan apa yang ditawarkan Paul Ricouer bahwa penafsiranyang baik adalah penafsiran yang membawa si penfsir memahamidiri menjadi lebih baik. Untuk memahami diri menjadilebih baik, kita harus berani mengambil jarak, “distansiasi”. Ricouermenawarkan tiga macam cara distansiasi, yaitu kritik ideologi,dekonstruksi, dan analogi permainan. Kritik ideologi adalah kritikterhadap keyakinan-keyakinan dan ilusi-ilusi kita yang kadang-kadangmenipu atau mengalihkan atau menutupi sesuatu dari kita.Dengan kritik ideologi, kita diajak untuk mengkritisi itu semua,bukan mengingkari. Analoginya: kalau kita membaca suatu teksdengan jarak yang sangat dekat dengan mata, justru tidak bisamembaca; tetapi begitu mengambil jarak, kita bisa membacanyadengan sangat jelas. Distansiasi penafsiran tidak digunakan untukmengingkari keyakinan atau iman, melainkan untuk melihat lebihjelas diri kita sendiri. Itulah bentuk pemurnian.Dekonstruksi pada Ricouer memang tidak persis sebagaimanadikatakan Derrida. Dekonstruksi di sini adalah pembongkaran kepentingan-kepentingan,motivasi, dan tujuan si penafsir. Sebab, dekonstruksiitulah yang dapat membantu membongkar hal-hal yangmembawa konflik atau konfrontasi dengan orang atau kelompoklain. Memang harus kita akui bahwa penafsiran tidak mungkinbersih dari segala bentuk motivasi atau kepentingan. Tetapi, minimal,dengan dekonstruksi model Ricouer ini, kita bisa melokalisirsumber konflik atau pertentangan itu.Analogi permainan, sebagai bentuk pengambilan jarak, maksudnyaadalah sebagaimana ketika kita sedang bermain, kita dilepaskandari segala keseriusan hidup sehari-hari. Begitupun seharusnya ketikakita membaca atau menafsirkan. Kalau kita bermain, kita merasa le-852– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pas dari segala ketakutan sanksi sosial atau hirarki kehidupan sosial.Misalnya ketika dies natalis fakultas diadakan pertandingan sepakbolaantara mahasiswa dan dosen. Maka seorang mahasiswa tidakbisa atau tidak mungkin begitu saja mempersilakan lawannya untukmenguasai dan memasukkan bola ke dalam gawangnya, hanyakarena dia tahu bahwa lawannya itu adalah dosennya. Itu namanyatidak sedang bermain sepakbola, tetapi masih di dalam strukturhidup yang terlalu serius, masih terhierarkisasi, takut akan sanksisosial. Dari situ dapat dipahamai bahwa pengambilan jarak dengananalogi permainan, dengan kebebasan yang ada, memungkinkankreativitas untuk lebih tumbuh. Menurut Ricouer, dalam permainantelah terjadi apa yang ia katakan bahwa “imajinasi mendahuluikehendak”. Itu yang saya maksudkan bahwa agama harus beranimengambil jarak di dalam segala bentuk penafsirannya, sehinggaakan terbuka dan terbongkarlah kepentingan, keyakinan dan ilusiyang ada di dalamnya. Pada saat yang sama, kita juga sekaligusdiajak dan diseret untuk dibawa kepada suasasna kreativitas, menghilangkansuasana ketakutan, tidak dogmatis, dan diundang padapenemuan atmosfer relevansi di dalam kehidupan. Maka perjumpaan-perjumpaaninformal: lomba musik, pertandingan olah raga,camping bersama lintas-agama, bermain teater bersama, merupakanbentuk analogi permainan dalam hubungan antaragama.Apakah tawaran untuk meletakkan agama secara kritis dan mampumenjarak sudah otomatis berlaku juga untuk ilmu pengetahuan?Bukankah dalam proses sekularisai, terdapat marka yang jelas bahwailmu pengetahuan harus bebas dari segala nilai, baik nilai agamamaupun nilai tradisi?Haryatmoko –853


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam ilmu sosial, apakah ada ilmu yang bebas nilai? Secaraepistemologis kita harus mengakui bahwa amat sulit menemukanilmu pengetahuan yang bebas nilai. Mengapa? Karena ilmu-ilmusosial baru berkembang pada abad ke-19, dan belum menemukanmetode yang sahih. Lain dengan ilmu-ilmu fisika yang sudah sejaklama telah mempunyai metode-metode sahihnya sendiri. Kalaukita melihat ilmu-ilmu sosial dari kacamata epistemologi saja,sebagai contoh, maka akan kita temukan bahwa banyak ilmu sosialyang menggunakan landasannya dari ilmu-ilmu fisika. Misalnyasaja pembagian Gilles-Gaston Granger yang mengatakan bahwaterdapat tiga tipe ilmu sosial, yaitu tipe energetik, sibernetikdan semantik. Tipe energetik memecahkan masalah makna denganmengambil asosiasi pada energi. Contohnya Marxisme dan Psikoanalisayang melihat bahwa yang bermakna sebetulnya adalah yangtersembunyi, yang tidak tampak. Dalam Marxisme disebut denganyang infrastruktur dan dalam Psikoanalisa dengan yang laten. Initak lain mengambil dan dipengaruhi oleh konsep energi. Metodeilmu sosial seperti itu sama sekali belum khas, melainkan masihmengadopsi dari fisika.Tipe sibernetik dicontohkan dengan tepat oleh fungsionalismestrukturalnyaTalcott Parsons, yang juga sangat mengadopsi fisika.Ia mengambil konsep homeostasis. Di dalam metode sosiologisnya,ia selalu mencoba menemukan adanya equilibrium, di mana carakerjanya diambil dari mekanisme termostat yang sangat mekanikfisik.Terakhir tipe semantik yang juga sama-sama mengadopsimetode hermeneutika.Dari situ kita melihat bahwa dari metodenya saja kita belummelihat kesungguhan dan kemandirian ilmu sosial. Selain itu, kitajuga harus melihat bahwa dalam model penelitian ilmu sosial ter-854– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dapat tiga konteks determinasi,yaitu pragmatis, nor-Liberalisme, sejauh membuka banyakkesempatan, memberi kemungkinanmatif dan metodologis. Padasuatu kreativitas, itu baik dan sayakonteks pragmatis biasanyasetuju. Tetapi kita juga harus melihatpenelitian selalu sudah dipesan,ada sponsor yang berke-liberalisme juga dapat menyingkirkansisi mata uang lainnya, bahwapentingan. Warna politisnya yang lemah. Adakah perlindungansangat terasa. Artinya, dalam bagi yang tersingkirkan itu? Dan kitakonteks pragmatis, penelitianselalu menanyakan ke-dituntut untuk bisa menghadapinya.untuk-apa-annya. Ini yang bisa menjawab: apakah sebuah ilmu sosialitu bebas nilai atau tidak. Pilihan kerangka teoretis akan mempengaruhihasilnya. Dengan demikian, pilihan dari penelitian yangpragmatis jelas bias dengan kepentingan, dengan nilai tertentu.Namun kita juga bisa menanyakan, secara pragmatis, sejauhmana ilmu-ilmu membantu terhadap kesejahteraan bersama? Sejauhmana ilmu pengetahuan dapat membantu membongkar berbagaimacam ketidakadilan? Kalau kita melihat model pendekatannyaPierre Bourdieu atau Michel Foucault, kita akan tahu bagaimanacara ilmu-ilmu mencoba membongkar bentuk-bentuk dominasiyang tidak adil. Kalau modelnya seperti itu, dari awal kita sudahbisa mengatakan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Meskipun, dilain pihak, kita juga harus melihat tujuan yang mau dicapainya.Ilmu seperti itu justru memberikan sesuatu yang cukup bermaknabagi kemanusiaan.Bagaimana dengan konteks lahirnya semangat obyektivitas ilmu pengetahuan,dengan disiplinnya masing-masing, yang kemudian dipa-Haryatmoko –855


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hami sebagai bentuk protes terhadap agama yang selalu ingin menjelaskansemuanya?Apakah hal itu melulu sebagai bentuk protes atau secara bersamaandipakai? Karena dahulu ilmu ternyata berkembang di sekitarbiara juga. Artinya, ilmu selalu berkaitan dengan kepentinganagama itu sendiri. Tapi kemudian, seiring dengan munculnya zamanmodern, mulai dipertanyakanlah heteronomi dalam hubunganilmu dan agama. Dengan ilmu pengetahuan, episteme duniamenjadi berubah. Kini manusia berada di tengah, sebagai pusat,sebagai subyek, bukan lagi yang di luar, seperti Tuhan pada AbadPertengahan. Jadi, modernisme membawa efek yang kemudianditafsirkan sebagai awal dari sekularisasi. Di mana yang menjadipusat bukan lagi yang transenden, tetapi manusia.Selanjutnya kita masuk ke soal negara. Bagaimana Anda melihat relasiantara agama dan negara – karena sekularisme memiliki sejarahyang sangat panjang dan setiap negara mempunyai praktiknya masingmasing,dalam kaitannya dengan relasi antara agama dan negara?Apabila telaah ini masih dilanjutkan dari persoalan ilmu pengetahuantadi, pengetahuan akan mengatakan bahwa kalau bisahubungan itu juga atas dasar jasa. Ilmu pengetahuan mempunyaijasa dan prestasinya sendiri yang sangat gemilang. Mengapa kecenderungannyakini adalah, terlebih di dunia Barat dan Kristianisme,adanya pemisahan antara agama dan politik. Kecenderungan semacamitu bukanlah hasil yang begitu saja. Kristianisme membutuhkanwaktu yang sangat lama untuk bisa menerima hal tersebut. Katolikmenemukan titik finalnya pada 1870, dengan Konsili Vatikan I.Di situ saja, sebenarnya, masih banyak yang tidak rela. Tetapi apa856– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang melandasinya? Penjelasan mudahnya kalau landasannya adalahapa yang membantu, berjasa dan menyejahterakan masyarakat.Maka, seharusnya juga menghitung sumbangan teknologi dan ilmupengetahuan untuk masyarakat.Makanya dalam konteks Pluralisme, dalam konteks agama,itu, kalau saya bisa menganalogikan,ilmu pengeta-dikatakan oleh Schillebeeckx, yaituharus kita pahami sebagaimanahuan seolah berkata: janganlahkami selalu ditundukkan begitu penuh, sehingga lantaranbahwa Tuhan begitu sempurna danitulah apakah kita akan rela kalaudari agama. Memangnya apahanya salah satu tradisi keagamaanjasa agama terhadap kemajuanmasyarakat?saja yang mengklaim bahwa iasudah mengetahui segala-galanya?Sementara, dalam konteksEropa, kita bisa me-kita hanya diklaim oleh salah satuApakah kita adil dan rela Tuhannanyakan mengapa agama tradisi keagamaan? Tuhan lebih luasberperang terus, sebagaimanayang terjadi antara Pro-dirumuskan atau dipahami oleh satudan lebih sempurna daripada yangtestan dan Katolik? Sedangkankami berusaha memaju-tradisi keagamaan tertentu.kan dan memenuhi kebutuhan rakyat dengan kemajuan ilmu danteknologi. “Kalau Anda menuntut sesuatu, bahwa Anda mengatursegala hal dalam masyarakat, tunjukkanlah jasamu bagi masyarakat,jangan malah membuat kacau.” Kira-kira demikianlah tantanganyang diberikan oleh ilmu dan teknologi kepada agama. Jasa itubukan hanya untuk disombongkan atau dikatakan (sebagaimanaklaim agama), tetapi dirasakan dan dialami – bukan hanya didunia normatif melainkan juga di dunia yang faktual. Kalau adamahasiswa membuat tesis lantas pembimbingnya bertanya apakahkamu mampu? Mahasiswa itu tidak bisa menyangkal. Satu-satunyaHaryatmoko –857


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–cara menyangkal adalah dengan menyelesaikannya secara baik, danitu tidak bisa dijawab secara normatif.Untuk konteks Indonesia, dalam sejarahnya, kita mengalami kesulitanuntuk memisahkan antara agama dan negara. Terlebih dengan adanyadesakan dari kalangan Islam tertentu yang menghendaki pemasukankembali piagam Jakarta ke dalam dasar negara, sebagaimana, misalnya,mereka menghendaki dimasukkannya nilai-nilai agama dalam perdaperdasyariat dan amandemen undang-undang. Apakah negara harusmemiliki kadar sekularitas dengan batas yang jelas?Menurut saya, sejauh itu sungguh-sungguh bisa membantumenciptakan kondisi untuk tidak selalu terjadi konflik, mendorongdunia pendidikan semakin maju, mendukung penciptaan lapangankerja, dan tidak begitu saja mudah memprotes dan melarang banyakhal – sehingga membuat kreativitas semakin dibatasi – makaitu perlu. Jangan sampai agama hanya mendapat stempel sebagaiperusahaan yang melulu memproduksi larangan. Agama jangansampai hanya menjadi sumber ketakutan.Paralel dengan sekularisme, di Indonesia, banyak orang juga kerapbegitu saja menolak liberalisme dengan asumsi bahwa gagasan inimenciptakan kehidupan yang permisif, segalanya diperbolehkan tanpabatas. Apakah pemahaman seperti itu benar? Kami minta Andamengelaborasi gagasan ini secara konseptual.Justru kita melihat bahwa sesungguhnya atmosfer liberal sungguhmenciptakan suasana kreatif. Namun kita harus sadar bahwakondisi itu juga mempunyai ekses atau efek negatifnya tersendiri.858– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita harus mengakui bahwa politik liberal selalu menguntungkanyang kuat. Prinsip ini harus kita perhatikan. Jadi, permasalahannyaadalah bagaimana agar praktik politik liberal juga tetap bisamelindungi yang lemah? Karena, seperti dalam globalisasi, yangakan tersingkir itu sangat banyak, dan kita harus membantu kalanganyang tersingkir. Kitaharus tahu bahwa politik liberaljuga memiliki kecende-jawaban-jawaban yang kontekstual.Agama harus dapat menawarkanrungan untuk menghancurkanstruktur-struktur kolek-lebih relevan dalam menjawabAgama ditantang untuk menjadipersoalan zaman: mengatasi problemtif. Kritik Pierre Bourdieuketidakadilan dan kemiskinanterhadap politik liberal ditujukanpada kecenderung-masyarakat. Sebab, kalau kitamelihatnya secara lebih kritis,an ini. Bentuk pengahancurannyaitu seringkali tidak yang ditunjukkan agama-agamajangan-jangan reaksi berlebihandisadari. Misalnya melalui terhadap sekularisme justru memangkonsumsi, seperti handphone menunjukkan ketidakmampuannya(hp). Secara fisik dan praktis, untuk berhadapan dengan tantangantantanganbaru.dia sangat menolong kita.Tapi di lain pihak, dampaksesungguhnya tak kalah dahsyat. Dia telah mengintervensi sampaike lingkup keluarga, bahkan ke hal-hal yang sangat privat, yangmenyebabkan semakin melemahnya proteksi keluarga. Contoh konkretnya,dengan hp, kalau seseorang mau menghubungi mantanpacarnya, tidak takut lagi jika nanti yang menerima suami atauistrinya, sebagaimana ketika belum ada hp dan harus memakaitelfon rumah. Makanya, dalam keluarga, harus ada kesepakatan,seperti kalau di rumah hp harus dimatikan supaya kalau ada orangyang menghubungi, maka menghubunginya lewat nomor rumah.Haryatmoko –859


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya hanya mau mengatakan bahwa liberalisme, sejauh membukabanyak kesempatan, memberi kemungkinan suatu kreativitas, itubaik dan saya setuju. Tetapi kita juga harus melihat sisi mata uanglainnya, bahwa liberalisme juga dapat menyingkirkan yang lemah.Adakah perlindungan bagi yang tersingkirkan itu? Dan kita dituntutuntuk bisa menghadapinya.Dalam diskursus liberalisme politik, seperti dikatakan John Rawls,politik liberal tidak selamanya abai terhadap nasib disadvantage,mereka yang tidak beruntung. Makanya ada konsep redistribusi yangdibebankan terhadap pemerintah demi pemerataan keadilan buat seluruhwarga negara.Memang pada Rawls kekuatan prinsip liberalnya sangat kuat.Meskipun tetap ada sisi lainnya ketika mengatakan tentang prinsipkeadilan bahwa semua memiliki hak yang sama. Sebab, ketidaksamaansosial-ekonomi diperbolehkan atau ditoleransi asalkan:pertama, menguntungkan bagi yang paling tidak beruntung; kedua,berkaitan dengan prestasi yang berhubungan dengan jabatan,maka dalam konteks ini, jabatan terbuka bagi semua. Prinsipasal menguntungkan bagi yang paling tidak beruntung tersebutmenunjukkan adanya visi suatu option for the poor. Mengapa sisiyang ini juga tidak diolah? Bagaimana keadilan prosedural itu diperhatikan,bukan hanya yang substansial. Modelnya Rawls inibisa dianalogikan orang yang akan membagi kue. Aturan yang adilmengatakan bahwa yang membagi mendapat giliran terakhir, setelahsemua mendapat bagian sesuai dengan porsinya. Saya hendakmenggarisbawahi bahwa dalam keadilan prosedural juga ditekankanagar aturan hukum itu mengandung pengawasan, sehingga sudah860– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dengan sendirinya merelativisir bentuk-bentuk pelanggaran, bentuk-bentukketidakadilan.Negara yang liberal me-ngandaikan adanya iklim kebebasan dan keterbukaan,sekaligus juga harus ada perhataian atau proteksi terhadapyang tersingkir. Bagaimana mewujudkan sebuah tatanan atau kebijakanmelalui mekanisme konsensus yang memungkinkan terciptanyatatanan yang lebih adil atau fair?Kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu pihak-pihak manayang tersingkir, pihak mana yang merupakan kelompok yang sudahmapan dan sebagainya. Itu tidak mudah. Minimal dengan civilsociety-lah kita mampu memproteksi pihak-pihak yang lemah. Pihak-pihakyang lemah diberikan institusi atau tempat untuk menyuarakansuaranya. Sebetulnya selain LSM, organisasi-organisasikeagamaan juga bisa, asal jangan bersikap eksklusif. Baik LSMataupun organisasi keagamaan dapat memperkuat posisi tawar darikelompok-kelompok yang tersingkir. Di luar itu, agar yang tersingkirtetap mendapat tempat, saya mengusulkan, sebagaimana idenyaRichard Sennett, bahwa model organisasi seperti organisasi buruhdan sebagainya, semestinya jangan hanya melindungi hak buruhatau pekerja saja, tetapi juga mulai bergerak mengantisipasi, mencarikanatau menciptakan pekerjaan, menghindari penghancuranstruktur-struktur kolektif, memperhitungkan masa depan mereka,seperti dana pensiun dan sebagainya. Organisasi seperti ini hendaknyatidak hanya reaktif, melainkan proaktif.Kami hendak memfokuskan ke masalah penghancuran struktur kolektif.Sebetulnya dalam sebuah masyarakat, kalau kita percaya dengan theHaryatmoko –861


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–idea of progress, struktur kolektif yang dihancurkan oleh liberalismeadalah struktur lama yang setelah dihancurkan juga akan membentukstruktur baru yang lebih menyesuaikan dengan kondisi yang ada.Apakah kita percaya begitu saja? Bagi saya hendaknya cara melihatpersoalan ini tidak seperti itu. Dalam pandangan saya, liberalismemenghancurkan struktur kolektif karena dia menginginkanutopia pasar murni itu terlaksana. Tidak ada lagi resistensi atauperlawanan terorganisir secara struktural untuk melawan modelseperti itu. Artinya, logika pasar atau ekonomilah yang harus menang.Penghancuran struktur kolektif itu lebih dalam kerangkamemisahkan logika ekonomi dari logika sosial. Logika ekonomidengan persaingannya itu menghendaki efisiensi; sedangkan logikasosial akan memperhatikan masalah keadilan dan redistribusi.Kecenderungan seperti itulah yang saya lihat dari liberalisme. Sekarangmemang sudah terbentuk kelompok-kelompok seperti dikalangan eksekutif yang berorientasi lebih kepada distinction sebagaimanamodelnya Bourdieu. Yakni, distinction sebagai strategikekuasaan. Membedakan diri untuk bisa mengakumulasi modalatau mempertahankan kekuasaan.Apakah yang terjadi di Indonesia – kaitannya dengan mulai masuknyaangin liberalisme melalui logika pasarnya – dengan adanyaupaya beberapa kelompok umat beragama mendesakkan nilai-nilaitertentu yang diyakininya, melalui mekanisme demokrasi, agar dilegal-formalkan,dapat juga dikatakan sebagai sebentuk konsumsi nilai-nilaiagama ke dalam wilayah publik, yang hendaknya diserahkanpada pasar?862– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita bisa melihatnya dari berbagai sisi. Satu sisi, bisa secara positifkita lihat sebagai keprihatinan yang mendalam terhadap efek-efekyang semakin membawa kepada disintegrasi, kehancuran kolektif,dan sebagainya. Di sisi lain, jangan-jangan ini tidak lain adalah reaksiyang mencoba menutup ataumengisolasi diri karena ketakutanakan terkontaminasi, daripada yang dirumuskan atauTuhan lebih luas dan lebih sempurnaatau justru menunjukkan suatuungkapan kelemahan kare-tertentu. Masalah yang ada sekarangdipahami oleh satu tradisi keagamaanna tidak bisa melakukan atau bukan lagi soal persaingan, tetapimemakai yang lain, yang diyakininyasebagai kebenaran.mempunyai kekhasan.kesadaran bahwa setiap agamaAtau, kasarnya, karena kalahbersaing, maka digunakanlah legitimasi agama. Masalahnya adalahbagaimana dengan kemajuan yang ada, semakin adaptif atau malahsemakin reaktif? Kalau kesimpulan yang diambilnya ternyata salah,maka perlawanan yang terus diberikan justru akan menyebabkan agamasemakin jauh tertinggal.Menurut Anda apakah dasar negara dan konstitusi kita, Pancasila danUUD 1945, sudah mencukupi bagi suatu aturan yang adil?Bagi saya, konstitusi itu tetap harus ditafsirkan kembali untukdisesuaikan dengan konteks yang ada. Tetapi, satu hal yang harusdiperhatikan, yang merupakan ketakutan dari kelompok minoritas,adalah tentang sulitnya penerimaan akan keberagaman olehmayoritas. Kebhinekaan sebagai sebuah nilai yang, menurut saya,sangat bagus itu hendaknya jangan sampai diabaikan. Sebab secaradejure, Indonesia sudah menjamin persamaan bagi semua kelom-Haryatmoko –863


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pok. Pencapaian ini jangan sampai dikorbankan karena adanyainterpretasi baru. Bahwa yang lain perlu direvisi, saya setuju. Tetapipencapaian seperti penghargaan atas keberagaman itu jangansampai malah dihilangkan. Di situlah letaknya nasionalisme. Karenanasionalisme, sebagaimana dikatakan Ricouer, adalah kesetiaanterhadap identitas naratif. Identitas naratif itu datang dari apa yangdisebut sebagai kesetiaan terhadap janji, yang dibentuk oleh faktoretisnya dan didukung oleh perlakuan hukum yang sama bagisemua warga negara. Apakah kesetiaan seperti itu sudah didukungdan dimiliki oleh semua warga?Tidakkah hal itu berlaku dalam tataran yang ideal? Kalau Andamengamati dan menilai defacto-nya sendiri bagaimana?Anda bisa lihat penerimaan di Universitas atau pegawai negeriyang sampai sekarang masih menerapkan sistem kuota. Dari agamaA berapa, agama B berapa, dan seterusnya. Dalam kontestasi pemilihanbupati, misalnya, perihal agama malah bisa dipakai sebagaicara untuk mendiskualifikasi calon tertentu. Itulah defacto, yangsecara dejure sebenarnya tidak ada. Oleh karena itu kita harus sadarbahwa hubungan keagamaan juga ternyata tidak hanya didasarioleh faktor teologi, tetapi juga interaksi kekuasaan, memakaibahasa Anthony Giddens. Di dalam teori strukturasinya, Giddensmengatakan bahwa interaksi itu berulang, terpola, dan membentukstruktur; dipengaruhi oleh modalitasnya. Tiga bentuk interaksisosial yang dominan adalah komunikasi, kekuasaan, dan moralitasatau sangsi.Kalau orang berbicara mengenai hubungan antar-agama, banyakyang mengira kalau itu hanya masalah teologi, perbedaan konsep,864– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan lain sebagainya. Kita harus mulai mengungkap dan membongkarbahwa sebetulnya konflik lebih terjadi karena interaksi kekuasaanyang menghasilkan dominasi, yang dipengaruhi oleh modalitasnya,yaitu ekonomi, politik, sosial, dan ideologi. Pada wilayah inilahperebutan terjadi dan kerapmenyebabkan konflik.Di dalam setiap pemahaman terjadiSecara praktis, di situ terjadiketimpangan antara dejuredan defacto. MenurutAnda apakah pemerintah perlumenjembatani masalah iniatau sebaliknya lebih menjaditugas dari civil society?fusion of horizons, terjadi peleburancakrawala-cakrawala. Yaitu cakrawalapenafsir dan cakrawala teks. Cakrawalapenafsir memiliki banyak segi, adaVorhabe, Vorsicht, Vorgriff. Kalau kitapercaya pada diri sendiri bahwakita mempunyai pra-pemahamandalam tiga bentuk tersebut, lantasakan semudah itukah saya pindahagama kalau bukan karena alasanBagi saya kedua-duanya yang sungguh-sungguh mendasar?harus dapat mengambil peran.Sebagai test case, misal-mengapa kita harus melarangnya?Kalaupun ada alasan mendasar,nya, masyarakat kita terusterusanmenganggur, adakah lembaga pemerintah ataupun civilsociety atau LSM sebagai tempat kita untuk mengeluh dan mengadunasib? Untuk menjembatani ketimpangan antara dejure dandefacto harus ada, lagi-lagi istilah Ricouer, narasi. Narasi tersebutyang menjembatani antara teori dan praktik. Narasi jangan hanyadiinterpretasikan sebagai kisah, tetapi juga teladan, contoh, dan kisahbagaimana merealisasikan sesuatu. Identitas naratif yang telahsaya katakan itu, salah satu yang membentuknya adalah kesetiaanpada janji. Sebagaimana yang dipertanyakan Ian Saphiro apakahdemokrasi itu benar-benar representatif? Karena pada kenyataannyaHaryatmoko –865


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–banyak calon yang telah terpilih dalam pemilihan umum, justrutidak mewakili konstituennya. Mereka lebih mengurus kepentingandiri sendiri. Kita juga harus memperbaiki sistem representasi agaryang merepresentasikan konstituen itu selalu bisa dikontrol. Agarjika tidak lagi dapat merepresentasikan kepentingan konstituennya,mereka bisa dituntut atau di-recall. Saya kira, inilah yang belumada dalam tubuh politik kita.Jika membincang ihwal kebebasan, kita tidak bisa begitu saja mengabaikanperan media yang sangat ekspansif melalui citra-citranya menyerbuke segenap ruang kehidupan, hingga yang paling privat sekalipun.Bagaimana kebebasan subyek yang semestinya hakiki dalam dirimanusia – dengan desakan media yang begitu membius dan menjeratmasyarakat – menjadi hilang otonominya?Kita harus mengakui bahwa media telah banyak membantudalam penyebaran ide-ide kebebasan, termasuk ide-ide pembawadan penyampai hak-hak, dan sebagainya. Meskipun kita juga tahubahwa media menawarkan sesuatu yang lain, seperti citra-citra sebagaimanaAnda sebutkan tadi. Apakah citra itu sendiri sepenuhnyajelek? Tidak juga, asal didasarkan pada suatu tindakan nyata,seperti jasa dan prestasi. Sayangnya, citra yang ditawarkan banyakyang tidak berdasar akan hal itu.Citra malah lebih dari sekadar sesuatu yang dibuat. Kita tidakbisa lagi membedakan antara yang real, hiper-real, dan simulasi (simulakra),sebagaimana diistilahkan Jean Baudrillard. Contohnya,kita lihat team gegana yang sedang mengadakan latihan penjinakanbom. Dalam latihan itu, mereka melakukannya secara serius, sepertibenar-benar sedang menghadapi kasus nyata, ada police line, kalau866– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ada orang yang mau mendekat dilarang, dan sebagainya. Namun,begitu terjadi ledakan bom sesungguhnya, yang dilakukan malahtidak seserius seperti pada latihannya. Artinya, kita memang seringdikecoh oleh semacam citra ini.Oleh karena itu, kita harus mulai kritis bahwa setiap instrumenkemajuan selalu memiliki pedang bermata dua. Selalu ada unsuryang membawa kebaikan dan unsur negatif yang dapat menimbulkankeburukan, di mana kita sebisa mungkin harus merelativisirnya.Di sinilah kita membutuhkansemacam etika komunikasi.Bagaimana kita harus datang dari perbedaan. Sehingga yangKita harus memahami bahwa maknamenghadapi bentuk-bentuk lain, bagi saya, tidak menjadi ancaman.kekerasan di dalam media, Kalau menggunakan istilahnyabaik yang fisik maupun simbolik,yang merayu kita dan moral bagi saya. Yang lain menyapaLevinas, yang lain adalah momenseringkali tanpa kita sadari.Untuk hal ini, bagi saya, kesempatan bagi saya sebagaisaya. Kehadiran yang lain memberisaat-saat moral.baik juga kalau sejak kecildiberikan pendidikan mediauntuk anak-anak. Saya tertarik dengan SD Mangunan yang duludikembangkan oleh romo Mangun. Di situ, supaya dapat bersikapkritis terhadap televisi, anak didik diajak langsung melihatproduksi siaran televisi. Mereka di bawa ke studio untuk melihatbagaimana acara televisi itu sesungguhnya dibuat. Dari sini, ketikamereka sudah pulang dan menonton televisi dengan teman-temanyang lain, mereka bisa kritis bahwa acara itu sebetulnya tidak terjadisecara nyata, hanya rekayasa, ada peran pengganti, dan lainsebagainya. Pada sisi ini jugalah dunia pendidikan tepat mendapattantangannya.Haryatmoko –867


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pada intinya, apakah Anda masih optimis dengan subyektivitas, yakniruang buat subyek untuk mengekspresikan kebebasannya masingmasingyang tidak begitu saja diseragamkan oleh media, atau dengankesadarannya dapat merebut dan memberikan makna tersendiri terhadapcitra-citra yang dijejalkan media?Saya optimis dalam arti bagaimana dalam kemendesakannyakita dapat mencari dan menemukan peluang-peluang. Kemendesakanmenemukan peluang itu bagi saya adalah tindakan urgen.Lalu, bahwa politik yang lebih menyeluruh dan strategi yang lebihluas harus dibuat, itu memang betul. Dalam bahasa latinnyaminus malum, yang terbaik dari yang jahat akhirnya juga kadangkadangharus kita jalankan.Kemajemukan negeri ini sudah sepatutnya disikapi dengan menggunakancara pandang atau gagasan pluralisme. Celakanya, pluralismesering dipahami sebagai sinkretisme (penyamaan bahwa semua agamabenar) oleh masyarakat atau kalangan agamawan di negeri ini,karena itulah kemudian pluralisme ditolak. Pandangan Anda perihalpluralisme seperti apa?Menurut saya, pluralisme, dalam konteks agama, harus kitapahami sebagaimana dikatakan oleh Schillebeeckx, yaitu bahwaTuhan begitu sempurna dan begitu penuh, sehingga lantaran itulahapakah kita akan rela kalau hanya salah satu tradisi keagamaansaja yang mengklaim bahwa ia sudah mengetahui segala-galanya?Apakah kita adil dan rela jikalau Tuhan kita hanya diklaim olehsalah satu tradisi keagamaan?Tuhan lebih luas dan lebih sempurna daripada yang dirumuskanatau dipahami oleh satu tradisi keagamaan tertentu. Masalah868– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang ada sekarang bukan lagi soal persaingan, tetapi kesadaran bahwasetiap agama mempunyai kekhasan. Khas sendiri pengertiannyatidak sama dengan superior. Kekhasan saya itu bisa diketahuikarena saya mengetahui yang lain. Logika biner di situ berjalan.Konsekuensinya kita harus memahami bahwa makna datang dariperbedaan. Sehingga yang lain, bagi saya, tidak menjadi ancaman.Kalau menggunakan istilahnya Levinas, yang lain adalah momenmoral bagi saya. Yang lain menyapa saya. Kehadiran yang lainmemberi kesempatan bagi saya sebagai saat-saat moral.Permasalahan yang terjadi sekarang lebih karena melihat yanglain sebagai ancaman. Sebagaimana yang dimaksud oleh Sartre.Sartre mengatakan bahwa yang lain adalah neraka bagi saya. Makawajar kalau Sartre kemudian juga mengatakan bahwa kebebasanmendahului tanggung jawab, berseberangan dengan Levinas yangsebaliknya mengatakan bahwa de-ngan adanya yang lain, tanggungjawab mendahului kebebasan. Pola seperti apakah yang maudiikuti oleh agama? Apakah pola seperti yang dikehendaki Sartreatau sebaliklnya lebih memilih polanya Levinas? Atau pertanyaannya,apakah agama-agama berani memikirkan kembali cara berpikirmodel demikian itu? Konkretnya, berani atau tidak para pemimpindan guru agama melihat kembali dan menata paradigmabahwa agama bukan lagi memaksakan kebenaran, tetapi melihatapakah saya telah membantu umat untuk semakin mengenal danmendekati Tuhan; ataukah pikiran saya lebih politis, yaitu semakinbanyak massa pengikut berarti semakin hebat? Kalau pilihannyapolitis, maka akan terkait juga dengan masalah ekonomi, danberarti terkait dengan kapital sosial juga.Makanya, bagi saya, model-model dialog yang seharusnya dikembangkanitu alangkah lebih baik kalau mengikuti model ana-Haryatmoko –869


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–logi permainan saja. Jangan langsung pada masalah teologis, tapilebih dahulu melalui, misalnya, perlombaan pop song, jazz, teater,dan lain sebagainya, yang lebih bisa mencairkan suasana. Begitukita sudah dekat, masalah teologi akan lebih mudah diatasi. Jadi,yang terlebih dahulu dipersiapkan sebelum masuk ke langkah lebihjauh dalam membangun hubungan antaragama adalah menciptakansuasana perjumpaan. Dan suasana itu dilakukan denganinformal; tidak usah formal. Itulah yang sampai sekarang belummampu kita lakukan. Kecenderungan kita adalah terlebih dahulumenciptakan sekat-sekat agama. Lihatlah perkumpulan-perkumpulanyang jumlahnya sangat banyak, yang mengatasnamakan agama;yang, di satu sisi, memang memberi rasa aman bagi masing-masingumatnya, tetapi, pada sisi lain, sama sekali tidak ada yang beranimemberi terobosan untuk masuk ke arah yang lebih konkret, melaluibidang seni, misalnya.Kenapa harus seni? Anda perhatikan, seniman itu jarang yangdisekat-sekat oleh agama. Namun, bukan berarti bahwa hal itulahyang terbaik. Tetapi saya ingin mengatakan bahwa seni membawasesuatu yang kadang-kadang tidak hanya berhenti pada moraljudgement, baik-jahat. Keindahan itu menyatukan segala hal. Sayasenang dengan seorang filosof Prancis yang bernama Luc Ferry. Diamengatakan bahwa panggilan seorang pemeluk agama adalah menjadikarya seni (universalitas konkret). Orang seperti MuhammadIqbal adalah karya seni. Dia universal, diterima oleh semua agama,tetapi sekaligus juga konkret, dia dibesarkan oleh Islam. MahatmaGandhi merupakan tokoh spiritual yang diterima oleh semua agama,tetapi dibesarkan oleh Hindu. Demikian juga Ibu Theresa dalamKatolik. Jadi yang lebih diutamakan adalah prinsip bagaimana sayasemakin bisa berguna bagi sebanyak mungkin orang, bahkan me-870– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lampaui kelompok-kelompok agama, seraya tetap mengakar padaagama saya yang khas itu. Di sinilah agama seharusnya berperan.Agama harusnya semakin membantu pemeluknya untuk lebih terbukadengan pemeluk agama lain, bukan membuat pemeluknyasemakin anti terhadap pemeluk agama lain. Kesimpulannya, sayatidak hanya melihat pluralisme sebagai ideologi, tetapi bagaimanakemanusiaan itu semakinmemanggil kita untuk semakinterbuka dan bagi yang sebelum masuk ke langkah lebihYang terlebih dahulu dipersiapkanlain tidak mengancam.jauh dalam membangun hubunganantar-agama adalah menciptakansuasana perjumpaan. Dan suasana ituTerkait dengan adanya sekatsekatdalam agama (terma-formal. Itulah yang sampai sekarangdilakukan dengan informal; tidak usahsuk juga etnis), sebagaimana belum mampu kita lakukan.Anda uraikan lebih sebagaifenomena yang terlanjur kaprah di masyarakat kita, apakah ini sumbangsihdari Orde Baru melalui kebijakan yang segregatif, model “kerukunan”SARA yang kita ketahui bersama itu, sehingga yang tumbuhdi antara umat beragama bukan perasaan saling menghargai secaraaktif, dalam arti membaur dan membuka diri, tetapi sebaliknya,tumbuhnya rasa curiga di antara masing-masing umat beragama?Saya setuju bahwa hal itu ada kesinambungan dari rezim OrdeBaru. Dengan menggunakan analisis Foucault, kita bisa melihatbagaimana kekuasaan itu berlangsung melalui perbedaan. Di manaada perbedaan, di situlah terjadi hubungan kekuasaan dan dominasi.Anda bisa melihat contoh ini seperti pada KTP. Di situ, salahsatu yang ditonjolkan adalah perbedaan. Misalnya bagi orangTionghoa, KTP-nya diberi tanda tertentu, demikian juga denganHaryatmoko –871


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perbedaan agamanya. Kelihatannya memang netral, tetapi justrudi situlah kekuasaan dan dominasi sebenarnya sudah dipraktikkan.Oleh karena itu, kita sebagai pemeluk agama, sangatlah perlu untuksemakin kritis terhadap manuver-manuver politik, karena kekuasaanterutama bukan dilihat dari siapanya, tetapi lebih pada bagaimananya.Artinya kita akan melihat kekuasaan dari strategi, teknik, danmekanismenya. Sementara cara termudah untuk mempraktikkanhal ini adalah dengan menekankan perbedaan.Dalam multikulturalisme, hal seperti itu ditunjukkan dengan,misalnya, penggunaan kata minoritas. Kata itu tidaklah netral dansebenarnya digunakan sebagai cara agar yang minoritas tidak berdaya.Itu merupakan stigma, yang sebetulnya juga bentuk lain daridiskriminasi yang ingin mengatakan bahwa kamu adalah kelompokminoritas dan karena itu jangan berbuat yang macam-macam.Konsep itu dipakai untuk menumbuhkan rasa rendah diri padaminoritas. Secara lebih abstrak kita bisa mengatakan bahwa di situbahasa digunakan untuk mempraktikkan dominasi.Perihal pengidentifikasian gagasan pluralisme oleh banyak orang sebagairelativisme, paham yang menganggap segalanya (termasuk jugaagama) adalah nisbi, apakah menurut Anda benar demikian?Apakah benar pluralisme adalah sebuah relativisme? Saya akanmengatakan, kalau Tuhan itu maha sempurna, maka kita tidakakan rela jika kesempurnaan Tuhan direduksi hanya oleh kelompoktertentu saja. Lalu, apakah dengan saya menerimanya (atas kebenaranpihak lain) berarti sebentuk relativisme? Bukankah penerimaanpihak lain justru semakin mengafirmasi identitas saya. Bagisaya, orang “dewasa” tidak akan pernah merasa terancam dengan872– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kehadiran pihak lain. Orang yang sungguh-sungguh menguasaibidangnya, tidak akan merasa tersaingi atau terancam oleh pihaklain, karena dia percaya dengan apa yang dia miliki, dengan identitasatau kemampuannya. Tetapi orang yang setengah-setengahakan cenderung terancam oleh pihak lain, karena survivalitas diasangat tergantung oleh bagaimana yang lain melakukan permainannyaatau tergantung pada bagaimana strategi yang diterapkanoleh yang lain.Dengan refleksi di atas, kita juga bisa menilai kelompok-kelompokagama dengan pertanyaan: mengapa harus merasa terancamdengan yang lain? Mengapa harus takut kalau yang lain jugamempunyai suatu bentukkebenaran? Sejauh mana itu Kita harus mulai kritis bahwa setiapmengurangi kebenaran saya? instrumen kemajuan selalu memilikiApakah kalau yang lain benarberarti saya salah? Tentu-pedang bermata dua. Selalu ada unsuryang membawa kebaikan dan unsurnegatif yang dapat menimbulkannya, hal seperti itu sama sekalitidaklah memadai untukkeburukan, di mana kita sebisamungkin harus merelativisirnya. Didijadikan pendasaran dalamsinilah kita membutuhkan semacammemandang perbedaan. Karenayang digunakan adalahetika komunikasi.logika biner yang keliru, yaitu kalau yang lain menemukan kebenaranberarti yang punya saya salah, atau kalau yang lain benarberati saya boleh berpindah-pindah. Jika pandangannya seperti itumaka satu agama merasa takut dan terancam dengan keberadaanagama yang lainnya.Dalam konteks ini, saya tidak mengatakan boleh atau tidak,tetapi saya lebih setuju dengan modelnya Gadamer. Dia mengatakanbahwa di dalam setiap pemahaman terjadi fusion of horizons,Haryatmoko –873


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terjadi peleburan cakrawala-cakrawala. Yaitu cakrawala penafsir dancakrawala teks. Cakrawala penafsir memiliki banyak segi, ada Vorhabe,Vorsicht, Vorgriff. Kalau kita percaya pada diri sendiri bahwakita mempunyai pra-pemahaman dalam tiga bentuk tersebut, lantasakan semudah itukah saya pindah agama kalau bukan karena alasanyang sungguh-sungguh mendasar? Kalaupun ada alasan mendasar,mengapa kita harus melarangnya? Dan seandainya terjadi, mengapapula kita tidak menghormati bahwa setiap orang memiliki pilihan?Apakah dengan kita melarangnya berarti kita telah berjasa bagiTuhan? Tentu tidak sesederhana itu cara melihatnya.Apabila persoalan kemajemukan menjadi semakin kompleks, menurutAnda bentuk toleransi seperti apakah yang seharusnya ditumbuh-kembangkandi negeri dengan masyarakat yang begitu beragam dari agama,ras, budaya, bahasa, dan lain sebagainya, seperti Indonesia ini?Apabila melihat generasi muda sekarang, saya merasa lebih optimis.Kalangan muda sekarang banyak yang memiliki cara berpikirterbuka. Namun, kita harus mengetahui bahwa dalam masyarakatseperti apapun, kelompok yang tertutup itu akan selalau ada. Disinilah permasalahan kerap kali timbul. Oleh karena itu, menurutsaya, di sinilah signifikansi peran media untuk menyosialisasikanide-ide keterbukaan, toleransi, dan sebagainya. Meskipun kita harusmengantisipasinya dari awal akan konsekuensi lain bahwa mediajuga pada akhirnya bisa berpihak pada satu kepentingan tertentu.Maka dalam hal ini, pemberitaan yang saya maksud, yang harusdipromosikan oleh media, adalah pemberitaan yang mendukungide-ide keterbukaan dan pluralitas.874– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya mengajar juga di Pasca-Sarjana UIN Yogyakarta. Di sanamasih ada optimisme. Dengan melihat bagaimana cara berpikiratau keterbukaan orang muda terhadap gagasan-gagasan baru, makadalam realitas lintas agama seperti itu, saya merasa lebih optimisbahwa hal tersebut akan terjaga dan hidup kita lebih damai, bisasaling menghormati. Namun, dalam konteks ini, kita juga harussadar bahwa uluran tangan, kalau datangnya dari yang mayoritas,akan lebih mudah follow up-nya ketimbang ketika datang dari yangminoritas. Itu hukum sosiologi. Sekali lagi, hal seperti itu, lagi-lagi,tidak akan menghasilkan apa-apa kalau tidak dibarengi dengan intensitasinteraksi dan perjumpaan informal antar-kelompok yangada. Oleh karenanya, kecenderungan pengelompokan atas dasaragama, seharusnya jangan hanya berhenti pada sebatas pengelompokanyang justru karenanya kita melebarkan perbedaan denganyang lain, tetapi sebaliknya ditingkatkan menjadi kelompok yangterbuka. Di Indonesia, hal seperti itu lebih dimungkinkan karenakegiatan pengelompokan tadi belum sampai pada taraf yang sudahmenjadi hukum penyekatan. Yang saya takutkan, dengan perdaperdasyariat, adalah berlakunya model penyekatan yang sampaimengikat umat secara eksklusif di dalamnya. Pandangan sepertiitu, tentunya, dari saya, pihak yang selama ini dirugikan.Wawancara dilakukan di Depok, 24 Mei 2007Haryatmoko –875


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganHusein MuhammadHusein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar al Tauhid, Arjawinangun,Cirebon. Ia pendiri Puan Amal Hayati (Jakarta), Yayasan Rahima (Jakarta), dan FahminaInstitute (Cirebon), serta menjadi anggota National Board di International Center forIslam and Pluralism (ICIP) dan The Wahid Institute. Ia juga Comisioner pada KomnasPerempuan (2007-2009).876


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Semangat konstitusi Indonesia jauh lebih islami daripada perdasyariah. Sedangkan Islam sendiri merespon positif prinsipdasar sekularisme: memisahkan dua wilayah yang berbeda, fîal-dunyâ hasanah wa fî al-âkhirati hasanah (dunia dan akhirat).Namun begitu Islam hanya merumuskan prinsip-prinsip dasar.Sebab Islam tidak mempunyai konsep apapun perihal negaraatau politik. Tetapi dasar atau pandangan apapun sejauh bertujuanmenciptakan kondisi yang aman dan damai, sudah masukdalam kategori Islam. Sebab keadilan, kemaslahatan, dan penghormatanterhadap manusia adalah substansi agama. Sayangnya,sampai saat ini belum ada satu teori sosial-politik atau sistemnegara yang baik seperti demokrasi yang menjadi dasar bagisemua keputusan. Yakni demokrasi yang berbasis keadilan danmenjunjung tinggi HAM.877


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana pandangan Anda mengenai sekularisme dalam hubungannyadengan konsep-konsep dalam Islam?Pertama-tama, saya tidak ingin terjebak dalam terminologimainstream terhadap istilah sekularisme. Karena terminologi mainstreammelihat istilah sekularisme secara sangat negatif. Namunsaya ingin melihat istilah sekularisme secara positif sepanjang sayabisa memberi makna tersendiri mengenai istilah ini. Sekularismeoleh masyarakat dipandang sebagai paham yang ingin memisahkanantara agama dan negara yang diilhami dari sejarah masyarakatBarat yang mengatakan bahwa urusan kaisar untuk kaisar danurusan gereja untuk gereja. Namun, saya tidak melihat hal sepertiitu dalam Islam. Karena teks-teks Islam sendiri sudah menyebutdua hal tersebut: fî al-dunyâ hasanah wa fî al-âkhirati hasanah, sehingga,menurut saya, keduanya sangat positif.Apakah Islam memandang antara dunia dan akhirat harusdipisah-kan? Bagi saya, tergantung dari aspek mana kita melihatagama. Kalau kita memandang agama dari aspek tafsir atas agamayang kemudian ingin dijadikan sebagai hukum negara, maka,saya kira, harus dilihat apa yang menjadi kepentingan pandangankeagamaan atau tafsir atas agama tersebut: apakah terkait denganurusan-urusan personal atau terkait dengan urusan-urusan sosial?Apabila tafsir tersebut terkait dengan urusan personal, saya menganggaptidak perlu aspek-aspek tersebut masuk ke dalam ruang negara.Biarkan itu menjadi urusan privat masyarakat. Misalnya soalkeyakinan atau ibadah seperti salat, puasa dan sebagainya. Akantetapi jika terkait dengan aspek sosial, relasi antarmanusia atau aspekmuamalat, menurut saya, pikiran atau tafsir atas teks agamabisa dimasukkan ke dalam ruang publik, urusan negara, namun878


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–harus tetap memperhatikan pluralitas dalam masyarakat. Jadi tidakbisa sebuah pandangan keagamaan tertentu diterapkan begitu sajaapalagi dipaksakan ke dalam masyarakat yang multikultural ataumasyarakat yang plural tersebut.Pendeknya, persoalan ini harus disandarkan pada sebuah paradigmabesar Islam, yaitu keadilan, kesetaraan manusia, dan penghormatanterhadap manusia.Apabila pandangan keagamaantersebut merefleksikan secara positif sepanjang saya bisaSaya ingin melihat istilah sekularismeprinsip-prinsip di atas, maka memberi makna tersendiri mengenaiatas nama apapun, menurut istilah ini. Sekularisme oleh masyarakatsaya, sudah sah secara agama.Jadi tidak mesti harusdipandang sebagai paham yang inginmemisahkan antara agama dan negarayang diilhami dari sejarah masyarakatada teks agamanya, sepertiBarat yang mengatakan bahwa urusanteks al-Quran atau teks fikih.kaisar untuk kaisar dan urusan gerejaDemikianlah pandangan seorangulama besar, Abu al- melihat hal seperti itu dalam Islam.untuk gereja. Namun, saya tidakWafa ibn Aqil, seperti dikutipIbn Qayyim al-Jauziyah, menyebut dua hal tersebut: fî al-dunyâKarena teks-teks Islam sendiri sudahyang mengatakan bahwa kebijakanpublik harus diru-sehingga, menurut saya, keduanyahasanah wa fî al-âkhirati hasanah,muskan berdasarkan kemasalahatan(kepentingan pub-sangat positif.lik) meskipun tidak disebutkan dalam teks agama, baik al-Quranmaupun hadits. Abu al-Wafa dan Ibn Qayyim adalah ulama yangdikenal sebagai penganut Islam literalis. Anda dapat membaca inidalam buku “al-Thuruq al-Hukmîyah fî al-Siyâsah al-Syar‘îyah”.Jadi, Keadilan, kemaslahatan dan penghormatan terhadap manusia,menurut saya, adalah substansi agama.879


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bahkan, menurut saya, negara Indonesia – tidak sebagaimanayang digambarkan orang: bukan sebagai negara agama dan jugabukan negara sekular – adalah negara agama. Karena prinsip-prinsipyang dibangun sebagai dasar negara ini sudah memenuhi prinsipprinsipdasar atau substansi agama tadi. Jadi negara kita bisa disebutsudah memenuhi kesatuan antara agama dan negara.Ada pemaknaan lain, misalnya dâr al-Islâm dan dâr al-Kufr.Istilah dâr al-Islâm pada umumnya dimaknai sebagai negara Islam.Sementara, dâr al-Kufr sebagai negara kafir. Namun, bagi saya, Islamdi situ tidak harus dimaknai dalam arti teologi Islam, melainkandipandang sebagai konsep negara yang aman dan damai (dâral-Amn). Jadi, dasar atau pandangan apapun kalau itu bertujuanuntuk menciptakan kondisi yang aman dan damai, saya kira, sudahmasuk dalam kategori Islam. Tidak seperti yang sering dikatakanorang bahwa harus ada teks agamanya baru kemudian bisa disebutIslam. Sementara dâr al-Kufr dimaknai sebagai negara represif ataudespotik (dâr al-Khawf). Hal tersebut ditegaskan oleh Imam AbuHanifah: “anna al-maqshûd min idlâfah al-dâr ilâ al-Islâm wa al-Kufr laysa huwa ‘ayn al-Islâm wa al-Kufr wa innamâ al-maqshûdhuwa al-amn wa al-khawf. Anda bisa membaca tafsir ini dalam kitab“Badaâ’i‘ al-Shanâ‘î fî Tartîb al-Syarâ’i‘, karya al-Kasani. Sayakira ini adalah makna-makna substansial dari terma keagamaantadi. Begitulah saya memahami sekularisme dan Islam.Ada yang beranggapan bahwa konsep khilâfah adalah konsep idealmengenai negara Islam. Namun, di pihak lain, ada yang beranggapanbahwa Islam tidak pernah mempunyai konsep mengenai negara.Menurut Anda, apakah Islam mempunyai konsep negara?880


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya kira, Islam tidak mempunyai konsep apapun, apakah itukonsep negara, konsep ekonomi atau konsep sosial. Islam hanyamerumus-kan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain Islam tidakmenentukan bentuk sebuah negara. Fakta sejarah kaum Musliminsejak Nabi sampai sekarangmenunjukkan banyak bentuknegara yang diterapkanMenurut saya, pluralisme adalahhukum Allah. Yaitu bahwa Allahtelah menciptakan manusia secaradalam masyarakat Muslim.plural, beragam, berbeda-beda danJadi tidak ada bentuk tunggal.Akan sangat mereduksi, tidak ada yang sama di dunia ini.berwarna-warni. Bahkan saya kirabagi saya, kalau kemudian Pluralisme ingin memperkenalkanada yang menganggap ada kepada manusia akan adanyakonsep negara Islam, ekonomiIslam, sosiologi Islam dan hal budaya, pikiran, ideologi, ras,keanekaragaman, kegandaan dalamlain sebagainya. Pandangan keyakinan, jenis kelamin, biologis,seperti ini akan sangat mereduksiIslam.sosial, geografis dan sebagainya.Saya sepakat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mendirikannegara Islam. Akan tetapi Nabi Muhammad mendirikan sebuah komunitasatau masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.Dalam Piagam Madinah, misalnya, saya tidak melihat ada kata-katanegara Islam. Yang ada di situ hanyalah nilai-nilai moral yang harusdijunjung tinggi oleh masyarakat di situ yang plural. Konsepnya disesuaikandengan konteks kebudayaan masing-masing. Jadi model negaraMadinah yang seperti itu, bagi saya, hanya khusus untuk Madinah,sehingga tidak bisa diterapkan di tempat lain dan di waktu yang lain.Yang bisa diterapkan dalam ruang yang lain dan di waktu yang lainadalah prinsip-prinsip dasarnya, misalnya musyâwarah, keadilan danjaminan keselamatan atau perlindungan terhadap semua warga-881


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya. Akan tetapi, segera saya harus memberi catatan pada konsepmusyawarah.Istilah musyawarah pada awalnya mempunyai makna yangumum, namun kemudian dimaknai secara lebih spesifik. Oleh karenaitu, apakah kemudian musyawarah sama dengan demokrasi?Kalau musyawarah di-maknai secara spesifik seperti pernah diterapkanpada masa yang lalu, maka ia tidak sama dengan demokrasi.Tetapi jika musyawarah dimaknai secara lebih luas, misalnyasebagai bentuk hak-hak rakyat atau partisipasi rakyat secara luas,yaitu dengan menganggap bahwa derajat setiap orang sama, sehinggapendapatnya perlu dihargai, maka, menurut saya, musyawarahbisa dianggap sama dengan demokrasi. Jika musyawarah dimaknaiseperti ini maka sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi.Jadi kalau kita sepakat untuk mengatakan bahwa demokrasi adalahsistem kenegaraan yang baik, terlepas ada sesuatu yang kurangdari demokrasi, bagi saya, itu adalah sistem negara Islam. Tetapijika musyawarah hanya berlaku bagi orang-orang tertentu, makatentu tidak sama dengan demokrasi.Jadi Islam tidak mempunyai konsep yang spesifik. Ia hanyamemberikan paradigma dan prinsip-prinsip dasarnya saja. Modelkhilâfah selama ini dimaknai sebagai model kepemimpinan yangglobal dengan satu kriteria kewarganegaraan berdasarkan agama.Pandangan ini, menurut saya, sulit sekali untuk bisa diterima.Bagi saya itu tidak islami. Sebab, model seperti ini nantinya akanmemunculkan diskriminasi ketika kewarganegaraan hanya diukurberdasarkan agama, etnis atau yang lainnya. Nantinya akan adahukum bahwa para pengambil keputusan publik seperti kepalanegara atau kepala pemerintahan tidak boleh dipegang orang yangbukan seagama dengan agama negara. Kalaupun dianggap ada isti-882


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lah khilâfah dalam al-Quran, maka konsep tersebut tidak denganmakna kepemimpinan tunggal untuk seluruh dunia, melainkandalam arti pengelolaan masyarakat dunia secara demokratis. Jadiharus dibedakan antara konsep khilâfah fî al-ardl dengan khilâfahdalam arti pemimpin sebuah negara. Khilâfah dalam pengertiankhilâfah fî al-ardl adalah upaya pengaturan oleh manusia untukmenyejahterakan setiap orang, menata dunia, dan lain sebagainyadengan prinsip-prinsip kemanusiaan.Kami menangkap bahwa Anda tidak memandang negatif sekularisme.Bahkan menurut Anda Islam sendiri menerapkan nilai-nilai sekulardengan membiarkan hal yang privat sebagai urusan privat dan yangpublik sebagai urusan publik. Jika demikian, apakah menurut Andaada sumber dari Islam yang menunjukkan bahwa Islam tidak bertentangandengan nilai-nilai sekularisme?Sebenarnya pandangan ini muncul dari konsep tawhîd, monoteisme.Konsekuensi logis dari konsep monoteisme adalah bahwaada dualitas: pertama, Tuhan sebagai realitas yang absolut; kedua,manusia dan dunia sebagai entitas yang relatif. Di hadapan Tuhan,dalam konsep tauhid, manusia semuanya setara dan semuanya harusdihargai sebagai makhluk Tuhan. Saya kira, ayat wa laqad karramnâbanî Âdam merupakan petunjuk bahwa semua bani Adamharus dihormati. Itu berarti bahwa monoteisme Islam harus melahirkankonsep kesetaraan manusia, keadilan di antara manusia,terlepas dari komunitas yang berbeda-beda. Dan semua itu merupakanrealitas yang sifatnya sekular. Banyak sekali sumber Islamyang menyebutkan bahwa Tuhan tidak melihat latar belakang so-883


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sial, etnis, gender dan lain-lain. Yang dilihat atau dinilai Tuhanadalah ketakwaannya.Ada pernyataan Nabi yang eksplisit mengenai hal ini, yaitu: “Antuma‘lamu bi umûri dunyâkum” (kamu lebih mengetahui urusanduniamu). Ini menunjukkan bahwa urusan operasional pengelolaanatau perumusan dalam soal-soal kehidupan di dunia biar dilakukanoleh manusia sesuai dengan kebutuhan mereka. Islam hanyamenentukan nilai-nilai moral saja, misalnya jangan berbuat zalim,jangan menipu, jangan merusak, jangan berbohong, saling rela (altarâdlî),berlaku jujurlah, berlaku adillah dan seterusnya.Bagaimana dengan konsep ahl al-kitâbKonsep ini tetap kita terima. Jelas sekali di dalam al-Quranmereka disebut sebagai umat yang memiliki kitab suci yang turundari Allah dan diyakini. Sebab, saya melihat bahwa prinsip-prinsipdasarnya sama. Semua nabi diutus Tuhan dengan prinsip yangsama. Yakni menegakkan keadilan di antara manusia dan alam.Yang berbeda hanyalah syariahnya. Syariah di sini diartikan sebagaijalan menuju Tuhan. Jalan atau cara yang berbeda-beda itu karenadisesuaikan dengan konteks budayanya. Oleh karena itu, sayaberanggapan bahwa terdapat kesamaan keyakinan dengan ahl alkitâb,yakni beriman kepada Tuhan, meskipun dengan syariah yangberbeda-beda dan itu tidak menjadi masalah. Pemahaman konsepini tetap saja berlaku sama hingga kini, sekalipun periode setelahNabi meninggal. Menurut saya, syariah yang mereka amalkan adalahjalan-jalan atau pilihan-pilihan menuju Tuhan. Kalaupun adapenyimpangan dalam hal ketuhanan mereka, misalnya Trinitas, itulebih berkaitan dengan soal tafsiran sebagian mereka. Al-Quran884


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sendiri membedakan antaraIslam tidak harus dimaknai dalam artiahl al-kitâb dan musyrikîn.teologi Islam, melainkan dipandangAl-Quran juga menyebutkanada orang-orang Yahu-sebagai konsep negara yang amandan damai (dâr al-amn). Jadi, dasardi, Nasrani yang berimanatau pandangan apapun kalau itukepada Allah, hari akhirat bertujuan untuk menciptakan kondisidan beramal saleh. Dan kalaupunketiga hal keiman-masuk dalam kategori Islam. Tidakyang aman dan damai, saya kira, sudahan tersebut merupakan keyakinanmereka semua, ya bahwa harus ada teks agamanya baruseperti yang sering dikatakan orangbiarkan saja. Tuhanlah yang kemudian bisa disebut Islam.akan menentukannya kelakdi akhirat. Hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan sebagainyatetap bisa dilakukan bersama-sama berdasarkan moralitas kemanusiaan.Bahkan dalam internal Islam sendiri?Benar, nanti kita akan mencoba melihat makna syariah itu apa.Lalu apa bedanya dengan fikih. Syariah, sejatinya, hanyalah jalanyang menjadi ketentuan pada masa Nabi saja. Pada masa setelahnya,syariah kemudian menjadi fikih. Karena apa yang kita amalkan selamaini adalah tafsir terhadap syariah atau teks-teks al-Quran danal-Sunnah. Namun demikian, tafsir atas teks-teks al-Quran maupunhadits terbukti berbeda-beda. Sebab, tidak mungkin apa yang dilakukanoleh Nabi pada waktu itu seluruhnya kita ambil apa adanya.Karena hal ini akan sangat tidak relevan dengan konteks yang terusberkembang – kalau semuanya harus dilaksanakan sebagaimanaNabi melaksanakannya dulu di sana. Ini lebih karena zaman telah885


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan akan selalu berubah. Perubahan zaman tidak mungkin dihentikan.Perubahan adalah niscaya, sunnatullâh. Lagi-lagi saya harusmenegaskan bahwa hal demikian hanyalah untuk hal-hal yang berhubungandengan aspek-aspek mu‘âmalât, yang meliputi urusansosial, budaya, politik dan sebagainya, bukan dalam aspek-aspekibadah. Untuk aspek ibadah, tentu saja, tetap dan tidak berubah.Kita ikuti apa adanya.Dulu orang meramalkan bahwa agama akan tergeser dengan adanyamodernisasi. Namun kenyataannya agama tetap bertahan, bahkansekarang agama cenderung bangkit kembali. Sayangnya, kebangkitanagama seringkali berwajah menyeramkan dan menjadi sumber konflik.Menurut Anda, apakah agama, terutama Islam, masih memberikanharapan bagi kita yang hidup di zaman modern ini?Menurut saya, yang menjadi fenomena sekarang, terkait dengansikap dan praktik-praktik keberagamaan sebagian masyarakat, banyakyang, memang, tidak menguntungkan bagi agama, terutamabagi Islam. Misalnya fenomena kekerasan, intoleransi atau mendiskriminasiorang lain (paham dan agama lain). Saya yakin bahwaagama muncul untuk kepentingan kemanusiaan; kemaslahatan manusia.Selama itu tidak tercermin dalam praktik-praktik kehidupan,maka itu adalah tafsir orang atas agama. Jadi mesti ada tafsirlain atas agama. Sehingga, fenomena Islam “galak”, menurut saya,sangat merugikan Islam dan itu, menurut hemat saya, bukanlahIslam. Islam tidak pernah memulai perang atau kekerasan. Perangatau jihad hanya boleh dalam rangka mempertahankan diri dariserangan atau kekerasan orang lain atau karena diusir dari tempat886


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tinggalnya. Karenanya, kitaharus membangun kembali Islam tidak mempunyai konsepcitra Islam yang damai dan apapun, apakah itu konsep negara,adil; citra Islam yang menghormatiorang lain.Islam hanya merumuskan prinsip-konsep ekonomi atau konsep sosial.Kalau Islam yang kita prinsip dasar. Dengan kata lainkemukakan adalah Islam dalamkonteks yang terakhirIslam tidak menentukan bentuksebuah negara. Fakta sejarahkaum Muslimin sejak Nabi sampaiini – dengan membawa citradamai, adil dan meng-sekarang menunjukkan banyakbentuk negara yang diterapkanhormati orang lain – maka dalam masyarakat Muslim. Jadiakan sangat relevan dan sangatdibutuhkan oleh ma-sangat mereduksi, bagi saya, kalautidak ada bentuk tunggal. Akansyarakat modern. Justru masyarakatmodern harus di-konsep negara Islam, ekonomi Islam,kemudian ada yang menganggap adaarahkan pada konsep agama sosiologi Islam dan lain sebagainya.yang membawa perdamaian. Pandangan seperti ini akan sangatmereduksi Islam.Modernitas sebetulnya jugaingin mewujudkan perdamaian.Namun bahwa kemudian pada praktiknya muncul tafsiryang kental dengan nuansa kepentingan-kepentingan kelompoktertentu, yang menindas, saya kira, itu semua tidak bisa mengatasnamakanmodernitas atau agama.Bagaimana mengkontekstualisasikan prinsip-prinsip dasar Islam denganpelbagai nilai modern seperti hak asasi manusia (HAM), demokrasi,kesetaraan, perdamaian dan lain sebagainya, dengan tanpamengabaikan perbedaan ruang dan waktu?887


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya ingin mengutip dua pandangan dari dua pemikir Islam,pertama al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan di dalam kitab al-Mustasyfâ mengenai masalah kemaslahatan. Beliau menyebut tujuanagama tidak lain adalah kemaslahatan. Kemaslahatan yang iamaksud adalah untuk melindungi lima prinsip: hifzh al-dîn, hifzhal-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh al-nasl, dan hifzh al-mâl. Pertama, hifzhal-dîn adalah perlindungan terhadap keyakinan keagamaan. Ini harusdimaknai sebagai perlindungan terhadap siapapun atas agamaapapun yang dianutnya. Tidak seperti yang kita baca dalam tafsiryang selama ini digunakan, yaitu untuk menjaga agama Islam saja,sehingga orang Muslim tidak boleh murtad. Sedangkan kalau iamurtad akan dihukum mati. Inilah tafsir yang selama ini berlaku.Saya kira ini perlu dikaji kembali pemaknaannya. Saya kira murtadyang dihukum mati, untuk konteks sekarang ini, adalah orangyang memberontak atau makar terhadap sistem negara dan telahmenyebabkan korban nyawa. Dalam konteks HAM hukuman matikarena pindah agama, adalah pelanggaran hak asasi manusia.Kedua, hifzh al-nafs, yaitu perlindungan terhadap jiwa. Artinya,setiap manusia tidak boleh dibunuh, dilukai, atau yang lainnya.Ketiga, hifzh al-‘aql. Prinsip ini tidak bisa direduksi maknanyahanya terbatas pada pelarangan meminum-minuman keras, ganja,narkoba, dan lain sebagainya sehingga terjaga akal sehatnya. Bagisaya, pemaknaannya tidak semata-mata seperti itu, meskipun tafsiryang muncul selama ini seperti itu. Menurut saya, tafsirnya haruslebih luas lagi, yakni termasuk “kebebasan berpikir”, kebebasanberekspresi, kebebasan berkumpul, berorganisasi dan sebagainya.Jadi prinsip ini sebenarnya menegaskan kebebasan berpikir, mengeluarkanpendapat, dan lain sebagainya. Ini adalah hal-hal yangharus dijunjung dan dilindungi.888


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Keempat, hifzh al-nasl, saya memaknainya sebagai perlindunganterhadap hak reproduksi atau kesehatan reproduksi. Tidak hanyadimaknai seperti tafsir yang berlaku selama ini, yakni tidak bolehzina dan lain sebagainya. Tetapi prinsip tersebut juga harus dimaknailebih luas lagi: tidak boleh melecehkan dan merendahkanorang lain, khususnya terhadap perempuan. Jadi prinsip ini harusdimaknai sebagai perlindungan terhadap kesehatan reproduksi dankehormatan seseorang (dignity).Kelima, hifzh al-mâl adalah perlindungan terhadap kepemilikan.Prinsip ini sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai masalahmencuri, tidak boleh ghasab, tetapi juga berbicara mengenai kebebasanorang untuk berkarya dan berusaha. Lima prinsip dasar inisaya kira sama atau identik dengan prinsip dasar HAM. Elaborasinyabisa seperti yang sekarang dikembangkan oleh PBB, misalnya.Tetapi kelima prinsip ini bisa ditambah, misalnya dengan hifzh albî’ah,yakni perlindungan terhadap lingkungan. Jadi, prinsip ini,menurut saya, sesuai dengan HAM. Bahkan prinsip-prinsip Islamtersebut mendahului prinsip HAM.Pendapat yang kedua datang dari Ibn Qayyim al-Jauziyyah,seorang murid Ibn Taimiyyah. Saya kagum sekali dengan tokohini dan saya tidak sependapat dengan anggapan bahwa tokoh inisangat tekstualis, sebab ia sama sekali tidak selalu begitu. Dia mengatakanfa inna syarî‘at al-Islâmiyah mabnâhâ wa asâsuhâ ‘alâ alhikamiwa mashâlih al-‘ibâd, wa hiya ‘adlun kulluhâ, wa mashâlihunkulluhâ, wa rahmatun kulluhâ, wa hikmatun kulluhâ. Fa kullumas’alatin kharajat ‘an al-‘adl ilâ al-jawd, wa ‘an al-mashlahati ilâal-mafsadah, wa ‘an al-rahmati ilâ dliddihâ, wa ‘an al-hikmati ilâal-‘abats, fa laysat min al-syarî‘ah wa in dukhilat fî hâdzihi al-ta’wîl.Artinya, Islam dibangun berdasarkan keadilan dan kemaslahat-889


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–an hamba-hamba Allah fî al-ma‘âsyî wa al-ma‘âd, di dunia danakhirat. Semuanya harus adil, maslahat, rahmat, dan bijaksana.Maka, setiap masalah yang keluar dari yang adil menjadi tidakadil, dari yang maslahat menjadi kerusakan, dari rahmat menjaditidak rahmat, dan dari hikmah menjadi kesia-siaan bukanlah termasuksyariat Islam, meskipun ditafsirkan dan dilakukan denganatas nama Tuhan.Jadi menurut saya, hal itu juga termasuk ke dalam prinsipHAM sebagaimana saya sebut di atas. Islam ingin seperti itu. Olehkarena itu, kita harus mengembalikan semua tafsir yang sekarangberkembang untuk dikoreksi kembali atau ditafsirkan kembali dalamkonteks sekarang. Karena begini, saya tentu saja prihatin terhadapIslam karena agama ini sudah lama sekali mengalami degradasi danstagnan. Sebagian yang dipraktikkan sebagian kaum Muslimin tidakmenguntungkan Islam. Itulah yang kita sebut dengan kemunduran,kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan sebagainya.Penyebabnya, menurut saya, adalah karena umat Muslim masihmempertahankan tafsir lama yang dianggap sudah baku dan bahkandianggap sebagai ajaran Islam itu sendiri. Padahal tafsir-tafsirtersebut hanya bisa berlaku untuk konteksnya sendiri, tidak bisaditerapkan dalam konteks yang lain.Oleh karena itu, setiap tafsir orang dari masa lalu tidak bisadibawa dan dipakai begitu saja untuk zaman sekarang, melainkanharus dimaknai secara lain untuk konteks yang baru. Tentusaja dengan tetap mengindahkan konsep dasar dari al-Ghazalimaupun konsep dari Ibn Qayyim al-Jauziyyah tadi. Karena itu,sebetulnya, rumusan apapun dan oleh siapapun yang formatnyamengandung prinsip-prinsip tersebut, menurut saya, sudah bisadikatakan Islam. Jadi apa yang dikembangkan di Barat, misalnya,890


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagaimana berdisiplin, bagaimana menghargai orang, mengeksplorasipengetahuan dan sebagainya bisa disebut Islam. Jadi yang perludilakukan oleh umat Muslim adalah merekonstruksi dan mereinterpretasiteks-teks parsial atau teks-teks konsep, bukan teks-teksprinsip atau teks universal.Saya membedakan dua Saya sepakat bahwa Nabi Muhammadteks keagamaan: ada teks keagamaanyang bersifat uni-Islam. Akan tetapi Nabi Muhammadtidak pernah mendirikan negaraversal dan ada teks keagamaanyang bersifat partikular.mendirikan sebuah komunitas ataumasyarakat yang menghargai nilainilaikemanusiaan. Dalam piagamTeks keagamaan yang universalinilah yang seharusnyaMadinah, misalnya, saya tidakmelihat ada kata-kata negara Islam.menjadi basis bagi teks-teksYang ada di situ hanyalah nilai-nilaipartikular. Sebetulnya tekstekspartikular, termasuk oleh masyarakat di situ yang plural.moral yang harus dijunjung tinggiyang ada di dalam al-Quran Konsepnya disesuaikan dengansendiri, adalah contoh penerapanprinsip-prinsip univer-konteks kebudayaan masing-masing.sal ke dalam konteks tertentu. Misalnya, bagaimana prinsip dasartersebut diterapkan, katakanlah, di Madinah, harus memperhitungkankonteks lokal di Madinah itu sendiri. Tetapi penerapan ini merupakanlangkah pertama untuk suatu transformasi kultural yang adasebelumnya, sehingga, menurut saya, proses ini perlu dikembangkandan dilanjutkan sampai prinsip-prinsip kemanusiaan universal terwujud.Jadi teks partikular ketika diterapkan di Madinah memangtepat dan sangat maslahat, sangat maju. Namun contoh penerapanini tidak bisa begitu saja diambil untuk diterapkan ke dalam konteksyang lain. Jadi, Madinah hanya satu contoh bagaimana satu prinsipdasar Islam di terapkan pada waktu dan ruang tertentu. Andaikata891


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kondisi dan situasi kita hari ini sama dengan pada masa Nabi, tentukita akan melaksanakannya seperti yang diamalkan beliau.Oleh karena itu, yang harus kita lihat di dalam teks partikularitu adalah logikanya atau semangatnya, ruhnya, jiwanya. Yaknikemasalahatan dan keadilan. Pastilah, menurut saya, yang diterapkanpada saat itu mengandung prinsip logika kemaslahatan dankeadilan. Karenanya, logika kemaslahatan dan keadilan itulah yangharus dipindahkan ke tempat yang lain. Tetapi, format dan mekanismenyabisa berbeda-beda antara satu tempat dengan tempatyang lain dan antara zaman yang satu dengan zaman yang lain.Artinya, redaksi atau bentuknya bisa berbeda, tapi semangat danjiwanya sama. Dengan begitu bukan berarti kita menghapus teksyang lama. Saya beranggapan bahwa teks tersebut sangat bijaksanadan sangat tepat, tetapi format yang seperti itu tidak selalu bisaditerapkan pada konteks yang lain. Bahkan bisa jadi kalau dipaksakania akan menjadi sangat tidak relevan atau bahkan merugikan,tidak maslahat.Saya kira, contoh-contoh penafsiran ulang itu sangat banyakdilakukan oleh para Sahabat sepeninggal Nabi. Kita tahu sepeninggalNabi sudah tidak ada otoritas manusiawi yang tunggal untukmemutuskan kebenaran. Sehingga akhirnya ukuran kebenaran menjadisangat relatif, oleh karena itu, sering muncul perbedaan satudengan yang lainnya. Di sinilah kita mengambil contoh bagaimanapara Sahabat menerapkan logika kemaslahatan atau semangatitu dalam konteks mereka sendiri. Misalnya, Umar mempunyaikonteks sendiri, Abu Bakar juga demikian, juga Utsman dan ‘Ali,tetapi tujuannya sama, yakni bagaimana agar agama tetap relevan,tetap maslahat dan adil bagi semua orang. Mekanisme pemilihanmereka sebagai khalifah atau tepatnya “khalîfatu Rasûlillâh” (peng-892


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ganti Nabi dalam kepemimpinanmasyarakat, bangsa), Dasar atau pandangan apapun kalauatau “Amîr al-Mu’minîn” itu bertujuan untuk menciptakanjuga berbeda-beda. Sesudahkondisi yang aman dan damai, sayakira, sudah masuk dalam kategoriperiode itu, mekanismenyaIslam. Tidak seperti yang seringberbeda jauh lagi.dikatakan orang bahwa harus adaYa, tentu saja, pergeseranitu boleh-boleh saja. disebut Islam...Saya kira ini adalahteks agamanya baru kemudian bisaDulu tidak ada pemilihan makna-makna substansial dari termaumum, tidak ada pembagiankekuasaan. Dengan pe-memahami sekularisme dan Islam.keagamaan tadi. Begitulah sayangertian lain, apa yang tidakada pada masa Nabi tidak berarti tidak boleh ada pada masa yanglain. Kata Ibnu Qayyim: “Idzâ zhaharat amarat al-‘adl wa asfarawajhuhu bi-ayyi tharîqin kâna, fa tsamma syar‘u Allâh wa dînuhu”.Artinya, “jika telah ada dan telah jelas indikator keadilan denganjalan apa saja ia bisa dihasilkan, maka di situlah syariah dan agamaAllah”.Sebagaimana telah Anda singgung bahwa sepeninggal Muhammad sudahtidak ada lagi otoritas tunggal untuk menjawab masalah keagamaan,sehingga mengandaikan kebebasan berpikir bagi umat Islam.Pertanyaan-nya, apakah kebebasan berpikir merupakan suatu yang pokokdalam Islam atau ia datang belakangan setelah Islam bersentuhandengan peradaban lain?Menurut pendapat saya kebebasan berpikir itu inheren dalamIslam. Terlampau banyak ayat-ayat al-Quran yang menyebutkanhal seperti itu. Bahkan al-Quran mengatakan: afalâ yatadabbarûn893


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–al-Qur’ân am ‘alâ qulûbin aqfâluhâ. Artinya, apakah mereka tidakmerenungkan al-Quran ataukah hati mereka terkunci? Selain itubanyak sekali kalimat-kalimat yang menyerukan untuk menggunakanakal pikiran. Oleh karena itu, bagi saya, ayat-ayat ini adalahprinsip Islam yang mendukung kebebasan berpikir. Banyak tafsiratas ayat berikut ini:Ayat ini menjadi prinsip dasar kebebasan berpikir bagi masyarakatMuslim saat itu. Karena itu, saya melihat bahwa pada periodeIslam awal sampai pada abad empat Hijriah, dinamika pemikiranIslam sangat luar biasa dan kebebasan berpikir juga sangat berkembang,sehingga pada saat inilah disiplin-displin keilmuan banyakdisusun. Jadi ketika Barat pada masa itu berada dalam zaman kegelapanAbad Pertengahan, umat Muslim justru mengalami masakeemasannya dan kemudian dari Islamlah Barat belajar.Tiga atau empat abad pertama Islam sering disebut sebagaigenerasi salaf yang saleh. Nabi mengatakan bahwa generasi salafadalah generasi Muslim yang terbaik, Khayr al-qurûni qarnî tsummaal-ladzîna yalûnahum tsumma al-ladzîna yalûnahum. Saya selalumenganggap bahwa konsep salafi itu harus mengandung makna kebebasanberpikir. Jadi bukan seperti yang sekarang kaprah dipahami894


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–oleh kebanyakan orang bahwasalafi adalah tekstualis.Semua nabi diutus Tuhan denganprinsip yang sama. Yakni menegakkanKarena periode salafi itu, periodesampai abad keempatkeadilan di antara manusia dan alam.Yang berbeda hanyalah syariatnya.Hijriah, kebebasan berpikir, Syariat di sini diartikan sebagai jalanproses kreatif dan disiplin menuju Tuhan. Jalan atau cara yangkeilmuan banyak disusun. berbeda-beda itu karena disesuaikanIlmu tafsir, hadits, ushûl alfiqh,sains, filsafat, matema-karena itu, saya beranggapan bahwadengan konteks budayanya. Olehtika, teknologi dan sebagainyalahir pada periode-peri-ahl al-Kitâb, yakni beriman kepadaterdapat kesamaan keyakinan denganTuhan, meskipun dengan syariat yangde tersebut. Dalam sejarahnyasaya menemukan bahwaberbeda-beda dan itu tidak menjadimasalah. Pemahaman konsep inipara tokoh Islam sangat bebasmengambil, mengadopsitetap saja berlaku sama hingga kini,sekalipun periode setelahdan membaca karya-karyaNabi meninggal.dari orang non-Muslim yanghidup sebelumnya, seperti karya-karya orang Yunani dan lain sebagainya.Mereka menyebutnya sebagai ‘ulûm al-awâ’il. Saya seringmengatakan bahwa teori ushûl al-fiqh Imam Syafi’i banyak mengambilinspirasi dari logika Aristoteles. Karena Imam Syafi’i jugamembaca karya-karya Aristoteles dalam bahasa Yunani.Saya terkesan dengan satu informasi yang mengatakan bahwasuatu hari Imam Syafi’i ditanya oleh Harun al-Rasyid mengenaidari mana ia memperoleh pengetahuan tentang ilmu kedokteran.Imam Syafi’i menjawab bahwa ia mengetahuinya melalui bacaannyaterhadap karya pemikir-pemikir Yunani seperti Posporius,Galenus, Socrates dan lain sebagainya. Dari bacaannya mengenaifilsafat Yunani inilah teori ushûl al-fiqh-nya dibangun. Banyak pi-895


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hak memang tidak setuju dengan itu dan mengatakan bahwa teorifikih tersebut karya orisinal Imam Syafi’i. Tentu saja, pandanganseperti itu boleh-boleh saja, tetapi saya kira saat itu telah terjadiakulturasi kebudayaan dan peradaban. Selain itu, munculnya ilmuilmufisika, kedokteran dan lain sebagainya yang dikembangkanoleh pe-mikir Islam awal, saya kira, adalah buah dari kebebasanberpikir masa itu.Oleh karena itu, pernyataan “jangan kebablasan berpikir,” bagisaya, menjadi tidak relevan. <strong>Kebebasan</strong> tidak bisa diukur kecualidengan kebebasan orang lain. Karena itu, bagi saya, orang bolehberpikir apa saja, karena pada akhirnya nanti kebebasan tersebutakan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Belum lagi soal stigmatisasiterhadap pemikiran liberal. Justru hal seperti ini akan mematikankreativitas berpikir umat Islam. Menurut saya, berpikir liberal(hurriyat al-tafkîr) itu bagus dan merupakan tuntutan al-Quransendiri. Oleh karena itu, saya tidak mengerti mengapa berpikirliberal dipandang negatif.Banyak kalangan dari pelbagai agama menganggap bahwa liberalismeatau pemikiran liberal pada akhirnya akan menimbulkan budayapermisif, di mana semuanya dianggap boleh dan itu bagi merekacenderung merusak agama. Bagaimana Anda menanggapi anggapanseperti itu?Menurut saya, silakan saja Anda berpikir seliberal mungkin.Asal saja, Anda berpikir dalam kepentingannya sendiri dan tidakada sangkut pautnya dengan orang lain atau risikonya akan ditanggungsendiri. Tetapi jika pikirannya menyangkut orang lain,ia pasti akan menerima bantahan sebagai risikonya – jika berten-896


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tangan dengan cara atau logika (kebebasan) berpikir orang lain.Jadi, menurut saya, budaya permisivisme yang timbul sebatasmenyangkut dirinya sendiri tidak menjadi masalah. Dengan pengertianlain, dia akan menanggung sendiri risikonya di hadapanTuhan. Tuhan pastilah Maha Adil. Sebab, siapapun tidak berhakmembatasi orang untuk berpikir. Tapi kalau sudah menyangkutatau mengganggu kepentingan orang lain, atau menzalimi oranglain, negara bisa dan wajib bertindak atas dasar undang-undang.Dengan begitu, sebetulnya tidak ada kebebasan mutlak. Demikianpundalam hal ini tidak ada istilah permisivisme.Oleh karena itu, mekanisme demokrasi menjadi sangat penting.<strong>Kebebasan</strong> berpikir antara yang satu dengan yang lain, padaakhirnya, memang mensyaratkan adanya mekanisme demokrasi.Yaitu mekanisme di mana semua pemikiran bisa diakomodasi tanpaada satu pemikiran lebih berkuasa ketimbang yang lainnya. Jadi disitulah setiap pemikiran berkontestasi, tapi jangan dihantam ataudibunuh orangnya hanya lantaran perselisihan pendapat.Dengan demikian, apakah demokrasi harus memberikan ruang yangsama bagi siapapun, termasuk kelompok fundamentalis yang berusahamendesakkan kepentingannya?Menurut saya, bentuk pandangan dan kepentingan sepertiapapun tidaklah masalah asal jangan melakukan kekerasan. Jadiboleh saja mereka mengajukan pendapatnya atau bahkan menyerangpemikiran orang lain, tapi jangan dengan cara kekerasan,membunuh, meneror dan sebagainya. Silakan mereka melakukanbantahan terhadap pikiran-pikiran orang lain. Sebab nantinya merekaakan dinilai oleh masyarakat dan sejarah. Namun kita tidak897


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–akan melakukan cara-cara yang tidak elegan dan tidak simpatik,misalnya dengan melakukan stigmatisasi, membunuh karakterseseorang atau cara-cara yang lain. Kita harus berpikir obyektif.Jangan kemudian perbedaan tersebut dipolitisasi, meskipun memangsetiap orang mempunyai kepentingan. Jadi, menurut saya,tidak masalah jika mereka memanfaatkan mekanisme demokrasidan kita juga memanfaatkan mekanisme yang sama, asal jangandengan cara kekerasan.Yang patut disayangkan adalah bahwa mereka menggunakan kebebasandan kebenaran yang dianggap paling sahih untuk menghakimiorang lain dengan menganggap orang lain yang berbeda sebagaikafir, halal darahnya, bisa dihancurkan, dan sebagainya. Itu yangtidak saya sepakati. Saya kira ada baiknya kita membaca bukunyaImam al-Ghazali yang berjudul “Fayshal al-Tafriqah Bayna al-Islâmwa al-Zandaqah”. Dalam kitab ini beliau menjelaskan terminologiMuslim dan kafir secara sangat detail dan kritis: siapa yang disebutMuslim dan siapa yang disebut kafir. Beliau sangat berhati-hatimengidentifikasi atau menghukumi orang sebagai kafir.Apakah sampai saat ini, menurut Anda, demokrasi adalah mekanismeyang paling tepat untuk mengatasi perbedaan pendapat?Sampai saat ini kita memang belum melihat satu teori sosial-politikatau sistem negara yang baik seperti demokrasi. Sistemkhilâfah, menurut saya, sudah tidak bisa lagi digunakan untuksaat ini. Sebab jika diterapkan ia bisa mendiskriminasi dan menghalangihak-hak orang lain. Sistem kerajaan juga tidak bisa karenakekuasaannya terletak pada satu orang dan tidak bisa menghargaiorang lain. Penggantinya juga harus dari anaknya atau898


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–keluarganya sendiri, tidakboleh orang lain, meskipun Model khilâfah selama ini dimaknaidia kapabel. Saya juga tidak sebagai model kepemimpinansepakat dengan sistem yangyang global dengan satu kriteriakewarganegaraan berdasarkan agama.diterapkan di Iran, WilâyatPandangan ini, menurut saya, sulital-Faqîh yang mempunyaisekali untuk bisa diterima. Bagi sayaotoritas sangat tinggi mengatasiotoritas rakyat.ini nantinya akan memunculkanitu tidak islami. Sebab, model sepertiJadi sejauh ini kita belummelihat satu teori lain hanya diukur berdasarkan agama,diskriminasi ketika kewarganegaraanyang lebih mumpuni ketimbangdemokrasi. Meskipunetnis atau yang lainnyademikiran, kita harus ingat, bahwa demokrasi juga mempunyai kelemahanketika dihadapakan problem antara yang mayoritas dan minoritas.Karena itu, cara demokrasi prosedural seperti voting, misalnya,merupakan cara terakhir ketika cara lain tidak bisa dijalankan.Dalam konsep Islam, sebagaimana saya baca dalam Ibn Taimiyyah,kepemimpinan yang tidak adil atau zalim itu lebih baik ketimbangtidak ada pemimpin. Karena kalau tidak ada pemimpin berarti chaos.Jadi pilihan kita terhadap demokrasi yang memenangkan mayoritasdan menyingkirkan minoritas, menurut saya, itu adalah resikoyang harus diambil.Artinya, Anda tidak melihat politik mayoritarianisme dalam demokrasisebagai masalah?Kalau kita bicara yang ideal, memang menjadi masalah. Seharusnyayang patut kita kembangkan adalah demokrasi substansial.Demokrasi substansial adalah demokrasi yang menghargai hak899


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–asasi manusia dan itu harus menjadi dasar bagi semua keputusan.Yakni demokrasi yang berbasis keadilan dan menghargai hak-hakasasi manusia. Jadi bukan antara mayoritas dan minoritas. Kalaumasih soal mayoritas dan minoritas, berarti di situ masih ada kepentingan.Kenapa masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikansecara bersama-sama? Ke depan demokrasi seperti ini seharusnyasemakin dikembangkan. Saya mungkin sedang bermimpi.Tadi Anda sudah memaparkan soal kebebasan berpikir dan tumbuhnyapelbagai disiplin keilmuan di dunia Islam pada masa awal, termasukdi dalamnya disiplin fikih dan ushûl al-fiqh. Namun, seiringdengan surutnya kebebasan berpikir, disiplin keilmuan tersebut turutmandeg. Kemudian untuk mengatasi hal ini, sebagaimana tadi Andakatakan, adalah dengan melakukan interpretasi ulang teks-teks partikular.Karena studi Anda sangat luas di bidang fikih maka kamimeminta Anda untuk mengelaborasi pembaharuan yang perlu dilakukandalam bidang fikih.Begini, menurut saya, ada empat kategorisasi cara keberagamaanumat Muslim: pertama, ittibâ‘ syakhsyî, yaitu mengikuti orangsecara personal. Cara demikian ini terjadi pada masa Nabi. Yangsaya maksud adalah bahwa ketika Nabi Muhammad masih ada,semua keputusan persoalan ada di tangan Nabi. Apapun yang dilakukanNabi pada saat itu adalah putusan agama. Ini yang dinamakansyariah. Meskipun Nabi sendiri juga memberikan kebebasan,namun pada akhirnya setiap ada persoalan keagamaan harusdisampaikan kepada Nabi dan kemudian Nabi memberi putusansecara final. Terhadap keputusan Nabi inilah semua orang Islamharus tunduk.900


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kedua, sepeninggal Nabi, saya sebut sebagai ittibâ‘ muthlâqatau taklid mutlak, yakni mengikuti secara bebas. Siapapun yangtidak memahami agama dapat bertanya kepada siapa saja yang ahlidan boleh berpindah-pindah.Jadi, misalnya, hari ini Pernyataan “jangan kebablasanmengikuti Umar kemudianbesoknya mengikuti Abu relevan. <strong>Kebebasan</strong> tidak bisa diukurberpikir,” bagi saya, menjadi tidakBakar atau Ali atau Utsman kecuali dengan kebebasan orang lain.mengenai satu hal tertentu. Karena itu, bagi saya, orang bolehPada periode ini bisa dikatakanbahwa tidak ada oto-berpikir apa saja, karena pada akhirnyananti kebebasan tersebut akandibatasi oleh kebebasan orang lain.ritas satu mengalahkan yangBelum lagi soal stigmatisasi terhadaplain. Kecuali ketika mereka,pemikiran liberal. Justru hal seperti iniAbu Bakar, Umar, Utsman, akan mematikan kreativitas berpikirdan Ali menjadi khalifah, umat Islam. Menurut saya, berpikirkarena status mereka sebagai liberal (hurriyat al-tafkîr) itu baguspemimpin komunitas. Masa dan merupakan tuntutan al-Quranini berjalan cukup lama, yaitusekitar dua abad.mengerti mengapa berpikir liberalsendiri. Oleh karena itu, saya tidakSetelah masa ini, kemudianmuncul tokoh-tokohdipandang negatif.yang mencoba mensistematisasi cara keberagamaan yang bebastersebut dengan menyusun teori-teori keberagamaan. Pada saat itujuga masih ada kebebasan. Saya terkesan dengan pandangan ImamMalik, ketika khalifah al-Mansur meminta agar kitab al-Muwaththa’karangan beliau, dijadikan dasar bagi keberagamaan pemerintahandi Baghdad. Pendeknya, kitab al-Muwaththa’ hendak dijadikanundang-undang. Namun Imam Malik dengan tegas menolakmenjadikan kitabnya sebagai kodifikasi hukum untuk semua wi-901


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–layah. Karena, bagi Imam Malik, di masing-masing daerah sudahada imam yang diikuti. Semuanya sah diikuti. Dan ia berpendapatbiarlah umat Muslim memilih cara keberagamaannya sendiri.Tetapi kemudian tercipta kelompok-kelompok yang mengikutiimam di masing-masing wilayah yang disebut kelompok mazhab,seperti Imam Syafi’i di Mesir, Imam Hanafi di Kufah, Imam Malikdi Madinah dan lainnya. Meskipun sebetulnya tidak hanya empat.Namun yang kita tahu hanya empat, padahal ada ratusan mazhabatau kelompok masyarakat yang mengikuti imam yang dianggapmampu memahami al-Quran dan hadits Nabi dalam konteks masing-masing.Pada masa ini masih bisa kita sebut sebagai kategoriittibâ‘ muthlâq.Sepeninggal tokoh-tokoh ini, terjadilah apa yang disebt taqlîdmahdlî, yaitu ketika masyarakat sudah mengelompokkan diri sebagaipengikut satu imam tertentu dan konsisten dengan pikiran dankonsep-konsep tokoh panutan tersebut. Meskipun begitu, dalamkondisi atau konteks tertentu masih boleh pindah mazhab. Periodeini berlangsung sampai pada abad keempat Hijriah.Patut menjadi catatan di sini, bahwa sampai pada abad keempatHijriah sebetulnya terjadi pertentangan di tengah masyarakatyang luar biasa dalam dunia politik dan ideologi, antara pemikirrasionalis dan pemikir tradisionalis. Kekalahan aliran rasionalisMu’tazilah kemudian menimbulkan kepemimpinan yang memihakpada pemikiran yang tradisionalis ala Ibn Hanbal. Karena itu, kemudianada deklarasi yang disampaikan oleh khalifah al-Mu’tasimBillah, khalifah terakhir Abbasiyah, yang berisi bahwa masyarakattidak boleh mengikuti cara keberagamaan selain mazhab empat.Jadi pada saat itu hanya mazhab empat yang boleh diikuti. Sebaliknyasemua pemikiran lain dilarang. Semua buku-buku dan902


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–guru-guru yang masih mengajarkan selain mazhab empat dilarangdan mereka dikeluarkan atau dipecat. Di sinilah lalu terjadi apayang saya sebut sebagai taqlîd jâmid, yaitu ketika semua kreativitaspikiran menjadi beku.Pada masa inilah kemudian lazim dinamakan sebagai tertutupnyapintu ijtihad dalam dunia Islam. Karena kebebasan sudahtidak ada lagi. Cara ini, konon, sebagai upaya untuk menyelamatkanumat Muslim. Namun saya tidak mengerti bahwa caraini dimaksudkan untuk menyelamatkan umat, kecuali bahwa caraini adalah pandangan politik rezim baru yang berusaha menutuppandangan politik rezim lama, yaitu rezim rasionalis yang kritis.Kemudian ditetapkan prinsip-prinsip atau cara pandang dan caratafsir keagamaan yang sangat tekstualis. Jadi, menurut saya, carapandang rasionalisme kemudian dibatasi.Saya tidak tahu apakah pernyataan man istahsana fa-qad syarra‘a,yang artinya “barang siapa yang membikin-bikin maka ia telahmembuat hukum”, merupakan pernyataan imam Syafi’i sendiriatau pengikutnya. Mungkin saja imam Syafi’i mengatakan sepertiitu, tapi apa maksudnya bahwa kita dianggap tidak tahu atau tidakmempunyai suatu pengetahuanuntuk menentukanpilihannya sendiri. Dari kembangkan adalah demokrasiSeharusnya yang patut kitapernyataan itu, seakan-akan substansial. Demokrasi substansialadalah demokrasi yang menghargaikemaslahatan tidak menjadi“basis” bagi pengambilanhak asasi manusia dan itu harusmenjadi dasar bagi semua keputusan.keputusan. Pernyataan iniYakni demokrasi yang berbasiskemudian ditafsirkan olehkeadilan dan menghargai hak-hakorang-orang setelah Syafi’iasasi manusia.sebagai anjuran untuk selalu903


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–merujuk ke teks atau “tekstualisme”. Artinya, setiap persoalan harusdidasari oleh teks dan tidak boleh didasarkan pada pikiran bebasdan “basis kemaslahatan”. Namun saya meragukan pernyataan itudatang dari Imam Syafi’i, karena beliau tidak mungkin mengatakanhal semacam itu. Kalau memang pernyataan ini berasal daribeliau, mungkin yang ingin dibatasi adalah kepentingan untukkelompok atau kepentingan untuk hawa nafsu. Kemaslahatan tidakmungkin diabaikan oleh siapapun, karena merupakan tujuanterakhir syariah, hukum-hukum agama.Ketika taklid jumud ini dibakukan, kemudian terjadilah reproduksipikiran secara terus-menerus. Karena ijtihad sudah tidak ada.Yang terjadi kemudian adalah proses pensyarahan dari kitab-kitabpara ulama sebelumnya. Misalnya teks-teks Hanafi, Maliki, Syafi’idielaborasi sedemikian rupa kemudian diringkas, setelah diringkaskemudian dibuat dalam bentuk syair, dan setelah itu kembali lagidibuat syarahnya. Proses ini terjadi terus-menerus, sehingga terjadisirkulasi pemikiran yang stagnan. Memang ada perubahan-perubahan,namun perubahan itu sangat tidak mendasar. Perubahanyang parsial. Dan perubahan itu biasanya terjadi hanya karena adaketerdesakan yang kemudian melahirkan kreativitas. Keterdesakanyang saya maksud adalah kenyataan sosial yang mapan dan tidakbisa dihindari lagi.Kita bisa mengambil contoh di Indonesia: ulama NU berpendapatbahwa melempar jumrah tidak boleh dilakukan sebelum tergelincirnyamatahari. Dan pandangan ini sangat kuat atau mu‘tamad.Tetapi ketika terjadi musibah di terowongan Mina, pandangan inikemudian berubah, sehingga muncul pandangan baru yang menyatakanboleh melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari.Terjadinya proses kreativitas pada masa yang lalu juga terjadi sangat904


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–parsial sebagaimana contoh tersebut. Secara keseluruhan pandanganmereka masih terpaku pada paradigma besar tadi. Memang kitasering mendengar pandangan yang mengejutkan dari NU untukmerespon pandangan-pandangan baru. Di NU ada istilah taqlîdqawlî dan taqlîd manhajî. Taqlîd qawlî artinya mengambil pendapatseorang mujtahid tertentu secara tekstual. Sementara taqlîd manhajîartinya mengambil metode berpikir seorang mujtahid.Saya kira, secara umum, pola keberagamaan abad keempat masihdipertahankan sampai sekarang. Baru kemudian ada usaha-usahapembaharuan seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.Sebetulnya sudah ada beberapa pembaharuan di masa yang lebihawal seperti yang dilakukan oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyimal-Jauziyyah yang mencoba melakukan reinterpretasi. Tetapi yangsangat menonojol sebagai pembaharu pada masa berikutnya adalahMuhammad Abduh. Kemudian ada sejumlah tokoh baru yangmuncul, akan tetapi selalu dengan dukungan kekuasaan, sepertiMuhammad ibn Abdul Wahhab. Muhammad Abduh, menurutsaya, sangat orisinal dan dia sangat konsentrasi dengan pengembangankeilmuan, pembelaan terhadap ijtihad tanpa ada pengaruhkekuasaan. Menurut saya, ini sangat luar biasa. Sementara pembaharuyang lain masih ada campur tangan penguasa.Memang, setiap paham yang populer hampir selalu – kepopulerannyajuga karena – mendapat dukungan dari kekuasaan, sebagaimanadulu Mu’tazilah. Demikian juga dengan Asy’ariyah atauWahhabiyah, keduanya mendapat dukungan dari kekuasaan. Namun,sayangnya pembaharuan yang dilakukan oleh Abduh bisa kitasebut elitis, meskipun ia tidak pernah memaksakan orang, melaluikekuatan negara, untuk berpikir yang sama, melainkan membiarkanorang membaca dan memikirkannya secara langsung. Tetapi,905


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sayang, pemikirannya tidak bisa diakses oleh setiap orang. SelainAbduh, kita juga bisa menyebut Rifa’ah al-Tahtawi, Qasim Amin,dan lain sebagainya. Sebagai catatan, semua pembaharu tersebutmengambil inspirasi dari Barat untuk mengembalikan kebebasanberpikir yang selama ini sudah punah. Hanya saja dominasi pemikiranyang konservatif atau literal terasa masih sangat kuat di duniaIslam, sehingga mereka yang berpikir secara baru dan berusaha memajukanagama justru mendapat stigmatisasi dan selalu dicurigai.Fenomena ini sebenarnya sangat merugikan Islam sendiri.Meskipun saya tidak membaca secara langsung seluruh pemikiranMuhammad Abduh, namun saya bisa membayangkan bahwaAbduh seakan bertanya: “Sebenarnya apa yang terjadi denganIslam saat ini? Semua ini adalah boleh jadi salah kita, salah umatIslam sendiri.” Menurut saya, kemunduran, kemiskinan, kebodohanyang mendera umat Islam adalah karena salah kita sendiri,bukan salah orang lain. Sebab, kita tidak mampu menggali danmengeksplorasi kembali teks-teks Islam yang bersifat abadi, universal,dan relevan bagi kehidupan umat Muslim. Kalau teks-tekskeagamaan Islam yang universal itu bisa digali, maka Islam akanmampu bangkit. Jika tidak, maka kita akan tetap seperti ini. Bahkan,menurut saya, mempertahankan pandangan klasik atau pandanganlama secara konservatif dalam konteks yang sudah berubahakan bisa memunculkan pandangan-pandangan fundamentalistik,bahkan radikal.Bagaimana dengan kasus Aceh dan munculnya peraturan-peraturandaerah (perda) yang menerapkan syariat Islam? Apakah fenomena itumerupakan salah satu bentuk eksplorasi terhadap teks-teks keagama-906


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–an Islam yang universal atau,malah sebaliknya, justru memasungkebebasan umat Islam khilâfah dalam al-Qur’an, makaKalaupun dianggap ada istilahsendiri?konsep tersebut tidak dengan maknaSaya ingin melihat problemtersebut pada dua le-kepemimpinan tunggal untukseluruh dunia, melainkan dalam artipengelolaan masyarakat dunia secaravel: pertama, level politisi;demokratis. Jadi harus dibedakandan yang kedua, level masyarakatatau orang awam. dengan khilafah dalam arti pemimpinantara konsep khilâfah fî al-ardlPara politisi, menurut saya, sebuah negara. Khilafah dalammemanfaatkan emosi umat pengertian khilâfah fî al-ardl adalahMuslim yang awam, yang upaya pengaturan oleh manusia untuksudah terbentuk sejak lama, menyejahterakan orang, menatauntuk kepentingan para politisiagar didukung. Semen-prinsip-prinsip kemanusiaan.dunia, dan lain sebagainya dengantara orang awam tanpa analisis-kritismenerima begitu saja ajaran-ajaran lama. Celakanya, bagisaya, fenomena semacam itu bisa menyulitkan perkembangan kehidupanini, terutama bagi umat Islam, dan masyarakat luas yangplural. Isu perda syariah sebenarnya mengangkat isu lama yangterkontaminasi oleh budaya yang sangat patriarkal untuk diterapkandalam masyarakat yang sudah demikian maju.Jadi orang tidak bisa memilah bahwa ada perkembangan kebudayaan,dari kebudayaan nomaden, agraris, kebudayaan industri,dan sekarang terjadi kebudayaan informasi. Dalam perjalanan sejarahsebetulnya sudah terjadi perubahan-perubahan. Akan tetapimengapa pikiran-pikiran yang muncul pada kebudayaan nomadenatau kebudayaan agraris harus dipakai dalam kebudayaan industridan informasi seperti sekarang ini. Saya ambil contoh begini:907


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–orang tidak pernah membayangkan bahwa ketika Nabi mengatakanperihal bagaimana seorang perempuan tidak boleh bepergiansendiri dan harus ditemani oleh muhrimnya adalah dalam konteksmasyarakat agraris, di mana alam sekitarnya adalah pegunungan,padang pasir, masyarakatnya belum banyak, dan masyarakatnyajuga baru keluar dari kebudayaan nomaden. Jadi menurut saya,pandangan itu tepat pada saat itu saja.Pandangan atau keputusan Nabi tersebut adalah benar dantepat adanya, dalam konteks tersebut. Konteks di mana kaum perempuannyabaru keluar dari sistem sosial yang misoginis (membenciatau mendiskreditkan perempuan) – yaitu ketika derajat dankedudukannya baru dipulihkan oleh Islam – memang dia tidakbisa keluar sendirian, terlebih tempatnya jauh. Kemungkinan akanterjadi pelecehan dan lain sebaginya pada masa itu sangat besar.Sementara itu keluarganya juga masih mungkin untuk mengantaratau menunggunya. Karena untuk konteks masa itu masyarakatnyatidak terlalu banyak disibukkan dengan pekerjaan. Namun,apakah kemudian praktik ini masih bisa diterapkan dalam masyarakatindustri, di mana orang sudah tidak lagi menunggu panentapi harus bekerja setiap hari untuk mencari nafkah? Apakahmungkin ketika perempuan sekolah harus ditunggui oleh muhrimnya,apalagi ia sekolah ke luar negeri? Mereka tidak pernahmembayangkan bahwa pada saat ini dunia telah berubah denganperubahan yang sangat besar. Jadi, bagi saya, setiap masa punyacara-cara atau mekanismenya sendiri. Karena itu, dalam menyikapikasus tadi, maka yang perlu kita baca dan kita tangkap adalahmaksudnya, substansinya. Yaitu, perlindungan terhadap perempuan,dan perlindungannya tidak harus dengan orang, person.Perlindungan itu bisa dilakukan dengan membuat aturan hukum908


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang jelas. Kalau terjadi pelecehan maka pelakunya yang harusditangkap. Bukan sebaliknya, perempuan yang jadi korbannyalahyang justru ditangkap.Jadi, menurut Anda, yang lebih menggambarkan Islam apakah perdasyariat Islam sebagaimana diterapkan di Aceh dan beberapa daerahlainnnya atau konstitusi Indonesia?Konstitusi Indonesia semangatnya sangat islami, ketimbangperda syariah. Sebetulnya, menurut saya, umat Islam di Indonesiatidak konsisten. Di satu sisi, mereka menginginkan syariat Islam,namun dari “beribu-ribu” undang-undang yang pernah dibuat tidakada landasan teks agamanya, kecuali beberapa saja. Dan lebihparahnya lagi, yang membahas adalah orang-orang yang justrutidak mengerti banyakAda sebuah syair yang sangattentang agama. Mereka bukanmujtahid. Para anggotamenarik: ‘Ibâratunâ syattâ wa husnukawâhidu / wa kullun ilâ dzâka al-jamâliDPR kita kebanyakan tidakyusîru; “Bahasa kita berbeda-bedamemahami betul persoalantapi yang cantik adalah satu / danagama. Namun, ketika merekadiundang untuk mem-cantik itu.” Syair ini, menurut saya,masing-masing berjalan menuju yangbahas undang-undang semacamitu mereka setuju terdahulu melihat realitas masyarakatsebuah gambaran bagaimana ulamasaja. Fakta ini sangatlah paradoks,sehingga yang mun-menuju tujuan yang sama. Bagi saya,yang berbeda-beda namun sebetulnyacul kemudian adalah hukum-hukumyang parsial,pluralisme adalah pandangan Islamjuga. Pluralisme merupakan cara yangpaling baik untuk mengatasi konflikseperti larangan pelacuran,dan kekerasan antarmasyarakat.hukum cambuk, hukum ra-909


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–jam, dan sebagainya. Fakta tersebut juga berlaku di dunia Islam,di mana isunya juga tidak jauh dari isu-isu seputar itu. Celakanyalagi, mereka tidak pernah melihat bahwa cara itu adalah cara yangtepat buat umat Islam hanya pada masa lalu, dan tidak untuk umatIslam yang hidup di zaman modern ini. Saya tidak tahu negara Islammana yang sekarang ini menerapkan hukuman tersebut dalamhukum positif mereka. Ini, menurut hemat saya, ambigu.Terkait soal perda-perda syariah yang ternyata sangat merugikan danmeminggirkan perempuan, dapatkah Anda memaparkan isu-isu pentingdalam fikih kaitannya dengan hal ini?Menurut saya, ada empat sumber teks keagamaan yang menjadilegitimasi terhadap proses diskriminasi terhadap perempuan:pertama, ayat al-rijâlu qawwamûna ‘alâ al-nisâ’, yang sering ditafsirkanbahwa laki-laki mempunyai otoritas yang mengatasi perempuandan dianggap sebagai sesuatu yang given. Ini akar masalahnya.Bahwa pada masa lalu kepemimpinan berada di tangan lakilaki,itu bisa diterima karena memang tepat pada saat itu. Budayapatriarkilah yang menghasilkan aturan seperti itu. Tapi, lagi-lagi,kepemimpinan itu tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang given,karena sangat terkait dengan logika sosial dan ekonomi saat itu.Pada waktu lampau kenapa perempuan tidak bisa menjadi pemimpindan lebih lemah ketimbang laki-laki adalah karena padawaktu itu perempuan dimarginalkan dan “dirumahkan,” sehinggapotensi akal pikirannya tidak berjalan dan lain sebagainya. Tetapiketika sekarang terjadi perubahan, kita tidak bisa membantah bahwaperempuan mempunyai kekuatan yang bahkan melebihi laki-910


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–laki. Artinya, kepemimpinan itu bukanlah hal yang given, yangkita terima begitu saja.Kedua, konsep perempuan sebagai sumber fitnah. Hampir semuafikih yang mendiskriminasikan perempuan bersumber darikonsep perempuan sebagai sumber fitnah. Tetapi, menurut saya,pernyataan itu dimaknai secara laki-laki dan oleh laki-laki. Sebetulnyaada hadits Nabi yang sahih: mâ taraktu ba‘dî fitnatan adlarr‘alâ al-rijâli min al-nisâ’, artinya, “Saya tidak meninggalkan, sesudahsaya, sebuah fitnah yang lebih membahayakan bagi kaum laki-lakikecuali perempuan.” Lalu apa makna fitnah dalam hadits ini? Fitnahbiasanya dimaknai bahwa perempuan sebagai penggoda ataupemicu yang menimbulkan keresahan laki-laki. Tetapi pemahamanyang kaprah kemudian adalah menyalahkan semua kekacauanitu kepada perempuan, meskipundia tidak melakukan Saya kira murtad yang dihukum matiapa-apa. Dari konsep ini adalah orang yang memberontak ataukemudian konsekuensinya makar terhadap sistem negara. Dalambisa bermacam-macam: perempuanharus memakai jil-pindah agama, adalah pelanggarankonteks HAM hukuman mati karenabab, suaranya harus pelan,hak asasi manusia.tidak boleh keluar sendiri,dan lain-lain. Pemahaman macam ini juga dipakai oleh beberapapemikir modern Islam, seperti Sayyed Quthb dan Hassan al-Banna.Sehingga bagi mereka perempuan tidak boleh menjadi anggotalegislatif atau berperan di ruang publik; bukan karena akal pikirannyadianggap lemah tetapi karena ia akan bergaul dengan lakilaki,dan ini bisa menimbulkan masalah.Menurut saya, hadits tersebut harus dimaknai lain, tanpa harusmengabaikannya karena statusnya adalah hadits sahih, juga ka-911


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rena logikanya bisa benar. Hadits ini bisa berarti bahwa laki-lakiharus berhati-hati menghadapi cobaan dari perempuan. Laki-lakiseharusnya menghormati perempuan, tidak melecehkannya. Jadiseharusnya hadits ini justru ditujukan bagi laki-laki bukan kepadaperempuannya yang dipandang sebagai sumber fitnah.Jadi, wacana pemikiran mainstream masih ditentukan olehkonstruksi pikiran lama yang patriarkis. Sebetulnya di masa yanglalu sudah banyak perempuan yang tampil ke permukaan. Misalnya,para Sahabat Nabi yang perempuan. Mereka bebas berdialogdengan Nabi dan para Sahabat laki-lakinya. Siti Aisyah seringmendebat dan mengkritik Khalifah Umar atau Abu Hurairah. Banyakkaum perempuan yang ikut perang bersama kaum laki-laki.Namun setelah masa itu, perempuan seperti tidak boleh muncullagi dan kenyataan ini berlaku hingga sekarang. Artinya, sejak ituperempuan dibatasi geraknya.Padahal banyak sekali teks al-Quran maupun hadits Nabi yangmenekankan perlunya kerjasama laki-laki dan perempuan dalamkehidupan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Sebetulnya padamasa itu telah terjadi proses transformasi atas kedudukan perempuan.Tetapi sayangnya kemudian tidak berlanjut, yakni setelahabad keempat Hijriah. Kepen-tingan laki-laki kembali menguatdan mendominasi segala ruang sosial. Akibatnya perempuan tidakbanyak yang tampil sebagai pemikir, penulis atau pemimpinpolitik. Hal ini juga berakibat lebih jauh, yakni tiada-nya tafsirperempuan. Yang ada adalah tafsir laki-laki.Anggapan bahwa perempuan sebagai sumber fitnah di beberapanegara, di dunia Arab, terutama di Saudi Arabia, sebetulnya masihsangat kuat sampai sekarang. Bahkan saya sempat bertanya-tanya:apakah buruh perempuan atau buruh migran di dunia Arab itu912


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–masih dianggap budak atau tidak? Ada beberapa kasus memprihatinkanyang mengisyarakatkan bahwa sebagian masyarakat Arabmengganggap mereka, memang, sebagai budak. Logikanya karenapara majikan sudah membayar, maka sudah membeli, sehinggapara buruh migran itu bebas diperlakukan seperti apa saja, yaseperti budak. Yang menyedihkan lagi, hal itu diperumit karenateks agamanya masih ada.Demikian juga ketika saya menjelaskan tentang poligami. Pertanyaansaya: kenapa orang tidak terusik dengan ayat yang senafas,yaitu: wa in khiftum an lâ ta‘dilû fa wâhidatan aw mâ malakat aymânukum.Dalam ayat ini ada dua kalimat yang dihubungkan denganaw, yang artinya kita disuruh memilih antara satu istri atauboleh banyak perempuan (poligami) walaupun tidak bisa berlakuadil, asalkan budak-budak. Persoalannya bukanlah karena kenyataannyaperbudakan tidak ada, tetapi ayat ini masih ada. Jika demikian,apakah kemudian ayat ini sudah dibatalkan (di-mansûkh)?Memang meskipun ayatnya masih ada tapi perbudakan secaraperlahan dan bertahap dihapuskan (dibebaskan) melalui baik al-Quran maupun hadits. Lantas, kenapa hal yang sama tidak diterapkanuntuk kasus poligami? Dan mengapa sikap kita cenderungmemisah-misahkan antara dua hal yang sebetulnya ada kaitannyadan mempunyai logika yang sama?Jadi bagaimanapun konsep dan anggapan yang kaprah perihalperempuan sebagai fitnah yang selama ini diterapkan, telah membuatperempuan menjadi sangat tidak produktif. Padahal kita melihatdengan nyata bahwa perempuan memiliki potensi yang besar,memiliki tenaga dan produktivitas yang juga tak kalah besardengan laki-laki. Betapa banyak perempuan yang ditinggal oleh913


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–suaminya tetapi ia masih bisa bertahan meskipun ia juga harusmenghidupi anak-anaknya.Beberapa waktu lalu Anda menggagas fikih trafficking. Apa sebenarnyayang Anda maksud dengan fikih trafficking?Ide utama yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perempuanboleh bekerja di mana saja dan kapan saja karena itu adalah haksetiap orang. Yang juga saya singgung adalah apakah perempuanyang bekerja harus ditemani mahram atau tidak. Berangkat darikonteks dan pelbagai fakta yang sudah ada, sekarang banyak perempuan,termasuk anak kyai atau ulama yang sekolah di tempatyang jauh, bahkan ke luar negeri tanpa ada yang menemani (tanpamahram). Nyatanya tidak terjadi apa-apa, dan orang tuanya pundiam saja, tidak melarang, tidak mempersoalkannya. Hal tersebutmungkin karena mereka sudah mempunyai pertimbangan adanyajaminan keamanan, baik di perjalanan maupun di tempat di manaanaknya akan tinggal. Jadi, logika harus adanya mahram, yakni sebagaiperlindungan terhadap perempuan, untuk konteks sekarangini mekanismenya bisa dibuat, misalnya melalui aturan hukum.Jadi tidak harus dengan kehadiran pendamping yang dekat.Trafficking dalam bahasa kita disebut perdagangan orang. Tetapikasusnya banyak menimpa perempuan dan anak yang bekerja diluar negeri, menjadi buruh migran. Dalam banyak kasus traffickingyang terjadi adalah pemalsuan dokumen, bujukan, penipuan, pemaksaan,eksploitasi, sampai kekerasan seksual, dan hak-hak ekonomiyang tidak dipenuhi dan lain sebagainya. Karena itu, dalambuku fikih trafficking, yang saya gagas, juga disinggung mengenai914


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kewajiban majikan terhadap buruh, atau hak-hak buruh, kewajibannegara, kewajiban masyarakat, apa yang seharusnya dilakukansebelum berangkat kerja ke luar negeri dan sebagainya. Semuanyamenurut perspektif Islam.Trafficking merupakan tindakan yang tidak manusiawi, melanggarhak asasi manusia dan bertentangan dengan agama, dan lainsebagainya. Kasus ini sebenarnya sangat membahayakan. Buku fikihtrafficking tersebut mencoba memberikan semangat keagamaan dalamupaya memerangi kejahatan trafficking. Tetapi mekanisme danteknisnya sepenuhnya harusdiselesaikan oleh negara, Saya yakin bahwa agama munculmisalnya dengan membuataturan yang melindungiuntuk kepentingan kemanusiaan;kemaslahatan manusia. Selama itutidak tercermin dalam praktik-praktikburuh perempuan dan lainkehidupan, maka itu adalah tafsirsebagainya. Lebih baik lagiorang atas agama. Jadi mesti ada tafsirjika pemerintah segera menyediakanlapangan kerja Islam “galak”, menurut saya, sangatlain atas agama. Sehingga, fenomenabagi mereka yang miskin merugikan Islam dan itu, menurutdan tidak punya pekerjaan,sehingga semua orang tidak pernah memulai perang atauhemat saya, bukanlah Islam. Islambisa memperoleh nafkah kekerasan. Karenanya, kita harusdi dalam negerinya sendiriatau di rumahnya sendi-yang damai dan adil; citra Islam yangmembangun kembali citra Islammenghormati orang lain.ri. Syukur, sekarang negarakita sudah mempunyai UUPTPPO (Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak PidanaPerdagangan Orang). Karena itu, kita tunggu komitmen pemerintahdalam mensosialisasikan dan mengimplementasikannya.915


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menimbang betapa majemuknya realitas bangsa ini, maka relevanuntuk membincang pluralisme sebagai bentuk penghargaan terhadapperbedaan dalam rangka hidup bersama secara adil dan damai. BagaimanaAnda memahami pluralisme?Menurut saya, pluralisme adalah hukum Allah. Yaitu bahwaAllah telah menciptakan manusia secara plural, beragam, berbedabedadan berwarna-warni. Bahkan saya kira tidak ada yang samadi dunia ini. Pluralisme ingin memperkenalkan kepada manusiaakan adanya keanekaragaman, kegandaan dalam hal budaya, pikiran,ideologi, ras, keyakinan, jenis kelamin, biologis, sosial, geografisdan sebagainya.Jadi pluralisme sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan keyakinanatau agama. Pluralisme sesungguhnya adalah fakta danrealitas kehidupan manusia, bahkan kehidupan alam semesta yangtak bisa ditolak. Tuhanlah yang menciptakan keragaman dan keanekaantersebut. Ayat-ayat al-Quran banyak sekali menyebutkanhal ini. Demikian juga hadits Nabi dan ucapan para ulama. “Wamin âyâtihi khalq al-samâwâti wa al-ardli wa ikhtilâfu alsinatikumwa alwânikum. Inna fî dzâlika la âyâtin li al-‘âlimîn (atau lial-‘âlamîn),” artinya, “Di antara bukti-bukti kemahabesaran dankekuasaan Allah adalah bahwa Dia menciptakan langit dan bumidan berbeda-bedanya bahasa dan warna kulitmu. Itu sesungguhnyamerupakan pelajaran bagi orang-orang yang mengerti (ataubagi semesta). Kemudian, “Andaikata Tuhan menghendaki, niscayaumat manusia menjadi satu. Tapi Dia tidak menghendakinya.Semua yang ada di langit dan di bumi adalah makhluk Allah”.Semua yang ada di alam semesta ini yang berbeda-beda, beranekaragam, justru menunjukkan ke-Esa-an Allah. Para ulama mengatakan:“wa fî kulli syay’in lahû âyât tadullu ‘alâ annahû Wâhid”916


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–(dalam segala hal terdapat tanda atau merupakan bukti bahwa Dia(Tuhan) adalah Satu.Kiyai saya, almarhum K.H. Fuad Hasyim, mengatakan kepadasaya, “Perbedaan adalah sunnatullah yang sama sekali tidak akanpernah bisa dilenyapkan oleh siapapun, kecuali Allah sendiri”. Pluralismeadalah warna kehidupan sekaligus keindahan.Tetapi memang yang menonjol kemudian adalah pluralismedalam keyakinan atau agama. Untuk hal ini sendiri ayat al-Quranyang menyebutkan tentang kebebasan orang untuk berkeyakinanatau beragama. Pernyataan yang paling tegas dan vulgar adalah“siapa yang mau beriman, berimanlah dan siapa yang mau kufur,silakan kufur”. Lalu, Tuhan juga menekankan, “Tidak ada paksaandalam beragama”. Nabi juga tidak bisa dan tidak boleh memaksaorang untuk mengikuti agamanya, bahkan termasuk kepada keluarganyasendiri. “Innaka lâtahdî man ahbabta wa lâkinnaAllâh yahdî man yasyâ’”,Pluralisme tidak dimaksudkan sebagaisinkretisme. Tidak seorangpun yangmenganjurkan pluralisme berpikiryang artinya, “kamu (Muhammad)tidak bisa mem-seperti itu. Pluralisme pada dasarnyapaham yang menghargai perbedaan.berikan petunjuk (hidâyah)bahkan kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah-lah yang memberikanpetunjuk itu (sehingga dia bisa beriman)”. “Lasta ‘alayhimbi mushaythir”, artinya “Kamu (Muhammad) bukanlah orang yangbisa memaksa”. Dan masih banyak lagi.Ketika Alî ibn Abî Thâlib berjalan-jalan dan melihat orangorangYahudi sedang beribadah di kuil mereka, ia teringat katakataNabi saw agar membiarkan mereka. Alî mengatakan: “Umirnâan natrukahum wa mâ yadînûn” (Kami diperintah membiarkanmereka bebas menjalankan keyakinannya).917


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Karena itu kerjasama dan saling memberi manfaat antarpemelukagama sama sekali tidak dilarang. Ibnu Rusyd pernah menulisdalam bukunya, Fashl al-Maqâl: “Jika kita menemukan kebenarandari mereka yang berbeda agama, kita mesti menerima dan menghormatinya.Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka kitapatut memperingatkan dan memaafkannya”. Ibnu Rusyd memandangbahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk membangunjembatan ‘hiwâr khârijî’ (dialog antarumat beragama).Ada satu pernyataan yang menarik dari seorang tabi’în yangbernama Qatadah. Ia mengungkapkan satu pandangan yang kemudiandikutip oleh Ibn Jarir al-Tabari, seorang mufassir besar,al-dînu wâhid wa al-syarî‘atu mukhtalifah, agama itu satu tapisyariah bisa berbeda-beda. Pernyataan ini sebenarnya mengomentariayat: li kullin ja‘alnâ minkum syir‘atan wa minhâjan, yangartinya: bagi kamu semua punya cara dan jalan sendiri-sendiri.Jadi, bahwa keyakinan akan otoritas tunggal yang mutlak adalahkeyakinan semua agama, namun cara menuju Yang Mutlakitu berbeda-beda. Perbedaan itu bukan hanya antaragama, tetapijuga terjadi dalam satu agama. Para nabi pun mempunyai carayang berbeda-beda pula dalam menyampaikan kebenaran. Carakita berpuasa berbeda dengan puasanya umat lain, atau cara salatumat Nabi Muhammad berbeda dengan cara salat umatnya NabiIsa, Musa, atau nabi-nabi yang lainnya. Menurut saya, perbedaantersebut hanya pada tingkat syariahnya saja, sesuai dengan konteksnyamasing-masing.Oleh karena itu, semuanya harus dihargai, diberi kesempatanyang sama untuk hidup. Ada sebuah syair yang sangat menarik:‘Ibâratunâ syattâ wa husnuka wâhidu / wa kullun ilâ dzâka al-jamâliyusyîru; “Bahasa kita berbeda-beda tapi yang cantik adalah918


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–satu / dan masing-masing berjalan menuju yang cantik itu.” Syairini, menurut saya, sebuah gambaran bagaimana ulama terdahulumelihat realitas masyarakat yang berbeda-beda namun sebetulnyamenuju tujuan yang sama. Bagi saya, pluralisme adalah pandanganIslam juga. Pluralisme merupakan cara yang paling baik untukmengatasi konflik, dan mengatasi kekerasan antarmasyarakat.Bahwa pluralisme datang dari Saya kira, Islam tidak mempunyaiAllah kita sepakat, namun konsep apapun: apakah itu konsepdi Indonesia kita menemukanadanya kalangan yang sosial. Islam hanya merumuskannegara, konsep ekonomi atau konsepprinsip-prinsip dasar. Dengan katabertindak semena-mena yanglain Islam tidak menentukan bentukbisa diartikan sebagai upayasebuah negara.menolak pluralisme. Banyakkasus kekerasan terhadap kelompokyang berbeda seperti Ahmadiyah, komunitas Eden, UsmanRoy, dan pelbagai kekerasan lain yang mengatasnamakan agama. Bagaimanapandangan Anda dengan fakta-fakta semacam itu?Bagi saya, keyakinan apapun tidak bisa dihukum oleh manusia,karena itu adalah hak Allah. Yang bisa dihukumi oleh manusia adalahketika orang melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain. Kezalimanitulah yang justru bisa disebut kafir dan itu bisa dilakukanoleh siapa saja dan atas dasar apa saja. Mengapa keyakinan orangseperti Lia Aminuddin harus diusik. Kalau dia berkeyakinan sepertiitu, biarkan saja. Kalau kita percaya bahwa Lia Aminuddin menyeleweng,maka ketidaksetujuan kita bukan dengan cara melakukankekerasan. Menurut saya, jika Lia begitu, maka mungkin kita yangtidak berhasil mengajaknya ke jalan yang benar, menurut kita. Kita919


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gagal dalam berdakwah. Al-Quran sudah menegaskan bagaimana seharusnyadakwah disampaikan. Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmudengan nasehat yang baik, dengan ilmu pengetahuan dan denganberdiskusi secara lebih baik. Jadi bukan dengan kekerasan. Lia Aminuddinitu sebenarnya Muslim, mungkin karena dia tidak mendapatkanpenjelasan keagamaan yang baik, sehingga dia jadi seperti itu.Namun cara berpikir Lia Aminuddin itu justru bisa memperkayakita. Hanya saja karena praktik keagamaannya berbeda, ia menjadisorotan dan dituduh sesat. Kalau kita berhasil menyebarkan agamadengan baik, hal-hal seperti itu seharusnya sudah tidak diurusi lagi.Sungguh aneh, saya tidak mengerti, mengapa kita lebih suka menyebarkanagama dengan kekerasan, memaksa orang, menghukumorang dan seterusnya. Ini bisa memberi kesan bahwa agama Islamitu agama yang keras. Atau bisa juga mengakibatkan orang lari dariIslam dan mencari agama lain yang lebih menghargai atau lebihsimpatik juga lebih toleran.Sebab, kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak sekali umat Islamyang tidak salat. Namun begitu, kenyataan tersebut didiamkan.Misalnya, setiap kali salat Jumat kita melihat banyak sopir, tukangbecak, dan lain sebagainya tidak salat. Kita juga tahu bahwa korupsidi negara kita yang mayoritas beragama Islam; itu demikianbesar. Kriminalitas dan kekerasan seksual juga selalu kita baca setiaphari. Tapi mereka, kalangan Islam fundamentalis yang radikal,diam saja. Kenapa bukan mereka yang diajak secara baik-baikuntuk menjalankan salat dan berhenti melakukan kejahatan. Jadibukan mengusik orang atau kelompok yang meyakini apa yangmereka percaya sebagai kebenaran yang sebetulnya tidak melakukankejahatan atau tindak kriminal apa-apa.920


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kemudian soal Usman Roy yang melakukan salat dalam duabahasa. Saya sebetulnya dulu diminta untuk menjadi saksi ahliuntuk meringankan hukumannya. Saya mengatakan, “Kalau dariargumen keagamaan, saya punya argumennya.” Tetapi, saya tidakmampu menerima stigmatisasi, hujatan atau bahkan serbuanorang nantinya, kalau saya menjadi saksi ahli. Argumen yang sayapegang adalah pendapat imam Abu Hanifah yang membolehkansalat dwibahasa. Ketika Abu Hanifah ditanya bagaimana kalau salatmenggunakan bahasa Persia, beliau menjawab boleh. Dan sayapunya rujukannya di kitab-kitab klasik seperti: Badâ’i‘ al-Shanâ’i‘.Kitab Majmû‘ Syarh Muhadzdzab, dan beberapa kitab lain jugamenginformasikannya. Jadi, untuk soal ini memang terjadi perbedaanpendapat.Tetapi, jika Abu Hanifah membolehkannya, muridnya justrutidak demikian. Muhammad ibn Hasan al-Syaybani, murid beliaudan guru Imam Syafi’i berpendapat bahwa kalau ia bisa berbahasaArab maka tidak boleh salat dengan bahasa lain, tetapi kalau iatidak bisa berbahasa Arab maka boleh salat dengan bahasa lain.Murid Abu Hanifah yang lain, Abu Yusuf, juga berpendapat sepertiini. Sementara mazhab yang lain mengatakan bahwa terlepas iabisa atau tidak bisa berbahasa Arab, tetap harus memakai bahasaArab. Kemudian banyak yang mengatakan bahwa Abu Hanifahsudah menarik pendapatnya. Tetapi dari mana sumbernya mengatakanseperti itu. Apakah Abu Hanifah menyatakan hal itu atauitu hanya komentar orang saja?Jadi sebetulnya memang ada rujukannya pada teks keagamaan.Tapi, menurut saya, tidak ada manfaatnya mengurusi hal-halyang sifatnya personal seperti itu. Bagi saya, untuk hal personalada aturannya sendiri. Saya setuju dengan pendapat mayoritas ula-921


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ma, tentu saja, demi kesatuan kaum Muslimin seluruh dunia. Tapisaya tidak setuju jika Yusman dihukum penjara.Mari kita lihat persoalan ini secara lebih seksama. Ada paradigmaberpikir bahwa teks-teks keagamaan yang menyampaikan halhalyang terkait dengan akidah atau keyakinan pada hal-hal metafisis(yang ghaybîyât), disampaikan dengan bahasa berita (khabar),misalnya Allah itu Esa, ada surga bagi yang beriman dan beramalsaleh, neraka bagi yang durhaka, ada malaikat dan lain-lain. Makasikap kita adalah percaya atau tidak percaya. Di situ Allah sebagaipemberi berita (Mukhbir). Jadi kita percaya saja karena memangberita itu disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw yang diterimanyadari Allah. Itu yang pertama.Kedua, untuk pokok-pokok ibadah, aturannya ditetapkan olehAllah: bahwa salat zuhur harus empat rakaat, harus dengan carayang spesifik, dan lain-lain. Namun yang ditetapkan hanyalah gerakannyasaja. Jadi ketika kasus Usman Roy kemudian dikomentarioleh MUI dan Kang Said Aqil Syiradj dengan hadits NabiShallû kamâ ra’aytumûnî ushallî, “Salatlah kamu sebagaimana akusalat,” sehingga tidak boleh salat dengan dwibahasa. Namun, bagisaya, itu hanya untuk gerakannya saja bukan untuk bacaan. Kenapa?Karena untuk bacaan terdapat perbedaan para ulama: apakahketika membaca surat al-Fâtihah harus membaca basmalah atauapakah salat harus membaca al-Fâtihah. Dalam persoalan itu tidakada kesepakatan. Bagi Abu Hanifah, yang wajib adalah membacaal-Quran saja. Jadi fenomena yang berbeda-beda itu adalah wujuddari penafsiran terhadap teks tentang bacaan dalam salat. Tapibaiklah, itu tidak perlu diperpanjang, sekadar wacana saja. Sayasendiri tetap mengikuti mazhab Syafi’i dalam hal ini.922


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ketiga, masalah muamalat. Untuk masalah muamalat teks al-Quran dan hadits selalu bersifat kritik. Tidak mengatur rinciantapi hanya bersifat kritik dan koreksi. Ukuran-ukuran yang dipakaiadalah selama tidak menzalimi (‘adam al-zhulm) dan tidak menyakiti(‘adam al-dlarar), tidak boleh menipu (‘adam al-gharar), tidakada spekulasi naif (‘adam al-maysir), saling merelakan (al-tarâdlî),kesepakatan (al-ittifâq). Jadi itulah ukurannya. Orang boleh membangunnegara dengan sistem presidensial, parlementer, kerajaanatau yang lain, yang terpenting adalah jangan membuat kezaliman,kebohongan, kerusakan, penipuan atau tindakan lainnya yangmerugikan orang lain.Namun demikian, kalaumengikuti sistem yang dulu, Model negara Madinah hanya khususkhilâfah misalnya, kita juga untuk Madinah, sehingga tidak bisaharus menimbang kenyataan diterapkan di tempat lain dan diyang terjadi pada waktu itu. waktu yang lain. Yang bisa diterapkandalam ruang yang lain dan di waktuSebab, siapa yang memilihyang lain adalah prinsip-prinsipAbu Bakar? Bukankah diadasarnya, misalnya musyâwarah,disepakati begitu saja olehkeadilan dan jaminan keselamatanpara elit. Sedangkan Umar atau perlidungan terhadap semuaditunjuk oleh Abu Bakar,warganya.Utsman disepakati hanyaoleh enam orang, dan Ali juga langsung dibaiat begitu saja. Khalifahselanjutnya mendapat kekuasaan setelah menang perang danpenggantinya berdasarkan garis keturunan. Jadi, kalau sebuah sistemmasih mengandung segala sesuatu yang merugikan orang lain, ituberarti bukan sistem islami. Kalau pada dasarnya sistem tersebuttidak merugikan, maka tidak apa-apa untuk mengdopsinya.923


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Terkait dengan muamalah atau relasi dengan orang lain, padahemat saya, terbagi menjadi dua: relasi terhadap orang yang bersifatdual dan plural. Yang pertama itu terkait dengan akhwâl alsyakhsyîyahatau hukum keluarga. Sementara yang kedua, muamalahplural, adalah interaksi dalam masyarakat. Jadi ada banyak orangyang terlibat di dalamnya. Prinsipnya sama saja, seperti tidak bolehsaling menzalimi, tetapi dengan musyawarah untuk mengatasisetiap problem yang muncul. Antara suami dan istri juga tidakboleh menzalimi. Soal siapa yang memimpin rumah tangga, yaterserah kesepakatan mereka berdua. Sampai hari ini, praktik yanglazim, suamilah kepalanya. Ya tidak apa-apa, asal bisa bertindakbaik dan menghargai istrinya serta tidak melakukan kekerasan terhadapkeluarganya. Nabi Muhammad sendiri tidak pernah melakukankekerasan terhadap istrinya bahkan melarang bagi seorangsuami memukul istrinya. Kata beliau: “suami yang memukul istrinyabukanlah suami yang baik.”Salah satu alasan umat Islam atau MUI menolak pluralisme adalahkarena pluralisme dinilai sama dengan sinkretisme yang mencampuradukkanakidah, sehingga justru nanti akan mendangkalkan iman umatIslam. Bagaimana respon Anda terhadap anggapan semacam itu?Saya kira itu hanyalah kekhawatiran yang berlebihan. Akidahadalah keyakinan. Keyakinan terdapat di dalam hati. Tidak seorangpunyang mengetahuinya. Hanya Allah yang dapat mengukurkeyakinan orang. Pluralisme tidak dimaksudkan sebagai sinkretisme.Tidak seorangpun yang menganjurkan pluralisme berpikirseperti itu. Pluralisme pada dasarnya paham yang menghargaiperbedaan.924


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalau penolakan terhadap pluralisme sebatas hanya pandanganmasyarakat tidak apa-apa, tetapi saya khawatir kalau pandangan itudiadopsi oleh negara. Pasalnya, kasus keterlibatan negara di dalamfatwa keagamaan yang sebetulnya menghukumi wilayah personalatau individual, tidak bisa dibenarkan. Sebab, hal ini bisa dimaknaisepihak oleh negara dan ini bisa mengkriminalisasi orang lain yangsebetulnya tidak berbuat jahat.Lalu yang dimaksud dengan sinkretisme itu apa? Apa kriterianya?Talfîq itu sinkretis atau bukan? Kemudian Talfîq itu bolehatau tidak?.Pesan apa yang hendak Anda sampaikan terkait dengan masa depanIndonesia sebagaimana diimpikan oleh seluruh pihak yang, tentu saja,berbeda satu sama lain?Saya percaya dengan perubahan. Perubahan itu berkembangdari tiada menjadi ada, dari ada satu menjadi dua dan seterusnya,dari buruk menjadi baik. Bagaimanapunjuga saya percayabahwa setiap orang selalu melihat satu teori sosial-politik atauSampai saat ini kita memang belumingin menyempurnakan apa sistem negara yang baik sepertiyang mereka anggap penting demokrasi. Sistem khilafah, menurutbagi kehidupannya. Itu yang saya, sudah tidak bisa lagi digunakanpertama.untuk saat ini. Sebab jika diterapkanKedua, manusia adalah ia bisa mendiskriminasi danmenghalangi hak-hak orang lain.makhluk yang berpikir danitu inheren dalam diri setiaporang. Jadi, pemikiran rasional adalah niscaya bagi setiap orang.Sebetulnya setiap orang, meskipun ia dikatakan bodoh, sebenar-925


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya ia selalu berpikir. Maka, jangan lupa bahwa kebebasan adalahkeinginan semua orang. Karena itu, menurut saya, masa depanakan semakin baik.Tetapi, perubahan ke arah yang lebih baik itu tetap harus diusahakan,tidak bisa berjalan begitu saja. Hal itu, tentu saja, dibutuhkandukungan dari semua pihak. Walaupun begitu, agamaselalu menekankan keharusan menghargai orang lain, menekankanmoral dan etika. Ini berarti bahwa kita perlu menggunakan akalpikiran. Yakni, berpikir rasional di satu sisi, tetapi juga harus berakhlakkarimah di sisi yang lain.Bahwa pada suatu saat terjadi proses yang tidak kita kehendaki,yakni ketika Islam terpuruk, saya kira, sifatnya situasional dantentatif. Di samping juga terdapat faktor lain, terutama persoalanpolitik. Keadaan masyarakat Muslim sekarang ini adalah potret darisebuah masyarakat yang tertindas begitu lama. Kemudian, merekamelihat ada ruang kebebasan, namun mereka juga melihat tidak adaperlakuan yang menguntungkan, sehingga mereka mencoba mencarimodel lain. Yang patut disayangkan, apa yang mereka temukankemudian adalah masa lalu. Sedangkan kalau masa lalu yangmereka temukan, yang terjadi kemudian adalah romantisme. Sayasendiri tidak tahu apakah mereka mengetahui apa yang sejatinyaterjadi pada masa lalu. Sebab, apa yang kita baca dalam perjalananperadaban kaum Muslimin tidak sepenuhnya mulus dan indah. Betapabanyak peristiwa buruk yang mengiringi sejarah Islam. Masagelap itu, terutama, terjadi pada pasca al-Fitnah al-Kubrâ. Peperangandi antara umat Islam sendiri terjadi. Perebutan kekuasaanterus terjadi. Ini mungkin karena pelajaran sejarah politik Islamhanya berhenti pada khalifah empat saja. Faktanya, dalam sejarahumat Islam, terjadi perebutan kekuasaan yang sangat dahsyat, bah-926


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan terjadi antarSahabat Nabi sendiri. Ada perang Jamal (unta),perang Shiffin, ada juga penyerbuan kota Madinah dan Mekahpada masa Yazid, dan sebagainya. Wallahu A’lam.Wawancara dilakukan di Jakarta tanggal 22 Mei 2007927


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganIchlasul AmalIchlasul Amal, Guru Besar Ilmu Politik di FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM),Yogyakarta. Mantan Rektor UGM ini sekarang menjabatKetua Dewan Pers (2006-2009).928


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pers Indonesia sangatlah liberal. Setiap orang diberi kesempatanuntuk mengekspresikan apa pun pandangannya. Kendati begitu,sulit untuk menganggap dunia pers Indonesia sekular. Sebab,meskipun kebebasan pers adalah hak semua orang, seharusnyatidak ada lagi pers yang berlandaskan pada sentimen keagamaantertentu. Namun di atas segalanya, dalam konteks perbedaansuku bangsa, agama, bahasa, budaya, dan lain sebagainya, yangniscaya terdapat di Indonesia, maka yang harus selalu dihidupkanadalah semangat pluralisme. Sepatutnya juga pendidikankesadaran media dan pendidikan wartawan multikultural secarakonkret diberikan kepada para wartawan. Sebab, kemungkinanbesar, ekspresi ketidakmajemukan dalam pemberitaan terjadikarena ketidaktahuan wartawan akan pentingnya kesadaran tersebut,bukan lantaran kesengajaan niat mereka.Ichlasul Amal –929


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah terdapat hubungan yang paralel antara sekularisme dan kebebasanpers?<strong>Kebebasan</strong> pers yang sekarang kita miliki merupakan konsekuensidari reformasi. Reformasi telah menyebabkan perubahan dari yangsebelumnya otoriter, di mana segala urusan dipegang dan dikendalikanoleh pemerintah, kemudian dideregulasi menjadi tidak adaaturan dalam pers. Oleh karena itu, di dalam dunia pers Indonesiasekarang tidak ada lagi Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP), SuratIzin Terbit (SIT) atau pendaftaran apapun. Anda boleh membuatpers tiga kali dalam sehari, atau bahkan lebih. Semuanya bebas, termasukorganisasi-organisasi kewartawanan. Dulu, satu-satunya organisasipers adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang beradadi bawah Departemen Penerangan. Sekarang organisasi serupa sudahsangat banyak, bahkan terlalu banyak, sampai kita sendiri tidak tahuberapa jumlah sebenarnya. Dengan perkembangan seperti itu, kinilembaga pers bisa menerbitkan apa saja.Kalau prestasi demikian dikaitkan dengan liberalisme, maka dapatdikatakan bahwa kebebasan pers kita sangatlah liberal. Kita telahmemberikan kesempatan bagi setiap orang untuk mengekspresikanpandangannya.Lantas apakah prestasi seperti itu juga terkait dengan sekularisme?Tentu saja, iya. Sebab, kini setiap orang dapat mengemukakanpendapatnya secara bebas. Kendati demikian kita juga masih melihatbermunculannya majalah-majalah yang berbasis pada agama tertentu,sebut saja Sabili, Hidayah dan lain sebagainya. Majalah-majalahseperti itu, tentu saja, hanya menjadi besar pasca-reformasi. Namun,apabila berkaca dari kasus seperti itu, kita mengalami kesulitanuntuk mendefinisikan pers kita, apakah sekular atau tidak.930– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalau mau dikatakan telah sekular seharusnya tidak ada lagi persyang berlandaskan pada keagamaan tertentu, meski kebebasan persadalah hak semua orang. Dikatakan tidak sekular, dunia pers kitajuga sudah memiliki kebebasan yang mumpuni. Masalah majalahPlayboy, yang kasusnya cukup menghebohkan itu, memang sangatdimungkinkan dalam alam yang kita rasakan sekarang. Yang menjadipegangan bagi Dewan Pers, lembaga di mana saya sekarangaktif, untuk kasus seperti itu, adalah kode etik jurnalistik. Kodeetik ini mengatakan bahwa wartawan tidak boleh membuat beritabohong, tidak boleh membuat berita yang berkaitan dengan SARA,tidak boleh memprovokasi perbedaan pandangan agama, termasukjuga pengaturan independensi wartawan itu sendiri.Di Amerika, sudah sejak lama kebebasan pers sampai pada situasi dimana bentuk ekspresi atau pendapat paling ekstrem sekalipun dibebaskan.Kasus majalah Hustler yang sampai di bawa ke meja pengadilankarena memuat pornografi dan secara tajam mengkritik hipokrisi dandominasi kalangan agamawan, namun melalui undang-undang yangada di sana, atas nama kebebasan berekspresai, majalah itu tetap memenangkankasusnya hingga kemudian bisa terus terbit.Di sini kasus serupa itu tidak bisa terjadi. Sebab, di dalam kodeetik jurnalistik juga disebutkan tentang batas-batas majalah pornografidan lain sebagainya. Playboy Indonesia sendiri memang sangat laindengan terbitan aslinya di Amerika. Bahkan, Playboy pusat malahmengingatkan Playboy Indonesia untuk tidak memuat foto-fototelanjang. Untuk kasus seperti ini, kita hanya berpegangan bahwayang namanya pornografi itu sama sekali tidak berkaitan dengantugas wartawan, yaitu mencerdaskan masyarakat dan bangsa.Ichlasul Amal –931


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana jika majalah yang dituduh menyebarkan pornografi itumenggunakan alasan estetis, bahwa yang ingin ditampilkan adalahsisi keindahannya?Tetapi jika Playboy versi Indonesia dibandingkan dengan majalahserupa di beberapa negara, yang ada di Indonesia sebenarnya masihlebih sopan. Majalah Matra malah lebih eksploitatif terhadap tubuhperempuan ketimbang Playboy. Oleh karena itu kita putuskan bahwamajalah Playboy, dari segi pers, masih bisa dikategorikan sebagaipers. Memang ada foto yang lumayan sensual, tetapi, menurut kita,itu tidak provokatif. Problem utama yang harus dijaga oleh Playboydi sini, menurut saya, adalah distribusiya. Seharusnya majalah initidak bisa dibeli oleh semua usia. Sayangnya fakta di lapangan kitamelihat hal yang berbeda. Majalah ini ternyata juga terdapat dandijual di jalanan umum. Kalau sudah seperti itu maka bukan lagimenjadi kewenangan Dewan Pers, melainkan kepolisian.Majalah Playboy banyak menuai penolakan dari kalangan agamawan.Kalau kita benturkan antara kebebasan pers di satu sisi denganaturan etik agama, akhlak, pada sisi lain, harus seperti apa? Apakahseorang agamawan, atas nama agama, bisa melarang pers tertentuuntuk diterbitkan?Siapapun tidak boleh memperjuangkan sesuatu dengan kekerasan,termasuk Front Pembela Islam (FPI). Dalam proses pengadilanpemimpin redaksi majalah Playboy, kekeliruan dari jaksaadalah menggunakan tuntutan berdasarkan KUHP, mestinya berdasarkanundang-undang (UU Pers) dan terlebih dahulu harus ditanyakanke Dewan Pers. Kasus itu sulit dilihat hanya dengan cara932– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pandang yang hitam-putih. Saya pernah diundang dalam pembahasanmengenai RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, di situ sayakatakan bahwa Dewan Pers hanya menanggungjawabi hal-hal yangmenyangkut berita, termasuk pornografi, tetapi kalau sudah masukwilayah pornoaksi maka sudah menjadi kewenangan Komisi PenyiaranIndonesia (KPI). Inti kewenangan Dewan Pers adalah berita,kalaupun memuat gambar, maka kita lihat terlebih dahulu keterkaitandengan beritanya. Dulu, pada zaman Orde Baru (Orba), adapelarangan musik dan lukisan tertentu. Ada kasus lukisan orangtelanjang yang dimuat olehsalah satu majalah. MajalahSebetulnya konsentrasi liberalisme,itu sendiri sebenarnya bermaksudmemberitakan hi-berada di bidang ekonomi. Di bidangyang kerap memicu persoalan,langnya lukisan tersebut. Karenaada pelarangan pad era liberalisme merupakan predikat yangitu, bahkan sejak masa Bung Karno,itu, maka berita yang memuatlukisan dalam majalah bisa menghindarinya. Pendidikantidak kita kehendaki, meski kita tidaktersebut kemudian di sensor. mahal, kemiskinan dan sebagainyaUntuk konteks sekarang ini, adalah akibat dari liberalismebidang ekonomi.hal tersebut tidak benar. Sebab,dalam kasus itu beritasebenarnya adalah hilangnya lukisan tersebut, bukan hendak menunjukkansesuatu yang menimbulkan gairah. Lantas bagaimanakahbatasan pornografi itu? Apakah gambar seorang perempuan dalammemakai baju harus diukur terlebih dahulu oleh polisi?Sementara, dalam kasus RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi,justru yang banyak menentang RUU tersebut adalah aktivis perempuan.Kita bisa memaklumi, karena yang menjadi korban dariRUU itu memang perempuan, bukan laki-laki.Ichlasul Amal –933


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut Anda apakah regulasi yang dilakukan Dewan Pers, dalamkaitannya dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat, harus dikontekstualisasidengan keindonesiaan atau diperbolehkan saja seperti yangkita lihat di Eropa dan Amerika?Di Indonesia, Dewan Pers sama sekali tidak membuat aturankhusus. Setelah reformasi, dalam konteks ini, tidak ada lagi regulasi.Yang ada hanya kode etik jurnalistik dan perumusannya dilakukanoleh organisasi wartawan sendiri. Dalam pembicaraan kode etik itu,di antara pembahasan yang hangat adalah mengenai apakah harusdimasukkan kalimat takwa kepada Tuhan YME. Setelah berdebatpanjang akhirnya diputuskan untuk tidak dimasukkan. Kita memutuskanuntuk menjadikan Pancasila dan UUD ’45 sebagai dasar.Keduanya dimasukkan dengan pertimbangan yang menyangkutnilai-nilai sosial, karena kita anti dengan berita-berita yang menciptakanviolence. Hal itulah yang sampai kini dijadikan ukuranapakah suatu berita melanggar atau tidak. Namun demikian, kesalahanseperti itu tidak serta-merta dapat menjerat pelakukanyake persoalan pidana. Wartawan tidak bisa dipenjarakan. Pelakupembuat berita yang dapat menerbitkan violance maksimal akandidenda sebesar Rp. 500 juta.Sekarang banyak kita temui media-media yang memakai slogan Islam,seperti jihâd, intifâdah, dan lain-lain, yang dapat membangkitkandan memprovokasi sentimen Islam. Bagaimana Dewan Pers memandangmedia-media seperti ini?Dewan pers akan menyelidiki kasus berdasar pengaduan masyarakat.Kalau tidak ada pengaduan maka kita anggap tidak adamasyarakat yang terusik. Suatu ketika ada surat kabar yang sebe-934– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tulnya mengeluarkan berita “biasa”, namun oleh organisasi Hindudi Bali diadukan ke Dewan Pers karena dianggap telah melakukanpenghinaan agama. Karena ada yang mengadukan, kemudian kitapanggillah surat kabar yang bersangkutan. Setelah kita proses, suratkabar itu mau meralat redaksinya dan masyarakat Hindu Balijuga menerima koreksinya.Ketika Dewan Pers hendak mengurusi kasus seperti dugaan melanggar,menghina atau memprovokasi keyakinan agama lain yang dilakukan olehpers tertentu, apakah harus terlebih dahulu melalui pengaduan masyarakat?Bagaimana dengan banyaknya media di negeri ini yang telahmencampurkan agama ke dalam urusan publik, bahkan begitu mudahkita bisa menemukan media-media yang mendasarkan diri padanilai-nilai agama tertentu untuk memaksakan pandangannya dan kerapmenghujat serta memprovokasipandangan lain yang Kita mengalami kesulitan untukberbeda sebagai sesat dan meresahkan?Di luar posisi Anda sekular atau tidak. Kalau maumendefinisikan pers kita, apakahsebagai anggota Dewan Pers, dikatakan telah sekular seharusnyatidak ada lagi pers yang berlandaskanbagaimana Anda mengomentarihal seperti itu?pada keagamaan tertentu, meskikebebasan pers adalah hak semuaKalau memang tidak orang. Dikatakan tidak sekular,ada orang yang merasa terusik,maka tidak ada masa-kebebasan yang mumpuni. Masalahdunia pers kita juga sudah memilikimajalah Playboy, yang kasusnya cukuplah. Majalah Tarbawi, Sabilimenghebohkan itu, memang sangatdan banyak lagi sejenisnya,dimungkinkan dalam alam yangsebagaimana telah saya bicarakandengan Syafiikita rasakan sekarang.Maarif,Ichlasul Amal –935


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sebenarnya banyak memuat isi yang bisa dikategorikan provokatif.Sungguhpun demikian, tetap susah untuk segera diselesaikan persoalannya.Kita sepakat mengatakan salah kalau ada media yangsampai membangkitkan sentimen agama dalam rangka anti-Amerika,karena dalam tubuh Amerika sendiri ada kubu yang pro dankontra terhadap kasus-kasus besar terkait kebijakan Amerika yangkontroversial. Kalau antinya terhadap Bush, bukan Amerika secarakeseluruhan, mungkin bisa dibenarkan. Intinya, sekali lagi sayakatakan, sejauh ada reaksi, kita bisa memprosesnya.Terjadi juga di Medan kasus yang hampir serupa dengan konteksyang kita bicarakan. Suatu ketika ada karikatur yang menggambarkanseorang kyai yang berbuat sesuatu yang berkaitan dengan perjudian.Dari sini kemudian muncul reaksi sangat keras dari kelompokIslam. Setelah kita proses, surat kabarnya mau memperbaiki, danperkaranya selesai.Persoalannya, media-media yang kental memuat nilai-nilai agama tertentudan secara provokatif menyerang setiap yang berbeda, lazimnya,diterbitkan oleh kelompok agama mayoritas yang beraliran keras. Akibatnyamasyarakat merasa enggan dan tidak mau melaporkan perilakumedia-media tersebut, lebih dikarenakan takut. Sebab, bukan saja kekerasanagama sebatas ditampilkan di media-media, dalam praktiknyakelompok ini juga melakukan intimidasi dan tindak kekerasan untukmenegakkan perjuangan dan cita-citanya. Kalau kasusnya seperti inibagaimana?Sejauh ini, memang, kita juga tidak bisa berbuat antisipatif. Namunbegitu, menurut saya sendiri, sampai sekarang, sebenarnya tidakada dari kalangan yang paling fundamentalis sekalipun yang melaku-936– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan penghinaan terhadap agama lain. Memang ada seperti kasus yangmenimpa Lia Aminuddin (Komunitas Eden) dan Ahmadiyah. Tetapiitu masih dalam kategori berita biasa.Apakah tindakan seperti itu tidak bisa dikategorikan sebagai pembatasanseseorang atau kelompok untuk meyakini dan menjalankan keyakinannya;dan bukankah efek dari berita-berita semacam itu kerap memicukalangan tertentu untuk melakukan tindak kekerasan terhadapindividu atau kelompok yang dianggap mereka sesat?Hal seperti itu tidak bisa dilakukan oleh Dewan Pers. Sebab,itu juga bagian dari kebebasan, di mana tidak ada seseorang punyang dapat membatasi ekspresinya. Kecuali ada orang lain yangmerasa bahwa ekspresi orang lain itu telah membatasi ekspresi ataukeyakinannya.Ada perselingkuhan yang amat jelas antara gagasan liberalisme – terutamaekonomi – dengan media. Di satu sisi liberalisme memberikanruang yang sangat luas terhadap media, sementara pada sisi lain, liberalisme,lewat pelbagai medianya, dapat membuahkan sesuatu yangtidak menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu, seperti kalangan yangtermarjinalkan atau minoritas. Sebab, pada ghalibnya media mendemonstrasikanberita atau tayangan yang memihak pada kelas dankelompok masyrakat atau agama yang kuat dan dominan, tanpa menenggangkalangan marginal yang sering terlukai. Bagaimana Andamelihat tarik-menarik antara liberalisme dan media?Sebetulnya konsentrasi liberalisme, yang kerap memicu persoalan,berada di bidang ekonomi. Di bidang itu, bahkan sejak masaIchlasul Amal –937


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bung Karno, liberal merupakan predikat yang tidak kita kehendaki,meski kita tidak bisa menghindarinya. Pendidikan mahal, kemiskinandan sebagainya adalah akibat dari liberalisme bidang ekonomi.Imbasnya di bidang media, liberalisme banyak melakukan hal yangbersifat eksploitatif yang sebenarnya bukan esensi dari berita. Kiniacara-acara televisi tidak bisa terlepas dari pertimbangan rating. Karenapertimbangan rating inilah berita-berita pun kemudian banyakmengekspos tentang, misalnya, tahu yang mengandung formalin,bakso berboraks, dan sebagainya, yang dapat merugikan para pedagangkecil, tanpa menakar akibat lebih jauh dari pemberitaan sepertiitu. Apa yang keliru dengan hal ini? Karena di satu sisi makananyang mengandung hal-hal seperti yang diberitakan memang tidaksehat, sementara pada sisi lain, lewat pemberitaan itu para pedagangkecil banyak yang dirugikan. Televisi berkepentingan untukmemberikan informasi kepada publik, maknya berita-berita sepertiitu tetap harus dilakuakan, meski akan mengorbankan pihak-pihaktertentu. Dulu, di zaman Orde Baru, berita seperti itu tidak ada.Maka jelaslah hal itu memang merupakan ekses dari liberalismedengan asas persaingannya yang keras.Di awal pembicaraan Anda mengatakan bahwa pers memiliki kodeetik yang seyogianya berorientasi pada misi-misi sosial. Eksploitasi mediayang selama ini terjadi justru tidak peka dan menenggang keterdesakankalangan-kalangan yang lemah atau terlalu demonstratif menampilkannilai yang ditawarkan secara konsumeristik, kurang mengandungmisi sosial.Harus diketahui di sini, hal yang demikian bukan sepenuhnyakewenangan Dewan Pers. Kita tidak bisa masuk terlalu dalam.938– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagi saya itu sudah masuk ke dalam kategori non-news, semacaminfotainment. Itu sudah menjadi bidangnya KPI. Menurut saya,eksploitasi media yang sekarang terjadi sangat dipengaruhi olehkomersialisme. Dalam kaitannya dengan persoalan yang Anda tanyakan,kemarin kita berbicara dengan pihak Trans untuk membahasmasalah tersebut. Pihak Trans mengatakan dengan jujur, “maubagaimana lagi, wong kita juga tergantung pada rating”. Di luaralasan itu, yang sederhana saja, banyak sekali cerita sinetron yangditayangkan di beberapa stasiun televisi, yang bagi saya, tak lebihdari cerita yang diperuntukkan bagi logika “anak SD”. Di situ samasekali tidak ada aspek sosial dan kebangsaan. Meskipun ada acara sepertipetualangan ke berbagai daerah, dalam rangka menumbuhkanrasa cinta kepada tanah air,namun lagi-lagi rating-nya Pluralisme di Indonesia adalahsebuah keniscayaan. Tidak bisa kitaprogram ini rendah dan dimemaksakan diri untuk mengambiltaruh pada jam tayang biasa,nilai tunggal. Saya selalu mengajarkanbukan primetime. Kesimpulannya,kita bisa mengatakanhal itu kepada mahasiswa saya,misalnya, karena suatu keprihatinan:apa saja tentang wajah gelap sebagian besar kita hanya mengetahuiliberalisme, namun tetap tidakbisa menghindarinya. mempelajari dan mencobapulau Jawa, tidak berusahamengertiPeran negara sendiri bagaimana?Pada kenyataannya negarajuga tidak bisa berbuatapa-apa. Kalau negara maumelakukan intervensi, ikutbudaya yang lain. Pemimpin kitasendiri dan elit pada umumnya, meskimungkin berasal dari luar Jawa, yangia ketahui hanya daerahnya sendiri,tidak tahu tempat lain. Sehingga diantara kita sulit untuk menghargai danmenenggang persoalan yang tengahditanggung orang lain.Ichlasul Amal –939


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–memberikan aturan, pasti akan ditentang oleh prinsip kebebasanpers sendiri. Sementara kalau persoalan di atas tidak diatur, imbasnyaakan sangat tidak terkendali. Posisi media, dengan kebebasan persnya,dalam hal ini memang dilematis, serba salah.Dalam bidang ekonomi, liberalisme pasar bebas memperbolehkan negarauntuk membuat aturan tertentu tanpa intervensi secara langsungyang berlebih. Ini dapat dilakukan melalui pajak, aturan eksport-importyang tidak merugikan, aturan penanaman modal dan sebagainya.Melalui regulasi-regulasi inilah hendaknya negara melakukan perlindunganterhadap pengusaha kecil dan menyejahterakan warga miskin.Idealnya, hal seperti itu juga seharusnya dapat dilakukan oleh negaraterhadap media yang mempunyai implikasi langsung terhadap kehidupanmasyarakat.Di dalam UU Pers tertera bahwa pihak asing tidak diperbolehkanmenguasai 50% apalagi lebih dari saham perusahaan mediadalam negeri. Intervensi negara seperti itu, terhadap kekuatanmodal asing, hanya masuk di televisi, tidak ada di surat kabar.Karena surat kabar bagi para investor kurang menguntungkan.Yang mungkin bisa menguntungkan hanya harian Kompas, lainnyahidup segan mati tak mau. Belum lagi jika investor menimbangbagaimana dengan nasib para wartawannya. Sebagaimana sudahmenjadi rahasia umum, bagaimana kesejahteraan wartawan mediacetak nasibnya cukup memprihatinkan. Sehingga, dapat dipahamijika kemudian banyak tuntutan, seperti apakah tidak seharusnyadibuat upah minimum untuk wartawan. Namun, hasil pembahasannyamenyimpulkan tidak bisa, karena wartawan adalah profesi,bukan buruh.940– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Terkait dengan iklan, 70% iklan di Indonesia masuk ke televisi,30% sisanya ke media lain. Negara tidak bisa berbuat apaapauntuk hal ini. Dalam aturan perihal pembelian media televisi,share asing tidak boleh menguasai50%. Tetapi, kenyatannyatetap saja aturan yang sangat pluralnya negeri ini, untuk ituBerangkat dari kesadaran betapaada dimanipulasi. Misalnya, Indonesia tidak mungkin menjadiANTV sebagai media yang negara otoriter. Untuk membuatmelakukan share dengan perusahaanasing, Star tv, dalam sebuah negara yang sangat majemuksuatu penilaian yang monolitik, padaseperti Indonesia, adalah upaya yangcatatan resminya penguasaanStar tv tidak lebih darisangat tidak mungkin.50%. Namun begitu, ternyata,anak perusahaan Star juga masuk ke ANTV, yang kalaudikalkulasikan malah dominan. Untungnya, meskipun demikianfilm-film di Kabel tv dan Indovision, perusahaan media asing yangmasuk ke Indonesia, masih tetap memberlakukan sensor. Dalamhal itu, masih ada semangat dan penghargaan keindonesiaan. Sebab,seharusnya kalau mereka mau betul-betul liberal-kapitalis tidakada lagi sensor dalam segala acara.Dengan liberalisme yang sekarang ini dipraktikkan media terlampaudemonstratif, lantas apakah Anda setuju atau tidak dengan kenyataanseperti itu dan apa yang mendesak untuk segera dilakukan?Kenyataannya di media cetak, liberalisme pasar bebas, dalamarti masuknya saham asing, tidak ada, karena memang tidakmenguntungkan. Kendati kemudian mereka masuk di televisi, tetapimereka tetap menghargai kita, dan tidak sepenuhnya mem-Ichlasul Amal –941


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–praktikkan apa yang ada di negaranya (tayangan-tayangan denganstandar etis dan estetis Barat, yang tentunya banyak bertentangandengan budaya kita). Sisi positif lainnya, konon, saya mendengarStar tv menginstruksikan secara langsung kepada ANTV agar tidakmembuat program-program yang berbau mistik, terlebih programyang “porno-porno”. Hal seperti itu bisa jadi sisi-sisi yang lebihbaik untuk bangsa kita. Sementara Indosiar – yang pemodalnyaadalah orang Indonesia sendiri – malah kelewatan dan terus menayangkanprogram yang berbau mistik dan tidak mendidik, meskipunsudah berkali-kali diperingatkan oleh KPI. Alih-alih mencerdaskan,program dan film-film seperti itu justru membodohimasyarakat. Yang saya permasalahkan ternyata MUI tidak bereaksiuntuk hal itu. Padahal, semestinya MUI memberikan reaksi yangkeras, seperti terhadap yang lainnya, yang dianggap meresahkanumat, bukan malah membiarkan.Artinya Anda berkesimpulan bahwa liberalisme juga masih memberiharapan baik bagi kehidupan media massa kita?Yang perlu diingat di sini, liberalisme tidak membiarkan semuahal. Kita lihat televisi-televisi di luar negeri, khususnya televisiumum, tidak ada yang membuat acara-acara seperti yang bisa kitalihat pada televisi tertentu di Indonesia. Di Jerman, televisi publikyang memang dibiayai pemerintah, mempunyai dewan pengawasdari semua agama, termasuk di dalamnya Islam, dan semua elemenmasyarakat lain. Sebagai pengawas, mereka juga dibayar olehpemerintah. Di sana, saluran seperti adult tv, secara jelas merekatuliskan adult tv pada programnya. Sementara media kita tidakbisa bersikap jelas dan tegas semacam itu.942– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Di samping kita berharap terjadinya hubungan ideal antara kebebasanpers dan negara, kami juga ingin meminta konfirmasi tentangpendidikan media untuk menumbuhkan kesadaran media bagi anakbangsa. Menurut Anda apakah idealnya pendidikan media didiseminasikanoleh civil society, bukan negara; dan bagaimana semestinyapendidikan media itu; lantas hendak dibawa ke mana arah kesadaranmedia bagi Indonesia?Bagi saya, pendidikan kesadaran media secara konkret hendaknyaterlebih dahulu diberikan pada pendidikan wartawan. Memangupaya semacam ini seharusnya tidak dipegang oleh negara. Sayangnyapendidikan semacam itu, di negara kita, kurang diminati. Kalau kitamembuka program bidangkomunikasi, atau yang menyangkutkewartawanan, diLiberalisme tidak membiarkansemua hal. Kita lihat televisi-televisidi luar negeri, khususnya televisiUGM sendiri misalnya, sudahtidak laku sehingga seka-umum, tidak ada yang membuatacara-acara seperti yang bisarang ditutup. Padahal programitu membutuhkan biaya Indonesia. Di Jerman, televisi publikkita lihat pada televisi tertentu diyang cukup besar, sementara yang memang dibiayai pemerintah,yang mengambil programnyatidak banyak. Ada lem-semua agama, termasuk di dalamnyamempunyai dewan pengawas daribaga pendidikan yang cukup Islam, dan semua elemen masyarakatbagus untuk profesionalisme lain. Sebagai pengawas, merekawartawan, namanya Dr. Soetomo.Sayangnya, akhir-akhirjuga dibayar oleh pemerintah. Disana, saluran seperti adult tv, secarajelas mereka tuliskan adult tv padaini, media-media juga tidakprogramnya. Sementara media kitamau mengirimkan orangnyatidak bisa bersikap jelas danuntuk mengikuti programtegas semacam itu.tersebut, maka lembaga ituIchlasul Amal –943


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–akhirnya tetap kekurangan dana, meskipun coba dibantu oleh DewanPers. Tampaknya kita harus menunggu adanya sponsor, sepertitawaran yang pernah datang dari pemerintah Norwegia atau dulubantuan dari The Asia Foundation dan Ford Foundation.Pendidikan media seperti itu, sekali lagi, memang lebih baik tidakditangani oleh negara. Pada zaman Soeharto dulu pernah ada kontrolpemerintah untuk memberikan program semacam ini. Celakanya,tujuan utama dari pemerintah waktu itu adalah bagaimana bisa denganefektif mengontrol surat kabarnya, bukan pendidikannya.Jika berbicara perihal kemajemukan bangsa ini, bagaimana pandanganAnda tentang pluralisme dan bagaimana masa depannya di tengahiklim kebebasan pers?Pluralisme di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisakita memaksakan diri untuk mengambil nilai tunggal. Saya selalumengajarkan hal itu kepada mahasiswa saya, misalnya, karena suatukeprihatinan: sebagian besar kita hanya mengetahui pulau Jawa, tidakberusaha mempelajari dan mencoba mengerti budaya yang lain.Pemimpin kita sendiri dan elit pada umumnya, meski mungkin berasaldari luar Jawa, yang ia ketahui hanya daerahnya sendiri, tidaktahu tempat lain. Sehingga di antara kita sulit untuk menghargaidan menenggang persoalan yang tengah ditanggung orang lain.Berangkat dari kesadaran betapa sangat pluralnya negeri ini,untuk itu Indonesia tidak mungkin menjadi negara otoriter. Membuatsuatu penilaian yang monolitik, pada sebuah negara yang sangatmajemuk seperti Indonesia, adalah upaya yang sangat tidakmungkin. Pak Harto mungkin bisa membuat pandangan sepertiitu pun hanya pada periode tertentu saja. Setelah itu dia jadi lebih944– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–condong ke “hijau” dari yang sebelumnya “merah”. Untuk hal ini,sampai kemudian ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa PakHarto seperti semangka, dari luar tampak hijau tetapi di dalamnyamerah. Ketidakmungkinan lain untuk membuat negara Indonesiaotoriter adalah karena adanya pressure dari berbagai hal dan kekuatan,baik dari dalam (dengan berbagai kepentingannya masingmasing)maupun luar negeri (dunia internasional).Karena kebutuhan terhadap pluralisme yang sangat besar inilah,demokrasi juga harus kita jaga. Kita bebas namun bukan bebas“sebebas-bebasnya”. Harus ada satu nilai yang bisa membuatsentripetal. Di satu pihak kita harus kritik otonomi daerah, karenamelalui kebijakan itu, ternyata, pluralisme Indonesia cenderungmengarah pada apa yang pernah dialami negara-negara Balkan.Yang semula satu, kini terpecah-belahmenjadi sekian Kalau mau dikatakan telah sekularbanyak negara. Itu memang seharusnya tidak ada lagi pers yangpandangan yang terlalu pesimistis.Kita mestinya tidakberlandaskan pada keagamaantertentu, meski kebebasan pers adalahhak semua orang. Dikatakan tidakusah terlalu khawatir, karenasekular, dunia pers kita juga sudahakan selalu ada ekses darimemiliki kebebasan yang mumpuni.segala kebijakan, termasukMasalah majalah Playboy, yangotonomi daerah. Makanya kasusnya cukup menghebohkan itu,harus kita maklumi kalau memang sangat dimungkinkan dalamotonomi daerah kemudian alam yang kita rasakan sekarang.mengekspresikan juga orientasikedaerahan, seperti isu putra daerah. Sayangnya, wacana putradaerah yang kita anut selalu berdasar pada darah atau semangatpatrimonialisme. Sekali Anda orang Batak, meski lahir dan tinggaldi Yogyakarta bertahun-tahun, tetap akan disebut orang Batak.Ichlasul Amal –945


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Hal demikian terjadi juga pada negara kita. Negara mematok orisinalitaskeindonesiaan (pribumi) pada pihak bapak yang berdasarpada darah. Meski orang Cina lahir dan besar di Indonesia, tetaptidak akan bisa menjadi warga negara asli. Mereka tetap saja bukanpribumi. Belakangan mencuat isu tentang pengakuan anak hasilperkawinan campur antara warga Indonesia dan warga asing. Pemerintahakhirnya dapat memberikan kepastian kepada anak yangorang tuanya beda negara.Di atas segalanya, dalam konteks perbedaan suku bangsa, agama,bahasa, budaya, dan lain sebagainya, yang niscaya terdapat diIndonesia, yang harus selalu kita hidupkan adalah semangat pluralisme.Harus selalu ditanamkan kesadaran kepada bangsa kitabahwa kita sangat bervariasi. Tidak mungkin lagi ketunggalan ataupandangan yang sentralistik-monolitik seperti dulu, yang semuakebijakan berasal dan terpusat pada Jawa. Pak Harto melakukanhal seperti itu, karena dia memang hanya mengetahui Jawa.Media, baik cetak maupun elektronik, sangat terbuka terhadap ancamanpluralisme, seperti berita dan tayangan-tayangan agama yangcenderung konservatif, dengan memberikan makna tunggal dan ketidakbebasanuntuk mengekspresikan keyakinan penganutnya secarabeda, juga menanamkan kebencian terhadap pihak-pihak yang berbedadan dianggap sebagai musuh. Hal lain yang senada dengan itu adalahmakna-makna yang ditawarkan media juga cenderung tunggal: kehidupankonsumeristik. Media seolah ingin menyeret masyarakat kepadabentuk ketunggalan budaya tertentu. Sehingga tidak ada kebebasanbagi pembaca atau pemirsa. Tegasnya, media juga mempunyai andildalam memberikan atau menghadirkan ancaman bagi pluralisme di946– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Indonesia. Makanya kemudian ada beberapa kalangan yang mencobamemajukan pentingnya kesadaran media agar masyarakat bisa kritisterhadap media dan mampu mencerna apa yang tengah ditawarkanoleh media dengan membuat maknanya sendiri.Sikap kritis seperti itu harus muncul dari masyarakat sendiri.Untuk merealisasikan dan menumbuhkan kesadaran media ini, kitamendukung munculnya media watch. Media watch ini kita anggapsebagai wakil dari masyarakat dan bisa mengadukan seluruh permasalahanpers di daerahnya kepada Dewan Pers. Di masa-masaawal reformasi, media seperti itu jumlahnya sangat banyak, hampirdi miliki oleh semua daerah di Indonesia. Sekarang tinggal beberapasaja. Yang masih hidup dan lumayan bagus hanya HabibieCenter, yang tentu saja tidak cukup untuk meng-cover semua halyang berkaitan dengan media. Media-media watch (pengawasan)yang masih ada sampai sekarang terkadang frustrasi, sehingga tidakmemberikan teguran lagi, karena identifikasi terhadap berita-beritayang dianggap mereka dapat membahayakan itu, kemudian samasekali tidak dihiraukan oleh media massa.Media massa di Indonesia, 70% di antaranya tidak sehat secarabisnis, hanya 30% selebihnya saja yang sehat, mungkin malah bisakurang. Biasanya yang tidak sehat bisnisnya, mempunyai orientasisemata-mata untuk meningkatkan oplah. Itu berbahaya dansayangnya tidak bisa diatur dengan larangan. Hal tersebut sangatkompleks, bahkan persoalan ketidaksehatan media ini bersangkutpautpada perekonomian kita. Di atas segalanya, kita harus sadarbahwa media yang berjumlah sangat banyak juga bisa berimplikasitidak sehat. Ternate yang penduduknya hanya sedikit sampaimemiliki empat media. Di Yogyakarta saja hanya terdapat BernasIchlasul Amal –947


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan Kedaulatan Rakyat. Medan lebih parah lagi, sampai mempunyai20 surat kabar. Itu berbahaya, dan celakanya bisa dipastikankalau sebagian besar medianya tidak sehat. Akibatnya, orientasimedia sekarang ini hanyalah bagaimana memperbanyak oplah agartetap survive.Kalau dikaitkan dengan pluralisme, kita bisa menganggap bahwabanyaknya media bisa merupakan refleksi dari pluralisme. Karenaitulah media-media yang bertebaran juga tidak bisa dihukumatau dilarang untuk terbit begitu saja. Secara ekonomi kita jugabisa melihatnya bahwa sekarang, dalam keadaan di mana sangatsulit mencari pekerjaan, banyaknya media dapat memperbanyakkesempatan kerja.Dari kasus-kasus yang sudah saya kemukakan sebelumnya, terdapatkemungkinan bahwa pluralisme juga bisa mempunyai eksesyang negatif terhadap media, dan kita harus menyadarinya. Eksesitu bisa muncul tidak hanya dari koran-koran atau majalah-majalahyang banyak menampilkan pornografi, tetapi juga koran ataumajalah yang banyak memuat berita provokatif dan reaktif dalamsoal agama.Dalam pemantauan yang sejauh ini Anda lakukan, apakah secarakeseluruhan media yang ada di Indoneisa telah mampu menampilkankemajemukan bangsa dengan wajah yang santun dan toleran? Sebab,kesadaran akan kemajemukan pada warga juga diharapkan munculdari media, yang kerap mewacanakan demikian banyaknya realitaskehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui medialah masyarakatmengetahui persoalan politik, ekonomi, sampai pada kesadaran bersikaptoleran terhadap yang lain, dan sebagaianya.948– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut saya, hal seperti itu sudah dan lebih banyak dilakukanoleh media mainstream yang sehat secara ekonomi. Merekamemang sudah mencerahkan publik dengan sangat bagus. Kitalihat, sebagai salah satu contoh, Kompas. Ia sudah sangat bagusmelaporkan pemberitaan tentang Islam, Katolik dan lain sebagainya.Sekali lagi saya katakan, media seperti itulah yang bisa dikategorikanenlightenend. Sayangya, lagi-lagi, kebanyakan media dinegeri ini, yang tidak sehat secara ekonomi itu, hanya berorientsaikepada oplah. Misalnya dapat saya sebutkan seperti media yang adadi Jakarta, salah sebuah yang dapat dicontohkan, terdapat mediayang bernama Lampu Merah, yang sama sekali tidak sehat, malahmungkin, menurut saya, sudah gawat, beritanya jauh dari mendidikdan mencerdaskan publik.Banyaknya media, termasukyang “gawat” itu, jika dilihatsecara keseluruhan, apakahbisa dikatakan sebagaibentuk perayaan terhadap kemajemukanatau malah menjadiancaman?Di atas segalanya, dalam konteksperbedaan suku bangsa, agama,bahasa, budaya, dan lain sebagainya,yang niscaya terdapat di Indonesia,yang harus selalu kita hidupkan adalahsemangat pluralisme.Lagi-lagi, bagi saya, khusus untuk media-media yang saya kategorikansebagai tidak enlightened, jelas tidak mencerminkan kemajemukan,karena berita yang ada, kalau tidak porno, pasti kekerasan.Tidak ada yang mencerahkan. Orang yang mau menulisdengan benar dan mencerahkan juga tidak mau mengirimkan tulisannyake media seperti itu.Ichlasul Amal –949


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Lantas apa harapan Anda terhadap masa depan pluralisme kaitannyadengan apa yang ditampilkan oleh media sekarang ini? Apa yang seharusnyadilakukan oleh media untuk merayakan kemajemukan yangmemang sudah merupakan suatu keniscayaan?Kita mempunyai program untuk tahun depan menyelenggarakanpendidikan yang berorientasi kepada wartawan multikultural.Wartawan multikultural yakni wartawan yang memiliki kesadaranakan kemajemukan. Sudah seharusnya wartawan diberikan informasitentang hal itu. Karena ada kemungkinan di mana mereka yangmengekspresikan ketidakmajemukan dalam pemberitaan, terjadi karenaketidaktahuan wartawan akan pentingnya kesadaran tersebut,bukan lantaran kesengajaan niat. Materi seputar itulah yang akandiberikan dalam pendidikan wartawan multikultural. Kita sudahmemberikan hal seperti itu ke daerah-daerah dalam kaitannya dengankode etik. Mungkin kode etik belum spesifik, dan programini sudah di-setting agar jauh lebih spesifik.Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 09 Juni 2007950– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganIhsan Ali-FauziIhsan Ali-Fauzi, Direktur Program pada Yayasan Wakaf Paramadina (YWP), Jakarta.Ia meraih gelar MA dari Ohio University, Athens, AS.951


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Agama publik hanya mungkin terjadi kalau ada toleransi kepadapihak lain. Dalam konteks tersebut, mustahil menafikan pluralisme.Jika kita ingin ekspresi publik dari agama kita terwujud,kita juga harus membuka kemungkinan bagi terwujudnya ekspresipublik agama lain. Karena itu, demokrasi harus memberikesempatan bagi setiap warga negara untuk berekspresi apapun,sampai kemudian terbukti bahwa ekspresinya melanggarkebebasan berekspresi orang lain. Demokrasi adalah cara bagaimanaAnda mengelola konflik yang terjadi dalam masyarakatmajemuk. Demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa ada negara,oleh sebab itu, yang seharusnya mengatasi pelbagai persoalanyang bermunculan adalah negara, bukan agama. Kendati begitu,agama jangan diistimewakan hanya karena dia agama, tetapijangan pula segera dicurigai dengan alasan yang sama, yaknikarena dia agama.952– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ada kecenderungan bagi kalangan agamawan atau teolog, termasukNurcholish Madjid, tidak mau memakai istilah sekularisme. Alasanmereka, terutama kaum teolog, adalah pengalaman traumatikdalam sejarah sekularisme yang menimpa umat Kristiani Eropa dimana agamawan dan teolog banyak yang dibunuh, ketika masyarakatEropa begitu murka melihat gereja yang sangat politis danbanyak mengintervensi ruang publik. Menurut Anda apakah pembedaanantara istilah sekularisme dan sekularisasi merupakan halyang penting?Menurut saya pembedaan tersebut tidak penting. Biasanya orangmendefinisikan sekularisasi sebagai proses di mana yang “sekular,”yakni sesuatu yang terkandung di dalam kekinian dan kedisinian,diperlakukan sebagaimana adanya, ya kekinian dan kedisinian itu.Jadi, inti sekularisasi adalah proses. Lalu mereka membedakannyadari sekularisme sebagai sebuah paham, yakni orientasi hidup yangditopang oleh kesadaran bahwa apa yang di sini dan kini itu seharusnyadipandang dengan cara yang demikian juga. Pada yangterakhir (sekularisme), yang penting buat saya adalah komitmenkepada orientasi hidup itu sendiri, bukan pada substansinya, isinya.Oleh karena itu, kalau kita bertanya apa itu sekularisme, sayatidak melihat bahwa “isme”-nya itu terkait dengan substansinya.Akan tetapi “isme” di situ berarti bahwa kita percaya dan menerapkanprinsip tersebut secara terus-menerus. Dari segi ini, tidakterlalu berguna untuk memisahkan antara sekularisme dan sekularisasi.Karena, dari segi substansi, ada beragam jenis sekularismedi banyak negara. Tetapi semuanya bersepakat mengenai keharusanmenerapkan prinsip itu.Ihsan Al-Fauz –953


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah karena pengalaman sekularisme di masing-masing negaraberbeda-beda, sehingga tidak ada satu bentuk yang baku untuk menangkapsubstansi sekularisme?Bukan hanya karena persoalan itu. Yang penting dari pembedaanantara sekularisasi dan sekularisme adalah bukan pada substansinya.Tetapi pada prinsip memperlakukan kekinian sebagaikekinian semata; bukan sebagai yang lain, misalnya, dikaitkan denganakhirat atau yang lainnya. Isme dalam sekularisme itu bukanlahsubstansi dari pemisahan antara agama dan ruang publik,melainkan berarti: marilah kita setia pada prinsip pemisahan itu,yakni prinsip memperlakukan suatu kekinian sebagai kekinian.Jadi, menurut saya, pembedaan antara sekularisasi dan sekularismetidak ada hubungannya dengan substansinya sendiri. Substansinyabisa bermacam-macam. Misalnya di Turki, mereka menyebutnyasekularisme atau sekularisasi, kadang-kadang antara keduanya tidakbisa dipisahkan. Amerika didasarkan pada sekularisme, dalampengertian: mari kita memperlakukan hal yang kekinian sebagaikekinian, sedangkan yang di luar itu, tetap di luar. Tetapi wujuddari sekularisme itu bisa bermacam-macam dan tidak mesti bertentangandengan ekspresi publik dari agama.Misalnya juga di suatu negara ada sekolah agama yang diberibantuan atau pajaknya diringankan, dan lain sebagainya. Jadi, sekalilagi, pembedaan antara sekularisasi dan sekularisme itu tidakterkait dengan substansi atau isi, tetapi lebih terkait pada prinsip:marilah kita memperlakukan suatu kekinian sebagai kekinian, danyang di luar kekinian kita perlakukan sebagai sesuatu yang di luar.Tetapi wujud konkret dari prinsip itu bisa berbeda-beda.954– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi tergantung pada praktik di masing-masing negara?Ya, jadi sekularisasi lebih kepada proses, sedangkan sekularismelebih menyangkut pada prinsip bahwa kita setuju dengan prosesseperti itu. Karena itu, menurut saya, pembedaan antara sekularisasidan sekularisme itu tidak ada substansinya.Sekularisme, yang penting buatTerkait pula dengan soal istilah,sekularisme itu biasanya orientasi hidup itu sendiri, bukansaya adalah komitmen kepadadiartikan sebagai pemisahan pada substansinya, isinya. Olehatau separation. Jika demikianmaka antara yang publik itu sekularisme, saya tidak melihatkarena itu, kalau kita bertanya apadan yang privat, agama dan bahwa “isme”-nya itu terkait dengannegara, dan yang duniawi substansinya. Akan tetapi “isme” didan ukhrawi harus dipisahkan.Implikasinya, terutamasitu berarti bahwa kita percaya danmenerapkan prinsip tersebut secaraterus-menerus. Dari segi ini, tidakdi Eropa, terjadi semacamterlalu berguna untuk memisahkandecline of religion. Artinya,antara sekularisme dan sekularisasi.fungsi dan peran agama diKarena, dari segi substansi, adamasyarakat Barat kian terpinggirkan.Ada juga yang negara. Tetapi semuanya bersepakatberagam jenis sekularisme di banyakmengartikan sekularisme bukansebagai separation, mela-prinsip itu.mengenai keharusan menerapkaninkan differentiation, yaknisekularisme sebagai pembeda di antara kedua ranah yang memangberbeda. Menurut respon beberapa kalangan, pandangan kedua initerasa lebih santun dalam meletakkan sekularisme. Bagaimana pandanganAnda dengan pendefinisian tersebut?Ihsan Al-Fauz –955


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bisa saja demikian, apabila mengikuti yang Anda maksud ataukalau sekiranya prinsip pemisahan ini – katakanlah asumsi Andaitu benar, karena bagi saya itu saling terkait – kemudian menjadikanfungsi negara dan fungsi agama atau antara fungsi tabib danfungsi dokter, dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan,harus dipisahkan, maka implikasinya yang tadi Anda sebut, yaknimakin merosotnya peran agama. Jadi fungsi-fungsi yang tadinyadiperankan oleh lembaga-lembaga agama atau aktor-aktor agamasekarang dimainkan oleh aktor-aktor luar, non-agama, meskipunmereka bisa jadi seseorang yang religius. Atau, meskipun dalamkesehariannya justru seorang dokter bisa sekaligus juga seorangMuslim yang baik. Atau jangan-jangan dia menjadi Muslim yanglebih baik ketika dia menjadi dokter yang baik. Artinya, seorangdokter yang mengobati dengan cara ilmu pengetahuan yang benarjustru memainkan peran Muslim yang lebih baik ketimbang diaseorang dukun atau tabib yang mengklaim melakukan fungsinyaatas nama agama, namun bertindak aneh-aneh dalam memperlakukantubuh orang.Memang, idealnya sekularisme lebih dipahami sebagai pembeda. Namun,kalau sekularisme dipahami sebagai separation atau pemisahan,implikasinya di antaranya privatisasi yang ekstrem (tegas). Itulahyang menyebabkan agama semakin terpinggirkan.Saya ingin mengatakan bahwa dengan sekularisme, agama tidakserta-merta terpinggirkan. Saya mengambil contoh tadi, bahwadengan Anda, misalnya, menjadi seorang dokter yang mempelajariilmu kedokteran dengan sebenar-benarnya dan pada saat yangsama Anda Muslim (apapun definisi Anda mengenainya), bukan-956– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kah Anda menjadi dokteryang baik sekaligus Muslim Tidak semua agama bisa mewujudyang baik juga? Bagi saya, dalam ekspresi publik yang diterimasemua orang. Jadi hanya agamaagamayang mempunyai doktrinAnda malah seorang Muslimyang lebih baik dibandingpenerimaan terhadap orang lain yangseorang tabib yang memperlakukantubuh pasiennyawajah publiknya bisa diterima. Artinya,dia harus mendukung toleransi,secara semena-mena sambil demokrasi, dan pluralisme. Tanpamengklaim bahwa ilmunya dukungan seperti itu sebuah agamaia peroleh dari agama. Sebenarnyadalam hal ini ti-publik. Karena wajah publik agamatidak mungkin mempunyai wajahdak ada privatisasi. Privatisasihanya terjadi ketika Anda wajah yang tidak toleran dan tidakyang kebanyakan ditonjolkan adalahmenjalankan peran sebagaipro-pluralisme, maka dia tidak akanbisa diterima oleh publik.seseorang dalam dunia privat.Namun tidak serta-mertadengan Anda menjadi privat maka Anda menjadi Muslim yangtidak baik. Tidak ada implikasi seperti itu.Bayangkanlah politisi seperti presiden Turki yang baru terpilihsekarang. Dia merasa bahwa dia bisa menjadi politisi yang lebihbaik kalau dia menerima sekularisme Turki, tetapi pada saatyang sama dia tetap seorang Muslim yang taat. Istrinya punyakeyakinan bahwa memakai jilbab adalah suatu keharusan agama.Sang Presiden tidak mau memaksa istrinya untuk melepaskan jilbabhanya karena ia menjadi seorang politisi, seperti didesakkankalangan militer di sana, yang memandang bahwa jilbab di ruangpublik adalah ancaman terhadap sekularisme Turki. Bahkan anakpresiden ini terpaksa harus belajar ke Amerika karena di Turki tidakboleh sekolah dengan memakai jilbab. Jangan-jangan dialahIhsan Al-Fauz –957


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Muslim yang lebih baik daripada Muslim yang memaksakan diridengan cara memprivatisasi agama. Jadi, kembali ke argumen Andatadi, apakah dalam kasus tersebut peran agama manjadi merosot?Tidak juga.Artinya, seseorang dengan sikap keberagamaan seperti Arifin Ilhamsekalipun, misalnya, dalam beberapa bagian dari praktik kehidupannyabisa disebut sebagai orang sekular, sehingga sekularisme tidakserta-merta membunuh agama?Ya. Arifin Ilham bisa kita lihat sebagai seorang penyebar agamadan dia belajar akting untuk bisa seperti itu, misalnya, danagama di situ menjadi suatu produk. Kalau memakai kategori-kategoritadi persoalannya menjadi ruwet. Bagaimanapun, dia memakaiperangkat-perangkat yang sepenuhnya sekular. Agar tampilmemukau di depan media, pelajarilah cara akting yang bagus danlain sebagainya untuk menyampaikan produk-produk agama yangbagus, meskipun dengan cara yang sekular sama sekali, yaitu denganmempelajari ilmu pengetahuan.Lantas, dalam hal ini bagaimana posisi ilmu pengetahuan dalam diskursussekularisme? Dulu Natsir, misalnya, pernah mengatakan bahwailmu pengetahuan sah untuk dimasuki semangat-semangat religius,atau justru agama harus bisa merasuki ilmu pengetahuan. Sementaradalam ilmu pengetahuan sendiri, untuk mencapai obyektivitas, harussepenuhnya sekular. Artinya tidak boleh ada nilai tertentu (valuefree), baik nilai tradisional maupun nilai agama.958– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya kira prinsipnya jelas. Pertama, bahwa untuk menjadi seorangdokter yang baik maka seseorang harus mempelajari ilmu pengetahuan,yakni ilmu kedokteran, yang mempelajari segala sesuatusecara rasional, dengan penelitian dan sebagainya, yang bersifatkumulatif. Jika proses itu dilalui dengan benar, maka dia menjadidokter yang baik. Sebagai dokter Anda bisa saja, pada saat yangsama, juga sebagai seorang Muslim, yang dengan semangat kemuslimannyaberniat membantu orang dengan biaya yang ringan, misalnya.Ketika dia mau menyuntik pasien, boleh jadi dia selalu membacabasmalah agar dia percaya diri kepada dirinya sendiri. Namunsuntikan itu sendiri tidak ada hubungannya dengan basmalah yangdia ucapkan. Obat atau serum yang masuk ke dalam tubuh pasientidak ada hubungannya dengan basmalah. Itu pengetahuan biasa.Sebagaimana seorang Arifin Ilham, fungsinya sangat sekular, dalampengertian bahwa dia adalah seorang entertainer yang bisa mengemassuatu produk agama. Bagi Arifin Ilham, agama adalah substansiyang bisa diproduk dan dikemas sedemikian rupa. Jadi kita perlumembedakan antara metode dan motif pribadi seseorang. Seseorangbisa memiliki motif untuk menjadi entertainer, khatib, dan lain sebagainya,tetapi cara yang dia pakai untuk mengemas adalah carailmu pengetahuan, cara yang sudah terbukti ampuh dengan penelitiandan lain sebagainya. Di Amerika Serikat, belakangan ini banyakevangelis yang khotbahnya di televisi dikagumi banyak orang,tetapi kemudian perilakunya ketahuan media melanggar apa yangdiungkapkannya dalam khotbah.Apakah dengan demikian islamisasi pengetahuan, seperti munculnyabank Islam atau yang lainnya tidak akan mengancam sekularisme?Ihsan Al-Fauz –959


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya melihat bahwa islamisasi semacam itu akan mengancamsekularisme. Namun, ia tidak akan bisa bekerja semestinya. Misalnya,sebuah ilmu sosial atau sosiologi yang harus empirik, yangtidak akan bisa jalan jika dasarnya adalah teologi, yang bersifatnormatif. Saya tidak mengatakan bahwa itu akan mengancam sekularismeatau tidak. Klaim saya adalah: saya tidak bisa mengertibagaimana sebuah ilmu pengetahuan sosial yang empiris bisa berjalandengan baik jika hal itu dimulai dari teologi. Teologi adalahteologi. Sementara ilmu sosial harus empiris berdasarkan data.Gambaran al-Quran tentang masyarakat Muslim adalah satu hal,dan itu normatif, sementara masyarakat Muslim yang aktual, yangharus dipelajari sosiologi atau antropologi, adalah hal lain lagi.Kita masuk konsep deprivatisasi, sebagai reaksi atas privatisasi agama.Deprivatisasi agama asumsi dasarnya adalah bahwa agama mempunyaisemangat profetis untuk pembebasan dan keadilan masyarakat.Sementara kita mengetahui agama memiliki dua wajah, di satu sisiprofetis, di sisi lain dia juga bisa memicu konflik. Bagaimana menempatkandeprivatisasinya Casanova?Agar lebih fair dalam melihatnya saya akan mulai dari awal.Casanova ingin melihat ada beberapa unsur dalam teori sekularisasiyang mestinya diukur secara benar. Pertama, dalam prinsipdiferensiasi. Bagi dia sekularisasi bisa terjadi sepenuhnya dalam haldiferensiasi struktural. Seperti telah saya sebutkan di atas, tugastugasyang dulu dimainkan para aktor agama sekarang sudah dimainkanoleh orang-orang yang prinsipnya bukan lagi berdasarkanagama. Kalau dulu orang menyuntik atau orang mengobati karenadia percaya bahwa agama bisa mengobati orang, sekarang mes-960– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kipun dia seorang Muslimtapi prinsip bekerjanya adalahdia mengobati bukan ka-Isme dalam sekularisme itu bukanlahsubstansi dari pemisahan antaraagama dan ruang publik, melainkanrena agama tapi karena ilmuberarti: marilah kita setia padapengetahuan yang mendasariprinsip pemisahan itu, yakni prinsippenelitian mengenai kedokteran.Karena itu, dalam hal sebagai kekinian. Jadi, menurut saya,memperlakukan suatu kekiniandiferensiasi struktural sekularisasibisa saja terjadi.sekularisme tidak ada hubungannyapembedaan antara sekularisasi danKedua, privatisasi agama,dalam arti harus dipi-Substansinya bisa bermacam-macam.dengan substansinya sendiri.sahkan antara aspek privatdari agama dan aspek publiknya. Yang hendaknya dipehatikandi sini, Casanova mengatakan bahwa dalam persoalan ini tidakmungkin terjadi zero sum game. Artinya, agama semata harus privatatau, kalau tidak, agama harus publik. Yang menjadi pertanyaanCasanova adalah bagaimana agama menjadi sesuatu yang sifatnyapublik. Saya kira itu suatu terobosan yang berarti dan semakinbisa menjelaskan fenomena kebangkitan agama di mana-mana: fenomenadi mana fundamentalisme Islam, Kristen, dan sebagainyakian menguat. Jadi, sekarang peran publik agama semakin diyakiniberguna, dan terbukti orang-orang belakangan ini semakin senangmenggali dan menumbuhkan semangat agama dalam kontribusinyadi wilayah publik. Banyak indikator yang menunjukkan agamasemakin berwajah publik, dan hal yang demikian, sebenarnya,dianggap biasa saja oleh demokrasi sekalipun.Ada kritik Talal Asad terhadap pandangan Casanova ini. PandanganCasanova secara implisit menyimpulkan bahwa tidak semuaagama bisa mewujud dalam ekspresi publik yang diterima semuaIhsan Al-Fauz –961


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–orang. Jadi hanya agama-agama yang mempunyai doktrin penerimaanterhadap orang lain yang wajah publiknya bisa diterima.Artinya, dia harus mendukung toleransi, demokrasi, dan pluralisme.Tanpa dukungan seperti itu sebuah agama tidak mungkinmempunyai wajah publik. Karena wajah publik agama yang kebanyakanditonjolkan adalah wajah yang tidak toleran dan tidak propluralisme,maka dia tidak akan bisa diterima oleh publik. Artinyaada sisi-sisi yang sifatnya normatif dalam penjelasan Casanova.Hanya agama tertentu saja yang bisa menampilkan wajah publiknya.Karena publik memandang kalau sekiranya agama Anda inginmempunyai wajah publik, maka asumsinya agama orang lain jugaharus memiliki wajah publik. Jadi harus ada prinsip resiprokalitasdi sana. Artinya, kalau (agama) saya bisa, (agama) orang lain jugaboleh menampilkan wajah publiknya.Sebaliknya, kalau prinsipnya adalah saling mengeksklusi oranglain, maka yang terjadi adalah perkelahian. Apabila di antara wajah-wajahpublik agama saling berkelahi, maka artinya munculpemaksaan. Jika terjadi pemaksaan, artinya wajah publik agamajustru merusak. Dengan demikian, tidak mungkin sebuah wajahpublik agama bisa diterima tanpa, pada saat yang sama menerimawajah publik agama yang lain. Saya kira seperti itu.Dapatkah Anda mengeksplorasi gagasan sekularisasi dari Norris danInglehart?Saya kira teori sekularisasi sudah “mentok” sebagaimana pernahsaya jelaskan dalam beberapa kesempatan. Jadi bukan masalah sekularisasinyaberhasil atau tidak, masalahnya tidak ada pemahamanyang di-share secara bersama-sama oleh banyak orang mengenai962– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–apa itu sekularisasi, elemenelemennya,dan bagaimanaAgama jangan diistimewakanhanya karena dia agama, tetapi jugacara mengukurnya. Jadi kirakira,meminjam istilah Cas-jangan segera dicurigai denganalasan yang sama, yakni karena diaanova, cara kita melihatnyaagama. Artinya, di antara semuasaja yang semakin maju karenametodenya juga sema-pengalaman-pengalaman dari luaritu ada sederet kemungkinan dankin maju, sementara obyeknyatetap sama. Salah satu mengelola agama dan identitas lain.yang memberikan contoh dalam halbuktinya adalah bagaimanaCasanova memilah elemen-elemen di atas itu, sehingga ukurannyamenjadi sama. Kita jangan berbicara mengenai dua hal yangberbeda. Karena kita tidak bisa berdebat mengenai dua hal yangberbeda.Karena itulah, pada titik ini relevan untuk membahas salahsatu terobosan bagus yang disampaikan oleh Norris dan Inglehart.Pertama, datanya lebih banyak. Sebuah teori kalau ingin dilihatkuat atau tidaknya, paling tidak, harus dapat diterapkan di semuatempat. Dalam bahasa ilmiahnya, universe of case-nya harus terwakili.Kalau data-datanya hanya dilihat dari pengalaman sejarahEropa atau Amerika, itu tidak cukup untuk klaim sebuah teori.Norris dan Inglehart datang dengan sebuah penelitian yang klaimnyabisa lebih dipertanggungjawabkan, karena mereka meneliti 80masyarakat di seluruh dunia.Kedua, parameternya jelas. Faktor-faktor yang menyebabkanterjadinya sekularisasi bermacam-macam. Namun Norris dan Ingleharthanya mengambil satu hipotesis saja. Menurut Norris danInglehart, fenomena bangkitnya agama dikarenakan ancaman existentialsecurity. Jadi mereka mau melihat bagaimana existential secu-Ihsan Al-Fauz –963


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rity orang, definisi orang mengenai apakah dirinya secure atau tidaksecara eksistensial, di mana hal itu berpengaruh terhadap apakahdia sekular atau tidak. Definisi operasional existential security menurutnyadapat dipahami dengan melihat apakah dia makan atautidak, bisa berobat atau tidak, bisa bertahan hidup panjang atautidak. Demikianlah ukuran definisi operasionalnya. Sedangkan yangmereka maksud dengan sekularisasi adalah religiusitas, termasukjuga salah satu implikasinya adalah kehadiran regular ke gereja,yang paling objektif untuk melihat sekularisasi.Mereka berdua kemudian melihat bahwa ada orang di masyarakattertentu yang merasa secure eksistensinya dan ada orangtertentu di masyarakat yang lain yang tingkat pendapatan ekonominyarendah dan tidak terlalu merasa aman. Kendati sebenarnyamereka melihat ada sesuatu yang menarik, namun demikian tidakada perubahan yang berarti di kedua masyarakat itu. Bahwa dimasyarakat di mana orang merasa secure eksistensinya, justru agamatidak terlalu berperan sebagaimana dulu, satu abad yang lalu,ketika agama juga tidak terlalu berperan. Artinya, sekularisasi yangdi dunia ini paling lambat sudah terjadi kira-kira 50 tahun yanglalu, sungguhpun demikian sekarang tingkat sekularitas dari suatumasyarakat tetap sama seperti dulu. Jadi tidak terjadi perubahanyang signifikan dalam hal tingkat sekularitas. Demikianpun di negara-negarayang penduduknya merasa tidak aman eksistensinya,ternyata fenomenanya juga sama. Artinya, mereka sama religiusnyasekarang ini dengan mereka seabad yang lalu. Jadi tidak ada polayang berubah secara signifikan.Yang menarik dari penelitian mereka adalah: sementara jumlahmereka yang merasa aman makin sedikit, jumlah merekayang merasa tidak aman jauh meningkat. Inilah yang menjelaskan964– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mengapa seakan-akan sekularisasi terhambat dan anti-sekularisasimeningkat. Menurut keduanya, bukan tingkat sekularitas yangmeningkat atau menurun, melainkan jumlah orang yang mendukungkeduanya.Ketika Norris dan Inglehart melihat variabel antara dua kelompokdi atas, mereka menemukan bahwa orang-orang yang secaraeksistensial aman, yakni orang yang sekular, justru adalah orangorangyang tidak mau mempunyai anak, sehingga tingkat pertumbuhannyastagnan. Sedangkan masyarakat-masyarakat di manaorang tidak terlalu secure kehidupannya, justru tingkat pertumbuhanpenduduknya tinggi. Alasan mereka, antara lain, karena merasatidak aman hidup, sehingga mereka merasa perlu punya anakbanyak. Implikasi besarnya, kalau dua gejala itu digabungkan: dinegara-negara di mana orang merasa secure secara eksistensial, tidakterjadi gejolak sekularisasi demikian juga tidak terjadi religiusisasi,misalnya sekularisasi menjadi menurun. Tetapi di sini juga tidakterjadi kemunduran yang berarti. Hanya saja secara kualitatif didunia ini orang-orang yang sekular jumlahnya lebih sedikit dibandingorang yang beragama kuat, sebagaimana satu abad yang lalukarena jumlah mereka yang meningkat.Jadi penjelasannya bukan pada existential security sendiri, melainkanpada variabel antara, yaitu orang yang makin tidak securemakin ingin punya anak lebih banyak, sehingga jumlah orang diseluruh dunia yang sekular lebih sedikit dibandingkan orang yangtidak sekular, yaitu orang yang sama religiusnya pada satu abadyang lalu. Itu definisi mereka secara lebih teknis.Apakah itu kemudian ada hubungannnya dengan clash di antarakeduanya, seperti dikatakan Huntington? Potensi clash memangada, menurut Noris dan Inglehart. Hanya saja potensi itu tidakIhsan Al-Fauz –965


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–serta-merta akan digunakan atau tidak. Artinya, jika opportunityitu dimanipulasi sedemikian rupa, maka clash yang tadinya hanyapotensi kemudian bisa menjadi aktual. Menariknya lagi, Huntingtontidak menjelaskan hal tersebut. Dia hanya mengatakan bahwaclash yang potensial itu tiba-tiba bisa menjadi aktual. Sebaliknya,Norris dan Inglehart mengatakan bahwa potensi konflik tersebutakan terjadi jika demagog di kedua belah kubu memanfaatkan kesempatanyang ada, sehingga terjadi konflik.Dalam pelbagai tulisan lain, Norris dan Inglehart juga mempretelitesis Huntington dalam pelbagai sisi. Misalnya, yang sangatmenarik, sebenarnya dalam perihal demokratis atau tidak demokratis,tidak terjadi perubahan yang signifikan – antara doktrin,seperti yang dikatakan Huntington, di negara Barat dengan yangdi negara Islam. Yang berbeda antara Barat dan Islam hanyalah dalammasalah-masalah seks dan keluarga saja. Artinya, hanya dalamsoal perempuan dan keluarga dan yang terkait dengan itu, tetapitidak dalam soal demokrasi. Karena itulah mereka menolak tesisHuntington bahwa Islam inherently anti-demokrasi.Menurut Anda, apakah diseminasi wacana sekularisme seharusnyadilakukan melalui civil society ataukah melalui negara, sebagaimanaditerapkan Prancis atau Turki?Sebelum jauh ke sana, saya kira, ada record yang belum sayasampaikan. Wujud dari pemisahan antara agama dan negara sangatberagam. Satu kasus yang sangat jelas menunjukkan wujud publikagama adalah apakah seseorang boleh atau tidak ikut mendirikanpartai politik berdasarkan agama. Eropa memiliki sejarah palingpanjang tentang partai agama. Partai Kristen Demokrat, misalnya,966– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sudah ada sejak 1900-an. Padahal, di Indonesia, PKS tidak menyebutdiri sebagai partai Islam. Sementara di Eropa, Partai KristenDemokrat secara jelas menyebut diri sebagai partai agama. Iniyang pertama.Yang kedua, dilihat dari Civil liberties seseorang hanya akanundang-undang dasar sebuahnegara, menurut pe-dengan civil liberties orang lain.menjadi masalah kalau bertentangannelitian Alfred Stephan, darisekitar 50 negara di Uni Eropa 15 negara menyatakan di dalamUUD mereka bahwa ada agama resmi. Biasanya agama resmi adalahagama penduduk mayoritas. Misalnya, di negara kita adalahagama Islam. Hal itu biasa terjadi di negara-negara Skandinavia.Dan itu tidak serta merta harus berimplikasi pada penindasan terhadapagama minoritas.Kemudian, ketiga, dilihat dari sejauh mana negara mau atautidak membiayai pendidikan atau aktivitas sosial yang dikelola olehlembaga agama. Ini contoh yang mengejutkan, di Jerman tidakada official religion atau eshtablished cruch, tetapi kalau Anda maumenikah, dibaptis, atau kalau meninggal ingin diadakan upacaradi gereja, maka Anda harus setuju dengan perjanjian di formulirpajak Anda bahwa sembilan% dari pajak tersebut akan disalurkankepada lembaga-lembaga agama yang mengerjakan proyek-proyekpublik, seperti panti asuhan, lembaga pendidikan, panti jompo,dan lain sebagainya. Ini yang terjadi di Jerman. Ini berarti Andaharus setuju menjadi anggota gereja.Demikian pula yang terjadi di Belanda. Saya lupa apakah diBelanda ada official religion atau tidak, tetapi di sana dikenal istilahconsociational democracy. Teori ini dikembangkan oleh ArendLijphart dari Belanda. Consociational democracy adalah demokrasiIhsan Al-Fauz –967


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang didasarkan pada kesepakatan antara pilar-pilar masyarakattertentu. Di antara pilar-pilar masyarakat yang utama tersebut,selain kelompok ateis dan kelompok yang kurang beragama, adadua kelompok agama, yaitu Protestan Calvinis dan Presbytarian.Karena dalam sejarah keagamaan Belanda pernah terjadi perangagama, sehingga sekarang muncul kesepakatan jika di masyarakattertentu yang dominan adalah kelompok Presbitarian atau Calvinis,maka pengelolaan lembaga sekolah tertentu, misalnya, dilakukanoleh orang-orang yang terkait dengan gereja Calvinis atauPresbitarian. Bahkan kesepakatan ini juga berlaku untuk sekolahumum. Dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh lembaga keagamaanini juga didanai oleh negara. Negara juga bahkan memberikanbantuan dana pada sejumlah stasiun radio dan televisi yang dikelolaoleh kelompok keagamaan di atas. Jadi itulah yang disebutconsociational democracy. Model tersebut juga banyak dipraktikkandi negara lain. Inilah varian sekularisasi yang berbeda dengan sekularisasidi Prancis.Di Amerika, ada wilayah-wilayah tertentu di mana orang bolehmelakukaan aborsi atau tidak boleh. Juga ada wilayah di mana lembaga-lembagaagama memerankan peran lebih banyak. Artinya, tergantungkesepakatan-kesepakatan yang ada. Menurut Stephan, adayang dilupakan oleh Michael Walzer ketika ia beranggapan bahwaagama harus di-cut-off dari ruang publik, yakni kesempatan yangdiberikan oleh demokrasi untuk bernegosiasi. Oleh karena itu, yangpaling penting dalam demokrasi, menurut Stephan, adalah adanyakesempatan yang diberikan demokrasi untuk bernegosiasi.Inilah contoh-contoh di mana hubungan agama dan negarabervariasi. Dan jangan lupa bahwa wajah publik agama juga sangatbervariasi, dari kesempatan dan fasilitas yang diberikan oleh968– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–negara kepada lembaga agama dalam menjalankan program tertentuyang sifatnya publik sampai yang sangat formal seperti pembentukanpartai politik.Sekarang saya ingin ceritakan kasus di mana sekularisme justrumengancam demokrasi, yaitu di Turki. Fenomena Turki merupakankasus yang aneh sekali, yakni ketika orang tidak bisa menjadipolitisi hanya karena istrinya berjilbab. Itu berarti bahwa sebenarnyatidak ada demokrasi karena orang tidak bisa menjalankan apayang dianggap sebagai kebebasannya. Ini yang pertama. Kedua, diTurki orang percaya akan keterlibatan militer untuk menyelesaikanperkara. Dan militer Turkiselalu ada di belakang membayangiproses demokrasi. adalah untukTujuan negara, dalam prinsip besarnya,menyejahterakanmasyarakatnya, sehingga hak-haksipilnya harus dihormati. Civil libertiesDiskursus sekularisme tentusaja tidak bisa dipisah-masalah kalau bertentangan denganseseorang hanya akan menjadikan dari tatanan demokrasi. civil liberties orang lain. Jadi, menurutDan berbicara mengenai demokrasiadalah bagaimana soal agama tapi juga berkaitan dengansaya, soal identitas itu bukan hanyacivil rights, political rights hal lain yang harus kita pikirkan, dandan civil liberties dapat dijunjung.Tetapi, seringkali ke-agama hanya salah satunya.bebasan yang diterima oleh masyarakat berimplikasi pada masuknyaidentitas agama ke wilayah publik. Ketika identitas suatu kelompokdipaksakan menjadi suatu aturan perundang-undangan, maka dapatberakibat pada tercerabutnya hak dan kebebasan warga, sepertiperda syari’at dan sebagainya. Bagaimana Anda melihat kasus Indonesiasecara menyeluruh?Ihsan Al-Fauz –969


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Persoalan pertama adalah masalah identitas. Masalah identitastidak hanya terkait dengan agama. Masalah identitas juga sangatterkait dengan kesukuan tertentu, atau penggunaan bahasa tertentusebagai bahasa pertama. What can you do if I was born sebagaiseorang Betawi atau yang lain. Masalahnya, identitas seringkalilangsung dikaitkan dengan agama, padahal tidak mesti demikiran.Kalau saya lahir sebagai seorang Dayak, tentu saja saya punyadorongan bawaan untuk menerapkan identitas ke-Dayak-an saya.Bukankah tujuan negara, dalam prinsip besarnya, adalah untukmenyejahterakan masyarakatnya, sehingga hak-hak sipilnya harusdihormati? Civil liberties seseorang hanya akan menjadi masalahkalau bertentangan dengan civil liberties orang lain. Jadi, menurutsaya, soal identitas itu bukan hanya soal agama tapi juga berkaitandengan hal lain yang harus kita pikirkan, dan agama hanyasalah satunya.Sekali lagi, dalam prinsip besarnya, menurut saya, demokrasiharus memberi kesempatan bagi warga negara untuk berekspresiapapun sampai kemudian terbukti bahwa ekspresinya melanggarkebebasan berekspresi orang lain. Itulah alasannya kenapa kemudiandibuat aturan-aturan hukum. Kalau, misalnya, seorang perempuanMuslim ingin berjilbab karena merasa bahwa ia akansemakin islami kalau berjilbab, tentu saja tidak bisa dilarang. Apahak negara melarang orang berjilbab. Persoalan ini adalah urusanpribadi seseorang dan kalau orangnya menjalankan dengan senangmaka tidak perlu diganggu.Persoalannya, bagaimana kalau identitas atau nilai-nilai yang merekaanggap paling luhur tersebut diterapkan dalam undang-undang?970– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Seperti yang saya jelaskan di atas, ketika Anda percaya bahwapada tingkat tertentu ada nilai-nilai ke-Dayak-an yang baik, sehinggaAnda akan berupaya untuk menjadikannya sebagai aturanpublik. Namun caranya harus melalui public reasoning agar semuaorang dapat memahami dan kalauditerima maka ia menjadi nilai atauDemokrasi harus memberiaturan yang dimiliki bersama. Saya kesempatan bagi wargamerujuk pada istilahnya Gus Dur negara untuk berekspresiyang mengatakan, jadikan sumber apapun sampai kemudiannilai-nilai tersebut sebagai “inspirasi,”dan bukan “aspirasi.” Inspira-melanggar kebebasanterbukti bahwa ekspresinyasi berarti bahwa sumber nilai-nilai berekspresi orang lain. Itulahtersebut harus diolah dulu di dalamalasannya kenapa kemudiandibuat aturan-aturan hukum.diri atau komunitas, sehingga munculgagasan baru yang bisa dikomunikasikankepada publik. Kalau nilai-nilai tersebut Anda anggapsebagai aspirasi itu berarti nilai-nilai tersebut langsung diajukantanpa adanya perenungan terlebih dulu. Kalau inspirasi dia menjadibahan mentah yang kemudian perlu diolah dulu.Selain itu, juga berlangsung prinsip-prinsip besar, yaitu bagaimanakita hidup di masyarakat yang majemuk. Kalau kita inginditerima maka harus ada ruang di mana orang lain dapat menerimakita. Salah satu yang dikembangkan oleh Walzer adalah prinsip-prinsipresiprokalitas, yaitu adanya pengakuan dari luar bahwa,misalnya, hukum yang menjadi argumen saya ini, yang sudahmenjadi publik, bisa diterima orang lain bukan karena didasarkanpada agama tapi karena memang hal itu bagus untuk dijadikansebagai aturan publik. Karenanya, di sini mesti ada prinsip resiprokalitas.Bagaimana kita meminta pertanggungjawaban seseorangIhsan Al-Fauz –971


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–atas tingkah lakunya kalau dia tidak memiliki kebebasan untukmelakukan atau tidak melakukan sesuatu? Saya berhak untuk memukulAnda kalau hukuman tidak salat, misalnya, harus dipukul,kalau Anda punya pilihan untuk melakukan salat atau tidak salat.Artinya hukuman bisa terjadi kalau orang bisa melakukan sesuatu,sehingga sanksi itu berguna atau tidak berguna.Bagaimana kajian mengenai kasus Israel yang dipahami sekaligus sebagaietnis, agama, dan bangsa?Negara seperti itu biasanya akan menjadi negara yang monolitikdan tingkat demokrasinya rendah. Kecuali kalau ada kesepakatan,misalnya, bahwa kelompok-kelompok minoritas mau bergabungberdasarkan aransemen konstitusional tertentu. Artinya, adasaat-saat di mana kesepakatan-kesepakatan besar dicapai, biasanyasesudah terjadi sebuah pergolakan atau perubahan sosial yang besar.Itulah yang dikatakan Jacques Bertrand, misalnya, dalam penelitiannyamengenai nasionalisme dan konflik etnis di Indonesia.Ada saat-saat di mana aransemen institusional yang ada mulai dipertanyakandan hendak direvisi, di mana kesepakatan-kesepakatanbesar mengenai pengelolaan negara hendak ditinjau kembali.Kesepakatan besar di Indonesia adalah UUD 1945, pemilu 1955,dan lain sebagainya.Jadi, kalau kita bersepakat bahwa negara ini adalah negara agama,berarti sejak awal kita mendefinisikannya sebagai negara agama.Atau kita sepakat mendefinisikan diri sebagai negara kerajaan,seperti Arab Saudi, misalnya. Jadi mendirikan suatu negara tergantungpada orang atau kelompok yang menjadi stakeholders negaratertentu. Kalau semuanya bersepakat, maka tidak akan masalah.972– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dan jika kemudian ada orang-orang atau kelompok yang bersediamenjadi minoritas dengan aransemen tertentu, tidak masalah sejauhmereka bersedia. Jika ada perkembangan baru, seperti naiknyakalangan menengah terdidik yang Islamis di Turki, keistimewaanyang dimiliki tentara akan dipertanyakan karena hal itu dianggapbertentangan dengan demokrasi.Jadi, jangan kita beranggapan bahwa permasalahan demokrasiakan segera berakhir hanya dengan kenyataan bahwa masyarakatberasal dari agama yang sama, seperti di Israel. Karena identitasitu tidak hanya ditentukan oleh agama. Bisa jadi ini terjadi di Israel.Israel memang Yahudi. Tetapi jangan lupa bahwa ada Yahudiyang berasal dari Arab, Yahudi dari Eropa Timur, Rusia, yang selaluakan memunculkan konflik kepentingan antara generasi barudengan generasi yang sebelumnya. Masyarakat, secara teori, akanselalu majemuk. Dan demokrasi adalah cara bagaimana Anda mengelolakonflik yang terjadi dalam masyarakat yang majemuk.Jadi, menurut saya, prinsip besarnya adalah bahwa agama jangandiistimewakan hanya karena dia agama, tetapi juga jangansegera dicurigai dengan alasan yang sama, yakni karena dia agama.Artinya, di antara semua itu ada sederet kemungkinan danpengalaman-pengalaman dari luar yang memberikan contoh dalamhal mengelola agama dan identitas lain.Agama seringkali dianggap menyediakan nilai yang total, seperti ketikasebelum munculnya konsep negara-bangsa. Agama menjadi identitasyang membentuk komunitas politik, seperti yang pernah diungkapkanoleh Bennedict Anderson, yaitu dengan memahami agamasebagai perekat komunitas ummat. Oleh karenanya, agama cende-Ihsan Al-Fauz –973


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rung terlihat kurang sinergis dengan gagasan kebangsaan. Makanyaperdebatan yang muncul pada 1945 adalah antara kelompok yangmendukung persatuan Islam dengan persatuan Indonesia. Bagaimanamenurut Anda?Sebenarnya dengan derajat yang sama, kita mempunyai senseof belonging pada yang lainnya. Hanya saja sekarang kita tidakmerasakan hal tersebut karena ada polity yang lebih besar yaitunegara sekular. Sebelum itu, Anda adalah bagian dari komunitasetnis tertentu. Namun nilai tersebut makin tergerus dengan nilaiidentitas yang memiliki cakupan lebih lebar seperti agama. Agamamemiliki nilai tambah dalam hal cengkeramannya pada kita, karenadia punya rujukan kepada yang transendental, yang berbicaramengenai problem eksistensi. Jadi agama mempunyai klaim yangsangat besar atas kita dan terus menghantui setiap orang.Yang terpenting: kalau benar kita punya janji pada rakyat bahwabangsa ini, lewat polity yang namanya NKRI, bisa mensejahterakanmereka, maka usahakanlah agar janji itu terpenuhi. Tunjukkanlahbahwa identitas sebagai bagian dari bangsa Indonesia itu memangbenar-benar berguna, menyejarhetarakan dan sebagainya. Kalau tidak,maka orang akan mencari identitas lain, atau merujuk kepadaidentitasnya yang lebih menjanjikan, termasuk agama.Tapi pengalaman di Indonesia, dengan munculnya kasus kekerasanterhadap Ahmadiyah, Komunitas Eden atau kontroversi perda-perdasyariah, menunjukkan bahwa agama seringkali terlihat beringas?Ya, itu benar. Seperti sudah saya singgung, agama adalah identitasdengan daya panggil yang lebih tinggi karena orientasinya ke-974– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pada yang transendental. Namun yang perlu diperhatikan adalahbahwa fenomena itu tidak hanya terjadi antara Islam dengan yanglain tapi juga di internal Islam sendiri. Yang lebih parah, karenaini masalah internal kemudian dianggap selesai. Kelompok-kelompoktersebut dianggap seperti duri dalam daging yang menyebabkansikap umat Muslim demikian keras terhadap Ahmadiyah danKomunitas Eden. Jika berhadapan dengan umat agama lain memangsudah dimaklumi, karena memang mereka orang kafir. Namunsebenarnya ada pluralisme internal dan pluralisme eksternalyang mesti diterapkan.Apakah itu terjadi karena hukum di Indonesia lemah?Kalau kita kembali ke belakang, agama publik hanya mungkinterjadi kalau ada toleransi kepada pihak lain. Karena jika kitaingin ekspresi publik dari agama kita terwujud, maka kita juga harusmembuka kemungkinanuntuk ekspresi publik agama Kalau kita ingin diterima maka haruslain. Artinya, di sini perlu ada ruang di mana orang lain dapatpenerapan pluralisme internaldan eksternal. Karena dikembangkan oleh Walzer adalahmenerima kita. Salah satu yangperbedaan pendapat itu tidakhanya terjadi antara kita adanya pengakuan dari luar bahwa,prinsip-prinsip resiprokalitas, yaitumisalnya, hukum yang menjadidengan orang lain, tapi jugaargumen saya ini, yang sudah menjaditerjadi dalam tubuh Islampublik, bisa diterima orang lain bukansendiri. Maka dari itulah, dikarena didasarkan pada agama tapiantara keduanya perlu adakarena memang hal itu bagus untuklembaga yang mengatasi rule dijadikan sebagai aturan publik.tersebut, dan itu adalah ne-Ihsan Al-Fauz –975


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gara. Sebab, demokrasi tidak mungkin tanpa ada negara. Karenadalam demokrasi harus ada jaminan untuk menjalankan aturanhukum. Demokrasi itu sendiri adalah prinsip-prinsip di mana kitaharus bersepakat bahwa mesti ada lembaga yang membuat hukumdan menjalankannya. Jadi demokrasi tidak mungkin berjalan tanpaada negara. Oleh sebab itu, yang seharusnya mengatasi persoalanpersoalanyang bermunculan adalah negara.Masalahnya, di tengah situasi seperti ini, di mana kita sedangmengonsolidasikan demokrasi, negara terlalu rentan dan lemah.Sehingga ada suatu paradoks: sementara, pada satu sisi kesempatanpolitik semakin terbuka, pada saat bersamaan orang-orang yangmestinya mengurusi hukum lemah (weak). Jadi ada dua hal yangparadoksal, yaitu pertama, orang semakin ingin menyuarakan kepentingannya.Sementara di sisi lain, orang yang mengurusi saluran-saluranpartisipasi itu lemah. Namun, kenyataan ini memangtidak bisa dihindarkan.Untuk mengatasi persoalan ini di tengah lemahnya negara, makaperlu memperkuat aparat hukum. Polisi, misalnya. Bagaimanapunjuga, yang harus mengatasi ini semua adalah polisi sebagai ujungtombak pelaksana hukum. Dalam negara hukum ada aturan bahwaorang-orang yang menyuarakan pendapat tidak boleh melakukannyasambil membawa bambu runcing atau rencong. Jika adaaturan seperti itu, seharusnya polisi tidak perlu ragu-ragu untukmenindaknya. Teorinya seperti itu.Tetapi kita tidak boleh menyalahkan pihak tertentu atau putusasa, karena hal ini terus-menerus kita temui, yakni negara yang lemah(weak), polisi yang berpihak, dan lain sebagainya. Kita tidak bolehputus asa dan kemudian malah menyalahkan aturannya. Memangselalu ada jarak antara aturan dalam teori dengan apa yang dilaku-976– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan. Bisa dipahami bahwa negara kita, seperti telah saya sebutkan,berada pada situasi yang sangat lemah berhadapan dengan semangatpolitik yang sedang meningkat. Oleh karena itu, polisi kitaharus diberdayakan, dan kalaukerja mereka baik maka Agama publik hanya mungkin terjadiharus ada pujian.kalau ada toleransi kepada pihak lain.Termasuk jangan disalahkanketika polisi menangkap LiaEden atau Usman Roy yangdianggap menyimpang olehmasyarakat?Karena jika kita ingin ekspresi publikdari agama kita terwujud, maka kitajuga harus membuka kemungkinanuntuk ekspresi publik agama lain.Artinya, di sini perlu penerapanpluralisme internal dan eksternal.Menurut saya, harus disalahkan. Walaupun kemudian persoalannyamenjadi sangat kompleks. Namun pada prinsipnya kita harusmengecam itu. Mengecam dalam arti bahwa kalau disepakatibahwa tindak penangkapan adalah tindakan yang tidak tepat dankita setuju bahwa itu salah, maka kita harus kecam.Dalam hal perumusan dan implementasi hukum, apakah secara teoretiskita harus berpaku pada hukum yang sifatnya kontraktual seperti konstitusi– yang kerap dilihat sebagai hukum yang berlaku tetap – ataulebih menekankan hukum yang lahir melalui negosiasi dan kompromiterus menerus mengikuti konteks yang sedang berjalan – misalnya, didaerah tertentu karena menghendaki syariat Islam, maka sebagai bentukkompromi dengan kehendak mereka kemudian dibuat sebuah aturanhukum yang sesuai dengan yang mereka kehendaki dan sesuai dengantradisi di wilayah tersebut?Ihsan Al-Fauz –977


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Biasanya undang-undang dasar yang mestinya menjadi landasanpokok pertama kita, setelah itu mengacu pada sumber hukum dibawahnya. Misalnya, sekarang ini banyak yang beranggapan bahwasyariat Islam bertentangan de-ngan UUD, berarti mestinya sudahcukup dengan konstitusi. Lantas, bagai-mana hukum pidana atauhukum syariah yang tidak merujuk pada konstitusi, melainkan padaayat-ayat kitab suci? Menurut saya, itu melanggar konstitusi. Namununtuk menyelesaikan hal itu, saya tidak tahu bagaimana mekanismenya.Mungkin bisa diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi ataukalau tidak bisa diubah, mungkin bisa diamandemen.Saya tidak tahu apakah Mahkamah Agung (MA) bisa melakukansesuatu sebelum masalahnya diajukan kepada mereka atautidak. Artinya, apakah mereka aktif atau responsif. Misalnya, kalauada perda syariah yang dianggap melanggar, bisa langsung ditindakoleh MA. Beberapa waktu lalu saya mendengar pernyataanbahwa pada tingkat yang mendasar saja perda-perda syariah itusudah bertentangan dengan konstitusi, misalnya dengan menjadikanayat-ayat suci al-Quran tertentu sebagai dasar pertimbanganpembuatan undang-undang.Atau, jangan-jangan kelompok yang mengusulkan syariat Islambelum menyadari implikasi jangka panjangnya. Seperti halnyadalam soal reformasi ekonomi, bahwa memang ada hal-hal baiktertentu yang hanya bisa dicapai dengan berorientasi pada masadepan yang panjang, seperti pencabutan subsidi dan sebagainya.Dan memang usul penerapan syariat Islam berlawanan denganlogika politik. Yakni, logika accountable politics. Logika bahwa seorangpolitisi harus bertanggung jawab kepada konstituennya, denganmenjanjikan sesuatu yang sifatnya jangka pendek yaitu limatahun, agar mereka dipilih kembali dalam pemilu.978– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi logika yang mendorong politisi untuk mengkampanyekansesuatu, atau melegalisasi sesuatu, atau mengajukan undang-undangtentang sesuatu, sekarang ini adalah logika berpikir lima tahunan.Padahal, banyak hal-hal baik tertentu yang tidak bisa dicapai hanyadalam rentang waktu lima tahun. Dalam konteks seperti inilah, lagilagi,mobilitas politik terjadi karena ledakan dalam demokratisasiyang baru tumbuh. Oleh karena itu, kita harus berani mengambilkebijakan atau membuat aturan hukum yang pahit-pahit namunmempunyai manfaat di masa mendatang.Wawancara dilakukan di Jakarta, 12 Mei 2007Ihsan Al-Fauz –979


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganIoanes RakhmatIoanes Rakhmat, pendeta yang aktif di pelbagai forum antaragama.Ia telah menulis banyak artikel, menerjemahkan buku, dan menghasilkan dua buku:The Trial of Jesus in John Dominic Crossan’s Theory: A Critical and ComprehensiveEvaluation (Jakarta: UPI-STTJ, 2005); Yesus, Maria Magdalena, Yudas dan MakamKeluarga (Tangerang: Sirao Credentia Center, 2007). Ia berhasil menempuhstudi doktoral di Belanda (2002).980


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pancasila adalah pilihan Indonesia. Ia membentuk identitas negaraini tidak sepenuhnya sekular dan tidak pula menjadi totaliteragamawi. Karena itu, kebebasan beragama, apabila dibangundengan kemauan dan kemampuan politik yang direalisasikan dalampraktik kehidupan, sejatinya dijamin Pancasila. Penting pulakekayaan tradisi dan kearifan lokal yang mendidik warga untukbersikap toleran, ramah, dan bersemangat gotong-royong terusdikembangkan demi merawat perbedaan; pun menabur pluralismesebagai pengakuan terhadap otentisitas semua agama yangmengarahkan manusia kepada kehidupan yang utuh: keselamatan.Namun begitu, tetap dibutuhkan perangkat tafsir liberalatas agama yang ditempuh melalui ketaatan terhadap prosedurmenjalankan ilmu pengetahuan berdasarkan pada sumber-sumbersejarah dan analisa sosiologis-kultural-historis.Ioanes Rakhmat –981


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kami ingin mendapatkan gambaran yang jelas perihal sekularisme darisudut sejarah. Bagaimanakah sejarahnya hingga sekularisme munculdi Eropa dan dipraktikkan secara mapan?Proses sekularisasi di Eropa ditandai: pertama, oleh keyakinanbahwa akal budi harus diberi tempat utama. Kalau sebelumnyakitab suci dan lembaga-lembaga keagamaan mendominasi penjelasanatas realitas kehidupan, kini dominasi itu diambil alih olehakal budi yang melahirkan ilmu pengetahuan. Kedua, munculnyakesadaran sejarah yang kemudian berpengaruh terhadap cara pandangorang atas kitab suci, khususnya di kalangan Kristen. Kitabsuci tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang murni berasal dariwahyu Allah, tetapi didekati secara historis sebagai produk litererdari pelbagai komunitas keagamaan. Ketiga, modernisasi dan usahamengejar progress, kemajuan, dalam membangun peradaban manusia.Keempat, ter-singkirnya peran lembaga keagamaan seperti gerejadari kehidupan sosial dan politik dalam masyarakat.Sebelumnya, agama Kristen mendominasi pelayanan publik, sepertipendidikan, pelayanan terhadap orang-orang miskin (diakonia),serta pelayanan karitatif di bidang lain untuk kepentingan wargagereja dan masyarakat. Sekarang, dengan perkembangan sekularisasi,fungsi-fungsi sosial yang semula diemban oleh gereja diambilalih oleh negara dan lembaga-lembaga swasta di luar gereja.Dengan tersingkirnya peran sosial yang semula dimiliki gereja,orang juga kemudian menganggap bahwa gereja tidak bisa lagidijadikan instansi utama untuk mencari pertolongan. Orang kemudiantidak lagi menggantungkan diri kepada gereja. Dulu orangmencari pinjaman kepada gereja untuk memenuhi kebutuhan hidup.Sekarang telah ada lembaga negara dan swasta yang mengelola982– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kebutuhan itu. Hal-hal inilah yang membuat warga gereja kurangmerasa perlu terlalu dekat lagi dengan gereja. Ini juga disebut sekularisasi,yakni keluarnya orang dari gereja lalu mencari lembagalembagalain dalam mencari pertolongan.Yang mempercepat dan memperkuat proses sekularisasi adalahkemajuan sains (ilmu pengetahuan), terutama mengenai hal yangberkaitan dengan pertanyaan dari mana manusia berasal dan bagaimanaalam semesta terjadi. Sebelum proses sekularisasi gencarterjadi, orang mendapatkan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaanitu pada agama. Sekarang, dengan proses sekularisasi yang ditandaidengan kemenangan ilmu pengetahuan atas agama, ilmu pengetahuanlahyang menjadi penjawabnya. Fakta ini jelas dicontohkanoleh teori evolusi yang mampu menjelaskan asal-muasal manusiasecara natural. Menurut teori ini, adanya manusia dan terciptanyaalam semesta tidaklah memerlukan eksistensi sang pencipta adikodratisebagai perancangnya. Ilmu fisika menggantikan dominasiagama dalam menjelaskan kejadian alam semesta. Dengan capaiandi bidang ini, penjelasan asal-usul kejadian alam semesta tidak lagidiambil dari Kitab Kejadian pasal 1 dan pasal 2 dari kitab suciPerjanjian Lama. Itulah dampak proses sekularisai terhadap gerejadan otoritas kitab suci.Satu lagi fase penting dalam proses sekularisasi adalah ketikakitab suci mulai diperlakukan sebagai dokumen-dokumen yanglahir dalam sejarah. Dari sini, lahirlah pendekatan yang bersifatkritis-historis dalam memahami kitab suci. Ini menandai sebuahera yang sangat luar biasa dalam perkembangan ilmu tafsir danhermeneutika Kristen. Kini, dogma tidak bisa lagi apriori menguasaipenjelasan terhadap kitab suci, tetapi digantikan oleh penelitiansejarah (historical research) dan penelitian-penelitian interdisiplinerIoanes Rakhmat –983


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lain mengenai sifat-sifat dokumen tertulis yang menjadi bagian darikitab suci (literary research).Dari penjelasan di atas dan beberapa keterangan yang selama inikerap Anda sampaikan, tersirat bahwa Anda membedakan antarasekularisasi yang dimaknai sebagai proses dan sekularisme sebagai sebuahpaham atau isme, yang merupakan hal yang berbeda dari sekularisasi.Dari telaah tersebut, dapatkah Anda mengelaborasi lebihlanjut tentang perbedaan itu?Sekularisme, sesuai dengan namanya, yang mengandung kata‘isme’ di dalamnya, berarti sebuah ideologi, sebuah paham. Sekularismetidak lain sebuah doktrin atau penjelasan yang maumenyingkirkan Allah dari realitas kehidupan. Sekularisme adalahpaham di mana Allah tidak lagi dipandang sebagai yang ada; sebaliknya,segala sesuatu dianggap lahir dari proses alamiah, natural;atau, sebagai proses yang berlangsung dalam dunia ini berkatprestasi akal budi yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek). Pendeknya, dalam derajat paling ekstrem, sekularismememang merupakan sebuah ideologi yang sangat dekat ataubahkan dapat disejajarkan dengan ateisme.Sedangkan sekularisasi merupakan proses yang terjadi di dalamkebudayaan di mana fungsi-fungsi yang semula dipegang agamadiganti oleh yang non-agama. Sekularisasi adalah proses di manaagama sebenarnya tidak dihilangkan sama sekali, melainkan tidakdiberi peran lagi seperti sebelumnya dalam segala kegiatan publik.Orang yang mau beragama tetap diperbolehkan, dan keberadaanAllah sendiri tidak langsung disangkal. Dalam konteks ini, agamadiposisikan hanya berkaitan dengan yang privat, dan tidak boleh984– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mencampuri urusan ekonomi,politik, ketatanegaraan dalammengelola masyarakat. Halhalyang disebut terakhir ini,kini, dipegang oleh lembagalembaganon-keagamaan.Kecenderungan studi-studi kontemporermengenai sekularismedan sekularisasi mengatakanbahwa pada kenyataannyanegara-negara yang mempraktikkansekularisme tidak serta-mertamemberangus agama,bahkan Amerika Serikat dalambeberapa hal cukup religius.Oleh karena itu, apakahmasih relevan untuk membedakanatau memperlawankanantara sekularisasi dan sekularisme?Sekularisme adalah paham di manaAllah tidak lagi dipandang sebagaiyang ada; sebaliknya, segala sesuatudianggap lahir dari proses alamiah,natural; atau, sebagai proses yangberlangsung dalam dunia ini berkatprestasi akal budi yang melahirkanilmu pengetahuan dan teknologi(iptek). Pendeknya, dalam derajatpaling ekstrem, sekularismememang merupakan sebuahideologi yang sangat dekat ataubahkan dapat disejajarkan denganateisme. Sedangkan sekularisasimerupakan proses yang terjadi didalam kebudayaan di mana fungsifungsiyang semula dipegang agamadiganti oleh yang non-agama.Sekularisasi adalah proses di manaagama sebenarnya tidak dihilangkansama sekali, melainkan tidak diberiperan lagi seperti sebelumnya dalamsegala kegiatan publik.Kita juga bisa mendefinisikan sekularisme sebagai suatu usahakonsepsional dalam menjelaskan dan memberi uraian sistematisterhadap proses sekularisasi. Sekularisasi, sebagai proses naturaldan sosiologis dalam masyarakat, harus dijelaskan asal-usulnya,kecenderungan perkembangannya, dan sifat-sifatnya. Nah, cakupanpenjelasan itulah yang kemudian masuk ke dalam ranah sekularisme.Saya tidak berkeberatan terhadap pandangan ini.Ioanes Rakhmat –985


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Penerimaan sekularisasi, sebagaimana juga agama, pada akhirnyamenjadi urusan individu yang terjadi secara alamiah, bukan konstrukyang disengaja. Penjelasan proses sekularisasi yang Anda berikanjuga menggambarkan bahwa proses sekularisasi itu memang terjadisecara sosiologis, alamiah. Bagaimana dengan proses sekularisasi yangdikonstruk dan didorong secara sengaja oleh negara, sebagaimana kasusTurki dan Prancis?Di dalam suatu negara yang majemuk, agama tidak boleh diberikewenangan untuk mencampuri urusan politik, misalnya untukmenentukan pemilihan presiden dan wakilnya, sampai penentuanmenteri-menteri, apalagi sampai pada perumusan undang-undang.Dalam negara seperti itu, kalau agama tidak dibatasi, yangakan terjadi adalah persaingan dan pertikaian horisontal yang dapatmenjurus pada disintegrasi bangsa. Jika demikian kondisinya,ada baiknya negara mempercepat proses sekularisasi di dalamnya.Sekularisasinya adalah dengan tidak menyingkirkan agama samasekali, tetapi memberinya tempat tersendiri atau mengalokasikantempat khusus untuk agama, misalnya sebagai sebuah pranata yangboleh dipakai sejauh berurusan dengan masalah privat, tidak bolehdengan masalah politik. Kalau hal ini dapat dilakukan, ini akanberimbas pada efek yang justru bagus, yaitu melahirkan demokratisasidan modernisasi kehidupan perpolitikan dan perekayasaansosial masyarakat.Fondasi dari sekularisme bisa bermacam-macam. Dalam lingkunganProtestan sendiri, apakah teologi menyediakan landasan bagi tumbuhnyasekularisasi, sebagaimana tesis Weber bahwa kapitalisme lahirsebagai sebuah proses yang didorong oleh Protestantisme?986– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Di dalam kitab suci Perjanjian Lama, pasal-pasal 1 dan 2, sudahsejak awal ditegaskan dengan kuat bahwa dunia atau nature tidakboleh diilahikan. Kekuatan-kekuatan di angkasa yang menguasaiproses bekerjanya alam semesta, lalu benda-benda langit sepertibulan, bintang dan matahari, yang di masa Pembuangan Israel diBabilonia abad ke-6 SM, semuanya dianggap ilahi, oleh PerjanjianLama tidak lagi dipandang demikian. Justru untuk melawanpengilahian alam, lahirlah perintah, kredo, pengakuan iman, atausyahadat, dalam Kitab Kejadian pasal-pasal awal itu, yang menegaskanbahwa alam tidak boleh diper-ilah. Matahari, bintang, ataubulan adalah benda-benda ciptaan saja yang tidak boleh dijadikanilah yang mengatur hidupmanusia. Keilahian disingkirkandari dunia semesta;<strong>Kebebasan</strong> beragama akan terjaminjika dibangun dengan kemauan dankemampuan politik yang serius danini adalah sekularisasi: duniariil, artinya, bukan hanya dijamin olehadalah dunia, bukan Allah.UU, tetapi juga direalisasikan dalamDi samping itu juga adapraktik kehidupan.perintah untuk tidak mengeramatkandunia. Dunia bukan bagian dari yang ilahi yang tidak bisadisentuh dan dieksplorasi oleh kemampuan kebudayaan manusia.Misalnya perintah “penuhilah bumi”, “beranak-cuculah”, “kuasailah”dan sebagainya, melahirkan sebuah visi dan praktik kehidupansosial untuk tidak membiarkan dan memandang alam sebagai yangilahi, tak tersentuh. Justru sebaliknya, visi ini mendorong manusiauntuk menggali, mengeksplorasi dan memanfaatkan alam. Disinilah terjadi apa yang Weber sebut sebagai disenchantment of theworld, yang melahirkan sekularisasi.Jadi ada dasar skriptural yang kuat dalam tradisi Yahudi-Kristenuntuk membenarkan proses sekularisasi. Dunia tidak ilahi, tidak ke-Ioanes Rakhmat –987


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ramat, tetapi harus digali, dieksplorasi dan dimanfaatkan sebesar-besarnyauntuk kepentingan manusia. Kalau sebelumnya dunia didekatidengan gentar, seolah manusia berhadapan dengan numinosum, cahayakeilahian yang memancar begitu kuat dari alam semesta dandari dunia tempat manusia diam, yang melahirkan sikap hormatdan tunduk terhadap alam, oleh kitab suci Yahudi-Kristen diubah:manusia tidak boleh tunduk kepada alam melainkan hanya kepadasang pencipta. Alam harus dimanfaatkan semaksimal mungkinuntuk memenuhi kebutuhan manusia. Ini yang ikut mendorongproses sekularisasi, yang kekuatannya baru disadari kemudian ketikazaman Pencerahan tiba.Kalau berbicara dalam alam modern, di berbagai belahan dunia,khususnya di Eropa, bahkan bisa kita lihat juga di Indonesia, adakecenderungan bahwa kini lembaga keagamaan muncul di ranahpublik dengan membawa kemasan yang lain (public religion). DiAmerika Latin, agama dikemas sedemikian rupa sehingga menampilkansesuatu yang berbeda: teologi pembebasan, misalnya. Apakahperubahan strategi ini tidak malah dapat mengikis sekularisme atausekularisasi itu?Orang yang yakin bahwa proses sekularisasi sedang berlangsungsangat kuat, umumnya akan melihat masa depan sebagai masa dimana agama kehilangan perannya di masyarakat atau bahkan jadi tidakdiperlukan lagi. Tetapi faktanya, setelah melewati beberapa dekade,agama tidak juga hilang, malah bermunculan agama-agama lamadan agama-agama yang dikemas secara baru. Fenomena ini, saya kira,menggambarkan suatu bentuk kesadaran baru bahwa ternyata diri manusia,sekalipun dikendalikan oleh akal budinya tanpa batas, pada988– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–akhirnya akan tetap mengakui adanya suatu kebutuhan spiritualdalam diri yang sudah built in, yang merupakan bagian dari genetikamanusia yang diturunkan. Makanya, kalau kita perhatikanbagian-bagian otak manusia, di dalamnya ada bagian-bagian yangmembutuhkan pengisian dari hal-hal yang non-logic, yang suprarasional,yang bisa jadi hanya bisa dipenuhi oleh agama. Inilahyang membuat agama tidak serta-merta lenyap, kendatipun prosessekularisasi sudah berlangsung dengan sangat kuat.Yang melawan proses sekularisasi juga adalah agama-agama itusendiri, yang kalau mau dihilangkan dari luar, ditentang, dan direpresioleh kekuatan sekular, malah menimbulkan usaha-usaha untuktegar bertahan dengan mengambil bentuk gerakan-gerakan dariyang ekstrem politis sampai yang hanya melayani urusan batin. Yangpertama, terlihat pada aliran-aliran fundamentalistik dalam semuaagama. Dalam kasus pertama ini, proses sekularisasi justru makinmemunculkan model-model agama yang disebut dengan fundamentalismereligius. Di lain pihak, muncul agama-agama zaman baru(New Age), yang lebih bernuansa mistikal. Allah tidak hanya dicaridi luar, di langit, di surga (sebagaimana perspektif ortodoks), tetapilebih di dalam batin. Saya kira ini merupakan sebuah fenomenamenarik yang layak untuk dikaji lebih jauh, bahwa ternyata akalbudi tidak bisa menyingkirkan kebutuhan manusia akan yang supra-rasional,trans-historis, mistikal dan adikodrati, yang merupakankebutuhan inheren manusia yang sudah terpatri secara genetis-biologis.Hal inilah yang menyebabkan kenapa hingga saat ini agamatidak bisa dihilangkan. Hal lain yang menjadi penyebabnya adalahtimbulnya reaksi sadar umat beragama untuk tidak dikalahkanoleh sekularisasi. Kesadaran itu dibuktikan dengan membangundoktrin-doktrin keras dan strategi perlawanan baru, di mana titikIoanes Rakhmat –989


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang terekstremnya, lagi-lagi, melahirkan fundamentalisme religiuspolitik, yang sekarang bermunculan di banyak negara, termasukdi negara yang menjadi sumber sekularisasi itu sendiri, AmerikaUtara dan Eropa Barat.Fenomena mutakhir memperlihatkan bahwa deprivatisasi, sebagai lawanprivatisasi, tidak bisa lagi dikatakan bertentangan dengan sekularisasi.Problemnya, ketika agama diberi ruang yang teramat luang pada ranahprivat maupun publik, justru memunculkan konservatisme dan fundamentalisme.Bagaimanakah mempublikkan kembali agama agar tidakbertentangan dengan nilai-nilai sekularisme, yang, di samping meletakkanagama menjadi ranah individu, sekaligus juga tidak menjadi pandangantotaliter, mengeksklusi yang lain?Dalam situasi seperti ini, lebih baik kalau sekularisasi terus berjalandan desekularisasi juga tidak disingkirkan. Paling baik agamamengambil bentuk sebagai pembawa pencerahan di pelbagai bidangdan ranah kehidupan, termasuk ranah publik-politik. Jadi, berilahtempat untuk agama sesuai dengan fungsi kognitif, moral dan etisnyadi kancah sosial-politik dengan tidak menjadikan agama sebagaikendaraan politik, melainkan kendaraan untuk mencerahkan parapelaku politik, agar berpolitik dengan baik dan cerdas, memiliki hatinurani sekaligus watak yang bagus dan terpuji.Sebagaimana teori klasik mengatakan, kemunculan sekularisasi dilataridengan modernisasi. Kami minta Anda mengelaborasi lebihlanjut tentang hal itu, khususnya dalam konteks Indonesia. KarenaIndonesia, meski sebagian telah mengenal dan mempraktikkan mo-990– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dernisasi, belum menjadi negara yang sepenuhnya modern. Sebagianbesar rakyat Indonesia masih berada dalam alam kehidupan agraris.Dengan kondisi seperti ini, apakah sekularisasi bisa diterapkan diIndonesia?Dari perspektif sosioreligius, ada yang meyakini bahwa Indonesia,meski belum sepenuhnya modern, telah memasuki erapascamodern. Kalau dalam dunia modern agama tersingkir, karenasekularisme dan sekularisasinya, maka Indonesia di era sepertisekarang ini, agama tidak tersingkir atau lenyap, tetapi tidak jugamenjadi pranata yang totaliter atau otoriter menguasai semua sendikehidupan. Ini dicontohkan dalam bentuk negara yang di dalamnyaagama diberi tempat untuk menjadi dasar dan sumber moral danetik bagi pembangunan, namun tidak boleh mengendalikan politik,atau sebaliknya orang tidak boleh mempolitisasi agama. Agama hanyadibutuhkan untuk menerangidunia politik, tanpaberpretensi mencampuri. penafsiran liberal terhadap kitab suciSebetulnya liberalisme maupunHal seperti inilah sebetulnya tidak bermaksud menyingkirkan Allah,tetapi ditempuh lebih karena ketaatanyang sedang terjadi di kawasandunia luar, yang su-terhadap prosedur menjalankanilmu pengetahuan.dah menyebut diri pascamodern.Agama tidak disingkirkan,tetapi juga tidak menjadi fungsi tunggal dalam politik. Diberiperan, tapi juga dibatasi. Atau sebaliknya, dibatasi, tapi juga diberiperan. Sebuah proses dimana sekularisasi dan desekularisasi dijalankansecara bersama-sama. Untuk Indonesia, kalau situasi sepertiini sedang dijalani, alangkah baiknya diteruskan.Ioanes Rakhmat –991


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Lantas seberapa sekularkah Indonesia sekarang, sehingga dapat diharapkanmenopang kemajuan bersama?Dari pilihan antara negara sekular atau negara agama, untuknegara Indonesia kita telah menolak dua-duanya. Pilihannya adalahnegara Pancasila. Di dalamnya, agama diberi tempat untuk memberisumbangan pencerahan dalam dunia politik, tetapi tidak menjadikanIndonesia sebagai negara agama. Indonesia juga bukan negarasekular karena agama diberi tempat penting. Sayangnya, sekarangkita telah kehilangan otoritas Pancasila karena penyalahgunaannyadi masa Soeharto. Kini kita berada dalam zaman Reformasi. Belakangansaya bersyukur, karena orang seperti mantan rektor UINJakarta, Azyumardi Azra, pernah menulis di koran bahwa kita perlumerejuvenisasi, meremajakan, Pancasila. Tulisan ini lantas disambutdengan banyak dukungan meski banyak juga yang kontra. Tapi iniadalah sebuah langkah yang sangat bagus. Sarana lain seperti siaransiaranradio juga dapat menjadi sarana-sarana rejuvenasi Pancasila,seperti dilakukan Radio Utan Kayu yang juga terus menayangkaniklan layanan publik yang menginginkan kembali Pancasila untukmenjadi landasan filosofis hidup bangsa. Saya setuju dengan halhalitu, dan bagi saya, negara Pancasila adalah negara jalan tengah,di mana negara tidak menjadi sepenuhnya sekular dan tidak jugamenjadi totaliter agamawi.Kita tahu bahwa liberalisme, dalam sejarahnya, adalah “saudara kandung”dari sekularisme sendiri. <strong>Kebebasan</strong> berpikir, penghargaan terhadapakal budi, sains dan penafsiran kritis-historis kitab suci, lahirsetelah kemunculan sekularisasi. Kalau di atas sedikit telah disinggungmasalah tafsir, dalam proses liberalisasi sendiri, bagaimanakah992– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perkembangan tafsir kitab suci khususnya, yang tak bisa dipisahkandari reformasi Protestan itu?Sekularisasi, dalam dunia tafsir kitab suci Kristen, telah melahirkantafsir liberal. Tafsir model ini dan pandangan liberal, oleh sebagiankalangan Kristen dianggap hendak menyingkirkan dimensi adikodratidalam dunia manusia. Orang-orang liberal itu, kata mereka,menolak mukjizat sehingga segala sesuatu harus hanya dijelaskan secaranatural-historis-sosiologis,tidak perlu menerima adanya Sekularisme sebagai suatu usahaintervensi yang ilahi. Ini yang konsepsional dalam menjelaskan dandijuluki sebagai posisi liberal. memberi uraian sistematis terhadapproses sekularisasi. Sekularisasi,Walaupun demikian, sebetulnyaliberalisme maupunsebagai proses natural dan sosiologisdalam masyarakat, harus dijelaskanpenafsiran liberal terhadapasal-usulnya, kecenderungankitab suci tidak bermaksud perkembangannya, dan sifat-sifatnya.menyingkirkan Allah, tetapi Nah, cakupan penjelasan itulah yangditempuh lebih karena ketaatanterhadap prosedur men-sekularisme. Saya tidak berkeberatankemudian masuk ke dalam ranahjalankan ilmu pengetahuan.terhadap pandangan ini.Ketika mau menjelaskan kitabsuci, orang-orang yang meneliti dengan semangat liberal sepertiini, harus taat kepada prosedur penelitian ilmiah. Artinya, kalausedang meneliti suatu peristiwa yang dikisahkan oleh kitab suci, sipenafsir tidak boleh tiba-tiba melakukan “lompatan iman” denganmengklaim adanya intervensi ilahi sebagai penyebab terjadinya peristiwaitu. Jika ia melakukan hal seperti ini, si sejarawan Kristen yangsedang menafsirkan kitab suci secara critical-historical ini telah tidakmenaati asas-asas penerapan ilmunya. Oleh karena itu kalau adasuatu peristiwa dalam kitab suci yang bisa dijelaskan dengan meng-Ioanes Rakhmat –993


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–acu pada sumber-sumber historis atau pada proses-proses alamiah,kita tidak perlu mempostulatkan adanya intervensi yang adikodratike dalam realitas sejarah. Semaksimal mungkin si penafsir harusmenjelaskan hal-hal yang terjadi di dunia ini dengan menggunakansumber-sumber historis dan analisa sosiologis-kultural-historis.Inilah salah satu ciri penafsiran liberal dalam kitab suci.Lantas apa akibat dari penafsiran liberal seperti ini? Penafsiranliberal memang membuat akal budi dinomorsatukan dan Allahdisingkirkan. Kaum liberal mengatakan bahwa kalau sesuatu bisadijelaskan dengan masuk akal, dengan memakai referensi historissosio-kultural,kenapa ini tidak dilakukan. Kalau Anda menjadidokter sekaligus seorang Muslim atau seorang Kristen yang taat,yang percaya pada Yang Maha Kuasa yang bisa melakukan mukjizat,maka ketika mau menyembuhkan pasien, Anda tetap harusdengan konsisten menempuh prosedur ilmu kedokteran. Kita tidakboleh mengatakan bahwa orang yang sakit itu tidak usah diobati,cukup menunggu mukjizat saja; bahwa tidak usah menempuh prosedurumum ilmu kedokteran, cukup menunggu intervensi yangilahi. Orang yang seperti itu, jika ada, ia akan dapat ditangkap,dan dapat dituduh melakukan mal-praktek dan tidak bertanggungjawab. Posisi hermeneutik orang liberal juga seperti itu. Bukan iatidak lagi mengakui kemahakuasaan Allah, tetapi karena ia ingintaat-asas menerapkan ilmu penafsiran kitab suci yang memakaireferensi natural-sosio-kultural.Sehubungan dengan teks-teks tentang mukjizat, tafsir kitab sucisendiri, dalam kalangan Kristen khususnya, terbagi ke dalam tigaposisi: posisi naturalis, di mana semua hal mau dijelaskan secaraalamiah. Ini disebut juga posisi rasionalis. Lalu posisi supranaturalis,yang belum apa-apa mengembalikan semuanya kepada intervensi994– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang ilahi, sebagai mukjizat. Sehingga, kebenarannya tidak bolehdiganggu-gugat, tinggal diterima dalam iman. Dan terakhir, posisiyang melihat teks-teks kitab suci itu sebagai teologi yang dikemasdalam bahasa mitis metaforis.Sekalipun bercerita tentang sejarah atau menyaksikan intervensiyang ilahi, dengan pendekatan teologis, semuanya dilihat dalamkerangka teologi, yang tidak sama dengan sejarah. Posisi terakhirinilah yang dipegang oleh kelompok liberal dalam menafsir kitabsuci. Pasti ada maksud teologis ketika sang penulis bercerita tentangterjadinya mukjizat. Maksud teologis inilah yang dicari. Darisini lahirlah beberapa pendekatan yang sangat ilmiah-kritis-historis,yang umumnya ditentang oleh kaum fundamentalis keagamaan,yang ingin kembali kepada pendekatan literalistik terhadap teks-tekskitab suci. Bagi kalangan fundamentalis literalis biblis, apa yangditulis, itulah sejarah, itulah yang harus diterima dengan iman sebagaikebenaran. Tidak boleh dilawan dengan akal budi. Kitab sucidikembalikan lagi untuk memiliki otoritas tunggal dalam menjelaskandan mengarahkan ilmupengetahuan. Ini kembali <strong>Beragama</strong>, menurut hemat saya,ke zaman pra-kritikal sebelumera Pencerahan.belum tiba di titik final; kita tidak bisaadalah berziarah. Kita belum selesai,mendaku bahwa agama kitalah yangDari tulisan-tulisan Andayang tersebar di beberapa media,terlihat bahwa ternyata,dalam kalangan Kristen, adaversi-versi kitab suci atau penafsirankitab suci yang disudah jadi. Semua agama adalahsedang menjadi, becoming, sedangberada dalam perjalanan menuju masadepan yang penuh dengan segalakemungkinan pembaharuan, redefinisi,kelahiran kembali, rebirth, perumusankembali doktrin, dan sebagainya.Ioanes Rakhmat –995


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–luar mainstream. Kami ingin mendapat penjelasan tentang hal itu,kemudian bagaimana dampaknya terhadap agama, karena agama,kalau tidak lagi memiliki pegangan absolut, bisa dikatakan sudahbukan lagi agama. Dengan penafsiran liberal, apakah peran agamatidak malah terkikis?Orang-orang kalangan Kristen liberal tidak menyangkal adanyayang Absolut, yaitu Allah. Oleh karena itu mereka masihdisebut teolog. Kalau seorang teolog tidak lagi percaya adanyatheos, Allah, Yang Maha Absolut, maka ia bukan lagi seorang teologmelainkan, katakanlah, seorang sosiolog atau fenomenolog.Masalahnya, Alkitab itu bukanlah pengejawantahan dari yangAbsolut menjadi teks seluruhnya. Ini mungkin berbeda daripandangan mainstream di kalangan Muslim tentang al-Quran.Dalam lingkungan penganut agama Kristen, kitab suci umumnyadipandang sebagai kesaksian-kesaksian tentang yang Absolut.Yang Absolut sendiri mutlak, tetapi kesaksian tentangnya tidak.Kesaksian itu dikondisikan, ditentukan dan dipengaruhi zaman.Ketika si penulis kitab suci menafsir apa yang dia dengar sebagaisuara yang Absolut atau suara Allah, dia harus memakai kerangkailmu pengetahuan zamannya, yang tentu sudah berbedadari ilmu pengetahuan zaman kita. Lebih dari itu, dia juga hidupdalam suatu lingkungan natural-kultural yang berbeda darilingkungan kita sekarang. Misalnya ada agama yang lahir di kawasanpegunungan di Nepal, di India, di gurun pasir, di gurunSinai seperti agama Musa, lalu ada yang di padang gurun SaudiArabia – inilah kondisi-kondisi sosio-kultural, environmental circumstancesyang memengaruhi sekaligus membatasi bagaimanadulu si penafsir menyuarakan apa yang diyakini sebagai suarayang Absolut itu.996– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Akhirnya, sekalipun wahyu itu ada dan mutlak, masalahnyaada pada keterbatasan si penerima wahyu, manusia, yang menulis.Ketika si penerima ini menulis, keterbatasannya juga tersalurkanke dalam tulisan. Karena itu, posisi yang paling bertanggungjawab adalah tidak menolak adanya yang Absolut, seraya tidakmengabsolutkan kesaksian-kesaksian manusia tentang yang Absolutitu. Karena kesaksian itu dikondisikan oleh budaya dan zamanmasing-masing penulis kitab suci. Umumnya para teolog liberalmemandang secara demikian. Ada juga segmen dalam kekristenanyang memandang lahirnya Alkitab sama seperti mainstream Muslimmemandang lahirnya al-Quran. Mereka paralelkan saja keduanya.Seolah-olah di surga ada mesin fax. Allah, via “fax surgawi,” mengirimtulisannya ke bumi, lalu manusia menerima firman yangsama persis dengan aslinya. Tetapi orang-orang yang berada padaposisi penafsiran liberal-historis-kritis, tidak lagi memandang kitabsuci seperti itu. Mungkin juga kalangan Muslim di dalam JaringanIslam Liberal (JIL) tidak lagi memandang al-Quran sebagaimana kalanganmainstream Muslimmemandangnya.Bagi saya, negara Pancasila adalahnegara jalan tengah, di mana negaratidak menjadi sepenuhnya sekular danDalam Kristen, konon, ada tidak juga menjadi totaliter agamawi.kitab-kitab suci temuan-temuanbaru di luar mainstream kitab suci yang dipercayai umat Kristianisekarang. Dengan kasus ini, posisi sejarawan dan tafsir liberalbagaimana? Lantas, bagaimana dengan posisi umat sendiri?Jumlah dokumen dalam kitab-kitab suci Protestan berbedabeda.Dalam kalangan umum Protestan (mengikuti Martin Lutherdan Yohanes Calvin), jumlahnya 27 kitab untuk Perjanjian BaruIoanes Rakhmat –997


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–atau untuk tulisan-tulisan Kristen yang menjadi kanon (‘ukuran’atau ‘standar’ untuk merumuskan ajaran yang benar; kumpulandokumennya disebut dokumen-dokumen kanonik). Di dalam gereja-gerejaProtestan sendiri masalahnya ada lebih dari satu kanon.Kanon Protestan arus utama itu hanya salah satu saja. Ada jugagereja-gereja Protestan, seperti gereja-gereja di Ethiopia, dengantradisinya sendiri-sendiri, yang memiliki kitab suci yang jumlahtulisannya jauh lebih banyak. Di samping itu, ada Gereja RomaKatolik yang memiliki kanon lebih tebal lagi, karena di antara PerjanjianLama dan Perjanjian Baru, masih ada sejumlah kitab yangdisisipkan ke dalamnya sebagai kanon kedua, disebut sebagai Deutero-Kanonika.Belum lagi ada kanon-kanon gereja-gereja Ortodoks(Mesir, Rusia, Yunani). Kalau ada yang berkeras “Kitab suci kitajumlah dokumennya harus hanya segini”, itu hanya mewakili tradisigerejanya. Masih ada gereja-gereja lain dengan tradisi berbedayang juga memiliki jumlah tulisan suci yang berbeda.Sebetulnya alangkah baiknya jika kita menganut prinsip “kanonterbuka”. Bahwa kanon itu sebetulnya terbuka, bukan dibatasioleh Allah tetapi oleh sejarah, oleh kepentingan masing-masingaliran gereja. Karena itu kanon bersifat selalu terbuka bagipenambahan di kemudian hari. Posisi seperti ini membuat orangtidak boleh menuduh apa yang tidak ada dalam kanon sendiri sebagaitulisan sesat. Kalau dikatakan bahwa Deutero-Kanonika-nyaadalah kumpulan tulisan sesat, orang Katolik sendiri akan segerabersikap: yang emosional akan marah, dan yang lebih intelektualakan menjelasklan mengapa perlu ada tambahan kanon.Dalam buku The Complete Gospels (suntingan Robert J. Miller,1992, 1994), dimuat lebih dari lima belas dokumen Injil lainselain yang ada di dalam Perjanjian Baru. Injil-injil Yahudi-Kris-998– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ten saja, bisa saya sebutkan, ada tiga, yaitu Injil orang Ibrani, Injilorang Ebion, dan Injil orang Nasrani. Pengetahuan tentang hal itusebenarnya bukan hanya muncul ketika ada penemuan-penemuanbaru dalam abad ke-20, yang menggemparkan gereja. Orang-orangyang belajar kitab suci Yahudi-Kristen secara luas, sudah lama mengetahuibahwa ada sekian dokumen lain yang non-kanonik, yangketika dulu lahir dan dipakai memiliki fungsi kanonik dan berwibawabuat masing-masing komunitas yang memakainya.Kita sekarang mengatakan bahwa kitab-kitab yang diluar kitabsuci itu tidak kanonik, bukan firman Allah. Padahal, pada zamannya,ketika kanon 27 kitab Perjanjian Baru itu belum ditetapkan,masing-masing dokumen itu dipakai di dalam gereja dan komunitas-komunitaskeagamaan lain sebagai dokumen-dokumen yangkanonik dan berwibawa. Baru ketika kanonisasi membatasi jumlah,yang di luar itu dianggap non-kanonik. Mengacu pada isu mutakhir,di kalangan gereja sekarang mencuat diskusi tentang antaralain Injil Maria Magdalena, Injil Filipus, Pistis Sophia, Injil Yudas,Injil Thomas, dan Akta Filipus. Yang marak didiskusikan jugadan masih terus akan berlangsung sampai sekian puluh tahun kedepan adalah penemuan makam keluarga Yesus pada 1980, yangpada tahun 2006-2007 diangkat kembali ke permukaan melaluifilm dan buku-buku. Ini semua melahirkan kontroversi yang panas,yang membuat orang Kristen merasa diombang-ambingkan.Keamanan yang selama ini diperoleh dengan 27 kitab, sekarangdirongrong oleh sejumlah kitab lain yang pernah berwibawa danyang sekarang dicoba diangkat lagi kewibawaannya. Ini memanggejala yang umum terjadi. Begitu sebuah agama yang fondasi-fondasinyasudah sangat kuat dan mapan selama ratusan bahkan ribuantahun tiba-tiba dihadapkan pada pengetahuan baru, penemuanIoanes Rakhmat –999


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–arkeologi baru, penemuan kitab-kitab baru yang setelah diselidikiberusia sangat tua, bahkan lebih tua dari kitab-kitab resmi, tentusaja agama tersebut (dalam hal ini agama Kristen) akan terguncangdengan sangat serius.Lantas sikap positif bagaimana yang harus diambil? Saya kirabukan dengan atas nama iman atau atas nama sebuah doktrin,suatu umat beragama kemudian buru-buru menolak semua penemuanbaru. Itu sikap kekanak-kanakan, tidak produktif, tidakbertanggungjawab, sebagaimana yang pernah gereja jalankan dulupada masa Abad Pertengahan. Sekarang, dengan zaman yang sudahmaju, keterbukaan informasi melalui internet dan media elektronikserta media cetak lain yang tak bisa dibendung oleh siapapun,tidak ada jalan lain yang masuk akal dan konstruktif selainmemberikan pengetahuan baru dan membeberkan analisa-analisa,penelitian-penelitian, dan kesimpulan-kesimpulan tentang penemuanbaru itu kepada warga gereja. Jangan menganggap warga gerejaatau warga agama pada umumnya sebagai orang yang bodoh, yangtidak tahu apa-apa.Sikap saya dan sebagian besar orang yang berpikir positif terhadapilmu pengetahuan juga seperti itu. Memberi pengetahuankepada umat tentang penemuan baru, lalu mempertimbangkan apaimplikasi dan konsekuensinya bagi iman. Itu harus dihadapi secarategar, berani, kritis, terbuka, dan tidak defensif ataupun ofensif.Kalau ternyata ada bagian dari iman yang sudah dipegang selamaratusan bahkan ribuan tahun ternyata tidak cocok dengan faktasejarah yang berhasil disusun ulang melalui penemuan-penemuandan teori-teori serta metode-metode baru, maka tidak ada jalanlain selain meredefinisi iman. Begitulah caranya beriman, selalutanggap pada setiap perkembangan zaman, jika kita meyakini Al-1000– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lah adalah Roh yang hidup dan selalu berfirman secara baru untuksetiap zaman. Selain memperhatikan tradisi yang diwariskan,juga harus mempertimbangkan apa yang sedang berlangsung padazaman sekarang. Ini yang dinamakan berteologi secara responsif,bertanggung jawab dan tanggap terhadap panggilan zaman.Inilah posisi liberal. Tidak ada jalan lain yang lebih baik selainyang seperti ini. Mengambil jalan yang ekstrem fundamentalistiksama sekali tidak akan produktif dan tidak bertanggung jawab.Mengatasnamakan iman, gereja, Yesus, dan Allah, untuk menolaksemua pengetahuan dan semua penemuan baru sama sekalitidak tepat, tidak bertanggungjawab dan tidak produktif. Sekalilagi, yang terbaik adalah dengan menghadapkan fakta-fakta yangada kepada warga gereja atau umat beragama: ajak mereka jugamengetahui, diskusikan bersama-samaapa akibat danDari pilihan antara negara sekularatau negara agama, untuk negaraimplikasinya bagi iman, sertaberani meredefinisi imanIndonesia kita telah menolak duaduanya.Pilihannya adalah negaradan doktrin kalau itu memangdiperlukan.tempat untuk memberiPancasila. Di dalamnya, agama diberisumbanganpencerahan dalam dunia politik, tetapitidak menjadikan Indonesia sebagai<strong>Beragama</strong> merupakan kebebasanpaling dasar bagi ma-negara agama. Indonesia juga bukannegara sekular karena agama diberinusia. Bagaimanakah Andatempat penting.melihat hak dan kebebasansipil, kaitannya dengan ekspresi keberagamaan, dalam konteks negara,karena dalam praktik kehidupannya, umat beragama juga selaluberhubungan dengan pemerintah dan negara?Ioanes Rakhmat –1001


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Untuk praktik ini, saya kira negara kita harus bisa mencontohnegara-negara maju. Di situ, semua agama diberi kesempatan luasuntuk dapat diekspresikan dan dianut oleh siapa saja; negara tidakakan mencampuri. Namun, atas nama hukum ditegaskan dengankuat, tidak boleh umat yang satu menghina dan membatasi, apalagimembantai umat agama lain. Hak sipil untuk beragama dengan bebasharus dilindungi dan dijamin di samping oleh undang-undang,hukum atau peraturan yang berlaku, juga oleh kemauan politik pemerintah– bahkan untuk memeluk agama yang baru diilhamkan,seperti ‘agama’ model Lia Aminuddin sekalipun. Dalam negara yangmodern dan demokratis yang menjamin kebebasan warganya sebagaimanadisebutkan di atas, definisi sah dan tidaknya suatu agamatidak boleh ditentukan oleh negara. Sebaliknya, negara harus melindungi,mengayomi dan mendukung setiap warga negaranya untukberagama, apapun agamanya, sambil, tentu saja, mendorong umatagama baru yang ada untuk menghayati keberagamaan merekasebegitu rupa sehingga tidak menyinggung atau menghina umatagama-agama lain yang sudah lama ada.Yang kedua, bagaimana agama-agama baru yang dilindungioleh hukum dan negara ini tetap bisa hidup damai dalam suatumasyarakat tanpa menyinggung agama-agama lain? Di sinilah persoalannya.Ini sulit, sebab umumnya, agama yang baru lahir akanmengklaim menggenapkan atau bahkan mengabrogasi agama yangsudah ada. Kalau keadaan damai ini sulit dicapai dan umat agamayang telah ada sebelum agama baru itu tersinggung, pemerintahbisa berperan sebagai katalisator pendamaian, bukan merepresi salahsatunya. Inilah posisi negara yang cukup sulit dijalankan untuknegara kita sekarang ini. Terlebih lagi, marak munculnya fenomenapaham agama baru sekarang-sekarang ini tidak hanya terjadi1002– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di dalam Islam, tetapi juga di dalam kekristenan. Ini adalah halserius yang harus dipikirkan pemerintah dan oleh umat beragamapada umumnya.Kalau melihat pemerintah, senyatanya kita masih melihat berbagaitindak pemihakan terhadap kelompok-kelompok yang sebetulnyabukan mayoritas, tetapi punya peran politik yang cukup signifikansehingga bisa mempengaruhikebijakan-kebijakan pemerintah.Dalam hal ini, apakahLiberalisme maupun penafsiranliberal terhadap kitab suci tidakAnda melihat bahwa negara bermaksud menyingkirkan Allah,kita sudah mempunyai cukup tetapi ditempuh lebih karena ketaatanlegitimasi atau justifikasi (capacitystate) atau malah se-ilmu pengetahu-an. Ketika mauterhadap prosedur menjalankanbenarnya sama sekali belum menjelaskan kitab suci, orang-orangpunya? Tegasnya, apakah konstitusikita tidak menjaminyang meneliti dengan semangatliberal seperti ini, harus taat kepadaprosedur penelitian ilmiah.hak-hak sipil untuk bebas beragamadan berkeyakinan?Secara konstitusional sebenarnya kita punya landasan yangsangat kuat dalam hal kebebasan sipil untuk beragama. UndangUndang Dasar (UUD ’45) negara kita menjamin setiap individuuntuk mengamalkan dan menghayati agama yang dipercayai.Cuma, masalahnya memang, siapa yang menafsir UUD ’45 atauperangkat hukum lainnya itu? Lalu apakah si penafsir itu memilikiposisi politik yang kuat di negeri ini atau tidak? Karena kekuatanposisi politik seringkali mengalahkan kekuatan hukum. Artinya,secara hukum, bukan hanya di bidang agama, tetapi juga di bi-Ioanes Rakhmat –1003


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dang-bidang lain, negara kita belum tertib. Masih sering terlihatbahwa pada akhirnya kekuatan mayoritaslah yang menentukanmana yang benar dan mana yang salah. Ini adalah tantanganbagi kita, semua umat beragama yang berbeda-beda ini, untukberjuang bersama agar kebebasan sipil beragama dihargai murnisebagai hak sipil dan hak asasi yang harus dilindungi. Kelompokkelompokpolitik yang mempunyai kekuatan besar dan berafiliasidengan agama tertentu juga harus ingat bahwa mereka hidupdalam negara yang majemuk, bukan dalam negara agama, jugabukan dalam negara sekular.Jadi, kebebasan beragama akan terjamin jika dibangun dengankemauan dan kemampuan politik yang serius dan riil, artinya,bukan hanya dijamin oleh UU, tetapi juga direalisasikan dalampraktik kehidupan. Pada pihak lain, adalah kewajiban kita bersamadan pemerintah secara umum untuk mencerdaskan bangsa danmembangun mentalitas yang toleran, jujur, dan mengakui bahwakebebasan beragama itu milik semua orang, bukan hanya milikumat beragama sendiri saja. Untuk membangun suasana seperti iniperlu kerjasama antara semua umat beragama. Saya kira jalannyaadalah pemerintah harus memiliki kemauan politik untuk konsekuendengan UUD ’45 dan peraturan yang ada. Kalaupun adaUU ataupun peraturan pemerintah yang dibuat baru atau disusunulang, wacananya harus dibicarakan terlebih dahulu secara umum.Jangan hanya memihak kepada salah satu agama yang mempunyaikekuatan politik lebih besar daripada kekuatan politik umat beragamalain. Pikirkan juga umat-umat lain yang lebih kecil, yangminoritas, baik di lingkungan internal suatu agama, maupun dalamhubungan antaragama.1004– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Negara yang maju melindungi semua umat beragama di dalamnya,baik yang mayoritas maupun yang minoritas. Bahkan justruterhadap minoritas yang lemahlah, dukungan dan perlindunganpemerintah seharusnya lebih ditampakkan, bukan malah pada yangmayoritas. Kalau kita mempunyai anak yang lemah dalam rumahtangga, misalnya, karena ia sakit atau cacat jasmani, perhatian ekstraharus diberikan kepada yang lemah ini, bukan kepada yang kuat,meskipun juga tidak membenci yang kuat. Namun, ketika mengaturkehidupan, perhatian, perlindungan dan pengayoman haruslebih banyak diberikan kepada pihak yang lemah.Kalau kita lihat kasus yang terjadi beberapa waktu lalu, seperti penerbitanPeraturan Bersama 2 Menteri (No 9 dan No 8 Tahun 2006)tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian rumahibadah, tampak bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintahmasih jauh dari memihak minoritas. Di situ masih menyisakandiskriminasi, meski telah dikompromikan. Di atas segalanya, tampaknya,negara kita masih belum bisa berbuat apa-apa untuk menjaminhak atau kebebasan sipil dalam beragama. Bagaimana Andasendiri melihat hal ini?<strong>Kebebasan</strong> sipil dalam beragama hanya bisa efektif dan akanterjamin kalau didukung oleh kedewasaan beragama dan berelasisosial antarumat beragama sendiri. Maka untuk kasus PeraturanBersama 2 Menteri itu, di satu sisi, karena pertimbangan-pertimbangantertentu, saya setuju bahwa pembangunan rumah ibadahharus dibatasi. Karena pembatasan ini berarti juga membatasi caracarapenyebaran agama, yang dalam kalangan Kristen di Indonesiasering dilakukan dengan agresif dan ekstensif oleh golongan ekstre-Ioanes Rakhmat –1005


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mis. Kalau tidak ada pembatasan pembangunan rumah ibadah olehpemerintah, maka hal ini hanya akan memberi kesempatan kalanganekstremis Kristen untuk menyapu Indonesia. Karena mereka memilikipower dan dana yang cukup besar. Kaum fundamentalismereligius ekstrim ini sangat kuat dalam gereja Kristen di Indonesia.Dan bagi saya, tindakan mereka yang selalu ingin memindahkanagama seseorang dari suatu agama lain masuk ke agama Kristen,baik dilakukan secara paksa maupun melalui bujukan, memangharus dibatasi. Kalau tidak dibatasi dengan peraturan yang kuat,legal dan mengikat, maka ini akan bisa membuat banyak pihakdirepotkan, karena militansi penginjilan dan pengkristenan sangatkuat dimiliki di tingkat grass root orang Kristen Indonesia, meskimereka bukanlah kelompok yang mainstream.Pada sisi yang lain, yang perlu diingat dan diperhatikan olehpara pembuat kebijakan adalah bahwa Peraturan Bersama 2 Menteriitu juga hendaknya jangan sampai menindas agama apapun.Peraturan ini seharusnya dimaksudkan agar relasi sosial-religiusdapat berjalan dengan harmonis antara agama-agama yang ada diIndonesia.Contoh paling dekat, sekarang kita baru saja menghadapi masalahpolitis-keagamaan di Papua (Manokwari) dengan didesakkannyaPerda Inji oleh masyarakat dan Pemda di sana. Di daerah mayoritasKristen ini muncul suatu tuntutan tandingan yang merupakankebalikan dari tuntutan di tempat-tempat lain yang mayoritas Islam.Kalau di tempat lain kekristenan tertekan karena kesepakatandua menteri itu, di Papua justru hal itu dipakai untuk membatasimasyarakat Muslim. Umat Kristen di sana, yang memang menjadikekuatan mayoritas, ingin menegakkan ‘syariat’ Kristen. Bahkanwakil-wakil PGI dan lain-lain yang datang ke sana untuk coba1006– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menentramkan dan merestorasi keadaan dengan baik-baik, malahdituduh sebagai agen-agen BIN. Bukannya dapat mendamaikankeadaan dan memulihkan persatuan dan kesatuan, mereka malahmendapatkan demonstrasi yang cukup keras.Di luar kasus yang terjadi di Papua itu, menurut saya, kalanganmainstream Kristen sebenarnya sudah mengerti kalau gerakan-gerakandi tingkat grass root Kristen itu memang harus diatur. Kalautidak, semangat kristenisasi dan politisasi agamalah yang akan sangatmewarnai kehidupan keagamaan di sana, sebagaimana juga terjadidi Islam melalui kalangan FPI dan lain-lain yang paralel. KalanganIslam moderat sekarangmengalami kebingungan sekaliguskesal dengan gerak-Yang harus kita pelihara dankembangkan dalam rangka merawatan-gerakan ekstremis Islam, pluralitas adalah tradisi-tradisisebagaimana kalangan moderatKristen juga dipusing-mengajarkan dan mendidik orangdan kearifan-kearifan lokal, yangkan oleh kalangan ekstremis untuk terbuka terhadap orang lain,yang ada di dalamnya. Kalaukita tidak menginginkan kebajikan, untuk bersikap toleran,untuk banyak menabur kasih danterjadinya benturan frontal bersemangat gotong-royong,dan ramah.di lapangan antara FPI dankalangan-kalangan ekstremisKristen, maka negara harus mengatur, bukan menindas penganutpenganutagama-agama. Di negara yang plural seperti negara kita,peran negara tidak bisa ditiadakan. Kalau umat-umat beragama dibiarkanuntuk mengatur dirinya sendiri, orang pasti akan kecewadan terkejut dengan hasil yang akan dicapai nanti. Jika ini yangdibiarkan terjadi, maka kita akan menyaksikan lebih banyak bentrokandan konflik daripada harmoni dan perdamaian. Di sinilahIoanes Rakhmat –1007


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–fungsi katalisator sosial-politis dari negara itu berperan, misalnyamelalui Departemen Agama, jika lembaga ini memang layak diandalkan.Apakah di situ Anda sama sekali tidak melihat adanya keteganganantara nilai-nilai kebebasan sipil dan hak-hak sipil. Artinya, menurutAnda, apakah negara kita memang sudah cukup baik?Dari sejak kita masih sebagai bangsa yang dijajah, memang sudahada perlakuan diskriminatif terhadap kalangan agama tertentuseraya membela kalangan yang lain. Hal ini terus masuk dan berjalansampai ke zaman kita, khususnya kalau kita memperhatikancampur tangan Barat untuk membela kekristenan di Indonesia.Di situ ada pembelaan terhadap satu pihak yang dilakukan olehBarat, sementara menekan pihak yang lain. Namun, pada sisi lain,pengalaman kita dalam konflik antaragama seperti Islam-Kristenyang sangat tajam mencuat di zaman Soeharto, dapat memberikanpelajaran bahwa tidak semua pengambil kebijakan, aparat pemerintah,benar-benar mau menghargai hak sipil untuk beragama.Justru mereka memakai agama-agama hanya sebagai wahana untukmemperjuangkan kepentingan politik. Mereka akan bermanuver,melakukan politik adu domba antaragama, hanya untuk mengambilkeuntungan darinya. Artinya, ada segi gelap, buruk dan jahat daripara pelaku politik negara kita ketika mereka memainkan agamaagamademi kepentingan politik mereka.Namun, pada level ideal kita tetap masih mempunyai harapan.Hal ini karena negara kita bukanlah negara agama ataupun negarayang sekular sama sekali. Negara kita adalah negara yang memberitempat pada agama namun tidak menjadikan suatu agama sebagai1008– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–agama negara. Pada saat yang sama, negara kita juga tidak menyingkirkanagama sama sekali untuk menjadi negara sekular. Dalamposisi seperti ini, jika peraturan-peraturan tentang agama dibuatdengan memperhatikan kepentingan dan konsensus nasional, makamungkin ini tidak akan menyakitkan agama tertentu, seperti yangsekarang terjadi. Sekarang, dengan capaian baru otonomi daerah,justru banyak yang memanfaatkan kondisi ini untuk membangunperaturan-peraturan daerah yang sangat diskriminatif, yang merugikanumat tidak seagama,seperti halnya dengan praktikpenerapan perda-perda tidak menyangkal adanya yangOrang-orang kalangan Kristen liberalyang bernafaskan syariat Islam.Inilah yang harus be-mereka masih disebut teolog.Absolut, yaitu Allah. Oleh karena itunar-benar diperhatikan.Namun, keyakinan akan keterjaminan hak-hak dan kebebasansipil warga negara, termasuk hak beragama, tetap ada dan akanterwujud di negara kita, karena berdasarkan pengalaman sejarah,bangsa kita adalah bangsa yang sangat sensitif dan sadar perlunyapluralisme dipertahankan, baik dalam kebudayaan, agama, maupundalam pandangan politik. Yang oleh karenanya, para pendiri negarakita kemudian bertekad untuk mengayomi semua umat beragamadalam satu ideologi yang pluralistik inklusif, yaitu Pancasila. Dalamkonteks kita sekarang, maka yang patut ditunggu adalah kemauanbaik dari para penyelenggara negara dan pelaksana kehidupanpemerintahan untuk menelurkan peraturan-peraturan yang melindungiumat beragama. Oleh karena itu, kini, sudah saatnya dialogdan percakapan yang lebih serius itu dibuka oleh pemerintah danlembaga-lembaga keagamaan.Ioanes Rakhmat –1009


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Terkait dengan dialog yang melibatkan banyak pihak dengan kepentinganyang berbeda-beda dan membangun pola hubungan antaragamauntuk menciptakan kehidupan bersama yang harmonis, kiranya tepatkalau kita membahas tema pluralisme. Sebab, tidak bisa dinafikan,Indonesia adalah negara yang majemuk, terdiri dari banyak sekalisuku bangsa, bahasa dan agama. Dapatkah Anda menggambarkankonsep pluralisme?Pluralisme adalah suatu posisi, keyakinan, way of life, doktrin,ajaran, atau ideologi yang mengakui semua agama adalah agamaagamayang otentik, valid, benar, dan mempunyai nilai dan dayauntuk mengubah watak manusia, berfungsi positif untuk mengarahkanmanusia kepada kehidupan yang utuh, yang disebut dengankeselamatan. Pengakuan bahwa semua agama adalah jalankeselamatan yang baik, yang berbeda-beda, yang dianugerahkanTuhan, sehingga harus dihargai secara sama rata, tidak boleh adayang dianggap nomor satu dan yang lainnya dianggap sekunder.Tegasnya, pluralisme menganggap bahwa masing-masing agamamerupakan jalan keselamatan yang unik.Di negeri ini, banyak sekali kalangan yang resisten terhadap pluralisme.Contoh yang terdekat adalah fatwa MUI yang mengharamkansekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Alasannya, pluralisme, misalnya,akan membawa kepada sinkretisme dan relativisme, karenasemua dianggap benar, tidak ada yang absolut. Benarkah dengan mengatakanbahwa semua agama memiliki kebenaran dan jalan keselamatanseseorang tidak jatuh pada relativisme dan sinkretisme?Yang menolak pluralisme religius pada umumnya adalah kalanganfanatik dalam setiap agama, yang kita sebut fundamentalis-1010– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–me religius. Dalam kalangan Kristen, hal seperti ini juga ditemukan.Saya sendiri, oleh mereka, dianggap sebagai seorang pluralisyang sudah menolak iman Kristen. Hal seperti ini dapat terjadi,bagi saya, tak lain adalah karena kesalahpahaman kelompok tersebutdalam memahami pluralisme. Pluralisme sebetulnya adalahkemajemukan tanpa meniadakan keunikan. Dalam pluralisme, semuaagama tidak dipandangsama, sehingga boleh dileburmenjadi satu, yang di-Bagi saya, unsur-unsur pokok dariagama sendiri minimal ada tiga, yaitusebut sinkretisme. Pluralisme cult, code, dan creed. Cult adalah kultusjustru mengandaikan bahwa atau ritual, code adalah etika, dan creedsemua agama itu memiliki adalah kredo atau syahadat. Tetapi, dikeunikan, individualitas dan samping ketiga unsur ini, terdapat satuidentitas sendiri yang tidak unsur yang lebih mendasar lagi, yaitusama dengan agama yang spiritualitas dan religiositas. Fundamenlainnya.dari agama sendiri adalah pengalamanperjumpaan dengan yang Ilahi. InilahPluralisme sama sekaliyang disebut dengan religiositasbukanlah relativisme. Karenaitu pluralisme membukaatau spiritualitas itu.kesempatan bagi orang yangberbeda-beda agama dengan identitas, jati diri dan keunikannyasendiri-sendiri untuk berdialog. Berdialog itu bukan berarti upayapenyeragaman. Dialog diperlukan hanya kalau agama-agama yangada berbeda-beda dan masing-masing memiliki keunikan yang dapatditawarkan kepada agama-agama lain dalam proses pengayaantimbal-balik. Kalau semua agama sama, maka dialog menjaditidak perlu.Di bagian manakah agama-agama bisa menyumbang padapluralisme, kalau kita menghayati bahwa semua agama sama-samaIoanes Rakhmat –1011


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–unik? Dulu, pertemuan antaragama atau antardua agama diwarnaimotivasi untuk memindahkan orang dari agama yang lama keagama baru. Sekarang, dengan diterimanya pluralisme, dialog akanmenghasilkan pertumbuhan timbal-balik antarorang yang berdialog.Misalkan saya yang mewakili Kristen dan Anda yang mewakiliIslam berdialog; ketika kita berdialog, saya diperkaya oleh Andasebagai partner dialog, begitu juga sebaliknya. Akibatnya bukanmenimbulkan sinkretisme, melainkan pengayaan. Dari yang semulaKristen menjadi Kristen plus, yang semula Islam menjadi Islamplus, Buddhis menjadi Buddhis plus, dan Hindu menjadi Hinduplus. Faktor plus ini hanya bisa didapat melalui dialog. Apa yangdicapai dalam dialog bukanlah sinkretisme, karena identitas kitamasing-masing tetap jelas. Hanya saja, keyakinan dan perspektifkeagamaan kita kemudian ditambah dan diperkaya dengan pemahamanyang lain; untuk ini bisa terjadi, orang beragama perluterbuka terhadap realitas agama lain.Pertanyaan selanjutnya, apakah perlu semua agama berkembang,tidak statis? Perlu. Sebab beragama, menurut hemat saya, adalahberziarah. Kita belum selesai, belum tiba di titik final; kita tidakbisa mendaku bahwa agama kitalah yang sudah jadi. Semua agamaadalah sedang menjadi, becoming, sedang berada dalam perjalananmenuju masa depan yang penuh dengan segala kemungkinanpembaharuan, redefinisi, kelahiran kembali, rebirth, perumusankembali doktrin, dan sebagainya. Pemahaman seperti ini akan dimungkinkankalau semua umat beragama terlibat dalam dialogyang bertujuan untuk memperkaya satu sama lain. Bahwa setelahmelewati proses dialog kemudian ada orang yang ingin pindahagama, itu bukan tujuan dari dialog.1012– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tujuan dari dialog sendiri adalah, pada level doktrinal, kitasama-sama tumbuh dan, pada level praktis, kita sama-sama bersatumengatasi problem-problem kehidupan, seperti bencana alam,perang, kebodohan, kemiskinan, pengangguran, dengan membangunkerjasama sosial, mengonsentrasikan sumberdaya yang ada,waktu, ketrampilan, dan ilmu agar masalah yang dihadapi dapatlebih efektif diatasi. Hal ini akan lebih mungkin berhasil dicapaikalau dilakukan bersama-sama daripada sendiri-sendiri.Dalam tradisi Kristen, sekte-sekte itu dianggap sebagai aliran yanglebih rendah dari aliran utama, bahkan ada yang digolongkan sesat.Banyaknya sekte sendiri menandakan adanya perbedaan di dalamtubuh Kristen. Dalam konteks pluralisme, keberbedaan seharusnyatidak menjadi alasan untuk mengeksklusi yang lain. BagaimanakahKristen sebenarnya menanggapi perbedaan sekte-sekte itu?Kalangan puritan, dalam semua agama, selalu akan menolaksekte yang berbeda dari mereka. Maka kita tidak bisa mengharapkanketerbukaan dan penerimaan terhadap aliran baru agama darikalangan puritan ini. Kita hanya bisa mengharapkannya pada kalanganekumenikal. Kalangan yang bisa menerima keanekaragaman,yang berkonsentrasi dan bekerjasama dalam “dunia yang satu”(ekumene, dalam bahasa Yunani diartikan sebagai “dunia yang didiamibersama-sama”). Dalam Islam, itu bisa terwujud di kalanganpluralis atau liberal.Pertanyaannya, lantas bagaimanakah posisi orang-orang darikalangan agama sendiri dalam memandang adanya agama-agamabaru yang bermunculan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, sayaakan terlebih dulu menguraikan esensi dari agama. Bagi saya, un-Ioanes Rakhmat –1013


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sur-unsur pokok dari agama sendiri minimal ada tiga, yaitu cult,code, dan creed. Cult adalah kultus atau ritual, code adalah etika,dan creed adalah kredo atau syahadat. Tetapi, di samping ketigaunsur ini, terdapat satu unsur yang lebih mendasar lagi, yaituspiritualitas dan religiositas. Fundamen dari agama sendiri adalahpengalaman perjumpaan dengan yang Ilahi. Inilah yang disebutdengan religiositas atau spiritualitas itu.Spiritualitas adalah induk dari semuanya. Spiritualitas berasaldari kata spiritus yang berarti roh. Jadi spiritualitas merupakan perjumpaandengan roh ilahi yang melahirkan segala sikap kebaikan.Sementara religiositas merupakan sikap tunduk dan hormat kepadayang induk. Dengan kata lain, spiritualitas adalah api dari agamayang selalu menyala, dan tetap harus dipertahankan menyala ketikaagama masuk ke zaman-zaman atau tempat-tempat lain.Menurut saya, kalau agama memang terlahir dari titik tolakpengalaman spiritual seperti ini, maka kita tidak bisa seenaknyamembatasi jika ada kalangan atau individu yang mengklaim telahmenerima pengalaman baru perjumpaan dengan yang ilahi, the divine,the Sacred. Pengalaman perjumpaan seperti ini, bagi saya, bisamelahirkan agama baru. Kalau kita yakin bahwa roh Allah terlalubesar untuk dikuasai oleh satu agama, maka kita harus terbukapada kemungkinan munculnya agama-agama baru itu. Kita tidakbisa menolak kemungkinan ini, karena memang sejarah manusiabelum berakhir. Abad ke-21 bukanlah abad terakhir. Masih akan adaabad ke-31, abad ke-41 dan seterusnya. Akhir zaman atau kiamatitu mestinya memang tidak akan pernah ada. Berarti agama-agamabaru akan terus bermunculan. Karena itu, kemunculan agama-agamabaru ini harus kita pandang sebagai pengalaman-pengalamanindividu tertentu terhadap kehadiran yang ilahi. Melalui kultus,1014– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kode etik dan kredo, pengalamanakan Yang Ilahi iniProses sekularisasi akan makinmemunculkan model-modeldirutinisasikan, dan ini melahirkaninstitusi agama.agama yang disebut denganfundamentalisme religius. Di lainKarena yang baru munculitu menamakan dirinya baru (New Age), yang lebih bernuansapihak, muncul agama-agama zamanagama, maka agama yang mistikal. Allah tidak hanya dicari dibaru ini pasti akan membangundoktrin, dogma, mene-perspektif ortodoks), tetapi lebih diluar, di langit, di surga (sebagaimanatapkan kitab suci, menetapkanperilaku moral dan etika sebuah fenomena menarik yang layakdalam batin. Saya kira ini merupakanuntuk dikaji lebih jauh, bahwa ternyatauntuk warganya. Maka, caraakal budi tidak bisa menyingkirkanmenanggapi kemunculannya,bagi kaum ekumenikal,kebutuhan manusia akan yangsupra-rasional, trans-historis, mistikaladalah bukan dengan melarangatau memberangusnya, kebutuhan inheren manusia yangdan adikodrati, yang merupakanmelainkan dengan sikap positifterbuka. Kita meneri-sudah terpatri secara genetis-biologis.ma sambil terus menguji apakah sebuah agama baru itu memangmendatangkan kebaikan atau malah kebobrokan dan kehancuranbagi manusia. Atau dengan kata lain, karena agama adalah perjumpaandengan roh ilahi, maka tinggal kita uji saja apakah yangdibawa oleh agama baru tersebut roh Allah atau justru roh setan,roh baik atau malah roh buruk.Pertanyaannya kemudian, lantas dari manakah kita bisa tahupada posisi manakah dalam dualisme itu suatu agama baru berada?Jawabannya adalah dari dampak yang dihasilkan oleh agamatersebut dalam lingkungan kehidupan manusia yang nyata. Kalausebuah agama baru lahir dengan menganjurkan umatnya untukIoanes Rakhmat –1015


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bunuh diri seraya membunuh orang banyak, atau menghendakiumat yang berbeda untuk dibinasakan – artinya agama ini membawadestruksi bagi manusia – maka agama baru ini harus kitatolak. Tetapi kalau sebuah agama baru itu malah makin membuatsemarak kegiatan yang mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan,maka agama baru itu harus didukung. Jadi, yang perlu kitalihat dari agama baru itu adalah dari mana roh yang telah mengilhaminyaitu berasal dan apa buahnya. Pohon mangga akan berbuahmangga yang baik kalau akarnya memang baik. Kalau dasarini yang kita pakai dalam menyikapi kemunculan agama-agamabaru, maka akan tidak ada lagi pemakaian dogma dan lain sebagainyauntuk menyerang agama yang lain. Sebaliknya, yang akanlebih dikedepankan adalah pemakaian tolok ukur etika yang menyangkutperbuatan hidup di dalam masyarakat. Dari buahnyakita akan mengenal pohonnya.Tetapi, menghasilkan buah yang baik juga pada akhirnya tidak hanyaditentukan oleh akar yang baik, melainkan juga oleh lingkungan, carakita merawat dan lain sebagainya. Bahkan terkadang, yang tidak kalahesensial justru pada cara perawatannya; cara kita memberi pupukdan bagaimana setiap hari kita memperlakukannya. Sampai sejauhini, sekularisme, liberalisme, dan pluralisme adalah penyokong utamatumbuh suburnya demokratisasi di manapun. Sebaliknya, ketiga gagasantersebut bertentangan dengan keyakinan kaum fundamentalis,meski pluralitas adalah sebuah keniscayaan untuk Indonesia dengankeragaman budaya, bahasa, agama, etnis dan lain-lain. Namun,dalam praktiknya, meski keragaman dan persentuhan di antaranyasudah dilakukan bertahun-tahun, sampai sekarang masih tetap tum-1016– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–buh benih-benih fundamentalisme, selalu muncul orang-orang yangtidak bisa mengiakan keberadaan orang lain di sekitarnya. Pertanyaanbesarnya, format ideal seperti apakah untuk membangun hubungandalam konteks Indonesia yang sangat plural ini?Menurut saya, hal ituPluralisme adalah suatu posisi,bisa dilakukan melalui perawatanindividu umat ber-keyakinan, way of life, doktrin, ajaran,atau ideologi yang mengakui semuaagama. Saya kira tentu peranindividu sangatlah besar otentik, valid, benar, dan mempunyaiagama adalah agama-agama yangdalam menentukan arah agama,meski yang lebih besar watak manusia, berfungsi positifnilai dan daya untuk mengubahlagi adalah peran umat atau untuk mengarahkan manusia kepadamasyarakat. Saya tidak akan kehidupan yang utuh, yang disebutmenjadi Kristen kalau lahir dengan keselamatan. Pengakuandi Saudi Arabia atau tinggaldan besar di Al-Azhar.bahwa semua agama adalah jalankeselamatan yang baik, yang berbedabeda,yang dianugerahkan Tuhan,Artinya lingkungan sangatlahmenentukan kita untuksehingga harus dihargai secarasama rata, tidak boleh ada yangmenjadi si A atau si B. Namundemikian, lingkungan lainnya dianggap sekunder. Tegasnya,dianggap nomor satu dan yangatau komunitas juga dapat pluralisme menganggap bahwaberperan menjadi penopang masing-masing agama merupakanpertumbuhan karakter individuyang makin sehat,jalan keselamatan yang unik.atau sebaliknya juga dapat mengindoktrinasi individu sehingga siindividu tidak dapat lagi melihat kemampuan pribadinya dan menyuarakankepentingannya. Kepentingan pribadinya lebur ke da-Ioanes Rakhmat –1017


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lam kepentingan komunitas. Hidupnya semata-mata hanya untukkomunitas, bukan untuk diri sendiri.Bagi saya, merawat atau memperhatikan kepentingan individuitu penting, sebagaimana memperhatikan doktrin dan etika komunitasjuga penting. Sayangnya, praktik yang sering kita jumpai, dalamagama yang sangat komunal dengan pemimpinnya yang sangat kharismatis-totaliter,si individu seringkali kehilangan dirinya. Bahkanada yang mau menyerahkan nyawa dirinya untuk sang pemimpindan umatnya. Ada relasi yang sangat kuat antara individu dan komunitasdari sebuah umat beragama.Selanjutnya saya akan menyoroti persoalan kedua dari pertanyaanAnda. Pertanyaannya, bagi saya kira-kira, bagaimanakahcara agar Indonesia – yang dalam sejarahnya telah begitu banyakmemperlihatkan diri sebagai sebuah komunitas besar yang ramahdan terbuka – masih bisa dipertahankan dan dari dalamnya fundamentalismereligius dapat dikikis? Jawaban saya, pertama, janganbiarkan ada warga negara kita yang masih terus bodoh. Harus adapendidikan yang merata dan dilandasi oleh filosofi yang mencintaikehidupan dan sesama manusia, dari tingkat perguruan tinggi sampaike tingkat paling dasar. Pendidikan yang dijalankan haruslahpendidikan yang berwawasan ekumenis, pluralis, liberal, terbuka,toleran dan menghargai kemajemukan.Kedua, jangan biarkan banyak warga negara kita yang terushidup miskin. Orang seringkali menganalisa fundamentalisme keagamaanitu hanya dengan menganalisa doktrin-doktrin agamasaja, yang memang tidak boleh dilupakan, karena memang doktrinyang fundamentalis akan melahirkan orang yang fundamentalis.Tapi, selain doktrin, lingkungan kehidupan juga sebenarnya sangatberpengaruh. Banyak rakyat Indonesia yang masih hidup dalam1018– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ghetto-ghetto kemiskinan. Di lingkungan semacam ini, agama yangsebenarnya harus melawan kemiskinan, telah juga ikut melahirkanorang-orang yang fundamentalis, orang-orang yang sangat keras,yang anti terhadap umat agama-agama lain, yang ingin melihatdunia segera berakhir dalam bencana semesta apokaliptis di saatmana hanya kelompok mereka sendiri yang akan diangkat ke surgauntuk menerima keselamatankekal. Jadi, kemiskinan Tujuan dari dialog sendiri adalah, padajuga harus diatasi oleh kita level doktrinal, kita sama-sama tumbuhbersama.dan, pada level praktis, kita sama-samabersatu mengatasi problem-problemKetiga, yang harus kitakehidupan, seperti bencana alam,pelihara dan kembangkanperang, kebodohan, kemiskinan,dalam rangka merawat pluralitasadalah tradisi-tradi-kerjasama sosial, mengonsentrasikanpengangguran, dengan membangunsi dan kearifan-kearifan lokal,yang mengajarkan dan ketrampilan, dan ilmu agar masalahsumberdaya yang ada, waktu,mendidik orang untuk terbukaterhadap orang lain, diatasi. Hal ini akan lebih mungkinyang dihadapi dapat lebih efektifuntuk banyak menabur kasihdan kebajikan, untuk bersama-sama daripada sendiri-sendiri.berhasil dicapai kalau dilakukanbersikap toleran, bersemangatgotong-royong, dan ramah. Nilai-nilai positif seperti ini jangansampai terkalahkan oleh budaya global, yang sekarang menguasaihampir segala sektor kehidupan, yang pada dasarnya adalahbudaya Barat.Keempat, membangun dialog, yang dikembangkan bukan hanyapada level para pemuka agama, tetapi dialog yang melibatkanumat-umat beragama pada aras grass root. Titik-tolaknya adalahdialog etika-sosial. Contohnya, ketika ada bencana alam, kita yangIoanes Rakhmat –1019


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dari agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan dari aliran-alirankepercayaan dan lain-lain, duduk bersama untuk mengatur langkah-langkahmengatasi problem-problem yang ditimbulkan bencanaalam itu. Lalu dialog etika-sosial ini dapat dilanjutkan dengandialog doktrinal, yang di dalamnya kita percakapkan doktrin-doktrinkita. Hal seperti ini yang masih belum dilakukan. Dari dulu,umumnya dialog-dialog hanya dilakukan oleh para pemuka agama-agama.Kini harus diperlebar dengan melibatkan warga. Setelahitu kita bisa masuk pada dialog spiritual – mari kita cerita,apa pengalaman kita masing-masing dengan yang ilahi. Dari sinimungkin akan dapat ditemukan bahwa ternyata umat yang lainjuga mengalami kehadiran Allah seperti kita. Kalau kita telah tibapada kesadaran seperti itu, penghinaan terhadap agama lain sebagaiagama yang rendahan, yang tidak bertuhan, dan yang tidakbisa memberikan pengalaman rohani, akan terkikis pelan-pelan,diganti dengan pengakuan yang sama bahwa agama kita semuaadalah agama-agama yang betul-betul di dalamnya Allah dapat dijumpai,yang di dalamnya betul-betul ada pengalaman iman danpengalaman spiritual. Dialog pada level grass root inilah yang akanmemperkokoh kohesi atau ikatan sosial sehingga umat-umat beragamatidak mudah dicerai-beraikan dan diadu-domba kalau adaorang yang ingin memperalat agama-agama untuk kepentinganpolitik yang sempit dan partisan.Dalam konteks ini, harus dicatat, yang tak kalah penting jugaadalah peran perguruan-perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapatdikatakan merupakan laboratorium eksperimentasi ilmu-ilmu baruuntuk menghasilkan sintesis-sintesis baru atas berbagai ilmu danteknologi, termasuk ilmu-ilmu keagamaan. Perguruan tinggi iniharus melahirkan pemikir-pemikir yang berwawasan lintas-agama,1020– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lintas-kultural, sekaligus lintas-ilmu. Tidak hanya pintar dalam soalsoalkeagamaan, tetapi juga mengikuti perkembangan sains. Tidaksaja berkutat dengan sains, tetapi juga peduli dengan persoalanpersoalankemasyarakatan dan keagamaan. Jika hal ini bisa kitahidupkan, maka kehidupan bernegara dan berbangsa yang dilataripluralisme, sekularisme, dan liberalisme sangat mungkin untuk dapattumbuh dengan baik di Indonesia. Saya mendukung ketiga halini. Dan bagi saya, kalau ketiga hal ini benar-benar dipraktikkan,bisa mendukung proses demokratisasi dan modernisasi, penghargaanterhadap HAM, pengembangan civil society, dan penghargaanatas hak-hak sipil dalam beragama.Wawancara dilakukan di Jakarta, 21 Mei 2007Ioanes Rakhmat –1021


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganJajat BurhanudinJajat Burhanudin, Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)UIN Jakarta. Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta ini menyelesaikanpendidikan S-1 di tempatnya kini mengajar. Sementara gelar MA dan Doktoria peroleh di Universitas Leiden, Belanda.1022


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sebagai kekuatan etis, agama sulit dipisahkan secara tegas darinegara. Sebab agama turut andil sejak proses pembentukan negaraini. Tapi bukan berarti lahirnya kekuatan ideologi non-agamadalam konteks negara bangsa yang mampu mewakili sekaligusmenjembatani berbagai kepentingan primordial berbasis agamatidak bisa diupayakan. Civil society pun harus mendorong pemikirandan perilaku politik yang mendukung nilai-nilai demokrasi.Demokrasi yang bukan sekadar partisipasi, tapi aturan-aturanyang merepresentasikan kepentingan pelbagai warga untukmenciptakan public good. Maka tidak mungkin membangundemokrasi dengan formalisasi syariah yang mengedepankanagenda Islamisme, sebab penguatan terhadap praktik dan nilaidemokrasi ditentukan oleh banyak faktor seperti pendidikan,ekonomi, politik, penegakan hukum, dan pemikiran keagamaanyang progresif.Jajat Burhanudn –1023


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apa definisi sekularisme menurut Anda? Bagaimana tanggapanAnda dengan makin resistennya publik Indonesia terhadap sekularisme,terutama setelah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia(MUI)?Definisi paling dasar dari kata sekularisme adalah pemisahanantara wilayah yang sakral dan profan, yang pada konteks kelembagaanberwujud pada pemisahan antara agama dan negara. Sekularismeitu sendiri merupakan hasil dari proses perkembangan sejarahyang sangat natural. Sehingga, dalam beberapa hal, sekularismemerupakan gejala alamiah yang tidak bisa dihindari. Sejarah umatmanusia (Eropa) mencatat terjadinya diferensiasi pekerjaan, sosial,dan kemudian runtuhnya dominasi institusi agama. Negara, denganseperangkat institusi dan aturannya, menggantikan peran dogmadogmaagama. Sebagai sesuatu yang bersifat historis dan alamiah,tentunya, sangat wajar jika perkembangan serupa dalam beberapahal berlangsung di negara-negara Muslim pada umumnya.Kenapa sekularisme dicitrakan negatif di Indonesia, ada duapenjelasan atas hal itu. Pertama, Islam memiliki doktrin dan sejarahyang berbeda dengan Barat menyangkut hubungan agama-negara,di mana ajaran Islam tidak mengenal pemisahan agama-negara.Perbedaan itu kemudian diperkuat, sebagai faktor kedua, olehpengalaman sejarah yang menjadikan Islam dan Barat berada padahubungan yang tidak baik (dislike relationship). Segala sesuatu yangberbau Barat akan berusaha ditolak atau ditandingi dengan konsepkonsepIslam. Ada usaha terus-menerus untuk menolak Barat.Jadi, menurut saya, meski tidak berdasar pada doktrin Islam,semangat untuk memisahkan agama dan negara dalam Islam puntidak dapat dihindari. Karena agama memang tidak dapat men-1024– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–jangkau seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sayamenyebut sekularisme dalam beberapa hal penting sebagai historicalnecessity atau bahasa Islam-nya sunnatullah.Perdebatan sekularisme di Indonesia telah setua usia negara ini. Sejakawal kelahirannya, para founding fathers berselisih paham soalidentitas Indonesia sebagai negara sekular atau negara agama. Pro dankontranya hingga kini tak kunjung usai. Dengan kondisi demikian,mungkinkah Indonesia menjadi negara yang sekular?Itu sebenarnya menjadi pertanyaan banyak orang, termasukpribadi saya. Banyak negara Muslim yang mencontoh Barat untukmemisahkan secara tegas antara agama dan negara. Tetapi tidak semuanyaberhasil. Turki misalnya, sejak awal abad ke-20 telah secarategas melakukan pemisahan antara agama dan negara. Namun,hingga saat ini hasilnya tidak seperti yang terjadi di Barat. Kekuatanyang bertentangan dengan sekularisme kini justru mulai bangkitdi Turki, seperti diwakili oleh partainya Erdogan. Di Indonesia halserupa juga terjadi. Tumbuh kekuatan Islamis, baik di dalam maupundi luar parlemen, yang berusaha memaksakan agenda-agendaIslamisme ke dalam negara.Karena itu, mungkin ada baiknya kita mulai berpikir tentangsekularisme di negara Muslim. Maksud saya, itu berwujud dalamformat yang sesuai dengan kondisi kultural bangsa Indonesia. Satuhal yang pasti adalah pemisahan secara tegas antara agama dan negaratidak dapat diwujudkan di negara Muslim seperti Indonesia.Selain karena perbedaan doktrin dan sejarah, karakter nation-statenegara-negara Muslim khususnya Indonesia juga berbeda. Sejakawal, Islam telah menjadi bagian inherent dari proses pemben-Jajat Burhanudn –1025


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tukan negara (state formation) Indonesia. Dan hal itu antara lainberwujud pada tampilnya lembaga-lembaga agama yang bertindakseperti negara (state-like institutions), yang masuk ke dalam wilayahpublik. Karena itu, di Indonesia, agama selalu dimungkinkantampil ke ruang publik.Kondisi tersebut selanjutnya diperkuat keadaan negara yang tidakdapat memenuhi seluruh hak-hak masyarakat. Akibatnya, agamatampil dalam berbagai bentuknya untuk mengisi kekosongantersebut. Dan tampilnya agama ke ruang publik seringkali diiringidengan pemaksaan untuk menjadikan ajaran agama mengatur wilayah-wilayahpublik yang seharusnya diatur oleh negara. Ini terjadimulai dari dominasi penafsiran kebenaran, kekerasan atas namaagama, dan lain-lain yang polanya memaksakan penggunaan ajaranagama sebagai aturan pada domain publik.Karena itu, hemat saya, apa yang perlu dilakukan ke depan adalahupaya mendorong lahirnya kekuatan ideologi non-agama dalamkonteks negara-bangsa, yang mewakili dan sekaligus menjembatanikepentingan-kepentingan primordialisme yang berbasis pada agama.Bersama dengan itu, kapasitas negara juga perlu diperkuat untukmeminimalisasi munculnya agama ke ranah publik.Kita sepakat bahwa sekularisasi adalah kebutuhan mutlak, tapi Indonesiatidak dapat menerapkan model sekularisasi seperti yang telahditerapkan di Prancis atau Turki. Contoh lain dapat disebutkan sepertiKanada yang menerapkan konsep sekularisasi secara lebih soft,apakah model seperti itu bisa ditiru di Indonesia?Ya, dan itu pula yang terpikir oleh saya saat berbicara tentanghubungan agama-negara di Indonesia. Kenyataan historis-sosiolo-1026– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gis Indonesia mensyaratkan hubungan tersebut esksis. Hanya saja,masalahnya adalah bagaimana merumuskan pola hubungan tersebut.Di sini, apa yang dikemukakan almarhum Nurcholish Madjidsangat penting dipertimbangkan, bahwa hubungan tersebut hanyabersifat etis, bukan institusional formal. Negara berjalan denganaturan dan agenda pemerintahannya; agama tampil sebagai kekuatanetika.Hal tersebut perlu ditekankan,kendati membangunpola hubungan aga-Satu hal yang pasti adalah pemisahansecara tegas antara agama dannegara tidak dapat diwujudkan dima-negara seperti itu secaranegara Muslim seperti Indonesia.konsisten bukan hal mudah.Selain karena perbedaan doktrin danDan salah satu sumber masalahnya,tentu selain faktornegaraMuslim khususnya Indonesiasejarah, karakter nation-state negarafaktorstruktural yang sudah juga berbeda. Sejak awal, Islamsaya singgung, adalah mentalitasbudaya bangsa Indo-proses pembentukan negara (statetelah menjadi bagian inherent darinesia, termasuk elit-elit agama,belum sepenuhnya men-formation) Indonesia.definisikan diri mereka sebagai warga bangsa (citizen), tapi lebihsebagai umat yang seolah-olah terpisah dari negara. Survey PusatPengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) beberapa waktu lalumembuktikkan hal di atas. Misalnya, agama lebih dominan sebagaiidentity marker dibanding kebangsaan. Mereka menjadikanagama sebagai perumusan identitas pertama, yang jauh lebih kuatketimbang bangsa. Dan hal ini membawa implikasi serius padaperilaku, pemikiran, dan sikap politik mereka. Maka, kini wajarsaja ketika ruang partisipasi yang tersedia semakin besar, merekahadir dengan embel-embel yang bersifat primordialistik.Jajat Burhanudn –1027


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Casanova mengajukan ide deprivatisasi agama: menampilkan agamadi ruang publik tetapi dengan cara yang tidak formalistik, lebih santun.Problemnya, di Indonesia kesempatan seperti itu, ditambah lagidemokrasi yang memungkinkan semua golongan dan etnis tampil keruang publik, rupanya dimanfaatkan secara berlebihan oleh golonganIslam tertentu untuk memberlakukan syariat Islam secara formal.Bahkan kelompok pengusungnya mengklaim kalau penerapan tersebutsesuai mekanisme demokratis, seperti perda syariat Islam di berbagaidaerah. Menanggapi hal tersebut, bagaimana seharusnya mempublikkanIslam di Indonesia? Bagaimana negara harus bersikap melaluikonstitusi yang ada?Itulah yang tadi saya kemukakan, bahwa membagun wajahagama yang soft, yakni sebagai kekuatan etis, bukan perkara mudahdan mensyaratkan banyak faktor. Godaan untuk memaksakanagama ke ranah publik sangat besar di Indonesia, khususnya olehelit-elit agama. Maka, ketika kran keterbukaan dibuka, proses partisipasipolitik segera dibarengi dengan menguatnya kekuatan-kekuatanprimordialisme yang berbasis pada agama (Islam). Diperparahdengan kondisi sosial-politik dan ekonomi yang tidak menentu,wajar kalau kemudian melahirkan sejumlah problem bagi toleransidan pluralisme. Karena itu potensi konflik pun sangat kuat.Menurut saya, untuk membangun hubungan antara agamadan negara yang harmonis, faktor-faktor yang bersifat kenegaraansangat penting dipertimbangkan, selain sikap dan perilaku keagamaanyang santun, tentunya. Pertama, ia mensyaratkan negaramampu untuk secara konsisten melakukan penetrasi (melalui berbagaikebijakannya yang menyangkut public services) ke wilayahpublik. Misalnya, jika menyangkut hak masyarakat maka negaraharus melindungi sebaik-baiknya, jangan kemudian merasa sung-1028– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan karena alasan agama. Kedua, elit keagamaan kita, saya kira,masih mempunyai problem dalam hal berperilaku sebagai warganegara (citizen) yang sesungguhnya. Ini berhubungan dengan faktorpendidikan dan ekonomi.Memisahkan agama dan negara secara tegas memang sulit diimplementasikan,setidaknya hingga saat ini. Harus diakui, agamamemang bisa tampil dalam wajah yang soft. Namun pertanyaannyakemudian sejauh mana hal itu bisa bertahan? Awalnya bisa soft,tapi suatu saat, ketika telah menjadi kekuatan yang besar, kelompok-kelompokagama tertentu bisa tampil keras (hard). Merekaakan memaksakan ajaran agama mereka ke domain publik. Karenaitu, menurut saya, menerima begitu saja tesis itu (tesis Casanova)sama dengan bermain api. Suatu saat pasti akan bermasalah, karenanegara kita tidak sekuatnegara lain, ditambah denganproblem public servicesMeski tidak berdasar pada doktrinIslam, semangat untuk memisahkanyang tidak berjalan. Selama agama dan negara dalam Islam punnegara seperti ini, maka teori-teoriseperti itu potensi-memang tidak dapat menjangkautidak dapat dihindari. Karena agamaal dan berbahaya mengubah seluruh aspek kehidupan manusia.yang soft menjadi hard, yangpada akhirnya berdampaknegatif pada kehidupan demokrasi di Indonesia. Karenanya, padakonteks Indonesia, sekularisme lebih tepat diartikan sebagai usahaterus-menerus dan konsisten untuk membatasi peran agama agartidak memasuki wilayah publik, seraya memperkuat kapasitas negarauntuk bisa memerintah sebagaimana layaknya sebuah negara-bangsamodern.Jajat Burhanudn –1029


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jika agama sulit dikendalikan oleh pemerintah, peran apakah yangbisa dilakukan agama bagi masyarakat di era modern yang jelas-jelasmembutuhkan sekularisasi?Menurut saya agama cukup menjadi urusan individu. Sesuatuyang bersifat publik harus diatur oleh aturan formal negara, bukanaturan agama. Tentu saja, praktiknya tidak semudah itu. Penganutagama di sini memiliki semangat tinggi untuk menjadikan ajarankeagamaan sebagai regulasi yang mengatur wilayah publik. Sayapernah berdialog dengan Pengurus Komite Persiapan PenerapanSyariat Islam (KPPSI) di Sulawesi Selatan. Dia mengatakan: “Cobabuktikan aturan mana dari sebuah agama yang melarang kejahatandan minuman beralkohol, semua agama pasti melarangnya, kemudianmengapa perda syariah menjadi masalah?”Bagi saya, yang menjadi persoalan bukan aturan-aturannyasemata, tapi paradigma pemikiran di balik itu. Yaitu paradigmauntuk menjadikan agama atau Islam masuk ke wilayah publik,meskipun beberapa aturannya tampak bersifat manusiawi sepertimelarang perzinaan. Soal mengatur perzianaan, kita bisa belajardari banyak negara. Tidak sedikit kota di negara maju memberlakukanaturan yang melarang prostitusi liar di jalanan, tapi disediakantempat prostitusi yang legal (lokalisasi). Berbeda dengandi Indonesia, larangan diberlakukan untuk menghapus sama sekalipraktik tersebut. Itu sesuatu yang tidak manusiawi.Jadi, di balik aturan-aturan bernuansa syariah itu terdapat konsep-konsepkeagamaan yang menyertainya. Dan ini membuktikkanbahwa sekali mereka (kelompok Islamis) diberi ruang, mereka cenderungnengedepankan agenda-agenda Islamismenya. Maka wajar1030– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–jika agama lain juga punya hasrat yang sama, seperti yang terjadidi Manokwari, yang memunculkan Perda Injil.Ditambah lagi, perangkat hukumnya yang belum tentu siap.Bagaimana jika di daerah yang menerapkan perda syariah terdapatkorban yang diperlakukan tidak adil, seperti seorang guru yangditangkap aparat karena keluar malam tanpa muhrim. Ke manadia harus mengadukannya, ada atau tidak pengadilan tinggi yangmengurusinya? Saya lihat semua itu belum siap. Tapi ironisnya, belumjuga kita luruskan perangkat hukumnya, kita malah langsungmasuk mendesakkan perda-perda bernuansa syariah.Jadi, di balik itu, menurut saya, faktor formalisme agama jauhsangat dominan ketimbang keinginan untuk mengatur dan menciptakankehidupan publik secara lebih baik. Untuk itu, sekali lagi,pemerintah seharusnya konsisten memisahkan antara wilayah agamadan negara. Yang kini terjadi justru sebaliknya, yakni munculnyainkonsistensi negara. Contoh lainnya dapat dilihat pada kasusAhmadiyah. Ketika mereka diserang oleh kelompok tertentu, pemerintahmalah diam saja. Padahal, itu jelas-jelas tindak kejahatanyang tidak bisa dibiarkan.Seperti halnya sekularisme, liberalisme dari awal memiliki imagepejoratif di Indonesia. Liberalisme sering dikaitkan dengan kolonialisme,karena pada saat Belanda menjajah Indonesia, partai yangberkuasa di negeri Kincir Angin itu Partai Liberal. Pun liberalismeyang hadir sekarang, termasuk yang lebih mengambil bentuk pemikiranatau penafsiran keagamaan, dipandang sebagai perpanjangantangan kolonialisme dan imperialisme. Hal ini diperparah oleh MUIyang memfatwa haram liberalisme. Menurut Anda, bagaimana seharusnyaliberalisme dimaknai di Indonesia?Jajat Burhanudn –1031


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Muslim Indonesia (kaum santri) memiliki sikap mental yangselalu mencurigai segala sesuatu yang berasal dari Barat. Itu tidakterjadi hanya pada liberalisme, yang paling kuat justru terhadapsekularisme. Hal ini berhubungan dengan perdebatan tentang hubunganagama dan negara sejak awal Indonesia berdiri sebagai sebuahnegara-bangsa. Karena itu, istilah sekularisme seolah memilikiakibat dan citra yang sangat negatif. Liberalisme menjadi isubesar baru belakangan ini saja. Resistensi terhadapnya, menurutsaya, juga bisa dipahami dalam kerangka historis di mana terdapathubungan yang tidak begitu baik antara Islam dan dunia Barat.Dan bagi orang-orang seperti MUI yang konservatif, sangat mungkinmengambil kesimpulan seperti itu. Apalagi MUI adalah institusisemi negara, yang merasa diri sebagai institusi yang paling otoritatifuntuk membicarakan masalah agama di Indonesia.Bagi saya sendiri, pengharaman liberalisme oleh MUI merupakankesalahan fatal. Apa yang dilakukan MUI untuk campurtangan dalam mengurusi bahkan memberikan fatwa terhadap gerakanpemikiran yang berbeda dengan mainstream adalah “penyakit”.Ironisnya, ormas lain seperi Nahdlatul Ulama (NU) juga sudahmulai gerah dengan istilah liberalisme, sekularisme, dan pluralisme.Hasyim Muzadi, misalnya, ingin membuat semacam pakembagi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini dia kemukakan karenasekarang sudah banyak orang yang menggunakan NU untuk kepentinganyang sama sekali tidak nahdlîyîn.Lebih ironis lagi, hal itu kemudian dipolitisasi. Ketika Harlah NU,beberapa waktu lalu, banyak spanduk dari Partai Politik berbasisNU yang berisi seputar penolakan terhadap liberalisme. Liberalisme1032– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–diidentikkan dengan terorisme sebagai ideologi yang harus ditolak olehwarga Nahdlîyîn. Bagaimana komentar Anda?Memang, ternyata bukan hanya MUI, bahkan di NU kekuatankekuatanseperti itu (conservative Islam) mulai muncul. Kekuatanuntuk melarang pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengankeyakinan mainstream, termasuk NU. Terus terang saya kaget, sebabkalau ormas seperti NU saja sudah membuat pakem seperti itu,sangat mungkin kalau kemudian akan semakin banyak yang akandiharamkan di Indonesia. Segala sesuatu yang berbeda dengan NUakan dengan mudah ditafsirkansebagai sesat dan terlarang.Itu adalah tanda kalau upaya mendorong lahirnya kekuatanYang perlu dilakukan ke depan adalahkekuatan-kekuatan konservatifmulai berkembang di negara-bangsa, yang mewakili danideologi non-agama dalam kontekskalangan NU, bahkan di Indonesiasecara umum.kepentingan primordialisme yangsekaligus menjembatani kepentingan-berbasis pada agama. Bersamadengan itu, kapasitas negara jugaKetika Indonesia masih dalam perlu diperkuat untuk meminimalisasi.jajahan Belanda, pemerintahkolonial membagi Indonesia ke dalam beberapa etnis. Bule yang Eropa-Kristen, Pribumi yang Jawa-Islam, kemudian Cina-Konghucu. Pengelompokanitu menyebabkan segregasi. Apakah itu berimplikasi terhadaplambatnya konsolidasi demokrasi dan kondisi hubungan antaragamadan keyakinan sekarang?Menurut saya, bukan itu yang paling berimplikasi kuat. SnouckHurgronje mengatakan bahwa seperti halnya Orde Baru, Islamkultural diperbolehkan berkembang pada masa rezim kolonial.Jajat Burhanudn –1033


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Contohnya, Ibadah Haji tidak dilarang. Tetapi sekali Islam masukke wilayah politik, dia akan dihantam habis-habisan. Karena itu,setiap gerakan kaum Muslim yang melawan pemerintah kolonial,diberantas terus-menerus.Kebijakan soal pemilahan masyarakat seperti yang Anda katakantentu berpengaruh, tapi bukan pada poin penolakan terhadapliberalisme. Yang punya pengaruh pada konteks sekarang iniadalah satu proses historis di masa kolonial yang menjadikan elitagama, terutama kaum santri, keluar dari arena politik atau domainkolonialisme, dan kemudian berdiri sendiri sebagai satu kelompokmasyarakat dengan ciri khas yang berbeda dengan priyayiyang didukung pihak kolonial.Dalam kondisi demikian, kaum santri justru menjadi terkonsolidasisedemikian rupa di pesantren. Mereka mempunyai tradisiyang berbeda, pakaian yang berbeda, dan bacaan kitab yang berbedadengan kaum priyayi. Kaum priyayi menulis dan membacamenggunakan huruf Latin sebagaimana kolonial, sementara kaumsantri tetap menggunakan huruf Arab. Dari sini, kemudian polapikir yang dimiliki oleh keduanya pun berbeda. Artinya, terdapatidentity marker yang kemudian mengalami konsolidasi luar biasadi dunia santri, di luar kaum priyayi yang terakomodasi oleh rezimkolonial, dan juga kaum abangan.Menurut saya, kebijakan kolonial semacam itulah yang tetapberpengaruh hingga ke masa sekarang ini. Maksud saya, berpengaruhpada kehidupan sebagaimana terlihat pada munculnya sikapelit keagamaan yang jauh dari sikap-sikap seorang warga negara.Toleransi menjadi sesuatu yang problematis. Segala sesuatuyang berbau negara dicurigai, karena mereka lama berada di luarkehidupan negara. Menurut saya, itulah yang sekarang menjadi1034– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–permasalahan ketika kita membicarakan demokrasi. Yaitu rendahnyakepercayaan elit agama dan masyarakat terhadap negara. Dangolongan seperti itu memiliki jumlah yang cukup banyak. Belumlagi masalah munculnya persaingan elit yang dalam beberapa halmembuat mereka kurang toleran satu sama lain.Kebijakan kolonial Belanda yang menghancurkan kerajaaan Islamberikut institusi keagamaan di dalamnya—kecuali Surakarta danYogyakarta—memberi ruang lebar bagi tampilnya informal leaders(ulama) sebagai kekuatannon-negara yang terlibat Pada konteks Indonesia, sekularismetidak hanya dalam masalah lebih tepat diartikan sebagai usahaagama, tetapi juga regulasisosial-politik masyarakat. membatasi peran agama agarterus-menerus dan konsisten untukInilah akar historis dari apa tidak memasuki wilayah publik,yang saya sebut sebagai state-likeinstitution. Di satu negara untuk bisa memerintahseraya memperkuat kapasitassebagaimana layaknya sebuah negarasisi,proses historis di atasbangsa modern.membuat kita memiliki apayang disebut sebagai Islambasedcivil society, artinya Islam sebagai kekuatan non-negara yangberpengaruh, seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya. Namun,di sisi lain, masih tetap menyimpan problem seperti toleransi dantrust terhadap negara. Itulah yang menurut saya warisan kolonialismeyang masih berdampak hingga saat ini.Benar bahwa ormas-ormas Islam merupakan kekuatan nonnegara(civil society), tetapi pada saat yang sama, kita juga harusbertanya sejauh mana mereka punya sikap, pemikiran, dan perilakupolitik yang mendukung nilai-nilai demokrasi. Karena, kalaukita tanya kepada kiyai tentang demokrasi, mereka dengan mudahJajat Burhanudn –1035


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menjawab setuju seraya menampilkan sejumlah dalil yang berbasispada khazanah Islam (kitab kuning). Tapi ketika ditanya soal hidupbersama dengan hak sosial-politik dan beragama yang setaradengan kelompok-kelompok lain, yang berbeda, jawabannya beranekaragam.Misalnya, sikap kelompok tertentu dalam NU yanganti-Muhammadiyah tetap kuat dan banyak, begitu juga sebaliknya.Coba perhatikan kasus yang terjadi di Jawa Timur, Pilkadayang diselenggarakan di sana dinilai sangat problematis. Karenaitu Hasyim Muzadi menyarankan agar Pilkada dihapuskan saja.Itu mengindikasikan bahwa elit agama sesungguhnya belum siapberdemokrasi dalam arti yang sesungguhnya.Demokratisasi di negara yang pernah dijajah Belanda berbeda dengannegara-negara yang sebelumnya dijajah Inggris. India, misalnya, adalahnegara yang tingkat perkembangan demokrasinya sangat cepat, meskipundengan kondisi perekonomian yang rendah. Sementara demokrasiIndonesia hingga kini masih tertatih. Apa yang sebenarnya palingmempengaruhi fakta ini?Meskipun kolonialisme memang berpengaruh, masalah demokrasibukan ditentukan oleh apakah suatu negara dijajah oleh Belanda,Inggris atau negara manapun. Demokrasi ditentukan olehbanyak faktor, mulai dari pendidikan, kehidupan ekonomi-politik,penegakan hukum, dan pemikiran keagamaan yang berpihak padapenguatan nilai-nilai dan praktik-praktik demokrasi.Dalam konteks liberalisme politik, apakah kehadiran parta-partai berasaskanagama, seperti yang marak sejak 1998, bisa dibenarkan?1036– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya tidak memiliki kapasitas untuk menentukan itu benar atautidak. Yang jelas, mereka memiliki hak untuk menyatakan aspirasipolitiknya. Tetapi sejauh mana itu akan terus eksis, semuanyaditentukan oleh evaluasi rakyat melalui Pemilu. Dalam beberapakasus, sebenarnya sudah terbukti bahwa partai Islam tidak pernahmenang dalam pemilihan umum. Hasil survey PPIM selalu menunjukkanbahwa masyarakat tidakbegitu antusias untuk Benar bahwa ormas-ormas Islammendukung partai politik merupakan kekuatan non-negara (civilberideologi Islam. Semakin society), tetapi pada saat yang sama,rasional dan modern sebuah kita juga harus bertanya sejauh manamasyarakat, bisa dipastikan mereka punya sikap, pemikiran, dankalau partai-partai seperti itu perilaku politik yang mendukungnilai-nilai demokrasi.dengan sendirinya menjadisemakin tidak diminati.Apakah hal yang sama juga akan terjadi pada implementasi syariatIslam, di mana masyarakat tidak lagi tertarik terhadapnya? Lantas,adakah persamaan dan perbedaan antara munculnya gerakan-gerakanIslam dalam melawan kolonialisme dengan gerakan Islam sekarangyang mengusung formalisasi syariat Islam?Isu syariat Islam pada saatnya kelak hanya sedikit pengusungnya.Benar, keduanya sama-sama menjadikan Islam sebagai simboldari kehidupan politik yang mereka inginkan. Pada kontekspenjajahan, ideologi yang paling mungkin dijadikan alat resistensiterhadap kolonialisme adalah Islam. Makanya, semua perjuanganketika itu dilakukan melalui tema-tema keagamaan. Islam memilikikonsep kâfir. Orang non-Muslim, penjajah, dianggap sebagaiJajat Burhanudn –1037


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–orang Kafir yang halal darahnya. Dari sini, ada semacam kekuatanideologis bagi Islam untuk tampil sebagai kekuatan alternatifberhadapan dengan kolonialisme. Dan itu sangat efektif, terutamabagi masyarakat pedesaan (rural), untuk dijadikan alat mobilisasimassa. Pada 1950-an juga ada sebagian kalangan yang memaksakanIslam untuk dijadikan dasar negara.Jadi, pengalaman kolonialisme telah meletakkan satu landasankuat bagi tampilnya Islam yang sarat dengan dimensi politik(anti-kolonial) dan karenanya ulama terlibat sangat intensif dalammasalah-masalah politik (political engagement). Di atas itu semua,pembentukan nation-state Indonesia memperkuat kecenderungantersebut. Perlu saya jelaskan, pembentukan nation-state Indonesiaberbeda dengan Barat. Jika di Barat terlebih dahulu terbentuk nationbaru kemudian state, di Indonesia sebaliknya, state dulu barukemudian nation. Maka perdebatan yang muncul di Indonesiaadalah seputar bentuk dan ideologi negara.Karena itu, perdebatan soal agama, dalam hal ini ide pembentukannegara Islam, menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Benarlahpernyataan Douglas E. Ramage dari The Asia Foundation(TAF) bahwa Indonesia adalah negara yang paling produktif melahirkanideologi-ideologi tentang negara pada saat itu. Dan perdebatanitu hingga kini belum selesai, sejalan dengan pembentukanIndonesia menjadi sebuah negara-bangsa modern yang masihdalam proses, belum usai.Perda syariah yang diberlakukan di beberapa daerah, menurut parapengusungnya, sudah dijalankan melalui prosedur demokrasi. Benarkahseperti itu?1038– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagi saya, apa yang telah mereka lakukan itu bukanlah sesuatuyang dapat disebut demokrasi. Mereka sendiri tahu bahwa yangdiusungnya adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.Sejatinya demokrasi tidaklah seperti itu. Demokrasi tidaksekadar partisipasi, melainkan suatu pemikiran tentang bagaimanakehidupan negara ini dibangun berdasarkan aturan-aturan yangmerepresentasikan kepentingan banyak orang dan untuk menciptakankebaikan bersama (public good). Oleh karena itu, yang telahdilakukan oleh para pengusung perda syariah, bagi saya, hanyalahklaim dan alasan yangmengada-ada. Menurut saya, Pengharaman liberalisme oleh MUItidak mungkin membangun merupakan kesalahan fatal. Apa yangdemokrasi dengan formalisasisyariah. Sebab, syariah dalam mengurusi bahkan memberikandilakukan MUI untuk campur tanganseharusnya tidak dijadikan fatwa terhadap gerakan pemikiranhukum positif untuk mengaturseluruh warga negarayang berbeda dengan mainstreamadalah “penyakit”.yang beragam.Pancasila dan UUD 1945 memberikan jaminan terhadap hak dankebebasan individu dalam beragama dan berkeyakinan. Namun, jaminankonstitusi terhadap kedaulatan individu disalahgunakan olehkepentingan kelompok agama tertentu untuk menunutut haknya dalammengimplementasikan syariah yang menurutnya paling sempurna,dengan mengorbankan hak individu lainnya, seperti minoritas agamadan kepercayaan.Benar, negara telah menjamin civil rights dan religious rightsyang dimiliki oleh setiap individu. Hanya memang masih banyakJajat Burhanudn –1039


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terdapat penyimpangan yang sebagiannya justru dilakukan olehnegara. Beberapa waktu lalu saya menerima laporan dari Setara,LSM yang memantau kehidupan beragama di Indonesia, yangmenyatakan bahwa negara merupakan faktor yang cukup besardalam melakukan pelanggaran terhadap hak sipil dan hak beragama.Dengan kejadian ini tidak bisa disimpulkan bahwa undangundangkita salah. Kesalahan itu lebih terdapat pada praktik pemegangwewenang, seperti MUI, yang telah mengeluarkan fatwapengharaman keyakinan beragama.Tapi undang-undang kita hanya mengakui enam agama yang jelasjelasmerupakan bentuk pembatasan keyakinan dan bertentangandengan religious rights.Menurut saya, kita memang membutuhkan suatu pemikiranulang tentang kehidupan keberagamaan. Pembatasan enam agamayang diakui negara jelas menjadi masalah. Tetapi tidak ada campurtangan negara sama sekali di dalamnya juga tidak mungkin. Namundemikian, campur tangan negara yang diberikan seharusnya tidakbergerak pada kerangka keagamaan formal. Harus dibedakan secarategas kapan negara bisa melakukan intervensi dan kapan tidak.Karena keyakinan tidak bisa dihilangkan, meski manifestasinya bisasaja terlihat tidak lagi beroperasi. Negara tidak bisa melarang seseorangkarena menganut keyakinan tertentu, tapi intervensi negaradilakukan manakala melarang orang atau kelompok yang berkeyakinantertentu yang melakukan perbuatan tidak toleran denganmerusak kehidupan yang lain.Jadi, menurut saya, negara tidak bisa melarang Ahmadiyah,kecuali jika mereka malakukan kekerasan dan tindak kriminal.1040– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Demikianpun negara tidak bisa melarang pemikiran yang fundamentalis,karena itu hak mereka. Tetapi, ketika pendapat merekasudah berubah bentuk menjadi penyerangan terhadap minoritas,misalnya, negara harus mengambil tindakan.Pluralitas Indonesia seringkali menimbulkan masalah, bukan menjadikankehidupan lebih indah. Bentrok antaragama, antarpaham teologi,dan antaretnis kerap terjadi di Indonesia. Dari situ, kita tahu bahwapenting mendorong pluralisme. Pertanyannya, bagaimana seharusnyapluralisme dipahami?Di dunia modern seperti sekarang, menurut saya, pluralismeadalah sebuah keniscayaan. Keanekaragaman agama, etnis, sosial,dan politik sama sekali tidak bisa dihindari. Pada konteks Indonesiasendiri, pluralisme menjadi keniscayaan historis dan sosiologis.Apa yang tidak beragam di Indonesia? Semuanya beragam. Melarangpluralisme adalah tindakan yang bertentangan dengan kecenderungandan fakta historis yang ada di Indonesia. Itu berartimemaksakan sesuatu yang sesungguhnya tidak punya basis yangbaik dalam kehidupan sosial maupun agama. Lagi-lagi, karenaMUI memaknai pluralisme sebagai sesuatu yang berbeda, akibatnyaseperti yang sekarang terjadi. Menurut saya, itu adalah kesalahanMUI yang sangat fatal.Definisi bisa dibuat bermacam-macam. Itu terjadi karena mereka(MUI) memang mempunyai niat negatif yang didasari olehsemangat fundamentalisme untuk mengatur urusan-urusan keagamaan.MUI tidak hanya melakukan kesalahan interpretasi, tapimotif di belakngnya juga bermasalah. MUI, sebagai institusi seminegara, tidak sadar bahwa fatwa yang dikeluarkannya akan mem-Jajat Burhanudn –1041


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–punyai implikasi sosiologis yang luar biasa besar. Dia tidak tahubahwa ada sekelompok masyarakat yang menunggu fatwa itu. Jadi,MUI tidak mempunyai bacaan sosiologis yang benar terhadap kondisikehidupan keagamaan di Indonesia. Lebih dari itu, fatwa yangdibuat hanya mewakili kelompok kepentingan tertentu.Bagaimana menerangkan ke publik bahwa pluralisme bukanlah sinkretismedan relativisme, sebagaimana dimaknai oleh MUI?Bagi saya, pluralisme adalah suatu sikap atau tindakan yangmengakui keragaman agama, etnis, sosial, dan sebagainya. Pluralismeadalah pengakuan bahwa setiap individu memiliki hak politikdan sosial yang sama.Kalangan fundamentalis cenderung menilai negatif pluralisme, karenaberpandangan bahwa pluralisme meniscayakan tidak adanya theultimate truth pada agama. Kalau seseorang beragama Islam makaharus mengakui bahwa Islam adalah yang paling benar, yang lainsalah. Bagaimana komentar Anda?Menurut saya, tidak ada kebenaran mutlak, termasuk dalamagama. Bagaimana memaksakan the ultimate truth, dengan menganggapsalah lainnya, sementara masing-masing agama mempunyaikonsep yang berbeda-beda? Belum lagi kelompok-kelompoklain yang menganut politeisme, animisme, dan lainnya. Di antaramereka pasti akan berbeda. Hanya saja kaum fundamentalis tidaktahu kalau sebenarnya terdapat beberapa item sangat mendasaryang sama pada semua agama. Yang dimaksud the ultimate trutholeh mereka adalah Islam dalam versi mereka. Semua orang harus1042– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mengakui bahwa Islam adalah sesuatu yang benar. Padahal dalamIslam sendiri terdapat beragam tafsir. Dan perdebatan mengenaihal itu sendiri sudah berjalan dengan sangat panjang. Yang kacaudan tidak bisa dibenarkan adalah tindakan memaksakan the ultimatetruth tertentu sebagai kebenaran absolut terhadap orang lainyang berpandangan berbeda.Persis pada titik itu, dengan keyakinan bahwa Islam memiliki theultimate truth, akhirnya membuat beberapa kelompok Islam memaksakanmonisme beragama. Bagi kelompok ini, tidak ada keragamanatau hanya ada satu kebenaran dalam Islam. Kalau al-Quran mengatakanperangi orang kafir, maka orang kafir berarti musuh. Tidakbisa ada penafsiran lain. Dalam konteks demikian, harus sepertiapakah upaya mendakwahkanulang Islam yang toleran Hasil survey PPIM selalu menunjukkandan pluralis?bahwa masyarakat tidak begituantusias untuk mendukung partaiMenurut saya, memperkuatpluralisme merupakan rasional dan modern sebuahpolitik berideologi Islam. Semakinagenda yang mendesak untukdilakukan. Tentu terda-partai-partai seperti itu denganmasyarakat, bisa dipastikan kalaupat beberapa cara untuk itu. sendirinya menjadi semakinPertama, intensifnya kampanyepublik tentang plural-tidak diminati.isme pada semua lapisan masyarakat. Mendakwahkan pluralismeuntuk masyarakat bisa dilakukan dengan banyak cara. Yang terpentingdilakukan adalah menciptakan sebanyak mungkin kegiatan-kegiatanyang bersifat bridging, yaitu kegiatan-kegiatan yangmembawa mereka pada kehidupan berdampingan dengan kelom-Jajat Burhanudn –1043


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pok lain, baik agama, etnis, maupun budaya dan sebagainya. Semakinmereka terbiasa dengan keragaman akan semakin kuat pulapluralisme di antaranya.Selanjutnya, faktor pendidikan. Saya kira sudah waktunya kitamengevaluasi kembali sejauh mana pendidikan kita telah mengajarkannilai-nilai pluralisme. Apakah nilai-nilai itu sudah teraplikasikandalam kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia,baik itu lembaga pendidikan umum maupun Islam atau agamalain. Jangan-jangan, guru agamanya malah mengajarkan untuktidak menghargai keyakinan keagamaan lain yang berbeda.Katolik memiliki basis pluralisme pada doktrin ada keselamatan diluar gereja, yang diterbitkan setelah Konsili Vatikan II. Islam yangnotabene agama rahmatan li al-‘âlamîn juga memilikinya, salah satunya,dalam konsep lakum dînukum waliya dîn. Konsep ini, olehbeberapa kalangan, dipandang masih bergerak sebatas coexixtence:kita adalah umat beragama yang berbeda-beda, karenanya harus salingmenghormati. Pluralisme sekarang sudah tidak bisa lagi sepertiitu, melainkan harus proexistence dengan melakukan pembelaan,advokasi terhadap agama lain dan kaum minoritas yang terzalimi.Adakah landasan Islam yang kokoh dalam pluralisme?Saya kira ada. Muslim Indonesia sudah lama terbiasa untukmenerima kehadiran keyakinan yang lain selain Islam. Pada konteksJawa dulu, orang tidak beragama juga tidak dilarang. Jadiitu bukan sesuatu yang ahistoris. Orang abangan yang cenderungpercaya pada sesuatu yang non-keagamaan, pada saat yang samatetap mengaku sebagai Muslim. Sebenarnya masyarakat kita sudahbanyak mengakui kebenaran yang lain. Atau kira-kira tidak1044– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mengkonfrontir dua keyakinan yang bertenatangan antara yangberbasis pada kehidupan tradisional dan yang berdasar agama.Dari situ, saya katakan bahwa kebebasan beragama pada konteksJawa sangat memungkinkan, karena sebelum Islam datang Jawasudah established sebagai sebuah peradaban. Lain dengan Melayu.Melayu merumuskan diri kemelayuannya berbarengan denganIslam. Di sini tampak bahwa hubungan antara agama dan adatsangat kental.Demokrasi tidak sekadar partisipasi,melainkan suatu pemikiran tentangOrde Baru men-setting sebuahtatanan pluralisme di dibangun berdasarkan aturan-aturanbagaimana kehidupan negara iniIndonesia melalui konsep yang merepresentasikan kepentinganSARA (suku, agama, ras dan banyak orang dan untuk menciptakanantargolongan). Padahal konsepini dihadirkan lebih seba-kebaikan bersama (public good).gai segregasi antaragama, sama sekali tidak konstruktif untuk pluralismesecara menyeluruh. Tak aneh kalau kemudian banyak yang mengatakanbahwa justru dari situlah keruntuhan pluralisme Indonesiadimulai. Bagaimana analisis Anda?Menurut saya SARA merupakan bagian dari politik Islam Orba.Konsep awalnya berusaha ingin menyatukan semua hal. Mungkinstrategi seperti inilah yang pada saat itu dibutuhkan oleh negara.Dalam beberapa hal saya bisa memahami itu. Namun, seharusnyanegara mengakui semua keberadaan agama dan kepaercayaan lainnya,tidak hanya sebagian saja. Seharusnya Orba juga memberikantempat untuk unsur-unsur lokal (local wisdom), bukan malah memarginalisasikannya.Local wisdom sebenarnya mempunyai banyaksekali pemikiran dan kebijaksanaan yang dapat mendukung plu-Jajat Burhanudn –1045


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ralitas, sayang tidak digunakan betul. Inilah sumber masalah yangterdapat pada konsep SARA Orba.Apakah benar SARA pada saat itu memang dibutuhkan?Ya, sayangnya itu dipraktikkan dengan kebablasan. AwalnyaOrba hanya ingin menguasai kehidupan partai politik, tapi kemudianmeluas sehingga ideologi-ideologi pun dilarang. Tidak hanya itu,pembatasan yang dilakukan kemudian merambah ke semua aspek,termasuk agama. Karena kekuatan agama di negara ini begitu sentral,maka konsep SARA Orba kemudian memperoleh reaksi balikberupa kekuatan antinegara. Muncullah ideologi pembangkanganmasyarakat. Gerakan counter ini memiliki eskalasi yang luar biasabesar. Dari sini Orba sadar dan begitu tahu bahwa pembangkanganberlatar agama merupakan kekuatan yang dahsyat, karenanya kegiatan-kegiatanserupa kemudian dilarang secara tegas. Usaha Orbaini memang kemudian menciptakan keamanan, meskipun lebihtepat kalau disebut keamanan semu. Karena setelah pelarangan itukemudian tidak ada suatu proses partisipasi masyarakat yang lebihbaik. Inilah yang saya bilang kebablasan.Jadi, menurut Anda kemunculan perda-perda syariat Islam merupakanbagian dari reaksi pengekspresian kebebasan yang baru didapatsetelah tumbangnya Orba (euforia). Selain euforia sesaat, apa lagiyang bisa Anda lihat dari munculnya perda syariah?Beberapa kasus memang lain. Aceh, misalnya, tidak bisa dipahamisebagai ekspresi sesaat seperti itu. Aceh punya pengalamanyang panjang soal penerapan syariah, atau minimal orang Aceh1046– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mengklaim bahwa syariat Islam pernah diberlakukan pada masakerajaan-kerajaan Islam sebelumnya. Ada semacam living traditionyang terus-menerus dikembangkan masyarakat Aceh; syariah adalahsesuatu yang harus diterapkan di Aceh. Sementara selain Aceh,saya kira banyak faktor yang bisa menjelaskannya, bisa saja faktoreuforia politik seperti yang Anda sebutkan tadi.Formalisasi syariat Islam menurut para pengkritiknya adalah bentukpenerapan hukum positif yang dapat merusak pluralisme. Banyak sekalikaum yang dirugikan olehnya, seperti perempuan dan kaum minoritas(agama dan kepercayaan). Bagaimana Anda menanggapinya?Memang, ketika syariah diformalkan akan berdampak luar biasa.Di Tangerang, misalnya, perempuan yang keluar malam ditangkapkarena dianggap sebagai PSK. Karena perda ini tidak menyediakankelengkapan perangkat hukum, maka perempuan sebagai korbansama sekali tidak memiliki kejelasan sarana untuk mengadukanpermasalahannya. Berbeda dengan di Aceh yang sudah memilikiMahkamah Tinggi Syariah, yang sudah mengenal proses bandingdan sebagainya.Lebih dari itu, problem sosiologis yang tercipta juga tak kalah luarbiasa. Dari kacamata ini, kita tahu kalau perempuan selalu menjadisubyek yang dirugikan. Perda syariah sangat bias gender. Tak kalahdirugikan juga adalah kaum minoritas. Menurut saya, semakin menguatgerakan formalisasi syariah, akan semakin negatif pula dampaknya.Namun demikian, menurut pengamatan saya, sebagaimanatelah disampaikan di atas, trend formalisasi syariah di daerah-daerahtidak akan berumur terlalu panjang. Tidak semua daerah mempunyaibasis historis dan sosiologis seperti di Aceh.Jajat Burhanudn –1047


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut Anda, trend ini kira-kira akan bertahan berapa tahun kedepan?Mereka masih akan bertahan selama kondisi negara belummembaik dari segi ekonomi, hukum, pendidikan, maupun politik.Semakin kita banyak kekurangan pada sisi-sisi itu, maka semakinbanyak juga orang yang akan mencari alternatif lain di sampingkonsep negara yang sudah ada. Jadi, tunggu saja. Makanya, menurutsaya, sikap antinegara sudah tidak bisa dikedepankan lagi.Sebab, kapan kita akan bisa membuat suatu pembangunan yangsustainable, yang berdampak besar bagi perubahan negara, kalauperilakunya masih tidak demokratis begini.Religious freedom di Indonesia selain mendapat rongrongan dariperda syariah, juga dari institusi semi resmi, seperti MUI. PelaranganAhmadiyah, salat dua bahasa (Usman Roy), Komunitas Edendan sebagainya adalah faktanya. Negara telah melakukan pembiaranterhadap pengrusakan dan pembatasan keyakinan seseorang dankelompok. Bagaimana tanggapan Anda terhadap kondisi yang meruntuhkanpluralisme?Persis itulah yang saya maksudkan bahwa ada banyak wilayahyang seharusnya negara tetap campur tangan dalam kehidupan masyarakat,bukan dalam kehidupan keagamaan atau keyakinan yangpersonal. Kalau negara sampai melarang keyakinan, itu tidak benar.Tapi negara berhak melarang manifestasi keyakinan ke dalamwilayah yang semestinya menjadi domain negara.Penyerangan terhadap Ahmadiyah jelas merupakan kekerasansosial dan keagamaan, suatu tindak kriminal di mana para pelakunya1048– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–harus dikenakan sanksi hukum. Oknum-oknum yang merusak kafekafedan melarang penerbitan Majalah Playboy bahkan dengan merusakkantornya harusnya ditindak, karena itu sudah menyangkutmasalah keamanan yang menjadi tanggung jawab negara. Bagaimanapunhak-hak masyarakat,seperti hidup aman, tenang,dan sebagainya, harus karena menganut keyakinan tertentu,Negara tidak bisa melarang seseorangtapi intervensi negara dilakukandilindungi oleh negara. Untukmenciptakan kehidup-manakala melarang orang ataukelompok yang berkeyakinan tertentuan seperti ini mensyaratkanyang melakukan perbuatan tidaknegara yang punya penetrasiproporsional terhadapyang lain.toleran dengan merusak kehidupanmasyarakat. Di sinilah pentingnyapenegakan hukum. Karena itu, menurut saya, tidak adasalahnya kalau kita mendukung negara, karena kita butuh negarayang kuat. Jika negara tidak kuat akan banyak faktor lain yangmasuk dan coba menguasai domain publik.Kalau Anda lihat karya-karya tentang civil society di Indonesia,cukup banyak yang memaknai civil society sebagai kekuatantandingan terhadap negara. Yang agak berbeda sebenarnya CakNur, yang memahami civil society dalam kerangka keadaban, denganseruan mengisi kehidupan negara dengan konsep dan nilaidemokrasi modern. Sarjana lain cendrung memahami civil societysebagai kekuatan antinegara. Menurut saya, kini sudah waktunyauntuk mengubah civil society yang antinegara menjadi pro negara.Toh negara sekarang sudah demokratis. Jadi perlu mengubah paradigmacivil society yang tidak punya trust kepada negara menjadiyang memperkuat institusi negara dengan cara-cara dan kultur yangJajat Burhanudn –1049


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–demokratis. Pada titik inilah, perlu adanya perubahan paradigmahubungan civil society dan negara.Penodaan terhadap pluralisme, dari penjelasan Anda, tampak lebihdisebabkan oleh lemahnya negara. Tapi demokrasi juga membutuhkannegara yang tidak terlalu kuat, karena kekuatan negara justruakan mengembalikan Indonesia kepada otoritarianisme. Bagaimanamenurut Anda?Kita harus membedakan konsep negara kuat dari otoriter sepertiyang dipraktikkan Orba. Negara kuat adalah negara yangpunya kapasitas untuk memerintah sesuai dengan prinsip-prinsipgood government. Ketika ada kelompok yang hak-haknya terganggu,negara harus melindungi.PPIM sering melakukan survey tentang kondisi sosial kemasyarakatan,termasuk masalah keberagamaan. Dari situ, apakah masyarakat kitatelah memiliki keterjaminan civil rights dan civil liberties yang memadaidari negara? Kalau sudah, tolong jelaskan, dan kalau belum,mestinya negara harus berbuat apa?Negara perlu hadir sebagai sebuah state yang modern. Artinyayang menjamin hak-hak hidup rakyatnya, baik dalam kehidupanberagama, ekonomi, maupun politik dan lain sebagainya. Dan ituyang sekarang sedang dilakukan negara, meskipun, karena berbagaifaktor krisis, menjadi tidak begitu kuat. Faktor lain yang menambahderetan masalah dalam hal ini adalah tindakan kelompok masyarakatsendiri yang tidak memiliki sikap kewarganegaraan kuatsehingga justru melahirkan kekuatan-kekuatan antinegara. Dalam1050– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–skala luas, hal demikian tentu akan berdampak sangat serius terhadapproses demokrasi di Indonesia.Beberapa survey PPIM, misalnya, menemukan fakta bahwa sikapintoleransi semakin menguat di dalam masyarakat, sementararasa kenegaraan atau semangat kebangsaan justru makin memudar.Belum lagi masih kuatnya faktor agama sebagai identity marker dibandingnegara. Itu problem-problem yang cukup serius. Karenaitu, pada tingkat elit, sekalilagi saya katakan, perlu adanyamainstreaming kebangsa-tidak sadar bahwa fatwa yangMUI, sebagai institusi semi negara,an. Selain itu, sebagaimana dikeluarkannya akan mempunyaiimplikasi sosiologis yang luartelah saya katakan, negarabiasa besar. Dia tidak tahu bahwaharus mempunyai daya penetrasiyang memadai terha-ada sekelompok masyarakat yangmenunggu fatwa itu. Jadi, MUI tidakdap rakyatnya, bukan membiarkanagama untuk masuk benar terhadap kondisi kehidupanmempunyai bacaan sosiologis yangmenguasai domain publik keagamaan di Indonesia. Lebih daridengan ideologi yang justru itu, fatwa yang dibuat hanya mewakilibertentangan dengan kepentinganorangkelompok kepentingan tertentu.banyak.Melihat kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia sekarang, kirakirabagaimana perjalanan pluralitas kehidupan Indonesia ke depan?Apakah akan semakin terjaga atau sebaliknya semakin memprihatinkan?Untuk beberapa saat kita masih akan menghadapi hambatanyang tidak mudah untuk bisa mewujudkan idealitas pluralisme diIndonesia. Namun, kita masih harus terus mengintensifkan kiner-Jajat Burhanudn –1051


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ja nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Saya yakin, seiring dengan terciptanya tata kehidupan politik,ekonomi dan lain sebagainya secara lebih baik, kekuatan-kekuatananti-pluralisme, lambat laun, akan hancur dengan sendirinya.Wawancara dilakukan di PPIM Jakarta, 8 Februari 20081052– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganJalaluddin RakhmatJalaluddin Rakhmat, Kepala SMU Plus Muthahhari Bandung. Ia pendiri sekaligusKetua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dan juga pendiri IslamicCollege for Advanced Studies (ICAS) dan Islamic Cultural Cennter (ICC) Jakarta.Ia mendapat gelar MA studi Komunikasi dan Psikologi dari Iowa State Universitydan gelar Doktornya dari Australian National University (ANU).1053


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Soteriologi merupakan bagian dari pembahasan agama yang berkaitandengan keselamatan. Setiap agama mempunyai soteriologinyamasing-masing. Sementara pluralisme menegaskan bahwasemua agama berpeluang memperoleh keselamatan pada hariakhir. Namun begitu, pandangan yang mengatakan bahwa karenasetiap agama selamat sehingga siapapun boleh berpindah-pindahagama sesuka hatinya adalah keliru. Itu sinkretisme, pandanganyang mencampur dan menjalankan semua agama sekaligus. Untukitu, pluralisme pun tidak bisa hanya diotak-atik dengan logika,sebab harus dilengkapi dengan pengetahauan filsafat yangmemadai, paling tidak filsafat sebagai cara berpikir.1054– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Terus bergulirnya kontroversi seputar paham pluralisme di negeri ini,terutama sejak MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengharamkannya,mendorong kami untuk beroleh penjelasan dari Anda bagaimana mendudukkankonsep tersebut dalam hubungannya dengan persoalan keagamaan.Jika kita mencari (search) kata pluralism dalam internet, makaakan mendapati bahwa salah satu kategori pluralisme adalah pluralismeyang dikembangkan oleh para teolog di bidang keagamaan,yakni pluralisme religius (religious pluralism). Di sana ada kalanganfundamentalis Kristen yang mengutip Alkitab untuk menolakpluralisme. Sementara itu, yang mendukung pluralisme agama jugamengemukakan argumentasi-argumentasinya dengan berdasarkanAlkitab. Memang, saya kira, kalau kita mau menyebarkan pluralismedi kalangan kaum Muslim atau di kalangan umat beragama,kita harus menggunakan dalil-dalil agama. Mendukung pluralismetanpa mengemukakan dalil-dalil agama tidak akan didengar olehumat beragama.Membincangkan pluralisme tanpa dalil-dalil agama berarti menempatkanpluralisme sebagai kajian akademis – pluralisme di levelsosiologis, misalnya, di sini pluralisme dipahami sebagai gejalasosiologis ketika masyarakat pada akhirnya berkembang menjadimasyarakat yang pluralistik. Namun begitu, pluralisme yang hendakkita bahas di sini bukan pluralisme sebagai gejala sosiologis,tapi sebagai sikap beragama.Saya kira, mengapa pluralisme kaum liberal cenderung tidakditerima oleh kaum Muslimin adalah karena mereka tidakmempunyai rujukan dalam al-Quran dan Sunnah Nabi. KalanganMuslim akan berkata, “what are you talking about?”, kalauJalaluddn Rakhmat –1055


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Anda berbicara tentang pluralisme sebagai gejala sosiologis. Sebab,Anda tidak perlu menghubungkannya dengan agama, go ahead! Jikadalam konteks tersebut Anda membincang pluralisme, barangkalisaya pun tidak begitu memedulikannya.Lalu, bagaimana mengkomunikasikan bahasa yang berbeda antarakalangan fundamentalis yang menolak pluralisme, yang melandaskandiri pada al-Quran, dengan kalangan pluralis, seperti Anda yangmendukung pluralisme dan juga sama-sama merujuk pada al-Qurandan Hadits?Saya juga tidak mengerti mengapa ada orang yang mengartikanpluralisme dengan caranya sendiri. Ada sahabat saya darikalangan fundamentalis yang mengartikan pluralisme sebagai pahamyang menyatakan semua agama benar; paham yang menyatakansemua agama sama. Saya sendiri mendefinsikan pluralismesebagai paham yang menyatakan bahwa semua agama mempunyaipeluang untuk memperoleh keselamatan pada hari akhirat. Kalaubegitu, tidak ada cara apapun untuk berkomunikasi, karena, bagaimanapunjuga, kita tengah berbicara tentang makhluk yanglain. Jadi kalau kaum fundamentalis mengartikan pluralisme dengancaranya sendiri, begitupun saya mengartikan pluralisme dengancara saya sendiri pula, artinya kita mempunyai definisi yangberbeda. Secara filosofis tidak mungkin terjadi diskusi. Tampaknyakalaupun kita bertengkar, mungkin kita bertengkar tentangsesuatu yang berbeda. Ironisnya, perbedaan definisi itu dijadikanargumen untuk menentang pluralisme. Mereka menolak pluralismekarena pluralisme diartikan macam-macam. Itu menurut sayasesuatu yang menggelikan.1056– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Termasuk ketika merekamendefinisikan pluralismesebagai sinkreatisme misalnya?Saya menemukan kaum liberal diIndonesia dalam beberapa hal ternyataanti-pluralisme. Dan saya heran merekamengusung pluralisme tapi padaYa. Jika pluralisme diartikanseperti itu jelas ke-pluralis. Misalnya dalam hal diskusisaat yang lain sikapnya sangat tidakliru. Kaum fundamentalis tentang poligami di televisi. Kaummenentang pluralisme karenapaham ini dianggapliberal dalam diskusi tersebut samasekali tidak bisa menerima pandangankaum fundamentalis. Artinya, kalau kitatidak jelas, merepresentasikanhal-hal yang berbeda.kembali kepada bahwa pluralisme adalahsoteriologi, saya menemukan dalamPenolakan ini tidak tepat. sikap mereka bahwa kaum fundamentalisApalagi jika pluralisme diartikansebagai sinkretisme seperti itu. Kaum fundamentalis dicaptidak akan selamat. Mereka berpendapatatau relativisme. Sementarakita, kalangan pluralis, al-Quran. Ketika kaum fundamentalisbodoh, kampungan, dan memanipulasimembedakan antara apa berbicara mereka ribut, mereka tidak mauitu pluralisme dengan apa mendengarkan pendapatnya. Menurutsaya, akhlak kaum fundamentalis dalamyang disebut sebagai sinkretismedan relativisme.acara debat di televisi itu lebih pluralisdaripada kaum liberal.Bahkan kita juga membedakanantara pluralismedengan eksklusivisme. Kalau orang menentang suatu pendapat denganmengatakan bahwa pendapat itu mempunyai definisi yangbermacam-macam, maka yang harus diselesaikan terlebih dahuluadalah penyamaan definisi.Berkembang pandangan mutakhir bahwa pluralisme tidak cukup dengantoleransi, tidak cukup pula hanya dengan dialog teologis, tetapiJalaluddn Rakhmat –1057


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–harus ada pengakuan politik (political recognition) terhadap kaumminoritas, demi menciptakan atmosfer kehidupan bersama yang harmonisdan saling peduli satu sama lain. Sedangkan Kang Jalal sepertinyamempunyai kecenderungan yang berbeda, tidak merujuk padakonsep maslahat tapi merujuk langsung kepada al-Quran sendiri.Bagaimana menurut Kang Jalal?Anda berbicara tentang pluralisme sebagai sebuah ideologi politik.Itu lain lagi. Ada political pluralism, pluralisme sebagai sebuahideologi politik. Tadi saya menyebutkan juga pluralisme sebagai sebuahgejala sosial yang muncul dalam kehidupan modern. Sementara,dalam perbincangan ini, saya justru mengemukakan seputarpluralisme dalam kehidupan beragama (religious pluralism).Tentu kalau kita berbicara tentang political pluralism, nanti adaorang berpendapat bahwa tidak cukup pluralisme sekadar menghargaihak-hak minoritas dan mengakui kebebasan berpendapat,tetapi pluralisme juga harus memberikan kebebasan kepada oranguntuk menjalankan agamanya masing-masing. Orang seperti itusedang membawa pluralisme politik kepada pluralisme religius.Demikian pula Majelis Ulama Indonesia yang mengatakanbahwa harus dibedakan antara pluralisme dengan pluralitas. Pluralismeadalah suatu paham, sedangkan pluralitas menurut merekaadalah kemajemukan masyarakat yang memang merupakan realitas.Ungkapan seperti ini sebetulnya menunjukkan bahwa MUI tidakmengerti tentang pluralisme sebagai sebuah gejala sosial.Menurut saya, paham pluralisme politik juga dapat dianggapsebagai pilar demokrasi. Ini supaya tidak rancu antara satu denganyang lain. Sebab di dalam demokrasi itu sendiri terdapat keniscayaanadanya pembelaan terhadap hak-hak minoritas. Demokrasijuga meniscayakan adanya perbedaan pendapat.1058– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Karena itu, dalam perbincangan ini saya ingin membatasi pluralismehanya dalam konteks religious pluralism (pluralisme agama).Tolong jangan berbicara pluralisme dalam arti fenomena sosiologis(pluralisme sosial) atau fenomena politik (pluralisme politik). Sebabdi sini saya membincangkan tentang pluralisme religius. Karenaitu di sini, barangkali, apa yang saya kemukakan tidak bisabertemu dengan pandangan pluralismenya Mas Dawam (Prof. Dr.Dawam Rahardjo). Mas Dawam tidak menginginkan pluralismesebagai sebuah pluralisme religius. Tapi dia mungkin lebih menekankanpolitical pluralism, yakni pluralisme sebagai sebuah ideologipolitik.Saya ingin menekankanbahwa yang pertama Pluralisme adalah pandangan bahwasemua agama akan memperolehkali harus diselesaikan ialahkeselamatan. Itu tidak langsungapa yang dimaksud denganberakibat pada kemudahan orangpluralisme. Baru setelah ituuntuk berpindah-pindah agama.kita berbicara dalam definisiyang sama. Kalau tiba-suatu hal yang satu sama lain tidakPluralisme dan pindah agama adalahtiba ada orang mengatakan sama. Untuk pindah-pindah agama,bahwa pluralisme itu mempunyaiarti yang bermacam-keselamatan dalam konteks agama.tidak ada urusan dengan masalahmacam, saya tidak mau ikutcampur Misalnya tiba-tiba Adian Husaini berkata bahwa pluralismesama dengan sinkretisme. Jadi, menurutnya, kalau membicarakantentang pluralisme jangan hanya wacana saja, tapi harus dipraktikkan– pagi-pagi harus salat Subuh di masjid, siang bermisa digereja, dan sore beribadah secara Hindu di kuil. Di sini letak kekeliruannya.Dia mengartikan pluralisme secara keliru. Dia berbicaratentang ‘binatang’ yang lain, bukan ‘binatang’ pluralisme yang se-Jalaluddn Rakhmat –1059


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dang kita bahas di sini. Orang membicarakan pluralisme memangseharusnya dilengkapi dengan pengetahuan filsafat yang memadai.Paling tidak filsafat sebagai cara berpikir, misalnya tentang bagaimanakita mendefinisikan istilah yang kita pergunakan.Dalam hal ini, saya sangat heran baik kepada kelompok liberalyang mendukung pluralisme maupun kepada kelompok fundamentalisyang menentang pluralisme. Karena tampaknya mereka membicarakanmakhluk yang berbeda, binatang yang berbeda, sehinggaantara yang satu dengan yang lain tidak bisa bertemu. Karena itusaya juga tidak heran jika Mas Dawam mengatakan bahwa debatantara kalangan fundamentalis dan pluralis yang sama-sama mengemukakanargumentasi canggih berdasarkan al-Quran adalahdebat kusir.Di sini barangkali Mas Dawam mengalami kebingungan.Bagaimana mungkin dua pemikiran yang berbeda mendasarkandiri kepada al-Quran, sebagai sebuah rujukan yang sama dalammemperdebatkan pluralisme. Kebingungan ini dapat diatasi kalauMas Dawam mengetahui bahwa sesungguhnya kedua belah pihakmembicarakan suatu hal yang berbeda meski tetap dalam kontekspluralisme religius.Perbedaan persepsi tentang pluralisme agama ini dapat diselesaikan,menurut saya, dengan cara kedua belah pihak sama-samamendasarkan argumentasi kepada al-Quran dan mendefinisikanpluralisme dengan definisi yang sama. Misalnya saya mendefinisikanpluralisme sebagai sebuah paham keagamaan yang pada gilirannyatentu berpengaruh terhadap sikap beragama. Pluralismemenurut definisi saya lebih sebagai sebuah paham keagamaan yangmemandang bahwa selain agama kita, yaitu pemeluk agama lain,juga akan memperoleh keselamatan.1060– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Di dalam teologi, kalau kita berbicara tentang pluralisme religius,kita harus merujuk pada apa yang disebut sebagai “soteriologi”.Soteriologi adalah bagian dari pembahasan agama yang berkaitandengan keselamatan atau ilmu tentang keselamatan. Setiapagama selalu bercerita siapa saja orang-orang yang selamat padahari akhirat nanti. Setiap agama mempunyai soteriologinya sendiri-sendiri.Dalam hal ini, pluralisme yang kita perbincangkan adalah pluralismereligius yang merupakan bagian dari soteriologi. Pluralismeyang membicarakan tentang siapa yang akan selamat di hari akhirnanti. Menurut kaum eksklusivis, secara soteriologis hanya kelompokmereka saja yang selamat. Sekali lagi kita berbicara tentangsoteriologi, bukan sinkretisme. Sinkretisme itu makhluk yang laindan tidak ada hubungannya dengan soteriologi. Meskipun, bisajadi, ada juga kalangan pluralis yang sinkretis, sebagaimana adajuga kalangan pluralis yang ‘fundamentalis’. Karena kadang-kadangorang mempertentangkan antara fundametalis dengan pluralis. Padahaltidak demikian. Misalnya, saya kira Syeikh Husain Fadllullahadalah seorang fundamentalis, Sayyid Rasyid Ridla adalah seorangfundamentalis. Tapi secara soteriologis mereka adalah orang-orangyang pluralis.Orang seperti Mas Dawam tidak dapat mengerti bagaimanabisa seorang fundamentalis menjadi pluralis. Itu karena dia membuatkategori yang sama tentang beberapa hal yang berbeda. Membandingkanfundamentalisme, pluralisme, dan sinkretisme samahalnya dengan membandingkan apel, tikus, dan meja. Apa perbedaanapel, tikus, dan meja? Semuanya tidak ada keterhubungan.Sebab pembandingan itu sesungguhnya merupakan pembicaraanJalaluddn Rakhmat –1061


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tentang sesuatu yang tidak ada hubungannya antara satu denganyang lain.Dalam filsafat, kalau kita membuat kategori, kita harus menggunakankriteria yang sama. Kalau kita memaknai fundamentalisme,jangan dipertentangkan dengan pluralisme, sebab fundamentalismemerupakan pengelompokan yang lain dalam kehidupan beragama.Fundamentalisme mungkin harus dipertentangkan dengan liberalisme.Itu ada kelompoknya sendiri. Fundamentalisme adalah kecenderunganuntuk menggunakan rujukan-rujukan agama, utamanyateks agama, untuk menjustifikasi paham kelompoknya. Sementaraliberalisme adalah kelompok yang lebih banyak merujuk kepadakonteks daripada teks.Definisi pluralisme bisa merujuk kepada teks dan sekaligus dapatmerujuk pula pada konteks. Pluralisme kaum liberal berdasarkanpada konteks; sementara pluralisme kaum fundamentalis berdasarkanteks. Karena itu tidak mengherankan jika Sayid HuseinFadllullah, tokoh spiritual Hizbullah di Lebanon, adalah seorangyang sangat pluralis. Sayyid Rasyid Ridla, yang dianggap sebagaiorang yang me-Wahhabi-kan tafsirnya Muhammad Abduh, adalahseorang pluralis. Padahal, Wahhabi sangat fundamentalis. Olehkarena itu, menjadi jelas di sini bahwa Adian Husaini yang sangatWahhabi itu anti-pluralis. Artinya, penganut paham Wahhabi itubisa pluralis dan juga bisa anti-pluralis. Kelompok liberal juga bisapluralis dan pada saat yang bersamaan bisa anti-pluralis.Saya menemukan kaum liberal di Indonesia dalam beberapahal ternyata anti-pluralisme. Dan saya heran mereka mengusungpluralisme tapi pada saat yang lain sikapnya sangat tidak pluralis.Misalnya dalam hal diskusi tentang poligami di televisi. Ini sekadarcontoh. Kaum liberal dalam diskusi di televisi itu sama sekali tidak1062– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bisa menerima pandanganSaya sangat heran baik kepadakaum fundamentalis. Artinya,kalau kita kembali kepa-kelompok liberal yang mendukungpluralisme maupun kepadada bahwa pluralisme adalahkelompok fundamentalis yangsoteriologi, saya menemukan menentang pluralisme. Karenadalam sikap mereka bahwa tampaknya mereka membicarakankaum fundamentalis tidak makhluk yang berbeda, binatangakan selamat. Mereka berpendapatseperti itu. Kaum yang satu dengan yang lain tidakyang berbeda, sehingga antarafundamentalis dicap bodoh, bisa bertemu. Karena itu sayakampungan, dan memanipulasial-Quran. Ketika kaumjuga tidak heran jika Mas Dawammengatakan bahwa debat antarakalangan fundamentalis dan pluralisfundamentalis berbicara merekaribut, mereka tidak mauyang sama-sama mengemukakanargumentasi canggih berdasarkanmendengarkan pendapatnya. al-Quran adalah debat kusir.Menurut saya, akhlak kaumfundamentalis dalam acara debat di televisi itu lebih pluralis daripadakaum liberal. Mereka, kalangan liberal, menganggap kaumfundamentalis pasti celaka sebab dianggap merusak Islam.Ada pandangan yang memperlawankan pluralisme dengan monisme,demi mencoba untuk mengatasi problem monisme yang rentanberbuah totaliter. Bagaimana pendapat Anda?Meskipun tidak mengambil spesialisasi filsafat, saya juga belajarfilsafat. Di rumah saya, mungkin buku-buku filsafat lebihbanyak ketimbang buku-buku yang lain, bahkan buku komunikasisekalipun. Jadi kalau ada orang menyebut istilah-istilah filsafatseperti monisme, bayangan saya segera berpikir tentang monismeJalaluddn Rakhmat –1063


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di dalam filsafat. Pikiran saya langsung pergi menuju Spinoza.Dan monisme Spinoza sama sekali tidak ada hubungannya denganpluralisme religius yang kita bicarakan ini. Spinoza bukanseorang teolog, tapi lebih merupakan seorang filosof. Saya pernahmenulis artikel “Spinoza: Ateis yang Paling Bertuhan”. Yang inginsaya tekankan adalah bahwa monisme sama sekali tidak ada hubungannyadengan pluralisme yang kita bicarakan. Sekali lagi,pluralisme yang kita bicarakan adalah pluralisme religius. Bukanpluralisme filsafat.Dalam filsafat, pluralisme memang dipertentangkan denganmonisme. Secara sederhana, pluralisme menganggap bahwa yangada itu banyak dan berbeda-beda. Monisme menganggap bahwayang ada itu hanya satu; perbedaan hanyalah penampakan, faseatau fenomena dari yang satu. Monisme juga dipertentangkandengan dualisme. Dualisme membedakan antara tubuh dan jiwa,materi dan roh, obyek dan subyek. Pandangan filsafat yang menolakperbedaan itu atau keyakinan untuk menggabungkan segenapperbedaan pada tingkat yang lebih tinggi disebut monisme.Isaiah Berlin mencoba mempertentangkan antara pluralisme denganmonisme. Pertentangan ini ada benang merahnya sejak zaman pemikiranPlato sampai pemikiran yang mutakhir. Ada pemikiran yangcenderung pluralistis dan ada pula yang monistik.Saya kira saya harus mengutip langsung Isaiah Berlin tentangapa yang dia maksud dengan monisme sebagai lawan dari pluralisme,“Musuh pluralisme adalah monisme, kepercayaan kuno bahwaada satu harmoni dari berbagai kebenaran, yang jika genuin, di situsemuanya pada akhirnya akan serasi.” Akibat kepercayaan ini (se-1064– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–suatu yang berbeda tapi berdekatan dengan apa yang disebut KarlPopper sebagai esensialisme – yang menurutnya sumber segala kejahatan)adalah bagi orang yang tahu harus menguasai orang yangtidak tahu. Orang yang tahu jawaban tentang masalah kemanusiaanharus dipatuhi, karena mereka sajalah yang tahu bagaimanaseharusnya masyarakat diorganisasikan, bagaimana kehidupan individuharus diatur, dan bagaimana budaya harus dikembangkan.Inilah keyakinan Platonis tentang konsep filosof-raja. Selalu adapemikir yang berpendapat bahwa jika hanya ilmuwan, atau orangyang dilatih sebagai ilmuwan saja yang mengatur, maka dunia akanluar biasa baiknya. Untuk hal ini, saya harus mengatakan bahwatidak ada alasan yang lebihbaik, bahkan tidak ada dalilyang lebih kuat dari mo-sebagai paham yang menyatakanSaya sendiri mendefinsikan pluralismenisme untuk membenarkan bahwa semua agama mempunyaidespotisme tak terbatas bagi peluang untuk memperolehkaum elit untuk merampok keselamatan pada hari akhirat.kebebasan dari mayoritas.Apakah pertentangan itu sama sekali tidak dapat dikaitkan denganagama, terutama cara pandang umat atas agamanya?Memang dari segi kata-kata pluralism berasal dari kata plural,yang artinya banyak (al-katsrah). Sedangkan monism asalnya berasaldari kata mono, yang artinya tunggal. Jadi di sini pluralismeartinya paham yang menghargai al-katsrah (kebhinekaan) atauilmu dan pandangan yang menganggap alam semesta ini sebagaisesuatu yang banyak. Sedangkan monisme memandang alam semestaini sebagai sesuatu yang tunggal.Jalaluddn Rakhmat –1065


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jika ini dihubung-hubungkan dengan agama sulit menemukanrelevansinya. Kalaupun dipaksakan, mungkin begini: pluralisme religiusyang kita bahas adalah pandangan yang mengakui keragaman;sementara monisme adalah pandangan yang ingin menunggalkansemuanya. Seperti kebijakan asas tunggal, itu adalah bentuk darimonisme, sedangkan demokrasi adalah bentuk dari pluralisme.Tampaknya pertentangan tentang pluralisme masih berkisarpada definisi yang bermacam-macam. Sebelum kita menjernihkanapa yang kita bicarakan, diskusi ini akan menjadi debat kusir yangberkepenjangan. Saya setuju dengan Mas Dawam dalam hal itu.Selama Mas Dawam tidak merujuk dengan jelas tentang apa yangdia bicarakan, kita akan debat berkepanjangan. Kita harus mendudukkanmasalahnya terlebih dahulu, apakah pluralisme sebagaifilsafat, pluralisme dalam konteks agama, atau pluralisme sebagaigejala sosial.Menurut saya, masih bagus Wikipedia di internet dalam membicarakanpluralisme ketimbang perbincangan kita sekarang. KarenaWikipedia membincangkan pluralism mulai dari pluralismeitu sendiri, lalu membaginya ke dalam; religious pluralism, sociologicalpluralism, dan political pluralism. Kalau mau berbicara tentangpluralisme agama, tinggal kita klik saja religious pluralism. Ituuntungnya internet. Fungsi klik di sini adalah untuk membatasipembahasan. Karena kalau dicari kata pluralisme di internet, akandisajikan sekian juta informasi tentang kata itu. Tapi kalau Andamencari di “religious pluralism”, maka yang akan keluar hanya halhalyang berkenaan dengan pluralisme religius. Dan yang berkaitandengan itu adalah inklusivisme, ekslusivisme, dan pluralisme.Wikipedia kemudian juga mengatakan, jangan mengacaukanpluralisme religius dengan sinkretisme atau relativisme, walaupun1066– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kadang-kadang ada pertemuan, overlapping, misalnya bahwa pluralismeitu menolak adanya absolutisme. Oleh karena itu orangkemudian berpikir bahwa pluralisme sama dengan relativisme.Ada sebuah buku yang mengkritik pluralisme sebagaimana tertuangdalam buku John Hicks, Deep Religious Pluralism. Editornya:David Ray Griffin. Buku itu menyajikan kelemahan John Hicksdalam membahas pluralisme. Kelemahannya misalnya tatkala Hicksmembicarakan pluralisme berdasarkan dalil-dalil dari Bibel. Itu dikritikdengan menggunakan dalil-dalil dari kitab yang sama, sembarikemudian menjernihkan pengertian pluralisme yang generik.Buku itu bagus sekali dalam mebicarakan pluralisme religius, meskikonteksnya adalah agama Kristen. Namun demikian di dalamnyajuga terdapat pluralisme menurut Sayyed Hossein Nasr seperti dijelaskanoleh Mustafa Ruzgar; pluralisme dari kalangan Hindu olehJeffrey D. Long; pluralisme Yahudi oleh Sandra B Lubarsky, dansebagainya. Buku tersebut dan buku Hicks membicarakan pluralismedalam dataran yang sama, pluralisme sebagai makhluk yangtunggal, yakni pluralisme religius.Begitulah seharusnya membahas pluralisme religius. Di kalanganumat beragama, pluralisme dikenal dengan beberapa jenisnya.Dari kalangan Islam misalnya Sayyed Hossein Nasr, yang merupakanseorang filosof, seorang teolog, seorang perennialis, dan bukanseorang politikus. Jadi dia mempunyai otoritas untuk berbicaratentang pluralisme.Kembali pada perbincangan tentang soteriologi, apakah dengan konsepini kita dapat mengatakan bahwa semua agama benar, sehinggaorang dapat berpindah agama dengan mudahnya?Jalaluddn Rakhmat –1067


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Orang membicarakan pluralisme sebagai paham semua agamabenar, berarti telah membicarakan sesuatu yang lain. Karena definisisebenarnya dari pluralisme adalah pandangan bahwa semua agamaakan memperoleh keselamatan. Itu tidak langsung berakibat padakemudahan orang untuk berpindah-pindah agama. Pluralisme danpindah agama adalah suatu hal yang satu sama lain tidak sama.Untuk pindah-pindah agama, tidak ada urusan dengan masalahkeselamatan dalam konteks agama. Bahkan, menurut saya, orangpindah agama akan terjadi kalau hanya satu saja agama yang selamat.Misalnya seorang Kristen berdiskusi dengan seorang Muslim,lalu dia menemukan dalam diskusi tersebut bahwa ternyatayang akan selamat hanya Islam, maka ia berpindah kepada Islam.Tapi kalau ia berpendirian bahwa semua agama selamat, apa perlunyaberpindah agama? Itu argumentasi dari Ulil Abshar-Abdalla.Ini merupakan argumentasi yang menurut saya paling bagus yangpernah saya dengar. Argumentasi ini menolak pandangan bahwakarena setiap agama selamat maka setiap orang boleh pindah-pindahagama setiap saat. Pandangan ini nanti akan dibawa ke arahsinkretisme, yaitu pandangan yang mencampurkan semua agamaatau menjalankan semua agama sekaligus karena semuanya dianggapmemberi jalan keselamatan.Menurut saya, kemungkinan pindah agama lebih besar padaorang yang menentang pluralisme; yang menganggap hanya ada satuagama yang benar. Jika orang ragu bahwa yang selamat itu cumasatu agama saja, maka pilihan yang paling baik supaya probabilitasstatistiknya tinggi, kita menjalankan seluruh agama. Ini dilakukansupaya paling tidak ada yang pas, yang menyampaikan kita padakeselamatan. Kalau cara bepikirnya begini, maka beragama itu sepertiberjudi. Kalau kita lebih banyak membeli kartu lotere, maka1068– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kemungkinan kita akan menang lebih besar, sebab hanya satu kartulotere saja yang menang. Maka kita pun membeli kartu loteresebanyak-banyaknya. Lain halnya jika kita tahu bahwa semua kartumenang. Ketika kita sudah memegang satu kartu, kartu yang sudahkita punya tidak perlu diganti lagi. Jadi, sangat keliru orang yangberpikir bahwa pluralisme membuat kita boleh berpindah-pindahagama.Fundamentalisme adalahkecenderungan untukAda pandangan yang mengatakanbahwa agama yang plura-menggunakan rujukan-rujukanagama, utamanya teks agama,lis lebih tepat jika dialamatkan untuk menjustifikasi pahampada agama-agama non-Semitik,seperti Hindu, Budha, atau liberalisme adalah kelompok yangkelompoknya. Sementarayang lainnya. Sebab agama Semitik,yakni Islam, Kristen, dankonteks daripada teks.lebih banyak merujuk kepadaYahudi memiliki doktrin evangelic,seperti konsep misionaris atau dakwah, yang mengasumsikankelompok lain harus diselamatkan dengan memeluk agamanya. Bagaimanapandangan Kang Jalal?Mungkin saja. Tapi, coba kita lihat dulu Hindu. Hindu sebetulnyabukan sebuah agama. Ia bukan a single religion (agama yangsatu). Hindu merupakan a collection of religions (kumpulan agama-agama).Jadi kalau Islam disebut dengan Islamic religion tanpahuruf “s”, Hindu harus menggunakan huruf “s”, Hindic religions.Itu penjelasan kepada saya dari seorang Hindu dalam sebuah konferensiinternasional.Ada banyak aliran di dalam Hindu. Apalagi jika kita memandangHindu sebagai agama yang politeistik. Ada sekelompok Hin-Jalaluddn Rakhmat –1069


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–du yang mengambil Wisnu sebagai Tuhan. Ada yang mengambil,bahkan, Batari Durga sebagai Tuhannya. Mereka terbiasa di dalamsistem itu, yakni sistem kepercayaan yang bermacam-macam.Bahwa semua dewa adalah ekspresi dari ketuhanan yang tunggal.Kalau dalam istilah tasawuf, semua dewa itu hanyalah tajalliyah(penampakan) dari Allah Yang Esa. Jadi melalui dewa manapun,menurut orang tasawuf, sama seperti melalui sistem (keberagamaan)manapun kita akan sampai kepada Allah. Sebagaimana sufi didalam Islam bisa berpendapat bahwa ada manifestasi dari jamâliyah(keindahan) Tuhan dan ada manifestasi dari jalâliyah (keagungan)Tuhan, orang Hindu juga berpendapat ada manifestasi dari Wisnudan ada pula manifestasi dari Shiwa.Jadi, memang Hindu sudah pluralis. Tetapi harap dipahamibahwa pluralisme terdapat di dalam agama Hindu itu sendiri karenabanyaknya Tuhan. Dari sini ada orang yang mengambil kesimpulanbahwa Hindu itu cenderumg pluralistik karena politeistik.Sementara agama-agama Semitik, karena sifatnya yang monoteistik,cenderung untuk eksklusivis. Saya lebih suka memakaikata eksklusivis karena dalam konteks pluralisme ada dua modelcara pandang yang saling bersinggungan, yakni eksklusivisme daninklusivisme. Bukan menghadap-hadapkan pluralisme dengan fundamentalisme.Sebab fundamentalisme merupakan kelompok yanglain, yakni satu kelompok bahasan dengan liberalisme.Kalau kita mau membincang tentang mistisisme, maka harusberbicara tentang mistisisme dan hubungannya dengan, misalnya,formalisme. Sedangkan kalau kita berbicara tentang tasawuf makajangan hubungkan dengan pluralisme, tapi kita hubungkan denganfikih atau kalam. Itu tiga kelompok pemikiran di dalam Islam. Didalam fikih, ada yang pluralis dan ada pula yang eksklusivis, walaupun1070– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pada umumnya kaum sufi lebih pluralis daripada orang-orang fikih.Itu hanya akibat berikutnya saja. Kita tidak bisa mengklasifikasikanpluralisme, fikih, dan tasawuf dalam rubrik yang sama.Orang yang mempunyai kecenderungan politeistik dan mistiklebih kuat, seperti Hindu, tidak secara otomatis menjadi pluralis.Karena, ada juga Hindu yang eksklusivis, bahkan lebih eksklusifdari orang-orang yang monoteistik.Sekarang ini di Indiaada sekelompok Hindu tentang pluralisme religius, kita harusDi dalam teologi, kalau kita berbicarayang sangat eksklusif yang merujuk pada apa yang disebutsebagai “soteriologi”. Soteriologisering memicu konflik denganumat Islam.adalah bagian dari pembahasanagama yang berkaitan denganTermasuk kelompok yang anggotanyamembunuh MahatmaGandhi?keselamatan atau ilmu tentangkeselamatan. Setiap agama selalubercerita siapa saja orang-orang yangselamat pada hari akhirat nanti. Setiapagama mempunyai soteriologinyaYa, termasuk yang membunuhGandhi. Mereka jugasendiri-sendiri.pernah membantai kaum Muslimin. Kecenderungan eksklusif inijuga ada dalam kalangan orang yang dikenal terpelajar. Buku terakhiryang saya baca, The End of Faith, tulisan Sam Harris, mengkritikagama dengan keras. Dia menekankan perlunya agama disingkirkandari kehidupan. Buku itu mengkritik Islam, mengkritikHindu, dan mengkritik juga orang-orang yang beragama secaramoderat. Menurut pengarang buku itu, tidak mungkin seorangyang beragama itu moderat.Dia juga mengkritik orang yang beragama secara pluralis. Baginya,beragama dan pada saat yang bersamaan menjadi pluralis,Jalaluddn Rakhmat –1071


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–itu mustahil alias contradictio in terminis. Meski demikian, bukuitu berbicara dalam dataran yang jelas. Apa yang disebut sebagaipluralisme dia definisikan dengan gamblang. Sehingga alur pembahasannyadapat diikuti dengan enak.Jadi, kembali ke persoalan awal, tidak benar bahwa agama Hindulebih pluralis dibanding agama lainnya. Untuk konteks agamaHindu sendiri (within Hinduism), barangkali, benar bahwa agamaini sangat pluralistik – kalau dibandingkan dengan Islam, yangmungkin karakter pluralistiknya baru pada tahap penghargaan antaramazhab saja, sebagaimana yang dilakukan oleh ahli-ahli fikih.Para ahli fikih, seperti yang sudah saya kutip dalam buku saya,Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, mempunyai prinsip: madzhabunâshawâb yahtamilu al-khata’ wa madzhabu ghayrinâ khatha’ yahtamilual-shawâb (mazhab kami benar tapi mungkin mengandung kesalahan,dan mazhab selain kita salah tapi barangkali juga mengandungkebenaran). Menurut saya, para imam mazhab fikih sebenarnyapluralis, dalam pengertian seperti orang-orang Hindu.Dalam konteks pluralisme Kristen, terdapat eukumene, sedangkanKatolik melalui Konsili Vatikan II mengakui ada keselamatan di luargereja. Sementara dalam konteks Islam sendiri apakah ada doktrin atauotoritas keagamaan yang menyerukan bentuk-bentuk pluralisme?Mengutip Romo Benny Susetyo, dalam sejarah Katolik pluralismemerupakan suatu hal yang baru. Terutama setelah adanya hasildari Konsili Vatikan II yang tokoh utamanya adalah John Paul II,atau Paus Paulus II. Sebelum itu, Katolik adalah agama yang sangattidak pluralis. Pluralisme religius yang kita bahas pada mulanyamuncul di kalangan Protestan. Protestan tidak mempunyai otoritas1072– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–keagamaan. Aliran dalam Protestan, menurut orang Katolik, bisamuncul setiap musim. Kapan saja seorang pemikir Kristiani menemukanpendapat yang baru, dia dapat mendirikan sebuah gerejayang baru. Di Indonesia, yang tergabung dalam PGI saja ada lebihdari 300 aliran. Itu yang terdaftar secara resmi. Sementara masihada beberapa aliran yang tidak terdaftar seperti Saksi Jehova (JehovahWitness) dan sebagainya. Arus pluralisme pertama kali sebetulnyamuncul dari kelompok Protestan. Sementara Katolik mempertahankansikap anti-pluralisme selama berabad-abad. Protestanlah yangmulai mengarusutamakannya meskipun benih-benih pluralisme inisudah muncul di dalam Katolik sejak lama. Menurut Romo Benny,yang membedakan Katolikdan Protestan adalah: Katolikberpijak pada tradisi se-Definisi pluralisme bisa merujukkepada teks dan sekaligus dapatmerujuk pula pada konteks. Pluralismementara Protestan – karenakaum liberal berdasarkan padapemikirannya lebih terbukakonteks sementara pluralisme kaumsehingga – tidak merujukfundamentalis berdasarkan teks.pada tradisi-tradisi.Dapatkah Anda menemukan rujukan atau preseden dalam Islamtentang adanya keselamatan di luar Islam?Nabi Muhammad saw sebetulnya sangat pluralis. Tentu Nabitidak mengumumkan terminologi pluralisme, tapi tentang keselamatandi luar Islam. Jika kita memakai rujukan Nabi saw sebagaifigur pluralis, maka kita harus mengutip teks-teks Hadits. Tidakbisa kita hanya mengotak-atiknya dengan logika (otak).Apa betul Rasulullah seorang pluralis? Di sini saya harus merujukkepada teks-teks, misalnya tentang bagaimana Nabi sawJalaluddn Rakhmat –1073


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menjelaskan ayat lâ ikrâha fî al-dîn (tidak ada paksaan dalam agama).Ayat ini sangat pluralistis, namun begitu sekarang dipahamiorang menjadi sangat eksklusivis. Coba sekarang kita bertanya kepadaustad-ustad kebanyakan, apa makna tidak ada paksaan dalamberagama. Mereka tentunya menjawab: ‘tidak ada paksaan dalamagama’ di sini mengisyaratkan bahwa seseorang boleh masuk Islamatau boleh tidak. Tetapi, begitu seseorang sudah masuk Islam, diaharus dipaksa.Biasanya penjelasan yang diberikan bersifat analogis bukan penjelasanlogis. Misalnya tentara. Tidak ada paksaan untuk menjaditentara. Tetapi begitu seseorang telah menjadi tentara, dia harusmematuhi semua aturan militer. Dia harus dipaksa untuk mematuhihukum ketentaraan. Itu penafsiran analogis atas ayat “tidakada paksaan dalam agama.” Tapi bagaimana Nabi saw menjelaskanayat itu dalam teks dan konteks waktu itu?Meskipun kita tidak dapat menunjuk siapa orang yang pertamakali memopulerkan istilah pluralisme di dunia Islam, tapi yangjelas praktik pluralisme sudah berjalan sejak zaman Rasulullah saw.Sayyid Rasyid Ridla di dalam tafsirnya menjelaskannya denganbaik bagaimana beliau bersikap dan mempraktikkan pluralisme ini.Sayyid Rasyid Ridla menyebutkan beberapa riwayat. Pertama, adaseseorang Sahabat bernama Abul Hushayn. Dia mempunyai duaorang anak yang salah satunya bernama Hushayn. Abul Hushaynsedih dan marah melihat dua anaknya yang masih muda-muda itumasuk agama Kristen. Mereka masuk Kristen karena pada waktuitu banyak pedagang Kristen dari Syam ke Madinah. Kedua anakAbul Hushayn mengikuti agama para pedagang itu. Bapak yangmerupakan Sahabat Nabi ini kemudian membawa anaknya kehadapan Rasulullah, “Ya Rasulullah, anak saya ini pindah agama.1074– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya tidak mau anak saya masuk neraka.” Kalimat “masuk neraka”mengasumsikan adanya konsep soteriologi bahwa anaknya tidakselamat. Apa jawaban Nabi saw mendengar laporan ini? Rasulullahberkata, “Biarkan dia memeluk agama itu.” Setelah itu, ayat yangberbunyi lâ ikrâha fî al-dîn (tidak ada paksaan dalam beragama)itu turun.Kedua, riwayat lain mengatakanbahwa kata lâ ik-Kalau kita mau membincang tentangmistisisme, maka harus berbicararâha fî al-dîn telah digunakansetelah Nabi saw hij-dengan, misalnya, formalisme.tentang mistisisme dan hubungannyarah ke Madinah. Kisahnya, Sedangkan kalau kita berbicarapada waktu itu banyak orang tentang tasawuf maka janganMadinah yang sering menitipkananaknya, terutama kita hubungkan dengan fikih atauhubungkan dengan pluralisme, tapiyang sakit-sakitan, kepadakalam. Itu tiga kelompok pemikiran didalam Islam. Di dalam fikih, ada yangorang-orang Yahudi. Anakanakitu pun tumbuh ber-pluralis dan ada pula yang ekslusivis,walaupun pada umumnya kaum sufikembang bersama orang Yahudi.Mungkin karena gizi-fikih. Itu hanya akibat berikutnya saja.lebih pluralis daripada orang-orangnya lebih baik, pertumbuhanmereka lebih sehat dan pluralisme, fikih, dan tasawuf dalamKita tidak bisa mengklasifikasikankemudian mengikuti agamarubrik yang sama.pengasuhnya yang nota beneorang Yahudi. Mereka pun menjadi (beragama) Yahudi.Ketika orang-orang Madinah masuk Islam dan Rasulullahdatang ke Madinah, mereka bertanya kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah,anak-anak kami menjadi Yahudi semua. Mereka belummengetahui tentang kebenaran Islam ini. Bolehkah kami memaksaJalaluddn Rakhmat –1075


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mereka untuk masuk Islam?” Rasulullah menjawab, “Tidak boleh.Biarlah mereka memilih agama yang disukainya.”Riwayat ini menunjukkan bahwa praktik pluralisme telah adasejak zaman Nabi Muhammad saw. Kalau dalam riwayat tersebutNabi saw hendak menyelamatkan orang, tentu beliau akan memaksaanak-anak itu untuk masuk surga dengan memeluk Islam. LaluNabi Muhammad saw mengutip ayat lâ ikrâha fî al-dîn itu.Jadi kalau saya ditanya, kapan saya menemukan teks yang mendakwahkanpluralisme, maka paling tidak teks yang paling pertamasekali saya temukan, adalah teks-teks (riwayat-riwayat) yangtadi saya sebutkan. Rujukan kita tentu bukan konsili-konsili ataumuktamar-muktamar yang dilakukan oleh umat Islam. Sebab muktamardi dunia Islam tidak mempunyai pengaruh apa-apa dalammenetukan paham agama. Ia juga tidak memiliki potensi untukmenentukan mana yang benar atau mana yang salah.Sebetulnya Islam lebih mirip Protestan daripada Katolik. Artinya,kita beragama tanpa berpegang kepada pernyataan-pernyataanpersonal atau lembaga tertentu. Di sini harus dikecualikan Syi’ah.Dalam Syi’ah orang harus merujuk pada pernyataan-pernyataandari para marja‘ taklid yang mendukung pluralisme. Dalam halini saya bisa langsung menyebut Sayid Husein Fadhlullah (tokohspiritual Libanon), yang dalam tafsirnya Min Wahy al-Qur’ân, SayidAli Khamenei yang merupakan Wali Faqih dari Republik IslamIran, dan sebagainya.Ada buku yang diterbitkan oleh Al-Huda berjudul “MenggugatPluralisme” yang ditulis oleh seorang ulama terkemuka Syi’ah.Dia mengkritik pluralisme John Hicks. Bagusnya, ketika dia membicarakanpluralisme yang sama dengan pluralisme yang dibahasoleh Hicks, misalnya tentang teori keselamatan, ia tidak melantur1076– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ke sana ke mari. Tapi dia berupaya mengkritik pluralisme modelHicks.Meskipun buku tersebut anti-pluralisme, bagusnya, dia melampirkanpidato Sayid Ali Khamenei di akhir buku tersebut. PadahalSayid Ali Khamenei merupakan tokoh yang berbicara dengansangat soterelogis di buku itu. Dia tidak bicara bahwa semua agamabenar. Sebab itu bukan definisi pluralisme. Dia berkata bahwakeselamatan tidak dibatasi pada agama tertentu, bangsa tertentu,dan wilayah tertentu. Itu artinya, Sayid Ali Khamenei mengertitentang pluralisme. Bahwa pluralisme adalah masalah soteriologisatau masalah keselamatan. Lampiran itu menurut saya sudah cukupsebagai pernyataan resmi dari pemegang otaritas agama Islam,dalam hal ini Syi’ah.Wawancara dilakukan di Jakarta, Maret 2007Jalaluddn Rakhmat –1077


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganJamhari MakrufJamhari Makruf, Pembantu Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakartadan mantan Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.1078


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Demitologisasi atas konservatisme atau dogmatisme agama, terutamawacana publik tentang syariah, adalah langkah yang harusditempuh dengan merekonstruksi (sejarah) Islam untuk mengantarkannyapada konteks kekinian, sehingga sesuai dengan karakterbudaya masyarakat kita. Agama dikembalikan pada orbitnya:penyelamat dan penerang hati umat. Sebab Islam adalahpembebasan. Sebaliknya, ketika agama berbaur dengan kekuasaan(politik), ia mengidentikkan diri dengan otoritarianisme,kekerasan, dan perilaku korup. Maka, demitologisasi di sini lebihsebagai semangat pembebasan yang menjiwai liberalisme dansekularisme dalam bingkai keindonesiaan. Salah satu caranya,membekali umat Islam, minimal kalangan akademis, denganperspektif sosio-historis.Jamhar Makruf –1079


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme kerap dipandang sebagai pemisahan tegas antara wilayahprivat dan publik. Akibatnya, ia pun dinilai meminggirkan peranagama di ranah publik, bahkan dianggap sebagai anti-agama. MenurutAnda, sebenarnya apa makna sekularisme?Sekularisme, sebagaimana makna liberalisme dan pluralisme,tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosiologis masyarakat dan sejarahEropa. Pada awal kemunculan sekularisme, Eropa masihbegitu kental dengan unsur-unsur keagamaan. Secara kebetulan,dalam sejarah Eropa ketika itu, gereja sering bertindak menindas.Dari situlah kemudian timbul kesadaran dari beberapa kelompokuntuk menentangnya. Dengan konteks seperti itu, bagi masyarakatEropa, sekularisme merupakan pembebasan dari ketertindasanotoritarianisme agama yang terwujud dalam bentuk kekuasaan.Semangat pembebasan itulah yang tumbuh di Barat dan berkembangsampai sekarang.Sementara, karena pandangan umat Islam tentang kekuasaan danagama berbeda dengan Barat, sehingga dunia Islam juga memilikisejarah sekularisme yang berbeda. Berbeda dengan Barat, dalam haltertentu, umat Islam justru mengidolakan kekuasaan agama. Misalnya,kini muncul gerakan yang ingin kembali ke bentuk pemerintahankhilâfah. Dalam pandangan mereka yang mengusungnya, kekuasaanagama dimaknai sebagai sesuatu yang positif. Hal itulah yangkemudian membuat perbedaan penafsiran terhadap sekularisme,yakni perbedaan faktor sejarah. Itu juga yang melahirkan berbagaisudut pandang tentang sekularisme di dalam Islam.Bagi saya, sekularisme dapat dimaknai positif dalam dua hal.Pertama, dan ini yang lebih penting, adalah bagaimana umat Islammemaknai sekularisme dari semangat yang melatarbelakangi-1080– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya, bukan isme-nya. Semangat yang melatarbelakangi sekularismeadalah semangat pembebasan. Dalam hal tertentu, ide pembebasandari sekularisme justru bermakna positif, tergantung bagaimanakita mendudukkannya. Saya sendiri memandang sekularisme,dalam hal tertentu, bermakna positif. Karena sekularisme justrumenyelamatkan agama itu sendiri. Selama ini, agama – karenabercampur baur dengan politik – kerap diidentikkan dengan kekerasan,otoritarianisme dan perilaku korup. Dengan memisahkanagama dari kekuasaan, menurut saya, agama justru akan dikembalikanpada fungsinya yang benar, yaitu sebagai penyelamat danpenerang hati umat manusia.Kedua, saya memandang sekularisme positif dalam arti melihatmasalah secara kontemporer dan kontekstual. “Jangan sampaiumat Islam hanya berpikir kembali pada nostalgia dan romantismemasa lampau yang tidak pas diterapkan untuk saat ini.” Bagisaya, sekularisme juga bermakna menempatkan Islam pada kontekskekinian.Sekularisme biasanya dibedakan dengan sekularisasi. Cak Nur,misalnya, sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah tersebut,untuk kemudian lebih mengedepankan penggunaan istilah sekularisasi.Anda sendiri bagaimana?Menurut saya sekularisme dipandang negatif dan resistensinyacenderung tinggi karena, dari sejarahnya, ia dimunculkan oleh semangatmelawan (against) agama. Dalam sejarah Amerika, misalnya,kita tahu bahwa eksodusnya orang-orang Eropa ke sana taklain disebabkan oleh penindasan yang dilakukan rezim kekuasaanKatolik. Untuk menghindari terulangnya kekuasan gereja, merekayang eksodus ini lantas mengentalkan protestantisme di Amerikadan merumuskan klausul separation between religion and nation,Jamhar Makruf –1081


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pemisahan agama dari negara. Itu terjadi karena mereka memangpunya pengalaman buruk dikejar-kejar penguasa Katolik, sehinggaharus lari dari negaranya. Konteks pada saat itu memang agamamemiliki hubungan yang sangat erat dengan kekuasaan politik.Betapa kuatnya pandangan umat Islam terhadap konsep kesatuanagama dan negara, bagaimana menempatkan demitologisasi dalamkonteks tersebut?Suatu mitos lahir atau muncul pada sebuah masyarakat yangseringkali dilatari kepentingan untuk melestarikan sebuah nilai-nilaitertentu. Karena itu, suatu mitos jelas sangat dipengaruhi olehkonteks pada masanya. Salah satu contohnya adalah di masyarakattradisional suku Aborigin di Australia. Mengapa kanguru “haram”dimakan, malah oleh mereka dijadikan Tuhan sebagai simbol mitos?Karena orang Aborigin ingin melestarikan kanguru agar tidakdisantap dan dibunuh oleh manusia. Cara seperti inilah, mensakralkankanguru, yang memang harus ditempuh untuk konservasialam pada saat itu.Seiring perubahan dan perkembangan masyarakat, mitos punkemudian seharusnya berubah, karena lingkungan yang berputarjuga mengalami perubahan. Saya selalu mengasih ilustrasi begini:dulu, sebelum ada pesawat terbang, orang sering membuat lelucon,“Suatu saat nanti kita mandi di Singapura, kemudian makan pagidi Filipina, makan malam di Australia dan makan pagi lagi di Jepang”.Pada zamannya, hal seperti itu dianggap mitos, orang hampirtidak percaya bisa melakukannya. Sekarang, itu sangat mungkindilakukan. Karena ternyata terbang ke Singapura hanya butuhwaktu satu jam setengah, ke Filipina lima jam, ke Jepang enam1082– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–jam, sehingga makan berpindah seperti itu bisa terjadi. Ringkasnya,yang dulu tidak mungkin, kini bisa jadi sangat mungkin.Mitos-mitos itu diciptakan untuk kepentingan melestarikanideologi, nilai, atau kepentingan masyarakat tertentu. Karena itu,dengan terus bergulirnya waktu, mitos-mitos yang dulu pernahada harus didemitologisasi, direkontruksi sesuai dengan konteksmasyarakat sekarang. Saya kasih contoh yang paling ekstrem, misalnya,klaim bahwa seorang kiai kalau hari Jumat bisa terbang keMekah, kemudian salat Jumat dan seterusnya di sana. Dengan kemajuanteknologi seperti sekarang, kita bisa bertanya, “bukankahada perbedaan waktu antaraIndonesia dengan Arab Saudi?Jadi kalau kiai terbang ke sekularisme adalah semangatSemangat yang melatarbelakangiArab Saudi untuk salat Jumatpada waktu yang samapembebasan. Dalam hal tertentu,ide pembebasan dari sekularismejustru bermakna positif, tergantungdengan salat Jumat kita, itubagaimana kita mendudukkannya.mustahil, karena pada waktuyang sama, di sana masih dalam hal tertentu, bermaknaSaya sendiri memandang sekularisme,Subuh. Perbedaan waktunya positif. Karena sekularisme justrusekitar 6 jam.”menyelamatkan agama itu sendiri.Contoh di atas namanyamendemitologisasi apa yang dulu pernah menjadi mitos. Termasukjuga, misalnya, mitos-mitos kekuasaan Islam: khilâfah. Di manadengan khilâfah, Islam dulu bisa menyatukan beberapa kebudayaanmenjadi kekuatan besar. Sampai sekarang hal itu masih menjadimitos yang sangat luar biasa. Sehingga masih ada anggapanbahwa kalau umat Islam mau berkembang maka harus kembalike mitos itu. Menurut saya, sekarang kita harus melihat mitos itudalam konteks yang riil dari masyarakat sekitar. Konteks yang adaJamhar Makruf –1083


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sekarang sama sekali berbeda, maka, menurut saya, sangat perluadanya perubahan mitos-mitos (demitologisasi).Dalam konteks Indonesia tidak mudah mendemitologisasi syariat Islamdan khilâfah. Sebab, masyarakat Indonesia sangat religius. MenurutAnda, sejauh mana batas-batas dari nilai-nilai Islam bisa lestari diwilayah publik, baik dari tingkat civil society maupun negara, lantarankonsep kaffah mengandaikan Islam meliputi ruang privat sekaliguspublik?Oke, saya setuju. Saya kira, penolakan umat Islam terhadapsekularisme juga beralasan. Sebab, kalau semua urusan publik diserahkankepada civil society atau kepada sistem sekular, saya kiraumat Islam tidak bisa menerimanya. Karena, mereka berkeyakinanbahwa agama mempunyai peran dan wewenang yang bisa menyatukan.Dalam hal ini memang ada peran agama yang bisa disatukan.Untuk menjawab pertanyaan bagaimana kita menyatukanorang-orang Indonesia dengan segenap pluralitasnya, saya kira, halpertama yang perlu disadari adalah bahwa, di negara ini, Islam sudahmenjadi identitas yang melekat. Bahkan, dalam hal tertentu,kita tidak dapat memisahkan antara identitas sosial, etnis, maupunidentitas agama. Semua telah menyatu.Ketika Islam menjadi identitas, maka Islam pun dapat menjadi:pertama, modal budaya (cultural capital). Apapun yang dikembangkandalam kebudayaan – bagaimana membangun sebuahmasyarakat dan seterusnya – pasti dipengaruhi dan diwarnai olehIslam. Itulah yang terjadi di Indonesia. Mengapa perayaan Idul Fitrilebih ramai dibanding Idul Adha? Karena orang Islam di Indonesianmewarnai idul fitri dengan nuansa budaya saling memaafkan1084– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kepada orang tua. Dan kedua, karena itu sudah menjadi identitas,maka secara otomatis Islam juga menjadi modal politik (politicalcapital). Saya kira hal itu wajar dan masuk akal. Karena Islam sudahmenjadi identitas kolektif,yang dapat menyatukan Selama ini, agama – karenamassa, maka Islam menjadi bercampur baur dengan politikkekuatan politik yang luar– kerap diidentikkan dengankekerasan, otoritarianisme danbiasa. Bayangkan saja, misalnya,seorang da’i sekaliberperilaku korup. Dengan memisah-kanagama dari kekuasaan, menurut saya,KH. Zaenuddin MZ dan Aaagama justru akan dikembalikan padaGym bisa mengumpulkan fungsinya yang benar, yaitu sebagaijutaan orang, baik dengan penyelamat dan penerang hatimaupun tanpa membayar.umat manusia.Itu merupakan sebuah kekuatankapital yang sangat luar biasa. Maka wajar saja kalau adaorang yang mempunyai minat politik memanfaatkan Islam sebagaipolitical capital. Berawal Islam sebagai cultural identity, menjadiidentitas kuat yang kemudian menjadi cultural capital dan meningkatmenjadi political capital.Kini, seiring perkembangan zaman, ketiga, Islam bahkan telahmenjadi modal ekonomi (economical capital). Industri yang mengandalkanagama kian menjamur, mulai dari layanan Short MessageService (SMS) rohani, tawshyiah, hingga penjualan produk aksesorisMuslim. Bayangkan, berapa banyak nilai uang yang masuk darilayanan SMS Rohani? Tentu banyak sekali. Kita juga menyaksikanbanyak sekali acara di sejumlah stasiun televisi yang memanfaatkandan mengatasnamakan agama. Selain itu, seiring gairah berislamyang terus meningkat, butik-butik busana Muslim yang menyediakanpakaian mulai dari jilbab hingga aksesoris lainnya bertebaran diJamhar Makruf –1085


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mana-mana. Belum lagi, produk mutakhir dari transaksi keuanganyaitu bank syariah. Semua bank syariah memanfaatkan Islam sebagaieconomical capital. Bahkan, akhir-akhir ini, di Malaysia danThailand, asosiasi halal food menjadi industri yang sangat besar.Itu terjadi karena Islam ternyata mempunyai capital market yangdapat dikembangkan. Sekali lagi, Islam sebagai sebuah economicalcapital, berawal dari Islam sebagai identitas.Sekaligus menjawab pertanyaan di atas, dengan realitas yangber-kembang seputar promosi penegakan syariat Islam dalamwujud kekuasan politik, hal tersebut hanya akan menghancurkanmodal budaya dan politik yang selama ini telah lestari di Indonesia.Sedangakan untuk menjawab kekhawatiran bagaimana kalausyariah atau Islam menyatu di Indonesia, saya kira, kita perlu usahadan wadah yang mampu merekonstruksi sejarah Islam, sehinggabisa menjelaskan bahwa Islam di Indonesia mempunyai lingkungansosial budaya yang berbeda dengan Timur Tengah. Hal ini untukmendemitologisasi pandangan umat Islam yang selama ini begitusaja mengasosiasikan Islam selalu berorientasi pada Timur Tengah.Jadi, yang perlu didemitologisasi bahwa Islam bukan hanya Arab,tapi ada juga yang lain, yaitu Indonesia. Kita punya hak dan wewenanguntuk menerjemahkan Islam sesuai dengan karakter budayakita sendiri.Pemisahan antara agama dan negara terjadi di Barat. Sementara diIndonesia, dengan kondisi sosiologis yang ada, agaknya sulit untuk menerapkanitu. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah sifateksesif dan ekspansif agama yang sulit untuk didemitologisasi. Bagaimanakomentar Anda?1086– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagi saya, yang paling penting diperhatikan adalah bukan pemisahanyang tegas antara agama dan negara, melainkan bagaimanamenyediakan mekanisme yang disepakati bersama untuk menyelesaikansegenap persoalan yang timbul akibat perbedaan. Di Amerika,mereka sepakat untuk menyelesaikan perbedaan melalui pengadilan(mekanisme hukum sekular). Jika terjadi konflik antarumat beragama,maka dianggap sebagai persoalan pribadi di antara mereka(citizenship), bukan persoalan negara. Dalam hal itu, negara tidakikut campur. Tapi, begitu menjadi keputusan pengadilan, negaraharus menghormati dan menjalankan kewajiban menunaikan keputusan.Namun demikian, negara tidak ikut menjadi bagian daripihak yang berkonflik.Di Indonesia, persoalan konflik tak terselesaikan bahkan kiankarut-marut lantaran negara ikut menjadi pihak yang bertikai. Contohpaling gamblang adalah bagaimana menyelesaikan perbedaanAhmadiyah dengan Islam mainstream yang mengemuka belakanganini. Saya khawatir, karena dalam dunia Islam, ini sekaligus sebagaiotokritik, preseden mekanisme penyelesaian masalah yangtelah ada cenderung tidak demokratis. Misalnya, perbedaan antaraumat Islam Sunni dan Syi’ah yang telah terjadi sekian lama,tidak pernah ada mekanisme penyelesaiannya yang memuaskan.Yang terjadi adalah mekanisme kalah atau menang. Begitu Syi’ahberkuasa, Sunni tersingkir, sebaliknya begitu Sunni yang menang,Syi’ah disingkirkan.Kini, di tengah zaman yang sudah terbuka, kita harus mencarimekanisme yang tepat untuk memecahkan konflik. Menurutsaya, pemisahan antara agama dan negara –dalam arti negara tidakikut campur dalam konflik yang terjadi – bermakna positif.Jamhar Makruf –1087


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Karena yang berkonflik adalah warga negara, maka yang mestinyamenyelesaikan masalah adalah pengadilan. Begitu pengadilan memutuskan,maka negara harus mengamankan keputusan yang dihasilkan.Itulah yang harus ditekankan.UIN Jakarta sebagai institusi yang tidak dapat dipisahkan dari wajahIslam Indonesia tentunya memiliki peran yang jelas dalam haltersebut. Bagaimana proses demitologisasi yang disuarakan UIN Jakartadalam rangka menempatkan agama dan hal-hal yang bersifatpublik secara proporsional?Untuk menjawabnya saya akan menceritakan problem pendidikanIslam terlebih dahulu. Selama ini, pendidikan Islam menggunakanpendekatan (approach) yang terlampau normatif dan doktrinal.Mempelajari Islam adalah mempelajari ritual, keimanan danseterusnya. Penekanannya cenderung normatif dan hanya mempertimbangkanal-Quran dan al-Hadits. Karena hanya mengedepankansisi normatif, studi Islam pun tidak pernah berkembang.Salah satu indikasinya dapat kita lihat pada perdebatan dalam politikIslam yang selama ini selalu masuk ke dalam perdebatan fiqhsiyâsî; membicarakan pandangan fuqahâ’ (para ahli fikih) tentangpolitik. Yang menjadi rujukan selalu al-Ghazali, al-Mawardi danulama klasik lainnya. Perdebatan politik seolah sudah menjadi bagiandari ibadah, bahkan menjadi doktrin.UIN Jakarta mencoba untuk melakukan tambahan atau mereformasipendekatan studi Islam dengan menggunakan pendekatansejarah dan sosial (social and historical approach). Sebuah pendekatanyang berusaha memahami Islam berdasarkan konteks sosial dansejarahnya. Sebuah peristiwa atau masyarakat tidak bisa dipahami1088– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tanpa memahami kontekssosial dan psikologis yang Dalam bidang ilmu, Islam jelas telahberkembang. Menurut saya melakukan sekularisasi. Misalnya, kalaumau membaca al-Quran kita harussangat penting mengajarkanterlebih dahulu berwudlu, sedangkanumat Islam untuk melihatuntuk membaca buku matematika,realitas sosial sebagai realitasFisika atau sastra kita tidak disuruhsosial, bukan realitas agama.berwudlu. Contoh tersebut, menurutContoh, tsunami yang menimpaAceh, kalau meng-umat Islam dalam berpikir. Ini terjadisaya, menunjukkan inkonsistensigunakan pandangan normatif-doktrinal,akan selalu di-secara tidak utuh. Atau mungkin jugakarena kita kerap memandang sesuatukaitkan dengan pengalaman karena pengaruh al-Ghazali yang telahkeagamaan kita. Ada seorang membagi ilmu menjadi ilmu yangfardlu ‘ayn dan fardlu kifâyah.kiai yang mengatakan bahwatsunami di Aceh terjadi karenaperempuan di Aceh tidak berjilbab. Ada juga yang mengatakan,itu terjadi karena banyak orang Aceh yang tidak salat, bermabukmabukandi pinggir pantai. Mereka menghubungkan antara faktorsosial dengan doktrin keagamaan.Menghadapi persoalan itu, UIN Jakarta ingin memberikan tambahandalam menganalisis peristiwa sosial. Bagi kami, memahamirealitas sosial harus berdasarkan fakta sosialnya. Tsunami, kita pahamisebagai fakta sosial yang bisa dijelaskan secara rasional. Pandangandemikian juga akan berpengaruh pada solusi yang diberikan. Kalaumenggunakan doktrin, solusi penyelesaian atau mengatasi tsunamiadalah dengan memperbanyak ritual dan doa. Tapi dengan pendekatansosial (social approach) akan terlebih dahulu menganalisisproblem lingkungan yang ada. Melalui analisis sosial, solusi yangditawarkan pun masuk akal, misalnya, jangan membangun rumahJamhar Makruf –1089


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di dekat pantai, memasang peringatan dini untuk tsunami, atauyang lainnya.Oleh karena itu, dalam hal ini, saya setuju dengan konsep sekularisasi.Agama tidak bisa dijadikan payung hukum untuk memutuskansegala hal. Realitas sosial hendaknya dipotret atau dianalisismelalui konteks sosialnya, bukan dengan doktrin agama.Tentu agama dapat berperan menjadi penerang rasionalitas manusiayang cenderung alpa.Bagaimana fungsi dan peran UIN Jakarta dalam konteks itu?Fungsi dan peran UIN Jakarta dalam konteks ini yaitu memberikanpenjelasan dan memberikan skill kepada umat Islam agarmempunyai cakrawala yang lebih luas dalam memandang agama.Karena umat Islam seringkali terlampau sempit memahami agama,maka kami menawarkan untuk menggunakan perspektif sosial(social perspective). Kenapa ini kita ajukan? Karena umat Islamseringkali begitu lantang menolak sekularisme politik, yang memisahkanurusan politik dengan urusan agama, padahal merekamelakukan sekularisasi besar-besaran dalam masalah pendidikan.Mereka kerap meneriakkan adanya pemisahan antara pendidikanIslam dan pendidikan umum. Pendidikan Islam hanya berisi danmengajarkan pendidikan agama. Sementara pendidikan umummengajarkan ilmu-ilmu umum. Bukankah itu jelas-jelas praktiksekularisasi yang telah tanpa sadar mereka lakukan?Dalam bidang ilmu, Islam jelas telah melakukan sekularisasi.Misalnya, kalau mau membaca al-Quran kita harus terlebih dahuluberwudlu, sedangkan untuk membaca buku matematika, Fisikaatau sastra kita tidak disuruh berwudlu. Contoh tersebut, menurut1090– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–saya, menunjukkan inkonsistensi umat Islam dalam berpikir. Initerjadi karena kita kerap memandang sesuatu secara tidak utuh.Atau mungkin juga karena pengaruh al-Ghazali yang telah membagiilmu menjadi ilmu yang fardlu ‘ayn dan fardlu kifâyah.Yang sering saya sampaikan kepada para mahasiswa adalah bahwaumat Islam menolak sekularisasi di bidang politik, sementaramelakukannya untuk bidang pendidikan. Ketika IAIN berubahmenjadi UIN, banyak orang yang mengkritik dengan mengatakan“IAIN kok membuka fakultas umum?” Dengan perkataan itu, sipengkritik seolah menempatkankewajiban menjadi Keinginan UIN Jakarta adalahdokter dan ahli komputer membobol sekat-sekat mazhabhanya kewajiban kedua (second)dari kewajiban menja-prinsip bahwa kalau kita bisa toleranyang ada di dalam Islam. Kita punyasesama umat Islam yang berbedadi ahli agama.mazhab, pasti kita bisa toleran denganagama lain.Melihat fakta seperti itu tampaknyakita tidak bisa memisahkan sama sekali ruang publik dari peranagama. Persoalannya, agama yang memiliki nilai-nilai kedamaiandan toleransi justru ditampakkan ke publik sebagai sesuatu yang menakutkan,tidak saja bagi yang lain, melainkan kepada intern umatseagama. Perda syariah dan khilâfah Islamiyah misalnya, bagi segelintirkelompok mungkin memberikan angin segar, tapi tidak sedikit kelompokyang merasa terancam dengan pemberlakuannya yang ternyatakontraproduktif. Menurut Anda bagaimana menampakkan Islam dimuka publik?Saya kira peran pendidikan di sini sangat penting. Pertama, kitaharus meredefinisi pendekatan (approach) kita dalam studi IslamJamhar Makruf –1091


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan menggambarkan diri ke publik dengan baik. Kedua, referensiyang kita baca juga harus semakin kaya. Kalau buku-buku yangkita baca sekarang masih sama dengan buku-buku yang dibaca danditerbitkan oleh ulama-ulama pada beberapa abad yang lalu, kitaakan kembali ke jalan yang sama, tidak akan berkembang.Saya pernah menulis tentang kepemimpinan kaum muda. Tulisanini didasari ide bahwa kepemimpinan dalam agama tidaklahsalah kalau juga diberikan kepada kaum muda. Selama ini kepemimpinanagama selalu berdasarkan senioritas. Sekarang, sudahsaatnya kaum muda harus diberi porsi lebih banyak untuk menjadipemimpin agama. Sebab, kita lahir dan besar di zaman yangberbeda, maka untuk persoalan sekarang kita tidak bisa mengklaimatau menjustifikasi apa yang telah dilakukan oleh orang di masalalu. Pendidikan kita jauh berbeda dengan ulama-ulama terdahulu.Karena itu pemimpin muda juga harus muncul dalam kepemimpinanagama. Ini penting untuk mengubah persepsi dan orientasitentang diri kita sendiri, bagaimana mendefinisikan diri kita sebagaibagian dari dunia.Untuk itu, menurut saya, pemimpin maupun ormas Islam seharusnyamulai memberikan porsi yang lebih besar kepada kaummuda untuk menjelaskan Islam sesuai dengan zamannya. Sekarangkita hidup di zaman komputer dan internet dengan permasalahanyang tentunya terus berkembang. Seharusnya kepemimpinan umatjuga perlu memikirkan regenerasi.Apakah menurut Anda kehadiran perda syariah dan khilâfah dalamproses sekularisasi di Indonesia adalah sesuatu yang sama sekali tidakkontekstual?1092– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ya, menurut saya bukansekadar tidak kontekstual,tapi juga tidak appli-konteks ini yaitu memberikanFungsi dan peran UIN Jakarta dalamcable, itu mimpi. Saya selalubertanya kepada parapenjelasan dan memberikan skillkepada umat Islam agar mempunyaicakrawala yang lebih luas dalampengusung khilâfah bagaimanakita mengatasi perbe-memandang agama. Karena umatIslam seringkali terlampau sempitdaan dalam sistem khilâfah? memahami agama, maka kamiDalam khilâfah, seseorang menawarkan untuk menggunakanyang melakukan bidah akan perspektif sosial (social perspective).disingkirkan dan dibunuh.Pada waktu Abbasiyah berkuasa, orang-orang Umayyah dihabisi.Sementara pada masa Umayyah, orang-orang Syi’ah juga habis.Itulah realitas sejarah kita.Sekarang kita hidup dalam dunia yang berbeda. Inilah faktanya.Jadi, bagaimana kita mengatasi perbedaan itu? Bagaimanamungkin kita mau menghakimi kawan-kawan kita yang Syi’ahkalau Indonesia menganut khilâfah? Belum lagi mengatasi perbedaanantara Islam dan non-Islam. Apakah mereka akan dianggapkafir dzimmi dan itu berarti menjadi warga negara kelas dua (secondclass citizens)?Tantangan yang kedua, menurut saya, lebih pada fakta hubunganinternasional. Apa yang kita lakukan di Indonesia akanberpengaruh pada masyarakat di dunia internasional, lantas apakahkita rela jika umat Islam di Amerika, Australia, Eropa dan belahandunia lain menjadi second class citizens, yang artinya pendudukMuslim di daerah-daerah mayoritas non-Muslim tidak boleh memilihpresiden atau tidak mempunyai hak politik untuk memilihdan dipilih, dan sebagainya. Melihat hal itu, saya kira, konteksJamhar Makruf –1093


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–penerapan khilâfah sama sekali tidak tepat, tidak sesuai denganbudaya Indonesia yang pluralis.Di sektor ekonomi, sekarang marak bermunculan bank syariah. Apakahitu merupakan implikasi langsung dari tuntutan-tuntutan sejenis(ideologis) di bidang kenegaraan secara umum? Lantas apakah itumurni tuntutan umat Islam secara kultural atau ada nuansa-nuansalain di balik semuanya?Saya tidak tahu persis, itu perlu penelitian lebih lanjut. Tapisaya mendapat informasi bahwa yang menjadi nasabah bank Islamdi Malaysia ternyata bukan hanya orang Islam, tapi juga orang Cina.Bank Islam di sana, konon lebih comfortable ketimbang beberapabank konvensional. Oleh karena itu, bagi saya, silakan saja ada banksyariah karena itu, sebenarnya, tuntutan ekonomi. Kalau ada duajenis bank yang melayani masyarakat, syariah dan konvensional,tentunya akan lebih kompetitif, dan itu justru menguntungkanpublik. Yang saya tidak setuju adalah kalau ada pemaksaan terhadapumat Islam untuk menabung di bank syariah. Di luar itu, tuntutanbank syariah saya kira merupakan sesuatu yang wajar, karena Islamsudah menjadi political capital dan economical capital.Lebih dari itu, di Surabaya dan Jakarta konon ada yang disebutdokter Islami. Dalam bidang properti, ada juga perumahan Islami.Toh tetap ada yang memanfaatkan dan membeli itu. Artinya, itulebih pada persoalan market. Yang problem adalah kalau itu diwajibkan,misalnya, semua umat Islam harus tinggal di hotel ataukomplek islami yang sama. Tetapi, bahwa bank syariah dan hal-halyang islami lainnya tentunya punya hak untuk muncul, tidak bisadilarang. Itulah bagian dari identitas dan realitas kita.1094– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalau hal seperti itu begitu saja diterima, apakah tidak kemudian justrumemuluskan bentuk formalisasi syariah lain ke dalam negara?Tidak, karena bank syariah bukan hanya diberlakukan di negaraMuslim, di London pun ada. Inggris adalah negara yang sekular,tapi ia membolehkan bank syariah. Yang tidak boleh adalahformalisasi dalam bentuk compulsory, yang mewajibkan semua oranguntuk ikut dalam satu bentuk. Di situlah letak problem formalisasisyariah. Tapi kalau kitamembuat Universitas IslamBagi saya, yang paling pentingNegeri (UIN), masak tidak diperhatikan adalah bukanboleh? Islam di situ adalah pemisahan yang tegas antara agamaidentitas. Yang tidak boleh dan negara, melainkan bagaimanaadalah ketika kita mewajibkanumat Islam untuk masuk disepakati bersama untukmenyediakan mekanisme yangke UIN. Itulah yang dinamakanformalisasi, negara ikut yang timbul akibat perbedaan.menyelesaikan segenap persoalancampur tangan.Kalau formalisasi bagi Anda tidak wajar, maka Anda pun menilaimunculnya perda syariah di Indonesia tidak wajar?Ya, tidak wajar. Karena itu saya sering mengatakan bahwa sesungguhnyasaya mengartikan tiga hal mengenai perda syariah.Pertama, ia merupakan bentuk kebangkitan budaya (cultural revivalism).Ini terjadi karena Islam sudah menjadi identitas lokal. DiMakassar, antara Bugis dan Islam itu sudah susah untuk dibedakan.Demikian juga di Padang dan Madura, sudah sangat susah membedakanyang mana budaya Islam dan yang mana budaya lokalJamhar Makruf –1095


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–setempat. Hal ini sendiri terjadi bermula dari kebangkitan kulturalmelawan hegemoni rezim Soeharto, jawanisasi dan sebagainya.Mereka melakukan perlawanan dengan etnik. Karena Islam sudahmenjadi etnik, maka yang muncul adalah Islam.Kedua, kebangkitan politik lokal (political revivalism). Sekalilagi, ini karena Islam sudah menjadi political capital. Maka tidakheran jika di Tangerang muncul perda syariah. Karena Pemda sadarbahwa umat Islam di sana adalah mayoritas, maka denganmemunculkan isu-isu Islam diharapkan akan kembali mendulangsuara untuk pemilihannya di masa mendatang. Lihatlah daerahdaerahyang memunculkan perda serupa, kebanyakan wali kotaatau gubernurnya bukan berasal dari partai Islam, tapi dari Golkardan sebagainya. Ini jelas syariat Islam tak lebih digunakan sebagaipolitical capital.Ketiga, kebangkitan moral (ethical atau moral revivalism). Munculnyaperda syariah karena dilatari kepentingan moral. Sejak reformasi,tatakrama kita tidak karuan. Tidak adanya keteraturan dipara pengguna lalu-lintas jalan raya, salah satunya, di mana tidakadanya keteraturan publik inilah yang memicu munculnya kebangkitanmoral. Isu moral yang terpikirkan oleh kelompok tertentuadalah bagaimana bisa mengisi demokrasi ini dengan baik. Isumoral itulah yang menurut mereka seksi. Tapi, kita lihat isu inipada akhirnya mengalami penurunan popularitasnya. Dari tahunke tahun jumlah pemda yang menerapkan perda syariah semakinmenurun. Dugaan saya, itu terjadi karena ternyata perda sepertiitu tidak menguntungkan bagi partai-partai politik. Maka sesungguhnyayang terjadi adalah bahwa perda syariah lebih kental bernuansapolitik daripada nuansa agamanya.1096– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Beberapa pemikir berpandangan bahwa periode awal Islam sebenarnyamasa di mana Islam tumbuh liberal. Pemikiran keislaman tumbuhsecara bebas dan tidak terbatas atau monolitik. Tetapi fase setelahnya,Islam justru sampai kini menjadi illeberal Islam. Demikianpun diIndonesia, ketika angin segar liberalisme Islam berhembus dalam bentukkebebasan berpikir, penolakan yang muncul tak kalah sengitnya.Bagaimana Anda menjelaskan liberalisme dalam Islam?Sebagaimana sekularisme, liberalisme lahir dan besar dari sebuahkonteks sosial dan sejarah yang berbeda dengan Islam. Maknagenerik dari kata liberal sendiri, menurut saya, adalah pembebasan.Dan Islam adalah pembebasan. Islam memberikan ruang untukberpikir bebas dan berbeda dengan pandangan lainnya. Monoteismesendiri sebenarnya tak lain dari liberalisasi atas kungkunganpoliteisme dan “kesakralan” alam. Artinya, liberalisme sebenarnyasudah terjadi begitu lama di dalam agama kita. Selama ini umatIslam sudah terkungkung atau terkotak pada sejarah dan konteksyang sudah mapan. Ini sudah berlangsung dari mulai adanya formalisasiIslam. Karena telahberlangsung sangat lama, sekaliada yang mencoba loncat bercampur baur dengan politikSelama ini, agama – karenadari pagar formalisme atau – kerap diidentikkan dengansekadar mempertanyakan batasanlingkungan tersebut, di-kekerasan, otoritarianisme danperilaku korup. Dengan memisahkanagama dari kekuasaan, menurut saya,anggap sebagai orang yangagama justru akan dikembalikananeh.pada fungsinya yang benar, yaituSaya memahami temantemanyang ingin meloncatihati umat manusia.sebagai penyelamat dan penerangpagar atau coba melakukanJamhar Makruf –1097


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–liberalisasi, memang, hendak melakukan beberapa hal yang berbeda.Pertama, Karena Islam besar dan berkembang di tengah budayaArab atau Arabic speaking countries, kemudian ke Turki, India,Cina dan akhirnya berkembang ke Indonesia, jelas memiliki budayadan bahasa yang berbeda. Dengan begitu dirasa perlu juga adanyapendekatan yang berbeda. Ini dilakukan tak lain untuk coba menerjemahkanIslam ke dalam budaya Indonesia.Kedua, liberalisasi bermaksud membebaskan umat Islam agarberpikir hari ini, tidak berpikir masa lalu. Jangan hanya terkungkungdengan sejarah bahwa seolah-olah pemerintahan pada masakhalifah seperti Abu Bakar, Umar dan sebagainya, adalah bayangbayangyang harus kita wujudkan sekarang untuk mengatasi problemzaman. Sebuah idealisasi terhadap masa lalu bagi kalanganliberal sama sekali tidak realistis. Walaupun harus diakui pula bahwateman-teman yang mendukung Islam liberal tidak mempertimbangkanrealitas budaya Islam Indonesia yang sudah melekat. Karenaitu, perlu kearifan dalam menyikapi realitas Islam di Indonesia.Tapi ada sementara kalangan yang beranggapan bahwa beragama adalahsebentuk ketundukan paksa, tidak bisa bebas. Apa respon Andadengan pernyataan seperti itu?Hukum memang selalu memaksa. Pemaksaan jutru ada dandimungkinkan karena adanya hukum. Pada dasarnya hukum Islamberasal dari pembakuan ajaran Islam yang dipraktikkan Nabi danpara Sahabat. Hukum itulah yang memaksa orang untuk megikutinya.Misalnya salat Tarawih adalah ritual yang awalnya dibiasakanoleh Umar. Lambat-laun, karena telah biasa, seakan-akan menjadihukum. Perayaan Maulid Nabi, dulu dipakai untuk menyema-1098– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ngati tentara Islam, sekarang menjadi ritual simbol tradisi Islam.Hukum bermula dan berdasar pada preseden.Yang membuat suatuagama memaksa juga adalah preseden. Karena dulu umat Islambegini, maka sekarang harus begini juga. Menurut saya, pemahamanseperti ini sudah tidakbisa lagi dipakai, karenaMakna generik dari kata liberal sendiri,jelas kini memiliki konteksmenurut saya, adalah pembebasan.yang jauh berbeda dengan Dan Islam adalah pembebasan. Islamdahulu. Saya kira memang memberikan ruang untuk berpikirperlu ada kesepakatan baru bebas dan berbeda dengan pandanganuntuk memahami agama.lainnya. Monoteisme sendiriTapi, secara antro-pologis,apa yang diungkapkan atas kungkungan politeisme dansebenarnya tak lain dari liberalisasioleh orang atau kelompok “kesakralan” alam. Artinya, liberalismesebenarnya sudah terjadi begitu lamayang tadi Anda sebutkandi dalam agama kita.adalah betul. Betul bahwatidak ada masyarakat yangtidak terpaksa. Tapi, keterpaksaan yang dimaksud terjadi karenaadanya kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama tak jarang berupasesuatu yang bersifat turun-temurun. Dan karena sudah terbiasa,maka menjadi hukum. Oleh karena itu, tak salah kalau sekarangkita perlu kembali membuat kesepakatan bersama sesuai dengankonteks zaman yang kita hadapi.Formalisasi hukum-hukum agama, seperti perda syariah, pada praktiknyatidak memberikan kebebasan. Beberapa penelitian tentangperda syariah menyebutkan bahwa justru dengan perda syariah perempuandimarginalisasi, kebebasan beragama diberangus dan ruangJamhar Makruf –1099


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dialog perbedaan agama menjadi tidak dimungkinkan. Bagaiamanamenurut Anda?Menurut saya problemnya bukan di situ, melainkan pada mekanismeyang digunakan oleh masing-masing sistem. Dalam demokrasiindividu diberikan kebebasan untuk bersuara. Individuindividusebagai warga negara menentukan konsensus bersama, sementaradalam agama (Islam) kesepakatan selalu berasal dari elite(ulama), bukan dari grassroot, individu-individu penganut agama.Dalam hal ini, misalnya, MUI yang merepresentasikan elite agamadan punya hak untuk menentukan persoalan-persoalan yangberkaitan dengan agama.Sekarang ini kita hidup dalam zaman demokrasi di mana setiaporang mempunyai hak dan pengalaman yang berbeda-beda. Agamajuga seharusnya tidak hanya mendasarkan diri pada otoritas elite, sebaliknya,sudah saatnya mempertimbangkan publik. Inilah persoalankrusial yang harus segera diselesaikan. Oleh karena itu, kita harusmembuat kesepakatan mengenai mekanisme untuk menyelesaikanperbedaan. Dari situ, kita juga bisa bertanya, sebenarnya siapa yangberhak memutuskan persoalan perda syariah dan sebagainya? Menurutsaya, sekarang sudah saatnya coba bertanya kepada publik, apakahmereka betul-betul memerlukan perda syariah? Kalau memang masyarakatmemerlukannya, why not, toh itu sikap rakyat. Tapi kalauternyata mereka tidak butuh, kenapa dipaksakan?Apakah dengan begitu tidak malah kian memuluskan daerah-daerah tertentudi Indonesia untuk menerapkan aturan sesuai dengan suara mayoritas?Bali misalnya, kalau seperti itu, bisa saja membuat Perda Hindu,1100– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Manokwari membuat Perda Injil. Bukankah itu akan mendiskriminasikankaum minoritas?Dalam hal ini, menurut saya, juga perlu adanya kesepakatan.Meskipun Amerika adalah negara demokrasi, tapi tetap ada negarabagian tertentu yang menerapkan hukum yang sangat khas. Misalnyadi Brigham Young University, di Utah menganut pahamMormon, di sana kita dilarang minum teh di lingkungan kampus.Atau masyarakat Amis di bagian negara Pensylvania, yang menolakmemakai listirik dan kendaraan bermotor, tetap bisa berjalan. Danitu bisa dijalankan karena telah menjadi kesepakatan, sebuah kesepakatanuntuk tidak salah dengan melakukan kekerasan, dan, tentusaja, menghormati hukum yang telah disepakati bersama. Yang agakkrusial dan kerap menjadi perdebatan di Indonesia adalah seringkalisimbol-simbol syariah masuk ke dalam hukum positif negara.Menurut saya, sekarang dibuka saja semua peluang membuatregulasi yang sesuai dengan nilai-nilai lokal setiap daerah. Karena diBali, misalnya, tanpa kita sadari sebenarnya sudah melakukan hukumHindu, meski tak dikatakan secara tertulis. Misalnya, kalauhari Nyepi tidak boleh ada yang keluar. Itu kan “syariat” Hindu?Jadi, sebenarnya ada daerah-daerah tertentu yang sudah menerapkanperda seperti itu, bukan hanya yang secara ekstrem, sepertiyang terjadi di Aceh.Para pengususung perda syariah mengklaim tuntutannya telah melaluiprosedur yang demokratis. Tapi tak dapat dielakkan bahwa beberapaitem hukum pada perda syariah mengandung hal-hal yang antidemokrasi.Pemerintah harusnya berperan tegas dalam urusan ini. BisakahJamhar Makruf –1101


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perda syariah yang antidemokrasi dieliminir oleh pemerintah dengankekuatan demokrasi?Kalau negara benar-benar mau mengambil perannya sesuaidengan amanat konstitusi dan berpegang pada asas demokrasi, ituseharusnya bisa. Tidak akan muncul perda syariah kalau negaranyakuat. Untuk itu, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusiharus berani bersikap tegas. Di Amerika pun tidak jarangada umat Katolik yang coba memaksa memasang salib di kantortempatnya bekarja atau di tempat-tempat publik lainnya. Tapi karenapengadilan mampu bersikap tegas dengan konstitusi sebagaikesepakatan bersama, itu tetap tidak diperbolehkan. Maka menururtsaya, sudah seharusnya Mahkamah Agung kita secara aktifmereview semua peraturan yang bertentangan dengan undang-undangyang lebih tinggi.Amerika yang begitu tegas menegakkan konstitusi dan dianggapsebagai kampiun demokrasi, tetap memiliki satu daerah di Californiayang melarang pengajaran teori evolusi, karena dianggapbertentangan dengan agama. Dengan ini, bukan berarti praktiksejenis boleh terjadi di negara kita. Kita tetap punya kewajibankonsisten dengan konstitusi yang telah menjadi konsesnsus bersama.Karenanya, tugas berat kita di sini adalah bagaimana mendisasosiasisyariah dengan negara Islam, baik bagi orang luar maupunumat Islam sendiri. Selama ini, begitu muncul term syariah, yangterpikirkan baik oleh umat Islam maupun orang luar adalah negaraIslam. Di sinilah demitologisasi mutlak diperlukan. Kalau adaorang atau kelompok di daerah manapun berkeinginan membuatperda yang melarang praktik maksiat, sebut saja Perda Antimaksiat,jangan memakai sebutan perda syariah. Toh di Ohio, Amerika1102– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Serikat, yang notabene tidak mayoritas Muslim, perjudian dan alkoholjuga menjadi sesuatu yang terlarang. Artinya, jangan hanyakarena kita mayoritas beragama Islam, simbol-simbol agama mayoritasharus dikedepankan. Kalau tanpa embel-embel simbol agama,namun manfaat yangdihasilkan sama-sama baikSejak masa perjuangandan diterima publik, tentu hingga sekarang, negara Indonesiatetap tidak salah dan akan adalah sesuatu yang final, tidak bisatetap dinilai baik.diganti dengan negara Islam atauSekali lagi, wacana publiktentang syariah kini su-ideologi lainnya.dah harus didemitologisasi. Karena salah satu yang paling dikhawatirkan,dan memang kecenderungannya demikian, dari tuntutanyang selalu mengklaim demokratis ini adalah akan berujungnyatuntutan pada pendirian negara Islam, yang jelas bertentangandengan kesepakatan berbangsa dan bernegara kita. Sejak masaperjuangan hingga sekarang, negara Indonesia adalah sesuatuyang final, tidak bisa diganti dengan negara Islam atau ideologilainnya. Indonesia bukanlah negara yang berdasar pada ideologiatau agama tertentu.Pluralisme adalah isu yang juga menjadi konsentrasi Anda. Salahsatu tindakan yang bisa mencederai ini adalah gerakan radikal yangkerap muncul dalam agama-agama. Pertanyaannya, apakah yangAnda pahami dengan pluralisme?Indonesia memang bangsa yang plural sejak sebelum Islam datangke Indonesia. Kekayaan dan kelebihan Indonesia adalah di keanekaragamanbudayanya. Dalam masyarakat yang beragam tentuJamhar Makruf –1103


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–diperlukan sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan budaya danperilaku. Maka gerakan radikal, baik dalam bentuk agama maupunideologi, hanya akan mencederai sikap terbuka dan toleran yang selamaini menjadi pilar keutuhan Indonesia.Anda pernah menulis buku tentang Gerakan Salafi Radikal di Indoensia,bisakah Anda jelaskan apa isi dan maksud dari buku itu?Buku itu ditulis untuk memberikan kerangka teoretis atau caramemandang radikalisme. Dalam dunia akademik, penjelasan akanradikalisme sudah begitu banyak bermunculan. Pertama, ada yangmengidentifikasikannya sebagai reaksi dari kondisi kemiskinan.Menururt pendapat pertama ini, kemiskinan yang dibumbui olehpemahaman agama tertentu bisa berubah wujud menjadi gerakanyang terkonsolidasikan. Ia bisa muncul dalam bentuk “pemberontakan”.Kedua, fundamentalisme muncul dari paham agama yangekstrem. Pemahaman agama yang cenderung literal akan membawaseseorang bersikap radikal.Ketiga, fundamentalisme lebih menjadi gerakan yang berlataralasan politik, yaitu menjadikan radikalisme sebagai pintu masukmenyuarakan aspirasi politik. Dengan bersikap radikal, seseorangatau kelompok akan diperhatikan oleh orang lain, karenanya mempunyainilai jual politik. Keempat, radikalisme menjadi semacamgerakan ratu adil. Karena situasi ekonomi politik mengalami kekacauan,muncullah semangat menyelesaikan masalah yang biasanyakerap diidendtifikasi dengan kehadiran ratu adil. Salah satunyadiyakini bisa hadir dari agama. Celakanya, pemahaman yangdibawa memiliki kecenderungan yang radikal.1104– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Analisis itulah yang saya pakai untuk melihat kenyataan sosialdi Indonesia. Dalam konteks Indonesia, saya temukan beberapa organisasiyang bisa dikategorikan memiliki garis perjuangan radikal.Sebuat saja organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), FrontPembela Islam (FPI), Jamaah Islamiyah (JI) dan Majlis MujahidinIndonesia (MMI). Selanjutnya, saya juga melihat ada benang merahdi antara kelompok-kelompok tersebut, yaitu kecenderunganmiddle-eastern minded. Saya lihat mereka mempunyai kesamaandalam menganggap diri sebagai salaf. Padahal NU dan beberapaormas lain yang cenderungtidak radikal juga mengakuWacana publik tentang syariah kinisalaf. Pada titik itu, menurutsaya, salaf telah di-hijack salah satu yang paling dikhawatirkan,sudah harus didemitologisasi. Karenaoleh Wahhabisme dan gerakanradikal lainnya.demikian, dari tuntutan yang selaludan memang kecenderungannyaDalam identifikasi saya, mengklaim demokratis ini adalah akanradikalisme ini ditandai dengankriteria seperti ingin negara Islam, yang jelas bertentanganberujungnya tuntutan pada pendiriandengan kesepakatan berbangsamenegakkan negara Islam,dan bernegara kita.melihat pertentangan Islamdan Kristen sebagai jihad,perang abadi di antara keduaya, dan beberapa kriteria lainnya.Dari situ, kemudian saya membagi lagi kelompok-kelompok radikaltersebut ke dalam dua kutub besar. Pertama, kelompok yanglebih mengedepankan activism, dengan aktif berdemonstrasi danmelakukan kekerasan-kekerasan fisik. Dan kedua, adalah kelompokyang cenderung bermain di tingkat diskursus, wacana. Kelompokpertama diwakili oleh FPI, Laskar Jihad dan sebagainya. Sementarakelompok kedua diwakili oleh HTI dan MMI. Mereka memangJamhar Makruf –1105


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak violence, tapi secara akal dan wacana menentang demokrasidengan sangat radikal.Bagaimanapun radikalisme menjadi gerakan yang antipluralisme. Merekacenderung memaksakan “nilai-nilai keagamaan tertentu” dianutoleh tidak hanya bermacam umat Islam tapi juga non-Muslim sebagaipaham yang disepakati bersama dengan menampik paham lainyang berbeda. Indonesia sebagai negara yang plural mestinya tidakmungkin melahirkan gerakan-gerakan fasis seperti itu. BagaimanaAnda menjelaskannya?Saya kira Islam, baik secara ideologi maupun kultur, hidupdalam masyarakat yang plural. Sejak zaman Madinah, bermacametnis yang bergabung dan mengikatkan diri sebagai satu komunitasternyata banyak sekali mempunyai perbedaan. Islam menjadipayung yang luar biasa untuk mewujudkan pluralisme pada saatitu. Makanya, menurut saya, pengalaman Islam dalam hal itu sebenarnyalebih kaya ketimbang Katolik dan Kristen. Lihat saja, dariMaroko sampai ke Indonesia yang dinamakan sufi itu bermacammacam,sebutannya pun berbeda-beda, itu karena secara teologisIslam mengakui pluralisme. Coba lihat arsitektur masjid yang sangatkaya dibandingkan dengan bentuk gereja yang sangat dipengaruhioleh Roma Katolik. Belum lagi bentuk pakaian. Di situkita punya sajadah dan sarung dari berbagai tempat; Bangladesh,Pakistan, Indonesia dan lainya. Itu semua mungkin terjadi karenaajaran kita kental dengan nuansa toleransi. Islam sendiri, baiksecara sosiologis maupun teologis, mestinya toleran. Ini tidak bisadipungkiri. Dan inilah yang menurut saya akan membawa Islampada kebesarannya.1106– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Celakanya, di Indonesia, gerakan radikal didukung oleh MUI, suatulembaga agama yang semi negara. Dari sinilah muncul apa yangkita sebut dengan monisme dalam beragama. Masyarakat Islam yangmemiliki pemahaman keagamaan lain, seperti Ahmadiyah, menjaditidak mungkin hidup bersama dalam bingkai kesatuan bangsa.Yang perlu diredefinisi sekarang, menurut saya, adalah siapayang berhak mengeluarkan fatwa? Ingat, sekarang zaman sudahberubah, tidak bisa kita samakan dengan masa Nabi dan para Sahabatnya.Di zaman internet ini, ada yang kita kenal dengan sebutanonline fatwa. Seseorang bisa mencari fatwa dalam tema danmasalah apapaun lewat google. Dan melalui online fatwa, kita bisamemilih fatwa mana yang cocok dan tidak dengan pikiran kita.Jadi, kalau kita tidak sepakat dengan satu pendapat bisa memilihpendapat lain yang lebih sesuai menurut kita.Dengan begitu saya ingin sekali lagi mengatakan bahwa Islam,tidak hanya secara sosiologis melainkan juga teologis, adalahagama yang pluralistik. Bayangkan saja, pada tradisi agamamana yang mentolerir perbedaan dalam ilmu kalam? Hanya dalamIslam. Tradisi mana yang kaya dengan mazhab? Sekali lagi,Islam. Bahkan dalam tradisi Islam juga memiliki perbedaan yangdemikian kental seperti Sunni dan Syi’ah. Artinya, tak dapat disangkalbahwa Islam sejatinya adalah agama yang mengagungkanpluralisme.Namun demikian, kita juga tak bisa mengabaikan begitu saja pahamatau peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan kecenderungan antipluralimedalam Islam. Pertanyaannya, dengan konteks seperti itu,Jamhar Makruf –1107


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagaimana Anda melihat pluralisme di masa mendatang di Indonesia,akan makin terkonsolidasi atau sebaliknya aus untuk kemudianbenar-benar musnah?Perlu usaha bersama untuk terus menjelaskan kepada masyarakatIndonesia bahwa kemajemukan bangsa Indonesia adalah takdirsosial. Oleh karena itu harus ada usaha terus menerus untukmenjaga agar umat Islam memahami realitas sosial Indonesia yangmajemuk. Partisipasi di kalangan anak muda untuk penyadaranrealitas plural ini perlu dikembangkan, agar ada pemahaman yangtak putus antar-generasi.UIN Jakarta sering diidentikkan dengan Muslim Sunni. Padahallembaga pendidikan mestinya tidak sektarian. Kalau mau menjadikanUIN sebagai pusat studi Islam, maka seharusnya semua warnaIslam pun muncul di UIN Jakarta. Faktanya, kurikulum UIN masihkerap dikatakan Sunni oriented. Apa penjelasan Anda?Saya kira ada benarnya. Tapi juga tidak sepenuhnya benar.Karena Syi’ah juga mendapat proporsi yang besar di UIN Jakarta.Buku-buku Murthada Mutahhari juga kita pakai sebagaimanabuku-buku ulama Sunni atau lainnya. Bahkan kita mempunyaiIranian Corner, bekerjasama dengan Kedubes Iran. Kita juga mengirimmahasiswa dan dosen ke Iran untuk belajar Syi’ah. Secaraakademik sesungguhnya kita bersikap balance terhadap Syi’ah.Buku-buku Syi’ah juga kita berikan kepada mahasiswa. Tapi karenabanyak mahasiswa yang hidup di lingkungan Sunni, merekatentu cenderung mengikuti yang Sunni.1108– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tapi, secara umum, sebagai pusat studi Islam, UIN Jakarta dirasabelum cukup lengkap karana belum menampung semua aliran Islamyang ada di Indonesia, seperti Ahmadiyah dan lainnya. Bagaimanajika ada orang luar yang ingin mengkaji Islam dalam wajahnya yangberbeda (Ahmadiyah dan lainnya)? Bisakah UIN Jakarta memfasilitasinya?Kalau Ahmadiyah memang belum. Sekarang kita sedang membentuksebuah tim riset untuk menilai agama-agama lokal, bukanhanya Ahmadiyah. Indonesia juga punya Islam Wetu Telu di NTB,juga ragam warna lokal lainnya seperti di Kuningan, Jawa Timurdan lainnya. Itu juga bagian dari kajian kita. Tapi bahwa UINJakarta sangat identik Sunni, itu tidak bisa dipungkiri. Meski demikian,kita juga tetap memberikan perhatian yang besar kepadanon-Sunni. Intinya, kita mencoba bersikap balance. Karena harusdiingat, salah satu keinginan UIN Jakarta adalah membobol sekatsekatmazhab yang ada di dalam Islam. Kita punya prinsip bahwakalau kita bisa toleran sesama umat Islam yang berbeda mazhab,pasti kita bisa toleran dengan agama lain. Selama ini kita tidak banyakmengajarkan perbedaan dalam Islam sendiri, karena itu bukubukuyang kita ajarkan di sini mencoba mengambil dari berbagaimazhab, supaya sekat-sekat fikih tidak menjadi formalistik, lebihdari itu fikih menjadi bagian dari pilihan (choice). Kalau kita bisamembobol sekat perbedaan mazhab, pasti kita bisa membobol perbedaansekat etnik, agama, wilayah, negara dan sebagainya. Itulahkeinginan UIN Jakarta.Jamhar Makruf –1109


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganKautsar Azhari NoerKautsar Azhari Noer, Guru Besar Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddindan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia mengajar pascasarjana di UIN SyarifHidayatullah, Universitas Indonesia, STF Driyarkara dan Universitas MuhammadiyahJakarta. Sejak 2007 ia diangkat sebagai Honorary Fellow Ibn Arabi Societyyang berpusat di Oxford.1110


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<strong>Kebebasan</strong> beragama bersifat mutlak dan harus mendapat jaminandari negara. Tanpa kebebasan tidak dimungkinkan imanyang tulus. Dan karena sekularisme tidak mesti memusuhi agama,maka pemisahan antara urusan-urusan duniawi dan agamaharus dilakukan. Sebab di negara sekularlah orang bisa bebasberagama. Sebaliknya, dalam negara-agama (teokrasi), peraturanyang diterapkan pasti yang sealiran dengan agama yang diimanipenguasa: kebebasan beragama tercabut. Padahal hak-hak dankebebasan sipil terjamin pada negara-negara yang menganutsistem liberal. Kaitannya dengan kemajemukan agama, masyarakatharus ditanamkan sikap toleran; paham teologis sama sekalitidak boleh dihakimi manusia, yang berhak menghakimi Tuhansemata. Sehingga pluralisme menjadi niscaya.Kautsar Azhar Noer –1111


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita akan memperbincangkan seputar tiga isu yang diharamkan olehMajelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu sekularisme, liberalisme danpluralisme. Tentang ketiga isu ini, respon masyarakat terbagi menjaditiga: ada yang menolak, setuju, dan ada juga yang sementara dalamproses memaknai. Ketiga kelompok masyarakat ini, tentu saja, memilikiargumentasi masing-masing. Bagaimana Anda melihat perbedaanrespon tersebut dan bagaimana pula pandangan Anda tentangliberalisme, sekularisme dan pluralisme itu sendiri?Penolakan umat Islam dan MUI terhadap sekularisme, liberalismedan pluralisme, bisa jadi, karena kesalahpahaman. Kadangkadang,orang belum mengetahui dan memahami betul apa itusekularisme, liberalisme dan pluralisme, tetapi secara a priori sudahmenolaknya. Ini yang sering terjadi. Celakanya, semua ini keraptanpa didasari dengan argumentasi. Mereka, termasuk di dalamnyaMUI, dengan serta-merta menentang sekularisme, liberalisme danpluralisme, begitu pula terhadap Islam liberal. Padahal, yang seringterjadi, atau memang itu sudah terjadi, adalah apa yang dimaksuddengan ketiga paham itu oleh para pendukunganya dan oleh merekayang menentangnya sungguh berbeda. Misalnya, sekularisme.Tidak selamanya gagasan ini berarti memusuhi agama. Ada yangmengatakan bahwa pemisahan antara urusan-urusan duniawi danurusan-urusan agama harus dilakukan. Tetapi pemisahan tersebuttidak mesti berarti memusuhi agama. Sebab, kalau dicermati, justrudi negara sekularlah orang bisa bebas beragama. Sebaliknya, dalamnegara-agama biasanya negara itu didominasi oleh satu agama atausatu mazhab agama.Negara yang didominasi oleh satu agama atau satu mazhab,yang kita sebut dengan negara teokratis, maka peraturan yang di-1112– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terapkan di negara itu pasti yang sealiran dengan agama atau mazhabyang didukung oleh penguasa. Di situ, saya kira, tidak adakebebasan beragama. Atau, paling tidak, kebebasan beragama disitu sangat sempit. Di Arab Saudi misalnya, jangankan gereja berdiridi Riyadh atau Mekah, kalau tidak salah, masjid untuk Syi’ahsaja tidak ada. Mungkin ada, tapi tersembunyi.Sebaliknya, di negara sekular keberadaan semua aliran dipersilakan.Yang lebih menggelitiklagi, dahulu sebelum RevolusiIslam Iran, Khomei-menganut sistem liberal, sepertiDalam kenyataannya, negara yangni lari dari Iran ke negara negara-negara Barat yang maju,yang sekular, yaitu Prancis,justru ke-bebasan lebih terjamin.Setiap individu mempunyai haklantaran kebebasan di sanauntuk mengeluarkan pendapatnyamendapat tempat. Jadi, kebebasansangat dijamin disecara bebas, tanpa takut ditangkapoleh intel dan dimaksukkan ke dalamnegara sekular.penjara, sejauh tidak menggangguKendati demikian, sekularismejuga bermacam-mengganggu kebebasan orangketertiban umum, sejauh tidakmacam. Kita harus terlebih lain, sejauh tidak berbuat anarki.dahulu melihat sekularismeyang seperti apa. Sebab, sebagai perihal kebebasan. UntukSaya lebih memandang liberalismepraktik sekularisme di Uni itu, apabila kita menganggapliberalisme berbahaya, maka sebuahSoviet, agama malah ditekanpertanyaan yang perlu kita ajukan:dan dimusuhi. Namun, lagilagi,karena sekularisme ber-apa betul seperti itu? Jangan-jangan,sesungguhnya apa yang ada dalambeda-beda, maka yang harus pikiran kita sendiri tidak selalu benar.diperjuangkan adalah model Jadi, liberalisme itu lebih merupakansekularisme yang tidak memusuhihantu ketimbang kenyataan.agama.Kautsar Azhar Noer –1113


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya pernah mendapat kuliah dari Karl Steenbrink, seorangsarjana Belanda. Dia pernah mengatakan bahwa pengertian sekularismedan sekularisasi seperti karet. Karet itu elastis: bisa ditariksecara lebih luas dan longgar. Artinya, ini sangat tergantung padasiapa yang akan memberi makna terhadap sekularisme dan sekularisasiitu.Bagi kelompok garis keras, sekularisme adalah musuh agama.Pokoknya, kalau mereka mendengar kata sekularisme – danyang di Indonesia lazimnya dipersandingkan kepada tokoh-tokohsemacam Nurcholish Madjid (Paramadina), Ulil Abshar Abdalla(Jaringan Islam Liberal), dan Gus Dur – bayangan mereka adalahbahwa sekularisme berbahaya terhadap Islam. Padahal tidak sepertiitu. Apakah orang-orang sekular seperti Cak Nur, Gus Dur,dan Ulil memusuhi Islam? Jawabannya sudah pasti tidak. Justrusebaliknya, mereka ingin mengangkat Islam atau membebaskan Islamdari kungkungan-kungkungan kemunduran, kejumudan dankekakuan. Mereka menghendaki supaya Islam lebih fleksibel danbisa menjawab tantangan masa kini. Karena tantangan-tantanganzaman berubah, maka tafsir atas agama untuk menjawab tantangan-tantanganitu juga bisa berubah, bahkan harus diubah.Tafsir terhadap Islam juga bermacam-macam, tidak tunggal.Apakah semua tafsir itu benar dan apakah semua tafsir yang dulusesuai dengan semua zaman dan sanggup menjawab tantanganmasa kini dengan problem lokalitas yang berbeda-beda? Itu belumtentu.Di kalangan umat Islam ada kelomok-kelompok tertentu seperti HizbutTahrir Indonesia (HTI) dan sejenisnya, memiliki imajinasi po-1114– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–litik bahwa ada kesatuan antara agama dan kekuasaan (al-dîn waal-dawlah). Bagaimana Anda memandang hal ini?Terkait hubungan antara agama dan negara, Islam tidak memberikanaturan yang jelas mengenai konsep negara. Saya sependapatdengan Jabiri dan beberapa pemikir lain, bahwa setelah NabiMuhammad saw wafat, perselisihan di antara Sahabat mengenaikhilâfah menunjukkan bahwa al-Quran tidak memberikan konsepyang jelas mengenai negara. Sebab, seandainya ada aturan yang jelas,tidak mungkin ada perselisihan untuk memperebutkan jabatankepala negara setelah Nabisaw wafat. Al-Quran juga tidakpernah memberi aturan sekularlah orang bisa bebas beragama.Kalau dicermati, justru di negaraihwal proses pengangkatan Sebaliknya, dalam negara-agamakepala negara, berapa lama biasa-nya negara itu didominasi olehmasa jabatan kepala negara, satu agama atau satu mazhab agama.dan bagaimana proses suksesinya.Al-Quran juga tidak memberikan aturan tentang bentuknegara dan pemerintahan. Yang ada dalam al-Quran adalah prinsip-prinsipuniversal, yang tidak hanya berlaku dalam Islam tetapijuga dalam agama-agama lain dan sistem-sistem filsafat. Misalnya,keadilan, kejujuran, dan sistem al-syûrâ atau musyawarah – yangmasih diperdebatkan apakah sama dengan demokrasi atau tidak.Jadi, dalam konteks ini Islam seharusnya masuk dalam wilayahmoral, bagaimana orang berakhlak. Sebagai perumpamaan, seorangpemimpin negara harus berakhlak agar negara dan warganya baik.Maka, wilayah yang dipersoalkan Islam adalah perihal baik atautidak, jujur atau tidak, dan seterusnya. Sementara mengenai segenapaturan (sosial dan politik) akan dibuat sesuai dengan situasiKautsar Azhar Noer –1115


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sosial. Jika hal itu sudah masuk dalam urusan duniawi, tidak adaaturan-aturan yang rinci dalam agama. Itu menjadi urusan wargabersama. Sebab, Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak,bukan politik.Bagaimana dengan gagasan negara Islam atau Piagam Jakarta yangselalu dirujuk dari konsep Piagam Madinah?Jawabannya jelas. Gagasan negara Islam, seperti tadi saya katakan,tidak terdapat aturan yang jelas dalam al-Quran. Al-Quranhanya menganjurkan bagaimana memerin-tah sejauh dibimbingoleh moral. Tidak ada konsep negara. Islam memberikan bimbinganmoral kepada para pemeluknya. Ide negara Islam itu baru munculpada abad ke-19. Sebelumnya orang Islam tidak pernah membicarakanitu. Bahkan, kata “islam” dahulu juga jarang dipakai untukmenyebut nama disiplin keilmuan, nama karya, nama institusi,dan nama usaha. Maka, boleh dikatakan, sekarang kata “islam” telahmengalami inflasi. Dulu ketika pertama kali ayat turun, Iqra’,tidak disebut kata islam. Yang jauh lebih banyak dalam al-Quranadalah kata îmân. Nama-nama disiplin keilmuan dan nama-namakarya dahulu tidak memakai kata ‘islam.’ Târîkh al-Thabarî, misalnya,tidak disebut dengan Târîkh al-Islâm al-Thabarî. Begitu pulaIhyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan kitab-kitab lain tidak menggunakan kata‘islam.’ Madrasah terkenal pada masa Abu Hamid al-Ghazali, yaitual-Nizhâmiyah, tidak disebut al-Madrasah al-Islâmiyah al-Nizhâmiyah.Sekarang ini kata ‘islam’ banyak dipakai: negara Islam, sainsIslam, bank Islam, ekonomi Islam, dan sebagainya. Dahulu banyakyang memiliki kualitas Islam, tanpa menyebut kata ‘islam.’ Tetapisekarang terbalik, mereknya Islam, isinya belum tentu.1116– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut Anda, apa sebenarnya liberalisme dan mengapa banyakorang begitu rupa menentangnya?Liberalisme mempunyai banyak arti. Ada yang mengartikannyasebagai pendapat atau kepercayaan yang bebas, khususnya dalampolitik. Ada yang mengartikannya sebagai kepercayaan atau kebijakanyang bebas, khususnya berkaitan dengan politik, perubahansosial, agama, dan lain-lain. Ada yang sekadar memahaminya sebagaiprinsip dan ide yangbebas. Ada yang mengartikannyasebagai kepercaya-aliran dipersilahkan. Yang lebihDi negara sekular keberadaan semuamenggelitik lagi, dahulu sebeluman kepada kemajuan danRevolusi Islam Iran, Khomeini lari daripembaruan. Ada juga yangIran ke negara yang sekular, yaitumengartikannya sebagai sifatPrancis, lantaran kebebasan di sanaatau keadaan untuk menjadibebas, khususnya dalam sangat dijamin di negara sekular.mendapat tempat. Jadi, kebebasanwacana filsafat politik yangmembela kebebasan pribadi, bersifat individual; yang memperjuangkanbentuk pemerintahan yang demokratis; dan upaya pembaruanyang berangsur-angsur dalam institusi politik dan sosial.Saya pribadi lebih memandang liberalisme sebagai perihal kebebasan.Untuk itu, apabila kita menganggap liberalisme berbahaya,maka sebuah pertanyaan yang perlu kita ajukan: apa betul sepertiitu? Jangan-jangan, sesungguhnya apa yang ada dalam pikiran kitasendiri tidak selalu benar. Jadi, liberalisme itu lebih merupakanhantu ketimbang kenyataan.Dalam kenyataannya, negara yang menganut sistem liberal,seperti negara-negara Barat yang maju, justru kebebasan lebihterjamin. Setiap individu mempunyai hak untuk mengeluarkanpendapatnya secara bebas, tanpa takut ditangkap oleh intel danKautsar Azhar Noer –1117


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dimaksukkan ke dalam penjara, sejauh tidak mengganggu ketertibanumum, tidak mengganggu kebebasan orang lain, dan tidakberbuat anarki. Para penguasa tidak boleh membungkam kebebasanindividu. Di negara-negara yang telah maju, para penguasatidak dapat berbuat seenaknya terhadap rakyatnya. Mereka tidakbisa berbuat semena-mena demi mempertahankan kekuasaan mereka.<strong>Kebebasan</strong> beragama juga dijamin. Bila kebebasan beragamadibungkam, dikhawatirkan banyak orang berpura-pura melakukansesuatu agar kelihatan tidak bertentangan dengan agama. Setiaporang bebas menganut dan mempraktikkan agama dan kepercayaanyang dianggapnya benar.Tanpa kebebasan, banyak muncul kepalsuan-kepalsuan. Kitaharus mengakui secara jujur bahwa masih banyak negara Islamyang tidak memberikan kebebasan dalam politik dan agama. Yangmuncul adalah demokrasi palsu atau pura-pura. Yang muncul adalahpengekangan terhadap kebebasan beragama untuk kolompokkelompokminoritas tertentu dan individu-individu yang dianggapsesat. Di Indonesia, misalnya, ada orang yang mencantumkan kataIslam dalam KTP-nya agar mendapatkan kemudahan urusan administratifdan kependudukan meskipun agamanya bukan Islam.Terdapat semacam kekhawatiran sekelompok umat Islam tertentu yangmenginginkan negara ikut campur dalam urusan agama. Sebab, kalaunegara tidak ikut campur, menurut mereka, negara dan, terlebih lagi,agama, akan terkikis oleh ideologi-ideologi lain. Apakah ketakutan semacamitu cukup beralasan?Barangkali dari perspektif orang yang merasa ketakutan, tentumereka punya alasan. Tapi bagi kita, tentu saja, tidak. Dalam1118– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–demokrasi, kebebasan setiap individu dijamin. Yakni, kebebasanindividual sejauh tidak mengganggu kebebasan orang lain. Makapertanyaan yang muncul adalah: apakah Usman Roy atau Lia Aminuddin,misalnya, mengganggu kebebasan umat Islam lainnya, sehingganegara ikut campur dan harus mengadili dan memenjarakanmereka? Mungkin bagi sekelompok umat Islam yang tidak mampumenerima kebebasan dan perbedaan, keyakinan yang dianut UsmanRoy dan Lia Eden meresahkan. Tetapi itu hanya dalam pikiranmereka saja. Itu semata ketakutan yang berlebihan, di mana kalaukeyakinan-keyakinan seperti itu dibiarkan akan menjadi sainganmereka, di samping juga akan bertambah banyak pengikutnya.Jadi, bukan karena keyakinan-keyakinan tersebut mengganggu danmemaksa sehingga hak-hak dan kebebasan mereka terancam.Kalau alasannya karena penodaan akidah Islam?Menurut saya sejauh perbedaan paham tidak mengganggu,maka tidak bisa dikatakan seperti itu, walaupun pahamnya menurutkita aneh. Saya selalu berkata: kalau Anda tidak setuju denganpaham yang Anda anggap sesat, silakan Anda dakwahi orangitu. Tetapi berdakwah sudah ada ketentuannya dalam al-Quran:“Ud‘u ilâ sabîli rabbika bi al-hikmah wa al-maw‘izhah al-hasanahwa jâdil-hum bi al-latî hiya ahsan” (“Serulah kepada jalan Tuhanmudengan bijaksana, nasihat yang baik, dan bantahlah merekadengan cara yang lebih baik,” al-Quran 16: 125). Cara berdakwahitu ada tiga macam: (1) hikmah atau bijaksana; (2) nasihat yangbaik; dan (3) berdebat dengan cara yang lebih baik. Bila oranglain tidak menerima apa yang didakwahkan, tidak apa-apa. Batasnyaadalah bahwa orang itu tidak mengganggu kebebasan kita.Kautsar Azhar Noer –1119


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jika ada orang Kristen atau orang Hindu memaksa kita (supayapindah ke agama mereka), kita mungkin akan tersinggung. Atau,misalnya, jika ada orang Kristen datang ke rumah kita membawaBibel atau Alkitab, wajar kita tersinggung. Namun, karena secarapribadi latar belakang atau basis saya adalah studi PerbandinganAgama, berbeda dengan kebanyakan orang, saya tidak tersinggung.Kalau mereka mengajarkan ajaran mereka di sekolah milik mereka,tentu saja tidak ada masalah. Itu adalah sekolah mereka. Akantetapi, kalau mereka sampai mengganggu tetangga, masuk rumahtetangga, misalnya, itu baru masalah.Kita harus bisa membedakan antara perihal kepercayaan danperihal mengganggu ketertiban umum. Acara ritual keagamaandengan pengeras suara yang mengganggu orang lain adalah persoalan.Contoh lain adalah mendirikan gereja di satu lingkungantertentu. Jika gereja itu penuh oleh jemaat yang berakibat denganparkir yang mengganggu tetangga sebelah atau jalanan umum, initentunya menjadi persoalan. Namun, hal seperti ini masih bisadiatasi dengan terlebih dahulu ditegur agar tempat parkir mobilpindah, misalnya, atau agar datangnya tidak menggunakan mobilpribadi. Dalam kasus seperti ini, harus dipisahkan antara pendiriangereja dan ketertiban parkir. Hanya saja persoalan seperti itu seringberubah menjadi persoalan yang menimbulkan konflik – dan dijadikanalasan bagi kelompok tertentu untuk melakukan tindakankekerasan seperti pengusiran serta penghancuran gereja. Padahal,menurut saya, harus dipisahkan antara ketertiban umum dan pahamteologis. Paham teologis tidak boleh dihakimi oleh manusia.Yang berhak menghakiminya hanyalah Tuhan. Al-Quran beberapakali menyerukan, di antaranya, “Fallâhu yahkumu baynahum yawmal-qiyâmati fîmâ kânû fîhî yakhtalifûn” (“Maka Allah menghakimi1120– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–(menetapkan hukum) di antara mereka pada Hari Kiamat tentangapa yang mereka perselisihkan,” al-Quran 2: 113). Kita tidak berhakmenghakimi paham teologis atau kepercayaan seseorang. Inimerupakan ketentuan Tuhan. Maka, Ahmadiyah, aliran UsmanRoy, Lia Eden tidak boleh dihakimi dan dizalimi. Sebab, itu semuaadalah kehendak Allah. Allah berkata, “Wa-law syâ’a rabbuka laâmanaman fî al-ardli kulluhum jamî‘an. A-fa anta tukrih al-nâsahattâ yakûnû mu’minîn” (“Seandainya Tuhanmu menghendaki, niscayasemua orang di bumi ini beriman. Apakah Anda memaksamanusia sehingga mereka menjadi orang-orang mukmin,” al-Quran10: 99). Seandainya Tuhanmenghendaki, niscaya seluruhumat manusia menjadiHemat saya, pluralisme pada tingkatteologis harus mendapat perhatianlebih. Ini merupakan tingkat yangpenganut satu paham saja.paling sulit diterima oleh kebanyakanJika demikian, kalau kitaorang Muslim. Pluralisme pada tingkattidak setuju dengan orangorangyang berbeda agama eskatologis mengenai keselamatanteologis terkait dengan persoalanatau paham dengan kita, kitadi akhirat.harus memperhatikan duahal. Pertama, kita bisa mendakwahi mereka dengan cara di atastadi. Kalau orang tersebut masih tidak menerima, biarkan saja, tidakperlu dengan pemaksaan. Kedua, mereka yang berbeda pahamdengan kita, mereka belum tentu sesat. Kalau kita memandang tigaprinsip yang harus dipegang untuk menjadi orang yang selamat disisi Allah, yaitu iman kepada Allah, hari akhir dan amal saleh, makamereka jemaat Ahmadiyah, Usman Roy, dan Lia Eden, misalnya,tidak sesat. Mereka juga tidak bisa divonis telah menodai agamaatau akidah Islam. Jadi, mereka mempunyai dasar dan argumentasimasing-masing atas apa yang mereka yakini dan lakukan.Kautsar Azhar Noer –1121


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut Anda, apakah agama secara teologis mendukung ide kebebasan?Lalu, mengapa Pak Ma’ruf Amin berpendapat bahwa kebebasanitu ada hanya ketika orang belum memilih agama. Jika seseorang sudahmemeluk Islam, maka ia tidak bebas dan dipaksa dengan segenapaturan-aturan di dalamnya.Begitulah pandangan orang Muslim yang tidak mengerti maknakebebasan dalam pandangan Islam. Sebab, mustahil memaksasemua orang harus semazhab dengan kita. Tidak mungkin pulamenafsirkan agama secara seragam tanpa perbedaan. Itulah salahnyasebagian orang Muslim dulu dan juga sekarang. Banyak manusiayang memposisikan dirinya seperti Tuhan. Mereka sudah menghakimipaham orang lain dan memaksa orang lain untuk sepahamdan semazhab dengan mereka. Padahal jika menyangkut urusan teologisdan kepercayaan, kita hanya bisa memberikan pertimbanganspekulatif yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara pastisekarang di dunia ini. Siapa yang benar dan siapa yang sesat hanyadiketahui secara pasti oleh Allah. Siapa yang selamat dan tidak selamat,masuk surga dan neraka di akhirat kelak, hanya diketahuioleh Allah. Sekali lagi, al-Quran memberikan kebebasan kepadasetiap individu untuk menentukan pilihannya dengan konsekuensiberani menanggung risiko yang akan dihadapinya nanti di akhiratatas pilihan bebas itu.Bagaimana pandangan Anda tentang upaya formalisasi atau legalisasihukum Islam, lalu di mana posisi minoritas jika nilai-nilai agamatertentu diterapkan sebagai hukum positif?Terkait dengan penerapan syariat Islam, pertama kali perlu sayategaskan bahwa penolakan terhadap perda syariah tidak mesti ber-1122– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–arti penolakan terhadap syariah. Penolakan itu adalah penolakanterhadap formalisasi syariah, bukan penolakan terhadap syariah itusendiri. Tanpa formalisasi syariah atau tanpa pembentukan negaraIslam, syariah sudah semestinya dijalankan oleh setiap orangMuslim. Untuk menjalankan syariah, kita tidak perlu menungguformalisasi syariah atau negara Islam.Pada prinsipnya yanglebih penting adalah aturanyang dapat menjamin sebaiknya berkaca pada ketauladananTentang masalah toleransi, kitaNabi Muhamad saw. Nabi pernahkebebasan bagi setiap individuuntuk menganut danmemperkenankan sekelompok orangorangNasrani dari Najran mengadakanmelaksanakan agama ataukebaktian di masjid beliau. Ini hal yangkepercayaan sesuai dengansangat luar biasa. Apakah ada peristiwaapa yang diyakininya. Denganpengertian lain, ti-pangurus masjid bisa diserang olehseperti itu di Indonesia? Kalau ada,tik-tengkarnya bukan pada khalayak. Dalam hal ini Nabi sebenarnyaupaya menjadikan hukum lebih liberal. Di Indonesia ini mana adaIslam sebagai hukum positifatau tidak, begitu pulayang seliberal Nabi.kontroversi perda syariat Islam. Persoalannya adalah apakah setiapindividu diberi kebebasan untuk menganut dan menjalankan agamasesuai dengan paham atau mazhab yang diyakininya. Contohnyajilbab. Ada yang berpendapat memakai jilbab itu wajib. Jilbabharus menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.Jika tidak demikian, berarti tidak islami. Itu salah satu paham. Disisi lain, terdapat juga paham yang memaknai jilbab secara berbeda.Misalnya, ada yang berpaham bahwa esensi jilbab adalahfungsinya untuk menjaga diri agar tidak terjerumus pada hal-halyang negatif. Banyak orang tidak memakai jilbab tetapi berpakai-Kautsar Azhar Noer –1123


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–an cukup sopan, seperti presenter TV. Dengan berpakaian sepertiitu mereka bisa menjaga diri. Untuk itu, siapapun, termasuk jugapemerintah tidak bisa memaksa orang yang menganut paham yangkedua agar sepaham dengan yang pertama, yang dianggap islami.Contoh lainnya, nikah beda agama. Ada mazhab fikih yang mengatakanbahwa nikah beda agama hukumnya haram. Tetapi jugaada mazhab yang mengatakan bahwa nikah beda agama diperbolehkan.Maka, semua mazhab yang berbeda tersebut tetap harusdiberi tempat. Begitu pula hukum potong tangan bagi pencuri.Sangat mungkin ada yang memiliki tafsir lain. Misalnya, potongtangan lebih dimengerti sebagai memotong (menghilangkan) kekuasaan,oleh karena itu cukup dengan kurungan penjara. Tafsirlain ini juga harus diberi tempat. Dengan demikian, yang harusditekankan adalah jaminan kebebasan kepada setiap individu untukmenganut dan menjalankan agama dan kepercayaan sesuai denganyang diyakininya.Sudah barang tentu minoritas juga sangat mungkin bisa terdapatdalam satu agama. Mereka mempunyai paham yang berbedadari mayoritas, atau teologi mainstream. Karena itu, di mata umatyang mayoritas, mereka dianggap aneh, ganjil dan sesat. Sebaliknyabagi mereka sendiri, apa yang mereka anut tidaklah demikian.Ini yang harus dibela supaya iman dijalankan secara tulus. Tidakterjadi kepura-puraan dan keterpaksaan.Jadi, lagi-lagi, persoalannya bukan pada apakah paham mayoritasitu dijadikan hukum positif atau tidak. Hanya saja, pada galibnya,problem yang kemudian menyeruak adalah ketika pahamtersebut ditetapkan sebagai hukum positif, maka kebebasan tercabut.Bagi saya, itulah persoalan yang melingkupi perda-perda syariah,yang dalam praktiknya malah merampas kebebasan beragama itu1124– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sendiri. Ini mungkin landasan kenapa orang ramai-ramai menentangformalisasi hukum agama.Apakah untuk mencapai terpenuhinya hak dan kebebasan warga diperlukanundang-undang yang dapat menjamin mereka?Saya setuju kalau ada perda yang menjamin kebebasan (beragamadan berkeyakinan). Namun, bukan berarti saya setuju denganaliran kebatinan. Jangan disalahpahami. Saya tidak setuju denganaliran kebatinan, tetapi saya juga tidak bisa memaksa penganut alirankebatinan meninggalkan alirannya supaya menganut apa yangsaya anut. Apa yang dilakukan Dawam Rahardjo bukan membelakebenaran ajaran Ahmadiyah, tetapi lebih membela hak dan kebebasanberagama yang juga menjadi ketentuan al-Quran. Saya bukanmembela Ahmadiyah atau Lia Eden, tetapi membela kebebasanmenurut al-Quran versi saya, yang kebetulan saja menguntungkanpihak Ahmadiyah dan komunitas Eden. Iman memerlukan ketulusan.Tanpa kebebasan tidak ada iman yang tulus. Masalahnya,seringkali peraturan dibuat oleh kalangan mayoritas sehingga merugikankalangan minoritas, dalam arti merampas kebebasan mereka.Padahal, merampas kebebasan beragama sangat bertentangandengan ajaran al-Quran yang justru menjaminnya.Bagaimana kalau alasan dibuatnya aturan seperti perda syariah justruuntuk menjaga moral umat?Itu harus kita kembalikan pada prinsip kebebasan. Dengan diterapkannyaperda syariah, apakah kebebasan tetap terjamin tanpamengganggu kebebasan orang lain yang tidak setuju dengan aturan-Kautsar Azhar Noer –1125


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–aturan yang terdapat dalam perda tersebut? Memang, amar ma‘rûfdan nahy munkar harus dijalankan di manapun oleh umat Islam.Tapi tidak perlu syariat Islam diformalkan. Karena itu, harus ditegaskandi sini bahwa ketika seseorang tidak setuju syariah diformalkantidak berarti dia anti-syariah. Pemahaman tentang syariahberbeda-beda. Dalam Islam kita menemukan beberapa mazhab fikihyang berbeda. Setiap penganut mazhab fikih hendaknya menjalankansyariah sesuai dengan fikih (pemahaman) masing-masingmazhab yang dianutnya.Semua agama mempunyai syariah. Setiap orang yang beragamamenjalankan syariahnya masing-masing. Apa yang dijalankan olehseorang penganut agama tentunya sesuai dengan apa yang telahditetapkan oleh agamanya. Itulah syariah yang dijalankannya.Bukankah syariah itu sendiri pada dirinya memaksa?Jika saya harus melakukan sesuatu menurut hati saya, berartihati saya memaksa diri saya. Mungkin itu benar. Tetapi, pemaksaandi sini bukan dalam arti seperti itu. Yang dimaksud denganpemaksaan: apabila ada kekuasaan atau kekuatan di luar yang memaksaseseorang atau satu komunitas untuk menjalankan ajaranyang ditentukan pihak luar. Dengan kata lain, ada unsur eksternalyang memaksa. Misalnya (negara) memaksa setiap warga negaramenjalankan apa yang telah ditetapkan secara formal.Sebaliknya, kalau saya menjalankan sesuatu menurut apa yangsaya anut, ini tidak bisa dikatakan bahwa apa yang saya anut memaksasaya. Tetapi kalau yang dimaksud dengan memaksa adalahbahwa membuat kita harus terikat pada apa yang kita yakini, itumemang memaksa, tetapi tidak disebut memaksa dalam pengertian1126– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–adanya keterlibatan pihak luar. Kata ‘aqîdah berarti ikatan; yangmengikat kita. Itu adalah masalah teologis, ilmu kalam. Meskipunbegitu, Ibn Arabi mengkritik bahwa Tuhan di dalam akidahbukanlah Tuhan (dalam arti sesungguhnya). Tuhan dalam akidahadalah Tuhan dalam persepsimanusia, Tuhan buatan manusia.dasarnya, adalah semacamEksklusivisme dalam Islam, padaimperialisme teologis. ImperialismeBagaimana jika iman mengharuskanuntuk memaksaorang lain, bahkan sering dengankekerasan?teologis adalah ekspansi, keinginanuntuk menguasai dan memonopolikebenaran teologis. Jadi, semacamegoisme teologis, yang mengharuskanorang lain masuk ke dalam agama kita,dan sepaham dengan kita. Kalau tidak,Jamaknya, masalah sepertiini sangat terkait de-Islam yang seperti inilah yangia tidak akan selamat. Pemahamanngan kekuasaan. Jadi, seseorangakan berani memaksamengancam pluralisme.orang lain, meskipun pemaksaan ini tidak benar, ketika posisi dialebih tinggi. Seandainya yang mayoritas adalah jemaat Ahmadiyah,kemudian mereka melarang orang Sunni menjalankan keyakinannya,saya akan memprotes juga. Saya akan membela Sunni, lebihtepatnya membela kebebasan menjalankan keyakinannya. Jadi,adalah sesuatu yang manusiawi: karena ada kekuasaan di tangansekelompok orang, atau paling tidak dia tidak terhalangi oleh kekuasaan,maka sering terjadi pemaksaan. Secara tidak sadar orangyang dalam posisi memperoleh kekuasaan pasti selalu merasa tidakpernah memaksa. Padahal secara tidak langsung ia telah memaksa.Memang, terdapat banyak sanggahan dari mereka atau pihak-pihakyang melakukan pemaksaan terhadap orang lain, bahwa persoalanKautsar Azhar Noer –1127


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ini bukan berkaitan dengan kebebasan beragama, melainkan lebihmenjadi persoalan akidah – yang menurut mereka sedang terancamdan mengalami penodaan.Kendati demikian, harus diingat bahwa akidah adalah ciptaanmanusia. Dalam Islam, karena terdapat perselisihan paham atau penafsiranterhadap persoalan agama, banyak muncul akidah, di antaranyaAhl al-Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyah, dan sebagainya. Ahl al-Sunnah juga bermacam-macam, ada Asy’ariyah, Maturidiyah dansebagainya. Demikianpun Syi’ah tidak hanya satu paham, jugaAhmadiyah dan seterusnya.Sejatinya, Tuhan tidak bisa diikat oleh akidah. Tuhan di luarakidah. Kalau Tuhan diikat berarti Tuhan terbatas. Padahal Tuhantidak dapat dibatasi. Maka dari itu jangan menuhankan akidah,tuhankanlah Tuhan. Orang seringkali tidak menyadari bahwa dialebih setia pada akidahnya, alirannya, sektenya ketimbang kepadaTuhan. Mereka juga tidak menyadari bahwa Tuhan melarang kitamembunuh orang lain. Tetapi, seringkali atas nama akidah ataupunTuhan, tidak jarang orang rela membunuh. Ini bertentangandengan larangan membunuh. Ini sangat bertentangan denganprinsip bahwa Tuhan memberikan kebebasan dalam beragama. Inibertentangan dengan kemauan Tuhan.Apakah menurut Anda kebebasan beragama berkorelasi atau menunjangkemajuan sebuah bangsa?<strong>Kebebasan</strong> beragama dan kemajuan jelas mempunyai korelasi,tetapi hal tersebut jangan dikaitkan atau diukur dengan materi.Sebab dalam kemajuan sebuah bangsa terdapat aspek intelektualdan spiritual. Karena itu, semangat kebebasan, termasuk kebebasan1128– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–beragama, yang menunjang kemajuan bangsa harus terus diperjuangkan.<strong>Kebebasan</strong> untuk mengeluarkan pendapat dan mengkritikpemerintah untuk kemajuan harus dijamin. <strong>Kebebasan</strong> beragamajuga harus dijamin. Jika tidak, saya kira bukan hanya Ahmadiyahsaja yang akan dibungkam, begitupun kelompok-kelompok liberaljuga akan dibungkam, termasuk tafsir-tafsir yang dianggap aneh.Padahal, tafsir-tafsir atau pemahaman-pemahaman itu mungkin dianggapaneh bagi kelompok tertentu, tetapi tidak aneh bagi pendukungnya.Karena mereka benar-benar tidak paham atas tafsir-tafsirtersebut, kemudian mereka menganggapnya aneh. Lantas, setiapyang mereka anggap aneh harus dibungkam. Jadi pada saatnya nantibukan hanya Ahmadiyah,mungkin juga Paramadina, <strong>Kebebasan</strong> beragama itu menurutJaringan Islam Liberal, kaum saya bersifat mutlak dan, karena itu,minoritas lain, dan pahampahambaru lain akan men-karunia Tuhan. Maka, kita tidakharus dijamin. <strong>Kebebasan</strong> itu adalahjadi sasaran mereka.berhak mengungkung dan merampaskebebasan itu. Alasan mengapa Tuhanmenganugerahi manusia kebebasan,Alasan mereka membungkam supaya manusia tulus dan ikhlas dalambukan hanya karena ketakutanteologis, tetapi juga politis.beriman dan beragama.Sebab mereka membayangkan kalau seragam niscaya nantinya menjadilebih mudah teratur, tertib dan akan mudah mencapai peradabanyang diidamkan.Itu yang keliru. Justru keragaman adalah hukum alam. Kalaukita menentang perbedaan berarti menentang hukum alam. Kitapatut merenungkan kata-kata bijak yang berbunyi, “The worldwould be a dull place if we all agreed on everything.” Karenanya ja-Kautsar Azhar Noer –1129


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ngan memaksa untuk seragam. Tuhan sendiri, seandainya menghendaki,semua orang menjadi satu umat. Itu tentu bisa dan sudahdilakukan oleh Tuhan. Tetapi Tuhan tidak menghendaki demikian.Bukankah Tuhan telah mengatakan, seperti disebut di atas, “SeandainyaTuhanmu menghendaki, niscaya semua orang di bumi iniberiman. Apakah Anda memaksa manusia sehingga mereka menjadiorang-orang mukmin?” (al-Quran 10: 99).Belakangan ini ada isu syariat Islam dipertentangkan dengan Pancasila,sebagai upaya dari beberapa kalangan Islam yang berhasratmenerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam bentuk aturanaturanformal, baik berupa peraturan daerah ataupun lebih ekstremlagi negara Islam. Apa respon Anda atas upaya-upaya tersebut?Seharusnya syariat Islam tidak perlu dipertentangkan denganPancasila. Pasalnya, pengertian dan paham kita tentang syariat Islamjuga berbeda-beda, sebagaimana fikih juga bermacam-macam.Sekarang ada pula tafsir baru tentang syariah. Misalnya yang dilontarkanoleh Mahmud Thaha dan Abdullahi An-Na’im. Merekamempunyai teori evolusi syariah. Menurut mereka syariah yang selamaini dijalankan masih diskriminatif terhadap kaum perempuandan non-Muslim. Mereka lantas menekankan bahwa syariah yangdibutuhkan adalah syariah yang universal, egalitarian, demokratis,dan tidak diskriminatif. Mereka tidak anti-syariah. Mereka hanyamemberikan tafsir baru tentang syariah. Biarkan saja orang menuduhtafsir baru itu sesat, asal jangan Tuhan yang menuduhnya.1130– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Lalu, apakah Pancasila, sebagai dasar negara kita, dan UUD ’45,sebagai landasan konstitusinya, sudah ideal?Ya. Menurut saya tidak ada yang menjadi masalah. Itu memangcocok untuk Indonesia. Pancasila dan UUD ‘45 sama sekalitidak bertentangan dengan Islam. Karena itu, bagi saya, kembalilagi pada apa yang tadi sudah saya ungkapkan di atas: persoalannyabukan formalisasi syariah lewat perda-perda atau tidak, tetapilebih pada problem terancamnya hak dan kebebasan beragama danberkeyakinan. Kalau syariah menurut sebuah paham tertentu sudahdijadikan perda, maka syariah menurut paham lain yang berbedaniscaya tidak akan mendapattempat. Akhirnya orang Dalam kaitan dengan kemajemukanmenjalankan agama karena agama, yang harus diusahakanadalah bagaimana menanamkanketerpaksaan, bukan karenaketulusan. Agama tanpapada masyarakat sikap toleransi.Ini terutama adalah tugas pemukaketulusan tidak ada artinya.agama, terutama ulama. Yang menjadiBegitupun tidak ada artinya masalah adalah ketika banyakmenjalankan agama dengan ulama malah mananamkan sikapketerpaksaan dan kepalsuantidak toleran.(kepura-puraan).Mengapa resistensi umat Islam terhadap pluralisme demikian kuat?Tentu saja, di samping sekularisme dan liberalisme, pluralismejuga lebih ditangkap oleh kebanyakan orang sebagai hantu. Akibatnyaresistensi terhadap pluralisme bukan semakin reda, justrukian deras. Di benak mereka hanya kekhawatiran-kekhawatiran danketakutan-ketakutan. Sementara itu, saya lebih melihat pluralismeKautsar Azhar Noer –1131


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–secara bertingkat. Pada tingkat sosiologis, selama orang menghargaikemajemukan, walaupun misalnya tidak mengakui kebenaranagama lain atau paham lain, saya kira itu sudah bagus. Pada tingkatteologis, pluralisme biasanya diartikan bahwa semua agama,meskipun berbeda dalam rumusan teologisnya, dokrinnya, danritualnya, tetap memiliki tujuan yang sama. Yakni, bahwa semuaagama, sejatinya, membawa para penganutnya kepada keselamatan.Inilah kesamaan dari setiap tujuan agama.Pada hemat saya, pluralisme pada tingkat teologis harus mendapatperhatian lebih. Ini merupakan tingkat yang paling sulitditerima oleh kebanyakan orang Muslim. Pluralisme pada tingkatteologis terkait dengan persoalan eskatologis mengenai keselamatandi akhirat. Hanya saja, orang tidak berani mengatakan secaraterus terang bahwa agama-agama lain (yaitu agama-agama selainIslam) tidak membawa keselamatan di akhirat. Sebagai perumpamaan,kalau orang tidak masuk Islam, kelak dia masuk neraka.MUI tentu tidak secara eksplisit mengatakan hal seperti itu. Tapiapa yang ditetapkan MUI berujung ke situ: “Kalau tidak memelukIslam, orang tidak akan selamat.” Namun, lagi-lagi, MUI dankebanyakan orang tidak berani terang-terangan mengatakan pernyataansetegas itu. Itu adalah masalah eskatologis, masalah yangterkait dengan tujuan final hidup. Kebenaran masalah ini tidakbisa dibuktikan sekarang ini. Bukti kebenarannya hanya dapat dilihatdi akhirat nanti. Berbeda halnya dengan hidup di dunia ini.Bagaimana hidup di dunia ini, semua orang, begitu juga orangorangMUI, mengetahui bahwa negara-negara Barat yang demikianmaju tidak pernah mengusung agama untuk dijadikan dasarnegara. Tanpa agama negara-negara Barat yang sekular jauh lebihmaju, makmur, kaya, dan aman.1132– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah penolakan dan pengharaman umat Islam dan MUI terhadappluralisme, dengan alasan paham tersebut mengidap ide-ide sinkretismeyang dapat melemahkan dan membahayakan iman umat Islam,hanya bentuk dari kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan?Ini terkait dengan masalahteologis. Pluralisme merupakanpolemik teologis,Saya sependapat dengan Jabiridan beberapa pemikir lain, bahwasetelah Nabi Muhammad saw wafat,lantaran ia menyatakan bahwasemua agama – meskipunperselisihan di antara sahabatmengenai khilafah menunjukkanberbeda rumusan teologisnya,doktrinnya, dan ritual-konsep yang jelas mengenai negara.bahwa al-Qu’ran tidak memberikannya – adalah benar. Paham Sebab, seandainya ada aturan yangini, bagi mereka, berbahaya.Keyakinan mereka tidak untuk memperebutkan “jabatan”jelas, tidak mungkin ada perselisihanbisa ditawar-tawar lagi: pokoknya,kalau ingin selamat,kepala negara setelah Nabi saw wafat.masuklah agama Islam. Kalau masuk agama lain, Kristen misalnya,akan masuk neraka. Itu sudah doktrin yang tidak bisa diubah lagi.Hanya saja orang tidak bilang seperti itu.Perbedaan pandangan tentang persoalan ini tidak akan pernahhilang. Yang penting adalah bahwa kita harus toleran terhadap perbedaan.Kita tidak perlu betengkar karena perbedaan tentang masalahini. Saya sering berkata, “Daripada kita bertengkar lebih baikkita buktikan saja siapa yang selamat dan yang idak selamat nantidi akhirat.” Bagi saya, Islam sama dengan apa yang diajarkan olehpara penafsir pluralis, bahwa Islam dalam arti esensialnya adalahpenyerahan diri kepada Allah. Dalam arti dasarnya islâm adalah“ketundukan” (inqiyâd), “kepatuhan” (tadzallul), dan khusuk (khu-Kautsar Azhar Noer –1133


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–syû‘) kepada Allah. Ketika menakwilkan ayat yang berbunyi, “Sesungguhnyadîn (yang benar) di sisi Allah adalah islâm” (al-Quran3: 19), al-Thabari, seorang penafsir klasik terkemuka, mengatakanbahwa ayat ini bermakna: “Sesungguhnya kepatuhan yang adalahsatu-satunya kepatuhan di sisi-Nya adalah kepatuhan kepada-Nya,pengikraran lidah dan kalbu bagi-Nya dengan penghambaan dankerendahan, dan ketundukan lisan dan kalbu kepada-Nya dengankepatuhan tentang apa yang disuruh dan dilarang, kerendahan lisandan kalbu kepada-Nya dengan itu tanpa menyombongkan dirikepada-Nya, tanpa berpaling dari-Nya, dan tanpa menyekutukansegala sesuatu selain Dia dengan Dia dalam kehambaan dan ketuhanan.”Jadi, sikap ketundukan dan kepatuhan kepada Tuhanadalah ‘islam’ (dengan huruf kecil). Sikap semacam itu tidak hanyaterdapat dalam agama Islam. Dalam agama apapun, bahkan orangtidak beragama sekalipun, seperti penganut aliran kebatinan, jikapasrah pada Tuhan, itu adalah ‘islam.’ Ini adalah ‘islam’ dalam artiesensial, bukan dalam arti sosiologis.Saya pernah mengunjungi salah sebuah kelompok di Skotlandiadan kebetulan saya pernah tinggal bersama mereka di sana.Mereka tidak mau disebut beragama, tapi pasrah kepada Tuhan– Budhy Munawar-Rachman juga mengetahui orang-orang darikelompok itu yang lazim disebut Beshara. Mereka sangat menekankansikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan. Mereka jugamempraktikkan zikir. Sikap pasrah dan zikir selalu ditekankanoleh orang-orang Beshara tanpa harus mengungkapkan identitasagama apa yang mereka anut. Mereka menekankan sikap “constantawareness to Him,” kesadaran yang konstan terhadap DiaYang Mahamutlak. Ini adalah bentuk spiritualitas yang membuatorang dalam hidupnya sampai pada kondisi yang senantiasa1134– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–merasakan kehadiran Tuhan. Kesadaran konstan kepada Tuhanadalah zikir. Dengan zikir yang terus-menerus seseorang pasrahpada Tuhan setiap saat. Orang-orang Beshara itu ketika ditanya,“What is your religion?,” mereka bisa tersinggung. “We are secular,”mereka bilang. Tetapi mereka berzikir dan pasrah kepada Tuhan.Bahasa yang digunakan untuk zikir bersama di Beshara School,Chisholme, Roberton, Hawick, Skotlandia, adalah bahasa Arablantaran mereka mengambil unsur-unsur Islam. Di ruang-ruangstudi, meditasi, kantor, dapur, dan lainnya, yang terdapat dalambangunan-bangunan di Chisholme, ditemukan banyak kaligrafiArab dari ayat-ayat al-Quran dan Hadits.Di Beshara School para ‘santri’ belajar kitab Fushûsh al-Hikam,kitab Bhagavad Gita, kitab Tao Te Cing, dan kitab Injil Apokrifal.Semua kitab ini mengandung ilmu esoterik yang pada intinya sama.Jika seseorang bisa memahami kitab Fushûsh al-Hikam, dia mudahmemahami kitab Bhagavad Gita, Tao Te Cing, dan Injil Apokrifal.Begitu juga jika seseorang bisa memahami kitab Bhagavad Gita,dia mudah memahami Fushûsh al-Hikam, Tao Te Cing, dan InjilApokrifal. Begitu seterusnya dengan dua kitab lain. Beshara tidakterikat dengan agama apapun atau sistem filsafat apapun, tetapijuga tidak menolaknya. Yang lebih ditekankan adalah pendidikanesoterik. Yang lebih penting adalah esensi, bukan bentuk. OrangorangBeshara sama sekali tidak menonjolkan agama, dalam artisebagai institusi formal, melainkan lebih menekankan esensi agama,yaitu spiritualitas. Mereka menekankan kesadaran akan kehadiranTuhan. Mereka yang sudah menjiwai kitab-kitab semacamitu malah lebih rajin melakukan meditasi dan zikir. Tetapi kalaumereka ditanya soal agama, mereka kerap mejawab tidak menganutagama, yaitu agama dalam arti sosiologis.Kautsar Azhar Noer –1135


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Maka, kita harus senantiasa kembali kepada makna ‘islam’ sebagaikepasrahan kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan ‘islam’sebagai kualitas personal. Di sini ‘islam’ tidak lagi dimaknaisebagai lembaga atau sistem yang formal. Sebaliknya yang dimaksuddengan ‘islam’ di sini adalah ‘islam’ sebagai kualitas personal,atau yang disebut Wilfred Cantwell Smith sebagai “agama personal”(personal religion). Artinya, ‘islam’ bukan sistem yang mengandungajaran-ajaran tentang teologi dan ritual. Pada mulanya, dalam sejarah,agama merupakan kualitas atau pengalaman spiritual. Namun,apa lacur, justru yang kemudian lebih populer seperti sekarang iniadalah agama sebagai sistem yang mengandung ajaran-ajaran tentangpersoalan-persoalan ketuhanan dan praktik ritual.Sejatinya, dalam arti dasarnya agama atau dîn adalah ketaatan,kepatuhan, dan kesalehan kepada Allah. Jadi, ‘islam’ sebagai agamadalam arti dasarnya bukan sistem atau lembaga, tapi kualitaspersonal. Dengan demikian menjadi jelas di sini bahwa apa yangdimaksud dengan ‘islam’ adalah kualitas personal. Kalau dipahamiseperti ini, maka siapapun yang pasrah pada Tuhan dia adalah‘muslim’ (dengan memakai “m” kecil). Ihwal seperti ini juga dikemukakanoleh Bawa Muhayyaddin, seorang Sufi asal Sri Langkayang pernah bermukin di Philadelphia, Pennsylvania, AmerikaSerikat. Menurutnya, ‘islam’ memiliki dua arti: (1) ‘islam’ dalamarti esensial, yaitu kepasrahan kepada Tuhan, dan (2) ‘Islam’ dalamarti congregation, yaitu Islam dalam arti komunitas. Islam dalamarti yang kedua inilah yang ada sejak zaman Nabi Muhammad.Sementara ‘islam’ dalam arti esensial telah ada sejak manusia ada dimuka bumi ini. Sampai kapanpun dan di mana-pun ‘islam’ dalamarti esensial akan terus ber-semayam dalam batin manusia yangselalu pasrah, patuh dan sadar akan kehadiran Tuhannya.1136– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Doktrin resmi mayoritas menyatakan: agama-gama lain juga benartapi diasumsikan sebelum kedatangan agama Muhammad. SetelahMuhammad datang, semua manusia harus menganut Islam. Sebab,semua agama sebelum Muhammad, termasuk Yahudi, Nasrani, apalagiagama pagan, tidak berlaku lagi. Ini adalah tafsir mainstreamterhadap al-Quran.Islam seharusnya masuk dalamKita harus membedakanwilayah moral, bagaimana orangantara al-Quran dan tafsirnya.Orang sering meng-berakhlak. Sebagai perumpamaan,seorang pemimpin negara harusklaim bahwa apa yang dikatakannyaadalah al-Quran. baik. Maka, wilayah yang dipersoalkanberakhlak agar negara dan warganyaPadahal itu adalah al-Quran Islam adalah perihal baik atau tidak,menurut tafsir atau pemahamanorang tersebut. Be-Sementara mengenai segenap aturanjujur atau tidak, dan seterusnya.lum tentu orang lain memilikitafsir yang sama dengan(sosial dan politik) akan dibuat sesuaidengan situasi sosial. Jika hal itusudah masuk dalam urusan duniawi,tafsirannya. Hal seperti initidak ada aturan-aturan yang rinciyang sering terjadi. Abdulazizdalam agama. Itu menjadi urusanSachedina, seorang pemikirwarga bersama. Sebab, Nabi diutusMuslim terkemuka asal Iran, untuk menyempurnakan akhlak,mengatakan bahwa tidak adabukan politik.ayat yang tegas yang menyatakanbahwa agama yang dibawa sebelum Nabi Muhammad terhapusoleh agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Ayat yangberbunyi, “Inna al-dîna ‘inda Allâh al-islâm,” (Q. 3: 19) juga bisadimaknai bahwa agama yang dimaksud bukanlah sistem, melainkanagama personal; sikap kepasrahan kepada Tuhan. Maka ayatini bisa diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya kepatuhan – yangditerima – di sisi Allah adalah kepasrahan – kepada-Nya.”Kautsar Azhar Noer –1137


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bukankah ayat-ayat al-Quran, misalnya yang terkait dengan reaksial-Quran terhadap Yahudi, turun sebagai respon atas sikap Yahudihanya untuk kala itu? Tetapi celakanya ayat-ayat tersebut lantas selalumenjadi rujukan umat Islam sekarang untuk membenci Yahudiatau agama lain.Konteks ketika ayat-ayat al-Quran turun haruslah diperhatikan.Nabi hidup dalam situasi perang dengan kelompok-kelompoknon-Muslim. Tetapi harus diingat bahwa perang antara umat Islamkala itu selalu dimulai oleh gangguan orang-orang musyrik. NamunNabi Muhammad juga pernah berteman dengan Najasi, raja Habasyah,sekarang Ethiopia. Nabi juga pernah punya Sahabat Mukhairiq,pendeta Yahudi, sampai beliau meninggal. Nabi juga pernahmengatakan bahwa dia adalah orang Yahudi terbaik. Bahkan Nabipernah mengizinkan orang-orang Nasrani dari Najran melakukankebaktian di mesjid beliau. Jadi, Nabi memberikan tauladan agarbersikap toleran terhadap para penganut agama-agama lain.Dalam perjalanan sejarah agama-agama belakangan ini, Barat sangatmenghargai kebebasan beragama, sementara di wilayah lain, sepertinegara-negara yang mayoritas Islam, penghargaan terhadap semangatkebebasan beragama kurang mendapat tempat. Apakah memang sepertiitu?Sebelum muncul negara-bangsa, khususnya sebelum revolusiPrancis, situasi di Barat sangat parah. Konflik internal di kalanganumat Kristiani parah sekali. Kalau kita membaca sejarah gereja, adakelompok reformasi dan antireformasi. Perang di antara mereka telahmemakan korban yang sangat banyak dan berlangsung puluhantahun. Bahkan ada yang mengatakan bahwa terbagi-baginya nega-1138– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ra Eropa juga terkait denganperang antara kelompok reformasidengan kelompok membungkam kebebasan individu.Para penguasa tidak bolehantireformasi. Hingga kini, Di negara-negara yang telah maju,para penguasa tidak dapat berbuatsisa pertikaian masih ada.seenaknya terhadap rakyatnya. MerekaTetapi, mungkin lantarantidak bisa berbuat semena-mena demimereka sudah kapok danmempertahankan kekuasaan mereka.kelelahan oleh konflik yang<strong>Kebebasan</strong> beragama juga dijamin.amat panjang lantas berhenti Bila kebebasan beragama dibungkam,dan justru membangun toleransiyang lebih kuat. Napuramelakukan sesuatu agardikhawatirkan banyak orang berpuramunmunculnya semangat kelihatan tidak bertentangan dengantoleransi di Barat sebetulnya agama. Setiap orang bebas menganutbukan hanya murni karenamasalah agama. Ameri-dan mempraktikkan agama dankepercayaan yang dianggapnya benar.ka, misalnya, lebih karenaperang antar-warga mereka sendiri (civil war). Faktor pengalamanburuk akibat perang dan kelelahan menimbulkan semangat toleransi.Mereka mau belajar dari pengalaman sejarah dan tidak inginmengulangi masa-masa gelap (peperangan) seperti sebelumnya.Kesimpulan yang hendak saya sampaikan adalah: seharusnya kitamengambil pelajaran dari sejarah orang lain.Tetapi yang lebih menarik lagi, ketika saya membandingkanagama-agama dalam konteks sejarahnya, konflik antaragama daninternal agama justru yang paling sedikit di Timur, tempat lahir danberkembangnnya Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Sebab,Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme sangat kuat menekankankasih sayang, kedamaian, dan keharmonian. Karena itu di kalanganpara penganut setianya, suasana harmoni, kedamaian dan kete-Kautsar Azhar Noer –1139


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nangan terasa sangat kuat. Tradisi meditasi dan yoga sangat kuatdi kalangan mereka. Kalaupun ada konflik antaragama seperti diThailand atau di belahan bumi bagian Timur lain lebih disebabkanfaktor politis. Unsur agamanya sangat kecil. Sejauh yang sayaketahui pula, perang antarsekte dalam Budhisme, Konfusianisme,dan Taoisme tidak ada. Sebaliknya dalam sejarah Islam ada, sepertiantara orang-orang Sunni dan orang-orang Syi’i. Begitupun dalamKristen, seperti perang antara Katolik dan Protestan.Pandangan-pandangan Anda yang sangat toleran dan mendamaikanini ditentang banyak orang. Lalu, bagaimana masa depan pemikiranseperti ini, apakah akan semakin diterima orang atau semakinterkikis?Saya tidak mengetahui persis. Tapi yang jelas saya tidak sendirian,walaupun juga tidak bisa dikatakan sebagai mayoritas. Orangorangyang bersikap toleran seperti orang-orang Paramadina, JaringanIslam Liberal (JIL), Masyarakat Dialog Antaragama (MADIA),Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), InternationalCenter for Islam and Pluralism (ICIP), The Wahid Institute,Aliansi Kebangsaan untuk <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> dan Berkeyakinan(AKKBB), sebuah aliansi yang terdiri dari lembaga-lembaga kemasyrakatandan keagamaan di Indonesia yang memperjuangkanreligious freedom, dan orang-orang dari organisasi-oraganisasi lainyang mendukung pluralisme adalah orang-orang yang memperjuangkansikap mendukung dan menghargai kemajemukan. Jumlahmereka memang sedikit. Maka, dalam kaitan dengan kemajemukanagama, yang harus diusahakan adalah bagaimana menanamkanpada masyarakat sikap toleransi. Ini terutama adalah tugas pemuka1140– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–agama, terutama ulama. Yang menjadi masalah adalah ketika banyakulama malah mananamkan sikap tidak toleran.Tentang masalah toleransi, kita sebaiknya berkaca pada ketauladananNabi Muhammad saw. Nabi pernah memperkenankansekelompok orang-orang Nasrani dari Najran mengadakankebaktian di masjid beliau.Ini hal yang sangat luar biasa.Apakah ada peristiwa se-kepalsuan-kepalsuan. Kita harusTanpa kebebasan, banyak munculperti itu di Indonesia? Kalaumengakui secara jujur bahwa masihbanyak negara Islam yang tidakada, pangurus masjid bisamemberikan kebebasan dalam politikdiserang oleh khalayak. Dalamhal ini Nabi sebenarnyadan agama. Yang muncul adalahdemokrasi palsu atau pura-pura.lebih liberal. Di Indonesia Yang muncul adalah pengekanganini mana ada yang seliberal terhadap kebebasan beragamaNabi. Apakah ada pengurus untuk kolompok-kelompok minoritasmasjid berani mengizinkan tertentu dan individu-individu yangorang Kristen melakukandianggap sesat.kebaktian di masjid? Malahsebaliknya, alih-alih memberi fasilitas kepada orang Kristen untukmengadakan kebaktian atau non-Muslim lainnya untuk beribadahsesuai dengan keyakinannya, kalau bisa gereja dan tempat ibadahlainnya diruntuhkan saja.Dalam kaitan dengan gagasan pluralisme, lantas ‘islam’ dalamarti manakah yang seharusnya dijiwai setiap orang? Saat ini oranglebih menyukai mengartikan Islam sebagai sistem. Bagi kebanyakanumatnya, yang dimaksud Islam adalah Islam yang khusus hadirsejak zaman Nabi Muhammad atau agama yang diturunkan kepadaNabi Muhammad. Dengan begitu sudah terhapuslah ‘islam’ yangsebelumnya. Demikianlah kaca mata eksklusivisme. Maka hanyaKautsar Azhar Noer –1141


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–penganut Islam saja yang benar. Kalau tidak menganut Islam seseorangtidak akan selamat di akhirat kelak. Tetapi saya sering mengatakan,“Apa ruginya orang-orang dari agama-agama lain kalaumereka juga selamat dan masuk surga?” Dalam suatu kesempatandiskusi di Teater Utan Kayu saya juga pernah mengatakan, “Eksklusivismedalam Islam, pada dasarnya, adalah semacam imperialismeteologis.” Imperialisme teologis adalah ekspansi, keinginanuntuk menguasai dan memonopoli kebenaran teologis. Jadi semacamegoisme teologis yang mengharuskan orang lain masuk kedalam agama kita dan sepaham dengan kita. Kalau tidak, ia tidakakan selamat. Pemahaman Islam yang seperti inilah yang mengancampluralisme.Apakah kemudian bisa dikatakan bahwa pluralisme harus mengandaikansekularisme dan liberalisme atau sebaliknya?Bagi saya, ini agak sulit. Saya tidak bisa mengatakan secara otomatisseperti itu. Tetapi menurut saya pluralisme lebih dekat dengangagasan demokrasi. Tidak ada demokrasi yang sejati tanpa pluralisme.Karena pluralisme menghormati kemajemukan. Jika itu diabaikan,tidak mungkin demokrasi bisa berjalan. Demokrasi juga sangat terkaitdengan civil society. Civil society berarti masyarakat secara bebas danmandiri mempunyai kemampuan untuk menyuarakan keinginankeinginannya.Jadi masyarakat tidak didominasi oleh negara. Halseperti itu sejalan pula dengan sekularisme di mana negara tidakmendominasi atau tidak didominasi oleh satu agama, dan yangsecara implisit satu aliran semata. Kalau dikuasasi oleh satu agama– yang berarti juga satu paham teologi atau satu mazhab agama– secara otomatis agama lain juga paham teologi lain atau maz-1142– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hab lain akan terpinggirkan. Di sini tidak ada kebebasan. Padahalkebebasan beragama itu menurut saya bersifat mutlak dan, karenaitu, harus dijamin. <strong>Kebebasan</strong> itu adalah karunia Tuhan. Maka kitatidak berhak mengungkung dan merampas kebebasan itu. Alasanmengapa Tuhan menganugerahi manusia kebebasan, supaya manusiatulus dan ikhlas dalam beriman dan beragama. Dalam hal inisaya setuju dengan Abdul Karim Soroush yang membela kebebasansupaya manusia beriman dengan murni dan tulus.Misalnya, orang memakai jilbab. Saya, dulu dan juga sekarang,sangat anti terhadap setiap kantor pemerintah atau kantorswasta yang melarang orang memakai jilbab. Sebab itu adalah keyakinanpemakainya. Karena itu pemakaian jilbab tidak boleh dilarang.Pelarangan adalah upaya pemaksaan agar tidak melakukansesuatu, yang dalam hal ini adalah pemakaian jilbab. <strong>Kebebasan</strong>memakai jilbab harus dijamin. Begitupun sebaliknya, orang jugatidak boleh memaksakan supaya orang lain mamakai jilbab. Contohlainnya lagi, di suatu daerah jika tidak memakai jilbab akanditangkap. Hal seperti ini nantinya akan menyebabkan sangat banyakkemunafikan. Akhirnya, orang memakai jilbab bukan karenaAllah, tapi lantaran takut ditangkap oleh polisi. Atau, begitujuga dengan salat. Kalau orang tidak salat akan ditangkap polisi,akibatnya orang salat bukan lagi karena ketulusan. Dahulu, waktuSoeharto masih memerintah, ada tradisi melaksanakan salat tarâwihdi kantor-kantor menterinya. Semua bawahannya ikut. Tentusaja motif ibadah mereka bukan murni karena Allah, tapi karenajabatan. Jadi, kalau beribadah, orang mestinya betul-betul tulus,bukan karena ikut-ikutan saja karena kepala kantornya atau karenakhawatir dipecat dan diperlakukan tidak baik oleh atasannya. Inicara beragama yang tidak baik.Kautsar Azhar Noer –1143


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ini bukan berarti saya menyetujui orang yang tidak salat. Ataumisalnya juga saya tidak menyetujui ateisme. Namun demikian,kaum ateis jangan pula dipaksa untuk mengucapkan pernyataanbahwa dia percaya kepada Tuhan. Hal ini sangatlah penting supayakalau seseorang percaya kepada Tuhan, kepercayaan itu betul-betultulus. Kita pun tidak bisa memaksa orang lain untuk sepahamdengan kita. Karena keimanan itu sendiri datangnya dari Tuhan,sudah ditentukan oleh Tuhan. Seandainya Tuhan berkehendakmenjadikan semua orang menjadi satu umat yang beriman, tentuTuhan bisa. Tetapi Tuhan tidak menghendaki hal yang demikianitu. Agama harus dijalankan secara tulus supaya tidak terjadi kemunafikan.Meskipun saya juga tidak menyetujui pornografi, dan dalambatas-batas tertentu kita juga harus tahu sopan-santun, tetapi, bagisaya, orang tidak bisa dipaksa memakai jilbab, apalagi ditangkapkarena tidak memakai jilbab. Maka akan menjadi masalah apabilanegara mencampuri urusan agama – terlebih beragama dan berkeyakinanmerupakan urusan yang sangat personal – seperti mengaturpakaian atau mewajibkan memakai jilbab. Akibatnya banyak orangmemakai jilbab bukan karena keimanan, tapi lebih karena takutditangkap. Artinya ke-imanan itu tidak tulus. Yang kita inginkanadalah ketulusan dalam beriman. Meskipun orang tidak memakaijilbab, kita tidak lantas membenci dia atau mengusir dia dan memperlakukannyasecara diskriminatif. Ini sekadar contoh, tentu adacontoh-contoh yang lain. Dalam makalah yang dibikin untuk acaraNurcholish Madjid Memorial Lecture, saya pernah menyinggungperaturan yang diterapkan rezim Taliban yang sangat menindaskaum perempuan di sana, yang menetapkan ini tidak boleh, itutidak boleh. Di dalam buku My Forbiden Face, yang ditulis oleh1144– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Latifa, seorang perempuanIde negara Islam itu baru munculmuda korban peraturan rezimTaliban di Afghanistan,pada abad ke-19. Sebelumnya orangIslam tidak pernah membicarakanmisalnya, disebutkan bahwaitu. Bahkan, kata “Islam” dahulu jugakaum ibu dan perempuan tidakdiizinkan untuk bekerja disiplin keilmuan, nama karya, namajarang dipakai untuk menyebut namadi luar rumah, kaum ibu dan institusi, dan nama usaha. Maka, bolehperempuan dilarang mengenakanpakaian berwarna te-mengalami inflasi.dikatakan, sekarang kata “Islam” telahrang di dalam burqa mereka,kaum perempuan juga tidak boleh naik taksi kecuali bersamamuhrimnya. Termasuk di dalam bus kota, laki-laki dan perempuanharus dipisah.Jadi, istilah-istilah liberalisme, sekularisme dan pluralisme,saya khawatir itu lebih merupakan ‘hantu’ daripada kenyataan.Itu hanya ada dalam pikiran. Apabila kita melihat di alam nyata,negara-negara Barat yang maju, seperti Britania Raya, Prancisdan Jerman yang menerapkan ketiga paham tersebut, kendatipunmungkin tidak dieksplisitkan, angka kriminalitasnya lebih kecil,korupsinya juga tidak sebesar di sini. Di Indonesia, kita setiap haridapat membaca berita di media-media massa tentang orang salingbacok, perkelahian antar-kampung, tawuran pelajar, perampokan,dan tindak pelbagai kriminal lainya. Semua itu terpampang nyatakalau kita membaca berita dan menyaksikan acara-acara sepertiDerap Hukum dan sejenisnya di televisi. Saya kira kriminalitas dinegara-negara Barat yang maju tidak sebesar di sini.Kalau memang kebanyakan dari umat Islam dan MUI cenderunglebih suka melihat ‘hantu’nya, dan karena itu lantas mengharamkanKautsar Azhar Noer –1145


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–begitu rupa, ketimbang mencoba untuk belajar secara objektif apa sesungguhnyasekularisme, liberalisme dan pluralisme. Menurut Anda,faktor apakah yang menyebabkan semua itu?Menurut saya kebanyakan mereka tidak mau memahami realitasyang sebenarnya. Cobalah jalan-jalan atau tinggal di sana(negara-negara Barat). Memang, di dunia ini tidak ada yang sempurna.Di sana, seperti Prancis, Jerman, Swedia, Swis, Austria,atau tempat lain seperti Jepang, tentu saja ada kekurangan, tetapinegara-negara itu lebih makmur, korupsinya lebih kecil daripadayang terjadi di negara kita. Di sini, kita sehari-hari melihat parapeminta-minta atau pengemis di bus kota dan di tempat-tempatlain. Kenyataannya seperti itu.Mungkin penolakan atau pengharaman terhadap ketiga gagasantersebut lantaran orang tidak paham atau mungkin juga karenaketakutan-ketakutan itu. Dan karena alasan-alasan itu pula, sampaisampaidemokrasi juga diharamkan. Kita juga tidak perlu meniruBarat sepenuhnya, apalagi menjadi ‘terbaratkan.’Atau lantaran mereka menganggap ketiga paham tersebut sebagaiproduk Barat. Padahal dalam kenyataannya sekularisasi di negaraIslam sendiri sebetulnya sudah menjadi praktik keseharian. Merekamengadakan pemilu dan lain sebagainya. Tetapi mereka tetap menggunakanjargon bahwa mereka tidak sekular.Mereka, negara-negara Barat, tidak latah mengukur diri merekadengan jargon dan slogan-slogan, “Kami negara sekular,” misalnya,bahkan ungkapan itu pun tidak diucapkan. Tetapi mereka lebihmempraktikkan semangatnya. Saya tambahkan juga di sini, bahwanegara lain yang lebih bagus daripada negara kita pasti akan1146– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 2)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menjadi incaran bagi para imigran. Kenyataannya penduduk Aljazair,yang mayoritas Muslim, dan juga penduduk negara-negaralain di Afrika, Turki dan negara-negara berkembang lainnya, inginpergi ke Eropa. Artinya mereka tidak betah di negaranya sendiri.Mereka susah mencari penghidupan di negara sendiri. Ini menjadibukti bahwa negara orang lain lebih disukai daripada negara sendiri.Dahulu banyak pengungsi dari Vietnam dan Kamboja hijrahke Amerika karena hidup di negara mereka sendiri sangat susah.Sama saja misalnya, sekarang, orang Papua lebih memilih pindahke Australia karena Australia dianggap lebih bagus penghidupannya.Demikian juga Indonesia, banyak tenaga kerja kita yang pergike negara-negara lain. Jadi kalau di negara sendiri kurang baik,orang akan memilih pergi ke negara lain yang lebih maju. Itu tidakbisa kita bantah.Wawancara dilakukan di Jakarta, September 2006Kautsar Azhar Noer –1147


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Daftar Isi Buku 1 sampai 4Ucapan Terimakasih ............................................................. viii<strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong>: Catatan Pengantar .................xiIhsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean, Trisno S. SutantoPercapakan dengan:Budhy Munawar-Rachman .............................................. xlviM. Dawam Rahardjo ...........................................................2Abd A’la .............................................................................39Abdul Hadi WM ...............................................................68Abdul Moqsith Ghazali ......................................................95Abdul Munir Mulkhan ....................................................135Abdurrahman Wahid .......................................................168Ahmad Suaedy .................................................................184Ahmad Syafii Maarif ........................................................222Azyumardi Azra ...............................................................246Bahtiar Effendy ................................................................271Badriyah Fayumi ..............................................................304Benjamin F. Intan ............................................................336Djohan Effendi ................................................................372Elga Sarapung ..................................................................420


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–F. Budi Hardiman ............................................................476Fachry Ali ........................................................................520Faqihuddin Abdul Kodir ..................................................551Farid Wajidi .....................................................................595Franz Dahler ....................................................................617Franz Magnis-Suseno .......................................................663Fuad Jabali .......................................................................707Gadis Arivia .....................................................................736Hamid Basyaib ................................................................771Hamka Haq .....................................................................817Haryatmoko ....................................................................848Husein Muhammad .........................................................876Ichlasul Amal ...................................................................928Ihsan Ali-Fauzi .................................................................951Ioanes Rakhmat ...............................................................980Jajat Burhanudin ............................................................1022Jalaluddin Rakhmat .......................................................1053Jamhari Makruf .............................................................1078Kautsar Azhari Noer ......................................................1110Komaruddin Hidayat .....................................................1146Lies Macoes-Natsir .........................................................1196Lily Zakiyah Munir ........................................................1230Lutfhi Assyaukanie .........................................................1282M. Amien Rais ...............................................................1311M. Amin Abdullah .........................................................1327


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–M. Quraish Shihab ........................................................1359M. Syafi’i Anwar ............................................................1382Maman Imanul Haq Faqieh ...........................................1420Maria Ulfah Anshor .......................................................1459Martin Lukito Sinaga .....................................................1491Masdar Farid Mas’udi ....................................................1526Melani Budianta ............................................................1541Meuthia Ganie-Rochman ..............................................1565Moch. Qasim Mathar ....................................................1586Mohammad Imam Aziz .................................................1626Muhammad Tholhah Hasan ..........................................1650Nasaruddin Umar ..........................................................1685Neng Dara Affiah ...........................................................1708Nur Ahmad Fadhil Lubis ...............................................1730Rumadi ..........................................................................1761Said Aqiel Siradj .............................................................1803Saiful Mujani .................................................................1838Samsu Rizal Panggabean ................................................1868Siti Musdah Mulia .........................................................1898Siti Ruhaini Dzuhayatin ................................................1921St. Sunardi .....................................................................1955Syafiq Hasyim ................................................................1982Syamsul Arifin ...............................................................2006Taufik Adnan Amal ........................................................2030Trisno S. Sutanto ...........................................................2053


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ulil Abshar-Abdalla .......................................................2082Yanti Muchtar ................................................................2122Yudi Latif .......................................................................2152Zainun Kamal ................................................................2187Zuhairi Misrawi .............................................................2234Zuly Qodir ....................................................................2267


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Indek sAAa GymAbad PencerahanAbad PertengahanAbbasiyahAbdul Halim MahmudAbdul Kahar MudzakkirAbdul Karim AmrullahAbdul Karim SoroushAbdul Malik bin MarwanAbdul Rauf SingkelAbdul Shamad al-PalimbaniAbdulhamid MutwalliAbdulkarim SoroushAbdullah AhmadAbdullah ibn ZubairAbdullah PutehAbdullahi Ahmed An-Na’imAbdurrahman ibn ‘AufAbdurrahman ibn MuljamAbdurrahman Wahid (Gus Dur)Abidah MaksumAbied al-JabiriAboriginaborsiAbou el-FadlABRIabsolutely relativeabsolutismeAbu al-WafaAbu BakrAbu HanifahAbu HurairahAbu LahabAbu NawasAbu SufyanAbu YusufAbul Kalam AzadAburizal Bakrieabuse of poweraccountable politicsAcehAdabiyah (madrasah)Adam MalikAdnan Buyung Nasutionadult tvAffandi


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–affirmative actionAfghani, al-AfghanistanafinitasAfrika“agama sekular”Agus SalimAgustinusahimsaahl al-baytahl al-hadîtsahl al-hall wa al-‘aqdahl al-kitâbAhl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ahAhmad Dahlan (Kiai)Ahmad ibn HanbalAhmad KhanAhmad MushadeqAhmad Sahal MahfudzAhmad SuaedyAhmad SumargonoAhmad Syafii MaarifAhmad WahibAhmadinejadAhmadiyahahwâl al-syakhshîyah, al-AisyahAjinomotoAKKBBAkta FilipusakuntabilitasAl GoreAlamsyah PrawiranegaraAli Abd al-RaziqAli ibn Abi Thalib (Imam Ali)Ali ImronAli JinnahAli KhameneiAli SyariatiAljazairAlkitabAllen, JudithAlois A. NugrohoAlthausaltruismeAlwy Shihabamar ma‘rûfAmbonAmerika LatinAmerikaAmien RaisAmin AbdullahAmina WadudAmir AliAmroziAmstrong, KarenAnanda MargaAndalusiaAnderson, BennedictAnglican ChurchAnglikananimismeantidoteantikorupsiantroposentrisANTV


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Anwar SadatapartheidAPBNAppenzell‘aql al-‘ilmî, al-‘aql al-falsafî, al-‘aql al-lâhûtî, al-‘aql al-târîkhî, al-Arab (budaya)Arab SaudiArabisasiArifin IlhamAristotelesAristotelianArkounArswendo AtmowilotoArsyad al-Banjari (Syekh)arus radikalisasiAs’ad Syamsul Arifin (Kiai)asbâb al-nuzûlasbâb al-wurûdAsghar Ali Engineerashhâb al-kahfAsiaAsy’ari, al-Asy’ariyahateismeAtho’ MudharAttaturk, KemalaufkalrungAustraliaAustriaaxiologiAzhar, al-Azyumardi AzraBBabad DiponegoroBaghdadBaghdadi, al-BahrainBaliBandungBangladeshBani AusBani NadzirBani QainuqaBani QuraizhahBani UmayyahBanjarmasinBank IslamBank Muamalatbank syariahBantenBantulBarth, KarlBasrahBassam TibiBatakbayi tabungBeatty, AndreaBeijing PlatformBelandaBell, DanielBellah, Robert N.


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bellum omni contra omnesBenda, Harry J.Benny Susetyo (Romo)Berger, Peter L.Berlin, IsaiahBernas (harian)Bertrand, JacquesBeshara Schoolbeyond the limit of intelligentbeyond the scope of socioloybeyond the traditional understandingBhagavad GitaBhinneka Tunggal Ikabiblical and theological foundationBiblical argumentBielefeldt, HeinerbiodiversitasBlack MuslimBLBIBonaparte, NapoleonborjuisBorobudur (candi)BosniaBourdieu, PierreBPUPKIBrahma KumarisBrigham Young UniversityBrunei Darussalambudaya marginalBudhaBudhismeBudhy Munawar-RachmanBughyat al-MurtasyidînBugisBulgariaBush, George W.Bush, GeorgeCCaliforniaCalvin, JohnCalvin, YohanesCalvinismecapacity statecapital marketCaputo, John D.CarrefourCasanova, JoseCastles, LanceCatatan PinggirCatherineCEDAWcelebrating the differencesCePDeS (Center for Pesantrenand <strong>Democracy</strong> Studies)Cerita 1001 MalamChang Hai ChiChicago UniversityChileChomsky, NoamChristlich Demokratsche Union(CDU)Christliche Volkspartei (CVP)Cina


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–citizen rightscivic educationcivic libertiescivic religioncivil couragecivil libertiescivil libertycivil rightscivil societycivil warCixous, Heleneclash of civilizationclash of religionsClinton, Hilarryco-existenceCokro Aminotocollective actioncollective aspirationcollective identitycollective memorycommon denominatorcommon virtueconsociational democracycontent of lawcontext of discoverycontext of justificationcontradictio in terminisCordobaCox, Harveycreative pro-existencecrime by ommisioncross culture fertilizationCrowder, Georgecultural brokercultural capitalcultural identitycultural mandatecultural revivalismculture of lawcyclic declineDD’Sa, FrancisDa VinciDali, SalvadorDamaskusdâr al-amndâr al-harbdâr al-Islâmdâr al-Kufrdâr al-salâmDarwin, Charlesteori—Daud BeureuehDaud PataniDawkins, Richarddawlah islâmiyahDayakde Tocqueville, Alexisdecline of religiondeismedeklarasi Kairodekriminalisasideliberasidemistifikasi


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–demitologisasidemocracy with adjectivedemokrasisystem—demokratisDenmarkDenneth, DanielDepartemen AgamaDepartemen Kelautan dan PerikananDepartemen Luar NegeriDepartemen PeneranganDepdiknasderogable rightsDerridadesakralisasiDeutero-Kanonikadevide et imperaDewan Gereja-gereja se-DuniaDewan PersDewan Revolusi Kultur IslamDIdiferensiasidimensi “surgawi”Din Syamsuddindirect democracydisadvantagedisenchantment of the worlddislike relationshipDjohan EffendiDKI Jakartadoctrina domusdogmatisdoktrin poligamiDPRDUHAMDunia KetigadzimmîEecclestical religioneconomical capitalEconomistEden, komunitasEdison, Thomas Alfaedukasi (proses)EinsteinEka Darmaputeraeklektisismeekonomi liberal-kapitalisekonomi sosialiseksklusivismeekstremismeekumenikalelectoral thresholdElijah Muhammademosi traumatisEmpedoklesenlightened despotenlightenmentepistemologiequal citizenequilibriumErdoganEropa


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–eshtablished cruchEssack, FaridEthiopiaetnonationalismeuforia lokalitasEurocentrisEvangelicalEvangelis (gerakan)existential securityFfanatismeFariduddin al-AttarfasismeFatimah MernisiFatimiyahFattahFauda, FaragFazlur RahmanFeilard, AndreFeith, Herbertfeminis (gerakan)feminismefeodalismeFerry, LucfilantropiFilipinaFinlandiafiqh jinâyahfiqh orientedFISFitnafitnah al-kubrâ, al-FKUBFord Foundationformal arrangementformal arrangmentformalisasi syariahFoucault, MichelFPIFrans DahlerFranz Magnis Suseno (Romo)Freedom HouseFreedom Institutefreedom of belieffreedom of expressionfreedom of religionfreedom to actfreedom to choicefreedom to expressionFreeportFriedman, Miltonfriendly religion secularizationFuad Hasyim, K.H.FUIFukuyama, Francisfundamentalismefundamentalisme agamafundamentalisme religiusfundamentalistikFushûsh al-Hikamfusion of horizons


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–GG 30 S/PKIGadamerGalileoGAMGamal Abdul NasergamelanGandhiGates, BillGBHNGedong (ibu)Geertz, Cliffordgenocidegentlement agreementgereja OrtodoksGhazali, alghettoGiddens, AnthonyGilligan, CarolglobalisasiGlobalizing Indonesian Local IslamGoenawan MohamadGogarten, Friedrichgolden ruleGoldziher, IgnáczGolkargood governancegood governmentGospel’s mandategrammar of actionGranger, Gilles-GastonGriffin, David RayHHabasyahHabermasHabibieHabibie Centerhablun min Allâhhablun min al-nâsHadikusumo, TB.hajiHajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafhalal foodHallaj, al-HAMHamasHamilton, AlexanderHanafi (mazhab)Hanafi, ImamHanbalihanîfHantingtonHarun (Nabi)Harun al-RasyidHarun NasutionHarvard Divinity SchoolHarvard UniversityHasan BasriHasan HanafiHassan al-BannaHasyim Asy’ariHasyim MuzadiHayek, Friedrich August vonHayy ibn Yaqzhan


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–HB JasinHeather SutherlandHefner, Robert W.HegelHeideggerHenry VIIIhermeneutika (metode)HermesHick, JohnHidayah (majalah)Hidayat Nur Wahidhifzh al-‘aqlhifzh al-bî’ahhifzh al-dînhifzh al-mâlhifzh al-nafshifzh al-nashlhifzh al-naslHindia-BelandaHinduHirsch, E.HitlerHIV-AIDSHMIHobbesHobsbawm, EricHoloyake, Georgehomo homini lupusHongkongHourani, AlbertHT (Hizbut Tahrir)HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)hudûdhukum adathuman traffickinghumanitiesHuntingtonHurgronje, SnouckHusein MuhammadHusein UmarHustler (majalah)hypothetical imperativeEIAINIan SaphiroIbn ArabiIbn HisyamIbn IshakIbn Jarir al-ThabariIbn KatsirIbn KhaldunIbn QayyimIbn TaimiyyahIbn ThufailIbrahim (agama)ICCPRICIPICMIICRPidentity markerideologi liberalideologi pembangkangan masyarakatideologisasi


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Idris (Nabi)Idul AdhaIdul Fitriijmâ‘ijtihadIkhwanul Musliminilliberal democracyIMFimperialismeincommensurabilityIndiaindigenous valueindividual function of religionindividualismeindoktrinasiIndonesiainferiority complexInggrisInglehartInjilInjil FilipusInjil Maria MagdalenaInjil ThomasInjil YudasinklusivismeinkuisisiInterfideiinternal colonialismInternal Security Act (ISA)international human rights lawinternational humanitarian lawsinterpersonal trustintifâdahInul DaratistaIPNUIqbalIrakIranIranian CornerIrigarayIrsyad, al-Irwandi YusufIsa al-MasihISEASIskandar MudaIslam:budaya—ekonomi—formalisasi syariat——Abad Pertengahan—abangan—Jamaah—liberal—progresif—radikalkerajaan—negara—nilai-nilai—sejarah—tradisi—islamic textual civilizationislamisasiproses—IslamismeIslamizing Capitalismislamo-fascism


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ismail al-FaruqiIsra Mi’rajIsraelItaliaITBITSittibâ‘ muthlâqJJa’far Umar ThalibJainismeJalaluddin al-RumiJalaluddin al-SuyuthiJalaluddin Rahmat (Kang Jalal)Jamaah IslamiyahJamal (perang)Jawa BaratJawa PosJawa TimurJefferson, ThomasJembatan BesiJepangJermanJesuit (ordo)JIjihadJILjilbabJilbab AwardJombangJudeo-Christian EthicJudeo-KristianijumhûrJurgensmeyer, MarkJust WarJustice and Development PartyJusuf Kallajuz’îyâtKKahar MuzakkarKaharinganKahin, George Mc Tkalimah sawâ’KambojaKanadaKant, ImmanuelKAPAL PerempuankapitalismeKartiniKasman SingodimedjoKatolikKaum MudaKaum TuaKBkearifan lokalKebangkitan Kristuskebenaran teologiKedaulatan RakyatkeindonesiaanKejawenKennedy, John F.Kepel, GillesKerry, John


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–KhadijahKhairil AnwarKhairiyah Hasyimkhalîfah fî al-ardlKhandaq (perang)KhawarijKhazrajKHIkhilâfah (konsep)khilâfah (system)khilâfah fî al-ardlkhilâfah islâmiyahKhomeiniKhulafâ’ al-Râsyidûn, al-Khwaja Jamalkilling the othersKinabalukitab kuningKittel, GerhardkloningKNIPknowledge managementkolonialismeKomaruddin HidayatKomnas PerempuanKompaskomprehensif-obyektifkomunikasi rasionalkomunismeKomunitas EdenKonferensi Pekabaran InjilKonfusianismeKonfusiusKonghucukonservatifkonservatismeKonsili NiceaKonsili Vatikan IKonsili Vatikan IIkonsumerismekontraproduktifKorea Selatan“korporatokrasi”korupsikosmopolitanismeKPIKPKKrisdayantiKristenKristenisasiKristianitradisi—Kroasiakuantitatif-eksistensialisKudusKufahKuhn, ThomasKUHPkullîyât al-khamsah, al-Kung, HansKuntowijoyoKupangKuwaitKuyper, Abraham


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Llabel syariahLaclau, Ernestolaicitílaissez faireLaskar JihadLaurent, Sophialaw enforcementLDIILee Kuan Yewlegal pluralismLeibnizLembaga Survei IndonesiaLevinasLewis, BernardLia Aminuddin (Lia Eden)Libanonliberal fundamentalismliberal mindliberal rightsliberal thinkingliberalisasiliberalisme—agama—ekonomiLiga ArabLijphart, ArendLindholm, Torelinear declineLittle, DavidLiu, Lucylocal democracylocal wisdomLocke, JohnLombard, DenisLombokLondom School of EconomicLong, Jeffrey D.Lopez, JenniferLP3ESLSAFLSM plat merahLubarsky, Sandra B.Luhmann, NiklasLuther, MartinLutherian (reformasi)LybiaMM. Chatib BasriM. Dawam RahardjoM. Hatta (Bung Hatta)M. NatsirM. RasyidiM.M. BillahMa’ruf AminMADIAMadinahMaduraMagelangMahatir MuhammadMahfud Anwar, KH.Mahkamah AgungMahkamah Tinggi Syariah


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Mahmakah Konstitusi (MK)Mahmud AyyubMahmud ShalthoutMahmud ThahaMajalengkaMajelis Tarjih Muhammadiyahmajority ruleMajusiMakassarMaksum Ali (Kiai)Malay MoslemMalaysiaMalik ibn Anas (Imam Malik)Maliki (mazhab)Mangun (Romo)ManokwarimansûkhMansur, al- (khalifah)manthiqmaqâshid al-syarî‘ahmarginalisasi sosialMariah al-QibthiyyahMarokoMartin, DavidMarxisMarxismeMasdar F. Mas’udimashlahah al-‘âmmah, al-MasyumimaterialismeMatra (majalah)MaturidiyahMaududi, al-Mawardi, almazhabfikihMcDonaldMcDonaldizationMcIntoshMcIntyre, AlasdairMDG’s (Millenium DevelopmentGoal’s)media watchMegawatiMekahMeksikoMeraukeMerkel, AngelaMesirMill, John Stuartmillah IbarhimMiller, Robert J.Minangkabauminimal stateminimum stateminority complexminority protectionminus malummisoginismistisismeMMImobilisasi sosialmoderat secularismmoderating effectMoehammad NatsirMoh. Rajab Thayyib Erdoganmoney politic


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–monismeMonitor (Tabloid)monoteismeMonroe, MarilynMontesquieumoral argumentmoral decadencemoral handicapmoral judgementmoral obstaclemoral pluralismmoral revivalismMormonMPRmu‘âmalahMu’tasim Billah, al-Mu’tazilahMuawiyahMudji Sutrisno (Romo)Muhajirin (kaum)Muhammad AbduhMuhammad Ali (petinju legendaris)Muhammad AssadMuhammad ibn Abdul WahhabMuhammad ibn Hasan al-SyaybaniMuhammad ImarahMuhammad Salim al-AwwaMuhammad Thahir bin ‘AsyurMuhammad YunusMuhammadiyahMUIfatwa—MUIS (Majelis Ulama IslamSingapura)mujâhadahmujtahidMukhairiqMukti Alimulticultural actmulticultural policymultikulturalismemultiple affiliationmultiple identityMunawir SyadzalimuqallidMurray, John CourtneyMusa (Nabi)MushadeqMuslim AbdurrahmanMustafa KemalMustasyfâ, al-Musthofa Bisri (Gus Mus)mutawâthirMuwaththa’, al-My Forbiden FaceNNaguib al-Attasnahy munkarnaked public squareNash, ManningnâsikhNasr Hamid Abud Zayd


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Nasr, S.H.NasraniNatalnation buildingNational GuardNational University of Singapore(NUS)natural libertynatural religionNawal El-SadawiNawawi al-BantaniNaziNazismeNegara Madinahnegative immunitynegative theologyNehrunemesisi of powerneo-konservatifneo-liberalismeneopositivismeNestorianNeuhaus, John RichardNew AgeNew YorkNew York TimesNew ZealandNicholls, JohnNicholsonnihilismeNIInilai-nilai universalNizham al-MulkNKRInon-derogable rightsNorrisNTTNUnuminosumNurcholish Madjid (Cak Nur)Nurcholish Madjid MemorialLectureNuruddin Ar-RaniriNusa Tenggara Barat (NTB)Nusantaranuzûl al-Qur’ânNyepi (hari)OObama, Barackobjektivikasiofficial religionOhio UniversityOmanontologioption for the poorOpus DeiOrde BaruOrde LamaOrde Reformasiorganized religionortodoksiOsama bin Ladenotonomi daerahotoritarianisme


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–otoritas keagamaanover simplifiedPP3MPADPadangPaderi (perang)PAKEMPakistanPalestinaPANPancasilaPan-IslamismePapuaParakitriParamadinaParisParkindoparliament watchParsons, TalcottPartai IslamPartai KatolikPartai Kristen DemokratPaskah (hari)passing overpatriarkhalPaul II, JohnPaus Benediktus XVIPaus Johannes Paulus IIPaus Paulus IIPBB (Perserikatan Bangsa-bangsa)PDIPpeaceful co-existncePelita (harian)Pemberontakan para petani diBantenPemilu 2009PensylvaniaPentakostaPepsi ColaPeradilan AgamaPerang DinginPerang Dunia IPerang Dunia IIPerang SalibPerda AntimaksiatPerda HinduPerda InjilPerda SyariahPerjanjian BaruPerjanjian LamaPersatuan Ulama Seluruh AcehPersiaPersisPETAPGIphallocentrisPhilips, AnnePhillipsPhytagorasPiagam JakartaPiagam MadinahPKBPKI


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–PKNUPKSPlatoPlayboyPlotinuspluralisme—agama—sosialpluralist indifferentPMIIPMKRIPNIPNSPolandiaPolanyi, Michaelpolisemikpoliteismepolitical capitalpolitical engagementpolitical influencepolitical pluralismpolitical recognitionpolitical revivalismpolitical rightspolitical societypoliticonomicpolitisasi syariahPondok SeblakPonte, CarloPopper, Karlpositive discriminationpositive immunitypositivismeposmodernismePosporiuspos-sekularPosten, JyllanPPIMPPKIPPPPrancispredatory capitalism“preman berjubah”prior to idea of secularizationprivatisasi agamapro-domopro-existenceproses legislasiproses sosiologisProtestanProtestant family valueProtestant ReformedProtestantismePSIpuasapublic deliberationpublic justicepublic life principlespublic reasonpublic reasoningpublic religionpuritanismePWI


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Qqâdlî al-qudlâtqânûnQasim AminQatarqath‘îqishâshQiyadah, alqiyâsQomaruddin KhanQuraish ShihabQurtubi, al-Rradical mainstreamradical republicanradikalismerahmatan li al-‘âlamînRahner, KarlRamage, Douglas E.RANHAM National CommitteRasyid RidlaRawls, JohnRazi, alreformasi(gerakan)regulasi publikregulasi restriktifrelatively absoluterelativismereligionomicreligious adherentreligious declinereligious freedomreligious intimacyreligious pluralismreligious rightsreligious sciencesreligious secularismRenaissanceRepublika (harian)revolusi filsafatRevolusi Islam IranRevolusi Prancisrevolusi teknologiribâRicouerRicouer, PaulRieke Dyah PitalokaRiffat HassanRizieq ShihabRodinson, MaximeRoma KatolikRomawiRoosevelt, Franklin DelanoRousseau, Jean Jacquesrûh al-syarî‘ahRusiaRussell, BertrandRUU APPRUU Hak-hak MinoritasRUU KUB


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–SSabahSabi’inSabiliSachedina, AbdulazizSahrastani, al-Said Aqiel SyiradjSaiful MujaniSaksi YehovahsamhahSamHarrisSandel, MichaelSARASartreSassoon, A.S.Saudi ArabiaSayyed Hossein NasrSayyid QuthbSBY-JK (pemerintahan)Schacht, JosephSchillebeeckxSchleiermacherscientific communityScopes, John T.Scott, Jamessecond class citizenssecular fundamentalismsecularization as differentiationsecularization as privatizationsektarianismesekularisasisekularismesekularisme liberalSemit (agama)Sennett, Richardseparation between religion andnationseparatismeShabi’inshalawat badarShiffîn (perang)Sikhsilent majoritySimatupang, T.B.Singapurasinkretismesintesa eklektisSiti Jenar (Syekh)siyâsahSjafruddin PrawiranegaraSkandinaviaSloterdijk, PeterSmith, AdamSmith, Hustonsocial argumentsocial constructionsocial contractsocial ethicistsocial function of religionsocial humanitiessocial responsibilitysocial sciencessocial skillsociety-state distinctionsociological pluralism


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–SocratesSoehartoSoekarno (Bung Karno)soft statesosialisme—ArabSpanyolspecific historical coursespiritual argumentspiritual enlightenmentspiritual sanctionsspiritually religiousSpivak, Gayatri Chakravortysplitsing theorySTAINStar tvstate buildingstate of mindstate rebuildingstate responsibilitystate-like institutionsstate-society distinctionSteenbrink, KarlStephanstrick syarî‘a mindedstructure of lawSuara Pembaruan (harian)substansi ideologiSudansugih macak keresuicideSumarthana, Th.Sumatera BaratSumatera ThawalibSunan Gunung JatiSunan KalijagaSunan KudusSunnisupporting ideassupporting moralitySusilo Bambang Yudhoyono (SBY)Sutan Takdir Alisjahbanaswarga nunut neraka katutSwediaSwissSwiss, St.GallenSyafi’i (mazhab)Syafi’i, ImamSyafruddin PrawiranegaraSyah WaliyullahSyahrirSyatibi, Imam alsyaykhal-IslâmSydie, RASyi’ahSyriasystem of rightssyûrâ, al-TTahtawi, altajdîdtaklidTalal Asadtalfîq


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–TalibanTangerangTao Te CingTaoismetaqlîd jâmidtaqlîd mahdlîtaqlîd manhajîtaqlîd qawlîTarbawitasawufTauratTaylor, CharlesTeater Utan KayuteismeTempo (majalah)teo-demokrasiteokrasiteologi pembebasanteosentrisThaha HusainThailandthe art of compromisethe art of possibleThe Asia Foundationthe best among the worseThe City of GodThe Economistthe essence of modernismthe essence of religionthe idea of Hollythe idea of nation-statethe idea of progressThe Jakarta Postthe politics of exclusionthe politics of inclusionthe problem of good lifethe problem of justiceThe Protestan Ethicthe rise of educationThe Roles of Religionthe survival of the fittestThe Third Wavethe ultimate truthThe Wahid InstituteTheo Syafeitheological argumentTheresa (ibu)Timor LesteTimor TimurTimur TengahTKWTNIToffler, Alvintolerantoleransitotalitarianismetraffickingtransnational fundamentalismtransnational Islamic fundamentalismTrinitastruth claimTunisiaTurki MudaTurki


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–UUAN sentrisUINUIN JakartaUIN MakassarUIN Yogyakartaulama DayahUlil Abshar-Abdallaultimate truthUmar ibn Abdul AzisUmar ibn FaridUmar ibn KhattabUmayyahUMIUmmu Salamahumûru bi-maqâshidihâ, al-Uni SovietUNICEFunintended consequenceUNISBA (Universitas IslamBandung)UNISMA (Universitas IslamMalang)Universitas AirlanggaUniversitas AlighardUniversitas al-NizamiyahUniversitas Gajah Mada (UGM)Universitas Indonesia (UI)Universitas Islam Indonesia (UII)Universitas OsakaUniversitas ParamadinaUniversity of ChicagoUniversity of South CarolinaUS GovernmentUsman RoyUtomo DananjayaUtsman ibn AffanUtsmani (dinasti)UU Administrasi KependudukanUU Anti-DiskriminasiUU Anti-Pornografi dan PornoaksiUU Anti-TrafikingUU HajiUU KDRTUU KewarganegaraanUU KKRUU LSMUU Partai PolitikUU Peradilan AgamaUU Perbankan SyariahUU PerbankanUU PerkawinanUU Pidana IslamUU PNPSUU PTPPO (PemberantasanTindak Pidana PerdaganganOrang)UU WakafUU ZakatUUDUzair


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Vvalue freevan der Kroef, J.M.VatikanVietnamVoltairevon Bismarck, Ottovon HayekWWahhabiWahhabismeWahid HasyimWalby, SylviaWalisongoWalzer, MichaelWaraqah bin NaufalWashington ConsensusWashington DCWashliyah, alwatakprimordialWatson, S.Watt, JamesWatt, MontgomeryWeber, MaxWeedon, ChristWeigel, Georgewelfare statewilâyat al-faqîhwilâyat al-hisbahWilders, GeertWilson, AMWTO (World Trade Organization)YYahudiYakobitYale Divinity SchoolYale UniversityYatsribYesusYogyakartaYordanYudi LatifYunaniYusuf al-NajjarYusuf QardlawiZZaenuddin MZZaid ibn TsabitZainal AbidinZakaria, Fareedzakatzhannîzhihârzhillullâh fî al-ardlZiauddin SardarZionisZoroaster


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Credit:Edisi cetak buku ini diterbitkan pertama kali oleh LembagaStudi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Paramadina Jakarta,Januari 2010. ISBN: 978-602-95860-0-8 (No. jil. leng-kap), ISBN: 978-602-95860-1-5 (Jil. 1), dan ISBN: 978-602-95860-2-2 (jil. 2)Halaman buku pada Edisi Digital ini tidak sama dengan hala-man edisi cetak. Untuk merujuk buku edisi digital ini, Andaharus menyebutkan “Edisi Digital” atau menuliskan link-nya.Juga disarankan mengunduh dan menyimpan file buku ini dalambentuk pdf.


Yayasan Abad Demokrasi adalah lembaga nirlaba yang berkomitmenuntuk pemajuan demokrasi di Indonesia, terutama dalam kaitannyadengan tradisi keberagamaan yang menghargai nilai-nilai demokrasi,pluralisme, perdamaian, dan penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan.Lembaga ini berupaya menyebarkan seluas-luasnya ide-ide pence-rahan dan demokrasi ke khalayak publik. Juga memfasilitasi publikasi,penelitian, dan inisiatif-inisiatif lain terkait dengan isu yang sama.Juga berupaya memfasilitasi transfer pengetahuan dan pembelajarandemokrasi dari berbagai belahan dunia. Lembaga ini juga concern ter-hadap upaya membangun tradisi akademik dan intelektual, sehinggaproses demokratisasi Indonesia berjalan dalam fundamen yang kokohdan visioner.Lembaga ini juga berencana mengembangkan kader-kader pendu-kung proses pemajuan demokratisasi di Indonesia.www.abad-demokrasi.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!