11.07.2015 Views

Pergolakan Pemikiran Islam - Democracy Project

Pergolakan Pemikiran Islam - Democracy Project

Pergolakan Pemikiran Islam - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —— Daftar Isi —Kata Pengantar—viPendahuluan—xiBagian 1Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan— 1Bagian 2Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air— 195Bagian 3Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan— 272Bagian 4Pribadi yang Selalu Gelisah— 331Bagian 5Sejumlah Komentar— 370


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pendapat dan penangkapan almarhum tentang masalah-masalahyang ia pikirkan.Dalam pembicaraan-pembicaraan di Lingkaran Diskusi,memang almarhum Ahmad Wahib sering kali mengeluarkanpendapat-pendapat yang tidak biasa didengar oleh banyakorang. Terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah agama.Kesan saya pada waktu itu, almarhum sedang menghadapipergulatan pikiran yang keras dalam proses pencariannya. Halitu tidak terlalu mengherankan. Almarhum Ahmad Wahib berasaldari lingkungan agama yang terkenal sangat teguh, Madura.Dalam pendidikan, almarhum adalah mahasiswa fakultaseksakta, Fakultas Ilmu Pasti dan Alam. Sedang kegiatannyadalam gerakan mahasiswa mengantarkannya ke dalam lingkaranmasalah-masalah agama dan kemasyarakatan. Hal ini, sayarasa, mendorong almarhum untuk banyak merenung. Dan dalamrenungan-renungan yang ia lakukan itu, almarhum terlibatdalam pergulatan pikiran yang keras.Cetusan-cetusan dari pergulatan pikiran itu tanpak dansangat mewarnai catatan-catatan hariannya. Karena itu tidakmengherankan apabila banyak hal-hal yang ditulisnya cukupmembuat dahi kebanyakan orang mengkerut, lebih-lebih bagimereka yang menganggap apa yang dipersoalkannya adalahsoal-soal yang tabu dan final. Akan tetapi saya rasa, bagaimanapunkeyakinan kita masing-masing, catatan harian almarhumAhmad Wahib ini cukup mengesankan. Bahkanmungkin akan merangsang dan menggoda pikiran kita. Palingtidak, bisa memahami pergulatan pikiran seorang anakmuda yang sedang mencari. Orang boleh setuju atau menolakpikiran-pikiran almarhum Ahmad Wahib, tapi ia yang berper-Kata Pengantarix


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —awakan kecil, walau meninggal dalam usia yang masih muda,ternyata hidupnya tidak sia-sia. Dan bagi kawan-kawannya,catatan harian almarhum ini merupakan warisan yang sangatberharga.Yogyakarta, Februari 1981x<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —PendahuluanAhmad Wahib meninggal dalam usia yang masih muda.Sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi telah menabraknyadipersimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Peristiwaitu terjadi tanggal 31 Maret malam tahun 1973. Ketika ituWahib baru saja keluar dari kantor Majalah Tempo, tempat iabekerja sebagai calon reporter. Tragisnya, pengemudi motortersebut adalah seorang pemuda, justru bagian dari masyarakatyang begitu dicintai Wahib, pada siapa ia menaruh simpati danharapan demi masa depan bangsanya. Lebih dari itu, dalamkeadaan luka parah, ia ditolong dan dibawa ke Rumah SakitGatot Subroto justru oleh beberapa orang gelandangan, bagiandari masyarakat yang beroleh simpati dan perhatian Wahibkarena penderitaan mereka. Akan tetapi keadaan Wahib rupanyabegitu parah, sehingga dari RSGS ia segera dibawa denganambulans ke RSUP. Namun semua usaha itu pun sia-sia. Dalamperjalanan Wahib menghembuskan nafasnya yang terakhir.Almarhum dilahirkan pada tanggal 9 November 1942 dikota Sampang, Madura. Lingkungan pergaulan Wahib di masakanak-kanak dan remajanya adalah lingkungan agama yangkuat. Dan ayahnya, pak Sulaiman, tergolong pemuka agamaxi


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —di daerahnya. Wahib sendiri, walaupun tidak bisa dikatakanpernah menyantri, sempat mengecap kehidupan pesantren.Keterbukaan ayahnya—seperti tertulis dalam catatan hariannya—memberinyakebebasan untuk memasuki jalur pendidikanumum. Setamat belajar di SMA Pamekasan bagian ilmupasti tahun 1961, Wahib meneruskan pelajaran ke Yogyakarta.Ia memasuki Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) UniversitasGadjah Mada. Tapi sayang, meskipun sudah mencapai tingkatakhir, Wahib tak sampat merampungkan studinya.Pada tahun-tahun pemulaan di Yogya, Wahib tinggal disebuah asrama Katolik, Asrama Mahasiswa Realino. Namundalam kegiatan kemahasiswaan ia memasuki Himpunan Mahasiswa<strong>Islam</strong> (HMI). Dalam organisasi mahasiswa ini ia tidakpuas hanya sebagai anggota biasa. Suasana ketika itu memangmembuat anggota-anggota HMI memiliki militansi yang tinggi.Wahib adalah aktivis yang menonjol. Kemenonjolannya, baikdalam kegiatan maupun dalam pemikiran, membuat karirnyadalam HMI meningkat hingga ia masuk ke dalam ”lingkunganelite” HMI Yogyakarta dan kemudian juga HMI Jawa Tengah.Pada waktu itu di kalangan HMI masih terdapat perbincanganyang ramai tentang berbagai masalah, misalnya persoalan Masyumi,moderenisasi, orientasi ideologi lawan orientasi program,dan sebagainya, baik di dalam maupun dengan kalanganluar HMI.Diskusi-diskusi yang berjalan di lingkungan HMI Yogyamaupun Jawa Tengah, secara formal atau informal, pada mulanyaberkisar seputar masalah-masalah politik praktis seperti bagaimanapendirian dan sikap HMI terhadap usaha rehabilitasiMasyumi, terhadap usaha Bung Hatta untuk mendirikan Partaixii<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Demokrasi <strong>Islam</strong> Indonesia, terhadap usaha untuk menyelenggarakanKongres Umat <strong>Islam</strong> Indonesia, dan beberapa persoalanlagi. Perkembangan pembicaraan dalam diskusi-diskusi, mautidak mau, menyentuh persoalan-persoalan yang lebih mendasarterutama persoalan ideologi, misalnya apakah yang dimaksuddengan ideologi <strong>Islam</strong>, atau apakah <strong>Islam</strong> itu suatu ideologi;bagaimana seharusnya merumuskan ideologi politik umat<strong>Islam</strong> Indonesia; bagaimana kedudukan <strong>Islam</strong> di hadapkan denganideologi-ideologi “sekular” seperti demokrasi, sosialismedan Marxisme, atau yang lain lagi. Dengan sendirinya diskusidiskusiitu akhirnya menyangkut masalah pemahaman tentang<strong>Islam</strong> itu sendiri. Walaupun Ahmad Wahib termasuk pendatangbaru dalam “lingkungan elite” HMI waktu itu, ia juga terlibatdalam diskusi-diskusi berat tersebut. Wahib tergolong di antarakawan-kawan yang berani berpendirian dan bersikap berbeda,malah terkadang berlawanan dengan pendirian dan sikap umatatau lebih tepat golongan <strong>Islam</strong> pada umumnya. Bagi Wahibdan kawan-kawannya, komitmen muslim, pertama-tama danterutama adalah pada nilai-nilai <strong>Islam</strong>, dan bukan pada organisasi“<strong>Islam</strong>” ataupun tokoh “<strong>Islam</strong>” tertentu.Di luar lingkungan HMI, di Yogya juga terdapat “LingkaranDiskusi Limited Group” yang di pimpin oleh Dr. Mukti Ali.Wahib merupakan salah seorang anggota tetap dari LingkaranDiskusi ini. Di sini pun terjadi diskusi-diskusi yang kadang-kadangmenyangkut masalah-masalah dasar dalam agama. Pembicaraan-pembicaraanyang terjadi acapkali mendorong oranguntuk merenung dan mengadakan pemikiran ulang, malahmungkin mempertanyakan kembali apa yang dipahami selamaini tentang soal-soal keagamaan.Pendahuluanxiii


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Lingkungan pergaulan Wahib di luar HMI cukup luas, baikdi kalangan sebaya maupun di kalangan orang tua. Di kalanganorang tua dapat disebutkan beberapa nama seperti A.R. Baswedan,seorang tokoh <strong>Islam</strong> eks Masyumi, Ki Muhammad Tauchid,seorang tokoh Taman Siswa, Samhudi, seorang anggotaAhmadiyah Lahore yang meyebal dan mempunyai pandangankeagamaan yang agak unik, Karkono, Berkas anggota Konstituantedari PNI yang akhirnya keluar dari PNI. Sedangkan dikalangan muda bisa disebutkan kawan-kawan akrab Wahib sepertiWajiz Anwar, Ashadi Siregar, Tahi Simbolon, Aini Chaliddan beberapa kawan lagi.Di antara orang-orang yang kerap kali Wahib kunjungi sayaingin menyebutkan dua orang. Pertama, A.R. Baswedan, seorang“pemberontak” di masa mudanya. Ia mendirikan PartaiArab Indonesia di tahun tigapuluhan, kendatipun menimbulkantantangan dan cemoohan di kalangan keturunan Arab. Halitu mungkin yang menyebabkan A.R. Baswedan cukup akrabdengan anak muda seperti Wahib. Wahib boleh dibilang salahseorang anak muda kesayangannya. Ia sendiri tentu tidak selalusepaham dengan pikiran-pikiran Wahib, tapi ia yakin bahwaWahib jujur pada pikiran-pikirannya.Orang kedua yang ingin saya sebutkan adalah almarhumWajiz Anwar, dosen filsafat di IAIN Sunan Kalijaga. Ia adalahalumi Pondok Modern Gontor, kemudian melanjutkan pelajarannyadi Mesir dan akhirnya “minggat” ke Jerman karenatak puas belajar di Mesir. Di Jerman ia memperdalam filsafat.Wajiz seringkali mengeluarkan pendapat-pendapat yang mengodapikiran. Ia pernah menulis: Agama di tahun 2000. Iapegagum Bung Karno. Baginya Bung Karno adalah “mujad-xiv<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —did <strong>Islam</strong> terbesar di abad ke-XX” ini. Menurutnya apa yangdilakukan Bung Karno tidak kalah dengan apa yang dilakukanpemikir-pemikir Muslim dahulu. Kalau pemikir-pemikirMuslim dahulu berhasil mengawinkan filsafat Yunani denganajaran-ajaran <strong>Islam</strong> maka Bung karno berhasil mengawinkanMarxisme dan <strong>Islam</strong>. Wahib dan saya sering datang ke rumahalmarhum Wajiz dan kami terlibat dalam diskusi yang hangatselama berjam-jam.Tahun 1971 Wahib hijrah ke Jakarta. Di samping mengikutikuliah-kuliah filsafat di STF “Driyarkara” dan berbulanbulanbergulat mencari pekerjaan, Wahib aktif pula mengikutidiskusi-diskusi yang “bermarkas” di rumah Dawam Rahardjo,seorang sarjana ekonomi lulusan UGM dan bekas aktifis HMIdi Yogya. Mereka yang sering hadir dalam diskusi-diskusi tersebutadalah Nurcholish Madjid (sarjana sastra Arab lulusanIAIN, seorang tokoh HMI), Dawam Rahardjo, saya, Wahib,Amidhan (lulusan IAIN, aktifis HMI), Wassil (insinyur lulusanITB), Usep Fathuddien dan Utomo Danandjaja (kedua orangterakhir ini adalah “gembongnya” Pelajar <strong>Islam</strong> Indonesia aliasPII). Sebelum akhir hayatnya, sebulan sebelum ia meninggal,Wahib sempat menyusun kerangka tema diskusi yang agak menyeluruh,meliputi masalah-masalah teologi, kebudayaan, politik,pendidikan dan proses pembaharuan pemahaman <strong>Islam</strong>.Untuk memperlihatkan betapa luasnya wilayah permasalahanyang terpikirkan oleh Wahib, saya ingin mengutip kerangkatema yang ditulisnya.Tentang masalah teologi ia mengemukakan sembilan tema,yakni: 1. Karya Tuhan di dunia dalam tinjauan teologis, mencakupmasalah-masalah: Tuhan, manusia dan alam, sunnatul-Pendahuluanxv


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —lah, ayatullah dan wahyu Allah; Wahyu sebagai masalah teologi;Konsep <strong>Islam</strong> tentang perkembangan sejarah; Masalah transendensiTuhan dan pernyataan tindakanNya dalam kehidupannyata; Manusia sebagai khalifah dan sekularisasi sebagai problemteologi; Apakah alam itu melulu obyektif? (empirisme danintelektualisme); Manusia sebagai pemberi arti pada alam, danlain-lain. 2. Konsep manusia dalam <strong>Islam</strong>, mencakup masalahmasalah:<strong>Islam</strong>, teosentris atau antroposentris; Inti <strong>Islam</strong>, tertentukahatau apa?; Keselamatan (salvation); Tugas dari wewenangmanusia: Manusia sebagai pribadi sosial; Pikiran-pikiranIqbal tenteng Ego, Cita manusia sempurna dan sifat supermanusiawiTuhan; Manusia sebagai manusia dalam teologi <strong>Islam</strong>,dan lain-lain. 3. Kedudukan Qur’an dan Sunnah dalam memahami<strong>Islam</strong>, mencakup masalah-masalah: Hadist dan SunnahQur’an sebagai puisi; Universalitas dan kondisionalitas yangmungkin ada; Kemampuan atau keterbatasan penafsiran; Ukuranpenentuan yang tetap dan yang boleh berubah; Mengembalikandan menghidupkan gairah ketuhanan dalam memahami<strong>Islam</strong>; Kemampuan hati nurani dan kelemahannya. 4. Evolusialam dan manusia, mencakup masalah-masalah: KesertaanTuhan dalam evolusi; Evolusi ragawi dan evolusi masyarakat;Evolusi pribadi manusia (dalam anggapan); Arah evolusi dalampemikiran iman; Ketuhanan, dulu, kini dan nanti; Pengalamanbatin yang ilahi, dan lain-lain. 5. Atheisme, mencakup masalah-masalah:Atheisme dan antitheisme; Yang ilahi dan eksistensial;Religiusitas dan mistik dalam beragama; Antara imandan lembaga-lembaga keberagamaan; Kemungkinan dialog denganatheisme; Penempatan Allah dalam kekosongan (transendendan materi); Mungkinkah berdialog dengan antitheisme?;xvi<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pelembagaan Tuhan dan penuhanan lembaga; dan lain-lain. 6.Perkembangan teologi di kalangan Kristen mencakup masalah-masalah:Hasil-hasil Konsili Vatican II; Teologi perubahan;Teologi pembangunan di kalangan Protestan; Sumber-sumberteologi mereka; Keuntungan dan bahaya kemajuan-kemajuanteologi; Teologi menggantikan iman?, dan lain-lain. 7. Sikapteologis pada agama-agama non-<strong>Islam</strong>, mencakup masalahmasalah:Makna <strong>Islam</strong> dan non-<strong>Islam</strong>; Dialog teologis antara<strong>Islam</strong> dan non-<strong>Islam</strong>; Akibat-akibat pada pemahaman dakwah,dan lain-lain. 8. Iman pada yang ghaib, mencakup masalahmasalah;Apa yang dimaksud dengan ghaib; Malaikat, Jin danSetan; Adam, Hawa, surga dan neraka; Arti kehidupan setelahmati (akhirat) dalam kehidupan iman; Masa depan penafsiranpenafsiran,dan lain-lain. 9. Masalah jamaah dalam sifat individual<strong>Islam</strong>, mencakup masalah-masalah: Maksud <strong>Islam</strong> sebagaiagama pribadi; Masih benarkah atau adakah konsep sesamamuslim, umat <strong>Islam</strong>, dan lain-lain; Bagaimana letak arti <strong>Islam</strong>dalam hidup jamaah; Bagaimana dengan solidaritas <strong>Islam</strong>; Bagaimanamenundukan semua itu dalam prinsip ontologi; Agamapolitis dan agama rohani.Mengenai masalah kebudayaan Wahib mengemukakan enamtema, yakni: 1. Politik kebudayaan di Indonesia (suatu usahamencari) mencakup masalah-masalah: Antara warisan kulturaldan kebutuhan masa depan; Menemukan jalur dengan tradisidan memperkembangkannya; Kebudayaan Barat, Westernisasidan masalah-masalahnya; Managemen kebudayaan dalam masyarakatmajemuk; Konflik kultural generasi muda dan tua; Tugaspemerintah, swasta dan universitas; dan lain-lain. 2. Variasikebudayaan di Indonesia, mencakup masalah-masalah: Akar-Pendahuluanxvii


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —akar perbedaan kebudayaan; Adakah konsep santri, abangantetap berlaku dan berguna; Kaitan agama dan kebudayaan danakibat-akibatnya; Kebutuhan masyarakat majemuk; dan lainlain.3. Persiapan ke zaman depan, mencakup masalah-masalahfuturologi: Perkembangan-perkembangan baru dalam menyongsongmasa depan; dan lain-lain. 4. Konsep “orang kita”dan “orang mereka” dalam masyarakat <strong>Islam</strong>, mencakup masalah-masalahsyarat-syarat atau ciri-ciri disebut “orang kita” dan‘’orang mereka”, dan akibat-akibat penamaan tersebut dalam sikap-sikapsosial dan politik; Sumber timbulnya penggolongan;Kemungkinan pemecahan persoalan tersebut; dan lain-lain. 5.Keistimewaan bahasa Arab. 6. Kekhususan bahasa (ayat) Al-Qur’an.Untuk masalah politik Wahib mengumumkan sembilantema yakni: 1. Hubungan agama dan negara, mencakup masalah-masalah:Perbedaan agama dan aturan-aturan negara; Keluhuranagama; Bagaimana kehidupan agama mempengaruhi kehidupannegara dan sebaliknya; Tepatkah rumusan: ‘’agama terpisahdari negara”, Meninjau Negara Madinah pimpinan NabiMuhammad; Rumusan yang tepat dan relevan untuk Indonesiakini; dan lain-lain. 2. Politik keagamaan Pemerintah dan tugasDepartemen Agama, mencakup masalah-masalah: Negara berdasarke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam masyarakat majemuk;Peranan negara dalam membina insan berke-tuhanan; Atheismedalam negara berdasar ke-Tuhanan Yang Maha Esa; Bisakahperanan negara (secara politis) didekati dari sekedar dari pasal29 UUD 1945; Konsekuensi semuanya pada tugas DepertemenAgama; Konsekuensi pada eksistensi Departemen Agama; Merumuskansuatu politik keagamaan dalam arti luas. 3. Politikxviii<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —“<strong>Islam</strong>” pemerintah, mencakup masalah-masalah: pergumulandan kesulitan-kesulitan batin umat <strong>Islam</strong> dalam proses perkembanganmasyarakat; Beban-beban psikologis dan politis pemerintah;Bagaimana ABRI memandang umat <strong>Islam</strong>; Kecurigaanantara lingkungan sosio-kultural; Mencari suatu politik “<strong>Islam</strong>”yang realistis; dan lain-lain. 4. Masalah Agama, ideologi-ideologikemasyarakatan dan partai/ormas, meliputi masalah-masalah:Dekadensi agama sebagai ideologi; ideologi-ideologi dan kotakkotaksosio-kultural; Pengaruh agama; Bagaimana menemukanstruktur kepartaian yang relevan (realistis tapi terbukti bagiperkembangan kultural); dan lain-lain. 5. Kekaryaan ABRI dankemungkinan-kemungkinannya, mencakup masalah-masalah:Sumber-sumber politik timbulnya kekaryaan; Bagaimana mencegahkekaryaan tersebut dari militerisme; Bagaimana umat <strong>Islam</strong>harus menempatkan diri: Persoalan-persoalan yang belumterpecahkan dalam hal kekaryaan ABRI; Keperluan-keperluankekaryaan pada koalisi (dan dengan siapa). 6. Hubungan internasionaldan perkembangan politik di Indonesia, mencakupmasalah-masalah: Perobahan-perobahan dalam konstelasi politikdunia; Kecenderungan-kecenderungan baru di Asia Tenggaradan Pasifik; Kepekaan sistem politik Indonesia pada perobahan-perobahandi luar; Pergeseran-pergeseran dalam strukturkekuasaan dalam persoalan tersebut; Dugaan kedepan danakibat-akibatnya; 7. Kaum intelektual dalam politik, mencakupmasalah-masalah: Missi intelektual dalam politik; Intelektual dinegara-negara maju dan negara-negara miskin; Masyarakat danpenguasa dalam pandangan kaum intelektual Indonesia; Kelompok<strong>Islam</strong> dan Nasionalis serta kehidupan intelektual di dalamnya;Pembinaan pusat-pusat kehidupan intelektual di dalamnya;Pendahuluanxix


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pembinaan pusat-pusat kehidupan intelektual; Adakah perananmereka dalam politik sekedar mitos-mitos palsu; Intelektual dalamABRI dan sampai di mana kepercayaan ABRI pada kelompokintelektual (teknokrat); Benarkah intelektual Indonesia merupakansuatu kelompok politik; dan lain-lain. 8. Muslim Indonesiamemandang persoalan-persoalan <strong>Islam</strong> di luar Indonesia,mencakup masalah-masalah: Sampai di mana solidaritas supranasionalmerupakan hal yang wajar, dan bisakah meniadakankemungkinan kesetiaan ganda; Betulkah itu perintah <strong>Islam</strong> atausekedar dibawa tradisi; Atribut-atribut <strong>Islam</strong> dan sikap-sikap <strong>Islam</strong>i;Kasus Palestina dan Bangladesh; Apa ukuran bagi pembinaanseorang/organisasi <strong>Islam</strong> Indonesia dalam masalah-masalahkelompok/negara <strong>Islam</strong> di luar Indonesia; dan lain-lain. 9.Tugas seorang muslim dan kelompok politik <strong>Islam</strong> dalam politik,mencakup masalah-masalah: Seorang muslim memandangpemerintah; Seorang muslim memandang kelompok-kelompoksosial dan politik dalam masyarakat; Adakah kelompok <strong>Islam</strong>santri merupakan kelompok interes; Adakah interes politikbersama dari 85 persen rakyat Indonesia yang beragama <strong>Islam</strong>(sampai di mana?); Aspirasi-aspirasi politik siapa dan apa yangharus dibawakan parpol-parpol <strong>Islam</strong>; Hubungan dengan tugastugaspemerintah dan pendewasaan umat.Sedangkan mengenai masalah proses pembaharuan pemahaman<strong>Islam</strong>, Wahib mengemukakan lima tema, yakni: 1. Kelemahanide pembaharuan, mencakup masalah-masalah: Kelemahan-kelemahandi bidang konsistensi; Keberanian berfikirdan daerah-daerah pemikiran yang belum dijamah; Adakahkecenderungan pada rasionalisme?; Merumuskan dengan lebihtepat persoalan-persoalan; Kepercayaan pada manusia dan ke-xx<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mungkinan-kemungkinannya; Adakah bahaya “<strong>Islam</strong> menurutcitra manusia” dan bukannya “<strong>Islam</strong> sepanjang citra Tuhan”?;Kejujuran intelektual; Jerat “egoisme manusiawi”; dan lain-lain.2. Kelemahan pada sikap-sikap praktis eksponen-eksponenpembaharu, mencakup masalah-masalah: Kesan disengagementatau pemutusan hubungan dengan pemimpin-pemimpin lamadan untung ruginya; Untung rugi pemberontakan terbuka padapemimpin-pemimpin lama; Kualifikasi tradisional dan bagaimanaseharusnya melemparkan ide-ide baru; Mendudukkanpersoalan bagi keberhasilan cita pembaharuan; Penyebaran danpematangan ide; Kredibitas oleh umat; dan lain-lain. 3. Mencarisuatu politik pembaharu, mencakup masalah-masalah: Pangkaltolak arah pembaharuan pemahaman <strong>Islam</strong>; Inti dari pemahamanakibat pembaharuan; Perlukah dibentuk pemahamankelompok atau dibiarkan bersifat individual; Perobahan pandanganterhadap agama dan inplikasi sosial politiknya; Masalahoperasional penyebaran ide (bebas individual atau melembaga);Sekedar pemberontakan kultural berdasar renungan-renunganontologis ataukah sekaligus gerakan yang cukup terorganisir;Masalah pematangan ide (diskusi-diskusi jurnal, komunikasidengan pusat-pusat riset); Masalah hubungan dengan lembaga-lembagailmiah <strong>Islam</strong>, ormas-ormas <strong>Islam</strong>, parpol-parpol<strong>Islam</strong>, tokoh-tokoh <strong>Islam</strong>, ulama-ulama <strong>Islam</strong> dan mereka yangnon-<strong>Islam</strong>; Hubungan dengan pemerintah dan aktifitas-aktifitaspembaharuan di luar <strong>Islam</strong>, dan usaha-usaha pembaharuanpada umumnya; Metode penyebaran (bertahap dan langsung,“image” pemikiran-pemikiran teologis ataukah “image” pemikiran-pemikiransosial politik, atau “image” pemikiran-pemikirankultural ataukah “image” gerakan urakan). 4. Pembaha-Pendahuluanxxi


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ruan sebagai proses kebudayaan, mencakup masalah-masalah:Perobahan sikap manusia terhadap kehidupan; Agama sebagaifenomena kenudayaan; Agama di masa depan dan problemproblemnya;Kehausan rohani yang abadi dan bentuknya yangberubah serta tantangan bagi agama-agama masa kini; Kewaspadaanakan akses sekularisasi. 5. Belajar dari kekurangan-kekuranganpembaharuan terdahulu, mencakup masalah-masalah:Sebab-sebab ideal dan sosiologis dari stagnasi kepembaharuanMuhamadiyah: Kelemahan-kelemahan ide pembaharuan olehMuhammadiyah/Masyumi; Studi <strong>Islam</strong> di pusat-pusat risetArab dan non-Arab; Menhindari kelemahan-kelemahan institutionalyang menutup kemungkinan perubahan sebesar apapun; Menyadari keterbatasan sosiologis yang ada sekarang, danmencari peluang-peluang pemecahannya.Itulah sebagian tema-tema yang disusun Wahib untuk didiskusikan.Dan meskipun ia kemudian tak hadir lagi di forumdiskusi, Wahib telah meninggalkan sesuatu yang berharga. Iatelah mulai. Ia telah memetakan sesuatu untuk dilanjutkan, bukanhanya oleh teman-temannya segenerasi tapi juga oleh generasiyang berikutnya. Wahib adalah lukisan yang belum selesai.Di antara kawan-kawan, saya termasuk orang yang sangat dekatdengan Ahmad Wahib. Kami sering berdiskusi berdua sejak iamasuk ke lingkungan elite HMI Yogya hingga akhir hayatnya.Dari persahabatan dari pergaulan yang erat itu saya tahu bahwaia selalu merekam pikiran-pikirannya dalam catatan harian.Tanpa setahunya saya sering membacanya. Wahib sendiri tidakpernah dengan sengaja memperlihatkan catatan hariannya.Oleh karena itu, ketika Saudara Amidhan dengan suara terputus-putusmemberitahukan berita duka tentang kematian Wa-xxii<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —hib pada dinihari tanggal 1 April 1973, saya langsung teringatpada catatan harian almarhum. Amidhan datang bersama NurcholishMadjid yang seingat saya terdiam tak bisa bersuara.Ketika saya bersama keluarga almarhum dan beberapa temandari Tempo membuka kamar yang disewanya di sebuahgang sempit di belakang Kebon Kacang, catatan harian yangsaya incer itu sudah tersusun rapi. Aneh sekali, seakan-akanWahib sudah mempersiapkannya. Juga tulisan-tulisannya sudahberbundel dengan baik dalam beberapa map. Dengan seizin pihakkeluarga catatan harian Wahib beserta tulisan-tulisannyaitu saya bawa dan simpan. Catatan hariannya sendiri terdiridari 17 buku tebal dalam tulisan tangan.Baik Saudara Syu’bah Asa maupun Saudara Dawam Rahardjodan juga teman-teman lain ingin melihat catatan harianWahib terbit, bukan karena Wahib adalah orang yang dekatdengan mereka, tapi mereka tahu peran yang telah dimainkanWahib selama beberapa tahun dalam suatu kelompokpembaharuan. Saya sendiri berpendapat begitu pula. Wahib,yang dalam kelompok pembaharuan lebih merupakan “orangbelakang layar” atau “actor intellectualis”, tak begitu dikenalumum. Kerena pembaharuan pemahaman <strong>Islam</strong> itu bermuladari dalam tubuh HMI, maka kemudian fungsionaris HMIlahyang lebih dikenal. Sebagai pemikir muda yang munculhanya pada forum-forum terbatas, Wahib terlupakan. Bahkanbertahun-tahun setelah ia meninggal, orang tak pernahmenghubungkan proses pembaharuan pemahaman <strong>Islam</strong> dengannama Wahib. Saya pikir, demi proses pembaharuan yangmemang belum selesai, catatan harian Ahmad Wahib punyaarti penting. Catatan ini penting dilihat dari segi kepenting-Pendahuluanxxiii


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —aan pengkajian masalah keagamaan dan perubahan sosial diTanah Air kita ini. Di samping itu saya ingin menyebut duaorang sarjana luar yang telah menulis tentang gerakan pembaharuan<strong>Islam</strong> yang telah kita singgung di atas. Mereka adalahProfesor Bolland 1 dari Negeri Belanda dan Dr. Kamal Hassan 2dari Malaysia. Sungguh disayangkan, dalam tulisan merekayang tebal-tebal itu, nama Wahib terlupakan sama sekali. Tapisyukurlah, profesor Bolland kemudian bermaksud memperbaikikembali karya tentang <strong>Islam</strong> yang telah ditulisnya itu. Bagisaya sendiri, ada semacam desakan untuk cepat-cepat mengusahakanpenerbitan catatan harian tersebut agar khasanahkepustakaan kita dalam jenis ini bertambah.Buku harian Wahib bermula dangan catatan pengalamannyaketika tinggal di Asrama Realino (14 September 1962).Pada bulan September itu Wahib menulis dengan baik sekali(tanggal 14, 18, 30). Dia menulis tentang bagaimana dia mencatat“anak-anak <strong>Islam</strong>” di asrama Katolik itu (mereka yang kemesjid tiap Jum’at); dia juga menulis kesannya setelah nontonfilm Alexander The Great (di sini pandangannya sebagai seorangmuslim tampak); dia menulis tentang pemeran arsitekturBrazilia, yang lantas dihubungkan dengan gagasannya tentangarsitektur <strong>Islam</strong>. Tetapi setelah itu Wahib memasukan konsepkhotbah yang dibuatnya untuk temannya Chairman (sekitar 8halaman), kemudian mencatat buku-buku yang harus dibelinyasebagai mahasiswa FIPA, selanjutnya ia mencatat judul-judulartikel dalam majalah Gema <strong>Islam</strong>, Al-Jamiah dan lain-lain1B.J. Bolland, The Struggle of <strong>Islam</strong> in Modern Indonesia, the Hague, 1971.2Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectuall Responses to ‘New Order’Modernization in Indonesia, Kuala Lumpur, 1980.xxiv<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang diklasifikasikan dengan baik. Kita juga mendapatkan catatannyatentang hari terakhirnya “bermukim” di asrama Realino(31 Oktober 1964) termasuk pesan-pesan dari Bruder VanZon, Romo Stolk, Romo Willenborg dan Romo De Blot (kesemuanyadari Ordo Jesuit).Tak banyak yang ditulis Wahib pada tahun-tahun 1962,1963, 1964 dan 1965, meskipun beberapa memang pantas disertakandalam buku yang kami rencanakan. Mulai tahun 1966Wahib banyak mencatat renungan-renungannya terutama dalammasalah keagamaan dan politik, tetapi ia mencatat hasilrenungannya itu kadang-kadang hanya dalam 4-5 kalimat. Dansekali-sekali kita temui renungannya yang agak panjang, tapikurang jelas arahnya dan kaitannya, sehinga sulit kita tangkap.Namun dapat diambil kesimpulan bahwa sejak 1966 Wahibmulai berikhtiar, berpikir keras, mencoba merumuskan renungannya.Apa yang telah dicatat Wahib mulai 1962-1965 terlalusedikit untuk diambil. Sedang yang ditulisnya antara 1966-1968masih terputus-putus uraiannya.Lain sekali dengan periode 1969 (atau akhir 1968) sampai1973. Apa yang ditulisnya begitu berisi dan terumuskan rapi.Bahkan bagian-bagian tertentu amat sayang kalau dibuang,meskipun untuk diambil mesti “dipermak” dulu dengan bantuantulisan-tulisan Wahib yang berupa makalah atau artikel disurat kabar yang kebetulan sejalan dangan apa yang ditulisnyasebagai catatan harian. Perlu juga diketahui bahwa Wahib memangkurang mencatat renungannya secara lebih terurai sekitartahun 1972 sampai Maret 1973. Boleh jadi, sebagaimana jugadiakuinya dalam catatan hariannya, pada masa itu waktunyaPendahuluanxxv


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —habis tersita oleh pekerjaannya sebagai calon reporter di majalahTempo.Catatan harian Wahib semula berupa tulisan tangan dansetelah diketik kembali menjadi 662 halaman. Pengetikan inidikerjakan oleh Saudara Mufti Madjidi, salah seorang yang terbiasadengan tulisan tangan Wahib sejak mereka sama-samadl IPMI Yogya. Dari 662 halaman itu bagian sebelum 1969 dibuang,kecuali satu dua pada akhir 1968. Catatan Wahib setelah1968 dipilih, dipotong, dirapikan dan kemudian dibagi dalamempat bab. Catatan itupun diberi judul-judul agar memudahkanpembaca menangkap pokok yang ditulis Wahib. Seluruhproses penyuntingan ini dilakukan oleh Saudara Ismed Natsir.Atas kerjasama Saudara Mufti Madjidi dan Saudara IsmedNatsir saya menyampaikan terimakasih. Juga ucapan terima kasihbuat Saudara Ibnu Machlad, adik kandung almarhum yangsempat membaca naskah ini dan dengan segala senang hati setujuuntuk diterbitkan. Kepada penerbit LP3ES saya sampaikanpula terimakasin yang tiada terhingga. Tanpa kesediaan LP3ESuntuk menerbitkan catatan ini, sewindu setelah meninggalnyaAhmad Wahib, catatan harian ini boleh jadi merupakan “bengkalai”yang selalu akan tertunda dari tahun ke tahun.Jakarta, 17 Februari 1981Djohan Effendixxvi<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bagian 1Ikhtiar MenjawabMasalah Keagamaan


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Antara Program dan Cita-citaKita orang <strong>Islam</strong> belum mampu menterjemahkan kebenaranajaran <strong>Islam</strong> dalam suatu program pencapaian. Antara ultimatevalues dalam ajaran <strong>Islam</strong> dengan kondisi sekarang memerlukanpeterjemahan-penterjemahan. Dan ini tidak disadari. Disitu mungkin kita akan banyak berjumpa dengan kelompokpragmatisme, tapi jelas arahnya lain. Karena seperti itulah kitamenjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha pencapaiandan cenderung eksklusif.Penolakan kita terhadap progam oriented, sesungguhnyabersumber dari ketidakmampuan kita untuk berlomba dalamprogram secara tak langsung. Ini jelas menunjukkan betaparendahnya kemampuan terjemah kita. Akibatnya kita hanyaterpaku pada cita-cita akhir, tapi tidak ada sama sekali padausaha atau program pencapaian. Bahkan menurut Iqbal, <strong>Islam</strong>itu adalah mementingkan karya dan bukan cita-cita. Tak bisadisangkal, realita selalu berubah dan berkembang. Perjuangankita menjadi semacam emosional dan sloganistis.17 Januari 19692


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pemahaman <strong>Islam</strong> yang DinamisWalaupun kita mengatakan diri kita sebagai penganut <strong>Islam</strong>,belum tentu bahwa pikiran kita telah berjalan sesuai dengan<strong>Islam</strong>. Sering dengan tidak terasa kita telah berpikir sejalandengan ide-ide lain. Saya pikir hal ini disebabkan oleh kevakumanfilsafat <strong>Islam</strong>. Akibatnya kita cuma menjadi muslimemosional.Saya pikir <strong>Islam</strong> itu statis, sedang pemahamannya sosiologisdinamis. Maka das Sollen: filsafat <strong>Islam</strong> itu universal dan abadi;das Sein: berubah-ubah, yang menunjukkan bahwa konsepfilsafat <strong>Islam</strong> tersebut belum sempurna. Tapi ini tidak apa,kita berusaha sedekat mungkin pada yang smpurna. Karenaitu tidak apa, ada filsafat menurut Al Maududi, menurut yanglain-lain. Kesamaan dalam pendapat dalam berbagai ruang danwaktu sukar didapat, walaupun seharusnya begitu. Itu tidakapa. Biar. Tapi kalau kita tidak setuju itu, mana filsafat <strong>Islam</strong>menurut kita sendiri? Kita sendiri kalangan pemikir-pemikirmuda <strong>Islam</strong>? Saya pikir ini sama saja masalahnya dengan agamaAllah. Das Sollen: Hanya satu agama. Das Sein: macam-macamagama. Tiap-tiap agama harus merasa bahwa dialah agamaAllah. Dialah yang universal dan abadi.Kalau pemahaman itu berubah, bukan karena obyeknyaberubah tapi karena subyeknya atau otak di kepala itu yanglain atau karena otak yang mengamati obyek itu yang berbeda.Tapi ini tidak boleh disengaja. Memang ada unsur subyektivitas.Tapi subyektivitas di sini tidak boleh disengaja. Dan begitupentingnya filsafat <strong>Islam</strong> yang kita masalahkan ini, saya membayangkanstatus filsafat <strong>Islam</strong> itu semisal dirigent dalam suatuIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 3


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —paduan suara instrumental yang mengatur semua instrumen itudalam suatu harmoni.Terus terang saya kurang setuju dengan orang-orang yangberkata bahwa sumber dari <strong>Islam</strong> itu tiga: Qur’an, Sunnah danakal. Saya pikir hanya dua yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Bilaakal dimasukkan dalam deretan itu, menjadi tidak proporsional.Akal di sini bukan sebagai sumber, tapi sebagai alat untukmenggali kedua sumber tadi. Apa konsekuensinya bila akal dipakaisebagai alat dan bagaimana kalau sebagai sumber? Kalaudipakai sebagai alat, karena akal itu macam-macam, sumberpun macam-macam, walaupun dalam ruang lingkup Qur’andan Hadist, maka akan timbul macam-macam <strong>Islam</strong>. Dan bilaakal dipakai sebagai sumber, maka segala sesuatu yang merupakanproduk akal yang kita rasa tak bertentangan denganQur’an dan Hadist, lalu bernama <strong>Islam</strong>. Akibatnya membuatrumah: <strong>Islam</strong>, sembahyang: <strong>Islam</strong>; naik sepeda: <strong>Islam</strong>. Ini menunjukkankurang diferensiasi. Dan malahan menyulitkan pemikiran-pemikirankita selanjutnya, mana yang telah ditentukanTuhan dan mana yang disesuaikan dengan akal kita. Sayakira kita harus membedakan antara <strong>Islam</strong>—saya pakai sebagaikata benda, yang identik dengan ajaran—dengan <strong>Islam</strong>istis yangberarti sesuai atau tidak bertentangan atau senafas dengan ajaran<strong>Islam</strong>.Apakah lantas kita menyerah semata-mata pada akal sehatdalam masalah-masalah dunia tanpa minta pertolongan darisumber-sumber <strong>Islam</strong>? Saya kira tidak demikian. Akal sehatbelum tentu menghasilkan yang sehat (baca: benar). Akal sehatitu bermacam-macam, sehingga kita sukar menentukan akalsehat mana yang benar. Akal saya ini, sebagai contoh, masih4 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bisa dikelabui oleh akal-akal lain dalam verifikasi kebenaran.Di waktu Prof. Driyarkara memberikan argumentasi bahwainti pancasila itu gotong-royong, aku membenarkannya sebagaihal yang rasional. Waktu kemudian Prof. Driyarkara mengkritikhabis-habisan pemerasan-pemerasan terhadap pancasila,juga aku membenarkannya sebagai suatu hal yang rasional. Jadibagaimana kalau diserahkan pada akal hal-hal seperti inti daridasar negara itu.18 Maret 1969Kebebasan BerpikirKadang-kadang hatiku berpendapat bahwa dalam beberapa halajaran <strong>Islam</strong> itu jelek. Jadi ajaran Allah itu dalam beberapa bagianjelek dan beberapa ajaran manusia, yaitu manusia-manusiabesar, jauh lebih baik. Ini akal bebasku yang berkata, akal bebasyang meronta-ronta untuk berani berpikir tanpa disertai ketakutanakan dimarahi Tuhan. Dan hanya karena kepercayaankuakan adanya Tuhan serta bahwa Al-Qur’an itu betul-betul dariTuhan serta Muhammad itu betul-betul manusia sempurna,maka aku pada resultante terakhir tetap berpendapat bahwa<strong>Islam</strong> itu secara total baik dan sempurna. Akalku sendirilahyang tidak mampu meraba kesempurnaan tadi. Kalau begituhormatku terhadap ajaran-ajaran <strong>Islam</strong> adalah karena alasanalasanformal belaka, bukan material. Betulkah?Pada kenyataannya dalam praktek berpikir selama ini kitatidak brpikir bebas lagi. Bila menilai sesuatu kita sudah bertolakdari suatu asumsi bahwa ajaran <strong>Islam</strong> itu baik dan fa-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 5


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ham-faham lain di bawahnya, lebih rendah. Ajaran <strong>Islam</strong> kitatempatkan pada tempat yang paling baik. Dan apa yang tidakcocok dengannya kita taruh dalam nilai di bawahnya. Karena<strong>Islam</strong> itu paling baik dan kita ingin menempatkan diri padayang paling baik, maka kita selalu mengidentikkan pendapatyang kita anggap benar sebagai pendapat Isalm. Dan karenadalam kenyataan ide-ide <strong>Islam</strong> dibilang kemasyarakatan belumdikembangkan, maka sikap bahwa <strong>Islam</strong> adalah seperti yangsaya ucapkan, mengakibatkan beberapa sikap berpikir yang salahsebagai lanjutan-lanjutan: 1. Muslim merasa benar sendiri,bahkan secara emosional; 1. muslim yang menginsyafi kurangnyapengembangan ide-ide <strong>Islam</strong> dan berusaha mengembangkannya,misalnya dalam usaha research: 3. muslim yang berusahamencari kebenaran ide-ide kemasyarakatan dari luar, dankemudian secara otomatis menanamkan ide-ide itu juga sebagaiide-ide <strong>Islam</strong>. Dia dengan kekuatan akalnya yakin bahwaide-ide luar itu baik dan karena itu tidak berani berpikir danberpendapat bahwa ide-ide luar itu lebih baik dari <strong>Islam</strong> (karenaasumsinya ide-ide <strong>Islam</strong> itu paling baik), maka tidak adaalternatif lain kecuali berkata bahwa ide-ide itu sesuai denganajaran <strong>Islam</strong>. Ini tidak disadari karena tidak ada kebebasan berpikirdalam dirinya.Sesungguhnya kalau kita berani berpikir bebas, kita harusberani membedakan dua hal, yaitu: 1. Pendapat <strong>Islam</strong>: 2. Kebenaranmenurut akal kita. Ini untuk mencegah kemurnianpemahaman <strong>Islam</strong>. Kalau suatu faham “X” kita akui kebenarannyamaka selanjutnya kita harus menyelidiki apakah <strong>Islam</strong>berpendapat begitu juga atau minimal tidak melarangnya. Sebabada dua kemungkinan yang kita tidak boleh takut-takut6 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —memilih salah satu diantaranya: 1. Mengatakan bahwa faham“X” cocok dengan ajaran <strong>Islam</strong> atau minimal tidak bertentangan,bila memang demikian adanya, sehingga pendapat <strong>Islam</strong>identik dengan kebenaran menurut akal kita: 2. Mengatakanbahwa faham “X” lebih baik dari ajaran <strong>Islam</strong> manakala terjadiketidakcocokan dan berlawanan dengan ajaran <strong>Islam</strong>. Selamaini kita tidak berani melakukan yang kedua walaupun kitatidak melakukan yang pertama. Maka timbul konflik atau splitsecara tidak disadari sama sekali.9 Maret 1969Sebagian orang meminta agar saya berpikir dalam batas-batasTauhid, sebagai konklusi globalitas ajaran <strong>Islam</strong>. Aneh, mengapaberpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan itu takut terhadaprasio yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri? Saya percayapada Tuhan, tapi Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran.Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan “adanya”.Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik.Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan. Tapi menolakuntuk berpikir bebas berarti menolak rasionalitas eksistenasinyaTuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanyasekedar kepura-puraan yang tersembunyi.Kalau betul-betul <strong>Islam</strong> itu membatasi kebebasan berpikir,sebaiknyalah saya berpikir lagi tentang anutan saya terhadapislam ini. Maka hanya ada dua alternatif yaitu menjadi muslimsebagian atau setengah-setengah atau malah menjadi kafir. Namunsampai sekarang saya masih berpendapat bahwa Tuhantidak membatasi, dan Tuhan akan bangga dengan otak sayaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 7


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang selalu bertanya, tentang Dia. Saya percaya bahwa Tuhanitu segar, hidup, tidak beku. Dia tak akan mau dibekukan.Pada hemat saya orang-orang yang berpikir itu, walaupunhasilnya salah, masih jauh lebih baik dari pada orang-orangyang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir. Dan sayasungguh tidak dapat mengerti mengapa orang begitu phobi denganpemikiran bebas. Bukankah material itu hanya sekedarsuatu translasi (pemudahan)? Walaupun itu ada kemungkinanefek jeleknya, tapi kegunaannya akan jauh lebih besar daripadamudharatnya. Malahan orang yang takut untuk berpikir bebasitu ditimpa oleh ketakutan dan keraguan akan kepura-puraannyayang sudah tak terlihat. Dia ragu untuk berkata bahwaada satu pikiran yang dia benamkan di bawah sadarnya.Pikiran yang dibenamkan ini dia larang untuk muncul dalamkesadarannya. Pada hal dengan berpikir bebas manusia akanlebih tahu tentang dirinya sendiri. Manusia akan lebih banyaktahu tentang kemanusiaannya. Mungkin akan ada orang yangmengemukakan bahaya dari berpikir bebas yaitu orang yangberpikir bebas itu cenderung atau bahkan bisa jadi atheis. Betulkah?Orang yang sama sekali tidak berpikir juga bisa atheis!Lebih baik atheis karena berpikir bebas daripada atheis karenatidak berpikir sama sekali. Ya, Meskipun sama-sama jelek.Dengan berpikir bebas bisa salah hasilnya. Dengan tidakberpikir bebas juga bisa salah hasilnya. Lalu mana yang lebihpotensial untuk tidak salah? Dan mana yang lebih potensialuntuk menemukan kebenaraan-kebenaran baru? Saya kiraorang yang tidak mau berpikir bebas itu telah menyia-nyiakanhadiah Allah yang begitu berharga yaitu otak. Saya berdoa agarTuhan memberi petunjuk pada orang-orang yang tidak meng-8 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —gunakan otaknya sepenuhnya. Dan sebaiknya saya pun sadarbahwa para pemikir bebas itu adalah orang-orang yang senantiasagelisah. Kegelisahan itu memang dicarinya. Dia gelisahuntuk memikirkan macam-macam hal terutama hal-hal yangdasariah dengan semata-mata berpijak pada obyektivitas akal.Saya sungguh tidak mendewa-dewakan kekuatan berpikirmanusia sehinga seolah-olah absolut. Kekuatan berpikir manusiaitu memang ada batasnya, sekali lagi ada batasnya! Tapisiapa yang tau batasnya itu? Otak atau pikiran sendiri tidakbisa menentukan sebelumnya. Batas kekuatan itu akan diketahuimanakala otak kita sudah sampai di sana dan percobaanpercobaanuntuk menembusnya selalu gagal. Karena itu manakala“keterbatasan kekuatan berpikir, maka jelas statement initidak berarti dan mungkin salah besar. Otak itu akan melampauibatas kekuatannya. Kalau sudah terang begitu, apa gunanyakita mempersoalkan batas, kalau di luar batas itu sudah diluar kemampuannya? Hal ini sudah dengan sendirinya, tak perludipersoalkan. Berikanlah otak itu kebebasan untuk bekerjadalam keterbatasannya, yaitu keterbatasan yang hanya otak itusendiri yang tahu. Selama otak itu masih bisa bekerja atau berpikir,itulah tanda bahwa ia masih dalam batas kemampuannya.Dalam batas-batas kemampuannya dia bebas. Jadi dalam, tiaptiapbekerja dan bepikir otak itu bebas.17 Juli 1969Kalau suatu golongan atau umumnya umat <strong>Islam</strong> lemah, dalamsuatu peristiwa atau hal tertentu, maka dengan cepat orangorangterpelajar muslim dan saya pun dulu begitu juga—bekataIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 9


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bahwa yang salah adalah orang <strong>Islam</strong>nya bukan <strong>Islam</strong>nya. Iniadalah suatu bentuk dari tidak adanya kebebasan berpikir.Orang takut untuk mempertimbangkan kemungkinan adanyakritik terhadap <strong>Islam</strong>. Kemungkinan adanya kritik sudahditutup karena <strong>Islam</strong> sudah apriori dianggap betul dan kebalterhadap kemungkunan mengandung kelemahan. Apakahtidak mungkin <strong>Islam</strong> itu sendiri mengandung kelemahan?Saya sendiri sampai sekarang masih bertanya-tanya. Saya inginmenjadi muslim yang baik dengan selalu bertanya. Saya tidakbisa mengelak dari pikiran. Di mana saya berada, kemanasaya menuju, di situ dan ke sana pikiran itu ada dan bertanya.Bekerjanya pikiran itu telah melekat pada adanya manusia.Tak ada kerja pikir berarti tak ada manusia. Karena itu takada jalan lain kecuali menggunakan daya pikir itu semaksimalmungkin. Dan titik akhir dari usaha dan menilai usaha ialahkematian!25 Desember 1969Interpretasi Menyangkut Al-Qur’an dan HadistSaya sangat tidak setuju akan acara-acara orang-orang menafsirkanayat-ayat Al-Qur’an. Saya melihat bahwa Asbabun Nuzulatau semangat zaman waktu turunnya ayat itu kurang dilihat.Sungguh saya benci pada pemerkosaan ayat-ayat Al-Qur’andan lafal-lafal Hadist sekarang ini dalam pemakaian maupunpenafsiran. Biar, aku akan menempuh jalanku sendiri.10 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —“Katakanlah kebenaran, walau karihal kafirin, walau karihalmusyrikin “. Juga: “Mengapa kamu angkat orang-orang kafirmenjadi pemimpin-pemimpin <strong>Islam</strong>?”. Ayat-ayat Al-Qur’ansemacam ini digunakan oleh propagandis-propagandis kita untukmembakar semangat massa. Mereka kurang sadar perbedaanantara situasi di zaman Nabi dengan situasi sekarang. Dizaman Nabi golongan Nabi betul-betul baik, sedang golongankafir betul-betul jahat. Di zaman sekarang golongan kita antarabaik-jahat, sedang golongan lawan pun antara baik-jahat.Bukankah konstelasi spiritualnya sudah lain? Bukankah secaramaterial kita juga sebagian telah kafir, walaupun formal <strong>Islam</strong>?Jadi penggunaan ayat-ayat itu tidak tepat lagi. Kembalikanlahpada konstelasi di zaman Nabi, baru kita berhak menggunakanayat tersebut. Sekarang kita tidak berhak.Saya malah berpendapat bahwa andaikan Nabi Muhammaddatang lagi di dunia sekarang, menyaksikan bagian-bagian yangmoderen dan yang belum serta melihat pikiran-pikiran manusiayang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara hadisthadistnabi yang sekarang ini umumnya difahami secara telanjangoleh pengikut-pengikutnya, akan dicabut oleh nabi dariperedaran dan di ganti dengan hadist-hadist yang baru.15 Juli 1969<strong>Islam</strong>: Menurut Saya= <strong>Islam</strong> Menurut AllahAku belum tahu apakah islam itu sebenarnya. Aku baru tahuislam itu menurut HAMKA, islam menurut Natsir, islam menurutAbduh, islam menurut ulama-ulama kuno, islam menurutIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 11


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Djohan, islam menurut Subki, <strong>Islam</strong> menurut yang lain-laindan terus terang akau tidak puas. Yang kucari belum ketemu,dan belum terdapat yaitu islama menurut Alloh, pembuatnya.Bagaimana? Langsung studi dari Qur’an dan Sunnah? Akankucoba. Tapi orang-orang lainpun akan beranggapan bahwayang kudapat itu adalah islam menurut aku sendiri. Tapi biaryang terpenting adalah keyakinan didalam akal sehatku bahwayang kupahami itu adalah islam menurut Allah.Aku harus yakin itu!28 Maret 1969Tuhan, Aku menghadap PadamuTuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat akucinta padamu,tapi juga di saat-saat aku tidak cinta dan tidakmengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah memberontakterhadap kekuasaanmu. Dengan demikian, Rabbi, akumengharap cintaku padamu akan pulih kembali. Aku tidak bisamenunggu cinta untuk sebuah sholat.18 Mei 1969Saya Tak Berhak Ada dalam HimpunanMahasiswa <strong>Islam</strong>?Kata-kata Salman Karim atau Imaduddin dan kawan-kawanbahwa orang-orang seperti saya dan Djohan sebetulnya tidakberhak ada di HMI, adalah tidak begitu salah. Sebab sudah12 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —begitu lama garis yang ditempuh HMI ini terutama garis-garisyang ditempuh sejak awal 1967 sampai medio awal 1969 inisaya dan Djohan secara fundamental tak bisa menerimanya.Saya dan Djohan menganggapnya sebagai langkah ketingalanzaman, reaksioner dan “primitif ”. Dalam periode itu sebetulnyakami berdua ada dalam pihak oposisi. Dan tidaklah terlalusalah bila Endang (LDMI) itu menuduh kami berdua telahmendongkel Nurcholish.Tapi rupanya Salman Karim dan Endang yang berbicarabegitu pada hari akhir Kongres Malang lupa, bahwa sesungguhnyasejak hari itu HMI telah ada di garis kami. Bleid-bleidPengurus Besar (PB) yang dulu ternyata telah tertolak secaraimplisit. Konsep-konsep Jawa Tengah gol kecuali dalam pencantumanPancasila. Karena itu kalau mau dibalikkan, orangorangyang berkultur seperti Salman, Endang dan Imaduddinlahsebetulnya yang konsepsional tidak berhak hidup di HMI.Dari Kongres Malang, konsepsional HMI telah menjadiorganisasi moderen, kader, independent, tidak committed padasuatu golongan. Jadi di bidang konsepsional kaum pembaharuanmenang. Tapi di bidang personel, sebagai pelaksana konsepsi,kaum pembaharuan kalah.Namun demikian, kaum pembaharuan dalam HMI, sayadan Djohan bersama kawan-kawan lain, telah memperoleh legalitasdari Kongres untuk melanjutkan perjuangan di bidangide.21 Mei 1969Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 13


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —<strong>Islam</strong> dan Sikap DemokratisKetidaksenangan saya terhadap sikap-sikap Nurcholish akanmerupakan batu ujian dan sekaligus tempat latihan bagisikap demokratis saya. Inilah saat yang paling baik bagi sayauntuk meningkatkan democratic attitude, walaupun saya tidakberpendapat bahwa <strong>Islam</strong> itu tak sepenuhnya demokratis.Terus terang saya mengakui bahwa dalam hal ini sampaisekarang saya belum seorang Muslim yang utuh. Saya tidakakan berpura-pura mengingkari bahwa saya menolak bunyisuatu hukum <strong>Islam</strong>: “Bahwa seorang <strong>Islam</strong> yang tidak solatitu harus dihukum”.Saya pikir, salah satu sikap seorang demokrat ialah tidakmelakukan teror mental terhadap orang yang mau bersikaplain. Membiarkan orang lain menentukan sikap dengan perasaanbebas, tanpa ketakutan, sesuai dengan isi hatinya sendirimerupakan pencerminan sikap seorang demokrat. Tugas kaumdemokrat menyampaikan pertimbangan-pertimbangan dengantenang terhadap kelemahan-kelemahan dari sikap tadi sertakonsekuensi-konsekuensi yang bisa timbul. Target kaum demokratbukanlah “supaya dia menentukan sikap seperti kita punyasikap” melainkan “supaya dia menginsyafi, dengan sadar akankelemahan sikapnya”. Kaum demokrat tidak suka bila oranglain itu sependapat atau sesikap dengan dia karena terpaksa,karena ngeri akan serangan-serangan keras ataupun segala macamteror mental.8 Juni 196914 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Masalah Persatuan UmatKaum fanatik persatuan yang otaknya Persami, KMI, PII, PPUIitu menyangka bahwa masalah persatuan umat <strong>Islam</strong> adalahmasalah yang sangat strategis, dan karena itu harus dicapaisebagai kunci untuk selanjutnya bisa memecahkan persoalanpersoalanlainnya. Mereka tidak tahu, bahwa ada banyak halyang harus dengan ramai dipertentangkan. Karena itu bagisaya, persatuan umat <strong>Islam</strong> itu belum saatnya dilakukan dewasaini, apakah itu dalam bentuk federasi, konfederasi ataupunsekedar sekretariat bersama.Orang-orang telah menetapkan persatuan sebagai tujuan.Menurut saya dalam tahap seperti sekarang ini biarkan sajatiap-tiap organisasi <strong>Islam</strong> itu menempuh jalan sendiri-sendiri.Antar mereka cukup hubungan formal dalam wadah-wadahbersama seperti di atas. Orang tidak sadar bahwa ada kalanyapersatuan itu menghambat kemajuan dan ada kalanya perpecahanitu justeru merupakan faktor dinamis.Saya kira, meletakkan persatuan umat sebagai cita-citasaja sudah merupakan kesalahan besar. Tapi andaikata ini tidaksalah, itu berarti penetapan cita-cita persatuan itu betulsebagai sendi yang strategis. Walaupun betul, bukankah citapersatuan yang ada pada umat ini baru pada tingkat emosional?Jadi usaha pencapaiannya sama sekali tidak problemsolving. Apalagi kalau diingat bahwa tidak selamannya persatuanitu baik.8 Juni 1969Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 15


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Tuhan Maklumilah AkuTuhan, bisakah aku menerima hukum-hukum-Mu tanpa meragukannyalebih dahulu? Karena itu Tuhan, maklumilah lebihdahulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu.Kalau Engkau tak suka hal ini, beri aku pengertian-pengertiansehinga keraguan itu hilang dan cepat-cepatlah aku dibawa daritahap keraguan-keraguan kepada tahap penerimaan.Tuhan, mukarkah Engkau bila aku berbicara dengan-Mudengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak yang Engkausendiri telah berikan padaku dengan kemampuan-kemampuanbebasnya sekali? Tuhan, murkakah Kau bila otak dengan kemampuan-kemampuanmengenalnya yang engkau berikan itumenggunakan sepenuh-penuhnya kemampuan itu?Tuhan aku ingin berbicara dengan engkau dalam suasanabebas. Aku percaya bahwa engkau tidak hanya benci padaucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiranpikiranyang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak beranimemikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiranyang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri.9 Juni 1969Emoh Jadi Orang MunafikSaya tidak mau jadi orang munafik, sok suci dan semacamitu. Percobaan menyembunyikan pengaruh bawah sadar yangmungkin ada? Adalah kepura-puraan. Dan saya tidak mauberpura-pura, apalagi terhadap semua manusia seperti Ahmad16 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dan lain-lainnya. Masalah hukum Tuhan saja, saya tidak mauberpura-pura, apalagi terhadap masalah Himpunan Mahasiswa<strong>Islam</strong>. Lihat catatan-catatan dalam buku ini dan bacalah bagaimanasaya bicara terus tentang pada-Nya tentang Dia yangbelum saya mengerti dan sebagian hukum-hukum-Nya yangbelum bisa saya terima. Dengarlah do’a saya sehabis sholatyang sebagian berisi pertanyaan-pertanyaan dan protes-protesterhadap Tuhan. Habis bagaimana kalau hati nurani saya yangbilang begitu.Dalam seminar kemarin saya terus terang mengeririk pelarangandosen-dosen Komunis memberi kuliah oleh pemerintah.Dan saya memproses ketetapan MPRS. Apalagi padasesama person manusia. Karena itu tentang keikhlasan, bagisaya tidak tidak jadi soal dinili baik atau jelek. Satu-satunyakeihklasan murni yang saya miliki yaitu keihklasan untuk dituduh.Soalnya, karena masalah itu bagi saya merupakan pembuktiandalam kenyataan, bukan dalam perkataan. Saya tidaktahu apakah saya sudah kejangkitan filsafat pragmatisme: Tapisaya tidak menolak penularan faham, bila yang ditulari itu maumenerima.11 Juni 1969Sikap Dasar Kaum Intelektual <strong>Islam</strong>Kita kaum intelektual harus senantiasa berhati-hati dalam menjagasikap dasar kita yaitu: a posteriori dan single standard.Terutama bagi kita kaum intelektual yang pernah dibesarkandalam lingkungan sosio-kultural <strong>Islam</strong>. Ketajaman kritik kitaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 17


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —terhadap umat berhubung dengan general antitude-nya, jangansampai menjerumuskan kita pada sikap apriori salah dalammenghadapi suatu masalah, sebagaimana kita juga menjauhkandiri dari sikap a priori membenarkan mereka. Kita harusbenar-benar bisa menjauhkan diri dari nilai ganda (doublestandard), nilai ganda yang memihak umat <strong>Islam</strong> ataupun nilaiganda yang memihak bukan <strong>Islam</strong>.Ada baiknya kita ingat bahwa mengucapkan assalamu’alaikumtidak terus berarti <strong>Islam</strong>: mengaji yang keras, sehingga didengarorang banyak tidak arus berarti <strong>Islam</strong>: menulis denganhuruf Arab tidak harus berarti <strong>Islam</strong>: sok ihklas, sok khusyu’tidak terus berarti <strong>Islam</strong>: mengobral ayat-ayat Al-Our’an tidakterus berarti <strong>Islam</strong>: pidato pakai shalawat tidak terus berarti<strong>Islam</strong>. Demikian pula: menyerang gadis pakai kerudung tidakterus berarti moderen: meremehkan pentingnya sholat tidakharus berarti moderen: membela atheisme tidak terus berartimoderen: menolak formalitas tidak terus moderen: mengeritikumat <strong>Islam</strong> tidak terus berarti moderen: membela orang-orangberdansa tidak terus lalu berarti moderen.Hal-hal tersebut di atas perlu dijaga agar kita jangan terjerumuspada sikap keislam-islaman atau kemoderen-moderenan.Yang demikian itu samasekali tidak berarti saya a priori tidakmembenarkan orang yang selalu mengucapkan salam, menulisArab, mengobral ayat dan lain-lainnya. Demikian juga tidakberarti bahwa saya tidak membenarkan orang yang menyeranggadis berkerudung, menyerang umat <strong>Islam</strong>, menolak formalisdan lain-lain. Ini penting dalam pembinaan berpikir bebas,membebaskan diri kita dari tirani dalam diri kita sendiri. Kitaharus berani membebaskan diri dari dua tirani yang berdem-18 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pet, yakni 1. Tirani kesombongan: sok <strong>Islam</strong> tulen, sok ikhlas,sok moderen, sok intelektual, sok moralis, sok suci, sok nuchterdan lain sebagainya: 2. Tirani ketakutan: konservatif, atheis,kolot, kafir, Mu’tazilat, disorientasi, lemah ideologi, imannyadiragukan, sekularis, kebarat-baratan, dan lain-lainnya.PERPISAHANHan,Kalimat ini kalimat biasaDia bukan puisiBukan pula prosaKalaupun disebut puisiItu sekedar puisi tanpa isiKalaupun disebut prosaItu sekedar cetusan rasaHan, penah kita padukan ikrarMembina pertiwi tanah tersayangHan, pernah kita lepaskan janjiPembaharuan mental perlu ditentangKehadiran kita sebagai muslimKita nilai sebagai kebetulanUntuk itu kita cari<strong>Islam</strong> menurut kita sendiri<strong>Islam</strong> menurut kamu, dan<strong>Islam</strong> menurut aku sendiri3 Agustus 1969Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 19


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —arena telah kita pilihHMI sebagai saluranBertahun-tahun kita membinaSatu generasi muslim kita pertaruhkanUntuk umat <strong>Islam</strong>Kegagalam HMI kegagalan satu generasiKeberhasilan HMI keberhasilan satu generasiDalam HMIKita temukan pemberontakanPada kebukuan dan kebiasaanPada kegandaan dalam menilaiPada ketertutupan dalam berpendapatPada formalisme dalam beragamaSaluran telah kita pilih, kanHMI sebagai: alat, bukan tujuanTapi rupanyaLain di niatan, lain di kejadianKita yang menempati kamar idiilYang ikut naik turun dalam degup jantungnyaSudah masuk terlalu jauhDalam liku-likunya himpunan inikita masuk ke dalamnyaDia masuk dalam diri kitakita cintakarena itu kita bisa menciptakita belai dia dengan embun segarbagaikan menilai diriku sendiri..., bagiku20 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sepertinya sedang membelai sang pacar... bagimubagi kita, HanHMI yang lahir di masa kini, bukan buat masa laluDia ada kini buat nantiKita desakkan perobahan-perobahanKita jelaskan kemungkinan-kemungkinanBagi suatu senyum kecerahansebagai mana prinsip kitawarna yang beraneka rona kita hormatibentuk yang beraneka ragam kita terimapluralisme... itulah prinsip kitatapi rupanya, kanpluralisme bukan satu-satunya anutananti pluralisme juga anutan kawandalam himpunan tempat hati tertawanbagi kitatheist dan atheist bisa berkumpulmuslim dan kristiani bisa bercandaartist dan atlit bisa berguraukafirin dan muttaqien bisa bermesraantapi pluralist dan anti pluralist tak bisa bertemudia menyangkut milik manusia yang paling tinggiawal dan akhirpribadidia menyangkut keterbukaan dan ketertutupandia menyangkut adanya pribadi atau lenyapnya pribadibagi kitaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 21


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tak ada pribadi, tak ada manusiaini adalah hakekat existensi manusiaini masalah dasar bagi kitaapalagi bagi organisasi kaderyang sasarannya: manusia dengan kepribadiannyakarena ituperpisahan tak terelakkananti pluralist menentukan jalannyakaum pluralist memilih lintasannyayang memintastapi niatan lain dengan kejadiandalam awal perpisahan ini ternyata:HMI bukan sekedar alatYang bisa diganti dengan lain alatHMI bukan sekedar saluranYang bisa ditukar dengan bergantianTerasa... HMI telah menjadi nyawa kitaHMI telah ada dalam urat dan nadi kitaDia ada dalam keriangan kitaDia ada dalam kesusahan kitaDia ada dalam kecabulan kitaDia ada dalam kekanak-kanakan kitaHMI telah menghisap dan mengisi jaluran-jaluran darah kitaWalaupun begitu perpisahan ini kita lakukan jugaKita tak boleh tercekam oleh emosiYang akan membuat kita terus termangu,Keraguan-keraguan dalam perpisahan22 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Relakanlah segalannyaBuat yang masih tinggalkerja-kerja kita yang tak pernah selesaiyang disusun baru di tingkat awalsemoga diteruskanbagi kitaHMI belum menemukan dirinyabanyak perobahan-perobahan perlu dilakukanyang harus dirintis atau diteruskanoleh yang tinggal di belakang kitakita tengadahkan muka ke ataske alam bebas dan lepasdi mana pluralisme bisa hidupdan anti pluralisme tak menemukan ruangnyadi mana perkawinan pendapat bukan penghianatandi mana pertentangan pendapat bukan pengacauandi mana pembaharuan sikap bukan kejelekankita cari ruang bebasdi mana warna yang beraneka adalah rahmatdi mana bentuk yang beragam adalah hidayatdi mana konflik menjadi bertanda kemajuandi mana untuk masuk tak usah bayar terlalu mahal... pribadikesanalah Han, kita menegadahdi mana pendapat-pendapat bisa saling bertentangandi mana pendapatku pendapatmu bersaingandalam kompotisi yang mengasyikkandi mana pendapatmu, pendapatnya dan pendapatkuIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 23


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dimungkinkan bercanda dan bercumbuandalam saling penghormatanwalaupun begitukita kaum pluralis yang konsekuenperlu tundukkan kepala sebentarmengusap mata sekalimengheningkan hati sejenakbuat menerima...... sebuah perpisahanDengan roh kita sendiriHMI14 Agustus 1969Diam-diam Kita Menganut SekularismeSejauh yang aku amati selama ini, agama terjadi telah kehilangandaya serap dalam masalah-masalah dunia. PetunjukpetunjukTuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal sekularisasiajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidakingin sekularistis. Agama <strong>Islam</strong> yang kita fahami selama iniadalah agama sekularistis, agama yang tidak mampu meresapimasalah-masalah dunia, dus terpisahnya agama dari masalahdunia.Nah, diam-diam kita menganut sekularisme, walaupun denganlantang kita menentang sekularisme!Terus terang, aku kepingin sekali bertemu sendiri dengannabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad24 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku sudah kurangpercaya pada orang-orang yang di sebut “pewaris-pewarisnya”.22 Agustus 1969Nilai-nilai Lama dan BaruTuhan, aku ingin tanya apakah nilai-nilai dalam agama-Mutetap atau berubah-ubah? Tuhan, mana sajakah dari ajaran-Mu itu yang betul-betul merupakan fundamen yang tak bisaberubah-ubah lagi, yang harus menjadi pedoman dalam perkembangannilai-nilai dalam masyarakat?Saya kira pemasangan ijma’ dalam deretan sumber pembinaanhukum berupa Qur’an, Sunnah dan ijma’ sudah bukanwaktunya lagi. Dalam dunia yang cepat berubah dan individualismemakin menonjol, cukuplah dengan Qur’an dan sunnah.Dan biarkanlah tiap orang memahamkan Qur’an dan Sunnahitu menurut dirinya sendiri.Nah, kalau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat ituberkembang. Seharusnyalah hokum-hukum islam itu berkembang.Haram dan halal pada saat ini seharusnya tidak samadengan haram dan halal pada tiga atau empat abad yang laluatau bahkan pada masa nabi hidup. Karena itu seharusnya adabanyak dari hadist nabi atau bahkan ayat Qur’an yang tidakdipakai lagi karena memang tidak diperlukan dan karena muharatyang dikuatirkan di situ sudah, tidak ada lagi, berhubungnilai-nilai baru yang kini berlaku dalam masyarakat.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 25


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Saya sadari bahwa perubahan nilai-nilai moral tentunyamembawa perubahan dalam kebolehjadian mudharat dan manfaatyang ditimbulkannya. Karena hukum <strong>Islam</strong> itu, saya kira,berpedoman pada persoalan mudharat dan manfaat, maka seharusnyalahhukum-hukum moral dalam <strong>Islam</strong> itu juga berubahsesuai dengan perubahan nilai-nilai moral masyarakat diatas. Lantas apakah hal yang begini justeru akan menimbulkankebingungan-kebingungan bahkan pergeseran-pergeseran dalamkalangan umat <strong>Islam</strong>, karena kelihatan tidak ada kepastian hukum?Kebingungan-kebingungan dan pergeseran-pergeseran itubiasa, jadi tak perlu dihindari karena itulah tanda dari masyarakatyang sedang bergerak, menyusun nilai-nilai yang lebih baik.Jangan diharapkan ada “pauze” dalam masyarakat.Hanya siapa yang aktif mencipta, menggunakan kesempatansebaik-baiknya dalam dinamika masyarakat itulah, yang bisamenjadi obor masyarakat.8 September 1969Haruskah Aku Memusuhi Mereka yang Bukan<strong>Islam</strong> dan Sampai Hatikah Memasukkan Merekake Dalam Neraka?Hari ini aku tak tahan lagi berada di dalam kebimbangan terusmenerus antara “the established HMI” dan “suara hati”. Ini tidakbaik bagi HMI atau bagi diriku sendiri. Dengan berat secarainformal pemohonan dikeluarkan kuajukan. Orang seperti akuatau Djohan Effendi tak bisa masuk organisasi yang terlaluketat seperti HMI.26 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kegoncangan-kegoncangan yang timbul di hati karenapembenturan-pembenturan dengan dinding kebimbangan, kucobamenghilangkan dan menghiburnya dengan kunjungan keexposisi lithurgia Katolik di Kotabaru. Hai, aku mendapatkanangin-angin segar di sana: suasana yang cerah, penjaga-penjagastand yang ramah, benda-benda pameran yang menarik dansebagainya. Aku nonton slide di sana sampai dua kali, menyaksikansusunan kudus dalam lithurgia Katholik, ukiran-ukiranartistik dalam gereja-gereja mereka, apresiasi seni yang tinggidalam setiap segi lithurgia dan komentar-komentar slide yangmembawa setiap manusia pada dasar perasaan yang paling dalam.Dalam gereja mereka. Tuhan adalah pengasih dan sumbersegala kasih. Sedang di mesjid atau langgar-langgar, dalamucapan da’i-da’i kita. Tuhan tidak lebih mulia dari hantu yangmenakutkan dengan neraka di tangan kanannya dan pecut apidi tangan kirinya.Sama sekali tak terduga, kemudian aku bertemu denganromo yang pernah mengasuhku lebih dari dua tahun yaituRomo H.C. Stolk S.J. yang sekarang menjadi rektor SeminariAgung di Kentungan. Alangkah mesranya, pertemuan kembaliantara putra dan ayah yang berlainan faham: muslim dan kristiani!Kami saling menghormati dalam dialog karena samasamapenganut pluralisme. Kami berbicara tentang benda-bendapameran satu per satu, kemudian antar agama, kehidupanpribadi masing-masing, tentang ensiklik-ensiklik Paus, tentangsikap-sikap wali gereja masa kini, tentang pergaulan kami dimasa lalu dan macam-macam lagi. Dia mengantar saya danmenunjukkan pada saya buku yang baik-baik. Setelah kamiberpisah, rupanya dia masih terpesona oleh pertemuan men-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 27


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dadak itu. Tiga kali dia mencari-cari dan menemui saya kembali,setelah tiap sebelumnya kami mengucapkan salam perpisahan.Dia menawari nonton slide, mengajak bersama-samanonton pameran dinamis di gereja dan terakhir kalinya mintaaku menemuinya hari Jum’at depan di kamarnya. Ketika akutidak punya karcis untuk masuk di gereja, berkat pertolongannyaaku bisa masuk dan malahan bisa kebagian tempat dudukdi tengah-tengah penonton yang penuh dan banyak yang berdiri.Seorang teman lama, Sukisno berjumpa kembali dan kiniternyata telah masuk Seminari Kentungan. Ya, tiap-tiap manusiamenempuh cara-caranya sendiri dalam mendekati Tuhan.Dan selanjutnya secara tak terduga-duga pula aku bertemudengan Romo Willenborg yang pernah mengasuhku selamahampir tiga tahun. Kalau pada Romo Stolk masih kusaksikanmukanya yang berwibawa dan optimis, maka juga pada RomoWillen ini masih juga tak hilang-hilang gaya aslinya: kekanakkanakandalam bergaya dan kekerasan hatinya dalam berusaha.Aku dimintanya mampir kalau pergi ke Solo. Suatu kisah yangmengasyikkan setelah berpisah hampir 5 tahun.Aku tak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan duaorang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak.16 September 1969Perbedaan mental yang membakat, ilmu dan pengalamanmembuat manusia itu berbeda-beda dalam mengambil sikap.Tiga hal di atas menyamakan atau membedakan pendapatmanusia dalam suatu organisasi, dengan tekanan yang berbedabeda.Bagi perseorangan hal-hal yang dominan berbeda-beda di28 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —antara ketiganya. Orang seperti Djohan, lebih banyak terbentukoleh mental membakatnya yang memberikan fondamen yangkuat bagi sikapnya yang sekarang. Orang seperti Dawam: terbentukkerena keluasan ilmunya. Bagi aku sendiri yang sangatkurang membaca dan tidak punya warisan bakat dengan logikayang kuat sejak kecil seperti Djohan, lebih banyak terbentukkarena sari-sari pengalaman yang selalu kuperas dari seluruharena kehidupan yang beraneka-ragam berikut celah-celahnyayang menarik.Aku pernah hidup di lingkungan pondok pesantren yangdiracuni dengan skandal-skandal homo-seksualnya. Aku pernahhidup sekeluarga dengan suatu keluarga abangan yang memeliharaanjing. Aku pernah satu rumah dengan suatu keluargaKatolik yang cukup fanatik. Aku pernah mempunyai teman seorangkomunis yang paling rapat bergaul denganku disekolahmenengah (sekarang dia meringkuk di tahanan golongan A).Aku pernah mengaji, mohon-mohon berkat dikuburan keramatsebelum aku sadar seperti aku sekarang. Aku pernah masuk digang-gang pelacuran dengan bulu kudukku berdiri. Aku pernahmengagumi bagaimana penjual-penjual jamu di alun-alunYogya berbohong. Setiap arena itu mengurniai aku ide-ide baruyang tidak kumiliki sebelumnya. Aku tidak tau bagaimana caradari pengalaman-pengalaman ini membentuk pribadiku. Akutidak tahu apakah pengalaman itu hanya memiliki. Kadar pengaruhyang insidental simptomatis, dus sewaktu-waktu bisatersepak, ataukah itu telah mengangap di bawah sadar bisa tersepak,ataukah itu telah mengendap di bawah sadar dan menemukanbentuk pengaruh yang rasional. Aku tidak tahu lagi, diIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 29


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —manakah emosiku dan di manakah rasioku. Aku tak mampumembedakannya.Aku seorang muslim, sebagaimana muslim Indonesiaumumnya, merupakan hasil refleksi masyarakat. Dan kini setelahkurang lebih lima tahun aku mencoba merenungkan kembali,mengendapkan dan mengolah pengalaman-pengalamanitu, maka aku kini menjelma menjadi muslim Indonesia yangmemberontak. Berontak terhadap sikap-sikap umat dan bangsayang ada. Mungkin pengalaman-pengalaman emosionalkuterlalu berpengaruh. Lingkungan sosiokultural di mana aku hidupbeberapa tahun ini mungkin membuat aku berbeda sikapdengan teman-teman. Coba bayangkan, bagaimana aku disuruhmemusuhi PNI, aku punya teman-teman baik di kalanganmereka. Aku pernah hidup berkeluarga satu rumah dengananggota-anggotanya. Aku pernah selapik seketiduran denganmereka. Dan kini, di asrama di mana aku tinggal, aku bersama-samamereka. Juga bagaimana aku bisa memusuhi PKI melampauibatas seperti halnya teman-teman. Aku punya temantemanaktivis ormas PKI. Dan hubungan kami terus baik sampaisekarang. Aku pernah bertetangga dengan mereka, bahkansampai hari ini. Mereka memiliki putra-putra yang diserahkanpadaku untuk diajarkan agama. Bagaimana aku disuruh membencipemeluk Kristen-Katolik. Aku malah pernah satu keluargadengan mereka. Aku pernah tiga tahun diasuh dan dididikoleh pastur. Aku pernah bertahun-tahun tidur, bergurau danbermain bersama mereka. Jadi bagaimana mungkin aku bisabenci. Bayangkan lagi, aku pernah diundang ke pesta-pestaNatal dan Paskah mereka. Aku pun pernah satu klup renangdengan mahasiswa-mahasiswi seminari Agung. Dengan mere-30 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ka aku berkejar-kejaran di kolam renang. Aku bisa masuk keasrama calon-calon romo tersebut. Aku juga masuk kekamarkerja dan kamar tidur pastur. Aku pernah pula semalaman tidurbersama seorang pastur. Aku pernah naik andong bersamaseorang suster dan kuantar dia sampai ke biaranya, Aku pernahdiajarin renang oleh seorang pastur dan aku dipinjami sebuahswimpack. Aku pernah bonceng scooter dengan seorang pastur.Kalau aku pernah ditraktir seorang suster, maka sebaliknya akupernah ditraktir pastur. Aku sering nonton film bersama-samamereka, ngelencer bersama, dan lain sebagainya.Lingkungan sosio-kultural yang kusus itu mungkin secaratidak sadar telah mempengaruhi jalan pikiranku. Dalam pengalamanku maka mereka semua entah yang PNI, PKI, PSIatau Katolik ternyata tidak sejahat seperti pada teman-teman.Dalam rumah-rumah orang <strong>Islam</strong> saya melihat bayangan merekayang jelek. Sedang dirumah mereka sendiri, aku menyaksikansendiri mereka bisa seperti kita umumnya. Tapi tentu sajaperbedaan di atas bukan saja dikarenakan perbedaan pengalaman.Keluar dari Himpunan Mahasiswa <strong>Islam</strong> (HMI)Tak ada jalan lain. Dilema pribadi tidak boleh dibiarkan terusmenerus,bila seorang manusia tidak ingin berputar-putar lamadi suatu titik tanpa faedah. Akhirnya kupecahkan keteganganketeganganselama ini. Aku pamit pada HMI, dan aku keluar.Dalam surat pernyataan mengundurkan diri yang ditunjukkankepada Pengurus Besar HMI dan Pimpinan Pengurus HMIBadan Koordinasi Jawa Tengah, aku cantumkan empat hal halIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 31


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang kupikir akan memberikan manfaat yaitu 1. HMI amandari “heterogenitas yang keterlaluan dan bersih” dari apa yangdinamakan “link golongan luar tertentu” di Jawa Tengah: 2.Masalah diri saya yang dipandang sering “bersuara lain” tidakberkepanjangan lagi: 3. Lebih memberikan keleluasan batiniahpada diri saya dalam mengembangkan pikiran dalam perkaderandiri di masa kemahasiswaan ini: 4. Secara tidak langsung,mungkin dan mudah-mudahan akan membawa-manfaat bagilebih cepat matangnya HMI di masa depan.Sebagai keterangan yang melatarbelakangi pernyataanmengundurkan diri dari keanggotaan HMI, saya pun menyertakansebuah memorandum yang saya beri nama “MemorandumPembaharuan dan Kekaderan”. Saya tahu bahwa memo initidak punya pendukung-pendukung real. Tapi saya tahu danyakin bahwa beribu-ribu anggota HMI berdiri bersama-samamemo ini. Mereka adalah anggota-anggota HMI yang sudahmerasa tidak kerasan dalam HMI, merasa tidak memperolehsaluran dalam HMI. Tidak ada saluran yang mereka peroleh,kecuali saluran untuk membunuh kemanusiaannya. Yang adahanya kekangan, kekangan, dan sekali lagi kekangan bagi pengembanganpribadi, pengembangan pikiraan untuk akhirnyamati sebelum sampai ajal.Semoga pimpinan HMI tidak memikirkan tentang Djohndan Wahib yang keluar, tapi memikirkan akan sebab-sebabmengapa kini ada aktivis yang keluar. Saya berharap sungguhsungguh,bahwa pimpinan HMI akan bisa memetik pelajarandan manfaat dari peristiwa ini.Dua orang telah keluar pada tangal 30 September 1969bertepatan dengan 28 Rajab 1389, hari selasa, dengan terang-32 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —terangan. Exodus... sebetulnya sudah lama terjadi secara diamdiamtanpa suara.30 September 1969IlhamIlham itu harus dicari. Jangan ditungu dia datang sendiri.Ilham itu harus dikejar, diperas, diburu dan dipeluk.Dengan modal intelektualitas yang cukup yang dilembariemosi menyala-nyala dalam memburunya, maka ilham yangkita peroleh akan cukup memiliki dimensi ke dalaman.Sejalan dengan itu, perlukah kita membaca? Tentu saja.Membaca, membaca dan teruslah membaca. Terserah apa itubuku, majalah, alam, masyarakat dan... manusia. Aku membacabukan hanya untuk tahu. Aku juga ingin bahwa apa yang kubacaitu ikut membentuk sebagian dari pandanganku. Karenaitu aku mencerna, memeras dengan modal intelektualitas dankepribadianku yang sudah ada, agar dengan demikian kepribadiankumenjadi lebih kaya dengan intelektualitas yang tersediadan dalam pergulatannya dengan situasi. Memang aku dahaga.Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikantubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhkuberkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemendari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernahselesai ini sangat mengasyikkan.6 Oktober 1969Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 33


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Aku Bukan...Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Akubukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukankomunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudahmudahaninilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orangmemandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absoluteentity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok manasaya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.Memahami manusia sebagai manusia9 Oktober 1969Perbedaan Titik TolakSeseorang yang tidak saya kenal telah menyerang pemikiranbebas yang saya dan Djohan anut, dengan bertolak dari pikiranyang terikat. Pikiran yang tidak bebas menganalisa pikiran yangbebas, tentunya tidak akan pernah ketemu.Titik tolak sudah lain!12 Oktober 1969Tuhan dan AqidahKemampuan berpikir manusia itu memang terbatas, tapi batasitu sendiri kita tidak tahu. Persoalannya apakah keterbatasankita itu akan kita gunakan secara maksimum ataukah akan kitagunakan setengah-setengah.34 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Yang paling dekat untuk mengerti yang mutlak (Tuhan) ituadalah puncak dari kenisbian akal dan bukan bagian tengahatau bawahnya. Karena itu pertinggi... dan pertinggilah teruspuncak dari akal yang nisbi itu. Kejar dan kejar terus puncakkenisbian itu. Hanya dengan demikian kita akan makin dekatpada kemutlakan dari Yang Maha Mutlak.Lantas apakah isi aqidah itu? Inilah yang harus didiskusikanantar kita, sebab kita belum sama sependapat. Apakahaqidah itu melarang adanya suatu pertanyaan dalam akal yangmeragukan sebagian dari isi aqidah itu? Di sinilah kita berbedapendapat. Mungkin secara tidak sadar sebagian orang telahberkata bahwa: aqidah anti terhadap “anti aqidah”. Menurutsaya aqidah itu demokratis, yaitu aqidah mencintai sekaligusjuga menghargai “anti aqidah”, walaupun aqidah tidak menyetujuiisinya. Hanya dengan demikian orang akan sampai padaaqidah yang sebenar-benarnya dan bukan “pseudo aqidah” atau“aqidah slogan”. Biarlah semua ulama-ulama tua dan calon-calonulama itu berbeda pendapat dengan saya. Saya ingin berbicaralangsung dengan Tuhan dan berkenalan langsung denganMuhammad. Saya yakin bahwa Tuhan mencintai dan menghargaipikiran-pikiran yang meragukan sebagai ajarannya. Tuhanmemberi hak hidup dan memberi kesempatan pada “musuhmusuhnya”untuk berpikir, untuk kemudian menjadi “sahabatsahabatnya.Sesunguhnya, bagaimana orang disuruh sukarela percayapada Tuhan ada, kalau tidak boleh memikirkan kemungkinanbenarnya “kepercayaan” bahwa Tuhan tidak ada. Bagaimanakita bisa yakin seluruh ajaran <strong>Islam</strong> benar kalau kemungkinanadanya kelemahan pada ajaran <strong>Islam</strong> tidak pernah terlintas diIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 35


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pikiran untuk selanjutnya dipikirkan kemungkinan betulnya.Apalagi kalau ada hasrat untuk memikirkan itu kemudian dinyatakanterlarang dan salah.Si A dinyatakan salah umpamanya. Dan setiap pertanyaandalam pikiran akan kemungkinan tidak salahnya A dianggapsalah. Jadi bukan hanya si A yang dianggap salah, tapi jugasetiap orang yang bertanya tentang si A. Alangkah kejamnya!Saya percaya Tuhan tidak suka pada sikap orang yang kejamini, walaupun Tuhan menyalahkan si A. Tuhan menyalahkansi A, dan Tuhan tersenyum pada setiap orang yang bertanyatentang benar salahnya tentang si A.Saya berpendapat, akal itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupankita. Meninggalkan akal bisa. Tapi inipun memakai akal.Menggunakan akal untuk meninggalkan akal. Menggunakanakal dalam meninggalkan obyektivitas menuju subyektivitasuntuk sampai pada kebenaran.15 Oktober 1969Pahlawan Dalam Kandang Kecil?Mulai hari ini aku harus memikirkan masalah-masalah lain,dan tidak berputar-putar pada soal kecil itu. Aku mesti memandangsamasekali dengan tegas ke masa depan, melepaskandiri dari kungkungan-kungkungan psikologis masa lalu. Tanpabegini, aku sekedar bisa mempunyai predikat: “pahlawan dalamkandang kecil”. Walaupun begitu perlu kita flashback sebentar,memeras makna dari momen-momen masa lalu yang akan bisamemperkaya pribadi, terutama momen-momen benturan yang36 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —baru saja terjadi. Dengan demikian kekurangan-kekurangan diridalam masa lalu akan tertutupi sedikit banyak di masa depan.Dalam diskusi tadi pagi dengan tokoh-tokoh HMI tentangkeluarga saya dari HMI, terlepas dari ketidakpuasan saya akancara-cara berdiskusi dengan pemakaian term-term yang tidakmengena bagi pencarian kebenaran, saya harus mengakui beberapakelemahan-kelemahan dalam diri saya. Pertama kemampuanekspresi pikiran yang sangat kurang, sehinga merupakanhambatan dalam meyakinkan orang. Dan yang kedua adalahkelemahan saya dalam pengetahuan dan keterlibatan penggunaanlogika, sehingga saya tak bisa dengan cepat dan tangkasmenghancurkan argumen yang tidak logis, bahkan argumen-argumenyang kontradiktif dalam dirinya sendiri. Jadi waktu itusaya sekedar merasa bingung dengan sedikit perasaan di atassadar bahwa itu tidak logis: saya tak sadar dimana ketidaklogisannya.Saya belum mampu dengan cepat mempertanyakanatau menyatakan proporsional atau tidaknya pertanyaan ataupunstatement lawan. Hal ini baru disadari setelah lama berpikirdalam suasana yang tenang. Maka nihilnya suatu pertanyaandalam kepala menunjukkan bahwa aku: 1. Kurang berpikirmendasar dan: 2. Kurang bebas dalam berpikir. Ternyatalahsekarang bahwa kebebasan berpikir bagiku masih merupakanidea, sedang dalam realita aku belum dapat melaksanakannyasepenuh-penuhnya. Terungkaplah kini, bahwa strategi berpikirbelum aku kuasai dan belum kupegang erat. Sementara itu akumasih terpesona oleh pemikiran-pemikiran taktis yang bertentangandengan strategi tadi. Tetapi kesadaranku kini akan kurangnyasuatu pertanyaan dalam otak dan lain-lain seperti tersebutdi atas, menunjukkan bahwa aku masih bisa maju lebihIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 37


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —jauh lagi. Manusia itu diperkaya oleh pertanyaan-pertanyaan.Penolakan atau pembunuhan terhadap pertanyaan-pertanyaanberarti mempergersang kehidupan ini. Persoalannya adalah bagaimanakita mampu “mengangkat” pertanyaan-pertanyaan dibawah sadar-yang tak kita sadari – menjadi persaji secara terusterang di atas sadar.Kelemahan saya yang ketiga adalah bahwa saya kurang tegasdan kurang berani, secara tidak sadar, dalam menghadapitantangan-tantangan. Pendirian kita sebetulnya tidak boleh dipengaruhioleh “ketakutan” akan suatu tantangan atau sebaliknyajuga kita tak boleh dipengaruhi oleh keberanian yang dibuat-buatatau dilebih-lebihkan dalam menghadapi tantangan.Efek takut mengkerut dan berani sekedar harga diri juga merupakanhambatan dalam kebebasan berpikir.Kelemahan saya yang keempat adalah kekurang-sadaranakan motif paling individual keluarnya saya dari HMI yaitu:1. Perasaan terkekang: 2. Pengembangan kemampuan berpikiryang sangat lambat dan atau terus lambat: 3. Bahwa, bagaimanapunjuga ikatan golongan akan sangat menghambat dalampeningkatan tataran-tataran berpikir: Peningkatan tataran inisangat perlu bagi pembaharuan-pembaharuan idea.Sebenarnya persoalan perbaikan dalam HMI itu sudah dikerjakansewaktu masih di dalam dan berakhir dengan keputusasaan.Putus asa kerena tak ada daya untuk melakukannya.Karena itu bagi saya—entahlah bagi Djohan-perbaikan HMIbukan jadi motif utama, tapi jadi cita-cita dari keberpijakansaya di pintu keluar himpunan ini. Bagi saya, bagaimana dengankeluarnya saya itu di samping menjawab motif-motif individualdi atas, saya bisa memanfaatkannya untuk perbaikan38 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —HMI. Dan untuk itu saya membuat memorandum yang berisikritik-kritik dan saran-saran perbaikan. Saya berpayah-payahmembuatnya sebagai sumbangan pikiran saya terakhir padaHMI. Estimasi saya ledakan itu akan akan memaksa adanyaperbaikan. Mudah-mudahan. Persoalannya apakah ledakan itucukup keras. Ada motif, ada cita-cita. Cita-cita sudah ada sebelummotif itu timbul, dan masih ada setelah motif itu “tersalurkan”.Cita-cita terhadap kedua itu berpijak di atas motif tadi.Apakah saya berlaku egoistis?Terserah. Tapi adakah manusia yang bersedia tidak “egoistis”bila pribadinya hendak dikekang dan pengembangan berpikirnyahendak dimatikan? Masalahnya bagaimana motif-motifindividual yang ada pada seorang manusia itu bisa sinkron atautidak mengganggu kepentingan komunal. Ikhlas, ikhlas... ikhlasdalam arti kehilangan motif-motif individualnya itu sebetulnyatidak ada. Manusia yang kehilangan motif-motif individualnyatidak bisa energetic, ambitious dan mampu melakukan pembaharuan-pembaharuan.Lalu apakah ini sekedar rasionalisasiatau usaha pembenaran akan langkah-langkah saya di atas denganmencarikan argumentasi yang “eksistensialistis”? Sekedarmenutupi kelemahan-kelemahan dan ketidakikhlasanku denganteori muluk-muluk?Berpikir memang tak habis-habisnya. Kepuasan kepuasantak pernah tercapai. Berpikir, salah, berpikir lagi, salah lagi,berpikir... lagi. Mencari, mencari dan... mencari. Dan mungkinkahargumentasi-argumentasi di atas berubah di suatu saat?Mungkinkah motiv-motiv individual itu menjadi lain perumusannya?Bila memang manusia itu harus selalu bertanya, mungkinkahakhirnya saya bertanya apakah pertanyaan-pertanyaanIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 39


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —itu selalu perlu? Dan tidakkah yang terakhir ini pertanyaanterhadap pertanyaan? Bagaimana bila yang lebih terakhir iniditanya lagi? Kalau bagitu tak ada persoalan yang pernah selesai,karena kata “pertanyaan” belum pernah hilang. Dan manusiaterus menerus tak pernah puas dan semakin tidak puas.Tapi karena kita akan mungkin lebih dekat pada kebenaranyang mutlak.Itulah dinamika hidup!Saya pikir manusia itu sebenarnya penuh dengan motifmotifindividual, yang kemudian boleh jadi dirasionalisir sebagaimotiv-motiv komunal sebagai alat pengkelabu. Tapi perludiingat bahwa umumnya rasionalisasi itu berjalan tanpa disadari.Dalam hal ini teori kaum eksistensialis sangat tepat bahwasesungguhnya manusia itu adalah individual dan tidak bisadikotak-kotakkan dalam skema-skema tertentu. Manusia itumenghadapi persoalan-persoalan sendiri dalam bereksistensidengan lingkungannya, yang membuat tiap manusia itu memilikimasalah-masalah sendiri yang tidak dimiliki manusialainnya.Siapa yang mau jadi pahlawan dalam kandang kecil? Siapapun enggan walaupun ragu apakah dia mampu untuk jadipahlawan dalam kandang besar. Nah saya kira yang pentingkita harus mengemukakan pikiran kita dengan terus terangapa adanya, tidak putar-putar berdiplomasi sekedar menghindaripertentangan. Dalam dialog, untuk pencaharian kebenaran,harus dikemukakan apa yang masih terpendam di hati tanparagu-ragu. Dari pertentangan-pertentangan keras akan bisa digalikebenaran-kebenaran baru yang lebih tinggi, dan kita semuaakan dengan sukarela bersama-sama meninggalkan penda-40 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pat-pendapat semula dan memeluk kebenaran-kebenaran baruyang lebih tinggi, baik yang lebih banyak bersumber dari pendapatsendiri maupun yang lebih banyak bersumber dari pendapatlawan. Selain itu, kita harus memanfaatkan sebanyak-banyaknyawaktu yang ada dalam bertemu dengan lawan diskusidan tidak sekedar untuk berbicara tentang persamaan-persamaanpendapat yang sudah ada. Persamaan tidak akan menggugahapa-apa untuk pengembangan diri. Tapi pertentangan justerumempunyai daya rangsang yang tinggi untuk kematangan intelektualdan emosional. Karena itu mumpung masih muda, kejardan carilah lawanmu, berdebatlah. Dengan demikian pribadikita senantiasa akan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan intelektualdan justeru karena kesulitan itulah kita dipaksa untukmaju, dipacu untuk maju. Semua ini jadi semacam peperangan,pemberontakan. Walaupun begitu harus ada saat-saat di manakita sempat berteduh dan beristirahat dan merenung atau berpikirsendiri ataupun bersama-sama untuk mengumpulkan danmengadakan konsolidasi demi menghadapi pertempuran baru.Saat-saat muda yang penuh dengan idealisme dan vitalitas iniharus dipacu secepat-cepatnya untuk memperbanyak modaldiri sebelum mengambil decision yang mantap pada umur yanglebih dewasa nanti.Tuhan, kalau semuanya itu disebut bermimpi, maka ituadalah bermimpi kemuka, dan sama sekali bukan bermimpi kebelakang. Tuhan, aku mohon kekuatan dari-Mu untuk maju,untuk menghindari diri dari kemandegan. Aku tak mau jadipahlawan dalam kandang kecil.26 Oktober 1969Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 41


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Klasifikasi Kosmis dalam Al-Qur’anMenurut saya dalam Al-Qur’an itu memang ada klasifikasi kosmisdari alam ini, tapi tidak satu pun ayat yang menunjukanbahwa dualisme kosmis itu berlaku juga untuk alam manusiaatau masyarakat. Positif-negatif, jantan-betina memang seharusnya.Tapi kaya-miskin, pandai-bodoh bukan seharusnya. Tatatertib kosmis tidak bisa diterapkan pada manusia Karena itumungkinkah interpretasi sejarah ada dalam pengertian sebagaibenang merah di muka kita?3 Nopember 1969Cara-cara Kultural dalam KehidupanMembuktikan diri baik, bukankah dengan menyatakan diri baik,tapi dengan kata dengan kerja yang baik. Membuat orang lainbahagia bukankah dengan menyuruh orang itu bahagia, tapidengan kata dan kerja yang akan membahagiakannya. Mengatakanorang lain salah, bukankah dengan mengumumkan orangitu jelek, tapi dengan gambaran-gambaran yang akan membuatumum berkesimpulan tidak pada orang itu. Membuat orang lainmenangis, bukan dengan menyuruhnya menangis, tapi dengankata dan kerja yang akan membuat orang itu sedih dan menangis.Membuktikan diri terbuka, bukankah dengan mengatakanbahwa diri sudah tidak tertutup, tapi dengan kata dan karyayang menunjukkan dan mengesankan keterbukaan kita.Secara sederhana, saya pikir inilah yang disebut cara kultural.17 Nopember 196942 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pengembaraan Abadi?Saya tidak tahu apakah saya sudah berpikir terkutuk terlibatdalam pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah selesai.Mungkinkah semua itu akan membenamkan aku dalam pengembaraanabadi? Ah, beribu-ribu soal timbul di hati. Ratusanpertanyaan bergejolak di kepala tak diketahui jawabannya.Sayang sekali, tak seorang pun yang bisa mengerti bahwa pergelutanjenis ini mustahil terjawab dalam forum interen.29 Nopember 1969Aku Bukan WahibAku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir,bukan Marx, dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan... akubukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terusmenerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukanaku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berprosesmenjadi aku.Aku adalah aku, pada saat sakratul maut!1 Desember 1969Ajaran <strong>Islam</strong> dan Nilai Budaya ModerenApakah nilai-nilai budaya moderen itu mendapat support dariajaran <strong>Islam</strong>? Atau bahkan merupakan nilai-nilai <strong>Islam</strong> sendiri?Tetapi apakah nilai-nilai budaya yang sudah dianggapmoderen itu sendiri tetap? Kemanakah kira-kira kemungkinanIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 43


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —perubahannya? Pemahamanku sampai kini pada ajaran <strong>Islam</strong>menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya moderen tidak senafasdengan ajaran <strong>Islam</strong>. Karena itu <strong>Islam</strong> tidak mensupport apalagiuntuk dikatakan merupakan nilai-nilai <strong>Islam</strong> sendiri. Kelihatannyadalam ajaran <strong>Islam</strong> ada unsur penyerahan, unsur puasterhadap kurnia Allah, unsur nrimo, qanaah, waro yang karenaitu tidak sesuai dengan vasilitas nilai-nilai budaya moderen.Tapi mudah-mudahan kesimpulan saya ini sekedar karena sayabelum terjun pada fondamen yang lebih mendasar dari ajaranajaran<strong>Islam</strong>.5 Desember 1969Filsuf dan AgamaSeorang filsuf itu sebetulnya tidak perlu beragama dan tidakboleh beragama. Begitu dia beragama, begitu dia berhentijadi filsuf. Untuk masing-masing filsuf itu biarlah ada “agama”sendiri-sendiri yang langsung dia sendiri bicarakan denganTuhan.Saya pikir, agama-agama yang ada sebagai aturan-aturan sekarangini adalah agama untuk orang-orang awam yang kurangberpikir atau yang telah merasa selesai dalam berpikir.Kisahnya, atau malah ini kehebatannya, filsuf adalah orangyang selalu berada dalam krisis. Dan demi kesejahteraan dunia,tidak perlu semua orang tenggelam dalam krisis yang abadi.25 Desember 196944 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Tentang Dua IdulfitriSesungguhnya masalah adanya dua Idulfitri kemarin, merupakanmomentum yang sangat baik bagi kita pencari nilai-nilaidan tafsir-tafsir baru untuk mengemukakan ide-idenya. Momentumtersebut seharusnya digunakan untuk menampilkan kearena polemik dua aliran pikiran yang mendasari adanya duaIdulfitri. Dalam hal ini ada dua pihak yang berbeda pandangansecara fundamental, yang hanya bertahkim pada bunyi nas melulusebagai suatu ayat hukum positif, dan yang menempatkannas sebagai alat untuk mengerti “maksud-maksud” Tuhan yangsebenarnya.Sayang sekali momentum yang sangat baik untuk merombak“penghukum-positifan” dan “pem-prosa-an” nas-nas Qur’andan Hadist itu kurang kita gunakan sebaik-baiknya. Sebuahmomentum telah berlalu dan kita harus menunggu momentumbaru lagi untuk tampil “beralasan” ke arena.26 Desember 1969Dicari: Fiqh BaruYang ada sekarang ini adalah fiqh peristiwa dan bukan fiqh hakekat.Dia hanya memiliki daya laku untuk suatu peristiwa dansama sekali terlepas dari unsur-unsur keabadiannya. Karena itutugas kita sekarang adalah menyalami ide-ide yang terkandungdalam nas-nas Qur’an dan Hadist dan bukan pada bunyi darinas-nas itu sendiri. Kita harus kembali ke belakang pendirianpendirian(hukum-hukum) yang turun 14 abad yang lalu itu.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 45


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Dengan perkataan lain kita harus berpangkal pada apa yangmenyebabkan mungkinya nas-nas itu.Pemecahan dalam diri kita antara menurut apa yang dinamakanfiqh <strong>Islam</strong> dengan perasaan janggal untuk memakainyadalam kondisi sekarang, akan hilang manakala kita sudahmengadakan “ideation” terhadap nas-nas yang kita baca danmelepaskan diri dari lingkungan bunyi-bunyi lahir dari nas-nastersebut. Bunyi-bunyi nas atau ayat-ayat adalah pengucapan situasionaldari suatu ide yang melatar-belakangi. Ayat-ayat itujauh lebih banyak menjawab problem-problem abadi dan universal.Karena itu bukan saja tafsiran yang sudah ada, tapi yanglebih penting lagi ialah berubahnya cara mentafsir karena bergeraknyanilai-nilai budaya. Kita bukan hanya perlu mengadakanperemajaan interpretasi tapi yang lebih penting lagi ialahgerakan transformasi. Peremajaan interpretasi hanya berarti suatudinamika dalam suatu ruangan terkungkung dan berbatas.Jadi hanya sekedar rethinking sahih dan dhoifnya hadist, mempertahankankembali langkah-langkah para sahabat dan lainlainlagi. Kita tetap dalam kepungan atau lingkaran. Dominasihuruf. Sebaliknya dengan gerakan tranformasi kita mengadakanperubahan tidak hanya interpretasi kata-kata Arab seperti sahihdhaif dan sebagainya, tapi juga perubahan dalam menentukansumber hukum yakni bukan Cuma Qur’an dan Sunnah, tapitak kalah pentingnya: kondisi sosial pada tiga sumber itu akalbekerja, mengumpulkan ide-ide yang dikandungnya, kemudianmembawa ide-ide itu beriteraksi dengan kondisi sosial masakini untuk melahirkan fiqh baru!Saya pikir ketentuan-ketentuan aqidah dan syari’ah yangada sekarang ini sekedar meniru yang lama-lama dalam ling-46 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —karan besar lama atau sekedar berputar-putar atau meluas danmeminggir dalam lingkaran sosial lama. Ulama-ulama yangmenentukan aqidah dan syari’ah sekarang ini, tubuhnya adapada lingkaran sosial baru, tapi kepalanya masih ada dalamlingkaran sosial lama. Karena itu tidak heran kalau terjadi splitpribadi, banyak hipokrisi dan perpecahan antara golongan <strong>Islam</strong>dengan dunia moderen.Fiqh merupakan hasil sekularisasi ajaran <strong>Islam</strong> di suatutempat dan waktu. Menurut saya, Qur’an dan Hadist itu fiqhpertama di kalangan umat islam. Sehingga Al-Qur’an merupakanhasil sekularisasi ajaran <strong>Islam</strong> di zaman nabi. PelakunyaTuhan sendiri. Dan hadist saya pikir, merupakan hasil sekularisasiajaran <strong>Islam</strong> di Zaman nabi. Pelakunya: Muhamad.Tetapi karena kedudukannya sebagai fiqh pertama, makadia mempunyai tempat istimewa yang jauh diatas fiqh-fiqhlainnya yang datang sesudahnya. Karena kita tidak tahu pastibagaimana sesungguhnya kehendak Tuhan dan Nabi yangasli dan masih belum “diterjemahkan”, yang azali, yang mencakupseluruh ruang dan waktu, maka fiqh pertama itu sekaligusmerupakan sumber yang paling tinggi dan paling “kompeten”.Karena itu kalau fiqh-fiqh sesudahnya hanya memilikistatus “penafsir”, “hasil pemahaman” dan nilai “patut didengarperkembangannya”, maka fiqh pertama itu memiliki status “fenomena”dengan mana selanjutnya kita mencari ide-ide di belakangfenomena itu: dan karena itu dia memiliki nilai “harusdisalami ide-idenya”.Tentunya ada banyak ayat Qur’an dan Hadist yang merupakanhasil sekularisasi “transmitif ” atau “transmigratif ” atau“translatif, karenanya memiliki daya cakup seluruh ruang danIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 47


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —waktu. Sekularisasi di situ hanya berisi “penterjemahan bahasa”.Ayat –ayat lain adalah hasil dari “sekularisasi transformatif ”pada ruang Arab dan waktu abad ke 14. Pada yang terakhirinilah “proses” ideation terasa sangat urgent. Sedang pada yangpertama kita lihat bahwa di situ “fenomena” dapat dikatakansekaligus merupakan “idea sederhana” atau “idea tingkat manusia”.Adanya pertanyaan “apakah agama yang harus menyesuaikandiri pada perkembangan masyarakat?” adalah pertanyaanyang salah, immaterial. Bagaimana sebagai ajaran Tuhan dipertanyakandemikian, kan tidak ada persoalan untuk menyesuaikandiri atau tidak dengan perkembangan masyarakat? Yangmenyesuaikan diri itu adalah tidak dengan perkembangan masyarakat?Yang menyesuaikan diri itu adalah hukum yang bertolakdari ajaran Tuhan atau fiqh itulah. Tidak ada hukum yangyang melepaskan diri dari perkembangan masyarakat tempathukum itu mau dilaksanakan, bila hukum itu bertujuan untukmengatur dan menyejahterakan masyarakat. Jadi bukan agamayang menyesuaikan diri, tapi fiqh.Dengan ideation, sekaligus berarti bahwa kita mengadakanabstraction. Dengan demikian “kehendak Tuhan” yang aslikita tangkap dan melepaskannya dari ikatan-ikatan tempat danwaktu.24 Januari 1970Kita orang-orang <strong>Islam</strong> sangat memperhatikan hukum-hukumagama (fiqh) dan hampir sama sekali tidak memperhatikanmasalah-masalah ketuhanan. Faham kita tentang ketuhanan48 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sangatlah dangkal, mati, tanpa isi, kehilangan intensitas, sedangdiatasnya berpijaklah suatu bangunan rumus-rumus fiqhyang kaku, berbelit-belit, mekanis dan absolut. Tidak herankarenanya <strong>Islam</strong> menjadi “agama patokan”, pagar-pagar batasyang merumuskan ke mana manusia-manusia di seluruh abadharus berjalan dengan mengabaikan sama sekali keunikan danpotensi kreatif yang ada pada tiap-tiap pribadi.Saya pikir, hukum <strong>Islam</strong> itu tidak ada. Yang ada ialah sejarahMuhamad: dan dari sanalah tiap-tiap pribadi kita mengambilpelajaran sendiri-sendiri tentang hubungan dengan Tuhandan sesama manusia. Sejarah Muhammad adalah sumberagama <strong>Islam</strong>. Tapi agama <strong>Islam</strong> bukan satu-satunya petunjukuntuk menjawab persoalan-persoalan hidup muslim, baik individumaupun masyarakat.30 Juli 1970Pembahasan terhadap fiqh terutama di bidang amaliah hampirtidak pernah ada yang serius di kalangan <strong>Islam</strong> karena fiqhmuamalah kecuali di Saudi Arabia yang miskin kaum intelektual,tidak pernah punya kesempatan untuk berpraktek di zamanmoderen ini. Walaupun begini pemikiran untuk melepaskandiri secara sadar dan betul-betul dari Fiqh yang ada belumtimbul.Dunia <strong>Islam</strong> mengalami “konflik bathin”.18 Oktober 1970Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 49


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bid’ah Harus Diperbanyak dalam KebudayaanSaya kira makin moderen atau maju suatu masyarakat akanmakin individualistis sikap-sikap anggotanya, termasuk dalamhubungan dengan Tuhan. Karena itu bentuk-bentuk ritus kolektifseperti sholat Jum’at, puasa dan lain-lainnya akan lebihbanyak menekankan pada cara-cara individual dalam hubungandengan Tuhan atau dalam beragama. Bila sekarang di duniahanya ada beberapa puluh agama dan beberapa ratus mazhab,maka nanti akan tercipta berjuta-juta agama dan mazhab sesuaidengan berjuta-jutanya penduduk dunia. Tiap orang sesuaidengan keunikannya menentukan agamanya sendiri.Semboyan “kembali pada Al-Qur’an dan Hadist” walaupunpada soal-soal ibadat atau upacara-upacara keagamaan, manakaladifahami secara pasif yaitu “kembali bulat-bulat” sepertiNabi Muhammad, akan menimbulkan sikap anti kebudayaandi samping tidak menunjukkan pengertian akan adanya pengertianperkembangan cara berpikir manusia. Demikianlah,disamping kita lihat adanya manfaat-manfaat ekonomis dari sikap-sikapMuhammadiyah dalam masalah upacara perkawinan,sunatan dan lain-lainnya, kita melihat juga adanya kerugiankerugiankultural karena sikap di atas tidak mendasarkan diripada apresiasi yang wajar terhadap kebudayaan. Sampai kiniumat <strong>Islam</strong> belum berhasil membina hubungan yang kreatifdengan Qur’an dan Sunnah.Memang harus diakui bahwa sikap anti bid’ah dalam ibadat-ibadatdan ritus-ritus keagamaan oleh Muhammadiyah banyakmengandung manfaat. Tapi harus diakui juga sikap tersebutjuga mengandung unsur-unsur konservatif yang bahkankadang-kadang terdegradir pada sikap-sikap reaksioner.50 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Dengan pendapat di atas tidaklah berarti saya mendukungacara-acara keagamaan yang penuh bid’ah oleh Nahdlatul Ulama.NU memang terlihat lebih kreatif dengan menunjukkanadanya “change”. Tetapi “change” tidak selalu berarti “progress”,walaupun progress selalu menyarankan adanya change. Lebihlebihlagi bila change yang retrospektif dan tidak bertolak dariapresiasi terhadap urgensi adanya change.Maka yang penting adalah dari titik tolak apa NU menimbulkanbid’ah-bid’ah. Pertama dari perbedaan sumber yang diketahui,dan kedua dari kesadaran bahwa change bisa bermanfaatdan tidak salah. Mana kala yang terakhir ini yang menimbulkan,untuk sebagian ini menunjukkan bahwa NU lebih apresiatifterhadap kebudayaan. Adanya kesadaran akan manfaatchange tersebut! Isi change bisa salah dan bisa benar, dan sikapkonservatif (yang menolak change) adalah sikap yang palingaman dari kemungkinan berbuat salah. Dan andai kata sikapNU di atas dilambari dengan sikap demokratis, jujur dan berwatak,sudah dapat diperkirakan bahwa masa depan NU akanjauh lebih cemerlang daripada Muhammadiyah.Pada hemat saya sikap Muhammadiyah yang konservatifterhadap kebudayaan, sesungguhnya tidak terlalu mengherankanbila kita ingat bahwa gerakan Muhammadiyah bersumberdari gerakan Wahabi di tanah Arab pada akhir abad ke-18. Muhammadiyahakan menemukan kepeloporannya kembali bilamana dalam menerima dan meneruskan ajaran Wahabi (Muhammadbin Abdul Wahab) sekaligus dia berani mengadakankritik keras terhadapnya serta dalam meneruskan cita-cita KiyaiAhmad Dahlan. Pun sekaligus Muhammadiyah harus beranimeneliti beberapa kekurangan beliau.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 51


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Dalam kebudayaan, mau tidak mau, kita harus memperbanyakbid’ah. Karena setiap pekerjaan, termasuk ritus-rituskeagamaan, dikerjakan makhluk yang berkebudayaan, adalahsama sekali tidak mungkin untuk menempatkan ritus-ritus tersebutdalam keadaan telanjang, lepas sama sekali dari kaitanbid’ah kebudayaan. Ritus-ritus itu dikerjakan dalam wadah suatukebudayaan, karena itu membawa konsekuensi bahwa “sikapantagonis terhadap bid’ah-bid’ah kebudayaan dalam penyelenggaraanritus-ritus keagamaan” oleh kaum puritanis <strong>Islam</strong> harusditinjau kembali.Sesungguhnya dikalangan kaum puritanis <strong>Islam</strong> sudah terjadibanyak perubahan dibandingkan dengan kaum puritanpertama di Saudi Arabia abad ke-18 yang lalu. Di Indonesiamereka sudah biasa memakai loudspeakers di mesjid-mesjid,hambal-hambal permadani, ukiran ukiran dinding masjid yangkesemuaannya tidak ada di zaman nabi. Walaupun begitu halhaldi atas rupanya belum, diterima sebagai suatu kesadaranakan hubungan proporsional antara ritus-ritus keagamaan dankebudayaan. Hal ini bisa dilihat bahwa dalam beberapa masalahlain, misalnya dalam upacara kematian, temanten, sunatan,kelahiran dan lain-lain sebagainya dari mereka masih tetap antagonististerhadap kebudayaan dengan semboyan “pemurnianajaran <strong>Islam</strong>” sebagai alasannya.Sikap antagonis ini dimanifestasikan ketidaksukaannyaterhadap suatu macam kebudayaan dengan tidak kreatif, yaitumenciptakan suatu kegiatan kebudayaan yang lebih hidup,lebih prospektif dan biasanya sekaligus lebih kompleks. Dalamwadah-wadah kebudayaan inilah, ritus-ritus keagamaan52 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —itu ditempatkan serta dipajang oleh bid’ah-bid’ah kebudayaanmereka.6 Juni 1970Apakah muhammadiyah berhasil dalam usahannya memberantasapa yang disebut “bid’ah dan khurafat”? Saya kira dalambidang “bid’ah dan khurafat” yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaranNU, Muhammadiyah dapat dikatakan sudah berhasil. Tapidalam menghadapi “bid’ah dan khurafat” yang “ditimbulkan”oleh kebudayaan Indonesia sendiri dan telah melembaga dalamadat istiadat rakyat, Muhammadiyah mengalami kesukaran.Muhammadiyah datang memberantas tanpa supremasi kebudayaandan menyerang tanpa membawa kebudayaan baru yang“bersih” Muhamadiyah cenderung untuk anti kebudayaan!23 Juni 1970DesakralisasiDesaklarisasi. Apakah istilah ini sudah tepat sebagai sinonimdari sekularisasi? Aku ragu. Mungkin semua perbuatan, berdagang,kawin, belajar dan lain-lainnya asal diniatkan juga dalamibadat, maka memiliki nilai sakral. Jadi proses desakralisasitidak boleh. Sekularisasi sebagai approach tidak menghalangikita untuk mencari fondamen yang transendental dan hakekatyang lebih jauh. Saya kira istilah desakralisasi dan detransendentalisasibersifat negatif dan “ruginya” istilah ini bersifatnegatif terhadap fondamen dari segala tingkah laku kita.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 53


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kalau kita mau membahas istilah yang dipakai Nurcholishyaitu de-sakralisasi, beberapa hal mesti diperhatikan. Pertamaharus diketahui bahwa proses desakralisasi itu tertuju padamasalah-masalah yang sesungguhnya tidak sakral, tapi selamaini dianggap sakral, yang karenanya perlu dikembalikan padastatus yang tidak sakral dengan proses desakralisasi. Keduakita harus bertanya, masalah-masalah manakah yang tergolong:1. Masalah sakral: dan 2. Masalah non sakral. Adakahdalam <strong>Islam</strong> perbuatan-perbuatan yang non-sakral? Kesulitanyasaya kira terletak adalam dua pandangan memakai sakralyaitu sakral dalam arti suci dan sakral dalam arti upacarasuci. Disinilah terletak “kurang tepatnya istilah desakralisasi.Tentunya yang dipakai Nurcholish adalah pengertian kedua.Tapi... adakah perbuatan yang non-sakral (bukan upacara suci)sekarang ini dianggap sakral (upacara agama)? Lalu apa yangdimaksud dengan upacara agama? Bila agama memberikanketentuan syarat-syarat syah tidaknya? Perkawinan misalnyasudah jelas sakral (Betulkah sudah jelas? Abadi?). Kalau memangbegitu, maka sekularisasi dalam perkawinan tidak bisa.Jadi sekularisasi sebagai approach hanya ditunjukan pada obyek-obyekyang non-sakral (non upacara agama). Nikah ituibadah atau muamalah? Saya pikir, sakral dan non-sakral atauperubahan dari sakral ke non-sakral, fiqh-lah yang menentukan.Fiqh adalah kunci jawaban.27 Januari 197054 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —<strong>Islam</strong> Cocok dangan Segala Zaman?“<strong>Islam</strong> cocok dengan segala zaman” baru merupakan keinginandan belum/tidak merupakan suatu rumusan ilmiah. Kita belumbisa membedakan antara keinginan dan rumus keilmuan. Dankemudian <strong>Islam</strong> diinterpretasikan menurut keinginan dan tidakmenurut keilmuwan. Membahas secara keilmuwan antara <strong>Islam</strong>dan zaman, berarti mempersiapkan diri untuk sampai padasegala kemungkinan yang mutlak semuanya perlu dijajaki.11 Februari 1970Nilai Budaya <strong>Islam</strong>Nilai budaya yang ideal bagi suatu masyarakat itu selalu berubah-ubahsesuai dengan kebutuhannya. Agama, sebagai wahyuTuhan yang sudah tetap, menurut saya dalam relevansinyadalam kebudayaan ini juga menggariskan suatu sistem nilainilaibudaya yang menurut ajaran <strong>Islam</strong> perlu ada dalam suatumasyarakat yang ideal. Hanya saja sesuai dengan perkembanganmasyarakat yang ideal. Hanya saja sesuai dengan perkembanganmasyarakat, maka di dalam sistem nilai budaya menurut <strong>Islam</strong>ini dibenarkan terjadi gerakan-gerakan untuk menentukansuatu aksentuasi diantara nilai-nilai budaya tadi. Sekali lagi,aksentuasi ini adalah dalam rangka memobilisir nilai-nilaibudaya itu pada keseimbangan yang maksimal.Saya pikir, yang menjadi persoalan apakah betul <strong>Islam</strong>memperbolehkan kita menekankan beberapa nilai-nilai tertentudalam suatu masyarakat? Dan apakah mungkin terjadi keseimbangandalam sistem nilai budaya <strong>Islam</strong> tadi? Dan apakah ma-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 55


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —syarakat <strong>Islam</strong> di zaman Nabi sudah mancapai keseimbanganitu? Tentang tingkat maksimum dalam keseimbangan itu tentunyatidak akan pernah salesai, karena selalu ada tingkat yang“lebih maksimum”. Karena itu maksimum di sini lebih menunjukkansuatu arah gerak yang terus menerus daripada suatutingkat tertentu. Nah, saya pikir masalahnya adalah bagaimanamembina persesuaian antara <strong>Islam</strong>ic values system (transendental?)dengan cultural values system.Kalau dipertanyakan lebih jauh, betulkah nilai-nilai <strong>Islam</strong> itudinamis? Dan apakah yang dimaksud dengan nilai-nilai <strong>Islam</strong>?Menurut saya nilai-nilai <strong>Islam</strong> itu sendiri tetap. Penafsiran tentangisi tiap-tiap nilai itulah yang dinamis. Kalau ada perubahantentang apa saja nilai-nilai <strong>Islam</strong> itu, masalahnya bukanlah kerenanilai-nilai itu sendiri yang berubah, tetapi pengetahuan manusialahyang berubah dalam mencari nilai-nilai itu.5 Februari 1970Pendekatan Mukti AliArnold Toynbee menulis buku yang berjudul Historical Approachto Religion. Terilhami oleh judul buku di atas, Dr. MuktiAli memberi ceramah Religious Approach to Culture. Apakahsebenarnya arti appproach di dalam suatu pembahasaan suatuobyek ilmu pengetahuan? Menurut saya, approach berartimendekati suatu obyek atau peristiwa dengan metode-metodetertentu. Tiap-tiap ilmu memiliki approach sendiri-sendiri disamping obyek dan peristiwa sendiri-sendiri. Dalam sejarahumpamanya, kita mendekati atau membahas peristiwa-peris-56 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tiwa sejarah dengan metode-metode sejarah. Dalam fisika kitamendekati atau membahas peristiwa-peristiwa fisika denganmetode-metode fisika. Bagaimana dengan interdisipliner? Disini kita mendekati atau membahas peristiwa-peristiwa tertentuatau obyek suatu ilmu tertentu dengan metode-metode ilmulain. Approach sejarah pada agama berarti mendekati/membahasperistiwa-peristiwa agama dengan memakai metode-metodeilmu sejarah. Approach fisika pada kimia berarti mendekati/membahas peristiwa-peristiwa kimia dengan memakai metodemetodeilmu fisika (apakah ini yang disebut Physical Chemistry?).Jadi yang berhak meng-approach adalah yang memilikimetode-metode pendekatan yang berarti adalah suatu ilmupengetahuan tertentu.Apakah “agama” sebagai “ilmu” atau “ilmu agama” telahmemiliki metode tertentu? Konkritnya apakah telah ada apayang dinamakan? kalau yang dinamakan ilmu agama itu belumada, maka judul Religious Approach to Culture mengandungsuatu kesalahan yang sangat sub-stantif. Pada hemat saya,apakah yang disebut “ilmu agama; ” sekarang ini belum sampaipada tingkatnya untuk disebut ilmu. Metode-metodenya belumjelas. Paling-paling hanya “mengimpor” metode-metode ilmulain yang sudah ada sebelumnya.Judul yang betul: Approach Ilmu Agama Pada Kebudayaan.Dan dengan demikian beberapa kesalahan telah dilakukan Dr.Mukti Ali yaitu 1. Tidak membedakan antara dirinya sebagaiscientist dan dirinya sebagai muslim: 2. Kurang teguh memakaiukuran-ukuran ilmiah.5 Pebruari 1970Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 57


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Ciri-ciri ApologiaApakah ciri-ciri apologia? Pertama, kalau merasa diserang, yangbersangkutan akan menangkis atau membela diri. Kedua, kalaumerasa akan diserang yang bersangkutan akan bikin “excuse”lebih dulu. Ketiga, ada kecenderungan membangkit-bangkitkankembali hal-hal yang lama. Keempat, tidak jarang mengagungagungkankejayaan masa lampau. Dan kelima, normatif.6 Pebruari 1970Transformasi Ide-ide <strong>Islam</strong>Saya pikir, yang kita tuntut bukan sekedar reinterpretasi, tapisuatu transformasi ide-ide <strong>Islam</strong> pada zaman yang sedang berjalan.Walaupun begitu, pembaharuan yang kita lakukan harusobyektif, artinya bahwa ide-ide bagi adanya pembaharuan itumemang inherent dalam obyek itu sendiri-dalam hal ini ajaran<strong>Islam</strong>-dan sepanjang kemungkinan-kemungkinan yang diberikannya.Melampaui ini maka ide-ide pembaharuan yang kitabuat hanya bernilai sekedar karena perubahan dalam subyekdalamhal ini pikiran kita sendiri-dan menjadilah <strong>Islam</strong> “baru”itu nanti sebagai <strong>Islam</strong> menurut kita sendiri dan bukan “<strong>Islam</strong>baru” menurut <strong>Islam</strong> itu sendiri. Kalo toh memang ada-danmemang semestinya ada-perubahan-perubahan dalam pikiranorang-orang pembaharu sebagai subyek, sejak awal penelitian,itu bukanlah karena perubahan ide-ide atau “pra concept”yang hendak dimasukkan sebagai ide-ide <strong>Islam</strong>, tapi perubahandalam cara dan gerak operasinya pikiran, penyempurnaandalam metode-metode approach dan lebih matangnya pema-58 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —haman peristiwa-peristiwa serta bertambah kayanya pikiranpikirankita oleh macam-macam ilmu pengetahuan. Dengandemikian datangnya pikiran kita mendakati fenomena “wahyudan peristiwa” tetap ada dalam keadaan telanjang-melepaskandulu baju-baju konsep yang ada-tetapi dengan, kekuatan tubuhyang jauh lebih kuat berkat pergelutan kita dengan peristiwaperistiwaalam, kemanusiaan seperti diungkapkan oleh ilmupengetahuan. Jadi yang namanya pembaharuan itu terutamakita lakukan karena dinamika yang obyektif dan kematangansubyektif. Hanya dengan begini kedudukan akal dalam ijtihadharus dipahami.7 Pebruari 1970Yang Penting Bagiku Adalah DialogAku adalah orang yang kurang banyak membaca, sehingabanyak sekali istilah-istilah ilmiah yang tak aku kuasai dalammengungkapkan isi pikiran. Hal ini, untuk sebagian disebabkankarena pendidikan sekolah yang kutempuh selama ini beradadiluar lingkungan ilmu pengetahuan sosial, selain sebagian jugadisebabkan oleh penguasaan bahasa Inggeris-apalagi bahasabahasaasing lainya-yang sangat kurang. Literatur-literatur asingsedikit sekali yang bisa kubaca dan itu lah sebagian sebabnya,metodologi keilmuan tidak saya kuasai dengan baik. Aku tidakmemiliki modal ilmu. Yang kumiliki hanyalah nafsu atau emosiuntuk berfikir terus mencari kebenaran dan berusaha terusmenegakkan kejujuran dan kebaikan. Karena itulah pikiranpikiranyang kukumpulkan dalam tulisan-tulisan lebih banyakIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 59


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sebagai suatu analisa ilmiah. Kebanyakan dari isi pikirankuadalah sekedar hasil dari renungan-renugan sewaktu makan,tiduran, naik sepeda, jalan kaki sepanjang jalan raya, nontonfilem, naik spur dan lain-lain tanpa suatu basis ilmu yangmemadai.Jaganlah anda tanya padaku bagaimana tentang isi sebuahbuku yang baru selesai kubaca. Aku tidak pernah ingat denganbaik akan isinya dan aku memang tidak pernah berusahamengingatnya, walaupun aku bukanlah orang yang merasatidak beruntung mengingatnya. Syukurlah kalau kebetulan masihada yang teringat dan tidak apalah bila telah melupakannyasemua. Yang penting bagiku adalah dialog yang terjadi antaraaku dan pengarangnya sewaktu tulisan itu kubaca. Aku bukapintu hati dan otakku selebar-lebarnya untuk memperoleh pengaruhdari pengarang itu disamping sekaligus aku berusahamenyaringnya dengan cermat. Aku ingin bahwa dialog denganbuku-buku tidak hanya menambah pengetahuanku tapi lebihlebihlagi membantu dan mempengaruhi sikap hidupku. Karenaitu aku selalu berusaha mencerna, menyaring, mengkritik danmeresapinya agar dia berjabat tangan lebih erat dengan pikiran-pikirandan kepribadian yang sudah ada dan menyempurnakannya.Akupun berusaha, terlebih-lebih lagi, membentukdan mengolahnya agar yang sudah ada dan baru datang itubersenyawa dan menyatu secara serasi dan menemukan suatubentuk pengungkapan baru yang segar sesuai dengan penghayatan-penghayatandalam diriku. Dan yang paling penting adalahusahaku bahwa dialog dengan pikiran-pikiran pengarangitu akan mengantarkan aku pada kebenaran-kebenaran baruyang lebih tinggi. Sikap-sikap seperti ini kulakukan pula bila60 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —aku mengikuti diskusi, mendengarkan ceramah, berdebat ataumenghadiri seminar-seminar. Aku sangat bersedih hati bila setelahselesai diskusi, berdebat, ceramah atau seminar, aku tidakpunya waktu untuk merenungi apa-apa yang baru lewat tiu denganbaik dan leluasa. Sebab hanya dengan merenung dan merenung,apa yang aku lihat, dengar dan rasakan dalam peristiwa-peristiwaitu akan bisa menjelma secara serasi dalam dirikusebagai suatu kesatuan dan membantu mempermatang kepribadianku,dan menambah ilmuku bukan sebagai kumpulanpotongan-potongan tapi sebagai suatu kebulatan sistem.Aku berusaha mencerna, mencoba dan mengasah terusagar apa yang sudah ada itu makin lama makin padat danbulat, agar tercapailah suatu gambaran diri yang konsisten.8 Februari 1970Nabi Level InternasionalSaya heran mengapa Tuhan tidak menurunkan lagi seorangNabi ke dunia ini. Apakah perbedaan kualitatif antara masaIsa dengan masa Muhammad jauh lebih besar dari pada masaMuhammad dengan masa abad 20?Saya rindukan seorang Nabi yang bisa menjawab kemelutkemelutidiil dalam “<strong>Islam</strong>” kini yang bisa berbicara dalam levelinternasional selain memiliki besluit internasional.9 Pebruari 1970Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 61


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kenapa Kritik Golongan Agama Kurang DidengarAda kecenderungan bahwa bila suatu kritik dilancarkan olehgolongan agama, terutama dibidang apa yang disebut “kemaksiatan”,akan kurang didengarkan dan dianggap sudah biasa. Halini di samping pada satu pihak yaitu bahwa golongan agamakurang mampu menterjemahkan ide-idenya dalam bahasabahasasekular plus hipokrisi dari beberapa eksponen merekasendiri, juga disebabkan oleh sikap semi-apriori dan doublestandardyang masih hinggap di banyak teknokrat dan intelektualnon-agama. Karena itu menjadi kewajiban golongan agamauntuk intropeksi mengapa kini mereka sangat tidak berwibawadan menjadi kewajiban pula bagi kaum teknokrat, penguasadan intelektual untuk mengatakkan suatu sikap ilmiah, adildan jujur.Khusus bagi kaum pembaharu, bila sikap-sikap ini sudahhilang, maka berarti rasion d’etre dari eksistensinya sebagaipembaharu di Indonesia sebetulnya sudah hilang pula.9 Pebruari 1970Masuk ke Kubu Kelompok Lain Untuk BerdialogApakah yang mesti dilakukan agar tidak terjadi apa yangdisebut “breakdown of communication” antara tokoh-tokoh/sarjana muslim dengan tokoh-tokoh/sarjana non muslim danantara tokoh-tokoh/sarjana muslim berpendidikan Barat dengantokoh-tokoh/sarjana muslim berpendidikan Arab? Sayapikir, untuk kebaikan bersama dalam hidup berkemanusiaanini, maka peranan utama dipegang oleh tokoh-tokoh/sarjana62 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —muslim yang berpendidikan Barat. Mereka harus mengambilinisiatif untuk melenyapkan jurang komunikasi di atas. Kelompokmuslim moderen ini harus offensif masuk ke buku-bukukelompok lain, berdialog secara bijaksana dan jujur, memahamidan mengerti kelompok masing-masing dan menghilangkankecurigaan-kecurigaan yang tidak perlu.Inisiatif untuk offensif dari kelompok yang lain sukar diharapkan.9 Pebruari 1970Communication Gap di Antara Sesama MuslimAdanya communication gap antara sesama muslim menyebabkanbahwa pertanyaan-pertanyaan dan pikiran-pikiran baruyang di suatu kelompok semasa masih benih atau tunas tidaksegera diketahui kelompok <strong>Islam</strong> yang lain. Sementara itu pertanyaan-pertanyaanterus mencari jawaban dan pikiran-pikiranbaru itu terus mengembangkan diri dalam suatu kelompokmuslim kecil untuk menemukan suatu rumusan yang lebihmantap dan besar. Pada suatu saat pikiran ini tak tertahankanlagi untuk terus-menerus di dalam dan meledaklah dia keluarmenimbulkan kejutan di kalangan muslim, walaupun memangseharusnya demikian.Terlapas dari manfaat besar dengan adanya “shoking”. Makaadanya communication gap ini telah merugikan pengembangandan penyempurnaan ide itu sendiri. Pikiran-pikiran segar yangsebetulnya juga mungkin ada pada beberapa unsur di kalanganlain tidak sempat dihisap lebih dulu oleh kelompok yang me-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 63


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —nimbulkan kejutan tadi. Walaupun begitu “shocking treatment”yang dilancarkan oleh HMI (Nurcholish) harus menyadarkankita bahwa sebetulnya di kalangan muslim sendiri telah lamaterpendam suatu uneg-uneg yang karena kondisi yang kurangfovourable masih ditahan akhirnya keluar juga. Karena itu yangperlu dipikirkan bagaimana sekarang suatu uneg-uneg yangmenyesakkan dada di kalangan sendiri itu bisa memperolehkondisi dan saluran yang baik untuk mengutarakan dirinya.Semua ini layak menjadi bahan pemikiran bersama, agar potensiuntuk berubah dan memperbaharui diri tidak terkekang.Lantas bagaimana jalan keluarnya yang terbaik?Saya pribadi berpendapat, berfikir bebas dan bersikap terbukamerupakan suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawarlagi.11 Pebruari 1970Rukun <strong>Islam</strong> Sentral Edukasi Ajaran <strong>Islam</strong>Rukun <strong>Islam</strong> itu di samping aspeknya yang lain, juga memilikinilai piskologis dan edukatif dalam meresapkan seluruh segiajaran dan amalan-amalan <strong>Islam</strong> yang lain, yang individualmaupun yang sosial, yang rohaniah maupun yang jasmaniah.Karena itu saya cenderung untuk berkata bahwa rukun <strong>Islam</strong>itu merupakan sentral edukasi ajaran <strong>Islam</strong> yang karena itupada prinsipnya tetap dan hanya memiliki variasi dalam pelaksanaannya.12 Pebruari 197064 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Konsepsi <strong>Islam</strong> dan IjtihadPada hemat saya yang disebut konsepsi <strong>Islam</strong> itu adalah suatukonsepsi yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah denganakal manusia sekedar sebagai alat untuk mengerti kehendakAl-Qur’an dan Sunnah. Di situ tidak boleh dimasukkan buahpikiran akal manusia dalam usaha menyelesaikan persoalanpersoalannya.Sebab kalau yang terakhir ini terjadi, maka akanterdapat beberapa konsepsi <strong>Islam</strong> tentang suatu masalah disuatu ruang dan waktu. Dan kalau begitu maka yang disebutkonsepsi <strong>Islam</strong> itu sebetulnya secara implisit tidak ada. Bahkanpada asalnya, apa yang disebut konsepsi <strong>Islam</strong> itu adalah abadidan universal. Dan penjabaran lebih lanjut konsepsi-konsepsiitu masih tetap dalam keinginan abadi dan universal itu berhubungmakin kayanya akal manusia dalam mengerti kehendakQur’an dan Sunnah.Karena itulah tugas ijtihad bukan hanya untuk mengertikehendak Qur’an dan Sunnah (menyusun konsepsi <strong>Islam</strong>), tapijuga untuk menjawab persoalan-persoalan konkrit yang dihadapimasyarakat dengan berpegangan pada ketentuan-ketentuandalam konsepsi <strong>Islam</strong> di atas.Jadi ijtihad merupakan usaha: 1. Menyusun “konsepsi”(pikiran-pikiran) <strong>Islam</strong> yang meliputi masalah aqidah, ibadah,akhlaq. Di sini akal sebagai alat. Sedang; 2. Menjawab persoalan-persoalankemanusiaan yaitu penjabaran konsepsi islam dibidangahklaq dan khilafah termasuk ilmu dan filsafat. Disiniakal sebagai sumber kreasi.12 Pebruari 1970Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 65


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Coretan Kecil di Wisma “Bento”kamar yang sepidan waktu waktu yang kosongtak ada gerakwalau resahwalau gelisahtak ada gairahtanpa maknatanpa peristiwaakankah ruang ini berlaludalam hati yang sendutanpa warisan hatidalam kelicinan waktu hampaRabbi, ya Rabbiaku rindu maknaaku rindu peristiwadalam ukuran beranekauntuk mem-fanadi seluruh hadhiratMu12 Februari 1970HMI Hanyalah Tempat Singgah SementaraKarena keanggotaannya dan pengurusnya yang terus menerusbergantian merupakan suatu flux, maka dari HMI tidak dapatdiharapkan suatu kematangan sikap, kestabilan organisasi dankelengkapan konsepsi. Begitu beberapa orang pimpinannya akanmencapai tingkat kematangan diri itu akan dituangkan pada66 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sikap organisasi-yang notabene memerlukan waktu – begitusudah sampai waktunya bagi dia untuk meninggalkan HMI.HMI hanyalah tempat singah sementara, rumah sementarauntuk membina diri bagi seorang muslim dalam perjalananhidupnya. Kematangan yang dituntut di atas itu hanya mungkinterpenuhi oleh alumninya dan itu sudah di luar lingkunganorganisasi HMI.Karena itu tidak bisa menuntut suatu hal dari HMI samadengan apa yang bisa kita tuntut dari muhammadiyah atau NUatau yang lainnya. Mereka adalah organisasi yang bisa ditinggaliberpuluh-puluh tahun dan orang bisa menempatkan buah darikematangan pengalamannya pada organisasi seperti Muhammadiyahtersebut. Karena itu tidak heran dan sudah sepatutnyabila sikap-sikap yang dikeluarkan HMI itu merupakan sikap-sikapyang tidak lengkap tapi spontan sesuai dengan spontanitaspemuda yang tidak kuat menunggu untuk lengkap dan setelahitu baru bicara dan berbuat. Sikap seperti ini walaupun mengandungkelemahan-kelemahan bukannya jelek atau tidak perlu,malahan perlu dan baik karena dia merupakan pendorongdinamika yang dinafasi kemurnian idealisme yang akan sukarterpelihara manakala seseorang menunggu masa tuanya.Sikap spontan sering diwujudkan dalam bentuk protes. Proteskadang kala memang diperlukan, karena dia membangunkankita dari tidur. Tapi kecenderungan protes sering menjebakdiri sendiri!22 Februari 1970Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 67


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Masalah PembaharuanPertama kali harus diinsyafi bahwa pembaharuan merupakansuatu urgensi yang harus brjalan terus menerus. Tidak bolehada masa istirahat, di mana suatu pemahaman sempat mencapaitingkat establishment tanpa suatu pemahaman lain munculmembanding dan pemahaman itu merupakan suatu kepuasan.Tidak boleh ada masa tenang, dimana suatu pemahaman sempatmendominir pikiran banyak orang dengan aman tenteram,tanpa gangguan-ganggguan “keamanan” dari pemahaman lain.Saya pikir “gangguan” semacam itu mestinya memang adakarena kelemahan-kelemahan tentu terdapat dalam pemahamanyang mendominir tadi. Jadi yang penting dalam proses pemahamanitu adalah suatu pergolakan, suatu gejolak yang terusmenerus, suatu kegelisahan yang abadi dan sama sekali bukankeayeman yang aman, tenang dan lengang.Karena itulah suatu gerakkan pembaharuan adalah suatugerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasamencari dan bertanya tentang yang lebih benar dari yangsudah benar, yang lebih baik dari yang sudah baik. Dengan demikianproses pembaharuan ini merupakan proses yang tidakpernah selesai tapi selalu menjadi selesai. Peninjauan kembaliterus menerus terhadap pikiran-pikiran yang sudah ada karenanyamerupakan suatu keharusan.Manakala suatu organisasi pembaharuan relatif sudah berhentimencari dan bertanya, sudah puas dengan ide-ide yangada, tidak mengadakan kritik-kritik terhadap ide-ide yang hidupdi dalamnya, sudah berhenti gelisah dan gundah, sudahtidak ada lagi gejolak dan pergolakan ide di dalamnya, tak adabenturan-benturan ide yang intensif di tubuhnya, pada saat itu-68 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —lah organisasi pembaharuan itu bisa dikatakan sudah berhentimenjadi organisasi pembaharu. Suatu “shocking” karenanya diperlukanuntuk membangkitkannya lagi atau kalau tidak haruslahir suatu organisasi pembaharu yang baru.6 Maret 1970Dalam masyarakat muslim diseluruh dunia sekarang ini sebetulnyasedang terjadi kontradiksi-kontradiksi sosiologis. Pertama,kontradiksi antara anggapan-anggapan kebudayaan yangada (yang menuntut suatu legalisasi tertentu) dengan rumusrumuslegislatif yang dihasilkan. Kedua, kontradiksi antara tuntutan-tuntutankehidupan dunia yang teknologis maju denganpikiran-pikiran dunia <strong>Islam</strong> yang ada sekarang ini.Kontradiksi-kontradiksi ini menuntut dari kita jawaban-jawabanpenyesuaian yang bila tidak terpenuhi akan terjadi dua halyakni: 1. Kemajuan-kemajuan dalam pemenuhan kebutuhanrohani dan jasmani manusia akan terlambat: 2. dunia muslimakan tergilas oleh kemajuan-kemajuan masyarakat yang lambatatau cepat mesti berjalan. Agaknya yang kedua inilah yang bakalterjadi pada kita, bila dunia <strong>Islam</strong> tetap pada pemikiran-pemikirannyayang ada sekarang. Sedang hal yang pertama tidakakan banyak terjadi karena pimpinan kebudayaan dunia kinitidak ditangan dunia muslim tapi di tangan dunia non-muslim.Karena itu tak ada jalan lagi bagi kita kecuali mengadakan penyesuaian-penyesuaianuntuk melenyapkan kontradiksi di atas.Dan penyesuaian itu adalah pembaharuan di dalam pikiranpikiran<strong>Islam</strong>. Penyesuaian-penyesuaian yang kita lahirkan kiniIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 69


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pada gilirannya nanti akan melahirkan kontradiksi-kontradiksibaru dan untuk itu harus ada penyesuaian-penyesuaian barulagi. Dan ini tidak usah diherankan karena pembaharuanmemang bukan suatu lompatan sekali, melainkan suatu prosesyang karenanya dia harus digerakan secara kontinyu, tegasnya:pembaharuan adalah proses yang tak pernah selesai!10 Maret 1970Sekularisme-sekularisasiSekularime itu anti agama tapi sekularisasi itu netral agama.Sekularisme itu sendiri walaupun untuk mencapainya memerlukansekularisasi (sebagai proses appproach), dia bersikaptidak senang terhadap sekularisasi, karena keterbukaan dankebebasan yang diberikan oleh sekularisasi itu bagi pencaharianhakekat lebih lanjut beyond this world and this time. Sekularisasitidak menghalangi kita untuk mencari kemungkinan adanyaatau menganut adanya the other significance of realities, other/different than those which can be measured by the method ofnatural science. Sekularisasi itu adalah opened process sedangsekularisme adalah closed system.Sekularisasi yang dilambari oleh pemahaman bahwa tidakada nilai yang tetap dan yang tetap hanya Tuhan (iman dantaqwa) akan melahirkan “God without religion”. Pada hematsaya, sekularisasi yang bertolak pada pemikiran bahwa “religionis private business” tidak mengharuskan lahirnya suatu anutan:“God without religion”, karena “religion is private business” akanmembekali setiap pribadi dengan nilai-nilai tertentu yang abadi70 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dan universal yang harus ditegakkan dalam kehidupan bersamannyadi samping beberapa landasan spiritual dan tugas ritualyang harus ada dalam kehidupan pribadinya.Dengan sekularisasi berarti bahwa kita betul-betul memahamitanggungjawab kita sebagai khafifatullah fil ardhi. Hanyadengan demikian akan terlihat bahwa telah terjadi partnershipantara Tuhan dan manusia dalam menulis sejarah (partnershipof God and man in history).Sejauh pengamatan saya, dalam dunia Kristen sendiri sekularisasimasih serba problematis walaupun ada kecenderungankuat untuk menerimanya. Apakah golongan Kristen Indonesiamenerima sekularisasi begitu cepat tanpa sedikitpun kritikterdorong karena alasan-alasan idiil murni ataukah dicampurikarena alasan-alasan politis berhubung dengan kekhawatiranmereka terhadap golongan islam yang dianggap agresif?13 Maret 1970Ide-ide Pembaharuan Nurcholish Madjid 1970Hari Ahad tanggal 15 Maret 1970 yang lalu HMI Yogyakartamengadakan diskusi panel dengan pembicara utama NurcholishMadjid (Ketua Umum PB HMI) dengan mengambil topik MasalahPembaharuan <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>, sesuai dengan papernyayang disajikan pada pertemuan empat organisasi independentingkat pusat di Jakarta tanggal 3 Januari yang lalu.Tanpa hendak melupakan koreksi terhadap kesendatan-kesendatanyang terasa dalam penyelenggaraannya dikarenakanpunctuality yang begitu rendah dengan upacara-upacara for-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 71


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mal-tradisional dan parade sambutan yang menghisap waktu,patutlah kita sampaikan penghargaan pada penyelenggara sebabdiskusi-diskusi semacam itu akan mendorong keras otak kitauntuk lebih berpifir, menampakkan pada kita horison-horisonbaru dan kadang-kadang menyadarkan kita betapa sedikit ilmuyang kita miliki tentang alam dan kehidupan ini.Dua setengah bulan setelah pelemparan pertama ide-idepembaharuannya, nampaknya Nurcholish Madjid belum sempatatau belum mau lebih banyak maju lagi dengan ide-idenyasebagai follow-up logis dari “ide-ide 3 Januari” di Jakarta. Walaupunbegitu problem-problem yang merupakan “matter ofconflict” dalam diskusi itu cukup menarik dan mengesankandengan jelas, betapa dalam lebarnya “communication gap” yangtelah terjadi antara potensi-potensi kaum Muslimin Indonesiatermasuk di kalangan angkatan mudanya.Masalah yang kontroversal dalam diskusi itu berkisar padadua hal. Pertama tentang sekularisasi dari Nurcholish Madjidyang dalam prasaranya disebutkan, bahwa sekularisasi berartimenterjemahkan ajaran <strong>Islam</strong> yang bersifat garis besar itu kedalam kenyataan duniawi; dan bagaimana bentuk terjemahkanatau konkritisasi itu adalah persoalan duniawi dan insani, dimana ijtihad yang terus menerus merupakan kemutlakan. Dipakainyaistilah “me-landing-kan” ajaran <strong>Islam</strong> yang selama inidianggapnya masih terus menerus “mengangkasa” juga dengancatatan bahwa proses landing ini dilakukan juga dengan melihatkenyataan-kenyataan duniawi secara obyektif apa adanya.Dikatakannya bahwa secular berasal dari saeculum yang berartidunia atau lebih tepatnya masa kini (the present age) dankarenanya tidak perlu diberatkan bila disebut bahwa masalah-72 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —masalah material dan moral di dunia ini adalah masalah-masalahsecular. Sedang problem kontroversial kedua ialah tentangide sosialisme dan demokrasi yang menurut Nurcholish harusditerima sebagai tema pokok perjuangan umat <strong>Islam</strong> serta sebagairumusan konkrit dari ajaran yahuddu ‘ala tho’amil miskindan amruhum syuro bainahum dalam Al-Quran. Pikiran ini dikemukakannyasebagai realisasi sikap mental terbuka terhadappuncak-puncak pemikiran manusia tentang masalah-masalahsosial, dari mana pun datangnya faham atau ide itu sebagaimanaorang <strong>Islam</strong> telah berbuka sikapnya terhadap karya orangorangBarat di bidang masalah-masalah kealaman (science dantechnology).Terhadap ide pertama sebagian pembicara menganggapkata “sekularisasi” sebagai istilah yang kabur dan bahkan menyesatkan.Terhadap ide kedua beberapa pembicara menentangdan memandang Nurcholish sebagai tukang tiru atau “Pak Turut”pada ide-ide Barat. Mungkin para penentang ini bertolakdari pemikiran bahwa <strong>Islam</strong> memiliki atau menentukan suatukonsepsi sendiri (walau mungkin belum disusun) tentang masalahyang dipecahkan oleh faham sosialisme dan demokrasidi atas.Saya sendiri berpendapat bahwa apa yang dikemukakanNurcholish tentang yang pertama yaitu sekularisasi adalah benar.Hanya saja sekularisasi bukan itu melulu. Benar, tapi tidakcukup. Adalah kurang terus terang bila Nurcholish mengartikansecular semata-mata dengan dunia atau masa kini dan sekedarmengatakan bahwa semua yang ada kini dan disini adalah halhalsekular: nilai sekular, masyarakat sekular, orang sekular danlain-lain.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 73


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sekular sebagai suatu sifat – misalnya mengenai suatu masyarakatyang menjadi tujuan proses sekularisasi yaitu masyarakatsekular—tidak saja harus didekati dari segi etimologi,tapi lebih penting lagi dari segi terminologi. Dalam pendekatanterminologis, tidak semua orang bisa disebut sekular dantidak semua masyarakat merupakan masyarakat sekular, sebabsekular sudah mempunyai arti terhapusnya campurtangan “agama”(sebagai fenomena sosial atau das sein) dalam pemecahanlangsung masalah-masalah sosial. Karena itu ketika menjelaskanjalannya proses sekularisasi di Amerika dan Inggris, kitatidak heran bila ada sebutan “masyarakat sekular yang pertama”dalam buku Bryan Wilson Religion in Secular Society. KataWilson: “It is perhaps no accident that the world firs secular societiesas generally recognized should be societies in the christianprotestant tradition, but it is increasingly clear that in outsidethat tradition, of which perhaps Japan is the outstanding exampleoutside christendom, similar processes of secularization are inprogres” Kutipan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia7 abad yang lalu (sebagai contoh) tidak dapat disebut masyarakatsekular walaupun ada di lingkungan dunia.Sesungguhnya akan sangat baik bila Nurcholish menjelaskandengan tegas, apa yang sebenarnya menjadi obyek dari sekularisasiyang dia usulkan. Ajaran <strong>Islam</strong>, atau masalah-masalahmasyarakat dan alam ataukah kedua-duanya sekaligus. Yangditerangkannya selama ini dalam ceramah atau diskusi, lebihbanyak yang pertama yaitu sekularisasi ajaran <strong>Islam</strong> yang menurutistilahnya: “melandingkan” ajaran <strong>Islam</strong>. Tentang sekularisasimasalah-masalah masyarakat kurang sekali disinggung, walaupunsebetulnya inilah yang menjadi pertanyaan dan pokok74 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —keberatan di hati banyak orang. Inilah sesungguhnya “matter ofconflict” yang belum sempat terungkap terang dalam diskusi.Masalah sekularisasi ini bukan hanya telah mulai membingungkandunia <strong>Islam</strong>, tapi juga telah lama membuat panik duniaKristen karena telah lebih dulu berjumpa dengan industrialisasi.Tanpa menyinggung social context dari sekularisasi, makaseluruh ide Nurcholish tentang sekularisasi tidak lagi bernilaibaru (bagi dunia <strong>Islam</strong>). Sebagai istilah tidak lagi punya maknadan kekuatan, dan tidak perlu heran bila sebagian orang menyimpulkanbahwa pemakaian istilah itu kabur dan menyesatkan.Bila keadaan seperti ini terus terjadi, maka sebagian dari“ide 3 Januari” sekedar merupakan reformulasi saja dari ide-ideyang telah lama ada di kalangan umat <strong>Islam</strong> seperti Muhammadiyahdan lain-lain yang tercetus karena dulu mereka jugatidak puas terhadap situasi umat <strong>Islam</strong>. Akhirnya pemakaian istilahsekularisasi sekedar mampu membuat “kejutan” (shocking)untuk sementara bagi orang yang selama bertahun-tahun inimenentang sekularisasi dan sekularisme.Dalam masalah yang kedua (penerimaan faham sosialismedan demokrasi) yang dikemukakan dalam realisasi sikap terbuka,sebetulnya kita perlu membedakan antara ilmu pengetahuandan faham yang notabene mungkin banyak menggunakan hasilhasililmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan terkandungatau terumuskan hasil-hasil pemahaman manusia terhadap kenyataan(yang sudah ada). Karena semata-mata merumuskankenyataan maka nilainya universal dan obyektif ( dalam “eksistensinya”) walaupun akan dan harus ada peninjauan dalamessensi tingkat universalitas dan obyektivitasnya. Sedang dalamfaham (isme), selain mungkin telah mencernakan hasil-hasilIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 75


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ilmu pengetahuan, juga terkandung di dalamnya suatu cita(ide) dan beberapa petunjuk dalam usaha pencapaian ide itu.Karena itu di sini juga terkandung nilai-nilai subyektif yangingin ditegakkan dan dijalankan, walaupun bisa saja nilai-nilaisubyektif itu sebagian atau seluruhnya memang baik dan adil.Jadi kalau ilmu pengetahuan itu mencakup satu dimensi masalalu (yang sudah ada), maka faham dalam bentuk yang palingideal mencakup dua dimensi yaitu dimensi masa lalu (meminjamhasil-hasil ilmu pengetahuan tentang kenyataan-kenyataansejarah) ditambah dimensi masa datang yaitu beberapa konsepsicita dan langkah yang ingin direalisir dan dijalankan.Karena umat <strong>Islam</strong> merupakan umat yang “dititipi” Allahdengan beberapa nilai kehidupan tertentu sebagai cita dan pedomandalam melangkah (walaupun tidak merupakan suatukonsepsi), maka level keterbukaan terhadap ilmu pengetahuantidak akan sama dengan level keterbukaannya terhadap faham-faham(isme-isme) walaupun faham-faham itu merupakanpuncak-puncak pemikiran manusia di suatu zaman. Terhadapyang pertama pintu faham seorang muslim terbuka selebar-lebarnyatanpa penyaring sedikit pun. Tapi terhadap yang keduapintu faham itu terbuka dengan memakai penyaring yaitu falsafah<strong>Islam</strong> yang termasuk di dalamnya beberapa nilai pokokkehidupan bersama (sosial) yang dipesankan Allah padanya.Beginilah seharusnya kita menilai, di samping menggunakanakal sebagai sumber kreasi, terhadap masalah sosialisme, humanisme,komunisme atau terhadap kemungkinan penemuanfaham lain yang baru yang lebih baik dari faham-faham diatassebagai hasil jerih payah akal seorang genius baru di antaraumat <strong>Islam</strong> sendiri.76 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Dalam masalah inilah terasa kekurangtelitian Nurcholishdalam fikiran-fikirannya yang kurang menjelaskan perbedaanantara mengadoptir televisi, radio, telefon dan hasil-hasilteknologi Barat lainnya dan menerima ilmu-ilmu sosial karyasarjana Barat dengan masalah mengadoptir faham-faham sosial(isme-isme) yang dicetuskan oleh fikiran-fikiran cemerlangorang Barat seperti sosialisme, demokrasi dan lain-lainnya. Disamping itu masih ada kelemahan lain walaupun kecil, yaitudia kurang membedakan atau telah menganalogikan antaramengadoptir sistem pendidikan sekolah-sekolah Barat, sistempengasramaan anak yatim piatu yang terlingkup sangat kecil itudengan mengadoptir sistem sosial seperti sosialisme dan lainlainyang notabene berlingkup sangat luas. Saya kira masalahinilah yang perlu mendapat jawaban yang lanjut, karena padahakekatnya inilah yang mendasari statemen-statemen yang menolakpendapat Nurcholish tentang sosialisme dan sebagainyaitu. Saya sendiri Cuma kepingin mendudukkan pikiran-pikiranyang centang perenang dikalangan pemikir muslim pada tempatyang wajar, sehingga bisa saling dimengerti untuk kemudianbisa mengkonfrontasikan materi-materinya dan akhirnya bisabersama-sama sampai pada jawaban yang tepat. Komunikasiantar fikiran-fikiran hanya bisa berjalan baik, bila kita berusahadengan sebenar-benarnya untuk mengerti apa yang dimaksudoleh manusia lain yang mungkin dia kurang berhasil mengungkapkandengan jelas. Inilah sesungguhnya esensi dialog.Dalam diskusi kadang-kadang terjadi pemakaian logikaformal yang dibikin-bikin. Logika seperti ini memang enak didengar,membuat audience (pengunjung) gembira dan meriahdan dalam pemikiran awam sang lawan dinilai telah Knock out,Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 77


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —hancur sekali pikul. Tetapi logika lelucon yang sering digunakanoleh beberapa orang yang tidak memberi sumbangan apaapaterhadap ilmu pengetahuan. Juga pemakaian contoh-contohyang terlalu sederhana kalau pokok persoalan tidak sederhana,adalah suatu kesalahan. Ini harus kita hindari walaupun kitaterpaksa berpikir jauh lebih keras. Hanya demikian dialog antarmacam-macam fikiran itu mempunyai nilai kegunaan. Walaupunbegitu terhadap fikiran-fikiran yang menentang pendapatNurcholish melalui tulisan-tulisan di Mimbar Demokrasi, AngkatanBaru, Panji Masyarakat, dan Marcu Suar ataupun langsungmelalui lisan dalam diskusi-diskusi tentang sekularisasi,sosialisme, demokrasi yang menurut Nurcholish layak diterimasebagai rumusan konkrit ajaran <strong>Islam</strong> tentang masyarakat, perludikemukakan beberapa pertimbangan.Tentang sekularisasi perlu diingat bahwa disukai atau tidak,proses sekularisasi mesti terjadi. Sekularisasi merupakan prosessosiologis yang tidak bisa dicegah andaikata kita suka danmerupakan proses yang pasti datang sendiri andaikata kita memangmengharapkannya. Karena itu tugas para pimpinan umatberagama yang menentang ataupun yang membenarkan adalahmerebut inisiatif dalam mengarahkan dan mengisi jiwa manusiadalam jalannya proses itu, dalam hal ini berupa pembaharuan-pembaharuandalam pemikiran teologi dan rumusan-rumusanfiqh dan ushul fiqh yang ada kini, interprestasi tentangmanusia, pengaturan upacara-upacara keagamaan dan lain-lainagar bisa lebih menyentuh hati manusia, terangkat daya gugahnyadan memiliki daya kontrol yang wajar dalam kehidupanpribadi manusia.78 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sesungguhnya umat beragama perlu bertanya apakah sebenarnyaide-ide positif yang mendasari “rumusan-rumusannegatif terhadap agama” dari sekularisasi yang terumus sampaikini. Ide-ide positif itulah yang saya kira perlu kita caridan rumuskan – andaikata ada dan bisa – sehingga diperolehrumusan sekularisasi yang lebih sehat dan lebih dewasa. Kalauini ditemukan mungkin sekali konsep sekularisasi bagaimanaterhadap kini dalam pemahaman orang-orang Barat bisa “disempurnakan”dan dilepaskan dari pengaruh “pengalaman tidakenak dengan agama Kristen” terutama di abad pertengahanyang telah menyebabkan kelahirannya.Sampai kini pengertian dan konsepsi sekularisasi masih terlaluapologis. Karena sekularisasi merupakan proses sosiologis,maka dia tidak akan lepas dari pengaruh “situasi-situasi khusus”dimana dia timbul dan berproses. Sebab itu suatu pertanyaantimbul: mungkinkah bagi kita di Indonesia untuk berbuatlain, jadi mengembang dan mengarahkan sekularisasi itudalam bentuk-bentuk yang lebih sempurna, lebih kreatif dantentu saja lebih manusiawi?Tentang masalah kedua, sosialisme dan demokrasi, kirannyaperlu ditempatkan kembali pada rumusan yang wajar, bahwa<strong>Islam</strong> tidak sama dan memang tidak sama dengan sosialisme,demokrasi, humanisme dan lain-lain (sebagai rumusankonkrit ajaran <strong>Islam</strong> di bidang sosial) tidak berarti menyamakandengan <strong>Islam</strong>. Demikian juga penolakan padanya tak harusberarti mempertentangkannya dengan <strong>Islam</strong>.Persoalannya hanya terletak pada tingkat kebenaran ijtihadmanusia dalam menemukan suatu sistem bagi pemecahanproblem-problem sosialnya di suatu ruang dan waktu. KalauIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 79


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —suatu masalah terletak dalam lingkungan ijtihad sosial, makabenar atau salah hasilnya tidak bisa disimpulkan menyamakanatau mempertentangkannya dengan <strong>Islam</strong> sebagai ajaran, asalkeduannya sama-sama memakai falsafah <strong>Islam</strong> dengan nilai-nilaidasarnya sebagai titik tolak dan alat penyaring, di sampingakalnya sebagai metode (senjata) dan sumber kreasi. Kesamaanlandasan tolak dan alat penyaring antara dua kelompok/manusiadalam ijtihadnya, tidak harus berakhir dengan rumusansistem yang sama.Karena itu setiap konsepsi yang sama atau berbeda denganfikiran kita masing-masing, sama sekali tidak boleh diartikansama atau berbeda dengan ajaran <strong>Islam</strong>. Ajaran <strong>Islam</strong> adalahwahyu Allah yang sudah tertentu yang karena itu bidang inimerupakan daerah monopoli kekuasaan Allah. Sedang sistemsistemsosial adalah untuk sebagian sangat besar terserah padajerih payah fikiran manusia yang karenanya sistem sosial inimerupakan daerah kekuasaan akal manusia. Kedua bidang iniharus kita bedakan agar kita bisa tahu dengan jelas mana daerahpertama dan mana daerah kedua, mana daerah monopoliAllah dan mana daerah yang diserahkan pada fikiran manusiasendiri. Kasarnya mana daerah kekuasaan Allah dan mana daerahlanggungjawab manusia,Pembagian daerah secara fungsional ini perlu agar kita bisameletakkan sesuatu pada tempatnya kembali, dan tidak selalumengasosiasikan setiap hasil daya cipta akal manusia padamasalah dibenarkan atau disalahkan oleh ajaran <strong>Islam</strong>, apalagipada masalah sama atau tidak dengan ajaran <strong>Islam</strong>. Selama ini,batas antara daerah ini telah mienjadi sangat kabur dan bahkansebagian orang muslim cenderung untuk berfikir seolah-80 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —olah <strong>Islam</strong> adalah konsepsi yang lengkap dan berbicara dengankonsepsinya tentang segala segi kehidupan manusia. Ini bertolakuntuk sebagian dari approach yang terbalik terhadap katakata:<strong>Islam</strong> berlaku untuk segala “zaman dan tempat”.lnilah kekeliruan terbesar dunia muslim dalam beberapaabad ini yang mengakibatkan fikiran mereka tidak bisa membuahkankarya apa-apa atau tidak bisa menerima fikiran-fikiranpaling cemerlang dari sistem apa pun. Persoalannya yang utamabukan apakah ajaran <strong>Islam</strong> itu lengkap atau tidak, tetapi denganadanya pembagian daerah kekuasaan persoalannya beralih padaapakah manusia muslim sanggup menghayati dan menerimatanggungjawab dalam daerah kekuasaannya serta dalam kehidupanbersama dalam dunia ini; dengan selanjutnya aktif menciptadi situ sehingga kemudian terbinalah partnership sebaikbaiknyaantara Allah dan manusia muslim dalam mengukir sejarahmasa depan, Inilah tantangan sejarah yang abadi.20 Maret 1970Ijtihad dan “Restu Tuhan”Dalam ijtihad tentang masalah-masalah individual, seperti aqidah,syariah dan beberapa masalah akhlaq, sebenarnya masingmasingpribadi punya hak untuk ikut serta dan setiap pribadiharus menggunakan haknya. Ijtihad dalam masalah ini tidakbisa sepenuhnya diserahkan pada suatu lembaga tarjih walausangat kompeten sekalipun untuk kemudian menghasilkankeputusan yang berlaku umum. Hati nurani manusia, tegasnyasetiap manusia, barus ikut berbicara tentang apa yang baikIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 81


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bagi dirinya dan pada akhimya hati nuraninya yang berhakmenentukan keputusan setelah mernpertimbangkan pendapatdari ulama-ulama yang ahli.Aqidah, syari’ah dan sebagian dari akhlaq adalah privateconcern. Masing-masing pribadilah, sesuai dengan keunikannya,yang pada akhirnya berhak menentukan dan menafsirkan ketentuan-ketentuanTuhan bagi dirinya. Privatisasi masalah-masalahdi atas, seperti misalnya privatisasi masalah akhlaq/moral,adalah berlainan secara formal dengan posisi moral dalammasyarakat sekular, walaupun mungkin secara material dalampraktek sama saja. Dalam privatisasi di atas, seorang muslimtetap mengambil referensi pada pedoman-pedoman agama.Hanya penafsiran atas pedoman-pedoman tersebutlah yangberbeda-beda sesuai dengan tuntutan hati nurani tiap pribadi.Sedang dalam masyarakat sekular masalahnya sudah menjadinetral agama, sebagaimana ditulis Bryan Wilson dalam Religionin Secular Society:“Many aspects of behaviour which were once moral matters supportedby religious attitudes are now morally neutral. Thus for instancethe matter of dress was in various societies and at uarious Periodsregulated by religious conception. The early Methodists went so faras to specify number of petticoats and their height from the ground,and the Scriptures themselves make prescriptions about a woman’shead and a woman’s arms. Today, with certain reserves about publicdecency (and these are subject to open disputation), dress has becomea morally neutral matter”.Jadi sekali lagi perlu diingat bahwa mungkin saja pakaianseorang wanita <strong>Islam</strong> yang sholeh sama “moderen”nya dengan82 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pakaian seorang wanita yang menerima ide-ide sekularisasi.Yang berbeda adalah titik tolak hati masing-masing, yaitu bahwayang satu dalam menentukan pakaiannya tidak kehilanganreferensinya terhadap ajaran agama, sedang yang lain sudahmelepaskan hubungan dengan ajaran agama. Yang satu merasabahwa Tuhan “merestui” pakaiannya, sedang yang lain sudahtidak lagi mempersoalkan ada tidaknya restu Tuhan.20 Maret 1970Liberalisasi HMI?Dalam masyarakat sekular, sehubungan dengan proses sekularisasi,HMI hendaknya menjadi organisasi pendidikan, bukanorganisasi perjuangan langsung, bila dia masih tetap memakaiatribut <strong>Islam</strong>nya. Sebagai organisasi pendidikan, dia hanya melaksanakankegiatan-kegiatan mendidik, tidak memiliki anggotadalam arti sebagai orang-orang yang masuk guna menegakkansuatu cita kemasyarakatan, tetapi anggota dalam arti orangyang masuk untuk mendidik diri, Ya, kurang lebih macamgereja-lah!Pada hakekatnya anggotanya adalah seluruh mahasiswa,dan karena itu terbuka bagi seluruh mahasiswa, baik yang sudahmenyetujui dasar HMI maupun tidak. Karena itu pula sayakira, masuk ke dalamnya tidak perlu dengan mcngucapkansumpah. Dan organisasi yang berdasarkan <strong>Islam</strong> ini tentu sajaharus terbuka bagi mereka yang beragama <strong>Islam</strong> maupun merekayang non-<strong>Islam</strong> atau belum <strong>Islam</strong>. Saya pikir mahasiswa-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 83


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mahasiswa yang belum menjadi “anggota HMI” bisa saja terdiridari aktivis-aktivis GMNI, PMKRI atau CGMI sekalipun.24 Maret 1970Kontradiksi Sosiologis dan PembaharuanKontradiksi-kontradiksi sosiologis yang memang mesti timbulkapan pun dan di mana pun, harus kita atasi dan hilangkansecara tepat, sadar dan terarah. Janganlah sampai ada di antarakita yang mengharapkan tidak timbulnya lagi kontradiksikontradiksisosiologis setelah kita mengadakau pembaharuan,termasuk pembaharuan yang paling radikal sekalipun. Kitaharus sadar bahwa ide-ide kita akan tumbuh lebih pesat danlebih segar serta langkah-Iangkah kita lebih terkonsolidir justerumelalui proses terus-menerus dari mengatasi dan menghilangkankontradiksi secara tepat. Kontradiksi-kontradiksi akanabadi adanya atau timbul secara beruntun dan karenanya secaraabadi pula kita pecahkan. Inilah hukum dialektis dari prosespembaharuan yang tanpa ujung.Dengan kesediaan kita untuk menyelesaikan setiap kontradiksiyang timbul, akan timbul pula ide-ide secara lebih cepatdan terarah. Masalahnya sekarang beralih pada: bagaimana sekarangini kita merumuskan suatu dasar ide-ide (pemikiran)<strong>Islam</strong> yang integral yang mempunyai kesanggupan tak terbatasuntuk senantiasa mengadakan penyesuaian-penyesuaian (yangberprinsip) antara elemen-elemen yang kontradiktoir tadi, yakniantara penafsiran-penafsiran <strong>Islam</strong> kita dengan tuntutan-tuntutan/kebutuhan-kebutuhankemanusiaan dan perkembangan84 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pola pemikiran manusia. Dengan demikian sejak sekarang inidan seterusnya rumusan pemikiran <strong>Islam</strong> kita akan merupakansuatu kontinyuitas dari tahap-tahap perkembangan ide yangterus menaik. Tahap-tahap perkembangan ide ini akan terjadiuntuk menjawab tahap-tahap perkembangan sosial yang terusmeningkat. Sinkronisasi antara perkembangan ide dan sosialini ikan bisa dilakukan dengan baik bila kita memiliki ilmuuntuk memahami perkembangan sosial dan akibatnya juga perkembanganpemikiran manusia yang terjadi. Dan pengenalankita akan hukum-hukum sejarah, tentang perkembagan sosialini akan menolong kita dalam mengendalikan perkembanganide (pemikiran <strong>Islam</strong>) kita sehingga tetap berada di lingkunganprinsip-prinsip yang ada. Berkat proses pengendalian yangditolong oleh adanya ilmu ini, maka penyesuaian-penyesuaianidiil yang kita lakukan bukan penyesuaian yang pasif karenasekedar menjadi obyek, tapi penyesuaian yang aktif karena kesadarankita sebagai subyek sejarah.Pada hemat saya, pembaharuan ide-ide <strong>Islam</strong> bisa dengantepat dilakukan dan perkembangan idiil dalam masyarakat terkemudikansecara sadar dan terarah, karena adanya hukumhukumsosiologi/sejarah yang obyektif. Tanpa itu para pembaharu<strong>Islam</strong>/Ulama akan sekedar menjadi obyek; dan dalammasyarakat mungkin terjadi kekacauan idiil menurut ukuranmasyarakat muslimin. Kekacauan idiil yang terjadi karena perkembanganidiil terjadi secara spontan dan kaum pembaharu<strong>Islam</strong>/ulama tidak sanggup lagi mempengaruhi proses perkembanganmasyarakat. Di dalam masyarakat terjadi perkembanganidiil yang Sama sekali di luar kendali kaum pembaharu/ulama.Apakah Perkembangan idiil yang spontan dalam masyarakat ituIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 85


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —betul-betul sudah di luar lingkaran <strong>Islam</strong> atau tetap berada didalamnya? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab, karena belumterjadi pembaharuan ide-ide <strong>Islam</strong> yang ada selama ini secaratepat, artinya tidak kehilangan hubungannya dengan perkembanganmasyarakat.Dalam rangka mengarahkan secara sadar perkembanganidiil dalam masyarakat, persoalannya bagi umat <strong>Islam</strong> sebagaisubyek sejarah ialah: apakah mereka mampu menciptakan kemungkinan-kemungkinandalam masyarakat, dalam rangka mengendalikanjalannya hukum-hukum sejarah/sosiologi. Untukini harus dipenuhi dua syarat setelah dilakukan pembaharuanpemikiran <strong>Islam</strong> yaitu: 1. orang-orang <strong>Islam</strong> memegang posisipengendali masyarakat: 2. pengendali-pengendali masyarakatitu sanggup menciptakan “kemungkinan-kemungkinan” itu didalam masyarakat dalam arti menciptakan syarat-syarat dalammana kerjanya hukum-hukum sejarah/sosiologi itu makin lamamakin sesuai dengan kehendak manusia-manusia muslim. Keduasyarat ini rupanya belum bisa terpenuhi oleh orang-orangmuslim, dalam arti bahwa mereka pada umumnya kurang interesanpada masalah-masalah “kebersamaan bangsa”. Merekaeksklusif dan sama sekali berada out of the first eschelon of theGovernment; selanjutnya mereka kebanyakan masih bersikapnormatif, tidak menghayati hukum-hukum sosiologi, sehinggaakan sukar bagi mereka untuk secara kreatif memenuhi syaratnomor 2 di atas. Karena itu andaikata toh mereka memegangkendali pemerintahan dari atas sampai ke bawah, mereka tidakakan dapat bekerjasama dengan ilmu pengetahuan artinya merekaakan gagal mengendali kan masyarakat.86 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Selanjutnya memang layak dipertanyakan apakah pembaharuanberarti juga menerima faham-faham semacam sosialisme,demokrasi dan lain-lain? Saya kira menerima faham-fahamitu tidak termasuk dalam pembaharuan pemikiran <strong>Islam</strong>.Yang termasuk di dalamnya ialah penegasan sikap terbuka, kebebasanberfikir, idea of progress dan lain lainnya. Penerimaansosialisme, demokrasi atau lainnya hanya sekedar contoh dariimplementasi ijtihad pemikiran <strong>Islam</strong> (hasil pembaharuan tadi).Pembaharuan pemikiran <strong>Islam</strong> itu adalah kerja interpretatif, dimana akal sekedar menjadi senjata/metode dan ilmu pengetahuansekedar menjadi pembantu untuk mengerti maksud-maksud<strong>Islam</strong> yang sebenarnya. Sedang implementasi pemikiran<strong>Islam</strong> itu adalah kerja kreatif, di mana akal lebih banyak bekerjasebagai sumber konsepsi-konsepsi baru dan ilmu pengetahuanberperanan sangat utama dalam menetapkan konsepsikonsepsipraktis bagi pencapaian tujuan dari pemikiran <strong>Islam</strong>yang ada.Nah, tantangan terberat bagi pemikir-pemikir muslim ialahbagaimana kita pemikir-pernikir muslim ini menciptakan suatuformasi pemikiran <strong>Islam</strong> yang final, dalam arti bahwa formasipemikiran itu bukan suatu transitory dari formasi pemikiran<strong>Islam</strong> sekarang kepada formasi pemikiran <strong>Islam</strong> itu bertolakdari wahyu-wahyu Tuhan (yang tidak terikat ruang dan waktu).Hal ini tidak berarti bahwa perkembangan-perkembanganpemikiran tidak boleh terjadi; justeru sebaliknya yang perluterjadi yaitu bahwa harus ada perkembangan pemikiran <strong>Islam</strong>yang terus menerus untuk mengisi atau mempersubur formasipemikiran <strong>Islam</strong> di atas. Hanya saja bagi suatu formasi pemikiran<strong>Islam</strong> yang ideal final, perkembangan-perkembangan pe-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 87


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mikiran itu (sebagai respons terhadap kontradiksi-kontradiksisosiologis yang diselesaikan dengan segera, tepat dan terarah)sekedar suatu rangkaian transisi dalam formasi pemikiran yanglebih luas, di mana formasi itu sendiri bukanlah suatu transisi.Ini merupakan tantangan bagi kita, bahwa formasi pemikiran<strong>Islam</strong> yang kita rumuskan harus memiliki “kesiapan-kesiapanidiil” yang tidak terbatas untuk “melayani” perkembangan kemanusiaandan perkembangan pemikiran-pemikiran manusiayang selalu akan melahirkan kontradiksi-kontradiksi baru.Jadi di dalam formasi pemikiran yang final dan paling idealpun masih terjadi dan perlu terjadi perkembangan-perkembanganpemikiran yang merupakan proses dialektis dari timbuldan hilangnya kontradiksi-kontradiksi sosiologis. Proses dialektisdari perkembangan pemikiran ini adalah proses dalammana ketegangan-ketegangan dan ketidakserasian timbul dandihilangkan. Ketegangan-ketegangan ini timbul antara perkembanganpikiran-pikiran manusia dengan pemikiran <strong>Islam</strong> yangkita miliki yang termanifestasi dalam masyarakat muslim. Walaupunbegitu, berkat ilmu pengetahuan yang memungkinkankita mengadakan pengendalian dalam perkembangan sosial,perkembangan pemikiran dalam masyarakat muslim itu tidakterjadi secara spontan tetapi secara sadar dan terarah sesuaidengan cita-cita dalam formasi pemikiran <strong>Islam</strong> yang ideal diatas. Dan proses dialektis dalam masyarakat akan berjalan terusdengan lancar atau dengan tersendat-sendat, dengan halus ataukasar, dengan kesadaran atau dengan spontan. Dalam rangkapembaharuan pemikiran <strong>Islam</strong>, yang paling tepat ialah bahwaperkembangan pemikiran melibatkan diri dalam proses dialektisitu. Tanpa pelibatan diri, maka pemikiran-pemikiran <strong>Islam</strong>88 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —akan tergilas dalam arti “menjadi tua” dan perkembangan idiildalam masyarakat sama sekali di luar kendalinya.Saya pikir, proses pembaharuan yang dialektis itu sebetulnyatelah terjadi di Indonesia walaupun terlambat. Hanya sajapemikiran-pemikiran <strong>Islam</strong> tersebut tidak menempatkan dirisebagai salah satu unsur dalam proses dialektis tadi. Dia berdiridi luarnya, menilai dan menyalahkan. Dia tak tahu apa hakekatnyaapa yang terjadi di depan matanya.27 Maret 1970Potret Para UlamaLihatlah, ulama-ulama <strong>Islam</strong> mau menerapkan hukum-hukumtertentu pada manusia. Tapi sayang, bahwa di sini yang merekaperkembangkan hanyalah bunyi hukum itu dan sangat kurangsekali usaha untuk mengerti dan membahas masalah manusianyasebagai obyek hukum itu. Dengan cara-cara ini, adakahkemungkinan untuk menjadikan hukum itu sendiri sebagaisuatu kesadaran batin dalam hati manusia? Yang terjadi malahsebaliknya, bahwa makin lama orang-orang makin jauh darihukum-hukum yang mereka rumuskan. Sampai di manakahulama-ulama kita-walaupun tidak ahli-cukup memiliki apresiasiterhadap antropologi, sosiologi, kebudayaan, ilmu dan politikdan lain-Iainnya?Bagi saya ulama-ulama seperti Hasbi, Muchtar Jahja, MunawarCholil dan lain-lain tidak berhak untuk menetapkan hukumdalam masalah akhlaq dan khilafah. Bagaimana merekaakan berhasil tepat, bilamana masalah manusia, mayarakat danIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 89


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —lain-lain tidak dikuasainya? Tidak ada kerja kreatif yang merekalakukan. Mereka baru dalam taraf interpretatif.Nah, andaikata hanya tangan kiri Muhammad yang memegangkitab, yaitu Al Hadist, sedang dalam tangan kanannya tidakada Wahyu Allah (AlQur’an), maka dengan tegas aku akanberkata bahwa Karl Marx dan Frederik Engels lebih hebat dariutusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa danpengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiaporang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni sorgatingkat pertama, berkumpul dengan para nabi dan syuhada.Saya kira suasana sekular suatu waktu akan masuk dalamdunia <strong>Islam</strong>. Karena itu tugas ulama-ulama kita ialah bagaimanamengadakan interpretasi dalam bahasa sekular terhadapajaran <strong>Islam</strong>, sehingga ajaran <strong>Islam</strong> itu mampu berbicara padahati manusia sekular dan menyentuh hatinya. Bila persiapanke sini tidak dilakukan, ajaran-ajaran <strong>Islam</strong> akan ditinggalkanorang. Dan kita hanya bisa mengumpat-umpat terhadap zaman.Sejauh pengamatan saya, bahasa ulama kita dalam dakwahnyajuga sangat kurang. Mereka sangat miskin dalam bahasa,sehingga sama sekali tidak mampu mengungkapkan maknadari firrnan-firman Tuhan. Bahasa mereka terasa sangat gersang.Kalau mereka bicara tentang cinta manusia pada Tuhanatau cinta Tuhan pada manusia, maka maksimal bahasa cintanyahanya masuk otak dan tidak memiliki daya tembus ke hati.Mereka bicara tentang cinta tidak sebagaimana makna cintayang ada sebagai bibit-bibit dalam hati setiap manusia. Karenaitu taklah mengherankan kalau dakwah mereka itu terpantulsaja ketika mencoba masuk ke hati.90 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Salah satu sebab pokok dari kekeringan bahasa ini adalahbahwa mereka tidak pernah melakukan imajinasi-imajinasi,sedangkan imajinasi merupakan usaha yang keras dari seluruhpotensi linguistik kita untuk sampai atau mendekati sedekat-dekatnyadasar hati manusia yang paling dalam. Jangankan merekasendiri melakukan imajinasi, terhadap orang yang melakukanimajinasi saja mereka sudah curiga. Firman-firman Tuhanmereka tangkap sebagai formula-formula Hukum positif dansetiap percobaan untuk mengungkapkan yang lebih dalam dariformula-formula itu dianggap terlarang.29 Maret 1970Menyambut Gayungnya GazalbaSebetulnya tidak tepat bila <strong>Islam</strong> dikatakan meliputi agamadan kebudayaan seperti yang dikatakan Gazalba. Dan inilahsebab-sebab idiil yang menyebabkan orang <strong>Islam</strong> itu bersifateksklusif, karena merasa bahwa diri mereka memiliki kekhususan-kekhususantertentu berupa konsepsi tentang kemasyarakatanyang bercorak <strong>Islam</strong>, walaupun mereka sendiri sampaisekarang belum tahu. Pemahaman seperti Gazalba ini pulalahyang mendorong orang untuk apologis dan memasukkan orang<strong>Islam</strong> terpelajar pada sikap mental “curiga” menghadapi konsepsi-konsepsikemasyarakatan Barat. Padahal yang dinamakankonsepsi <strong>Islam</strong> tentang masyarakat itu tidak ada, tidak perluada dan tidak akan ada. Maksimal yang bisa ada ialah konsepsiorang islam yang berfikir tentang konsepsi itu. Dari awal inikedudukannya sama saja dengan konsepsi orang-orang Barat,Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 91


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dan alat penguji tingkat pertama bagi kita hanyalah falsafah<strong>Islam</strong> dengan beberapa nilai-nilai dasarnya. Alat penguji tingkatselanjutnya adalah akal masing-masing orang untuk mengujikapabilitas konsepsi itu. Karena itu kalau Gazalba mengatakanbahwa dunia <strong>Islam</strong> sekarang dilanda krisis konsepsi, tidaklahbetul. Konsepsi <strong>Islam</strong> itu tidak ada, karena itu tidak pernahada krisis.Menurut Gazalba, mesjid merupakan pusat ibadah dan kebudayaan.Betulkah demikian? Saya pikir pemahaman sepertiini memperpanjang apologi dan menyebabkan para khotibmelarikan diri dengan berapologi pada masalah masalah sosial“menurut <strong>Islam</strong>”. Walhasil khotbah-khotbah kehilangan ruhnya,karena masalah falsafah, aqidah dan ibadat kurang dapat pembahasanyang serius.29 Maret 1970Tuhan Egoistis?Andaikata Tuhan sendiri juga berpendapat bahwa inti dari<strong>Islam</strong> itu tauhid, apakah itu tidak menunjukkan bahwa Tuhanitu egoistis?Sayakira pertanyaan macam ini wajar-wajar saja. Bukanpertanyaan gila dan bukan pula pertanyaan sederhana.29 Maret 197092 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bukan RamalanBila hambatan-hambatan teknis, managerial dan mental sudahterkikis merata di seluruh muka bumi, maka komunikasi ideantara tiap-tiap sudut dunia ini akan berjalan lancar. Setiapperkembangan ide yang dicetuskan di suatu sudut dunia, akanbisa diketahui waktu itu juga di sudut-sudut lain yang terjauh.Pada waktu itulah aliran-aliran akan terancam eksistensinya,karena serangan dan kritik yang tidak pernah berhenti akanmenggoncangkan seluruh sendi-sendinya. Pada waktunya aliran-alirandalam faham kemanusiaan akan hapus sebagaimanaterjadi beratus tahun sebelumnya pada faham kealaman yangpaling pertama sekali menjadi ilmu kealaman. Komunikasiyang ketat membuat orang-orang genius tidak sempat membuataliran, kelompok, mazhab atau madrasah. Ulama-ulamatidak sempat mengelompokkan santri-santrinya, idealis-idealisdan politisi-politisi besar tidak sempat menyusun pengikutpengikutnyadan para nabi tidak sempat lagi membangunsebuah umat. Komunikasi ide menghancurkan bangunan-bangunankelompok yang telah ada dan menghembus habisbenih-benih madrasah yang mau dikembangkan. Orang tidakmerasa aman lagi hidup dalam suatu faham kemanusiaan.Satu-satunya pegangan orang hanyalah ilmu pengetahuan dimana “gangguan keamanan” tidak perlu lagi dikhawatirkankarena “ketidakamanan” adalah ilmu pengetahuan itu sendiri:di mana perubahan sikap atau pendapat bukanlah kekafiran,tetapi kemajuan. Akan terjadikah ini?Entahlah, saya bukan meramal!1 April 1970Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 93


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Tentang KeseimbanganKetentuan bahwa dalam hidup seseorang harus ada keseimbanganadalah ketentuan umum, maksudnya suatu ketentuandi mana sebagian besar manusia perlu mentaatinya. Karena ituprinsip keseimbangan itu tidak perlu menghalangi timbulnyabeberapa “Orang aneh” yang tanpa dibuat-buat melepaskanprinsip keseimbangan dalam hidupnya dan mengambil untukdirinya suatu gaya hidup yang ekstrim. Gaya hidup yangekstrim inilah yang dilakukan oleh manusia-manusia besarseperti Karl Marx, Engels, Muhammad, Imam Syafi’i, Einstein,Edison dan lain-lain. Tanpa gaya hidup yang ekstrim bagi diripribadinya, karya-karya mereka tidak akan sehebat yang telahberhasil dicapainya kemampuan manusia itu terbatas. Dan penumpahansebagian sangat besar atau seluruhnya dari potensi,minat dan waktu untuk suatu cabang kehidupan, justeru telahmembawa manusia seluruhnya pada buah-buah pikiran yangsangat cemerlang yang berguna bagi kebahagiaan seluruh umatmanusia. Sebab itu, “ketidak seimbangan hidup” seseoranguntuk suatu yang bermanfaat, bukanlah harus “dibetulkan”melainkan sebaliknya harus disyukuri.Pada tingkat terakhir memang hati nuranilah yang berhakmenentukan benar salahnya suatu sikap yang menyangkutkehidupan pribadi. Tetapi sebelum keputusan diambil, setiappribadi mempunyai kewajiban untuk menelaah pendapat yangtelah ada, yaitu pendapat sesama manusia yang notabene jugamemiliki hati nurani dan apalagi pendapat-pendapat Tuhanyang pernah diturunkan berupa Wahyu. Hanya menyerahkanbahan-bahan pengambilan keputusan pada kemampuan hatinurani sendiri, adalah suatu sikap sombong dan berlawanan94 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dengan sikap manusia yang autentik yaitu sikap terbuka dalamhidup kebersamaannya.Nah, mengambil suatu gaya hidup ekstrim karena panggilanjelas tak mungkin berhenti, sebab orang yang bersangkutanberada dalam kedahagaan yang tidak pernah terpuaskanpada kebenaran atau pengabdian. Manakala kebahagiaan ituadalah kedahagaan pada kebenaran, maka itulah yang mendasariadanya ivory tower yang perlu didiami oleh beberapasarjana yang “bersedia” berkorban. ‘’Ivory towerists” merupakanorang-orang yang tidak puas-puasnya menyelidiki hanyasekedar karena “kerakusan intelektual”, kerakusan untuk menemukankebenaran yang semurni-murninya dan sebanyakbanyaknya.Tetapi ide akan perlunya “Ivory towerists” ini ditentangoleh banyak sarjana. Dua tahun yang lalu ide ini sayakemukakan dan akibatnya: saya mendapat cap yang kurangbaik. Saya tidak tahu bagaimana reaksi peserta up gradingPers IPMI tadi malam. Mudah-mudahan mereka mampu menempatkanurgensi diferensiasi dan spesialisasi dalam cakupanhorison yang lebih luas.3 April 1970Memformulasikan PikiranMembaca buku-buku dari segala macam ilmu dan fahamdan mendengarkan pendapat-pendapat dari segala macam ahliakan memperkaya kita dengan formulasi-formulasi (rumusanrumusan)yang singkat dan kena. Mungkin ada banyak sekalifikiran dan pertanyaan dalam kepala, tetapi selama dia tidakIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 95


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —memperoleh suatu formulasi yang tepat, maka sebagai ide diahanya samar-samar dan sekedar potensial. Kekayaan formulasiakan membuat ide-ide itu menjadi jelas atau riil. Pikiranpikiranyang telah diformulasikan akan mendorong kita padapertanyaan-pertanyaan yang lebih luas lagi yang justeru akanmemperkaya khasanah keilmuan kita. Demikianlah pada suatutingkat, pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaan baru ituyang samar-samar menuntut lahirnya suatu formulasi barudalam pikiran kita. Dengan demikian diri kita akan terusmenerus berkembang.Kemampuan memformulasikan juga akan ditolong olehadanya kebebasan berfikir, yaitu keberanian dalam seluruhpikiran dan perasaan kemanusiaan kita untuk membaca “gerundel-gerundel-nya”dengan terus terang tanpa rasa ketakutansedikitpun termasuk Tuhan atau yang dinamakan “dewa kebenaran”sekalipun. Kebebasan berfikir mendorong Kita untukmengangkat ke atas permukaan apa-apa yang masih tersembunyidi otak dan hati, walaupun pengangkatan ke atas itumungkin akan menampakkan pada kita kepahitan-kepahitanrasa dan menghadapkan kita pada bayangan-bayangan yangtidak kita ingini.Inilah artinya bertanggungjawab terhadap realita-realitadalam diri kita, menjumpainya dengan terus terang dan ramahdan bukan sebaliknya: melarikan diri daripadanya. Dengandemikianlah kemampuan memformulasikan itu akandiperkaya.5 April 197096 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Tentang Dosa Idiil yang TerbesarPenolakan kita terhadap deconcentration of fundamental valuesdikarenakan oleh pemikiran bahwa nilai-nilai yang disajikanajaran <strong>Islam</strong> adalah a well tested framework of values (keadilan,kemerdekaan, kemakmuran, persamaan, kesempatan, penghormatanderajat individu, persaudaraan, pertanggungjawaban,tasamuh dan lain-lain). Tugas pikiran bagi manusia muslimsebagaimana juga secara material bagi manusia-manusia beragamalainnya ialah bagaimana agar nilai-nilai luhur itu hidupsegar sebagai cita abadi dalam setiap pribadi manusia dansetiap individu-individu sosial. Kalau kita sudah sampai padamasalah penyelesaian tugas pemikiran ini, maka di sinilah seluruhakal budi manusia termasuk manusia muslim dikerahkansekuat-kuatnya untuk menemukan suatu sistem sosial yangpaling memungkinkan atau paling menjamin terlaksananyaframework of values di atas. Selanjutnya dalam scope yang lebihkecil, berhubung kita menginginkan individu-individu yangberjiwa merdeka, maka persoalannya bagaimana kita menciptakansuatu sistem pendidikan di sekolah, di masyarakat ataupunsuatu training di kantor, pabrik dan lain sebagainya yang akanmenghidupkan jiwa merdeka.Nah, berhubung kita menginginkan keadilan sosial, makapersoalannya bagaimana kita mengeksploitir kekayaan alamyang ada sebanyak-banyaknya, bagaimana menyalurkan kaumpenganggur ke lapangan-lapangan kerja, bagaimana kita menciptakansistem distribusi yang adil dari kekayaan negara terhadapseluruh penduduknya, bagaimana kita merehabilitirorang-orang cacat dan menyediakan lapangan kerja yang wajarpada mereka. Karenanya tidak sulit untuk dimengerti bah-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 97


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —wa bagaimanapun juga proses penemuan suatu sistem sosialdengan sub-sub sistemnya yang betul-betul ideal mesti mempertimbangkanpengaruh kuat dari kondisi dalam ruang danwaktu di mana penemuan itu hendak diterapkan. Senjata dansumber untuk mempertimbangkan pengaruh kuat itu adalahilmu pengetahuan yang notabene selalu berkembang dan dikembangkanoleh manusia yang beragama <strong>Islam</strong> atau non-<strong>Islam</strong>.Dari gambaran ini jelas bahwa bila kita sudah sampai padapenyelesaian tugas pikiran ini, yaitu sistem sosial dan sub sistemberikutnya, tidak akan ada lagi masalah predikat <strong>Islam</strong>atau non-<strong>Islam</strong> baginya, sesuai atau tidak dengan ajaran Allahdan sebagainya. Allah yang menciptakan ajaran <strong>Islam</strong> ituadalah Tuhan dari seluruh ruang dan waktu. dan karenanyamenjadi logis bila ajaran yang dibenarkannya, yang notabenebernama <strong>Islam</strong> itu, adalah ajaran yang berbicara pada seluruhruang dan waktu, universal dan abadi. Dan karena suatu rumusansistem sosial dan sub-sub sistem di atas berada dalampengaruh ketat ruang dan waktu, serta kemajuan penggunaanilmu pada ruang dan waktu yang bersangkutan, maka kita namanyamendegradir (merendahkan) <strong>Islam</strong> bila “memaksakan”pula adanya suatu predikat <strong>Islam</strong> pada suatu sistem sosial atausub-sub sistemnya. Adalah menghina Tuhan serta mentemporerkandan melokalisirkan <strong>Islam</strong>-walau mungkin tanpa disadari-bilamasih menginginkan tentang adanya suatu konsepsi:sistem pemerintahan <strong>Islam</strong>, sistem moneter menurut <strong>Islam</strong>,sistem pendidikan <strong>Islam</strong>, sistem ekonomi <strong>Islam</strong>, konsepsi keadilansosial menurut <strong>Islam</strong> dan sebagainya. Dan memang telahada eksperimen untuk merealisir keinginan-keinginan di98 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —atas seperti yang telah dilakukan oleh Maududi, Zainal AbidinAhmad ataupun percobaan kecil-kecilan oleh Natsir atau jugaperumusan kembali ide-idenya Ibnu Rusyd dan lain-lainnya.Eksperimen-eksperimen ini tentunya patut dihargai, karenabagaimanapun juga titik tolaknya salah dan dalam prosesnyadia gagal, dia tetap berguna bagi ilmu pengetahuan. Tetapi kalaukita meneliti hasil-hasil eksperimen yang mereka lakukanini, maka menjadi terang bahwa apa yang disebut konsepsiitu sesungguhnya belum merupakan konsepsi, dan apa yangdisebut sistem itu hakekatnya sekedar nilai-nilai yang barupada tingkat uraian-uraian sangat abstrak atau filosofis. Kalaubukan ini yang terjadi, maka hasil-hasil eksperimen itu tidaklagi sekedar bertolak dari interpretasi firman-firman Tuhandan Sunnah, tapi juga bertolak dari hasil-hasil pikiran manusia,termasuk ilmu pengetahuan. Jadi kalau kedua ini terjadimaka yang dirumuskan itu bukan konsepsi <strong>Islam</strong> tetapi konsepsiseorang atau beberapa orang <strong>Islam</strong> yang membawa konsekuensibahwa orang-orang <strong>Islam</strong> yang lain pun bisa membuatkonsepsi yang berlainan sesuai dengan kemampuan akalnyadan pengaruh lingkungannya, dengan nama curian yang samayaitu: konsepsi <strong>Islam</strong>.Bila pemahaman terhadap <strong>Islam</strong> yang semacam itu kitateruskan, yang akan terjadi adalah confusion dan dunia akanterpandang seperti penjara yang membingungkan di manabergerak serba terbatas. Keinginan-keinginan dan pemahamantentang adanya suatu konsepsi <strong>Islam</strong> tentang sistem sosialini berarti hendak meng”agama”kan hal-hal yang non agamadalam pengertian mengabadikan hal-hal yang bersifat “kesesaatan”,meng”transendental”kan yang “immanent”. Kerja-kerjaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 99


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —macam ini sama dengan mendegradir ajaran <strong>Islam</strong> dan inilahdosa idiil yang terbesar!7 April 1970Kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an Berasaldari Siapa?Apakah kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an itu memang asli dariTuhan atau berasal dari Nabi Muhammad sendiri (denganberdasar pada wahyu berupa “inspirasi sadar”) yang diterimadari Tuhan?Kalau yang pertama yang terjadi, maka proses “ideation” akansukar untuk dibenarkan, kata-kata Tuhan itu mesti tertuju padaseluruh ruang dan waktu baik harfiyah maupun maknawi!9 April 1970Mukti Ali dalam TransisiKecenderungan-kecenderungan untuk menyenangkan hati pendengar,merupakan sebagian dari sebab-sebab mengapa kita itutidak konsisten dan bergerak “tidak stabil”.Sebab-sebab lain ialah tidak adanya rekoleksi yaitu perenunganterus menerus pada seluruh pikiran-pikiran yang adadan mengintegrasikannya secara bulat. Tanpa jerih payah yangterus menerus dalam pikiran untuk membulatkan kembali terusmenerus pikiran kita yang sering “pecah” karena perjumpaandengan pikiran-pikiran baru yang tidak pernah berhenti, maka100 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —akan terjadi bahwa satu kaki kita berdiri di sini dan yang sebelahlagi jauh di sana, pokoknya saling berlawanan.Keadaan semacam yang saya gambarkan di atas telah terjadipada Dr. Mukti Ali dalam dua tahun terakhir ini. Dia beradadalam transisi pemikiran dan kelihatannya kurang usaha yangserius untuk segera menyelesaikan proses transisi itu. Ini terjadikarena dia tidak tahu bahwa dia telah terlibat dalam transisi.Dan proses transis selalu dilandasi dengan adanya kontradiksikontradiksi:Sungguh rugi mereka yang mengalami kontradiksitapi tidak menyadarinya dan karenanya penyelesaiannya hanyaterserah pada spontanitas proses yang alamiah, Dan berbahagialahmereka yang menyadari kontradiksi-kontradiksi dalamdirinya dan untuk kemudian berusaha dengan serius menyelesaikannyasehingga dia memperoleh manfaat berupa kemajuankemajuanidiil. Dia maju karena kontradiksi. Dan yang palingrugi adalah orang yang tidak mengalami kontradiksi-kontradiksidalam dirinya.9 April 1970Sikap ApologetikSikap apologetik yang selalu ingin mengadakan pembenaranpembenaran(pembelaan-pembelaan) timbul karena: kekurangmatanganumat <strong>Islam</strong> setelah baru saja lepas dari tindasanumat-umat di luarnya: 2. Proses timbal balik yang terjadimasih menempatkan umat <strong>Islam</strong> sebagai kekuatan kecil yangterkepung dari segala arah.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 101


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Serangan-serangan terhadap umat <strong>Islam</strong> mengakibatkanmereka apologis. Sikap apologis mengakibatkan mereka lebihekslusif dan karenanya lebih terkepung dan sebagainya.10 April 1970Sasaran Lembaga-lembaga <strong>Islam</strong>Satu-satunya arena yang menjadi hak lembaga-Iembaga <strong>Islam</strong>ialah arena pendidikan (pendidikan rohani). Jadi target darisetiap lembaga-Iembaga <strong>Islam</strong> itu adalah target pendidikan,dan karenanya tidak boleh mengejar target-target di luarnyaseperti kekuasaan politik, dominasi ekonomi, superioritasfisik dan lain-Iainnya. Karena tidak satu bidang pun yangkhusus merupakan arena pendidikan, maka lembaga-lembagapendidikan <strong>Islam</strong> itu bisa berupa: organisasi mahasiswa, organisasipelajar, pers, organisasi pemuda, jama’ah mesjid dansebagainya.Semua jalan yang bisa menyampaikan manusia pada pengenalanrahmat Allah dan kedewasaan jiwa bisa ditempuh.Keinginan di luar target ini tidak boleh terjadi pada lembaga-Iembaga<strong>Islam</strong>. Dengan demikian tidak ada lagi organisasi<strong>Islam</strong> seperti sekarang. Yang ada ialah lembaga-lembaga<strong>Islam</strong> yang melakukan public service. Karena misi kerohanianyang dibawa setiap lembaga, maka gambaran lembaga-lembaga<strong>Islam</strong> itu tidak lagi sebagai badan perjuangan, melainkanberkedudukan sebagai suatu “masyarakat rohani” denganpengurus-pengurusnya sebagai penyelenggara atau mungkin102 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —subject service dari masyarakat yang memerlukannya sebagaiobject service.11 April 1970Qur’an Dan Hadist Alat untuk MemahamiSejarah MuhammadMenurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui <strong>Islam</strong>atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran islam, bukanlahQur’an dan Hadist melainkan Sejarah Muhammad BunyiQur’an dan Hadist adalah sebagian dari sumber sejarah dariSejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkanMuhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari SejarahMuhammad ialah: struktur masyarakat waktu itu, kebudayaannya,struktur ekonominya, pola pemerintahannya, hubunganluar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad,pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya.Dengan mengoreksi yang lama dan perumusan kembalibahwa sumber ajaran islam itu adalah Sejarah Nabi, maka apayang hilang selama ini yaitu “historical and social setting” darikedua sumber di atas (Qur’an dan Hadist) bisa kita temukankembali. Dengan menempatkan Sejarah Nabi sebagai sumber,maka Qur’an dan Hadist (“ajaran <strong>Islam</strong>”) tidak lagi diajarkansebagai rumus-rumus abstrak yang harus dilakukan karena kemurniannya,melainkan diajarkan dalam kerangka “the wholehistorical and social setting” waktu itu. Yang tampak bukan lagiformula-formula mati tetapi citra yang jelas tentang kehidupanMuhammad dan ajarannya yang disiarkannya. Yang palingIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 103


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —utama bukan lagi kalimat-kalimat Qur’an dan Hadist, melainkanSejarah Kehidupan Muhammad, di mana kalimat-kalimatQur’an dan Hadist itu adalah sebagian dari alat-alat utama untukmemahaminya. Nah, koreksi ini menghindarkan kita dariformalis-formalis, karena tugas kita yang utama pindah padapersoalan bagaimana kita membawakan (mentransfer) ide yangsebenarnya dari Muhammad (berasal dari Allah) dalam kondisiyang berlain-Iain, Yang harus kita lakukan dalam mentransferini, sesudah dilakukan ideation, yaitu proses transformasi, Bagaimanaproses transformasi ini dilaksanakan? Ini memerlukanbanyak ilmu seperti sosiologi dan lain-lain, Makin komplekssuatu masyarakat, makin sukar pelaksanaan proses transformasiini dan karenanya makin terasa perlunya bantuan dari ilmuilmudi atas untuk menemukan”, “adequate reinterpretation ofthe normative image”Saya kira dengan meletakkan Sejarah Muhammad dan perjuangannyasebagai sumber ajaran <strong>Islam</strong>, maka terlibatlah manusiamuslim dalam tugas historical direction untuk mengisapdari sejarah Muhammad itu sumber terang bagi masa kini. Dalamtugas historical direction ini, aktifitas spiritual dan intelektualmanusia muslim ikur berbicara. Hanya dengan melaksanakantugas ini sebaik-baiknya dan memahami tugas historicaldirection ini sebagai panggilan dan sekaligus kedatangan Tuhanpada diri kita (direct communication with God) bisa memahamiWahyu Allah yang komplit yaitu bahwasanya: Wahyu Allah telahturun juga pada diri kita di samping wahyu terbesar berupaAI-Qur’an pada Muhammad.17 April 1970104 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Teologi <strong>Islam</strong>Bagi terpelajar muslim yang pikiran-pikirannya sudah beyondthe general thought, maka teologi <strong>Islam</strong> yang ada sekarang inisudah tidak mampu menimbulkan dialog lagi dengan pikiranpikiranmereka yang ada. Teori itu sudah kehilangan dayagugahnya dan uraian-uraiannya dinilai terlalu simplistis. Teologi<strong>Islam</strong> yang ada masih berbicara dengan bahasa abad 17dan sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat bahasa abad 20.Lalu apakah problem-problem teologis yang perlu memperolehjawaban para ahli teologi <strong>Islam</strong>? Saya melihat ada tujuh masalah:1. lafadz Al-Qur’an: 2. sumber ajaran <strong>Islam</strong>: 3. taqdir: 4.interpretasi tentang Malaikat: 5. sifat rububiyah – wahyu: 6.course of creation oleh Tuhan: 7. ukuran-ukuran kebenaranpadamanusia dan Tuhan sendiri.Apakah ini menunjukkan bahwa dalam dunia <strong>Islam</strong> menghadapikrisis teologis? Sebelum menjawab itu, apakah ukuranbahwa suatu problem itu disebut krisis? Menurut saya persoalanitu belum begitu hebat untuk disebut krisis teologis. Tetapitidak adanya krisis teologis tidak berarti bahwa upaya pembaharuanteologi <strong>Islam</strong> tidak perlu dilakukan. Pembaharuan sebaiknyamendahului tuntutan yang serius dan jangan menunggukrisis timbul. Dan belum semuanya problem dapat disebutkrisis mungkin disebabkan beberapa hal, umpamanya: 1. arusindustrialisasi yang masih jauh dari pesat dan menyeluruh didunia <strong>Islam</strong>: 2. arus urbanisasi yang belum begitu “mengganas”di dunia <strong>Islam</strong>: 3. kendorya pemikiran-pemikiran baru danpertanyaan-pertanyaan serius terhadap apa yang ada di kalangansarjana teologi muslim: 4. teologi <strong>Islam</strong> yang relatif lebihmemiliki tempat pijak yang tebih stabil dari agama lain.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 105


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Jadi, tidak adanya krisis teologis itu di samping karena belummerupakan tuntuan serius yang mendesak (immediate demands)dari kondisi agraris yang ada juga “ditolong” oleh faktor-faktorsubyektif yaitu lemahnya perkembangan pemikirandi kalangan <strong>Islam</strong>. Tetapi faktor subyektif yang “menolong” inisekaligus telah “menghantam” yaitu bahwa problem-problemteologis yang ada-walaupun belum bernama krisis sama sekalitidak memperoleh jawaban, sementara problem-problem teologisitu semakin besar. Ini menunjukkan bahwa rupa-rupanyafaktor-faktor obyektiflah yang sangat dominan dan kemudianfaktor subyektif sama sekali tak memainkan proses dialektisdengan faktor-faktor obyektif tadi. Ini memberi kesimpulanbahwa suatu waktu akan terbukti jelas betapa saijana-saijana<strong>Islam</strong> lebih banyak defensif dari pada ofensif untuk mengadakan“reserve tackling” Atau “reserve influence” terhadap faktorfaktorobyektif.Ya, saya pikir kurang adanya usaha-usaha untuk mengembangkanfree criticism terhadap ajaran <strong>Islam</strong> menyebabkanumat <strong>Islam</strong> tidak sanggup menelurkan pikiran-pikiran segar.Juga umat <strong>Islam</strong> tidak mampu mengadakan pembedaan-pembedaandalam berfikir. Segala sesuatu dipandang secara sentral.Pengaturan dalam berfikir tak ada, akibatnya tak pernahmemahami persoalan dalam keadaan lebih terurai konkrit danlebih jelas. Berfikir normatif tak akan sampai menjamah hakekatyang obyektif.28 April 1970106 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sikap Ilmiah Sarjana Muslim Belum “Mengrohani”Saya perhatikan, banyak sekali sarjana-sarjana muslim yangsanggup bersikap ilmiah dalam menghadapi problem-problemdalam wiIayah ilmu eksakta seperti fisika, kimia dan lain-Iainnya, bahkan juga dalam ilmu-ilmu sosial. Banyak dari merekayang sanggup menjadi dosen-dosen ilmu eksakta ataupunsosial. Tapi sikap ilmiah ini berhenti bila mereka menghadapiproblem-problem yang berbau agama, misalnya pembahasanpembahasanmasalah agama terutama sebagai fenomena sosial.Ini menunjukkan bahwa sikap ilmiah belum mengrohani.Bagi mereka ilmu pengetahuan baru merupakan kesimpulan-kesimpulaninformasi tentang kenyataan dan “petunjukbuta”, sebaliknya ilmu pengetahuan tidak difahami dan dicernasebagai kesadaran.27 April 1970Hawa Nafsu yang Terkekang MenimbulkanHipokrisiHawa nafsu itu harus dihargai dan disalurkan. Dia tak bolehditentang, dilemahkan atau dibunuh. Kesalahan kita bangsaIndonesia, terutama umat <strong>Islam</strong>, selama ini melakukan“penjijikan” atau “memandang rendah” hawa nafsu dan selalumembawa slogan: harus ikhlas, sukarela, tanpa pamrih, tidakinterest dan lain-lain. Padahal nafsu-nafsu pribadi merupakanmotivasi-motivasi yang sangat berguna untuk memperolehkemajuan. Dan dalam masa pembangunan sekarang ini justeruIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 107


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kita harus bisa mengeksploitir nafsu-nafsu itu untuk lancarnyapembangunan.Bahaya dari pengekangan hawa nafsu ialah menimbulkanmacam-macam kemunafikan. Jadi nafsu hendaknya diarahkandan dikombinir dengan rasio (plus wahyu).28 April 1970Wahyu Turun Secara tak LangsungApakah setelah Muhammad wafat Tuhan tak lagi membimbingmanusia? Ataukah Tuhan terus membimbing manusia? Sayayakin wahyu Tuhan turun terus secara tak langsung padamanusia-rnanusia yang berusaha sesudah Muhammad.29 April 1970HablumminannasAjaran <strong>Islam</strong> tentang hubungan manusia dengan manusia adalahsekedar nilai-nilai moral dan spiritual. Dia bersifat menggugah,merangsang dan mendidik bagi tiap-tiap pribadi, dansama sekali tidak menunjukkan suatu sistem tertentu. Untukmemahami dengan baik nilai-nilai moral dan Spiritual itu,kita harus memahaminya dalam konteks keseluruhan ajaran<strong>Islam</strong> yang memberikan jiwa dan roh pada nilai-nilai tadi. Dibawah nilai-nilai yang muncul ke atas permukaan tadi, terdapatsuatu konsepsi falsafi yang akan lebih mengokohkan kedudukannilai-nilai tadi dalam hidup insani. Tanpa mempelajari dan108 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —menghidupkan penjelasan falsafinya maka nilai-nilai itu tidakakan memiliki kekuatan batiniah yang ampuh.Dalam <strong>Islam</strong> sendiri diajarkan bahwa Tuhan akan mernbimbingmanusia agar tercapai dan terjadi keadaan di manamoral dan spiritual manusia makin lama kian sempurna.4 Mei 1970Hubungan Agama-NegaraDalam semua bidang (aqidah-akhlaq-syari’ah-khilafah) harusdilakukan historical directing. Dalam masalah khilafah tidak adaketentuan lain kecuali: nilai-nilai dasar. Pelaksanaan nilai-nilaidasar ini adalah masalah manusia sepenuhnya, apakah dilaksanakandengan membentuk negara teokratis atau negara sekularatau bentuk-benruk transisi antara keduanya, apakah diperjuangkandengan membentuk partai <strong>Islam</strong> atau partai sekular sekalipun.Manusia muslim bisa memilih sendiri dengan melihatkebutuhan-kebutuhan yang ada dan memperhitungkan efisiensipemerintahan yang harus diciptakan. Karena itu menurut <strong>Islam</strong>,hubungan antara agama dan negara bisa langsung dan bisatidak langsung. Kedua macam hubungan tersebut semata-matamasalah manusia. Yang akhir dari paling akhir yang menjadicita semuanya ialah bahwa tiap-tiap pribadi membawa nafas<strong>Islam</strong> termasuk nilai-nilai dasar sosialnya dalam kehidupandirinya serta terciptanya nilai-nilai dasar itu dalam masyarakatsebagai akibat cita yang pertama. Bila untuk ini Muhammadatau Khalifah Rasyidin membentuk negara teokratis, itu adalahkarena menurut pertimbangan basic demands waktu itu,Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 109


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —seperti faktor-faktor sosiologis, kultural serta pertimbanganefisiensi, yang paling tepat adalah negara teokratis. Karenaitu bila kita sekarang memilih negara yang bertolak belakangdengan negara teokratis misalnya, adalah karena pertimbanganbahwa negara teokratis sama sekali bukan media yang efisienuntuk menegakkan nilai-nilai tadi dalam social setting yangkompleks sekali sekarang ini. Kesimpulannya, bila dalam abadini atau terus selanjutnya nanti kita menentang negara teokratis,bukanlah karena menyalahkan pemikiran Muhammad14 abad yang lampau tetapi sebaliknya justeru kita menerimapemikiran Muhammad secara hidup dan kreatif. AndaikataMuhammad hidup lagi dalam abad ini, kita yakin bahwa diaakan menentang pendirian negara teokratis semacam yangpernah dia dirikan dahulu.6 Mei 1970Yang penting: Berbuat dan Bertanggungjawab!Kalau kita berani berkata bahwa orang yang beragama non-<strong>Islam</strong> itu masuk neraka, atau seorang pencuri itu tak akanmasuk syurga, maka hal itu berarti bahwa kita telah beranimemegang jabatan Tuhan, sebab hanya Tuhanlah yang tahu kemana tiap-tiap orang itu dimasukkan.Yang penting bagi kita ialah berbuat dan bertanggung jawab.Kebenaran adalah sesuatu yang kita usahakan mendapatidan kesalahan adalah sesuatu yang kita usahakan menghindari.Dalam sikap demikian, maka kemungkinan melakukan kebenaranatau kesalahan adalah hirarkis di bawah pentingnya110 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —berbuat dan bertanggung jawab. Lebih baik bebuat, melakukankesalahan dan bertanggung jawab daripada takut bertanggungjawab sebab selalu ragu tentang kebenaran tindak dan karenanyatak pernah berbuat apa-apa.6 Mei 1970Jasa MuhammadiyahApakah jasa-jasa Muhammadiyah dalam moderenisasi sikapberfikir? Pertama, dia berhasil melenyapkan sebagian mentalfeodal dan menghidupkan sikap demokratis, yaitu bahwa tiaptiap orang pada hakekatnya berderajat sama, harus memiIikikepercayaan pada diri sendiri dan tidak boleh menyerahkandiri pada pikiran-pikiran kelompok elite (ulama).Kedua, dia berhasil membuka diri terhadap penggunaanmetode-metode keilmuan yang digunakan oleh orang-orang diluar golongan sendiri, dalam hal ini metode-metode orang Baratyang beragama Kristen.Ketiga, Muhamadiyah berhasil membuat sikap yang lebihrasional dalam menghadapi masalah-masalah dan membersihkannyadari pengaruh tahayul.12 Mei 1970Gambaran Tuhan yang LainTerus terang saja, kalau saya membaca, buku antropologi misalnya,saya tidak merasa wajib sholat lima waktu seperti yangIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 111


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ditentukan selama ini. Bukankah sholat lima waktu itu adalahsuatu bentuk penyembahan Tuhan untuk suatu budaya tertentu?Nah, gambaran-gambaran tentang Tuhan yang ada dalam “ajaran<strong>Islam</strong>” sekarang ini sama sekali tidak bisa dimengerti olehbangsa-bangsa primitif yang kini masih hidup di daerah-daerahterpencil. Demikian juga bentuk ritual seperti shalat, puasadan lain-lain sama sekali tidak dapat menyentuh hati mereka.Gambaran Tuhan dan lain-lain yang bisa mereka fahami adalahgambaran-gambaran konkrit. Melihat ini boleh jadi jelas bahwagambaran-gambaran dalam “ajaran <strong>Islam</strong>” itu tidak sesuai denganlevel berfikir tertentu dan level-level di bawahnya. Nah,kalau kita bisa berkata begitu, maka bukan tidak mungkinbahwa untuk suatu level berfikir tertentu ke atas, gambarangambarandalam Qur’an itu tidak cocok lagi dan gilirannyakini, gambaran-gambaran dalam Qur’an itu dianggap primitif.Untuk level tersebut ke atas diperlukan gambaran Tuhan yanglain dan corak-corak ritual yang lain pula.Apakah gambaran Tuhan dalam Qur’an itu cukup potensialdiinterpretasi bagi level Arab abad ketujuh ke atas?20 Mei 1970Semangat Umat <strong>Islam</strong> Sekarang:Jasa Abduh dan Ameer Ali!Semangat umat <strong>Islam</strong> sekarang adalah semangat Abduh danAmeer Ali yang timbul pada babak pertama dari kesadaranumat <strong>Islam</strong> akan kelemahan dirinya di tengah-tengah menghebatnyaserangan-serangan mengejek dari dunia Barat. Karena112 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —itu tidak heran bila salah satu semangat yang diwariskan keduaorang besar itu adalah semangat apologi yaitu semangat membeladiri dalam segi doktrin (teologi) dengan tema utamanya:<strong>Islam</strong> sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan moderen. Dantentu saja semangat macam ini tidak punya daya problem solving(memecahkan persoalan). Kelemahan-kelemahan sosiologisumat <strong>Islam</strong> tidak akan dapat sama sekali dipecahkan denganapologi teologis. Bagaimanapun kedua orang tokoh itu telahberjasa besar memperlihatkan pada umat <strong>Islam</strong> kelemahankelemahandirinya dan kekuatan-kekuatan fihak lain. Danumat <strong>Islam</strong> semangatnya menyala-nyala kembali, terutamadi kalangan intelektual yang pernah mendapat didikan Barat.Inilah jasa Abduh dan Ameer Ali! Tapi sayang sekali merekagagal dalam memberikan arah atau penyaluran yang tepatdari semangat kebangkitan <strong>Islam</strong> tadi. Karena itu umat <strong>Islam</strong>terus meluncur ke arah kehancuran tanpa sempat dihentikandan pemimpin-pemimpin <strong>Islam</strong> post-Abduh dapat dikatakanmelanjutkan semangat Abduh saja.Apa yang telah terjadi?Reformer baru tak kunjung timbul! Dan sudah lebih setengahabad kaum muslim moderen terbeliak oleh kenikmatankenikmatanide-ide Abduh dan menelannya begitu saja!23 Juli 1970Kesempurnaan <strong>Islam</strong><strong>Islam</strong> itu telah sempurna sebagai sumber moral yang mengilhami,nur kejiwaan yang menerangi. Lebih dari itu tidakIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 113


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ada, karena itu akan bertentangan dengan kesempurnaannyasendiri. Oleh sebab itu sangat tidak tepat bila difahami bahwa<strong>Islam</strong> telah sempurna sebagai peraturan atau pedoman tingkahlaku, sebagai hukum-hukum kehidupan manusia. Nah, sumbermoral itu sekedar memberikan titik tolak yang “penuh gairah”.Selanjutnya segala persoalan harus dilihat dalam historicalsettingnya, keunikan suatu masyarakat dan sejarahnya dankeunikan tiap-tiap individu.1 Agustus 1970Sikap Insan MerdekaCara bersikap kita terhadap ajaran <strong>Islam</strong>, Qur’an dan lainlainsebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitudari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdekayaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif. Kita janganlagi merumuskan kejayaan kita karena adanya <strong>Islam</strong> sebagaitempat kita berpijak, melainkan: bahwa kejayaan kita terletakpada potensi-potensi diri kita sendiri sesuai dengan dorongandoronganmoral yang ada dalam ajaran <strong>Islam</strong>. Kunci pemikiranharus diletakkan pada fungsionalisasi <strong>Islam</strong> dalam kreatifitaspribadi-pribadi kita dan bukan lagi pada status ajaran <strong>Islam</strong>dalam kehidupan kita!<strong>Islam</strong> jangan lagi dipandang sebagai bangunan emas yangmegah yang bisa dipuja dimana kita mungkin hidup di dalamnyadengan berbuat atau tidak berbuat, tapi <strong>Islam</strong> bisa ada atautidak ada tergantung pada ada atau tidak adanya kekerasan ker-114 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ja dalam diri kita masing-masing untuk mengamalkan ajaranajaranspiritual <strong>Islam</strong>.Dengan demikian <strong>Islam</strong> tidak perlu dicari pada rumah ataulingkungan kita tapi sebaliknya dalam gejolak tiap-tiap pribadiyang berkarya.16 Agustus 1970Sebab-sebab Kemunduran <strong>Islam</strong>pada Abad 11-15Saya kira sebab-sebab kemunduran <strong>Islam</strong> pada abad 11-15adalah pertama tiadanya kesadaran akan pluralitas dimana sudahwaktunya dunia <strong>Islam</strong> tidak diharuskan merupakan suatukerajaan atau bizantium. Tiadanya kesadaran ini menyebabkankondisi-kondisi lingkungan tertolak peranannya dalam politikpemerintahan, dan setiap usaha untuk membentuk negarasendiri yang berdaulat penuh dianggap pengkhianatan. Daerahdaerahyang tidak puas pada pusat pemerintahan merupakandaerah subur bagi aliran-aliran baru.Sebab kedua adalah matinya sama sekali individualitas. Padahalindividualisme yang cukup punya dasar dalam sejarahnabi seharusnya perlu dipelihara dan dikembangkan. Akibatnyatimbullah taqlid-taqlid, sementara itu ijtihad tertutup, pikiranpikiranmati dan khurafat-khurafat jadi subur. Pokoknya umatjadi melempem dan fatalistis.16 Oktober 1970Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 115


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Percobaan ke Arah Memahami <strong>Islam</strong>Titik tolak pemahaman1. Adalah tidak mungkin bagi manusia para pengikut Muhammaduntuk berhasil memahami <strong>Islam</strong> (yang sebenarnya)sebagaimana Allah maksudkan. Kemampuan manusia sekedarmenduga dan meraba dengan seluruh potensi pribadinya terhadaptetinggal-tetinggal para Nabi/Rasul Allah serta peristiwaperistiwaalam dan sejarah kemanusiaan yang sudah ada.2. Pelimpahan hidayat Allah tertuju pada seluruh manusiadi segala ruang dan waktu dengan potensi yang sama. Dalamgaris umum, umat manusia sebagaimana terlihat pada bangsabangsa(dimensi ruang) serta dalam sejarah (dimensi waktu)terus mengalami perkembangan menaik, termasuk nilai-nilaibudaya dan kemampuan berfikir dan imajinasinya. Perkembanganini sesuai dengan sifat rububiyah Allah bahwasanyaalam dan manusia ini selalu dalam proses penciptaannya denganpembinaan tahap demi tahap ke arah lebih sempurna.Dalam kehidupannya, manusia diserahi oleh Allah tanggungjawab(sebagai khalifatullah fil ardhi) dengan ukuran yang makinlama makin besar sesuai dengan kemakin-dewasaannya (kemakin-sempurnaannya).Prasyarat penyerahan tanggungjawab ialahpelimpahan kebebasan yang sebanding dan sewajarnya.3. <strong>Islam</strong> sebagai ajaran Allah adalah tunggal, terlepas darianeka ragamnya ruang dan waktu. Para Rasul dan Nabilahyang kemudian “membawa” <strong>Islam</strong> meruang dan mewaktu. Karenaitu tidak semua yang diucapkan dan ditindakkan nabi itubisa diidentikkan dengan ajaran Allah (<strong>Islam</strong>). Nabi/Rasul adalah“penterjemah” ajaran langit pada realitas bumi.116 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pokok pemahaman1. Secara formal-teoritis harus dibedakan antara Muhammadsebagai Rasul (corong ajaran Allah) dengan Muhammad sebagaimanusia penuh hidayat (suami, panglima perang, kepalanegara dan lain-lain). Yang pertama adalah “penghantar” ajaran<strong>Islam</strong> (yang transendental) sedang yang kedua pencipta modusmoduskondisional (yang immanent), Perlu diperhatikan, di sinisaya sama sekali tidak mengidentikkan perbandingan ajaran<strong>Islam</strong> modusnya Muhammad dengan perbandingan Qur’an-Sunnah/Hadist atau dengan perbandingan hubungan vertikalhubunganhorisontal.Ajaran <strong>Islam</strong> berstatus sebagai “perintah” yang mutlak harusdiikuti (karena dia adalah ajaran universal dan abadi dariAllah), sedang modusnya Muhammad berstatus sebagai “contobkondisional” yang harus dimengerti dan diambil pelajaran.2. Secara material-praktis keduanya sudah bersenyawa dalamdunia immanent dan tidak ada kemungkinan bagi manusiauntuk berhasil membedakannya. Walaupun begitu, persenyawaandi atas dalam mana keduanya telah bersatu atau menyatu-bulatdalam bentuk ucap-tindak Muhammad, telah tercatatsebagai sesuatu yang telah pernah terjadi dalam suatu momensejarah, yakni di tanah Arab sekitar abad ke-6 Masehi. Jadimomen sejarah itu memuat buah sejarah berupa ucap-tindakMuhammad (Qur’an, Hadist, Sunnah fi’liyah dan Sunnah taqririyah). Buah sejarah adalah hasil interaksi “kondisi subyektif” dengan kondisi obyektif suatu masyarakat. Jadi ajaran <strong>Islam</strong>telah mendunia (meruang-waktu) pada kondisi obyektiftertentu dalam bentuk Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lainQur’an dan Sunnah tidak akan dapat terpahami dengan benarIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 117


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tanpa memahami kaitannya dengan historical setting yang mewadahinya.Buah sejarah dan wadahnya ini terangkum dalam“sejarah Nabi Muhammad”. Pemahaman sejarah Muhammadsangat erat berkaitan dengan pemahaman sejarah rasul-rasulsebelumnya serta sejarah dunia yang mendahului dan membarenginya.Termasuk dalam sejarah Muhammad di antaranya:struktur masyarakat, struktur ekonomi, hubungan denganbangsa-bangsa lain, kondisi kebudayaan waktu itu dan lainlain.Karena itu jauh lebih tepat bila dikatakan: sumber untukmenggali/memahami ajaran <strong>Islam</strong> adalah Sejarah Nabi Muhammaddan tidak sekedar Qur’an dan Sunnah. Qur’an dan Sunnahadalah sebagian dari sejarah nabi dan sekaligus merupakan“penolong suci” untuk ikut mengerti sejarah nabi. Sejarah NabiMuhammad adalah “duplikat” atau “foto” dari ajaran <strong>Islam</strong>, danbukan ajaran <strong>Islam</strong> itu sendiri. Dari fotonya kita berusaha memahamiaslinya.3. Bersumber pada sejarah nabi berarti bahwa manusiamuslim harus mengadakan abstraksi dan selalu mernbandingkanhistorical settingnya. Dengan demikian hubungan seorangmuslim dengan Nabi Muhammad merupakan hubungan yangkreatif. Karenanya tidak semua ucap-tindak Muhammad harusditiru. Kita letakkan beliau sebagai contoh yang baik (uswatunhasanah) dari mana kita harus banyak belajar. Gambaran lengkapdari “uswatun hasanah” beliau adalah sejarahnya.4. Dengan demikian tidak tepat bila <strong>Islam</strong> difahami sebagaipatokan-patokan atau garis-garis batas bagi karya-karya manusia,dan Allah sebagai zat pengatur segala macam tindak manusia.Menurut saya, Allah adalah pusat otorita ethis dan <strong>Islam</strong>adalah sumber kekuatan moral (spiritual) implisit beberapa nilai118 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kepribadian. Nilai-nilai kepribadian atau nilai-nilai dasar <strong>Islam</strong>ini bisa “ditemukan” dengan melihat persamaan-persamaan dalamucap-tindakan seluruh rasul-rasul Allah.Penggalian dan penjiwaan kekuatan moral itu dilakukandengan: a. Alat pemikiran, yaitu pendekatan rasional terhadapsejarah Nabi. b. Alat perasaan, yaitu pendekatan emotif terhadapsejarah Nabi terutama Al-Qur’an yang sangat berpotensisebagai “puisi-puisi ilahiyat” yang kaya akan daya gugah ethis.5. <strong>Islam</strong> adalah agama pribadi, sebagai sumber kekuatanmoral. Selanjutnya dia menjiwai/mendasari setiap pribadi muslimdalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat (bernegara,berkeluarga, berdagang, berpartai, bergaul dan lain sebagainya).Usaha meng-<strong>Islam</strong>kan selain pribadi-pribadi tidak perlu diidentikkanatau dipertentangkan dengan <strong>Islam</strong>.6. “Penilaian agamis” (berpahala, berdosa, kafir dan lainlain)terhadap pribadi lain, tidak tepat bila dipraktekkan olehmanusia karena pengetahuan manusia yang sangat terbatas tentangpribadi-pribadi lain. Pandangan-pandangan lahiriyah akanlebih banyak menentukan penilaian manusia. Karena itu “vonniskeagamaan” adalah semata-mata monopoli Allah dan tidakseorang pun yang berhak mengganti jabatan Allah. Walaupunbegitu untuk mengatur ketertiban masyarakat, manusia-manusiamuslim sudah seharusnya membuat peraturan-peraturansosial duniawi termasuk “vonis-vonis keduniaan” (seperti pengadilandengan KUHP-nya).7. Dalam membuat peraturan-peraturan sosial ini, sepertijuga untuk menentukan setiap sikap dan tindak, pegangan seorangmuslim adalah: a. Sejarah Muhammad: b. ilmu pengeta-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 119


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —huan (alam dan sejarah kemanusiaan): c. renungan batin, yaitusuatu pemusatan diri terhadap Allah dan diri pribadi.Akibat pemahaman1. Jelaslah bahwa yang disebut pemahaman <strong>Islam</strong> adalah sekedarpenafsiran kita terhadap “foto” ajaran <strong>Islam</strong> yaitu sejarahnabi.2. Yang disebut konsepsi sosial <strong>Islam</strong> (tentang perdagangan,kenegaraan, pendidikan dan lain-lain) sebenarnya tidak pernahada. <strong>Islam</strong> sekedar sebuah sumber semangat yang menggairahkandan sekaligus penuh dengan gairah-gairah besar. Yang ada ialahkonsepsi seorang manusia/sekelompok manusia muslim tentangmacam-macam masalah tadi. Dengan gairah besarnya <strong>Islam</strong>menerangi segala masalah dan bukannya menerangkan.3. Pemasangan identitas <strong>Islam</strong> kepada selain pribadi (partai<strong>Islam</strong>, negara <strong>Islam</strong>, fiqh <strong>Islam</strong> dan lain-lain) sepanjang dalampemahaman <strong>Islam</strong> seperti di atas, adalah masalah kebutuhankondisional (dengan melihat perkembangan masyarakat) dansama sekali bukan masalah prinsipal (<strong>Islam</strong>), baik ada ataupuntidak ada.4. Pengertian dan penghayatan yang semakin tepat padasejarah Muhammad akan membuat sikap tiap-tiap pribadi/kelompokdalam menentukan volume imitasi dan volume kreativitasnyaterhadap ucap-tindak Muhamad semakin tepat pula,baik bidang ubudiyah maupun muamalah. Yang penting: a.Setiap pribadi berusaha untuk lebih “tajam” dan lebih “akrab”dalam menangkap isi ajaran <strong>Islam</strong> (dari sejarah nabi), serta hubungankasih yang lebih intim dengan Allah: b. setiap pribadi120 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bersikap autentik, mengucap sesuai dengan bunyi nuraninya,yang tidak dibuat-buat untuk sekedar terlihat meniru nabi bulat-bulat,ataupun dibuat-buat untuk sekedar bersikap lain darinabi. Setiap ucap-tindak pribadi harus merupakan pancarandari iman yang memateri di pusat hayatnya.5. Dengan pemahaman <strong>Islam</strong> seperti. ini Insya Allah Kitayang merasa ikut memikul tanggungjawab sosial, akan berhasiluntuk mengajak umat <strong>Islam</strong> untuk mulai mengenal “sabda-sabdaAllah” dalam kenyataan maju kembangnya kemanusiaan.Andaikata Nabi Muhammad FilsufAndaikata jabatan duniawi Nabi Muhammad adalah filsuf,cukuplah alasan bagi kita untuk menerima langkah-langkahdan kata-katanya waktu itu sebagai sesuatu yang berlaku abadiatau setidak-tidaknya hampir abadi. Tetapi karena jabatan duniawinyaadalah Kepala Pemerintahan, bahkan juga PanglimaPerang, maka kita tak mungkin berfikir demikian. Jenis-jenisjabatan duniawi yang dipegang beliau menghadapkan beliaupada masalah-masalah konkrit zamannya atau umatnya yangkepadanya beliau harus memberikan pendekatan dan jawabanjawabanyang konkrit pula.Inilah kira-kira suatu jalan untuk lebih memahami persoalan-persoalan<strong>Islam</strong> sekarang ini.15 Juni 1971Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 121


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Agama Perlu Diberi Bentuk,Tapi Bentuk Itu Sendiri Bukan AgamaYang kupercaya penuh dari pelajaran-pelajaran keislaman selamaini hanyalah Allah dan Muhammad. Selain itu bagiku tidakmutlak, kondisional. Kupikir, “agama” tidak boleh dimutlakkan(sebagai bentuk dan struktur tertentu) kalau tidak ingin hancur.Yang mutlak hanyalah Tuhan, sedang makhlukNya termasuk“agama” adalah mati. “Agama” di sini dipakai dalam pengertianperaturan-peraturan yang dibawa oleh seorang Nabi Allah.Tapi dalam kehidupan konkrit, agama itu perlu diberi bentuk.Namun bentuk itu sendiri bukan agama. Demikianlah <strong>Islam</strong>.Manusia muslim perlu memberikan bentuk pada <strong>Islam</strong>nyayang tidak berbentuk itu. Dan bentuk tersebut adalah sernatamataurusan pribadi tiap-tiap manusia muslim menurut keunikan-keunikandalam dirinya, penghayatannya terhadap kehidupandan penafsirannya terhadap sesuatu bentuk sempurnayang telah pernah ada yaitu “sejarah Muhammad”. Persoalanyang kemudian timbul, apakah bentuk-bentuk itu pada manusiamuslim di suatu masyarakat perlu diseragamkan atau sendiri-sendirisepenuhnya, adalah masalah kondisional. Bentukyang individual atau kolektif bukan masalah <strong>Islam</strong>. Dia masalahmanusia sendiri.13 Juli 1971Bagaimana Menghindari Apologia?Bagaimana cara menghindari apologia sebagai sikap mental?Apologia adalah sikap membela diri karena merasa terserang.122 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Dalam membela diri itu seorang apolog berusaha mengungkapkanapa-apa yang dianggap ‘kuat dan benar” dalam diriatau golongannya. Dia defensif. Dia bergerak sekedar untukmelawan tekanan yang dirasakannya. Tidak lebih. Pikirannyamerasa repot menghadapi lingkungannya. Sikap non apologisharus dilatih sejak dari pergaulan sehari-hari, mulai dari persoalanyang sederhana hingga yang kompleks. Mungkin saja kitayang menolak sikap apologis umat <strong>Islam</strong>, pada hakekatnya masihapologis dalam pergaulan sehari-hari, dalam diskusi-diskusi,dalam omong-omong di waktu senggang, dalam menghadapipersoalan-persoalan nasional dan sebagainya. Nah, untuk ituperlu dilatih: 1. berdada lebar dalam arti optimis dan sabar: 2.mendengarkan pikiran-pikiran orang lain dengan baik terlebihdulu sebelum memberikan pendapat: 3. percaya pada dirisendiri dengan memperkuat bakat-bakat diri: 4. memandangmasa depan dengan tersenyum; 5. aktif mengambil inisiatif;6. aktif berbuat dan bereksperimen.17 Juli 1971Apakah Semua Kaum MusliminMasih Dikungkung Fiqh?Ada kaum muslimin yang tidak sadar bahwasanya fiqh <strong>Islam</strong>kini sudah ketinggalan zaman. Di antara mereka ini termasukulama-ulama yang belum tersentuh ilmu pengetahuan moderen.Ada lagi bagian dari kaum muslimin yang sadar bahwa fiqh<strong>Islam</strong> kini sudah ketinggalan zaman, tapi mereka masih dalamIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 123


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kerangka fiqh yang ada. Pengakuan akan ketinggalan zamantersebut timbul oleh opini global (formal) kaum intelektual danbukan oleh materi opini atau fiqh itu sendiri. Di antara merekaini termasuk ulama-ulama yang sudah merasakan dan menikmatiilmu pengetahuan moderen.Yang terakhir adalah kaum muslimin yang sadar bahwafiqh <strong>Islam</strong> sudah ketinggalan zaman. Mereka ini dengan sadarsedang melepaskan diri dari kerangka fiqh yang ada. Merekaini berpendapat bahwa sekularisasi memang merupakan prosesmau tidak mau terus terjadi.18 Juli 1971Masih tengang Quran dan HaditsSebagian orang berkata: “Memang kita tidak memahaminya(Quran dan Hadits) secara letterlijk. Kita berusaha menangkapjiwanya”. Saya kira statement tersebut kurang memuaskankarena mengandung kontradiksi-kontradiksi, disamping kitamasih meragukan realisasinya dalam praktek. Beberapa halperlu jadi pertimbangan. Kita menginginkan suatu ungkapanlahiriah yang menjelasklan hakekat alamiah. Ungkapan lahiriahmesti dipengaruhi oleh gambaran-gambaran dunia dan manusiadari suatu zaman. Karena itu pada bermacam-macam zamanterdapat ungkapan-ungkapan lahiriah yang bermacam-macampula. Yang dituntut dari ulama-ulama muslim sekarang ialahungkapan lahiriah yang baru (yang relevan dengan zaman kini)dari hakekat rohaniah <strong>Islam</strong>. Jadi kalau kita sudah menerimauntuk tidak menganut Qur’an dan hadits secara letterlijk, maka124 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —itu berarti kita sudah tidak puas terhadap ungkapan lahiriahdalam kalimat-kalimat Qur’an dan Hadits tersebutKalau demikian, mengapa kita masih takut atau ragu-raguuntuk dengan dengan tegas berusaha mencari ungkapan-ungkapanlahiriah yang baru yang relevan dengan gambaran duniadan manusia zaman itu?1 September 1971Masalah Jumlah Umat <strong>Islam</strong> di IndonesiaBerapakah persentase umat <strong>Islam</strong> di Indonesia? Golongan <strong>Islam</strong>berkata bahwa persentase umat islam itu 90 persen, sedang golongandiluar <strong>Islam</strong> berkata 15 persen. Dari mana angka kirakiraitu? Yang 90 persen itu adalah berdasarkan pengakuan,sedang 15 persen berdasarkan ketaatan beribadahnya.Sesungguhnya lebih tepat bila kita tidak mencari persentaseyang beragama <strong>Islam</strong>, tetapi mencari persentase: 1. Yangmenyatakan beragama <strong>Islam</strong> (misalnya memang sekitar 90%);2. Yang melakukan sholat dan puasa; 3. Yang melakukan caracarakebatinan; 4. Yang melakukan cara-cara lain. Nah, dengandemikian tidak ada vonis bagi seseorang tentang keislamannya.Orang-orang katolik atau Protestan yang mengatakan persentaseumat <strong>Islam</strong> cuma 15 persen (dengan asumsi mereka tidaksholat, puasa, dus bukan <strong>Islam</strong>), pada hakekatnya telah menggantijabatan Tuhan dalam memvonis. Di samping itu merekatelah mengidentikkan sholat dengan <strong>Islam</strong>. Suatu kesalahanbesar, sebagaimana juga dilakukan oleh golongan <strong>Islam</strong>. AkanIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 125


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —halnya golongan <strong>Islam</strong>, mereka sebetulnya tidak konsekuen. Disatu pihak dalam ajaran-ajarannya berkata bahwa mereka yangtidak beribadat adalah kafir (bukan islam); di lain pihak merekayang tidak beribadat dimasukkan dalam perhitungan sebagaiorang-orang muslim.Tapi ada pertanyaan selanjutnya yang lebih menarik. Mungkinkahorang merasa beragama <strong>Islam</strong> atau menganut ajaran <strong>Islam</strong>bila dia tidak punya sambungan sama sekali dengan tradisiislam? Saya kira sukar sekali. Untuk saya sendiri: memang sayasekarang kelihatan tidak punya sambungan atau lepas sama sekalidari tradisi islam. Penyambung (link) kelihatan tidak ada.Ini saya akui bila dilihat dari segi eksteren kini. Tetapi kontinyuitassebetulnya ada dan atau terjadi yaitu proses dalam batinsaya. Dari batin yang mula-mula terbenam sama sekali dalamtradisi islam dan kemudian berubah sedikit demi sedikit sampaikeadaan sekarang. Keadaan sekarang ini dengan tradisi yangberlangsung di luar diri saya memanglah tidak segera kelihatanhubungannya. Pokoknya link-link penyambung ada dalam proseshidup saya. Apa yang saya anut dan lakukan sekarang adalahsuatu kontinyuitas dengan tradisi Muhammad. Untuk orangyang masih baru sama sekali dalam pengakuan keislamannya,mungkinkah merasa menganut <strong>Islam</strong> dengan sekaligus menerimapemahaman <strong>Islam</strong> seperti yang saya lakukan? Saya kira persoalannyaadalah: Apakah orang tersebut merasa dalam suatukontinyuitas dengan tradisi Muhammad. Mendalami kehidupanMuhammadkah dia? Dan apakah orang tersebut menghayatinyadan menarik garis lanjut yang kreatif ke zaman kini menurutorientasi pribadinya?2 September 1971126 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Tuhan Bukan ImanDengan makin banyak belajar dari sejarah manusia dari duluhingga kini, pengertian kita tentang Tuhan dan <strong>Islam</strong> akanmakin “dimurnikan” dari gambaran-gambaran insani yangtemporer. Sekaligus ini berarti “pemurnian” dari akibat-akibatkekurang-dewasaan manusia-manusia dahulu. Dan kemakindewasaanmembawa kepada kelebih-benaran, karena kemakindewasaanitu memberikan potensi untuk belajar dari manusiamanusiasebelumnya yang relative kurang dewasa.Sehubungan dengan <strong>Islam</strong>, saya ingin menyinggung soalkalam. Saya kira dengan mengatakan bahwa Qur,an bukan wahyuAllah, justru saya lebih memuliakan Allah, mengagungkanAllah. Dengan mengidentikkan Qur,an sebagai kalam Allah,justru kita telah menghina Allah, merendahkan Allah dan kehendak-kehendakNyasebagai obyek dan kehendak yang bisaditerangkan dengan bahasa manusia. Allah dan wahyu-wahyunyatidak bisa dilukiskan dengan sejuta macam kata-kata manusiadari bahasa apapun juga. Allah dan wahyu jauh di ataspotensi dan ekspresi akal dan budi manusia. Dia adalah “yangtak terucapkan”. Dialah pemilik firman-firman yang hidup kekal.Dia dan kalamNya adalah dia yang tersembunyi bagi potensidan ekspresi akal budi kita. Namun Dia selalu mendekatidan membimbing manusia sebagaimana juga manusia berusahamendekati dan mencari hubungannya. Dia menemui manusiadalam akal budi dan iman manusia, tapi Dia sendiri jauh lebihagung daripada akal budi dan iman itu sendiri. Dengan imankita mencoba menerima Tuhan. Tapi Tuhan sendiri bukaniman. Iman sekedar medium pertemuan. Karena itu konsepIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 127


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —iman bisa berubah sesuai dengan dataran pengalaman manusiayang akan mempergunakannya.15 September 1971Pembangunan SpiritualPembangunan memang memerlukan orang yang taqwa. Hanyasaja taqwanya seseorang sukar diukur langsung. Dia tidak identikdengan sembahyang atau pidato taqwa seratus kali sehari.Apalagi bila ternyata bahwa banyak benar dari mereka yangmempidatokan taqwa tersebut ternyata menjadi penghambatpembangunan. Taqwa adalah sesuatu yang sangat rohaniahdan individual. Karena itu seruan para mubaligh bahwa “pembangunanperlu orang taqwa” bagi saya agak kurang relevan,walaupun tidak salah.Nah, kalau demikian apakah tugas ulama dan mubaligh dalampembangunan? Saya kira tugas mereka adalah: menolongmembangkitkan dan mengerahkan potensi-potensi dalam dirimanusia agar bisa semaksimal mungkin mampu mengembangkandiri dan menjawab problem-problem lingkungannya. Jadiulama dan mubaligh bertugas untuk memperkaya rohani manusiaagar menjadi sadar dan kemanusiaannya. Partisipasi ulamadan mubaligh adalah berpikir, menulis dan bicara tentangmasalah-masalah di atas. Partisipasi mereka bukanlah mencangkul,membangun pabrik, berdemonstrasi atau membuatpartai Tugas mubaligh adalah ngomong dan bermanfaat. Fungsimubaligh hakekatnya adalah fungsi kebudayaan (spiritual culture)atau fungsi mentalitas. Hanya sayang, kenyataan yang ada128 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —menunjukkan bahwa fungsi mental para mubaligh tersebut telahdigunakan untuk memundurkan mental bangsa dan bukanmemajukannya. Untunglah bahwa gerak mereka ternyata mendapatperlawanan kuat dari arus kebudayaan modern kini.Untuk lebih jelas, ada baiknya kita kaji apa itu pembanguannmaterial dan apa itu pembangunan spiritual. Bagi sayapembangunan spiritual ialah, pembangunan ekonomi, teknologi,pengajaran, keahlian, ketrampilan dan manajemen. Sedangpembangunan spiritual ialah pembangunan politik, kebudayaan,pengembangan kesenian, filsafat dan penyuburan hidup berke-Tuhanan. Bagi saya-andaikata keduanya tidak terpisah hanyasecara teoritis –pembangunan spiritual jelas setidak-tidaknyatidak dibawah pembangunan material. Untuk bangsa Indonesiayang masih tradisional, bagi saya pembangunan spiritual menjadilebih penting. Fungsi pembangunan spiritual dalam ikutmelancarkan pembangunan material ialah mengembangkanpotensi dalam diri manusia dan dalam bimbingan antar manusiaagar secara maksimal mendorong pembangunan material.Fungsi pembangunan material dalam ikut melancarkan pembangunanspiritual ialah menyediakan fasilitas-fasilitas materialagar pembangunan spiritual itu bisa terjadi dan lancar. Jadipembangunan spiritual berfungsi mendidik dan mengarahkanmanusia-manusia agar semaksimal mungkin mampu mengeksploitirkemungkinan-kemungkinan material di sekitarnya. Jelasdengan begitu pembangunan spiritual tidak hanya identikdengan pembangunan masjid, madrasah, gereja, DepartemenAgama atau memperbanyak sarjana dan mahasiswa IAIN. Malahanbila mendapat pengisian seperti sering terjadi sekarangIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 129


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ini, hal-hal seperti di atas lebih banyak menghasilkan kemerosotanspiritual.Terus terang aku sangat curiga dengan mereka yang menamakandiri golongan atau pejuang-pejuang spiritual sekarangini, sebab pada hakekatnya mereka itu adalah orang-orang ataugolongan-golongan yang secara spiritual jauh ketinggalan darimereka yang dituduh mengabaikan pembangunan spiritual.Ternyata pengertian spiritual di Indonesia telah memperolehpengertian yang salah, yatu diluar konteks pembangunan material-spiritual.Pada hemat saya problem pokok di Indonesiaialah problem spiritual. Problem spiritual dan problem materialmemang sama-sama ada dan saling berkait. Tetapi kesulitankesulitandalam pembangunan material yang disebabkan olehhambatan-hambatan spiritual jauh lebih besar dari pada kesulitan-kesulitandalam pembangunan spiritual yang disebabkanoleh hambatan-hambatan material.Ukuran saya baik tidaknya seseorang mubaligh ialah apakahmubaligh tersebut meningkatkan spiritualitas manusia ataumemerosotkannya. Kalau dia membuat pendengar-pendengarnyalebih sadar diri, lebih percaya akan potensi-potensi dalamdirinya, lebih merasakan keagungan Tuhan, lebih aktif dalammenghadapi lingkungannya, lebih jauh melihat masa depannya,maka mubaligh itu adalah mubaligh yang baik dan yangberhasil. Tetapi kalau dia membuat pendengar-pendengarnyabernyala-nyala nafsunya untuk menyerang penganut-penganutagama lain, mengutuk kebudayaan barat, berpikir magis ataumitologis, memahami Tuhan secara vulgar, maka dia adalahmubaligh yang gagal. Andilnya dalam pembangunan sangat130 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —negativ. Atau secara lain dapat pula dikatakan bahwa tugasmubaligh dan ulama ialah menjelaskan dari segi ketuhanan tentangposisi-posisi manusia dalam dunia, tentang posisi manusiadalam iradat Tuhan, tentang posisi manusia dalam tindakanAllah, tentang posisi manusia dalam karya Allah sejak awalkemanusiaan sampai kini.18 September 1971<strong>Islam</strong>ologiMenurut saya diseluruh dunia muslim kini belum ada <strong>Islam</strong>ologiatau belum ada <strong>Islam</strong>olog atau <strong>Islam</strong>ic religious scinentist.Apa yang diajarkan di sekolah-sekolah <strong>Islam</strong> sebagai Ilmukeislaman belum memenuhi syarat untuk disebut ilmu. apasyarat-syarat ilmu? Pertama, obyektif; kedua, sistematis; danketiga, metodologis. Apakah yang disebut ilmu tafsir, ilmukalam, sudah memenuhi syarat-syarat ini?Dalam membangun suatu <strong>Islam</strong>ologi atau ilmu-ilmu cabangnya.Kita orang-orang muslimin kekurangan orang yangmengabdikan hidupnya hampir sepenuhnya pada tugas pembangunantersebut. Tidak ada orang yang berbekal ilmu pengetahuanBarat di kalangan sarjana/ulama-ulama muslim yangotaknya senantiasa dipenuhi atau disibukkan oleh obsesi tentangpembangunan islamologi atau cabang-cabangnya. Karenaitu yang ada barulah orang-orang yang kaya pengetahuan, tapitidak sekaligus kaya ilmu.22 September 1971Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 131


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Taqdir Tuhan dan Free-WillTerhadap hukum-hukum alam atau taqdir Tuhan dalam duniabenda, manusia tidak bisa tidak mesti tunduk. Tak ada freewilldi sini. Saya pikir dunia selain manusia dalam hubungannyadengan hukum alam itu bersifat reseptif-pasif, sedanghubungan manusia ekploratif dan kreatif. Dengan eksploratifdimaksudkan bahwa manusia berhak dan berkemampuanuntuk mengetahui, menyelediki dan menerima dengan sadarhukum-hukum alam tersebut, dari hubungan eksploratif inilahirlah ilmu (science) atau lebih tepatnya pure science. Sedangdari hubungan kreatif dimaksudkan bahwa kegiatan-kegiataneksploratif di atas, kemudian manusia bisa memanfaatkan pengetahuan-pengetahuannyaakan hukum-hukum alam itu untukmenggarap alam itu sendiri agar memenuhi kehendak-kehendaknya.Dari sisi lahirlah teknologi. Dalam teknologi inilahterletak kebebasan (free-will) manusia, apakah akan melakukanteknologi yang menguntungkan atau merugikan.Singkatnya: dengan science manusia mengetahui alam, denganteknologi manusia meng-image alam.28 September 1971Tentang HMI yang telah kutinggalkanKonggres HMI kabarnya akan membicarakan dasar-dasarHMI.Perbincangan yang ramai tentang hal tersebut di kalanganHMI maupun golongan-golongan <strong>Islam</strong>, bagaimanapun jugamembuat aku terbawa lagi ke masa lampauku yang telah agak132 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —lama kutinggalkan dan berusaha melupakannya. Sebagai orangyang pernah berkecimpung dalam kancah perdebatan masalahmasalahfundamental dari kehidupan HMI, aku tertarik untukikut memikirkan masalah yang ramai diperdebatkan tersebut,walaupun sebagian untuk kepuasan batin pribadi. Masalah tersebutlebih menarik lagi karena pentingnya bagi pemecahanproblem-problem pembaharuan di Indonesia.Saya kira sekarang bagi HMI tersedia dua alternatif: 1.Menjadi organisasi pendidikan dengan konsekuensi antara lainberdasar <strong>Islam</strong>, hanya mengurusi pengembangan pribadi, melepaskandiri dari diskusi-diskusi atau pembicaraan politik praktis,tidak mengurus langsung masalah kemelut sosial/PerguruanTinggi, bisa hanya untuk umat <strong>Islam</strong> saja dan bisa untuk sesamamahasiswa (sama agama); 2. Menjadi organisasi perjuangandengan konsekuensi berdasar <strong>Islam</strong> (dengan interpretasi yangrelevan), tujuan individualnya pendidikan dan tujuan sosialnyaadalah cita-cita kemasyarakatan yang diperjuangkan, ikut berbicaralangsung masalah-masalah konkrit politik, sosial, perguruantinggi, akhirnya tentu saja terbuka untuk semua agama.Kesulitan saya dalam ikut memikirkan masalah-masalahpokok HMI sekarang adalah kenyataan bahwa pemahaman <strong>Islam</strong>saya tidak sama dengan pemahaman <strong>Islam</strong> orang-orangHMI atau mahasiswa-mahasiswa <strong>Islam</strong> semuanya. Andaikatasaya melihat bahwa pemahaman <strong>Islam</strong> mereka sama atau miripdengan pemahaman saya, maka tidak ragu-ragu mengusulkanperubahan nama HMI menjadi Himpunan Mahasiswa Indonesia.Dengan pemahaman <strong>Islam</strong> yang saya pakai, tidak sedikitpun suatu kekuatiran timbul tentang kehidupan <strong>Islam</strong> dariumat <strong>Islam</strong> di Indonesia ini. Tapi bagaimana pada umumnyaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 133


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mahasiswa atau umat sampai pada pemahaman macam saya?Mereka kurang mau membuka diri dan memikirkan hal-halyang mendasar. Juga tidak dalam HMI sendiri.5 Oktober 1971Ingin Tuhan Yang lainAdakah Tuhan besar karena manusia merasa kecil di hadapanombak yang gemuruh bergelora? Adakah Tuhan Agungkarena manusia merasa tidak berdaya di hadapan alam yangluas, laut yang tiada bertepi? Kalau begitu Tuhan besar karenakekecilan manusia. Alangkah sederhananya ketuhananyang demikian.Aku tak mau Tuhan seperti itu!Bagiku Tuhan tidak kontradiksi dengan manusia. Akumencari Tuhan yang lain.17 Oktober 1971Mukti Ali Menyerang Marx dan FreudSehubungan dengan puasa Ramadhan, Menteri Agama MuktiAli menyerang teori-teori Marx dan freud. Menurut saya: 1.Obyek ajaran puasa adalah pribadi-pribadi, sedang obyek ajaranhistoris materialisme adalah masyarakat. Jadi kurang relevanuntuk membandingkan keduanya; 2. Materi dalam historismaterialisme bukanlah makanan atau kekayaan, tapi cara-caramanusia berproduktif. Mukti Ali salah faham mengenai teori134 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Marx; 3. Sex dalam teori Freud jauh lebih luas dari pengertiankelamin. Teori libido-seksual dipakainya bukan sebagai satusatunyayang dominan, melainkan sebagai dasar umum daritindakan manusia.27 Oktober 1971Bunda Maria dalam MimpiTadi malam aku bermimpi ketemu Bunda Maria. Dia berbajuputih, berwajah agung penuh kekudusan. Bunda Maria tersenyumdan memandangku. Aku merasa bahagia dan sejukdalam pandangan kasihnya.Aku sendiri bukan penganut Kristen. Tapi aku tidak tahu,mengapa aku merasa memperoleh kedamaian dan kebeninganfikir sewaktu berhadapan dengannya. Adakah yang seperti ituakan pernah terjadi dalam hidupku yang Nyata?Aku merindukan dia yang penuh kebijaksanaan, yang pandangannyalembut dan teduh, yang setiap pernyataan pribadinyamembuatku kagum dan hormat.13 Desember 1971KontemplasiGiat melakukan kontemplasi menolong kita melepaskan diridari slogan-slogan dan membuat kita lebih kritis pada kebiasaan-kebiasaan.Sayang sekali kontemplasi memerlukan banyakwaktu. Banyak orang-orang yang pandai atau ahli dalam suatuIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 135


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bidang tetapi gagal atau bersikap sloganistis dalam bidang lain.Hal ini dikarenakan dia tidak sempat melakukan renunganrenungandi bidang lain tersebut.Lihatlah tulisan-tulisan keagamaan dari Hatta, Bintoro,Sudjoko Prasojdo, Sudirman, Dawam, Mukti Ali dan lain-lain.Kemudian bandingkan tulisan-tulisan itu dengan tulisan Sudjatmokoatau Bung Karno! Akan kelihatan bahwa kebenaranberpikir tidak dimiliki oleh semua orang pandai.28 Desember 1971Kaum Pembaharu Lebih Baik MerupakanGrup Kecil DuluKita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menolehke belakang. Kita masih terlalu sibuk melayani serangan-serangandari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampaiberjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharuakan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologiterhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawankaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka berhentilahsebenarnya kerja pembaharuan kita.Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalumuda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukkan diriuntuk: 1. Menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisionaldengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun: 2. Untukmenyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang,belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaumpembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan136 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkankonsep-konsep yang ada agar relatif matang,lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kitaakan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktumundur bila kadang-kadang salah.10 April 1972Komentar Terhadap Buletin Arena No. 1Kaum pembaharu muslim sudah stagnan. Mereka masihberputar-putar pada persoalan mengapa <strong>Islam</strong> perlu dibedakandari sistem negara, mengapa <strong>Islam</strong> menerima danmembenarkan sekularisasi, mengapa ada/perlu ada penafsiran-penafsiranbaru terhadap hukum-hukum <strong>Islam</strong> sepertiwarisan, perkawinan dan lain-lain, mengapa kita berfikirbebas. Menurut saya kita harus segera atau sudah harusmeninggalkan persoalan-persoalan di atas dan sudah harusmemasukkan isi dari “keharusan-keharusan” yang kita orbitkandi atas. Sekularisasi tidak perlu dibicarakan lagi hakhidupnya. Yang perlu sekarang ialah penerapan sekularisasidalam pemikiran masalah sosial-budaya di samping fondasifondasiteologis terhadap sekularisasi itu sendiri. Saya kuatirbahwa kita menjadi propagandis ide dan kata “sekularisasi”sembaripemikiran-pemikiran dan perbuatan kita sendiribelum memakainya dengan konsekuens.12 April 1972Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 137


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sorga dan NerakaSorga dan neraka merupakan situasi-situasi kejiwaan yang selalumembuntuti dan berada dalam kehidupan seorang manusia.Karena itu sorga atau situasi sorgawi serta penghindaran diridari neraka akan diperjuangkan terus menerus dalam detikdemi detik kehidupan ini. Sorga harus dibentuk setiap saat!22 April 1972AyahkuAyahku adalah seorang pemberontak pada zamannya. Di masamudanya dia telah mengeritik beberapa isi kitab-kitab agamayang dinilainya tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist. Diamalah mengatakan pada kiyai-kiyai gurunya dan temannyabahwa semacam Sultam dan Safina perlu perombakan. Beliaujuga membuang dengan terang-terangan warisan-warisan klenikdari ayahnya sendiri seperti buku-buku primbon, jimat-jimatdan peralatan-peralatan dukun lainnya. Beliau pun membuangterang-terangan benda-benda warisan yang dianggapnya akanmemelihara pemikiran-pemikiran klenik seperti keris-keris,tombak bahkan lemari kuno yang dianggap bertuah. Beliaujuga menentang ramalan-ramalan jelek khayali, dengan misalnyasengaja membangun rumah pada masa celaka (menurutperhitungan dukun). Ayahku merupakan tokoh santri pertamadi Sampang yang menyekolahkan anak puterinya keSekolah Umum. Dan beliaulah tokoh santri pertama diSampang yang mengawinkan anaknya sekedar seperti ya ngdiwajibkan agama, suatu hal yang saya sendiri masih memper-138 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —soalkannya, tapi merupakan keberanian Ayah untuk membikinalternatif lain pada lingkungannya. Dan hal semacam ini kiranyaperlu dipelajari.27 April 1972Umat Muslim dan Umat Kafirun:Dulu dan SekarangUmat Muslim sekarang lain dengan umat Muslim zaman Nabi.Demikian juga umat Kafirun zaman nabi, lain dengan yangkita sebut umat Kafirun sekarang. Di zaman Nabi yang disebutumat muslimin betul-betul <strong>Islam</strong> dalam pengertian yang sepenuh-penuhnya.Adanya Muhamad waktu itu jauh lebih menjaminbahwa segala aktivitas dan kreativitas manusia muslimwaktu itu betul-betul merupakan pacaran atau perluasan darikehendak dan harapan Ilahi. Sedang yang disebut umat Kafirunwaktu itu betul-betul merupakan umat yang jelek, yang biadap,atheis, sombong, suka membunuh, mencuri sewenang-wenangdan sebagainya. Pada umat-umat Muslimin dan Kafirun sepertiinilah janji-janji kejayaan dan kesengsaraan kelak datang dariAllah. Janji-janji Tuhan tersebut tidak berlaku untuk Muslimindan Kafirun sekarang yang sebenarnya tidak sepenuhnya <strong>Islam</strong>dan tidak sepenuhnya Kafir seperti apa yang ditulis dalamAl-Qur’an. Apalagi ternyata sekarang ini bahwa cukup banyakorang-orang kafir yang sebetulnya jauh lebih <strong>Islam</strong>is daripadaorang-orang Muslim sendiri.5 Mei 1972Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 139


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Menyusuri Jejak Usaha PembaharuanPemahaman <strong>Islam</strong>A. Sebelum Gestapu, setelah Masyumi DibubarkanUsaha pemikiran kembali masalah-masalah dasar umat <strong>Islam</strong>termasuk pembaharuan <strong>Islam</strong> di Indonesia bisa dikatakan terjadiatau bersumber dikalangan angkatan muda Muslim yang secarahistoris berasal dari keluarga orang-orang Masyumi. Karena itumenarik sekali untuk mengikuti rentetan perkembangan fikiranyang kemudian membawanya dalam hubungan kontradiktifdengan pikiran-pikiran yang menguasai Masyumi sebelumnyadan selanjutnya dengan pikiran-pikiran umat <strong>Islam</strong> Indonesiapada umumnya.Angkatan muda Muslim kuantitatif dan kualitatif bisa dikatakanter-representasikan oleh HMI. Kelahiran HMI padatahun 1947 dan perkembangannya selanjutnya banyak dihubungkanorang dengan Masyumi. Ini dapat dimengerti dari segihistoris di atas dan pengaruh-pengaruhnya yang implisit, walauperlu juga dikemukakan bahwa kelahiran HMI ditentang kerasoleh GPII dan dalam sejarahnya telah beberapa kali HMI terlibatkonflik terbuka dengan Masyumi. Sebagai contoh ketikamenghadapi perjanjian Renville, Masyumi menolaknya sedangHMI menerimanya.Secara organisatoris tidak pernah ditemukan suatu hubungantertentu antara HMI dan Masyumi. HMI menempatkan dirisebagai “anak kandung umat <strong>Islam</strong>”. Umat <strong>Islam</strong> di sini dipakaidalam pengertian formal yaitu umat yang terrepresentir dalamMasyumi, NU, PSII dan Perti. Jadi independensi HMI sejak lahirberarti ketidak-berpihakan di dalam empat kelompok atau140 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —partai tersebut. Ini jelas dalam deklarasi Kaliurang yang dikeluarkanoleh pertemuan HMI seluruh Indonesia dalam menghadapiPemilu 1955. Deklarasi tersebut menyatakan bahwaHMI bertugas memenangkan partai-partai <strong>Islam</strong> dan anggotaanggotaHMI diminta untuk memilih dan mendukung salahsatu dari empat parpol tersebut. Deklarasi Kaliurang ini pentinguntuk diingat karena kita nanti akan melihat ambiguitasHMI dalam menghadapi Pemilu 1971 dan kemudian pergeseranlebih jauh lagi sesudah Kongres ke-9 di Palembang padaakhir 1971.Harus diakui secara jujur bahwa usaha pembaharuan pemahaman<strong>Islam</strong> di kalangan HMI tidak lahir dengan sendirinyaatau begitu saja dalam suatu ruang vakum tanpa suatukondisi obyektif yang merangsangnya atau memungkinkannya.Terlalu sulit untuk menolak dalil-dalil pokok ilham materialismehistoris guna mengiyakan pikiran-pikiran Thomas Carlylebahwa sejarah adalah sejarahnya orang-orang besar atau genius.Demikianlah rangsangan-rangsangan awal dari pemikiranpemikiranmasalah fundamental seperti aqidah dan lain-laindimulai oleh pemikiran kembali masalah-masalah praktis; danrethinking dalam masalah-masalah praktis ini muncul dalam situasidi mana HMI dan umat <strong>Islam</strong> lainya terjepit setelah Masyumidibubarkan. Masalah-masalah praktis tersebut misalnyapenilaian terhadap metode perjuangan Masyumi, antara strategidan taktik, sikap menghadapi bekas-bekas pimpinan Masyumi,GPII dan lain-lain. Sikap kritis terhadap Masyumi atau Natsircs yang mula-mula sekedar merupakan perbedaan perhitungandalam perjuangan kemudian berkembang menjadi sikap kritisterhadap cita-cita Masyumi sendiri yang secara mudahnya bisaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 141


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dirumuskan dengan “mendirikan masyarakat dan negara Indonesiamenurut syariat <strong>Islam</strong> atau lebih populer disebut Negara<strong>Islam</strong>”. Ketidak-setujuan terhadap cita-cita Negara <strong>Islam</strong>ini, seingat saya pertama kali dilontarkan terang-terangan daneksplisit pada Oktober 1968 di Solo dalam pertemuan antarapimpinan HMI Jawa Tengah dengan eks Ketua Umum MasyumiPrawoto Mangkusasmito. Waktu itu Dawam Rahardjo membombardirPrawoto sampai ke pertemuan-pertemuan informaldengan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang tujuan Masyumitersebut dan sekaligus menyatakan keraguannya akan kebenarantujuan tersebut. Sedang saya sendiri mewakili kawan-kawanlingkaran diskusi “Limited Group” yang material berarti MuktiAli, Djohan, Wahib menyatakan “kesimpulan” lingkaran diskusitersebut bahwa <strong>Islam</strong> bukanlah ideologi, ideologisasi <strong>Islam</strong>berarti merendahkan <strong>Islam</strong>, dan lain-lain pernyataan yangmengungkapkan ketidakpuasan pada umat <strong>Islam</strong> dan pemimpin-pemimpinnya.Kembali pada sikap kritis pada Masyumi, kapan dan dimanakahsikap kritis itu lahir? Walaupun sikap kritis itu lahirpelan-pelan, tapi perlu dikemukakan dua perintis yaitu DeliarNoer-Mukti Ali serta Sularso yang umurnya jauh lebih mudadari kedua orang terdahulu. Deliar Noer-Mukti Ali adalah bekassekretaris di Sekretaris PP Masyumi dan dalam banyak halsebagai sekretaris pribadi Natsir ikut serta mencatat sidang-sidangyang paling tinggi dan rahasia di PP Masyumi. Ternyatakemudian kedua orang itu tidak puas, berhenti dan masingmasingkemudian mencari jalan untuk melanjutkan sekolah keluar negri. Thesis MA Deliar Noer pada tahun 1959 tentangMasyumi serta thesis Ph. D-nya di Cornell tahun 1962 ten-142 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tang pembaharuan di kalangan umat <strong>Islam</strong> Indonesia banyakmenganalisa Masyumi dari segi politik dan sosiologi dan dalambatas-batas ilmu pengetahuan telah mengemukakan kritik-kritiknya.Saya kira sikap kritis dimulai pada saat orangmampu menempatkan apa yang dirasa merupakan sebagiandari dirinya dalam suatu jarak, sebagai obyek observasi semata-matawalau buat sementara. Sikap tak mau menerima mitos.Masyumi berlanjut sampai sekarang pada kedua orang itu danperbedaan berpikir makin jauh setelah Mukti Ali kembali dariCanada-Mukti Ali kembali banyak mengemukakan pemikiranpemikiranyang lain sama sekali – dan Deliar Noer terlibat dalampertentangan dengan Natsir ketika Deliar Noer mencobamembentuk Partai Demokrasi <strong>Islam</strong> pada 1966 bersama BungHatta dengan cita-cita dan program yang jauh berbeda denganMasyumi. Perlu diketahui bahwa Deliar Noer adalah bekas ketuaUmum PB HMI sedang Mukti Ali bekas aktivis PII.Dan siapakah Sularso? Dia adalah mahasiswa fakultasPedagogik Universitas Gajah Mada ketika memegang KetuaUmum HMI Yogyakarta tahun 1961. Di zaman kepemimpinnya,pertentangan dengan tokoh-tokoh Masyumi di Yogya cukuphebat sehingga dia merupakan orang yang sangat tidakdisukai oleh orang-orang semisal A.R. Baswedan. Fikiran-fikirannyasangat berbeda dengan orang-orang Masyumi dalam menilaikeadaan atau memasang cita-cita, seperti sikap terhadappenguasa waktu itu, sikap pada Pancasila dan sebagainya. Bagisaya Larso adalah orang pertama di HMI yang merintis jalanbaru bagi HMI dalam pemikiran-pemikiran. Perintis tidak perluberarti yang paling cerdas, atau tidak henti-hentinya merintis.Rintisannya banyak dikembangkan dan disempurnakan olehIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 143


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —orang-orang lain seperti Nurcholish, Dawam, Djoko Prasodjo,Djohan, Manshur Hamid dan lain-lain. Tetapi dia adalah orangpertama dalam tubuh HMI yang mendobrak mitos Masyumi.Sejak 1959 sikap kritisnya pada Masyumi timbul dan keraguanraguannyamulai disebarkan di kalangan pengurus dan pesertatraining-training HMI. Dia seperti juga Dawam, Djohan dansaya, adalah orang yang menaruh minat besar pada masalahperkaderan. Karena itu pikiran-pikiran dengan cepat diketahuiteman-teman sesama HMI, apalagi kalau mengingat bahwatraining-training di HMI cukup banyak mengingat jumlah anggotayang besar. Dalam sebuah tulisannya “Sejarah Umat <strong>Islam</strong>Indonesia” setebal 70 halaman yang ditulisnya tahun 1963, dandisebarkan di kalangan pimpinan HMI, dia menganalisa perjuanganumat <strong>Islam</strong> Indonesia termasuk Masyumi dengan peralatanilmu dan bukannya dengan patokan-patokan yuridis-formalseperti dilakukan orang-orang Masyumi. Dia adalah orangyang setiap datang membawa pertanyaan-pertanyaan muskilyang membuat orang diam-diam berfikir lama. Pikiran-pikirannyalebih tersebar sesudah dia memimpin HMI Jateng, dankemudian duduk di Pengurus Besar HMI.Tetapi pergulatan untuk melawan mitos Masyumi di HMIYogya tidak mudah. Sejak 1959 setiap Konperensi Cabang diYogya sampai dengan 1969 terpolarisir antara pendukung-pendukungMasyumi dan yang bukan. Seringkali pertentanganpertentangandemikian keras sehingga menimbulkan adu fisik.Yang pertama sering juga bernama “kelompok ideologi kuat”,sedang yang kedua “kelompok yang ingin rasional”, tetapi dianggapideologinya lemah. Dawam Rahardjo sampai 1963 termasukkelompok Masyumi atau ideologi kuat. Sesudah Gesta-144 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pu sampai akhir-akhir ini (di Persami) dia di golongkan olehlawannya sebagai yang berideologi lemah. Dia banyak berubahkarena Larso dan kemudian Sudjoko Prasodjo.B. Sesudah Gestapu sampai dengan Kongres ke-8HMI di Malang(1969)Sebelum Gestapu pikiran-pikiran yang berkembang di HMIterutama di Yogya memang belum memasuki sikap kritis pada“ajaran islam”. Sikap kritis pada umat pun baru terbatas padakritik terhadap pimpinan Masyumi, pada keperluan realitis dalamperjuangan, perlunya perjuangan terhadap dan penerimaanPancasila sebagai ide yang dibenarkan <strong>Islam</strong> serta “NASAKOMsebagai kenyataan masyarakat politik Indonesia”, Seperti dikatakantadi, sikap meragukan kebenaran tujuan Masyumi darisegi tujuan itu sendiri baru muncul belakangan.Penyerempetan terhadap “ajaran <strong>Islam</strong>” mulai timbul setelahsebagian intelektual Indonesia melancarkan isu modernisasipada 1966. Waktu itu pimpinan-pimpinan HMI JawaTengah dan Yogyakarta terpecah dua. Sebagian menolak idemodernisasi, termasuk Dawam dan apalagi tokoh-tokoh yangpro-Masyumi. Hanya dua orang yang menerima, yaitu DjohanEffendi dan Manshur Hamid, dimata kedua orang ini menerimanyasebagai suatu keharusan atau keperluan bagi Indonesia.Waktu itu saya sendiri boleh dikatakan belum tahu apa-apadan sekedar aktifdi Komisariat dan Rayon. Terhadap keberatanfihak yang menentang bahwa modernisasi akan mengakibatkanwesternisasi, kedua orang itu menjawab: ”Apa boleh buat,kalau memang harus begitu. “Kedua orang ini memang dike-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 145


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —nal berfikiran sangat liberal dan jauh liberal dari Larso, Djokodan Dawam. Larso dan Djoko yang duduk di PB HMI selalumondar-mandir Jakarta-Yogya karena mereka kuliah di Yogya,dan setiap datang di Yogya selalu mengadakan diskusi-diskusi.Perlu dicatat bahwa Dawam dan Manshur mulai aktif di HMIpada tahun 1963, sedang Nurcholish Madjid mulai masuk kePB-HMI pada akhir 1964.Ketika saya aktif di HMI mulai tahun 1967 saya mengenalDjohan dan Manshur sebagai orang aneh yang setiap kata-katanyamengakibatkan kekurang-senangan atau konflik batin dijiwa saya. Di training-training HMI yang hampir setiap malamsaya sering mendengar Djohan berceramah bahwa “Nabi Muhamadtidak pernah memproklamirkan negara <strong>Islam</strong>”, sedangManshur dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi kerap berkatabahwa mempertentangkan sekularisasi-westernisasi dengan<strong>Islam</strong> tidak relevan dan dia mengeritik ceramah-ceramah sayayang secara implisit di pertengahan 1967 masih menganggap<strong>Islam</strong> sebagai ideologi. Memang kedua orang inilah yang menurutsaya di muka training dan diskusi HMI seluruh indonesiadengan tegas berpendapat bahwa <strong>Islam</strong> bukan ideologi.Pikiran ini diajukan Djohan Effendi pada tahun 1966 dalambentuk paper pada suatu diskusi bersama antara tokoh-tokohHMI Jateng/DIY dengan tokoh-tokoh PP IMM seperti AmienRais, Arief dan lain-lain. Paper Djohan tersebut kemudian dibawaLarso ke Jakarta. Pada Djoko Prasodjo yang kemudiandatang ke Yogya, Dawam bilang bahwa ada suatu penemuanbaru oleh Djohan tentang <strong>Islam</strong>. Diskusi tentang masalah ideologiini berjalan sangat lama. Dalam lingkaran diskusi limitedgroup masalah ideologi makan waktu paling panjang dan baru146 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dianggap selesai pada awal 1968. Ini mengingat heterogenitaspeserta diskusi. Di kalangan <strong>Islam</strong> lainnya ide ini sangat mengejutkan.Ketika Oktober 1967 dilangsungkan training bersamaorganisasi-organisasi <strong>Islam</strong> yang bergabung dalam AmalMuslimin DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan saya sebagaiwakil HMI sempat berbicara masalah ini, reaksi masalahpeserta yang lain cukup keras. Kedudukan Mukti Ali sebagaipembimbing diskusi limited group adalah sebagai penjembatanantara macam-macam pikiran. Dia selalu merangsang pikiran,memperjelas problem, tapi sekaligus memperlunak rumusanrumusanyang dianggap terlampau keras.Tentang ide modernisasi, pada akhir 1967 boleh dikata sudahberes atau rata diterima di pimpin HMI Jateng/Yogya tetapidengan sedikit banyak kewaspadaan pada bahaya westernisasi-sekularisasipada beberapa orang termasuk saya dan Dawamdengan pondasi yang berbeda-beda. Demikian juga Larso, Djokoyang kerap ke Yogya. Yang menerima modernisasi tanpa sedikitpun kekuatiran adalah Djohan dan Manshur. Sebelum itu,misalnya pada pertengahan 1967 saya memberi prasaran tentangmodernisasi di muka pengurus Cabang Yogya, diingatkanseorang anggota PB HMI dari Jakarta supaya jangan pakai katamodernisasi walaupun isi prasaran saya diterima. Saya barubilang ketakutan atau kekuatiran pada sekularisasi westernisasipada pertengahan 1968 dan menganggap sekularisasi sebagaisuatu keharusan pada awal 1969. Djohan sendiri baru secaraterbuka dan formal mempropagandakan sekularisasi pada Februari1969 di suatu training HMI di Kaliurang di mana kemudiandia banyak menerima cacimaki dan dianggap “tidak pan-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 147


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tas seorang pemimpin HMI berpidato seperti itu” (kata seorangpeserta). Waktu itu Dawam belum definitif sikapnya.Sejak Djohan terang-terangan membuka suatu front yangsangat kritis ini, pertentangan pendapat dengan banyak pimpinanHMI lainnya serta massa anggota tak terhindarkan lagi.Sejak itu Djohan dan saya menjadi lawan dari mereka yangmenentang westenisasi-sekularisai. Sedang Dawam menganggapbelum waktunya mempropagandakan masalah itu dikalanganpengurus atau anggota. Kalau saya jujur, saya perlu mengakuibahwa waktu itupun pengertian sekularisasi-westernisasi belumsejelas sekarang dalam kepala. Pengertian saya waktu itu sekedarbahwa ilmu pengetahuan itu adalah sunnatullaah, dunia dihadapisebagai apa adanya karena sebagai obyek dalam suduttertentu dia otonom dan orang-orang yang terlalu anti terhadapwesternisasi di kalangan umat perlu di tentang dengan keras.Tentu saja proses sampai ke sini melalui pergulatan batin yangserius karena saya sendiri berhadapan dengan endapan-endapanlama yang sudah berurat berakar dalam jiwa. Saya terlibatdalam keraguan-raguan dan pertanyaan-Pertanyaan yang kontroversialdan saya berusaha menyelesaikannya dengan berfikirdan merenung, sebab pertanyaan yang timbul di kepala tersebutsudah banyak sekali yang langsung menyangkut masalahdasar kehidupan pribadi yaitu agama.Masalah idiil lainnya yang ramai dipersoalkan di Yogyaadalah masalah independensi HMI yang selama itu dirumuskanindependen di kalangan umat. Djohan-Manshur dan sayamenganggap tidak tepat dan memperjuangkan agar independensiHMI ditaruh di tingkat bangsa. Artinya kami bertigaberanggapan bahwa komitmen HMI bukanlah pada umat <strong>Islam</strong>148 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —melainkan pada ajaran <strong>Islam</strong> yang harus direalisir dalam komitmenpada bangsa. Artinya, kami bertiga berpendapat bahwabisa saja kita bertentangan dengan kepentingan parpol danormas <strong>Islam</strong> dan memihak pada pihak yang formal non-<strong>Islam</strong>bila kita berpendapat bahwa secara nilai-nilai <strong>Islam</strong> organisasiorganisasiformal <strong>Islam</strong> di fihak yang salah. Ini menimbulkanpertentangan hebat di Yogya. Terjadi ketegangan-ketegangandi HMI termasuk dengan Pengurus Besar seperti Nurcholishdengan saya. Djohan secara bergurau sering disebut New Left.Dawam sendiri pada hakekatnya menyetujui walau dia seringtidak mau mengemukakannya di forum-forum resmi HMI. Ideideini saya perjuangkan dengan gigih bersama Djohan dalampersiapan dan pelaksanaan Kongres Malang pada bulan Mei1969 dan boleh dikatakan 70 persen gol, bukan karena orangmenerimanya, tetapi karena dalam persiapan Kongres BadkoJateng di mana saya dan Djohan secara konsepsional palingsiap. Kegagalan Badko Jateng yang sangat menyedihkan waktuitu adalah kegagalan memasukkan nilai-nilai Pancasila sebagaicita-cita politik HMI bagi negara Indonesia. Waktu itu PB yangdipimpin Nurcholish terbagi dua, sedang pihak yang mendukungseperti Nurcholish sendiri sama sekali kurang memperlihatkankesungguhan untuk menggolkannya, untuk tidak berkatasama sekali menyerahkan pada pikiran-pikiran cabangcabang.Masalah idiil lain adalah pertentangan antara keinginan untukmenjadikan organisasi kader versus organisasi politik danmassa, policy perkaderan antara membentuk creative elite danadministrator dengan tujuan untuk membentuk kapten-kaptenmassa atau solidarity maker. Corak yang pernah diperlihatkanIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 149


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sjahrir-Hatta atau Sukarno-Sartono. Larso, Dawam, Djohan dansaya sendiri menginginkan yang pertama. Selanjutnya masalahmasalahlain seperti eksistensi Departemen Agama: orientasiideologi dan orientasi program, sikap terhadap kaum modernisintelektual,sikap terhadap Pramusi dan lain-lain ramai menjadibahan diskusi. Pikiran-pikiran di kalangan pimpinan-pimpinanHMI Jateng bervariasi antara yang sangat liberal seperti Djohansampai yang tengah-tengah seperti Tawang Alun. Di Badko Jatengboleh dibilang tidak ada tokoh-tokoh yang kolot. Walaupundi sini ada macam-macam pikiran, tapi dalam masalah penilaianterhadap garis perjuangan Masyumi tokoh-tokoh HMIJateng plus Djoko dan Larso berpendirian sama.Suatu penilaian terhadap situasi umat di mana pimpinanHMI Jateng kompak plus Djoko dan Larso adalah kesimpulanbahwa masalah pokok umat <strong>Islam</strong> bukanlah pecahnya persatuanmelainkan kebodohan. Karena itu kami menganggap usahapenyatuan umat dengan kongres umat <strong>Islam</strong> dan semacam itusebagai nonsense. Jateng menilai bahwa pembaharuan jauh lebihurgen untuk umat <strong>Islam</strong> Indonesia. Sayang sekali ide inigagal untuk diterima Kongres Malang tahun 1969 karena BadkoJateng tidak punya pendukung sadar sama sekali termasukdari cabang-cabangnya sendiri. Tetapi pikiran-pikiran di ataswalaupun dalam beberapa forum gagal, penyebarannya tidakbisa dicegah karena bisa dibilang bahwa training-training HMIdi Jateng/Yogya dipegang Dawam, Djohan dan saya. Kami bertigadengan meriskir dicurigai bawahan-bawahan terus sajaberpropaganda menggugah orang untuk bisa melihat kemungkinanlain.150 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Hal lain yang amat penting yang dipersoalkan mula-mulaoleh Sularso adalah hubungan antara <strong>Islam</strong> dengan Demokrasidan Sosialisme. Kebanyakan opini selama ini menganggapbahwa Demokrasi dan Sosialisme sesuai dengan <strong>Islam</strong>, kalautidak disebut merupakan sebagian atau malah identik. Larsomeragukan ini, menganggapnya sebagai penyempitan <strong>Islam</strong>.Dia mengajukan pandangannya dalam diskusi-diskusi di Yogyapada pertengahan 1967 dan kemudian dipermatang oleh kawan-kawanlain. Sikap penentangan pada ide-ide umum tersebutmulai dilancarkan oleh Larso secara terbuka pada trainingnasional ideopolitor pada Oktober 1967 di Pekalongan. Dansaya sendiri menjadi penyebar ide ini pada 3 hari diskusi garis-garispokok perjuangan HMI pada Desember 1967 antarapimpinan-pimpinan komisariat, pengurus Yogya dan pimpinanBadko Jateng. Pokoknya kami menganggap bahwa identifikasiantara <strong>Islam</strong> dengan Demokrasi dan Sosialisme sebagai perkosaanterhadap <strong>Islam</strong>, tidak relevan walau kami sendiri mengakuisebagai orang yang bercita-cita menegakkan Demokrasidan Sosialisme. Ide ini erat hubungannya dengan anggapanbahwa ideologi adalah ciptaan manusia, bahwa <strong>Islam</strong> bukanideologi, bahwa Demokrasi dan Sosialisme adalah sekedar suatusistem politik dan sistem ekonomi, dan <strong>Islam</strong> datang untuksegala manusia yang kebutuhan sistem sosialismenya berbedabeda.Pikiran-pikiran ini tidak mudah diterima di HMI ataudi pertemuan-pertemuan dengan ormas dan orpol <strong>Islam</strong> lain,sebab semangat apologi waktu itu sedang menyenangkan umatbila dikatakan bahwa Demokrasi dan Sosialisme merupakansebagian dari <strong>Islam</strong>. Kawan-kawan di Jateng juga mulai meragukanperjuangan merealisir Piagam Jakarta. Setahu saya iniIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 151


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dimulai pada akhir 1967 di Yogya dalam omongan-omongantidak resmi sambil setengah mengejek oleh orang-orang sepertiDjohan dan Manshur. Pada Juni 1968 dalam training ideopolitorse Jawa Tengah secara terbuka saya menyatakan menentangPiagam Jakarta. Dan karena ditantang keras oleh banyakpeserta, saya dibantu oleh Djohan. Kami berdua waktu itu sebagaipengawas dan pengarah jalan training di samping sebagaipenceramah. Dalam hal ini seorang tua Prof. Lafran Panebersamaan pendapat dan malahan dalam seminar kepartaiandi Yogyakarta 1967 beliau menerima partai-partai harus orientasiprogram, melepaskan orientasi ideologi dan menganjurkanpembubaran parpol.Ide-ide yang berkembang di HMI Jateng seperti di atas menimbulkanreaksi-reaksi di kalangan orang-orang <strong>Islam</strong> lain sepertiPII, bekas-bekas Masyumi, Muhammadiyah dan lain-lain.Seorang tokoh Muhammadiyah/Parmusi di Yogya berkata padaakhir 1968: “Selamatkan HMI dari bahaya Marxisme”.Ada perbedaan antara Djohan-saya dengan Dawam-Larsoyaitu bahwa Djohan dan saya tidak bisa mentolerir cara-carapolitik praktis oleh HMI yang kadang-kadang oleh Djohan dicapsebagai Machiavelis, sedang Dawam dan Larso bisa mentolerirnyawalau mereka sendiri tidak melakukan. Djohan seringdicap terlalu idealis atau puritan. Dia pernah menulis karangan“Apa Perbedaan HMI dengan Machiavelli” dan “Betulkah KitaSeorang Muslim?”. Karangan itu ditulisnya pada pertengahan1968. Perbedaan lain ialah bahwa Djohan dan saya melanjutkanperubahan-perubahan pikiran tentang politik dan lain-lainpada konsep pemahaman <strong>Islam</strong>, mempertanyakan atau meragukan“ajaran <strong>Islam</strong>” sedang Larso, Dawam, Djoko lebih banyak152 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —atau berhenti pada pembaharuan-pembaharuan pemikiran politikatau mengenal pada aspek sosial politik (muamalat) danajaran <strong>Islam</strong>. Djohan dan saya tidak kuatir untuk ragu-raguatau kafir karena kami yakin bahwa Tuhan mentolerir hambanyauntuk meragukan atau tidak mempercayai ajarannya sebelumtaat sepenuh hati. “Bagai mana saya disuruh percaya ataumentaati kalau tidak beri hak untuk tidak percaya atau ingkar”,demikian kata-kata yang sering kami berdua lontarkan dalamdiskusi-diskusi dan training HMI.Sampai saat ini perlu diingat bahwa waktu itu pemikiranyang menguasai PB HMI masih sangat bertentangan denganpikiran-pikiran yang sedang berkembang di Jateng-Yogya. Nurcholishsendiri masih berpegangan pada buku <strong>Islam</strong>isme-nyasetebal berpuluh-puluh halaman yang sampai 1969 menjadibuku bimbingan bagi cabang-cabang. Tulisan Nurcholish lainnyayang menjadi bacaan di kalangan HMI secara resmi sampai1969 adalah “Modernisasi adalah rasionalisasi, bukan westernisasi”.Semua ini diejek oleh Djohan dan Manshur dengansebutan “Nurcholishme”. Sejak Kongres di Solo 1966 Manshurtelah mengingatkan bahwa “Nurcholishme” menggantikan ajaranPBR. Tentunya Manshur bicara dengan nada tidak suka.Sangat beruntung bahwa komunikasi ide Yogya-Jakarta tetapada berkat Djoko-Larso serta Nurcholish sendiri yang kerapke Yogya. Nurcholish sangat hormat pada Mukti Ali yangkebetulan membimbing kami dalam “limited group” di manabanyak masalah-masalah fundamental seperti di atas dibicarakan,meskipun selanjutnya dikembangkan dalam forum yanglebih khusus oleh Dawam, Larso, Djohan dan saya.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 153


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —C. Perkembangan pemikiran tingkat NasionalKetika saya mulai aktif di HMI Cabang Yogya pada pertengahan1967, pikiran-pikiran di PB HMI Jakarta diliputi olehkecurigaan pada modernisasi. Saya diminta untuk tidak menggunakankata modernisasi dalam ceramah-ceramah, sedangpembelaan terhadap Piagam Jakarta, konflik-konflik agama,bahaya Kristenisasi dan lain-lain tercermin dalam statemenstatemenyang dikeluarkan PB HMI waktu itu. Djohan danManshur adalah penentang PB yang paling gigih sejak KongresSolo 1966. Pada training Ideopolitor Oktober 1967 diPekalongan yang saya dan Manshur ikuti bersama anggota PBHMI dan wakil-wakil Badko seluruh Indonesia, Nurcholishtampil dengan prasarannya tentang modernisasi, di mana diamengingatkan akan bahaya westernisasi, sekularisme, sekularisasidan sebagainya. Manshur menentang pikiran-pikiranNurcholish tersebut. Dia tidak menolak westernisasi. Ketikadalam ceramahnya di sana Dr. Rasjidi menyerang kristenisasi,issue modernisasi dan lain-lain, saya mencoba meragukannyadengan berkata bahwa umat <strong>Islam</strong> lebih baik mencari kesalahannyasendiri. Tentu saja Rasjidi marah bukan main dengankata-kata di depan 40 peserta “tidak pantas ada orang sepertisaudara pimpinan HMI”, disamping mengecap pikiran sayasebagai paralel dengan Snouck Hurgonje. Perlu dicatat tidakseorangpun yang mencoba membela pertanyaan saya secarajelas atau tersamar, malahan seorang peserta meminta sayauntuk minta maaf kepada Rasjidi.Pada Februari 1968 di Bandung diadakan Seminar GarisPerjuangan HMI yang diikuti oleh orang-orang PB dan pribadi-pribadidari Badko-Badko. Dari Jateng-Yogya datang di154 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —antaranya Dawam, Djohan dan saya. Waktu itu terjadi pertentangandalam diskusi yang sangat keras antara Nurcholish danDjohan. Dalam sikap menghadapi kebudayaan Barat, Djohantidak kuatir terhadap westernisasi, malahan menganggapnyasebagai keperluan yang tidak hanya di bidang ilmu dan teknologitapi juga di bidang mentalitas, sedang Nurcholish sangatanti Barat dan menunjukkan kejelekan dan bahaya-bahaya kebudayaanBarat.Western oriented vs national orientedSebulan sesudah Seminar Garis Perjuangan itu, di Jakartadiselenggarkan Mukernas (Musyawarah Kerja Nasional) HMI.Hasilnya, keluarlah suatu pernyataan yang western orienteddan yang national oriented. Yang pertama adalah mereka yanghendak memajukan Indonesia lewat jalan westernisasi, sedangyang kedua adalah yang berpijak pada kepribadian nasional.Yang pertama dicap sebagai komplotan liberalisme-kapitalismeinternasional yang secara tidak terkatakan maksudnya adalahorang-orang PSI dan kelompok intelektual. Sedang yang laintentunya HMI sendiri di samping PNI dan lain-lain. Group independenpun mendapat serangan dalam pernyataan itu. Dalampertemuan Larso dengan pengurus cabang Yogya setengahbulan kemudian, saya yang tidak ikut di Mukernas menyatakanisi statement tersebut dan menyatakan tidak setuju isinya. Larsohanya menjawab “mungkin peserta-peserta sudah bodoh semuasehingga statement itu diterima”. Konsep statement dibuat olehPB HMI cq Mar’ie Muhammad. Atas statement tersebut sayaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 155


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —menulis suatu artikel di buletin Badko Jateng berjudul “DimanakahSikap Kultural Kita?”.Antara PSI dan PNIAntara akhir 1967 sampai akhir 1969 memang ramai dibicarakanantara pilihan mendekati PNI atau bekas PSI. PB diJakarta lebih cenderung pada PNI, sedang orang-orang Yogyaseperti Dawam-Djohan-Manshur-saya dan juga Larso yangada di Jakarta (PB) lebih cenderung untuk atau lebih merasadekat pada PSI. Ketidaksukaan PB HMI pada PSI dikarenakanketakutan pada sekularisasi-westernisasi yang dianggap hendakdilaksanakan orang-orang PSI. Kecenderungan Yogya pada PSIterutama bukan karena setuju sekularisasi dan semacam itumelainkan karena tertarik type perkaderan PSI yang mengutamakanperkembangan ratio. Orang-orang Yogya adalah tipeorang belakang layar dan tampil ke muka sekedar di forumforumtraining perkaderan. Mereka menganggap perkaderanatau pendidikan sebagai medan yang sangat penting sebagaimanaHatta di tahun 1932 telah mendirikan Pendidikan NasionalIndonesia (Golongan Merdeka) yang bergerak di bidangpendidikan mengimbangi Partindonya Sartono-Sukarno yangterutama bergerak di bidang agitasi rakyat.Perselisihan adalah mengenai pengembangan organisasiyang berakar pada massa atau sebaliknya. PB HMI seringmengejek mereka kaum minoritas yang tak punya akar di massa.Waktu itu Yogya kurang menganggap penting berakar padamassa atau tidak; apalagi pada tingkatan diskusi “limited group”sudah sering diintrodusir pentingnya suatu “selected few” un-156 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tuk memberi arah pada massa atau umat. Malahan sejak pertengahan1967 saya melihat Djohan dan Manshur sebagai orangyang di mana-mana selalu berceramah tentang perlunya creativeminority. Tidak heran bahwa hampir setiap kebijaksanaanPB selalu ditentang kedua orang ini. Waktu itu HMI bisadisebut terpolisir pada dua kutub yaitu Yogya (Jateng) denganJakarta (PB). Bandung masih satu dengan PB yang kemudianmerupakan kelompok sendiri setelah Nurcholish “berpikiranlain”. Endang dan Imaduddin sebagai pimpinan pusat LDMIadalah pengagum-pengagum Nurcholish terutama dengan tulisan<strong>Islam</strong>isme-nya. Ir. Imaduddin saking cintanya pada Nurcholishmemberi nama Nurcholish pada anaknya yang pertama.Orang-orang Bandung sangat tidak suka pada orang-orangYogya/Jateng dan tercermin sampai di Kongres Malang di manasalah seorang PP LDMI berkata “Wahib-Djohan tidak pantasberada di HMI”.Walaupun begitu, buah pikiran yang timbul di Yogya terusmerembes walau perlahan ke Jakarta. Seperti telah dikatakanNurcholish “Jakarta–Yogya adalah jalur ide, sedang Jakarta–Bandung jalur politik.” Ridwan Saidi pada akhir 1971 berkatakepada Ketua Umum GMKI Yogya Hendrik, bahwa pembaharuanHMI dimulai dari Yogya.Kembali pada pilihan PSI dan PNI, Nurcholish dikenalwaktu itu sampai dengan akhir atau pertengahan 1969 sebagaiorang yang sangat anti PSI. Ketidak-sukaannya pada Masyumibukan hanya karena perbedaan perhitungan strategi, taktikdan cara-cara berfikir seperti Dawam-Larso, tetapi juga danterutama karena banyak tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsirdianggap terlalu dekat pada PSI. Nurcholish lebih senang padaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 157


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sukiman yang dalam Masyumi dikenal sebagai orang yangorientasinya dekat pada PNI. Seperti dikatakan Herbert Feithdari Monash University, Natsir-Roem-Sjafruddin cs dekat denganaliran sosial demokrat, sedang Sukiman-Yusuf Wibisonodekat dengan golongan Nasionalis. Saya masih ingat kata-kataNurcholish di Yogya pada pertengahan 1968 bahwa “tiada maafbagi mereka yang pernah bekerjasama dengan PSI”. Dalam tulisannyatentang modernisasi yang kemudian disebarkan padacabang-cabang HMI seluruh Indonesia, tanpa menyebut terusterang, dia telah menyerang dengan keras pada PSI.Walaupun begitu Nurcholish adalah orang yang senang belajardan membaca. Buku adalah pacarnya yang pertama. walaudia sudah merasa benar tapi karena kesediaannya untuk senantiasabelajar, memaksanya lama-lama untuk mempersoalkankembali apa yang telah diyakininya. Dalam hal ini tidak bisadihilangkan pengaruh kehadiran Larso sebagai pendampingnyadi PB HMI. Kebiasaan Larso untuk mempersoalkan masalahmasalahdasar dengan pertanyaan yang muskil, sangat jauh darisifat indoktrinatif, membuat Nurcholish menyenanginya danrangsangan ini menjadi lebih kuat pada diri Nurcholish ketikapada akhir 1968 dia melawat ke Amerika Serikat.Nurcholish di Amerika SerikatPada bulan Oktober 1968 berangkatlah Nurcholish keAmerika Serikat atas undangan State Departement. Orangyang anti Barat diundang untuk melihat Negara Barat terbesar.Seorang pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat yang ditanyamengapa Nurcholish diundang ke Amerika, menjawab158 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —“sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini”. Disana dia mengunjungi universitas-universitas, mempelajari kehidupanmahasiswa, mengadakan diskusi-diskusi dan sebagainya.Dia berada di Negeri Paman Sam itu selama dua bulan. DiWashington dia berkenalan dengan Sudjatmoko, seorang kutubuku juga seperti Nurcholish. Nurcholish mendapat hadiahbuku darinya. Sudjatmoko yang Duta besar itu menerima danmembantunya dengan senang hati. Setelah pulang dari AmerikaSerikat mulai melihat perubahan-perubahan arah pikiranNurcholish. Dia mulai tertarik pada segi-segi baik dari humanismeyang sebelumnya dicapnya sebagai agama baru. Diamulai tertarik pada sosialisme. Apalagi di dekatnya ada Sularsoyang sangat berjiwa sosialis dalam arti sangat kuat cita-citanyauntuk melenyapkan kemiskinan di Indonesia. Larso sangat tidaksuka pada kepincangan tingkat hidup. Dia sendiri hidupsederhana. Dan ketika Larso kembali dari kunju7ngan ke JermanBarat pada awal 1968, dia membawa sebuah buku berjudulBasic Demands and Fundamental Values of Socialis DemocraticParty. Buku itu diperlihatkan pada Nurcholish, Dawam,Djohan, saya dan kami di Yogya sempat menamatkan bukutipis tersebut. Nurcholish mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’anyang sesuai dengan ide-ide di buku tersebut, sedang kami diYogya dengan pengertian yang agak berbeda mengambil istilahbasic demands dan fundamental values untuk basic demandsmasyarakat Indonesia dan fundamental values of <strong>Islam</strong>. Istilahnilai-nilai dasar <strong>Islam</strong> ini kemudian merangsang kami dalam“limited group” untuk menemukannya dan untuk kemudiandicarikan operasionalnya setelah menyelidiki kebutuhan pokokmasyarakat Indonesia secara sosiologis. Lingkaran diskusi “li-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 159


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mited group” setelah menyusun suatu jadwal bahwa Nurcholishditugaskan merumuskan nilai-nilai dasar <strong>Islam</strong>, sedang DjokoPrasodjo merumuskan basic demands masyarakat Indonesia:Larso mendapat tugas membuat rumusan program operasionalumat <strong>Islam</strong> di Indonesia.Walaupun rencana di atas tidak pernah secara resmi diadakandalam pertemuan mingguan “limited group” di rumahMukti Ali, tapi pertemuan kami berempat (Mukti Ali-Dawam-Djohan-saya) sebagai penyelenggara secara tak resmi denganmereka bertiga terutama Larso, cukup mempermatang pikiran.Limited group berdiri pada pertengahan 1967, namun pikiran-pikiranyang diolahnya cepat terasa pengaruhnya, palingsedikit berupa goncangan di tubuh HMI terutama tingkat PBdan pimpinan cabang di Jawa Tengah. Ini dimungkinkan karenakomunikasi yang lancar Jogja-Jakarta, sementara di JawaTengah yang sering keliling ke cabang-cabang adalah aktivisaktivislimited group. Mereka mengadakan training, pelantikanpengurus cabang, konperensi, diskusi dan kegiatan-kegiatanlain. Kesemuanya ini merupakan sumber pengaruh pada pemikiran-pemikiranyang berkembang di HMI khususnya paraaktivis dengan gradasi yang berbeda baik tempat berangkatmaupun kecepatan menyerapnya. Seperti Djohan dan Manshurmempunyai titik berangkat yang sudah jauh di depan yang lain.Sedang Dawam dan Nurcholish adalah orang-orang yang cukuppunya peralatan ilmu sehingga dengan suatu sikap perubahanmental saja mereka berdua sudah sanggup meloncat jauh kedepan mengejar ketinggalan-ketinggalannya. Rangsangan yangmengendap yang nampaknya belum terrumuskan persoalannyakemudian menjadi lebih jelas setelah Nurcholish kembali dari160 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Amerika, Walaupun begitu, sampai Kongres Malang nampaknyadia belum menemukan suatu rumusan sementara sehinggabelum ada Kekuatan bathin untuk mengubah atau hasrat untukmengubah lingkungannya. Sementara itu tujuan atau tuntutanakan mutlaknya moderenisasi dan malahan oleh beberapaorang sekularisasi makin santer dilancarkan di Jawa Tengah.Dernikian juga tuntutan untuk melepaskan diri dari lingkunganumat atau bulan bintang semakin tegas di Yogja, di sisi tuntutankebebasan individu yang makin besar karena dirasakanorganisasi HMI waktu itu seperti penjara.Perubahan diri Nurcholish, meskipun belum konsisten,sudah terlihat di Kongres Malang. Dalam prasarannya tentangpenjelasan dasar <strong>Islam</strong> HMI, dikemukakan pikiran-pikiran yangcukup segar. Tetapi di pihak lain diserangnya keinginan-keinginanuntuk merombak struktur politik dari orientasi ideologipada orientasi program. Prasaran-prasaran PB HMI tentangumat <strong>Islam</strong>, masalah nasional dan lain-lain dirasakan oleh JawaTengah sebagai langkah mundur. Tapi karena Jawa Tengah jauhlebih siap secara konsepsional, maka 70 persen hasil Kongresberasal dari Jateng, misalnya tentang kebebasan individu, penekananHMI sebagai organisasi pendidikan, komitmen pada<strong>Islam</strong> dan lain sebagainya. Tapi hasil Kongres ini kebanyakankurang difahami peserta sehingga sesudah kongres tidak terlihatlangkah-langkah penyesuaian dan ini menimbulkan frustrasidi pimpinan HMI Jateng karena merasa bahwa harapansudah tiada lagi untuk merubah HMI. Apalagi terlihat olehkami bahwa Nurcholish sedang dirangkul erat oleh Endang csdari Bandung. suatu grup yang sudah agak lama cukup jauhperbedaan pemikirannya dengan Jawa Tengah. Selanjutnya sayaIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 161


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dan Djohan merasa bagaimana terkekangnya pengembanganpengembanganpikiran di Jogja setelah dalam banyak hal Djohandan saya mulai terang-terangan mengemukakan akan perlunyaberpikir bebas, melepaskan diri dari perkawanan denganparpol-parpol <strong>Islam</strong>, mengeritik atau berpikiran lain denganHMI di muka forum umum, masalah kebebasan individu danlain-lain.D. Akhir 1969 hingga sekarangPikiran-pikiran dan sikap Djohan dan saya tidak disukai olehpengurus cabang Yogya dan lebih tegas lagi oleh PB di Jakartayang sudah sejak lama kebijaksanaan-kebijaksanaannya ditentangoleh banyak pimpinan Badko Jateng. Tuduhan walausecara berkelakar bahwa Djohan-Wahib “sekular”, western dansebagainya sudah agak lama terjadi. Di Musyawarah Daerahse Jateng DIY pada Agustus 1969 di Purwokerto, konflik ideantara Djohan-saya dengan ide-ide yang sedang laku di HMImenjadi sangat jelas dan terbuka. Djohan menyerang dengankeras apa yang dianggapnya sikap double standard dan machiavelisselama ini dan dengan tegas menuntut supaya HMIbetul-betul terlepas dari lingkaran atau komitmen dengan umat<strong>Islam</strong> sebagai kelompok agar bisa lebih bebas dalam mengambilinisiatif dalam pengembangan budaya bangsa. Komisi di manaDjohan memberi prasaran adalah komisi yang paling hangat.Nurcholish hadir dalam musyawarah t ersebut. Dalam konflikyang makin mengeras selama musda tersebut sudah mulai terniatkandan sudah kami katakan pada banyak kawan yang pro162 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —maupun kontra bahwa kami tidak bisa lebih lama lagi di HMI.Pada awal September 1969, sebulan kemudian datanglah tuduhandari Jakarta (pimpinan HMI) bahwa Djohan dan Wahibadalah “link PSI di Jawa Tengah”. Akhirnya ditegaskanlah sikap,bahwa tidak ada gunanya lagi berjuang di suatu lingkungan dimana kecurigaan sudah begitu tinggi dan kepercayaan akanmaksud baik sudah tidak ada. Pada tanggal 30 September1969 saya menyatakan keluar dengan suatu “MemorandumPembaharuan” yang menegaskan cita-cita yang saya usahakanterlaksana. Sedang Djohan keluar tanggal 1 Oktober 1969dengan sebuah “Statement Pamitan” setebal 9 halaman ketikrapat. Sedikit banyak kegoncangan di tubuh HMI terasa, dansejak itu di Yogya banyak pimpinan atau anggota yang mulaitertarik untuk memikirkan cita-cita Djohan cs dengan sikapyang lebih dewasa. Polemik timbul di surat kabar di mana PBHMI menuduh Djohan dan Wahib hanya mengejar popularitasmurahan dan keluar karena persaingan kepemimpinan.Diskusi-diskusi pembaharuan pemahaman <strong>Islam</strong> yang kamituntut termasuk dalam “Memorandum” dan “Statement” mulaidiperbincangkan di kalangan yang lebih luas di Jogja. Dahulunyaboleh dikata terbatas pada forum-forum training HMI dananggota-anggota limited group.Saya tidak tahu apa yang sedang berkembang di Jakartawaktu itu kecuali bahwa Ridwan Saidi cukup bergembira dengankeluarnya Djohan dan Wahib tersebut dengan berkata:“Wah, ini betul-betul PSI”, ketika menerima permintaan keluar.Sementara itu Nurcholish, seorang tokoh yang dalam organisasitidak berani tegas dan selalu di tengah-tengah, pada akhir Nopember1969 menulis surat pribadi pada Djohan-Wahib yangIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 163


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —menyatakan kesetujuan pada prinsip-prinsip yang Djohan dansaya perjuangkan. Dia minta pengertian akan kenyataan-kenyataanatau kesulitan-kesulitan yang ada untuk merealisirnyadalam HMI.Tiba-tiba kalangan <strong>Islam</strong> khususnya dikejutkan ketika Nurcholishpada 3 Januari 1970 dalam suatu pertemuan halalbilhalalHMI-PII-Persami-GPI menyajikan suatu paper berjudul“Masalah integrasi umat dan keperluan pembaharuan pemikiran<strong>Islam</strong>”, di mana dia menganggap tidak penting usaha-usahapersatuan umat dan sekaligus menganjurkan pembaharuanpemikiran <strong>Islam</strong> atas titik tolak kebebasan berfikir, sikap terbukadan penerimaan perlunya sekularisasi. Begitu paper iniDjohan dan saya terima dari Dawam, yang sudah lima bulandi Jakarta, melalui pos, saking gembiranya kami berdua langsungkeliling Yogya menemui pimpinan-pimpinan HMI dantokoh-tokoh umat. Secara jujur kami akui, bahwa kami berduamengeksploitir kewibawaan Nurcholish sebagai pemimpin organisasimahasiswa <strong>Islam</strong> terbesar yang banyak disegani dan dikalangan bulan bintang sering disebut sebagai “Natsir kedua”,untuk bisa mempopulerkan pikiran-pikiran “lain” yang jugaterdapat dalam paper Nurcholish. HMI Yogya belum menerimapaper tersebut, jadi mereka memperbanyak paper yang dikirimDawam. Diskusi-diskusi yang membicarakan isi paper tersebutkemudian demikian sering dan berbagai macam tuduhan danserangan ditujukan pada Nurcholish, sedang Djohan dan sayaselalu tampil untuk membela pikiran-pikiran Nurcholish. Inimenunjukkan kekeliruan tuduhan PB HMI sebelumnya bahwakami berdua mengejar popularitas murahan dan keluar karenapersaingan pimpinan. Secara berkelakar Sugiat A.S. bekas164 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ketua Badko Jateng dan anggota PB HMI berkata: “SekarangNurcholish seharusnya keluar dari HMI, atau Wahib-Djohanyang kembali masuk”.Usul pembaharuan pemahaman <strong>Islam</strong> sejak itu meluas danterdengar ke seluruh Indonesia bahkan ke luar negeri. Djohanmengirimkan paper Nurcholish pada seorang temannya seorangProfesor Belanda yang satu setengah tahun sebelumnyabertemu kami di Badko Jateng di Yogya mendiskusikan berbagaihal yang diperlukannya dalam penyusunan bukunya tentang<strong>Islam</strong> di Indonesia. Dalam bukunya yang terbit akhir 1970berjudul “Struggle of <strong>Islam</strong> in Modern Indonesia” setebal 300halaman, Profesor Boland tersebut membandingkan suatu perobahanyang cepat antara pikiran-pikiran Nurcholish tentang“Moderenisasi bukan Westernisasi” yang dimuat dalam MimbarDemokrasi 1968 dengan paper Nurcholish 1970 itu. Selanjutnyadia menumpahkan harapan bahwa di bawah pimpinan danpikiran-pikiran seperti Nurcholish, umat <strong>Islam</strong> di Indonesiaakan lebih mampu menyelesaikan persoalannya termasuk lebihmampu untuk mengambil peranan yang jauh lebih besar dalampembangunan Indonesia.Tentunya banyak reaksi keras terhadap pemikiran baru dariNurcholish. Kalangan pimpinan pusat Muhammadiyah marahkarena pembaharuan Muhammadiyah dianggap sudah berhenti.Beberapa tokoh NU menganggap pikiran macam Nurcholishitu sudah melanggar aqidah. Dalam pembukaan MaprabaPMII di muka ratusan anggotanya pada awal 1970 Ketua PMIICabang Yogya mencap “Nurcholish tersesat”. Tetapi walau dimana-mana reaksi umat <strong>Islam</strong> amat keras, terutama dari orangorangMasyumi kelompok Natsir minus Mohammad RoemIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 165


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang dalam tulisannya di Mimbar Demokrasi menyatakan setuju,usaha Nurcholish dengan PB HMI nya di Jakarta berjalanterus. Untuk pengembangan pemikiran mereka menerbitkan“Forum Indonesia” dan kemudian “Mimbar”. Diskusi tentangkonsepsi-konsepsi politik pun, yang paling akan terkena implikasisekularisasi, diadakan dengan tokoh-tokoh tua sepertiNatsir, Zainal Abidin Ahmad dan Anwar Haryono untuk lebihmemperjelas tentang pengetahuan kebijaksanaan politik merekadi masa lalu serta pikiran-pikiran politik mereka yang mutakhir.Pertemuan dengan tokoh-tokoh lama itu malah membuatpenilaian tokoh-tokoh muda di HMI pada mereka tidak begitutinggi. Pertentangan antara Natsir cs dengan HMI/Nurcholishcs seakan-akan tidak bisa dihapus lagi. Tidak jelas sampai dimanaperan penguasa.Yang jelas penguasa militer di Indonesia seakan merangkulNurcholish dan terus mengisolir Natsir dan selalu mencurigaiorang-orang yang berhubungan dengan Natsir. Saya sendirimemandang bahwa sudah tidak ada gunanya untuk mempertemukanNatsir dengan anak-anak muda HMI. Pertentanganantara mereka bukan karena salah paham melainkan karenaperbedaan pemikiran yang sangat fundamental, sedang setiapusaha untuk membawa ke perundingan hanya berarti menambahkehilangan waktu untuk mengejar ketinggalan-ketinggalansetelah ratusan tahun atau malah seribu tahun umat <strong>Islam</strong> beradadalam kebekuan dan stagnasi pikiran. Lagi pula, berfikirterus untuk menyambung hubungan dengan Natsir cs berartimemasuki kerja yang melelahkan yang kemudian akan membawaorang-orang muda HMI tersebut pada sikap mental apologidari sudut lain yang selama ini ditentangnya. Kalau Natsir166 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —cs berapologi dalam menghadapi kebudayaan moderen, Kristen,moderenisasi, maka kita orang-oran muda bisa terpancingdalam apologi menghadapi pikiran-pikiran lama Natsir. Lebihbaik orang-orang HMI seperti Dawam, Nurcholish atau Djohandan lain-lain merelakan Natsir dalam keadaannya sekarang inidan berhenti membicarakannya. Yang sangat diperlukan sekarangadalah mematangkan konsep-konsep pembaharuan <strong>Islam</strong>yang sekarang belum memperoleh rumusan yang jelas bagi masyarakatatau umat, memandang semata-mata pada kebutuhanmasa depan dan sementara jangan menoleh-noleh pada kawankawandi belakang. Bila tidak kita akan stagnant seperti mereka,sebab sikap mental apologi tak akan memberikan sumbanganyang positif.Kembali pada masalah-masalah diskusi yang makin intensiftentang pikiran-pikiran pembaharuan, perlu dicatat diskusi diBandung antara Dawam Rahardjo dengan kelompok EndangSaifuddin tentang “<strong>Islam</strong> adalah masalah ideologi” yang menghasilkanpertentangan tajam antara Endang cs dengan Nurcholish-Dawam,yang menurut Endang, Nurcholish sekarang sudahsangat lain dengan Nurcholish dahulu.Dalam masalah Bangladesh pertentangan Nurcholish cs denganNatsir menjadi lebih jelas ketika Natsir menyerang Indiadan tidak mau mendukung Bangladesh, sedang Nurcholish dantokoh-tokoh HMI tegas mendukung berdirinya Republik Bangladeshdan menilai pembantaian di Bangladesh sebagai sikap“non-<strong>Islam</strong>i” walaupun Pakistan bernama Negara <strong>Islam</strong>. TokohtokohHMI memandang pikiran Natsir, Muttaqien dan lain-lainmengenai masalah Bangladesh sebagai pikiran yang formalistisdalam mengertikan <strong>Islam</strong>. Sedang HMI dalam hal ini PB-nya-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 167


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —cenderung pada pendekatan material, artinya menilai secara<strong>Islam</strong>i kenyataan-kenyataan yang betul-betul terjadi.Kini untuk mengembangkan pikiran-pikiran pembaharuanpemahaman <strong>Islam</strong>, Nurcholish menerbitkan buletin “Arena”yang sebagian disebarkan pada cabang-cabang HMI se-Indonesia.E. Serba kegiatan pemikiran dan peta ide-idepembaharuanSebenarnya tuntutan pembaharuan dalam memahami <strong>Islam</strong>sudah muncul lebih awal, tetapi tidak terpublisir luas ataudilancarkan oleh orang-orang muslim yang tidak berjuangdi kalangan organisasi-organisasi <strong>Islam</strong> formal. Seingat sayaGunawan Mohamad dalam suatu majalah kebudayaan ukuransederhana pada kira-kira tahun 1963 menulis tentang <strong>Islam</strong>dan perlunya cara-cara yang lebih hakiki dalam memahamiagama <strong>Islam</strong>.Dalam diskusi limited group pertengahan 1967 di Yogyaseorang peserta mempersoalkan kedudukan Al-Qur’an sebagaisumber ajaran <strong>Islam</strong> apakah subject to change atau tidak.Sesudah tuntutan pembaharuan didengar di kalangan luas,pada awal 1970 Persami Yogya mengadakan pertemuan ramahtamahdengan Dr. Deliar Noor dengan dihadiri Dr. Mukti Ali,dan acaranya tentu saja diskusi. Yang ramai jadi perdebatanadalah: apakah aturan-aturan yang dibawa Muhammad itu dipengaruhioleh kondisi sosial atau tidak, sehingga dalam settingsejarah yang berlainan seorang muslim bisa mengambilketentuan berbeda. Dua hari kemudian seorang khatib Mesjid168 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Syuhada yaitu Drs. Duchak Latief yang ikut dalam diskusi itu,menyerang dalam khotbahnya pikiran-pikiran “sebagian pemuda-pemudaatau sebagian mahasiswa” yang tidak mau menerimakeabadian hukum hukum Tuhan.Pada 31 Desember 1970 suatu group diskusi dosen-dosen<strong>Islam</strong> di Rawamangun (rumah Dr. Deliar Noer) berdiskusitentang Al-Qur’an, di mana Dr. Harun Nasution dosen IAlNmenyampaikan paper “Apakah Qur’an itu lengkap”. Pada akhiruraiannya yang tentu saja menimbulkan kemarahan dan perdebatan,termasuk debat kusir, dia sampai pada kesimpulan bahwaAl-Qur’an tidak lengkap dan memang tidak perlu lengkap.Seorang peserta malah berpendapat bahwa Kesempurnaan Al-Qur’an justeru karena ketidak-lengkapannyaDua tahun yang lalu pernah terjadi perdebatan antaraMukti Ali dengan O. Hashem yang waktu itu terkenal agresifdan apologis. Mukti Ali memperingatkan O. Hashem akan ketidakgunaantulisan-tulisan yang bernada apologi pada umat<strong>Islam</strong> sendiri. Sekarang pikiran O. Hashem sudah berbalik seratusdelapan puluh derajat. Dalam diskusi-diskusi limited group,sejak awal Mukti Ali menyerang kebiasaan apologi tokoh-tokohatau mubaligh <strong>Islam</strong>. Dalam Kongres Persami Desember 1971yang lalu juga bisa disaksikan benturan-benturan fikiran antarapikiran-pikiran lama dengan yang baru, yang kemudian berlanjutdalam masalah kepengurusan PB Persami, di mana orangseperti Dawam “dipersona-non-gratakan” sedang toleransi padaNurcholish sekedar bisa menerimanya sebagai anggota PB sajadan oleh kekuatan-kekuatan lama ditolak untuk duduk di stafketua.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 169


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Cukup penting untuk mencatat beberapa pendapat parasarjana atau pengamat dalam masalah pembaharuan pemahaman<strong>Islam</strong>.Dr. Mukti Ali pernah mempersoalkan mengapa pikiranpikiranpembaharuan dalam <strong>Islam</strong> justeru datang dari merekayang banyak terdidik dalam pengetahuan umum dan tidak olehmereka yang berprofesi ulama. Lance Castle mencatat perkembanganyang dianggapnya baru bahwa pikiran pembaharuanpemahaman <strong>Islam</strong> justeru terjadi di luar pagar Al-Azhar, tempatdi mana Abduh berpuluh-puluh tahun yang lalu melancarkanide-ide pembaharuan. Forester berpendapat bahwa tidakdapat menamakan Muhammadiyah gerakan modernis. BaginyaMuhammadiyah adalah gerakan purifikasi yaitu menginginkan<strong>Islam</strong> dalam bentuknya yang asli seperti di zaman Muhammad.Menurut dia gerakan modernis <strong>Islam</strong> di Indonesia adalah gerakannyaMukti Ali. Untuk lebih jelas pemandangan kita padaide-ide pembaharuan yang berkembang di Indonesia, perlu dipaparkanbeberapa macam pikiran yang ada dan sedang mencaribentuk mantap setelah lebih dulu melukiskan pikiran Natsircs yang ditentangnya.Pikiran-pikiran Natsir cs.1. Apologi (sebagai sikap mental atau cara memandang masalah);2. Dalam politik berprinsip “All or nothing”, yaitu tidakmau kompromi dalam hal-hal yang dianggap prinsip. Sayangsekali hampir semua ketentuan dianggap prinsip; 3. Formalistis,tidak mau mendahulukan isi atau materinya. Karena ituidentitas <strong>Islam</strong> bagi negara atau hukum dinilai lebih atau di-170 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —utamakan daripada pembinaan secara material; 4. Pendekatannyayuridis konstitutisional dan tidak bisa memandang politiksebagai politik seperti diajarkan ilmu politik. Karena itu diamakin frustrated; 5. Oleh banyak pengamat politik dia disebutfundamentalist; 6. Kalau dibanding dengan tulisan-tulisannyasebelum kemerdekaan, bisa disimpulkan bahwa tulisan-tulisannyayang sekarang jauh menurun dan kurang serius serta takmenunjukkan suatu perkembangan pikiran sebagai akibat biasadari penambahan ilmu dan pengalaman.Pikiran Nurcholish-Usep-Utomo-O. HashemPada pokoknya mereka punya minat besar dalam pemikiran-pemikirankeagamaan. Pikiran-pirannya sudah dikenal banyakorang. Pertentangan mereka yang serius dengan Natsir csyang sering tidak sehat lagi atau sentimental, agak menimbulkankekhawatiran bahwa bila tidak awas akan terlibat dalampertarungan yang sangat melelahkan dengan Natsir cs, sedangmanfaatnya tidak ada.Pikiran Mar’ie Muhammad-Ridwan Saidi-AkbarTanjungMereka lebih banyak merupakan pembaharu-pembaharuatau paling sedikit yang berminat pada pembaharuan dalampolitik praktis. Bisa dikata bahwa mereka merupakan kekuatanoperasional politis dari pikiran-pikiran keagamaan Nurcholish.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 171


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pikiran Sularso-Dawam Rahardjo-Djoko Prasodjo-Adi SasonoMinat mereka terutama pada masalah politik atau pemikiranpolitik. Larso dan Dawam adalah ilmiawan. Djoko adalahorang yang bijaksana dalam menghadapi macam-macampikiran, sehingga sering dirasa kurang tegas. Adi Sasono adalahpejuang politik yang tekun. Mereka kurang berminat untukmemasuki usaha pemikiran pembaharuan pada keagamaan.Mereka adalah pelopor-pelopor dalam pembaharuan pemikiranpolitik umat <strong>Islam</strong>.<strong>Pemikiran</strong> Djohan-WahibSejak dahulu Djohan dikenal sebagai orang yang mengutamakanwatak atau konsistensi dalam bersikap. Ketidak sukaannyapada HMI atau kritiknya pada umat <strong>Islam</strong> adalah karenaHMI atau umat <strong>Islam</strong> sering melakukan langkah-langkahyang mereka sendiri tidak suka orang lain memakai padanyaatau bersikap ganda seperti sikap-sikap yang machiavelistis. DiKongres Malang mereka berhasil menggolkan ide pembinaaninsan yang berwatak sebagai usaha pertama HMI dalam mencapaitujuannya. Mereka ini pengagum SJafruddin, Roem danPrawoto karena wataknya yang jujur. Tokoh, tokoh tersebutbagi Djohan dan Wahib adalah tokoh-tokoh yang berkarakter.Ini yang dianggap mereka tidak ada di HMI. Ketidak-sukaannyapada Masyumi atau Natsir cs boleh dikata sama denganalasan-alasan Larso cs.Di samping berminat pada masalah-masalah fundamental,kedua orang ini berminat juga pada pemikiran-pemikiran172 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —keagamaan. Pembaharuan-pembaharuan yang mereka lakukanjuga diharapkan sebagai landasan teologis bagi pikiran pembaharuanpolitik. Memang mereka menuntut adanya pembaharuanteologi <strong>Islam</strong>. Mereka tidak suka fiqh, menilai umat<strong>Islam</strong> dan ajaran <strong>Islam</strong> sekarang ini sudah kehilangan dimensirohaniahnya.Dalam diskusi 1970 di muka HMI Yogya Wahib menyajikanpaper yang menyimpulkan bahwa sumber ajaran <strong>Islam</strong> bukanAI-Qur’an plus Sunnah melainkan “Sejarah Muhammad”.Djohan pikiran-pikirannya masih sedang diolah dan dicari perinciannyalebih lanjut. Djohan telah menulis “Konsepsi <strong>Islam</strong>Tentang Manusia”.<strong>Islam</strong> dan IdeologiSudah banyak diakui bahwa <strong>Islam</strong> bukan ideologi. Ideologi itujelas ciptaan manusia muslim, jadi tinggal diberi nama apakahideologi <strong>Islam</strong> atau ideologi umat <strong>Islam</strong> Indonesia atau ideologiIndonesia. Meski demikian – walaupun sudah diakui “ideologi<strong>Islam</strong>” atau “ideologi umat <strong>Islam</strong>” itu tak identik dengan <strong>Islam</strong>dalamkenyataan selama ini apa yang mereka anggap sebagaiideologi <strong>Islam</strong> adalah apa yang mereka anggap sebagai <strong>Islam</strong>.Dus ideologi <strong>Islam</strong> identik atau sebagian dari isi pemahaman<strong>Islam</strong>. Di Indonesia “ideologi <strong>Islam</strong>” atau “ideologi umat <strong>Islam</strong>”sudah ada dan itu adalah “<strong>Islam</strong> itu sendiri”. Nah, <strong>Islam</strong>telah diideologikan. Inilah ketidak-utuhan pikiran mereka yangsekaligus telah mendegradir <strong>Islam</strong> sejajar dengan sosialisme,nasionalisme dan sebagainya.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 173


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Memanglah “ideologi <strong>Islam</strong>” itu sudah ada. Tapi adanya itutidak sah, sebab pada kenyataannya isinya tak lain dari <strong>Islam</strong>itu sendiri yang didegradir pada suatu ruang dan waktu. Sekarang,kalau diterima bahwa ideologi <strong>Islam</strong> atau ideologi umat<strong>Islam</strong> yang sah (ideologi yang sebenar-benarnya) belum ada,dapatkah dibikin ideologi yang sah untuk umat <strong>Islam</strong> Indonesiadalam arti: 1. benar-benar merupakan ideologi; 2. benar-benartidak identik atau tidak diidentikkan dengan <strong>Islam</strong>; 3. disinariroh <strong>Islam</strong>.Ya, apa sebenarnya roh <strong>Islam</strong> itu? Pada hemat saya roh <strong>Islam</strong>itu adalah semangat dari sejarah Muhammad.Kemudian perlukah umat <strong>Islam</strong> Indonesia sebagai suatu kelompokmerumuskan suatu ideologi khusus buat dirinya? Adakahumat <strong>Islam</strong> Indonesia merupakan kelompok kepentinganatau sekedar kelompok solidaritas? Apakah beda kelompok solidaritasdengan kelompok kepentingan? Bila umat <strong>Islam</strong> Indonesiamerupakan suatu kelompok interest tertentu, maka sudahsewajarnya mereka mempunyai ideologi tertentu untuk mencapaiinterest-interestnya. Tapi benarkah umat <strong>Islam</strong> Indonesiamerupakan kelompok interest tertentu? Jadi pada prinsipnyaadanya ideologi khusus untuk umat <strong>Islam</strong> tidak mutlak. Bisaperlu, bisa tidak perlu dan bahkan bisa pula naif. Yang pokokadalah <strong>Islam</strong> merupakan nafas pribadi. Kumpulan pribadi-pribadimuslim sebagai kelompok itulah yang membutuhkan ideologiyang bisa khusus mereka atau meluas di luar batas-batasanutan agama.6 Agustus 1972174 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Untung Rugi Memilih Sejarah MuhammadSebagai Sumber <strong>Islam</strong>Saya pikir ada beberapa keuntungan pemilihan “Sejarah Muhammad”sebagai sumber <strong>Islam</strong>: 1. Dalam sejarah Muhammadterungkap kaitan antara ucap-tindak Muhammad dengan kondisiwaktu itu; 2. Dalam sejarah Muhammad diberi peranankondisi-kondisi kita sekarang atau tepatnya di situ berperananhubungan antara kondisi dulu dengan kondisi kita sekarang.Untuk meminjam Nietszche: “History is always contemporary”;3. Sejarah Muhammad itu di samping utuh dan tetap sekaligusselalu baru. Dia tidak akan pernah habis, selama zaman belumhabis. Setiap tempat dan zaman bisa memahami sejarah Muhammaddalam kebutuhan-kebutuhan tempat dan zaman masing-masing.jadi kebutuhan tempat dan zaman dan kreatifitasmanusia memperoleh peluang besar untuk berbicara.Lalu apa kerugiannya memilih sejarah Muhammad?1. Mungkin keilmiahannya atau keilmiah-ilmiahannya, sehinggapenempatan sejarah Muhammad sebagai sumber <strong>Islam</strong>hanya baik atau tepat untuk kalangan intelektual.2. Qur’an sebagai puisi kurang mendapat tempat. Nah, kalauselanjutnya saya ditanya apa itu <strong>Islam</strong> dan apa itu <strong>Islam</strong>i(bersikap <strong>Islam</strong>i), saya memang harus menjelaskannya. Rumusantersingkat begini: <strong>Islam</strong> adalah renungan pribadi pada sejarahMuhammad dengan penghayatan rohaniah pada Al-Qur’ansebagai puisi Ilahiat sebagai salah satu sumber sejarah; sedang<strong>Islam</strong>i atau bersikap islami adalah memandang persoalan-persoalanhidup oleh seluruh potensi kreatif pribadi dengan berpangkalpada segenap kekayaan aqali dan rohani sejarah Muhammadsebagai sumber motivasi dan pelajaran.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 175


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pendapat saya di atas tentu saja masih bisa dipertanyakan,misalnya saja benarkah semua isi Qur’an itu puisi? Dan benarkahbila dikatakan bahwa <strong>Islam</strong> adalah sekedar sumber motivasi?Dan lain-lain pertanyaan bisa diajukan.6 Agustus 1972Satu-satunya Hakim dalam <strong>Islam</strong>: Hati Nurani !Satu-satunya hakim dalam <strong>Islam</strong> bagi kehidupan seorang muslimadalah hati nuraninya, bukan fatwa ulama, bukan isi bukubukuagama, ketentuan-ketentuan dari kawan dan lain-lain.Semua yang terakhir itu sekedar merupakan hahan-bahanpertimbangan yang benar-benar memang harus dipertimbangkan.<strong>Islam</strong> adalah hati nurani setelah dengan sungguh-sungguhmempertimbangkan pendapat-pendapat, kepentingan-kepentingan,cita-cita orang lain dan kelompok sosial sekelilingnya.Jadi ukuran akhir: hati nurani.6 Agustus 1972.Ibadat tidak MutlakMenurut pendapat saya ibadat merupakan pendidikan pribadiuntuk lebih mampu menghayati sejarah Muhammad. Tapimungkin saja ada orang muslim yang tidak lagi memerlukanibadat seperti sekarang ini. Saya sendiri dalam tingkatan sekarangmasih memerlukannya.176 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Ibadat tidak mutlak. Tetapi seorang muslim selamanya memeliharadan mengembangkan suatu jalur dengan kehidupanMuhammad dulu. Jangan sampai terputus. Adanya jalur tidakberarti berbuat sama. Jalur itu berkembang. Jadi walau kitaberucap-tindak yang tidak persis Muhammad sebaiknya kitabisa membangun kontinyuitas jalur dari Muhammad dulu padatindak-ucap kita sekarang. Ini tidak pula berarti bahwa merekayang putus jalur lalu otomatis salah. Ada orang yang tidakberusaha menarik jalur dengan kehidupan Muhammad dulu,tapi secara material bisa dibangun jalur antara kehidupannyadengan kehidupan Muhammad dahulu. Orang macam itu adalahmuslim material. Sedang dengan penarikan jalur yang lainmenjadikan orang muslim formal (pengakuan plus keimanan)dan muslim formal-material (pengakuan plus keimanan pluskenyataan).6 Agustus 1972Pembinaan Toleransi Beragama di Indonesiadengan Pangkal Tolak: Umat <strong>Islam</strong> IndonesiaA. Sasaran toleransi1. Sesama penganut agama <strong>Islam</strong> yakni mereka yang menerimapemahaman-pemahaman NU, Muhammadiyah, Persis, Ahmadiyah;mereka yang menerima pemahaman-pemahaman lainyang formal bersumber pada Qur’an dan Sunnah; mereka yangmenerima salah satu dari pemahaman-pernahaman di atas tapibelum sepenuhnya menjalankan syariat-syariat resminya; danIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 177


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mereka yang menerima pemahaman-pemahaman yang formaljuga bersumber kuat pada kepercayaan-kepercayaan asli yaknialiran-aliran kebatinan.2. Penganut-penganut agama non <strong>Islam</strong> seperti Protestan,Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, agama-agama asli/lokaldan setiap agama yang sudah ada di Indonesia walau belumdapat pengakuan resmi dari pemerintah.3. Mereka yang bertuhan tapi tidak beragama. Misalnya beberapaintelektual dan seniman. Mereka ini merasa tidak puasdan merasa tidak mendapat jawaban akan persoalan-persoalanrohaninya dari agama-agama formal yang ada4. Mereka yang tidak bertuhan, tapi “beragama” (fungsional).Umpamanya para penganut komunisme atau penganuthumanisme (sebagai aliran filsafat).5. Mereka yang tidak ambil peduli pada masalah “ketuhanandan agama”. Terrnasuk di antara mereka ini kaum agnostikdan kaum anti-theisme.Kesimpulannya, sebagai penganut faham an sich setiaporang di atas harus dihormati. Toleransi beragama karenanyaberarti: a. Toleransi atau menghormati sesama manusia dalamkeseluruhan adanya. Setiap manusia lain harus dipandangdalam kemanusiaannya yang utuh; b. Memandang kehidupanrohani orang lain sebagai hak pribadinya yang tidak dapat diganggugugat atau dikendalikan dari luar.Karena itu hak dan kewajiban penganut-penganut atau parapenyiar agama <strong>Islam</strong> hanyalah sampai pada menerangkan isiajaran <strong>Islam</strong> atau menjelaskan pemahamannya tentang <strong>Islam</strong>sebagaimana pihak-pihak lain pun punya hak dan kewajibansempa. Menerima atau menolak agama <strong>Islam</strong> adalah tindakan178 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —rohani yang tak bisa dicampuri. Penerangan oleh da’i hanyalahpemberian bahan pertimbangan. Hati manusia terletak jauh dalamdada dan sepenuhnya dalam kekuasaannya. Kita tak mungkinmenarik sang hati tersebut ke luar untuk diukur atau diatur,karena bila sudah demikian, dia bukan lagi bernama hati.Dan agama terletak di hati.B. Sumber-sumber intoleransi beragama dikalangan umat <strong>Islam</strong> Indonesia1. Pemahaman agama <strong>Islam</strong> secara formalistis dan legalistis. Disini wahyu Tuhan telah dipandang sebagai hukum-hukum formalatau KUHP sehingga agama yang sesungguhnya spiritualatau rohaniah tertutupi. <strong>Islam</strong> sebagai roh kehidupan pribadi,sebagai sumber dari gairah-gairah besar manusia tidak lagidihayati. Legalisme dan formalisme telah menjadikan <strong>Islam</strong>sebagai kriterium jasmaniah yang begitu sederhana, sementarakejiwaan manusia sangat kompleks dan unik. Dalam hubunganhidup beragama dalam masyarakat, pikiran-pikiran ini potensialuntuk intolerant, karena pendekatan-pendekatan yangformalistis ini akan dengan cepat atau mudah membawa orangpada kesimpulan akhir atau absolut sebab kesederhanaan kriteriumnya.Absolutisme adalah sumber intoleransi.2. Pemahaman agama <strong>Islam</strong> yang parsial. Di sini ayat-ayatQur’an atau Hadits dilepaskan dari totalitas ajaran <strong>Islam</strong> sebagaipernyataan kehendak dan kasih Tuhan selain juga dilepaskandari suasana yang mendukung maksudnya. Ayat-ayat seperti a.Wa man yabtaghi ghairal <strong>Islam</strong>a dinan falayyuqbal minhu; b.Innad dina indallahil <strong>Islam</strong>; c. Asyiddau alal kuffar, ruhamauIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 179


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bainahum – telah ditafsirkan oleh kebanyakan mubaligh ataukhatib dengan begitu mudah dan sederhana seakan-akan merekasendirilah yang telah melahirkan ayat itu. Demikian pulamereka kurang sadar bahwa kenyataan kafir dengan muslim dizaman Nabi sudah sangat jauh berbeda dengan yang disebutkafir dan muslim sekarang ini.Pemahaman agama yang formalistis dan parsial ini disebabkankarena umumnya para ulama kita lemah dalam duahal: Pertama tidak memahami secukupnya gejala-gejala kejiwaanmanusia sebagai individu. Penyingkapan rahasia-rahasiakemanusiaan dari individu manusia kebanyakan justeru dilakukanoleh peneliti dan pemikir-pemikir non muslim. Kedua,para ulama <strong>Islam</strong> tidak memahami gejala-gejala kemasyarakatanyang terjadi dan berkembang karena peralatan ilmu tidakada.3. Sikap tidak simpatik penyebar-penyebar agama Nasrani.Penyiaran ke rumah-rurnah penduduk yang sudah menganut<strong>Islam</strong> atau memaksa mendirikan gereja di perkampunganmuslim yang berkeberatan, telah memancing kemarahanbanyak orang atau pemimpin <strong>Islam</strong>. Secara ideal sikap orangorang<strong>Islam</strong> ini kurang bisa dipertanggungjawabkan atau dibenarkan.Tetapi secara ideal pula, penyiaran agama Nasranioleh banyak aliran ekstrim seperti Baptis, Advent, Yehowa danlain-lain pada hakekatnya telah merendahkan agama menjadisemacam barang dagangan atau bis kota yang berebut penumpang.Adalah mengurangi sifat rohaniah agama, bila penyiaransuatu agama telah menimbulkan rasa kurang damai. Sekedartidak melanggar hukum negara, sangatlah tidak cukup untukmemelihara kasih rohani suatu agama. Sikap penyiar-penyiar180 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kristen seperti ini sebenarnya juga bertolak dari absolutisasipemahamannya akan agama yang diridhoi Tuhan. Penangkapannyaterhadap kehendak Tuhan sudah diabsolutkan sehinggakemungkinan lain telah ditutupnya sama sekali.4. Kemiskinan fasilitas menghadapi pihak evangelist yanghaya fasilitas. Orang <strong>Islam</strong> merasa kurang berdaya dalamrnenghadapi orang-orang Kristen yang dengan relatif mudahmembangun rumah sakit, sekolah dan lain-lain yang langsungatau tidak langsung ikut berperan dalam penyiaran agama.Rasa tidak berdaya dalam pertandingan fasilitas ini kemudianmencari kompensasi dalam bentuk yang tidak sehat yaitu intoleransiberupa pembakaran gereja dan lain-lain.5. Frustrasi politik. Orang-orang <strong>Islam</strong> merasa bahwa kekuatanjumlahnya yang besar dibanding dengan Kristen, tidakdiperlakukan secara proporsional dalam pembagian kekuasaanpolitik di pemerintahan. Ditambah lagi ada anggapan bahwapemerintah telah banyak menghalangi aktifnya banyak tokohatau pemimpin <strong>Islam</strong> dalam politik.Mereka merasa terjepit dan merasa telah sengaja dijepit.Terlepas dari benar tidaknya alasan yang dipakai oleh pemerintahatau orang-orang <strong>Islam</strong> sendiri, hal ini telah melahirkanfrustrasi hebat, pidato-pidato yang panas dan sangat peka terhadapgejala-gejala dari pihak lain yang dianggap bisa membahayakanatau merugikan.6. Kekurangan pemimpin umat yang berwatak dan bertanggungjawab.Sementara banyak mubaligh atau massa umat yangsecara tidak sadar telah dilibat oleh akibat-akibat negatif darilima hal di atas, kita melihat kurang adanya pemimpin yangmampu mengambil jarak dengan keadaan di atas dan menca-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 181


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —rikan pemecahan yang rasional dalam hubungan antar umatberagama. Kurang adanya pemimpin yang berwatak, memegangteguh suatu prinsip kebenaran bagi siapapun berlakunyadan melakukannya dengan penuh tanggungjawab akan kepentinganmasa depan walau dengan akibat kesuraman kepemimpinannya.C. Pembinaan toleransi beragama di Indonesia1. Tugas ulama dan pemikir <strong>Islam</strong>. Mereka perlu mencari rumusan-rumusanpemahaman <strong>Islam</strong> yang lebih universal untuklebih dekat pada kehendak-kehendak Tuhan yang universal.Kepercayaan akan kasih dan keadilan Tuhan yang meliputisetiap bagian dari sejarah umat manusia, mengharuskan kitauntuk mengapresiasikan dengan penuh simpati setiap alampikiran yang mengandung unsur-unsur kedamaian, kejujurandan kemanusiaan-apapun nama yang dipakainya. Pemahaman<strong>Islam</strong> kita harus kita lepaskan dari obsesi pada problem-problemruang dan waktu tertentu dengan konsekuensi menempatkankeperluan-keperluan suatu ruang dan waktu sebagaiyang relatif, sementara, universal (itulah yang absolut; yangbetul-betul absolut tak pernah kita ketahui sebab keterbatasandiri kita). Stagnasi pemikiran-pemikiran <strong>Islam</strong> selama ini,sudah berabad-abad, menempatkan umat <strong>Islam</strong> dalam konflikserius dengan perkembangan kebudayaan karena pemahaman<strong>Islam</strong> tanpa disadari telah dibelenggu pada suatu kebudayaantertentu.Kemampuan untuk empathy (meraba dan merasakan daridalam) mungkin sangat diperlukan dalam menghadapi segala182 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kecenderungan kebudayaan, agar bisa memberikan pengarahanyang kreatif. Untuk ini diperlukan kesediaan batin untukmelihat sesuatu menurut apa adanya. Agaknya usul-usul pembaharuanpemahaman <strong>Islam</strong> dari beberapa orang muda di Indonesia,walau dengan beberapa kelemahannya, bisa dipertimbangkansebagai salah satu alternatif untuk keluar dari stagnasipemahaman serta lebih mendekati kebenaran-kebenaranwahyu Tuhan yang diperuntukkan seluruh umat manusia dahulu,sekarang dan manusia-manusia yang akan datang.1. Tugas pemimpin-pemimpin dan mubaligh <strong>Islam</strong>. Merekaharus lebih banyak merenung atau berfikir agar khotbahatau pidato-pidatonya terlepas dari sloganisme sehingga massaumat bisa dibimbing untuk berpikir lebih terang. Mereka perlumenghentikan kebiasaan menuruti emosi tak terkendalikan,walaupun itu menimbulkan simpati padanya sebagai khatibatau mubaligh. Kita harus berlatih untuk melihat persoalan secaralebih terperinci, dalam kaitannya yang kompleks. Khotbahkhotbahpolitik harus dihentikan agar khotbah benar-benarbisa memberikan nafas iman serta rangsangan rohaniah yangagung. Toleransi beragama dari pihak umat <strong>Islam</strong> akan bisa ditingkatkan;bila tradisi pendekatan politis terhadap persoalanpersoalantujuan <strong>Islam</strong>i di Indonesia bisa dihentikan dan memisahkantujuan-tujuan <strong>Islam</strong>i dari kepentingan-kepentinganpolitik dari parpol atau ormas <strong>Islam</strong>. Dengan begitu perlu dipertimbangkankemungkinan untuk tidak lagi menunjuk khatibatau mubaligh dan kalangan politisi.3. Perbaikan sikap umat dalam masyarakat. Umat <strong>Islam</strong>harus berlatih memandang manusia lain yang berbeda fahamdengan penuh hormat dan kasih. Tingkat keagamaan seseo-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 183


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —rang adalah sebagian dari individualitasnya yang harus tumbuhdari dalam. Kebiasaan untuk memvonis bekas-bekas anggotaPKI sebagai orang-orang sesat dan malahan dituntut untukditahan terus atau ditangkap kembali jelas bukan sifat kenabian.Demikian pula sikap pada penganut penganut kebatinan,menunjukkan sifat “benar sendiri” dan kurang menghargaikehidupan batin orang lain. Sikap semacam ini terdapat puladalam hubungan dengan kehidupan generasi muda atau nilainilaimoral sekarang ini, sikap sok suci, penafsiran moral yangsangat sepihak dan kebiasaan melakukan generalisasi denganmudah. Semua ini tidak menyuburkan sikap toleran, apalagibila kemudian dipertegas oleh pidato-pidato para pemimpindan mubaligh.4. Tugas pemimpin kelompok penganut agama lain. Para pemimpinKatolik, Protestan dan lain-lain perlu menyadari, bahwapenambahan jumlah penganut bukanlah tujuan agama itusendiri. Bila penganutan suatu agama sudah cukup menimbulkankedamaian di hati serta tidak memberikan gangguan padasi pemeluk untuk berkembang maju, maka tiada alasan cukupuntuk merayu-rayu orang untuk memeluk agama Nasrani. Pengerahansegenap dana, walaupun halal dan cukup yuridis,untuk membuat semua orang memperhatikan da’wah agamaNasrani (atau agama apa saja), pada hakekatnya telah memandangmurah agama. Pihak Katolik perlu dengan lebih seriusmemperhatikan hasil Konsili Vatican II tahun 1965 yang tidakmenutup jalan ke sorga bagi penganut-penganut <strong>Islam</strong>. Hasilhasilkonsili ini perlu diketahui oleh seluruh biarawan dan rasulawam Katolik, karena sebagian besar dari mereka sampaisekarang masih berada dalam semangat pra-Konsili. Demikian184 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —juga pihak Protestan perlu ingat akan perkembangan-perkembanganbaru dalam teologi Protestan yang tidak lagi mengartikankegiatan misioner sebagai penyebaran agama Kristen,melainkan. “memasyhurkan nama Allah”. Mengagama-Kristenkanorang lain sekarang telah mulai kurang diperhatikan. Perludiingat kiranya thesis dari pendeta Protestan Prof. Dr. Bolandyang mengatakan bahwa “manifestasi kasih Kristus dalam masyarakatIndonesia adalah mencari kebaikan orang <strong>Islam</strong> sebagaiorang <strong>Islam</strong>”. Selanjutnya penganut-penganut Protestan yangtelah tergabung dalam DGI tentunya punya kewajiban moraluntuk mengingatkan kawan-kawannya yang belum bergabungdalam DGI dan masih sangat kolot dan ekstrim seperti Baptis,Yehova dan Advent. Seperti kata Boland, lebih baik tidak adapenyebaran agama ‘Kristen seandainya penyebaran tadi mengakibatkanketegangan-ketegangan yang menganggu pertumbuhandemokrasi.5. Tugas para sosiolog dan “social engineer”: Mereka harusmencari jalan untuk secepatnya melenyapkan batusandungbatusandungsosiologis yang ikut mempersubur intoleransi,seperti perbedaan kemampuan ekonomi yang kemudianjuga sering paralel dengan perbedaan ras atau suku. Minoritasrangkap dari orang-orang Cina di Indonesia bukanlah halyang baik bagi ide toleransi. Demikian juga cara-cara untukmematahkan kotak-kotak sosiologis abangan dan santri harussegera dicari untuk mendukung usaha-usaha di bidang teologi.Setelah diketemukan, selanjutnya mereka harus bisa meyakinkanpemerintah agar rekornendasi-rekomendasinya bisadilaksanakan.Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 185


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —6. Tugas pemerintah (ABRI). Pada dasarnya pemerintah dituntutuntuk berjiwa besar dalam menghadapi golongan <strong>Islam</strong>yang karena tradisi sejarahnya selama berabad-abad telah membawamereka pada sikap oposan pada setiap bentuk kekuasaanyang di luar tangan mereka. Golongan <strong>Islam</strong> selalu curiga padasetiap kekuasaan lain karena pemimpin-pemimpinnya belumsanggup melepaskan diri dari belenggu tradisi yang demikianlama. Oleh sebab itu dari pihak pemerintah (ABRI) yang jugamemiliki sejarah atau pengalaman pahit dengan golongan <strong>Islam</strong>,dituntut sikap negarawan yang mampu menempatkan dirisebagai pucuk bangsa dan bukannya sebagai salah satu kontestankekuasaan. Dari pimpinan ABRI dituntut untuk tidak terbelenggudalam beban sejarah, karena masa depan bangsa tidakhanya dimodali oleh warisan sejarah tetapi juga oleh kemampuansubyektif kita untuk melampaui kenyataan sejarah yang terwarisi,Maka dari itu partisipasi dari kalangan golongan <strong>Islam</strong>dalam kepemimpinan politik seharusnya dipertimbangkan lebihserius, apalagi bila timbul dari mereka yang telah lahir dengankesadaran baru. Salah satu jalan yang penting dalam moderenisasipolitik di Indonesia adalah diikutsertakannya generasimuda dari kekuatan-kekuatan besar yaitu HMI dan GMNI sedikitdemi sedikit. Tidaklah bijaksana untuk tetap mengisolirmereka dari arena politik, sebab hal ini bisa membunuh kesadaranbaru yang sedang tumbuh di kalangan mereka; dan halini pada gilirannya akan tetap melahirkan frustrasi yang akanmencari kompensasi dalam tindakan agresif dalam hubunganantar umat beragama.Agaknya, perombakan struktur politik pun-walau agak dipaksakan-dalamarti menempatkan nama agama semata-mata186 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dalam bidang sosial atau pendidikan (sehingga partai politik<strong>Islam</strong> tidak diperlukan lagi), mungkin bisa menolong mengurangipendekatan-pendekatan politis terhadap tujuan-tujuan<strong>Islam</strong>i di samping akan merukunkan kembali 85 persen orangIndonesia yang mengaku beragama <strong>Islam</strong>. Bila ini dilakukan,pemerintah telah menolong mencegah <strong>Islam</strong> sebagai kekuatanpolitik langsung dan <strong>Islam</strong> dikembalikan pada misi aslinya yaknimembangun pribadi manusia dengan memberinya roh kehidupanyang terjelma dari wahyu ilahi. Ini jelas akan membantuiklim toleransi beragama, karena kepentingan-kepentingan agamatidak lagi diukur dengan kepentingan-kepentingan politikyang dangkal.Perkembangan pikiran yang sudah lama terjadi di kalangangolongan <strong>Islam</strong> harus disadari oleh ABRI sehingga golongan<strong>Islam</strong> sekarang tidak lagi dinilai sama dengan keadaan 20atau 15 tahun yang lampau. Memandang lawan kepada merekayang sebetulnya potensial bukan lawan, adalah pemborosantenaga. Dan menghindarkan orang-orang <strong>Islam</strong> dari perasaanfrustrasi atau terjepit akan sangat membantu menciptakan iklimtoleransi beragama di samping iklim kegairahan bekerja padaproyek-proyek yang bersifat umum. Di samping dituntut, toleransiberagama dari umat lslam perlu dirangsang atau diberiiklim yang sesuai.18 Nopember 1972Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 187


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —<strong>Pemikiran</strong> ke Arah PembaharuanPemahaman <strong>Islam</strong>Dasar pemahaman <strong>Islam</strong>Dalam pemahaman <strong>Islam</strong> sebagai ajaran Allah, sifat-sifat manusiawidan kondisi sosial mesti ikut berperanan. Tak heranbila kemudian nampak macam-macam pemahaman sepertipemahaman yang dogmatis, pemahaman yang rasional danpemahaman yang dinamis. Ini umum terjadi dalam kehidupanmanusia beragama. Agama sendiri sebagai ajaran mengandungnilai-nilai kebenaran universal. <strong>Islam</strong> sebagai kebenaran universalhadir dan terumuskan dalam bentuk wahyu atau titahIlahi. Wahyu Ilahi ini diterima oleh Rasulullah MuhammadSAW. Menjiwai, tunduk dan percaya pada wahyu Ilahi adalahpernyataan kepasrahan mutlak pada Allah.Pengetahuan akan karya Allah bisa diperoleh secara subyektifoleh manusia dengan berbagai cara: secara intuitif; secarailmiah atau penggunaan ilmu pengetahuan, baik yang berdasarsejarah ataupun yang berdasar pengalaman lahir batinmanusia di berbagai bidang kehidupan. Manusia memerlukanpengetahuan yang cukup tentang masalah ketuhanan dan perlumenghayati nilai-nilai kebenaran yang dipancarkannya. Untukbisa mengerti dan menghayati nilai-nilai kebenaran tersebutmanusia harus memakai kekuatan akal atau pahala ilmu pengetahuanserta kesucian dan ketajaman rohani. Dalam nilainilaikebenaran tersebut terbuka kesempatan luas bagi perkembangandan pengembangan hidup kebendaan serta alam rohanimanusia dalam nur kasih dan teladan Ilahiat. Kepada manusiadi setiap tempat dan zaman dituntut untuk bisa memberikan188 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —“wajah nyata” pada <strong>Islam</strong> yang masih “universal dan abstrak”sesuai dengan kebutuhan tempat dan zaman masing-masing.Dengan demikian ada keragaman dan persepsi konkrit dari<strong>Islam</strong> yang sewajarnya juga manusiawi atau duniawi. Ekspresikondisional ini kita sebut hukum fiqh dan konsepsi aqidahserta akibat-akibatnya dalam kenyataan hidup pribadi-pribadidan umat muslimin. Jadi ekspresi kondisional <strong>Islam</strong> tadi merupakanmodus-modus temporer, lokal sekaligus mesti manusiawiatau duniawiDalam hal ini perlu dicatat tersendiri, bahwa manusia memangmemiliki fitrah tertentu dalam adanya maupun dalamarah dan tenaga perkembangannya. <strong>Islam</strong> datang untuk “berpadu”dengan fitrah ini. Karena itu pernyataan <strong>Islam</strong> lahir melaluimanusia dan terutama terletak pada manusia. Pernyataan<strong>Islam</strong> tidak mutlak buat selain manusia, termasuk buat produk-produkmanusia yang bersifat non-pribadi yaitu manusiasebagai kelompok dan bukannya manusia sebagai seorang manusia.Produk-produk non-pribadi ini sering kurang relevanuntuk disebut pernyataan <strong>Islam</strong> atau sebaliknya, karena padadasarnya hubungan antara <strong>Islam</strong> dengan produk-produk nonpribaditersebut bersifat tidak langsung.<strong>Islam</strong> dan RasulullahWahyu Allah hanya diberikan pada nabi dan rosul termasukMuhammad. Karena para rosul atau Muhammad hidup dalamsuatu lingkungan konkrit (di suatu ruang dan waktu tertentudengan kondisi sosio-kultural tertentu yang melahirkan perso-Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 189


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —alan dan kebutuhan tertentu), mereka harus memberikan problemsolving atas persoalan-persoalan dalam kondisi tersebut.Problem solving dari Muhammad, kita sebut tradisi Muhammad.Tradisi Muhammad merupakan interpretasi, produk ataupemyataan dari wahyu yang diterimanya. Tradisi Muhammadmerupakan modus-modus pemecahan yang kondisional dansituasional. Pekerjaan ini sebenamya dapat pula dilaksanakanoleh setiap manusia, dalam masalah-masalah kebendaan,kemasyarakatan serta alam dasar kejiwaan dengan media ritualnya.Hanya saja, dalam aspek-aspek kejiwaan dan ritualini pada umumnya manusia tidak memiliki daya interpretasidan imajinasi seperti Muhammad, sehingga dalam masalahini daya kreatifitas atau potensi manusia cukup rendah untukmencipta dan menyatakan diri dengan tepat. Meskipun begitu,tidak ada larangan bagi manusia untuk berspekulasi mengenaiaspek-aspek tersebut dengan mengingat aspek-aspek tersebutdan menyadari kelemahan-kelemahannya serta memperhatikandengan sungguh-sungguh contoh-contoh gemilang yang pernahada.Rasul dan ManusiaTugas rasullullah adalah sebagai penjelas atau pemberita tentanghidup kebendaan, kemasyarakatan dan kejiwaan dalamdunia yang akan berakibat di akhirat. Dengan mukjizatnyamereka telah hampir memonopoli pengetahuan-pengetahuanatau kebijaksanaan tentang hidup kejiwaan dan akhirat. Tidakdemikian halnya tentang hidup kebendaan dan kemasyarakatandi dunia. Rasul seperti Muhammad datang atau diutus di saat-190 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —saat tertentu untuk menjelaskan pokok-pokok hidup kejiwaanserta pembinaannya untuk menghadapi hidup kebendaan dankemasyarakatan serta akibat-akibat seluruhnya pada hidupakhirat. Mereka memberikan contoh kondisional yang konkrittentang kehidupan di dunia.Dalam masa vakum atau “saat-saat tertentu” manusia ditantanguntuk menjadi “pewaris kreatif ” dari para nabi denganmenjadikan dirinya sebagai pencipta jawaban-jawaban manusiawiatau duniawi atas persoalan kebendaan, kemasyarakatandan kejiwaan. Dengan demikian manusia diberi potensi danhak sebagai “nabi-nabi duniawi” seperti mujadid, ulama, fuqaha,sufi, filsuf, negarawan dan lain-lain. Jadi dalam menghadapimasalah-masalah dunia, manusia diberi hak penuh untukmenentukan dirinya (pribadi atau masyarakat) berdasarkan:pertimbangan-pertimbangan obyektif, keterbukaan pada segalamacam pertimbangan dalam lingkup seluas mungkin sertapenghayatan akan tradisi Muhammad termasuk Al-Qur’an sebagaiproduk wahyu. Dengan perkataan lain perlu sejenis desakralisasisekularisasi atau liberalisasi yang menjalin ketigadasar tersebut.Untuk menciptakan kehidupan yang diridhoi Allah sesuaidengan persoalan dan kebutuhan lingkungannya manusia menciptakankonsep-konsep, ide-ide dan simbol-simbol. Semuanyaadalah hasil ijtihad yang meliputi macam-macam aspek kehidupanseperti ekonomi, sosial, budaya, teknik dan lain-lain.Konsep-konsep, ide-ide atau simbol-simbol tadi kadang-kadangdiberi atribut <strong>Islam</strong>, walau sudah jelas tidak abadi sebagaimanaabadinya <strong>Islam</strong>. Berlainan dengan wahyu <strong>Islam</strong> yang sakral,Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 191


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —konsep-konsep ini setiap saat bisa diragukan dan dikembangkan.Ide-ide manusia Muslim dan <strong>Islam</strong>Sangat wajar bila pemikiran-pemikiran yang diciptakan manusiaMuslim dalam menghadapi persoalan-persoalan lingkungannyatadi kemudian melembaga dan menjadi tradisimasyarakatnya. Seringkali tradisi ini (beratribut <strong>Islam</strong> atautidak) akhinya menjadi beku karena kaku dan tertutup bagiperkembangan-perkembangan baru, sehingga dia merupakanikatan tradisionalisme yang menghambat perkembangan kemanusiaan.Konsep-konsep dari manusia muslim telah disamakandengan wahyu <strong>Islam</strong>. Perobahan konsep dianggap perobahanagama. Kurang disadari, bahwa konsepsi-konsepi dari manusiaselalu mengalami pembaharuan agar bisa relevan dengan lingkungannya,walaupun <strong>Islam</strong> sebagai wahyu atau agama tetapmenerangi tanpa perobahan sedikitpun. Kekeliruan yang sangatumum di atas mungkin sekali disebabkan oleh kebiasaan memasangatribut <strong>Islam</strong> pada konsepsi-konsepsi manusia muslimyang temporer tersebut.Kekeliruan semacam itu terjadi pula dalam penilaian terhadapSunnah Muhammad yang sesungguhnya merupakan“produk manusia muslim sempurna”. Sunnah nabi itu walaupunsempurna tetap produk manusia yang mesti terkait padapersoalan-persoalan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan tanahArab di abad ke tujuh dengan kekhususan terjamin memperolehbimbingan atau rangsangan penuh dari Allah SWT.Karena itu tidak tepat untuk menyamakan tingkat atau lama192 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —berlakunya sabda dan tindak nabi Muhammad dengan firmanatau wahyu Illahi.23 Desember 1972NatalHari ini adalah hari Natal. Kepada saudara-saudaraku yangberagama Kristen ingin kusampaikan rasa ikut berbahagia dansimpatiku pada kesungguhan mereka menerima pesan Natal.Banyak kawan-kawan di kalangan Kristen dan Katolik yangtidak sempat kukirimi surat ucapan selamat. Surat itu bukanformalitas. Dia punya arti bagi persahabatan dan pembinaansaling menghargai.25 Desember 1972Catatan dari Diskusi di Rumah Dawam RahardjoDalam diskusi semalam di rumah Dawam, tidak seorangpundari kawan-kawan yang hadir (Dawam, Usep, Utomo, Djohan,Nurcholish) menyetujui pendapat: 1. tidak mengidentikkanQur’an dengan <strong>Islam</strong>; 2. Qur’an adalah abstraksi dan tidak konkrit;3. Qur’an adalah “wajah” <strong>Islam</strong> terbaik pada suasananya; 4.sumber memahami <strong>Islam</strong> adalah Sejarah Muhammad.Pendapat-pendapat yang berhasil kurumuskan pada Nopember1970 di muka diskusi panel HMI Yogyakarta, bisa benardan bisa salah. Selama tiga tahun ini aku belum menemukanalasan untuk meninggalkan pendapat ini sementara akuIkhtiar Menjawab Masalah Keagamaan 193


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kembali akan banyak mengalami dilema bila kuterima pendapatmereka bahwa <strong>Islam</strong> adalah Qur’an dengan penafsiransecara inspiratif. Inilah perbedaanku dengan sesama kawankawanpenyebal. Mungkin ini di karenakan aku kurang bisamenjelaskan (dan aku memang sudah kekurangan semangatmenjelaskan karena agak bosan) di samping mungkin karenamereka yakin betul bahwa Qur’an adalah <strong>Islam</strong> dan ituIahsumber itu sendiri.Sayang aku kekurangan waktu untuk menyusun suatu jalanpikiran yang tertib untuk menerangkan bahwa sesungguhnyakita tidak mungkin konsisten selama penempatan dan pendekatanpada Qur’an sepeti itu tidak ditinggalkan.27 Januari 1973194 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bagian 2Meneropong Politikdan Budaya Tanah Air


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kekuasaan Militer di IndonesiaSaya membayangkan bahwa kekuasaan militer Indonesia iniakan berjalan lama.disukai atau tidak disukai, benar atau tidakbenar. Dia akan berjalan berpuluh-puluh tahun, kecuali kalaudalam masyarakat sipil terjadi keistimewaan-keistimewaandengan munculnya seorang atau beberapa figur yang punyaleadership dan daya krismatik yang tinggi mengagumkan. Karenaitu persoalannya bagi kita, apakah kita akan berspekulasimenunggu datangnya “seorang penyelamat” ataukah kita mengadakancorrective partnership dengan golongan militer ini.4 Nopernber 1968Pancasila: Pedoman BersamaPancasila itu adalah podaman bersama, bukan pedaman pribadi.Pedoman bersama itu bisa hidup karena dia tegak diatas pedoman-pedoman pribadi yang ada. Pedoman pribadimerupakan penghubung antara kehidupan bersama dengankehidupan pribadi. Pancasila dihubungkan dengan kehidupanpribadi oleh agama/ajaran. Pancasila ada karena ada agamaatau ajaran yang hidup pada pribadi-pribadi manusia Indone-196


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sia. Dan bukan sebaliknya agama-agama atau ajaran-ajaran ituhidup dalam pribadi-pribadi karena adanya Pancasila.Pancasila timbul kemudian. Pancasila adalah bendera bersama.3 Maret 1969Demokrasi di IndonesiaMenurut saya mempraktekkan demokrasi sepenuhnya di Indonesiaberarti tidak ada touch dengan realita. Hasilnya akan jauhdari yang diharapkan. Mungkin penguasa bisa diajak bersikapdemokratis, tapi demokrasi tegak dan rubuhnya bukan hanyatergantung penguasa melainkan juga tergantung pada rakyat.Dan saya rasa rakyat Indonesia belum bersikap demokratis.Dan ini lama sekali merobahnya.10 Maret 1969Mental PrimitifSaya tidak bisa mengerti mengapa orang-orang bersatu dalamorganisasi karena persamaan daerah. Ada Mahasiswa Kalimantan,Keluarga Madura dan lain sebagainya. Ini mentalprimitif.Tapi saya yakin, suatu waktu ini akan hilang.19 Maret 1969Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 197


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Antara Kromo dan NgokoPergaulan hidup di Indonesia ini sangat tidak demokratis.Kemarin aku melihat seorang kusir andong yang sudah tuaberbicara dengan polisi muda. Aku mendekat dan menangkappercakapan mereka. Kusir tua memakai panggilan bapak denganbahasa kromo. Sedang polisi muda memakai panggilankowe dengan bahasa ngoko. Mengapa kusir tua ini tidak memakaipanggilan sederajat seperti saudara, dengan bahasa yangsederajat.Nah, demokrasi ternyata bukan terletak dalam politik, tapiterutama dalam kehidupan sosial.16 April 1969Intelektual atau Teknokrat?Dalam polemik masalah pelacuran intelektual, ternyatalahBahwa Mochtar Lubis, Wira, Tasrif, LE Hakim dan RahmanToleng berada di satu pihak berhadapan dengan Emil Salim,Goenawan Mohamad, Nono, Wiratmo, Rosihan Anwar danMarakarma di pihak lain. Dan di mana Sumitro berdiri?Terbatas pada soal yang didiskusikan an sich, maka sayaberpihak pada yang pertama yaitu bahwa orang-orang sepertiDr. Esa, Dr. Widi, Dr. Alad, Encip. Dr. Musak, Bahal* dan lainlaintelah melakukan pelacuran intelektual. Dengan alasan bahwasampai pada ilmu yang mereka kuliahkan di universitas telahberubah pula sesuai dengan kondisi politik. Universitas ituuniversal. Ilmu itu juga universal. Karena itu tidak benar samasekali kalau dalam forum keilmuan, pengaruh kekuasaan politik198 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dimasukkan. Lain halnya dengan Manifes Kebudayaan (dengansebutan “revolusi sosialis” nya) atau Deklarasi KAMI (dengansebutan PBR, Revolusi, Manipol dan lain-lain) itu tidak dapatdisalahkan. Di situ memang bukan kegiatan intelektual. Di situkegiatan politik. Dalam politik yang ada bukan hanya pertentanganbenar atau salah, tapi juga baik atau buruk, bahkan jugakuat atau lemah dalam rangka menang atau kalah.Memang sukar menjadi intelektual, apalagi kalau orang itutelah menamakan dirinya intelektual. Intelektual itu harus memilikiidealisme yang menyala-nyala. Tapi saya heran, mengapaMochtar Lubis menolak filem-filem Sovyet dalam festivaldrama. Bukankah itu jauh dari sikap intelektual yang melihatmanusia sebagai manusia dan bukan bajunya? Tapi belum tentuseorang intelektual itu lebih bermanfaat untuk pembangunanbangsa daripada orang yang tidak lagi intelektual. Contoh: Belumtentu Mochtar Lubis lebih bermanfaat untuk pembangunandaripada Emil Salim, Widjojo dan lain-lain. Itu tergantungjuga sampai di mana kemampuan intelektualitas yang dimilikiintelektual tadi. Kalau dia hanya kreatif, dedikatif, responsif,setia pada kebenaran dan akal sehat, pokoknya berkepribadianbaik, tapi sama sekali kosong dari kemampuan akademis,maka dia hanya menjadi orang pencetak moral atau kepribadian,sedang karya-karyanya hanya bermanfaat bagi tingkat desaatau kecamatan. Kalau di samping memiliki kepribadian yangindah-indah tadi ditopang oleh kemampuan otak yang tinggi,maka dialah orang yang paling ideal, bermoral dan berilmutinggi.Akan hal orang-orang seperti Emil Salim, Widjojo, Sadliitu, agaknya lebih tepat disebut teknokrat, bukan intelektual.Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 199


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Mereka tidak mempersoalkan siapa yang berkuasa. Mereka hanyabekerja, membantu yang berkuasa (baca: pemerintah).22 April 1969Posisi Kaum Intelektual di IndonesiaAda dua macam pengertian intelektual. Pertama, pengertiansederhana atau yang minimal, yaitu bahwa intelektual adalahmereka yang terpelajar atau educated. Kedua, pengertian yangideal, yaitu bahwa intelektual adalah mereka yang educated(secara akademis), kreatif, memiliki gairah pengabdian danbertanggungjawab (jujur, berani, cinta kebenaran, dan semacamitu). Menurut Rosihan Anwar, intelektual adalah mereka yangberpengetahuan luas, memikirkan tentang hari depan umatmanusia dan kemanusiaan. Sedang menurut Dr. MohammadHatta, kaum intelektual merupakan minoritas yang berkualitas.Dalam saat-saat gawat dimana demokrasi macet, dia tampil kemuka menyelesaikan.Pada pokoknya intelektual dalam pengertian ideal adalahmereka yang educated, berkarakter serta memiliki gagasan-gagasansosial-politik. Dia melihat masalah kemasyarakatan darisegala aspeknya, dalam interrelasinya dengan aspek-aspek lain.Intelektual harus dibedakan dengan scientist (ilmuwan). Ilmuwanitu hanya memusatkan diri di satu bidang saja (ahli atom,ahli ekonomi, ahli hukum, ahli linguistik dan sebagainya) dankurang melihat hubungannya dengan bidang-bidang lain dalamrangka kemajuan masyarakat. Pegangan kaum intelektual secaraumum adalah kemanusiaan (humanity).200 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kenapa kita tertarik untuk mengupas masalah kaum intelektualdewasa ini? Saya melihat adanya dua sebab yaitu sebabaktual dan sebab fundamental. Sebab aktual antara lain: a. diIndonesia terjadi himpunan militer-intelektual; b. peranan yangmakin besar yang dimainkan kaum intelektual di Indonesia dalammasalah-masalah politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan;c. isme-isme politik yang pokok, fundamental dan mengagetkankebanyakan diintrodusir oleh kaum intelektual; d. Masalahperjuangan golongan <strong>Islam</strong> yang tengah mempertanyakan perlutidaknya kaum intelektual muslim berperanan di dalamnya.Adapun sebab fundamental adalah sedemikian besarnya pengaruhkaum intelektual dalam proses perubahan sosial-budaya.Dalam proses tersebut mereka berperanan karena:1. Mereka pelopor atau inovator.2. Mereka memiliki pola berfikir yang tidak sama denganpola berfikir masyarakatnya. Dengan demikian mereka capableuntuk menarik masyarakatnya ke arah kemajuan.3. Mereka responsif, ekspresif dan formulatif.4. Mereka kreatif, bukan reaktif.5. Mereka independent-aktif.6. Mereka jujur dan berani (intellectual courage).7. Mereka tidak mencari simpati.Posisi kaum intelektual sebelum kemerdekaanDi masa ini mereka memiliki posisi terhormat di mata kemanusiaan.Posisinya cemerlang karena mereka merupakanMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 201


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kekuatan ekspresif dan formulatif dari rakyat Indonesia yangsedang tertindas. Hal ini bisa dilihat pada pergerakan-pergerakanmenuju Indonesia merdeka yang dipelopori kaum terpelajardan intelektual. Boedi Oetomo dipimpin oleh mahasiswa-mahasiswaSTOVIA; cita-cita Indonesia Merdeka pertama kalidicetuskan oleh orang-orang terpelajar seperti Douwes Dekker,Tjiptomangunkusumo, Sutomo dan lain-lain; Perhimpunan Indonesiadi Negeri Belanda merupakan arena memperjuangkankemerdekaan Indonesia oleh para mahasiswa Indonesia yangsedang belajar di di sana: Sumpah Pemuda 1928 dipeloporioleh pemuda dan kaum terpelajar.Posisi kaum intelektual sesudah kemerdekaanc.q. zaman Sukarno.Di masa ini kaum intelektual posisinya buruk sekali. Kaum intelektualberusaha disingkirkan dari pemerintahan karena tidakdisukai oleh Sukarno. Dalam masa inilah tidak bisa dilupakanterjadinya lembaran hitam bagi kaum intelektual, di manabanyak dari mereka menanggalkan sendiri namanya. Terjadilahdokter yang berkata bahwa jagung lebih baik daripada beras.Terjadilah manusia terpelajar Ruslan Abdul Gani yang denganseluruh perbendaharaan ilmunya berusaha mati-matian merasionalisirajaran-ajaran Sukarno. Terjadilah debat dalam suatuseminar sejarah di mana pendapat Sudjatmoko diserang denganalasan tidak cocok dengan pendapat Sukarno dan MuhammadYamin. Terjadilah peristiwa di mana karangan Dr. MohammadHatta yang diminta oleh Widjojo Nitisastro tidak jadi dimuat202 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —di majalah ekonomi karena berlainan dengan pendapat Sukarnowaktu itu.Setelah 5 Juli 1959 struktur Demokrasi Terpimpin mulaidijalankan di Indonesia: diikuti tanggal 17 Agustus 1959 olehManipol; dan diikuti lebih tegas lagi pada tahun 1960 di manaMPRS memutuskan Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi(PBR). Berawallah suatu kekuasaan mutlak di mana DPR pilihanrakyat dibubarkan dan kebebasan intelektual ditindas. PSIdan Masyumi bubar.Masa ini merupakan kebalikan ekstrim dari masa sebelum1959. Anarkisme dari liberalisme sebelum 1959 melahirkandiktatur pada 1959. Sebelum tahun 1959, demokrasi sebagaihak dan tanggungjawab serta kemampuan untuk mengendalikandiri, kurang disadari oleh rakyat Indonesia. Di masa inihampir semua orang tidak berani berkata “tidak”, walaupun hatinuraninya begitu menginginkan berkata “tidak”. Pengingkaranhati nurani meluas dari “yes-man” menjadi suatu kebiasaan.Keadaan tragis ini hinggap pula di kalangan intelektual. Makaterjadilah semacam penghianatan intelektual. Mereka bekerjasekedar sebagai pegawai. Dan menjadi suatu kenyataan puladi mana sementara suratkabar bertepuk-tangan bila ada suratkabar lain diberangus. Seorang sastrawan pun bisa begitu gembiranyakalau sastrawan lainnya dilarang menulis. Tahun 1964,kejadian-kejadian yang tragis ini kian menghebat. Surat-suratkabar diberangus, majalah “Sastra” dibredel, seniman-senimantak bebas lagi mencipta. Di masa ini tugas politik LEKRA dibidang kebudayaan ialah menghancurkan setiap kondisi obyektifyang memberi kebebasan kepada kaum intelektual untukmencipta.Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 203


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Manifes Kebudayaan yang lahir pada 17 Agustus 1963, sebagaimanifesto seniman Indonesia, dilarang pada permulaantahun 1964. Sejarah sesudah itu membenarkan prinsip yang dipegangkaum manifestan, bahwa: “suatu masyarakat yang berusahamenyingkirkan kaum intelektualnya, berarti masyarakattersebut telah mempersiapkan penyingkiran dirinya sendiri”.Ada peristiwa yang tragis pula. Karena paksaan situasi,sementara tokoh-tokoh pencetus manifes mengirim telegramminta maaf kepada Presiden Sukarno.Menurut Wiratmo Sukito, dalam zaman Sukarno ini kaumintelektual telah berjuang gigih melawan tirani. Sebaliknya menurutS. Tasrif, masa ini merupakan lembaran hitam, di mana“terlalu sedikit kaum intelektual yang berani tampil ke depandengan jantan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi sertamelontarkan kritiknya sekaligus”. Menurut Tasrif, dengan pikiran-pikirannyaintelektual merupakan professional rebels againstall authority, apalagi terhadap authority yang sewenang-wenang.Dalam konteks inilah Tasrif memasukkan Hatta, Bahder Djohandan Mochtar Lubis sebagai intelektual sejati.Posisi kaum intelektual dalam periodepost-Sukarno.Setelah kegagalan PKI dengan G-30-S-nya, terutama selepas 11Maret 1966, penindasan penguasa terhadap kaum intelektualmulai berakhir. Tapi menjadi pertanyaan yang masih perludiuji dalam sejarah, apakah setelah lepas dari penindasan lama,kaum intelektual Indonesia tidak terjerat dalam bentuk-bentuk204 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —penindasan baru yang halus; dan apakah semuanya perlu meninggalkanprofesinya sebagai professional rebels?Dalam periode ini kaum intelektual senior baru tampil kemuka “after the field has been: cleared by Indonesian youth, studentsand.... the Army”: Sekarang kebanyakan intelektual telahmenjadi teknokrat alias sekrup-sekrup dalam roda pemerintahan.Seorang yang dikenal sebagai intelektual, Wiratmo Sukito,telah menjadi teknokrat dan dalam beberapa hal telah meninggalkanmissinya sebagai intelektual seperti pernah dikatakannya:“mungkin sudah menjadi hukum sejarah bahwa kaum intelektualselalu akan berlawanan dengan penguasa”.Kaum intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi olehpemerintah untuk membela beleidnya atau sebagai solidaritymaker. Wiratmo Sukito, misalnya, membela pemerintah dalam“peristiwa Purwodadi”. Sedang Emil Salim membela kebijaksanaanekonomi yang dilakukan pemerintah. Ternyatalah, pemerintahmemang berusaha memagar dirinya dengan argumentasiintelektual, di samping berusaha mempartisipasikan otak-otakintelektual dalam menentukan kebijaksanaannya dalam mensukseskanpembangunan.Akhir-akhir ini yang dinamakan the independent intellectualssebagai professional rebels untuk proses dinamika masyarakatsedikit sekali di Indonesia. Sebagian besar telah bekerjadi pemerintahan. Hal ini sangat berbeda dengan zaman penjajahan.Suara-suara intelektual murni yang melihat seluruhpermasalahan masyarakat dan interrelasinya dewasa ini jarangterdengar. Tanpa meremehkan peranan positifnya, maka yangbanyak terdapat di Indonesia ialah intelektual yang “alienated”dengan masyarakatnya dan kurang berusaha mengerti kejiwa-Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 205


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —an masyarakatnya dalam mencari cara-cara yang efisien bagipembaharuan masyarakat. Terlalu banyaknya intelektual yangmenjadi pegawai atau terlalu banyaknya intelektual yang “alienated”dengan masyarakatnya, menyebabkan Indonesia tandusdari ide-ide besar dan kalaupun ada masih kurang efisien dankurang efektif untuk dilaksanakan. Perombakan struktur masyarakatmemerlukan ide-ide besar yang jitu. Juga harus menjaditumpuan perhatian kita selanjutnya, apakah tiga forum“kebebasan” intelektual-pers, mimbar universitas, pengadilan– sudah digunakan sebaik-baiknya oleh kaum intelektual. Akantetapi, meski peranan kaum intelektual sekarang belum sebagaimanaseharusnya, kita patut berterimakasih pada pemerintahyang cukup memiliki appresiasi pada peranan kaum intelektual,baik yang bekerja sebagai teknokrat, maupun yang bebas diluar roda pemerintahan.Kontradiksi-kontradiksi kaum intelektual.Seorang intelektual selalu dipenuhi oleh kontradiksi-kontradiksi,yakni kontradiksi: 1. intelektual dengan masyarakatnya;2. intelektual dengan penguasa; 3. intelektual dengan teknokrat(murni); 4. Intelektual dengan politisi; 5. intelektual dengankaum intelektual sendiri; 6. Intelektual dengan dirinya sendiri;7. intelektual dengan mitos-mitosnyaPosisi kaum intelektual muslim.Posisi kaum terpelajar muslim harus dilihat dalam hubungannyadengan penguasa, pemimpin-pemimpin <strong>Islam</strong> sendiri,206 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —umat <strong>Islam</strong> sendiri dan kelompok-kelompok non-<strong>Islam</strong>. Dihadapan penguasa, kaum terpelajar muslim masih banyak dikaitkandengan golongan <strong>Islam</strong> yang masih dicurigai. Kadangkadangkecurigaan terhadap bangkitnya kaum terpelajar muslimini berlebih-lebihan. Sementara itu pemimpin-pemimpin<strong>Islam</strong> sendiri kurang memberikan penghargaan terhadap kaumintelektualnya. Peranan yang bisa diberikan oleh intelektualmuslim dalam pemecahan masalah belum disadari, karena itutak ada mobilisasi. Orang-orang yang educated di kalanganpemimpin-pemimpin <strong>Islam</strong> sendiri kurang menyadari akanmissi intelektual yang seharusnya dibawa ke mana-mana. Kebanyakanmereka hanyut dalam arus massa dan takut kehilanganpengikut atau teman-teman. Mereka membiarkan umat <strong>Islam</strong>dalam kebutaan.Dengan umat <strong>Islam</strong> sendiri kaum terpelajar muslim kurangkomunikasi dan pikiran-pikiran mereka kurang dimengerti.Akibatnya tetaplah umat <strong>Islam</strong> dalam keadaan tak terbimbing,tetapi menjadi klise masa lalu dan makin reaktif. Tak jarangterjadi, kaum terpelajar muslim lantas terbawa oleh “semangat”massa atau pendapat kaum awam. Golongan lain dengan gencardikritik, tapi golongan sendiri tak diutik-utik.Angkatan muda <strong>Islam</strong>, dari mana diharapkan lahir tenaga-tenagaintelektual muslim ternyata sangat mengecewakan.Angkatan muda <strong>Islam</strong> kini dari merupakan angkatan yang terlambatlahir. Mereka tidak “bicara” dan tidak “hadir” di banyakbidang. Untuk memperbaiki situasi ini maka harus ada pembinaansuatu lapisan kultural baru dalam golongan <strong>Islam</strong> untukmembawa kesegaran, meningkatkan level of political culturegolongan <strong>Islam</strong>. The best educated kaum muda yang berkulturMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 207


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tinggi ini akan merupakan creative minority yang pada gilirannyaakan melepaskan umat <strong>Islam</strong> dari kebekuan.Prospek kaum intelektual Indonesia.Kaum intelektual Indonesia memikul tugas besar dalam pembangunannasional dan pembaharuan masyarakat. Dalam rangkamempercepat proses pembangunan dan pembaharuan ini sertadalam rangka mendudukkan kaum intelektual pada posisiyang sesuai dengan peranannya, maka perlu diperhatikan: 1.Pembinaan universitas sebagai pusat kegiatan intelektual untukmengembangkan kebudayaan (sampai saat ini karya universitashanya mewarisi dan melanjutkan kebudayaan); 2. Perlunyaintelektual independen, walaupun relatif sedikit dibadingkandengan intelektual yang teknokratik; 3. Kecintaan kepada profesi,sebagai pangkal kreatifitas dan benih semangat pionir harusdihidupkan dan dipelihara, karena hanya dengan kedua faktoritulah akan dihasilkan karya-karya besar; 4. Pendidikan danpengajaran bagi generasi baru harus diperbaiki, sebab inilahyang paling potensial bagi peningkatan kultur bangsa.Selanjutnya saya pikir ada dua hal yang perlu dipikirkanoleh kaum intelektual mulai sekarang, yaitu: 1. Prospek kekuasaamkaum militer di Indonesia. Dwifungsi yang dijalankan disegalabidang oleh pihak militer membuat militer terlibat dalambirokrasi bersama kaum sipil ataupun intelektual. Bila berlarutlarut,dan dari pihak sipil tidak segera ada perbaikan dalam duniakepartaian, maka kekuatan kontrol akan makin lemah danakhirnya akan membelit kaum militer sendiri dalam kontradiksi,baik dalam tubuhnya sendiri, maupun dengan kekuatan208 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —di luarnya. Dapat dibayangkan, betapa bahayanya bagi pembangunannasional. Langkah-Iangkah struktural harus dipikirkanmulai sekarang; dan apa yang bisa dilakukan kaum intelektualdi dalamnya. 2. Kemungkinan pergeseran-pergeseran sesama intelektual,yaitu intelektual muslim dan non-muslim. Dua puluhlima tahun yang lampau golongan <strong>Islam</strong> merupakan golonganyang termiskin dari orang-orang intelek (educated). Saat inimulai terjadi proses menuju keseimbangan di kalangan senioren,sedang di kalangan muda (junioren) keseimbangan sudahdicapai. Suatu waktu kelak kaum terpelajar Indonesia akan terdiridari umat <strong>Islam</strong>. Sebagai intinya dan di mana-mana themuslims educated ini akan merupakan managerial force. Denganelite intelektual yang merambat naik dan managerial force-nyayang bertebar di mana-mana, maka pergeseran-pergeseran denganintelektual non-muslim yang sudah lama memegang kekuasaantak terhindarkan lagi.Bagaimana kelanjutan dari pergeseran-pergeseran itu?16 Maret 1969Pemikir dan IlmuwanBetulkah historical necessity itu ada? Apakah yang dikatakan“arus sejarah” itu tidak dapat ditawar-tawar lagi? Apakah yangtelah terjadi di negara-negara lebih maju sekarang ini mestiterjadi di negara-negara yang kurang maju? Apakah yangterjadi di Eropa sekarang mesti terjadi di Indonesia nanti?Apakah sekularisasi betul-betul merupakan hisrotical necessity?Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 209


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Apakah yang merupakan historical necessity itu sudah terangbaik? Apakah yang menjadi ukuran baik dan tidak?Alangkah banyaknya ilmu yang tidak saya kuasai! Pendapat-pendapatyang saya lontarkan selama ini lebih banyak terdominiroleh keinginan-keinginan sebagai idealis daripada suatupendapat yang betul-betul dipikirkan landasan ilmiahnya.Memang ada perbedaan antara pemikir dan ilmuwan. Pemikirterutama memeras otaknya untuk menemukan apa yang baikuntuk masa depan. Ilmuwan terutama memeras otaknya untukmengerti kenyataan-kenyataan yang ada. Kita kaum pemikirharus menyadari perbedaan ini sehingga bisa memperkecil kekurangankita, artinya bisakah kita kaum pemikir melontarkanpikiran-pikiran yang memiliki landasan ilmiah?Saya kira tidak ada zaman di mana pergolakan nilai terjadisehebat sekarang ini. Hampir seluruh pemikiran yang ada (establishedthinking), terutama yang terdapat di negara-negara nonKomunis-di mana pergolakan terlihat jelas – sedang mengalamikrisis. Tantangan-tantangan baru yang sama sekali tidak bersifatrutin timbul, dan menuntut bukan sekedar penyempurnaanpenyempurnaantapi lebih-lebih lagi perombakan. Protes timbuldi mana-mana dari mereka yang sosiologis kurang terikatpada orde sosial yang sudah ada. Tidak pernah student revoltsehebat sekarang dan tidak ada zaman di mana aksi-aksi protesmahasiswa terjadi begitu serempak hampir di seluruh duniaseperti zaman ini. Bagaimanakah krisis ini diselesaikan? Parapemikir dan ilmuwan perlu bekerja keras menjawab tantangantantanganyang dilahirkan oleh zaman dan generasi baru ini.Bagi kita para mahasiswa dan anak-anak muda yang sedangmengembangkan dan mempermatang diri, kesempatan hidup210 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dalam zaman yang penuh gejolak ini adalah suatu rahmat yangmaha besar. Inilah kesempatan untuk berdialog sepuas-puasnyadengan dunia. Barang siapa mengabaikan kesempatan ini ataubersikap acuh tak acuh terhadap pergolakan kultural duniakini, akan menderita kerugian besar karena suatu kesempatanbesar dibiarkan berlalu tanpa peduli. Karena itu keterlibatankita secara kreatif dalam pergolakan kultural zaman ini adalahkeharusan. Lari pada ketenangan dan ketenteraman dan meninggalkanarena pergolakan yang selalu menggelisahkan adalahsikap yang tidak bertanggungjawab kepada masa depan.Kita maju karena kita berani gelisah. Dan tantangan ini adalahtantangan bagi para pemikir, ilmuwan dan para calon pemikirdan ilmuwan.14 April 1970“Freelance lntelligentia”Sebagian kawan berpendapat bahwa perjuangan itu akan efektifmelalui organisasi dan akan gagal bila dilakukan secaraindividual sebagaimana aku sekarang tetap mempertahankanindividualitas diriku dalam berjuang. Dalam ungkapan yangpopuler: aku tetap independent. Pendirian sebagian kawan iniselain bertolak dari pengertian yang sangat simplistis tentangorganisasi, tanpa proses penjiwaan atau pengertian organisasiyang sebenarnya, juga bertolak dari kekurang-sadaran akanperlunya freelance intelligentia dalam suatu masyarakat. A.freelance intelligentia, berhubung dengan keterlepasannya darisuatu vested interest dan spesialisme pada bagian-bagian suatuMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 211


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mesin giling, akan lebih mendapatkan pandangan yang menyeluruh,lepas dari batas-batas kepentingan dan batas-batassebuah sekrup mesin giling.Karena itu freelance intelligentia perlu mutlak untuk suatumasyarakat, walau tidak perlu banyak. Orang-orang yang beginilahyang mampu menciptakan pikiran-pikiran yang melampauiruang dan zamannya. Inilah dasar pikiran saya mengapasejak dulu saya berpendapat bahwa seorang sarjana yang hidupdalam menara gading itu baik, dan bahwa universitas itu untuksebagian harus merupakan ivory tower dan janganlah sampaisebuah universitas melupakan kemenara gadingannya.14 April 1970MoralMoral itu lebih banyak merupakan produk atau akibat daripadasebab. Karena itu saya heran sekali setiap mendengar pidatoatau khotbah tokoh-tokoh <strong>Islam</strong> yang tekanan pembicaraannyaselalu pada moral, moral.... moral. Seolah-olah moral itu merupakanalat penyelesaian masalah. Masalah masyarakat. Moraladalah norma atau cita-cita dan bukan alat penyelesaian. Dialebih banyak sebagai produk. Karena itu pidato-pidato tentangmoral itu sama sekali tidak realistis.Waktu aku memikirkan masalah ini sepulang dari PasarBeringharjo, kulihat di pinggir jalan tak berapa jauh dariku,seorang gelandangan dengan dua anak-anaknya yang kecil-kecildankurus. Amboi, mereka toh butuh beras, bukan moral.Mereka mencari pemecahan masalah, bukan norma-norma.212 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Mereka merindukan bagaimana masyarakat yang seperti sekarangini tahap demi tahap menjadi lebih adil, lebih makmurdan bukan orang-orang yang cuma bisa menyodorkan mimpiyang indah-indah tentang masyarakat adil makmur, apalagi merekayang hanya bisa bermimpi tentang moral. Moral bukanlahmasalah yang berdiri sendiri.Lebih banyak moral tergantung pada politik ekonomi dansistem masyarakat daripada politik ekonomi dan sistem masyarakattergantung pada moral.27 April 1969Ballet yang Mempesonakan“The First Chamber of Dance Quartet” adalah bentuk tarianballet asli yang pertama kali saya tonton kernarin di THR selamadua setengah jam. Saya kagum terhadap gerakan-gerakanhalus yang mereka lakukan. Gerakan-gerakan dengan suatulemparan tenaga yang sangat besar seperti yang dilakukan paratokoh sakti dalam cerita silat Nagasasra Sabukinten. Musikklasik yang menunjukkan kisahnya sangat mengesankan. Tapiyang lebih mengesankan lagi ialah penuangan musik klasik itudalam bentuk tarian ballet yang sekaligus menyertai alunanmusik tadi. Mesranya suatu percintaan, syahdunya pertemuandua hati betul-betul tercermin dalam ballet dan musik yangmengiringinya. Sungguh menarik. Seniman-seniman Amerikatelah sangat berhasil mengekspresikan suasana percintaan,cemburu dan lain-lain dalam bentuk tarian. Seorang penarinyayang bemama Janice Groman mirip benar rupanya denganMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 213


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —seseorang yang pernah kucintai. Sayang gerak-gerik dan sikaporang yang kucintai memberi aku firasat bahwa cintaku tertolak.Orang yang kucintai, yang mirip wajahnya Janice, sekarangini tak kumengerti sikapnya. Dia marah atau kecewa agaknyapadaku. Tapi setiap bertemu, walaupun sudah sangat jarang sekali,hatiku berdebar-debar entah apa sebab-nya, kini sulit bagikubicara seperti dulu dengannya. Namun aneh, cintaku padanyatak pemah berkurang, meski aku pernah setengah terusirpulang dari rumahnya. Wajahnya sangat puitis, mengingatkanaku pada sebuah lukisan Picasso. Aku tidak pernah bisa bencipada orang yang berwajah otentik. Dan wajah itu dimiliki olehdia dan Janice Groman. Setiap Janice, sang penari itu, tampilbadanku kutinggikan dan kursi kuseret agak ke muka. Aku takpeduli pada penonton di dekatku. Perhatianku tertuju padanya.Ekspresif!2 Juni 1969Nasionalitas?Putra-putra Kalimantan memperjuangkan Pangeran Antasariagar ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Putra-putraMadura memperjuangkan Trunojoyo. Putra-putra Makasarmemperjuangkan Sultan Hasanuddin. Tiap-tiap tahun merekamemperingati orang-orang besar itu sendiri-sendiri. Persatuanpersatuanpemuda yang merasa tidak sesuai dengan pahlawanpahlawanitu seolah-olah tidak merasa berkepentingan denganpahlawan-pahlawan tadi. Aneh, katanya mereka pahlawan na-214 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sional, tapi peringatan masing-masing mereka oleh masingmasingdaerahnya justeru mengurangi arti nasionalitas mereka.Seharusnya mahasiswa dan pemuda berontak terhadap keadaanini. The great sin of silence.6 Juni1969Keadaan BangsakuAku tidak bisa mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orangyang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkatningkat.Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampirtetap saja. Bagaimana ini? Apakah mereka tidak punya kegairahanuntuk meningkatkan taraf hidupnya sedikit demi sedikit?Mengapa ada orang Indonesia yang sampai puluhan tahunmenjadi pekerja-pekerja kasar yang itu-itu juga. Pengetahuanmereka juga tidak meningkat. Apa bedanya mencukur 3 tahundengan mencukur 20 tahun. Apa bedanya menggenjot becaksetahun dengan 10 tahun? Ide untuk maju walaupun denganpelan-pelan masih sangat kurang di Indonesia ini. Baru-baruini saya melihat sebuah gambar orangtua di majalah. Dia telah35 tahun menjadi tukang potong dodol pada sebuah perusahaandodol. Potong, potong.... potong terus, tiap detik, jam, hari,berbulan-bulan, bertahun-tahun.... sampai 35 tahun. MasyaAllah! Bagaimana bapak ini bisa kerasan dengan hanya pekerjaanmenggerakkan pisau ke muka dan ke belakang bergantianselama 35 tahun. Alangkah kuat daya tahannya. Tapi alangkahmencekam kebekuan pikirannya. Dia menyerah terhadap ke-Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 215


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —adaannya. Bagiku dalam bekerja itu harus terjamin dan diperjuangkandua hal: 1. Penghasilan harus selalu meningkat; 2.Pengalaman dan pengetahuan harus terus bertambah. Sesudahseseorang menguasai suatu pekerjaan, sebaiknya dia pindahpada bagian lain atau pekerjaan lain yang belum dia kuasaiuntuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru. Denganmodal pengetahuan yang lebih besar kita mendapat kans jugasekaligus untuk memiliki penghasilan yang lebih.Saya kira semangat yang tepat untuk semua itu adalah:membuat hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esokharus lebih baik dari hari ini. Motto seperti itu harus senantiasadihidupkan dalam jiwa kita.6 juni 1969SenimanKekasih, engkaulah matahari yang tak pernah terbenam. Engkaulahyang mengajari pelita bercahaya Kata-kata yang padatberisi ini kudengar dalam filem Romeo and Juliet yang kutontontadi malam. Tuhan menganugerahkan cinta antar duaremaja, dan Shakespeare menggali anugerah cinta itu.Seniman selalu berbicara pada keadaan yang paling hakiki.Karena itu seseorang manusia seniman adalah orang yang palingpotensial untuk berjumpa dengan Tuhan.17 Agustus 1969216 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Selamat tinggal SukubangsaPada suatu waktu di Indonesia ini harus tidak ada lagi sukubangsa-sukubangsa.Dan saya kira memang ke sanalah sejarahmenuju. Dalam hal ini pemerintah bertugas: 1. membiarkansifat-sifatkhas daerah itu “mati” dengan sendirinya atau larutdalam totalitas bangsa; 2. mendorong perkawinan antar-suku; 3.menyebar-ratakan kepadatan penduduk; 4. memajukan kesenianmoderen. Biarlah adanya sukubangsa-sukubangsa itu hanyaterdapar dalam buku-buku riwayat dan sejarah.24 Agustus 1969Pembinaan Keluarga Bahagia ditinjaudari Segi Kemasyarakatan dan PendidikanAnalisa dari segi kemasyarakatan tentang pembinaan keluargabahagia bermaksud untuk mengadakan tinjauan sosiologistentang hubungan (interaksi) antar anggota keluarga sertamengadakan tinjauan akan pengaruh eksteren (pengaruh masyarakat)yang banyak memberikan effek pada suasana interenkeluarga dalam rangka membina keluarga bahagia. Dengandemikian antara masyarakat dan keluarga tetap diperhatikanhubungannya. Sedang analisa dari segi pendidikan bermaksudmengadakan tinjauan paedagogis tentang segi-segi edukatifyang harus dihidupkan dalam keluarga, terutama oleh merekayang menjadi subyek pendidikan, dengan bertitik tolak daripemahaman bahwa pendidikan itu adalah perasan dari segalausaha dalam totalitas kehidupan manusia. Dengan demikianpendidikan dipandang sebagai suatu kebulatan dan tidak adaMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 217


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —satu segi pendidikan pun (pendidikan agama, kesehatan, olahraga,seksual dan lain-lain) yang dapat berdiri sendiri.Karena dalam keluarga, si anaklah yang jauh lebih banyakMenjadi sasaran pendidikan, maka di sini akan lebih banyakmemperhatikan masalah pendidikan anak dalam hubungankeluarga yang bahagia. Dalam abad moderen ini di mana pluralitasterlihat makin mengembang ke segala arah, termasukdalam masalah keluarga, maka persoalan kehidupan dan perananyang dapat diambil oleh keluarga menjadi makin rumitdirumuskan, tapi sekaligus menjadi makin menarik untuk diselidiki.Seorang sosiolog bernama Mead mengatakan bahwameskipun dalam masyarakat yang sudah kompleks tiap-tiapkeluarga berbeda-beda aturan yang dianutnya, tapi ada suatupersamaan yaitu bahwa semuanya berorientasi pada status keluargayang diharapkan meningkat serta anak-anaknya diharapkanmenjadi orang dengan status tinggi. Seorang sosiologlain bernama Ogburn mengatakan bahwa kemerdekaan yanglebih besar, pengungkapan peranan tiap anggota keluarga yangmenonjol, serta suasana yang lebih demokratis dalam hubunganantar keluarga, jelas makin terasa. Karena itulah keluargakeluargazaman moderen ini mengalami dilema yang belumterpecahkan sepenuhnya, yaitu kembali menciptakan iklimyang agak feodalistis atau dibiarkan seperti sekarang yaitukehilangan fungsinya: fungsi ekonomis, fungsi edukatif danfungsi religiusnya.Analisa materialistis mengatakan bahwa proses pokokyang mengubah atau mengaburkan fungsi keluarga ini ialahkenyataan bahwa keluarga tidak lagi menjadi self sufficienteconomic unity. Dalam hal ini seorang penyelidik Rutlege218 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —menambahkan bahwa pengaburan fungsi ini juga disebabkanoleh status baru yang diperoleh kaum wanita. Masalah-masalahbaru seperti di atas perlu diperhatikan Bila kita hendakmenetapkan tipe ideal keluarga yang bahagia dan pembinaannya.Hal-hal di atas dapat menyebabkan suatu keluarga menjadidisorganized home dan solidaritas antar anggota keluargamakin berkurang. Keadaan yang terakhir ini akan sangat potensialdalam masyarakat atau keluarga moderen seperti disinggungOgburn di atas.Dalam abad moderen ini mulai terjadi kemunduran-kemundurandalam peranan keluarga di bidang pendidikan. Walaupunkita di Indonesia belum sepenuhnya melihat effek dariabad moderen ini, tapi karena seluruh gerak ke kebudayaanterlihat mempunyai kecenderungan gerak yang keras ke arahsana, maka perobahan-perobahan dalam keluarga itu perlu diperhatikan.Sebagai contoh: 1. Puteri-puteri kawin tapi sekaligusmengejar karier; 2. Disiplin anak pada orangtua makinberkurang; 3. Tiap-tiap anggota keluarga makin lama makinsedikit ada dalam family circle. Akibatnya tuntutan keluargabahagia tak sekeras dulu.Bila kemunduran-kemunduran di atas tidak dilawan denganintensifikasi pendidikan dalam keluarga, artinya denganmenggunakan kesempatan tersisa seefisien mungkin, maka penyelewengan-penyelewengandapat terjadi dalam bentuk “omsenang”, “tante girang”, kenakalan-kenakalan remaja dan lainlain.Nah,dalam hal ini peranan konstruktif juga diberikan olehmasyarakat (eksteren) dalam wujud: 1. Kontrol yang ketat olehnilai-nilai tradisi yang baik; 2. Kontrol yang ketat oleh hukumnegara; 3. Kontrol yang ketat oleh public opinion; 4. KontrolMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 219


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —oleh seni budaya seperti folk song, humne, puisi dan sebagainyayang berusaha mengembalikan manusia pada nilai-nilaifitrinya.Saya melihat sekarang ini daya kontrol agama jauh menurun.Konsepsi-konsepsi agamawi ternyata tak lagi menjawabtantangan keadaan yang ada. Buku-buku agama dan ceramah-ceramahagama kehilangan daya resap dalam memperbaikimoral dan mental manusia. Karenanya pembaharuandalam pemahaman dan pendidikan agama sangat perlu. Disamping itu harus diingat bahwa interest yang dimiliki setiapkeluarga (ayah, ibu, anak) ialah perasaan home. Khusus untukanak-anak ada special interest yakni parentage-perasaanadanya lindungan dalam keluarga. Bilamana si anak tidakmendapat keamanan dan ketentraman serta rasa perlindungandalam rumah itu, mudahlah ia mencari kompensasi keluar seenaknya sehingga terjerumus dalam kelompok anakanaknakal (cross-boys). Anak-anak yang demikian itu jelasout of control.Saya pikir dalam keluarga harus tercipta iklim kasih sayang.Keluarga yang aman damai mendatangkan tabiat yang tenangpula bagi si anak. Rumah harus menjadi tempat di mana persatuanantar anggota keluarga dipelihara baik.Adapun pendidikan yang dapat diberikan dalam keluargadalam rangka keluarga bahagia ada macam-macam: 1. Pendidikankesehatan, yaitu kebersihan dan olahraga; 2. Pendidikanagam; 3. Pendidikan seksual; 4. Pendidikan pergaulan; 5. Dansebagainya.Khusus mengenai pendidikan seksual harus diperlihatkanbahwa pendidikan ini mesti berlangsung dengan penuh wiba-220 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —wa sebagai pendidikan tentang masalah-masalah yang haruskita hormati, sekali-kali bukan masalah “saru”. Seks tidak lagiakan dinilai sebagai barang yang menjijikkan, tapi sebagai karuniaAllah yang kita perlakukan sewajarnya. Kita mengakuibahwa masalah ini ada yang pro dan ada yang kontra untukdididikkan. Orang yang kontra mengatakan hal ini tak perludikupas dan dijelaskan, seakan dibiarkan saya sebagai “rahasiahidup” yang diliputi tabir. Pihak yang kontra ini tak memperhatikanbetapa sekarang ini di pasar-pasar banyak kita temuibuku-buku yang mengupas habis-habisan tanpa memperhatikanrasa hormat dan keindahan. Maka apabila dalam keluargatuntunan dalam masalah seksual ini tak ada maka kompensasikeingintahuan si anak akan tersalur ke luar keluarga dan sangatdisayangkan kalau penerangan yang mereka peroleh berasaldari sumber-sumber yang sama sekali tak bisa dipertanggungjawabkan.Walaupun begitu suksesnya pendidikan seksualdalam keluarga tak dapat dipisahkan dari suksesnya pendidikanlain seperti pendidikan hygiene, pendidikan watak dan lainsebagainya.Pendidikan agama juga merupakan pendidikan yang amatpenting. Menurut hemat saya pendidikan ini membentuk ataumembina kata hati manusia untuk membedakan baik buruknyasesuatu tindakan. Tapi ada yang menganggap pendidikan initidak perlu, bahkan merugikan. Pendeta Protestan Dr. P. Prinsberpendapat: meniadakan pendidikan agama berarti bertindakkurang adil terhadap manusia, karena hidup keagamaan merupakankebutuhan kodrati manusia yang tak bisa ditawar-tawarkapanpun, di manapun. Mereka yang membuang pendidikanagama itu biasanya juga memberikan pendidikan kesusilaanMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 221


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —atau seksual. Tetapi pendidikan susila atau seksual yang terlepasdari agama berarti tiada lagi tali untuk bergantung, sebabtiada akhlak tanpa dasar metafisika.Saya pikir, pendidikan apapun yang sudah dilepaskansama sekali dari agama, berarti sudah kehilangan nilai-nilaifundamental dan intrinsiknya dan tidak lagi mempunyai pegangan.27 September 1969BorobudurMengagumkan. Suatu kedahsyatan tangan manusia dan kedalamanpertemuan dengan Tuhan tertulis dengan jelas dalamsuatu bangunan maha besar dengan stupa-stupa, relief-reliefdan mahkota puncaknya. Candi ini, terlepas dari riwayatpembuatannya yang mungkin menelan ribuan korban denganpenindasan rakyat, merupakan monumen, yang baiksekali untuk mempelajari sebagian dari sejarah masa lalu.Persoalannya sekarang, bagaimana orang-orang Indonesiabisa menyadari bahwa Borobudur tidak lagi merupakan kebudayaanIndonesia, tapi bekas kebudayaan Indonesia yangkarenanya generasi sekarang tidak perlu berbangga hati tapisekedar menjadikannya sebagai obyek studi dari kehidupanmasyarakat tradisional masa lalu untuk menentukan langkahke masa depan.10 Nopember 1969222 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Quo Vadis U. U. Pemilihan Umum Kita?Ada beberapa ketentuan dalam Undang-undang PemilihanUmum yang baru saja disahkan DPR GR yang perlu mendapatperhatian kita. Pertama adalah ketentuan bahwa yang berhakmemilih dan dipilih adalah mereka yang tidak tersangkutdalam G-30-S/PKI atau organisasi terlarang lainnya. Tegasnyaanggota-anggota PKI dan organisasi terlarang lainnya tidakpunya hak untuk memilih. Kedua adanya ketentuan bahwapartai-partai yang berhak ikut dalam pemilu hanyalah parpolparpolyang sudah memiliki wakil-wakil dalam DPR GR. Ketiga,adanya ketentuan bahwa salah satu syarat dari mereka yangmemiliki hak dipilih ialah mereka yang memiliki bukti-buktikesetiaan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 45. Tentusaja ada beberapa hal lain yang perlu mendapat perhatian pulayakni adanya sistem pengangkatan yang melebihi 20 persendari jumlah anggota DPR dan 33 persen pada anggota MPR;dipakainya sistem proposional yang mendekati sistem pemilu1955 di tengah-tengah kebutuhan bersama akan pembaharuanstruktur politik. Apakah keganjilan dari tiga ketentuan di atas?Pertama betulkah warganegara Indonesia bekas anggotaPKI tidak memiliki hak memilih dan dipilih? Dalam UndangundangPemilu yang baru saja disahkan tersebut tertulis denganjelas jawabannya. Beberapa juta anggota PKI warganegaraIndonesia akan berdiri di luar arena Pemilu dan mereka sekedarmenonton sebagian warganegara Indonesia lainnya menggunakanhak-haknya sebagai warganegara. Untuk PemilihanUmum kali ini sebetulnya kita masih dapat memahami berhubungdengan kesulitan-kesulitan kondisional dalam beberapatahun ini, sehingga perlu pembatasan agar tokoh-tokoh PKIMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 223


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tidak duduk dalam badan legislatif. Tetapi kita bisa mengertimengapa hak memilih mereka juga dihilangkan. Mengapa merekatak boleh memilih salah satu partai yang notabene tak terlarang?Bukankah anggota-anggota PKI itu warganegara juga?Jika pemilihan umum merupakan media yang paling dasar bagiseorang warganegara untuk berpartisipasi dalam menentukanhari depan negaranya, lalu apalagi media politik yang dapatmereka pakai sekedar menyatakan isi hatinya sebagai warganegara?Sayakira kita telah memperlakukan mereka sama sekalibukan sebagai warganegara. Atau kalau masih dianggap warganegara,berarti kita telah menciptakan kelas-kelas warganegara.Warganegara kelas satu memiliki hak-hak politik penuh, sedangwarganegara kelas dua memiliki hak-hak politik... nol! Keadaanyang demikian di samping memancing anggota PKl itu untukmencari saluran-saluran illegal yang tentunya akan mengakibatkantindakan-tindakan mereka itu out of control, di lain pihaktelah memberikan kesan bahwa kita tidak pernah memaafkankesalahan seorang manusia dan mendendamnya terus-menerus.Karena itu tugas kaum intelektual Indonesia ialah memprotesdan memprotes. Pemerintah serta wakil-wakil rakyat di DPRGR harus tahu bahwa ketentuan-ketentuan yang sangat diskriminatifseperti di atas adalah ketentuan-ketentuan yang samasekali tidak human, tak sesuai dengan prinsip kemanusiaan!Kemudian, kita melihat keganjilan yaitu ketentuan bahwaparpol-parpol yang berhak ikut dalam pemilu hanyalah parpolyang di saat Pemilu sudah punya wakil-wakildi DPR GR. Adanyaketentuan seperti ini mengandung konsekuensi bahwa penyaluranpikiran rakyat sudah dibatasi pada parpol-parpol tertentu,walaupun Undang-undang Dasar 45 kita tegas menjamin224 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bahwa tiap-tiap warganegara berhak untuk berserikat (berorganisasi).Bagaimanakah nasib warganegara-warganegara yangmerasa tak satu pun dari parpol yang ada layak sebagai saluranpendapatnya? Bahkan kita tahu berjuta-juta manusia Indonesiasekarang ini tak menaruh simpati pada satu pun di antaraparpol yang ada. Taruhlah orang-orang bekas anggota PKl takboleh menyalurkan pendapat atau suaranya lewat sebuah parpolyang berdasarkan komunisme, tapi bagaimana dengan merekayang non-PKl yang punya pikiran-pikiran cemerlang namuntak puas dengan saluran yang ada? Apakah mereka tidak diberihak untuk berkelompok dan mengikutsertakan kelompoknyadalam pemilu yang akan datang?Saya merasa, bahwa parpol-parpol yang ada sekarang initerlalu egoistis dan merasa ngeri terhadap timbulnya kekuatanpolitik baru yang akan mengurangi jumlah jatah suara mereka.Karena mereka yang membuat Undang-undang dalam DPRGR,maka dibuatlah Undang-undang yang pasti menguntungkanmereka tanpa mempertimbangkan baik tidaknya bagi pembinaandemokrasi di Indonesia. Hanya satu peluang masih ada denganUndang-undang kepartaian dan keormasan yang sedangdibicarakan di DPR. Jadi masih ada kemungkinan ikut sertanyasatu partai politik lagi yang non-PKI tapi beraliran maju.Kita ingat sekian juta pendukung Masjumi dan PSI serta sekianribu orang yang independen, yang frustrasi, yang apatis politikdan sebagainya yang belum tentu ikut memilih. Kalau demikianbisa-bisa tak sampai 70 persen dari warganegara Indonesiadewasa ikut dalam arena Pemiliu.Selanjutnya, kita sedang menyaksikan suatu sikap tidak demokratisdan sangat totaliter dengan adanya ketentuan bahwaMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 225


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mereka yang punya hak dipilih (hak pasif) hanyalah yang memilikibukti-bukti kesetiaan pada Pancasila dan Undang-undangDasar 45. Walaupun kita adalah pencinta Pancasila danUndang-undang Dasar 45, kita harus menghargai hak hiduppikiran-pikiran lain melalui Pemilu nanti. Keinginan kita untukmembuat Pancasila sebagai dasar negara yang betul-betulmantap serta Undang-undang Dasar 45 sebagai konstitusi yangstabil di Indonesia ini, haruslah dicapai melalui proses perkembanganyang wajar dan edukatif: jangan dengan bahasa-bahasateror yang intimidatif seperti ketentuan di atas. Berikanlah hakpada pikiran-pikiran lain yang mau menempuh cara demokratisuntuk menyatakan dirinya. Dengan demikian kekuatankekuatandi belakang pikiran ini akan tetap terawasi dan tidakmencari saluran-saluran ilegal. Kita tidak boleh menipu dirisendiri dengan berkata bahwa Pancasila dan Undang-undangDasar 45 betul-betul telah merupakan suara hati dari rakyatIndonesia seluruhnya. Kita tidak boleh menutup-nutupi, bahwamasih ada pihak yang belum “sreg”, tapi pura-pura dalamsikapnya. Mungkin sekali kekurang “sregan” itu disebabkan kurangdialog, salah paham, interpretasi yang bermacam-macamdan sebagainya. Apakah akan dibiarkan mereka “nggrundel”di belakang? Apakah kita tidak bisa menghilangkan kesalahpahamankita tentang Pancasila dan Undang-undang Dasar 45itu sendiri? Agaknya perlu keterbukaan dalam membicarakanPancasila dan Undang-undang Dasar 45. Lebih baik segala pikirandiketahui daripada banyak pikiran yang bertentangan disembunyikan.Akhir-akhir ini saya melihat suatu tendensi seolah-olahUndang-undang Dasar 45 adalah Undang-undang Dasar yang226 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —permanen sepanjang abad dan tidak boleh dirubah-rubah sedikitpun. Pikiran-pikiran seperti ini di samping tidak konstitutionaljuga menunjukkan kekurangpahaman akan perkembanganmasyarakat dan zaman. Dari segi konstitusi sendiri,pikiran tersebut salah, sebab dalam Undang-undang Dasar 45disebutkan adanya kemungkinan untuk mengadakan perubahan-perubahan.Tentunya dengan syarat-syarat yang cukup beratdalam jumlah suara di MPR. Dari segi lain yaitu segi perkembanganmasyarakat dan zaman. Kita harus sadar bahwa dunia,termasuk masyarakat Indonesia, dalam berpuluh-puluh tahunlagi akan lain struktur dan kehidupannya dengan dunia sekarang.Apa yang tidak terbayangkan di abad yang lalu telah betul-betulterjadi di abad kini. Demikian juga pada abad-abadnanti mungkin akan terjadi perkembangan yang samasekalilain dengan struktur yang terlihat kini. Mungkin saja dalam50 tahun yang akan datang kondisi menuntut bentuk negarabukan kesatuan tapi federasi. Mungkin dalam seratus tahunyang akan datang negara-negara Asia Tenggara akan menjadisatu negara, sehingga yang dinamakan Indonesia, Philipinadan lain-lain tidak ada. Mungkin dua abad lagi dunia sudahberkata bahwa lembaga-lembaga seperti MPR, DPA, bentukRepublik dan sebagainya itu sudah tidak perlu lagi dan cumamerupakan keanehan yang terdapat dalam sejarah atau ceritanenek moyang. Mungkin saja suatu waktu di dunia ini tidakada lagi negara-negara dan yang ada hanya satu negara dunia.Bisakah kita berkhayal bahwa hal-hal “aneh” di atas tidakmungkin sama sekali?Karena itulah, Undang-undang Dasar 45 sendiri sesungguhnyacukup prospektif, yaitu membuka kemungkinan-ke-Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 227


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mungkinan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kondisi.Tetapi mudah-mudahan saja pikiran-pikiran aneh seperti yangtertuang dalam Undang-undang Pemilu tadi hanyalah sekedarpikiran-pikiran sementara.1 Desember 1969“Pelacur”nya SartreProblema manusia memang merupakan problema yang menarik.Ragu, ketidaktentuan, merupakan salah satu unsur yangmelekat pada kehidupan seorang manusia. Cemas, ragu-ragu,kecewa, keunikan-keunikan pribadi, terjepit oleh pilihan-pilihanyang semuanya jelek; merupakan keadaan yang sering tak bisakita hindarkan.Apa-apa yang diungkap oleh falsafah eksistensialisme itutercermin dengan jelas dalam drama “Pelacur” karya JP Sartre.Inilah kelebihan Sartre dari filsuf-filsuf eksistensialisme lainnya.Dia bisa menyalurkan falsafahnya lewat novel-novelnya. Alangkahhebatnya karya Sartre yang satu ini dan betapa rumitnyamanusia itu. Karena itu tidak mungkin kita mengenal dengantepat kawan kita yang paling akrab sekalipun, sebab untuk manusiatidak ada ukuran obyektif yang sepenuhnya bisa dipakaidengan berhasil. Manusia itu unik dan penuh dengan subyektivitas.Dan ini tidak bisa dihindarkan selama kita bernama manusia.Kita boleh memberontak dan meradang terhadap nasib,tapi pemberontakan dan peradangan itu sendiri adalah buahdari subyektivitas.228 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pengetahuan kita tentang hakekat manusia menyebabkan duahal: 1. Sikap toleransi, harga menghargai; 2. Sikap memberontakterhadap belenggu-belenggu kebersamaan, seperti organisasi.27 Januari 1970Rasa TanggungjawabRasa tanggungjawab yang mesti ada pada setiap pemimpinatau orang-orang besar, tidak bisa dicapai hanya dengan niat,tapi harus dengan latihan-latihan sejak muda, mulai dari halhalkecil sampai pada hal-hal yang besar dan ruwet. Dalamhal-hal sederhana seperti kerusakan sepeda pinjaman, Karciskereta api, berani menghadapi sendiri akibat-akibat tak enakakibat perbuatan sendiri, mengakui dengan jantan kata-kata/perbuatan yang pernah dilakukan, adalah latihan-latihan untukbertanggungjawab.Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mentalmengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggungjawab.Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potentuntuk berwatak penuh tanggungjawab, ternyata menjadipelempar tanggungjawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakatIndonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karenaitu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua,harus tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini danmenegakkan suatu masyarakat yang bertanggung jawab.20 Februari 1970Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 229


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Dunia Seni dan KemanusiaanBila seorang politikus mengungkapkan pikiran-pikiran lewatpidato-pidato di mimbar DPR, kabinet atau rapat-rapat parpoldan Golkar, dan seorang ulama atau pendeta menyajikanpesan-pesannya melalui khotbah di mesjid atau gereja, makaseorang seniman menyampaikan atau lebih tepat mengungkapkanisi hatinya melalui karya-karyanya yang disebut karya seni.Karya seni itu bisa berupa deretan-deretan kalimat dalam karyasastra dan drama, liku melodi dan denyutan irama bagi seorangkomponis, permainan cat dan kanvas dalam lukisan dansebagainya. Bagi kita yang tidak ditakdirkan jadi seniman, adabaiknya disediakan waktu luang barang sedikit, sekali semingguatau sebulan untuk datang berjumpa dengan dunia seni danmencoba menikmatinya. Perjumpaan dengan dunia seni akanmembawa kecerahan dalam hati dengan ilham-ilham segarnya,dan lama berpisah dengannya menimbulkan kerinduan. Kitaharus mencegah homogenitas dalam ruang pengalaman, agarsituasi monoton dalam kehidupan tidak terjadi.Datangilah pusat-pusat kesenian seperti Taman Ismail Marzukidi Jakarta atau dua buah Art Gallery yang ada di Yogyakarta.Datangilah tempat-tempat pementasan karya-karyaagung para seniman besar seperti Shakespeare, Becket, Beethovendan lain-lain. Di sana kita bertemu dengan mutiaramutiarapikiran manusia yang ditumpahkan melalui karyakaryanya:lukisan, patung, ballet, musik dan lain-lain. Karyakaryaitu berbicara kepada seluruh ruang dan massa, karenakarya-karya itu diciptakan bukan hanya untuk ruang sini danmasa kini, sebagaimana bangunan-bangunan teknik atau kerjaseorang politikus. Kalau bukan ini yang kita jumpai, maka mi-230 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —nimal karya-karya itu merupakan sebagian dari proses suatuusaha yang keras untuk cepat menuju ke sana. Karya seni itudibuat mereka untuk diabdikan pada kemanusiaan. Karena ituberuntung sekali kalau di sana kita sempat berjumpa denganorang memilikinya atau mencetuskan karya itu sendiri, sebabitu akan menolong kita memahami pikiran-pikiran dan maknamaknayang ingin diungkapkannya.Pertemuan dengan dunia seni selalu mengelektrifisir jiwakita dengan renungan-renungan yang lebih berarti tentang manusiadan kemanusiaan, tentang keterjalinan manusia denganalam dan sejarah, dan tentang makna-makna kudus yang dianugerahkanTuhan pada manusia. Hal itu terjadi dalam jiwa,berkat rangsangan-rangsangan yang kita terima dalam pertemuantadi sebagai bantuan dalam meningkatkan kemampuanberdialog dengan kehidupan ini, dan juga berkat “wasiat-wasiatkejiwaan” yang kita hisap dan cerna dalam mewarisi dan mengkajikarya-karya seni tadi.Pertemuan dengan dunia seni, membangkitkan dalam jiwakita suatu emosi kreatif, nafsu berontak, semangat menciptakansebagai lanjutan rasa tidak puas yang selalu hidup dan menyaladi hati tiap manusia. Mungkin ini terjadi karena daya ciptaadalah sesuatu yang inherent dalam setiap karya seni. Tidakada karya seni tanpa kreasi. Di sana kita berjumpa dengan eksperimen-eksperimenyang tak pernah usai dalam usaha lebihmenjelaskan rahasia-rahasia kehidupan yang tak pemah habisterungkap. Seorang seniman mencoba menangkap rahasia-rahasiatadi dengan menerjuni relung-relung kehidupan yangpaling dalam dan kemudian merumuskan penghayatan dirinyadalam bereksistensi di tengah-tengah kehidupan ini. DenganMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 231


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —melihat dirinya dia melihat manusia dan persoalan-persoalannyayang tidak pernah tamat. Keterlibatan dalam aktivitas senimembawa mereka pada suatu ekstase, menjerat mereka dalampengembaraan ide yang abadi; dan ini sesuai dengan kelanggengantanda tanya yang tak pernah habis-habisnya di hati seorangmanusia.Perjumpaan dengan dunia seni membangkitkan dan menyegarkankembali idealisme yang sudah atau pernah ada, idealismekejujuran, pengabdian dan cinta kebenaran yang mungkinkarena godaan kehidupan sehari-hari telah memudar. Diamembangkitkan idealisme, karena pikiran-pikiran yang berbicaradi belakang setiap karya seni, pada hakekatnya suatuidealisme walaupun dia terungkap di dalam dan terbetik darirealisme kehidupan. Karena itu bagi seorang politikus yangsehari-hari terbenam dalam lomba politik praktis yang seringmachiavelistis, sangatlah berguna bila secara teratur “menservis”diri dengan menghirup angin segar dari dunia seni, berdialogdengan para seniman, berdiskusi dengan para eseis, menikmatinovel-novel besar agar idealisme bisa kembali cemerlang, moralbisa ditegakkan kembali dalam percaturan politik dan komitmenterhadap ide-ide kebenaran bisa tampil menyaingi kepentingan-kepentingankelompok. Hidup yang terkotak-kotak dalamdunia politik akan dilemaskan oleh hidup yang satu bulatdalam dunia seni, karena setiap kerja seni yang bernilai tidakberbicara untuk manusia-manusia di suatu kotak melainkanberbicara dan menyentuh hati manusia tanpa mengenal “bajunya”.Tentu saja dengan sentuhan yang paling dalam.After all, perjumpaan mesra dengan dunia seni menyadarkankita kembali akan hakekat kita sebenarnya sebagai manu-232 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sia, sebagai satu-satunya makhluk yang berbudaya material danspiritual. Dalam arus industrialisasi yang cepat di seluruh duniaberkat kemajuan teknologi, serta kegarangan pergulatan hidupsehari-hari, kadang-kadang keseimbangan batin kita terganggu,dan kita terperosok dalam dominasi nafsu kebendaan. Untukitu perjumpaan dengan dunia seni akan merangsang pengembaliankeseimbangan, kembali pada sikap manusiawi, bukansikap binatang dan bukan pula sikap malaikat.Cobalah umpamanya kita datang ke arena konser musikklasik dan berusahalah merenggut ilham-ilham yang turun diwariskan.Dengan karya-karyanya yang agung dan abadi parakomponis dan musikus membawa kita pada keharmonisan hidup,bahwa manusia tidak hanya terdiri dari Pikiran atau rasiotapi juga dari perasaan. Beberapa kali dicoba dalam sejarah untukmengabaikan unsur perasaan dalam kebulatan wujud seorangmanusia, beberapa kali pula sejarah membuktikan bahwafitrah manusia tidak dapat diperkosa. Melalui beberapa senimanagung manusia memberontak terhadap perkosaan itu danakhirnya umat manusia kembali lagi pada eksistensinya yanghakiki yaitu pikiran dan perasaan. Kemanusiaan yang menolakanggapan bahwa manusia itu makhluk dengan mesin dankomputer sebagai jawaban persoalan-persoalannya, mungkinbisa hilang sementara dari muka bumi, tapi tidak untuk selama-lamanya.Alangkah gersangnya kehidupan ini kalau hanyaditandai oleh mekanisme-mekanisme mesin dan komputer. Karenanya,pada saat-saat tertentu perasaan manusia yang terdalamtentang kehidupan ini yang muncul sebagai puncak karyaseniman, perlu dihadirkan di depan pribadi kita agar kembaliingat dan merenungkan tentang keunikan manusia, absurditasMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 233


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kehidupan ini, rasionalitas dan irrasionalitas pribadi kita masing-masing.Keunikan, absurditas, rasionalitas dan irrasionalitasadalah eksistensi dan kepribadian manusia. Dia tetap tampildan mewujud segala ruang dan masa. Karena itu kita tidakheran kalau karya-karya seni yang berhasil menampilkannyasecara otentik, akan memiliki nilai universal dan eternal. Diauniversal dan eternal karena bersatu dengan fitrah manusiayang dilekatkan pada setiap pribadi. Setiap kita memperhatikandan merasakan karya para seniman besar, hati kita seakanterpanggil untuk bertanya dan kemudian menginsafi kekecilandiri kita di alam yang dahsyat ini. Nikmatilah komposisi-komposisidari Strauss, Mozart dan lain-lain yang seakan menyerukan:“Manusia, inilah hakekatmu yang hakiki. Kembalilah padakeabadian dan fitrahmu, pada hakekat kejadianmu!” Komposisimusik tadi menggetarkan sesuai dengan ritme-ritme dalamrohaniah manusia. Komponis-komponis tadi berhasil menangkapkurnia-kurnia fitriah Tuhan. Dan berkat karya-karya kitamengerti, menjiwai dan menghidupkan terus kurnia-kurniatadi dalam diri kita. Semuanya ini bermanfaat dalam membinasuatu kemanusiaan yang luhur di muka bumi, suatu pergaulanyang sejak antar manusia dan bangsa, yang menembus temboktembokketertutupan dan jurang-jurang purbasangka. Dan seluruhkarya dan pengabdian mulia itu berhasil dilakukan olehpara seniman ternama, karena mereka telah menuliskan suatutujuan dan langkah seperti yang dikatakan Faust: “Dengan tanganyang satu terpaut pada bumi, tangan yang lain terpancangpada yang tak terhingga, roh tertuju pada diri sendiri dan hatiterbuka untuk kemanusiaan”.234 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Itulah dunia seni. Dari jendelanya kita melihat bahwa sesungguhnya:MANUSIA ITU SATU!23 Maret 1970DemokrasiSelain mempunyai arti sikap mental, demokrasi juga berartipembinaan suatu sistem sebagai saluran bagi sikap mentaluntuk mengejawantahkan dan berkembang tumbuh dalaminstitusi yang bernama negara. Untuk itu harus ada jaminanbahwa tidak ada satu kekuatan pun mempunyai peluang untukbertindak sewenang-wenang. Dan jaminan ini bisa ada bila dalampercaturan politik negara ada kekuatan kontrol yang cukupberwibawa. Karena itu demokrasi pun menuntut tercegahnyasuatu kekuatan oligarkis dan karenanya suatu perimbangankekuatan yang timpang harus dicegah.4 April 1970ModeSebetulnya lebih tepat bila kita menyebut: “mode sebagai gejalakebudayaan” dan bukannya: “mode sebagai aspek kebudayaan”.Adalah terlalu mulia bagi mode untuk menyebutnya sebagaisalah satu aspek kebudayaan, tak peduli apakah sebagai salahsatu cultural universal ataukah sekedar sub bagiannya.Mode hanyalah sekedar pheno type, atau wajah eksterendari suatu kebudayaan dan sama sekali bukan the real entityMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 235


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —atau geno type-nya. Apalagi kalau diingat bahwa mode adalahsuatu mass culture yang mencerminkan perkembangan seleralahiriah suatu kelompok manusia, dan selalu mengalami perubahansetiap waktu di atas suatu kebudayaan yang relatif berubahlebih lambat.Pendudukan masalah pada pheno type atau geno type sebuahkebudayaan sangat perlu agar skita memperoleh pandanganyang wajar, lebih-lebih terhadap kebudayaan asing. Dengandemikian terlihatlah pada kita perbedaan-perbedaan isi kebudayaanyang sebenarnya dan simptom-simptomnya yang terkadangdirasakan begitu demonstratif.14 April 1970Sukarno Telah BerpulangTanggal 21Juni 1970, hari Ahad pagi, seorang manusia yangunik, aneh dan memiliki nama hebat dalam sejarah tanahairnya, telah berpulang ke rahmatullah. Manusia itu bernamaSukarno: manusia yang memiliki vitalitas mengagumkan: manusiayang penuh kontroversi dalam kepribadiannya dan telahmenimbulkan pendapat-pendapat yang sangat kontroversial dikalangan bangsanya; manusia yang sarat oleh idealisme; manusiayang memiliki kelebihan-kelebihan besar dibandingkandengan manusia biasa, tapi sekahgus memiliki juga kekurangan-kekuranganyang justeru pernah meruntuhkan benteng kebesarannya.Sejak kecil hidupnya diabdikan kepada bangsanya.Berpuluh-puluh tahun dia mengabdi. Tapi dia toh memilikibanyak kelemahan. Pada peristiwa besar di tahun 1965 benteng236 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kebesaran goyah dan akhirnya runtuh, dan tak bisa lagi dibangunhingga akhir hayatnya.Karena perjuangannya yang gigih melawan penjajahan bersama-samarekannya Hatta, Sjahrir dan lain-lain, dia telah berhasilmembawa bangsanya pada Indonesia Merdeka. Nasionalismeyang membakar jiwanya, menyebabkan dia menjadi hantuyang ditakuti kaum penjajah, menjadi singa yang mampumengobrak-abrik kubu pertahanan musuh. Kemampuan retorikanyamenggetarkan hati pendengarnya. Kelancaran bahasanyadan kemampuannya untuk berbicara dalam bahasa rakyat telahmempesonakan massa pejuang kemerdekaan dan sebaliknyaseperti suara setan bagi lawan-Iawannya. Tidak ada teori-teoriatau faham-faham politik yang pelik dan sukar dimengerti bilasudah sampai pada lidah Sukarno.Sebagaimana Hatta dan Sjahrir, dia telah memasuki bermacam-macampenjara. Senjata agitasi yang dipakainya sangatmembahayakan kekuasaan politik Belanda. Berlainan denganHatta dan Sjahrir yang mengutamakan pendidikan kader danrakyat yang berkesadaran penuh, Sukarno lebih banyak berbicarapada emosi massa dengan daya bakar yang tak ada bandingnya.Kelainannya dengan kedua rekannya itu berlanjutterus sesudah Indonesia merdeka dalam merumuskan politikpemerintahan. Seorang sarjana politik dari Monash University,Herbert Feith, menyebut Hatta dan Sjahrir sebagai “administrator”sedang Sukarno sebagai “solidarity maker”. Memang,slogan-slogan yang dipakai Sukarno tajam dan jitu, sementarakaum intelektual kurang cocok dengan cara-cara Sukarno. Sebaliknyauntuk massa rakyat kata-kata Sukarno bagai bensintertumpah ke api.Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 237


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sukarno adalah pengagum Karl Marx dan kehausan Jiwanyaterpenuhi oleh ajaran-ajaran Marx. Tapi dia tidak sekedarpengagum Marx. Nasionalisme telah mendasari jiwanya sejakkecil dan agama <strong>Islam</strong> yang dijumpainya di masa remaja telahikut pula membentuknya. Itulah kontroversi-kontroversi manusiaSukarno. Dan kegemarannya akan agitasi plus kecenderungannyamemandang persoalan hanya “dalam garis besar” merupakanfaktor-faktor kontroversi-kontroversi dalam ide-idenyatidak terselesaikan dan gagal! menemukan sintesa dari fahamfahamyang dikaguminya.Tapi bagaimanapun juga, berakhirnya alam penjajahan sebagiankarena jasa-jasanya. Alam penjajahan telah memberi kesempatanpadanya untuk menjadi manusia pejuang yang berhasil,manusia besar dengan segala kekuatan dan kelemahannya.Tapi rupanya alam kemerdekaan menuntut type pemimpinyang lain. Terutama sesudah pengakuan kedaulatan 1949, Indonesiamenuntut kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak dimilikioleh Sukarno. Sukarno berhasil melahirkan kemerdekaan,tapi gagal menjawab cita-cita kemerdekaan. Type nasionalismeyang telah berhasil di alam penjajahan masih hendak terus dipakainyadi alam kemerdekaan. Karena basic demands yang sudahlain, type nasionalismenya menjadi konservatif. Dan inilahkekhilafannya. Dia tidak memoderenisir nasionalismenya. Tapiini tidak perlu diherankan. Sukarno adalah manusia cetakanmasyarakat agraris dari keluarga priyayi Jawa. Dia orang tradisionaldari kultur yang membentuknya. Dia besar di tengahtengahalam pewayangan sehingga ide-ide politiknya. penuhdengan sikap nostalgia akan kebesaran Majapahit, Sriwijaya,Borobudur dan lain-lain. Kultur agraris tradisional yang men-238 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dasarinya membawa dia pada dunia fantasi, pandangan totaltentang kehidupan, yang tidak pernah menyelesaikan persoalan-persoalanbangsanya secara realistis. Karena itu type nasionalismenyatetap pada tingkat slogan dan sukar mencapai typekreatif, dewasa dan rasional. Slogan-slogan yang mungkin memangperlu dalam mengusir penjajah terus menjadi tema-temapolitiknya sesudah penjajah terusir. “Bahaya kaum imperialis”terus mewarnai pidato-pidatonya sampai akhir kekuasaannya.Karena itu banyak orang berkata, bahwa bayangan bahaya itusengaja diciptakannya sendiri. Sikap politik begini sukar membawabangsanya untuk berhasil menjawab tuntutan-tuntutansosial ekonominya. Kelemahan ide-ide politiknya kemudiandikombinir dengan “cacat pribadi” yang dimilikinya dan di sinilahPKI dengan sangat berhasil telah mengeksploitirya. PKIberhasil membuat situasi di mana Sukamo akan merasa berhutangbudi padanya. Dictatorship yang ditegakkannya adalahresultante dari faktor-faktor tersebut dengan jiwa etatisme yangmasih kuat dalam mental sebagian besar rakyat Indonesia. Sesungguhnyakita sendiri memikul andil sangat besar dalam timbulnyakediktatoran di atas.Politik “balance of power” Sukarno telah mengangkat namanyasetinggi langit, melahirkan mitos yang hampir menyamaiTuhan, tapi sayang sekaligus telah menghancurkannya. Politiksemacam itu telah melahirkan “bom waktu” dalam percaturankekuatan-kekuatan politik. Bom itu meletus pada 1 Oktober1965. Sejak itu goyahlah kedudukan politiknya dan beberapabulan kemudian bentengnya pun roboh tak tertahan lagi.Sejak itu dia menjadi obyek tuduhan. Betul tidaknya bom waktuitu hanya Tuhan yang tahu. Kita tidak tahu, karena peng-Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 239


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —adilan belum bicara dan tidak akan pernah bicara. Dia telahwafat. Manusia besar ini telah tiada. Walaupun begitu jasa-jasanyaakan tetap teringat dan terasakan. Namanya tak akan pernahhilang dari sejarah bangsanya. Pikiran-pikiran politik yangditulisnya sebelum perang banyak juga mengandung mutiaramutiaracemerlang. Pikiran-pikirannya tentang <strong>Islam</strong> sangat hidup,begitu inspiratif dan merupakan bagian dari kebangkitankembali pemikiran-pemikiran <strong>Islam</strong> sedunia, walaupun dalambeberapa bagian sulit bagi kita menerimanya.Itulah manusia Sukarno, seorang otodidak, bersemangatmenyala-nyala, suka disanjung, senang dipuji, manusia sentimental,pencinta keindahan, terharu melihat kesengsaraan sesamamanusia, agitator, suka bergurau, tidak mau diatasi, berwajahsimpatik, pandangannya tajam, senyumnya memukau,berpengetahuan luas dan penggerak massa yang ulung. Inilahmanusia penuh kontroversi dalam dirinya. Tapi, betapapun kitabanyak bertentangan politik dengan dia, satu hal harus kitaakui: dia manusia besar, penuh jasa dan berwatak. Dia tetapteguh pada pendiriannya sampai di akhir hidupnya. Bagi kitayang masih tinggal, sejarah Sukarno merupakan pelajaran berharga.Kekuatan dan kelemahannya, kesuksesan dan kegagalannya,jasa-jasa dan kesalahan-kesalahannya harus dipelajari olehsetiap pemimpin yang ingin berguru pada sejarah.Semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahan dan diaditerima sesuaidengan amalnya. lnna lillahi wa inna ilaihi rajiun.21 Juni 1970240 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Indonesia Identik Dengan Jawa?Asosiasi pada Jawa mendominir layangan pikiran kita bila kitaberpikir tentang Indonesia. Dalam hal ini masih ada hirarkipenekanan assosiasi lagi yaitu pada Jawa Tengah, lalu JawaTiniur, baru Jawa Barat. Apakah sebab dari pandangan yangtak proporsional ini? Saya pikir dikarenakan: 1. Pusat kegiatanpolitik di Jawa; 2. 70 persen penduduk Indonesia di Jawa; 3.Kebudayaan Jawa telah tertanam kuat. Tapi, unsur-un sur diatas adalah unsur-unsur obyektif. Unsur-unsur subyektif yangmungkin tak kita sadari ialah kenyataan bahwa penggalian sejarahyang menyangkut adat, kesenian, politik dan lain-lainbaruterpusat di Jawa, dan belum lagi mengupas atau menyelidikiwarisan budaya di luar Jawa (yang oleh orang Jawa disebut“seberang” atau dalam istilah Inggris outer islands). Jawa lebihdiketahui dari pada daerah lain. Dan dari yang lebih diketahuiitulah kita banyak menerima keterangan dan kepadanyalah kitasenantiasa terbayang.10 Juli 1970Kelemahan Sarjana BaratSaya kira kelemahan sarjana Barat dalam mengadakan prediksi-prediksidi Indonesia ialah bahwa mereka menganggapdalil-dalil politik dan ekonomi yang diungkap dalam peristiwapolitik dan ekonomi di negara-negara Barat itu berlakuuniversal. Mereka tidak sadar bahwa jalannya proses politikdan ekonomi di Indonesia tak sepenuhnya berjalan “rasional”seperti yang terjadi di negara mereka. Karena itu sangatlahMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 241


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —penting bagi sarjana Barat untuk memasukkan penyelidikanantropologis tentang Indonesia ke dalam analisa politik danekonomi yang mereka lakukan. Tanpa demikian, peristiwaperistiwapolitik dan ekonomi di Indonesia tak akan dapatmereka mengerti.Memang, kita harus mengerti sesuatu menurut apa adanya,terlepas dari soal apakah ia: baik atau jelek menurut anggapankita.29 Agustus 1970Birokrat Kita SekarangSetiap birokrasi cenderung mempertahankan status quo. Sayakira demikian juga kaum birokrat di Indonesia. Tapi siapakahmereka? Kaum birokrat Indonesia sekarang terdiri dari:1. Orang-orang abangan/PNI sebagai birokrat yang sedangterancam oleh pemurnian. Mereka ini ingin mengembalikanbirokrasi lama atau mencegah agar situasi birokrasi sekarangtidak menurunkannya lebih dalam lagi. Dan golongan lainadalah: 2. Kaum militer (khususnyaTNI/ AD) sebagai birokratyang sedang kuat dan makin memperkuat diri menggantikankedudukan PNI. Mereka ini akan mempertahankan statusquo sekarang. Walaupun begitu dalam masyarakat terdapatkekuatan yang sedang mempertahankan kepentingannya sebagaibirokrat swasta. yaitu para kiyai, ulama dan pemimpin-pemimpin<strong>Islam</strong> angkatan tua. Maka, kalau kita sebutmereka semua itu sebagai kekuatan konservatif (PNI, TNI/242 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —AD, Santri) ternyatalah TNI/ AD merupakan golongan yanglebih moderen.17 Okiober 1970Langgam Ideologis dan Langgam PragmatisMana yang lebih baik menganut ideologi atau pragmatis saja.Berbagai pendapat muncul dimana-mana mengenai hal ini.Kadang-kadang menimbulkan diskusi yang hangat. Saya pikirmasalah yang pokok bukanlah menganut suatu ideologi atautidak (bebas), melainkan langgam (style) kita dalam berkomunikasidengan pihak-pihak lain. Kita mau pakai langgamideologis ataukah langgam pragmatis (Obyektif, realistis). Laluapakah perbedaan kedua langgam itu?Langgam ideologis ditandai dengan kecenderungan selalumengembalikan masalah pada prinsip-prinsip umum (apakahitu filsafat atau konsep-konsep umum) dan mengabaikanpersoalan-persoalan detail yang berhubungan dengannya. Sedanglanggam-langgam pragmatis berkecenderungan membatasipembahasan pada hal-hal detail dan non detail yang nyatamenyangkut pada obyek yang dibahas dan berusaha menguraipersoalan menjadi lebih terperinci. Nah, menurut pendapatsaya, langgam ideologis bukanlah langgam yang baik untukkomunikasi antar kelompok, sedang langgam pragmatis, relatiflebih mempunyai ukuran obyektif dalam komunikasi.13 Desember 1970Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 243


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Berpikir KreatifBerpikir adalah proses kerja otak dalam menghadapi masalahmasalahyang relatif baru. Masalah-masalah tersebut menuntutpendekatan dan penyelesaian baru, yang belum dirumuskansebelumnya. Karena itu proses berpikir dan hasil-hasilnya berbedasekali dengan gerak naluriah (instinktif), di mana yangterakhir ini terdapat baik pada hewan ataupun manusia. Sampaisekarang hanya manusialah di antara makhluk-makhluk iniyang bisa meyakinkan kepemikirannya di atas daya instinktiftadi; artinya hanya manusialah yang memiliki potensi untuktanggap terhadap masalah-masalah baru. Karena itu kata kreatifdalam berpikir kreatif pada hakekatnya tidak perlu. Dalamproses berpikir sendiri sudah inherent adanya tuntutan bagipendekatan dan penyelesaian yang tidak rutin. Dia hanyapunya arti penekanan terhadap hakekat proses berpikir yangmembedakan manusia dengan binatang, komputer atau robot.Berpikir kreatif berhubungan langsung dengan adanya kebudayaan.Kebudayaan ada karena manusia “bertindak” terhadaplingkungannya. Tingkatan bertindaknya manusia atauseseorang, menunjukkan tingkat kebudayaan yang dicapainya.Proses bertindak itu diporosi oleh proses berpikir. Karena ituhanya manusia yang berkebudayaan, termasuk mengubah “nature”menjadi “culture” untuk memberikan “comfort’’ yang lebihbesar kepadanya.Adakah hubungan uraian di atas dengan eksistensi atauaktivitas suatu organisasi? Dengan kesadaran budaya sepertidi atas, kita akan terbawa pada suatu sikap bahwa organisasisebagaimana kita warisi dari pendahulu-pendahulu kita, kinimenjadi obyek kita sebagai manusia berbudaya. Artinya wa-244 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —risan tersebut tidak akan kita terima begitu saja (meneruskandan meniru-niru kegiatan pengurus yang lalu), melainkan kitaolah lebih lanjut dan kita tingkatkan efektivitas kerjanya. Masalahyang terjadi dalam masyarakat selalu berkembang, karenaitu pengurus yang punya “kesadaran kebudayaan” akan senantiasamempertimbangkan perlunya cara-cara penyelesaian danaktivitas yang baru. Mungkin cara-cara rapat perlu dirubah,mungkin acara-acara penyelenggaraan pertemuan harus dirombak,mungkin tata pembagian kerja dalam kepengurusan perludiperbaiki, mungkin training-training tidak diperlukan lagi,mungkin organisasi kita ini perlu dipertegas lagi hak hidupnyadan mungkin juga sebaliknya yaitu tidak diperlukan lagi ataudibubarkan. Jadi kesadaran sebagai makhluk berkebudayaanmenyuruh kita mencari kemungkinan-kemungkinan lain yanglebih baik daripada kemungkinan yang telah ada. Sekarang apakahhubungannya dengan proses pembangunan nasional yangsedang kita lakukan sekarang ini? Apakah hubungan berpikirkreatif dengan kesejahteraan pegawai negeri, perbaikan administrasipemerintahan, peningkatan produksi beras, penekananjumlah penduduk, pengembangan ilmu pengetahuan, perbaikanpendidikan anak-anak, dan lain sebagainya? Persoalannya ialahhahwa problem-problem masyarakat seperti di atas tidak bisadiselesaikan hanya dengan modal kejujuran dan iktikad baikserta penuh rasa pengabdian. Pembangunan kini memerlukanorang-orang yang mampu menyelesaikan masalah, yaitu menemukanjalan keluar dari kemelut persoalan. Masyarakat sekarangsangat berlainan dengan masyarakat yang terdapat dalambuku-buku hikayat, di mana keadilan dan ketidaklaliman seorangraja telah cukup untuk membuat rakyat merasa bahagia.Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 245


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Persoalan-persoalan masyarakat kini menuntut kualitas-kualitastambahan yakni kemampuan leadership dan intelektualitas. Disinilah berfungsinya pemikiran kreatif.Selanjutnya, kemampuan berpikir kreatif tidak ada hubungannyasama sekali dengan Pancasila, Undang-undang Dasar45, PKl atau bertaqwa pada Tuhan. Penyelesaian masalahirigasi, buta-huruf, industrialisasi, perluasan kesempatan kerjadan lain-lain tidak mesti beres bila dilaksanakan oleh seorangPancasilais sejati, atau seorang muslim yang telah kembali padaQur’an dan Hadist. Ini tidak berarti bahwa identitas-identitastadi tidak perlu. Semua yang benilai baik, perlu dan bergunaasal diletakkan pada tempatnya yang wajar dan kita mampumembedakannya dengan masalah-masalah konkrit yang detail.Ketidakmampuan untuk mengadakan differensiasi masalah, terlihatdengan jelas sekali pada kalangan tokoh-tokoh PNI sertamubaligh-mubaligh <strong>Islam</strong>. Karena itu tidak heran bila merekaselalu kalah dalam mengambil inisiatif dibanding dengan kelompok-kelompoklain.2 Januari 1971ABRI SekarangSelain sebagai kekuatan sosial-politik, kini ABRI telah (meluaskandiri) menjadi kekuatan sosial-ekonomi. Perluasan diridi kedua bidang ini tidak hanya meliputi kegiatan-kegiatanyang secara struktural dibawa ABRI sebagai lembaga, tapi jugakegiatan-kegiatan individu anggota ABRI keluarga-keluargaindividu ABRI (pemuda Siliwangi, Kartika Chandra Kirana,246 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Universitas Trisakti dan lain-lain) dan purnawirawan ABRI.Khusus di bidang ekonomi, kegiatan-kegiatan dan kemajuankemajuanusaha mereka bukanlah dikarenakan suatu kualitasentrepreneurship melainkan berkat fasilitas-fasilitas negara yangtentu saja akan mengganggu jalannya dan sama sekali tidakmemiliki nilai produktif.Di bidang sosial-politik terjadi peng-ABRI-an pada lingkungananggota-anggota ABRI sendiri, keluarga anggota-anggotaABRI (dari anak-anak, pemuda, mahasiswa, isteri sampai...)dan masyarakat (mahasiswa, universitas, petani, pemuda, Golkar,parpol).Dan pembinaan aspirasi sosial-politik ini kemudian dipupukdan ditunjang oleh ekspansi di bidang sosial ekonomi sepertibank, perusahaan yang secara resmi ditangani ABRl, atauyang tidak resmi oJeh anggota atau keluarga, penghargaan,pengkaryaan dan usaha-usaha sesudah pensiun (oleh eks anggotaABRI). Dengan demikian bagi mereka dan keluarganyake-ABRl-an tidak hanya berarti suatu arena profesi, tapi terlebih-lebihlagi suatu arena kepentingan ekonomi dalam manakehidupan mereka sekarang dan nanti setelah pensiun sangattergantung. Besar kecilnya kekuasaan ABRl akan dirasakanidentik dengan besar kecilnya nafkah mereka.Karena itu bagaimanapun ada Sapta Marga, Tentara Rakyatdan sebagainya, kepentingan-kepentingan anggota di bidangekonomi akan lebih banyak menentukan policy ABRI.Saya kira, kondisi ABRI sekarang memang sangat potensialuntuk suatu waktu memunculkan ABRI sebagai kekuatan sosio-kulturalbaru, Dan bila ini sudah terjadi, maka akan timbulpertanyaan tentang ABRI sebagai lembaga negara. PadaMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 247


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —hakekatnya dia akan berperan di bidang politik, persis sepertikekuatan-kekuatan politik lainnya. Kalau analisa saya initepat, maka kemakmuran rakyat Indonesia makin jauh dan...gejolak-gejolak sosial akan timbul! Mudah-mudahan analisasaya keliru.22 Januari 1971Kesenian Tradisional dan Kesenian Masa KiniBagi saya, kontinyuitas dengan warisan kesenian tradisonaltidak harus ada, apalagi dengan kesenian tradisi yang sudahberabad-abad. Bila kontinyuitas dibuat, mungkin sekalikesenian kini akan setback, dalam arti suatu kesenian yangseharusnya lahir berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu semasakondisi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat masih dekatdengan kondisi yang melahirkan warisan-warisan tradisionaltadi dan bukannya kesenian hasil dialog dengan kondisi dankebutuhan sekarang.Bila kita berbicara tentang “kesenian Indonesia kini yangsebenarnya”, maka pertanyaan yang timbul ialah: sampai dimana, antara: 1. warisan-warisan kesenian tradisional yangkita lihat sekarang di satu pihak dengan; 2. kesenian Indonesiayang bermacam-macam yang kita lihat sekarang di lain pihakdengan; 3. kesenian Indonesia kini (das Sollen), tidak terdapatdiskontinuitas (ada gap) yang kira-kira disebabkan oleh matinyadaya kreatif dalam waktu yang cukup lama? Seandainyamemang ada kematian daya kreatif dalam waktu cukup lama,tidakkah sudah seharusnya kesenian kini (das Sollen) melompat248 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ke depan jauh di muka warisan-warisan tradisional dan tidaksebaliknya “berbaik hati” mengisi suatu gap sekedar untuk memeliharakontinyuitas? Persoalan lain yang lebih pokok ialah:apakah warisan kesenian tradisional Indonesia memiliki nilaiseni yang lebih tinggi daripada puncak-puncak kesenian yangterdapat pada bangsa-bangsa lain di dunia. Kalau memang demikian,sudah selayaknya kita lebih banyak mengambil inspirasidari warisan-warisan tersebut. Bila tidak, penekanan pengambilaninspirasi ke sana akan sangat merugikan perkembanganbangsa sendiri.25 Januari 1971Kepribadian BangsaKepribadian suatu bangsa berkembang. Mungkin sekali perkembanganitu makin lama makin jauh dari kepribadian yangsemula. Bukan tidak mungkin suatu kepribadian bangsa akanbertolak belakang dengan beberapa puluh tahun sebelumnya.Masih benarkah bila kita berpikir bahwa kepribadian ituberkembang di atas fondasi yang tetap? Saya kira tidak adayang tetap. Perkembangan kebudayaan atau kepribadian suatubangsa tidak hanya meliputi masalah-masalah pinggir, tapi jugamasalah-masalah pokok, walaupun dengan kecepatan-kembanglebih kecil. Mungkin sekali polemik kebudayaan di Indonesiasekarang berkisar pada soal: sebagian mau meloncat langsungke B (melewati A), sedang sebagian lain ingin pelan-pelan yaitusampai ke A saja.Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 249


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Persoalannya, konsep manakah yang paling mampu menjawabpersoalan yang ada?12 Februari 1971Kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Luar JawaSelama 300 tahun dijajah Belanda, kebudayaan Jawa tidaksempat mengembangkan diri atau kehilangan unsur dinamiknya.Luar Jawa yang dijajah jauh lebih sebentar, tidak sampaimerupakan kebudayaan mati dan relatif tetap memiliki unsurdinamiknya. Kebudayaan mereka berkembang terus menjawabproblem yang beruntun datang.Persoalannya, untuk Jawa apakah kita menghidupkan lagiatau mengadakan sambungan dengan kebudayaan abad 16ataukah melompat ke depan? Untuk luar Jawa saya kira kontinyuitastetap ada. Yang penting untuk dipikirkan, mengapa selamadijajah unsur dinamik itu hilang atau lumpuh?22 Maret1971Ke Arah Penataan Kembali PerpolitikanHal pertama yang bisa diangkat sebagai sumber kesulitanperpolitikan di Indonesia selama ini ialah suburnya kehidupanpolitik yang berlanggam ideologis dan kurang adanya langgampolitik yang pragmatis. Yang pertama (langgam ideologis)mencerminkan suatu hubungan batin yang terus menerusdan mendalam pada sejumlah nilai-nilai politik yang kurangotonom, karena selalu dipandang dari keterletakkannya dalamsuatu totalitas kehidupan yang hirarkis. Masalah-masalah selalu250 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dikembalikan pada “tema-tema umum” dengan mengabaikanpersoalan-persoalan konkrit. Agama <strong>Islam</strong>, Nasionalisme, kepribadiannasional dan kadang-kadang bahkan Pancasila sendiripernah atau mungkin kerap dijadikan pusat orientasi darilanggam ideologis. Langgam politik kedua (langgam pragmatis)mencerminkan pembatasan pendekatan masalah pada hal-halyang nyata ada dan secara terperinci. Masalah-masalah selaludiusahakan diuraikan sedetail mungkin. Orang sekedar berurusandengan persoalan-persoalan yang benar-benar dihadapidengan ikap yang otonom dari konstelasi kosmos, walau mungkinmasih dipakai beberapa pokok pedoman. Ilmu pengetahuanmerupakan pusat orientasi dari langgam politik ini. Mudahdisimpulkan, bahwa struktur politik yang membantu suburnyabudaya politik yang berlanggam ideologis dan sebaliknya terhadapyang lain, akan selalu melahirkan situasi uncommunicableantar kelompok-kelompok politik karena kurang adanyakesatuan kriterium (ukuran obyektif) dalam percaturan. Sebabitu peaceful adjusment terhadap suatu issu yang sedang timbulsering sulit dihasilkan, di samping persoalan pokok mendesakyang dihadapi masyarakat kurang terpecahkan dengan baik.Hal kedua yang menyulitkan ialah terjadinya perangkapankonflik (sampai dua atau tiga) serta perluasan konflik, Perangkapankonflik timbul karena banyak terjadi konflik-konflik dalamlanggam ideologis (agama, pola kultural-tradisional) taditernyata bersatu dengan jalur-jalur suku (kedaerahan) dan dalambeberapa hal sekaligus dengan jalur ras dan tingkat sosialekonomi.Sedang perluasan konflik timbul karena kemudiankekuatan-kekuatan politik membentuk badan-badan satelit sepertiorganisasi buruh, wanita, universitas, mahasiswa, pelajarMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 251


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dan lain-lain. Karena itu masyarakat menjadi sangat fragmentalizeddan konflik-konflik politik makin sukar didamaikan dandiarahkan, sebab konflik politik sekedar merupakan pemunculanke atas konflik antar pola-pola primordial-tradisional yangsangat mendalam dan berakar.Hal ketiga adalah lemahnya lembaga-lembaga sosial, lembaga-lembagaekonomi dan lembaga-lembaga kebudayaan secararelatif dengan besarnya kekuasaan politik pihak penguasa eksekutif(yang notabene memang perlu kuat). Kekuasaan eksekutifini sekarang dipegang militer yang terorganisir rapi, moderendan terkontrol baik. Itulah sebabnya maka universitas, kelompokartis, buruh, lembaga-lembaga kemasyarakatan, kaumpengusaha dan lain-lain belum begitu mampu memfungsikandirinya sebagai pressure group yang berwibawa.Mungkin masih banyak hal lain lagi yang merupakan batusandung dalam perpolitikan di Indonesia. Tetapi ketiga hal diatas cukup kiranya menyadarkan kita betapa lemahnya kekuatanyang melambari tuntutan-tuntutan pada penguasa seperti:patuhi konstitusi, hak-hak azasi manusia demokrasi, berantaskorupsi dan sebagainya. Persoalannya, tidak ada kondisi obyektifyang membantu atau power bagi diterimanya tuntutantuntutanyang sangat moralistis itu.Karena itu tanpa hendak mengabaikan pendekatan legalformalseperti terdapat dalam tuntutan-tuntutan di atas, sertajuga dengan menyadari pentingnya pendekatan politiko-kulturaltermasuk pendidikan politik, proses sosialisasi politik sejakmasa kanak-kanak, kiranya diperlukan sekali pendekatan struktural-fungsional.Jelasnya kita memerlukan restrukturasi perpolitikansedemikian rupa hingga ketiga sumber kesulitan di atas252 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —hilang atau setidak-tidaknya diperkecil agar pembangunan ekonomidan proses pembaharuan sosial berjalan lebih lancar. Sorotanpokok kalau kita mau melihat struktur politik ialah padasistem kepartaian (termasuk kegolkaran tentu saja).Sistem kepartaian yang kira-kira bisa menunjang pencapaianide-ide di atas kira-kira perlu memenuhi syarat-syarat sebagaiberikut: a. sistem kepartaian itu harus memudahkan terjadinyakonsensus nasional, proses koalisi, kompromi kepentingandi antara kelompok-kelompok politik; b. sistem kepartaian ituharus mendorong keterlepasan dari semboyan-semboyan ideologis(kesempurnaan <strong>Islam</strong>, perlunya Piagam Jakarta, memeliharakepribadian nasional, mengamankan Pancasila dan sebagainya)dan mendorong menguatnya langgam politik pragmatis;c. sistem kepartaian itu harus menjamin terjadinya keanggotaanatau pengkotakan yang tidak ketat dalam masyarakat; d.sistem kepartaian itu harus berkemampuan untuk menghisap(recruiting) unsur-unsur dinamik dan kreatif dalam masyarakatsedikit demi sedikit mampu menyusun suatu elite politik yangmemiliki kekuasaan dan policy yang membantu kegiatan institusisosial-ekonomi dan kultural seperti kegiatan enterpreneuraldan lain-lain; e. sistem kepartaian itu harus punya kesiapanatau membuka kesempatan untuk perkembangan dirinya sendirike arah yang lebih sempuma.Sampai sekarang suatu sistem kepartaian yang kira-kiramemenuhi lima syarat di atas belum terlihat-paling tidak olehsaya sendiri-dalam bentuk konsep yang konkrit dan relatif final(ready for use). Tetapi kalau kita boleh meminjam rumusandari seorang anthropolog yaitu Clifford Geertz, maka pengkotakanpolitik yang paralel dengan pola “aliran” abangan-santriMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 253


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dengan cabang-cabangnya moderen dan ortodoks, perlu segeradiakhiri. Konflik politik atas dasar konflik aliran yang beratitu akan lebih sukar dipecahkan dan diarahkan pada prosesyang rasional untuk pembangunan. Kita kuatir, sebab dalamkenyataannya ada paralelitas tambahan yaitu ikatan-ikatanprimordial daerah (suku) dan terkadang juga ras. Denganbegitu langgam pragmatis akan sedikit kemungkina timbulnya.Karena itu sistem kepartaian yang masih mengundang adanyapartai abangan (PNI) dan partai santri (parpol <strong>Islam</strong>), partaiKatholik, Parkindo atau setiap bentuk partai agama lain, takperlu dilanjutkan. Untuk seterusnya agaknya belum bisa secaraapriori ditolak kehadiran partai-partai yang hendak mendasarkandiri pada ideologi sekular non aliran seperti demokrasi,pembaharuan, persatuan, nasionalisme baru, sosialisme, pembangunanatau sekedar Pancasila. Dalam hal ini harus selaludiperhatikan variabel-variabel sosial yang ada untuk mencegahparalelitas ideologi-ideologi itu dengan jalur-jalur primordialtradisionalseperti terjadi pada pola aliran. Selama paralelitasitu bisa dihindarkan dan tidak timbul ideologi ekstrim baru(macam PKI yang sudah dilarang), bisa diharapkan langgampragmatis pelan-pelan akan tumbuh. Tentu saja pemupukanlanggam pragmatis ini tidak hanya tergantung pada strukturpolitik, tapi juga pada pendidikan politik dan terutama prosessosialisasi politik dan sikap mental-budaya yang sedang hidupdalam masyarakat.Selanjutnya, perlu dihentikan pengendalian atau pengikatanoleh partai politik terhadap organisasi-organisasi yang sekarangmenjadi onderbouw-nya. Ikatan macam itu telah membelahmasyarakat sejak kanak-kanak sampai orangtua di segala la-254 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pisan seperti: buruh, tani, usahawan dan lain-lain. Kelompokkelompoksosial itu harus dibiarkan independent, tidak dikotakkanmenurut partai politik, agama, aliran atau suku sertadibiarkan semata-mata menjadi pressure group atas dasar hanyapunya interest pada profesi masing-masing. Dan merekaini akan senantiasa mendesak atau mempengaruhi partai-partaipolitik untuk ikut memperjuangkan kepentingan mereka.Nah, bila semua ini bisa di terima, dapatlah diharapkan bahwamasyarakat tidak lagi over-fragmentalized seperti sekarang, danmudah-mudahan orang akan lebih lunak keterikatannya padasuatu partai politik dalam arti tiap-tiap orang bisa lebih mudahpindah dari keanggotaan atau pemilihan suatu parpol ke parpollain atas dasar kesesuaiannya dengan program suatu partaipada saat tertentu. Agar program-program partai lebih jelasberkompetisi di mata rakyat, penyederhanaan jumlah partaiatau adanya pengelompokan partai (pengelompokan program)semacam ide dwi-partai, sangat perlu dipikirkan.Walau belum berbentuk konkrit, dengan pikiran-pikirandi atas agaknya struktur perpolitikan kita telah tertata secararasional. Dari sini kita bisa berangkat untuk menopang program-programpembangunan ekonomi dan pernbaharuan sosialtermasuk penyempurnaan terus-menerus sistem politik itusendiri.Dengan restructuring atau pengorganisasian yang baik sajalahakan terbentuk kekuatan politik yang kuat untuk mengimbangikekuatan politik militer yang begitu terorganisir rapidan moderen.9 April 1971Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 255


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Hak-Hak Asasi Manusia di IndonesiaDemokrasi yang lebih terperinci lagi pengertiannya dalamprogram hak-hak asasi manusia dari PBB timbul dalam masyarakatyang sudah industrial, sebagai jawaban akan kebutuhan-kebutuhannya.Dalam masyarakat pra industrial, tahapperbudakan dan feodalisme di Barat dulu, tak mungkin programPBB semacam hak-hak asasi manusia itu dilaksanakan.Tingkat perkembangan masyarakat waktu itu menuntut lain,karena sub-sistem-sub-sistem selain subsistem politik tidakmendukung. Demikianlah keadaan Indonesia kini. Tingkatanmasyarakat Indonesia sekarang memerlukan sistem politik atauragam kemanusiaan yang lain. Jadi tidak benar bila dikatakanbahwa demokrasi atau hak-hak asasi manusia merupakan halyang abadi dan universal, terlepas dari ikatan ruang dan waktu.Saya kira kondisi masyarakat post-industrial nanti akanmemberi bukti bahwa demokrasi/hak-hak asasi manusia PBBbukan lagi suatu piagam yang tepat. Di Amerika Serikat sendirikini sudah mulai timbul pertanyaan-pertanyaan akan relevansidemokrasi atau hak-hak asasi manusia pada suatu kondisimasyarakat yang mulai bercorak lain.Kita yang menjadi pencinta-pencinta demokrasi dan hakhakasasi manusia harus ikhlas untuk menahan diri dari memaksapemerintah untuk melaksanakan demokrasi dan hakhakasasi manusia. Persoalannya belum besar, situasi dalamsub-sub sistem itu memerlukan demokrasi dan hak-hak asasimanusia. Kita yang sudah terpelajar ini berdiri jauh di mukatingkat perkembangan masyarakat di sekeliling kita. Ini kitaperoleh karena kita sering komunikasi dengan masyarakat Baratlewat bacaan-bacaan, filem-filem, pergaulan dan sebagainya.256 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Tetapi kita kaum terpelajar harus cukup berendah hati untuktidak memakai suatu sistem politik yang sudah jauh ke depansedang sistem-sistem lainnya dalam kenyataan masih jauh terbelakang.Saya kuatir suatu adaptasi begitu saja tanpa melihat kaitannyadengan sistem-sistemlain, justeru akan melahirkan anarkiatau memperlambat majunya sistem-sistem lain yang pada gilirannyananti akan menghantam sistem politik yang terlalu majutadi. Sayakira yang penting dua hal: 1. seluruh sub-sub sistemharus berada dalam tingkat yang harmonis satu sama lain; 2.sub-sub sistem itu harus selalu didorong maju ke muka danantara sub-sub sistem diadakan suatu manajemen sedemikianrupa sehingga suatu sub-sistem membantu sub-sistem lainnyauntuk maju dan sebaliknya.Jadi yang diperlukan oleh suatu masyarakat seperti Indonesiaialah: 1. suatu pemerintahan yang realistis dan ada potensiuntuk berkembang maju; 2. suatu kekuatan sosial politik yangdinamis dan realistis; 3. suatu kekuatan moral yang radikal, puritandan dinamis (seniman, mahasiswa, dosen, guru dan lainlain).Sasarannya tentu saja pemerintah dan masyarakat.3 Mei 1971Jangan Menilai Masyarakat Hitam-PutihJangan terlalu meremehkan rakyat Indonesia dengan berkata:“Yang merasa tersinggung oleh keadaan sekarang ini hanyakita para mahasiswa atau orang-orang terpelajar.” Bila kitaperhatikan, banyak juga dari masyarakat kita yang gelisahMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 257


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dan tidak puas melihat keadaan. Hanya saja mereka sangattidak artikulatif atau tidak terucapkan perasaan-perasaannyadan tidak punya kemampuan linguistik untuk mengutarakannya.Di samping itu juga perlu diakui tingkat kegelisahannyayang belum segawat pada kita kaum terpelajar. janganlah kitaberpikir hitam putih, seolah-olah alternatif satu-satunya bilamasyarakat belum merniliki kesadaran kewarganegaraan yangpenuh adalah berarti mereka berjiwa budak. Cap semacam itusangat menyakitkan, terlalu sarkas.Akuilah, masyarakat kita adalah masyarakat transisional.17 Mei 1971Wong Yogya PecahKaum tradisional abangan di Yogyakarta pecah. Sebagian berpihakpada Golkar yang dipersonifikasikan dengan Sultan Yogya(Hamengkubuwono): sebagian lagi berpihak pada PNI yangdipersonifikasikan dengan Bung Karno. Saya kira perpecahankaum tradisional dengan goncangan-goncangan yang ada dihati mereka sangat penting dicatat dalam proses moderenisasi.Bilamana kaum tradisional sudah mulai menghantam BungKarno dan yang lain sudah mulai menghantam Sultan, itulahtanda bahwa image tentang adanya kultus terhadap Sultan atauBung Karno untuk sebagian telah keliru.Sebenarnya, banyak sekali mitos-mitos tentang masyarakatYogya yang tak terbukti lagi. Mitos bahwa pengaruh atau wibawaSultan sangat besar dan bahkan mengalahkan Bung Karnodalam kenyataannya sudah banyak tidak berlaku. Iring-iringan258 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —prajurit kraton pada acara Sekaten yang lalu banyak menjadiejekan penonton.Betapa bahayanya bila kita tercekam oleh cerita-cerita danmelupakan kenyataan bahwa masyarakat itu tidak pernah tetap.25 Mei 1971Militerisme yang Sedang MerangkakSampai sekarang militer di Indonesia belum merupakan kelasatau kelompok sosio-kultural tersendiri. Di samping karenaumurnya masih muda, juga karena asal kelahiran generasimiliter sekarang ini dari kancah revolusi. Tetapi untuk masadepan kita harus berpikir lain.Peranan sosial politik yang makin mantap dari suatu generasimiliter yang profesional, bukankah menunjukkan adanyacreeping militerisme?26 Mei 1971Soal Pergantian KekuasaanPelopor atau penggerak moderenisasi adalah golongan yangtidak puas terhadap kondisi yang ada, yang interest-interestnyatidak terpenuhi oleh sistem nilai yang hidup. Lalu, apakah golonganmiliter Indonesia tidak puas atau Tak terpenuhi interestinterestnyaoleh kondisi sosial politik sekarang? Kalau begitumereka bisa dipakai sebagai penggerak moderenisasi. TetapiMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 259


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pada suatu saat, ketika golongan militer sudah mulai establishedatau puas oleh kondisi yang ada, pada ketika itu mereka sudahkehilangan kemampuannya untuk menjadi penggerak moderenisasi.Dan golongan baru harus tampil.Tetapi bagaimanakah bentuk pergantian kekuasaan dan golonganmiliter kepada golongan baru itu? Bagaimana kedudukanminoritas intelektual sebelum dan sesudah pergantian itu?Dan apakah peranan intelektual dalam pengendalian moderenisasiseluruhnya sebagai proses yang panjang? Mungkinkahbegini: Peranan intelektual ialah membuat kondisi di mana tidakada satu golonganpun (yang kuat) yang akan pernah merasapuas walaupun proses moderenisasi berjalan terus. Untukini jangan sampai suatu golongan mampu berkuasa absolut.Jadi harus ada bargaining dalam struktur kekuasaan (politikdan ekonomi). Jangan sampai suatu golongan memegang keduamacam kekuasaan itu sekaligus.Nah, bila ketidakpuasan selalu ada, maka proses pembaharuanakan dirasakan sebagai keperluan yang terus menerusoleh pihak yang berkuasa.4 Juni 1971Generasi Muda dan Status OposisiStatus oposisi ialah kedudukan dari mereka yang secara politisberlawanan dengan pemerintah yang ada, yaitu penguasa yangsedang memegang kekuasaan efektif. Tugas oposisi ialah melakukankontrol (pengawasan) terhadap jalannya pemerintahandan memberikan oreksi-koreksi yang perlu. Karena itu oposisi260 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang sehat adalah oposisi yang berperan sebaik-baiknya dalamarti bermanfaat bagi penyempurnaan jalannya pemerintahan.Dan penguasa yang sehat adalah penguasa yang merasakanadanya oposisi sebagai kepentingan dan karenanya bersikapmenghargai. Penguasa yang sehat akan menganggap kaumoposisi sebagai partner, walaupun pada suatu saat bukan mustahilkaum oposisi inilah yang mendepak mereka dari kursipemerintahan.Tetapi apa yang digambarkan di atas adalah suatu type idealdari suatu sistem yang bernama “check and balance”. Secarakonkrit yang kita lihat adalah oposisi yang tidak sehat sertajuga pemerintah yang tutup telinga terhadap suara oposisi.Jadi jauh dari yang ideal. Kenyataan ini kita temui di Inggris,Amerika Serikat, India, Filipina dan lain negara lagi. Pokoknyatidak ada yang mencapai type ideal. Hanya kita dapat mengatakanbahwa hubungan oposisi pemerintah di Inggris jauh lebihsehat daripada di Filipina, misalnya.Agaknya pada kategori terakhir di atas lah sejarah IndonesiaMerdeka berada. Tugas oposisi belum dihargai oleh pemerintahataupun oleh mereka yang sedang melakukan perananoposisi. Pihak pemerintah menganggap oposisi sebagai perongrongkewibawaannya dan menjegal program-progranmya,sedang pihak oposisi di lain pihak menganggap pemerintahsebagai musuh yang harus selalu ditemukan kelemahan-kelemahannya(kalau perlu dicari-cari) dan kemudian dihantamhabis-habisan tanpa memperhatikan faktor-faktor obyektif yangmendasarinya. Kekuasaan pemerintahan silih berganti darisuatu kekuasaan politik. Pada kekuasaan politik yang lain, danhubungan pemerintah oposisi hampir dapat dikatakan menun-Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 261


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —jukkan sesuatu ciri-ciri yang tetap. Agaknya, bisa ditemukandua sebab yang bersifat historis dan kultural: Pertama dalamstruktur kebudyaan kita belum ada tempat untuk oposisi. Pikiran-pikiranyang sewaktu-waktu menunjukkan sesuatu yang“dissent’ mungkin masih bisa dihargai. Tetapi pelembagaannyadalam suatu status atau peranan yang dari awal memang secarapolitis berlawanan akan ditolak bulat-bulat. Jiwa kolektivismemasyarakat Indonesia dan sikap paternalistik yang masihkuat merupakan inti dari struktur kebudayaan yang demikian.Sebab, kedua ialah kebiasaan untuk meneruskan alam pikiranyang hidup di zaman perjuangan melawan penjajahan Belandakepada alam merdeka. sekarang. Pemerintahan yang ada selalusaja dilihat sebagai kekuasaan penindas, yang dicurigai policypolicynya,dicari kelemahan-kelemahannya dan ditumbangkan.Pemimpin-pemimpin Indonesia sekarang masih banyak yangmerupakan generasi zaman penjajahan atau paling sedikit menempuhpendidikan politik yang berkarakteristik alam kolonial,dan ini terlanjutkan terus di alam merdeka tanpa disadari.Sebab kedua ini terutama merupakan penyebab kekurangankekuranganpihak oposisi: sedang yang pertama tadi terutamasebagai penyebab kekurangan mereka yang sedang memerintah.Tentunya ada interdependensi antara kekurangan-kekuranganpada pihak oposisi dengan pihak pemerintah.Bagi generasi muda Indonesia, sebab-sebab kultural merupakanmasalah berat yang harus dihadapi dengan tekun, sedangsebab kedua yang disebabkan oleh warisan-warisan historis zamankolonial akan menipis dengan sendirinya dimakan waktudan bisa diharapkan bahwa generasi kepemimpinan mendatangakan menganggap pemerintah sebagai miliknya sendiri, meski-262 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pun mereka berada di pihak oposisi. Karena itu bila generasimuda Indonesia menginginkan suatu arah kehidupan politikyang setahap demi setahap maju ke sistem politik demokrasi,tugas mereka adalah merombak struktur kebudayaan yang adasekarang. Beberapa jalan mungkin bisa ditempuh. Pertama denganmengadakan “shock-shock kebudayaan” secara terus menerusuntuk menggoncangkan tradisi-tradisi yang sudah beku.Pikiran-pikiran yang “nyleneh” tidak usah ragu-ragu dikeluarkan.Orang seperti WS Rendra yang secara beruntun terus menimbulkankejutan-kejutan dalam masyarakat, termasuk dalammasyarakat seniman sendiri, sangatlah penting. Dalam tingkatyang lebih rendah bisa kita saksikan juga orang-orang sepertiAli Sadikin, Sjafruddin Prawiranegara dan beberapa lainnya.Suatu masyarakat yang sudah hampir kehilangan dinamik, dimana pikiran-pikiran yang berlawanan dianggap selalu jelek,sangat diperlukan orang-orang urakan macam di atas. jalankedua yang mungkin bisa ditempuh ialah dengan membangunsuatu struktur politik yang merangsang perubahan strukturkebudayaan yang ada sekarang. Jalan ketiga ialah dengan terusmelakukan sikap oposisional (walaupun tidak berstatus oposisi)yang sehat terhadap pemerintah oleh “the uncommitted generation”yaitu mereka yang berjuang di luar lingkaran kekuasaanparpol dan Golkar serta menganut cita-cita pembaharuan. Dalamkerangka inilah orang-orang seperti Arief Budiman, NonoAnwar Makarim, Marsilam Simandjuntak, Jusuf A. R. Dari generasimuda oposisi serta kekuatan-kekuatan bebas di Yogjakartabisa dinilai dan dihargai.4 Juni 1971Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 263


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kalah dan Menang (Dari Pemilu 1971)Kekalahan PNI sejauh yang saya amati, disebabkan oleh empathal. Pertama, tema utama PNI disaingi Golkar; kedua: tenagatenagapokok PNI di pamongpraja tidak sempat kampanye;ketiga, watak pamongpraja yang penguasa oriented berhasilbesar menggilas pendukung-pendukung marginal PNI; keempat,sumber solidaritas dan superioritas PNI (Sukarno) tidakdikampanyekan lagi.Ada pula yang menjadi sebab kekalahan Parmusi? Sayalihat ada beberapa sebab utarna. Pertama, sumber solidaritasdan superioritas Parmusi (Natsir dan teman-temannya)disingkirkan dan dimusuhi; kedua: tema demokrasinya takterpakai (hilang); ketiga, tema-tema ideologis (agama) tidakada lagi.Sekarang, apakah yang menyebabkan NU beroleh kemenangan?Pertama, tema-tema agama (fatwa ulama dan lainlain)dipakai; kedua, NU menjadi pelopor terdepan tema demokrasi,sehingga merebut hati massa Masyumi yang tidakfanatik (bukan Muhammadiyah) serta massa PNI yang agaksantri; ketiga, sumber solidaritas dan superioritas sejak dulu(Idham Chalid dan lain-lain) masih dipakai, demikian jugaulama-ulama; keempat, massanya yang bodoh tapi fanatik relatifsukar diubah oleh tema-tema keagamaan dari Golkar yangkurang meyakinkan.Kalau dalam Pemilu 1971 ini Golkar ternyata unggul, pastiada sebab-sebabnya pula. Dan ini banyak sekali. Saya bisa sebutyang penting saja. Pertama, tema utamanya bisa merebutmassa PNI serta eks massa PKI yang sebagian besar sudah jeradengan PKI (massa yang bodoh dan tidak fanatik); kedua, Gol-264 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kar berhasil baik memonopoli pamongpraja; ketiga, Golkar jugaberhasil menggunakan sebagian kekuatan-kekuatan tradisional;keempat, berhasil memperoleh bantuan finansial yang kuat (siapabisa menandingi?); kelima, mendapat kebebasan berkampanyeyang jauh lebih luas; keenam, berhasil menghilangkankekuatan-kekuatan utama parpol khususnya PNI dan Parmusi;ketujuh: keberhasilan pemerintah dalam pembangunan; kedelapan,cara kerja Golkar moderen, baik yang menyangkut personilmaupun operasional.Di sisi keberhasilan Golkar yang luar biasa itu secarakuantitatif, saya melihat beberapa kelemahan Golkar (kualitatif)pertama, jumlah yang diperoleh relatif kurang wajar, danini karena diperoleh bukan lewat fair competitive terutamadi masa kampanye; kedua, di dalam tubuh Golkar terdapatheterogenitas; ketiga, Golkar tidak otonom (masih didikte);keempat, suara yang diperoleh bukan hasil sebagai kekuatanpolitik, tapi karena suplai finansial dan politis dan kekuatanaparatur negara; kelima, di dalam tubuh Golkar banyak kaumoportunis dan profitir.Saya kira tanggungjawab yang dipikul Golkar dengan kemenanganmutlak yang diperoleh dalam Pemilu yang baru laluterlampau berat. Dikatakan terlampau berat karen sebenarnyakemampuan membangun Golkar agak jauh di bawah tingkatkemenangannya. Selain karena kelemahan-kelemahan Golkaryang disebut tadi, juga karena kekuatan pendukung Golkar sebenarnyasebagian besar masih terdiri dari unsur-unsur yangtidak berorientasi pada pembangunan. Inilah yang harus dipikirkandalam meletakkan tanggungjawab dan harapan yangterlalu besar pada Golkar. Harapan yang berlebih-lebihan amatMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 265


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —berbahaya. Tapi mudah-mudahan orang Indonesia cepat jadirealistis, sehingga harapan yang digantungkan pada Golkarberada pada tingkat yang wajar saja.Jangan berharap pada Golkar setinggi angka yang diperolehnyadalam pemilu yang lalu itu!18 Juli 1971Orang-orang Abangan TradisionalPada umumnya pemikiran orang-orang abangan tradisionaltidak konsisten antara sikapnya dalam masalah moderenisasikebudayaan dengan kehidupan beragama. Dalam hidup budayapolitik orang seperti Wonohito cenderung mempertahankanstatus quo struktur kebudayaan yang ada dan menolak penerapankonsepsi-konsepsi yang telah lama berkembang diBarat. Sebaliknya dalam hidup keagamaan mereka menerimasepenuhnya konsepsi keagamaan masyarakat Barat dan menghantamtradisi-tradisi keagamaan orang-orang Muslim tanpakenal kompromi. Bahkan dalam politik mereka memutlakkankompromi dengan tradisi yang ada.Kita kaum intelektual harus berusaha agar pikiran kitakonsisten dalam arti memiliki metode-metode pendekatanyang seragam.6 September 1971266 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —“Teologi Politik”Banyak sekali tulisan-tulisan tentang politik, termasuk usahausahapemecahan masalahnya, tidak berlandaskan pada hakekatpolitik itu sendiri. Karena itu yang dibicarakan sebenarnyabukan lagi politik melainkan impian-impian kosong tentangpolitik. Inilah yang saya lihat dari tulisan-tulisan Wignya Pranarka,Soe Hok Gie, juga dari hasil-hasil seminar UniversitasParahiyangan. Mereka tidak mau melihat politik sebagaipolitik. Mereka tidak cukup berendah hati untuk sementaramemandang politik sebagai kenyataan obyektif. Karena itu yangmereka tulis bukan lagi analisa politik atau problem solving dibidang politik. Saya cenderung menamakannya “teologi politik”.Dan sebagai orang yang menganut suatu tuntunan tertentu ataumemiliki cita-cita tertentu bagi masa depan kehidupan ini, sayaadalah di antara merka yang setuju dan menganut “teologipolitik” yang demikian.Saya menerima dan menganutnya sebagai “teologi politik”,tap! menolaknya sebagai konsep pemecahan masalah apalagisebagai petunjuk-petunjuk memahami kenyataan politik yangada.17 Oktober 1971Perkemahan Kaum Urakan di ParangtritisBermula, istilah “urakan” dalam arti yang konstruktif sayadengar pertama kali dalam sebuah diskusi keciI di rumah Dr.Mukti Ali pada bulan Juli 1970 (hampir satu setengah tahunyang lalu). Dalam diskusi yang bertopik “Beberapa MasalahMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 267


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Moderenisasi” tersebut, W. S. Rendra menyatakan perlunyapemimpin yang urakan dalam usaha mempercepat proses moderenisasimasyarakat Indonesia. Ide “urakan” ini diulangi lagioleh Rendra sebulan kemudian dalam artikelnya “GerakanMahasiswa dan Ludruk” di harian Kompas. Dalam diskusiataupun dalam artikel tersebut Rendra menekankan bahwa“kekurangajaran” atau humor kasar orang-orang urakan bisaberfungsi sebagai penyegar dan pembaharu kebudayaan. “Perhatikanlahorang-orang urakan seperti Ali Sadikin, Semar, KenArok, Joko Tingkir dan lain-lain. Dengan kekurangajarannyapada tradisi dan nilai-nilai halus masyarakat, mereka mampumengungkapkan frustrasi dan impian-impian akan perbaikanyang semula terpendam di bawah sadar karena tertahan perasaanatau nilai-nilai halus”, demikian Rendra.Dan rupanya Rendra sudah benar-benar mantap denganide urakannya tersebut. Dalam drama “Dunia Azwar” yangdipentaskan di Jakarta dan Yogyakarta, dia gambarkan kehidupankaum urakan yang selalu mengadakan pemberontakanatau cubitan-cubitan terhadap establishment yang ada. Sebagaifollow-up-nya pada tanggal 16 sampai dengan 18 Oktoberyang lalu telah berlangsung perkemahan kaum urakan di pantailautan Hindia, dengan tempat rendevouz Nyai Loro Kiduldengan Sutawijaya (Raja Mataram yang pertama). Tempat ituberjarak 28 kilometer dari Yogyakarta dan desanya bernamaParangtritis. Hampir 200 peserta dari Yogya, Surabaya, Malang,Bandung, Jakarta, Kudus, Semarang berkumpul dalam kemahkemahdan rumah-rumah pondokan serta mengadakan aktifitas-aktifitassesuai dengan bidangnya masing-masing di bawahteriknya matahari dan di tengah dinginnya malam. Acara-aca-268 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ra yang disodorkan Rendra yaitu mengadakan renungan batin,mengekspresikannya dalam macam-macam bentuk (ungkapan),diskusi tentang cinta, lomba skets, karya-karya puisi dan sebagainya.Sayang sekali tokoh-tokoh yang seharusnya datang danmemimpin acara-acara seperti Sardono, Asrul Sani dan M. T.Zen tidak datang sehingga hampir semua acara terpusat padatokoh Rendra yang beruntung telah sedikit diperingan tugasnyadengan kedatangan Arief Budiman walau hanya sehari.Inilah kira-kira faktor pokok yang mengakibatkan perkemahankaum urakan ini kurang mencapai apa yang diperkirakansemula. Faktor lain yang mungkin bisa disebutkan ialah belumterciptanya intimitas di antara peserta yang begitu banyak dalamwaktu yang sangat pendek, di samping belum meratanyarasa ikut bertanggungjawab akan kesuksesan perkemahan itupada peserta-peserta luar Bengkel Teater. Faktor kedua ini menyebabkanacara-acara spontanitas kurang berjalan baik. Kekecewaanmungkin bisa ditumpahkan pada mereka yang kurangSpontan atau kurang berani dalam mengkespresikan diri, sebagaimanifestasi rasa bertanggungjawab atau sense of belongingpada perkemahan tersebut. Sebenarnya rasa bertanggungjawabatau sikap partisipatif bisa lebih daripada hanya seruan moralyaitu dengan pembagian-kekuasaan dalam menentukan policy,isi acara dan sebagainya. Tentu saja kalau memang menginginkanagar mereka yang datang dari luar tidak bersikap sebagaipenonton atau “tamu yang diundang”.Apakah manfaat yang bisa diambil dari perkemahan yangbegitu banyak pesertanya yang hampir semua aktifitasnya bersandarpada kekuatan seorang tokoh? Apakah manfaat yangbisa diambil dari perkemahan yang terbuka untuk umum, yangMeneropong Politik dan Budaya Tanah Air 269


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —saya kira sebagian besar bukan seniman, yang sebagian besarbukan urakan otentik (tapi semuanya ingin disebut urakan),yang masih banyak terseret oleh ungkapan-ungkapan klise dalamartikel-artikel kesenian atau kitab-kitab agama, yang belumsemuanya sungguh-sungguh mengadakan renungan batinuntuk menangkap apa yang hilang dari kehidupan sehari-hari?Namun demikian, bagi pribadi-pribadi yang tidak mau menyerahpada keadaan tentu banyak manfaat yang bisa digali,Sumber kekayaan rohani ada di mana-mana, dalam kekuranganmaupun kesempurnaan. Tidak ada ukuran umum untuk halhalyang individual sekali. Yang jelas kini ide urakan makintersebar. Orang menjadi lebih berani untuk menilai atau meragukankebudayaan yang sudah mapan. Dalam diskusi panelpada konperensi studi regional dosen-dosen Kristen se Jawa-Kalimantan-BaIi, Ridwan Saidi dari pimpinan PB HMI berkatabahwa cara-cara urakan diperlukan untuk pembangunan disamping media pendidikan. Malahan tokoh muda <strong>Islam</strong> tersebutmencontohkan adegan cium dalam drama-drama untukmelawan tabu tertentu dalam masyarakat kita. Menjadi pertanyaan,apakah mereka yang meniru-niru ingin jadi urakan betul-betulfaham akan tujuannya?27 Oktober 1971Kebudayaan Jawa Penghambat Kemajuan?Mengapa kebudayaan Jawa yang paling banyak disebut sebagaipenghambat kemajuan? Sebabnya mungkin bisa dicari padakenyataan bahwa kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang270 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —paling lengkap dan menyeluruh. Lantas? Karena lengkap danmenyeluruh, dia sukar berubah!2 Desember 1971Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 271


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bagian 3Dari DuniaKemahasiswaandan Keilmuan


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kritik Orang-Dalam terhadap HimpunanMahasiswa <strong>Islam</strong>Hampir setahun yang lalu sewaktu berlangsung Maperma disebuah fakultas UGM, terjadi sedikit pertengkaran antara beberapaanggota panitia yang menjadi anggota HMI denganbeberapa anggota panitia lain yang menjadi anggota PMKRIdan GMKI. Mereka bertengkar tentang bentuk cocarde yangakan dipakai oleh seksi keamanan. Persoalannya sederhanasaja; yang anggota HMI menginginkan bentuk cocarde yangmirip-mirip bentuk bulan-bintang, sedang pihak GMKI danPMKRI menginginkan bentuk yang menyerupai salib. Keinginanmereka itu memang tidak disampaikan terus terang.Dan kelanjutannya tentu saja dihasilkan kompromi yang tidakmemilih kedua-duanya. Namun sebelumnya kedua belah pihakmasih saja bersitegang leher.Di kesempatan lain, dalam kesibukan panitia Maperma itujuga, telah terjadi perselisihan antara anggota panitia utusanHMI plus simpatisan-simpatisannya dengan anggota-anggotapanitia utusan PMKRI dan GMKI. Masalahnya juga tidak kalahsederhananya. Yang pertama menghendaki agar Maperma diselenggarakandalam suatu urutan hari di mana hari Raya Qurbantermasuk dalam urutan itu. Yang kedua menghendaki agardipilih waktu yang jauh sebelum itu atau agak jauh sesudahitu. Maksudnya agar terhindar dari hari yang “berbahaya” yaitu273


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Hari Raya Qurban. Maksud kedua belah pihak juga sederhana.Yang pertama bermaksud ingin mendemonstrasikan kebesaransyiar <strong>Islam</strong> di kalangan mahasiswa-mahasiswa baru. Hari RayaQurban dianggap momentum terbaik sesuai dengan ilmu psikologimassa. Diperkirakan 80 persen dari mahasiswa baruakan dipersilakan berbaris menuju lapangan sebagai cerminankekuatan <strong>Islam</strong>. Sedang pihak kedua kurang senang dengancara-cara demonstratif semacam itu yang akan merupakanpenampilan “potret mayoritas” dan “potret minoritas”. Apalagiwaktu itu cama-cami abangan yang setidak-tidaknya mungkinbisa dipengaruhi untuk ditarik ke agama mereka, telah “digiring”menjadi seolah-olah “santri”. Memang sejak akhir tahun1965 dalam setiap Maperma tak ada kemungkinan bagi orangyang tidak atau belum taat beragama, apalagi yang belum beragama,untuk menampakkan secara terus terang pribadinya.Apakah yang dapat kita tarik dari peristiwa ini? Pertama,bahwa gambaran tentang <strong>Islam</strong> dari anggota dan aktifis HMIterlalu lahiriah atau simbolis. Perjuangan <strong>Islam</strong> disamakan denganmempertengkarkan kertas yang digunting mirip bulanbintangdan di samping itu hati sudah bangga bila sudah berhasilmembuat seorang mahasiswa jongkok berdiri melakukansholat meskipun hatinya sebenamya tidak sholat. Kedua, bahwaaktifis-aktifis HMI telah terseret pikirannya pada masalahmasalahkecil yang kurang berarti bagi suksesnya perjuangan(malah mungkin merugikan perjuangan). Kita telah melupakanmasalah strategis dan melalaikan teori perjuangan. Sayang, kitamahasiswa <strong>Islam</strong> kurang sadar bahwa kita memikul suatu missisejarah, dengan menjadikan diri kita pejuang-pejuang fundamental,radikal dan idealis murni. Dua syarat harus dipenuhi274 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dalam hal ini: 1. pemahaman yang jelas akan apa yang menjadiidealnya (ajaran <strong>Islam</strong>), supaya jelas mana yang hendakditegakkan dan mana yang perlu dibuang atau diganti; 2. pemahamanakan ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerjamencapai yang diidealkan itu.Dalam keadaan sekarang yang dinamakan pejuang-pejuangidealis <strong>Islam</strong> barulah pejuang yang bersemangat tinggi,walaupun mereka tidak tabu apa yang mereka maui dengansemangat yang bernyala-nyala itu. Kebanyakan “pejuang-pejuangidealis “<strong>Islam</strong>” menjadi terlalu emosional, kurang rasional.Mereka terpukau dengan simbol-simbol dan semacam itu. Para“pejuang idealis <strong>Islam</strong>” ini berbeda dengan pejuang idealis darikelompok lain seperti apa yang dinamakan “kelompok intelektual”,mahasiswa-mahasiswa Sosialis, mahasiswa-mahasiswa independentyang kita kenal keradikalan sikap dan cita-citanya.Mereka mengetahui cita-cita mereka dengan jelas dan mengadakanproses penjelasan terus-menerus serta mereka cukupfaham bagaimana menggunakan kemungkinan-kemungkinanyang ada. Pejuang-pejuang idealis kita sebaliknya. Tidak herankalau kita kebingungan bila ditanya apa sebetulnya yang kitakehendaki. Sebaliknya dari kita, mereka tahu dan terus-menerusmembikin diri mereka tahu akan apa yang mereka kehendaki.Karena itulah segala issue politik dan inisiatif pembaharuanada di tangan mereka. Selalu!Perhatikan kemudian suatu kasus lain. Beberapa waktuyang lalu pemerintahan kita yang “demokratis” ini merencanakanredressing DPRGR. Sebagian potensi pemuda <strong>Islam</strong> telahikut pula mendorong adanya tersebut. Ketika proses redressingitu sedang digodog, keluarlah suatu statement politikDari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 275


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang sangat “elegant’ dari apa yang menamakan PMPI (PersatuanMahasiswa Pelajar <strong>Islam</strong>) Pusat, di mana Pengurus Besardari Himpunan tersayang ini (maksudnya HMI, Editor) ikutikutmenjadi anggota dan pelopornya. Statement itu menuntutsupaya dalam redressing itu orang-orang Masyumi dimasukkanke DPRGR sebagai suatu kekuatan riil dalam masyarakat. Danperhatikan kemudian, dalam point selanjutnya statement itumenuntut agar pemerintah mencegah masuknya orang-orangPSI (Partai Sosialis Indonesia) ke dalam DPRGR. Dua hal bisakita simpulkan. Pertama, alangkah tidak demokratisnya mentalangkatan muda <strong>Islam</strong> ini. Dia hendak menutup kemungkinansuatu kekuatan politik yang sederajat dengan pihaknya untuktampil ke suatu forum mengemukakan pendapat. Kedua, danhal ini sukar diampuni, angkatan muda <strong>Islam</strong> telah bersikap“double standard’ atau memakai ukuran ganda. Di satu pihakdia mengusulkan sesuatu kekuatan yang berada di pihaknyauntuk diberi tempat, tapi di pihak lain ingin memotong tampilnyasesuatu kekuatan lain yang secara obyektif punya posisiyuridis sama. Saya tidak mempersoalkan bagaimana hasil redressingyang ternyata sebaliknya dari apa yang dituntut statementtadi. Yang terang, sikap double standard telah menunjukkanbahwa kita sudah terdegradir dalam memperjuangkankepentingan kelompok, bukan ide, nilai atau prinsip. Kita tidaklagi memperjuangkan terlaksananya nilai-nilai <strong>Islam</strong> sepertikeadilan, persamaan dan lain-lain. Kita telah beralih memperjuangkankepentingan golongan <strong>Islam</strong> walaupun dengan jalanmelanggar nilai-nilai <strong>Islam</strong> tadi. Alangkah tragisnya penyakitangkatan muda <strong>Islam</strong> ini. Kalau kita ikuti keributan-keributanakhir-akhir ini, seperti pembakaran gereja dan pendapat tokoh-276 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tokoh <strong>Islam</strong> seperti Mohammad Natsir mengenai hal tersebut,menjadi sangat jelaslah bahwa contoh statement politik di atashanyalah sekedar miniature dari sifat double standard yang telahberakar di kalangan golongan <strong>Islam</strong> Indonesia, termasukpemimpin-pemimpinnya. Terserah pada pendapat anggota-anggotaHMI: apakah penyakit mental seperti ini akan dibiarkansaja berlarut-Iarut?Sambil kita memikir-mikir jawaban pertanyaan di atas, Baiklahkita beralih pada kisah lain. Dalam kepengurusan yanglalu, musyawarah kerja Generasi Muda <strong>Islam</strong> Yogyakarta (HMIjuga jadi pesertanya) mengeluarkan statement politik yang tidakkalah “elegantnya”. Statement itu menuntut agar pemerintahmembubarkan apa yang dinamakan “group independent”, karenamenyebarkan sekularisme atau sekularisasi yang menurut pesertamusyawarah Gemuis tadi bertentangan dengan Pancasila.Alangkah naif dan diktatorialnya bunyi statement itu. Dia naifkarena sesungguhnya apa yang dinamakan “group independent”tidak ada secara organisatoris. Nama itu sekedar sebutan “tidakbertubuh” bagi beberapa kaum intelektual yang menginginkansuatu pembaharuan besar-besaran di negeri ini. Maka apayang mau dibubarkan kalau organisasinya tidak ada? Kita telahdengan begitu bersemangat dan bernafsu untuk memukulorang yang berbeda pendapat dengan kita. Sayang tidak satumolekul udarapun yang kena, karena pukulan maut itu dilakukandi ruang hampa. Tidak ada yang kena kecuali kepala kitasendiri yang kurang berpengetahuan. Tapi kesalahan ini masihkecil. Kurangnya pengetahuan masih bisa dikejar dengan belajarlebih banyak. Tapi tidak demikian halnya dengan kesalahankedua yaitu kesalahan dalam sikap mental. Sikap mental kitaDari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 277


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang tidak demokratis, di samping secara konstitusional tidakdibenarkan, telah menuntut lenyapnya suatu pikiran yang laindengan pikiran kita sendiri. Sikap mau menang sendiri ini, telahmengelabui mata kita. Kita tak melihat bahwa sikap kitatelah bersifat diktatorial. Kita telah menjadi diktator sebelumberkuasa. Kita tidak cukup berendah hati untuk berkumpuldengan orang-orang lain dan mendengarkan pendapat-pendapatmereka. Mungkin karena takut beradu argumen, karena itudipakai bahasa sentimen. Kita enggan hidup dalam dunia yangberaneka rona, di mana beragam pendapat berbenturan denganbebas satu sama lain untuk menemukan kebenaran yang lebihtinggi. Alangkah sedihnya hati memikirkan mental set up sepertiini, apalagi sebagai mental set up generasi baru. Apakahsejarah harus menunggu satu generasi lagi untuk sebuah harapanyang sederhana?Sangat banyak kisah yang membuat kita prihatin akan nasibgolongan <strong>Islam</strong> ini. Dua hari yang lalu, dalam rangka meminjamslide pendidikan seksual pada Gereja Katolik Bintaran,saya berkesempatan diajak oleh seorang petugas di sana untukmenyaksikan pembukaan pameran rangkaian bunga yang diadakanpemuda Katolik. Seorang pastor Jesuit menyampaikansambutan yang sangat brillian, yang memberi kesan pada sayabetapa tingginya appresiasi seni di kalangan gereja katolik. Pemudi-pemudiKatolik yang hadir di situ punya alasan untukbangga bahwa bapak rohani mereka bisa menghargai karyaseni mereka dan mendorongnya untuk berkreasi lebih tinggi.Bagaimana halnya kegiatan kesenian di kalangan <strong>Islam</strong>? Beberapawaktu yang lalu ada suatu atraksi kesenian telah dilempari278 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dan dikacau oleh pemuda-pemuda <strong>Islam</strong> dengan alasan yangsangat amoral dan “haram”,Beberapa kisah di atas mudah-mudahan merangsang kitauntuk memperbaiki sikap mental yang merugikan perjuangan.Saya berharap HMI justeru bukan mempersubur Alias memperkembangkansikap-sikap semacam itu.10 Januari 1969Kritik terhadap Himpunan Mahasiswa <strong>Islam</strong>(Bukan oleh Outsider)Saya pernah datang pada upacara tutup tahun suatu fakultaspada sebuah perguruan tinggi <strong>Islam</strong>. ‘Parade sambutan sampaienam pembicara. Sesudah ketua panitia, bicara ketua tingkat,kemudian ketua Dema, ketua Sema, Rektor, wakil Rektor, wakilmahasiswa. Malah lebih dari enam sambutan barangkali. Persisnyasaya lupa, tapi hampir semua sambutan bicara hal yangsama, dari ucapan terimakasih, minta maaf, jangan lupa masalalu, tetap berbakti, semoga sukses dan lain-lain. Sesudah duapenyambut naik, saya sudah bisa menebak apa yang akan dikatakanpenyambut berikutnya. Sambutan selalu hampir sama.Itu-itu juga. Tak satupun yang bergairah untuk menyampaikansambutan yang berisi, melepaskan diri dari kebekuan denganmelemparkan satu dua pikiran atau problem yang bisa membuatruangan jadi ramai. Sepulang dari pertemuan itu dalam bukuharian saya tulis: tak ada issue dalam pertemuan ini.Contoh di atas hanyalah prototype dari kegersangan kreasidi kalangan sarjana dan mahasiswa-mahasiswa <strong>Islam</strong> masa kini.Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 279


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Dan agar tidak menyimpang saya ingin satu titik tinjauan sajayaitu: HMI. Kadang-kadang saya berpikir, HMI ini organisasimahasiswa kader ataukah organisasi politik. Struktur organisasinyabiasa saja, tidak ada bedanya dengan organisasi politik.Kalau struktur suatu bangunan dibuat sesuai dengan tujuanyang hendak dicapai, apakah struktur HMI sudah pula disesuaikan?Saya sendiri belum tahu bagaimana struktur organisasikader yang ideal, yang favourable bagi pembinaan kader-kadernya.Kemudian aktifitasnya, apakah yang membedakannya denganpartai-partai politik? Adanya training-training yang kontinyu,mungkin itulah yang membedakannya. Mungkin juga darifakta bahwa kita tidak melakukan usaha-usaha “sake of power’,dengan duduk dalam pemerintahan. Betulkah itu? Kita perlumengadakan penelitian dalam himpunan ini, manakah kenyataannyaprioritas kerja yang diutamakan: menciptakan tudungpolitik seperti jabatan dekan, rektor, ketua Dema dan lain-lainatau membina anggotanya menjadi insan akademis penciptadan pengabdi yang bernafaskan <strong>Islam</strong>? Berapa persenkah anggotakita yang terbina? Sampaikah 10 persen? Cukupkah dengantraining-training yang mengental hampir beku itu? Beberapatahun terakhir ini HMI banyak terikat oleh pandangankesesaatan dan kesetempatan, kekinian dan kesinian. Kurangmemiliki pandangan jauh ke muka. Pandangan jarak pendekdan jangka dekat ini harus segera dihilangkan.Sekarang bagaimanakah kreatifitasnya? Lihat saja tematemadari konperca dan mukerca, musyawarah komisariat danrayon yang kita alami. Bacalah isi dari spanduk-spanduk atauposter-poster yang dipasang dijalan raya atau di tembok-tembokoleh berpuluh-puluh panitia pada tahun-tahun terakhir280 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ini. Tidak ada perobahan, statis tanpa kreatifitas. Telitilah satupersatu masalah-masalah yang akan dibicarakan dalam setiapmusyawarah atau konperensi. Beku, kering, tanpa dayak hayal.Slogan-slogan gersang dari tahun ke tahun. Dalam dunia mahasiswaHMI kian kurang menarik. Kita beku! Dan kita harusmelepaskan diri dari kebekuan ini. Kita harus mengadakaneksperimen-eksperimen memperkaya kita dengan ide-ide segar?Tanpa ide-ide baru, Himpunan Mahasiswa <strong>Islam</strong> ini akanmenjadi himpunan jurutulis-jurutulis yang mengulang-ulangapa yang telah biasa diperintahkan tuannya. Repeatition, nothingbut repeatition!Mari kita melihat umat di seputar kita, terutama dalam arenapolitik. Alangkah terpepetnya golongan <strong>Islam</strong> dalam percaturanpolitik. Dia terpepet di pojok seperti seorang tertuduhyang kerepotan menghadapi pertanyaan-pertanyaan gencar darihakim dan jaksa. Bila ada golongan lain yang melemparkanissue politik program strijd, maka repot-Iah dia antara setujudan tidak. Dipancing lagi dengan issue toleransi beragama, ramailahgolongan <strong>Islam</strong> ini menjawabnya. Dilempar lagi denganissue moderenisasi, sibuklah golongan <strong>Islam</strong> ini belajar duluapa moderenisasi itu, dan kemudian menjawab dengan malumalubahwa dia setuju moderenisasi tapi bukan westernisasi.Ditanya lagi oleh golongan lain dengan issue negara sekulardan negara theokratis, disusul lagi dengan pola Pancasila versuspola Piagam Jakarta, dan issue lain lagi yang datang beruntun.Golongan <strong>Islam</strong> selalu dalam keadaan ditanya oleh golonganlain, setuju apa tidak. Kerjanya hanya menanggapi pikiran-pikiranorang lain. Golongan <strong>Islam</strong> tidak memimpin issue politik,selalu dalam posisi defensif. Padahal kita harus menentukan,Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 281


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bukan ditentukan. Hanya dengan beginilah ditambah dengankemampuan mengadakan tinjauan jauh ke depan, kita dapatpindah dari posisi defensif taktis seperti sekarang menjadi offensifstrategis. Salah satu sebab dari kelemahan-kelemahan diatas adalah karena kita kurang kreatif.Hal-hal menyedihkan di atas masih mendingan kalau sajareaksi-reaksi kita terhadap pikiran orang lain cukup baik, nuchterdan proporsional. Seringkali reaksi kita menjadi tertawaanorang. Kalau begitu saja kerja kita, maka menurut SaudaraDjohan Effendi: “Maksimal kita hanya bisa menunda datangnyakekalahan”. Nah, beberapa bulan yang lalu suratkabar Kompasdalam Kompasiana-nya menulis kira-kira sebagai berikut: “Beberapahari yang lalu Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam sidangnyadi Sidoarjo menyatakan bahwa bank hukumnya mutasyabihat,artinya halal-haramnya masih diragukan”. Kemudian,kalau kita keluar dari Salemba di Jakarta lalu membelok, kitaakan lihat sebuah papan dengan nama besar-besar: AkademiBank Muhammadiyah. Bahkan Akademi tersebut dipimpinlangsung oleh tokoh <strong>Islam</strong> Mr. Sjafruddin Prawiranegara bekasGubernur Bank Indonesia yang sudah terkenal di mana-mana”.Demikian cerita Kompasiana. Silakan simpulkan sendiri apayang bisa diambil dari cerita ini. Yang pokok bagi HMI adalahberusaha menyodorkan alternatif, bukan sikap-sikap melarang,mencela dan semacam itu. Tantangan ini mustahil terjawab bilaHMI tidak independent dalam arti yang sesungguhnya.Saya kira kita harus menyadari status independent Himpunanini secara aktif. Apakah independent aktif itu? Independentartinya bebas, menempatkan diri sebagai insan dan himpunanyang merdeka, lepas dari tekanan-tekanan luar, dari person atau282 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —organisasi, langsung atau tidak langsung. Ini berhubungan dengankeyakinan kita bahwa hanya dalam suasana bebaslah kemampuan-kemampuankreatif kita akan berkembang menemukanbentuk yang seindah-indahnya. Hanya dalam satu hal kitatidak independent lagi yaitu terhadap ajaran <strong>Islam</strong>. Kita hanyacomitted terhadap ajaran <strong>Islam</strong>, lain tidak. Kalau ada semacamcomitment yang lain, haruslah diukur dan dinilai dalam rangkacomitment yang pertama tadi. Komitmen terhadap suatu golongan,misalnya golongan <strong>Islam</strong> sendiri, hanyalah ada selamaini mendorong atau menopang komitmen yang pertama. Iniprinsipal bagi kita. Dan saya berharap tak ada tafsiran politisyang mencoba mengeksploitir statement ini.Dalam sifat independent tadi terkandung sifat terbuka dankebebasan memilih, terbuka terhadap ide-ide baru dari manapundatangnya. Karena itu kita tidak akan bersikap isolatif, karenadalam isolasi bakat-bakat tidak akan berkembang. Bakatbakatakan menemukan dirinya justeru dalam kehirukpikukandunia yang beraneka-warna. Karena sikap terbuka inilah kitaakan memahami independensi HMI secara aktif. Kita bukanhanya bebas dari tekanan yang berasal dari luar, tapi juga memikulbeban tugas untuk mencari pilihan-pilihan atau kemungkinanyang lebih baik daripada yang ada. Independensi HMIprinsipal bagi kita. Hilang independensinya hilang pula eksistensiHimpunan ini sebagai Himpunan Mahasiswa. Begitu diacomitted dengan suatu kelompok, dia kehilangan sifat kepemudaandan kecendekiawanannya. Dia ada tapi tak lagi meng-ada.Karena itu pada setiap anggota HMI mutlak diharapkan untukmelepaskan diri dari setiap belenggu mental berupa pemujaanterhadap kelompok atau person, apakah itu yang bernama NU,Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 283


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —PSII, Sukamo, Natsir, Sjaichu dan lain-lainnya. Kita hormatijasa-jasa pendahulu kita atau bapak-bapak kita, karena itu kitaakan berbuat sebagaimana seorang HMI wan, Kuntowijoyo,pemah mengatakan: Angkatan ini harus maju dengan caranyasendiri. Sebab itulah tak seorangpun dari anggota HMI akanmenempatkan dirinya sebagai pesuruh, entah pesuruh Sukarno,pesuruh Sjahrir atau pesuruh Natsir. Bagaimanapun hebatnyaseorang pesuruh, dia tak akan lebih besar dari majikannya.Antek Sukarno tak akan lebih hebat dari Sukarno. Yang beranimemandang Sukarno secara kritis, membuang kelemahankelemahannya,mengambil kekuatannya dan mencari lagi yanglebih kuat dari kekuatan Sukarno adalah orang yang punyakans menyamai atau bahkan melebihi Sukarno. Hanya pemudasemacam inilah yang berhak mewarisi hari depan, menjadianaknya zaman.Saya memang mengeritik HMI sebagai orang yang terlibatdalam HMI. Seharusnya orang dari luar HMI akan lebih baikmeneropong HMI, tapi sebagai orang dalam pun tak ada salahnya.Saya tulis semua ini karena cinta saya dan harapan sayaterhadap himpunan ini.23 Januari 1969Pola Berpikir AktifisKalau saya menyaksikan pola berfikir aktifis HMI pada cabangcabangbiasa dan terutama pada cabang-cabang kecil, maka seolah-olahlenyaplah harapan saya untuk menjadikan HMI ini sebagaikekuatan pembaharu. Mungkin sekali bila pimpinan HMI284 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —berhasil menjadikan HMI sebagai kekuatan pembaharu – independent-kreatif,maka bergugurlah anggotanya meninggalkanHMI. Orang yang akan masukpun sedikit sekali dan dukunganumat akan kurang. Persoalannya, karya mana yang kira-kiralebih besar antara besar sebagai kekuatan retrogressif-reaksionerdengan kecil sebagai kekuatan pembaharuan-pelopor.14 Maret 1969Tentang KAMI dan Dewan MahasiswaKAMI tidak representatif. Demikian beberapa pendapat, Bentuksaja NUS dari Intra saja. Betul, KAMI tidak representatif.Tapi apakah Dewan Mahasiswa juga representatif. (andaikataDema dipilih secara demokratis)? Bisakah Badan Intra/Demamerepresentasikan pikiran-pikiran yang hidup di kalanganmahasiswa? Apakah representasinya tidak terbatas dalam masalah-masalahkampus saja? Masalah keintraan saja? Apakah diaberhasil merepresentasikan pandangan-pandangan yang hidupdi kalangan mahasiswa?Justeru kalau dia representatif dan mencoba merepresentatifkannyamaka kampus akan pecah dan suasana ilmiah diperguruan tinggi akan terganggu. Maka badan intra atau dewanmahasiswa pun tidak bisa representatif. Kapan masalah-masalahektra bisa diintrakan dan sekaligus tidak membahayakankehidupan ilmiah di perguruan tinggi?Entahlah, saya pikir mungkin 100 tahun lagi.24 Maret 1969Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 285


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Mungkin Hanya Tawang AlunDari sekian banyak rokoh-rokoh HMI di Badko Jawa Tenggahini tidak ada cara yang berpikirnya konsisten atau stabil. Mungkinhanya Tawang Alun yang sudah mendekati konsisten. Diaberpikir sebagai politikus mahasiswa. Dia hampir stabil. Stabiltidak berarti statis. Stable in motion? Entahlah.Lain-lainnya kelihatan sangat terombang-ambing. Kadangkadanghanya yuridis-formal, kadang-kadang sebagai intelektual.Dan kadang-kadang berpikir untung rugi sebagaimanapolitikus. Repot dan susah.26 Maret 1969Perbedaan macam-macam IlmuwanAda perbedaan antara social scientist, applied natural scientistdan pure natural scientist. Social scientist mempelajari masyarakatdan selalu mencari metode-metode baru untuk menyelesaikanproblem-problem masyarakat. Mereka melakukan dan menemukansesuatu yang belum ada sebelumnya (innovation).Applied natural scientis berusaha mengubah apa yang diciptakanTuhan menjadi bentuk-bentuk yang bisa lebih bergunabagi manusia. Mereka mengubah yang alami menjadi sesuatubelum dibuat manusia (invention).Pure natural scientist berusaha mencari dan menemukanapa yang telah diciptakan Tuhan terutama hukum-hukumnyayang berlaku abadi. Mereka mempelajari yang ada, mengertidan menemukan sesuatu azas atau hukum di dalamnya (discovery).286 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Para pure natural scientist seperti ahli-ahli Fisika dan Kimialangsung berbicara dengan ciptaan Tuhan. Karena itu merekalahyang paling makin merasa tidak tahu dan paling makinmerasa banyak yang tak diketahui. Selangkah mereka lebihmaju dalam penyelidikan dan pengetahuannya, lima langkahhorison ilmu pengetahuan itu lebih meluas dan itu harus puladiketahuinya. Horison ilmu pengetahuan makin jauh. Yangingin dicapai makin jauh. Karena itulah para ahli fisika, kimia,matematika adalah orang-orang yang paling mengetahuiketerbatasan akal manusia, walaupun mereka itu yang palingbanyak mempergunakan akal. Hal seperti ini tak akan dialamioleh “sarjana-sarjana” sosial, ekonomi, politik. Mereka akansangat percaya pada akalnya, kagum dan silau akan kemajuansains dan teknologi buah karya natural scientist. Natural scientistsendiri tak silau dengan karyanya. Itulah sebabnya, paraahli fisika, kimia dan matematika adalah yang paling potentsialsebagai pengabdi Allah, sedang para ahli ekonomi, sosial,politik adalah yang paling potensial sebagai pemberontak terhadapAllah.Saya bersyukur pada Allah karena dilahirkan dengan kesempatanbesar untuk mempelajari alam fisika, matematika,biologi, yang obyek utamanya ciptaan Allah. Saya tak langsungberbicara dengan Dia, tapi saya telah berbicara langsung denganciptaan-Nya dan hukum-hukum-Nya yang jelas (sunatullah).10 April 1969Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 287


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Membaca-Merenung-MengamatiTerlalu banyak persentase waktu untuk membaca itu tidak baik.Kita hanya sekedar akan menjadi reservoir ilmu. <strong>Pemikiran</strong>otentik yang kita adakan maksimal hanya dalam kerangkakemungkinan-kemungkinan yang diberikan dalam suatu bukudan perbandingannya dengan buku sarjana-sarjana lain. Banyakmembaca harus diimbangi dengan banyak merenung danbanyak observasi langsung. Harus ada keseimbangan antaramembaca, merenung dan mengamati. Dengan demikianlah kitaakan mampu membentuk pendapat sendiri dan tidak sekedarmengikut pendapat orang atau memilih salah satu di antarapendapat yang berbeda-beda.24 April 1969Berpikir dalam Tataran NasionalMungkin keadaan HMI akhir-akhir ini akan membawa manfaatbesar bagi perkembangan pikiranku. Selama ini aku mencobaberpikir dalam tataran nasional dengan tubuh dan pergaulankuyang berada dalam ruang sempit yaitu ruang HMI. Dua bulanlagi setelah kepengurusanku di Badko selesai, insya’ Allah akutidak akan masuk dalam organisasi <strong>Islam</strong> manapun, aku akanmasuk dalam pergaulan yang tidak punya warna, di manamanusia menggumuli manusia lain sebagai pribadi dan bukansebagai golongan. Aku akan mencoba memandang manusia sebagaimanusia. Yang ada dalam diriku tidak lagi “stempel-stempel“<strong>Islam</strong>, tetapi nafas <strong>Islam</strong> yang sedikit banyak telah aku warisi dariHMI, tempat selama ini aku dididik dan mendidik diri.288 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Dua bulan lagi, Insya Allah akan kucoba berpikir dalamtataran nasional, dengan nafas <strong>Islam</strong>, dalam ruang yang berlingkupnasional pula. Semoga aku berhasil. Amien.14 Juni 1969Forum IlmiahSeminar, symposium, diskusi panel dan lain-lain, adalah forumilmiah. Salah satu syarat ilmiah ialah meninggalkan keinginan-keinginansubyektif dan menyerahkan seluruhnya berikuthasil-hasilnya pada obyektifitas. Setiap usaha pengarahan hasilseminar di luar matari-materi pembahasaan yang obyektif,seperti taktik-taktik persidangan, panitia perumus yang sudah“disangui”, berarti sudah tidak ilmiah lagi. Karena itu kalauHMI menyelenggarakan seminar apa saja, keinginan-keinginanobyektif itu harus ditinggalkan. Kalau dalam sesuatu seminaroleh HMI ternyata hasil-hasilnya berlawanan dengan sikapHMI, hal itu tidak apa-apa. Justeru disinilah semangat demokratiskita diuji. Di kandang sendiri tercetus ide-ide yanglain, yang lain dengan ide-ide HMI dan lain pula dengan ideidegolongan <strong>Islam</strong>. Nah, golongan <strong>Islam</strong> tentu marah-marahterhadap HMI. Justeru di sinilah momen aksi bagi HMI, untukmendewasakan kultur golongan islam.HMI semestinya menjadi pelopor, termasuk dalam bersikapilmiah.22 Juni 1969Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 289


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sumbangan <strong>Pemikiran</strong> Buat HimpunanMahasiswa <strong>Islam</strong>Kreatifitas dan PembaharuanSaya terlampau sering bicara soal kreatifitas. Kreatifitas lagidan kreatifitas lagi. Mengapa? Sebab kreatifitas adalah motorpengerak kebudayaan dan bagi organisasi dia merupakan suatuyang sangat essensial bila organisasi tersebut ingin menjadiangkatan sejarah. Bagi seorang manusia, kreatifitas merupakanhakekat lanjut dari hakekat eksistensinya yakni kemerdekaandalam rangka memecahkan problem-problem hidupnya dalampergulatan dengan situasinya. Kreatifitas hanya ada pada manusia,tidak ada pada hewan dan tidak pula pada mesin-mesinelektronis yang dibuat manusia. Creativity is the specificallyhuman element. Creative thought is what a machine cannot yetdo.Dalam pergulatan dengan tantangan-tantangan situasinya,sebuah organisasi atau seorang pencipta, bertugas menampilkanhal-hal yang belum ada dan sebisa mungkin selalu menghindariadanya campur tangan atau pengaruh kerja rutin. Dia selaluingin menemukan hal-hal yang baru, setidak-tidaknya barubagi dirinya sesuai dengan cita rasanya. Dalam mencapai tingkatankreatif ini, ada suatu bahaya yang perlu kita sadari yaitupenyakit “kreatifitas mekanis”, suatu istilah yang sebetulnyamengandung kontradiksi. Istilah itu berarti selalu aktif mencarisuatu yang baru tapi tidak asal baru, tanpa mempertimbangkanbenar atau salah, bermanfaat atau tidak. Karena itu nafsu untukkreatif saja tidak mencukupi tanpa di tunjang oleh kemampuanakademis yang memadai serta watak pengabdi yang agung.290 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sebagai taraf awal kita mesti mengobarkan semangat mencipta,emosi mencipta pada diri kita masing-masing sebagai individuataupun penggerak organisasi. Emosi mencipta ini akan membuatkita gelisah. Dan kegelisahan membuat kita bergerak. Kitatidak akan pernah puas dalam situasi kegelisahan ini, kegelisahanyang memang kita cari sendiri. Tentu saja dengan melakukanhal-hal di atas, kita akan dihadapkan pada kenyataanyang sudah ada dan hidup sebelumnya, yaitu pikiran-pikiranyang sudah hidup dan diterima umat atau masyarakat selamaini serta juga pikiran-pikiran yang sudah established dikalangangenerasi tua. Tantangan akan banyak kita hadapi dari merekayang menganut established thinking berupa caci-maki, sikap-sikapyang tidak menyenangkan, kehilangan simpati dan sebagainya.Tapi ini akan berjalan sementara, karena arus pembaharuantidak akan bisa dibendung. Pembaharuan-pembaharuandalam bidang pemikiran akan berlanjut terus selama duniamasih berkembang. Karena itu tinggal memilih apakah kita inimenjadi creative modernizer sebagai perintis yang berjalan didepan ataukah sekedar menjadi reactive modernizer yang menerimapembaruan karena sudah tidak bisa mengelak lagi dariseretan arus sejarah. Pernah mendengar istilah “creative minority”?Istilah itu menurut Toynbee menunjuk pada individu-individuyang berani tampil kedepan mengambil inisiatif dalamgerak kebudayaan, menjawab atau memberi response terhadaptantangan-tantangan zamannya. Baiknya saya kutip juga di sinikata-kata seorang sarjana, maaf saya lupa namanya, yang bunyinyakira-kira begini: “There was a deep, indeed and essentialdifference between the genius and the masses. And so the greatmind, creating for the future, was doomed in his own day to lo-Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 291


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —neliness and lack of appreciation. Genius is causally related toinsanity”:Agaknya ini telah merupakan hukum sosial. Generasi tuayang sudah berakar dalam masyarakat dan sering tokoh-tokohnyadimitoskan oleh massa, tentu instinktif tidak akan senangpada pikiran-pikiran baru dalam masyarakat. Karena itu kalaudalam praktek sehari-hari kita merasakan beberapa serangandari oknum generasi tua, itu bukanlah suara oknum, tapi suaragenerasi. Sebaliknya suara dari generasi muda yang memimpinide-ide kini, itupun bukanlah suara oknum melainkan suaragenerasinya.Kemampuan Akademis dan Tingkat KreatifitasAdalah suatu kenyataan bahwa kreatifitas yang bertolak darimoral atau emosi semata-mata tidak menyelesaikan persoalan.Usaha-usaha kearah kebaikan atau peningkatan kreatifitashanya bisa disukseskan dengan modal teori atau kemampuanakademis. Usaha peningkatan kreatifitas pasti timbul karenaadanya perkembangan baru atau tantangan baru yang lebihrumit. Kondisi yang lebih menantang ini tak akan dapat diatasibila kita tetap bersikap sebagai “pemain alam”. Padahal sikapsebagai “pemain alam” mengingkari daya reflektif manusia,membutakan diri terhadap kemampuan belajar dan merumuskandan semua ini tak akan banyak membantu memecahkanpersoalan-persoalan yang kian kompleks. Seorang sarjana menulis:“Apakah sesungguhnya yang terjadi ketika manusia untukpertama kalinya membuat perkakas dengan alat-alat tubuhnyayang ada? Dia tak mampu mengatasi tantangan alam? Tidak292 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —lain: suatu kegiatan reflektif yang membawa manusia denganteknologinya melepaskan diri dari jepitan alam sekelilingnya”.Jadi emosi kreatif itu memerlukan teknik untuk menyatakandirinya dengan baik. Dan teknik yang kita perlukan di siniadalah kemampuan akademis kita akan mampu berpikir proporsional,menempatkan suatu permasalahan menurut dudukperkara yang sebenarnya. Juga kita akan dibekali kemampuanmetodologis, sehingga kita akan memiliki sikap pendekatanyang tepat terhadap suatu masalah guna memperoleh pemecahanyang jitu. Seorang akademis memiliki kemampuan teoritis,sehingga selalu dengan cepat menyadari apa yang dirasakandan apa yang sesungguhnya terjadi di lingkungannya. Diaakan sanggup berpikir kritis obyektif dan mampu menggunakanprinsip-prinsip keilmuan dalam perjuangan. Kemampuanakademis akan membekali kita dengan adaptability yang tinggisehingga kita punya kans untuk terjun dalam kancah persoalanyang lebih berat, sedang emosi kreatif menolong memperbaikisikap mental kita dalam penghargaan terhadap sesuatu yangsegar atau “idea of progress”. Karena itu kalau kita renungkanpermutasi antara kemampuan akademis dan sikap hidup kreatif,akan diperoleh gambaran atau tingkatan-tingkatan sebagaiberikut: 1. bila kemampuan akademis rendah sedang sikapkreatif juga rendah maka tingkat kreatifitas yang dihasilkanialah “poor creativity”; 2. bila kemampuan akademis tinggisedang sikap hidup kreatif rendah maka tingkat kreativitasyang dihasilkan ialah “guided creativity”; 3. bila kemampuanakademis rendah sedang sikap hidup kreatif tinggi maka yangdihasilkan ialah “underdeveloped creativity”; 4. bila kemampuanDari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 293


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —akademis tinggi sedang sikap hidup kreatif juga tinggi makayang dihasilkan ialah “developed creativity”; .Tingkat kreatifitas yang terakhir di atas itulah yang harusmenjadi cita-cita kita semua dalam rangka membina diri menjadiinsan akademis dan pencipta. Emosi kreatif akan membuatkita memiliki daya ekspresif dan intuitif, sedang kemampuanakademis akan memberi kita bekal-bekal intelektualitas. Tugaskita ialah menjaga agar daya ekspresif dan intuitif tetap dalampengakuan intelektualitas serta menjaga kemampuan intelektualitasagar tidak kehilangan daya ekspresif dan intuitif.Idealisme PengabdianTentu saja kemampuan akademis dan sikap hidup kreatif sajatidak cukup. Keduanya hanya menghasilkan kemampuan kreatif.Untuk apa kemampuan kreatif itu kita manifestasikankalau bukan untuk sesama manusia? Untuk ini kita perlumenghidupkan idealisme dalam diri kita yaitu watak pengabdi(dedikatif) yang dengan iklas berkreasi untuk kepentinganbersama, organisasi ataupun masyarakat. Sudah barang tentukeikhlasan mengabdi yang diperlukan di sini adalah keikhlasanyang aktif dan bertanggungjawab, bukan keikhlasan pasif atau“keiklasan keledai”. Idealisme dalam pengabdian pada sesamamanusia bukanlah hal yang pelik dan bukan pula privileseorang-orang berbakat istimewa. Dengan memperhatikan nasibsesama, tiap-tiap kita bisa jadi idealis tadi. Ikatan nasib denganorang banyak merupakan permulaan lagi altruisme. Karena kitapunya idealisme untuk memberikan manfaat pada masyarakat,kita harus selalu berusaha untuk bersimpati, ikut merasakan294 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —keadaan orang lain dan menyelami kehendak-kehendaknya.Sikap simpati adalah sikap yang inherent pada seseorang yangbernama insan pengabdi.Sebagai mahasiswa yang telah memperoleh bekal-bekal kemampuanakademis, maka dalam rangka pengabdian ini kitaterpanggil untuk mendewasakan masyarakat yang masih dipenuhidengan penyakit-penyakit mental yang sangat kronis.Kehidupan mahasiswa yang ideal perlu kita ciptakan sekaliguspunya efek positif dalam mendidik masyarakat berpikir realistisdan mengungkapkannya secara tepat. Misalnya dalam zamanyang penuh slogan ini kita sebagai kelompok yang berkesempatanmempelajari logika, seharusnya sudah bisa meninggalkansillogisme-sillogisme palsu dan mengganti dengan pendekatanslogan yang masuk akal dan realistis. Dengan demikian kitapelan-pelan melepaskan umat <strong>Islam</strong> dari kegandrungan slogandan membawa mereka melihat persoalan lebih tepat. Ini salahsatu contoh saja di sisi contoh-contoh lain.<strong>Islam</strong> Sebagai NafasDengan memiliki tiga kualitas diatas (kemampuan akademis,sikap hidup kreatif, watak pengabdi) sebenarnya sudah cukupuntuk bekal menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggungjawab.Semua kualitas tadi pun merupakan kualitas yangdisuruh tegakkan oleh ajaran <strong>Islam</strong>. Justeru karena itu kitaingin agar kualitas-kualitas di atas memiliki landasan moralyang tinggi, bukan hanya pragmatis tapi juga memiliki nilainilaifilosofis metafisis. Eksplisitasi suatu kualitas lagi yaitu“bernafaskan <strong>Islam</strong>” karena sangat perlu.Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 295


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kualitas ‘’bernafaskan <strong>Islam</strong>” menunjukan bahwa <strong>Islam</strong>telah merupakan suatu ide yang mengrohani dalam diri kita,mempedomani dan menjiwai setiap gerak laku. Pemahaman <strong>Islam</strong>secara material karena itu merupakan kemutlakan, dalamrangka menegakkan nilai-nilai yang berkandung di dalamnya.Memburu ide-ide yang terkandung di belakang nas-nas Qur’andan sunnah sangat perlu. Transformasi ajaran <strong>Islam</strong> semasa lahirnya14 abad yang lalu kepada realitas kehidupan kini merupakankonsekuensi langsung dari predikat “bernafaskan <strong>Islam</strong>”.Transformasi ini menuntut dari kita pembaharuan-pembaharuandalam pemikiran <strong>Islam</strong> yang membeku sekarang ini, agar denganajaran <strong>Islam</strong> kita bisa hadir dan berbicara di setiap arena.Agaknya kita beralasan untuk bersedih hati karena di zamanini telah terjadi penurunan daya kontrol ataupun daya bimbingdari agama <strong>Islam</strong>. Konsepsi-konsepsi yang katanya “bertolakdari ajaran <strong>Islam</strong>” tak mampu menjawab tantangan dunia moderen.Buku-buku dan ceramah-ceramah <strong>Islam</strong> sekarang ini kehilangandaya tarik untuk mengarahkan pikiran manusia. Karenaitu pembaharuan mulai dari segi yang paling dasar dalampemahaman ajaran <strong>Islam</strong> merupakan imperatif. Dalam realitaskehidupan kini, <strong>Islam</strong> baru ada dalam lambang-lambang, predikat-predikat,slogan-slogan dan upacara-upacara ritual. NamaAllah yang maha agung diperebutkan dalam spanduk-spandukdan sama sekali tak mampu hadir dalam hati dan karenanyatelah mengurangi penghargaan akan nilai keramat dari asma-Nya. Apakah kita yang sering menamakan diri sebagai “selectedfew” akan ikut terbenam dalam lumpur stagnasi ini dan terusmenerus takut untuk menggerakan suatu pembaharuan ide?Agaknya inilah kekurangan kita selama ini dengan alasan yang296 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bertingkat lebih bawah ”menjaga integrasi umat”. Sangatlah bersyukurbahwa rupanya sidang Pleno Badko HMI Jawa Tengahpada pertengahan April 1969 yang lalu agaknya lebih mempunyaipandangan yang bersih, dengan kesimpulan: Masalahutama umat <strong>Islam</strong> bukanlah desintegrasi, tapi kebodohan yangsudah begitu lama mencekam, baik kebodohan dalam bentuksikap mental maupun kebodohan dalam intelektualitas.Insan Cita HMIInsan cita HMI adalah mereka yang berkemampuan akademis,bersikap hidup kreatif, berwatak pengabdi dan bernafaskan<strong>Islam</strong>. Kemampuan akademis dan emosi kreatif yang dimiliki“insan cita” ini akan melahirkan scientific creativity atau developedcreativity. Di lain pihak dapatlah kita sebut bahwa seoranginsan akademis tanpa kreasi adalah seorang sarjana tukang ataupekerja rutin. Seorang akademis melulu atau seorang sarjanatukang tidak akan kecewa meskipun dirinya tidak lagi bergerakmemecahkan persoalan kehidupan masyarakat yang terustimbul. Seorang akademis kreatif tidak akan berhenti dengansebuah skripsi, tapi melanjutkannya dengan senjata metodologiyang diperolehnya. Dipadu dengan watak pengabdiannya makasebagai muslim dia akan merupakan intelektual-intelektualkepada siapa harapan dari umat yang sedang beku dan bangsayang sedang menderita ini tertumpah. Terdorong oleh watakpengabdiannya yang menimbulkan rasa tanggungjawab, diaingin menularkan perasaan dan pikirannya yang dianggap“segar” kepada orang lain agar ide-ide itu tersempurnakan danmenjadi kenyataan: Dia telah bertindak sebagai cendekiawan.Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 297


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Jadi dalam kreatifitas dan dedikasi seorang insan akademis telahbertindak sebagai cendekiawan. Akademis berulah merupakanstatus sedang kecendekiawanan telah merupakan fungsi.Dalam paduan kemampuan akademis dan fungsi kecendekiawananini insan cita HMI akan merupakan manusia radikaldalam ide, rasional dalam pencapaian. Meskipun demikianperlu ada perhatian terhadap penyakit-penyakit yang potensialtimbul pada seorang intelektual atau calon intelektual, dan telahmenjadi riil pada beberapa orang dari angkatan muda kita. Pertama,asal lempar ide karena bangga bila pendapatnya banyakditentang orang. Kedua, selalu mengadakan identifikasi denganintelektual-intelektual kenamaan.Perhatikanlah kecenderungan yang kurang disadari. Asalberbeda dengan pendapat umat dan sejajar dengan arief Budiman,Goenawan Mohamad, Soe Hok Gie atau Dick Hartoko,maka itulah yang bernama benar atau moderen. Kecenderunganbawah sadar model ini harus dilenyapkan.Syarat-syarat HMI Sebagai Organisasi Kader1. Mendidik anggota yang sadar bukan penurut. Sungguh sayangbahwa perkaderan di HMI sekarang ini masih cenderung untukmenghasilkan manusia-manusia yang tidak berkepribadian dankebanyakan kurang sadar akan apa yang sesungguhnya menjadiarah dari gerak organisasi. Anggota-anggota tidak lagi merupakan“imformed public” dan pemimpin-pemimpin bergembirakarena dia menjadi pemimpin dari manusia-manusia mati. Merekatakut menjadi pemimpin dari manusia-manusia hidup.298 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —2. Mengutamakan kejernihan rasio daripada kehangatan agitasidan demagogi, yang karenanya tak akan bersifat isolatif danmembuka diri bagi dialog dengan segala ide. Sungguh sayangbahwa sampai kini bahasa slogan dan eksploitasi sentimen-sentimenmassa masih sering dipakai di kalangan pimpinan HMI.Sama sekali tidak terasa adanya kehidupan kebudayaan dalamHMI yang akan selalu merangsang kita untuk bergerak mencapaikemajuan dalam pembaharuan dan pematangan ide-ide.Kekosongan kehidupan batin ini mungkin karena aktifis-aktifisnyaterlalu HMI-centered, menganggap Himpunan sebagainucleus kehidupan dan bukan sebagai bagian. Anggapan sepertiini telah kurang “memberi waktu” untuk mengadakan “pertemuandengan masalah-masalah luar. Kurangnya dialog denganperkembangan-perkembangan politik yang prinsipal, denganperkembangan sastra dunia, pergolakan-pergolakan mahasiswadinegara lain dsb., membuat HMI menempatkan masalah dirinyadi atas masalah-masalah lain.3. Pimpinannya secara periodik terus bergantian.4. Anggota-anggota mendapat saluran untuk meningkatkandiri bahkan “distimulir (dipaksa)” untuk meningkatkan diri.5. Tidak mengutamakan besarnya jumlah anggota, melainkantingginya kualitas anggota.6. Daya kreasi dan semanggat kritis anggota dihormati dankemerdekaan jiwa dirangsang. Organisasi moderen merangsangsikap kreatif anggotanya, sedang organisasi tradisional menekankanpartisipasi pasif para anggotanya. Untuk membangkitkansikap kreatif maka suasana merdeka harus dijaga danjiwa bebas ditumbuhkan. Membunuh kreatifitas anggota berartibahwa organisasi telah mulai membunuh dirinya sendi-Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 299


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ri. Memupuk kreatifitas anggota berarti mempersubur hidupnyaorganisasi. Seorang eseis Harjadi S. Hartowardojo berkata:“Kreatifitas adalah pernyataan keluar hakekat kodratnya sebagaimanusia, baik sebagai manusia individual maupun sebagai anggotamasyarakat individual”. Kemerdekaan adalah syarat mutlakbagi hadirnya dan mampu berkembangnya sikap kreatif. Tidakada kreatifitas yang bisa bertahan terhadap ujian keaslian dankeunikannya sebagai hasil daya cipta, jika tidak dilandasi olehperasaan bebas dari segala macam tekanan. Kemerdekaan adalahsesuatu yang inherent dengan hakekat manusia sendiri baiksebagai individu maupun kelompok.7. Dihidupkan kompetisi di antara anggota. Adanya kompetisidi samping koperasi di dalam organisasi mempunyai artibahwa tiap-tiap fungsionaris atau bagian diberi kesempatan untukmencapai karier atau prestasi yang setinggi mungkin. Inimerupakan faktor penggerak dalam organisasi dengan demikianmenyesuaikan dengan naluri-naluri asli yang ada dalam dirimanusia. Asal saja dalam berkompetisi tak ditinggalksn samasekali faktor koperasinya, mengusahakan dengan cara-cara yangjujur, meletakan suatu target di mukannya sesuai dengan kemungkinankemampuannya saat itu, maka kompetisi yang beginisangat konstruktif. Maka hapuslah iklim seolah-olah kalauseseorang memburu suatu karier lebih tinggi adalah jelek, tidakikhlas, ada interest dan sebagainya. Ikhlas dan tidaknya seseorangtidak bisa diketahui oleh orang lain, karena itu persoalanhati. Tapi semua yang terjadi dalam Himpunan ini, memangmenunjukkan betapa kita belum mampu berorganisasi secaramoderen, secara zakelijk, dan semuanya telah mengakibatkanbertebaranya selimut-selimut kemunafikan. Karena itu perlu di-300 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sadari bahwa menghidupkan kompetisi dalam organisasi berartimenimbulkan vitalitas dan dinamika dalam kehidupan danrasa tanggung jawab dalam diri masing-masing sebagai manusiaperjuangan.8. Membangkitkan semangat percaya pada diri sendiri danmembunuh setiap bentuk pembeoan.9. Penghormatan terhadap “nilai-nilai”, right to dissent, dutyto answer dan penggikisan prinsip-prinsip “identification with thewhole”: Dalam sebuah organisasi kader, tidak ada keharusanbahwa keputusan atau sikap organisasi harus juga menjadi sikappribadi tiap-tiap anggota, dalam statusnya sebagai individu.Hal ini terkecuali kalau pribadi itu berbicara dalam status sebagaiwakil organisasi. Dalam arena dimana dia berada sebagaiindividu biasa yang telanjang, maka suatu kebolehan (malahankeharusan) baginya untuk menjaga integrits pribadinnya: danorang lain harus memandangnya sebagai kemutlakan pribadipula. Kecenderungan-kecenderungan organisasi-organisasi kitaselama ini ialah suatu gerakan untuk mempermak manusia dalamsatu mode, dalam suatu skema dan kategori. Mereka tidaktahu manusia itu individual. Ini membunuh kemanusiaan kita.Dalam organisasi kader, hal seperti ini tidak boleh terjadi. Rightto dissent mesti dihormati. Karena itu keputusan bersama samadengan mufakat itu tidak perlu. Sistem voting adalah sistemyang lebih demokratis dan berkemanusiaan.10. Pengurus selalu mengikuti kemajuan yang diperoleh tiaptiapanggota. Karena itu bagi HMI merupakan suatu keharusanuntuk secara periodik bisa menilai kemajuan tiap anggota, dalamperkembangan: kemampuan akademisnya, sikap kreatifnya,moral pengabdiannya dan nafas <strong>Islam</strong>nya. Agaknya, perintisanDari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 301


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bagi permusuhan suatu cara “educational evaluation and measurement”dalam perkaderan kita harus segera dimulai.11. Anggota-anggotanya ialah mereka yang masih punya potensiuntuk mengembangkan diri.12. Struktur organisasi dan mekanismenya diatur sesuai dengantujuan dari proses perkaderannya. Yang kita lihat kini ialahstruktur organisasi dari Himpunan (struktur pimpinan denganjob classification-nya) sama sekali belum menunjang lancarnyaproses pencapaian tujuan. Yang dihasilkan HMI hanyalahkesibukan-kesibukan dan pemborosan tenaga dan gagallahHMI menjadi generator kemajuan. Struktur yang ada sekarangsangat tidak tepat bagi sebuah organisasi kader.13. Selalu mengadakan eksperimen-eksperimen bagi pengembanganpikiran-pikiran baru. Sayang sekali dalam tingkat sekarangini syarat ke 13 di atas belum terlaksana, malahan masihterasa hambatan-hambatan mental untuk merealisirnya. Mental“status oriented” yang masih hidup di HMI (pimpinan-pimpinannya)mengakibatkan setiap usaha pembinaan pikiran-pikiranbaru dinilai sebagai usaha merongrong kedudukan, mengejarposisi dan popularitas nama. Mereka belum bisa menilai sesuatu“achievement motive”, murni sebagaiamana adanya, dalamrangka peningkatan karya-karya positif. Masalah posisi akhirakhirini kelihatan menjadi masalah sensitif dalam rangka menilaipikiran-pikiran lain. Mereka menilai posisi sebagai posisidan tidak bisa menilai posisi sebagai batu penyangga yangbisa perlu dan tidak perlu dalam rangka mencapai tujuan yaknipencapaian yang lebih tinggi.14. Sesuai dengan fungsinya yaitu pengembangan individu,maka anggotanya merupakan suatu flux (constant flow) dan302 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —karenanya tidak permanen. Demikianlah beberapa syarat organisasikader yang harus kita penuhi kalau kita memang inginkonsekuen bernama organisasi kader. Alangkah jauhnya idedengan realita. Tapi mudah-mudahan saja ide yang masih jauhini justeru membangkitkan semangat dalam diri. Kans untukmaju masih banyak.17 Juli 1969Ikatan Pers Mahasiswa IndonesiaSudah Independen?Dalam sebuah organisasi independent, yang betul-betul murniindependent, dari iktikadnya sudah berniat independent, makadia tidak hanya mengambil langkah-langkah independent, tapijuga keterbukaan dirinya bagi semua orang dan ide. Tidakada sedikitpun yang perlu dirahasiakan dalam dirinya. Semuabagian daripadanya harus terbuka, termasuk bagi orang yangtidak independent. Karena itu kecurigaan akan pihak luar tidakboleh ada, kalau kecurigaan ini disebabkan karena kuatir “apa”yang dalam dirinya terlihat semua. Dia malahan akan sangatberbahagia bila ada orang “jahat” tidak independent, dan lainlainingin mengetahui keadaan dirinya. Independent itu bukanhanya sikap politik dan sikap mental, tapi juga iktikad baik dankepercayaan akan sesama manusia.Karena itu dua kali peristiwa tidak enak yang saya alamidi IPMI, menunjukkan IPMI belum berhasil betul menjadikandirinya organisasi independent. Saya ingat: 1. penjelasan-penjelasanNono di balai Wartawan pada pertemuan Pusat-Cabang:Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 303


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —2. peristiwa penolakan Rizani dan Sjaichu dengan alasan “securitypanitia” dan “kegelapan identitas”.Aku tidak tahu apakah impianku tentang organisasi independentini terlalu utopis. Tapi kukira memang begitulah seharusnya.24 Juli 1969Dari kongres IPMI di KaliurangArena Kongres IPMI di Kaliurang ini terasa bagiku sepertipenjara. Pikiran-pikiran dalam kepalaku melonjak-lonjak inginkeluar, tapi tidak menemukan peluang. Aku ingin berbicarasendiri. Adalah tidak baik menjadikan orang lain sebagai terompet.Tapi bagaimana? Walaupun kadang-kadang peluangberbicara diberikan, semangat berbicara tertutup oleh ketakutanakan teror di hati sendiri: “tidak mewakili kelompok”.Sementara itu aku merasa rindu yang mendalam untuk segerakembali ke Yogya.30 Juli 1969Djohan – Dawam – TawangOrang seperti Djohan, Dawam, Tawang sudah tidak masanyalagi duduk di tingkat Badko. Duduknya mereka di sana sangatpontensial untuk membuat mereka merasa super di HMI,walaupun obyektif mereka memang memiliki superioritas terhadaplingkungannya. Bila yang potensial ini menjadi riil, maka304 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —jiwa mereka akan rusak semasa masih muda. Karena itu lebihbaki mereka, dan saya juga, mencari lingkungan lain yang masihbaru, di mana kita dapat lebih banyak meneguk ilmu dankecakapan daripada “ndulang” orang lain. Ilmu dan kecakapankita harus terus meningkat, mumpung masih muda.Saya kira kami memang sudah harus meninggalkan lingkunganyang dirasa tak memberikan rangsangan untuk kemajuanpribadi.7 Agustus 1969Ilmu dan IdeKita harus membedakan antara ilmu dan idea. Ilmu itu membicarakandas Sein. Idea itu bicara tentang das Sollen. Ilmu itumenganalisa kenyataan-kenyataan yang ada dan mungkin terusmemproyektirnya ke depan berupa kemungkinan-kemungkinanyang bakal terjadi sebagai kenyataan. Sebaiknya idea sekedarmemakai kenyataan sebagai titik tolak dan perhatiannya lebihbanyak tertuju ke depan tentang apa yang seharusnya dikerjakandan apa yang seharusnya ada sebagai kenyataan. Ilmuhanya bicara tentang benar atau salah dalam artian berdasarfakta atau tidak, obyektif atau subyektif. Dia tidak bicaratentang baik atau buruk, bermanfaat atau tidak, untung ataurugi. Tentu saja kita tak boleh melupakan permainan bersamaantara keduanya.Ilmu itu menolong ide dalam dua hal: 1. menetapkan ideayang non fiktif dan merumuskannya secara tepat: 2. Menentukanlangkah-langkah pencapaian idea bertolak dari realita se-Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 305


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —suai dengan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia dalamkondisi.Ilmu pengetahuan itu adalah formulasi kenyataan kemungkinan-kemungkinanyang akan datang. Dari pengertian tentangilmu-ilmu ini agaknya kita bisa menerima dengan tenang biladikatakan oleh ilmu pengetahuan bahwa dalam problem politikdi Indonesia (misalnya masalah kepartaian) turut juga berperanfaktor-faktor sukubangsa, warna kulit, tingkat hidup dan lainlain.Kita boleh suka atau tidak suka terhadap kenyataan ini,tapi ilmu pengetahuan tak peduli apakah kita suka atau tidakpada kenyataan yang ada. Atas dasar perbedaan ilmu dan inilahsaya tidak bisa menerima kritik Arief Budiman terhadapRosihan Anwar tentang masalah “double minority”. Rosihanbertolak dari sosiologi sebagai ilmu dan melihat permasalahansecara umum. Arief Budiman bertolak dari filsafat hidupnyayaitu eksistensialisme sebagai idea dan melihat secara individual.Seharusnya dalam membahas: titik tolak hendaknya sama.26 Januari 1970Sikap IlmiahUntuk bersikap strict ilmiah, memegang prinsip-prinsipnya,maka kita harus berwatak. Orang yang bersikap ilmiah strictly,memegang prinsip-prinsip, metode-metode, kriteria-kriterianyatanpa pandang bulu dan dia tak akan mudah terjerumus atauterjebak oleh godaan perasaan. Dan saya kira di sinilah kelemahanNurcholish. Dia kurang berwatak dan tidak menguasai306 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —metodologi. Mudah-mudahan saya keliru atau Nurcholish akanberubah cepat.29 Januari 1970Prinsip-prinsip KeilmuanBila prinsip-prinsip keilmuan tidak kita hayati dan jiwai, makamungkin sekali prinsip-prinsip itu hanya mampu kita praktekkandalam situasi yang tenang dan leluasa; tapi kita tak mampulagi sewaktu kita berada dalam situasi tegang dan mendesakpada saat rangsangan emosi, harga diri dan rasa tersinggungmengambil tempat. Beberapa kali kita menyaksikan betapaorang-orang yang dalam situasi tenang bisa memahami denganbaik prinsip-prinsip keilmuan dalam bersikap, dan bahkan telahmengeritik orang lain yang tidak atau kurang ilmiah, dalamkeadaan tersinggung, dipagut emosi, prinsip keilmuan telahditinggalkannya.Bagaimana kita bisa mengurangi semaksimal mungkin efeknegatif dari situasi emosional?5 Februari 1970Perpindahan PendekatanKadang-kadang secara tidak sadar seseorang telah pindah daricara meninjau yang satu ke cara meninjau yang lain. Karenatidak disadari maka kepindahan ini dilakukan tanpa memberi“sign” lebih dulu. Maka terdapatlah kemudian suatu “logika”Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 307


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang campur aduk dan tidak akan pernah bertemu dalamdialog, karena pindahan disiplin dari yuridis ke psikologis, laluke politis dan sosiologis dan mungkin kembali lagi ke yuridis.Kita sebagai insan akademis, dalam suatu diskusi atau dialogharus dengan cepat menangkap adanya perpindahan approachini dan menggutarakannya secara terus terang dan kemudianmengembalikan pada approach yang harus lebih dominan agarperdebatan tidak bertele-tele. Tapi alangkah kasihan orang yangtidak segera sadar akan adanya pergeseran approach ini.Dan diskusi tidak berguna lagi.9 Februari 1970Persoalan Pergurauan Tinggidan KemahasiswaanAkhir-akhir ini, sehubungan dengan intensitas peranannya dibidang politik, mahasiswa Indonesia dihadapkan pada problemyang mengandung dua pilihan yang tidak enak, yaitu “professionalism”ataukah “activism”. Penganutan terhadap yang pertamaakan melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang terlibat sematamatadalam persoalan intra kurikuler seperti kuliah, praktikumatau riset dan apatis sama sekali terhadap persoalan masyarakatnya(curent problem) yang minta uluran tangan mahasiswa.Type “student in the campus” ini akan lain sekali dengan typekedua yaitu mahasiswa-mahasiswa yang menempatkan peranansosial politik status kemahasiswaannya sebagai juga bagianyang penting. Mereka melibatkan diri dalam masalah-masalahstrategi politik, baik strategi permainan power ataupun strategi308 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —moderenisasi (kultural). Kehadirannya yang tidak penuh diruang-ruang kampus lebih membenarkan sebutan pada merekasebagai “student in the political forum”. Nah, gambaranpemimpin-pemimpin mahasiswa dalam empat tahun terakhirini demikianlah. Usaha-usaha di Jakarta dan Bandung untukmensentralisir gerakan mahasiswa dalam dan dari kampus belumbanyak berhasil. Tanpa melupakan interdependensi antarasituasi umum mentalitas mahasiswa Indonesia di satu pihakdengan kondisi perguruan tinggi di pihak lain, merupakankenyataan bahwa para mahasiswa selalu didera hatinya olehpersoalan masyarakat sementara mereka merasa tidak cukupdan kurang puas dengan respons dan ide-ide yang berasal darialmamternya. Ide-ide segar dan sikap kepeloporan merekatemukan justeru di luar perguruan tinggi seperti ruang-ruangdiskusi, cendekiawan partai, invisible leaders, aksi-aksi pemudamahasiswaekstra, kelompok seni kreatif, dan lain-lain.Apakah yang menjadi sebab dari problem ini? Menurutsaya ada tiga sebab yang interdependent yaitu 1. perguruantinggi di Indonesia belum fungsional; 2. belum matangnyajiwa independent di kalangan mahasiswa Indonesia; 3. jurangjurangkultural yang masih banyak terdapat dalam masyarakatIndonesia.Wajah lain dari problem profesionalism-activism sebagaiakibat tiga hal di ats ialah adanya krisis wadah kemahasiswaanbaik tingkat kelompok, tingkat universitas dan terutama tingkatnasional. Terlihatlah bahwa dunia kemahasiswaan di Indonesiabelum menemukan bentuk yang wajar dan ini mendorong kitauntuk memahami secara mendalam ketiga sebab tadi.Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 309


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pertama harus diakui bahwa universitas-universitas di Indonesiapada kenyataannya belum otonom, yang disebabkanoleh faktor obyektif dan subyektif. Faktor-faktor obyektif menunjukkanbahwa dari segi teknis dan perencanaan dia masihbanyak harus berkonsultasi dengan pemerintah, sedang darisegi administratif agaknya peran pemerintah sangat menentukan.Dua masalah ini rupanya bisa dicari sebabnya pada ketergantunganyang hampir sepenuhnya pada pemerintah di bidangpembiayaan. Di Indonesia belum ada tradisi di mana yayasan-yayasanswasta yang kaya atau individu milyuner dengansenang memberikan bantuan besar pada universitas, terutamauniversitas negeri. Bantuan-bantuan swasta yang notabene sangatkecil disalurkan hanya pada universitas-universitas swastayang “sefaham”. Dropping biaya yang sangat minimum, baikdari pemerintah maupun dari swasta, menyebabkan universitasoperasional kurang berjalan sebagaimana dituntut oleh fungsinya.Pendidikan berjalan dengan fasilitas yang sangat sederhana;kegiatan riset tidak ada atau macet, dan beberapa universitasswasta telah lebih merupakan arena perkaderan dari suatugolongan politik yang membantu pembiayaannya.Sementara itu kebebasan mimbar masih merupakan impian,masalah-masalah tertentu “tabu” untuk didiskusikan danpenghayatan akan fungsi universitas lemah sekali. Dosen-dosenkomunis dipecat dan dosen-dosen yang melawan politik pemerintahterpaksa dibatasi kegiatannya. Itulah beberapa faktorsubyektif yang menjadi biang keladi kenapa perguruan tinggitak fungsional. Sebagian lain adalah faktor “paternalistik” penguasaserta kecenderungan mengundang intervensi penguasayang tentu saja menyebabkan perguruan tinggi lambat sekali310 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dewasa. Kelemahan lain ialah belum adanya research mindednessdalam dunia perguruan tinggi, padahal riset merupakanhal yang vital dan mutlak.Apakah yang terjadi dengan semua faktor-faktor di atas?Pertama, universitas bukannya mempengaruhi dan memberiterang pada masyarakat lingkungannya, melainkan sebaliknyayaitu masyarakatlah yang lebih banyak memberikan pengaruhpada universitas. Kehidupan di perguruan tinggi masihmerupakan refleksi kehidupan masyarakat. Perguruan tinggisebagai cultuur centrum masih tetap impian.Kedua, universitas-universitas praktis tidak pernah melakukanbasic research dan penghargaan terhadap pure sciences masihsangat rendah. Karenanya bangsa Indonesia hanya mampumenjadi reseptor teknologi Barat dan maksimal sekedar pengotak-atikdengan variasi-variasi kecil di sana-sini. Suatu bangsatak akan pernah menjadi penyumbang yang berarti dalam peningkatandunia teknologi selama pure sciences belum memperolehperhatian yang cukup.Ketiga, prestasi ilmiah yang dicapai mahasiswa sangat rendahdan status kesarjanaan sama sekali tidak merupakan jaminanbahwa seorang telah menguasai dasar-dasar ilmunyadengan baik dan mampu menghadapi problem-problem di bidangnya.Skripsi-skripsi kesarjanaan lebih banyak merupakan“laporan praktikum” atau pemaparan gejala-gejala permukaandaripada mengungkapkan hubungan-hubungan pokok yg mendasarinya.Masih sangat jauh kalau daripadanya kita mengharapkanadanya tesis-tesis yg tajam dan berarti.Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 311


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Keempat, kecintaan terhadap profesi atau bidangnya padadosen dan mahasiswa sukar sekali dibina dan tidak heran bilakarenanya kreasi-kreasi baru jarang timbul. Dalam kondisi dimana seseorang masih harus berfikir tentang banyak masalah,sukar sekali dibina kegairahan yang meluap-luap untuk menguasaiatau memperkembangkan bidang pilihannya. Renungan-renunganmendalam atau eksperimen-eksperimen untukmemeriksa atau mentest “permainan” antara ide dan obyek belumbanyak terjadi.Setelah melihat kenyataan-kenyataan dan sebab-sebab yangmendasarinya, dari manakah perguruan tinggi di Indonesiaharus memulai perbaikannya? Saya kira kita memerlukan universityreform. Dekatnya Indonesia pada sistem Continental kiranyaperlu di tinjau kembali dan dipikirkan kemungkinan-kemungkinanuntuk mengadoptir kebaikan-kebaikan dari sistemAglo-Saxon dan mengolah semuanya sesuai dengan kebutuhanjangka pendek dan jangka panjang yang ada di Indonesia.Bagaimana dunia mahasiswa Indonesia?Saya melihat telah terjadi krisis identitas, sehingga merekatidak dapat menampilkan kepribadian tersendiri yang tangguhdi tengah-tengah kemelut tanah airnya. Jiwa merdeka jauh darimereka sehingga banyak organisasi-organisasi mahasiswa danpersonil-personil mahasiswa sejak awalnya telah terbelit dalamjaringan partai politik, militer atau kekuasaan yang sedang memerintah.Kehidupan mahasiswa kemudian menjadi obyek ataudaerah operasi yang tidak sehat dari kekuatan-kekuatan di luarnyadengan memakai tangan-tangan yang di dalam. Kalau dikalangan pimpinan universitas sering ada campur tangan luar312 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dalam penentuan jabatan rektor, maka di kalangan mahasiswamasalah Dewan Mahasiswa selalu merupakan ajang pertentanganaliran-aliran politik. Militerpun dengan terencana mulaimengorganisir jaringan politiknya di kalangan mahasiswa dengansistem Walawa (wajib latih mahasiswa) dan pengankataninforman-informan di kalangan mahasiswa.Dengan msyarakat hubungan mahasiswa juga belum adasaling pengertian. Di situ segi kita melihat adanya harapanyang berlebih-lebihan dari masyarakat; seolah-olah mahasiswaadalah malaikat yang mampu membereskan segala-galanya.Pandangan yang tidak realistis ini sering kemudian menimbulkaneffek yang sebaliknya yaitu kekecewaan masyarakat.Sebagian orang mengajukan tuntutan pada mahasiswa seolah-olahkelompok mahasiswa itu kelompok team ahli denganaparat-aparatnya yang terorganisir rapi. Memang patut diakuiadanya organisasi-organisasi mahasiswa besar yang mencobamengatur dirinya dengan rapi sesuai dengan hukum-hukumadministrasi. Saya kira, tanpa hendak melupakan kebaikannya,pengrapian organisasi semacam itu akan menyita waktu yangcukup banyak dan akan menenggelamkan si mahasiswa dalamkehidupan rutin yang jelas bukan merupakan tujuannya. Yangkita saksikan dalam kehidupan organisasi-organisasi mahasiswayang besar ialah suatu “machinery of bureaucracy” dan bukannyasuatu “student live” yaitu berdiskusi, mengadakan aksi-aksiprotes, berpacaran, rekreasi, mendaki gunung, olahraga danlain-lain. Machinery of bureaucracy telah membawa organisasiorganisasimahasiswa yang besar pada kebekuan dan kehilangankepekaan terhadap perubahan keadaan. Tradisi kepeloporansukar timbul pada mereka yang sibuk menikmati kebesaran tu-Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 313


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —buh dan menghambakan diri pada hukum administrasi. Masalah-masalahseperti di atas akan menolong kita dalam memahamikrisis yang sering menimpa wadah-wadah kemahasiswaanpada tingkat lokal, universitas ataupun nasional. Restructuringdalam dunia mahasiswa Indonesia saya kira perlu di pikirkankemungkinan dan pelaksanaannya bila mana mahasiswa Indonesiamengiginkan suatu student government yang lebih maju,yang berwibawa dan ingin memberi contoh tentang pendewasaansuatu civic system pada masyarakat Indonesia. Saya kirakita perlu student government yang memenuhi syarat-syarat:1. kemampuan untuk mengorganisir proyek-proyek kerja yangmenunjang kemajuan universitas dan kesejahteraan mahasiswa;2. kemampuan untuk memberikan dasar-dasar yang kokoh bagiperkembangan student government itu sendiri; 3. kemampuanuntuk menyalurkan pikiran-pikiran mahasiswa dan mempartisipasikanseluruh mahasiswa dalam kegiatan-kegiatannya; 4.kemampuan untuk menghisap unsur-unsur dinamik di kalanganmahasiswa. Kemampuan kita untuk menyusun suatu studentgovernment yang memenuhi syarat-syarat di atas akan mempunyaieffek balik yaitu menciptakan iklim yang merangsanghidupnya jiwa independent dan tradisi keploporan di kalanganmahasiswa.Kenyataan adanya awan mendung dalam dunia perguruantinggi dan kemahasiswaan di Indonesia, bagaimanapun jugatidak dapat dilepaskan dari pada kondisi substratum di manadia berada yaitu jurang-jurang kultural dalam masyarakat Indonesia,yakni:a. jurang a priorissme, yaitu ekspresi dari jiwa tertutup yangenggan untuk memikirkan dengan tenang pikiran-pikiran dari314 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pihak lain dan menerima kebenaran-kebenaran yang dikandungnya.Sikap ini dalam derajat yang berbeda telah menghinggapisemua golongan, termasuk kaum intelektual yangberpolitikb. jurang netopisme, yaitu kesenangan untuk merekrut familiatau kawan sendiri dalam pengisian jabatan-jabatan. Zakelijkheiddalam tata organisasi moderen sukar dibina, dan penyelewengan-penyelewengankekuasaan yang ada untuk pribadi ataugolongan menjadi sangat mudah.c. jurang feodalisme, yaitu lawan dari sikap demokratisyang berupa perasaan tidak sederajat dengan sedikit atau banyakmanusia lain yang kemudian mewujud dalam sikap-sikap:kurang menghargai hak hidup pikiran-pikiran lain, tak adapengekangan diri, menganggap rendah rakyat atau sebaliknyamengadakan pemujaan terhadap pimpinan.d. jurang kolektivisme, yaitu sikap untuk melihat segala sesuatudalam kesatuan-kesatuan homogen serta sebagai representasikelompok. Pribadi sebagai kesatuan yang utuh belumdihargai karena pemahaman bahwa pribadi hirarkis ada di bawahmasyarakat. Sikap ini mengakibatkan kreatifitas kurangberkembang dan munculnya ide-ide baru dipandang denganpenuh curiga sebagai bahaya bagi kolektivitas yang ada.Dari gambaran jurang-jurang kultural tersebut jelaslah bahwakebudayaan Indonesia sekarang, terutama di kota-kota, beradadalam taraf yang sangat transisional. Tidak heran bila dimana-manaterlihat heterogenitas yaitu kebudayaan moderenyang tidak tercegah lagi masuk dan masyarakat Indonesia yangmulai melangkahkan kaki sana, sedang di lain pihak kita me-Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 315


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —nyaksikan kaki kebudayaan Indonesia yang satunya masih dengankokoh kuat menghujam pada nilai-nilai lama.Melihat kenyataan-kenyataan di atas kita tak perlu pesimis.Ada nyala-nyala kecil yang mulai berpendar di kalangan intelektualdan mahasiswa Indonesia. Prospek terang membikinkita optimis, meskipun Cuma nyala-nyala kecil yang berupa:1. sikap semata-mata committed terhadap ide mulai tumbuhsubur walaupun dalam taraf sangat permulaan. Sikap ini sebagianakan membantu timbulnya sikap-sikap prinsipal di semuapotensi mahasiswa sehingga betul-betul merupakan “moral force”yang berwibawa.2. sudah mulai berani mengadakan re-evaluasi terhadaplangkah yang pernah dijalankan. Autokritik di kalangan mahasiswaIndonesia sudah mulai, dan ini merupakan basis yangsangat kuat untuk langkah-langkah maju selanjutnya.3. beberapa kelompok mahasiswa dengan pasti telah merintistradisi kepeloporan dengan meningkatkan sensitifitas terhadappersoalan masyarakatnya. Intellectual gymnastics berupakelompok-kelompok studi mulai tumbuh agak meluas dan aksiaksimahasiswa yang perlu telah dilancarkan untuk menjagastamina perjuangan mahasiswa.4. tentang dunia universitas walaupun belum nampak langkah-langkahyang pasti untuk menjawab kemelutnya, namunkepekaan yang makin bertambah di kalangan mahasiswa dandosen-dosen muda terhadap masalah pendidikan, menunjukkanharapan.Harapan ke masa depan universitas dan dunia kemahasiswaantentu saja tak akan terlepas dari penyelesaian masalahmasalahkemasyarakatan lainnya. Sejarah memang telah mem-316 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —perlihatkan, dalam perubahan-perubahan sosial, universitas danpara mahasiswa selalu memberikan andil yang tidak kecil.28 Februari 1970Sejarah Terdiri Dari Tiga Dimensi?Mengatakan bahwa sejarah itu terdiri dari tiga dimensi adalahslogan belaka. Sejarah itu adalah masa lalu. Masa datang itubukan sejarah; tapi dalam menentukan langkah ke depan, kitamemang perlu pertolongan rumusan-rumusan masa lalu. Masakini itu tidak ada, karena antara masa lalu dan masa datangsebetulnya tidak ada masa.Saya memang belum banyak membaca literatur mengenaifilsafat sejarah. Tapi yang saya kemukakan di atas adalah sekedarreaksi belaka dari pendapat-pendapat yang pernah sayadengar.21 Maret 1970Informasi IlmuInformasi ilmu di Indonesia terutama tentang ilmu-ilmu sosialsangat tidak lengkap. Dalam dimensi waktu kita kurang sekalimemperoleh informasi tentang kemajuan-kemajuan ilmu yangmutakhir. Dalam dimensi ruang, yang kita terima sebagianbesar dari negara-negara barat, dan sangat sedikit dari negaranegarablok Sosialis.Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 317


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Walaupun ilmu itu universal dalam eksistensinya, tapi padaproses perkembangannya bisa terjadi perbedaan antara macammacamahli. Dan terutama terjadi antara sarjana-sarjana Amerikadan sarjana-sarjana Blok Sosialis. Mungkin ini sebagianterjadi karena eksperimen-eksperimen yang diadakan memakai“preparat-preparat sosial” yang berbeda secara kualitatif danbelum ada “tukar-menukar dalam eksperimen. Kadang-kadangmetode-metode berfikir dan analisa sarjana-sarjana blok yangsatu diserang oleh sarjana dari blok lain.Terlapas dari sebab-sebabnya, ketidak-lengkapan informasiilmu ini mengakibatkan kita kurang bisa membanding dankarenanya juga mengurangi kemampuan kritis kita terhadapilmu-ilmu yang kita terima dari Barat. Kalau “tragedi ilmu” initidak terjadi, mungkin sekali jawaban kita terhadap problemproblemsosial kita akan lain dari yang ada sekarang.9 April 1970Bidang MetodologiBidang metodologi sangat maju di dunia Barat, dengan alatmana mereka bisa merobek-robek satu demi satu tabir yangmenyelubungi rahasia-rahasia alam, masyarakat dan kemanusiaanini. Di dunia Barat metodologi dikembangkan dandipakai tidak hanya untuk memperoleh kebenaran-kebenaranbaru tapi juga menyebarkan kebenaran-kebenaran yang sudahada. Mencari kebenaran tertentu dalam rangka menyebarkankebenaran lain yang sudah ada. Inilah yang disebut metodologidalam mengajar. Dengan tekun mereka mengadakan riset di318 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bidang metodologi, termasuk dalam metodologi mengajar inibagaimana mengajarkan suatu ilmu atau cara seefisien mungkin.Di Indonesia kita belajar bahasa Perancis bertahun-tahunbaru boleh di bilang menguasai. Di Amerika Serikat, berkatmetode yang efisien, pengajaran bahasa Perancis dengan hasilyang sama bisa dilakukan dengan waktu jauh lebih pendek.Tarian-tarian Jawa yang diajarkan pada anak-anak Indonesiadan baru bertahun-tahun berhasil baik, sementara oleh ProfesorManth Hood di Amerika Serikat diajarkan dalam waktu 6bulan dengan hasil yang sama. Dia datang ke Indonesia belajartari dan gamelan. Setelah faham dia pulang dan di sana tarian-tariandan seni gamelan Indonesia itu diurai,ditelaah dandibahas untuk seefisien mungkin diajarkan pada orang-orangAmerika yang kejiwaan dan kekhususannya telah mereka pelajaripula. Dan kini orang-orang Indonesialah yang datang keAmerika Serikat untuk belajar bagai mana cara mengajarkantarian dan gamelan Indonesia.9 April 1970Sarjana Muslim dan Ilmu PengetahuanSarjana-sarjana muslim selalu memperlihatkan pribadinya dalamsuasana integral, dalam arti bahwa mereka di manapunsaja terus menerus megekspresikan dirinya sebagai suatu kesatuanyaitu pencinta ilmu pengetahuan yang telah berpihak padaajaran <strong>Islam</strong>. Ketidakmampuan mereka untuk sewaktu-sewaktumengekpresikan diri sebagai seorang ilmuwan, mengakibatkanDari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 319


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —umat <strong>Islam</strong> tidak pernah berhasil ditolong melihat kesalahankesalahandirinya yang paling pokok.Keengganan untuk memahami kesatuan pribadinya (sebagaisarjana muslim) dalam komponen-komponen yang sementarabisa diuraikan dan dibeda-bedakan dalam otonominya sendiri-sendiri,mengakibatkan mereka justeru tidak pernah berhasilmembuat kemajuan-kemajuan berarti dalam kedua komponenyang berbeda tadi (dalam bidang ilmu pengetahuan serta dalamketakwaan sebagai seorang muslim).Mei 1970Sikap IlmuwanSikap ilmuwan tidak mudah diperoleh. Bagiku sendiri yangmempelajari ilmu-ilmu sosial tanpa memperoleh bimbinganseorang dosenpun seperti layaknya di universitas, terasa sekalibetapa lambatnya kemajuan yang kuperoleh dan betapa metode-metodekeilmuan tidak bisa aku kuasai. Tetapi aku harusmemanfaatkan keadaanku yang jelek. Sikap sebagai ilmuwanharus dilatih dalam sikap hidup sehari-hari, Kejujuran danketajaman. Jujur dalam memandang fakta-fakta dan tajam dalammerangkaikan dan mencari persoalan-persoalannya untukselanjutnya menemukan solusi. Dan kupikir sangat perlu dalambeberapa waktu kita harus melepaskan diri dari subyektifitassama sekali, termasuk cita-cita yang paling ideal sekalipun.Sebagai gantinya kita berdiri semata-mata sebagai observer yangtelanjang dan bersih dan cita-cita masa depan bagi obyek yangkita selidiki.320 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kita mesti melepaskan diri kita daari libatan proses-prosessosial dan berdiri semata-mata sebagai pengamat yang tidakberkepentingan dengan prospek sosial itu, Kepentingan untuksementara ialah mengerti proses sosial tadi.26 Juni 1970Ilmu Pengetahuan dan IlmuwanKenapa timbul mazhab-mazhab dalam ilmu pengetahuan social?Ilmu pengetahuan diangkat dari problem-problem dalamkenyataan yang melingkungi kita. Inilah yang menimbulkanmazbah-mazbah dalam ilmu pengetahuan sosial. Karena itu dengantidak melupakan aspek universal dari ilmu pengetahuan,kita perlu juga memperhatikan aspek “lokalnya”. Sudah saatnyasarjana-sarjana Indonesia bertanya pada diri sendiri, sampaimana dia telah menggunakan ilmu pengetahuan, dan sampaidi mana ilmu pengetahuan yang dianutnya memiliki relevensidengan problem-problem di sekelilingnya.Tapi siapakah seorang ilmuwan itu? Saya kira seorang ilmuwantugasnya lain dengan tugas kyai, guru atau pendidik.Ilmuwan bukan jago indoktrinasi. Ilmuwan berbicara tentangmacam-macam pendekatan terhadap masalah dan kemungkinan-kemungkinanyang ada di dalamnya. Dia tidak bicaratentang resep-resep yang pasti. Ilmuwan mengajar orang lainuntuk bisa mengurangi masalah dan mengumpulkannya. Seorangdosen yang baik tidak akan mengajar mahasiswa tentangkesimpulan-kesimpulan yang ada dalam pikirannya, tapi akanmenuntut atau melatih mahasiswa untuk sampai pada kesim-Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 321


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pulan-kesimpulan. Inilah kekurangan dosen-dosen Indonesiaterutama di IAIN.12 September 1970Tentang Gerakan MahasiswaPada hemat saya, gerakan mahasiswa di Indonesia tidak pernahsiap dalam menghadapi situasi kritis. Kekuatan revolusionerdari mahasiswa selalu gagal dalam merebut pimpinan danmemimpin inisiatif di saat-saat genting yang menentukan.Cobalah kita perhatikan apa yang terjadi pada proklamasi 1945dan Maret 1966.Kalau gerakan mahasiswa di Indonesia di bandingkandengan negara-negara maju, saya kira kita ketingalan puluhantahun, baik dalam segi keradikalan ide-idenya, kerevolusioneransikap-sikapnya, kematangan koordinasinya serta kekompakannya.Meskipun demikian kita boleh bangga bahwapemimpin-pemimpin gerakan mahasiswa sebelum kemerdekaanadalah pejuang dan sekaligus pemikir. Tentu saja denganbeberapa kekecualian. Tapi Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ali Sastroamidjojosewaktu mahasiswa adalah pejuang dan pemikir.Nah, bandingkanlah dengan pemimpin-pemimpin mahasiswasekarang.Setelah Soekarno jatuh dari kursinya pada 1967, perkembangangerakan mahasiswa di Indonesia dapat saya konstatirsebagai berikut: 1. organisasi-organisasi mahasiswa <strong>Islam</strong> kehilangansasaran, mahasiswa-mahasiswa nasional sedang mentallyshock dan mahasiswa-mahasiswa lokal dan independent ser-322 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ta sedikit dari kalangan Kristen dan Katolik tetap mempunyaisasaran; 2. kegiatan gerakan kemahasiswaan terpusat hanya diJakarta dan Bandung di mana organisasi-organisasi mahasiswalokal dan independent kuat; 3. tempat-tempat di mana HMIdan GMNI kuat sama sekali tidak menjamin adanya gerakanmahasiswa yang kreatif dan tangguh (HMI mengalami kemundurantotal secara kultural sejak masa Soekarno berkuasa tahun1959).Pergantian generasi pimpinan militer di Indonesia padasekitar 1980 yang akan datang sangat perlu di perhitungkan.Masalah ini sekaligus berhubungan dengan generasi barumahasiswa Indonesia kelahiran sekitar 1960 dan sesudahnyayang berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lain akanlebih radikal, lebih kreatif dan lebih kritis dari mahasiswamahasiswakelahiran tahun 40-an yang berperanan sekarangini.23 Oktober 1970Ibnu KhaldunSaya kira Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang berpikirsosiologis dalam karangan-karangannya. Walaupun begitukarangan-karangannya bukanlah texbook atau uraian tentangsosiologi yang sudah disistematisir.Menjadi pertanyaan memang, apakah Ibnu Khaldun yangnotobene muslim itu dapat disebut Bapak Sosiologi.23 Oktober 1970Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 323


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kosmonot RusiaTiga kosmonot Rusia meninggal dunia sewaktu hendak mengakhiritugas mulianya. Setiap orang yang cinta kemanusiaandan perkembangan ilmu tentu sedih sekali mendengar beritaini. Pada Tuhan aku mengharap semogga ketiga kosmonot yangberani dan penuh bakti bagi ilmu dan teknologi serta tanahairnya itu dihargai di hadirat-Nya sesuai dengan amal baktinyabagi kemanusiaan.Kekurangan-kekurangan dalam misi tersebut pasti akanmenyadarkan para ahli akan masalah-masalah baru, dan kemajuan-kemajuandi masa depan semoga lebih cepat1 Juli 1971Pustaka! PustakaUntuk kita yang hanya memiliki berapa buku dalam perpustakaanpribadi atau menjadi anggota dari sebuah perpustakaanuniversitas yang sangat sederhana, nilai sebuah texbook sangatlahtinggi. Bagi kita yang tidak berkesempatan masuk dalamperpustakaan-perpustakaan besar seperti di Amerika Serikat,buku menjadi barang yang sangat lux.Dengan buku-buku yang sangat terbatas ketekunan membacahanya menghasilkan kemajuan-kemajuan kecil. Banyakhal-hal yang bisa dipelajari atau diketahui dengan cepat lewatpembacaan buku-buku yang lengkap, terpaksa dihubung-hubungkansendiri dengan pengorbanan energi dan waktu yangkurang sebanding karena kemiskinan buku. Kita dipaksa memecahkansesuatu yang sudah dipecahkan orang lain dengan324 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —baik, cuma karena kita tak sempat membaca hasil-hasil pemecahanorang lain itu. Dengan demikian apa kita lakukanbanyak sekali yang repetitive dan karenanya kurang sekalimemberi sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan.Apa yang kita rasakan pada diri kita sebagai hal yang baru(karena merupakan jerih payah otak), ternyata sesuatu yanglumrah di dunia yang sudah maju. Nyatalah kini kemajuanintelek seseorang sangat dipengaruhi oleh kepustakaan. Seorangmahasiswa di Amerika yang tekun dan cerdas akan jauhlebih cepat maju dari pada seorang mahasiswa Indonesia diMadura dengan ketekunan dan kecerdasan yang sama. Kiniaku tidak heran mengapa sarjana-sarjana Barat yang berumurrelatif sama denganku, ternyata perbendaharaan ilmunya jauhdi atasku.21 Agustus 1971Di Indonesia Ilmu Pengetahuan = Barang LuxDi Indonesia ilmu pengetahuan masih merupakan barangmewah. Ilmu pengetahuan dianggap terpisah dengan tugashidup sehari-hari. Ilmu dianggap sesuatu yang teoritis yangtidak menyentuh langkah-langkah operasional. Seorang yangberilmu dianggap sekedar penghayal, tak berpijak ada kenyataan.Mereka tidak sadar bahwa ilmu pengetahuan diangkat darikenyataan dan merupakan hubungan-hubungan dari bermacam-macamkenyataan. Mereka tak tahu bahwa ilmu beradadalam kenyataan itu sendiri. Jadi barang siapa ingin mengga-Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 325


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —rap kenyataan mestilah mengetahuai ilmu yang menerangkanhubungan-hubungan dalam kenyataan itu.27 Agustus 1971Bahan-Bahan HafalanDi Universitas sebaiknya kegiatan otak dipusatkan pada berpikir,mencari hubungan antara persitiwa-peristiwa dan mengembangkanalat-alat pertolongan. Hal-hal yang bersifat hafalanseharusnya sudah diselesaikan di SMP dan SMA.Penyelesaian bahan-bahan hafalan tersebut sebelum kitamasuk ke Universitas sangatlah penting. Kalau bahan-bahanhafalan yang kita ketahui hanya sedikit, pengaruh jeleknya akanterasa yaitu berupa gangguan pada kegiatan berpikir yang disebabkankekurangan data.22 September 1971Metamatika dan MetodologiMatematika adalah alat yang dibuat manusia. Dia adalah alatuntuk fisika, bilogi, kimia dan ilmu-ilmu terpakainya. Apakahalat utama dan ilmu-ilmu sosial? Metodologi riset? Pertama,matematik lebih banyak mencipta sendiri ke depan; sedangmetodologi riset lebih banyak dipengaruhi oleh pengalamanpengalamanlama yang ada. Kedua matematik mampu mengestimisirsesuatu yang belum pernah diketahui oleh alam;sedangkan metodologi riset tidak bisa bicara tentang sesuatu326 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang belum pernah ada contoh-contohnya. Ketiga, matematikpasti betul sedangkan metodologi riset bisa salah. Keempat,matematik bisa dikuasi tanpa menguasai pemakainya dalamfisika, kimia, biologi dan lain-lain; metodologi riset tidak bisadiketahui dengan baik tanpa pengalaman riset atau pengetahuantentang bidang-bidang sosial yang bersangkutan.Sekarang ada soal lain.Sebagian orang menganjurkan agar pada awal-awal studidi universitas ditekankan pada dua inti yaitu bahasa dan metodologi.Menurut hemat saya yang pertama, yaitu bahasa, memangmerupakan kebutuhan dan bisa diajarkan secara terpisah.Tapi tidak demikian dengan metodologi. Metodologi tidak bisadiajarkan semata-mata sebagai metodologi dengan mengabaikanperlunya pengetahuan yang bersifat informatif. Disampingmetodologi itu sendiri bermacam-macam menurut cabang-cabangilmunya, dia jauh lebih bisa ditangkap dalam paduannyadengan pengetahuan-pengatahuan suatu bidang.22 September 1971Ilmu dan FilsafatIlmu bermula dari keragu-raguan, filsafat bermula dari kebertanyaan.Seringkali orang menamakan pembahasannya sebagaiyang filososfis, tapi kosong dari pertanyaan-pertanyaan gencar.Pembahasan filosfis adalah interaksi beruntun antara pertanyaandan jawaban. Sebuah jawaban melahirkan pertanyaanpertanyaanbaru dan selanjutnya lahirlah jawaban-jawaban barudan seterusnya untuk kemudian sampai pada kesimpulan.Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 327


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Keseimpulan tadipun masih terbuka untuk pertanyaanlagi!30 September 1971Spesialis Juga PerluTidak benar bila dikatakan bahwa semua mahasiswa harussensitif pada problem-problem yang timbul dalam masyarakat.Begitu juga dengan orang-orang terpelajar yang sudah bukanmahasiswa lagi. Tak semua mereka mesti memusatkan perhatianpada faktor-faktor demokrasi, hak asasi, keadilan dansemacam itu. Menurut saya pengembangan masyarakat jugamemerlukan spesialis-spesialis yang memusatkan perhatiannyahanya pada sebuah bidang. Orang yang hanya mementingkanadanya pejuang-pejuang demokrasi, keadilan atau hak-hak asasidengan melupakan bahwa prasyarat bagi demokrasi dan lainlainitu adalah kekuatan-kekuatan non-governmental dalammasyarakat, sungguh sangat keliru. Kekuatan non-governmentaldalam masyarakat, yang nantinya bisa mengadakan bergainingdengan pihak yang berkuasa, hanya bisa tumbuh berkat adanyapara spesialis yang menggarap bidangnya masing-masing.Para spesialis itulah yang membuat unit-unit non-governmentitu berwibawa atau memiliki political resources yang tinggi.Mungkin mereka tidak mengerti demokrasi, moderenisasi,hak-hak asasi tapi adanya mereka adalah mutlak bagi tegaknyademokrasi dan lain-lainnya itu.28 Oktober 1971328 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —KarierApakah karier yang ingin saya jalani? Mengembangkan pemikiran-pemikirandi bidang politik, sosial, agama dan kebudayaanumumnya. Oleh karena itu saya butuh studi formal lagi.Studi filsafat cukup dua tahun; antropologi dua tahun; sosiologiperlu lebih lama yaitu tiga tahun; sejarah dan psikologi masingmasingcukup setahun saja; studi ilmu politik dua tahun. Sayaharus menjalani itu agar punya dasar yang kuat sebagai pemikir.Tapi semua itu harus ada tempat tinggal yang memadaidan... uang tentu saja.Saya kuatir rencana diatas tinggal rencana. Terlalu membisukansaya?25 Nopember 1971Yogya Kota Mahasiswa Terbaik?Benarkah Yogyakarta merupakan kota mahasiswa terbaik di Indonesia?Saya kira hal itu perlu diragukan. Di Jakarta saya lihatmahasiswa-mahasiswa lebih maju, perpustakaan-perpustakaanlebih penuh dan kegiatan-kegiatan penelitian di universitaslebih lancar. Demikian juga di bidang-bidang lain. Pohonpohonlebih terpelihara dan taman-taman bunga lebih semarak.Rumput-rumput d lapangan cukup di hargai publik. Apakahkelebihan Yogya dari Jakarta kecuali kemalasannya?6 Desember 1971Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan 329


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Apa Guna Belajar Filsafat?Salah satu yang kuperoleh dari belajar filsafat ialah aku bisa lebihberhati-hati dalam menyusun kalimat atau kata. Di sampingaku dituntut agar lebih hemat dalam penggunaan dalam katakata,mencari kata-kata yang lebih punya bobot dan menghindardari penggunaan kata-kata slogan yang sudah kehilanganisi. Seorang siswa filsafat kukira dituntut pula untuk memilihkata yang tepat sesuai dengan suasana atau maksud yang ingindiungkapkan.Dari filsafat saya belajar bagaimana memilih suatu kata danmenolak kata yang lain karena alasan-alasan demi kesungguhanberpikir dengan titik tolak bahwa jangan sampai terjadi duaatau lebih pengertian diungkap dalam kata yang sama. Filsafatmerangsang kita untuk memilih kata-kata dengan tepat.Tentu masih ada manfaat lain dari belajar filsafat. Tapi sayatak akan mengungkapkannya dalam catatan yang singkat ini.1 Oktober 1972330 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bagian 4Pribadi yang SelaluGelisah


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Tentang Dia yang KucintaiHatiku selalu diliputi keraguan-keraguan. Ragu-ragu antara doronganingin memadu hidup bersamanya dengan perasaan kuatirakan kemampuan diri bisa memberikan kebahagiaan kepadanya.Aku ragu-ragu setelah memawas diriku sendiri. Apalagibila aku melihat pemuda-pemuda yang pernah mendekatinyadan gagal. Mereka adalah orang-orang yang lahiriah-batiniah,luar dan dalam, jauh melebihi aku. Lihatlah tampannya, caracarabergaulnya, ketaatan beragamanya, akhlaknya, apa lagikekayaannya. Dalam masalah terakhir ini sebetulnya kalauaku hendak seperti pemuda-pemuda lain, kiranya tak akanbegitu sukar, Tapi bukanlah sifatku untuk memasukkan faktorkemampuan orang tua dalam menilai keadaan sendiri. Akutegak berdiri memakai kekuatanku sendiri tanpa merepotkanorangtua. Karena itu walaupun keluargaku bukanlah keluargamiskin dan merupakan keluarga yang cukup terhormat dalampanilaian orang-orang di kampung, itu tidaklah berarti bahwaotomatis aku anaknya ini bukan orang miskin dan menjadiorang terhormat. Karena itu betapapun besar rasa cintakupadanya. Aku harus selalu menahan diri dan sekeras-kerasnyaberusaha agar cintaku ini tidak nampak padanya dalam sikappergaulanku dengan dia. Biarlah dia tidak tahu bahwa akubetu-betul mencintainya. Alangkah beratnya berlaku seperti ini.Berat, karena itulah mungkin dorongan ingin memilikinya ini332


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kadang-kadang tercermin pula dalam pergaulanku dan sikapkuyang khusus terhadapnya. Bagaimana kalau dia betul-betul tahuaku mencintainya sedang aku sendiri selalu diliputi keraguankeraguandalam melangkah. Ah, biarlah dia yang kucintai ituberbahagia di samping orang lain. Biarlah aku diam saja. Diapunya kans besar untuk mendapatkan orang yang melebihikudalam segala bidang. Tiap setiap kali pikiran itu timbul, setiapitu pula dalam dadaku terasa sebuah sembilu mengiris derasdari atas. Pedih terasa di dada.Bukan ini suatu pengingkaran terhadap hati nurani sendiridan panggilan hidup?4 Nopember 1968Aku Rindu Peristiwa Besar, Tapi...Aku tidak senang dengan serba kebekuan ini. Tapi bagaimana,bagaimana aku membebaskan diri? Aku rindu pada peristiwaperristiwabesar. Tapi aku sendiri takut menghadapi peristiwaperistiwabesar dalam diriku. Serba kesulitan silih bergantimenimpa. Dan aku diam, melarikan diri dalam buku-buku.20 Februari 1969Dalam KebingunganDalam minggu-minggu terakhir ini aku kehilangan vitalitas.Aku sering terjaga malam hari. Ini tanda kegelisahan. Aku takPribadi yang Selalu Gelisah 333


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tahu apa yang harus kuperbuat menghadapi problem-problemkehidupan seperti ini.Aku belum punya keberanian memotong vicious circle.5 Maret 1969Dua SebabHatiku meronta-ronta kalau sedang berbicara di muka umum.Sebabnya salah satu dari dua atau dua-duanya. Pertama, pembicaraankutidak lancar, tidak ada touch dengan pendengarpendengar,sementara aku mengerti bahwa touch betul-betultidak ada. Mulutku melantur-lantur bebas, berbicara menurutpendapatku sendiri, karena patuh pada aturan-aturan organisasi.Di sinilah aku kehilangan semangat intelektual.Tragis.8 Maret 1969Bagaimana, Bagaimana?Aku ingin AL-Qur’an membentuk pola pikiranku. Aku tak tauapakah selama ini aku sudah <strong>Islam</strong> atau belum. Tapi bagaimanamengintegrasikan Al-Qur’an itu dalam kepribadianku?Bagaimana?Tuhan, aku rindu akan kebenaranMu.11 Maret 1969334 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Antara Ilmu dan Taman PutriIlmu terasa bertambah dengan cepat akhir-akhir ini sejakmembebaskan diri dari “hubungan-hubungan” nuisance denganbeberapa taman putri. Apakah kelembutan wajah itu menggangguaktivitas mengajar ilmu?20 Maret 1969Menghadapi Seribu Satu MasalahMalam ini beberapa kali aku terjaga. Kali ini tidurku gelisahdan haus tak terkatakan. Tidak ada air di meja makan,sedang aku ingin sekali minum, malah kepingin es. Ah, kauteringat pada Ayah, Ibu dan adik-adikku di rumah, tugastugasyang kuhadapi di Yogya dan seribu satu masalahkusebagi human being yang tak selesai-selesai. Entah sampaikapan?20 Maret 1969Tentang Kami BertigaAku yakin Dawam-Djohan-Wahib akan pecah, dan masingmasingakan menempuh alirannya sendiri-sendiri. Kukira inilebih baik.21 Maret 1969Pribadi yang Selalu Gelisah 335


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —NightmareAku terbangun oleh mimpi yang mengerikan setelah 4 jamtidur malam ini. Masih jam 2.15. Aku kesal menunggu pagi.Aku teringat pada... yang mengembalikan aku pada kenanganmasa anak-anak di mana aku baru mengenal cinta dari bukubukukomik dan roman murahan. Oh, aku teringat padarambutnya yang mayang mengurai, warna keputih-putihanpada pipinya dan tubuhnya yang tidak begitu langsing. Akuteringat, bagaimana dia bermain-main di halaman rumahku.Aku tak tahu lagi di mana dia sekarang. Ah, romantis sekalimenoleh pada masa lalu. Adakah ini tanda-tanda bahwa akutelah apologetik dalam erotik? Apologetik yang kubenci? Tidak,aku tak mau apologetik. Aku akan berjuang keras menghadapimasa kini dan nantiku.26 Maret 1969Lewat Tengah MalamSudah jam 12.25 malam ini. Aku tidak bisa tidur, tapi matakumengantuk. Aku benci pada suasana sekelilingku. Aku benci,dan aku ingin pagi segera datang.27 Maret 1969Wajah-wajah yang SegarPameran dalam lustrum SMA Negri V yang kutonton pagi inimembuat jiwaku cerah. Hatiku tersenyum menyaksikan kar-336 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ya-karya mereka, kemampuan ciptanya. Tak lupa kesegaranwajah adik-adik yang menjaga. Mampukah mereka menjagakesegaran jiwanya, sesegar wajah-wajah yang cerah-memerahitu?2 April 1969“Pria dan Wanita”Lagu “pria dan wanita” selalu mengganggu pikiranku ketikaaku berpikir tentang konseptor, negarawan dan lain-lain. Akumenjadi lebih sadar bahwa aku pun juga seorang manusiadengan segala kekuatan dan kelemahannya, yang tidak hanyamemikirkan ide-ide besar tentang masyarakat, negara, organisasi,program dan sebagainya, tetapi perlu memikirkan kebutuhandiriku sendiri antara lain kebutuhan rohaniah akanseorang pendamping. Tapi bagaimana, aku merasa selalusibuk dan justeru kesibukan ini sebagian merupakan pelariandari kekecewaan-kekecewaan. Aku tidak mengerti mengapalagu “pria dan wanita” itu selalu membuatku terkulai di kursi,mengingatkan aku pada seseorang yang berwajah unik.Semoga dia berbahagia, sukses studinya dan mendapatkanteman hidup yang ideal.22 April 1969Pribadi yang Selalu Gelisah 337


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Lain Kali SajaTak ada yang bisa kubanggakan sebagai laki-laki. Aku Cumapunya satu, seperti umumnya orang. Lain tidak. Jadi apa yangbisa orang harapkan dariku? Karena itulah aku merasa salahuntuk terlibat dalam suatu permainan yang memerlukan janjidan pemenuhanya. Tak ada yang bisa kujanjikan kecuali cintadan kesetiaan. Dengan ini saja manusia tak akan bisa hidup.Biarlah lain kali saja, bila masa depanku sudah pasti. Sekarang,hanya akan membuat orang lain kecewa.24 April 1969Masuk PasarBelajar dan merenung dalam kamar saja tidak cukup. Pikiranpikiranperlu dipersegar dengan kenyataan-kenyataan yanghidup dalam masyarakat. Karena itu tadi pagi aku berjalankaki sepanjang kurang lebih tiga kilometer, masuk kepasar lihatorang jual semprong dan sebagainya.Celah-celah kehidupan masyarakat selalu memperkaya rohani.27 April 1969Tentang CintaCinta itu kudus dan syahdu. Penderitaan dan kesulitan yangdia alami kurasakan sebagai penderitaan dan kesulitan ku sendiri.Sayang, sukar sekali aku bisa bertemu dia. Kami tinggal338 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pada kota yang lain, dan hanyalah tinta yang bisa jadi jurubicara. Baru dua hari kami berpisah, tapi aduh!Aku tak tahan menahan kerinduan.6 Juni 1969Aku Terlalu Egoistis?Hatiku luluh dan makin luluh, bila kuingat bagaimana diaberjalan kaki menyartaiku di terik panas matahari sepanjangdua kilometer. Aku terlalu egoistis, tidak tegas-tegas menghalangidia, walaupun egoistisku itu timbul karena aku sudahlama menanggung rasa kangen. Aku tidak tahu apakah diajuga begitu. Masih terbayang di mataku keringat-keringat kecilmembasah di bagian tengah pipinya. Tuhan, semoga Engkaumelindunginya.7 Juni 1969Impian dan Impian LagiAku terbangun pada gema adzan subuh. Sungguh mengherankanmengapa masalah-masalah lama masih muncul kembalidalam impian. Apakah karena masalah baru dan terakhir yangaku harapkan terjadi, tidak kunjung terjadi?Sulit memang menganalisa mimpi, sebagai mainan bawahsadar.23 Juni 1969Pribadi yang Selalu Gelisah 339


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Yogya: Kering!Aku sudah terlalu lama di Yogya. Dia sudah terlalu kering buatsuatu inspirasi. Bagiku kota ini tidak inspiratif lagi. Kapankahkeinginanku untuk menjelajah dunia ini bisa terlaksana? Akubenci homogenitas dan suasana monoton. Aku ingin mencarilingkungan baru yang masih kaya akan inspirasi.Sebaiknya memang:tinggalkan Yogya!5 Juli 1969Tentang Perubahan Dalam DiriSalah satu sebab mengapa aku tidak mau menulis, ialah ketakutankuakan perubahan-perubahan dalam diriku sendiri. Akumanusia yang selalu siap untuk berubah, sebagai mana akusiap untuk tidak berubah. Aku yang sekarang, lain dengan akusetahun yang lalu. Aku masih kuatir, bahwa aku sebulan lagilain dengan aku yang sekarang. Biarlah aku menemukan dirikusendiri lebih dulu dalam bentuk lebih mantap.Kapan kemantapan itu tiba? Siapa tahu dalam setahun ataudua tahun mendatang. Yang penting pencaharianku tidak mandeg.17 Agustus 1969Melepaskan BelegguLama aku memendam rasa berupa misteri ketakutan pada wujudnyaaturan. Lama aku ingin bicara tentang sesuatu pikiran.340 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pikiran yang akan mendorong lahirnya perubahan. Namun takada arena, tak ada forum. Ingin bicara... tapi takut!Begitu terus menerus dan akhirnya organisasi menjadi lambangyang menakutkan bagai setan yang selalu membuntutikemana aku pergi. Kupikir semua ini harus diakhiri. Aku takboleh kehilangan diri. Setan alias yang manakutkan itu mestidilawan. Caranya: aku bicara dan... betul. Semuanya jadi jelas.Setan itu muncul dengan jelas. Nah, tak ada jalan lain: hilangkansumber ketakutan itu yaitu: ikatan organisasi.18 Agustus 1969Orgel yang KatolikSuara orgel itu membawa aku kembali pada alam lama beberapatahun yang lampau ketika aku hidup di tengah-tengahkeluarga besar yang beragama Katolik. Aku teringat bagaimanatiap malam aku belajar di ruang perpustakaan asrama dalamayunan suara orgel dari kapel di sebelah, tempat Romo dankawan-kawan kristiani berdo’a.Suasana kesyahduan kembali menyusup di kesepian malamini.27 Agustus 1970Dialog dan KemanusiaanAku tak tahu apakah aku terlalu banyak berdialog dengandiriku sendiri. Kalau hal ini betul, tentunya inilah sebagianPribadi yang Selalu Gelisah 341


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang menyebabkan aku kurang mampu berkomunikasi denganlingkunganku. Tapi bukankah memperbanyak dialog dengandiri sendiri itu justeru menambah makin kita mengerti artikemanusiaan ini? Dengan melihat diri kita sendiri kita melihatmanusia.24 Januari 1970Cemas. Cemas. CemasAku sendiri juga belum tahu, ke mana arah yang haaruskutempuh dalam hidup. Berbagai jalan tersedia, tapi semuanyaseolah-olah pilihan yang sulit. Yang kulakukan selama ini adalahmemenuhi kehausan intelektual dalam diriku dan sedikitrasa pengabdian. Tapi manakah pertangungjawabanku terhadapkeluarga?Semua ini membuat aku cemas menghadapi masa depan.Gairah, senang, tapi dilain pihak putus asa, takut, cemas danlain-lain. Ini semua membuat aku tidak berani mengambil inisiatifyang pasti dalam menghadapi sebagian masa depanku:kehidupan keluarga.Beberapa kali inisiatif diperlukan dan perlu diyakinkan, tapiyang ada di hati hanyalah cinta dan kecemasan. Romantika dimasa mudaku mungkin akan hilang begitu saja dengan satudua pengalaman yang tak berarti.27 Januari 1970342 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —F. Sisca... Maafkan AkuDalam malam yang senyap tanpa gairah ini, aku memandangkehidupan dengan hati yang hampa, Aku menjadi nostalgia bilakuingat masa kanak-kanakku yang begitu riang, masa pelajarkuatau masa remajaku yang penuh kegembiraan dan masa awalkemahasiswaanku yang penuh optimisme. Aku teringat kembalipergaulanku dengan kawan-kawan putra atau putri dengansegala adegan-adegan indah yang mungkin tak akan pernahkutemui lagi. Kini mereka semua telah maju kedepan meneruskankemantapan garis hidupnya; dan tinggallah aku terusdi belakang, tanpa berani berbuat apa-apa, dalam termangumangumerenungkan: apakah sebenarnya garis hidupku. Danketidakmantapan garis ini membawa akibat-akibat berantaiyang sangat parah.F. Sisca... maafkan aku kurang jantan. Aku tak pandai menembakdan tidak sunguh-sunguh menembak hati manusiawalaupun aku ingin menembak dan ingin tepat pula. Aku tahusetelah semuanya terlambat dan setelah aku lumpuh merasa tidakbisa berbuat. Walaupun aku punya keinginan tapi aku selalumenilai obyek dan peristiwa-peristiwanya murni sematamatasebagai peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang umum. Disinilahaku tidak mampu menangkap kekhususan-kekhususanperistiwa. Tapi aku berjanji, suatu kelak, bila aku telah mampuberdiri sendiri sebagai manusia utuh, aku akan datang menjengukdalam suatu kunjungan yang telanjang dari seorang manusia.Teruslah melangkah dan aku pun akan berusaha untukmelangkah walau ke arah lain.8 Februari 1970Pribadi yang Selalu Gelisah 343


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Tik, Aku Akan Datang Bila...Tik, aku tidak tahu kini apa yang terjadi antar kita. Kekakuankekakuanhubungan hubungan bagiku telah berbicara. Tapikini, aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya punya hati, tanpatenaga. Aku masih ingat kata-kata ibumu, dan aku merasaberdosa. Tapi bukankah lebih berdosa lagi bila aku memberiharap tanpa arah yang mantap? Karena itu aku hanya bisaberjanji dalam hati dan tidak dilafalkan dengan lisan dan perbuatansadar. Aku tahu konsekuensi-konsekuensi pedih yangmungkin terjadi dalam janji tanpa kata ini. Tapi aku berjanji,bila tidak terlambat, aku akan datang. Tapi aku merasa apayang kukuatirkan dahulu telah betul-betul terjadi dan mungkinaku sudah terlambat.9 Februari 1970Bagaimana Memelihara IdealismeAda dua pengobatan murah yang senantiasa kulakukan bilasewaktu-waktu terasa pikiranku menjadi malas bekerja danidealisme ternyata menjadi surut. Pertama, aku mendatangigedung-gedung kesenian. Di sana aku bertemu dengan pikiranpikiranmanusia yang ditempatkan melalui karya-karyanya:lukisan, patung, musik dan lain-lain.Beruntung sekali kalau di arena kesenian tersebut aku sempatberjumpa dengan orang-orang yang memiliki atau yangmencetuskan pikiran-pikiran itu sendiri. Pertama dengan duniaseni selalu mengelektrifisir jiwaku dengan renungan yang lebihberarti tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hubunganku344 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dengan alam dan tentang nilai-nilai fitriyah yang dianugerahkanTuhan. Pertemuan ini juga membangkitkan dalam jiwakusuasana atau emosi kreatif, semangat mencipta, suatu perasaantidak puas yang harus selalu menyala-nyala di hati setiap manusia.After all, dia membangkitkan dalam diriku, menyegarkankembali idealisme yang sudah ada, idealisme kejujuran, pengabdiandan cinta kebenaran, yang mungkin karena pengaruhkehidupan sehari-hari yang serba macam telah mulai pudar.Kedua, aku mendatangi tempat-tempat yang ramai di manapergulatan-pergulatan hidup dengan jelas terjadi. Aku senangpada dunia yang sesak, padat, ramai di mana terjadi kompetisiyang keras antara manusia. Aku benci pada kelanggengan, ketenangandan suasana kekeluargaan yang statis seperti terdapatpada kehidupan di desa-desa, sawah yang lebar tenang tanpapergulatan yang seru, pohon-pohon nyiur yang melambai perlahan,anginnya yang membuai, petaninya yang membajak disawah; dimana kehidupan telah menurun sekedar menjadi kebiasaan-kebiasaan.Bila sudah payah berada dalam kamar, Larilah aku kemuka rumah dan kuperhatikan lalu-lintas yang terjadi di depanmataku. Hatiku riang melihat sedan atau truk yang lalu dengancepat. Dan terbayanglah di depan mataku pergulatan manusiadengan alam, menggali hukum-hukumnya untuk kemudianmenaklukkan alam itu sendiri dan lahirlah: besi, bensindan kayu yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjaditruk dan sedan. Hatiku riang campur kagum melihat pesawatjet melintas cepat di angkasa dan sepeda motor Yamaha yangmemburu dan menderu di hadapanku. Terkesan padaku suatuperlombaan manusia melawan waktu. Manusia tidak menyerahPribadi yang Selalu Gelisah 345


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —terhadap keperlahanan yang ada, maka dibuatlah mesin yangdapat bergerak cepat dan distellah mesin-mesin dalam kecepatanmaksimal. Karena kesan-kesan seperti inilah untuk sebagianhatiku bangga melihat tukang-tukang kebut yang berlomba salingmemburu. Selanjutnya kebanggaanku menjadi tertumpahsepenuhnya bila semangat ngebut ini kemudian tersalur lewatarena balap sepeda motor, gokart dan sebagainya.Dalam kelesuan pikiranku aku datang ke pusat-pusat keramaiankota, ke pasar-pasar yang penuh sesak dan semacam itu.Aku senang melihat lalu lintas yang padat di mana pengendarapengendarabecak, sepeda motor, sedan dan lain-lain berlombauntuk lebih cepat sampai ke tujuannya. Untuk mereka berkompetisimengadu kelihaian mengemudikan kendaraannya.Aku melihat dalam kepadatan lalu-lintas itu suatu dinamikajiwa manusia yang memberontak terhadap keperlahanan. Akusenang masuk pasar di mana orang bersesak-sesakan, sengolmenyenggolmengadu keterampilan, bergerak untuk lebih cepatmenyelesaikan tugasnya hari itu. Di pasar orang-orang berjalan,berlomba saling mendahului, bersaing dengan semangatberprestasi. Kadang-kadang terlempar kata-kata umpatan darimulut sebagian mereka, tapi itu sekedar menifestasi keliru kepantanganmenyerah dalam jiwa mereka.9 Maret 1970Aku dan MusikKomposisi musik meresapkan dalam diriku suatu kesyahduan.Rohaniku yang gelisah karena persoalan-persoalan hidup dan346 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tanggungjawab yang berat, untuk sementara terobati oleh denyutan-denyutannya.Dia datang membawa ketenangan dalamjiwa, penghargaan yang lebih besar pada sesama manusia, dankesadaran akan misteri kehidupan.Kadang-kadang musik ini datang menceritakan kerianganhidup, kelucuan-kelucuannya, tapi kadang-kadang suasanabaru dan pergulatan abadi manusia dengan persoalannya. Tapisemuanya telah hadir di depan kita dengan induknya. Mengapakelucuan, kengerian, keriangan, kemarahan, ketenangandan lain-lain itu bisa terungkap dalam keindahan? Rupanyakeindahan itu tidak hanya ada yang cantik, yang mesra, yangmenggembirakan, yang subur dan sebangsa itu, tapi dia ada dimana-mana,pada wajah yang bertopeng, tanah Gunung Kidulyang gersang, suasana kematian, dalam kebengisan tuan padababunya dan sebagainya.Semua benda dan peristiwa yang kontak dengan abadiseseorang akan bisa berbicara menyampaikan keindahan dirinya.23 Maret 1970Pelarian?Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitukepahitan hidup. Tanpa membaca aku tengelam sedih. Tapisebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagidari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindariterus menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani selainPribadi yang Selalu Gelisah 347


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —rohani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan akubelum tahu bagaimana ssaat itu harus kuhadapi.Saat itu adalah saat yang paling pahit.20 April 1970Soal MakanAku makan untuk tidak makan. Bagiku makan adalah tugasyang harus segera diselesaikan supaya lekas dilupakan.19 Mei 1970Pertama Kali ke Jakarta, Pada Umur 28Perjalananku ke Jakarta yang pertama tanggal 1 Agustus 1970.Berangkat Sabtu sore jam 17.25 dan sampai di Gambir jam4.30 Ahad pagi. Hari ahad aku pergi ke Pasar Cibulan, BlokA, Museum Gajah, Sarinah, Taman Ismail Marzuki. Hari seninkupergi menjumpai Arief Budiman, sayang tidak jumpa; teruske Manggarai, Tanjung Priuk, Banteng (lihat tugu), MasjidIstiqlal, Istana Merdeka, Jakarta Fair/APHD, Tosari, jalan-jalandi Thamrin dan akhirnya lihat-lihat gedung kedutaan. HariSelasa menjumpai Arief Budiman, kemudian ke Toko BukuGunung Agung, TIM (Taufiq Ismail), Gedung Pola, Diponegoro16, Grogol, Jatinegara, Cililitan, Pasar Senen dan teruske Rawamangun. Hari Rabu menjumpai Umar Kayam, teruske Iwan Simatupang (pemakaman? Ed.), Balai Budaya, KAK-KAMI, kemudian ke Bogor (Kehutanan, Kebun Raya, IPB),348 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —baik ke Jakarta ke Masjid ARH, Kompleks UI, akhirnya keManggarai (urusan mesin tik). Hari Kamis ke Ciniru, Al-Azhar,Gambir, Jalan Jaksa 15 A, Sarinah, Cawang (menjumpai Djokodan Dawam), terakhir ke Blok M dan Majestik. Hari Jum’ataku istirahat dan bersiap-siap, sayonara buat kakak, mbakyu,rekan-rekan, adik-adik (Wiwien, Sonny, Atik, Diah); berangkatdari Gambir jam 18.25 Hari Sabtu pagi jam 6.30 tiba di TuguYogya.Perjalanan ke Jakarta yang punya banyak arti!9 Agustus 1970Kuatir Kehilangan Orang yang DicintaiDari seorang tetangganya yang masih kawanku juga, aku mendengarbahwa dia telah berpacaran. Aku terkejut dan cemasmendengarnya, walaupun kekuatiran akan hal itu sudah lamaterlintas di hatiku. Baru tiga hari yang lalu aku bermimpibertemu dia. Dalam mimpi dia masih tetap manja sepertidulu juga. Tapi entah karena apa, justeru itulah yang menarikperhatianku: kemanjaannya dan ketinggihatinya.Mudah-mudahan cerita kawanku itu tidak benar. Akumengharap semoga dia cukup mengerti maksud hatiku danmau menunggu sampai aku merasa yakin akan masa depanku.Aku sadar, bahwa bagaimanapun juga aku berusaha “menjauhsementara” dari dia, namun hatiku tak bisa diajak serta. Akuselalu kuatir kehilangan dia. Dan aku tidak mampu berbuapapa-apa untuk melenyapkan kekuatiran ini. Aku tidak berdaya.Pribadi yang Selalu Gelisah 349


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Karena itu aku tidak mampu untuk bertanggungjawab pada sikap-sikapkudahulu di muka dia dan keluarganya.Aku terlibat dalam pencaharian diri yang tak kunjung selesai,sehinga aku melupakan orang tuaku, adik-adikku, keponakan-keponakanku,dia, ibunya dan... masa depanku sendiri.Walaupun begitu, apa saja yang terjadi semoga dia selalu dalamhidayat Tuhan Dan semoga aku juga.6 Nopember 1970Sumber Kesalahan: Aku SendiriTidak mungkin dia akan datang ke asrama. Aku tahu dan kenalwataknya sejak kecil: keras, penuh harga diri, tidak mudahdiatasi. Kalau toh akan datang, pasti dia datang dengan bentengharga dirinya yang kuat yaitu datang berdua, untuk menunjukkanbahwa dia sama sekali tidak membuang harga dirinya.Aku tahu bagaimana aku bersikap. Yang jelas aku harusbisa menghargai kemerdekaan pribadi lain untuk menentukanjalan hidupnya, yaitu: menghargai dia yanag telah berhasilmendampinginya, menghargai dia dalam kebebasannya untukmemilih, menghormati keluarganya sebagaimana bisa, dan tetapmenganggap dia sebagai adik asuhan seperti dulu. Dalamkeadaan kurang enak ini hendak dicari sumber salahnya? Sebenarnyadiriku sendiri. Tapi bagaimanapun juga aku merasabersalah, aku harus tetap punya harga diri. Sumber semuanyaini adalah kegagalanku dalam hidup sampai sekarang ini.28 Juni 1971350 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —AdikkuTanggal 26 juni 1971 kemarin adikku berulang tahun. Semogatahun-tahun selanjutnya mengalami perbaikan.28 Juni 1971.Aku Emoh FrustasiPersoalan... persoalan... ikut menimpa orang-orang lain dalamkeluargaku, semuanya bersumber pada kesalahan besar yangtelah kuperbuat. Persoalan-persoalan timbul beruntun tanpahenti-hentinya. Aku kurang menyediakan waktu untuk memberikandan menangulangi persoalan-persoalanku dan keluargakudalam kehidupan pribadinya. Keadaanku yang demikian kurangselaras, apalagi kalau sampai mengakibatkan orang-orang laindalam keluarga ikut menderita. Tuhan, masih bolehkah aku berdo’a:Rabbi, lepaskan daku dari kesulitan-kesulitan semacam ini.Masukkan aku dalam penderitaan yang hanya bisa kutanggungsendiri dan jangan penderitaan yang menyeret-nyeret oranglain. Berilah aku penderitaan yang orang lain tidak mungkintahu atau ikut merasakannya.Walaupun dalam jiwaku terdapat pada unsur-unsur frustrasi,aku tidak mau menjadi cermin (refleksi) dari frustrated man.Aku harus selalu bisa melihat jalan keluar bagaimanapun sempitnya,selalu memandang cahaya lilin di depan bagaimanapunsamarnya. Aku harus menyongsongnya dengan dada tengadahdan memandang kehidupan dengan tersenyum.Kesulitan-kesulitan pribadi yang kuderita tidak boleh mempengaruhitingkat obyektifitas dalam menilai persoalan-perso-Pribadi yang Selalu Gelisah 351


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —alan masyarakat. Pandangan-pandanganku harus selalu bening,cermat dan positif. Jagan sampai aku seperti mereka yang karenakurang memperoleh penghargaan dan kebahagiaan, terusbicara tanpa henti-hentinya tentang kejayaan masa lalu sebagaikompensasi atau sekedar berbicara itu ke itu saja tanpa berusahamenghargai dan mencari ide-ide lain yang mungkin bisaikut memecahkan kesulitan-kesulitan masyarakat.11 Juli 1971Tentang Keluarga yang Mendapat Tempatdi HatikuDo’aku buat dia, bapak dan ibunya yang katanya sedang sakitdi Jakarta. Keinginan untuk menemui terhalang oleh kondisidiri yang sangat jauh dari bisa dibanggakan. Dua kali ke Jakartatanpa keberanian untuk mampir ke rumahnya. Semoga kesehatannyapulih kembali. Aku tidak tahu apakah aku masih bisabertemu kembali dengan beliau. Do’a sejahtera untuk seluruhkeluarganya terutama putra-putrinya yang aku kenal baik.Dia, putrinya yang bungsu, mungkin sudah melangsungkanpesta pernikahannya. Tidak sebuah beritapun kudengartentang dia selama hampir dua tahun ini. Aku sendiri tidakberani bertanya pada kakaknya ketika satu setengah tahunyang lalu aku datang ke rumahnya. Ingin tahu tapi segan untukbertanya. Waktu pertunangannya dahulu, pada akhir 1967,aku tidak diundang. Apalagi kini setelah hubungan terputusbeberapa tahun dalam jarak yang demikian jauh. Andai ini352 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —benar terjadi, do’aku pada Tuhan buat kebahagiaan dia berduadan keluarga.Yah, aku kurang tahu mengapa hatiku begitu terikat olehkeluarga itu. Hatiku ikut merasakan kebahagiaan dan kesedihanyang menimpa keluarga itu. Adakah karena beliau, seorangbapak yang suka menemani dalam mengikuti masalah-masalahpolitik ataukah dia putranya yang menjadi kawanku seorganisasi,ataukah karena dia, putrinya yang bungsu dengan sifatsifatnyatertentu. Di saat-saat lengang begini ingatanku selaluterbawa kembali pada 5-6 tahun yang lalu di kala aku sebagaipemuda bodoh hampir tiap hari bermain ke keluarga itu.25 Juli 1971Buku-buku Antik dan Macam-macam TiraniBanyak sekali buku-buku dokumentasi yang antik belum sayabaca. Dan aku baru menemui buku-buku itu pada umur yangsudah lanjut, 29 tahun, pada umur mana daya hafalku sudahjauh berkurang dan saingan dari buku-buku lain hasil abadmoderen sangat berat. Lintasan Sejarah Dunia Karya Nehru,Cerita-cerita Panji, Hikayat Abdullah, buku-buku Tan Malaka,Sejarah Melayu untuk menyebut beberapa, mestinya sudah kubacasewaktu masih belajar di SD atau SMP. Inilah kerugiannyakurang tahu macam-macamnya bacaan baik sewaktu muda.Aku memang tidak dilahirkan di kalangan intelektual, tapi akusudah bersyukur bahwa ayahku cukup memberi kesempatanmenurut kemampuannya dan telah mengajari aku banyak sekalitentang masalah-masalah agama. Kelak buat anak-anakku akuPribadi yang Selalu Gelisah 353


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —harus mengenalkan mereka pada buku-buku penting sejakkecil. Dengan demikian masa dewasanya bisa dipakai sematamatauntuk menganalisa.Pada hematku apa yang kita baca, lihat dan dengarkanharus diusahakan menampakkan problem atau nilai-nilaibaru. Setelah itu tugas kita selanjutnya ialah mengkonfrontasikanatau mendialogkan problem-problem atau nilai-nilaibaru tersebut dengan apa-apa yang sudah kita miliki dalamdiri seperti agama, kebiasaan, mentalitas, persoalan-persoalanumat, bangsa dan kemanusiaan, dengan demikian diharapkanbisa terjadi intergrasi dalam tingkat yang lebih tinggi dalamkesiapaan diri kita yaitu: pemikiran dan kepribadian. Tanpamelakukan konfrontasi yang serius antara seluruh kediriankita dengan pengalaman-pengalaman baru yang kita terima,berarti tidak ada perkembangan lagi dalam kepribadian kitadan pada gilirannya ini kurang membantu perkembanganintelektualitas. Aktifitas otak tanpa disertai dinamika mentalitasakan mengurang agresifitas otak itu sendiri di sampingkurang tingginya kadar kegunaan kemampuan otak itusendiri.Seluruh kekuatan otak dan rohani aku sertakan untuk memasaksetiap bahan yang kuterima lewat mata ataupun telinga,berupa pendengaran, penglihatan atau bacaan. Semuanya selainmelewati otak kuhubungkan secara intens dengan seganap“involvement” yang kumiliki: agama, tradisi, umat, bangsa, kemanusiaan,organisasi dan lain-lain. Dengan demikian setiapuraian-uraian, pikiran-pikiran atau pengalaman-pengalamanbaru tidak hanya menggugah otak tapi juga menggoncangkanseluruh dasar-dasar kepribadianku. Karena itu bila setumpuk354 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —texbook tentang evaluasi masyarakat melekat atau lewat begitusaja di kepala seorang muslim, maka bagiku, satu lembar daripadanyatelah cukup membuat jantungku berdebar-debar. Bagikuuraian buku itu jelas sekali mempunyai hubungan-hubungandengan tradisi yang kujalankan, persoalan-persoalan umat,bangsa dan kemanusiaan yang kuhadapi. Jadi uraian-uraiandalam buku tersebut bagiku terasa seolah-olah membicarakandirikusendiri. Dia tak hanya mensuplai persediaan dalam otakku,tapi juga menanyakan masalah-masalah yang bersangkutandengan sikapku dalam hidup.Membuat jiwa dan otak selalu aktif dan membebaskan jiwadari kekangan-kekangan tirani adalah perjuangan yang sangatsukar. Tirani jiwa bisa berupa agama, tradisi, cita-cita, prinsipdan lain-lain. Semuanya itu tidak inheren menjadi tirani, tapibisa menjadi tirani. Karena itu semua apa yang kita pegang,yang notabene memang perlu, harus terbuka untuk pertanyaandan perobahan. Kita memegang dengan terbuka. Aku mengusahakanini dengan selalu mengejar arena-arena baru, pergaulanbaru dan teman-teman baru.Kupikir tugas kita adalah memperkaya rohani dengan kesadaran-kesadaranbaru tentang persoalan-persoalan hidup yangsebelumnya telah mengekang diri sebagai persoalan bawah sadar.Tidak semua orang mampu dengan sendirinya mengangkatproblem-problem bawah sadar yang mengitarinya kepadatingkat kesadaran dan kemudian memecahkannya setelahdiurainya detail-detail persoalan itu dengan jelas. Karena itukita perlu pertolongan orang-orang lain untuk ikut menikmatiatau menimba kekayaan-kekayaan rohani yang mereka miliki.Dengan banyak bergaul dengan mereka yang giat berpikir danPribadi yang Selalu Gelisah 355


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —merenung kita ditolong untuk lebih mampu menangkap warna-warnakehidupan yang lebih kompleks, menangkap detaildetailpersoalan yang lebih jelas, melihat liku-liku kehidupandengan lebih baik. Dengan demikian telah terjadi differensiasiyang itens dalam otak kita untuk menangkap kemungkinan-kemungkinanhidup yang sangat kompleks. Keanehan persoalanhidup ini hampir tak berbatas. Karena itu differensiasi dalamotak harus makin intens.Nah, tentu ada perbedaan antara orang terpelajar denganorang awam, antara lain bahwa kita (yang mengaku pelajar)mampu dengan cepat menarik pelajaran-pelajaran pentingdari pengalaman-pengalaman yang singkat. Dengan demikiankita tidak menentukan jumlah pengalaman yang samauntuk memiliki keterampilan tertentu yang sepadan. Setiappengalaman segera kita letakkan dalam rangkaian sistematisasihubungan yang sudah ada dari pengalaman-pengalamankita sebelumnya.Lepas dari soal-soal yang sepele, aku merasa makin lamahidup di Yogya makin sepi. Teman-teman makin berkurangdan arena-arena baru tidak banyak. Tak sedikit kekangan-kekanganbatin yang aku takut untuk melihat dan untuk memikirkannya.15 Agustus 1971Kesadaran BaruAku sangat terlambat menyadari keanekaan dan kekayaandunia dan kehidupan ini. Aku sadar setelah kesempatan356 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tidak banyak lagi. Alangkah luas dan kompleksnya ilmupengetahuan. Alangkah banyaknya ide-ide yang bisa diungkapkankompleksitas unsur-unsur kehidupan ini. Dan semuaini kusadari setelah fasilitas dan sensitifitas dalam diri mulaiberkurang. Alangkah kering dan kerdilnya jawaban beberapatahun yang lalu.Kini aku merasa lahir kembali dengan penuh gairah.19 Agustus 1971Kestabilan DiriKalau kita cukup jujur tentu akan diakui bahwa totalitaspribadi kita ini tidak pernah bulat Dalam setiap diri mestiada suatu persentase kecil yang melawan atau meragukansikap-sikap umum kita sendiri. Keraguan-keraguan berada disamping kepercayaan, sedang kecurigaan berada di sampingkepercayaan, sedang kecurigaan berada di samping penyerahan.Kekurangan kita selama ini ialah bahwa kita berusahamenutup-nutupi persentase kecil tersebut. Kita selalu cenderunguntuk mengekspresikan sikap-sikap umum yang konklusif dankurang memberi hak pada sebagian kecil pribadi kita untukmenyatakan diri sebagi suatu pemikiran yang utuh. Dengandemikian tidak pernah terjadi dialektik dalam jiwa, karenakita senantiasa. mengaburkan dialektik tersebut. Karena itutugas kita kini ialah mengungkapkan secara terus terang ataumemberi hak hidup bagi setiap unsur dalam diri kita. Bagikestabilan diri, yang utama ialah bahwa kita harus selalumencari jawaban akan keraaguan-keraguan yang ada danPribadi yang Selalu Gelisah 357


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —mempersoalkan atau menguji kembali kepercayaan-kepercayaanyang sudah kita terima. Dan seterusnya.17 Oktober 1971Menafsirkan Orang LainSeringkali kita menafsirkan orang lain menurut kerangka kepribadiankita sendiri. Seseorang yang sedang menggembangkandirinya kita sebut atau kita tafsirkan sebagai merendahkandiri kita. Seseorang yang mengutarakan sikap dan cita-citapribadinya, yang obyektif memang ada sangkutan nilai dengansoal diri kita, kadang-kadang kita tafsirkan sebagai celaan padakeadaan diri kita. Sikap demikian tidak obyektif. Kita harusmenafsirkan orang lain menurut dunianya harus menghormatikekhususan itu.29 November 1971NasibkuAku sangat kuatir akan kemampuanku sendiri dalam menjagakeseimbangan batin di tengah-tengah kekecewaan terhadapnasibku selama ini, terhadap lingkunganku, terhadap temantemanlamaku dan lain-lain. Mudah-mudahan aku tidak akanterdesak untuk mengambil langkah-langkah artifisial karenakecewa. Alangkah menderitanya kehidupan batinku. Kehidupanyang bergantung pada orang lain membuat batinku tersiksadan kemerdekaan pribadiku seolah-olah hilang. Aku ingin358 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —lepas-bebas walaupun menderita secara jasmaniah. Tapi bisakahorang menggunakan kebebasan batinnya dalam penderitaanjasmaniah yang di luar batas? Apakah guna kemerdekaan bilatidak mampu menggunakannya?Hari ini banyak hal terpikir olehku. Misalnya apakah akuakan seperti orang-orang tua yang sering aku kritik sekarangini? Bagaimana aku menjaga supaya pikiran-pikiranku tetapbersemangat muda di samping keinginanku agar ada arah yangmantap dalam pikiran-pikiranku? Kupikir yang pertama sekaliadalah menyusun suatu sikap dasar yang menghargai danmemahami macam-macam alam pikiran di segala zaman dantempat. Yang kedua adalah selalu mengikuti perkembangan pemikiranyang ada serta memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatandengan sikap-sikap dasar di atas agar selalu bisadiberikan penyegaran dan ide-ide yang baru.31 Desember 1971Di Jakarta: Mesti Terasing dan Tidak Konsisten?Aku bukanlah orang yang kuat mengalami goncangan perasaanyang datang bertubi-tubi. Jiwaku sukar ditenangkan. Pemusatanhasratku dalam beberapa hari mudah pecah menghadapimasalah-masalah mendadak. Begitu masalah itu datang danperasaanku tergoncang, aku memerlukan orang tempat aku melahirkanrekreasi-rekreasi perasaanku. Tetapi, kepada siapakahperasaan itu disampaikan? Di Jakarta aku merasa asing. Akutak memiliki kawan pribadi.Pribadi yang Selalu Gelisah 359


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Aku sampai pada kesimpulan bahwa segala peristiwa memperingatkansetiap orang supaya bergantung pada dirinya sendiri.Jangan mengharap belas kasihan orang lain bila sekaliguskita ingin terhormat. Hukum alam bagi pergaulan antar manusiaadalah supremasi kekuatan. Kehormatan melekat padakekuatan. Dan kelemahan berarti kebiasaan. Nah, ternyatalahbahwa kesenangan orang pupus musnah setelah aku tidak berkekuatan.Betapa banyak kawan-kawan bagiku sendiri enggandan menjauh dariku setelah mereka tahu tidak ada lagi keuntunganbisa diperoleh dari orang yang tidak punya kekuatanapa-apa seperti aku. Jadi apakah kekuatan itu? Sebut saja: uang,pengaruh dan status sosial! Coba perhatikan betapa banyakidealis-idealis yang telah runtuh dan kini telah berkompromi.Apa yang dulu mereka serang, sekarang mereka sendiri mengerjakannya.Yogya sering disebut sebagai kawan-kawan sebagai kotanyapara idealis. Sepanjang pengamatku tidak ada idealis-idealisdari Yogya yang bisa bertahan dengan idealismenya di Jakarta,suatu kota yang ganas. Di Jakarta, mereka terpaksa” tidakkonsisten.Kini aku harus dengan yakin memegang nasibku di tangankusendiri.31 Maret 1972Kantuk dan LaparAku tak berdaya melawan kantuk dan lapar. Kesehatan tubuhkutidak cukup kuat menghadapinya. Tubuhku sakit bila360 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kurang tidur dan menahan lapar. Aku ingin tidur banyak danmakan cukup. Tidur yang banyak walaupun di tempat yangsederhana dan makan yang kenyang walaupun murahan.11 April 1972Sebagai WartawanBagiku pekerjaan wartawan mungkin tidak akan terlalu lama.Sekitar dua tahun kiranya sudah cukup untuk meresapi suatupengalaman dan menanamkan kebiasaan menulis tanpa merusakmutu. Karena itu, dari pengalaman hidup yang akanberlangsung tidak terlalu lama itu, aku harus menarik banyakpelajaran.Gajiku yang cukup rendah dan statusku yang jelas tidaklumayan tak boleh menjadi penghalang untuk bekerja denganbaik, di samping aku harus terus menerus menambah ilmu.Kemudian ada sedikit yang perlu kucatat di sini: Sering kaliapa yang disebut “news”, dan ini yang dikejar para wartawan,sekedar gejala permukaan yang sangat kontemporer. Jalinanyang lebih dalam dianggap kurang menarik untuk diungkap,karena wartawan, dalam pemberitaan, harus menyelaraskandiri dengan kemampuan dan selera publik. Ini aspek vertikal.Dalam aspek horisontal. Sering kali masalah-masalah “aneh”tapi dangkal, jauh lebih menarik daripada peristiwa-peristiwaserius. Orang menggigit anjing lebih diutamakan buat pemberitaandari pada susunan otak anjing tersebut.Nah, yang banyak menyita pikiranku sebagai wartawanadalah: menyajikan suatu peristiwa dalam bentuk berita agar je-Pribadi yang Selalu Gelisah 361


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —las bagi pembaca dan sekaligus menarik hatinya. Kurang sekaliwaktu untuk memikirkan dengan intens bagaimana sebenarnyapersoalan-persoalan dalam peristiwa tadi serta pemecahannya.Memikirkan dengan serius pokok persoalan yang sebenarnya,kurang sekali. Inilah mungkin yang membuat otakku tumpuldan kemampuan berpikirku menurun.Banyak hal-hal yang dulu hampir aku kuasai dengan baik,kini seolah-olah barang asing setelah empat bulanaku menjadiwartawan. Tapi apa hendak dikata. Aku mesti menekuni pekerjaanini, beberapa efek negatifnya.1 Oktober 1972Hidup yang GersangSehari sudah, Ramadhan tahun ini aku lewati. Untuk pertamakalinya aku memasuki Ramadhan tanpa tempat tinggal tetap.Aku berbuka dan sahur di warung. Sukar menduga, apakah iniakan merupakan pengalaman rohani yang berarti. Semua initergantung pada upaya batinku sendiri untuk memanfaatkanmakna yang dalam pada setiap lintasan hidup.Hidupku terasa gersang. Mengapa gairah pada persoalanpersoalankemasyarakatan bagiku cepat menurun. Banyak persoalankutunda pemecahannya. Banyak yang ingin kukerjakan,tak bisa terkerjakan pada keadaan seperti ini.Kecemasan-kecemasan baru mulai membayang.9 Oktober 1972362 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —KepribadianDalam ketidaktentuan dan serba kekurangan seperti sekarangini, tidak saja tugas-tugas kewartawananku dan kebutuhanmaterialku yang tidak terbereskan, tetapi terutama banyak masalah-masalahrohaniah yang terbengkalai. Misalnya saja sikapdan tindak saya dalam agama. Aku sadar bahwa keadaankusekarang belum mantap. Ya, aku belum sempat membereskannya.Kemacetaan rohani yang kualami dalam setahun terakhirini, membuatku malu. Pikiran-pikiranku sekarang hampir tidakmengalami perkembangan sedikitpun dari pada bentuk yangkuperoleh 1-2 tahun yang lalu. Aku harus segera menemukankondisi yang memungkinkan aku bertanya lebih tajam danmenjawab lebih dalam. Bila tidak, disamping aku akan “itu keitu juga”, kepribadianku akan pecah berserakan, disintegratifdan serba tidak mantap.Pembentukan pribadi dan sikap adalah proses terus-menerusdan kita perlu secara sadar mencampuri dan bersusahpayahproses tersebut. Proses itu tak boleh, walaupun bisa, diserahkansemata-mata pada macam-macam input dan pergulatanalami.Kepribadianku adalah aku dan sekaligus milikku.13 Oktober 1972Kelakar dan TuhanMenempatkan Tuhan sebagai obyek pergurauan sering cukupbermanfaat, karena hal itu mencerdaskan otak dan buat sementaramembebaskan jiwa dari tabu atau ikatan. WalaupunPribadi yang Selalu Gelisah 363


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —begitu tidak benar kalau ita berhenti pada kelakar. Isi kelakarsebaiknya segera diperhalus dan dirumuskan dalam batin yangserius. Dia harus disophistikasikan.Sementara teman-teman berhenti pada kelakar dan sebagianlain sama sekali tak menyukai menjadikan Tuhan sebagaiobyek kelakar.13 Oktober 1972Ingin Jumpa, Tapi...Memang aku ingin berjumpa dia, sementara dipihak lain hatikumelarang. Tapi, bagaimanapun aku selalu mengharapkan kehidupanserta selamat dari kesulitan-kesulitan besar.Aku sulit melupakannya.4 Nopember 1972Ulang Tahun KetigapuluhTernyata ulangtahun dan hari kelahiranku yang resmi, 9 November,telah lewat sehari. Kemarin aku sakit dan aku lupapada tanggal itu. Walaupun begitu aku ingin tetap berdoa: SemoggaAllah memberiku umur panjang, karena masih banyakyang ingin aku perbuat, termasuk tanggungjawabku kepadakeluarga.Ya, kini aku baru sadar akan arti menjaga kesehatan. Telahdua kali dokter mengingatkan aku akan kondisi tubuhyang kurang baik. Aku tak tau. Apa sesungguhnya yang me-364 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —nyebabkan kesehatanku begitu menurun. Kelelahan, tekanantekananmental, menu makanan yag rendah, makan dan tiduryang tidak teratur atau lain-lain dengan catatan bahwa padatingkat tertentu pada semuanya berhubungan pada kekuranganuang.Kini aku perlu realitas. Walaupun kemauan berbuat tinggi,kemampuan badan harus diingat dan dipertahankan. Hidupkumemerlukan perencanaan dari pemenuhan syarat-syarat yangdasar, yaitu landasan untuk mengatur diri alias: rumah danperalatannya. Allah, kini aku bertanya padamu. BersediakahEngkau hadir dalam usahaku?10 Nopember 1972Hari Pertama di Kebon KacangAku bangun pagi terlambat. Entah sudah jam berapa sekarang.Semalam aku sibuk mengatur kamar, mengatur buku. Badankusangat lelah. Malam tadi adalah malam pertama aku menempatirumah kontrakanku di Kebon Kacang 1/112.17 Desember 1972Bapak SugirDari kemarin aku bertanya-tanya mengenai kabar yang kuterima.Betulkah Bapak Sugir sudah meninggal dunia? Sejakpertemuanku beberapa hari sebelum Ramadhan yang lalu akusudah cemas. Persoalanku dengan anaknya membuat aku tidakPribadi yang Selalu Gelisah 365


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bisa sering ke sana. Dan rupanya pertemuan tersebut adalahyang terakhir. Baru tadi pagi aku sempat kerumahnya. Ternyatamemang betul. Beliau telah meninggal 40 hari yang lalu tepatnyatanggal 6 Nopember 1972. Alangkah lama, sementara akutak tahu apa-apa: Rabbi Allahummagfirlahu war hamhu, wafihiwa’fu anhu. Amien!18 Desember 1972Aku Merasa BersalahTidak sedikitpun maksud di hatiku untuk mempermainkannyaatau mengikatnya dalam ketidakpastian. Tapi aku betul-betulmerasa bersalah bila benar bahwa yang tidak kumaksud justerumerupakan kenyataan. Rasanya ingin aku datang padanyamenjelaskan pikiran-pikiranku. Mungkin selama ini aku kurangbersikap jelas.Tapi, bukankah yang jelas belum tentu baik?18 Desember 1972AyahkuAyah selalu menyembunyikan kesulitan-kesulitannya kepadaku.Ayah tak ingin melibatkan aku dalam kesulitan-kesulitan. Ayahsering tidak sampai hati. Ayahku sudah tua. Enam puluh tigatahun adalah umur yang sebaiknya hanya digunakan buatpemikiran-pemikiran ringan.366 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sayang, anak-anaknya belum benar-benar kuat untuk melonggarkanbebannya.18 Desember 1972Sejak Aku Bekerja di TempoSementara modernitas belum menjadi naluri, aku masuk lagisecara fisik ke perkampungan tradisional yang sikap-sikapnyamerupakan oposisi pada perkembangan.Dengan apakah aku bisa menghindarkan diri dari kompromiidiil? Sejak aku bekerja di Tempo yang hampir menyitaseluruh waktuku, hampir tak ada waktu bagiku untuk membangunkepribadian dan sikap-sikapku. Dalam beberapa halpengetahuanku bertambah, disamping sebaliknya beberapa halmenguap, tetapi pergumulan batin hampir tak pernah terjadi.Jiwaku menjadi kurang peka, sementara otakku tidak lagi agresif.Adakah ini disebabkan kesulitan-kesulitan hidup yangterlalu besar, sementara aku, seperti dulu di Yogya, tidak bisamelarikan diri darinya.25 Desember 1972Banyak yang Ingin KulakukanBanyak yang ingin kulakukan, tidak juga kulakukan. Membalassurat-surat, menjenguk suami Ibu (bukan BundanyaWahib, Ed.) yang lagi sakit, membuat skema kerja dan pembacaanbeberapa buku yang tak kunjung kulakukan. Rabbi,Pribadi yang Selalu Gelisah 367


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —bila kiranya kekosongan jiwa ini bisa merupakan permulaandari sebuah renungan baru tentang rahasiamu, masukkanlahaku lebih dalam pada kekosongan itu agar aku lebih tekunmencari artinya.18 Januari 1973Sepulangnya dari BandungSekembali dari bandung, badanku kembali tidak sehat. Semangatbekerja merosot dan flu menyerang pernafasanku. Adalahsemua ini berhubungan dengan suasana jiwa yang gelisah karenabelum menemukan jalan dalam perintisan masa depan?Dalam setahun di Jakarta, aku belum menemukan tempatberpijak yang kuat.30 Januari 1973Ingin PulangIngin kupulang barang sebentar. Bila Bunda melihatku tentuhatinya senang sekali. Ayah tentu sedikit gelisah oleh beberapaberita dalam majalah-majalah tentang diriku dan gerakanpembaharuan. Tapi aku mengharapkan keluasan pandanganyadalam menghadapi pikiran-pikiran orang muda.31 Januari 1973368 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Buku-buku yang MalangKemalangan kembali menimpa. Beberapa buku yang kubelidengan susah-payah,rusak dimakan rayap. Sementara beberapadokumen penting hampir tak bisa dipakai sama sekali. Iniakibat tiadanya tempat buku. Kelangkaan uang menyebabkanbanyak sekali kerugian baik benda ataupun waktu. Semuanyaberjalan serba tidak effisien, sedang aku sangat takut berhutang.19 Februari 1973Sembahyang Buat Ayah yang SakitMalam ini aku bersembahyang buat Ayah yang sedang kurangsehat di rumah. Ada berita bahwa dari mulut dan hidungnyakeluar darah. Semoga Allah membaikkan kembali kesehatannya,menenteramkan hatinya yang kukira dirundung kesulitankesulitan.Amien.26 Februari 1973Pribadi yang Selalu Gelisah 369


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bagian 5Sejumlah Komentar


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —PengantarKetika terbit pertama kali, pada paruh kedua tahun 1981, bukuini mendapat begitu banyak tanggapan pro dan kontra dariberbagai kalangan masyarakat. Tanggapan tersebut munculdalam bentuk tinjauan buku, artikel, surat pembaca, hasilwawancara dan sebagainya di sejumlah media massa cetak,bahkan merebak diberbagai forum diskusi dan obrolan-obrolandi lingkungan para aktivis mahasiswa dan cendekiawan, khususnyadikalangan <strong>Islam</strong>. Malahan, untuk mengenang kembaliAhmad Wahib, sekitar 14 tahun kemudian, isi buku ini diangkatkembali oleh perspektif pro dan kontra.Sebagian kecil dari tangapan-tangapan di media pers itu diketengahkanberikut ini: Abdurrahman Wahid (tempo 19 September1981); Fachry Ali (Kompas, 17 September 1981); Prof.Dr. H.M. Rasjidi (Kiblat, 1981); Hadimulyo (Panji Masyarakat,1981); Bachtiar Effendi (Republika, 31 Maret 1995, wawancaraoleh Ihsan Ali-Fauzi); Ahmad Sumargono (Republika, 11 April1995). Th. Sumartana (Prisma No. 8, Agustus 1981)Kepada media cetak yang disebutkan di atas, penerbitLP3ES mengucapkan terima kasih atas kesempatan mengutiptanggapan-tanggapan tersebut.371


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Catatan Tambahan untuk Edisi DigitalKomentar dan tanggapan dalam Bagian 5 merujuk Buku <strong>Pergolakan</strong><strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong> Edisi Cetak yang diterbitkan oleh LP3ES.Halaman yang dirujuk tersebut berbeda dengan halaman padaEdisi Digital ini.Kami sengaja tetap menampilkan apa adanya catatan rujukanhalaman tersebut, sebagaimana terpublikasi sebelumnya.Redaksi Edisi Digital.372 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bak Tukang Batu, Menghantam TembokSeorang muslim yang meragukan Tuhan justru untuk lebih meyakinikehadiranNya. Itulah kesan dari catatan harian AhmadWahib, pemikir muda <strong>Islam</strong> yang meninggal tertabrak motor didepan kantor TEMPO dulu-kantor tempatnya bekerja sebagaireporter.Bagi pembaca yang tidak mengenalnya secara pribadi sulitmendapatkan kesan utuh tentang diri Ahmad Wahib hanyadari buku ini. Pemikir muda muslim yang mati muda ini(91943-1973) menyajikan dalam catatan harian yang diwariskannya,beberapa keping yang mungkin dapat menyajikangambaran lengkap tentang kepribadian yang bulat hanya setelahpengenalan pribadi yang cukup lama.Ketulusan untuk memperoleh kebenaran dengan pertaruhantertinggi. Keberanian menghadapkan diri sendiri kepadamasalah-masalah keimanan terdalam-yang berarti pengakuanpenuh atas keraguan mendasar dalam hati sendiri. Dankemampuan untuk memetik pelajaran dari pihak mana pun.Semua itu adalah hal-hal yang saling bertentangan tetapi berkembangdalam hidup Ahmad Wahib.Mengejar kebenaran Secara tuntas mengandaikan kepastiansikap yang penuh – katakanlah semacam elan vitalnya seorangfilosof. Sedangkan intropeksi ke dalam, justru menam-Sejumlah Komentar 373


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pakkan wajah yang berkebalikan. Lalu bagaimana pula keduanyaharus dipertalikan dengan kelemahan hati seseorang yangmampu belajar dari siapa pun? Sulit diketahui ‘bagaimananya’pergolakan pemikiran Ahmad Wahib. Terlebih-lebih kalau diteropongdari sisi lain watak hidupnya sendiri: kebimbangan(atau justru rasa rendah dirinya?) untuk mewujudkan tidaklanjut bagi ikatan kasih yang dijalaninya dengan seorang gadis,umpamanya atau sifat pemalunya yang demikian besar.Kesan tiadanya keutuhan gambaran itulah yang munculdari membaca buku ini. Padahal pribadi yang digambarkanjustru sangat kuat proyeksinya kepada pembaca sebagai sesuatuyang utuh! Hanya orang tidak tahu keseluruhan wajah keutuhanitu sendiri.Di sinilah harus disayangkan kegagalan kata pengantarProf. Dr. A. Mukti Ali dan pendahuluan Djohan Effendi. Sebagaibekas pembimbing intelektual-keagamaan dan kawan terdekatAhmad Wahib, seharusnya kedua orang tersebut menjelaskansecara terperinci aspek-aspek pergulatannya yang tidaktertangkap oleh orang lain. Manakah gambaran jelas tentangbermulanya proses itu? Dera apakah yang harus dijalani AhmadWahib dalam hidupnya, yang membentuk kepribadiannya?Sejauh manakah pemikir muda ini disengsarakan kejujurannyayang demikian mutlak itu?Kita tahu ia harus bergulat, tetapi apa lingkup pergulatannya,kesakitannya sewaktu menjalani proses tersebut harapanyang dirumuskannya sebagai ujung pergulatan?Tetapi yang luar biasa dari buku ini adalah kenyataan akantingginya intensitas pergulatan pemikiran dalam diri AhmadWahib. Tanpa kejelasan situasinya sekalipun kita tetap mera-374 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sakan betapa besar arti pergulatan itu bagi diri Ahmad Wahibsendiri dan bagi teman-teman sejawatnya. Bahkan mungkinbagi perkembangan <strong>Islam</strong> sendiri, di sini!Begitu kuat keterlibatan Ahmad Wahib kepada penentuanmasa depan agama yang dicintainya itu, terasa bagi kita. Padahal,tetap saja tidak jelas apa visinya akan masa lampau agamatersebut. Kalau ia dapati kekurangan sedemikian mendasar didalamnya, mengapakah Ahmad Wahib tidak menolaknya? Bahkansebaliknya, ia lebih dalam mencintainya-bagaikan orangmencintai pelacur walaupun tahu apa yang dilakukan pelacuritu sehari-hari.Berpikir NisbiDalam pernyataannya bahwa ia harus meragukan adanya Tuhanuntuk dapat lebih merasakan makna kehadiran-Nya (hal.23, 30 dan 47 umpamanya), jelas menunjukkan kebutuhannyasendiri kepada Tuhan yang itu-itu juga – bukannya Tuhanyang lain hasil buatanya sendiri. Inilah yang merupakan intikehadiran Ahmad Wahib dalam kehidupan kaum musliminkita di permulaan tahun tujuhpuluhan: ketundukannya yangpenuh kepada Yang Mutlak, dengan mengunakan cara-caraberpikir nisbi.Selebihnya menarik terutama sebagai kesaksian historisakan potensinya yang besar di bidang pemikiran keagamaan,seandainya ia tidak mati begitu muda. Betapa ia mengerti hakikat‘kebidataan –Nya NU, sambil tetap tidak mampu melepaskandiri dari belenggu kecintaan kepada HMI. Betapa pandainyaia memaki kawan seiring, karena kepengecutan merekaSejumlah Komentar 375


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dalam menanggung konsekuensi logis pemikiran mereka. Tetapisambil merasa ketakutan, bahwa ia akan menganiaya merekadengan tuntutan-tuntutan terlalu berat. Dan betapa AhmadWahib mampu mengajukan begitu banyak pertanyaan fundamentalkepada teman-teman seagamanya, padahal ia sendirisangat kekurangan pengetahuan dasar tentang pemikiran keagamaanitu sendiri!Ia menyadari bahwa keterlibatannya kepada ‘pembaharuan<strong>Islam</strong>’ justru muncul dari kenyataan begitu besarnya kemelutkehidupan kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, AhmadWahib sedalam-dalamnya menyadari bahwa hanya satu-duaorang saja yang akan mampu mengikutinya. Sisanya, tetap sajaberada dalam kamelut mereka.Toh ia tak juga mau meninggalkan upaya meningkatkankeimanan mereka, meskipun ia tahu akan gagal total. Dilakukannyaitu tidak lain karena kecintaannya kepada <strong>Islam</strong> yangapa adanya ‘sebagaimana tampak di pelupuk matanya. Upayanyamemberontak tidak lain karena ketakutan akan irelevansi‘<strong>Islam</strong> apa adanya’ itu bagi orang lain di kemudian hari, bukanbagi dirinya.Ternyata, kalau dilihat dari sudut ini, Ahmad Wahib merupakansisi lain dari mata uang yang sama: kekuatan akan erosikeimanan kaum muslimin di kemudian hari. Wajah satunyalagi, adalah kuatnya kecenderungan sementara lulusan dan jebolandisiplin ilmiah eksakta untuk mengajukan ‘kebenaran’<strong>Islam</strong> secara formal.Ahmad Wahib sendiri adalah dari kelompok ‘jebolan eksakta’,yang kemudian lari ke filsafat. Tetapi ia menolak forma-376 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —lisme seperti itu. Namun tetap saja ia melakukan kerja mengukuhkankehadiran <strong>Islam</strong>, seperti kaum ‘formalis’ itu.Mengukuhkan AgamaMemang, sedalam-dalamnya Ahmad Wahib adalah seorangmuslim dengan keimanan penuh. Pemberontakan yang dilakukannyajustru bertujuan mengukuhkan agama yang diyakininyaitu. Bak tukang batu yang menghantamkan palunya ke tembok,untuk menguji kekuatan dan daya tahan tembok tersebut. Siapadapat mengatakan menjadi ‘muslim bergolak dan pemberontak’seperti Ahmad Wahib ini lebih rendah kadarnya dari ‘kemusliman’mereka yang tidak pernah mempertanyakan kebenaranagama mereka sekalipun?Kutipan berikut dari catatan harian Ahmad Wahib dengantepat menggambarkan kesimpulan itu. ‘’Aku bukan nasionalis,bukan katolik. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis.Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalahsemuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Akuingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatukemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkandari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa sayaberangkat. Memahami manusia sebagai manusia”, (hal. 46 ).Alangkah mulianya pribadi Ahmad Wahib, dan alangkah sempurnakemuslimannya.Abdurrahman WahidTempo, 19 September 1981Sejumlah Komentar 377


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>Catatan Harian Ahmad WahibKetika ia sedang sibuk-sibuknya mencari Tuhan, secara tibatibasebuah sepeda motor menabraknya dari belakang. Danhari itu juga, 31 Maret 1973, Ahmad Wahib, calon reportermajalah Tempo menghadap Tuhan. Apakah ia bertemu denganTuhan yang dicarinya? Tidak jelas. Komunikasi dengannyatelah terputus untuk selama-lamanya.Tetapi Wahib pergi bagaikan harimau yang meninggalkanbelang. Belangnya berupa catatan harian (Caha) yang telah tertumpukrapi seperti buku. Tumpukkan kertas itu nyaris menjadisaksi bisu akan kehadiran fikiran-fikirannya apa yang segardan relatif fundamental, kalau tidak Djohan Effendi menyimpannya.Lewat kerjasama dengan Ismed Natsir dan LP3ES cecerancaha itu muncul dalam bentuk buku dengan judul merangsang,<strong>Pergolakan</strong> pamikiran <strong>Islam</strong>Wahib dan Tuhan yang LainDalam konteks ber-Tuhan, bagaimanakah kita harus mengertitentang Wahib? Seorang anak kiyai Madura, dibesarkan dikalanganpesantren dan menyerap dalam-dalam kultur santri– meskipun kemudian sekolah di fakultas Ilmu Pasti dan AlamUniversitas Gajah Mada – tiba-tiba berkata: “Apakah Tuhanbesar karena manusia merasa kecil di hadapan ombak yanggemeruh bergelora? Adakah Tuhan agung karena manusia takberdaya di hadapan alam yang luas, laut yang tiada bertepi?Kalau begitu Tuhan besar karena kekecilan manusia. Alangkah378 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —sederhananya ke-Tuhanan yang semacam itu. Aku tak mauTuhan yang seperti itu. Aku mau cari Tuhan yang lain.”Dalam bagian lain, Wahib bertanya lebih dalam: “Tuhan,bisakah aku menerima hukum-hukum-Mu tanpa meragukannyaterlebih dahulu? Murkakah Engkau bila aku berbicara dengan-Mudengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak yangEngkau sendiri berikan kepadaku dengan kemampuan-kemampuanbebasnya sekali?”Bagaimanakah kita mengerti tentang ini? Seorang anak kiyaiyang tentu saja cukup faham dengan diktum Tuhan “zalikalkitaabulaaraiba fiihim hudan lil muttaqiin”? telah kafirkahWahib?Tidak! Wahib seorang pencari Tuhan yang intens. Intensitasini bukan karena ingkar adanya Tuhan, tetapi karena keyakinannyayang mendalam tentang adanya Tuhan. Jadi, meskipundengan nakal ia berucap, “bagaimana orang disuruh dengan sukarelapercaya pada Tuhan ada, kalau tidak boleh memikirkankemungkinan benarnya kepercayaan, bahwa Tuhan tidak ada”,tetapi toh berkali-kali kita pergoki fikiran-fikiran yang menghunjuksebaliknya. Pada halaman 53 dia bahkan berdo’a kepadaTuhan yaang sedang dicarinya: “Tuhan, aku mohon kekuatandari-Mu untuk maju”. Dan pada halaman 114-115 dia mengharapkanlahirnya bimbingan Tuhan (wahyu): “Saya yakin, bahwawahyu Tuhan turun terus secara tak langsung pada manusiamanusiayang berusaha setelah Muhammad”.Wahib melihat faktor Tuhan dan masalah-masalah ke-Tuhanansangat penting bagi manusia. Mengapa? Karena teologilahyang mamberikan integrasi terhadap pemikiran dan sikapsikapyang telah riel dalam berbagai sektor kehidupan. TeologiSejumlah Komentar 379


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —adalah generalis yang paling tinggi dan meliputi. Inilah cecerancaha yang dikutip Syu’bah Asa dalam Tempo, 14 April 1973.Dengan sikap itu ia melahirkan tesis, bahwa sistem teologi<strong>Islam</strong> yang berkembang dewasa ini tidak cukup relevan memberikanjawaban terhadap permasalahan-permasalahan kemanusiaan.Ia tidak mampu lagi menimbulkan dialog dan kehilangandaya gugahnya. Karena ia masih berbicara dengan bahasaabad ke-17 dan sama sekali tidak memenuhi syarat-syaratbahasa abad ke-20.Tetapi bentuk Tuhan bagaimanakah yang dicari? Pertanyaanini tidak terjawab. Ia telah pergi menuju Tuhan. Tetapi daricahanya ada kesan, ia mencari Tuhan yang lain dan menelanluluh dalam bagan perkembangan intelektualnya. Sejauh intelektualnyaberkembang, sejauh itu pula berkembang konsep ke-Tuhanannya. Tuhan begitu mempribadi dalam dirinya. Ia tidakdipengaruhi oleh konsep Tuhan tentang manusia. Sebaliknya,konsep Tuhan sangat besar dipengaruhi oleh perkembanganintelektual dan kepribadiannya.Belum SelesaiWahib memang fenomen yang belum selesai, seperti dikatakannyasendiri. “Aku bukan Wahib, aku adalah me-Wahib” (hal.55). Pernyataan itu berbau ekstensialis itu tidak kontradiktif dengansikap teologisnya, seperti juga terhadap bagan operasionalpraktis dari teologi (ajaran dan hukum-hukum <strong>Islam</strong>).<strong>Islam</strong> baginya bukanlah sesuatu yang telah sempurna. Banyakhal yang harus dikembangkan. Bahkan dalam beberapabagian meskipun diakui bahwa ia belum terjun pada fondamen380 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang lebih mendasar dari ajaran-ajaran <strong>Islam</strong> – ajaran <strong>Islam</strong> tidaksenafas dengan nilai budaya modern, hanya karena dalam<strong>Islam</strong> ada unsur penyerahan.Pertanyaan ini memang tidak aneh. Sebab hal itu diajukanpada tahun 1969, pada saat mana modernisasi telah menjadimitos dalam alam pembangunan Indonesia. Mungkin ia akanbependapat lain, andaikata ia masih hidup dan membaca “Pyramidsof Sacrifice”, Berger tentang pengelabuan mitos modernisasiatau indictment (tuduhan) 19 kaum intelektual internasional(termasuk 6 orang anggotanya dari AS, sang kampiunmodernisasi) tentang betapa modernisasi yang berlangsung saatini telah melahirkan kepincangan, eksploitasi dan penindasan.Indictment itu di beri judul seram, “The Perversion of Scienceand Technology”.Oleh karena itu ia tidak puas dengan format sistematika<strong>Islam</strong> dewasa ini. Ia harus diubah sesuai dengan kondisi kekinian,instansi <strong>Islam</strong> yang sering disebut-sebut setelah teologiadalah Fiqh. Di matanya, fiqh itu tidak lebih dari fiqh peristiwa,bukan fiqh hakekat. Konsekuensinya, dia hanya berdayalaku untuk suatu peristiwa dan sama sekali terlepas dari unsurunsurkeabadiannya.Diagnosanya adalah karena fiqh itu hanya merangkum bunyinash (ayat Qur’an) dan bukan berpangkal pada apa yangmenyebabkan mungkinnya nash-nash itu. Untuk itu ia menganjurkanperubahan gaya tafsir sesuai dengan pergerakan nilai-nilaidan budaya. ‘’Kita bukan saja memerlukan peremajaaninterpretasi, tetapi yang lebih penting lagi ialah gerakantransformasi,” ujarnya (hal. 57). Dengan yang terakhir ini berartimelepaskan diri dari dominasi huruf guna menuju sumberSejumlah Komentar 381


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —hukum yang lebih relevan. Sumber itu, di samping Qur’an danHadits, juga kondisi sosial.Kondisi sosial sebagai salah satu sumber dalam <strong>Islam</strong> (inibetul-betul baru) erat kaitanya dengan tesis Wahib tentang sejarahMuhammad dan struktur masyarakat serta kondisi sosiokulturaldi zamannya sebagai bahan dasar untuk mengetahui<strong>Islam</strong>. Dan secara mengejutkan disebutnya, justru Qur’an danHadits-lah yang menjadi alat untuk memahami sejarah Muhammad.Dalam hal yang terakhir ini tampaknya lebih darisekedar baru. Ia merupakan penawaran ber-<strong>Islam</strong> secara radikal.Mengapa? Karena dengan menempatkan sejarah Nabi sebagaisumber, maka Qur’an dan Hadits tidak lagi diajarkan sebagairumus-rumus abstrak, melainkan berada dalam kerangkaseluruh setting sosio-historis. Dengan cara ini, setiap muslimakan terhindar dari formalis-formalis dan situasi yang formalitas.Sebab ajaran <strong>Islam</strong> harus dipindahkan kedalam situasi-situasiyang berlainan, yang memang telah menjadi realitas yangtak terelakkan. Maka penafsiran yang ditawarkan adalah “adequatereinterpretation of the normative image”.Dengan menempatkan sejarah Muhammad sebagai sentral,setiap muslim dapat bertugas melakukan historical direction. Inipenting, agar aktivitas spiritual dan intelektual manusia muslimikut berbicara (hal. 111). Hanya dengan melaksanakan tugas inidan memahami tugas historical direction ini – sebagai pangilansekaligus kedatangan Tuhan pada diri kita – kita bisa memahamiwahyu Allah yang komplit. Fikiran ini terasa aneh.Historical directing yang dimaksud adalah usaha pemanusiaansegala urusan yang seharusnya memang menjadi tugas382 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —manusia, meskipun tetap berada pada dasar-dasar wahyu. Demikianlah,baik masalah aqidah, akhlaq maupun syari’ah dankhilafah harus melalui proses historical direction, yang sepenuhnyamenjadi urusan manusia. Maka jika Nabi dan sahabatpernah membangun negara teokrasi, bukanlah karena perintahTuhan, melainkan adaptasi situasional. Oleh karena itu manusiamuslim dewasa ini bisa memilih lain, yang berada dengan apayang dilakukan Nabi dan sahabatnya (hal. 116)Dinamika Pemahaman <strong>Islam</strong>Fikiran-fikiran keagamaan yang diajukan di atas merupakantahap pemanasan menuju fikiran percobaan kearah memahami<strong>Islam</strong>. Pada halaman 121 – 126 ia mengajukan: fikiran-fikiranfundamental tentang itu. <strong>Islam</strong> sebagai ajaran Allah, ujarnya,adalah tunggal dan terlepas dari ruang dan waktu. Rasulullahyang membawa <strong>Islam</strong> meruang dan mewaktu. Karena itu, tidaksemua tindakan Nabi’ identik dengan ajaran Allah. Nabi/Rasuladalah penterjemah ajaran langit pada realitas bumi.Oleh karena itu ajaran <strong>Islam</strong> berstatus sebagi perintah mutlakharus diikuti. Sedangkan modusnya Muhammad berstatussebagai contoh kondisional yang harus dimengerti dan diambilpelajaran. Tetapi keduanya memang telah menyatu kedalamtindak-tanduk Muhammad, ia telah meruang dan mewaktu.Itulah sebabnya bagi Wahib, <strong>Islam</strong> tidak bisa difahami denganmengabaikan sejarah dan kondisi sosio – kultural di masa Muhammad.Itulah juga yang disebut historical setting dari Muhammad.Jadi, hubungan historical setting Muhammad dengan manusiaSejumlah Komentar 383


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —muslim adalah hubungan kreatif. Tanpa kreativitas, manusiamuslim takkan pernah berkembang. Sebab ia akan terpancangpada situasi dan alam fikiran bentuk islam yang telah meruangdan mewaktu di masa 14 abad yang lalu. Jelaslah, ujarnya, pemahaman<strong>Islam</strong> adalah sekedar penafsiran kita terhadap fotoajaran <strong>Islam</strong>, yaitu sejarah Nabi. Dan <strong>Islam</strong> sekedar sebuahsumber semangat yang menggairahkan, sekaligus penuh dengangairah-gairah besar. Dengan gairah besar, <strong>Islam</strong> menerangi segalamasalah dan bukannya menerangkan.Kreativitas muslim-dalam arti tidak menelan bulat-bulatapa yang dikerjakan Rasul, melainkan dengan menafsirkannyasesuai dengan perkembangan zaman adalah proses usahamuslim dalam bentuk <strong>Islam</strong> yang tidak berbentuk itu. Pembentukanitu adalah semata-mata urusan pribadi. Tapi bentukitu sendiri bukanlah <strong>Islam</strong> (hal. 127). Dengan mengatakan initampak jelas hubungan <strong>Islam</strong> yang meruang dan mewaktu dizamanNabi dan <strong>Islam</strong> yang meruang dan mewaktu di masakini. Usaha memberikan ruang dan waktu bagi <strong>Islam</strong> yang sesuaidengan kondisi kekinianlah, inti kreativitas manusia muslim.Suatu pemahaman dinamis terhadap <strong>Islam</strong>.Wahib, HMI dan Pembaharuan <strong>Islam</strong> IndonesiaApakah Wahib seorang pembaharu? Dari banyak pengakuannyaia menggolongkan diri kedalam kelompok pembaharu.Dan melihat cahanya, tampak bahwa ia berusaha keras untukberfikir dan mengajukan ide-ide segarnya tentang <strong>Islam</strong> danteologi. Dasar-dasar pemikiran tentang bagaimana <strong>Islam</strong> harusdi fahami, menurut saya, adalah sentral dari fikiran-fikiran384 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —reformasi keagamaannya. Ia nyaris berhasil secara relatif lengkap,apabila konsepsi teologis yang ditawarkan menemukanwujudnya yang relatif jelas.Tetapi yang pasti, Wahib adalah seorang pencari yang intens,tak kunjung lelah. Seseorang yang berusaha merumuskankembali sumber-sumber <strong>Islam</strong> dan bagaimana cara beragamadalam konteks kekinian. Itu dilakukan bukan dengan pijakankaki di luar, tetapi sepenuhnya pada ajaran-ajaran <strong>Islam</strong>. Catatanpenting yang bisa diajukan adalah, bahwa ia berhasil mengkonstruksikankembali sistematika <strong>Islam</strong>, justru dengan menemukanhal-hal yang selama ini tak diperhatikan.Anjuran untuk melihat sejarah Muhammad serta kondisisosio-kultural sebagai sumber <strong>Islam</strong>, secara implisit juga menganjurkanagar situasi sosio-kultural, ekonomi dan politik saatini merupakan sumber ajaran juga. Sebab bentuk <strong>Islam</strong> masaMuhammad adalah <strong>Islam</strong> yang meruang dan mewaktu padamasanya. Dan adalah kewajiban muslim dewasa ini untuk melakukanhal yang sama bagi situasi sekarang. Tapi bentuk itusendiri bukanlah <strong>Islam</strong>. <strong>Islam</strong> adalah ajaran yang universal,yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu.Inilah mungkin dimensi kebaruan dari reformasi Wahib,yang agak berbeda dengan reformis-reformis lainnya. Reformisnon Wahib selama ini tampaknya masih tegak pada sistematika<strong>Islam</strong> yang telah ada, tidak berusaha merekonstruksikannya.Tetapi tentunya Wahib tidak sendirian. Meskipun ia memilikikepadatan orisinilitas berfikir, tetapi toh itu dibentukbersama-sama dengan lainnya. Mukti Ali, Djohan Effendi, DawamRaharjo dalam Limited Group disatu fihak serta Larso,Sudjoko Prasodjo di HMI di lain fihak. Dan kemudian secaraSejumlah Komentar 385


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tiba-tiba Nurcholish Majid muncul dengan gagasan pembaharuanyang menghebohkan. Tokoh terakhir ini muncul denganmengejutkan dan serentak menimbulkan kontroversi di kalangantokoh-tokoh senior <strong>Islam</strong>. Fikiran-fikiran pembaharuan dianggapsebagai sesuatu yang berbahaya, baik di HMI maupundi kalangan ummat <strong>Islam</strong>. Tokoh-tokoh senior itu bersikerasmembandung fikiran itu dan harapannya justru terletak padapundak Nurcholish. Tetapi justru sebaliknya yang terjadi.Wahib dan Djohan pada akhirnya harus keluar dari HMIsetelah merasa, bahwa tindakan itu akan lebih baik bagi dirinyadan juga bagi HMI. Tapi fikiran-fikiran baru itu telah terlanjurdisulut. Ia telah mulai menyala di kalangan HMI. Ia adalahrefleksi dari perbedaan fundamental antara fikiran-fikiran paratokoh senior dengan yang junior. Konflik itu terjadi, manakaladialog terjadi secara formalitas, tidak saling mendengarkan.Tapi bagaimanakah nasib fikiran-fikiran itu di kalangan HMIdewasa ini?Fachry AliKompas, 17 September 1981<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>Pada tanggal 11 Desember 1981, kebetulan saya mendapat giliranmenjadi imam dan khatib pada Masjid Arif Rahman Hakimyang terdapat di sebelah kantor Rektor Universitas Indonesia,jalan Salemba Raya, Jakarta.386 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Masjid Arif Rahman Hakim itu sendiri merupakan suatumonumen <strong>Islam</strong> dan monumen nasional. Monumen <strong>Islam</strong> karenamerupakan masjid dengan gaya arsitektur baru, walaupunserba sederhana tetapi bersih dan menarik. Santri-santrinya bukansembarang santri, akan tetapi mahasiswa fakultas eksaktayanag suara azannya tidak kalah dengan suara azan TVRI yangitu-itu juga (suatu tape yang karena sering sekali kita dengarterasa kehilangan sebagian dari daya tarik yang diperlukan).Monumen nasional karena Masjid Arif Rahman Hakim didirikanuntuk mengenang pahlawan mahasiswa yang gugur dalamdemontrasi melawan Orde Lama, tersungkur oleh peluru Cakrabirawayang pada tahun 1965 merupakan suatu lambang kekuasaanyang telanjang tanpa tedeng aling-aling atau kamuflaseyang di pakai oleh setiap kekuasaan.Saya masih ingat ketika saya menghormat jenazah ArifRahman Hakim yang lewat di muka rumah saya di jalan Diponegoro.Saya lupa tidak mengibarkan bendera sebagaimanadianjurkan, saya ditegur oleh seorang mahasiswa yang mengantarjenazah tersebut dalam iring-iringan yang penuh khidmatdan khusyu’; segera anak saya memasang bendera setengah tiangsebagai partisipasi atas suatu jiwa besar yang telah menulissejarah kemahasiswaan di Indonesia dengan darahnya. Seusaisaya shalat Jum’at, dengan khutbah yang mengingatkan kepadasuasana natalan menurut <strong>Islam</strong> dengan ayat-ayat suci AlQur’an dari Surat Maryam serta kupasan Ilmiah tentang kehidupanYesus seperti yang dilakukan oleh sarjana-sarjana ilmiahBarat yang bukan misionaris, saya berjumpa dengan tokohtokohmasjid UI, Dawud Ali S. H., yang sejak lama saya kenal,dan dr. Nurhay Abdul Rahman, tokoh kedokteran internasionalSejumlah Komentar 387


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang masih muda dan sangat aktif. Dari pertemuan sesudahJum’at itu, terjadilah omong-omong yang bermacam-macam,akhirnya sampai kepada menyinggung buku yang baru terbitberjudul <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>, Catatan Harian AhmadWahid, dengan suntingan Drs. Djohan Effendi dan Ismet Natsir,dan dengan kata pengantar H.A. Mukti Ali.Karena nampaknya para jema’ah Masjid Arif Rahman Hakimsangat merasakan akibat dari penerbit buku tersebut, makapada waktu itu juga saya meminta sebuah naskah yang kebetulanbarsedia. Dengan rasa terima kasih kepada pengurus MasjidARH UI, saya pulang dengan membawa buku <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong><strong>Islam</strong>-nya Ahmad Wahib yang dikatapengantari H.A.Mukti Ali.Setelah sampai dirumah buku tersebut saya telaah. Bentuknya,menarik. Tehniknya sangat baik, berwarna dasar hijautua dan garis hijau muda, serta gambar tangan yang terkepal,diterbitkan oleh LP3ES.Setelah buku tersebut saya baca selayang pandang, karenatebalnya 350 halaman, walaupun dengan format saku, saya jadiingat peristiwa 10 tahun yang lalu ketika Sdr. Drs. NurcholishMajid memulai kampanye pembaharuan pemikiran <strong>Islam</strong> diTaman Ismail Marzuki dengan rayuan dan tepuk tangan yangriuh dari para hadirin.Karena merasa bertanggung jawab atas pemikiran generasimuda terhadap <strong>Islam</strong> yang menjadi agama sebagian besar daripenduduk Indonesia, maka saya tulislah catatan-catatan yangkemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang dengan judul KoreksiTerhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisme.388 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kejadian itu telah berlalu sepuluh tahun yang lampau; sayamendapat teguran mengapa saya bersifat keras terhadap pemikiranseorang muda yang mestinya diberi dorongan untuk berfikirdan menggali kebenaran. Saya menjawab bahwa kasusnyabukan kasus pemuda berfikir dan menggali kebenaran, akan tetapikasus propaganda anti-<strong>Islam</strong> yang mendapat bantuan dariorang-orang yang tidak suka kepada kebenaran, dan berusahauntuk menjauhkan <strong>Islam</strong> dari bumi dan iklim Indonesia ini.Buku koreksi terhadap Drs. Nurcholish Majid tersebutmendapat perhatian karena ternyata dicetak ulang.Akan tetapi golongan anti-<strong>Islam</strong> yang keberat-beratan masihterus melakukan tugasnya, menyiarkan citra yang memuakkantentang <strong>Islam</strong>, dengan mengambil pendapat-pendapatOrientalis dan orang-prang Barat yang sekuler.Pada tahun 70-an, terbit buku <strong>Islam</strong> Dipandang Dari SegalaAspeknya, karangan Prof. Dr. Harun Nasution, waktu itu dosen,sekarang Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.Buku tersebut telah mengusap wajah <strong>Islam</strong> dari debu yangbasah, sehingga wajahnya nampak dalam keadaan seburukburuknya.Pada waktu itu orang bertanya-tanya, mengapa seorangdosen IAIN menulis buku semacam itu? Bukankah ituberarti harakiri bagi umat <strong>Islam</strong>, menghabisi hayatnya dengantangan sendiri?Banyak pembaca-pembaca buku tersebut meminta kepadasaya untuk menulis sanggahan, karena merasakan kesalahankesalahanyang terdapat di dalamnya, Tetapi diwaktu itu sayamerasa segan untuk mengadakan bantahan secara terbuka,karena tindakan semacam itu hanya akan menggembirakanorang-orang yang tidak suka kepada <strong>Islam</strong>.Sejumlah Komentar 389


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Maka saya tulislah suatu koreksi intern dicetak denganstensil dalam jumlah yang sangat terbatas, dengan harapanbahwa yang berwajib nanti akan menarik buku tersebut dariperedaran secara bijaksana dengan tidak usah mengeruhkansuasana antara para mahasiswa dan pembaca. Waktu itu yangmenjadi menteri agama adalah Prof. (DR.) H.A. Mukti Ali.(DR. Di antara tanda kurung saya pinjam dari tuan Husseri,pendiri aliran Phenomenologi). Ternyata catatan saya tersebutyang juga disetujui oleh Prof. Bustami A. Gani dari IAIN tidakada efeknya sama sekali. Maka terpaksa saya menerbitkan bukuberjudul Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution. Buku tersebutjuga mendapat perhatian dari para mahasiswa dan pembaca.Sekarang, telah 10 tahun berlalu, orang sudah lupa kepadaide pembaharuan pemikiran <strong>Islam</strong> serta pencekokan orientalisterhadap mahasiswa. Orang sedang sibuk mempersoalkan Kebatinanyang mengadakan sarasehan pada tanggal 25 s.d. 27Nopember 1981, sibuk membicarakan Fatwa MUI mengenaiperayaan natal bersama, serta sibuk membincangkan mengganasnyakristenisasi dalam bentuk-bentuk baru dalam masyarakat.Dalam kesibukan semacam itu, dalam suasana <strong>Islam</strong> didakwasebagai fanatik, tidak terbuka, suatu dakwaan yang mendengungdalam upacara menyambut tahun 1402 Hijrah secararesmi, kita dihadapkan dengan buku baru: <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong><strong>Islam</strong>, Catatan Harian Ahmad Wahib dengan kata pengantar,Prof. (Dr.) H.A. Mukti Ali. (sekali lagi, Dr. Dalam tandakurung saya pinjam dari tuan Husserl).Kita kenal Prof. (Dr.) H.A. Mukti Ali, Menteri Agama yanghampir saja menyetujui Undang-Undang Perkawinan Sekuler,390 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Menteri Agama yang menganjurkan Kebatinan dimasukkan sajakedalam Departemen Agama, dan sekarang menjadi anggotaDewan Pertimbangan Agung serta guru besar IAIN Yogyakarta,kita kenal Drs. Djohan Effendi, seorang doktorandus dariIAIN yang naik tinggi kedudukannya dalam kalangan sekretariatnegara, yang juga salah seorang tokoh muda AhmadiyahLahore.Akan tetapi, walaupun penyuntingnya dan penulis katapengantarnya adalah orang-orang yang mestinya berbuat untukagamanya pada waktu <strong>Islam</strong> disalahfahamkan di tanah airkita, mereka itu bukan mengarahkan perhatiannya ke segi yangmemperhatikan itu, akan tetapi malah menunjukkan kebanggaannyadalam menerbitkan buku <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>.Tulisan saya ini tidak untuk membantah isi buku <strong>Pergolakan</strong><strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong> yang diantarkan oleh Prof. (Dr.) H.A.Mukti Ali. Saya percaya bahwa dikalangan muda sudah banyakorang yang bersedia membantah isi buku tersebut.Saya hanya ingin memperkenalkan buku tersebut kepadaumum agar mereka berhati-hati pada waktu membacanya.Pertama, saya mempertanyakan niat baik dari pengantarkata dan penyunting yang adalah seorang anak muda yang sayabelum pernah membaca karyanya, akan tetapi nampaknya sudahpuas dengan menyunting peningalan Ahmad Wahib tersebut.Sedang pengantar kata, saya merasa heran bahwa bukusemacam itu diberinya kata pengantar, tanpa memberikan gambarantentang isinya atau penilaian serta petunjuk bagi pembacanya,yang semua itu saya artikan persetujuan atau setidaktidaknyarasa acuh tak acuh (indifference)Sejumlah Komentar 391


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kedua, buku tersebut memberi gambaran kepada seorangpemuda yang cerdas, tetapi tidak dapat bimbingan, barang kalimalah mendapat dorongan untuk ngelantur dalam kesesatannya.Ahmad Wahib mencaci pesantren sebagai sarang homoseksualitas;dan pada waktu yang sama memuji-muji Romo A danB, yang bersifat ramah kepadanya.Bukankah ini suatu pandangan yang sangat dangkal? Homoseksualitasbukan hanya monopoli pesantren, yang sayaakui memang ada gejala semacam itu. Tetapi ini gejala sosial.Dimana pada suatu masyarakat terkumpul hanya satu jenis,maka terjadilah homoseksual. Entah itu di pesantren atau dipenjara, atau dikapal. (Saya tambah lagi, bahkan gereja atau diasrama seminari).Dengan gambaran yang sangat sederhana ini kita dapatmengukur alangkah tidak adilnya perasaan Ahmad Wahib yangmuda itu yang mestinya harus dipimpin dan tidak dibiarkandalam kesesatannya.Soal-soal hukum, soal metafisika, soal sosiologi agama,filsafat,dan bermacam-macam soal yang ditulis oleh Ahmad Wahibdengan suntingan yang baik dari Djohan Effendi, sesungguhnyadapat dengan mudah diatasi jika seseorang memakai pengetahuanfilsafat. Tetapi saya sangat menyangsikan apa yangdikerjakan oleh Limited Group yang berdialog tanpa bahan dantanpa alat.Buku <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>, Catatan Harian AhmadWahib, yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismed Natsir,dengan kata pengantar H.A. Mukti Ali, merupakan halamanyang suram dalam kehidupan <strong>Islam</strong> di zaman orde baru ini.392 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Buku tersebut dan buku <strong>Islam</strong> Dipandang Dari Berbagai Aspeknya,karangan Harun Nasution, bernada sama.Tetapi mengapa kita harus bermuram durja membaca karya-karyatersebut yang nota bene direstui oleh seorang bekasMenteri Agama dan seorang Rektor IAIN?Marilah kita lihat segi yang cerah di Barat, di benua Eropayang selama berabad-abad menentang <strong>Islam</strong>.Akhir-akhir ini, filsafat Barat sudah sampai kepada kesimpulanbahwa masyarakat manusia harus kembali kepada agama.Baik Kaarel Jaspers, maupun Gabriel Marcel, maupun ReneGuenon, maupun Vincent Montail (kedua yang akhir ini telahmemeluk <strong>Islam</strong>).Dan saya berbesar hati bahwa sebelum buku Catatan HarianAhmad Wahib terbit, saya telah menyelesaikan terjamahanbuku karangan Maurice Bucaille: Bible, Qur’an dan sainsmodern, yang memberi citra tentang Qur’an dan pengetahuanmodern; serta buku Humanisme Dalam <strong>Islam</strong> karangan MarcelBoisard yang menjelaskan filsafat sosial dan politik <strong>Islam</strong>.Pada waktu orang Barat sudah memakai <strong>Islam</strong>, sepertaiProf. Marcel Boisard dan Prof. Maurice Bucaille yang hidupdalam dunia pemikiran yang serba lengkap. Luar dan dalam,Masyarakat Indonesia diberi hidangan: <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong><strong>Islam</strong>, buah fikiran Ahmad Wahib suntingan Djohan Effendidan last but not least dikatapengantari H.A. Mukti AliSungguh merupakan suatu tragedi.Prof. Dr. H.M. RasjidiKiblat, No. 16/xxixSejumlah Komentar 393


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Yang Muda Yang Beragama“Saya merasa akan sangat rugi apabila kalangan muda itu dibiarkanmemendam berbagai pertanyaan dan mungkin gugatandalam pemikiran mereka, yang justru menyangkut hal-halyang dasar dalam agama”. Kalimat ini merupakan bagian darikata pengantar yang ditulis oleh H.A. Mukti Ali untuk buku<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>, Catatan Harian Ahmad Wahib.Yang diberitakan oleh LP3ES baru-baru ini. Pertanyaan yangtulus ini dicetuskan seorang yang arif akan gejolak pergulatananak-anak muda dalam pencarian yang terus-menerus untuk,mempertanyakan keberagamaan mereka, terutama mengenaihal-hal yang mendasar dalam agama.Mereka memang sedang terlibat dalam pemikiran-pemikiranyang begitu intens tentang berbagai tema besar mulai darimasalah yang berhubungan dengan teologi, kebudayaan, politikdan pembaharuan pemahaman <strong>Islam</strong>. Dan, inti pokok buku iniadalah paduan kritis antara renungan dan rekaman masalahmasalahyang tidak meresahkan dalam diskusi-diskusi yangdiadakan sewaktu almarhum Ahmad Wahib (1942-1973) masihaktif di Yogya, dan juga setelah ia hijrah ke Jakarta sampaimenjelang akhir hayatnya. 30 Maret malam 1973.Dalam uraian pendahuluan, Djohan Effendi, salah seorangteman dekat almarhum, secara singkat menuturkan latar belakangcatatan harian yang telah diterbitkan itu. Atas ketekunanMufti Madjidi dan Ismed Natsir yang menghimpun catatan-catatanalmarhum, mengetiknya kembali serta menyungtingnya,memungkinkan buku ini bisa dinikmati.394 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Berfikir BebasDalam pengembangan menelusuri berbagai persoalan mendasar,Wahib mencatat, bahwa kenyataannya dalam praktekberfikir selama ini kita tidak berfikir bebas lagi. Ajaran <strong>Islam</strong>kitaa tempatkan pada tempat yang paling baik. Bukankahdengan begini berarti kita tidak berfikir bebas lagi? Mungkinada orang yang mengemukakan bahaya berfikir bebas,bahwa orang yang berfikir bebas cenderung atau bahkan bisamenjadi atheis. Tetapi, begitu juga katanya, orang yang tidakberfikir samasekali juga atheis! Lantas, mana yang lebih baik?Ya, meskipun sama-sama jelek, potensi untuk mendapatkanatau menemukan kebenaran-kebenaran baru bisa diperolehkanmelalui proses berfikir. Orang yang tidak mau berfikir bebasadalah orang yang menyia-nyiakan karunia Allah yang begitubesar. yaitu otak. Namun begitu, Wahib tidak mendewasakankekuatan berfikir manusia, sehingga seolah-olah ia bersifatabsolut. Karena kekuatan berfikir memang ada batasnya. Tetapisiapa yang mengetahui batas itu? Selama otak kita masih bisabekerja atau berfikir, itulah tanda bahwa ia masih dalam bataskemampuannya (21-25).Sekularisme dan SekularisasiDiam-diam kita menganut sekularisme, walaupun dengan lantangkita menentang sekularisme! Sejauh pengamatan Wahib,agama telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalahdunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak Mampu kita salurkan,padahal sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalaukita tidak ingin sekularistis. Agama yang kita fahami selama iniSejumlah Komentar 395


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —adalah agama sekularistis. Agama yang tidak mampu meresapimasalah-masalah dunia, dan terpisahnya agama dari masalahdunia (37). Jeritan Wahib ini memang ada benarnya manakalakita memperhatikan banyak di antara kita yang membuat dikotomitajam antara sekuler profan dengan ritual sakral. Ketidakampuanmencerna ajaran dasar dalam rangka operasionalisasidan penjabaran agama secara konkret membuat pemahamanagama begitu rigit, terkotak-kotak, parsial, berkeping-keping,formalistis dan legalistis.Toleransi BeragamaLebih lanjut Wahib berpendapat bahwa pemahaman agama<strong>Islam</strong> secara formalitis dan legalistis merupakan salah satusumber intoleransi beragama dikalangan umat <strong>Islam</strong> Indonesia.Begitu juga pemahaman ajaran <strong>Islam</strong> secara parsial, di manaayat Al-Qur’an dan Hadits dilepaskan dari konteks totalitasajaran <strong>Islam</strong> sebagai pernyataan kehendak dan kasih Tuhan,merupakan sumber intoleransi yang lain. Sumber intoleransiberikutnya, adalah sikap yang tidak simpatik dari penyebarpenyebaragama Nasrani dengan penyiaran ke rumah-rumahpenduduk yang sudah menganut <strong>Islam</strong> dan memaksa mendirikangereja di perkampungan muslim yang berkeberatan, telahmemancing kemarahan banyak orang atau pimpinan <strong>Islam</strong>.Kemudian, kemiskinan fasilitas di fihak <strong>Islam</strong> dalam menghadapifihak evangelist yang kaya fasilitas, frustrasi politik dankurangnya pemimpin ummat yang berwatak, adalah sederetanmasalah yang disebut Wahib sebagai sumber intoleransi.396 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Sebab itu Wahib berpendapat bahwa hal itu merupakantanggung jawab dari ulama dan pemikiran <strong>Islam</strong>, pemimpindan muballigh, untuk mengadakan perbaikan sikap umat <strong>Islam</strong>dalam bermasyrakat. Tugas pemimpin kelompok agama lain,para sosiolog dan “social engineer” tidak bisa diabaikan begitusaja (178-187).Masih banyak sebenarnya yang menjadi perhatian Wahibdan juga teman-temannya, yang kiranya masih perlu didiskusikanlebih lanjut. Pola dan peta pemikiran telah dibuat. Kegelisahanmereka merupakan pencerminan kegelisahan anak mudayang beragama, yang dihadapkan pada persoalan-persoalan dalamtema-tema besar yang telah dilontarkannya. Sayang, Wahibtelah tiada. Wahib telah menghadap Tuhannya. Pengemudisepeda motor seorang muda yang merupakan bagian dari masyarakatyang dicintainya, pada siapa ia menaruh simpati danharapan demi masa depan bangsanya, telah menabraknya. Dan,Wahib ditolong oleh beberapa gelandangan, bagian dari masyarakatyang beroleh simpatinya karena penderitaan mereka, walaupunakhirnya ia tidak tertolong lagi. Tragis.HadimulyoPanji Masyarakat, No. 344Sejumlah Komentar 397


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Wawancara dengan Dr. Bachtiar EffendiMengenang Wahib, Kembali ke KhittahKini Ahmad Wahib sudah 28 tahun meniggal. Bagaimanakah perhatianpara sarjana dan peneliti terhadap perannya dalam pembaharuan<strong>Islam</strong> di Indonesia? Bagaimana kita membaca Wahib dalamkonteks sekarang? Juga apa agenda pembaharuan <strong>Islam</strong> yang kiniharus dikedepankan? Berikut petikan wawancara wartawan RepublikaIhsan Ali Fauzi dengan Dr. Bachtiar Effendi di kantornya,Center for Policy and Development Studies (CPDS). Menurut doktoryang baru lulus dari Ohio State University, AS,dengan disertasimengenai pemikiran dan praktek politik <strong>Islam</strong> di Indonesia 1970-1990 ini, yang menjadi agenda pembaharuan <strong>Islam</strong> sekarang adalahpenegasan kembali khittah pembaharuan yang kini tampak terlantar:pluralisme, demokratisasi, inklusifisme <strong>Islam</strong>, dan sejenisnya.Dalam karya-karya mengenai pembaharuan <strong>Islam</strong> di Indonesia,rasanya perhatian terhadap Ahmad Wahib amatkurang?Memang, dan ini tidak fair. Keluhan pertama dikemukakanDjohan Effendi. Dan ini jelas bisa dibenarkan, mengingat peranWahib yang besar tadi.Di sini kita melihat dua gejala. Pertama, para peneliti sejauhini tidak mengangkat Wahib. Kedua, kalaupun ada yangmengangkatnya, analisisnya malah salah.Mengenai yang pertama. Menurut saya, ada beberapa sebab.Mungkin karena pikiran Wahib bersifat lokal. Juga, pikiran-pikiranitu diekspresikan dalam bentuk percakapan pribadi,catatan harian. Kalau para peneliti tidak mengenal teman-398 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —teman Wahib atau tidak menjadikan mereka sebagai sumber,maka mereka tidak akan tahu mengenai Wahib. Selain itu,Wahib juga kan menyatakan diri keluar dari HMI, yang tentumembatasi eksposenya.Itulah sebabnya, fokus utama sejarah pembaharuan <strong>Islam</strong>di indonesia mengarah ke Nurcholish Madjid (Cak Nur). Danini wajar saja. Pertama, ia “beredar” di Jakarta. Eksposenya jelaslebih besar dibanding Wahib. Kedua, posisi Cak Nur dalamgerakan. Ia dua kaii menjabat Ketua Umum PB HMI. Selainitu, ia juga Sakjen IIFSO. Hubungan-hubungannya dengan berbagaitokoh di Jakarta juga amat luas.Selain itu, ia juga menulis banyak karya yang pada zamannyacukup ramai diperdebatkan. Misalnya. Dasar-dasar <strong>Islam</strong>ismedab Nilai-nilai Dasar Perjuangan, pada 1960-an. Belum bagimakalah yang kontroversial itu, di Menteng, awal 1970-an.Jadi banyak berkaitan dengan soal ekspose dan komunikasi.Tapi, dengan adanya buku Wahib, kita mestinya lebih fairdalam menempatkan Wahib. Meski tetap kita akui bahwa watersheed-nyaadalah Cak Nur. Karena, pemikirannya memanglebih elaboratif dan terus ditindaklanjutinya hingga kini.Nah, yang penting yang kedua. Datanya sudah ada, tapipenilaian pengamat mengenai Wahib salah besar. Contoh mencoloknyaadalah Kamal Hassan. Dalam artikelnya untuk bukuyang disunting William Roff, <strong>Islam</strong> and the Political Economyof Meaning, ia menilai keluarnya Wahib dari HMI karena pikiranNurcholish yang sekular. Padahal, tidak begitu ceritanya.Ini kesalahan fatal sekali.Tapi Wahib juga sekarang sudah mendapat tempat. Misalnyadalam tulisan A.H. Johns yang Anda terjemahkan dalamSejumlah Komentar 399


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Ulumul Qur’an itu. Tulisan itu bagus sekali: bagaimana anakmuda yang ingin mengembangkan sikap toleransi beragama,pluralisme dan lainya mendapat reaksi amat keras justru darirekan-rekan muslimnya sendiri. Ini, saya kira, didasarkan kepadareaksi-reaksi keras terhadap buku Wahib.Komentar Anda terhadap komentar-komentar ini bagaimana?Pertama, berfikir itu ‘kan sangat pribadi. Itu kan kebebasanorang. Kita tidak bisa memaksanya membatasi apa yang dipikirkan.Wahib sendiri mengadu kepada Tuhan, “Akal ini kandari Kamu. Boleh enggak aku menggunakan pemberian-Mu inisebebas-bebasnya?”Kedua, yang dipikirkan Wahib itu ‘kan juga dipikirkan banyakanak muda. Terutama mereka yang melihat ada kesenjanganantara <strong>Islam</strong> ideal dan realitasnya. Dan ini kan sudahlama terjadi. Apa sih yang benar-benar “dahsyat” dari Wahibdibandingkan dengan perdebatan teologi <strong>Islam</strong> dulu atau perdebatanal-Ghazali dan Ibn Rusyd? Intensitasnya kan sama.Jadi, bagi saya, ini wajar saja. Orang menolak atau menerima,saya kira, juga wajar saja. Nah, yang jadi persoalan adalahbagaimana kita menanggapi dan menyikapi pikiran seseorang.Di sini, kita kadang-kadang kurang bisa mengembangkan sikaptoleran: “Itu haknya untuk berpikiran, meski saya kurang atautidak setuju.”Orang misalnya menyatakan, pengetahuan agama Wahibkurang.400 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Orang boleh saja meragukan kedalaman pengetahuan agamaWahib. Mungkin ia dipengaruhi pikiran-pikiran non-<strong>Islam</strong>,ketika ia ikut di Asrama Mahasiswa Realino di Yogyakarta, danlainya. Boleh saja dikatakan demikian. Itu mungkin saja. Danlainnya. Boleh saja dikatakan demikian. Itu mungkin saja. Bagisaya enggak ada persoalan.Tapi mengapa kita juga tidak berlaku adil dengan melihatlatar belakang keluarga Wahib yang santri. Dididik agama diSampang, Madura, dari SD hingga SMA. Bapaknya juga pemimpinagama yang dihormati. Dan ia pernah di pesantren.Nah, ini semua mestinya juga dipertimbangkan. Pikiran-pikiranWahib itu tidak muncul dengan sendirinya. Latar belakang itusangat mempengaruhi. Tradisi ibadah kita, dan sebagainya.Wahib, misalnya, menulis “ Aku tak menunggu cinta untuksebuah salat. Entah saat aku senang sama Kamu, entahsaat aku sedang marah kepada-Mu”Betul. Bagaimana teks seperti ini dipahami? Jangan dipahami.“Nah, ia itu marah sama Tuhan.” Bukan itu, kan? Tapibegitu dekatnya ia sama Tuhan. Begitu kuatnya nilai-nilai keislamanyang ditanamkan orangtuanya ketika ia kecil. Sehingga,meski ia sudah besar, sudah bisa “marah” kepada Tuhan, iatetap salat. Ini yang jarang dilihat orang.Bagaimana kita membaca Wahib sekarang? Orang-orangseperti Wahib itu kan banyak sekarang. Kira-kira signifikansiWahib sekarang apa?Pikiran-pikiran Wabib adalah respon terhadap tantanganatau krisis yang dihadapi umat <strong>Islam</strong> saat itu. Nah, “Wahib-Sejumlah Komentar 401


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Wahib” yang ada sekarang juga harus memberi respons terhadapapa yang kita hadapi sekarang. Kalau dulu Wahib inginmenjawab persoalan hubungan <strong>Islam</strong> dan negara, sekarang kanpersoalan itu sudah relatif terselesaikan, sudah lebih mengarahke pembentukan sintesa yang kita inginkan.Nah, kita sekarang harus merespons tantangan yang dihadapi,bukan pikiran abstrak dan utopian. Ini penting, karenaini memberi landasan teologis bagi semua yang kita lakukan.Karena kita bukan orang sekular. Saya percaya benar denganbacaan kita sehari-hari waktu salat, inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati li Allah rabb al-alamin. Bagi saya, tidakmungkin orang <strong>Islam</strong> itu sekular. Orang salah baca saja, tidakmampu menghubungkan nilai transendental yang ia pahamidengan yang ia kerjakan.Agenda apa menurut Anda paling mendesak saat ini, misalnyadalam konteks hubungan <strong>Islam</strong> dan negara?Jelas, penekanan pada egalitarianisme, partisipasi, demokratisasidan lainnya. Ini yang masih jadi masalah. Nah, bagaimana kita merumuskan dasar-dasar pijakan teologis baru yangrelevan untuk menjawab ini. Kalau pembaharuan mau dilanjutkan,menurut saya, tema-tema inilah yang kini perlu dikedepankan.Saya kira pada 70-an dan apalagi 80-an, demokrasi, egalitarianisme,musawah, dan sejenisnya itu merupakan-meminjamistilah NU-khiittah pembaharuan <strong>Islam</strong> kita. Khittah inilahyang harus kita tekan-tekan sekarang ini.Mungkin dalam perjalanan lalu, tahun 1980-an ke sini, terutama1988 hingga 1990, dalam rangka mencari sintesis yang402 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —paling mungkin dalam hubungan antara <strong>Islam</strong> dan negara, adagangguan untuk merealisasikan khittah di atas. Ada elemenelemendalam kehidupan sosial dan politik yang membuat kitamenegaskan soal itu. Nah. Karena kini tahapan itu sudah selesai,maka khittah pembaharuan itu harus ditegaskan kembali.Inklusivisme, demokratisasi dan sebagainya.Dan saya kira, ini persoalan besar. Karena dalam penilaiansaya. Interplay (pengaruh-mempengaruhi) antara <strong>Islam</strong> dannegara sekarang ini masih sangat ad hoc. Dan di sini banyakmuncul kesan, bahwa interplay itu berkembang menjadi sangateksklusif.Anda bisa lebih spesifik menjelaskannya?Begini. Hubungan <strong>Islam</strong> dan negara yang ada sekarangini kan tidak pernah kita rumuskan. Itu ada begitu saja. Pendeknya,sekarang sudah ada transformasi besar-besaran dalamdiskursus kaum muslim mengenai <strong>Islam</strong> dan negara. Dan jugasudah ada respons dari negara. Ada kebijakan yang dipandangpositif oleh kaum muslim, misalnya RUUPA, jilbab, BMI, ICMIdan sebagainya.Nah, itu kan persentuhan simbolik (symbolic gesture) bahwanggak ada persoalan antara negara dan <strong>Islam</strong>. Tapi dalam prosesitu, kan tidak pernah kita menegosIasikan atau merumuskanbagaimana hubungan antara agama dan negara itu.Bahwa dasarnya sudah disiapkan lebih dulu, itu jelas. Tapikesepakatan elite (elite settlement) mengenainya, tidak Ada.Dulu ini pernah dinegosiasikan, misalnya, di BPUPKI atauSidang Konstituante. Saya tak ingin mengatakan bahwa modelnyaharus demikian. Bisa juga model sekarang, misalnya,Sejumlah Komentar 403


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —lewat behind the closed door ((lobi-lobi tidak formal), sepertidi Spanyol. Dengan demikian, ada kesepakatan semua pihakmengenainya.Yang berkembang sekarang kan tidak demikian. Karenanyamuncul kesan, persepsi orang. Bahwa hubungan ini menjadieksklusif. Gus Dur kan menilainya demikian. Bahwa inieksklusif, malah mengancam. Karena memang tidak ada limit(batasan) disini. Sebabnya, tidak ada negotiated settlement (kesepakatanyang dinegosiasikan) itu. Nah, orang tang tidak terlibatdalam interplay itu akan curiga: wah, ini bisa berkembangkemana-mana: Dan ini eksklusif.Kembali ke Wahib?Nah, dulu khittah pembaharuan ‘kan inklusifisme, demokratisasi,dan sejenisnya. Konsep ‘umat’ itu, misalnya sangatinklusif jadinya karena gagasan-gagasan pembaharuan. Konsepitu tidak lagi didefinisikan menurut organisasi, misalnya, tetapisemata-mata berdasarkan agama: setiap orang yang mengakuberagama <strong>Islam</strong> adalah bagian dari umat.Nah, sambil mengenang Wahib, marilah kita mengoreksi dirisekarang: bisa tidak interplay <strong>Islam</strong> dan negara di atas berjalanmenurut khittah inklusifisme itu, di mana semua orang,sedikitnya semua orang <strong>Islam</strong>, terlibat? Kalau tidak demikian,kan kita artinya menginjak-injak khittah pembaharuan. Khittahyang ditegaskan Cak Nur, Gus Dur, Mas Adi, Mas Dawam,Mas Amien dan sebagainya kan demikian. Coba kita bacaAspirasi Umat <strong>Islam</strong> Indonesia, di mana semua mereka denganamat baik menggariskan khittah pembaharuan.404 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Nah, menurut saya, salah satu cara ke arah itu adalah denganmengusahakan agar <strong>Islam</strong> tidak menjadi kategori politik.Kalau tidak begitu, maka akan terjadi lagi kontraksi dalamkonsep ‘umat” yang inklusif di atas. Kalau tidak demikian, kan<strong>Islam</strong> akan dikotakkan lagi menjadi sebuah partai. Namanyamemang bukan partai, tapi fungsinya kan sama dengan partai.Itu kan menyalahi khittah pembaharuan <strong>Islam</strong>, misalnya sepertiyang ditegaskan, Cak Nur, bahwa “<strong>Islam</strong>”, Yes: Partai <strong>Islam</strong>, No.Kalau demikian, kita kembali jadi partisan secara ideologis.Maka, misalnya, ICMI itu harus inklusif. Kesan orang bahwaICMI itu esklusif bisa benar dan bisa tidak. Tapi isu itu kanharus dijawab dan dibuktikan kebenaran atau kekeliruannya.Gus Dur juga harus menunjukkan bahwa ia inklusif, demokratsungguhan. Ia harus mempertanggungjawabkan, misalnya,mengapa ia tidak melibatkan Abu Hassan yang juga banyakmendapatkan suara, dan sebagainya.Jadi ciptakanlah sebuah suasana di mana semua orang, sedikitnyasemua orang <strong>Islam</strong>, merasa at home dengan ICMI,Gus Dur dan lainnya, Atau MUI atau lainnya.Ihsan Ali FauziDialog Jumat, Republika, 31 Maret 1995Sejumlah Komentar 405


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Kontroversi dan Keanehan <strong>Pemikiran</strong>Ahmad WahibMajalah Mimbar Ulama (MU) terbitan Majelis Ulama Indonesia(MUI) edisi tahun VIII Nomor 73, Agustus-September1983, membuat ulasan khusus yang menyesalkan peredaranbuku <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>: Catatan Harian Ahmad Wahib.Dari hasil penelitian Komisi Litbag MUI dan tanggapantanggapanserta saran-saran yang diterima MUI dari berbagaikalangan, termasuk dari kalangan ormas <strong>Islam</strong> seperti HMI,PMII, dan IMM, MUI akhirnya memberikan saran kepadapemerintah cq Menteri Agama “megambil kebijakan terhadapbuku tersebut”“Dengan tujuan agar tidak bertambah luas peredarannya,dan untuk menutup kemungkinan buku tersebut disalahgunakanuntuk menimbulkan selisih paham di kalangan umat <strong>Islam</strong>yang sangat peka terhadap hal yang menyangkut aqidah dansyariah,” (MU hlm. 139).MUI juga menilai bahwa PPI dapat merusak aqidah dansyariah <strong>Islam</strong>, terutama bagi kalangan kaum muslimin awam.Penilaian MUI itu didasarkan pada pertimbangan bahwa judul<strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong> (PPI) tidak sesuai dengan isi bukuyang berupa catatan pribadi Wahib dan cetusan-cetusan pemikirannyayang tidak tersusun secara utuh dan tertib.Jadi, kesimpulan MUI, buku tersebut dapat menyesatkanbanyak kalangan muslim yang belum mendalami benar agamanya.Mimbar Ulama lalu menguraikan sejumlah kejanggalandan kontroversi PPI dalam tujuh halaman berikutnya.406 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —ObsesiDua belas tahun setelah itu. Dialog Jumat Republika edisi 31Maret 1995 membuat liputan besar-besaran tentang AhmadWahib dan PPI-nya dalam rangka mengenang kematian AhmadWahib dengan head line berjudul “khittah yang DiamdiamTerancam”.Dengan nada bangga dan berani, penulis artikel tersebutmenyebut bahwa PPI adalah “buku yang menggugah gairah pemikirandan keberagamaan kita”. Lewat buku itu, begitu menurutsi penulis, “Almarhum Ahmad Wahib terbukti makin lamamakin tampak harus dipandang sebagai salah satu peletak dasarlandasan pembaharuan <strong>Islam</strong> di tanah air”.Begitu terobsesinya si penulis pada Wahib, sampai-sampaisi penulis artikel menulis, “Belakangan, perannya juga mulailuas diakui. Sementara itu landasan teologis yang dibangunnyajuga sudah mulai memperlihatkan hasil nyata”. Entah data-dataapa yang penulis gunakan untuk membuat kesimpulan semacamitu.Luar biasa. Penulis tampak telah terobsesi atau membuatobsesi atau mengobsesikan dirinya terhadap Ahmad Wahib.Seakan-akan menurutnya, Wahib adalah sosok yang begitu hebat,seorang “mujaddid” besar, seorang pahlawan, hanya karenakeberaniannya menggugat hal-hal yang dianggap mapan dalamagama, dan berani mencampurkan antara ateis dengan teis.Obsesi penulis (Ihsan Ali-Fauzi) diperkuat oleh Budhi MunawarRachman dalam kolomnya. “Wahib-wahib Baru MenungguJawaban Kita”. Intinya, Budhi menyokong Wahib danmengiginkan sekularisasi pemikiran keagamaan. Tugasa agamahanyalah mengurusi masalah etika, agar lebih ringan, katanya.Sejumlah Komentar 407


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Menurut Budhi, pemikiran bebas tentang bagaimana keterlibatanagama di zaman ini sering muncul pada kalangan terpelajar<strong>Islam</strong> yang mempunyai banyak pengetahuan ilmu-ilmusekular. “Justru karena latar belakang mereka yang kuat dalamilmu-ilmu sekular inilah, seperti juga dari Wahib, tantanganpemikiran keagamaan muncul”.Kesimpulan ini juga aneh. Simaklah perkembangan <strong>Islam</strong>di kampus-kampus sekular seperti UI, UGM, ITB, Unpad,Unair, IPB, bahkan di kampus-kampus lain di berbagai belahanbumi, adakah kalangan akademisi-baik staf pengajar maupunmahasiswa-yang berpikiran seperti Wahib. Kenalpun tidak. Danmereka juga tidak gelisah. Mereka tenang dengan amalan-amalankeagamaan dan zikir serta pikirnya tentang <strong>Islam</strong>.Bisa disimpulkan, kegelisahan Wahib sebenarnya hanyamenghinggapi beberapa gelintir – dari jutaan akademisi muslim– yang memang bingung atau sengaja membingungkan dirisendiri. Padahal, kita bisa saksikan sehari-hari, bahwa umat tidaklahbingung seperti Wahib. Umat <strong>Islam</strong> kini sibuk mencariberbagai pemecahan problem ekonomi dan sosialnya, dan masalah-masalahpraktis keseharian mereka. Tidaklah wajar jikakebingugan Wahib dan beberapa gelintir orang dicoba digeneralisasikandan ditularkan kepada kalangan umat lain.Berbagai ReaksiKetika PPI diluncurkan, 1981, reaksi keras segera muncul dariberbagai kalangan umat. Prof. Dr. Rasjidi menulis di majalahPanji Masyarakat, edisi 1 Januari 1982, bahwa penerbitan bukutersebut sebagai suatu tragedi, merupakan halaman yang suram408 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dalam kehidupan <strong>Islam</strong> di zaman Orba, dan menganjurkanpembaca hati-hati waktu membacanya.Dalam diskusi yang digelar HMI Badko Jabar bersamaHMI Cabang Jakarta di Jalan Cilosari Jakarta, seperti ditulisMajalah Media Dakwah, edisi 103/Januari 1983, dari 17 pembicarahanya seorang yang menyokong PPI dan gagasan sekularisasiAl-Qur’an. Saat itu, khatib-khatib di DKI pun sibuk menjelaskansoal kesesatan buku Ahmad Wahib. Bahkan, banyakkalangan menilai, penerbitan PPI layak digolongkan sebagaipenodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dan dapatdikenai pasal 156a KUHP. Soalnya, di samping penodaan danpelecehan, buku ini juga telah menerbitkan rasa permusuhan.Abu Jihan, di Panjimas edisi 21 Agustus 1982, menyebutWahib mengidap gejala masochisme, di mana ia secara bengismenggebuk <strong>Islam</strong> sebagai konsepsi yang mapan, dan memperolehkenikmatan sebagai substitusi-substitusi dari kekecewaanyang dideritanya.Ketua MUI K.H. Hasan Basri, waktu itu, megakui banyakkalangan umat yang resah karena PPI. Ia menganggap bukuWahib sebagai “catatan harian yang belum selasai dan ditulisuntuk dibaca sendiri”. Hasan Basri justru mempertanyakan kenapabuku yang disebutnya berisi “catatan pribadi yang isinyakeresahan jiwa” itu diterbitkan.“Wahib tidak bodoh. Ia selalu mencari dan resah. Sayang iatidak menemukan jawabannya. Padahal, semua yang diresahkannyaada jawabannya dalam agama”, kata Hasan Basri, sepertidikutip Tempo, 25 Juni 1983.Akibatnya, kata Hasan Basri, mudharatnya yang timbul.Manfaatnya yang tidak ada, malah sangat mengganggu merekaSejumlah Komentar 409


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang sedang menapak memahami agama. Ia juga menolak judulbuku Ahmad Wahib, dianggap <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> dalam<strong>Islam</strong>. “Ia hanya cetusan jiwa seorang yang gelisah. Itu bukanpemikiran. <strong>Pemikiran</strong> biasanya memiliki konsepsi yang jelas”,kata Hasan Basri.Hasan Basri juga menjelaskan bahwa kebebasan berpikirdalam <strong>Islam</strong> ada tuntutannya. Kebebasan berpikir Wahib,menurutHasan Basri, sudah di luar ruang lingkupnya. Jadi kesimpulanMUI, “Buku PPI menimbulkan mudharat yang besar”.Dalam diskusi Cilosari itu, Endang S. Anshari, MA, jugamenilai, PPI merupakan pergolakan pemikiran pribadi AhmadWahib yang gelisah. Karena itu tidak tepat jika digunakan kat“<strong>Islam</strong>” dalam judul buku itu.Setelah menelaah PPI secara mendalam, sangatlah wajarjika banyak kalangan umat resah dan memprotes beredarnyaPPI. Alasan yang dikemukakan pendukung PPI –jika benarbenaringin membangun pemikiran umat – bahwa merekamenginginkan tumbuhnya suasana dialogis, terlalu mahal harganyadengan mengunakan cara-cara penerbitan buku sepertiPPI yang sulit terkontrol penyebarannya.Banyak cara lain yang bisa mereka tempuh, sebelum terburu-burumenjatuhkan tuduhan, bahwa banyak golongan umat<strong>Islam</strong> yang antitoleransi, antipluralisme. Sebab, pada saat yangsama, kelompok atau individu yang mengklaim sebagai pluralisini telah terjebak pada sikap antipluralisme, bahkan bisadikatakan, mereka sangat tidak memahami realitas umat yangsebenarnya memang plural.410 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Pengaruh PergaulanSimak saja sejumlah pemikiran Wahib dalam PPI yang sangatkontroversial dan dapat dikategorikan melecehkan <strong>Islam</strong> danumatnya, baik secara tekstual maupun konstektual. Misalnyaungkapan Wahib tentang <strong>Islam</strong>, Nabi Muhammad, dan syariat<strong>Islam</strong> seperti berikut:“Nah, andaikata hanya tangan kiri Muhammad yang memegangkitab, yaitu al Hadits, sedang dalam tangan kanannyatidak ada Wahyu Allah (Alquran). Maka dengan tegas aku akanberkata bahwa Karl Marx dan Frederich Engels lebih hebatdari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasadan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiaporang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni sorgatingkat pertama, berkumpul dengan para nabi dan syuhada”(hal.98).Di halaman 60, Wahib juga melecehkan syariat <strong>Islam</strong>.“Sayapikir hukum <strong>Islam</strong> itu tidak ada. Yang ada ialah sejarah Muhammad;dan dari sanalah tiap-tiap pribadi kita mengambihpelajaran sendiri-sendiri tentang hubungan dengan Tuhan dansesama manusia. Sejarah Muhammad adalah sumber agama<strong>Islam</strong>. Tapi, agama <strong>Islam</strong> bukan satu-satunya petunjuk untukmenjawab persoalan-persoalan hidup muslim, baik individumaupun masyarakat”.Pada dasarnya, pemikiran seseorang dipengaruhi oleh latarbelakang informasi-informasi yang diterimanya. Wahib jugamengakui, bahwa ia sangat terpengaruh oleh pola dan pergaulanhidupnya saat kost di Asrama Mahasiswa Katolik RealinoYogyakarta. Di sini Wahib banyak mendapat pesan-pesan dariSejumlah Komentar 411


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Bruder van Zon, Romo Stolk, Romo Willenborg, dan Romo DeBlot (semuanya Ordo Jesuit).Di halaman 42-43 PPI, Wahib secara terusterang mengungkapkan.“Aku punya teman-teman aktivis ormas PKI. Danhubungan kami terus baik sampai sekarang...”.Juga, ia mencatat, “Aku pernah diundang kepesta-pestanatal dan paskah mereka. Aku pun pernah satu klub renangdengan mahasiswa-mahasiswa Seminari Agung... Aku seringnonton film bersama-sama mereka, ngelencer bersama, dan lainsebagainya. Lingkungan sosiokultural yang khusus itu mungkinsecara tidak sadar telah mempengaruhi jalan pikiranku.”Wahib memang gelisah. Dan dalam kegelisahannya ia menulis,“Saya rindukan seorang Nabi yang bisa menjawab kemelut-kemelutidiil dalam ‘<strong>Islam</strong>’ kini, yang bisa berbicara dalamlevel internasional selain memiliki besluit internasional”. (hal.72).Wahib heran, kenapa Tuhan tak menurunkan Nabi lagisaat ini. Mirip paham Ahmadiyah Qodiyan. Kejanggalan dankeanehan berpikir semacam itu bertebaran di buku Wahib.Adalah sangat sulit dimengerti jika seorang Wahib yang gelisahdan dijadikan ‘uswah’, bagi seorang mujaddid dan peletak dasarpembaharuan <strong>Islam</strong> di tanah air. Aneh.Ahmad SumargonoRepublika, 11 April 1995412 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Ikhtiar Ahmad Wahib:Sebuah Corak Reformasi dalam <strong>Islam</strong>Sesuai menulis laporannya yang terakhir sebagai calon reportermajalah Tempo tentang “Politik penelitian di ITB”, Ahmad Wahibkeluar. Ia keluar untuk selama-lamanya. Saat itu kira-kirapukul 19.30 ketika ‘seekor’ motor biru B 2738 EE menabraknyadari belakang, dan hari itu juga 31 Maret 1973 Ahmad Wahibmeninggal. Syu’bah Asa, salah seorang rekan dekatnya, kemudianmenulis sebuah esei untuk mengenang Ahmad Wahib(Tempo, 14 April 1973). Syu’bah menulis: “Untuk segi teologi,dibidang mana pemikiran-pemikirannya sangat mendasar danmenginti, orang agaknya malah boleh mengangan-angankanbakal lahirnya seorang semacam Paul Tillich di IndonesiaKelak... “. Mengharap seorang seperti Ahmad Wahib selagimasih hidup – dan jika besar kelak-akan seperti Paul Tillichbukankah harapan yang mengada-ada.Setidak-tidaknya untuk konteks Indonesia. Namun apabilakita menelusuri terbitan posthumous Ahmad Wahib yang diberijudul <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>, gambaran tentang PaulTillich akan mencair. Pertama-tama dapat kita katakan bahwaAhmad Wahib bukan seorang “emigran” yang sukses. Ia bukanseorang yang sibuk mencari sintese pemikiran-pemikiran darikutub yang tak saling ketemu. Malahan apabila kita menelusuridengan lapang dan teliti Catatan Harian Wahib (selanjutnyaAW) kita akan bertemu. Dengan seorang pemikir muda yangmencari (tempat serta peranan), namun yang dicarinya itu takada. Atau kita anggap lebih baik mengatakannya belum ada?Menyelip di mana-mana dalam catatan harian itu pertanyaan-Sejumlah Komentar 413


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —pertanyaan yang meskipun dikatakan dengan penuh semangattapi mengandung perasaan tak berdaya. Ini mungkin salah satukeunikan dari sebuah catatan harian. Sang penulis merenungdengan bebas, ia berhadapan dengan ruang yang tak terhingga.Ia bebas, juga ketika ia berhadapan dengan pengalaman tragistentang dirinya sendiri. Tentang kesepiannya, kemelaratannya,tentang tempatnya, pemikiran-pemikirannya, tentang masa depanzamannya. Pada titik ini kita tidak teringat lagi pada tokohPaul Tillich, yang pintar dan tenar. Gambaran tentang AWjauh lebih dekat kepada seorang rekan Tilllich yang lain yangmati di tiang gantungan Gestapo. Ia bernama Dietrich Bonhoeffer,yang dihukum mati karena melawan Hitler di tempat.Bonhoeffer ditangkap bulan April 1943 dan meninggal di tianggantungan 9 April 1945. Selama dua tahun dalam kampkonsentrasiBonhoeffer menulis surat dan renungan-renungan,yang kemudian juga diterbitkan hampir setebal buku catatanharian AW.Apakah AW juga membaca letters pepers from prison dariBonhoeffer, mungkin Djohan Effendi sebagai kawan dekatnyadapat menjawabnya. Pertanyaan tersebut sama sekali tidakmenyangkut mutu orisinalitas catatan harian AW. Pengalamandan lingkungan persoalan yang dihadapi kedua orang itu tidaksama. Tapi membandingkan kedua buku tersebut tak dapat tidakorang akan tergoda untuk menarik garis-garis persamaan (yang meskipun amat umum) namun mengesankan adanya titik-titiktemu antara keduanya. Titik-titik temu yang menakjubkanitu antara lain adalah: komitmen mereka yang mendalamterhadap ‘umat’. Melalui kristologinya Bonhoeffer menempatkanperanan ‘umat’ sebagai kurban yang harus membayar harga414 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —persekutuan manusiawi. Dan AW dengan pemahamannya tentang‘sejarah Muhammad’ berusaha menempatkan ‘umat’ dalamperanannya yang kreatif untuk membuka kebekuan budayamasyarakat. Namun keduanya tidak bertolak dari anggapanatau pengakuan apriori terhadap ajaran agama masing-masing.Malahan kedua konsepsi tersebut secara langsung merupakankritik yang amat fundamental terhadap cara hidup beragamadari para penganut agamanya, bahkan juga terhadap ajaranajaranteologis yang sudah diterima oleh umat sebagai aksiomaiman. Di pihak lain, dalam ‘kesepian’ –nya kedua tokoh ini denganbebas berdialog dan berkorespondensi dengan persoalanpersoalanmasa depan. Buah-buah pikirannya jauh merawangke masa depan. Bonhoeffer berbicara tentang masyarakat yangmenginjak masa ‘akil balik’ (come of age) yang akan beripikirtidak lagi dalam kategori-kategori keagamaan (religionless society),sedang AW juga dalam bahasa yang samar-samar berbicaratentang ‘bentuk agama yang bukan agama’. Dalam hubunganini kita catat bahwa sebuah catatan harian memang tidakmungkin untuk menjelaskan secara tuntas konsepsi-konsepsipikiran yang dilontarkan di dalamnya. Interpretasi yang akandilakukan oleh orang lain sesudahnya akan turut menentukanisi dari konsepsi tersebut. Itulah yang terjadi pada naskah ‘Surat-suratdari penjara’ Bonhoeffer, dan mungkin itu pula yangakan terjadi pada catatan harian AW. Kesamaan lain antaramereka berdua adalah akhir hidup yang ‘tragis’. Tahun-tahunsebelum kematian mereka dalam semangat partisan keduanyamencoba merumuskan pikiran-pikiran mereka. Seolah berkejarandengan waktu. Dan walau demikian, mereka adalah ‘laguyang belum selesai’.Sejumlah Komentar 415


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Catatan Harian Ahmad WahibAW meninggal dalam usia 31 tahun. Ia meninggalkan catatanharian berisi dialognya yang amat intensif dengan suatu masayang goyah di tahun-tahun sesudah peristiwa Gestapu. Sebagaimanadi sebut oleh B.J. Boland (salah seorang pengamat dariBelanda yang berminat pada perkembangan <strong>Islam</strong> di Indonesia,juga yang dikenal secara pribadi oleh AW) yang menulis Thestruggle of <strong>Islam</strong> in modern Indonesia, maka keadaan sesudahperistiwa G-30-S menempatkan <strong>Islam</strong> dalam pergulatan berat.Hilangnya PKI dari peredaran politik menimbulkan suatu masavacuum khususnya di bidang spiritual. Munculnya tentara ditahun 1966 ternyata tidak memungkinkan terbukanya suasanauntuk membicarakan kembali soal dasar negara. Meskipundi tahun-tahun itu kembali menghangat soal-soal disekitar‘Piagam Jakarta’, persoalan pemberilakuan syariat <strong>Islam</strong>, Undang-undangPerkawinan dan lain-lain, namun pada umumnyadapat dikatakan bahwa arah perkembangan politik saat itusepenuhnya berada di bawah kontrol tentara.Sementara itu muncul tokoh pemikir <strong>Islam</strong> yang menyodorkansuatu konsepsi pemikiran yang berada dengan tokohtokohsebelumnya. Apabila tokoh pemikir <strong>Islam</strong> sebelumnyamencari tempat dan peranan politik.Bagi islam dengan semangat apologetik yang tinggi makatokoh seperti Mukti Ali dengan menghindari cara-cara apologetikjusteru melontarkan perlunya dialog antar umat beragamaserta kerja sama demi menciptakan kesejahteraan bersama.Sementara itu pemikiran tentang modernisasi semakin menjadiisu masyarakat yang menarik. Dalam hubungan inilah HimpunanMahasiswa <strong>Islam</strong> (HMI) sebagai organisasi mahasiswa416 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —yang independen berkesempatan untuk mengolah pemikiranpemikiranbaru di sekitar tema-tema reformisme, liberalisme,modernisme dan lain-lain. Dan dalam kedudukannya sebagianggota pengurus HMI di Yogyakarta AW berkesempatan pulauntuk bergulat dengan tema-tema tersebut. Dan isi dari catatanharian AW pada dasarnya mengungkap keterlibatannya yangamat intensif dengan tema-tema tersebut.Menurut penuturan Djohan Effendi (sahabat terdekat AW)sejak tahun 1966 AW mulai berpikir keras, mencoba merumuskanrenungannya. Namun baru akhir tahun 1968 sampaibeberapa hari sebelum kematiannya, renungan-renungan ituditulisnya rapi. Naskah yang kemudian dibukukan ini semulaberupa tulisan tangan dalam sepuluh jilid buku, yang ketika iatinggalkan telah rapi tersusun. Mengesankan seolah-olah catatanharian itu akan menjadi wakil bagi dirinya untuk hadirdalam setiap pergulatan yang akan terjadi di masa depan. Danagaknya ia pun sadar bahwa satu kali kelak catatan-catatannyaakan dibaca orang. Delapan tahun kemudian catatan harian ituterbit. Di halaman 31 antara lain ia menulis: ‘Lihatlah catatancatatandalam buku ini dan bacalah bagaimana saya bicara terus-terang...:Tapi bagaimana membaca catatan harian? Membacasurat-surat Kartini misalnya, kita bisa menyediakan dirisebagai alamat kepada siapa surat-surat tersebut ditunjukan.Sebuah catatan harian adalah tulisan yang ditunjukan kepadadiri sendiri. Kalau ia sampai kepada orang lain semata-matahanya karena si penulis tidak lagi bisa mengatakan tidak. Ia taklagi turut memutuskan apakah catatan-catatannya yang amatpersonal perlu dibaca orang lain atau tidak. Paling tidak kalauAW tahu bahwa catatan-hariannya akan menjadi buku ‘Per-Sejumlah Komentar 417


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —golakan pemikiran <strong>Islam</strong>’ mungkin ia akan minta agar bagianbagiantertentu tak usah disertakan, atau ia menolak ‘permak’yang dilakukan atas beberapa bagian tulisannya, atau mungkinia minta waktu untuk memperbagus bahasanya, dan lain sebagainya.Catatan harian AW yang terbit setelah ia meninggal– dan oleh karena itu – lebih mampu menampilkan seorangtokoh pemikir yang utuh. Pada instansi pertama ketika kitamembacanya kita tidak bertemu dengan ‘pikiran-pikiran’ – betapapuntajam dan cemerlang-, tapi kita berhadapan’ denganAW sendiri. Membaca sebuah catatan harian (yang biasannyaterbit posthumous) secara sadar atau tidak kita terbawa olehsuasana untuk bersimpati. Simpati bukan pertama-tama karena‘nasib malang’ yang menimpa si penulis, akan tetapi karena‘nasib malang’ yang menimpa si penulis, akan tetapi karenacatatan harian sebagai sebuah karya personal selalu cenderungmengajak kita untuk berhadapan sendiri (eksistensial) dengansebuah ruang kosong yang tak terhingga luaasnya. Sebaliknyadapat kita katakan bbahwa simpati itu justru tidak akanmuncul apabila si penulis ‘cengeng’ dalam menghadapi realitahidupnya. Seorang remaja seperti Anne Frank menjadi tokohyang mempermalukan Jerman semasa Hitler bukan karena iacengeng dan mengaduh-aduh dalam catatan harian yang ia tulis,melainkan karena ia memperhadapkan pembacanya kepadakeluasan pilihan yang diajukan olehnya. Berhadapan secara eksistensialdengan sebuah ruang yang tak terhingga luasnya ituseolah-olah Anne Frank bertanya: ‘kenapa mesti Hitler?’. Danbaru sesudah itu ia mengajak kita berpikir.Dalam catatan hariannya AW tampil secara utuh. Bukanhanya sebagai pemikir, tapi sebagai pribadi. Ahmad Wahib bu-418 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —kanlah sebuah paper tentang pembaharuan <strong>Islam</strong> di Indonesia.Ia adalah pribadi dengan predikat ‘mencari’, ‘pribadi yangmencari’. Secara total ia menunjukkan keterlibatannya kepadamasalah-masalah yang ia anggap dihadapi oleh umat <strong>Islam</strong> diIndonesia atau khususnya oleh HMI. Keterlibatannya secaratotal tersebut sedikit banyaknya juga ditentukan oleh cara iamempersoalkan masalah. Sebagai aktifis HMI, dan sebagai mahasiswatingkat terakhir di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UniversitasGajah Mada, AW merumuskan masalah-masalah yangia hadapi bertolak dari pikiran-pikiran keagamaan, atau tepatnyakomitmennya terhadap masalah-masalah yang ia hadapiadalah komitmen keagamaan. Sudut pandangan ini menyebabkania mau tak mau harus mempersoalkan kembali komitmenkeagamaan yang ada di lingkungannya. Karena agama mendudukitempat yang sentral dalam pengalaman-pengalamanpribadinya, maka minatnya kepada soal-soal di sekitar agamajuga menjadi sentral dan utama. Dari situlah ia hendak bertolak,tapi sekaligus di situlah ia menyadari bahwa pemikiranpemikirankeagamaan yang ia temui tak memadai sebagai titiktolak yang kokoh untuk mempersoalkan masalah-masalah yanglebih luas. Di sinilah agaknya dapat kita mengerti kenapa AWyang mempunyai latar belakang pendidikan formal bukan teologi,menjadi seorang teolog yang gencar menawarkan pikiranpikiranbarunya. Dalam catatan hariannya tertanggal 18 Januari1973 yang dikutip oleh Syu’bah Asa (yang tidak terdapat dalambuku <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>), AW menulis:‘Kita memulai dari teologi bukan karena dia paling pentingatau lebih penting, tetapi karena dialah yang memberikanintegerasi terhadap pemikiran-pemikiran dan sikap-sikap lebihSejumlah Komentar 419


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —riil dalam berbagi sektor kehidupan... Teologi adalah “generalis”yang paling tinggi dan meliputi’. Sebab-sebab lain kenapaia mulai dari teologi adalah bahwa ‘theologi <strong>Islam</strong> sudah lamadan makin lama makin terancam bahaya kehilangan relevansidengan. Kebutuhan-kebutuhan dari persoalan-persoalan kebudayaankita yang terus berkembang. Juga karena dasar hiduppribadi kita <strong>Islam</strong>. Jadi wajar apabila kita selalu adakan dialogantara persoalan-persoalan zaman kita dengan <strong>Islam</strong> yang kitaanut... dan di Indonesia, filsafat belum merupakan tradisi...”(Tempo, 14 April 1973). Mungkin pengakuan semacam itumengecewakan banyak orang. Karena bagi banyak orang terkadangmemasuki soal-soal keagamaan secara mendalam dianggapsebagai kegiatan yang melelahkan dan membuang waktu.Setidak-tidaknya dianggap sebagai kesibukan yang seharusnyaterbatas pada para spesialis yang secara khusus mempersiapkandiri dalam vak tersebut.Dan AW memang telah berlelah-lelah dengan agama. Nyarisseluruh catatan hariannya berbicara tentang agama atau teologi.Namun nampak pula disitu ia teguh dengan pendirinya.Pemahaman mengenai masalah-masalah politik, kebudayaandan kemahasiswaan yang relevan dengan <strong>Islam</strong> mau tak mauharus diteropong dengan cara yang baru. Ini berarti bahwapembaharuan pada hakekatnya harus dimulai dengan agama.Apabila susunan kepercayaan keagamaan dianggap perlu memberilandasan terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadimaka landasan itu semestinya bersifat kreatif. Upaya untukmemikirkan kembali landasan keagamaan yang kreatif inilahagaknya yang menjadi keprihatinan utama dari seluruh pergulatanpemikiran AW. Penyelaman ke dalam soal-soal filsafat-420 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —keagamaan ini memang memerlukan suatu perjalanan panjangyang amat meletihkan. Penyelaman yang tidak akan dibuat olehorang yang tidak mengerti tentang arti pembaharuan bagi pemikirankeagamaan. AW dalam pergulatan pemikirannya telahmemilih suatu jurusan yang tidak semua orang berani memasukinya.Ia bahkan telah masuk ke ruang yang paling ujungdari agama, demi kebebasan berpikir. Di masa-masa DemokrasiTerpimpin sebelum tahun 1965, gambaran tentang tokohintelektual partisan dengan panji-panji kebebasan berpikir merupakansalah satu kebanggaan identitas diri. Kebebasan berpikirmelawan tabu politik adalah paradigma bagi setiap sikapintelektual pada masa Sukarno. Namun di masa-masa sesudahkejatuhan Sukarno tipe yang diidealkan bagi seorang tokoh intelektualbukanlah para partisan pembela kebebasan berpikirlagi. Dan justru dalam lingkungan semacam ini AW munculsebagai seorang tokoh intelektual pertisan yang kembali mempersoalkantabu. Tabu keagamaan. Dan mungkin karena forumnyayang sempit, pikiran-pikirannya yang baru dalam tarafbertanya, umurnya yang pendek, nasibnya yang jelek, sikapnyayang kurang “kooperatif ”: kemudian ia tersuruk-suruk dalamkemiskinan, kesepian, kesakitan dan masa depan yang tak menentu.Sampai saat ia harus menghentikan segala-galanya.Tema-tema Pergulatan Ahmad WahibAW berhadapan dengan suatu masa yang goyah. Di manauntuk memahaminya serta menaggapinya diperlukan suatulandasan pemikiran yang lain. Landasan pemikiran yang adadianggapnya tak mampu lagi untuk mendukung jawaban terha-Sejumlah Komentar 421


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —dap situasi yang baru. Dengan bekal andalan pada keterbukaansikap dan kemerdekaan berpikir AW menyusuri kemungkinankemungkinanuntuk mengadakan pebaharuan dalam kehidupankeagamaan khususnya <strong>Islam</strong>. Keberanian AW untuk memasukimasalah-masalah pembaharuan dalam teologi <strong>Islam</strong> (yang amatmengenaskan), mungkin justeru disebabkan oleh latar-belakangpendidikannya yang non-teolois. Sehingga (mungkin) tak sepenuhnyapula ia menyadari apa implikasi yang menyeluruhdari upaya pembaharuannya tersebut. Meskipun ia memilikialat-alat untuk berpikir logis, serta punya ketajaman intuitifuntuk menerima visi-visi baru yang menyegarkan, punya pulapengalaman-pengalaman yang membuktikan kebenaran pandangannya,namun dalam banyak hal memang ia lebih banyaktampil sebagai seorang muda yang penuh semangat. Adalahtipikal (dan hampir menjadi semboyan bagi setiap orang yangberminat pada pembaharuan) untuk berkata: ‘Pada hematsaya orang-orang yang berpikir itu, walaupuun hasilnya salah,masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang tak pernahsalah karena tak pernah berpikir’ (hal. 23). Dalam kata-kataseperti ini maka aktifitas berpikir dan kebebasan berpikiradalah utama dalam tema pergulatan AW. Ia menempatkankebebasan berpikir sebagai syarat bagi upaya lapang-terbukauntuk menerima kegagalan atau kesalahan. Mengenai ide-idepembaharuan pemikiran <strong>Islam</strong> itu sendiri AW berpendapatbahwa gerakan pembaharuan adalah gerak mencari tingkatperkembangan yang lebih baik dari yang ad. Proses pembaharuanmerupakan proses yang tak pernah selesai. “Manakalasuatu organisasi pembaharu relatif sudah berhenti mencari danbertanya, sudah puas dengan ide-ide yang ada, tidak meng-422 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —adakan kritik terhadap ide-ide yang hidup di dalamnya... padasaat itulah organisasi pembaharuan itu bisa dikatakan sedahberhenti menjadi organisasi pembaharu” (HAL. 78).Tema tentang pembaharuan ini dalam kegiatan berpikir dikalangan HMI mengambil wujud antara lain dalam soal ‘sekularisasi’.Menanggapi pengertian tentang sekularisasi yangdisuguhkan oleh Nurcholis Madjid dalam papernya tentang‘Pembaharuan <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>’, AW mencatat bahwa pengertiansekularisasi tidak saja harus didekati secara etimologisakan tetapi lebih penting harus didekati dari segi terminologi.‘Dalam pendekatan terminologis, tidak semua orang disebutsekular dan tidak semua masyarakat merupakan masyarakatsekular, sebab sekular sudah mempunyai arti terhapusnya campurtangan‘agama’ dalam pemecahan langsung masalah-masalahsosial’ (hal.83). Selanjutnya ia mengusulkan agar Nurcholislebih banyak menyinggung tentang sekularisasi masyarakat,sebab itulah sebenarnya yang menjadi pokok pertanyaan bagibanyak orang. Selama ini, menurut AW, Nurcholis hanya berbicaratentang sekularisasi <strong>Islam</strong>, yaitu bagaimana me ‘landing’-kan <strong>Islam</strong> (hal.84).AW memasuki ruang-teologi dalam <strong>Islam</strong> juga denganmengandalkan akal dan kebebasan berpikir. Dia menulis, diaingin menjadi muslim yang baik dengan selalu bertanya. ‘Sayatak bisa mengelak dari pikiran. Di mana saya berada, kemanasaya menuju, di situ dan ke sana pikiran itu ada dan bertanya-...”tak ada kerja pikir berarti tak ada manusia”. Karena itu takada jalan lain kecuali menggunakan daya pikir itu semaksimalmungkin. Dan titik akhir dari usaha dan menilai usaha ialahkematian!’ (hal. 25-26).Sejumlah Komentar 423


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Apakah pikiran-pikiran AW tentang teologi? Menyimak renungan-renunganpribadi AW di sepanjang catatan hariannyamaka kita dapati ada begitu banyak tema-tema persoalan teologisyang ia sentuh. Dari tema-tema teologi yang menyangkutpemikiran umat sampai kepada persoalan-persoalan eksistensipribadi, di sana-sini bahkan nampak pula kecenderunganpemikiran mistik. Ia mendirikan pula panji-panji kebebasanberpikir di sana. ‘Tuhan bukan daerah terlarang bagi pemikiran’(hal. 23). Namun salah satu tema yang agaknya ia ‘temukan’dan merupakan pokok pemikiran yang hampir setiapkali tampil dalam catatan hariannya adalah pemahaman tentang<strong>Islam</strong> sebagai ‘sejarah Muhammad’,hal itu antara lain dapatkita temukan di halaman 60, 110, 128, 174, 175 dan 176.Ia menulils: ‘Saya pikir, hukum <strong>Islam</strong> itu tidak ada. Yang adaialah sejarah Muhammad; dan dari sanalah hubungan denganTuhan dan sesama manusia. Sejarah Muhammad adalah sumberagama <strong>Islam</strong>. Tapi agama <strong>Islam</strong> bukan satu-satunya petunjukuntuk menjawab persoalan-persoalan hidup muslim, baikindividu maupun maasyarakat’ (hal. 60). Alasan-alasan yangagaknya menjadi dasar bagi AW untuk memilih ‘sejarah Muhammad’sebagai kata kunci teologis untuk memahami <strong>Islam</strong>adalah untuk memberikan tempat seluas-luasnya bagi kreatifitasmanusia.Dalam catatan hariannya yang pendek tertanggal 6 Agustus1972 ia menullis: ‘saya pikir ada beberapa ada keuntunganpemilihan “sejarah Muhammad” sebagai sumber <strong>Islam</strong>: 1.)Dalam sejarah Muhammad terungkap kaitan antara ucap-tindakMuhammad dengan kondisi waktu itu. 2.) Dalam sejarahMuhammad diberi peranan kondisi-kondisi kita sekarang atau424 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —tepatnya di situ berperanan hubungan antara kondisi kita duludengan kondisi kita sekarang. 3.) Sejarah Muhammad itu disamping utuh dan tetap sekaligus selalu baru. Dia tidak akanpernah habis, selama zaman belum habis. Setiap tempat danzaman bisa memahami sejarah Muhammad dalam kebutuhankebutuhantempat dan zaman masing-masing. Jadi kebutuhantempat dan zaman dan aktifitas manusia memperoleh peluangbesar untuk berbicara.’ (hal. 176). Dan <strong>Islam</strong> – dalam hubungandengan pemahaman tersebut di atas – dalam hubungan denganpemahaman tersebut di atas – bagi AW adalah renungan pribadipada sejarah Muhammad dengan penghayatan rohaniahpada Al-Qur’an sebagai puisi llahiat sebagai salah satu sumbersejarah: sedang <strong>Islam</strong>i atau bersikap <strong>Islam</strong>i bagi AW adalahmemandang persoalan-persoalan hidup oleh seluruh potensikreatif pribadi dengan berpangkal pada segenap kekayaan aqalidan rohani sejarah Muhammad sebagai sumber montivasi-danpelajaran (hal.176).<strong>Pemikiran</strong> tentang ‘sejarah Muhamad’ sebagai kata kunciuntuk memahami <strong>Islam</strong> sudah barang tentu akan membawakonsekuensi jauh (dan mungkin radikal) bagi bentuk keagamaan<strong>Islam</strong>. Di situ bisa dipersoalkan kembali pengertian-pengertianyang lain tentang kitab suci Al-Quran sebagai WahyuIlahi, tentang kedudukan nabi Muhammad sendiri dalam <strong>Islam</strong>,tentang pengertian fundamental mengenai tempat dan perananagama di masyarakat, tentang hubungan antar agama sebagaipanutan spiritual bagi jutaan orang: pengembaraan spiritualdan intelektual pada gilirannya harus dilanjutkan sampaiujung yang terakhir berdasarkan pemahaman mengenai <strong>Islam</strong>sebagai ‘sejarah Muhammad ‘. Dan secara serta-merta memangSejumlah Komentar 425


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —AW telah mencobanya untuk menarik konsekuensi logis daripandangannya. Dalam renungan-renungan pendek yang tidaktuntas, dan jauh dari jelas. Dan agaknya renungan-renungan‘non teologis’ AW sejak halaman 196 sampai halaman terakhirharus dibaca dalam hubungannya dengan pemahaman AW tentang<strong>Islam</strong> sebagai sumber kreatifitas. Demikian pula mengenairenungan-renungannya yang banyak tentang HMI, tempat dimana ia dibesarkan dan mendapat kesempatan untuk mengasahpikiran-pikirannya.Sebuah fenomena dalam <strong>Islam</strong>Dari perjalanan sejarah <strong>Islam</strong> dapat kita ikuti bagaimana agamabesar ini dalam keadaan tak siap menghadapi invasi kebudayaanbarat yang moderen pada akhir abad ke-18. Sejak saat itudi sepanjang abad ke-19 dunia <strong>Islam</strong> menjadi bulan-bulanankemajuan teknologi (khususnya persenjataan dan organisasi)Barat. Barat semakin kuat dan agresif setelah mengalami revolusikomersial dan revolusi industrial yang mendorong merekauntuk menguasai dunia. Dan mulai saat itu pula Barat telahmembuktikan pilihan bagi pola kebudayaan dunia. Dalam artibahwa dunia tak bisa lagi dipikirkan lepas dari pengaruh BaratModeren. Dalam konteks semacam ini <strong>Islam</strong> pada umumnyasering hanya dilihat sebagai bagian dari ciri keterbelakanganmanusia Timur. Dan prasangka umum semacam ini seringpula (sadar atau tidak) menghinggapi penilaian para pemelukagama non <strong>Islam</strong> terhadap <strong>Islam</strong>: juga di Indonesia. KolonialismeBelanda turut pula membentuk prasangka umum ini,bahwa <strong>Islam</strong> adalah kekuatan nonkreatif yang identik dengan426 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —keterbelakangan manusia Indonesia yang dugu dan kurangterdidik. <strong>Islam</strong> dianggap tak pernah menyentuh masalah-masalahreal masyarakat, tak pula mampu merumuskan masalahsecara tepat. Dalam suasana umum seperti tergambar di ataskita membaca catatan-harian AW. Dan AW memang mengajakkita bertanya. Pertanyaan AW begitu fundamental sehinggameskipun ia hanya bertanya-tanya dalam konteks <strong>Islam</strong> dilingkungannya akan tetapi implikasi pertanyaan itu memotongbatas-batas ke perbedaan agama. Kita ambil contoh misalnyakonsekuensi pikirannya tentang sekularisasi, ia menulis: ‘Sejauhpengamatan saya, dalam dunia Kristen sendiri sekularisasi masihserba problematis walaupun ada kecenderungan kuat untukmenerimanya. Apakah golongan Kristen Indonesia menerimasekularisasi begitu cepat tanpa sedikitpun kritik terdorongkarena alasan-alasan idiil murni ataukah dicampuri karenaalasan-alasan politis berhubungan dengan kekhawatiran merekaterhadap golongan <strong>Islam</strong> yang dianggap agresif? (hal. 80).Pertanyaan semacam ini bukan hanya sebuah pertanyaan yangjujur, akan tetapi juga mengajak untuk memecahkan mitos tentangketerbelakangan <strong>Islam</strong> di hadapan mitos tentang kemajuanberpikir di lingkungan agama-agama yang lain. Paling tidaktaraf kemajuan (dengan demikian juga taraf keterbelakangan)dari agama-agama di Indonesia bisa dikatakan rata-rata sama.Intensitas pergulatan spiritual-intelektual AW terjadi didalam lingkungan keagamaan <strong>Islam</strong>. Ia merupakan sebuah fenomen<strong>Islam</strong> di Indonesia. Catatan harian AW menunjukkandinamik dan tanda-tanda kehidupan yang tumbuh di kalangan<strong>Islam</strong>. Dari sini tradisi pemikiran kreatif dimulai, yang dikelompokagama-agama yang lain tidak pernah ada, bahkanSejumlah Komentar 427


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —juga tidak terjadi di kalangan pemuda atau mahasiswa mereka.Tidak ada manfaatnya untuk mengatakan bahwa AW mewakilipergolakan spiritual umat <strong>Islam</strong> di Indonesia, tapi denganterbitan satu buku (yang tak terduga ini) jelas bahwa ia merupakanpergulatan yang tak terlepas dari proses perkembangan<strong>Islam</strong> di Indonesia. Sebagai salah satu fenomen <strong>Islam</strong> di Indonesiaia tak bisa disangkal.Telah sampai kepada kita satu dokumen yang berisi tentangpergulatan seorang ‘anak zaman’ yang terlibat secara penuhuntuk memikirkan kemungkinan lahirnya pembaharuanhidup bersama yang lebih bebas, terbuka dan tanggap terhadapmasalah-masalah masa depan.Agaknya Ahmad Wahib (sebagai pemikir) lebih dekat kepadatokoh Bonhoeffer dari paada Tillich. Dalam arti: ia sendiritak akan turut campur lagi untuk merumuskan dan mengembangkanpikiran-pikirannya. Orang lainlah yang harusmeneruskannya. Apakah hal itu akan terjadi atau tidak terjadinamun Ahmad Wahib telah memulaikan lagi suatu tradisibagi para intelektual di Indonesia yaitu menggugah kesadaranzamannya dengan bertanya-tanya!Th. SumartanaPrisma No. 8, Agustus 1981428 <strong>Pergolakan</strong> <strong>Pemikiran</strong> <strong>Islam</strong>


— <strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong> —Credit:Edisi cetak buku ini terakhir diterbitkan oleh LP3ES bekerjasamadengan Freedom Institute. Jakarta, Februari 2003.Halaman buku pada Edisi Digital ini tidak sama denganhalaman edisi cetak. Untuk merujuk buku edisi digital ini,Anda harus menyebutkan “Edisi Digital” atau menuliskanlink-nya. Juga disarankan mengunduh dan menyimpan filebuku ini dalam bentuk pdf.


Yayasan Abad Demokrasi adalah lembaga nirlaba yang berkomitmenuntuk pemajuan demokrasi di Indonesia, terutama dalamkaitannya dengan tradisi keberagamaan yang menghargainilai-nilai demokrasi, pluralisme, perdamaian, dan penghargaanterhadap hak-hak kemanusiaan.Lembaga ini berupaya menyebarkan seluas-luasnya ide-idepencerahan dan demokrasi ke khalayak publik. Juga memfasilitasipublikasi, penelitian, dan inisiatif-inisiatif lain terkait denganisu yang sama.Juga berupaya memfasilitasi transfer pengetahuan danpembelajaran demokrasi dari berbagai belahan dunia. Lembagaini juga concern terhadap upaya membangun tradisi akademikdan intelektual, sehingga proses demokratisasi Indonesia berjalandalam fundamen yang kokoh dan visioner.Lembaga ini juga mengembangkan penguatan kapasitaskader-kader pendukung proses pemajuan demokratisasi di Indonesia.www.abad-demokrasi.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!