12.07.2015 Views

ES indo design.indd - La'o Hamutuk

ES indo design.indd - La'o Hamutuk

ES indo design.indd - La'o Hamutuk

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Chega!


Laporan Komisi Penerimaan,Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR)di Timor-LesteRingkasan Eksekutip


SUMBER DAYA DARI CAVR:Buku-buku Audiensi Publik:PENAHANAN POLITIKPEREMPUAN DAN KONFLIKPEMINDAHAN PAKSA DAN KELAPARANPEMBANTAIANKONFLIK POLITIK INTERNAL 1974-1976PENENTUAN NASIB SENDIRI DAN MASYARAKAT INTERNASIONALANAK DAN KONFLIKBuku-buku lain:RONA AMI-NIA LIAN (Dengarkanlah Suara Kami)PENJARA COMARCA BALIDE: SEBUAH ‘GEDUNG SAKRAL’CHEGA! LAPORAN CAVRRANGKUMAN EKSEKUTIF DARI CHEGA!Video dan radio documenter:DALAN BA DAME (Jalan Menuju Perdamaian)Di terbit oleh Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste.www.cavr-timorleste.orginfo@cavr-timorleste.org215p.Pada saat percetakan belum ada pemberian kuasa ISBN di Timor Leste.© CAVR 2005, Hak Cipta Dilindungi.


Daftar IsiDaftar Isi 1Ucapan Terima Kasih 3Kata Pengantar 4Pengantar Ringkasan Eksekutip 9Latar Belakang Komisi 10KOMISI: MANDAT, KEGIATAN DAN CAPAIAN .......................................................................................................... 19Pembentukan Komisi 20Mandat 21Pencarian Kebenaran 22Rekonsiliasi 24Acolhimento dan Dukungan Korban 32TEMUAN-TEMUAN KOMISI ............................................................................................................................................... 49Profil Pelanggaran Hak Asasi Manusia 50Hak Penentuan Nasib Sendiri 52Pembunuhan Diluar Hukum dan Penghilangan Paksa 60Pemindahan Paksa dan Kelaparan 80Penahanan, Penyiksaan dan Penganiayaan 96Pelanggaran Hukum Perang 120Peradilan Politik 125Perkosaan,Perbudakan Seksual dan Kekerasan Seksual Lainnya. 129Pelanggaran Hak Anak 139Pelanggaran Hak Ekonomi dan Sosial 156Pertanggung-Jawaban dan Akuntabilitas 162REKOMENDASI KOMISI ..................................................................................................................................................... 171Pendahuluan 1721. Timor-Leste dan masyarakat internasional 1742. Timor-Leste dan Portugal 1763. Hak asasi manusia Timor-Leste: memajukan dan melindungi semua hak bagi setiap orang 1774. Hak asasi manusia di rumah: memajukan dan melindungi hak mereka yang rentan 1865. Hak asasi manusia di Timor-Leste: memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusiamelalui lembaga-lembaga yang efektif 1906. Hak asasi manusia di Timor-Leste: pelayanan keamanan yang melindungi danmemajukan hak asasi manusia 1967. Keadilan dan kebenaran 2008. Rekonsiliasi 2079. Rekonsiliasi dalam kalangan politik Timor-Leste 21010. Rekonsiliasi dengan Indonesia 21211. Acolhimento (Penerimaan) 21512. Reparasi 21713. Lembaga penerus CAVR 229Daftar Istilah ............................................................................................................................................................................ 230Peta Timor-Leste ..................................................................................................................................................................... 231Catatan ...................................................................................................................................................................................... 2321


Ucapan Terima KasihTugas Komisi telah dimungkinkan atas kebaikan dan bantuan dari organisasipemerintah, lembaga-lembaga multilateral dan organisasi non-pemerintah sbb:• Pemerintah Australia lewat AusAID• Australian Business Volunteers• Australian Volunteers International• Australian Youth Ambassadors for Development• Australia-East Timor Capacity Building Facility• Pemerintah Canada melalui CIDA• CRS (Catholic Relief Services Amerika Serikat), Kupang• Pemerintah Denmark• Komisi Eropa• Pemerintah Finlandia• Pemerintah Jerman lewat GTZ• Hivos (Institut Humanis Internasional untuk Kerjasama dengan NegaraSedang Berkembang, dari Kerajaan Belanda) Dutch InternationalHumanist Institute for Cooperation with Developing Countries)• International Center for Transitional Justice (Pusat Keadilan TransisionalInternasional)• Pemerintah Irlandia• Pemerintah Jepang• Pemerintah Zelandia Baru• Pemerintah Norwegia• Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia• Pemerintah Portugal• Pemerintah Swedia• Pemerintah Kerajaan Inggris• PBB (melalui UNTAET, UNMISET dan UNOTIL)• UNDP• UNHCR• UN Volunteers• Pemerintah Amerika Serikat• United States Institute for Peace• Community Empowerment Program (CEP) didanai oleh Trust Fund forEast Timor dan dikelola oleh Bank Dunia3


Kata PengantarPidato * oleh Aniceto Guterres Lopes, Ketua CAVRYang Mulia, Presiden Kay Rala Xanana Gusmão; Presiden Parlemen NasionalFrancisco Guterres Lú-Olo; Perdana Menteri Dr Mari Alkatiri; Ketua PengadilanTinggi Dr Claudio Ximenes; Dr Sukehiro Hasegawa, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal;Para Anggota Parlemen; Para Menteri Pemerintah; Yang terhormat anggota KorpsDiplomatik dan komunitas donor. Para wakil Gereja, komunitas keagamaan, danorganisasi-organisasi non-pemerintah, Rekan-rekan Komisaris dan staf CAVR, temantemanyang terkasih.Hari ini adalah hari terakhir dari masa amanat operasi CAVR yang dan kesempatanbagi CAVR untuk menggenapi tugas terakhirnya – penyerahan Laporan kamikepada Presiden Republik. Laporan ini telah ditulis sesuai dengan Regulasi 10/2001yang mewajibkan Komisi ini menyusun dan menyampaikan kepada umum satulaporan mengenai kegiatan-kegiatannya, temuan-temuannya, dan rekomendasirekomendasinyamengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kontekskonflik politik selama kurun waktu 25 tahun mulai 1974 sampai dengan 1999. Sesuaidengan amandemen Parlemen Nasional, Regulasi ini mengharuskan Komisi untukmenyampaikan Laporannya kepada Presiden Republik sebelum ditutup. Itulahsebabnya mengapa kita berada di sini pada hari ini.Lima tahun telah berlalu sejak CAVR digagas pada tahun 2000. Dalam tahun-tahunini Timor-Leste telah mengalami kemajuan dalam banyak hal dan terus melangkahke depan. Kalau begitu, mengapa ketika Timor-Leste mengarahkan pandangan kemasa depan disampaikan satu Laporan mengenai masa lalu?Guna sejarahJawaban sederhana untuk pertanyaan ini ialah bahwa Komisi melakukan apa yangdiminta untuk dilakukannya, yaitu menyelidiki dan melaporkan masa lalu kita yangtragis. Karena hasil dari tugas ini adalah satu Laporan yang menyentuh banyakmasalah yang sulit dan peka, penting untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwaCAVR secara resmi ditugaskan untuk melaksanakan pekerjaan ini. Tugas Komisiditetapkan dalam hukum, ditulis dalam Konstitusi, disahkan oleh Parlemen sekarangpada lebih dari dua kesempatan dan didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa danmasyarakat internasional. Para Komisaris rekan saya dan saya diharuskan di bawahsumpah untuk menyampaikan kebenaran dengan cara tidak memihak mengenaipelanggaran-pelanggaran yang dilakukan semua pihak dalam perjalanan Timor-Lesteyang menggemparkan menuju kemerdekaan. Ini meliputi penyampaikan kebenaranmengenai peran masyarakat internasional. Laporan yang ada di hadapan Anda sekalianini bukan hasil dari prakarsa atau semangat pribadi. Ia adalah hasil dari suatu prosesyang secara resmi dimandatkan oleh Negara.Akan tetapi, pertanyaan tersebut menimbulkan pertanyaan yang lebih mendalam:mengapa Timor-Leste memilih menghadapi masa lalunya yang sulit? Sebagai negara*Presentasi Laporan CAVR kepada Presiden Republik dan penutupan CAVR / Salão Nobre, Lahane, 31 Oktober 2005.4


miskin sumber daya yang dibebani dengan tantangan yang luar biasa, bisa saja Timor-Leste tidak melakukan apa-apa atau memilih memaafkan dan melupakan. Tetapibangsa kami memilih pertanggungjawaban untuk pelanggaran hak asasi manusiamasa lalu, menyelenggarakannya secara menyeluruh untuk kejahatan berat dan kurangberat, berbeda dengan sebagian negara yang keluar dari konflik yang memusatkanperhatian hanya pada satu atau dua masalah, dan memperlihatkan orang-orang danmasyarakat-masyarakat mengalami kerusakan besar kalau kekuasaan digunakandengan impunitas. CAVR didirikan sebagai bagian dari proses ini. Seperti mekanismemekanismekeadilan transisional lainnya di Amerika Latin, Afrika, dan Eropa, misikami adalah menegakkan pertanggungjawaban untuk memperdalam dan memperkuatprospek bagi perdamaian, demokrasi, kekuasaan hukum, dan hak asasi manusia dinegara kami yang baru merdeka ini. Inti darinya adalah pengakuan bahwa korbantidak hanya punya hak atas keadilan dan kebenaran tetapi bahwa keadilan, kebenaran,dan pengertian timbal-balik itu sangat mendasar bagi pemulihan dan rekonsiliasiorang-orang dan bangsa. Misi kami tidak digerakkan oleh keinginan balas dendamatau keasyikan maut atau keasyikan politik dengan masa lalu. CAVR diwajibkan untukmengarahkan perhatian pada masa lalu demi kepentingan masa depan – masa depanTimor-Leste dan masa depan sistem internasional yang, begitu diperlihatkan olehLaporan ini, juga harus banyak belajar dari pengalaman Timor-Leste.Keputusan para pemimpin kami untuk menghadapi masa lalu melalui proses CAVRmendapat dukungan luas masyarakat. Buktinya bisa dilihat dalam kerjasama yang luarbiasa bagus yang diberikan pada semua kegiatan Komisi oleh semua lapisan masyarakat.Ribuan orang Timor-Leste dari semua bagian negeri memberikan pernyataan pribadikepada CAVR dan, meskipun ada rasa sakit yang ditimbulkannya, berpartisipasiserta mendukung acara dan pertemuan rekonsiliasi di tingkat distrik dan nasional.Pemerintah, Parlemen, partai-partai politik, tokoh-tokoh politik penting, masyarakatsipil, dan Gereja setiap saat juga memberikan kerjasama yang luar biasa baik, secaramoral maupun praktis. Dukungan yang diberikan kepada CAVR itu sedemikian rupasehingga CAVR tidak pernah sekalipun mempertimbangkan untuk menggunakanwewenangnya untuk menggeledah dan menyita. Hanya satu kesimpulan yang bisaditarik: rakyat Timor-Leste sangat kuat mengidentifikasi diri dengan prinsip-prinsipdan proses CAVR sebagai cara yang terbaik untuk membangun masa depan yangstabil dan bebas dari kekerasan yang telah menodai masa lalu kita.Laporan CAVRPerkenankan saya untuk menyampaikan beberapa patah kata mengenai Laporanini.Laporan ini sangat panjang, lebih dari 2000 halaman. Ada dua sebabnya. Pertama,mandat CAVR meliputi masa konflik yang panjang 25 tahun yang di dalamnya terjadiberbagai macam pelanggaran hak asasi manusia. Juga ada banyak pelaku, baik dalamnegeri maupun internasional, yang terlibat yang menghasilkan suatu gabungan faktordan peristiwa yang rumit dan dinamis. Merekam semua ini memerlukan sangatbanyak halaman. Kedua, Laporan ini adalah semacam perjanjian dengan para korban.Laporan ini berdasarkan terutama kesaksian dari para korban dan dimaksudkanuntuk menyumbang pada penyembuhan melalui pemulihan martabat mereka. Ini jugamemerlukan ruangan. CAVR berharap agar para korban akan melihat pengalaman danpenderitaan mereka tercermin dengan jelas dalam Laporan ini dan mengetahui bahwayang terjadi pada mereka dihargai di Timor-Leste dan dipelihara untuk semua generasimendatang. Selain Laporan Akhir, CAVR juga menerbitkan kesaksian terpilih dengan5


kata-kata para korban sendiri yang disampaikan pada tujuh audiensi publik nasionalkami. CAVR berharap bahwa dengan mengutamakan kepentingan dan wawasan parakorban dan orang-orang yang selamat melalui pelanggaran-pelanggaran hak asasimanusia akan lebih menyumbang pada pemulihan dan perwujudan suatu masa depanyang bebas dari kekerasan.Meskipun merupakan medium grafis untuk suara-suara banyak orang Timor-Lesteyang menjadi korban, Laporan ini adalah hasil dari penyelidikan dan penelitian yangtidak memihak dan dilakukan dengan teliti dan seksama. Mandat kami mengharuskanCAVR untuk menetapkan kecenderungan-kecenderungan, pola-pola, dan faktorfaktor.Mandat juga mengharuskan CAVR untuk menentapkan pertanggungjawabandan mengidentifikasikan orang-orang, badan-badan, lembaga-lembaga, dan organisasiorganisasiyang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.Dalam melaksanakan tugas tersebut, CAVR tidak mempunyai agenda politik dandengan teliti menghindari pernik-pernik atau keinginan untuk menghinakan ataumembalas dendam. Pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu bisa saja digunakanuntuk memobilisasi dukungan politik dan untuk menjatuhkan pihak lawan.Tujuan satu-satunya CAVR adalah merekam kebenaran sehingga akibat-akibatyang mengerikan dari kekerasan yang terekam dalam dokumen ini akan menjadipenggentar bagi terulangnya di masa depan dan mengakhiri impunitas. Hasilnya tidaksempurna, tetapi CAVR tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki semua kasusatau menentukan kebenaran definitif mengenai semua masalah. Akan tetapi kamipercaya bahwa Laporan ini memberi rakyat Timor-Leste gambaran besar tentang apayang terjadi selama 25 tahun dan akan membantu masyarakat mengerti sejarah kitadan kekuatan-kekuatan yang telah berpengaruh pada nasib kita.Berlawanan dengan panjangnya Laporan ini, judulnya hanya satu kata. Yaitu katabahasa Portugis “Chega!” yang terjemahannya kira-kira adalah “tidak lagi, berhenti,cukup!” Kami merasa bahwa satu kata ini, yang menjadi judul untuk versi semuabahasa, menangkap pesan inti seluruh laporan ini dengan cara yang memikat.Kami yakin ini juga merupakan pesan inti yang para korban ingin agar kita semuamendengarkan dan mengikatkan diri padanya, yaitu bahwa penderitaan pribadi dankolektif yang diuraikan dalam Laporan ini tidak boleh terulang kembali.Dalam menyusun Laporan ini, CAVR harus bekerja dalam beberapa bahasa danmenyampaikan Laporan ini dalam beberapa bahasa. Ini adalah imperatif resmi danpraktis yang memberikan beban berat tambahan pada Komisi. Akan tetapi sayaingin menegaskan bahwa CAVR juga sangat menyadari bahwa “Persoalan Timor-Leste,” begitu yang selama ini disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah persoalaninternasional dan bahwa penting menjamin bahwa Laporan ini bisa dimengerti olehpihak-pihak yang berkepentingan dalam bahasa mereka masing-masing. Laporan iniakan tersedia dalam bahasa Portugis, Indonesia, Inggris, dan setidaknya sebagian dalambahasa Tetun. Dalam hal ini saya harus membuat jelas bahwa para Komisaris secararesmi mengesahkan teks Laporan ini dalam bahasa Indonesia. Kami memverifikasi teksdalam bahasa-bahasa lain tetapi versi bahasa Indonesia dari Laporan ini yang harusdijadikan pegangan kalau ada salah penafsiran mengenai Laporan atau kerancuanmengenai apa yang ingin kami sampaikan.6


ArsipDalam melaksanakan penelitian, CAVR mengumpulkan banyak dokumentasi untukkurun waktu 1974-1999. Bukti yang sangat banyak ini sekarang hampir memenuhi duaruang besar di Comarca. Saya ingin menyampaikan empat hal mengenai koleksi ini.Pertama, arsip ini unik dan harus dijaga dengan sangat hati-hati – ini adalah saksi darikorban-korban dan aktor-aktor penting dari periode yang menyaksikan kelahiran yangpenuh kesakitan negara ini dan merupakan bagian yang memalukan dalam politikinternasional. Ia merupakan sumber yang sangat bernilai untuk Departemen Pendidikandalam mengembangkan kurikulum dan bahan-bahan untuk pengajaran di kelas danruang-ruang ceramah. Karena itu saya berharap bahwa arsip ini akan mendapatkandukungan berkelanjutan untuk menjamin kelestarian, aksesibilitas, dan penggunaandalam jangka panjang. Ketiga, koleksi ini harus terus diperkaya melalui sumbangansumbanganlain. Saya mengambil kesempatan ini untuk menyerukan kepada seluruhrakyat Timor-Leste yang punya bahan-bahan yang berhubungan dengan periode 1974-1999, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk menyumbangkan arsipnya, yangasli maupun salinannya, kepada penyimpanan nasional pusat ini. Dan keempat, harusdilakukan segala kehati-hatian untuk menjamin bahwa akses pada pernyataan-pernyataanyang dipercayakan kepada CAVR oleh para korban terkontrol dan bahwa kerahasiaanbukti dan hak serta keamanan para pemberi pernyataan dihormati sepenunuhnya. CAVRtelah melakukan segala usaha, bekerjasama dengan Parlemen Nasional dan KementerianKehakiman, untuk menjamin bahwa hal ini dijamin setelah penutupan CAVR.Masa depanIni membawa saya pada butir terakhir yang berhubungan dengan isi Laporan. Banyakdari kerja CAVR merupakan awalan yang baik tetapi banyak yang masih harusdilakukan – di bidang rekonsiliasi, pencarian kebenaran, pemulihan, dan keadilan.CAVR yakin bahwa dirinya telah menyumbang pada stabilisasi banyak masyarakatlokal melalui program rekonsiliasinya. Akan tetapi, banyak kasus yang belum ditanganidan cara-cara kreatif menggunakan metodologi CAVR perlu dikembangkan sehinggaproses yang unik ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi konflik di masa mendatang. Dibidang pencarian kebenaran, CAVR tidak berhasil memberikan jawaban definitif padabanyak masalah. Diharapkan bahwa, berdasarkan bukti yang telah dikumpulkannyadan pengungkapan informasi baru melalui penelitian lanjutan, proses pengungkapankebenaran bisa berlanjut. Juga masih harus dilakukan kerja untuk menyebarluaskanLaporan ini dan untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasinya. Ini adalah halyang belum selesai yang sangat mutlak bagi proses pemulihan, pendalaman budayahak asasi manusia dan kekuasaan hukum, serta mengambil pelajaran secara nasionalmaupun internasional. Agar hal ini bisa terjadi, diperlukan satu lembaga tindak lanjutyang efektif. Lembaga ini juga diperlukan untuk menjamin keamanan, pengelolaanyang profesional, dan pengembangan arsip-arsip CAVR.PenghargaanSetelah tampil menonjol di seluruh bagian negeri dan melalui audiensi publik yangdisiarkan ke seluruh negeri, CAVR tampil tidak menonjol selama 12 bulan lebih. Sebagianpihak mungkin bertanya-tanya jangan-jangan kami tertidur ketika bekerja! Kenyataannyaialah bahwa kami terlibat penuh dalam menyelesaikan tugas kedua mandat kami padabulan-bulan terakhir – pencarian kebenaran – dan ini terbukti merupakan kegiatanyang amat sangat sulit, menuntut banyak usaha, dan memakan waktu.7


Karena itu saya ingin memulai daftar penghargaan ini dengan mengakui pengertian dandukungan yang kami dapatkan dari Parlemen Nasional, khususnya yang memberi kamitambahan waktu pada tiga kali kesempatan untuk melengkapi pekerjaan kami. Terimakasihkepada Presiden Francisco Guterres Lú-Olo dan semua rekan Parlementer anda.Para pakar mengatakan bahwa salah satu syarat untuk keberhasilan komisi kebenaranadalah tingkat dukungan atau penerimaan resmi. CAVR telah memenuhi syarat ini.Sebagai Komisaris yang berasal dari generasi relatif muda pasca-1975, kami sekarangbisa mengakui bahwa kami merasa gentar harus menangani masalah-masalah yangpara pemimpin tua yang terhormat adalah pelaku-pelaku kuncinya. Ternyata kamitidak perlu cemas dan kami merasa berhutang banyak pada para pemimpin politikkita yang pengertian dan dukungannya sangat berarti bagi kami.Bapak Presiden, Anda telah telah lama menjadi penganjur rekonsiliasi, danpendekatan CAVR banyak mengambil dari semangat inklusif yang merupakanciri dari kepemimpinan Anda. Kami sangat menghargai dukungan anda padabanyak kesempatan kami meminta nasehat anda. Terimakasih juga atas pembagianpengetahuan Anda kepada Komisi, kesaksian publik dan bantuan mencarikan dana.Kami juga berhutang budi kepada anda, Perdana Menteri. Dukungan publik yang tegasdari anda kepada CAVR dari awal, penghormatan total pada independensi Komisi,dan di atas tugas anda yang banyak anda meluangkan waktu membantu pencariandana, memberikan wawancara, dan memberikan kesaksian publik. Hal yang sama jugadisampaikan kepada Menteri Luar Negeri dan Kerjasama Dr José Ramos-Horta, yangselain bantuan-bantuan lain, menggunakan aksesnya pada fora internasional untukberbicara untuk kepentingan CAVR. Karena dukungan dari mereka, yang juga banyakdiberikan oleh partai-partai politik, komunitas keagamaan, para Uskup Katolik, danmasyarakat sipil, CAVR bisa memusatkan perhatian pada kerjanya yang sensitif bebasdari kontroversi dan keharusan memberikan waktu untuk hal-hal yang tidak perlu.Kami juga berterimakasih kepada Ketua Pengadilan Banding, Dr. Claudio Ximenes,dan Jaksa Agung Dr. Longuinhos Monteiro, atas dukungan pribadi dan kelembagaanmereka. Kedua lembaga itu merupakan unsur penting dalam keberhasilan ProsesRekonsiliasi Komunitas CAVR.CAVR juga mendapatkan dukungan yang baik dari masyarakat internasional, khususnyadalam bentuk hibah uang dan sumber daya manusia. Karena keadaan ekonomi Timor-Leste, semua dana untuk CAVR harus diperoleh dari luar. Lebih dari 25 pemerintah danbadan dana menanggapi permintaan kami dan memberikan dana yang diperlukan untukmerehabilitas dan mengelola enam kantor, menempatkan hampir 300 staf di lapangan,memberikan transport, peralatan, dan sumberdaya yang diperlukan untuk kerja kami danmemberikan pakar penasehat mengenai berbagai bidang kepada CAVR. Nama-nama dansumbangan-sumbangan donor-donor ini bisa dibaca pada Laporan. Atas nama semua rekansaya di CAVR, saya menyampaikan terimakasih kepada semua yang telah dengan sangatjujur mengakui bahwa pembangunan perdamaian adalah dasar bagi perkembangan yangberkelanjutan dan atas dukungan praktis dan moral yang tulus selama lima tahun ini.Terakhir tetapi bukan yang tidak penting, saya mengucapkan terimakasih kepada enamKomisaris Nasional dan 28 Komisaris Regional dan semua staf yang mengagumkanatas sumbangan mereka. Lebih dari 500 orang – termasuk para Komisaris, stafnasional dan internasional, dan sukarelawan jangka pendek – telah bekerja di atauuntuk CAVR sejak tahun 2001. CAVR adalah suatu karya agung yang ambisius dansuatu petualangan ke wilayah tak dikenal bagi kita semua. Lebih dari satu kali ia8


mengancam menenggelamkan kita secara emosional dan organisasional. Terutamasangat intens dan mentuntut dalam 12 bulan terakhir. Saya tahu bahwa bekerja diCAVR adalah pengalaman yang maknanya unik dan mendalam bagi semua rekan saya,para Komisaris dan staf. Meskipun demikian, Timor-Leste berhutang pada masingmasingdari mereka hutang yang besar atas sumbangan yang mereka berikan untukkedamaian, persatuan, dan hak asasi manusia di negara baru kita.PenutupSebelum menyampaikan Laporan kami, saya hanya punya satu hal lagi untuk dikatakansebagai penutup. Keinginan paling dalam semua di CAVR ialah agar Laporan iniditerima dengan semangat ketika ditulis – dengan keterbukaan, kejujuran, kasih yangmendalam kepada orang-orang yang telah menderita, komitmen yang nyaris fanatikpada tiadanya kekerasan, dan keteguhan untuk tidak pernah membiarkan apa yangtelah terjadi yang ditulis dalam Laporan ini terjadi lagi pada rakyat dan negeri kitayang indah.Atas nama para rekan Komisaris saya dan semua staf CAVR, sekarang merupakankehormatan dan keistimewaan bagi saya untuk menyerahkan Laporan CAVR kepadaYang Mulia Pak Presiden.Pengantar Ringkasan EksekutipRingkasan Eksekutip Laporan Akhir berjudul Chega! ini berisi cuplikan dari laporanyang lengkap. Laporan ini dibuat dengan maksud untuk memberi sebuah gambaranumum tentang kegiatan, capaian, dan temuan Komisi.Versi ini terbagi dalam tiga bagian:KOMISI: MANDAT, KEGIATAN, DAN CAPAIAN memberi gambaran umum tentangmandat, kegiatan, dan capaian Komisi;TEMUAN-TEMUAN KOMISI mengungkapkan ringkasan dari temuan-temuanKomisi;REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI-berisi rekomendasi dari komisisebagaimana tertulis di dalam Laporan Akhir.Versi ini merujuk pada referensi kunci kepada sumber yang dipakai Komisi dalammengembangkan Laporan Akhir dan temuan-temuannya, maka referensi-referensiini tidak dikutip secara lengkap. Oleh karena itu pembaca-pembaca dianjur membacaLaporan Akhir yang lengkap untuk dokumentasi lengkap sumber referensi Komisi.Juga ini, karena diharuskan singkat, tidak mencerminkan ribuan suara-suara korbanyang telah termuat dalam Laporan Akhir. Komis berharap bahwa pembaca akanmenggunakan Ringkasan Eksekutip ini sebagai sebuah undangan untuk membacateks lengkap dalam Laporan Akhir.9


Latar Belakang KomisiPerjuangan panjang rakyat Timor-Leste untuk merebut kebebasan dan masa depannyasebagai bangsa mencapai titik yang menentukan pada tahun 1999. Setelah ratusan tahunkolonialisme Portugis dan 24 tahun pendudukan asing, Raykat Timor-Leste akhirnyabisa mengungkapkan keinginan mereka untuk hidup sebagai bangsa yang bebas danmerdeka di Negara yang bebas dan merdeka, ketika masyarakat internasional padaakhirnya mendukung hak dasar kami atas penentuan nasib sendiri. Penindasan dalammasa kolonialisme yang panjang dan kekerasan menggemparkan sepanjang masapendudukan militeris asing berpuncak pada satu kampanye akhir kekerasan terhadaprakyat Timor-Leste pada bulan September dan Oktober 1999, yang meninggalkannegeri Timor-leste dalam keadaan porak-poranda setelah kepergian militer itu.Tanda-tanda kehancuran tampak jelas bagi semua pihak. Kota-kota dan desa-desa yanghangus terbakar, gedung-gedung dengan bercak-bercak darah yang menjadi tempatpembantaian, seluruh wilayah hampir kosong dari penduduknya yang melarikan diriatau dipaksa meninggalkan rumah mereka. Ketika rakyat perlahan-lahan kembalike rumah untuk mencari yang hidup dan berusaha menyelamatkan yang bisadiselamatkan, dan ketika masyarakat internasional datang membantu dengan bantuandarurat, perlahan-lahan luka lama dari konflik-konflik politik yang berlangsung lamamenjadi semakin tampak nyata.Bagi orang kebanyakan, warisan dari konflik selama 24 tahun itu sangat besar danbanyak seginya. Di tengah puing-puing kehancuran dari masa akhir 1999 sangatjelas bahwa perlu diambil langkah-langkah untuk menangani banyak unsur dariwarisan ini, untuk membantu rakyat membangun kembali kehidupan mereka danmenjadikan hak asasi manusia dan kekuasaan hukum sebagai asas-asas yang mengaturperikehidupan negara baru ini.Pada 25 Oktober 1999 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendirikanmisi UNTAET, dengan mandat untuk menjadi pemerintah peralihan di wilayah inidan mempersiapkannya untuk kemerdekaan. Ketika kebutuhan-kebutuhan awal krisiskemanusiaan berkurang, perhatian dialihkan pada pembentukan lembaga-lembagayang sangat mendasar. Ini meliputi lembaga-lembaga yang bertanggung jawab ataspenyelenggaraan keadilan, termasuk untuk pelanggaran-pelanggaran di masa lalu.Keprihatinan pertama dari banyak aktivis hak asasi manusia Timor-Leste adalahbagaimana membantu mengatasi keadaan darurat kemanusiaan yang ditimbulkanoleh kekerasan September-Oktober. Ketika program-program bantuan kemanusiaandijalankan, para aktivis pada tahun 2000 beralih ke masalah kejahatan masa lalu danwarisan konflik yang berlangsung lama. Ada kekhawatiran mengenai kemungkinanberkobarnya kembali kekerasan, khususnya dalam konteks impunitas nyaris penuhyang dinikmati oleh para pelaku kejahatan. Dan masalah yang lebih berjangka panjangbagaimana mengembangkan suatu budaya menghormati hak asasi manusia dankekuasaan hukum dalam suatu masyarakat yang telah lama membutuhkan tindakandi bidang-bidang tersebut.Pada akhir 1999 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan satu Komisi Penyelidikanuntuk menyelidiki kejadian-kejadian yang belum lama berlangsung dan untukmemberikan rekomendasi mengenai bagaimana pihak-pihak yang bertanggungjawabmengenainya dimintai pertanggungjawaban. Komisi ini merekomendasikan10


pembentukan satu Mahkamah Pengadilan Internasional untuk mengadili kasus-kasuskejahatan 1999. Tetapi PBB menyelenggarakan satu proses Kejahatan Berat di Timor-Leste dan mendorong Pemerintah Indonesia untuk memperlihatkan kesungguhannyapada kekuasaan hukum dengan menggunakan sistem peradilannya sendiri untukmengadili orang-orang yang berada di Indonesia. Aktivis-aktivis hak asasi manusiaTimor-Leste, yang menyadari bahwa dampak dari konflik pada masyarakat Timor-Leste tidak terbatas pada kejadian-kejadian tahun 1999, mengupayakan langkahlangkahlain untuk melengkapi proses ini.Pada tanggal 7 Maret 2000 konferensi Comissão Política Nacional (Komisi PolitikNasional, CPN) CNRT memutuskan agar CNRT membentuk satu komisi untukrekonsiliasi. Pada bulan Juni 2000 dalam satu lokakarya yang diselenggarakan olehKomisi Rekonsiliasi CNRT, dengan dukungan dari Uppsala University dan Unit HakAsasi Manusia UNTAET, dan dihadiri oleh wakil-wakil organisasi politik, hak asasimanusia, dan Gereja Katolik, gagasan mengenai komisi kebenaran dan rekonsiliasidibahas lebih lanjut. Kelompok ini selanjutnya mengajukan gagasan ini kepadaKongres Nasional CNRT di bulan Agustus 2000, suatu pertemuan bersejarah untukmerumuskan visi bagi Timor-Leste yang baru merdeka. Kongres ini mengesahkangagasan mengenai komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta menetapkan satu panitiapengarah dengan tugas menyelenggarakan konsultasi untuk menentukan apakahgagasan ini diterima oleh masyarakat Timor-Leste yang lebih luas. Inilah awal dariCAVR.Dari kolonialisme ke pendudukan militerSekitar 500 kilometer di sebelah utara Australia, Timor-Leste menyambungkan Asiadan Pasifik, dan hal ini bisa dilihat pada keanekaragaman budaya dan bahasa negeriini. Timor dulu dijajah oleh Portugis, yang kekuasaannya di kawasan ini merosotmenghadapi pertumbuhan kekuatan Belanda dan Inggris. Selama beberapa abadselanjutnya Timor Portugis menjadi semakin terisolasi, satu-satunya tempat berpijakPortugal di tepian Asia Tenggara.Pijakan Portugis di Timor sangat lemah sampai abad ke-19, karena sedikit yangdilakukannya untuk menegakkan kekuasannya atas mayoritas orang Timor-Lesteyang tinggal di pedalaman yang bergunung-gunung. Pada pertengahan abad ke-19,Portugal memulai penanaman kopi secara paksa sebagai tanaman penghasil uang,yang bersama dengan pemberlakuan berbagai jenis pajak membuat kekuasaan merekameningkat atas kehidupan sehari-hari rakyat Timor. Pemberontakan-pemberontakanmeledak sampai memasuki awal abad ke-20, ketika Portugis memadamkan dengankeras satu pemberontakan yang dipimpin oleh Dom Boaventura dari Manufahi, yangmendapatkan dukungan luas dari seluruh wilayah. Portugal berusaha mengokohkankekuasanaannya melalui satu sistem pemerintahan yang menguntungkan pemimpinpemimpinsetempat tertentu saja dengan merugikan yang lain. Hasilnya adalahsuatu masyarakat yang kurang memiliki jalinan erat yang merupakan syarat bagiperkembangan suatu perasaan kebangsaan.Warisan kolonial ini diperparah oleh kenyataan bahwa untuk hampir seluruh masaabad ke-20 Portugal sendiri berada di bawah kekuasaan rezim otoriter Salazar danpenggantinya Marcelo Caetano. Sejak akhir dasawarsa 1920-an sampai RevolusiBunga Anyelir bulan April 1974, kebebasan politik di Portugal sangat dibatasi.11


Portugal menindas semua keinginan untuk merdeka di tanah-tanah jajahannya,menyebut semuanya sebagai bagian tak terpisahkan dari Portugal meskipun PBBmencantumkan wilayah-wilayah ini sebagai wilayah yang mempunyai hak untukmenentukan masa depannya. Portugal adalah negara Eropa penjajah terakhir yangmelakukan dekolonisasi, mengabaikan gelombang dekolonisasi yang dimulai setelahPerang Dunia Kedua. Baru setelah perang-perang pembebasan yang berkobar dikoloni-koloni Portugal di Afrika meyakinkan banyak orang Portugis bahwa imperiumitu tidak bisa dipertahankan, perubahan datang dengan pecahnya Revolusi BungaAnyelir pada tanggal 15 April 1974.Janji dekolonisasi adalah salah satu pekik perjuangan revolusi ini di kota Lisbon. Tetapi,bagi Portugis dekolonisasi yang utama berarti segera keluar dari perang-perang dalammana mereka bertempur melawan gerakan-gerakan pembebasan di koloni-koloniAfrika mereka. Koloni mereka di Asia, Timor adalah kasus khusus yang denganmudah terabaikan. Selama bulan-bulan selanjutnya politik Portugis terhadap Timormengidap kekurangan perhatian dan perencanaan, yang diperparah dengan pergantianpemerintah yang terus-menerus di Lisbon. Di Timor, Revolusi Bunga Anyelir membukajalan bagi cita-cita kebebasan di kalangan penduduk yang aktif politik yang sebagianbesar adalah orang muda dan tidak berpengalaman. Perkumpulan-perkumpulan politiksegera dibentuk, dengan dua yang utama, Associação Social Democrata Timorense(Perkumpulan Sosial Demokrat Timor, ASDT), yang kemudian diubah namanyamenjadi Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Front RevolusionerKemerdekaan Timor-Leste, Fretilin) dan União Democrática Timorense (PersatuanDemokratik Timor, UDT), menginginkan kemerdekaan wilayah ini.Masa itu adalah titik tertinggi Perang Dingin. Pada tahun 1975 setelah Revolusi BungaAnyelir, perang di Vietnam mencapai titik akhirnya dengan kemenangan VietnamUtara yang komunis atas Vietnam Selatan dan Amerika Serikat pelindungnya. Ditengah-tengah ketakutan Amerika Serikat dan Barat umumnya akan “dampakdomino” yang bisa mengubah lebih banyak negara Asia Tenggara lagi untuk menjadikomunis, rezim militer yang keras anti-komunis Presiden Soeharto dipandang sebagaisatu benteng stabilitas bagi kawasan ini.Harapan-harapan bahwa dekolonisasi di Timor akan berlangsung lancar dihambatoleh pengabaian Portugis, campur tangan Indonesia yang didukung oleh sekutu-sekutupenting Baratnya, Amerika Serikat dan Australia, dan rendahnya pengalaman politikpara pemimpin partai-partai yang baru dibentuk yang kebanyakan adalah orang mudadan dengan wacana politik yang sangat diwarnai retorika mengenai kekerasan danserangan pribadi, bukannya pertukaran gagasan.Pada tanggal 11 Agustus 1975 partai tengah-kanan UDT melancarkan satu gerakanbersenjata di Dili. Tujuannya adalah mendapatkan kontrol atas wilayah ini, menuntutpengusiran orang-orang Portugis dan Timor-Leste yang radikal, dan dengan carademikian menunjukkan kepada Indonesia bahwa Timor tidak sedang menjadi ladangpembibitan komunisme. Suasana yang telah rentan ini meledak menjadi kekerasanyang melanda seluruh distrik Timor. Dalam waktu sepuluh hari partai sayap kiriFretilin menanggapi dengan suatu kebangkitan bersenjata umum.Perang sipil yang singkat ini selesai pada awal bulan September, tetapi telah mengubahkeadaan tanpa bisa dikembalikan lagi. Pertempuran yang terjadi memangsa nyawa3.000 orang dan meninggalkan luka yang dalam dan lama. Pada akhir bulan Agustuspemerintah kolonial Portugis meninggalkan wilayah utama menuju pulau Ataúro,12


tanpa pernah kembali. Para pemimpin dan anggota UDT, dan tiga partai kecilyang lain, Associação Popular Democrática Timorense (Perkumpulan KerakyatanDemokratik Timor, Apodeti), Klibur Oan Timor Aswain (Perkumpulan Ksatria PutraTimor, KOTA), dan Trabalhista (Buruh), lari melintasi perbatasan memasuki TimorBarat Indonesia, dan mempersekutukan diri dengan tujuan Indonesia.Angkatan bersenjata Indonesia telah melancarkan operasi tertutup di Timor Portugissejak pertengahan 1974, dan telah memberi anggota-anggota Apodeti latihan militer diTimor Barat sejak Desember 1974. Mulai September 1975 tentara Indonesia mengadakanoperasi lintas-batas memasuki Timor Portugis dengan tujuan menghancurkan posisipemerintah de facto Fretilin yang sedang menghadapi kesulitan. Bulan Oktober 1975mereka meningkatkan operasi-operasi ini dengan melancarkan serangan gabunganbesar-besaran dari udara, laut, dan darat yang menghasilkan pendudukan kota-kotakunci di distrik Bobonaro yang terletak di bagian barat negeri.Fretilin, yang ingin mengembalikan proses dekolonisasi pada jalurnya, mengusahakankembalinya pemerintah Portugis. Gubernur Mário Lemos Pires, yang tidakmendapatkan dukungan atau pengarahan dari Lisbon, menolak kembali atauberunding dengan Fretilin karena pengakuan Fretilin mengenai dirinya sebagai wakilsah satu-satunya rakyat Timor-Leste. Untuk mencegah agresi militer dari Indonesiaserta mendapatkan pengakuan dan bantuan internasional, Fretilin mengumumkankemerdekaan pada tanggal 28 November 1975.Empat partai politik lain Timor-Leste, di bawah tekanan dari tentara Indonesia,menandatangani satu deklarasi, Deklarasi Balibo, di Bali pada hari berikutnya yangmendeklarasikan integrasi Timor Portugis ke dalam negara Indonesia. Indonesiamelancarkan invasi skala penuh terhadap Timor-Leste pada tanggal 7 Desember 1975.Fretilin dan sayap bersenjatanya, Falintil, mundur ke pedalaman bersama puluhanribu penduduk sipil. Maka dimulailah perang yang berlangsung selama 24 tahun,yang melalui berbagai tahap militer dan politik yang berbeda-beda.Indonesia berusaha mengesahkan pencaplokannya atas Timor-Leste. Majelis RakyatTimor Timur, yang terdiri dari orang-orang Timor-Leste yang diseleksi denganseksama, mengadakan rapat di Dili pada bulan Mei 1976 dan, dengan mengutipDeklarasi Balibo, secara aklamasi mengesahkan satu petisi meminta integrasi. Atasdasar tindakan yang diakukan sebagai penentuan nasib sendiri ini, pada bulan Juli 1976Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengeluarkan satu undang-undang menyatakanTimor-Leste sebagai provinsi ke-27 Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa tidakpernah mengakui proses ini sebagai tindakan penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste yang diakui internasional. Dewan Keamanan PBB pada bulan Desember 1975 danpada bulan April 1976 mengutuk invasi dan menyerukan penarikan pasukan tentaraIndonesia. Majelis Umum PBB mengeluarkann satu mosi mendukung penentuan nasibsendiri untuk Timor-Leste setiap tahun sampai tahun 1982, ketika masalah ini dirujukkepada jasa baik Sekretaris Jenderal. Timor-Leste tetap berada pada agenda PBBsepanjang masa pendudukan, terdaftar sebagai satu wilayah tidak berpemerintahansendiri di bawah administrasi Portugal.Dalam kenyataan anggota-anggota penting PBB tidak banyak berbuat untukmenentang pencaplokan Indonesia atau cara-cara kekerasan yang dilakukan untukmemperkuatnya. Kebanyakan negara siap menenangkan Indonesia sebagai satu negarabesar di kawasan Asia Tenggara. Keadaan di Timor-Leste sangat tidak dimengerti.Pemerintah negara-negara yang bersahabat dengan Indonesia mendukung versi13


Indonesia mengenai apa yang terjadi di sana. Terkucil di kawasannya sendiri di masakolonialisme Portugis, Timor-Leste menjadi wilayah tertutup dalam 13 tahun pertamapendudukan ketika tentara Indonesia menggunakan setiap cara yang bisa dilakukannyauntuk menundukkan rakyat Timor-Leste. PBB terhalangi upayanya untuk memasukiTimor-Leste untuk keperluan menilai keadaan, bantuan asing diblokade, dan diplomatserta media asing hanya diberi izin untuk melakukan kunjungan yang dikontrolketat dan tidak secara tetap memasuki negeri ini. Orang Timor-Leste di pengasinganbekerja keras bersama masyarakat sipil internasional agar perhatian diberikan kepadapenderitaan rakyat Timor-Leste, tetapi dengan sarana yang terbatas jika dibandingkandengan negara-negara yang mendukung Indonesia.Perang mencapai setiap desa di Timor-Leste dan berpengaruh mendalam padakehidupan seluruh rakyat Timor-Leste. Terputus dari dunia luar dan tanpa perlindungankelembagaan apapun, penduduk sipil biasa secara besar-besaran menderita karenaserangan-serangan yang tanpa ampun dan kekejaman-kekejaman tanpa pandangbulu militer Indonesia, khususnya pada tahun-tahun awal pendudukan. Orang yangdipandang sebagai lawan politik pendudukan diperlakukan dengan sangat kejam.Khususnya pada tahun-tahun awal pendudukan, penduduk sipil biasa juga bisamengalami perlakuan yang kejam kalau mereka bertentangan dengan gagasan luasPerlawanan mengenai penyimpangan ideologis.Dalam seluruh masa itu pemimpin militer dan politik Indonesia mengklaim bahwakegiatan sejumlah kecil “pengacau keamanan” telah tamat, perang telah selesai, danbahwa laporan-laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia itu palsu. Sekutusekutuasing Indonesia terlibat mendukung kebohongan-kebohongan ini, yang dengandemikian berarti memperkuat impunitas yang diperoleh militer Indonesia di dalamnegeri dan memungkinkannya melanjutkan operasi-operasi biadabnya menundukkanrakyat Timor-Leste tanpa hambatan.Sepanjang masa pendudukan sifat dari konflik mengalami beberapa perubahan.Dasawarsa 1970-an adalah masa operasi-operasi militer besar yang bertujuanmenghancurkan Perlawanan bersenjata yang dipimpin Fretilin. Penduduk sipil dalamjumlah sangat besar tinggal di pedalaman bersama Perlawanan, dan secara langsungmenderita karena operasi-operasi militer tersebut. Pada akhir dasawarsa 1970-anPerlawanan bersenjata hancur, dan strateginya mengenai basis tetap, dalam manapenduduk sipil berperan penting, berakhir. Ketika penduduk sipil terpaksa keluardari pedalaman, militer Indonesia melancarkan strategi memisahkan penduduksipil dari Perlawanan bersenjata dengan menempatkan puluhan ribu penduduk sipilyang menyerah di kamp-kamp tahanan dan desa-desa pemukiman dengan akibatmalapetaka bagi rakyat Timor-Leste, yang menderita kelaparan luar biasa pada akhirdasawarsa 1970-an dan awal dasawarsa 1980-an.Perlawanan disusun kembali pada dasawarsa 1980-an menjadi suatu kekuatan gerilya,yang didukung oleh gerakan bawah tanah yang sedang tumbuh di kota-kota dandesa-desa. Tentara Indonesia memperluas jangkuan teritorialnya ke semua desadi Timor-Leste, termasuk kehadiran intelijen dan kesatuan-kesatuan paramiliteryang mencengkeram yang kebanyakan diawaki oleh orang Timor-Leste. Militerisasimasyarakat Timor-Leste ini sangat meluas dan berdampak sangat menghalangi seluruhjenis hak rakyat Timor-Leste yang diakui internasional mulai dari hak politik dan sipilsampai hak ekonomi, sosial, dan budaya.14


Pada akhir dasawarsa 1980-an Indonesia mengklaim telah “menormalkan” provinsiTimor Timur, dan mencabut sebagian larangan memasuki wilayah ini. Sebelumnya,pada awal 1980-an orang-orang muda mulai memasuki pendidikan universitas diIndonesia, dan gerakan bawah tanah semakin dijalankan oleh generasi baru ini. KetikaPerang Dingin berarkhir pada tahun 1989, dan ketika orang asing sedikit-sedikitmemasuki provinsi Timor Timur yang baru dibuka, generasi muda ini berada digaris depan strategi baru Perlawanan dalam mana demonstrasi melawan pendudukanmenjadi salah satu unsur intinya. Tanggapan Indonesia keras dan tak kenal kasihan,dan pada tahun 1991 peristiwa terkenal Pembantaian Santa Cruz terhadap orangorangmuda oleh pasukan keamanan Indonesia terjadi di Dili. Berbeda denganpembantaian-pembantaian yang sebelumnya, pembantian ini difilmkan oleh seorangpembuat film asing dan gambar-gambar tentang kekejaman itu mencapai dunia luar.Ini berdampak besar pada pemahaman seluruh dunia mengenai keadaan di Timor-Leste, dan mendorong bangkitnya kembali upaya internasional untuk mencari satupenyelesaian bagi “persoalan Timor-Leste.”Dengan bangkitnya kembali perhatian pada Timor-Leste, dan perubahan wawasandalam pandangan politik global akibat dari berakhirnya Perang Dingin, Indonesiasemakin menghadapi tekanan yang harus ditanggapinya. Akan tetapi, PresidenSoeharto tetap merupakan sekutu kesukaan Barat dan negara-negara di kawasan juga,dan baru sesudah ia jatuh dari kekuasaan pada tahun 1998 dimungkinkan terjadinyaperubahan nyata. Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang tetap menangani masalah iniselama pendudukan, meningkatkan kegiatannya dan akhirnya memperantaraidicapainya Kesepakatan 5 Mei 1999 yang menghasilkan Konsultasi Rakyat pada 30Agustus 1999, dalam mana rakyat Timor-Leste memilih kemerdekaan.Sementara masyarakat internasional akhirnya mendukung hak rakyat Timor-Lesteatas penentuan nasib sendiri dengan mendukung Konsultasi Rakyat, sekali lagi merekagagal memahami hakekat sebenarnya dari pendudukan Indonesia. Tanggung jawabatas keamanan untuk Konsultasi Rakyat diserahkan kepada kepolisian Indonesia,yang dikenal tunduk pada militer Indonesia, yang tidak hanya terus ditugaskandi wilayah ini tetapi dengan terang-terangan menumbuhkan milisi Timor-Lestesebagai instrumen dari satu strategi yang dimaksudkan untuk menjamin kemenangankekuatan pro-integrasi. Akibatnya sudah bisa dibayangkan sebelumnya. Rakyat Timor-Leste menolak tunduk pada kampanye ancaman, intimidasi, dan kekerasan, merekamemilih kemerdekaan. Ketika hasil pemungutan suara diumumkan, militer Indonesiadan milisi-milisinya melancarkan pembalasan yang telah mereka ancamkan, denganhasil malapetaka, tetapi kali ini pemerintah negara-negara tidak mampu mengabaikankontras antara keberanian luar biasa dan martabat yang diperlihatkan oleh parapemilih Timor-Leste dengan penghukuman yang luar biasa kejam yang diberikanoleh TNI dan mitra-mitra Timor-Lestenya.Pertemuan kembali: rekonsiliasiSejak hari-hari awal proses dekolonisasi di Timor-Leste, ketika perkumpulanperkumpulanpolitik dibentuk dan muncul perbedaan-perbedaan, ada upaya-upayauntuk menjembatani perbedaan-perbedaan ini dan bekerja bersama-sama untukkepentingan nasional yang lebih luas. Ketika anggota-anggota partai-partai politikutama saling menyerang secara lisan melalui siaran radio, sebagian yang lain yangmelihat adanya bahaya mengadakan pertemuan untuk merundingkan koalisi yang15


erumur pendek antara UDT dan Fretilin. Ketika persekutuan ini terancam pecah,ada anggota-anggota dari kedua partai itu yang berusaha keras untuk membuatnyabertahan. Komisi mendapatkan keterangan bahwa bahkan dalam bulan Agustus-September 1975 ketika harapan-harapan akan perujukan dengan terburu-burudihancurkan oleh gerakan bersenjata UDT dan “perang sipil” yang tanpa didugadugadikobarkannya, ada orang-orang yang mengupayakan membuka dialog antarapartai-partai yang bertikai. Dalam bulan-bulan awal setelah invasi, ketika maknanyayang sejati menjadi nyata bagi banyak orang Timor-Leste yang mendukungnya, Komisijuga mendapatkan keterangan mengenai adanya upaya diam-diam untuk rujuk antarapihak-pihak yang bermusuhan dalam perang sipil. Upaya-upaya awal ini gagal, tetapimereka adalah pelopor dari pertumbuhan yang perlahan dan terus berlangsung suatukesadaran nasional sejati yang ditempa dalam perjuangan panjang penentuan nasibsendiri.Pada tahun-tahun pendudukan, Perlawanan menjadi gerakan yang inklusif yangmencari cara-cara melibatkan orang Timor-Leste dari semua latar belakang politik danorang-orang yang tanpa kesetiaan partai, termasuk anggota-anggota Gereja Katolik.Ketika Perlawanan bergeser dari ideologi garis keras pada dasawarsa 1980-an danmengambil strategi “persatuan nasional,” gerakan ini merangkul semua pihak yangmendukung penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste. Sejak awal dasawarsa 1980-an, anggota-anggota UDT dan Fretilin di pengasingan mulai bekerja bersama untukmempengaruhi masyarakat internasional. Jalan ke perujukan tidaklah lancar – tetapitekad bersama pada kebebasan dan penentuan nasib sendiri memelihara upaya-upayaini. Secara kelembagaan, Perlawanan bergeser dari kepemimpinan partai tunggalFretilin ke Conselho Revolucionário de Resistência Nacional (Dewan RevolusionerPerlawanan Nasional, CRRN), kemudian Conselho Nacional de Resistência Maubere(Dewan Nasional Perlawanan Maubere, CNRM), dan akhirnya Conselho Nacional deResistência Timorense (Dewan Nasional Perlawanan Bangsa Timor, CNRT) – yangsetiap pergeseran menandai perluasan yang semakin besar gerakan untuk merangkulsemua orang Timor-Leste yang bertekad sama. Generasi baru dasawarsa 1980-andan 1990-an semakin mengadopsi perspektif yang nasionalis non-partisan mengenaiperjuangan.Lebih jauh, Perlawanan belajar tentang kekuatan dialog damai sebagai satu saranamenciptakan pemahaman bersama dan membangun kepercayaan. Pada 1983 gerakanPerlawanan memperkenalkan rencana damainya yang pertama dan pada awal tahun1990-an CNRM menyebarluaskan satu rencana perdamaian yang mengusulkan dialogtanpa syarat untuk mencari penyelesaian konflik. Pada pertengahan dasawarsa 1990-an, di bawah naungan PBB, orang Timor-Leste dari latar belakang pro-kemerdekaandan pro-integrasi berkumpul untuk melakukan serangkaian pertemuan yang disebutAll-Inclusive Intra-East Timorese Dialogue (Dialog Antar Orang Timor-LesteMencakup Semua). Ketika perubahan benar-benar terlihat mungkin di Timor-Lestepada tahun 1998, tetapi terancam oleh kekerasan, para Uskup Katolik di Timor-Leste mempertemukan para pemimpin pro-kemerdekaan dan pro-integrasi dalamsuatu pertemuan yang dikenal sebagai Dare I. Pertemuan kedua, disebut Dare II,diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1999, ketika kekerasan menghadapkanKonsultasi Rakyat pada risiko.Bisa dikatakan bahwa kekerasan September-Oktober 1999 membuat gagalnya inisiatifinisiatiftersebut. Tetapi, ini tidak memahami maknanya yang sejati, yaitu bahwaselama 25 tahun ada orang-orang Timor-Leste yang berjuang untuk menemukanpenyelesaian damai untuk mengatasi perpecahan, dan bahwa pada akhirnya,16


melalui Konsultasi rakyat pada bulan Agustus 1999, mayoritas sangat besar rakyatmendukung pendekatan ini. Kita perlu belajar dari ini, dan mengambil ilham dariupaya-upaya orang-orang Timor-Leste pembina perdamaian itu. Di masa depan,akan selalu ada perbedaan pandangan dalam masyarakat Timor-Leste dan denganpara tetangganya. Raykat Timor-Leste akan dihadapkan pada pilihan-pilihan, padatingkat lokal, nasional, dan internasional mengenai bagaimana Raykat Timor-Lestemendekati perbedaan-perbedaan tersebut. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwaRaykat Timor-Leste harus selalu memilih jalan damai. Bahwa kami bisa mendapatkanmasa depan Raykat Timor-Leste, dan kami bisa menjadi cahaya terang bagi dunia.Pengetahuan Raykat Timor-Leste mengenai masa lalu kita bisa membantu RaykatTimor-Leste menciptakan masa depan yang damai.KebenaranMandat Komisi adalah menetapkan kebenaran mengenai pelanggaran hak asasimanusia yang terjadi di Timor-Leste sepanjang 25 tahun periode mandatnya. Jangkaunmandat ini mencakup penentuan faktor-faktor seperti konteks, sebab, pendahulu,motif, dan perspektif yang melahirkan kekerasan, baik berupa bagian dari polapelanggaran yang sistematis, identitas orang-orang, pihak-pihak yang berwenang,lembaga-lembaga, dan organisasi-organisasi yang terlibat dalam pelanggaran, danapakah pelanggaran merupakan akibat dari perencanaan, kebijakan, atau pengesahanoleh pihak negara, kelompok-kelompok politik, kelompok-kelompok milisi, gerakanpembebasan atau kelompok-kelompok atau orang-orang lain. 1 Komisi juga diberimandat untuk mempelajari peran faktor-faktor dalam dan luar, dan menentukanpertanggungjawaban untuk pelanggaran-pelanggaran yang terjadi (Regulasi10/2001).Komisi bukanlah suatu pengadilan dan tidak membuat dakwaan-dakwaan terhadaporang-orang atau mengenai kasus-kasus perorangan. Akan tetapi, kerja Komisimenetapkan kebenaran, melibatkan pengumpulan berbagai macam bahan yangmerupakan bukti kuat mengenai pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yangterjadi dalam waktu yang menjadi mandatnya. Menurut mandat Komisi, kebenaranini memiliki beberapa kegunaan. Misalnya:• Memperjelas peristiwa-peristiwa yang sampai sekarang banyak tidakdilaporkan atau bahkan ditutup-tutupi.• Mendorong penyelidikan lebih lanjut, oleh negara-negara, organisasiorganisasiinternasional, dan lain-lain yang bisa mengarah padapenuntutan hukum dan dengan demikian memajukan perjuanganmelawan impunitas untuk kejahatan-kejahatan berat.• Membantu korban memulihkan martabat mereka, melalui berbagi denganbangsa dan masyarakat internasional kebenaran yang sampai sekarangditindas dan dengan demikian tidak dimengerti atau mungkin tidakdipercayai.• Memahami dengan lebih baik kekuatan-kekuatan yang telah membentukmasyarakat dan bangsa Timor-Leste, dan menarik pelajaran dari masa laluyang bisa mengembangkan suatu budaya perdamaian dan penghormatanpada hak asasi manusia dan kekuasaan hukum.17


• Menumbuhkan suatu kesadaran dan pemahaman mengenai masa lalupada seluruh warganegara Timor-Leste, khususnya di kalangan orangmuda dan generasi muda, sehingga dengan mengingat dan menghormatipenderitaan rakyat Timor-Leste selama tahun-tahun konflik, RakyatTimor-Leste belajar menghargai tantangan-tantangan berat yang merekahadapi, bagaimana mereka mengatasi tantangan-tantangan tersebut, danmenghargai khususnya orang-orang yang telah memberikan sumbangsihbagi kebebasan dan perdamaian abadi di negeri kita.Kebenaran yang terkandung dalam Laporan ini banyak berasal dari pernyataan orangorangyang secara langsung mengalami tahun-tahun konflik. Komisi memberikanarti penting khusus pada mendengarkan langsung orang-orang yang telah mengalamipelanggaran hak asasi manusia sepanjang masa 25 tahun, yang kebanyakan belumberbicara di luar lingkaran kecil keluarga mereka. Suara-suara yang banyak ini,dari seluruh wilayah negeri, telah memberi Timor-Leste harta yang tak bisa dinilaiharganya. Mereka memberi tahu kita siapa kita ini, apa yang telah Rakyat Timor-Lestelalui, apa yang telah hilang dari, Rakyat Timor-Leste dan memperlihatkan nilai dariapa yang telah kita capai. Dari kisah-kisah saudara-saudara kami, kita belajar bahwakemenangan bukanlah masalah sederhana pahlawan lawan penjahat; bahwa sejarahadalah lebih dari sekadar daftar peristiwa-peristiwa besar atau riwayat hidup orangorangbesar. Pengalaman-pengalaman “orang biasa,” dari banyak orang yang telahmati atau yang masih hidup, memberi tahu kita dari mana asal kami dan membantukita mengerti siapa kita hari ini. Dari kisah-kisah mereka kita melihat dengan lebihjelas kedua ekstrem martabat manusia dan kemerosotan manusia yang terwujud dinegeri ini selama 25 tahun. Kita harus belajar dari kedua sisi kisah manusia ini. RakyatTimor-Leste harus mengenali potensi kita untuk kedua ekstrem tersebut, dan berusahaselalu memberikan yang terbaik dari kemanusiaan kita kepada perikehidupan danperihubungan – keluarga-keluarga kami, masyarakat-masyarakat kita, dan bangsakami – setiap hari ketika kami membangun masa depan baru.18


KOMISI:MANDAT, KEGIATANDAN CAPAIAN19


Pembentukan KomisiPada Juni 2000, perwakilan masyarakat sipil, Gereja Katolik dan tokoh masyarakatTimor-Leste mengadakan sebuah lokakarya menyelenggarakan sebuah lokakaryauntuk membahas mekanisme keadilan transisi, dengan dukungan dari Kantor HakAsasi Manusia misi UNTAET. Salah satu agendanya adalah mengkaji kelayakanpendirian sebuah komisi pencarian kebenaran bagi Timor-Leste. Lokakarya tersebutkemudian merekomendasikan untuk mengajukan sebuah proposal kepada KongresNasional pertama CNRT (Conselho Nacional da Resistencia Timorense) pada bulanAgustus 2000, tentang pendirian sebuah komisi yang diberi mandat untuk menyelidikipelanggaran-pelanggaran di masa lalu serta memajukan rekonsiliasi.Kongres CNRT menetapkan visi rekonsiliasi sebagai berikut:Rekonsiliasi adalah sebuah proses, yang mengakui kesalahanmasa lalu termasuk penyesalan dan pemberian maaf, sebagai hasildari sebuah jalan yang tidak terpisahkan dari proses pencapaiankeadilan; rekonsiliasi adalah juga sebuah proses yang harusmelibatkan Rakyat Timor-Leste, sehingga lingkaran saling tuduhmenuduh bisadiputus. Proses ini tidak bisa dipandang hanya sebagaisebuah upaya penyelesaian konflik, atau sekedar alat politik yangbermaksud untuk menenangkan dan mengintegrasikan kembaliindividu-individu atau kelompok-kelompok dalam kontekspenerimaan mereka terhadap kemerdekaan and kedaulatanTimor-Leste, namun, yang utama, harus dilihat sebagai sebuahproses dimana kebenaran harus menjadi hasilnya.Dengan suara bulat, Kongres merekomendasikan berdirinya sebuah “Komisi untukPemukiman Kembali dan Rekonsiliasi Nasional”. Sebuah Komite Pengarah yang bertugasuntuk merancang proposal dibentuk. Anggota Komite Pengarah termasuk perwakilandari CNRT, organisasi hak asasi manusia, organisasi perempuan, pemuda, Gereja Katolik,dan Asosiasi ex-Tahanan Politik dan Narapidana Politik (Assepol), Falintil, UNTAETdan UNHCR. Tugas pertama Komite tersebut adalah melaksanakan konsultasi denganmasyarakat di seluruh Timor-Leste, demikian juga dengan para pengungsi Timor Timurdi Timor Barat, serta daerah lainnya di Indonesia. Tujuan konsultasi-konsultasi ini adalahuntuk mengumpulkan informasi untuk mendapatkan pemahaman tentang sikap danpandangan rakyat Timor-Leste terhadap hal-hal yang menyangkut rekonsiliasi.Seusai Kongres tersebut, misi UNTAET diminta bantuannya. Sérgio Vieira de Mello,Administrator Transisi, menugaskan Seksi Hak Asasi Manusia dari misi UNTAETuntuk berperan atas nama PBB dalam mendukung Komite Pengarah.Komite Pengarah lalu mengadakan konsultasi lebih lanjut dengan komunitaskomunitasdi seluruh Timor-Leste dari September 2000 sampai Januari 2001. Komiteini mengunjungi 13 distrik, mengadakan pertemuan publik di tingkat distrik, subdistrik,dan desa. Mereka juga berkonsultasi dengan partai-partai politik, ahli-ahlihukum dan kelompok-kelompok hak asasi manusia dan organisasi korban pelanggaranhak asasi manusia. Mereka mendapatkan dukungan komunitas yang luar biasa bagisebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi.20


Pada 21 Januari 2002, Administrator Transisi, Sérgio Vieira de Mello, mengambilsumpah jabatan calon-calon yang direkomendasikan oleh Panel Seleksi sebagaiKomsaris Nasional. Mereka yang ditunjuk adalah Aniceto Guterres Lopes, PadreJovito do Rêgo de Araújo, Olandina Caeiro, Jacinto Alves, José Estevão, Rev. Agustinhode Vasconselos, serta Isabel Amaral Guterres.Setelah melalui sebuah proses nominasi publik di masing-masing distrik, AdministratorTransisi, Sérgio Vieira de Mello, mengambil sumpah dari 29 Komisaris Regional pada15 Mei 2002. Sepuluh di antaranya adalah perempuan.Berikut ini adalah orang-orang yang ditunjuk sebagai Komisaris Regional oleh CAVR:Francisco Martins, Meta Mendonca (Aileu); Filomena Barros Pereira, Alarico da CostaReis (Ainaro); Carolina M E do Rosario, Aleixo Ximenes (Baucau); Ana de FatimaCunha, Francisco dos Reis Magno, Domingas dos Santos (Bobonaro); Antonio AlvesFahik, Maria Nunes (Covalima); Teresinha Maria Cardoso, Pedro Correia Lebre, Joanicodos Santos (Dili); Eduardo de Deus Barreto, Egidio Maia (Ermera); Albino da Silva,Justino Valentim (Lautem); Maria Fernanda Mendes, Ana Maria J dos Santos (Liquiça);Geraldo Gomes, Ildefonso Pereira (Manatuto); Jaime da Costa (mengundurkan diri),Saturnino Tilman (Manufahi); Antonio da Costa, José Antonio Ote, Arnold Sunny(Oecussi); Helena H X Gomes, Daniel Sarmento Soares (Viqueque).MandatRegulasi UNTAET 2001/10 mendirikan CAVR sebagai sebuah otoritas independen,dengan ketentuan bahwa badan ini “tidak boleh berada di bawah kekuasaan atau perintah”menteri kabinet atau pejabat pemerintah lainya. * Pendirian Komisi ini belankanganmendapat pengakuan dalam Konstitusi RDTL, pasal 162. Komisi diberi masa kerjaawal 24 bulan. Tiga amandemen berikutnya oleh Parlamen Nasional atas Regulasi inimemperpanjang masa kerja Komisi pertama-tama hingga 30 bulan, kemudian hingga39 bulan, dan akhirnya perpanjangan sampai tanggal 31 Oktober 2005. †Menurut mandatnya, tugas-tugas Komisi mencakup hal-hal berikut ini.1. Menyelidiki dan menetapkan kebenaran yang berkaitan dengan pelanggaranhak asasi manusia yang terjadi sehubungan dengan konflik politik di Timor-Leste dari tanggal 25 April 1974 sampai dengan 25 April 1999. 2 Penyelidikantersebut meliputi:2. Konteks, penyebab, anteseden, motif, dan perspektif yang membawa kepadapelanggaran; 33. Apakah pelanggaran tersebut adalah bagian dari pola pelanggaran yangsistematis; 4*Regulasi 2001/10 tentang Pendirian Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor-Leste Pasal 2.2. Dalam Bagian ini, Komisimenggunakan istilah Timor-Leste jika secara khusus merujuk kepada Regulasi 2001/10 dan instrumen hukum lainnya seperti ResolusiPBB dan hukum internasional; Komisi juga secara umum menggunakan istilah Timor-Leste sebagai istilah yang digunakan selama periodemandat dalam konteks hukum internasional dan persoalan Penentuan Nasib Sendiri.†Meski Pasal 2.4 Regulasi mengizinkan perpanjangan selama enam bulan tanpa pertimbangan parlemen, kedua perpanjangandisahkan oleh amandemen resmi terhadap Regulasi. Undang-Undang Parlemen Republik Demokrasi Timor-Leste No. 7/2003, Pasal1 memperpanjang mandat sampai 30 bulan. Undang-Undang Parlemen Republik Demokrasi Timor-Leste No. 13/2004, Artikel 1memperpanjang mandat sampai tanggal 7 Juli 2005. Undang-Undang Parlemen Republik Demokrasi Timor-Leste No. 11/2005, Artikel 1memperpanjang mandat sampai tanggal 31 Oktober 2005.21


4. Identitas orang, otoritas, institusi, dan organisasi yang terlibat dalampelanggaran; 55. Apakah pelanggaran tersebut akibat dari rencana, kebijakan, atau otorisasinegara, kelompok politik, kelompok milisi, gerakan kemerdekaan, ataukelompok atau individu lainnya; 66. Peranan faktor-faktor internal maupun eksternal 77. Pertanggung-jawaban, “secara politis atau yang lain”, atas pelanggaran. 88. Menyiapkan “laporan komprehensif yang menjelaskan aktifitas dan temuanKomisi, berdasarkan informasi yang benar dan objektif serta bukti yangdikumpulkan atau diterima Komisi atau yang tersedia bagi Komisi”. 99. Merumuskan rekomendasi tentang reformasi dan inisiatif yang dirancanguntuk mencegah terjadinya kembali pelanggaran hak asasi manusia 10 danuntuk menanggapi kebutuhan para korban. Rekomendasi tersebut jugamencakup usulan langkah-langkah hukum, administratif, dan yang lainnyayang dapat memberikan kontribusi bagi tercapainya tujuan Komisi; 1110. Merekomendasikan penuntutan, apabila perlu, kepada Kejaksaan Agung; 1211. Mendorong rekonsiliasi; 1312. Melaksanakan Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK), yang bertujuan untukmendukung penerimaan dan reintegrasi individu-individu yang telahmerugikan komunitas mereka dengan melakukan pelanggaran pidana ringandan tindakan merugikan lainnya; 1413. Membantu memulihkan martabat para korban; 1514. Memajukan hak asasi manusia. 16Pencarian KebenaranTujuan program pencarian kebenaran adalah untuk mendokumentasi pelanggaranpelanggaranhak asasi yang dilakukan oleh semua pihak dalam konflik politik antaraApril 1974 dan Oktober 1999. Strategi yang dirancang adalah pengambilan pernyataansecara sistematis di seluruh sub-distrik, penelitian terfokus dan penyelenggaraanaudiensi publik. Submisi-submisi, termasuk berbagai dokumen dan materi-materilainnya yang relevan, juga diupayakan untuk didapat dari berbagai sumber di dalamTimor-Leste maupun di luar negeri.Komisi mengumpulkan 7.669 pernyataan dari 13 distrik dan 65 sub-distrik di Timor-Leste. * Bersama dengan sebuah koalisi LSM lokal di Timor Barat, Komisi bekerja untukmemberi kesempatan bagi warga asal Timor-Leste di Timor Barat untuk memberipernyataan. Antara Februari dan Agustus 2003 koalisi LSM ini berhasil mengumpulan91 pernyataan dari orang-orang asal Timor-Leste yang tinggal di daerah-daerah kotaBelu, Kefamenanu, Soe dan Kupang di Timor Barat.Unit penelitian melakukan lebih dari 1.000 wawancara yang berfokus pada tematemakelaparan dan pemindahan, pasukan keamanan Indonesia; Fretilin/Falintil;penahanan dan penyiksaan; pembunuhan diluar hukum dan penghilangan paksa;anak; perempuan; dan konflik internal bersenjata. Para subyeknya termasuk orang-*Walaupun Rencana Pembangunan Nasional Timor-Leste menyebut 67 sub-distrik di negara ini, ketika CAVR dibentuk, sebelumkemerdekaan, terdapat 65 sub-distrik yang sudah umum disepakati, yang membentuk dasar strategi operasional Komisi.22


orang yang telah memainkan peran penting pada berbagai tahapan konflik, sertapelaku dan korban. Para Komisaris dan staf melakukan wawancara-wawancara inidi Dili, di distrik-distrik, di Portugal dan di Indonesia. Tema-tema penelitian secaraumum bersesuaian dengan tema-tema pada audiensi publik nasional, dan para penelitijuga telah memainkan peran yang penting dalam mengidentifikasi dan berhubungandengan para korban dan saksi untuk berbicara pada audiensi-audiensi ini. Padapertengahan 2003, Komisi memulai serangkaian wawancara dengan tokoh-tokohnasional kunci. Selain kesaksian pribadi tentang pengalaman yang dialami langsung,wawancara-wawancara ini memungkin Komisi untuk menyelidiki latar-belakangdan rincian mengenai organisasi dan kejadian-kejadian. Limabelas wawancara inidilakukan di Timor-Leste, dan di Indonesia, termasuk Timor Barat.Pada bulan Juni 2003 Komisi memulai penyelidikan statistik mengenai jumlah orangTimor yang meninggal sebagai akibat langsung dari konflik, apakah sebagai akibatpencabutan hak-haknya, dalam pertempuran, terkena tembakan atau sebagai korbanpembunuhan tidak sah atau penghilangan paksa. Walaupun sebelumnya sudah pernahada usaha untuk memperkirakan angka kematian dari penyebab-penyebab seperti ini,penelitian ini merupakan kesempatan pertama dimana sebuah organisasi melakukanpenelitian yang obyektif mengenai angka kematian selama konflik.Proyek ini dirancang dan dilaksanakan dalam kerja sama dengan Human Rights DataAnalysis Group (Kelompok Analisis Data Hak Asasi Manusia), sebuah organisasiinternasional yang mengkhususkan diri pada analisis statistik hak asasi manusiadan telah berpengalaman dalam bidang ini dengan beberapa komisi kebenaransebelumnya. Analisisnya didasarkan pada tiga set data independen:• Informasi yang terkandung dalam sekitar 8.000 pernyataan yang telahdikumpulkan, diberi kode dan dimasukkan ke dalam database Komisi,• Sebuah Sensus Kuburan yang didasarkan pada penghitungan batu nisandi 492 pekuburan di Timor-Leste,• Sebuah Survei Tingkat Kematian Retrospektif (Berlaku Surut), yangdirancang oleh Human Rights Data Analysis Group. Kemudian dilakukansebuah survei mendalam terhadap anggota keluarga 1,322 rumah tanggayang dipilih secara acak di 121 aldeia dari seluruh wilayah negara. Surveiini menggunakan sebuah daftar pertanyaan yang dirancang untukmendapatkan informasi yang berkaitan dengan angka kematian, sepertitanggal, situasi dan penyebab kematian anggota keluarga selama masakonflik.Penerapan teknik statistik pada kelompok data yang berbeda ini, masing-masingdengan kekuatan dan kelemahannya, berhasil mendapatkan sebuah perkiraanmengenai angka kematian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.23


RekonsiliasiKami menghadiri dua pertemuan biti boot – satu di Aldeia dansatu lagi di Suco. Pertemuan itu bagus karena melalui rekonsiliasi,kita bisa mengakui semua perbuatan kami – bertempur, membakarrumah – termasuk rumah kepala desa. Melalui proses ini kami bisameminta maaf dan mereka mengampuni kami. Kami memperbaikiatap rumah – ini bukan hukuman tetapi suatu simbol rekonsiliasi.Setelah rekonsiliasi kami merasa baik, karena selama rekonsiliasikita bersepakat bahwa tidak seorang pun bisa berkata bahwa kamiini pengungsi – kasusnya sudah selesai.Deponon - Aileu 17Saya merasa sangat senang dengan proses PRK karena sekarang kita bisahidup damai. Sebelumnya saya tidak bisa berbicara dengan [deponen].Saya ingin mereka mengakui apa yang mereka lakukan. Saya rasa sayasudah mengatakan apa yang ingin saya katakan. Sekarang saya merasalebih bebas. Saya merasa dekat dengan deponen-deponen.Korban – Aileu 18Proses Rekonsiliasi KomunitasSalah satu fungsi utama Komisi adalah untuk memajukan rekonsiliasi di Timor-Leste.Tujuan ini melatarbelakangi rancangan seluruh program Komisi dan bagaimanaprogram-program tersebut diterapkan. Komisi mengambil pendekatan yang terpadudan menyeluruh dalam memajukan rekonsiliasi di Timor-Leste, yang melibatkanseluruh lapisan masyarakat dalam kerjanya. Dalam mencapai tujuan rekonsiliasi,Komisi melakukan pendekatan dari berbagai sisi dengan serangkaian program yangdijalankan selama masa kerjanya. Telah disadari sejak dini bahwa agar benar-benarmenjadi efektif, Komisi harus melibatkan individu, keluarga dan kelompok masyarakatdari semua pihak dalam konflik, dengan menjangkau sampai tingkatan kepemimpinannasional tertinggi, dan melanjutkan hal ini pada tahun-tahun yang akan datang.Inisiatif utama Komisi untuk memajukan rekonsiliasi di tingkat akar-rumput adalah programProses Rekonsiliasi Komunitas (PRK). Program ini merupakan sebuah program yang barudan belum pernah diuji sebelumnya untuk memajukan rekonsiliasi dalam masyarakat. Inidicapai dengan mengintegrasikan orang-orang yang terkucil dari komunitasnya sendirikarena mereka pernah melakukan pelanggaran “kurang berat” yang terkait politik dalamkonflik-konflik politik di Timor-Leste. * Program ini didasarkan pada keyakinan bahwamasyarakat Timor-Leste, dan orang-orang yang telah merugikan mereka dengan melakukanpelanggaran ringan, siap untuk melakukan rekonsiliasi bersama. Prosedur PRK berpijakpada keyakinan bahwa cara terbaik untuk mencapai rekonsiliasi komunitas ialah melaluimekanisme partisipatif di tingkat desa. Mekanisme ini menggabungkan praktek keadilantradisional, arbitrasi, mediasi, dan aspek hukum pidana serta perdata.*Ketika PRK sedang dirancang, dilakukan konsultasi dengan masyarakat yang pada kesempatan ini anggota-anggota masyarakatmenyampaikan perasaan bahwa mereka tidak bisa berekonsiliasi dengan orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berat, sepertipembunuhan, perkosaan, dan penyiksaan, sebelum dilakukan penuntutan dan pengadilan terhadap mereka.24


Oleh karena itu, Komisi diberi mandat berdasarkan Regulasi 10/2001 19 untukmenyelenggarakan pertemuan berbasis komunitas. Dalam pertemuan ini, para korban,pelaku kejahatan, dan masyarakat luas bisa berpartisipasi secara langsung dalammencari penyelesaian agar pelaku pelanggaran bisa diterima kembali oleh masyarakat.Regulasi ini mengatur langkah-langkah dasar yang harus dilakukan selama prosesPRK tetapi tidak merinci prosedur PRK, sehingga proses PRK bisa fleksibel dalammemanfaatkan unsur-unsur tradisi.PRK merupakan proses sukarela. Pertemuan diselenggarakan di komunitas-komunitasyang terkena dampak oleh sebuah panel yang terdiri dari para pemuka masyarakatsetempat, dan diketuai oleh Komisaris Regional yang bertanggung jawab atas distrikdimana pertemuan tersebut diselenggarakan. Dalam pertemuan, pelaku diminta untukmengakui keterlibatannya dalam konflik secara utuh. Korban dan anggota komunitasyang lain kemudian diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan memberikankomentar atas pernyataan pelaku. Pertemuan kerap menjadi pengalaman yang sangatemosional bagi para peserta dan dapat berlangsung sehari penuh, bahkan sampai larutmalam. Setelah semua pihak yang terkait selesai berbicara, panel membantu membuatkesepakatan dimana pelaku menerima sanksi tertentu. Sanksi ini bisa berupa kerja untukkomunitas atau pembayaran reparasi kepada korban. Setelah melakukan ini, pelaku barubisa diterima kembali ke dalam komunitasnya. Unsur-unsur lisan * juga digunakan dalamPRK, yang wujudnya berbeda-beda tergantung pada budaya setempat.Sebelum suatu pertemuan dapat diselenggarakan, Kantor Kejaksaan Agung 20 dimintameninjau kasus-kasus yang diajukan dan memberikan persetujuan agar kasus tersebutdapat ditangani melalui PRK atau harus melalui pengadilan. Setelah pertemuankesepakatan rekonsiliasi yang dibuat dapat disahkan menjadi Keputusan Pengadilan,setelah melalui proses pertimbangan hukum. Jika Pengadilan setuju, dan pelakumelaksanakan kewajibannya seperti yang telah disepakati, maka kepada pelaku bisadiberikan imunitas dari tuntutan hukum pidana atau perdata untuk kasus yangdimaksudkan.Hasil program PRK menunjukkan bahwa PRK telah memberi kontribusi yang nyatakepada rekonsiliasi komunitas di Timor-Leste, dan reintegrasi para pelaku kejahatandi masa lalu ke dalam komunitasnya masing-masing. Sebanyak 1,371 pelaku berhasilditangani dalam proses PRK, lebih banyak dari target awal yang hanya 1.000 orang.Banyak orang yang meminta agar proses PRK ini dilanjutkan. Para pelaku, korban,dan peserta lainnya menyatakan kepada Komisi bahwa proses PRK telah sangatmembantu dalam menciptakan perdamaian dan menyelesaikan perselisihan masalalu di komunitas mereka. Mungkin indikator keberhasilan PRK yang paling nyataadalah terciptanya perdamaian dan stabilitas di Timor-Leste di masa awal yang sulit,meski ada yang meramalkan bahwa akan terjadi serangan balas dendam terhadap parapelaku kejahatan karena peran mereka dalam kekerasan tahun 1999.Secara ringkas, hasil yang diperoleh selama periode pelaksanaan program PRK:• CAVR menerima 1.541 pernyataan dari deponen yang menyatakankeinginan mereka untuk mengikuti PRK, dan semua pernyataanditeruskan ke Kejaksaan Agung.• Sebanyak 1.371 kasus berhasil diselesaikan melalui proses pertemuanPRK.*Dalam Bahasa Indonesia serupa kata “adat”.25


• Kejaksaan Agung tidak mengizinkan penyelesaian 85 kasus diselesaikanmelalui proses PRK. Kasus-kasus ini ditangani oleh Kejaksaan Agung.• Tiga puluh dua kasus ditangguhkan karena masuknya informasi yangdapat dipercaya yang menengarai bahwa deponen mungkin terlibat“tindak kejahatan berat”, atau karena masyarakat menolak menerimadeponen.• Angka-angka di atas menunjukkan bahwa hampir 90% kasus yangditangani berhasil diselesaikan. Sepuluh persen kasus yang tidak selesaiadalah kasus-kasus yang deponennya tidak menghadiri pertemuan yangsudah dijadwalkan, atau karena pertemuan ditangguhkan, atau karenaKejaksaan Agung tidak mengizinkan kasus-kasus tersebut diprosesmelalui PRK.DampakHari ini adalah hari berakhirnya penderitaan, kekerasan, danperpecahan selama 24 tahun dalam masyarakat kita. Tahun 1999kita menyaksikan tentara Indonesia dan milisi pergi. Tanggal20 Mei 2002 kita merayakan kemerdekaan kita sebagai negara.Tetapi baru hari ini, kita sebagai masyarakat bisa terbebasdari penderitaan, dari masa lalu yang mengerikan. Mari kitamenggulung tikar, dan ini akan menjadi simbol berakhirnyasemua ini. Mulai saat ini, kita akan melihat ke depan saja. Marikita makan dan menari bersama, dan menyambut masa depan.Pemuka masyarakat – Maliana 21Selain memberi masyarakat kesempatan untuk memikirkan dan mencari penyelesaianuntuk masalah antar pribadi dalam perselisihan, bagi banyak masyarakat PRKmenjadi simbol berakhirnya konflik yang berlangsung lama. Meskipun tujuan resmipertemuan PRK ialah memberikan kesempatan kepada deponen untuk bisa diterimakembali di masyarakat dengan mengungkapkan kebenaran dan melakukan “tindakanrekonsiliasi”, pada kenyataannya proses saling memberi antara deponen dan pesertalainnya kerap memberikan gambaran yang lebih lengkap dan tepat mengenai masalalu dan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat.PRK bisa memenuhi fungsi penting ini karena PRK memberi masyarakat kesempatanpertama untuk melihat pengalaman khusus mereka. Lebih jauh lagi, PRK memberimereka kesempatan ini dalam lingkungan yang aman dan terkendali dimana merekabisa membuka luka lama sebelum mereka menyatakan berdasarkan penyelesaian yangbisa diterima bahwa luka lama ini sekarang harus ditutup.26


Sumbangan untuk upaya memberantas impunitasSetelah konflik berakhir pada bulan Oktober 1999 para pemimpin nasional dan wakilmasyarakat internasional selalu mengatakan kepada masyarakat Timor-Leste bahwamereka jangan membalas dendam dan harus mempercayakan penyelesaian padasistem peradilan formal. Kepercayaan pada kekuasaan hukum ini masih asing bagisebagian besar rakyat Timor-Leste karena selama pendudukan hukum dipandangsebagai sarana penjajahan atau sama sekali tidak relevan. Namun demikian, karenaberbagai alasan, kemajuan yang dicapai dalam menegakkan keadilan sangat lambatselama tiga tahun setelah berakhirnya konflik. Kalau dilihat dari segi ini, sukses PRKmerupakan contoh pentingnya kekuasaan hukum di negara baru ini. Khususnya, halini bisa terjadi karena program ini menjangkau sampai ke pelosok negeri ini, danbanyak peserta mengatakan kepada Komisi bahwa PRK merupakan pengalamanmereka satu-satunya mengenai mekanisme hukum formal sejak militer Indonesiapergi.Selain memperkuat kekuasaan hukum, PRK juga tetap meminta pertanggungjawabankepada pelaku ”tindakan merugikan”, yang kemungkinan tidak akan terjangkauhukum. Walaupun orang-orang ini tidak dipaksa menjalani proses peradilan ataumenjalani hukuman penjara, pengalaman mereka mengikuti PRK dan ”tindakanrekonsiliasi” yang selanjutnya mereka lakukan sering sangat menyakitkan danmemalukan. Wawancara lanjutan menunjukkan bahwa pengakuan salah danpermintaan maaf dari para deponen mempunyai pengaruh yang sangat dalam bagikehidupan mereka.Keberhasilan proses PRK, dan semakin banyaknya jumlah kasus ”kejahatan berat”yang berhasil diadili oleh Panel Khusus, menunjukkan bahwa pelaku kejahatan berattidak lagi sepenuhnya kebal hukum. Proses ini juga menunjukkan bahwa amnestitidak diperlukan untuk kejahatan di masa lalu. Anggota-anggota masyarakat yangmengikuti PRK merasa sulit menerima pendapat yang mengatakan bahwa amnestimerupakan satu-satunya cara untuk menangani kasus ”kejahatan kurang berat”yang tidak terpecahkan yang jumlahnya sangat banyak. Lebih jauh, usulan untukmenghentikan kasus terhadap pelaku kejahatan jenis tersebut kelihatan tidak adilkarena pelaku lainnya harus mengikuti proses PRK yang menyakitkan.Ketidakmampuan mengadili orang-orang yang paling bertanggung jawabKami hanya orang biasa. Kami dipaksa bergabung dengan milisi.Mengapa kita harus mengikuti proses ini sementara orang-orangyang paling bertanggung jawab masih bebas? **Justice System Monitoring Programme, Unfulfilled Expectations: Community Views on CAVR’s Community Reconciliation Process, LiaKent, Dili, August 2004, p. 15. (tersedia di www.jsmp.minihub.org.) Ini bukan kutipan dari deponen tetapi JSMP melaporakan bahwa ituialah ucukpan umum” terdengar dari para deponent di dalam PRK. Laporan JSMP bertambah “Persepsinya ialah orang-orang yang palingbertanggung jawab tetap hidup enak…dan kebal hukum, entah di Timor Barat, atau sebagian juga di Timor-Leste”.27


Dua saudara kami dibunuh dalam kekerasan itu. Pembunuhnyabelum kembali dari Atambua. Waktu istri saya mengandung anakkami yang pertama, saya dipenjarakan di Timor Barat dari tahun1997 sampai tahun 1999 karena saya terlibat gerakan klandestin.Saya dipukul berkali-kali dan tubuh saya dilempar ke laut. Sampaisekarang mata saya masih kabur dan saya tidak bisa melihat denganjelas. Pada tahun 1999 rumah kami juga dibakar dan barangbarangkami dihancurkan. 22Korban, SuaiRegulasi 2001/10 jelas melarang proses PRK menangani orang-orang yang palingbertanggung jawab atas terjadinya kejahatan berat. Komisi sering menemukanpandangan bahwa orang-orang ini bisa menghindari hukum dan mereka tetap bebasdan tidak menyesal. Rasa ketidakadilan ini dinyatakan secara berbeda-beda dalamsetiap pertemuan PRK. Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia di Jakarta belummenampakkan hasilnya dan Proses Kejahatan Berat tidak bisa menjangkau sebagianbesar pelaku tindak kejahatan berat, yang berada di Timor Barat atau di wilayah lain diIndonesia. Lebih jauh, karena keterbatasan sumber daya, Unit Kejahatan Berat masihharus menyelidiki sejumlah orang yang disangka telah melakukan kejahatan beratdalam masyarakat, meskipun mereka telah kembali ke Timor-Leste. Dalam beberapakasus, para pelaku tidak kembali ke desa mereka sendiri tetapi tinggal di Dili. Anggotaanggotamasyarakat sering mengungkapkan frustrasi dan kemarahan karena merekabelum juga dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.Bahkan di dalam golongan pelaku yang bisa ditangani melalui proses PRK, beberapapelaku yang ditengarai melakukan “kejahatan kurang berat” atau tindak pelanggaranlain memilih tidak ambil bagian dalam pertemuan PRK di desa mereka. Proses yangsifatnya sukarela berarti bahwa kalau pelaku memilih tidak memberikan pernyataan,mereka tidak bisa dipaksa. Meskipun menurut teorinya mereka masih bisa ditangkapdan diadili, kemungkinan hal ini terjadi sangat kecil karena sistem peradilan formalmengalami kelebihan beban kasus-kasus baru.Akibat dari perlakuan yang tidak sama ini masyarakat menghargai pelaku yang maumengakui dan bertanggung jawab atas perbuatan mereka, tetapi mereka jelas tidakpuas dengan kekebalan hukum para pelaku kejahatan berat yang, karena alasan apapun, berada di luar jangkauan sistem peradilan formal.KesimpulanProgram PRK dirancang untuk memenuhi kebutuhan mempersatukan komunitaskomunitasyang terpecah akibat konflik politik. Karena program seperti ini belumpernah ada sebelumnya, kemungkinan keberhasilannya masih belum dapat dipastikanketika Regulasi dikeluarkan.Dalam pelaksanaan program muncul tantangan-tantangan logistik, administratif,pendidikan, politik, dan hukum. Tantangan-tantangan ini dihadapi sejak menjangkaudesa-desa yang paling terpencil di negeri ini, menjalin hubungan kerja denganKejaksaan Agung dan pengadilan, menggalang dukungan dari para pemimpin lokal28


dan anggota masyarakat, sampai menangani pertikaian-pertikaian penuh emosiantara para pelaku dan korban. Semua tantangan ini berhasil dihadapi dengan kerjakeras dan dedikasi yang luar biasa dari para staf, penasihat, dan Komisaris CAVR.Selain besarnya jumlah orang yang berhasil diintegrasikan kembali ke dalamkomunitasnya, PRK memberikan sejumlah manfaat lain:• PRK menciptakan sebuah mekanisme bagi komunitas untuk memeriksaperan mereka dalam sejarah konflik dan mengklarifikasi peran pelaku dankorban dalam kejadian-kejadian tersebut.• PRK memberikan kesempatan kepada komunitas-komunitas untuk merayakanakhir permusuhan dan perpecahan, dan secara simbolis menutup konflik.• PRK melatih sejumlah orang Timor-Leste, dari semua distrik, mengenaiprinsip dan praktek mediasi, dan menawarkan sebuah model penyelesaianpertikaian secara damai kepada puluhan ribu peserta.• PRK memperkuat nilai kekuasaan hukum, dan menyumbang untukperjuangan melawan impunitas dengan menyelesaikan sejumlah besar kasusyang secara realistis tidak dapat ditangani melalui sistem peradilan formal.• PRK membantu sistem peradilan formal untuk memperkokoh posisinya dimasa pertumbuhannya yang rentan dengan membebaskannya dari bebanuntuk menangani banyak kasus yang belum diselesaikan.• Bersama dengan program-program pelengkap yang lain, PRK mendorongsikap umum untuk mendukung permintaan maaf dan rekonsiliasi diantara anggota-anggota masyarakat.• PRK memberikan pesan yang jelas kepada para pengungsi asal Timor-Leste di Timor Barat bahwa jika mereka kembali ke Timor-Leste, sudahada mekanisme yang spesifik yang akan membantu mereka untukreintegrasi, dan bahwa masyarakat sangat mendukung pendekatan tanpakekerasan ini untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan di masa lalu.Pekerjaan yang TersisaKomisi menyadari bahwa mekanisme peradilan transisi yang dibentuk menyusuladanya kekerasan dan pergolakan secara besar-besaran tidak akan pernah bisa berharapmemberikan penyelesaian untuk semua kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia yangdilakukan. Timor-Leste, melalui kerja Unit Kejahatan Berat dan CAVR, sudah lebih berhasildalam menemukan cara penanganan yang efektif dibandingkan negara-negara lain yangsedang menghadapi situasi yang sama. Walaupun demikian, sejumlah besar kasus yangsama sekali belum diproses tetap menjadi hambatan untuk rekonsiliasi di Timor-Leste.Dari tahap perencanaan awal PRK, Komite Pengarah menyadari bahwa Komisi tidakdapat menangani semua kasus “kejahatan kurang berat” yang dilakukan antara bulanApril 1974 dan Oktober 1999. Komite menetapkan tujuan yang lebih sederhanamenyelesaikan proporsi yang berarti dari kasus-kasus ini dan dengan demikianmemberikan sumbagan untuk rekonsiliasi, meredakan kemarahan di dalam banyakkomunitas dan mencegah terjadinya serangan-serangan balas dendam.Program ini telah mencapai tujuan ini, namun dengan demikian menciptakanpengharapan baru bahwa semua orang yang ingin ikut serta dalam PRK akan29


mendapatkan kesempatan untuk mendaftar. Ini jelas tidak mungkin dalam jangkawaktu Komisi harus menyelesaikan tugasnya. Walaupun ada target yang kurang lebih1.000 kasus individu, dan penyelesaian aktualnya berjumlah hampir 1.400 kasus,Divisi PRK memperkirakan bahwa sedikitnya ada 3.000 pelaku lagi yang seharusnyadapat berpartisipasi dalam PRK, kalau saja program ini dapat dilanjutkan. Masyarakatmerasa kecewa bahwa begitu banyak kasus yang seharusnya dapat ditangani melaluiPRK tetapi tidak dapat dilaksanakan, dan sangat menginginkan perpanjangan waktuuntuk program tersebut atau menggantinya dengan sesuatu yang serupa.Satu bidang lain yang belum diselesaikan adalah lebih dari 100 kasus yang ditangguhkanoleh Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung telah memutuskan bahwa kasus-kasus iniharus diselidiki lebih jauh karena ada bukti-bukti baik dalam berkas-berkas KejaksaanAgung, pernyataan deponen atau dari pertemuan PRK yang mengindikasikan adanyaketerlibatan dalam suatu kejahatan berat. *Unit Kejahatan Berat terus berjuang keras menangani kasus-kasus yang sangatbanyak dan, pada saat penerbitan Laporan ini, Kejaksaan Agung belum melanjutkanpemeriksaan pernyataan-pernyataan deponen PRK yang ditangguhkan. Jika padaakhirnya Kejaksaan Agung tidak menemukan alasan-alasan untuk melanjutkan kasuskasusini, maka pengalihan kasus-kasus ini dari PRK telah membuat para pelaku yangingin berpartisipasi dalam PRK kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan masalahmasa lalu mereka dengan komunitas, atau untuk memberikan informasi tambahanyang mengklarifikasi keterlibatan mereka dalam konflik.Kekurangan sumber daya Unit Kejahatan Berat menimbulkan imbas yang lebihluas pada kerja PRK. Unit Kejahatan Berat membatasi penyelidikan dan pengadilanterhadap kejahatan yang dilakukan pada tahun 1999. Pada saat penulisan laporan iniUnit Kejahatan Berat telah menyelesaikan kurang dari setengah dari seluruh kasuskejahatan berat yang dilaporkan dan telah menghentikan operasinya secara efektifpada bulan Mei 2005. † Akibatnya sebagian besar pelanggaran hak asasi manusia yangdilakukan selama periode konflik politik tersebut belum ditangani dengan cara apapun. Kenyataan bahwa banyak pelaku telah berpartisipasi secara sukarela dalampertemuan PRK yang seringkali menyedihkan dan memalukan, sementara merekayang bersalah atas kejahatan-kejahatan yang lebih berat tampaknya tidak mungkindimintai pertanggungjawaban, telah menciptakan situasi pertanggungjawaban yangtimpang dan anggapan tentang defisit keadilan. Ketidakseimbangan ini dan faktorfaktorkelembagaan yang mendasarinya harus diatasi ketika membahas strategi dankebutuhan di masa mendatang dalam bidang rekonsiliasi dan keadilan.Masa Depan PRKKeberhasilan program PRK menimbulkan banyak perdebatan mengenai apakahprogram tersebut harus dilanjutkan, baik dalam format yang sudah ada atau dalamformat lain. Pada saat PRK dirancang, saat itu tidak jelas apakah komunitas akan*Jika bukti itu disampaikan pada suatu pertemuan PRK, Regulasi mengharuskan bahwa pertemuan ditangguhkan, dan kasusnyadikembalikan ke Kejaksaan Agung (Regulasi 10/2001, pasal 27.5).†Sementara persiapan-persiapan sedang dilakukan untuk menyerahkan Laporan Akhir ini kepada Presiden Timor-Leste pada bulan Juli2005, PPB telah menyampaikan sebuah Moratorium tentang penutupan Unit Kejahatan Berat, menahan sementara pertimbangan laporandari Komisi Ahli.30


menerimanya. Hasil-hasilnya menunjukkan dengan jelas bahwa komunitas di seluruhTimor-Leste menganggap PRK sangat berharga, dan pada akhir periode operasionalnyaada banyak permintaan yang belum terpenuhi proses tersebut.Pada tanggal 7 Juli 2004, Komisi mengadakan lokakarya satu hari dengan judul“Menyelesaikan Masa Lalu untuk Menyongsong Masa Depan”. Lokakarya tersebutmengidentifikasi apa saja yang harus dilakukan untuk membantu perkembanganrekonsiliasi di masa depan. Di antara peserta lokakarya hadir anggota-anggotaParlemen Nasional, hakim, pengacara, wakil LSM lokal dan internasional sertakelompok-kelompok masyarakat adat, dan juga para Komisaris Nasional CAVR.Kesimpulan dan rekomendasi utama lokakarya adalah sebagai berikut:• Proses rekonsiliasi yang berbasis komunitas harus dilanjutkan. Penerusprogram PRK harus memfokuskan pada penyelesaian kejahatan kurangberat dan dalam tujuan dasarnya harus memasukkan pemulihan sertaperbaikan hubungan komunitas• PRK telah berperan sebagai sebuah model reintegrasi anggota-anggotakomunitas yang telah melakukan “tindakan-tindakan merugikan” padatahun 1999. Permintaan atas layanan yang diberikan oleh PRK kepadakelompok ini akan tetap besar, yang datang dari para pelaku yang telahkembali ke Timor-Leste dan mereka yang belum kembali. Lokakaryatersebut merekomendasikan bahwa kasus-kasus yang timbul dariperistiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 1999 harus ditangani secaraterpisah dari kasus-kasus yang terjadi antara tahun 1974 dan 1998.• Pemerintah harus mendirikan sebuah lembaga yang mandiri untukmemfasilitasi proses-proses rekonsiliasi komunitas setelah CAVR.Lembaga yang melakukan pekerjaan ini harus bekerja dalam suatukerangka kerja yang tujuan dan tangung jawabnya diuraikan denganjelas. Secara umum telah disetujui bahwa sistem dan modus operandiPRK merupakan contoh tentang bagaimana program penerus PRK dapatdilaksanakan.• Inisiatif rekonsiliasi komunitas apa pun berikutnya harusmempertahankan hubungan antara sistem peradilan lisan dan peradilanformal. 23Sudah jelas bahwa kuatnya permintaan masyarakat akar rumput untuk kelanjutan PRKdan bahwa ada tekad di banyak sektor di dalam masyarakat bahwa permintaan tersebutharus dipenuhi. Kendala utama untuk melaksanakannya sebagian besar bersifatkelembagaan. Termasuk pencarian induk lembaga yang sesuai dimana pekerjaan PRKdapat dilaksanakan, dan perumusan kembali hubungan antara lembaga penggantiini dengan sistem peradilan formal ketika penuntutan “kejahatan berat” di masamendatang tidak jelas nasibnya.31


Acolhimento dan Dukungan KorbanKetika saya ambil bagian dalam audiensi banyak keluarga sayayang mendukung saya berbicara di depan umum. Mereka tidakberkeberatan. Mereka berterima kasih bahwa saya dapat berceritamengenai penderitaan yang saya alami selama hidup dan bahwapara pemimpin dapat mendengarkannya dan mengurus kami…Setelah saya memberi kesaksian dalam audiensi publik, tetanggadan keluarga tidak ada yang kecewa. Mereka bahagia karenasaya mewakili korban-korban lain dari kota saya dan membagipenderitaan yang dialami oleh setiap keluarga. 24ProgramNama Komisi ini dalam Bahasa Inggris disebut Commission for Reception, Truth andReconciliation (Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi), Komisi beranggapanbahwa kata “reception” (“penerimaan”) tidak sepenuhnya mencerminkan apa yangkita maksud dengan kata “acolhimento.” Sehingga oleh karenanya kata “acolhimento”akan terus digunakan di sepanjang bagian ini.Para Komisaris Nasional tidak berusaha mereduksi konsep acolhimento ke dalamsebuah definisi tunggal. Maknanya adalah bagian dari semangat pendekatan Komisidalam pekerjaannya, dan semangat yang diharapkan oleh Komisi untuk bisa tumbuhsubur di masyarakat. Acolhimento adalah orang menerima satu sama lain sebagaiorang Timor-Leste, kembali menjadi diri sendiri, hidup bersama di bawah satu atap,setelah perpecahan dan kekerasan selama bertahun-tahun.Divisi Dukungan Korban dan Acolhimento bekerja untuk memenuhi dua fungsi yangutama, namun cukup berbeda, dari Komisi ini. Kedua fungsi ini melintasi semua aspekdari mandat Komisi dalam hal bahwa prinsip-prinsip acolhimento dan dukungan bagikorban pelanggaran HAM ini menjadi titik tolak bagi rancangan seluruh programKomisi.Acolhimento lebih dari sekedar suatu fungsi langsung atau tujuan yang dapat terukurmelainkan sebuah spirit yang mendasari segala aspek kerja Komisi ini. Istilah inimenunjukkan pengakuan akan pentingnya orang Timor-Leste saling menerima satusama lain setelah perpecahan dan konflik selama bertahun-tahun. Secara khusus, iniadalah tanggapan terhadap situasi orang-orang yang pergi ke Timor Barat pada tahun1999 – baik mereka yang kembali ke Timor-Leste maupun mereka yang tetap tinggaldi kamp-kamp dan pemukiman-pemukiman di Timor Barat. Dua program spesifikdikembangkan sebagai tanggapan terhadap situasi-situasi ini:• Sebuah program monitoring dan informasi untuk orang-orang yang barukembali• Sebuah program penjangkauan, yang dilaksanakan dalam kerjasamadengan LSM-LSM di Timor Barat, bagi pengungsi-pengungsi yang masihberada di seberang perbatasan.32


Berbeda dengan acolhimento, dukungan korban adalah sebuah tujuan spesifik Komisiyang tercantum dalam Regulasi 10/2001. Pasal 3 menyebutkan bahwa Komisi inidimaksudkan untuk: “membantu memulihkan martabat korban-korban pelanggaranhak asasi manusia.”Divisi Acolhimento dan Dukungan Korban juga melaksanakan serangkaian programspesifik. Program-program ini meliputi:• Audiensi Publik, baik di tingkat nasional maupun sub-distrik• Serangkaian Lokakarya Pemulihan di kantor nasional Komisi• Sebuah skema Reparasi Mendesak untuk para korban dengan kebutuhankebutuhanmendesak• Lokakarya partisipatoris di desa-desa untuk mendiskusikan dampakkonflik terhadap komunitas-komunitas (ini disebut Profil Komunitas).Program Pemantauan dan Informasi kepada Pengungsi yangbaru pulangProgram Komisi terdiri dari pertemuan antara staf dengan orang-orang yang barukembali untuk memonitor situasi mereka, menyediakan informasi mengenai PRK,dan untuk membawa masalah-masalah yang diangkat oleh orang-orang ini kepadaotoritas lokal, Komisaris-Komisaris Regional dan staf Komisi di distrik-distrik, danjuga lembaga-lembaga PBB, seperti UNHCR dan IOM (Organisasi Internasionaluntuk Migrasi).Pada tahun 2003, 20 kunjungan dilakukan ke pusat persinggahan orang-orang yangkembali: 19 kunjungan ke pusat di Batugade di Bobonaro, dan satu ke Ambeno diOecusse. Staf Komisi juga mengunjungi 40 desa di 13 distrik di Timor-Leste dimanaada orang-orang yang baru kembali dari Timor Barat.Banyak pengungsi yang kembali dengan perasaan yang bercampur antara terkucil,tidak berdaya dan trauma, dan juga kebimbangan terhadap kelangsungan ekonomidan status sosial mereka. Ketika mereka tiba, mereka menemukan banyak perubahandi Timor-Leste dengan pemerintahan independen yang baru dan perangkat hukumyang baru, dan juga sistem moneter dan ekonomi yang baru.Komisi memperhatikan bahwa sebagian besar orang-orang yang kembali diterima olehkomunitas mereka dengan tangan terbuka. Di beberapa desa, masyarakat membantuorang-orang itu membangun penampungan sementara, atau memberikan akomodasibagi mereka yang membutuhkan. Para pengungsi yang kembali itu mendapatkanakses terhadap fasilitas umum seperti air, klinik-klinik kesehatan, dan sekolah-sekolah.Orang-orang ini juga dapat ikut dalam persaingan untuk mendapatkan pekerjaan didistrik-distrik, seperti guru, perawat, polisi.Dalam beberapa kasus, kembalinya pemimpin eks-milisi disambut dengan kata-katayang kasar dari para pemuda di komunitasnya. Walaupun demikian, dalam sebagianbesar kasus, polisi setempat cepat mengambil alih situasi dan berpatroli secara regulerdi daerah yang belakangan didatangi orang-orang yang kembali untuk mencegahterjadinya kekerasan. Seringkali konflik antara orang-orang yang kembali dengan33


penduduk lokal terjadi, bukan karena perbedaan politik melainkan karena perseteruankeluarga atau suku yang telah berjalan lama berkenaan dengan masalah tanah ataumasalah adat lainnya.Untuk orang-orang yang kembali, tantangan terbesar yang dihadapi adalah matapencaharian mereka. Banyak yang telah kehilangan aset mereka selama kekerasantahun 1999 dan hanya bisa mendapatkan kembali hanya sebagian kecil setelah selamatahun-tahun di kamp-kamp pengungsi. Sengketa atas tanah dan properti sering menjadimasalah utama. Beberapa dari orang-orang yang kembali pernah menjadi pegawainegeri sipil selama pendudukan Indonesia dan menerima gaji bulanan. Kelambatanmereka kembali ke Timor-Leste berarti bahwa sebagian besar kesempatan kerja yangterbatas di distrik-distrik telah diambil oleh orang-orang lain. Keluarga-keluarga iniharus kembali mempelajari keahlian-keahlian pertanian subsisten. Sebagai akibatnya,banyak di antara orang-orang ini memilih untuk memulai kembali hidup mereka jauhdari kampung halaman, dan pindah ke Dili atau daerah perkotaan lainnya untukmencari kesempatan yang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.Untuk perempuan janda dan anak-anak mereka, kelangsungan hidup sehari-harilebih sulit. Dalam beberapa kasus, para perempuan dan anak-anak kembali ke Timor-Leste dalam kondisi kesehatan yang buruk yang disebabkan oleh kekurangan gizijangka panjang selama berada di kamp. Setelah kembali, mereka harus menanam danmenunggu hasil panen berikutnya untuk mereka makan. Walaupun otoritas lokal,lembaga-lembaga PBB dan LSM-LSM memberi perhatian khusus kepada keluargakeluargaini, tetap ada beberapa yang terlewatkan.Komisi menemukan sejumlah kecil orang-orang, yang setelah kembali ke desa mereka,pada akhirnya memilih untuk kembali ke Timor Barat. Ini terjadi di desa-desa sepertiLauala (Ermera, Ermera) dan Leimea (Hatulia, Ermera), Maubara (Maubara, Liquiça)dan Balibo (Balibo, Bobonaro). Komisi melakukan kunjungan-kunjungan ke desa-desaini dan bertemu dengan orang-orang yang memutuskan untuk kembali lagi ke TimorBarat dengan alasan yang berbeda-beda. Dalam beberapa kasus, orang-orang itu masihmemiliki anggota keluarga dekat yang tinggal di Timor Barat. Dalam kasus-kasuslainnya, orang-orang yang kembali adalah eks pemimpin milisi yang belum mendapatkesempatan untuk ikut serta dalam proses rekonsiliasi komunitas dan mengalamiintimidasi dan serangan ringan oleh penduduk lokal.Program penjangkauan, bersama LSM di Timor Barat, untukorang Timor-Leste yang menetap disebelah perbatasanJika pemimpin-pemimpin pro-otonomi dan pro-kemerdekaanbersatu kami pasti akan kembali karena hal-hal di masa laluadalah perintah dan kami orang kecil hanya melaksanakannya,dan sebagai akibatnya kami lah yang paling menderita. 25Pada akhir tahun 2002, Komisi merancang program Timor Barat. Komisi memulaiprogram ini pada awal tahun 2003. Karena pertimbangan efisiensi dan keamanan jugakarena mandatnya hanya di wilayah Timor Leste, Komisi memutuskan untuk bekerjamelalui LSM Indonesia yang sudah menangangi pengungsi di Timor Barat.34


Dua metode utama untuk memberitahu para pengungsi mengenai pekerjaan Komisiadalah diskusi langsung dengan para pengungsi dan pemimpin utama mereka danpenyebaran informasi melalui media cetak, radio dan video. Untuk membangunhubungan dan kepercayaan, tim-tim Koalisi melakukan kunjungan-kunjungan pribadikepada para pemimpin utama pengungsi dan para koordinator kamp, menjelangpertemuan-pertemuan dengan masyarakat pengungsi. Para Komisaris Nasional danRegional dan staf CAVR juga mengunjungi kamp-kamp dan bertemu dengan mantankomandan-komandan milisi dan pemimpin-pemimpin politik pro-otonomi.Limabelas episode program radio yang diproduksi oleh Komisi, Dalan ba Dame (JalanMenuju Damai), disiarkan melalui sebuah stasiun radio di Kupang. Radio Timor Baratjuga menyiarkan dialog-dialog antara Komisaris-Komisaris dengan tokoh-tokoh yangsudah dikenal pengungsi, seperti anggota-anggota Koalisi, seorang pendeta TimorBarat, dan pemimpin-pemimpin pengungsi. Film-film Komisi, termasuk Dalan baDame (Jalan Menuju Damai, sebuah perkenalan mengenai Komisi) dan rekamanrekamanvideo mengenai pertemuan-pertemuan rekonsiliasi komunitas dan beberapaaudiensi publik nasional Komisi merupakan cara yang menyenangkan dan menarikbagi para pengungsi untuk memahami pekerjaan Komisi. Contohnya, film mengenaiaudiensi rekonsiliasi di sebuah desa memperlihatkan keadaan komunitas dan distrikdistriktempat tinggal banyak pengungsi, dan membantu menunjukkan bagaimanakomunitas-komunitas tersebut berusaha untuk mendamaikan konflik di masa lalu.Film dan radio sangat penting, karena banyak dari para pengungsi itu memilikikeahlian baca tulis yang terbatas.Program Timor Barat yang berjalan enam bulan dalam bekerja sama dengan LSMIndonesia adalah bagian penting dari pekerjaan Komisi. Dalam mandat, waktu dansumber daya yang terbatas Komisi mencoba untuk menjangkau orang Timor Timuryang menetap di Timor Barat secara praktis dan efektif. Hubungan kerja dan maksudbaik yang ditunjukkan oleh pemerintah, LSM serta lembaga-lembaga masyarakat sipildan perorangan merupakan dasar penting untuk pekerjaan di masa mendatang yangharus tetap menjadi sebuah prioritas bagi pemerintah Timor-Leste dan Indonesia, LSMdan pekerja-pekerja sosial, dan komunitas lokal di masing-masing negara.Komisi menyadari kerumitan dan kepekaan dalam melaksanakan programpenjangkauan di Timor Barat. Sikap hati-hati dalam pendekatan para pengungsikepada pekerjaan Komisi berarti bahwa Komisi tidak dapat mencapai angka targetpernyataan yang diambil. Namun, banyaknya pengungsi yang diberi kesempatanuntuk menceritakan kisah mereka, juga memahami program rekonsiliasi Komisidan kehidupan di Timor-Leste yang merdeka, merupakan suatu pencapaian yangpenting.Pengalaman Komisi dibidang ini menunjukkan bahwa rekonsiliasi dengan pengungsidi Timor Barat membutuhkan komitmen dan pemikiran yang kreatif. Kompleksitaspermasalahan berarti bahwa komitmen harus jangka-panjang, melibatkanpemerintahan Timor-Leste dan organisasi masyarakat sipil, serta dukungan darimasyarakat internasional.35


Audiensi di tingkat nasional dan sub-distrikAudiensi nasional pertama oleh Komisi diselenggarakan pada tanggal 11-12 November2002. Audiensi ini dikenal dengan “Audiensi Korban”, dan diberi tajuk “DengarlahSuara Kami” Rona Ami-nia Lian dalam bahasa Tetum. Enam perempuan dan delapanlaki-laki dari kesemua 13 distrik di Timor-Leste memberi kesaksian mereka. Merekamemiliki rentang usia antara dua puluhan dini sampai enam puluhan lanjut, danmenceritakan mengenai pelanggaran yang terjadi selama masa 24 tahun periodemandat Komisi. Mereka bercerita mengenai kekerasan yang terjadi selama masa konflikinternal tahun 1975 oleh partai-partai politik Timor dan pelanggaran-pelanggaranselama bertahun-tahun di bawah militer Indonesia dan kaki tangannya.Tujuh audiensi nasional yang lain memiliki karakter yang berbeda. Masing-masingmemiliki fokus tematis yang didasarkan pada wilayah-wilayah pembahasan utamadari penelitian pencarian kebenaran Komisi. Mereka adalah:• Pemenjaraan Politik (Februari 2003),• Perempuan dan Konflik (April 2003),• Pemindahan Paksa dan Kelaparan (Juli 2003),• Pembantaian (November 2003),• Konflik Internal 1974-1976 (Desember 2003)• Anak-anak dan Konflik (Maret 2004).Tim-tim distrik bekerja di masing-masing sub-distrik di dalam distriknya selama sekitartiga bulan. Selama masa ini mereka mengambil pernyataan-pernyataan untuk pencariankebenaran, memfasilitasi audiensi rekonsiliasi komunitas, melakukan lokakarya profilkomunitas dan memberi dukungan bagi korban pelanggaran HAM.Di akhir masa kerjanya, tim menyelenggarakan sebuah audiensi publik di sub-distriktersebut, yaitu Audiensi Korban Sub-Distrik. Pemerintah setempat, administrasi,pemuka adat dan masyarakat dari sub-distrik dan distrik, diundang untuk menghadiriaudiensi tersebut, bersama para Komisaris dan staf dari kantor nasional. Pada audiensi,tim distrik melaporkan kegiatannya selama tiga bulan sebelumnya kepada komunitas.Komunitas kemudian mendengarkan kesaksian para korban pelanggaran HAM, yangdipilih dari anggota komunitas yang telah memberi pernyataan kepada tim distrik.Biasanya antara empat sampai enam korban yang memberi kesaksian.Audiensi Korban Sub-Distrik dikembangkan sebagai tanggapan atas dampak kuat audiensinasional dan karena banyaknya korban yang menyatakan keinginannya untuk bersaksidalam audiensi publik. Audiensi-audiensi ini menjadi sebuah penghormatan bagi orangorangyang meninggal, dan sebuah perayaan ketegaran komunitas dalam melewati masamasasulit dan komitmen mereka untuk menyembuhkan perpecahan masa lalu dalamsemangat rekonsiliasi. Audiensi ini juga merupakan kesempatan untuk berbagi hasil kerjaselama tiga bulan bersama komunitas, untuk menekankan kembali bahwa salah satu peranKomisi adalah untuk memulihkan harga diri para korban dalam komunitasnya, dan untukmenutup kegiatan Komisi di suatu sub-distrik dengan suatu rasa perhelatan.Jumlah keseluruhan ada 52 Audiensi Korban Sub-Distrik yang diselenggarakan. Enampuluh lima perempuan, dan 149 laki-laki memberi kesaksian, dan diperkirakan sekitar6,500 anggota masyarakat yang ikut ambil bagian.36


DampakAudiensi Korban di seluruh penjuru negara merupakan pengalaman bersamamendengarkan suara para korban dan menghadapi kebenaran dan dampak daripelanggaran HAM di masa lalu. Audiensi-audiensi ini telah menjadi dasar bagi dialogdi tingkat nasional dan komunitas yang akan terus berjalan mengenai bagaimanamenghadapi pelanggaran di masa lalu dalam sebuah semangat rekonsiliasi. Audiensisub-distrik khususnya menjadi sangat penting dalam membawa proses ini keluar darikota ke komunitas-komunitas di daerah.Kesaksian para korban di audiensi nasional menjadi pengalaman baru bagi parakorban dan bangsa secara keseluruhan. Sebagian besar korban berasal dari pedesaandan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara pada suatu acara nasionalyang resmi. Melalui siaran langsung televisi dan radio, kata-kata para korban itumenjangkau komunitas dan keluarga di seluruh Timor-Leste. Ini memberi merekakesempatan yang langka untuk berbicara secara langsung kepada para pemimpinnasional ketika para Komisaris Nasional bertanya jika para korban memiliki pesanuntuk disampaikan kepada bangsa. Hal ini telah menempatkan orang-orang biasapada titik pusat perdebatan tentang pemulihan, rekonsiliasi dan keadilan.Komisi telah mengangkat isu-isu yang sensitif pada audiensi publik, khususnya padaaudiensi nasional. Untuk pertama kalinya, masyarakat mendengar kesaksian langsungmengenai pelanggaran-pelanggaran kejam yang dilakukan oleh anggota partai politikTimor dari 1974-1976. Cerita-cerita mengenai kekerasan yang dilakukan oleh orangTimor yang bergabung dalam militer Indonesia atau kaki-tangannya, juga diangkat.Dimensi keluarga dan komunitas dari kekerasan ini sungguh mendalam. Paraperempuan berbicara dengan terbuka mengenai kekerasan seksual yang mereka alami,ketika banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa sebelumnya tidak mungkinuntuk membicarakan hal ini di masyarakat Timor. Audiensi mengingatkan dimensipersonal dari pelanggaran yang berat dan lama oleh militer Indonesia selama masamandat Komisi. Penghormatan yang ditunjukkan terhadap proses yang mengangkatkebenaran di muka umum ini menunjukkan arah yang baik bagi inisiatif perdamaiandi masa depan.Program PRK merupakan satu dari berbagai program rekonsiliasi yang dilaksanakanoleh Komisi. Sementara sasaran PRK adalah ketegangan di tingkat bawah masyarakat,Komisi juga berusaha meredakan ketegangan yang ada di tingkat nasional. Dalamaudiensi publik mengenai konflik politik internal tahun 1974-1976, misalnya, “pelakuproses”, termasuk pemimpin politik yang memimpin partai-partai politik saat konflikinternal berlangsung dan wakil dari partai-partai politik sekarang ini, berbicarakepada seluruh bangsa. Mereka secara terbuka menerima tanggung jawab merekaatas perbuatan mereka, menyampaikan penyesalan atas tindakan mereka atau partaimereka yang telah membuat orang lain menderita, dan pada hari terakhir audiensiyang berlangsung selama tiga hari menyatakan rasa solidaritas dalam suatu acarapenutupan yang mengharukan. Dalam peristiwa yang luar biasa ini, yang dipenuhipengunjung dan disiarkan ke seluruh penjuru negeri ini, elit politik Timor-Lestememperlihatkan di depan umum bagaimana perbedaan-perbedaan di masa lalu bisadikesampingkan untuk memperkuat negeri baru ini.37


Lokakarya pemulihan di Kantor Nasional KomisiEnam lokakarya diadakan di kantor nasional Komisi di Dili. Lima diperuntukkanbagi kelompok-kelompok campuran laki-laki dan perempuan dan satu khusus untukpeserta perempuan. Para peserta datang dari semua distrik di Timor-Leste, danberbagai upaya dilakukan untuk melibatkan para korban dari sejumlah daerah yangpaling terpencil di negara ini.Seluruh peserta sebelumnya telah memberikan pernyataannya kepada tim distrikpencarian kebenaran Komisi ini. Selain itu, tim distrik untuk dukungan korbantelah mengidentifikasi para peserta tersebut yang telah memenuhi kriteria untukSkema Reparasi Mendesak. Walaupun hanya sedikit jumlah penerima Skema ReparasiMendesak yang berpartisipasi dalam lokakarya pemulihan, lokakarya ini merupakanbagian dari Skema tersebut.Keseluruhannya, 156 orang berpartisipasi dalam enam lokakarya tersebut, 82perempuan (52%) dan 74 laki-laki (47%).Skema Reparasi Mendesak bagi korban dengan kebutuhanmendesakKetika tim-tim distrik mulai bekerja di desa-desa di seluruh wilayah negara ini,menjadi jelas bagi mereka bahwa banyak korban pelanggaran hak asasi manusiamenghadapi berbagai kebutuhan mendesak yang secara langsung terkait denganberbagai pelanggaran yang pernah mereka alami. Para korban melihat Komisimungkin sebagai satu-satunya lembaga nasional yang ada untuk membantu mereka.Tampaknya tidak cukup dengan mengatakan kepada para korban untuk menunggusampai datangnya Laporan Akhir dan rekomendasi-rekomendasi Komisi untukmendapatkan bantuan. Oleh karena itu, Komisi membuat suatu langkah sementarauntuk menangani beberapa kebutuhan mendesak dari para korban, yaitu SkemaReparasi Mendesak.Dasar skema tersebut adalah prinsip hukum internasional hak asasi manusia bahwapara korban tindakan pelanggaran memiliki hak atas reparasi. Perjanjian danhukum kebiasaan internasional serta berbagai instrumen hukum internasional lain,menganjurkan bahwa berbagai kualitas pokok reparasi mencakup:• Restitusi (ganti rugi)• Kompensasi• Rehabilitasi• Kepuasan• Jaminan ketidakberulangan.Sebagai negara baru yang sedang berusaha menetapkan prinsip-prinsip demokratisyang bertumpu pada kesetaraan seluruh warga negara, Timor-Leste memiliki tanggungjawab moral untuk menjamin agar warga negaranya yang menderita kerugian akibatpelanggaran masa lalu mampu melakukan kewajibannya sebagai warga negaraTimor-Leste yang berpartisipasi penuh. Negara harus mengambil tindakan yang38


diperlukan sejauh kemampuannya. Prasyarat sosial atas reparasi terletak padapenciptaan perdamaian dan tujuan pembangunan Timor-Leste. Satu langkah dasardalam memulihkan perpecahan yang ada akibat konflik bertahun-tahun adalahmembantu para korban kekerasan membangun kembali kehidupan mereka. Tanpaperbaikan semacam itu, kekurangan dan pengucilan dapat menciptakan kelompokarus bawah yang tidak puas, yang pada gilirannya akan berakibat pada kekacauansosial. Demikian pula, prioritas pembangunan nasional dan pengentasan kemiskinandi Timor-Leste mensyaratkan bahwa seluruh warganegara dapat memainkan peranaktif dan konstruktif dalam membangun negara baru ini. Para korban pelanggaranmasa lalu beresiko untuk dilupakan dalam proses pembangunan ini.Komisi sendiri tidak mempunyai dana untuk membuat suatu skema reparasi.Komisi dibantu melalui kerjasama dengan Proyek Pemberdayaan Komunitas danPemerintahan Lokal (CEP), sebuah proyek yang dijalankan di bawah KementerianDalam Negeri dan didanai oleh Dana Amanah untuk Timor-Leste (TFET), yangadministrasinya ditangani oleh Bank Dunia. CEP mempunyai sebuah program untukmembantu “kelompok-kelompok rentan” dan dukungannya untuk Skema ReparasiMendesak yang diatur melalui program ini.Tim-tim distrik mengidentifikasi mereka yang berhak menerima bantuan dari programtersebut melalui orang-orang yang dapat ditemui dalam kerja pencarian kebenarandan rekonsiliasi. Penerima hak yang utama adalah para survivor pelanggaran langsungseperti perkosaan, penahanan, dan penyiksaan, demikian juga mereka yang menderitasecara tidak langsung akibat penculikan, penghilangan, atau pembunuhan anggotakeluarganya. Para calon penerima hak harus memenuhi kriteria sebagai berikut:• Kebutuhannya harus parah, segera, dan berkatian langsung denganpelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa mandat tahun1974-1999. Misalnya, seseorang masih menderita dari luka yang didapatselama penyiksaan atau seorang janda dengan pendapatan yang tidakmemadai karena suaminya dibunuh.• Orang tersebut jelas-jelas rentan; misalnya, seorang janda, yatim piatu,orang cacat, atau seseorang yang dikucilkan dalam komunitasnya.Kerentanan yang dimaksud di sini adalah mereka yang keadaan hidupnyaburuk karena konsekuensi-konsekuensi yang bersifat fisik, psikologis,emosional, atau ekonomi yang terkait dengan pelanggaran hak asasimanusia yang dialami oleh mereka.• Sumber-sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya tidak ada atau tidakmudah untuk didapat.• Bantuan ini akan membantu penerima secara berkelanjutan. Misalnya,bantuan tersebut akan memfasilitasi pemulihan harga diri, mencegahpelanggaran lebih jauh, atau akan memberikan sumbangan padapemberdayaan atau pemulihan yang akan meningkatkan kualitas hidupdalam jangka panjang bagi orang tersebut.Jenis-jenis reparasi yang dapat diberikan oleh Komisi mencakup:• Dana bantuan darurat sebesar US$ 200.• Perawatan medis dan/atau psiko-sosial yang mendesak• Peralatan dan/atau pelatihan bagi orang cacat39


• Membentuk kelompok-kelompok swadaya korban, yang mempunyaiberbagai kegiatan untuk memulihkan martabat manusia, sepertikegiatan teater, kegiatan-kegiatan produktif, dll.• Peringatan suatu peristiwa, dengan tujuan memberi pengakuan danrestorasi martabat para korban.• Penyediaan batu nisan atau monumen untuk meningkatkanpengakuan komunitas atas para korban hilang, dengan demikianmembantu memberi rasa penyelesaian emosional bagi keluargakorban.• Perjanjian dengan berbagai organisasi lokal seperti gereja ataukelompok dukungan, untuk menyediakan jasa yang berkelanjutanbagi para survivor.Pada bulan Mei 2003, Komisi membentuk Kelompok Kerja Dukungan Korbanuntuk mengembangkan dan menyelia program-program berkaitan dukungan padakorban, termasuk reparasi. Kelompok Kerja ini terdiri dari dua Komisaris Nasional,Koordinator Divisi Dukungan Korban, Manajer Program CAVR, dan perwakilandari dua organisasi hak asasi manusia, Fokupers dan Asosiasi HAK, serta seorangbiarawati dari Susteran Carmelita.Komisi juga mengontrak organisasi lain untuk menyediakan dukungan bagi parakorban. Di sepuluh distrik, Komisi mengontrak LSM atau kelompok-kelompokkeagamaan yang terlibat dalam penyediaan layanan kesehatan untuk memberikandukungan kepada para korban yang sudah diidentifikasi selama masa enam bulan.Kesepuluh organisasi tersebut adalah SATILOS (Fundacao Saude Timor Lorosae,Kesehatan Timor-Timur) di Dili, Susteran Canossian di Ainaro, Manatuto dan Lautém,Komisi Perdamaian dan Keadilan Katolik di Maliana, Centro Feto Enclave Oecusse(Lembaga Perempuan Oecusse), Kongregasi Susteran Bayi Yesus di Manufahi danBaucau, Susteran Fransiskan di Viqueque, dan Susteran PRR (Putri Renha Rosario)di Liquiça.Komponen bantuan dana dari Skema Reparasi Mendesak didistribusikan antara bulanSeptember 2003 dan Maret 2004. Dalam masa ini, 513 laki-laki (73% dari penerima)dan 192 perempuan (27%) tiap orangnya menerima uang tunai sebesar US$ 200 denganjumlah seluruhnya US$ 130,600 untuk 705 survivor pelanggaran HAM.Seluruh 156 peserta lokakarya pemulihan di kantor nasional Komisi adalah penerimadana bantuan Reparasi Mendesak. Dua dari para penerima ditemani ke Yogyakarta,Indonesia, dimana masing-masing dipasangkan dan dilatih untuk menggunakananggota badan buatan.Di sepuluh distrik, 417 survivor – 322 laki-laki (77%) dan 95 perempuan (23%) – terusmenerima dukungan dan bantuan yang diberikan oleh LSM setempat dan kelompokkelompokgereja. Bantuan ini berupa obat-obatan, pengajuan ke layanan kesehatandi rumah-rumah sakit distrik, konseling dan bantuan dasar termasuk kunjungan kerumah-rumah. Diharapkan bahwa hal tersebut akan terus menguntungkan para korbandalam hubungannya dengan penyedia kesehatan di tingkat distrik dan dukungan yangberkelanjutan meskipun masalah sumber daya di tingkat lokal merupakan suatumasalah mendesak.40


Ketiga LSM, yang dikontrak oleh Komisi untuk menyediakan berbagai layanan bantuansetelah Komisi meninggalkan distrik-distrik, memusatkan upayanya pada kelompokkelompokatau komunitas-komunitas tertentu. Yayasan HAK memfokuskan kerjanyadi komunitas Craras-Lalerik Mutin di Viqueque. Komunitas Craras mengalamipembantaian yang mengerikan pada tahun 1983, dan para survivor kejadian itudipindahkan ke dekat Lalerik Mutin. Daerah itu sekarang dikenal sebagai “desa parajanda”. Dalam program enam bulan, Yayasan HAK bekerja dengan komunitas tersebutuntuk mengidentifikasi kebutuhan dan prioritas komunitas dan juga membangunsebuah pusat pendidikan masyarakat.Fokupers dan ET-WAVE memberikan dukungan lanjutan kepada perempuan yang telahmemberikan pernyataan dan berpartisipasi dalam audiensi dan/atau Skema ReparasiMendesak. Fokupers bekerja di lima distrik: Dili, Liquiça, Bobonaro, Ermera dan Suai.ET-Wave bekerja di Lautém. Selain melakukan tindak lanjut dengan perempuan secaraperorangan, organisasi tersebut bekerja dengan komunitas-komunitas untuk menanganipengucilan yang dialami oleh para korban, khususnya perempuan di pedesaan.Lokakarya partisipatif di tingkat desa, disebut LokakaryaProfil Komunitas, untuk membahas dan mendokumentasidampak konflik terhadap masyarakatLokakarya profil komunitas menambahkan dimensi kelompok terhadap pekerjaan timdistrik dalam pencarian kebenaran dan dukungan korban. Lokakarya ini melibatkanbeberapa tim yang memfasilitasi diskusi berkelompok kecil dengan komunitasdesa mengenai dampak pelanggaran HAM di tingkat komunitas. Lokakarya inimemungkinkan masyarakat desa untuk mengulas sejarah konflik di komunitasnyasebagai suatu elemen lokal dalam sebuah proses penceritaan kebenaran tingkatnasional. Lokakarya-lokakarya ini difasilitasi dan direkam oleh staf dukungan korbandari tim distrik, dengan mengakui bahwa komunitas, sebagaimana halnya perorangan,juga menjadi korban dalam masa-masa konflik dan juga membutuhkan dukungan.Di sebagian besar daerah, tim distrik menggunakan lokakarya profil komunitas untukmemperkenalkan program mereka kepada sebuah komunitas. Selain membicarakanmandat dan program Komisi, tim distrik juga melakukan kegiatan praktis yangberbasis komunitas sehingga bersifat non-konfrontasi. Ini menunjukkan rasa hormatoleh tim distrik dan niat untuk dapat lebih memahami suatu komunitas sebelummenerapkan program-program lainnya. Tim juga memiliki kesempatan untukmengajukan pertanyaan mengenai kelompok-kelompok tertentu dalam komunitasyang mungkin akan membutuhkan dukungan tambahan, atau apakah suatu kegiatanrekonsiliasi komunitas relevan bagi komunitas tersebut.Profil komunitas menjadi bagian penting dan memperkaya kerja Komisi karenaberbagai alasan. Singkatnya, alasan-alasan ini adalah:• Di daerah pedesaan Timor-Leste, kegiatan yang bersifat komunal, bukanperorangan, seringkali merupakan cara yang lebih pantas dan layaksecara kultural untuk membahas hal-hal yang penting. Kegiatan inijuga merupakan cara yang baik untuk menggali kekayaan tradisi lisanmasyarakat pedesaan.41


• Lokakarya ini menjadi kesempatan untuk meminta pandangan komunitasmengenai apa yang dapat dilakukan oleh korban untuk membantupemulihan mereka dari pelanggaran HAM di masa lalu. Bahkan dikomunitas yang tidak banyak membicarakan kebutuhan untuk pemulihan,mengingat kembali pengalaman masa lalu dengan sendirinya sudahmenjadi sebuah proses pemulihan.• Dari sudut pandang pencarian kebenaran, lokakarya profil komunitasmelengkapi pengambilan pernyataan individu. Lokakarya tersebut sangatberguna khususnya dalam mengidentifikasi pola pengalaman sosial,ekonomi dan politik dan dampak mendalam dari pelanggaran HAMterhadap komunitas selama 25 tahun periode mandat.• Cerita-cerita lokal dan regional yang muncul dari lokakarya profilkomunitas mengungkapkan bagaimana daerah atau komunitas yangberbeda di Timor-Leste menderita pelanggaran tersebut dalam kurunwaktu yang berbeda selama masa konflik. Cerita-cerita ini tidak dapatdisamakan dalam suatu perspektif nasional, dan tidak selalu terungkapdalam pernyataan-pernyataan individu.• Cerita-cerita ini semakin membawa kita pada pemahaman mengenaisituasi setempat saat ini.Dari 297 profil komunitas yang didapat, tiga di antaranya tidak mencatat jumlahorang yang hadir. 294 lainnya menunjukkan bahwa rata-rata pertemuan dihadirioleh 16 orang, yang berarti bahwa sekitar 4,700 orang ikut serta dalam lokakarya inidi seluruh negara.Pelajaran yang dipetik dari Acolhimento, Pengungsi danTimor BaratAktor-aktor negara dan non negara di Timor-Leste harus terus-menurus berkerjasama dengan orang Timor-Leste di Timor Barat. Pekerjaan ini harus difokuskankepada pengembangan saling percaya dan saling pengertian, berbagi informasi, danmembantu mereka yang memutuskan untuk kembali ke Timor-Leste. Pekerjaanini dapat dilaksanakan hanya kalau ada kerja sama antara orang Timor Leste danlembaga-lembaga negara dan non-negara Indonesia. Satu unsur terpenting untukmengembangkan saling percaya antara orang Timor-Leste di Timor Barat adalahbahwa hubungan antara orang Timor-Leste di kedua sisi perbatasan seharusnyatidak meresahkan tetapi menunjukan komitmen berkelanjutan terhadap kebutuhanmereka.Perkerjaan Komisi dengan orang Timor Leste di Timor Barat menunjukkan kontribusikepada proses yang telah dimulai sebelum Komisi didirikan, dan akan berlanjutansetelah amanat Komisi selesai. Walapun dukungan dari masyarakat Internasionalsangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini, dukungan tersebut tidak akan diterimatanpa adanya komitmen yang jelas dan tinggi dari Pemerintah Timor-Leste terhadappekerjaan ini.42


Pekerjaan apapun menyangkut hal ini di masa depan harus memberi perhatian kepadabeberapa masalah yang sulit. Masalah-masalah tersebut lain adalah:• Mencari cara untuk berbicara kepada para pengungsi tentang rekonsiliasidengan cara yang konstruktif. Salah satu halangan kepada pembicaraanyang berguna adalah jurang antara yang melihat rekonsiliasi sebagai isupolitik yang berkaitan dengan amnesti atas kejahatan-kejahatan yangdilaksanakan pada masa lalu, dan mereka yang melihatnya sebagai isusosial berkaitan dengan pemulihan perpecahan antara perseorangan dankomunitas. Kenyataan bahwa hirarki kekuasaan di Timor Barat sudahmemperkuat perbedaan-perbedaan paham ini, membuat perbedaanperbedaanitu sangat sulit untuk dihilangkan.• Terus-menerus mencari cara untuk mengatasi halangan-halangan bagipara perempuan untuk berpartisipasi secara penuh di dalam prosespengambilan keputusan tentang masa depan mereka dan masa depankeluarga mereka.• Membangun kemitraan, pengalaman, dan keinginan baik yang telahdibangun dengan individu orang Indonesia, Pemerintah dan organisasiorganisasinon pemerintah Indonesia.Masih dibutuhkan dukungan terus-menerus untuk menyatukan kembali mereka yangakan pulang kepada komunitas mereka dan kepada komunitas yang menerima mereka.Penyatuan kembali bukanlah proses yang segera tetapi membutuhkan perhatian dandukungan secara tetap selama jangka waktu yang panjang. Kepercayaan satu samalain dan rasa percaya diri hanya akan kembali sedikit demi sedikit. Walapun banyakdari pekerjaan-pekerjaan penyatuan kembali adalah sangat penting dilaksanakan olehpara individu, para keluarga dan komunitas yang melaksanakan, dengan bantuandari lembaga setempat seperti Gereja dan pemuka adat, pengalaman Komisi di dalambidang ini menyatakan bahwa lembaga-lembaga tersebut dapat dibantu dengandukungan dari lembaga nasional terpercaya dan dihormati.Reparasi MendesakProgram Reparasi Mendesak yang dijalankan Komisi membantu sejumlah korbanyang paling rentan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Skemaini menawarkan bantuan finansial dan non-finansial, pada individu dan masyarakat.Lewat pekerjaan ini, Komisi dapat mengembangkan pemahamannya tentang kekuatandan kelemahan berbagai skema reparasi dalam konteks Timor-Leste, sehingga dapatmengembangkan rekomendasi yang lebih komprehensif.Komisi memahami bahwa Skema Reparasi Mendesak ini merupakan tindakansementara dan tidak dapat dilihat sebagai pengganti dari program komprehensifyang jangka-panjang.Komisi yakin bahwa ada kebutuhan mendasar untuk sebuah program reparasikomprehensif dengan pendekatan beragam yang harus dilaksanakan paska-Komisi.Program ini harus menjawab kebutuhan korban dengan menawarkan pengakuan43


formal bagi korban dengan mengawetkan dan menghormati ingatan mereka, dandengan pelayanan sosial dan dukungan ekonomi. Ini harus ditargetkan pada tingkatanindividu dan masyarakat.Komisi telah belajar bahwa sulit untuk mendapat dukungan finansial untuk skemareparasi dari sumber-sumber nasional dan internasional. Para politisi, pembuatkebijakan dan mereka yang ada pada posisi untuk member dana sering menempatkanprogram reparasi dalam rana pembagunan nasional secara umum. Reparasi tidak dapatdiperlakukan sedemikian rupa. Reparasi memainkan peran komplementer terhadappembangunan nasional, tetapi juga merupakan landasan untuk pencapaian keadilandan perlindungan hak asasi manusia dalam masyarakat paska-konflik ini.Para KorbanDalam bekerja dengan para korban selama tiga tahun keberdaannya, Komisi telahbelajar banyak. Kekuatan dan ketabahan banyak korban, martabat dan kebaikan hatiterhadap sesama orang lainnya, dan keinginan mereka untuk berpartisipasi dalammembentuk negara merdeka baru, memberikan inspirasi. Kehidupan keluarga dankomunitas dan kebudayaan orang Timor kadang dapat membantu menopang danmemulihkan para korban. Di waktu lainnya mereka justru menjadi rintangan bagipemulihan. Komisi juga telah memahami dengan jelas, bahwa sekarang ini banyakorang-orang yang hidup dalam keadaan susah, karena kekerasan yang pernah merekaalami. Sekali mereka memperoleh kadar rasa aman tertentu, baik itu rasa aman secarafisik, mental maupun ekonomi, individu-individu, keluarga-keluarga dan komunitasdapat berbuat banyak untuk membantu pemulihan mereka. Tetapi mereka jugaterkadang memerlukan bantuan pihak luar, seperti layanan kesehatan fisik dan mental,pendidikan dan pelatihan, bantuan untuk memulihkan kelangsungan ekonomi,pengakuan dan perasaan bahwa negara memperhatikan kesejahteraan mereka.Kesehatan, termasuk kesehatan mental, adalah hal yang utama untuk pekerjaandukungan pada korban di masa mendatang. Pengalaman kekerasan dan kehilangandapat memiliki dampak yang mendalam bagi kesehatan mental dan kesejahteraanpara korban. Lokakarya pemulihan merupakan upaya untuk memahami lebih banyakmengenai kebutuhan para korban dalam hal ini, untuk memberikan dukungan, untukmengantar orang-orang kepada layanan-layanan khusus jika tersedia. Komisi jugabekerja dengan komunitas gabungan dan tim kesehatan mental dari University ofNew South Wales, untuk mengembangkan penjajakan awal atas kebutuhan-kebutuhanpara korban pelanggaran hak asasi manusia dalam terang temuan-temuan Komisi,berkenaan dengan kesehatan dan kesejahteraan mental.Komisi menemukan bahwa banyak korban pelanggaran berat hak asasi manusiaterus-menerus menderita karena perlakuan kejam yang mereka alami. Komisi telahmenemui korban dengan peluru di dalam tubuh mereka, luka luka yang belum sembuh,tulang-tulang yang tidak dipulihkan secara benar, masalah kewanitaan berakibatpemerkosaan, dan macam-macam kecacatan fisik yang diakibatkan oleh penyiksaanyang berkepanjangan atau yang berulang kali. Tanpa perhatian kepada kebutuhankesehatan ini, para korban ini tidak akan mampu mengambil tempat mereka yangsyah sebagai warga negara aktif Timor-Leste.44


Temuan-temuan ini mengarisbawahi perlunya sebuah peninjauan yang menyeluruhyang dapat menjadi dasar untuk program dukungan kesehatan yang akan menjadibagian dari skema Reparasi yang mendatang.Komisi memperhatikan, bahwa ada kelompok-kelompok tertentu dalam komunitasyang tampak begitu rawan dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungandengan kesejahteraan mental mereka. Ini bukan semata-mata isu-isu medis mengenaigangguan mental, melainkan kesejahteraan mental yang seluas-luasnya, yangmemungkinkan seseorang untuk menjalani kehidupan yang baik dan berarti. Keadilan,belas kasihan dan pencarian akan masyarakat yang adil dan inklusif, semua langkahyang perlu untuk memulihkan mental dan kesejahteraan fisik kepada para korbanyang kehilangan semua itu sebagai akibat dari sebuah tindakan penyalahgunaan.Kelompok-kelompok yang dicatat oleh Komisi sebagai kelompok yang beresiko tinggi,dan yang harus menjadi fokus untuk program di masa mendatang, diuraikan dibawah ini:Survivor PemerkosaanMelalui lokakarya pemulihan dan kegiatan-kegiatan lain menjadi jelaslah, bahwaperempuan yang mengalami perkosaan sangat besar kemungkinan menderita traumadibanding korban pelanggaran lainnya. Sedikit-banyak mungkin hal ini disebabkanoleh karena, banyak perempuan yang diperkosa atau dipaksa ke dalam situasi menjadibudak-budak seks oleh tentara Indonesia, melaporkan bahwa mereka dijauhi olehkeluarga dan masyarakat mereka, dan sebagai akibatnya mereka kehilangan bantuanyang diperlukan untuk pemulihan dan kesehatan mental. Penderitaan perempuan yangberanak dari hasil perkosaan atau dipaksa menjadi budak seks, lebih menyedihkanlagi. Ada beberapa komunitas, misalnya Suai, di mana banyak perempuan menjadisasaran perkosaan massal sesudah Konsultasi Rakyat 1999, dimana banyak di antaramereka itu benar-benar memerlukan bantuan.Komisi menemukan bahwa secara umum, perempuan muda umumnya yang diperkosaselama kekerasan 1998-1999, menderita lebih parah dan lebih banyak gejala traumadibanding dengan para korban yang mengalami perkosaan pada periode-periodesebelum konflik. Penjelasan untuk perbedaan ini barangkali karena perempuan korbanyang berumur lebih tua sering lebih bisa bergantung kepada bantuan yang disebabkanoleh peran mapan mereka sebagai anggota keluarga dan komunitas, sedangkanpelanggaran yang dialami oleh perempuan muda agaknya justru menjadi penghalanguntuk mengembangkan peranan yang demikian itu. Sementara itu apa yang dialamikelompok perempuan tua tersebut umumnya kurang menonjol, sehingga karenanyakalaupun mereka memerlukan bantuan, kecil kemungkinan untuk menerimanya.Pemuda, terutama di daerah perkotaanDi dalam konflik politik di Timor-Leste, banyak lelaki muda yang terlibat dalamkekerasan, baik sebagai korban maupun pelaku. Munculnya gerakan klandestinkhususnya pada tahun 1980-an menyebabkan banyaknya pemuda-pemuda yangterlibat dalam kegiatan-kegiatan perlawanan. Pemuda lainnya terlibat dalamkelompok-kelompok yang dibentuk oleh militer Indonesia untuk menghadapi kegiatanperlawanan tersebut. Pendidikan mereka seringkali terhambat akibat keterlibatandalam kegiatan-kegiatan klandestin, masuk penjara, dan luka parah sebagai akibatsiksaan dan kekejaman yang mereka alami.45


Banyak di antara pemuda, yang berumur belasan tahun pada tahun 1990-an itu,sekarang dalam umur duapuluhan atau awal tigapuluhan tahun. Kurangnya pendidikandan pelatihan, banyak di antara mereka yang sekarang merasa tersisih dari kesempatandi Timor-Leste baru. Beda dari kaum perempuan muda yang biasanya mempunyaiperanan sosial sebagai pengurus rumahtangga dan keluarga, kaum laki-laki mudakebanyakan hidup terpinggirkan dalam masyarakat. Komisi melihat adanya rasamarah dan kekecewaan di kalangan banyak laki-laki muda korban. Isolasi merekadiperburuk oleh batasan budaya, yang merintangi laki-laki meminta bantuan ataubicara tentang soal-soal kesusahan perasaan. Kurangnya kesempatan kerja danpendidikan semakin membikin parah kesulitan mereka.Soal-soal tersebut di atas menempatkan banyak laki-laki muda dalam resiko mendapatmasalah kesehatan mental. Beserta dengan kekerasan hebat yang mereka alami padatahun-tahun remaja mereka, ini pun menimbulkan masalah stabilitas rumah tanggadan sosial. Orang-orang muda seperti inilah yang harus menerima prioritas utamauntuk bantuan di masa depan.Lelaki usia setengah baya yang cacatKomisi melihat banyak korban laki-laki tengah baya dengan “tubuh yang rusak”sebagai akibat penyiksaan atau pemukulan hebat yang berulang-ulang. Terutama padaorang-orang desa yang kehidupan mereka bergantung pada kemampuan menggaraptanah, cacat tubuh seperti itu membawa akibat perekonomian yang parah. Banyak darimereka yang menyatakan kesusahan dan memperlihatkan ketegangan jiwa, oleh karenamereka tidak lagi mampu menghidupi keluarga, dan hal ini akan berdampak padapendidikan anak-anak serta kesempatan masa depan mereka. Tidak bisa memenuhitugas sosial mereka sebagai penopang keluarga, banyak di kalangan laki-laki inimenjadi rawan terhadap problem kesehatan mental.Eks tahanan politik dan korban yang disiksaKomisi berulang-ulang mendengar, bagaimana tentara keamanan Indonesia terusmenerusmenyiksa para tawanan. Juga Komisi mendengar tentang penyiksaan dankekejaman yang dilakukan dalam tahun-tahun awal konflik oleh partai-partai politikTimor-Leste. Akibat-akibat psiko-sosial siksaan itu dicatat dengan baik. Komisi bekerjaerat dengan banyak eks-tapol dan korban penyiksaan. Pada beberapa kasus eks-tapolmemperlihatkan kemampuan mereka sendiri dalam mengatasi ketegangan usaitrauma.Tetapi Komisi juga mendengar dari banyak eks-tapol lainnya, bahwa merekatetap memendam dalam-dalam penderitaan di hati mereka. Sementara dalam hidupmereka sehari-hari memperlihatkan kemampuan mengatasi, namun mereka tetapmerasa menderita. Beberapa korban berkata kepada Komisi, bahwa perasaan merekayang mendalam itu kadang-kadang meluap dalam bentuk kekerasan terhadap keluarga.Para bekas tahanan ini merupakan kelompok dengan resiko tinggi, yang semestinyadibantu dalam program-program mendatang.Korban dan keluarga korban kekerasan Fretilin/FalintilKomisi mendengar tentang keengganan orang bicara sekitar kekerasan yang dilakukanpartai-partai politik Timor-Leste. Terutama tentang konflik intern 1975, dan sebagaiakibat perbedaan politik dalam tubuh Fretilin dalam tahun 1970-an. Banyak korban,atau keluarga mereka yang terbunuh atau hilang, menyatakan keinginan mereka46


untuk membersihkan nama-nama anggota keluarga dan teman-teman. Kurangnyapengakuan terhadap kekerasan dan kehilangan yang diderita keluarga, serta terhadapketidak-adilan perlakuan mereka, telah mengakibatkan tekanan perasaan yang dalamdan terkucilnya golongan orang-orang seperti ini. Tanpa pengakuan publik bahwaperistiwa itu telah terjadi, akan sulit bagi mereka yang menderita untuk tampil mencaribantuan yang mungkin mereka perlukan.Masa depanPola-pola atau penggolongan-penggolongan tersebut tidak bersifat menyeluruh,dan tidak dimaksud untuk mengecilkan korban perorangan dan juga pengalamanserta kebutuhan komunitas yang tidak dapat dimasukkan ke dalam penggolonganpenggolonganini. Hal-hal di atas menunjukkan bahwa terdapat kelompok-kelompoktertentu dalam komunitas orang Timor yang membutuhkan bantuan. Penilaianluas tentang keperluan mereka seharusnya dilaksanakan sebelum sebuah programreparasi dibuat. Juga sangat penting bahwa Pemerintah, LSM Timor-Leste dan lembagamasyarakat sipil yang lain, dan organisasi agama, serta dengan lembaga Internasionaldan para pemberi dana, terus-menerus memberi dukungan dan melanjutkan usahauntuk memulihkan penderitaan para korban pelanggaran hak asasi manusia, Komisiini telah menguraikan Skema Reparasi yang diuraikan di dalam bagian tentangRekomendasi.47


TEMUAN-TEMUANKOMISI49


Profil Pelanggaran Hak Asasi ManusiaTinjauanUntuk mencapai tujuan-tujuan inti dari mandat pencarian kebenarannya, Komisimengembangkan sejumlah program, termasuk penelitian empiris kualitatif dananalisis statistik kuantitatif. Bagian ini merangkum program dan temuan darianalisa kwantitatif yang dilakukan Komisi. Temuan-temuan dibagi dalam tiga tema:pelanggaran fatal, pemindahan, dan pelanggaran non-fatal.Pelanggaran fatalKomisi memperkirakan bahwa batas minimum jumlah kematian terkait konflikselama periode yang menjadi acuan Komisi, 1974-1999, adalah 102.800 (+/- 12.000).Perkiraan ini berasal dari (i) total perkiraan 18.600 pembunuhan (+/-1.000) denganmenggunakan teknik perkiraan sistem berganda atau multiple systems estimation (MSE)dan (ii) sekitar 84.200 (+/- 11.000) kematian disebabkan kelaparan dan penyakit yangmelampaui total perkiraan jika angka kematian disebabkan kelaparan dan penyakitterjadi pada masa damai sama seperti sebelum masa invasi.Pola perkiraan pelanggaran fatal lintas waktu menunjukkan angka yang tinggi untukpembunuhan dan kematian karena kelaparan dan sakit selama masa awal periode pascainvasi antara tahun 1975 dan 1980. Jumlah kematian yang dikaitkan para respondendengan “kelaparan atau sakit” melonjak ke tingkatan yang paling tinggi selama periodeyang langsung sesudah invasi, yaitu, 1975-1980. Meskipun begitu, tahun 1999 ditandaidengan angka yang tinggi untuk perkiraan pembunuhan, yaitu 2,634 (+/-626).Pola dan kecenderungan kematian karena kelaparan dan sakit dan karena pembunuhanberkorelasi secara positif dalam lintas waktu. Hal ini menunjukkan bahwa keduagejala itu mempunyai sebab pokok yang sama pada waktu tahap pertama konflik.Dari pembunuhan-pembunuhan dan orang hilang yang dilaporkan dalam prosespengambilan pernyataan Komisi, 57.6% (2,947/5,120) keterlibatan pelaku tindakandalam pelanggaran fatal dikaitkan dengan militer Indonesia dan polisi, dan 32.3%(1,654/5,120) dengan pasukan pembantu asal Timor- Timur (seperti para milisi,pasukan pertahanan sipil dan pejabat lokal yang bekerja di bawah keadministrasianIndonesia).PemindahanPeristiwa pemindahan terjadi secara luas: 55.5% dari rumah tangga yang disurveimelaporkan satu kali atau lebih peristiwa pemindahan. Jumlah total peristiwapemindahan yang dilaporkan adalah sebanyak 2.011 antara tahun 1974 dan 1999. **Pada saat sensus 1990, terdapat kira-kira 4,5 orang per rumah tangga. Sensus 2004 mencatat penambahan sampai kira-kira 4,75 orang perrumah tangga (924.642/194.943). Interval keyakinan nominal adalah 51,8%-59,2% dari rumah tangga ini.50


Sebagian besar pemindahan terjadi antara tahun 1975 dan 1980. Tahun maksimumnyaadalah tahun 1975 dan 1976, dengan 61,400 (+/- 13,300) dan 59,800 (+/- 7,200) peristiwapemindahan secara beruntun. Jumlah peristiwa pemindahan pada tahun 1999 jauhlebih sedikit yaitu kira-kira 28,100 (+/- 5,600) peristiwa.Sebagian besar pemindahan terjadi secara lokal. Dari keseluruhan peristiwapemindahan, 54.3% terjadi di satu kecamatan, 15.6% terjadi di satu kabupaten,17.4% terjadi di satu wilayah, 9.3% terjadi di Timor-Leste, dan 2.4% terjadi di luarTimor-Leste. * Penemuan ini mungkin dibatasi oleh pembatasan karena orangorangyang berada di kamp pengungsian di Timor Barat tidak turut diwawancarai.Banyak pemindahan terjadi berturut-turut dalam waktu yang cepat: 22.2% dariperistiwa pemindahan berlangsung dalam waktu satu bulan atau kurang, dan 50.1%berlangsung dalam waktu satu tahun atau kurang. Akan tetapi, pemindahan lainnyaada dalam waktu yang sangat lama, sehingga rata-rata periode pemindahan adalah46.7 bulan. †Badan yang dilaporkan penduduk sebagai kelompok yang paling sering menyuruhmereka pindah adalah Militer Indonesia (46.4%), diikuti oleh Fretilin/Falintil (15.0%)dan kelompok milisi (8.8%). ‡ Responden melaporkan bahwa “konflik” merupakanmotivasi dari 52.3% keseluruhan pemindahan mereka, dengan tambahan 16.3%.“dipaksa oleh Militer Indonesia”.Pelanggaran non-fatalPola dalam waktu dari pelanggaran-pelanggaran non-fatal yang dilaporkan adalahmirip dengan pola pelanggaran fatal: pelanggaran non-fatal besar-besaran padamasa tahun-tahun awal invasi dan pendudukan diikuti dengan pelanggaran yangrelatif rendah pada masa tahun-tahun konsolidasi dan normalisasi, lalu penaikanpelanggaran kembali terjadi pada tahun 1999. Pelanggaran-pelanggaran non-fatalsekitar masa invasi Indonesia pada tahun 1975 paling banyak terjadi di WilayahwilayahBarat dan Tengah; setelah tahun 1976 fokus pelanggaran non-fatal bergeserke Wilayah Timur.Pola statistik yang diamati dari penahanan dan penyiksaan yang dilaporkanmenunjukkan bahwa sepanjang waktu (dan terutama setelah tahun 1984) praktekpenahanan sewenang-wenang menjadi lebih bersasaran dan semakin umum digunakanbersama dengan tindak penyiksaan. Pada tahun-tahun awal invasi ada sekitar tigakasus penahanan untuk setiap kasus penyiksaan yang dilaporkan. Setelah tahun1985 kedua pelanggaran itu makin tampak lebih erat terkait satu sama lain denganjumlah penahanan yang dilaporkan kurang lebih sama dengan tindak penyiksaansetiap tahunnya.Keseluruhan temuan kuantitatif Komisi konsisten dengan hipotesis bahwa individuindividuyang ditahan selama periode acuan Komisi mengalami kerentanan semakintinggi terhadap penyiksaan dan penganiayaan. Penyiksaan dan penganiayaan lebih*Tingkat kesalahan nominal untuk pemindahan dalam satu kecamatan adalah sebesar +/-10,4%, dan 4,6% atau kurang untuk perkiraanperkiraanlain.†Tingkat kesalahan nominal adalah 41-52 bulan.‡Tingkat kesalahan nominal adalah +/- 4.2%.51


sering dilaporkan oleh korban-korban yang ditahan selama periode acuan Komisi:dari pelanggaran-pelanggaran penyiksaan yang didokumentasikan oleh Komisi, 83,6%(9.303/11.123) diderita oleh korban yang ditahan selama masa konflik. Pelanggaran yangpaling sering terjadi dalam masa-masa penahanan yang diketahui adalah penyiksaan(46,9%, 4.267/9.094), penganiayaan (30,8%, 2.798/9.094) dan pengancaman (7,0%,634/9.094).Demografis korban bervariasi untuk berbagai tipe pelanggaran. Dibanding dengankeseluruhan penduduk Timor-Leste, laki-laki paruh baya mengalami tingkat tertinggibentuk-bentuk pelanggaran non-fatal seperti penahanan, penyiksaan dan penganiayaan.Sebaliknya, pelanggaran seksual hampir seluruhnya disasarkan pada perempuan, dengan90,2% (769/853) pelanggaran seksual yang dilaporkan dialami oleh perempuan.Data kuantitatif Komisi menunjukkan perbedaan nyata dalam pola pertanggungjawabanpelanggaran-pelanggaran non-fatal antara tahun 1975 dan 1998 dibandingkan denganpelanggaran-pelanggaran non-fatal pada tahun 1999. Khususnya, antara tahun 1975dan 1998, 51,7% (11.658/22.547) tindak penahanan sewenang-wenang dikaitkan dengantindakan Militer Indonesia dibandingkan dengan 8,4% (1.897/22.457) tindak penahananyang hanya dikaitkan dengan pasukan pembantu asal Timor-Timur atau gabungan antarapasukan pendudukan Indonesia dan pasukan pembantu Timor-Timur. Akan tetapi, 75,7%(2.104/2.779) dari tindak penahanan sewenang-wenang tahun 1999 yang didokumentasioleh Komisi dikaitkan baik dengan tindakan mandiri pasukan bantuan Timor-Timur ataukolaborasi dengan militer Indonesia dan polisi. 19,2% (534/2.779) tindak penahanan yangdidokumentasi yang terjadi pada tahun 1999 hanya terkait dengan Militer Indonesia saja.Hak Penentuan Nasib SendiriTinjauanHak atas penentuan nasib sendiri merupakan hak asasi manusia yang fundamentaldan tidak terpisahkan dari diri seorang manusia. Hak ini dicantumkan sebagaiPasal pertama oleh masyarakat internasional dalam dua instrumen utama hak asasimanusia (Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan PerjanjianInternasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), mengingat pentingnyahak ini bagi tatanan internasional dan perlindungan hak-hak individu. MahkamahPengadilan Internasional mengakui hak atas penentuan nasib sendiri sebagai hak asasimanusia yang paling penting, dan ”menyangkut semua negara.” 26Penentuan nasib sendiri adalah juga fundamental karena merupakan hak kolektifsuatu bangsa untuk dapat menjadi diri sendiri. Perjuangan untuk dapat menikmatihak ini di atas segala hak yang lain menjadi isu pokok yang sentral dari periode mandatCAVR. Periode ini bermula ketika kekuasaan kolonial yang lama memutuskan padatahun 1974, untuk mengakui hak ini setelah 14 tahun mengingkarinya, dan berakhirdengan keputusan kekuasaan kolonial yang baru untuk mengakui hak ini pada tahun1999 setelah 24 tahun pengingkaran. Sementara itu rakyat Timor-Leste melakukanpengorbanan luar biasa untuk mendapatkan hak ini. Pewujudan hak ini adalah hakikiuntuk kelangsungan hidup, identitas dan nasib Timor-Leste.52


Bagian ini mempelajari catatan lembaga-lembaga internasional utama danpemerintahan-pemerintahan di dunia, dalam menaati berbagai kewajiban yangsudah disepakati secara internasional, untuk melindungi dan memajukan hak inidemi kepentingan rakyat Timor-Leste. Bagian ini akan melihat tiga pemegang sahamutama dalam isu tersebut – Portugal, Indonesia, dan Australia – ditambah denganDewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan anggota tetapnya, yaitu Cina,Prancis, Rusia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat. Jepang juga akan dipelajari karenaia anggota terpilih di Dewan Keamanan di dalam tahun-tahun penting 1975 dan1976, dan juga merupakan mitra utama Indonesia di dalam ekonomi regional. Bagianini juga akan melaporkan tentang peranan penting Vatikan, dan kontribusi pentingterhadap realisasi penentuan nasib sendiri dari para diplomat dan diaspora Timor-Leste yang dijalankan bersama masyarakat sipil internasional.Hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiriHak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri merupakan hak yang sangat jelasdan diakui secara resmi oleh masyarakat internasional. Dewan Keamanan dan MajelisUmum PBB dalam banyak kesempatan memperkuat eksistensi hak ini, serta tanggungjawab semua negara di dunia untuk menghormatinya sejak 1960. 27 Pengakuan atashak ini menetapkan legitimasi “persoalan Timor Leste” dalam hukum internasional,dan dengan sangat mencolok membedakannya dengan berbagai klaim atas penentuannasib sendiri oleh kelompok-kelompok lain.Penentuan nasib sendiri merupakan hak kolektif yang dimiliki oleh “segala bangsa”untuk menentukan nasib politik dan teritorialnya. Hak ini memberi bangsa Timor-Leste tiga hal: a) untuk menentukan status politiknya melalui tindakan memilih bebas;b) menjalankan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya secara bebas; dan c) untukmemanfaatkan sumber daya dan kekayaan alamnya secara bebas. 28Konteks internasionalMasyarakat internasional telah menyetujui prinsip-prinsip dan prosedur-proseduryang akan mengatur dekolonisasi Timor Portugis, akan tetapi banyak pemerintahannegara-negara penting mengambil pendekatan yang berbeda pada tahun 1970-andibanding pendekatan mereka di akhir tahun 1990-an.Sejumlah faktor eksternal telah merugikan kepentingan Timor dan proses hukumpada tahun 1970-an. Hal ini mencakup kesibukan luar biasa dengan konflik ideologisdi tingkat internasional, dan berbagai krisis domestik dengan bermacam-macamsignifikansi di dalam negara-negara yang paling terlibat dengan Timor-Leste.Persoalan-persoalan ini memang sangat penting, dan telah mempengaruhi jiwamanusia yang tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, mereka juga telah berdampakbagi Timor-Leste, dengan membelokkan perhatian dari permasalahan sesungguhnya,dan menyamarkan, atau bahkan memutarbalikkan, sikap-sikap resmi.Permasalahan yang dominan pada masa itu adalah Perang Dingin. Ini adalahpersaingan terbuka, namun terbatas, yang berkembang setelah Perang Dunia Keduaantara Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya di Barat dan Uni Sovyet dan53


sekutunya, sampai runtuhnya Uni Soviet (USSR) pada tahun 1991. Persaingan Barat-Timur ini merupakan sebuah konteks ideologis antara sistem kapitalis dan komunis,namun selain itu juga merupakan persaingan komersial dan militer. Persainganini membagi Eropa, yang dilambangkan dengan jelas oleh Tembok Berlin yangmengisolasi Berlin Barat dari Berlin Timur dan Jerman Timur yang dikuasai komunis.Ia juga membagi Dunia Ketiga, ketika negara-negara ini menjadi ajang persaingankompetisi para adikuasa setelah tercapai suatu keseimbangan kekuasaan di Eropa.Uni Sovyet mendukung dekolonisasi. Kompetisi ini tidak serta merta menghasilkankonflik militer langsung antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet, namun memangmelibatkan aksi militer atau perang-perang atas nama di sejumlah negara, termasukdi kawasan Asia. Persaingan ini menimbulkan ketegangan besar yang dirasakan disemua lapisan masyarakat di banyak negara, dan mempengaruhi opini publik dalambanyak persoalan. Hal ini juga mengakibatkan pengeluaran militer besar-besaran, dansebuah perlombaan senjata yang antara lain menghasilkan penumpukan peluru kendalidan persenjataan nuklir yang telah mengancam kelangsungan dunia. Masyarakatinternasional terbagi menjadi blok Timur, Barat dan Non-Blok seputar persoalan ini,dan memberikan suara mereka di PBB sesuai dengan dikte geopolitis ketimbang intipermasalahan yang sedang dibahas.Dengan latar belakang seperti ini, pencapaian-pencapaian komunis di Asia, yangmemuncak pada tahun 1975 dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam dankemenangan-kemenangan komunis di Laos dan Kamboja, mensiagakan AmerikaSerikat dan sekutunya, dan tidak menguntungkan kepentingan Timor-Leste.Indonesia dan pemerintahan yang sangat anti-komunis lainnya di kawasan ini,termasuk Australia, Selandia Baru, dan negara-negara anggota ASEAN bertekad untukbekerja sama dalam membendung pergerakan lebih jauh komunisme. Perkembanganperkembangansayap kiri di Portugal dan Timor Portugis dipandang dengan derajatkekhawatiran yang berbeda-beda, khususnya di Indonesia. Meskipun demikian, halini juga menguntungkan Indonesia yang dapat mengeksploitasi persoalan ini melawanFretilin, untuk memaksimalkan peran penting mereka kepada negara-negara Baratsebagai benteng melawan komunisme, dan untuk mendapat dukungan politik, militerdan komersial yang kuat dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat.Perkembangan politik pada tahun 1960-an dan 1970-an juga menguntungkan Timor-Leste secara tidak langsung. Selama periode ini muncul berbagai gerakan politik danmasyarakat sipil yang baru bagi perdamaian, hak asasi manusia, pelucutan senjata,pembangunan dan keadilan sosial – khususnya sebagai akibat kekecewaan terhadap UniSovyet dan tragedi-tragedi Perang Dingin seperti keterlibatan Amerika Serikat di PerangVietnam. Mereka menuntut adanya suara atau demokrasi partisipatoris dan terdorongoleh kepedulian akan masa depan planet ini, apabila hanya para adikuasa, pemerintahandan bisnis besar yang dibiarkan membuat keputusan. Pencarian akan alternatif-alternatifini juga dirasakan di komunitas keagamaan di seluruh dunia, termasuk dalam GerejaKatolik setelah Dewan Vatikan Kedua pada tahun 1960-an. Gerakan-gerakan ini menjaditulang punggung dukungan masyarakat sipil internasional bagi Timor-Leste.Ketiadaan dukungan resmi bagi kemerdekaan Timor juga diperburuk dengan anggapan,bahwa arus dokolonisasi utama sudah usai. Sebagian besar dari koloni besar milikkekuatan-kekuatan Eropa – Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Italia dan Belgia –sudah merdeka atau, dalam kasus Portugal, sedang dalam proses menjadi merdeka.Dekolonisasi dimulai di Timur Tengah pada dasawarsa 1920-an dan diikuti olehgelombang kedua di Asia pada tahun 1940-an dan 1950-an ketika India mendapatkemerdekaan dari Inggris dan Indonesia dari Belanda. Proses ini memuncak pada54


tahun 1960-an dengan gelombang emansipasi ketiga ketika tak kurang dari 42 negara,sebagian besar di Afrika, mendapat kemerdekaan dan keanggotaan di PerserikatanBangsa-Bangsa. Dalam konteks ini, persoalan seperti Timor dan Macau dipandang olehsebagian kalangan sebagai sisa-sisa kolonialisme yang tidak mampu menyokong dirisendiri sebagai negara merdeka, dan paling baik diatasi melalui penggabungan ke dalamentitas yang lebih besar, dalam sebagian kasus ke bekas-bekas koloni yang berbatasanlangsung atau memiliki kesamaan-kesamaan lain. Penggabungan Goa ke dalam Indiasering kali dijadikan contoh untuk hal ini. Dari sudut pandang ini, masa depan Timorsecara historis sudah ditentukan, dan hanya bisa dibayangkan sebagai bagian dariIndonesia, walaupun pada kenyataannya wilayah ini lebih besar dari beberapa koloniPortugal di Afrika dan banyak negara-negara yang baru merdeka lainnya.Di tingkatan politik nasional, tiga pemangku kepentingan utama – Portugal, Indonesiadan Australia – mengalami berbagai macam tantangan internal dan ketidak-stabilanselama masa tahun 1974-75 yang kritis. Persoalan-persoalan dalam negeri menambahkesibukan para pembuat kebijakan utama dan, setidaknya dalam kasus Portugal,terbukti merugikan bagi Timor-Leste.Dalam masa ini, Portugal mengalami kudeta militer sayap kiri, percobaan kudeta balasandan beberapa pergantian pemerintahan. Selain amat disibukkan oleh nasibnya sendiri,Portugal juga terlibat dalam dekolonisasi koloni-koloni utamanya di Afrika. Indonesiaterancam oleh sebuah keruntuhan ekonomi akibat krisis Pertamina selama beberapa bulanpada masa itu. Ini terjadi ketika Pertamina, perusahaan minyak negara Indonesia yangdipimpin oleh Letnan Jenderal Ibnu Sutowo, mengalami kesulitan membayar hutanghutangluar negerinya yang besar. Krisis ini semakin mengancam ekonomi Indonesiayang sangat bergantung pada minyak dan kepercayaan para investor asing. Hargaminyak yang semakin meningkat mampu mengangkat Indonesia dari kemiskinan kekesejahteraan yang relatif, dan sangat penting bagi kelangsungan program-programpolitik Presiden Soeharto. Para penasihat Presiden mengatakan bahwa Timor tidaklahbegitu penting dibandingkan dengan krisis Pertamina, dan bahwa krisis ini menyitasembilan puluh persen waktu Presiden dalam bulan-bulan menjelang invasi Indonesia. 29Kesehatan Presiden Soeharto, yang selalu menjadi soal penting dalam pemerintahan yangsangat tersentralisasi, juga menjadi masalah menjelang akhir 1975 ketika ia menjalanioperasi kandung empedu. Australia pun mengalami ketidak-stabilan politik yang tidakbiasa selama masa ini. Pemerintahan Partai Buruh Perdana Menteri Gough Whitlamdibubarkan pada bulan November 1975, setelah terjadi sebuah krisis konstitusi yangmenyisakan sebuah pemerintahan sementara pada masa invasi Indonesia. Kebijakan luarnegeri menjadi masalah yang tidak begitu penting dalam sebuah pemilihan umum yangsulit, yang diadakan pada tanggal 13 Desember 1975.Komunitas InternasionalKomisi menemukan bahwa:Ø Pengakuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, bahwa Timor-Leste adalah wilayahyang tidak berpemerintahan sendiri yang memiliki hak atas penentuan nasibsendiri, merupakan hal yang fundamental bagi -nasib Timor-Leste sebagai bangsayang kecil dan rawan. Hal ini memberi dasar hukum internasional bagi masalahtersebut, yang menjadi aset utama bangsa Timor-Leste dalam perjuangan merekamenuju kemerdekaan.55


Ø Rasa hormat negara-negara anggota terhadap sistem hukum internasional danperan PBB, merupakan suatu hal yang penting bagi hubungan internasional yangbaik dan penegakan perdamaian dan keadilan, terutama bagi golongan minoritas.Bangsa Timor-Leste tahu, dari pengalamannya, bahwa kegagalan negara-negaraanggota untuk menghormati prinsip-prinsip internasional memiliki konsekuensiyang amat pahit, tetapi juga bahwa PBB yang berfungsi dengan baik akan dapatmenguntungkan semua.Ø Sebagian besar anggota PBB gagal untuk mendukung Timor-Leste dalam SidangUmum dari tahun 1976 sampai 1982, baik dengan memberi suara menentangresolusi-resolusi untuk Timor-Leste, maupun dengan tidak memberi suara samasekali. Sampai ketika diserahkan kepada Sekretaris Jenderal PBB di tahun 1982,masalah Timor-Leste hanya dapat dipertahankan di PBB oleh sepertiga darikomunitas dunia. Sebagian besar negara-negara ini adalah negara-negara DuniaKetiga atau sosialis. Hanya empat negara Barat yang mendukung Timor-Leste diPBB sepanjang periode ini, yakni: Siprus, Yunani, Islandia, dan Portugal.Ø Sebagian besar negara-negara Barat gagal untuk menyeimbangkan dukungan,bagi prinsip penentuan nasib sendiri dan kepentingan-kepentingan strategis danekonomi terkait Indonesia. Pada tahun 1975 mereka jelas lebih mementingkankepentingan mereka dengan Indonesia, dan hanya di permukaan menghormatipenentuan nasib sendiri.Ø Masyarakat sipil memainkan peran penting dengan menegakkan prinsip-prinsipinternasional di banyak negara, termasuk Portugal dan Indonesia. Masyarakat sipilmendorong hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri, memberikandukungan moral, politik dan keuangan bagi perjuangan Timor, dan menentangpengabaian atau sikap permusuhan pemerintah-pemerintah di dunia terhadapTimor-Leste. Penghormatan kepada hak-hak sipil dan politik serta berfungsinyasuatu masyarakat sipil yang kuat, sangat penting bagi fungsi yang baik komunitaskomunitasindividu dan sistem internasional.Ø Timor-Leste memperoleh keuntungan dari kerja pejabat-pejabat dan badan-badanpenting PBB, termasuk Sekretaris Jenderal dan Perwakilan Khusus atau Pribadiyang mereka tunjuk, staf dalam Sekretariat yang bertanggung jawab atas isutersebut, Komite Khusus Dekolonisasi, Pelapor Khusus Hak Asasi Manusia danSub-Komite Perlindungan Golongan Minoritas.Ø Dewan Keamanan mengakui hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasibsendiri di tahun 1975 dan 1976, namun gagal untuk menegakkan hak ini secaraefektif hingga tahun 1999. Dewan Keamanan tidak melakukan intervensi untukmenghentikan invasi Indonesia, walaupun sekurangnya dua dari anggotanyamengetahui maksud Indonesia; Dewan Keamanan mengungkapkan keprihatinanatas jatuhnya korban jiwa dan perlunya menghindari pertumpahan darahselanjutnya, tetapi tidak memberi bantuan kemanusiaan darurat; DewanKeamanan tidak memberikan sanksi kepada Indonesia atas kegagalan pemenuhankeinginan-keinginannya; Dewan Keamanan tidak menindak-lanjuti Resolusi 389dan menangguhkan masalah ini hingga tahun 1999. Kegagalan ini merupakantanggung jawab Anggota-Anggota Tetap Dewan Keamanan yang semuanya,kecuali Cina, bersikap menyepelekan masalah Timor, dan memilih untukmelindungi Indonesia dari reaksi internasional atas kerugian Timor.56


Ø Amerika Serikat mengakui, bahwa bangsa Timor-Leste memiliki hak ataspenentuan nasib sendiri tetapi tidak mendukung satu pun resolusi-resolusi SidangUmum mengenai isu tersebut antara tahun 1975 dan 1982, atau memberi bantuanapapun untuk perjuangan Timor untuk penentuan nasib sendiri hingga tahun1998. Sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan dan negara adikuasa, AmerikaSerikat memiliki kekuatan dan pengaruh untuk mencegah campur tangan militerIndonesia, tetapi menolak untuk melakukan hal itu. AS menyetujui invasi itu danmembiarkan Indonesia menggunakan peralatan-peralatan militernya, walaupunmenyadari bahwa hal ini melanggar hukum AS sendiri, dan akan digunakanuntuk menekan hak atas penentuan nasib sendiri. AS terus memberi dukunganmiliter, ekonomi dan politik kepada Indonesia, walaupun resolusi-resolusiDewan Keamanan meminta Indonesia untuk mundur, dan memperkenankanpelaksanaan penentuan nasib sendiri secara bebas.Ø Perancis dan Inggris mengakui hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasibsendiri. Tetapi, walaupun mereka Anggota Tetap Dewan Keamanan, memilihuntuk tinggal diam mengenai isu tersebut. Kedua negara itu bersikap abstaindalam mendukung semua resolusi-resolusi Sidang Umum antara tahun 1975 dan1982, serta gagal dalam mengkampanyekan hak tersebut, atau dalam memberibantuan kepada perjuangan rakyat Timor hingga tahun 1998. Kedua negara itujustru meningkatkan bantuan, perdagangan serta kerja sama militer merekadengan Indonesia selama pendudukan. Beberapa peralatan militer Prancis danInggris digunakan oleh pasukan-pasukan Indonesia di Timor-Leste.Ø Cina dan Uni Soviet mendukung resolusi-resolusi Dewan Keamanan dan SidangUmum atas isu tersebut antara tahun 1975 dan 1982 (dengan Cina sebagai pengecualiandi tahun 1979). Indonesia dengan gegabah menyatakan, bahwa kedua negara itubersekutu dengan Fretilin dan mempunyai kepentingan strategis di Timor-Leste,dan memanfaatkannya untuk membenarkan campur tangan militer. Kenyataannya,kedua negara itu memberi prioritas besar kepada Indonesia, dan hanya menaruhsedikit perhatian pada nasib Timor, kecuali dukungan awal oleh Cina.Ø Jepang mendukung hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri dantidak mengakui pengambilalihan oleh Indonesia, juga tidak memberi bantuanmiliter kepada Indonesia. Meskipun demikian, Jepang mendukung hanya saturesolusi Dewan Keamanan, dan menentang semua resolusi Sidang Umum antaratahun 1975 dan 1982. Jepang adalah investor dan donor bantuan terbesar bagiIndonesia, serta memiliki kapasitas lebih banyak dari negara-negara Asia lainnyauntuk mempengaruhi penyusunan kebijakan di Jakarta, tetapi Jepang tidakmenggunakan pengaruh ini atas nama Timor-Leste.Ø Vatikan mendukung hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri dan,konsisten dengan kebijakan ini, Vatikan tidak menggabungkan Gereja Katoliksetempat ke dalam Gereja Indonesia, walaupun ada tekanan dari Indonesia untukmelakukan hal tersebut. Paus Yohanes Paulus II adalah satu-satunya pemimpindunia yang mengunjungi wilayah Timor-Lestet selama masa pendudukan.Para pemimpin Gereja di Timor-Leste secara berkala meminta Vatikan agarmendukung permintaan mereka untuk penentuan nasib sendiri. Tetapi Vatikan,yang berkepentingan untuk melindungi Gereja Katolik di Indonesia yangmayoritas Muslim, tetap bungkam di depan umum mengenai masalah tersebut,dan mencegah pihak-pihak lain di Gereja untuk membicarakan isu tersebut.57


Pemegang kepentingan utamaKomisi menemukan bahwa:Ø Diplomasi pihak perlawanan Timor Timur merupakan faktor yang palingpenting dalam mencapai penentuan nasib sendiri. Perlawanan mempertahankankomitmennya dalam menghadapi tantangan-tantangan luar biasa, termasukperpecahan yang cukup berarti, keterbatasan sumber daya, isolasi dan besarnyakendala yang dihadapi di dalam dan di luar Timor-Leste. Diplomasi pihakperlawanan pada akhirnya berhasil, karena berfokus pada prinsip-prinsip yangdisetujui secara internasional, menghindari penggunaan ideologi dan kekerasan,terbuka bagi kontribusi semua orang Timor, dan menggunakan secara maksimaljaringan internasional, media massa dan jaringan-jaringan masyarakat sipil. Lebihcenderung sebagai isu hak-hak asasi manusia dan moral ketimbang isu ideologi,masalah Timor-Leste memperoleh legitimasi dan dukungan internasional dan mulaitidak menguntungkan Indonesia, yang menyandarkan penyelesaian masalah padakekuatan, yang tidak memiliki dasar pada hukum internasional atau moralitas.Ø Republik Indonesia di bawah Presiden Soeharto melanggar hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri. Tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaranini terletak terutama pada Presiden Soeharto, tetapi ditanggung bersama-samaoleh pasukan-pasukan bersenjata Indonesia, lembaga-lembaga intelijen dan Centrefor Strategic and International Studies yang secara prinsipil bertanggung jawabatas perencanaan dan pelaksanaannya.Ø Presiden Soeharto dan penasihat-penasihatnya memutuskan untuk menggabungkanTimor Portugis pada tahun 1974, dengan menggunakan berbagai cara untuk mencapaitujuan itu. Cara-cara itu meliputi jalan propaganda, intimidasi, subversi, campur tanganurusan dalam negeri Timor Portugis, penggunaan kekuatan dan pendudukan militer.Ø Majelis Rakyat Timor Timur yang bersidang di Dili pada tanggal 31 Mei 1976tidak memenuhi syarat-syarat internasional untuk sebuah tindakan penentuannasib sendiri yang murni. Sidang ini tidak representatif dan tidak pula merupakansuatu proses yang terbuka dan demokratis. Timor ketika itu tengah berada dalamcengkeraman pendudukan militer dan konflik bersenjata, dan masih belum sampaipada taraf pemerintahan sendiri, dengan lembaga-lembaga politik yang bebas yang akanmemungkinkan rakyatnya menentukan pilihan yang sesungguhnya. Proses itu hanyamemberi satu pilihan, dan karenanya ditolak oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.Ø Militer Indonesia secara paksa menekan perjuangan penentuan nasib sendiri diTimor-Leste, dan lembaga-lembaga pemerintah Indonesia berusaha menetralisirpara pendukung dari masyarakat sipil Timor, Indonesia serta internasionalterhadap penentuan nasib sendiri.Ø Bangsa Indonesia tidak memikul tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaranini. Masyarakat sipil Indonesia menunjukkan keberanian yang luar biasa, dengansecara aktif mendukung hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri.Ø Menyusul perubahan kebijakan Indonesia oleh Presiden Habibie, sebuah tindakanpenentuan nasib sendiri yang sesungguhnya diadakan di Timor Timur pada tahun1999, walaupun militer Indonesia berusaha untuk menggagalkan aksi tersebutdengan menggunakan kekerasan.58


Ø Republik Portugal di bawah perintah rezim Salazar-Caetano melanggar hakbangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri, dengan tidak mengakui statuswilayah itu sebagai wiilayah yang tidak berpemerintahan sendiri, dan dengantidak mempersiapkan rakyat Timor untuk menjalankan pemerintahan sendirisesuai dengan persyaratan-persyaratan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kegagalankegagalanini merugikan hak bangsa Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri,dengan turut menyebarkan pendirian bahwa Timor-Leste yang merdeka tidakakan mungkin bertahan secara ekonomi ataupun politik, dan Timor-Leste hanyadapat hidup melalui penggabungan dengan Indonesia.Ø Keputusan yang diambil Portugal pada tahun 1974 untuk mengakui hak bangsaTimor-Leste atas penentuan nasib sendiri, merupakan peristiwa bersejarahyang mengubah nasib Timor. Meskipun demikian, Portugal gagal menjalankantanggung jawabnya selama masa penting ini, dan meninggalkan Timor-Lestedalam keadaan relatif tidak berdaya, baik di lapangan maupun secara internasionaldalam menghadapi rencana-rencana Indonesia untuk menggabungkan wilayahtersebut.Ø Sebagai kuasa pemerintahan, Portugal setia kepada prinsip penentuan nasib sendirisepanjang pendudukan Indonesia, serta memberi bantuan keuangan dan politikkepada bangsa Timor-Leste dalam perjuangan mereka untuk penentuan nasibsendiri. Meskipun demikian, diplomasi Portugis tidak menandingi diplomasiIndonesia, dan tidak mengkampanyekan penentuan nasib sendiri dengan cukupkuat atau secara konsisten, hampir di sepanjang masa pendudukan Indonesia.Ø Masyarakat sipil Portugis secara aktif mendukung hak bangsa Timor-Leste ataspenentuan nasib sendiri, terutama melalui pembelaan di dalam dan luar negeri,dan terus melakukan penyebaran informasi.Ø Australia ada pada posisi yang sangat baik untuk mempengaruhi penyusunankebijakan mengenai isu tersebut; karena baik bangsa Timor-Leste, PresidenSoeharto, maupun komunitas internasional memandang penting pandanganpandanganAustralia tentang masalah ini. Australia memberi peringatanmenentang pengunaan kekuatan pada tahun 1975, namun juga memberi kesankepada Indonesia bahwa Australia tidak akan menentang rencana penggabunganIndonesia. Australia tidak menggunakan pengaruh internasionalnya untukmenghalangi invasi, dan menghindarkan Timor-Leste dari akibat-akibatkemanusiaannya yang dapat diduga akan terjadi. Australia mengakui hakatas penentuan nasib sendiri, tetapi pada praktiknya melemahkannya denganmenerima rencana-rencana Indonesia untuk menggabungkan wilayah tersebut,menentang kemerdekaan Timor-Leste dan menentang Fretilin, serta memberipengakuan de jure kepada pengambilalihan oleh Indonesia. Australia hanyamendukung satu resolusi Sidang Umum atas masalah tersebut antara tahun 1975dan 1982, memberi bantuan ekonomi dan militer kepada Indonesia, dan bekerjakeras untuk mendapat dukungan publik Australia dan komunitas internasionaluntuk keuntungan posisi Indonesia.Ø Perserikatan Bangsa-Bangsa dan anggota-anggotanya dengan tegas mendukungtindakan penentuan nasib sendiri yang dilaksanakan pada tahun 1999.59


Pembunuhan Diluar Hukum danPenghilangan PaksaKita harus berbicara secara obyektif. Perang yang terjadi adalahbagian dari sejarah kita. UDT yang memulai, kemudian Fretilinmembalas pembunuhan dalam ‘kontra-golpe.’ Pada saat itu hanyasedikit rasa kemanusiaan atau keadilan... 30Saya melihat dan tahu tentang [pembantaian] 160 orang diAitana pada bulan September 1981. Mereka [yang dibantai]bukan saja anggota Falintil, tetapi termasuk perempuan dananak-anak. Kita diperintah [oleh ABRI] untuk mengangkat mayatdan membawanya ke sebuah lokasi. Mayat yang jauh dipotongkepalanya dan hanya kepalanya yang dibawa. Mereka ambil foto.Sekitar 25 orang tertangkap dalam keadaan hidup tetapi terluka.Mereka dirawat, tetapi kemudian dieksekusi. Saya melihat denganmata kepala sendiri bagaimana mereka disuruh berbaris empatempatdan dieksekusi. 31TinjauanKomisi memperkirakan bahwa sekitar 18.600 pembunuhan tidak sah dan penghilanganterjadi dalam seluruh periode yang menjadi mandatnya. Mayoritas besarnya dilakukanoleh pasukan keamanan Indonesia. Proporsi dari seluruh jumlah pembunuhan danpenghilangan yang terkait dengan pasukan keamanan Indonesia meningkat terusdalam tahun-tahun pendudukan, walaupun mulai pertengahan dasawarsa 1980-anangka mutlaknya menurun dalam kebanyakan tahun sampai tahun 1999.Pencabutan sewenang-wenang kehidupan manusia dilarang oleh hukum hak asasimanusia internasional. * Sekalipun ketika keadaan darurat mengancam kehidupansuatu bangsa, kewajiban menghormati hak hidup tidak bisa dibatasi sama sekali(“diambil dari”). † Hak untuk tidak dicabut secara paksa atas hak hidup juga berlakudalam konflik bersenjata. Dalam konflik bersenjata persoalan apakah pencabutannyawa itu sewenang-wenang ditentukan dengan memberlakukan ketentuan-ketentuanhukum humaniter internasional. ‡ Yang paling penting dari ketentuan-ketentuan iniuntuk keperluan bagian ini adalah berikut ini.• Pembunuhan sengaja terhadap orang sipil selalu dilarang• Dilarang secara sengaja membunuh orang tempur yang tidak lagi ambiIbagian dalam pertempuran karena mereka terluka atau sakit, telahtertangkap, atau meletakkan senjata.*Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Paasl 3; Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Pasal 6; dan hukum kebiasaan: lihatKomite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum 24, paragraf 8.†Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Pasal 4(2); Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum 6, paragraf 1.‡Advisory Opinion on the Threat or Use of Nuclear Weapons, (1996) ICJ Reports 226 at 240.60


Tinjauan KuantitatifBerdasarkan analisis kuantitatifnya, Komisi menemukan bahwa sekitar 18.600pembunuhan tidak sah dan penghilangan paksa terhadap orang bukan tempur Timor-Leste dilakukan antara tahun 1974 dan 1999, yang mayoritas besarnya, 70%, dilakukanoleh pasukan keamanan Indonesia, termasuk kesatuan Timor-Leste pembantunya. *Pembunuhan tidak sah dan penghilangan paksa dilakukan oleh Perlawanan danpasukan keamanan Indonesia. Pembunuhan dan penghilangan yang dilaporkandilakukan oleh anggota-anggota Perlawanan sangat terkonsentrasi pada tahun-tahunawal konflik, terutama pada waktu dan sesudah konflik antar-partai yang dikenalsebagai “perang sipil” dan pada waktu pembersihan intra-partai Fretilin pada tahun1976 dan 1977-1978. Sementara 49,0% (561/1.145) dari semua pembunuhan danpenghilangan pada tahun 1975 yang didokumentasikan disebutkan dilakukan olehFretilin/Falintil, persentasenya menurun tajam (meskipun pada 1976-1984 angkamutlak pembunuhan dan penghilangan tidak turun) pada periode sesudahnya,menurun menjadi 16,6% (563/3.398) pembunuhan dan penghilangan 1976-1984,sampai 3,7% (18/488) pada 1985-1998 dan menjadi 0,6% (5/898) pada tahun 1999. Adapeningkatan terkait persentase pembunuhan dan penghilangan yang dilakukan olehpasukan keamanan Indonesia dan orang Timor-Leste pembantunya.Konflik Internal, 1974-1976Komisi menemukan bahwa banyak faktor yang tidak menguntungkan saling berkaitanmeningkatkan kekerasan yang tidak terkendali selama periode konflik internal.Faktor-faktor ini antara lain:• Kelambanan Portugal dalam membuat jadwal dekolonisasi yang disetujuisecara luas.• Indonesia makin campur tangan secara terbuka dalam masalah-masalahwilayah ini.• Kegagalan semua aktor internasional yang dapat saja menghalangiIndonesia dengan menegaskan tanpa ragu-ragu bahwa pengambilalihansecara paksa oleh Indonesia terhadap Timor Portugis akan merupakansebuah pelanggaran yang tidak dapat diterima oleh prinsip hak penentuannasib sendiri.• Kurangnya pengalaman partai-partai politik yang baru terbentuk,termasuk ketidakdewasaan mereka dalam memberikan toleransi terhadapkekerasan.• Pembentukan dan mempersenjatai milisi yang berafiliasi dengan partaipartaipolitik• Pengabaian netralitas politik oleh para anggota tentara dan polisi kolonialbaik para anggota orang Timor-Leste maupun orang Portugis.• Kegagalan unsur-unsur penegak hukum Pemerintah Portugal untukmengatasi pecahnya kekerasan dalam peningkatan ketegangan sebelumdan sesudah 11 Agustus 1975.*Kesatuan pembantu terdiri dari “pertahanan sipil” (mencakup Hansip, Wanra, dan Kamra), pegawai-pegawai pemerintah daerah yangbertugas dalam peran “keamanan,” kelompok-kelompok paramiliter (seperti Tonsus dan berbagai “Tim” yang merupakan pendahulu darikelompok-kelompok milisi yang dibentuk pada tahun 1998-1999), dan kelompok-kelompok milisi itu sendiri.61


Komisi mencatat bahwa sejumlah kecil lembaga di wilayah ini yang dapat memainkanperan penengah dan memajukan dialog, termasuk Gereja Katolik, gagal melakukanhal itu. Sebaliknya mereka berpihak dan mengibaskan api konflik.Komisi menemukan bahwa perbedaan-perbedaan komunal yang telah tertanam,yang kadang dikarenakan oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan pribadi,ikut mempengaruhi kondisi politik dalam bulan-bulan sebelum konflik bersenjatainternal. Karena partai-partai politik saling bertikai demi kekuasaan setempat, melaluiintimidasi, pidato-pidato yang menyerukan kekerasan dan kekerasan itu sendiri, iklimpolitik terbentuk untuk pembunuhan-pembunuhan dan pembunuhan-pembunuhanbalas dendam yang merupakan ciri dari konflik bersenjata internal pada bulanAgustus-September 1975. Kehidupan politik di seluruh wilayah ini dirusak dengancara demikian, namun distrik Liquiça, Ermera, Manatuto, Aileu dan Manufahi adalahdistrik yang paling terkena dampak.Komisi menemukan bahwa aksi Indonesia sejak tahun 1974 merupakan penyumbangutama terhadap keterpurukan dari situasi yang sebelumnya sudah tidak stabil. Aksiaksiini berpuncak pada serbuan pada September-Nopember 1975 dan invasi besarbesaranpada 7 Desember 1975 dimana Indonesia memanfaatkan dan memperburukperpecahan di antara orang Timor-Leste dengan menggalang kekuatan-kekuatananti-Fretilin untuk bergabung dalam agresinya terhadap wilayah ini. Pembunuhanpara tahanan, yang telah menonjol dalam konflik di bulan Agustus dan Oktober 1975,muncul lagi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya pada bulan Desember1975-Januari 1976, saat Fretilin membunuh para tahanan sebagai tanggapan terhadapmendekatnya pasukan Indonesia.UDTKomisi menemukan bahwa:Ø Para anggota dan pendukung UDT melakukan pembunuhan di luar hukum danpenghilangan paksa terhadap para warga sipil di Dili, Ainaro, Liquiça, Ermeradan distrik lain setelah melancarkan gerakan bersenjata pada 11 Agustus 1975.Sebagian besar dari korban adalah para anggota dan pendukung Fretilin. Beberapakorban adalah penonton yang tak bersalah yang terbunuh di tempat di manaanggota Fretilin mencoba melarikan diri dan orang yang kurang beruntungberpapasan dengan sekelompok pendukung bersenjata UDT.Ø Para anggota dan pendukung UDT melakukan pembunuhan di luar hukumantara bulan Agustus dan Oktober 1975, dengan menjadikan mereka yangdicurigai sebagai anggota Fretilin di Liquiça, Dili, Ermera, Manatuto, Manufahi,Bobonaro, Oecusse dan distrik lainnya sebagai sasaran. Peningkatan yang tajamdalam jumlah pelanggaran fatal oleh UDT terjadi ketika terdesak oleh gerak majuFretilin.Ø Para pemimpin, anggota dan pendukung UDT membunuh orang-orang yangdiidentifikasi sebagai yang berhubungan dengan Fretilin dalam berbagai situasi.Segera setelah dilancarkannya gerakan bersenjata, para pendukung Fretilinditangkap, dibunuh dan kadang dipenggal di Manufahi, Liquiça dan Ermera,62


kadang oleh gerombolan UDT yang bertindak atas perintah para pemimpinmereka. Para sipir penjara yang membunuh orang-orang yang ditahan dipusat-pusat penahanan UDT, seringkali dilakukan atas inisiatif mereka sendirisebagaimana terjadi di Palapaço (Dili), dan seringkali atas perintah para pemimpinpartai sebagaimana terjadi di Aifu, Ermera. Di akhir Agustus dan awal September1975, orang-orang yang ditahan setelah UDT melancarkan gerakan bersenjatanya,dibunuh di Manufahi dan Ermera saat pasukan Fretilin mendekati wilayahwilayahini.Ø Korban dari pembunuhan-pembunuhan di luar hukum oleh UDT ini umumnyaadalah laki-laki yang berusia dinas militer yang dicurigai atau memang bersekutudengan Fretilin. Namun, Komisi juga menerima laporan-laporan tentang adanyaanak-anak di antara kelompok-kelompok tahanan yang dibunuh.Ø Cara-cara pembunuhan di luar hukum meliputi:• Kelompok-kelompok bersenjata dari para anggota UDT menembakkelompok-kelompok para warga sipil tak bersenjata• Pembunuhan terhadap para warga sipil dengan menggunakan senjatatradisional, seperti parang, tombak dan pisau.• Pelaksanaan upacara ritual sebelum dan setelah pembunuhan• Pemenggalan dan pemajangan kepala yang terpenggal sebagai tropy• Pemotongan anggota tubuh, seperi tangan, dan pengeluaran isi perut• Pemajangan jenazah di depan rumah para anggota Fretilin• Pembuangan mayat atau tubuh yang terluka parah di tebing atau sungai• Pembunuhan tahanan di pusat penahanan, dan di tempat terpencil dipedalaman, termasuk di perkebunan kopi. Sejumlah tahanan diikattangannya dengan kawat pada saat dibunuh. Sejumlah yang lainnyadibawa keluar dari pusat penahanan dalam kelompok kecil dan kemudiandibunuh.• Pemukulan sebelum pembunuhan• PenghilanganØ Komisi tidak yakin bahwa Komite Sentral UDT memerintahkan pembunuhanterhadap para warga sipil, termasuk pembunuhan para tahanan. Namun, KomiteSentral UDT berkontribusi terhadap iklim dimana pembunuhan-pembunuhantersebut mungkin sekali terjadi dengan menghasut para pengikut merekalewat radio untuk menangkap para lawan politik sebagai bagian dari sebuahpembersihan terhadap para “komunis”. Namun, Komisi mempelajari bahwaanggota perorangan dari Komite Sentral UDT memainkan peran penting dalammenghasut kekerasan pada tingkat distrik. Anggota Komite Sentral UDT yanglain mengetahui bahwa para komandan UDT, para anggota UDT dan pasukanUDT melakukan pembunuhan di luar hukum, sebagaimana terbukti denganusaha-usaha sporadis dari sejumlah mereka untuk menghentikan terjadinyapembunuhan.63


FretilinKomisi menemukan bahwa:Ø Sebelum aksi bersenjata UDT pada 11 Agustus, para anggota dan pendukungFretilin maupun UDT melakukan serangan-serangan sporadis terhadap desadesalawan, dimana para warga sipil terbunuh. Serangan-serangan ini lebihsering terjadi di wilayah Laclubar (Manatuto), Turiscai (Manufahi) dan Maubisse(Ainaro). Serangan yang paling hebat dari serangan-serangan ini adalah sebuahserangan Fretilin terhadap desa Maulau (Maubisse, Ainaro) dimana sekitar 40orang, kebanyakan pendukung UDT, terbunuh.Ø Tanggapan Fretilin terhadap aksi bersenjata UDT pada 11 Agustus adalah sebuah“pemberontakan umum” bersenjata, dimana para anggota Fretilin secara diluar hukum membunuh para pemimpin, anggota dan pendukung UDT danpartai lawan lainnya. Antara buolan Agustus dan Oktober 1975 para anggotadan pendukung Fretilin melakukan pembunuhan balas dendam di luar hukumdengan jumlah korban yang melampaui korban pembunuhan oleh UDT.Ø Korban dari pembunuhan-pembunuhan di luar hukum oleh Fretilin ini umumnyaadalah laki-laki berusia dinas militer yang dicurigai atau memang bersekutudengan UDT. Pada tingkatan yang lebih rendah, di sejumlah wilayah Timor-Leste,para pemimpin, anggota dan pendukung Apodeti juga menjadi sasaran.Ø Para anggota dan pendukung Fretilin melakukan pembunuhan sporadis terhadappara tahanan, baik secara perorangan maupun dalam kelompok, di Distrik Aileudan Liquiça, dalam aksi bersenjata UDT selama seminggu. Di antara merekayang dibunuh terdapat para penempur dan warga sipil. Ada sejumlah kejadiandimana para pemimpin Fretilin setempat menghentikan pembunuhan terhadappara tahanan, termasuk di distrik Liquiça dan Manufahi.Ø Para pemimpin Fretilin memerintahkan pemindahan tahanan dari Dili danwilayah lainnya ke Aileu pada bulan September, Oktober dan Desember 1975.Saat pasukan Indonesia mendekat, situasi keamanan semakin memburuk,menimbulkan suasana ketakutan yang tak terkendali dan kemarahan yanghebat terhadap mereka yang dipandang sebagai kolaborator atau kemungkinankolaborator dengan pasukan invasi. Ratusan tahanan dibunuh oleh pasukanFretilin di Aileu, Maubisse (Ainaro) dan Same (Manufahi) pada bulan Desember1975-Januari 1976. Komisi percaya bahwa pembunuhan-pembunuhan ini, sejumlahdi antaranya adalah pembunuhan massal, mengakibatkan jumlah korban yangjauh lebih tinggi daripada korban dalam periode-periode awal konflik internal.Ø Cara-cara pembunuhan di luar hukum ini antara lain:• Serangan mematikan sebagai bagian dari serbuan terhadap sebuahkomunitas yang menerima dukungan dari partai lawan• Pemukulan sebelum pembunuhan• Penembakan menggunakan Mauser, G-3, dan senjata api lainnya64


• Membuang tubuh korban dengan melemparkan ke dalam rumah yangterbakar• Kurangnya perawatan terhadap tahanan yang terluka• Pemenggalan kepala• Diikat ke tiang bendera, disuruh berbaris, atau diikat untuk dibunuh• Serangan mematikan dengan menggunakan senjata tradisional, sepertiparang, tombak dan pisau• Melemparkan granat ke dalam tempat tertutup di mana tahanan ditahan• Meskipun pembunuhan di luar hukum dilakukan oleh para anggotadan pendukung Fretilin adalah balas dendam terhadap aksi kekerasanyang lebih dahulu dilakukan oleh UDT, para pemimpin Fretilin gagalmengendalikan pasukannya dalam rangka mencegah pelanggaran yangberakibat fatal di seluruh wilayah.ABRI/TNIKomisi menemukan bahwa:Ø Operasi-operasi intelijen rahasia Indonesia, kontak tingkat tinggi dengan parapemimpin partai politik Timor-Leste, dan latihan militer di Timor Barat menambahpeningkatan ketegangan di antara partai-partai politik, dan kemungkinan sangatmenentukan dalam keputusan UDT untuk melancarkan aksi bersenjatanya.Ø Operasi-operasi militer rahasia Indonesia bertanggungjawab secara langsungterhadap pembunuhan di luar hukum terhadap puluhan warga sipil di distrikBobonaro, Covalima dan Ermera pada bulan Agustus-Nopember 1975. Latihandiberikan oleh anggota militer Indonesia di Timor Barat kepada para anggotaApodeti dan UDT dan penyebaran para “Partisan” dalam pasukan Indonesiadalam serbuan pada Agustus-Nopember 1975 dan selama dan setelah invasibesar-besar pada 7 Desember 1975 memperburuk permusuhan antara Fretilindan partai-partai lainnya, dan dengan demikian memainkan bagiannya dalampembunuhan-pembunuhan Fretilin terhadap orang-orang yang berkaitan denganUDT dan Apodeti sebelum dan setelah invasi.ABRI, UDT dan ApodetiKomisi menemukan bahwa:Ø ABRI menggunakan para anggota UDT, Apodeti dan partai lainnya dalamberbagai peran selama dan setelah invasi, termasuk menggunakan mereka sebagaipasukan pembantu, penerjemah, informan dan pelaksana administrasi. Paraanggota dan pendukung UDT dan Apodeti direkrut dan dilatih oleh militerIndonesia didanai dan dianjurkan oleh ABRI dalam tugas pembunuhan di luarhukum dan penghilangan paksa selama dan setelah invasi.65


Pendudukan Indonesia 1975-1999Gerakan PerlawananKomisi menemukan bahwa:Ø Gerakan Perlawanan juga melakukan pembunuhan di luar hukum dan penghilanganselama keseluruhan periode antara invasi Indonesia dan selama keseluruhanperiode konflik. Selama periode ini kurang dari sepertiga, 29%, dari semuapembunuhan di luar hukum dan penghilangan yang dilaporkan kepada Komisimelalui proses pengambilan pernyataan, dilakukan oleh pasukan yang berafiliasidengan gerakan Perlawanan. Tambahan lagi, pelanggaran-pelanggaran ini lebihbanyak berlangsung dalam tahun-tahun awal konflik. Walaupun 49% (561/1,145)dari pembunuhan-pembunuhan dan penghilangan yang terdokumentasi di tahun1975 dihubungkan dengan Fretilin/Falintil, pembunuhan-pembunuhan danpenghilangan ini menurun menjadi 16.6% (563/3,398) dalam periode 1976-84dan terus menurun selama tahun-tahun akhir konflik menjadi 3.7% (18/488) daripembunuhan dan penghilangan pada tahun 1985-98 dan menjadi 0.6% (5/898)pada tahun1999.Komisi mendengarkan kesaksian yang luas tentang pembunuhan terhadap para nonpenempuryang dilakukan oleh Fretilin dan Falintil selama periode Februari 1976-79.Selama periode ini para pemimpin dan anggota dari kedua organisasi ini terlibat dalampelanggaran fatal di hampir semua distrik di seluruh wilayah ini. Para pemimpinsenior Fretilin dan para komandan Falintil memerintahkan banyak pembunuhan yangdilaporkan kepada Komisi, dan dalam beberapa peristiwa mereka sendiri melakukanpembunuhan. Meskipun beberapa dari mereka yang terbunuh adalah warga sipilyang sebelumnya berhubungan dengan UDT dan Apodeti, yang bekerjasama denganIndonesia, sebagian besar mereka yang terbunuh, dihilangkan atau meninggal sebagaiakibat dari kekurangan atau jenis penganiayaan yang lainnya selama periode iniadalah anggota Fretilin atau Falintil sendiri atau anggota penduduk sipil yang tinggaldi basis Fretilin.Antara tahun 1980 dan 1999 tidak hanya bahwa tingkat pembunuhan oleh Fretilinyang dilaporkan jauh lebih rendah daripada pembunuhan di tahun 1976-79; polapembunuhannya juga sangat berbeda dari yang terjadi pada periode-periode awal.Para korban cenderung bukan orang-orang yang berhubungan dengan gerakanPerlawanan, melainkan perorangan yang bekerja sama dengan Indonesia (seringkalibertentangan dengan kehendak mereka) dan korban serampangan dari seranganseranganFalintil.Komisi mendengarkan sejumlah pembunuhan yang dilakukan oleh Fretilin sesudahbulan Februari tahun 1976 sampai 1979 terhadap orang-orang yang berhubungandengan partai-partai lain, hampir semua korban diketahui Komisi berhubungan denganUDT. Pembunuhan-pembunuhan cenderung terjadi di wilayah-wilayah seperti distrikErmera, Baucau dan Manatuto, di mana dukungan UDT maupun Fretilin sama-samakuat dan tingkat kekerasan selama “perang saudara” telah menjadi sangat hebat.Dalam beberapa kejadian para anggota UDT dibunuh oleh anggota Fretilin biasadimotivasi oleh rasa dendam. Dalam kejadian lain, seperti pembunuhan terhadapsetidaknya sembilan orang di Venilale (Baucau) antara 1 dan 12 Februari 1976, ada66


ukti keterlibatan dari level yang lebih tinggi. Komisi juga menerima laporan-laporantentang pembunuhan para mantan anggota UDT yang dicurigai menjadi mata-mataIndonesia dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dibunuh karena merekadituduh telah berhubungan dengan sanak keluarga yang berafiliasi dengan UDT diwilayah-wilayah yang dikuasai Indonesia.Ø Pada tahun 1976-77 sekitar 60 orang dibunuh atau meninggal dalam penahanan,sebagai akibat dari konflik dalam tubuh gerakan Perlawanan. Pembunuhanpembunuhanini termasuk:• Aquiles Freitas, komandan Komando Bero-Quero di Quelicai (Baucau),dan sejumlah pimpinan yang bersekutu dengannya, termasuk Poncianodos Santos, Antonio Freitas dan João Teodoso de Lima dibunuh di Lobito(Vemasse, Baucau) dan di Baguia (Baguia, Baucau) dalam bulan Desember1976-Januari 1977.• Francisco Ruas Hornay dan setidak-tidaknya 14 pengikutnya dibunuh diIliomar (Lautém) pada bulan Nopember 1976• Mantan Wakil Kepala Staf Falintil, José da Silva, dan sekitar 40pengikutnya, yang dibunuh atau meninggal dalam penahanan antaraOktober 1976 dan Agustus 1977 setelah ditahan di Distrik Ermera padabulan Oktober 1976Dalam konflik internal Fretilin yang meledak pada tahun 1977 beberapa ratus pengikutdan yang dicurigai sebagai pengikut Presiden Fretilin, Francisco Xavier do Amaral,dibunuh atau meninggal sebagai akibat dari penyiksaan dan penganiayaan dalampenahanan. Pembersihan terpusat di Aileu dan Manufahi di Sektor Utara BagianTengah dan Sektor Selatan Bagian Tengah, dan pada skala yang lebih rendah diQuelicai di Distrik Baucau dan Uatu-Carbau dan Uatu-Lari di Distrik Viqueque diSektor Timur Bagian Tengah dan Covalima dan Ermera di Sektor Selatan Bagian Depandan Sektor Utara Bagian Depan. Mereka yang menjadi sasaran termasuk anggotaKomite Sentral Fretilin, komandan militer senior dan kader level menengah Fretilindan organisasi-organisasi tempat mereka berafiliasi dan juga anggota Fretilin biasa,pasukan Falintil dan anggota penduduk sipil yang tinggal di basis-basis Fretilin.Banyak korban dari pembersihan ini meninggal dalam kondisi yang mengerikan,termasuk:• Dalam pembunuhan massal di depan umum yang dilaksanakan dengankekejaman yang luar biasa• Sebagai akibat dari kekurangan yang amat sangat dalam pusat penahananyang sangat primitif, termasuk tempat penahanan di dalam Renal, (PusatRehabilitasi Nasional) dimana makanan, tempat berlindung, sanitasidan perawatan medis yang diberikan kepada para tahanan sangat tidakmemadai.• Sebagai akibat dari penyiksaan yang kejam dalam penahanan, melibatkancara-cara seperti pembakaran dengan besi panas, pemukulan berat yangberulang-ulang, menggantung korban di pohon dan memotong bagianbagiantubuh korban.67


Ø Komisi menemukan bahwa para pemimpin senior Fretilin tidak hanya mengetahuidan menyetujui praktek-praktek ini, yang umumnya terjadi pada atau dekat tempatdimana Komite Sentral Fretilin dan administrasi Sektoral dan Zona berbasis,tetapi dalam banyak peristiwa mereka sendiri adalah pelaku langsungnya.Ø Selain pembunuhan dan kematian yang berhubungan dengan konflik politikdalam tubuh Fretilin, ada juga keadaan lain dimana Fretilin/Falintil melakukanpelanggaran-pelanggaran ini. Di antara kategori-kategori korban yang dilaporkankepada Komisi telah dibunuh atau meninggal akibat kekurangan atau karena jenispenganiayaan lainnya selama berada dalam penahanan, antara lain:• Warga sipil yang dicurigai berencana menyerahkan diri, dalam tahapmenyerahkan diri, atau yang telah menyerah• Para pemimpin atau anggota Fretilin atau Falintil setempat yang telahmenganjurkan warga sipil untuk menyerah• Orang-orang yang terpisah dari konsentrasi penduduk yang besar danditangkap• Para tawanan yang dibunuh saat pasukan Indonesia mendekati wilayahdimana mereka ditahan• Warga desa yang dicurigai atau memang menjadi bagian dari partai “prointegrasi”dibunuh saat pasukan Indonesia mendekat sebuah wilayah• Orang-orang yang mempunyai pandangan ideologis yang bertentangan• Orang-orang yang setelah menyerah diperintahkan oleh ABRI, Hansipatau anggota pemerintahan sipil untuk kembali ke pegunungan atau hutanuntuk mencoba meyakinkan orang-orang yang tetap bertahan untuk tidakmenyerah• Orang-orang yang kembali bergabung dengan gerakan Perlawanan setelahsebelumnya menyerah atau ditangkap oleh Indonesia• Keluarga dari para kolaborator dan para kolaborator sendiri• Orang-orang yang disalahkan karena kegagalan penyerangan Falintil atasbasis-basis Indonesia atau keberhasilan serangan Indonesia atas basis-basisFretilin dan Falintil• Orang yang tinggal di basis-basis Fretilin yang telah berhubungandengan pihak keluarga atau orang lain di wilayah-wilayah yang dikuasaiIndonesia• Orang-orang yang tinggal di basis-basis gerakan Perlawanan, di bawahkekuasaan Indonesia atau di wilayah-wilayah yang tidak sepenuhnyadikuasai kedua belah pihak, yang tertangkap saat mencari makanan atausedang mengerjakan pekerjaan sehari-hari merekaWalaupun mengakui ketegangan hebat yang diakibatkan oleh serangan-serangantanpa pandang bulu dari pihak Indonesia terhadap basis-basis mereka, terutama dalamperiode-periode 1976-79, Komisi menganggap para pemimpin Fretilin/Falintil padasaat itu bertanggungjawab menciptakan situasi kekerasan dan intoleransi berbasisideologi yang menyediakan prasyarat bagi terjadinya sejumlah besar pembunuhan.Tambahan pula, Komisi menemukan bahwa para pemimpin dan komandan Fretilin/Falintil bertanggungjawab memerintahkan atau terlibat secara langsung melakukansejumlah pembunuhan ini.68


1980-99Antara tahun 1980 dan 1999 terjadi penurunan yang tajam dalam jumlah pembunuhanyang dihubungkan dengan Fretilin/Falintil. Karena masyarakat Timor-Leste menjadisangat termiliterisasi selama periode, status dari banyak warga sipil yang dibunuholeh Fretilin/Falintil seringkali ambigu. Mereka ini termasuk orang-orang yangsecara paksa ditempatkan dalam posisi yang merugikan, baik sebagai Hansip, sebagaiorang-orang yang direkrut secara paksa sebagai TBO (Tenaga Bantuan Operasi) atauuntuk mengambil bagian dalam berbagai Operasi Kikis, orang-orang yang diwajibkanmelakukan tugas jaga malam atau sebagai tenaga kelompok-kelompok milisi yangsebenarnya tidak ingin. Komisi percaya bahwa tanggungjawab terhadap kematiandalam kondisi ini harus terutama dibebankan kepada mereka yang menempatkankorban dalam posisi merugikan tersebut, yaitu pasukan keamanan Indonesia. Selainitu banyak juga korban pembunuhan Falintil adalah Hansip, kepala desa dan paraanggota pemerintahan sipil lainnya, yang memegang posisi yang, tidak sebagaimanalayaknya di sebagian besar wilayah Indonesia, telah menjadi sangat termiliterisasi diTimor-Leste yang diduduki ini.Karena batas antara penempur dan non-penempur seringkali kabur dan karena tidakselalu jelas dari informasi yang tersedia bahwa korban tertentu adalah sasaran yangdimaksudkan, Komisi tidak selalu dapat menentukan, berdasarkan informasi yangtersedia, apakah sebuah pelanggaran benar-benar telah terjadi, dan jika memangterjadi, kepada siapakah tanggungjawab harus dibebankan.Kecenderungan menurunnya pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh gerakanPerlawanan, yang terutama terjadi selama dekade terakhir pendudukan Indonesia,dapat dijelaskan oleh beberapa perkembangan yang berkaitan. Sebuah kebijakanbaru diambil menggeser pusat perjuangan ke protes perkotaan. Meskipun Falintiltetap hidup dan mampu secara militer, pergeseran kebijakan ini lebih memberikankeutamaan kepada protes publik di kota-kota daripada taktik yang sebelumnya disukaiFalintil yaitu menunjukkan bahwa Falintil adalah kekuatan harus diperhitungkanmelalui unjuk kekuatan di wilayah pedesaan. Kecendrungan ini dipercepat olehkeputusan Indonesia pada akhir tahun 1988 untuk “membuka” sebagian Timor-Lestekepada orang-orang luar. Pada saat yang sama keputusan untuk mengejar strategiPersatuan Nasional dan untuk membangun secara seluas mungkin sebuah basisdukungan untuk gerakan Perlawanan, termasuk dengan memenangkan orang Timor-Leste yang bekerjasama dengan Indonesia, juga kemungkinan berkontribusi kepadaberkurangnya kekerasan dalam tahun-tahun ini. Sebagai bagian dari strategi ini,pada tahun 1987, tentara Pergerakan, Falintil, dipisahkan dari Fretilin.Selama periode 1980-98 Falintil membunuh warga sipil dalam situasi sebagaiberikut:• Selama serangan terhadap pemukiman-pemukiman yang dikuasaimiliter pada awal tahun 1980-an, yang nampaknya dimaksudkan untukmenunjukkan kepada penduduk yang berada di bawah kekuasaanIndonesia bahwa Falintil tetap hidup• Selama operasi-operasi militer Indonesia dimana orang Timor-Lestedirekrut ke dalamnya, biasanya dilakukan secara paksa• Selama serangan-serangan terhadap desa-desa pada pertengahan tahun1980-an, yang nampaknya merupakan tanggapan terhadap operasioperasiutama Indonesia dan dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa69


Falintil tetap menyimpan kekuatan militer untuk melancarkan seranganseranganseperti itu; para penjaga desa dan Hansip terutama menjadi yangpaling mudah terbunuh dalam insiden-insiden seperti ini• Selama serangan-serangan yang dilancarkan pada saat-saat tertentu,termasuk perayaan-perayaan (seperti Perayaan Hari Kemerdekaan danperayaan berdirinya Falintil) dan selama pemilihan umum nasional (tahun1987 dan 1997), saat dimana serangan-serangan ini diharapkan menarikperhatian secara internasional dan di Indonesia dan Timor-LestePembunuhan-pembunuhan ini terjadi dalam konteks operasi-operasi militer dansebagaimana dicatat di atas, Komisi sering menemui kesulitan untuk menentukanapakah warga sipil yang terbunuh dalam kondisi ini secara khusus menjadi sasaran.Ada kejadian-kejadian pembunuhan bersasaran yang dilaporkan selama periode ini,dimana, sebagai contoh, Falintil membunuh warga sipil yang diperintahkan olehABRI/TNI untuk mencari sanak keluarga di hutan, ketika Falintil membunuh anggotaHansip dan para kolaborator lainnya dan sebelum dan setelah Konsultasi Rakyatpada tahun 1999. Dalam beberapa kasus, Komisi menerima informasi yang dapatdipercaya bahwa Komandan Tertinggi Falintil tidak secara kelembagaan memaafkanpelanggaran-pelanggaran ini.Pasukan keamanan Indonesia dan pasukan pembantunyaKomisi menemukan bahwa:Ø Para anggota pasukan keamanan Indonesia dan pasukan pembantu merekamelakukan dan memafkan pembunuhan-pembunuhan di luar hukum yangsistematis dan meluas dan penghilangan-penghilangan paksa selama periodependudukan Indonesia terhadap Timor-Leste.Ø Dari semua pembunuhan di luar hukum dan penghilangan yang dilaporkankepada Komisi melalui proses pengambilan pernyataan, sekitar 70% (4,174/5,944)dihubungkan dengan militer dan polisi Indonesia dan pasukan pembantu mereka,baik bertindak sendiri maupun bersama-sama.Ø Perkiraan jumlah pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan Indonesiadan para pasukan pembantunya.Ø Pasukan keamanan Indonesia, bertindak tanpa pasukan pembantu mereka,bertanggungjawab, atas sebagian besar pembunuhan atas warga sipil selama masapendudukan, selama tahun 1975, 1979 dan 1983. Tingginya jumlah pembunuhanini bersamaan dengan periode operasi militer besar-besaran, dimana ribuan orangmengalami penahanan, pemindahan dan kekurangan makanan.Ø Pasukan pembantu yang terdiri dari orang-orang Timor-Leste bertindak tanpapara anggota pasukan keamanan Indonesia bertanggungjawab terhadap jumlahyang lebih kecil dari paea warga sipil yang terbunuh selama periode pendudukan,selama tahun 1975, 1979, 1983. Namun, para pasukan pembantu yang bertindaktanpa para anggota pasukan keamanan Indonesia ini bertanggungjawab atassebagian besar pembunuhan warga sipil pada tahun 1999, selama Konsultasi70


Rakyat. Hal ini menunjukkan perubahan dalam strategi pasukan keamananIndonesia yang mempersenjatai, melatih dan memimpin kelompok-kelompokmilisi untuk melakukan pembunuhan di luar hukum dan pemindahan paksaatas nama mereka.Ø Pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa oleh pasukan keamananIndonesia dan pasukan pembantu mereka terjadi di ke-13 distrik, dengan jumlahtertinggi yang tercatat di distrik-distrik bagian timur.Ø Para korban dari pembunuhan di luar hukum dan pemindahan paksa terutamaadalah adalah laki-laki berusia dinas militer dengan hubungan yang nyata ataudugaan hubungan dengan kelompok-kelompok yang menentang pendudukan,termasuk Fretilin/Falintil, jaringan klandestin, atau kelompok pro-kemerdekaanlainnya. Perempuan dan anak-anak yang disangka merupakan anggota keluargadari mereka yang disebutkan di atas juga menjadi korban dari pelanggaranpelanggaranfatal ini dalam tingkatan yang lebih rendah. Perempuan dananak-anak yang terbunuh dalam pembantaian khususnya disebabkan karenapenembakan dan penyerangan tanpa pandang bulu yang menyebabkan sejumlahbesar korban korban jiwa.Ø Pasukan keamanan Indonesia dan para pasukan pembantu mereka menggunakanpenghilangan paksa sebagai sebuah strategi untuk mengontrol kegiatan-kegiatanaksi-aksi bersenjata balasan, khususnya di region timur dan tengah. Strategi initerutama sangat efektif dalam menanamkan ketakutan dalam masyarakat umum,mengganggu kehidupan keluarga-keluarga korban.1975-84Ø Pasukan-pasukan Indonesia bertanggungjawab atas pembunuhan di luar hukumdan pemindahan paksa terhadap para warga sipil selama invasi terhadap Timor-Leste. Di Dili ratusan warga sipil dibunuh, nampaknya merupakan balas dendamterhadap kematian para prajurit Indonesia. Hampir semua pembunuhan ini terjadipada 7-9 Desember di tempat-tempat seperti Colmera, Vila Verde, Matadouro,dan sepanjang Maloa River ke Ailok Laran, dimana pasukan Fretilin secara giatmelawan pasukan invasi. Puluhan etnik Cina, yang tinggal di sekitar Colmera,dibunuh dekat pelabuhan, sebagaimana juga para pemimpin dan anggota Fretilinyang tertangkap dan sanak keluarga mereka, termasuk Isabel Barreto, istri NicolauLobato, Wakil Presiden Fretilin dan Perdana Mentri RDTL.Ø Komisi menerima banyak laporan tentang pasukan Indonesia membunuh parawarga sipil saat –pasukan Indonesia maju ke bagian lain dari Timor-Leste.Kadangkala mereka yang terbunuh dilaporkan sebagai anggota Fretilin, tetapibanyak juga korban dari pembunuhan-pembunuhan ini adalah anggota penduduksipil yang menjadi sasaran serampangan. Warga sipil biasa menjadi sasarandalam berbagai macam situasi: saat mencari makanan atau saat sedang keluaruntuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari, bertemu dengan pasukan keamananIndonesia yang sedang beroperasi, sebagai pembalasan terhadap serangan Falintil,dan karena dicurigai bekerjasama atau mengetahui tentang Fretilin/Falintil.71


Ø Sepanjang tahun-tahun awal pendudukan, khususnya antara tahun 1978 dan1979, para komandan ABRI/TNI, pasukan dan pasukan pembantu melakukanpembunuhan di luar hukum dan pemindahan paksa yang sistematis dan meluasterhadap para warga sipil dan penempur yang menyerah..Selain pembunuhan terhadap perorangan dan kelompok kecil, pasukan keamananIndonesia dan para pasukan pembantunya melakukan sebuah kampanye pembunuhandan penghilangan yang luas dan sistematis yang ditujukan kepada para anggotaFretilin dan Falintil yang menyerah atau tertangkap. Komisi menemukan bahwapembunuhan-pembunuhan dan penghilangan-penghilangan ini dilakukan sebagaibagian dari sebuah rencana sistematis, yang direncanakan pada level tertinggi daristruktur komando militer dan dikoordinasi oleh Korem yang baru terbentuk dibawahkomando saat itu Kolonel Adolf Sahala Rajagukguk, yang bertujuan menyingkirkanpara pemimpin gerakan Perlawanan yang masih hidup. Komisi mencapai kesimpulanini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:• Pembunuhan-pembunuhan dan penghilangan paksa ini terjadi di berbagaitempat yang berbeda pada saat yang hampir bersamaan, dan berakibatpada pembunuhan atau penghilangan sekurang-kurangnya 600 orangantara bulan Maret sampai September 1979.• Sasaran dari pembunuhan dan penghilangan ini terutama adalah orangorangyang sebelum menyerah atau tertangkap, adalah aktifis Fretilin,meskipun seringkali bukan seseorang yang secara khusus memegangposisi senior dalam organisasi, atau anggota Falintil, juga meskipunseringkali bukan seorang komandan.• Waktu-waktu tertentu dimana pembunuhan-pembunuhan danpenghilangan-penghilangan ini terjadi adalah sebuah periode transisidimana Komando Tugas Gabungan Operasi Seroja dihentikan dandigantikan oleh Komando Resort Militer Timor Timur, saat yangdimaksudkan untuk menandai normalisasi keadaan di Timor-Leste.• Banyak dari mereka yang menjadi korban dari pembunuhan-pembunuhandan penghilangan-penghilangan ini telah ditangkap atau menyerah jauhsebelum mereka dibunuh atau dihilangkan, dan dalam beberapa kasusdimasukan ke dalam satuan pasukan pembantu Indonesia, seperti Tonsusdan Hansip, atau pemerintahan sipil.• Dalam beberapa distrik dimana pembunuhan dan penghilanganberlangsung, Komisi mengetahui bahwa telah dibuat daftar orang-orangyang menjadi sasaran.• Perlakuan terhadap para korban adalah sama: hampir semua korbanditahan dalam pusat penahanan tertentu darimana mereka dibawa ketempat eksekusi tertentu dimana mereka dibunuh oleh unit militer ataupasukan pembantu tertentu.• Komisi juga menemukan bahwa seorang tahanan yang akhirnya akandibunuh dapat dikirimkan dari satu tempat penahanan ke tempatpenahanan lainnya, kadangkala ke distrik lain, sebelum dibunuh. Inimerupakan suatu indikasi adanya koordinasi secara menyeluruh.• Sebuah indikasi lain akan adanya koordinasi adalah sejumlah besarlembaga yang terlibat dalam pembunuhan dan penghilangan paratahanan, termasuk satuan-satuan struktur teritorial mulai dari Korem72


sampai Koramil, batalyon tempur dan Resimen Tim Pertempuran yangsecara regional mengkomandoi mereka, Hansip, tim-tim paramiliterseperti Tim Nuklir dan Tonsus, dan pegawai sipil.• Pembunuhan-pembunuhan ini secara luas diketahui waktu itu baik olehpara tahanan sendiri maupun oleh masyarakat luas dan dirasakan baikoleh para tahanan maupun masyarakat merupakan sebuah aksi-aski luasyang terkoordinasi.• Bahasa yang digunakan oleh para pelaku di distrik-distrik yang berbedauntuk menerangkan penghilangan para korban seringkali seragam,dimana tahanan dibawa untuk dibunuh digambarkan sebagai “pergimandi” atau “pergi ke sekolah”.• Sepanjang pendudukan para komandan dan pasukan ABRI, pegawai sipilsecara paksa merekrut puluhan ribu warga sipil untuk terlibat dalamoperasi militer, yang dikenal sebagai Operasi Kikis, untuk mencari danmenghancurkan pasukan Perlawanan yang masih tersisa di pegunungan.Operasi yang terbesar dari operasi-operasi ini berlangsung pada bulanJuni-September 1981, dimana sebanyak 60,000 orang Timor-Leste direkrutuntuk menemukan posisi-posisi Falintil.Komisi menemukan bahwa pada bulan September 1981, pada akhir Operasi Kikispada bulan Juni-September 1981, Batalyon-batalyon 321, 744 dan/atau 745, SatuansatuanMarinir, dan pasukan Hansip menyerang Pasukan Falintil yang berkumpul diwilayah Gunung Aitana di perbatasan antara Manatuto dan Viqueque dan kemudianmembunuh lebih dari seratus orang dan, kemungkinan beberapa ratus, pasukanFalintil dan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, yang bersama denganmereka. Pada saat mereka dibunuh, para korban ini sedang dalam kekuasaan pasukanIndonesia atau sedang ditahan setelah menyerah atau tertangkap.Sepanjang pendudukan, khususnya pada awal tahun 1980-an, para komandan ABRI/TNI, pasukan dan pasukan pembantu melakukan pembunuhan di luar hukum danpenghilangan paksa yang meluas dan sistematis terhadap para warga sipil untukmenghukum masyarakat secara kolektif yang dicurigai mendukung pasukan Falintil.Penghukuman secara tak pandang bulu terhadap orang-orang yang diketahuisebelumnya terlibat dalam gerakan Perlawanan dan penghukuman kolektif terhadapkomunitas-komunitas adalah sangat berat menyusul serangan-serangan Falintilterhadap sasaran-sasaran militer. Sebagai contoh:• Setelah gerakan Perlawanan melancarkan serangan terhadap sasaran-sasaranmiliter di Marabia dan Becora di Dili pada tanggal 10 Juni 1980, ratusan orangditahan. Komisi menyusun nama-nama dari 121 orang yang hilang, dibunuh(kadangkala di depan umum) atau meninggal dalam tahanan karena penyiksaanberat dan kekurangan makanan dan perawatan medis dalam minggu-minggusetelah penyerangan itu. Nama-nama ini tidak termasuk mereka yang dipilihuntuk dikirim ke pulau Ataúro antara Juli 1980 dan Agustus 1981 karenadituduh terlibat dalam penyerangan itu. Kondisi orang-orang ini, yang termasukkelompok pertama yang dikirim ke Ataúro sejak invasi, sangat buruk dandiketahui bahwa banyak dari mereka meninggal di pulau ini.• Setelah serangan Falintil atas Mauchiga (Hato Builico, Ainaro) dan Rotuto(Same, Manufahi), di wilayah Gunung Kablaki pada tanggal 20 Agustus1982, para pasukan dan komandan dari Kodim Ainaro, Koramil Dare danBatalyon Zeni Tempur 5 (Zipur 5), dan Hansip, menahan ratusan laki-laki dan73


perempuan dari Mauchiga dan masyarakat-masyarakat sekitarnya. Sebuahproyek khusus yang dilakukan oleh Komisi mencatat bahwa lebih dari 50 orangdari desa Mauchiga sendiri dibunuh atau dihilangkan dalam beberapa bulansetelah itu. Banyak dari antara mereka dibunuh dengan cara yang sangat kejam,baik di depan umum maupun di tempat-tempat eksekusi, yang disebut Jakarta2, di Builo, dekat kota Ainaro, dimana para korban dilemparkan ke dalamsebuah jurang yang dalam. Yang lainnya diperkosa dan sekitar 600 orang dariwilayah ini dipindahkan secara paksa ke Pulau Ataúro dan ke wilayah lainnyadimana banyak dari mereka meninggal karena kekurangan.• Setelah serangan bersama Falintil dan Ratih (Rakyat Terlatih) di Kraras(Viqueque) pada tanggal 8 Agustus 1983, pasukan dan para komandanKopassandha, Kodim Viqueque, Batalyon-batalyon 328, 501, 745 danHansip, melakukan serangkaian pembunuhan, dimana lebih dari 200warga sipil, kebanyakan diantaranya laki-laki, yang telah melarikan diridari desa itu dan bersembunyi di berbagai tempat di sekitar Kraras, dalambulan-bulan September-Oktober 1983.• Setelah penyebrangan lebih dari 30 anggota Hansip bersenjata, bersamakeluarga mereka dan anggota kelompok pemuda klandestin, di Mehara(Lautém) pada tanggal 9 Agustus 1983, penyebrangan berskala kecil di Loredi Subdistrik Lospalos (Lautém) dan Serelau di Subdistrik Moro (Lautém),dan diketahuinya rencana untuk aksi serupa di Iliomar, pasukan keamananIndonesia menahan ratusan laki-laki dan perempuan di seluruh distrik.Antara Agustus 1983 dan Maret 1984 sekitar 100 warga sipil, kebanyakan diantaranya laki-laki, dibunuh di berbagai lokasi di seluruh distrik.• “Pemberontakan” di Viqueque dan Lautém menandai berakhirnya sebuahgencatan senjata yang telah disepakati antara pasukan Indonesia dan pasukanPerlawanan pada bulan Maret 1983 dan dimulainya sebuah operasi, OperasiPersatuan, dimana panglima angkatan bersenjata Indonesia yang baru diangkat,Jendral Benny Moerdani, dikatakan bermaksud membasmi habis gerakanPerlawanan. Salah satu target utama operasi ini adalah warga sipil yang terlibatdalam kegiatan klandestin. Komisi menerima kesaksian-kesaksian tentangpembunuhan dan penghilangan terhadap lebih dari 250 warga sipil di distrikdistrikLautém, Viqueque, Baucau, Dili, Aileu, Manufahi, Ainaro, Bobonarodan Covalima antara Agustus 1983 dan pertengahan 1984 (tidak termasukmereka yang terbunuh di Viqueque yang berdekatan waktunya denganpenyerangan di Kraras), juga penahanan dan penyiksaan dan penganiayaanterhadap banyak orang lainnya, termasuk penahanan berkepanjangantanpa diadili di Ataúro dan di sejumlah tempat lain atau penahanan danpenganiayaan setelah pengadilan yang jelas-jelas tidak adil. Sifat sistematis daripembunuhan-pembunuhan ini terbukti kepada Komisi dari ucapan panglimaangkatan bersenjata Indonesia, dari skala pembunuhan-pembunuhan ini jugadari bukti dokumenter yang diterima oleh Komisi bahwa para kepala desa danpara anggota pasukan pertahanan sipil diperintahkan untuk membuat daftartentang orang-orang yang pernah aktif dalam gerakan Perlawanan, yangmenjadi dasar dari pelanggaran-pelanggaran yang menyusul kemudian. Selainitu, sebagaimana halnya dengan pembunuhan dan penghilangan pada tahun1978-79, operasi-operasi pada tahun 1983-84 melibatkan penggalangan darisejumlah besar institusi dalam tubuh aparat keamanan dan pemerintah sipil,termasuk Kopassus, semua tingkatan struktur teritorial, batalyon-batalyontempur, pasukan pertahanan sipil, tim-tim paramiliter, polisi sipil dan militerdan pegawai-pegawai pemerintah setempat.74


1985-98Dalam periode 1985-1998 jumlah pembunuhan dan penghilangan yang dilakukan olehABRI dan pasukan pembantu mereka berkurang dibandingkan dengan tahun-tahunawal pendudukan. Namun, pasukan keamanan Indonesia terus menerus membunuhdan menghilangkan warga sipil yang memang atau dicurigai mempunyai hubungandengan kelompok-kelompok yang menentang pendudukan, termasuk para anggotaFretilin/Falintil, jaringan klandestin dan kelompok-kelompok pro-kemerdekaanlainnya.Meskipun jumlah pelanggaran fatal berkurang, pelanggaran-pelanggaran yang terjaditidak dapat dipandang sebagai aksi-aksi pengeculian dari “oknum”. Pembebasandari hukum menciptakan iklim dimana praktek-praktek kelembagaan berikut iniditoleransi dan dimaafkan:• Pembunuhan terhadap warga sipil yang direkrut secara paksa untukmengambil bagian dalam operasi-operasi atau latihan militer selama aksimiliter• Pembunuhan warga sipil sebagai pengganti penempur yang melarikan diri• Penembakan terhadap sekelompok orang atau perorangan yang tidakmenaruh curiga yang sedang melaksanakan kegiatan sehari-hari, tanpaalasan yang jelas• Penembakan terhadap kerumunan demonstran tak bersenjataPraktek-praktek ini digambarkan dalam kasus-kasus berikut ini:• Pada 12 Nopember 1991, pasukan keamanan Indonesia menembakpara sekelompok pengunjuk rasa yang membawa spanduk-spandukpro-kemerdekaan dan bendera di Pekuburan Santa Cruz di Dili. Parapengunjuk berjalan ke pekuburan itu untuk memperingati kematianSebastião Gomes Rangel, aktifis klandestin yang terbunuh dalampenggerebekan ke Gereja Motael pada 28 Oktober 1991. Sekurangkurangnya75 warga sipil, dan hampir pasti banyak lagi, terbunuh dipekuburan itu dan setelahnya.• Pada 12 Januari 1995, di Gariana (Maubara, Liquiça), sebagai tanggapanterhadap sebuah upaya yang gagal untuk menangkap seorang yangdicurigai sebagai penempur Falintil, pasukan keamanan Indonesiamenyeret enam warga sipil ke sebuah selokan dan membunuh mereka.• Sebagai balasan atas pembunuhan terhadap informan-informan yangdicurigai dan sebuah serangan terhadap sasaran militer oleh Falintil diAlas (Manufahi), pada bulan Oktober dan Nopember 1998, pasukankeamanan Indonesia dan pasukan pembantu mereka menahan ratusanwarga sipil, dan 20 orang dibunuh atau dihilangkan dalam minggumingguberikutnya.Menanggapi tekanan internasional dan dalam negeri, militer Indonesia melakukanpenyelidikan internal dan mengadakan pengadilan terhadap anggota militer yangrelatif yunior dalam setidak-tidaknya dua kasus singkat, menyusul Pembantaian SantaCruz di Dili pada tahun 1991 dan pembunuhan enam warga sipil di Gariana (Maubara,75


Liquiça) pada tahun 1995. Dalam kedua kasus ini proses peradilan mahkamah militerberakhir pada dikenakannya hukuman ringan para prajurit berpangkat rendah, yaituantara delapan bulan sampai empat tahun. Proses peradilan ini tidak dilaksanakansebagaimana seharusnya untuk menetapkan kebenaran dari apa yang terjadi selamaperistiwa-peristiwa ini atau tanggungjawab komando dari kekejian-kekejian ini.Praktek-praktek kelembagaan dari pasukan keamanan Indonesia yang mulai bergeserdi tahun 1990-an, berakibat pada penurunan lebih lanjut dalam jumlah pembunuhandi luar hukum dan penghilangan paksa, terutama setelah Pembantaian Santa Cruzpada bulan Nopember 1991. Pergeseran ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuksemakin berani dan berpengalamannya gerakan klandestin yang memanfaatkanmedia internasional dan mekanisme hak asasi manusia dan diplomasi, memuncaknyakritisme internasional setelah Pembantaian Santa Cruz, berdirinya Komisi Hak AsasiManusia Indonesia, kemunculan masyarakat sipil yang memfokuskan diri pada hakasasi manusia Indonesia dan Timor-Leste, dan akhirnya Reformasi di Indonesia. Padaakhir tahun 1990-an, sebagai tanggapan terhadap semakin bertumbuhnya gerakanpro-kemerdekaan yang terang-terangan, jumlah pembunuhan di luar hukum danpenghilangan paksa kembali meningkat. Namun sebagian besar tindakan-tindakan initidak lagi secara langsung dilakukan oleh para anggota pasukan keamanan Indonesia,melainkan oleh para pasukan pembantu mereka.1999Ø Pada tahun 1999 pasukan keamanan Indonesia dan pasukan pembantu merekamelakukan sebuah kampanye kekerasan terkoordinasi dan berkelanjutan, yangdirancang untuk mengintimidasi gerakan pro-kemerdekaan dan kemudian untukmemastikan hasil Konsultasi Rakyat yang diselenggarakan oleh PBB memihakIndonesia. Ribuan warga sipil ditahan, ratusan ribu dipaksa mengungsi, danantara 1,400 sampai 1,500 dibunuh atau dihilangkan selama tahun itu. Sebagianbesar pelanggaran fatal terjadi pada bulan April, sebelum penandatangananKesepakatan-Kesepakatan 5 Mei, dan pada bulan September-Oktober, setelahpengumuman hasil Konsultasi Rakyat itu.Pembebasan dari hukuman menciptakan keadaan dimana pembunuhan di luar hukumdan penghilangan paksa terhadap warga sipil ditoleransi, didukung dan dimaafkan.Sebagaimana di tahun-tahun awal ketika ABRI/TNI melancarkan operasi-operasiterhadap penduduk sipil, ABRI/TNI memobilisasi semua cabang-cabang aparatkeamanan, termasuk pasukan pembantu, dan banyak pegawai sipil dalam mengejartujuan-tujuannya. Selama periode ini ABRI/TNI, polisi dan kelompok-kelompok milisibertindak secara terkoordinasi. Basis-basis militer secara terbuka digunakan sebagaimarkas-markas milisi, dan peralatan-peralatan militer termasuk senjata api dibagibagikankepada kelompok-kelompok milisi. Beberapa personil ABRI/TNI juga merupakankomandan atau anggota milisi. Perwira-perwira intelijen ABRI/TNI menyediakandaftar nama orang-orang yang dijadikan sasaran dan serangan terkoordinasi. Penguasasipil secara terbuka menyediakan dana negara untuk kelompok-kelompok milisi sertaberpartisipasi dalam pawai-pawai milisi dan kegiatan lainnya.Sejauh mana persekongkolan ini tergambar dalam kasus-kasus berikut ini:• Pada tanggal 6 April 1999, sekitar 2,000 warga sipil yang mencariperlindungan di Gereja Liquiça diserang oleh milisi Besi Merah Putih,76


ersama-sama dengan prajurit dari Kodim Liquiça dan Brimob. Sekurangkurangnya30-60 warga sipil dibunuh, mayat-mayat mereka diangkuttruk-truk militer dan dibuang di tempat-tempat rahasia.• Pada tanggal 12 April 1999, sebagai pembalasan terhadap pembunuhanyang diduga dilakukan oleh Falintil terhadap prajurit ABRI/TNI danseorang pemimpin pro-otonomi, ratusan warga sipil di desa SubdistrikCailaco (Bobonaro) dikumpulkan dan dipaksa menghadiri pemakamanpemimpin pro-otonomi tersebut. Setidak-tidaknya tujuh orang yangdicurigai sebagai pendukung pro-kemerdekaan dibunuh oleh para prajuritTNI dan milisi Halilintar di Koramil yang berjarak 100 meter dari lokasikedukaan. 13 orang lainnya dibunuh pada minggu-minggu berikutnya.• Pada tanggal 17 April 1999, di akhir daripada sebuah rapat umum prootonomidi depan Kantor Gubernur di Dili yang dihadiri oleh GubernurTimor Timur, Bupati Dili, Walikota Dili, Komandan Korem, KolonelTono Suratman, Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Darat, MajorJenderal Kiki Syahnakri, Pangdam Udayana, Adam Damiri dan dua orangpejabat senior militer lainnya, milisi Aitarak mengamuk secara hebat,yang berakhir dengan serangan terhadap rumah Manuel Carrascalãodimana ratusan orang telah mengungsi ke sana sebelumnya.• Pada tanggal 6 September 1999, milisi Laksaur bersama dengan paraanggota pasukan keamanan Indonesia, menyerang ribuan pengungsi yangmencari perlindungan di Gereja Suai (Covalima). Sekurang-kurangnya27 orang dibunuh, termasuk tiga imam, dan kemungkinan lebih dari itu.Mayat-mayat korban dibakar dan beberapa diantaranya dibawa melewatiperbatasan untuk dikuburkan di sebuah lokasi rahasia di Timor Barat(Indonesia).• Pada tanggal 5-6 September 1999, milisi Aitarak, bersama-samadengan para anggota pasukan keamanan Indonesia, menyerang ratusanpengungsi yang mencari perlindungan tempat-tempat milik gereja, sepertikompleks kantor dioses, rumah Uskup Dili, biara-biara, dan kantor ICRC.Setidak-tidak 19 warga sipil dibunuh atau dibunuh. Sehari sebelumnya,yaitu pada 4 September, milisi menyerang kubu pro-kemerdekaan diBecora di Dili, membunuh sekurang-kurangnya tujuh orang.• Pada tanggal 8 September 1999, milisi Dadurus Merah Putih dan milisilainnya, dibawah komando pasukan keamanan Indonesia, menyerangribuan pengungsi yang telah mencari perlindungan kantor Polisi ResortMaliana, mengejar dan membunuh mereka yang melarikan diri hariberikutnya. Sebelum serangan itu, para pemimpin CNRT mendesak paraanggota kepolisian Indonesia untuk memberikan perlindungan kepadamereka, tetapi permohonan mereka diabaikan. Setidak-tidaknya 26warga sipil dibunuh atau dihilangkan, sebagian besar adalah pemimpinCNRT setempat dan yang dicurigai sebagai pendukung pro-kemerdekaan,termasuk seorang anak berusia 12 tahun. Mayat-mayat mereka dibuangpada sebuah lokasi rahasia.• Pada tanggal 12 September 1999, milisi Laksaur dan pasukan keamananIndonesia, dalam sebuah usaha untuk secara paksa untuk memindahkanpara warga desa Laktos, Fohorem (Covalima) membunuh 14 orang yangmenolak dipindahkan ke Timor Barat.• Pada tanggal 21 September 1999, prajurit-prajurit ABRI/TNI dari Batalyon745 secara sembarangan menembak para warga sipil selama gerakan77


mundur mereka dari Lospalos (Lautém) ke Dili, dan kemudian ke Kupang(Timor Barat, Indonesia). Setidak-tidak delapan orang, termasuk seorangwartawan asing, dibunuh dan dihilangkan selama perjalanan mereka dariLospalos ke Dili.• Pada tanggal 20 Oktober 1999 milisi Sakunar dan Aitarak dan pasukankeamanan Indonesia, ketika mengepung para warga dari desa Maquelab(Pante Makassar, Oecusse) untuk memindahkan mereka ke Timor Barat,membunuh enam orang di pasar Maquelab. Enam orang lainnya dibunuhkemudian dalam sebuah serangan terhadap desa itu.Pada tahun 1999 para korban pembunuhan di luar hukum dan pemindahan paksaini terutama adalah laki-laki berusia dinas militer yang memang berhubungan ataudisangka berhubungan dengan kelompok pro-kemerdekaan, termasuk CNRT, gerakanklandestin dan organisasi pelajar/mahasiswa dan pemuda. Namun, karena tujuantujuanmiliter dan para sekutunya adalah untuk mengintimidasi masyarakat umumuntuk memilih “integrasi” dengan Indonesia, sasaran-sasaran mereka luas dan caracaramereka sembarangan. Jadi, perempuan dan anak-anak mencari perlindunganbersama keluarga mereka juga dibunuh selama pembantaian-pembantaian itu.Kelompok-kelompok lain yang dirasa mendukung kelompok-kelompok prokemerdekaan,seperti para klerus, pelajar/mahasiswa, dan staf lokal UNAMET jugamenjadi sasaran, terutama setelah pengumuman hasil Konsultasi Rakyat.Selama masa pendudukan (1975-1999), cara-cara dan situasi di mana pembunuhandi luar hukum dilakukan, antara lain:• Penembakan tanpa pandang bulu terhadap kelompok warga sipil takbersenjata• Memisahkan kelompok warga sipil tak bersenjata berdasarkan gender,kemudian menembak secara sembarangan terhadap para laki-laki• Memerintahkan para korban untuk menggali lubang kuburan merekasendiri sebelum dibunuh• Memerintahkan para korban berbaris dalam formasi sebelumpembunuhan baris per baris• Pembunuhan terhadap perseorangan tak bersenjata dengan penembakanjarak dekat• Membuang mayat-mayat dengan menguburkan, dengan rahasia secarakilat tanpa suatu usahapun untuk mengidentifikasi korban dan sanakkeluarganya, dengan membuang ke dalam sumur, danau atau laut• Melemparkan granat pada kelompok warga sipil tak bersenjata• Kematian dalam penahanan karena pemukulan dan penyiksaan• Pembunuhan seketika, setelah penangkapan selama operasi-operasi militer• Pemenggalan di depan publik• Pertunjukkan di depan umum atau aksi-aksi nyata kanibalism• Pemotongan bagian tubuh tertentu di depan publik• Memamerkan kepala, atau tungkai atau bagian-bagian tubuh di depanumum• Memaksa warga sipil membunuh warga sipil lainnya dibawah ancaman78


• Diikat kepada kendaraan yang sedang bergerak untuk menyeret korbansampai mati• Pengorbanan/persembahan korban• Diikat pada salib sebelum dibunuh• Dilempar ke jurang, kadang kala setelah dilukai• Menguburkan korban yang terluka secara hidup-hidup• Pembunuhan di depan umum dimana pasangan suami istri ditelanjangi,dipukuli di tengkuk sehingga mereka jatuh ke kuburan yang disiapkanterlebih dahulu.• Pemukulan fatal di depan umum• Memparadekan mayat• Serangan mematikan dengan menggunakan senjata tradisional, sepertiparang, tombak dan pisau• Kematian karena tindakan penyiksaan• Penculikkan diikuti oleh penghilangan, dalam sejumlah kasus matakorban ditutup dan diikat• Pembunuhan bersasaran oleh milisi berdasarkan daftar yang dibuat olehanggota militer• Pembunuhan terhadap para tahanan dalam pusat penahanan, dan ditempat terpencil di pedalaman, termasuk di danau dan dari jembatankampung• Mempertunjukkan daun telinga dan alat kelamin orang yang hilangkepada para anggota keluarganya• Pemerkosaan sebelum pembunuhan terhadap korban perempuan.Diantara serangkaian kekejaman ini, ada sejumlah kecil orang-orang berani yangmenolak perintah untuk membunuh warga sipil tak bersenjata dan mencoba mencegahkejahatan-kejahatan ini.• Seorang anggota Batalyon 745 dari Bobonaro menolak untuk membunuhsekelompok warga sipil, termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak,telah mencegah sebuah pembantaian di Rotuto (Manufahi), pada tahun1982.• Seorang Indonesia anggota Brimob menyelundupkan seorang perempuanpemimpin CNRT demi keselamatannya, setelah Konsultasi Rakyat diGleno, Ermera, pada tahun 1999. Meskipun ia pada awalnya selamat, tetapikemudian ia diperkosa dan dibunuh oleh milisi saat ia mencoba kembalike rumah seminggu kemudian.• Seorang Timor-Leste anggota polisi ditembak dan dibunuh oleh milisi danABRI/TNI ketika ia mencoba mencegah para anggota milisi menjarah danmembakar sebuah desa di Maubisse (Ainaro).Selama pendudukan, komandan-komandan militer Indonesia memerintahkan,mendukung dan memaafkan pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksayang sistematis dan meluas terhadap ribuan warga sipil di Timor-Leste. Angka yangtinggi dari kematian-kematian ini, bukti-bukti bahwa banyak di antara kematianini terjadi selama operasi-operasi terkoordinasi yang dilakukan di seluruh wilayah79


Timor-Leste, dan upaya-upaya organisasi-organisasi non-pemerintah domestik daninternasional untuk menyampaikan kepada para penguasa sipil dan militer di Jakartabahwa kekejian-kekejian ini memang terjadi, telah mengeyampingkan kemungkinanbahwa para pemimpin tertinggi dari militer, polisi dan pemerintah sipil Indonesiatidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kegagalan sistematis militer Indonesiadan kepemimpinan sipil untuk mencegah dan menghentikan tindakan-tindakan iniyang tentu mereka ketahui, dan untuk menghukum pelaku langsung dari kejahatankejahatanini, dengan sendirinya merupakan bukti keterlibatan mereka.Tanpa pengungkapan secara penuh, militer Indonesia terus melanggengkan danmendukung aksi-aski penghilangan paksa. Aksi-aksi yang merupakan penghilanganpaksa harus dipandang sebagai sebuah pelanggaran berkelanjutan sepanjang parapelaku terus menyembunyikan nasib dan keberadaan orang-orang yang telahdihilangkan.Pemindahan Paksa dan KelaparanKetika kami mengungsi dari Uaimori, penduduk mulai meninggal.Karena kelaparan, atau karena sakit. Saat kami berjalan,kematian mengejutkan kami. Kematian di belakang kami saatkami berjalan, dan orang-orang meninggal. Bukan orang-orangtua saja, tetapi anak-anak, kekurangan makanan. Orang-orangtua berjalan hingga kekuatan mereka semua hilang, dan hanyamembawa satu maek [sejenis akar umbi], atau kumbili [ubi jalar].Dan sedikit air dalam wadah bambu di punggung kami. Inilahbagaimana banyak dari kami yang meninggal. Orang meninggalberserakan di sepanjang jalan, dari [Uaimori ke Natarbora].Yang lain meninggal kena mortir. Delapan puluh hingga seratussehari. Kami ingin menguburkan mereka, tetapi musuh terusmenembaki, jadi bagaimana kami dapat menguburkan mereka?Kami pergi. Seorang perempuan tua berkata, “Tolonglah nak,gali lubang untuk kuburkan mayat anak saya.” Kami menggalisebuah lubang, tetapi kurang dari seperempat meter dalamnya.Sebelum menurunkan malaikat kecil ini ke dalam lubang, kamimembungkusnya dengan tikar dalam suara tembakan yangterus-menerus. Bagaimana kami bisa menguburkannya? Kamitundukkan kepala dan menguburkannya dengan tangan kami.Yang kami bisa, kami kubur. Kalau tidak kami tinggalkan.Bagaimana kami bisa temukan tulang-tulang mereka lagi? Merekamembusuk begitu saja. Ketika kami kembali, kami lihat tujuh ataudelapan orang duduk menyandar di pohon. Mereka bersandar kepohon dan meninggal begitu saja. Lalat-lalat dan anjing-anjing disekitar mereka. Dalam hati kami, kami ketakutan. 3280


TinjauanSebagai bagian dari mandatnya untuk menetapkan kebenaran yang berhubungandengan pelanggaran hak asasi manusia, Komisi melakukan penelitian terhadappemindahan paksa dan kelaparan di Timor-Leste selama 1974-1999. Penelitian inisangatlah penting untuk memberikan pengertian terhadap penderitaan manusiadan pelanggaran hak asasi manusia yang berhubungan dekngan konflik karenapemindahan paksa ialah salah satu bagian penentu di dalam tahun-tahun konflikdi Timor-Leste. Hampir setiap orang Timor-Leste yang telah hidup di dalam tahuntahuntersebut mengalami semacam pemindahan, bahkan banyak yang mengalamilebih dari sekali.Akibat pemindahan sangatlah meluas. Satu dari cara-cara yang paling sering terlihat dimana konflik bersenjata telah mengganggu jalan kehidupan sehari-hari para penduduksipil ialah dengan mengakibatkan pemindahan paksa. Walaupun ketika pemindahanini terjadi secara sukarela, dengan mencabut penduduk dari akarnya yang telahmenjadi alat untuk mendukung kehidupan mereka, pemindahan pada umumnyamengakibatkan deprivasi di dalam berbagai jenisnya, termasuk kelaparan, penyakitdan kurangnya tempat berlindung secara fisik. Seringkali pemindahan berbentuksebagai penghukuman kolektif, dan maka dihubungkan dengan pelanggaran atasberbagai macam hak asasi manusia, termasuk hak-hak sipil, politis dan juga ekonomis,sosial dan budaya.Maka alasan mengapa kematian ialah jauh lebih tinggi di antara tahun-tahun 1975dan 1999 apabila keadaan damai terjadi dapat terlihat dari jumlah besar kematianyang disebabkan oleh kelaparan dan penyakit yang disebabkan secara langsungoleh pemindahan. Komisi mengambil kesimpulan bahwa sedikitnya 84,200 orangmeninggal karena kelaparan dan penyakit yang berhubungan dengan pemindahanselama seluruh perioda tersebut.Di Timor-Leste, pemindahan juga berhubungan dekat dengan berbagai pelanggaranhak asasi manusia lainnya. Patut dicatat bahga selama tahun-tahun di mana kematiandari kelaparan dan penyakit mencapai puncaknya, yaitu pada tahun-tahun 1975-79,pemindahan, pembunuhan dan penghilangan, dan banyak pelanggaran-pelanggaranyang tidak menyebabkan kematian secara langsung, termasuk penahanan danpenyiksaan dan tindakan sewenang-wenang, juga mencapai puncaknya. Bahkan,selama seluruh perioda 1975-99, fluktuasi di dalam semua kejadian-kejadian inicenderung untuk berhubungan erat satu sama lainnya, yang secara meyakinkanmemberi bukti bahwa mereka memiliki penyebab dasar yang sama, yang palingmungkin ialah intensitas operasi militer Indonesia. Pada tahun 1999 yang terjadiberbeda dari temuan ini: walaupun pemindahan dan pelanggaran fatal maupun nonfatalmeningkat sangat tinggi di dalam tahun tersebut dan kematian karena deprivasijuga meningkat, jumlah kematian karena kelaparan dan penyakit tidak meningkatsetajam level pemindahan dan pelanggaran yang lainnya, mungkin karena jangkawaktu pemindahan pada tahun tersebut relatif pendek.Komisi menemukan bahwa:Ø Masyarakat Timor-Leste sudah mengalami masa pemindahan paksa berulangulang,sering dalam jumlah besar, antara tahun 1975 dan 1999. KebanyakanOrang Timor yang masih hidup sekarang, mengalami paling tidak satu kali81


pemindahan paksa. Kebanyakan mereka mengalami lebih dari satu kali. Semuapemindahan paksa mengakibatkan gangguan hebat atas kehidupan orang-orangyang mengalaminya. Beberapa pemindahan secara langsung menyebabkankematian.Ø Selama masa 1975 sampai 1999, paling sedikit 84,200 orang mati karena kelaparandan penyakit, diatas angka kematian yang lumrah pada masa damai. Artinyakematian ini disebabkan oleh konflik dan bahwa angka tersebut bisa mencapai183,000. Kebanyakan dari kematian ini terjadi antara 1977 dan 1978 dan selamaserangan-serangan besar ABRI terhadap markas-markas Fretilin di pedalaman,dimana warga sipil bermukim dan pada tahun1979 selama dalam pertahanan dikamp-kamp, dan di daerah-daerah dan kamp-kamp pengungsian yang dikuasaioleh ABRI/TNIØ Beberapa pemindahan mempunyai banyak bentuk, berlangsung pada beragamsituasi, dan berlangsung untuk periode waktu harian maupun tahunan.Misalnya:• Pada masa sebelum dan sesudah perang sipil Agustus-September 1975,pemindahan pada umumnya berupa pelarian untuk menghindarikemungkinan dikontrol atau dijadikan sasaran aneka bentuk kekerasanyang dilakukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.• Sesudah invasi Indonesia pada bulan Desember 1975, beberapa orangmelarikan diri secara spontan karena ancaman yang dirasakan, maupunancaman yang sudah lebih nyata dan kelihatan. Pada waktu yang sama,Fretilin mengorganisir pengosongan sejumlah komunitas, terkadangdengan mengunakan pemaksaan.• Ketika militer Indonesia meningkatkan serangannya atas Fretilindan penduduk yang ada di bawah kekuasaanya pada tahun 1977 danseterusnya, beberapa kelompok terpisah dan terpencar, beberapa lainnyaterpaksa terus bergerak dan berpindah untuk menghindari penangkapan,dan sebagian lainnya secara teratur bergerak ke berbagai lokasi baru.• Penyerangan Indonesia secara besar-besaran atas konsentrasi pendudukyang masih berada di bawah kekuasaan Fretilin yang berlangsung dariakhir 1977 sampai akhir 1978, berakhir dengan puluhan ribu orangdipaksa untuk tinggal di dalam sejumlah kemah penampungan yangdikontrol ketat Militer Indonesia. Pada kasus ini, dan serangkaianpemindahan berikutnya oleh Militer Indonesia--seperti mereka yangdipindahkan ke Pulau Ataúro pada awal tahun 1980-an, orang-orangyang dipindahkan menjadi sasaran bentuk penahanan yang ketat danmenyeluruh yang dimaksudkan untuk meningkatkan tujuan militerIndonesia.• Pergerakan skala besar yang terjadi pada masa sekitar referendum 30Agustus 1999 mengakibatkan pelarian, baik dari TNI maupun kekerasanmilisi dan deportasi paksa ke Timor Barat.Ø Walaupun demikian, dalam bentuk apa pun, pemindahan paksa tanpa kecualimemiliki pengaruh yang cukup serius atas pada orang yang mengalaminya,termasuk kematian bagi puluhan ribu manusia pada tahun 70-an.82


Ø Kematian disebabkan kelaparan, berbagai penyakit yang berhubungan dengankelaparan, kerentanan terhadap penyakit karena kelaparan, rasa takut, ataukelelahan, dan kurangnya akses terhadap perawatan medis. Ada kemungkinanbahwa lebih banyak orang meninggal karena berbagai efek pemindahan paksadaripada pelanggaran lainnya. Walaupun jumlah aktual kematiannya tidak dapatdihitung secara pasti.Ø Untuk mereka yang selamat (survivor), pemindahan paksa merupakan penyebablangsung kemarahan dan kesedihan mendalam karena kehilangan anggotakeluarga di dalam situasi keji yang berada di luar kekuasaan mereka. Pemindahanjuga membuka jalan bagi berbagai pelanggaran lainnya, termasuk penahanansewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan yang tidak pantas, pembunuhan diluar hukum, kekerasan seksual, kerja paksa dan perekrutan paksa. Pemindahanjuga sering diikuti dengan kelaparan dan perampasan kemampuan untukmenghidupi diri yang disebabkan oleh penghancuran atau penghilangan aksesterhadap hasil panen, binatang ternak, perumahan, alat pertanian dan tanah.Ø Pemindahan juga mengganggu pola hidup kebanyakan penduduk yang bergantungpada ekonomi subsisten yang rapuh. Satu indikasi gangguan ini adalah jatuhnyasecara dramatis antara 1973 dan 1980, jumlah ternak yang berperan pentingsebagai faktor produksi, alat transportasi dan sumber kekayaan bagi masyarakatagraria Timor-Leste. Jatuhnya jumlah ternak di Timor-Leste berkaitan erat denganpenghancuran lebih luas yang disebabkan pemindahan mengakibatkan tidakdiurusnya ternak ini karena penduduk melarikan diri, penghancuran teraraholeh Militer Indonesia, pengkonsumsian ternak ini oleh penduduk yang kelaparandan berusaha hidup, maupun kematian karena kelaparan dan pengeboman.Ø Di Timor-Leste, pemindahan merupakan pelanggaran yang berpengaruh utamakepada masyarakat. Pengaruh ini sering berjangka panjang dan menghancurkanintegritas mereka. Pemindahan kerap dilakukan dengan sembarangan olehMiliter Indonesia terhadap berbagai masyarakat atau kelompok di dalam sebuahmasyarakat sebagai bentuk hukuman kolektif dan kadang sebagai suatu bentukpenyanderaan.Ø Pemindahan merupakan tema terus menerus yang berlangsung selama mandatKomisi. Hal ini disebabkan bukan hanya karena tahun 1974-99 merupakan tahunpenuh konflik di Timor-Leste. Komisi percaya bahwa beberapa pengaruh yangpaling berbahaya dari pemindahan merupakan akibat langsung pengambilankeputusan yang salah. Komisi percaya, misalnya, bahwa Indonesia berulangkalimemindahkan orang-orang dari kediamannya dengan tujuan untuk memilikikontrol atas orang-orang ini, untuk menggunakan makanan sebagai senjataperang, penolakan dengan alasan strategi militer untuk mengijinkan aksesperwakilan kemanusiaan internasional ke Timor-Leste sampai kelaparan menjadibencana besar, dan memindahkan dengan paksa warga sipil Timor-Leste ke TimorBarat semata-mata untuk tujuan politik.83


Konflik Internal Agustus-September 1975Komisi menemukan bahwa:Ø Selama masa pembentukan berbagai partai politik, tetapi sebelum pecahnya konflikbersenjata internal, ada beberapa kejadian di mana sejumlah masyarakat melarikandiri untuk menghindari kekerasan yang dilakukan oleh para musuh politikmereka. Skala pemindahan ini relatif kecil dan jangka waktu pemindahannyarelatif pendek.Ø Konflik antar partai pada bulan Agustus dan September 1975 menyebabkanpemindahan penduduk. Ketakutan atas hukuman dari partai lawan, banyakyang meninggalkan rumah mereka untuk mencari keselamatan. PendukungFretilin terpaksa meninggalkan rumah mereka dan rumah mereka dibakar olehpendukung UDT. Sesudah 20 Agustus 1975, para pendukung UDT yang merasaterancam oleh Fretilin, secara spontan menyeberangi perbatasan menuju TimorBarat, Indonesia. Yang lainnya ada yang dipaksa untuk menyeberangi perbatasanoleh para anggota UDT Sebagian kecil pergi ke Australia, Portugal, dan negerilainnya, pada masa ini maupun nanti sesudah menetap sementara di kamppengungsian di Timor Barat.Ø Komisi tidak mampu menentukan dengan pasti akan jumlah pengungsi di TimorBarat. Perwakilan bantuan internasional yang beroperasi di Timor Barat padawaktu itu kelihatannya memperoleh jumlahnya secara langsung dari pihakberwenang Indonesia, yang mengklaim bahwa 40,000 orang Timor-Leste telahmengungsi di Timor Barat. Jumlah ini sudah diragukan banyak pihak dari orangTimor-Leste yang pada waktu itu ada di Timor Barat. Mereka mengatakan bahwajumlah aktual pengungsi di Timor Barat jauh lebih rendah daripada jumlah yangdiberikan pihak berwenang Indonesia. Para narasumber ini mengatakan bahwapihak berwenang Indonesia membesar-besarkan jumlah yang sebenarnya agarmereka dapat memperoleh bantuan kemanusiaan yang lebih besar daripada yangseharusnya. Juga, untuk menciptakan kesan bahwa skala pertempuran yang terjadijauh lebih besar daripada kenyataannya, bahwa sejumlah besar orang Timor-Lestetidak menghendaki pemerintahan Fretilin dan bahwa kemenangan Fretilin didalam perang sipil akan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas regional.Ø Komisi tidak bisa memastikan jumlah orang yang menjadi pengungsi di dalamnegeri pada waktu itu. Komisi tidak memiliki cara, misalnya, untuk memverifikasiperkiraan ICRC bahwa lebih dari 50 persen dari seluruh populasi menjadi korbanpemindahan paksa di dalam periode ini. Berapa pun jumlahnya, kebanyakankembali ke rumah masing-masing dalam hitungan mingguan sesudah melarikandiri.Ø Sebagian kecil orang yang menjadi korban pemindahan di dalam wilayah Timor-Leste maupun orang-orang yang menyeberangi perbatasan menuju Timor Barattewas karena perampasan selama pemindahan. Di tenda pengungsi di Timor Baratada juga berbagai pembunuhan. Umumnya yang dibunuh adalah para pendukungFretilin yang dipaksa menyeberangi perbatasan.84


Ø Perwakilan kemanusiaan internasional sudah menyediakan makanan daruratdan bantuan medis ke Timor-Leste dan ke tenda pengungsi di Timor Barat.Ø Pemerintahan de facto Fretilin pada prinsipnya memberikan akses kepadaperwakilan pemberi bantuan untuk pergi ke seluruh wilayah Timor-Leste.Dalam prakteknya, perwakilan utama menyediakan bantuan pangan kepadamasyarakat, ICRC membatasi kegiatan bantuannya ke wilayah di sekitar Dilli,dengan dukungan yang disediakan ACFOA (Australian Council for Overseas Aid)dan didistribusikan oleh Fretilin di daerah wilayah kekuasaan mereka. Semuaprogram bantuan itu baru berjalan ketika mereka harus menghentikannya padaawal Desember 1975 karena invasi Indonesia.Ø Aliran bantuan kepada para pengungsi di Timor Barat sesudah invasi jugaberkurang. Kesaksian orang di dalam tenda pengungsi, termasuk orang darigereja, mengindikasikan bahwa makanan yang tersedia digunakan sebagai alatpolitik dan senjata untuk merekrut orang-orang Timor-Leste agar bertempursebagai pasukan pembantu tentara Indonesia. Ada juga berbagai bukti bahwamakanan dan bantuan yang lainnya ditarik kembali pada bulan April 1976ketika orang-orang Timor-Leste di Timor Barat menolak untuk mendukungtujuan politik Indonesia di Timor-Leste. Setelah itu, para pengungsi menghadapikesulitan besar, dan beberapa orang meninggal.InvasiKomisi menemukan bahwa:Ø Sejumlah besar orang meninggalkan kediaman mereka untuk mengantisipasidan sesudah invasi Indonesia. Sebagian besar orang meninggalkan titik pusatkepadatan ketika pasukan bersenjata Indonesia bergerak untuk mengambilkontrol atas mereka dari tahun 1975 dan seterusnya. Kebanyakan yang pergimelakukan itu karena takut kehilangan nyawa mereka.Ø Banyak orang yang tinggal di luar wilayah Indonesia dan di beberapa wilayahdi mana pertempuran tidak terjadi juga meninggalkan kediaman merekasecepat mungkin sesudah mendengar bahwa pasukan bersenjata Indonesia telahmelakukan invasi. Mereka melarikan diri karena berbagai macam alasan: takuttewas; tanggapan atas klaim Indonesia yang akan memperoleh kemenangandengan cepat; pelajaran akan kekejaman Indonesia pada hari-hari awal invasi;dan perintah Fretilin supaya mereka pergi.Ø Pengungsian penduduk berlangsung dalam bermacam situasi. Beberapapengungsian dari kota dan desa tidaklah terorganisasikan; yang lainnyadikoordinasikan Perlawanan yang dipimpin Fretilin.Ø Tingkat pengorganisasian evakuasi berbeda-beda, tergantung dari sejauhmana Fretilin sudah mengembangkan pengorganisasian mereka pada waktupemerintahan de facto, dan langkah apa saja yang sudah diambil Fretilin untukmempersiapkan pengungsian.85


Ø Fretilin sudah mengumumkan kebijakan mengenai pengungsian masyarakat sipilmenuju tempat yang aman dan mengorganisasikan suatu gerakan pembebasannasional di pegunungan dan pedalaman. Komisi mempelajari berbagai kejadiandi mana, untuk meraih tujuan tersebut, Fretilin memaksa beberapa masyarakatuntuk mengungsi, termasuk terhadap orang-orang yang berkeberatan untukpergi.Ø Komisi belum berhasil memperkirakan jumlah orang yang menjadi korbanpemindahan dalam dua tahun pertama pendudukan. Perpindahan sekitar300.000 orang ke berbagai wilayah pendudukan Indonesia sampai tahun 1978-79merupakan petunjuk terbaik mengenai perpindahan skala raksasa yang dimulaipada akhir tahun 1975. Berdasarkan fakta bahwa banyak orang meninggal dipegunungan, dan karena itu tidak pernah menjadi bagian penduduk yang dikuasaiIndonesia, jumlah sesungguhnya orang-orang yang menjadi korban pemindahansesudah invasi kemungkinan lebih besar dari 300.000.Ø Keputusan untuk mengungsi ke berbagai gunung, termasuk keputusan Fretilinmembawa sejumlah besar penduduk bersama mereka, dibuat tanpa pemikiranmendalam mengenai masalah perumahan, makanan dan perlindungan untukpopulasi yang demikian besar. Pada berbagai wilayah kekuasaan Fretilin, kondisikehidupan pada beberapa bulan sesudah invasi sangat sulit. Kesulitan yangmereka hadapi sedikit teringankan sesudah struktur yang sudah dibuat untukmemobilisasikan populasi mengambil tugasnya seperti pertanian komunal danmenyediakan kebutuhan mereka yang paling rentan. Meskipun demikian, ketikastruktur terorganisasir ini sudah dibentuk, Komisi menemukan bahwa tingkatkematian masih melebihi tingkat yang normal.Ø Komisi memperoleh bukti yang menunjukkan bahwa pada tahun 1976-78keinginan menyerah sangatlah tinggi dan meluas di berbagai wilayah, kekuasaanFretilin. Sangat mustahil untuk memperkirakan berapa banyak orang yang inginmenyerah, terutama karena mereka yang menyatakan keinginannya untukmenyerah dapat dijatuhi hukuman yang sangat berat, termasuk hukumanmati. Tetapi Komisi menerima kesaksian yang mendukung kesimpulan bahwabeberapamasyarakat yang ingin menyerah, menyembunyikan perasaan yangsebenarnya karena berbagai alasan yang tentunya dapat dimengerti. Pada waktuyang sama, Komisi juga mendengarkan berbagai kejadian di mana masyarakatsipil yang diberi kesempatan untuk menyerah, menolak melakukan hal itu, danorang yang akhirnya diperintahkan menyerah melakukan hal itu dengan berathati.Ø Kebanyakan orang yang tinggal di pegunungan sampai berakhirnya OperasiSeroja pada akhir tahun-tahun 1978 dan 1979, pola kehidupan mereka sudahperiode ini agak tenang dan kondisi kehidupan kecukupan, mereka kemudianbergerak terus sampai taraf terakhir kampanye militer, ketika mereka terkurungbersama ribuan orang lainnnya di dalam lokasi yang terisolasir. Pada tahap inimereka berhadapan dengan serangan pasukan Indonesia yang mengerikan, denganmenggunakan semua cara yang tersedia, termasuk menimbulkan kelaparan,untuk memaksa orang-orang di pegunungan supaya menyerah. Pengebomanterus-menerus mengakibatkan pencarian makanan, apalagi penanaman danpemanenan, sangat mustahil. Pada tahap terakhir perlawanan, jumlah orangyang tewas meningkat tajam.86


Ø Beberapa masyarakat tidak melarikan diri dari pasukan invasi maupun menyerahlebih dahulu kepada mereka. Walaupun demikian, pasukan Indonesia jugamembatasi masyarakat ini di berbagai wilayah yang ditentukan di mana merekamengalami kelaparan, pembatasan pergerakan dan tindakan represi yangkeras. Komisi diberitahukan bahwa kondisi di sejumlah kamp di mana orangorangyang sudah menyerah atau ditangkap Pasukan Indonesia pada dua tahunpertama sesudah invasi sangat berlawanan dengan kondisi kelangsungan hidupmereka sehingga banyak kematian karena perampasan atas sumber kehidupan.Semua elemen yang mengakibatkan kematian oleh perampasan besar-besarantersebut sudah berlangsung pada tahap awal: penolakan untuk memberikanakses langsung kepada perwakilan bantuan internasional, minimnya persediaanmakanan dan obat-obatan, konsentrasi populasi di berbagai kamp, ketatnyapembatasan terhadap kebebasan bergerak yang menyulitkan untuk bertani danberkebun, penggunaan intimidasi dan teror untuk menghukum dan memastikankepatuhan para penghuni kamp.Penghancuran bahan pangan dan binatang ternakKomisi menemukan bahwa:Ø Dari tahun 1976 sampai 1978 pasukan bersenjata Indonesia secara sistematismenghancurkan atau merampas bahan pangan, toko-toko makanan, alat-alatpertanian, kebun dan lahan, dan binatang ternak yang dimiliki oleh masyarakatTimor-Leste yang telah melarikan diri dari kediaman dan desa mereka.Ø Komisi masih belum bisa mendapatkan berbagai bahan terekam yang mampumenjelaskan pemikiran di bawah strategi tersebut. Walaupun demikian, Komisihanya bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan operasi militer Indonesia iniialah untuk menyebabkan kelaparan pada populasi sipil yang berada di bawahkontrol Fretilin, dan membuat mereka menyerah, dan untuk menghancurkanakses Fretilin/Falintil terhadap sumber pangan.Ø Pengaruh penghancuran atas harta milik para petani yang berupa kebun,peralatan pertanian dan binatang ternak baru terasa ketika mereka kembali kedesa asal mereka, mereka menghadapi kesulitan meneruskan kegiatan pertanianmereka.Ø Seiring dengan besarnya jumlah masyarakat sipil Timor-Leste yang beradadi bawah kontrol Indonesia, Militer Indonesia melakukan operasi khususuntuk menghancurkan berbagai sumber pangan olahan maupun liar untukmenghancurkan sumber makanan pasukan perlawanan.. Tindakan ini jugaberakibat pada kerusakan jangka panjang terhadap sumber pangan bagi semuamasyarakat Timor-Leste.Ø Militer Indonesia juga secara berkala membakar dan menghancurkan hasil panendan binatang ternak orang-orang yang sudah berada di bawah kekuasaan mereka,sebagai tindakan hukuman, cara untuk memastikan tidak ada orang yang pergi87


ke luar batas kamp untuk bertani di tanah mereka, atau untuk memaksa merekaberpindah ke tempat baru dan mencegah mereka kembali ke kediaman asli setelahdipindahkan.Ø Komisi juga menerima laporan mengenai pasukan Falintil yang merusaklahan agraria milik masyarakat setempat. Jumlah laporan kejadian tersendiridemikian sangat sedikit, dan tidak menunjukkan akan suatu sistem atau polayang meluas.Kehidupan dan kematian di pegununganKomisi menemukan bahwa:Ø Kebanyakan warga sipil Timor-Leste, hidup di daerah pedesaan dan pegununganrelatif damai dan stabil untuk tahun pertama atau kedua sesudah invasi. Hal iniberubah ketika militer Indonesia memulai operasi di wilayah mereka.Ø Pada waktu “normal” ini, di banyak area Timor-Leste di bawah kekuasaanlangsung mereka, kepemimpinan Fretilin mengambil serangkaian langkah untukmengorganisasikan produksi dan distribusi pangan, dan untuk menyediakanfasilitas dasar kesehatan. Di dalam zonas libertadas mereka menjalankan sebuahkebijakan yang bergantung pada dukungan masyarakat sipil. Pada berbagai kasusyang dipelajari Komisi, mencapai tingkatan organisasi yang dibutuhkan untukmemenuhi kebutuhan masyarakat di bawah kekuasaan mereka, membutuhkanwaktu. Sebelum mencukupi kebutuhan sendiri, para pengungsi menjadi korbanyang tidak terurus sehingga menyebabkan kematian beberapa orang.Ø Kepemimpinan Fretilin/Falintil memenjarakan orang-orang di bawah kekuasaanmereka atas tuduhan ingin menyerah. Mencegah penyerahan diri mungkinbisa dipertanggungjawabkan dengan keinginan untuk melindungi keamananberbagai markas perlawanan dan masyarakat sipil yang ada di dalamnya. Namun,penghukuman orang-orang yang dicurigai ingin menyerah menjadi tidak bisadibedakan dari adanya konflik politik di dalam perlawanan.Ø Penyiksaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan lainnya oleh Fretilin/Falintildan pemenjaraan berkepanjangan di sejumlah penjara primitif untuk masyarakatsipil yang mencoba menyerah atau dicurigai ingin menyerah yang dilaporkanialah tindakan keji dan berlebihan, dan membawa kematian atas banyak tahanan.Fretilin/Falintil juga menghukum orang-orang yang dicurigai ingin menyerah,seringkali didasarkan atas berbagai bukti yang sangat tidak mencukupi dan tanpamengikuti proses hukum.Ø Kebijakan Fretilin untuk mencegah penyerahan diri baru berubah di akhir tahun1978, ketika di tingkat kepemimpinan mereka dipaksa oleh keadaan kritis didalam masyarakat sipil.Ø Komisi tidak bisa memperkirakan berapa orang telah menginginkan untukmenyerah pada waktu itu. Namun, Komisi telah menerima kesaksian yang88


menyatakan bahwa masyarakat sipil yang ditawari pilihan untuk menyerahsebelum akhir 1978 menolak untuk mengambil pilihan tersebut dan ketika akhirnyadiperintahkan untuk menyerah, beberapa menolak untuk melakukannya. Padabeberapa kasus, penolakan ini tampak sebagai keteguhan hati untuk meneruskanperjuangan melawan pasukan invasi apa pun biayanya. Namun, Komisi jugamenerima kesaksian yang menunjukkan bahwa ketakutan yang didasari faktaakan perlakuan buruk dari pasukan Indonesia juga merupakan alasan ataskeengganan mereka untuk menyerah. Pada tahap akhir pemindahan merekadi bawah kekuasaan Fretilin, masyarakat sipil menghadapi pilihan sulit antarakematian di pegunungan atau kemungkinan menuju nasib yang sama apabilamereka menyerah kepada pasukan Indonesia. Karena di dalam kenyataannyasituasi sesudah menyerah tidaklah mencukupi untuk hidup.Ø Banyak orang yang meninggal karena kelaparan ataupun karena berbagaipenyakit yang berhubungan dengan kelaparan ketika di bawah kekuasaan Fretilin.Walaupun banyak yang meninggal ketika melarikan diri dari militer Indonesiaatau hidup di bawah kekuasaan Fretilin, jumlah kematian paling besar terjadi dibulan-bulan terakhir sebelum penyerahan diri, disebabkan karena pengebomanIndonesia dan karena kelaparan dan berbagai penyakit yang berhubungan dengankelaparan.Ø Antara pertengahan tahun 1977 dan akhir 1978, militer Indonesia meluncurkankampanye militer untuk menghancurkan perlawanan, menguasai berbagaiwilayah di luar kekuasaan mereka dan memaksa penduduk yang berdiam diberbagai wilayah tersebut untuk menyerah. Sebelum meluncurkan kampanye“pengepungan dan penghancuran” Pasukan Indonesia secara konstan melakukangangguan terhadap penduduk, memaksa mereka berpindah berkali-kali. Pelariandiri ini biasanya berakhir dengan ribuan orang terkonsentrasi di beberapa wilayahtertentu, seperti gunung Matebian, dataran Natarbora, Fatubesi di Ermera,Gunung Ilimanu di Manatuto dan daerah pesisir Alas di Manufahi serta Becodan Halik di Covalima, ketika mereka dibom secara intens dari darat, laut, danudara.Ø Seiring dengan meningkatnya intensitas operasi militer Indonesia di beberapawilayah, banyak orang yang terus begerak untuk menghindari kematian, cedera,atau penangkapan. Ketika sedang melarikan diri dari serangan Indonesia, banyakorang Timor-Leste sipil yang mati karena perampasan penghidupan –kelaparan,kelelahan dan kekurangna akses terhadap perawatan medis. Hidup di dalampelarian berarti mengolah sumber bahan pangan juga menjadi mustahil.Ø Dalam berbagai serangan mereka terhadap basis perlawanan atau pelariankelompok penduduk, pasukan Indonesia tidak membedakan antara orang sipilataupun orang tempur. Banyak penduduk sipil yang terbunuh di berbagai seranganini.Ø Seiring dengan besarnya konsentrasi penduduk yang diserang, sumber makananliar dan air alami yang menjadi satu-satunya penghidupan mereka seringkalitercemar. Pada banyak kasus, di mana para saksi melaporkan kontaminasi tersebut,kelihatan bahwa hal itu akibat pengeboman terus menerus. Bagaimanapun, pada89


suatu kejadian, ada dugaan bahwa di dalam serangan terhadap Lesumau di Ermerapada pertengahan tahun 1978, pasukan Indonesia menggunakan bom beracunsehingga mencemari sumber makanan dan minuman di wilayah itu.Ø Kelaparan mulai muncul di Timor-Leste sekitar akhir tahun 1977 dan akhir1978 – maksudnya kematian karena kelaparan dan berbagai penyakit yangberhubungan dengannya, mulai bermunculan di dalam skala besar. Kondisi inisemakin meningkat di kalangan orang pelarian dan di kalangan sejumlah besarorang yang tergusur ke berbagai wilayah tertentu di mana pengepungan pasukanIndonesia menghalangi pergerakan mereka, bahkan pergerakan untuk mencarimakan. Pada masa ini, kelaparan merupakan akibat langsung operasi militer;bukan oleh kekeringan alami.Kamp dan pemukiman di bawah Kontrol IndonesiaKomisi menemukan bahwa:Ø Orang-orang yang menyerah atau ditangkap militer Indonesia diharuskan tinggaldi berbagai kamp sampai tahunan. Berbagai kamp ini diawasi dan dimonitordengan ketat oleh pihak militer. Kamp ini diciptakan untuk alasan keamanan,bukan untuk kesejahteraan penduduknya.Ø Penduduk sipil yang menyerah atau ditangkap pertama-tama dibawa ke dalamkamp transit atau kamp penampungan sementara untuk proses registrasi daninterogasi, sebelum dipindahkan ke dalam kamp pengasingan dan kemudian keberbagai desa sasaran perpindahan. Walaupun kontrol keamanan berkurang disetiap tahap, yang menegaskan ciri-ciri dari semua kamp tersebut adalah sedikitatau tidak adanya akses menuju kebun yang terletak lebih jauh dari jarak yangsudah ditentukan sebelumnya dari berbagai pemukiman ini.Ø Militer Indonesia memberi prioritas lebih tinggi kepada pencapaian berbagaitujuan militer daripada memenuhi kewajiban kemanusiaannya terhadap penghunikamp-kamp ini. Dari sejak mulai diciptakan, persediaan kebutuhan dasarkehidupan di dalam berbagai kamp ini sangatlah tidak mencukupi.Ø Berbagai kamp ini menjadi situs untuk kasus kelaparan tingkat tinggi di manajumlah kematian yang terjadi tidak diketahui. Sudah berada dalam kondisi yangsangat lemah ketika memasuki kamp, para penduduk sipil mengalami masaberkepanjangan tanpa akses terhadap makanan, lahan berkebun atau bantuankemanusiaan darurat. Makanan yang mereka terima dari militer sangatlah tidakmencukupi untuk menghidupi mereka. Makanan tersebut juga seringkali tidakcocok untuk orang-orang yang sudah mengalami malnutrisi parah. Bahkan jatahmakanan yang sudah sangat kurang ini masih juga dibagikan secara diskriminatif.Komisi mengetahui bahwa, sebagai ganti makanan, militer dan para pendukungnyamemeras uang, warisan keluarga dan berbagai barang berharga lainnya (emas danmanik-manik tradisional), dan ‘hadiah’ seksual.Ø Walaupun kampanye militer yang dijalankan Militer Indonesia pada tahun1977-78 memiliki sasaran yang persis sama dengan hasil yang diraih – yaitu90


penyerahan diri secara massal penduduk yang berada di bawah kekuasaan Fretilinke dalam wilayah kekuasaan Indonesia--pihak berwajib Indonesia membuatsedikit atau tidak ada sama sekali persiapan untuk memenuhi kebutuhan palingesensial dari populasi ini untuk bernaung, makan, dan berobat. Pada tahapawal kampanye ini, pastilah tampak bagi militer Indonesia bahwa populasiyang melakukan penyerahan diri ini dalam kondisi sangat lemah dan sangatmembutuhkan berbagai kebutuhan esensial ini untuk bisa terus hidup. Namun,daripada menciptakan kondisi yang bisa menghindarkan kelaparan lebih lanjut,militer Indonesia mengabaikan berbagai kebutuhan dasar dari populasi yangmenyerahkan diri dan menetapkan larangan dan hukuman atas mereka yanglebih memperparah keadaan mereka yang sudah sangat buruk.Ø Skala kelaparan pada pertengahan hingga akhir tahun 1979 dan fakta bahwakelaparan ini terus menjadi semakin parah dapat dilihat dari berbagai laporanperwakilan bantuan internasional pada waktu itu. Dari hasil survey pada bulanApril 1979 Catholic Relief Services dari Amerika Serikat memperkirakan bahwa200.000 orang berada dalam “kondisi kekurangan gizi pada tingkat serius ataukritis”. Pada bulan September 1979 mereka menemukan bahwa jumlah orangorangyang berada di dalam kondisi ini mendekati jumlah 300.000. Palang MerahInternasional mendeskripsikan 60.000 dari 75,000 orang yang mereka survey padabulan Juli 1979 berada “di dalam kondisi kekurangan gizi yang mengkhawatirkan”termasuk “20.000 hampir mati karena kelaparan.” 33Bantuan KemanusiaanKomisi menemukan bahwa:Ø Pemerintah Indonesia menolak memberikan izin kepada setiap perwakilankemanusiaan internasional untuk beroperasi di Timor-Leste dari hari invasinyapada tanggal 7 Desember 1975 sampai akhir 1979. Tidak bisa dipungkiri bahwapihak berwajib dari militer Indonesia di Timor-Leste mengetahui meningkatnyajumlah kematian yang disebabkan kelaparan di berbagai kamp yang berada dibawah kekuasaan mereka.Ø Dari setidaknya akhir 1976, pemerintah Indonesia mengizinkan bantuanmakanan untuk mencapai orang-orang di berbagai kamp yang berada di bawahkekuasaaannya melalu Palang Merah Indonesia dan Gereja Katolik. Semualaporan ke Komisi menunjukkan bahwa bantuan ini terlalu sedikit atau terlaluterlambat untuk mencegah kelaparan di dalam beberapa kamp antara tahun 1977dan 1979. Sejumlah usaha Gereja Katolik untuk menyediakan lebih banyak lagibantuan dan untuk menangani atau mengawasi pembagiannya dibuat frustrasisecara sistematis.Ø Laporan mengenai kematian karena kejutan protein (protein shock) setelahmenerima bantuan makanan dan pengamatan yang hampir universal para mantantahanan bahwa nasi dan jagung yang mereka terima sudah basi menunjukkanbagaimana ketidakmampuan pihak berwajib Indonesia untuk menangani bantuanterhadap kelaparan.91


Ø Laporan mengenai kelaparan sampai ke perwakilan bantuan internasionalmenjelang April 1977, dan hal ini mendorong permintaan terhadap pemerintahIndonesia agar mereka diperbolehkan masuk ke wilayah bersangkutan. KunjunganTingkat Tinggi oleh sembilan duta besar luar negeri pada bulan September 1978 keberbagai kamp perpindahan di Timor-Leste meningkatkan kesadaran internasionalakan kebutuhan program bantuan kemanusiaan yang besar. Namun pemerintahIndonesia tidak mengizinkan perwakilan internasional untuk beroperasi di Timor-Leste sampai 12 bulan sesudahnya.Ø Penolakan pemerintah Indonesia untuk memperbolehkan program bantuaninternasional, walaupun kebutuhan untuk itu sudah diketahui secara internasional,hampir bisa dipastikan karena ketidakinginan Militer Indonesia akan keberadaansaksi atau halangan lainnya atas kampanye mereka untuk menjadikan pendudukpatuh di bawah kekuasaan mereka dan melemahkan perlawanan. Komisimempercayai bahwa waktu keputusan memperbolehkan CRS dan ICRC untukmelakukan penelitian di Timor-Leste, pada bulan April dan Juli 1979, kemudianmemperbolehkan para perwakilan tersebut untuk beroperasi pada bulan 1979sangatlah sugestif. Yang telah berubah pada waktu itu bukanlah perubahanskala kelaparan menjadi sangat besar–hal ini sudah diketahui beberapa bulansebelumnya- tapi karena militer Indonesia mempercayai bahwa kampanye untukmenghancurkan perlawanan pada dasarnya sudah selesai.Ø Sesudah diperbolehkan, organisasi bantuan Internasional masih juga dibatasidalam beroperasi. Mereka diijinkan memiliki sedikit saja pegawai non-Indonesiadi wilayah kerja di Timor-Leste. Mereka sering menghadapi hambatan melakukanpekerjaannya di berbagai tempat bekerja yang sudah sangat menyulitkan. Merekatidak diperbolehkan untuk mengirimkan bantuan ke luar wilayah yang beradadi luar kekuasaan militer Indonesia.Ø Operasi bantuan internasional yang dimulai pada akhir tahun 1979 menjangkaukebanyakan penduduk di berbagai kamp dan orang-orang lainnya yangmembutuhkan. Operasi ini telah mengurangi kelaparan yang terjadi di seluruhTimor-Leste.Ø Komisi menerima bukti dari masyarakat Timor-Leste yang sudah bekerja denganperwakilan bantuan internasional, dari orang-orang yang bekerja dengan gerejadan orang-orang yang seharusnya menjadi target bantuan bahwa, secara rutin,bantuan ini dialihkan dari target seharusnya, untuk dijual demi kepentinganpribadi atau digunakan untuk penggunaan pribadi oleh pihak militer Indonesiadan beberapa staf dari lembaga bantuan tersebut.Berbagai desa Relokasi yang Strategis dan PenginterniranKomisi menemukan bahwa:Ø Mulai dari awal tahun 1980-an pihak berwajib Indonesia memperkenalkan berbagaibentuk baru pemindahan. Hal ini berhubungan dengan dua jenis perkembangan.Yang pertama adalah keputusan untuk membongkar atau memperkecil kampkampperpindahan yang sudah dibangun untuk menampung populasi yang92


melakukan penyerahan diri pada akhir tahun 1970-an. Yang kedua adalahpengorganisasian ulang yang dilakukan oleh perlawanan sebagai pasukan gerilyayang mampu melakukan berbagai penyerangan terlokalisasi terhadap ABRI.Ø Untuk banyak orang, keputusan untuk memindahkan mereka keluar dari kampperpindahan tidak membawa perbaikan yang terlihat atas kondisi kehidupanmereka. Ada beberapa aspek positif, terutama di dalam penyediaan sekolahsekolah,klinik, pasar dan akses yang lebih mudah terhadap alat-alat transportasi.Namun, Komisi mendapatkan bukti yang banyak bahwa setidaknya di dalamparuh pertama tahun 1980-an, tahap pemindahan ini seringkali dikelola dengancara yang memastikan bahwa orang-orang yang menjadi korban pemindahan tidakakan bisa menikmati berbagai keuntungan yang bisa didapatkan dari programbaru ini. Lagi-lagi, ini ialah program yang melayani kepentingan militer, tapitidak menjamin keselamatan. Untuk banyak orang yang dipindahkan, transfermereka dari kamp perpindahan ke berbagai desa strategis, baru dan bahkandesa asal mereka sendiri tidak memperbaiki kondisi mereka secara substansial.Pembatasan atas kebebasan bergerak terus memiliki pengaruh serius terhadapproduksi makanan dan terhadap kesejahteraaan masyarakat.Ø Selain itu, bahkan setelah berbagai kamp perpindahan telah dibongkar, polapemukiman di Timor-Leste tetaplah berbeda secara radikal dari pola yang adasebelum invasi. Bahkan sampai saat ini masih ada tanda-tanda yang masih bisaterlihat. Banyak orang dipaksa untuk tinggal di berbagai kota dan jalan besar.Banyak wilayah subur ditinggalkan.Ø Pemindahan yang dilakukan sebagai respon dari tanda-tanda bahwa perlawanantelah berhasil selamat dari penghancuran berbagai markas mereka sangatlahberciri sebagai hukuman. Berbagai pemindahan ini mengambil tempat setelahserangan gerilya, penyeberangan kepada pasukan perlawanan oleh masyarakatTimor-Leste yang sebelumnya telah didaftarkan ke dalam pasukan pertahanansipil Indonesia, dan penegakan jaringan pendukung klandestin. Sejumlahpemindahan ini melibatkan penghukuman kolektif kepada seluruh komunitasdan hukuman ‘terwakili’ yang diberikan kepada orang-orang yang memilikihubungan keluarga dengan mereka yang masih bertempur di pedalaman dan dihutan.Ø Dihitung secara kumulatif, lebih dari 6.000 orang menjadi korban pemindahanpaksa ke pulau Ataúro antara pertengahan 1980 dan 1984. Pada puncaknyadi akhir tahun 1982, populasi yang menjadi korban pemindahan ini melebihi4.000 orang. Kebanyakan orang yang dikirim ke pulau ini bukanlah aktivispolitik maupun tentara perlawanan, tetapi orang dari 12 distrik yang memilikihubungan keluarga atau memiliki kontak dengan para tentara perlawanan yangmasih ada di hutan. Mereka kebanyakan terdiri dari perempuan dan anakanak,dan mereka mengalami kesulitan luar biasa untuk mempertahankan dirimereka di dalam wilayah yang sangat tandus ini. Mereka ditahan di pulau untukwaktu yang berjangka dari beberapa bulan sampai enam tahun. Mereka yangdatang pada gelombang pertama pemindahan paksa tidak diberi makanan ataudukungan lainnya yang mencukupi. Militer Indonesia juga melalaikan kewajibanmereka untuk menyediakan perawatan medis, air bersih, sanitasi dan tempatbernaung. Sekitar 5 persen dari orang-orang yang menjadi korban pemindahan diAtaúro meninggal di sana. Beberapa mampu bertahan karena mereka menerima93


pertolongan dari penduduk lokal, walaupun jumlah orang yang masuk tidak jauhlebih sedikit dari jumlah total penduduk asli menaruh beban yang tidak bisadidukung oleh sumber daya alam di pulau tersebut. Keadaan membaik ketikaPalang Merah Internasional diperbolehkan masuk pada tahun 1982. Ketika orangorangdilepaskan dari Ataúro, beberapa hanya dipindahkan ke berbagai wilayahlainnya untuk pengasingan berikut.Ø Beberapa yang ditahan setelah serangan oleh anggota perlawanan atas pos-pos danunit-unit militer juga dikirim ke Ataúro. Yang lainnya menjadi korban pemindahandari desa asal mereka dan dikirim ke berbagai tempat di mana mereka harusmembangun ulang hidup mereka tanpa bantuan apapun di lingkungan yangsangat tidak bersahabat. Ini adalah nasib banyak penduduk desa di Ainaro danManufahi yang terlibat di dalam pemberontakan Kablaki pada bulan Agustus1982 dan kebanyakan perempuan yang selamat dari pembunuhan massal setelahpemberontakan Kraras (Viqueque) pada bulan Agustus 1983. Grup ke-dua inidikirim ke tempat yang belum pernah dihuni siapapun sebelumnya di LalerekMutin di mana mereka terpaksa mempertahankan hidup di bawah pengamatanketat militer. Penduduk Lalerek Mutin mengalami sejumlah kejahatan seksual,orang hilang, kelaparan, penyakit dan kematian di sana. Perlakuan terhadapmereka sangat serupa dengan perlakuan yang diterima oleh penduduk dari Ainaroyang telah dipindahkan ke berbagai desa Raifusa dan Dotik distrik Manufahi satutahun sebelumnya.Pemindahan sebelum dan sesudah Konsultasi Rakyat 1999Komisi menemukan bahwa:Ø Ada hubungan langsung antara pembentukan milisi anti-kemerdekaan di Timor-Leste dari akhir tahun 1998 dan peningkatan jumlah kekerasan yang menyebabkanrasa takut, pemindahan, perampasan penghidupan dan kematian.Ø Rasa takut tersebut didorong oleh pengetahuan masyarakat bahwa, walaupunseperti disebutkan di dalam Perjanjian 5 Mei bahwa Pemerintah Indonesiawajib untuk menciptakan dan mempertahankan lingkungan yang aman untukKonsultasi Rakyat , berbagai kelompok milisi memiliki dukungan dari TNIdan berbagai elemen pemerintahan lain, dan bersandar pada dasar tersebutmemiliki kekebalan hukum atas berbagai tindakan mereka. Kebanyakan tindakankekerasan dan intimidasi di Timor-Leste pada tahun 1999 dilakukan oleh paraanggota milisi dan bukan anggota militer Indonesia. Namun, kebanyakan tindakkekerasan ini terjadi dengan kehadiran Militer atau Polisi Indonesia yang tidakbertindak apapun untuk mencegah berbagai tindakan tersebut. Orang-orang yangmencari perlindungan polisi dari tindakan kekerasan milisi tidak mendapatkanbantuan.Ø Ada bukti kuat bahwa sejumlah kelompok milisi secara paksa merekrut orangoranguntuk menjadi anggota mereka. Satu alasan mengapa orang-orang melarikandiri dari kediaman mereka ialah karena mereka ingin menghindari hal ini.94


Ø Tindakan kekerasan milisi sebelum referendum mencapai puncaknya pada bulanApril 1999 dengan berbagai serangan yang terjadi di banyak tempat, pembantaiandi Gereja Liquisa dan pelarian diri spontan dari banyak orang. Mereka mencaritempat untuk mengungsi di sejumlah lokasi terpencil di daerah pedalaman, dengankeluarga mereka di wilayah lain dan kompleks gereja. Beberapa, dari distrikdistrikbagian Barat, menyeberangi perbatasan ke Timor Barat, Indonesia.Ø Tujuan tindakan kekerasan milisi adalah untuk mendapatkan kemenanganmayoritas untuk pilihan otonomi dalam pemilihan suara 30 Agustus. Padapersiapan menuju referendum mereka menggunakan kekerasan tanpa pandangbulu untuk mengamankan kemenangan tersebut. Maka, walaupun mereka jugamembuat orang-orang secara terkemuka dikenal sebagai pro-kemerdekaan,seperti pemimpin-pemimpin CNRT dan anggota-anggota organisasi siswa prokemerdekaan,masyarakat sipil dan seluruh anggota komunitas dan mereka yangmenawarkan perlindungan terhadap komunitas-komunitas ini, termasuk gereja,juga menjadi korban mereka. Satu renungan dari berbagai prioritas ini ialah bahwamilisi (dan TNI) tidak terlibat secara militer melawan pasukan Falintil.Ø Di bawah ancaman kekerasan tanpa pandang bulu dari berbagai kelompok milisi,banyak orang menjauhi tempat kediaman biasa mereka. Diperkirakan sebanyak60,000 orang menjadi korban pemindahan. 34 Banyak yang kembali hanya untukmendaftar atau memilih sebelum kemudian kembali ke tempat pengungsian.Ø Seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang menjadi korban pemindahandan mengungsi ke konsentrasi populasi besar di mana mereka berharap untukmencari keselamatan, kondisi kehidupan mereka memburuk, dalam beberapakasus menjadi sangat genting.Ø Pihak berwajib Indonesia dan sekutu milisi mereka menggunakan berbagaicara, termasuk penghalangan birokrasi dan kekerasan, untuk menggagalkanusaha-usaha Organisasi Non Pemerintah lokal, didukung oleh UNAMET danperwakilan PBB, untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi mereka yangmenjadi korban pemindahan.Ø Kondisi keamanan yang menyedihkan dan pelarian diri orang-orang pada jumlahbesar pada tahun-tahun 1998 dan 1999 mengganggu penanaman bahan pangan.Ini memperburuk kekurangan makanan yang disebabkan oleh panen buruk padatahun 1998 yang disebabkan oleh curah hujan rendah.Ø Taktik “bumi hangus” menyeluruh yang digunakan TNI dan kelompokkelompokmilisi setelah Konsultasi Rakyat, ditandai dengan ancaman kekerasan,pembunuhan, deportasi paksa massal dan penghancuran sejumlah bangunanmilik publik maupun pribadi di seluruh wilayah Timor-Leste, menyebabkankebanyakan penduduk sipil mengalami pemindahan, internal maupuneksternal.Ø Sekitar 250,000 orang dipindahkan ke Timor Barat sesudah pemilihan referendum.Rencana mendetil untuk pengungsian besar-besaran, melibatkan beberapaanggota kementerian Pemerintah Indonesia, sudah dibuat jauh hari sebelumreferendum. Kebanyakan mereka dipaksa pindah, ini berarti kekerasan atau95


ancaman kekerasan dipakai untuk memastikan bahwa mereka patuh dengankeinginan pihak berwajib Indonesia sehingga mereka harus meninggalkan Timor-Leste.Ø Orang Timor-Leste yang tinggal di berbagai kamp dan tempat lainnya di TimorBarat, di mana mereka mengungsi, masih berhadapan dengan kontrol, intimidasidan kekerasan dari para anggota milisi. Banyak yang ingin kembali ke Timor-Leste, tetapi dihalang-halangi untuk melakukan itu dengan kombinasi ancamandan informasi yang menyesatkan dari para anggota milisi.Ø Walaupun berbagai organisasi bantuan internasional mampu membagikanbantuan kemanusiaan kepada korban pemindahan, mereka juga dihadapi dengankontrol, intimidasi, penyerangan dan pembunuhan oleh para anggota milisi.Penahanan, Penyiksaan dan PenganiayaanPada tanggal 10 November 1990 jam 10.00 saya ditangkap olehTNI anggota Kodim bersama SGI di kediaman Pastor ParokiLiquiça. Setelah ditangkap saya dibawa ke Kodim Liquiça untukdiinvestigasi. Selama interogasi berlansung saya ditendang jatuh,diinjak dan memukul pada punggung saya dengan batu sampaisaya pinsang dan jatuh tersungkur ke lantai. Kemudian diinterogasioleh Kepala Seksi Intelijen Kodim Liquiça. saya ditindih denganmeja pada kaki lalu diduduki oleh salah seorang anggota TNI dansaya juga dipukul dengan batu saat interogasi yang dilakukanoleh Kepala Seksi Intelijen berlangsung dan saya pun pingsan lagi(kedua kalinya).Setelah sadar, saya diborgol oleh polisi dan dibawa ke PolresLiquiça. Di sana saya dirawat oleh polisi, luka memar sayadikompres dengan betadin dan verbal. Kemudian saya ditelanjangidan dimasukan dalam sel tahanan di Polres Liquiça pada pukul17.00 juga pada waktu itu ada jemputan dari Gada Paksi danSGI dari Dili dan membawa saya ke Markas SGI di Dili Kolmera.sesampainya di Kolmera anggota SGI bernama Jose Manlinlangsung meninju saya pada pipi kiri dan kanan sampai saya jatuhke lantai. Secara perlahan-lahan saya bangun dan diinterogasioleh anggota SGI. Dalam interogasi itu anggota SGI itu memukulsaya, menendang dan juga menampar hingga benar-benar sayababak belur.Setelah itu saya dipindahkan ke Kolakops Farol (kantor InvestigasiSGI), di sana pakaian saya dibuka satu per satu oleh seoranganggota SGI bernama Nurhadi dan setelah itu dia mengikat sayadengan kabel pada kursi lalu menyetromkan saya dengan listrikpada kedua ujung kaki dan kedua telinga saya. 3596


TinjauanPenahanan sewenang-wenang, atau yang juga dikenal sebagai pencabutan kebebasansewenang-wenang, diderita oleh lebih banyak orang Timor-Leste dibandingkanpelanggaran lainnya. Penahanan sewenang-wenang ini terjadi sepanjang periodekonflik di Timor-Leste, baik selama konflik politik internal maupun konflik denganIndonesia, yang terjadi di semua distrik. Meskipun semua pihak yang terlibat dalamkonflik pernah menahan orang secara sewenang-wenang, anggota pasukan keamananIndonesia bertanggung jawab atas sebagian besar kasus yang didokumentasikan olehKomisi.Penahanan sewenang-wenang penting untuk dibahas bukan hanya karena ia sendirimerupakan suatu pelanggaran, tetapi juga karena penahanan mengekspos korbankepada banyak pelanggaran lainnya. Penganiayaan dan penyiksaan, pelanggarandalam peringkat ketiga dan keempat yang dilaporkan pada Komisi, amat sering terjadisaat korban berada dalam penahanan. Bagian-bagian lain dalam laporan ini jugamenemukan bahwa kekerasan seksual, pembunuhan dan penghilangan, perekrutanpaksa, kerja paksa, penjarahan harta benda dan pemindahan paksa sangat seringterjadi saat korban berada dalam penahanan, yang artinya berada di bawah kuasapelaku penahanan.Banyaknya rakyat Timor-Leste yang menderita karena dikurung dan diperlakukankejam secara fisik mengungkap suatu periode 24 tahun kebrutalan dan penggunaankekerasan secara berulang-ulang untuk menghancurkan oposisi politik, yang akhirnyaberpuncak pada kekerasan dan penghancuran tahun 1999. Pelapor Khusus PBBtentang penyiksaan menyimpulkan dalam laporannya pada bulan Januari 1992 bahwapenyiksaan lazim terjadi di Timor Leste. * Sebagaimana yang akan dipaparkan dalambagian ini, kejadian pelanggaran seperti ini terlalu sering dimaklumi, diabaikanatau bahkan dilakukan oleh pihak yang berkuasa di setiap tahap konflik. Impunitasatas tindakan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penganiayaan sudahlazim.Penahanan, penyiksaan dan penganiayaan termasuk di antara pelanggaranpelanggaranyang paling sering dilaporkan di sepanjang periode mandat. Dari seluruhpelanggaran non-fatal yang dilaporkan kepada Komisi, 42,3%-nya (25.347/59.972)adalah penahanan, 18,5%-nya (11.123/59.972) adalah tindak penyiksaan, dan 14,1%-nya (8.436/59.972) adalah tindak penganiayaan. † Hampir 67%, atau dua per tiga,dari korban pelanggaran non-fatal melaporkan pernah ditahan pada waktu tertentu.Sebagian besar penyiksaan dan penganiayaan terjadi saat berada dalam penahanan.Penahanan, penyiksaan dan penganiayaan mengikuti pola-pola serupa, dan bahwa adadua puncak tingkat pelanggaran seperti itu: pada tahun 1975 selama periode konflikpolitik internal dan invasi Indonesia ke wilayah ini, dan pada tahun 1999 ketikapenduduk Timor Leste memilih kemerdekaan dan militer Indonesia pergi. Namun*Pelapor Khusus PBB mengemukakan 11 rekomendasi agar dilaksanakan oleh pihak berwenang Indonesia untuk mengakhiri penyiksaan.Hanya dua dari rekomendasi itu yang dilaksanakan, yakni pembentukan sebuah Komisi HAM Nasional dan pengakuan terhadap KonvensiMenentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat. Namun,yang disebutkan terakhir tadi tidak dilaksanakan sampai tahun 1998.†Jumlah-jumlah ini sama sekali tidak mewakili jumlah total kasus penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penganiayaan yangtelah terjadi di Timor Timur selama periode ini. Jumlah-jumlah tersebut merupakan hasil dari pernyataan-pernyataan dari hanya sekitar1% penduduk, dan belum “disesuaikan” agar dua pernyataan bisa mengacu kepada kejadian penahanan, penyiksaan ataupun penganiayaanyang sama.97


demikian, selama periode 1976-84 ketika dilakukan operasi-operasi militer Indonesiabesar-besaran untuk menaklukkan Timor Timur dan menghancurkan perlawanan,penahanan, penyiksaan dan penganiayaan terjadi dalam skala besar. Selama periode 14tahun, yakni 1985-98, ketika Timor Leste dianggap sebagai sebuah provinsi Indonesiayang normal, penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan masih dilaporkan terjadisetiap tahun dalam skala kekerasan tingkat rendah yang sporadis.Pola lintas ruang juga tidak seragam di seluruh konflik. Dalam tahun-tahun pertamaperiode mandat, jumlah tertinggi penahanan serta kasus penganiayaan dan penyiksaanterjadi di distrik-distrik barat. Pada tahun 1980, situasi ini telah berpindah denganmencolok ke distrik-distrik timur, tempat berbasisnya gerakan perlawanan dan palingbanyak aktivitas perlawanan terjadi, dan ini berlanjut sampai tahun 1984. Antaratahun 1985 dan 1998, ada kekerasan sporadis dengan tingkat-tingkat serupa di semuakawasan di wilayah ini, namun tidak di semua distrik di setiap tahun. Pada tahun1999, distrik-distrik yang dekat dengan perbatasan Bobonaro, Covalima dan Liquiçakembali mengalami kekerasan yang paling banyak.Secara keseluruhan, jumlah tertinggi orang yang ditahan selama periode mandat (18%dari total laporan) ditahan di Dili, disusul Lautem, Viqueque dan Baucau (kawasanTimur). Jumlah paling sedikit kasus yang terdokumentasi berasal dari Oecusse(0,8%), * disusul Distrik Covalima dan Distrik Liquiça. Penyiksaan dan penganiayaan,meski yang tertinggi terjadi di Dili (12% dan 13% secara berurutan dari total kasusyang dilaporkan), namun juga paling sering terjadi di Distrik Ermera dan DistrikManufahi.KorbanProses pengambilan pernyataan oleh Komisi mengidentifikasi 17.169 korban penahanansewenang-wenang, 8.508 korban penyiksaan dan 6.872 korban penganiayaan. Darikasus-kasus ini, jelaslah bahwa para lelaki muda seusia militer, yang terlibat dalamFretilin/Falintil atau kelompok-kelompok lain yang menentang pendudukan Indonesia,mengalami sebagian besar pelanggaran.Secara keseluruhan, dalam kasus penahanan sewenang-wenang perempuan merupakan13,9% dari korban, 12,3% dalam kasus penyiksaan dan 7,7% dalam kasus penganiayaan.Bias gender yang kuat ini mencerminkan bahwa laki-laki berada di garis depan dalamkonflik, bertarung dalam konflik politik internal dan ambil bagian dalam perlawananbersenjata ataupun jaringan klandestin selama pendudukan, dan juga bahwa lebihsedikit perempuan yang tampil ke muka untuk memberikan pernyataan dibandingkanlaki-laki. Hanya 21% dari pernyataan dalam proses pengambilan pernyataan olehKomisi yang diberikan oleh perempuan.Para korban penahanan, penyiksaan dan penganiayaan terutama adalah anggotagerakan Perlawanan dan anggota klandestin, juga para mahasiswa dan para pendukungsebenarnya ataupun orang-orang yang dicurigai sebagai pendukung kemerdekaan.Banyak orang yang walaupun hanya tak langsung terlibat dalam perjuangan jugaditahan dan disiksa. Anggota keluarga dan teman dari orang-orang yang dituduh*Sampai tahun 1999, hampir tidak ada kasus penahanan, penyiksaan dan penganiayaan di daerah kantong Oecusse, selain dari yang terjadipada tahun 1975. Situasi ini berubah pada tahun 1999 ketika kekerasan yang dipimpin oleh milisi melanda daerah ini.98


sebagai pemberontak dan anggota klandestin ditahan, sering kali dalam upaya untukmengisolasi mereka --yang dituduh sebagai anggota gerakan Perlawanan bersenjataatau klandestin-- dari jaringan-jaringan pendukung mereka, dengan demikianmemaksa mereka menyerah. Kerabat dan rekan sejawat juga ditahan, disiksa dandianiaya untuk mengorek informasi dari mereka tentang keberadaan dan berbagaiaktivitas anggota keluarga atau sejawat mereka yang dicurigai. Contoh hal ini adalahratusan keluarga yang dikirim oleh penguasa Indonesia ke Ataύro di awal 1980-an karena mereka punya anggota keluarga yang berada di dalam Perlawanan atauberasal dari berbagai daerah yang perlawanannya gigih. Ini berarti, hanya beberapadi antara kasus panahanan, penyiksaan atau penganiayaan yang dilaporkan kepadaKomisi merupakan penyerangan serampangan terhadap masyarakat sipil yang tidakmemiliki motivasi politik. Hanya beberapa dari para korban yang merupakan orangTimor-Leste yang bekerjasama dengan Indonesia.Pelaku KelembagaanPelaku penahanan sewenang-wenang, penganiayaan dan penyiksaan yang sering,jauh di atas kelompok pelaku lainnya, adalah militer dan polisi Indonesia bersamapasukan pembantu mereka. Mereka secara bersama terlibat langsung pada 82.2%(20.867/25.383) dari kasus penahanan sewenang-wenang dan 82,4% (16.135/19.578)dari kasus-kasus penyiksaan dan peganiayaan.Jika gambaran tentang pelaku ini dijabarkan, sangat jelas bahwa para anggota militerdan polisi Indonesia yang bertindak sendiri tetap merupakan pelaku terbesar. Dari parakorban yang melaporkan kasus penahanan sewenang-wenang, 48,1% (12.212/25.383)menunjuk anggota ABRI/TNI sebagai pelaku tunggal, sedangkan dari para korbanpenyiksaan serta berbagai tindakan penganiayaan, 45,5% (8.890/19.578) melaporkanhal yang sama. Berbagai jawatan ABRI bertanggung jawab pada kurun waktu yangberbeda. Pada tahun-tahun awal, berbagai batalyon dan para komandannya disebutkandalam sebagian besar penahanan, penganiayaan dan penyiksaan karena berbagaikasus itu terjadi selama operasi militer. Pada akhir 1970-an, berbagai kesatuan yangmembentuk bagian dari struktur teritorial, seperti komando distrik militer (Kodim)dan komando rayon militer (Koramil), paling sering disebut. Polisi menjadi lebihaktif pada periode akhir masa pendudukan, yakni ketika prosedur hukum dalam halpenahanan di wilayah ini telah dinormalisasi. Dengan kenyataan bahwa sasaran utamaaparat keamanan selama pendudukan adalah para anggota Perlawanan baik bersenjatamaupun klandestin, maka selama pendudukan berbagai dinas intelijen dan PasukanKhusus (Kopassandha/Kopassus) sering melakukan penangkapan, penahanan,penyiksaan dan penganiayaan, baik langsung ataupun tak langsung, misalnya denganmemerintah atau mendorong pasukan-pasukan pembantu Timor Timur semacamHansip atau kelompok-kelompok milisi untuk melakukan pelanggaran.Orang Timor-Leste yang bekerja sama dengan militer dan aparat Indonesia (sepertipertahanan sipil, pejabat pemerintah lokal, petugas “pembina desa” serta kelompokkelompokparamiliter dan milisi) disebutkan terlibat langsung pada hanya 12.3%(3,126/25,383) dari kasus penahanan dan 22.4% dari (4,380/19,578) kasus-kasunlainnya. Jelaslah bahwa militer merupakan pelaku institusional utama dalam semuatahun, kecuali 1999.99


Gerakan Perlawanan diidentifikasi sebagai pelaku kelembagaan dalam 13% dari kasuskasuspenahanan, 11% kasus penyiksaan dan 13% kasus penganiayaan. Sebagianbesar kasus ini terjadi pada tahun 1975 selama periode konflik politik internal, danantara 1976 sampai 1979 ketika perpecahan internal di dalam Fretilin sedang padapuncaknya.Penahanan, penyiksaan dan penganiayaan oleh UDTPenahananKomisi menemukan bahwa:Ø Para anggota dan pendukung UDT serta pasukan UDT melaksanakan penahananyang meluas selama periode aksi bersenjata di bulan Agustus 1975. Berbagaitindakan ini jelas ditujukan langsung kepada para pemimpin, anggota danpendukung Fretilin. Temuan oleh Komisi ini berdasarkan atas sejumlah wawancaradan kesaksian langsung dari ratusan orang yang ditahan oleh UDT atau yangmenyaksikan UDT menahan orang-orang, serta profil sejarah yang dibuat olehsejumlah komunitas.Ø Para anggota UDT dan pasukan UDT menahan para korban di semua distrik diTimor-Leste kecuali Oecusse, tetapi jumlah terbesar ditahan di Ermera, Dili, danBobonaro. Sebagian besar penahanan terjadi pada hari pertama gerakan bersenjataUDT, yaitu pada tanggal 11 August 1975, tetapi lebih banyak orang yang ditahandalam sepuluh hari sesudahnya.Ø Berbagai penahanan ini merupakan strategi utama dari aksi UDT. Meskipundemikian, UDT tidak memiliki wewenang hukum untuk menangkapi penduduksipil, dan sejumlah penangkapan serta penahanan timbul dari pendukung Fretilinyang menggunakan hak yang sah atas kebebasan opini politik dan kebebasanberasosiasi.Ø Para korban penahanan yang sewenang-wenang ditahan di berbagai tempat yangdiubah menjadi penjara, biasanya adalah sejumlah gedung besar di daerah di manaberbagai penangkapan itu dilakukan. Beberapa gedung ini termasuk gudang,sekolah, rumah pribadi, bekas penjara Portugis, barak militer dan kandangbinatang. Sejumlah pusat penahanan juga didirikan, termasuk Palapaço di Dilidan Descascadeira di Baucau, di mana para tahanan yang ditahan di berbagaidistrik lain.Ø Periode penahanan berlangsung singkat karena gerakan UDT yang dimulai 11Agustus tidak bertahan lama. Sebagian besar tahanan dibebaskan dalam waktudua minggu tetapi beberapa orang ditahan lebih dari satu bulan. Sementara beradadi tempat penahanan, para tahanan dipaksa secara berkala untuk melakukanpekerjaan seperti memasak untuk para tahanan lainnya dan membersihkanberbagai pusat penahanan itu, membangun jalan atau membawa batu-batu dankayu. UDT membebaskan beberapa tahanan atas persetujuannya sendiri tetapisebagian besar diabaikan ketika pasukan Fretilin menyerang sebuah daerah dimana para tahanan ditahan, dan pasukan UDT melarikan diri.100


Ø Sejumlah korban penahanan sewenang-wenang oleh UDT yang diketahui olehKomisi sebagian besar adalah lelaki, yang berusia memasuki dinas militer dandiyakini para pelaku memiliki hubungan dengan Fretilin. Kadang para anggotakeluarga dari korban ini, termasuk isteri, orang tua dan anak-anak mereka, jugaditahan dengan sewenang-wenang.Ø Para pelaku penahanan sewenang-wenang sebagian besar adalah para pemimpinUDT tingkat distrik atau orang-orang yang berada di bawah perintah mereka.Para pemimpin ini mengetahui populasi di masing-masing distrik sehingga secaraefektif dapat mentargetkan para anggota atau pendukung Fretilin.Perlakuan buruk dan penyiksaanØ Para anggota dan pendukung UDT serta sejumlah individu yang dikerahkan olehpimpinan UDT melakukan perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkanmartabat yang meluas terhadap tahanan, selama terjadinya aksi bersenjata padabulan Agustus 1975. Dalam beberapa kasus para tahanan disiksa, tetapi hal initidak terjadi secara meluas. Berbagai tindakan ini terjadi antara 11 Agustus 1975dan akhir Agustus di setiap distrik Timor-Leste, kecuali Oecusse, tetapi terpusatdi Ermera, Dili, dan Bobonaro.Temuan Komisi ini berdasarkan atas sejumlah wawancara dan kesaksian langsungdari ratusan orang yang diperlakukan dianiaya dan disiksa oleh UDT atau yangmenyaksikan UDT menahan orang-orang.Ø Berbagai bentuk kekerasan fisik yang diderita para korban termasuk:• Pemukulan berat dengan tangan atau senapan, oleh satu pelaku ataukadang oleh sekelompok pelaku• Cambukan• Diikat dalam waktu yang lama, kadang lebih dari satu minggu• Berbagai ancaman pembunuhan• Korban disayat dengan parang atau pisau cukur• Tamparan dan tendangan• Satu korban melaporkan disundut dengan rokok yang menyala.Ø Para pemimpin UDT menahan para tahanan di sejumlah gedung atau bangunanyang tidak dipersiapkan untuk menahan sekelompok besar manusia untuk waktuyang lama. Di berbagai tempat ini sanitasi dan ventilasi sangat tidak mencukupidan sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali upaya untuk memperbaiki kondisikondisiini oleh para anggota UDT yang bertanggungjawab terhadap pusatpusatpenahanan ini. Banyak pusat penahanan yang terlalu padat. Selain itu,UDT tidak mempersiapkan perbekalan untuk memberi makan ratusan orangyang ditahannya. Para tahanan dari sejumlah pusat penahanan utama UDTmelaporkan tidak diizinkan untuk makan; beberapa orang tidak mendapatmakanan sampai sembilan hari. Sedikitnya dua orang yang mati karena kelaparanselama penahanan. Keburukan berbagai kondisi ini sama dengan perlakuan yangkejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.101


Ø Pelecehan fisik berupa perlakuan buruk dan penyiksaan para tahanan tidakdilakukan untuk memperoleh informasi atau memaksa korban. Agaknya, korbanmenderita berbagai tindakan kekerasan yang disebutkan di atas ketika dalamproses penangkapan, perjalanan ke penjara dan ketika berada di tahanan sebagaihukuman atau sebagai perwujudan dari kekerasan yang tidak terkendali yangdilampiaskan dalam periode ini.Ø Para korban perlakuan buruk dan penyiksaan oleh UDT sebagian besar adalahtahanan atau orang-orang yang ditangkap. Oleh karena itu mereka sebagianbesar adalah lelaki-berusia memasuki dinas militer yang memang atau dicurigaiberhubungan dengan Fretilin. Para pemimpin Fretilin diperlakukan dengankebrutalan tertentu.Ø Perlakuan buruk dan penyiksaan tidak selalu diperintahkan Komite Politik UDT,tetapi berbagai ketegangan waktu itu, serta hasutan penangkapan yang dilakukanmelalui radio dan hasutan untuk “menghabisi para komunis” oleh anggota KomiteSentral UDT tertentu, menciptakan situasi di mana kekerasan terhadap paratahanan sangat mungkin terjadi. Selain itu, para anggota Komite Sentral UDTsudah mengetahui bahwa para pemimpin UDT, juga anggota dan pasukannyamenganiaya dan dalam beberapa kasus melakukan penyiksaan terhadap paratahanan. Bentuk penyiksaan yang paling ekstrim terjadi di markas besar UDTdi Dili dan di basis-basis kuat UDT di Distrik Ermera dan Liquiça, di mana parapemimpin UDT terlihat di semua tempat ini.Ø Hanya sedikit upaya yang dilakukan kepemimpinan UDT secara kolektif untukmencegah atau menghentikan berbagai kekerasan terhadap para tahanan ini,bahkan ketika mereka mengetahui apa yang terjadi.Penahanan, penyiksaan dan perlakuan buruk FretilinSelama konflik bersenjata internalPenahananKomisi menemukan bahwa:Ø Fretilin membalas upaya gerakan bersenjata UDT dengan pemberontakanbersenjata, yang disertai dengan penangkapan dan penahanan yang meluasterhadap para pemimpin, anggota dan pendukung UDT. Walaupun kejadianini sebagian didorong oleh keinginan untuk menghentikan kekerasan terhadapanggota Fretilin, hal ini juga didorong oleh pembalasan dendam atas kekerasanyang telah dilakukan oleh para anggota dan pasukan UDT. Penahanan dilakukandi semua distrik Timor-Leste kecuali Oecusse dan Lautém, tetapi angka tertinggiterjadi di Aileu, Manufahi, Ainaro dan Dili. Lebih dari seribu orang ditahan diseluruh wilayah tersebut.Ø Fretilin menahan sebagian besar anggota atau pendukung UDT pada minggupertama pemberontakan bersenjata, yaitu tanggal 20-27 Agustus 1975, setelah102


para pemimpin dan anggota UDT meninggalkan wilayah itu dan lari ke TimorBarat (Indonesia). Berbagai kasus penahanan para tahanan anggota UDT yangtidak diketahui, terus berlanjut sampai terjadinya invasi Indonesia. Fretilin jugamenahan para pemimpin, anggota dan pendukung Apodeti yang terlibat dalamgerakan UDT yang dimulai 11 Agustus terus sepanjang Agustus dan September.Pada tanggal 4 Oktober Komite Sentral Fretilin memerintahkan penahananyang meluas terhadap para anggota Apodeti sebagai tanggapan atas desas-desusadanya kudeta Apodeti dan adanya infiltrasi ABRI di perbatasan Timor-Leste danFretilin kemudian menahan pemimpin senior Apodeti beserta para anggota danpendukung lainnya. Fretilin juga menahan tentara Portugis, termasuk KepalaPolisi Letnan Kolonel Maggiolo Gouveia, karena keterlibatannya dalam aksibersenjata UDT 11 Agustus 1975.Ø Para korban penahanan sewenang-wenang ditahan di tempat yang dijadikanpenjara, biasanya berbagai gedung besar di daerah. Beberapa gedung ini sudahpernah digunakan UDT selama gerakan bersenjata. Berbagai gedung ini termasukgudang, sekolah, bekas penjara Portugis, museum Dili, barak- militer. Pusatpenahanan terbesar berada di markas Fretilin di Aisirimou, distrik Aileu.Ø Sesudah Fretilin menguasai wilayah ini, Fretilin kemudian memusatkan paratahanan dari Ermera dan Manufahi, di Aisirimou dan pada 7 Desember ketikaIndonesia melancarkan invasi besar-besaran, para tahanan dari Dili jugadipindahkan ke Aisirimou. Sampai pada 9 Desember, jumlah yang ditahan hampirmendekati 1000 orang.Ø Korban penahanan sewenang-wenang yang dilakukan para anggota danpendukung Fretilin diketahui oleh Komisi, sebagian besar adalah lelaki berusiamemasuki dinas militer dan diyakini oleh pelaku sebagai yang memiliki hubungandengan UDT atau Apodeti. Para pemimpin partai politik KOTA dan Trabalhistajuga ditahan. Kadang anggota keluarga para korban ini juga ditahan dengansewenang-wenang.Ø Pelaku penahanan sewenang-wenang sebagian besar adalah para komandanFretilin tingkat distrik atau orang-orang yang berada di bawah perintah mereka.Para komandan ini mengetahui populasi di berbagai distrik sehingga dapat secaraefektif mentargetkan para anggota dan pendukung UDT dan Apodeti.Ø Setelah akhir konflik bersenjata internal, Fretilin melakukan sejumlah upayauntuk memproses para tahanan. Fretilin membentuk sebuah Komisi Investigasi[Comissão de Inquerito] untuk menentukan tingkat keterlibatan para tahanandalam aksi bersenjata UDT 11 Agustus 1975. Proses investigasi ini melibatkanrakyat yang memberikan kesaksian. Proses investigasi ini beroperasi di tingkatdistrik tetapi dalam situasi konflik ini, proses ini tidak lebih baik dari peradilanmassa. Tersangka tidak dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan bersalaholeh rakyat dan tidak berhak untuk menjawab. Bentuk hukuman yang ditentukanrakyat seringkali kejam dan tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukan.Ø Para korban ditahan di penahanan sampai lima bulan, hingga kedatangan pasukanIndonesia mengakibatkan para tahanan tidak dapat dipertahankan dan merekapun diterlantarkan, dibebaskan atau, dalam beberapa kasus, dibunuh.103


Ø Para tahanan sering dipaksa melakukan pekerjaan seperti memasak untuk paratahanan lainnya dan membersihkan berbagai pusat penahanan, membangunjalan serta membawa batu-batu dan kayu. Di antara para tahanan, ada juga yangdirekrut ke dalam pasukan Fretilin/Falintil setelah invasi besar-besaran Indonesia.Agar dapat memberikan makan para tahanan, kamp-kamp kerja dibentuk dimanapara tahanan dipaksa untuk bekerja di sawah dan perkebunan kopi.Ø Fretilin mempertahankan tahanannya yang berada di Dili dan Aileu setelah invasiIndonesia karena takut mereka akan jatuh ke tangan Militer Indonesia. Fretilinmenjauhkan para tahanan dari pasukan Indonesia, pertama-tama membawa merekayang ditahan di Dili ke Aileu dan kemudian memindahkan semua tahanan dariAileu melalui Maubisse ke Kota Same dan akhirnya ke Holarua di Subdistrik Same diDistrik Manufahi. Sebagian tahanan UDT dibawa ke Ainaro. Di Same, paratahananUDT dibebaskan dan para tahanan Apodeti yang masih ada dibebaskan secarabersyarat. lihat Bagian mengenai Pembunuhan di luar hukum dan Penghilanganpaksa yang berhubungan dengan pembunuhan para tahanan.Penyiksaan dan perlakuan burukØ Para anggota dan pendukung Fretilin serta sejumlah pasukan Fretilin melakukanperlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat yang meluasterhadap para tahanan selama masa konflik bersenjata internal pada tahun1975. Dalam beberapa kasus, kekejaman perlakuan yang diderita para tahananmendekati penyiksaan dan sejumlah orang mati akibat kekerasan yang merekaderita. Perlakuan keji ini terjadi dalam situasi kekerasan yang tak terkendali dandalam semangat pembalasan dendam atas berbagai pelanggaran yang dilakukanoleh UDT. Para anggota Apodeti juga terjebak dalam kekerasan itu dan menderitaperlakuan buruk serta penyiksaan, terutama ketika intensitas serangan Indonesiameningkat.Ø Kebrutalan yang dilakukan anggota Fretilin terhadap para tahanan atau apa yangdiperbolehkan Fretilin untuk diperlakukan terhadap para tahanan, dapat dilihatdari daftar penggalan tentang apa yang terjadi sebagai berikut:• Pemukulan berat dengan tangan atau dengan sebuah alat termasuksenapan, batang besi, tongkat kayu, bambu, rotan, kawat rem mobil, helm,alat tumbuk, paku, serta kawat berduri. Beberapa tahanan dipukuli hinggamati atau sampai mereka pingsan, buta atau tuli.• Para tahanan diperintahkan untuk saling memukuli satu sama lain,termasuk tahanan yang mempunyai hubungan keluarga satu sama lain• Tusukan• Cambukan• Mengikat tahanan sebelum memukuli mereka agar mereka tidak bisamembela diri• Menyeret tahanan di tanah sampai mereka terluka dan berdarahØ Menelanjangi para tahanan dan memaksa mereka untuk tidur di tanah yang kasarSejumlah tindakan ini terjadi mulai tanggal 20 Agustus 1975 di semua distrik Timor-Leste kecuali Oecusse tetapi terpusat di Ermera, Dili, Baucau, Manufahi, dan Aileu.104


Ø Perlakuan terhadap para tahanan di pusat-pusat penahanan bermacam-macam,tetapi hanya di Comarca dan di Museum Dili yang kekerasan terhadap tahanannyatidak dilaporkan. Di berbagai pusat penahanan lainnya, para penjaga penjarasering memukuli para tahanan dan, setidak-tidaknya di sebuah penjara Fretilin,seorang penjaga khusus ditunjuk untuk bertugas menyiksa para tahanan.Ø Beberapa tahanan diinterogasi oleh Fretilin dan, dalam sebagian besar kasus,kekerasan bukan untuk alasan apa pun, selain untuk menghukum tahanan atausebuah perwujudan dari situasi umum konflik dan kekerasan.Ø Seperti apa yang telah dilakukan UDT sebelumnya, para komandan dan anggotaFretilin menggunakan sejumlah gedung atau bangunan yang tidak dipersiapkanuntuk menahan sekelompok besar orang dalam waktu yang lama. Kondisi sanitasidan ventilasi sangat menyedihkan dan hanya sedikit bahkan tidak ada samasekali upaya untuk memperbaiki berbagai kondisi ini oleh para anggota Fretilinyang bertanggung jawab terhadap berbagai pusat penahanan itu. Pusat-pusatpenahanan ini seringkali terlalu padat, terutama pusat-pusat penahanan yangberada di Aileu. Kondisi ini sangat memilukan, sama dengan perlakukan kejam,tidak manusiawi serta menurunkan martabat manusia.Ø Porsi makanan yang diterima para orang yang ditahan Fretilin bermacammacam.Di Baucau dan di Comarca Dili, para tahanan dilaporkan menerimamakanan tiga kali sehari dari bulan Agustus sampai Oktober. Di berbagai pusatpenahanan lainnya para tahanan dilaporkan menerima tidak cukup makanan.Sejak bulan November, ketika serangan Indonesia di sepanjang perbatasanberlanjut, sejumlah pusat penahanan mengalami kekurangan makanan yangcukup parah. Kepemimpinan Fretilin sadar akan keadaan kekurangan makananini dan mendirikan berbagai kamp kerja di Aileu, tetapi ini pun tidak berhasiluntuk memberi makan para tahanan sebagian besar karena serangan militerIndonesia. Fretilin tidak membebaskan para tahanan walaupun menyadari tidakdapat lagi memberi mereka makanan. Hal ini sama dengan perlakuan keji, tidakmanusiawi dan menurunkan martabat manusia.Ø Walaupun kekerasan terjadi dalam konteks konflik bersenjata, jelas bahwapara anggota senior Komite Sentral Fretilin mengetahui kekerasan yang terjaditerhadap para tahanan. Perlakukan yang paling brutal terhadap para tahananterjadi di markas Fretilin di Taibesi dan di Aisirimou, Aileu. Perlakuan terhadappara tahanan berbeda-beda antar distrik, begitu pula tingkat tanggungjawabperlakuan buruk dan penyiksaan terhadap tahanan. Di Baucau, para tahananmengatakan bahwa mereka dipukuli secara berkala tetapi hanya oleh parapenjaga saat atasan mereka sudah pergi. Namun, di Manufahi dan Aileu, parapemimpin Fretilin hadir pada saat penyiksaan para pemimpin UDT dan tidakhanya memperbolehkan tetapi juga menghasut komunitas untuk menyerang paraanggota UDT. Beberapa anggota Komite Sentral Fretilin mengemukakan apa yangmereka ketahui mengenai kekerasan terhadap para tahanan, tetapi mengatakanbahwa mereka tidak dapat mengendalikannya.Ø Tidak cukup upaya dilakukan kepemimpinan Fretilin untuk mencegah terjadinyakekerasan atau untuk menghentikan kekerasan terhadap para tahanan, bahkansesudah mereka mengetahui apa yang terjadi.105


1976-79Komisi menemukan bahwa:PenahananØ Sesudah invasi Indonesia, Fretilin tetap menahan orang-orang di wilayah yangberada di “zona-zona terbebas” (“zonas libertadas”) yang dikuasai Fretilin, sampaipada hancurnya basis-basis Perlawanan. Komite Sentral Fretilin secara rutinmenggunakan penahanan untuk menegakkan disiplin dan kontrol serta untukmenyelesaikan perbedaan politik.Ø Penahanan adalah unsur yang diakui dalam administrasi zonas libertadas,ada anggota Komite Sentral Fretilin melakukan penangkapan langsung ataumemerintahkan untuk melakukan penangkapan. Penangkapan dan penahanansewenang-wenang terhadap para tahanan yang dicurigai, adalah prosedural dalamwewenang para komandan Fretilin dan interogasi disaksikan oleh komisarispolitik. Oleh karena itu, penahanan sewenang-wenang jelas dibiarkan oleh KomiteSentral.Ø Fretilin menahan orang-orang atas sejumlah pelanggaran terhadap aturanaturanFretilin yang disusun oleh Komite Sentral. Termasuk dalam hal ini adalahmenjadi pengkhianat terhadap posisi politik Fretilin, bangsa atau partai, atauyang melanggar tata tertib. Karena tidak adanya panduan, berbagai aturan iniditerapkan secara tidak konsisten sehingga dalam praktek suatu tindakan ataudugaan tindakan, yang tidak disetujui oleh Komite Sentral dapat dilaporkansebagai pengkhianatan atau pelanggaran peraturan Fretilin.Ø Para korban penahanan adalah mereka yang berada di bawah pengawasan Fretilintermasuk para anggota Fretilin dan Falintil serta penduduk sipil biasa. Orangorangyang dianggap sebagai “reaksioner” dan “pengkhianat”, menjadi target.Seringkali orang yang justru berhubungan dengan satu pemimpin Fretilin/Falintiltertentu yang ditahan.Ø Fretilin melakukan sejumlah upaya untuk memproses para tahanan melaluipraktek-praktek pengadilan rakyat (“Justicia Popular”) untuk mengadili danmenjatuhi hukuman terhadap para tahanan, tetapi hukuman pemenjaraan sebagaihasil dari proses-proses ini terjadi sewenang-wenang. Tidak ada kesempatanbagi tersangka untuk membela diri atau untuk naik banding atas keputusanatau hukuman itu. Selain itu, banyak orang yang ditahanselama berbulan bulansebelum “diadili” atau tidak diberitahu tentang tuduhan-tuduhan terhadapmereka, atau bahkan tidak pernah diadili sama sekali.Ø Para tahanan ditahan di berbagai bangunan yang tidak memadai seperti ‘kandangbabi’ * , kandang ayam, gubuk bambu atau lubang-lubang di tanah. Pada awalnyaberbagai tempat ini digunakan untuk menahan orang-orang, tetapi pada akhir*“Kadang babi” di sini bukanlah kandang babi dalam pengertian yang sebenarnya tetapi bangunan baru yang kadang dibuat denganbentuk dan ukuran menyerupai kandang babi. Nama “kandang babi” digunakan merujuk kepada kenyataan bahwa para tahanan makan,minum dan buang air ditempat itu juga, sebagaimana layaknya babi di kandang.106


1977 banyak kamp rehabilitasi nasional atau Renal juga membangun tempattempattahanan seperti diatas. Renal lainnya didirikan sesuai keperluan. KondisiRenal hampir sama dengan penjara di mana para tahanan disekap, kecuali Renal-Renal ini didirikan dengan prinsip orang-orang yang melakukan kesalahandapat “direhabilitasi”. Para tahanan menerima pendidikan politik dan kadangpelajaran baca tulis, juga dipekerjakan di ladang-ladang komunal dalam sebuahetos kesetaraan yang diimpikan.Ø Hukuman pemenjaraan secara teoritis tidak menentu dan masa penahanansemacam ini berlangsung hingga bases de apoio dihancurkan. Kendati pundemikian pada saat itu, Komite Sentral membebaskan hanya beberapa tahananmenurut persetujuannya sendiri. Selain itu ada juga para tahanan yang melarikandiri ketika pasukan Indonesia tiba di daerah itu atau dibebaskan Fretilin ketikapenahanan selanjutnya sudah tidak dapat lagi dipertahankan.Penyiksaan dan perlakuan burukØ Para anggota dan pendukung Fretilin serta sejumlah pasukan Fretilin melakukanperlakukan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat secara meluasdan juga penyiksaan terhadap para tahanan di berbagai pusat penahanan danRenal antara tahun 1976 dan 1978. Penyiksaan dan perlakuan buruk dilakukandengan lebih kejam daripada periode konflik internal, saat mereka menjadi bagianrutin dari praktek peradilan yang diatur Fretilin. Penyiksaan dan perlakuanburuk tidak hanya digunakan untuk mengendalikan para tahanan, tetapi jugadigunakan selama interogasi dan untuk menghukum lawan-lawan politik. Banyakorang yang tewas dalam penahanan.Ø Berbagai metode penyiksaan dan perlakuan buruk yang biasa dialami korbanadalah:• Pemukulan berat dengan tangan, senapan, dahan berduri atau potongankayu lainnya• Cambukan• Membakar tubuh korban dengan batang besi yang dipanaskan, rokok yangmenyala, atau potongan kayu yang menyala• Mengikatkan korban ke pohon atau tiang, dan membiarkan mereka dibawah sinar matahari untuk waktu yang lama• Mengikat korban sedemikian rupa sehingga gerakan mereka sangatterbatas dan mereka tidak dapat makan serta melepaskan diri• Mengencingi korban• Menempatkan korban dalam sebuah lubang yang dipenuhi semut• Ancaman pembunuhan atas korban• Tendangan dengan menggunakan sepatu botØ Para anggota Komite Sentral seringkali terlibat langsung dalam penyiksaanterhadap para tahanan atau menyaksikan dan tidak melakukan apa-apa untukmenghentikannya.107


Ø Di beberapa tempat para tahanan ditahan dalam kondisi yang berdesak-desakandengan ventilasi yang buruk dan di semua tempat, kondisi sanitasi buruk. Beberapatahanan dibiarkan membuang air kecil dan air besar di tempat mereka duduk.Dalam banyak kasus, kondisi penahanan dipenuhi oleh perlakuan kejam, tidakmanusiawi dan merendahkan martabat.Ø Fretilin seringkali menghalangi tahanan untuk mendapatkan makanan atau tidakmampu menyediakan makanan yang cukup. Para tahanan banyak yang mati akibatkelaparan atau karena sakit yang diakibatkan oleh kelaparan. Para tahanan yangsedang sakit pun masih dipaksa untuk bekerja. Hal ini sama dengan perlakuanyang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat manusia. Perlakuanini sebagian dapat dijelaskan oleh sulitnya situasi pada saat itu: saat para pasukanIndonesia maju, mereka membakar kebun-kebun persediaan makanan Fretilin,dan memaksa Fretilin untuk bergerak. Namun Fretilin tidak membebaskantahanan walaupun mereka sadar bahwa mereka tidak dapat memberi makankepada para tahanan. Selain itu, dalam banyak kasus Fretilin dengan sengajamenahan makanan untuk para tahanan untuk menghukum mereka, termasukmenahan makanan yang dibawah oleh keluarga tahanan untuk mereka.Penahanan, penyiksaan dan perlakuan buruk oleh militer,polisi dan para “agen” IndonesiaPenangkapan dan penahananKomisi menemukan bahwa:Ø Para anggota pasukan keamanan Indonesia dan para pendukungnya, melakukan,mendorong dan membiarkan penangkapan dan penahanan sewenang-wenangyang meluas dan sistematis selama periode pendudukan Indonesia terhadapTimor-Leste.Komisi mendasarkan temuannya pada kurang lebih 150 wawancara dan ribuanpernyataan termasuk kesaksian langsung mengenai penahanan sewenang-wenang danbukti yang menguatkan dalam pernyataan-pernyataan sejumlah saksi, serta berbagaidokumen lainnya termasuk berbagai dokumen Militer Indonesia yang dimiliki olehKomisi.Ø Selama masa pendudukan besar kemungkinan bahwa terdapat puluhan ribu orangTimor yang ditahan. Komisi mendasarkan temuannya pada fakta bahwa prosespengambilan pernyataan dari Komisi mengidentifikasi 18,518 korban penahanansewenang-wenang oleh militer Indonesia dan para pendukungnya di dalam lebihdari 20,895 peristiwa penahanan. Karena proses pengambilan pernyataan hanyamengambil sejumlah pernyataan dari kira-kira 1% dari populasi, maka jumlahsebenarnya orang-orang yang ditahan dipastikan jauh lebih banyak.Ø Penahanan-penahanan meningkat selama dan setelah berbagai operasi militer.Jumlah orang yang ditahan memuncak pada tahun 1979 tetapi antara tahun 1975108


dan 1983 angka ini tetap tinggi, yaitu pada periode berbagai operasi besar militer.Penahanan memuncak lagi pada tahun 1999 selama persiapan Konsultasi Rakyatdan setelah pengumuman hasil konsultasi rakyat.Ø Penguasa Indonesia menangkap orang di setiap distrik di Timor-Leste walaupunangka penahanan tertinggi adalah di Dili, di mana terdapat sejumlah penjaranegara yang terbesar dan sejumlah pusat interogasi utama, diikuti oleh berbagaidistrik timur di Timor-Leste. Hanya sedikit orang yang ditangkap di Oecussesetelah periode awal invasi sampai pada kekerasan milisi pada tahun 1999. DataKomisi bersesuaian dengan dengan hipotesis bahwa militer dan polisi Indonesiaserta para pendukung mereka lebih banyak melakukan penahanan sewenangwenangdi daerah-daerah dimana gerakan perlawanan dianggap kuat dan jugadi Dili dimana terdapat pusat-pusat administrasi dan logistik mereka.Ø Sebagian besar korban penangkapan dan penahanan sewenang-wenang adalahlelaki dalam usia dinas militer (20-39 tahun) yang memang atau dicurigaiberhubungan dengan berbagai kelompok yang menentang pendudukan termasukFretilin/Falintil, sejumlah jaringan klandestin atau kelompok pro-kemerdekaanlainnya. Begitu pula, pasukan keamanan Indonesia dan para pendukungnyajuga mentargetkan para anggota keluarga, termasuk isteri, orang tua, serta anakanakdari orang-orang yang dicurigai anggota Perlawanan bersenjata, jaringanklandestin atau kelompok pro-kemerdekaan lainnya. Penangkapan-penangkapanini dilakukan atas nama keamanan nasional dan pembersihan Timor-Leste darianggota-anggota “Gerombolan Pengacau Keamanan” (GPK).Ø Tujuh puluh persen penahanan yang dilaporkan, dilakukan langsung parapasukan keamanan Indonesia. Pasukan ini termasuk anggota Batalyon tempur,anggota komando daerah (provinsial), distrik dan subdistrik beserta batalyonbatalyonyang berhubungan dan cabang-cabang intelijen mereka, anggotaSatuan Gabungan Intelijen (SGI) atau Pasukan Khusus Indonesia (Kopassandha/Kopassus) dan anggota kepolisian di tingkat subdistrik, distrik dan propinsi.Awalnya, militer melakukan sebagian besar penangkapan. Hal ini berubah selamaperiode pendudukan dan dari pertengahan 1990-an tanggung jawab atas sebagianbesar penangkapan berpindah ke polisi.Ø Kopassandha/Kopassus bergerak aktif dari tingkat pusat hingga ke desa sepanjangpendudukan. Peran langsung Kopassandha/Kopassus dalam melakukanpenahanan para penduduk memuncak antara tahun 1983 dan 1986 setelahterjadinya pemberontakan di distrik-distrik bagian Timur. Kopassandha/Kopassuskemudian mulai membentuk, melatih serta mempersenjatai milisi lokal.Ø Kategori pelaku terbesar kedua adalah orang Timor yang berkolaborasi denganmiliter Indonesia. Para kolaborator ini (termasuk pertahanan sipil (Hansip),pegawai negeri, paramiliter dan milisi) terlibat langsung dalam 34% penahanantetapi dalam banyak kasus penangkapan ini dilakukan atas perintah militer ataudilaksanakan bersama dengan militer Indonesia. Beberapa kelompok paramiliterdan milisi dibentuk secara spesifik oleh militer Indonesia untuk menakut-nakutipopulasi lokal di daerah-daerah di mana perlawanan sangat kuat, termasukmenahan dan menyiksa orang-orang yang dicurigai sebagai anggota klandestin.Para kolaborator juga berperan penting dalam memberikan informasi intelijenkepada militer.109


Ø Selama invasi dan pendudukan Indonesia, penangkapan dan penahanandigunakan untuk menghancurkan perlawanan di Timor-Leste dengan cara sebagaiberikut:• Dengan menahan anggota-anggota perlawanan, mereka dicegah untukmelanjutkan aktifitas mereka atau berkomunikasi dengan para rekannya.• Intelijen dan personil militer lainnya menggunaakan interogasi terhadappara tahanan untuk memperoleh informasi mengenai struktur dan strategiperlawanan, atau mengenai keberadaan para anggota perlawanan tertentu.• Penahanan sewenang-wenang dan berbagai kekerasan lainnya yang terjadiselama periode penahanan, menghukum orang-orang yang memang ataudicurigai sebagai anggota kelompok perlawanan. Dengan demikian, yanglainnya diperingatkan tentang akibat jika mengikuti teladan mereka.• Menahan para anggota keluarga dan rekan orang yang dicurigai sebagaianggota perlawanan dapat memberikan informasi intelijen kepadapasukan keamanan mengenai para anggota yang dicurigai tersebut, danjuga untuk dipakai untuk menghukum anggota keluarga atau rekannyasebagai pengganti anggota perlawanan yang dicurigai tersebut.• Apabila kelompok-kelompok besar ditangkap, para anggota Fretilin danFalintil biasanya dipisahkan dari penduduk sipil biasa didasarkan padainformasi intelijen dan kemudian ditahan.Ø Praktek kelembagaan pasukan keamanan Indonesia adalah menangkap dengansewenang-wenang orang-orang yang dicurigai tanpa penghargaan sama sekaliterhadap proses yang seharusnya, terutama pada tahun-tahun awal pendudukan.Orang-orang yang ditangkap tidak dibacakan hak-haknya atau pun diberitahukantuduhan terhadap mereka. Penggunaan kekuatan yang berlebihan digunakansecara rutin dalam penangkapan para tersangka.Ø Temuan ini didasarkan pada bukti pendukung yang kuat dan luas, yangmenunjukkan bahwa praktek penangkapan tanpa surat perintah dan pengunaankekuatan yang berlebihan dilakukan oleh jajaran luas unit militer, polisi danKopassandha/Kopassus di semua distrik Timor-Leste pada setiap tahun periodepedudukan.Ø Sepanjang pendudukan, terutama antara tahun 1975 dan 1984, pihak berwenangIndonesia melakukan penangkapan massal yang rutin terhadap berbagai kelompokyang terdiri dari 98 orang atau lebih. Penangkapan ini dilakukan sepanjangberbagai operasi-operasi militer berskala besar, sebagai balasan terhadap seranganseranganpihak perlawanan, atau setelah informasi intelijen mengidentifikasisatu desa tertentu yang mendukung gerakan klandestin atau menyembunyikanpara anggota Falintil. Kadang penangkapan besar-besaran dilaksanakan sebagaihukuman kolektif atas sejumlah tindakan yang dilakukan beberapa orang.Ø Sejak tahun 1985 orang lebih sering yang ditahan secara individual daripada dalamberbagai kelompok besar, menunjukkan bahwa penahanan-penahanan dilakukansecara lebih bertarget daripada yang terjadi sebelumnya. Para pasukan keamanan110


Indonesia menggunakan para pendukung orang Timor sebagai intelejen untukmengidentifikasikan para anggota Fretilin, Falintil, jaringan klandestin ataukeluarga mereka, dan mentargetkan orang-orang ini untuk ditangkap.Ø Kadang intelijen digunakan untuk menyusun “daftar hitam” yang berisi nama paratersangka, yang kemudian digunakan untuk penangkapan. Orang-orang yangberada dalam daftar ini ditangkap berkali-kali. Mereka seringkali dikumpulkanuntuk mengantisipasi sejumlah event perlawanan seperti sebuah demonstrasi.Ø Dalam sebagian besar kasus orang-orang ditangkap ketika berada di rumahmereka atau di tempat kerja, atau dipanggil ke kantor polisi atau pos militer olehseorang pendukung Timor dan kemudian ditahan. Yang lainnya ditahan pada saatsejumlah operasi militer. Hanya sedikit yang “tertangkap basah” dalam kegiatanperlawanan, seperti ketika menghadiri demontrasi.Ø Orang Timor yang tinggal di Indonesia, terutama pelajar, juga menjadi sasaranpenangkapan dan penahanan, khususnya pada tahun 1990-an, ketika banyakorang yang ditahan karena berpartisipasi dalam demonstrasi atau kegiatanklandestin lainnya.Kondisi-kondisi penahananKomisi menemukan bahwa:Ø Para anggota pasukan keamanan Indonesia dan para pembantunya melakukan,mendorong dan menyetujui penahanan sistematis dan meluas terhadap orangTimor dalam kondisi-kondisi yang berada di bawah standar-standar minimuminternasional tentang perlakuan terhadap tahanan. Ratusan orang meninggal dalamtahanan, karena perlakuan buruk yang disengaja atau karena tidak dipedulikan,karena kelaparan dan penyakit. Dari 18,518 individu-individu yang dilaporkantelah ditahan oleh militer dan polisi Indonesia, 378 diketahui meninggal dalamtahanan. 1,314 tahanan lainnya juga meninggal, tetapi waktu kematian merekayang pasti tidak diketahui, dengan demikian tidak bisa dipastikan apakah merekameninggal saat ditahan.Ø Pasukan keamanan Indonesia menggunakan beragam pusat penahanan untukmenahan para tahanan, baik resmi maupun tidak resmi. Termasuk:• Berbagai bangunan besar yang dikuasai militer, seperti toko-toko, hotelhotel,gedung-gedung publik, seperti sejumlah gudang di pelabuhanDili, dan rumah-rumah pribadi. Berbagai bangunan publik dan pribadidigunakan untuk menahan para tahanan ketika terdapat sejumlah besarorang yang ditahan dan tidak cukup tempat. Sebagai contoh pada saatsesudah invasi Dili dan ketika militer mulai memasuki wilayah-wilayahlain, sesudah pemberontakan (levantamentos) di sekitar Gunung Kablakipada tahun 1982, di distrik-distrik timur pada tahun 1983 dan di Alas(Manufahi) pada tahun 1998. Gedung-gedung seperti itu juga digunakanparamiliter dan milisi ketika mereka menahan korban. Contohnya adalahsejumlah penahanan oleh Tim Sukarelawan di Ainaro pada tahun 1991dan penahanan oleh semua milisi pada tahun 1999.111


• Berbagai gedung militer dan polisi termasuk sejumlah komando militerdan kantor polisi di tingkat subdistrik, distrik dan provinsi, markasmarkasSGI, markas-markas militer, asrama Korem, barak-barak militer,pos-pos militer dan markas Kopassandha/Kopassus. Dalam sebagian besarkasus, para tahanan ditahan dalam sel-sel tapi kadangkala mereka dikuncidalam ruangan-ruangan di markas-markas atau pos-pos, termasuk didalam toilet.• Berbagai gedung pemerintah seperti kantor desa, gedung pertemuan desaatau kantor pemerintahan kecamatan atau kabupaten. Gedung-gedungseperti itu biasanya digunakan dengan keterlibatan atau sepengetahuanpejabat yang bertanggungjawab atas gedung tersebut.• Penjara negara: Penjara Comarca di Balide, Dili langsung digunakansetelah invasi. Penjara negara lain di berbagai daerah baru dibuka padaparuh kedua 1980-an.• Struktur-struktur dadakan seperti seperti lubang-lubang di tanahatau gedung yang dibangun dari dahan-dahan atau bambu. Ini palingsering terjadi dalam periode 1978-1979 ketika banyak sekali orang yangmenyerah atau tertangkap di berbagai daerah pedalaman.• Rumah orang yang ditahan. Para tahanan dijadikan tahanan rumahketika ada sejumlah besar orang yang ditahan, seperti selama masa invasidan selama serangan militer setelah pemberontakan (levantamento) padatahun 1982 di Mauchiga (Hatu Builico, Ainaro).• Pulau Ataúro. Antara tahun 1980 dan 1983 sekitar 3.500 orang yangmerupakan anggota atau dicurigai sebagai anggota jaringan klandestinatau dicurigai mempunyai hubungan apapun dengan pihak perlawanan,dikirim ke pulau gersang tersebut dimana mereka ditahan sampai tahun1983 dan dalam sejumlah kasus, sampai tahun 1987.• Berbagai kamp transit. Kamp-kamp ini, didirikan di seluruh wilayahTimor-Leste, digunakan pada akhir 1970-an setelah rakyat yangsebelumnya di bawah kendali Fretilin menyerah secara besar-besaran.• Sejumlah penjara di Indonesia. Menurut berbagai laporan yang diterimaKomisi, selain sekelompok tahanan yang dikirim ke Kupang, Timor Barat,pada tahun 1983, para tahanan dari Timor-Leste dikirim ke berbagaipenjara di Jawa setelah mereka diadili dan dijatuhi hukuman. Merekabiasanya para anggota ternama dari gerakan klandestin atau gerakanperlawanan.Ø Telah menjadi praktek kelembagaan untuk tidak memberikan makanan yangmemadai dan air bersih bagi para tahanan atau sama sekali tidak memberikanpersediaan yang makanan dan tempat tampungan yang memadai untuk paratahanan. Para tahanan sering meninggal karena kelaparan atau sakit di berbagailokasi penahanan sampai dengan pertengahan 1980-an ketika jumlah tahananmenurun dan berbagai penjara negara dibangun untuk menampung para tahanan.Bahkan setelah periode ini, masih sering terdapat laporan tentang para tahananyang tidak diberi makan selama beberapa hari atau diberi makanan yang tidaklayak dimakan.Ø Telah menjadi praktek kelembagaan untuk menahan para tahanan di berbagaipusat penahanan tak resmi, jauh dari keluarga dan teman mereka. Dalam banyak112


kasus para keluarga tidak mengetahui apa yang terjadi pada para saudara merekayang ditangkap, dan jika mereka berhasil mengetahui mereka dilarang untukberkomunikasi melalui surat atau melakukan kunjungan. Kehadiran ICRCtelah memperbaiki situasi ini bagi sebagian tahanan, tapi hanya pada saat ICRCdiperbolehkan beroperasi di Timor-Leste dan hanya di penjara-penjara dan pusatpusatpenahanan dimana para perwakilan ICRC mendapat akses.Ø Telah menjadi praktek kelembagaan untuk memindahkan para tahanan antarpusat-pusat penahanan, kadang antara beberapa tempat dalam semalam. Inidilakukan untuk membingungkan para korban, untuk memungkinkan berbagaiunit militer atau organisasi yang berbeda untuk menginterogasi korban, ataumenempatkan para korban dalam penjagaan unit-unit yang berbeda. Kadangpara tahanan dipinjam dari satu pusat penahanan oleh sebuah unit militer untukdiinterogasi dan kemudian dikembalikan. Pola- ini berlangsung selama masapendudukan, mulai dari hari-hari pertama invasi.Ø Sejumlah contoh lain tentang kondisi dimana para tahanan biasanya ditahananta lain:• Menyediakan makanan tapi membuatnya tidak layak dimakan, sebagaicontoh menjatuhkannya ke lantai, mencampurnya dengan pecahan kacaatau atau benda tajam lainnya atau dengan kotoran kucing, atau memberitahanan makanan yang hangus atau basi.• Melepaskan semua pakaian korban, sehingga mereka telanjang atau hanyamenggunakan celana dalam. Kadang ini dilakukan sebelum interogasitapi di sejumlah tempat ini adalah praktek umum untuk menjadikansemua tahanan dalam kondisi seperti demikian.• Menempatkan para tahanan dalam pengurungan yang terisolasi, kadangsampai satu tahun.• Menempatkan para korban dalam sel-sel yang dikenal sebagai “sel gelap”,dimana tidak terdapat cahaya dan ventilasi sangat buruk. Semua pusatpenahanan, termasuk penjara-penjara, kantor-kantor polisi dan komandokomandomiliter, memiliki sel gelap.• Kondisi sanitasi yang sangat buruk, termasuk tidak menyediakan toiletsehingga para tahanan menduduki kotorannya sendiri atau kotoran oranglain, atau hanya menyediakan toilet kecil untuk sekelompok besar orang.• Membatasi akses para tahanan untuk berbagai aktivitas selama dalampenahanan. Izin untuk berolahraga, membaca buku dan koran dan bentukaktivitas santai lainnya ditolak secara rutin. Tetapi sebagian aktivitasdipaksakan pada para tahanan, seperti menyanyikan lagu kebangsaanIndonesia atau memberi hormat pada bendera Indonesia.• Mencegah akses terhadap bantuan atau perwakilan hukum sampai tahun1990-an, dan bahkan sejak tahun 1990-an pun akses yang diperbolehkanterbatas.Ø Sebelum dan setelah berbagai kunjungan dari ICRC, para pengacara atau sebuahdelegasi asing ke pusat penahanan, kondisi cenderung membaik. Tetapi, sebagiantahanan dihukum karena telah berbicara dengan para pengunjung tersebut.113


Ø Kondisi secara menyeluruh kadang membaik ketika para tahanan dipindahkan kesebuah penjara resmi. Ini khususnya terjadi dengan Penjara Becora di Dili setelahpembukaannya pada tahun 1986. Perlakuan buruk dan penyiksaan, termasukpemukulan dan pelecehan oleh para penjaga penjara, ditahan di kurunganterisolasi dan pembatasan pada berbagai aktivitas santai, komunikasi dengandunia luar atau kunjungan keluarga, masih terjadi di sejumlah institusi ini tapitidak terlalu sering.Ø Sebelum akhir 1983 penguasa Indonesia tidak mengadili para tahanan. Paratahanan tidak memiliki jalan untuk menentang penahanan mereka atau memintatanggal pembebasan. Penahanan mereka tanpa batas. Bahkan ketika sejumlahpengadilan dimulai pada tahun 1983, penguasa Indonesia menahan banyak oranguntuk periode waktu yang lama sebelum mengadili mereka. Sejak tahun 1990-anpara tahanan yang diadili, dituntut dan diadili secara relatif cepat. Walaupundemikian, bahkan pada tahun 1990-an, banyak tahanan yang tidak diadili. Padatahun 1999 hampir tidak ada tahanan yang diadili.InterogasiKomisi menemukan bahwa:Ø Menginterogasi para tahanan adalah praktek kelembagaan. Interogasi digunakanuntuk mendapatkan informasi tentang aktivitas sang korban, untuk menghukumatau mengintimidasi sang korban, atau untuk mendapatkan informasi tentangstruktur dan strategi perlawanan, lokasi-lokasi penyimpanan senjata ataudokumen, atau nama-nama para anggota Perlawanan lainnya.Ø Pola-pola ini bergeser seiring waktu. Pada tahun-tahun awal pendudukan,militer menggunakan interogasi untuk meningkatkan pengertiannya akanperlawanan.Ø Ketika polisi menjadi lebih aktif dalam penahanan dan penginterogasian paratersangka dan para tahanan diajukan ke pengadilan, interogasi-interogasi jugadifokuskan untuk mendapatkan bukti, seperti pengakuan, untuk digunakan dalampengadilan. Para penginterogasi sering telah menyiapkan pengakuan tertulissebelum interogasi dimulai yang kemudian dibacakan kepada sang tahanan, yangkemudian dipaksa untuk menandatanganinya, atau polisi akan memaksa tahananuntuk membuat pengakuan palsu. Banyak tahanan menadatangani pengakuantersebut hanya untuk mengakhiri interogasi dan penyiksaan.Ø Pada tahun 1999, sebelum Konsultasi Rakyat, interogasi digunakan untukmengintimidasi korban dan untuk menyelidiki gerakan berbagai kelompok prokemerdekaan.Ø Telah menjadi praktek kelembagaan untuk menggunakan praktek-praktekyang sangat memaksa pada saat interogasi. Metode-metode tersebut antara lainpenggunaan penyiksaan secara luas, ancaman pembunuhan terhadap para korbanatau keluarga korban, menanyakan pertanyaan yang banyak atau membingungkanpada tahanan atau memutarbalikkan kata-kata tahanan, memberitahukan114


kepada tahanan bahwa tahanan yang lain telah mengakui sebuah kejahatan yangdituduhkan, dan tidak memberikan makanan, minuman, fasilitas kebersihan dantidur, kepada tahanan di antara sesi-sesi interogasi.Ø Ketika ada perhatian internasional bagi tahanan-tahanan tertentu, perlakuanpasukan keamanan Indonesia terhadap para tahanan selama interogasi menjadilebih baik.Ø Para tahanan biasanya diinterogasi di dalam pusat-pusat penahanan, dalam selmereka atau sebuah ruangan interogasi. Sebagian kecil orang yang diinterogasidi rumah sebelum penangkapan. Sebagian tahanan dibawa ke berbagai pusatinterogasi khusus untuk diinterogasi, seperti gedung Sang Tai Hoo di Dili.Sebagian tempat ini menjadi terkenal akan buruknya perlakuan mereka terhadappara tahanan. Sebagian tahanan dikirim ke Jawa atau Bali untuk diinterogasilebih lanjut.Ø Durasi interogasi bervariasi. Kadang para tahanan diinterogasi dalam waktulama selama beberapa hari dalam usaha untuk “mematahkan” si korban. Sebagiantahanan memiliki jadwal waktu interogasi dimana mereka diinterogasi pada hariyang sama setiap minggu atau pada jam yang sama pada hari-hari tertentu. Padasaat lain interogasi berlangsung cepat dan memaksa, khususnya jika tujuan dariinterogasi tersebut adalah untuk mengintimidasi sang tahanan.Ø Para agen yang berbeda dari institusi yang berbeda sering menginterogasipara tahanan, baik pada saat bersamaan atau bergantian. Biasanya para opsirintelijen bertanggungjawab atas interogasi. Dalam beberapa kasus perwira militerberpangkat tinggi dari Jakarta terbang ke Timor-Leste untuk menginterogasikanpara korban.Ø Berbagai taktik yang digunakan para anggota klandestin selama interogasitermasuk menyebutkan nama para rekan yang telah ditangkap, sehinggamemberikan informasi yang sebenarnya sudah dimiliki para penginterogasidan mengambil tanggungjawab atas berbagai tindakan orang lain.Penyiksaan dan Perlakuan burukKomisi menemukan bahwa:Ø Para anggota pasukan keamanan Indonesia dan para pembantunya melakukan,mendorong dan memaklumi penyiksaan dan perlakuan buruk secara luas dansistematis terhadap para korban selama periode pendudukan Indonesia atasTimor-Leste. Dalam sebagian kasus penyiksaan telah mengakibatkan kematian,kadang sebagai akibat langsung penyiksaan yang diterapkan kepada korban dankadang sebagai akibat luka-luka yang dialami selama penyiksaan tidak diobati.Ø Para korban penyiksaan dan perlakuan buruk hampir semuanya adalah lelaki,berumur memasuki dinas militer, dan terlibat dalam kelompok-kelompok Fretilin/Falintil atau pro-kemerdekaan lainnya. Para korban yang mengidentifikasikandiri mereka sebagai warga sipil adalah grup terbesar kedua yang mengalamipenyiksaan dan perlakuan buruk. Orang-orang ini biasanya adalah para orang115


yang dicurigai sebagai anggota grup perlawanan, para warga sipil di berbagai desayang diincar karena mendukung atau menyembunyikan para anggota Fretilin/Falintil, atau keluarga atau rekan para anggota Fretilin/Falintil atau sejumlahgrup perlawanan lainnya.Ø Pasukan keamanan Indonesia disebut sebagai pelaku langsung dalam 64% kasuspenyiksaan yang dilaporkan dan 55% dari kasus perlakuan buruk yang dilaporkan.Institusi-institusi yang berbeda-beda dalam tubuh aparat keamanan memainkanperan utama pada saat-saat yang berbeda. Pada awal pendudukan, batalyonbatalyondan opsir-opsir militer terlibat dalam sebagian besar kasus penyiksaan,khususnya para perwira intelijen. Antara tahun 1985 dan 1987, Kopassandha/Kopassus terlibat langsung dalam banyak kasus penyiksaan. Pada akhir 1990-anketerlibatan polisi dalam menyiksa para tahanan meningkat dan memuncak padatahun 1999.Ø Para pendukungTimor juga sangat terlibat dalam penyiksaan para korban. Merekadisebut bertanggungjawab atas 35% kasus penyiksaan yang dilaporkan dan 40%kasus perlakuan buruk yang dilaporkan. Dalam banyak kasus, para korbandisiksa oleh para pendukung Indonesia atas perintah pihak militer atau dilakukanbersama dengan pihak militer. Mereka memainkan peran yang kurang menonjoldibandingkan pihak militer dalam semua tahun kecuali tahun 1999. Pada tahun1999 mereka adalah pelaku utama kekerasan terhadap para korban.Ø Mayoritas tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk dilakukan pada saat atausesudah penangkapan atau di dalam penahanan. Sebagian korban tidak disiksadan diperlakukan secara buruk di luar tempat penahanan, termasuk dianiayadi muka umum, di rumah mereka, di sebuah lapangan atau dalam perjalananmenuju tempat penahanan.Ø Tujuan penyiksaan adalah untuk mendapatkan informasi dari korban, untukmenghukum korban, untuk mengancam korban, untuk mempermalukan korban,untuk mengintimidasi korban atau orang lain yang mempunyai kesetiaan politiksama atau untuk memaksakan perubahan dalam kesetiaan korban.Ø Penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan lainnyabiasanya terjadi ketika para tahanan pertama tiba di tempat penahanan, atauselama interogasi. Hal tersebut dilakukan di dalam sel-sel, kadang di depantahanan lainnya, dan kadang di berbagai ruang khusus interogasi. Pada tahuntahunawal pendudukan, militer Indonesia menggunakan sejumlah bangunansecara khusus untuk menyiksa tahanan.Ø Penyiksaan dan perlakuan buruk secara terbuka di publik sering terjadi selamamasa pendudukan, tapi secara khusus terjadi di tahun 1999. Tidak saja tindakantersebut menyebabkan rasa sakit dan malu pada korban, tindakan tersebut jugadimaksudkan untuk menteror orang-orang yang menyaksikannya. Sebaliknya,banyak penyiksaan dan perlakuan buruk dilakukan secara rahasia, jauh daripengetahuan orang-orang yang dicintai korban ataupun dari mata masyarakatinternasional.116


Ø Selama masa pendudukan, korelasi antara penyiksaan atau perlakuan buruk danpenahanan meningkat. Selama periode 1985-1998, meskipun lebih sedikit orangyang ditahan, orang-orang yang ditahan tersebut lebih besar kemungkinannyamengalami penyiksaan dibanding pada periode 1975-1984 ketika lebih seringterjadi penangkapan massal.Ø Tindakan-tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi danmerendahkan martabat lainnya yang berikut ini sering digunakan oleh pasukankeamanan:• Memukul dengan kepalan tangan atau dengan alat-alat seperti tongkatkayu atau dahan pohon, besi batangan, popor senapan, rantai, martil, ikatpinggang, kabel listrik• Menendang, biasanya sambil memakai sepatu bot militer atau polisi,termasuk di sekitar kepala dan muka• Menonjok dan menampar• Mencambuk• Memotong dengan pisau• Mengiris dengan silet• Meletakkan jari kaki seseorang di bawah kaki kursi atau meja lalu satuatau lebih orang duduk di atasnya• Membakar bagian tubuh korban dengan rokok yang menyala atau sebuahkorek gas, termasuk alat kelamin korban• Menyetrum bagian-bagian tubuh korban, termasuk alat kelamin si korban• Mengikat dengan erat-erat tangan dan kaki seseorang atau mengikatkorban dan menggantungnya di sebuah pohon atau atap• Menggunakan air dengan berbagai cara, termasuk menahan kepalaseseorang di dalam air; merendam korban di dalam bak air untuk periodeyang lama, kadang sampai tiga hari; membasahi dan melunakkan kulitkorban dalam air sebelum memukulinya; memasukkan korban dalamdrum berisi air dan menggelindingkannya; mengguyur korban dengan airyang sangat panas atau sangat dingin; mengguyur korban dengan air yangsangat kotor atau air comberan• Pelecehan seksual, penyiksaan dan perlakuan buruk dalam bentuk seksualatau pemerkosaan saat dalam penahanan. Para perempuan adalah korbanutama dalam bentuk pelecehan ini• Memotong telinga korban untuk menandai korban• Mengikat korban di belakang sebuah mobil dan memaksanya untukberlari di belakangnya atau terseret di tanah• Meletakkan biawak (lafaek rai maran) dengan gigi dan cakar yang tajambersama korban dalam tanki air dan menyebabkan biawak tersebutmenggigit bagian-bagian yang lembek dari tubuh korban termasukkelamin korban• Mencabut kuku jari tangan dan kaki menggunakan tang• Melindas korban dengan sepeda motor117


• Memaksa korban untuk meminum air kencing seorang prajurit ataumemakan barang-barang yang bukan untuk dimakan seperti kadal kecilyang hidup atau sepasang kaos kaki.• Membiarkan korban di bawah terik matahari untuk periode lama• Mempermalukan para tahanan di depan lingkungannya, sebagai contoh,memaksa mereka berdiri atau berjalan sekeliling kota dalam keadaantelanjang• Mengancam mati korban atau keluarga korban atau melukai seoranganggota keluarga korban di depan si korbanØ Terdapat berbagai contoh lain bentuk-bentuk penyiksaan dan perlakuanburuk dan tidak manusiawi lain yang tidak dilaporkan secara luas, tetapi tetapmengkonfirmasikan pola umum pelecehan fisik yang luas dan sistematis terhadappara tahanan. Berbagai hal tersebut termasuk:• Menggosokkan cabai ke mata korban• Memaksa korban untuk menyapu lantai menggunakan tubuhnya,• Memaksa korban membawa kepala orang untuk berkeliling di desa sikorban• Memukuli dua korban laki-laki sementara alat kelamin mereka salingterikat• Memotong kuping korban dan memaksa korban untuk memakannya• Mengikat korban di dalam sebuah karung berisi sejumlah ular• Membasahi sekelompok tahanan dengan bensin dan mengancam akanmembakar mereka hidup-hidupØ Selain perlakuan buruk fisik, para tahanan juga mengalami penyiksaan mental danemosional dan perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan. Sejumlahmetode tersebut termasuk:• Menahan para tahanan selama periode yang tidak pasti tanpa akses kepadakeluarga dan teman-teman• Menahan para tahanan selama periode yang cukup lama dalam kurunganterisolasi atau dalam sel-sel tanpa cahaya dan sedikit ventilasi• Membawa seorang tahanan ke sebuah tempat yang digunakan untukdieksekusi di luar hukum dan membuat korban percaya bahwa merekaakan dibunuh, bahkan sampai menembak ke arah korban• Pelecehan-pelecehan dan penghinaan-penghinaan secara verbal• Memaksa para korban untuk saling memukuli• Menyiksa seorang anggota keluarga di ruang bersebelahan sehingga sikorban dapat mendengar teriakannya, atau menyiksa atau mengancamuntuk menyiksa seorang anggota keluarga di depan korban• Menutupi mata atau menggunakan kain hitam, helm atau ember ke kepalakorban pada saat interogasi dan penyiksaan• Menggunakan simbolisme untuk mempermalukan dan mematahkansemangat si korban seperti memaksa korban untuk meminum air bekas118


merendam bendera Indonesia, menulis “saya adalah Fretilin” di keningpara korban, memaksa para korban menyanyikan lagu-lagu Fretilinatau Portugis terkenal atau sebaliknya menyanyikan lagu kebangsaanIndonesia, memaksa para tahanan untuk duduk di atas bendera Fretilinatau Portugis, memukuli tahanan yang sedang menggunakan benderaPortugis atau Fretilin, atau mengikat korban ke tiang bendera yangmengibarkan bendera Indonesia• Menghina agama si korban seperti mematahkan salib si korban ataumengikat korban pada sebuah salib• Meludahi korban• Mencegah korban tidur dengan cara-cara seperti memutarkan musiksecara keras-keras di tempat tahanan sepanjang malam.• Menelanjangi dan memegang kemaluan para tahanan, baik laki-lakimaupun perempuan.PembebasanØ Pasukan keamanan jarang melepaskan para tahanan politik secara mutlak.Ø Dalam beberapa kasus para tahanan politik dipaksa untuk membuat semacampernyataan kesetiaan pada Indonesia termasuk:• Menandatangani sebuah deklarasi (“clearing list”) di mana merekabersumpah setia pada bendera Indonesia dan berjanji untuk tidak lagiterlibat dalam kegiatan-kegiatan klandestin• Meminum air bekas rendaman bendera Indonesia• Berpartisipasi dalam sumpah darah tradisional dengan meminum darahhewan dan manusia. Ini adalah tindakan simbolis yang sangat kuat dalambudaya Timor yang diambilalih oleh pihak militer, dan kemudian milisi,untuk keperluan mereka sendiriØ Pembayaran dalam bentuk uang tunai atau benda sering diminta pada saatpembebasan. Insiden pemerasan meningkat signifikan pada tahun 1999.Ø Pasukan keamanan juga mengembangkan berbagai cara memonitor para tahanansetelah mereka dibebaskan. Cara-cara ini termasuk di dalamnya menggunakanmereka sebagai tenaga kerja paksa atau merekrut mereka menjadi pasukankeamanan, organisasi pertahanan sipil atau paramiliter, atau memaksa merekauntuk mencari saudara-saudaranya yang belum menyerah. Yang lainnya diberikanstatus “tahanan luar” yang berarti bahwa mereka masih berada dalam pengawasanketat.Ø Sebagian besar tahanan diharuskan untuk melapor (wajib lapor) ke pangkalanmiliter, kantor polisi atau agensi lain secara reguler setelah pembebasan mereka,kadang selama beberapa tahun.119


Pelanggaran Hukum PerangPada saat kami melancarkan operasi ke Kablaki pada tahun1977, tentara dan Hansip datang dari dua daerah yaitu Ainarodan Same, dan membentuk lingkaran dengan tujuan agar dapatmembendung pasukan Falintil dan masyarakat sipil yang masihbersembunyi di hutan. Penyerangan itu dilakukan serentak dankami diperintahkan oleh Komandan Kodim siapa saja yangkami lihatt, baik itu masyarakat sipil maupun Falintil, tidak bisadiampuni langsung tembak dan bila perlu ditangkap. Pada saatkami tiba di puncak gunung Kablaki kami melihat sekelompokorang, sekitar lima atau enam orang, dan kami langsung tembakdan kami tidak tahu apakah itu Falintil atau masyarakat sipil.Mereka pun langsung lari dan kami hanya menemukan barangbarangmereka seperti sarung, persediaan makanan yangditinggalkan. Lalu kamipun melanjutkan operasi kembali ke Samedengan melewati Rotuto. 36TinjauanMandat Komisi mewajibkan Komisi untuk membuat laporan mengenai pelanggaranhak-hak asasi manusia, termasuk pelanggaran hukum humaniter internasional.Hukum ini sering disebut hukum perang, atau hukum konflik bersenjata. 37Banyak pelanggaran hukum humaniter internasional yang terjadi selama periodemandat 1974-1999, juga merupakan pelanggaran standar-standar hak asasi manusiainternasional dan karenanya telah dibahas dalam bagian-bagian lain dalam Laporanini. Tujuan utama bagian ini adalah untuk melaporkan pelanggaran hukum perangyang tidak dicakup oleh bagian-bagian lainnya. Ini termasuk kelalaian penempuruntuk melindungi penduduk sipil, tawanan perang, dan orang-orang yang terlukaserta kelompok orang-orang yang dilindungi lainnya, tidak membedakan antarasasaran sipil dan militer selama operasi militer, perekrutan paksa, penghancuran secarasengaja atas harta penduduk sipil, penggunaan senjata ilegal seperti senjata kimia, danpelanggaran aturan-aturan lainnya terkait pelaksanaan operasi militer.Bukti yang dipertimbangkan Komisi di dalam bagian ini dan bagian-bagianlainnya memberikan gambaran tentang pelanggaran hukum perang berskala luasdan sistematis oleh pasukan keamanan Indonesia selama invasi Timor-Leste danmasa-masa pendudukan sesudahnya, termasuk program intimidasi, kekerasan danpenghancuran terkait dengan Konsultasi Rakyat pada tahun 1999.Tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran tidak bisa disamakan antara militerIndonesia (ABRI/TNI) dan Fretilin/Falintil, tindakan kedua pasukan bersenjatamemunculkan pelanggaran yang sangat beragam, dan menyebabkan penderitaanluar biasa di antara penduduk sipil Timor-Leste. ABRI/TNI dan kelompok binaannyajelas menjadi pelaku utama dalam hal ini. Fretilin/Falintil menyebabkan penderitaandan kematian di antara penduduk sipil. Meski dalam banyak hal sangat berat,pelanggaran oleh Fretilin/Falintil hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan jumlahpelanggaran.120


Kewajiban humaniter umum yang berlaku dalam situasi konflik bersenjata internaldilanggar baik oleh anggota Fretilin/Falintil maupun UDT selama periode konflikpolitik pada tahun 1975.Temuan-temuan berkaitan dengan angkatan bersenjataIndonesiaKomisi menemukan bahwa:Ø Selama invasi Timor-Leste anggota ABRI/TNI melakukan pelanggaran konvensikonvensiJenewa secara sistematis dengan tidak membedakan sasaran sipil danmiliter. Lebih jauh pada hari-hari awal invasi, penduduk sipil dijadikan sasaranoleh militer Indonesia dalam pembantaian dan eksekusi.Ø Dalam operasi militer skala besar setelah invasi awal, ribuan penduduk sipilTimor-Leste, termasuk laki-laki, perempuan dan anak-anak yang tidak bersenjatadan tidak mampu melindungi diri mereka sendiri, dijadikan sasaran atau secarasewenang-wenang dibunuh oleh militer Indonesia.Ø Selama operasi-operasi militer anggota ABRI/TNI secara rutin menyiksa danmembunuh penduduk sipil dan tawanan perang yang tertangkap. Tawananyang dieksekusi termasuk perempuan mengandung dan anak-anak (lihat Bagianmengenai Pelanggaran Hak Anak).Ø Anggota ABRI/TNI secara rutin membunuh, menahan dan menyiksa orangorangyang dicurigai sebagai pendukung Fretilin/Falintil. Hukuman bagi yangmenentang pendudukan juga termasuk rumah mereka dibakar, tanah dirampasdan harta benda dibagi-bagikan kepada pendukung politik pendudukan, danperkosaan perempuan yang dicurigai bekerja sama dengan Resistensi.Ø Anggota ABRI/TNI secara sistematis melanggar kewajiban hukum internasionaldengan menggunakan hukuman kolektif terhadap penduduk sipil untuk mencapaitujuan-tujuan militer. Ini termasuk penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan ataupemindahan paksa penduduk sipil karena mereka merupakan anggota keluargadari atau berasal dari komunitas yang sama dengan orang-orang dicurigai sebagaianggota Fretilin/Falintil.Ø Anggota ABRI/TNI secara sistematis menghancurkan harta benda, termasukgedung-gedung dan harta pribadi penduduk sipil sebagai bagian rutin operasimiliter. Salah satu tujuan penghancuran ini adalah untuk menghukum pendudukTimor-Leste yang menentang pendudukan, dan menciptakan iklim ketakutanyang diharapkan dapat membuat penduduk lebih mudah dikendalikan, danmencegah dukungan terhadap gerakan pro-kemerdekaan.Ø Penjarahan untuk keuntungan pribadi perwira ABRI/TNI sering menyertaiaktifitas mereka selama operasi militer. Ini termasuk mencuri kendaraan yangdiangkut ke kapal-kapal perang, pengangkutan kendaraan, barang dan ternakke Timor Barat untuk dijual, penjarahan benda-benda tradisional yang tidak121


ternilai harganya dan tidak bisa digantikan yang memiliki nilai spiritual danbudaya yang penting, dan tindakan-tindakan kejahatan bersenjata pada umumnyaterhadap penduduk sipil. Pejabat pemerintah setempat, yang bertindak di bawahperlindungan ABRI/TNI, juga berpartisipasi dalam penjarahan dan pencuriandari warga sipil yang dicurigai menentang pendudukan.Ø Penghancuran dan penjarahan harta benda penduduk sipil sering disertai denganpelanggaran lain, seperti pemukulan, penahanan, penyiksaan, pemerkosaandan pembunuhan penduduk sipil. Cara umum adalah penjarahan harta benda,pembunuhan penghuni rumah, dan pembakaran rumah dengan korban-korbannyayang masih di dalam. Cara ini digunakan untuk menghukum dan mengintimidasilawan-lawan pendudukan, dan menghancurkan bukti pelanggaran.Ø Anggota ABRI/TNI secara sistematis menghancurkan sumber-sumber makananpenduduk sipil. Ini termasuk pembakaran tanaman pangan dan pembantaianternak. Pelanggaran-pelanggaran ini mempunyai akibat yang luar biasa bagipenduduk sipil Timor-Leste dan secara langsung menyebabkan hilangnya nyawadalam jumlah yang sangat besar pada dekade 1970-an karena kelaparan danpenyakit.Ø ABRI/TNI menggunakan senjata yang dilarang oleh hukum internasional yangmengatur konflik bersenjata dalam operasi militernya di Timor-Leste. Ini termasuksenjata kimia yang meracuni sumber air, membinasakan tanaman pangan dantanaman lainnya, serta mengakibatkan kematian dengan meracuni penduduksipil.Ø ABRI/TNI menjatuhkan bom napalm dan alat-alat pembakar yang lain tanpapandang bulu terhadap sasaran sipil. Penggunaan bom-bom yang tidak sah inimenyebabkan penderitaan yang luar biasa terhadap penduduk sipil, termasukkematian dengan pembakaran hidup-hidup penduduk laki-laki, perempuan dananak-anak yang tidak bersenjata.Ø ABRI/TNI merekrut paksa ribuan laki-laki, perempuan dan anak-anak Timor-Leste untuk membantu mereka dalam operasi-operasi militer mereka, terutamaselama tahun 1975-1979, dan selama periode-periode peningkatan operasi militer,di seluruh penjuru Timor-Leste. Mereka yang menolak berpartisipasi dipukulidan disiksa. Perekrutan paksa ilegal atas penduduk sipil ke dalam operasi-operasimiliter dilakukan untuk mendapatkan bantuan praktis dan murah dan jugameruntuhkan semangat orang-orang yang menentang pendudukan.Ø Penduduk Timor-Leste yang direkrut paksa untuk bergabung dengan unit-unitABRI/TNI secara rutin dipaksa membawa beban berat berupa makanan, amunisidan peralatan dalam kondisi yang sangat sulit. Mereka sering mendapat perlakuanyang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.Ø Anggota ABRI/TNI membunuh penduduk sipil Timor-Leste yang dipaksa ikutdalam operasi militer Indonesia, karena masalah ketidakpatuhan dan disiplin.122


Ø Perempuan muda Timor-Leste yang dipaksa bekerja untuk anggota ABRI/TNIsecara rutin diperkosa dan dipaksa hidup dalam perbudakan seksual bagi tuantuanmiliter mereka (lihat Bagian mengenai Pelanggaran Seksual).Ø Banyak pendukung pro-kemerdekaan yang ditangkap atau yang menyerah disiksakemudian dipaksa melakukan tugas jaga malam atau tugas keamanan lain. Jikamereka gagal dalam menjalankan tugas tersebut mereka semakin disiksa ataumengalami perlakuan buruk. Beberapa pejuang Falintil yang ditangkap dipaksabertindak sebagai pasukan Indonesia melawan Falintil, hanya dipersenjataitombak, untuk memastikan agar mereka tidak dapat memberontak melawankomandan ABRI/TNI mereka. Hal ini menempatkan mereka dalam bahayalangsung dalam situasi pertempuran dan mengakibatkan kematian.Ø Dalam sejumlah kasus penduduk Timor-Leste yang dipaksa ikut dalam operasiABRI/TNI terbunuh oleh Falintil dalam operasi-operasi tersebut.Ø Sebelum Konsultasi Rakyat pada tahun 1999 ABRI/TNI membentuk kelompokkelompokmilisi pro-intergrasi di seluruh wilayah. ABRI/TNI menerapkanprogram perekrutan paksa terhadap ribuan pemuda Timor-Leste ke dalamkelompok-kelompok ini secara sistematis, disamping mereka yang sudahbergabung secara sukarela dengan imbalan bayaran. Kelompok milisi yang terlibatdalam program kekerasan dan penghancuran yang terorganisir ini dibentukdengan sengaja, dipersenjatai, dibiayai dan diperintah oleh militer Indonesia.Bukti yang berlimpah mengenai hubungan ini dihabas di Bagian mengenai RejimPendudukan, dan pertanggungjawaban atas tindakan ini dibahas di Bagianmengenai Tanggung Jawab dan Pertanggungjawaban.Ø Anggota ABRI/TNI melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala yangluas dan sistematis, termasuk pelanggaran hukum perang, menjelang KonsultasiRakyat pada tahun 1999.Ø Program kekerasan dan penghancuran pada tahun 1999 merupakan serangansistematis oleh kelompok militer dan milisi dengan senjata lengkap danterorganisir terhadap penduduk sipil yang tidak bersenjata dan tidak berdaya. Initidak melibatkan konflik antara dua kelompok bersenjata, karena Falintil, denganbeberapa perkecualian, tidak terlibat konflik. Ini merupakan aksi militer besarbesarandengan sasaran penduduk sipil dengan tujuan memaksa mereka memilihtetap bersama Indonesia, dan, setelah hasil diumumkan, menghukum merekakarena tidak menurut. Praktek militer yang menjadikan penduduk sipil sebagaisasaran ini merupakan pelanggaran hukum perang oleh militer Indonesia.Ø Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota pasukan keamanan Indonesia danmilisi binaan mereka sepanjang tahun 1999 termasuk:• Membunuh lebih dari 1.400 penduduk sipil• Perkosaan dan pelanggaran seksual terhadap ratusan perempuan• Penyerangan dan pemukulan ribuan penduduk sipil• Deportasi paksa sekitar 250.000 penduduk sipil dan pemindahan paksasekitar 300.000 dari wilayah Timor-Leste123


• Perekrutan paksa ribuan penduduk Timor-Leste ke dalam kelompok milisi• Pembakaran lebih dari 60.000 rumah penduduk sipil• Penjarahan harta benda penduduk sipil dalam skala besar, termasukhampir semua sepeda motor dan barang buatan pabrik yang tidak ternilaiyang dibawa melintas perbatasan ke wilayah Indonesia• Pencurian dan pembantaian ternak dalam jumlah besar• Penghancuran secara sengaja sebagian besar infrastuktur publik bukanuntuk tujuan militer, termasuk semua rumah sakit, sebagian besarsekolah, instalasi air, generator listrik dan peralatan lain untuk menopangkesejahteraan masyarakat• Penjarahan benda-benda budaya dan sejarah yang penting dan tidak adaduanya dari museum di Dili pada bulan September 1999, membawa bendabendaini ke Timor Barat, Indonesia.Temuan mengenai pelanggaran oleh Fretilin/FalintilKomisi menemukan bahwa:Ø Portugal merupakan penguasa administratif Timor-Leste yang diakui oleh PBBselama periode konflik dan selama masa pendudukan Indonesia. Portugal telahmeratifikasi Konvensi Jenewa ketiga.Ø Hukum perang berlaku bagi Fretilin/Falintil, yang bisa diakui dalam hukumhumaniter internasional sebagai gerakan resistensi karena secara umum memenuhipersyaratan bagi pengakuan semacam itu: Fretilin mempunyai struktur komando;anggotanya pada umumnya membedakan diri dengan penduduk sipil, membawasenjata secara terbuka; dan melakukan operasi sesuai dengan hukum dan kebiasaanperang. Fretilin/Falintil karena itu diwajibkan mentaati Konvensi Jenewa.Ø Selama periode pendudukan Indonesia anggota pasukan Fretilin/Falintil terlibatdalam pelanggaran hukum perang, termasuk menjadikan penduduk sipil sebagaisasaran, pembunuhan, penyiksaan, pembakaran rumah dan perusakan hartabenda secara sengaja. Walaupun sangat berat, skala pelanggaran yang dilakukananggota Fretilin/Falintil merupakan bagian yang kecil dibandingkan pelanggaranyang dilakukan ABRI/TNI.Ø Anggota Fretilin/Falintil membunuh tahanan dari partai politik UDT dan Apodetidalam tahanan mereka, tidak lama setelah invasi pasukan Indonesia pada akhirtahun 1975 dan awal tahun 1976, dan penduduk sipil di desa Kooleu (Loré I,Lautém) pada bulan Januari 1976.Ø Anggota Fretilin/Falintil mengeksekusi penduduk sipil yang dicurigai menjadikolaborator pasukan keamanan Indonesia, anggota organisasi mereka sendiri yangdicurigai tidak setia, dan penduduk sipil yang bermaksud untuk menyerah kepadaABRI dan melanggar kebijakan Fretilin bahwa mereka harus tetap bertahanbersama Fretilin/Falintil di gunung. Anggota Fretilin/Falintil juga menahan,menyiksa dan memberikan perlakuan buruk kepada penduduk sipil dan kader124


politik dan militer Fretilin/Falintil pada dekade 1970-an yang mereka curigaimempunyai pandangan yang menentang kebijakan Fretilin/Falintil terutamadalam kaitannya dengan persoalan apakah penduduk sipil harus meninggalkanbasis Fretilin/Falintil di pedalaman dan kembali ke desa-desa dan kota-kota.Ø Anggota Fretilin/Falintil menyiksa dan memberikan perlakuan buruk terhadappenduduk sipil yang dicurigai tidak setia atau bekerja sama dengan militerIndonesia. Cara penyiksaan yang digunakan termasuk menahan orang di lubangbawah tanah, pemukulan, diinjak-injak dan dibakar hidup-hidup.Ø Anggota Fretilin/Falintil menyerang dan membakar rumah-rumah milikpenduduk sipil yang menyerah kepada ABRI/TNI, dan mereka yang dicurigaibekerja sama engan militer Indonesia. Penghancuran ini mengakibatkankelaparan, penyakit dan penderitaan bagi penduduk sipil, dan serangan-serangantersebut mengakibatkan kematian penduduk sipil.Peradilan Politik…karena hakim sudah di pihak yang penguasa militer, makapengadilan yang seharusnya adil dan bebas menjadi diperalatoleh militer, dan mereka hanya menunggu perintah dari BAKIN,ke arah mana tetap di awasi…sampai putusan pun hakim tidaktahu, pada saat membacakan putusan baru disodorkan olehintel. 38TinjauanMeskipun kasus pidana sudah mulai ditangani pengadilan Indonesia di Timor-Leste sejak tahun 1977, * undang-undang pidana belum pernah digunakan untukmengadili para lawan politik yang menentang integrasi Timor-Leste ke Indonesia.Pada tahun 1983, sebagai tindak lanjut kebijakan baru ‘normalisasi’, pemerintahIndonesia membuat keputusan, bahwa orang-orang yang dicurigai mendukunggerakan kemerdekaan dapat didakwa melakukan perbuatan makar dan subversi, dandituntut di pengadilan. Ratusan orang Timor-Leste telah diadili dan diputus bersalahkarena melakukan berbagai pelanggaran selama enam belas tahun berikut.Komisi telah membaca dan mempelajari isi beberapa ratus berkas Pengadilan NegeriDili yang berkenaan dengan pengadilan-pengadilan ini. Selain itu Komisi telahmewawancarai dan menerima pernyataan banyak individu yang pernah menjaditerdakwa dalam pengadilan, saksi kejadian, dan pengacara – baik warga Timor-Lestemaupun orang Indonesia yang pernah terlibat dalam kasus-kasus tersebut.Gambaran yang muncul dari penyelidikan-penyelidikan ini ialah, bahwa pengadilanpengadilantersebut tidak mengurangi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi,tetapi hanya sedikit mengubah bentuk pelanggaran tersebut. Pembunuhan, penahanan*Sudah sejak 24 Juli 1976, Komandan Kodahankam Kol Dading Kalbuadi mengeluarkan surat perintah penahanan, Tito Dos SantosBaptista (22), atas pelanggaran pasal 359 KUHP berkenaan dengan kecelakaan mobil fatal [Wawancara dengan Mario Carrascalao, 30 Juni30 2004].125


sewenang-wenang, dan penyiksaan lawan politik terus berlanjut. Disamping itu,sejumlah pelaku termasuk agen intelijen militer, polisi, jaksa, pengacara dan hakim,terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran lain yang berkaitan dengan pelaksanaanpengadilan sandiwara politik tersebut.Pengadilan-pengadilan ini dimaksud untuk menunjukkan kepada dunia, bahwaperubahan kebijakan telah menghasilkan komitmen baru terhadap hak asasi manusiadan supremasi hukum. Pada kenyataannya pengadilan-pengadilan tersebut merupakanrekayasa canggih, yang dirancang untuk menghasilkan ilusi tentang keadilan danjalannya proses yang adil. Tabir ini menyembunyikan kenyataan, bahwa pengadilansekedar sarana untuk memastikan penghukuman bagi lawan-lawan politik sembarimenanggapi kritik internasional.Pengadilan-pengadilan tersebut melakukan sederetan pelanggaran atas hukum pidanaIndonesia dan hukum internasional. Para terdakwa sering disiksa dan diintimidasiuntuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan yang berisi pengakuan dan buktiyang melawan terdakwa yang lain. Berita Acara Pemeriksaan ini menjadi dasarbagi banyak hukuman yang dijatuhkan. Petugas militer dan polisi Indonesia seringmemberikan kesaksian palsu di bawah sumpah di pengadilan, dan mengintimidasipara saksi yang lain, untuk melakukan hal yang sama atau untuk tidak memberikankesaksian sama sekali. Para terdakwa diingkari haknya untuk memilih penasihathukum mereka sendiri, dan dalam sebagian besar kasus mereka mendapat pengacarayang ditunjuk oleh pengadilan, demi mendukung alasan-alasan jaksa. Para hakimmengabaikan indikasi adanya perilaku tidak etis dan bukti yang direkayasa, sertamenjatuhkan putusan bersalah dalam semua kasus. Hukuman yang dijatuhkansangat kejam dan dalam banyak kasus tidak memperhitungkan lamanya waktu yangdihabiskan para terdakwa di tempat penahanan militer. Komisi tidak menemukansatu pun terdakwa yang divonis bebas dalam ratusan berkas perkara yang dipelajari.Proses banding hanyalah merupakan pemberian cap stempel dari otoritas yang lebihtinggi atas putusan pengadilan yang cacat.Komisi menemukan bahwa:Ø Walaupun sistem hukum Indonesia sebagian mulai berlaku di Timor-Leste sejaktahun 1977, tidak ada lawan politik pendudukan yang diadili sebelum tahun 1983.Pada saat itu dibuat suatu kebijakan untuk menggunakan hukum pidana, danpengadilan sebagai alat untuk menghancurkan perlawanan terhadap kekuasaanIndonesia di Timor-Leste.Ø Pelaksanaan kebijakan ini tidak berarti, bahwa metode-metode sebelumnya,seperti pembunuhan, penahanan sewenang-wenang, dan penyiksaan terhadappara lawan politik, lalu dihentikan. Justru pengadilan digunakan sebagai saranapelengkap, sebagai tambahan atas cara-cara lain yang sudah ada, untuk mencapaitujuan politik menghancurkan perlawanan.Ø Peran baru undang-undang dan pengadilan pidana, bukan berarti bahwa sudahada langkah untuk menghargai hak-hak asasi manusia dan supremasi hukum.Pengadilan-pengadilan tersebut bukanlah pengadilan yang adil. Umumnyapengadilan-pengadilan tersebut merupakan ‘pengadilan sandiwara’, yang dalambanyak hal serupa dengan pengadilan-pengadilan yang dilaksanakan di bawahpemerintahan diktator militer di negara-negara lain. Vonis atas mereka yang126


didakwa tidak pernah dipertanyakan. Pengadilan sebagian besar berfungsisebagai alat propaganda, yang dirancang untuk memberikan ilusi keadilan, yangmenyelubungi penindasan yang kejam atas para lawan politik.Ø Metodologi utama yang diterapkan untuk memastikan, bahwa para terdakwadinyatakan bersalah oleh pengadilan, sekaligus membuat proses peradilan tidakterlihat bobrok seluruhnya ialah dengan merekayasa dan membatasi bukti yangakan dipertimbangkan oleh pengadilan. Rekayasa ini melibatkan penyiksaandan intimidasi terhadap para terdakwa untuk mengorek pengakuan, mengajukankesaksian yang dibuat-buat dari saksi militer dan saksi polisi, membuat buktimaterial palsu, menghalangi saksi meringankan untuk datang ke pengadilan, danmenunjuk pembela yang tidak akan sungguh-sungguh menentang kasus jaksa.Ø Tingkat kebobrokan proses peradilan yang dirancang untuk memberi selubunglegitimasi atas vonis bersalah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, dan telahdidikte oleh tujuan politik, tampak dalam ringkasan berikut mengenai gelombangpertama pengadilan politik dari tahun 1983 hingga 1985.Ø 232 berkas pengadilan politik telah diteliti oleh Komisi. Hasil penelitian itu,ialah:• 232 vonis dengan tuduhan terlibat makar dan subversi.• 232 tertuduh diwakili oleh pembela yang ditunjuk pemerintah.• 0 saksi meringankan dipanggil.• 0 kasus dibebaskan dari semua tuduhan yang tercatat.• 0 permintaan banding terhadap vonis diajukan.Ø Dinas intelijen pasukan militer Indonesia terlibat dalam mengendalikan hasilpengadilan-pengadilan politik, pada tiap tahap proses interogasi dan peradilan.Ø Anggota militer yang menggunakan teror dan penyiksaan saat menginterogasitahanan, polisi yang mempersiapkan perkara, jaksa yang mengajukan perkaradi pengadilan, penasihat hukum yang ditunjuk oleh pengadilan yang tidakmelakukan segala daya upaya untuk membela klien mereka, dan para hakimyang diam saja dan membiarkan pelecehan yang luar biasa dan berulang kaliterhadap keadilan, semuanya terlibat dalam kolaborasi dan kolusi yang dirancanguntuk memastikan, bahwa para terdakwa tidak mendapatkan pengadilan yangadil.Ø Petugas militer Indonesia secara sewenang-wenang menahan para lawan politikpendudukan, dan menahan mereka dalam masa penahanan yang panjang, kadangsampai bertahun-tahun, sebelum diajukan ke pengadilan, meskipun dalam banyakkasus hanya ada sedikit atau tidak ada sama sekali bukti melawan mereka.Ø Anggota militer Indonesia biasa menggunakan penyiksaan, dan intimidasi sebagaialat untuk mendapatkan pengakuan dan informasi lain. Hasil yang didapat daripenyiksaan dan intimidasi digunakan sebagai bukti dalam pengadilan.127


Ø Banyak dari mereka yang disiksa juga diancam akan ditahan tanpa batas waktu,serta terus disiksa dan dianiaya apabila mereka tidak bekerja sama dan mengakubersalah. Sebagai akibatnya mereka menandatangani pengakuan keterlibatanmereka dalam gerakan pro-kemerdekaan, meskipun belum tentu hal ini benar.Mereka juga mengajukan bukti melawan orang-orang lain, yang sebenarnyabanyak di antaranya tidak mereka kenal.Ø Anggota pasukan keamanan Indonesia biasa menandatangani pernyataanpalsu, yang memberikan bukti melawan para terdakwa pengadilan politik, danberbohong dalam pengadilan orang-orang tersebut.Ø Anggota pasukan keamanan Indonesia juga biasa merekayasa bukti-bukti materiil,contohnya menunjukkan senjata yang tidak ada hubungannya dengan kasustertentu, untuk memperkuat bukti yang dibutuhkan untuk penuntutan.Ø Anggota pasukan keamanan Indonesia tidak memberitahu para tersangka, bahwainformasi yang mereka berikan akan digunakan untuk melawan para tersangka itusendiri di pengadilan, dan bahwa mereka berhak atas hadirnya seorang penasihathukum, menurut hukum Indonesia dan hukum internasional.Ø Anggota pasukan keamanan Indonesia sering menginterogasi para tersangka,dan memaksa mereka untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, yangtelah direkayasa dan ditulis tanpa alih bahasa dari bahasa Indonesia, yang tidaksepenuhnya dipahami para tersangka.Ø Para terdakwa biasa tidak mendapatkan hak untuk memilih sendiri penasihat hukumuntuk membela mereka di pengadilan. Dalam sebagian besar kasus, pembela yangditunjuk oleh pengadilan, sama sekali tidak mengajukan saksi yang meringankan,dan tidak benar-benar memberikan pembelaan bagi klien-klien mereka.Ø Dalam sejumlah kecil kasus, para pembela independen, yakni para pengacara darilembaga bantuan hukum Indonesia dan para pengacara Timor yang memberikanbantuan hukum, dengan berani memberikan pembelaan secara profesionalbagi para klien mereka. Mereka melakukan hal ini untuk menegakkan prinsipkeadilan, meskipun mengalami intimidasi dan dituduh tidak patriotis, baik didalam maupun di luar pengadilan, serta kendala-kendala lain seperti kurangnyawaktu untuk mempersiapkan kasus.Ø Selama berlangsung pengadilan terhadap lawan politik, jaksa selalu mengabaikanpersoalan etis yang muncul berkenaan dengan bukti yang diajukan di pengadilan.Hal ini termasuk bukti-bukti berupa pengakuan yang diperoleh melalui penyiksaandan bukti-bukti yang jelas-jelas direkayasa.Ø Para hakim yang mengetuai sidang-sidang pengadilan politik gagal melaksanakantugas mereka untuk membuat putusan yang independen dan objektif. Para hakimini berperan besar dalam sistem hukum, dengan membiarkan posisi penting merekayang mendasar dimanipulasi sebagai alat politik operasi intelijen militer.Ø Para hakim yang mengetuai pengadilan politik mengijinkan diajukannya buktiyang dibuat-buat tanpa menyatakan keberatan. Mereka tidak menganggap128


tuduhan penyiksaan dan intimidasi terhadap para saksi sebagai persoalan yangserius. Mereka kerap mendasarkan vonis bersalah yang mereka putuskan padaBerita Acara Pemeriksaan yang telah ditandatangani sebagai hasil penyiksaan,dalam kondisi-kondisi yang ilegal. Para hakim juga mengabaikan permintaanpara terdakwa untuk diwakili oleh pengacara pilihan mereka.Ø Mereka yang didakwa melakukan pelanggaran politik menerima hukuman yangtidak sesuai dengan tingkat kepidanaan tindak kejahatan yang dituduhkan. Dalambeberapa kasus hal ini menghasilkan hukuman penjara selama bertahun-tahun, untuktindakan-tindakan seperti memasok sedikit makanan dan rokok kepada orang-orangyang dituduh menjadi lawan pemerintah pendudukan. Waktu yang dihabiskan didalam masa penahanan militer, yang dapat mencapai hingga tujuh tahun dalam kasusyang paling ekstrim, umumnya tidak diperhitungkan saat hukuman dijatuhkan.Ø Tidak ada proses banding yang berarti bagi mereka yang dituduh melakukanpelanggaran politik.Perkosaan,Perbudakan Seksual danKekerasan Seksual Lainnya.Karena nama saya sudah tertulis di Kodim sebagai orang yangboleh ‘dipakai’, maka setiap kali ada pergantian [kesatuan] sayaselalu diambil oleh salah seorang anggota ABRI yang menginginkansaya. Saya selalu mengikuti keinginan mereka karena saya takutdibunuh. 39Saya dikucilkan bukan oleh keluarga, tetapi oleh lingkunganmasyarakat dan gereja. Pada saat saya dicemoohkan olehmasyarakat, ayah saya berkata, “Bagaimanapun juga diaadalah anak kami. Dosa dia merupakan dosa kami juga dan itumerupakan sebuah beban yang harus dipikul oleh kami sebagaiorang tua.”… Pada saat saya dan anak saya sudah berbaris didepan altar untuk menerima sakramen baptisan dari pastor –kami hanya selang dua orang baru mendapat gilirannya –tiba-tibasaya ditarik keluar dari barisan oleh penanggung-jawab gereja.Katanya pastor yang menyuruh. Anak saya tidak diijinkan untukdibaptis karena katanya ia bukan hasil dari hubungan yang sah.Saya dan orang tua tidak diijinkan untuk menerima komuni,mengaku dosa di gereja, atau diperbolehkan untuk membacakandoa apa pun pada Bulan Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus,entah doa itu dilakukan di rumah tetangga atau di lingkungan.Dari tahun 1980 sampai 1996, rumah saya tidak mendapat giliranuntuk Orasi Patung Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus. Sayaharus menunggu sampai para ABRI tidak lagi hidup bersamakami, baru saya diijinkan untuk berpartisipasi lagi secara aktifdalam kegiatan gereja, termasuk diizinkan mengaku dosa sertamenerima komuni. 40129


TinjauanDi Timor-Leste, seperti halnya di negeri-negeri lain, korban kekerasan seksualseringkali tidak mau berbicara tentang pengalamannya. Walaupun ada sebab-sebabbudaya dan pribadi untuk sikap tersebut, Komisi telah menerima ratusan kesaksianlangsung dari korban yang telah mengalami pelanggaran seksual berat.Dari proses pengambilan pernyataan Komisi mendokumentasikan 853 kejadianpelanggaran seksual yang dilaporkan. Pemerkosaan adalah pelanggaran seksualyang paling banyak dilaporkan, yang merupakan 46,1% (393 dari 853) dari semuapelanggaran seksual yang didokumentasikan oleh Komisi. Pemerkosaan disusul olehpelecehan seksual dan tindakan-tindakan lain kekerasan seksual 27,1% (231/853)dan perbudakaan seksual 26,8% (229/853) dari semua tindak kekerasan seksual yangdilaporkan. Dari jumlah pelanggaran yang didokumentasikan dari proses pengambilanpernyataan 93,3% (796/853) terkait dengan pasukan keamanan Indonesia dan pasukanpendukung mereka, 2,5% dengan Fretilin (21/853), 1,2% dengan Falintil (10/853),0,6% dengan pasukan UDT (5/853), 0,1% dengan Apodeti (1/853), dan 0,9% denganyang lain (8/853).Komisi juga mewawancara lebih dari 200 korban dan saksi kekerasan seksual.Wawancara dan pernyataan mendalam mengenai kejadian-kejadian kekerasan seksualini mengungkapkan suatu gambaran yang besar tentang impunitas bagi pelanggaranseksual. Setelah memeriksa dengan seksama bukti yang diperoleh, Komisi tidakmemiliki keraguan bahwa pola pelanggaran seksual yang meluas yang disampaikanoleh perempuan-perempuan tersebut adalah kebenaran.Dengan standar apapun, isi bagian ini memaparkan suatu kisah yang memalukan danmengerikan tentang penyalahgunaan kekuasaan. Menjadi jelas bahwa anggota-anggotamasyarakat yang secara fisik paling lemah dan paling rentan dijadikan sasaran untuksebab-sebab yang sama sekali tidak punya hubungan yang sah dengan tujuan militermaupun politik.Suara-suara korban dalam bagian ini memberikan gambaran yang jelas tentang sifatmeluas dan sistematis keterlibatan terbuka anggota-anggota pasukan keamananIndonesia dalam tindakan pemerkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, danbentuk-bentuk lain kekerasan seksual selama seluruh masa invasi dan pendudukan.Anggota-anggota Fretilin, UDT, dan Falintil juga melakukan pelanggaran seksual,namun ini merupakan kejadian-kejadian yang terisolir dan dalam skala yang jauhlebih kecil. Pelanggaran-pelanggaran ini sifatnya tidak meluas ataupun sistematis.Bukti juga menunjukkan bagaimana penerimaan praktik-praktik ini oleh komandankomandandan pejabat-pejabat mendorong orang-orang yang ada di bawah komandodan kendali mereka untuk melanjutkan dan memperluas praktik-praktik tersebut.Kesaksian-kesaksian korban menunjukkan secara jelas bahwa praktik pemerkosaandan penyiksaan seksual lainnya oleh anggota-anggota pasukan keamanan pada saatmenjalankan tugas resmi, di instalasi-instalasi militer dan bangunan-bangunanresmi lainnya telah menjadi kebiasaan yang diterima secara luas. Praktik-praktik inimendapatkan impunitas yang nyaris menyeluruh.130


Kekerasan seksual oleh anggota Fretilin dan UDTKomisi menemukan bahwa:Ø Anggota-anggota partai Fretilin dan UDT terlibat dalam pemerkosaan dankekerasan seksual selama konflik politik internal tahun 1974-1976 dan pada waktuyang lain dalam periode mandat Komisi. Namun kecilnya angka kejadian yangdilaporkan ke Komisi (dua kasus pelakunya UDT dan satu Fretilin) menunjukkanbahwa kejadian-kejadian ini bersifat terisolasi dan tidak sistematis.Kekerasan seksual oleh anggota FalintilKomisi menemukan bahwa:Ø Anggota-anggota Falintil juga terlibat dalam pemerkosaan dan kekerasan seksualselama masa pendudukan Indonesia. Dalam beberapa kasus, pelakunya mendapatimpunitas karena masyarakat enggan melaporkan kegiatan Falintil kepada pihakyang berwajib. Namun, sedikitnya jumlah kasus yang dilaporkan kepada Komisimenunjukkan bahwa kejadian-kejadian ini terisolir dan tidak sistematis.Pemerkosaan dan penyiksaan seksual oleh anggota pasukankeamanan IndonesiaKomisi menemukan bahwa selama masa invasi dan pendudukan Timor-Leste:Ø Anggota pasukan keamanan Indonesia dan pasukan pembantunya terlibat dalampemerkosaan, penyiksaan seksual, dan tindak kekerasan seksual lain (selainperbudakan seksual) yang meluas dan sistematis yang diarahkan terutama padaperempuan Timor-Leste yang rentan.Komisi mendasarkan temuan ini pada wawancara dan pernyataan dari ratusan korbanyang telah dengan berani memberikan kesaksian tangan pertama dari pengalamanpribadi mereka, serta bukti-bukti lain yang menguatkan yang terkandung dalampernyataan-pernyataan saksi lain dan dokumen-dokumen yang dipelajari oleh Komisi.Bukti dari para korban perorangan dianggap secara khusus dapat dipercaya karenaadanya dampak negatif dan trauma pribadi pada para korban yang terkait denganpenyampaian informasi seperti ini kepada suatu lembaga resmi.Ø Praktik-praktik kelembagaan serta kebijakan resmi maupun tidak resmi daripasukan keamanan Indonesia membiarkan dan mendorong pemerkosaan,penyiksaan seksual, dan penghinaan seksual terhadap perempuan Timor-Lesteoleh anggota angkatan bersenjata Indonesia dan kelompok-kelompok pembantumereka yang berada di bawah komando dan kendali mereka.131


Temuan ini didasarkan atas bukti yang kuat dan didukung oleh banyak bukti lainyang menunjukkan bahwa:• pelanggaran-pelanggaran tersebut secara umum dilakukan di berbagaiinstitusi militer; dan• para komandan militer dan pejabat sipil mengetahui bahwa para prajurityang berada di bawah komando mereka secara rutin menggunakankompleks dan alat-alat militer untuk memperkosa dan menyiksaperempuan, dan tidak mengambil langkah apapun juga untukmenghalangi terjadinya kegiatan-kegiatan ini atau untuk menghukummereka yang terlibat. Sebaliknya dalam beberapa kasus, para komandandan pejabat itu sendiri juga menjadi pelaku kekerasan seksual. Di tingkatmenengah dan atas, hal ini juga melibatkan praktik seperti menyediakanperempuan muda yang dapat diperkosa sesuai permintaan dari tamu yangberkunjung, dan meneruskan “izin untuk memperkosa”, atau “pemilikan”perempuan-perempuan muda itu ke perwira berikutnya ketika masa tugasmereka berakhir.Para korban penyiksaan seksual biasanya adalah perempuan yang oleh pasukankeamanan dianggap memiliki hubungan dengan gerakan pro-kemerdekaan. Paraperempuan ini sering menjadi sasaran kekerasan pengganti. Yaitu karena suami atausaudara laki-laki yang dicari tentara tidak ada di tempat, perempuan tersebut akandiperkosa dan disiksa sebagai cara menyerang tidak langsung sasaran yang tidakhadir.Sudah umum bagi perempuan-perempuan ini dibawa ke instalasi militer dimanamereka kemudian ditanyai mengenai kegiatan suami atau anggota keluarga yang tidakada di tempat dan menjadi sasaran berbagai metode penyiksaan yang tidak senonoh.Dalam kasus-kasus lain, perempuan diperkosa di rumah mereka atau di tempat lainpada saat terjadi operasi militer.Ø Komisi menemukan bahwa tindakan-tindakan berikut ini diarahkan padaperempuan Timor-Leste di dalam instalasi resmi militer Indonesia:• perusakan organ seksual perempuan, termasuk memasukkan baterai kedalam vagina dan menyundut puting susu serta alat-alat kelamin denganrokok• penggunaan arus listrik terhadap alat kelamin, payudara, dan mulut• pemerkosaan berkelompok oleh anggota-anggota pasukan keamanan• memaksa tahanan untuk melakukan kegiatan seksual dengan sesamatahanan, sambil disaksikan dan dihina oleh anggota-anggota pasukankeamanan• pemerkosaan tahanan setelah masa penyiksaan seksual yang lama.• pemerkosaan perempuan yang tangan dan kakinya dibelenggu danmatanya ditutup. Dalam sebagian kasus, perempuan dalam keadaanseperti ini diperkosa sampai pingsan• pencabutan paksa rambut kemaluan disaksikan oleh laki-laki anggotatentara132


• pemerkosaan perempuan hamil. Komisi berkali-kali menerima buktimengenai ini, termasuk satu kesaksian tentang seorang perempuan yangdiperkosa satu hari sebelum melahirkan• memaksa korban untuk telanjang, atau dianiaya secara seksual di depanorang-orang yang tidak dikenal, teman-teman, dan anggota-anggotakeluarga. Setidaknya dalam satu kasus, seorang perempuan diperkosa didepan ibunya sendiri dan kemudian dibunuh. Yang lebih umum, parakorban diperkosa dan disiksa di depan anak-anaknya• perempuan diperkosa di depan sesama tahanan sebagai cara untukmenteror korban itu sendiri maupun para tahanan lain.• menempatkan perempuan di dalam tangki air untuk jangka waktu yanglama, termasuk membenamkan kepalanya, sebelum diperkosa• menggunakan ular dalam penyiksaan seksual untuk menimbulkan rasatakut• ancaman terhadap perempuan bahwa anak mereka akan dibunuh ataudisiksa jika mereka menolak diperkosa atau melaporkan pemerkosaanyang dialaminya• pemerkosaan yang berulang oleh banyak anggota pasukan keamanan(tidak dikenal). Dalam sejumlah kasus, para perempuan mengatakantidak dapat menghitung berapa orang yang memperkosa mereka. Komisimenerima bahwa sejumlah korban diperkosa oleh beberapa anggotamiliter setiap hari selama berbulan-bulan dalam penahanan• seks mulut secara paksa• kencing ke dalam mulut korban• pemerkosaan dan kekerasan seksual tanpa pandang bulu terhadapperempuan yang sudah menikah, yang belum menikah, dan remaja yangmenurut hukum masih anak-anak• membuat dan menyimpan daftar perempuan setempat yang dapatsecara rutin dipaksa untuk datang ke pos atau markas militer agar dapatdiperkosa oleh anggota tentara. Daftar-daftar ini beredar di antarakesatuan-kesatuan tentara. Dalam beberapa kasus, para perempuandiperintahkan untuk datang ke pos militer setiap pagi, untuk diperkosaoleh anggota-anggota pasukan keamanan.Tingkat pemerkosaan dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual mencerminkan poladan tingkat kegiatan militer pada masa itu. Pelanggaran seksual meningkat dalamperiode operasi militer besar, dan menurun ketika operasi seperti ini tidak begitusering dilakukan.Perempuan-perempuan yang menyerah kepada pasukan keamanan Indonesia secarakhusus lebih rentan terhadap pemerkosaan dan penyiksaan seksual. Pada tahuntahunawal konflik, 1975-1978, banyak dari para korban pelanggaran seksual adalahorang-orang yang telah menyerah dan tinggal di tempat-tempat tinggal sementarayang disediakan oleh militer Indonesia, atau baru kembali ke rumah masing-masingsetelah menyerah.133


Perempuan-perempuan yang menyerah dari gunung-gunung, yang diketahui memilikihubungan dengan pasukan gerilya atau yang diduga mengetahui lokasi para gerilyawandan pendukung mereka, dipaksa membantu militer Indonesia mencari kelompokkelompokini. Dalam sejumlah kasus, perempuan dijadikan sasaran penyiksaan,pemerkosaan, dan perbudakan seksual, ketika mereka ikut serta dalam operasi-operasimiliter seperti itu. Perempuan juga direkrut paksa ke dalam pasukan pertahanansipil, dan dipaksa melakukan ronda di desa mereka. Ketika melakukan ronda, yangdiawasi oleh laki-laki bersenjata, perempuan umum diperkosa dan dilecehkan secaraseksual.Penahanan massal menyusul pemberontakan sipil tahun 1981-1983 mengakibatkanpeningkatan jumlah perempuan yang diperkosa atau ditempatkan dalam situasiperbudakan seksual oleh anggota pasukan keamanan. Ini memperkuat temuan bahwaada hubungan antara operasi militer dan tujuannya dengan skala pemerkosaan ataupelanggaran seksual lainnya yang dilakukan oleh anggota pasukan keamanan.Dalam beberapa kasus operasi-operasi militer skala besar disertai dan diikuti olehpemerkosaan dan pelanggaran lain yang terkoordinasi dan dalam skalam besar yangdiarahkan pada penduduk perempuan yang terlibat dalam operasi tersebut:• Menyusul serangan Falintil terhadap Koramil Dare dan pos-pos ABRIlainnya di Dare dan Mauchiga (Hatu Builico, Ainaro), pada tahun 1982,anggota-anggota pasukan keamanan Indonesia memisahkan perempuandari anggota masyarakat yang lain. Mereka kemudian melakukanpemerkosaan secara perorangan maupun berkelompok, penyiksaanseksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual terhadap banyaksekali perempuan yang rentan ini. Kejahatan-kejahatan ini berlanjutselama beberapa bulan, dan dilaksanakan para komandan militer, prajuritberpangkat rendah, dan anggota-anggota Hansip sebagai pelaku. Komisimenemukan bahwa komandan militer dan pejabat sipil di distrik Ainaropada periode ini bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran besarbesaranhak asasi manusia ini.• Kekerasan seksual ekstrem terhadap perempuan setempat juga digunakanuntuk menindas penduduk setempat setelah terjadinya kebangkitan diKraras, Bibileo (Viqueque, Viqueque) tahun 1983. Ini termasuk pemaksaanperbudakan seksual terhadap perempuan.• Penangkapan massal, yang berakibat pada penganiayaan seksual terhadapperempuan di dalam tahanan, sebagai bagian dari operasi militer. Inidialami oleh para tahanan perempuan di Hotel Flamboyan di Bahu(Baucau Kota, Baucau), Koramil di Watu-Lari (Viqueque), dan di PenjaraBalide (Comarca) di Dili, serta tempat-tempat penahanan lain.Kekerasan skala besar selama tahun 1999 mengakibatkan peningkatan besar jumlahpemerkosaan terhadap perempuan, khususnya yang dipindahkan dari desa tempattinggalnya atau menjadi pengungsi. Kejadian-kejadian kekerasan seksual ini melibatkananggota kelompok-kelompok milisi, TNI, dan dalam beberapa kasus, anggota-anggotamilisi dan TNI bertindak bersama-sama.134


Impunitas bagi pelaku pemerkosaan dan penyiksaan seksualKomisi menemukan bahwa:Ø Praktik menangkap, memperkosa, dan menyiksa perempuan dilakukan secaraterbuka, tanpa takut akan mendapatkan sanksi dalam bentuk apapun, olehperwira tinggi militer, pejabat sipil, perwira militer rendah, perwira polisi, guru,dan anggota kelompok-kelompok pendukung seperti Hansip dan milisi. Ketikapara korban kekerasan seksual atau anggota keluarga mereka melaporkan kepadapejabat penegak hukum yang berwenang mengenai apa yang terjadi, permintaanbantuan mereka pada umumnya ditanggapi dengan pengingkaran atau agresi.Dalam beberapa kasus anggota keluarga yang melapor dipukuli atau bahkandihukum karenanya.Ø Tidak ada langkah praktis yang dapat dilakukan oleh orang Timor-Leste korbanpemerkosaan atau kekerasan seksual untuk mendapatkan penyelesaian hukumbagi kejahatan-kejahatan seperti ini. Juga tidak ada jalan yang dapat ditempuholeh para korban atau keluarga yang bertindak untuk mereka agar mendapatkanbantuan resmi untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran ini. Para korbantidak berdaya dan tidak dapat menghindar dari kekerasan oleh anggota-anggotapasukan keamanan.Ø Keikutsertaan dalam praktik-praktik seperti ini dan pembiaran terhadapnya olehpara komandan militer dan pejabat sipil, pengetahuan luas bahwa pemerkosaandan penyiksaan seksual mendapatkan dukungan resmi, penggunaan fasilitasmiliter dan fasilitas resmi lainnya untuk tujuan ini, dan impunitas yang nyaris totalbagi para pelaku membawa pada suatu keadaan dimana praktik-praktik sepertiini dapat dilakukan oleh anggota pasukan keamanan dengan sekehendaknya.Hal ini menyebabkan peningkatan kekerasan seksual pada tahun-tahun setelahinvasi, dan partisipasi yang semakin meluas oleh anggota tentara berpangkatrendah dan anggota pasukan-pasukan pendukung, seperti Hansip dan milisi,yang beroperasi di bawah kendali dan perlindungan pasukan keamanan. Dalambeberapa kasus anggota Hansip atau pejabat sipil tingkat rendah mengambilperempuan secara paksa dan menyerahkannya kepada komandan militer, untukmendapatkan imbalan berupa kenaikan status dan imbalan lainnya.Ø Anggota-anggota kepolisian Indonesia juga terlibat dalam penyiksaan danpemerkosaan, tetapi tidak dalam tingkatan yang sama dengan militer. Polisimenikmati impunitas umum yang sama dalam melakukan pelanggaran seksual,yang juga didapatkan oleh anggota pasukan keamanan yang lain.Ø Juga ada kejadian-kejadian dalam mana laki-laki anggota pasukan keamananIndonesia memperkosa (termasuk melakukan seks mulut secara paksa danbentuk-bentuk pelanggaran seksual lainnya) terhadap laki-laki tahanan danpenduduk sipil Timor-Leste. Tetapi kejadian-kejadian seperti ini lebih jarangdaripada kekerasan seksual terhadap perempuan Timor-Leste.135


Perbudakan seksualKomisi menemukan bahwa:Ø Selama invasi dan pendudukan, ada praktik yang terus terjadi yang memaksaperempuan Timor-Leste menjadi budak seks para petugas militer. Kegiatan sepertiini dilakukan secara terbuka, tanpa takut akan pembalasan, di dalam instalasimiliter, di tempat-tempat resmi lain dan di dalam rumah-rumah pribadi paraperempuan yang dijadikan sasaran. Dalam jumlah yang berarti kasus yang serupa,pemerkosaan dan penyerangan seksual dilakukan berulang kali di dalam rumahpara korban, walaupun ada orang tua, anak-anak, dan anggota lain keluargakorban.Ø Sama dengan pemerkosaan, perbudakan seksual juga meningkat dramatis padaperiode-periode operasi militer besar, dan menurun ketika operasi seperti inikurang sering dilancarkan. Misalnya, 64% dari kasus perbudakan seksual yangdilaporkan kepada Komisi terjadi pada periode invasi dan pada periode operasioperasimiliter skala besar.Ø Adalah suatu praktik umum bagi anggota-anggota pasukan keamanan Indonesiauntuk menempatkan perempuan Timor-Leste dalam penahanan di markas militeruntuk alasan-alasan yang tidak terkait dengan tujuan militer. Para perempuanini, banyak di antaranya yang ditahan berbulan-bulan atau kadang-kadangbertahun-tahun, diperkosa setiap hari atau sesuai kehendak petugas tentara yangmenguasai mereka, dan sering juga oleh prajurit yang lain. Selain itu merekadipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa dibayar.Ø Para korban jenis perbudakan seksual seperti ini tidak bebas untuk bergerakatau bepergian, atau bertindak bebas apapun. Umum bahwa “hak pemilikan”atas para perempuan ini dapat dipindahkan dari seorang petugas militer yangakan mengakhiri masa tugasnya kepada petugas yang akan menggantikannyaatau kepada petugas yang lain. Dalam beberapa situasi, perempuan yang dipaksamenjalani keadaan ini menjadi hamil dan melahirkan anak dari beberapa anggotatentara yang berbeda, selama tahun-tahun ketika mereka menjadi korbanperbudakan seksual.Ø Pada umumnya, anggota tentara Indonesia yang adalah ayah dari anak-anakmelalui pemerkosaan atau perbudakan seksual ini tidak mau bertanggung jawabuntuk mendukung kesejahteraan anak-anak mereka. Para ibu dari anak-anak inimenghadapi kesulitan besar dalam menopang kehidupan mereka. Ini khususnyamenjadi masalah karena para korban pemerkosaan dan perbudakan seksualmiliter Indonesia banyak dianggap sebagai “telah ternoda” dan tidak lagi layakuntuk dinikahi oleh laki-laki Timor-Leste, dan mendapatkan stigma sosial yangberkelanjutan.Ø Metode-metode yang digunakan untuk memaksa perempuan Timor-Lestemenjalani perbudakan seksual sering kali melibatkan penyiksaan oleh anggotapasukan keamanan, ancaman penyiksaan dan pembunuhan terhadap korban,anggota keluarga mereka, atau menjadikan komunitas mereka sebagai sasaran.136


Impunitas bagi pelaku perbudakan seksualKomisi menemukan bahwa:Ø Anggota-anggota tentara Indonesia memaksa perempuan memasuki keadaanperbudakan seksual di instansi-instansi militer atau di rumah mereka masingmasingsecara terbuka, tanpa takut akan pembalasan. Impunitas penuh yangdidapatkan oleh anggota-anggota pasukan keamanan, kemampuan mereka untukmembunuh dan menyiksa sesuka hati yang sudah terbukti, dan sifat sistematis daripelanggaran-pelanggaran ini di seluruh penjuru wilayah ini tidak memberi parakorban kemungkinan untuk lolos. Para perempuan yang menjadi sasaran dipaksauntuk mengalami pelanggaran yang berulang dan menakutkan terhadap tubuhdan martabat pribadi mereka, atau menghadapi pilihan yang lebih membahayakanuntuk diri sendiri, keluarga, atau komunitas mereka. Dalam situasi yang serbasalah ini, tidak ada harapan untuk mendapatkan bantuan dari petugas penegakhukum atau pihak-pihak berwenang lain, dan tidak ada dasar apapun untukpercaya bahwa keadaan ini akan berakhir dalam masa mendatang yang dapatdilihat.Ø Cakupan dan sifat dari pelanggaran yang dilakukan dan impunitas penuh yangdinikmati oleh berbagai tingkatan pelaku sudah diketahui secara luas padaseluruh jajaran pasukan keamanan dan pemerintah sipil Indonesia selama masapendudukan. Impunitas ini tidak akan dapat berlanjut tanpa pengetahuan danketerlibatan anggota-anggota tentara, kepolisian, dan pejabat-pejabat sipil tingkattertinggi serta badan peradilan Indonesia.Pelanggaran seksual sebagai alat teror dan degradasiKomisi menemukan bahwa:Ø Selain pemerkosaan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual, berbagaipelanggaran seksual lainnya dilakukan oleh anggota pasukan keamananIndonesia. Pelanggaran-pelanggaran yang sangat merendahkan martabat korbanatau tidak senonoh secara budaya sering kali dilakukan di depan umum. Initermasuk memaksa tahanan berjalan jauh dalam keadaan telanjang melewatipenduduk, pemerkosaan di depan umum, dan banyak kejadian pemerkosaan danpenyiksaan di pos-pos militer, yang dilakukan di tempat-tempat yang teriakanpara korban bisa didengar oleh tahanan lain.Ø Cakupan dan sifat dari berbagai pelanggaran ini menunjukkan bahwa maksudnyatidak terbatas pada pemuasan pribadi para pelaku atau untuk mengakibatkandampak langsung terhadap masing-masing korban. Tujuannya juga untukmempermalukan dan merendahkan martabat rakyat Timor-Leste. Ini adalahupaya untuk menghancurkan semangatnya untuk melawan, untuk memperkuatkenyataan bahwa mereka benar-benar tidak berdaya dan dapat menjadi sasaranperbuatan keji dan tidak berperikemanusiaan dari orang-orang yang menguasaikeadaan dengan senjata. Anggota-anggota militer kerap kali memperlakukandan berbicara kepada korban orang Timor-Leste seolah-olah mereka “lebih137


endah daripada manusia.” Pola-pola seperti ini membantu membenarkandan menyebarkan pandangan tersebut dalam jajaran personil keamanan, yangmengarah pada partisipasi yang luas dalam pelanggaran seksual.Ø Pemerkosaan, perbudakan seksual, dan pelanggaran seksual adalah sarana yangdigunakan sebagai bagian dari suatu kegiatan yang dirancang untuk menimbulkanrasa takut yang mendalam, ketidakberdayaan, dan keputusasaan pada orangorangyang mendukung kemerdekaan. Pelanggaran seksual terhadap perempuanTimor-Leste, khususnya terhadap yang memiliki hubungan dengan anggotaanggotaFretilin dan Falintil, secara sengaja dilakukan dengan maksud untukmenghancurkan harga diri dan semangat, tidak hanya para korban, tetapi semuayang mendukung gerakan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memaksa merekaagar menerima tujuan politik integrasi dengan Indonesia.Jumlah seluruh korban kekerasan seksualKomisi mencatat suatu kesimpulan yang tidak dapat dielakkan bahwa banyak korbanpelanggaran seksual tidak tampil melapor kepada Komisi. Alasan-alasan bagi pelaporanyang lebih rendah daripada yang sebenarnya ini mencakup kematian korban dansaksi (khususnya untuk periode awal konflik), korban berada di luar Timor-Leste(khususnya di Timor Barat), penderitaan dan sifat sangat pribadi dari pengalamanbersangkutan, dan takut akan penghinaan sosial atau keluarga atau penolakan kalaupengalaman mereka diketahui umum. Sebab-sebab yang kuat untuk pelaporan yanglebih rendah daripada sebenarnya ini dan kenyataan bahwa b53 kasus pemerkosaandan perbudakan seksual, bersama dengan bukati dari sekitar 200 wawancara lainyang telah dicatat, membawa Komisi ini pada penemuan bahwa jumlah pelanggaranseksual seluruhnya kemungkinan beberapa kali lebih tinggi daripada jumlah kasusyang dilaporkan. Komisi memperkirakan bahwa jumlah perempuan yang menjadisasaran pelanggaran seksual berat oleh anggota-anggota pasukan keamanan Indonesiamencapai ribuan kasus, bukannya ratusan.Dampak terhadap korbanWalaupun para korban kekerasan seksual sama sekali tidak dapat dipersalahkan ataudimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dipaksakan terhadap mereka,mereka seringkali terpinggirkan secara sosial atau diperlakukan dengan buruk olehanggota keluarga mereka sendiri, anggota masyarakat, dan Gereja Katolik karenapengalaman yang mereka alami. Kesalahan pandangan tentang kekerasan seksualmembuat perempuan korban terus menjadi korban.138


Pelanggaran Hak AnakKami berjalan lebih dari 12 jam setiap hari [mengangkat barangbarangtentara Indonesia]. Berangkat jam lima pagi dan berjalansampai jam 12.00, kemudian istirahat dan makan siang, lalukami berangkat lagi sampai malam hari. Besoknya berangkat lagidan kami mondar-mandir di hutan begitu saja. Saya sudah mulaibawa barang berat pada waktu itu...Tiba-tiba saja TBO yanglebih tua, melarikan diri. Mereka sudah mengetahui jalan dankembali ke desa mereka. Sesuatu yang sulit kami (anak-anak kecil)lakukan – kami di tengah hutan dan darimana kami mengetahuijalan? Malam itu ketika Komandan Kompi untuk mengambilberas, baru diketahui kalau ada dua TBO yang hilang. SatuTBO lainnya juga meninggalkan resimen kami, sehingga yangtinggal hanya dua. TBO yang lain itu berumur 16 atau 17, dansaya sendiri berumur delapan atau sembilan. 41TinjauanAnak-anak di Timor-Leste mengalami segala jenis pelanggaran hak asasi manusiaselama periode mandat Komisi, 25 April 1974-25 Oktober 1999. Penelitian Komisitelah mengungkapkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik politik diTimor-Leste melakukan pelanggaran terhadap anak-anak. Sebagian sangat besarpelanggaran tersebut dilakukan oleh militer Indonesia dan pasukan pembantunya.Mereka melakukan pembunuhan, pelanggaran seksual, penahanan dan penyiksaan,pemindahan paksa, dan perekrutan paksa terhadap anak-anak.Dalam beberapa hal, apa yang dialami oleh anak-anak, sama dengan yang dialami orangTimor pada umumnya; mereka menderita karena semua pihak tidak membedakanpenduduk sipil dengan penempur. Akibatnya, anak-anak tidak dikecualikan ketikaterjadi pembantaian massal atau terperangkap bersama keluarganya di garis tembakmenembakketika terjadi operasi militer. Data yang dikumpulkan oleh Komisimelalui proses pengambilan pernyataan menunjukkan bahwa anak-anak mengalamipelanggaran paling banyak sepanjang tahun 1976-1981 dan 1999, yang kurang-lebihmencerminkan pola pelanggaran yang dialami penduduk seluruhnya.Lebih jauh, cara-cara pelanggaran yang dilakukan terhadap anak-anak seringkali samadengan yang dilakukan terhadap orang dewasa. Kecuali dalam hal usia korban, isiberbagai laporan kekerasan seksual terhadap anak-anak yang dikemukakan berikutini hampir tidak berbeda dengan yang diuraikan dalam bagian mengenai kekerasanseksual. Laporan-laporan ini menggambarkan tentang:• pemerkosaan dan perbudakan seksual di kamp-kamp penampungan;• kekerasan seksual pengganti yang ditujukan pada anggota keluarga yangmasih di hutan;• pelanggaran terhadap anak-anak yang terlibat dalam kegiatan klandestinyang dapat berubah menjadi eksploitasi seksual yang berkepanjangan; dan• penggunaan strategis kekerasan seksual sebagai satu bentuk penyiksaan,dan dilakukannya hal ini dengan memanfaatkan kesempatan.139


Untuk anak-anak, sebagaimana yang terjadi pada orang dewasa, kekerasan seksualdilakukan dengan terbuka tanpa mengkhawatirkan adanya sanksi oleh semuatingkatan militer dan paramiliter di Timor-Leste serta oleh orang-orang yang memilikikedudukan sebagai pihak berwenang sipil seperti para kepala desa.Yang lebih mengaburkan perbedaan pengalaman antara orang dewasa dan anak-anakadalah kenyataan bahwa orang Timor-Leste mempunyai pemahaman yang lebihlonggar mengenai masa kanak-kanak dibandingkan definisi internasional yang jelas.Mengikuti berbagai instrumen hukum internasional, seperti Konvensi Hak Anak,Komisi mengadopsi definisi bahwa anak-anak adalah orang yang berusia 17 tahunatau di bawahnya. *Kalau demikian, mengapa anak-anak dibahas secara khusus dalam Laporan ini?Pertama, pelanggaran yang dilakukan terhadap anak-anak dikecam secara universal.Jadi, harapan bahwa semua pihak akan memperlakukan mereka dengan lebih hormatdibandingkan dengan orang dewasa, menjadikan pelanggaran terhadap anak-anakdalam skala apapun menjadi sangat mengejutkan. Perasaan bahwa pelanggaranterhadap anak-anak sungguh mengejutkan bersumber dari pemahaman bahwa anakanaksebagai suatu kelompok adalah murni dan bahwa kemurnian anak-anak harusdilindungi dari kejahatan dunia orang dewasa sebisa mungkin.Kedua, jelas bahwa anak-anak adalah salah satu kelompok paling rentan dalammasyarakat, khususnya dalam situasi konflik dan kekacauan sebagaimana yangdialami Timor-Leste selama 25 tahun mandat Komisi. Seperti diuraikan dalam Bagianmengenai Pemindahan Paksa dan Kelaparan, anak-anak termasuk dalam orang-orangyang dipindahkan dari rumah mereka setelah terjadinya invasi, seringkali selamabertahun-tahun lamanya, dan merupakan korban utama kelaparan dan penyakit.Banyak lainnya tanpa ada anggota keluarga yang mendukung dan karenanya rentanterhadap penganiayaan, penculikan atau perekrutan paksa. Misalnya, penggunaananak-anak sebagai TBO (Tenaga Bantuan Operasi) membahayakan nyawa, kesehatandan masa depan mereka. Kelemahan relatif badan mereka berarti bahwa beban beratyang diharuskan mereka bawa semakin melemahkan kesehatan mereka. Masa tugasyang dapat berlangsung selama beberapa tahun menghapuskan kesempatan merekamemperoleh pendidikan.Kedudukan khusus anak-anak di Timor-Leste tidak hanya berasal dari pengakuanuniversal atas keunikan status mereka. Hal ini juga bersumber pada kenyataan bahwaanak-anak adalah perwujudan masa depan. Kedua belah pihak dalam konflik berusahamenanamkan kesetiaan kepada perjuangan mereka di kalangan anak-anak pada usia dini.Militer Indonesia secara aktif melibatkan anak-anak ke dalam militer dan paramilitermelalui penggunaan mereka sebagai TBO dan milisi. Beberapa di antaranya menanjakmelalui berbagai berbagai posisi menjadi tokoh utama pro-integrasi. Sebagaimanadikemukakan dalam Bagian 7.9: Hak Sosial dan Ekonomi, Indonesia dengan terbukamenggunakan sistem pendidikan untuk mempropagandakan mengenai integrasi dannegara Indonesia kepada anak-anak sejak masa awal pendudukan. Pihak Perlawananmelibatkan anak-anak utamanya dengan melibatkan mereka dalam peran-peran kecil*Di Timor-Leste, anak-anak dimengerti sebagai orang yang belum menikah. Oleh karena itu orang yang berusia di bawah 18 tahunyang sudah menikah dianggap sebagai orang dewasa, dan orang yang belum menikah dan berusia lebih dari 17 tahun dapat dianggapsebagai anak-anak. Konflik itu sendiri menciptakan kerumitan lebih jauh: misalnya, anak-anak seumur 15 tahun menduduki posisi yangberwenang dalam Falintil dan diperlakukan sebagai orang dewasa; karena kekacauan yang disebabkan oleh perang, banyak pelajar sekolahmenengah yang berusia 18 tahun ke atas.140


seperti sebagai kurir dan penjaga. Bagaimanapun, sebagaimana ditunjukkan kisahkisahberikut ini, hal itu memungkinkan mereka naik tingkat dalam gerakan bawahtanah. Ada alasan praktis untuk melibatkan anak-anak juga: bagi tentara Indonesiaanak-anak lebih mudah ditundukkan atau dipengaruhi daripada orang dewasa. Bagipihak Perlawanan, anak-anak mempunyai keuntungan jarang dicurigai pihak yangberwenang dan ada jaringan gereja serta masyarakat yang dapat digunakan untukperjuangan.Karena kerentanan khusus anak-anak, Komisi percaya bahwa trauma meluas dikalangan orang Timor-Leste yang dibesarkan di masa pendudukan Indonesia. Adabukti-bukti bahwa trauma kemungkinan sangat banyak terjadi di pada mereka yangdirekrut sebagai milisi anak-anak pada 1998-1999. Dalam kasus mereka, trauma bukanhanya terkait dengan kekerasan luar biasa yang dialami, tetapi juga karena dampakkejiwaan perekrutan paksa, loyalitas yang terpecah , dan rasa malu karena berada dipihak yang salah. Yang disampaikan berikut ini merupakan kasus anak-anak lainyang menjadi sasaran tekanan-tekanan yang serupa. Misalnya, anak-anak dijadikanTBO sering kali karena mereka atau keluarga mereka dicurigai mempunyai hubungandengan gerakan kemerdekaan. Terdapat ketimpangan yang luar biasa dalam halkekuatan dan sumber daya antara yang melakukan pendudukan dan yang diduduki.Sama halnya dengan seluruh penduduk, batas antara pemaksaan dan kepatuhan tidakpernah jelas. Perlunya menyeimbangkan tekanan yang datang dari berbagai arah inimenempatkan anak-anak dalam risiko dinamakan “kepala dua” (bahasa Indonesia)atau ulun rua (bahasa Tetun) oleh kedua belah pihak. Tanggapan anak-anak terhadapberbagai tekanan ini dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu sebagai akibatsiksaan, ajakan atau pengalaman pertempuran.Ketiga, anak-anak Timor-Leste mengalami penganiayaan khusus yang berbedadengan penganiayaan yang dilakukan terhadap penduduk umumnya. Khususnya,hanya anak-anak, dalam jumlah ribuan, yang dipindahkan secara paksa ke Indonesia,yang berlawanan dengan keinginan orang tua, dan karenanya tindakan ini adalahpenculikan. Tidak jelas apakah tindakan ini sudah diresmikan dalam suatu kebijakan.Namun, ada banyak bukti bahwa para pejabat tinggi, baik militer maupun sipil, tidakmengatur hal ini dan kadang-kadang mereka sendiri terlibat di dalamnya. Walaupunketika pemindahan tersebut sebagian didorong oleh rasa kemanusiaan atau dilakukandengan izin orang tua anak-anak tersebut, sedikit sekali upaya dilakukan untukmemastikan agar anak-anak ini tetap dapat berhubungan dengan keluarga mereka.Mereka tidak dapat bebas memilih untuk kembali atau tidak kembali ke Timor Lestedan tidak diperbolehkan untuk mempertahankan identitas budaya mereka. Dalambeberapa kasus semua hal semacam ini memang dihambat.Seperti kaum perempuan, anak-anak sering diperlakukan bagaikan barang milik.Misalnya, sebagai TBO, mereka tidak secara teratur dibayar atas jasa yang merekaberikan. Mereka diwajibkan mengangkut barang berat. Mereka dapat dibawa pulangke Indonesia oleh prajurit tentara yang telah merekrut mereka atau menyerahkanmereka kepada prajurit lain. Dengan begitu ikatan mereka dengan keluarga dan statuskhususnya sebagai anak-anak sangat diabaikan.Keempat, status khusus anak-anak diakui hukum internasional dan sebagian besarsistem hukum setempat, termasuk hukum Indonesia. Sebagian besar sistem hukummemberikan pertimbangan khusus pada kebutuhan anak-anak. Sementara dalam situasikonflik bersenjata dan pendudukan, hukum internasional memberikan perlindungankepada anak-anak yang tidak sama dengan penduduk pada umumnya.141


Temuan-Temuan UmumPertarungan untuk menguasai Timor-Leste sebagian juga dilancarkan dalampertempuran memperebutkan anak-anaknya. Anak-anak menjadi korban, pelaku,tenaga bantuan dan saksi dalam konflik politik yang berkobar di Timor-Leste sejaktahun 1974. Kewajiban semua pihak untuk menempatkan kepentingan terbaik anakanaksebagai yang utama telah secara luas diabaikan.Prinsip hukum internasional memberikan perlindungan khusus kepada anak-anakyang timbul dari pengakuan atas kerentanan khusus anak-anak. Tanggung jawab semuapihak untuk memenuhi kewajiban mereka melindungi anak-anak sangat mendesak,terutama dalam periode konflik, pada saat ketimpangan perimbangan kekuatan antaraanak-anak dan orang dewasa sangat mencolok. Komisi menemukan bahwa semuapihak yang terlibat konflik gagal untuk memenuhi tanggung jawab mereka ini, akantetapi bentuk pelanggaran yang paling keji dilakukan oleh Indonesia.Indonesia, sebagai kekuasaan negara yang efektif di Timor-Leste, mempunyai kewajibanyang jelas untuk menghormati hak anak. Tanggung jawab ini timbul dari hukumhumaniter internasional yang tercantum dalam Konvensi Jenewa IV. Selain kewajibanyang sifatnya khusus, Indonesia mempunyai kewajiban umum untuk melindungianak-anak dan tidak membahayakan mereka dengan menempatkan mereka dalamkeadaan yang berbahaya. Pihak Indonesia gagal dalam memenuhi kewajiban ini yangtampak paling jelas saat mereka memperlakukan anak-anak seperti hak milik sendiriyang bisa dikerahkan ke medan tempur dan pada saat memisahkan anak-anak darikeluarga mereka serta mengirimkan ke Indonesia dimana identitas budaya merekatidak diakui.Sepanjang masa pendudukan, Indonesia juga terikat oleh standar-standar hak asasimanusia yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Standarstandarini selalu dilanggar dengan bermacam-macam cara, termasuk merekrutanak-anak untuk membantu angkatan bersenjatanya, mengabaikan hak hidup anakanak,kebebasan dan keselamatan diri pribadi, dan hak atas kebebasan hati nuranidan berpendapat. Bahkan setelah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990,Indonesia gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang mengikatnya secara hukum.Secara umum, Indonesia tidak memenuhi kewajibannya untuk mengutamakankepentingan terbaik anak-anak ketika mengambil keputusan-keputusan yang adakaitannya dengan anak-anak dan bila mungkin mempertimbangkan pendapat anakanak(Pasal 3 (1)). Indonesia juga melanggar banyak dari kewajiban khusus yangberkaitan dengan kekerasan seksual dan kewajiban mengenai kebebasan berpendapatdan memilih.Anak-anak dalam konflik bersenjata dan gerakan klandestinAnak-anak digunakan oleh semua pihak yang terlibat konflik politik di Timor-Lestedalam sepanjang periode mandat Komisi.142


Anak-anak yang digunakan militer Indonesia sebagai Tenaga BantuanOperasi (TBO)Komisi menemukan bahwa:Ø Militer Indonesia merekrut beberapa ribu anak sebagai TBO.Ø TBO direkrut dalam seluruh periode pendudukan tetapi angka perekrutantertinggi terjadi dalam masa 1976-81 saat operasi militer mencapai puncaknya.Ø ABRI menggunakan berbagai cara untuk merekrut anak-anak sebagai TBO,mulai dari pemaksaan terang-terangan sampai tawaran pemberian sesuatu.Sebagian anak bergabung menjadi TBO secara sukarela. Tetapi dalam suasanayang mendesak pada waktu itu, batas antara perekrutan sukarela dan perekrutanpaksa tidak pernah jelas.Ø Militer Indonesia lebih cenderung menggunakan anak-anak sebagai TBO dansecara aktif merekrut anak-anak di bawah umur daripada orang dewasa.Ø Perekrutan anak-anak oleh anggota tentara secara perorangan diketahui padatingkatan tertinggi struktur militer. Tidak ada upaya untuk mencegah hal ini;justru upaya-upaya untuk mengatur praktik tersebut menunjukkan bahwa halini justru direstui.Ø Meski diakui secara resmi, TBO bukan anggota angkatan bersenjata dan tidakmendapatkan imbalan seperti anggota tentara pada umumnya, seperti gaji,pangkat atau seragam.Ø TBO anak-anak tidak menerima gaji dari militer Indonesia untuk jasa yangmereka berikan. Meskipun mereka sering menerima makanan dan tempat tinggal,ini bukanlah imbalan yang adil.Ø Tidak ada ketentuan mengenai perlakukan TBO anak-anak oleh prajuritperseorangna.Ø Hubungan antara TBO anak-anak dan prajurit yang mereka layani sama sekalitidak seimbang. Dalam beberapa kasus, prajurit memperlakukan TBO seolah-olahmereka mempunyai hak milik atas anak-anak tersebut. Mereka mengendalikangerak-gerik, tugas, kondisi hidup dan, akhirnya, hidup mati mereka. Kadangkadangpara prajurit ini masih menguasai TBO mereka meskipun tugas merekasudah selesai; kadang-kadang mereka menyerahkan anak-anak ini kepada prajuritlain; kadang-kadang mereka ditinggalkan begitu saja.Ø TBO anak-anak melakukan tugas-tugas, yang walaupun tidak melibatkan merekasecara langsung dalam pertempuran, tetapi menempatkan mereka dalam bahaya.Paling tidak, kondisi kerja mereka tidak sehat dan telah merusakkan kesempatanbelajar mereka. Dalam banyak kasus, kerja yang dilaksanakan TBO anak-anaktidak sesuai dengan kemampuan fisik dan intelektual mereka.143


Ø Selain perekrutan mereka sebagai TBO, anak-anak juga ditugaskan bersama orangdewasa untuk operasi militer. Dalam kasus Operasi Kikis, bulan Juli-September1981, di beberapa tempat anak-anak berusia sepuluh tahun direkrut bersamaberibu-ribu orang Timor-Leste untuk mengepung basis-basis Falintil.Berdasarkan temuan-temuan di atas, Komisi yakin bahwa praktek tentara Indonesiamenggunakan anak-anak TBO:• Merupakan satu bentuk perbudakan. Hal ini merupakan pelanggaranterhadap larangan kebiasaan dasar atas perbudakan, dan merupakanpelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa (secara sengajamengakibatkan kesengsaraan atau luka berat terhadap tubuh ataukesehatan: Konvensi Jenewa IV (Pasal 147) dan pelanggaran terhadaphukum dan kebiasaan perang.• Merupakan satu bentuk kerja paksa yang melanggar Pasal 51 KonvensiJenewa IV, yang mengharuskan bahwa, apabila Kekuasaan Pendudukanmenggunakan tenaga penduduk sipil dari wilayah yang diduduki, merekawajib membayar mereka dengan upah yang layak dan “pekerjaan yangdiberikan harus sesuai dengan kemampuan fisik dan intelektual.”Anak-anak dalam Falintil dan gerakan klandestinKomisi menemukan bahwa:Ø Anak-anak di bawah usia 15 tahun menjadi pejuang gerilya bersama Falintil,tetapi jumlahnya tidak banyak.Ø Tidak ada bukti bahwa anak-anak direkrut secara paksa oleh Falintil. Beberapaanak yang pernah direkrut oleh Falintil memberikan kesaksian bahwa merekasangat berkeinginan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Timor-Leste;beberapa anak lain mengatakan bahwa upaya mereka untuk mendaftar ditolakkarena mereka terlalu muda. Ini membedakan anak-anak yang menjadi anggotaFalintil dengan tentara anak-anak di bagian-bagian lain dunia yang secara paksadirekrut karena kepatuhan dan kesediaan mereka untuk melakukan kekerasan.Ø Perekrutan anak-anak tampaknya bersifat ad hoc, informal, dan tidak dikendalikandari pusat. Sebagian anak meninggalkan rumah mereka untuk bergabung, adayang secara resmi “direkrut”, yang lainnya tinggal bersama masyarakat yangmengungsi ke hutan dan menjadi terlibat karena keberadaan mereka di sana.Ø Perlakuan terhadap anak-anak yang direkrut umumnya baik; meskipun merekamenghadapi pelakuan keras yang sama dengan yang dihadapi orang lain yangdirekrut. Kasus-kasus perlakuan kasar biasanya berkaitan dengan pelanggaranprosedur kedisiplinan, konflik dalam tubuh Fretilin atau untuk mencegahmenyerahkan diri.Ø Keterlibatan anak-anak ini bukannya tanpa biaya. Selain mereka bisa terbunuhdalam pertempuran, banyak dari orang muda ini juga mengalami kesulitanmenyesuaikan diri setelah tugas mereka selesai, termasuk dijadikan sasaran144


sebagai pendukung kemerdekaan oleh pasukan keamanan Indonesia, dankesulitan menyesuaikan diri kembali pada kehidupan sipil setelah merekadibebastugaskan.Komisi yakin bahwa:• Dengan menerima anak-anak di bawah 15 tahun sebagai pejuanggerilya, Falintil melanggar standar hukum humaniter internasional yangdiuraikan dalam Protokol Opsional I tahun 1977 Konvensi Jenewa.• Perekrutan anak-anak berusia 15-17 tahun secara sukarela bukanlah suatupelanggaran instrumen hak asasi manusia atau hukum humaniter.Komisi menemukan bahwa:Ø Anak-anak merupakan bagian penting dari unsur klandestin dalam Perlawananterhadap Kekuasaan Pendudukan, baik sebagai estafeta, peserta demonstrasi ataumemberikan dukungan dalam bentuk lain.Ø Pimpinan Perlawanan merekrut anak-anak dan pemuda ke dalam gerakanklandestin tepat karena sumbangan unik yang bisa mereka berikan.Ø Sangat sedikit bukti bahwa anak-anak terlibat kegiatan klandestin karena dipaksa.Justru pengalaman langsung menjadi korban pelanggaran hak asasi manusiayang dilakukan oleh anggota-anggota pasukan keamanan Indonesia terhadapdiri mereka maupun keluarga dekat mereka sering menjadi pendorong untukbergabung dengan Perlawanan. Sulit menilai sejauh mana keputusan merekauntuk bergabung dalam kegiatan klandestin merupakan keputusan yang diambildengan penuh kesadaran. Namun demikian, anak-anak yang sudah cukup umurdan mencapai kematangan mempunyai kebebasan untuk berpendapat danbertindak sesuai dengan hati nurani mereka.Ø Anak-anak Timor-Leste yang terlibat dalam gerakan klandestin berisiko besarmendapatkan hukuman dari militer Indonesia dan/atau kaki-tangannya. Banyakyang menderita karena keterlibatan mereka.Komisi yakin bahwa:• Meskipun perekrutan anak-anak dalam gerakan klandestin oleh pelakunon-negara bukan merupakan pelanggaran hukum internasional, hal inibertentangan dengan standar hak asasi manusia yang menyatakan bahwakepentingan terbaik anak harus diutamakan.• Tindakan militer Indonesia yang sangat keras terhadap anak-anak yangterlibat gerakan klandestin merupakan pelanggaran hak setiap oranguntuk menikmati kebebasan hati nurani dan berpendapat, yang dalamhubungannya dengan anak-anak tertuang dalam Pasal 12 dan 13 KonvensiHak Anak.145


Anak-anak yang direkrut oleh milisi pro-otonomi pada tahun 1999Komisi menemukan bahwa:Ø Sejak akhir tahun 1998 anak-anak direkrut menjadi milisi yang menteror Timor-Leste.Ø Hampir semua anak yang direkrut dipaksa bergabung karena anak-anak tersebutatau keluarga mereka diintimidasi. Sebagian anak bergabung secara sukarela,biasanya karena mereka atau keluarga mereka adalah pendukung integrasi dansetuju dengan tujuan milisi.Ø Anggota milisi yang anak-anak terlibat dalam tindakan pelanggaran berat hakasasi manusia termasuk pembunuhan, penyerangan fisik, dan pemerkosaan sertadalam tindakan luas perusakan harta-benda.Ø Anak-anak ini hanya sesekali diberi imbalan, berupa uang yang jumlahnya sedikitatau makanan.Ø Indonesia tidak melakukan apapun untuk melindungi anak-anak dari perekrutanpaksa menjadi anggota kelompok-kelompok kriminal; kenyataannya, anggotaanggotamiliter sangat terlibat dalam kegiatan ini.Ø Praktik perekrutan paksa anak-anak untuk menjadi milisi tampaknya, sebagian,dirancang untuk memberikan kesan bahwa sangat banyak pemuda yang fanatikmendukung integrasi, dan menarik anak-anak muda ini ke dalam kegiatankegiatankriminal yang menghancurkan hubungan keluarga dan kemasyarakatanyang menjadi menopang gerakan kemerdekaan.Ø Anak-anak yang direkrut biasanya berasal dari kalangan masyarakat Timor-Lesteyang paling tidak beruntung, yang menjadi kejam karena partisipasi merekadalam kekerasan dan karena menyaksikan kekerasan, dan mendapatkan stigmaberada di pihak yang salah. Ada bukti yang menunjukkan bahwa dari semua anakyang direkrut oleh pihak-pihak yang terlibat konflik selama 25 tahun, anak-anakyang menjadi milisi kemungkinan adalah yang paling mengalami trauma akibatpengalaman mereka.Ø Komisi tidak menemukan bukti bahwa Indonesia telah mengambil langkah untukmemajukan pemulihan fisik dan psikologi serta reintegrasi sosial anak-anakini.Komisi yakin bahwa:• Memaksa seorang anak untuk bergabung dalam milisi dan memaksanyauntuk melakukan tindak kriminal, yang kadang-kadang korbannyaadalah warga masyarakatnya sendiri, merupakan perlakuan tidakberperikemanusiaan dan/atau menyebabkan penderitaan besar atau lukayang berat terhadap tubuh dan kesehatan anak-anak yang bersangkutan.Ini adalah pelanggaran Pasal 147 Konvensi Jenewa IV dan hukum146


dan kebiasaan perang. Ini juga merupakan satu pelanggaran terhadapkewajiban hak asasi manusia Indonesia berdasarkan Pasal 38 KonvensiHak Anak untuk menjamin perhormatan pada ketentuan-ketentuankhusus tentang anak dalam hukum humaniter internasional.• Menggunakan anak-anak untuk mencapai tujuan politik merupakan suatubentuk eksploitasi. Karena itu Indonesia melanggar hak anak-anak tersebutuntuk mendapat perlindungan dari eksploitasi agar kesejahteraan merekaterjamin – yang bertentangan dengan Pasal 36 Konvensi Hak Anak.• Indonesia telah gagal memenuhi kewajibannya untuk mengambil semualangkah untuk memulihkan kesehatan fisik dan psikologis serta reintegrasisosial anak-anak ini sesuai dengan Pasal 39 Konvensi Hak Anak.Perlakuan tidak berperikemanusiaan terhadap anak-anakPenahanan sewenang-wenangKomisi menemukan bahwa:Ø Anak-anak menjadi korban penahanan sewenang-wenang hampir dalam seluruhmasa mandat Komisi. Anggota UDT menahan anak sewenang-wenang selamaperiode konflik partai. Anggota Fretilin juga melakukan penahanan sewenangwenangselama periode ini, dan beberapa tahun setelah invasi Indonesia. Pasukankeamanan Indonesia melakukan penahanan sewenang-wenang terhadap anakanakdalam skala yang jauh lebih besar. Perlakuan terhadap mereka selama dalampenahanan mengandung pelanggaran sistematis dalam seluruh 25 tahun periodependudukan.Ø Selama masa pendudukan, aparat pemerintah Indonesia menahan anak secarasewenang-wenang dan bertanggung jawab atas pelanggaran yang luas dansistematis hak anak dalam tahanan. Dari tahun 1975 sampai 1999 anak-anakdiikat, dipukuli, ditendang, diperkosa, disetrum, disundut dengan rokok,direndam dalam air, dimasukkan dalam sel gelap, diancam dibunuh, dan diteroroleh anggota-anggota pasukan keamanan Indonesia. Sejumlah anak meninggalkarena perlakuan ini. Komisi tidak menemukan kasus pelaku pelanggaran inidiberi hukuman atau dikenai tindakan disipliner.Ø Pada tahun-tahun awal setelah invasi, anak-anak ditahan dalam skala besar setelahmereka ditangkap atau menyerah dan mereka dikirim ke “kamp pemukiman.”Makanan, tempat tinggal, dan pelayanan kesehatan yang mereka terima sangattidak memadai, dan mereka tidak bisa bergerak bebas dan hal ini membatasikemampuan mereka dan keluarga mereka untuk mendapatkan makanan yangdiperlukan untuk menambah jatah yang mereka terima yang jumlahnya sedikit.Anak-anak kadang-kadang juga ditahan di tempat penahanan resmi dan fasilitasmiliter setelah mereka menyerah atau tertangkap. Anak-anak juga merupakanbagian yang cukup besar dari orang-orang yang ditahanan di pulau Ataúro antaratahun 1980 dan 1986, baik bersama anggota keluarga mereka atau terpisah darimereka. Beberapa ribu anak meninggal dunia karena kondisi yang sangat kerasdi kamp-kamp pemukiman di Ataúro.147


Ø Sebab penahanan anak-anak oleh militer Indonesia serupa dengan penahananorang dewasa: keterlibatan mereka dalam kegiatan klandestin, untuk mematahkandukungan kepada anggota Falintil, dan untuk mendapatkan informasi mengenaiFalintil atau gerakan klandestin. Anak-anak juga ditahan karena kegiatan orangtua mereka atau anggota keluarga yang lain.Ø Mahasiswa dan anak-anak sekolah menjadi sasaran penangkapan dan penahananketika demonstrasi terbuka mulai diselenggarakan pada dasawarsa 1990-an. Pihakberwenang Indonesia menahan anak-anak pada saat dan sesudah terjadinyademonstrasi, dan kadang-kadang untuk mencegah terjadinya demonstrasi.Banyak tahanan anak yang menjadi sasaran pelanggaran, termasuk penyiksaan.Anak-anak juga ditangkap dan ditahan oleh anggota-anggota pasukan keamananIndonesia dan milisi kaki-tangan mereka selama kekerasan yang terjadi di seputarKonsultasi Rakyat tahun 1999. Kadang-kadang penahanan ini dipergunakanuntuk memaksa anak-anak bergabung dalam milisi.Ø Setelah gerakan bersenjata UDT tanggal 11 Agustus 1975, anak-anak ada di antaraorang-orang yang ditawan UDT di tempat-tempat yang dikhususkan untuk tujuanitu. Komisi tidak mendapatkan bukti tentang penyiksaan atau perlakuan kejamlainnya yang dilakukan oleh UDT terhadap tahanan anak-anak.Ø Selama masa konflik partai, anak-anak termasuk dalam kelompok orang yangditahan sewenang-wenang oleh anggota-anggota Fretilin, karena mereka atauanggota keluarga mereka diyakini berafiliasi dengan partai politik lawan.Penyiksaan dan perlakuan kejam terhadap tahanan anak-anak dilakukan olehFretilin, tetapi tidak meluas atau dilakukan secara sistematis.Ø Setelah invasi Indonesia, Fretilin melakukan penahanan anak-anak secarasewenang-wenang, tetapi kebanyakan karena bersamaan dengan penahanan orangdewasa. Meskipun demikian, ada juga kasus anak-anak yang ditangkap sebagaipengganti sanak-saudara yang menjadi anggota partai lain yang berada di wilayahyang tidak dikuasai oleh Fretilin dan yang ditangkap karena tuduhan melanggardisiplin. Meskipun terbukti bahwa ada “surat penangkapan” dalam beberapakasus, penangkapan, penyiksaan, pengabaian proses hukum, dan penggunaananak sebagai sandera yang sering terjadi selanjutnya, tidak mempunyai dasarhukum.Komisi yakin bahwa:• Penahanan anak-anak oleh anggota pasukan keamanan Indonesiamelibatkan pelanggaran berganda dan berulang terhadap hukumIndonesia, standar hak asasi manusia, dan hukum internasional.Penangkapan biasanya dilakukan oleh orang yang tidak mempunyaiwewenang resmi untuk melakukan penangkapan menurut hukumIndonesia.• Penyiksaan dan perlakuan tidak layak yang luas yang menyebabkanpenderitaan besar atau luka yang berat terhadap tubuh maupun kesehatanmerupakan pelanggaran berat Konvensi Jenewa IV (Pasal 147) yangberlaku untuk Indonesia sebagai hukum kebiasaan dan hukum perjanjian.148


• Tidak memberikan makanan dan obat-obatan yang memadai kepadaanak-anak yang ditahan merupakan pelanggaran Pasal 55 KonvensiJenewa IV.• Tidak memperbolehkan pengiriman yang bebas bahan makanan, obatobatan,dan pakaian yang ditujukan kepada anak-anak di bawah 15 tahunmerupakan pelanggaran Pasal 23 Konvensi Jenewa IV.• Tidak memberi penjelasan kepada tahanan anak-anak tentang hak dansebab penahanan mereka merupakan pelanggaran Pasal 71 KonvensiJenewa IV.• Indonesia melanggar kewajiban khususnya menurut Konvensi Hak Anak,yang diratifikasinya pada tahun 1990, terutama Pasal 37, yang menetapkankewajiban untuk menjamin agar tidak seorang anakpun direnggutkebebasannya secara tidak sah, dan agar penangkapan, penahanan, danpemenjaraan anak harus sesuai dengan hukum serta hanya dilakukansebagai tindakan terakhir dan hanya untuk jangka waktu sependekmungkin.• Tindakan anggota-anggota UDT dan Fretilin dalam masa konflik partaimelanggar standar hak asasi manusia, hukum Portugis yang berlaku danhukum internasional. Menurut hukum Portugis, tidak ada satu anggotadari partai manapun yang mempunyai kewenangan hukum untukmenangkap, menahan, menyerang atau memperlakukan seseorang secaratidak layak.• Anggota-anggota kedua partai melalaikan kewajiban mereka berdasarkan Pasal3 Konvensi-Konvensi Jenewa, yang melarang kekerasan terhadap kehidupandan manusia dan pelecehan terhadap martabat pribadi, seperti perlakuan yangmenghinakan atau merendahkan orang dan mengambil sandera.• Penyiksaan, penahanan secara tidak sah, dan penggunaan anak-anaksebagai sandera oleh Fretilin dalam periode setelah invasi Indonesiamerupakan pelanggaran berat Konvensi Jenewa IV.Pembunuhan sewenang-wenang terhadap anak-anakKomisi menemukan bahwa:Ø Kegagalan semua pihak untuk membedakan orang sipil dari penempur jugameluas pada anak-anak. Anak-anak umumnya dibunuh karena sebab yang samadengan orang dewasa dan sering dibunuh bersama orang dewasa. Oleh karenaitu buktinya tidak mencukupi untuk menyebutkan bahwa anak-anak secarakhusus dijadikan sasaran. Pada saat yang sama, anak-anak juga tidak mendapatperlindungan atau diperlakukan secara khusus dalam kekerasan yang terjadiselama konflik politik.Ø Anak-anak dibunuh dalam konteks yang berbeda-beda, termasuk dalamkonflik bersenjata terbuka, dalam pembantaian massal, dalam tahanan, dandalam eksekusi cepat. Pada tahun-tahun awal konflik banyak anak terbunuhbersama keluarga mereka dalam operasi militer atau saat mereka terperangkapdi wilayah yang diperebutkan. Pada tahun-tahun belakangan, korban di bawahumur cenderung remaja yang menjadi sasaran karena dicurigai terlibat kegiatanpro-kemerdekaan.149


Ø Dalam periode konflik bersenjata internal, anak-anak dibunuh oleh Fretilin danUDT. Mereka dibunuh dalam tahanan, karena afiliasi politik mereka sendiri atauafiliasi politik keluarga mereka. Kebanyakan mereka dibunuh dalam kelompokbukannya sendiri-sendiri dan bersama anggota keluarga mereka.Ø Angkatan bersenjata dan agen-agen Indonesia membunuh anak-anak selamaperiode 1975-79 sebagai bagian dari kampanye lebih luas Indonesia untukmenguasai Timor-Leste. Indonesia tidak membedakan anak-anak dengan orangdewasa. Anak-anak yang sedang keluar mencari makan, baik sendiri maupunbersama orang dewasa, berisiko ditembak oleh anggota-anggota ABRI atau Hansip.Kelompok-kelompok orang sipil tidak bersenjata, termasuk anak-anak, yangtinggal di luar kamp pemukiman yang dikontrol Indonesia bisa saja dieksekusisecara acak.Ø Sejak tahun 1980, anak-anak dibunuh ketika ABRI melakukan pembalasan secarabesar-besaran dan tanpa pandang bulu sebagai balasan atas serangan-seranganpejuang Perlawanan. Anak-anak termasuk yang menjadi korban terbunuh dalampenumpasan besar-besaran yang terjadi setelah penyerangan oleh Falintil terhadapDili pada bulan Juni 1980, terhadap Koramil Mauchiga pada bulan Agustus1982 dan terhadap kesatuan Zeni di Kraras pada bulan Agustus 1983. Dalamkasus-kasus tersebut, anak-anak dibunuh dalam penyerangan membabi butaterhadap kelompok-kelompok penduduk sipil dan karena mereka sendiri dicurigaimemberikan dukungan kepada Falintil.Ø Pada tahun 1999, anak-anak dibunuh dalam operasi-operasi pencarian anggotaklandestin atau Falintil, dalam penyerangan milisi untuk menghukum kampungkampungyang mendukung atau membantu Perlawanan, atau sebagai bagianpembunuhan massal setelah pengumuman hasil pemungutan suara, atau saatkeluar mencari makan. Anak-anak menjadi sasaran yang mudah saat terjadipenyerangan di tempat-tempat penampungan pengungsi. Menurut laporan,pelakunya adalah anggota milisi yang terkait dengan militer Indonesia atauanggota TNI sendiri.Komisi yakin bahwa:• Pembunuhan anak-anak merupakan pelanggaran hak mereka untukhidup, yang merupakan salah satu hak asasi manusia paling dasar. Dalambanyak kasus, mereka mati akibat tindakan di luar hukum yang bisadianggap sebagai tindak kejahatan perang, yang merupakan pelanggaranhukum dan kebiasaan perang atau pelanggaran berat Konvensi-KonvensiJenewa 1949.• Pembunuhan anak-anak oleh UDT dan Fretilin merupakan pelanggaranterhadap hukum Portugal, yang tidak memberikan wewenang kepadapartai manapun, sebagai pelaku non-negara, untuk mencabut nyawaorang, apalagi anak-anak, dalam keadaan apapun.150


• Pembunuhan anak-anak sipil dalam periode konflik internal bersenjatamerupakan pelanggaran Pasal Bersama 3 Konvensi-Konvensi Jenewatahun 1949, yang secara jelas melarang pihak-pihak untuk membunuhorang yang tidak ambil bagian aktif dalam permusuhan.• Setelah konflik internal berubah menjadi konflik internasional,ketentuan-ketentuan yang mengatur konflik bersenjata internasionalberlaku di Timor-Leste untuk mengatur perilaku UDT, Fretilin, danIndonesia. Perlindungan yang diberikan kepada anak-anak berdasarkanHukum Internasional mengenai Konflik Bersenjata lebih luas, namunperlindungan untuk mereka dalam kaitannya dengan hak untuk hidupsama dengan perlindungan untuk orang sipil dewasa.• Pembunuhan anak-anak sipil oleh militer Indonesia atau kaki-tangannyaselama periode konflik bersenjata internasional merupakan tindakkejahatan perang menurut hukum dan kebiasaan perang serta KonvensiJenewa IV.• Anak-anak yang dibunuh karena hubungan mereka dengan gerakanklandestin atau dalam tindakan pencarian pejuang Perlawanan jugaadalah penduduk sipil tidak bersenjata yang tidak terlibat konflik militer.Pembunuhan semacam itu dapat digolongkan sebagai tindak kejahatanperang biasa, yang melanggar hukum dan kebiasaan perang sertaKonvensi Jenewa IV.Kekerasan seksual terhadap anak-anakKomisi menemukan bahwa:Ø Pasukan keamanan Indonesia, orang Timor-Leste kaki-tangan mereka, danorang lainnya yang mempunyai wewenang telah menggunakan kekerasan seksualterhadap anak-anak secara strategis maupun untuk memanfaatkan kesempatan,dalam sepanjang masa pendudukan.Ø Kekerasan seksual strategis digunakan untuk menegakkan kontrol melalui teror,baik sebagai bentuk hukuman terhadap korban, sebagai upaya untuk mendapatkaninformasi atau untuk tujuan lebih luas merusak hubungan keluarga.Ø Skala kekerasan seksual memanfaatkan kesempatan mencerminkan suatu suasanaimpunitas yang meluas dari pejabat tinggi militer sampai orang Timor-Lestekaki-tangan mereka dan orang sipil yang mempunyai kedudukan berwenang.Ø Kekerasan seksual terhadap anak perempuan tampaknya sering didorong olehkeinginan untuk menghukum anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatanperlawanan.Ø Anak perempuan maupun perempuan dewasa menjadi sasaran kekerasanseksual yang sama selama periode mandat Komisi. Kedua golongan itu sangatberisiko terutama di kamp pemukiman atau ketika ditahan oleh pihak berwenangIndonesia.151


Ø Setelah terjadi pelanggaran seksual, anak-anak perempuan menjadi rentan terhadapeksploitasi berkepanjangan, yang mengarah pada perbudakan seksual untukwaktu yang lama atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual yang berulang.Ø Praktik kekerasan seksual terhadap anak-anak, dalam banyak kasus, dilakukansecara terbuka tanpa takut akan adanya sanksi baik oleh anggota militer berpangkatrendah maupun perwira atasan mereka, serta orang-orang yang mempunyaiwewenang sipil seperti kepala desa, polisi, dan guru.Ø Kebanyakan kasus kekerasan seksual yang dipelajri oleh Komisi terjadi di dalamtahanan militer atau di kompleks militer atau tempat-tempat lain yang bisadianggap resmi.Ø Meskipun pejabat senior pemerintah sipil Indonesia jelas mengetahui bahwatindakan-tindakan tersebut melanggar hukum, Komisi menemukan bahwahanya ada satu kasus seorang pegawai pemerintah dihukum atas tindakannya.Penting dicatat bahwa kasus ini melibatkan seorang anggota Hansip berpangkatrendah.Komisi yakin bahwa:• Berdasarkan sifat kejahatan seksual yang dilakukan terhadap anak-anakdan impunitas yang dinikmati para pelaku, maka bisa disimpulkanbahwa di Timor-Leste ada suatu keadaan dalam mana kekerasan seksualdiperbolehkan, bahkan dianjurkan.• Pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual beratadalah penyerangan yang menghancurkan keamanan seseorang;tindakan-tindakan tersebut juga merupakan perlakuan keji yang tidakberperikemanusiaan dan merendahkan martabat, yang dalam keadaantertentu bisa digolongkan sebagai penyiksaan. Kejahatan-kejahatan yangmengerikan ini semakin diperparah ketika dilakukan terhadap anak-anak,yang karena kerentanannya membutuhkan perlindungan khusus. Prinsipprinsipini secara universal tercantum dalam hukum internasional sertahukum Indonesia (KUHP Bab XIV).• Beberapa kasus kekerasan seksual yang diteliti oleh Komisi merupakanperlakuan kasar, yang tidak berperikemanusiaan, dan merendahkanmartabat atau penyiksaan. Penyiksaan dalam keadaan yang telahdijelaskan di atas merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi-Konvensi Jenewa dan pelanggaran hukum dan kebiasaan perang, sertapelanggaran terhadap larangan penyiksaan.• Dalam keadaan Timor-Leste yang diinvasi dan diduduki, banyaktindak kekerasan seksual terhadap anak-anak, termasuk pemerkosaan,merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi-Konvensi Jenewa(Pasal 147 Konvensi Jenewa IV untuk orang sipil) karena menyebabkanpenderitaan bersar atau luka berat pada tubuh maupun kesehatan, ataukarena merupakan tindakan tidak berperikemanusiaan.152


• Tindakan-tindakan ini merupakan pelanggaran hukum dan kebiasaanperang, karena memperlakukan orang sipil secara tidak layak danpenghinaan terhadap martabat dan kehormatan pribadi (Pasal Bersama 3dan Pasal 76 (1) dari Peraturan Tambahan Konvensi Den Haag IV).• Perbudakan seksual dan praktik-praktik menyerupai perbudakan lainnya,seperti pemaksaan memberikan pelayanan seksual, yang dilakukanterhadap anak-anak sipil merupakan pelanggaran Pasal 27 KonvensiJenewa IV dan merupakan pelanggaran berat terhadap konvensi ini (Pasal147). Praktik-praktik ini melibatkan pelanggaran berganda standarstandarhak asasi manusia yang mencakup pengurungan secara tidak sah,menimbulkan penderitaan besar atau luka berat terhadap tubuh maupunkesehatan, penyiksaan atau perlakukan tidak berperikemanusiaan.• Karena hampir semua tindak kekerasan seksual yang diteliti oleh Komisidilakukan oleh pejabat atau petugas-petugas Kekuasaan Pendudukan,Indonesia bertanggung jawab atas penderitaan yang mereka alami (Pasal29 dan 32, Konvensi Jenewa IV).• Indonesia gagal memenuhi kewajibannya berdasarkan kebiasaan danperjanjian seperti menurut Konvensi Jenewa untuk melindungi anak-anaksipil dari kekerasan seksual dan melakukan tindakan-tindakan untukmenyelidiki, mengajukan ke pengadilan, dan menghukum para pelakuperseorangan pelanggaran berat (Pasal 146, Konvensi Jenewa IV).• Setelah bulan September 1990, Indonesia gagal memenuhi kewajibannyamenurut Konvensi Hak Anak untuk melindungi anak-anak darieksploitasi dan penganiayaan seksual (Pasal 34).• Setelah bulan September 1990, Indonesia gagal memenuhi kewajibannyamenurut Konvensi Hak Anak untuk membantu pemulihan fisik dan psikologisserta reintegrasi sosial anak-anak korban kekerasan seksual (Pasal 39).Pemindahan anak-anak ke IndonesiaKomisi menemukan bahwa:Ø Anak-anak Timor-Leste banyak dipindahkan dari keluarga mereka dan daritanah air mereka ke Indonesia sepanjang masa pendudukan.Ø Pemindahan anak-anak ke Indonesia dilakukan dengan berbagai cara, mulaipenculikan oleh prajurit secara perorangan sampai program pendidikan yangdibiayai pemerintah.Ø Walaupun tingkat pemaksaan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembagalembagadalam menghasilkan pemindahan anak berbeda-beda, hampir selalu adaunsur paksaan dan, kadang-kadang, penggunaan kekerasan secara terbuka.Ø Pada tahun-tahun awal pendudukan, prajurit-prajurit reguler adalah pelaku utamapemindahan anak-anak Timor-Leste. Seperti dalam kasus TBO anak-anak (yangsebagian dibawa ke Indonesia oleh prajurit yang mereka layani pada akhir masatugas mereka), anak-anak yang dibawa ke Indonesia banyak diperlakukan sebagaibarang milik yang bisa dipindah paksa, dikemas dalam kotak dan diharuskanuntuk melakukan kerja kasar untuk keluarga dimana mereka tinggal.153


Ø Lembaga-lembaga, termasuk rumah sakit dan Panti Asuhan Seroja melancarkanpemindahan anak-anak oleh prajurit tentara Indonesia. Meskipun petugas-petugasnyasecara pribadi menyatakan kepada Komisi bahwa mereka mengkhawatirkan prosesnya,tidak ada bukti bahwa lembaga-lembaga ini menolak ambil bagian.Ø Lembaga-lembaga keagamaan juga terlibat secara langsung dalam pemindahananak keluar Timor-Leste. Meskipun Komisi mengakui bahwa pemindahanpemindahanini dianggap sebagai kegiatan amal oleh lembaga-lembaga yangbersangkutan, tetapi jelas bahwa anak-anak tersebut serta orang tua mereka tidakdiberi cukup informasi.Ø Upaya-upaya untuk mengatur praktek ini baru dilakukan pada awal dasawarsa1980-an tetapi Komisi mempunyai sedikit bukti bahwa peraturan diikuti ataubahwa ada pengawasan mengenai pelaksanaannya. Bila orang tua dari anakdimintai persetujuan, mereka kebanyakan tidak diberi informasi yang lengkapatau bahkan dibohongi. Lebih jauh, ada kasus-kasus “persetujuan” paksa yangdiberikan di bawah ancaman kekerasan.Ø Anak-anak Timor-Leste yang dibawa ke Indonesia pada usia muda mengalamikehilangan identitas budaya mereka, yang menimbulkan penderitaan besar padaanak-anak dan keluarga mereka. Dalam banyak kasus, hal ini merupakan akibat darikebijakan lembaga keagamaan yang terlibat, keputusan orang yang dipercaya untukmenjaga anak-anak itu, atau semata-mata akibat dari tercerabutnya anak-anak itudari akar budaya mereka karena jarak yang jauh dari tanah asal mereka.Ø Komisi tidak pernah mendapatkan keterangan tentang adanya upaya untukmemberikan pendidikan kepada anak-anak Timor-Lesta oleh orang-orang darikebangsaan, bahasa, atau agama yang sama. Sebaliknya, Komisi menemukan banyakkasus dalam mana dilakukan upaya terang-terangan untuk mengubah agamaanak-anak atau cara-cara lain untuk menjadikan mereka lebih Indonesia.Ø Tidak ada bukti yang cukup untuk menentukan apakah pemindahan besarbesarananak-anak Timor-Leste merupakan kebijakan resmi pemerintah Indonesiaatau kebijakan militer Indonesia. Akan tetapi ada bukti cukup yang jelas tentangketerlibatan pejabat tinggi dalam beberapa kasus, termasuk keterlibatan PresidenSoeharto dan keluarganya.Ø Pemerintah Indonesia tidak benar-benar mengupayakan pengaturan praktikpraktikpemindahan anak-anak dengan melembagakan kebijakan adopsi di bawahtanggung jawab badan yang berwenang sesuai hukum yang berlaku.Ø Hanya ada sedikit bukti bahwa pemerintah Indonesia melakukan upaya yangsungguh-sungguh untuk memenuhi kewajibannya sesuai hukum internasionalmengenai pemeliharaan anak-anak Timor-Leste oleh orang-orang yang bukananggota keluarga mereka atau di lembaga-lembaga, pemindahan mereka keIndonesia atau kondisi mereka ditempatkan.ØMenurunnya jumlah anak-anak yang diculik setelah tahun 1981 tampaknya berkaitandengan perubahan situasi militer dan normalisasi pendudukan dan bukan karenaefektivitas tindakan-tindakan yang dijalankan oleh pihak berwenang Indonesia.154


Ø Komisi menemukan bahwa program-program Departemen Pendidikan danKebudayaan dan Departemen Tenaga Kerja yang mengirimkan anak-anak Timor-Leste ke Indonesia untuk belajar atau bekerja dilandasi oleh motivasi politik dankeamanan. Motivasi ini mencakup menumbuhkan komitmen pada integrasidengan Indonesia dan mengeluarkan calon pembuat kerusuhan dari Timor-Leste.Ø Bahkan jika pemindahan tersebut dilandasi sebagian oleh pertimbangankemanusiaan atau jika ada persetujuan orang tua, tidak banyak upaya dilakukanuntuk menjamin anak-anak bisa menghubungi keluarga mereka atau untukmenjamin agar anak-anak mempunyai kebebasan memilih tetap tinggal diIndonesia atau pulang ke Timor-Leste. Komisi menerima banyak laporan mengenaianak-anak yang dipindahkan dan tidak pernah bertemu keluarga mereka lagi,serta orang-orang yang dipindahkan sewaktu masih kecil dan kembali setelahdewasa tidak bisa menemukan keluarga bahkan distrik asal mereka. Kesaksiankesaksianyang diberikan kepada Komisi mengungkapkan bahwa orang tuayang berusaha menelusuri keberadaan anak mereka sering dihalang-halangi olehpejabat Indonesia.Komisi yakin bahwa:• Penculikan anak-anak Timor-Leste oleh anggota tentara merupakantindak pidana menurut hukum Indonesia (KUHAP Bab XVIII tentangkejahatan terhadap kemerdekaan orang), serta melalaikan kewajibanKekuasaan Pendudukan untuk menghormati hak keluarga dan untuktidak mengintimidasi orang sipil (Pasal 27 dan 23 Konvensi Jenewa IV).• Pemisahan seorang anak dari identitas, budaya, etnisitas, agama ataubahasanya merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa IVkarena hal ini merupakan perlakuan tidak berperikemanusiaan ataumenyebabkan penderitaan besar bagi anak-anak.• Pemaksaan budaya asing adalah pelanggaran hukum hak asasi manusiayang mewajibkan pemerintah Indonesia untuk menghargai hak anak ataskebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama.• Kegagalan pemerintah Indonesia untuk menjamin agar status pribadianak-anak tidak diubah oleh para prajuritnya atau lembaga-lembaganyamerupakan pelanggaran kewajibannya menurut Konvensi Jenewa IV(Pasal 50).• Kegagalan Indonesia untuk menjamin diberikannya pendidikan, sebanyakmungkin, oleh orang-orang yang berasal dari kebangsaan, bahasa, danagama yang sama merupakan pelanggaran Konvensi Jenewa IV (Pasal 50).• Kegagalan Indonesia untuk mengatur dengan memadai praktikpemindahan anak-anak merupakan pelanggaran terhadap kewajibannyamenurut Pasal 21 Konvensi Jenewa IV.• Kegagalan Indonesia untuk mencegah pemindahan secara tidak sah anakanakTimor-Leste keluar merupakan satu pelanggaran terhadap KonvensiJenewa IV (Pasal 11), dan kegagalannya untuk mencegah penculikan,penjualan, atau perdagangan anak merupakan satu pelanggaran terhadapkewajibannya menurut Pasal 29.• Indonesia tidak melakukan tindakan yang memadai sebagai KekuasaanPendudukan untuk memenuhi kewajibannya kepada anak-anak Timor-155


Leste sesuai Konvensi Jenewa IV untuk mengungsikan anak-anak dariwilayah konflik (Pasal 17), mengambil segala langkah yang diperlukanuntuk menjamin anggota-anggota dari keluarga yang sama tidak terpisah(Pasal 49), menjamin anak-anak dipersatukan kembali dengan keluargamereka, atau ditempatkan pada keluarga atau teman, atau menjamin anakanaktersebut diidentifikasi dan keluarga mereka didaftar (Pasal 50). Tidakada upaya untuk menjamin bahwa penempatan anak-anak di lembagaadalah tindakan yang terakhir. Kegagalan untuk mempertemukankeluarga yang terpisah setelah tahun 1990, merupakan satu pelanggaranterhadap Konvensi Hak Anak.• Memaksa para pelajar dari Timor-Leste untuk bersumpah menerimaintegrasi dengan Indonesia melanggar Pasal 45 Peraturan TambahanKonvensi Den Haag IV yang melarang membuat penduduk suatu wilayahpendudukan untuk menyatakan sumpah kesetiaan kepada KekuasaanPendudukan.• Tindakan Indonesia memaksa semua orang di bawah usia 18 tahun untukbekerja, atau memaksa penduduk sipil dari wilayah pendudukan untukbekerja di luar wilayah pendudukan adalah tindakan yang bertentangandengan hukum (Pasal 51, Konvensi Jenewa IV).Pelanggaran Hak Ekonomi dan SosialTinjauanDi bawah pendudukan Indonesia rakyat Timor-Leste mengalami berbagai bentukpelanggaran yang brutal baik terhadap integritas fisik maupun hak-hak sipil danpolitik. Akan tetapi dampak dari kondisi hidup mereka, meskipun jarang dibahas,juga sama buruknya yang mungkin berlangsung lebih lama.Hak-hak sosial dan ekonomi penduduk Timor-Leste dilanggar secara luas selamapendudukan Indonesia. Hak-hak ini dijabarkan dalam berbagai instrumeninternasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, danBudaya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang HakSipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak Anak. Aturan khusus dalam KonvensiJenewa Keempat menyebutkan kewajiban penguasa pendudukan untuk melindungikeadaan sosial dan ekonomi penduduk sipil.Satu tema propaganda Indonesia yang terus-menerus digunakan selama pendudukanadalah perbedaan antara keterbelakangan yang dikatakan merupakan warisan utamakolonialisme Portugal dan pembangunan pesat yang diberikan oleh pemerintahIndonesia kepada Timor-Leste. Dalam hal-hal yang dikemukakan dalam Laporanini, pemerintah Indonesia nyata sekali gagal membuktikan pengakuannya bahwayang menjadi perhatian utama mereka adalah kesejahteraan rakyat Timor-Leste.Gelombang-gelombang kekerasan dan represi serta pengendalian politik dan sosialyang ekstrem oleh militer Indonesia sangat menjadi hambatan bagi kegiatan hidupsehari-hari, termasuk kebebasan bergerak, bertani, dan kemampuan untuk mengangkutdan memasarkan barang-barang.156


Meskipun demikian, pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial bukan hanya merupakanhasil sampingan dari operasi militer. Bahkan pada saat-saat yang keadaannya relatifnormal, kekhawatiran mengenai keamanan, yang kadang-kadang bercampur dengankepentingan pribadi dan perusahaan, lebih diutamakan daripada kesejahteraanrakyat Timor-Leste. Pendidikan yang secara terang-terangan digunakan sebagai alatpropaganda dan bukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar pembelajaran membatasiperkembangan anak-anak dan peluang masa depan. Pemindahan desa ke wilayahwilayahyang sebelumnya dihindari karena kondisi tanah yang buruk dan malariatelah membahayakan kesehatan masyarakat. Manipulasi harga kopi untuk membiayaioperasi militer dan menguntungkan pejabat sipil dan militer secara pribadi membatasikesempatan para petani untuk mendapatkan hidup layak. Pengambilan sumber alamdengan cara yang merusak dan tidak menjaga kelangsungannya oleh para pejabatpemerintah dan rekanan usaha mereka menghancurkan strategi kelangsungan hidupdan menguras “modal alam” yang diharapkan oleh rakyat Timor-Leste untuk bisadipergunakan dalam jangka panjang. Terpusatnya perhatian pada keamanan cenderungmengalihkan dana investasi negara ke bidang-bidang seperti pembangunan jalan danperluasan aparat pemerintah dengan mengorbankan pertanian yang mempekerjakansebagian besar penduduk Timor-Leste. *Hak-hak ekonomi dan sosial dikemukakan dengan jelas dalam Kovenan Internasionaltentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Walaupun Indonesia tidak meratifikasiKovenan ini, ketentuan-ketentuan di dalamnya memberikan standar dengan apatindakan Indonesia selama masa pendudukan Timor-Leste bisa dinilai. Di dalamKovenan itu sendiri dan dalam penjelasan yang diuraikan oleh Komisi Hak Ekonomi,Sosial, dan Budaya, diakui bahwa karena tahap perkembangan ekonomi setiap negaratidak sama maka tidak semua negara bisa memenuhi semua hak yang tercantum dalamKovenan itu. Oleh karena itu kewajiban negara-negara adalah mengambil tindakantindakanuntuk mencapai tingkat pemenuhan hak-hak tersebut secara bertahap sesuaikemampuan masing-masing negara. Namun demikian, pada saat yang sama, setiapnegara mempunyai tanggung jawab inti yang harus selalu dipenuhi. Ini termasuktanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan dasar tertentu, seperti makanan,tempat tinggal, obat-obatan dasar, dan pendidikan dasar. Ketentuan-ketentuan tersebutjuga mengharuskan negara-negara dalam pemenuhan jaminan sosial dan ekonomitidak melakukannya secara diskriminatif dan tidak melakukan langkah mundur yangdapat memperburuk pemenuhan hak-hak yang sudah dinikmati rakyat .Komisi yakin bahwa Indonesia melanggar hak-hak ekonomi dan sosial di setiaptingkatan di atas. Dalam banyak hal, negara mengambil langkah keamanan yangekstrem yang bertolak belakang dengan tanggung jawab inti yang semestinya dipenuhi.Dalam keadaan demikian, negara gagal memenuhi kebutuhan dasar penduduk, danjustru sering mengambil langkah mundur dan diskriminatif. Komisi juga menemukanbahwa negara Indonesia tidak mengupayakan setinggi mungkin pemenuhan hak-hakekonomi dan sosial rakyat Timor-Leste, dan di akhir masa pendudukan, pembangunandi Timor-Leste masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi Indonesia yang palingmiskin. Kesimpulan ini mungkin mengejutkan. Tingkat investasi Indonesia di Timor-Leste sangat besar dan tingkat pertumbuhan Pendapatan Kotor Domestik yangdihasilkan cukup tinggi. Lebih jauh, rendahnya standar yang ditinggalkan administrasikolonial Portugis membuat kemajuan-kemajuan yang dicapai di beberapa bidang,seperti kesehatan dan pendidikan, terlihat mengesankan. Namun demikian, Komisimenemukan bahwa alokasi investasi, distribusi PDB dan pemberian layanan sosial,*Kebijakan-kebijakan ini juga harus ditempatkan dalam konteks rezim Orde Baru Soeharto (1965-1998).157


termasuk kesehatan dan pendidikan, semuanya dinihilkan oleh kesibukan berlebihanpemerintah Indonesia dengan masalah keamanan, oleh gaya pemerintahan yangotoriter, dan oleh persekongkolannya dengan kepentingan-kepentingan tertentu.Temuan ini jelas menunjukkan kaitan yang erat antara pelanggaran berat hak-haksipil dan politik dengan pengabaian hak-hak sosial dan ekonomi. Di Timor-Leste,pengingkaran kebebasan sipil dan politik dasar bentuknya bermacam-macam, akantetapi di antaranya ada yang membantu berkembangnya faktor-faktor yang oleh Komisidiidentifikasi telah mencegah pemenuhan hak-hak sosial dan politik rakyat Timor-Leste.Komisi menemukan bahwa:Ø Dengan menggunakan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, danBudaya dan instrumen-instrumen internasional lain yang relevan sebagai standar,Indonesia gagal memenuhi tanggung jawab utamanya sebagai suatu Negara dalamhal hak ekonomi dan sosial dan gagal melakukan segala upaya untuk secarabertahap merealisasikan hak-hak tersebut sesuai dengan kemampuannya.Ø Indonesia berkali-kali gagal untuk melaksanakan tanggung jawab utamanyaberkaitan dengan hak ekonomi dan sosial. Indonesia tidak memenuhi kebutuhandasar penduduknya atas makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dasar. Denganmengalokasikan dananya secara selektif, baik dengan memberikan dana ini kekelompok tertentu atau menahan dana yang seharusnya diberikan kepada orangyang membutuhkan, Indonesia telah bertindak secara diskriminatif. Indonesiaberulang-ulang melakukan tindakan yang justru mengakibatkan situasi sosial danekonomi penduduk menjadi merosot, atau dengan kata lain melakukan langkahlangkahmundur.Ø Kegagalan Indonesia memenuhi tanggung jawab utamanya kepada pendudukTimor-Leste terjadi secara teratur di seluruh masa pendudukan. Misalnya,perlakuan terhadap orang Timor-Leste yang “dimukimkan kembali” setelahmereka menyerah atau ditangkap pada akhir dasawarsa 1970-an dan dampak daripolitik bumi-hangus yang dilakukan TNI dan milisi kaki-tangan mereka padatahun 1999 merupakan contoh nyata kebijakan yang menimbulkan pengingkaranhak-hak ekonomi dan sosial penduduk, yang berakibat sangat negatif pada hak-hakmereka untuk menikmati standar hidup yang layak, mendapatkan penghidupan,tingkat kesehatan dan pendidikan yang paling tinggi, dan untuk melakukanpekerjaan yang dipilih secara bebas.Ø Walaupun Indonesia mengaku telah melakukan pembangunan di Timor-Leste,pada kenyataanya pemerintah Indonesia tidak memenuhi hak-hak ekonomi dansosial penduduk Timor-Leste yang setinggi mungkin.Ø Penguasa Indonesia, baik militer maupun sipil, mengabaikan ketetapan-ketetapandalam Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Konvensi Den Haag tahun 1907 tentangkewajiban penguasa pendudukan untuk menghormati hak-hal ekonomi dansosial penduduk di wilayah yang diduduki. Mereka melanggar kewajiban khususmereka untuk tidak menghancurkan atau merampas harta benda secara sewenangwenang,tidak mengambil keuntungan dari sumber daya di wilayah pendudukan,dan tidak memaksa penduduk di wilayah pendudukan untuk menjalani wajib158


militer dalam pasukan penguasa pendudukan. Seperti telah dicatat di atas,Indonesia juga tidak memenuhi kewajiban mereka untuk menyediakan kebutuhandasar berupa makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal, sehingga tidak hanyamelanggar standar-standar yang telah ditetapkan di dalam Kovenan Internasionaltentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya tetapi juga kewajiban mereka menuruthukum kemanusiaan internasional.Ø Banyak tindakan penguasa Indonesia selama masa pendudukan berdampak padakondisi ekonomi dan sosial penduduk Timor-Leste yang berjangka panjang dandalam banyak kasus dirasakan sampai sekarang. Perampasan sumber daya alam,seperti kayu, yang ditebang sampai menyisakan pada tingkat yang rendah sehinggadalam jangka panjang mempengaruhi kesejahteraan penduduk. Yang tidak kalahparahnya adalah dampak sosial dari tindakan-tindakan ini. Penggunaan sumberdaya secara diskriminatif menimbulkan perpecahan baru dan melanggengkanperpecahan yang sudah ada. Penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenanguntuk memindahkan penduduk dan untuk mengusir mereka secara paksaberakibat pada ketidakpastian hak kepemilikan tanah dan adanya orang yangtidak memiliki tanah sama sekali. Berbagai jenis teror terhadap sebagian besarpenduduk, yang meliputi penyiksaan, pembunuhan, dan perkosaan, merusakkesehatan mental orang Timor-Leste dalam jumlah yang tidak diketahui. Komisiberpendapat bahwa segala dampak sosial ini menjadi hambatan dalam prosesrekonsiliasi dan perlu diselesaikan dalam konteks tersebut.Ø Timor-Leste bukan satu-satunya wilayah di bawah kekuasaan Indonesia yangmengalami pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial selama masa pendudukan.Banyak pelanggaran di atas juga terjadi di Indonesia sendiri dalam periodeyang sama. Namun demikian, karena kontrol militer di Timor-Leste yangsangat tinggi dan karena konteks invasi dan pendudukan di Timor-Leste, makapelanggaran-pelanggaran ini lebih keras dan membatasi kemampuan pendudukuntuk memperbaikinya melalui pencarian ganti rugi atau sarana-sarana yanglainnya.Hak atas Standar Hidup yang LayakPembangunan dan Pengeluaran PemerintahØ Meskipun investasi pemerintah Indonesia di Timor-Leste sangat besar danmenghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, terutama jika dibandingkandengan masa pemerintah kolonial Portugis, yang mengarahkan distribusi investasiini terutama adalah kepentingan keamanan pemerintah bukan kepentinganmasyarakat Timor-Leste. Perbedaan antara investasi dan pertumbuhan di sektorsektorseperti transportasi, komunikasi dan administrasi pemerintahan dan di sisilain pertanian, yang menjadi penopang kehidupan sebagian besar penduduk, jelasmenunjukkan distorsi prioritas penguasa pendudukan. Indikator pendapatan dankemiskinan pada akhir pendudukan Indonesia, yang menunjukkan Timor-Lesteberada di bawah negara-negara lain dan semua provinsi di Indonesia, memberikanbukti kuat tentang dampak merugikan dari pilihan prioritas penguasa pendudukanterhadap kondisi kehidupan sebagian besar rakyat Timor-Leste.159


Hak atas Sumber Daya AlamØ Komisi merasa yakin bahwa perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubunganlangsung dengan militer dan pemerintah Indonesia secara sengaja dan sistematismembayar dengan harga yang sangat rendah kepada para petani kopi, sehinggaini sama saja dengan membatasi hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yanglayak.Ø Aturan yang ditetapkan pemerintah Indonesia di sektor industri kopi merupakansalah satu hal dimana pemerintah Indonesia mengabaikan salah satu unsur pentingdari hak rakyat Timor-Leste untuk menentukan nasib sendiri, yaitu hak untukmemanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya alam secara bebas. PenguasaIndonesia melakukan pelanggaran yang sama saat mereka mengeksploitasi sumberdaya alam seperti kayu cendana dan kayu-kayu lainnya, tanpa mempertimbangkankeberlangsungannya dan karena tidak membuat aturan tentang eksploitasi sumberdaya ini oleh pihak lain. Bentuk-bentuk eksploitasi sumber daya alam ini jugasangat merugikan kesejahteraan penduduk dan sering digunakan untuk membiayaioperasi militer, dan karena itu melanggar kewajiban penguasa pendudukan.Ø Pelanggaran lebih jauh hak rakyat Timor-Leste untuk memanfaatkan sumberdaya alam, Komisi menemukan bahwa Indonesia dan Australia menandatanganiPerjanjian Celah Timor pada tahun 1989 tanpa melakukan konsultasi denganpenduduk Timor-Leste atau menghormati kepentingan mereka.Hak untuk Mendapatkan Makanan yang LayakØ Pemerintah Indonesia melakukan tindakan-tindakan yang justru memperburukkeadaan makanan rakyat Timor-Leste. Cuaca di Timor-Leste dan mutu tanah yangtidak sama membuat situasi makanan rentan bahkan pada waktu-waktu yangterbaik sekalipun, dan kemampuan bertahan hidup bergantung pada kemampuanpenduduk untuk bergerak secara bebas. Komisi menemukan bahwa penguasaIndonesia tidak hanya mengabaikan pertanian; mereka juga melakukan tindakantindakankeamanan yang justru menurunkan kesempatan penduduk petani untukbertahan hidup, terutama dengan memaksa mereka pindah ke tempat-tempatyang tanahnya tidak subur yang berakibat gerak mereka dibatasi.Perumahan dan TanahØ Komisi menemukan bahwa karena alasan politik dan keamanan semua pihakyang terlibat konflik - Fretilin, UDT, dan pasukan keamanan Indonesia dan kakitangannya- melakukan kegiatan, termasuk pemindahan paksa, penghancuranrumah dan harta benda lainnya, dan perampasan barang, yang melanggar hakatas perumahan.Ø Komisi menemukan bahwa pemindahan yang dilakukan berulang-ulang,perubahan batas wilayah administrasi, dan tidak diakuinya kepemilikan tanahdan praktek tata guna tanah menurut adat mengakibatkan adanya orang-orangyang tidak mempunyai tanah dan munculnya sengketa tanah yang sangat rumit.Meskipun pertimbangan keamanan memainkan peranan penting dalam hal ini,kepentingan ekonomi pejabat militer dan sipil yang tidak terkontrol serta rekan-160


ekan usaha mereka juga merupakan faktor yang sangat penting. Kekacauankepemilikan tanah dan pola tata guna tanah sudah dan masih mempunyaidampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya masyarakatTimor-Leste.Hak atas Kesehatan dan PendidikanØ Walaupun investasi Indonesia di bidang pendidikan dan kesehatan sangat besaryang menghasilkan adanya sarana fisik sistem kesehatan dan pendidikan diseluruh Timor-Leste, Komisi menemukan bahwa sistem pendidikan dan kesehatanini tidak efektif mengatasi persoalan kesehatan masyarakat atau memenuhikebutuhan dasar pembelajaran.Ø Banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Yang termasuk akibat sampingan daripelanggaran yang ekstrem, seperti penyiksaan dan perekrutan paksa, adalahburuknya kesehatan dan pendidikan yang terhambat. Pembangunan ekonomiyang berat sebelah yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia menciptakanlingkaran yang berkelanjutan dimana kemiskinan, pada satu sisi, dan rendahnyatingkat kesehatan dan pendidikan, di sisi lain, saling memperkuat. Konteksmiiterisasi yang begitu tinggi dan faktor-faktor struktural lainnya, sepertikurangnya kemampuan dan kemauan petugas kesehatan dan guru Indonesiayang ditugaskan di Timor-Leste, menghasilkan suatu layanan yang berkualitasrendah dan tidak dipercaya oleh penduduk setempat. Kebutuhan kesehatandasar dan pendidikan sering dikalahkan oleh pertimbangan keamanan, sepertidiperlihatkan dalam kasus pemindahan paksa sejumlah besar penduduk kewilayah yang terjangkiti penyakit yang sebelumnya tidak diperhatikan danpengutamaan pada prograganda di sekolah-sekolah.Ø Pelaksanaan program Keluarga Berencana di Timor-Leste sama sekali bertentangandengan prinsip yang merupakan bagian tak terpisahkan dari hak atas kesehatan,yaitu kebebasan untuk mengontrol kesehatan dan badan seseorang dan hakuntuk mendapatkan informasi yang memungkinkannya memiliki kontroltersebut. Komisi menemukan bahwa ada unsur paksaan dalam program KeluargaBerencana, yang diperkuat oleh pendekatan yang mengejar target dan keterlibatanmiliter secara langsung dalam perancangan dan pelaksanaan program. Programini juga dilaksanakan dengan mengabaikan akibat sampingan nyatadari metodemetodepembatasan kelahiran yang digunakan.Ø Kecurigaan yang muncul karena pendekatan otoriter dalam perawatan pasientercermin dalam luasnya kepercayaan yang diberikan kepada tuduhan bahwaIndonesia secara rahasia melakukan kampanye sterilisasi paksa yang tujuannyaadalah untuk memusnahkan bangsa Timor-Leste. Komisi tidak menemukanbukti yang mendukung tuduhan ini, tetapi tuduhan semacam ini menunjukkanadanya kecurigaan yang muncul akibat pendekatan otoriter dalam pelayanankesehatan dimana petugas kesehatan merasa tidak wajib untuk memberikaninformasi kepada pasien mengenai perawatan mereka.Ø Digunakannya sekolah untuk propaganda dan <strong>indo</strong>ktrinasi sangat menghambatpendidikan satu generasi muda Timor-Leste. Pendidikan digunakan dengan cara161


ini sebagai bagian dari pendekatan keamanan terpadu yang tujuan terbesarnyaadalah untuk menjamin agar dukungan kepada pro-kemerdekaan tidaksampai berakar pada generasi baru. Dalam konteks ini, mengajari anak-anakketerampilan yang akan meningkatkan kesempatan dan kemampuan merekauntuk merealisasikan potensi mereka sebagai manusia tidak diutamakan.Pertanggung-Jawaban dan AkuntabilitasNegara Indonesia dan Pasukan Keamanan IndonesiaKomisi menemukan bahwa:Ø Invasi militer ke Timor-Leste oleh Indonesia pada tanggal 7 Desember 1975merupakan pelanggaran salah satu prinsip hukum internasional yang palingfundamental dan diterima secara universal - larangan pemakaian kekerasan olehsatu negara terhadap negara lain. Komisi menyatakan bahwa Negara Indonesiabertanggung jawab atas pelanggaran dan konsekuensinya.Ø Selama periode pendudukan militer yang tidak sah di Timor-Leste anggotapasukan keamanan Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalamskala besar, luas dan sistematik terhadap penduduk sipil di wilayah ini. Komisiyakin bahwa pelanggaran ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dankejahatan perang.Ø Bagian tidak terpisahkan dari operasi militer yang dirancang untuk mengalahkanResistensi terhadap invasi dan pendudukan Indonesia ialah pengakuan secararesmi tindak pelanggaran berat termasuk pembunuhan, penahanan sewenangwenang,penyiksaan, dan perkosaan serta perbudakan seksual dalam skala luasdan sistematik.Ø Komisi menemukan bahwa Pemerintah Indonesia dan pasukan keamananIndonesia terutama bertanggung jawab atas kematian yang disebabkan olehkelaparan dan sakit di antara 100,000 sampai 180,000 penduduk sipil Timor yangmeninggal sebagai akibat langsung invasi dan pendudukan Indonesia. Komisimenerima bukti tidak terbantahkan bahwa antara tahun 1976-1979 pasukankeamanan Indonesia secara sistematis:• Tidak membedakan antara penduduk sipil dan sasaran militer dalammelancarkan pemboman skala besar dari darat, laut dan udara danoperasi-operasi militer lainnya yang mengakibatkan banyak penduduksipil Timor harus melarikan diri dari rumah mereka dan setelah itu harusmelarikan diri lagi, sering berkali-kali, yang berakibat kemampuan merekauntuk bertahan hidup sangat terhambat.• Menghancurkan sumber makanan dengan membakar dan meracunitanaman pangan serta persediaan pangan, membantai ternak, memaksapuluhan ribu penduduk Timor yang menyerah atau ditangkap pasukanIndonesia untuk menghuni tempat-tempat pemukiman yang telahditetapkan dimana mereka tidak bebas untuk pergi.162


• Tidak memberi penduduk di tempat-tempat pemukiman makanan atauobat-obatan yang memadai untuk menjamin hidup mereka, meskipunkebutuhan tersebut bisa diperkirakan sebelumnya karena kampanyemiliter pasukan Indonesia secara nyata berupaya mencapai tujuan yangmereka sudah capai - yaitu penyerahan diri secara masal penduduk yangberada di bawah kontrol Fretilin ke daerah-daerah yang berada di bawahkontrol Indonesia.• Menolak memberikan penduduk yang disekap di tempat-tempatpenampungan kebebasan untuk mencari makanan.• Menolak kehadiran lembaga bantuan internasional yang menawarkanmakanan kepada mereka yang berada di tempat-tempat pemukiman.• Tetap menjalankan kebijakan-kebijakan di atas bahkan setelah ribuanpenduduk laki-laki, perempuan dan anak-anak kelaparan sampaimeninggal di kamp-kamp dan daerah-daerah tertutup.Ø Komisi menemukan bahwa satu-satunya kesimpulan yang logis yang bisa diambildari tindakan-tindakan ini ialah bahwa pasukan keamanan Indonesia secarasadar memakai kelaparan penduduk sipil Timor sebagai senjata perang, sebagaibagian strategi untuk menghancurkan resistensi terhadap pendudukan militer.Ø Komisi berkesimpulan bahwa pemaksaan kondisi hidup secara sengaja yangtidak bisa mencukupi kebutuhan hidup ribuan penduduk sipil Timor yangmengarah kepada pembinasaan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaanyang dilakukan terhadap penduduk sipil Timor.Ø Komisi berkesimpulan bahwa selama invasi dan pendudukan anggota pasukankeamanan Indonesia membunuh ribuan penduduk Timor yang bukan penempur.Eksekusi termasuk eksekusi masal dan pembantaian, pembunuhan tahanan yangditangkap atau yang menyerah, hukuman kolektif atau terhadap kerabat atastindakan yang dilakukan orang lain yang lolos dari penangkapan. Hukumankolektif merupakan komponen utama dan sistematik strategi militer Indonesiayang dirancang untuk mematahkan resistensi terhadap pendudukan militer.Pembunuhan tidak sah ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dankejahatan perang.Ø Komisi berkesimpulan bahwa selama seluruh periode sejak invasi Indonesiapada tahun 1975 sampai kedatangan pasukan penjaga perdamaian internasionalpada tahun 1999, anggota pasukan keamanan Indonesia menjalankan programpenahanan sewenang-wenang dalam skala luas dan sistematis, yang secara teraturpenyiksaan ribuan penduduk Timor yang bukan penempur. Praktek semacamini bersifat sistematis dan disetujui serta didorong oleh aparat keamanan danpemerintahan sipil paling atas. Penggunaan penyiksaan merupakan kejahatanterhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.Ø Selama periode konflik anggota pasukan keamanan Indonesia secara sistematismemperkosa dan memaksakan perbudakan seksual terhadap ribuan perempuanTimor, kadang di dalam kompleks militer, kantor polisi dan kantor pemerintah.Perkosaan kelompok oleh anggota militer di dalam kompleks militer sering terjadi,demikian juga penyiksaan seksual. Komisi berkesimpulan bahwa perkosaan163


secara sistematis terhadap perempuan yang kebanyakan masih muda ini yangdilakukan oleh anggota pasukan keamanan Indonesia merupakan kejahatanterhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Komisi mendasarkan temuannyapada kesaksian langsung dari ratusan korban, yang tidak saling mengenal yangdengan berani menceritakan pengalaman mereka meskipun harus berkorbanbanyak untuk bisa memberikan kesaksian tersebut.Ø Komisi berkesimpulan bahwa semua kategori utama pelanggaran hak asasimanusia yang dilakukan oleh anggota pasukan keamanan Indonesia terhadaporang dewasa juga dilakukan terhadap anak-anak. Anak-anak (dibawah 18 tahun)secara sistematis dibunuh, ditahan, disiksa, diperkosa dan dilecehkan dalam skalaluas oleh anggota pasukan keamanan Indonesia di dalam kompleks militer danlokasi-lokasi resmi lainnya.Ø Komisi berkesimpulan bahwa komandan dan personil ABRI/TNI melakukanpelanggaran yang signifikan dalam kaitannya dengan kewajiban mereka sesuaihukum internasional dengan menggunakan cara perang yang tidak sah dalamkampanye mereka di Timor-Leste. Tindakan yang secara teratur dilakukan yangmelanggar Konvensi Jenewa termasuk:• Menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran dalam serangan militer• Tidak membedakan antara sasaran sipil dan militer• Memberikan hukuman kolektif kepada penduduk sipil atas tindakan yangdilakukan anggota pasukan Resistensi• Membunuh, menyiksa dan memperlakukan secara buruk penduduk sipilyang menyerah atau ditawan• Menggunakan senjata yang dilarang termasuk napalm dan senjata kimia• Perekrutan paksa dalam skala besar, termasuk anak-anak• Penghancuran secara sengaja sumber makanan penduduk sipilØ Komisi berkesimpulan bahwa hakim, penuntut umum, pengacara, polisi, danintel militer bekerja sama untuk menggelar pengadilan yang tidak benar terhadapribuan orang Timor setelah penangkapan mereka karena terlibat kegiatan politikpro-kemerdekaan. Pengadilan ini meliputi penggunaan siksaan secara sistematisuntuk mendapatkan pengakuan, pemalsuan bukti dan manipulasi proses hukum.Mereka yang terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan pengadilan ini bertanggungjawab atas pemenjaraan yang tidak sah terhadap ratusan pendukung kemerdekaanTimor-Leste.Ø Komisi berkesimpulan bahwa Negara Indonesia melanggar hak rakyat Timoruntuk memanfaatkan dan menikmati keuntungan yang didapat dari sumber dayamereka sendir. Hak ini dilanggar dengan berbagai cara termasuk; memperbolehkanpasukan keamanan Indonesia dan mitra usaha mereka untuk menguasai tanamankopi orang Timor dan membawa sumber daya dalam jumlah besar, seperti kayucendana dan jenis kayu lain, ke luar wilayah ini. Indonesia juga melanggar hakrakyat Timor dengan menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Australliauntuk mengeksploitasi minyak dan gas alam di Laut Timor.164


Program pelanggaran sistematis pada tahun 1999Komisi menemukan bahwa:Ø Komisi berkesimpulan bahwa pejabat senior militer Indonesia, polisi danpemerintahan sipil terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan programpelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar yang ditujukan untukmempengaruhi hasil Konsultasi Rakyat PBB di Timor-Leste pada tahun 1999. Salahsatu cara utama program ini dilaksanakan ialah dengan membentuk kelompokkelompokmilisi Timor dan memperkuat kelompok milisi yang sudah ada.Ø Komisi berkesimpulan bahwa kelompok-kelompok milisi dibentuk, dilatih,dipersenjatai, didanai, diarahkan dan dikontrol oleh pasukan keamananIndonesia. Anggota militer Indonesia bertindak sebagai komandan sejumlahkelompok milisi, pejabat senior memberikan persetujuan kepada milisi, merekaberoperasi dari basis-basis militer Indonesia, dan biasanya melakukan kekejamandi hadapan atau dibawah arahan anggota TNI yang memakai seragam.Ø Program yang dilaksanakan oleh anggota pasukan keamanan Indonesiamenggunakan kekerasan dan teror, termasuk pembunuhan, penyiksaan,pemukulan, perkosaan dan penghancuran harta benda dalam upaya memaksapemilih Timor untuk memilih secara resmi “integrasi” dengan Indonesia. Ketikastrategi ini gagal mencapai tujuan, pasukan keamanan dan milisi binaan merekamelakukan tindak kekerasan, dengan sasaran warga dan harta benda, dan secarapaksa memindahkan ratusan ribu penduduk Timor ke Timor Barat.Ø Komisi berkesimpulan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besaryang dilakukan sepanjang tahun 1999 bukan merupakan akibat dari konflik antarakelompok orang Timor yang mempunyai pandangan politik berbeda. Pelanggaranini juga bukan akibat dari “oknum gila” di TNI yang bertindak di luar kontrolatasan mereka. Pelanggaran dilakukan karena menuruti rencana sistematis yangdisetujui, dilakukan dan dikontrol oleh komandan militer Indonesia sampaitingkat paling atas.Ø Pelanggaran sistematis yang terjadi pada tahun 1999 dipermudah baik denganketerlibatan langsung dan tidak bertindaknya anggota polisi Indonesia, yangsecara sistematis tidak melakukan apa-apa untuk mencegah agar pelanggarantidak terjadi dan menghukum pelaku yang melakukan pelanggaran.Ø Anggota pemerintahan sipil setempat di Timor-Leste dan pejabat pemerintahtingkat nasional, termasuk menteri, tahu tentang strategi yang dilaksanakan dilapangan, dan bukannya melakukan langkah untuk menghentikan pelanggaran,mereka justru mendukung secara langsung pelaksanaannya.Ø Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota pasukan keamanan Indonesiasepanjang tahun 1999 termasuk ribuan insiden terpisah yang merupakankejahatan terhadap kemanusiaan. Komisi menyatakan bahwa para pemimpinpasukan keamanan Indonesia di tingkat paling atas bertanggung jawab dan harusmempertanggungjawabkan peran mereka dalam perencanaan dan pelaksanaansebuah strategi dimana pelanggaran hak asasi manusia merupakan bagian tidakterpisahkan, karena tidak mencegah atau menghukum pelaku yang berada di165


awah komando mereka, dan karena menciptakan iklim impunitas dimanapersonil militer didorong melakukan tindakan kejam terhadap penduduk sipilyang diketahui atau ditengarai menjadi pendukung kemerdekaan Timor.Temuan utama tentang tanggung jawab FretilinKomisi menemukan bahwa:Ø Komisi berkesimpulan bahwa wakil-wakil Fretilin berhak mengangkat senjatauntuk membela diri mereka dan hak rakyak Timor atas penentuan nasib sendirisebagai tanggapan atas tindakan wakil-wakil partai UDT selama gerakanbersenjata pada bulan Agustus 1975.Ø Namun demikian, wakil-wakil Fretilin menanggapi dengan melakukan pelanggaranhak asasi manusia berat terhadap anggota dan pemimpin UDT dan, dalam skalalebih kecil, Apodeti yang sama sekali tidak bisa dibenarkan apapun alasannya.Khususnya anggota Fretilin bertanggung jawab atas penahanan sewenangwenang,pemukulan, penyiksaan, perlakuan buruk dan eksekusi penduduk sipilyang diketahui atau dicurigai sebagai anggota UDT dan Apodeti. Tindakantindakantersebut merupakan pelanggaran kewajiban mereka sesuai Pasal Umum3 Konvensi Jenewa, yang berlaku untuk konflik bersenjata internal.Ø Wakil-wakil Fretilin membunuh tahanan di Aileu (Aileu), Maubisse (Ainaro)and Same (Manufahi) antara bulanDesember 1975 dan Februari 1976. Komisiberkesimpulan bahwa disamping Fretilin tingkat lokal serta pemimpin dankomandan Falintil di Aileu, Maubisse dan Same peimpin dan komandan senior,termasuk anggota Komite Sentral Fretilin berada di lokasi saat kejadian, danbertanggung jawab atas penyiksaan dan eksekusi tahanan di lokasi-lokasi tersebutpada akhir tahun 1975 dan awal tahun 1976. Meski Komisi memahami bahwaKomite Sentral Fretilin tidak mengambil keputusan resmi untuk melakukanpelanggaran-pelanggaran tersebut, Komisi berkesimpulan bahwa para pemimpindan komandan senior tersebut tahu bahwa pelanggaran tersebut terjadi, atauterlibat secara langsung dalam membuat keputusan apa yang harus dilakukan,atau menyaksikan apa yang terjadi.Ø Komisi berkesimpulan bahwa saat perbedaan mengenai strategi militer dan ideologimuncul dalam tubuh Perlawananselama tahun 1976 dan 1977-78, para pemimpinFretilin yang termasuk dalam faksi dominan dalam partai serta para pendukungmereka menanggapi dengan cara yang sangat tidak toleran. Tidak adanya toleransiini terwujud dalam pelanggaran hak asasi manusia berat, termasuk penyiksaan danperlakuan buruk para tahanan dan eksekusi para pemimpin dan anggota Fretilinyang tidak setuju dengan pemimpin Fretilin dari faksi dominan. Korban seringdiperlakukan dengan cara di atas setelah dituduh bekerja sama dengan, mematamataiuntuk atau bertindak sebagai agen pasukan keamanan Indonesia. Komisiberkesimpulan bahwa tuduhan-tuduhan ini sering mempunyai motivasi politik,dan bahwa Fretilin/Falintil memberikan hukuman berat kepada para korban yangdituduh melakukan kejahatan di atas, termasuk penahanan dengan jangka waktutidak terbatas dalam kondisi mengenaskan dan eksekusi, tanpa proses hukum yangmemadai atau yang tidak memenuhi standar internasional untuk keadilan.166


Ø Para pemimpin Fretilin juga bertanggung jawab atas penahanan ratusan orangdi Renal dan tempat-tempat penahanan lain yang didirikan oleh Fretilin. Renaldidirikan untuk “mendidik kembali” orang-orang yang mempunyai pandanganpolitik berbeda dari para pemimpin atau yang kesetiaannya diragukan. Merekayang ditahan termasuk banyak orang biasa yang tinggal di wilayah yang dikuasaiFretilin yang dipercaya, sering tanpa dasar jelas, merencanakan untuk menyerahkepada pasukan Indonesia atau melakukan hubungan dengan pasukan Indonesiaatau kolaborator mereka yang orang Timor. Orang-orang ini juga termasukmereka yang dituduh melakukan tindak kriminal. Orang-orang ini ditahan dalamkondisi tidak manusiawi, dijadikan sasaran pemukulan dan penganiayaan yangmenyebabkan kematian mereka di tahanan, dan banyak orang yang dieksekusi.Ø Komisi berkesimpulan bahwa meskipun Fretilin mengajukan orang-orangyang ditahan selama periode tahun 1976-78 ke proses “pengadilan rakyat”,para pemimpin Fretilin di Timor-Leste bertanggung jawab karena menyetujui“proses pengadilan” yang sangat tidak adil yaitu dengan menolak hak tertuduhuntuk mengetahui sifat tuduhan yang diajukan kepada mereka sebelum “prosespengadilan” dimulai, untuk dianggap tidak bersalah dan membantah tuduhanyang diajukan. Sebagai akibat dari “pengadilan semu” ini tertuduh sering dijadikansasaran pelanggaran berat lebih lanjut, termasuk eksekusi.Ø Persoalan apakah orang-orang seharusnya dicegah atau dibiarkan menyerahkandiri kepada pasukan Indonesia beberapa tahun setelah invasi adalah persoalanrumit, dan pengambilan keputusan-keputusan tertentu bisa dipahami. Namundemikian, Komisi berkesimpulan bahwa perlakuan kejam, penyiksaan, dan,dalam kasus-kasus tertentu, pembunuhan orang-orang yang ingin menyerahkandiri sama sekali tidak bisa dibenarkan. Tanpa melihat benar tidaknya debatmengenai penyerahan diri, para pemimpin Fretilin yang menyetujui dan dalamkasus-kasus tertentu menjalankan praktek-praktek ini tetap bertanggung jawabatas pelanggaran hak korban yang sangat berat ini, yang sama sekali tidak bisadibenarkan apapun alasannya.Ø Komisi berkesimpulan bahwa tindakan anggota Fretilin dan orang-orang yangterkait dalam hal penahanan, penyiksaan dan pembunuhan penduduk sipil,tahanan, orang yang terluka dan sakit merupakan pelanggaran kewajiban merekasesuai Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa.Temuan utama mengenai tanggung jawab partai politik UDTKomisi menemukan bahwa:Ø Komisi berkesimpulan bahwa pada tanggal 11 Agustus 1975 para pemimpinpartai UDT melancarkan gerakan bersenjata, yang tujuannya untuk mengambilalih kekuasaan politik di wilayah Timor-Leste. UDT tidak mempunyai wewenanghukum untuk melakukan tindakan ini, dan dengan melakukan hal tersebutmelanggar hak rakyat Timor untuk menentukan secara bebas masa depan politikmereka.167


Ø Selama gerakan bersenjata UDT melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalamskala luas terhadap penduduk sipil dan penempur yang tidak terlibat pertempuran,dan khususnya terhadap orang-orang yang dipercaya sebagai pemimpin danpendukung Fretilin. Ratusan penduduk sipil ditahan secara sewenang-wenang,kebanyakan dari mereka disiksa, dibunuh atau diperlakukan buruk.Ø Komisi berkesimpulan bahwa tindakan beberapa pemimpin dan anggota partaiUDT, dan mereka yang mempunyai hubungan dengan partai, dalam kasuspenahanan, penyiksaan dan pembunuhan penduduk sipil, tahanan, orang yangterluka dan sakit merupakan pelanggaran kewajiban mereka sesuai Pasal Umum3 Konvensi Jenewa.Ø Komisi berkesimpulan bahwa para pemimpin UDT saat itu bertanggung jawabkarena mendorong anggota mereka untuk melakukan aksi bersenjata tanpamembentuk sistem komando dan kontrol yang secara efektif bisa mengaturperilaku anggotanya. Mereka tidak menyiapkan fasilitas yang layak bagi ratusantahanan yang mereka tahan. Komisi karena itu berkesimpulan bahwa parapemimpin partai UDT saat terjadinya gerakan bersenjata bertanggung jawabatas pelanggaran yang dilakukan oleh anggota UDT yang bertindak di bawahkomando mereka.Ø Komisi berkesimpulan bahwa para pemimpin lokal UDT yang menyebarkankebencian dan yang memerintahkan korban untuk ditahan, dipukuli, disiksa ataudibunuh bertanggung jawab dan harus mempertanggungjawabkan konsekuensitindakan mereka. Bentuk penganiayaan yang paling berat yang dilaporkan kepadaKomisi terjadi di kantor pusat UDT di Dili, dan di distrik Ermera dan Liquiça,yang merupakan basis kuat UDT.Ø Komisi menyatakan bahwa para pemimpin partai UDT di distrik -Dili, Ermera danLiquiça pada bulan Agustus 1975 bertanggung jawab dan harus mempertanggungjawabkan pelanggaran berat berskala besar yang dilakukan oleh orang-orangyang bertindak di bawah komando dan kontrol mereka. Pelanggaran-pelanggaranini termasuk memerintahkan atau membiarkan siksaan dan eksekusi kelompokpenduduk sipil yang tidak bersenjata oleh anggota partai yang bertindak di bawahkomando mereka.Ø Komisi berkesimpulan bahwa para pemimpin partai UDT bertanggung jawabkarena ikut serta dalam pelanggaran hak rakyat Timor untuk menentukan nasibsendiri dengan menugaskan orang-orangnya untuk membantu pasukan invasiIndonesia, mengundang Indonesia untuk melakukan invasi ke Timor-Leste danmenandatangani Deklarasi Balibo, yang ikut memberikan kesan legitimasi ataspendudukan dan aneksasi tidak sah Indonesia atas wilayah ini.Ø Anggota UDT yang ikut latihan pasukan Indonesia di timor Barat setelah bulanSeptember 1975 dan terlibat dalam invasi militer ke Timor-Leste, mengikutipersonil militer Indonesia dan membantu mereka baik secara militer maupundalam memberikan pemahaman lokal dan serta informasi intelijen. Pemimpindan anggota UDT yang terlibat dalam operasi tersebut bertanggung jawab ataspelanggaran dimana mereka terlibat langsung dan dimana mereka membantu,baik secara langsung maupun tidak langsung.168


Ø Komisi berkesimpulan bahwa para pemimpin UDT membantu Indonesiadengan memberikan informasi yang salah dan menyesatkan kepada PBB dannegara-negara anggotanya pada periode setelah invasi Indonesia. Tindakan inimenghambat anggota masyarakat internasional untuk mendapatkan gambaranyang benar mengenai situasi di Timor-Leste, yang mungkin bisa dijadikan dasarbagi inisiatif internasional atas nama masyarakat Timor-Leste. Dengan peran inimereka turut serta dalam menciptakan penderitaan rakyat Timor, dimana merekaharus memikul tanggung jawab moral.Temuan utama mengenai tanggung jawab partai politikApodetiKomisi menemukan bahwa:Ø Meskipun Komisi menerima laporan yang jauh lebih sedikit mengenaipelanggaran yang dilakukan oleh anggota Apodeti dibanding Fretilin maupunUDT, bukti-bukti jelas menunjukkan bahwa disamping peran langsung merekadalam pelanggaran, anggota Apodetiikut terlibat dalam invasi Indonesia danmendukung pendudukan militer dengan berbagai cara.Ø Anggota Apodeti bekerja dengan intel Indonesia, baik militer maupun sipil,di Timor-Leste dan di tempat-tempat lain di Indonesia sepanjang tahun 1974-75. Mereka bertanggung jawab karena menghambat proses dekolonisasi danstabilisasi situasi di Timor-Leste.Ø Sejak bulan December 1974 sekitar 200 anggota Apodeti ikut latihan militerdi dekat Atambua, Timor Barat, yang diikuti oleh keterlibatan mereka denganpersonil militer Indonesia, dalam aksi militer terselubung di Timor-Leste sejakbulan Agustus 1975 dan kemungkinan lebih awal, termasuk serangan ke Balibopada tanggal 16 Oktober 1975. “Partisan” Timor ini kemudian mengambil bagiandalam invasi Timor-Leste, mengikuti personil militer Indonesia dan membantumereka secara militer dan memberikan pemahaman lokal serta informasi intelijen.Para pemimpin dan anggota Apodeti yang terlibat dalam operasi ini bertanggungjawab atas pelanggaran dimana mereka terlibat langsung dan dimana mereka ikutserta, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka bertanggung jawabatas konsekuensi penandatanganan Deklarasi Balibo, yang memberikan kesanlegitimasi atas pendudukan dan aneksasi Indonesia yang tidak sah atas wilayahini.Ø Para pemimpin Apodeti dan mereka yang terlibat langsung dalam menyusun daftardan menunjuk orang-orang yang menjadi sasaran pasukan Indonesia selama invasibertanggung jawab atas konsekuensi tindakan mereka, termasuk penahanan,penyiksaan dan pembunuhan orang-orang yang mereka identifikasi.169


Temuan utama mengenai tanggung jawab partai KOTA and TrabalhistaKomisi menemukan bahwa:Ø Meskipun anggota partai Trabalhista dan KOTA partiestidak disebut sebagaipelaku langsung pelanggaran, mereka memainkan peran dalam mendukunginvasi dan pendudukan Indonesia, dan karena itu membantu dalam pelanggaranberskala besar yang dilakukan oleh anggota pasukan keamanan Indonesia. Denganmengangkat senjata sebagai pasukan “Partisan”, anggota partai-partai ini jugabertanggung jawab membantu invasi dan pendudukan Indonesia.Ø Anggota Trabalhista dan KOTA juga membantu dalam penyusunan danpenandatanganan Deklarasi Balibo yang memberikan kesan legitimasi kepadapendudukan dan aneksasi Indonesia yang tidak sah atas Timor-Leste.170


REKOMENDASIKOMISI171


Dalam sebuah Timor-Leste yang merdeka, para anak-anakdan pemuda harus mewakili harapan kita di masa depan, danperlindungan dan pemajuan hak-hak mereka harus selalumenjadi keutamaan. Pendidikan mereka harus didasarkan padamenanamkan cinta kasih dan penghormatan pada kehidupan,perdamaian, keadilan dan kesetaraan sehingga sebuah dunia yangbaru dapat dibangun di atas reruntuhan perang.Magna Carta tentang Hak, Kewajiban dan Jaminan bagi RakyatTimor-Leste yang disahkan oleh Dewan Nasional PerlawananTimor (CNRT), Peniche, Portugal, 25 April 1998.Untuk apa data kami diambil terus menerus apabila tidakmenghasilkan sesuatu?Masyarakat Lalerek Mutin, ViquequePendahuluanKomisi diharuskan untuk membuat ”rekomendasi berkaitan perubahan hukum, politik,administratif atau tindakan lain yang harus diambil untuk mencapai tujuan Komisi untukmencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia dan menanggapi pada kebutuhanpara korban pelanggaran hak asasi manusia” (Regulasi No. 2001/10, Pasal 21.2).Ribuan kesaksian yang langsung diberikan oleh para korban dan saksi kepada Komisitelah memberikan gambaran yang jelas kepada bangsa ini dan komunitas internasionaltentang penderitaan orang-orang Timor-Leste antara tahun 1974 dan 1999. Penderitaan initerutama diakibatkan oleh pelanggaran-pelanggaran terhadap warga negara peroranganyang dilakukan agen-agen negara, terutama sesudah tahun 1975. Pelanggaran-pelanggaranitu dimungkinkan oleh iklim pembebasan dari hukuman (impunity) yang berlaku selamahampir keseluruhan periode ini, yang pada satu pihak dikarenakan oleh tidak adanya checkand balance yang demokratis terhadap militer Indonesia dalam sistem Indonesia dan, dilain pihak, dikarenakan toleransi komunitas internasional kepada tindakan-tindakanberlebihan pemerintah Indonesia di dalam pelaksanaan urusan-urusannya.Komisi telah diberi tugas untuk membuat rekomendasi-rekomendasi yang, apabiladiterapkan, akan membantu mencegah terulangnya pelanggaran-pelanggaran yangterjadi di masa lalu. Karena sebagian besar pelanggaran-pelanggaran hak-hak manusiayang tercantum dalam laporan ini dilakukan oleh negara, dan negara mempunyaitanggungjawab utama untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, pencegahan harusdipusatkan pada upaya menjamin bahwa tindakan-tindakan agen-agen negara tersebuttidak lagi dijauhkan dari kewajiban-kewajiban menurut hukum dan kehendak masyarakatumum. Para anggota militer, kepolisian, intelijen, peradilan, dan badan-badan pemerintahharuslah pada setiap saat selalu bertanggungjawab secara tegas kepada rakyat, hukumdan standar-standar yang disetujui secara internasional. Pada gilirannya, komunitasinternasional tidak boleh hanya mengucapkan standar-standar melainkan harus menuntut,melalui segala langkah-langkah yang sesuai, agar standar-standar ini dipenuhi terutamapada tahap di mana bangunan dari negara baru ini sementara dikembangkan.Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa bangsa-bangsa yang sedang memulihkandiri dari konflik berkepanjangan menghadapi tugas yang sulit untuk membanguninstitusi-institusi dan hukum demokratik yang dapat melindungi dan menjamin hakhakasasi manusia. Sejumlah bangsa gagal menjawab tantangan ini dan kembali kepada172


kekerasan. Kita tidak dapat begitu saja menganggap bahwa hak-hak asasi manusia akansecara otomatis dilindungi di Timor-Leste. Kewaspadaan atas praktik-praktik yangmenyebabkan terjadinya pelanggaran harus dilakukan secara terus-menerus.Perlunya kewaspadaan ditunjukkan oleh kenyataan bahwa meskipun sebagian besarpelanggaran-pelanggaran yang diteliti oleh Komisi dilakukan oleh para anggota angkatanbersenjata Indonesia, para pelaku ini adalah orang-orang Indonesia dan orang-rangTimor-Leste yang menjadi anggota tentara. Meskipun masa terburuk terjadi selamapendudukan militer, pelanggaran-pelanggaran juga dilakukan oleh orang Timor-Lesteterhadap saudara-saudara mereka sendiri selama perjuangan meraih kekuasaan padamasa konflik bersenjata internal tahun 1975 dan di dalam tubuh gerakan Perlawanankhususnya pada tahun 1977. Usaha-usaha penjagaan atas sebuah negara demokratik,harus ditempatkan pada tempatnya, diperkuat jika telah ada, serta diterapkan dandihormati oleh semua institusi dan warga negara Timor-Leste.Rekomendasi-rekomendasi ini telah dibuat dalam semangat membangun sebuah masadepan bagi anak-anak kita yang harus jaminan bahwa kekerasan di masa lalu tidakakan terulang lagi. Kita harus belajar dari masa lalu supaya setiap anak Timor-Lestedapat mengembangkan potensi mereka.Komisi menghargai para pemimpin nasional Timor-Leste, para wakil-wakil terpilih yangmengembangkan Konstitusi, para anggota Parlemen dan para pemimpin Gereja dan merekayang berada di pemerintahan, masyarakat sipil (civil society) dan komunitas bisnis yangbekerja keras untuk membangun sebuah bangsa, berdasarkan prinsip-prinsip Konstitusidan hak-hak asasi manusia internasional. Mereka termotivasi oleh nilai-nilai dan tujuantujuanyang lahir dari masa lalu kita yang menyakitkan yang juga telah diekspresikan secarasangat kuat dalam Magna Carta hak-hak asasi manusia yang dirumuskan oleh DewanNasional Perlawanan Rakyat Timor (CNRT) pada tahun 1998 dan kebijakan-kebijakansemua partai politik di Timor-Leste. Dalam pengakuan akan komitmen-komitmen inidan dari keyakinan yang mendalam yang didasarkan pada penyelidikan kami, Komisimembuat yang rekomendasi-rekomendasi ini mengakui bahwa ini adalah sebuah prosesjangka panjang yang memerlukan komitmen dan tindakan yang berkelanjutan.Rekomendasi-rekomendasi ini tersusun sebagai berikut:• Timor-Leste dan masyarakat internasional• Timor-Leste dan Portugal• Hak asasi manusia di Timor-Leste: melindungi dan memajukan semuahak bagi setiap orang• Hak asasi manusia di Timor-Leste: melindungi dan memajukan hak-hakdari mereka yang lemah• Hak asasi manusia di Timor-Leste: melindungi dan memajukan hak-hakmelalui lembaga-lembaga yang efektif• Hak asasi manusia di Timor-Leste: pelayanan keamanan yang melindungidan memajukan hak asasi manusia• Kebenaran dan keadilan• Rekonsiliasi di masyarakat umum• Rekonsiliasi dalam kalangan politik• Rekonsiliasi dengan Indonesia• Acolhimento (Penerimaan)• Reparasi• Institusi lanjutan173


1. Timor-Leste dan masyarakat internasionalHubungan Timor-Leste dengan bangsa-bangsa lain tergambarkan oleh sifat-sifatdari konflik politik yang terjadi antara tahun 1974 dan 1999. Konflik di Timor-Lestebukanlah semata-mata merupakan konflik internal tetapi lebih merupakan sebuah konflikyang ditandai dengan campur tangan dari pihak asing, invasi dan pendudukan yangmenyebabkan penderitaan dan kerugian yang besar bagi rakyat Timor-Leste dan sekaligusmelanggar hukum internasional dan hak-hak asasi manusia yang seharusnya merupakantugas masyarakat internasional untuk dilindungi dan ditegakkan. Sementara hubunganhubunganini telah membaik sejak campur tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa padatahun 1999, masih terdapat sejumlah langkah yang perlu diambil yang akan membantupembangunan bangsa baru ini dan hubungan-hubungan internasionalnya, serta untukmemastikan bahwa pengalaman Timor-Leste tidak terulang di situasi-situasi lain.Komisi merekomendasikan agar:1.1 Laporan Akhir Komisi disebarkan seluas-luasnya ke semua tingkatan masyarakatinternasional melalui media, internet, dan jaringan-jaringan kerja lainnya dan terutamadalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara serta institusi-institusiyang ditekankan dalam Laporan Akhir ini, termasuk Australia, Cina, Inggris, Perancis,Indonesia, Jepang, Portugal, Rusia, Amerika Serikat, Gereja Katolik, orang-orang Timordi luar Timor Leste, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil internasional.1.2 Laporan Akhir ini disebarluaskan ke semua tingkatan Komunitas Negara-Negara Berbahasa Portugis (Communidade dos Paises de Lingua Portuguesa - CPLP)dengan maksud memberikan gambaran yang lebih mendalam pada CPLP tentangTimor-Leste, anggota terbaru komunitas ini.1.3 Laporan Akhir ini disebarluaskan ke semua tingkatan di tiap-tiap negaraanggota Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN - Association of SoutheastAsian Nations) dengan tujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang sejarahterkini Timor-Leste dan kepentingan-kepentingan Timor-Leste sebagai calon anggotabaru badan regional yang penting ini.1.4 Vatikan dan pemerintah Cina, Inggris, Perancis, Jepang, dan Rusia mengizinkanTimor-Leste menggunakan materi rahasia dan materi arsip mereka yang lain tentangperiode 1974-1999 sehingga informasi ini dapat ditambahkan ke informasi yangsudah diberikan oleh negara-negara lain untuk memastikan bahwa Timor-Leste,setelah sekian tahun dalam isolasi, dapat membangun sebuah kumpulan informasimenyeluruh tentang sejarahnya.1.5 Sekretaris Jenderal PBB meneruskan Laporan ini kepada Dewan Keamanan, MajelisUmum, Komite Khusus tentang Dekolonisasi dan Komisi Hak Asasi Manusi PBB dan memintatiap-tiap badan ini menentukan sesi khusus untuk mendiskusikan dan merefleksikan laporanini dan pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari isi dan temuan Laporan ini.1.6 Negara-negara yang memiliki program kerja sama militer dengan PemerintahIndonesia selama periode mandat Komisi, baik apakah bantuan ini digunakan secaralangsung di Timor-Leste atau tidak, meminta maaf kepada rakyat Timor-Leste ataskegagalan menegakkan secara utuh hak-hak dan kebebasan mendasar yang telahdisetujui secara internasional, di Timor-Leste selama penjajahan Indonesia.174


1.7 Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, terutama AS tapi juga Inggris danPerancis yang memberikan dukungan militer terhadap Pemerintah Indonesiaantara tahun 1974 hingga tahun 1999 dan yang memiliki tugas yang mengikat untukmenjunjung tinggi prinsip-prinsip terpenting dari tatanan dan perdamaian dunia danuntuk melindungi mereka yang lemah dan rentan, haruslah membantu PemerintahTimor-Leste dalam pemberian reparasi kepada para korban pelanggaran hak asasimanusia yang menderita selama pendudukan Indonesia.1.8 Perusahaan-perusahaan bisnis yang memperoleh keuntungan dari penjualansenjata kepada Indonesia selama pendudukan Timor-Leste dan, khususnya perusahaanyang produknya dipakai di Timor-Leste harus memberikan kontribusi kepada programreparasi kepada para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia.1.9 Semua negara-negara anggota PBB hendaknya menolak memberikan visa bagipejabat militer Indonesia manapun yang namanya tercantum dalam Laporan ini ataumereka yang memiliki tanggungjawab komando atas pasukan-pasukan dan dituduhmelakukan pelanggaran-pelanggaran, dan mengambil langkah-langkah sepertimembekukan rekening bank hingga yang bersangkutan telah secara independendan meyakinkan, dibuktikan tidak bersalah.1.10 Negara-negara di dunia agar mengatur penjualan dan kerja sama milliter denganIndonesia secara lebih efektif dan memastikan dukungan itu benar-benar menjadipersyaratan dalam perkembangan menuju demokratisasi sepenuhnya, penundukkan militerkepada aturan hukum dan pemerintah sipil, dan kepatuhan kuat kepada hak-hak asasimanusia internasional, termasuk penghargaan terhadap hak penentuan nasib sendiri.1.11 Pemerintah Australia, Inggris, dan Selandia Baru mengambil upaya bersamauntuk menegakkan kebenaran tentang kematian lima orang wartawan asing di Balibopada tahun 1975 sehingga fakta-fakta dan akuntabilitas akhirnya terbukti;1.12 Gereja Katolik internasional, yang dipimpin oleh Vatikan, memberikanpenghargaan yang layak pada Dom Martinho da Costa Lopes dan para suster, pastordan para kaum awam yang terbunuh pada tahun 1999 yang berupaya melindungiorang-orang Timor-Leste;1.13 Dokumen-dokumen dan bahan lainnya yang berhubungan dengan kejadiantahun 1999 dan aktivitas milisia yang diduga telah dipindahkan ke Australiauntuk disimpan dengan aman, setelah kedatangan Interfet pada tahun 1999, harusdikembalikan ke Timor-Leste oleh Pemerintah Australia.1.14 Pemerintah Timor-Leste, dengan dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa,menghormati kontribusi masyarakat sipil (civil society) internasional untuk memajukanhak-hak asasi manusia di Timor-Leste, khususnya hak penentuan nasib sendiri, danmengundang organisasi-organisasi masyarakat sipil (civil society) untuk menyumbangkandokumentasi mereka tentang perjuangan ini kepada rakyat Timor-Leste sebagai saranauntuk mengenang dan memelihara hubungan dan solidaritas berkelanjutan.1.15 Dukungan, secara praktis maupun finansiil, hendaknya diberikan oleh bisnis-bisnis,badan-badan kedermawanan, perusahaan-perusahaan, dan institusi-institusi akademikuntuk membantu tokoh-tokoh kunci Timor-Leste dan tokoh lainnya mendokumentasikansejarah dan pengalaman-pengalaman mereka agar dapat memperkaya literatur orangTimor yang terbatas jumlahnya untuk diwariskan pada generasi akan datang.175


2. Timor-Leste dan PortugalKomisi merekomendasikan agar Pemerintah Portugis:2.1 Secara resmi mengakui telah menerima Laporan Akhir Komisi, menyerahkankepada Parlemen Portugal dan melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yangberkaitan dengan Portugal yang terkandung di dalam Laporan ini.2.2 Mendukung penyebaran Laporan ini dan produk-produk yang berhubungansecara finansial maupun logistik melalui sektor-sektor masyarakat Portugis yangberkaitan dan di dalam Komunitas Negara-negara Berbahasa Portugis (CPLP).2.3 Membantu pemerintah Timor-Leste dalam pemberian reparasi untuk parakorban pelanggaran hak-hak asasi manusia akibat konflik-konflik di Timor-Leste;2.4 Menyediakan salinan materi-materi arsip resmi yang berhubungan denganTimor-Leste - bagi rakyat Timor-Leste sebagai bagian penting dari warisan nasionaldan membantu organisasi-organisasi masyarakat sipil Portugis, media dan GerejaPortugis untuk menyediakan materi-materi yang mereka miliki kepada Timor-Leste.2.5 Melaksanakan sebuah audit terhadap artifak-artifak (benda-benda bersejarah)dan kekayaan budaya lainnya yang berasal dari orang Timor yang saat ini berada diPortugal, dengan maksud untuk mengembalikan ke Timor-Leste agar dapat dibantudalam pemeliharaan, pengembangan dan penyebaran kebudayaan Timor-Lestesesuai dengan hak penentuan nasib kebudayaan sendiri dan prinsip-prinsip KovenanInternasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan.2.6 Memajukan hubungan dua-arah dengan Indonesia, dengan mempertimbangkankaitan sejarah Portugal yang panjang dengan wilayah ini dan situasi yang telahberubah di Timor-Leste, agar dapat memperdalam saling pengertian dan kerjasama,khususnya pada tingkatan hubungan antara rakyat ke rakyat, dan agar bersama-samaberkontribusi bagi Timor-Leste.176


3. Hak asasi manusia Timor-Leste:memajukan dan melindungi semua hak bagisetiap orangKekerasan perang di Timor-Leste tidak saja berdampak pada para penempur saja tetapijuga mengakibatkan pelanggaran hak asasi para warga sipil. Hak dan kebebasan sipildan politik dilanggar selama konflik, termasuk hak untuk hidup itu sendiri dan hakkeamanan pribadi, partisipasi dan kebebasan-kebebasan mendasar manusia yangsangat penting untuk martabat dan pembangunan manusia. Periode konflik yangpanjang juga berdampak terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan darirakyat Timor-Leste termasuk standar kehidupan, kesehatan, kesejahteraan keluargadan pendidikan.Melalui pembuatan Magna Carta CNRT dan Konstitusi bangsa ini dan ratifikasiterhadap Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Hak-hakEkonomi, Sosial dan Kebudayaan, Timor-Leste telah mendemonstrasikan komitmennyauntuk melepaskan masa lalu dan untuk memajukan dan melindungi semua hak untuksemua orang.Komisi merekomendasikan agar:3.1.1 Pemerintah Timor-Leste mengangkat pendekatan berdasarkan hak asasimanusia dalam pemerintahan, pembuatan kebijakan dan pembangunan agar semuakeputusan pada keseluruhan sistem pemerintahan diterangi oleh prinsip-prinsip hakasasi.3.1.2 Pemerintah mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin pelaksanaanhak-hak yang telah menjadi tekad untuk dilaksanakan melalui ratifikasi terhadapKovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasionaltentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan traktat-traktat lainnya.3.1.3 Pemerintah menggunakan traktat hak asasi manusia yang dimiliki untukmelaporkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai alat untuk mengevaluasiperkembangannya dalam pelaksanaan semua hak asasi manusia untuk semua danlaporan-laporan ini disediakan secara luas bagi diskusi publik.di Timor-Leste.3.2 Hak untuk hidup, untuk bebas dari kelaparan dan atasstandar hidup yang memadaiSejumlah besar orang Timor-Leste terbunuh atau meninggal selama periodemandat karena penyebab-penyebab yang berhubungan dengan konflik, termasukpembantaian. Kebanyakan kematian-kematian itu yang diakibatkan oleh kelaparanyang sebenarnya bisa dicegah selama tahun-tahun awal pendudukan militer Indonesiaadalah pelanggaran terhadap “hak-hak mendasar bagi setiap orang untuk bebas darikelaparan” (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya:Pasal 11.2).177


Komisi merekomendasikan agar:3.2.1 Pihak keluarga-keluarga korban dibantu untuk menemukan dan menguburkankembali jasad-jasad sanak saudara dan orang-orang yang disayangi yang tewas selamakonflik dan bahwa, bilamana sumberdaya memungkinkan, penggalian kembalimenurut standar-standar yang memadai dilakukan, untuk memungkinkan identifikasidan penetapan penyebab kematian.3.2.2 Atas konsultasi dengan keluarga korban dan komunitas, situs-situs yangberhubungan dengan pembunuhan dan kematian dijadikan tempat peringatan sebagaipenghormatan kepada korban.3.2.3 Sebuah tempat pendaftaran umum terhadap mereka yang hilang didirikan dan, dalamkerjasama dengan Pemerintah Indonesia, sebuah penyelidikan sistematis diadakan untukmencaritahu dan menetapkan keberadaan dan nasib mereka yang didaftarkan tersebut.3.2.4 Parlemen menetapkan suatu hari dalam setahun sebagai peringatan nasionaltahunan atas kelaparan tahun 1978-1979 untuk memperingati mereka yang tewaskarena kelaparan dan karena sebab-sebab yang berkaitan pada saat itu dan untukmenggalakkan diskusi, penelitian dan kegiatan pendidikan tentang masalah ketahananpangan dewasa ini di Timor-Leste, termasuk kesiapan bencana yang efektif.3.2.5 Dalam kasus bencana kemanusiaan yang menyebabkan rakyat meninggalkanrumah mereka, Pemerintah bertindak menurut Prinsip-prinsip Penuntun PBBtentang Pengungsian Internal (UN Guiding Principles on Internal Displacement)(E/CN.4/1998/53/Add.2, 11 February 1998).3.2.6 Pemerintah mengembangkan dan melaksanakan kebijakan yang menjaminbahwa hasil-hasil pembangunan dinikmati secara merata, menyentuh komunitaskomunitasyang paling terisolasi, memberi keuntungan kepada dan melibatkan lakilakidan perempuan, anak-anak, kaum tua dan cacat, dan memberikan kesempatankesempatankepada mereka yang paling dirugikan.3.3 Hak keamanan pribadiHak atas keamanan pribadi ditegakkan dalam Kovenan Internasional tentang HakhakSipil dan Politik tetapi selama hampir keseluruhan periode 1974-1999 rakyatTimor-Leste mengalami ketidakamanan secara pribadi dalam berbagai bentuk yangberlangsung terus-menerus. Ketidakamanan ini antara lain penahanan sewenangwenang, penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang tidak manusiawi danmerendahkan martabat, interograsi, penggangguan kebebasan/keleluasan pribadi,dan pengadilan yang tidak adil.Komisi merekomendasikan agar:3.3.1 Gedung-gedung yang terdapat di seluruh pelosok Timor-Leste yang merupakantempat yang biasa digunakan untuk penahanan didaftarkan dalam sebuah register nasional,bersama dengan informasi tentang mereka yang pernah ditahan dan kondisi penahanan ditempat-tempat tersebut, dan bahwa tempat-tempat terpilih tertentu dibuatkan peringatanberupa papan nama-nama atau cara peringatan lain yang memadai.178


3.3.2 Bagi perorangan-perorangan yang masih terus menderita secara fisik maupunmental akibat penyiksaan atau bentuk perlakuan lain yang tidak manusiawi danmerendahkan martabat atau akibat penghukuman yang dialami selama konflik,kondisi mereka harus didiagnosa secara profesional serta dibantu dengan konselingdan bentuk rehabilitasi lainnya.3.3.3 Badan-badan penegakkan hukum tunduk kepada standar-standar tertinggiproses pembelaan yang berkaitan dengan pelaksanaan penangkapan, investigasisetelah penangkapan, akses ke penasihat hukum, dan penahanan dalam penjara,sebagaimana yang disyaratkan oleh hukum dalam negeri dan standar-standar hakhakasasi manusia.3.3.4 Pemerintah pada setiap saat menjalankan kebijakan akses terbuka bagipengawasan dari luar atas semua penjara di Timor-Leste, oleh institusi-institusi negara,masyarakat sipil Timor-Leste, dan organisasi-organisasi internasional.3.3.5 Pemerintah memastikan penetapan dan pemeliharaan prosedur-proseduryang memadai untuk menjamin bahwa para narapidana ditahan dalam kondisi yangmenghormati martabat mereka sebagai manusia, termasuk:• Akses ke perawatan medis sepenuhnya bagi semua orang yang ditahan.• Makanan dan minuman yang memadai bagi semua orang yang ditahan.• Prosedur-prosedur yang sepatutnya bagi penahanan narapidana anakanakdan remaja, termasuk ditahan secara terpisah dari narapidanadewasa.• Prosedur-prosedur yang sepatutnya bagi penahanan narapidanaperempuan dan laki-laki dengan fasilitas-fasilitas yang terpisah.• Penyediaan sarana beribadah.• Penyusunan program rehabilitasi narapidana, yang bertujuan membantumereka mempersiapkan diri untuk kembali ke kehidupan sosial danekonomi sehari-hari, dan menjadi anggota utuh dan aktif dari komunitas.Program-program tersebut harus dibiayai secara memadai.• Aturan dan prosedur yang ketat yang mencegah dilakukannya penyiksaanatau penganiayaan seksual dalam bentuk apapun terhadap mereka yangditahan.• Prosedur-prosedur yang ketat bagi penggunaan kamar isolasi.Penggunaan kamar isolasi hanya boleh dilakukan secara sementara danterkecuali atas dasar perintah pengadilan yang menjamin hal tersebut.Prosedur kesehatan fisik dan mental harus dibuat dan diterapkan kepadamereka yang ditahan di kamar isolasi.• Pembangunan dan penerapan pelatihan hak-hak manusia yangberkelanjutan bagi semua petugas penjara, termasuk petugas yangberpangkat tinggi.179


3.4 Hak atas keamanan pribadi: sebuah komitmen nasionalmelawan kekerasanSelama sebagian besar masa konflik, rakyat Timor-Leste mengalami kekerasan yangmeluas. Konflik antara partai-partai politik utama pada tahun 1975 mengakibatkanmeletusnya kekerasan fisik yang singkat di banyak tempat, kemudian Indonesiamenggunakan kekuatan militer dan pasukannya untuk memaksakan kehendaknyaterhadap rakyat Timor-Leste dan mempertahankan kehadirannya yang memakan banyakkorban selama 24 tahun konflik. Penggunaan kekuasaan secara efektif memerlukankerjasama. Namun, dalam budaya yang penuh kekerasan dan ketakutan, kekuatanlebih cenderung digunakan sebagai cara menyelesaikan masalah dan mempertahankankontrol. Mereka yang berkuasa dapat mengambil sikap yang arogan dan meremehkanorang lain. Sekali tertanam, budaya kekerasan menjadi sesuatu yang normal dan merusakhubungan antara manusia pada setiap tingkatan, dan dalam berbagai macam hubungan,termasuk hubungan antara pejabat dan warga negara, laki-laki dan perempuan, majikandan pegawai, guru dan murid, orang tua dan anak-anak mereka.Di sisi lain, perlawanan Timor-Leste, Gereja dan masyarakat sipil internasionaldihargai dan didukung berkat penggunaan dialog dan strategi damai yang kreatifdalam memperjuangkan tujuan-tujuan mereka menuntut penentuan nasib sendiridan kemerdekaan.Komisi merekomendasikan agar:3.4.1 Rakyat Timor-Leste berupaya merefleksi diri tentang baik pengalaman negatifmereka berkaitan dengan kekerasan – asal usulnya, bagaimana kekerasan digunakandan apa dampaknya – maupun pengalaman positif mereka tentang dialog dan cara-caradamai lainnya yang digunakan untuk mencapai tujuan politik mereka, dan bagaimanapelajaran-pelajaran penting dari pengalaman-pengalaman ini dapat digunakan untukmemajukan budaya saling menghormati, keadilan, dan penyelesaian konflik secaradamai di segala aspek kehidupan di Timor-Leste.3.4.2 Partai-partai politik melanjutkan praktik mereka untuk secara sungguhsungguhmeninggalkan penggunaan kekerasan dalam proses politik dan mengecamkeras siapapun diantaranya mereka yang menyokong digunakannya kekerasan,membahayakan kenetralan professional dari tentara dan polisi atau yang mendukungkelompok-kelompok yang berhubungan dengan kekerasan dalam cara apapun.3.4.3 Parlamen dan Pemerintah mengadakan sebuah penyelidikkan menyangkutsengketa tanah yang muncul sebagai akibat dari program pemindahan paksa pendudukyang dilakukan secara luas selama konflik politik, , dengan maksud untuk melakukanpenengahan secara damai terhadap sengketa-sengketa tersebut dan menghindarikekerasan.3.4.4 Kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan bagi pencegahankekerasan domestik perlu dilanjutkan dan diperdalam, terutama di tingkat distrik.3.4.5 Timor-Leste menggunakan keanggotaannya dalam forum regional daninternasional untuk menjadi penentang yang giat terhadap setiap agresi militer danmenjadi pembela gigih atas prinsip-prinsip internasional, sistem PBB dan dialog dandiplomasi dalam menangani konflik;180


3.4.6 Sistem pendidikan di Timor-Leste, baik sistem pemerintah maupun swasta,memajukan nilai-nilai dalam pendidikan dan mengembangkan kursus dan metodemetodepengajaran yang menanamkan pada murid ketrampilan dan budaya damai, salingmenghormati dan anti-kekerasan, termasuk memperkenalkan tentang tokoh dari Timoratau negara lain yang mencapai tujuannya, baik besar ataupun kecil, secara damai.3.4.7 Kekuatan dari olahraga, musik, drama dan seni lainnya di Timor-Leste dapatdigunakan untuk mempromosikan perdamaian, anti-kekerasan dan pembangunannilai-nilai dan hubungan-hubungan masyarakat yang positif, terutama di antarakawula muda.3.5 Hak untuk berpartisipasi – menjamin hak-hak dasarKebebasan-kebebasan yang merupakan prasyarat untuk menggunakan hakberpartisipasi yang tertindas baik oleh sistem kolonialisme Portugis maupun olehrezim pendudukan Indonesia. Mereka yang menggunakan haknya atas kebebasanmendapatkan informasi, berpendapat, bergerak, berserikat dan berkumpul selamakonflik dengan Indonesia mengambil risiko yang tinggi dan terpaksa beroperasi secaraklandestin, dan seringkali menderita berat karena menggunakan hak-hak tersebut.Sistem pemerintahan di bawah Indonesia ditandai oleh kerahasiaan dan kontrol yangamat sangat ketat. Sifat pemerintahan ini menyebabkan terbunuhnya wartawan asingdan, antara lain, pembantaian para demonstran di pemakaman Santa Cruz padatanggal 12 November 1991. Hanya informasi, media, partai politik dan perkumpulanperkumpulanyang dapat diterima oleh militer Indonesia yang diperbolehkan dankebebasan bergerak dalam wilayah Timor-Leste dan di luarnya diawasi dan dibatasi.Orang Timor-Leste diperlakukan sebagai sasaran, bukan sebagai warga negara. Sebagaiakibatnya, pemerintah tidak bertanggung jawas pada rakyatnya, pembangunan gagaldan pelanggaran HAM dilakukan tanpa dihukum.Komisi merekomendasikan agar:3.5.1 Pemerintah Timor-Leste melanjutkan kebijakan ‘pemerintah terbuka’-nya dalamberurusan dengan masyarakat dan, demi mendorong partisipasi dan pertanggunganjawab,berupaya memaksimalkan komunikasi dua-arah dengan masyarakat, termasukmelalui wakil-wakilnya yang duduk di Parlemen, organisasi-organisasi masyarakatsipil dan media.3.5.2 Parlemen memberlakukan undang-undang tentang arsip nasional untukmemastikan bahwa semua berkas-berkas resmi di semua pelosok Timor-Lestedilestarikan dengan baik dan diatur berdasarkan sistem standar nasional dan bahwa,demi meningkatkan partisipasi publik dan tingkat pertanggungan-jawab para pelayanpublik, peraturan yang mengatur akses terhadap informasi tidak secara berlebihanmembatasi informasi yang dapat diungkapkan kepada publik dan mengikutsertakandalam peraturan tersebut ketentuan-ketentuan tentang Kebebasan Informasi.3.5.3 Para penerbit, para jurnalis dan tiap-tiap bagian dari media massa memahamibahwa perannya penting dalam memupuk kewarganegaraan yang efektif di Timor-Leste,dan bahwa kewajiban profesional terpenting mereka adalah menyediakan berita-beritayang independen dan akurat, informasi dan sudut-sudut pandang alternatif secara tentangisu-isu publik penting kepada setiap bagian dalam masyarakat Timor-Leste.181


3.5.4 Media memprakarsai sebuah penghargaan yang diberikan setiap tahun untukjurnalisme investigatif yang dibuat oleh jurnalis Timor-Leste dan bahwa penghargaanini diberikan untuk memperingati para jurnalis yang kehilangan nyawa mereka diTimor-Leste dalam upaya menggali kebenaran selama periode 1974-1999.3.5.5 Kepentingan mendasar hak akan kebebasan bergerak, berpendapat, berserikatdan berkumpul bagi daya hidup dan kreatifitas kehidupan politik, budaya, sosial danekonomi di Timor-Leste perlu terus menerus diakui dan dijunjung tinggi dan, terutamaagar instansi-instansi penegak hukum secara terus menerus mendapatkan pelatihantentang hak-hak tersebut dan tentang prosedur-prosedur yang harus ditaati secaraketat dalam penanganan demonstrasi-demonstrasi publik secara damai.3.5.6 Undang-undang tentang fitnah tidak menjadi bagian dari hukum pidana,melainkan hal-hal demikian diatur dalam pengadilan-pengadilan hukum sipil.3.6 Hak untuk berpartisipasi - kewarganegaraanSetelah selama beberapa generasi dipinggirkan, akhirnya warganegara peroranganmenjadi pusat dari bangsa demokratik baru Timor-Leste – sebagai ahli waris sekaligussebagai pelaku dalam kehidupan negara. Perubahan ini berasal sebagian besar darisemangat inklusif yang dikembangkan dalam gerakan Perlawanan, dan yang jugatelah memberikan sumbangan yang berarti pada keberhasilan gerakan Perlawananitu sendiri. Kesempatan untuk turut serta memberikan sumbangan tetap merupakansesuatu yang penting bagi masa depan – baik sebagai hak maupun sebagai kewajibanyang diilhami oleh semangat berinisiatif, berkreatifitas, berdikari dan berkorban yangsama yang dipergunakan secara efektif di masa lalu. Komisi terus menerus diingatkanbahwa ‘rakyat kecil’ ingin dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan bangsabaru ini, lepas dari sejauh apapun jarak mereka, terutama mereka yang hidup didaerah pedesaan, jauh dari mekanisme dan proses pemerintahan dan pengambilankeputusan.Kewarganegaraan melambangkan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa.Kewarganegaraan ini didasarkan pada rasa memiliki negara ini, kebanggaan nasionaldan komitmen kepada rakyat kita, nilai-nilai kita dan masa depan kita bersama.Adalah sangat penting memelihara semangat kewarganegaraan ini melalui pendidikanpublik yang berkelanjutan tentang pentingnya kewarganegaraan ini dan apa artinyadalam praktek.Komisi merekomendasikan agar:3.6.1 Diterapkan sebuah program pendidikan kewarganegaraan yang memusatkandiri pada struktur, kelembagaan dan proses demokrasi dan hak-hak dan kewajibankewajibanwarganegara; program ini sebaiknya diajarkan di sekolah-sekolah.3.6.2 Semua pelayan publik, termasuk polisi, militer, guru dan pegawai di setiapinstansi pemerintah secara terus menerus menerima pelatihan, pelatihan jabatan danevaluasi pelaksanaan tugas secara teratur berkaitan dengan peran mereka sebagaipelayan pemerintah dan warga negara Timor-Leste, untuk memastikan bahwamereka melaksanakan tugas dalam cara yang tidak berpihak secara politik, etis danprofesional;182


3.6.3 Hari Warganegara ditetapkan dan dirayakan di Timor-Leste untukmeningkatkan kesadaran tentang makna dan pentingnya kewarganegaraan danmemajukan dan merayakan nilai-nilai dan tanggungjawab demokratik kita.3.6.4 Diadakannya pemberian penghargaan tahunan bagi para warga negara Timor-Leste yang memberikan sumbangan yang berarti pada masyarakat sekitarnya ataupada bangsa ini dan diakui sebagai model prakarsa dan kewarganegaraan yang baikbagi yang lain, terutama kawula muda3.7 Hak atas pendidikan dan hak penentuan budaya sendiriKovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Pasal 15)mengakui hak tiap orang atas kehidupan budaya dan kebutuhan yangb berkaitandengan itu untuk melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan budaya termasukmelalui sistem pendidikan formal. Meski sebagian dari tradisi dan budaya unik Timor-Leste mampu bertahan hingga saat ini, di bawah sistem kolonial Portugal dan Indonesiahak ini tidak dihargai sepenuhnya. Sistem Portugis terutama mengabaikan pendidikanbagi rakyat. Indonesia, meskipun menanggulangi buta huruf dan menyediakankesempatan bagi penduduk untuk mendapatkan pendidikan, menggunakannyasebagai alat untuk mempromosikan integrasi, bukan memajukan penentuan budayasendiri.Komisi menyatakan penghargaannya bagi Pemerintah atas komitmennya terhadappendidikan universal dan merekomendasikan agar:3.7.1 Berbagai cara menggambar dalam budaya dan tradisi Timor-Lestedikembangkan lebih lanjut sebagai sumber identitas nasional dan pembangunankebangsaan, termasuk juga melalui sistem pendidikan, dan penelitian untuk menopangtujuan ini perlu dilakukan oleh perguruan tinggi dan instansi-instansi lainnya yangberwenang;3.7.2 Pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan Gereja bekerja sama untukmengembangkan kurikulum dan metode pengajaran yang berbasis pada nilai-nilai danbertujuan mengembangkan nilai-nilai utama yang sesuai dengan tradisi dan situasiterkini Timor-Leste dan yang akan memajukan budaya perdamaian, anti-kekerasandan hak asasi manusia.3.7.3 Pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan Gereja bekerja sama untukmengembangkan kurikulum dan metodologi pengajaran tentang hak asasi manusiauntuk digunakan pada tiap jenjang pendidikan dan menggunakan Laporan inidan bahan-bahan lainnya untuk memastikan bahwa materi yang dikembangkanberdasarkan pada pengalaman Timor-Leste yang sesungguhnya.3.7.4 Dengan mengingat upaya-upaya kreatif penanggulangan buta huruf yangdilakukan pada tahun 1974-75, Pemerintah perlu mengembangkan program-programkhusus yang bertujuan menghapus buta huruf di Timor-Leste, terutama bagi orangdewasa, termasuk perempuan, di tempat-tempat terpencil.183


3.7.5 Departemen Pendidikan, guru dan dosen menggunakan bahan-bahan multimediayang telah dibuat dan dikumpulkan oleh Komisi, selama program kerja-kerjamenyangkut rekonsiliasi dan penelitian Komisi tentang periode tahun 1974-1999,sebagai cara untuk memperkaya kandungan studi tentang Timor-Leste dalamkurikulum pendidikan dan membantu mengajarkan sejarah, ilmu politik, resolusikonflik, hubungan internasional dan hukum.3.7.6 Pemerintah menetapkan sebuah program pengembalian benda-benda bersejarah,dokumen-dokumen dan bahan-bahan berkaitan kebudayaan Timor-Leste yang padasaat ini berada di luar negeri dan mengundang semua pemerintah, lembaga danperorangan yang memiliki benda atau dokumen semacam itu untuk mengembalikannyapada Timor-Leste untuk membantu melestarikan, mengembangkan dan menyebarkanbudaya Timor-Leste sesuai dengan pasal 15 dari Kovenan Internasional Hak-hakEkonomi, Sosial dan Kebudayaan.3.7.7 Pemerintah menetapkan sebuah program untuk memugar dan melestarikantempat atau benda yang memiliki nilai budaya penting yang rusak atau dihancurkanselama konflik, seperti misalnya Palácio das Cinzas di Dili untuk mengingatkangenerasi mendatang tentang penghancuran tahun 1999 dan tantangan-tantangan kedepan yang harus dihadapi oleh pimpinan Timor-Leste dalam mendirikan sebuahnegara baru.3.8 Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutanLingkungan hidup yang sehat memungkinkan seorang individu menikmati hakhakmendasarnya seperti hak kesehatan, hak atas makanan yang memadai, hak atasperumahan dan penghasilan. Pengrusakan lingkungan hidup bukan saja merupakantindakan kejahatan terhadap alam, tapi juga merupakan pelanggaran hak asasimanusia. Timor-Leste mengalami kerusakan lingkungan berupa berkurangnya flora,fauna dan kualitas tanah. Ini disebabkan banyak faktor tapi termasuk di antaranyaeksploitasi sumber daya alam oleh penguasa kolonial, kerusakan akibat perang, tidakterpeliharanya tanah karena konflik yang berkepanjangan, terkonsumsinya tanamandan binatang endemik saat penduduk dalam pelarian, dan dipindahkannya spesimenflora dan fauna dari Timor-Leste ke Indonesia sebagai tanda mata perang.Komisi merekomendasikan agar:3.8.1 Program Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Programme-UNEP) yang banyak berpengalaman dalam regenerasi lingkungan hidup pasca-konflik,diundang untuk mengadakan studi tentang situasi lingkungan di Timor-Leste, denganturut mempertimbangkan proyek-proyek bagus yang telah berjalan dalam bidangini, dan merekomendasikan kegiatan-kegiatan perbaikan yang dapat dilakukan gunamembantu Timor-Leste mencapai salah satu Sasaran Pembangunan Millenium PBB(UN Millenium Development Goal) tentang lingkungan hidup berkelanjutan.3.8.2 Diadakannya penelitian di daerah-daerah di mana diperkirakan zat penggundulhutan (defoliant) digunakan untuk kepentingan militer, untuk memastikan bahwadaerah-daerah tersebut aman bagi masyarakat setempat, dan jika perlu, rehabilitasi184


daerah-daerah tersebut dilakukan bersama-sama dengan masyarakat yang terkenadampak dan dengan dukungan dari pemerintah dan perusahaan-perusahaan yangterlibat memasok peralatan militer bagi militer Indonesia.3.8.3 Obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan dan obat-obat alternatif lain yangdigunakan di hutan selama perjuangan, didokumentasi dan dievaluasi tingkatefektifitasnya, dengan maksud untuk dapat digunakan di masa depan.3.8.4 Diadakannya sebuah program pendidikan publik jangka panjang, termasuklewat sistem pendidikan formal, untuk memperdalam pemahaman masyarakat tentangkaitan antara lingkungan fisik yang bersih dengan kesehatan, terutama bagi anakanak;3.8.5 Hari Kesehatan Dunia yang tiap tahun dirayakan pada tanggal 7 April dijadikansebagai saat memfokuskan perhatian pada tema-tema tersebut di atas.185


4. Hak asasi manusia di rumah: memajukandan melindungi hak mereka yang rentan4.1 PerempuanSelama konflik, perempuan memainkan peran yang penting dalam masyarakat Timor-Leste – baik di Timor-Leste maupun di diaspora – sebagai tumpuan bagi keluarga danmasyarakat, kadang ditinggalkan seorang diri tanpa suami, ayah atau kerabat laki-lakiyang dapat mendukung mereka. Peran penting mereka juga sebagai pembela hak asasimanusia. Di Timor-Leste, konflik menimbulkan kondisi yang membatasi kebebasanperempuan dan anak perempuan yang juga sangat rentan terhadap pelanggaranpelanggaranhak asasi manusia. Termasuk dalam pelanggaran-pelanggaran ini antaralain pemerkosaan, perbudakan seksual dan jenis-jenis kekerasan seksual lainnya, yangmeski kebanyakan dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia, juga dilakukan olehlaki-laki Timor-Leste. Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual seringkalidiasingkan oleh masyarakat sekitar mereka dan hal ini meningkatkan kerentananmereka terhadap kekerasan lain lagi. Hingga kini, beberapa perempuan masih terusmenanggung beban dari pengalamannya.Melalui interaksi dengan para korban dan masing-masing keluarga korban, Komisimenilik bahwa kekerasan domestik adalah sesuatu yang tidak jarang terjadi dalamkehidupan sehari-hari banyak korban. Misalnya, beberapa dari laki-laki yang pernahditahan dan disiksa mengaku pada Komisi bahwa berkat perlakuan ini, kekerasansudah menjadi pola berperilaku bagi mereka.Di Timor-Leste saat ini, kejadian-kejadian kekerasan domestik dan penganiayaanseksual masih tinggi. Sebuah komitmen nasional untuk menghapus kekerasanterhadap perempuan, baik kekerasan yang terjadi di ruang-ruang publik maupun yangterjadi di ruang-ruang pribadi, perlu sekali dilaksanakan untuk menghentikan sikluskekerasan dan ketakutan yang mewarnai kehidupan banyak perempuan dan anakanakperempuan. Program aksi ini harus juga memperkuat pengembangan budayakesetaraan antara perempuan dan laki-laki, karena diskriminasi terhadap perempuanadalah faktor utama yang menunjang terjadinya kekerasan terhadap mereka.Komisi merekomendasikan agar:4.1.1 Beragam sumbangan yang diberikan oleh perempuan yang terlibat dalamgerakan Perlawanan – baik di dalam Timor-Leste maupun di diaspora – diakui lebihpenuh, dan bahwa dikembangkan cara-cara dokumentasi dan penyebaran informasitentang peranan yang dimainkan oleh perempuan, termasuk mengajarkan materi inidi sekolah-sekolah;4.1.2 Seruan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Tim-Tim (KKP-HAM) agarPemerintah Indonesia memberikan rehabilitasi, kompensasi dan dukungan bagi parakorban dari kejadian tahun 1999 di Timor-Leste, termasuk bagi perempuan dankeluarga-keluarga agar diterapkan.186


4.1.3 Kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yangdilakukan di Timor-Leste di mana terdapat unsur kejahatan seksual terhadapperempuan dan anak perempuan harus dikeluarkan dari segala kemungkinanpemberian amnesti, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentangPerempuan, Perdamaian dan Keamanan (Pasal. 11, S/Res/1325 2000);4.1.4 Prasangka berkelanjutan terhadap para perempuan korban pelanggaran seksualperlu diberantas sesegara mungkin oleh Pemerintah, lembaga keagamaan, masyarakatlokal dan organisasi-organisasi masyarakat sipil, demi meneggakkan martabat merekayang telah menderita sebagai korban.4.1.5 Pemerintah, bersama dengan organisasi-organisasi keagamaan dan masyarakatsipil melanjutkan upaya-upayanya untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadapperempuan dan bahwa langkah-langkah yang perlu diambil meliputi (a) segeradisahkannya undang-undang tentang kekerasan domestik, termasuk langkah-langkahmemberikan pertolongan pertama untuk melindungi para korban pada saat-saat kritis;(b) disediakannya lebih banyak sumberdaya dan pelatihan bagi alat-alat penegakhukum, kelompok-kelompok yang berhubungan dengan pengadilan dan lembagabantuan hukum, untuk memampukan mereka memberikan tanggapan yang efektifdalam kasus-kasus kekerasan domestik; (c) dukungan berkelanjutan bagi instansidan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang dalam kegiatannya memberikanlayanan dan dukungan yang berkualitas bagi para korban, dan juga bagi mereka yangbekerja sama dengan laki-laki untuk mengubah pola-pola perilaku yang mengandungkekerasan;4.1.6 Dilanjutkannya 16 Hari Aktivisme melawan Kekerasan terhadap Perempuansetiap tahun dan ditingkatkan, terutama di distrik-distrik;4.1.7 Angkatan Bersenjata dan Kepolisian mengembangkan kebijakan-kebijakan yangdapat ditegakkan secara kuat yang bertujuan memajukkan kesetaraan jender, melarangeksploitasi seksual dan kekerasan terhadap perempuan dan mengenakan sanksiyang sekeras-kerasnya terhadap anggota aparat keamanan yang bersalah melanggarkebijakan-kebijakan tersebut, agar perempuan Timor-leste tidak lagi menyimpan rasatakut lagi pada mereka yang dipercayakan melindungi dan meneggakkan hak-hakmereka.4.1.8 Harmonisasi antara undang-undang Timor-Leste dengan Konvensi mengenaiPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on theElimination of All Forms of Discrimination Against Perempuan - CEDAW) dilanjutkan,disediakannya sumberdaya yang memadai bagi lembaga-lembaga yang bertanggungjawab atas penerapan CEDAW dan melaporkan pada PBB tentang ketaatan Timor-Leste pada CEDAW, dan bahwa pemahaman tentang CEDAW dikembangkan dikalangan masyarakat, terutama melalui sistem pendidikan, media dan Gereja.4.1.9 Akses terhadap informasi dan layanan menyangkut kesehatan reproduktif,keluarga berencana dan cara-cara mengasuh anak, disediakan secara luas bagi laki-lakimaupun perempuan, termasuk melalui sekolah, supaya keputusan tentang masalahreproduksi diambil secara sadar dan tanggungjawab reproduksi dan pengasuhan anakdibagikan merata antara laki-laki dan perempuan dan bebas dari unsur paksaan ataukekerasan.187


4.1.10 Langkah-langkah tertentu perlu diambil guna mengakui dan mendukungperanan perempuan dalam mencegah dan menyelesaikan konflik dan dalammembangun perdamaian, termasuk pada tingkat lokal.4.1.11 Pemerintah agar meningkatkan status Kantor Promosi Kesetaraan menjadiSekretaris Negara didalam kabinet Perdana Menteri dan atau menyediakan DewanPenasehat bagi Kantor Promosi Kesetaraan sebagai cara untuk memajukan lebihjauh dan mengutamakan kesetaraan jender dan partisipasi perempuan sepenuhnyadalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik Timor-Leste, termasuk melaluipemajuan tingkat melek huruf di antara perempuan di pedesaan dan meningkatkanpartisipasi anak perempuan dan perempuan dewasa dalam pendidikan tingkatmenengah dan perguruan tinggi.4.2 Anak dan pemudaHak-hak anak dilanggar selama tahun-tahun konflik. Anak melihat atau mengalamiperistiwa-peristiwa traumatis, meninggal karena kelaparan, terpindahkan dari tempattinggal mereka, kehilangan orangtua, terpisah dari orang tua dan tidak mendapatkankesempatan yang layak mengakses layanan kesehatan, pendidikan dan pelayananlainnya. Anak-anak juga diikutsertakan dalam pertempuran, baik dalam konflikbersenjata internal pada tahun 1975 dan selama pendudukan Indonesia ketika merekadigunakan oleh militer Indonesia untuk memberikan dukungan logistik dan dukunganlainnya. Ada juga anak yang dirampas dari orangtuanya oleh militer dan pejabatIndonesia, dan seringkali dibawa ke tempat-tempat yang jauh di Indonesia, dan masihtetap terpisah dari keluarga mereka. Komisi mendengarkan, dengan rasa duka yangmendalam, anak-anak Timor-Leste di Timor Barat yang merasakan bahwa merekaadalah bagian dari Timor-Leste, sekaligus merasakan terasing dari Timor-Leste.Demi menjamin masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di Timor-Leste, Pemerintahtelah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Dengan melakukan demikian, Pemerintah telahberkomitmen untuk melindungi dan menjamin hak anak dan mau bertanggung jawabatas komitmen tersebut di hadapan masyarakat internasional. Menjamin sebuah masadepan bagi para kawula muda kita adalah salah satu tantangan utama Timor-Leste.Komisi merekomendasikan agar:4.2.1 Proses harmonisasi undang-undang Timor-Leste dengan Konvensi Hak Anak(Convention on the Rights of the Child - CRC) diteruskan, disediakannya sumberdayayang memadai bagi lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas penerapan CRC danpelaporan pada PBB tentang ketaatan Timor-Leste pada CRC, dan pemahaman tentangCRC dikembangkan di kalangan masyarakat, terutama melalui sistem pendidikan,media dan Gereja;4.2.2 Diadakannya sebuah kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat,mirip dengan kampanye dalam bidang kekerasan domestik, untuk mendidik orangtua, guru dan masyarakat tentang efek kekerasan fisik dan emosional terhadap anakdan menyarankan bentuk-bentuk alternative yang dapat digunakan dalam mengontrolperilaku anak dan membentuk watak mereka;188


4.2.3 Contoh-contoh peran yang positif bagi, anak perempuan dan pemudi dan bagianak laki-laki dan pemuda diidentifikasi dan dimajukan;4.2.4 Disediakannya sumberdaya yang layak bagi pengembangan prasarana olahraga dan pengelolaan olahraga agar potensi olah raga dapat direalisasikan dalammenguatkan hubungan masyarakat dan pengembangan menyeluruh kawula muda,termasuk akses yang setara bagi anak perempuan dan pemudi diwujudkan.4.2.5 Program pendidikan kesehatan reproduksi yang akurat, berimbang dan lengkapdan yang membina rasa tanggung jawab diberikan kepada kawula muda Timor-Lestesejalan dengan Pasal 17 CRC yang menekankan hak atas informasi terutama apabilainformasi tersebut memajukan kesejahteraan sosial, spiritual dan moral dan kesehatanjasmani dan mental.4.2.6 Diambil langkah-langkah untuk memastikan agar kebijakan Pemerintahtentang pendidikan semesta diperluas dalam prakteknya mencakup anak-anak,terutama anak yatim/piatu, anak cacad dan yang bermukim di desa-desa terpenciluntuk menjamin agar semua anak perempuan mempunyai akses penuh dan setaraterhadap pendidikan, dan disediakannya peluang-peluang yang lebih luas untukpelatihan kejuruan;4.2.7 Anak-anak Timor-Leste yang dibawa ke Indonesia dan masih terpisah dariorang tua dan keluarga mereka, diberikan kesempatan untuk kontak dan reunikeluarga, termasuk diberikan pilihan bebas untuk pulang ke Timor-Leste, sejalandengan Pasal 9 dan 10 CRC;4.2.8 Pertimbangan khusus diberikan bagi keadaan anak-anak Timor-Leste yangdirugikan dalam kesempatan mengakses pendidikan dan dalam segi-segi laindisebabkan oleh kegiatan klandestin dan pengorbanan mereka sebagai pemuda demipembebasan Timor-Leste.189


5. Hak asasi manusia di Timor-Leste:memajukan dan melindungi hak-hak asasimanusia melalui lembaga-lembaga yang efektif5.1 Masyarakat sipil yang berfungsi secara efektifKebebasan-kebebasan yang diperlukan untuk berseminya masyarakat sipil diingkari selamasebagian besar sejarah penjajahan Timor-Leste dan ditindas secara kejam selama masapendudukan Indonesia. Namun, masyarakat sipil timbul sebagai kekuatan positif dalammemperjuangkan perubahan di Timor-Leste sendiri dan maupun di Indonesia dan, bersamadengan masyarakat sipil internasional, memainkan peranan yang sangat penting dalamperjuangan demi penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan. Peran ini serta kemandirianmasyarakat sipil dan nilai-nilai inisiatif dan komitmen terhadap hak asasi manusia yangmengilhaminya, sama pentingnya saat ini. Selain pemerintah dan partai-partai politik,masyarakat sipil adalah kendaraan utama bagi rakyat untuk berpartisipasi dan memberikansumbangan bagi pembentukan kebangsaan (nation building). Penting bahwa sektor inidapat diberikan ruang gerak, dalam saat dimana Timor-Leste menjalani masa transisi, darioposisi ke interaksi yang positif antara Pemerintah dan masyarakat sipil.Komisi merekomendasikan agar:5.1.1 Dukungan dan dorongan terus diberikan kepada masyarakat sipil di Timor-Lesteagar dapat memainkan perannya secara memadai dalam menyuarakan suara kaummiskin, memberikan sumbangan pada pembangunan dan menjaga pertanggungjawabanPemerintah dan sektor bisnis, dan agar kebebasan-kebebasan sipil dan politik yangmendasar yang diperlukan bagi sektor ini terus dihormati dan dijunjung.5.1.2 Organisasi masyarakat sipil, sementara menghormati independensi dankeragaman mereka, terus menerus berupaya bekerja sama dengan organisasi-organisasinon pemerintah lainnya, baik yang nasional maupun internasional, baik untukmemastikan penggunaan sebaik mungkin dari sumber daya yang terbatas dan dampakdari advokasi dan sumbangan mereka, dan untuk menunjukkan atau membuktikanberjaringan yang kuat dengan masyarakat dan standar-standar demokrasi, profesional,dan pertanggungjawaban yang setinggi mungkin dalam tiap-tiap organisasi.5.1.3 Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, sambil menghormati perandan sifat independen masing-masing, perlu terus menerus membangun jalur-jalurkomunikasi langsung guna membina interaksi melalui dialog tentang kebijakan,konsultasi, pelatihan bersama dan kerja sama operasional.5.1.4 Pemerintah dan para penyandang dana terus memberikan bantuan dana,pelatihan dan dukungan lainnya bagi masyarakat sipil di Timor-Leste guna memastikanbahwa masyarakat sipil Timor Leste mampu berpartisipasi penuh dan memainkanperannya secara membangun dan efektif.5.1.5 Organisasi internasional hendaknya memberikan pelatihan khusus bagi LSM nasionalagar LSM nasional dapat turut serta dalam proses pengawasan eksternal pada saat Pemerintahmelaporkan pada PBB ketaatannya terhadap berbagai traktat hak asasi manusia.190


5.1.6 Gereja Katolik dan komunitas agama-agama lain terus melanjutkan upayanyamembangun budaya perdamaian dan hak asasi manusia di tingkat masyarakat,memberikan bantuan pada para korban pelanggaran hak asasi manusia danmemperkuat rekonsiliasi dan kohesi sosial.5.2 Parlemen Nasional yang efektifDi bawah Portugal dan Indonesia, Timor-Leste memiliki lembaga-lembaga legislatif, tapibadan-badan tersebut tidak mewakili rakyat ataupun bertanggungjawab kepada rakyat,dan lebih melayani kepentingan mereka yang berkuasa daripada rakyat. Sistem ini telahdigantikan oleh suatu demokrasi di mana sebuah parlemen dipilih secara bebas oleh rakyatyang memegang kedaulatan. Sistem baru ini terutama dicirikan oleh sikap tanggap danpertanggungjawaban kepada rakyat, melalui fungsi legislatifnya, dan juga, atas nama rakyat,melalui fungsi sebagai pencermat dan pengawas atas penguasa eksekutif dan layanan publik,termasuk mencermati dan mengawasi penggunaan dana publik atau negara.Komisi merekomendasikan agar:5.2.1 Para anggota Parlemen Nasional diberikan sarana dan sumberdaya yang layakagar dapat melakukan tugasnya secara efektif atas nama rakyat.5.2.2 Parlemen Nasional dan para anggota Parlemen terus memperkuat fungsiperwakilan mereka dan menunjukkan pertanggungjawaban mereka kepada rakyatmelalui mekanisme seperti pelaporan secara rutin pada rakyat yang diwakilinya,mengunjungi distrik-distrik dan mengadakan interaksi dengan masyarakat,mengadakan pertemuan dengan rakyat dan berkomunikasi melalui media.5.2.3 Parlemen Nasional dan para anggota Parlemen mengadakan program tetapyang bertujuan menginformasikan dan mendidik masyarakat tentang peran ParlemenNasional, terutama antara kawula muda dan di sekolah-sekolah; hal ini akan membantumemberantas rasa keterasingan yang diwarisi dari masa lalu dengan menambahpemahaman tentang peran Parlemen Nasional mewakili rakyat dan akan mendorongpartisipasi baik melalui keikutsertaan dalam pemungutan suara maupun melaluiperan yang lebih aktif lagi dalam politik dan penggunaan sistem politik tersebut.5.2.4 Penguasa eksekutif dan para pelayan publik mengakui peran berdaulat ParlemenNasional dan dalam semangat pertanggungjawaban dan kemitraan, Pemerintahdan pelayan publik perlu secara rutin bersedia untuk mengadakan dialog tentangkebijakan, melakukan konsultasi dan merespon pertanyaan-pertanyaan yang timbuldari para anggota Parlemen Nasional atas nama rakyat.5.2.5 Parlemen Nasional membuat undang-undang guna memenuhi kewajibanpelaporan Timor-Leste dalam hal ketaatan terhadap traktat-traktat hak asasi manusiayang telah diratifikasi.5.3 Sebuah sistem peradilan yang efektifSebuah sistem peradilan yang independen dan berfungsi dengan baik sangat pentingdalam mengamankan kedaulatan hukum di Timor-Leste. Selama pendudukanIndonesia, sistem peradilan sangat cacat. Independensi peradilan dari kebijakan191


pemerintah dikompromikan, dan sistem peradilan gagal melindungi hak-hakmendasar dari mereka yang tertuduh melalui proses hukum. Dengan demikian, halini secara mendasar menciptakan budaya impunitas dan rusaknya kedaulatan hukumdan dengan sendirinya merupakan pelanggaran hak asasi manusia.Karena pengalaman ini, banyak rakyat Timor-leste yang tidak mempercayai sistemperadilan. Menurut pengalaman mereka, sistem peradilan selama masa mandat Komisiadalah sistem yang korup, tidak dapat diakses oleh rakyat dan tercemar oleh politik.Inilah tantangan utama dalam membangun sebuah sistem peradilan baru.Sebuah sistem peradilan yang adil, profesional, dapat diakses dan efektif merupakanbatu penjuru dalam menciptakan kedaulatan hukum di Timor-Leste. Pengalamanmembuktikan bahwa hak rakyat hanya dapat dilindungi apabila terdapat cara yangefektif guna menjaga kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.Tanpa pertanggungjawaban ini, hampir mustahil melindungi hak asasi manusia.Pengembangan sebuah sistem peradilan yang kuat dan independen di Timor-Lesteadalah tonggak utama sebuah demokrasi baru. Pembangunan sistem peradilan tersebutperlu diberikan prioritas yang layak dari segi pendanaan dan kebijakan.Komisi merekomendasikan agar:5.3.1 Pemerintah menyelesaikan pembuatan Hukum Pidana dan Hukum AcaraPidana, yang mengikutsertakan pendefinisian yang layak terhadap kejahatankemanusiaan dan kejahatan perang.5.3.2 Semua tindakan yang perlu guna memastikan independensi sistem peradilanperlu diambil, termasuk:• otonomi administratif bagi Kantor Kejaksaan Agung dan pengadilan,selain juga dikembangkannya sebuah mekanisme pengangkatan hakimdan penetapan masa jabatan hakim yang bebas dari tekanan politik.• diprioritaskannya program pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagipara hakim Timor-leste;• dikembangkannya jalur karier bagi para hakim, termasuk sistempengupahan dan masa jabatan yang layak untuk mengurangi risikotimbulnya korupsi atau tekanan politik terhadap para hakim.• dikembangkannya sebuah sistem pengawasan independent, yang disahkanmelalui undang-undang.5.3.3 Akses terhadap sistem peradilan bagi para warga negara Timor-leste perludijamin dengan:• memastikan bahwa terdapat jumlah hakim yang cukup di Timor-leste danbahwa fakultas-fakultas hukum di universitas dan sumberdaya lain yangdiperlukan tersedia pada standar yang memadai;• memastikan bahwa terdapat jumlah pegawai peradilan terlatih yangmemadai guna mendukung kegiatan pengadilan;• memastikan bahwa pengadilan dapat, dengan teratur, mengadakanpersidangan di distrik.• memastikan bahwa warganegara Timor-Leste yang hadir di hadapanpengadilan dapat dibantu dalam proses hukum dalam bahasa ibunya.• menjamin independensi para jaksa192


• mengalokasikan sumberdaya yang cukup bagi para pembela dan layananpendukung paralegal untuk menjamin agar warga negara Timor-Leste, paratertuduh dan korban, dapat memahami cara kerja sistem peradilan dan hukum.• memastikan bahwa orang yang ditangkap dibawa ke pengadilan dalamjangka waktu yang telah ditentukan oleh hukum, dan bahwa pengadilandapat bersidang secepat mungkin guna menjamin hal itu.5.3.4 Sistem banding diperkuat agar dapat membantu penerapan secara internaldari standar-standar legal internasional yang tertinggi.5.3.5 Pemerintah memastikan bahwa sistem peradilan didanai secara penuh agardapat memainkan fungsi-fungsi pentingnya dengan memberi prioritas yang tinggidalam anggaran negara;5.3.6 PBB dan masyarakat internasional terus mendukung pengembangandan penguatan sistem hukum dan peradilan di Timor-Leste untuk menjaminpertanggungjawaban di hadapan hukum.5.4 Aparatur pemerintah yang efektifPelayanan publik di Timor-Leste selama pendudukan Indonesia mempunyai banyak aspeknegatif dari birokrasi Indonesia karena memang pelayan public di Timor-Leste merupakanbagian dari birokrasi Indonesia: sistem yang terpolitisasi, tersentralisasi, top-down, korup,kelebihan staf, tidak efisien, membuang-buang sumberdaya Pemerintah dan tidak dipercayaoleh masyarakat. Mereka yang mempunyai koneksi dengan elit-elit lokal dan aparaturpemerintah mendapat akses dengan lebih cepat dan lebih murah terhadap pelayananpelayananmendasar. Kaum miskinlah yang paling disengsarakan akibat pelaksanaanpelayanan publik yang penuh korupsi, berbiaya tinggi dan suap, serta koneksi pribadi.Dewasa ini, sistem di Timor-Leste, sebagaimana halnya dengan sistem di Indonesia, masihlemah dan terperangkap dalam “keterasingan institusional”, antara struktur lama danberkembangnya institusi dan budaya baru. Untuk memberikan layanan ekonomi, sosialdan budaya yang telah menjadi bagian dari hak asasi warga negara Timor-Leste, parapelayan publik harus imparsial secara politik, diangkat dan diberikan kenaikan pangkatberdasarkan prestasi, dan adalah orang-orang yang penuh integritas dan berkemampuansecara profesional yang ditandai dengan etos yang kuat akan tugas dan pelayanan.Komisi merekomendasikan agar:5.4.1 Rekrutmen ke dalam pelayanan publik harus berdasarkan atas prinsipkesetaraan kesempatan dan prestasi, bukan berdasarkan atas afiliasi politik, danperempuan harus diberikan dorongan untuk melamar dan menduduki posisi-posisipemimpin dalam birokrasi Pemerintah.5.4.2 Pelatihan yang diberikan pada para pelayan publik menekankan secara kuatprinsip kesetaraan hak bagi semua warga negara di Timor-Leste terhadap layanan yangmereka perlukan yang melindungi dan menjunjung hak ekonomi, sosial dan budayatanpa diskriminasi dan agar pelatihan ini diterapkan melalui evaluasi kinerja karyawanyang diadakan secara teratur, mendorong masukan dari masyarakat, termasuk apabilaterdapat tuduhan suap, dan penghargaan terhadap praktik-praktik terbaik;193


5.4.3 Menteri-menteri dan aparatur senior pemerintah, termasuk di distrik perlumenerapkan pertanggungjawaban dengan menginformasikan pada warga negara tentangkebijakan dan layanan pemerintah, berkonsultasi dengan pihak-pihak yang berkepentingandan meluangkan waktu bagi media, dan melalui kehadiran secara rutin di Parlemen Nasionaluntuk menjawab pertanyaan dan mendengarkan keprihatinan para Anggota Parlemen.5.4.4 Tuduhan atau bukti adanya patronase, perlakuan istimewa, suap ataupenyalahgunaan aset dan peralatan milik Pemerintah, seberapa kecilpun, akandiselidiki dan ditangani secara langsung dan imparsial dan secara transparan, merekayang dibuktikan bersalah akan dikenakan sanksi yang layak.5.4.5 Anggaran, pengeluaran dan audit departemen-departemen dan instansiPemerintah diterbitkan dan dijadikan sasaran pencermatan publik.5.4.6 Organisasi masyarakat sipil dan media menginformasikan pada para warganegara tentang hak mereka dalam hubungan dengan pemberian layanan danpertanggungjawaban Pemerintah dan mengembangkan cara-cara pengakuan danpenghargaan terhadap praktik terbaik dalam pelayanan publik.5.5 Ombudsman yang efektifSejarah Timor-Leste menunjukkan bagaimana insitusi-institusi pemerintah yang tidakmenghormati kedaulatan hukum, cenderung mempunyai kapasitas yang tidak seimbangyang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Selama hampir semua jangka waktuyang diperiksa oleh Komisi, rakyat Timor-leste hidup tanpa perlindungan kedaulatanhulum yang efektif atau berfungsinya sebuah pemerintahan yang bertanggungjawabsecara finansial. Menjadikan ini sebagai norma-norma adalah tantangan yang besarbagi pemerintah, masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat.Komisi sangat menghargai keputusan Pemerintah untuk mendirikan KantorOmbudsman untuk Hak Asasi Manusia dan Keadilan, dan mengakui peran kunciyang dimainkan oleh lembaga yang mandiri ini dalam melindungi hak asasi manusia diTimor-Leste termasuk hak-hak yang terganggu akibat korupsi di sektor pemerintah.Komisi merekomendasikan agar:5.5.1 Kantor Ombudsman untuk Hak Asasi Manusia dan Keadilan agar dapatmelakukan mandatnya untuk melindungi hak asasi manusia dan untuk mencegahkorupsi secara efektif, diberikan kebebasan penuh dan tingkat pembiayaan sertasumber daya manusia yang memadai; Ombudsman melakukan tinjauan ulang terhadapsemua undang-undang, kebijakan pemerintah dan prosedur yang berhubungan denganpencegahan korupsi, dan melaporkan kepada Parlemen Nasional tentang perubahanperubahanyang diperlukan dalam menciptakan kerangka dan mekanisme hukumyang kuat demi memajukan integritas Pemerintah dan demi mencegah korupsi padasetiap tingkatan administarsi pemerintah.5.5.2 Parlemen menyetujui undang-undang yang direkomendasikan olehOmbudsman, dan semua sektor Pemerintah dan administrasi publik menerapkanrekomendasi-rekomendasi Ombudsman tersebut dan sistem pengawasan yang ketatditerapkan.194


5.5.3 Pemerintah meratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UN Conventionagainst Corruption - UNCAC) yang ditandatanganinya pada bulan Desember 2003.5.5.4 Kantor Ombudsman mengadakan konsultasi secara teratur dengan masyarakatsipil dan masyarakat bisnis tentang masalah korupsi, menggunakan Hari AntikorupsiInternasional pada tanggal 9 Desember untuk meningkatkan kesadaran masyarakattentang kerugian yang akibatkan oleh korupsi terhadap kaum miskin, terhadappembangunan dan investasi asing, dan bekerja sama dengan organisasi-organisasiseperti Transparency International untuk membuat laporan yang menyeluruh danobyektif tentang Timor-Leste sebagai bagian dari Laporan Korupsi Globalnya.5.5.5 Kantor Ombudsman bekerja sama dengan sektor swasta dan Kamar Daganguntuk membuat kode etik anti-korupsi untuk sektor bisnis dan agar sumberdaya danpelatihan disediakan bagi tiap anggota Kamar Dagang.5.5.6 Kantor Ombudsman dikembangkan menjadi lembaga negara yang dianggaprakyat dekat dengan komunitas dan masalah mereka dan yang dapat membantumencari solusi yang cepat dan efektif terhadap kemungkinan atau telah terjadinyapelanggaran hak asasi manusia, termasuk dengan mengembangkan mekanismeperingatan dini di wilayah-wilayah dimana kekerasan diperkirakan muncul.5.6 Komunitas Gereja yang efektifGereja Katolik mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah dan masyarakat Timor-Leste. Meskipun sebagian besar perannya terkompromi selama zaman Portugis, Gerejaadalah pembela hak asasi manusia yang kuat di Timor-Leste selama pendudukanIndonesia sejalan dengan doktrin sosial Gereja Katolik yang didasarkan atas martabatdan nilai setiap manusia. Bersama dengan komunitas religius lainnya, Gerejamempunyai tanggungjawab dan sumberdaya untuk melanjutkan perannya sebagaikekuatan utama hak asasi manusia dalam era demokratik yang baru ini.Komisi merekomendasikan agar:5.6.1 Gereja melanjutkan misinya melindungi dan memajukan hak asasi manusiadi Timor-Leste baik melalui pelayanannya bagi masyarakat dalam bidang kesehatan,pendidikan dan bidang lainnya, serta di mana perlu, melalui advokasi publik dalammembela hak asasi manusia.5.6.2 Gereja, melalui perangkat-perangkatnya untuk keadilan dan perdamaian,menyediakan pelatihan hak asasi manusia bagi semua personalianya, termasuk paraseminaris, calon guru sekolah, para anggota ordo keagamaan dan para katekis.5.6.3 Gereja memikirkan kembali praktik-praktik masa lalu di mana perempuan yangmenjadi korban kekerasan seksual dilarang turut serta dalam kehidupan utuh bergerejakarena praktik ini menambah stigma sosial bagi mereka, dan Gereja dianjurkanmelihat apa yang harus dilakukan bagi para perempuan korban tersebut.5.6.4 Gereja mengembangkan program pendidikan hak asasi manusia yang meliputikomponen tentang hak dan tugas seorang warganegara dan agar program tersebutdisebarluaskan ke masyarakat melalui jaringan paroki dan sekolah-sekolahnya.195


6. Hak asasi manusia di Timor-Leste:pelayanan keamanan yang melindungi danmemajukan hak asasi manusiaMembangun sebuah paradigma baru bagi pelayanan keamanan adalah salah satutantangan terbesar bagi Timor-Leste. Tercakup di sini perlunya meniadakan modelmodellama, terutama selama masa Indonesia, di mana aparat keamanan merupakanalat kekerasan dan bukan untuk melayani masyarakat, merupakan pelaku utamapelanggaran hak asasi manusia, tidak bertanggungjawab kepada kedaulatan hukum atautunduk kepada kontrol sipil dan tidak dipercayai oleh rakyat. Pemisahan peran antaramiliter dan polisi tidak didefinisikan secara jelas dan aparat keamanan berkembangmenjadi berbagai kesatuan milisi, kelompok dan jaringan yang tak terkendali danmempunyai peran dan loyalitas yang berbeda-beda. Militer mempunyai dwi-fungsi,selain peran pertahanan keamanan yang diembannya, juga mensyahkan campurtangan mereka dalam urusan sosial dan politik. Gerakan Perlawanan Timor-lestemengembangkan kebijakan yang mirip pada tahun 1975 saat mereka melepaskan diridari praktik Portugis yang menetapkan bahwa militer tidak boleh terlibat dalam politik(apartidarismo) dan terutama mendekatkan diri dengan Partai Fretilin hingga kebijakanini dihapus dan digantikan oleh praktik kenetralan politik pada tahun 1980an.Komisi mendukung sepenuhnya kebijakan Pemerintah saat ini yang terfokuskan padadibangunnya aparat keamanan yang netral politik dan profesional. Rekomendasirekomendasiberikut ini diharapkan akan memperkuat paradigma baru ini demimelindungi hak asasi manusia di Timor-Leste.6.1 Sebuah kebijakan keamanan yang dapatdipertanggungjawabkanKomisi merekomendasikan agar:6.1.1 Diadakan sebuah program pendidikan bagi masyarakat guna memperdalampengetahuan mereka tentang kebijakan keamanan Timor-Leste dan tentang peran,keterbatasan-keterbatasan dan pertanggungjawaban kepolisian dan angkatanbersenjata.6.1.2 Program pendidikan ini menekankan dan menjelaskan hal-hal berikut ini:• kontrol demokratis terhadap kebijakan keamanan dan aparat keamananoleh otoritas sipil (Presiden, Kabinet dan Parlemen Nasional), sebagaimanaditentukan dalam Konstitusi• tugas aparat keamanan adalah menjunjung hak asasi manusia dalammematuhi kedaulatan hukum sebagaimana tercanang dalam Konstitusidan undang-undang• adalah kewajiban aparat keamanan dan para anggota aparat keamananuntuk tidak terlibat dalam kehidupan politik dan dalam kondisi apapuntidak boleh menggunakan sumber daya yang tersedia bagi aparatkeamanan untuk tujuan politik sebagaimana terjadi di masa lalu196


• tugas aparat keamanan adalah mentaati kebijakan keamanan nasionalsebagaimana dikemukakan oleh Parlemen Nasional guna menjaminagar (a) terdapat pemisahan peran yang jelas; (b) mencegah munculnyapelbagai kelompok peragenan sebagaimana terjadi di masa lalu (c) tidakada gangguan koordinasi yang menyebabkan persaingan antar kelompokdan pelanggaran-pelanggaran seperti yang terjadi di masa lalu; (d)aparat keamanan tidak terpolitisasi sebagaimana terjadi di masa lalu; (e)bahwa anggaran keamanan dan pembelian senjata dan pembagiannyadiawasi dan disetujui oleh Parlemen Nasional; dan (f) hak asasi manusiadari warga sipil tidak dilanggar pada saat-saat krisis nasional (misalnyakeadaaan darurat saat wewenang khusus diberikan pada aparatkeamanan) sebagaimana terjadi di masa lalu• peraturan tentang penangkapan oleh polisi dan hak-hak masyarakatdalam situasi semacam ini agar tidak terulang lagi praktik-praktikpenangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan pelanggaran yangdapat terjadi dalam situasi seperti itu sebagaimana terjadi di masa lalu• peraturan tentang perilaku polisi dalam menangani demonstrasi publik,untuk menjamin agar tidak terjadi pelanggaran berat hak asasi manusiayang terjadi di masa lalu dalam situasi tersebut.6.2 KepolisianKomisi merekomendasikan agar:6.2.1 Parlemen Nasional hendaknya memainkan peran yang aktif sebagai mekanismepengawas sipil tertinggi atas Kepolisian dan menerima laporan-laporan rutin dariMenteri Dalam Negeri yang bertanggung jawab atas Kepolisian dan bertanggungjawab pada Parlemen.6.2.2 Para anggota Kepolisian harus bertanggungjawab atas tindakan mereka apabilamelanggar hukum dan polisi yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia harusdihadapkan ke pengadilan biasa dan tidak dilindungi oleh polisi atau prosedur internal.6.2.3 Ditetapkan prosedur dan mekanisme untuk melaporkan keluhan tentangperilaku polisi, dalam kerjasama dengan Kantor Ombudsman, untuk menghapuspraktik-praktik di masa lalu di mana aparat keamanan menikmati impunitas danmasyarakat mempunyai kemungkinan yang kecil untuk menuntut keadilan.6.2.4 Sebuah perubahan paradigma dalam budaya kepolisian dibina dengan tujuanuntuk menggantikan mentalitas “pasukan polisi” dengan sebuah tekanan yang lebihkuat pada pedekatan pelayanan masyarakat dalam kepolisian.6.2.5 Selain pelatihan teknis, semua anggota polisi, termasuk perwira seniormenerima pelatihan berkelanjutan, tentang teori maupun praktik tentang hak asasimanusia sebagai bagian dari pengembangan professional mereka sebagai pelindunghak asasi manusia.6.2.6 Semua anggota polisi, termasuk perwira senior, menerima pelatihanberkelanjutan mengenai kejahatan berbasis jender dan hak para korban dalam kasussemacam itu.197


6.2.7 Disediakannya pelatihan spesialisasi dan berkelanjutan mengenai pengumpulanbarang bukti, praktek forensik dan cara interogasi yang layak untuk mengurangi resikobahwa polisi akan mengumpulkan bukti dari pengakuan yang diperoleh dibawahpaksaan.6.2.8 Polisi menghormati hak organisasi masyarakat sipil untuk memantau kegiatanpolisi guna menjamin perlindungan hak asasi manusia dan, dalam kerjasama denganorganisasi-organisasi tersebut, dapat mengembangkan prosedur untuk menjamin aksesbagi kegiatan pemantauan tersebut.6.2.9 Para anggota kepolisian Timor-Leste didorong untuk turut serta dalamoperasi penjagaan perdamaian internasional di bawah mandat PBB demi menambahpengalaman mereka tentang praktik terbaik internasional dalam kepolisian.6.3 Angkatan BersenjataKomisi merekomendasikan agar:6.3.1 Parlemen Nasional menetapkan mekanisme pengawasan untuk memastikanbahwa Parlemen mengawasi Angkatan Bersenjata secara efektif.6.3.2 Para anggota angkatan bersenjata harus diperlakukan sebagai warga negaraTimor-Leste, tidak diperlakukan sebagai kasta yang terpisah dan berdiri di atas hukumdan norma-norma masyarakat, sebagaimana terjadi di masa lalu, dan sejalan denganitu, akan diadili di pengadilan biasa apabila terlibat dalam kasus pelanggaran hakasasi manusia.6.3.3 Peran Angkatan Bersenjata terbatas hanya pada pembelaan tanah air dariancaman luar dan membantu rakyat seandainya terjadi bencana non-militersebagaimana ditentukan oleh Parlemen Nasional; penggunaan militer sebagai alatrepresi dalam negeri, sebagaimana terjadi di masa lalu, dilarang di Timor-Leste;6.3.4 Para anggota Angkatan Bersenjata pada semua tingkat tidak boleh memainkanperan dalam dunia politik atau bisnis dan hanya boleh menerima perintah darilembaga-lembaga negara yang berwenang secara hokum.6.3.5 Pengembangan kesatuan-kesatuan sipil sebagai perpanjangan dari militermelalui kelompok-kelompok semi-militer atau atau kelompok-kelompok intelijendilarang karena di masa lalu praktik semacam itu telah menyebabkan pelanggaranhak asasi manusia dan menjadi penyebab utama timbulnya perpecahan dalammasyarakat.6.3.6 Pelatihan berkelanjutan menyangkut hak asasi manusia internasional, hukumhumaniter internasional dan pendidikan kewarganegaraan diberikan pada paraanggota Angkatan Bersenjata, termasuk para perwira senior.6.3.7 Dialog berkelanjutan antara organisasi-organisasi hak asasi manusia tingkatnasional dengan Angkatan Bersenjata tentang hak asasi manusia dan peran masyarakatsipil dan peran militer profesional dalam demokrasi dianjurkan.198


6.3.8 Para anggota Angkatan Bersenjata didorong untuk turut serta dalam operasipenjagaan perdamaian internasional di bawah mandat PBB demi menambahpengalaman mereka tentang praktik terbaik internasional dalam militer.6.3.9 Angkatan Bersenjata agar tidak melakukan kegiatan pelatihan bersama denganmiliter dari negara lain yang diketahui dan terbukti mempunyai catatan hak asasimanusia yang buruk dan apabila ada keraguan tentang hal ini, hendaknya ParlemenNasional yang memutuskan tepat tidaknya pelatihan itu.6.4 Badan-badan keamanan lainSelain angkatan bersenjata dan polisi, berbagai kelompok dan jaringan keamananberbasis komunitas bermunculan dari kedua pihak selama masa konflik. Kelompokkelompokyang berpihak pada Indonesia secara khusus adalah bagian dari doktrin‘pertahanan rakyat semesta’ dan dengan demikian didukung dan dipersenjatai olehnegara dan bertanggung jawab atas serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yangdilakukan tanpa dikenai hukuman.Guna memastikan agar hal ini tidak terulang lagi di Timor-Leste dan merugikan hakasasi manusia, Parlemen Nasional harus bertanggungjawab atas kesalahan pokok atasmasalah dan kebijakan keamanan.Komisi merekomendasikan agar:6.4.1 Badan-badan keamanan negara seperti badan-badan kesatuan intelijen harusdiatur secara tegas oleh hukum, diawasi dan diminta pertanggungjawabannya apabilatindakan-tindakan mereka menyimpang dari mandat hokum mereka.6.4.2 Para perwira yang bekerja di badan-badan keamanan ini hendaknya ikut sertadalam pelatihan tentang peran badan-badan tersebut dalam sebuah negara demokratikdan juga menerima pelatihan tentang hak asasi manusia.6.4.3 Badan-badan intelijen dan keamanan negara perlu dikoordinasi dan tundukpada pengawasan Parlemen.6.4.4 Undang-undang ditetapkan oleh Parlemen Nasional tentang badan-badankeamanan yang bukan badan negara di mana, antara lain, ditentukan bahwaperusahaan sekuriti swasta diwajibkan menerima pelatihan dari Kepolisian danpelatihan dalam hak asasi manusia dan semua badan-badan sekuriti swasta tersebutwajib terdaftar.199


7. Keadilan dan kebenaranApa yang terjadi pada tanggal 20 Agustus 1982 banyak orangkita yang meninggal, para perempuan diperkosa, menjadi janda,anak-anak kehilangan orangtuanya, banyak yang jatuh ke dalamkemiskinan, banyak yang masih trauma…apakah hanya denganmengambil statemen dari rakyat, bisa menyelesaikan [masalahkita] dan menyembuhkan hati kita yang terluka? Apakah denganmembawa orang-orang yang melakukan kejahatan ke pengadilan,bisa mengobati hati kita yang terluka?Surat dari rakyat desa Mauchiga (Hatu Builico, Ainaro) 31 Mei 2003Komisi telah mendengarkan pengalaman para korban pelanggaran-pelanggaran berathak asasi manusia dari semua distrik di Timor-Leste. Dalam mencatat hampir 8000pernyataan individu dan mendengarkan kesaksian mereka di acara-acara audiensi publikpada tingkat nasional, sub-distrik dan desa, Komisi telah berupaya untuk memahamilebih baik tentang tuntutan rakyat akan keadilan bagi kejahatan yang telah terjadi dimasa lalu. Komisi memahami bahwa tuntutan dan kebutuhan tiap-tiap korban mungkinberbeda, dan bahwa satu solusi saja tidak mungkin dapat memenuhi semua kebutuhandari semua korban. Dari hubungan yang telah dijalin dengan para korban pelanggaranberat hak asasi manusia di Timor-Leste, Komisi menyimpulkan bahwa tuntutan akankeadilan dan pertanggungjawaban tetap masih merupakan masalah mendasar dalamhidup banyak orang Timor-leste dan adalah suatu kendala potensial dalam membangunmasyarakat demokratik didasarkan pada penghormatan terhadap kedaulatan hukum danrekonsiliasi yang sejati antara para individu, keluarga, komunitas dan bangsa.Komisi telah menyelesaikan tugasnya dalam mencari kebenaran tentang pelanggaranhak asasi manusia yang terjadi di masa lalu. Komisi mampu melakukan tugasnyaberkat iktikad yang baik terhadap para korban serta dengan menghormati martabatmereka dan hak mereka untuk menuntut keadilan atas kejahatan yang dilakukanterhadap mereka. Komisi berpendapat bahwa kebenaran adalah basis fundamentaluntuk mengejar keadilan dan membangun hubungan yang baru yang didasarkan padakejujuran dan saling menghormati. Selain langkah-langkah yang perlu diambil yangberkaitan dengan keadilan, Komisi berpendapat bahwa kebenaran harus ditetapkandalam Laporan Akhirnya agar dapat dibaca secara luas oleh rakyat Timor-Leste danoleh generasi mendatang, dan oleh Pemerintah dan rakyat berbagai negara yangmempunyai keterlibatan dalam sejarah Timor-Leste. Pelestarian, penyebaran sertapengembangan materi pendidikan semuanya adalah aspek-aspek penting yangharus ditindaklanjuti, sebagai warisan dari kegiatan Komisi dan untuk menghargaikepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat Timor-Leste kepada Komisi.7.1 Keadilan untuk pelanggaran dari masa laluTemuan laporan ini menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yangterjadi di Timor-Leste tersebar sepanjang sebagian besar periode 25 tahun mulaitahun 1974 hingga 1999. Masyarakat internasional telah menunjukkan kengeriannyaakan kejahatan yang terjadi pada tahun 1999, saat dunia menyaksikan pelanggaranpelanggaransistematis, yang diperburuk oleh kegagalan pemerintah Indonesia200


memenuhi kewajibannya menjamin keamanan. Faktor tambahan dalam kemarahandunia internasional adalah pembunuhan staf PBB yang terjadi dalam kekerasankekerasansekitar saat Konsultasi Rakyat.Seberapa buruknya kejadian-kejadian itu, kejahatan yang terjadi pada tahun 1999jauh lebih berat daripada kejahatan-kejahatan yang telah terjadi selama 24 tahunpendudukan sebelumnya dan tidak dapat dipahami atau ditanggapi secara baik tanpamengakui fakta-fakta seputar konflik berkepanjangan yang terjadi. Komisi didirikanpada waktu yang bersamaan dengan Unit Kejahatan Berat dan Panel Khusus untukKejahatan Berat, sebagai bagian dari upaya memerangi impunitas dan perjuanganuntuk mencapai rekonsiliasi yang sejati.Komisi mengakui berbagai kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat internasional danbeberapa Pemerintah yang terlibat dalam upaya mencari penyelesaian bagi masalahkejahatan berat tahun 1999. Komisi mencatat bahwa, dalam proses ini, masyarakatinternasional memberikan sedikit perhatian atau tidak sama sekali, terhadap masalahkeadilan untuk kejahatan berat yang dilakukan di Timor-Leste selama 23 tahunsebelum terjadinya kekerasan tahun 1999. Sekarang Komisi telah melaporkan tentangkebenaran terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut, dan adalah bagian darimandatnya untuk menarik kesimpulan yang layak berdasarkan prinsip-prinsip hukuminternasional dan tidak berdasarkan atas pertimbangan politik. Temuan Komisimenunjukkan bahwa belum ada langkah-langkah keadilan yang layak atas kejahatanterhadap kemanusiaan yang dilakukan di Timor-Leste selama jangka waktu 25 tahunyang dicakup oleh mandat Komisi. Berdasarkan mandat Komisi, yang berlandaskanpenghargaan terhadap hukum internasional, Komisi menyimpulkan bahwa keadilanuntuk kejahatan di masa lalu harus mencakup pelanggaran-pelanggaran yangdilakukan selama jangka waktu 25 tahun dari mandat tersebut.Warisan dari kurangnya keadilan selama bertahun-tahun pelanggaran hak asasimanusia ini bermacam-macam. Akibatnya bagi Timor-Leste dan Indonesia, adalahbahwa impunitas telah menjadi praktik yang mengakar. Mereka yang merencanakan,memerintahkan, melakukan dan bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasimanusia yang paling berat pun belum diminta pertanggungjawabannya, dan banyak diantara mereka yang karir militer dan sipilnya malah berkembang oleh karena aktifitasaktifitasmereka. Dalam konteks seperti ini, penghormatan terhadap kedaulatanhukum dan institusi-institusi negara yang bertanggungjawab atas pemerintahan, yangmerupakan tonggak-tonggak fundamental dalam transisi demokratik di Indonesiadan pembangunan kebangsaan di Timor-Leste, akan senantiasa lemah.Konflik di Timor-Leste bersifat internal selama konfrontasi pada bulan Agustus-September 1975, saat Timor masih merupakan wilayah yang berpemerintahan sendiridi bawah pemerintahan Portugis. Dengan masuknya Indonesia ke dalam wilayahTimor-Leste, sejak Oktober 1975, konflik merebak menjadi konflik internasional. Lepasdari jenis konflik itu sendiri, kejahatan yang dilakukan selama masa panjang ini telahmencapai tingkat yang begitu ekstrim sehingga sudah merupakan tanggungjawabmasyarakat internasional.Selain jenis kejahatan yang terjadi, kondisi di mana kejahatan tersebut terjadimelibatkan tanggungjawab masyarakat internasional. Komisi diyakinkan bahwaNegara Timor-Leste yang masih baru dan masih rentan keberadaannya, tidak dapatdiharapkan sendiri menanggung beban berat dari tugas mengejar keadilan. Jugamerupakan suatu keprihatinan bahwa Negara Indonesia belum pernah menunjukkan201


iktikad baik dalam membawa para pelaku ke hadapan proses pertanggungjawaban,bukan saja untuk kejahatan yang dilakukan pada tahun 1999, tapi untuk kejahatanapapun yang dilakukan selama masa pendudukan. Karena itu, Komisi berpendapatbahwa suatu pendekatan definitif untuk mencapai keadilan atas kejahatan yangdilakukan di Timor-Leste harus bertumpu pada komitmen masyarakat internasional,terutama PBB. Mereka harus memberikan dukungan tak bersyarat pada lembagalembagakeadilan yang kuat, yang dapat bertindak secara independen terhadap situasipolitik di dalam dan di luar Timor-Leste.Komisi sadar bahwa rumusan apapun bagi penyelesaian impunitas dalam kejahatanyang dilakukan dalam 24 tahun konflik dan pendudukan akan merupakan rumusanyang rumit dan sulit dicapai. Tetapi, setidaknya beberapa elemen harus diidentifikasi.Rumusan apapun yang mencari keadilan untuk para korban harus didasarkan padapenghormatan terhadap hukum internasional dan pada jaminan akan proses yang benar.Pada sisi yang sama, rumusan apapun bagi keadilan memerlukan dukungan praktisbukan saja dari PBB melainkan juga dari tiap-tiap negara-negara, yang siap untukmembantu proses keadilan dalam berbagai cara. Pada akhirnya, tanggapan apapunterhadap impunitas harus tertantang bagaimana caranya memastikan bahwa pelakuutama pun bertanggungjawab, lepas dari perlindungan yang mereka nikmati saat ini.Komisi menyadari bahwa ketika laporan ini diterbitkan, Komisi Ahli Internasionalyang ditunjuk oleh Sekretaris Jendral PBB untuk meninjau proses keadilan untuk1999 telah mengeluarkan rekomendasi-rekomendasinya. Dengan demikian, sementaraLaporan ini akan mengemukakan berbagai pemikiran tentang kasus-kasus tahun 1999,kami juga akan mengikutsertakan rekomendasi-rekomendasi tentang kejahatan yangdilakukan sebelum 1999 yang sayangnya, menerima perhatian yang sangat kurang.Komisi merekomendasikan agar:7.1.1 Unit Kejahatan Berat dan Panel-panel Khusus di Timor-Leste agar diperbaharuimandatnya masing-masing oleh PBB dan sumberdaya yang mereka miliki ditingkatkanagar dapat melanjutkan penyelidikan dan mempersidangkan kasus-kasus yang terjadiselama periode tahun 1975-1999;7.1.2 Pembaharuan mandat perlu didasarkan atas kondisi-kondisi yang mendasaripembentukan lembaga-lembaga tersebut pada mulanya – yaitu, bergantung secaralangsung pada PBB dan tidak pada sistem peradilan nasional Timor-Leste yang baruberdiri dan yang belum siap menangani tantangan-tantangan teknis dan politik darikasus-kasus tersebut.7.1.3 Berhubungan dengan kejahatan yang dilakukan sebelum 1999, hendaknyapekerjaan Unit Kejahatan Berat mencakup investigasi dan persiapan persidangankasus-kasus dari periode sejarah berikut ini, yang diputuskan oleh Komisi merupakankasus contoh dan sangat penting dalam hal skala dan jenis pelanggaran hak asasimanusia yang terjadi:• Pembunuhan terhadap pemuda yang berafiliasi dengan Fretilin diManufahi pada atau sekitar tanggal 28 Agustus 1975 oleh para pelaku yangberkaitan dengan UDT.• Pembunuhan terhadap para tahanan yang berkaitan dengan UDT danApodeti oleh pelaku yang berhubungan dengan Fretilin di Aileu, Maubissedan Same pada bulan Desember 1975 dan Januari 1976.202


• Pembantaian terhadap warga sipil yang dilaporkan terjadi di Desa Kooleudi Distrik Lautém oleh para pelaku yang mempunyai hubungan denganFretilin pada bulan Januari 1976.• Pembunuhan terhadap anggota Fretilin dan sekutu-sekutunya olehanggota dan sekutu Fretilin lainnya selama perpecahan partai pada tahun1976, dan terutama 1977.• Pembantaian terhadap warga sipil di Dili pada hari invasi besar-besarandari militer Indonesia tanggal 7 Desember 1975, dan pembunuhanpembunuhanyang terjadi pada hari-hari berikutnya.• Operasi-operasi pengepungan dan penghancuran oleh militer Indonesiapada tahun 1977-79.• Pembantaian terhadap warga sipil oleh aparat keamanan Indonesia yangterjadi di dan sekitar Desa Kraras, Distrik Viqueque, mulai tahun 1983.• Kebijakan dan praktek mengasingkan warga sipil ke pulau Ataúro mulaidari awal tahun 1980-an.• Pembantaian Santa Cruz pada tanggal 12 November 1991, dan penahanan,penyiksaan dan pembunuhan yang dilaporkan berkaitan dengan kejadian itu.7.1.4 Unit Kejahatan Berat yang telah diperbaharui mandatnya menyiapkan dakwaanbagi kasus-kasus di atas dan Panel-panel Khusus, sesudah mengkaji ulang secaralayak, mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap mereka yang dituduhmelakukan kejahatan-kejahatan berkaitan dengan tiap-tiap kasus tersebut danmeminta dialihkannya para tertuduh tersebut kepada otoritas mereka;7.1.5 Lembaga-lembaga angkatan bersenjata Indonesia dan mereka yang memegang tanggungjawab komando yang disebut dalam Bagian 8: Pertanggungjawaban dan Akuntabilitasdari Laporan ini, untuk kejahatan selain yang tercantum dalam daftar di atas, hendaknyadiinvestigasi secara terfokus dan dituntut oleh pihak yang berwenang di Indonesia.7.1.6 Daftar para pelaku yang diduga bertanggungjawab yang diserahkan padaPresiden Timor-Leste oleh Komisi agar dirujuk pada Kantor Kejaksaan Agung untukpenyelidikan dan tindakan selanjutnya.7.1.7 PBB menetapkan prosedur pelestarian dan pengelolaan semua bukti yangdikumpulkan oleh Unit Kejahatan Berat, sehingga materi ini dapat digunakan untukpenuntutan sebagaimana seharusnya dan agar dukungan teknis dan keuanganberkelanjutan yang diperlukan untuk itu disediakan oleh PBB.7.1.8 Semua bukti yang dikumpulkan oleh CAVR, Komnas HAM Indonesia danPengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia mengenai Timor-Leste dan lain-lainnya dijagasecara layak sehingga materi ini dapat digunakan untuk penuntutan sebagaimana perlu.7.1.9 Masyarakat internasional mendesak Indonesia dan mendukung upaya Indonesiauntuk mendeklasifikasi atau membukakan semua informasi yang berada dalam tanganpasukan keamanan Indonesia sehingga materi itu dapat digunakan dalam prosesprosesperadilan.7.1.10 Diciptakannya suatu sistem perlindungan yang layak bagi korban dan saksisebagai bagian dari proses keadilan, baik untuk kejahatan yang dilakukan pada tahun1999 dan kejahatan yang dilakukan dalam tahun-tahun sebelumnya.203


7.1.11 Dalam semangat rekonsiliasi yang sesungguhnya serta dengan maksud untukmemperkuat sistem demokratiknya sendiri yang baru tumbuh, Indonesia didoronguntuk memberikan sumbangan terhadap pencapaian keadilan dengan (a) mentransfermereka yang dituduh melalukan kejahatan yang saat ini tinggal di Indonesia kewewenang Panel-panel yang diperbaharui, dan (b) memperkuat kemandirian danefisiensi sistem peradilannya sendiri agar dapat benar-benar mengejar keadilan danmenghapuskan noda impunitas yang sayangnya telah menjadi hal yang lumrahberkaitan dengan kejahatan yang dilakukan di Timor-Leste.7.1.12 Masyarakat internasional menunjukkan komitmennya terhadap proses keadilandan proses Kejahatan Berat dengan, antara lain:• memastikan bahwa aparat penegak hukum mereka dapat mentransfer paratertuduh kepada mekanisme Kejahatan Berat yang didirikan oleh PBB, untukmengadili para tertuduh menurut hukumnya sendiri atau untuk mengekstradisimereka ke yurisdiksi yang benar-benar berniat mengadili mereka.• memastikan bahwa orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatanyang diuraikan dalam Laporan ini tidak diperkenankan melanjutkankarier mereka, tanpa memandang kejahatan apa yang mereka lakukan.• mendirikan sebuah badan investigasi tertentu di bawah naungan PBBuntuk menyelidiki besaran, jenis dan keberadaan aset milik mereka yangdituduh melakukan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste.• membekukan aset-aset dari mereka yang didakwa melakukan kejahatankemanusiaan di Timor-Leste, tunduk pada hukum nasional daninternasional, dan menantikan persidangan kasus-kasus di hadapanpengadilan yang berkaitan.• Memberlakukan larangan melakukan perjalanan terhadap mereka yangdituduh melakukan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste.• Menghubungkan bantuan dan kerjasama internasional denganlangkah-langkah tertentu yang diambil oleh Indonesia menujupertanggungjawaban, seperti bekerjasama dalam proses-proses KejahatanBerat, pemeriksaan terhadap para pelaku yang masih terus berkariersebagai aparat negara, dan pemeriksaan terhadap aparat keamananIndonesia dalam misi penjagaan perdamaian dan program-programpelatihan guna menjamin bahwa para tertuduh tidak turut serta.7.2 Pengadilan InternasionalKomisi merekomendasikan agar:7.2.1 PBB dan semua organ-organnya, khususnya Dewan Keamanan, terus waspadaterhadap masalah keadilan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Leste selamadiperlukan, dan bersiap untuk menetapkan sebuah Pengadilan Internasional berdasarkanBab VII Piagam PBB apabila langkah-langkah lain dianggap telah gagal memberikankeadilan yang cukup dan apabila Indonesia terus menghalangi keadilan.204


7.3 Komisi Kebenaran dan PersahabatanSaat Laporan ini hampir selesai, Pemerintah Timor-Leste dan Indonesia mengumumkandidirikannya Komisi Kebenaran dan Persahabatan (Commission for Truth andFriendship - CTF), sebuah mekanisme pencarian kebenaran bilateral yang bertujuanmengkaji ulang kejahatan-kejahatan yang terjadi pada tahun 1999.Komisi (CAVR) percaya bahwa tidak ada yang bisa menangguhkan hak korban akankeadilan dan menuntut apa yang telah hilang. Komisi beranggapan bahwa setiap upayaupayatambahan dalam pencarian kebenaran yang berhubungan dengan kejahatan yangdilakukan pada tahun 1999 harus dilaksanakan dengan niat baik, dalam pengertianbahwa tindakan tersebut memperkuat, bukannya melemahkan kesempatan untukmendapatkan keadilan atas kejahatan. Walaupun pada saat yang bersamaan, CAVRmengakui bahwa hasil investigasinya masih meninggalkan beberapa aspek untukpenelitian lebih lanjut, tetapi Komisi percaya bahwa hasil kerjanya dan Unit KejahatanBerat dan Panel Khusus harus dihargai dan dilindungi dari penyangkalan. Setiapupaya pencarian kebenaran tambahan harus saling melengkapi, tidak bertentangandengan pekerjaan yang telah dilakukan.Komisi merekomendasikan agar Pemerintah dan Parlemen Indonesia dan Timor-Leste:7.3.1 Menjamin bahwa Komisi Kebenaran dan Persahabatan diijinkan untuk bertindaksecara independen, imparsial dan obyektif dan membuat rekomendasi-rekomendasiyang layak menurut pendapatnya, termasuk kemungkinan adanya persidangan pidanaselanjutnya dan kebijakan pemberian reparasi bagi para korban.7.3.2 Mengharuskan agar nama-nama para pelaku yang tuduh dibersihkan olehKomisi Kebenaran dan Persahabatan hanya jika hal ini didasarkan pada prosesperadilan yang konsisten dengan standar internasional.7.3.3 Mengharuskan Komisi Kebenaran dan Persahabatan menghormati secarapenuh peraturan berkaitan dengan akses terhadap informasi, di mana informasitersebut diberikan berdasarkan jaminan kerahasiaan pada lembaga-lembagasebelumnya, seperti Komisi ini atau badan-badan Kejahatan Berat, demi menjagakeselamatan para korban dan saksi.7.4 Penyebaran Laporan Akhir di Timor-LesteLaporan Akhir Komisi adalah dokumen nasional penting bagi Timor-Leste dan jugapenting secara internasional. Rekomendasi-rekomendasi tentang penyebarannyaterkandung dalam Bagian mengenai Timor-Leste dan masyarakat internasional (diatas). Meski laporan ini dibuat untuk memenuhi kewajiban hukum Komisi, Laporanini akan terus penting bagi generasi-generasi mendatang Timor-Leste dan dengandemikian harus dapat diakses secara luas.Komisi merekomendasikan agar:7.4.1 Laporan Akhir diterjemahkan ke dalam Bahasa Tetum dan disebarkan secara luasdi Timor-Leste sehingga generasi kini dan mendatang dapat mengakses isi Laporan ini.7.4.2 Kementerian Pendidikan Timor-Leste bekerja sama dengan lembaga peneruspasca-CAVR untuk menggunakan Laporan Akhir dan materi-materi Komisi lainnya205


dalam perancangan kurikulum dan materi pendidikan lainnya berkaitan dengan hakasasi manusia, rekonsiliasi, sejarah, hukum, studi tentang jender dan bidang-bidangstudi lainnya yang relevan.7.4.3 Pemerintah Timor-Leste dan mitra donor internasional mendukungdiperbanyaknya Laporan Akhir dan materi-materi terkait untuk memungkinkankesinambungan program pendidikan ini.7.5 Arsip-arsip CAVRKomisi telah menjaga dan mengatur arsip-arsipnya sejalan dengan kewajiban hukumnyayang ditetapkan dalam Regulasi 10/2001. Arsip-arsip tersebut adalah bagian unik dariwarisan nasional Timor-Leste dan terdiri dari ribuan catatan multi-media yang telahdipercayakan pada Komisi oleh perorangan, keluarga-keluarga dan masyarakat diseluruh Timor-Leste, selain juga organisasi-organisasi nasional dan internasional danpemerintah-pemerintah. Kebanyakan kesempatan untuk mengumpulkan informasidan bahan-bahan ini tidak akan terulang lagi. Sehingga arsip ini hendaknya melandasiupaya-upaya berkelanjutan untuk mengumpulkan, memulihkan dan menyediakanbahan-bahan sejarah yang penting untuk rujukan, penelitian dan penggunaanselanjutnya. Dukungan nasional dan internasional akan terus diperlukan dalammemastikan pelestarian dan pengembangan koleksi ini untuk menjadikannya salahsatu sumber yang terbaik.Komisi merekomendasikan agar:7.5.1 Parlemen Nasional Timor-Leste mengesahkan undang-undang nasional yangmengatur pelestarian, pengaturan dan penggunaan arsip-arsip nasional.7.5.2 Arsip-arsip Komisi tetap dipelihara di tempat bekas Comarca Balide dandikelola sebagai bagian dari arsip resmi nasional sesuai dengan kebijakan akses yangdiputuskan oleh para Komisaris CAVR hingga saat ketentuan-ketentuan legislatifnasional telah ditetapkan.7.5.3 Arsip-arsip ini menjadi bagian dari sebuah pusat hak asasi manusia yang aktifyang akan dikembangkan di tempat bekas Comarca Balide yang tujuannya secarakeseluruhan adalah untuk mengenang, menghargai dan belajar dari sejarah hak asasimanusia Timor-Leste.7.5.4 Dukungan finansiil diberikan oleh Pemerintah untuk pemeliharaandan pengembangan pusat ini dan program penelitian dan pendidikan yangberkelanjutan.7.5.5 Pemerintah Indonesia diminta mengembalikan kepada bekas Comarca Balide,dokumen-dokumen apapun yang ada pada mereka yang berkaitan dengan pengelolaanpenjara tersebut antara tahun 1975 dan 1999, agar dokumen-dokumen tersebut dapatditambahkan pada arsip yang telah ada.7.5.6 Pemerintah Portugal diminta mengembalikan kepada bekas-Comarca Balide,dokumen apapun yang ada pada mereka yang berkaitan dengan pembangunan danpengelolaan penjara tersebut sebelum tahun 1975.206


8. RekonsiliasiJeritan Anak Bangsa *Saat itu terdengar suara bisikan nan indahDetik-detik proklamasi kemerdekaan Timor LorosaeTapi mengapa anak-anak masih bergolak ke segela arahLorosae20 Mei adalah hari kemerdekaan pertamaHari dimana engkau akan merasakah kebahagiaan yangsungguh tiada taraHari dimana engkau akan menyaksikan dan mendengar anakanakmu ramai bertepuk tanganTertawa terbahak-bahak dan saling berpelukanTapi mengapa diantara mereka masih nampak wajah-wajahyang murungMasih terdengar suara rintihan dan penderitaanEngkau tidak merasa kekurangan dan kehilangan kah,Lorosae?Selama mandatnya, Komisi menyadari dengan prihatin berbagai perpecahan yangterdapat di antara rakyat Timor-Leste. Pada saat ditulisnya rekomendasi-rekomendasiini, diperkirakan bahwa ribuan rakyat Timor-Leste masih tinggal di Indonesia,kebanyakan di Timor Barat, dan bahwa sebagian besar dari mereka ini telah memilihmenjadi warganegara Indonesia. Beberapa di antaranya tinggal di kamp-kamp pengungsi,sedangkan ada pula yang telah membangun hidup baru dalam ‘pengasingan’. Perpecahanperpecahanini tidak saja terdapat antara orang Timor-Leste yang tinggal di Timor-Lestedan mereka yang tinggal di Indonesia, melainkan terdapat juga antara masyarakat kitasendiri di dalam negeri Timor-Leste yang baru merdeka. Meski sejumlah perpecahan iniyang disebabkan oleh ketegangan dan masalah baru, seringkali asal usul konflik yangsekarang ini dapat dilacak ke perpecahan-perpecahan yang terjadi di masa lalu.Komisi menanggapi perpecahan-perpecahan tersebut dengan pendekatan multi-level.Pada tingkat pimpinan nasional, para pemimpin partai diminta untuk secara publik,menjelaskan apa yan terjadi selama perang sipil tahun 1975. Hari keempat AudensiPublik Nasional CAVR tentang Konflik Politik Internal tahun 1974-76 pada bulanDesember 2003 adalah suatu tonggak penting dalam sejarah kehidupan politik Timor-Leste dan saat yang penting bagi semua rakyat Timor-Leste untuk dapat memahamilebih lanjut tentang peristiwa-peristiwa selama periode tragis ini dan mendengarkanpara pemimpin menyatakan tanggungjawabnya masing-masing.Pada tingkat akar rumput, Komisi memfasilitasi sebuah proses mediasi di mana parapelaku kejahatan yang lebih ringan dan merugikan masyarakat setempatnya, secarasukarela dan terbuka mengakui kesalahannya sehingga mereka dapat direkonsiliasikandengan komunitas mereka. Lebih dari 1400 pelaku yang turut serta dalam proses inidan berhasil menjalani proses rekonsiliasi komunitas.*Puisi yang dibacakan dan ditulis oleh Edy M Parada, seorang anak dari Viqueque yang tinggal di kamp pengungsi Naibonat di TimorBarat, Indonesia, diputarkan dari rekaman video selama Audiensi Publik Nasional CAVR tentang Anak and Konflik, 29-30 Maret 2004.207


Komisi berpendapat bahwa agar proses rekonsiliasi ini berjalan dengan efektif diTimor-Leste, proses ini harus melibatkan individu, keluarga-keluarga dan kelompokkelompokmasyarakat dari semua sisi konflik politik, harus mencapai tingkat-tingkattertinggi pimpinan nasional dan berlanjut dalam tahun-tahun mendatang.8.1 Rekonsiliasi dalam masyarakat umumKekerasan banyak terjadi pada tingkat masyarakat selama periode tahun 1974-1999.Kekerasan dari perang sipil yang meletus di Dili pada tahun 1975 dengan cepatmenyebar ke komunitas-komunitas lainnya, mengadu tetangga dengan tetangga danbahkan mengadu sanak keluarga satu dengan lainnya. Militer Indonesia menciptakanorganisasi-organisasi perpanjangan intelijen dan paramiliter yang anggota-anggotanyaterlibat dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang-orang dikomunitas mereka. Pada akhir tahun 1998 dan pada tahun 1999, kegiatan kelompokkelompokmilisi yang dibentuk oleh TNI lebih menteror dan memecah belah berbagaikomunitas.Dari program Proses Rekonsiliasi Komunitas (Community Reconciliation Process- CRP) yang dijalankan oleh Komisi, nampak jelas kebutuhan berkelanjutan untukmembantu berbagai komunitas untuk menangani perpecahan-perpecahan yangdisebabkan oleh konflik politik yang berkepanjangan. Komisi memuji berbagaimasyarakat desa akan cara mereka mengadaptasi Proses Rekonsiliasi Komunitassupaya cocok dengan situasi lokal masing-masing. Komisi juga menghargai keberanianmereka yang berbicara dengan jujur dan terbuka tentang apa yang mereka lakukanyang merugikan individu dan masyarakat dan berupaya agar diterima kembali sebagaianggota penuh komunitas mereka sekali lagi. Komisi juga memberikan penghargaanyang sebesar-besarnya terhadap mereka yang telah disalahi dan meski demikianmampu dalam hati nuraninya untuk menerima kembali individu yang telah menyalahimereka. Komisi juga memberikan penghormatan khusus pada para pemimpin adatyang memberikan dukungan dan wewenang yang khas pada proses-proses ini.Berdasarkan pengalaman-pengalaman bersama dengan masyarakat ini, Komisi mengetahuibahwa rekonsiliasi bukan merupakan suatu hal yang mudah atau dapat diselesaikandengan cepat. Tidak dapat dicapai dengan satu langkah saja, atau dengan satu cara saja,dan orang tidak dapat diwajibkan untuk melakukan rekonsiliasi berdasarkan keinginansebuah lembaga atau oleh suatu negara. Tapi jelas pula di sini bahwa masyarakat, korbandan mereka yang merugikan masyarakatnya seringkali bersedia menerima bantuan yangmembantu mempersatukan mereka agar dapat menyelesaikan masalah-masalah masalalu demi masa depan yang damai. Komisi juga berpendapat bahwa masih banyak yangharus dilakukan untuk menjamin suasana damai yang dicapai oleh berbagai komunitasdi seluruh Timor-Leste sejak berakhirnya konflik.Komisi merekomendasikan agar:8.1.1 Pemerintah Timor-Leste mendirikan sebuah mekanisme yang berpusatkanpada masyarakat untuk mencegah dan menyelesaikan konflik, berdasarkan padapengalaman dari Proses Rekonsiliasi Komunitas CAVR, dan bahwa mekanisme inidimandatkan melalui undang-undang, dan diselenggarakan oleh sebuah lembaganasional yang independen yang bekerja bersama dengan Kehakiman, polisi dan pihakyang berwenang di tingkat lokal.208


8.1.2 Prinsip dasar mekanisme ini adalah guna membantu masyarakat menyelesaikankonflik atau masalah setempat dalam kerangka kerja yang konsisten dengan kedaulatanhukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk kesetaraan antaraperempuan dan laki-laki, tapi yang juga menghormati proses-proses adat dankeragaman budaya di Timor-Leste.8.1.3 Mekanisme ini agar mempunyai fokus yang jelas terhadap peningkatankapasitas para fasilitator komunitas setempat akan pencegahan dan penyelesaiankonflik dan membantu kawula muda untuk membangun budaya dan kemampuanmenyelesaikan konflik secara damai.8.1.4 Mekanisme ini agar dimandatkan untuk menangani konflik politik masa laluyang telah terjadi di Timor-Leste, maupun tantangan-tantangan terhadap perdamaiandan stabilitas masyarakat masa kini.8.1.5 Lembaga pasca-CAVR yang direkomendasikan di bagian lain dari Laporan inidiminta untuk mengadakan konsultasi dengan Pemerintah dan masyarakat tentangusulan ini dan untuk mengajukan draf kerangka acuan untuk mekanisme ini kepadaParlemen Nasional.8.1.6 Jaksa Agung untuk memutuskan dalam jangka waktu tiga bulan setelahdikeluarkannya Laporan ini tentang tindakan-tindakan yang akan diambil dalamhubungan dengan 85 kasus tertunda dari Proses Rekonsiliasi Komunitas yang masihmenantikan putusan beliau, mengingat semua pihak dalam kasus-kasus tersebutmeminta bantuan Komisi dengan iktikad baik, dan agar beliau memberitahukanputusannya tentang setiap kasus pada tiap pihak yang bersangkutan dan komunitasmasing-masing.209


9. Rekonsiliasi dalam kalangan politik Timor-LesteKomisi berusaha memahami sebab-sebab yang mendasari konflik politik di Timor-Leste dankekerasan yang dilakukan oleh orang Timor-Leste dan anggota militer Indonesia. Komisimendengarkan keterangan dari korban kekerasan dari semua pihak, dan mewawancarai semuapemimpin politik dari semua sudut pandang, termasuk mengadakan wawancara di Indonesia.Komisi yakin bahwa perpecahan yang begitu dalam yang terdapat dalam tubuh masyarakatTimor-Leste dari 25 tahun konflik, dan kekerasan yang merasuki kehidupan politik Timor-Lestepada tahun 1975, tetap menjadi rintangan yang mungkin menghambat perkembangan budayademokrasi dan perdamaian yang berkesinambungan di Timor-Leste.Kekerasan dan intimidasi tidak punya tempat dalam kehidupan politik Timor-Leste – risikonyaterlalu besar. Kerendahan hati yang ditunjukkan oleh para pemimpin politik yang memberikankesaksian pada Audiensi Publik Nasional tentang Konflik Politik Internal tahun 1974-76 dantanggapan positif dari masyarakat terhadap keterbukaan mereka, membesarkan hati Komisi.Namun, masih banyak yang harus dilakukan untuk memulihkan luka yang dalam yang terjadidari masa itu dan mengkonsolidasikan perkembangan kehidupan politik yang pluralistis dandamai di Timor-Leste.Komisi merekomendasikan agar:9.1 Semua partai politik memastikan bahwa prinsip-prinsip universal hak asasi manusiayang terkandung dalam Konstitusi Timor-Leste dihormati sepenuhnya dalam semua kebijakandan praktik masing-masing partai.9.2 Semua partai politik agar menghormati kenetralan Kepolisian, Angkatan Bersenjata danbadan-badan keamanan negara lainnya dan mengikutsertakan komitmen untuk menghormatiprinsip netralitas ini dalam kebijakan partai masing-masing.9.3 Semua partai politik agar berjanji secara publik untuk mengadakan semua kegiatanpolitiknya dengan damai dan tidak mengintimidasi dan agar mengambil langkah-langkahdisipliner yang tegas terhadap anggota partai yang membela atau menggunakan media untukmenyebarkan agresi atau ketakutan dalam masyarakat.9.4 Semua partai politik berjanji secara publik bahwa tidak akan pernah akan memobilisirkelompok-kelompok pemuda untuk tujuan politik selain dengan cara-cara damai dan legal.9.5 Lima partai politik lama – Apodeti, ASDT/Fretilin, KOTA, Trabalhista, dan UDT –menerapkan berbagai proses, di mana perlu, untuk menangani pelanggaran hak asasi manusiayang dilakukan di masa lalu oleh anggotanya atau mereka yang berafiliasi dengan partai-partaitersebut, dan melakukan upaya-upaya untuk penerapan rekomendasi-rekomendasi dalamLaporan ini, terutama rekomendasi yang bertujuan melenyapkan ancaman kekerasan untukselama-lamanya dari kehidupan politik di Timor-Leste.9.6 Mantan kelompok-kelompok politik pro-otonomi yang masih menunjukan keberadaannyadi Indonesia berusaha keras agar rekomendasi-rekomendasi dalam Laporan ini dapat diterapkan,terutama rekomendasi yang bertujuan melenyapkan ancaman kekerasan untuk selama-lamanyadari kehidupan politik di Timor-Leste.210


9.7 Program pendidikan kewarganegaraan menggunakan materi dalam Laporanini untuk menekankan pada masyarakat betapa pentingnya prinsip non-kekerasandan akibat mengerikan yang harus ditanggung apabila terjadi kekerasan politik.9.8 Kantor Presiden menerapkan upaya-upaya baru untuk membina dialog politik,sosial dan budaya antara orang Timor-Leste di Indonesia dan di Timor-Leste, dan agarupaya-upaya tersebut melibatkan para pemimpin politik dari berbagai latar belakangdan dukungan dari Pemerintah Indonesia.211


10. Rekonsiliasi dengan IndonesiaSejak tahun 1999, Timor-Leste dan Indonesia telah menunjukkan niat untukmembangun hubungan baru. Komisi memuji sikap yang progresif dan terbukaini. Komisi berpendapat bahwa agar persahabatan ini dapat tumbuh, prinsipprinsipmengakui kebenaran dari masa lalu, pertanggungjawaban atas kekerasan,dan semangat ingin membantu mereka yang telah menjadi korban kekerasan itumerupakan prisip-prinsip yang penting. Selama kegiatannya yang panjang di tingkatmasyarakat, terutama dengan korban pelanggaran-pelanggaran berat yang dilakukanoleh prajurit Indonesia, Komisi terkesan oleh betapa kemurahan hati para korbanterhadap Indonesia. Masyarakat di berbagai pelosok negara telah menyatakan padaKomisi dengan jelas bahwa mereka ingin melihat keadilan atas kejahatan berat yangdilakukan selama konflik. Tetapi seruan untuk keadilan ini hampir tidak pernahdilontarkan dengan dendam atau benci, dan tidak dilontarkan secara umum melawanIndonesia atau orang Indonesia. Pertanggungjawaban oleh mereka yang melakukankejahatan-kejahatan tersebut dan oleh pihak yang berwenang akan membukakan jalanmenuju hubungan baru yang lebih dalam dan berdasarkan pada rekonsiliasi sejati.Komisi merekomendasikan agar:Kebenaran sebagai dasar hubungan:10.1 Agar Pemerintah Indonesia secara resmi mengakui telah menerima Laporanini dan membahasnya dalam agenda kerja Parlemen Indonesia.10.2 Bahwa demi membina semangat rekonsiliasi, Pemerintah Indonesia mengirimkandelegasi senior ke Timor-Leste untuk mengakui pelanggaran-pelanggaran yangdilakukan oleh wakil-wakil pemerintah Indonesia selama pendudukan atas Timor-Leste dan meminta maaf pada para korban dan keluarga para korban atas pelanggaranpelanggarantersebut.10.3 Agar Pemerintah Indonesia melakukan merevisi catatan resmi pemerintah danbahan-bahan pendidikan yang berkaitan dengan keberadaan Indonesia di Timor-Lesteguna menjamin agar bahan-bahan tersebut memberikan gambaran yang akurat danlengkap tentang periode tahun 1974 to 1999 bagi rakyat Indonesia, termasuk peranPBB dalam menjalankan Jajak Pendapat tahun 1999, dan memberikan kontribusi yangberarti terhadap rekonsiliasi.10.4 Agar Indonesia dan Timor-Leste melanjutkan upaya mengembangkan hubunganantar-rakyat dan kerjasama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik.Mengakui korban yang gugur di antara militer Indonesia dan membantu mereka dankeluarga-keluarganya10.5 Bahwa Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste melanjutkan kerjasama dalammemelihara makam prajurit Indonesia di Timor-Leste;10.6 Bahwa Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste bekerja sama memberikaninformasi pada keluarga-keluarga Indonesia dan Timor-Leste yang tidak tahu menahutentang bagaimana meninggalnya anggota keluarga mereka atau tempat penguburanmereka yang dahulu ditugaskan sebagai prajurit di Timor-Leste.212


10.7 Bahwa Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste bekerja sama membantukeluarga-keluarga Indonesia yang ingin mengadakan kunjungan ke Timor-Lesteuntuk mengunjungi makam anggota keluarganya dan/atau untuk membawa pulangjasad anggota keluarganya kembali ke Indonesia.Membukakan semua dokumentasi berkaitan dengan operasi-operasi militer yangmenyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil10.8 Bahwa Pemerintah Indonesia memberikan akses bagi Pemerintah Timor-Lestedan masyarakat internasional atas catatan-catatan tentang operasi-operasi militeryang menyebabkan korban warga sipil yang mati atau cedera dan kerusakan terhadapharta benda, termasuk:• Operasi Seroja dan pembunuhan terhadap warga sipil di Dili padatanggal 7 Desember 1975 dan pembunuhan-pembunuhan pada hari-hariberikutnya;• Operasi pengepungan dan pemusnahan militer pada tahun 1977-1979;• Serangan Mauchiga pada tahun 1982 di distrik Ainaro; pembunuhanterhadap warga sipil di dan sekitar Desa Kraras pada tahun 1983 di distrikViqueque;• Pemindahan warga sipil ke Pulau Ataúro sejak awal tahun 1980-an;• Pembantaian Santa Cruz di Dili tanggal 12 November 1991 danpembunuhan dan penghilangan paksa yang dilaporkan sesudahnya.10.9 Bahwa Pemerintah Indonesia membukakan informasi sebagai berikut kepadaPemerintah Timor-Leste dan masyarakat internasional:• nama dan rincian mengenai semua anggota ABRI/TNI yang asal-usulnyadari Timor-Leste yang terbunuh di Timor-Leste antara 1975 dan 1999;• nama dan keterangan tentang semua anak-anak Timor-Leste yangdipindahkan dari Timor-Leste oleh Pemerintah Indonesia, militer ataupersonel atau lembaga yang berkaitan antara 1975 dan 1999;• nama dan rincian tentang semua tahanan politik yang meninggal dalamtahanan antara 1975 dan 1999;• semua kesatuan militer Indonesia yang bertugas di Timor-Leste antara1975 and 1999, termasuk nama-nama para komandan pasukan;• informasi tentang pembentukan dan pendanaan unit-unit paramiliterTimor-Leste oleh militer Indonesia dan/atau instansi negara lainnyaantara 1974 dan 1999;• semua berkas dan catatan intelijen militer dan sipil tentang Timor-Lesteantara tahun 1974-1999;• semua informasi tentang pembelian dan penyumbangan senjata, peralatandan perlengkapan militer dari berbagai Pemerintah dan perusahaanantara tahun 1975 dan 1999 yang pernah digunakan di Timor-Lesteselama periode ini.10.10 Bahwa Pemerintah Indonesia menyediakan pada Pemerintah Timor-Leste danmasyarakat internasional semua catatan tentang keterlibatan pemerintah dan militer213


Indonesia dalam operasi tahun 1999 yang menyebabkan terjadinya pembunuhanpembunuhandan pemindahan paksa lebih dari separuh penduduk Timor-Leste,termasuk:• pembantaian Gereja Liquiça, Distrik Liquiça (6 April 1999)• pembunuhan-pembunuhan di Cailaco, Distrik Bobonaro (12 April 1999)• pembantaian di rumah Manuel Carrascalão di Dili (17 April 1999)• pembunuhan dua orang mahasiswa di Hera, Distrik Dili (20 Mei 1999)• pembantaian Gereja Suai, Distrik Covalima (6 September 1999)• pembantaian Kantor Polisi Maliana, Distrik Bobonaro (8 September 1999)• Pembunuhan para suster, pastor dan wartawan yang bersama mereka diLospalos, Lautém (25 September 1999)• pembantaian Passabe dan Maquelab, Distrik Oecusse (September-Oktober 1999)• pembantaian Nitibe, Distrik Oecusse (Oktober 1999).10.11 Bahwa Pemerintah Indonesia bekerja sama secara penuh dengan upayainternasional ataupun upaya Timor-Leste di masa depan yang berniat menanganimasalah keadilan terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukandi Timor-Leste antara 1974 dan 1999.Perdamaian dan stabilitas10.12 Bahwa Pemerintah Indonesia terus menunjukkan secara jelas penghormatannyaterhadap kemerdekaan dan kedaulatan Timor-Leste dan menindak siapapun baiksecara individu atau secara organisasi di Indonesia yang melakukan kegiatan-kegiatanilegal yang bertujuan mengganggu stabilitas di Timor-Leste.Membersihkan nama mereka yang telah salah dituduh10.13 Pemerintah Indonesia menghapus catatan kriminal semua tahanan politik Timor-Leste yang pernah disidang dan diputuskan bersalah atas kejahatan yang berhubungandengan pernyataan damai pendapat politik mereka selama masa konflik.10.14 Pemerintah Indonesia memusnahkan semua arsip intelijen yang dimilikinyatentang orang-orang Timor-Leste selama periode 1974-1999;10.15 Pemerintah Indonesia menghapus nama-nama aktivis hak asasi manusia yangberasal dari dalam dan luar Timor-Leste dari ‘daftar hitam’ Departemen Imigrasi Indonesiadan memerintahkan semua instansi intelijen dan kantor-kantor Pemerintah yang relevanuntuk menghapus nama-nama tersebut dari daftar-daftar dan arsip-arsip mereka.Reparasi10.16 Pemerintah Indonesia memberikan sumbangan finansiil pada Dana Perwalianuntuk reparasi yang direkomendasikan di bagian lain dalam Laporan ini.10.17 Perusahaan-perusahaan Indonesia yang meraup keuntungan dari perang dankegiatan terkait lainnya di Timor-Leste antara tahun 1974 dan 1999 memberikansumbangan finansiil terhadap Dana Perwalian untuk reparasi yang direkomendasikandi bagial lain dalam Laporan ini.214


11. Acolhimento (Penerimaan)Dalam periode 25 tahun yang dicakup oleh mandat Komisi, orang Timor-Lestemeninggalkan Timor-Leste karena alasan-alasan keamanan pribadi, keyakinanpolitik, atau karena mereka dipaksa melarikan diri. Ribuan orang yang meninggalkanTimor-Leste pada tahun 1999 tetap berada di Timor Barat dan daerah-daerah lain diIndonesia. Ribuan lainnya meninggalkan Timor-Leste pada tahun 1975 dan kemudianmereka bermukim di Portugal dan Australia, dan ada juga dalam jumlah yang lebihkecil yang tinggal di negara-negara lain di dunia. Anak-anak Timor-Leste yang dibawake Indonesia selama perang masih terpisah dari keluarganya.Diciptakannya iklim penyambutan atau acolhimento untuk orang Timor-Leste yangingin berkunjung atau kembali ke Timor-Leste harus dijadikan prioritas nasional.Hal ini akan memperkuat sifat inklusif dan demokratik masyarakat Timor-Lestedan meningkatkan kemampuan dan keamanannya dalam berbagai cara yangpenting. Apabila orang Timor-Leste terlibat dalam melakukan pelanggaran hak asasimanusia, mereka harus ditindak sesuai dengan proses yang berlaku sejalan dengankomitmen nasional untuk membangun sebuah masyarakat yang berbasiskan padapertanggungjawaban, kedaulatan hukum dan hak asasi manusia.Komisi merekomendasikan agar:11.1.1 Diteruskannya upaya-upaya yang sedang berjalan untuk memajukan hubungandan keinginan baik antara orang Timor-Leste di Timor-Leste dan di Indonesia,terutama Timor Barat yang menekankan pertukaran sosial, budaya dan pendidikanuntuk anak-anak dan kawula muda, dan agar pemimpin masyarakat, Gereja Katolikdan agama-agama lainnya, LSM Indonesia dan Pemerintah Indonesia dimintamembantu proses-proses ini.11.1.2 Dikembangkannya cara-cara membina hubungan Timor-Leste dengan orangTimor-Leste yang tinggal di luar negeri atau yang sudah menjadi warga negaralain sehingga orang Timor-Leste yang berada di luar negeri dapat didorong untukmemelihara hubungan kekeluargaan, budaya dan hubungan lainnya dengan negaraasal mereka dan untuk berkontribusi bagi kepentingan Timor-Leste melalui kegiatandan koneksi mereka di luar negeri.11.2 Anak-anak yang terpisahBanyak anak-anak Timor-Leste yang terpisahkan dari keluarganya selama pendudukanIndonesia terhadap Timor-Leste, termasuk sekitar 4500 yang terpisahkan darikeluarganya pada tahun 1999. Banyak diantara mereka yang terpisahkan sebelumtahun 1999 yang sekarang sudah dewasa, termasuk juga mereka yang mencarikeluarganya tapi tidak mengetahui asal usul mereka. Kebanyakan dari mereka yangterpisah dari keluarganya selama kejadian tahun 1999 telah dipertemukan kembalidengan keluarganya atau tetap bersama dengan mereka yang memungutnya.Tanggungjawab terhadap kategori ini ada pada Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste sesudah penanda-tanganan “Memorandum Kesepahaman mengenai Kerjasamauntuk Melindungi Hak Anak-anak yang Terpisahkan dan Pengungsi Anak’ padabulan Desember 2004, yang difasilitasi oleh UNHCR.215


Komisi merekomendasikan agar:11.2.1 Penerapan Memorandum Kesepakatan 2004 antara Pemerintah Timor-Leste dan Pemerintah Republik Indonesia agar diawasi oleh LSM-LSM di keduanegara bersangkutan untuk menjamin perlindungan bagi hak-hak anak-anak yangterpisahkan, terutama mereka yang kasusnya masih belum diselesaikan dan merekayang berada di tangan wali mereka– termasuk hak anak-anak tersebut untuk denganbebas mengakses prosedur identifikasi dan kewarganegaraan;11.2.2 Pemerintah Timor-Leste dan Indonesia memastikan agar komunikasi yangteratur dan bebas tetap berjalan antara anak dan orangtuanya sementara anak itumasih berada dengan walinya atau dengan sebuah lembaga dan agar anak-anak yangterpisahkan dapat membuat keputusan tentang masa depan mereka, yang diambilberdasarkan informasi yang cukup, bebas dari intimidasi atau ketakutan;11.2.3 Bantuan diberikan, terutama bagi mereka yang berada di tempat terpencilatau miskin, agar orangtua dan anak-anak yang terpisahkan dari orangtuanya yangsekarang sudah dewasa dapat mencari tahu tentang keberadaan masing-masing,berhubungan dan bertemu secara langsung.216


12. ReparasiKarena perang, saya dipakai seperti kuda oleh prajurit Indonesia yangmemakai saya secara bergiliran dan membuat saya melahirkan banyakanak. Sekarang saya sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untukmendorong anak-anak saya ke masa depan yang lebih baik. 4212.1 PendahuluanKomisi mendesak Pemerintah Timor-Leste untuk menerapkan sebuah program pemberianreparasi bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia yang paling rentan.Tidak ada orang Timor-Leste yang tidak tersentuh atau tidak menjadi korban konflikdalam bermacam-macam cara. Namun dalam kontaknya dengan banyak masyarakat,Komisi benar-benar mengetahui ada di antara kita yang tiap harinya masih menderitakarena dampak dari konflik dan anak-anak mereka akan mewarisi keadaan merugikanyang dihadapi orangtua mereka karena statusnya sebagai korban. Termasuk disini adalah mereka yang hidup dalam kemelaratan, yang cacat, atau yang karenakesalahpahaman, diasingkan atau didiskriminasikan oleh masyarakat di mana merekaberada. Kita semua adalah korban tapi tidak semua korban setara. Kita harus mengakuikenyataan ini dan mengulurkan tangan kepada mereka yang paling rentan.Komisi berpendapat bahwa rekomendasi ini konsisten dengan:• Konstitusi Timor-Leste yang menyatakan bahwa “Negara sepatutnyamemberikan perlindungan khusus bagi mereka yang cacat akibat perang,anak yatim/piatu, dan tanggungan mereka yang telah memberikannyawanya pada perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan nasional, danakan melindungi mereka yang turut serta dalam perlawanan terhadappenjajahan asing (Pasal 11);• Mandat Komisi yang mensyaratkan Komisi harus membantu prosespemulihan martabat korban, mendorong rekonsiliasi [Regulasi 2001/10,Pasal 3.1(f) dan (g)] dan juga untuk membuat “rekomendasi berkaitanperubahan hukum, politik, administratif atau tindakan lainnya yang harusdiambil untuk mencapai tujuan Komisi untuk mencegah terulangnyapelanggaran hak asasi manusia dan menanggapi pada kebutuhan korbanpelanggaran hak asasi manusia” [Regulasi 2001/10, Pasal 21.2.];• Menurut tradisi orang Timor-Leste, seseorang yang mengalami sebuahperbuatan yang salah mempunyai hak untuk menerima sejumlah langkahlangkahuntuk memperbaiki pelanggaran itu;• Hukum hak asasi manusia internasional * yang menetapkan bahwa korbanpelanggaran hak asasi manusia mempunyai hak untuk mendapatkan perbaikan.*Prinsip dan panduan dasar tentang hak terhadap perbaikan dan reparasi untuk korban pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukumhak asasi manusia internasional dan pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional, disetujui oleh Komisi HakAsasi Manusia PBB pada tanggal 20 April 2005 [UN Doc. E/CN.4/R<strong>ES</strong>/2005/35, Annex].217


Sebuah program reparasi akan menjamin bahwa:• Korban-korban yang paling rentan, yang seringkali merupakan terpinggirkan olehmasyarakat mereka, mendapatkan akses terhadap layanan dasar dan kesempatan yangdiberikan kepada masyarakat pada umumnya.• Suatu bentuk keadilan diberikan yang secara langsung memberikan manfaat padakorban dan membantu proses pemulihan bagi korban, membantu rekonsiliasinasional dan pengurangan lebih jauh akan kemungkinan terjadinya kekerasan.• Korban kekejaman masa lalu yang paling rentan akan diberikan pengakuan dandiberikan sarana untuk menikmati hak mendasar mereka dan untuk dapat memenuhipotensi mereka pada tingkat yang setara dengan warganegara Timor-Leste lainnya.12.2 Reparasi dalam bentuk apa?Selama kegiatannya, Komisi mendefinisikan reparasi rugi sebagai langkah-langkah untukmemperbaiki kerugian yang diderita oleh korban pelanggaran hak asasi manusia, termasukrehabilitasi, restitusi, kompensasi, pengakuan akan sebuah cerita yang benar tentang apa yangterjadi, dan jaminan tidak terulangnya pelanggaran-pelanggaran ini. Reparasi dapat berupa berbagailangkah yang ditujukan kepada perorangan atau kelompok, yaitu kepada sekelompok korban.Komisi menempatkan reparasi dalam suatu kerangka kerja hak asasi manusia yang terdiridari tiga komponen mendasar yang tidak dapat tergantikan satu dengan yang lain: kebenaran,keadilan, dan reparasi.Beberapa bentuk reparasiKompensasi yang mencakup kompensasi yang adil dan layak melalui proses litigasiatau mediasi.Restitusi yaitu pemulihan, sejauh mungkin, situasi penerima ganti rugi yang sebenarnya,sebelum terjadinya pelanggaran.Rehabilitasi yaitu penyediaan perawatan medis dan psikologis dan pemenuhankebutuhan pribadi dan masyarakat yang penting.Restorasi martabat, yang mencakup bentuk-bentuk reparasi yang simbolis.Penetapan kebenaran yang dapat mencakup pengakuan kesalahan dan permohonanmaaf dari pelaku secara publik, dan kesaksian dari para korban dan keluarganya tentangpelanggaran-pelanggaran dan efeknya dalam kehidupan mereka.Jaminan tidak terulangnya pelanggaran yaitu diciptakannya langkah-langkahlegislatif dan administratif yang menyumbang terhadap pemeliharaan masyarakatyang stabil dan pencegahan terulangnya pelanggaran hak asasi manusia.218


12.3 Landasan hukum dan moral bagi reparasiDalam penyelidikan terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia Komisitelah mendengarkan para korban pelanggaran dari semua distrik di Timor-Leste, yangmenjadi korban di tangan semua pihak dalam konflik. Hidup telah sangat berubahkea rah yang buruk bagi mereka yang selamat dari pelanggaran-pelanggaran itu.Ribuan orang meninggal karena pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, telahmeninggalkan banyak keluarga. Masih banyak keluarga yang terus mencari orangorangyang dikasihi yang telah hilang. Terdapat ribuan korban perkosaan, penyiksaan,dan pelanggaran berat hak asasi manusia lainnya yang masih hidup dan terus menderitaakibat pelanggaran-pelanggaran ini dalam hidup keseharian mereka.Dalam audiensi-audiensi dan lokakarya-lokakarya atau pemberian penyataan danwawancara yang diselenggarakan dengan para korban yang masih hidup ini, Komisi terkesanoleh kesederhanaan dari apa yang dicari sebagian besar korban. Secara berlimpah merekamenyatakan kepada Komisi bahwa yang mereka cari adalah secercah pertanggungjawabandari pihak pelaku, dan bantuan yang sederhana yang akan memungkinkan mereka dananak-anak mereka berpartisipasi dengan yakin dalam Timor-Leste baru yang demokratis.Bagi banyak orang partisipasi ini sangat sulit karena kesulitan-kesulitan berat yang masihmereka alami akibat pelanggaran yang mereka derita.Sementara Timor-Leste berusaha untuk mengukuhkan dirinya sebagai bangsademokratis yang baru yang berdasar pada kedaulatan hukum dan penghormatan kepadahak asasi manusia, terdapat kewajiban moral yang mendalam untuk menjangkau danmembantu saudara-saudara kita laki-laki dan perempuan yang masih berjuang untukdapat berpartisipasi dalam kehidupan baru ini. Nilai-nilai yang dijunjung bangsa kitaini akan diukur dari tindakan kita dalam hal ini, tidak hanya dengan kata-kata yangtertuang dalam hukum dan yang diutarakan oleh para pemimpin Timor-Leste.Selain itu, sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Timor-Leste telah berkomitmenuntuk menjunjung, menghormati dan menegakkan hak asasi manusia dan standar-standarhukum humaniter. Ini mencakup prinsip untuk memastikan tindakan pemulihan danreparasi yang layak kepada korban pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana yangtertuang dalam Prinsip-prinsip dan Panduan PBB tentang Hak untuk Pemulihan danReparasi bagi para Korban Pelanggaran Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum HumaniterInternasional (UN Principles and Guidelines on the Right to Remedy and Reparation forVictims of Violations of International Human Rights and Humanitarian Law).Konteks Timor-LesteBerdasarkan penyelidikannya, Komisi menemukan bahwa semua pihak dalam konflikbertanggungjawab dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.Selama Audiensi Publik Nasional yang diadakan Komisi menyangkut Konflik PolitikInternal, para pemimpin partai politik secara berani dan jujur bersaksi tentang kekerasanselama periode konflik bersenjata internal, mengakui tanggungjawab kelembagaanterhadap sejumlah kejahatan di masa lalu dan komitmen mereka untuk membetulkankerugian yang diakibatkan kepada korban dan keluarga mereka. * Komitmen initercermin dalam Konstitusi Timor-Leste yang mewajibkan Negara untuk menyediakan*Kesaksiam aktor-aktor kunci sejarah dan wakil-wakil dan anggota lima partai politik lama, pada Audiensi Publik Nasional CAVRtentang Konflik Politik Internal 1974-76 yang diadakan antara 15 dan 18 Desember 2003, direkam dalam Arsip video CAVR. Komisijuga menerbitkan sebuah buku tentang audiensi ini dengan judul: Konflik Politik Internal 1974-76, Audiensi Publik Nasional CAVR, 15-18Desember 2003.219


“perlidungan istimewa bagi orang yang menjadi cacat akibat perang, anak yatim piatu,dan orang tanggungan lain”. 43 Berdasarkan ini, Negara Timor-Leste mempunyaikewajiban moral and konstitusional untuk menjamin bahwa para korban pelanggaranhak asasi manusia di masa lalu menerima tindakan-tindakan reparasi.Namun, proporsi tertinggi dari tanggungjawab kelembagaan atas pelanggaran hakasasi manusia terletak di pundak Negara Indonesia, kekuatan pendudukan yang agenagennyamelakukan sebagian besar pelanggaran-pelanggaran paling berat. Indonesiamempunyai tanggungjawab moral dan hukum untuk memulihkan kerusakan yangdisebabkan oleh kebijakan-kebijakan dan agen-agen negaranya.Belajar dari pengalaman pemulihan terhadap pelanggaran-pelanggaran masa lalu dibangsa-bangsa lain, perjuangan untuk memperoleh pemulihan dari sebuah bangsayang menginvasi adalah sesuatu yang akan memakan waktu. Selama itu, banyakkorban tidak dapat lagi menunggu. Timor-Leste harus melangkah dalam kekosonganini. Masyarakat internasional, yang memalingkan wajah ketika kekejaman-kekejamanterjadi, juga menanggung sebagian dari tanggungjawab ini.12.4. Kontribusi KomisiTidak seorangpun peduli tentang apa yang terjadi pada diri saya.Saya sendirian. 44Sebagai sebuah mekanisme keadilan transisional, Komisi telah menjadikan pengalamandan hak para korban akan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu sebagai fokusutamanya. Dalam melaksanakan mandatnya, Komisi meletakkan para korban padapusat tujuan jangka panjangnya yaitu pembangunan kembali secara sosial (socialrebuilding) dan rekonsiliasi.Komisi mendengarkan ribuan korban dan menanyakan kepada mereka apa yangdiperlukan untuk membantu mereka dalam transformasi ini. Hal ini dilakukan selamaacara-acara audensi publik di tingkat nasional, subdistrik dan desa dan pada lokakaryalokakaryapemulihan yang dilakukan bersama dengan para korban pelanggaran hakasasi manusia dari semua distrik.Sebuah bagian khusus dalam badan eksekutif Komisi didirikan untuk mendukungpara korban yang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Komisi. Tim ini membantumenerapkan suatu program reparasi mendesak untuk membantu para korban yangrentan dengan berbagai keperluan medis yang mendesak dan kebutuhan lainnya.Program ini mengidentifikasi 712 orang korban dengan kebutuhan mendesak yangkemudian dibantu mengakses layanan, diberikan US$200 per orang dan dalam beberapakasus, dibantu ikut serta dalam lokakarya pemulihan dan acara audiensi publik yangdiadakan oleh Komisi. Komisi, bersama dengan LSM-LSM, juga mengembangkansejumlah proyek perintis tentang langkah-langkah kolektif untuk reparasi yangmendesak di masyarakat yang paling terkena dampak (lihat Bagian 10: Acolhimentodan Dukungan bagi Korban).220


Dalam segala aspek kegiatannya, Komisi berupaya agar kegiatannya mempunyaiefek yang reparatif namun kebutuhan akan reparasi yang ditargetkan jauh melebihikapasitas Komisi dalam waktu yang tersedia. Korban perorangan dan masyarakatsecara jelas dan berulang kali mengutarakan kepada Komisi perlunya diadakan kerjadan pemulihan yang berkelanjutan untuk memperbaiki kerugian yang disebabkanoleh pelanggaran hak asasi manusia.12.5 RekonsiliasiKomisi percaya bahwa rekonsiliasi yang abadi tidak dapat dicapai tanpa menetapkankebenaran, berupaya menuju keadilan, dan memberikan reparasi kepada para korban.Reparasi diperlukan untuk memulihkan kembali martabat korban dan memperbaikihubungan-hubungan yang rusak dalam masyarakat kita. Dalam budaya Timor-Leste,adat kasu sala – sebuah proses mediasi tradisional yang menetapkan siapa yang telahmelakukan kesalahan kepada siapa dan ganti rugi apa yang harus diberikan pada pihakyang disalahi – menciptakan landasan bagi rekonsiliasi masyarakat dan pembangunanperdamaian. Sama halnya, mengakui penderitaan korban melalui reparasi adalahbatu penjuru bagi rekonsiliasi abadi di suatu bangsa yang telah mengalami kekerasanselama lebih dari dua dasawarsa.12.6 Prinsip-prinsip panduan untuk sebuah programreparasi di Timor-LestePrinsip-prinsip berikut ini akan membantu berkembangnya program reparasi yang efektifuntuk para korban pelanggaran hak asasi manusia yang paling rentan di Timor-Leste:KelayakanSebagai sebuah bangsa baru pada tahap-tahap awal pembangunan, Timor-Lestemenghadapi berbagai kebutuhan mendesak. Untuk menjadi layak dalam konteks ini,program reparasi harus selektif dan memusatkan pada kebutuhan paling mendesakdari mereka yang paling rentan, dan bila mungkin, menyediakan tanggapan secarakolektif yang lebih berharga secara efektif dan berdayacipta.AksesPerhatian harus diambil untuk memastikan bahwa program yang diselenggarakandapat diakses oleh para korban yang dirugikan bukan hanya karena konsekweksidari pengalaman mereka, tapi karena keterkucilan, kurangnya informasi dan saranaangkutan, terutama bagi mereka di desa-desa terpencil.PemberdayaanProgram ini hendaknya memberdayakan mereka yang telah menderita pelanggaranhak asasi manusia berat agar mereka dapat mengambil alih kendali hidup merekamasing-masing dan membebaskan diri mereka dari kendala-kendala praktis maupundari beban psikologis dan emosional sebagai korban. Pemberian layanan rehabilitasidan langkah-langkah reparasi lainnya sebaiknya menggunakan pendekatan yangberpusatkan pada korban dan pemberdayaan berbasis komunitas.221


JenderProgram ini harus mempertimbangkan perbedaan jender karena konflik di Timor-Leste mempunyai dampak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki danperempuan bukan saja mengalami jenis-jenis pelanggaran hak asasi manusia yangberbeda selama konflik, tapi juga menghadapi kendala yang berbeda dalam mengurangidampak pelanggaran-pelanggaran tersebut. Lebih besar jumlah laki-laki yang menjadisasaran sebagai korban penahanan, penyiksaan, pembunuhan dan penghilangan daripadaperempuan. Namun, apabila perempuan menjadi korban penahanan, penyiksaan danpelanggaran-pelanggaran lainnya, mereka lebih menderita akibat kekerasan seksualdan juga menghadapi diskriminasi yang berkelanjutan sebagai korban. Perempuan jugamenderita ketika suami, anak laki-laki, ayah atau anggota keluarga lainnya mengalamipelanggaran hak asasi manusia. Mereka menjadi pencari nafkah utama dalam keluargamereka, bertanggung jawab atas anggota keluarga yang sakit dan terluka, dan harus bekerjauntuk menafkahi anak-anak dan anggota keluarga yang lain apabila pencari nafkah laindalam keluarga ditahan, dilenyapkan, dibunuh atau dibuntungkan. Mereka lebih rentanterhadap kekerasan seksual apabila ‘pelindung’ keluarga tidak berada di tempat. Sekurangkurangnya50% dari sumberdaya program ini harus ditujukan pada perempuan.Pengutamaan berdasarkan kebutuhanProgram harus diarahkan pada mereka yang paling membutuhkan dukungan akibatpelanggaran-pelanggaran yang terjadi di masa lalu. Tidaklah mungkin satu program reparasitunggal seperti untuk menjawab segala kebutuhan dari mereka yang menderita selamakonflik di Timor-Leste dan program ini tidak berniat menggantikan program pembangunannasional jangka panjang yang merupakan tujuan utama negara Timor-Leste.12.6 Program reparasiMaksud utama skema reparasi ini adalah untuk membantu para korban pelanggaranberat hak asasi manusia yang rentan, dalam cakupan mandat Komisi, denganmemperbaiki sebisa mungkin, kerugian hidup mereka yang disebabkan olehpelanggaran-pelanggaran, melalui pemberian layanan sosial dan langkah-langkahsimbolis dan kolektif.RehabilitasiRehabilitasi bagi korban perlu mencakup perawatan medis dan psiko-sosial. Bilamanahal ini telah disediakan bagi masyarakat umum oleh Pemerintah dan masyarakat sipil,program ini hendaknya mendukung korban untuk mengakses layanan-layanan tersebut,memberikan sumberdaya tambahan bagi badan-badan yang menyediakan layanan agardapat mencapai penerima program dan memastikan pemberian layanan yang berkualitasmelalui pengawasan dan pemberian umpan balik kepada penyedia layanan.Langkah-langkah kolektifProgram ini hendaknya juga memastikan bahwa rehabilitasi terjadi dalam konteksmasyarakat. Ini berarti bahwa langkah-langkah kolektif dikembangkan untukmemastikan bahwa rehabilitasi korban pelanggaran hak asasi manusia berlangsungdalam konteks dan bersama-sama dengan komunitas mereka. Sebuah mekanismekhusus perlu dikembangkan sehingga komunitas atau kelompok-kelompok korban222


dapat mengajukan permohonan akan bantuan semacam itu. Langkah-langkah iniharus ditetapkan atas konsultasi dengan para korban dan dapat berupa pengakuansimbolis, seperti dipaparkan di bawah, dan/atau dukungan bahan-bahan untukaktifitas-aktifitas atau item-item yang ditentukan bersama oleh para korban.Langkah-langkah simbolisLangkah-langkah simbolis yang dikembangkan dalam konsultasi dengan para korban, dapattermasuk menciptakan tanda peringatan, upacara-upacara peringatan, penggalian kembalidan penguburan kembali para korban atau menandai dan mendirikan tanda peringatandi tempat-tempat penguburan massal. Langkah-langkah simbolis untuk menghargai parakorban kekejaman masa lalu memperkuat komitmen sosial untuk menentang terulangnyatindakan-tindakan seperti itu, dan juga bersifat mendidik dan memajukan rekonsiliasi.12.8 Tujuan-tujuan• Mengidentifikasi korban pelanggaran hak asasi manusia yang palingrentan, yang terjadi selama masa mandat Komisi dan mendukungrehabilitasi terhadap mereka.• Memfasilitasi rehabilitasi komunitas atau kelompok-kelompok korbanyang paling terkena dampak pelanggaran hak asasi manusia selama masamandat Komisi.• Membantu meningkatkan pengakuan dan penghormatan terhadap korbanpelanggaran hak asasi manusia dan melestarikan ingatan akan kekejamandan penderitaan di masa lalu untuk mencegah terulangnya tindakantindakanseperti itu.12.9 Kelompok-kelompok targetMenurut Mandat Komisi: “korban berarti seseorang yang secara individu atau sebagaibagian dari suatu kelompok, telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental,penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau dirusakkan haknya secara mendasarsebagai akibat dari tindakan atau kelalaian yang menjadi hak hukum Komisi untukdipertimbangkan, dan termasuk sanak keluarga atau orang-orang yang menjaditanggungan dari orang yang telah menderita kerugian.” [Regulasi 2001/10, pasal 1.n]Mengingat prinsip-prinsip kelayakan dan pengutamaan berdasarkan kebutuhan, Komisimerekomendasikan agar program ini berfokus pada pemberian manfaat kepada yangpaling rentan di antara mereka yang masih terus menderita akibat dari pelanggaran berathak asasi manusia yang terjadi antara 24 April 1974 dan 25 Oktober 1999, yaitu:• Korban penyiksaan• Orang yang cacat mental dan fisik• Korban kekerasan seksual• Janda dan ibu yang tak bersuami• Anak-anak yang terkena dampak konflik• Masyarakat yang menderita pelanggaran hak asasi manusia dalam skalabesar dan berat, dengan korban yang cukup tinggi dari kategori sepertiyang disebut di atas.223


Definisi-definisi kerja untukkelompok-kelompok targetKorban siksaan adalah mereka yang ditahan, disiksa dan masih terus menderita akibatdari siksaan yang mereka alami.Orang yang cacat akibat pelanggaran berat hak asasi manusia adalah mereka yangcacat secara permanen baik fisik maupun mental, total atau sebagian, karena akibatdari konflik. Contohnya adalah korban yang diamputasi, terkoyak bagian tubuhnya,kehilangan anggota tubuh, menderita luka tembakan; korban dengan peluru ataupecahan amunisi masih di dalam tubuhnya, atau mereka yang mengalami gangguanpermanen karena pukulan dan siksaan berat yang mengakibatkan mereka cacattotal atau sebagian; atau korban yang mengalami masalah kesehatan mental karenapelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.Korban kekerasan seksual adalah perempuan dan anak perempuan yang menjadikorban perlakuan seperti perkosaan, perbudakan seksual, kawin paksa atau jenis-jeniskekerasan seksual lainnya; dan anak laki-laki dan laki-laki yang menderita kekerasanseksual.Janda dan ibu tak bersuami termasuk perempuan yang suaminya dibunuh ataudilenyapkan dalam konteks konflik politik dan yang karena itu menjadi pencari nafkahutama untuk keluarganya. Termasuk di sini juga perempuan yang anak-anaknya lahirdari hasil perkosaan atau perbudakan seksual dan yang karena itu menjadi ibu tanpasuami.Anak-anak yang terkena dampak konflik didefinisikan sebagai:• anak-anak yang menderita cacat karena pelanggaran berat hak asasimanusia• anak-anak yang orang tuanya dibunuh atau dihilangkan• anak-anak yang lahir sebagai akibat dari tindakan kekerasan seksual yangibunya tak bersuami• anak-anak yang menderita gangguan psikologisAnak-anak yang memenuhi syarat untuk mendapatkan reparasi apabila mereka berusia18 tahun ke bawah pada tanggal 25 Oktober 1999.Komisi merekomendasikan bahwa program reparasi ini mulai dengan daftar korbankorbanyang telah menghadap CAVR, yang diseleksi dan diprioritaskan berdasarkankriteria yang telah dipaparkan dalam kebijakan reparasi ini. Sebuah periode ‘jendela’ duatahun dibuka untuk identifikasi lanjutan pengguna program reparasi yang memenuhikriteria, untuk ditambahkan pada daftar yang telah diidentifikasi oleh Komisi. Upayaini dilakukan untuk menjamin keikut-sertaan mereka yang paling rentan, yang tidakberkesempatan menghadap Komisi.224


12.10 PendanaanNegara Indonesia patut menanggung proporsi yang cukup besar dari biaya. Sebagaikekuasaan pendudukan yang melakukan sebagian besar pelanggaran, Indonesiamempunyai tanggung jawab moral dan hukum yang terbesar untuk memperbaikikerugian yang yang disebabkan oleh kebijakannya dan para agennya di Timor-Leste.Negara-negara anggota masyarakat internasional, dan perusahaan-perusahaan bisnisyang mendukung pendudukan ilegal atas Timor-Leste dan dengan demikian secaratidak langsung memperkenankan dilakukannya pelanggaran-pelanggaran, diwajibkanmemberikan reparasi kepada para korban berdasarkan pada prinsip tanggungjawabinternasional yang diakui dalam hukum kebiasaan internasional tentang kerugian(customary law of torts).Kontribusi dapat juga diberikan oleh agen-agen internasional dan LSM, berdasarkanpada prinsip keadilan sosial.Timor-Leste diwajibkan oleh Konstitusinya untuk “menjamin adanya perlindunganistimewa bagi orang yang menjadi cacat akibat perang, anak yatim/piatu, dan orangtanggungan lain dari mereka yang mengabdikan nyawanya kepada perjuangankemerdekaan dan kedaulatan negara, dan akan melindungi setiap orang yangmengambil bagian dalam perlawanan menentang pendudukan asing” [Pasal 11,Konstitusi RDTL]. Dalam semangat rekonsiliasi, Komisi merekomendasikan agarupaya memelihara para anggota gerakan Perlawanan ini diperluas untuk mencakupjuga para korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh semua pihak.Jika Indonesia terlalu lambat menanggi, Timor-Leste dan masyarakat internasionalpatut memberikan konstribusi mereka sementara menekan Indonesia untuk memenuhikewajibannya. Banyak korban yang tidak sanggup menunggu lagi.Komisi dengan ini merekomendasikan bahwa skema reparasi didanai bersamamelalui:• Alokasi tetap (yang dijamin oleh undang-undang) dari anggaran nasionalTimor-Leste• Reparasi oleh Negara Indonesia• Reparasi oleh perusahaan-perusahaan bisnis Indonesia, termasukBadan Usaha Milik Negara, serta perusahaan-perusahaan dan bisnisinternasional dan multinasional yang meraih keuntungan dari perang danmendapat mendapat manfaat dari pendudukan Timor-Leste• Reparasi dari Anggota-anggota Tetap Dewan Keamanan PBB – Cina,Perancis, Rusia, Kerajaan Inggris dan Amerika Serikat• Kontribusi dari pemerintah-pemerintah yang memberikan bantuanmiliter, termasuk penjualan senjata dan pelatihan militer, kepadaPemerintah Indonesia selama pendudukan dan perusahaan-perusahaanbisnis yang mendapatkan keuntungan dari penjualan senjata kepadaIndonesia225


Kontribusi dari Pemerintah-pemerintah, lembaga-lembaga internasional, yayasanyayasandan organisasi masyarakat sipil lainnya, termasuk dana-dana khususuntuk korban pelanggaran hak asasi manusia, seperti Dana PBB untuk KorbanPenyiksaan.Komisi merekomendasikan agar didirikan sebuah dana perwalian (trust fund) untukmenerima dan mengelola semua kontribusi dan agar dana ini diaudit secara teratur.12.11 Rentang waktuKomisi merekomendasikan agar program ini berjalan selama sebuah periode awalselama 5 tahun, dengan kemungkinan untuk diperpanjang. Dianjurkan agar programbeasiswa untuk anak-anak diteruskan sampai anak terakhir yang memenuhi syaratmencapai usia 18 tahun, yaitu tahun 2017.12.12 MetodeMetode pelaksanaan program reparasi harus dikembangkan dengan berkonsultasidengan korban dan kelompok-kelompok korban dan akan mengikutsertakankomponen-komponen sebagai berikut:Dukungan untuk ibu tak bersuami dan beasiswa untuk anak-anak merekaProgram ini akan menyediakan beasiswa untuk anak-anak dari ibu tak bersuami,termasuk korban kekerasan seksual dan janda perang. Beasiswa ini diberikan padaanak-anak mereka yang berusia sekolah hingga mereka mencapai usia 18 tahun. Dalampaket ini termasuk uang sekolah dan biaya lainnya dan akan dikelola oleh badan-badanpemerintah dan/atau Lembaga Non Pemerintah di tingkat distrik. Ibu-ibu tersebutakan diharapkan dapat melakukan perjalanan ke organisasi yang melaksanakanprogram beasiswa sekali sebulan untuk menerima tunjangan itu, dan pada saat yangsama mereka dapat mengakses berbagai layanan lainnya, seperti konseling, dukunganantar sesama, ketrampilan mencari nafkah dan akes pada kredit kecil untuk aktifitasmencari nafkah. Kegiatan bulanan ini dapat juga dijadikan saat yang tepat untukmengakses layanan penting lainnya, seperti pelayanan kesehatan.Dukungan untuk orang yang cacat, janda dan korban kekerasan seksualdan penyiksaanProgram ini akan menyediakan layanan sosial bagi para janda, korban kekerasan seksual(yang tidak mempunyai anak-anak berusia sekolah), orang cacat dan korban siksaan,dengan rehabilitasi, pelatihan ketrampilan dan akses terhadap kredit kecil untukkegiatan mencari nafkah. Program ini akan dilaksanakan oleh instansi Pemerintah,LSM-LSM yang mempunyai spesialisasi dan LSM yang berbasis masyarakat.226


Dukungan untuk masyarakat yang sangat terkena dampakProgram ini akan memberikan dukungan pada masyarakat-masyarakat yang sangatterkena dampak yang mengajukan permohonan secara kolektif untuk reparasi. Dalampermohonan, perlu tercantum informasi tentang bagaimana konflik berdampak padamasyarakat dan secara umum, pelanggaran-pelanggaran yang dialami, rancanganproyek untuk mengurangi kerugian yang diderita, dan daftar orang-orang yangakan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang direncanakan. Program ini dapat jugadigunakan oleh instansi-instansi Pemerintah dan/atau LSM untuk kegiatan-kegiatanseperti lokakarya-lokakarya pemulihan dan kegiatan pemulihan lainnya, termasukterapi kreatif dan kegiatan seperti teater, seni rupa, musik dan doa. Perimbanganjender dari orang-orang yang terlibat atau yang menerima dukungan ini menjadisalah satu persyaratan layak tidaknya permohonan tersebut.Menciptakan tanda-tanda peringatanProgram ini akan mempromosikan peringatan nasional berdasarkan konsultasidengan korban dan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah. Programperingatan ini perlu mengacu pada kekejaman-kekejaman yang dipaparkan dalamLaporan ini, meski tidak boleh dibatasi pada itu saja. Program peringatan ini dapattermasuk upacara-upacara perigatan, tanggal-tanggal tertentu, monumen-monumendan upaya-upaya lain untuk menghargai dan mengenang korban pelanggaran hak asasimanusia di tingkat masyarakat setempat dan di tingkat nasional. Program peringatan inijuga mencakup pengembangan bahan-bahan pelajaran tentang perjuangan bersejarahTimor-Leste untuk menegakkan hak asasi manusia dan pengembangan bacaan, musikdan seni populer sebagai peringatan, dan – sebagaimana direkomendasikan di bagianlain Laporan ini – pengembangan sebuah program pendidikan untuk membina budayaresolusi konflik berdasarkan prinsip non-kekerasan.Komitmen terhadap tidak muncul kembalinya kekerasanSebagai bagian dari sebuah komitmen nasional terhadap tidak terulangnya kekerasan,sebuah program pendidikan khusus untuk mengurangi dampak kekerasan yangberlangsung selama 25 tahun akan dilaksanakan dalam kerjasama dengan instansiinstansipemerintah dan masyarakat sipil. Dengan mengakui bahwa lingkarankekerasan terus meresap dalam masyarakat Timor-Leste, baik di tempat kerja maupundi rumah, program reparasi nasional harus mengembangkan sebuah kampanyependidikan untuk meningkatkan kesadaran publik akan hubungan antara perlakuankeajm di masa lalu dengan perilaku kekerasan dewasa ini. Maksud dari programpendidikan ini adalah untuk memudahkan sebuah perubahan dalam praktekpenggunaan kekerasan, sebagai cara untuk menengahi konflik, pada semua tahapkehidupan. Demi menghormati para korban kekerasan massal, kita harus menetapkansuatu komitmen yang jelas untuk merubah warisan masa lalu ini.227


12.13 Badan pelaksanaKomisi merekomendasikan didirikannya sebuah badan pelaksana program reparasinasional yang akan berfungsi selama jangka waktu program. Tugasnya adalahmelaksanakan dan mengkoordinasi Program Reparasi Nasional dalam kerjasamadengan serangkaian mitra yang terkait. Termasuk dalam mitra-mitra ini adalahbadan-badan pemerintah yang menyediakan layanan publik, seperti KementerianPerburuhan dan Solidaritas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, danLSM penyedia layanan dan organisasi-organisasi gereja yang bekerja pada tingkatnasional dan distrik.Badan pelaksana ini akan merekrut ‘pekerja sosial’ atau fasilitator akar rumput padatingkat distrik, yang akan menerima pelatihan dan bantuan transportasi. Pekerjapekerjadistrik ini akan membantu menghubungkan para korban dengan pelayananyang dibutuhkan.Badan pelaksana ini akan mengembangkan dan mendukung program-program inovatif,bersama dengan LSM-LSM untuk mendukung para korban, kelompok-kelompokkorban dan masyarakat agar mereka dapat menangani kebutuhan dan masalahmasalahyang muncul dengan cara yang berkesinambungan dan memberdayakan.Badan pelaksana ini hendaknya menetapkan dewan penasihat sebagai sebuah badankonsultasi permanen dalam pengembangan dan pelaksanaan programnya. Dalamdewan tersebut hendaknya terwakili para korban dan kelompok-kelompok korban,dan organisasi dan individu yang mempunyai reputasi baik di kalangan masyarakatdalam melindungi hak-hak korban.228


13. Lembaga penerus CAVRKomisi telah memberikan kontribusi tertentu terhadap proses pembangunankebangsaan (nation building) di Timor-Leste dalam tahun-tahun awal transisidalam demokrasi baru kita. Transisi ini merupakan sebuah proses yang panjang danberkelanjutan. Komisi berpendapat bahwa, berdasarkan pada dialog yang diadakanselama tiga tahun dengan masyarakat, banyak aspek dari pekerjaan Komisi yang harusdilanjutkan sebagai bagian dari upaya nasional untuk membangun sebuah masyarakatyang didasarkan pada pengakuan tentang kebenaran di masa lalu, anti-kekerasan,rekonsiliasi dan reparasi. Pekerjaan mencatat, menyimpan dan menyebarluaskankebenaran sejarah Timor-Leste, meneruskan kampanye untuk rekonsiliasi yang sejati,dan menciptakan masyarakat yang berlandaskan hak asasi manusia dan kedaulatanhukum, semuanya ini dapat lebih dimungkinkan dengan didirikannya sebuah lembagayang dapat meneruskan aspek-aspek pekerjaan Komisi.Komisi merekomendasikan agar:13.1 Parlemen Nasional mendukung rekomendasi-rekomendasi dalam Laporan ini,bertanggungjawab terutama dalam mengamati dan mengawasi pelaksanaannya danmendelegasikan tugas ini pada Komite Parlementer yang layak13.2 Parlemen memberikan mandat pada sebuah organisasi yang layak untukmelakukan konsultasi nasional di bawah naungan Kantor Presiden tentang peran,kerangka acuan dan kelayakan sebuah lembaga penerus dan, berdasarkan hasil-hasiltemuan ini, agar membuat rekomendasi yang akan dipertimbangkan oleh ParlemenNasional. Isu-isu yang akan dipertimbangkan hendaknya termasuk:• Penerapan rekomendasi-rekomendasi dalam Laporan ini• Perlunya rekonsiliasi lebih lanjut di Timor-Leste• Pelestarian bekas Comarca Balide sebagai tempat bersejarah danmenggunakannya sebagai pusat memorial nasional akan korban dan hakasasi manusia• Penyimpanan dan penggunaan arsip-arsip CAVR• Status hukum lembaga penerus tersebut.229


Daftar IstilahABRIAsosiasi HAKTNIApodetiASDTFretilinKOTATrabalhistaUDTCRPKomnas HAMCEDAWKKP-HAMCRCAngkatan Bersenjata Republik IndonesiaAsosiasi Hukum, Hak, Asasi dan KeadilanTentara Nasional IndonesiaAssociação Popular Democrática TimorenseAssociação Social Democrata TimorenseFrente Revolucionária de Timor-Leste IndependenteKlibur Oan Timor AsuwainPartido TrabalhistaUnião Democrática TimorenseProcesso de Reconciliação ComunitáriaKomisi Nasional Hak Asas ManusiaConvention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against WomenKomisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi ManusiaInternational Convention on the Rights of the ChildCNRT Conselho Nacional da Resistência Timorense (Formado em 1998)CPLPFokupersIC<strong>ES</strong>CRKUHAPKUHPTBOICRCSGIKopassandhaGPKNGOUNAMETUNTAETUNHCR/ACNUDHONUKodimKoramilHansipKoremPertaminaKopassusComunidade de Países de Língua PortuguesaForum Komunikasi Perempuan Timor Lorosa’eInternational Covenant on Economic, Social and Cultural RightsKitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaKitab Undang-Undang Hukum PidanaTenaga Bantuan OperasiInternational Committee of the Red CrossSatuan Gabungan IntelijenKomando Pasukan Sandhi YudhaGerombolan pengacau keamanan/Gerakan Pengacau KeamananNon Government OrganisationUnited Nations Assistance Mission to in East TimorUnited Nations Transitional Administration in East TimorUnited Nations High Commissioner for RefugeesOrganização das Nações UnidasKomando Distrik MiliterKomando Rayon MiliterPertahanan SipilKomando Region MiliterPerusahaan Pertambangan Minyak Dan GasKomando Pasukan Khusus230


Peta Timor-Leste231


Catatan1 Regulasi 10/2001 Pasal 13.1(a)(iv).2 Regulasi bagian 3.1(b)3 Regulasi bagian 13.1(a)(ii)4 Regulasi bagian 13.1(a)(i)5 Regulasi bagian 13.1(a)(iii)6 Regulasi bagian 13.1(a)(iv)7 Regulasi bagian 13.1(a)(v8 Regulasi bagian 13.1(vi)9 Regulasi bagian 13.1 (c)10 Regulasi bagian 13.1(d)11 Regulasi bagian 13.1(d) dan bagian 2112 Regulasi bagian 3.1(e)13 Regulasi bagian 3.1(g)14 Regulasi bagian 3.1(h)15 Regulasi bagian 3.1(f)16 Regulasi bagian 3.1(i)17 Ruth Hubscher, catatan tentang wawancara-wawancara disampaikan kepada CAVR, Juni 2004.18 CAVR, wawancara-wawancara dilakukan selama penjajakan internal PRK 2004.19 Regulasi Pemerintah Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor-Leste (UNTAET) No 10/2001 tentangPembentukan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor-Leste, 13 Juli 2001.20 Seperti yang disebutkan dalam Regulasi UNTAET No 10/2001, pasal 1 (g).21 Pemuka masyarakat, pidato diberikan pada pertemuan PRK di Maliana, Distrik Bobonaro, November 2003.22 Diambil dari wawancara oleh konsultan Lia Kent, 2004, diserahkan kepada CAVR.23 CAVR, Rekomendasi Penting dari Lokakarya CAVR, Menyelesaikan Masa Lalu untuk Menyambut MasaDepan, Dili, 7 Juli 2004.24 Florentina Gama, setelah memberi kesaksian di audensi distrik di Balibo, Bobonaro, 2003.25 Seorang Pengungsi dari Baucau di dalam rapat..26 Lihat paling akhir, Advisory Opinion on the Legal Consequences of the Construction of a Wall in the OccupiedPalestinian Territory, (2004) International Court of Justice [selanjutnya: ICJ], paragraf [selanjutnya: para] 155.27 Ini termasuk di dalam Resolusi Dewan Keamanan [selanjutnya: DK] 384, 22 Desember 1975; Resolusi DK389, 22 April 1976; Resolusi Sidang Umum [selanjutnya:SU] 3845 (XXX), 12 Desember 1975; Resolusi SU 31/53, 1Desember 1976; Resolusi SU 32/34, 28 November 1977; Resolusi SU 33/39, 13 Desemebr 1976, Resolusi SU 35/27, 11November 1980; Resolusi SU 36/50, 24 November 1981; Resolusi SU 37/30, 23 November 1982.28 Common article 1(2) dari Perjanjian Internasional atas Hak-hak Sipil dan Politik selanjutnya:PIHSP] dan Pasal1(2) dari Perjanjian Internasional atas Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya[selanjutnya: PIH<strong>ES</strong>B], Resolusi SU1514 (XV), 14 Desember 1960, para 2.29 Dokumen 391, Jakarta, 23 Desember 1975, dalam Wendy Way (ed.), Australia and the IndonesianIncorporation of Portuguese Timor 1974-1976, Department of Foreign Affairs and Trade Documents on AustralianForeign Policy, Melbourne University Press, Victoria, 2000 [selanjutnya: Wendy Way, (ed.), DFAT], hal 650.30 Wawancara CAVR dengan Carlos Vicente, Darulete, 8 Maret 2004.232


31 Wawancara CAVR dengan Anacleto Ximenes, Cairui, Manatuto, 12 Maret 2004.32 Wawancara CAVR dengan Cosme Freitas, Vemasse, Baucau, 10 April 200333 Communication, 21 Agustus 1979. John Waddingham, “Notes on ‘counter-insurgency’ in EastTimor: The Indonesian government’s resettlement program”, Dalam Panitia Pengawas Senat (SenateStanding Committee) tentang Masalah Luar Negeri dan Pertahanan (Referensi: Timor- Timur – HakAsasi Manusia dan Kondisi Rakyatnya), Persemakmuran Australia, Canberra, 1982, hal.715-748.34 Geoffrey Robinson, East Timor 1999 – Crimes against Humanity, Laporan dimandat oleh KantorTinggi Komisaris Hak Asasi Manusia PBB, (OHCHR), Juli 2003, diserahkan kepada CAVR pada bulanApril 2004, p.189.35 Pernyataan HRVD 2874.36 Wawancara CAVR dengan seorang mantan prajurit ABRI, umur 50 tahun, di Same, 13 Agustus2004.37 Peraturan UNTAET 2001/10, Bagian 3 dan 1 (c).38 Wawancara CAVR dengan Francisco Branco, Dili, 1 Agustus 2004.39 Wawancara CAVR dengan Sofia Mauzinho, Chai, Lautem, 10 Juli 2003.40 Wawancara CAVR dengan Jacinta da Costa Kouk, Lifau, Manatuto, 19 Marct2003.41 Wawancara CAVR dengan João Rui, Dili, 5 Mei2004.42 Wawancara CAVR dengan korban perbudakan seksual di Uatu-Lari, Viqueque, 18 September 2003.43 Konstitusi RDTL, Pasal 11, 2002.44 Pernyataan HRVD 6400.233

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!