Pelatihan Media Rakyat Bagi Penggerak Komunitasembangunanisme(developmentalisme) hanya bisaPmelahirkan kemakmuran bagisegelintir orang. Khususnya mereka yangmemiliki kekuasaan atau dekat dengankekuasaan. Sementara, kemanusiaansebagai dasar utama dari tatanan sosialpolitik,teramat rapuh dan mudah hancur.Terbukti, paradigma developmentalismegagal memahami faktor kemanusiaan.Masyarakat luas menjadi pasif,cenderung hanya menjadi objekpembangunan yang dirancang dandiarahkan pihak luar lewat pemerintah.Kecenderungan di atas, melahirlanefek negatif yakni keputusan ataukebijakan pemerintah selama ini tidakberorientasi pada kepentinganmasyarakat. Akibatnya, masyarakatterjerat dalam kubangan kemiskinan,karena struktur sosial dan politik hanyaberpihak pada sekelompok kecil orangyang berada dalam lingkar kekuasaan.Sementara, pengguliran konsepkebijakan desentralisasi lewat Otdabelum sepenuhnya efektif. Dalamrealitasnya, otoritas Pemerintah masihkuat, dan masyarakat sipil masih beradapada posisi terpinggirkan.Dalam mendorong peningkatanketerlibatan (Partisipasi) masyarakatdalam proses tata kelola kota <strong>Cirebon</strong>,sehingga memunculkan konsep keadilanantara masyarakat sipil, dunia usaha danpemerintah, maka diperlukan mediasebagai ruang aspirasi penyampaian idedan gagasan. Terkait soal media rakyatitu, maka Fahmina-Institute <strong>Cirebon</strong> padatanggal 2-4 Oktober 2004 lalu,melaksanakan Pelatihan Media Rakyatbagi Penggerak Komunitas bertempat diHotel Sidodadi Jl Siliwangi No 74 Kota<strong>Cirebon</strong>.Pelatihan yang berlangsung selama3 hari itu, menghadirkan Agus SetiawanSaputra dari CRI sebagai Fasilitator, danmelibatkan 10 peserta dari komunitaskelurahan (LPM) dan 10 peserta dariKomunitas Basis (Nelayan, PKL,Kawasan terminal, IRT dan Pebecak.Output dari pelatihan, diharapkan pesertabisa mengembangkan radio komunitas.Nantinya, radio itu bisa dipakai sebagaimedia bagi penyampaian ide ataugagasan mereka terkait persoalankebijakan kebijakan publik.Radio dipilih sebagai mediaalternatif bukan tanpa alasan. MenurutObeng Nur Rosyid, Program Officerkegiatan ini, dibandingkan media jenislain, radio memiliki banyak kelebihan. Diantaranya siaran radio mudah difahami,bahkan oleh mereka yang buta hurufsekalipun jelas Obeng. Biaya untukmendengarkan radio pun relatif lebihmurah. Selain itu, radio mampumenyiarkan informasi secara lebih cepatmenjangkau kesemua wilayah. “Yangterpenting radio komunitas mendorongterjadinya demokratisasi informasi yangcirinya antara lain beregamanankepemilikan dan keberagaman isiinformasi”, tutur Obeng.Lebih jauh, soal pentingnyapelatihan, dijelaskan Obeng sangatterkait dengan adanya ketimpangandalam hal kekuatan politik danpenguasaan informasi, antaramasyarakat sipil di satu pihak denganpemerintah dan dunia usaha di pihak lain.Ketimpangan itu, jelas Obengmenyebabkan masyarakat sipil tidakpernah bisa berpartisipasi secara baikdalam proses perencanaan,pelaksanaan, dan pengawasanpembangunan.Untuk itu, menurut Obengmasyarakat perlu dikuatkan sehinggaada keseimbangan dalam hal kekuatanpolitik dan penguasaan informasi antaramasyarakat sipil, pemerintah dan duniausaha. Sebagai ikhtiar solusi, jelasObeng pelatihan bertujuan untukmeningkatkan kapasitas bagimasyarakat sipil, khususnya yangmengarah pada kemampuan dalammengembangkan model media yang bisadigunakan oleh komunitas perkotaan,dalam hal ini radio komunitas.Dalam konteks program Fahmina<strong>institute</strong>sendiri, pelatihan ini menurutObeng menjadi penting. Mengingat, saatini kapasitas penggerak masyarakat yangada belum memadai dan mampu untukmengelola sebuah media rakyat, semisalradio komunitas. “Perlu ada sebuahruang untuk merumuskan strategipengembangan jaringan yang mengarahpada penguasaan media informasi dikomunitas perkotaan”, tuturnya.Pada akhir pelatihan, berhasildirumuskan beberapa rencana tindaklanjut pasca pelatihan antara lain :1. Mencari peluang bantuan dana untukmembangun sebuah radio komunitasdi tingkat kelurahan maupun basis.2. Membangun relasi/masukan dari mitrastrategis untuk mengembanganjaringan radio komunitas.3. Mengupayakan pelatihan lanjutan,bisa berupa workshop maupun studyke Combine Bandung untukmeningkatkan kapasitas pesertapelatihan.4. Melakukan sosialisasi lanjutan kekomunitas masing-masing, sepertikomunitas lembaga pemberdayaanmasyarakat dan komunitas Basis.5. Konsolidasi dan sosialisasi ke seluruh/berbagai pihak terkait untuk memintadukungan baik moril maupun materiil.Pelatihan ini diharapkan bisamenghadirkan aura perubahan yangkonstruktif pada komunitas kelurahandan komunitas basis di Kota <strong>Cirebon</strong>.Pasca pelatihan ini diharapkan munculide-ide kreatif dan bernas menyangkutpembangunan di kota <strong>Cirebon</strong>. Denganbegitu, pelaksanaan pembangunan ditingkat kelurahan dapat meningkatkankualitas kesejahteraan masyarakatsecara lebih otentik.*****add.22
Merubah Wajah Polisidengan COP (Comunity Oriented Policing)Oleh : Erlinus Yunus ThaharMendengar kata “Polisi” yang terlintas di benak kita pada umumnya tidak akan jauh dari apa yang ditayangkan oleh sejumlah acara kriminal dibeberapa stasiun TV swasta, seperti Buser di SCTV, Sergap di RCTI, Patroli di Indosiar dan lain-lainnya ; --Dunia kriminalitas, perampokan, pencurian,pembunuhan, yang penanganannya begitu lekat dengan tugas-tugas kepolisian--. Atau juga, kesan Polisi begitu kuat menempel dibenak kita ketikamenjumpainya di jalan raya ; yaitu POLANTAS yang tengah mengatur lalu lintas jalan.“Citra polisi” masa kini dimasyarakat kental dengan kekerasan. Kondisi itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Bahkan ada keengganan masyarakatketika ada peristiwa kriminal untuk melapor karena dianggap akan menyulitkan. Tayangan televisi seperti yang disebut diatas juga kerap menayangkan letusanpistol dan kekerasan ketika memburu dan menggeledah tersangka, semakin memperburuk image polisi. Namun seburuk itukah ? Apakah kita bisamengubahnya? Seiring perubahan politik yang tumbuh di masyarakat dengan semangat reformasi dan demokrasi melalui TAP MPR No IV/MPR/2000 dan TAPMPR No VII/MPR/2000 Polri dinyatakan lepas dari TNI, dan mesti menjalani fungsinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.Lepasnya Polri dari TNI, niscayanya diikuti dengan perubahan kultur militerisme menjadi berorientasi sipil (civilian oriented). Namun, tidaklah mudahmengubah budaya yang telah berkembang bertahun-tahun dan mengakar di tubuh Polri. Begitu pula stigma polisi yang ada di masyarakat. Padahal, di erareformasi ini, telah terjadi perubahan, --dimana masyarakat lebih kritis, terbuka dan demokratis. Hal itu membutuhkan perubahan kualitas pemolisian yangberbeda dengan kondisi masyarakat yang relatif stabil dan tenang---. Karena fungsi kepolisian tidak melulu menangani kasus-kasus kriminal saja, ada yang lebihpenting dan esensial yaitu sebagai kontrol sosial --dalam negara hukum kontrol itu menjadi kontrol sosial yang dilakukan oleh pemerintah hingga sifatnya jadibirokratis, prosedural dan formal. Sehingga seringkali polisi dianggap sebagai penjaga status quo. Padahal mestinya polisi juga menjaga “status kehidupan”dengan memahami secara lebih mendalam persoalan-persoalan yang ada dimasyarakat.Aksi unjuk rasa, penggusuran, urbanisasi, perburuhan, HAM, pencemaran lingkungan, illegal logging, perdagangan perempuan dan anak-anak(traficking), adalah masalah-masalah yang sangat marak akhir-akhir ini ada didepan mata polisi dan butuh penanganan yang berbeda. Memahami danmengurangi beban korban adalah salah satu contoh konkret apa yang disebut menjaga kualitas kehidupan. Maka, perubahan paradigma kepolisian menjadiberorientasi sipil adalah suatu keharusan bagi Civil Society. Wajah polisi harus lebih ramah dan berpihak pada masyarakat. Karena selama ini sebenarnya telahterjadi ketidakpuasan masyarakat atas citra dan kinerja institusi penegak hukum disamping keinginan polisi untuk mereformasi dirinya sendiri paska pisah dariTNI.Salah satu jawabannya, --walaupun perlu kajian lebih dalam dan disesuaikan dengan kultur domestik, salah satunya mungkin dengan programComunity Oriented Policing (COP) atau polisi yang berorientasi pada masyarakat. Program itu telah lebih dua tahun diprogramkan oleh PUSHAM UII Yogyakartadi beberapa kelurahan dan kecamatan di Yogyakarta, dimana hasilnya dapat diketahui ada perubahan paradigma dalam masyarakat tentang keberadaan polisi,begitu juga performa polisi di dalam masyarakat. Walaupun program ini sebenarnya telah lama dikembangkan misalnya di Amerika seperti yang diungkap dalambuku “Surpervising Police Personal” oleh Paul Whisenan dan George M. Rush mengutip laporan Komisi Independen tentang Kepolisian LAPD : “ modelpemolisian berbasis masyarakat atau COP memperlalukan pelayanan kepada masyarakat dan pencegahan kejahatan sebagai fungsi utama kepolisian di dalammasyarakat. Model pemolisian berbasis masyarakat (COP) telah berkembang dan mendapat penerimaan yang meluas pada tahun 1880-an.” Disamping itu jugaseperti apa yang diamanatkan oleh Resolusi PBB No. 34/169 Ags 17 Desember 1979 yang merekomendasikan ditetapkannya strategi pemolisian berbasismasyarakat yang mencakup : Bagaimana membangun komitmen antar polisi dengan warga masyarakat yang taat hukum dan menerapkan kebijakan danrencana aksi tentang hubungan masyarakat.Kita mungkin telah akrab dengan istilah Siskamling, Ronda, Hansip, Pamswakarsa dan lain-lainnya, yang lebih mengedepankan swadaya masyarakatterhadap keamanan wilayahnya masing-masing. Walaupun sama-sama membutuhkan partisipasi masyarakat, tetapi penekanannya tidak melulu soalkeamanan melainkan juga kondisi sosial secara umum, juga peran aktif polisi dalam berbaur di masyarakat yang lebih intensif. Adanya POKJA-POKJA(Kelompok Kerja) tentang COP di beberapa kelurahan di Yogyakarta tersebut yang terdiri beberapa elemen masyarakat baik tokoh masyarakat, pemuda, iburumah tangga dan polisi memberikan pemahaman masyarakat akan tugas-tugas kepolisian dan bersama merumuskan peran serta aktif masyarakat dalammembantu tugas-tugas kepolisian dan bisa juga menjadi ruang bagi kepolisian untuk memahami kebutuhan dan kondisi masyarakat seacara utuh sehinggakomunikasi berjalan baik melalui pertemuan reguler dan aksi sosial lainnya.Namun, secara mandat, Community Oriented Policing (COP) bertujuan untuk menstimulasi dan mendorong akselarasi reformasi polisi, bukan sekadarmenjalin hubungan “baik-baik” antara polisi dan masyarakat, yang mana relasi yang dijalankan adalah komunikasi yang kritis, terbuka rasional. Hubungan yang“baik-baik” saja kadang berpotensi untuk menutupi kesalahan polisi atau sebaliknya, serta “mendomestikasi” keadaan kritis masyarakat. Meski banyaktantangan baik secara internal dan eksternal, Civilisasi Polisi hendaknya menjadi tugas kita bersama. Diantaranya, adalah Persoalan masih serba minimnyakesejahteraan anggota polisi yang sering menjadi alasan menurunnya kinerja polisi seperti yang dilansir oleh Political and Economic Risk (PERC), sebuahlembaga penelitian di Hongkong, yang menyebutkan bahwa sistem peradilan dan kepolisian Indonesia terburuk di Asia. Valid atau tidak, citra POLRI mestidicermati. Namun, indikatornya menunjukkan adanya perbedaan penghasilan antara anggota polisi Indonesia dengan Pegawai Administrasi Keuangan setaraf ;yaitu hanya 22 %, bandingkan dengan Singapura 150 %, Malaysia 67 %, Thailand 47 %, Filipina 51 %, Hongkong 110 % dan Vietnam 38 %.Dengan kondisi diatas, kita terpaksa melihat banyak anggota polisi nyambi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan disinilah sering terjadipenyalahgunaan wewenang. Seringkali kehadiran polisi di jalan tidak memberi kenyamanan bagi pengguna lalu lintas, tetapi mengundang rasa takut untukditilang. Atau kehadiran polisi di pusat-pusat keramaian sering diikuti dengan soal upeti. Sehingga kondisi internal polisi itu sendiri menjadi sebuah tantanganlain. Adrianus Meliala, kriminolog UI dan staf ahli Kapolri, mengatakan bahwa COP sebagai sebuah gagasan atau program sudah menjadi agenda dan perhatianMabes Polri, tetapi karena banyak hal yang perlu dibenahi dan budaya militeris yang masih kuat, maka program COP masih ditanggapi dengan setengah hati.Artinya, mengharapkan “political will” sepenuhnya dari pemerintah dan POLRI sendiri sangatlah berat walaupun seperangkat aturan sudah menyemangatinya.Sebagai bagian dari kebutuhan bermasyarakat madani, ditengah keterbatasan dana dan rendahnya kesejahteraan polisi kita, barangkali tugas kitabersama untuk mengembangkan COP di wilayah masing-masing (local situation), tentunya dengan modifikasi dan menyesuaikan dengan kultur setempat.Pendekatan sosial dan budaya menjadi intsrumen penting dalam mewujudkan COP. Keberhasilan program COP, secara menyeluruh akan mengubah strategidan wajah POLRI ke depan, sehingga gagasan dan program ini menjadi skema POLRI di masa mendatang.Sehingga apa yang menjadi salah satu prinsip dasar COP, yaitu mengubah fokus pengamanan dari fokus reaktif pada kontrol kejahatan menjadi fokusproaktif pada penyebab kejahatan dan kekerasan disamping pemahaman kondisi sosial budaya masyarakat lokal maupun secara umum bisa terwujud dan polisibisa berwajah lebih “bersahabat” kepada masyarakat. Karenanya, --tragedi seperti di Bojong Bogor ; dimana polisi begitu brutalnya kepada masyarakat hanyakarena pro kontra soal TPST ( Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) tak perlu terjadi lagi--***23