25.12.2013 Views

keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan ...

keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan ...

keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN,<br />

TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA<br />

DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE<br />

DI TEGAL ALUR, JAKBAR<br />

Anne Puspitasari<br />

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT<br />

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA<br />

INSTITUT PERTANIAN BOGOR<br />

2011


ABSTRACT<br />

ANNE PUSPITASARI. Food Consumption, Health Status, Depression Level and<br />

Nutritional Status of Elderly Participant and Non Participants Home Care in Tegal<br />

Alur, West Jakarta. Under direction CLARA M KUSHARTO.<br />

Home care is a service system which is used to overcome problems<br />

arising from the increasing number of elderly population, such as malnutrition.<br />

The purpose of this study was to identify food consumption, health <strong>status</strong>,<br />

depression level and nutritional <strong>status</strong> of elderly participants and non participants<br />

Home Care, as well as to analyze the relationship. A cross sectional study was<br />

conducted on elderly people aged 60 years and above in Tegal Alur, West<br />

Jakarta. A total of 60 elderly (30 participant and 30 non participants) were actively<br />

followed as participants. They were interviewed on demography and social<br />

economic <strong>status</strong>, one-month semi-quantitative food frequency questionnaire,<br />

health <strong>status</strong>, geriatric depression scale (GDS) short version, and assessed by<br />

anthropometric measures. Average level of adequacy energy, protein, calcium,<br />

phosphorus <strong>dan</strong> vitamin C of participant relatively lower than non participants<br />

(87,5% vs 95,5%; 80% vs 90%; 51,4% vs 59,2%; 104% vs 116,1% and 73,1%<br />

vs74,9%, respectively). The study showed that no significant difference in term<br />

food consumption, health <strong>status</strong>, depression level, and nutritional <strong>status</strong> between<br />

the elderly participant vs non participants. And as much as 63,3 % participant and<br />

53,3% non participants experienced more than one type of health complaince<br />

and most of them are well nourished and not depressed. The statistical analysis<br />

with correlation test showed that health <strong>status</strong> of elderly significantly positive with<br />

the level of depression. While other variables such as duration of illness<br />

significantly negative with level of adequacy of energy, protein, minerals, and<br />

nutritional <strong>status</strong>. Percent RDA of energy, protein and minerals are positively<br />

associated with nutritional <strong>status</strong>.<br />

Key words: elderly, home care, health <strong>status</strong>


RINGKASAN<br />

ANNE PUSPITASARI. Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat<br />

Depresi <strong>dan</strong> Status Gizi Lansia Peserta <strong>dan</strong> Bukan Peserta Program Home Care<br />

di Tegal Alur, Jakbar. Dibawah bimbingan CLARA M KUSHARTO.<br />

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari <strong>keragaan</strong><br />

<strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi lansia<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta program home care di Tegal Alur, Jakbar. Adapun<br />

tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi penyelenggaraan home care di<br />

Tegal Alur; 2) mengidentifikasi karakteristik lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta<br />

home care; 3) membandingkan <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> lansia peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta home care; 4) membandingkan <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> lansia peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care, 5) membandingkan <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> lansia peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care; 6) membandingkan <strong>status</strong> gizi lansia peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care; 7) menganalisis hubungan <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>, <strong>status</strong><br />

<strong>kesehatan</strong>, <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong>, <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi lansia.<br />

Penelitian dilakukan di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat pada bulan<br />

September sampai November 2010 dengan menggunakan desain cross<br />

sectional study. Contoh dalam penelitian ini diambil secara purposive dengan<br />

kriteria inklusi lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap stroke atau<br />

gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik),<br />

dapat berkomunikasi dengan baik, <strong>dan</strong> bersedia diwawancara sebagai<br />

responden. Jumlah contoh dalam penelitain ini adalah 60 orang lansia, masingmasing<br />

30 orang untuk lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care.<br />

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer <strong>dan</strong> data sekunder yang<br />

dikumpulkan melalui wawancara <strong>dan</strong> pengukuran langsung. Data primer meliputi<br />

data karakteristik responden (umur, jenis kelamin, <strong>tingkat</strong> pendidikan, pekerjaan,<br />

sumber pendapatan, <strong>status</strong> pernikahan, living arrangement), <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>,<br />

<strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> (keluhan <strong>kesehatan</strong>, lama sakit, frekuensi sakit, <strong>dan</strong> tindakan<br />

pengobatan) sebulan terakhir, <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> satu minggu terakhir <strong>dan</strong> data<br />

<strong>status</strong> gizi. Data sekunder meliputi pelaksanaan home care di Tegal Alur. Data<br />

kemudian dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell<br />

2007 <strong>dan</strong> SPSS for Windows versi 16.<br />

Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan <strong>dan</strong> perawatan lanjut<br />

usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit,<br />

kesepian, <strong>dan</strong> tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis<br />

keluarga. Proses/ tahapan penyelenggaraan home care di Tegal Alur meliputi<br />

sosialisasi, seleksi calon pendamping, pemantapan pendamping, pendataan<br />

lansia calon penerima layanan, implementasi program serta monitoring, evaluasi<br />

<strong>dan</strong> pelaporan. Pelayanan yang diberikan berkembang tiap tahunnya, tahun<br />

2004 pelayanan yang diberikan hanya pelayanan sosial berupa kunjungan<br />

pendamping 1x/minggu kemudian berkembang pada tahun 2009 dengan<br />

program pelayanan <strong>kesehatan</strong>, ramah lansia, senam lansia, pemberian sembako<br />

1x/bulan <strong>dan</strong> pinjaman modal UEP (Usaha Ekonomi Produktif). Tahun 2010,<br />

bantuan JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia) dari Depsos <strong>dan</strong> perbaikan kamar<br />

lansia dari PT Sido Muncul dapat dilaksanakan.<br />

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta berada pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) berjenis kelamin<br />

perempuan. Persentase terbesar <strong>tingkat</strong> pendidikan lansia peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta adalah tidak pernah sekolah. Sebagian besar lansia peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta tidak bekerja dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari anak.


Status pernikahan lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta sebagain besar ber<strong>status</strong><br />

cerai mati sehingga lansia lebih banyak yang tinggal bersama keluarga.<br />

Lansia pada kedua kelompok mengonsumsi nasi lebih dari satu kali<br />

dalam 1 hari dengan lauk tempe <strong>dan</strong> tahu. Pangan sumber protein hewani,<br />

sayur-mayur <strong>dan</strong> buah-buahan hanya di<strong>konsumsi</strong> secara mingguan oleh lansia<br />

pada kedua kelompok. Jenis <strong>pangan</strong> lainnya yang di<strong>konsumsi</strong> satu kali dalam<br />

satu hari adalah kopi (lansia peserta) <strong>dan</strong> bakwan (lansia bukan peserta).<br />

Rata-rata <strong>konsumsi</strong> nasi pada lansia bukan peserta home care (386,7<br />

gram/hari) jumlahnya lebih banyak dibandingkan lansia peserta home care (375<br />

gram/hari) dengan lauk tempe <strong>dan</strong> tahu. Ikan basah, telur, <strong>dan</strong> susu di<strong>konsumsi</strong><br />

sebagai protein hewani yang terbesar jumlahnya di<strong>konsumsi</strong>. Sayur berdaun<br />

hijau <strong>dan</strong> sayur lain di<strong>konsumsi</strong> dengan kuantitas terbesar. Buah-buahan yang<br />

di<strong>konsumsi</strong> dengan kuantitas terbesar adalah mangga (198,4 g/minggu) pada<br />

lansia peserta <strong>dan</strong> pepaya (298,6 g/minggu) pada lansia bukan peserta. Selain<br />

itu, <strong>pangan</strong> lainnya yang di<strong>konsumsi</strong> dengan kuantitas terbesar pada lansia<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta adalah bakwan.<br />

Rata-rata <strong>tingkat</strong> kecukupan energi <strong>dan</strong> protein lansia peserta temasuk<br />

defisit <strong>tingkat</strong> ringan <strong>dan</strong> normal pada lansia bukan peserta. Tingkat kecukupan<br />

kalsium pada kedua kelompok termasuk dalam kategori kurang, se<strong>dan</strong>gkan<br />

<strong>tingkat</strong> kecukupan fosfor pada kedua kelompok cukup. Tingkat kecukupan<br />

vitamin A pada kedua kelompok cukup, se<strong>dan</strong>gkan <strong>tingkat</strong> kecukupan vitamin C<br />

termasuk dalam kategori kurang. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang<br />

nyata <strong>tingkat</strong> kecukupan gizi antara kedua kelompok (p>0,05).<br />

Lebih dari separuh lansia peserta (63,3%) <strong>dan</strong> bukan peserta (53,3%)<br />

mengalami lebih dari satu jenis keluhan <strong>kesehatan</strong> dalam satu bulan terakhir. Uji<br />

Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata keluhan <strong>kesehatan</strong><br />

yang dialami lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta (p>0,05). Jenis penyakit infeksi<br />

yang paling banyak diderita lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta adalah ISPA<br />

(infeksi saluran pernapasan akut). Penyakit non infeksi yang paling banyak<br />

diderita lansia peserta adalah hipertensi, katarak <strong>dan</strong> rematik, se<strong>dan</strong>gkan pada<br />

lansia bukan peserta adalah hipertensi, asam urat <strong>dan</strong> maag. Jenis keluhan yang<br />

paling banyak dirasakan lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta adalah pegal-pegal.<br />

Rata-rata lama sakit terpanjang pada lansia peserta adalah penyakit ISPA,<br />

se<strong>dan</strong>gkan pada lansia bukan peserta adalah TBC. Frekuensi sakit yang paling<br />

sering diderita dalam satu bulan terakhir, baik oleh peserta maupun bukan<br />

peserta adalah demam. Berdasarkan tindakan pengobatan, persentase terbesar<br />

lansia peserta memilih pergi ke puskesmas, se<strong>dan</strong>gkan lansia bukan peserta<br />

memilih untuk menggunakan obat warung dalam mengatasi gangguan<br />

<strong>kesehatan</strong> yang dialami.<br />

Menurut kategori <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong>, sebanyak 73,3% lansia peserta <strong>dan</strong><br />

66,7% lansia bukan peserta tergolong kategori normal. Hasil uji Mann Whitney<br />

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> pada<br />

kedua kelompok. Bagian terbesar <strong>status</strong> gizi lansia peserta (46,7%) <strong>dan</strong> lansia<br />

bukan peserta (56,7%) ber<strong>status</strong> gizi normal. Hasil uji T menunjukkan tidak<br />

terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) <strong>status</strong> gizi pada kedua kelompok.<br />

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata <strong>dan</strong><br />

negatif antara lama sakit infeksi dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan energi, <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan protein, <strong>tingkat</strong> kecukupan kalsium <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan fosfor.<br />

Artinya semakin lama durasi sakit maka <strong>tingkat</strong> kecukupan kecukupan energi,<br />

<strong>tingkat</strong> kecukupan protein, <strong>tingkat</strong> kecukupan kalsium <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan<br />

fosfor semakin rendah. Terdapat hubungan yang nyata <strong>dan</strong> positif antara<br />

keluhan <strong>kesehatan</strong> dengan <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong>. Artinya semakin banyak keluhan<br />

<strong>kesehatan</strong> yang dialami maka <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> akan semakin tinggi. Tetapi tidak


terdapat hubungan yang nyata antara <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan<br />

zat gizi. Terdapat hubungan sangat nyata <strong>dan</strong> positif antara <strong>tingkat</strong> kecukupan<br />

energi, <strong>tingkat</strong> kecukupan protein, <strong>tingkat</strong> kecukupan kalsium <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan fosfor dengan <strong>status</strong> gizi. Artinya semakin tinggi <strong>tingkat</strong> kecukupan<br />

energi, <strong>tingkat</strong> kecukupan protein, <strong>tingkat</strong> kecukupan kalsium <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan fosfor maka <strong>status</strong> gizi akan semakin tinggi. Terdapat hubungan yang<br />

nyata <strong>dan</strong> negatif antara lama sakit infeksi dengan <strong>status</strong> gizi.


KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN,<br />

TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA<br />

DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE<br />

DI TEGAL ALUR, JAKBAR<br />

ANNE PUSPITASARI<br />

Skripsi<br />

Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar<br />

Sarjana Gizi pada<br />

Departemen Gizi Masyarakat<br />

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT<br />

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA<br />

INSTITUT PERTANIAN BOGOR<br />

2011


Judul<br />

Nama<br />

NIM<br />

: Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat Depresi<br />

<strong>dan</strong> Status Gizi Lansia Peserta <strong>dan</strong> Bukan Peserta Program Home<br />

Care di Tegal Alur, Jakbar<br />

: Anne Puspitasari<br />

: I14061204<br />

Disetujui :<br />

Dosen Pembimbing<br />

Prof. Dr. Drh. Clara M. Kusharto, M.Sc<br />

NIP 19510719 198403 2 001<br />

Diketahui,<br />

Ketua Departemen Gizi Masyarakat<br />

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS<br />

NIP 19621218 198703 1 001<br />

Tanggal Lulus :


PRAKATA<br />

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.<br />

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan<br />

rahmat <strong>dan</strong> hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.<br />

Penulisan skripsi yang berjudul “Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan,<br />

Tingkat Depresi <strong>dan</strong> Status Gizi Lansia Peserta <strong>dan</strong> Bukan Peserta Program<br />

Home Care di Tegal Alur, Jakbar” dilakukan sebagai salah satu syarat guna<br />

memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas<br />

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin<br />

menyampaikan terima kasih kepada:<br />

1. Prof. Dr. drh. Clara M Kushatro, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi<br />

yang telah meluangkan waktu <strong>dan</strong> pikiran untuk membimbing <strong>dan</strong><br />

mengarahkan penulis selama melakukan penelitian <strong>dan</strong> penulisan skripsi.<br />

2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemadu seminar <strong>dan</strong> penguji<br />

atas masukan <strong>dan</strong> kritikan yang telah diberikan.<br />

3. Dra. Eva A. J. Sabdono, MBA selaku ketua Yayasan Emong Lansia (YEL)<br />

beserta staff lainnya, terutama Ibu Dida Soerodjo, yang telah memberikan<br />

izin penulis untuk melakukan penelitian<br />

4. Drs. Sofyan Manurung selaku koordinator lapang YEL, Ibu Suciati selaku<br />

koordinator pendamping, ibu-ibu pendamping home care yang telah<br />

membantu kelancaran penelitian serta para lansia yang telah bersedia<br />

diwawancarai.<br />

5. Bapak, mamah, adik, kakak serta keluarga tercinta atas doa, dukungan<br />

<strong>dan</strong> nasihat yang tiada henti diberikan.<br />

6. Fitria Dwinanda <strong>dan</strong> Sulastri yang telah meluangkan waktu <strong>dan</strong><br />

membantu penulis saat pengambilan data.<br />

7. Karlina, Merita, Siti Masturoh <strong>dan</strong> Lutfhi selaku pembahas seminar<br />

8. Teman-teman Pondok Assalamah (Mba Tatik, Dewi, Ninda, Evi, Siti, Mey,<br />

Mai, Fathin, Ayu) yang telah memberikan dukungan <strong>dan</strong> bantuannya<br />

selama penulisan skripsi serta terima kasih atas kehangatan seperti<br />

keluarga yang telah dihadirkan selama kebersamaan kita.<br />

9. Bebeh-bebeh (Hany, Fitri, Yessica, Mpie) <strong>dan</strong> teman seperjuangan<br />

(Andris, Arina) atas doa, dukungan <strong>dan</strong> bantuan selama ini, semoga<br />

persaudaraan kita selalu terjaga.


10. Teman – teman Gizi Masyarakat 43 atas segala dukungan yang telah<br />

diberikan serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu<br />

yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.<br />

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh<br />

karena itu kritik <strong>dan</strong> saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis<br />

berharap penelitian ini dapat memberikan informasi baru <strong>dan</strong> bermanfaat bagi<br />

semua.<br />

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.<br />

Bogor, Mei 2010<br />

Anne Puspitasari


RIWAYAT HIDUP<br />

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 9 Mei 1988. Penulis<br />

merupakan anak ke empat dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Dede<br />

Setiawan <strong>dan</strong> Ibu Ai Sumiati. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1994 – 2000<br />

di SDN Tarogong 2. Penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 1 Garut pada tahun<br />

2000 – 2003. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis pada tahun 2003 –<br />

2006 di SMA 1 Tarogong Kidul.<br />

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur<br />

Un<strong>dan</strong>gan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Pada tahun 2007,<br />

penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas<br />

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis<br />

tercatat sebagai staf Divisi Klub Peduli Pangan <strong>dan</strong> Gizi (KPPG) HIMAGIZI<br />

2007/2008. Penulis juga tercatat sebagai sekertaris OMDA (Organisasi<br />

Mahasiswa Daerah) Garut 2008/2009. Selain itu, penulis aktif dalam berbagai<br />

kepanitiaan yang diselenggarakan oleh HIMAGIZI, BEM Fakultas Ekologi<br />

Manusia <strong>dan</strong> OMDA Garut.<br />

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Petir,<br />

Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor pada tahun 2009. Penulis juga<br />

melaksanakan Internship Dietetika di RSIJ Pondok Kopi Jakarta pada tahun<br />

2010. Sejak tahun 2010 – 2011 penulis aktif mengajar di pusat bimbingan belajar<br />

Genpi (Generasi Prestasi) sebagai pengajar Matematika <strong>dan</strong> IPA/IPS.


DAFTAR ISI<br />

DAFTAR ISI .............................................................................................. x<br />

Halaman<br />

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi<br />

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii<br />

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv<br />

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1<br />

Latar Belakang ................................................................................... 1<br />

Tujuan ................................................................................................ 2<br />

Kegunaan .......................................................................................... 3<br />

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4<br />

Lansia ................................................................................................ 4<br />

Konsumsi Pangan .............................................................................. 5<br />

Status Kesehatan ............................................................................... 9<br />

Tingkat Depresi .................................................................................. 11<br />

Status Gizi ......................................................................................... 13<br />

Home Care ........................................................................................ 16<br />

KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 19<br />

METODE PENELITIAN ............................................................................. 21<br />

Desain, Tempat, <strong>dan</strong> Waktu ............................................................... 21<br />

Jumlah <strong>dan</strong> Cara Penarikan Contoh .................................................. 21<br />

Jenis <strong>dan</strong> Cara Pengumpulan Data ................................................... 21<br />

Pengolahan <strong>dan</strong> Analisis Data ........................................................... 22<br />

Definisi Operasional ........................................................................... 25<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 28<br />

Gambaran Umum Lokasi ................................................................... 28<br />

Home Care di Tegal Alur .................................................................... 29<br />

Latar Belakang Penyelenggaraan Home Care .............................. 29<br />

Tahapan Penyelenggaraan Home Care ....................................... 30<br />

Sasaran Pelayanan Home Care ................................................... 32<br />

Jenis Pelayanan Home Care ......................................................... 33<br />

Pendamping Home Care ............................................................... 35<br />

Peserta <strong>dan</strong> Bukan Peserta Home Care ...................................... 36<br />

Penyelenggaraan Home Care di Negara Lain .............................. 37<br />

Karakteristik Lansia ............................................................................ 39<br />

Usia ............................................................................................. 39<br />

Jenis Kelamin ............................................................................... 40<br />

Tingkat Pendidikan ....................................................................... 40<br />

Pekerjaan ..................................................................................... 41<br />

Sumber Pendapatan .................................................................... 42<br />

Status Pernikahan ........................................................................ 42<br />

Living Arrangement ...................................................................... 43<br />

Konsumsi Pangan .............................................................................. 44<br />

Frekuensi, Jumlah, <strong>dan</strong> Jenis Konsumsi Pangan ......................... 44<br />

Konsumsi <strong>dan</strong> Tingkat Kecukupan Zat Gizi .................................. 50


Status Kesehatan ............................................................................... 53<br />

Keluhan Kesehatan ...................................................................... 53<br />

Jenis Penyakit <strong>dan</strong> Keluhan Kesehatan ....................................... 54<br />

Lama <strong>dan</strong> Frekuensi Sakit ............................................................. 55<br />

Tindakan Pengobatan .................................................................. 56<br />

Tingkat Depresi .................................................................................. 57<br />

Status Gizi ......................................................................................... 60<br />

Hubungan Antarvariabel ....................................................................... 61<br />

Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Tingkat<br />

Kecukupan Zat Gizi ...................................................................... 61<br />

Hubungan Status Kesehatan (Keberadaan Keluhan) dengan<br />

Tingkat Depresi ............................................................................ 61<br />

Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat Kecukupan<br />

Zat Gizi ........................................................................................ 62<br />

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan<br />

Status Gizi ................................................................................... 62<br />

Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan<br />

Status Gizi ................................................................................... 62<br />

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 63<br />

Kesimpulan .......................................................................................... 63<br />

Saran ................................................................................................... 64<br />

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65<br />

LAMPIRAN ................................................................................................ 68


Nomor<br />

DAFTAR TABEL<br />

Halaman<br />

1 Angka kecukupan gizi untuk lansia per orang per hari ................. 7<br />

2 Klasifikasi <strong>status</strong> gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia ......... 15<br />

3 Variabel <strong>dan</strong> indikator data yang dianalisis .................................. 24<br />

4 Perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care ............................................................ 37<br />

5 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut usia .... 40<br />

6 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

jenis kelamin ................................................................................. 40<br />

7 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

<strong>tingkat</strong> pendidikan ......................................................................... 41<br />

8 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

pekerjaan ...................................................................................... 41<br />

9 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

sumber pendapatan ...................................................................... 42<br />

10 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

<strong>status</strong> pernikahan ......................................................................... 43<br />

11 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

living arrangement ....................................................................... 43<br />

12 Frekuensi <strong>dan</strong> jumlah <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> sumber karbohidrat<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care ......................................... 44<br />

13 Frekuensi <strong>dan</strong> jumlah <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> sumber protein hewani<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care ......................................... 45<br />

14 Frekuensi <strong>dan</strong> jumlah <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> sumber protein nabati<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care ......................................... 46<br />

15 Frekuensi <strong>dan</strong> jumlah <strong>konsumsi</strong> sayur-mayur peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care ............................................................. 47<br />

16 Frekuensi <strong>dan</strong> jumlah <strong>konsumsi</strong> buah-buahan peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care ............................................................. 49<br />

17 Frekuensi <strong>dan</strong> jumlah <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> lainnya peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care ............................................................. 50<br />

18 Rata-rata <strong>konsumsi</strong> <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care ............................................................. 51<br />

19 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

keberadaan keluhan <strong>kesehatan</strong> ................................................... 53<br />

20 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut jenis<br />

penyakit <strong>dan</strong> keluhan .................................................................... 55


Nomor<br />

Halaman<br />

21 Rata-rata lama <strong>dan</strong> frekuensi sakit selama satu bulan<br />

terakhir .......................................................................................... 56<br />

22 Tindakan pengobatan yang dilakukan peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta home care......................................................................... 56


Nomor<br />

DAFTAR GAMBAR<br />

Halaman<br />

1 Alat pengukur tinggi lutut, kaliper (kiri) <strong>dan</strong> papan kayu<br />

pembentuk 90 0 ......................................................................... 14<br />

2 Posisi lutut membentuk 90 0 ...................................................... 14<br />

3 Cara pengukuran tinggi lutut posisi terlentang ......................... 14<br />

4 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi <strong>status</strong> gizi<br />

pada lansia ............................................................................... 20<br />

5 Sebaran jawaban SDG per pertanyaan ................................... 57<br />

6 Sebaran <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta<br />

home care ...............................................................................<br />

7 Sebaran <strong>status</strong> gizi lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta<br />

home care menurut IMT ...........................................................<br />

59<br />

60


Nomor<br />

DAFTAR LAMPIRAN<br />

Halaman<br />

1 Jenis <strong>pangan</strong> yang biasa di<strong>konsumsi</strong> peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta home care ................................................................... 68<br />

2 Rata-rata <strong>konsumsi</strong>, angka kecukupan <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan<br />

zat gizi peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care ........................ 69<br />

3 Dokumentasi kegiatan ............................................................. 70


PENDAHULUAN<br />

Latar Belakang<br />

Keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di Indonesia, terutama<br />

di bi<strong>dan</strong>g <strong>kesehatan</strong> berdampak pada penurunan angka kelahiran, penurunan<br />

kematian bayi, penurunan fertilitas <strong>dan</strong> peningkatan usia harapan hidup.<br />

Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk<br />

usia lanjut. Kementrian Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat (2010)<br />

melaporkan bahwa Indonesia memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia<br />

(aging structured population) karena pada tahun 2000 jumlah penduduk yang<br />

berusia diatas 60 tahun sebesar 7,18 persen. Pada tahun 2010 diperkirakan usia<br />

harapan hidup penduduk Indonesia adalah 67,4 tahun dengan jumlah lansia<br />

mencapai 23,9 juta jiwa (9,77%) <strong>dan</strong> diperkirakan akan menjadi 28 juta lebih<br />

pada tahun 2020.<br />

Namun di satu sisi, a<strong>dan</strong>ya peningkatan jumlah lansia berdampak<br />

timbulnya berbagai masalah jika tidak ditangani dengan segera. Salah satu<br />

masalah yang mungkin terjadi adalah terkait gizi. Beberapa kelompok dalam<br />

populasi lansia beresiko terkena malnutrisi. Malnutrisi pada lansia sama halnya<br />

seperti pada balita atau dewasa, lansia dapat mengalami gizi kurang maupun gizi<br />

lebih. Boedhi-Darmoyo (1995) diacu dalam Muis (2006) melaporkan bahwa<br />

lansia di Indonesia yang ada dalam keadaan kurang gizi sejumlah 3,4 persen,<br />

berat ba<strong>dan</strong> kurang sebesar 28,3 persen, berat ba<strong>dan</strong> ideal berjumlah 42,4<br />

persen, berat ba<strong>dan</strong> lebih ada 6,7 persen <strong>dan</strong> obesitas sebanyak 3,4 persen.<br />

Masalah gizi pada lansia dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan<br />

<strong>dan</strong> <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> mereka. Secara alamiah lansia akan mengalami<br />

kemunduran (degenerasi) fungsi organ-organ tubuh. Sari (2006) menambahkan<br />

dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan indera penciuman <strong>dan</strong><br />

pengecapan mulai menurun. Selain itu, hilangnya sebagian geligi sering<br />

menimbulkan lansia tidak nafsu makan <strong>dan</strong> menyebabkan berkurangnya asupan<br />

makanan pada lansia. Faktor <strong>kesehatan</strong> yang berperan dalam masalah gizi<br />

adalah naiknya insidensi penyakit degeneratif <strong>dan</strong> nondegeneratif yang berakibat<br />

pada perubahan asupan makanan, perubahan absoprsi <strong>dan</strong> utilisasi zat-zat gizi<br />

pada <strong>tingkat</strong> jaringan serta penggunaan obat-obat tertentu yang harus diminum<br />

lansia karena penyakit yang se<strong>dan</strong>g diderita (Muis 2006).<br />

Perubahan kondisi ekonomi akibat masa pensiun, isolasi sosial berupa<br />

hidup sendiri setelah pasangannya meninggal <strong>dan</strong> rendahnya pemahaman gizi


menyebabkan memburuknya keadaan gizi lansia (Muis 2006). Perubahanperubahan<br />

pada <strong>tingkat</strong> demografi, lingkungan fisik serta sosial dapat<br />

menempatkan lansia pada posisi yang sulit sehingga memungkinkan lansia<br />

mengalami gejala <strong>depresi</strong>. Harris (2004) menyatakan bahwa <strong>depresi</strong> dapat<br />

mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> kesejahteraan<br />

secara keseluruhan.<br />

Home care atau pelayanan berbasis keluarga merupakan salah satu<br />

sistem pelayanan yang dicoba oleh Depsos untuk mengatasi keterbatasan<br />

PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha) dalam memberikan pelayanan pada lansia<br />

terlantar. Saat ini home care sudah berjalan di 10 provinsi di Indonesia, salah<br />

satunya di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat. Home care di Tegal Alur telah<br />

menyelenggarakan berbagai pelayanan untuk meningkatkan kualitas hidup<br />

lansia peserta home care seperti pelayanan sosial, pelayanan <strong>kesehatan</strong> <strong>dan</strong><br />

pemenuhan kebutuhan lansia. Akan tetapi karena keterbatasan pendamping,<br />

belum seluruhnya lansia terlantar di Tegal Alur mendapatkan pelayanan yang<br />

sama. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mempelajari<br />

<strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi lansia<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care di Tegal Alur, Jakarta Barat.<br />

Tujuan<br />

Tujuan Umum<br />

Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari <strong>keragaan</strong> <strong>konsumsi</strong><br />

<strong>pangan</strong>, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi lansia peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care.<br />

Tujuan Khusus<br />

Tujuan khusus penelitian ini adalah:<br />

1. Mengidentifikasi penyelenggaraan home care di Tegal Alur<br />

2. Mengidentifikasi karakteristik contoh, meliputi usia, jenis kelamin, <strong>tingkat</strong><br />

pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, <strong>status</strong> pernikahan, <strong>dan</strong> living<br />

arrangement lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

3. Membandingkan <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta<br />

home care<br />

4. Membandingkan <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta<br />

home care<br />

5. Membandingkan <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home<br />

care


6. Membandingkan <strong>status</strong> gizi lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

7. Menganalisis hubungan antara <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>dan</strong><br />

<strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> dengan <strong>status</strong> gizi lansia.<br />

Kegunaan<br />

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai <strong>konsumsi</strong><br />

<strong>pangan</strong>, <strong>status</strong> gizi, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> bagi lansia. Selain itu,<br />

hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak terkait<br />

dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi lansia.


TINJAUAN PUSTAKA<br />

Lansia<br />

Istilah usia lanjut menurut Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 13 Tahun 1998 tentang<br />

Kesejahteraan Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun<br />

ke atas. World Health Organization (WHO) diacu dalam Komnas Lansia (2008)<br />

menggolongkan lansia berdasarkan aspek kronologis (batasan usia) menjadi:<br />

1. usia pertengahan (middle age): usia 45-59 tahun<br />

2. usia lanjut (elderly): 60-74 tahun<br />

3. usia tua (old): 75-90 tahun<br />

4. usia sangat tua (very old): diatas 90 tahun<br />

Dahlan diacu dalam Arisman (2004) menyatakan bahwa di Indonesia<br />

orang dikatakan lansia jika telah berumur di atas 60 tahun. Jika mengacu pada<br />

usia pensiun, lansia ialah mereka yang telah berusia di atas 56 tahun.<br />

Proses Penuaan<br />

Penuaan merupakan proses yang terjadi dari awal kelahiran hingga<br />

kematian. Penuaan, periode hidup setelah usia 30 tahun, adalah proses yang<br />

melibatkan seluruh tubuh. Selama periode pertumbuhan, proses anabolik<br />

melebihi perubahan katabolik. Ketika tubuh mencapai kedewasaan fisiologis, laju<br />

katabolik atau perubahan degeneratif mungkin lebih tinggi dibanding laju<br />

anabolik. Hasil akhir berkurangnya sel dapat membawa pada penurunan efisiensi<br />

<strong>dan</strong> gangguan fungsional pada berbagai <strong>tingkat</strong>. (Harris 2004).<br />

Secara alami fungsi fisiologis dalam tubuh lansia menurun seiring<br />

pertambahan usianya. Perubahan fungsi fisiologis yang terjadi pada lansia pada<br />

dasarnya meliputi penurunan kemampuan sistem syaraf, yaitu pada indera<br />

penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, <strong>dan</strong> penciuman. Selanjutnya<br />

perubahan ini juga mengakibatkan penurunan sistem pencernaan, sistem syaraf,<br />

sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem kardiovaskular hingga penurunan<br />

kemampuan muskuloskeletal (Fatmah 2010).<br />

Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 –<br />

3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia,<br />

berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan<br />

<strong>dan</strong> keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, <strong>dan</strong> meningkatnya resiko penyakit<br />

kronis. Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga


kemampuan melawan infeksi berkurang <strong>dan</strong> meningkatnya kejadian penyakit<br />

infeksi pada lansia. (Harris 2004).<br />

Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat<br />

menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang <strong>dan</strong> keadaan gizi lebih<br />

(kegemukan/ obesitas). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan<br />

yang berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur<br />

para lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor<br />

keturunan, <strong>dan</strong> faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan<br />

dalam tubuh secara mekanis, secara metabolik, traumata/ kecelakaan, maupun<br />

gangguan kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988).<br />

Menurut Arisman (2004) terjadi beberapa kemunduran <strong>dan</strong> kelemahan<br />

yang bisa diderita oleh lansia yaitu:<br />

1. pergerakan <strong>dan</strong> kelemahan lansia<br />

2. intelektual terganggu (demensia)<br />

3. isolasi diri (<strong>depresi</strong>)<br />

4. inkontinensia <strong>dan</strong> impotensia<br />

5. defisiensi imunologis<br />

6. infeksi, konstipasi, <strong>dan</strong> malnutrisi<br />

7. latrogenesis <strong>dan</strong> insomnia<br />

8. kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan,<br />

komunikasi, <strong>dan</strong> integritas kulit<br />

9. kemunduran proses penyembuhan.<br />

Konsumsi Pangan <strong>dan</strong> Zat Gizi<br />

Konsumsi <strong>pangan</strong> adalah jumlah <strong>pangan</strong> (tunggal atau beragam) yang<br />

dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu.<br />

Konsumsi <strong>pangan</strong> erat kaitannya dengan masalah gizi <strong>dan</strong> <strong>kesehatan</strong> serta<br />

perencanaan produksi <strong>pangan</strong>. Jenis <strong>dan</strong> jumlah <strong>pangan</strong> merupakan hal yang<br />

penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang di<strong>konsumsi</strong> (Hardinsyah &<br />

Briawan 1994). Konsumsi <strong>pangan</strong> merupakan faktor utama untuk memenuhi<br />

kebutuhan tubuh akan zat gizi, pada gilirannya zat gizi tersebut berfungsi untuk<br />

menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh, <strong>dan</strong><br />

pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh.<br />

Konsumsi makanan haruslah beragam karena tidak ada satu jenis<br />

makanan yang mengandung komposisi zat gizi yang lengkap. Oleh karena itu,<br />

kekurangan gizi pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan


susunan zat gizi jenis makanan yang lain sehingga diperoleh asupan yang<br />

seimbang. Selain itu, <strong>konsumsi</strong> makanan yang lebih beragam dapat memperbaiki<br />

kecukupan akan zat-zat gizi <strong>dan</strong> menunjukkan perlindungan terhadap serangan<br />

berbagai penyakit kronik yang berhubungan dengan proses penuaan<br />

(Wirakusumah 2001).<br />

Metode Food Frequency Questionnaire (FFQ)<br />

Food Frequency Questionnaire (FFQ) bertujuan untuk menilai frekuensi<br />

<strong>pangan</strong> atau kelompok <strong>pangan</strong> yang di<strong>konsumsi</strong> pada selang waktu tertentu.<br />

Sebenarnya FFQ didisain untuk menyediakan data mengenai pola <strong>konsumsi</strong><br />

<strong>pangan</strong> secara deskriptif kualitatif. Akan tetapi dengan menambahkan perkiraan<br />

jumlah porsi yang di<strong>konsumsi</strong>, metode menjadi semi-kuantitatif sehingga<br />

memungkinkan penghitungan energi <strong>dan</strong> zat gizi terpilih (Gibson 2005). Metode<br />

ini terdiri dari dua komponen dasar yaitu daftar makanan <strong>dan</strong> frekuensi <strong>konsumsi</strong><br />

untuk melaporkan seberapa sering suatu makanan di<strong>konsumsi</strong>.<br />

Keuntungan FFQ terletak pada beban kerja yang relatif rendah bagi<br />

responden disamping analisis kuesioner ini yang cukup sederhana <strong>dan</strong> murah<br />

karena dapat dilakukan sendiri serta dapat dipindai dengan mesin. Kerugian FFQ<br />

terdapat pada keharusan responden melakukan tugas kognitif yang levelnya<br />

cukup tinggi untuk memperkirakan frekuensi <strong>dan</strong> ukuran takaran saji yang lazim<br />

(Pietinen & Patterson 2009).<br />

Pengukuran asupan makanan pada lansia secara retrospektif yang<br />

memerlukan konfirmasi kurang tepat dilakukan. Tidak satupun metode dietary<br />

assessment menghasilkan estimasi kebutuhan energi umum yang akurat pada<br />

lansia karena a<strong>dan</strong>ya defisit memori atau gangguan lainnya. Dietary history <strong>dan</strong><br />

dietary record tampaknya menghasilkan nilai under-estimate pada makanan yang<br />

di<strong>konsumsi</strong> lansia. Penggunaan FFQ lebih tepat digunakan bagi lansia untuk<br />

menilai rata-rata asupan zat gizi daripada metode food weighing yang<br />

memerlukan waktu lama <strong>dan</strong> biaya yang mahal. Metode FFQ yang<br />

menggunakan ukuran porsi (semi-kuantitatif) dapat memberikan estimasi jumlah<br />

makanan atau zat gizi yang di<strong>konsumsi</strong> pada masa lampau (Sanjur & Maria 1997<br />

dalam Fatmah 2010).<br />

Perhitungan asupan zat gizi secara keseluruhan pada metode FFQ semi<br />

kuantitatif diperoleh dengan jalan menjumlahkan kandungan zat gizi masingmasing<br />

<strong>pangan</strong>. Sebagian kuesioner frekuensi justru memasukan pertanyaan<br />

tentang bagaimana makanan biasanya diolah, penggunaan makanan suplemen,


penggunaan vitamin <strong>dan</strong> mineral tambahan serta makanan bermerek lain.<br />

(Arisman 2004).<br />

Kebutuhan gizi pada lansia secara umum sedikit lebih rendah<br />

dibandingkan kebutuhan gizi di usia dewasa. Kondisi ini merupakan konsekuensi<br />

terjadinya penurunan <strong>tingkat</strong> aktivitas <strong>dan</strong> metabolisme basal tubuh para lansia.<br />

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan patokan bagi lansia yang<br />

sehat. Akibatnya, kecukupan gizi tersebut bersifat fleksibel <strong>dan</strong> tidak mutlak<br />

(Wirakusumah 2001). Widyakarya Nasional Pangan <strong>dan</strong> Gizi VIII (2004)<br />

mengelompokkan angka kecukupan yang dianjurkan untuk usia 50-64 tahun <strong>dan</strong><br />

diatas 65 tahun sebagai berikut:<br />

Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari<br />

Angka Kecukupan Gizi<br />

Zat Gizi<br />

Pria<br />

Wanita<br />

50-64 tahun >65 tahun 50-64 tahun >65 tahun<br />

Energi (Kal) 2250 2050 1750 1600<br />

Protein (g) 60 60 50 45<br />

Kalsium (mg) 800 800 800 800<br />

Fofor (mg) 600 600 600 600<br />

Vitamin A (RE) 600 600 500 500<br />

Vitamin C (mg) 90 90 75 75<br />

Energi<br />

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang<br />

pertumbuhan <strong>dan</strong> melakukan aktivitas fisik. Energi yang dibutuhkan lansia<br />

berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan<br />

aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk<br />

menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi<br />

dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah<br />

2010).<br />

Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, <strong>dan</strong> protein yang ada di dalam<br />

makanan. Kandungan karbohidrat, lemak <strong>dan</strong> protein suatu bahan makanan<br />

menentukan nilai energinya. Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan<br />

makanan sumber lemak seperti lemak <strong>dan</strong> minyak, kacang-kacangan <strong>dan</strong> bijibijian.<br />

Selain itu bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbiumbian,<br />

<strong>dan</strong> gula murni (Almatsier 2004).<br />

Protein<br />

Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari<br />

serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam


tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu<br />

untuk membangun <strong>dan</strong> memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim, <strong>dan</strong> sel<br />

darah merah (Fatmah 2010).<br />

Rekomendasi asupan protein pada lansia tidak berubah, beberapa studi<br />

menunjukkan bahwa asupan protein 1g/kg berat ba<strong>dan</strong> dibutuhkan untuk<br />

mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh. Akan tetapi <strong>konsumsi</strong> protein 1-<br />

1,25g/kg berat ba<strong>dan</strong> secara umum aman untuk lansia. Kebutuhan akan protein<br />

akan meningkat sejalan dengan a<strong>dan</strong>ya penyakit akut <strong>dan</strong> kronis (Harris 2004).<br />

Bahan makanan hewan merupakan sumber protein yang baik, dalam<br />

jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, <strong>dan</strong> kerang.<br />

Sumber protein nabati adalah kacang kedelai <strong>dan</strong> hasilnya, seperti tahu <strong>dan</strong><br />

tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai merupakan sumber<br />

protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2004).<br />

Mineral<br />

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh,<br />

yaitu 1,5-2% dari berat ba<strong>dan</strong> orang dewasa atau sekitar 1 kg. Lebih dari 99<br />

persen, berada di tulang <strong>dan</strong> gigi bersama fosfor membetuk kalsium fosfat, zat<br />

keras yang memberikan kekakuan pada tubuh. Kalsium juga hadir dalam serum<br />

darah dalam jumlah kecil namun memegang peranan penting (Latham 1997).<br />

Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama<br />

tulang <strong>dan</strong> gigi, berperan dalam kontraksi <strong>dan</strong> relaksasi otot, fungsi saraf, proses<br />

penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem<br />

imunitas tubuh (Fatmah 2010).<br />

Sumber kalsium utama adalah susu <strong>dan</strong> hasil susu, seperti keju. Ikan<br />

dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang<br />

baik. Serealia, kacang-kacangan <strong>dan</strong> hasil kacang-kacangan, tahu <strong>dan</strong> tempe,<br />

<strong>dan</strong> sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan<br />

makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti<br />

serat, fitata, <strong>dan</strong> oksalat (Almatsier 2004).<br />

Fosfor merupakan mineral kedua yang paling banyak di dalam tubuh <strong>dan</strong><br />

jumlahnya 6,5-11 g/kg berat ba<strong>dan</strong> dewasa. Sekitar 85% fosfor berada dalam<br />

tulang bersama kalsium (Latham 1997). Fosfor mempunyai berbagai fungsi<br />

dalam tubuh seperti klasifikasi tulang <strong>dan</strong> gigi, mengatur pengalihan energi,<br />

absorpsi <strong>dan</strong> transportasi zat gizi, bagian dari ikatan tubuh esensial, <strong>dan</strong><br />

pengaturan keseimbangan asam-basa. Fosfor terdapat di dalam semua


makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu<br />

<strong>dan</strong> hasil olahannya, kacang-kacangan <strong>dan</strong> hasil olahannya, serta serealia<br />

(Almatsier 2004).<br />

Vitamin<br />

Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh<br />

walau ketersediaannya dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil <strong>dan</strong><br />

diperlukan bagi <strong>kesehatan</strong> <strong>dan</strong> pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat<br />

beberapa jenis vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh <strong>dan</strong><br />

mencegah timbulnya radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A <strong>dan</strong> vitamin<br />

C (Fatmah 2010).<br />

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A<br />

esensial untuk pemeliharaan <strong>kesehatan</strong> <strong>dan</strong> kelangsungan hidup. Vitamin A<br />

berperan dalam berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel, fungsi<br />

kekebalan, pertumbuhan <strong>dan</strong> perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker<br />

<strong>dan</strong> penyakit jantung, <strong>dan</strong> lain-lain (Almatsier 2004).<br />

Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (performed) hanya terdapat pada<br />

<strong>pangan</strong> hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber<br />

utama. Sayuran, terutama sayuran berdaun hijau <strong>dan</strong> buah berwarna kuningjingga<br />

mengandung karotenoid provitamin A (Gibson 2005).<br />

Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim<br />

atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai<br />

penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari<br />

serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan <strong>dan</strong> memproduksi sel darah<br />

putih, mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, <strong>dan</strong> mencegah penyakit<br />

gusi (Fatmah 2010).<br />

Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam <strong>pangan</strong> nabati, yaitu<br />

sayur <strong>dan</strong> buah terutama yang asam seperti, nenas, rambutan, jeruk, pepaya,<br />

gandaria, <strong>dan</strong> tomat. Vitamin C juga terdapat di dalam sayuran daun-daunan <strong>dan</strong><br />

jenis kol (Almatsier 2004).<br />

Status Kesehatan<br />

World Health Organization (WHO) pada tahun 1947 mendefinisikan<br />

<strong>kesehatan</strong> adalah keadaan (<strong>status</strong>) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) <strong>dan</strong><br />

sosial <strong>dan</strong> bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat <strong>dan</strong><br />

kelemahan. Status <strong>kesehatan</strong> adalah keadaan <strong>kesehatan</strong> pada waktu tertentu


(Smet 1994). Secara umum, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> pada lansia tidak sebaik saat usia<br />

muda. Seringkali lansia menderita berbagai penyakit yang umumnya terjadi<br />

akibat penurunan fungsi organ tubuh (McKenzie et. al. 2008).<br />

Penyakit adalah kegagalan tubuh dalam beradaptasi. Secara jelas<br />

penyakit adalah terganggu atau tidak berlangsungnya fungsi-fungsi psikis <strong>dan</strong><br />

fisik, yaitu ada kelainan <strong>dan</strong> penyim<strong>pangan</strong> yang mengakibatkan kerusakan <strong>dan</strong><br />

bahaya pada organ/ tubuh sehingga bisa mengancam kehidupan (Sarafino<br />

1994). Beberapa pengarang membagi pengertian penyakit ini menjadi penyakit<br />

communicable (yang dapat menular) <strong>dan</strong> non-communicable (yang tidak dapat<br />

menular) (WHO-SEARO 1986, Diekstra 1989). Akan tetapi ada juga yang<br />

membagi penyakit menjadi penyakit infeksi <strong>dan</strong> penyakit kronis (Smet 1994).<br />

Penyakit-penyakit infeksi adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh<br />

mikroorganisme seperti bakteri atau virus di dalam tubuh (Sarafino 1994).<br />

Sebagai contoh malaria, cacar air, diare, influenza, tipus, dll. Penyakit-penyakit<br />

kronis adalah penyakit-penyakit degeneratif yang berkembang selama kurun<br />

waktu yang lama seperti jantung, kanker <strong>dan</strong> stroke. Umumnya, penyakit kronis<br />

adalah non-communicable (tidak menular) se<strong>dan</strong>gkan penyakit infeksi adalah<br />

communicable (menular). Akan tetapi, tidak semua penyakit ini cocok untuk<br />

kategori penyakit infeksi maupun kronis seperti AIDS. AIDS adalah penyakit<br />

infeksi (communicable) karena disebabkan oleh virus <strong>dan</strong> penyakit kronis (ciri-ciri<br />

degeneratif <strong>dan</strong> waktu lama) (Smet 1994).<br />

Penyakit atau gangguan <strong>kesehatan</strong> pada orang usia lanjut umumnya<br />

berupa penyakit-penyakit kronik-menahun <strong>dan</strong> degeneratif, seperti penyakit<br />

hipertensi, diabetes mellitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung,<br />

gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan,<br />

gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan <strong>dan</strong> sebagainya. Selain itu, pada<br />

usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi,<br />

misalnya infeksi saluran pernapasan atas (ra<strong>dan</strong>g tenggorokan, influenza) atau<br />

infeksi saluran pernapas bawah (pneumonia, tbc), infeksi saluran kemih, infeksi<br />

kulit (Rahardjo et al. 2009).<br />

Status gizi berhubungan langsung dengan <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, khususnya<br />

keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. Kurang gizi dapat meningkatkan<br />

risiko infeksi saluran pernapasan <strong>dan</strong> masalah jantung, tekanan luka, kematian<br />

dini <strong>dan</strong> gangguan multi organ (Azad 2002). Malnutrisi merupakan penyebab<br />

utama kesakitan <strong>dan</strong> kematian untuk banyak penyakit infeksi primer. Namun, di


sisi lain keberadaan penyakit, penyakit infeksi, akan meningkatkan kebutuhan<br />

tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami peyakit akan kehilangan<br />

nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi <strong>dan</strong> zat gizi.<br />

Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh <strong>dan</strong> membawa pada kondisi kurang gizi.<br />

Suhardjo (2008) menambahkan bahwa antara infeksi <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi kurang<br />

terdapat pola interaksi bolak-balik. Infeksi menimbulkan efek langsung pada<br />

katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah menimbulkan<br />

kehilangan nitrogen.<br />

Tingkat Depresi<br />

Lansia merasa khawatir dengan <strong>kesehatan</strong> mental mereka, khususnya<br />

mereka fokus pada mulai menurunnya ingatan. Menurunnya ingatan<br />

memungkinkan berdampak negatif mempengaruhi kemampuan merawat diri dari<br />

hari ke hari <strong>dan</strong> berfungsi secara independen. Salah satu masalah mental yang<br />

dialami lansia adalah <strong>depresi</strong> (Mezey et. al 1993). Depresi adalah istilah yang<br />

akrab digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Depresi adalah penyakit medis<br />

yang ditandai dengan kesedihan terus menerus, kekecewaan <strong>dan</strong> hilangnya<br />

harga diri. Depresi mungkin disertai dengan menurunnya energi <strong>dan</strong> konsentrasi,<br />

masalah tidur (insomnia), menurunnya nafsu makan, kehilangan berat ba<strong>dan</strong>,<br />

<strong>dan</strong> sakit jasmani (Medical Encyclopedia 2010).<br />

Depresi bukanlah bagian normal dari penuaan. Depresi merupakan sakit<br />

yang dapat menimbulkan dampak serius jika tidak dikenali <strong>dan</strong> diobati. Depresi<br />

merupakan masalah yang meluas diantara lansia, akan tetapi seringkali tidak<br />

dapat secara baik dikenali atau dideteksi pada lansia. Gejala seperti rasa sedih,<br />

gangguan tidur <strong>dan</strong> nafsu makan atau perubahan suasana hati mungkin<br />

dianggap sebagai bagian normal pada lansia. Orang-orang teraka<strong>dan</strong>g<br />

menganggap bahwa masalah dengan ingatan atau konsentrasi disebabkan oleh<br />

perubahan berpikir terkait penuaan dibandingkan karena <strong>depresi</strong>. Lansia<br />

mengalami kesulitan untuk berbicara mengenai perasaan sedih atau <strong>depresi</strong><br />

(Better Health Channel 2010).<br />

Smith (2010) menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat memicu<br />

<strong>depresi</strong>. Namun, tidak semua <strong>depresi</strong> dapat ditelusuri penyebabnya. Faktor risiko<br />

<strong>depresi</strong> pada lansia diantaranya:<br />

1. Kesepian <strong>dan</strong> isolasi. Tinggal sendirian, berkurangnya aktivitas sosial,<br />

berkurangnya mobilitas karena sakit


2. Hilangnya tujuan hidup. Perasaan hilangnya tujuan hidup atau identitas diri<br />

karena masa pensiun atau keterbatasan aktivitas fisik<br />

3. Masalah <strong>kesehatan</strong>. Sakit, disabilitas, penyakit kronis, menurunnya fungsi<br />

kognitif, serta berbagai penyakit lain yang mengakibatkan perubahan tubuh<br />

4. Pengobatan. Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan risiko<br />

terkena <strong>depresi</strong><br />

5. Takut. Rasa takut akan kematian atau kekhwatiran tentang masalah<br />

keuangan serta <strong>kesehatan</strong><br />

6. Kehilangan mendadak. Kehilangan pasangan hidup, teman, keluarga<br />

bahkan binatang peliharaan dapat memicu rasa tertekan pada lansia<br />

Wirakusumah (2001) menyebutkan bahwa perubahan lingkungan sosial,<br />

kondisi yang terisolasi, kesepian <strong>dan</strong> berkurangnya aktivitas menjadikan para<br />

lansia mengalami rasa frustasi <strong>dan</strong> kurang bersemangat. Akibatnya, selera<br />

makan terganggu <strong>dan</strong> pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan<br />

berat ba<strong>dan</strong>. Oleh karena itu, kondisi mental yang tidak sehat secara tidak<br />

langsung dapat memicu terjadinya <strong>status</strong> gizi yang buruk.<br />

Skala Depresi Geriatrik<br />

Skala <strong>depresi</strong> dapat bermanfaat untuk memeriksa <strong>depresi</strong> atau distres<br />

psikologi menyeluruh. Skala Depresi Geriatrik (SDG) didisain sebagai alat tes<br />

skrining <strong>depresi</strong> pada lansia. Konsep dasar dari SDG, <strong>depresi</strong> pada lansia sama<br />

halnya seperti pada orang muda (gangguan tidur, hilangnya berat ba<strong>dan</strong>, pesimis<br />

akan masa depan) sebagai efek penuaan atau karena sakit jasmani. Skala<br />

<strong>depresi</strong> geriatrik (SDG) didisain secara sederhana, jelas, <strong>dan</strong> skala pelaporan<br />

sendiri. Meskipun secara normal, SDG didisain sebagai skala pelaporan sendiri,<br />

SDG juga dapat dibacakan oleh pewawancara <strong>dan</strong> wawancara melalui telepon.<br />

Rentang waktu yang digunakan untuk pengukuran SDG adalah satu<br />

minggu terakhir. Skala <strong>depresi</strong> geriatrik (SDG) terdiri dari 30 pertanyaan yang<br />

harus dijawab “ya” atau “tidak”. Sheikh <strong>dan</strong> Yesavage mengusulkan bentuk<br />

singkat dari SDG. Hal ini ditujukan untuk mengurangi masalah kelelahan<br />

terutama pada responden dengan sakit fisik atau demensia. Bentuk singkat SDG<br />

hanya berisi 15 pertanyaan terpilih. Skala <strong>depresi</strong> geriatrik (SDG) fokus pada<br />

aspek perasaan dari <strong>depresi</strong>. Skala ini mudah digunakan <strong>dan</strong> dilaporkan secara<br />

cepat. Skala <strong>depresi</strong> geriatrik (SDG) telah digunakan baik pada contoh komunitas<br />

ataupun pasien, <strong>dan</strong> hasilnya memiliki reliabilitas <strong>dan</strong> sensitivitas yang tinggi<br />

diantara lansia. Selain itu, SDG versi pendek telah divalidasi untuk kebutuhan


klinis <strong>dan</strong> penelitian. Validasi dibandingkan dengan SDG versi panjang dengan<br />

nilai r=0,84 (McDowell 2006). Penelitian Matsubayashi et al. (2003) yang<br />

dilakukan di Bandung <strong>dan</strong> Karawang menyebutkan bahwa SDG versi pendek<br />

memiliki nilai sensitivitas (88% - 92%) <strong>dan</strong> spesifisitas (62% - 81%) yang cukup<br />

tinggi.<br />

Status Gizi<br />

Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan<br />

yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient<br />

output) akan zat gizi tersebut. Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak<br />

faktor, seperti <strong>tingkat</strong> metabolisme basal, <strong>tingkat</strong> pertumbuhan, aktivitas fisik <strong>dan</strong><br />

faktor yang bersifat relatif yaitu gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan<br />

daya serap (absorption), <strong>tingkat</strong> penggunaan (utilization), <strong>dan</strong> perbedaan<br />

pengeluaran <strong>dan</strong> penghancuran (excretion and destruction) dari zat gizi tersebut<br />

dalam tubuh (Supariasa et al. 2001).<br />

Penilaian Status Gizi<br />

Penilaian <strong>status</strong> gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan<br />

keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang<br />

bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku<br />

yang telah tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan<br />

laboratorium perorangan serta sumber lain (Arisman 2004). Penilaian <strong>status</strong> gizi<br />

dapat dilakukan secara langsung <strong>dan</strong> tidak langsung. Penilaian secara langsung<br />

dapat dibagi menjadi empat yaitu antropometri, klinis, biokimia, <strong>dan</strong> biofisik<br />

se<strong>dan</strong>gkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu, survei <strong>konsumsi</strong><br />

<strong>pangan</strong>, statistika vital, <strong>dan</strong> faktor ekologi (Supariasa et al. 2001).<br />

Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi<br />

fisik <strong>dan</strong> komposisi tubuh secara umum pada bebagai tahapan umur <strong>dan</strong> derajat<br />

<strong>kesehatan</strong>. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat ba<strong>dan</strong>, tinggi ba<strong>dan</strong>,<br />

lingkar lengan atas <strong>dan</strong> tebal lemak di bawah kulit <strong>dan</strong> khusus pada lansia<br />

adalah pola distribusi lemak (Muis 2006).<br />

Penilaian <strong>status</strong> gizi lansia diukur dengan antopometri atau ukuran tubuh,<br />

yaitu berat ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> tinggi ba<strong>dan</strong>. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan<br />

tinggi ba<strong>dan</strong> karena kompresi vertebra, kifosis, <strong>dan</strong> osteoporosis. Pengukuran<br />

tinggi ba<strong>dan</strong> pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri<br />

tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan


pengukuran tinggi lutut (menggunakan kaliper tinggi lutut) atau pengukuran<br />

rentang lengan (arm span) (Sari 2006). Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi<br />

dengan tinggi ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> mungkin digunakan untuk memprediksi tinggi ba<strong>dan</strong><br />

seseorang dengan kifosis atau seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson<br />

2005).<br />

Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) untuk digunakan sebagai<br />

prediktor dari tinggi ba<strong>dan</strong> pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih<br />

(lansia). Tinggi lutut diukur dengan sebuah kaliper berupa tongkat pengukur yang<br />

dilengkapi dengan papan kayu untuk membentuk sudut 90 derajat. Gambar di<br />

bawah menunjukkan alat pengukur tinggi lutut:<br />

Gambar 1 Alat pengukur tinggi lutut, kaliper (kiri) <strong>dan</strong> papan kayu 90 0 (kanan)<br />

Tinggi lutut terlentang diukur pada kaki kiri yang dibengkokan pada lutut<br />

dengan sudut 90 derajat (Gambar 2). Salah satu ujung kaliper diposisikan di<br />

bawah, dibagian tumit, se<strong>dan</strong>gkan yang satu lagi diposisikan di bagian atas<br />

bagian lutut (Gambar 3). Batang kaliper disejajarkan dengan tibia <strong>dan</strong> kemudian<br />

sedikit ditekan pada bagian ujung atas (tempurung lutut).<br />

Gambar 2 Posisi lutut membentuk sudut 90 0<br />

Gambar 3 Cara pengukuran tinggi lutut posisi terlentang


Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau<br />

<strong>status</strong> gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan <strong>dan</strong><br />

kelebihan berat ba<strong>dan</strong>, maka mempertahankan berat ba<strong>dan</strong> normal<br />

memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.<br />

Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun.<br />

Indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu<br />

hamil, <strong>dan</strong> olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan<br />

khusus (penyakit) lainnya seperti a<strong>dan</strong>ya edema, aitesis <strong>dan</strong> hepatomegalia<br />

(Supariasa et.al 2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat ba<strong>dan</strong> dalam<br />

kilogram dengan kuadrat tinggi ba<strong>dan</strong> dalam meter. Berikut merupakan kategori<br />

ambang batas IMT menurut WHO:<br />

Tabel 2 Klasifikasi <strong>status</strong> gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia<br />

Keadaan Gizi Lansia<br />

Klasifikasi IMT kg/m 2 )<br />

Underweight 25<br />

Obesitas >30<br />

Sumber: WHO 2004 diacu dalam PDGKI 2008<br />

Lansia merupakan golongan yang rawan mengalami malnutrisi. Azad<br />

(2002) mendefinisikan malnutrisi sebagai keadaan yang diakibatkan oleh terlalu<br />

rendahnya intake makronutrien (defisiensi protein, mineral, vitamin), terlalu<br />

banyak intake makronutrien (obesitas) atau berlebihannya jumlah zat-zat yang<br />

tidak diperlukan, seperti alkohol. Malnutrisi secara nyata dapat mempengaruhi<br />

kesejahteraan lansia, menyebabkan penurunan <strong>status</strong> fungsional <strong>dan</strong> membuat<br />

masalah medis semakin buruk.<br />

Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang<br />

bersifat primer maupun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan,<br />

isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan<br />

fisik, gangguan indera, gangguan mental, <strong>dan</strong> kemiskinan hingga kurangnya<br />

asupan makanan. Sebab-sebab sekunder meliputi malabsorpsi, penggunaan<br />

obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme (Muis 2006).<br />

Faktor-faktor ini dapat menyebabkan malnutrisi pada lansia <strong>dan</strong> jika bergabung<br />

maka akan mengakibatkan keburukan nutrisi yang akhirnya dapat<br />

membahayakan <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> mereka (Watson 2003).<br />

Kehilangan berat ba<strong>dan</strong> dianggap sebagai indikator yang banyak<br />

digunakan untuk mendiagnosa kurang gizi. Kehilangan berat ba<strong>dan</strong> 10 persen


dalam 6 bulan, 7,5 persen dalam 3 bulan atau 5 persen dalam 1 bulan dianggap<br />

sangat serius, karena berhubungan langsung dengan kesakitan <strong>dan</strong> kematian<br />

(Morley et al. 2009).<br />

Kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan kemakmuran<br />

<strong>dan</strong> gaya hidup pada usia sekitar 50 tahun. Kondisi ekonomi yang makin<br />

membaik <strong>dan</strong> tersedianya makanan siap saji yang enak terutama sumber lemak,<br />

asupannya melebihi kebutuhan tubuh. Keadaan kelebihan gizi yang dimulai awal<br />

usia 50 tahun ini akan membawa lansia pada keadaan obesitas <strong>dan</strong> dapat pula<br />

disertai dengan munculnya berbagai penyakit metabolisme seperti diabetes<br />

mellitus <strong>dan</strong> dislipidemia (Muis 2006).<br />

Home care<br />

Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan <strong>dan</strong> perawatan lanjut<br />

usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lanjut usia dengan<br />

mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga (Depsos 2009a). Sabdono<br />

(2010) menambahkan bahwa home care merupakan pelayanan yang diberikan di<br />

rumah <strong>dan</strong> bukan di panti maupun di rumah sakit. Home care dapat dilakukan<br />

oleh anggota keluarga ataupun masyarakat. Home care pun dapat dilakukan<br />

oleh tenaga profesional atau tenaga sukarela. Akan tetapi meskipun dilakukan<br />

oleh masyarakat, hal ini bukanlah bermaksud untuk mengambil alih fungsi<br />

keluarga.<br />

Home care dapat dilakukan siang ataupun malam hari. Hal ini<br />

memungkinkan lanjut usia untuk tetap tinggal di lingkungannya sendiri selama<br />

mungkin. Fungsi home care (Depsos 2009a) antara lain pencegahan, promosi,<br />

rehabilitasi, <strong>dan</strong> perlindungan serta pencegahan. Penyelenggaraan home care<br />

ditujukan bukan hanya bagi lansia itu sendiri, akan tetapi juga bagi keluarga<br />

lansia.<br />

Depsos (2009b) menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan home care<br />

antara lain:<br />

1. meningkatkan kemampuan lanjut usia untuk menerima kondisi kemunduran<br />

fisik, fisiologis <strong>dan</strong> psikis<br />

2. memenuhi kebutuhan dasar lanjut usia secara wajar<br />

3. meningkatkan peran serta keluarga <strong>dan</strong> masyarakat dalam upaya<br />

meningkatkan kesejahteraan lanjut usia<br />

4. terciptanya rasa aman, nyaman <strong>dan</strong> tentram bagi lanjut usia.


Penyelenggara home care adalah lembaga/yayasan/lembaga<br />

sosial/ba<strong>dan</strong> sosial/lembaga swadaya masyarakat/organisasi sosial/lembaga<br />

kesejahteraan sosial lainnya ber<strong>status</strong> ba<strong>dan</strong> hukum maupun tidak berba<strong>dan</strong><br />

hukum. Sebagai lembaga swadaya masyarakat, home care lanjut usia<br />

membangun kemitraan lintas disiplin <strong>dan</strong> lintas sektoral. Kemitraan lintas disiplin<br />

antara lain dengan pekerja sosial, dokter, perawat, ahli gizi, psikolog,<br />

rohaniawan, guru, pemadu kebugaran jasmani. Kemitraan lintas sektor antara<br />

lain pemerintah (dinas sosial, dinas <strong>kesehatan</strong>, pemerintah provinsi /kabupaten/<br />

kota/ kecamatan/ kelurahan/ desa), perguruan tinggi <strong>dan</strong> dunia usaha (Depsos<br />

2009a). Till (2001) menambahkan bahwa penyelenggara home care bisa<br />

individu, organisasi sosial, <strong>dan</strong> pemerintah seperti departemen <strong>kesehatan</strong> <strong>dan</strong><br />

departemen sosial.<br />

Bentuk pelayanan yang perlu disediakan dalam home care berupa<br />

perawatan sosial, pendampingan, <strong>dan</strong> pemenuhan kebutuhan lanjut usia.<br />

Perawatan sosial adalah bentuk pelayanan sosial kepada lanjut usia yang<br />

membutuhkan perawatan dengan jangka waktu lama. Bentuk perawatan sosial<br />

umumnya secara fisik maupun emosional yang bersifat non medis.<br />

Pendampingan sosial lanjut usia di rumah merupakan upaya membantu lanjut<br />

usia <strong>dan</strong> keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan lanjut usia yang<br />

bersangkutan (Depsos 2009b).<br />

Till (2001) menyebutkan bahwa secara umum home care dapat<br />

dikategorikan menjadi dua, yaitu pelayanan sosial <strong>dan</strong> perawatan <strong>kesehatan</strong>.<br />

Perawatan sosial mncakup dukungan emosional <strong>dan</strong> praktek. Hal ini termasuk<br />

bantuan merawat rumah, mengantar atau menyiapkan makanan, menemani<br />

lansia ke tempat-tempat penting, beberapa bantuan perawatan pribadi, <strong>dan</strong><br />

pertemanan. Pelayanan sosial biasanya diberikan oleh anggota keluarga, teman,<br />

tetangga, sukarelawan <strong>dan</strong> pekerja sosial baik terlatih ataupun tidak. Perawatan<br />

<strong>kesehatan</strong> meliputi pemeriksaan <strong>kesehatan</strong>, pendidikan <strong>kesehatan</strong>, perawatan,<br />

<strong>dan</strong> terapi. Perawatan <strong>kesehatan</strong> biasanya diberikan oleh orang-orang terlatih<br />

dibawah pengawasan pekerja <strong>kesehatan</strong> profesional seperti dokter, perawat,<br />

terapis, atau pekerja sosial.<br />

Terdapat beberapa jenis model penyelenggaraan home care, yaitu<br />

volunteer-based home help services, paid home help services, home nursing<br />

services, home-based medical services, <strong>dan</strong> case management services.<br />

Volunteer-based home help services biasanya merupakan bagian dari program


home care dengan keterbatasan <strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> sumerdaya profesional. Sukarelawan<br />

memegang peranan penting dalam mempertahankan kualitas hidup lansia<br />

dengan menyediakan pelayanana sosial <strong>dan</strong> pertemanan. Paid home help<br />

services biasanya meliputi perawatan pribadi, rumah tangga, mencuci,<br />

pengaturan rumahtangga, berbelanja, menyiapkan atau mengantarkan makanan.<br />

Home nursing services menyediakan perawatan jangka pendek biasanya untuk<br />

tujuan khusus seperti untuk pengobatan luka. Home-based medical services<br />

memegang peran penting untuk menciptakan akses perawatan medis bagi lansia<br />

yang sangat lemah atau miskin. Akan tetapi biaya yang dibutuhkan sangat mahal<br />

<strong>dan</strong> terbatasnya dokter. Case management services meliputi penilaian<br />

kebutuhan lansia <strong>dan</strong> pengkoordinasian jaringan pelayanan formal <strong>dan</strong> informal<br />

untuk menyediakan paket perawatan <strong>dan</strong> dukungan (Till 2001).


KERANGKA PEMIKIRAN<br />

Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan <strong>dan</strong> perawatan lanjut<br />

usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit,<br />

kesepian, <strong>dan</strong> tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis<br />

keluarga. Home care memberikan pelayanan lanjut usia seperti pelayanan sosial,<br />

pelayanan <strong>kesehatan</strong>, <strong>dan</strong> pelayanan gizi. Lansia peserta home care<br />

mendapatkan seluruh pelayanan yang disediakan, tetapi bagi lansia bukan<br />

peserta home care hanya mendapatkan pelayanan <strong>kesehatan</strong>. Diduga, dengan<br />

pemberian berbagai pelayanan tersebut maka kondisi <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>, <strong>status</strong><br />

<strong>kesehatan</strong>, <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi lansia peserta home care akan lebih<br />

baik dibanding lansia bukan peserta home care.<br />

Status gizi pada lansia secara langsung dapat dipengaruhi oleh <strong>status</strong><br />

<strong>kesehatan</strong>. Antara <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> (terutama penyakit infeksi) <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi<br />

terdapat pola interaksi yang bolak-balik. Status <strong>kesehatan</strong> juga secara langsung<br />

dapat mempengaruhi <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> lansia. Seseorang<br />

yang mengalami penyakit, terutama infeksi, akan kehilangan nafsu makan<br />

sehingga menurunkan asupan energi <strong>dan</strong> zat gizi lainnya. Perasaan <strong>depresi</strong><br />

akan muncul jika lansia mengalami suatu gangguan fisik akibat terganggunya<br />

<strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> lansia dengan a<strong>dan</strong>ya penyakit yang diderita. Perasaan <strong>depresi</strong><br />

yang muncul pada lansia memungkinkan timbulnya sikap apatis lansia terhadap<br />

makanan <strong>dan</strong> lansia cenderung mengurangi <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>nya. Selain<br />

dipengaruhi oleh <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>status</strong> gizi lansia juga secara langsung<br />

dipengaruhi oleh <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>nya.


peserta<br />

Karakteristik responden:<br />

- Usia<br />

- Jenis kelamin<br />

- Tingkat pendidikan<br />

- Pekerjaan<br />

- Sumber pendapatan<br />

- Status pernikahan<br />

- Living arrangement<br />

bukan peserta<br />

Pelayanan sosial<br />

Pelayanan <strong>kesehatan</strong><br />

Pelayanan gizi<br />

Pelayanan <strong>kesehatan</strong><br />

Status Kesehatan:<br />

- Keluhan <strong>kesehatan</strong><br />

- Lama sakit<br />

- Frekuensi<br />

- Pengobatan<br />

Konsumsi<br />

Pangan<br />

Status Gizi (IMT):<br />

Berat ba<strong>dan</strong><br />

Tinggi lutut<br />

Tingkat Depresi<br />

Keterangan:<br />

Varaibel yang diteliti :<br />

Variabel yang tidak diteliti :<br />

Hubungan yang diteliti :<br />

Hubungan yang tidak diteliti :<br />

Gambar 4 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi <strong>status</strong> gizi pada lansia


METODE<br />

Desain, Tempat, <strong>dan</strong> Waktu<br />

Penelitian mengenai <strong>keragaan</strong> <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>,<br />

kondisi mental <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi pada lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

menggunakan disain cross sectional study. Peneliti melakukan observasi pada<br />

lansia tanpa melakukan intervensi. Lokasi penelitian ditentukan secara<br />

purposive. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tegal Alur untuk lansia peserta<br />

(binaan Yayasan Emong Lansia) <strong>dan</strong> bukan peserta home care. Penelitian<br />

dilaksanakan pada bulan September sampai November 2010.<br />

Jumlah <strong>dan</strong> Cara Penarikan Contoh<br />

Contoh dalam penelitian ini adalah lansia berusia 60 tahun ke atas.<br />

Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia<br />

menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun<br />

ke atas. Contoh yang diambil harus memenuhi kriteria lansia berusia 60 tahun<br />

atau lebih, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat<br />

mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan<br />

baik <strong>dan</strong> bersedia diwawancara sebagai responden.<br />

Lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care yang telah memenuhi<br />

kriteria inklusi kemudian diambil secara purposive, masing-masing 30 orang<br />

lansia. Penentuan lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care yang dijadikan<br />

contoh atas bantuan pendamping (caregiver), disesuaikan dengan kriteria inklusi<br />

sama seperti lansia peserta home care. Jumlah seluruh responden adalah 60<br />

orang lansia.<br />

Jenis <strong>dan</strong> Cara Pengumpulan Data<br />

Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer <strong>dan</strong> data sekunder.<br />

Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur, jenis kelamin,<br />

<strong>tingkat</strong> pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, <strong>status</strong> pernikahan, living<br />

arrangement), <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> (jumlah, jenis <strong>dan</strong> frekuensi) satu bulan, data<br />

<strong>status</strong> gizi (berat ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> tinggi lutut), <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> (keluhan <strong>kesehatan</strong>,<br />

lama sakit, frekuensi sakit, <strong>dan</strong> tindakan pengobatan) sebulan terakhir, <strong>dan</strong><br />

<strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> satu minggu terakhir. Data sekunder meliputi data keadaan umum<br />

Yayasan Emong Lansia (YEL) serta pelaksanaan home care di Tegal Alur.<br />

Data karakteristik responden, <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>dan</strong><br />

<strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> diperoleh melalui wawancara langsung dengan alat bantu


kuesioner. Konsumsi <strong>pangan</strong> dinilai dengan kuesioner FFQ semikuantitatif berisi<br />

bahan <strong>pangan</strong> yang telah disusun sebelumnya, lansia ditanyakan mengenai<br />

kebiasaan makan selama satu bulan terakhir sebelum wawancara serta bahan<br />

<strong>pangan</strong> lainnya yang mungkin di<strong>konsumsi</strong> lansia tetapi tidak terdapat di dalam<br />

kuesioner. Hasil jawaban lansia kemudian akan dikonfirmasi ulang kepada<br />

keluarga atau pendamping yang menemani. Data <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> yang terdiri<br />

dari keluhan <strong>kesehatan</strong>, lama sakit, frekuensi sakit, <strong>dan</strong> tindakan pengobatan<br />

ditanyakan satu bulan terakhir sebelum wawancara. Data <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong><br />

diperoleh dengan penilaian subjektif berdasarkan hasil wawancara tanpa<br />

melakukan pemeriksaan klinis.<br />

Tingkat <strong>depresi</strong> diukur dengan menggunakan kuesioner SDG versi<br />

pendek yang berisi 15 pertanyaan bersifat tertutup. Lansia ditanyakan mengenai<br />

kondisi sesuai dengan kuesioner SDG selama satu minggu terakhir sebelum<br />

wawancara. Jawaban diperoleh dengan menyanyakan pertanyaan kuesioner<br />

secara langsung maupun tidak langsung (sesuai dengan cerita yang<br />

disampaikan lansia selama proses wawancara). Pertanyaan terbuka diajukan<br />

untuk mengetahui berbagai alasan yang melatarbelakangi jawaban setiap<br />

pertanyaan sehingga dapat mendukung jawaban yang diberikan lansia.<br />

Penilaian <strong>status</strong> gizi ditentukan berdasarkan pengukuran berat ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong><br />

tinggi lutut. Pengukuran berat ba<strong>dan</strong> menggunakan timbangan injak Health Scale<br />

yang memiliki ketelitian 1kg. Lansia berdiri di atas timbangan <strong>dan</strong> pan<strong>dan</strong>gan<br />

lurus kedepan tanpa menggenggam atau menyentuh apapun, sepatu, tas,<br />

barang lain dilepas, kemudian angka penunjuk dibaca. Tinggi lutut dipergunakan<br />

sebagai prediktor tinggi ba<strong>dan</strong>, diukur dengan menggunakan kaliper pengukur<br />

tinggi lutut (terbuat dari alumunium yang diberi pita meteran) dengan ketelitian<br />

0,1cm. Tinggi lutut diukur dengan posisi berbaring (terlentang) pada kaki kiri,<br />

antara tulang tibia <strong>dan</strong> tulang paha membentuk 90 0 , kemudian kaliper pengukur<br />

tinggi lutut ditempatkan sejajar tulang tibia, di antara tumit sampai bagia<br />

proksimal dari tulang platela, kemudian skala dibaca. Pengukuran tinggi lutut<br />

dilakukan dua kali pengukuran, kemudian diambil nilai rata-ratanya, untuk<br />

meningkatkan ketelitian pengukuran.<br />

Pengolahan <strong>dan</strong> Analisis Data<br />

Tahapan pengolahan data dimulai dari editing, coding, entri, cleaning,<br />

selanjutnya dianalisis. Penyusunan coding sebagai panduan entri <strong>dan</strong><br />

pengolahan data. Selanjutnya dilakukan entri data sesuai kode yang telah dibuat


<strong>dan</strong> cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukan<br />

data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007<br />

<strong>dan</strong> dianalisis dengan menggunakan program SPSS version 16.0 for Windows.<br />

Pengolahan data <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> menggunakan data yang diperoleh<br />

dari wawancara dengan kuesioner FFQ (food frequency questionnaire) semi<br />

kuantitatif. Data <strong>konsumsi</strong> dalam ukuran gram per hari kemudian dikonversi<br />

dengan program Microsoft Excel 2007 untuk mendapatkan kandungan energi,<br />

protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, <strong>dan</strong> fosfor. Jumlah <strong>konsumsi</strong> energi <strong>dan</strong><br />

zat gizi kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004)<br />

untuk mengetahui <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan dapat<br />

dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1990):<br />

Keterangan:<br />

TKG i = Ki<br />

AKGi<br />

x100%<br />

TKGi = <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi individu<br />

Ki<br />

= <strong>konsumsi</strong> zat gizi individu<br />

AKGi = angka kecukupan zat gizi individu yang dianjurkan<br />

Status <strong>kesehatan</strong> responden meliputi keluhan <strong>kesehatan</strong>, lama sakit,<br />

frekuensi sakit, <strong>dan</strong> tindakan pengobatan. Keluhan <strong>kesehatan</strong> dikelompokkan<br />

menjadi penyakit infeksi, non infeksi, <strong>dan</strong> berbagai keluhan lain. Lama sakit <strong>dan</strong><br />

frekuensi sakit dianalisis berdasarkan rata-rata <strong>dan</strong> standar deviasi. Penyakit<br />

infeksi dikelompokkan menjadi penyakit diare, ISPA, demam, <strong>dan</strong> infeksi lainnya.<br />

Tingkat <strong>depresi</strong> diukur dengan menggunakan Skala Depresi Geriatrik<br />

(SDG) versi pendek berisikan 15 pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan diberi<br />

skor 1 <strong>dan</strong> 0 dengan skor maksimal 15. Beberapa pertanyaan ada yang bersifat<br />

invers (kebalikannya). Tingkat <strong>depresi</strong> dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu<br />

normal (0-4), <strong>depresi</strong> ringan (5-8), <strong>depresi</strong> se<strong>dan</strong>g (9-11), <strong>depresi</strong> berat (12-15)<br />

(McDowell 2006).<br />

Pengolahan data <strong>status</strong> gizi menggunakan data hasil pengukuran berat<br />

ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> tinggi lutut. Tinggi lutut digunakan sebagai prediksi tinggi ba<strong>dan</strong>.<br />

Fatmah et al.(2008) merekomendasikan model prediksi tinggi ba<strong>dan</strong> lansia, yaitu:<br />

Laki-laki<br />

Perempuan<br />

: Prediksi TB = 56,343 + 2,102 tinggi lutut<br />

: Prediksi TB = 62,682 + 1,889 tinggi lutut<br />

Status gizi ditentukan dengan IMT, perbandingan berat ba<strong>dan</strong> dengan kuadrat<br />

tinggi ba<strong>dan</strong> dalam meter. Status gizi dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu<br />

kurang (IMT < 18,5 kg/m 2 ), normal (18,5 kg/m 2 ≤ IMT ≤ 24,9 kg/m 2 ), overweight


(IMT ≥ 25,0 kg/m 2 ), obesitas (IMT ≥ 30,0 kg/m 2 ) (WHO 2004 diacu dalam PDGKI<br />

2008).<br />

Analisis data yang digunakan adalah deskriptif <strong>dan</strong> inferensia. Analisis<br />

deskriptif disajikan berupa tabel frekuensi, rata-rata <strong>dan</strong> standar deviasi pada<br />

variabel penyelenggaraan home care, karakteristik contoh, <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> per<br />

golongan <strong>pangan</strong>, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong>, <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi. Uji statistik<br />

yang digunakan yaitu:<br />

1. Uji beda, uji yang digunakan adalah uji T sampel independen<br />

(independent-sampel t test) untuk data rasio <strong>dan</strong> uji Mann Whitney untuk<br />

data ordinal. Perbedaan <strong>konsumsi</strong> <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi serta<br />

<strong>status</strong> gizi lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care dianalisis dengan<br />

uji T, se<strong>dan</strong>gkan perbedaan <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> <strong>dan</strong> <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> lansia<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care dianalisis dengan uji Mann<br />

Whitney.<br />

2. Uji hubungan, Uji korelasi Pearson untuk menganalisis hubungan <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan zat gizi dengan <strong>status</strong> gizi, hubungan lama sakit infeksi<br />

dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi, <strong>dan</strong> hubungan lama sakit infeksi<br />

dengan <strong>status</strong> gizi. Uji Person digunakan karena data kedua variabel<br />

bersifat rasio. Selain itu, untuk variabel data ordinal digunakan uji korelasi<br />

Spearman untuk menganalisis hubungan keluhan <strong>kesehatan</strong> dengan<br />

<strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> <strong>dan</strong> hubungan <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan<br />

zat gizi.<br />

Pengkategorian variabel disajikan pada tabel di bawah:<br />

Tabel 3 Variabel <strong>dan</strong> indikator data yang dianalisis<br />

No Variabel Kategori variabel<br />

1 Karaktersitik responden<br />

- Umur (WHO) 1. Usia lanjut (60-74 tahun)<br />

2. Usia tua (75-90 tahun)<br />

- Jenis kelamin 1. Laki-laki<br />

2. Perempuan<br />

- Tingkat pendidikan 1. Tidak sekolah<br />

2. Tidak tamat SD<br />

3. Tamat SD/sederajat<br />

4. Tamat SMP/sederajat<br />

5. Tamat SMA/sederajat<br />

6. Tamat PT<br />

- Pekerjaan 1. Petani<br />

2. Buruh<br />

3. Wiraswasta<br />

4. Tidak bekerja<br />

5. Lainnya


No Variabel Kategori variabel<br />

- Sumber pendapatan 1. Sosial<br />

2. Anak<br />

3. Cucu<br />

4. Sendiri<br />

5. Pensiunan<br />

6. Lainnya<br />

- Status pernikahan 1. Menikah<br />

2. Tidak menikah<br />

3. Cerai hidup<br />

4. Cerai mati<br />

- Living arrangement 1. Tinggal sendiri<br />

2. Tinggal bersama keluarga<br />

2 Konsumsi <strong>pangan</strong><br />

- Tingkat kecukupan Energi<br />

<strong>dan</strong> Protein (Depkes 1996<br />

diacu dalam Sukandar<br />

2007)<br />

- Tingkat kecukupan<br />

Kalsium, Fosfor, Vitamin<br />

A, <strong>dan</strong> Vitamin C (Gibson<br />

2005)<br />

3 Status Gizi (WHO 2004 diacu<br />

dalam PDGKI 2008)<br />

1. Defisit <strong>tingkat</strong> berat (120% AKG)<br />

1. Kurang ( 25,0 kg/m 2 )<br />

4. Obesitas (IIMT ≥ 30,0 kg/m 2 )<br />

4 Status Kesehatan<br />

- Keluhan <strong>kesehatan</strong> 1. Tidak ada<br />

2. Terdapat 1 jenis keluhan<br />

- Jenis penyakit <strong>dan</strong><br />

keluhan<br />

3. Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan<br />

1. Infeksi<br />

2. Non infeksi<br />

3. Keluhan<br />

- Lama sakit Dianalisis berdasarkan rata-rata <strong>dan</strong> standar<br />

deviasi<br />

- Frekuensi sakit Dianalisis berdasarkan rata-rata <strong>dan</strong> standar<br />

deviasi<br />

- Tindakan pengobatan 1. Puskesmas<br />

2. Dokter<br />

3. Obat warung<br />

4. Obat tradisional<br />

5 Tingkat <strong>depresi</strong> (McDowell<br />

2006)<br />

1. Normal (0-4)<br />

2. Depresi ringan (5-8)<br />

3. Depresi se<strong>dan</strong>g (9-11)<br />

4. Depresi berat (12-15)<br />

Definisi Operasional<br />

Lansia adalah orang yang lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap<br />

stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau<br />

dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan baik <strong>dan</strong> bersedia<br />

diwawancara sebagai responden.


Home care adalah bentuk pelayanan sosial bagi lansia, dibawah naungan<br />

Yayasan Emong Lansia (YEL), yang dilakukan oleh pendamping berupa<br />

pelayanan minimal kunjungan satu kali dalam satu minggu, bantuan<br />

sembako perbulan, pelaksanaan kegiatan ramah lansia serta pelayanan<br />

<strong>kesehatan</strong>.<br />

Peserta home care adalah lansia yang terdaftar sebagai lansia binaan YEL,<br />

mendapatkan pelayanan kunjungan minimal 1kali seminggu dari<br />

pendamping, bantuan sembako perbulan, serta pelayanan <strong>kesehatan</strong><br />

berupa pemeriksaan dokter minimal 1kali dalam 1bulan di kegiatan ramah<br />

lansia, serta pelayanan rujukan ke tempat pelayanan <strong>kesehatan</strong> setempat<br />

jika mengalami sakit diluar pemeriksaan rutin.<br />

Bukan peserta home care adalah lansia yang tidak terdaftar sebagai lansia<br />

binaan YEL, mendapatkan pelayanan <strong>kesehatan</strong> berupa pemeriksaan<br />

dokter 1kali dalam 1bulan di kegiatan ramah lansia.<br />

Tingkat pendidikan adalah <strong>tingkat</strong> pendidikan formal terakhir yang dijalani<br />

lansia diukur dengan lamanya tahun pendidikan atau jenjang pendidikan<br />

Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan lansia<br />

untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya meliputi san<strong>dan</strong>g, <strong>pangan</strong>,<br />

<strong>dan</strong> papan, tidak selalu dalam bentuk uang namun dapat dalam bentuk<br />

lain.<br />

Living arrangement adalah pengaturan tempat tinggal lansia yang menunjukkan<br />

keberadaan tinggal lansia.<br />

Pekerjaan adalah aktifitas yang dilakukan oleh lansia dengan tujuan untuk<br />

mendapatkan uang.<br />

Status penikahan adalah <strong>status</strong> hubungan lansia dengan lawan jenisnya yang<br />

sah secara hukum (adat, agama, negara, <strong>dan</strong> sebagainya).<br />

Konsumsi <strong>pangan</strong> adalah jumlah <strong>dan</strong> frekuensi <strong>pangan</strong> per kelompok <strong>pangan</strong><br />

yang di<strong>konsumsi</strong> lansia, diukur satu bulan terakhir dari waktu wawancara<br />

dengan menggunakan FFQ semi-kuantitatif.<br />

Status <strong>kesehatan</strong> adalah kondisi lansia yang meliputi keluhan <strong>kesehatan</strong>, lama<br />

sakit, frekuensi sakit <strong>dan</strong> tindakan pengobatannya selama 1 bulan<br />

terakhir.<br />

Keluhan <strong>kesehatan</strong> adalah gangguan terhadap kondisi fisik karena sakit,<br />

kecelakaan atau hal lainnya, termasuk orang yang menderita penyakit<br />

kronis meskipun pada saat pendataan tidak kambuh penyakitnya.


Lama sakit adalah jumlah hari sakit yang dialami lansia sebulan terakhir dari<br />

waktu wawancara<br />

Frekuensi sakit adalah jumlah pengulangan atau kekambuhan penyakit tertentu<br />

yang dialami lansia sebulan terakhir dari waktu wawancara<br />

Status gizi adalah keadaan gizi lansia yang ditentukan dengan pengukuran<br />

berat ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> tinggi lutut untuk kemudian dihitung IIMT, dikategorikan<br />

menjadi, <strong>status</strong> gizi kurang (IMT < 18,5 kg/m 2 ), normal (18,5 kg/m 2 ≤ IMT<br />

≤ 25 kg/m 2 ), overweight (IMT > 25,0 kg/m 2 ) <strong>dan</strong> obesitas (IMT ≥ 30,0<br />

kg/m 2 ).<br />

Tingkat <strong>depresi</strong> adalah keadaan emosi yang dirasakan responden selama 1<br />

minggu terakhir yang diukur menggunakan Skala Depresi Geriatrik (SDG)<br />

versi pendek dengan kategori normal (0-4), <strong>depresi</strong> ringan (5-8), <strong>depresi</strong><br />

se<strong>dan</strong>g (9-11), <strong>dan</strong> <strong>depresi</strong> berat (12-15).


HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Gambaran Umum Yayasan Emong Lansia<br />

Yayasan Emong Lansia (YEL)- HelpAge Indonesia adalah organisasi<br />

non-profit berbasis masyarakat, didirikan pada tanggal 29 Mei 1996 di Jakarta<br />

oleh Steven King mewakili HelpAge Internasional, Mr. Cho Ki Dong (HelpAge<br />

Korea), Ibu Joyce Sosrohadikusumo <strong>dan</strong> Dr. Tony Setiabudhi, PhD. Terdaftar<br />

pada kantor Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Dinas Bina<br />

Mental Spiritual <strong>dan</strong> Kesejahteraan Sosial dengan nomor: 06.12160.118/076.6-B.<br />

Tujuan dari YEL untuk meningkatkan kualitas hidup warga usia lanjut yang<br />

memungkinkan mereka hidup secara terhormat. Visi dari YEL adalah lanjut usia<br />

sehat, mandiri, <strong>dan</strong> sejahtera se<strong>dan</strong>gkan misi YEL adalah meningkatkan kualitas<br />

hidup warga lanjut usia secara berkesinambungan.<br />

Program kerja yang dilakukan yaitu, home care, sponsor a grandparent,<br />

policy advokasi, access to helath services, pelatihan ITCOA, emergency relief<br />

and rehabilitation, <strong>dan</strong> informasi. Home care merupakan kunjungan ataupun<br />

pendampingan di rumah bagi lanjut usia yang rentan, sakit, kesepian, <strong>dan</strong> tinggal<br />

sendiri. Pilot project home care dilakukan di Tegal Alur yang kemudian diadopsi<br />

oleh Pemerintah, khususnya Departemen Sosial RI, menjadi Program Nasional<br />

pendampingan <strong>dan</strong> perawatan lanjut usia di rumah (Home Care) dengan SK<br />

Menteri Sosial RI No. 67/HUK/2006. Alasan diadopsinya program home care ini<br />

dikarenakan beberapa hal seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk<br />

mendirikan sebuah panti jompo (panti werdha), sumber daya manusia yang<br />

terbatas serta budaya Indonesia sendiri yang menganggap bahwa kurang pantas<br />

memasukan orangtua ke panti jompo. Hingga saat ini penyelenggaraan home<br />

care dibawah binaan YEL tidak saja dilakukan di Tegal Alur, tetapi juga dilakukan<br />

di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) <strong>dan</strong> Propinsi Nangroe Aceh<br />

Darussalam (NAD).<br />

Sponsor a grandparent berupa penggalangan <strong>dan</strong>a untuk pelayanan<br />

sosial, terutama bagi lanjut usia yang kurang mampu di bi<strong>dan</strong>g <strong>pangan</strong>, san<strong>dan</strong>g,<br />

<strong>kesehatan</strong>, spiritual, perbaikan tempat tinggal, olah raga <strong>dan</strong> rekreasi. Policy<br />

advokasi berupa Lokakarya Nasional yang menghasilkan Rencana Aksi Nasional<br />

(RAN) 2003-2008 <strong>dan</strong> Komisi Nasional Lanjut Usia dengan Keputusan Presiden<br />

No. 52 tahun 2004.<br />

Yayasan Emong Lansia pun menyelenggarakan access to health<br />

services/ pelayanan <strong>kesehatan</strong>. Pelayanan <strong>kesehatan</strong> yang dimaksudkan adalah


YEL sebagai fasilitator untuk membuka jejaring dengan puskesmas atau rumah<br />

sakit setempat sehingga lansia dapat melakukan pengobatan secara gratis.<br />

Pelatihan ITCOA (International Training Center on Aging) ditujukan bagi lanjut<br />

usia <strong>dan</strong> bagi mereka yang terlibat langsung dalam pelayanan baik lokal maupun<br />

internasional. Emergency relief and rehabilitation berupa bantuan sosial bencana<br />

<strong>dan</strong> sesudahnya se<strong>dan</strong>gkan dalam bi<strong>dan</strong>g informasi, YEL menerbitkan majalah<br />

“Gerbang Lansia” secara berkala untuk meningkatkan kesadaran masyarakat<br />

<strong>dan</strong> lanjut usia itu sendiri untuk bersama-sama menanggulangi masalah yang<br />

dihadapi.<br />

Struktur organisasi YEL:<br />

Dewan Penangggung Jawab (Board of Trustees)<br />

1. Ketua : Ibu Y.S. Nasution<br />

2. Anggota : Ibu Soepardjo Roestam<br />

Ibu BRA Mooryati Soedibyo<br />

Dr. Tony Setiabudhi, PhD<br />

Dewan Penasehat (Board of Advisor)<br />

1. Ibu Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo<br />

2. DR. Dr. Nugroho Abikusno, MSc. PhD<br />

3. Bapak Dick S. Sapi-ie<br />

Dewan Pelaksana<br />

1. Ketua : Ibu Eva Sabdono, MBA<br />

2. Wakil Ketua : Ibu Dida Soerodjo<br />

3. Bendahara : Ibu Elfy B Santoso<br />

4. Humas : Ibu Murniyati Arisandi<br />

Bi<strong>dan</strong>g Umum<br />

1. Drs. Sofyan Manurung<br />

2. H. Azhari<br />

Sekertaris<br />

1. Siti Rahmawati<br />

2. Sundari<br />

Home Care di Tegal Alur<br />

Latar Belakang Penyelenggaraan Home Care<br />

Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan <strong>dan</strong> perawatan lanjut<br />

usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit,<br />

kesepian, <strong>dan</strong> tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis


keluarga. Latar belakang diadakannya pilot project home care di Indonesia<br />

adalah mengingat kesepakatan antara pemerintahan Korea <strong>dan</strong> ASEAN<br />

Secretariat untuk mengembangkan home care sebagai pilot project di sepuluh<br />

negara anggota ASEAN melalui HeplAge Korea <strong>dan</strong> HelpAge Internasional. Pilot<br />

project home care di Indonesia dilaksanakan oleh YEL (HelpAge Indonesia), di<br />

Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat mulai 1 Oktober 2003 hingga Maret 2006<br />

dengan bantuan <strong>dan</strong>a dari HelpAge Korea. Pemilihan tempat di Kelurahan Tegal<br />

Alur merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Nasional tahun 2002 bersama<br />

Komnas Lansia. Lokakarya Nasional yang dihadiri kelompok sosial <strong>dan</strong> kelompok<br />

<strong>kesehatan</strong> memilih Tegal Alur sebagai daerah percontohan karena Tegal Alur<br />

merupakan daerah IDT (Inpres Desa Tertinggal). Lansia yang tinggal di daerah<br />

IDT rentan tinggal sendirian karena anak atau keluarga lainnya sibuk dengan<br />

aktivitas perekonomian.<br />

Tahapan Penyelenggaraan Kegiatan Home Care<br />

Proses penyelenggaraan home care di Tegal Alur meliputi sosialisasi,<br />

seleksi calon pendamping, pemantapan pendamping, pendataan lansia calon<br />

penerima layanan, implementasi program, serta monitoring, evaluasi, <strong>dan</strong><br />

pelaporan. Penyelenggaraan home care diawali dengan proses sosialisasi.<br />

Sosialisasi dilakukan setelah penentuan lokasi, pada tahun 2004, kepada pihak<br />

pemerintah daerah mulai dari walikota, dinas sosial, kecamatan <strong>dan</strong> kelurahan<br />

serta organisasi-organisasi sosial yang peduli pada lansia seperti PSM (Pekerja<br />

Sosial Masyarakat), PMI (Palang Merah Indonesia) <strong>dan</strong> PKK. Tahapan kedua<br />

yang dilakukan adalah seleksi calon pendamping yang berasal dari masyarakat<br />

sekitar <strong>dan</strong> anggota organisasi-organisasi sosial peduli lansia. Awal pendataan<br />

terdaftar sejumlah 125 orang yang kemudian diseleksi <strong>dan</strong> diterima sebanyak 40<br />

orang pendamping.<br />

Selanjutnya pendamping yang telah terpilih diberikan pelatihan pertama<br />

oleh ITCOA. Pelatihan yang diberikan kepada pendamping dilakukan dengan<br />

dua cara yaitu berupa pemberian teori <strong>dan</strong> praktek lapang. Tenaga pendamping<br />

harus mempunyai pengetahuan dasar tentang teknik-teknik pendampingan <strong>dan</strong><br />

perawatan lansia (non medis) untuk dapat memberikan pelayanan terhadap<br />

lansia antara lain:<br />

a. permasalahan yang dihadapi lansia baik mental maupun fisik<br />

b. teknik komunikasi<br />

c. pengetahuan dasar tentang konseling


d. pengetahuan dasar tentang asuhan keperawatan (non medis)<br />

e. metode pekerjaan sosial<br />

f. pengetahuan tentang gizi<br />

Praktek lapang dilakukan setelah pemberian teori dilakukan. Praktek lapang ini<br />

ditujukan untuk meningkatkan keterampilan para pendamping. Pendamping<br />

terlebih dahulu magang di tempat-tempat yang menyediakan pelayanan lansia<br />

seperti panti jompo lansia. Pelatihan pendamping tahap kedua selanjutnya<br />

dilakukan bekerjasama dengan BKBI (Balai Keluarga Berencana Indonesia),<br />

BKKBN (Ba<strong>dan</strong> Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).<br />

Tahapan kegiatan penyelenggaraan home care selanjutnya adalah<br />

pendataan lansia calon penerima layanan oleh pendamping. Pendataan awal<br />

diperoleh sebanyak 520 orang lansia calon penerima layanan. Jumlah tersebut<br />

kemudian disesuaikan dengan jumlah pendamping <strong>dan</strong> keterbatasan pelayanan<br />

serta persyaratan lansia peserta, hingga terpilih 60 orang lansia yang terdaftar<br />

sebagai lansia peserta.<br />

Tahapan terpenting dalam penyelenggaraan home care adalah<br />

implementasi program. Penyelenggaraan pelayanan home care perlu didukung<br />

oleh fasilitas dalam bentuk saranan <strong>dan</strong> prasarana yang memadai. Fasilitas ini<br />

perlu disediakan untuk mempermudah <strong>dan</strong> mempercepat pelayanan.<br />

Berdasarkan surat Lurah Tegal Alur No. 153/I.864 tanggal 5 Agustus 2004, YEL<br />

mendapatkan izin penggunaan beberapa ruangan yaitu ruang kantor gedung <strong>dan</strong><br />

aula kantor kelurahan lama. Tempat tersebut menjadi Pusat Kegiatan Lanjut Usia<br />

(PKLU) Kelurahan Tegal Alur. Sarana penunjang yang dilengkapi yaitu<br />

pembuatan kamar mandi, penyediaan kursi lipat, meja tulis, white board serta<br />

perlengkapan lain yang dibutuhkan sejalan dengan peningkatan pelayanan<br />

kepada lansia. Pemeliharaan kebersihan tempat tersebut dilaksanakan oleh<br />

pendamping dalam bentuk piket harian di PKLU.<br />

Tahapan terakhir dalam penyelenggaraan home care adalah proses<br />

monitoring, evaluasi, <strong>dan</strong> pelaporan. Monitoring adalah proses pemantauan yang<br />

dilakukan secara terarah mengenai proses <strong>dan</strong> kemajuan pelayanan home care<br />

untuk menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelayanan,<br />

dilakukan secara berkala setiap minggu. Monitoring dilakukan saat pertemuan<br />

rutin seluruh pendamping dengan koordinator la<strong>pangan</strong> dilakukan secara rutin<br />

setiap minggu. Pertemuan tersebut membahas berbagai kendala yang ditemui<br />

selama proses pendampingan <strong>dan</strong> kemajuan pelayanan yang ada.


Evaluasi adalah proses menghitung, mengukur <strong>dan</strong> menilai proses<br />

pelayanan <strong>dan</strong> hasilnya terhadap pelayanan home care. Tujuannnya adalah<br />

teridentifikasinya proses <strong>dan</strong> hasil pelayanan (keluaran, pencapaian hasil,<br />

manfaat <strong>dan</strong> dampaknya). Evaluasi dilakukan secara bersama-sama antara YEL<br />

dengan koordinator lapang serta pendamping. Evaluasi dampak dari pilot project<br />

home care pernah dilaksanakan pada tahun 2006, menilai apakah pelayanan<br />

memenuhi kebutuhan masyarakat. Responden pada evaluasi dampak ini dipilih<br />

secara acak, terdiri dari lansia, keluarga lansia, pendamping, anggota<br />

masyarakat, puskesmas, kepala lurah <strong>dan</strong> kepala RW/RT. Evaluasi dampak ini<br />

menilai lima aspek khusus, yaitu mengukur:<br />

1. berapa banyak orang tahu tentang a<strong>dan</strong>ya program<br />

2. penerimaan layanan dari sudut pan<strong>dan</strong>g budaya<br />

3. <strong>tingkat</strong> kepuasan pelayanan<br />

4. <strong>tingkat</strong> pentingnya perawatan rumah yang dilakukan bagi lansia miskin<br />

5. dampak program itu sendiri<br />

Hasil evaluasi dampak pilot project home care di Tegal Alur adalah<br />

pelayanan yang dilaksanakan YEL memuaskan bagi lansia <strong>dan</strong> pihak lain yang<br />

terlibat seperti keluarga, pendamping, masyarakat sekitar serta aparat<br />

pemerintah. Evaluasi ini dengan jelas menunjukkan bahwa seluruh masyarakat<br />

yang terlibat dalam pelayanan ini memiliki minat yang sama dalam kesejahteraan<br />

lansia <strong>dan</strong> mendukung semua kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan ini adalah<br />

upaya yang diselenggarakan oleh, dari <strong>dan</strong> untuk masyarakat dengan peran aktif<br />

pemerintah daerah.<br />

Pelaporan merupakan pendokumentasian pelayanan home care secara<br />

teknis maupun administratif yang disusun secara lisan maupun tertulis. Laporan<br />

secara lisan biasanya dilakukan saat pertemuan mingguan pendamping dengan<br />

koordintator lapang. Kemudian, setiap bulannya pendamping melaporkan secara<br />

tertulis kondisi umum lansia peserta kepada koordinator lapang. Koordinator<br />

lapang nantinya akan menyusun laporan hasil kinerja secara tertulis kepada<br />

pimpinan YEL.<br />

Sasaran Pelayanan Home Care<br />

Sasaran pelayanan home care ada yang bersifat langsung <strong>dan</strong> tidak<br />

langsung. Sasaran langsung adalah lanjut usia (berusia 60 tahun lebih), miskin,<br />

tinggal sendiri, terlantar <strong>dan</strong> mengalami masalah dengan <strong>kesehatan</strong> atau<br />

aktivitasnya. Lansia yang akan menjadi peserta tidak hanya memenuhi


persyaratan yang telah ditentukan, tetapi juga harus mendapatkan surat izin dari<br />

keluarga lansia atau kepala RW/RT setempat bagi lansia yang tinggal sendiri.<br />

Jumlah lansia yang menjadi peserta home care dari tahun ke tahun mengalami<br />

perkembangan. Pada awal pelaksanaan, sebanyak 60 lansia terdaftar sebagai<br />

peserta home care. Kemudian, pada tahun 2009 jumlah peserta berjumlah 80<br />

orang lansia. Hingga saat ini pelayanan home care di Tegal Alur baru dilakukan<br />

di 13 RW dari 16 RW yang ada di kelurahan Tegal Alur dengan jumlah lansia<br />

peserta 75 orang. Perubahan jumlah lansia ini disebabkan oleh berubahnya<br />

jumlah pendamping serta beberapa lansia yang sudah meninggal.<br />

Sasaran tidak langsung pelayanan home care adalah keluarga,<br />

masyarakat serta berbagai kelembagaan baik pemerintah maupun organisasi<br />

sosial yang peduli terhadap lansia. Keluarga dalam hal ini diharapkan menjadi<br />

lebih peduli terhadap lansia. Pendamping memotivasi keluarga lansia untuk<br />

merawat lansia seperti yang dilakukan pendamping.<br />

Kelembagaan pemerintah maupun organisasi sosial menjadi salah satu<br />

pihak penting yang menjadi sasaran pelayanan home care. Hal ini berkaitan<br />

dengan proses kerja sama atau kemitraan yang akan dijalin antara YEL dengan<br />

kelembagaan tersebut untuk mendukung terlaksananya pelayanan home care.<br />

Hingga saat ini berbagai lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah seperti<br />

Departemen Sosial (Depsos), walikota, kecamatan, kelurahan, RW/RT serta<br />

Puskesmas setempat sudah menjalin kerjasama dengan baik. Selain itu,<br />

organisasi-organisasi sosial seperti PSM (Pekerja Sosial Masyarakat), PMI<br />

(Palang Merah Indonesia) <strong>dan</strong> PKK ikut juga terlibat dalam proses<br />

penyelenggaraan pelayanan home care di Tegal Alur disamping beberapa pihak<br />

lain yang tidak ingin nama atau institusinya disebutkan.<br />

Jenis Pelayanan Home Care<br />

Jenis pelayanan home care yang dilaksanakan di Tegal Alur mengalami<br />

perkembangan dari tahun ke tahun. Pada awal pendirian tahun 2004, pelayanan<br />

dipusatkan pada pelayanan sosial, pendampingan lansia di rumah.<br />

Pendampingan ini berupa kunjungan yang dilakukan pendamping ke rumah<br />

lansia satu kali dalam satu minggu untuk mendengar berbagai cerita atau<br />

keluhan yang dialami lansia. Jika lansia tinggal sendiri atau mengalami<br />

keterbatasan mobilitas, pendamping membantu lansia melakukan aktivitas<br />

keseharian atau kegiatan rumah tangga seperti membersihkan ruangan tempat<br />

tinggal lansia.


Tahun 2009, pelayanan yang diberikan tidak hanya pelayanan sosial,<br />

akan tetapi juga diberikan pelayanan lainnya. Bentuk pelayanan yang<br />

dilaksanakan berupa pelayanan <strong>kesehatan</strong>. Pendamping bertugas menemani ke<br />

puskesmas atau merujuk ke rumah sakit bila lansia perlu dirawat. Pemberian<br />

bantuan pun diberikan berupa alat bantu bagi lansia yang membutuhkan antara<br />

lain, kursi roda, tongkat, kaca mata. Pelayanan juga ditujukan untuk<br />

meningkatkan gizi lansia peserta meskipun sifatnya terbatas, yaitu dengan<br />

pemberian sembako (beras, susu, biskuit, mie instan) secara berkala setiap satu<br />

bulan satu. Selain itu, diadakan pula kegiatan ramah lansia <strong>tingkat</strong> RW, senam<br />

lanjut usia serta pemberian pinjaman modal Usaha Ekonomi Produktif (UEP).<br />

Kegiatan ramah lansia <strong>tingkat</strong> RW dilakukan satu kali dalam satu bulan.<br />

Kegiatan rutin yang dilakukan pada kegiatan ramah lansia adalah pemeriksaan<br />

<strong>kesehatan</strong> <strong>dan</strong> penyuluhan oleh dokter yang diutus dari puskesmas, se<strong>dan</strong>gkan<br />

untuk kegiatan tambahan seperti pemberian keterampilan beragam setiap<br />

bulannya tergantung kepada pendamping. Pemeriksaan <strong>kesehatan</strong> yang<br />

dilakukan adalah pemeriksaan umum seperti tekanan darah <strong>dan</strong> penimbangan<br />

berat ba<strong>dan</strong>. Apabila hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa lansia sakit<br />

atau lansia menyatakan berbagai keluhan yang dialaminya, dokter akan<br />

memberikan obat secara gratis kepada seluruh lansia yang mengikuti<br />

pemeriksaan tersebut. Bahkan jika pemeriksaan dianggap cukup parah, dokter<br />

akan memberikan surat pengantar untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ke<br />

puskesmas atau rumah sakit daerah.<br />

Senam lansia dilakukan setiap satu kali dalam satu minggu. Senam lansia<br />

dipimpin oleh seorang instruktur senam yang juga pendamping home care.<br />

Pemberian pinjaman modal UEP diberikan pada lansia yang masih produktif atau<br />

keluarga lansia sejumlah Rp 500.000,00. Pemberian modal UEP kepada<br />

keluarga lansia dengan harapan keuntungan dari usaha yang dijalankan dapat<br />

membantu lansia. Jenis usaha yang dijalankan sebagian besar berada pada<br />

lingkup usaha makanan. Tidak ada mekanisme ketat yang mengatur sistem<br />

pengembalian pinjaman modal UEP. Lansia atau keluarga lansia dapat<br />

mengembalikan pinjaman sesuai kemampuan lansia membayar baik dari segi<br />

besarnya uang yang dibayarkan maupun waktu pengembalian.<br />

Tahun 2010, YEL atas dukungan PT Sido Muncul dalam rangka Hari<br />

Lanjut Usia Nasional (HLUN) telah memberikan bantuan perbaikan kamar lansia<br />

kepada 10 orang lansia peserta home care. Sebanyak 14 orang lansia


mendapatkan bantuan program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dari Depsos<br />

berupa uang sejumlah Rp 300.000,00 per bulan.<br />

Pendamping Home Care<br />

Pelayanan home care didampingi oleh para pendamping yang ditunjuk<br />

<strong>dan</strong> memenuhi syarat untuk membantu para lansia. Kriteria para pendamping ini<br />

diantaranya, berba<strong>dan</strong> sehat, tinggal di wilayah pelayanan, usia 21-55 tahun,<br />

pendidikan minimal SD, telah memiliki pengalaman melayani atau merawat<br />

lansia, <strong>dan</strong> mempunyai motivasi untuk merawat lansia. Selain itu, kriteria yang<br />

harus dipenuhi adalah telah lolos dalam seleksi baik secara lisan (wawancara)<br />

maupun tulisan yang kemudian bersedia mengikuti pelatihan secara penuh <strong>dan</strong><br />

bersedia menjadi pendamping selama satu tahun dengan mengunjungi lansia<br />

minimal satu jam sekali seminggu.<br />

Tugas pendamping adalah melakukan penelaahan serta pengungkapan<br />

masalah <strong>dan</strong> kebutuhan, menghubungkan lansia dengan sumber pelayanan <strong>dan</strong><br />

mendampingi lansia dalam kegiatan lansia yang secara terprogram dibuat oleh<br />

YEL. Informasi yang perlu diketahui oleh pendamping adalah berbagai<br />

permasalahan <strong>dan</strong> kebutuhan lanjut usia baik fisik, psikososial maupun mental<br />

spriritual yang kemudian dilaporkan dalam bentuk jurnal setiap minggunya.<br />

Dalam rangka perbaikan pelayanan kepada lansia, YEL juga melakukan<br />

perbaikan pelayanan bagi pendamping. Pendamping secara bergantian diberikan<br />

kesempatan memperoleh pelatihan yang diselenggarakan oleh Depsos, Depkes<br />

RI. Studi banding juga dilakukan ke Sukabumi, tempat yang menyelenggarakan<br />

home care. Selain itu, beberapa kegiatan yang ditujukan bagi lansia seperti<br />

kegiatan senam lansia <strong>dan</strong> pemberian bantuan modal usaha (UEP) juga<br />

diberikan bagi pendamping.<br />

Pekerjaan sebagai pendamping home care merupakan pekerjaan sosial<br />

tanpa bayaran apapun. Pendamping yang sebagian besar berasal dari kader,<br />

PKK atau PSM mendapat kartu berobat gratis dari kelurahan untuk 17 rumah<br />

sakit DKI Jakarta. Selain itu, sebagai penghargaan kepada pendamping, YEL<br />

biasanya memberikan tunjangan hari raya (THR) setiap tahunnya. Tunjangan ini<br />

bukan berupa uang, tetap biasanya berupa makanan, pakaian, rompi, kerudung<br />

atau sajadah yang tiap tahunnya diberikan berbeda.<br />

Jumlah pendamping dari awal pelaksanaan home care sampai sekarang<br />

mengalami perubahan. Pada awal pendirian terdapat 40 orang pendamping yang<br />

berasal dari kader, PKK, PMI, PSM. Kemudian pada tahun berikutnya, beberapa


pendamping dari PMI mengundurkan diri dengan alasan jarak atau transportasi<br />

yang jauh. Pada tahun 2008, jumlah pendamping hanya 22 orang kemudian<br />

bertambah menjadi 30 orang pada tahun 2009. Pada saat penelitian<br />

dilaksanakan, tahun 2010, jumlah pendamping terdaftar sebanyak 35 orang.<br />

Terdapat beberapa alasan yang mendasari pengunduran diri seorang<br />

pendamping, antara lain dengan alasan sakit-sakitan, pindah domisili, meninggal<br />

atau karena alasan transportasi yang dirasa jauh. Satu pendamping bertugas<br />

mendampingi dua orang lansia, tetapi saat ini dikarenakan jumlah pendamping<br />

berkurang maka terdapat beberapa pendamping yang mendampingi lebih dari<br />

dua lansia.<br />

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pendamping mengenai<br />

motivasi, kendala pendampingan serta persepsi mengenai kegiatan yang telah<br />

dilakukan YEL, diperoleh pendapat yang hampir serupa. Seluruh pendamping<br />

menyebutkan bahwa motivasi mereka untuk menjadi pendamping adalah untuk<br />

membantu sesama, terutama lansia. Pendamping merasa tergerak hati<br />

nuraninya untuk menolong lansia yang berada di daerahnya karena mereka<br />

merasa senang jika bisa berbagai kebahagiaan dengan para lansia. Selama<br />

proses pendampingan, para pendamping merasa tidak ada hambatan. Respon<br />

yang diterima pendamping baik dari lansia maupun dari keluarga lansia cukup<br />

baik karena mereka merasa senang ada yang memperhatikan <strong>dan</strong> mendukung<br />

mereka. Persepsi para pendamping terhadap pelayanan yang telah dilaksanakan<br />

oleh YEL cukup bagus. Para pendamping berharap kedepannya kegiatan<br />

pelayanan home care dapat berlangsung secara kontinu <strong>dan</strong> lebih di<strong>tingkat</strong>kan<br />

pelayanannya.<br />

Penyelenggaraan home care ini mengalami berbagai kendala. Kendala<br />

yang dihadapi antara lain transportasi pendamping belum ada, jumlah<br />

pendamping yang terbatas se<strong>dan</strong>gkan jumlah lansia yang memerlukan<br />

pendampingan masih banyak, serta hambatan dalam hal <strong>dan</strong>a.<br />

Peserta <strong>dan</strong> Bukan Peserta Home Care<br />

Selama proses penyelenggraan home care di Tegal Alur, berbagai<br />

pelayanan yang diselenggarakan oleh YEL ternyata tidak hanya menjangkau<br />

lansia peserta tetapi juga menjangkau lansia bukan peserta home care.<br />

Beberapa pelayanan yang diselenggarakan oleh YEL dapat diikuti baik oleh<br />

lansia peserta maupun bukan lansia peserta home care. Tabel di bawah


menunjukkan perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta home care:<br />

Tabel 4 Perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta<br />

home care<br />

Jenis Pelayanan<br />

Home care<br />

Peserta Bukan peserta<br />

Pelayanan kunjungan dari pendamping 1x/minggu √ −<br />

Pemeriksaan <strong>kesehatan</strong> 1x/bln √ √<br />

Kegiatan ramah lansia (pelatihan kerajinan tangan) √ √<br />

Pengobatan gratis ke puskesmas √ √<br />

Pemberian modal UEP √ −<br />

Perbaikan kamar lansia √ −<br />

Pemberian JSLU dari Depsos √ √<br />

Pemberian sembako 1x/bulan √ −<br />

Senam lansia 1x/minggu √ √<br />

Keterangan: “√”: ya, “−“: tidak<br />

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pelayanan <strong>kesehatan</strong> 1x/bulan,<br />

kegiatan ramah lansia, pengobatan gratis ke Puskesmas, pemberian JSLU dari<br />

Depsos <strong>dan</strong> senam lansia 1x/minggu dapat diperoleh baik oleh lansia peserta<br />

maupun bukan peserta home care. Pengajuan JSLU yang dilakukan oleh<br />

pendamping tidak hanya ditujukan bagi lansia peserta home care. Lansia yang<br />

miskin, sakit-sakitan, sudah tidak berdaya serta mendapatkan makanan dari<br />

pemberian orang lain, menjadi sasaran utama calon penerima bantuan JSLU<br />

meskipun lansia tersebut tidak terdaftar sebagai peserta home care.<br />

Pelayanan kunjungan pendamping 1x/minggu, pemberian modal UEP,<br />

perbaikan kamar lansia, <strong>dan</strong> pemberian sembako 1x/bulan hanya diperoleh oleh<br />

lansia peserta home care. Hal ini dikarenakan keterbatasan pendamping <strong>dan</strong><br />

<strong>dan</strong>a untuk bisa menjangkau seluruh lansia yang ada di Tegal Alur. Meskipun<br />

demikian, hal ini tetap menunjukkan bentuk kepedulian YEL terhadap lansia,<br />

meskipun lansia tersebut tidak terdaftar sebagai peserta home care meningat<br />

kondisi lansia yang secara psikologis mudah merasa iri atau tersinggung jika ada<br />

lansia lain yang mendapatkan perhatian lebih.<br />

Penyelenggaraan Home Care di Negara Lain<br />

Penyelenggaraan home care di Indonesia, seperti sudah dijelaskan<br />

sebelumnya, merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah Korea (HelpAge<br />

Korea) dengan negara ASEAN untuk mengembangkan home care sehingga<br />

model pelayanan yang diberikan didisain sesuai dengan yang diselenggarakan di<br />

Korea <strong>dan</strong> tetap disesuaikan dengan kebutuhan lokal, sumbedaya yang ada, <strong>dan</strong><br />

budaya masing-masing negara. Model home care yang berhasil dilakasanakan di<br />

Korea adalah volunteer based home care (Volunteer-based home help services)


sehingga HelpAge Korea diminta untuk mengembangkan model tersebut di<br />

ASEAN.<br />

Penyelenggaraan home care di Korean dimulai pada tahun 1982,<br />

diselenggarakan oleh NGO (non-goverenment organization) HelpAge Korea<br />

dengan bantuan <strong>dan</strong>a dari HelpAge Internasional, ditujukan untuk mendukung<br />

lansia miskin <strong>dan</strong> membutuhkan dukungan. Pertama kali dilakukan dengan<br />

memperkenalkan pendamping (relawan) untuk mengurus lansia yang mengalami<br />

imobilitas, berpendapatan rendah, <strong>dan</strong> dapat melakukan beberapa perawatan<br />

pribadi sendiri. Home care ditujukan bagi lansia miskin, rentan, <strong>dan</strong> terisolasi<br />

agar bisa hidup mandiri di masyarakat. Pelayanan yang diberikan berupa<br />

bantuan untuk pekerjaan rumah tangga, perawatan pribadi, pertemanan <strong>dan</strong><br />

menjalankan tugas-tugas lainnya. Pemerintah Korea sendiri baru mengadopsi<br />

home care menjadi kebijakan nasional pada tahun 1989 <strong>dan</strong> kemudian<br />

dikembangkan secara nasional dengan bantuan NGO.<br />

Penyelenggaraa home care di negara ASEAN adalah NGO yang peduli<br />

dengan lansia, baik di<strong>dan</strong>ai ataupun tidak oleh pemerintah. Tujuan utama home<br />

care adalah untuk membantu lansia yang rentan untuk terus bisa hidup di<br />

keluarga <strong>dan</strong> masyarakat, baik secara mandiri atau bersama dengan keluarga<br />

mereka. Populasi yang menjadi sasaran home care adalah lansia miskin, yang<br />

sering tinggal sendiri, memiliki kesulitan dalam melakukan aktivitas keseharian,<br />

membutuhkan dukungan yang tidak didapat dari keluarga. Pelayanan diberikan<br />

di rumah lansia dengan minimal kunjungan 1 kali dalam 1 minggu. Pendamping<br />

bekerja secara sukarela. Pelayanan mendasar yang diberikan adalah berupa<br />

pertemanan untuk memenuhi kebutuhan psikologis <strong>dan</strong> sosial, yang berarti<br />

meluangkan waktu untuk bercerita dengan lansia yang kesepian <strong>dan</strong><br />

membutuhkan dukungan emosional. Di luar itu, jenis pelayanan bersifat fleksibel,<br />

biasanya berupa bantuan pekerjaan rumah tangga, perawatan diri, atau<br />

mengantar lansia ke tempat penting (dokter, acara sosial, rumah ibadah).<br />

Model penyelenggraan home care yang dikembangkan adalah volunteer<br />

based home care yang telah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya,<br />

ekonomi kemudian menghasilkan tiga model utama:<br />

1) Volunteer based home care model, penyelenggara home care<br />

menyediakan pelayanan di rumah secara teratur bagi lansia miskin<br />

<strong>dan</strong> memiliki kesulitan dalam melakukan aktivitas keseharian,<br />

pendamping dipilih dari masyarakat sekitar. Model ini dikembangkan


di negara Brunei, Indonesia, Myanmar, Malaysia, Thailand, <strong>dan</strong><br />

Vietnam.<br />

2) Volunteer & older peoples association (OPA) based home care<br />

model, penyelenggara home care bekerja sama dengan asosiasi<br />

lansia di masyarakat memberikan pelayanan sukarela. Model ini<br />

dikembangkan di negara Kamboja <strong>dan</strong> Filipina.<br />

3) Family caregiver support model, penyelenggara home care<br />

menyediakan pelatihan bagi anggota keluarga atau orang lain yang<br />

tinggal bersama lansia di masyarakat untuk merawat lansia. Model ini<br />

dikembangkan di negara Laos.<br />

Secara garis besar dampak dari penyelenggaraan home care di negara<br />

ASEAN mencakup berbagai pihak, 1) Lansia menyadari bahwa mereka tidak lagi<br />

terisolasi di masyarakat <strong>dan</strong> berterima kasih kepada pendamping yang selalu<br />

meluangkan waktu untuk mengunjungi mereka <strong>dan</strong> memungkinkan mereka untuk<br />

tetap tinggal di rumah selama mungkin, 2) Keluarga menjadi lebih peduli kepada<br />

lansia <strong>dan</strong> mengapresiasi keberadaan pendamping karena dapat menutupi<br />

kurangnya perhatian dari keluarga, 3) Pendamping merasa puas dengan peran<br />

mereka <strong>dan</strong> merasa bangga dengan keikutsertaan mereka karena mendapat<br />

tanggapan positif dari keluarga sehingga mereka termotivasi untuk melanjutkan<br />

sebagai pendamping, 4) Masyarakat menjadi sadar bahwa masih banyak lansia<br />

miskin <strong>dan</strong> terlantar sehingga memotivasi mereka untuk lebih perhatian terhadap<br />

kebutuhan <strong>dan</strong> perubahan yang terjadi pada lansia, 5) Pemerintah menyadari<br />

bahwa home care telah memenuhi kebutuhan lansia yang ingin tinggal di<br />

masyarakat, terbukti hemat biaya dibandingkan dengan sistem pelayanan<br />

institusi lain serta sesuai dengan tradisi <strong>dan</strong> budaya masing-masing. Program<br />

home care yang telah diperluas ke provinsi lain oleh NGO dengan bantuan<br />

pemerintah baik secara teknis maupun pen<strong>dan</strong>aan diselenggarakan di 4 negara,<br />

yaitu indonesia, Myanmar, Filipina <strong>dan</strong> Vietnam.<br />

Karakteristik Lansia<br />

Usia<br />

Contoh pada penelitian ini adalah lanjut usia, pria <strong>dan</strong> wanita yang<br />

berusia lebih dari atau sama dengan 60 tahun. Jumlah keseluruhan contoh<br />

adalah 60 orang lansia yang diambil dari peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

di Kelurahan Tegal Alur masing-masing sebanyak 30 orang.


Tabel 5 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut usia<br />

Home care<br />

Karakteristik Lansia<br />

Peserta Bukan Total<br />

n % n % n %<br />

Lanjut usia (60-74 tahun)<br />

Lanjut usia tua (75-90 tahun)<br />

23<br />

7<br />

76,7<br />

23,3<br />

25<br />

5<br />

83,3<br />

16,7<br />

48<br />

12<br />

80<br />

20<br />

Total 30 100 30 100 60 100<br />

Usia peserta home care berkisar antara 63-84 tahun dengan rata-rata<br />

71,03 tahun <strong>dan</strong> standar deviasi 4,94 tahun, se<strong>dan</strong>gkan usia bukan peserta<br />

home care berkisar antara 62-84 tahun dengan rata-rata 68,9 tahun <strong>dan</strong> standar<br />

deviasi 5,74 tahun. Lebih dari separuh peserta home care (66,7%) <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta home care (83,3%) berada pada kelompok usia lanjut usia yaitu antara<br />

60-74 tahun (WHO diacu dalam Komnas Lansia 2008).<br />

Jenis Kelamin<br />

Sebagian besar lansia peserta (83,3%) <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

(90%) berjenis kelamin wanita. Lebih lanjut Abikusno (2007) menyebutkan bahwa<br />

wanita merupakan mayoritas populasi lansia, di sebagian besar negara, <strong>dan</strong><br />

bahkan mayoritas terbesar pada populasi lanjut usia tua. Usia harapan hidup<br />

wanita pada tahun 2010 mencapai 70,5 tahun dibanding pria yang hanya 66,9<br />

tahun. Hal ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun berikutnya. Tabel 7<br />

menunjukkan sebaran lansia menurut jenis kelamin:<br />

Tabel 6 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut jenis<br />

kelamin<br />

Home care<br />

Jenis kelamin Peserta Bukan peserta Total<br />

n % n % n %<br />

Perempuan<br />

Laki-laki<br />

25<br />

5<br />

83,3<br />

16,7<br />

27<br />

3<br />

90<br />

10<br />

52<br />

8<br />

86,7<br />

13,3<br />

Total 30 100 30 100 60 100<br />

Tingkat Pendidikan<br />

Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh lansia pada kedua<br />

kelompok cukup bervariasi, mulai dari lansia yang tidak pernah sekolah sampai<br />

dengan lansia yang pernah mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah<br />

Atas (SMA)/ sederajat (Tabel 7). Berdasarkan hasil penelitian, lansia yang tidak<br />

pernah sekolah memiliki persentase terbesar yaitu 56,7 persen pada peserta<br />

home care <strong>dan</strong> 40 persen pada lansia bukan peserta home care. Baik pada<br />

peserta maupun bukan peserta home care, lansia tidak menamatkan jenjang<br />

Sekolah Dasarnya (SD) menempati urutan kedua persentase tertinggi yaitu 30<br />

persen peserta home care <strong>dan</strong> 33,3 persen lansia bukan peserta home care.


Tabel 7 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut <strong>tingkat</strong><br />

pendidikan<br />

Home Care<br />

Tingkat pendidikan Peserta Bukan Total<br />

n % n % n %<br />

Tidak sekolah<br />

Tidak tamat SD<br />

Tamat SD/sederajat<br />

Tamat SMP/sederajat<br />

Tamat SMA/sederajat<br />

17<br />

9<br />

3<br />

0<br />

1<br />

56,7<br />

30,0<br />

10,0<br />

0,0<br />

3,3<br />

12<br />

10<br />

5<br />

1<br />

2<br />

40,0<br />

33,3<br />

16,7<br />

3,3<br />

6,7<br />

29<br />

19<br />

8<br />

1<br />

3<br />

48,3<br />

31,7<br />

13,3<br />

1,7<br />

5,0<br />

Total 30 100 30 100 60 100<br />

Lansia menyebutkan bahwa alasan mereka tidak pernah bersekolah atau<br />

tidak menamatkan SD karena mereka lahir <strong>dan</strong> mengalami masa kanak-kanak<br />

pada masa kolonial <strong>dan</strong> awal kemerdekaan RI. Selain jumlah sekolah yang<br />

masih terbatas, akses untuk menuju sekolah dirasa sulit.<br />

Hal ini sejalan dengan hasil Susenas 2008 yang menunjukkan<br />

persenyase penduduk lansia yang berpendidikan rendah relatif tinggi. Lansia<br />

yang tidak atau belum pernah sekolah mencapai 33,98 persen <strong>dan</strong> 33,95 persen<br />

lansia tidak menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). Keterbatasan<br />

fasilitas, sarana <strong>dan</strong> prasarana akibat sisa-sisa penjajahan pada masa<br />

kemerdekaan menyebabkan rendahnya <strong>tingkat</strong> pendidikan lansia (BPS 2008).<br />

Pekerjaan<br />

Baik pada peserta maupun bukan peserta home care, kecenderungan<br />

lansia tidak bekerja cukup besar, lansia peserta home care (90%) lebih banyak<br />

yang tidak bekerja dibandingkan bukan peserta home care (76,7%).<br />

Tabel 8 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

pekerjaan<br />

Home care<br />

Pekerjaan Peserta Bukan Total<br />

n % n % n %<br />

Petani<br />

Buruh<br />

Wiraswasta<br />

Tidak Bekerja<br />

Lainnya<br />

0<br />

1<br />

1<br />

27<br />

1<br />

0,0<br />

3,3<br />

3,3<br />

90,0<br />

3,3<br />

1<br />

5<br />

0<br />

23<br />

1<br />

3,3<br />

16,7<br />

0,0<br />

76,7<br />

3,3<br />

1<br />

6<br />

1<br />

50<br />

2<br />

1,7<br />

10,0<br />

1,7<br />

83,3<br />

3,3<br />

Total 30 100 30 100 60 100<br />

Kondisi ini selain terkait masalah usia, juga diduga dipengaruhi oleh rendahnya<br />

pendidikan lansia. Secara umum lansia akan mengalami penurunan produktivitas<br />

kerja seiring menurunnya kondisi fisik (Komnas Lansia 2008). Persentase lansia<br />

bekerja pada lansia bukan peserta home care (23,3%) lebih tinggi dibandingkan<br />

peserta home care (10%). Lansia peserta home care bekerja sebagai buruh,


wiraswasta <strong>dan</strong> lainnya, se<strong>dan</strong>gkan lansia bukan peserta home care bekerja<br />

sebagai petani, buruh <strong>dan</strong> lainnya. Alasan penduduk lansia untuk bekerja antara<br />

lain disebabkan oleh jaminan sosial <strong>dan</strong> <strong>kesehatan</strong> yang masih kurang,<br />

disamping desakan ekonomi.<br />

Sumber Pendapatan<br />

Sumber pendapatan merupakan asal biaya utama yang secara rutin<br />

digunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti makan,<br />

pakaian <strong>dan</strong> tempat tinggal, tidak selalu berupa uang.<br />

Tabel 9 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut sumber<br />

pendapatan<br />

Home care<br />

Sumber Pendapatan<br />

Peserta Bukan Total<br />

n % n % n %<br />

Sosial<br />

Anak<br />

Cucu<br />

Sendiri<br />

Pensiunan<br />

Lainnya (saudara lain/ tetangga)<br />

2<br />

17<br />

2<br />

3<br />

3<br />

3<br />

6,7<br />

56,7<br />

6,7<br />

10,0<br />

10,0<br />

10,0<br />

0<br />

18<br />

0<br />

7<br />

3<br />

2<br />

0,0<br />

60,0<br />

0,0<br />

23,3<br />

10,0<br />

6,7<br />

2<br />

35<br />

2<br />

10<br />

6<br />

5<br />

3,3<br />

58,3<br />

3,3<br />

16,7<br />

10,0<br />

8,3<br />

Total 30 100 30 100 60 100<br />

Dilihat dari sumber pendapatan secara total yang diterima baik oleh lansia<br />

peserta maupun bukan peserta home care, bantuan yang berasal dari anak<br />

menduduki persentase paling tinggi yaitu 56,7 persen (peserta home care) <strong>dan</strong><br />

60 persen (bukan peserta home care). Berdasarakan hasil wawancara, bantuan<br />

yang diberikan sebagian besar berupa makanan, disamping pakaian, tempat<br />

tinggal serta pengobatan. Makanan untuk lansia sudah disediakan oleh anaknya<br />

baik berupa bahan mentah maupun makanan yang siap saji.<br />

Peringkat kedua sumber pendapatan pada lansia peserta home care<br />

berasal dari sendiri (10%), pensiunan (10%) <strong>dan</strong> lainnya (10%). Pada lansia<br />

bukan peserta home care peringkat kedua sumber pendapatan adalah sendiri<br />

(23,3%), artinya pada lansia bukan peserta home care lebih banyak yang masih<br />

bekerja untuk menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.<br />

Status Pernikahan<br />

Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar lansia baik peserta maupun bukan<br />

peserta home care ber<strong>status</strong> cerai mati. Persentase lansia ber<strong>status</strong> cerai mati<br />

pada peserta home care (80%) lebih tinggi dibandingkan pada lansia bukan<br />

peserta home care (73,3%). Lansia bukan peserta home care (26,7%) lebih<br />

banyak yang masih menikah dibandingkan lansia peserta home care (20%).


Tabel 10 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut <strong>status</strong><br />

pernikahan<br />

Home care<br />

Status pernikahan Peserta Bukan Total<br />

n % n % n %<br />

Menikah<br />

Cerai Mati<br />

6<br />

24<br />

20<br />

80<br />

8<br />

22<br />

26,7<br />

73,3<br />

14<br />

46<br />

3,3<br />

76,7<br />

Total 30 100 100 100 60 100<br />

Living Arrangement<br />

Living arrangement adalah keberadaan seseorang yang tinggal bersama<br />

lansia dalam satu rumah. McKenzie et al. (2008) menyebutkan bahwa living<br />

arrangement pada populasi lansia merupakan hal yang penting. Hal ini<br />

berhubungan erat dengan pendapatan, <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, <strong>dan</strong> keberadaan<br />

pendamping (caregiver). Lansia yang tinggal sendiri lebih banyak yang miskin<br />

dibandingkan mereka yang tinggal bersama. Living arrangement dikelompokkan<br />

menjadi dua, yaitu tinggal sendiri <strong>dan</strong> tinggal bersama (anak, cucu ataupun<br />

keluarga lain). Pada penelitian ini, lansia yang tinggal sendiri memiliki dua<br />

kemungkinan, pertama lansia memang tidak memiliki kerabat sehingga tinggal<br />

sendiri, kedua lansia yang masih memilki kerabat namun memilih untuk tinggal<br />

sendiri dengan berbagai alasan.<br />

Tabel 11 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut living<br />

arrangement<br />

Home care<br />

Living arrangement Peserta Bukan Total<br />

n % n % n %<br />

Tinggal sendiri<br />

Tinggal bersama<br />

3<br />

27<br />

10<br />

90<br />

4<br />

26<br />

13,3<br />

86,7<br />

7<br />

53<br />

11,7<br />

88,3<br />

Total 30 100 30 100 60 100<br />

Sebagian besar peserta home care (90%) <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

(86,7%) ber<strong>status</strong> tinggal bersama. Berdasarkan hasil wawancara, lansia lebih<br />

banyak tinggal bersama dengan anak beserta cucu dalam satu rumah. Bagi<br />

lansia yang masih ber<strong>status</strong> menikah, selain tinggal bersama anak-cucu, juga<br />

tinggal dengan pasangan hidupnya dalam satu rumah.<br />

Sebagian kecil peserta home care (10%) <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

(13,3%) ber<strong>status</strong> tinggal sendiri. Hasil wawancara mendalam menyebutkan,<br />

kecenderungan lansia tinggal sendiri dikarenakan anak-anak yang sudah<br />

membangun keluarga baru sehingga meninggalkan orang tua. Meskipun anakanaknya<br />

mengajak untuk tinggal bersama, tetapi lansia menolak karena merasa<br />

akan menjadi beban. Komnas Lansia (2008) menyebutkan lebih lanjut bahwa<br />

terdapat pergeseran struktur keluarga mengarah menjadi keluarga inti. Kondisi ini


sangat berpengaruh terhadap lansia karena perhatian pada lansia berkurang <strong>dan</strong><br />

di sisi lain membuat lansia beranggapan kehadirannya tidak berguna <strong>dan</strong> hanya<br />

menjadi beban anak.<br />

Konsumsi Pangan<br />

Frekuensi, Jumlah, <strong>dan</strong> Jenis Konsumsi Pangan<br />

Konsumsi <strong>pangan</strong> adalah jumlah <strong>pangan</strong> (tunggal atau beragam) yang<br />

dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu.<br />

Konsumsi <strong>pangan</strong> dikelompokkan menjadi <strong>pangan</strong> sumber karbohidrat, sumber<br />

protein hewani, sumber protein nabati, sayur-mayur, buah-buahan serta <strong>pangan</strong><br />

lainnya. Pangan yang disajikan di bawah merupakan <strong>pangan</strong> yang di<strong>konsumsi</strong><br />

oleh minimal 10 persen lansia (lampiran 1).<br />

Pangan Sumber Karbohidrat. Karbohidrat memegang peranan penting<br />

dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi penduduk di dunia<br />

karena banyak di dapat dari alam <strong>dan</strong> harganya relatif murah. Satu gram<br />

karbohidrat menghasilkan 4 Kal. Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau<br />

serealia, umbi-umbian, kacang-kacang kering <strong>dan</strong> gula. Hasil olahan seperti<br />

bihun, mie, roti, tepung-tepungan, selai, sirup juga merupakan <strong>pangan</strong> sumber<br />

karbohidrat (Almatsier 2004).<br />

Tabel 12 Frekuensi <strong>dan</strong> Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Peserta<br />

<strong>dan</strong> Bukan Peserta Home Care<br />

Home care<br />

Sumber Karbohidrat<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

Rata-rata SD Rata-rata SD<br />

Frekuensi Konsumsi (kali/minggu):<br />

Nasi 16,33 3,83 17,73 4,77<br />

Biskuit/krakers 2,31 2,06 4,53 4,68<br />

Ubi <strong>dan</strong> hasil olahan 2,07 3,49 1,12 1,01<br />

Roti 2,02 1,87 3,01 2,73<br />

Singkong <strong>dan</strong> hasil olahan 1,53 1,81 2,94 3,93<br />

Mie 0,98 0,83 2,42 2,58<br />

Kentang <strong>dan</strong> hasil olahan 0,00 0,00 2,54 3,09<br />

Total 25,25 34,29<br />

Jumlah <strong>konsumsi</strong> (g/hari):<br />

Nasi 375,0 105,7 386,7 107,4<br />

Singkong <strong>dan</strong> hasil olahan 25,4 23,7 56,5 100,6<br />

Ubi <strong>dan</strong> hasil olahan 17,5 25,2 10,7 10,8<br />

Roti 15,9 11,8 23,0 21,8<br />

Biskuit/krakers 12,7 12,6 22,4 19,2<br />

Mie 12,0 12,2 12,7 15,1<br />

Kentang <strong>dan</strong> hasil olahan 0,0 0,0 12,9 14,5<br />

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa frekuensi <strong>konsumsi</strong> nasi pada<br />

lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care adalah 16,3 <strong>dan</strong> 17,7 kali per


minggu atau 2,33 <strong>dan</strong> 2,53 kali per hari. Secara kuantitatif, rata-rata <strong>konsumsi</strong><br />

nasi pada lansia bukan peserta home care (386,7 gram/hari) jumlahnya lebih<br />

banyak dibandingkan lansia peserta home care (375 gram/hari). Hal ini<br />

menunjukkan bahwa nasi masih merupakan makanan pokok sebagian besar<br />

lansia yang diteliti. Berat yang di<strong>konsumsi</strong> ini sudah cukup memenuhi Pedoman<br />

Umum Gizi Seimbang (PUGS). Menurut PUGS, dalam sehari <strong>konsumsi</strong><br />

nasi/pengganti bagi lansia yaitu 1 ½ - 2 piring dalam sehari atau setara 300-400<br />

gram nasi dalam sehari.<br />

Selain nasi, sumber karbohidrat lain seperti kentang, singkong, ubi jalar<br />

serta hasil olahan tepung (mie <strong>dan</strong> biskuit) di<strong>konsumsi</strong> 0,98-4,5 kali per minggu<br />

(Tabel 13). Meskipun <strong>pangan</strong>-<strong>pangan</strong> tersebut dapat dijadikan alternatif <strong>pangan</strong><br />

sumber karbohidrat, bagi masyarakat Indonesia secara umum, makanan tersebut<br />

tidak dijadikan sebagai sumber energi utama.<br />

Protein hewani. Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang<br />

penting dalam makanan sebagai sumber asam amino yang dibutuhkan untuk<br />

sintesis protein tubuh <strong>dan</strong> senyawa lain yang mengandung protein (Gibson<br />

2005). Protein menurut sumbernya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu<br />

protein hewani (berasal dari hewan) <strong>dan</strong> protein nabati (berasal dari tumbuhan).<br />

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah<br />

maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, <strong>dan</strong> kerang (Almatsier<br />

2004).<br />

Tabel 13 Frekuensi <strong>dan</strong> Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani<br />

Peserta <strong>dan</strong> Bukan Peserta Home Care<br />

Home care<br />

Protein hewani<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

Rata-rata SD Rata-rata SD<br />

Frekuensi <strong>konsumsi</strong> (kali/minggu):<br />

Ikan basah 4,37 5,40 4,72 4,52<br />

Telur 3,52 2,20 3,35 2,27<br />

Susu 2,89 2,29 5,83 2,17<br />

Daging ayam 1,76 1,85 2,63 2,26<br />

Ikan diawetkan 1,20 2,06 2,72 2,21<br />

Daging sapi 0,57 0,49 1,07 2,15<br />

U<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> hewan air lainnya segar 0,40 0,16 0,95 0,77<br />

Total 14,70 21,26<br />

Jumlah <strong>konsumsi</strong> (g/hari):<br />

Telur 27,4 15,4 26,7 15,2<br />

Ikan basah 22,2 20,9 26,4 28,3<br />

Susu 17,7 11,0 29,6 11,4<br />

Daging ayam 8,8 8,2 12,8 11,0<br />

Ikan diawetkan 5,7 8,2 7,1 4,2<br />

Daging sapi 4,2 3,5 8,9 15,2<br />

U<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> hewan air lainnya segar 2,6 1,2 2,7 1,3


Pangan sumber protein yang paling sering di<strong>konsumsi</strong> pada lansia<br />

peserta home care secara berurutan adalah ikan basah, telur <strong>dan</strong> susu dengan<br />

rata-rata frekuensi masing-masing 4,37; 3,52 <strong>dan</strong> 2,89 kali per minggu,<br />

se<strong>dan</strong>gkan pada lansia bukan peserta home care adalah susu, ikan basah <strong>dan</strong><br />

telur dengan rata-rata frekuensi masing-masing 5,83; 4,72 <strong>dan</strong> 3,35 kali per<br />

minggu. Hal ini menandakan bahwa pada kedua kelompok, protein hewani hanya<br />

di<strong>konsumsi</strong> mingguan bahkan untuk daging serta u<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> hewan air lainnya<br />

di<strong>konsumsi</strong> kurang dari satu kali seminggu.<br />

Bahan <strong>pangan</strong> sumber protein hewani yang jumlahnya paling banyak<br />

di<strong>konsumsi</strong> lansia peserta home care secara berurutan adalah telur, ikan basah<br />

<strong>dan</strong> susu dengan jumlah <strong>konsumsi</strong> masing-masing 27,4; 22,2 <strong>dan</strong> 17,7 gram per<br />

hari se<strong>dan</strong>gkan pada lansia bukan peserta home care adalah susu, telur <strong>dan</strong><br />

ikan basah dengan jumlah <strong>konsumsi</strong> masing-masing 29,6; 26,7 <strong>dan</strong> 26,4 gram<br />

per hari. Menurut PUGS, <strong>konsumsi</strong> protein hewani 2 potong atau setara 100<br />

gram daging sapi perhari. Jika berat <strong>pangan</strong> dikalikan dengan frekuensi <strong>pangan</strong><br />

per minggu, kemudian dikonversikan dalam satuan hari maka akan kurang dari<br />

anjuran PUGS.<br />

Protein nabati. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai <strong>dan</strong><br />

hasilnya, seperti tahu <strong>dan</strong> tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai<br />

merupakan sumber protein nabati yang memiliki mutu atau nilai biologi tertinggi<br />

(Almatsier 2004). Meskipun kacang-kacangan memiliki memiliki kekurangan<br />

dalam beberapa asam amino, akan tetapi campuran makanan nabati jika<br />

di<strong>konsumsi</strong> bersamaan maka dapat berfungsi sebagai pengganti protein hewani<br />

(Latham 1997).<br />

Tabel 14 Frekuensi <strong>dan</strong> Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Protein Nabati<br />

Peserta <strong>dan</strong> Bukan Peserta Home Care<br />

Home care<br />

Protein nabati<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

Rata-rata SD Rata-rata SD<br />

Frekuensi <strong>konsumsi</strong> (kali/minggu):<br />

Tahu 7,82 4,02 10,65 5,26<br />

Tempe 7,81 4,25 11,57 5,21<br />

Kacang-kacangan lain 2,36 2,47 1,54 2,04<br />

Oncom 0,00 0,00 3,54 6,64<br />

Total 17,99 27,29<br />

Jumlah <strong>konsumsi</strong> (g/hr):<br />

Tahu 69,2 30,0 74,1 33,8<br />

Tempe 39,5 21,2 51,6 29,7<br />

Kacang-kacangan lain 8,4 8,5 7,6 8,1<br />

Oncom 0,0 0,0 3,5 3,6


Berdasarkan Tabel 14, <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> sumber protein nabati relatif<br />

sama. Pangan olahan kacang kedelai, tahu <strong>dan</strong> tempe, merupakan <strong>pangan</strong> yang<br />

paling sering di<strong>konsumsi</strong>. Lansia peserta home care mengonsumsi tahu <strong>dan</strong><br />

tempe masing-masing 7,82 <strong>dan</strong> 7,81 kali per minggu atau 1,12 kali per hari,<br />

se<strong>dan</strong>gkan lansia bukan peserta home care mengonsumsi masing-masing 10,65<br />

<strong>dan</strong> 11,57 kali per minggu atau 1,52 <strong>dan</strong> 1,65 kali per hari. Hal ini menunjukkan<br />

bahwa tahu <strong>dan</strong> tempe merupakan sumber protein utama pada lansia peserta<br />

<strong>dan</strong> bukan peserta home care.<br />

Secara kuantitatif, lansia bukan peserta home care mengonsumsi tahu<br />

(74,1 g/hr) <strong>dan</strong> tempe (51,6 g/hr) lebih banyak dibandingkan lansia peserta yaitu<br />

69,2 g/hr (tahu) <strong>dan</strong> 39,5 g/hr (tempe). Hal ini sejalan dengan penelitian<br />

Kusumaratna (2008) yang menunjukkan bahwa asupan protein utama pada<br />

lansia berasal dari protein nabati, seperti produk olahan kacang kedelai (tahu<br />

<strong>dan</strong> tempe). Menurut PUGS, <strong>konsumsi</strong> protein nabati adalah 3 potong sehari<br />

atau setara dengan 150 gram tempe. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata jumlah<br />

protein nabati yang di<strong>konsumsi</strong> sudah memenuhi anjuran PUGS. Hal ini dikarena<br />

beberapa lansia mengurangi <strong>konsumsi</strong> protein hewani <strong>dan</strong> menggantinya<br />

dengan protein nabati dengan berbagai alasan baik karena kurang ekonomi<br />

maupun alasan <strong>kesehatan</strong>.<br />

Sayur-mayur. Sayur-mayur dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi<br />

tiga yaitu, sayuran berdaun hijau, sayuran buah <strong>dan</strong> sayuran lain. Sayuran<br />

berdaun hijau yang di<strong>konsumsi</strong> oleh lansia yaitu bayam, kangkung, sawi, daun<br />

ketela pohon, daun lompong talas, daun katuk, genjer <strong>dan</strong> daun kecipir. Sayuran<br />

buah meliputi wortel, mentimun, terong, leunca, jengkol, labu, nangka serta<br />

tomat. Sayuran lain meliputi sayur olahan <strong>dan</strong> sayuran lain yang tidak termasuk<br />

dalam kedua kelompok sebelumnya.<br />

Tabel 15 Frekuensi <strong>dan</strong> Jumlah Konsumsi Sayur-mayur Peserta <strong>dan</strong> Bukan<br />

Peserta Home Care<br />

Home care<br />

Sayur-mayur<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

Rata-rata SD Rata-rata SD<br />

Frekuensi <strong>konsumsi</strong> (kali/minggu):<br />

Sayur lain 5,33 4,61 4,64 4,87<br />

Sayur daun hijau 5,14 4,66 5,46 3,97<br />

Sayur buah/akar 3,51 3,94 4,47 6,34<br />

Total 13,97 14,57<br />

Jumlah <strong>konsumsi</strong> (g/hr):<br />

Sayur lain 47,8 32,9 37,6 22,8<br />

Sayur daun hijau 43,6 37,4 45,1 41,2<br />

Sayur buah 29,1 28,0 29,6 34,8


Tabel 15 menunjukkan data mengenai <strong>konsumsi</strong> sayur-mayur, tampak<br />

bahwa lansia peserta home care mengonsumsi sayur lain (5,33 kali/minggu)<br />

lebih sering dibandingkan kelompok sayur berdaun hijau (5,14 kali/minggu) <strong>dan</strong><br />

sayur buah (3,51 kali/minggu). Lansia bukan peserta home care mengonsumsi<br />

sayuran berdaun hijau (5,46 kali/minggu) lebih sering dibandingkan sayur buah<br />

(4,47 kali/minggu) <strong>dan</strong> sayur lain (4,64 kali/minggu). Secara kuantitatif, lansia<br />

peserta home care mengonsumsi sayur lain (47,8 g/hari) lebih banyak<br />

dibandingkan sayur berdaun hijau <strong>dan</strong> sayur buah, se<strong>dan</strong>gkan lansia bukan<br />

peserta home care mengonsumsi sayur berdaun hijau (45,1 g/hr) lebih banyak<br />

dibandingkan sayur lain <strong>dan</strong> sayur buah.<br />

Baik secara frekuensi <strong>dan</strong> kuantitatif, lansia bukan peserta home care<br />

mengonsumsi lebih banyak sayur dibandingkan lansia peserta home care. Jika<br />

berat sayuran yang dimakan dikali dengan frekuensi makan dalam satu minggu<br />

kemudian dikonversikan dalam hari maka sudah memenuhi yang dianjurkan di<br />

dalam PUGS yaitu sekitar 1-2 mangkok sayur atau setara 100-200 gram sayur<br />

per hari.<br />

Buah-buahan. Nilai gizi utama yang terkandung dalam buah adalah<br />

vitamin C <strong>dan</strong> beberapa karoten (Latham 1997). Konsumsi buah dianjurkan<br />

untuk memenuhi makanan lengkap <strong>dan</strong> seimbang. Tabel 16 menunjukkan bahwa<br />

<strong>konsumsi</strong> buah-buahan relatif rendah. Buah yang paling sering di<strong>konsumsi</strong> lansia<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care adalah salak, masing-masing 1,78 kali per<br />

minggu <strong>dan</strong> 2,94 kali per minggu.<br />

Jenis buah yang paling banyak di<strong>konsumsi</strong> oleh peserta home care<br />

adalah mangga (28,3 g/hari), se<strong>dan</strong>gkan buah yang paling banyak di<strong>konsumsi</strong><br />

oleh lansia bukan peserta home care adalah pepaya (42,7 g/hari). Mangga <strong>dan</strong><br />

pepaya memiliki berat per porsi yang lebih besar dibandingkan salak per porsi<br />

sehingga secara kuantitatif mangga <strong>dan</strong> pepaya di<strong>konsumsi</strong> lebih banyak pada<br />

kedua kelompok, se<strong>dan</strong>gkan buah yang paling sering di<strong>konsumsi</strong> adalah salak.<br />

Menurut PUGS, <strong>konsumsi</strong> buah yang dianjurkan adalah 3 porsi atau setara 300<br />

gram pepaya sehari. Rata-rata berat yang dimakan masih sangat rendah<br />

dibawah yang dianjurkan. Jika dilihat dari total rata-rata frekuensi <strong>konsumsi</strong> buah,<br />

buah di<strong>konsumsi</strong> hanya satu kali per hari.


Tabel 16 Frekuensi <strong>dan</strong> Jumlah Konsumsi Buah-buahan Peserta <strong>dan</strong> Bukan<br />

Peserta Home Care<br />

Home care<br />

Buah-buahan<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

Rata-rata SD Rata-rata SD<br />

Frekuensi <strong>konsumsi</strong> (kali/minggu):<br />

Salak 1,78 2,94 0,47 0,44<br />

Jeruk 1,71 2,66 1,59 2,20<br />

Semangka 1,67 1,98 1,80 1,36<br />

Melon 1,51 1,62 1,27 1,17<br />

Pepaya 1,33 1,75 2,80 3,66<br />

Pisang ambon 1,29 2,05 1,81 1,93<br />

Pisang lampung 1,13 2,13 1,59 1,13<br />

Mangga 0,91 1,18 0,66 0,72<br />

Apel 0,56 0,39 0,77 0,74<br />

Pir 0,35 0,16 0,00 0,00<br />

Anggur 0,22 0,23 0,00 0,00<br />

Pisang raja 0,00 0,00 0,30 0,16<br />

Jambu air 0,00 0,00 0,89 0,94<br />

Total 12,45 13,96<br />

Jumlah Konsumsi (g/hari):<br />

Mangga 28,3 38,7 16,3 15,3<br />

Pisang lampung 24,0 34,8 20,1 16,8<br />

Pisang ambon 21,3 49,4 20,6 28,7<br />

Pepaya 20,4 24,6 42,7 52,0<br />

Salak 14,1 20,4 4,1 2,7<br />

Semangka 13,6 9,7 26,2 19,3<br />

Pir 12,3 8,7 0,0 0,0<br />

Jeruk 12,0 18,0 17,3 22,3<br />

Melon 11,1 9,0 13,0 6,1<br />

Apel 8,9 6,4 14,8 14,1<br />

Anggur 6,6 11,0 0,0 0,0<br />

Pisang raja 0,0 0,0 5,4 3,6<br />

Jambu air 0,0 0,0 11,9 12,0<br />

Selain itu, buah-buahan yang paling banyak di<strong>konsumsi</strong> oleh lansia pada<br />

kedua kelompok adalah pisang <strong>dan</strong> jeruk. Hal ini diduga buah-buahan tersebut<br />

selain mudah diperoleh karena dapat tumbuh sepanjang waktu, juga mudah<br />

dikunyah karena tekstur buah lunak.<br />

Pangan lainnya. Selain <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> sebagai menu utama, terdapat<br />

beberapa <strong>pangan</strong> yang juga di<strong>konsumsi</strong> sebagai makanan selingan. Tabel 17<br />

menunjukkan bahwa jenis <strong>pangan</strong> yang sering di<strong>konsumsi</strong> oleh lansia peserta<br />

home care adalah kopi dengan rata-rata <strong>konsumsi</strong> 10,89 kali per minggu atau<br />

1,56 kali per hari, se<strong>dan</strong>gkan lansia bukan peserta home care lebih sering<br />

mengonsumsi bakwan dengan rata-rata <strong>konsumsi</strong> 8,79 kali per minggu atau 1,26<br />

kali per hari.<br />

Selain kopi <strong>dan</strong> bakwan, teh manis <strong>dan</strong> pisang goreng hampir di<strong>konsumsi</strong><br />

setiap hari oleh lansia pada kedua kelompok (Tabel 17). Kopi memiliki nilai gizi<br />

yang rendah tanpa penambahan susu atau gula, akan tetapi kopi disukai karena


asa <strong>dan</strong> efek stimulan yang ditimbulkan. Kafein yang terkandung di dalam kopi<br />

menjadi penyebab utama stimulasi pada sistem syaraf pusat . Sama halnya<br />

dengan kopi, teh mengandung kafein yang cukup tinggi. Meskipun kafein tidak<br />

menyebabkan keracunan, pada beberapa orang, efek kafein dapat<br />

menyebabkan sulit tidur, perasaan gelisah, nadi yang tidak teratur <strong>dan</strong> tremor<br />

otot (Wiseman 2002).<br />

Tabel 17 Frekuensi <strong>dan</strong> Jumlah Konsumsi Pangan Lainnya Peserta <strong>dan</strong><br />

Bukan Peserta Home Care<br />

Home care<br />

Pangan lainnya<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

Rata-rata SD Rata-rata SD<br />

Frekuensi <strong>konsumsi</strong> (kali/minggu):<br />

Kopi 10,89 5,09 6,35 1,94<br />

Bakwan 9,80 3,83 8,79 5,18<br />

Teh manis 7,00 0,00 6,70 0,95<br />

Pisang goreng 5,24 4,89 6,06 3,46<br />

Kue-kue tradisional 2,53 3,02 2,61 2,76<br />

Mie bakso 0,60 0,44 0,87 1,00<br />

Jumlah <strong>konsumsi</strong> (g/hari):<br />

Bakwan 72,0 27,4 67,9 34,1<br />

Pisang goreng 57,7 51,4 64,8 41,4<br />

Kopi 44,3 19,2 25,8 8,9<br />

Teh manis 23,6 3,3 1,3 0,9<br />

Kue-kue tradisional 20,0 24,9 22,6 21,8<br />

Mie bakso 13,0 9,4 19,1 27,7<br />

Keterangan: *)penggunaan gula<br />

Secara kuantitatif, pada lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

<strong>pangan</strong> yang paling banyak di<strong>konsumsi</strong> adalah bakwan, dimana jumlah<br />

<strong>konsumsi</strong> lansia peserta (72 g/hr) lebih banyak dibanding lansia bukan peserta<br />

home care (67,9 g/hari). Bakwan memiliki berat per porsi yang lebih tinggi<br />

dibanding kopi sehingga secara kuantitatif bakwan di<strong>konsumsi</strong> lebih banyak,<br />

se<strong>dan</strong>gkan <strong>pangan</strong> yang di<strong>konsumsi</strong> paling sering adalah kopi.<br />

Konsumsi <strong>dan</strong> Tingkat Kecukupan Zat Gizi<br />

Konsumsi zat gizi diperoleh dari konversi jumlah <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> per<br />

hari. Konsumsi zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor,<br />

vitamin A <strong>dan</strong> vitamin C. Rata-rata <strong>konsumsi</strong> zat gizi ini kemudian akan<br />

dibandingkan dengan AKG yang dianjurkan bagi lansia untuk melihat <strong>tingkat</strong><br />

kecukupannya (Lampiran 2).


Tabel 18 Rata-rata <strong>konsumsi</strong> <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta home care<br />

Home care (rata-rata ± sd)<br />

No Zat Gizi<br />

Asupan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Gizi (%)<br />

Peserta Bukan Peserta Bukan<br />

1 Energi (Kal) 1478 ± 329,42 1605 ± 306,15 87,5 ± 17,68 95,9 ± 18,83<br />

2 Protein (g) 38,4 ± 10,12 42,8 ± 13,27 80,0 ± 19,04 90,0 ± 27,49<br />

3 Kalsium (mg) 411,2 ± 174,80 473,6 ± 204,61 51,4 ± 21,85 59,2 ± 25,58<br />

4 Fosfor (mg) 623,9 ± 170,23 696,6 ± 203,55 104,0 ± 28,37 116,1 ± 33,92<br />

5 Vitamin A (RE) 590,9 ± 464,74 494,3 ± 339,47 114,1 ± 85,49 97,1 ± 65,44<br />

6 Vitamin C (mg) 56,5 ± 46,79 56,6 ± 40,58 73,1 ± 60,67 74,9 ± 54,57<br />

Energi. Rata-rata <strong>konsumsi</strong> energi lansia peserta home care (1478 Kal)<br />

lebih kecil dibandingkan lansia bukan peserta home care (1605 Kal) (Tabel 18).<br />

Persentase rata-rata <strong>tingkat</strong> kecukupan energi lansia bukan peserta home care<br />

(95,9%) lebih tinggi dibandingkan lansia peserta home care (87,5%). Jika<br />

dikategorikan, maka rata-rata <strong>tingkat</strong> kecukupan energi peserta home care<br />

berada pada kategori defisist <strong>tingkat</strong> ringan (80-89%), se<strong>dan</strong>gkan pada lansia<br />

bukan peserta home care normal (90-119% AKG). Uji T menunjukkan tidak ada<br />

perbedaan nyata <strong>konsumsi</strong> energi <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan energi pada kedua<br />

kelompok (p>0,05).<br />

Beberapa penelitian mengenai <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> pada lansia juga<br />

menunjukkan hal serupa, tidak ada lansia yang memenuhi 100 persen kebutuhan<br />

energinya. Penelitian Nadhira (2006) pada lansia laki-laki di Ciampea, Bogor<br />

menunjukkan <strong>tingkat</strong> kecukupan energi sebesar 85,9 persen. Depkes (2010)<br />

menyatakan bahwa rata-rata <strong>tingkat</strong> kecukupan energi usia 56 tahun keatas<br />

hanya mencapai 86,9 persen.<br />

Menurut Schlenker (2000), <strong>konsumsi</strong> energi pada manusia usia lanjut<br />

seringkali menjadi masalah karena banyak manusia usia lanjut yang<br />

mengonsumsi energi di bawah kecukupan yang dianjurkan. Hal ini antara lain<br />

disebabkan karena berkurangnya nafsu makan akibat menurunnya indera<br />

pencicip, kesulitan dalam mengolah makanan akibat kondisi fisiologis, serta<br />

rendahnya ketersediaan <strong>pangan</strong> karena faktor ekonomi <strong>dan</strong> lingkungan.<br />

Protein. Rata-rata <strong>konsumsi</strong> protein pada lansia bukan peserta home<br />

care (42,8 gram) lebih tinggi dibandingkan <strong>konsumsi</strong> peserta home care (38,4<br />

gram). Rata-rata <strong>tingkat</strong> kecukupan protein peserta home care 80 persen <strong>dan</strong> 90<br />

persen pada lansia bukan peserta home care. Jika dikategorikan, rata-rata<br />

<strong>tingkat</strong> kecukupan protein lansia peserta termasuk ke dalam kategori defisit<br />

ringan (80-89%) se<strong>dan</strong>gkan pada lansia bukan peserta termasuk kategori normal<br />

(90-119%). Hal ini diduga karena jumlah <strong>konsumsi</strong> protein nabati, hasil olahan


kacang kedelai (tahu <strong>dan</strong> tempe), lebih besar pada lansia bukan peserta home<br />

care. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) baik <strong>konsumsi</strong><br />

protein maupun <strong>tingkat</strong> kecukupan protein pada kedua kelompok.<br />

Hasil riset <strong>kesehatan</strong> dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa ratarata<br />

<strong>tingkat</strong> kecukupan protein usia 56 tahun ke atas mencapai 91,7 persen.<br />

Sebanyak 49,2 persen penduduk Indonesia usia 56 tahun ke atas masih<br />

meng<strong>konsumsi</strong> protein di bawah kebutuhan minimal (80%) (Depkes 2010).<br />

Kalsium. Rata-rata <strong>konsumsi</strong> kalsium lansia peserta home care (411,2<br />

mg) lebih kecil dibandingkan lansia bukan peserta home care (473,6 mg). Hal ini<br />

diduga karena jumlah <strong>konsumsi</strong> susu pada lansia peserta home care lebih<br />

sedikit. Almatsier (2004) menyebutkan bahwa susu <strong>dan</strong> produk susu (yoghurt<br />

<strong>dan</strong> keju) merupakan sumber kalsium utama. Rata-rata <strong>tingkat</strong> kecukupan<br />

kalsium lansia peserta home care hanya mencapai 51,4 persen se<strong>dan</strong>gkan pada<br />

lansia bukan peserta home care mencapai 59,2. Hal ini berarti, <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan kalsium pada kedua kelompok berada pada kategori kurang (0,05) <strong>konsumsi</strong> <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan kalsium<br />

pada kedua kelompok.<br />

Fosfor. Rata-rata <strong>konsumsi</strong> fosfor pada peserta home care (623,9 mg)<br />

lebih rendah dibanding bukan peserta home care (696,6 mg). Tingkat kecukupan<br />

fosfor lansia peserta home care hanya mencapai 104 persen, lebih rendah<br />

dibandingkan lansia bukan peserta home care yang mencapai 116,1 persen. Jika<br />

dikategorikan, <strong>tingkat</strong> kecukupan kalsium <strong>dan</strong> fosfor lansia peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta home care berada pada kategori cukup (≥ 77%). Uji T menunjukkan tidak<br />

ada perbedaan yang nyata (p>0,05) <strong>konsumsi</strong> <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan fosfor pada<br />

kedua kelompok.<br />

Vitamin A. Rata-rata <strong>konsumsi</strong> vitamin A pada peserta home care (590,9<br />

RE) lebih tinggi dibandingkan bukan peserta home care (494,3 RE). Hal ini<br />

diduga karena jumlah <strong>konsumsi</strong> sayuran, sumber karotenoid provitamin A, pada<br />

peserta home care lebih tinggi (Tabel 16). Ahmed & Darnton-Hill (2008)<br />

menyebutkan bahwa lebih dari dua pertiga asupan vitamin A di negara industri<br />

berasal dari sumber makanan hewani yang sudah terbentuk sebelumnya


(performed), sementara di negara berkembang masyarakat bergantung pada<br />

senyawa karotenoid provitamin A yang berasal dari sumber makanan nabati.<br />

Tingkat kecukupan vitamin A peserta home care mencapai 114,1 persen,<br />

se<strong>dan</strong>gkan pada lansia bukan peserta home care <strong>tingkat</strong> kecukupannya 97,1<br />

persen. Jika dikategorikan, <strong>tingkat</strong> kecukupan vitamin A pada lansia peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care berada pada kategori cukup (≥ 77% AKG). Uji T<br />

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) <strong>konsumsi</strong> <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan pada kedua kelompok.<br />

Vitamin C. Rata-rata <strong>konsumsi</strong> vitamin C pada kedua kelompok tidak<br />

jauh berbeda. Konsumsi pada peserta home care sebesar 56,5 mg dengan<br />

<strong>tingkat</strong> kecukupan 73,1 persen, se<strong>dan</strong>gkan lansia bukan peserta home care<br />

mengonsumsi sebesar 56,6 mg dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan 74,9 persen. Tingkat<br />

kecukupan vitamin C pada kedua kelompok masih tergolong dalam kategori<br />

kurang (0,05) <strong>konsumsi</strong> <strong>dan</strong><br />

<strong>tingkat</strong> kecukupan vitamin C pada kedua kelompok.<br />

Keluhan Kesehatan<br />

Status Kesehatan<br />

Status <strong>kesehatan</strong> bagi penduduk lansia tidak boleh terlupakan saat<br />

penilaian <strong>status</strong> gizi <strong>dan</strong> sangat penting karena pada umumnya daya tahan tubuh<br />

mereka telah berkurang sehingga mengakibatkan seseorang menjadi rentan atau<br />

mudah terserang penyakit. Indikator <strong>kesehatan</strong> antara lain angka keluhan<br />

<strong>kesehatan</strong>, rata-rata lama sakit <strong>dan</strong> cara berobat penduduk lansia (BPS 2008).<br />

Keluhan <strong>kesehatan</strong> merupakan berbagai keluhan fisik yang dialami meliputi<br />

berbagai keluhan <strong>dan</strong> penyakit yang diderita selama satu bulan terakhir,<br />

termasuk penyakit kronis meskipun tidak kambuh.<br />

Tabel 20 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut<br />

keberadaan keluhan <strong>kesehatan</strong><br />

Home care<br />

Keberadaan keluhan <strong>kesehatan</strong> Peserta Bukan Total<br />

n % n % n %<br />

Tidak ada keluhan 3 10,0 5 16,7 8 13,3<br />

Terdapat 1 jenis keluhan 8 26,7 9 30,0 17 28,3<br />

Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan 19 63,3 16 53,3 35 58,3<br />

Total 30 100 30 100 60 100


Tabel 20 menunjukkan bahwa secara secara keseluruhan persentase<br />

terbesar (58,3%) lansia mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan<br />

terakhir. Lebih dari separuh lansia peserta home care (63,3%) <strong>dan</strong> bukan peserta<br />

home care (53,3%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan<br />

terakhir. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil Susenas 2008 yang<br />

menunjukkan bahwa 55,42 persen lansia mengalami keluhan <strong>kesehatan</strong> dalam<br />

satu bulan terakhir (BPS 2008). Hal ini menggambarkan bahwa secara umum<br />

derajat <strong>kesehatan</strong> penduduk lansia cenderung masih rendah. Uji Mann Whitney<br />

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata keluhan <strong>kesehatan</strong> yang dialami<br />

lansia peserta home care <strong>dan</strong> bukan peserta home care (p>0,05). Hal ini diduga<br />

karena pelayanan <strong>kesehatan</strong> yang diperoleh lansia relatif sama.<br />

Kegiatan ramah lansia yang menyertakan pemeriksaan <strong>kesehatan</strong> rutin<br />

setiap bulan dapat diikuti oleh seluruh lansia yang berada di wilayah pelayanan<br />

sehingga lansia peserta maupun bukan peserta home care bisa mendapatkan<br />

pelayanan pemeriksaan <strong>kesehatan</strong> yang sama. Apabila lansia mengalami sakit<br />

diluar pemeriksaan, baik lansia peserta home care maupun bukan peserta home<br />

care dapat tetap melakukan pengobatan gratis ke puskesmas setempat. Selain<br />

itu, metode yang digunakan untuk memperoleh data jenis penyakit yang diderita<br />

lansia adalah wawancara langsung, sehingga kecenderungan lebih subjektif <strong>dan</strong><br />

memungkinkan terdapat jenis penyakit yang tidak teridentifikasi lansia, terutama<br />

pada jenis penyakit yang memerlukan pemeriksaan klinis.<br />

Jenis Penyakit <strong>dan</strong> Keluhan Kesehatan<br />

Keberadaan keluhan <strong>kesehatan</strong> dalam penelitian ini dikelompokkan<br />

menjadi tiga yaitu penyakit infeksi, berbagai keluhan yang dialami satu bulan<br />

terakhir serta penyakit non infeksi meskipun saat wawancara tidak kambuh.<br />

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti<br />

bakteri atau virus di dalam tubuh (Sarafino 1994). Jenis penyakit infeksi yang<br />

paling banyak diderita lansia adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut),<br />

lansia peserta home care (33,3%) lebih sedikit menderita ISPA dibandingkan<br />

lansia bukan peserta home care (36,7%). Rahardjo et al. (2009) menyatakan<br />

bahwa pada lansia, khususnya lansia di Indonesia, penyakit infeksi akut juga<br />

masih sering terjadi seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Penyakit<br />

diare dialami oleh sebanyak 3,3 persen lansia peserta <strong>dan</strong> <strong>dan</strong> 10 persen lansia<br />

bukan peserta home care. Lansia yang terkena demam dalam satu bulan terakhir<br />

sebanyak 10 persen pada lansia peserta <strong>dan</strong> 16,7 persen pada lansia bukan


peserta home care. Tuberculosis (TBC) hanya diderita oleh lansia bukan peserta<br />

home care dalam jumlah yang sedikit. (Tabel 21).<br />

Tabel 21 Sebaran peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care menurut jenis<br />

penyakit <strong>dan</strong> keluhan*<br />

Home care<br />

Keberadaan keluhan<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

<strong>kesehatan</strong><br />

n % n %<br />

Infeksi<br />

Diare 1 3,3 3 10,0<br />

ISPA 10 33,3 11 36,7<br />

Demam 3 10,0 5 16,7<br />

TBC 0 0,0 1 3,3<br />

Non infeksi<br />

Astma (sesak napas) 3 10,0 3 10,0<br />

Hipertensi 7 23,3 5 16,7<br />

Katarak 4 13,3 1 3,3<br />

Rematik 4 13,3 2 6,7<br />

Diabetes 2 6,7 2 6,7<br />

Asam urat 2 6,7 5 16,7<br />

Penyakit jantung 1 3,3 1 3,3<br />

Maag 3 10 5 16,7<br />

Keluhan<br />

Pusing 4 13,3 5 16,7<br />

Gatal/alergi 2 6,7 1 3,3<br />

Pegal-pegal 7 23,3 5 16,7<br />

Tangan/kaki kesemutan 5 16,7 2 6,7<br />

Bongkok 2 6,7 0 0,0<br />

Jatuh 1 3,3 0 0,0<br />

Keterangan: *)satu orang bisa menderita lebih dari 1 penyakit<br />

Penyakit non infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta adalah<br />

hipertensi (23,3 %), katarak (13,3 %) <strong>dan</strong> rematik (13,3 %), se<strong>dan</strong>gkan pada<br />

lansia bukan peserta yang paling banyak diderita adalah hipertensi, asam urat<br />

<strong>dan</strong> maag masing-masing 16,7 %. Schlenker (2000) menyatakan bahwa<br />

hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan penyakit kardiovaskular yang<br />

seringkali berhubungan dengan penuaan <strong>dan</strong> menyerang pria maupun wanita.<br />

Hipertensi menjadi masalah serius bagi rata-rata kaum lansia.<br />

Jenis keluhan yang paling banyak dirasakan lansia peserta adalah pegalpegal<br />

(23,3 %), se<strong>dan</strong>gkan lansia bukan peserta paling banyak merasakan<br />

pegal-pegal <strong>dan</strong> pusing masing-masing 16,7 %. Selain itu, keluhan yang dialami<br />

lansia berupa gatal-gatal, tangan/kaki kesemutan, bongkok <strong>dan</strong> jatuh. Berbagai<br />

keluhan yang dirasakan lansia diduga berhubungan dengan penyakit yang<br />

diderita lansia, misal keluhan pegal-pegal dapat timbul karena penyakit rematik.<br />

Lama <strong>dan</strong> Frekuensi Sakit<br />

Lama <strong>dan</strong> frekuensi sakit yang dibahas adalah lama <strong>dan</strong> frekuensi sakit<br />

penyakit infeksi yang akan digunakan dalam analisis statistik. Tabel 22


menunjukkan rata-rata lama <strong>dan</strong> frekuensi sakit peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home<br />

care cukup bervariasi.<br />

Tabel 22 Rata-rata lama <strong>dan</strong> frekuensi sakit selama satu bulan terakhir<br />

Home care (rata-rata ± sd)<br />

Penyakit<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

infeksi Lama sakit<br />

(hari)<br />

Frekuensi<br />

(kali/bln)<br />

Lama sakit<br />

(hari)<br />

Frekuensi<br />

(kali/bln)<br />

Diare 3,0 ± 0,0 1,0 ± 0,0 1,3 ± 0,6 1,0 ± 0,0<br />

ISPA 6,2 ± 1,7 1,1 ± 0,3 4,5 ± 2,3 1,0 ± 0,0<br />

Demam 2,3 ± 1,2 1,3 ± 0,6 2,6 ± 1,1 1,4 ± 0,5<br />

TBC 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 20,0 ± 0,0 1,0 ± 0,0<br />

Rata-rata lama sakit pada lansia peserta home care bervariasi antara 2<br />

hingga 6 hari <strong>dan</strong> frekuensi berkisar antara 1 hingga 1,3 kali. Pada lansia bukan<br />

peserta home care, lama sakit berkisar antara 1 hingga 20 hari <strong>dan</strong> frekuensi 1<br />

hingga 1,4 kali dalam satu bulan terakhir. Pada lansia peserta home care, lama<br />

sakit terpanjang adalah penyakit ISPA (6 hari), se<strong>dan</strong>gkan pada lansia bukan<br />

peserta home care lama sakit terpanjang adalah TBC (20 hari). Frekuensi sakit<br />

yang paling sering dideria dalam satu bulan terakhir, baik oleh peserta maupun<br />

bukan peserta home care adalah demam, dimana 1,3 kali pada lansia peserta<br />

home care <strong>dan</strong> 1,4 kali pada lansia bukan peserta home care.<br />

Tindakan Pengobatan<br />

Seseorang yang mengalami sakit biasanya melakukan berbagai cara<br />

agar <strong>kesehatan</strong>nya cepat pulih kembali, salah satu cara yang dilakukan adalah<br />

berobat (BPS 2008). Tindakan pengobatan yang dilakukan antara lain berobat ke<br />

pelayanan <strong>kesehatan</strong> formal (puskesmas/dokter/bi<strong>dan</strong>), membeli obat warung<br />

<strong>dan</strong> pengobatan tradisional.<br />

Tabel 23 Tindakan pengobatan yang dilakukan lansia peserta <strong>dan</strong><br />

bukan peserta home care<br />

Tindakan pengobatan<br />

Home care<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

n % n %<br />

Puskesmas 15 50,0 4 13,3<br />

Dokter 6 20,0 8 26,7<br />

Obat Warung 8 26,7 14 46,7<br />

Obat Tradisional 1 3,3 4 13,3<br />

Berdasarkan Tabel 23 terlihat bahwa separuh (50 %) lansia peserta home<br />

care memilih pergi ke puskesmas untuk tempat berobat, se<strong>dan</strong>gkan 46,7 persen<br />

lansia bukan peserta home care memilih untuk menggunakan obat warung dalam<br />

mengatasi gangguan <strong>kesehatan</strong> yang dialami. Meskipun diberlakukan


pengobatan gratis bagi seluruh lansia yang berada di Tegal Alur, lansia bukan<br />

peserta home care (13,3%) lebih sedikit yang memanfaatkan fasilitas ini<br />

dibandingkan lansia peserta home care. Hal ini diduga karena lansia peserta<br />

home care bisa mengandalkan pendamping untuk mengantar lansia ke<br />

puskesmas saat mengalami gangguan <strong>kesehatan</strong>, se<strong>dan</strong>gkan lansia bukan<br />

peserta home care tidak bisa sehingga terka<strong>dan</strong>g tidak ada yang bisa menemani<br />

lansia untuk pergi ke puskesmas.<br />

Lansia mengungkapkan berbagai alasan dalam memilih tindakan<br />

pengobatan untuk mengatasi gangguan <strong>kesehatan</strong> yang dialami seperti karena<br />

merasa sudah cocok, pertimbangan biaya serta persepsi <strong>tingkat</strong> keparahan<br />

penyakit yang mereka alami. Lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

memilih dokter karena merasa penyakit yang dialami sudah cukup parah,<br />

se<strong>dan</strong>gkan sedikit lansia pada kedua kelompok masih memilih obat tradisional<br />

(jamu) dengan alasan tidak biasa minum obat-obatan yang berasal dari bahan<br />

kimia.<br />

Tingkat Depresi<br />

Tingkat <strong>depresi</strong> diukur dengan menggunakan Skala Depresi Geriatrik-15<br />

(SDG-15). Pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner ini berupa pertanyaan<br />

yang di jawab dengan “ya” atau “tidak”. Pertanyaan ditanyakan kepada lansia,<br />

perasaan yang dialami oleh lansia selama satu minggu terakhir. Pertanyaan<br />

terdiri dari 15 pertanyaan dengan 5 pertanyaan invers (ketika dijawab “tidak”<br />

maka mengindikasikan <strong>depresi</strong> <strong>dan</strong> 10 pertanyaan positif (ketika dijawab “ya”<br />

maka mengindikasikan <strong>depresi</strong>)<br />

60.0<br />

50.0<br />

40.0<br />

30.0<br />

20.0<br />

10.0<br />

peserta<br />

(%)<br />

bukan<br />

peserta(%)<br />

0.0<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15<br />

Gambar 5 Sebaran jawaban SDG lansia per pertanyaan


Keterangan: *)pertanyaan invers (pertanyaan 1, 5, 7, 11, 13)<br />

1. Apakah anda puas dengan kehidupan sekarang?<br />

2. Apakah anda mengurangi kegemaran atau aktivitas biasanya?<br />

3. Apakah anda merasa hidup ini hampa?<br />

4. Apakah anda merasa sering bosan?<br />

5. Apakah anda memilki semangat yang cukup baik pada sebagian besar<br />

waktu?<br />

6. Apakah anda takut sesuatu hal buruk akan terjadi?<br />

7. Apakah anda merasa bahagia/ gembira pada sebagian besar waktu?<br />

8. Apakah anda merasa tidak berdaya?<br />

9. Apakah anda memilih tinggal di rumah, dibanding melakukan hal baru?<br />

10. Apakah anda memiliki masalah dengan ingatan dari biasanya?<br />

11. Apakah anda berpikir bahwa bisa hidup sampai saat ini adalah sesuatu yang<br />

menyenangkan?<br />

12. Apakah anda merasa tidak berharga dengan anda sekarang?<br />

13. Apakah anda merasa penuh dengan energi?<br />

14. Apakah anda merasa keadaan saat ini kurang tidak ada harapan?<br />

15. Apakah anda merasa sebagian besar orang lebih baik dari pada anda?<br />

Pada lansia peserta home care, persentase terbesar (43,3%) lansia<br />

menjawab “ya” pada pertanyaan memilih untuk tinggal di rumah dibanding<br />

melakukan hal baru (pertanyaan ke 9). Hal ini diduga diakibatkan karena lansia<br />

peserta home care memiliki keluhan <strong>kesehatan</strong> yang lebih banyak (Tabel 22).<br />

Terdapat lansia peserta home care yang mengalami jatuh pada 2 minggu<br />

sebelum wawancara, serta sebanyak 3,6 persen lansia mengalami bongkok.<br />

Keadaan ini membuat lansia lebih memilih tinggal di rumah karena jika<br />

beraktivitas dalam intensitas se<strong>dan</strong>g saja mereka akan merasa kelelahan.<br />

Berikut salah satu pernyataan seorang lansia peserta:<br />

“Nenek mengalami bongkong sudah lama, jangankan untuk keluar<br />

bersosialisai dengan yang lain, untuk berjalan di rumah saja sudah capek.<br />

Gak kuat berdiri lama-lama, paling cuma bisa duduk di depan pintu<br />

karena anak nenek kerja setiap harinya.jadi nenek sendirian di rumah”<br />

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat pada lansia bukan peserta home<br />

care persentase terbesar (53,3%) lansia menjawab “ya” pada pertanyaan<br />

mengalami gangguan pada daya ingat pada satu minggu terakhir (pertanyaan ke<br />

10). Takasihaeng (2000) mengatakan bahwa keadaan lupa berjalan sesuai<br />

dengan makin lanjutnya usia. Selain itu, kedaan ini makin parah dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

penyakit menahun. Keadaan pelupa tidak dapat diobati, dikurangi atau<br />

dihilangkan, hanya dapat diperlambat. Lansia perlu dibantu keluarga terdekat di<br />

sekelilingnya dengan perhatian. Berikut salah satu pernyataan seorang lansia<br />

peserta:<br />

“Akhir-akhir ini memang nenek sering merasa lupa, misal saat menyimpan<br />

barang-barang. Maklum sudah tua, tetapi ka<strong>dan</strong>g nenek merasa jadi<br />

merepotkan anak karena sering bertanya letak barang-barang nenek”


Jawaban pertanyaan SDG-15 kemudian dikelompokkan menjadi 4<br />

kategori untuk melihat <strong>tingkat</strong> gejala <strong>depresi</strong>f yang dialami lansia, yaitu normal (0-<br />

4), <strong>depresi</strong> ringan (5-8), <strong>depresi</strong> se<strong>dan</strong>g (9-11), <strong>dan</strong> <strong>depresi</strong> berat (12-15).<br />

80<br />

70<br />

p>0,05<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Normal Depresi ringan Depresi<br />

se<strong>dan</strong>g<br />

Depresi berat<br />

peserta (%)<br />

bukan<br />

peserta(%)<br />

Gambar 6 Sebaran <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia<br />

peserta (73,3 %) <strong>dan</strong> lansia bukan peserta home care (66,7 %) tergolong<br />

kategori normal. Hanya terdapat 3,3 persen lansia home care yang mengalami<br />

gejala <strong>depresi</strong>f berat. Hal ini diduga karena kondisi keluhan <strong>kesehatan</strong> yang<br />

dialami lansia.<br />

Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang<br />

nyata (p>0,05) <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> pada kedua kelompok. Hal ini dikarenakan<br />

berbagai program yang diselenggarakan oleh YEL mencakup seluruh lansia baik<br />

peserta maupun bukan peserta home care. Misal, pada kegiatan ramah lansia,<br />

bukan hanya pemeriksaan <strong>kesehatan</strong> saja yang dilakukan, dilkukan juga<br />

kegiatan-kegiatan lain yang beragam setiap bulannya seperti kreativitas<br />

menyulam atau mengolah sampah plastik. Baik kegiatan ramah lansia maupun<br />

senam lansia ditujukan untuk mempertahankan kondisi lansia pada <strong>kesehatan</strong><br />

seutuhnya.<br />

Komnas Lansia (2008) menyebutkan bahwa lansia akan lebih baik jika<br />

mempunyai kegiatan di luar rumah. Jika mereka hanya tinggal di rumah saja<br />

maka akan menjadi cepat tua <strong>dan</strong> sakit-sakitan. Jika lansia aktif mengikuti<br />

berbagai kelompok lansia, mereka bisa bisa bertemu dengan teman-teman <strong>dan</strong>


isa saling bercerita pengalaman. Diharapkan lansia dapat menua secara aktif<br />

(Active Ageing) sehingga bisa terhindar dari gejala <strong>depresi</strong>.<br />

Status Gizi<br />

Status gizi pada penelitian ini ditentukan berdasarkan Indeks massa<br />

tubuh (IMT), merupakan metode pengukuran antropometri, yang mudah <strong>dan</strong><br />

sering digunakan untuk mengidentifikasi seseorang berisiko gizi lebih atau<br />

kurang. Indeks massa tubuh merupakan perbandingan berat ba<strong>dan</strong> terhadap<br />

tinggi ba<strong>dan</strong> kuadrat dalam meter.<br />

60<br />

50<br />

p>0,05<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

Peserta (%)<br />

Bukan<br />

Peserta (%)<br />

0<br />

25 ≥ 30<br />

Gambar 7 Sebaran <strong>status</strong> gizi menurut IMT<br />

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan<br />

bagian terbesar (51,7%) <strong>status</strong> gizi lansia berada pada kategori normal<br />

(18,5≤IMT≤25). Hampir separuh (46,7%) peserta home care <strong>dan</strong> lebih dari<br />

separuh (56,7%) lansia bukan peserta home care ber<strong>status</strong> gizi normal.<br />

Persentase terkecil pada kedua kelompok, lansia berada pada <strong>status</strong> gizi<br />

obesitas masing-masing 6,7 persen. Muis (2006) menyatakan bahwa kelebihan<br />

gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan gaya hidup pada usia sekitar 50<br />

tahun. Kondisi ekonomi yang membaik membuat akses terhadap makanan yang<br />

enak <strong>dan</strong> tinggi kalori semakin besar. Kelebihan gizi pada usia 50 tahun akan<br />

membawa lansia pada keadaan obesitas dengan berbagia risiko penyakit<br />

degeneratif seperti dislipidemia <strong>dan</strong> diabetes mellitus.<br />

Persentase lansia yang mengalami gizi kurang pada lansia peserta home<br />

care (30%) lebih tinggi dibandingkan lansia bukan peserta home care (23,3%).


Status gizi kurang yang terjadi pada lansia dapat disebabkan karena<br />

berkurangnya nafsu makan serta kemampuan fungsi penyerapan zat gizi dalam<br />

sistem pencernaan yang menurun. Selain itu, <strong>status</strong> gizi yang rendah akan lebih<br />

buruk lagi apabila lansia menderita penyakit tertentu seperti infeksi (Supriasa et<br />

al. 2002). Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata<br />

(p>0,05) <strong>status</strong> gizi lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care.<br />

Depkes (2010) dalam laporan Riskesdas menyebutkan bahwa persentase<br />

<strong>status</strong> gizi penduduk lansia menurut IMT cukup beragam. Lansia laki-laki pada<br />

kelompok usia 60-64 tahun hanya 67,8 persen ber<strong>status</strong> gizi normal <strong>dan</strong> sisanya<br />

17,3 persen ber<strong>status</strong> gizi kurang, 7,7 persen ber<strong>status</strong> gizi overweight serta 7,1<br />

persen ber<strong>status</strong> gizi obesitas. Lansia perempuan pada kelompok usia 60-64<br />

tahun, sebanyak 59,1 persen ber<strong>status</strong> gizi normal, 18,5 persen ber<strong>status</strong> gizi<br />

kurang, 12,4 persen ber<strong>status</strong> gizi obesitas <strong>dan</strong> 10 persen ber<strong>status</strong> gizi<br />

overweight. Persentase lansia bersatus gizi kurang, baik pada perempuan<br />

maupun laki-laki, meningkat dengan semakin bertambahnya usia (65 tahun<br />

keatas), se<strong>dan</strong>gkan persentase lansia ber<strong>status</strong> gizi normal, overweight <strong>dan</strong><br />

obesitas menurun.<br />

Hubungan Antara Variabel<br />

Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Tingkat Kecukupan<br />

Zat Gizi<br />

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan a<strong>dan</strong>ya hubungan yang nyata<br />

<strong>dan</strong> negatif antara lama sakit infeksi dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan energi (r= -0,266;<br />

p


faktor yang dapat memicu <strong>depresi</strong> adalah kondisi <strong>kesehatan</strong> fisik. Penelitian yang<br />

dilakukan Kim et. al (2009) pada lansia Jepang yang tinggal di masyarakat<br />

menunjukkan bahwa persepsi mengenai <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> secara signifikan <strong>dan</strong><br />

kuat mempengaruhi <strong>depresi</strong>.<br />

Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi<br />

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang<br />

nyata antara <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan energi, protein, kalsium,<br />

fosfor, vitamin A, <strong>dan</strong> vitamin C (p>0,05). Watson (2003) menyebutkan bahwa<br />

secara tidak langsung, buruknya kondisi kejiwaan seperti <strong>depresi</strong> akan<br />

menimbulkan sifat apatis lansia terhadap makanan. Sikap negatif ini akan<br />

menurunkan selera <strong>dan</strong> frekuensi makan. Akan tetapi, pada penelitian ini, tidak<br />

a<strong>dan</strong>ya hubungan antara <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi<br />

diduga karena jumlah lansia yang mengalami <strong>depresi</strong> terlalu kecil. Berdasarkan<br />

hasil penelitian, sebagian besar lansia termasuk dalam kategori normal.<br />

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi (IMT)<br />

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan<br />

positif sangat nyata antara <strong>tingkat</strong> kecukupan energi (r= 0,797; p


KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Kesimpulan<br />

Proses penyelenggaraan home care terdiri atas sosialisasi, pendataan<br />

relawan, pendataan lansia, implementasi, monitoring, evaluasi <strong>dan</strong> pelaporan.<br />

Pelayanan yang diberikan pada lansia yaitu pelayanan sosial berupa kunjungan<br />

setiap minggu, pemberian sembako setiap bulan serta pelayanan <strong>kesehatan</strong>.<br />

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia peserta <strong>dan</strong> bukan<br />

peserta berada pada kelompok usia lanjut berjenis kelamin perempuan.<br />

Persentase terbesar <strong>tingkat</strong> pendidikan lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta adalah<br />

tidak pernah sekolah. Sebagian besar lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta tidak<br />

bekerja dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari anak. Status<br />

pernikahan lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta sebagain besar ber<strong>status</strong> cerai<br />

mati sehingga lansia lebih banyak yang tinggal bersama keluarga.<br />

Rata-rata <strong>tingkat</strong> kecukupan energi <strong>dan</strong> protein lansia peserta temasuk<br />

defisit <strong>tingkat</strong> ringan <strong>dan</strong> normal pada lansia bukan peserta. Tingkat kecukupan<br />

kalsium pada kedua kelompok termasuk dalam kategori kurang, se<strong>dan</strong>gkan<br />

<strong>tingkat</strong> kecukupan fosfor pada kedua kelompok cukup. Tingkat kecukupan<br />

vitamin A pada kedua kelompok cukup, se<strong>dan</strong>gkan <strong>tingkat</strong> kecukupan vitamin C<br />

termasuk dalam kategori kurang. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang<br />

nyata (p>0,05) <strong>tingkat</strong> kecukupan antara kedua kelompok.<br />

Berdasarkan <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong>, persentase terbesar kedua kelompok<br />

mengalami lebih dari satu jenis keluhan dengan ISPA sebagai keluhan yang<br />

paling banyak dialami. Lebih dari separuh lansia pada kedua kelompok tidak<br />

mengalami <strong>depresi</strong> (normal). Uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada<br />

perbedaan yang nyata (p>0,05) <strong>status</strong> <strong>kesehatan</strong> <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> pada kedua<br />

kelompok. Persentase terbesar <strong>status</strong> gizi pada kedua kelompok adalah normal.<br />

Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) <strong>status</strong> gizi kedua<br />

kelompok.<br />

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata <strong>dan</strong><br />

negatif antara lama sakit infeksi dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan energi, <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan protein, <strong>tingkat</strong> kecukupan kalsium <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan fosfor.<br />

Tidak terdapat hubungan yang nyata antara lama sakit infeksi dengan <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan vitamin A <strong>dan</strong> vitamin C. Terdapat hubungan yang nyata <strong>dan</strong> positif<br />

antara keluhan <strong>kesehatan</strong> dengan <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong>. Tetapi tidak terdapat<br />

hubungan yang nyata antara <strong>tingkat</strong> <strong>depresi</strong> dengan <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi.


Terdapat hubungan sangat nyata <strong>dan</strong> positif antara <strong>tingkat</strong> kecukupan energi,<br />

<strong>tingkat</strong> kecukupan protein, <strong>tingkat</strong> kecukupan kalsium <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan<br />

fosfor dengan <strong>status</strong> gizi. Tetapi tidak terdapat hubungan nyata antara <strong>tingkat</strong><br />

kecukupan vitamin A <strong>dan</strong> vitamin C dengan <strong>status</strong> gizi. Terdapat hubungan yang<br />

nyata <strong>dan</strong> negatif antara lama sakit infeksi dengan <strong>status</strong> gizi.<br />

Saran<br />

Mengingat masih kurangnya asupan <strong>pangan</strong> secara kuailtas maka<br />

diperlukan a<strong>dan</strong>ya upaya peningkatan asupan <strong>pangan</strong> secara kualitas melalui<br />

peningkatan pengetahuan gizi lansia guna mencapai asupan gizi seimbang.<br />

Status <strong>kesehatan</strong> <strong>dan</strong> <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong> secara langsung berpengaruh terhadap<br />

<strong>status</strong> gizi lansia. Oleh karena itu, selain pemeriksaan rutin terkait <strong>status</strong><br />

<strong>kesehatan</strong>, <strong>status</strong> gizi juga penting untuk dilakukan secara berkala pada lansia<br />

sehingga pendamping juga perlu diberikan pengetahuan terkait gizi lansia <strong>dan</strong><br />

metode pengukuran <strong>status</strong> gizi lansia.<br />

Meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan<br />

berbagai kondisi antara lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care, bukan<br />

berarti pelayanan home care ini tidak bermanfaat. Hal ini justru mengindikasikan<br />

bahwa pelayanan yang diberikan home care di Tegal Alur dapat mencakup<br />

lansia peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care. Jika akan melakukan penelitian<br />

serupa, diharapkan dilakukan di dua lokasi berbeda untuk bisa memisahkan<br />

secara jelas lansia yang mendapatkan pelayanan home care dengan lansia yang<br />

tidak mendapatkan pelayanan home care.


DAFTAR PUSTAKA<br />

Abikusno N. 2007. Older Population in Indonesia: Trends, Issues, and Police<br />

Responses. Thailand: UNFPA Indonesia.<br />

Ahmed F, Darnton-Hill. 2008. Defisiensi Vitamin A. Di dalam: Gibney MJ,<br />

Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat.<br />

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.<br />

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka<br />

Utama.<br />

Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC.<br />

Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi <strong>dan</strong> Kesehatan Manula. Jakarta: Mediyatama<br />

Sarana Perkasa.<br />

Azad N. 2002. Nutrition in the elderly. The Canadian Journal of Diagnosis: 83-93<br />

Better Health Channel. 2010. Depression and ageing.<br />

http://www.betterhealth.gov.au [6 Agustus 2010].<br />

[BPS] Ba<strong>dan</strong> Pusat Statsitik. 2008. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2008. Jakarta:<br />

Ba<strong>dan</strong> Pusat Statistik.<br />

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar<br />

Riskesdas Indonesia-Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.<br />

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2010.<br />

Jakarta: Departemen Kesehatan RI.<br />

[Depsos] Departemen Sosial. 2009a. Pedoman Teknis Home Care Lanjut Usia<br />

Bagi Lembaga Penyelenggara. Jakarta: Departemen Sosial RI.<br />

_______________________. 2009b. Buku Saku Home Care: Pendampingan<br />

<strong>dan</strong> Perawatan Sosial Lanjut Usia Di Rumah. Jakarta: Departemen Sosial<br />

RI.<br />

Fatmah, Hardinsyah, Boedhihartono, Rahardjo TWB. 2008. Model prediksi tinggi<br />

ba<strong>dan</strong> lansia etnis jawa berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, <strong>dan</strong> tinggi<br />

lutut. Majalah Kedokteran Indonesia 58(12): 509-516.<br />

Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga.<br />

Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford<br />

University Press.<br />

Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian <strong>dan</strong> perencanaan <strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>.<br />

[Diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat <strong>dan</strong> Sumberdaya Keluarga,<br />

Fakultas Petanian, IPB.


Harris NG. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S, editor.<br />

Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11 th ed. USA: Elsevier. hlm. 319-<br />

396.<br />

Kementrian Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat. 2010. Usia Lanjut.<br />

http://www.menkokesra.go.id/ [9 Maret 2010].<br />

[Komnas Lansia] Komisi Nasional Lanjut Usia. 2008. Pedoman Rumah<br />

Pelayanan <strong>dan</strong> Kegiatan Lansia. Jakarta: Komnas Lansia.<br />

Kim Jeung-Im, Choe Myoung-Ae, Chae YR. 2009. Prevalence and predictors of<br />

geriatric depression in community-dwelling elderly. Asian Nurs Research<br />

3(3) 121-129.<br />

Kusumaratna RK. 2008. Gender differences in nutritional intake and <strong>status</strong> in<br />

healthy free-living elderly. Universa Medicana 27(3) 113-124.<br />

Latham MC. 1997. Human Nutrition in The Developing World. USA: Food and<br />

Agriculture Organization of United Nation.<br />

McDowell I. 2006. Measuring Health: A Guide to Rating Scales and<br />

Questionnaires 3rd ed. Oxford: University Press.<br />

McKenzie JF, Pinger PR, Kotecki JE. 2008. An Introduction to Community Health<br />

8 th ed. USA: Jones and Bartlett Publisher.<br />

Medical Encyclopedia. 2010. Depression elderly. http://www.nlm.nih.gov [10<br />

Desember 2010].<br />

Mezey MD, Rauckhorst LH, Stokes SA. 1993. Health Assessment of The Older<br />

Individula. New York: Springer Publishing Company.<br />

Morley et al. 2009. Undernutrition: Diagnosis, Causes, Consequences And<br />

Treatment. Di dalam: Raats M, de Groot L, van Staveren W, editor. Food<br />

For the Ageing Population. England: Woodhead Publishing Limited hlm<br />

153-166.<br />

Muis. 2006. Gizi Pada Usia Lanjut. Di dalam: Matrono H. H & Boedhi-Darmojo R,<br />

editor. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai<br />

Penerbit FK UI hlm. 539-547.<br />

Nadhira. 2006. Keadaan sosial ekonomi, pengetahuan gizi, gaya hidup,<br />

<strong>konsumsi</strong> <strong>pangan</strong>, <strong>dan</strong> <strong>status</strong> gizi lansia laki-laki di Kecamatan Ciampea,<br />

Kabupaten Bogor, Jabar [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut<br />

Pertanian Bogor.<br />

[PDGKI] Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia. 2008. Pedoman Tatalaksana<br />

Gizi Klinik. Jakarta: PDGKI.<br />

Pietinen, Patterson. 2009. Penilaian Konsumsi Pangan. Di dalam: Gibney MJ,<br />

Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat.<br />

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


Rahardjo BW et al. 2009. Panduan Menuju Lanjut Usia Sehat. Jakarta: Lembaga<br />

Lanjut Usia Indonesia (LLI).<br />

Sabdono E. 2010. Home care pilot project di Indonesia. Presentasi pada<br />

Lokakarya “Pengembangan Day Care <strong>dan</strong> Home Care Bagi Lanjut Usia di<br />

Indonesia“: Komnas Lansia.<br />

Sarafino EP. 1994. Health Phsychology: Biopsychosocial Interaction 2 nd<br />

Canada: John Wiley & Sons Inc.<br />

ed.<br />

Sari NK. 2006. Deteksi Dini Malnutrisi pada Usia Lanjut. Di dalam: Harjodisastro<br />

D, Syam AF, Sukrisman L, editor. Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit<br />

Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran<br />

UI Pr. hlm. 51-63.<br />

Schlenker ED. 2000. Nutrition and The Aging Adult. Di dalam: Worthington-<br />

Roberts BS, Williams SR, editor. Nutrition Throughout The Life Cycle 3rd<br />

Edition. St Louis: Mosby-Year Book.<br />

Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.<br />

Smith M. 2010. Depression in older adult and elderly. http://helpguide.org [6<br />

Agustus 2010.<br />

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan <strong>dan</strong><br />

Kebdayaan Direktorat Jendral Pendikan Tinggi PAU Pangan <strong>dan</strong> Gizi<br />

IPB.<br />

Suhardjo. 2008. Perencanaan Pangan <strong>dan</strong> Gizi. Jakarta: Bumi Aksara<br />

bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan <strong>dan</strong> Gizi IPB.<br />

Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Asek Pangan, Gizi, <strong>dan</strong> Sanitasi:<br />

Petani Sawah Beririgasi di Banjar Jawa Barat. Bogor: Departemen Gizi<br />

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB.<br />

Supariasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.<br />

Takasihaeng J. 2000. Hidup Sehat di Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit Harian<br />

Kompas.<br />

Till C. 2001. Ageways: Home care and volunteers. HelpAge International.<br />

http://helpage.org [10 Mei 2011].<br />

Watson R. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC.<br />

Wirakusumah E S. 2001. Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta: Puspa Swara.<br />

Wiseman G. 2002. Nutrition & Health. USA: Taylor & Francis Inc.<br />

[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan <strong>dan</strong> Gizi di<br />

Era Otonomi Daerah <strong>dan</strong> Globalisasi. Jakarta: LIPI


Lampiran 1 Jenis <strong>pangan</strong> yang biasa di<strong>konsumsi</strong> peserta <strong>dan</strong> bukan peserta<br />

home care<br />

Home care<br />

Bakan makanan<br />

Peserta Bukan Total<br />

n % n % n %<br />

Sumber Karbohidrat<br />

Nasi 30,0 100,0 30,0 100,0 60,0 100,0<br />

Singkong <strong>dan</strong> hasil olahan 17,0 56,7 25,0 83,3 42,0 70,0<br />

Ubi <strong>dan</strong> hasil olahan 18,0 60,0 14,0 46,7 32,0 53,3<br />

Kentang 0,0 0,0 6,0 20,0 6,0 10,0<br />

Biskuit/krakers 27,0 90,0 15,0 50,0 42,0 70,0<br />

Roti 12,0 40,0 18,0 60,0 30,0 50,0<br />

Mie 16,0 53,3 6,0 20,0 22,0 36,7<br />

Protein Hewani<br />

Ikan basah 23,0 76,7 23,0 76,7 46,0 76,7<br />

U<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> hewan air lainnya segar 3,0 10,0 6,0 20,0 9,0 15,0<br />

Ikan diawetkan 15,0 50,0 11,0 36,7 26,0 43,3<br />

Daging sapi 6,0 20,0 7,0 23,3 13,0 21,7<br />

Daging ayam 21,0 70,0 24,0 80,0 45,0 75,0<br />

Telur 25,0 83,3 23,0 76,7 48,0 80,0<br />

Susu 18,0 60,0 12,0 40,0 30,0 50,0<br />

Protein Nabati<br />

Kacang-kacangan lain 12,0 40,0 15,0 50,0 27,0 45,0<br />

Tahu 28,0 93,3 28,0 93,3 56,0 93,3<br />

Tempe 29,0 96,7 26,0 86,7 55,0 91,7<br />

Oncom 0,0 0,0 9,0 30,0 9,0 15,0<br />

Sayur-mayur<br />

Sayur daun hijau 25,0 83,3 22,0 73,3 47,0 78,3<br />

Sayur buah 16,0 53,3 19,0 63,3 35,0 58,3<br />

Sayur lain 23,0 76,7 25,0 83,3 48,0 80,0<br />

Buah-buahan<br />

Jeruk 16,0 53,3 16,0 53,3 32,0 53,3<br />

Mangga 20,0 66,7 19,0 63,3 39,0 65,0<br />

Apel 8,0 26,7 5,0 16,7 13,0 21,7<br />

Salak 5,0 16,7 3,0 10,0 8,0 13,3<br />

Pisang ambon 11,0 36,7 15,0 50,0 26,0 43,3<br />

Pisang raja 0,0 0,0 3,0 10,0 3,0 5,0<br />

Pisang lampung 10,0 33,3 4,0 13,3 14,0 23,3<br />

Pepaya 17,0 56,7 16,0 53,3 33,0 55,0<br />

Jambu air 0,0 0,0 3,0 10,0 3,0 5,0<br />

Semangka 5,0 16,7 7,0 23,3 12,0 20,0<br />

Melon 7,0 23,3 5,0 16,7 12,0 20,0<br />

Pir 4,0 13,3 0,0 0,0 4,0 6,7


Anggur 5,0 16,7 0,0 0,0 5,0 8,3<br />

Pangan lainnya<br />

Pisang goreng 13,0 43,3 11,0 36,7 24,0 40,0<br />

Teh manis 5,0 16,7 10,0 33,3 15,0 25,0<br />

Kopi 9,0 30,0 9,0 30,0 18,0 30,0<br />

Mie bakso 4,0 13,3 7,0 23,3 11,0 18,3<br />

Kue-kue tradisional 5,0 16,7 10,0 33,3 15,0 25,0<br />

Bakwan 5,0 16,7 5,0 16,7 10,0 16,7<br />

Lampiran 2 Rata-rata <strong>konsumsi</strong>, angka kecukupan <strong>dan</strong> <strong>tingkat</strong> kecukupan zat gizi<br />

peserta <strong>dan</strong> bukan peserta home care<br />

Home care<br />

Zat Gizi<br />

Peserta<br />

Bukan<br />

mean sd mean sd<br />

Konsumsi (Kal) 1478 329,4 1605 306,2<br />

Energi AKG (Kal) 1690 169,9 1680 140,6<br />

Tingkat Kecukupan (%) 87,5 17,7 95,9 18,8<br />

Konsumsi (g) 38,4 10,1 42,8 13,3<br />

Protein AKG (g) 48 5,7 47,7 4,7<br />

Tingkat Kecukupan (%) 80 19 90 27,5<br />

Konsumsi (mg) 411,2 174,8 473,6 204,6<br />

Kalsium AKG (mg) 800 0 800 0<br />

Tingkat Kecukupan (%) 51,4 21,8 59,2 25,6<br />

Konsumsi (mg) 590,9 464,7 432,5 147,6<br />

Fosfor AKG (mg) 600 0 600 0<br />

Tingkat Kecukupan (%) 63,6 23,5 72,1 24,6<br />

Konsumsi (RE) 590,9 464,7 494,3 339,5<br />

Vitamin A AKG (RE) 516,7 37,9 510 30,5<br />

Tingkat Kecukupan (%) 114,1 85,5 97,1 65,4<br />

Konsumsi (mg) 56,5 46,8 56,6 40,6<br />

Vitamin C AKG (mg) 77,5 5,7 76,5 4,6<br />

Tingkat Kecukupan (%) 73,1 60,7 74,9 54,6


Lampiran 3 Dokumentasi kegiatan<br />

Kegiatan senam lansia<br />

Kegiatan ramah lansia<br />

Pertemuan mingguan relawan


Pelatihan penggunaan alat pengukur tekanan darah<br />

Penyerahan sembako kepada perwakilan lansia

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!