Bunuh MUNIR - KontraS
Bunuh MUNIR - KontraS
Bunuh MUNIR - KontraS
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Bagian 1. Reka Duga Pembunuhan Munir<br />
Munir tidak hanya mengadvokasi kasus-kasus perburuhan, namun<br />
seringkali juga menjadi korban militerisme politik perburuhan itu<br />
sendiri. Ketika kerjanya bergeser ke kota Surabaya kondisi ini juga tidak<br />
berubah. Bahkan Munir harus mengurusi salah satu kasus perburuhan<br />
terpenting saat itu, yaitu pembunuhan Marsinah (1994). Setelah Munir<br />
dipindahkan ke Jakarta untuk duduk di kepengurusan Yayasan Lembaga<br />
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ia segera berhadapan lagi dengan<br />
kasus 27 Juli 1996, sebuah kasus yang juga berkaitan dengan operasi<br />
militer lagi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Munir memiliki<br />
ikatan historis yang kuat dengan militerisme. Ikatan ini lebih disebabkan<br />
oleh pengalaman politik dan terendap menjadi sebuah sense. Meski<br />
Munir diakui banyak orang memiliki intelegensia yang cukup tinggi,<br />
namun agaknya sense inilah yang membentuk karakter politiknya. 2<br />
Bila mengikuti secara personal perkembangan gerak politik Munir,<br />
ia tidak dikenal sebagai seorang pejuang HAM yang menempuh jalur<br />
intelektual yang selalu setia dengan prinsip dan norma HAM yang ketat.<br />
Baru di akhir hidupnya Munir menyadari dia perlu untuk meng-upgrade<br />
pengetahuannya tentang dunia HAM secara lebih ketat. Ini alasan<br />
mengapa Munir merasa perlu untuk kuliah S-2 di negeri Belanda.<br />
Ketika turbulensi politik Indonesia mencapai titik yang kritis, Munir<br />
tidak ketinggalan untuk terlibat di dalamnya, dalam proporsi tertentu.<br />
Ini bermula dari munculnya laporan beberapa mahasiswa aktivis politik<br />
yang hilang. Mereka umumnya memiliki afiliasi dengan Solidaritas<br />
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sebuah organisasi<br />
berbasis mahasiswa, dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah<br />
organiasi politik yang paling menjadi target operasi aparat negara paska<br />
peristiwa 27 Juli 1996. Meski di tengah kondisi pengekangan politik yang<br />
tinggi, Munir bisa melakukan manuver politik yang signifikan, melalui<br />
advokasi politik <strong>KontraS</strong> (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak<br />
Kekerasan), sebuah aliansi beberapa tokoh dan aktivis politik. Disini,<br />
sebuah kemustahilan menjadi mungkin oleh sepak terjang Munir dan<br />
<strong>KontraS</strong>-nya. Saat itu menjadi sebuah rahasia umum bila sebuah insiden<br />
2<br />
Robertus Robet, Munir, Pejuang Tanpa Kompromi, dalam Willy Pramudya (ed), “Cak Munir<br />
Engkau Tak Pernah Pergi”, Gagasmedia, 2004.<br />
16<br />
<strong>Bunuh</strong> <strong>MUNIR</strong>