05.05.2015 Views

Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam

Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam

Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Penyelesaian Pelanggaran<br />

HAM Masa Lalu:<br />

Konsisten dengan<br />

Komitmen Awal<br />

atau Mencari Jalan Baru?<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

www.elsam.or.id


daftar isi<br />

Masa lalu adalah lembaran sejarah dan terselip sebuah<br />

ingatan yang hendak selalu mengantarkan kita untuk<br />

bisa duduk bersama saling menemani dan memahami,<br />

kemudian untuk dapat meletakkannya dan merefleksikan<br />

atas apa yang telah terjadi.<br />

(http://taman65.wordpress.com)<br />

Kolom<br />

daerah 18-20<br />

Sumbangsih Tenaga Tapol Tanpa<br />

Pengakuan Rezim Soeharto<br />

Kekuasaan pemerintahan otoriter ditandai sejumlah<br />

hal: dukungan ideologi militerisme menindas, tidak<br />

mentolerir perbedaan pendapat, pendekatan<br />

kekerasan, dan gemar bertindak bengis terhadap<br />

rakyatnya sendiri; di samping pemerintahan yang<br />

korup. Ringkasnya, pemerintahan tidak ramah HAM<br />

karena gemar menabrak hukum-hukum HAM.<br />

internasional 21<br />

Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran:<br />

Suatu Kemajuan<br />

Diratifikasinya Konvensi Pekerja Migran merupakan<br />

puncak 13 tahun proses perjuangan Pemerintah dan<br />

masyarakat sipil Indonesia dalam upaya mencapai<br />

pemahaman yang sama. Konvensi ini mengatur<br />

sejumlah jaminan, baik bagi tenaga kerja sendiri,<br />

maupun negara untuk mengeluarkan guideline<br />

perlindungan terhadap tenaga kerja lokalnya.<br />

resensi 22-23<br />

Langkah Berharga Pemda Sanggau<br />

Terkait HAM<br />

Di tengah maraknya kemunculan perda diskriminatif di<br />

sejumlah daerah, inisiatif Setda Kabupaten Sanggau,<br />

Kalimantan Barat, menerbitkan Manual Penyusunan<br />

Perda Berbasis HAM patut diapresiasi. Pada manual<br />

ini terdapat pedoman yang berlaku bagi Satuan Kerja<br />

Perangkat Daerah (SKPD) atau legal drafter seluruh<br />

instansi yang ada di Kabupaten Sanggau dalam<br />

menyusun/merancang peraturan daerah di tingkat lokal.<br />

profil elsam 24<br />

editorial 04<br />

Mengapa Harus (Membela) Korban<br />

Tutur mereka mengenai serangkaian perbuatan yang tak<br />

manusiawi, mulai dari narasi penyiksaan yang kejam selama<br />

pemeriksaan yang kadang tak jelas legal atau ilegal karena tak<br />

jelas dari otoritas mana mereka berasal tentu bukanlah isapan<br />

jempol. Narasi yang sama saya dengar pula dari beberapa korban<br />

penculikan tahun 1998 yang berhasil kembali dan meneruskan<br />

kehidupan mereka.<br />

laporan utama 5-14<br />

Dinamika Penyelesaian Pelanggaran HAM<br />

Masa Lalu: Konsisten dengan Komitmen<br />

atau Mencari Jalan Baru?<br />

Berbagai upaya dan inisiatif telah dilakukan untuk terus mendorong<br />

adanya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, yang terus<br />

disuarakan oleh masyarakat sipil dan para korban. Inisiatif-inisiatif<br />

korban dan masyarakat sipil di tingkat lokal justru memberikan<br />

dampak yang positif kepada para korban. Gugatan hukum,<br />

memorialisasi, pengungkapan kebenaran oleh masyarakat, terus<br />

terjadi di tengah kemacetan proses penyelesaian oleh negara.<br />

Kembang dan Tembang untuk Korban<br />

bagi korban, waktu empat dekade itu berarti waktu ketidakjelasan<br />

mengenai keberadaan anggota keluarga mereka yang hilang. Mereka<br />

menggunakan masa penantian dengan terus menagih janji<br />

Pemerintah untuk mengungkap kejahatan, sembari merawat memori<br />

dengan metode apapun.<br />

Lika-Liku Ingatan dan Modal Sosial Taman 65<br />

Sejarah kelam tragedi pembunuhan orang-orang yang dituduh PKI<br />

pada akhir 1965 menjadi noktah bagi rumah tua dan penghuninya.<br />

Pada kenyataannya memang ada anggota keluarga yang dihilangkan<br />

di sini. Itu sebabnya orang-orang yang tinggal dan, terutama anakanak<br />

muda yang sering berkunjung ke Taman 65, sangat antusias<br />

membicarakan tragedi itu.<br />

Ketika Walikota Minta Maaf Kepada Korban<br />

Pada momentum peringatan hari hak korban pelanggaran HAM atas<br />

kebenaran dan keadilan pada 24 <strong>Maret</strong> 2012 dalam rangkaian hari<br />

ulang tahun Provinsi Sulawesi Tengah yang ke-48 tahun. Walikota<br />

menyampaikan permintaan maaf kepada korban. Pada intinya<br />

walikota menegaskan bahwa yang terjadi pada masa lalu adalah<br />

sebuah kesalahan.<br />

nasional 15-17<br />

Omah Tani dan Politik Hak <strong>Asasi</strong> Manusia di Batang<br />

Omah Tani merupakan organisasi petani Batang yang berdiri sejak<br />

2008. Di Batang, persoalan representasi politik yang buruk, dan<br />

usaha untuk memperbaikinya, telah menjadi perhatian gerakan<br />

masyarakat sipil terutama dimotori oleh Omah Tani.


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

surat pembaca<br />

www.elsam.or.id<br />

Redaksional<br />

Penanggung Jawab:<br />

Indriaswati Dyah Saptaningrum<br />

Pemimpin Redaksi:<br />

Otto Adi Yulianto<br />

Redaktur Pelaksana:<br />

Widiyanto<br />

Dewan Redaksi:<br />

Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum,<br />

Zainal Abidin, Wahyu Wagiman<br />

Redaktur:<br />

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana<br />

Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi<br />

Muttaqien, Ester Rini Pratsnawati, Paijo<br />

Sekretaris Redaksi:<br />

Triana Dyah<br />

Sirkulasi/Distribusi:<br />

Khumaedy<br />

Surat Terbuka Kepada Pak Menteri<br />

Kepada Bapak Menteri yang Berkuasa,<br />

Kami paham bahwa politisasi terhadap agama akan<br />

menjerumuskan negara ini ke kubangan kekerasan tiada akhir.<br />

Dan kita bisa simak deretan kekerasan yang mengatasnamakan<br />

agama kerap terjadi di penjuru nusantara.<br />

Barangkali menuduh korban dan lembaga advokasi bagi Anda<br />

merupakan cara paling mudah untuk lari dari tanggung jawab<br />

ketimbang bersikap tegas terhadap para gerombolan intoleran.<br />

Kami tahu banyak pejabat negara yang tidak memiliki sikap<br />

kenegarawanan.<br />

Kami tidak tahu apakah Anda termasuk salah satunya.<br />

Wiwid-Depok<br />

Desain & Tata Letak:<br />

alang-alang<br />

Penerbit:<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat<br />

(ELSAM)<br />

Penerbitan didukung oleh:<br />

UNI EROPA<br />

Alamat Redaksi:<br />

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar<br />

Minggu, Jakarta 12510,<br />

Telepon: (021) 7972662, 79192564<br />

Faximile: (021) 79192519<br />

E-mail:<br />

office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id<br />

Website:<br />

www.elsam.or.id.<br />

Redaksi senang menerima tulisan, saran,<br />

kritik dan komentar dari pembaca. Buletin<br />

ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan<br />

nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami<br />

juga menerima pengganti biaya cetak dan<br />

distribusi berapapun nilainya. Transfer ke<br />

rekening<br />

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat<br />

dikirimkan via email di bawah ini:<br />

asasi@elsam.or.id<br />

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar<br />

Minggu No. 127.00.0412864-9<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

03


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

editorial<br />

Mengapa Harus (Membela) Korban<br />

Saya, seperti kebanyakan generasi yang lahir<br />

di era 1970an, sebenarnya hampir tak<br />

memiliki memori visual apapun mengenai<br />

tragedi kemanusiaan yang mengiringi<br />

naiknya Orde Baru ke tampuk kekuasaan di<br />

Indonesia, yang lantas mengisi tiga puluh lima tahun<br />

periode kekuasaannya dengan represif. Bahkan<br />

berbagai tragedi kekerasan yang berlatar belakang<br />

politik lainnya yang terjadi jauh sebelum atau<br />

sesudahnya seperti Gulag Pulau Buru dan<br />

Plantungan, pembunuhan Talangsari, Tanjung Priok,<br />

rangkaian kekerasan yang merenggut sejumlah<br />

besar korban diAceh dengan pemberlakukan Operasi<br />

Militer, hanya karena mereka hampir tak pernah<br />

tersebut dalam buku-buku pelajaran. Mungkin nasib<br />

yang sama juga dialami oleh generasi-generasi yang<br />

lahir belakangan, karena hanya sedikit perubahan<br />

yang ada dalam kasanah narasi resmi mengenai<br />

sejarah bangsa ini, khususnya yang secara resmi<br />

dipergunakan sebagai buku rujukan di sekolahsekolah<br />

baik SD, SMP maupun setingkat SMA.<br />

Mungkin seperti kebanyakan generasi seusia<br />

saya yang lainnya, perbincangan mengenai hal<br />

tersebut hampir tak ditemukan dalam obrolan seharihari<br />

di rumah. Rasanya sulit mempercayai kedua<br />

orang tua saya tak mengetahui apa yang terjadi di<br />

waktu-waktu itu, tapi seperti kebanyakan keluarga<br />

lain, mungkin mereka memilih menutup rapat-rapat<br />

perbincangan itu, seperti takut akan adanya hantu<br />

yang tiba-tiba muncul bila hal itu diperbincangkan.<br />

Alhasil, narasi-narasi itu selama bertahun-tahun<br />

terpendam rapat-rapat dari generasi-generasi seusia<br />

saya atau pun yang lebih muda.<br />

Seperti kebanyakan generasi seusia saya<br />

yang tak terafiliasi dengan ormas-ormas yang terkait<br />

atau sering dikaitkan dengan Tragedi 1965 atau<br />

tragedi-tragedi lain yang terjadi sesudahnya, sulit<br />

menakar kedekatan emosi pada perdebatan<br />

mengenai tarik ulur kepentingan dan konteks politik<br />

yang melingkupi peristiwa-peristiwa tersebut seperti<br />

tergambar dalam debat antara Magnis Suseno (24/3)<br />

dan Sulastomo (31/3) di Harian Kompas.<br />

Meskipun demikian, satu yang realitas yang<br />

tak terbantahkan adalah kehadiran para korban dan<br />

seluruh narasinya. Mereka adalah realitas yang<br />

faktual, manusia yang hidup, beberapa diantaranya<br />

renta dimakan usia, punya alamat tinggal yang jelas<br />

dan diakui sebagai warga negara karena rata-rata<br />

memiliki KTP. Sebagian kecil ada yang beruntung tak<br />

memiliki kesulitan ekonomi, tapi sebagian besar<br />

lainnya hidup dalam situasi yang sulit bertahan hidup<br />

dengan kondisi yang memprihatinkan.<br />

Tutur mereka mengenai serangkaian<br />

perbuatan yang tak manusiawi, mulai dari narasi<br />

penyiksaan yang kejam selama pemeriksaan yang<br />

kadang tak jelas legal atau ilegal karena tak jelas dari<br />

otoritas mana mereka berasal tentu bukanlah isapan<br />

jempol. Narasi yang sama saya dengar pula dari<br />

beberapa korban penculikan tahun 1998 yang<br />

berhasil kembali dan meneruskan kehidupan mereka.<br />

Kekerasan seksual seperti maaf- menusuk<br />

kemaluan dengan batang kayu seperti diungkap dari<br />

data forensik Marsinah, maupun tuturan langsung<br />

para ibu-ibu yang menjadi tahanan politik paska<br />

tragedi 1965 jelas menghentak kesadaran<br />

kemanusiaan, apalagi jika Anda perempuan. Tak<br />

hanya membuat bergidik, narasi ini jelas terlalu jauh<br />

dari fantasi yang mungkin terbayangkan. Bagi<br />

generasi seusia saya, sosok mereka jauh lebih nyata,<br />

senyata fakta bahwa atas alasan apapun perlakuan<br />

yang mereka alami tak bisa dibenarkan oleh akal<br />

sehat kemanusiaan manapun, atau berdasar agama<br />

atau kepercayaan apapun. Apalagi bila merujuk pada<br />

klaim prinsip dan norma hak asasi manusia yang jelas<br />

telah menjadi jaminan konstitusional di negeri ini.<br />

Bila demikian adakah alasan lain yang masuk<br />

akal untuk tidak membela keinginan mereka yang<br />

sederhana, supaya narasinya didengar dan diakui?<br />

Adakah alasan yang lebih kuat bagi Pemerintah<br />

(baca-negara) untuk menganggap seolah mereka<br />

tidak ada? Sekecil apapun langkah konkrit harus<br />

segera diwujudkan, justru karena tak lagi ada alasan<br />

tersisa untuk Pemerintah untuk tidak berbuat apaapa,<br />

dan terus berdiam seolah tak terjadi apa-apa.<br />

Indriaswati D. Saptaningrum<br />

Direktur Eksekutif ELSAM<br />

04<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

laporan utama<br />

Dinamika Penyelesaian<br />

Pelanggaran HAM Masa Lalu:<br />

Konsisten dengan Komitmen Awal<br />

atau Mencari Jalan Baru?<br />

Oleh Zainal Abidin<br />

(Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) ELSAM)<br />

Pengantar<br />

Lebih dari satu dekade agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tak juga tuntas.<br />

Komitmen penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tampak surut di tengah arus besar transaksi<br />

politik dan kekuasaan yang saat ini terjadi. Kerangka hukum penyelesaian pelanggaran HAM<br />

masa lalu telah ada melalui dua jalur, baik melalui pengadilan HAM ad hoc maupun Komisi<br />

Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), mandeg tak jelas ujungnya.<br />

Berbagai upaya dan inisiatif telah dilakukan untuk terus mendorong adanya penyelesaian<br />

pelanggaran HAM masa lalu, yang terus disuarakan oleh masyarakat sipil dan para korban.<br />

Inisiatif-inisiatif korban dan masyarakat sipil di tingkat lokal justru memberikan dampak yang positif<br />

kepada para korban. Gugatan hukum, memorialisasi, pengungkapan kebenaran oleh masyarakat,<br />

terus terjadi di tengah kemacetan proses penyelesaian oleh negara.<br />

Respon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan retorikanya tampak<br />

memberikan “angin segar” penyelesaian, dengan menugaskan Menkopolhukam dan<br />

memandatkan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang hukum dan HAM<br />

untuk mencari format penyelesaian. Namun, ada kekuatiran bahwa upaya presiden ini keluar dari<br />

komitmen dan konsensus bangsa yang telah disepakati.<br />

Proses penyusunan konsep tanpa adanya arah yang jelas dan kontrol publik yang luas,<br />

akan berdampak pada pilihan penyelesaian yang menjauhkan dari prinsip-prinsip HAM, dan<br />

memaksa para korban terus “bernegosiasi” dengan posisi yang tak setara. Pada titik ini,<br />

perumusan konsep, yang dimaksudkan untuk menerobos kebuntuan penyelesaian, harus<br />

beranjak maju untuk memastikan terpenuhinya hak-hak para korban.<br />

Kerangka Penyelesaian dan Implementasi<br />

Kerangka penyelesaian berdasarkan pada berbagai<br />

produk hukum yang dibentuk berpijak dalam dua jalur,<br />

yakni pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi melalui<br />

pembentukan KKR dan penghukuman kepada pelaku<br />

melalui pengadilan HAM ad hoc.<br />

Pembentukan KKR mendapatkan basis<br />

legalnya dalam Ketetapan MPR No. V Tahun 2000<br />

tentang tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan.<br />

Dalam Tap tersebut telah jelas dinyatakan bahwa pada<br />

masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang perlu untuk<br />

diungkapkan demi menegakkan kebenaran, dan<br />

merekomendasikan untuk memutuskan untuk<br />

membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi<br />

Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang bertugas<br />

untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan<br />

Korban pelanggaran HAM berat mencari keadilan. Sumber: www.tempo.co<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

05


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi<br />

manusia pada masa lampau dan melaksanakan<br />

rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama<br />

1<br />

sebagai bangsa.<br />

Pada tahun yang sama, negara membentuk UU<br />

No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang<br />

mengatur tentang pemeriksaan perkara-perkara<br />

pelanggaran HAM yang berat yaitu kejahatan genosida<br />

2<br />

dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Terhadap<br />

kejahatan-kejahatan yang masuk kategori pelanggaran<br />

HAM yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000,<br />

3<br />

dilakukan melalui Pengadilan HAM ad hoc. UU juga<br />

menyebut bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat<br />

yang terjadi sebelum berlakunya UU ini, tidak menutup<br />

kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang<br />

4<br />

dibentuk melalui UU.<br />

Pada tahun 2001, melalui UU No. 21 tahun 2001<br />

tentang Otonomi Khusus Papua, negara juga berjanji<br />

kepada rakyat Papua akan mempertanggungjawabkan<br />

berbagai bentuk pelanggaran HAM melalui dua<br />

instrumen, yaitu Pengadilan HAM dan KKR. UU tersebut<br />

menyatakan menyatakan KKR dilakukan untuk<br />

“melakukan klarifikasi sejarah dan merumuskan serta<br />

menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi” dalam rangka<br />

5<br />

menjaga persatuan bangsa.<br />

Baru pada tahun 2004, mandat untuk<br />

membentuk KKR semakin jelas, dengan terbentuknya<br />

UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan<br />

Rekonsiliasi. UU ini mengatur tentang pengungkapan<br />

kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, mekanisme<br />

penyelesaian di luar pengadilan dan rehabilitasi kepada<br />

Korban. DPR dan Pemerintah pada saat itu, setelah<br />

melalui perdebatan yang panjang selama kurang lebih 16<br />

6<br />

bulan, akhirnya mengesahkan RUU KKR menjadi UU,<br />

meski disadari adanya kelemahan dalam<br />

7<br />

pengaturannya. Namun, dalam periode 2004-2006<br />

pembentukan KKR sangat lambat, dan Pemerintah<br />

8<br />

hanya berhasil melakukan proses seleksi anggota KKR.<br />

Pada tahun 2006, terjadi tiga peristiwa penting<br />

terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa<br />

lalu. Pertama, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan<br />

UU KKR karena dianggap bertentangan dengan<br />

Konstitusi, Hukum HAM Internasional dan Hukum<br />

Humaniter Internasional, dan MK kemudian<br />

merekomendasikan untuk membentuk UU KKR baru<br />

sesuai dengan UUD 1945, hukum humaniter dan hukum<br />

9<br />

hak asasi manusia internasional. Kedua, komitmen<br />

untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu juga<br />

dinyatakan dalam konteks pelanggaran HAM yang berat<br />

di Aceh melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang<br />

Pemerintah Aceh, yakni tentang pembentukan<br />

10<br />

Pengadilan HAM dan pembentukan KKR di Aceh.<br />

Ketiga, terbit UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan<br />

Saksi dan Korban, yang diantaranya juga memberikan<br />

penguatan pengaturan tentang Kompensasi dan Restitusi,<br />

termasuk hal atas bantuan medis dan rehabilitasi<br />

11<br />

psikososial kepada korban pelanggaran HAM yang berat.<br />

Dari kerangka hukum penyelesaian<br />

pelanggaran HAM masa lalu tersebut, tidak banyak<br />

kemajuan. Dari sisi pengadilan, tercatat hanya kasus<br />

pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur pada tahun<br />

1999 dan Tanjung Priok tahun 1984 yang dibawa ke<br />

pengadilan HAM ad hoc. Dari dua peradilan tersebut,<br />

pengadilan bisa dikatakan gagal memberikan keadilan<br />

kepada korban dengan gagalnya melakukan<br />

penghukuman kepada pelaku dan melakukan pemulihan<br />

12<br />

kepada korban. Hak-hak korban terkait dengan reparasi<br />

dan pemulihan tak kunjung terjadi, justru sejumlah<br />

inisiatif korban dan masyarakat sipil melalui jalur<br />

13<br />

pengadilan maupun upaya lainnya yang lebih maju.<br />

Komnas HAM sendiri, terkait dengan<br />

pelanggaran HAM masa lalu, setidaknya telah<br />

melakukan penyelidikan terhadap kasus Talangsari<br />

1989, Kasus Trisaksi, Semanggi, dan Mei 1998, dan<br />

Kasus Penghilangan Paska 1997-1998 yang sampai<br />

sekarang belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung<br />

dan Pemerintah. Kejaksaan Agung berdalih belum ada<br />

rekomendasi DPR dan masih ada berbagai hal yang<br />

14<br />

harus dilengkapi oleh Komnas HAM.<br />

Namun, alasan-alasan Kejaksaan Agung tidak<br />

konsisten. Misalnya, dalam kasus yang telah<br />

mendapatkan rekomendasi DPR untuk membentuk<br />

Pengadilan HAM ad hoc untuk Kasus Penghilangan<br />

Paksa Tahun 1997-1998, juga tidak dilaksanakan hingga<br />

saat ini. Padahal, pada 28 Oktober 2009, DPR<br />

merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk<br />

Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Penghilangan<br />

15<br />

Paksa 1997-1998.<br />

Sementara pembentukan KKR hingga kini<br />

belum jelas. Paska pembatalan UU KKR oleh MK,<br />

memang muncul inisiatif kembali untuk membentuk UU<br />

KKR melalui Kementerian Hukum dan HAM. Setelah<br />

sekian tahun draft ini dirumuskan, pada November 2010,<br />

Kementerian Hukum dan HAM akhirnya menyelesaikan<br />

Naskah Akademis dan RUU KKR, yang kemudian<br />

diserahkan kepada Presiden.<br />

RUU KKR sempat menjadi RUU prioritas dalam<br />

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011.<br />

Namun, Presiden tidak juga menyerahkan RUU KKR ke<br />

DPR untuk dibahas pada tahun 2011, dan hingga kini<br />

16<br />

tidak ada kejelasan mengenai nasib RUU tersebut.<br />

Selama tahun 2011, penyelesaian pelanggaran HAM<br />

masa lalu berjalan di tempat, dan tidak ada kebijakan<br />

17<br />

yang dihasilkan oleh Pemerintah.<br />

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan<br />

berbagai pernyataan dan komitmen Presiden Susilo<br />

06<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


laporan utama<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

Bambang Yudhoyono yang akan menyelesaian<br />

Pelanggaran HAM masa lalu. Pada bulan Mei 2011,<br />

Presiden SBY telah bertemu Komnas untuk membahas<br />

penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, dimana<br />

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Komnas HAM<br />

sepakat untuk mempercepat penyelesaian kasus-kasus<br />

pelanggaran HAM di masa lalu.<br />

Tindak lanjut dari pertemuan tersebut adalah<br />

menugaskan kepada Menko Polhukam untuk bertemu<br />

dengan Komnas HAM membicarakan lebih detil tentang<br />

18<br />

kasus masa lalu. Presiden kemudian meminta Menko-<br />

Polhukam untuk membentuk Tim Kecil penyelesaian<br />

kasus-kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu, dengan<br />

mandat kerja diantaranya untuk mencari "format terbaik<br />

19<br />

penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu”.<br />

Dalam konteks mendorong penyelesaian<br />

pelanggaran HAM masa lalu tersebut, Wantimpres<br />

bidang Hukum dan HAM juga mempunyai agenda untuk<br />

20<br />

merumuskan format penyelesaian. Sejumlah pertemuan<br />

untuk merumuskan penyelesaian pelanggaran HAM<br />

dengan berbagai pihak telah dilakukan oleh Wantimpres.<br />

Namun, hingga kini hasil akhir tentang usulan format<br />

penyelesaian tampaknya belum diselesaikan.<br />

Mencari “Format Terbaik Penyelesaian”?<br />

Konteks politik saat ini tampaknya menjadikan<br />

Pemerintah, khususnya Presiden SBY, gamang dalam<br />

melaksanakan upayanya dalam mendorong<br />

penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Kekuatiran<br />

bahwa penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bisa<br />

21<br />

menimbulkan “kegaduhan politik”, menjadikan<br />

konsensus penyelesaian yang disepakati terpinggirkan<br />

22<br />

dan memperlambat upaya-upaya penyelesaiannya.<br />

Inisiatif untuk merumuskan kembali format<br />

penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, pada satu sisi<br />

menunjukkan komitmen, namun disisi lain bisa dicurigai<br />

sebagai upaya untuk memperlambat penyelesaian. Tim di<br />

Menkopolhukam, setelah hampir setahun dibentuk tidak<br />

juga mampu merumuskan format penyelesaian. Terdapat<br />

problem mendasar dalam Tim tersebut mengenai<br />

kerangka kerja, jangka waktu kerja, dan proses<br />

perumusan. Inisiatif ini juga berpotensi menjadikan<br />

penyelesaian mendegradasi sistem hukum yang ada dan<br />

23<br />

mengkanalisasi persoalan agar bisa dimoderasi. Tim<br />

Menkopolhukam tidak begitu terbuka dalam proses<br />

penyusunan rumusan penyelesaian.<br />

Sementara inisiatif dari yang dilakukan Dewan<br />

Pertimbangan Presiden bidang hukum dan HAM justru<br />

terlihat lebih maju dan terbuka dalam perumusan<br />

konsepnya. Dalam berbagai kesempatan, Albert<br />

Hasibuan, salah satu anggota Wantimpres,<br />

menyampaikan bahwa pihaknya tengah menyusun<br />

rancangan (draft) konsep penyelesaian pelanggaran<br />

HAM berat di masa lalu, diantaranya terkait dengan<br />

proses rehabilitasi, restitusi, dan pemberian<br />

kompensasi, pembentukan sebuah badan yang<br />

menangani kasus HAM berat di masa lalu, dan batasan<br />

24<br />

yang disebut pelanggaran HAM berat.<br />

Selain itu, publik juga sempat diberi angin<br />

segar dengan adanya keinginan Presiden SBY untuk<br />

25<br />

meminta maaf. Wacana ini justru yang mendapat<br />

respon luas dari publik. Di satu sisi, banyak pihak yang<br />

mendukung langkah tersebut, namun banyak pula yang<br />

mengkritisi, khususnya mengenai konteks, landasan<br />

dan formatnya. Sejumlah usulan tentang konteks<br />

permintaan maaf Presiden juga bermunculan, dan<br />

berharap Presiden tidak hanya meminta maaf, tetapi<br />

harus dilakukan tindakan-tindakan kongkrit lainnya.<br />

Keinginan Presiden SBY untuk minta maaf<br />

perlu dilanjutkan dengan adanya dengan segera<br />

membentuk Pengadilan HAM ad hoc dan dengan<br />

menggerakkan semua institusi negara penegak hukum<br />

untuk mengusut tuntas semua pelanggaran HAM pada<br />

masa lalu, sehingga seluruh kasus pelanggaran HAM<br />

yang berat pada masa lalu dapat diselesaikan<br />

26<br />

berdasarkan hukum. Permintaan maaf juga harus<br />

dilakukan dengan adanya pengungkapan kebenaran,<br />

dimana pemulihan korban mustahil dilakukan tanpa<br />

pengungkapan kebenaran tentang peristiwa yang<br />

terjadi. Presiden tidak bisa hanya meminta maaf, tanpa<br />

jelas apa peristiwa yang menjadi alasan presiden<br />

meminta maaf, dan mengungkap kebenaran peristiwa<br />

27<br />

adalah kunci utama.<br />

Penutup<br />

Upaya atau insiatif penyelesaian pelanggaran HAM<br />

masa lalu, pada satu sisi perlu diapresiasi, namun pada<br />

sisi lain harus diletakkan kembali dalam “jalur” yang<br />

sebenarnya. Meski upaya penyelesaian dilakukan<br />

dalam berbagai konteks dan tujuan yang berbeda-beda,<br />

misalnya kepentingan sebagai bangsa di masa depan,<br />

tujuan utama penyelesaian adalah untuk melaksanakan<br />

kewajiban negara berdasarkan konstitusi dan hukum<br />

HAM internasional terkait dengan pelanggaran HAM<br />

yang telah terjadi. Kewajiban negara itu diantaranya<br />

memberikan hak-hak korban yang mencakup hak atas<br />

kebenaran (the right to know the truth), hak atas<br />

keadilan (the right to justice), maupun hak atas<br />

pemulihan (the rights to reparations).<br />

Pilihan atas berbagai jalur penyelesaian, atau<br />

pentahapan proses penyelesaian tampaknya harus<br />

dirumuskan secara lebih serius, untuk mampu<br />

menerobos kebuntuan yang selama ini terjadi. Pilihan<br />

atas pembentukan komite/badan khusus dengan<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

07


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

kebijakan Presiden, dapat dilakukan dalam konteks<br />

membuka ruang pengungkapan kebenaran, atau<br />

mempercepat proses-proses penyelesaian pelanggaran<br />

HAM masa lalu. Dalam pengalaman sejumlah negara<br />

yang menghadapi masalah pelanggaran HAM masa lalu<br />

dan mengalami transisi, pengungkapan kebenaran tidak<br />

jarang dilakukan berlandaskan pada kebijakan<br />

kepresidenan.<br />

Dalam konteks upaya untuk meminta maaf oleh<br />

Pemerintah, upaya ini bisa dilakukan dengan landasan<br />

yang jelas, terkait dengan permintaan maaf dalam<br />

konteks apa, untuk siapa, dan dalam kasus mana saja.<br />

Meski permintaan secara umum dimungkinkan, hal ini<br />

tetap memerlukan kejelasan tentang apa yang terjadi di<br />

masa lalu, kenapa terjadi, dan apa dampaknya terhadap<br />

korban sehingga negara harus meminta maaf. Hal<br />

tersebut dimaksudkan agar permintaan maaf tersebut<br />

mempunyai dampak pembelajaran kepada bangsa<br />

bahwa yang terjadi di masa lalu merupakan kesalahan<br />

dan tidak boleh terulang.<br />

Berbagai harapan korban harus menjadi<br />

landasan utama dalam merumuskan kebijakan yang<br />

hendak disusun. Kondisi korban yang saat ini semakin<br />

sedikit karena meninggal dunia dan sebagainya, harus<br />

menjadi pertimbangan tentang kepastian jangka waktu<br />

penyelesaian perumusan. Terus tertundanya<br />

penyelesaian konsep, yang berimplikasi pada<br />

penundaan pelaksanaannya, akan kembali mengulangi<br />

pengabaian negara atas pelanggaran HAM yang terjadi,<br />

dan menghilangkan kesempatan negara untuk<br />

melakukan koreksi atas kesalahan masa lalu.<br />

Keterangan<br />

1. Lihat Ketetapan MPR No. V/2000.<br />

2. Lihat pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26/2000. Untuk melengkapi landasan<br />

hukum pengadilan HAM, pada tahun 2002, pemerintah menerbitkan 2<br />

Peraturan Pemerintah (PP); 1) PP No. 2/2002 tentang Tata Cara<br />

Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM yang Berat<br />

dan PP No. 3/2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi<br />

terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat.<br />

3. Lihat Pasal 43 UU No. 26/2000.<br />

4. Lihat Pasal 47 UU No. 26/2000.<br />

5. Lihat Pasal 44 UU No. 21/2001.<br />

6. Tercatat dalam pembahasan RUU KKR ini, DPR mengundang sekitar<br />

50 pihak baik organisasi mapun individu untuk memberikan pandangan<br />

tentang KKR. Lihat Progress Report, “Pembentukan Komisi<br />

Kebenaran dan Rekonsiliasi”, ELSAM, 27 Januari 2006.<br />

7. Sejumlah organisasi masyarakat sipil memandang ada kelemahan<br />

dalam UU KKR, yakni kurang sesuai dengan prinsip-prinsip<br />

berdasarkan hukum HAM internasional.<br />

8. Lihat Progress Report, “Pandangan <strong>Elsam</strong> atas Pembentukan KKR<br />

Terlambat Dua Tahun; Penundaan Pembentukan KKR: Pengingkaran<br />

atas Platform Nasional dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM di<br />

Masa Lalu”, ELSAM, 2006.<br />

9. Lebih lengkap tentang argumen MK dan respon ELSAM atas<br />

keputusan tersebut bisa dilihat di Briefing Paper, “Making Human<br />

Rights A Constitutional Rights, A Critique of Constitutional Court's<br />

Decision on the Judicial Review of the Truth and Reconciliation<br />

Commission Act and Its Implication for Settling Past Human Rights<br />

Abuses”, ELSAM, 2007.<br />

10. Lihat pasal 228 dan 229 UU No.11/2006.<br />

11. Lihat pasal 5 dan pasal 7 UU No. 13/2006. Kemudian juga muncul PP<br />

No. 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan<br />

Kepada Saksi dan Korban.<br />

12. Analisis terhadap hasil pengadilan perkara Timor-Timur dapat dilihat<br />

dalam Laporan David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad<br />

Hoc Human Rights Court in Jakarta, ICTJ, July, 2004. Lihat juga laporan<br />

yang berjudul “unfilfiled Promises, Achieving Justice for Crimes Against<br />

Humanity in East Timor”, Open Society Justice Initiative dan Coalition<br />

for International Justice (OIJ), November 2004. <strong>Elsam</strong> juga telah<br />

menerbitkan sejumlah laporan tematik tentang pengadilan HAM adhoc<br />

untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok, selengkapnya bisa dilihat<br />

di www.elsam.or.id. Lihat juga laporan “Pengadilan Yang Melupakan<br />

Korban”, Laporan Pemantauan, Kelompok Kerja Pemantau,<br />

Pengadilan Hak <strong>Asasi</strong> Manusia , <strong>Elsam</strong> KontraS PBHI, 24 Agustus<br />

2006.<br />

13. Lihat catatan <strong>Elsam</strong>, “Pemetaan Singkat Kebijakan Reparasi dan<br />

Implementasinya di Indonesia”, 3 Oktober 2011.<br />

14. Mengenai perdebatan tentang Pembentukan Pengadilan HAM dapat<br />

dilihat dalam Jurnal Dignitas, “HAM dan Realitas Transisional”, <strong>Elsam</strong>,<br />

2011.<br />

15. Terdapat 4 rekomendasi dari DPR yaitu yaitu pembentukan Pengadilan<br />

HAM ad hoc untuk menangani kasus orang hilang, memberikan<br />

kompensasi kepada keluarga korban, pencarian 13 orang hilang yang<br />

belum ditemukan dan ratifikasi Konvensi HAM PBB tentang<br />

penghilangan orang secara paksa. Lihat juga Kertas Posisi Keadilan<br />

Transisional, “Menyangkal Kebenaran, Menunda Keadilan:<br />

Berlanjutnya Penyangkalan Negara atas Hak-Hak Korban, Mandegnya<br />

Penuntasan Kasus Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-<br />

1998”, <strong>Elsam</strong>, 17 Februari 2011.<br />

16. Lihat Bulletin <strong>Asasi</strong> dalam Edisi “Tentang Masa Lalu”, dalam Artikel<br />

“Memetakan Dukungan Politik Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa<br />

Lalu”, <strong>Elsam</strong>, <strong>Maret</strong><strong>April</strong> 2011.<br />

17. Lihat Laporan HAM <strong>Elsam</strong> tentang Kondisi HAM Tahun 2011, “Menuju<br />

Titik Nadir Perlindungan HAM”, Desember 2011.<br />

18. Antaranews.com., “Presiden dan Komnas Percepat Penyelesaian<br />

Kasus HAM”, Jumat, 13 Mei 2011 12:48 WIB. Sumber :<br />

http://www.antaranews.com/berita/1305265699/presiden-dankomnas-percepat-penyelesaian-kasus-ham.<br />

19. Lihat Siaran Pers, “Mempertanyakan Kemampuan Menkopolhukam<br />

dalam Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat”, KontraS, 23<br />

Februari 2012.<br />

20. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu merupakan salah fokus<br />

yang akan dirumuskan oleh Wantimpres bidang Hukum dan HAM yang<br />

akan disampaikan kepada Presiden SBY. Lihat<br />

www.medanbisnisdaily.com., “Albert Hasibuan Gantikan Jimly di<br />

Watimpres”, 11 Jan 2012. Sumber: http://www.medanbisnisdaily<br />

.com/news/read/2012/01/11/75665/albert_hasibuan_gantikan_jimly_<br />

di_watimpres/#.T7YHVNOgSuI.<br />

21. Vivanews.com, “Menteri HAM: Usut Orang Hilang, Politik Gaduh”,<br />

Rabu, 12 Mei 2010. Sumber: http://nasional.vivanews.com/<br />

news/read/150623-usut_kasus_orang_hilang_bisa_gaduhkan_politik.<br />

22. Lihat Kertas Posisi Keadilan Transisional, “Menyangkal Kebenaran,<br />

Menunda Keadilan: Berlanjutnya Penyangkalan Negara atas Hak-Hak<br />

Korban, Mandegnya Penuntasan Kasus Penghilangan Orang secara<br />

Paksa Periode 1997-1998”, <strong>Elsam</strong>, 17 Februari 2011.<br />

23. Lihat Laporan HAM Kontras, “Compang-Camping Hak <strong>Asasi</strong><br />

Sepanjang 2011”, Kontras, 2012.<br />

24 www. Tempo.co., “Badan Kasus HAM Berat Segera Dibentuk”, Kamis,<br />

26 <strong>April</strong> 2012 | 01:16 WIB. Sumber: http://www.tempo.co/read/news<br />

/2012/04/26/063399781/Badan-Kasus-HAM-Berat-Segera-Dibentuk.<br />

25. www.hukumonline.com., “SBY Bersedia Minta Maaf”, Kamis, 26 <strong>April</strong><br />

2012. Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/<br />

baca/lt4f98c115c6c91/sby-bersedia-minta-maaf.<br />

26. www.tempo.co., “Minta Maaf Presiden Perlu Berlanjut Tindakan<br />

Konkret”, Kamis, 26 <strong>April</strong> 2012 | 23:49 WIB. Sumber:<br />

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/26/063400054/Minta-Maaf-<br />

Presiden-Perlu-Berlanjut-Tindakan-Konkret.<br />

27. www.setara-institute.org., “Permintaan Maaf Harus Didahului<br />

Pengungkapan Kebenaran”, 25-04-2012. Sumber: http://setarainstitute.org/en/content/permintaan-maaf-harus-didahuluipengungkapan-kebenaran<br />

08<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

Kembang dan Tembang untuk Korban<br />

Oleh Ester Rini Pratsnawati<br />

(Staf Senior Pelaksana Program Bidang Pengembangan Jaringan)<br />

laporan utama<br />

Lila tukekeng praloyo<br />

Mangka tumbal mbenjang raharjaning nagri<br />

Turta katha cacahipun<br />

Tan kaprah mungguhing jalma<br />

Pinitenah tan cetha dununging luput<br />

Baya karsaning jawata<br />

Panengraning jaman sisip<br />

Samangkya wus katon cetha<br />

Saya ardha ngrembaka kang lampah sisip<br />

Kawula sru sambatipun<br />

Rinegem hing dubriksa<br />

Mung kanistan myangkara murka kang thukul<br />

Sirna utamaning jalma<br />

Duh sukma welasaona mami<br />

Yata ingkang mungguhing swarga<br />

Para suksma tinompo ngarseng hyang widi<br />

Suka tyasing jawata gung<br />

Samya sinung sugata<br />

Katrimo kinadaton swarga gung<br />

Mbenjang tumrun ngarcapada<br />

Akarnya hayuning nagri<br />

Bait-bait gending di atas menceritakan para<br />

korban tragedi kemanusiaan 1965.<br />

Terjemahannya kurang lebih seperti ini:<br />

dengan rasa ikhlas menemui ajalnya,<br />

mereka menjadi korban untuk kemakmuran negeri di<br />

masa depan, mereka sangat banyak jumlahnya,<br />

mereka adalah korban rekayasa dan tidak jelas apa<br />

kesalahannya, atau mungkin ini sudah menjadi<br />

kehendak Tuhan, sebagai pertanda dimulainya jaman<br />

kegelapan.<br />

Sekarang sudah jelas kelihatan, makin kuat<br />

bertumbuhnya perilaku-perilaku kikir, masyarkat<br />

mengaduh mengerikan, dikuasai oleh jiwa-jiwa<br />

tamak, hanya kekikiran dan kemurkaan yang tumbuh<br />

pesat, musnah sudah budi pekerja baik manusia, Ya<br />

Tuhan kasihanilah kami.<br />

Syahdan yang berada di surga, para arwaharwah<br />

diterima di hadirat Tuhan, sangatlah senang<br />

hati Tuhan, dikabulkan apa yang menjadi<br />

permintaannya, diterima dan ditempatkan di surga,<br />

besuk ketika kembali ke dunia, akan mampu<br />

menyelamatkan negara ini.<br />

Empat puluh tahun bukan waktu yang pendek<br />

untuk sebuah penantian. Bagi korban kemanusiaan<br />

tahun 1965, waktu penantian tersebut dapat mereka<br />

gunakan untuk menunjukkan bakti seorang anak<br />

kepada orang tuanya, istri kepada suami, cinta cucu<br />

kepada nenek atau kakeknya, dan kepada orangorang<br />

yang mereka cintai.<br />

Tapi bagi korban, waktu empat dekade itu<br />

berarti waktu ketidakjelasan mengenai keberadaan<br />

anggota keluarga mereka yang hilang. Mereka<br />

menggunakan masa penantian dengan terus<br />

menagih janji Pemerintah untuk mengungkap<br />

kejahatan, sembari merawat memori dengan metode<br />

apapun.<br />

Para keluarga korban yang tinggal di sekitar<br />

Solo punya cara sendiri untuk mengenang hilangnya<br />

keluarga mereka akibat dituduh menjadi simpatisan<br />

Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka membentuk<br />

paguyuban keluarga korban. Pada 2 Oktober 2005,<br />

mereka mengadakan upacara sandranan di Kreteg<br />

Bacem, yang terletak di Selatan Kota Solo, Grogol,<br />

Sukoharjo. Kreteg dalam Bahasa Indonesia berarti<br />

jembatan yang melintang di atas sungai.<br />

Sadranan berlangsung sehari pada bulan<br />

Ruwah, satu bulan sebelum datangnya bulan puasa<br />

dalam sistem kalender Jawa. Bagi masyarakat Jawa,<br />

tradisi sadranan adalah saat keluarga-keluarga<br />

mengingat leluhur yang telah meninggal, saat yang<br />

tepat untuk mengirim doa, menabur bunga dan<br />

menunjukkan bakti dan cintanya untuk orang tua,<br />

sanak kerabat yang telah tiada. Biasanya sebelum<br />

pergi ke makam, masyarakat setempat mengadakan<br />

kenduri, membuat nasi ketan, kolak pisang dan ketela<br />

rambat, serta kue apem untuk dibagi-bagikan kepada<br />

sanak keluarga dan para tetangga dekat.<br />

Bagi warga Solo, Kreteg Bacem merupakan<br />

tempat bersejarah bagi keluarga yang anggota<br />

keluarganya hilang sejak Oktober 1965 dan sampai<br />

sekarang belum kembali. Di atas Sungai Bacem inilah<br />

empat puluh tujuh tahun yang lalu orang-orang PKI,<br />

atau orang yang dituduh PKI, dibunuh dan mayatnya<br />

dibuang di sungai itu.<br />

Salah seorang saksi sejarah tempat<br />

pembuangan mayat di Kreteg Bacem adalah Pak<br />

Bibit. Dia tinggal tak jauh dari jembatan itu. Pak Bibit<br />

ingat betul hampir tiap malam bunyi letusan pistol<br />

terus menyalak. Waktu eksekusi biasanya mulai<br />

tengah malam, selama tiga jam. Bahkan kata Pak<br />

Bibit, seringkali bunyi senjata menyalak tak berhenti<br />

sejak malam hingga subuh. Itu terjadi selama dua<br />

tahun, 1966-1967.<br />

Menurut Pak Bibit, banyaknya letusan pistol<br />

menandakan jumlah orang yang dibunuh. Jika pistol<br />

menyalak lima kali, berarti lima orang yang dibunuh.<br />

Bila letusan berbunyi puluhan kali, itu artinya puluhan<br />

Komunis telah dibunuh. Pak Bibit mengaku bahwa dia<br />

sering diajak oleh para Hanra untuk menyaksikan<br />

warga dieksekusi tentara dan gerombolan terorganisir<br />

anti-PKI. Hanya saja dia enggan. Dirinya merasa miris<br />

menyaksikan rakyat dibantai seperti itu.<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

09


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

organisasi persatuan kepala desa yang berada di<br />

bawah PKI. Lurah tersebut adalah ketua<br />

organisasinya. Dia lalu dikejar-kejar oleh aparat dan<br />

tentara karena dituding terlibat dalam PKI. Dia<br />

sempat menyelamatkan diri dan bersembunyi.<br />

Pada suatu hari sang lurah pulang rumah.<br />

Istrinya menyarankan supaya dia menyerahkan diri<br />

saja. Lurah itu pun menuruti saran istrinya walau<br />

mereka tahu bahwa tidak ada kejelasan nasib setelah<br />

itu. Dia kemudian mendatangi kecamatan untuk<br />

menyerahkan diri. Sejak saat itu lurah tersebut tak<br />

kunjung kembali.<br />

Dalam upacara sadranan, Mbah Lurah<br />

datang dengan dengan dandanan yang gandes,<br />

memakai kain jarit, berkebaya hitam, dengan<br />

selendang di pundaknya. Mbah Lurah datang<br />

bersama anak perempuan serta adik perempuannya<br />

yang suaminya juga hilang.<br />

Dalam kesempatan sadranan, anak<br />

perempuan Mbah Lurah menulis sebuah surat untuk<br />

bapaknya. Surat itu dihanyutkan bersama dengan<br />

surat-surat yang lainnya.<br />

Sumber: langit perempuan.com<br />

Pernah sekali waktu Pak Bibit dengan terpaksa<br />

menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan di<br />

Sungai Bacem itu. Ceritanya, pada suatu pagi buta<br />

seperti biasa, dengan membawa gerobak kuda,<br />

dirinya melintasi Kreteg Bacem hendak membeli<br />

bekatul. Tepat di ujung jembatan telah berdiri dua<br />

orang bertubuh kecil, berambut gondrong,<br />

berpakaian loreng dengan tanda 'Siaga' dililitkan di<br />

pangkal lengan, menghentikan lajunya.<br />

Kedua orang itu lantas memaksa Pak Bibit<br />

untuk menghanyutkan mayat-mayat yang tersangkut<br />

rerumputan liar dan kotoran di tepian sungai. Supaya<br />

bila hari telah siang, tidak ada orang yang melihat<br />

mayat-mayat itu teronggok, seolah tidak terjadi<br />

pembunuhan di situ. Jika Pak Bibit menolak, maka<br />

dua orang bersenjata itu akan membunuhnya.<br />

Sebagaimana diungkapkan dalam buku<br />

Kidung untuk Korban, keterpaksaan Pak Bibit kelak<br />

menimpanya berulang kali. Dia sering dipaksa<br />

melakukan korve menghanyutkan mayat-mayat di<br />

sekitar Kreteg Bacem pada hari-hari berikutnya. Hal<br />

sama ternyata juga menimpa warga lain, seakan<br />

menghanyutkan mayat telah menjadi prasyarat bagi<br />

setiap orang yang hendak melintasi jembatan pada<br />

pagi buta.<br />

Salah satu warga yang jasadnya diduga<br />

dibuang di Kreteg Bacem adalah seorang lurah<br />

setempat. Istrinya akrab disebut Mbah Lurah.<br />

Sebelum terjadi pembunuhan massal sekitar Oktober<br />

1965, kepala desa setempat bergabung dalam<br />

Pak, ini saya anakmu datang bersama dengan<br />

simbok istrimu dan cucu-cucumu datang kesini<br />

untuk menunjukkan cinta kami kepada mu.<br />

Pak, semoga arwah bapak diterima di sisi<br />

Tuhan, kami anak dan cucumu akan<br />

meneruskan perjuanganmu. Dari istri, anak<br />

dan cucu-cucumu.<br />

Acara sandranan ini tidak hanya melibatkan<br />

keluarga korban tapi juga masyarakat setempat.<br />

Mereka membantu panitia dengan membersihkan<br />

tempat untuk upacara, mempersiapkan tempat parkir<br />

kendaraan, membuat teh untuk ibu-ibu yang akan<br />

menyadran.<br />

Sadranan dipimpin oleh Ki Dalang Sri Joko<br />

Raharjo. Acara diawali dengan sambutan dari<br />

Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) dan pesan<br />

perdamaian oleh Rm. Mardi dan Imam Aziz dari<br />

Syarikat Indonesia, lalu dibuka dengan suluk oleh Ki<br />

dalang Sri Joko Raharjo, yang dilanjutkan dengan<br />

gending ladrang layung-layung. Gending ini adalah<br />

gending untuk orang yang telah meninggal.<br />

Setelah gending ladrang, disusul dengan<br />

gending dudo kasmaran, gending mijil layu-layu dan<br />

diteruskan dengan gending ayak-ayakan tluntur.<br />

Sementara gending mengalun, sebuah gethek yang<br />

ditumpangi dua orang datang dari arah barat. Gethek<br />

perlahan mendekat bekas jembatan lama. Ibu-ibu<br />

keluarga korban menaburkan bunga dari atas<br />

jembatan, perlahan hingga gethek tiba persis di<br />

bawah jembatan bunga kembang setaman<br />

berhamburan ditaburkan, segera setelah itu iweniwen<br />

berupa ikan lele dan burung.<br />

Pelepasan ikan lele dan burung itu<br />

merupakan simbol pertanda pembebasan.<br />

10<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

laporan utama<br />

Lika-Liku Ingatan dan Modal Sosial<br />

Taman 65<br />

Oleh Gde Putra<br />

(Penulis Lepas, Aktif di Komunitas Taman 65)<br />

Rumah tua itu terhitung luas, ukurannya<br />

barangkali sekitar 6x6 meter. Ia terletak di<br />

sebuah lahan kosong, di pinggiran<br />

Denpasar, Bali. Bangunan rumah ini<br />

sepintas mirip komplek perumahan dengan benteng<br />

tembok melingkar sebagai penyekatnya. Sejatinya,<br />

banyak keluarga tinggal dalam rumah yang mereka<br />

namai Taman 65 itu.<br />

Sejarah kelam tragedi<br />

pembunuhan orang-orang<br />

yang dituduh PKI pada akhir<br />

1965 menjadi noktah bagi<br />

rumah tua dan penghuninya.<br />

Pada kenyataannya memang<br />

ada anggota keluarga yang<br />

dihilangkan di sini. Itu sebabnya<br />

orang-orang yang tinggal dan,<br />

terutama anak-anak muda<br />

yang sering berkunjung ke<br />

Taman 65, sangat antusias<br />

membicarakan tragedi itu.<br />

Orang-orang yang datang ke rumah tua sangat<br />

beragam mulai dari mahasiswa, seniman, aktivis, ibu<br />

rumah tangga, pegawai konter handphone, hingga<br />

anak-anak ingusan pun ikut nimbrung jika kebetulan<br />

lewat. Suasana perhelatan di Taman 65 yang khas<br />

rumahan membuat banyak komunitas dan NGO ingin<br />

menggelar “hajat” di sana. Mereka membuat<br />

bermacam kegiatan, semisal diskusi kerusakan<br />

lingkungan, LGBT, pencegahan HIV/AIDS sampai<br />

bedah lirik, film dan buku. Bahkan Taman 65 pernah<br />

menjadi tempat pentas teater anak dan “konser”<br />

heboh kaum waria.<br />

Suasana cair dan informal dalam rumah<br />

membuat sejumlah pihak yang masih menyimpan<br />

trauma, sedikit demi sedikit mulai berani bergabung.<br />

Memang tidak semua pihak yang traumatik hadir di<br />

rumah tua. Sebagian masih antipati.<br />

Hadirnya anggota keluarga yang trauma adalah<br />

pertanda bahwa sekat-sekat teror dan diskriminasi<br />

negara tidak sepenuhnya kokoh. Negara yang<br />

sepantasnya berfungsi sebagai pengayom warga<br />

ternyata masih cuek di era reformasi ini. Warga<br />

negara yang hidup dalam beban kekerasan masa lalu<br />

merasa sendiri dan kecil karena tidak dilindungi.<br />

Dalam konteks ketidakhadiran pengayom ini, maka<br />

Taman 65 sebagai modal sosial sangat penting untuk<br />

menciptakan rasa percaya diri bahwa ada orang<br />

banyak di sisi mereka yang peduli.<br />

Taman 65 diciptakan sebagai sebuah melting<br />

pot sekaligus situs pengingat tragedi masa lalu.<br />

Rumah ini menjadi ruang pertemuan banyak orang<br />

untuk berdiskusi atau sekedar mengobrol santai. Ia<br />

sendiri didirikan sejak awal tahun 2005. Ide awal<br />

berdirinya Taman 65 muncul dari keresahan<br />

beberapa anak muda di rumah tua itu untuk ingin tahu<br />

dan belajar tentang sejarah Gestok.<br />

Selama ini anak-anak<br />

Dok poto: Putra Bagus<br />

muda hanya mendengar cerita<br />

pedih masa lalu yang menimpa<br />

keluarga pada saat tragedi itu<br />

dari gosip ibu-ibu saat membuat<br />

sesajen, atau saat bapak-bapak<br />

gotong-royong membersihkan<br />

area pura. Anak muda yang<br />

bergairah ini mencurigai sejarah<br />

versi negara sebagai proyek<br />

rekayasa. Kecurigaan itulah<br />

yang membuat mereka ingin<br />

menyelaminya.<br />

Tentu saja “berburu” kisah masa lalu keluarga<br />

tidaklah mudah karena berbenturan dengan trauma<br />

para saksi mata dan survivor. Beberapa dari mereka<br />

lebih nyaman mengumbar kisah dalam ruang<br />

tersembunyi, di pinggir jauh yang sepi dari khalayak.<br />

Selain alasan sulit bertutur karena alasan trauma<br />

atau takut akan akibat politis dari tutur, anak-anak<br />

muda ini juga mendapatkan hambatan lainnya<br />

berupa kebiasaan umum cara berbahasa di rumah<br />

itu. Mereka enggan berbicara dalam bahasa<br />

Indonesia.<br />

Taman 65 adalah rumah, bukan bale desa atau<br />

auditorium kampus yang identik sebagai tempat<br />

diskusi secara serius. Menghadirkan suasana<br />

“kampus” di dalam rumah tentu tak elok dengan cara<br />

bertutur rumahan yang lebih santai, informal, tak<br />

berbahasa Indonesia, dan tidak perlu canggih<br />

mengumbar kata. Apalagi bagi kaum perempuan<br />

tentu semakin sulit karena di Bali laki-lakilah yang<br />

diberikan “amanat” sebagai penutur.<br />

Namun, anak- anak muda tidak kehilangan<br />

akal. Beberapa strategi pun diciptakan untuk<br />

menembus hambatan. Pernah di akhir tahun 2005<br />

komunitas ini mengadakan acara pameran foto<br />

bertemakan sejarah keluarga. Anak muda di<br />

komunitas ini sibuk berburu foto-foto keluarga di<br />

masa lalu untuk dipamerkan di Taman 65. Para tetua,<br />

sepupu, keponakan dan para kerabat diundang untuk<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

11


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

laporan utama<br />

Salah satu kegiatan yang dilakukan Taman 65 adalah diskusi Sumber: Putra Bagus<br />

hadir. Di antara gambar berbingkai itu terdapat orangorang<br />

yang hilang pada masa gelap tragedi 1965.<br />

Jelas saja foto-foto itu mengundang pertanyaan<br />

karena banyak generasi baru yang tidak tahu siapa<br />

mereka. Suasana dibuat begitu cair bernuansa<br />

kekeluargaan. Tidak ada diskusi dan orang yang<br />

diundang memang khusus keluarga dan kerabat.<br />

Suasana dibiarkan berjalan apa adanya sehingga<br />

bertutur tentang masa lalu pun terasa nyaman walau ada<br />

yang bercerita dengan berbisikkarena masih trauma.<br />

Para survivor tragedi 1965 dari luar rumah juga<br />

kerapkali diundang dalam beberapa acara diskusi<br />

untuk bercurhat tentang masa lalu. Kawan-kawan<br />

tongkrongan yang kesehariannya sibuk sebagai<br />

musisi kadang ikut mengisi acara sebagai penghibur<br />

telinga sebelum atau sesudah acara agar suasana<br />

tenang dan nyaman. Para penggemar kadang ikut<br />

datang ke arena perhelatan. Walaupun tujuannya<br />

untuk melihat band idolanya, tetapi tidak sedikit di<br />

antara mereka ikut asik menikmati diskusi.<br />

Kawan-kawan pelukis juga sering terlibat<br />

dengan menjadikan Taman 65 sebagai ruang pamer<br />

di saat ajang “curhat” tragedi 65 digelar. Suasana<br />

Taman 65 terlihat ramai penuh warna bak pasar<br />

malam dan jauh dari kesan formal. Bau apek keringat,<br />

semerbak parfum, hingga bau arak menyayat<br />

bercampur dalam satu ruang.<br />

Pertemuan di rumah tua itu tak selamanya<br />

berjalan tenang.Ada kalanya pertemuan berlangsung<br />

tegang, seperti terjadi pada suatu senja di<br />

pertengahan tahun 2005. Saat itu, pertemuan yang<br />

biasanya mengalir, agaknya mulai memanas.<br />

Suasana urun rembug terasa semakin menghangat.<br />

Nada suara para hadirin mulai meninggi dalam<br />

mengajukan pertanyaan, gagasan maupun<br />

sanggahan.<br />

Pokok soalnya adalah masih ada sejumlah pihak<br />

yang resisten. Sebagian keluarga menyangsikan<br />

sepak-terjang kebiasaan anak muda dalam komunitas<br />

ini yang mendiskusikan sejarah gelap masa lalu<br />

bangsa Indonesia. Pengungkitan sejarah masa lalu<br />

oleh anak-anak muda justru ditakutkan dapat<br />

berimbas pada mereka yang memilih untuk<br />

melupakan. Sebab mereka menilai negara sampai<br />

hari ini belum menampakkan sisi ramahnya kepada<br />

para korban. Alasan lain, mereka kuatir pengungkitan<br />

masa lalu dapat mengganggu kemapanan mereka<br />

sekarang.<br />

Akan tetapi, bagi pihak yang resah, persoalan<br />

tragedi 1965 dianggap sudah beres, tuntas, dan<br />

selesai. Supaya tidak terulang, menurut golongan ini,<br />

maka kejahatan masa lalu tak perlu diingat. Mengingat<br />

menjadi tidak “produktif” karena bisa mengganggu<br />

stabilitas keluarga yang sudah mapan paskatragedi.<br />

Bagi mereka, kenyamanan dan ketenangan hidup hari<br />

ini jauh lebih penting daripada sibuk mengurus masa<br />

lalu nan gelap. Mengusik tragedi masa lalu sangatlah<br />

riskan terhadap keselamatan keluarga karena negara<br />

masih tak ramah kepada keluarga korban.<br />

Memang tidak mudah untuk menciptakan<br />

kesepakatan. Kompromi pada akhirnya menjadi jalan<br />

keluar. Masing-masing pihak sama-sama punya<br />

alasan pembenar, sehingga tidak mau mengusik dan<br />

acuh terhadap aktivitas masing-masing.<br />

Terlepas dari kelemahan-kelemahannya yang ada,<br />

modal sosial yang telah terbangun sangat berguna<br />

karena bisa menjadi benang merah penyambung<br />

bahwa sekalipun berbeda-beda, meski pada<br />

dasarnya mereka senasib. Sama-sama mengalami<br />

diskriminasi. Persoalan tragedi 1965, kerusakan<br />

lingkungan, sensor seni, atau diskriminasi terhadap<br />

kaum waria adalah “senasib” yang muncul dari<br />

ketidakadilan negara.<br />

Cerita-cerita pedih dengan berbagai macam<br />

tema ini disebarkan kepada khalayak yang beragam<br />

agar sekat-sekat “kami” dan “mereka” bisa lebur tak<br />

terpecah, sehingga melawan lupa adalah persoalan<br />

kita bersama. Taman 65 adalah jembatan yang<br />

mempertemukan berbagai ingatan untuk didengar<br />

dan dibagi, semoga bertahan dan tidak roboh.<br />

Sebuah kehadiran di ruang terbuka saja bisa jadi<br />

sebuah prestasi melihat berlikunya jalan untuk tampil.<br />

Sebab kepedulian khalayak membuat mereka merasa<br />

tidak sendiri lagi. Pro-kontra masih berjalan hingga<br />

kini, tetapi Taman 65 masih tegak berdiri karena<br />

pihak keluarga yang mendukung kukuh dan merasa<br />

berhak untuk tahu serta belajar mengenai kisah<br />

masa lalu itu.<br />

12<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

Ketika Walikota Minta Maaf Kepada Korban<br />

Oleh Nurlela AK. Lamasitudju<br />

( Sekjend SKP-HAM Sulawesi Tengah)<br />

laporan utama<br />

Pengakuan negara atas peristiwa pelanggaran<br />

HAM masa lalu menjadi buluh perindu bagi<br />

korban pelanggaran HAM. Jalan menuju<br />

pengakuan itu terasa begitu panjang nan berliku<br />

jika menoleh kembali rangkaian agenda advokasi, lobi,<br />

kampanye yang menjadi nadi dari perjuangan organisasi<br />

korban dan organisasi HAM di Indonesia paskareformasi<br />

1<br />

di negara ini.<br />

Sikap negara yang terasa begitu jauh dari<br />

keberpihakan pada korban ini selayaknya dilihat seperti<br />

gunung es yang walaupun begitu keras dan kuatnya,<br />

suatu saat dan secara perlahan akan mencair. Karena itu<br />

dibutuhkan strategi yang bijak untuk memecah kebekuan,<br />

mulai dari apa yang kita pikirkan tentang tujuan dan jalan<br />

yang akan ditempuh menggapai tujuan itu.<br />

Beberapa langkah pernah ditapaki Solidaritas<br />

Korban Pelanggaran Hak <strong>Asasi</strong> Manusia (SKP-HAM)<br />

Sulawesi Tengah, dengan berangkat dari tujuan untuk<br />

mendapatkan pengakuan pemerintah daerah.<br />

Semuanya adalah pekerjaan domestik yang biasa kita<br />

lakukan.<br />

Pengorganisasian<br />

Sebagai sebuah organisasi masyarakat, SKP-<br />

HAM Sulawesi Tengah menjadi wadah berkumpul korban<br />

dan keluarga korban pelanggaran HAM lintas kasus.<br />

2<br />

Dalam perjalanan tujuh tahun berdiri, kami memberikan<br />

prioritas pada pendampingan kasus 1965. Pilihan ini<br />

diambil karena korban pelanggaran HAM dari lintas<br />

kasus yang lain seperti korban konflik Poso, petani<br />

korban, korban tambang dan lainnya, sudah<br />

mendapatkan pendampingan dari bermacam-macam<br />

ormas maupun LSM lokal dan nasional.<br />

Dalam tahapan pengorganisasian ini hal<br />

terpenting yang menjadi dasar adalah kerja penguatan<br />

korban. Rangkaian proses yang mestinya dilalui adalah<br />

bagaimana membuat korban merasa aman dan nyaman<br />

untuk membagi pengalaman terburuk dalam hidupnya<br />

menjadi sesuatu yang berguna bagi perjalanan bangsa<br />

dalam menghargai sejarah, sehingga kejahatan<br />

pelanggaran HAM yang sama tidak akan terulang<br />

kembali di masa yang akan datang.<br />

Sering kita menemukan kendala korban dalam<br />

keadaan trauma berkepanjangan yang membuatnya<br />

menolak mengakui dia adalah korban. Rasa frustasi<br />

sebagai korban yang mendapatkan stigma sepanjang<br />

hidup telah mengikis rasa percaya diri. Hal seperti ini bisa<br />

saja disebabkan oleh kurangnya informasi yang<br />

diketahui para korban terkait perubahan rezim yang tidak<br />

lagi sama seperti zaman Orde Baru yang monolitik.<br />

Untuk menggapai hal itu kita harus keluar dari<br />

tekanan tuntutan pembuktian tentang siapa yang benar<br />

dan siapa yang salah dalam peristiwa G30S. Hal ini<br />

didasari kenyataan bahwa sudah begitu banyak korban<br />

yang telah meninggal dunia, kebenaran informasi<br />

tentang peristiwa tersebut yang lama terkekang hingga<br />

sekarang, serta tidak adanya peradilan terhadap kasus<br />

itu. Hal yang sama juga terjadi pada pelaku dan saksi.<br />

Situasi ini yang membuat kasus 1965 menjadi sedikit<br />

berbeda dari pelanggaran HAM lainnya di negara ini.<br />

Arah advokasi baiknya menyasar pada pintu<br />

keadilan transisi lainnya. Jika berangkat dari apa yang<br />

dimiliki, maka kekayaan korban adalah kebenaran dari<br />

peristiwa pelanggaran HAM yang dialami dimasa lalu.<br />

Karena itu mendorong pintu kebenaran adalah upaya<br />

paling mudah dan memungkinkan untuk dilakukan.<br />

Setelah menyepakati dasar perjuangan,<br />

tahapan berikutnya adalah menggali harapan dan<br />

kebutuhan korban, mendiskusikan tentang situasi<br />

perkembangan penegakan HAM di tingkat nasional.<br />

Tidak lupa melihat peluang yang bisa didapatkan di<br />

tingkat daerah. Semua tahapan demi tahapan ini<br />

terangkum dalam agenda pertemuan reguler setiap<br />

bulan yang kami kemas dalam kegiatan diskusi<br />

kampung. Sesuai dengan namanya, pelaksanaan<br />

kegiatan ini pun bertempat di kampung/desa/kelurahan.<br />

Setelah tahapan penguatan korban teratasi,<br />

selanjutnya bagaimana membuat pemerintah desa atau<br />

ngata peduli dan mendukung gerakan korban. Upaya<br />

yang selama ini kami lakukan adalah memberikan<br />

pemahaman kepada kepala desa/lurah tentang hak<br />

asasi manusia dan hak-hak korban sehingga diskusi<br />

kampung bisa dilaksanakan di kantor desa/kantor lurah<br />

yang dihadiri oleh komponen pemerintah<br />

desa/kelurahan bersama Badan Permusyawaratan<br />

Desa (BPD), tokoh adat, tokoh perempuan, pemuda dan<br />

tidak lupa Imam/pendeta setempat. Belajar dari proses<br />

ini juga kami berhasil mendorong anak-anak korban<br />

untuk menjadi kades di tiga desa.<br />

Setelah mendapat dukungan dari desa, kami<br />

beranjak ke tingkat kecamatan untuk membuat kegiatan<br />

bersama, mengundang walikota dan bupati. Terlaksana<br />

di tingkat kota/kabupaten, kami membawa proses<br />

diskusi ke provinsi bersama gubernur.<br />

Pendokumentasian<br />

Sebagai aktor sejarah dan sumber informasi para korban<br />

mesti diyakinkan tentang pentingnya merekam cerita<br />

mereka dan menuliskannya kembali. Sebab hanya<br />

dengan cerita yang lengkap dan data yang tertulis,<br />

sebuah peristiwa dapat dianalisa apakah terjadi<br />

pelanggaran HAM atau tidak. Kata kunci dari proses ini<br />

adalah “tindakan perlanggaran HAM” yang dialami oleh<br />

masyarakat sipil yang juga adalah warga negara yang<br />

memiliki hak dan kewajiban yang dengan warga negara<br />

lainnya yang tidak menjadi korban. Sehingga titik<br />

tekannya bukan lagi pada penyebab dari sebuah<br />

peristiwa yang menyebabkan jatuhnya korban.<br />

Dari dokumentasi yang dilakukan SKP-HAM<br />

kami baru bisa mengumpulkan 1.028 kesaksian korban<br />

dari empat wilayah. Masih ada tujuh wilayah lainnya di<br />

Sulawesi Tengah yang belum kami dokumentasikan<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

13


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

karena keterbatasan sumberdaya tenaga dan dana.<br />

Dari data yang diolah kami menemukan 14 jenis<br />

pelanggaran HAM yang dialami korban.<br />

Lobi Menggalang Dukungan<br />

Hasil dari pendokumentasian akan menjadi pelumas<br />

bagi kerja-kerja lobi dengan tujuan mendapatkan<br />

dukungan bagi penegakan HAM dan pemenuhan hakhak<br />

korban. Penting untuk menentukan pihak-pihak<br />

yang perlu dan bisa diajak dalam hal ini. Kami bekerja<br />

dalam lingkaran kasus berikut ini :<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

Terdiri dari korban dan keluarga korban yang telah<br />

bertransformasi menjadi penyintas. Mereka bukan<br />

lagi menjadi objek melainkan menjadi subjek yang<br />

yang mendatangi pihak-pihak ketiga untuk<br />

memberikan dukungan pada penegakan HAM dan<br />

pemenuhan hak-hak korban.<br />

Terdiri dari KOMNAS HAM, LSM HAM,<br />

budayawan, sejarawan, tokoh agama, tokoh<br />

masyarakat, tokoh politik, tokoh perempuan,<br />

media massa dan mahasiswa. Mereka diberikan<br />

ruang dan forum untuk menyampaikan<br />

pendapatnya tentang HAM dan perspektifnya<br />

terhadap korban pelanggaran HAM.<br />

Terdiri dari pelaku dan keluarga pelaku, sebagai<br />

pihak yang diajak untuk bersama-sama<br />

membangun rekonsiliasi.<br />

Adalah lingkaran terakhir setelah lingkaran satu<br />

sampai tiga dapat dilaksanakan, memudahkan<br />

untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah<br />

desa, kecamatan, kota/kabupaten dan provinsi.<br />

Kampanye<br />

Lingkaran pertama<br />

Lingkaran Kedua<br />

Lingkaran Ketiga<br />

Lingkaran Keempat<br />

Selama melakukan kerja-kerja pengorganisasian<br />

korban kami hanya melakukan kampanye sederhana<br />

dengan menggunakan produk undang-undang HAM<br />

yang ada, yaitu UU No 39 tahun 1999, UU no 26 tahun<br />

2000 dan revisi UU KKR.<br />

Dari semua rangkaian proses ini hal yang tak<br />

kalah pentingnya adalah mencari momentum yang tepat<br />

untuk menggugah pemerintah daerah melihat dan<br />

mengenali lebih dekat korban pelanggaran HAM,<br />

menyampaikan dampak yang dialami korban dan peran<br />

yang dilakukan korban dalam upaya pencegahan<br />

terjadinya pelanggaran HAM terulang kembali di masa<br />

yang akan datang.<br />

Kami menggunakan momentum peringatan<br />

hari hak korban pelanggaran HAM atas kebenaran dan<br />

keadilan pada 24 <strong>Maret</strong> 2012 dalam rangkaikan hari<br />

ulang tahun Provinsi Sulawesi Tengah yang ke-48<br />

tahun. Acara yang digelar adalah dialog terbuka dengan<br />

tema “Stop Pelanggaran HAM, mengenali lebih dekat<br />

pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini”. Acara ini<br />

dikemas menjadi pertemuan yang santai di sebuah taman<br />

kota. Diawali dengan persembahan teater dan puisi juga<br />

grup komedi yang mengisahkan tentang pelanggaran<br />

HAM. Dilanjutkan dengan pertemuan rekonsiliasi antara<br />

korban dan pelaku juga keluarga pelaku.<br />

Di tengah keriuhan acara peringatan ulang tahun<br />

ini, Walikota menyampaikan permintaan maaf kepada<br />

korban. Pada intinya walikota menegaskan bahwa yang<br />

terjadi pada masa lalu adalah sebuah kesalahan. Berikut<br />

adalah petikan ungkapan permintaan maaf Walikota Palu:<br />

“Saya ini juga pelaku saya ikut bajaga malam<br />

orang-orang ditahan di Jalan Matahari. Ada yang<br />

dikasi mandi malam-malam. Saya juga ikut bajaga<br />

orang-orang Gerwani di Jalan Sedap Malam.<br />

Waktu itu saya masih SMA umur 15 tahun, jadi<br />

belum tahu apa-apa. Saya anggota Pramuka.<br />

Saya punya keluarga juga banyak yang jadi<br />

korban. Negara saat itu memang mengkondisikan<br />

banyak rakyat ditangkap, dibunuh, dipenjara.<br />

Saat itu yang terjadi adalah sebuah provokasi<br />

massal sehingga menimbulkan dendam hanya<br />

karena perbedaan ideologi. Tapi sekarang tidak<br />

bisa lagi begitu karena itu tidak ada pernyataan<br />

yang lebih mantap yang bisa saya nyatakan selain<br />

minta maaf sebagai pribadi, saya ini anak orang<br />

Masyumi, saya juga minta maaf atas nama<br />

Pemerintah Kota Palu kepada seluruh korban<br />

peristiwa 1965 di Kota Palu dan di Sulawesi<br />

Tengah" 3<br />

Selesai mendengarkan sambutan walikota,<br />

acara diakhiri dengan dialog terbuka. Semua komponen<br />

masyarakat menjadi peserta dialog bersama pemerintah<br />

daerah tentang situasi HAM dan upaya penegakan HAM<br />

serta pemenuhan hak-hak korban. Hasil dari dialog itu<br />

Bapak Walikota Palu akan memberikan biaya<br />

pengobatan gratis bagi korban melalui program<br />

jamkesda (jaminan kesehatan daerah). Walikota juga<br />

menyatakan akan memberikan peluang kerja kapada<br />

anak-anak korban melalui program padat karya yang<br />

masuk ke setiap kelurahan.<br />

Bagi anak dan cucu korban, Walikota berjanji<br />

akan memberikan beasiswa. Pemkot bakal mengakui 13<br />

titik tempat kerja paksa dan menyetujui tempat-tempat<br />

tersebut dijadikan objek tour wisata sejarah dan budaya.<br />

Terakhir berjanji akan membantu penggalian kuburan<br />

massal korban yang dihilangkan secara paksa selama<br />

tempatnya teridentifikasi berada di wilayah kota Palu.<br />

Keterangan<br />

1. Baca Keluar Jalur, ICTJ-Kontras¸ 2011<br />

2. SKP-HAM Sulawesi Tengah dideklarasikan pada 13 Oktober<br />

2004<br />

3. Peryataan Walikota palu dalam Acara Dialog Tebuka<br />

memperingati Hari Hak Korban Pelanggaran HAM atas<br />

Kebenaran dan Keadilan, tanggal 24 <strong>Maret</strong> 2012 di Taman Gor<br />

Palu<br />

14<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

Omah Tani dan Politik<br />

Hak <strong>Asasi</strong> Manusia di Batang<br />

Oleh Otto Adi Yulianto<br />

(Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Organisasi ELSAM)<br />

nasional<br />

Bagaimana agar hak asasi manusia tertanam<br />

dalam kebijakan dan kinerja Pemerintah,<br />

khususnya pemerintah tingkat lokal? Ini<br />

merupakan salah satu tantangan utama hak<br />

asasi manusia paskareformasi dan era desentralisasi<br />

saat ini. Paskareformasi memang ada perbaikan<br />

dalam persoalan hak asasi manusia, khususnya hak<br />

sipil-politik, di luar penyelesaian pelanggaran hak<br />

asasi manusia masa lalu. Namun secara umum,<br />

situasi-kondisinya masih buruk.<br />

Di tingkat lokal, hak asasi manusia masih<br />

belum menjadi rujukan dan bagian terpenting dari<br />

kinerja pemerintah daerah. Situasi-kondisi yang<br />

masih buruk utamanya berhubungan dengan<br />

pemenuhan hak ekonomi, sosial, maupun budaya<br />

(hak Ekosob). Juga, yang belakangan marak di<br />

beberapa daerah, perlindungan atas hak atau<br />

kebebasan untuk berekspresi maupun beragama dan<br />

berkeyakinan.<br />

Buruknya situasi-kondisi ini tidak dapat<br />

dilepaskan dari minimnya kemauan politik (political<br />

will) dari pemerintah daerah setempat dalam<br />

memajukan hak asasi manusia. Kecenderungan yang<br />

terjadi, para kepala daerah lebih memprioritaskan<br />

kepentingan sendiri maupun kelompoknya dibanding<br />

memikirkan hak dan hajat hidup warganya. Memang<br />

ada beberapa pengecualian, di antaranya yang<br />

populer, seperti kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi)<br />

sebagai Walikota Solo, Jawa Tengah. Namun,<br />

pemimpin lokal seperti ini hanya segelintir dari ratusan<br />

yang ada.<br />

Berdasar data<br />

Indonesia Corruption Watch<br />

(ICW), sejak tahun 2004 hingga 2012 ini, setidaknya<br />

ada 173 kepala daerah di Indonesia yang diperiksa,<br />

baik sebagai saksi, tersangka, maupun terdakwa<br />

dalam kasus korupsi. Sekitar 70% di antaranya telah<br />

divonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi<br />

terpidana. Sementara hampir 2.000 anggota Dewan<br />

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait kasus<br />

korupsi ( Kompas, 22 Mei 2012).<br />

Situasi-kondisi yang buruk ini juga<br />

berlangsung di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.<br />

Saat ini, mantan Bupati Batang periode 2006-2011,<br />

Bambang Bintoro, sedang ditahan dan diperiksa oleh<br />

Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah (Kejati Jateng) karena<br />

kasus korupsi. Sebenarnya, sudah sejak Mei 2008<br />

Kejati Jateng menetapkan Bambang Bintoro, yang<br />

saat itu masih aktif menjabat sebagai Bupati Batang,<br />

sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Anggaran<br />

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten<br />

Batang sebesar Rp796 juta yang dibagi-bagikan ke<br />

anggota DPRD setempat periode 1999-2004.<br />

Penangkapan dan penahanan baru dilakukan<br />

kejaksaan setelah yang bersangkutan tidak lagi<br />

menjabat sebagai bupati.Korupsi oleh kepala daerah,<br />

seperti terjadi di Batang, menandakan minimnya<br />

kemauan politik kepala daerah untuk<br />

memprioritaskan hak dan kesejahteraan warganya.<br />

Ini juga mengindikasikan absennya representasi<br />

politik (yang substantif) di daerah tersebut. Kepala<br />

daerah yang dipilih secara langsung oleh warganya,<br />

ketika kemudian terpilih dan menjabat, kinerjanya<br />

tidak mewakili kepentingan atau aspirasi warganya.<br />

Di Batang, persoalan representasi politik<br />

yang buruk, dan usaha untuk memperbaikinya, telah<br />

menjadi perhatian gerakan masyarakat sipil terutama<br />

dimotori oleh Omah Tani. Organisasi ini telah aktif<br />

melakukan advokasi di tingkat lokal, setidaknya dalam<br />

lima tahun terakhir.<br />

Omah Tani merupakan organisasi petani<br />

Batang yang berdiri sejak 2008. Awalnya, ia bernama<br />

Forum Perjuangan Petani Batang yang berdiri pada<br />

2000. Pada tahun 2003, dengan meluasnya<br />

keanggotaan kelompok dan organisasi petani hingga<br />

Pekalongan, serta kelompok nelayan di kedua daerah<br />

tersebut, nama organisasi ini kemudian berubah<br />

menjadi Forum Perjuangan Petani dan Nelayan<br />

Batang-Pekalongan (FP2NBP).<br />

Masa bersatunya kelompok Batang dan<br />

Pekalongan bertahan selama empat tahun. Pada<br />

Salah satu diskusi Omah Tani di Batang sumber: http://kaharscahyono.wordpress.com<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

15


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

2007, terjadi pemisahan organisasi berdasar<br />

administrasi wilayah: Batang dan Pekalongan.<br />

Organisasi petani di Kabupaten Batang kembali<br />

1<br />

menjadi Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB).<br />

Dua tahun berselang, organisasi ini mengalami<br />

persoalan internal menjelang Pemilu 2009. Ketua<br />

umumnya memilih bergabung dengan Partai Bintang<br />

Reformasi, sementara mayoritas anggotanya<br />

menolak. Organisasi pun mengalami perubahan<br />

nama, dari FPPB menjadi Omah Tani.<br />

Di masa-masa awal, FPPB/FP2NBP tidak<br />

berbeda dengan kecenderungan gerakan sosial pada<br />

umumnya. Organisasi petani yang beranggotakan<br />

sekitar 12.000 kepala keluarga ini seringkali<br />

menggunakan strategi aksi massa atau<br />

berdemonstrasi dalam memperjuangkan<br />

kepentingan dan aspirasinya. Tak jarang mereka<br />

mengerahkan massa berpuluh-puluh truk di halaman<br />

kantor pejabat negara, institusi legislatif, bahkan di<br />

lembaga yudikatif di Batang, Semarang hingga<br />

Jakarta agar menindak kasus-kasus korupsi atau<br />

mendorong penyelesaian kasus-kasus sengketa<br />

agraria. Resikonya, tak jarang aktivis organisasi ini<br />

menghadapi teror dari preman atau stigma PKI.<br />

Namun hal tersebut tidak membuat surut, sebaliknya<br />

malah membuat semakin teguh.<br />

Sejak tahun 2005-2006, terjadi perubahan<br />

strategi organisasi yang saat itu bernama FP2NBP.<br />

Mereka tidak hanya melakukan demonstrasi, namun<br />

juga mulai masuk ke ranah politik dengan mendorong<br />

dan mendukung anggotanya ikut dalam pemilihan<br />

dan menduduki jabatan publik, seperti menjadi kepala<br />

desa dan anggota DPRD. Organisasi ini berhasil<br />

mendudukkan setidaknya sembilan orang kader<br />

menjadi kepala desa, dari 13 pemilihan kepala desa<br />

yang diikuti. Seorang anggota berhasil lolos sebagai<br />

anggota DPRD Kabupaten Batang periode 2009-<br />

2014.<br />

Belakangan, pada Desember 2011 lalu,<br />

Omah Tani melibatkan diri dalam ajang pemilihan<br />

bupati dengan mengusung pasangan Yoyok Riyo<br />

Sudibyo-Soetadi. Pasangan ini berhasil memenangi<br />

Pilkada dengan perolehan 40,16% suara. Omah Tani<br />

memberikan dukungan penuh kepada pasangan ini<br />

terutama karena kesediaan mereka untuk<br />

memfasilitasi dan membantu penyelesaian sengketa<br />

agraria yang dialami anggota Omah Tani.<br />

Pencapaian dalam Pemajuan Hak <strong>Asasi</strong> Manusia<br />

Dalam konteks perjuangan hak asasi manusia, apa<br />

capaian Omah Tani? Benar bahwa organisasi ini tidak<br />

menggunakan terminologi hak asasi manusia dalam<br />

perjuangannya. Namun, secara substansi, apa yang<br />

diperjuangkan, baik melalui desakan maupun strategi<br />

masuk ke ranah politik negara, merupakan<br />

perjuangan hak asasi manusia.<br />

Misalnya, dalam persoalan penyelesaian<br />

sengketa lahan, yang berhubungan dengan hak atas<br />

kehidupan yang layak bagi para petani. Dari 13 kasus<br />

yang dialami anggota Omah Tani, setidaknya tiga<br />

kasus sudah selesai dan petani memperoleh lahan,<br />

yakni di Desa Kebumen dan Simbang di Kecamatan<br />

Tulis (52 ha), di Desa Sengon, Gondang, dan Kuripan<br />

di Kecamatan Subah (152 ha), dan di Desa Brontok<br />

Kecamatan Subah (45 ha). Sementara sengketa di<br />

Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, masih dalam<br />

proses penyelesaian.<br />

Omah Tani berhasil mendesakkan kebijakan<br />

agar rumah sakit setempat tidak menolak pasien dan<br />

ibu-ibu petani/warga miskin yang akan melahirkan. Ini<br />

terkait dengan tanggung jawab negara untuk<br />

memenuhi hak atas kesehatan warganya. Pada saat<br />

yang sama, Omah Tani juga berhasil mendorong<br />

kebijakan penghapusan pungutan terhadap orang tua<br />

murid oleh pihak sekolah. Karena hak atas<br />

pendidikan merupakan bagian dari hak asasi<br />

manusia yang harus dipenuhi oleh negara.<br />

Lantas, bagaimana kinerja kepala desa,<br />

anggota DPRD maupun bupati yang didukung Omah<br />

Tani, dalam memajukan hak asasi manusia? Peran<br />

kepala desa, sangat strategis karena persetujuannya<br />

dibutuhkan saat perusahaan perkebunan<br />

mengajukan ijin perpanjangan hak guna usaha.<br />

Dengan menempatkan wakilnya sebagai kepala<br />

desa, Omah Tani dapat mengusahakan penolakan,<br />

terlebih terhadap perusahaan perkebunan yang<br />

sedang bersengketa dengan petani-petani kecil, yang<br />

menjadi anggotanya. Namun yang terjadi selanjutnya<br />

tidak seperti yang direncanakan. Ada kepala desa<br />

yang kemudian tidak mewakili harapan Omah Tani,<br />

justru memberikan rekomendasi bagi perkebunan<br />

yang hendak memperpanjang hak guna usahanya.<br />

Peran anggota DPRD yang didukung Omah<br />

Tani, yakni Gotama Bramanti, SH, selain membantu<br />

dalam penyelesaian sengketa lahan, juga berhasil<br />

mengusahakan agar rumah sakit umum daerah tidak<br />

menolak dan wajib memberi ruang bagi pasien atau<br />

ibu-ibu dari keluarga miskin yang hendak melahirkan.<br />

Bramanti juga aktif mendorong Bupati mengeluarkan<br />

kebijakan yang mendukung kepentingan dan<br />

kesejahteraan warga.<br />

Sementara Bupati, selain memfasilitasi<br />

penyelesaian sengketa lahan yang dialami petani,<br />

belum genap 100 hari masa kepemimpinannya telah<br />

mengeluarkan kebijakan pendidikan dasar sembilan<br />

tahun tanpa pungutan bagi warga, berhasil<br />

memberikan jaminan tidak adanya kasus penolakan<br />

pelayanan kesehatan masyarakat yang<br />

menggunakan Jamkesmas, Jamkesda, dan<br />

Jampersal, serta tidak adanya kasus penolakan<br />

pelayanan bagi pasien tidak mampu selagi masih<br />

tersedia ruang di kelas III di rumah sakit umum daerah<br />

2<br />

Kabupaten Batang.<br />

Setiap malam Jumat Kliwon Bupati membuka<br />

ruang bagi warga Batang untuk bertemu dan<br />

menyampaikan komplain atas pelbagai kebijakan dan<br />

persoalan publik. Bupati mendengarkan dan<br />

selanjutnya meneruskannya kepada kepala dinas<br />

atau pejabat publik yang bertanggung jawab, yang<br />

juga hadir dalam pertemuan tersebut. Setiap<br />

pertemuan, warga yang hadir mencapai ribuan.<br />

Menurut Handoko Wibowo, motor Omah Tani, bisa<br />

jadi ini satu-satunya pertemuan terbuka dan langsung<br />

16<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

serta diadakan secara reguler antara Bupati dengan<br />

warganya, yang ada di Indonesia.<br />

Dalam perjuangannya mencapai hal-hal di<br />

atas, Omah Tani tidak hanya bergerak di wilayah<br />

masyarakat sipil saja (dengan melakukan<br />

desakan/tekanan), namun juga menghubungkan diri<br />

dengan gerakan politik dan masuk ke ranah negara<br />

sebagai usaha untuk memperbaiki kualitas<br />

representasi politik lokal Batang.<br />

Omah Tani telah berkembang menjadi<br />

organisasi yang tidak hanya mengurusi persoalan<br />

petani dan nelayan saja, sebagaimana awal ia<br />

didirikan. Kini, mereka juga memfasilitasi<br />

pembentukan Omah Rakyat untuk melakukan<br />

advokasi kebijakan yang berorientasi kepada<br />

kesejahteraan warga kebanyakan. Omah Rakyat ini<br />

beranggotakan kelas menengah terdidik, termasuk<br />

individu-individu aktivis politik yang keterlibatannya di<br />

sini tidak mewakili partai mereka, tetapi lebih berdasar<br />

kepada visi dan komitmen pribadi mereka, serta<br />

kalangan miskin perkotaan. Mereka juga<br />

mengembangkan sayap organisasi dengan<br />

memfasilitasi pembentukan Omah Buruh, untuk<br />

melakukan advokasi perburuhan.<br />

Omah Tani dan Omah Rakyat, juga Omah<br />

Buruh yang saling terhubung ini, telah menyatukan<br />

pelbagai elemen gerakan sosial dan<br />

mengkoneksikannya dengan aktivitas politik formal di<br />

Batang. Kontak-kontak dengan jejaring mereka<br />

lakukan dengan Konsorsium Pembaruan Agraria<br />

(KPA), DEMOS, ICW, ELSAM, KontraS, KaSUM, dsb.<br />

Omah Tani, misalnya, juga memanfaatkan<br />

kontak dengan lembaga ecolabelling. Lembaga<br />

tersebut memperoleh informasi dari Omah Tani bila<br />

terjadi pelanggaran hak asasi manusia sehubungan<br />

dengan operasi Perhutani di daerahnya. Hal ini dapat<br />

mengancam pemberian sertifikat ecolabelling bagi<br />

Perhutani. Padahal sertifikat tersebut amat<br />

dibutuhkan agar kayu-kayu Perhutani dapat<br />

menembus pasar global di mana harganya bisa<br />

mencapai sepuluh kali lipat dari harga di pasar lokal.<br />

Kontak dengan lembaga ecolabelling ini, bagi Omah<br />

Tani dapat membantu para petani saat menghadapi<br />

persoalan sengketa lahan dengan pihak Perhutani.<br />

Penutup<br />

Apa yang dapat dipelajari dari pengalaman Omah Tani<br />

di Batang? Agar hak asasi manusia bisa tertanam<br />

dalam kebijakan dan kinerja pemerintah (lokal), hal<br />

tersebut mensyaratkan adanya kemauan politik dari<br />

pemerintah setempat. Agar ada kemauan politik,<br />

maka representasi politik secara substantif harus<br />

benar-benar berlangsung. Bila kualitas representasi<br />

buruk, maka perlu adanya usaha untuk<br />

memperbaikinya, atau setidaknya melakukan<br />

desakan/tekanan. Seperti yang disampaikan Herry<br />

Priyono, “kemauan politik” adalah nama bagi langkah<br />

perubahan yang terpaksa dilakukan karena sederetan<br />

3<br />

desakan/tekanan ( pressure).<br />

Bupati Yoyok Riyo Sudibyo dan Wakil Bupati Soetadi (tidak tampak) disambut warga dan para<br />

petani anggota Omah Tani setelah pelantikan pada 13 Februari 2012sumber: Rozikin (Omah Tani)<br />

Meski masih jauh dari ideal, namun apa yang<br />

dilakukan Omah Tani, juga Omah Rakyat, baik lewat<br />

desakan/tekanan maupun usaha memperbaiki<br />

representasi politik dengan mengandalkan gerakan<br />

berbasis massa yang terorganisir dengan baik, telah<br />

memberikan sejumlah capaian dalam pemajuan hak<br />

asasi manusia di Kabupaten Batang.<br />

Desentralisasi dan otonomi daerah tidak<br />

dengan sendirinya mengidap hal-hal yang buruk,<br />

seperti “pembajakan” oleh elite. Bila ada usaha dan<br />

strategi yang tepat, desentralisasi bisa membuahkan<br />

manfaat yang kongkrit, karena ia telah mendekatkan<br />

warga dengan para pengambil keputusan/kebijakan.<br />

Apa yang dilakukan Omah Tani dan terjadi di Batang,<br />

meski masih butuh untuk terus berproses, mungkin<br />

bisa menjadi inspirasi bagi gerakan sosial dalam<br />

memajukan situasi-kondisi hak asasi manusia di<br />

daerahnya.<br />

Keterangan<br />

1 Hilma Safitri, 2010, Gerakan Politik Forum Perjuangan Petani<br />

Kabupaten Batang, Bandung: YayasanAkatiga, h.1-2<br />

2. Untuk lengkapnya, silakan lihat Prioritas Program Kerja 100<br />

Hari Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Batang Masa Bakti<br />

2012-2017 dalam www.batangkab.go.id<br />

3. B. Herry-Priyono, “Konstitusi dan Negara Kesejahteraan”,<br />

outline untuk diskusi Lingkar Muda Indonesia (LMI) dan Harian<br />

Kompas, Jakarta, 15 Mei 2012.<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

17


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

daerah<br />

Sumbangsih Tanpa Pengakuan<br />

Tenaga Tapol untuk Rezim Soeharto<br />

Oleh Paijo<br />

( Staf Pelaksana Program bidang Informasi dan Dokumentasi ELSAM)<br />

Kebijakan Kerja Paksa ala Rejim Soeharto<br />

Kekuasaan pemerintahan otoriter ditandai<br />

sejumlah hal: dukungan ideologi militerisme<br />

menindas, tidak mentolerir perbedaan<br />

pendapat, pendekatan kekerasan, dan<br />

gemar bertindak bengis terhadap rakyatnya sendiri;<br />

disamping pemerintahan yang korup. Ringkasnya,<br />

pemerintahan tidak ramah HAM karena gemar<br />

menabrak hukum-hukum HAM.<br />

Menurut Hilmar Farid, pelanggaran HAM<br />

berat Orde Baru dimulai sejak menjebluknya G/30 S<br />

1965. Sejak peristiwa kelam itu, hanya hitungan hari<br />

setelahnya, pembunuhan, penangkapan, penyiksaan<br />

massal terhadap PKI dan simpatisannya. Sangat<br />

mencekam. Korban yang luput dari pembunuhan<br />

massal digiring ke kamp-kamp tahanan dan<br />

mengalami siksaan berat. Mereka ditahan beberapa<br />

bulan dan nasibnya tak menentu di tangan para<br />

penyiksa di kamp-kamp maut. Mereka kemudian<br />

dikeluarkan dari kamp dan digiring melalui<br />

pengawalan ketat “bedil tentara” menuju ladang kerja<br />

paksa. Dengan demikian segera dimulainya praktik<br />

kerja paksa di proyek-proyek pembangunan<br />

infrastruktur skala daerah maupun nasional.<br />

Menurut Razif, seorang sejarahwan sosial<br />

muda, praktik kerja paksa secara besar-besaran<br />

mengerahkan tenaga tahanan politik, dimulai sejak<br />

1966 hingga 1970-an meliputi wilayah-wilayah<br />

1<br />

Sumatera, Jawa, Sulawesi Tengah, dan Pulau Buru.<br />

Saya menggunakan istilah “kerja paksa” di sini<br />

merujuk UU No. 19 Tahun 1999 tentang<br />

Penghapusan Kerjapaksa. Dalam UU tersebut<br />

2<br />

menjelaskan definisi “kerja paksa” sebagai berikut:<br />

(a) alat penekanan atau pendidikan politik atau<br />

sebagai hukuman atas pemahaman atau<br />

pengungkapan pandangan politik atau ideologi yang<br />

bertentangan dengan sistem politik, sosial, dan<br />

ekonomi yang berlaku; (b) cara mengerahkan dan<br />

menggunakan tenaga kerja untuk tujuan<br />

pembangunan ekonomi; (c) alat untuk mendisiplinkan<br />

pekerja; (d) hukuman atas keikutsertaan dalam<br />

pemogokan; dan (e) cara melakukan diskriminasi<br />

atas dasar ras, sosial, kebangsaan, atau agama.<br />

Sejarah mencatat, pada 10 Oktober 1965<br />

setelah menjebluknya G/30 S 1965, Soeharto<br />

menciptakan Komando Operasi Keamanan dan<br />

3<br />

Ketertiban (Kopkamtib) yang pada tahun-tahun<br />

berikutnya melahirkan sejumlah lusinan SK, SP,<br />

4<br />

Juklak, Putusan, yang relevan. Semua itu dia<br />

gunakan untuk melancarkan pembersihan dan<br />

pemecatan pegawai negeri, penangkapan ribuan<br />

5<br />

aktivis PKI, pengusiran paksa petani dari lahannya,<br />

sampai pada pengerahan tenaga Tapol untuk kerja<br />

paksa. Nampaknya operasi militer tersebut memang<br />

dirancang sebagai instrumen yang serbaguna dan<br />

represif, praktiknya cukup guna membuat “tunduk<br />

tertindas” bagi orang-orang yang dituduh subversif<br />

saat itu.<br />

Rezim Soeharto cukup dengan modal<br />

Operasi Kopkamtib yang tidak hanya untuk membuat<br />

“tunduk tertindas” tahanan politik (Tapol) G-30-S<br />

1965, melainkan juga pembenaran untuk menggiring<br />

rakyat kecil menuju ladang kerja paksa. Mereka<br />

bekerja di bawah pengawasan “bedil tentara” bekerja<br />

dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore: tanpa<br />

putusan pengadilan, tanpa upah, tanpa pangan<br />

mencukupi, tanpa sandang, dan tanpa tempat<br />

penampungan yang wajar. Mereka seringkali<br />

dipekerjakan di rumah-rumah perwira militer, dan<br />

muncul beban kerja baru: sebagai tukang, pembantu<br />

rumah tangga, mencuci pakaian, membersihkan<br />

kamar mandi, memperbaiki bagian-bagian rumah<br />

yang rusak, dan membuat perabotan kebutuhan<br />

rumah tangga. Pendeknya: sedang mengalami<br />

perbudakan.<br />

Kebijakan kerja paksa rejim Soeharto dapat<br />

dilacak melalui data administrasi KOPKAMTIB,<br />

macam Petunjuk Pelaksana (Juklak) Kopkamtib No.:<br />

PELAK-002/KOPKAM/10/1968 tanggal 16 Oktober<br />

1968 Tentang Kebijaksanaan Penyelesaian<br />

Tahanan/Tawanan G.30.S/PKI.” Pokok kebijakannya<br />

mengatakan, “bagi Tapol yang ada di dalam tahanan<br />

6<br />

dimanfaatkan tenaganya guna tujuan produktif.”<br />

Selanjutnya, ketentuan Juklak ini mengatakan dalam<br />

keperluan pemanfaatan tenaga Tapol diadakan<br />

klasifikasi pula menurut keahlian dan kecakapan<br />

Ilustrasi struktur jabatan di era Soeharto sumber: sociopolitica.wordpress.co<br />

18<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

kerja masing-masing. Bagi daerah-daerah di Jawa<br />

yang penduduknya padat, jumlah Tapol dan proyek<br />

yang ada, pada prinsipnya pemanfaatan tenaga Tapol<br />

dilakukan di luar Jawa. Dalam praktiknya untuk<br />

mempekerjakan Tapol di daerah setempat<br />

dilaksanakan oleh LAKSUS KOPKAMTIB, dan untuk<br />

yang di luar daerah dilaksanakan oleh Pusat/<br />

Kopkamtib atau Badan yang diserahi tugas untuk itu.<br />

Untuk memanfaatkan tapol keluar daerah<br />

banyak menggunakan tenaga Tapol dari Jawa yang<br />

dikirim ke Pulau Buru. Di sana mereka dipekerjakan<br />

paksa untuk membuka hutan belukar menjadi lahan<br />

pertanian dan sekaligus sebagai kamp Tapol. Hal ini<br />

selaras dengan SK Kopkamtib tertanggal 26 Februari<br />

1969, No.: KEP-009/KOPKAM/2/1969 yang<br />

mengatakan bahwa Pulau Buru sebagai tempat<br />

tinggal sementara bagi Tapol golongan B.<br />

Kemudian rejim militer Soeharto dalam<br />

menguatkan pembenaran kerja paksa Tapol, pada 18<br />

Feberuari 1969, ia mengeluarkan Surat Keputusan<br />

(SK) No. KEP/-007/KOPKAM/2/1969 Tentang<br />

Organisasi Tim Penyelesaian Tahanan/Tawanan<br />

G.30.S/PKI Pusat dan Tim Penyelesaian<br />

Tahanan/Tawanan G.30.S/PKI Daerah (TEPTAPU<br />

DAN TEPTADA). Kerja-kerja kedua tim tersebut yaitu<br />

Tim Penyelesaian Tahanan/Tawanan G.30.S/PKI<br />

Pusat (TEPTAPU) langsung di bawah dan<br />

bertanggung-jawab kepada PANGKOPKAMTIB;<br />

Sementara Tim Penyelesaian Tahanan/Tawanan dan<br />

G.30.S/PKI Daerah (TEPTADA) berkedudukan<br />

langsung dan bertanggung jawab kepada Pelaksana<br />

Khusus Panglima Komando Operasi Kemanan dan<br />

Ketertiban (LAKSUS PANGKOPKAMTIB).<br />

Boyolali, “Ladangnya” Kerja Paksa Rezim Militer<br />

Soeharto<br />

Pengerahan besar-besaran tenaga Tapol guna kerja<br />

paksa di Boyolali terjadi pada masa Bupati Letkol<br />

Saebani masa jabatan 1965-1972. Ia menggantikan<br />

bupati pendahulunya, yaitu Soewali Dwijosukarto<br />

(1960-1965) yang telah dibunuh pada awal<br />

Desember 1965. Tapol-tapol Boyolali mulai<br />

dipekerjakan paksa sejak awal tahun 1966 - 1970-an.<br />

Mereka dikerahkan tenaganya macam membangun<br />

saluran air minum beserta bak penampungannya<br />

(PDAM), kemudian jembatan, bendungan waduk,<br />

kantor koramil, tempat ibadah dan fasilitas sosial<br />

lainnya. Di samping itu, Boyolali juga mendatangkan<br />

tenaga Tapol dari luaran dengan jumlah sekitar seribu<br />

Tapol yang didatangkan dari kamp-kamp tahanan<br />

Sasono Mulyo-Solo, dan Wonogiri untuk dipekerjakan<br />

di proyek bendungan waduk Bade, Boyolali Utara.<br />

Praktik kerja paksa rezim militer Soeharto di<br />

Boyolali sama dengan tempat lain. Sangat minim<br />

kebutuhan pangan, sandang dan tempat tinggal<br />

sementara bagi Tapol. Bahkan sama sekali ditiadakan<br />

macam keperluan pakaian bagi Tapol. Pada<br />

umumnya mereka melepaskan pakaiannya ketika<br />

sedang bekerja membuat tanggul di Klego, Boyolali<br />

Utara, karena bekerja mengangkut tanah basah atau<br />

lumpur. Kepanasan dan kehujanan pandangan<br />

9<br />

7<br />

8<br />

10<br />

sehari-hari, dan nampak macam serombongan<br />

manusia hitam karena kulitnya terbakar terik<br />

matahari.<br />

Penampungan sementara bagi tapol<br />

menggunakan rumah-rumah penduduk sekitar<br />

proyek yang disekat-sekat, setiap sepetaknya dihuni<br />

antara 40 sampai 50 tapol. Sama dengan tempattempat<br />

kerja paksa lainnya, keluarga mereka selalu<br />

mengirim makanan dan pakaian untuk menambah<br />

makanan mereka. Sementara keluarga mereka<br />

sendiri dalam kondisi hidup pas-pasan di tengah<br />

perlakuan diskriminasi.<br />

Mbah Prapto, seorang petani asal Desa<br />

Gondanglegi, Klego, Boyolali Utara, merupakan<br />

salah satu korban yang mengalami kerja paksa di<br />

awal pemerintahan rezim Orde Baru. Mbah Prapto<br />

ditangkap pada 30 Nopember 1965 dan dibebaskan<br />

pada akhir 1968. Artinya, Mbah Prapto telah<br />

mengalami tiga tahun status sebagai tahanan. Kakek<br />

yang kini mulai renta tersebut tak pernah disidang.<br />

Ketika itu ia diambil dari rumahnya pada sore hari oleh<br />

petugas polisi atas petunjuk perangkat desa<br />

setempat. Alasan penangkapannya: dia dituduh<br />

menyembunyikan Bupati Soewali.<br />

Akhir Nopember 1965, Mbah Prapto bersama<br />

sekitar 90-an orang dari Karang Gede tempat pertama<br />

mereka ditahan kemudian diangkut menggunakan truk<br />

tentara menuju kamp penahanan Boyolali Kota.<br />

Gedung Tacung pindahan kamp kedua, mbah Prapto<br />

menyebutnya. Selama masa penahanan mereka<br />

memang beberapa kali mengalami pemindahan dari<br />

satu kamp ke kamp lainnya, karena semakin hari<br />

semakin penuh sesak di kamp-kamp penahanan. Tiga<br />

bulan dia mengalami penyiksaan berat, demikian juga<br />

tapol-tapol yang lainnya.<br />

Para Tapol disiksa menggunakan bambu<br />

dibelah yang kulitnya tajam, kenut, atau alu doro.<br />

Akan tetapi alat penyiksa fisik yang paling ditakuti<br />

tapol se-Boyolali adalah kemaluan sapi jantan yang<br />

telah dikeringkan dan panjangnya hampir satu meter<br />

yang ujungnya dikasih logam. Alat penyiksaan jenis<br />

ini jika disabetkan oleh tangan penyiksa dari arah<br />

belakang korban ketika diinterogasi, logam akan<br />

mengayun dan menghunjam ke ulu hati. Hal ini jika<br />

korban tidak mendekap guna melindungi ulu hatinya<br />

akan fatal, jika terkena hunjaman logam. Tidak sedikit<br />

tahanan yang tewas di tangan para penyiksa di ruang<br />

tahanan karena alat-alat penyiksa.<br />

Setelah melewati hari-hari tanpa penyiksaan,<br />

awal tahun 1966, Mbah Prapto, Mbah Gito, Mbah<br />

Mbino dan mbah-mbah yang lain yang jumlahnya<br />

ribuan dari kamp-kamp yang berbeda se-Boyolali<br />

dikeluarkan dari sana dan digiring dengan<br />

pengawalan bedil tentara menuju ladang kerja paksa.<br />

Ladang kerja paksa pertama adalah pembangunan<br />

perusahaan air bersih (PDAM) guna menyuplai<br />

kebutuhan air bersih warga Boyolali kota. Proyek ini<br />

dari Tampir (Musuk) selanjutnya dialirkan ke kota<br />

Boyolali.<br />

“Yang bisa bikin bis bikin bis, yang nggak bisa<br />

ya menggali tempat bak air minium. Menyelesaikan<br />

bak air lima bulan. Menggalinya yang lama, batu<br />

11<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

19


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

daerah<br />

padas itu kalau nggak dibetel nggak bisa. Bagian saya<br />

hanya gebuk batu. Yang ada batu kita gepuk,” kenang<br />

Mbah Prapto. Sumber air bak ini diambil dari Tampir.<br />

Sungainya yang mengalir ke Boyolali itu dibendung,<br />

lalu disaring.<br />

Penyelenggaraan pembangunan air bersih<br />

(PDAM) ini tidak melalui pengawasan DPU, melainkan<br />

di bawah arahan “bedil” tentara. Dan sistem kerjanya<br />

hampir sama dengan proyek upahan macam<br />

sekarang. Bedanya bagi proyek ini tenaganya dihitung<br />

tanpa upah. Dan sistem kerjanya jelas, macam jam<br />

kerja, peralatan kerja, dan tenaga kerjanya. Untuk jam<br />

kerja mulai dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore.<br />

Peralatan yang biasa dipakai kerja paksa<br />

meliputi, kampak, cangkul, martil besar, betel. Sedang<br />

jenis pembagian kerja meliputi menggali tanah,<br />

memahat batu padas, menebang pohon,<br />

mengumpulkan batu pasangan, mengumpulkan batu<br />

kerikil dan pasir, dan terakhir mencetak bis/gorong.<br />

Untuk masing-masing pekerjaan tenaganya dibagi per<br />

kelompok menurut jenis pekerjaannya seperti di<br />

12<br />

atas.<br />

Dalam mengerjakan galian itu kadang jalur<br />

yang ditentukan melewati pohon yang harus ditebang<br />

untuk dilewati galian bis tadi. Dimana bis yang sudah<br />

tertanam untuk dialiri air bersih dari Sungai Kitel yang<br />

sejumlah tujuh tempat rembesan air, yang oleh Mbah<br />

Prapto menyebutnya tujuh tuk. Tuk dalam kosakota<br />

lokal berarti mata air. Untuk menggali bak guna<br />

menampung rembesan air/mata air ini membutuhkan<br />

waktu yang cukup lama karena tanahnya batu padas<br />

dan keras, terutama bak penampungan terakhir yang<br />

terletak di Boyolali Kota. Pekerjaan ini memerlukan<br />

tenaga tapol khusus dan makan waktu hampir lima<br />

bulan. Dan ukuran bak terakhir ini sekitar 60 meter<br />

dengan kedalaman tiga meter.<br />

Proses pembuatan bis ini melibatkan<br />

sejumlah kelompok kerja yang terdiri dari kelompok<br />

pencari batu kerikil dan pasir, kelompok pengecoran<br />

guna mencetak bis. Bahan material macam pasir dan<br />

kerikil dipikuli oleh tapol dari Sungai Gandul ke tempat<br />

pusat produksi bis yang jaraknya sekitar 100 meter,<br />

dan menyeberang jalan raya. Lokasi persisnya<br />

terletak di lapangan sepak bola Drobong, kelurahan<br />

Pusporenggo. Di sanalah proses pembuatan massal<br />

bis dari tangan para tapol yang bekerja dari jam tujuh<br />

pagi sampai jam enam sore tanpa upah, hanya jatah<br />

sebungkus nasi campur gabah setiap harinya. Dimana<br />

secara keseluruhan kelompok kerja harus mencapai<br />

sejumlah target yang telah ditentukan penguasa<br />

13<br />

proyek.<br />

Sungai Gandul yang melintasi kelurahan<br />

Pusporenggo, Boyolali dalam kondisi kering. Ia<br />

memperlihatkan pasir dan batu kerikil yang melimpah.<br />

Dari sinilah para tapol dahulu mengambil material<br />

sebagai bahan baku membuat bis guna saluran air<br />

bersih di Boyolali. Hingga kini penduduk sekitar masih<br />

memanfaatkan material tersebut guna bahan<br />

bangunan.<br />

Keterangan<br />

1 Razif: “Romusa dan Pembangunan: Sumbangan Tahanan<br />

Politik untuk Rezim Soeharto, dalam buku “Tahun Tak Pernah<br />

Berakhir Memahamai Pengalaman Korban 65”. <strong>Elsam</strong> & ISSI:<br />

2004: hal. 140.<br />

2. Lihat Undang-undang RI No. 19 Tahun 1999, Tentang<br />

Pengesahan ILO Convention No. 105 Concerning The<br />

Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai<br />

Penghapusan Kerja Paksa).<br />

3. Simpson, “Amerika Serikat, CIA dan Munculnya<br />

Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru” [Terjemahan]<br />

Gramedia, 2010: 243.<br />

4. Dalam hal ini lihat Koleksi Khusus Indok <strong>Elsam</strong>, “Himpunan<br />

Undang-Undang Surat Keputusan Perintah, Instruksiinstruksi<br />

dan Ketentuan-Ketentuan yang Berhubungan<br />

dengan Kopkamtib (Oktober 1965 s/d. Agustus 1972) yang<br />

diterbitkan oleh Sekretariat KOPKAMTIB yang setebal bantal<br />

sejumlah 915 halaman.<br />

5. Setelah meletusnya G-30-S 1965, di Cilacap, Jawa Tengah,<br />

penghuni satu desa diusir paksa oleh tentara untuk dijadikan<br />

perkebunan, dengan alasan adanya BTI. Padahal penghuni<br />

desa itu tidak hanya petani BTI saja ada Pertanu (petani NU),<br />

Pertani (petani PNI) namun mereka turut diusir kemudian<br />

sawah dan ladangnya dijadikan perkebunan dan dikuasai<br />

tentara Kodam Diponegoro. [Wawancara mbah Medi, pada 21<br />

Oktober 2011, Desa Ciawati, Cilacap Jawa Tengah.]<br />

.6. Lihat Juklak No.: PELAK-002/KOPKAM/10/1968 tanggal 16<br />

Oktober 1968 Tentang Kebijaksanaan Penyelesaian<br />

Tahanan/ Tawanan G.30.S/PKI. Koleksi Khusus Indok <strong>Elsam</strong>,<br />

“Himpunan Undang-Undang Surat Keputusan Perintah,<br />

Instruksi-instruksi dan Ketentuan-Ketentuan yang<br />

Berhubungan dengan Kopkamtib (Oktober 1965 s/d. Agustus<br />

1972) Sekretariat KOPKAMTIB hal. 289.<br />

7. Lihat SK No. KEP-009/KOPKAM/2/1969, tanggal 26 Februari<br />

1969, dalil menetapkan Pulau Buru sebagai tempat tinggal<br />

sementara bagi Tapol golongan B., ibid halaman 331.<br />

8. Lihat Surat Keputusan Pangkopkamtib No. KEP-<br />

007/KOPKAM/2/1969 tanggal 18 Februari 1969 tentang<br />

Organisasi dan Tugas Team Penjelesaian Tahanan<br />

G.30.S/PKI Pusat dan Daerah (TEPTAPU dan TEPTADA)<br />

(hal. 319-329).<br />

9. Wawancara dengan mbah Prapto, di Gondanglegi, Klego,<br />

Boyolali, pada 12 Nopember 2010<br />

10. Wawancara dengan Sutrisno, di Karang Kepok, Boyolali<br />

Utara, pada 14 September 2011<br />

11. Wawancara mbah Mbino di Karang Gede, 12 Nopember 2010.<br />

12. Wawancara dengan mbah Prapto, di Gondang legi 10<br />

Nopember 2010; mbah Mbino di Karanggede 12 Nop 2010,<br />

dan mbah Jono, di Klego, 16 September 2011.<br />

13. Wawancara mbah Sarjono dan Mujeri, di Kacangan, Boyolali<br />

17 September 2011<br />

20<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

internasional<br />

Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran:<br />

Suatu Kemajuan 1<br />

Oleh Rina Komaria Santoso<br />

(Kepala Seksi Pemajuan Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya Kementerian Luar Negeri RI)<br />

Tanggal 12 <strong>April</strong> 2012 menjadi hari bersejarah<br />

bagi para pekerja migran Indonesia. Pada hari<br />

itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui<br />

Sidang Paripurna mengesahkan International<br />

Convention on the Protection of the Rights of All Migrant<br />

Workers and Members of Their Families 1990 menjadi<br />

UU Pengesahan Konvensi Internasional mengenai<br />

Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan<br />

Anggota Keluarganya (Konvensi Pekerja Migran).<br />

Konvensi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB<br />

pada 18 Desember 1990 melalui Resolusi No. 45/158 ini<br />

awalnya merupakan inisiatif negara-negara asal pekerja<br />

migran untuk membentuk suatu standar perlindungan<br />

dengan lebih spesifik. Konvensi merupakan hasil dari<br />

kajian, dialog dan perdebatan mendalam antara dua sisi<br />

pemikiran, baik yang mewakili kepentingan negara asal<br />

pekerja migran, maupun negara tujuan.<br />

Diratifikasinya Konvensi Pekerja Migran<br />

merupakan puncak 13 tahun proses perjuangan<br />

Pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia dalam<br />

upaya mencapai pemahaman yang sama. Selama itu,<br />

terdapat perdebatan yang cukup kental mengenai perlu<br />

tidaknya Indonesia meratifikasi. Konvensi ini telah<br />

mengatur sejumlah jaminan, baik bagi tenaga kerja<br />

sendiri, maupun negara untuk mengeluarkan guideline<br />

perlindungan terhadap tenaga kerja lokalnya.<br />

Pasal 44 ayat (2) Konvensi, misalnya. Pasal ini<br />

menegaskan freedom of movement bagi para pekerja<br />

migran, termasuk hak untuk berpindah, masuk maupun<br />

meninggalkan negara apapun termasuk negara asal<br />

mereka. Pekerja migran juga diberi keleluasaan untuk<br />

berkumpul dengan keluarganya, dan negara diwajibkan<br />

untuk memfasilitasinya. Jaminan ini akan melahirkan<br />

kewajiban bagi negara untuk mengambil kebijakan yang<br />

sesuaidalam hal ini kebijakan bidang imigrasiuntuk<br />

menjamin agar pekerja migran dapat menikmati hak<br />

tersebut.<br />

Konvensi juga memberikan peluang kepada<br />

Pemerintah guna mengontrol arus migran yang masuk<br />

ke Indonesia. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 79<br />

yang menegaskan bahwa<br />

”tidak satu pun ketentuan<br />

dalam Konvensi ini boleh mempengaruhi hak setiap<br />

negara pihak untuk menetapkan kriteria yang mengatur<br />

penerimaan pekerja migran dan anggota keluarganya.”<br />

Dengan kata lain, Konvensi sendiri telah memberikan<br />

jaminan hak bagi negara untuk menetapkan suatu<br />

kebijakan penerimaan pekerja migran dan anggota<br />

keluarganya yang dipandang sesuai dan sejalan dengan<br />

hukum nasional.<br />

Terlepas dari hal tersebut, Konvensi tetap<br />

memberikan perlindungan terhadap kepentingan<br />

negara penerima buruh migran untuk tetap memberikan<br />

jaminan lapangan pekerjaan terhadap warganya,<br />

dengan memberikan keleluasaan pembatasan akses<br />

kategori pekerjaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 52 ayat<br />

2 (a) Konvensi yang berbunyi ”Terhadap tiap pekerja<br />

migran, negara tujuan kerja dapat membatasi akses<br />

pada kategori pekerjaan, fungsi, pelayanan atau<br />

kegiatan tertentu apabila diperlukan demi kepentingan<br />

Dok negara poto: tersebut Putra Bagus dan ditetapkan oleh ketentuan hukum<br />

nasional.”<br />

Perangkat hukum HAM di Indonesia mulai dari<br />

Konstitusi hingga peraturan hukum serta berbagai<br />

Konvensi Internasional yang telah diratifikasi, telah<br />

relatif sangat baik sebagai kerangka bagi kebijakan dan<br />

program Pemerintah dalam upaya pemenuhan dan<br />

perlindungan HAM. Berbagai nilai yang terkandung<br />

dalam Konvensi Pekerja Migran sedianya telah<br />

terkandung dalam berbagai aturan hukum di Indonesia.<br />

Pemenuhan hak-hak pekerja migran yang bekerja di<br />

Indonesia perlu secara optimis disikapi sebagai<br />

tantangan yang tidak asing lagi dihadapi oleh<br />

pemerintah.<br />

Lebih lanjut, Konvensi Pekerja Migran dapat<br />

menjadi modal dalam melengkapi dan<br />

menyempurnakan berbagai perangkat hukum nasional<br />

di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU No. 13 tahun<br />

2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 39 tahun<br />

2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga<br />

Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kebijakan prapenempatan<br />

TKI yang saat ini dimiliki Indonesia masih<br />

belum secara efektif melayani TKI dalam proses<br />

persiapannya. Meratifikasi Konvensi ini berarti<br />

memperbaiki prosedur standar dalam mempersiapkan<br />

TKI yang akan bekerja di Luar Negeri.<br />

Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran telah<br />

mendemonstrasikan komitmen Pemerintah untuk ikut<br />

serta dalam upaya global meningkatkan perlindungan<br />

terhadap pekerja migran di dunia. Indonesia sebagai<br />

salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di<br />

dunia, telah menunjukkan martabat yang tinggi dengan<br />

memberikan hak dan perlindungan terhadap pekerja<br />

migran asing yang berada di Indonesia. Bukankah itu<br />

sebuah kemajuan?<br />

Keterangan<br />

1 Tulisan merupakan opini pribadi penulis<br />

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012<br />

21


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

resensi<br />

Langkah Berharga Pemda Sanggau Terkait HAM<br />

Oleh Andi Muttaqien<br />

(Staf Pelaksana Program Bidang Advokasi Hukum ELSAM)<br />

Judul Buku<br />

Penyusun<br />

Editor<br />

Penerbit<br />

: Manual Penyusunan Peraturan Daerah Berbasis Hak <strong>Asasi</strong> Manusia<br />

: Marina Rona, Yulia Theresia, Laurianus Yoka, dkk.<br />

: Melia Karyati dan Wahyu Wagiman<br />

: Bagian Hukum Setda Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat<br />

Bekerjasama dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat<br />

(ELSAM)<br />

Konsekuensi lahirnya UU No. 32 Tahun 2004<br />

tentang Pemerintahan Daerah adalah<br />

lahirnya ribuan peraturan daerah, baik<br />

tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.<br />

Selain itu, melalui Amandemen UUD 1945 Kedua,<br />

sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (6)<br />

UUD 1945, peraturan daerah mendapatkan landasan<br />

konstitusionalnya untuk melaksanakan otonomi dan<br />

tugas pembantuan. Harapannya tentu adalah demi<br />

pemberdayaan daerah masing-masing dan<br />

menghadapi persoalan kongkrit di masyarakat dan<br />

mengakomodir tuntutan masyarakat dalam<br />

kesejahteraan mereka.<br />

Kendati demikian, ternyata dalam<br />

perkembangannya tak jarang muncul peraturanperaturan<br />

daerah yang diskriminatif, meminggirkan<br />

hak minoritas, hak perempuan atau bahkan menjadi<br />

legitimasi kekerasan yang dilakukan beberapa ormas<br />

intoleran. Sebagaimana catatan Komnas<br />

Perempuan, pada 2010 terdapat 189 Perda yang<br />

mendiskriminasi perempuan. Selain itu banyak perda<br />

di banyak daerah yang melarang aktivitas Jemaat<br />

Ahmadiyah.<br />

Pada 2011 tercatat sekitar 351 perda<br />

dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan alasan<br />

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.<br />

Tahun-tahun sebelumnya, Kementerian juga<br />

mencatat ratusan perda yang dibatalkan terkait<br />

kepentingan investasi, dan lainnya. Tingginya jumlah<br />

perda yang dibatalkan menunjukkan ada persoalan<br />

serius terkait pengeluaran aturan di tingkat lokal.<br />

Entah karena hirarki peraturan perundangundangan,<br />

atau karena substansinya yang<br />

melanggar hak asasi manusia.<br />

Di tengah maraknya kemunculan perda<br />

diskriminatif di sejumlah daerah, inisiatif Setda<br />

Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menerbitkan<br />

Manual Penyusunan Perda Berbasis HAM patut<br />

diapresiasi. Pada manual ini terdapat pedoman yang<br />

berlaku bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)<br />

atau legal drafter seluruh instansi yang ada di<br />

Kabupaten Sanggau dalam menyusun/merancang<br />

peraturan daerah di tingkat lokal. Dalam manual<br />

disertakan pula prinsip dan norma penyusunan<br />

peraturan daerah yang bersesuaian dengan hak<br />

asasi manusia dan kesetaraan gender.<br />

Diawali dengan bab Pendahuluan yang<br />

memaparkan pentingnya pembuatan manual<br />

penyusunan Perda ini. Pemda menguraikan<br />

banyaknya perda kontroversial dan bermasalah<br />

dalam implementasinya, bahkan terindikasi menjadi<br />

legitimasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia,<br />

merupakan latar dari upaya untuk mengintegrasikan<br />

hak asasi manusia ke dalam peraturan daerah.<br />

Pemda juga menekankan bahwa peran Pemerintah<br />

juga termasuk menghormati, melindungi dan<br />

memenuhi HAM.<br />

Pada bab selanjutnya memaparkan soal<br />

integrasi HAM dan kesetaraan gender ke dalam<br />

Peraturan Daerah. Pembahasan dimulai dengan<br />

definisi, prinsip-prinsip HAM, isu HAM dan kedaulatan<br />

Negara sampai pada bagaimana posisi Pemerintah<br />

dalam pembatasan HAM, yang dilanjutkan dengan<br />

pembahasan kesetaraan gender.<br />

Yang menjadi inti buku ini adalah panduan<br />

teknis tentang penyusunan peraturan daerah. Di<br />

dalamnya dijelaskan detail mengenai definisi<br />

peraturan daerah, dasar hukum dan tanggung jawab<br />

pemerintah daerah, kedudukan dan hirarki peraturan<br />

perundang-undangan, proses penyusunan, serta<br />

naskah akademik dan pentingnya partisipasi publik<br />

sebagai salah satu bentuk prinsip akses informasi<br />

dan partisipasi yang tentu juga menjadi bagian prinsip<br />

dari Hak<strong>Asasi</strong> Manusia.<br />

22<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012


PETA KALIMANTAN BARAT<br />

KABUPATEN SANGGAU<br />

Idealnya, keterlibatan publik dalam penyusunan<br />

peraturan daerah terjadi pada semua tahapan, yakni<br />

perencanaan, persiapan, pembahasan, dan<br />

sosialisasi. Hal ini agar sejak awal pemerintah daerah<br />

telah mengetahui dan menyerap aspirasi masyarakat<br />

yang akan dituangkan dalam bentuk peraturan<br />

daerah.<br />

Bab terakhir manual ini menjelaskan<br />

bagaimana peran parlemen dalam perlindungan dan<br />

promosi hak asasi manusia. Bagian ini seakan ingin<br />

menegaskan bahwa urusan hak asasi manusia tidak<br />

hanya urusan eksekutif sebagai pelaksana<br />

pemerintahan, tapi juga DPRD dengan seperangkat<br />

haknya, sebagai lembaga perwakilan dan<br />

representasi rakyat.<br />

Manual ini dilengkapi UU No. 12 tahun 2011<br />

tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan;<br />

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15<br />

tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum<br />

Daerah; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16<br />

tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk<br />

Hukum Daerah; serta Rancangan Peraturan Daerah<br />

Kabupaten Sanggau tentang Lembaga Adat, yang<br />

tentunya menambah poin bagi positif Pemerintah<br />

Daerah Sanggau dalam penghormatan,<br />

perlindungan dan pemenuhan hak dasar warganya.<br />

Langkah sederhana dan berharga dari<br />

Pemda Sanggau ini patut menjadi contoh di berbagai<br />

daerah lainnya di Indonesia.<br />

KABUPATEN SANGGAU<br />

Sumber: Sanggauhumas.wordpress.com


PROFIL ELSAM<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat<br />

ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus<br />

1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan<br />

melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana<br />

diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak <strong>Asasi</strong> Manusia Perserikatan<br />

Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di<br />

Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM).<br />

VISI<br />

Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi<br />

manusia.<br />

MISI<br />

Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipilpolitik<br />

maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan.<br />

KEGIATAN UTAMA:<br />

1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia;<br />

2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya;<br />

3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan<br />

4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia<br />

PROGRAM KERJA:<br />

1. Meniadakan kekerasan atas HAM, termasuk kekerasan atas HAM yang terjadi di masa lalu dengan aktivitas<br />

dan kegiatan yang berkelanjutan bersama lembaga-lembaga seperjuangan lainnya.<br />

2. Penguatan Perlindungan HAM dariAncaman Fundamentalisme Pasar, FundamentalismeAgama, dan<br />

Komunalisme dalam Berbagai Bentuknya.<br />

3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan<br />

Akuntabilitas Lembaga.<br />

STRUKTUR ORGANISASI:<br />

Badan Pengurus:<br />

Ketua<br />

: Sandra Moniaga, SH.<br />

Wakil Ketua : Ifdhal Kasim, SH.<br />

Sekretaris : RoichatulAswidah, Msc.<br />

Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LLM<br />

Bendahara II :Abdul Haris Semendawai SH, LLM<br />

Anggota Perkumpulan:<br />

Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Asmara Nababan; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir. Agustinus<br />

Rumansara, M.Sc.; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria<br />

Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Ir. Yosep Adi Prasetyo; Francisia Saveria Sika Ery Seda, PhD; Raharja Waluya<br />

Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Tugiran S.Pd; Herlambang Perdana SH, MA<br />

Badan Pelaksana:<br />

Direktur Eksekutif : Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H. LLM;<br />

Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan , dan Plt Kepala DivisiAdvokasi Hukum: Wahyu Wagiman, SH.<br />

Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM), dan Plt Kepala Divisi Monitoring Kebijakan dan<br />

Pengembangan Jaringan: ZainalAbidin, SH.<br />

Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: OttoAdi Yulianto, SE;<br />

Staf:<br />

Ahmad Muzani; Andi Muttaqien SH; Elisabet Maria Sagala, SE; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Pratsnawati;<br />

Ikhana Indah Barnasaputri, SH; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena, SE; Paijo; Rina Erayanti; Triana Dyah, SS; Siti<br />

Mariatul Qibtiyah; Sukadi; Wahyudi Djafar; Yohanna Kuncup<br />

Alamat<br />

Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, INDONESIA- 12510<br />

Tel: +62 21 7972662, 79192564, Fax: +62 21 79192519<br />

E-mail : office@elsam.or.id, Web page: www.elsam.or.id

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!