Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam
Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam
Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
editorial<br />
Mengapa Harus (Membela) Korban<br />
Saya, seperti kebanyakan generasi yang lahir<br />
di era 1970an, sebenarnya hampir tak<br />
memiliki memori visual apapun mengenai<br />
tragedi kemanusiaan yang mengiringi<br />
naiknya Orde Baru ke tampuk kekuasaan di<br />
Indonesia, yang lantas mengisi tiga puluh lima tahun<br />
periode kekuasaannya dengan represif. Bahkan<br />
berbagai tragedi kekerasan yang berlatar belakang<br />
politik lainnya yang terjadi jauh sebelum atau<br />
sesudahnya seperti Gulag Pulau Buru dan<br />
Plantungan, pembunuhan Talangsari, Tanjung Priok,<br />
rangkaian kekerasan yang merenggut sejumlah<br />
besar korban diAceh dengan pemberlakukan Operasi<br />
Militer, hanya karena mereka hampir tak pernah<br />
tersebut dalam buku-buku pelajaran. Mungkin nasib<br />
yang sama juga dialami oleh generasi-generasi yang<br />
lahir belakangan, karena hanya sedikit perubahan<br />
yang ada dalam kasanah narasi resmi mengenai<br />
sejarah bangsa ini, khususnya yang secara resmi<br />
dipergunakan sebagai buku rujukan di sekolahsekolah<br />
baik SD, SMP maupun setingkat SMA.<br />
Mungkin seperti kebanyakan generasi seusia<br />
saya yang lainnya, perbincangan mengenai hal<br />
tersebut hampir tak ditemukan dalam obrolan seharihari<br />
di rumah. Rasanya sulit mempercayai kedua<br />
orang tua saya tak mengetahui apa yang terjadi di<br />
waktu-waktu itu, tapi seperti kebanyakan keluarga<br />
lain, mungkin mereka memilih menutup rapat-rapat<br />
perbincangan itu, seperti takut akan adanya hantu<br />
yang tiba-tiba muncul bila hal itu diperbincangkan.<br />
Alhasil, narasi-narasi itu selama bertahun-tahun<br />
terpendam rapat-rapat dari generasi-generasi seusia<br />
saya atau pun yang lebih muda.<br />
Seperti kebanyakan generasi seusia saya<br />
yang tak terafiliasi dengan ormas-ormas yang terkait<br />
atau sering dikaitkan dengan Tragedi 1965 atau<br />
tragedi-tragedi lain yang terjadi sesudahnya, sulit<br />
menakar kedekatan emosi pada perdebatan<br />
mengenai tarik ulur kepentingan dan konteks politik<br />
yang melingkupi peristiwa-peristiwa tersebut seperti<br />
tergambar dalam debat antara Magnis Suseno (24/3)<br />
dan Sulastomo (31/3) di Harian Kompas.<br />
Meskipun demikian, satu yang realitas yang<br />
tak terbantahkan adalah kehadiran para korban dan<br />
seluruh narasinya. Mereka adalah realitas yang<br />
faktual, manusia yang hidup, beberapa diantaranya<br />
renta dimakan usia, punya alamat tinggal yang jelas<br />
dan diakui sebagai warga negara karena rata-rata<br />
memiliki KTP. Sebagian kecil ada yang beruntung tak<br />
memiliki kesulitan ekonomi, tapi sebagian besar<br />
lainnya hidup dalam situasi yang sulit bertahan hidup<br />
dengan kondisi yang memprihatinkan.<br />
Tutur mereka mengenai serangkaian<br />
perbuatan yang tak manusiawi, mulai dari narasi<br />
penyiksaan yang kejam selama pemeriksaan yang<br />
kadang tak jelas legal atau ilegal karena tak jelas dari<br />
otoritas mana mereka berasal tentu bukanlah isapan<br />
jempol. Narasi yang sama saya dengar pula dari<br />
beberapa korban penculikan tahun 1998 yang<br />
berhasil kembali dan meneruskan kehidupan mereka.<br />
Kekerasan seksual seperti maaf- menusuk<br />
kemaluan dengan batang kayu seperti diungkap dari<br />
data forensik Marsinah, maupun tuturan langsung<br />
para ibu-ibu yang menjadi tahanan politik paska<br />
tragedi 1965 jelas menghentak kesadaran<br />
kemanusiaan, apalagi jika Anda perempuan. Tak<br />
hanya membuat bergidik, narasi ini jelas terlalu jauh<br />
dari fantasi yang mungkin terbayangkan. Bagi<br />
generasi seusia saya, sosok mereka jauh lebih nyata,<br />
senyata fakta bahwa atas alasan apapun perlakuan<br />
yang mereka alami tak bisa dibenarkan oleh akal<br />
sehat kemanusiaan manapun, atau berdasar agama<br />
atau kepercayaan apapun. Apalagi bila merujuk pada<br />
klaim prinsip dan norma hak asasi manusia yang jelas<br />
telah menjadi jaminan konstitusional di negeri ini.<br />
Bila demikian adakah alasan lain yang masuk<br />
akal untuk tidak membela keinginan mereka yang<br />
sederhana, supaya narasinya didengar dan diakui?<br />
Adakah alasan yang lebih kuat bagi Pemerintah<br />
(baca-negara) untuk menganggap seolah mereka<br />
tidak ada? Sekecil apapun langkah konkrit harus<br />
segera diwujudkan, justru karena tak lagi ada alasan<br />
tersisa untuk Pemerintah untuk tidak berbuat apaapa,<br />
dan terus berdiam seolah tak terjadi apa-apa.<br />
Indriaswati D. Saptaningrum<br />
Direktur Eksekutif ELSAM<br />
04<br />
ASASI EDIS MARET-APRIL 2012