13.07.2015 Views

Belum Berdaulat, Indonesia Sudah Krisis Energi - Ford Foundation ...

Belum Berdaulat, Indonesia Sudah Krisis Energi - Ford Foundation ...

Belum Berdaulat, Indonesia Sudah Krisis Energi - Ford Foundation ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

SASTRA RUBRIK SJ41Mrs. EsaByRilda A.Oe. Taneko*Gerbang-gerbang sekolah di perkampungankumuh itu dilengkapi oleh metal detector. Hampirsetiap hari suara tembakan terdengar. Dindingdindingbangunan, toko-toko dan lorong bawahseni. Di satu sudut perkampungan itu, terdapatsebuah komplek apartemen, yang juga terlihatkumuh.Apartemen itu berbentuk kotak, bertingkattiga belas, dan di tiap tingkatnya terdapatratusan rumah. Cat dinding apartemen yangberwarna kecokelatan sudah banyak mengelupas.Jendela dan pintu kayu berlubang dimakanirayap atau lapuk oleh umur dan cuaca. Tiaplantai dibatasi pagar berbentuk jeruji, serupadengan pegangan tangga, pagar-pagar itupunberupa besi-besi hitam tanpa cat. Satusatunyalift yang ada sudah sangat tua, bisingbergemuruh dan berderik ketika bekerja, berbaupesing pula.Rumah-rumah yang ada di apartemen itutidak besar. Bahkan orang-orang yang tak tinggaldi sana menyebut rumah-rumah itu serupa kotaksepatu atau sangkar burung, semacam pigeonhole.Mrs. Esa tinggal di lantai tujuh apartemen itu.Ia menghuni rumah nomor tujuh ratus dua puluhempat yang terletak di blok C. Mrs. Esa seorangpekerja keras. Ia memiliki tiga orang anak remajayang harus dihidupinya. Suaminya telah lamapergi meninggalkannya. Siang dan malam Mrs.Esa berjaga menunggu panggilan tugas. Takjarang ia harus menginap.Seperti siang itu, di satu sudut apartemen,Mrs. Esa berdiri menunggu lift. Tas berisiperlengkapan menginapnya ia letakkan di dekatkaki. Tak lama, Mrs. Esa mendengar gemuruhlift bergerak dari lantai bawah menuju lantaiia menunggu. Ia bersiap menjinjing tasnya.Seorang remaja keluar dari lift. Mrs. Esa tidakdapat melihat wajahnya. Remaja itu berjalancepat melewatinya, tubuhnya membungkuk danwajahnya bersembunyi dibalik hoody, tutupkepala dari baju yang dipakainya.Mrs. Esa menggeleng-gelengkan kepala.Tak punya sopan santun, pikirnya. Tak adasapaan halo ataupun goodbye. Mrs. Esa melirikjam di tangannya. Ini masih jam sekolah danremaja itu masih usia sekolah. Entah apa yangdilakukannya di luar sekolah hari ini. Mrs. Esamendengus, remaja tak berguna, tua nanti hanyaakan bergantung pada tunjangan negara. Ya,hanya akan hidup dari pajak yang dibayar orangorangsepertinya, yang selalu bekerja keras.Keluar dari lift, Mrs. Esa berpapasan dengandua orang tua, mereka saling melempar senyum.“Ni hao?” sapa satu orang tua.Entah keberapa kalinya Mrs. Esa mendapatsapaan demikian. Dan entah ke berapa kalinya,Mrs. Esa menjawab, “Aku bukan orang Cina. Akudari <strong>Indonesia</strong>.”Wajah kosong adalah respon yang selalu Mrs.Esa dapat dari penyapanya. Mungkin merekatidak pernah mendengar <strong>Indonesia</strong>, pikir Mrs.Esa. Mungkin bagi mereka, semua orang AsiaTenggara terlihat sama, serupa dengan bangsaCina.Mrs. Esa pun berlalu dengan menggelenggelengkepala.Seberlalunya Mrs. Esa, dua orang tua ituberbisik-bisik. George menyenggol pundak Calum,“Perempuan penghibur.” Sambil berbisik begitumatanya melirik ke arah Mrs. Esa.“Apa kamu yakin?” tanya Calum.“Ya, ia sering tak pulang malam, pagi-pagibaru datang. Tak punya suami pula.”“Nah,” geleng Calum, “dia terlihat sepertiorang baik. Iapun sudah berumur, tambun danberwajah biasa-biasa pula.”“Kamu tidak akan pernah tahu denganimigran-imigran ini. Jika mereka dapat kerjabersih-bersih, mereka tentu akan lakukan itu.Tapi jika tidak?”“Setidaknya mereka bekerja, tidak sepertikau,” Calum tertawa.“Aku bekerja? Nah. Untuk apa? UntukVOL. 2 TAHUN 1 - SEPTEMBER 2012SOCIAL JUSTICE MAGZ

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!