13.07.2015 Views

Belum Berdaulat, Indonesia Sudah Krisis Energi - Ford Foundation ...

Belum Berdaulat, Indonesia Sudah Krisis Energi - Ford Foundation ...

Belum Berdaulat, Indonesia Sudah Krisis Energi - Ford Foundation ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

SASTRA SJ43“Siapa lagi yang mati siang ini?” pikirnya.Lalu sirine meraung dari jalanan. Mobilmobilmenepi, membiarkan beberapa mobil polisiberlalu cepat.Mrs. Esa membalikkan badan, menjauhiasal suara tembakan dan raung sirine. Denganbergegas ia menuju underground terdekat.***Minggu berselang sejak hari itu. Di komplekapartemen kumuh, di satu rumah yang serupasangkar burung, Mrs. Esa berdiri terpakumemandangi televisi. Kemudian, seperti tersadaria berlari ke jendela. Ia dapat melihat asap hitammembumbung tinggi, memenuhi langit di luarsana.Mrs. Esa berlari keluar rumah, berpeganganpada pagar besi hitam, ia melihat ke lapanganbawah. Puluhan remaja berkumpul pada sudutsudutlapangan semen dan serentak merekaberjalan keluar gerbang apartemen. Mrs. Esatidak dapat melihat wajah mereka, semuamenutupkan hoody pada kepala mereka.Mrs. Esa dapat melihat George dan Calumdi apartemen seberang. Merekapun sedangmemandang ke arah kelompok remaja itu juga.Lalu Mrs. Essa melihat mereka bergegas kembalike rumahnya masing-masing, menutup pintu danjuga tirai jendela.Mrs. Esa berlari kembali ke rumahnya,mencoba menghubungi telepon genggam ke tigaanaknya. Tak ada satupun yang mengangkat.Mrs. Esa merasai panik dan degup jantungnyayang menguat. “Mereka ada di sekolah,” hiburnyapada diri sendiri. “Mereka masih di sekolah danakan kembali sebentar lagi.”Namun senja mulai memerahi langit. Asaphitam di luar sana terlihat semakin tebal danbergulung-gulung menghitamkan langit kota.Anak-anaknya belum juga pulang. Mrs. Esa mulaimerasai matanya memanas. Ia merasa gagal.Mrs. Esa berdiri memandangi api yangmembara di televisi. Rumah-rumah dibakar, tokotokodijarah. Polisi dicaci-maki dan dilemparidengan bata. Penembakan seorang remajakulit hitam oleh polisi, sepekan silam, adalahpemicu kerusuhan, demikian penyiar televisimemberitakan.“Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?” tanyaseorang pemain bola.“Apa yang terjadi pada negeri ini?” tanyapenyiar televisi.“Apa masyarakat kita sakit?” tanya walikotaLondon.“Negeri yang lemah lembut begini?” gelengseorang selebriti.Mrs. Esa berlari menjauhi televisi. Ia terusberlari, meninggalkan pintu rumah yang terbuka.Sepanjang jalan tak henti ia meneriaki namaketiga anaknya. Ia telah gagal. Setelah ini, iatak tahu apakah ia akan mampu kembali ke<strong>Indonesia</strong>.Mrs. Esa terus berlari, menuju senja yangmerah. Membara.Lancaster, September 2011Rilda Aprisanti Oelangan Taneko lahir di Tanjung Karang, tahun 1980. Ia menyelesaikan S1 Sosiologi (Cum Laude) dariUniversitas Lampung (Unila) dan S2 Bidang Jender dan Pembangunan di Institute of Social Studies, Den Haag. Sejak 2005,Rilda hidup berpindah-pindah. Kota Maastricht, Den Haag (Belanda), Semenyih (Malaysia), Newcastle upon Tyne dan Lancaster(Inggris) adalah kota-kota yang pernah ditinggalinya.Tulisan-tulisan ilmiah dan cerpen-cerpennya tersebar di berbagai media,antara lain Jurnal Perempuan, KPEL-Bappenas Bulletin, Jurnal Sosiologi, Lampung Post dan Radio Netherlands. Cerpen IstriPilihan yang dialihbahasakan menjadi The Chosen Wife ikut dalam pameran 100 Faces, 100 Stories, Newcastle upon Tyne,UK.Cerpen Sungai Tyne, Sebuah Labirin dan Pokok Cemara Tua terbit di antologi 30 Hari dalam Cinta-Nya (Dragon Publisher,Hongkong, 2010 dan di Taiwan, 2011). Kumpulan cerita pertamanya, Kereta Pagi Menuju Den Haag, diterbitkan oleh PenerbitPensil-324, Jakarta, 2010.VOL. 2 TAHUN 1 - SEPTEMBER 2012SOCIAL JUSTICE MAGZ

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!