You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Perkembangan ekonomi Indonesia<br />
dalam beberapa tahun terakhir<br />
ditandai oleh berlangsungnya<br />
dua hal secara bersamaan. Di satu<br />
sisi, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia<br />
cenderung melambat. Dalam periode 2010 -<br />
2012, misalnya, laju pertumbuhan ekonomi<br />
Indonesia masih berada dalam kisaran<br />
6,2 - 6,5 persen. Namun pada 2013 laju<br />
pertumbuhan ekonomi Indonesia tiba-tiba<br />
merosot menjadi 5,4 persen. Bahkan, pada<br />
2015, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia<br />
merosot lebih jauh menjadi 4,8 persen.<br />
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada<br />
2016 diperkirakan hanya akan berada dalam<br />
kisaran 5,0 - 5,1 persen.<br />
Di sisi lain, kesenjangan ekonomi<br />
Indonesia yang diukur dengan angka Gini<br />
Ratio, cenderung meningkat. Hingga akhir<br />
2010, Gini Ratio Indonesia masih berada<br />
di bawah 0,38. Namun sejak 2011, Gini<br />
Ratio Indonesia tiba-tiba melonjak mencapai<br />
0,41. Lonjakan Gini Ratio yang cukup besar<br />
tersebut terutama dipicu oleh lonjakan Gini<br />
Ratio di daerah perkotaan. Hingga Maret<br />
2016, walaupun Gini Ratio Indonesia telah<br />
turun sedikit menjadi 0,397, Gini Ratio di<br />
daerah perkotaan masih bertahan sebesar<br />
0,41.<br />
Kedua perkembangan tersebut tentu<br />
sangat merisaukan. Terkait pelambatan laju<br />
pertumbuhan ekonomi, kegelisahan terutama<br />
dipicu oleh sangat besarnya jarak antara<br />
target yang dicanangkan dalam Rencana<br />
Pembangunan Jangka Menengah Nasional<br />
(RPJMN) dengan tingkat pencapaiannya.<br />
Sebagaimana diketahui, target laju<br />
pertumbuhan ekonomi 2015 - 2019 yang<br />
tercantum dalam RPJMN adalah sebesar 7,0<br />
persen. Dengan realisasi dua tahun pertama<br />
yang jauh berada di bawah target, peluang<br />
untuk mencapai target RPJMN itu tentu<br />
terasa semakin berat.<br />
Persoalannya adalah, ditengah-tengah<br />
perkembangan perekonomian dunia<br />
yang secara merata cenderung melambat,<br />
masuk akalkah memaksakan diri untuk<br />
mencapai target pertumbuhan yang lebih<br />
tinggi? Jika dibandingkan dengan laju<br />
pertumbuhan ekonomi di beberapa negara<br />
lain, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia<br />
sesungguhnya tidak terlalu mengecewakan.<br />
Laju pertumbuhan ekonomi Thailand pada<br />
2015, misalnya, hanya 2,5 persen, Korea<br />
Selatan 2,5 persen, Australia 2,3 persen,<br />
Singapura 1,9 persen, dan Jepang 0,7 persen.<br />
Bahkan Cina, yang pada 2010 masih tumbuh<br />
di atas 10 persen, pada 2015 hanya mampu<br />
tumbuh sebesar 6,9 persen.<br />
Sebaliknya dengan persoalan pelebaran<br />
kesenjangan ekonomi. Tanda-tanda<br />
perbaikan Gini Ratio memang sudah<br />
mulai kelihatan. Namun karena dihitung<br />
berdasarkan pendekatan pengeluaran, Gini<br />
Ratio sesungguhnya belum sepenuhnya<br />
mengungkapkan fakta kesenjangan ekonomi<br />
yang dialami Indonesia. Menurut fakta<br />
yang sebenarnya, sebagaimana diungkapkan<br />
oleh Bank Dunia pada akhir 2015 lalu, satu<br />
persen rumah tangga terkaya di Indonesia<br />
ternyata telah menguasai sekitar 50,3 persen<br />
kekayaan nasional, sedangkan 10 persen<br />
rumah tangga terkaya telah menguasai sekitar<br />
77 persen kekayaan nasional.<br />
Berdasarkan angka-angka tersebut, maka<br />
Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai<br />
negara dengan tingkat konsentrasi kekayaan<br />
nomor tiga terburuk di dunia. Dua negara<br />
yang mengungguli Indonesia adalah Rusia<br />
dan Thailand, masing-masing dengan tingkat<br />
konsentrasi kekayaan sebesar 66 persen dan<br />
50,5 persen. Sebagai pembanding, tingkat<br />
konsentrasi kekayaan di dua negara tetangga<br />
terdekat, Singapura dan Australia, masingmasing<br />
hanya 28,6 persen dan 21,1 persen.<br />
Menyimak berbagai fakta sebagaimana<br />
di atas, mungkin saat ini merupakan waktu<br />
yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan<br />
reorientasi dalam pelaksanaan pembangunan<br />
ekonominya. Alih-alih terus memaksakan<br />
diri untuk memacu laju pertumbuhan<br />
ekonomi, mungkin ada baiknya bila kita<br />
lebih memusatkan perhatian pada upaya<br />
untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan<br />
ekonomi.<br />
Reorientasi pelaksanaan pembangunan<br />
ekonomi untuk mewujudkan pertumbuhan<br />
yang berkualitas ini, sama sekali tidak<br />
dimaksudkan untuk mengabaikan laju<br />
pertumbuhan ekonomi. Yang perlu dilakukan<br />
adalah menyesuaikan strategi pencapaiannya.<br />
Jika selama ini pertumbuhan ekonomi dicoba<br />
dipacu dengan menggelar karpet merah<br />
bagi masuknya modal asing, maka dengan<br />
menggeser orientasi pembangunan ekonomi<br />
ke arah pertumbuhan yang berkualitas, hal<br />
tersebut dicoba dicapai dengan memperkuat<br />
permintaan domestik.<br />
Beberapa agenda strategis yang perlu<br />
mendapat perhatian sehubungan dengan<br />
reorientasi pertumbuhan ini adalah:<br />
pelaksanaan reforma agraria, peningkatan<br />
kualitas angkatan kerja, peningkatan alokasi<br />
kredit untuk UMKM, pengembangan<br />
industri substitusi impor, dan pengurangan<br />
kesenjangan ekonomi antar wilayah.<br />
Dengan orientasi dan agenda seperti<br />
itu, secara fiskal, pemerintah tidak hanya<br />
terhindar dari keharusan untuk terus<br />
menerus menggenjot pendapatan negara<br />
atau memangkas belanja pelayanan sosial,<br />
tetapi juga dapat menahan diri dari dorongan<br />
untuk membuat utang baru. Reorientasi<br />
pelaksanaan pembangunan ekonomi untuk<br />
mewujudkan pertumbuhan yang berkualitas<br />
ini, hemat saya, tidak hanya sejalan dengan<br />
amanat untuk mewujudkan “keadilan<br />
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tetapi<br />
juga sejalan dengan semangat Nawacita.<br />
Wallahua’lam bishawab. n<br />
FEBRUARI 2017 | | 41