Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Hari masih teramat pagi saat Omabak beranjak keluar dari itore**, honae<br />
khusus kaum laki-laki Amungme. Kabut seolah enggan pergi. Omabak hanya<br />
dapat memandang sampai beberapa meter ke depan karena terhalang kabut.<br />
Tapi, Omabak bisa memastikan, di sekelilingnya adalah pegunungan yang membiru.<br />
Suku Amungme memang tinggal di bagian tengah gugusan Pegunungan Jayawijaya,<br />
daerah yang berketinggian sekitar dua ribu meter di atas permukaan laut.<br />
Omabak sedikit menggigil. Tubuhnya belum beradaptasi sepenuhnya dengan<br />
udara sekitar. Dulu, ia hanya bertelanjang dada, seperti pemuda Amungme lainnya.<br />
Sekarang, ia tak sanggup lagi. Selain tentunya, ia mempunyai perasaan malu yang<br />
lebih banyak ketimbang dulu.<br />
Omabak menggerakkan tubuh seperti gerakan senam, sekadar pemanasan.<br />
Dirapatkan jaket yang sedikit terbuka bagian depan. Omabak menggosok kedua<br />
telapak tangan sekadar menghangatkan diri. Menikmati hijaunya rumput dan<br />
pepohonan di dekatnya. Begitu menyejukkan mata. Berbeda dengan Yogya, yang<br />
di mana-mana berseliweran kendaraan roda dua dengan asap yang tak hentinya<br />
disemprotkan knalpot. Begitu terpolusinya hingga teman kuliahnya banyak yang<br />
mengenakan masker. Menutupi mulut dan hidung bia tengah berkendaraan.<br />
Omabak tersenum sendiri mengingat Yogya. Yogyalah yang membuat ia<br />
menemukan jalan menuju kebenaran. Omabak menundukkan pandangan ke<br />
bawah. Jauh di sana, tampak jalan setapak keluar dari Opitawak. Jalan yang<br />
berliku dari lerengn tempatnya berdiri hingga menuju Lembah Waa.<br />
Omabak tidak menyadari bahwa Impamai, ibunya, telah berada di belakang.<br />
Hanya berjarak sekitar satu meter.<br />
“kau sudah bangun, Omabak?” impamai, wanita tua itu tak bisa<br />
menyembunyikan keheranan melihat Omabak yang sudah terbangun di pagi buta.<br />
Biasanya, anak tertuanya itu agak sulit untuk dibangunkan. Itu pun harus disertai<br />
amarah Omabak yang kesal karena tidurnya terganggu. Omabak membalikkan<br />
tubuh. Tersenyum hangat kepada Impamai. Gurat keriput di wajah ibunya terlihat<br />
semakin jelas. Lebih banyak dari delapan tahun yang lalu.<br />
“Iya, Bu....”<br />
“Ibu rasa, kau....”<br />
“Apa, Bu?”<br />
124 Asyiknya Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia SMP/MTs Kelas IX