08.08.2013 Views

Majalah Santunan edisi Agustus 2011 - Kementerian Agama Prov ...

Majalah Santunan edisi Agustus 2011 - Kementerian Agama Prov ...

Majalah Santunan edisi Agustus 2011 - Kementerian Agama Prov ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Laporan Utama<br />

dari keadilan adalah ketenteraman,” satu<br />

lagi pemikiran bagus orang Yunani, Epicurus.<br />

Pemikiran terbuka orang modern,<br />

sok warga kota ini, semestinya harus<br />

melawan kezaliman penguasa, penolak<br />

syariat, bersenda gurau dengan syariat.<br />

Namun bagi orang Aceh sekarang moga<br />

tidak kian kabur, mana yang tepat untuk<br />

Aceh dari dua ungkapan Lazare Carnot<br />

ini: “Di negara merdeka banyak tuntutan,<br />

tetapi sedikit penderitaan; di negara<br />

yang zalim terdapat sedikit keluhan<br />

tetapi banyak penderitaan.” Jelas itu<br />

hanya pepatah, semoga bukan realitas di<br />

sini, pra dan pascapilkada.<br />

Kalau begitu, dengan mengenang<br />

kembali kisah ‘keparkasaan’, namun justeru<br />

di situ ada kelemahan, dari seorang<br />

Khalifah Sulaiman al-Qanuny --yang<br />

banyak membuat qanun selama kekuasaannya<br />

gemilang, namun pelan-pelan<br />

kekhalifahan runtuh karena korupsi dan<br />

gejolak dalam provinsi-- kita jadi<br />

ingat pada pemerintah sendiri<br />

yang saban hari mungkin asyik<br />

dengan peraturan-peraturan,<br />

tapi (lucunya) mungkin tak pernah<br />

asyik dijalankan, setengah<br />

hati kita sahuti. Rakyat juga tak<br />

semua asyik menyahutinya, juga<br />

oleh oknum aparat. Semakin<br />

korup oknum pejabat, semakin<br />

banyak qanun? Semakin banyak<br />

tuntutan rakyat, semakin banyak penderitaan,<br />

‘terkubur’? Semoga itu di negeri<br />

orang, tidak terbukti (lagi) di sini, andai<br />

empat pilar ditanam di pondasi bangsa.<br />

Empat pilar<br />

“Negeri ini kokoh karena empat<br />

pilar: pertama, ilmunya para ulama;<br />

kedua, keadilan penguasa (umara);<br />

ketiga, doa fakir miskin dan anak yatim;<br />

keempat, kedermawanan orang kaya.<br />

Sekarang Aceh sudah lebih lima tahun<br />

damai berkat doa para ulama dan anak<br />

yatim fakir miskin. Makanya semua<br />

harus saling sinergis,” ajak Wakil Ketua<br />

Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)<br />

Tgk. H. Nuruzzahri (Waled Nu).<br />

Waled Nu, seorang pimpinan dayah<br />

yang banyak membina anak yatim itu<br />

menambahkan, walaupun ulama tidak<br />

berperan dalam pengambilan keputusan<br />

dan membuat kebijakan, tapi pendapat<br />

ulama harus didengar agar tujuan mulia<br />

dapat dengan mudah diwujudkan dengan<br />

keizinan Allah swt.<br />

“Selama ini memang harus diakui<br />

ulama selalu dibutuhkan saat eksekutif<br />

terjepit dengan masalah-masalah, seharusnya<br />

banyak hal harus dilibatkan<br />

ulama. Jangan waktu terjepit baru panggil<br />

ulama, seperti baru membutuhkan<br />

pemadam saat terjadinya kebakaran,”<br />

sindir ulama.<br />

Pengurus Dayah MUDI, Mesjid Raya<br />

Samalanga, Bireuen juga menyampaikan<br />

pandangan senada. Menurut salah satu<br />

Pengurus STAI (Sekolah Tinggi <strong>Agama</strong><br />

Islam) yang berdampingan dengan dayah<br />

di Samalanga itu, “Kondisi perpolitikan<br />

di Aceh hari ini, khususnya di dalam<br />

pemerintahan seperti eksekutif terlihat<br />

seperti main sendiri-sendiri. Mereka<br />

baru memerlukan ulama saat muncul<br />

masalah-masalah pelik. Selama ini selalu<br />

waktu terjepit, baru ‘sms’ ulama. Garagara<br />

itu banyak akibat yang terjadi, seperti<br />

kurangnya transparansi. Bek sampe<br />

dibeudoh rakyat, karu lom dan nang-<br />

groe yang phang phoe. Kita kuatirkan<br />

akan timbul kemarahan rakyat sehingga<br />

negeri ini kembali kacau. Negeri ini<br />

bukan milik kita, tapi milik Allah. Dan<br />

Allah tidak akan mengizinkan negeri ini<br />

dipimpin oleh orang yang berbuat kezaliman,”<br />

ingat Waled Nu lagi. Sebab target<br />

dan tujuan politik ulama adalah tercapainya<br />

baldatun thayyibatun wa Rabbun<br />

Ghafur (negeri yang baik dan mendapatkan<br />

ampunan Allah).<br />

Nostalgia<br />

Serambi Mekkah ini masih boleh<br />

berbangga dengan kegemilangan sejarahnya.<br />

Namun dewasa ini bukan zamannya<br />

lagi kita mesti terlena dengan sejarah di<br />

saat perpolitikan Islam di Aceh meredup.<br />

Beberapa nostalgia sejarah justru perlu<br />

diambil untuk hari ini, seperti keterlibatan<br />

penuh para ulama di dalam hukum<br />

Islam dan perpolitikan. “Dulu Aceh punya<br />

ulama-ulama chik yang disegani dan<br />

dihormati oleh pemerintah. Mereka bisa<br />

bekerjasama dengan pemerintah untuk<br />

menciptakan kemaslahatan ummat.<br />

8 <strong>Santunan</strong> AGUSTUS <strong>2011</strong><br />

Tetapi sekarang ini sepertinya kondisi<br />

seperti ini tidak berlangsung,” tambah<br />

Anggota DPRA, Abdullah Saleh, yang<br />

juga mantan politisi PPP Aceh itu.<br />

Menurut politisi PA (Partai Aceh) ini,<br />

realitas politik dan pemerintahan Aceh<br />

sekarang seakan-akan menunjukkan,<br />

ulama tidak bisa membangun komunikasi<br />

serta menjalankan fungsi keulamaannya<br />

secara mandiri. Padahal hubungan<br />

antara ulama dan pemerintah sangat<br />

besar pengaruhnya bagi terwujudnya tatanan<br />

masyarakat Aceh yang Islami.<br />

“Peran dan pengaruh politik yang<br />

harus dimainkan oleh para ulama Aceh<br />

sekarang ini adalah sebagai pencerah dan<br />

pembimbing ummat. Ulama hendaknya<br />

bisa menggugah kesadaran pemimpin<br />

dan ummat untuk kembali ke jalan Islam,”<br />

harap politisi asal Beutong Ateuh,<br />

Nagan Raya itu.<br />

Sindiran ‘pedas’ juga disampaikan<br />

Ketua Komisi A DPR Aceh membidangi<br />

masalah pemerintahan,<br />

politik dan hukum, Drs. Tgk. Adnan<br />

Beuransyah. Politis dari Fraksi<br />

PA itu, menyebut ulama sekarang<br />

tidak pada posisi pengambilan<br />

keputusan, kata dia, maka tidak<br />

sedikit keputusan dilahirkan oleh<br />

pemerintah sekarang bersifat<br />

‘zalim’. “Jika kita menginginkan<br />

Aceh ke depan lebih baik maka<br />

peran ulama wajib ditingkatkan. Peran<br />

dan pengaruh politik ulama harus dimulai<br />

dari dayah. Sebab dayah adalah rumah<br />

ulama sekaligus pabrik pengkaderan<br />

calon-calon ulama Aceh masa depan,”<br />

terang Adnan yang bersama pihak lain<br />

‘ngotot’ mengajak tunda pilkada itu.<br />

Adnan menilai bahwa pemahaman<br />

orang dayah terhadap politik selama ini<br />

masih nol persen akibat tidak adanya<br />

pendidikan politik. Padahal, kata dia,<br />

dari dayahlah dulu dilahirkan panglimapanglima<br />

besar, pakar-pakar politik, tokoh-tokoh<br />

ekonomi dan juga diplomat.<br />

“Fakta inilah justru menunjukkan dayah<br />

di Aceh tempo dulu ada pendidikan politik,<br />

walaupun secara formal tidak sama<br />

seperti yang ada di Indonesia sekarang,”<br />

jelas politisi Partai Aceh asal Sigli itu.<br />

Karenanya, tambah Adnan, ulama wajib<br />

memahami politik secara keseluruhan.<br />

Sehingga ketika para ulama menyampaikan<br />

pendapat atau mengeluarkan<br />

pernyataan tidak lari dari koridor hukum<br />

dan aturan yang berlaku. nyakub,<br />

gema

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!