04.11.2014 Views

Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...

Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...

Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

5.1 Umum<br />

BAB V<br />

KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL<br />

Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta<br />

desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu<br />

dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan<br />

instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan<br />

bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu<br />

kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah<br />

dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan<br />

pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah<br />

daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat<br />

kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas<br />

daerah.<br />

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang-<br />

Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang<br />

Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />

Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan<br />

kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain<br />

itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan<br />

Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam<br />

melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan<br />

bagi pembangunan daerah.<br />

Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada<br />

dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows<br />

function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32<br />

Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud.<br />

Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint<br />

(kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33<br />

Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa<br />

digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun<br />

melalui transfer ke daerah.<br />

Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah<br />

pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power)<br />

dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak<br />

daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran<br />

pendapatan asli daerah (PAD) terhadap <strong>Anggaran</strong> Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).<br />

Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan<br />

kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan<br />

APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun<br />

2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah<br />

satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-1


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah,<br />

peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapan<br />

tarif pajak.<br />

Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah<br />

sendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk<br />

mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah.<br />

Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana<br />

Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan<br />

pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Pada<br />

tahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga<br />

menjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun 2010.<br />

Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yang<br />

bergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan<br />

desentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program<br />

dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk Dana<br />

Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebih<br />

besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui program<br />

nasional yang menjadi Bagian <strong>Anggaran</strong> Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program<br />

Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS),<br />

serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah,<br />

seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baik<br />

yang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persen<br />

dari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1).<br />

Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalah<br />

efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampak<br />

kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam<br />

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanja<br />

masing-masing pemerintah daerah. <strong>Kebijakan</strong> belanja pemerintah daerah dapat tercermin<br />

dari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, pada<br />

tahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum<br />

menempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerah<br />

yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahan<br />

dan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkan<br />

jenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkat<br />

tertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persen<br />

dan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya.<br />

Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upaya<br />

percepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalam<br />

berbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkat<br />

kemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula,<br />

tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatif<br />

cukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan<br />

pemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikator<br />

statistik pemerataan PDRB antarprovinsi.<br />

V-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan<br />

taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah<br />

telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian<br />

kewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untuk<br />

menghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baik<br />

melalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakan<br />

anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukung<br />

kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro.<br />

Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai.<br />

GRAFIK V.1<br />

DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010<br />

Belanja APBN-P 2010<br />

(triliun rupiah)<br />

Sumber: APBN-P 2010<br />

Belanja Negara di Daerah<br />

126,37 (11,22%)<br />

Bantuan ke Masyarakat<br />

35,37 (3,14%) Subsidi<br />

176,33 (15,66%)<br />

Total Belanja = 1.126,15 T<br />

BelanjaNegaradiPusat<br />

443,46 (39,38%)<br />

Transfer ke Daerah<br />

344,61 (30,60%)<br />

Dana ke Daerah = 682,69 T (60,62%)<br />

Melalui Angg. K/L dan<br />

APP (Program Nasional)<br />

Melalui APP (Subsidi)<br />

Melalui Angg. Transfer ke Daerah<br />

(Masuk APBD)<br />

Melalui Angg. K/L<br />

- PNPM 10,42 0,93% - BBM 88,89 7,89% - DBH 89,62 7,96% - Dana Dekon 11,93 1,06%<br />

- BOS 19,84 1,76% - Listrik 55,10 4,89% - DAU 203,61 18,08% - Dana TP 7,64 0,68%<br />

- Jamkes 5,10 0,45% - Pangan 13,92 1,24% - DAK 21,14 1,88% - Dana Vertikal 106,80 9,48%<br />

- Pupuk 18,41 1,63% - Otsus 9,09 0,81%<br />

- Penyesuaian 21,15 1,88%<br />

*)<br />

APP = <strong>Anggaran</strong> Pembiayaan<br />

dan Perhitungan<br />

Total 35,37 (3,14%) Total 176,33 (15,66%) Total 344,61 (30,60%)<br />

Total 126,37 (11,22%)<br />

5.2 Perkembangan Pelaksanaan <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Tahun 2005 - 2010<br />

5.2.1 Perkembangan <strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya<br />

merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang berarti bahwa<br />

pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya, seiring dengan<br />

penyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah diberikan sumber-sumber<br />

pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-3


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas<br />

desentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh<br />

Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakan<br />

di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.<br />

Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan<br />

kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah<br />

yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada<br />

daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana<br />

Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari<br />

daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk<br />

melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan juga<br />

penerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain.<br />

Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan<br />

perpajakan daerah dan retribusi daerah. <strong>Kebijakan</strong> mengenai perpajakan daerah dan retribusi<br />

daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak<br />

Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010.<br />

Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertama<br />

adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah.<br />

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha<br />

tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing<br />

power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi<br />

daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok<br />

dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis<br />

pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem<br />

pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi<br />

yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking<br />

sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah<br />

peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme<br />

pengawasan represif menjadi preventif dan korektif.<br />

Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukan<br />

melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam<br />

pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena<br />

masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya.<br />

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara<br />

Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan<br />

fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu,<br />

instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan<br />

antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang<br />

relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan<br />

dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik.<br />

Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain,<br />

melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH<br />

dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU<br />

melalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan<br />

kemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.<br />

V-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerah<br />

diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepada<br />

daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Dana<br />

tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah.<br />

Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatan<br />

pembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukan<br />

pinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent),<br />

mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandung<br />

konsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampai<br />

saat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasan<br />

pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman,<br />

persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya.<br />

Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh<br />

Pemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak<br />

lain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyek<br />

yang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman<br />

langsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang<br />

akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun<br />

sebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidak<br />

melampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai dari<br />

pinjaman daerah.<br />

Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama<br />

setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentang<br />

Hibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada<br />

Pemerintah Daerah. <strong>Kebijakan</strong> hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan pada<br />

peningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dari<br />

Pemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri.<br />

Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalam<br />

upaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikan<br />

dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di<br />

daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untuk<br />

melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalah<br />

dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah<br />

yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan<br />

dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.<br />

Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang<br />

dilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran<br />

dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.<br />

Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan<br />

kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraan<br />

dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7<br />

Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan dan<br />

penganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatan<br />

yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan<br />

keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di<br />

daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-5


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengan<br />

kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkan<br />

besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi<br />

dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak<br />

terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan<br />

penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai dengan<br />

prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.<br />

5.2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah<br />

<strong>Desentralisasi</strong> fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut,<br />

perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara nominal terus<br />

meningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010, secara lebih detail<br />

perkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik V.2 dan Tabel V.1.<br />

Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke<br />

daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer ke<br />

daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun.<br />

Peningkatan tersebut terjadi<br />

merata pada semua jenis<br />

transfer ke daerah. DAU yang<br />

merupakan komponen<br />

terbesar dari transfer ke daerah<br />

meningkat dari Rp88,7 triliun<br />

pada tahun 2005 menjadi<br />

Rp203,6 triliun pada tahun<br />

2010, suatu peningkatan yang<br />

sangat signifikan karena<br />

meningkat hampir tiga kali<br />

lipat. Peningkatan terbesar<br />

terjadi pada DAK. Pada tahun<br />

2005 nilai DAK masih berada<br />

di bawah Rp4 triliun, tetapi<br />

triliun rupiah<br />

350<br />

300<br />

250<br />

200<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

GRAFIK. V.2<br />

PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH<br />

(DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN)<br />

TAHUN 2005 - 2010<br />

143,22<br />

7,24 4,05 9,30<br />

2005<br />

LKPP<br />

222,13<br />

2006<br />

LKPP<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

243,97<br />

2007<br />

LKPP<br />

Dana Otsus dan Penyesuaian<br />

278,71 287,25<br />

13,72 21,33 30,25<br />

2008<br />

LKPP<br />

2009<br />

LKPP<br />

Dana Perimbangan<br />

314,36<br />

2010<br />

APBN-P<br />

TABEL V.1<br />

PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, 2005 - 2010<br />

(miliar rupiah)<br />

LKPP Audited<br />

APBN-P<br />

Uraian<br />

2005<br />

%<br />

thd<br />

PDB<br />

2006<br />

%<br />

thd<br />

PDB<br />

2007<br />

% thd<br />

PDB<br />

2008<br />

%<br />

thd<br />

PDB<br />

2009<br />

%<br />

thd<br />

PDB<br />

2010<br />

% thd<br />

PDB<br />

I. Dana Perim bangan 143.221,3 5,1 222.130,6 6,7 243.967,1 6,2 278.714,7 5,6 287.251,5 5,1 314.363,3 5,0<br />

a. Dana Bagi Hasil 50.47 9,2 1,8 64.900,3 1 ,9 62.941,9 1 ,6 7 8.420,2 1,6 7 6.129,9 1,4 89.618,4 1,4<br />

b. Dana Alokasi Umum 88.7 65,4 3,2 145.664,2 4,4 164.787,4 4,2 17 9.507 ,1 3,6 186.414,1 3,3 203.606,5 3,3<br />

c. Dana Alokasi Khusus 3.97 6,7 0,1 11.566,1 0,3 16.237 ,8 0,4 20.7 87 ,3 0,4 24.7 07 ,4 0,4 21.138,4 0,3<br />

II. Dana Otsus dan Peny esuaian 7 .242,6 0,3 4.049,3 0,1 9.296,0 0,2 13.7 18,8 0,3 21.333,8 0,4 30.249,6 0,5<br />

a. Dana Otonomi Khusus 1.775,3 0,1 3.488,3 0,1 4.045,7 0,1 7 .510,3 0,2 9.526,6 0,2 9.099,6 0,1<br />

b. Dana Penyesuaian 5.467 ,3 0,2 561,1 0,0 5.250,3 0,1 6.208,5 0,1 11.807 ,2 0,2 21.150,0 0,3<br />

Jum lah 150.463,9 5,4 226.17 9,9 6,8 253.263,1 6,4 292.433,5 5,9 308.585,2 5,5 344.612,9 5,5<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

V-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010<br />

turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh<br />

komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan<br />

negara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal.<br />

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan<br />

persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari<br />

penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara<br />

yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak<br />

Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam<br />

Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah<br />

dan Bangunan (BPHTB).<br />

Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak<br />

bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH<br />

SDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan<br />

dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah<br />

mengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39<br />

Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH<br />

Panas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari<br />

tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan<br />

ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola<br />

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat.<br />

Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH<br />

menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1<br />

triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, atau<br />

rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun.<br />

Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah<br />

yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, dengan<br />

proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar<br />

35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut<br />

memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera<br />

Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah<br />

daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta,<br />

dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besar<br />

nya yaitu 0,004 persen.<br />

Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah<br />

yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi<br />

penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50<br />

persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah<br />

daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan<br />

DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen.<br />

Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karena<br />

peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5<br />

persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun<br />

2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-7


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

GRAFIK. V.3<br />

PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*)<br />

TAHUN 2009 − 2010<br />

14.000<br />

12.000<br />

10.000<br />

Uraian<br />

2009 2010<br />

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %<br />

Total 33 35.632,17 100 33 31.870,56 100<br />

Tertinggi Kaltim 12.555,56 35,24 Kaltim 10.853,70 34,06<br />

Terendah Bali 1,29 0,004 Yogyakarta 1,24 0,004<br />

Rata-Rata 33 1.079,76 - 33 965,77 -<br />

miliar rupiah<br />

8.000<br />

6.000<br />

4.000<br />

2.000<br />

2009<br />

2010<br />

0<br />

Yogyakarta<br />

Bali<br />

Banten<br />

NTT<br />

Gorontalo<br />

Sulbar<br />

Bengkulu<br />

Sulut<br />

Sumut<br />

Sulteng<br />

Sumbar<br />

Jateng<br />

Sultra<br />

Maluku<br />

Sulsel<br />

Kalbar<br />

DKI<br />

Malut<br />

NTB<br />

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan<br />

Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan<br />

Babel<br />

Lampung<br />

Kalteng<br />

Jatim<br />

Jabar<br />

Jambi<br />

NAD<br />

Papua<br />

Papua Barat<br />

Kepri<br />

Kalsel<br />

Sumsel<br />

Riau<br />

Kaltim<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

12.000<br />

10.000<br />

8.000<br />

GRAFIK. V.4<br />

PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH<br />

PER PROVINSI DI INDONESIA *)<br />

TAHUN 2009 - 2010<br />

Uraian<br />

2009 2010<br />

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %<br />

Total 33 39.271,24 100 33 45.997,51 100<br />

Tertinggi DKI 8.688,80 22,1% DKI 10.905,84 23,7%<br />

Terendah Gorontalo 132,21 0,34% Gorontalo 129,00 0,28%<br />

Rata-Rata 33 1.190,04 - 33 1.393,86 -<br />

miliar rupiah<br />

6.000<br />

4.000<br />

2009 2010<br />

2.000<br />

0<br />

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi<br />

dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan<br />

Sumber : KementerianKeuangan<br />

V-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

rentang waktu 2005–2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005,<br />

menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada<br />

tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun.<br />

Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan<br />

pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua<br />

komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan<br />

fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai.<br />

Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006,<br />

komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal<br />

(CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan<br />

keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas<br />

fiskal masing-masing daerah.<br />

Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU<br />

tertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari<br />

total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan<br />

fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:<br />

(1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU<br />

Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal.<br />

Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah<br />

100 persen.<br />

(2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa<br />

pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan<br />

pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk<br />

wilayah.<br />

(3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk<br />

mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya<br />

Williamson Index.<br />

Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan,<br />

irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian.<br />

Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan<br />

hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana<br />

(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu<br />

bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang.<br />

Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK<br />

Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.<br />

Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan<br />

menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran<br />

alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK,<br />

alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun<br />

2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat<br />

menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010,<br />

alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya<br />

kemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah<br />

otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-9


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

GRAFIK. V.5<br />

PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*)<br />

TAHUN 2009 - 2010<br />

25.000<br />

miliar rupiah<br />

20.000<br />

15.000<br />

10.000<br />

5.000<br />

Uraian<br />

2009 2010<br />

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %<br />

Total 33 186.414,10 100 33 192.490,34 100<br />

Tertinggi Jatim 20.854,97 11,19 Jatim 21.290,50 11,06<br />

Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00<br />

Rata-Rata 33 5.648,91 - 33 5.833,04 -<br />

2009 2010<br />

0<br />

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi<br />

dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/<br />

kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada<br />

tahun 2010.<br />

Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada<br />

Grafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan<br />

2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan<br />

Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen<br />

terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah.<br />

Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus<br />

dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional<br />

selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu,<br />

diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan<br />

antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana<br />

Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU<br />

nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari<br />

pagu DAU nasional.<br />

Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa<br />

Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima<br />

tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima<br />

tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan<br />

formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari<br />

DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalam<br />

perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan.<br />

V-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

GRAFIK .V.6<br />

PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*)<br />

TAHUN 2009 - 2010<br />

miliar rupiah<br />

2500<br />

2000<br />

1500<br />

1000<br />

500<br />

Uraian<br />

2009 2010<br />

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %<br />

Total 33 24.707,42 100 33 21.133,38 100<br />

Tertinggi Jatim 2.138,18 8,65 Jateng 1.969,34 9,32<br />

Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00<br />

Rata-Rata 33 748,71 - 33 640,41 -<br />

2009 2010<br />

0<br />

DKI<br />

Kepri<br />

Babel<br />

Sulbar<br />

Kaltim<br />

Gorontalo<br />

Riau<br />

Yogyakarta<br />

Malut<br />

Bali<br />

Banten<br />

Bengkulu<br />

Papua Barat<br />

Maluku<br />

Kalteng<br />

Jambi<br />

Sulteng<br />

NTB<br />

Sultra<br />

Kalsel<br />

Sumsel<br />

Sulut<br />

Kalbar<br />

Lampung<br />

NTT<br />

NAD<br />

Sumbar<br />

Sulsel<br />

Sumut<br />

Papua<br />

Jabar<br />

Jatim<br />

Jateng<br />

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi<br />

dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu<br />

untuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga<br />

tahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong> dan Percepatan<br />

Pembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk<br />

meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi,<br />

besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasi<br />

anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliun<br />

hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen.<br />

Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu,<br />

pendanaan untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun<br />

juga dialokasikan Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi<br />

Guru tersebut merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan<br />

Nasional.<br />

Secara umum, Dana Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi<br />

anggaran untuk mendanai kebijakan tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan<br />

untuk mendorong atau menguatkan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan<br />

daerah. Perkembangan nomenklatur Dana Penyesuaian tahun 2005–2010 dapat dilihat<br />

pada Tabel V.2.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-11


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Dalam Grafik V.7, dapat dilihat<br />

bahwa realisasi Dana Otsus dan<br />

Penyesuaian dalam periode 2005–<br />

2010 mengalami peningkatan yang<br />

signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam<br />

tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun<br />

pada tahun 2009, dan meningkat lagi<br />

menjadi Rp30,2 triliun dalam APBN-<br />

P 2010. Peningkatan ini tidak terlepas<br />

dari kebijakan Pemerintah untuk<br />

lebih mendorong peran daerah dalam<br />

era otonomi daerah yang ditandai<br />

dengan makin beragamnya jenis<br />

Dana Penyesuaian dari tahun ke<br />

tahun.<br />

TABEL V.2<br />

PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN 2005 - 2010<br />

No. Nomenklatur 2005 2006 2007 2008 2009 2010<br />

1 Dana Penyesuaian Murni • •<br />

2 Dana Penyesuaian DAU •<br />

3 Dana Penyeimbang DAU •<br />

4 Dana Tunjangan Kependidikan • •<br />

5 Dana Tambahan DAU •<br />

6 Dana Penyesuaian Ad Hoc • •<br />

7 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan •<br />

8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana<br />

dan Prasarana (DISP)<br />

•<br />

9 Dana Penguatan <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong> &<br />

Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF<br />

• •<br />

& PPD)<br />

10 Dana Penguatan Infrastruktur dan<br />

Prasarana Daerah (DPIPD)<br />

•<br />

11 Dana Percepatan Pembangunan<br />

Infrastruktur Pendidikan (DPPIP)<br />

•<br />

12 Dana Insentif Daerah •<br />

13 Dana Tambahan Penghasilan Guru • •<br />

14 Kurang Bayar DAK dan DISP • •<br />

Sumber: Kementerian Keuangan<br />

GRAFIK V.7<br />

PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN<br />

TAHUN 2005 - 2010<br />

35<br />

30<br />

25<br />

Dana Penyesuaian<br />

Dana Otonomi Khusus<br />

triliun rupiah<br />

20<br />

15<br />

11,8<br />

21,2<br />

10<br />

5<br />

0<br />

5,5 0,6<br />

1,8<br />

2005<br />

LKPP<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

3,5 4,0<br />

2006<br />

LKPP<br />

5,3<br />

2007<br />

LKPP<br />

6,2<br />

7,5<br />

2008<br />

LKPP<br />

9,5 9,1<br />

2009<br />

LKPP<br />

2010<br />

APBN-P<br />

5.2.3 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah<br />

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli<br />

Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan<br />

penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan<br />

perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan<br />

perkembangan keadaan.<br />

Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan<br />

retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah.<br />

V-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah<br />

dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah<br />

untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.<br />

Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor<br />

28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah<br />

dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.<br />

Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara<br />

lain adalah:<br />

(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya<br />

pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum<br />

dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih<br />

dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan<br />

Pemerintah. <strong>Kebijakan</strong> ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan<br />

kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU<br />

Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang<br />

bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan<br />

jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang<br />

pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam<br />

memenuhi kewajiban perpajakannya.<br />

(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas<br />

basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.<br />

Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak<br />

menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu<br />

lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan<br />

pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas<br />

basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis<br />

pajak baru.<br />

Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah<br />

objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk<br />

kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru<br />

bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea<br />

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan<br />

Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak<br />

pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung<br />

Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.<br />

Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi<br />

dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas<br />

sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus<br />

untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,<br />

memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan<br />

kerja.<br />

Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat<br />

menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD<br />

dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-13


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan<br />

pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah<br />

terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor.<br />

(3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada<br />

kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah.<br />

<strong>Kebijakan</strong> earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan<br />

pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai<br />

kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan<br />

Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit<br />

10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan<br />

dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.<br />

(4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari<br />

represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan<br />

harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah<br />

yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan<br />

perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/<br />

atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi.<br />

UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi<br />

kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis<br />

pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah<br />

meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha<br />

dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu.<br />

Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut<br />

secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan<br />

jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah<br />

daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebut<br />

dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak<br />

memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi<br />

daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun<br />

2009 masing-masing dapat dilihat pada<br />

Tabel V.3 dan Tabel V.4.<br />

Sama halnya dengan pajak daerah,<br />

pemerintah daerah juga tidak<br />

diperkenankan untuk memungut jenis<br />

retribusi selain yang telah diatur dalam<br />

UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun<br />

demikian, untuk mengantisipasi<br />

perkembangan keadaan, maka<br />

dimungkinkan untuk menambah jenis<br />

retribusi sepanjang memenuhi kriteria<br />

yang ditetapkan dalam UU dimaksud<br />

dengan menerbitkan Peraturan<br />

Pemerintah.<br />

TABEL V.3<br />

JENIS PAJAK DAERAH<br />

Provinsi<br />

Kabupaten/Kota<br />

1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel<br />

2. Bea Balik Nama<br />

2. Pajak Restoran<br />

Kendaraan Bermotor<br />

3. Pajak Bahan Bakar 3. Pajak Hiburan<br />

Kendaraan Bermotor<br />

4. Pajak Air Permukaan 4. Pajak Reklame<br />

5. Pajak Rokok 5. Pajak Penerangan Jalan<br />

6. Pajak Parkir<br />

7. Pajak Mineral Bukan Logam dan<br />

Batuan<br />

8. Pajak Air Tanah<br />

9. Pajak Sarang Burung Walet<br />

10. PBB Perdesaan dan Perkotaan<br />

11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah<br />

dan Bangunan<br />

Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009<br />

V-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

TABEL V.4<br />

JENIS RETRIBUSI DAERAH<br />

Jasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu<br />

1 Retribusi Pelayanan Kesehatan 1 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 1 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan<br />

2 Retribusi Kebersihan 2 Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 2 Retribusi Izin Tempat Penjualan<br />

Minuman Beralkohol<br />

3 Retribusi KTP dan Akte Capil 3 Retribusi Tempat Pelelangan 3 Retribusi Izin Gangguan<br />

4 Retribusi Pemakaman/ Pengabuan 4 Retribusi Terminal 4 Retribusi Izin Trayek<br />

Mayat<br />

5 Retribusi Parkir di Tepi<br />

5 Retribusi Tempat Khusus Parkir 5 Retribusi Izin Usaha Perikanan<br />

Jalan Umum<br />

6 Retribusi Pelayanan Dasar 6 Retribusi Tempat Penginapan/<br />

Pesanggrahan/Villa<br />

7 Retribusi Pengujian Kendaraan 7 Retribusi Rumah Potong Hewan<br />

Bermotor<br />

8 Retribusi Pemeriksaan Alat<br />

8 Retribusi Pelayanan Kepelabuhan<br />

Pemadam Kebakaran<br />

9 Retribusi Penggantian Biaya<br />

9 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga<br />

Cetak Peta<br />

10 Retribusi Pelayanan Tera/<br />

10 Retribusi Penyeberangan di Air<br />

Tera Ulang<br />

11 Retribusi Penyedotan Kakus 11 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah<br />

12 Retribusi Pengolahan Limbah Cair<br />

13 Retribusi Pelayanan Pendidikan<br />

14 Retribusi Pengendalian Menara<br />

Telekomunikasi<br />

Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009<br />

Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut<br />

oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada<br />

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan<br />

perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang<br />

menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah<br />

diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan<br />

yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan.<br />

Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan<br />

pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang<br />

ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi<br />

raperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan<br />

dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah.<br />

Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentingan<br />

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat<br />

melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan<br />

2010, terdapat 13.623 perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak<br />

13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranya<br />

direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/<br />

atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yang<br />

diterima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil 352<br />

(13 persen) raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-15


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah<br />

yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan<br />

atas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap<br />

ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau<br />

DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut:<br />

(1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupa<br />

penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU<br />

sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran;<br />

(2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan<br />

perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan<br />

sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut<br />

untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen<br />

dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode<br />

penyaluran.<br />

Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah<br />

sebagai berikut:<br />

(1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif pada<br />

tanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalam<br />

APBN tahun 2011;<br />

(2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah<br />

dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian,<br />

penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBN<br />

apabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah;<br />

(3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun<br />

2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011;<br />

(4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenis<br />

PDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harus<br />

disesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012;<br />

(5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/<br />

koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasarana<br />

serta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian,<br />

dan penetapan.<br />

5.2.4 Pinjaman dan Hibah Daerah<br />

5.2.4.1 Pinjaman Daerah<br />

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara<br />

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun<br />

2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas<br />

maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan<br />

keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif<br />

dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang<br />

V-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan<br />

batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah,<br />

dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.<br />

Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang<br />

bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga<br />

keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8<br />

menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit<br />

APBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan<br />

dengan besarnya defisit pada<br />

APBD. Berdasarkan grafik<br />

tersebut, dari tahun 2007 sampai<br />

dengan tahun 2010, kontribusi<br />

pinjaman daerah terhadap<br />

pembiayaan defisit APBD sangat<br />

kecil dan berfluktuasi antara 4<br />

persen sampai dengan 7 persen.<br />

Defisit APBD pada umumnya<br />

ditutup dari Sisa Lebih<br />

Pembiayaan <strong>Anggaran</strong> (SILPA)<br />

tahun sebelumnya masingmasing<br />

Pemerintah Daerah.<br />

Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutup<br />

defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat<br />

memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatan<br />

APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri.<br />

Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri<br />

(Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya<br />

merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi<br />

yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah<br />

pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia<br />

(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan<br />

Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping<br />

itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan<br />

sumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal<br />

domestik.<br />

5.2.4.2 Hibah Daerah<br />

7%<br />

6%<br />

5%<br />

4%<br />

3%<br />

2%<br />

1%<br />

0%<br />

GRAFIK. V.8<br />

PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH<br />

TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN 2007-2010<br />

Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan hubungan<br />

keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem<br />

pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana diamanatkan<br />

dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya,<br />

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikan<br />

kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah.<br />

<strong>Kebijakan</strong> pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian dipertegas dalam Undang-<br />

Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut mengatur secara tegas bahwa<br />

pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari<br />

5,32<br />

Sumber: KementerianKeuangan<br />

6,13<br />

4,63<br />

4,21<br />

2007 2008 2009 2010<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-17


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeri<br />

dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.<br />

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintah<br />

daerah adalah sebagai berikut:<br />

(1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka<br />

hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah.<br />

(2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,<br />

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.<br />

(3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan<br />

peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br />

(4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang<br />

merupakan kewenangan pemerintah daerah.<br />

Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan<br />

pemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah<br />

Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI<br />

Jakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman<br />

luar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT<br />

merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta<br />

yang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam Rencana<br />

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh<br />

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakan<br />

mulai direalisasikan pada tahun 2010.<br />

Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliar<br />

yang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity<br />

(L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatan<br />

penerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda<br />

(dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam<br />

bidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementara<br />

itu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untuk<br />

peningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakit<br />

yang dimiliki oleh pemerintah daerah.<br />

Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesar<br />

Rp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untuk<br />

kegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudah<br />

dilakukan pada tahun 2009. Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dan<br />

direncanakan berakhir pada tahun 2012. Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 juga<br />

mengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikan<br />

hibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebut<br />

ditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum<br />

memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukan<br />

untuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam<br />

kegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan<br />

sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5)<br />

V-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

TABEL V.5<br />

ALOKASI HIBAH KEPADA DAERAH DALAM APBN, TAHUN 2009-2010<br />

2009 2010<br />

No. Kegiatan Sum ber Jum lah<br />

(miliar Rp)<br />

Da er a h<br />

Penerim a<br />

Jum lah<br />

(miliar Rp)<br />

Da er a h<br />

Penerim a<br />

1<br />

2<br />

3<br />

Mass Rapid Transit<br />

(MRT)<br />

Local Basic Education<br />

Capacity (L-BEC)<br />

Support to Community<br />

Health Serv ices (SCHS)<br />

Pinjaman dari JICA 34,38 1<br />

Hibah dari Pemerintah Belanda dan<br />

Uni Eropa (dikelola World Bank)<br />

Hibah dari Uni Eropa (dikelola World<br />

Health Organisation)<br />

22,5 25 80,08 50<br />

9,1 10<br />

4 Hibah Air Minum Hibah dari AusAid 106,15 22<br />

5 Hibah Air Limbah Hibah dari AusAid 10 1<br />

6 WASAP-D Hibah dari World Bank 12,6 6<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Pelaksanaan hibah kepada daerah, khususnya yang bersumber dari luar negeri, telah<br />

mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun, masih terbuka kemungkinankemungkinan<br />

upaya optimalisasi dalam kebijakan pemberian hibah kepada daerah sehingga<br />

diharapkan dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah dan mewujudkan pemerataan<br />

antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan<br />

potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.<br />

Upaya optimalisasi tersebut salah satunya dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu<br />

permasalahan-permasalahan yang menyangkut hibah kepada daerah yang bersumber dari<br />

pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri. Untuk itu, kebijakan yang akan diterapkan<br />

dalam pelaksanaan hibah ke depan antara lain:<br />

(1) Pelaksanaan hibah ke daerah, baik yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun<br />

hibah luar negeri, harus dituangkan seluruhnya dalam suatu Naskah Perjanjian Hibah<br />

antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.<br />

(2) Penerusan hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui Menteri<br />

Keuangan, sehingga dicatat dalam APBN dan APBD.<br />

(3) Prosedur/aturan yang lebih fleksibel sehingga dapat mengakomodasi prosedur yang<br />

memudahkan bagi negara pemberi hibah.<br />

(4) Pengakuan, pencatatan, dan pelaporan hibah dalam APBD sesuai ketentuan yang berlaku.<br />

(5) Peningkatan koordinasi antarinstansi Pemerintah dalam mengelola hibah yang ditujukan<br />

kepada pemerintah daerah dengan melaksanakan peraturan perundang-undangan<br />

secara tertib.<br />

Hal lainnya adalah terkait dengan pemberian hibah kepada daerah yang bersumber dari<br />

penerimaan dalam negeri. Selain penerapan kebijakan-kebijakan di atas, upaya optimalisasi<br />

dapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas dana APBN yang didesentralisasikan.<br />

Perlu adanya konsistensi dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerah<br />

agar tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-19


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

5.2.5 Gambaran Pelaksanaan APBD<br />

Total realisasi pendapatan seluruh provinsi tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar<br />

35,1 persen dari tahun 2007, yang kenaikan terbesarnya disumbangkan oleh Dana<br />

Perimbangan sebesar 53,3 persen. Sementara itu, Lain-lain Pendapatan Daerah justru<br />

mengalami penurunan sebesar 1,7 persen (lihat Tabel V.6).<br />

Berbeda halnya dengan realisasi pendapatan<br />

provinsi, seluruh kelompok pendapatan<br />

kabupaten dan kota mengalami kenaikan.<br />

Kenaikan realisasi pendapatan kabupaten<br />

dan kota tersebut adalah sebesar 25,2 persen<br />

pada tahun 2008 (lihat Tabel V.7).<br />

Peningkatan pendapatan juga diikuti<br />

dengan pertumbuhan pada sisi belanja.<br />

Dalam empat tahun terakhir, belanja APBD<br />

provinsi mengalami pertumbuhan yang<br />

cukup tinggi. Setiap jenis belanja tumbuh,<br />

tak terkecuali belanja modal yang<br />

mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar<br />

20,13 persen. Pertumbuhan rata-rata<br />

tertinggi ada pada belanja barang dan jasa<br />

diikuti dengan belanja pegawai. Di lain<br />

pihak, pertumbuhan terendah adalah pada<br />

Belanja Lainnya. Belanja Lainnya<br />

merupakan gabungan dari belanja bunga,<br />

subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan<br />

keuangan, dan belanja tak terduga. (lihat<br />

Tabel V.8).<br />

Komposisi belanja pemerintah provinsi pada<br />

dasarnya tidak mengalami banyak<br />

perubahan. Berbeda halnya dengan<br />

pemerintah kabupaten dan kota. Jika pada<br />

tahun 2007 belanja pegawai mengambil<br />

porsi sebesar 40,91 persen dari total belanja,<br />

pada tahun 2010 porsi tersebut meningkat<br />

menjadi 50,74 persen. Sebaliknya, belanja<br />

modal dari total belanja turun dari 31,16<br />

persen pada tahun 2007 menjadi 21,90<br />

persen pada tahun 2010 (lihat Tabel V.9).<br />

Dilihat dari belanja per fungsi, alokasi<br />

belanja pada APBD provinsi mengalami<br />

perkembangan yang cukup menarik. Dari<br />

tahun 2007 ke tahun 2009, belanja untuk<br />

fungsi pendidikan mengalami pertumbuhan<br />

tertinggi hampir mendekati 53 persen.<br />

Tabel V.6<br />

REALISASI PENDAPATAN PROVINSI<br />

TAHUN 2007 dan 2008<br />

(miliar rupiah)<br />

Kelompok Pendapatan 2007 2008<br />

Perubahan<br />

(%)<br />

Pendapatan Asli Daerah 35.17 7 ,1 44.515,5 21,0<br />

Dana Perimbangan 22.196,6 47 .553,7 53,3<br />

Lain-lain Pendapatan Daerah 4.7 37 ,0 4.658,2 -1,7<br />

T otal 64.117 ,7 98.7 35,3 35,1<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Tabel V.7<br />

REALISASI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA<br />

TAHUN 2007 dan 2008<br />

(miliar rupiah)<br />

Kelompok Pendapatan 2007 2008<br />

TABEL V.8<br />

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER JENIS<br />

TAHUN 2007 DAN 2010<br />

(miliar rupiah)<br />

Jenis Belanja 2007 2010<br />

Rasio (%)<br />

2007 2010<br />

Perubahan<br />

(%)<br />

Pendapatan Asli Daerah 16.727,3 20.230,4 20,9<br />

Dana Perimbangan 196.284,3 246.688,4 25,7<br />

Lain-lain Pendapatan Daerah 10.439,0 12.788,1 22,5<br />

Total<br />

223.450,6 279.706,9 25,2<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Pertumbuhan<br />

Rata-rata (%)<br />

Pegawai 14.648,7 29.838,3 24,08 26,37 26,76<br />

Barang dan Jasa 11.596,7 26.871,6 19,07 23,75 32,33<br />

Modal 15.174,8 26.307,2 24,95 23,25 20,13<br />

Lainnya 19.406,7 30.166,2 31,90 26,62 15,8<br />

Total 60.827,0 113.113,3 100,00 100,00 22,98<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

TABEL V.9<br />

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS<br />

TAHUN 2007 DAN 2010<br />

(miliar rupiah)<br />

Jenis Belanja 2007 2010<br />

Pegawai 103.238,77 160.646,77 40,91 50,74 15,88<br />

Barang dan Jasa 42.984,31 53.213,50 17,03 16,81 7,38<br />

Modal 78.645,63 69.314,08 31,16 21,9 (4,12)<br />

Lainnya 27.502,20 33.406,31 10,90 10,55 6,7<br />

Total 252.370,90 316.580,67 100,00 100,00 7,85<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

2007<br />

Rasio (%)<br />

2010<br />

Pertumbuhan<br />

Rata-rata (%)<br />

V-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Urutan berikutnya ditempati<br />

masing-masing oleh fungsi kesehatan<br />

dan pelayanan umum. Urutan<br />

terakhir adalah fungsi lainnya yang<br />

merupakan gabungan dari fungsi<br />

ekonomi, lingkungan hidup,<br />

ketentraman dan ketertiban,<br />

perumahan dan fasilitas umum,<br />

pariwisata dan budaya, serta<br />

perlindungan sosial. Pertumbuhan<br />

total belanja APBD provinsi per fungsi<br />

dapat dilihat pada Tabel V.10.<br />

Belanja per fungsi pada total APBD<br />

kabupaten dan kota juga mengalami<br />

perkembangan serupa. Pertumbuhan<br />

rata-rata belanja untuk Fungsi<br />

Pendidikan hampir mendekati 21<br />

persen. Porsi belanja untuk total<br />

TABEL V. 10<br />

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER FUNGSI<br />

TAHUN 2007 dan 2009<br />

(miliar rupiah)<br />

% thd Total<br />

No. Fungsi 2007 2009 Belanja Pertumbuhan<br />

Rata-rata (%)<br />

2007 2009<br />

1 Pelayanan Umum 32.251,6 51.088,5 53,0 56,8 25,9<br />

2 Pendidikan 4.524,6 10.551,6 7 ,4 11,7 52,7<br />

3 Kesehatan 4.055,0 8.099,1 6,7 9,0 41,3<br />

4 Lainnya 19.995,8 20.241,9 32,9 22,5 0,6<br />

Sumber: Kementerian Keuangan<br />

TABEL V. 11<br />

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER FUNGSI<br />

TAHUN 2007 dan 2009<br />

(miliar rupiah)<br />

% thd Total<br />

No. Fungsi 2007 2009<br />

Belanja Pertumbuhan<br />

Rata-rata (%)<br />

2007 2009<br />

1 Pelayanan Umum 77.333,67 93.593,84 30,53 28,92 10.01<br />

2 Pendidikan 69.589,85 101.046,70 27,48 31,22 20.50<br />

3 Kesehatan 24.606,03 29.697,56 9,71 9,18 9.86<br />

4 Lainnya 81.754,56 99.292,18 32,28 30,68 10.21<br />

Sumber: Kementerian Keuangan<br />

Fungsi Pendidikan pada APBD kabupaten dan kota sudah sesuai dengan Undang-Undang<br />

bidang Pendidikan yang pada tahun 2007 sebesar 27,48 persen kemudian meningkat menjadi<br />

31,22 persen pada tahun 2009. Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh Fungsi<br />

Lainnya dan Fungsi Pelayanan Umum. Sementara itu, Fungsi Kesehatan mengalami<br />

pertumbuhan rata-rata sebesar 9,86 persen. Pertumbuhan total belanja APBD kabupaten<br />

dan kota per fungsi dapat dilihat pada Tabel V.11.<br />

5.2.6 Implikasi <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong> terhadap Perkembangan<br />

Ekonomi Daerah<br />

<strong>Desentralisasi</strong> fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang<br />

luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat dan penguatan local taxing power.<br />

<strong>Desentralisasi</strong> fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaran<br />

pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan<br />

pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga<br />

pemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Selanjutnya,<br />

peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong semakin baiknya<br />

akses layanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian daerah serta<br />

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.<br />

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah<br />

satu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor<br />

yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi, investasi,<br />

ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan perdagangan<br />

daerah.<br />

Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 6,1 persen. Pada Grafik V.9<br />

terlihat bahwa terdapat 14 provinsi yang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas<br />

pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, pada tahun 2009, dengan pertumbuhan<br />

ekonomi nasional sebesar 4,55 persen terdapat 22 provinsi yang berada di atas pertumbuhan<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-21


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi laju inflasi daerah. Hal ini dapat dilihat pada<br />

tren penurunan pertumbuhan ekonomi secara nasional pada tahun 2009 yang ternyata<br />

juga diikuti dengan penurunan inflasi. Berdasarkan data pantauan inflasi di 66 kota di<br />

Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 terjadi<br />

penurunan laju inflasi daerah yang relatif cukup signifikan, salah satunya diakibatkan<br />

penurunan harga minyak dunia dan penurunan harga BBM di tahun 2009. Laju inflasi<br />

tertinggi terjadi di Kota Manokwari yang mencapai 7,4 persen, sedangkan yang paling rendah<br />

inflasinya adalah Kota Dumai hanya sebesar 0,8 persen. Dalam tahun 2010, laju inflasi<br />

diharapkan akan berada pada tingkat yang lebih rendah. Perkembangan laju inflasi selama<br />

periode 2005–2009 di 66 kota dapat dilihat dalam Tabel V.12.<br />

TABEL V.12<br />

LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA<br />

(dalam persen)<br />

No. Kota 2005 2006 2007 2008 2009 No. Kota 2005 2006 2007 2008 2009<br />

1 Lhokseumawe 17,6 1,9 4,2 15,0 3,9 34 Probolinggo 5,6 3,5<br />

2 Banda Aceh 41,1 9,5 11,0 12,0 3,5 35 Madiun 6,0 3,4<br />

3 Padang Sidempuan 18,5 10,0 5,9 10,7 1,9 36 Surabaya 14,1 6,7 6,3 10,4 3,3<br />

4 Sibolga 22,4 5,0 7,1 13,8 1,6 37 Serang/Cilegon 16,1 7,7 6,3 13,7 4,5<br />

5 Pematang Siantar 19,7 6,1 8,4 10,3 2,7 38 Tangerang 6,2 2,5<br />

6 Medan 22,9 6,0 6,4 9,9 2,7 39 Cilegon 4,6 3,1<br />

7 Padang 20,1 8,0 6,9 13,1 2,1 40 Denpasar 11,3 4,3 5,9 10,5 4,3<br />

8 Pekanbaru 17,1 6,3 7,5 10,5 1,9 41 Mataram 17,7 4,2 8,8 12,4 3,1<br />

9 Dumai 8,0 0,8 42 Bima 8,9 4,0<br />

10 Batam 14,8 4,6 4,8 8,6 1,9 43 Maumere 6,3 5,2<br />

11 Jambi 16,5 10,7 7,4 11,1 2,5 44 Kupang 15,2 9,7 8,4 10,5 6,3<br />

12 Palembang 19,9 8,4 8,2 13,3 1,8 45 Pontianak 14,4 6,3 8,6 11,6 4,9<br />

13 Bengkulu 25,2 6,5 5,0 14,5 2,9 46 Singkawang 5,7 1,2<br />

14 Bandar Lampung 21,2 6,0 6,6 14,4 4,2 47 Sampit 11,9 7,7 7,6 8,3 2,8<br />

15 Pangkal Pinang 17,4 6,4 2,6 18,4 2,2 48 Palangkaraya 12,1 7,7 8,0 12,2 1,4<br />

16 Tanjung Pinang 7,0 1,5 49 Banjarmasin 12,9 11,0 7,8 11,0 3,8<br />

17 DKI Jakarta 16,1 6,0 6,0 11,1 2,3 50 Balikpapan 17,3 5,5 7,3 11,1 3,5<br />

18 Bogor 4,0 2,1 51 Samarinda 16,6 6,5 9,2 12,8 4,0<br />

19 Sukabumi 7,5 3,4 52 Tarakan 8,8 7,0<br />

20 Tasikmalaya 20,8 8,4 7,7 11,7 4,1 53 Manado 18,7 5,1 10,1 9,0 2,3<br />

21 Bandung 19,6 5,3 5,3 9,9 2,1 54 Palu 16,3 8,7 8,1 10,7 5,6<br />

22 Cirebon 16,8 6,3 7,9 13,9 4,1 55 Watampone 10,1 6,7<br />

23 Bekasi 5,1 1,9 56 Makassar 15,2 7,2 5,7 12,2 3,2<br />

24 Depok 6,1 1,3 57 Parepare 7,4 1,4<br />

25 Purwokerto 14,5 8,4 6,1 12,3 2,8 58 Palopo 7,8 4,1<br />

26 Surakarta 13,9 6,2 3,3 8,3 2,6 59 Kendari 21,5 10,6 7,5 16,0 4,5<br />

27 Semarang 16,5 6,1 6,7 11,2 3,1 60 Gorontalo 18,6 7,5 7,0 7,9 4,3<br />

28 Tegal 18,4 7,7 8,9 8,6 5,7 61 Mamuju 8,5 1,8<br />

29 Yogyakarta 15,0 10,4 8,0 10,0 2,9 62 Ambon 16,7 4,8 5,8 10,1 6,4<br />

30 Jember 16,9 6,8 7,2 10,1 3,7 63 Ternate 19,4 5,1 10,4 12,2 3,8<br />

31 Sumenep 5,5 2,7 64 Manokwari 14,5 7,4<br />

32 Kediri 16,8 7,8 6,8 10,1 3,5 65 Sorong 11,0 3,3<br />

33 Malang 15,7 5,9 5,9 11,9 3,3 66 Jayapura 14,1 9,5 10,3 15,5 2,0<br />

Sumber : Badan Pusat Statistik<br />

Salah satu faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Terkait dengan<br />

investasi, pada dasarnya kewenangan daerah sangat besar karena kewenangan penanaman<br />

modal merupakan salah satu kewenangan yang didesentralisasikan sesuai dengan PP Nomor<br />

38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah<br />

Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peran besar daerah dalam<br />

meningkatkan investasi berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal<br />

Dalam Negeri (PMDN) saat ini sudah diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun<br />

2007 tentang Penanaman Modal. Dukungan Pemerintah Pusat terlihat pada upaya menarik<br />

investor dari luar negeri yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal<br />

(BKPM). Kemudahan dan fasilitas telah disediakan oleh Pemerintah maupun pemerintah<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-23


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

daerah dalam rangka menarik para investor untuk lebih banyak menanamkan modalnya<br />

dan hal tersebut juga sudah didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008<br />

tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di<br />

Daerah.<br />

Salah satu upaya mempermudah investor adalah ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor<br />

27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dimana<br />

daerah berkoordinasi dengan BKPM membentuk unit tersendiri yang tugas utamanya<br />

menyediakan kemudahan perizinan bagi investor. Upaya lain yang dilakukan diantaranya<br />

adalah (1) meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik kualitas maupun<br />

kuantitas, (2) adanya kepastian hukum, (3) jaminan keamanan, (4) kondisi persaingan<br />

usaha yang sehat, dan (5) transparansi kebijakan pemerintah daerah. Belum seluruh<br />

pemerintah daerah secara optimal melaksanakan upaya-upaya tersebut, hal ini dikarenakan<br />

terjadinya krisis ekonomi dunia yang berpengaruh pada minat investor asing berinvestasi di<br />

Indonesia, akan tetapi di lain pihak data pertumbuhan investasi di beberapa daerah<br />

menunjukkan kecenderungan peningkatan investasi khususnya untuk PMDN.<br />

Berdasarkan data BKPM, pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang relatif signifikan pada<br />

PMDN, tetapi terjadi penurunan pada PMA. Kegiatan investasi secara umum masih<br />

terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal ini terutama disebabkan oleh kurang<br />

memadainya infrastruktur di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Perkembangan realisasi<br />

investasi di Indonesia tahun 2006–2009 dapat dilihat dalam Tabel V.13.<br />

TABEL V.13<br />

PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA<br />

TAHUN 2006 – 2009<br />

Provinsi<br />

PMA (Juta US$)<br />

PMDN (Rp. Miliar)<br />

2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009<br />

SUMATERA 898,2 1.398,5 1.009,9 776,2 4.504,9 10.754,5 4.840,1 7.819,6<br />

JAWA 4.416,4 8.503,5 13.566,8 9.370,6 13.030,8 18.668,9 12.230,7 25.766,5<br />

BALI DAN NUSA TENGGARA 106,2 56,7 95,5 233,8 104,9 15,7 29,0 50,8<br />

KALIMANTAN 534,8 300,6 115,2 284,4 2.536,1 1.558,0 1.821,4 2.934,4<br />

SULAWESI 15,5 79,6 65,4 141,6 68,6 3.881,6 1.147,5 1.187,4<br />

MALUKU 20,0 - - 5,9 0,2 - - -<br />

PAPUA 0,6 2,5 18,7 2,8 403,5 - 294,7 41,0<br />

JUMLAH 5.991,7 10.341,4 14.871,4 10.815,2 20.649,0 34.878,7 20.363,4 37.799,8<br />

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)<br />

Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, besarnya peningkatan jumlah investasi yang<br />

terealisasi tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 yang<br />

turun sebesar 1.46 persen. Hal ini wajar terjadi karena investasi yang ditanamkan pada<br />

tahun 2009 belum menimbulkan efek pada peningkatan PDRB. Oleh karena itu, perlu dilihat<br />

dari indikator lain untuk mengetahui besarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah<br />

satu indikator yang terkait langsung dengan investasi dan pembangunan ekonomi adalah<br />

rendahnya tingkat pengangguran.<br />

Secara nasional, tingkat pengangguran senantiasa menunjukkan penurunan, yaitu turun<br />

dari 11,2 persen di tahun 2005 dan berturut-turut turun menjadi 10,3 persen di tahun 2006,<br />

9,1 persen di tahun 2007, 8,4 persen di tahun 2008, dan turun lagi menjadi 7,87 persen di<br />

tahun 2009. Tingkat pengangguran di Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta, Banten, Jawa<br />

Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Sulawesi Utara relatif lebih tinggi dibandingkan<br />

kawasan lain, yaitu mencapai lebih dari 10 persen pada tahun 2008 dan 2009. Perkembangan<br />

tingkat pengangguran per provinsi dari tahun 2008–2009 dapat dilihat dalam Grafik V.11.<br />

V-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

16<br />

GRAFIK V.11<br />

TINGKAT PENGANGGURAN PER PROVINSI<br />

TAHUN 2008 – 2009<br />

14<br />

2008 2009<br />

12<br />

Tingkat Pengangguran (%)<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

BALI<br />

NTT<br />

PAPUA<br />

SULBAR<br />

KALTENG<br />

SULTRA<br />

BENGKULU<br />

JATIM<br />

SULTENG<br />

KALBAR<br />

JAMBI<br />

GORONTALO<br />

DIY<br />

BABEL<br />

NTB<br />

KALSEL<br />

LAMPUNG<br />

MALUT<br />

JATENG<br />

PAPUA BARAT<br />

SUMSEL<br />

SUMBAR<br />

KEP. RIAU<br />

SUMUT<br />

RIAU<br />

NAD<br />

SULSEL<br />

SULUT<br />

MALUKU<br />

KALTIM<br />

JABAR<br />

JAKARTA<br />

BANTEN<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Bergeraknya roda perekonomian dan banyaknya tenaga kerja yang terserap dalam industri<br />

yang didanai dari investasi dalam dan luar negeri seharusnya bisa menimbulkan dampak<br />

pada indikator tingkat kemiskinan, secara nasional juga terjadi penurunan yang relatif<br />

signifikan. Apabila dibandingkan dengan tahun 2006, maka pada tahun 2009 sebagian besar<br />

daerah di Indonesia menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin. Pada tahun<br />

2006, persentase penduduk miskin mencapai 17,75 persen dan turun menjadi 14,15 persen<br />

pada tahun 2009. Berbeda dengan indikator tingkat pengangguran, untuk indikator tingkat<br />

kemiskinan, DKI Jakarta, Banten, dan Jabar justru menunjukkan tingkat kemiskinan yang<br />

rendah, bahkan tingkat kemiskinan DKI Jakarta adalah yang terendah. Sebagaimana terlihat<br />

pada Grafik V.12, daerah yang tingkat kemiskinannya tertinggi adalah Papua dan Papua<br />

Barat yang mencapai lebih dari 35 persen di tahun 2008 maupun 2009, diikuti dengan<br />

Provinsi Maluku dan NTT.<br />

Untuk mengetahui keberhasilan pembangunan ekonomi dalam pemerataan pembangunan<br />

antardaerah maka dapat digunakan indikator pemerataan, yang salah satunya dapat dilihat<br />

melalui Indeks Williamson. Berdasarkan angka Indeks Williamson tahun 2006–2009 terlihat<br />

bahwa tingkat pemerataan aktivitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRB<br />

antarprovinsi (tidak termasuk Provinsi DKI Jakarta) masih belum terlalu baik, tetapi<br />

perkembangannya menunjukkan ke arah<br />

kondisi yang lebih baik. Pada Tabel V.14,<br />

dapat dilihat bahwa pada tahun 2006<br />

Indeks Williamson untuk aktivitas<br />

perekonomian sebesar 0,59, turun<br />

menjadi 0,47 pada tahun 2009.<br />

Penurunan Indeks Williamson tersebut<br />

menunjukkan bahwa perkembangan<br />

aktivitas perekonomian antarprovinsi<br />

menjadi semakin berimbang.<br />

TABEL V.14<br />

INDEKS WILLIAMSON UNTUK PDRB,<br />

TAHUN 2006 – 2009<br />

2006 2007 2008 2009<br />

Indonesia 0,59 0,49 0,48 0,47<br />

Sumatera 0,55 0,52 0,52 0,51<br />

Jawa 0,17 0,17 0,17 0,17<br />

Bali dan Nusa Tenggara 0,41 0,42 0,43 0,43<br />

Kalimantan 0,85 0,82 0,82 0,80<br />

Sulawesi 0,19 0,20 0,19 0,19<br />

Maluku dan Papua 0,57 0,52 0,50 0,53<br />

Sumber : Badan Pusat Statistik<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-25


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

yaitu sebesar 2,37 persen dan Nanggroe Aceh Darussalam yang menurun hingga 1,75 persen.<br />

Kedua, peningkatan transfer diiringi juga dengan pengurangan tingkat pengangguran,<br />

namun tidak semua daerah mengalami penurunan. Terdapat 20 daerah mengalami<br />

penurunan tingkat pengangguran. Penurunan tingkat pengangguran tertinggi terjadi di Jawa<br />

Timur dan Jawa Barat yang mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,34 persen<br />

dan 1,12 persen.<br />

Dari Tabel V.15 juga dapat dilihat bahwa pendapatan APBD per kapita yang tinggi terdapat<br />

di daerah Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Timur. Pendapatan APBD per kapita di<br />

Papua bahkan mencapai lebih dari 10 kali lipat pendapatan APBD per kapita di Jawa Timur.<br />

Tingginya pendapatan APBD per kapita diharapkan dapat mempercepat pembangunan di<br />

wilayah tersebut, terutama untuk mendanai investasi awal di bidang infrastruktur.<br />

Selanjutnya, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah dan pemerintah daerah<br />

adalah upaya untuk menyelaraskan pola alokasi dana ke daerah dengan target pertumbuhan<br />

ekonomi dan target kesejahteraan masyarakat.<br />

5.3 <strong>Kebijakan</strong> <strong>Anggaran</strong> ke Daerah Tahun 2011<br />

5.3.1 <strong>Kebijakan</strong> <strong>Anggaran</strong> Transfer ke Daerah<br />

Berdasarkan peraturan perundang-undangan serta mengacu pada hasil pembahasan antara<br />

DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan APBN tahun<br />

2011, kebijakan anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan untuk<br />

(1) meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat<br />

dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance);<br />

(2) menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sejalan dengan pembagian urusan<br />

pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; (3) meningkatkan kualitas<br />

pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah;<br />

(4) mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan<br />

ekonomi makro; (5) meningkatkan daya saing daerah; (6) meningkatkan kemampuan<br />

daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (7) meningkatkan efisiensi pemanfaatan<br />

sumber daya nasional; dan (8) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan<br />

nasional dengan rencana pembangunan daerah.<br />

Sementara itu, sejalan dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam<br />

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun <strong>Anggaran</strong> 2009, terutama yang terkait<br />

dengan Bagian <strong>Anggaran</strong> Transfer ke Daerah mengenai konsistensi penggunaan akun<br />

transfer, dalam tahun 2011 akan dilakukan beberapa kebijakan, diantaranya yaitu adanya<br />

reklasifikasi anggaran sesuai dengan jenis transfer dan tujuan pembentukan akun transfer.<br />

Hal ini ditujukan juga untuk menjaga momentum atas penilaian BPK terhadap pelaksanaan<br />

<strong>Anggaran</strong> Transfer ke Daerah Tahun 2009 berupa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)<br />

dari tahun sebelumnya dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). <strong>Kebijakan</strong><br />

reklasifikasi anggaran akan dimulai dengan penguatan konsep Dana Penyesuaian, yang<br />

meliputi definisi, tujuan, dan ruang lingkup. Selanjutnya, juga akan dilakukan pengelompokan<br />

jenis transfer yang sejenis/serumpun sesuai dengan kejadian saat transaksi, sehingga<br />

memudahkan dalam pencatatan dan pelaporannya.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-27


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Guna mendukung arah kebijakan transfer ke daerah tersebut, dalam RAPBN 2011 alokasi<br />

anggaran Transfer ke Daerah direncanakan sebesar Rp378,4 triliun, atau 5,4 persen terhadap<br />

PDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami kenaikan Rp33,8 triliun, atau 9,8<br />

persen dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp344,6<br />

triliun. Kenaikan anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN 2011 tersebut selain disebabkan<br />

adanya kenaikan Dana Perimbangan, juga disebabkan oleh adanya peningkatan Dana Otsus<br />

dan Penyesuaian terutama adanya komponen baru pada pos Dana Penyesuaian, yaitu<br />

bantuan operasional sekolah (BOS) yang merupakan realokasi dari Belanja Pemerintah<br />

Pusat ke Transfer ke Daerah. Dari jumlah alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN<br />

2011 tersebut, sekitar 87,0 persen merupakan alokasi Dana Perimbangan, dan sisanya sekitar<br />

13,0 persen merupakan alokasi Dana Otsus dan Penyesuaian.<br />

5.3.1.1 <strong>Kebijakan</strong> Dana Perimbangan<br />

Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Perimbangan direncanakan sebesar Rp329,1 triliun, atau<br />

4,7 persen terhadap PDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan<br />

sebesar Rp14,7 triliun, atau 4,7 persen dari alokasi Dana Perimbangan dalam APBN-P tahun<br />

2010 sebesar Rp314,4 triliun. Dari jumlah alokasi Dana Perimbangan tersebut, sebesar 24,9<br />

persen merupakan DBH, sebesar 67,4 persen merupakan DAU, dan sebesar 7,7 persen<br />

merupakan DAK.<br />

5.3.1.1.1 Dana Bagi Hasil (DBH)<br />

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada daerah<br />

berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka<br />

pelaksanaan desentralisasi. <strong>Kebijakan</strong> pelaksanaan alokasi DBH tahun 2011 mengacu kepada<br />

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan<br />

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 2006<br />

tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor<br />

1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus<br />

bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang<br />

Perubahan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang<br />

Dana Perimbangan.<br />

Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara Pemerintah<br />

dan daerah dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar bagi daerah penghasil,<br />

serta memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah provinsi yang bersangkutan.<br />

Berdasarkan jenis penerimaannya, DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya<br />

Alam (SDA). Adapun mekanisme penetapan dan penyaluran DBH ke tiap-tiap daerah yang<br />

berhak menerima diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam tahun 2011,<br />

arah kebijakan DBH diarahkan untuk: (1) lebih meningkatkan akurasi data melalui koordinasi<br />

dengan institusi pengelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP); (2) menyempurnakan<br />

proses penghitungan dan penetapan alokasi DBH secara lebih transparan dan akuntabel;<br />

(3) menyempurnakan sistem penyaluran DBH tepat waktu dan tepat jumlah; dan<br />

(4) penyelesaian kurang bayar DBH SDA dan DBH Pajak. Dari arah kebijakan tersebut,<br />

diharapkan penyelesaian dokumen transfer yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan<br />

penyaluran DBH ke daerah dapat dipercepat, sehingga akuntabilitas dan efektifitas<br />

penggunaannya dapat dilaksanakan dengan baik.<br />

V-28 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Dalam RAPBN 2011, alokasi DBH direncanakan mencapai Rp82,0 triliun, atau 1,4 persen<br />

terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp7,6 triliun atau 8,5<br />

persen dari alokasi DBH dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp89,6 triliun. Penurunan DBH<br />

dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya alokasi DBH Pajak karena<br />

adanya pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, serta lebih rendahnya alokasi<br />

DBH SDA terutama karena menurunnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumi<br />

yang dibagihasilkan. Alokasi DBH tahun 2011 tersebut terdiri dari alokasi DBH Pajak sebesar<br />

49,4 persen dan alokasi DBH SDA sebesar 50,6 persen.<br />

DBH Pajak<br />

DBH Pajak terdiri atas 4 jenis yaitu DBH dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh<br />

Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan<br />

Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Cukai Hasil<br />

Tembakau (CHT). Dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak<br />

Daerah dan Retribusi Daerah, dalam tahun anggaran 2011, BPHTB tidak lagi termasuk<br />

dalam DBH, karena jenis pajak ini telah dialihkan menjadi Pajak Daerah. Selain itu, sebagian<br />

objek PBB, yaitu sektor perdesaan dan perkotaan mulai tahun 2014 juga akan dialihkan<br />

menjadi Pajak Daerah.<br />

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, serta Pasal 8 PP Nomor 55<br />

Tahun 2005, DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, yang merupakan bagian<br />

daerah adalah sebesar 20 persen. DBH dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29<br />

WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut, dibagi dengan imbangan sebesar 12<br />

persen untuk kabupaten/kota dan 8 persen untuk provinsi. Bagian kabupaten/kota tersebut,<br />

dibagi 8,4 persen untuk daerah penghasil dan 3,6 persen dibagi secara merata untuk seluruh<br />

kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Daerah penghasil ditentukan berdasarkan<br />

tempat wajib pajak terdaftar.<br />

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 serta<br />

Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar<br />

90 persen dengan rincian 64,8 persen untuk kabupaten/kota, 16,2 persen untuk provinsi,<br />

dan 9 persen untuk Biaya Pemungutan (BP), sedangkan sisanya sebesar 10 persen merupakan<br />

bagian Pemerintah Pusat. Biaya Pemungutan sebesar 9 persen tersebut dibagi antara pusat,<br />

provinsi dan kabupaten/kota dengan persentase yang berbeda-beda untuk setiap sektor PBB.<br />

Bagian Pusat sebesar 10 persen tersebut dibagi lagi ke daerah secara merata sebesar 6,5<br />

persen dan sebagai insentif sebesar 3,5 persen. Berdasarkan rencana penerimaan PBB yang<br />

ditetapkan dalam APBN, DBH PBB untuk masing-masing daerah ditetapkan dengan<br />

Peraturan Menteri Keuangan.<br />

Selanjutnya, Sesuai ketentuan Pasal 66A UU Nomor 39 Tahun 2007 dan Keputusan<br />

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 54/PUU-VI/2008 tanggal 14 April 2009,<br />

DBH CHT dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau dan provinsi penghasil<br />

tembakau sebesar 2 persen dari penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Penerimaan<br />

DBH CHT tersebut dibagi kepada Kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut, dengan<br />

imbangan 30 persen untuk provinsi dan 70 persen untuk kabupaten/kota. Bagian kabupaten/<br />

kota, dibagi dengan imbangan 40 persen untuk kabupaten/kota penghasil dan 30 persen<br />

untuk kabupaten/kota lainnya.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-29


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Berbeda dengan DBH Pajak yang bersifat block grant, DBH CHT bersifat specific grant,<br />

yang berarti penggunaannya ditetapkan untuk membiayai pengeluaran tertentu. DBH CHT<br />

tersebut digunakan untuk mendanai: (1) peningkatan kualitas bahan baku; (2) pembinaan<br />

industri; (3) pembinaan lingkungan sosial; (4) sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/<br />

atau (5) pemberantasan barang kena cukai ilegal.<br />

Berdasarkan pada rencana penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan, dan memperhatikan<br />

ketentuan-ketentuan mengenai DBH Pajak yang berlaku, maka alokasi DBH Pajak dalam<br />

RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp40,5 triliun, atau 0,6 persen terhadap PDB. Jumlah<br />

tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp4,0 triliun, atau 9,0 persen dari DBH Pajak<br />

dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp44,5 triliun. Lebih rendahnya alokasi DBH Pajak<br />

dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh adanya pengalihkan BPHTB menjadi pajak<br />

kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak<br />

Daerah dan Retribusi Daerah.<br />

Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut telah memperhitungkan kurang bayar DBH<br />

PPh tahun 2009 sebesar Rp2,5 miliar dan kurang bayar DBH PBB tahun 2009 sebesar<br />

Rp16,5 miliar. Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut, terdiri atas: (i) DBH PPh<br />

sebesar Rp13,1 triliun, atau lebih rendah Rp43,7 miliar (0,3 persen) dari DBH PPh dalam<br />

APBN-P tahun 2010 sebesar Rp13,2 triliun; (ii) DBH PBB sebesar Rp26,2 triliun, atau lebih<br />

tinggi Rp3,2 triliun (13,7 persen) dari DBH PBB dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp23,1<br />

triliun; dan (iii) DBH Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp1,2 triliun, atau lebih tinggi Rp43,8<br />

miliar (3,9 persen) dari DBH Cukai Hasil Tembakau dalam APBN-P tahun 2010 sebesar<br />

Rp1,1 triliun.<br />

DBH Sumber Daya Alam (SDA)<br />

DBH SDA, terdiri dari SDA pertambangan minyak bumi, SDA pertambangan gas bumi,<br />

SDA kehutanan, SDA pertambangan umum, SDA perikanan, dan SDA panas bumi. Sesuai<br />

dengan ketentuan Pasal 14 huruf e dan huruf f, dan Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun<br />

2004, mulai tahun 2009 alokasi untuk daerah dari bagi hasil minyak bumi dan gas bumi<br />

ditetapkan masing-masing 15,5 persen dan 30,5 persen dari penerimaannya setelah dikurangi<br />

komponen pajak dan pungutan lainnya. Porsi sebesar 0,5 persen dari DBH SDA Migas tersebut<br />

diarahkan sebagai tambahan anggaran pendidikan dasar, kecuali bagi daerah provinsi dan<br />

kabupaten/kota berdasarkan undang-undang otonomi khusus telah diatur tersendiri.<br />

Dalam rangka melaksanakan amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah<br />

dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 11<br />

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam RAPBN 2011 dialokasikan tambahan DBH<br />

SDA Migas untuk Propinsi Papua Barat dan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).<br />

Adapun rincian tambahan tersebut adalah minyak bumi sebesar 55 persen dan gas bumi<br />

sebesar 40 persen, sehingga proporsi migas untuk ketiga daerah tersebut masing-masing<br />

menjadi sebesar 70 persen.<br />

UU Nomor 33 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa realisasi penyaluran DBH yang berasal<br />

dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130 persen dari asumsi dasar harga<br />

minyak bumi dan gas bumi yang telah ditetapkan dalam APBN tahun berjalan, yang berlaku<br />

mulai tahun 2009. Selanjutnya, dalam hal bagi hasil minyak dan gas bumi melebihi 130<br />

persen dari asumsi APBN, maka selisih kelebihan dimaksud akan dihitung dengan pendekatan<br />

kesenjangan fiskal (Fiscal Gap) dalam formula DAU dan disalurkan melalui mekanisme<br />

APBN Perubahan.<br />

V-30 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Memenuhi amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian<br />

daerah dari SDA Pertambangan Umum, Kehutanan, Panas Bumi, serta Perikanan ditetapkan<br />

sebesar 80 persen dari penerimaannya. DBH SDA Pertambangan Umum berupa royalti dan<br />

landrent, bersumber dari kegiatan: (1) Kontrak Karya (KK); (2) Perjanjian Karya<br />

Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); dan (3) Kuasa Pertambangan (KP).<br />

Penetapan alokasi DBH SDA dimulai dengan perkiraan alokasi yang dihitung berdasarkan<br />

rencana penerimaan yang dimuat dalam UU APBN. Dalam rangka pelaksanaan penyaluran<br />

ke daerah, perhitungannya dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran<br />

berjalan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antarinstansi pusat terkait<br />

dan antara pusat dengan daerah penghasil.<br />

Sejalan dengan penerimaan yang berasal dari SDA minyak bumi dan gas bumi, SDA<br />

pertambangan umum, SDA kehutanan, SDA Panas Bumi, dan SDA perikanan, serta dengan<br />

memperhatikan ketentuan pembagian DBH SDA tersebut, maka dalam RAPBN 2011, alokasi<br />

DBH SDA direncanakan sebesar Rp41,5 triliun, atau lebih rendah Rp3,6 triliun atau 8,0<br />

persen dari realisasi DBH SDA dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp45,1 triliun. Lebih<br />

rendahnya alokasi DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya<br />

target penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Secara rinci, alokasi<br />

DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut terdiri atas DBH SDA minyak bumi sebesar Rp16,7<br />

triliun, DBH SDA gas bumi sebesar Rp12,7 triliun, DBH SDA pertambangan umum sebesar<br />

Rp8,3 triliun, DBH SDA kehutanan sebesar Rp1,4 triliun, DBH SDA perikanan sebesar Rp83,7<br />

miliar, DBH SDA panas bumi sebesar Rp351,0 miliar, serta kurang bayar DBH SDA sebesar<br />

Rp2,5 triliun, dengan rincian kurang bayar DBH SDA migas tahun 2008 sebesar Rp2,0<br />

triliun, kurang bayar DBH SDA pertambangan umum tahun 2007–2009 sebesar Rp0,4<br />

triliun, kurang bayar DBH SDA perikanan tahun 2009 sebesar Rp3,7 miliar, dan DBH SDA<br />

pertambangan panas bumi tahun 2006–2008 sebesar Rp66,1 miliar.<br />

5.3.1.1.2 Dana Alokasi Umum (DAU)<br />

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan<br />

pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam<br />

rangka pelaksanaan desentralisasi. Besaran DAU Nasional sangat tergantung dari besaran<br />

Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto dalam APBN.<br />

Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, PDN neto adalah penerimaan negara yang berasal dari<br />

pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan<br />

kepada daerah. Selanjutnya jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang kurangnya 26<br />

persen dari PDN neto yang ditetapkan dalam APBN.<br />

Pada APBN tahun 2007 dan 2008, PDN neto merupakan hasil pengurangan antara<br />

pendapatan dalam negeri yang merupakan hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan<br />

dan penerimaan negara bukan pajak, dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada<br />

daerah yaitu DBH, serta belanja yang sifatnya earmarked (penggunaannya diarahkan) dan<br />

anggaran yang sifatnya in-out (pencatatan anggaran dengan jumlah yang sama pada<br />

penerimaan dan belanja). Pada tahun 2009, dalam rangka sharing the pain beban APBN<br />

dan dengan mempertimbangkan bahwa sebagian subsidi juga diperuntukkan bagi daerah,<br />

PDN neto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi<br />

pupuk, dan subsidi pangan sebagai faktor pengurang. Untuk 2010, kebijakan PDN Neto<br />

masih dipertimbangkan dengan tetap menjaga peningkatan secara riil alokasi DAU setiap<br />

tahun. Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun 2008 terdapat<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-31


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu perhitungan alokasi<br />

DAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan tersebut belum dapat<br />

dilaksanakan secara murni, tetapi mulai APBN 2009, kebijakan tersebut telah dilaksanakan,<br />

dan tetap dilanjutkan pada APBN 2010. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka<br />

dalam tahun 2011 akan dihasilkan alternatif alokasi DAU kepada daerah sebesar nol (tidak<br />

mendapatkan DAU), lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari DAU tahun 2010.<br />

Selanjutnya, besaran DAU yang didistribusikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam<br />

RAPBN 2011, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsi<br />

dan kabupaten/kota dengan mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UU<br />

Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005. DAU yang akan didistribusikan<br />

untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan pada: (1) alokasi dasar,<br />

yang dihitung atas dasar jumlah gaji PNSD, antara lain meliputi gaji pokok ditambah dengan<br />

tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai<br />

negeri sipil; dan (2) celah fiskal, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.<br />

Kebutuhan fiskal tercermin dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan<br />

konstruksi, indeks pembangunan manusia, dan PDRB per kapita, sedangkan kapasitas fiskal<br />

diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan DBH SDA tidak termasuk DBH SDA Dana<br />

Reboisasi.<br />

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan pemerataan alokasi dana antardaerah, dan<br />

mengatasi kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah, maka akan terus dilakukan<br />

langkah-langkah untuk meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU, yang meliputi<br />

variabel kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukur<br />

tingkat ekualisasi terbaik antardaerah, digunakan indikator Williamson Index (WI) dan<br />

Coefficient of Variation (CV) yang merupakan parameter standar pengukuran tingkat<br />

pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Hal ini berarti bahwa semakin kecil angka<br />

indikator CV dan WI, maka tingkat variasi atau kesenjangan fiskal antardaerah semakin<br />

kecil dan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah akan semakin baik.<br />

Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat untuk meminimalkan<br />

kesenjangan fiskal antardaerah, diformulasikan analisis terhadap tingkat kesenjangan fiskal<br />

antardaerah melalui penentuan proporsi komponen DAU, yang salah satunya, dapat<br />

ditempuh dengan mengurangi proporsi AD dibandingkan dengan CF. Semakin kecil peran<br />

AD dalam formula DAU, maka semakin besar peran formula berdasarkan CF yang memiliki<br />

fleksibilitas dalam mengoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran<br />

CF dalam formula DAU dengan membatasi AD, dapat menghasilkan tingkat pemerataan<br />

yang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melalui indikator ekualisasi.<br />

Untuk menyempurnakan tingkat ekualisasi antardaerah, penerapan formula DAU<br />

memungkinkan daerah memperoleh DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya pada<br />

tahun sebelumnya, karena daerah tersebut mengalami peningkatan kapasitas fiskal secara<br />

signifikan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar DAU sebagai equalizing grant, agar<br />

penerimaan DAU secara proporsional dapat seimbang dengan penerimaan DBH dan PAD<br />

yang merupakan tolok ukur kemampuan keuangan suatu daerah. Konsekuensi penerapan<br />

formula DAU bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif tinggi<br />

adalah kemungkinan penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi DAU<br />

dari segi pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat bagi daerah marjinal/miskin<br />

lainnya (pro-poor). <strong>Kebijakan</strong> non-hold harmless tersebut sejalan dengan tujuan untuk<br />

memperkecil ketimpangan fiskal antardaerah.<br />

V-32 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Untuk mendukung pelaksanaan atas formula DAU tersebut dalam RAPBN 2011, DAU akan<br />

tetap diarahkan untuk: (1) mendukung fungsi DAU sebagai alat pemerataan kemampuan<br />

keuangan antardaerah; (2) meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU yang<br />

bersumber dari lembaga/instansi yang berwenang; (3) Alokasi Dasar memperhitungkan<br />

kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kenaikan gaji pokok, formasi CPNSD, dan kebijakankebijakan<br />

lainnya yang terkait dengan penggajian; (4) proporsi DAU sebesar 10 persen untuk<br />

semua provinsi dan 90 persen untuk semua kabupaten/kota dari besaran DAU nasional;<br />

(5) tetap melanjutkan penerapan kebijakan non-hold harmless; (6) DAU untuk daerah<br />

otonom baru hasil pemekaran tahun 2008, penghitungannya dilakukan secara proporsional<br />

antara daerah induk dan daerah anak berdasarkan data luas wilayah, jumlah penduduk,<br />

dan jumlah PNSD; dan (7) DAU untuk 14 daerah pemekaran baru yang pada tahun 2010<br />

dihitung secara proporsional, dalam RAPBN 2011 akan dihitung secara mandiri.<br />

Berdasarkan arah kebijakan tersebut, serta target pendapatan dalam negeri dalam RAPBN<br />

2011 sebesar Rp1.082,6 triliun, dikurangi dengan rencana penerimaan negara yang<br />

dibagihasilkan kepada daerah berupa DBH sebesar Rp79,5 triliun (tidak termasuk kurang<br />

bayar DBH sebesar Rp2,5 triliun), rencana PNBP yang akan digunakan kembali oleh<br />

kementerian/lembaga penghasil PNBP sebesar Rp27,4 triliun, subsidi pajak sebesar Rp14,8<br />

triliun, dan bagian 65 persen dari beberapa subsidi lainnya, yaitu subsidi listrik sebesar Rp41,0<br />

triliun, subsidi BBM sebesar Rp92,8 triliun, subsidi pupuk sebesar Rp16,4 triliun, subsidi<br />

pangan sebesar Rp15,3 triliun, dan subsidi benih sebesar Rp120,3 miliar, sehingga beberapa<br />

subsidi lainnya tersebut yang diperhitungkan dalam penetapan PDN neto adalah sebesar<br />

Rp107,6 triliun, maka besaran PDN neto dalam RAPBN 2011 adalah sebesar Rp853,4 triliun.<br />

Selanjutnya, dengan memperhatikan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan mengacu<br />

pada hasil pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Tingkat<br />

I/Pembahasan RUU tentang APBN Tahun <strong>Anggaran</strong> 2011, maka besaran alokasi DAU dalam<br />

RAPBN 2011 direncanakan sebesar 26 persen dari PDN neto, atau mencapai Rp221,9 triliun<br />

(3,2 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp29,4 triliun jika<br />

dibandingkan dengan alokasi DAU murni dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp192,5 triliun.<br />

Alokasi DAU dalam RAPBN 2011 tersebut, sebesar Rp22,2 triliun (10 persen dari total DAU<br />

nasional) akan didistribusikan untuk provinsi dan sebesar Rp199,7 triliun (90 persen dari<br />

total DAU nasional) akan didistribusikan kepada kabupaten/kota. Alokasi DAU tahun 2011<br />

akan ditransfer ke kas daerah setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi.<br />

Alokasi DAU yang didistribusikan<br />

kepada kabupaten/kota tersebut,<br />

telah memperhitungkan alokasi DAU<br />

daerah pemekaran. Pada tahun 2010<br />

telah dialokasikan DAU untuk 14<br />

daerah pemekaran yang<br />

pembentukannya telah ditetapkan<br />

dengan undang-undang dalam<br />

rentang waktu bulan September<br />

2008 sampai dengan bulan februari<br />

2009 (Tabel V.16). Perhitungan<br />

DAU ke-14 daerah pemekaran<br />

tersebut pada APBN 2010 belum<br />

berdasarkan basis data yang<br />

TABEL V.16<br />

DAERAH PEMEKARAN YANG AKAN MENDAPAT DAU 2011<br />

DENGAN PERHITUNGAN BERDASARKAN BASIS DATA SECARA MANDIRI<br />

No Daerah Pemekaran Daerah Induk Provinsi<br />

1 Kota Tangerang Selatan Kab. Tangerang Banten<br />

2 Kab Tambrauw Kab. Sorong Papua Barat<br />

3 Kab Maybrat Kab. Sorong Papua Barat<br />

4 Kab Pulau Morotai Kab.Halmahera Utara Maluku Utara<br />

5 Kab Intan Jaya Kab. Paniai Papua<br />

6 Kab Deiyai Kab. Paniai Papua<br />

7 Kab Sabu Raijua Kab. Kupang NTT<br />

8 Kab Pringsewu Kab. Tanggamus Lampung<br />

9 Kota Gunung Sitoli Kab. Nias Sumut<br />

10 Kab Nias Utara Kab. Nias Sumut<br />

11 Kab Nias Barat Kab. Nias Sumut<br />

12 Kab Tulang Bawang Barat Kab. Tulang Bawang Lampung<br />

13 Kab Mesuji Kab. Tulang Bawang Lampung<br />

14 Kab Meranti Kab. Bengkalis Riau<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-33


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

mandiri, melainkan masih menggunakan data sebelum pemekaran, yang kemudian<br />

diperhitungkan secara proporsional berdasarkan data penduduk, data luas wilayah, dan<br />

jumlah PNSD dari daerah induk dan daerah pemekaran. Pada tahun 2011, daerah pemekaran<br />

tersebut akan mendapatkan DAU dengan perhitungan sesuai dengan basis data perhitungan<br />

secara mandiri.<br />

5.3.1.1.3 Dana Alokasi Khusus (DAK)<br />

DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu<br />

untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai<br />

dengan prioritas nasional. Sementara itu, DAK dimaksudkan untuk membantu daerah<br />

tertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat<br />

dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran<br />

prioritas nasional.<br />

Arah kebijakan umum DAK tahun 2011 ditujukan untuk:<br />

(1) mendukung program yang menjadi prioritas nasional sesuai kerangka pengeluaran<br />

jangka menengah (medium term expenditure framework) dan penganggaran berbasis<br />

kinerja (performance based budgeting);<br />

(2) membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah dalam<br />

membiayai pelayanan publik sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangka<br />

pemerataan pelayanan dasar publik; dan<br />

(3) meningkatkan penyediaan data-data teknis, koordinasi pengelolaan DAK secara utuh<br />

dan terpadu di pusat dan daerah, sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang<br />

didanai APBN dan APBD, serta meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan<br />

kegiatan DAK di daerah.<br />

Berdasarkan identifikasi kebutuhan DAK untuk mendukung pencapaian prioritas nasional<br />

2011, serta dengan memperhatikan kebijakan DAK dalam RPJMN 2010-2014 dan RKP 2011,<br />

maka bidang yang direncanakan untuk didanai dari DAK Tahun 2011 adalah sebagai berikut:<br />

(1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Keluarga Berencana; (4) Infrastruktur Jalan; (5)<br />

Infrastruktur Irigasi; (6) Infrastruktur Air Minum; (7) Infrastruktur Sanitasi; (8) Prasarana<br />

Pemerintahan Daerah; (9) Kelautan dan Perikanan; (10) Pertanian; (11) Lingkungan Hidup;<br />

(12) Kehutanan; (13) Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal; (14) Sarana Perdagangan;<br />

(15) Transportasi Perdesaan; (16) Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan; (17) Listrik<br />

Perdesaan; (18) Perumahan dan Permukiman; serta (19) Keselamatan Transportasi Darat.<br />

Sejalan dengan arah kebijakan umum DAK, kebijakan dan ruang lingkup kegiatan DAK<br />

untuk masing-masing bidang diarahkan antara lain untuk:<br />

1. Pendidikan, diarahkan untuk meningkatkan pelaksanaan Program Wajib Belajar<br />

Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, untuk memastikan semua anak Indonesia dapat<br />

mengikuti pendidikan dasar yang bermutu, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar<br />

melalui penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik dan<br />

lengkap untuk memenuhi SPM, serta secara bertahap memenuhi Standar Nasional<br />

Pendidikan. Lingkup kegiatannya diprioritaskan untuk rehabilitasi ruang kelas SD/SDLB<br />

dan SMP/SMPLB yang rusak sedang dan berat.<br />

2. Kesehatan, diarahkan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan<br />

primer, sekunder, dan tersier dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu<br />

V-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

dan anak, perbaikan status gizi masyarakat, pengendalian penyakit, penyehatan<br />

lingkungan, melalui peningkatan sarana dan prasarana di Puskesmas dan jaringannya<br />

termasuk Poskesdes, rumah sakit dan laboratorium kesehatan provinsi/kabupaten/kota,<br />

serta penyediaan dan pengelolaan obat generik dan perbekalan kesehatan, terutama<br />

untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal,<br />

terpencil, perbatasan dan kepulauan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) Pelayanan<br />

Kesehatan Dasar, yang meliputi: (i) pembangunan, peningkatan, dan perbaikan<br />

Puskesmas dan jaringannya; (ii) pembangunan pos kesehatan desa; (iii) pengadaan<br />

peralatan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya;<br />

(iv) pengadaan peralatan promosi kesehatan; (b) Pelayanan Kesehatan Rujukan,<br />

meliputi: (i) peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III rumah sakit; (ii) pembangunan,<br />

perbaikan Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) dan peralatan Unit Transfusi Darah (UTD);<br />

(iii) pembangunan dan pengadaan peralatan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit<br />

(IGDRS); (iv) pembangunan dan pengadaan peralatan Pelayanan Obstetri dan Neonatal<br />

Emergensi Komprehensif Rumah Sakit (PONEK RS); (v) pemenuhan peralatan di<br />

laboratorium kesehatan daerah dan rumah sakit provinsi/kabupaten/kota; (vi) Instalasi<br />

Pengolahan Air Limbah (IPAL); dan (c) Pelayanan Kefarmasian, meliputi: (i)<br />

penyediaan obat generik dan perbekalan kesehatan; (ii) pembangunan dan perbaikan<br />

instalasi farmasi di provinsi/kabupaten/kota; dan (iii) pengadaan sarana pendukung<br />

instalasi farmasi di provinsi/kabupaten/kota.<br />

3. Keluarga Berencana, diarahkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang merupakan<br />

bagian dari program prioritas nasional yang telah menjadi urusan daerah dan tetap<br />

disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dalam rangka: (a) meningkatkan<br />

komitmen pemerintah daerah tentang pentingnya keluarga berencana; (b) membantu<br />

pemerintah daerah dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana fisik kepada<br />

masyarakat; (c) meneguhkan kembali pelaksanaan Program KB Nasional beserta sarana<br />

dan prasarana fisik pendukungnya dalam rangka pengendalian jumlah penduduk dan<br />

peningkatan kesejahteraan keluarga; (d) meningkatkan akses dan kualitas informasi<br />

dan pelayanan kontrasepsi, terutama bagi keluarga prasejahtera (Pra-KS) dan keluarga<br />

sejahtera I (KS-I); dan (e) menunjang percepatan pencapaian program KB di daerah<br />

dengan tingkat fertilitas yang masih tinggi, angka pemakaian kontrasepsi/contraceptive<br />

prevalence rate (CPR) yang masih rendah, serta proporsi keluarga prasejahtera dan<br />

keluarga sejahtera I yang masih besar. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan<br />

kendaraan bermotor roda dua dan sarana kerja bagi Penyuluh Keluarga Berencana<br />

(PKB)/Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB)/Pengawas Petugas Lapangan<br />

Keluarga Berencana (PPLKB); (b) penyediaan sarana pelayanan KB di klinik KB (statis)<br />

berupa Intra Uterine Device (IUD) kit/sterilisator, obgyn bed, dan implant kit; (c)<br />

pembangunan/renovasi balai penyuluhan KB kecamatan; (d) pembangunan gudang<br />

penyimpanan alokon di kab/kota; (e) penyediaan Laparascopy; (f) penyediaan Bina<br />

Keluarga Balita (BKB) kit; dan (g) penyediaan Mobil Unit Penerangan (MUPEN) KB,<br />

pengadaan public address, serta pengadaan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)<br />

kit.<br />

4. Infrastruktur Jalan, diarahkan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan<br />

fiskal rendah atau sedang dalam rangka mendanai kegiatan pemeliharaan berkala,<br />

peningkatan dan pembangunan jalan provinsi, jalan kabupaten/kota yang telah menjadi<br />

urusan daerah, mempertahankan dan meningkatkan tingkat pelayanan prasarana jalan<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-35


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

provinsi, kabupaten dan kota dalam rangka memperlancar distribusi penumpang, barang<br />

jasa, serta hasil produksi yang diprioritaskan untuk mendukung sektor pertanian,<br />

industri, dan pariwisata sehingga dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi regional,<br />

dan menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana jalan. Lingkup<br />

kegiatannya adalah: pemeliharaan berkala/periodik jalan dan jembatan provinsi/<br />

kabupaten/kota dan peningkatan prasana jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota.<br />

5. Infrastruktur Irigasi, diarahkan untuk mempertahankan tingkat layanan,<br />

mengoptimalkan fungsi, dan membangun prasarana sistem irigasi, termasuk jaringan<br />

reklamasi rawa dan jaringan irigasi desa yang menjadi kewenangan kabupaten/kota<br />

dan provinsi khususnya daerah lumbung pangan nasional dalam rangka mendukung<br />

program prioritas pemerintah bidang ketahanan pangan. Lingkup kegiatannya adalah:<br />

peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi, sedangkan dana untuk<br />

Operasional dan Pemeliharaan (OP) jaringan irigasi dialokasikan dari APBD masingmasing<br />

pemerintah daerah penerima DAK bidang irigasi.<br />

6. Infrastruktur Air Minum, diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air<br />

minum, meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, dan memenuhi SPM penyediaan<br />

air minum. Lingkup kegiatannya adalah pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum<br />

(SPAM) baru dan peningkatan SPAM untuk masyarakat berpenghasilan rendah.<br />

7. Infrastruktur Sanitasi, diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan sanitasi<br />

(air limbah, persampahan, dan drainase), serta meningkatkan kualitas kesehatan<br />

masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan sanitasi. Lingkup kegiatannya adalah:<br />

(a) pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal; (b) pengembangan<br />

fasilitas pengurangan sampah dengan pola 3R (reduce, reuse, dan recycle); dan (c)<br />

pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri yang berwawasan lingkungan,<br />

yang diutamakan bagi pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal. Jika<br />

daerah kabupaten/kota tersebut sudah bebas dari kondisi buang air besar sembarangan<br />

(BABS), maka kabupaten/kota dapat menggunakan alokasi DAK untuk membiayai<br />

pengembangan fasilitas pengurangan sampah dan pengembangan prasarana dan sarana<br />

drainase mandiri.<br />

8. Prasarana Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk meningkatkan kinerja<br />

pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran<br />

dan daerah yang terkena dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009 dan daerah<br />

lainnya yang prasarana pemerintahannya sudah tidak layak. Prioritas diberikan kepada<br />

daerah pemekaran tahun 2008 dan 2009. Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan/<br />

perluasan/rehabilitasi kantor Gubernur, Bupati dan/atau Walikota, kantor DPRD,<br />

gedung kantor SKPD di daerah otonom baru/pemekaran dan yang mengalami dampak<br />

pemekaran sampai dengan tahun 2009, serta pada daerah-daerah lainnya yang<br />

prasarana pemerintahannya seperti kantor Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD dan<br />

kantor SKPD-nya sudah tidak layak lagi, khususnya pada daerah-daerah yang belum<br />

mendapat alokasi DAK Prasarana Pemerintahan pada tahun sebelumnya.<br />

9. Kelautan dan Perikanan, diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana<br />

produksi, pengolahan, peningkatan mutu, pemasaran, pengawasan perikanan, serta<br />

penyediaan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dan pulaupulau<br />

kecil yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan, terutama pada daerah<br />

V-36 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

yang memiliki potensi dan sudah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan perikanan<br />

(minapolitan), yang didukung dengan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan<br />

dan penguatan statistik perikanan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan sarana<br />

dan rehabilitasi prasarana produksi perikanan tangkap; (b) penyediaan sarana dan<br />

rehabilitasi prasarana produksi perikanan budidaya; (c) penyediaan dan rehabilitasi<br />

sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;<br />

(d) penyediaan dan rehabilitasi infrastruktur dasar dan sarana prasarana pemberdayaan<br />

masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil serta kawasan konservasi perairan, yang<br />

terkait dengan wisata bahari dan pengembangan perikanan; (e) penyediaan dan<br />

rehabilitasi prasarana Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan<br />

Bakar Nelayan (SPBN); (f) penyediaan sarana dan prasarana pengawasan; (g)<br />

penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan (h) penyediaan sarana<br />

dan prasarana pengembangan statistik perikanan.<br />

10. Pertanian, diarahkan untuk meningkatkan produksi bahan pangan dalam negeri guna<br />

mendukung pencapaian prioritas nasional ketahanan pangan melalui perluasan areal<br />

pertanian dan penyediaan sarana dan prasarana pertanian di tingkat usaha tani dan<br />

perdesaan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) perluasan areal pertanian, meliputi:<br />

pencetakan sawah, pembukaan lahan kering/perluasan areal untuk tanaman pangan,<br />

holtikultura, perkebunan dan peternakan; (b) penyediaan sarana dan prasarana<br />

pengelolaan air, antara lain: pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha<br />

tani, jaringan irigasi tersier desa, tata air mikro, irigasi air permukaan, irigasi tanah<br />

dangkal, irigasi tanah dalam, pompanisasi, dam, parit, dan embung; (c) pengelolaan<br />

lahan melalui pembangunan/rehabilitasi jalan usaha tani dan jalan produksi, optimasi<br />

lahan, peningkatan kesuburan tanah, konservasi lahan, serta penyediaan Unit<br />

Pengolahan Pupuk Organik (UPPO); (d) pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan<br />

Kecamatan; (e) penyediaan lumbung/gudang pangan masyarakat/pemerintah; (f)<br />

penyediaan sarana dan prasarana Balai Perbenihan/Perbibitan Kabupaten untuk<br />

tanaman pangan/holtikultura/perkebunan; dan (g) pembangunan/rehabilitasi pusat/<br />

pos pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan.<br />

11. Lingkungan Hidup, diarahkan untuk mendukung pencapaian target prioritas nasional,<br />

yaitu penurunan beban pencemaran dan penurunan tingkat polusi sebesar 50 persen<br />

dengan mendukung pelaksanaan pengendalian pencemaran air, udara dan limbah padat<br />

di daerah serta memperkuat pelaksanaan SPM bidang lingkungan hidup daerah. Di<br />

samping itu, kegiatan bidang Lingkungan Hidup diarahkan untuk mendukung<br />

penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Lingkup kegiatannya adalah: (a)<br />

pemantauan kualitas air melalui kegiatan: (i) pembangunan gedung laboratorium; (ii)<br />

penyediaan sarana prasarana pemantauan kualitas air; dan (iii) pembangunan<br />

laboratorium lingkungan bergerak; (b) pengendalian pencemaran air melalui kegiatan:<br />

penerapan teknologi sederhana untuk pengurangan limbah (seperti biogas, 3R, Ruang<br />

Terbuka Hijau (RTH), Particulate Matter (PM10), taman kahati, Instalasi Pengolahan<br />

Air Limbah (IPAL) medik dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM); dan c) pengendalian<br />

polusi udara melalui kegiatan: i) pengadaan alat pemantau kualitas udara; ii) penerapan<br />

teknologi tepat guna/sederhana untuk mengurangi polusi udara (alat pembuatan asap<br />

cair, briket arang, dan lain-lain).<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-37


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

12. Kehutanan, diarahkan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam<br />

rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung sumber daya hutan, tanah<br />

dan air, serta mendukung mitigasi perubahan iklim. <strong>Kebijakan</strong> tersebut dicapai dengan<br />

mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap sumber daya hutan, tanah, dan air yang<br />

berada dalam DAS dengan melaksanakan rehabilitasi lahan kritis, pengelolaan kawasan<br />

hutan yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota/provinsi, termasuk<br />

pengembangan kebun bibit desa dan konservasi lahan gambut. Lingkup kegiatannya<br />

adalah: (a) kegiatan RHL yang terdiri dari kegiatan vegetatif dan konservasi tanah dan<br />

air; (b) pengembangan sarana prasarana keamanan hutan; dan (c) pengembangan<br />

sarana prasarana penyuluhan kehutanan.<br />

13. Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal, diarahkan untuk melakukan percepatan<br />

pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian<br />

daerah dan kualitas sumberdaya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan<br />

ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar, sehingga daerah<br />

tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar<br />

ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju. Daerah<br />

tertinggal yang dimaksud tidak termasuk daerah tertinggal yang memiliki kawasan<br />

perbatasan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan moda transportasi perairan/<br />

kepulauan; (b) penyediaan moda transportasi darat; (c) pembangunan dan rehabilitasi<br />

jalan di luar jalan provinsi dan kabupaten/kota; (d) pembangunan dan rehabilitasi<br />

dermaga kecil atau tambatan perahu, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu<br />

di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan; dan (e) penyediaan/<br />

pembangunan pembangkit energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energi<br />

mikrohidro dan pikohidro.<br />

14. Sarana Perdagangan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan sarana<br />

perdagangan untuk memperlancar arus barang antar wilayah dan meningkatkan<br />

ketersediaan dan kestabilan harga bahan pokok, meningkatkan tertib ukur dalam upaya<br />

perlindungan konsumen di daerah serta memberikan alternatif pembiayaan bagi petani<br />

dan UKM melalui Sistem Resi Gudang. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan<br />

dan pengembangan pasar tradisional; (b) pembangunan dan peningkatan sarana<br />

metrologi legal; dan (c) pembangunan gudang komoditas pertanian dalam rangka<br />

penerapan Sistem Resi Gudang.<br />

15. Transportasi Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan dan<br />

kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan transportasi, serta pengembangan<br />

sarana dan prasarana transportasi perdesaan yang diprioritaskan untuk mendukung<br />

pusat-pusat pertumbuhan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan jalan poros<br />

desa; dan (b) penyediaan angkutan perdesaan (pemberian bantuan sarana transportasi<br />

angkutan barang yang sesuai dengan karakteristik daerah).<br />

16. Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan, diarahkan untuk mengurangi<br />

keterisolasian kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara dan pintu gerbang<br />

aktivitas ekonomi-perdagangan dengan negara tetangga dalam rangka mewujudkan<br />

kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional. Lingkup<br />

kegiatannya adalah: (a) pembangunan/rehabilitasi jaringan jalan di luar jalan provinsi<br />

dan kabupaten/kota; (b) pembangunan/rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu<br />

di kecamatan perbatasan atau kawasan pulau kecil terluar berpenduduk; dan (c) moda<br />

V-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

transportasi perairan/kepulauan untuk mendukung mobilisasi angkutan orang dan<br />

barang.<br />

17. Listrik Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan dengan<br />

memberikan prioritas pada pemanfaatan energi terbarukan setempat untuk memperluas<br />

jangkauan pelayanan energi dan ketenagalistrikan sekaligus mengoptimalkan<br />

pemanfaatan energi alternatif selain BBM (terutama energi terbarukan) serta<br />

pemanfaatan secara optimal tenaga kerja, barang dan jasa produksi dalam negeri untuk<br />

memberikan nilai tambah (value added) bagi perekonomian dalam negeri, terutama<br />

untuk mendorong pengembangan industri dan teknologi dalam negeri untuk daerah<br />

yang tidak termasuk daerah tertinggal dan kawasan perbatasan. Lingkup kegiatannya<br />

adalah: pembangunan pembangkit energi baru terbarukan untuk penyediaan energi<br />

listrik dengan memanfaatkan potensi energi lokal yang berasal dari Energi Baru<br />

Terbarukan (EBT), yaitu konstruksi pembangkit skala kecil EBT berbasis surya (solar<br />

cell), mikro hidro, atau pembangkit EBT lainnya.<br />

18. Keselamatan Transportasi Darat, diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan<br />

terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di kabupaten/kota guna<br />

menurunkan tingkat kecelakaan pada lalu lintas angkutan jalan dalam rangka<br />

melaksanakan rencana aksi road map to zero accident. Lingkup kegiatannya adalah:<br />

pengadaan dan pemasangan fasilitas dan peralatan keselamatan jalan, antara lain: (a)<br />

rambu jalan; (b) marka jalan; dan (c) pagar pengaman jalan.<br />

19. Perumahan dan Permukiman, diarahkan untuk meningkatkan penyediaan<br />

Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) kawasan perumahan dan permukiman sebagai<br />

stimulan untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi Masyarakat<br />

Berpenghasilan Menengah dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di daerah.<br />

Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU)<br />

kawasan perumahan dan permukiman yaitu: (a) penyediaan jaringan pipa air minum;<br />

(b) septik tank komunal; (c) jaringan distribusi listrik; dan (d) penerangan jalan umum.<br />

Untuk mendukung pencapaian arah kebijakan umum dan arah kebijakan masing-masing<br />

bidang tersebut, alokasi DAK dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp25,2 triliun atau<br />

0,4 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan sebesar Rp4,1<br />

triliun atau 19,4 persen dari alokasi DAK yang direncanakan dalam APBN-P 2010 sebesar<br />

Rp21,1 triliun.<br />

Selanjutnya, perhitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu :<br />

(1) Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK, dengan memperhatikan kriteria umum,<br />

kriteria khusus, dan kriteria teknis.<br />

(2) Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah, yang dilakukan dengan<br />

perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.<br />

Penjelasan atas penggunaan kriteria pengalokasian DAK tahun 2011 tersebut adalah sebagai<br />

berikut :<br />

(1) Kriteria Umum, yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan<br />

daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja<br />

pegawai negeri sipil daerah.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-39


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

(2) Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang<br />

mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah, yaitu :<br />

a. Peraturan Perundangan, dimana daerah-daerah yang menurut ketentuan<br />

peraturan perundangan diprioritaskan mendapat alokasi DAK, serta seluruh<br />

daerah tertinggal diberikan kebijakan untuk mendapatkan alokasi DAK.<br />

b. Karakteristik daerah, yang meliputi daerah pesisir dan kepulauan, daerah<br />

perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang<br />

termasuk dalam kategori daerah ketahanan pangan, daerah rawan bencana, dan<br />

daerah pariwisata.<br />

(3)Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat<br />

menggambarkan kondisi sarana dan prasarana yang akan didanai dari DAK.<br />

5.3.1.2 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian<br />

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian merupakan amanat dari UU Nomor 35 Tahun<br />

2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor<br />

21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang dan<br />

UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam APBN 2011 dialokasikan<br />

Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional untuk Provinsi Papua dan Papua<br />

Barat, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan.<br />

<strong>Kebijakan</strong> pemberian Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional tersebut<br />

juga berlaku untuk Provinsi NAD, yang penggunaannya diarahkan untuk mendanai<br />

pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,<br />

pengentaskan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Di samping<br />

itu, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua<br />

Barat juga dialokasikan dana tambahan untuk infrastruktur, yang besarannya disepakati<br />

antara Pemerintah dengan DPR, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan<br />

pembangunan infrastruktur.<br />

Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Otonomi Khusus direncanakan sebesar Rp10,3 triliun,<br />

dengan rincian sebagai berikut:<br />

(1) Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp4,4 triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35<br />

Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus untuk Papua tersebut dibagikan kepada Provinsi<br />

Papua dan Provinsi Papua Barat.<br />

(2) Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD sebesar Rp4,4 triliun.<br />

(3) Dana Tambahan Otsus Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp1,4<br />

triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2008, Dana Tambahan Infrastruktur Papua<br />

dan Papua Barat tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.<br />

Selanjutnya, dalam RAPBN 2011, dialokasikan dana penyesuaian berupa dana tambahan<br />

penghasilan guru PNSD sebesar Rp3,7 triliun, Dana Insentif Daerah sebesar Rp1,4 triliun,<br />

dana tambahan untuk tunjangan profesi guru (TPG) sebesar Rp17,1 triliun, dan bantuan<br />

operasional sekolah (BOS) sebesar Rp16,8 triliun. Dana Insentif Daerah terutama ditujukan<br />

kepada daerah berprestasi yang memiliki kriteria keuangan dan kriteria kinerja ekonomi<br />

dan kesejahteraan yang baik, serta tetap mengupayakan terwujudnya tata kelola<br />

pemerintahan yang baik.<br />

V-40 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Sementara itu, dana tambahan untuk TPG sejalan dengan telah ditetapkan PP Nomor 41<br />

tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, yang dialokasikan mulai tahun 2010.<br />

Dana tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai<br />

penghargaan atas profesionalitasnya, sesuai dengan kewenangannya.<br />

TABEL V.17<br />

TRANSFER KE DAERAH, 2010 - 2011<br />

(miliar rupiah)<br />

2010 2011<br />

APBN-P<br />

% thd<br />

PDB<br />

RAPBN<br />

% thd<br />

PDB<br />

I. DANA PERIMBANGAN 314.363,3 5,0 329.099,3 4,7<br />

A. DANA BAGI HASIL 89.618,4 1,5 81.994,3 1,4<br />

1. Pajak 44.513,5 0,7 40.514,0 0,6<br />

a. Pajak Penghasilan 13.177,3 0,2 13.133,5 0,2<br />

i. Pasal 21 12.314,7 0,2 12.415,9 0,2<br />

ii. Pasal 25/29 orang pribadi 859,2 0,0 715,1 0,0<br />

iii. Kurang bayar PPh TA 2009 3,4 0,0 2,5 0,0<br />

b. PBB 23.063,4 0,4 26.219,3 0,4<br />

i DBH PBB 23.061,0 0,4 26.202,8 0,4<br />

ii. Kurang bayar DBH PBB TA 2009 2,3 0,0 16,5 0,0<br />

c. BPHTB 7.155,5 0,1 - -<br />

d. Cukai 1.117,3 0,0 1.161,1 0,0<br />

2. Sumber Daya Alam 45.104,9 0,7 41.480,3 0,6<br />

a. Migas 35.196,4 0,6 31.339,3 0,4<br />

i. Minyak Bumi 17.143,1 0,3 16.650,6 0,2<br />

ii. Gas Bumi 11.925,2 0,2 12.688,8 0,2<br />

iii. kurang bayar migas tahun 2008 6.128,1 0,1 2.000,0 0,0<br />

b. Pertambangan Umum 7.790,4 0,1 8.334,7 0,1<br />

i. Iuran Tetap 124,4 0,0 130,9 0,0<br />

ii. Royalti 7.666,0 0,1 7.796,4 0,1<br />

iii. Kurang bayar DBH pertambangan umum TA 2007-2009 - - 407,4 0,0<br />

c. Kehutanan 1.802,6 0,0 1.371,6 0,0<br />

i. Provisi Sumber Daya Hutan 898,4 0,0 773,0 0,0<br />

ii. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan 15,8 0,0 72,3 0,0<br />

iii. Dana Reboisasi 652,7 0,0 526,2 0,0<br />

iv. Kurang bayar SDA kehutanan 235,8 0,0 - -<br />

d. Perikanan 120,0 0,0 83,7 0,0<br />

i DBH Perikanan - - 80,0 -<br />

ii Kurang bayar perikanan TA 2009 - - 3,7 -<br />

e. Pertambangan Panas Bumi (PPB) 195,5 0,0 351,0 0,0<br />

i. DBH PPB 195,5 0,0 284,9 0,0<br />

ii. Kurang bayar DBH PPB TA 2006-2008<br />

- - 66,1 0,0<br />

B. DANA ALOKASI UMUM 203.606,5 3,3 221.872,2 3,2<br />

1. DAU Murni 192.490,3 3,1 221.872,2 3,2<br />

2. Tambahan untuk tunjangan profesi guru 10.994,9 0,2 - -<br />

3. Koreksi alokasi DAU Kab. Indramayu 121,3 0,0 - -<br />

C. DANA ALOKASI KHUSUS 21.138,4 0,3 25.232,8 0,4<br />

II. DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN 30.249,6 0,5 49.319,9 0,7<br />

A. DANA OTONOMI KHUSUS 9.099,6 0,1 10.274,9 0,1<br />

1. Dana Otsus 7.699,6 0,1 8.874,9 0,1<br />

a. Dana Otsus Prov. Papua dan Papua Barat 3.849,8 0,1 4.437,4 0,1<br />

- Provinsi Papua 2.694,9 0,0 3.106,2 0,0<br />

- Provinsi Papua Barat 1.154,9 0,0 1.331,2 0,0<br />

b. Dana Otsus Aceh 3.849,8 0,1 4.437,4 0,1<br />

2. Dana tambahan Otsus Infrastruktur Prov Papua 1.400,0 0,0 1.400,0 0,0<br />

a. Papua 800,0 0,0 800,0 0,0<br />

b. Papua Barat 600,0 0,0 600,0 0,0<br />

B. DANA PENYESUAIAN 21.150,0 0,3 39.045,0 0,6<br />

1. Dana Tambahan Tunjangan Profesi Guru - - 17.149,0 0,2<br />

2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) - - 16.812,0 0,2<br />

3. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD 5.800,0 0,1 3.696,2 0,1<br />

4. Dana insentif daerah 1.387,8 0,0 1.387,8 0,0<br />

5. Kurang bayar DAK Tahun 2008 80,2 0,0 - -<br />

6. Kurang bayar DISP Tahun 2008 32,0 0,0 - -<br />

7. Dana penguatan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah<br />

7.100,0 0,1 - -<br />

8. Dana penguatan infrastruktur dan prasarana daerah (DPIPD) 5.500,0 0,1 - -<br />

9. Dana percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan (DPPIP) 1.250,0 0,0 - -<br />

J U M L A H 344.612,9 5,5 378.419,2 5,4<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-41

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!