Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...
Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...
Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Bab V<br />
<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />
perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu perhitungan alokasi<br />
DAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan tersebut belum dapat<br />
dilaksanakan secara murni, tetapi mulai APBN 2009, kebijakan tersebut telah dilaksanakan,<br />
dan tetap dilanjutkan pada APBN 2010. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka<br />
dalam tahun 2011 akan dihasilkan alternatif alokasi DAU kepada daerah sebesar nol (tidak<br />
mendapatkan DAU), lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari DAU tahun 2010.<br />
Selanjutnya, besaran DAU yang didistribusikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam<br />
RAPBN 2011, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsi<br />
dan kabupaten/kota dengan mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UU<br />
Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005. DAU yang akan didistribusikan<br />
untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan pada: (1) alokasi dasar,<br />
yang dihitung atas dasar jumlah gaji PNSD, antara lain meliputi gaji pokok ditambah dengan<br />
tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai<br />
negeri sipil; dan (2) celah fiskal, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.<br />
Kebutuhan fiskal tercermin dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan<br />
konstruksi, indeks pembangunan manusia, dan PDRB per kapita, sedangkan kapasitas fiskal<br />
diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan DBH SDA tidak termasuk DBH SDA Dana<br />
Reboisasi.<br />
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan pemerataan alokasi dana antardaerah, dan<br />
mengatasi kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah, maka akan terus dilakukan<br />
langkah-langkah untuk meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU, yang meliputi<br />
variabel kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukur<br />
tingkat ekualisasi terbaik antardaerah, digunakan indikator Williamson Index (WI) dan<br />
Coefficient of Variation (CV) yang merupakan parameter standar pengukuran tingkat<br />
pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Hal ini berarti bahwa semakin kecil angka<br />
indikator CV dan WI, maka tingkat variasi atau kesenjangan fiskal antardaerah semakin<br />
kecil dan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah akan semakin baik.<br />
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat untuk meminimalkan<br />
kesenjangan fiskal antardaerah, diformulasikan analisis terhadap tingkat kesenjangan fiskal<br />
antardaerah melalui penentuan proporsi komponen DAU, yang salah satunya, dapat<br />
ditempuh dengan mengurangi proporsi AD dibandingkan dengan CF. Semakin kecil peran<br />
AD dalam formula DAU, maka semakin besar peran formula berdasarkan CF yang memiliki<br />
fleksibilitas dalam mengoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran<br />
CF dalam formula DAU dengan membatasi AD, dapat menghasilkan tingkat pemerataan<br />
yang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melalui indikator ekualisasi.<br />
Untuk menyempurnakan tingkat ekualisasi antardaerah, penerapan formula DAU<br />
memungkinkan daerah memperoleh DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya pada<br />
tahun sebelumnya, karena daerah tersebut mengalami peningkatan kapasitas fiskal secara<br />
signifikan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar DAU sebagai equalizing grant, agar<br />
penerimaan DAU secara proporsional dapat seimbang dengan penerimaan DBH dan PAD<br />
yang merupakan tolok ukur kemampuan keuangan suatu daerah. Konsekuensi penerapan<br />
formula DAU bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif tinggi<br />
adalah kemungkinan penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi DAU<br />
dari segi pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat bagi daerah marjinal/miskin<br />
lainnya (pro-poor). <strong>Kebijakan</strong> non-hold harmless tersebut sejalan dengan tujuan untuk<br />
memperkecil ketimpangan fiskal antardaerah.<br />
V-32 Nota Keuangan dan RAPBN 2011