Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...
Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...
Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />
Bab V<br />
Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah<br />
dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah<br />
untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.<br />
Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor<br />
28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah<br />
dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.<br />
Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara<br />
lain adalah:<br />
(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya<br />
pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum<br />
dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih<br />
dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan<br />
Pemerintah. <strong>Kebijakan</strong> ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan<br />
kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU<br />
Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang<br />
bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan<br />
jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang<br />
pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam<br />
memenuhi kewajiban perpajakannya.<br />
(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas<br />
basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.<br />
Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak<br />
menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu<br />
lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan<br />
pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas<br />
basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis<br />
pajak baru.<br />
Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah<br />
objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk<br />
kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru<br />
bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea<br />
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan<br />
Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak<br />
pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung<br />
Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.<br />
Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi<br />
dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas<br />
sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus<br />
untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,<br />
memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan<br />
kerja.<br />
Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat<br />
menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD<br />
dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah<br />
Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />
V-13