Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org
Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org
Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
BAB 1<br />
<strong>Mengkaji</strong> <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong><br />
<strong>Publik</strong> yang Berpihak pada Kepentingan<br />
Masyarakat<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Dinamika <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> di bidang Kesehatan,<br />
Ketenagakerjaan dan SDA yang berpihak kepada Masyarakat Miskin,<br />
Perempuan dan Anak, serta Masyarakat Tertinggal di Provinsi Lampung<br />
dan Jawa Tengah<br />
Enny Nurbaningsih, SH, MH, dan H.S. Tisnanta, SH, MH, Tim Peneliti KRISIS<br />
Semarang, Universitas Lampung dan Universitas Gadjah Mada<br />
Making Services Work for the Poor: A Synthesis of Nine Case Studies<br />
from Indonesia<br />
Stefan Nachuk dan Susannah Hopkins Leisher, Senior Poverty Specialist Bank<br />
Dunia, Indonesia. Dipresentasikan oleh Maulina Cahya Ningrum<br />
Iklim Berusaha dan Investasi Pasca Diterapkannya Kebijakan Otonomi<br />
Daerah: Studi Kasus di Beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia<br />
Agus Pramusinto, MDA, Ph.D., Staf Pengajar UGM<br />
Diskusi dan Tanya Jawab
1. Dinamika <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong><br />
di bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan dan SDA<br />
yang Berpihak kepada Masyarakat Miskin, Perempuan dan<br />
Anak, serta Masyarakat Tertinggal di<br />
Provinsi Lampung dan Jawa Tengah<br />
Abstrak<br />
Tulisan yang merupakan rangkuman penelitian “Dinamika <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />
di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Lampung,” dimaksudkan untuk memotret<br />
cerminan manifestasi otonomi dengan mengkaji koherensi isi dan implementasi<br />
<strong>Perda</strong> pelayanan publik pasca UU No. 22/1999 yang sangat desentralistik, terutama<br />
yang terkait dengan pengaturan isu kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA (Sumber<br />
Daya Alam) yang berpihak pada sasaran masyarakat miskin, perempuan, anak, serta<br />
kelompok marjinal lainnya. Temuan penelitian menunjukkan kekuasaan baru di<br />
bawah rezim desentralistik ternyata belum sepenuhnya diimplementasikan dalam<br />
regulasi daerah yang berorientasi memberikan pelayanan pada sektor isu, yang<br />
berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Semua <strong>Perda</strong> didominasi oleh<br />
pengaturan terhadap kelembagaan dan retribusi. Banjir <strong>Perda</strong> kelembagaan sebagai<br />
dampak silih berganti PP (Persatuan Pemerintah) hanya bertujuan memapankan<br />
institusi yang diberi mandat menyelenggarakan pelayanan publik terhadap isu,<br />
sedangkan muatan pelayanan yang dirumuskan dalam <strong>Perda</strong> retribusi bersifat<br />
artifisial sehingga tidak berdampak secara yuridis, kecuali pungutan yang masuk<br />
kas daerah untuk menambah APBD dari Pendapatan Asli Daerah.<br />
Sekali pun sulit mendapatkan <strong>Perda</strong> APBD, APBD di beberapa daerah<br />
memperlihatkan rendahnya pos anggaran terhadap sasaran, dengan sebaran<br />
pada program yang selalu berubah-ubah. Terkait dengan isu kesehatan setiap<br />
daerah penelitian memiliki <strong>Perda</strong> retribusi pelayanan kesehatan, tapi masalah<br />
ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan dihadapi oleh semua daerah.<br />
Adanya <strong>Perda</strong> JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) pun tidak<br />
memberi jaminan hak atas kesehatan kepada sasaran akibat kurang transparansi<br />
dalam pengelolaannya. <strong>Implementasi</strong> isu ketenagakerjaan lebih memprihatinkan<br />
karena keterbatasan akses baru untuk memperoleh perlindungan hak-haknya.<br />
<strong>Perda</strong> yang ada hanya beraksentuasi pada retribusi dan izin kerja, sehingga<br />
memberatkan investasi yang menyerap tenaga kerja. Dalam isu SDA tingkat<br />
overlapping antara satuan daerah otonom yang ingin mengelola sangat tinggi,<br />
diikuti dengan <strong>Perda</strong> SDA yang didominasi pungutan tanpa mempertimbangkan<br />
kualitas fungsi lingkungan. Dalam keseluruhan <strong>Perda</strong> retribusi yang mendominasi<br />
regulasi daerah pasca UU No. 22/1999 merupakan stereotip UU No. 5/1974.<br />
Perbedaan mendasar hanya pada rumusan dasar mengingat. Oleh karena itu
Inovasi otonomi luas yang berdampak pada masyarakat miskin tidak terumuskan<br />
dengan jelas, karena tingginya delegating provisio kepada Kepala Daerah. Akibat<br />
kurang maksimalnya fungsi kontrol DPRD terhadap implementasi muatan<br />
delegating provisio dalam <strong>Perda</strong>, sampai sekarang Keputusan/Peraturan Kepala<br />
Daerah yang memberikan kemudahan/keringanan terhadap kelompok sasaran<br />
hampir tidak diketemukan. Kepatuhan pelaporan <strong>Perda</strong> oleh Pemda di daerah<br />
penelitian kepada pusat sangat minim, sehingga menyulitkan pusat dalam<br />
menjalankan mekanisme pengawasan represif. Oleh karena itu pusat tidak dapat<br />
melakukan executive review secara maksimal bahkan terkesan diskriminatif<br />
terhadap berbagai <strong>Perda</strong> yang inkonsistensinya tinggi dalam mengelaborasi<br />
peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalam rangka mewujudkan<br />
manifestasi otonomi daerah yang mengatur isu dan keberpihakannya pada<br />
sasaran, sangat urgent dilakukan rekonstruksi muatan <strong>Perda</strong> terkait retribusi isu<br />
dengan menguatkan aspek pelayanan, sehingga <strong>Perda</strong> menjadi lebih fungsional.<br />
Penyusunan skala prioritas yang koordinatif antara satuan daerah otonom,<br />
merupakan langkah yang solutif.<br />
1.<br />
Pengantar<br />
Hadirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara formal<br />
mengubah format penyelenggaraan pemerintahan yang monolitik ke arah<br />
keberagaman (diversity). Daerah diberi kewewenangan yang luas untuk mengatur<br />
dan mengurus rumah tangganya. Dengan kewenangan luas ini daerah dapat<br />
membuat berbagai kebijakan terkait penyelenggaraan pelayanan kebutuhan<br />
dasar masyarakat tanpa perlu lagi menunggu pusat, sebagaimana yang pernah<br />
berlangsung sepanjang era orde baru. Sangat wajar jika kewenangan ini diberikan<br />
kepada daerah karena daerah yang mengetahui secara persis kondisi kebutuhan<br />
faktual (riil) masyarakat. Dengan mekanisme yang sangat desentralistik ini<br />
diharapkan Pemda memiliki kepekaan membentuk kebijakan yang mengatur<br />
berbagai masalah yang terkait dengan kebutuhan masyarakat sehingga dapat<br />
menghilangkan tuna akses masyarakat daerah yang mereka rasakan selama<br />
rezim sentralistik.<br />
Namun kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan di bawah rezim UU No.<br />
22 Tahun 1999 tidak serta-merta membawa berkah perubahan bagi kehidupan<br />
masyarakat. Kewenangan yang sangat besar yang diberikan kepada pemerintah<br />
daerah tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memperjuangkan kepentingan<br />
masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses: perempuan,<br />
anak, masyarakat miskin dan kelompok marjinal. Hal ini disebabkan oleh orientasi<br />
kebijakan pemerintah daerah yang cenderung bersifat budgeter. <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> ini<br />
yang kemudian menimbulkan masalah sehingga menuntut pusat untuk melakukan<br />
executive review, bahkan MPR pernah meminta MA untuk melakukan yudicial<br />
activism. Kebanyakan muatan <strong>Perda</strong> tersebut merupakan peraturan yang tidak<br />
terkait dengan pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat tapi justru
memberatkan kehidupan mereka karena dampak ekonomi biaya tinggi yang<br />
muncul dari <strong>Perda</strong> tersebut.<br />
Bertitik tolak pada fenomena di atas penelitian ini menitikberatkan kajian<br />
pada dinamika implementasi <strong>Perda</strong> yang terkait dengan pengaturan sektor<br />
kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA, yang dipandang memiliki korelasi positif<br />
dengan kesejahteraan masyarakat dan berdampak luas pada kelompok sasaran<br />
perempuan, anak, orang miskin dan kelompok marjinal. Masalah yang dimunculkan<br />
adalah: Apakah <strong>Perda</strong> yang ada telah mengatur aspek pelayanan publik di bidang<br />
kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA? Sejauh mana <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> tersebut memuat<br />
aturan yang memberikan akses pelayanan kepada masyarakat miskin, Perempuan,<br />
Anak, dan kelompok marginal? Apakah ada kesesuaian antara pengaturan dalam<br />
<strong>Perda</strong> di bidang kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA dengan pelaksanaannya?<br />
Dengan menggunakan metode purposive sampling penelitian ini mengambil lokasi<br />
di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Lampung dengan masing-masing 10 (sepuluh)<br />
kabupaten/kota, yang penentuannya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek<br />
demografi, geografis, geopolitik dan geososial-ekonomi, sehingga hasilnya dipandang<br />
dapat mencerminkan dinamika pengaturan terhadap sasaran perempuan, anak,<br />
orang miskin, dan kaum marjinal di kedua Provinsi. Kesepuluh kabupaten/kota yang<br />
ada di Provinsi Jawa Tengah adalah Pekalongan, Purbalingga, Sragen, Semarang,<br />
Blora, Cilacap, Kudus, Surakarta, Kebumen, dan Wonosobo. Sedangkan kesepuluh<br />
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung meliputi Bandar Lampung, Kota<br />
Metro, Lampung Timur, Lampung Barat, Lampung Utara, Lampung Selatan,<br />
Lampung Tengah, Way Kanan, Tanggamus dan Tulang Bawang. Penelitian ini<br />
menggunakan kombinasi penelitian pustaka dan lapangan yang disusun secara<br />
kronologis dimulai dari langkah awal berupa desk study, kemudian penelitian<br />
lapangan dan penajaman serta verifikasi data dilakukan melalui FGD. Selanjutnya<br />
data dianalisis menggunakan analisis komparatif-kualitatif, content analysis, dan<br />
analisis isi media untuk mendapatkan korelasi antara isi dan tujuan <strong>Perda</strong> dengan<br />
implementasi <strong>Perda</strong> di lapangan.<br />
2.<br />
Kondisi <strong>Perda</strong><br />
2.1 Provinsi Jawa Tengah<br />
<strong>Perda</strong> yang berhasil terkoleksi sebagai data penelitian adalah <strong>Perda</strong> yang diterbitkan<br />
pasca berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. Di Provinsi Jawa Tengah <strong>Perda</strong> yang<br />
diteliti berjumlah 698 <strong>Perda</strong>, dengan sebaran: 66 <strong>Perda</strong> Provinsi, 44 <strong>Perda</strong> Kota<br />
Semarang, 59 <strong>Perda</strong> Kabupaten Kudus, 50 <strong>Perda</strong> Kabupaten Pekalongan, 33 <strong>Perda</strong><br />
Kabupaten Blora, 47 <strong>Perda</strong> Kota Surakarta, 77 <strong>Perda</strong> Kabupaten Sragen, 64 <strong>Perda</strong><br />
Kabupaten Purbalingga, 85 <strong>Perda</strong> Kabupaten Kebumen, 121 <strong>Perda</strong> Kabupaten<br />
Wonosobo, dan 52 <strong>Perda</strong> Kabupaten Cilacap.<br />
Kategorisasi isi <strong>Perda</strong> tertinggi mengatur soal retribusi 199 <strong>Perda</strong>, selanjutnya
kelembagaan 192 <strong>Perda</strong>, perizinan/perencanaan 141 <strong>Perda</strong>, keuangan/APBD<br />
121 <strong>Perda</strong> dan pajak 45 <strong>Perda</strong>. Sejumlah 698 <strong>Perda</strong> yang menjadi data penelitian<br />
ini bukan merupakan total <strong>Perda</strong> yang diterbitkan setiap daerah penelitian.<br />
Tim Peneliti menemukan hambatan untuk memperoleh seluruh <strong>Perda</strong> terutama<br />
yang mengatur soal keuangan/APBD dan lampirannya, untuk dapat mengetahui<br />
komitmen anggaran dengan regulasi 3 isu penelitian. Tidak dapat dipungkiri dalam<br />
era keterbukaan ini ternyata masih ada pandangan di kalangan birokrasi bahwa<br />
<strong>Perda</strong> “tertentu”, merupakan barang yang disakralkan, bukan sebagai bagian dari<br />
konsumsi publik, sekalipun untuk kepentingan kajian ilmiah.<br />
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 698 <strong>Perda</strong> yang diproduksi rezim<br />
desentralistik tidak memotret kondisi faktual demografi, geografi atau geo sosial<br />
ekonomi setempat, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 22 Tahun 1999<br />
melalui prinsip otonomi riil. dari 698 <strong>Perda</strong> terdapat<br />
84 <strong>Perda</strong> yang berkorelasi dengan isu, tetapi tidak sepenuhnya mengatur pelayanan<br />
kepada kelompok sasaran. Kekuasaan baru di bawah rezim desentralistik ternyata<br />
belum sepenuhnya diimplementasikan dalam regulasi daerah yang berorientasi<br />
memberikan pelayanan publik. Prioritas utama regulasi daerah baru seputar<br />
pemapanan kelembagaan.<br />
Oleh karena itu pengaturan terhadap isu sepanjang diberikannya kekuasaan baru<br />
hanya terdapat dalam <strong>Perda</strong> kelembagaan yang berbentuk uraian tugas instansi,<br />
dan <strong>Perda</strong> retribusi yang berbentuk penentuan tarif untuk setiap orang (umum)<br />
dalam wilayah berlakunya <strong>Perda</strong> tersebut, tanpa memberikan pengecualian.<br />
Rumusan normatif akses bagi sasaran yang tidak mampu dilakukan secara<br />
ritual formalistis dengan membuat pasal keringanan atau pembebasan. Sangat<br />
sulit untuk mendeteksi secara materiil sejauhmana komitmen pembentuk <strong>Perda</strong><br />
terhadap keringanan atau pembebasan yang diberikan kepada kelompok sasaran<br />
karena pengaturan tersebut bersifat delegating provisio. Materi muatan <strong>Perda</strong><br />
sektor kesehatan, tenaga kerja maupun SDA yang secara substantif mengatur<br />
soal sasaran (perempuan, anak, orang miskin dan kelompok marjinal) tidak<br />
diketemukan. Sifat pengaturan terhadap sasaran dalam <strong>Perda</strong> hanya bersifat<br />
norma komplemen atau accessories, tidak mengandung konsekuensi yuridis jika<br />
tidak dilaksanakan, kecuali <strong>Perda</strong> Irigasi tapi muatannya lebih berorientasi pada<br />
kelembagaan Petani.<br />
Untuk 66 <strong>Perda</strong> Provinsi hanya terdapat 7 <strong>Perda</strong> yang mengatur isu. Sesuai dengan<br />
kondisi kategori isi, 5 <strong>Perda</strong> mengatur retribusi dan 2 kelembagaan. Di antara<br />
5 <strong>Perda</strong> retribusi diketemukan <strong>Perda</strong> yang bersifat retribusi terselubung, karena<br />
<strong>Perda</strong> tersebut sesungguhnya tidak diberi judul <strong>Perda</strong> Retribusi, tetapi di dalamnya<br />
bermuatan penuh pungutan, dengan maksud melindungi kualitas lingkungan<br />
(<strong>Perda</strong> No. 21 Tahun 2001). Bahkan dalam era desentralisasi ini Pemprop tidak<br />
patuh dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya, sehingga<br />
penuh improvisasi dalam merumuskan <strong>Perda</strong>. Menariknya dalam perumusan<br />
<strong>Perda</strong> retribusi Pemprop ditentukan alokasi anggaran retribusi berupa
”Uang Perangsang” kepada leading sector sebesar 5% dari realisasi penerimaan<br />
yang disetor ke kas daerah. Rumusan semacam ini tidak ditemukan untuk <strong>Perda</strong><br />
retribusi serupa di kabupaten/kota. Muatan yang sama juga terdapat di Provinsi<br />
Lampung tapi diatur dalam <strong>Perda</strong> khusus tentang “Upah Pungut”.<br />
<strong>Perda</strong> Kota Semarang tidak jauh berbeda dengan kabupaten/kota lainnya. Dari 44<br />
<strong>Perda</strong> yang diteliti hanya terdapat 6 <strong>Perda</strong> terkait dengan isu. 4 <strong>Perda</strong> berkorelasi<br />
dengan pelayanan kesehatan adalah 1 <strong>Perda</strong> retribusi dan 3 <strong>Perda</strong> kelembagaan.<br />
Berdasarkan kategori isi <strong>Perda</strong> terlihat jelas bahwa Pemkot Semarang belum<br />
intens mengatur isu kesehatan. Sedangkan untuk <strong>Perda</strong> ketenagakerjaan dan isu<br />
sumber daya alam, tidak diketemukan. Dimasukkannya <strong>Perda</strong> PKL karena dampak<br />
pengaturan pekerja sektor informal yang dapat mengurangi pengangguran.<br />
Tidak berbeda dengan Kota Semarang, dari 59 <strong>Perda</strong> di Kudus hanya terdapat 8<br />
<strong>Perda</strong> yang mengatur pelayanan terhadap isu. Untuk isu kesehatan berupa 3 <strong>Perda</strong><br />
retribusi dan 1 kelembagaan. Selebihnya merupakan pengaturan tidak langsung.<br />
Untuk isu ketenagakerjaan berupa <strong>Perda</strong> PKL. <strong>Perda</strong> yang intens mengatur SDA<br />
terkait dengan kelompok sasaran petani adalah <strong>Perda</strong> Irigasi. Kedudukan Petani<br />
sebagai adresat dalam <strong>Perda</strong> Irigasi telah mendapatkan perlindungan secara<br />
memadai dan memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan pengairan<br />
melalui lembaga P3A. <strong>Perda</strong> serupa dengan muatan yang sama juga terdapat di<br />
Pekalongan, Sragen dan Cilacap.<br />
50 <strong>Perda</strong> Pekalongan yang diteliti tidak jauh berbeda dengan kondisi <strong>Perda</strong> di daerah<br />
lainnya, tidak terdapat satu <strong>Perda</strong> pun yang mengatur akses masyarakat terhadap<br />
kemudahan pelayanan isu. 7 <strong>Perda</strong> terkait, berupa 4 <strong>Perda</strong> isu kesehatan dengan<br />
titik berat 2 <strong>Perda</strong> retribusi dan 2 kelembagaan. Untuk ketenagakerjaan hanya ada<br />
1 <strong>Perda</strong> tentang kelembagaannya. 2 <strong>Perda</strong> SDA tidak sepenuhnya mengatur akses<br />
masyarakat terhadap SDA. Blora jauh lebih memprihatinkan dari 33 <strong>Perda</strong> yang<br />
diteliti tidak sepenuhnya mengatur isu. Dari 6 <strong>Perda</strong> terkait, 5 <strong>Perda</strong> kesehatan<br />
tidak sepenuhnya mengatur pelayanan kesehatan yang memberikan akses<br />
kemudahan kepada masyarakat, aksentuasi muatan retribusi dan kelembagaan.<br />
Untuk pengaturan terkait pelayanan ketenagakerjaan tidak diketemukan, kecuali<br />
yang bersifat kelembagaan. Sekalipun Blora kaya sumber minyak dan SDA lainnya,<br />
tapi pengaturan terhadap SDA yang membuka kemudahan akses pelayanan<br />
kepada masyarakat, sangat minim. Terdapat 1 <strong>Perda</strong> yaitu <strong>Perda</strong> No. 15/2001<br />
tentang Retribusi Izin Penebangan Dan Atau Pengangkutan Kayu Rakyat/Milik<br />
Dan Kayu Bongkaran Bangunan. Menariknya <strong>Perda</strong> yang sama untuk daerah<br />
Sragen telah dicabut, tapi untuk Kabupaten Blora sampai sekarang masih tetap<br />
berlaku, menunjukkan adanya diskriminasi executive review.<br />
Kondisi di Kota Surakarta sama dengan di Blora dari 47 <strong>Perda</strong> hanya terdapat 4 <strong>Perda</strong><br />
yang berkaitan dengan isu. Sepanjang era UU No. 22 Tahun 1999, tidak diterbitkan<br />
<strong>Perda</strong> yang mengatur isu kesehatan. <strong>Perda</strong> retribusi pelayanan kesehatan yang<br />
ada masih mendasarkan pada <strong>Perda</strong> lama. Untuk isu ketenagakerjaan hanya
erupa <strong>Perda</strong> kelembagaan, sedangkan untuk isu SDA terdapat 3 <strong>Perda</strong> yang<br />
terkait soal kelembagaan.<br />
77 <strong>Perda</strong> di Sragen yang diteliti, terdapat 10 <strong>Perda</strong> yang bersentuhan secara<br />
tidak langsung dengan isu. 4 <strong>Perda</strong> kesehatan berupa 3 <strong>Perda</strong> retribusi dan 1<br />
kelembagaan. 1 <strong>Perda</strong> terkait dengan retribusi ketenagakerjaan, dan 5 <strong>Perda</strong> isu<br />
SDA, yang lebih berorientasi retribusi. Di Purbalingga dari 64 <strong>Perda</strong> terdapat<br />
9 <strong>Perda</strong> berkait dengan isu. 3 <strong>Perda</strong> kesehatan hanya berupa retribusi dan<br />
kelembagaan, termasuk di dalamnya 1 <strong>Perda</strong> JPKM (Jaminan Pemeliharaan<br />
Kesehatan Masyarakat). Purbalingga merupakan satu-satunya daerah penelitian<br />
yang memiliki <strong>Perda</strong> JPKM. Di Kebumen dan Wonosobo untuk muatan yang sama<br />
diatur dalam Peraturan Bupati. 2 <strong>Perda</strong> ketenagakerjaan, dan 4 <strong>Perda</strong> SDA lebih<br />
berorientasi pada kelembagaan dan retribusi.<br />
Di Kebumen dari 85 <strong>Perda</strong> hanya ada 12 <strong>Perda</strong> terkait isu. 4 <strong>Perda</strong> mengatur<br />
soal kesehatan dengan tekanan muatan kelembagaan dan retribusi. 1 <strong>Perda</strong><br />
ketenagakerjaan dan 7 <strong>Perda</strong> SDA. Kebumen merupakan satu-satunya daerah<br />
penelitian yang mempunyai <strong>Perda</strong> partisipatif tapi tidak implementatif. Untuk<br />
Kabupaten Wonosobo kondisinya lebih memprihatinkan lagi karena dari 121 <strong>Perda</strong><br />
yang diteliti hanya ada 2 <strong>Perda</strong> terkait isu. 1 <strong>Perda</strong> kesehatan (retribusi), sedangkan<br />
soal ketenagakerjaan hanya tentang kelembagaan rutin. Sebagai daerah yang kaya<br />
SDA Pemda tidak membuat kebijakan yang memberikan kemudahan akses bagi<br />
rakyat terhadap SDA, karena tidak ada <strong>Perda</strong> soal SDA. Semula terdapat <strong>Perda</strong><br />
No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat<br />
(PSDHBM) yang dibuat untuk kepentingan mengatur akses masyarakat tapi<br />
muatannya bertentangan dengan UU Kehutanan, yang saat ini sudah dibatalkan<br />
pusat.<br />
Dari 53 <strong>Perda</strong> Cilacap yang diteliti terdapat 14 <strong>Perda</strong> terkait. 4 mengatur isu<br />
kesehatan yang seluruhnya soal retribusi. 2 <strong>Perda</strong> ketenagakerjaan juga berkait<br />
retribusi. Berbeda dengan daerah lain yang kaya SDA (Blora) di Cilacap terdapat<br />
8 <strong>Perda</strong> SDA yang berkait dengan SDA. Dua di antaranya cukup intens mengatur<br />
perlindungan ekosistem (<strong>Perda</strong> No. 17 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Hutan<br />
Mangrove Di Kawasan Segara Anakan dan <strong>Perda</strong> No. 20 Tahun 2003 Tentang<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup), selebihnya mengatur aspek retribusi.<br />
2.2 Provinsi Lampung<br />
Jumlah <strong>Perda</strong> Provinsi Lampung dari tahun 1999-2005 yang diteliti sebanyak<br />
647 <strong>Perda</strong>, dengan rincian kategori 94 <strong>Perda</strong> APBD, 44 <strong>Perda</strong> pajak, 220 <strong>Perda</strong><br />
retribusi, 144 <strong>Perda</strong> institusi dan 145 <strong>Perda</strong> lain-lain. Sebaran per kabupaten/kota,<br />
untuk Kota Bandar Lampung 59 <strong>Perda</strong>, Kota Metro 57 <strong>Perda</strong>, Kabupaten Lampung<br />
Timur 69, Kabupaten Lampung Barat 71 <strong>Perda</strong>, Kabupaten Lampung Utara 50<br />
<strong>Perda</strong>, Kabupaten Lampung Selatan 61 <strong>Perda</strong>, Kabupaten Lampung Tengah 65
<strong>Perda</strong>, Kabupaten Wy Kanan 60 <strong>Perda</strong>, Kabupaten Tanggamus 57 <strong>Perda</strong>, Kabupaten<br />
Tulang Bawang 58 <strong>Perda</strong>.<br />
<strong>Perda</strong> APBD merupakan <strong>Perda</strong> yang setiap tahun wajib dibuat pemda karena<br />
berkaitan dengan pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.<br />
Permasalahan mendasar dari <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> APBD ini adalah keterbukaan pemda<br />
terhadap alokasi anggaran dan keberpihakan pemda terhadap kelompok sasaran.<br />
Akses kelompok sasaran dalam penentuan program dan alokasi anggaran sangat<br />
terbatas. Secara normatif terbuka peluang kelompok sasaran untuk ikut serta<br />
dalam proses penetapan APBD melalui penjaringan aspirasi masyarakat. Namun<br />
demikian, dalam implementasinya kesempatan tersebut tidak dapat diakses oleh<br />
kelompok sasaran karena sikap tertutup dari aparat pemda. Proses advokasi<br />
anggaran banyak dilakukan oleh kalangan NGO baik di tingkat pemerintah<br />
provinsi maupun kabupaten/kota, akan tetapi hasilnya masih belum maksimal.<br />
Dalam penelitian ini <strong>Perda</strong> APBD tidak dapat dikaji secara mendalam karena<br />
sangat sulit diperoleh.<br />
Seperti halnya pemerintah Provinsi Jawa Tengah, di Lampung <strong>Perda</strong> retribusi<br />
paling banyak dibuat, sesuai dengan tuntutan terhadap kemandirian pemda<br />
untuk membiayai rumah tangganya sendiri. Daerah berlomba untuk menggali<br />
sumber pendapatan asli daerah melalui pembentukan <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> retribusi<br />
dengan melupakan filosofi dasarnya yaitu pelayanan. Aspek pelayanan yang<br />
seharusnya inheren dalam penarikan retribusi sering dilupakan karena pemda<br />
lebih mengedepankan fungsi “budgeter”. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda<br />
dengan <strong>Perda</strong> tentang pajak daerah. Akibat dari semua itu, pelaku usaha merasa<br />
dibebani dan sehubungan dengan hal tersebut ada 16 <strong>Perda</strong> kabupaten/kota yang<br />
dibatalkan oleh pemerintah pusat karena membebani pelaku usaha.<br />
Dinamika <strong>Perda</strong> tentang institusi mempunyai dampak yang sangat besar dalam<br />
penyelenggaraan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemda. Jumlah <strong>Perda</strong><br />
institusi yang cukup banyak tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan<br />
sistem otonomi yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, serta dinamika penataan<br />
institusi daerah dengan standar norma yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.<br />
Hal pertama yang dapat dicatat terhadap keberadaan institusi adalah adanya<br />
pemecahan kecamatan yang dilakukan oleh semua kabupaten kota. Pemekaran<br />
kecamatan dilakukan atas pertimbangan untuk memperpendek rentang kendali<br />
sehingga pelayanan publik dapat lebih efektif. Namun demikian, pemekaran yang<br />
dilakukan lebih mengarah pada upaya untuk memenuhi jenjang jabatan PNS yang<br />
jumlahnya telah melebihi kapasitas yang ada karena ada pelimpahan PNS pusat ke<br />
daerah. <strong>Perda</strong> tentang struktur <strong>org</strong>anisasi baik pemda provinsi dan kabupaten/kota<br />
pada umumnya tidak sesuai dengan filosofi miskin struktur dan kaya fungsi. Hal<br />
ini dapat ditunjukkan dari jumlah dinas/instansi yang dibentuk yaitu minimum 18<br />
dinas/instansi. Selain itu, perumusan tugas pokok dan fungsi masing-masing dinas<br />
seringkali tidak secara spesifik menjawab kebutuhan mendasar dari kelompok<br />
sasaran penelitian.
Selain itu, proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang<br />
berlandaskan pada UU No. 22 Tahun 1999 mendorong masyarakat dan elit politik<br />
lokal pada kesadaran terhadap karakter khas pemerintahan adat. Sehubungan<br />
dengan hal tersebut di beberapa kabupaten lahir berbagai <strong>Perda</strong> yang mengatur<br />
tentang pemerintahan desa yang muatannya sama dengan <strong>Perda</strong> sebelumnya<br />
hanya berganti format judul menjadi penyelenggaraan pemerintahan pekon.<br />
Dari 647 <strong>Perda</strong> di atas bila dikaitkan dengan bidang isu penelitian, ada 35 <strong>Perda</strong><br />
yang mengatur isu kesehatan, 21 <strong>Perda</strong> mengatur isu ketenagakerjaan, dan 42<br />
<strong>Perda</strong> mengatur isu SDA. Di tingkat provinsi, terdapat 2 <strong>Perda</strong> yang mengatur<br />
tentang retribusi pelayanan kesehatan RSAM dan RSAJ. Tidak ditemukan <strong>Perda</strong><br />
yang mengatur peran pemerintah provinsi di bidang kesehatan, terutama dalam<br />
penetapan standar norma pelayanan kesehatan. Walaupun provinsi mempunyai<br />
kewenangan di bidang ketenagakerjaan namun tidak ada <strong>Perda</strong> yang berkait<br />
dengan bidang ketenagakerjaan. Sementara itu <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan<br />
sumber daya alam hanya ditemukan 1 <strong>Perda</strong>, yang tidak mencerminkan kondisi<br />
Provinsi Lampung yang kaya SDA (hutan, tambang).<br />
Produktivitas DPRD Kota Bandar Lampung selama 5 tahun cukup tinggi dapat<br />
dilihat dari jumlah <strong>Perda</strong> terkoleksi yaitu 59 <strong>Perda</strong>. Dari 59 <strong>Perda</strong> di atas, terdapat<br />
8 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian, terdiri dari 3 <strong>Perda</strong> berkenaan<br />
dengan isu kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu tenaga kerja dan 3 <strong>Perda</strong><br />
berkenaan dengan isu SDA. <strong>Perda</strong> tersebut pada umumnya lebih mengarah pada<br />
fungsi budgeter dalam upaya menghimpun pendapatan asli daerah. Keberadaan<br />
<strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> retribusi ini tentunya menimbulkan beban bagi masyarakat. Salah<br />
satu contohnya adalah <strong>Perda</strong> nomor 10 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan yang<br />
melahirkan 6 jenis izin. Oleh karena itu dibatalkan oleh Mendagri karena dinilai<br />
membebani pelaku usaha. Selain itu terdapat satu <strong>Perda</strong> tentang pajak penerangan<br />
jalan yang juga dibatalkan oleh mendagri dengan alasan yang sama.<br />
Jumlah <strong>Perda</strong> yang terkumpul di Kota Metro adalah 57 <strong>Perda</strong>. Data di atas<br />
menunjukkan bahwa jumlah <strong>Perda</strong> retribusi adalah yang paling banyak. Hal ini<br />
dapat dimengerti karena Kota Metro baru dibentuk pada tahun 1999, sehingga<br />
mulai tahun 1999 Pemkot mulai menata <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> warisan dari Kabupaten<br />
Lampung Tengah. Penataan <strong>Perda</strong> tersebut juga dilakukan terhadap <strong>Perda</strong><br />
yang berkaitan dengan pajak, institusi maupun <strong>Perda</strong> lainnya. Dalam kebijakan<br />
pemungutan retribusi lebih mengedepankan upaya intensifikasi yang diharapkan<br />
tidak memberatkan masyarakat. terdapat 8 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu<br />
penelitian, terdiri dari 4 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> berkenaan<br />
dengan isu tenagakerja dan 2 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu SDA.<br />
Di Kabupaten Lampung Timur terdapat 69 <strong>Perda</strong> yang terdiri dari 6 <strong>Perda</strong> APBD,<br />
6 <strong>Perda</strong> Pajak, 26 <strong>Perda</strong> retribusi, 12 <strong>Perda</strong> institusi dan 19 <strong>Perda</strong> lainnya. Dari<br />
jumlah tersebut yang berkaitan dengan isu penelitian hanya 9 <strong>Perda</strong> yang terdiri<br />
dari 2 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu kesehatan, 3 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu<br />
tenaga kerja dan 4 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu SDA. Seperti daerah lain, <strong>Perda</strong>
etribusi paling banyak jumlahnya (26 <strong>Perda</strong>). Menariknya APBD Kabupaten<br />
Lampung Timur dapat dinilai sebagai APBD yang tidak ramah untuk bidang<br />
kesehatan. Alokasi dana kesehatan tahun 2002 hanya 3,41 persen dari total<br />
APBD, sedangkan pada tahun 2003 hanya 6,42 persen dari total APBD. Alokasi ini<br />
menunjukkan ketidakberpihakan pemda terhadap pembangunan kesehatan. <strong>Perda</strong><br />
yang mengatur institusi tidak ada yang secara spesifik berkaitan dengan kelompok<br />
sasaran khususnya perempuan dan anak, baik <strong>Perda</strong> Struktur Organisasi dan Tata<br />
Kerja Dinas/instansi maupun sekretariat daerah.<br />
Di Kabupaten Lampung Barat terkumpul 71 <strong>Perda</strong> yang terdiri dari 13 <strong>Perda</strong><br />
APBD, 4 <strong>Perda</strong> Pajak, 19 <strong>Perda</strong> retribusi, 14 <strong>Perda</strong> institusi dan 21 <strong>Perda</strong> lainnya.<br />
Dari jumlah tersebut terdapat 8 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian,<br />
terdiri dari 3 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan<br />
isu tenagakerja dan 3 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu SDA. Seiring dengan semangat<br />
otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, upaya<br />
untuk meningkatkan PAD melalui pajak dan retribusi juga dilakukan baik melaui<br />
intensifikasi maupun ekstensifikasi. Berkenaan dengan upaya tersebut maka lahir<br />
beberapa <strong>Perda</strong> retribusi yang kemudian dibatalkan oleh Mendagri, yaitu:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
<strong>Perda</strong> tentang Pengendalian Penebangan dan Peremajaan Tanaman Kelapa<br />
<strong>Perda</strong> tentang Pajak Huller yang telah dicabut<br />
<strong>Perda</strong> tentang Retribusi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit<br />
Akan tetapi terhadap <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> dengan judul dan materi muatan yang sama di<br />
kabupaten Lampung Selatan hingga saat ini tidak dibatalkan. Hal ini menunjukkan<br />
adanya diskriminasi dalam melakukan executive review. Selain itu, ada satu<br />
<strong>Perda</strong> yang cukup khas di Kabupaten Lampung Barat yaitu <strong>Perda</strong> No 14 Tahun<br />
2000 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian Dan Pengembangan Adat Istiadat Dan<br />
Lembaga Adat. <strong>Perda</strong> ini merupakan suatu upaya untuk pemberdayaan, pelestarian<br />
dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat. Peranan nilai-nilai adat<br />
istiadat dan lembaga adat di daerah diberdayakan untuk menunjang kelancaran<br />
penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan pembangunan serta mendorong<br />
upaya mensejahterakan warga masyarakat setempat. Adat istiadat dan lembaga<br />
adat digunakan mendorong, menunjang dan menungkatkan partisipasi masyarakat<br />
guna kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan<br />
pembinaan masyarakat di daerah khususnya di Pekon.<br />
Di Kabupaten Lampung Utara terdapat 50 <strong>Perda</strong>, terdiri dari 14 <strong>Perda</strong> APBD, 2<br />
<strong>Perda</strong> Pajak, 15 <strong>Perda</strong> retribusi, 10 <strong>Perda</strong> institusi dan 9 <strong>Perda</strong> lainnya. Dari jumlah<br />
tersebut terdapat 6 <strong>Perda</strong> isu penelitian, terdiri dari 2 <strong>Perda</strong> isu kesehatan, 1 <strong>Perda</strong><br />
isu tenagakerja dan 3 <strong>Perda</strong> isu SDA. Dari jumlah <strong>Perda</strong> di atas menunjukkan<br />
bahwa <strong>Perda</strong> retribusi adalah yang paling banyak. Dengan berlandaskan pada<br />
argumentasi kemandirian daerah, terutama kemandirian di bidang keuangan,<br />
pemda mengembangkan berbagai pungutan retribusi. Upaya intensifikasi dan<br />
ekstensifikasi pajak dan retribusi dilakukan baik dari sistem pemungutan maupun<br />
dari sisi peraturan perundangannya. Penataan institusi sesuai dengan semangat<br />
10
UU Nomor 22 tahun 1999 dilakukan dengan berdasarkan pada <strong>Perda</strong> Nomor 09<br />
Tahun 2003 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Pasal 13 <strong>Perda</strong> tersebut<br />
terdapat 13 dinas teknis. Dari 13 dinas teknis tersebut tidak ada satu dinas pun<br />
yang penamaannya secara spesifik berkaitan berkaitan dengan kelompok sasaran<br />
penelitian. Pengaturan tentang kelembagaan yang mengurusi masalah perempuan<br />
dan anak terdapat pada sekretariat pemerintah daerah dibawah koordinasi<br />
Asisten sekretaris Bidang Administrasi Umum (Asisten III) yang membawahi<br />
bagian Pemberdayaan Perempuan. Bagian tersebut meliputi 3 bidang yaitu Sub<br />
Bagian Gender; Sub Bagian Kualitas Organisasi Perempuan dan Peran aktif<br />
Kemasyarakatan; Sub Bagian Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Kedudukan<br />
instansi tersebut berimplikasi pada kemampuannya untuk melakukan pelayanan<br />
yang sifatnya teknis menjadi lebih sulit atau tidak leluasa.<br />
<strong>Perda</strong> yang terkumpul di Kabupaten Lampung Selatan adalah 61 <strong>Perda</strong>, dari jumlah<br />
tersebut terdapat 24 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian yang terdiri dari<br />
6 <strong>Perda</strong> isu kesehatan, 5 <strong>Perda</strong> isu tenaga kerja dan 13 <strong>Perda</strong> isu SDA. Dari 61<br />
<strong>Perda</strong> tersebut di atas <strong>Perda</strong> retribusi yang paling banyak. Kabupaten Lampung<br />
Selatan melakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi guna mendapatkan<br />
sumber pendapatan daerah. Upaya yang dilakukan seringkali tidak mendasar baik<br />
dari segi isi maupun implementasinya. Dari segi isi <strong>Perda</strong> terjadi tumpang tindih<br />
obyek pengaturan satu dengan yang lain. Sebagai contoh <strong>Perda</strong> No. 40 Tahun 2000<br />
tentang Izin Usaha Perikanan Dan Pungutan Hasil Perikanan, <strong>Perda</strong> No. 5 Tahun<br />
2003 Tentang Retribusi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, <strong>Perda</strong> No. 39<br />
Tahun 2000 Tentang Izin Usaha Perikanan Dan Retribusi Atas Usaha Pengkapan<br />
Ikan Dengan Alat Bagan Tancap/Apung Atau Sejenisnya, <strong>Perda</strong> No. 5 Tahun 2003<br />
Tentang Retribusi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, yang mengatur obyek<br />
yang sama yaitu izin usaha perikanan.<br />
Contoh tumpang tindih pengaturan lainnya adalah antara <strong>Perda</strong> No. 14 tahun<br />
2002 tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak Atas Perusahaan Pengguna<br />
Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dengan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001<br />
Tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak Sektor Ketenagakerjaan. Ketentuan ini<br />
berakibat terjadinya pajak ganda yang harus dibayar oleh pelaku usaha karena<br />
obyek pengaturannya sama yaitu izin penggunaan tenaga kerja asing. Demikian<br />
pula dalam perumusan pengaturan <strong>Perda</strong> No. 40 Tahun 2000, dalam Pasal 4<br />
diatur Izin Usaha Perikanan yang meliputi 7 jenis perizinan. Jumlah izin yang<br />
demikian banyak ini sebenarnya dapat disederhanakan menjadi 2 izin saja yaitu<br />
izin penangkapan dan izin budidaya. Pengaturan yang demikian akan sangat<br />
memberatkan pelaku usaha yang pada akhirnya akan menjadi beban masyarakat.<br />
Dari segi implementasi, <strong>Perda</strong> terminal merupakan contoh implementasi <strong>Perda</strong><br />
yang salah. Pemungutan retribusi terminal dilakukan pada setiap kendaraan<br />
yang melewati satu wilayah tanpa adanya pelayanan terminal yang disediakan<br />
oleh Pemda. Secara substansi <strong>Perda</strong> terminal sudah benar namun pada tingkatan<br />
implementasi retribusi dilakukan tanpa adanya pelayanan terminal sebagai<br />
11
prasyarat pemungutan retribusi.<br />
Di Kabupaten Lampung Tengah terdapat 65 <strong>Perda</strong> dari jumlah tersebut terdapat<br />
3 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian, yaitu 1 <strong>Perda</strong> isu tenagakerja dan<br />
2 <strong>Perda</strong> isu SDA. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa <strong>Perda</strong> yang paling<br />
banyak adalah <strong>Perda</strong> tentang institusi. Pola pengaturan Dinas/Instansi masingmasing<br />
diatur dalam satu <strong>Perda</strong> mandiri, oleh karena itu dapat dipahami bila<br />
jumlah <strong>Perda</strong> institusi yang paling banyak. Pengaturan yang demikian sangat tidak<br />
efisien karena sebenarnya dapat diatur dengan 3 <strong>Perda</strong> saja seperti di Kota Bandar<br />
Lampung. <strong>Perda</strong> institusi yang cukup banyak antara lain meliputi juga pengaturan<br />
tentang institusi pemerintahan desa. Pengaturan tersebut mulai dari penggantian<br />
penyebutan nama desa menjadi kampung, pengaturan kelembagaannya,<br />
pengaturan tentang keuangan, dsb. Perubahan ini merupakan suatu bentuk<br />
kesadaran pemerintah daerah terhadap pola penyelenggaraan pemerintahan<br />
desa yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi lokal. Walaupun demikian bentuk<br />
dan struktur pemerintahannya tidak berubah hanya penyebutannya saja yang<br />
berubah.<br />
Dari 60 <strong>Perda</strong> di Kabupaten Way Kanan yang diteliti, terdapat 9 <strong>Perda</strong> berkait<br />
dengan isu penelitian, terdiri dari 4 <strong>Perda</strong> isu kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> isu tenagakerja<br />
dan 3 <strong>Perda</strong> isu SDA. <strong>Perda</strong> retribusi adalah <strong>Perda</strong> yang paling banyak dan semua<br />
dibentuk pada tahun 2002 termasuk juga <strong>Perda</strong> tentang pajak.<br />
Dari 57 <strong>Perda</strong> di Kabupaten Tanggamus, terdapat 9 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan<br />
isu penelitian, yaitu 6 <strong>Perda</strong> isu kesehatan, 1 <strong>Perda</strong> isu tenagakerja dan 2 <strong>Perda</strong> isu<br />
SDA. Data tersebut di atas menunjukan bahwa jumlah <strong>Perda</strong> retribusi yang paling<br />
banyak. Upaya ekstensifikasi dengan menerbitkan <strong>Perda</strong> guna mendapatkan<br />
sumber pendapatan daerah justru membebani masyarakat misalnya:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
<strong>Perda</strong> tentang Retribusi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Ternak<br />
<strong>Perda</strong> tentang Retribusi Penanganan Rabies<br />
<strong>Perda</strong> tentang Retribusi Pemeriksaan Kesehatan Anak Ayam Umur Satu Hari<br />
<strong>Perda</strong> No. 13 tahun 2000 sangat membebani masyarakat karena pungutan yang<br />
dilakukan menimbulkan beban bagi peternak. Sedangkan <strong>Perda</strong> No. 14 Tahun<br />
2000, idealnya menjadi kewajiban bagi Pemda untuk melakukan pemberantasan<br />
penyakit rabies, bukan justru menjadi lahan sumber PAD. Upaya menggali<br />
pendapatan daerah hanya difokuskan pada retribusi, tidak ada satu pun <strong>Perda</strong><br />
yang mengatur tentang pajak. Untuk pengaturan <strong>org</strong>anisasi dinas/instansi dibuat<br />
masing-masing dalam satu <strong>Perda</strong>, sehingga tidak efisien karena sebenarnya dapat<br />
diatur dalam 2 atau 3 <strong>Perda</strong> saja. Dari 58 <strong>Perda</strong> di Kabupaten Tulang Bawang,<br />
terdapat 10 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian, terdiri dari 2 <strong>Perda</strong> isu<br />
kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> isu tenaga kerja dan 6 <strong>Perda</strong> isu SDA.<br />
12
2.3 Komparasi Kondisi <strong>Perda</strong><br />
Sekalipun UU No. 22/1999 menganut prinsip otonomi riil, tidak termanifestasi<br />
dalam pembentukan <strong>Perda</strong> yang diproduksi oleh Pemda. Sama halnya dengan<br />
kondisi di Provinsi Jawa Tengah, di Lampung <strong>Perda</strong> retribusi yang paling banyak<br />
diproduksi. Hal ini tidak terlepas dari semangat otonomi daerah yang memberikan<br />
kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri serta<br />
adanya tuntutan untuk kemandirian daerah dalam bidang keuangan daerah.<br />
<strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu umumnya hanya mengatur kelembagaan<br />
daerah (rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan) dan retribusi pelayanan<br />
kesehatan. Belum ada regulasi daerah yang secara komprehensif mengatur<br />
penyelenggaraan kesehatan (aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif),<br />
termasuk di dalamnya perizinan tenaga kesehatan, pembinaan pengawasan, sistem<br />
pelayanan, sistem pembiayaan, dan lain sebagainya, hanya terdapat di Kabupaten<br />
Purbalingga. Rumusan ketentuan dalam <strong>Perda</strong> memberikan pengaturan kepada<br />
masyarakat miskin, perempuan, anak, dan masyarakat marjinal lainnya, berupa<br />
pemberian keringanan atau pembebasan tarif rumah sakit atau puskesmas bagi<br />
masyarakat miskin.<br />
Di kedua Provinsi tidak ditemukan <strong>Perda</strong> yang mengatur pelayanan yang<br />
memberikan akses ketenagakerjaan, padahal jumlah perusahaan dan tenaga kerja<br />
di daerah ini cukup banyak. Sedangkan <strong>Perda</strong> kabupaten/ kota yang mengatur<br />
aspek ketenagakerjaan umumnya hanya mengatur aspek retribusi sebagai salah<br />
satu sumber pendapatan daerah.<br />
Regulasi daerah mengenai isu SDA baik yang dikeluarkan pemerintah provinsi<br />
maupun kabupaten/ kota secara umum lebih banyak mengatur retribusi dan pajak<br />
atas pemanfaatan SDA dibanding dengan aspek pengelolaan dan perlindungan SDA<br />
itu sendiri. Namun demikian, ada dua kabupaten yang sudah memiliki <strong>Perda</strong> yang<br />
secara khusus mengatur pengelolaan SDA. Pertama, <strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung<br />
Barat No. 18 Tahun 2004 dan <strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung Timur No. 3 Tahun 2002.<br />
<strong>Perda</strong> ini sangat penting karena wilayah pesisir dan pantai timur di daerah ini<br />
kerusakannya sudah cukup parah, dan umumnya yang hidup di daerah ini adalah<br />
kelompok miskin dan marjinal, seperti petani tambak (penggarap) dan nelayan.<br />
Jika dikaitkan dengan kondisi dan potensi daerah yang memiliki sumber daya<br />
alam cukup banyak tetapi kerusakannya juga cukup parah, maka regulasi daerah<br />
yang bertujuan melindungi (konservasi) SDA sangat dibutuhkan. Hal yang sama<br />
terdapat di kabupaten Cilacap dengan adanya <strong>Perda</strong> Pengelolaan Hutan Mangrove<br />
di Kawasan Segara Anakan, dan <strong>Perda</strong> Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />
<strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan kelompok sasaran tidak satupun yang secara<br />
spesifik mengatur tentang akses pelayanan kepada masyarakat miskin, perempuan,<br />
anak, dan masyarakat marjinal lainnya. Pengaturan yang membuka peluang<br />
akses pelayanan pada umumnya berkaitan dengan pemberian keringanan dan<br />
pembebasan tarif yang dikenakan serta pengaturan tentang prinsip pengenaan<br />
13
tarif yang berlandaskan pada kemampuan masyarakat.<br />
Selain itu juga ada pengecualian atau perlakuan khusus seperti misalnya<br />
pengaturan dalam <strong>Perda</strong> SDA, yang mengatur tentang pengecualian untuk<br />
pengambilan rumah tangga. Pengaturan tersebut sifatnya sangat abstrak dan sulit<br />
untuk dioperasionalkan, karena dirumuskan dalam suatu pengaturan yang sangat<br />
formal dan birokratis. Pengaturan seperti itu akan sangat tergantung pada good<br />
will dari pejabat yang berkuasa karena ada pada wilayah diskresi.<br />
<strong>Perda</strong> yang dihasilkan oleh kedua Provinsi memiliki muatan yang sama untuk<br />
pengaturan terhadap isu, yang ditunjukkan dengan:<br />
1. format <strong>Perda</strong> yang terkait dengan retribusi di bawah rezim UU No. 22/1999<br />
merupakan “regenerasi sentralistik”. Kedua daerah penelitian tidak berkreasi<br />
menciptakan norma baru di luar yang telah ditentukan oleh <strong>Perda</strong> produksi<br />
UU No. 5/1974.<br />
2.<br />
3.<br />
delegating provisio sangat mendominasi muatan <strong>Perda</strong>.<br />
sifat keberpihakan terhadap masyarakat miskin dirumuskan secara ritual<br />
formalistik berupa:<br />
a. Gubernur/Bupati/Walikota dapat memberikan pengurangan, keringanan<br />
dan pembebasan retribusi.<br />
b. Pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat diberikan dengan memperhatikan kemampuan Wajib<br />
Retribusi.<br />
c. Tata cara pengurangan keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan<br />
oleh Gubernur Bupati/Walikota. Namun, tidak diketemukan satu regulasi<br />
derivasi yang dimandatkan oleh <strong>Perda</strong>. Lebih menariknya lagi untuk<br />
persoalan pemberian keringanan/pembebasan ini dilakukan dengan<br />
prosedur persetujuan DPRD, yang jelas tidak efektif dibandingkan dengan<br />
nilai keringanan yang akan diberikan. selain itu terdapat formulasi<br />
yang sama mengenai dasar penetapan tarif retribusi yaitu kemampuan<br />
masyarakat, yang dalam implementasinya tidak pernah terwujud.<br />
d. executive review pusat dilakukan secara diskriminatif untuk <strong>Perda</strong> yang<br />
sama (Blora- Sragen dan Lampung Selatan – Lampung Barat).<br />
Kalaupun beberapa daerah mulai berkreasi membuat regulasi sektor-sektor terkait<br />
isu penelitian, tapi muatannya adalah perizinan. Mencermati lebih jauh muatan<br />
perizinan yang dimaksud kebanyakan hanya berimplikasi pada pungutan, karena<br />
ujung-ujungnya <strong>Perda</strong> sejenis ini sering dijadikan “payung hukum” (umbrella act)<br />
untuk membentuk <strong>Perda</strong> derivasi dengan berlindung di balik kategori Retribusi<br />
Perizinan Tertentu.<br />
3. Strategi <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />
Sebagai konsekuensi tidak ada hubungan hirarki antara satuan pemerintahan<br />
14
daerah otonom, pembentukan <strong>Perda</strong> antara Provinsi dengan Kabupaten/ Kota<br />
tidak terkoordinasi. Satu sama lain membuat sesuai dengan kekuasaan besar yang<br />
diberikan UU. Gubernur sekalipun sebagai wakil pusat tidak memiliki kewenangan<br />
mengendalikan Kabupaten/ kota dalam mengimplementasikan kewenangan<br />
mengatur, karena ketentuan 15 hari setelah <strong>Perda</strong> berlaku disampaikan ke pusat<br />
bukan norma imperatif, sehingga tidak dipatuhi. Hal ini ditunjukkan dari fenomena<br />
executive review yang diskriminatif, yang terjadi karena adanya permohonan dari<br />
pihak yang dirugikan sehingga belum mencerminkan sepenuhnya inisiatif pusat.<br />
Sebagai dampak tafsir sempit terhadap hubungan hirarki antar satuan daerah<br />
otonom, telah terjadi ketidaksinkronan antara <strong>Perda</strong> Kabupaten/ Kota dengan<br />
<strong>Perda</strong> Provinsi terutama dalam pengaturan tentang retribusi. Provinsi menerbitkan<br />
<strong>Perda</strong> Retribusi yang berlaku untuk seluruh wilayah Provinsi. <strong>Perda</strong> dengan<br />
substansi yang sama juga diterbitkan oleh Kabupaten/ Kota dengan judul yang<br />
sama atau berbeda tapi dengan maksud yang sama sehingga mengakibatkan<br />
double pungutan. Inkonsistensi <strong>Perda</strong> dengan peraturan yang lebih tinggi terjadi<br />
antara UU Pajak dan Retribusi serta PP No. 66 Tahun 2001. Baik Provinsi maupun<br />
Kabupaten/ Kota melakukan tindakan over elaboration dalam memaknai kategori<br />
retribusi perizinan tertentu, sehingga tidak sejalan dengan spirit UU Pajak dan<br />
Retribusi, yang sangat jelas menyebutkan fungsi perizinan dimaksudkan untuk<br />
mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan yang pada<br />
dasarnya tidak harus dipungut biaya. Apabila dalam pelaksanaan fungsi tersebut<br />
membutuhkan biaya yang tidak sepenuhnya ter-cover dalam sumber-sumber<br />
penerimaan daerah, maka daerah memiliki diskresi untuk memunggut sesuatu<br />
sepanjang sesuai dengan skema retribusi perizinan tertentu.<br />
Inkonsistensi terdapat pula pada <strong>Perda</strong> ketenagakerjaan dengan UU No. 13 Tahun<br />
2003 tentang Ketenagakerjaan. <strong>Perda</strong> dimaksud tidak bertujuan untuk mengatur<br />
pengurangan tingkat pengangguran tapi memberi beban kepada pencari kerja.<br />
Pembentuk <strong>Perda</strong> sesungguhnya mengetahui adanya pertentangan ini tapi karena<br />
pada era otonomi luas tidak mengatur secara jelas hubungan hirarki antara satuan<br />
otonomi daerah, yang terjadi <strong>Perda</strong> dibiarkan tetap berlaku sampai pada akhirnya<br />
dicabut oleh Pusat.<br />
4. <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> dan Keberpihakkannya<br />
4.1 Kondisi di Provinsi Jawa Tengah<br />
4.1.1 Provinsi Jawa Tengah<br />
Kesehatan<br />
Pemprop Jateng telah mengalokasikan anggaran bidang kesehatan dalam APBD<br />
yang besarannya satu lapis di bawah alokasi bidang Pendidikan. Salah satu program<br />
yang telah diluncurkan oleh Pemprop Jateng yang menunjukkan keberpihakan<br />
kepada masyarakat miskin adalah Pondok bersalin desa dan poliklinik kesehatan<br />
desa. Bagi masyarakat program yang ada dianggap masih bersifat insidentil<br />
15
-reaktif kurang preventif. Masyarakat juga masih menemui adanya praktik<br />
pelayanan yang diskriminatif dari pelayanan yang diberikan Pemprop Jateng.<br />
Selain itu RS Provinsi masih ditemukan adanya ketidaktepatan dalam penarikan<br />
biaya yang melebihi tarif sesuai <strong>Perda</strong>, ketidakramahan petugas pelayanan,<br />
ketidaktepatan waktu pelayanan dan kewajaran biaya pelayanan. Di sisi lain,<br />
Respon Pemprop Jateng seringkali terlambat dalam menangani kondisi kesehatan<br />
di masyarakat.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Sekali pun tidak ada <strong>Perda</strong> khusus ketenagakerjaan, Pemprop Jateng selalu<br />
berusaha melakukan penyelesaian konflik perburuhan dengan dialog antara<br />
pengusaha dan pemilik modal. Selama ini tuntutan buruh berkisar kepada persoalan<br />
normatif seperti upah, pesangon, keselamatan kerja serta pelayanan kesehatan<br />
pekerja dan perlindungan bagi buruh terutama bagi buruh perempuan. Meski<br />
sudah ada beberapa terobosan berkaitan dengan perlindungan bagi pekerja namun<br />
kebijakan dan upaya Pemprop ini dinilai masih terkesan hanya untuk pekerja<br />
formal. Baru Juni 2006 Pemprop bekerja sama dengan Jamsostek memfasilitasi<br />
jaminan kesehatan dan keselamatan bagi tenaga kerja informal. Buruh juga masih<br />
melihat bahwa pengusaha masih berlaku tidak konsisten dan cenderung sewenangwenang.<br />
Lebih dari itu masih terjadi kasus pelecehan seksual, kerja lembur yang<br />
tak jelas aturannya dan jaminan keselamatan kerja dan kesehatan yang tidak<br />
memadai.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Pengelolaan Sumber Daya Alam di Provinsi Jawa Tengah lebih didominasi oleh<br />
bagaimana mengakomodasi adanya kepentingan terhadap peningkatan PAD.<br />
Akibatnya muncul banyak pungutan-pungutan terhadap pengelolaan SDA ini. Salah<br />
satunya pungutan terhadap penebangan hutan rakyat yang bernuansakan”sharing”<br />
kue dari kekayaan alam. Pada akhirnya pengelolaan hutan belum bernafaskan<br />
perlindungan dan pelestarian namun lebih bernafaskan ”keuntungan” Temuantemuan<br />
illegal logging di beberapa wilayah di Jawa Tengah membuktikan bahwa<br />
”pemilik kuasa” telah diduga berkongsi dengan ”pemilik modal”. Di sektor pertanian,<br />
bagi petani biaya tanam dan produksi lebih besar daripada biaya pendapatan yang<br />
diterima dari hasil panen. Perlindungan yang nyata kepada petani dan nelayan<br />
dalam regulasi untuk mengendalikan pasar yang berpihak kepada kelompok<br />
sasaran masih belum dirasakan oleh masyarakat miskin. Adanya eksplorasi migas<br />
Blok Cepu sebelum penandatanganan MoU antara Perusahaan minyak raksasa<br />
dari AS, Exxon dengan Pertamina tidak signifikan memberikan keuntungan yang<br />
memadai kepada masyarakat miskin khususnya yang ada di Blora. Pemerintah<br />
Provinsi juga belum mampu mengatasi dan mengkoordinasikan penanganan<br />
konflik pengelolaan SDA antara pemerintah Kota/Kabupaten dengan pemerintah<br />
pusat.<br />
16
Kesehatan<br />
4.1.2 Kota Semarang<br />
<strong>Pelayanan</strong> kesehatan di kota Semarang telah didukung melalui sistem pelayanan<br />
yang dapat menjamin kepastian masyarakat dalam memperoleh pelayanan<br />
kesehatan karena ada Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan<br />
Kota Semarang. SPM mengatur semua hal yang berkaitan dengan bagaimana<br />
pelayanan dapat diakses kepada masyarakat di antaranya tentang prosedur<br />
pelayanan, persyaratan pelayanan, jadwal pelayanan, biaya pelayanan, hak dan<br />
kewajiban baik petugas pelayanan maupun pengguna layanan kesehatan itu<br />
sendiri, yaitu masyarakat. Peluncuran Pusat Penanganan Pengaduan <strong>Pelayanan</strong><br />
<strong>Publik</strong> (P5) di kantor pelayanan terpadu untuk menampung dan menindaklanjuti<br />
atas pengaduan dan temuan yang ada dari masyarakat juga menjadi bagian dari<br />
komitmen pemerintah kota dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada<br />
masyarakat. Pemkot Semarang juga mengeluarkan kebijakan “one way ticket”<br />
untuk pengguna layanan kesehatan bagi masyarakat miskin dalam mengakses<br />
pelayanan kesehatan, pendidikan dan bantuan lain yang diberikan dari pemerintah.<br />
Namun dalam tataran implementasinya masih ditemukan masyarakat miskin<br />
yang mengalami kesulitan dalam memperoleh keringanan biaya pelayanan. Sikap<br />
petugas yang kurang ramah dan sopan, ketepatan waktu dan adanya tambahan<br />
biaya diluar tarif resmi juga masih ditemukan dan diakui oleh pihak penyedia<br />
pelayanan kesehatan di kota Semarang. Kondisi yang sama juga terjadi di daerah<br />
penelitian yang lain.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Sektor informal dan PKL memberi kontribusi pendapatan daerah yang tinggi,<br />
ibarat sebagai tangan panjang sektor formal. Pemkot belum memiliki kebijakan<br />
tentang pemberdayaan PKL dan sektor informal, sebagai tindak lanjut <strong>Perda</strong> PKL.<br />
Kebijakan pengaturan dan penertiban PKL dengan relokasi tanpa penggusuran<br />
telah dilaksanakan oleh Pemkot Semarang. Disnaker telah menyiapkan terobosan<br />
program yang terdiri dari pemberlakuan sistem informasi manajemen dengan<br />
komputer, penyediaan informasi lowongan pekerjaan (bursa kerja) dengan<br />
memanfaatkan fasilitas on line melalui internet dan fasilitas SMS (Short Message<br />
Service) serta memulai pembuatan database bagi pencari kartu kuning di Disnaker<br />
Kota Semarang. Namun demikian upaya-upaya pemberdayaan pengangguran di<br />
Kota Semarang dianggap masih kurang dan pelatihan-pelatihan yang dilakukan<br />
melalui Disnakertrans Kota Semarang belum memberikan efek pemerataan dan<br />
menjangkau masyarakat luas.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Terkait pengelolaan SDA ke depan akan diupayakan pemberian ijin oleh Pemerintah<br />
Kota tanpa campur tangan Pemprop. Untuk <strong>Perda</strong> galian C dalam<br />
17
implementasinya telah berdampak pada masyarakat miskin dan kelompok<br />
marginal. Pemegang izin secara kesewenang-wenangan melakukan penambangan<br />
tanpa terkontrol efektif Pemkot, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan<br />
seperti yang terjadi pada awal tahun 2003 hingga 2005. Padahal wilayah sekitar<br />
penambangan merupakan lokasi perumahan sangat sederhana sehat (RSSS) yang<br />
notabene dihuni oleh masyarakat miskin.<br />
Kesehatan<br />
4.1.3 Kabupaten Kudus<br />
Keberadaan Puskesmas yang tersebar di setiap kecamatan di Kabupaten Kudus<br />
sebenarnya telah dapat menjangkau pelayanan kesehatan masyarakat. Namun,<br />
terpusatnya pelayanan di kecamatan menyulitkan masyarakat di pedesaan yang<br />
jauh dari kota Kabupaten maupun kecamatan karena transportasi yang ada justru<br />
lebih mahal daripada biaya pendaftaran untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas.<br />
Prosedur pengurusan Askeskin juga rumit dan cenderung bertele-tele dan sangat<br />
kaku bagi masyarakat miskin. Biaya pelayanan kesehatan juga masih dirasa<br />
mahal dan cenderung memberatkan bagi masyarakat yang tidak mampu meski<br />
sudah ada pelayanan Askeskin. Masyarakat menilai bahwa program-program yang<br />
selama ini dijalankan oleh Dinas Kesehatan cenderung tidak tepat sasaran dan<br />
hanya menjalankan proyek pemerintah pusat semata serta kurang terkoordinasi<br />
dengan instansi terkait. Diskriminasi masih terjadi dalam pelayanan kesehatan,<br />
masyarakat yang memiliki uang banyak mendapatkan pelayanan yang lebih baik,<br />
sementara masyarakat miskin terabaikan, “masyarakat miskin dilarang sakit”.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Keberadaan <strong>Perda</strong> PKL dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dan<br />
pemberdayaan pekerja sektor informal tersebut. Penanganan sektor pekerja<br />
formal di Kabupaten Kudus bagi masyarakat miskin dilakukan dalam kerangka<br />
fasilitator dan mediator antara pekerja dengan perusahaan yang menjadi tempat<br />
bekerja. Penegakan hukum kurang begitu terwujud terhadap perlindungan pekerja<br />
(khususnya buruh) di antaranya adalah masalah keselamatan dan kesehatan<br />
kerja. Masalah pemberdayaan angkatan kerja di Kudus disebabkan keterbatasan<br />
BLK, kursus-kursus/pelatihan. Di Kabupaten Kudus sekitar 80 % tenaga kerja<br />
adalah buruh perempuan tetapi ironisnya tenaga kerja perempuan selama ini<br />
belum mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah. Beberapa masalah yang<br />
dihadapi para buruh adalah masih banyak buruh perempuan yang diperlakukan<br />
secara diskriminatif dan buruh borongan yang dapat diganti secara sepihak oleh<br />
mandor karena alasan cuti hamil. Akses informasi yang tidak sampai ke buruh<br />
menyebabkan buruh tidak melakukan tuntutan akan hak-haknya sehingga<br />
menjadikan buruh perempuan tuna akses. Sistem pengawasan yang dilakukan<br />
oleh Disnakertrans selama ini juga diangap masih<br />
18
lemah terhadap tenaga kerja salah satu bukti adalah terjadinya pelecehan<br />
seksual.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Kabupaten Kudus merupakan kabupaten yang tidak memiliki sumber daya alam<br />
yang lebih, kecuali dari sektor pertaniannya. Sebagai kota industri (Rokok), banyak<br />
sekali masyarakat yang bekerja di sektor formal terutama menjadi buruh-buruh<br />
pabrik dan sebagian juga mengelola pertaniannya. Adanya <strong>Perda</strong> pengaturan<br />
tentang irigasi kurang berjalan dengan efektif karena kurang terlibatnya partisipasi<br />
aktif dari masyarakat yang ada di Kabupaten Kudus terutama yang menggeluti<br />
sektor pertanian ini. Dukungan terhadap keberadaan pertanian di Kabupaten<br />
Kudus juga masih kurang dilihat dari jumlah anggaran yang diperuntukkan bagi<br />
sektor pertanian.<br />
Kesehatan<br />
4.1.4 Kabupaten Pekalongan<br />
Meski Kabupaten Pekalongan belum memiliki beberapa program yang menjadi<br />
pendamping bagi program askeskin namun Kabupaten Pekalongan telah memberikan<br />
pembebasan biaya pelayanan kesehatan bagi semua anak TK/RA/SD/MI dan<br />
anak pondok pesantren. Masih banyaknya jumlah miskin yang ada di Kabupaten<br />
Pekalongan juga menjadi penyebab program askeskin belum menjangkau seluruh<br />
masyarakat miskin yang ada di Kabupaten Pekalongan ini. Masyarakat masih<br />
menganggap tarif pelayanan kesehatan di Kabupaten Pekalongan relatif tinggi dan<br />
mekaniskme pengaduan juga belum berjalan dengan baik. Masih ada masyarakat<br />
yang mengeluhkan pelayanan mendapatkan obat di Puskesmas, karena untuk<br />
semua penyakit mendapatkan obat yang sama. Penanganan pengaduan masih<br />
lamban dan bukan menjadi prioritas program yang dapat memberikan kepuasan<br />
pelayanan. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat miskin menilai tidak ada<br />
pengaruh yang baik dalam penanganan pengaduan di pelayanan kesehatan.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Keberadaan sektor ketenagakerjaan kerajinan batik lebih bersifat ”rumahan”<br />
atau home industry. Buruh di industri rumahan batik ini dapat berkerja karena<br />
lebih didasarkan atas kedekatan dengan pemilik industri batik ini. Oleh karena<br />
itu persoalan perburuhan yang dialami buruh batik ini cenderung lepas dari<br />
pantauan dinas tenaga kerja di Kabupaten Pekalongan ini seperti persoalan upah,<br />
perlindungan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja serta pesangon. Masyarakat<br />
miskin berada dalam posisi yang tidak berdaya dalam menghadapi kesewenangwenangan<br />
pemilik modal. Pemerintah Kabupaten seakan tidak berdaya dalam<br />
menghadapi situasi semacam ini karena ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten<br />
dalam menjangkau banyaknya sentra industri batik dan terbatasnya jumlah<br />
19
petugas dinas ketenagakerjaan. Untuk ketenagakerjaan sektor formal, Pemerintah<br />
Kabupaten lebih sering terlibat dalam penanganan konflik perburuhan yang<br />
memiliki jumlah tenaga kerja besar dan pabrik. Kegiatan pemberdayaan angkatan<br />
kerja di Kabupaten Pekalongan melalui pelatihan masih kurang karena minim<br />
sekali frekuensi pelatihan yang bisa menunjang keterampilan tenaga kerja dan<br />
juga belum memberikan manfaat pemerataan kepada potensi pekerja yang ada<br />
terutama sektor informal.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Secara geografis Kabupaten Pekalongan termasuk daerah agraris dan sebagian<br />
besar petani adalah petani buruh, bukan pemiliki lahan pertanian. Adanya<br />
<strong>Perda</strong> irigasi di Kabupaten Pekalongan pun tidak terlalu berpengaruh terhadap<br />
peningkatan kesejahteraan buruh pertanian ini. Namun bagi pemilik lahan<br />
pertanian keberadaan <strong>Perda</strong> ini sangat berpengaruh terhadap distribusi<br />
pengelolaan air irigasi. Keberadaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)<br />
menjadikan pengelolaan SDA air bagi pertanian lebih bersifat partisipatif karena<br />
menempatkan petani sebagai subjek/pengelola air irigasi yang digunakan secara<br />
bersama-sama yang dapat menguntungkan dan menyejahterakan petani. Adanya<br />
P3A juga dapat menjadi wahana bagi petani dalam menanggapi berbagai persoalanpersoalan<br />
yang muncul yang dialami oleh petani.<br />
Kesehatan<br />
4.1.5 Kabupaten Blora<br />
Ketiadaan jaminan pelayanan kesehatan di Kabupaten Blora dalam bentuk<br />
Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) atau bentuk lainnya kecuali jaminan<br />
retribusi, menyebabkan masyarakat tidak terlayani dengan baik. Hal yang sering<br />
dikeluhkan adalah prosedur dan persyaratan pelayanan yang berbelit-belit, adanya<br />
diskriminasi dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Di RSU perlakuan terhadap<br />
pemegang kartu Askeskin masih kurang baik terbukti dengan adanya persyaratan<br />
yang dianggap oleh masyarakat masih mengada-ada dan cenderung menyulitkan.<br />
Keterjangkauan akses untuk obat bagi masyarakat miskin masih belum terjangkau<br />
dikarenakan harga obat masih terlalu tinggi. Pemerintah Kabupaten Blora tidak<br />
memberikan dampingan secara khusus terhadap program Askeskin dan programprogram<br />
yang dicetuskan selama ini hanya meneruskan program dari pemerintah<br />
pusat saja.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Program yang dibuat Disnaker sebagai bentuk implementasi UU sesuai fungsi yang<br />
ada seperti Program Perlindungan Tenaga Kerja, Program hubungan Industrial dan<br />
kelembagaan, Perluasan kesempatan kerja dan usaha serta pembentukan tenaga<br />
kerja yang mandiri dan profesional, Menyelenggarakan penyebaran penduduk<br />
20
secara merata melalui transmigrasi. Namun demikian, masyarakat Blora justru<br />
hanya menjadi penonton dari “pemain-pemain yang memiliki modal besar” untuk<br />
melakukan eksploitasi di Blora. Harapan akan terserapnya tenaga kerja dalam<br />
pengelolaan kekayaan hutan dan minyak masih belum terealisasi hingga sekarang.<br />
Masyarakat masih menunggu untuk hanya sekadar menjadi “tenaga kasar” dari<br />
“kue” yang bernama pengelolaan migas Blok Cepu. Pemkab Blora juga masih<br />
lamban dalam mengantisipasi bagaimana masyarakat miskin yang ada di Blora<br />
untuk dapat merasakan kue kekayaan alamnya. Pendekatan-pendekatan yang<br />
terjadi masih bersifat formalistik dan simbolistik semata dan belum menyentuh<br />
aspek substansial dalam mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan<br />
pekerjaan.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Wilayah Blora terdiri dari 49,66 % hutan dan 25,38 % merupakan lahan pertanian.<br />
Hampir separuh wilayah kabupaten merupakan kawasan hutan (hutan negara).<br />
Blora juga telah tercatat sebagai salah satu daerah yang memiliki cadangan<br />
minyak bumi dan gas terbesar di Indonesia. Masyarakat Blora berharap bahwa<br />
dengan telah ditunjuknya pengelola migas di Cepu akan dapat meningkatkan taraf<br />
kesejahteraannya. Sebagai daerah kaya hutan dan minyak seharusnya masyarakat<br />
Blora memiliki kesejahteraan yang jauh lebih baik dan memiliki jumlah masyarakat<br />
miskin yang sedikit.<br />
Namun dalam kenyataannya masyarakat kesulitan dalam mengakses kekayaan<br />
alam dari dua sektor tersebut yaitu hutan dan minyak. Adanya community<br />
development dalam pengelolaan SDA yang ada di Blora juga tidak serta merta<br />
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat karena dalam beberapa hal masyarakat<br />
justru kesulitan dalam mengakses adanya community development tersebut. <strong>Perda</strong><br />
yang mengatur tentang retribusi penebangan hutan rakyat lebih bersifat “sharing”<br />
pendapatan daripada pengelolaan yang lebih menjamin kelestarian alam padahal<br />
<strong>Perda</strong> yang sama di Kabupaten Sragen telah dicabut karena alasan lebih untuk<br />
melindungi kelestarian alam tersebut. Maraknya illegal logging pasca reformasi<br />
justru diduga lebih banyak dilakukan oleh individu-individu yang memiliki kuasa<br />
dan modal yang besar di Kabupaten Blora. Sekali lagi, masyarakat pun hanya<br />
menjadi penonton dalam “penjarahan” kekayaan alamnya.<br />
Kesehatan<br />
4.1.6 Kota Surakarta<br />
Berbagai upaya dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam meningkatkan pelayanan<br />
kesehatan yang ada di Surakarta salah satunya adalah Program Dasolin (Dana<br />
Sosial Ibu Bersalin) yang berbasis partisipasi masyarakat. Namun beberapa<br />
program yang ada di Kota Surakarta masih mendapat kritikan karena hanya<br />
bersifat simbolistik dan kurang menyentuh permasalahan kesehatan masyarakat.<br />
21
Apalagi masih ditemukan adanya masyarakat yang mengalami gizi buruk.<br />
Pemerintah Kota Surakarta juga masih dinilai kurang “jemput bola” dalam<br />
penanganan kesehatan yang ada. Tiadanya dampingan bagi program askeskin<br />
dari pemerintah pusat juga menyebabkan masih ditemukannya masyarakat<br />
yang tidak terlayani dengan baik dalam memperoleh pelayanan askeskin. akses<br />
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di kota Surakarta cukup mudah<br />
terjangkau karena persebaran akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Ada<br />
kecenderungan pemerintah kota masih sering lempar tanggung jawab terhadap<br />
adanya permasalahan yang muncul di kalangan masyarakat. Masalah lain yang<br />
muncul Askeskin tidak dapat di akses oleh masyarakat yang berasal dari luar kota<br />
meski berdomisili di Surakarta<br />
Ketenagakerjaan<br />
Sama dengan beberapa kota/kabupaten yang ada di Jawa Tengah, Upaya<br />
pemberdayaan bagi pekerja sektor informal masih dirasa kurang. Pelatihanpelatihan<br />
yang ada pun juga masih diarahkan kepada sektor formal dan belum<br />
merata kepada pencari kerja dan pengangguran. Namun Pemkot Surakarta<br />
juga memberikan dukungan terhadap sektor usaha kecil dan menengah seperti<br />
pembebasan biaya retribusi terhadap keberadaannya. Dalam hal penanganan<br />
terhadap PKL yang notabene adalah pekerja informal dari masyarakat miskin,<br />
pemerintah kota Surakarta seperti kota-kota besar lainnya mengedepankan upayaupaya<br />
persuasif dan preventif.<br />
Namun demikian penggusuran PKL masih terjadi atas nama penertiban dan<br />
penataan kota. Berbagai temuan pelanggaran terhadap pekerja lebih sering<br />
berkaitan dengan hak normatif yang diperjuangkan oleh para pekerja yang meliputi<br />
upah yang belum sesuai UMK, cuti haid, cuti hamil dan pesangon.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Kota Surakarta tidak menonjol dalam isu Sumber Daya Alam. Pemerintah Kota<br />
Surakarta dalam pengelolaan SDA dilakukan dengan upaya terpadu dengan<br />
melibatkan masyarakat yaitu melalui penghijauan dan pengawasan pengendalian<br />
pencemaran lingkungan langsung pada sumbernya (misal: pabrik) dan sosialisasi<br />
langsung kepada masyarakat. Konservasi SDA yang dilakukan Pemkab lebih fokus<br />
pada hutan dengan reboisasi yang tambal sulam. Substansi aturan tentang upaya<br />
konservasi ditentukan dalam <strong>Perda</strong>.<br />
Pemkot sedang melakukan pembiakan karamba seperti aqua fanen di wadaslintang,<br />
yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar. Pemanfaatan SDA lainnya<br />
adalah pemanfaatan aliran sungai dengan pembuatan keramba yang melibatkan<br />
masyarakat secara langsung. Untuk konservasi SDA yang dilakukan Pemkab lebih<br />
fokus pada hutan dengan reboisasi, dan mencegah illegal logging.<br />
22
Kesehatan<br />
4.1.7 Kabupaten Sragen<br />
Sekalipun <strong>Perda</strong> kesehatan sangat minim, bagi masyarakat Kabupaten Sragen,<br />
peningkatan pelayanan publik yang ada juga dirasakan dalam sektor kesehatan<br />
seperti adanya pendampingan program askeskin dari pemerintah pusat. Namun<br />
demikian keluhan masyarakat masih ditemukan berkaitan dengan prosedur,<br />
persyaratan yang masih dianggap belum sederhana serta kedisiplinan petugas<br />
dalam memberikan pelayanan juga masih mendapat penilaian kurang baik di mata<br />
masyarakat. Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen telah melaksanakan beberapa<br />
program yang berpihak kepada masyarakat miskin yaitu Jaminan Pemeliharaan<br />
Kesehatan Masyarakat miskin dan stimulan sarana sanitasi bagi keluarga miskin.<br />
Kabupaten Sragen juga telah melakukan program untuk mendampingi kebijakan<br />
Askeskin pemerintah pusat berupa penerbitan kartu gakin yang dapat digunakan<br />
untuk mendapatkan bantuan tidak hanya dalam bidang kesehatan saja, juga<br />
pendidikan dan bantuan beras. Namun demikian keluhan masyarakat terhadap<br />
pelayanan kesehatan masih ditemukan salah satunya mengenai pelayanan<br />
kesehatan secara prosedural di Puskesmas terlalu rumit, sehingga perlu ada<br />
penyederhanaan prosedural atau administratif khususnya bagi kaum marjinal<br />
atau masyarakat miskin. Berkaitan dengan adanya penanganan pengaduan,<br />
masyarakat masih menilai bahwa respon pemkab masih belum optimal. Akses<br />
untuk dapat memperoleh obat bagi masyarakat miskin juga masih dirasa kurang<br />
mudah.<br />
Ketenagakerjaan<br />
<strong>Perda</strong> yang mengatur ketenagakerjaan sebenarnya dikhawatirkan dapat<br />
menimbulkan higt cost economy akibat retribusi yang muncul dalam ijin<br />
ketenagakerjaan. Hanya karena Sragen sangat konsen dalam mengimplementasikan<br />
one stop service, sehingga adanya retribusi tersebut tidak berpengaruh dalam hal<br />
pelayanan publik terhadap isu. Kabupaten Sragen juga tercatat sebagai daerah<br />
yang memberikan dukungan terhadap penciptaan iklim investasi yang baik<br />
dengan harapan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap<br />
lapangan kerja. Upaya-upaya formal dalam melindungi kepentingan tenaga kerja<br />
baik domestik maupun yang bekerja di luar negeri juga telah dilakukan oleh<br />
Pemerintah Kabupaten Sragen. Pemkab Sragen juga telah membentuk UPTD<br />
dalam hal pengawasan PJTKI dan mengawal TKI asal Sragen ke Luar Negeri. Hal<br />
ini diatur secara seksama oleh pemerintahan Kabupaten Sragen dalam retribusi<br />
ijin ketenagakerjaan.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Sebagai daerah agraris Kabupaten Sragen mencoba mengoptimalkan<br />
23
pengembangunan di bidang pertanian di antaranya dengan mengeluarkan <strong>Perda</strong><br />
Nomor 26 Tahun 2003 Tentang Irigasi dalam <strong>Perda</strong> ini petani diposisikan sebagai<br />
subyek dalam hal pengairan sawah-sawah, peran pemerintah dalam hal ini<br />
adalah dinas pengairan adalah sebagai pembina. <strong>Perda</strong> Kab. Sragen Nomor 26<br />
Tahun 2002 ini memerlukan sinergi dengan <strong>Perda</strong> kabupaten yang bersebelahan<br />
dengan Kabupaten Sragen, karena masalah Irigasi di kabupaten Sragen yang<br />
diambil dari Sungai Bengawan Solo merupakan aset yang lintas kabupaten<br />
sehingga pengaturannya memerlukan sinergi antar kabupaten yang dilalui oleh<br />
aliran irigasi dari Sungai Bengawan Solo. Di Kabupaten Sragen telah memiliki<br />
Perkumpulan Pengguna Air (P3A) yang hampir merata di semua desa yang ada<br />
di Sragen. Keberadaan P3A merupakan bentuk pelibatan secara aktif masyarakat<br />
dalam pengelolaan irigasi yang ada di Sragen dimana petani ditempatkan sebagai<br />
subjek dalam pengelolaan ini. Sebagai bentuk komitmen untuk lebih melindungi<br />
hutan dari penebangan yang mengancam kelestarian alam, Pemkab pernah<br />
mengeluarkan <strong>Perda</strong> penebangan hutan.<br />
Kesehatan<br />
4.1.8 Kabupaten Purbalingga<br />
Purbalingga merupakan satu-satunya kabupaten yang secara inovatif telah<br />
memiliki <strong>Perda</strong> yang berkorelasi langsung dengan pelayanan kesehatan kepada<br />
masyarakat, yaitu <strong>Perda</strong> No. 15 tahun 2003 tentang JPKM (Jaminan <strong>Pelayanan</strong><br />
Kesehatan Masyarakat), berikut peraturan derivasinya, Keputusan Bupati No.<br />
5 tahun 2003 tentang petunjuk pelaksanaan JPKM. Konsep di dalam <strong>Perda</strong> ini<br />
ditujukan untuk mewujudkan sistem pelayanan kesehatan yang bertumpu pada<br />
terbentuknya kemandirian masyarakat.<br />
Program JPKM merupakan salah satu model peningkatan pelayanan kesehatan<br />
yang berbasiskan kepada partisipasi masyarakat. Masyarakat terlibat secara<br />
langsung dalam pembiayaan yang menekankan kepada subsidi dari masyarakat<br />
yang mampu kepada masyarakat yang miskin. Program ini juga diharapkan<br />
menjadi sistem yang komprehensip mulai dari aspek preventif, kuratif, promotif,<br />
maupun rehabilitasi secara berkelanjutan. Namun, pelaksanaan JPKM juga<br />
masih menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan kurang transparansi<br />
pengelolaan dana yang tergalang dari masyarakat serta profesionalisme pengelola<br />
program tersebut.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Purbalingga sudah berkembang pesat dengan pertumbuhan industri termasuk<br />
juga PMA, bahkan tercatat sebagai salah satu kabupaten yang memiliki iklim<br />
investasi yang baik. Hal ini terbukti pada tahun 2006 realisasi nilai investasi yang<br />
di torehkan merupakan investasi yang paling banyak di bandingkan dengan 34<br />
kota/kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah.<br />
24
Dengan adanya realisasi investasi ini tentu akan dapat menciptakan lapangan kerja<br />
yang baru dan dapat mengurangi pengangguran yang saat ini menjadi beban bangsa.<br />
Perhatian yang diberikan oleh pemerintah kabupaten dalam mendorong investasi<br />
ini juga bagian dari komitmen terhadap peningkatan kepada potensi tenaga kerja<br />
yang masih membutuhkan lapangan pekerjaan. Namun demikian dari data yang<br />
ada bahwa sekitar 20% perusahaan di Purbalingga belum membayar upah sesuai<br />
dengan UMK yang telah di tetapkan pemerintah Kabupaten sebesar Rp. 499.500,00.<br />
Pelatihan dan pembinaan yang selama ini ada juga belum sebanding dengan total<br />
angkatan kerja yang ada. Permasalahan pemerataan bagi para pencari kerja yang<br />
masih menganggur juga masih menjadi persoalan yang belum tuntas. Adanya<br />
<strong>Perda</strong> retribusi izin ketenagakerjaan belum berkorelasi positif untuk mengurangi<br />
tingkat pengangguran.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Dalam pengelolaan SDA Pemkab telah melibatkan masyarakat terkait proses<br />
pembangunan dan perawatannya. Persoalan yang kini dihadapi Pemkab dengan<br />
adanya <strong>Perda</strong> penambangan galian C adalah kerusakan lingkungan. Jumlah<br />
pendapatan yang dihasilkan dari pemberian ijin penambangan galian C tidak<br />
sebanding dengan resiko kerusakan alam yang ditimbulkannya. Sebagai kabupaten<br />
yang memiliki daerah pertanian yang cukup luas maka sektor ini menjadi perhatian<br />
Kabupaten Purbalingga dengan mengembangkan konsep agropolitan.<br />
Kesehatan<br />
4.1.9 Kabupaten Kebumen<br />
Kondisi daerah yang luas dan masih minim infrastruktur mengakibatkan<br />
masyarakat masih kesulitan dalam menjangkau akses-akses pelayanan kesehatan<br />
dan bahkan diperparah dengan masih tingginya biaya transportasi untuk<br />
menjangkaunya. Adanya program JPKM menunjukkan komitmen kuat pemerintah<br />
Kabupaten dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana<br />
kesehatan yang dapat mensubsidi masyarakat miskin. Kebijakan Askeskin pusat<br />
terhadap masyarakat miskin secara khusus tidak ada pendampingan program<br />
secara langsung dari pemerintah Kabupaten Kebumen, sehingga menyebabkan<br />
adanya temuan tentang ketidak tepatan sasaran serta pemerataan penerima kartu<br />
Askeskin ini. Masyarakat menilai bahwa pengelolaan rumah sakit sudah semakin<br />
baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tapi pengurusan Askeskin di<br />
RSUD masih dipersulit.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Keberadaan <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan ketenagakerjaan memunculkan<br />
masalah di kemudian hari karena bertentangan dengan Undang-Undang<br />
Ketenagakerjaan. Seperti yang disampaikan oleh bagian hukum Pemkab<br />
25
Kebumen <strong>Perda</strong> ini akhirnya dicabut melalui kepmendagri lewat rekomendasi<br />
Menkeu. Disisi lain pihak LSM juga menganggap bahwa lahirnya <strong>Perda</strong> <strong>Perda</strong><br />
ketenagakerjaan di kabupaten kebumen dalam prosesnya tidak melibatkan<br />
masyarakat padahal Kebumen memiliki <strong>Perda</strong> partisipatif. Sebenarnya Kabupaten<br />
Kebumen yang merupakan daerah agraris memiliki banyak potensi yang dapat<br />
dikembangkan jika Pemkab tanggap dan peduli terhadap potensi itu.<br />
Kepedulian Pemkab akan dapat mendorong pekerja sektor informal seperti petani<br />
dan peladang dapat meningkatkan produksi dan terbantu dalam pemasaran<br />
produk-produk pertaniannya. Sayang sekali Pemkab Kebumen belum optimal<br />
mengembangkannya seperti masih kurangnya memfasilitasi akses modal dan<br />
pemasaran juga pengembangan teknologi sehingga ketergantungan menjadi<br />
perantau masih belum dapat terkurangi dengan baik. Dinas Tenaga kerja juga<br />
telah melakukan beberapa upaya untuk peningkatan kualitas kerja tenaga kerja<br />
yang ada salah satunya dengan membangun tempat BLK yang disertai dengan<br />
program-program yang dijalankan bagi masyarakat bahkan sebagian program<br />
gratis dan telah disosialisasikan di Ratih TV dan Informasi.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Persoalan pengelolaan SDA di Kabupaten Kebumen yang paling menonjol adalah<br />
persoalan penambahan galian C yang memiliki potensi dapat merusak kelestarian<br />
alam dan hampir sama dengan kota/kabupaten yang lain bahwa pendapatan dari<br />
penambangan galian C ini tidak sebanding dengan potensi kerusakan alam yang<br />
ditimbulkan. Pemerintah Kabupaten juga terus melakukan sosialisasi dalam<br />
penanganan penambangan galian C ini melihat dari potensi kerusakan alam yang<br />
ditimbulkannya.<br />
Kesehatan<br />
4.1.10 Kabupaten Wonosobo<br />
Pemerintah Kabupaten Wonosobo juga mendorong partisipasi masyarakat dalam<br />
pembiayaan pelayanan kesehatan melalui program JPKM. Dengan adanya<br />
program ini maka diharapkan adanya subsidi silang dari masyarakat yang mampu<br />
kepada masyarakat yang tidak mampu. <strong>Perda</strong> UKS juga mendorong kesadaran<br />
peningkatan derajat kesehatan melalui bangku sekolah kepada anak-anak dengan<br />
harapan dapat menjadi bekal bagi penerapan pola hidup sehat dan penanganan<br />
gangguan kesehatan yang menimpa masyarakat.<br />
Namun, upaya-upaya pemkab Wonosobo masih diwarnai dengan adanya temuantemuan<br />
masyarakat yang kurang terlayani dengan baik oleh petugas pelayanan<br />
kesehatan baik di Puskesmas maupun di RSUD. Walaupun sebagian besar<br />
masyarakat sudah memiliki persepsi yang baik terhadap pelayanan kesehatan di<br />
Kabupaten Wonosobo, namun masih ditemukan masyarakat yang mengalami<br />
26
adanya diskriminasi pelayanan antara masyarakat pengguna layanan JPKMM<br />
dengan masyarakat yang tidak menggunakannya. Begitu juga dengan pasien<br />
yang berobat tanpa menggunakan askes, mereka masih beranggapan bahwa biaya<br />
berobat mahal.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Sebagai daerah yang berbasis pengelolaan sumber daya alam agraris dan hutan,<br />
masyarakat Wonosobo lebih banyak mengandalkan mata pencahariannya dari<br />
pertanian dan pemanfaatan sumber daya alam seperti penambangan pasir<br />
dan perkebunan. Untuk mengurangi beban pengangguran Pemkab Wonosobo<br />
mendorong warganya mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan.<br />
Salah satu faktor yang mendorong kebijakan ini adalah kegagalan dalam<br />
pengelolaan pertanian dan perkebunan di Wonosobo, petani menjual hasil<br />
pertaniannya yang tidak sesuai dengan harapan petani sehingga menyebabkan biaya<br />
produksi yang dialami oleh petani menjadi semakin besar. Kondisi ini berdampak<br />
pada bertambanhnya jumlah pengangguran di Wonosobo. Memprihatinkan lagi<br />
dampingan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga kerja di Wonosobo terhadap upaya<br />
petani yang mengganggur untuk menggunakan lahan konservasi yang berpotensi<br />
menyebabkan terjadinya bencana alam dibiarkan.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Masih ditemukannya praktik illegal logging di Kabupaten Wonosobo menyebabkan<br />
menurunnya jumlah lahan konservasi. Ketika masyarakat hanya menjadi penonton<br />
dalam pengelolaan sumber daya hutan yang ada maka masyarakat melakukan<br />
inisiatif untuk melakukan pengelolaan sumber daya hutan yang telah terlanjur<br />
gundul karena terjadinya illegal logging. Bahkan dalam beberapa hal atas nama<br />
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat masyarakat berbondong-bondong<br />
menggunakan lahan konservasi yang ada seperti dataran tinggi dieng untuk lahan<br />
pertanian kentang.<br />
Bagi petani di daerah lain di Wonosobo yang menggunakan lahan untuk perkebunan<br />
tembakau pun ternyata produksinya tidak cukup memiliki kualitas yang baik<br />
karena kalah bersaing dengan produk dari Temanggung. Pemerintah Kabupaten<br />
Wonosobo telah berbuat maskimal untuk membantu keberadaan petani tembakau<br />
ini namun tidak berdaya menghadapi mekanisme pasar yang ada. Pengelolaan<br />
sumber daya alam di Wonosobo juga terjadi dalam hal penambangan pasir karena<br />
memiliki jenis dan karakteristik yang cukup baik dan dilakukan oleh penambang<br />
pasir rakyat. Namun keberadaan penambangan pasir yang tidak terkendali juga<br />
akan menyebabkan kerusakan lingkungan di Wonosobo.<br />
27
Kesehatan<br />
4.1.11 Kabupaten Cilacap<br />
Tiadanya program pendampingan bagi kebijakan dari pemerintah pusat yaitu<br />
program askeskin menyebabkan masih ditemukannya masyarakat yang tidak<br />
terlayani dengan baik seperti diskriminasi bagi pemegang kartu askes. Temuantemuan<br />
berkaitan dengan pelayanan yang kurang berpihak kepada masyarakat<br />
miskin terjadi karena adanya prosedur yang masih berbelit dan kurang mudah.<br />
Perbedaan standar pelayanan kesehatan yang ada di RS atau Puskesmas terjadi<br />
karena adanya perbedaan kelas atau tingkatan pelayanan yang ada. Bagi<br />
masyarakat miskin akan dapat di bebaskan dari biaya kesehatan dan menikmati<br />
pelayanan di kelas yang paling rendah fasilitasnya (Kelas III).<br />
Ketenagakerjaan<br />
Pemerintah Kabupaten Cilacap selama ini telah melaksanakan program-program<br />
yang dapat mengangkat derajat kehidupan masyarakatnya melalui programprogram<br />
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Namun program-program<br />
tersebut lebih tepat untuk mendorong kepada tenaga kerja formal. Pemberdayaan<br />
tenaga kerja informal masih sangat kurang sekali meskipun ada dan belum<br />
menyentuh aspek substansial ketenagakerjaan. Pemberdayaan berupa pelatihanpelatihan<br />
masih kurang merata bagi potensi pencari kerja. Sebagai daerah pantai<br />
sebagaian besar profesi masyarakat di Cilacap adalah nelayan. Sebagai salah satu<br />
daerah yang memiliki potensi hasil laut yang tinggi di Jawa Tengah, Cilacap tidak<br />
memiliki pelabuhan yang dapat menjadi pemasaran untuk tujuan ekspor maupun<br />
untuk kebutuhan nasional yang ada Indonesia. Potensi inilah yang pada akhirnya<br />
menyebabkan taraf kehidupan masyarakat Cilacap masih banyak yang miskin<br />
meskipun kaya akan hasil laut.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Potensi-potensi sumber daya alam yang ada di Kabupaten Cilacap belum sepenuhnya<br />
dapat dinikmati oleh masyarakat karena masih tersentralisasinya pengelolaan<br />
sumber daya alam yang ada seperti yang terjadi di pulau Nusa Kambangan. Potensi<br />
itu di antaranya adalah kawasan Segara Anakan yang tergolong sebagai kawasan<br />
penghasil ikan paling banyak di Jawa Tengah. Tanpa banyak menikmati kekayaan<br />
alam yang ada di sekitar kehidupan masyarakat. masyarakat saat ini disuguhi<br />
kondisi kerusakan alam sebagaimana terdapat di kawasan hutan mangrove<br />
Segara Anakan, yang diperparah lagi dengan adanya sedimentasi kawasan ini.<br />
salah satu faktor yang mendukung kerusakan ini adalah banyaknya pencurian<br />
kayu di hutan mangrove. Ditambah lagi dengan masih digunakannya jaring Apong<br />
dalam penangkapan ikan di Kawasan Segara Anakan sehingga terjadi pemijahan<br />
berbagai jenis ikan dan berakibat berkurangnya produktifitas di Kawasan Segara<br />
Anakan.<br />
28
4.2 Kondisi di Provinsi Lampung<br />
4.2.1 Provinsi Lampung<br />
Kesehatan<br />
Kewenangan provinsi di bidang kesehatan dibatasi oleh PP No. 25 Tahun 2000<br />
dan bila dicermati kewenangan provinsi yang bersifat pelayanan sangat terbatas.<br />
Selain itu, pelaksanaan kewenangan tersebut masih menggunakan standar norma<br />
dari pusat. Desentralisasi kesehatan belum didukung oleh instrumen peraturan<br />
di tingkat daerah yang memadai. Standar norma yang paling mendasar untuk<br />
pelayanan kesehatan, yaitu Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) hingga kini belum<br />
ada di Provinsi Lampung.<br />
Permasalahan mendasar pelayanan kesehatan di Provinsi Lampung adalah<br />
ketersediaan sumber daya kesehatan (termasuk tenaga kesehatan) serta<br />
pemerataannya. Kondisi yang demikian ini tentunya akan menghambat akses<br />
pelayanan kepada masyarakat, apalagi bila dihadapkan pada buruknya kondisi<br />
infrastruktur. Dampak yang kemudian muncul adalah rendahnya derajat kesehatan<br />
masyarakat.<br />
Paradigma pembangunan kesehatan hanya berorientasi pada upaya kuratif dan<br />
rehabilitatif yang pada akhirnya berimplikasi pada pola penyakit yang berkembang<br />
yaitu antara lain DBD, gangguan gizi, ISPA, malaria, diare, dsb. Peran pemerintah<br />
provinsi sesuai dengan sifat kewenangan yang dimilikinya lebih fokus pada upayaupaya<br />
penanggulangan penyakit yang sifatnya telah mewabah, seperti misalnya<br />
penanggulangan penyakit malaria. Provinsi Lampung merupakan daerah endemik<br />
malaria terutama di Lampung Selatan, Tanggamus, dan Tulang Bawang. Selain<br />
itu masalah angka kematian ibu dan bayi di Provinsi Lampung juga masih tinggi.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Isu ketenagakerjaan yang paling mendasar di Provinsi Lampung adalah<br />
ketersediaan lapangan kerja. Sehubungan dengan hal ini maka investasi harus<br />
lebih ditingkatkan agar dapat membuka kesempatan kerja. Kenyataan yang<br />
terjadi justru sebaliknya, investasi yang telah ada justru hengkang dari Provinsi<br />
Lampung. Selain itu tingkat ketrampilan tenaga kerja juga rendah, sementara<br />
jumlah Balai Latihan Kerja (BLK) di Provinsi Lampung hanya 8 buah. Jumlah ini<br />
masih sangat kurang, idealnya jumlah BLK di Provinsi Lampung adalah 18 buah.<br />
Daerah Lampung merupakan sumber buruh migran, baik yang sifatnya antar<br />
daerah maupun antar negara. Peran pemerintah provinsi untuk melakukan<br />
pengawasan terhadap PJTKI belum dapat dilakukan secara maksimal. Kabupaten<br />
yang menjadi sumber buruh migran antara lain adalah Kabupaten Lampung<br />
Timur, Tanggamus, Lampung Selatan.<br />
29
Salah satu bentuk keberpihakan terhadap buruh migran dari pemerintah Provinsi<br />
adalah alokasi dana APBD sebanyak 15 M sebagai dana talangan bagi buruh<br />
yang akan bekerja di luar negeri. Melalui dana tersebut calon buruh migran dapat<br />
mendapatkan pinjaman untuk membiayai keberangkatannya ke luar negeri dan<br />
mengembalikan dengan cara mengangsur melalui PJTKI yang mengirimnya.<br />
Namun demikian akses masyarakat terhadap keberadaan dana tersebut masih<br />
sangat kurang. Hal ini dapat ditunjukkan dari penyerapan dana tersebut yang<br />
masih rendah.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Kedudukan Provinsi sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai Wilayah<br />
Administratif diarahkan pada upaya memelihara hubungan yang serasi antara pusat<br />
dan daerah. Namun, pada praktiknya bupati/walikota tidak mau tunduk atau tidak<br />
mau datang memenuhi undangan gubernur untuk melakukan koordinasi program.<br />
Bahkan ada bupati yang membuka “front perlawanan” secara terbuka. Seringkali<br />
terjadi perseteruan antara kabupaten dengan provinsi dalam pengelolaan sumber<br />
daya alam. Sebagai contoh perebutan pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI)<br />
antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan Pemerintah Provinsi.<br />
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan SDA sangat strategis karena<br />
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya makro dan lintas kabupaten.<br />
Lemahnya peran pemerintah provinsi berakibat sangat fatal terhadap keberlanjutan<br />
SDA. Sebagai contohnya adalah keberadaan areal hutan dan kawasan lindung di<br />
Provinsi Lampung yang di atas kertas jumlahnya masih mencapai satu juta hektare<br />
lebih, dipastikan kini telah mengalami kerusakan cukup parah dan terancam<br />
hancur, tanpa diimbangi tindakan cepat dalam mengatasinya.<br />
Kesehatan<br />
4.2.2 Kota Bandar Lampung<br />
Kebijakan kesehatan belum berorientasi pada masyarakat miskin yang ditunjukkan<br />
dari alokasi APBD untuk pembiayaan kesehatan masih rendah. Kemampuan<br />
akses masyarakat miskin terhadap pelayanan puskesmas masih rendah yaitu<br />
42.5 persen. Subsidi biaya pelayanan kesehatan cukup banyak tersedia, seperti<br />
dana keluarga miskin dan dana kompensasi BBM, namun seringkali masyarakat<br />
tidak tahu bagaimana mekanisme pengurusannya. Kota Bandar Lampung belum<br />
mempunyai Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM), sehingga sulit sekali untuk<br />
mengukur efektifitas kinerja penyelenggaraan pelayanan kesehatan.<br />
Walaupun sumber daya kesehatan di kota Bandar Lampung cukup, baik dalam arti<br />
jumlah maupun sebarannya, namun angka gizi buruk dan rawan gizi masih tinggi.<br />
Berkenaan dengan hal itu, pemerintah kota lebih meningkatkan peran pelayanan<br />
di luar puskesmas (upaya preventif dan promotif).<br />
30
Permasalahan mendasar bagi masyarakat marjinal untuk bidang kesehatan<br />
berkaitan dengan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Sanitasi dan kesehatan<br />
lingkungan yang tidak baik berdampak pada pola penyakit yang berkembang di<br />
beberapa lokasi slum area seperti DBD, diare, dsb. Berkenaan dengan hal itu sudah<br />
semestinya isu kesehatan seharusnya menjadi mainstream dalam pembangunan<br />
kesehatan<br />
Ketenagakerjaan<br />
Permasalahan yang paling mendasar dalam bidang ketenagakerjaan adalah<br />
tingginya angka angkatan kerja dan pengangguran serta sempitnya kesempatan<br />
kerja. Selain itu tingkat kualitas pekerja yaitu berkaitan dengan keahlian dan<br />
keterampilan pekerja masih rendah. <strong>Pelayanan</strong> bidang ketenagakerjaan bagi<br />
masyarakat miskin tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas Tenaga Kerja<br />
tetapi juga dinas lain.<br />
Kesemrawutan dan kegagalan Kota Bandar Lampung untuk meraih Penghargaan<br />
Adipura, mendorong pemerintah kota untuk menerbitkan program ”Ayo Bersih-<br />
Bersih”. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah penertiban terhadap pedagang<br />
kaki lima dengan berlandaskan pada <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2000. Penertiban dilakukan<br />
dengan melakukan relokasi ke wilayah yang ditunjuk yaitu Plaza Bambu Kuning<br />
lantai 3. Kebijakan itu mendapat perlawanan dari para pedagang yang tergabung<br />
dalam wadah Persatuan Pedagang Kaki Lima (PPKL) karena tempat relokasi<br />
dianggap tidak strategis. PKL merasa disudutkan atau menjadi kambing hitam<br />
karena mereka dianggap sebagai penyebabnya.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Isu Sumber daya alam yang mencuat di Kota Bandar Lampung adalah bekenaan<br />
dengan isu Pengelolaan lereng, bukit dan gunung di Kota Bandar Lampung.<br />
Dalam <strong>Perda</strong> ditentukan ada 18 lereng, bukit dan gunung yang ditetapkan sebagai<br />
catchment area. Namun, karena kebijakan kebijakan Pemda yang tidak konsisten<br />
dan tidak tegas menyebabkan sulitnya berbagai pelanggaran.<br />
Kesehatan<br />
4.2.3 Kota Metro<br />
Kota Metro merupakan potret contoh pengelolaan pelayanan kesehatan yang baik.<br />
Partisipasi masyarakat dan keberpihak Pemda melalui alokasi APBD terhadap<br />
kesehatan sangat baik. Ketersediaan sumber daya kesehatan dan sebarannya pun<br />
cukup baik sehingga mudah diakses baik dari segi jarak maupun biaya. Akses<br />
masyarakat miskin dalam pembiayaan kesehatan menjadi perhatian Pemda baik<br />
melalui dana subsidi yang disediakan oleh pemerintah maupun melalui JPKM.<br />
Akses masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan<br />
31
fasilitas dana Gakin cukup bagus. Kemampuan akses yang baik tersebut sering<br />
tidak diikuti dengan kualitas pelayanan untuk itu Dinas Kesehatan cukup tanggap<br />
dengan membentuk Tim Safe Guarding sebagai antisipasi atas keluhan dan<br />
kesulitan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan.<br />
Tingkat partisipasi masyarakat Kota Metro dalam penentuan kebijakan kesehatan<br />
cukup tinggi dengan daya kritis masyarakatnya juga relatif baik. Hal ini bisa<br />
tergambar dengan adanya Majelis Kesehatan Kota di Kota Metro. Selain itu, Kota<br />
Metro juga menjadi tujuan bagi masyarakat dari kabupaten lain yang membutuhkan<br />
pelayanan kesehatan.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Salah satu permasalahan yang sangat mendasar adalah Metro merupakan kota<br />
transit bagi mereka yang akan menjadi TKI. Di Kota Metro terdapat 18 PJKTKI,<br />
namun yang terdaftar di Disnaker hanya 2 buah. Kondisi yang demikian ini<br />
menyebabkan dinas tidak mampu memonitor jumlah TKI yang berangkat ke luar<br />
negeri dan dengan demikian maka pemerintah kota tidak mampu memberikan<br />
perlidungan pada para TKI.<br />
Metro tidak hanya menjadi tempat mencari nafkah penduduknya. Penduduk<br />
kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah ini, Lampung Tengah dan<br />
Lampung Timur, mencari nafkah dengan berdagang dan menjual jasa. Karena itu,<br />
diperlukan adanya kerjasama dalam pelayanan dengan daerah tetangganya yaitu<br />
Lampung Timur, Lampung Tengah dan Lampung Selatan.<br />
Kesehatan<br />
4.2.4 Kabupaten Lampung Timur<br />
<strong>Pelayanan</strong> kesehatan kepada perempuan dan anak seharusnya menjadi prioritas<br />
Pemda, karena derajat kesehatannya yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari<br />
tingginya angka kematian ibu dan bayi serta kasus gizi buruk dan rawan gizi.<br />
Selain itu ketersediaan dan sebaran sumber daya kesehatan yang tidak merata juga<br />
menjadi permasalahan tersendiri. Namun demikian, bila melihat alokasi prosentase<br />
APBD untuk kesehatan yang rendah, maka dapat dikemukakan keberpihakkan<br />
Pemda untuk bidang kesehatan rendah. Kemampuan akses masyarakat terhadap<br />
pelayanan kesehatan baik dari segi dana maupun jarak tempuhnya masih sangat<br />
rendah. Hal ini tentunya sangat menjadi beban masyarakat miskin yang jumlahnya<br />
sangat tinggi.<br />
Ketenagakeraan<br />
Kelompok masyarakat miskin dan kelompok marjinal harus berjuang keras untuk<br />
dapat mengakses permodalan. Susahnya akses ini tentu menjadi kendala dalam<br />
32
menciptakan usaha kecil produktif yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan.<br />
Kemudian, tentang perlindungan buruh migran oleh Pemda, serta penciptaan<br />
lapangan kerja bagi kelompok perempuan juga belum medapat perhatian dari<br />
pemda secara layak.<br />
Pertanian adalah sektor yang paling dominan namun pertumbuhannya relatif<br />
rendah di banding dengan sektor lain. Meskipun sektor ini menjadi program<br />
unggulan, orientasi Pemda dalam membantu petani miskin tidak maksimal.<br />
Keluhan yang sama terus terjadi pada setiap tahunnya yaitu ketersdiaan sarana<br />
produksi tani dan stabilitas harga panen.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Salah satu bentuk upaya Pemkab Lampung Timur untuk menjaga sumber<br />
daya alamnya (laut dan pesisir) dilakukan dengan menerbitkan <strong>Perda</strong>, namun<br />
implementasi <strong>Perda</strong> tersebut masih jauh dari harapan. Selain itu, upaya konservasi<br />
juga dilakukan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan melaui<br />
partisipasi rakyat dengan menanam minimal 5 hektar dan 200 batang dengan<br />
sistem bagi hasil. Namun hal ini sampai hari ini belum dirasakan efektifitasnya.<br />
Sedangkan, pengelolaan usaha bahan galian C yang dilandaskan pada Surat Izin<br />
Penambangan Daerah (SIPD) sering tidak diikuti dengan aspek pengawasan. Hal<br />
ini menyebabkan kerusakan lingkungan diwilayah penambangan. Bekas lokasi<br />
galian yang seharusnya ditutup kembali, menjadi danau-danau buatan yang tidak<br />
produktif.<br />
Kesehatan<br />
4.2.5 Kabupaten Lampung Barat<br />
Permasalahan mendasar di bidang kesehatan adalah ketersediaan dan pemerataan<br />
tenaga kesehatan, serta keterbatasan sumber daya kesehatan. keterbatasan<br />
tersebut sangat mempengaruhi kinerja pelayanan kesehatan, dan lebih parahnya<br />
lagi tidak didukung oleh alokasi APBD yang cukup, yakni hanya berkisar antara 5<br />
– 6 persen saja. Sementara itu, <strong>Perda</strong> bidang kesehatan hanya mengatur tentang<br />
retribusi atau tarif kesehatan sedangkan fungsi pelayanan menjadi terabaikan.<br />
Akses masyarakat miskin dan marginal terhadap pelayanan kesehatan sangat<br />
rendah baik dari segi pembiayaannya maupun dari ketersediaan sumber daya<br />
kesehatannya. Beberapa daerah terpencil bahkan tidak terdapat sarana maupun<br />
tenaga kesehatan sama sekali.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Sektor pertanian adalah sektor yang cukup dominan namun orientasi Pemda dalam<br />
membantu petani miskin tidak maksimal. Keluhan yang sama terus terjadi pada<br />
33
setiap tahunnya yaitu ketersdiaan sarana produksi tani dan stabilitas harga<br />
panen. Selain itu upaya peningkatan kualitas ketenagakerjaan yang dilakukan juga<br />
tidak sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Pelatihan-pelatihan<br />
yang dilakukan tidak mengarah pada bidang pertanian yang sebenarnya sangat<br />
dibutuhkan oleh masyarakat.<br />
<strong>Pelayanan</strong> SDA<br />
Sebagian besar wilayah Kabupaten Lampung Barat adalah wilayah TNBBS<br />
yang merupakan hutan suaka. Selain itu, juga terdapat kawasan hutan damar<br />
yang dimiliki oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat.<br />
Sehubungan dengan hal itu, Pemda melakukan upaya konservasi sesuai dengan<br />
kewenangan dengan membentuk <strong>Perda</strong> pengelolaan sumberdaya yang berbasis<br />
masyarakat. Melalui <strong>Perda</strong> tersebut tebuka peluang bagi masyarakat adat untuk<br />
berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam.<br />
Kesehatan<br />
4.2.6 Kabupaten Lampung Utara<br />
Persoalan pokok yang terjadi di bidang kesehatan adalah rendahnya akses<br />
masyarakat, terutama masyarakat marjinal dan miskin dalam mengakses<br />
kesehatan baik dari segi pembiayaan kesehatan maupun dari segi jarak tempuhnya.<br />
Hal ini disebabkan karena ketesediaan dan sebaran sumber daya kesehatan yang<br />
tidak merata. Akses dana gakin juga dirasakan sangat sulit karena informasi dan<br />
panjangnya birokrasi yang harus ditempuh dan tidak dipahami dengan baik oleh<br />
mereka. Selain itu bagi masyarakat gakin dan JPK baru diurus ketika anggota<br />
keluarga ada yang sakit. Karena ada anggapan bahwa mengurus GAKIN-JPK<br />
ketika sakit. Pemda belum memiliki standar pelayanan minimum kesehatan<br />
sendiri. Artinya masih menyesuaikan dengan standar pelayanan kesehatan<br />
minimal kabupaten/kota yang ditetapkan Menteri Kesehatan RI.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Ketersediaan lapangan kerja merupakan faktor dominan yang mendorong tingginya<br />
banyaknya tenaga-tenaga kerja produktif yang mencari kerja di luar Lampung<br />
Utara. Kebanyakan mereka yang ada di desa lebih senang mencari kerja di Bandar<br />
Lampung, Jakarta, Tangerang dan daerah lain dengan bekal ketrampilan yang<br />
rendah. Namun demikian perhatian Pemda terhadap persoalan tenaga kerja<br />
melalui berbagai programnya dirasakan masih sangat kurang.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Secara umum masalah utama masyarakat miskin adalah penguasaan lahan sebagai<br />
landasan usaha pertanian mereka yang sangat terbatas. Namun, perhatian<br />
34
Pemda yang lebih ditekankan pada penarikan pajak dan retribusi, sementara<br />
pelayanan untuk masyarakat umumnya diabaikan dan tidak terurus. Dalam hal<br />
kerusakan hutan, pemerintah banyak menyalahkan masyarakat sebagai perambah<br />
hutan. Berkenaan dengan hal itu dibutuhkan kebijakan yang berorentasi pada<br />
pemberdayaan dan aspiratif. Program Hutan Kemasyarakatan juga dijadikan<br />
sebagai salah satu upaya untuk melindungi hutan dari bahaya kerusakan serikali<br />
tidak aspiratif sehingga tidak efektif.<br />
Kesehatan<br />
4.2.7 Kabupaten Lampung Selatan<br />
Sama dengan kabupaten lain, Lampung Selatan juga menghadapi permasalahan<br />
atas ketersediaan dan pemerataan tenaga kesehatan, serta keterbatasan sumber<br />
daya kesehatan. Selain itu Pemda juga kurang ramah dalam pembangunan bidang<br />
kesehata yang dapat dilihat dari prosentase alokasi APBD yang yang relatif<br />
rendah. Akses masyarakat miskin dan marginal terhadap pelayanan kesehatan<br />
sangat rendah baik dari segi pembiayaannya maupun dari ketersediaan sumber<br />
daya kesehatannya.<br />
Di daerah terpencil bahkan tidak terdapat tenaga kesehatannya walaupun Puskes/<br />
Pustu telah tersedia. Respon dari instansi kesehatan yang berwenang sendiri masih<br />
condong reaktif dalam menangani kasus-kasus tersebut. Hal ini diketahui dari<br />
informasi yang terkumpul dari para orang tua anak penderita, yang menyatakan<br />
bahwa pada mulanya hampir tidak ada perhatian dari pemda Kabupaten Lampung<br />
Selatan (khususnya instansi kesehatannya) terhadap problem gizi anak-anak<br />
mereka.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Lampung Selatan adalah basis industri, sehingga jumlah buruh di Lampung Selatan<br />
cukup tinggi. Sehubungan dengan itu aspek perlindungan lebih dikedepankan<br />
oleh Pemda melalui regulasi penentuan batas jam kerja, upah lembur, hak cuti<br />
dan jamsostek (kesehatan, hari tua dan kecelakaan). Selain itu juga dilakukan<br />
upaya pembinaan dan pelatihan yang sifatnya memberikan keterampilan praktis<br />
dan wawasan kewirausahaan, dengan sasarannya adalah kaum perempuan,<br />
penganggur dan umumnya kelompok menengah ke bawah.<br />
Terkait dengan isu perlindungan buruh migran, Disnakertrans memang memiliki<br />
concern dalam penanganan isu tersebut. Bahkan skup penanganannya cukup<br />
luas melalui program pengawasan dan penanganan antar kerja lokal, antar kerja<br />
daerah dan antar kerja negara. Antar kerja lokal dilakukan terhadap tenaga kerja<br />
dalam mobilitasnya dalam provinsi. Antar kerja daerah bersifat lintas provinsi dan<br />
antar kerja negara bersifat lintas negara.<br />
35
Sumber Daya Alam<br />
Kabupaten Lampung Selatan memiliki beberapa potensi SDA yang sangat tinggi,<br />
diantaranya bahan galian “C”, yaitu batu andesit dan marmer. Terdapat 16<br />
perusahaan yang mengantongi izin. Selain itu juga terdapat usaha penambangan<br />
batu split oleh masyarakat secara tradisional. Namun, pada perkembangannya<br />
usaha masyarakat tersebut terpinggirkan karena tidak mampu bersaing dengan<br />
perusahaan besar yang ada. Pada tataran implementasi <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang<br />
mengatur bidang perikanan menimbulkan pungutan ganda yang dibebankan<br />
kepada masyarakat sehingga menjadi pangkal terjadinya biaya tinggi pada sektor<br />
usaha perikanan. Berkenaan dengan hal itu asosiasi petambak mengajukan<br />
keberatan kepada pemda namun belum mendapat tanggapan.<br />
Kesehatan<br />
4.2.8 Kabupaten Tulang Bawang<br />
Tidak adanya <strong>Perda</strong> yang berkaitan atau mengatur tentang kesehatan bukan<br />
berarti pemda tidak menyelenggarakan pelayanan. Bidang kesehatan merupakan<br />
urusan wajib yang harus dilaksanakan. Selain itu, Pemda juga menghadapi<br />
permasalahan yang serupa dengan kabupaten lain yaitu keterbatasanya sumber<br />
daya kesehatan (sarana dan tenaga kesehatan). Kondisi tersebut berdampak pada<br />
tingginya angka kematian ibu dan bayi yang disebabkan oleh kemampuan akses<br />
terutama jarak dan infrasturktur yang buruk. Selain itu , kasus rawan gizi pun<br />
juga marak terjadi, namun upaya penanggulangan yang dilakukan masih bersifat<br />
kuratif dan rehabilitatif. Progam JPK-Gakin diperuntukkan bagi masyarakat<br />
miskin, menghadapi kendalanya minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat<br />
tentang tersebut.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Dalam hal penciptaan lapangan kerja, pemerintah Kab. Tulang Bawang memiliki<br />
program pelatihan bagi angkatan kerja baru dengan memberikan pelatihan<br />
keterampilan khusus dan memberikan motivasi kepada pengusaha kecil dan<br />
menengah untuk lebih bersemangat dalam menjalankan usahanya serta<br />
memberikan pelatihan teknik dan manajemen. Untuk mendukung berjalannya<br />
program ini juga disediakan fasilitas yang diberikan biasanya berupa alat/sarana<br />
produksi yang mereka butuhkan. Akses masyarakat di bidang pekerjaan masih<br />
sangat minim. Selain itu, pembinaan terhadap PKL belum dilakukan secara<br />
maksimal.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Kabupaten Tulang Bawang mempunyai potensi yang sangat tinggi di bidang<br />
perikanan. Namun, peran pemerintah dalam pembinaan, pengawasan dan<br />
36
pengembangan industri perikanan pada masyarakat masih belum maksimal.<br />
Bahkan dapat dikatan, telah terjadi penurunan pertumbuhan/perkembangan di<br />
bidang tersebut. Selain itu, walaupun Kabupaten Tulang Bawang mempunyai<br />
wilayah hutan namun tidak memiliki program yang khusus dalam upaya melakukan<br />
konservasi hutan. Akses masyarakat miskin terhadap sumber daya lahan yang<br />
merupakan basis ekonomi semakin terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut<br />
sering terjadi konflik yang bersumber dari penguasaan lahan. Baik konflik antar<br />
penduduk maupun antara penduduk melawan pengusaha serta antara penduduk<br />
melawan pemerintah.<br />
Kesehatan<br />
4.2.9 Kabupaten Lampung Tengah<br />
Pemda Kabupaten Lampung tengah belum memiliki SPM bidang pelayanan<br />
kesehatan. Seperti kabupaten lain, Orentasi pelayanan kesehatan lebih pada upaya<br />
yang sifatnya rehabilitatif dan kuratif. Akses masyarakat terhadap pelayanan<br />
kesehatan masih terkendala dengan keterbatasan sumber daya kesehatan.<br />
Selain itu, aspek legitimasi izin praktek pelayanan oleh bidan dan perawat sering<br />
menjadi kendala bagi mereka sehingga menimbulkan kekhawatiran dan kepastian<br />
hukum.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Kabupaten Lampung Tengah merupakan daerah agro industri yang dapat dilihat<br />
dari keberadaan perusahaan besar. Sehubungan dengan hal itu aspek perlindungan<br />
kepada buruh semestinya lebih dikedepankan oleh Pemda melalui upaya fungsi<br />
pengawasan. Berkenaan dengan hal itu dibutuhkan tenaga fungsional pengawasan<br />
ketenagakerjaan. Namun demikian, jabatan sebagai tenaga fungsional tidak<br />
menarik bagi PNS yang lebih suka menduduki jabatan struktural. Kenyataan yang<br />
terjadi tenaga fungsional pengawasa banyak yang “eksodus” ke jabatan struktural<br />
yang lebih menjanjikan.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Hampir semua <strong>Perda</strong> mengatur mengenai penarikan retribusi atas pelayanan<br />
yang diberikan. Pengelolaan potensi SDA (batu andesit dan pasir) banyak dikelola<br />
langsung oleh masyarakat yang umumnya berasal dari kelompok miskin sebagai<br />
sumber penghidupan pokok. Hal ini mereka lakukan karena kepemilikan lahan<br />
ada pada mereka. Hingga saat ini masyarakat tidak melakukan pengurusan<br />
izin dalam menjalankan aktivitas penambangan. Pemda membiarkan proses<br />
penambangan rakyat yang selama ini terjadi meski telah terdapat regulasi yang<br />
tegas. Basis ekonomi Lampung Tengah adalah pertanian sesuai dengan visinya<br />
yang akan mengembangkan agropolitan. Namun demikian, terjadi kekhawatiran<br />
dari berbagai kalangan program tersebut akan memarginalkan petani miskin.<br />
37
Sehubungan kekhawatiran itu, salah satu program Kabupaten Lampung Tengah<br />
adalah Beguai Jejama Wawai (berbuat yang baik bersama-sama) sebagai upaya<br />
untuk mengentaskan kemiskinan.<br />
Kesehatan<br />
4.2.10 Kabupaten Tanggamus<br />
Pemda kabupaten Tanggamus menghadapi masalah rendah derajat kesehatan<br />
yang dapat dilihat dari tingginya angka kematian ibu dan bayi, pola penyakit, dan<br />
kasus gizi buruk. Selain itu juga menghadapi keterbatasan sumber daya kesehatan.<br />
Sehubungan dengan hal itu Dinas Kesehatan dalam mengelola ketersediaan tenaga<br />
medik berupaya untuk menyeimbangkan distribusi dan rasio tenaga kesehatan<br />
dengan masyarakat. Hal itu antara lain dilakukan dengan Penempatan tenaga<br />
medik disesuaikan dengan tingkat pendidikannya masing-masing. Alokasi APBD<br />
Kabupaten Tanggamus untuk pos kesehatan masih kecil yang berkisar sekitar 8<br />
persen dari total APBD.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Kabupaten Tanggamus juga merupakan daerah transit bagi mereka yang akan<br />
menjadi TKI. Namun, Disnaker tidak mampu mengawasinya secara maksimal<br />
karena keterbatas tenaga fungsional dan kewenangan. Dampak dari tinggi angka<br />
buruh migran diiringi dengan meningkatnya jumlah korban traffickking Kabupaten<br />
Tanggamus. Selain itu, sebagai daerah dengan basis ekonomi pertanian, keluhan<br />
petani akan ketersediaan sarana produksi pertanian dan stabilitas harga panen<br />
terus terjadi pada setiap tahunnya.<br />
Sumber Daya Alam<br />
Orentasi pemda pealayan bidang SDA lebih ditujukan pada PAD, dengan<br />
melupakan upaya konservasi. Selaini itu juga tidak ada upaya pelibatan masyarakat<br />
dalam perumusan kebijakan di tingkat lokal. Berbagai retribusi yang dibebankan<br />
kepada masyarakat berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya alam misalnya<br />
menyangkut:<br />
a) pengambilan air mineral<br />
b) pengelolaan dan pengambilan hasil hutan<br />
c) penggunaan jaring ikan dan keramba.<br />
Kesehatan<br />
4.2.11 Kabupaten Way Kanan<br />
Permasalahan krusial yang dihadapi oleh Pemda adalah rasio ketersediaan sumber<br />
daya kesehatan, terutama tenaga kesehatan yang belum memadai (kurang). Hal<br />
38
ini sangat berpengaruh pada kemampuan akses masyarakat terhadap fasilitas<br />
dan pelayanan kesehatan terutama untuk daerah yang terpencil. Upaya untuk<br />
memenuhi kebutuhan masyarakat pedalaman pemda menyediakan puskesmas<br />
keliling dengan biaya berobat dan obat murah. Terdapat kerjasama antar dinas/<br />
instansi lainnya dengan Disnakersos dalam pelaksanaan program Kesalamatan<br />
Kesehatan Kerja (K3) dan penyediaan perawatan gratis bagi keluarga tidak mampu.<br />
Pemda sangat ramah dalam pembangunan kesehatan yang ditunjukkan dari alokasi<br />
Anggaran untuk tahun 2005 sebesar 15 persen dari total APBD, atau sekitar Rp 19<br />
milliar. Sasaran layanan yang terfokus pada kaum perempuan (ibu-ibu) ditujukan<br />
untuk menekan angka kematian kaum ibu akibat proses persalinan.<br />
Ketenagakerjaan<br />
Isu ketenagakerjaan di Kabupaten Way Kanan kurang dinamis, karena basis<br />
ekonomi yang paling dominan adalah pertanian tanaman keras. Namun Terdapat<br />
program Diskoperindag yang mendukung penciptaan kesempatan kerja seperti<br />
penyelenggaraan pelatihan bagi industri kecil (home industri). Contoh keterampilan<br />
pembuatan keramik, batu bata, genting dan keterampilan kerajinan rumah tangga<br />
lainnya. Program pembinaan Diskoperindag selama ini sasarannya bersifat umum,<br />
yakni terhadap pengusaha menengah, pengusaha kecil dan pengrajin (tanpa<br />
pembedaan laki-laki dan perempuan).<br />
Sumber Daya Alam<br />
Kabupaten Way Kanan mempunyai potensi SDA yang cukup tinggi, namun belum<br />
dimanfaatkan secara optimal. Akses masyarakat terhadap potensi SDA masih<br />
terbatas. Sebagai contoh, bentuk keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan<br />
sumberdaya hutan, diantaranya partisipasi masyarakat dalam GNRHL,<br />
pendistribusian dan penanaman bibit kayu jati, sengon, durian, karet, kelapa sawit,<br />
kakao, serta pembinaan dan pemanfaatan hutan rakyat. Walaupun sumber daya<br />
hutan di Kabupaten Way Kanan cukup tinggi, namun tidak ditemukan kebijakan<br />
khusus pemda dalam melakukan upaya konservasi atas isu SDA.<br />
5. Studi Kasus <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />
5.1 Penertiban PKL Kota Semarang<br />
Untuk menunjukkan implementasi <strong>Perda</strong> yang mengatur sasaran di Provinsi Jawa<br />
Tengah diangkat kasus <strong>Perda</strong> No. 11 Tahun 2000 tentang PKL, yang tergolong<br />
berhasil dilaksanakan. Meski relokasi PKL tahap awal mendapat kritikan<br />
karena lokasi relokasi tergolong sepi dan sulit terjangkau oleh akses angkutan<br />
umum serta termasuk lokasi yang rawan banjir. Pemerintah Kota tetap memiliki<br />
komitmen untuk memanfaatkan daerah tersebut yang selama ini terbengkalai<br />
untuk digunakan sebagai lahan PKL, dengan memberikan dukungan perbaikan<br />
infrastruktur menuju akses ke pasar Waru. <strong>Implementasi</strong> ini pada awalnya<br />
39
menimbulkan konflik, tapi karena ketekunan Pemkot Semarang menjalankan<br />
secara konsisten <strong>Perda</strong> No. 11 Tahun 2000, pada akhirnya dapat berjalan lancar.<br />
Namun demikian masih menyisakan kepedihan akibat tindakan represif Satpol PP<br />
terhadap PKL.<br />
5.2 Pengawal <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan dan Penertiban PKL di Lampung<br />
5.2.1 Regulasi Safeguarding dan Partisipasi Masyarakat:<br />
Mengawal pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin<br />
Yayasan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Kota Metro telah melakukan<br />
kegiatan advokasi yang intensif pada berbagai kelompok masyarakat, sehingga<br />
mendorong daya tawar masyarakat dalam Daya mengakses pelayanan <strong>Publik</strong>.<br />
Kelompok-kelompok masayarakt tersebut sangat berperan aktif dalam mengkritisi<br />
berbagai kebijakan Pemkot dan mampu menembus rumitnya birokrasi pelayanan.<br />
Upaya untuk membantu masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan<br />
juga dilakukan oleh <strong>org</strong>anisasi keagamaan yaitu Muhamaddiyah dengan<br />
menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi anggotanya.<br />
Muhamaddiyah dengan berdasarkan Surat Keputusan Walikota ditunjuk sebagai<br />
badan pelaksana JPK.<br />
Sekalipun tidak ada <strong>Perda</strong> partisipatif, Kepala Dinas Kesehatan atas inisiatifnya<br />
telah membentuk beleidsregel tentang Tim safe guarding, yang bertujuan untuk<br />
memberikan kemudahan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini didorong oleh<br />
faktor meningkatnya partisipasi dan daya kritis masyarakat terhadap pelayanan<br />
publik. Tim tersebut mempunyai tugas membantu masyarakat dalam kepesertaan<br />
JPK Gakin, menerima keluhan masyarakat, masalah pendanaan, dan membantu<br />
permasalahan administrasi.<br />
5.3 <strong>Perda</strong> Kota Bandar Lampung No. 8 Tahun 2000<br />
sebagai <strong>Perda</strong> Sapu Jagad untuk menggusur PKL<br />
Pemkot tidak memiliki <strong>Perda</strong> khusus tentang PKL sebagaimana yang terdapat di<br />
berbagai kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah. Dalam upaya penertiban PKL<br />
yang saat ini sangat marak digunakan <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2000 tentang Pembinaan<br />
Umum, Ketertiban, Keamanan, Kebersihan, Kesehatan dan Keapikan Dalam<br />
Wilayah Kota Bandar Lampung.<br />
Bila dicermati dengan baik maka substansi ini tidak sesuai dengan kondisi sosiologis<br />
yang ada di masyarakat kota Bandar Lampung. Sebagai contoh adalah Pasal 22 yang<br />
menentukan bahwa dilarang “menjual bensin/premium dan solar sepanjang jalan<br />
arteri selain pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan menjual gas<br />
di rumah-rumah tempat tinggal selain pada tempat-tempat yang ditentukan untuk<br />
itu”. Ketentuan ini tentu saja akan kontra produktif bagi masyarakat bila melihat<br />
realita yang ada di masyarakat yang menunjukkan bahwa banyak sekali orang<br />
berjualan bensin eceran. Selain itu perumusan tentang ketentuan larangan dalam<br />
40
dalam Bab III Pasal 15 sampai dengan Pasal 24, tidak memberikan kejelasan<br />
maksud dari pasal-pasal tersebut.<br />
<strong>Perda</strong> ini menjadi pemberitaan di mass media sehubungan dengan upaya<br />
penggusuran PKL yang dianggap menjadi sumber kesemrawutan, ketidaktertiban,<br />
ketidakindahan sehingga Kota Bandar Lampung mendapat julukan 5 kota<br />
paling kotor di Indonesia. Upaya membersihkan kota dengan jargon “ayo bersihbersih”<br />
menjadikan PKL sebagai kambing hitamnya. <strong>Perda</strong> ini hanya mengatur<br />
tentang larangan dan kewajiban bagi masyarakat saja dengan melupakan fungsi<br />
pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan kata<br />
lain perda ini merupakan instrumen untuk memarginalkan kelompok yang sudah<br />
marginal seperti PKL. Padahal dari aspek asas pembentukan peraturan perundangundangan,<br />
<strong>Perda</strong> ini tidak sesuai baik dari aspek formal maupun materiel.<br />
6. Kesimpulan<br />
Dalam era desentralisasi yang bertujuan untuk mendekatkan fungsi pelayanan<br />
kepada masyarakat, tidak terdapat implementasi <strong>Perda</strong> yang berpihak kepada<br />
sasaran. oleh karena itu sangat urgent untuk dilakukan rekonstruksi muatan<br />
<strong>Perda</strong> yang terkait retribusi isu dengan memasukkan aspek pemberian pelayanan.<br />
Untuk lebih memfungsionalkan <strong>Perda</strong> yang diproduksi sangat perlu dilakukan<br />
penyusunan skala prioritas regulasi. Hal terpenting lain yang harus dibangun<br />
kembali oleh satuan daerah otonom adalah melakukan koordinasi yang sinergis<br />
dan intensif dalam pembentukan <strong>Perda</strong> karena selama berlakunya UU No. 22<br />
Tahun 1999 mekanisme ini terabaikan.<br />
41
2. Mengefektifkan pelayanan bagi Masyarakat Miskin :<br />
Sintesis dari Sembilan Studi Kasus di Indonesia<br />
Abstrak<br />
Kesembilan Studi Kasus MSWP (Making Services Work for the Poor) atau dalam<br />
bahasa Indonesia MPMM (Mengefektifkan <strong>Pelayanan</strong> bagi Masyarakat Miskin) yang<br />
dirangkum dalam laporan ini, mengkaji inovasi di bidang penyediaan pelayanan<br />
publik tingkat kabupaten/kota di Indonesia menyusul berlakunya desentralisasi.<br />
Sintesis ini diharapkan akan bisa bermanfaat bagi pihak donor, pemerintah<br />
Indonesia, maupun pemerintah negara lain; dalam mempelajari gagasan praktis<br />
untuk memperbaiki penyediaan pelayanan publik tingkat daerah. Kurang lebih<br />
separuh dari semua kasus dalam laporan ini menyorot inovasi-inovasi yang digagas<br />
pihak luar; sementara setengah lainnya merupakan gagasan lokal; lebih jauh lagi,<br />
semua Inovasi pada kasus-kasus MPMM terbukti telah memberikan dampak positif<br />
bagi sekitar setengah juta orang yang menjadi kelompok sasarannya . Metode yang<br />
digunakan dalam proses studi kasus adalah wawancara semi terstruktur (SSI),<br />
dan diskusi kelompok terfokus (FGD); dilakukan terhadap 600 orang di 25 desa<br />
dan kota yang menjadi lokasi peneitian, selama 80 hari antara bulan Februari dan<br />
April 2005.<br />
Kajian ini menemukan bahwa desentralisasi dan kepemimpinan merupakan<br />
faktor kunci dalam penyediaan pelayanan publik yang inovatif. Sebagian besar<br />
dari inovasi yang dipelajari pada studi kasus, tidak akan berhasil tanpa adanya<br />
dukungan perundangan nasional dan kebijakan yang mengalihkan kewenangan<br />
ke tingkat daerah. Beralihnya kewenangan terutama di bidang keuangan dan<br />
administrasi, telah memungkinkan pemimpin daerah untuk mendanai reformasi<br />
internal tanpa bantuan donor. Hal ini sedikit banyak membantu terciptanya<br />
kesinambungan dibidang keuangan, sejak awal. Kewenangan kabupaten yang<br />
lebih besar juga kemudian mendorong para politisi di tingkat daerah, masyarakat<br />
umum, dan lembaga donor, untuk menjadi lebih tertarik kepada isu good<br />
governance. Namun, ternyata dampak positif inovasi-inovasi tersebut terancam<br />
ketika hukum dan peraturan daerah yang menyokong inovasi tersebut, lemah atau<br />
kurang menunjang.<br />
Ditemukan pula bahwa kendati inovasi atau pendanaannya berasal dari luar daerah,<br />
inovasi dalam penyediaan pelayanan publik lebih tergantung pada kepemimpinan<br />
daerah dibandingkan kepemimpinan luar. Gaya kepemimpinan daerah yang<br />
menekankan keterlibatan pribadi dan fleksibilitas, merupakan faktor kunci<br />
dalam mewujudkan dampak positif. Para pemimpin daerah berhasil membangun<br />
kepercayaan masyarakat dengan cara meningkatkan kesadaran akan kekurangan<br />
penyediaan pelayanan publik. upaya untuk meningkatkan kesadaran, dilakukan<br />
42
dengan menambah dukungan mereka dikalangan pegawai negeri daerah, juga<br />
memanfaatkan kerjasama dengan ormas dan pemberdayaan metode-metode lokal.<br />
Ditemukan pula bahwa kesinambungan pendanaan proyek yang bersumber dari<br />
luar masih tidak bisa dipastikan. Sementara, reformasi lokal yang diterapkan<br />
dengan mengalihkan beban biaya baru kepada penerima pelayanan (klien), ternyata<br />
juga mengalami kendala pendanaan. Peluang kesinambungan dana hanya terlihat<br />
pada dua kasus, dimana pada kedua kasus tersebut reformasi yang ada merupakan<br />
gagasan lokal, biayanya rendah dan pendanaannya bersifat swadana masyarakat.<br />
Dari proses penelitian, ditemukan bahwa sistem pengumpulan data pada semua<br />
kasus ternyata tidak efektif. Hal ini tentu saja menyulitkan upaya penyesuaian atau<br />
perbaikan pada periode pertengahan proyek yang seharusnya bisa memperkuat<br />
dampak positif reformasi tersebut. Kasus-kasus yang dipelajari juga membuktikan<br />
bahwa dampak reformasi akan dapat lebih dirasakan apabila inovasi penyediaan<br />
pelayanan publik diterapkan secara fleksibel. Kemudian ditemukan juga bahwa<br />
pada sebagian besar kasus, pemimpin daerah terbukti mampu menciptakan<br />
strategi-strategi baru, baik untuk meningkatkan dampak positif maupun untuk<br />
mengubah dampak negatif menjadi sebaliknya.<br />
Pada lima kasus dimana masyarakat miskin tidak ditargetkan sebagai kelompok<br />
sasaran utama, masyarakat miskin cenderung menjadi tidak diuntungkan oleh<br />
penerapan inovasi pelayanan publik. Sebaliknya, pada kasus dimana masyarakat<br />
miskin merupakan kelompok sasaran khusus, terlihat adanya dampak positif.<br />
Hasil temuan kesembilan studi kasus ini menggarisbawahi pentingnya pelaksanaan<br />
best practices di bawah ini bagi para penyedia layanan juga lembaga donor:<br />
1. Menargetkan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran utama reformasi<br />
pelayanan publik, agar kelompok tersebut benar-benar menerima manfaat<br />
kegiatan.<br />
2. Menggunakan mekanisme diseminasi informasi atau sosialisasi program yang<br />
efektif, untuk membangun kepercayaan masyarakat.<br />
3. Mendukung pemimpin baik di kalangan pemerintah maupun LSM lokal untuk<br />
melaksanakan reformasi kebijakan penyediaan pelayanan publik.<br />
4. Memastikan adanya kesinambungan dana proyek reformasi pelayanan publik.<br />
5. Memastikan bahwa komponen pemantauan (monitoring) yang efektif, sudah<br />
tercakup pada semua proyek penyediaan pelayanan publik .<br />
6. Mewujudkan fleksibilitas kedalam peraturan proyek, untuk memperkuat<br />
dampak positif, maupun mengatasi dampak negatif.<br />
7. Mendorong implementasi hukum dan peraturan daerah yang bersifat<br />
mendukung reformasi.<br />
43
1.<br />
Pendahuluan<br />
Pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia mulai menerapkan desentralisasi yang<br />
mengalihkan sebagian besar kewenangan pelayanan publik dari tingkat pusat ke<br />
pemerintah daerah. Titik pusat inovasi pun beralih ke tingkat daerah, dimana<br />
pemerintahnya memiliki lebih banyak kewenangan untuk membuat perubahan<br />
(baik yang positif, maupun negatif). Bagi sebuah negara dengan populasi 220 juta<br />
jiwa, yang terdiri dari 440 kabupaten dan kota, peralihan wewenang ini merupakan<br />
potensi besar untuk melakukan inovasi di bidang penyediaan pelayanan publik.<br />
Proyek “Mengefektifkan <strong>Pelayanan</strong> bagi Masyarakat Miskin,” atau “Making<br />
Services Work for the Poor” (MSWP) dari Bank Dunia, diadakan untuk memberikan<br />
dukungan analitis bagi upaya Pemerintah Indonesia dalam memperbaiki akses dan<br />
mutu pelayanan dasar untuk masyarakat miskin paska penerapan desentralisasi.<br />
Tujuan dari proyek ini selain untuk memberikan gambaran mengenai keadaan<br />
pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di Indonesia, juga mengidentifikasi dan<br />
menganalisis faktor-faktor kunci yang berdampak terhadap hasil terkini dari<br />
reformasi bidang pelayanan publik ditingkat daerah, dan memberikan usulan<br />
kerangka analisis juga langkah-langkah praktis untuk meningkatkan penyediaan<br />
pelayanan pro-poor.<br />
Analisis MSWP serupa dengan pendekatan “Pendorong Perubahan” atau “Drivers<br />
of Change “ (yang digunakan DFID pada beberapa tahun terakhir) yang bertujuan<br />
mengungkapkan faktor-faktor pendorong perubahan sosio-politis yang sistematis.<br />
Analisis “Pendorong Perubahan” terfokus pada pelaku, institusi dan struktur.<br />
Pendekatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi peluang, kendala dan insentif<br />
dasar yang berdampak pada perubahan pro-poor. Walaupun memiliki potensi<br />
manfaat yang besar, pendekatan ini masih belum disosialisasikan maupun<br />
digunakan secara luas. <br />
Hingga saat ini, tulisan-tulisan tentang desentralisasi di Indonesia, yang sebenarnya<br />
jumlahnya cukup banyak, ternyata belum memuat analisis mengenai bagaimana<br />
daerah menggunakan “ruang” baru yang dimungkinkan oleh desentralisasi, untuk<br />
merencanakan dan membuat perubahan dalam penyediaan pelayanan.<br />
Kesembilan kasus MSWP yang ada dalam laporan ini, dilaksanakan untuk mengisi<br />
beberapa lubang tersebut di atas. Kasus-kasus ini menggambarkan langkah-langkah<br />
konkrit untuk memperbaiki penyediaan pelayanan di tingkat daerah yang telah<br />
dilakukan pada masa awal desentralisasi. Laporan ini juga memberikan penilaian<br />
mengenai dampak awal, faktor-faktor yang memacu atau membatasi dampak,<br />
serta peluang-peluang replikasinya dimasa yang akan datang. Diharapkan agar<br />
sintesis yang bertujuan menarik “benang merah” dari sembilan kasus MSWP ini,<br />
akan dapat bermanfaat bagi lembaga donor, Pemerintah Indonesia, maupun<br />
Dahl-Ostergaard, Tom et al., Lessons Learned on the Use of Power and Drivers of Change Analyses<br />
in Development Cooperation, DFID: Sussex (September 2005).<br />
44
Pemerintah negara lain yang berminat mempelajari gagasan praktis untuk<br />
memperbaiki pelayanan publik.<br />
2.<br />
Rangkuman Kasus<br />
Kasus yang dijadikan obeyek studi MSWP dipilih dari berbagai kasus yang<br />
dikumpulkan oleh Bank Dunia baik yang berasal dari donor, LSM, maupun<br />
pemerintah daerah. Ada pun kriteria pemilihan meliputi: memiliki kemungkinan<br />
tinggi untuk memperbaiki penyediaan pelayanan dasar, faktor-faktor kunci<br />
keberhasilannya cenderung mudah diidentifikasi dan dianalisa, dan yang terakhir,<br />
potensi kesinambungannya tinggi. Pelaksanaan studi kasus MSWP mencakup 8<br />
dari 32 provinsi dan daerah perkotaan Indonesia; dimana lima (5) dari provinsi yang<br />
terpilih tingkat kemiskinannya lebih rendah dari tingkat kemiskinan nasional atau<br />
berada di bawah 16,7% (2004), sementara ketiga kasus lainnya memiliki tingkat<br />
kemiskinan antara 20-29%, atau jauh lebih tinggi dari tingkat rata-rata nasional.<br />
Setengah dari inovasi tingkat daerah yang disorot di dalam laporan ini diprakarsai<br />
oleh institusi luar, termasuk Bank Dunia, UNICEF, USAID dan Departemen<br />
Pemerintah, sementara setengah lainnya digagas oleh daerah itu sendiri, termasuk<br />
oleh bupati dan LSM setempat. Mayoritas kasus inovasi didanai oleh sumber<br />
eksternal dan internal, sementara tiga (3) inovasi didanai secara penuh oleh daerah,<br />
dan satu (1) didanai sepenuhnya oleh pihak luar. Penelitian kesembilan kasus<br />
dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur (SSI) dan diskusi kelompok<br />
terfokus yang diikuti sekitar 600 orang. Selain itu, hasil temuan penelitian juga<br />
memasukkan pendapat dan pandangan dari sekitar 100 orang yang didapat dari<br />
kunjungan lapangan ketiga tim peneliti; mereka melakukan studi lapangan di 25<br />
desa dan kota selama 80 hari pada periode bulan Februari hingga April 2005.<br />
Inovasi-inovasi dalam hampir semua kasus selain memberikan dampak positif<br />
dibidang penyediaan pelayanan publik, juga telah menjangkau setidaknya 500,000<br />
orang. 2<br />
Tanah Datar (Kasus 1)<br />
adalah sejumlah reformasi dibidang pendidikan, yaitu pembatasan jumlah siswa<br />
per kelas dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan. Selama pelaksanaan<br />
programdi Kabupaten Tanah Datar, sebanyak 4 persen guru dan 10 persen<br />
kepala sekolah di kabupaten tersebut telah melakukan kunjungan belajar ke<br />
luar negeri. Program ini juga memangkas hampir setengah dari jumlah siswa<br />
perkelas di sekolah menengah atas di Tanah Datar. Motivasi para pendidik yang<br />
telah melakukan kunjungan belajar juga meningkat. Metodologi dan pelayanan<br />
pendidikan di sekolah yang lebih berkualitas juga meningkat. Namun di sisi lain,<br />
akses pendidikan menengah atas bagi sekelompok siswa menjadi berkurang,<br />
terutama siswa yang tidak terlalu berprestasi. Program ini juga memperbesar<br />
2 Asumsi Kurs US$1 = Rp. 10,000.<br />
45
kesenjangan antara SMU yang berkualitas dengan SMU yang kurang berkualitas.<br />
Pemalang (Kasus 2)<br />
adalah sebuah proyek kesehatan di Jawa Tengah yang menyediakan kupon<br />
perawatan kehamilan bagi perempuan hamil yang miskin. Proyek ini telah berhasil<br />
mencapai tujuannya, meningkatkan akses pelayanan bidan bagi perempuan hamil<br />
yang miskin. Selama pelaksanaan proyek tersebut, jumlah bidan di kabupaten<br />
meningkat dan jangkauan pelayanan para bidan di desa mencapai 95%. Proyek ini<br />
dihentikan ketika pemerintah daerah menggantinya dengan sistem kontrak bidan<br />
yang didanai oleh pemerintah pusat.<br />
CLCC (Kasus 3)<br />
adalah sebuah proyek pendidikan di Sulawesi Barat yang berupaya menciptakan<br />
metode belajar mengajar yang aktif dan staf sekolah yang lebih handal. CLCC<br />
(Creative Learning Communities for Children) menciptakan metode-metode<br />
pengajaran yang lebih aktif, juga meningkatkan partisipasi orang tua dan anak.<br />
Namun, program ini hanya berhasil meningkatkan akuntabilitas pengelolaan di<br />
sekolah-sekolah yang kepala sekolahnya mendukung. Lebih lanjut lagi, nilai-nilai<br />
ujian di sekolah yang mengikuti proyek ini tidak meningkat jika dibandingkan<br />
dengan sekolah yang tidak ikut serta dalam proyek. Sebanyak 35 persen sekolah<br />
dasar yang ada di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat telah mereplikasi metode<br />
CLCC, baik secara formal maupun spontan; sekitar sepertiga dari jumlah tersebut<br />
mendanai penerapan CLCC di sekolahnya secara swadaya.<br />
BIGS (Kasus 4)<br />
adalah sebuah LSM lokal di Jawa Barat yang bergerak dibidang tata pemerintahan,<br />
dengan fokus utamanya transparansi APBD. BIGS (Bandung Institute of Governance<br />
Studies) telah berhasil mempublikasikan informasi seputar APBD maupun draft<br />
APBD Kota Bandung itu sendiri, melalui buku, poster dan buletin. BIGS juga telah<br />
menyelenggarakan pelatihan tentang bagaimana memahami dan menggunakan<br />
secara maksimal informasi anggaran; pelatihan ini diikuti kurang lebih 100 orang,<br />
termasuk wartawan, politisi dan lainnya. Program-program BIGS juga telah<br />
berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya transparansi<br />
anggaran. Salah satu dampak nyata dari programnya, BIGS telah berhasil<br />
membantu DPRD memperkuat fungsi pengawasannya terhadap lembaga eksekutif.<br />
Keberhasilan pemberdayaan DPRD berujung pada penghapusan sejumlah mata<br />
anggaran yang dinilai tidak jelas atau rentan terhadap penyalahgunaan; kemudian<br />
juga pengajuan dakwaan korupsi terhadap anggota DPRD yang menjabat pada<br />
masa bakti sebelumnya. Walaupun kegiatan BIGS masih belum bisa menghasilkan<br />
anggaran kota yang lebih pro-masyarakat miskin, sejumlah LSM di beberapa kota<br />
lain sudah mulai menerapkan program dan metode BIGS.<br />
WSLIC-2 (Kasus 5)<br />
adalah sebuah proyek pengadaan air bersih dan kesehatan di Jawa Timur, yang<br />
sangat menekankan partisipasi masyarakat pada tiap tahap proyeknya. WSLIC-2<br />
46
(Second Water and Sanitation for Low-Income Communities Project) telah berhasil<br />
meningkatkan akses air bersih bagi warga di dua puluh empat desa (lebih dari<br />
separuh jumlah desa yang ditargetkan, dan saat ini, antara 85-100% warga di<br />
dusun yang dikunjungi sudah memiliki akses ke sarana air bersih. Hasil yang<br />
sudah terlihat adalah meningkatnnya kualitas hidup warga di sejumlah besar<br />
desa, serta rasa kepemilikan terhadap sarana air bersih.<br />
Jembrana (Kasus 6)<br />
adalah sebuah skema jaminan kabupaten di Bali. Skema ini telah berhasil<br />
memperluas akses pelayanan kesehatan masyarakat miskin, karena mencakup<br />
penyedia pelayanan swasta maupun pemerintah. Persentase orang sakit yang<br />
berobat naik dari 29% ke 80% pada tahun pertama pelaksanaan proyek ini. Jumlah<br />
bidan di kabupaten yang dikunjungi juga telah bertambah, disertai juga dengan<br />
peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan tingkat kepuasan pengguna layanan.<br />
Namun demikian, karena sistem rujukan dokter diperketat, masyarakat miskin<br />
tidak lagi dapat menerima pelayanan kesehatan primer dari bidan dan petugas<br />
medis yang selama ini merupakan sumber pelayanan kesehatan utama bagi<br />
masyarakat miskin dipedesaan.<br />
Blitar (Kasus 7)<br />
adalah proyek pemerintah di Jawa Timur yang menyediakan dana block grant<br />
bagi proposal yang diajukan oleh kecamatan. Masyarakat kota Blitar sangat<br />
terlibat dalam proses pemilihan proyek senilai Rp. 3,6 – 6,1 milyar (US$360,000-<br />
610,000) yang berasal dari dana APBD; dalam pelaksanaan proyek ini masyarakat<br />
memberikan kontribusi bak berupa uang maupun in-kind. Hasil temuan ternyata<br />
mengungkapkan bahwa proyek ini tidak memberikan manfaat langsung bagi<br />
masyarakat miskin, selain adanya anggaran khusus untuk perbaikan rumah<br />
kumuh.<br />
Maros (Kasus 8)<br />
adalah proyek dibidang pemerintahan di Sulawesi Selatan, yang terfokus pada<br />
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan program dan anggaran<br />
pembangunan. Dalam proyek Maros, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan<br />
telah dilakukan di 19 persen desa yang ada di kabupaten tersebut. Hasil proyek ini<br />
dinilai tidak sepenuhnya baik: banyak orang terlibat dalam perencanaan, namun<br />
banyak juga yang tidak mengetahui keberadaan proyek tersebut atau merasa<br />
pesimitis terhadap proyek tersebut.<br />
Partisipasi perempuan juga sangat terbatas dan dampak perencanaan desa<br />
terhadap perencanaan kabupaten tidak diketahui secara jelas. Penambahan<br />
anggaran kabupaten berdasarkan usulan proyek desa pada tahun 2004 didorong<br />
oleh upaya advokasi LSM setempat yang bernama Forum Warga. Penyandang<br />
dana dari luar, USAID, telah menghentikan keterlibatannya sesuai jadwal (yang<br />
telah ditentukan sebelumnya).<br />
47
Boalemo (Kasus 9)<br />
adalah langkah-langkah reformasi pemerintahan di Gorontalo yang terfokus<br />
pada peningkatan kinerja dan akuntabilitas PNS. Dalam proyek tersebut, gaji<br />
pegawai negeri dinaikkan 80%, namun perbaikan kinerja pegawai negeri hanya<br />
terlihat pada membaiknya tingkat kehadiran (absensi). Penerapan sistem denda<br />
untuk memperbaiki kinerja juga terbukti tidak efektif karena tidak ada denda<br />
bagi pelanggaran pegawai pemda yang terkait dengan bidang pelayanan publik.<br />
Dihapuskannya tunjangan-tunjangan tertentu mengakibatkan timbulnya masalah<br />
finansial bagi sejumlah pegawai. Namun demikian, proyek ini menghasilkan<br />
transparansi dalam tender proyek skala kecil. Proyek ini juga telah meningkatkan<br />
peluang masyarakat yang tinggal di sekitar ibukota kabupaten untuk menyampaikan<br />
keluhan mengenai pelayanan pemerintah yang kurang baik.<br />
Hambatan dalam pelaksanaan studi kasus. Beberapa faktor membatasi kemampuan<br />
tim peneliti dalam menganalisis data lapangan. Studi kasus pengontrol tidak<br />
dilakukan dan ukuran sampel terlalu kecil. Data yang ditersedia pun kurang atau<br />
tidak memadai. Tim peneliti juga tidak memiliki standar pertanyaan penelitian.<br />
Secara khusus, dapat dikatakan bahwa fokus penelitian di bidang kemiskinan dan<br />
keuangan tidak seimbang. Studi kasus dilakukan secara paralel padahal komposisi<br />
dan keahlian anggota tim peneliti berbeda. Hal-hal ini merupakan faktor utama<br />
yang menyebabkan tercapainya hasil yang tidak seimbang. Namun, sejumlah<br />
besar upaya telah dilakukan setelah penelitian lapangan untuk melengkapi data<br />
yang kurang, juga untuk melakukan standarisasi hasil penelitian.<br />
48
3.<br />
Desentralisasi dan Kepemimpinan merupakan Faktor<br />
Kunci Kesuksesan Sejumlah Sistem Penyediaan<br />
<strong>Pelayanan</strong> yang Inovatif<br />
Sebagian besar reformasi-reformasi yang termasuk kedalam studi kasus tidak<br />
akan mungkin terlaksana tanpa adanya desentralisasi dari tingkat pusat yang<br />
mengalihkan sejumlah kewenangan pemerintah pusat ke tingkat daerah.<br />
Krisis ekonomi dan sosial yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998, termasuk<br />
lengsernya Presiden Soeharto, menyebabkan keluarnya UU. No. 22/1999 tentang<br />
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. UU tersebut meletakkan dasar-dasar<br />
bagi program desentralisasi administratif, keuangan dan politik. Pada tahun<br />
2001, serangkaian kebijakan dan perundangan nasional diberlakukan sehingga<br />
desentralisasi menjadi suatu realitas.<br />
Kendati banyak keberhasilan yang telah dicapai, tidak konsistennya dukungan<br />
Pemerintah Pusat terhadap desentralisasi telah merusak reformasi-reformasi yang<br />
digagas pemerintah daerah dan dirintis lembaga donor.<br />
“Resentralisasi” jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin pada tahun 2004<br />
telah menggagalkan upaya reformasi pemerintah Jembrana untuk menjamin<br />
warganya secara langsung. Sementara itu, keputusan mendadak pemerintah pusat<br />
untuk meresentralisasi perekrutan pegawai negeri daerah telah mengakibatkan<br />
sentimen apatis terhadap reformasi dinas sipil di Boalemo. Kemudian, sebagai<br />
contoh terakhir, meskipun program kupon bidan dari bank Dunia di Pemalang<br />
(yang meningkatkan akuntabilitas bidan dan memperluas akses pelayanan bagi<br />
masyarakat miskin) telah membuahkan dampak yang positif, program tersebut<br />
dibatalkan dan digantikan oleh program penyediaan bidan yang dibiayai oleh<br />
pemerintah pusat.<br />
Kewenangan baru pemerintah daerah di bidang keuangan dan administrasi telah<br />
memberikan kekuatan bagi sejumlah pemimpin daerah untuk mendanai reformasi<br />
yang dirintis sendiri tanpa bantuan donor dari luar. Hal ini turut membantu<br />
terciptanya kesinambungan dana sejak awal proyek.<br />
Paska desentralisasi, daerah menjadi penerima dana dari Pemerintah Pusat yang<br />
jumlahnya cukup signifikan (sekitar 80-90% anggaran daerah) dan pemimpin daerah<br />
dapat mengalokasikan dana tersebut secara bebas sesuai kebutuhan daerah. Bupati<br />
Tanah Datar menggunakan kesempatan ini untuk merasionalisasi jumlah institusi<br />
kabupaten dari 22 menjadi 8, sehingga menghemat Rp. 10 milyar dana APBD<br />
yang kemudian dialihkan ke sektor pendidikan melalui kebijakan pembatasan<br />
jumlah siswa per kelas dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan. Untuk<br />
membiayai program jaminan kesehatannya, Bupati Jembrana menggunakan dana<br />
ASKES dari pemerintah pusat dan tabungan kabupaten sebanyak Rp. 2-3 milyar<br />
yang berasal dari efisiensi puskesmas, restrukturisasi pemerintah kabupaten dan<br />
mengurangi jumlah pegawai dinas kesehatan kabupaten. Di Blitar, pemimpin<br />
daerah memperoleh pendapatan lebih sebesar 20% dari anggaran sepanjang 2002-<br />
2004 melalui reformasi birokrasi, yang kemudian digunakan untuk mendanai<br />
49
dirintis oleh daerah dapat dilaksanakan tanpa adanya pengalihan kewenangan<br />
bidang keuangan dan administratif yang dimungkinkan oleh desentralisasi.<br />
Perpanjangan desentralisasi hingga tingkat kecamatan dan desa memungkinkan<br />
reformasi disesuaikan dengan kondisi setempat melalui gagasan dan kelompok<br />
baru serta partisipasi warga yang lebih tinggi.<br />
Pada kasus CLCC, kebijakan Manajemen berbasis Sekolah dan Kurikulum berbasis<br />
Kompetensi (School-Based Management and Competency-Based Curriculum<br />
Policies) memungkinkan staf pengajar untuk menyesuaikan kurikulum dengan<br />
kebutuhan setempat juga untuk merancang, mengembangkan dan mengelola<br />
penyediaan pelayanan. Para guru mulai menghasilkan banyak ide yang disesuaikan<br />
dengan kondisi setempat dan pengawas sekolah menyusun rencana di mana para<br />
kepala sekolah dan guru dapat saling mengevaluasi masing-masing sekolah melalui<br />
mekanisme pertemuan kelompok kerja kepala sekolah.<br />
Kebijakan nasional mengenai<br />
pengelolaan air bersih berbasis<br />
masyarakat memungkinkan<br />
adanya pengelolaan sarana<br />
air bersih oleh warga desa<br />
di bawah naungan proyek<br />
WSLIC-2. Warga desa dapat<br />
menentukan sendiri jumlah<br />
dan lokasi tangki air yang<br />
harus dibangun, untuk<br />
menjamin jangkauan dan<br />
akses. Sementara itu, Tim<br />
Kerja Proyek dan Unit Pengelola Sarana yang dipilih secara langsung, menjamin<br />
keterlibatan warga desa dalam pelaksanaan proyek.<br />
Pada banyak kasus, kelompok<br />
baru yang dibentuk terbukti<br />
sangat penting dan bahkan<br />
sangat menentukan dampak<br />
positif dari reformasi yang<br />
terjadi. Contohnya, BIGS<br />
yang didirikan oleh seorang<br />
individu dengan semangat dan<br />
idealisme tinggi, pada saat<br />
ruang gerak politik terbuka<br />
lebar sehingga individu<br />
tersebut dapat “membuat<br />
perubahan” terhadap kualitas pemerintahan yang rendah di kota Bandung. Dimana<br />
LSM daerah seperti BIGS sudah pasti akan mendapat masalah politik yang besar<br />
pada sebelum desentralisasi.<br />
50
Keterlibatan masyarakat merupakan faktor utama dalam WSLIC-2, selain membantu<br />
terciptanya kesinambungan sarana air bersih, juga memberdayakan sejumlah<br />
kelompok masyarakat, selain itu proyek ini juga telah membantu masyarakat<br />
memperbaiki aspek kehidupannya yang lain. Proyek Maros mengutamakan<br />
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan – termasuk kehadiran warga<br />
dalam proses musrenbang dimana warga wajib menyampaikan pendapatnya. Di<br />
Boalemo, warga yang tinggal dekat ibukota kabupaten memiliki lebih banyak<br />
peluang untuk menyampaikan keluhan, dan ternyata memang menjadi lebih sering<br />
melakukan hal tersebut. Bahkan, salah satu laporan masyarakat mengakibatkan<br />
pemecatan seorang pejabat yang terbukti korup.<br />
Kewenangan daerah yang<br />
besar mendorong politisi<br />
daerah, warga dan lembaga<br />
donor untuk menjadi lebih<br />
memperhatikan isu Good<br />
Governance.<br />
Keterbukaan baru memberikan<br />
keberanian bagi BIGS untuk<br />
mengungkap kasus korupsi<br />
yang dilakukan oleh anggota<br />
DPRD kota Bandung. Bupati<br />
Blitar melihat program<br />
CBG sebagai peluang bagi<br />
pemerintah daerah untuk<br />
memberdayakan kewenangan barunya dan memungkinkan para pegawai untuk<br />
mengembangkan kapasitas <strong>org</strong>anisasi dan administratif. Di Maros, adanya<br />
keterbukaan sejak awal mengakibatkan perubahan hubungan tradisional hierarkis<br />
antara pemerintah dan masyarakat.<br />
Dampak reformasi<br />
terancam oleh<br />
peraturan dan<br />
ketentuan daerah<br />
yang lemah atau<br />
kurang efektif.<br />
Tanpa adanya<br />
dokumen resmi<br />
m e n g e n a i<br />
kebijakan inovatif<br />
bidang pendidikan<br />
di Tanah Datar,<br />
tenaga pendidik cenderung meremehkan kebijakan tersebut, apalagi sosialisasi<br />
tidak dilakukan secara efektif. Di Maros, sebuah <strong>Perda</strong> mengenai perencanaan<br />
yang partisipatif disahkan pada 2003, namun tidak adanya petunjuk pelaksanaan<br />
51
mengakibatkan kerancuan peran dan tanggung jawab untuk melaksanakan,<br />
memantau dan membiayai reformasi tersebut.<br />
Di Boalemo, <strong>Perda</strong> No. 6/2004 tentang Transparansi <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> dalam<br />
Pemerintahan dengan peraturan progresif dan jelas disahkan pada tahun 2004,<br />
namun petunjuk pelaksaan belum dikeluarkan hingga bulan Maret 2006. Di<br />
Jembrana dan Blitar, para peserta proyek kesehatan dan CBG khawatir bahwa<br />
dasar hukum kebijakan (pada kedua kasus, dasar hukumnya hanya SK Bupati,<br />
bukan <strong>Perda</strong>) dapat dianulir oleh Bupati baru yang menggantikan.<br />
Di sisi lain, pada kasus dimana keberadaan peraturan daerah mendukung<br />
perubahan penyediaan<br />
pelayanan, dampak<br />
yang dihasilkan menjadi<br />
lebih baik. Pada kasus<br />
WSLIC-2, peraturan<br />
penggunaan air telah<br />
menurunkan potensi<br />
konflik, meningkatkan<br />
kepemilikan dan<br />
meningkatkan peluang<br />
kesinambungan. Di<br />
Blitar, sebuah peraturan<br />
daerah memberdayakan<br />
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) untuk mengambil alih<br />
kewenangan dan bertanggung jawab terhadap penggunaan dana block grant. Di<br />
Pemalang, peraturan penggunaan kupon (dan bukan uang) yang dapat digunakan<br />
perempuan hamil yang miskin untuk membayar bidan telah memberi insentif lebih<br />
bagi para bidan untuk melayani masyarakat miskin.<br />
Pelaksanaan inovasi<br />
tetap lebih bergantung<br />
pada pemimpin lokal<br />
daripada pemimpin<br />
luar, terlepas dari<br />
apakah pendanaan<br />
atau gagasan inovasi<br />
berasal dari pihak luar<br />
atau bukan.<br />
Bupati dan tokoh<br />
reformis pemerintah<br />
daerah lainnya<br />
bertanggung jawab atas pengembangan dan implementasi reformasi pendidikan<br />
Tanah Datar, skema jaminan kesehatan Jembrana, Program Block Grant<br />
masyarakat Blitar, dan reformasi dinas sipil di Boalemo. BIGS didirikan oleh<br />
52
seorang warga yang bisa dibilang merupakan tulang punggung dan penanggung<br />
jawab dari semua kegiatan BIGS di bidang transparansi anggaran. Sementara<br />
CLCC dan WSLIC-2 lebih bergantung kepada jenis pemimpin yang lain, misalnya<br />
kepala desa dan kepala sekolah.<br />
Dari kedua kasus dimana kepemimpinan luar berperan besar dalam pelaksanaan<br />
reformasi, proyek kupon pelayanan bidan di Pemalang telah dihentikan dan<br />
keberhasilan reformasi di Maros ternyata sangat terbatas. Maros mempunyai<br />
kelompok pendukung reformasi yaitu LSM Forum Warga, namun dalam<br />
kepemimpinan LSM tersebut masih belum bisa menghilangkan “jarak sosial”<br />
dengan masyarakat sebagai klien.<br />
Sistem Pilkada yang dilaksanakan langsung oleh rakyat, memungkinkan kelompok<br />
pencetus reformasi yang mempunyai semangat tinggi untuk dapat menempati<br />
posisi-posisi strategis di pemerintahan.<br />
Pada empat kasus, yaitu Tanah Datar, Jembrana, Blitar dan Boalemo, bupatilah<br />
yang menjadi tokoh pencetus reformasi. Para bupati ini juga merupakan pejabat<br />
kabupaten yang dipilih secara langsung, dan mempunyai reputasi sebagai pemimpin<br />
yang mengedepankan kepentingan publik: program-program yang dipromosikan<br />
tidak hanya menguntungkan secara pribadi tetapi sebagian besar kasus, para bupati<br />
tersebut rela untuk menanggung risiko politis dengan melakukan perampingan<br />
institusi pemda demi membiayai reformasi yang digagasnya. Lebih jauh lagi,<br />
tidak satu pun dari para bupati tersebut memiliki latar belakang dibidang politik<br />
– Bupati Jembrana adalah seorang dokter, Walikota Blitar adalah mantan dosen<br />
administrasi publik, dan Bupati Tanah Datar adalah seorang pengusaha yang<br />
kembali ke kampung asalnya dengan harapan untuk dapat membawa perubahan<br />
bagi masyarakatnya.<br />
Gaya kepemimpinan para pemimpin daerah, yang lebih menekankan keterlibatan<br />
pribadi dan fleksibilitas merupakan faktor kunci terciptanya dampak positif.<br />
Bupati kabupaten Tanah Datar memperkenalkan perubahan secara fleksibel,<br />
alih-alih mendorong perubahan melalui mekanisme legislasi yang beliau<br />
khawatirkan tidak akan efektif. Pemimpin BIGS menggunakan pendekatan<br />
trial and error untuk menentukan metode atau mekanisme mana yang dapat<br />
diterapkan. Kepemimpinan Bupati Jembrana menciptakan perubahan dengan<br />
memperjuangkan reformasi secara aktif, berbicara kepada publik, menggalang<br />
dukungan di DPRD, dan terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan.<br />
Walikota Blitar pernah mengatakan bahwa “inti dari Program community block<br />
grant adalah pembelajaran sosial, bukan kesempurnaan; masyarakat masih boleh<br />
melakukan kesalahan untuk kemudian mengambil pelajaran agar bisa bangkit dan<br />
memperbaiki diri.” Sedangkan pelaksanaan reformasi di Boalemo terbantu oleh<br />
antusiasme Bupati dalam membuka rumahnya dimana masyarakat bisa bertemu<br />
langsung dengan beliau dan kesediaannya untuk menerima masukan mereka.<br />
Sebagai catatan, beliau adalah pegawai negeri pertama yang tunjangan perjalanan<br />
dinasnya dipotong setelah adanya reformasi insentif (yang beliau rintis sendiri).<br />
53
Besarnya dampak yang dialami sekolah CLCC juga tergantung kepada<br />
kepemimpinan kepala sekolahnya. Kepala sekolah yang terbuka dan memiliki<br />
semangat partisipatif tinggi, akan lebih berhasil dibanding yang otoriter.<br />
Banyak pemimpin dengan reputasi sebagai individu yang dapat dipercaya.<br />
Bupati Boalemo membongkar pagar rumahnya dan mengundang warga untuk<br />
acara morning coffee setiap pagi. Selain itu, beliau memublikasikan nomor telepon<br />
genggam miliknya dan milik sekretarisnya agar warga dapat menghubungi secara<br />
langsung untuk melaporkan kinerja pegawai negeri.<br />
Bupati juga mengharuskan setiap pejabat tinggi untuk menempel informasi<br />
jumlah gaji di pintu kantornya masing-masing! Pemimpin BIGS terkenal karena<br />
selalu menolak sistem “komisi” yang biasanya diterdapat pada proyek Pemda. Unit<br />
Pengelola Sarana WSLIC-2 berhasil menggalang kepercayaan karena anggota<br />
<strong>org</strong>anisasi adalah warga desa itu sendiri dan dalam waktu singkat berhasil<br />
menunjukkan keahlian teknisnya.<br />
Ironisnya, peran penting pemimpin daerah justru membuat upaya yang telah<br />
dirintisnya menjadi rentan.<br />
Bupati Tanah Datar kalah dalam pemilihan berikutnya, dan pemimpin BIGS<br />
berjanji untuk mengundurkan diri pada akhir tahun 2005 (meskipun hal tersebut<br />
belum terealisir hingga bulan Mei 2006). Pada kedua kasus, tidak ada jaminan<br />
apakah penggantinya akan mempunyai komitmen atau efektifitas yang sama<br />
kuatnya untuk mendorong reformasi. Bupati Boalemo merupakan tokoh inti<br />
dalam upaya reformasinya: saluran warga untuk menyampaikan keluhan adalah<br />
rumahnya sendiri.<br />
Warga yang tinggal terlalu jauh atau yang tidak mengetahui kesibukannya<br />
dirugikan oleh kondisi tersebut. Reformasi lain di Boalemo juga sangat tergantung<br />
dimana Bupati berada: tingkat kehadiran petugas puskesmas dekat rumahnya<br />
memang meningkat, namun di puskesmas yang jaraknya satu jam dari rumah<br />
Bupati tidak demikian kondisinya.<br />
Apakah reformasi yang sepenuhnya bersifat lokal memiliki peluang keberhasilan<br />
yang lebih tinggi dibanding reformasi yang, baik pencetus maupun penyandang<br />
dana, berasal dari luar?<br />
Kasus reformasi yang digagas dan didanai secara lokal – Tanah Datar dan Blitar<br />
– relatif cukup sukses. Tanah Datar berhasil meningkatkan motivasi dan kinerja<br />
para pendidik dan meningkatkan pelayanan di beberapa sekolah. Sementara di<br />
Blitar, reformasi meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan<br />
proses seleksi proyek pembangunan. Sedangkan proyek yang digagas dan didanai<br />
pihak luar, seperti WSLIC-2, Pemalang, CLCC dan Maros, seringkali dirancang di<br />
Jakarta dan diterapkan pada tingkat kabupaten sebagai proyek utuh tanpa basis<br />
dukungan institusi setempat. Hal ini kadang membatasi terwujudnya dampak<br />
positif.<br />
54
4.<br />
Ketidakpastian Kelanjutan Pendanaan bagi Sejumlah<br />
Reformasi<br />
Kesinambungan pendanaan program-program yang didanai pihak luar tidak dapat<br />
dipastikan. Sebagai contoh, kesinambungan pendanaan reformasi di Maros tidak<br />
dapat dipastikan setelah kepergian USAID sebagai penyandang dana utama,<br />
meskipun biaya<br />
proyek relatif murah<br />
(dibutuhkan kira-kira<br />
hanya dibutuhkan<br />
sekitar 5 % dari APBD,<br />
untuk menjangkau sisa<br />
wilayah pelaksanaan<br />
program). Dana untuk<br />
m e m p e r t a h a n k a n<br />
CLCC setelah<br />
berakhirnya dukungan<br />
UNICEF juga tidak<br />
dapat dijamin.<br />
Kabupaten yang<br />
menerapkan CLCC<br />
berupaya untuk<br />
memakai sistem<br />
tersebut di 70 sekolah<br />
baru dan 30 sekolah lainnya telah mengadopsi sistem tersebut dan akan membiayai<br />
versinya sendiri. Namun demikian, di sekolah yang mempunyai dana minim atau<br />
yang mempunyai kepala sekolah yang kurang termotivasi, “replikasi spontan”<br />
sistem CLCC diperkirakan tidak akan berhasil.<br />
Sejumlah reformasi lokal yang diterapkan dengan mengalihkan biaya baru kepada<br />
klien juga menghadapi kendala keuangan.<br />
Pengeluaran di Jembrana naik sebesar 2,5 kali dari 2003 hingga 2004. Hal<br />
ini disebabkan oleh dimasukannya warga non-miskin dalam skema jaminan.<br />
Sementara, pendapatan asli daerah turun sebesar 12%. Karena ketergantungan<br />
skema terhadap pendanaan kabupaten, bupati terpaksa mengalihkan biaya kepada<br />
pemakai melalui proses pembaruan kartu kesehatan yang harus dilakukan setiap<br />
tahun.<br />
Tindakan ini selain tidak akan efektif untuk menutupi kekurangan dana, juga<br />
berakibat pada semakin tidak tercakupnya masyarakat miskin, yang justru<br />
merupakan target utama reformasi tersebut. Biaya reformasi pendidikan di Tanah<br />
Datar relatif rendah (sekitar 1,5% dari total APBD, penghematan dilakukan setelah<br />
restrukturisasi pemda) namun kabupaten tetap harus membiayai senagian besar<br />
biaya kunjungan belajar ke luar negeri bagi para praktisi pendidikan untuk dua<br />
tahun pertama. Sekolah yang ingin tetap mengirim tenaga pendidiknya ke luar<br />
55
negeri (Malaysia, Singapura dan Australia) harus membayar setengah dari biaya<br />
yang dibutuhkan, yang mana biaya tersebut kemungkinan akan dialihkan ke<br />
kepala sekolah, guru dan Komite Sekolah.<br />
Kelanjutan pendanaan lebih terjamin pada dua kasus, dimana reformasi digagas<br />
secara lokal, biayanya relatif murah dan didanai oleh daerah itu sendiri.<br />
Program community block grant Blitar biayanya tidak mencapai 2% dari total APBD<br />
setiap tahun, sementara itu reformasi birokrasi telah meningkatkan pendapatan<br />
pemkot sebesar 20% antara tahun 2002 dan 2004. Masyarakat telah memberikan<br />
kontribusi antara 13% dan 22% dari anggaran tahunan dalam bentuk tunai,<br />
dan kontribusi in-kind sebesar 5% hingga 10%. Singkatnya, biaya pelaksanaan<br />
program tersebut relatif murah, sumber pendanaan meningkat dan kontribusi<br />
masyarakatpun cukup signifikan. Reformasi Boalemo, walau hasilnya tidak<br />
terlalu sukses, biayanya tidak terlalu tinggi dan dana bersumber dari realokasi<br />
dana salah satu departemen. Namun demikian, realokasi tunjangan dinas telah<br />
membebani pegawai pemda karena diputuskan bahwa beberapa biaya dinas resmi<br />
dihapuskan.<br />
5.<br />
56<br />
Kurangnya Diseminasi Informasi menjadi Penghambat<br />
Upaya Membangun Kepercayaan Masyarakat<br />
Pemimpin membangun kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesadaran<br />
masyarakat mengenai kekurangan pemberian pelayanan.<br />
Di Tanah Datar, Blitar dan Jembrana, pemimpin reformis menyuarakan<br />
himbauan tentang kebutuhan akan reformasi dan pentingnya hal tersebut. Para<br />
bupati menyampaikan pesan ini berulang-kali, dan berhasil untuk meletakkan<br />
reformasi sebagai salah satu agenda politik teratas. Pada saat yang sama, mereka<br />
meningkatkan kesadaran warga akan kelemahan pelayanan yang ada.<br />
Pemimpin membangun kepercayaan dengan menggalang dukungan untuk<br />
mereformasi pegawai negeri.<br />
Bupati Jembrana menunjuk para pendukungnya untuk memimpin puskemaspuskesmas<br />
setempat dan melibatkan DPRD secara aktif. Walikota Blitar<br />
mengangkat birokrat muda yang berprestasi untuk menduduki posisi-posisi<br />
pemerintahan yang strategis, dan melibatkan pemimpin di setiap tingkat dalam<br />
proses proyek yang dilakukan. Di Boalemo, dimana lingkungan reformasi terasa<br />
sulit, Bupati setempat telah berupaya untuk menggalang dukungan di antara<br />
pegawai negeri untuk mengimbangi para birokrat yang resisten.<br />
Pemimpin membangun kepercayaan melalui kerjasama dengan <strong>org</strong>anisasi lokal<br />
dan dengan memanfaatkan proses lokal. Walikota Blitar menggunakan proses<br />
perencanaan lokal (Musrenbang) sebagai acuan Program Community Block<br />
Grant, dan meningkatkan partisipasi warga. Meskipun sebelumnya tidak terlalu<br />
diperhitungkan, Bupati Pemalang akhirnya menempatkan puskesmas kecamatan<br />
sebagai bagian inti dari proyek kupon pelayanan bidan. CLCC bekerja melalui
Kelompok Kerja Guru dan Kepala Sekolah, serta Komite Sekolah untuk<br />
meningkatkan pelayanan pendidikan.<br />
Proses persiapan yang lama memungkinkan tumbuhnya kepercayaan.<br />
CLCC berhasil membantu meningkatkan kesadaran akan kebutuhan reformasi<br />
dengan mewajibkan sekolah proyeknya untuk mengirimkan tenaga pendidiknya<br />
mengikuti sesi pelatihan dan lokakarya.<br />
Selama 4 tahun<br />
BIGS menjajal<br />
berbagai pendekatan<br />
untuk memperbaiki<br />
penyediaan pelayanan<br />
publik sebelum<br />
akhirnya menetapkan<br />
satu pendekatan; dan<br />
di saat yang sama<br />
BIGS membangun<br />
reputasi sebagai suatu<br />
<strong>org</strong>anisasi jujur dan<br />
teladan. Program<br />
Community Block Grant<br />
Blitar dikembangkan<br />
selama bertahun- tahun. Proyek ini dimulai dengan proses “penjaringan aspirasi<br />
masyarakat” (jaring asmara) yang membantu pemerintah daerah mengetahui<br />
serta memahami keinginan dan kebutuhan warga.<br />
Bukti anekdot menunjukkan adanya proses penerimaan dari pihak penyedia<br />
pelayanan.<br />
Guru dan kepala sekolah<br />
yang kembali dari<br />
kunjungan belajar ke luar<br />
negeri menjadi yakin<br />
bahwa tujuan bupati<br />
mereformasi bidang<br />
pendidikan merupakan<br />
tindakan yang benar,<br />
dan mereka juga<br />
mempromosikan inovasi<br />
lainnya (yang didanai<br />
sekolah) seperti pengadaan<br />
kunjungan belajar bagi guru matematika. Keberhasilan reformasi di Blitar telah<br />
mengurangi resistensi dari pihak pemerintah sendiri, dan meningkatkan kapasitas<br />
pemerintah daerah dalam menanggapi kebutuhan warga.<br />
57
Motivasi bidan di Pemalang untuk melayani masyarakat miskin meningkat dengan<br />
keikutsertaan mereka dalam program kupon, namun jumlah gaji yang lebih rendah<br />
daripada bidan non-proyek sedikit banyak mengurangi motivasi para bidan.<br />
Bukti anekdot menunjukkan adanya penerimaan dari pihak pengguna jasa.<br />
Manfaat yang jelas bagi<br />
pengguna jasa (klien)<br />
biasanya terlihat dari makin<br />
besarnya penerimaan pihak<br />
klien. Kepercayaan para ibu<br />
di Pemalang terhadap bidan<br />
yang terhimpun dalam<br />
proyek kupon meningkat<br />
berdasarkan pernyataan<br />
dari teman-teman dan<br />
t e t a n g g a - t e t a n g g a n y a<br />
bahwa pemanfaatan jasa<br />
bidan dapat “mengurangi<br />
rasa sakit dan waktu yang<br />
dihabiskan dalam proses<br />
melahirkan.” Dengan<br />
meningkatnya kepercayaan<br />
masyarakat, pemakaian<br />
pelayanan bidan juga bertambah. Di pertemuan desa di Blitar, “orang berdesakan<br />
sampai keluar pintu dan banyak yang duduk di luar.”<br />
Hal ini mencerminkan kepercayaan warga bahwa kehadiran mereka akan dapat<br />
membawa perubahan. Orangtua di Tanah Datar secara swadaya menggalang dana<br />
untuk kunjungan belajar para guru di luar negeri setelah adanya penghentian<br />
dana Pemkab. Meskipun hasil ujian CLCC tidak membaik, namun metode<br />
pengajaran baru disambut positif oleh murid dan orangtua, hal ini dibuktikan<br />
oleh penerapan CLCC secara spontan oleh berbagai sekolah. Sarana air bersih di<br />
Lumajang berdampak baik kepada desa-desa yang terhimpun dalam proyek, hal<br />
ini tercermin dari kesediaan warga untuk membayar biaya pemeliharaan secara<br />
reguler. Di Jembrana, tingkat kepuasan terhadap pelayanan kesehatan telah<br />
meningkat. Ketika diminta pendapatnya terhadap kemungkinan dibatalkannya<br />
skema jaminan, salah satu kelompok perempuan menjawab secara serentak,<br />
“Jangan, jangan dihentikan.”<br />
Para klien di Maros, sebaliknya, tidak melihat manfaat apapun dari proyek yang<br />
dilaksanakan dan mengganggap pertemuan perencanaan sebagai hal “sama saja<br />
dengan yang lama” dan merasa “tidak mempunyai harapan, dan merasa pesimis”<br />
tentang prospek perubahan. Tidak heran jika antusiasme mereka untuk menghadiri<br />
pertemuan, sangat rendah, dan pengetahuan yang mereka miliki mengenai proyek,<br />
terbatas .<br />
58
Sosialisasi yang kurang mengurangi dampak reformasi.<br />
Di Jembrana, sedikit sekali informasi tertulis mengenai program yang dibagikan<br />
kepada warga. Hal ini mengakibatkan penyebaran informasi hanya dari “mulut<br />
ke mulut atau melalui pertemuan ad hoc dengan para pemimpin desa atau tenaga<br />
kesehatan. Beberapa warga miskin juga tidak sadar bahwa mereka berhak untuk<br />
mendapatkan pelayanan kesehatan sekunder dan tersier, sehingga kelompok<br />
tersebut tidak sepenuhnya dapat menggunakan pelayanan ini. Di Blitar, terdapat<br />
banyak masalah dengan transparansi pengeluaran dana block grant; walaupun<br />
sebagian besar warga merasa puas dengan program tersebut, hanya sedikit warga<br />
yang memiliki akses informasi dana proyek. Di Boalemo tidak jelas apakah warga<br />
setempat mengetahui tentang reformasi birokrasi yang terjadi pada saat itu.<br />
Di Maros, perda baru tentang perencanaan yang partisipatif mempunyai dampak<br />
terbatas karena warga tidak sepenuhnya memahami baik perda tersebut<br />
maupun ketentuan mengenai partisipasi dalam perencanaan daerah. Kebijakan<br />
“Penguatan Insentif” di Tanah Datar untuk mengirim guru dan kepala sekolah ke<br />
luar negeri tidak disebarluaskan, hal ini merugikan transparansi dan membatasi<br />
dampak positif. Di Pemalang, bidan yang kewalahan sering tidak dapat memenuhi<br />
perannya untuk menyosialisasikan sistem kupon sehingga perempuan miskin yang<br />
seharusnya dapat menggunakan jasanya tidak mengetahui tentang adanya sistem<br />
kupon .<br />
Sebaliknya, program CLCC bisa menjangkau orangtua miskin karena banyak jalur<br />
digunakan untuk menyebarluaskan informasi, baik cara formal seperti pertemuan<br />
Komite Sekolah maupun cara informal seperti program radio dan pembicaraan<br />
murid dengan orangtuanya. BIGS, yang misi utamanya adalah diseminasi<br />
informasi, menggunakan berbagai jalur, seperti melalui lokakarya, buku, poster,<br />
jurnal, pers dan acara radio.<br />
6.<br />
Fleksibilitas Pelaksanaan Kegiatan-Kegiatan Reformasi<br />
Akan Memperkuat Dampak Kegiatan Tersebut<br />
Pada sebagian besar kasus, strategistrategi<br />
baru dikembangkan untuk<br />
meningkatkan dampak positif atau<br />
membalikkan dampak negatif.<br />
Kebijakan Pembatasan jumlah<br />
murid per kelas di Tanah Datar<br />
berdampak pada berkurangnya<br />
akses pendidikan bagi beberapa<br />
murid, karena tidak disertai dengan<br />
penambahan jumlah kelas. Untuk<br />
menanggapi hal tersebut, pemkab<br />
mendirikan tiga sekolah baru antara tahun 2003-2005. Sistem “report card”<br />
59
oleh BIGS tidak ditanggapi oleh penyedia pelayanan. Fleksibilitas BIGS dalam<br />
menjalankan misinya, memperbaiki pemerintahan, dicerminkan dari penjajalan<br />
yang dilakukan BIGS terhadap berbagai pendekatan sebelum akhirnya menetapkan<br />
transparansi anggaran sebagai fokus utamanya. BIGS mendapatkan sorotan positif<br />
ketika <strong>org</strong>anisasi tersebut tidak hanya menyebarluaskan informasi mengenai<br />
distorsi APBD tahun 2002, lebih jauh lagi, mereka melaporkan kasus korupsi<br />
ditubuh DPRD. Pejabat-pejabat di Pemalang bertekad untuk mempertahankan<br />
akses perempuan hamil miskin dalam program bidan setelah masa proyek berakhir<br />
dan memutuskan untuk melanjutkan skema kupon pada tahun berikutnya.<br />
Di Lumajang, terdapat kendala bahasa dalam komunikasi antara fasilitator<br />
dengan warga desa. Untuk menyikapi masalah ini, seorang fasilitator yang<br />
fasih dalam bahasa Madura direkrut. Revisi tahunan protap Program CBG<br />
Blitar memungkinkan adanya banyak perubahan dalam pelaksanaan, termasuk<br />
pembentukan Tim Pengawas Independen dan membatasi jumlah dana yang<br />
dipakai dalam proyek infrastruktur non-produktif. Di Jembrana, cakupan jaminan<br />
kesehatan diperkenalkan untuk kelahiran anak dan biaya pelayanan dikurangi.<br />
Bupati Boalemo, ketika menyadari bahwa keputusannya untuk menghilangkan<br />
beberapa tunjangan dinas berdampak secara negatif kepada bawahannya,<br />
memperkenalkan kembali tunjangan khusus untuk mengatasi masalah tersebut.<br />
Ketika fleksibilitas tidak berjalan dengan baik.<br />
Jumlah perempuan miskin yang mendapatkan pelayanan bidan di Pemalang<br />
tidak merata karena peraturan program selalu berubah dan pelaksanaan program<br />
tidak konsisten. Hal ini mencerminkan ketidakjelasan kelompok sasaran mana<br />
yang ingin diutamakan<br />
oleh kabupaten dan<br />
mekanisme untuk<br />
menjangkau kelompok<br />
tersebut. Dalam program<br />
WSLIC-2, karena warga<br />
desa diberikan wewenang<br />
untuk menetapkan<br />
skema pembayaran unit<br />
pengelola sarana, hal ini<br />
secara tidak langsung<br />
mengurangi motivasi unit<br />
pengelola sebagaimana<br />
tercermin dari situasi dimana para anggota hanya dibayar ketika sebuah masalah<br />
muncul. Kendala keuangan di Jembrana menjadi alasan untuk menetapkan skema<br />
pendaftaran baru. Hal ini bermanfaat dalam mengisi kekurangan anggaran namun<br />
berdampak negatif terhadap akses pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Di<br />
Maros, terjadi perubahan dalam perencanaan partisipatif setelah implementasi di 6<br />
(dari 20) desa, mengurangi proses dari 5 menjadi 2 hari per desa dan menghentikan<br />
pemberdayaan warga desa sebagai fasilitator proyek.<br />
60
7.<br />
Terbatasnya Dampak karena Data yang Kurang<br />
Tidak ada satupun kasus yang memiliki sistem pengumpulan data yang efektif,<br />
sehingga sulit untuk melakukan penyesuaian di tengah perjalanan proyek.<br />
Sebagai contoh, kendala dalam identifikasi dan kualifikasi kelompok sasaran di<br />
Pemalang (perempuan miskin) mungkin telah mengurangi akses proyek kupon<br />
pelayanan bidan bagi sekelompok warga miskin. Namun demikian, karena<br />
pengumpulan dan analisis data yang kurang, menjadi mustahil untuk mengetahui<br />
sejauh mana kelompok sasaran tersebut telah dijangkau oleh program kupon.<br />
Pengumpulan data proyek di Blitar juga lemah untuk mengetahui dampak proyek,<br />
seperti dana hibah mana yang dinilai sukses.<br />
Keberhasilan proyek di Maros tidak bisa diketahui karena data mengenai pendanaan<br />
dan dampak tidak memadai, terutama untuk mengetahui apakah ada hubungan<br />
antara upaya perencanaan daerah, kualitas upaya tersebut dan alokasi dana dari<br />
kabupaten. Indikator pada program CLCC juga nampaknya kurang, padahal tanpa<br />
adanya indikator yang sesuai atau tepat, sulit untuk melakukan penyesuaian<br />
pelaksanaan proyek agar dampak positif bisa optimal dampak positif. Dalam<br />
proyek WSLIC-2, kurangnya informasi dasar dan pengawasan mengakibatkan<br />
sulitnya membuat penilaian mengenai dampak proyek terhadap kesehatan.<br />
Pengelola proyek WSLIC-2 baru mulai untuk mengumpulkan informasi kesehatan<br />
secara terstruktur 5 (lima) tahun setelah proyek dimulai. Di Jembrana, tidak ada<br />
pengumpulan data secara reguler dan analisis topik-topik tertentu, termasuk<br />
berapa jumlah warga miskin yang terdaftar dalam skema jaminan kesehatan.<br />
8.<br />
Peningkatan Penyediaan <strong>Pelayanan</strong> akan lebih<br />
Menguntungkan Masyarakat Miskin jika sejak Awal<br />
Mereka Ditetapkan sebagai Kelompok Sasaran<br />
Dalam studi kasus dimana masyarakat miskin tidak ditargetkan dalam reformasi,<br />
mereka cenderung lebih dirugikan daripada diuntungkan.<br />
Kebijakan pembatasan jumlah siswa dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan<br />
di Tanah Datar mempunyai dampak yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu<br />
mengurangi tempat di SMU unggul serta menurunkan akses pendidikan bagi<br />
siswa miskin, juga memperluas kesenjangan antar sekolah. CLCC, meskipun<br />
tidak menargetkan masyarakat miskin, mempunyai dampak positif terhadap<br />
siswa miskin, namun mempunyai dampak yang lebih lemah terhadap siswa yang<br />
lebih berada secara ekonomi. BIGS tidak memfokuskan misi transparansinya<br />
untuk membantu masyarakat miskin, meskipun tujuan umumnya adalah untuk<br />
menjadikan APBD menjadi lebih pro-masyarakat miskin. Di Maros, beberapa<br />
warga miskin, seperti warga desa lain, sekarang lebih terlibat dalam perencanaan<br />
pembangunan daerah namun jangkauannya masih tidak merata. Di Boalemo,<br />
warga yang tinggal di daerah terpencil atau miskin tidak memiliki peluang yang<br />
besar untuk menyampaikan masukan tentang kinerja pegawai pemda.<br />
61
Dalam keempat kasus dimana masyarakat miskin dijadikan kelompok sasaran,<br />
dampak terhadap kelompok tersebut positif.<br />
Kupon pelayanan bidan di Pemalang meningkatkan akses pelayanan bidan bagi<br />
warga miskin. Sarana air bersih dalam WSLIC-2 di kabupaten miskin Lumajang<br />
jelas-jelas meningkatkan akses air bersih bagi warga desa, dan telah meningkatkan<br />
taraf hidup mereka. Jaminan kesehatan di Jembrana telah secara nyata<br />
meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program CBG<br />
Blitar mewajibkan kecamatan untuk mendukung renovasi rumah kumuh yang<br />
kemudian memberikan dampak positif kepada masyarakat miskin.<br />
Namun, dampak positif dalam kasus-kasus tersebut terbatas.<br />
Di Pemalang, kendala dalam mengidentifikasi, melakukan sosialisasi, dan<br />
pengawasan akses masyarakat miskin dinilai telah mengurangi dampak positif.<br />
Di WSLIC-2, beberapa desa miskin tidak diikutsertakan dalam proyek karena<br />
kepadatan penduduk yang rendah, jarak desa proyek yang jauh dan faktor-faktor<br />
lain karena berpotensi untuk menaikkan biaya proyek. Di Jembrana, pembengkakan<br />
biaya, yang terjadi karena masuknya klien non-miskin dalam skema, berakibat<br />
pada perubahan sistem pendaftaran yang merugikan kelompok miskin. Oleh karena<br />
itu, keanggotaan masyarakat miskin dalam skema jaminan kesehatan menurun<br />
lebih dari 50%. Di Blitar, meskipun ada bias pendanaan terhadap warga miskin di<br />
beberapa kecamatan, tidak ada data untuk membuktikan apakah ini disertai oleh<br />
dampak positif terhadap warga miskin tersebut.<br />
Kasus<br />
Menargetkan<br />
masyarakat miskin?<br />
Dampak terhadap masyarakat miskin<br />
Pemalang Ya + Meningkatkan, namun secara tidak rata, akses<br />
pelayanan bidan bagi warga miskin.<br />
WSLIC-2 Ya + Meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan<br />
akses air bersih.<br />
- Beberapa desa miskin tidak disertakan karena<br />
jarak atau pertimbangan lain.<br />
- Rasio tangki berbanding rumah tangga yang<br />
relatif tinggi dapat mengurangi akses rumah<br />
tangga miskin.<br />
3<br />
Jembrana Ya 1 + Akses pelayanan kesehatan bagi kelompok<br />
miskin meningkat, terutama penyandang<br />
jaminan kesehatan.<br />
- Sistem registrasi baru dan fleksibilitas sistem<br />
mungkin telah mengurangi akses warga miskin.<br />
3 Asuransi kesehatan Jembrana tidak dibentuk untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada<br />
semua warga. Penargetan masyarakat miskin sama dengan warga Jembrana lainnya, namun jaminan<br />
manfaat bagi masyarakat miskin bukan aspek yang terpenting dalam program tersebut.<br />
62
Blitar Ya + Meningkatkan dana untuk rumah kumuh<br />
? Bias pendanaan pro-masyarakat miskin di<br />
beberapa desa, namun implikasi terhadap<br />
masyarakat miskin tidak diketahui.<br />
CLCC Tidak + Meningkatnya jumlah metode pengajaran yang<br />
lebih aktif, meningkatnya partisipasi murid dan<br />
orangtua baik dari masyarakat miskin maupun<br />
non-miskin.<br />
Maros Tidak + Keikutsertaan masyarakat miskin dalam proses<br />
perencanaan pembangunan desa.<br />
- Tidak ikutsertanya sejumlah dusun termiskin<br />
dalam proses perencanaan pembangunan desa.<br />
Tanah Datar Tidak - Mengurangi akses terhadap SMU bagi beberapa<br />
murid miskin, terutama di daerah terpencil dan<br />
biaya naik di beberapa sekolah.<br />
Boalemo Tidak - Ketidakikutsertaan kelompok miskin dalam<br />
kesempatan untuk menyampaikan keluhan<br />
mengenai pegawai negeri.<br />
9.<br />
Kelangsungan Sebagian Besar Program Terancam oleh<br />
Adanya Permasalahan dengan Mitra, Kepemimpinan, dan<br />
Pendanaan<br />
Kesinambungan CLCC terancam oleh pilihan untuk menjalin kemitraan dengan<br />
Badan Perencanaan Kabupaten alih-alih dinas Pendidikan. CLCC juga terancam<br />
oleh pendanaan yang tidak jelas di sekolah-sekolah dimana sebagian besar orangtua<br />
siswa adalah warga miskin, juga dimana kepala sekolah yang bersangkutan<br />
tidak mendukung pelaksanaan proyek. Sedangkan BIGS terancam oleh rencana<br />
pemimpinnya untuk mengundurkan diri. Pemimpin baru dalam proyek tersebut<br />
sebaiknya mempunyai bakat yang sama dan inspirasi yang sebanding.<br />
Kesinambungan proyek Maros juga dipertanyakan, namun untuk membuktikan<br />
hal tersebut masih dibutuhkan banyak data. Meskipun biaya proyek ini rendah,<br />
keengganan kabupaten untuk menjamin dan menyediakan dana berarti bahwa<br />
kesinambungan proyek masih tidak pasti. Ketergantungan kepada satu pendorong<br />
utama yaitu LSM Forum Warga, yang selain kurang dikenal di tingkat desa, juga<br />
memiliki kelemahan institusional, dinilai telah mengancam prospek kesinambungan<br />
institusional reformasi di Maros; selain itu, keterlibatan warga desa yang terbatas<br />
(yang merupakan proyek perencaan yang terfokus pada desa) juga melemahkan<br />
potensi kesinambungan dari segi sosial.<br />
Kesinambungan proyek WSLIC-2 juga belum bisa diketahui. Meskipun rasa<br />
kepemilikan warga atas sarana air bersih telah meningkatkan potensi<br />
63
kesinambungan, sarana-sarana air bersih di desa-desa yang dikunjungi tim peneliti<br />
baru beroperasi maksimum selama dua tahun, dan dua sistem lainnya baru<br />
beroperasi selama satu tahun; sehingga sulit untuk mengatakan apakah proyek<br />
ini akan berlanjut. Lebih jauh lagi, hasil temuan di salah satu desa dalam proyek<br />
ini mengindikasikan bahwa hanya dengan perubahan besar, seperti menjamin<br />
terkumpulnya iuran pemeliharaan dan mencari pengganti fasilitator dari luar,<br />
kelanjutan proyek ini mungkin akan dapat terjadi.<br />
Reformasi di Jembrana akan sulit berlanjut. Pengeluaran Pemkab pada skema<br />
jaminan kesehatan meningkat pesat, karena masuknya warga non-miskin, akibatnya,<br />
pejabat Jembrana sedang menjajaki mekanisme pembiayaan yang kemungkinan<br />
besar justru akan merugikan masyarakat miskin. Investasi yang kurang dalam<br />
kerangka administratif dan ketidakjelasan dasar hukum juga mengurangi potensi<br />
kelangsungan proyek. Namun, terpilihnya kembali Bupati Jembrana pada tahun<br />
2005, mungkin akan meningkatkan peluang politis kelanjutan proyek untuk masa<br />
yang akan datang.<br />
Sebaliknya, reformasi di Blitar, dilihat dari berbagai sudut pandang, sepertinya<br />
akan berlanjut. Masyarakat merasa bahwa secara teknis, proyek yang didanai CBG<br />
lebih efisien dan mempunyai kualitas lebih tinggi dari proyek-proyek pemerintah<br />
sebelumnya. Selain itu, karena diintegrasikan dengan proses perencanaan<br />
pembangunan lokal yang sudah dijalankan, dan kerjasamanya dengan ormas<br />
lokal, juga adanya dukungan dari pegawai pemkab, nampaknya program ini<br />
secara institusional akan berkelanjutan. Terpilihnya kembali walikota Blitar juga<br />
mengindikasikan bahwa secara politis program ini akan berkelanjutan. Sedangkan<br />
kelanjutan di bidang sosial, nampaknya dapat terwujud dengan adanya keterlibatan<br />
pendanaan dari masyarakat, baik selama tahap perencanaan dan masa pelaksanaan,<br />
serta fleksibilitas bupati dalam menjalankan program. Rendahnya biaya program,<br />
adanya swadana masyarakat dan peningkatan pendapatan asli daerah, sepertinya<br />
akan menjamin bahwa secara finansial program ini akan berkelanjutan. Satusatunya<br />
ancaman terhadap kelanjutan program adalah dasar hukum yang kurang<br />
kuat.<br />
10. Pelaksanaan di Masa yang akan Datang: Memanfaatkan<br />
Hasil Temuan Studi Kasus MPMM untuk Memperkuat<br />
Sistem Penyediaan <strong>Pelayanan</strong> di Daerah Lain<br />
Menargetkan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran utama reformasi<br />
pelayanan publik, agar kelompok tersebut benar-benar menerima manfaat<br />
kegiatan.<br />
Kasus-kasus yang diketengahkan telah menunjukkan bahwa cara terbaik untuk<br />
memastikan masyarakat miskin menerima manfaat program, adalah dengan<br />
menjadikan kelompok tersebut sebagai kelompok sasaran khusus.<br />
64
Kendati dalam proyek-proyek yang tidak secara khusus menargetkan masyarakat<br />
miskin, penyesuaian di tengah berjalannya program masih dapat dilakukan untuk<br />
menekan dampak negatif serta meningkatkan dampak positif bagi masyarakat<br />
miskin. Contohnya, di Tanah Datar, seharusnya dapat disediakan dana untuk<br />
menambah jumlah guru dan ruang kelas agar bisa mengakomodir kelebihan<br />
siswa pada sekolah-sekolah di daerah miskin. Hal ini juga dapat mengurangi<br />
persaingan untuk mendapatkan tempat yang tidak tersedia bagi murid miskin.<br />
Dalam CLCC, metode outreach yang didesain untuk kebutuhan orangtua miskin<br />
dapat dimasukkan dalam implementasi dari satu sekolah ke sekolah lain. BIGS<br />
dapat mengimplementasikan kegiatan khusus, seperti publikasi poster informasi<br />
anggaran yang sudah teruji dapat dipahamii oleh masyarakat miskin, atau<br />
penyelenggaraan lokakarya yang dapat mengakomodir warga miskin, dengan<br />
harapan bahwa upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih promasyarakat<br />
miskin.<br />
Menggunakan mekanisme diseminasi informasi atau sosialisasi program yang<br />
efektif, untuk membangun kepercayaan masyarakat.<br />
Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa sosialisasi yang kurang mengakibatkan<br />
berkurangnya dampak reformasi karena kurangnya kesadaran maupun kemampuan<br />
kelompok sasaran memberdayakan reformasi. Hal ini terjadi di Maros, Boalemo,<br />
Tanah Datar dan Pemalang. Sebagai contoh, kurangnya informasi tertulis memaksa<br />
warga Jembrana untuk mengandalkan informasi dari mulut ke mulut atau kontak<br />
dengan pemimpin lokal, untuk mendapatkan informasi proyek. Siklus yang<br />
akan berulang terus menerus adalah ketika rendahnya penerimaan mengurangi<br />
potensi efektivitas sosialisasi (seperti yang terjadi di Boalemo) dan sosialisasi yang<br />
tidak efektif dapat berakibat pada merosotnya tingkat penerimaan. Hubungan<br />
kepercayaan dan sosialisasi yang baik merupakan perpaduan yang tepat.<br />
Ada banyak jalan untuk meningkatkan sosialisasi, antara lain membuat informasi<br />
tertulis dalam bentuk dokumen legal atau surat edaran, mengirimkan informasi<br />
melalui pemimpin setempat dan menyiarkan informasi di radio, televisi atau dalam<br />
surat kabar.<br />
Sebagai catatan, informasi mengenai CLCC menjangkau orangtua miskin karena<br />
program tersebut menggunakan banyak jalur untuk melakukan sosialisasi. BIGS,<br />
dimana misinya sendiri adalah upaya sosialisasi, juga menggunakan banyak jalur.<br />
Pelajaran yang dapat diambil adalah: gunakanlah berbagai pendekatan untuk<br />
diseminasi informasi.<br />
Kurangnya transparansi anggaran, bahkan dalam proyek yang menekankan<br />
partisipasi warga (Blitar) masih kurang transparan . Transparansi pendanaan<br />
seyogyanya juga menjadi salah satu fokus upaya sosialisasi.<br />
65
Mendukung pemimpin baik di kalangan pemerintah maupun LSM lokal untuk<br />
melaksanakan reformasi kebijakan penyediaan pelayanan publik.<br />
Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa inovasi dalam penyediaan pelayanan<br />
tergantung pada pemimpin setempat dan bukan yang dari luar, walaupun inovasi<br />
tersebut digagas secara lokal atau tidak. Sehingga sebaiknya dilakukan suatu<br />
pencarian sistematis untuk mengidentifikasi pemimpin-pemimpin yang berpotensi<br />
dalam reformasi peyediaan pelayanan, termasuk pemimpin “alternatif” seperti<br />
pengawas sekolah, guru yang sudah senior, kepala Komite Sekolah, dukun bayi,<br />
dan tokoh informal desa. Pencarian bisa dilakukan dengan bantuan beberapa<br />
instrumen, antar lain dengan kontak langsung, kuestioner yang dikirimkan kepada<br />
Kementerian terkait atau Asosiasi Bupati se-Indonesia serta survei LSM dan donor.<br />
Selain itu, perlu juga menyediakan pelatihan kepemimpinan.<br />
Berikan dukungan bagi pemimpin yang berupaya keras meningkatkan pelayanan.<br />
Sedikit bantuan sebenarnya bisa menguntungkan sebagian besar inovator studi kasus,<br />
terutama dalam untuk pelaksanaan, memublikasikan reformasi, mendapatkan<br />
feedback dan mengukur dampak. Contohnya, para pelaksana reformasi di Maros<br />
akan diuntungkan dengan adanya bantuan untuk mengintegrasikan antara proses<br />
perencanaan pembangunan desa dan kabupaten dengan anggaran. Mungkin dapat<br />
dipertimbangkan untuk memberikan apresiasi bagi inovasi yang sukses dengan<br />
menganugrahkan penghargaan, atau menunjukkan dukungan masyarakat kepada<br />
kegiatan yang reformis atau yang tidak biasa dilakukan. Hal ini akan dapat<br />
meredam resistensi dari kekuatan lama yang masih bertahan. Selain itu perlu<br />
juga diciptakan ruang legal untuk inovasi, seperti melalui “dispensasi bagi pilot<br />
project” yang memungkinkan uji coba di tingkat kabupaten, walaupun mungkin<br />
akan bertentangan dengan perundangan nasional.<br />
Proyek yang menggunakan pemimpin luar harus dipastikan memiliki rencana<br />
untuk meminimalisir ketergantungan kepada pemimpin-pemimpin tersebut,<br />
dan untuk melakukan peralihan kepada pemimpin lokal ketika dukungan luar<br />
berhenti.<br />
Memastikan adanya kesinambungan dana proyek reformasi pelayanan publik.<br />
Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa pendanaan proyek, termasuk semua<br />
proyek yang didanai dari luar, tidak dapat dipastikan kelanjutannya, padahal<br />
kelanjutan pendanaan sangat terkait erat dengan kesinambungan sosial: partisipasi<br />
akan terwujud jika keterlibatan seseorang dihargai dengan hasil yang lebih<br />
baik dimasa depan. Untuk proyek yang didanai lembaga donor, pastikan bahwa<br />
akan ada kesinambungan dana setelah donor menarik diri, antara lain dengan<br />
mengkorporasikannya kedalam struktur perencanaan proyek dan pengambilan<br />
keputusan.<br />
66
Beri dukungan kepada para reformis, untuk menjamin kesinambungan dana<br />
reformasi penyediaan pelayanan. Berikan dukungan kepada mereka dalam<br />
menjajaki opsi-opsi swadana (dan potensi dampak negatif yang mungkin terjadi),<br />
meningkatkan kemampuan perencanaan finansial, meningkatkan pendapatan<br />
daerah, dan merencanakan rasionalisasi pemda untuk menekan pengeluaran.<br />
Sediakan sumber dana yang tidak mengikat untuk jangka waktu beberapa tahun<br />
bagi Pemda dan LSM lokal, sebaiknya sumber dana lebih menekankan hasil<br />
dan bukan project-specific atau yang terikat waktu. Hal ini penting karena pada<br />
hakekatnya, reformasi pemerintahan biasanya tidak menghasilkan hasil seketika,<br />
bahkan lebih buruk lagi, reformasi pemerintahan dalam jangka waktu pendek<br />
cenderung memojokkan elit politik dengan tuntutan akan perubahan sikap dan<br />
akuntabilitas terhadap publik. Pendanaan reformasi pemerintahan seharusnya<br />
bercermin pada kenyataan bahwa dibutuhkan waktu untuk hasil yang baik.<br />
Perlu diajurkan reformasi biaya rendah: secara relatif reformasi yang tidak mahal<br />
(seperti CLCC atau Blitar) akan berpotensi menggalan dukungan politik yang lebih<br />
besar serta dapat menarik minat daerah lain untuk mereplikasi.<br />
Pertimbangkan alternatif yang mempunyai biaya rendah: Untuk Tanah Datar,<br />
tenaga pendidik bisa saja dikirim ke pusat pelatihan dan pendidikan yang baik<br />
di Indonesia untuk menekan biaya. Untuk CLCC, bisa dipertimbangkan untuk<br />
menggunakan bahan baku alternatif yang lebih murah, dan tersedia secara luas.<br />
Pertimbangkan kegiatan proyek yang dapat menjangkau pengguna layanan dengan<br />
biaya tambahan rendah atau yang tanpa biaya (“efek ombak”). “Efek ombak” Tanah<br />
Datar, sebagai contoh, dapat diperkuat dengan jaminan bahwa pelajaran yang<br />
diperoleh pada kunjungan belajar ke luar negeri dapat diteruskan kepada mereka<br />
yang tidak ikut pergi.<br />
Jangan terlalu hemat dengan kebutuhan dasar: investasi bagi administrasi dan<br />
manajemen dapat memberikan manfaat yang besar. Badan Pengelola Proyek di<br />
Jembrana sangat kewalahan, penambahan jumlah pegawai akan dapat membantu<br />
mempersingkat keterlambatan pembayaran kepada penyedia jasa, hal ini penting<br />
karena keterlambatan tersebut dapat berdampak buruk kepada kinerja penyedia<br />
jasa.<br />
Memastikan bahwa komponen pemantauan (monitoring) yang efektif, sudah<br />
tercakup pada semua proyek penyediaan pelayanan publik.<br />
Satu hal yang tidak membaik sejak diberlakukannya desentralisasi adalah sistem<br />
pengumpulan data. Sistem sebelumnya, yang dikelola pada tingkat provinsi telah<br />
dihilangkan, dan belum digantikan oleh sistem pada tingkat kabupaten. Perlu<br />
dicatat bahwa tidak ada satu pun kasus yang memiliki sistem pengumpulan<br />
67
data yang efektif, sehingga akan sulit untuk melakukan penyesuaian di tengah<br />
perjalanan proyek yang sebenarnya bermanfaat untuk memperkuat dampak.<br />
Penentuan indikator yang tepat adalah hal yang mutlak. Misalnya, apakah yang<br />
disebut pendidikan bermutu tinggi? Dapat dipertimbangkan untuk menjajaki<br />
definisi variabel kunci dari kelompok-kelompok stakeholder terkait. Variabel<br />
proses (seperti Komite Sekolah yang partisipatif) mungkin akan menjadi sama<br />
pentingnya dengan variabel keluaran (misalnya, seperti hasil ujian yang lebih<br />
tinggi) bagi dampak yang dihasilkan.<br />
Pengumpulan indikator sama pentingnya dengan penggunaan indikator.<br />
Sebagaimana dilihat di kasus-kasus lain, koleksi data di Blitar nampaknya kurang<br />
lengkap untuk menunjukkan dampak proyek, sehingga juga kurang untuk dipakai<br />
sebagai acuan perbaikan program. Jika, misalnya, salah satu tujuan program adalah<br />
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan, lalu<br />
pengawasan program juga seharusnya menyertakan pengumpulan data mengenai<br />
klasifikasi jenis kelompok (perempuan, warga miskin, manula, anak-anak, pemilik<br />
usaha kecil, kelompok elit lokal, dan lain-lain) yang berpartisipasi; tahap partisipasi<br />
(pengusulan, perencanaan, pemilihan, pelaksanaan, pendanaan, pengawasan,<br />
pengelolaan); wilayah partisipan (dari daerah yang lebih memiliki ciri perkotaan,<br />
atau dari daerah yang lebih memiliki ciri pedesaan); cara berpartisipasi (berbicara<br />
di rapat, berbicara kepada pejabat setempat, menghadiri pertemuan); dan seberapa<br />
sering (sesekali, rutin, pada malam hari, dan lain-lain) Revisi rancangan program,<br />
untuk meningkatkan efektivitasnya, hanya akan berhasil jika data mengenai topiktopik<br />
yang relevan dengan tujuan proyek sudah cukup akurat dan bisa dianalisa<br />
dengan baik.<br />
Sistem pengawasan seharusnya dapat mengumpulkan informasi mengenai lokasi<br />
kontrol, dimana variabel-variabel sosio-ekonomi sudah serupa namun reformasi<br />
yang terkait belum dilakukan.<br />
Mewujudkan fleksibilitas kedalam peraturan proyek, untuk memperkuat dampak<br />
positif, maupun mengatasi dampak negatif.<br />
Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa strategi untuk memperkuat dampak<br />
positif dan mengatasi dampak negatif, dapat dikembangkan apabila aturan<br />
program bersifat fleksibel. Contohnya, proyek yang terdiri dari modul-modul yang<br />
dapat ditambahkan atau dikurangi tergantung pada kondisi lokal dapat menjadi<br />
lebih efektif daripada suatu model kaku, selama semua modul didesain untuk<br />
memenuhi tujuan umum proyek dimaksud. Dalam CLCC, meskipun komponen<br />
pengelolaan sekolah tidak efektif di sekolah yang mempunyai kepala sekolah yang<br />
kurang mendukung, komponen pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan<br />
(PAKEM) memberikan dampak positif bagi para siswa, guru dan orangtua. Hal<br />
ini menunjukkan kemajuan menuju sasaran CLCC untuk memperbaiki kualitas<br />
pendidikan.<br />
68
Mendorong implementasi hukum dan peraturan daerah yang bersifat mendukung<br />
reformasi.<br />
Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa dampak reformasi terancam jika<br />
peraturan dan regulasi daerah yang menjadi dasarnya cenderung lemah atau kurang<br />
menunjang. Pengesahan peraturan daerah yang progresif mungkin mempunyai<br />
dampak minim tanpa adanya petunjuk pelaksanaan. <strong>Perda</strong> di Maros mengenai<br />
partisipasi warga, misalnya, belum berdampak besar terhadap masyarakat.<br />
Peraturan transparansi Boalemo sangat progresif sebagaimana tertuang di<br />
atas kertas namun implementasinya yang akan menentukan apakah dapat<br />
meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Penyusunan atau pengesahan petunjuk<br />
pelaksanaan adalah kunci dalam penciptaan kondisi legal yang mendukung<br />
reformasi penyediaan pelayanan.<br />
Replikasikan inovasi penyediaan pelayanan yang berhasil.<br />
Inovasi di bidang penyediaan pelayanan yang telah direplikasi pada tingkat daerah<br />
adalah pilihan yang baik. Sekurang-kurangnya 4 (empat) <strong>org</strong>anisasi masyarakat<br />
telah mengambil manfaat dari pelatihan dan layanan informasi untuk menjajaki<br />
dan memfokuskan kegiatannya pada transparansi anggaran. Sementara itu, warga<br />
dari kota lain sudah mulai mendesak pemerintahnya untuk memublikasikan<br />
anggaran daerahnya. CLCC juga telah menyebar secara formal ke 70 sekolah baru<br />
pada tahun 2004 dan secara sporadis di 30 sekolah. Dengan menghitung penerapan<br />
sporadis, CLCC sekarang telah menjangkau 35% SD di kabupaten yang dikunjungi.<br />
Di Tanah Datar, 150 guru telah mendaftarkan dan mendapatkan bagian dana<br />
kinjungan belajar ke Malaysia dari Dinas Pendidikan kabupaten pada tahun 2004.<br />
Hal ini dilakukan kendatipun tahun anggaran proyek telah berakhir dan bahkan<br />
lebih banyak guru<br />
mendaftarkan diri<br />
pada tahun 2005.<br />
Inovasi penyediaan<br />
pelayanan dengan<br />
hasil sampingan<br />
yang tinggi<br />
( m e n i n g k a t k a n<br />
jumlah penerima<br />
manfaat tanpa<br />
menaikkan biaya)<br />
juga merupakan<br />
pilihan yang<br />
baik. Reformasi<br />
Tanah Datar<br />
menghasilkan<br />
69
perubahan yang tidak terencana sebelumnya di beberapa sekolah, seperti pengiriman<br />
anggota Komite Sekolah ke Jakarta untuk melakukan kegiatan pertukaran anggota<br />
serta pemberian penghargaan Komite Sekolah untuk guru yang berkinerja tinggi.<br />
Salah satu perubahan kreatif yang dihasilkan oleh CLCC adalah penyelenggaraan<br />
program radio sekolah tentang informasi PR dan penyajian prestasi teladan murid.<br />
Salah satu desa WSLIC-2 mecontoh skema iuran pemeliharaan sarana air, untuk<br />
mengumpulkan dana bagi pembuatan jalan sepanjang 2 km. Di desa yang lain, unit<br />
pengelola sarana setempat merencanakan pembuatan WC untuk setiap rumah<br />
tangga.<br />
Inovasi penyediaan pelayanan dengan peluang kelanjutan yang tinggi juga<br />
sepatutnya didukung. Dampak positif CBG di Blitar terhadap keterlibatan<br />
masyarakat dalam proses perencanaan, selain prospeknya yang baik terhadap<br />
kesinambungan teknis, institusional, sosial dan pendanaan, juga patut dianggap<br />
sebagai contoh proyek yang baik untuk dipelajari dan diadopsi.<br />
Gunakan hasil temuan MSWP untuk mengusahakan terwujudnya lingkungan<br />
kebijakan tingkat nasional yang kondusif bagi reformasi penyediaan pelayanan<br />
daerah.<br />
Kerangka peraturan yang jelas, sangat penting untuk pemimpin daerah. Meskipun<br />
ruang lingkup kebijakan nasional di Indonesia sangat mendukung secara umum,<br />
tidak konsistennya pelaksanaan kebijakan desentralisasi mengurangi dampak<br />
inovasi pemberian pelayanan. Kasus Jembrana dan Pemalang memberikan contoh<br />
dimana kebijakan kesehatan nasional dapat merugikan upaya yang potensial<br />
di daerah untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pelayanan bagi<br />
masyarakat miskin. BupatiBoalemo, yang memiliki antusiasme tinggi terhadap<br />
keputusan Pemerintah Pusat yang mengalihkan rekrutmen pegawai negeri,<br />
berupaya keras untuk memastikan bahwa proses rekrutmen PNS dilakukan<br />
setransparan mungkin. Satu tahun kemudian, Pemerintah Pusat menghentikan<br />
kebijakan tersebut. Banyak daerah memandang hal ini sebagai salah satu bentuk<br />
ketidak seriusan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan desentralisasi.<br />
70
3. Iklim Berusaha dan Investasi Pasca Diterapkannya<br />
Kebijakan Otonomi Daerah: Studi Kasus di Beberapa<br />
Kabupaten/Kota di Indonesia<br />
1.<br />
Pendahuluan<br />
Sistem pemerintahan yang sentralistis yang berjalan selama 32 tahun dianggap<br />
sebagai pemerintahan yang tidak kondusif bagi pembangunan regional. Kebijakan<br />
pembangunan pemerintah pusat telah menciptakan pola pembangunan yang<br />
seragam yang tidak memenuhi tuntutan lokal yang sangat bervariasi. Selain itu,<br />
kebijakan pembangunan selama itu telah menciptakan ketergantungan pemerintah<br />
daerah dan pejabatnya pada pola ”mohon petunjuk ke- dan menunggu instruksi<br />
dari pusat”. Pada gilirannya, pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas yang<br />
memadai untuk menciptakan kebijakan-kebijakan pembangunan yang mampu<br />
merespon kebutuhan lokal.<br />
Pemberlakukan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 1999 nampaknya<br />
mendapatkan reaksi berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lainnya.<br />
Sayangnya, banyak orang hanya melihat sisi negatif dari pemberian otonomi daerah.<br />
Pertama, otonomi dianggap melahirkan raja-raja kecil di daerah yang cenderung<br />
menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. Kewenangan yang diberikan oleh<br />
pemerintah pusat tidak berhasil diturunkan sampai ke masyarakat pada tingkat<br />
bawah (grassroot level) melainkan telah dibajak oleh elit-elit lokal (elite capture).<br />
Kedua, otonomi daerah dianggap telah membiakkan benih-benih baru yang<br />
kemudian menghasilkan pelaku-pelaku korupsi baru. Selama masa pelaksanaan<br />
otonomi daerah banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat baik eksekutif<br />
maupun legislatif daerah. Ketiga, otonomi daerah dianggap telah menghidupkan<br />
kembali semangat primordialisme antar daerah. Dalam kenyataan, memang,<br />
beberapa daerah mempraktikkan seleksi pegawai ataupun promosi jabatan atas<br />
dasar ikatan kedaerahan.<br />
Sementara itu, sisi positif otonomi tidak mendapatkan perhatian yang memadai.<br />
Memang, sisi negatif di atas banyak terjadi dalam praktik otonomi daerah yang<br />
secara efektif berlaku sejak 2001. Akan tetapi, sisi negatif selama berlangsungnya<br />
otonomi di tahap awal, semestinya harus dipahami sebagai fenomena transisi<br />
dan sebagai gejala yang wajar terjadi di negara manapun. Sebaliknya, hanya<br />
sedikit orang yang menyoroti aspek-aspek positif yang muncul bersamaan dengan<br />
pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Beberapa daerah dengan kewenangan<br />
yang ada telah melakukan banyak inovasi dengan menciptakan peraturanperaturan<br />
daerah yang diharapkan bisa memperbaiki pelayanan publik. Karena<br />
itu, tulisan ini akan menyoroti beberapa aspek positif dari pemberlakuan otonomi<br />
daerah, terutama dari sisi peningkatan inovasi oleh pemerintah daerah dalam<br />
71
memberikan pelayanan publik yang mendorong iklim berinvestasi lebih baik.<br />
Beberapa kasus akan diangkat untuk memberikan ilustrasi bagaimana perubahanperubahan<br />
positif tersebut terjadi di lapangan. Untuk mempertajam pembahasan,<br />
diskusi akan diarahkan pada kasus pembaruan yang dilakukan oleh Pemerintah<br />
Kabupaten Lebak. Proses pembentukan dan implementasi Kantor <strong>Pelayanan</strong><br />
Perijinan Terpadu dan Komisi Transparansi dan Partisipasi dikaji secara detil<br />
untuk menjadi pelajaran bagi daerah lain.<br />
2.<br />
Otonomi Daerah dan Pembangunan Lokal<br />
Ada banyak argumen positif terkait dengan penerapan desentralisasi dan otonomi<br />
daerah. Salah satu argumen penting dari pelaksanaan desentralisasi adalah bahwa<br />
desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya dan daya tanggap<br />
pemerintah. Efisiensi alokasi merupakan efisiensi ekonomi di mana pemerintah<br />
akan mampu memproduksi segala yang dibutuhkan oleh konsumen. Desentralisasi<br />
kewenangan akan membawa pemerintah lebih dekat dengan warganya. Dalam<br />
hal ini, pemerintah daerah dianggap memiliki informasi yang lebih baik mengenai<br />
preferensi dari masyarakat lokal dibandingkan dengan pemerintah pusat. Karena<br />
akses kepada konstituen lebih tinggi, pejabat lokal diharapkan bisa meningkatkan<br />
responsivitasnya.<br />
Melalui desentralisasi, pemerintah daerah tidak hanya mampu merespon<br />
kebutuhan-kebutuhan warga, tetapi juga mampu mendorong warga untuk memiliki<br />
kemauan untuk membayar (willingness to pay for services) pelayanan publik yang<br />
sesuai dengan keinginan mereka; serta mendorong warga agar memiliki kemauan<br />
untuk mempertahankan pelayanan publik yang telah diberikan (maintain services<br />
that match their demand) utamanya jika mereka telah dilibatkan dalam proses<br />
pengambilan keputusan untuk penyediaan pelayanan publik tersebut.<br />
Selain itu, desentralisasi memungkinkan bagi para pejabat lokal lebih efektif<br />
melakukan monitoring dibandingkan pejabat pemerintah pusat. Pejabat lokal<br />
lebih mudah memperoleh informasi, sementara itu pejabat pemerintah pusat<br />
perlu menyediakan investasi lebih besar untuk memperoleh informasi yang sama.<br />
Karena itu, dari sisi efektivitas pembangunan, desentralisasi memberikan peluang<br />
yang besar agar program-program yang disusun benar-benar lebih mencerminkan<br />
aspirasi masyarakat. Selanjutnya, program yang telah disusun tersebut juga akan<br />
dengan mudah dimonitor oleh pejabat daerah yang memiliki kedekatan jarak<br />
sehingga bisa mengontrol day-to-day activities.<br />
Azfar, O., Kahkonen, S., Lanyi, A., Meagher, P., and Rutherford, D., 1999. ”Decentralisation,<br />
Governance and Public Services, The Impact of Institutional Arrangements: A Review of the<br />
Literature”, IRIS Working Paper: 3<br />
Andrews, M & Schroeder, L., 2003. ”Sectoral Decentralisation and Intergovernmental Arrangements<br />
in Africa”, Public Administration and Development, 23: 29-40.<br />
72
Prinsip-prinsip efisiensi ekonomi dalam pelayanan publik akan dicapai melalui<br />
desentralisasi kewenangan apabila memenuhi beberapa syarat berikut ini:<br />
1. Tuntutan lokal akan pelayanan berbeda antar wilayah.<br />
2. Tidak ada kaitan signifikan antara pelayanan yang diberikan dan skala ekonomi<br />
untuk memproduksi pelayanan publik yang disediakan.<br />
3. Tidak ada spillovers of costs and benefits dari pelayanan publik yang diberikan<br />
oleh suatu wilayah.<br />
4. <strong>Pelayanan</strong> publik yang diberikan akan disediakan melalui sebagian dari pajak<br />
atau retribusi daerah tersebut.<br />
5. Pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai untuk memberikan<br />
(deliver) pelayanan publik yang disediakan.<br />
6. <strong>Pelayanan</strong> publik tersebut dimaksudkan untuk redistribusi pendapatan 3<br />
Desentralisasi kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat telah merubah<br />
paradigma yang selama ini berjalan. Dengan kewenangan yang dimiliki, daerah<br />
memiliki ruang yang lebih longgar untuk membuat kebijakan-kebijakan terobosan.<br />
Kerjasama antardaerah dan kerjasama dengan pihak swasta untuk pembangunan<br />
daerah lebih mudah dilaksanakan. Kalau sebelumnya kerjasama antardaerah lebih<br />
menekankan pada instruksi pemerintah pusat, sekarang inisiatif bisa muncul dari<br />
bawah. Kehadiran pemerintah pusat hanya sebagai fasilitator yang memayungi<br />
kerjasama tersebut.<br />
3.<br />
Otonomi Daerah dan Inovasi <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong><br />
Sejak digulirkannya otonomi, banyak sekali pemerintah daerah yang telah<br />
melakukan berbagai pembaruan dalam pelayanan publik. Daerah-daerah banyak<br />
yang mulai menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak semata-mata<br />
bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan bagaimana<br />
mereka menarik investor agar mau menanamkan modalnya ke daerah mereka.<br />
Pemerintah Daerah Gorontalo, misalnya, pada 12 Mei 2006 justru mengeluarkan<br />
Peraturan Gubernur No 8 Tahun 2006 untuk membebaskan pungutan retribusi<br />
daerah.<br />
Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban pungutan serta<br />
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan akhir kebijakan tersebut<br />
adalah untuk meningkatkan minat usaha masyarakat, pertumbuhan ekonomi<br />
daerah dan pengembangan usaha produktif masyarakat. Selain itu, di beberapa<br />
tempat banyak sekali kita temukan contoh pelayanan publik baru yang<br />
mendapatkan respon sangat positif baik dari masyarakat maupun dari pemerintah<br />
daerah lainnya dan pemerintah pusat.<br />
3 Centre for Development Studies, Review of One Stop Shops in Indonesia, Bogor Agricultural<br />
University, 2004<br />
73
Studi yang dilakukan oleh Centre for Development Studies IPB menunjukkan<br />
bahwa beberapa daerah telah mengadopsi kebijakan untuk memberikan pelayanan<br />
perijinan dengan bentuk yang bervariasi. Pemerintah daerah berusaha memberikan<br />
pelayanan perijinan bisa semudah, semurah dan secepat mungkin.<br />
Beberapa daerah sudah memulai membentuk pelayanan terpadu sejak awal<br />
pelaksanaan otonomi daerah. Kota Malang, Kabupaten Gianyar, Kota Pare-Pare,<br />
dan Kabupaten Sidoarjo mengeluarkan <strong>Perda</strong> yang terkait dengan pelayanan<br />
perijinan sejak tahun 2001. Sragen dan Pontianak baru mulai pada tahun 2002.<br />
Sementara itu Lebak baru memulai pada tahun 2005 melalui <strong>Perda</strong> No 3/2005.<br />
Dilihat dari waktu pembentukannya, daerah tertentu memang melakukan adopsi<br />
dari daerah yang lain. Sidoarjo dan Sragen, misalnya, termasuk kabupaten yang<br />
sering dikunjungi sebagai tempat studi banding.<br />
Dilihat dari bentuk kelembagaan <strong>org</strong>anisasi, ada variasi antar daerah. Beberapa<br />
daerah mengambil bentuk Dinas (Malang, Sidoarjo), Kantor (Sragen, Gianyar,<br />
Pontianak, dan Lebak), dan Unit (Pare-Pare). Bentuk kelembagaan <strong>org</strong>anisasi yang<br />
berbeda-beda tersebut berimplikasi pada jumlah personil yang harus ditempatkan<br />
untuk memberikan pelayanan. Untuk skala Dinas, personil yang dibutuhkan<br />
sangat besar, yakni sekitar 60an orang. Sedangkan untuk ukuran Kantor dan Unit,<br />
kebutuhan personilnya jauh lebih sedikit, yakni berkisar antara 20-30 orang.<br />
Tabel 1: Daerah yang Membentuk <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu<br />
Daerah Bentuk Status Hukum Jumlah<br />
Staf<br />
Sragen Kantor <strong>Perda</strong> No 17/2002 dan No 15/2003 29<br />
Malang Dinas SK Walikota No 19/2001 62<br />
Gianyar Kantor SK Bupati No 759/1994; <strong>Perda</strong> No 4/2001 33<br />
Pontianak Kantor SK Walikota No 16/1999; <strong>Perda</strong> No 7/2002 25<br />
Pare-Pare Unit SK Walikota No 102/2001 20<br />
Sidoarjo Dinas <strong>Perda</strong> No 2/2001; SK Bupati No 16/2001 66<br />
Lebak Kantor <strong>Perda</strong> No 3/2005 20<br />
Sumber: sebagian diambil dari Centre for Development Studies, IPB, 2004<br />
74
Selain inovasi dalam bentuk pelayanan publik terpadu yang dimaksudkan untuk<br />
menarik investor, sejumlah daerah melakukan pembaruan dengan membentuk<br />
peraturan daerah mengenai transparansi informasi dan partisipasi. Transparansi<br />
informasi telah menjadi salah satu masalah yang mengakibatkan banyak kebijakan<br />
yang tidak berpihak kepada rakyat.<br />
Dalam dokumen Kebijakan Tata Kelola Asian Development Bank disebutkan bahwa<br />
”akses terhadap informasi yang akurat dan tepat waktu tentang perekonomian dan<br />
kebijakan pemerintah dapat menjadi vital bagi perumusan kebijakan oleh sektor<br />
swasta.” Transparansi diperlukan agar masyarakat memperoleh akses informasi<br />
mengenai apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah. Perlu<br />
dipahami bahwa penguasaan informasi adalah sebagai bentuk dominasi kekuasaan<br />
oleh pihak yang memiliki informasi terhadap mereka yang kurang memiliknya.<br />
Selama ini, penguasaan informasi sangat didominasi oleh Pemerintah (executive).<br />
Pihak legislatif yang seharusnya memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol<br />
tidak memiliki kemampuan cukup karena akses terhadap informasi sangat lemah.<br />
Pada kondisi seperti ini, peran yang dimainkan oleh lembaga legislatif menjadi<br />
sangat kurang. Lebih dari itu, di tingkat masyarakat, akses terhadap informasi juga<br />
sangat lemah. Ketika legislatif tidak bisa bekerja dengan maksimal dan masyarakat<br />
tidak bisa memberikan masukan terhadap wakil rakyatnya, Pemerintah bekerja<br />
dalam kondisi yang tidak terkontrol.<br />
Sementara itu, partisipasi diperlukan agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah<br />
menjadi legitimate. Partisipasi masyarakat untuk setiap kebijakan publik adalah<br />
proses mengekspresikan gagasan sekaligus menyalurkan keluhan terhadap<br />
pelayanan pemerintah yang dianggap kurang memuaskan. Sarana partisipasi<br />
dimaksudkan agar masyarakat: bisa didengar (to be heard), bisa dipahami (to be<br />
understood), bisa dihormati (to be respected), bisa mendapatkan penjelasan (an<br />
explanation), bisa mendengarkan permintaan maaf (an apology) dari pemerintah<br />
dan bisa mendapatkan informasi mengenai perbaikan (remedial actions) atas<br />
kesalahan yang sudah dilakukan oleh pemerintah.<br />
Daerah-daerah yang telah mengeluarkan <strong>Perda</strong> tentang transparansi dan<br />
partisipasi antara lain: Kabupaten Solok (<strong>Perda</strong> No 5 Tahun 2004), Kota Gorontalo<br />
(<strong>Perda</strong> No 03 Tahun 2002), dan Kabupaten Lebak (<strong>Perda</strong> No. 6 Tahun 2004).<br />
Dalam praktik, ternyata tidak semua daerah bisa melaksanakan <strong>Perda</strong> tersebut<br />
secara konsisten. Sementara itu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan<br />
Kota Yogyakarta saat ini sedang menunggu penggodokan Raperda Transparansi<br />
Informasi dan Partisipasi yang sudah diserahkan ke DPRD. Naskah akademik<br />
sudah disusun dan disosialisasikan kepada berbagai stakeholders. Raperda yang<br />
disusun atas dasar naskah akademik juga sudah disosialisasikan baik kepada<br />
eksekutif maupun legislatif.<br />
75
4.<br />
Studi Kasus Kabupaten Lebak<br />
Lebak adalah sebuah kabupaten miskin yang ada di ujung barat Pulau Jawa.<br />
Dulu ketika masih bagian dari Provinsi Jawa Barat, Lebak menduduki ranking<br />
24 dari 24 kabupaten yang ada. Ketika 4 kabupaten dan 2 kota memisahkan diri<br />
dan membentuk Provinsi Banten, Lebak tetap berada pada urutan terakhir. PDRB<br />
per kapitanya hanya sebesar Rp 3.174.960,00 pada tahun 2002. Sebuah angka<br />
yang jauh dibandingkan dengan Kota Tangerang yang besarnya Rp. 15.260.365,00,<br />
apalagi dengan Kota Cilegon yang besarnya Rp 30.499.086,00. Menurut Drs. Robert<br />
Chandra, MPP yang menjabat Sekretaris Bappeda Kabupaten Lebak, dari 300 desa<br />
yang ada, sebanyak 148 adalah dalam kategori Desa Tertinggal .<br />
Untuk mengejar ketertinggalan karena kemiskinan yang melilit masyarakat Lebak,<br />
Pemerintah Daerah Lebak berusaha memperbaiki berbagai kebijakan pembangunan.<br />
Upaya itu akan diwujudkan melalui paradigma baru visi pembangunannya, yakni:<br />
”Kabupaten Lebak Menjadi Daerah yang Menarik untuk Berinvestasi pada tahun<br />
2009”. Visi tersebut diterjemahkan ke dalam misi: ”Mewujudkan Lebak sebagai<br />
daerah yang kondusif dalam berinvestasi untuk percepatan pembangunan dalam<br />
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat berlandaskan iman dan taqwa”. Untuk<br />
itu, sejumlah terobosan telah dilakukan:<br />
1. pembangunan infrastruktur dasar penunjang investasi seperti jalan, air bersih,<br />
listrik dan telekomunikasi<br />
2. efektivitas sistem dan prosedur pelayanan perijinan (tepat waktu dan biaya<br />
jelas)<br />
3. penerapan kaidah-kaidah tata pemerintahan yang baik seperti transparansi,<br />
partisipasi dan akuntabilitas.<br />
Realisasi tersebut dilakukan antara lain dengan pembangunan infrastruktur jalan<br />
yang rusak agar memberikan kemudahan bagi investor. Saat ini kondisi jalan di<br />
Lebak 72,98% dalam kondisi rusak (666.06 Km) dan hanya 27,02% (912,7 Km) dalam<br />
kondisi baik. Pemerintah Lebak juga membangun Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan<br />
Terpadu untuk mempermudah proses perijinan yang selama ini dianggap sebagai<br />
penghambat utama masuknya investor. Bersamaan dengan itu, Pemerintah Lebak<br />
juga membentuk Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) agar bisa mendorong<br />
terciptanya pembuatan dan implementasi kebijakan-kebijakan daerah yang baik.<br />
5.<br />
Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu<br />
5.1 Proses Pembentukan<br />
Awalnya Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu (KPPT) dibentuk melalui Surat<br />
Keputusan Bupati pada 31 Desember 2004. Melalui <strong>Perda</strong> No 3 Tahun 2005<br />
yang disahkan pada 28 Juni 2005 Pemerintah Kabupaten Lebak mempertegas<br />
keberadaan KPPT. Sebelum dibentuk, Pemerintah Kabupaten Lebak menempatkan<br />
seorang stafnya selama 2 minggu di Kabupaten Sragen untuk belajar bagaimana<br />
menerapkan pelayanan perijinan terpadu. Setelah itu, Pemerintah Lebak kembali<br />
76
mengirim 2 stafnya untuk belajar selama 1 minggu. Beberapa anggota DPRD<br />
juga pernah melakukan studi banding ke Sragen. Dari pengalaman tersebut,<br />
Kabupaten Lebak mengadopsi pelayanan perijinan terpadu. KPPT dibentuk untuk<br />
menyederhanakan perijinan yang sebelumnya terpencar-pencar di 8 (delapan) dinas<br />
sektoral. Dengan model perijinan yang lama, seseorang harus mendatangi instansi<br />
sebanyak 3-5 untuk menyelesaikan satu perijinan. Dengan KPPT, kepastian<br />
waktu, biaya dan persyaratan lainnya yang dulunya kurang jelas, sekarang telah<br />
dipertegas melalui ketentuan yang sudah diinformasikan secara jelas kepada para<br />
pengusaha.<br />
Dengan pembentukan KPPT, visi Kabupaten Lebak diterjemahkan melalui<br />
pelayanan perijinan terpadu yang bervisikan ”Handal dan Profesional dalam<br />
<strong>Pelayanan</strong> Perijinan”. Adapun misi pelayanan perijinan terpadu tersebut adalah:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
meningkatkan kualitas pelayanan perijinan<br />
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui pelayanan<br />
perijinan<br />
meningkatkan citra aparatur pemerintah dengan memberikan pelayanan yang<br />
mudah, cepat, aman dan transparan; dan<br />
meningkatkan kompetensi dan profesionalisme SDM di bidang perijinan.<br />
5.2 Penyiapan Sumber Daya Manusia<br />
Untuk memberikan pelayanan yang baik, faktor sumber daya manusia merupakan<br />
hal yang sangat penting. Kepala KPPT yang baru adalah pegawai yang awalnya<br />
dikirim ke Sragen untuk belajar tentang pelayanan perijinan. Selanjutnya, sebagai<br />
kepala KPPT dia diberikan kewenangan yang memadai untuk menentukan SDM<br />
yang dibutuhkan untuk melayani publik. Penentuan personil yang akan melayani<br />
di KPPT dianggap sangat krusial sehingga perlu seleksi secara hati-hati dan<br />
mendapatkan yang terbaik. Karena mengintegrasikan 8 dinas secara bersamasama,<br />
personil yang ditugaskan diambil yang terbaik dari masing-masing dinas.<br />
Saat ini jumlah personil KPPT sebanyak 20 orang. Dengan jumlah personil tersebut<br />
mereka harus melayani perijinan yang jumlahnya sebanyak 14 jenis. Mereka juga<br />
harus melakukan sosialisasi ke daerah-daerah di Kabupaten Lebak.<br />
Dalam memberikan pelayanan, personil KPPT menampilkan diri secara berbeda<br />
dibandingkan dengan personil pegawai Pemda pada umumnya. Mereka tidak<br />
memakai seragam birokrasi Pemda yang berwarna coklat-coklat, melainkan<br />
berbaju putih lengan panjang dan berdasi. Dengan penampilan tersebut diharapkan<br />
merubah paradigma pelayanan yang mereka terapkan dari yang ingin dilayani<br />
menjadi yang selalu melayani. Karena mereka banyak melayani dunia swasta,<br />
maka citra sebagai pelayan publik lebih kuat daripada citra sebagai penguasa.<br />
Bagaimana dengan insentif personil? Sebelum diberlakukan KPPT dengan<br />
pelayanan yang transparan, pada umumnya para pegawai bisa mendapatkan<br />
tambahan pendapatan melalui pungutan-pungutan tidak resmi. Mereka menjadi<br />
sangat rentan terhadap godaan apabila tidak ada insentif pengganti. Menurut<br />
77
Kepala KPPT, seluruh staf di KPPT dan pimpinan memperoleh tambahan<br />
penghasilan dalam bentuk insentif pelayanan. Kepala mendapatkan Rp 450 ribu,<br />
eselon IV mendapatkan Rp 350 ribu dan pelaksana memperoleh Rp 250 ribu. Ketika<br />
saya tanyakan apakah insentif sebesar itu cukup aman dari godaan ”amplop tak<br />
resmi” yang mungkin diberikan oleh mereka yang ingin mendapatkan pelayanan,<br />
mereka mengatakan bahwa tambahan uang tersebut walaupun tidak terlalu besar<br />
sudah bagus. Karena uang itu betul-betul diperoleh secara resmi, mereka juga<br />
merasa nyaman dalam menggunakannya.<br />
5.3 <strong>Implementasi</strong> dan Hasil<br />
Mengukur dampak pelayanan memang tidak bisa langsung. Faktor yang<br />
menentukan berinvestasi bersifat multidimensional. Akan tetapi adalah sangat<br />
penting untuk melihat bagaimana kepastian pelayanan itu sendiri. Tabel 2 di<br />
bawah menunjukkan berbagai jenis ijin yang diberikan oleh KPPT beserta dengan<br />
lama waktu penyelesaian untuk masing-masing jenis ijin. Menurut Kepala<br />
KPPT, ijin-ijin yang dikeluarkan pada umumnya diputuskan di tingkat KPPT.<br />
Hanya perijinan tertentu saja yang memerlukan persetujuan dari Bupati Lebak.<br />
Misalnya, untuk pendirian SPBU maka KPPT harus meminta persetujuan dari<br />
Bupati apakah diijinkan atau tidak. Dengan demikian perijinan yang dijanjikan<br />
waktunya sebagaimana tertulis dalam brosur bisa betul-betul dilaksanakan sesuai<br />
dengan waktunya. Kalau semua perijinan bisa diproses dengan cepat, diharapkan<br />
Lebak menjadi daerah yang kondusif bagi investor dalam negeri maupun asing.<br />
Tabel 2: Jenis dan Waktu <strong>Pelayanan</strong> Perijinan di Kabupaten Lebak<br />
No. Jenis Ijin Lama Penyelesaian<br />
1. Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) 7 Hari<br />
2. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 12 Hari<br />
3. Ijin Tempat Usaha (SITU)/Ijin Gangguan (SIGA) 6 Hari<br />
4. Ijin Usaha <strong>Perda</strong>gangan (SIUP) 6 Hari<br />
5. Tanda Daftar Perusahaan 6 Hari<br />
6. Tanda Daftar Gudang 6 Hari<br />
7. Tanda Daftar Industri (TDI)/Ijin Usaha Industri (IUI) 6 Hari<br />
8. Ijin Pertambangan Umum 15 Hari<br />
9. Ijin Penebangan Kayu 7 Hari<br />
10. Ijin Pengusahaan Sarang Burung Walet 7 Hari<br />
11. Ijin Kesehatan 15 Hari<br />
12. Ijin Reklame 6 Hari<br />
13. Ijin Kepariwisataan 7 Hari<br />
14. Ijin Usaha Jasa Konstruksi 7 Hari<br />
Sumber: wawancara dan brosur KPT Kabupaten Lebak 2006<br />
78
Sebagai sebuah kabupaten kecil, Lebak memiliki potensi penanaman modal<br />
bagi investor berupa pertanian, peternakan dan perhutanan/perkebunan. Akan<br />
tetapi, sampai dengan 17 Juli, ijin yang dikeluarkan pada tahun 2006 mencapai<br />
sebanyak 4.488 buah. Dengan asumsi bahwa masih ada separuh waktu dari Juli<br />
sampai Desember, diperkirakan capaian sampai akhir tahun sekitar 9.000 buah<br />
ijin. Ini berarti bahwa jumlah pelayanan per staf dalam setahun adalah 450. Dari<br />
sisi pendapatan, sampai dengan 31 Mei 2006 KPPT telah berhasil mengumpulkan<br />
Rp 1.252.420.525 atau sebesar 75% dari total target setahun yang besarnya Rp<br />
1.668.965.000.<br />
Bukan tidak mungkin bahwa kemudahan pelayanan yang diberikan justru<br />
meningkatkan PAD jauh lebih banyak. Kontribusi KPPT atas dasar target<br />
penerimaan terhadap PAD adalah sebesar 6%. Kalau sisa 6 bulan berikutnya bisa<br />
memperoleh hasil yang sama, maka kontribusi KPPT bisa mencapai 11% (total<br />
target PAD untuk Tahun Anggaran 2006 adalah: Rp 29.278.760.000). Angka ini bisa<br />
dibandingkan dengan daerah lainnya yang juga menerapkan pelayanan perijinan<br />
terpadu: Gianyar (5,5%); Malang (13,5%), Pare-pare (7,3%), Pontianak (10,3%) dan<br />
Sragen (3,4%).<br />
Tabel 3: Laporan Realisasi Pendapatan Retribusi<br />
Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak s/d 31 Mei 2006<br />
No. Uraian Target Realisasi Persentase<br />
1. Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) 1.000.000.000 915.174.425 91,52%<br />
2. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 300.000.000 57.429.250 19,14%<br />
3. Ijin Gangguan (SIGA) dan Ijin Tempat Usaha (SITU) 95.215.000 78.018.500 81,94%<br />
4. Surat Ijin Usaha <strong>Perda</strong>gangan (SIUP) 28.900.000 30.550.000 105,71%<br />
5. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 17.800.000 11.071.400 62,20%<br />
6. Tanda Daftar Gudang (TDG) 2.300.000 450.000 19,57%<br />
7. Tanda Daftar Industri (TDI) dan Ijin Usaha Industri (IUI) 5.000.000 2.425.000 48,50%<br />
8. Ijin Pertambangan Umum<br />
Iuran Tetap Pertambangan Umum<br />
Pencadangan Wilayah Pertambangan Umum<br />
13.000.000<br />
19.000.000<br />
22.000.000<br />
16.450.000<br />
27.858.500<br />
16.500.000<br />
126,54%<br />
146,62%<br />
75,00%<br />
9. Surat Ijin Jasa Konstruksi (SIUJK) 5.000.000 4.700.000 94,00%<br />
10. Ijin Pengusahaan Sarang Burung Walet 25.750.000 29.250.000 113,59%<br />
11. Ijin Penebangan Kayu 125.000.000 59.093.450 47,27%<br />
12. Ijin Kesehatan 10.000.000 3.450.000 34,50%<br />
Jumlah Retribusi 1.668.965.000 1.252.420.525 75,00%<br />
Sumber: Pemerintah Kabupaten Lebak 2006<br />
79
6.<br />
Komisi Transparansi dan Partisipasi<br />
6.1 Proses Pembentukan<br />
Keinginan berbagai pihak di Kabupaten Lebak yang difasilitasi oleh Initiative<br />
for Local Governance Reform (ILGR) telah menghasilkan diskusi panjang<br />
untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Setelah melalui sosialisasi dan<br />
penggalangan opini melalui talkshow di radio dan publikasi di media cetak, maka<br />
terbentuk Forum Multi Stakeholder (FMS) yang diketuai oleh Drs. H. Ikhwan<br />
Hadiyyin, MM. FMS adalah gabungan dari berbagai komponen: PNS, anggota<br />
DPRD, wartawan, mahasiswa, tokoh LSM, masyarakat, aktivitas perempuan dan<br />
lain-lain, yang kesemuanya terdiri atas 17 orang yang dibagi menjadi 3 kelompok<br />
kerja (Pokja): Pokja Transparansi dan Partisipasi; Pokja Analisis Partisipasi<br />
Kemiskinan; dan Pokja Persaingan Usaha.<br />
Pokja Transparansi dan Partisipasi merupakan yang paling dinamis dan mampu<br />
melahirkan usulan kongkrit. Pada tahapan berikutnya, Pokja ini berhasil menyusun<br />
naskah akademik rancangan perda transparansi yang kemudian diajukan ke DPRD.<br />
Selanjutnya, DPRD membuat panitia khusus (Pansus) untuk membuat Raperda<br />
Transparansi yang dilanjutkan dengan diskusi publik untuk memperoleh masukan<br />
dari berbagai pihak. Pada 1 Juni 2004 DPRD berhasil mengesahkan gagasan tadi<br />
menjadi <strong>Perda</strong> Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan partisipasi dalam<br />
pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak.<br />
Dari proses tersebut nampak sekali bahwa upaya penciptaan good governance<br />
hanya mungkin kalau ada kemauan politik dari semua pihak. Dari wawancara<br />
dengan berbagai responden, awalnya memang muncul krontroversi mengenai<br />
4<br />
perlu tidaknya perda semacam itu. Berharap langsung dari birokrasi Pemda<br />
untuk memulai rasanya agak sulit karena tidak semua aparat birokrasi memiliki<br />
persepsi yang berbeda mengenai transparansi.<br />
5 <br />
Proses kebijakan publik dan penguasaan informasi seringkali masih merupakan<br />
barang mewah yang dimiliki oleh pejabat publik. Memberikan sebagian informasi<br />
dan melibatkan partisipasi kepada publik sering dipandang sebagai hilangnya<br />
privilege bagi sebagian kalangan anggota DPRD yang tidak paham. 6<br />
6.2 Struktur dan Sumber Daya<br />
Sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai pemantau, pengawas,<br />
fasilitator dan mediator berkenaan dengan penerapan <strong>Perda</strong> No. 6 Tahun 2004 dan<br />
dilantik pada 12 September 2005, KTP memiliki personalia yang berasal dari para<br />
aktivis. Mereka diseleksi dari calon sebanyak 152 orang pelamar yang kemudian<br />
4 Wawancara dengan Sekretaris Bappeda Kabupaten Lebak, 6 Juni 2006.<br />
5 Wawancara dengan Ketua Fraksi PDIP, anggota Fraksi PKS dan anggota Fraksi PKB, 7 Juni 2006.<br />
6 Lihat “Buah <strong>Perda</strong> No. 6 Tahun 2004 Seharga Rp 18 milyar”, Lebak 1928.<br />
80
disaring melalui wawancara dan pembuatan makalah. Dari 40 orang yang tersaring<br />
dipilih 10 orang nama untuk diusulkan kepada DPRD. Nama-nama tersebut<br />
kemudian dipanggil untuk menjalani fit and proper test, yang nantinya akan<br />
diambil 5 orang untuk diusulkan dan ditetapkan oleh Bupati.<br />
Personalia KTP tersebut dibagi dalam lima jabatan: Ketua, Sekretaris merangkap<br />
pejabat Bidang Hukum dan Tata Pemerintahan, Pejabat Bidang Ekonomi<br />
Pembangunan merangkap anggota, Pejabat Bidang Pendidikan dan Kesejahteraan<br />
merangkap anggota dan Pejabat Bidang Keuangan dan Perijinan merangkap<br />
anggota. Masing-masing pengurus memiliki wilayah yang menjadi tanggungjawab<br />
mereka. Para pengurus KTP tersebut juga didukung oleh 6 PNS dan 3 tenaga kerja<br />
sukarela (Sudi 2006). Untuk menunjang kegiatan operasional, KTP mendapatkan<br />
dana dari APBD sebesar Rp 250 juta per tahun. Karena KTP bukan sebuah dinas,<br />
maka anggaran yang diberikan oleh APBD masih menempel di Bagian Hukum<br />
Pemda Lebak. Anggaran tersebut disamping untuk menggaji pengurus yang terdiri<br />
atas 5 orang, juga dipergunakan untuk kegiatan operasional seperti sosialisasi<br />
baik di tingkat kecamatan maupun desa. Dengan keterbatasan anggaran serta<br />
personalia, sampai saat ini KTP baru memberikan sosialisasi ke 23 kecamatan.<br />
Sementara itu sosialisasi di tingkat yang lebih rendah baru menjangkau 10 desa.<br />
Walaupun anggaran masih kecil untuk sebuah KTP dengan beban yang sangat<br />
besar, dukungan Bupati H. Mulyadi Jayabaya maupun anggota DPRD serta<br />
masyarakat menjadi sebuah dorongan semangat bagi para pengurus KTP. Dalam<br />
berbagai wawancara dengan birokrat, anggota DPRD maupun warga masyarakat,<br />
nama KTP tidak pernah luput dalam perbincangan yang mengesankan bahwa<br />
mereka bangga dengan keberadaan lembaga tersebut. Namun demikian, bukan<br />
berarti keberadaan KTP tanpa tantangan. Sebagian anggota masyarakat masih<br />
mempertanyakan kelangsungan KTP itu sendiri. Mungkinkah KTP cukup<br />
independen ketika penganggarannya juga tergantung dari Pemda? Mereka juga<br />
khawatir KTP menjadi lembaga yang sekedar sebagai tukang back up berbagai<br />
kebijakan Pemda Lebak; atau KTP hanya bisa memilah dan memilih untuk<br />
kepentingan penguasa; atau KTP hanya menunggu laporan arus dari bawah tetapi<br />
tidak bersikap pro aktif.<br />
6.3 <strong>Implementasi</strong> dan Efektivitas<br />
Bagaimana sebetulnya efektivitas KTP? Jawaban untuk itu dapat dilihat dari 2<br />
indikator: pertama, bagaimana respon instansi Pemda terhadap isu transparansi.<br />
Selanjutnya kedua, bagaimana masyarakat memanfaatkan lembaga yang ada untuk<br />
menyampaikan keluhan mengenai persoalan pemerintahan dan pembangunan.<br />
Dalam kaitannya dengan respon Pemda, pejabat Pemda Lebak ternyata lebih<br />
welcome kepada warga yang ingin mendapatkan informasi. Secara umum, para<br />
pejabat lebih mudah ditemui dan dengan senang memberikan pelayanan kepada<br />
81
tim peneliti. Itu terjadi bukan hanya pada level birokrasi, melainkan juga para wakil<br />
rakyat yang duduk di DPRD Lebak. Beberapa kali saya mencoba bertemu dengan<br />
pejabat birokrasi. Di Bappeda saya bisa langsung bertemu dengan Sekretaris<br />
Bappeda dan melakukan wawancara selama 1,5 jam. Ketika saya masuk ke kantor<br />
Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu (KPPT) saya langsung bisa wawancara<br />
dengan Kepala Kantor tersebut. Begitu juga ketika saya bertemu dengan pejabat<br />
di Bawasda, Kepala Kantornya langsung bersedia diajak wawancara selama 1 jam<br />
lebih. Di wilayah DPRD, saya langsung bisa bertemu dengan 2 orang anggota untuk<br />
memberikan informasi seputar pelayanan publik di Lebak. Keterbukaan tersebut<br />
tentu saja tidak lepas dari pengaturan dalam <strong>Perda</strong> tersebut dimana seseorang<br />
yang dengan sengaja mempersulit pemberian informasi akan diancam hukuman<br />
maksimal 5 tahun atau denda maksimal sebesar 5 juta rupiah.<br />
Kehadiran KTP juga cukup mendapatkan respek dari pejabat lainnya. Dengan<br />
berbekal kewenangan yang mereka miliki, anggota KTP dengan mudah<br />
memperoleh data yang dibutuhkan untuk klarifikasi dan verifikasi atas keluhan<br />
yang diajukan oleh warga masyarakat. Banyak sekali contoh masalah yang muncul<br />
dan memerlukan data dari berbagai instansi yang ada di daerah. Kasus penerima<br />
CPNS merupakan isu yang paling hangat dan belum selesai. Banyak sekali CPNS<br />
yang merasa proses rekrutmen tidak terbuka. Untuk kasus ini, pengurus KTP<br />
harus memperoleh data dan jawaban dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD)<br />
untuk diinformasikan kepada pemohon. Kasus yang lain menyangkut penggunaan<br />
Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT)<br />
yang seringkali tidak sesuai dengan yang digariskan oleh Pemerintah. Selain itu,<br />
masalah-masalah pembangunan seperti sekolah, jalan dan pasar yang dianggap<br />
menyimpang dari ketentuan juga menjadi keluhan yang datang dari warga<br />
masyarakat (lihat Tabel 4 dan Tabel 5).<br />
Dari kriteria yang kedua, yakni respon masyarakat, juga sangat tinggi. Dari<br />
catatan buku tamu, pada bulan Mei terdapat sebanyak sekitar 100 tamu yang<br />
mengunjungi KTP baik hanya untuk mengenal KTP maupun mengadukan masalah<br />
mereka yang terkait dengan kebijakan Pemda. Kehadiran warga tersebut juga<br />
semakin meningkat. Untuk bulan Juni, sampai dengan 6 Juni 2006 sudah terdapat<br />
129 warga yang memanfaatkan lembaga tersebut. Anggota DPRD pun banyak<br />
yang merasa perlu untuk mengunjungi kantor KTP untuk memperoleh informasi<br />
mengenai problem yang dihadapi masyarakat. Mereka memanfaatkan aspirasi yang<br />
masuk ke KTP tetapi mungkin tidak masuk ke anggota DPRD. Kalau kita lihat<br />
respon birokrasi ataupun anggota DPRD dan juga masyarakat, keduanya sangat<br />
positip. Selain itu, keuntungan yang didapat dengan adanya <strong>Perda</strong> mengenai KTP<br />
tersebut adalah munculnya dukungan finansial dari Bank Dunia yang bersedia<br />
mengucurkan bantuan sebesar Rp 18 milyar. Kucuran dana tersebut tidak terlepas<br />
dari adanya jaminan transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan kebijakan<br />
publik.<br />
82
Tabel 4: Daftar Pengaduan dan Permohonan Informasi <strong>Publik</strong> pada Komisi Transparansi dan<br />
Partisipasi Kabupaten Lebak tahun 2005<br />
No. Permasalahan Tindakan KTP<br />
1. Kinerja Kepala Desa Dicatat sebagai bahan masukan<br />
2. Fresh Money Klarifikasi ke lapangan; klarifikasi ke Kades dan Camat Wr<br />
Gunung dan diteruskan ke Bupati<br />
3. Pembangunan SD Sindang Ratu III Kec.<br />
Panggarangan<br />
4. Stiker Penerima BLT: foto Bupati dan Ketua<br />
DPRD dan anggaran stiker<br />
Dicatat sebagai bahan masukan<br />
Diteruskan ke Bupati dan Ketua DPRD; Jawaban Bupati surat<br />
No. 463/919-Pem/2005 tanggal 22 Desember 2005 sudah<br />
diteruskan kepada pemohon<br />
5. Fresh Money Surat diteruskan ke Kabag Pemerintahan<br />
6. Keselarasan Data Gakin dari kabupaten<br />
Lebak/BPS<br />
Konsultasi dengan BPS Lebak<br />
7. Ganti Rugi Bangunan SLTP II Curugbitung Mempertemukan pihak-pihak terkait; hasil kesepakatan<br />
ditandatangani keduabelah pihak<br />
8. Ketidaktransparanan dalam pembangunan<br />
Dana BOS dan Rehabilitasi SD Muncang<br />
9. Penjualan Raskin yang dijual oleh 9 Kepala<br />
Desa kepada tengkulak beras di Pandeglang<br />
Kecamatan Cikulur Lebak<br />
10. Penjelasan mengenai Dana Fresh Money<br />
dan Perimbangan dan Raskin<br />
11. Pengaduan BLT Desa Majasari Kecamatan<br />
Sobang<br />
12. Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah<br />
Lebak<br />
Sumber: dokumen KTP 2005<br />
Dicatat sebagai bahan masukan<br />
Investigasi ke lapangan (Kecamatan, Polsek, Kelurahan);<br />
menyampaikan surat ke Bupati Lebak<br />
Investigasi ke lapangan (Kelurahan dan Warga)<br />
Mengadakan investigasi ke lapangan (Camat, Penerima BLT,<br />
Kades, Sekdes dan Warga)<br />
Diteruskan ke Bupati Lebak dan Bawasda<br />
83
Tabel 5: Daftar Pengaduan dan Permohonan Informasi <strong>Publik</strong> pada Komisi Transparansi dan<br />
Partisipasi Kabupaten Lebak tahun 2006<br />
No. Permasalahan Tindakan KTP<br />
1. Untuk mendapatkan penjelasan<br />
tentang pembangunan jalan dari<br />
dana fresh money dan PKPS BBM-IP<br />
di Desa Parakan Besi Kecamatan<br />
Bojongmanik<br />
2. Kepala Desa Gunung Kencana;<br />
realisasi dana tidak sesuai dengan<br />
pelaksanaannya<br />
3. Meminta informasi berkaitan<br />
dengan pembangunan Pasar<br />
Rangkasbitung<br />
4. Meminta informasi beras raskin<br />
karena tersendatnya distribusi<br />
beras Raskin di Curugbitung<br />
5. BLT BBM tahap I tidak tepat sasaran<br />
di Curugbitung<br />
6. Mengenai distribusi jatah susu<br />
untuk Balita<br />
7. Mengenai dana fresh money tahun<br />
2005 dan dana perimbangan tahun<br />
2005 di Wanasalam<br />
8. Permohonan RAB pembangunan<br />
SMPN II Curugbitung<br />
9. Data rencana kegiatan Gunung<br />
Kencana tahun 2005<br />
10. Mengenai pemotongan Dana BLT<br />
sebesar Rp 100.000,0 per oang<br />
dengan alasan pembuatan Komisi<br />
Transparansi dan Partisipasi dan<br />
Kartu Keluarga<br />
11. Permintaan harga ruko Pasar<br />
Rangkasbitung<br />
12. Rincian bestek untuk semua<br />
tipe bangunan pasar, RAB dan<br />
angsuran kredit<br />
Sumber: dokumen KTP 2006<br />
Meminta data PKPS BBM-IP kepada Dinas PU Cipta Karya (selaku<br />
kepala satker sementara) dan menyerahkannya ke pihak pemohon<br />
Meminta informasi ke Dinas PU Lebak dan memberikannya ke pihak<br />
pemohon<br />
Meminta informasi kepada Pemkab (Asekda II) kemudian<br />
disampaikan kepada pihak pemohon<br />
Menyarankan kepada pemohon agar mngkonfirmasi langsung<br />
ke Dolog. Apabila tidak ada apresiasi yang baik maka Komisi<br />
Transparansi dan partisipasi yang akan menindaklanjutinya<br />
Mengadakan investigasi ke lapangan, mengadakan konfirmasi ke<br />
BPS<br />
Menyarankan kepada pemohon agar mengkonfirmasi langsung<br />
ke pihak Puskesmas. Apabila tidak ada apresiasi maka Komisi<br />
Transparansi dan partisipasi yang akan menindaklanjutinya<br />
Meminta data ke bagian Pemerintahan Setda, kemudian<br />
memberikannya ke pihak pemohon<br />
Meminta RAB ke pihak komite sekolah dan memberikannya ke pihak<br />
pemohon<br />
Meminta informasi ke Dinas PU Lebak dan memberikannya ke pihak<br />
pemohon<br />
Mengadakan investigasi ke lapangan (kepada Gakin yang menerima<br />
BLT), mengkonfrontir dengan penjelasan Kepala Desa<br />
Meminta data yang terkait kepada pihak Pemkab (Asekda II)<br />
Meminta data yang terkait kepada pihak Pemkab (Asekda II)<br />
84
7.<br />
Catatan Penutup<br />
Otonomi daerah telah memberikan banyak kesempatan bagi pemerintah daerah<br />
untuk melakukan perubahan. Pembaruan yang telah dilakukan oleh beberapa<br />
daerah cukup memberikan harapan bahwa otonomi daerah menjanjikan adanya<br />
arah kecenderungan yang positif.<br />
Kasus Kabupaten Lebak menjadi pelajaran yang menarik. Sebagai sebuah<br />
daerah yang miskin, Lebak tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan<br />
PAD melalui pungutan-pungutan baik pajak daerah maupun retribusi daerah<br />
sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sebagian besar pemerintah daerah.<br />
Lebak membangun dengan melakukan banyak terobosan untuk meningkatkan<br />
pelayanan publik. Pembentukan KPPT dan KTP merupakan upaya yang pantas<br />
ditiru oleh daerah-daerah lainnya.<br />
Kemudahan, kecepatan, dan kemurahan pelayanan yang ditawarkan oleh KPPT<br />
akan menjadi daya tarik bagi dunia usaha. Di sisi lain, pengusaha juga memiliki<br />
sarana apabila dalam praktik pemberian pelayanan perijinan mengalami<br />
kelambatan. KTP sebagai lembaga penyalur aspirasi merupakan bagian penting<br />
yang bisa mendampingi proses kebijakan dan pelayanan publik yang dilakukan<br />
oleh dinas-dinas lainnya.<br />
Hasil dari KPPT maupun KTP memang belum bisa dilihat, utamanya kalau<br />
harus mengacu angka-angka kuantitatif seperti peningkatan investasi daerah,<br />
pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan pendapatan masyarakat. Yang penting<br />
untuk dipahami adalah bagaimana proses yang mengikuti inovasi pelayanan publik<br />
itu sendiri. Dalam kasus Lebak, baik KPPT maupun KTP terlihat bahwa keduanya<br />
dikelola secara serius.<br />
Perbaikan sistem pelayanan perijinan dicoba diaplikasikan dengan sungguhsungguh<br />
agar bisa memberikan kepastian pelayanan dan kepuasan masyarakat.<br />
KTP sebagai lembaga yang mengontrol proses kebijakan publik juga menunjukkan<br />
arah positif sebagaimana terlihat dari respon masyarakat untuk memanfaatkan<br />
lembaga tersebut dalam menyalurkan aspirasinya. Variasi isu dan kelompok<br />
yang menyampaikan keluhan menjadi bukti bahwa lembaga tersebut berfungsi<br />
efektif. Dengan bekerjanya lembaga-lembaga pemerintah daerah secara bersih,<br />
transparan dan akuntabel akan berujung pada terciptanya daerah yang kondusif<br />
bagi investasi.<br />
Yogyakarta, 18 Juli 2006<br />
85
4. Diskusi Sesi 1:<br />
<strong>Mengkaji</strong> <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> yang<br />
Berpihak pada Kepentingan Masyarakat<br />
Tanya Jawab<br />
◊ Pertanyaan<br />
1.<br />
Sofiati Mukadi dari Yayasan Bina Lingkungan Terpadu.<br />
Saya akan menanyakan kepada Bp. Agus Pramusinto.<br />
Dari hasil yang Bapak sampaikan mengenai problem investasi daerah apakah<br />
ini sudah merupakan urutan, yaitu kondisi sosial politik keamanan, banyaknya<br />
pungutan pajak, banyaknya pungutan liar, kualitas infrastruktur dan lamanya<br />
perijinan ini, apakah urutan-urutan itu merupakan kesulitan-kesulitan yang<br />
terbanyak?<br />
Karena sering kami ini para pekerja atau buruh menjadi korban daripada tuduhan<br />
investasi tidak masuk ke Indonesia ini, yaitu yang di tadi itu. Padahal saya kira<br />
itu adalah hasil, misalnya tadi Bapak sampaikan bahwa adanya pemogokan atau<br />
pun kerusuhan yang dilakukan oleh buruh dan pekerja, karena akibat saja. Kalau<br />
bapak bandingkan di Vietnam, saya juga pernah ke Vietnam dan ke Cina, mereka<br />
itu berbeda karena semangat kerjanya berbeda, karena jaminan sosial itu di jamin<br />
oleh pemerintah, sedangkan kalau buruh Indonesia itu dari upah itulah jaminan<br />
segala-galanya, hanya ada jamsostek sedikit dari pengusaha, tapi itupun sulitnya<br />
kewajiban membayar lebih dahulu tetapi mendapatkan fasilitas terakhir.<br />
Yang kedua adalah mengenai program pelayanan bagi masyarakat miskin. Bagi<br />
masyarakat miskin yang terbanyak adalah kaum wanita, kaum perempuan,<br />
maka untuk mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia daripada lembah<br />
kemiskinan itu adalah kita fokuskan juga kepada yang perlu menerimanya yang<br />
pada umumnya adalah perempuan, yang dimarginalisasikan baik buruh migran<br />
maupun pekerja-pekerja termasuk pedagang-pedagang di sektor informal, ini<br />
kami sangat minta perhatian, karena dalam perijinan yang kami lakukan untuk<br />
memberikan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan-perempuan ini ternyata<br />
dari pemerintah daerah itu banyak kesulitan yang kami hadapi, contohnya untuk<br />
pelatihan misalnya mereka yang drop out itu atau tidak bisa melanjutkan sekolah<br />
menjadi pekerja rumah tanggal di Indonesia saja ataupun baby-sitter ataupun<br />
nanies dsbnya, itu harus ada seperti mendirikan industri, ijin gangguan yang<br />
harganya di daerah wilayah Jakarta Selatan itu bernilai 18 s/d 25 juta.<br />
Itu lebih baik uang itu untuk mendidik mereka daripada masuk ke kantong. Dengan<br />
adanya variasi harga saja kita sudah mempertanyakan apakah ini selalu mereka<br />
itu tidak berpikir untuk jangka panjang, ya pejabat-pejabat ini, apalagi jangka<br />
86
menengah atau jangka panjang, tetapi mereka selalu berpikir untuk jangka pendek<br />
dan jangka imah. Jangka imah itu sudah bahasa kami adalah untuk rumah. Jadi<br />
tolong untuk perda-perda ini agar keperpihakan bagi yang miskin terutama bagi<br />
pendidikan jangan sampai disamakan dengan industri yang memang mengganggu<br />
lingkungan, limbahnya, ataupun suaranya, ataupun hasil debu-debunya. Tetapi<br />
kalau pendidikan kan tidak menghasilkan yang demikian, tetapi menghasilkan<br />
SDM yang berkualitas, insya Allah.<br />
Terimakasih dan Ass. Wr. Wb.<br />
2.<br />
Zulfa dari Pusat Studi Asia Pasifik, UGM.<br />
Saya mencermati beberapa perda yang keluar setelah diberlakukannya otonomi<br />
daerah. Saya menemukan banyak perda yang menurut saya berasal dari negeri<br />
antah berantah. Dikatakan demikan karena<br />
1. ketika masih menjadi rancangan masyarakat tidak tahu, tidak ada perbincangan<br />
publik yang mengarah pada hal-hal yang diatur oleh rancangan tersebut<br />
sehingga tahu-tahu ada perda itu dan soal sosialisasinya juga tidak banyak<br />
yang tahu;<br />
2. banyak perda yang tidak mencerminkan karakter lokal daerah itu sendiri,<br />
sehingga tentu saja menurut saya tidak dapat menyelesaikan problem nyata<br />
yang dialami masyarakat itu. Dua hal yang bisa dicontohkan, perda di<br />
Cilacap.<br />
a. tentang perda yang mengatur keindahan bahwa setiap orang itu diwajibkan<br />
memagar rumahnya setinggi 1.5 meter. Saya kira ini perda yang sangat tidak<br />
realistis, karena masyarakat Cilacap sendiri tidak semua mempunyai rumah<br />
ada yang tinggal numpang di pekarangan orang, ada yang bahkan tidak punya<br />
sama sekali dan kalau harus memagar rumahnya dengan pagar permanen<br />
setinggi 1.5 meter ukurannya dan beberapa teknis diatur dalam perda itu saya<br />
kira ini sangat tidak mungkin dan mencerminkan bias kelas sosial tertentu<br />
yang memang bisa melaksanakan itu dan hanya cocok untuk masyarakat kota<br />
sama sekali tidak mencerminkan karakter pedesaan.<br />
b. perda air, perda yang mengatur soal pengelolaan kualitas air dan<br />
pengendalian pencemaran air. Cilacap sebagaimana diketahui sangat rawan<br />
kekurangan air terutama pada musim kemarau, karena kondisi alamnya<br />
juga airnya banyak yang berkualitas buruk. Tapi perda itu sama sekali tidak<br />
mengatur jaminan terhadap masyarakat miskin terutama yang tidak bisa<br />
mengakses air bersih sehingga mereka nasibnya walaupun sudah ada perda<br />
itu tidak berubah soal kebutuhan air. Saya ingin bertanya kepada Ibu Maulina<br />
terkait dengan presentasi yang disampaikan bahwa inovator dari daerah-daerah<br />
yang mempunyai perda yang katakan relatif positif kebanyakan dari bupati<br />
atau pemerintah, saya ingin tanya apakah ada pengalaman yang kabupaten<br />
atau kota yang sekarang mempunyai perda yang relatif positif tetapi<br />
87
pada awalnya inovatornya bukan pemerintah, misalnya pemerintahnya<br />
sebenarnya punya inisiatif yang tidak cukup berpihak tapi karena partisipasi<br />
dan tekanan dari berbagai pihak kemudian perda itu menjadi perda yang<br />
relatif positif, saya ingin diberi pengalaman soal itu.<br />
Yang kedua soal dokumen mati. Banyak perda yang tidak bisa diimplementasikan<br />
sehingga menjadi dokumen mati. Bagaimana sebaiknya kita mensikapi ini, pertama<br />
kalau perda itu ternyata menguntungkan atau merugikan pihak-pihak tertentu<br />
semestinya dia menguntungkan pihak-pihak tertentu tetapi karena tidak bisa<br />
dilaksanakan itu menjadi tidak punya efek apa-apa, apakah ini harus dibatalkan<br />
atau dicuekin saja.<br />
Terimakasih.<br />
3.<br />
Muardi Roso Djatmiko dari LBBM Unisba Bandung.<br />
Saya terfokus pada pembicara terakhir. Tapi sebelumnya dari pembicara yang<br />
tadi mengemukakan pendapat terkesan banyak perda yang tidak berpihak pada<br />
kepentingan saya kira ini musti mendapatkan perhatian, oleh karena begini,<br />
saya kuatir mungkin 2 atau 3 perda bermasalah tetapi lalu dari 2 dan 3 tadi itu<br />
digeneralisir sehingga perda-perda banyak yang bermasalah yang tidak berpihak<br />
kepada masyarakat, ini saya pikir musti dikritisi hal tadi dan saya melihat tentang<br />
retribusi, sesungguhnya kalau itu dikemukan itu kan larinya juga ke arah PAD<br />
yang larinya juga bagaimana pengumpulan tadi itu ditujukan kepada kepentingan<br />
masyarakat setempat.<br />
Sepanjang perda itu tidak bertentangan dengan kebijakan dalam bentuk PP, ini<br />
musti dicermati betul. Saya kuatir bahwa forum besar seperti ini lalu kesimpulannya<br />
banyak perda yang tidak produktif untuk kepentingan masyarakat. Tentunya<br />
harus jeli kita menghadapi hal tadi.<br />
Tentang sumber daya alam dari pembicara terakhir. Sumber daya alam yang<br />
dimaksud itu yang mana, ini tentang hutan, pertambangan, minyak dan gas bumi,<br />
kebetulan saya tadi punya waktu banyak saya sempat baca makalah Ibu dan<br />
Bapak itu bias. Apa yang dimaksud sumber daya alam, hutan kah, minyak kah,<br />
pertambangan yang mana. Khusus tentang hutan ini ada 2 aturan. Untuk Jawa<br />
dan Madura pengaturannya berbeda dengan luar Jawa dan Madura, ini sudah<br />
ratusan tahun dan khusus Jawa dan Madura ini mempunyai peraturan khusus.<br />
Ini ada hal penting terkait sumber daya alam kiranya oleh panitia bisa dicatat<br />
sumber daya alam ini ada kontradiksi mendasar, konkrit antara Pasal 33 ayat 3<br />
dengan Pasal 18 ayat 5, terjadi atau saya sebutkan dua pasal yang tidak konsisten.<br />
Sumber daya yang satu dikuasai oleh negara, Pasal 33 ayat 3; sementara Pasal 18<br />
ayat 5, daerah mempunyai kekuasaan mengacu pada otonomi daerah yang seluasluasnya.<br />
Kalau didalam aturan dasar sudah tidak konsisten bagaimana<br />
88
akan tampil didalam PP maupun dalam bentuk peraturan daerah, pasti itu tidak<br />
konsisten. Paling tidak ini satu agenda yang kita perjuangkan bersama sehingga<br />
2 pasal ini kita bisa menjadikan konsisten demi produktivitas untuk negara kita.<br />
Saya pikir itu saja.<br />
Terimakasih.<br />
4.<br />
Eri dari Sanitasi Program.<br />
Kita bicara tema besarnya adalah public service for the poor. Pertama tadi saya<br />
setuju bahwa semua perda itu harus kena pada isu sasaran. Lalu kita tahu sasaran<br />
kita adalah the poor tapi dalam prakteknya kita tahu bahwa ada masyarakat miskin<br />
yang memiliki tanah dan ada juga yang tinggal di daerah-daerah yang ilegal.<br />
Disisi lain bahwa perda-perda itu nanti akan terkait dengan proses administrasi<br />
perencanaan dan pengelolaan.<br />
Pertanyaan saya ini sangat terkait dengan perbincangan yang sedang ada didalam<br />
program kami yaitu sanitasi, bagaimana perda-perda ini harus melayani kelompok<br />
sasaran yang ada di daerah ilegal, dari daerah-daerah yang seharusnya tidak boleh<br />
ditempati tapi ditempati, itu banyak sekali di daerah-daerah urban perkotaan.<br />
Bagaimana pelayanan publik ini harus sampai kepada sasaran yang pada daerahdaerah<br />
ilegal dalam kasus ini saya fokus kan pada pelayanan air bersih dan<br />
sanitasi.<br />
Terimakasih.<br />
5.<br />
Kurniawan dari Ombusman dan juga Peneliti, Lembaga Hukum HAM dan<br />
Demokrasi.<br />
Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kebetulan ini saya melihat dari<br />
penelitinya yang dari Jogya, saya melihat penelitiannya kenapa koq kita lebih<br />
condong kepada dampak-dampak atau inkonsistensi dari perda itu sendiri, tetapi<br />
tidak melihat bagaimana para pembuat undang-undang dalam hal ini legal drafter<br />
yang ada di daerah. Sementara padahal di tingkat Nasional pun legal drafternya<br />
juga mungkin juga masih sedikit, selama ini kita mungkin sering melihat siapa<br />
yang mengesahkan atau siapa yang membuat dan beberapa ahli tentang legal<br />
drafter disini biasanya merujuk pada ketentuan yang landasan yuridis daripada<br />
landasan filosofis ataupun landasan sosiologis dalam pembuatan legal drafting<br />
itu.<br />
<strong>Pelayanan</strong> publik di berbagai sektor, mungkin kesehatan, selama ini mungkin<br />
memang akses masyarakat kecil, masyarakat yang marginal susah untuk bisa<br />
menikmati pelayanan publik. Saya melihat adanya ketidakberpihakkan sendiri<br />
dari aparat pelayanan publik di daerah. Saya juga melihat sandaran dari pelayanan<br />
publik itu sendiri belum ada karena dalam hal ini RUU <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> yang<br />
89
kebetulan sedang hangat-hangatnya dibahas dan sudah dicanangkan oleh<br />
pemerintah tentang peningkat pelayanan publik sejak tahun 2004, tapi koq dalam<br />
seminar ini dalam hasil penelitian atau tulisan-tulisan dari para pemateri tidak<br />
melibatkan bagaimana posisi dari RUU <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> sendiri terhadap yang<br />
bisa dikaitkan dengan hasil penelitian tersebut.<br />
Demikian terimakasih<br />
1.<br />
◊ Jawaban<br />
Agus Pramusinto<br />
Memang agak sulit untuk melihat apakah ini tuntutan atau dampak sehingga<br />
pengusaha merasa bahwa kondisi sekarang ini memang harus berubah. Memang<br />
kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain jaminan sosial yang diberikan<br />
oleh pemerintah hampir kita katakan nol. Misalnya ada problem mengenai<br />
pengangguran itu harus menjadi tanggungjawab siapa, orang miskin jadi<br />
tanggungjawab siapa. Kalau pemerintah punya uang cukup untuk memberikan<br />
itu tentu saja ketika orang itu misalnya dipecat dari perusahaan tentu saja akan<br />
dengan mudah minta jaminan kepada pemerintah tetapi kita tidak memiliki itu.<br />
Jadi kalau misalnya saya bekerja kemudian perusahaan juga kira-kira mau<br />
efisiensi kemudian saya harus dipecat yaitu satu-satunya sumber hidup saya,<br />
sehingga saya mau tidak mau kemudian demonya ke perusahaan. Sebetulnya<br />
kalau pemerintah bisa mengambil alih sebagian social-security itu sendiri tentunya<br />
itu akan menjadi lebih baik. Memang banyak hal yang sudah ditarik ke pemerintah<br />
misalnya dalam bentuk PAD. Tadi ada ijin gangguan segala. Di Jawa Timur itu<br />
ijin gangguan bahkan sampai perusahaan besar itu membayar 80 juta sampai 150<br />
juta. Tetapi kalau kita melihat pak Djatmiko tadi, kenapa yang dilihat hanya yang<br />
negatif. PADkan akhirnya kembali ke masyarakat. Ini pertanyaan yang saya kira<br />
perlu dipertanyakan juga, karena memang retribusi-retribusi yang ditaruh oleh<br />
pemerintah daerah seringkali juga akhirnya hanya untuk kepentingan birokrasi.<br />
Contohnya saja, kalau dibandingkan dulu sebelum otonomi, itu anggaran yang<br />
digunakan untuk pembangunan itu masih 40%, tetapi setelah otonomi saya<br />
lihat dibeberapa daerah itu kurang dari 15%, artinya apa?, apa yang ditarik oleh<br />
pemerintah daerah itu hanya untuk kepentingan internal birokrasi, untuk gaji,<br />
untuk kesejahteraan birokrasi. Kalau kita lihat peraturan standard penggajian<br />
DPRD tahun 2001 dari situ kan gaji DPRD akan sangat tergantung dari PAD,<br />
semakin tinggi PADnya gajinya semakin tinggi. Artinya bahwa kalau kita meyakini<br />
bahwa PAD akan kembali ke masyarakat kenyataan itu masih ada bahwa artinya itu<br />
kembali untuk kepentingan birokrasi dan saya kira itu yang tidak kita inginkan.<br />
Yaitu contoh tadi misalnya kalau kita tarik uang retribusi dari rumah sakit, dari<br />
orang-orang sakit tetapi kemudian yang menikmati adalah anggota dewan dalam<br />
90
entuk kesejahteraannya meningkat, untuk beli jas, untuk beli asuransi kesehatan<br />
yang sebetulnya sudah dijamin yang lain tetapi masih menambah dengan tuntutan<br />
macam-macam. Saya kira itu saja, karena waktunya terbatas.<br />
2.<br />
Enny Nurbaningsih<br />
Pertanyaan mengenai perda yang proses tidak partisipatif. Saya kira kalau<br />
prosesnya mungkin sekali partisipatif. Karena kami dalam penelitian tidak melihat<br />
pada aspek proses pembuatan perda, tetapi yang kami lihat adalah bagaimana<br />
rumusan muatan didalam perda itu dan bagaimana pula implementasinya di<br />
lapangan apakah sesuai dengan apa yang terumuskan di dalam muatan perda.<br />
Tetapi dari beberapa FGD yang kami lakukan itu memang proses-proses yang<br />
harusnya partisipatif dan kemudian isinya aspiratif itu dalam kenyataannya<br />
memang masih jauh dari yang kita harapkan.<br />
Sebagai contoh ada salah satu perda mengenai retribusi sapi perah di salah satu<br />
daerah, itu yang sudah dibatalkan oleh pusat, itu tetap saja dijalankan oleh<br />
pemerintah daerah setempat, mereka beralasan bahwa toh masyarakat juga tidak<br />
ada yang bergejolak dengan adanya perda tersebut. Kemudian kami tanyakan<br />
kepada masyarakat, lha masyarakatnya juga tidak tahu kalau ada perda tentang<br />
hal itu. Jadi ini sebetulnya ada tidak kesinkronan antara apa yang diinginkan<br />
masyarakat kemudian apa yang dituangkan dalam regulasinya.<br />
Kemudian yang terkait dengan kondisi kemudian banyak perda-perda yang<br />
pada akhirnya menjadi dokumen mati, itulah real yang ada yang kita temukan<br />
didalam penelitian ini. Bahwa seperti tadi dikemukakan ada beberapa daerah<br />
yang kemudian perda partisipatif, kemudian ada perda yang terkait keindahan,<br />
kemudian di situ ada larangan menjemur pakaian sementara lahannya sangat<br />
sempit dan harus bikin pagar, itu ada di daerah penelitian kami juga. Dan itu<br />
kemudian tidak jalan, pemerintah ya biarkan saja. Sama dengan contoh di Yogya<br />
kalau saya bisa gambarkan ada perda PKL. Disitu ada tulisan disepanjang jalan<br />
“Dilarang berjualan <strong>Perda</strong> No.6 Tahun 2000”, dibawah itu juga ada tenda PKL.<br />
Ini menggambarkan sebetulnya buat apa bikin aturan kemudian kalau tidak<br />
ditegakan, itukan juga bagian dari pelecehan kepada pejabat publik sebetulnya yang<br />
menerbitkan aturan tersebut. Kemudian yang terkait dengan SDA. Sebetulnya<br />
didalam laporan kami cukup lengkap kami paparkan itu secara sederhana SDA itu<br />
apa saja yang terkait dengan Pasal 33 tentunya kita jabarkan disitu menyangkut air<br />
bumi dan udara sebetulnya. Kemudian kita lakukan identifikasi dari keseluruhan<br />
perda yang kita kumpul itu ternyata pengaturan terbesar memang terkait dengan<br />
pertambangan galian C, kemudian hutan. Yang terkait dengan hutan ini memang<br />
terus terang saja di daerah seperti di provinsi itu mengatur soal yang tadi saya<br />
katakan flora fauna itu isinya retribusi, kemudian ada lagi perda yang didalamnya<br />
itu sebetulnya duplikasi dari peraturan diatasnya bahkan keputusan menteri<br />
karena Tap 3/2000 tidak mengatakan ada tata urut keputusan menteri kemudian<br />
91
supaya tidak dikatakan bertentangan mereka caplok kemudian jadikan perda<br />
disitu. Inikan sebetulnya bukan itu yang dimaksudkan didalam pembentukan<br />
regulasi daerah. Apakah kemudian regulasi daerah itu masih memerlukan itu<br />
atau itu harus langsung dilaksanakan, karena keputusan menteri pun sebetulnya<br />
menjadi acuan didalam pembentukan perda sepanjang itu adalah bersifat<br />
pengaturan dan direvasi dari pengaturan yang lebih tinggi. Sehingga kalau kita<br />
mempermasalahkan aspek SDA, disini yang muncul memang didalam laporan<br />
kami, kami katakan nuansa sentralistiknya sangat tinggi karena apalagi dengan<br />
UU 32 mengatakan berbagai undang-undang sektoral itu seharusnya sudah mulai<br />
dilakukan pengharmonisasian dengan undang-undang otonomi daerah, tetapi<br />
sampai sekarang ya undang-undang kehutanan juga tetap jalan seperti ketentuan<br />
di dalam rezim yang lama sehingga sifat sentralistiknya muncul. Disinilah<br />
kemudian terjadi pertentangan didalam pembentukan-pembentukan perda yang<br />
terkait dengan SDA khususnya menyangkut hutan.<br />
Kemudian menyangkut pembentukan perda, apakah ini kesalahan pada legal<br />
drafting. Saya kira bukan semata-mata legal drafting yang menjadi fokus kesalahan,<br />
tetapi adalah karena dari awal tidak ada perencanaan. Itu kami tanyakan kepada<br />
anggota dewan ketika misalnya kami melakukan pelatihan apakah perencanaan<br />
dari bapak/ibu sekalian setelah duduk di kursinya ini ke depan didalam rangka<br />
membangun regulasi untuk otonomi daerah. Tidak ada satu pun mereka yang<br />
bisa menjelaskan kami harus melakukan apa. Demikian juga di tingkat eksekutif,<br />
kami juga pernah menanyakan, rencana seperti apa Bapak/ibu lakukan dengan<br />
adanya otonomi daerah, juga mereka masih ada kebingungan. Jadi saya kira<br />
memang menjadi suatu kemendesakan bagi kita sekarang ini mari kita rencanakan<br />
dengan baik sebenarnya kita mau melakukan apa dengan adanya kekuasaan baru<br />
ini. Kemudian bagaimana the art of drafting-nya, lha itu baru urusan berikutnya.<br />
Tetapi perencanaannya harus matang dulu, jangan sekarang bikin kemudian perda<br />
tentang retribusi pelacuran, besoknya bikin yang lain, ini kan ga nyambung. Ini<br />
gambaran juga bagian dari legislasi keseluruhan di negeri kita, bahwa di Jakarta<br />
ini undang-undang juga simpang siur, hari ini RUU APP, besok ganti lagi RUU<br />
BHP, besok lagi yang lain lagi, seakan-akan ini kacau sekali prosesnya, karena<br />
perencanaannya tidak jelas disitu.<br />
3.<br />
Maulina Cahya Ningrum<br />
Ada beberapa hal yang perlu saya luruskan, sintesis dari 9 studi kasus ini sendiri<br />
itu sebenarnya kami tidak menyoroti masalah perda tapi kami secara khusus<br />
mempelajari atau meneliti mengenai inovasi atau reformasi-reformasi yang<br />
dilakukan di tingkat daerah dan inovasi-inovasi ini memang secara langsung<br />
dipicu oleh atau diawali dengan proses desentralisasi. Jadi seperti tadi yang Bpk.<br />
Alit katakan saya perlu meluruskan mengenai masalah dampak desentralisasi<br />
terhadap timbulnya inovasi-inovasi yang bersifat lokal, itu sebenarnya mungkin<br />
bukan dampak negatif tetapi memang inovasi dan reformasi yang kami teliti itu di<br />
tingkat lokal atau di tingkat kabupaten kota.<br />
92
Dalam menjawab beberapa pertanyaan yang sekiranya berhubungan dengan apa<br />
yang saya paparkan, saya akan kembali kepada konteks inovasi atau reformasi<br />
jadi bukan kepada konteks perda, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin<br />
untuk memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan tersebut.<br />
Pertanyaan pertama dari Zulfa. Kalau Mba Zulfa itu difoldernya ada materi sintesis<br />
9 studi kasus di Indonesia, di halaman 21 akan temukan daftar lokasi berikut<br />
dengan inovator dan lengkap dengan penyandang dananya. Ada banyak sekali<br />
inovasi-inovasi dan reformasi yang bukan digagas, atau dirintis oleh pihak lokal,<br />
misalnya di Kabupaten Polman, SLCC yang disana itu merupakan program Unicef,<br />
dan di Kabupaten Pemalang sistem kupon bidan disana itu merupakan program<br />
Bank Dunia bekerjasama dengan Departemen Kesehatan, ada juga program di<br />
Kabupaten Lumajang “WSLIC-2” itu juga sebenarnya bukan program yang digagas<br />
oleh lokal, cuma yang kami teliti di sana adalah bagaimana daerah melaksanakan<br />
program-program tersebut dan peran pemimpin daerah baik di tingkat kabupaten<br />
kotanya atau bahkan hanya sampai di tingkat dusunnya itu sangat signifikan<br />
dalam pelaksanaan program ini.<br />
Dan kemudian saya akan mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lain,<br />
bahwa ketika kita melihat ada sekian banyak perda yang ternyata tidak bisa<br />
mengakomodir atau memfasilitasi kepentingan masyarakat atau lebih khususnya<br />
disini masyarakat miskin, saya ingin mencoba menunjukan dari studi-studi disini<br />
bahwa kita bisa melihat upaya alternatif atau upaya-upaya yang dilakukan<br />
masyarakat di daerah-daerah yang kalau misalnya Bapak/Ibu periksa ditingkat<br />
kemiskinannya itu sebagian besar dari lokasi studi kasus ini merupakan daerah<br />
yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional.<br />
Dan populasi masyarakat miskin di daerah tersebut itu juga otomatis tinggi.<br />
Tapi di tengah kondisi yang seperti itu mereka tetap bisa untuk memfasilitasi<br />
diri sendiri atau setidaknya berusaha, tentu saja dibutuhkan juga keterbukaan<br />
dari pihak pemerintah daerahnya seperti yang kita lihat di kasus Blitar. Ketika<br />
walikota Blitar pertama kali menerapkan program community block grant, atau<br />
ketika pertama kali beliau menjabat, itu beliau bukannya tidak menghadapi<br />
resistensi bahkan dari tubuh pemerintah daerahnya sendiri, cuma keinginan beliau<br />
atau kemampuannya untuk merubah pola pikir bahwa pemerintah itu itu harus<br />
mendengarkan masyarakat dan semua proses penerapan kebijakan itu seharusnya<br />
merupakan kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat, jadi prosesnya lebih<br />
ke menjaring aspirasi masyarakat itu sendiri. Kalau ternyata perda-perda yang<br />
ada sekarang itu masih belum bisa memfasilitasi masyarakat, solusinya apa?<br />
Masyarakat kemudian akan melakukan tindakan apa untuk mengatasi masalah<br />
itu? Itulah yang kami paparkan disini. Sembilan studi kasus ini memang<br />
bukan tentang perda, sekali lagi bukan tentang perda, ini tentang inovasi atau<br />
pembaharuan yang digagas ditingkat lokal yang ternyata bisa memberikan dampak<br />
positif dan memecahkan masalah-masalah yang timbul di lokasi tersebut.<br />
93
4.<br />
Tisnanta<br />
Saya menambahkan saja dari semuanya, kalau ada perda yang diusulkan bukan<br />
oleh DPRD maupun pemerintah daerah itu ada sebagai good practices di sini<br />
dari Lampung Barat yaitu Ka<strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung Barat No.18/2004<br />
tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan berbasis masyarakat.<br />
Ini merupakan sebuah perda yang dibuat dengan proses partisipasi publik ada<br />
mekanisme konsultasi publiknya, kemudian ada proses konsultasi publik di dalam<br />
sebuah mekanisme, kemudian proses ini melalui inisiatif DPRD menjadilah sebuah<br />
perda yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat dan beberapa kelompok<br />
masyarakat di dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Namun dari segi proses<br />
bagus, tetapi sampai hari ini saya menunggu impelementasinya belum kelihatan,<br />
itu perda.<br />
Demikian juga yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat dan beberapa<br />
kelompok masyarakat di dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Namun dari<br />
segi proses bagus, tetapi sampai hari ini saya menunggu impelementasinya belum<br />
kelihatan, itu perda. Demikian juga di Lampung Timur ada <strong>Perda</strong> No.3/2002, kalau<br />
di Lampung Barat tadi merupakan di fasilitasi atau inisiatornya itu adalah sebuah<br />
NGO yang namanya WATALA, di Lampung Timur ada juga yaitu perda No.3/2002,<br />
tentang rehabilitasi pesisir pantai dan laut dalam wilayah Lampung Timur. Pantai<br />
timur provinsi Lampung itu adalah pantai yang penuh dengan tadinya merupakan<br />
areal hutan bakau, namun ini banyak sekali rusak dan Lampung Timur itu<br />
mempunyai concern yang cukup tingggi untuk merehabilitasi areal hutan bakau<br />
yang sudah hancur tadi. Sedangkan implementasinya disini juga pada tingkatan<br />
perda ini cukup bagus, pada tingkatan implementasinya untuk Lampung Timur<br />
itu belum masif begitu, belum sebanding antara apa yang harus dikerjakan dan<br />
yang sudah dikerjakan.<br />
Kemudian dari penanya pertama Ibu yang mengemukakan bahwa perijinan tentang<br />
ketenagakerjaan. Di beberapa lokasi penelitian ada perda-perda yang mengatur<br />
tentang ijin ketenagakerjaan itu pada akhirnya dibatalkan oleh Mendagri. Seperti<br />
misalkan di Bandar Lampung ada <strong>Perda</strong> No.10/2004 tentang ketenagakerjaan,<br />
yang melahirkan enam jenis ijin, dan bahkan orang baru mau cari kerja saja sudah<br />
kena retribusi. Ini akhirnya dicabut, tetapi itu substansinya memang salah. Ada<br />
yang substansinya benar pada tingkatan implementasinya salah, yaitu perda<br />
terminal. <strong>Perda</strong> teriminal, karena setiap mobil itu lewat kecamatan, bikin talang<br />
di pinggir jalan tinggal ngasih karcis terus, tidak ada pelayanannya tetapi suruh<br />
bayar retribusi. Ketika dulu Fisal Tamin lewat sudah marah-marah, kemarin pak<br />
Hatarajasa lewat juga marah-marah, tapi sampai hari ini pun juga tidak berhenti,<br />
tetap ditarik.<br />
Ada banyak perda di provinsi Lampung khususnya yang saya tahu ada 16 perda yang<br />
dibatalkan oleh Mendagri, pemerintah pusat, tetapi itu tetap saja jalan. Karena<br />
pembatalan Mendagri itu harusnya diikuti dengan pencabutan, ada praktek yang<br />
94
aik di Kabupaten Lampung Barat itu ada 3 perda dibatalkan, yaitu perda tentang<br />
pengendalian penebangan dan peremajaan tanaman kelapa, kemudian perda<br />
tentang pajak haler, kemudian perda retribusi tandan buah segar kelapa sawit,<br />
dibatalkan dan itu pemerintah daerah langsung mencabut. Ini sebuah sikap yang<br />
responsif di Lampung Barat.<br />
Kemudian apakah semua perda jelek? Saya juga didalam penelitian ini kita juga<br />
menarik beberapa contoh-contoh yang baik. Ada beberapa contoh yang baik.<br />
Seperti di Kota Metro itu ada kepala dinasnya walaupun tidak ada peraturan<br />
bupati, tidak ada perdanya bikin safe guarding. Mekanisme keberatan yang<br />
pada umumnya konvensional sebagaimana dikemukakan oleh kawan peneliti di<br />
Jawa Tengah misalkan, di Kota Metro karena cukup responsif dan daya tawarnya<br />
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik itu tinggi, kepala dinas<br />
membuat safe guarding membuat tim yang isinya bidan-bidan yang sudah sepuh<br />
yang sudah tua yang bisa marah pada bidan-bidan muda pada ktenaga kesehatan<br />
yang masih muda untuk menasihati membantu orang miskin ketika bagaimana<br />
sih mendapatkan kartu Gakin jadi tidak hanya sekedar kotak saran masukan<br />
disitu kemudian dibuang.<br />
Ini merupakan sebuah contoh yang baik dalam mengawal pelayanan kesehatan<br />
bagi masyarakat miskin. Dari 10 kabupaten kota di provinsi Lampung ini hanya<br />
Lampung Tengah dimasa otonomi ini yang tingkat kemiskinannya turun, dan ini<br />
juga signifikan dengan beberapa program yang dibuat di Lampung tengah antara<br />
lain ada Gerbang Beguei Jejamu Wawai, itu bahasa Lampung artinya “berbuat bagus<br />
bersama-sama”. Ini merupakan sebuah contoh yang baik, tetapi cilakanya contohcontoh<br />
yang baik ini, itu tidak muncul dari perda, ini yang menjadi problem.<br />
Kemudian untuk sumber daya alam, saya setuju dengan yang dikemukakan.<br />
Inkonsistensi aturan-aturan pemerintah pusat di daerah itu juga sering membuat<br />
agak sulit untuk pengelolaan sumber daya alam di tingkatan daerah. Kalau orang<br />
Jawa bilang di Lampung luas lawannya masih cukup banyak, tetapi ternyata tidak.<br />
Pak Joni sejak tahun 1980 sudah membela masyarakat Purwokencono untuk<br />
mendapatkan lahan dan baru saja register 47 terpaksa harus melawan dengan<br />
kekerasan untuk mempertahankan lahannya. Dan kebijakan di tingkatan perda<br />
seringkali juga tidak ramah dan bahkan ketika itu ke tingkatan internasional<br />
itu kena ecolabelling seperti perda IHH (Iuran Hasil Hutan), <strong>Perda</strong> No.16/2000<br />
Provinsi Lampung, dimana -- oke silahkan saja tanam kopi di daerah hutan, tapi<br />
boleh nanam asala ada iurannya -- akhirnya produk kopi Lampung kena ecolabelling<br />
dari negara-negara penerima atau negara-negara tujuan ekspor.<br />
Kemudian bagaimana perda itu apakah juga harus melayani orang-orang yang<br />
tinggal di daerah illegal. Subyek dari perda itu orang atau badan hukum. Walaupun<br />
kita tinggal di daerah illegal, selama saya masih orang saya harus dilayani, dan<br />
selama saya masih warga Bandar Lampung saya harus dilayani. Saya ingin<br />
menjadikan sebuah garis bawah bahwa didalam proses pelayanan publik itu<br />
95
kayaknya daya tawar masyarakat itu harus ditingkatkan dulu, harus diperkuat<br />
dulu. Untuk mendapatkan pelayanan publik kita kayaknya harus menggertak si<br />
pelayan publik itu baru mendapatkan sebuah pelayanan, oleh karena itu bagaimana<br />
merubah ini seharusnya perda harus mampu untuk memberikan jamin terhadap<br />
perda hal ini.<br />
Mungkin saya sudah dilihatin pak Alit, saya kembalikan waktunya.<br />
Terimakasih.<br />
5.<br />
Moderator (Alit)<br />
Sebetulnya masih banyak waktu yang kita perlukan untuk membahas 3 makalah<br />
yang disajikan tim panelis, namun karena waktu kita dan rasanya saya kurang<br />
bijak kalau masih terus mengambil waktu istirahat ibu/bapak sekalian, karena<br />
jam saya sudah menunjukan pukul 13:20 dan ini sudah melampaui waktu kita<br />
untuk istirahat makan siang. Namun demikian kami mohon maaf sekali lagi<br />
atas keterlambatan dimulainya sesi ini karena tadi kita sedikit mundur, tanpa<br />
mengurangi keinginan Ibu/Bapak untuk menyampaikan pikiran-pikiran, saran<br />
dan juga pengalaman mungkin mohon bisa dituliskan saja nanti panitia akan<br />
mengkonsultasikan pada panelis untuk bisa diberikan jawaban.<br />
Namun demikian Ibu dan Bapak sekalian masih bisa melakukan interaksi pada<br />
panelis melalui e-mail yang tertera pada data Beliau di makalah yang kami<br />
sediakan dan juga substansi ini bisa Ibu/Bapak akses melalui www.perdaonline<br />
maupun Clearinghouse CLGI. Atas segala perhatian Ibu dan Bapak sekalian<br />
dan sekali lagi mohon maaf bagi rekan-rekan yang tidak berkesempatan untuk<br />
memberikan masukannya melalui tanya jawab, kami mohon maaf sekali lagi, dan<br />
mari kita berikan applause kepada Beliau-beliau panelis.<br />
Ass. Wr. Wb.<br />
96
BAB 2<br />
Penyusunan dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan <strong>Perda</strong> dan<br />
<strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> tentang APBD Tahun 2006 Kota Tarakan<br />
Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D, Kepala Bappeda Kota Tarakan<br />
<strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> di Kota Gorontalo (Sebuah Kajian dan Telaahan<br />
Mengenai <strong>Perda</strong> No. 2, 3, 4 Tahun 2002)<br />
HI. Medi Botutihe, Walikota Gorontalo<br />
Potensi Penyimpangan Substansi Dalam Proses Legislasi Peraturan<br />
Daerah<br />
Ari Nurman, ST, M.Sc, Diding Sakri, ST dan Saeful Muluk, S.Sos, Perkumpulan<br />
INISIATIF, Bandung<br />
Partisipasi Intsrumental, Transformatif dan Elite Capture: Analisis<br />
Structures and Meanings atas Argumen Kebijakan Partisipasi<br />
Masyarakat dalam Pembangunan Daerah (Kasus <strong>Perda</strong> Partisipasi<br />
Kabupaten Lebak)<br />
Wawan Sobari, IFP Fellow-Ford Foundation, Indonesia - MA Student at Institute<br />
of Social Studies (ISS), The Hague, the Netherlands<br />
Diskusi dan Tanya Jawab<br />
97
1. Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan <strong>Perda</strong><br />
dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> tentang APBD Tahun 2006<br />
Kota Tarakan<br />
1.<br />
Latar Belakang<br />
Dalam kurun waktu yang relatif singkat Pasca ditetapkannya UU No. 22 Tahun<br />
1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang mendesentralisasikan berbagai kewenangan<br />
dan fiskal dari pusat ke daerah, Kota Tarakan telah tumbuh menjadi kekuatan<br />
ekonomi berbasis perdagangan dan jasa. Dengan pembenahan infrastruktur<br />
perkotaan yang relatif cepat, Kota Tarakan semakin memperkuat posisinya sebagai<br />
pusat transit perdagangan antar pulau di Kalimantan Timur bagian Utara.<br />
Berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun dasar 2000, selama<br />
periode 2001-2005, pertumbuhan ekonomi Kota Tarakan dengan migas rata-rata<br />
sebesar 8,82 persen per tahun dan tanpa migas sebesar 9,57 persen per tahun.<br />
Secara time series pertumbuhan ekonomi Kota Tarakan dapat dilihat pada Tabel<br />
1 berikut:<br />
Tabel 1: Pertumbuhan Ekonomi Kota Tarakan Berdasarkan Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan<br />
Tahun Dasar 2000 Dengan Dan Tanpa Migas Tahun 2001-2005 (Persen)<br />
Pertumbuhan<br />
Ekonomi<br />
Tahun<br />
2001 2002 2003 2004 2005<br />
(1) (2) (3) (4) (5) (6)<br />
Dengan Migas 10,87 6,91 11,49 7,18 7,63<br />
Tanpa Migas 10,72 8,65 12,71 8,33 7,46<br />
Sumber Data: BPS Kota Tarakan Juni 2006<br />
Sejalan dengan pertumbuhan sektor ekonomi, pendapatan regional per kapita<br />
penduduk juga menunjukkan peningkatan selama periode tahun 2001-2005,<br />
sebagaimana Tabel 2 berikut:<br />
98
Tabel 2 : Agregat Pendapatan Regional Perkapita (Rupiah) Dengan Migas<br />
Tahun 2001-2005<br />
Agregat<br />
Tahun<br />
Dengan Migas<br />
1. Atas Dasar Harga Berlaku<br />
2. Atas Dasar Harga Konstan 2000<br />
2001 2002 2003 2004 2005<br />
(1) (2) (3) (4) (5) (6)<br />
8.406.586<br />
7.631.181<br />
9.685.770<br />
7.858.038<br />
10.846.164<br />
8.441.825<br />
11.957.691<br />
8.806.760<br />
14.709.422<br />
9.129.293<br />
Tanpa Migas<br />
1. Atas Dasar Harga Berlaku<br />
2. Atas Dasar Harga Konstan 2000<br />
7.850.762<br />
7.077.169<br />
9.230.414<br />
7.409.146<br />
10.403.126<br />
8.048.956<br />
11.451.314.<br />
8.489.676<br />
13.749.330<br />
8.786.129<br />
Sumber Data: BPS Kota Tarakan Juni 2006<br />
Selain pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berbagai prestasi dan penghargaan<br />
dalam berbagai bidang pelayanan publik dan pembangunan lingkungan telah<br />
didapatkan Kota Tarakan melalui kepemimpinan H. Jusuf S.K (selaku Walikota)<br />
dan H. Thamrin A.D (selaku Wakil Walikota), antara lain:<br />
1. E-Government Award 2003 diberikan kepada Kota Tarakan sebagai Lembaga<br />
Pemerintah Pengaplikasi E-Government Terbaik Pertama Untuk Katagori<br />
Kabupaten/Kota diberikan oleh Majalah Warta Ekonomi Jakarta pada tanggal<br />
26 Agustus 2003,<br />
2. Otonomi Award 2005 dianugerahkan kepada Kota Tarakan sebagai Kota<br />
Terbaik 2005 diberikan oleh Majalah Media Otonomi pada tanggal 12 Juli<br />
2005,<br />
3. Habitat Award diberikan oleh Menteri Pekerjaan Umum RI atas prestasi yang<br />
diraih dalam rangka Hari Habitat Sedunia tahun 2005 untuk kategori Karya<br />
Pengelolaan Kota 2005 dengan kriteria peningkatan akses air bersih dan<br />
penanggulangan pemukiman kumuh pada tanggal 3 Oktober 2005,<br />
4. Penghargaan dari Secretary-General of ASEAN atas kepedulian yang luar<br />
biasa terhadap Generasi Muda pada 28 Oktober 2005,<br />
5. Certificate of Recognition dari Division for Social Policy and Development,<br />
United Nations atas Perhatian yang Luar Biasa pada Kegiatan Kepemudaan<br />
di Tingkat Komunitas pada tanggal 28 Oktober 2005,<br />
6. Otonomi Award Bidang Pendidikan dan <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> Terbaik Se-Propinsi<br />
Kaltim oleh Jawa Pos News Network (JPNN) pada Bulan Mei 2006,<br />
7. Anugrah Penghargaan Kalpataru dengan Kategori Pembina Lingkungan dan<br />
Piagam Adipura Tahun 2006 oleh Menteri Lingkungan Hidup RI pada tanggal<br />
12 Juni 2006.<br />
99
Sederetan penghargaan yang telah diraih Pemerintah Kota Tarakan dalam berbagai<br />
bidang pembangunan merupakan salah satu bukti nyata keberhasilannya dalam<br />
mengelola otonomi daerah. Namun demikian, dirasakan oleh berbagai stakeholders<br />
pembangunan Kota Tarakan bahwa pemihakan kepada kepentingan rakyat perlu<br />
ditingkatkan secara lebih signifikan (Hasil Observasi Penulis).<br />
Salah satu persoalan yang menyebabkan kurang terakomodirnya kepentingan rakyat<br />
secara optimal dalam APBD adalah belum terintegrasinya proses perencanaan<br />
dan penganggaran. Pada dasarnya, proses penyusunan <strong>Perda</strong> APBD merupakan<br />
proses panjang dan berjenjang yang diawali dari (Musyawarah Perencanaan<br />
Pembangunan) Musrenbang Kelurahan sampai Musrenbang Nasional. Hasil dari<br />
proses Musrenbang yang berjenjang tersebut adalah tersusunnya Rencana Kerja<br />
Pemerintah Daerah (RKPD), yang kemudian dijadikan dasar untuk menyusun<br />
Kebijakan Umum Anggaran dan Strategi Prioritas (KUA dan SP), Plafon Anggaran<br />
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Rencana Anggaran SKPD (RASK) dan<br />
Raperda APBD. Dengan demikian, untuk menjamin terintegrasinya proses<br />
perencanaan dan penganggaran dalam konteks penyusunan Rancangan APBD<br />
2006, maka Pemerintah Kota Tarakan melakukan perbaikan proses dan mekanisme<br />
Musrenbang.<br />
Sehingga, diharapkan bahwa Musrenbang dapat menghasilkan rumusan kegiatan<br />
prioritas yang secara substansial lebih memihak pada pelayanan publik. Pasca<br />
Musrenbang, proses penganggaran yang diawali perumusan KUA dan SP sampai<br />
pembahasan Raperda APBD dengan DPRD dilakukan secara cermat, transparan<br />
dan partisipatif. Apabila keseluruhan proses perencanaan dan penganggaran<br />
dilakukan secara integratif, terbuka dan sungguh-sungguh memperhatikan<br />
aspirasi masyarakat, maka instrumen APBD akan dapat berperan secara optimal<br />
didalam peningkatan kesejahteraan masyarakat<br />
Sebagai muara dari keseluruhan proses perencanaan pembangunan yang hirarkis,<br />
komperhensif dan integratif baik yang sifatnya top down planning (RPJM<br />
dan RPJMD Propinsi, RKP dan RKPD Propinsi maupun bottom up planning<br />
(Musrenbang Kelurahan dan Kecamatan), <strong>Perda</strong> No 2 Tahun 2006 tentang APBD<br />
Kota Tarakan memainkan peranan kunci dalam mewujudkan good governance dan<br />
clean government. Dari 10 prinsip good governance, yang relevan dalam perumusan<br />
dan implementasi <strong>Perda</strong> APBD adalah prinsip-prinsip: Partisipasi Masyarakat,<br />
Transparansi, Akuntabilitas serta Efektifitas dan Efisiensi.<br />
Musrenbang Kelurahan dilaksanakan pada Bulan Februari dan dilanjutkan secara berjenjang<br />
sampai Musrenbang Nasional pada Bulan April, kemudian dilanjutkan proses penganggaran dimana<br />
APBD tahun berikutnya diharapkan sudah dapat disahkan pada Bulan Desember tahun berjalan (PP<br />
58 Tahun 2005.).<br />
Dalam rangka menjamin terjadinya integrasi perencanaan dan penganggaran, Pemerintah telah<br />
mengundangkan UU 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU 25 Tahun 2004 Tentang Sistem<br />
Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.<br />
UU 25 Tahun 2004 mengatur perencanaan berjenjang yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka<br />
Panjang (RPJP, 20 tahun), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, 5 tahun), Rencana<br />
Tahunan (RKPD).<br />
100
Telah menjadi isu nasional bahwa salah satu ekses dalam implementasi Otonomi<br />
Daerah adalah adanya sinyalemen bahwa pembelanjaan APBD Kabupaten/Kota<br />
tidak diperuntukkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,<br />
tetapi lebih difokuskan untuk belanja aparatur. Lebih jauh, terdapat stigma bahwa<br />
otonomi daerah identik dengan memindahkan kolusi, korupsi dan nepotisme<br />
(KKN) dari pusat ke daerah. Dr. Syahrir dalam Kongres ISEI 2006 mengatakan<br />
bahwa ”Desentralisasi sebagai kelanjutan dari semangat demokratisasi,<br />
ternyata menghasilkan prioritas anggaran daerah yang tidak memihak rakyat.<br />
Kecenderungan APBD I dan II adalah meningkatnya pengeluaran rutin dan<br />
berkurangnya pengeluaran pembangunan.” (Kompas, 21 Juni 2006)<br />
2.<br />
Perumusan Masalah<br />
Telah menjadi pembicaraan umum bahwa di Era Otonomi Daerah, alokasi belanja<br />
APBD dianggap kurang memihak pada pelayanan publik. Hal ini tercermin<br />
dari alokasi anggaran belanja pembangunan yang lebih kecil dibanding belanja<br />
aparatur. Lebih jauh lagi terdapat anggapan bahwa desentralisasi kewenangan<br />
dan fiskal ke daerah melalui UU 22 Tahun 1999 dan UU 25 Tahun 1999 4<br />
identik<br />
dengan desentralisasi KKN dari pusat ke daerah. Berdasarkan analisis terhadap<br />
proses penyusunan <strong>Perda</strong> No. 2 tahun 2006 Tentang APBD Kota Tarakan dan<br />
kajian terhadap komposisi anggaran belanjanya, makalah ini membantah anggapan<br />
tersebut. Sekaligus, makalah ini juga berargumen bahwa jika proses untuk<br />
menyepakati prioritas program dan kegiatan pembangunan secara partisipatif,<br />
cermat dan konsisten, dibarengi dengan proses penganggaran yang transparan<br />
dan akuntabel, maka APBD justru merupakan instrumen yang sangat penting<br />
peranannya dalam melakukan pemihakan pada kepentingan rakyat dan juga<br />
pemberantasan KKN.<br />
3.<br />
Analisis<br />
Untuk menganalisis seberapa jauh <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006 tentang APBD Kota<br />
Tarakan memihak pada kepentingan rakyat dan konservasi lingkungan hidup,<br />
maka dilakukan analisis dengan menggunakan tiga kriteria utama dimana masingmasing<br />
dijabarkan menjadi beberapa sub kriteria dan indikator sebagai berikut:<br />
3.1 Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Partisipasi Masyarakat<br />
Melalui Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan<br />
Nasional/Kepala Bappenas dan Mendagri No. 0295/M.PPN/1/2005 dan 050/166/SJ<br />
tertanggal 20 Januari 2005 diatur Petunjuk Teknis Musrenbang Tahun 2005. Namun<br />
demikian, selama ini dalam pelaksanaannya, Musrenbang sering dijalankan<br />
4 Di amandemen oleh UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004<br />
101
secara kurang sungguh-sungguh dan terkesan sekedar menjalankan formalitas<br />
rutin. Sehingga muncul perasaan skeptis di masyarakat yang mengatakan<br />
bahwa tidak ada gunanya Musrenbang karena usulan masyarakat tidak pernah<br />
diakomodir dalam APBD. Merespon tuntutan masyarakat tersebut, Pemkot<br />
Tarakan berusaha memperbaiki mekanisme musrenbang yang merupakan<br />
titik awal proses penganggaran APBD. Agar proses Musrenbang betul-betul<br />
menghasilkan output yang diharapkan yaitu menjaring aspirasi masyarakat, maka<br />
perbaikan mekanismenya dibagi menjadi Pra Musrenbang, Musrenbang dan Pasca<br />
Musrenbang.<br />
3.1.1 Pra Musrenbang<br />
Pelatihan Bagi Stakeholders Musrenbang Kelurahan Dan Kecamatan<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Sebelum pelaksanaan Musrenbang Kelurahan, agar masyarakat dapat<br />
mengembangkan kapasitas partisipasinya secara optimal, sebagai langkah<br />
awal, dilaksanakan Training of Trainers (TOT) Pengembangan Masyarakat<br />
dan Perencanaan Partisipatoris kepada para stakeholders Musrenbang (aparat<br />
kelurahan/kecamatan dan pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat<br />
(LPM) Kelurahan/Kecamatan).<br />
Pelatihan (TOT) ini dimaksudkan:<br />
a. sebagai upaya pembekalan dan persiapan/pra-Musrenbang bagi<br />
stakeholders pelaksana Musrenbang<br />
b. tersedianya tenaga fasilitator lokal yang memiliki kompetensi dalam<br />
pengembangan masyarakat dan perencanaan partisipatoris.<br />
Tujuan akhir pelatihan antara lain:<br />
a. dipahami dan dilaksanakannya mekanisme Musrenbang, sebagaimana<br />
ketentuan yang telah diatur dalam Surat Edaran Bersama Kepala<br />
Bappenas dan Mendagri tentang Juknis Pelaksanaan Musrenbang<br />
b. dilaksanakannya pemberdayaan partisipatoris bagi segenap unsur<br />
stakeholders Musrenbang; dan<br />
c. sinkronisasi dan realisasi hasil-hasil perencanaan pembangunan yang<br />
bersifat bottom up and top down planning.<br />
Substansi materi pokok pelatihan yang diajarkan, meliputi:<br />
a. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang<br />
b. Pembangunan Sosial Dan Pengembangan Masyarakat<br />
c. Aset-aset Komunitas<br />
d. Assessment and Participatory Rural Appraisal (PRA)<br />
e. Penyiapan Instrumen PRA (Diskusi Kelompok)<br />
f. Praktek Lapangan (Pengumpulan Data Lapangan)<br />
g. Pembahasan Hasil Lapangan<br />
h. Pengembangan Rencana Program Aksi<br />
102
i.<br />
j.<br />
Presentasi Kelompok; dan<br />
Evaluasi Kegiatan.<br />
5.<br />
6.<br />
Sebagai fasilitator ahli, sengaja di datangkan Pakar Pemberdayaan Masyarakat<br />
dari Universitas Indonesia Jakarta, yang dibantu oleh beberapa praktisi<br />
community development, dan ahli regional planning dari Bappeda Kota<br />
Tarakan.<br />
Setelah mengikuti pelatihan (TOT) para stakeholders Musrenbang tersebut,<br />
berkewajiban mentransformasikan semua pengetahuan dan keterampilan<br />
tentang Musrenbang kepada masyarakat. Melakukan berbagai tindakan upayaupaya<br />
penyadaran terhadap masyarakat, agar mereka dapat terlibat secara<br />
aktif merumuskan program/ kegiatan pembangunannya dalam Musrenbang<br />
Kelurahan/ Kecamatan.<br />
3.1.2 Musrenbang<br />
1.<br />
2.<br />
Musrenbang Kelurahan<br />
Musrenbang Kelurahan merupakan titik awal dari proses perencanaan<br />
berjenjang. Oleh karena itu, Pemkot Tarakan berpendapat bahwa jika ingin<br />
mengharapkan output perencanaan yang peka terhadap aspirasi publik,<br />
Musrenbang Kelurahan harus dilakukan secara cermat dan serius. Musrenbang<br />
Kelurahan diikuti oleh segenap komponen masyarakat baik individu atau<br />
kelompok seperti: Ketua RT/RW, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Ketua<br />
Adat, Kelompok Perempuan dan Pemuda, Pengusaha, Kelompok Tani/Nelayan<br />
dan Komite Sekolah. Musrenbang Kelurahan dilaksanakan secara bergantian<br />
di 20 Kelurahan. Hasil Musrenbang Kelurahan terdiri dari:<br />
a.<br />
b.<br />
c.<br />
Daftar Prioritas Kegiatan yang akan dilaksanakan sendiri oleh Kelurahan<br />
yang bersangkutan,<br />
Daftar Prioritas Kegiatan yang akan diusulkan ke Kecamatan,<br />
Daftar nama anggota delegasi yang akan membahas hasil Musrenbang<br />
Kelurahan pada forum Musrenbang Kecamatan.<br />
Musrenbang Kecamatan<br />
Tujuan utama diselenggarakannya Forum Musyawarah Kecamatan ini adalah<br />
untuk menyepakati kegiatan lintas Kelurahan di masing-masing Kecamatan<br />
sebagai dasar untuk diusulkan pada Forum SKPD. Hasil Musrenbang<br />
Kecamatan antara lain:<br />
a. Daftar kegiatan prioritas yang diusulkan untuk dilaksanakan tahun 2006<br />
di masing-masing Kecamatan. Daftar Kegiatan tersebut diklasifikasikan<br />
sesuai SKPD dan atau gabungan SKPD yang membidangi,<br />
b. Daftar nama delegasi Kecamatan yang ditunjuk untuk mewakili<br />
Kecamatan masing -masing di Forum SKPD dan Musrenbang Kota.<br />
103
3.<br />
4.<br />
Forum SKPD<br />
Untuk memastikan diakomodirnya hasil Musrenbang Kecamatan ke dalam<br />
Program/ Kegiatan Badan/ Dinas terkait maka diselenggarakan Forum<br />
SKPD. Dalam Forum ini, masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />
(SKPD) mempresentasikan Rancangan Program/ Kegiatan dihadapan utusan<br />
Musrenbang Kecamatan. Sehingga, apabila ada usulan Program/ Kegiatan hasil<br />
Musrenbang Kecamatan yang belum terakomodir dalam Program/ Kegiatan<br />
SKPD maka dapat dilakukan klarifikasi dan sinkronisasi. Hasil utama Forum<br />
SKPD adalah Rencana Kerja SKPD yang sudah disinkronkan dengan hasil<br />
Musrenbang Kecamatan<br />
Musrenbang Kota<br />
Musrenbang Kota adalah forum kesepakatan stakeholder pembangunan<br />
pada tingkat Kota Tarakan untuk mematangkan Rancangan RKPD 2006,<br />
berdasarkan hasil Forum SKPD. Hasil pokok Musrenbang Kota adalah Daftar<br />
Prioritas Kegiatan yang dipilah menurut sumber pendanaan: APBD Kota<br />
Tarakan, APBD Provinsi Kaltim dan APBN. Hasil ini dipergunakan sebagai<br />
bahan masukan untuk finalisasi Draft RKPD Kota Tarakan 2006.<br />
3.1.3 Pasca Musrenbang<br />
1.<br />
Penyusunan RKPD, Kebijakan Umum Anggaran dan Strategi Prioritas (KUA<br />
dan SP), Plafond Anggaran (PPA) dan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK)<br />
Tahun 2006<br />
Hasil Musrenbang secara berjenjang dari tingkat Kelurahan sampai Kota,<br />
setelah melalui sinkronisasi dengan Program Provinsi melalui Musrenbang<br />
Provinsi dan Program Nasional melalui Musrenbang Nasional, kemudian<br />
dirumuskan menjadi dokumen RKPD 2006. Proses berikutnya adalah<br />
perumusan Draft KUA dan SP. Masing-masing SKPD berdasarkan RKPD<br />
mengusulkan Program/ Kegiatan disertai target yang terukur. Usulan Program/<br />
Kegiatan masing-masing SKPD disertai sasaran yang rinci dan pagu anggaran<br />
indikatif, kemudian dikompilasi menjadi Draft KUA dan SP 2006.<br />
Penyerahan Draft KUA dan SP 2006 kepada Tim Anggaran Legislatif<br />
dilakukan secara terbuka melalui Sidang Paripurna DPRD yang dihadiri<br />
semua stakeholders pembangunan dan diliput oleh media cetak dan TV lokal.<br />
Hal ini dimaksudkan agar publik mengetahui secara transparan setiap tahapan<br />
proses penyusunan APBD. Setelah itu dilakukan pembahasan bersama antara<br />
Tim Anggaran Eksekutif dan Legislatif melalui forum dengar pendapat yang<br />
menghadirkan Kepala SKPD masing-masing. Pada forum ini Tim Anggaran<br />
Legislatif berkesempatan menguji konsistensi usulan Program/ Kegiatan SKPD<br />
terhadap usulan masyarakat, baik hasil Musrenbang maupun hasil kegiatan<br />
reses anggota DPRD. Program/Kegiatan yang tidak konsisten dengan usulan<br />
masyarakat akan dieliminir.<br />
104
Setelah KUA dan SP disepakati, maka dilakukan penandatanganan Nota<br />
Kesepahaman KUA dan SP antara Walikota dan Ketua DPRD dalam forum<br />
Sidang Paripurna DPRD yang diliput media cetak dan TV secara luas. Inti<br />
dari KUA dan SP adalah memberikan arah kebijakan serta prioritas utama<br />
pembelanjaan APBD 2006, disesuaikan dengan aspirasi masyarakat. Dokumen<br />
ini menjadi dasar penentuan plafond anggaran tiap Satuan Kerja Perangkat<br />
Daerah (SKPD) Kota Tarakan. Setelah Plafond Anggaran ditetapkan, masingmasing<br />
SKPD yang kemudian menjabarkannya menjadi Rencana Anggaran<br />
SKPD (RASK).<br />
2.<br />
Dengar Pendapat seluruh SKPD dalam Pembahasan Raperda APBD di Panggar<br />
legislatif<br />
Proses berikutnya adalah penysunan Draft APBD Kota Tarakan Tahun 2006.<br />
Kemudian dilanjutkan dengan Penyampaian Nota Keuangan APBD 2006 dalam<br />
Sidang Paripurna DPRD. Setelah itu dilakukan pembahasan secara detail,<br />
yang menghadirkan setiap Kepala Dinas/ Badan dalam rapat kerja dengan<br />
Tim Anggaran Legislatif. Pembahasan ini sangat transparan, dimana masingmasing<br />
pengusul anggaran dalam hal ini masing-masing Kepala Dinas/ Badan<br />
menjalani semacam ujian oleh Tim Anggaran Legislatif dan Eksekutif terhadap<br />
semua usulan proram masing-masing Dinas/ Badan. Kriteria utama untuk<br />
menguji apakah suatu usulan dapat disetujui atau dibatalkan adalah seberapa<br />
jauh usulan anggaran masing-masing SKPD menerapkan prinsip efektif dan<br />
efisien serta bagaimana konsistensinya terhadap aspirasi masyarakat. Proses<br />
ini memakan waktu cukup panjang sekitar 50 hari kalender. Setelah verifikasi<br />
akhir bersama antara Tim Anggaran Eksekutif dan Legislatif, maka Final<br />
Draft APBD dikirim ke Provinsi Kaltim untuk mendapatkan evaluasi. Proses<br />
evaluasi di Provinsi menghabiskan waktu lebih kurang 10 hari. Akhirnya,<br />
APBD Kota Tarakan Tahun 2006 disahkan menjadi <strong>Perda</strong> melalui Sidang<br />
Paripurna DPRD pada tanggal 21 Februari 2006.<br />
3.2 Komposisi Anggaran Belanja yang Berpihak pada Kepentingan<br />
Rakyat dan Konservasi Lingkungan<br />
Total Anggaran Belanja Kota Tarakan Tahun 2006 sebesar 494 Milyar Rupiah.<br />
Komposisi Belanja Aparatur adalah 37 % dan Belanja <strong>Publik</strong> mencapai 63 %.<br />
Rincian lebih detail dapat dilihat sebagai berikut:<br />
3.2.1 Pemihakan pada Kepentingan Rakyat<br />
Anggaran yang dikategorikan memihak pada kepentingan rakyat adalah yang<br />
mengemban fungsi pelayanan dasar meliputi pendidikan dasar, kesehatan,<br />
infrastruktur dan dukungan kegiatan ekonomi masyarakat. Anggaran yang<br />
masuk dalam kategori ini mencapai 49,5 % yang meliputi anggaran belanja Dinas<br />
Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan dan Tanaman Pangan, Dinas<br />
105
Perikanan dan Kelautan, Dinas <strong>Perda</strong>gangan dan Koperasi dan Dinas Pekerjaan<br />
Umum.<br />
Perlu dicatat bahwa untuk pertama kalinya pada APBD 2006, dialokasikan<br />
secara khusus anggaran Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan sebesar 0,5 %<br />
dari APBD sebagai pilot project. Telah disepakati bersama dengan Tim Anggaran<br />
Legislatif bahwa jika pilot project ini berhasil, maka anggarannya akan dinaikkan<br />
secara signifikan. Berbagai program proritas yang dapat dikategorikan ke dalam<br />
pemihakan pada kepentingan rakyat antara lain adalah sebagai berikut:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
8.<br />
9.<br />
10.<br />
11.<br />
12.<br />
13.<br />
14.<br />
15.<br />
16.<br />
Program Pengembangan Usaha Koperasi, Usaha Mikro dan Usaha Kecil<br />
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun<br />
Program Upaya Kesehatan Masyarakat<br />
Program Perbaikan Gizi Masyarakat<br />
Program <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Penduduk Miskin<br />
Program Lingkungan Sehat Perumahan<br />
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan<br />
Program Pemberdayaan Komunitas Perumahan<br />
Program Pengembangan Usaha Perikanan<br />
Program Peningkatan Produksi Tanaman Pangan dan Peternakan<br />
Program Pembangunan Prasarana Jaringan Utilitas<br />
Program Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai<br />
Program Pengembangan Sarana Prasarana Transportasi Darat, Laut dan<br />
Udara<br />
Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan<br />
Program Pembangunan Jalan, Jembatan dan Drainase<br />
Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan<br />
3.2.2 Konservasi Lingkungan Hidup<br />
Alokasi anggaran ini diasumsikan untuk mengukur komitmen dan kepedulian<br />
Pemerintah Kota Tarakan terhadap isu lingkungan hidup. Anggaran Urusan<br />
Lingkungan Hidup secara total mencakup 7.5%, meliputi anggaran Dinas<br />
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Mineral, Dinas Kehutanan, Dinas Kebersihan<br />
dan Pertamanan, Dinas Kependudukan dan Dinas Tata Kota. Anggaran tersebut<br />
untuk membiayai berbagai Program Prioritas sebagai berikut:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
Program Rehabilitasi dan Perlindungan Hutan<br />
Program Pengendalian Pemanfaatan Ruang<br />
Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup<br />
Program Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau<br />
Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut<br />
Program Pengendalian Penduduk<br />
Program Peningkatan Kinerja Pengelolaan Sampah dan Drainase<br />
106
3.3 Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas Anggaran<br />
Pada tahap implementasi <strong>Perda</strong> No.2 Tahun 2006 Tentang APBD Kota Tarakan,<br />
secara rutin setiap bulan dilaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap<br />
semua pelaksanaan kegiatan pembangunan Kota Tarakan. Rekapitulasi hasil<br />
monev untuk keseluruhan kegiatan pembangunan dalam setiap kuartal, kemudian<br />
dirangkum dalam satu agenda Rapat Koordinasi Pengendalian (Rakordal)<br />
Pembangunan. Hal ini untuk memastikan bahwa implementasi APBD tersebut<br />
dapat berjalan dengan konsisten sesuai rencana dan mampu meminimalisir<br />
terjadinya inefisiensi atau kebocoran anggaran.<br />
Sebagai ilustrasi, pada pelaksanaan APBD 2005, tidak dilakukan kegiatan monev<br />
secara rutin, sehingga kendala-kendala yang bersifat birokrasi administrasi yang<br />
menghambat pencairan anggaran tidak dapat di deteksi secara dini. Pada akhirnya,<br />
terjadi keterlambatan penyerapan anggaran yang berakibat pada pencairan<br />
anggaran secara besar-besaran menjelang akhir tahun. Hal ini berdampak pada<br />
penurunan kualitas output kegiatan karena pelaksanaannya dilakukan secara<br />
terburu-buru pada akhir tahun. Dengan cara melakukan monev secara rutin, dapat<br />
dideteksi secara dini, apabila ada kendala-kendala pelaksanaan pembangunan dan<br />
dapat segera dicarikan solusinya, sehingga pelaksanaan kegiatan dapat berjalan<br />
secara tepat sasaran, tepat mutu dan tepat waktu.<br />
Oleh karenanya, dengan monev dapat dicapai:<br />
1. peningkatan efektifitas koordinasi baik internal maupun eksternal dalam<br />
rangka memantapkan akuntabilitas kinerja sistem pelaksanaan kegiatan<br />
pembangunan, dan<br />
2. pelaksanaan kegiatan pembangunan dapat dilaksanakan secara tepat waktu,<br />
transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.<br />
4.<br />
Kesimpulan/ Temuan Pokok<br />
4.1 Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Partisipasi Masyarakat<br />
Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa berbagai perangkat<br />
peraturan dan planning tools yang tersedia untuk melakukan bottom up planning<br />
sesungguhnya bukan hal baru bahkan sudah ada Permendagri No. 9 Tahun 1982<br />
yang mengatur tentang perencanaan berjenjang dari bawah. Namun demikian,<br />
akibat kuatnya pengaruh centralised planning di Era Orde Baru, mekanisme<br />
perencanaan dari bawah tersebut tidak berjalan. UU 25 Tahun 2004 yang ditindak<br />
lanjuti dengan SE Bersama Meneg PPN/Kepala Bappenas dan Mendagri No 0295/<br />
M.PPN/1/2005 telah memberikan payung regulasi yang kuat bagi pelaksanaan<br />
participatory planning process.<br />
Namun demikian, substansi perencanaan yang dihasilkan masih belum banyak<br />
berubah dimana masyarakat tetap merasa dipinggirkan dan usulannya tidak<br />
107
terakomodir dalam APBD. Melalui perbaikan mekanisme pada semua alur proses<br />
dari Musrenbang sampai pembahasan Raperda APBD, Pemerintah Kota Tarakan<br />
membuktikan bahwa telah terjadi pemihakan kepada kepentingan rakyat dan juga<br />
perlindungan lingkungan hidup pada komposisi APBD 2006. Hal ini dikarenakan,<br />
Pemkot Tarakan mengimplementasikan berbagai perangkat regulasi tersebut<br />
secara cermat dan sungguh-sungguh dan tidak sekedar menjalankan Musrenbang<br />
secara formal prosedural belaka. Demikian halnya pada saat Penetapan KUA dan<br />
SP serta pembahasan Raperda APBD, keterlibatan Tim Anggaran Legislatif serta<br />
masyarakat luas sangat intensif.<br />
4.2 Komposisi Anggaran Belanja<br />
Proses penyusunan <strong>Perda</strong> APBD Tahun 2006 Kota Tarakan dilaksanakan dengan<br />
sangat partisipatif, transparan serta dengan sangat cermat menempatkan asas<br />
efektif dan efisien dalam menilai setiap usulan program/ kegiatan pembangunan.<br />
Dari total pembelanjaan 494 Milyar Rupiah, secara umum komposisi belanja<br />
aparatur dialokasikan sebesar 37 persen dan belanja publik mencapai 63 persen.<br />
Penting untuk dicatat juga bahwa anggaran bidang pendidikan telah mencapai<br />
angka 23 %. Secara keseluruhan Anggaran yang dipergunakan untuk melakukan<br />
pemihakan pada pelayanan publik mencapai 49,5 % dan untuk konservasi<br />
lingkungan mencapai 7,5 %.<br />
4.3 Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas<br />
Melalui kegiatan monev rutin setiap bulan dan Rakordal tiap kuartal dapat<br />
dipastikan bahwa implementasi APBD tersebut dapat berjalan dengan konsisten<br />
sesuai rencana dan mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran.<br />
Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa makalah ini membantah<br />
anggapan umum bahwa prirotas anggaran daerah tidak dipergunakan bagi<br />
pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena terdapat kombinasi yang cukup ideal<br />
antara kepemimpinan Walikota yang komit pada pelayanan publik, dukungan<br />
politik DPRD yang kondusif, partisipasi masyarakat yang kritis konstruktif dan<br />
perencana Pemkot yang profesional.<br />
5.<br />
Rekomendasi<br />
Integrasi Perencanaan dan Penganggaran dalam proses penetapan suatu <strong>Perda</strong><br />
APBD merupakan intrumen yang potensial untuk mendorong tercapainya good<br />
governance dan clean government, jika prosesnya dilakukan secara cermat dan<br />
sungguh-sungguh dan tidak sekedar melaksanakan prosedur formal.<br />
Dalam pelaksanaan Musrenbang berjenjang dari tingkat Kelurahan sampai<br />
Nasional, dirasakan waktunya terlalu pendek, sehingga seringkali dalam<br />
108
merumuskan prioritas kegiatan dilakukan secara terburu-buru. Dalam rangka<br />
meningkatkan efisiensi dan efektifitas APBD, perlu dirancang suatu system monev<br />
dan pengawasan legislative yang efektif.<br />
6.<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
8.<br />
Referensi<br />
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah<br />
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara<br />
Pemerintah Pusat dan Daerah<br />
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara<br />
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan<br />
Pembangunan Nasional<br />
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah<br />
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan<br />
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan<br />
Daerah<br />
Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/<br />
Kepala Bappenas dan Mendagri No 0295/M.PPN/1/2005 dan 050/166/SJ tentang<br />
Petunjuk Teknis Musrenbang Tahun 2005<br />
109
2. <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> di Kota Gorontalo<br />
(Sebuah Kajian dan Telaahan Mengenai<br />
<strong>Perda</strong> No. 2, 3, 4 Tahun 2002)<br />
1.<br />
Pendahuluan<br />
1.1 Latar Belakang<br />
Sejalan dengan otonomi daerah yang dijiwai semangat Undang-Undang Nomor<br />
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun<br />
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,<br />
mendorong terjadinya perubahan paradigma pelayanan Pemerintah Daerah baik<br />
di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mekanisme dan<br />
sistem pelayanan pemerintah di hampir semua aspek dan bidang pembangunan<br />
yang dulunya bersifat sentralistik, kini telah berubah dan dilandasi oleh asas<br />
desentralisasi dimana daerah-daerah diberikan porsi secara lebih luas mengatur dan<br />
menata sendiri daerahnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />
Dalam rangka pemberian kewenangan sesuai azas desentralisasi tersebut, maka<br />
Pemerintah Kota Gorontalo dalam menyikapi kondisi realitas terutama yang<br />
berkaitan dengan penataan dan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan<br />
sekaligus sebagai upaya mewujudkan kondisi pemerintahan yang bersih dan<br />
berwibawa (Good Governance) telah melahirkan beberapa produk Peraturan<br />
Daerah (PERDA), yaitu:<br />
1. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perencanaan Pembangunan<br />
Berbasis Masyarakat;<br />
2. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan<br />
Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo; dan<br />
3. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pengawasan Penyelenggaran<br />
Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo.<br />
Ketiga PERDA tersebut diatas secara umum dalam kehidupan masyarakat Kota<br />
Gorontalo dikenal dengan nama PERDA “Dji Sam Soe”. Manifestasi dari ketiga<br />
peraturan daerah ini pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan sebuah tata<br />
pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance).<br />
1.2 Sistimatika Peraturan Daerah<br />
Sistimatika Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002, dapat diuraikan<br />
sebagai berikut:<br />
110
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002<br />
Peraturan daerah ini terdiri dari 9 bab 32 pasal dan ruang lingkup materinya<br />
mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Azas dan Tujuan, Bab III Hak/<br />
Kewajiban Masyarakat dan Kewajiban Badan <strong>Publik</strong>, Bab IV Pendekatan dan<br />
Proses P2BM, Bab V Tahapan Pelaksanaan P2BM, Bab VI Badan Pengawas<br />
Konsistensi P2BM, Bab VII Badan Koordinasi P2BM, Bab VIII Sanksi, Bab IX<br />
Ketentuan Penutup<br />
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002<br />
Peraturan daerah ini terdiri dari 11 bab 40 pasal dan ruang lingkup<br />
materinya mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Kewajiban dan Hak,<br />
Bab III Hak Masyarakat Terhadap Badan <strong>Publik</strong> Informasi, Bab IV Informasi<br />
Yang Dikecualikan, Bab V Komisi Transparansi, Bab VI Tugas, Fungsi dan<br />
Kewenangan, Bab VII Keberatan, Bab VIII Anggaran dan Biaya, Bab IX Sanksi<br />
Pidana, Bab X Ketentuan Peralihan, dan Bab XI Ketentuan Penutup.<br />
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002<br />
Peraturan daerah ini terdiri dari 13 bab 23 pasal dan ruang lingkup materinya<br />
mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Ruang Lingkup Pengawasan,<br />
Bab III Pelaksanaan Pengawasan, Bab IV Sasaran Pengawasan, Bab V Cara<br />
Pengawasan, Bab VI Tenggang Waktu Pengawasan, Bab VII Koordinasi<br />
Pengawasan, Bab VIII Pelaporan, Bab IX Tindak Lanjut Hasil Pengawasan,<br />
Bab X Sanksi, Bab XI Ketentuan Lain-Lain, Bab XII Ketentuan Peralihan, dan<br />
Bab XIII Ketentuan Penutup.<br />
2.<br />
Gambaran Umum Kota Gorontalo<br />
Kota Gorontalo terletak diantara wilayah Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone<br />
Bolango dan Teluk Tomini. Luas wilayah Kota adalah 64,79 Km2. Wilayah Kota<br />
ini terbagi atas 6 Kecamatan dan 46 Kelurahan. Kota Gorontalo sejak tahun 2001<br />
berubah fungsi dan peran menjadi Ibukota Propinsi Gorontalo, seiring dengan<br />
ditetapkannya Gorontalo sebagai Propinsi. Melalui fungsi ini, Kota Gorontalo<br />
menjadi bagian dari jaringan sistem kota, baik secara Regional maupun Nasional.<br />
Topografi wilayah relatif datar dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0<br />
– 5 meter. Wilayah kota Gorontalo dilalui 3 (tiga) buah sungai besar yaitu sungai<br />
Bone, sungai Bolango dan sungai Tamalate. Ketiga sungai ini bermuara diTeluk<br />
Tomini Gorontalo. Perkembangan penduduk Kota Gorontalo dalam kurun waktu<br />
dari Tahun 2000-2004 rata–rata 2,44 % pertahun, yaitu dari jumlah 134.931 Jiwa<br />
pada Tahun 2000 manjadi 148.080 Jiwa pada Tahun 2004.<br />
Data populasi dan kepadatan penduduk Tahun 2004 seperti terlihat pada tabel<br />
berikut.<br />
111
No. Kecamatan Luas (Km2) Populasi 2004 Kepadatan<br />
(Jiwa) %<br />
1. Kota Barat 11,68 17,257 11,65 1,138<br />
2. Dungingi 5,03 15.500 10,30 3,780<br />
3. Kota Selatan 14.39 33,073 22,33 2,298<br />
4. Kota Timur 14.43 38,182 25,78 2,551<br />
5. Kota Utara 12,58 24,552 16,58 1,710<br />
6. Kota Tengah 4,13 20.886 14,10 4,211<br />
TOTAL 64.79 148.080 100,00 2,201<br />
Sumber: BPS Kota Gorontalo, 2005<br />
Sarana dan prasarana yang tersedia relatif diperhadapkan dengan kebutuhan<br />
masyarakat. Namun jika dikaitkan dengan peran dan fungsi kota sebagai pusat<br />
pelayanan multi jasa di Provinsi Gorontalo dan sekitarnya, terlebih lagi bila<br />
dikaitkan keberadaannya sebagai ibukota Provinsi, maka ketersediaan sarana dan<br />
prasarana ini sesungguhnya masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Pertumbuhan<br />
ekonomi mengalami pasang surut karena munculnya krisis moneter dan krisis<br />
ekonomi. Pada Tahun 1998 pertumbuhan minus sebesar 2,29%, dan pada Tahun<br />
1999 mulai tumbuh lagi menjadi sebesar 5,76%, kemudian naik menjadi 5,85% pada<br />
Tahun 2000. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 6,41 %, Tahun 2003 meningkat<br />
menjadi 6,59%, Tahun 2004 sebesar 6,61%, dan pada Tahun 2005 menjadi 6,81%.<br />
No. Lapangan Usaha Pertumbuhan<br />
2002 2003 2004*) 2005**)<br />
1. Pertanian 2.29 1,11 2,27<br />
2. Pertambangan 1.74 1,03 8,53<br />
3. Industri 2.63 3,63 5,59<br />
4. Listrik/gas/air 5.18 6,46 10,54<br />
5. Konstruksi 5.35 5,01 12,41<br />
6. <strong>Perda</strong>gangan 9.84 7,55 6,13<br />
7. Angkutan 6.68 8,05 1,59<br />
8. Keuangan 6.22 12,23 27,94<br />
9. Jasa 3.80 5,43 8,52<br />
PDRB 6.41 6,59 6,61<br />
Sumber: BPS Kota Gorontalo – PDRB Kota Gorontalo, 2005<br />
Catatan: *) merupakan angka sangat sementara.<br />
112
Kondisi sosial budaya Kota Gorontalo didominasi oleh pola kehidupan keseharian<br />
masyarakat yang bernafaskan Islami, karena mayoritas penduduk kota beragama<br />
Islam (98 %) dan selebihnya penduduk beragama Kristen Protestan, Katholik,<br />
Budha dan Hindu. Walau didominasi masyarakat beragama Islam, namun aktifitas<br />
kehidupan antar dan inter umat beragama cukup harmonis. Hal ini merupakan<br />
modal utama daerah dalam menjaga keamanan dan kestabilan pembangunan.<br />
Gorontalo termasuk salah satu dari 19 Daerah Adat di Indonesia, dimana daerah<br />
ini terkenal pula dengan falsafah adat budayanya yaitu ”Adat Bersendikan Syara<br />
dan Syara Bersendikan Kitabullah”.<br />
Penerapan hidup bersih dan sehat masyarakat Kota Gorontalo tercermin dalam<br />
peningkatan derajat kesehatan, antara lain dapat dilihat pada tabel perkembangan<br />
Usia Harapan Hidup, AKB, AKI, Status Gizi Kurang, Status Gizi Baik, Gizi Buruk,<br />
dan KEP Tahun 2003-2005 berikut:<br />
No. URAIAN TAHUN<br />
1. Usia Harapan Hidup<br />
a. Laki-laki<br />
b. Perempuan<br />
2. Angka Kematian Bayi (AKB)<br />
(per 1000 kelahiran hidup)<br />
3. Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan<br />
(per 100.000 kelahiran hidup)<br />
2003 2004 2005<br />
64 Thn<br />
65 Thn<br />
65 Thn<br />
65 Thn<br />
65 Thn<br />
65 Thn<br />
2,52 Orang 4,22 Orang 3,24 Orang<br />
144,04 Orang 76,78 Orang 161,81 Orang<br />
4. Kurang Energi Protein (KEP) 8,8 % 5,9 % 6,39 %<br />
5. Gizi Buruk (%) 0,5 % 0,5 % 1,3 %<br />
6. Gizi Kurang (%) 8,4 % 5,4 % 5,1 %<br />
7. Gizi Baik (%) 90,0 % 93,5 % 91 %<br />
8. Gizi Lebih (%) 0,6 % 0,7 % 2,2 %<br />
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Gorontalo, 2006.<br />
113
3.<br />
Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Kota Gorontalo<br />
3.1 Visi, Misi Kota Periode 2003 - 2008<br />
Visi harus dirumuskan dan ditetapkan dalam batas waktu yang jelas, sebagai<br />
implementasi dan tindak lanjut dari pasal 37 ayat 2 Undang-undang Nomor 22<br />
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor<br />
108 Tahun 2000.<br />
Visi itu adalah ”Terwujudnya Masyarakat Kota Gorontalo yang Sejahtera dan<br />
Berkualitas”, dengan Misi diemban adalah:<br />
1. Peningkatan profesionalitas SDM melalui peningkatan kualitas pendidikan<br />
disemua sektor kehidupan.<br />
2. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, baik jasmani maupun rohani.<br />
3. Meningkatkan pendapatan masyarakat.<br />
3.2 Strategi Pembangunan Kota Gorontalo<br />
Strategi pembangunan Kota Gorontalo dilakukan melalui pendekatan:<br />
1. Mengopimalkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan<br />
Kota Gorontalo, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan<br />
pengawasan pembangunan.<br />
2. Mengoptimalkan potensi sumber daya dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat,<br />
dalam mengakselerasi pwembangunan.<br />
3. Mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, sebagai salah satu modal<br />
utama dalam mengakslerasikan pembangunan daerah.<br />
4. Menjadikan supremasi Hukum, Etika Moral dan HAM sebagai pilar utama<br />
pembangunan Kota Gorontalo.<br />
4.<br />
<strong>Implementasi</strong> Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun<br />
2002 di Kota Gorontalo<br />
4.1 Gambaran Pelaksanaan <strong>Perda</strong> Nomor 2, 3, 4 Tahun 2002<br />
Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 di Kota Gorontalo<br />
antara lain didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu:<br />
1. Memenuhi tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan yang<br />
baik disemua bidang pembangunan<br />
2. Mewujudkan kondisi penyelenggaraan pemerintahan yang menjunjung tinggi<br />
supremasi hukum, hak azasi manusia dan etika moral<br />
3. Menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan,<br />
pelaksanaan dan pengasan pembangunan<br />
114
Dengan pertimbangan pelaksanaan ketiga Peraturan Daerah tersebut diatas, maka<br />
tujuan akhir yang ingin dicapai dalam proses penyelenggaraan pemerintahan<br />
di Kota Gorontalo adalah terwujudnya kondisi pemerintahan yang bersih dan<br />
berwibawa (Good Governance).<br />
Guna mewujudkan Good Governance ini maka syarat utama yang dikedepankan<br />
adalah terciptanya Pemerintah (eksekutif), Legislatif dan Yudikatif yang baik.<br />
Oleh karena itu Pemerintah Kota Gorontalo memiliki komitmen yang kuat<br />
telah menetapkan bahwa strategi pembangunan berbasis pada masyarakat.<br />
Dengan demikian Inti dari pembangunan berbasis pada masyarakat adalah<br />
pelibatan masyarakat sebagai stakeholders dalam perencanaan, pelaksanaan dan<br />
pengawasan/evaluasi pembangunan.<br />
Penerapan <strong>Perda</strong> No. 2, 3, 4 Tahun 2002 dalam mengiringi proses penyelenggaraan<br />
pemerintahan di Kota Gorontalo, pada hakekatnya adalah:<br />
1. Adanya kewajiban Pemerintah Daerah melibatkan masyarakat dalam proses<br />
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasanb pembangunan<br />
2. Pemerintah Daerah memiliki kewajiban memenuhi hak-hak fundamental<br />
masyarakat baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan<br />
pembangunan<br />
3. Pemerintah Daerah memberikan jaminan dan kepastian kepada masyarakat<br />
baik dalam hal pelayanan, maupun dalam upaya mengetahui secara pasti<br />
proses, pelaksanaan dan hasil-hasil pembangunan di daerah<br />
4. Mewujudkan sinergitas antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat sebagai<br />
stakeholders mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan<br />
pengawasan pembangunan di daerah.<br />
4.1.1 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002<br />
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perencanaan Pembangunan<br />
Berbasis Masyarakat pada gilirannya merupakan proses penjabaran yang lebih<br />
bersifat operasional serta dijiwai semangat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999<br />
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.<br />
Di dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, paradigma perencanaan<br />
pembangunan yang dulunya bersifat topdown telah diubah dan prosesnya<br />
berlangsung secara bottom up. Kondisi ini telah ditegaskan secara lebih operasional<br />
dalam <strong>Perda</strong> Nomor 2 Tahun 2002 dimana mekanisme perencanaan pembangunan<br />
melibatkan masyarakat sebagai Stakeholders mulai dari penyusunan rencana<br />
sampai dengan proses pengambilan keptusan strategis. Keterlibatan masyarakat<br />
dalam proses perencanaan tidak semata-mata bersifat obyek tetapi juga lebih<br />
bersifat subjek perencana yang turut menentukan prioritas kegiatan pembangunan<br />
baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan dan tingkat Kota Gorontalo.<br />
Oleh karena dengan adanya <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2002 ini masyarakat memperoleh<br />
115
jaminan dan kepastian atas hak-haknya dalam proses pertencanaan, maka tujuan<br />
yang dicapai dalam penerapan <strong>Perda</strong> ini, yaitu:<br />
1. Terwujudnya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk<br />
mengetahui rencana dan proses pengambilan keputusan publik.<br />
2. Tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk mengefektifkan fungsi-fungsi<br />
perencanaan yang ada pada masyarakat ke dalam proses perencanaan<br />
pembangunan Kota Gorontalo.<br />
3. Terwujudnya peningkatan kualitas aspirasi masyarakat dalam memberikan<br />
input bagi pengambilan kebijakan publik.<br />
4. Adanya kepastian dan jaminan bahwa setiap orang (masyarakat) mengetahui<br />
alasan dan pertimbangan bahwa suatu agenda pembangunan menjadi prioritas<br />
bersama.<br />
Meskipun pada kondisi awalnya upaya mencapai tujuan tersebut di atas belum<br />
berjalan secara optimal, namun dalam perkembangan selanjutnya warga<br />
masyarakat di Kota Gorontalo telah menyadari bahwa melalui forum Musrenbang<br />
mereka telah dilibatkan secara langsung dalam proses penyusunan rencana di<br />
tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kota. Keputusan-keputusan yang diambil<br />
dalam rangka penentuan prioritas kegiatan di tingkat Kelurahan melibatkan<br />
segenap potensi masyarakat sehingga keputusan itu telah menggambarkan adanya<br />
keputusan partisipatif. Dengan demikian disinilah substansi dari <strong>Perda</strong> Nomor 2<br />
Tahun 2002 yaitu untuk memberikan dan menjamin hak setiap orang baik secara<br />
individu maupun kelompok untuk terlibat dan melibatkan diri dalam proses<br />
perencanaan baik ditingkat Kelurahan, Kecamatan dan Tingkat Kota Gorontalo.<br />
4.1.2 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002<br />
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 pada hakekatnya mengatur tentang<br />
Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo. Salah satu<br />
pertimbangan diwujudkannya <strong>Perda</strong> tersebut adalah dalam rangka memenuhi<br />
berbagai tuntutan masyarakat atas Penyelenggaraan Pemerintahan diberbagai<br />
bidang pembangunan di wilayah Kota Gorontalo.<br />
Lahirnya <strong>Perda</strong> Nomor 3 Tahun 2002 ini merupakan wujud sikap dari Pemerintah<br />
Kota Gorontalo bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)<br />
Kota Gorontalo, untuk mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat yang dalam<br />
kehidupannya diliputi oleh semangat keterbukaan dan kebebasan mengemukakan<br />
pendapat. Karakteristik masyarakat yang ditempah dan telah melalui proses arus<br />
reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, mendorong Pemerintah Kota Gorontalo<br />
untuk menyikapi secara sungguh-sungguh dinamika perubahan yang terjadi<br />
di tengah-tengah masyarakat. Karena itu <strong>Perda</strong> Transparansi ini lahir sebagai<br />
jawaban atas semua kehendak warga masyarakat yang dibingkai dalam aturanaturan<br />
yang jelas dan terukur.<br />
Dengan adanya <strong>Perda</strong> No. 3 Tahun 2002 maka beberapa aspek yang wajib<br />
116
disampaikan oleh Pemerintah Kota Gorontalo kepada masyarakat, antara lain:<br />
1. Informasi seluruh proses perencanaan pembangunan (Visi, Misi dan Strategi)<br />
mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota<br />
2. Informasi pembahasan APBD mulai dari penganggaran sampai dengan<br />
pembahasan dan penetapan<br />
3. Informasi yang berkaitan dengan penataan Tata Ruang Kota Gorontalo<br />
4. Informasi proses pengawasan yang mencakup obyek yang diawasi sampai<br />
hasil-hasil audit<br />
5. Proses perjanjian dan kontrak kerja sesuai dengan kewenangan masing-masing<br />
badan publik<br />
Untuk keperluan perolehan informasi tersebut diatas, maka masyarakat Kota<br />
Gorontalo memiliki hak untuk mendapat informasi selambat-lambatnya 1 (satu)<br />
minggu setelah adanya permintaan informasi dari masyarakat.<br />
Di dalam <strong>Perda</strong> No. 3 Tahun 2002 diatur pula ketentuan informasi yang dikecualikan<br />
untuk diketahui oleh masyarakat. Pengecualian informasi ini didasarkan pada<br />
pertimbangan penegakan hukum, stabilitas keamanan dan hak-hak warga negara.<br />
Beberapa informasi yang dikecualikan itu apabila dibuka dan diberikan kepada<br />
masyarakat akan berdampak pada hal-hal sebagai berikut:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Terhambatnya proses penegakan hukum.<br />
Mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual<br />
Mengganggu perlindungan terhadap timbulnya persaingan usaha tidak sehat.<br />
Merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional.<br />
Melanggar kerahasiaan pribadi<br />
Untuk menjamin penerapan transparansi dalam pelaksanaan/ pengelolaan<br />
keuangan, maka dalam <strong>Perda</strong> Nomor 3 Tahun 2002 ini diatur mengenai<br />
pembentukan Komisi Transparansi. Oleh karenanya di Kota Gorontalo telah<br />
terbentuk sebuah Komisi Transparansi yang anggota-anggotanya dipilih oleh<br />
DPRD atas usulan warga masyarakat dan ditetapkan dengan keputusan Walikota<br />
Gorontalo. Tugas utama dari Komisi Transparansi ini yaitu melakukan pengawasan<br />
terhadap kewajiban badan publik dan mengkaji, mengembangkan kapasitas<br />
badan publik untuk melaksanakan transparansi. Sedangkan fungsi dari Komisi<br />
ini antara lain melakukan evaluasi terhadap penggunaan hak masyarakat sebagai<br />
bahan penyempurnaan kebijakan publik. Di sisi lain Komisi ini pula memiliki<br />
kewenangan seperti yang diatur dalam Pasal 24 yaitu diantaranya adalah dapat<br />
meminta informasi, catatan atau bahan-bahan dari pejabat yang bertanggung<br />
jawab tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.<br />
4.1.3 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002<br />
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 mengatur tentang Pengawasan<br />
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo. Beberapa pertimbangan<br />
dicetuskannya <strong>Perda</strong> ini diantaranya bahwa dalam rangka penyelenggaraan<br />
117
Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab, maka dipandang perlu<br />
menekankan prinsip-prinsip demokratisasi, keadilan dan pemerataan bagi segenap<br />
warga masyarakat Kota Gorontalo. Selain itu guna mewujudkan penyelenggaraan<br />
Pemerintahaan Daerah yang baik dan bersih serta mampu menjalankan fungsi dan<br />
tugasnya dengan penuh tanggung jawab, maka diperlukan peran serta masyarakat<br />
untuk melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di<br />
daerah. Substansi hukum dari <strong>Perda</strong> dimaksud tetap saja dijiwai oleh berbagai<br />
peraturan perundangan diatasnya mengenai Sistem Pengawasan Penyelenggaraan<br />
Pemerintahan Daerah.<br />
Dengan memperhatikan pasal-pasal dalam <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2002, sangat jelas<br />
ditegaskan bahwa ruang lingkup pengawasan penyelenggaraan pemerintahan<br />
di Kota Gorontalo terdiri dari Pengawasan Fungsional, Pengawasan Legislatif<br />
dan Pengawasan Masyarakat. Dalam hal pengawasan ini, kedudukan Walikota<br />
Gorontalo dapat melakukan pengawasan fungsional kepada Unit/ Badan/ Dinas<br />
sebagai Penyelenggara Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan<br />
yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Daerah Kota Gorontalo. Kedudukan<br />
Badan Pemeriksa Daerah dalam amanat <strong>Perda</strong> ini dinyatakan secara tegas<br />
selain bertanggungjawab terhadap Walikota, juga bertanggungjawab terhadap<br />
masyarakat melalui DPRD Kota Gorontalo dalam hal melakukan pengawasan.<br />
Selanjutnya DPRD Kota Gorontalo berwenang melakukan pengawasan legislatif<br />
atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Fraksi-<br />
Fraksi, Komisi-Komisi dan alat kelengkapan Dewan lainnya yang dibentuk sesuai<br />
dengan Tata Tertib DPRD Kota Gorontalo.<br />
Suatu hal yang dinilai lebih spesifik terhadap <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2002 ini sebagai<br />
produk aturan lokal adalah diberinya ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk<br />
melakukan pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengawasan<br />
yang dilakukan oleh masyarakat meliputi pemberian informasi adanya indikasi<br />
terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan Pemerintah Daerah<br />
dan DPRD Kota Gorontalo. Selain itu masyarakat dapat menyampaikan pendapat<br />
dan saran mengenai perbaikan dan penyempurnaan baik preventif maupun represif<br />
atas masalah yang berkembang.<br />
Untuk keperluan pengawasan yang lebih maksimal, maka upaya yang dilakukan<br />
dalam rangka pemberian ruang dan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk<br />
melakukan pengawasan, diantaranya adalah:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Pembukaan Kotak Saran di semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)<br />
Pelaksanaan Hearing di tingkat badan legislatif (DPRD)<br />
Dibukanya rubrik informasi melalui SMS di media cetak<br />
Pelaksanaan dialog baik secara langsung dan terbuka maupun melalui media<br />
elektronika dengan program “Kopi Lolango”<br />
Adanya kewajiban semua Instansi/Badan <strong>Publik</strong> menerapkan sistem CT4<br />
(Cepat Temu, Cepat Tanggap, Cepat Tindak dan Cepat Tuntas)<br />
118
Dari hasil pengamatan tentang kondisi pengawasan yang berlangsung<br />
diperoleh gambaran bahwa implementasi <strong>Perda</strong> No. 4 tahun 2002 dinilai telah<br />
banyak memberikan kontribusi positif bagi setiap Unit/ Badan/ Dinas sebagai<br />
Penyelenggara Pemerintahan di Daerah untuk melakukan penataan dan perbaikan<br />
terhadap kinerja aparaturnya. Hasil-hasil temuan atas penyimpangan yang terjadi<br />
tidak sekedar menjadi bahan informasi dalam perbaikan kebijakan pengawasan,<br />
melainkan dalam proses pembenahan kinerja aparatur pemerintah hasil temuan<br />
tersebut menjadi bahan tindak lanjut dalam pemberian sangsi. Sesuai Pasal 17<br />
<strong>Perda</strong> Nomor 4 Tahun 2002 dengan tegas dinyatakan bahwa tindak lanjut hasil<br />
temuan dapat berupa;<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Tindakan administratif sesuai Peraturan Perundangan<br />
Tindakan tuntutan perbendaharaan atau ganti rugi<br />
Tindakan tututan perdata<br />
Tindakan tuntutan perbuatan pidana, dan<br />
Tindakan penyempurnaan kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan.<br />
4.2 Implikasi Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2, 3, 4 Tahun<br />
2002<br />
Bila dikaji lebih jauh implementasi Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002<br />
Kota Gorontalo, sangat jelas termuat dalam peraturan tersebut masyarakat Kota<br />
Gorontalo diberi peluang dan ruang yang lebih luas untuk terlibat dan melibatkan<br />
diri dalam proses pembangunan daerah.<br />
Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002, kedudukan warga masyarakat<br />
mulai dari tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Tingkat Kota Gorontalo memiliki<br />
peran strategis dalam penentuan prioritas kegiatan pembangunan daerah. Ruang<br />
yang demikian luas itu tampak dari keterlibatan warga masyarakat dalam proses<br />
penyusunan rencana sampai dengan pengambilan keputusan strategis mengenai<br />
penentuan prioritas kegiatan dalam pembangunan. Keterlibatan dan partisipasi<br />
aktif masyarakat mulai dari Tingkat Kelurahan, Kecamatan sampai dengan<br />
Tingkat Kota Gorontalo turut mewarnai setiap pengambilan kebijakan publik yang<br />
diakumulasi melalui hasil-hasil musyawarah perencanaan pembangunan.<br />
Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang digelar di semua tingkatan<br />
wilayah baik Kelurahan, Kecamatan dan Kota adalah sebuah representasi dari<br />
adanya kemauan dan keinginan yang kuat Pemerintah Kota Gorontalo untuk<br />
mendorong terwujudnya peningkatan partisipasi masyarakat. Kondisi ini pada<br />
hakekatnya merupakan amanat konstitusi (PERDA) yang mengandung makna<br />
agar warga masyarakat menyadari bahwa prioritas kegiatan pembangunan yang<br />
sudah ditetapkan melalui Musrenbang adalah benar-benar lahir dari sebuah<br />
kesepakatan bersama, adil dan merata.<br />
Mengingat demikian besarnya ruang yang diberikan kepada masyarakat sesuai<br />
amanah <strong>Perda</strong> tersebut diatas, maka masyarakat pun menghendaki perlunya<br />
119
transparansi dalam proses penyelenggaraan pembangunan daerah. Oleh karena itu<br />
Pemerintah Daerah bekerja sama dengan DPRD Kota Gorontalo dalam menyikapi<br />
kondisi eksternal yang berkembang di masyarakat berupaya melahirkan Peraturan<br />
Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan<br />
Kota Gorontalo. Dalam <strong>Perda</strong> Transparansi ini, peran serta warga masyarakat Kota<br />
Gorontalo tampak menjadi prioritas utama yang dikedepankan dalam mengawal<br />
Proses Penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan.<br />
Dengan terbentuknya Komisi Transparansi di Kota Gorontalo sesuai amanat <strong>Perda</strong><br />
No. 3 Tahun 2002, maka hal tersebut merupakan bukti konkrit dari sebuah keinginan<br />
kuat Penyelenggara Pemeritahan di Daerah Kota Gorontalo dalam mendorong<br />
tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat. Meskipun Komisi Transparansi ini<br />
ditetapkan oleh Walikota Gorontala atas usulan masyarakat melalui DPRD Kota<br />
Gorontalo, dalam kiprahnya Komisi tersebut menjalankan tugas dan fungsinya<br />
tetap berpijak pada prinsip independensi, terbuka dan berkeadilan.<br />
Oleh karena itu eksistensi tugas dari Komisi Transparansi ini terhindar dari<br />
adanya unsur intervensi dan tekanan dari pihak manapun. Guna memperkuat tata<br />
pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance), serta untuk mengawasi<br />
jalannya pelaksanaan pembangunan di daerah, maka Pemerintah Daerah bersamasama<br />
dengan DPRD Kota Gorontalo menetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun<br />
2002 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo.<br />
Dalam peraturan daerah ini selain diatur mengenai pengawasan fungsional dan<br />
legislatif, dinyatakan pula dengan tegas bahwa masyarakat Kota Gorontalo diberi<br />
porsi secara khusus mengawasi proses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.<br />
Masyarakat dalam melakukan pengawasan dapat secara perorangan maupun<br />
melalui sebuah <strong>org</strong>anisasi memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memberi<br />
dan menerima informasi mengenai hasil penyelenggaraan pemerintahan serta<br />
kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat<br />
itu. Ini berarti warga masyarakat Kota Gorontalo memiliki peran strategis dan<br />
ditempatkan pada posisi yang sesuai hak dan kewajibannya dalam pengawasan<br />
pembangunan di daerah. Berdasarkan kondisi realitas sebagaimana yang diuraikan<br />
diatas, maka penerapan <strong>Perda</strong> No. 2, 3, 4 Tahun 2002 berimplikasi pada:<br />
1. Tumbuhnya sinergitas antara Pemerintah Daerah dengan warga masyarakat<br />
dalam mewujudkan kondisi pemerintahan Kota Gorontalo secara lebih baik<br />
dengan mengedepankan kepentingan masyarakat<br />
2. Penyelenggara pemerintahan secara terus menerus dapat melakukan koreksi<br />
dan instrospeksi terhadap setiap permusan rencana dan kebijakan dalam<br />
proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan<br />
3. Meningkatnya partisipasi masyarakat yang dapat dilihat dari adanya kontribusi<br />
pemikiran, saran dan pendapat dalam proses pembangunan daerah mulai dari<br />
perumusan rencana, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan<br />
4. Adanya komitmen yang kuat bagi penyelenggara pemerintahan dan warga<br />
masyarakat dalam mewujudkan Good Governance<br />
120
5.<br />
Penutup<br />
Berdasarkan hasil telaahan dan kajian tentang Peraturan Daerah Nomor 2, 3<br />
dan 4 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dapat dikemukakan<br />
beberapa kesimpulan sebagai berikut:<br />
1. Bahwa Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 merupakan peraturan<br />
yang bersifat mengikat bagi keseluruhan Penyelenggara Pemerintahan<br />
Daerah dan Masyarakat Kota Gorontalo dalam mewujudkan suatu kondisi<br />
Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan yang berkeadilan dengan<br />
menjunjung tinggi prinsip-prinsip Good Governance.<br />
2. Bahwa Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 merupakan<br />
jaminan terhadap hak dan kewajiban warga masyarakat untuk secara<br />
aktif berpartisipasi dalam pembangunan daerah mulai proses perencanaan,<br />
pelaksanaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan<br />
dan kemasyarakatan.<br />
3. Bahwa dengan keberadaan Peraturan Daerah tersebut diatas, setiap<br />
Penyelenggara Pemerintahan, Pejabat <strong>Publik</strong> lainnya dan warga masyarakat<br />
dapat secara sinergis mewujudkan suatu tata Pemerintahan, Pembangunan<br />
dan Kemasyarakatan secara lebih baik dan berkeadilan.<br />
Gorontalo, Juni 2006<br />
121
3. Potensi Penyimpangan Substansi<br />
dalam Proses Legislasi Peraturan Daerah<br />
Abstrak<br />
Dalam proses penyusunan peraturan perundangan (peraturan daerah/ perda)<br />
secara partisipatif, masyarakat dapat terlibat dari mulai penelitian dan penyusunan<br />
naskah akademik, sampai dalam proses legislasi di parlemen (DPR-D). Lebih dari<br />
itu, tidak memungkinkan lagi bagi masyarakat untuk terlibat. Tahapan terakhir<br />
proses legislasi tersebut adalah sebuah black box, yaitu proses pengajuan draft<br />
raperda untuk dibahas dalam Sidang Paripurna sampai penulisannya dalam<br />
lembaran daerah. Pada tahapan ini, proses bersifat politis dan sangat menentukan<br />
nasib dari peraturan yang diajukan tersebut.<br />
Pada setiap tahapan legislasi sangat berpotensi untuk terjadinya penyimpangan<br />
substansi perda. Penyimpangan substansi ini terkait dengan kepentingan<br />
stakeholder yang berbeda terhadap peraturan yang sedang disusun, baik yang pro<br />
maupun yang kontra. Namun dengan ketelitian, argumen dan pendekatan yang<br />
baik dan rasional pada saat pembahasan, biasanya penyimpangan tersebut dapat<br />
dihalangi dan dikembalikan pada substansi yang benar.<br />
Tapi kemudian penyimpangan yang paling sulit untuk dihalangi adalah setelah<br />
draft raperda disepakati dalam pembahasan untuk diajukan pada sidang paripurna<br />
sampai perda tersebut ditempatkan dalam lembaran daerah. Pada tahapan<br />
tersebut, masyarakat tidak lagi dapat berperan. Pengawalan terhadap substansi<br />
perda hanya akan dapat dilakukan oleh mereka yang memungkinkan terlibat<br />
didalam sidang paripurna dan penempatan perda dalam lembaran daerah. Seperti<br />
diantaranya anggota DPRD dan pihak eksekutif (misalnya staf sekretariat dewan,<br />
staf sekretariat daerah, bupati).<br />
Untuk melihat ada atau tidaknya perubahan, kita melakukan analisis dengan<br />
membandingkan isi (content analysis) draft raperda sebelum dan sesudah blackbox,<br />
yaitu diantaranya setelah draft raperda disepakati dalam pembahasan untuk<br />
diajukan dalam sidang paripurna sampai perda tersebut selesai ditempatkan dalam<br />
lembaran daerah. Logikanya, bila ada penyimpangan maka akan terlihat dari<br />
adanya perubahan dalam draft (baik raperda maupun perda-nya). Sekecil apapun<br />
perubahan tersebut, sangat mungkin merubah struktur/kerangka logis atau pun<br />
substansinya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut berpotensi menjadikan<br />
perda yang disahkan menjadi sulit atau tidak operasional. Kemungkinan paling<br />
buruk adalah kemudian, perda tersebut dibatalkan karena cacat substansi.<br />
122
Sebagai studi kasus, kita menggunakan pengalaman Perkumpulan Inisiatif dalam<br />
menginisiasi peraturan daerah. Perkumpulan Inisiatif pernah menginisiasi dan<br />
terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 tahun<br />
2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta<br />
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 2 tahun 2006 tentang Alokasi Dana<br />
Perimbangan Desa. Kedua perda ini dapat dikategorikan sebagai peraturan daerah<br />
yang menyediakan suprastruktur bagi terlaksananya perda-perda pelayaan publik<br />
dasar dan implementasinya.<br />
Kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa perjuangan stakeholder dalam<br />
pembahasan rancangan peraturan daerah, baik yang pro maupun yang kontra,<br />
tidak akan berhenti sampai saat akhir pembahasan saja. Diharapkan dari kajian<br />
ini akan dapat mengidentifikasi proses dalam blackbox yang memberikan peluang<br />
untuk terjadinya penyimpangan (perubahan draft raperda) serta strategi apa yang<br />
harus dilakukan agar potensi penyimpangan dapat dihilangkan. Sehingga nanti,<br />
rekomendasi yang mungkin diajukan adalah<br />
1. usulan revisi peraturan perundangan yang mengatur mengenai prosedur<br />
penyusunan produk hukum daerah dan prosedur lainnya yang terkait (misalnya<br />
tata tertib dewan, dll) jika ternyata ada black box yang berpotensi terjadinya<br />
penyimpangan dan<br />
2. perlunya peningkatan kapasitas bagi stakehoder (terutama masyarakat<br />
marginal) sehingga mereka mampu berpartisipasi dalam penyusunan peraturan<br />
daerah dan mengawal keseluruhan prosesnya.<br />
1.<br />
Pendahuluan<br />
Secara sederhana, kebijakan publik pemerintah dapat dibagi berdasarkan bentuknya<br />
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang bentuknya penyediaan<br />
barang dan jasa. Sementara kelompok kedua adalah yang bentuknya regulasi. Lebih<br />
jauh lagi, kebijakan publik yang bentuknya regulasi juga dikategorikan menjadi<br />
dua, yaitu regulasi yang sifatnya infrastruktur dan yang sifatnya suprastruktur.<br />
Yang termasuk kategori infrastruktur misalnya regulasi tentang pelayanan publik<br />
dasar, alokasi anggaran (APBD), pengentasan kemiskinan, standar pendidikan,<br />
dll. Sementara yang termasuk kategori suprastruktur misalnya regulasi tentang<br />
transparansi, akuntabilitas, proses perencanaan, dan lain-lain.<br />
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa partisipasi masyarakat dalam<br />
pembuatan kebijakan publik, baik penyediaan barang dan jasa maupun regulasi,<br />
sangat diperlukan. Hal ini untuk menjamin bahwa kebijakan yang disusun akan<br />
mengakomodir kepentingan masyarakat serta tidak akan merugikan. Namun<br />
sampai saat ini masyarakat belum dapat berpartisipasi secara penuh. Hasilnya<br />
dapat dilihat dari masih banyaknya kebijakan publik di daerah yang belum<br />
berpihak pada kepentingan masyarakat.<br />
123
Usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik daerah agar lebih berpihak pada<br />
masyarakat telah diusahakan oleh banyak pihak. Salah satu diantara usaha-usaha<br />
tersebut adalah melalui advokasi untuk mereformasi regulasi daerah. Dengan adanya<br />
advokasi di tingkatan regulasi daerah diharapkan adanya pelembagaan kebijakan<br />
publik yang lebih pro-rakyat. Namun usaha untuk mereformasi regulasi di daerah<br />
pun masih menghadapi banyak kendala. Seperti misalnya konflik kepentingan,<br />
lemahnya kapasitas berjejaring, pengetahuan hukum, keterbatasan pengetahuan<br />
akan substansi yang diadvokasikan, dll. Kendala terbesar yang dihadapi sampai<br />
saat ini adalah belum jelasnya ruang/prosedur yang memungkinkan adanya<br />
partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah.<br />
Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah saat ini masih<br />
harus mengandalkan “kesadaran dan kebaikan hati” para birokrat pemerintahan<br />
dan anggota DPRD. Advokasi kebijakan publik yang lebih pro-rakyat melalui<br />
penyusunan peraturan daerah saat ini baru dapat dilakukan secara tidak langsung.<br />
Partisipasi masyarakat baru dapat dilakukan sebatas mengajukan usulan<br />
penyusunan peraturan daerah (tentu saja untuk substansi tertentu) pada aparat<br />
pemerintahan atau anggota DPRD. Setelah itu sulit bagi masyarakat untuk melihat<br />
apakah usulannya diterima atau tidak. Kalau pun usulan penyusunan peraturan<br />
daerah tersebut diterima dan ditindaklanjuti oleh aparat pemerintah atau anggota<br />
DPRD, dari proses penyusunan sampai legislasi dan pengesahan peraturan daerah,<br />
masyarakat tetap tidak dapat mengontrol substansi yang diusung dalam peraturan<br />
daerah tersebut. Ketiadaan ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam<br />
proses penyusunan peraturan daerah tentu saja akan memperbesar resiko adanya<br />
penyimpangan dalam substansi yang diusulkan.<br />
Tulisan ini dibuat untuk menunjukan bahwa ketiadaan ruang yang jelas bagi<br />
partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah akan<br />
memperbesar resiko adanya penyimpangan substansi yang diusulkan. Kami<br />
berasumsi bahwa:<br />
1. Proses penyusunan kebijakan publik apapun, termasuk diantaranya peraturan<br />
daerah, akan selalu menghadapi pro dan kontra dari berbagai pihak.<br />
2. Baik pihak pro maupun kontra, akan selalu berusaha mempengaruhi proses<br />
kebijakan publik untuk memasukkan agenda dan kepentingan mereka. Mereka<br />
akan memanfaatkan berbagai celah yang mungkin dipergunakan, termasuk<br />
diantaranya adalah prosedur formal.<br />
3. Ketika ada celah yang tidak dapat dimanfaatkan salah satu pihak, maka pihak<br />
yang lain akan mengeksploitasi celah tersebut semaksimal mungkin.<br />
Disini kita mempunyai kekhawatiran bahwa bila ada penyimpangan, maka sekecil<br />
apapun penyimpangan tersebut, sangat mungkin merubah struktur/ kerangka logis<br />
atau pun substansinya. Konsekuensi yang mungkin terjadi adalah penyimpangan<br />
tersebut berpotensi menjadikan peraturan daerah yang disahkan menjadi sulit atau<br />
tidak operasional. Kemungkinan paling buruk adalah peraturan daerah tersebut<br />
cacat substansi.<br />
124
Sebagai studi kasus, kita menggunakan pengalaman Perkumpulan INISIATIF<br />
dalam menginisiasi dan mengadvokasi peraturan daerah di Kabupaten Bandung .<br />
Perkumpulan INISIATIF pernah menginisiasi dan terlibat dalam penyusunan<br />
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 tentang Tata Cara<br />
Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta Peraturan Daerah<br />
Kabupaten Bandung No.2 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa.<br />
Kedua perda ini dapat dikategorikan sebagai peraturan daerah yang menyediakan<br />
suprastruktur bagi terlaksananya perda-perda pelayaan publik dasar dan<br />
implementasinya. Proses advokasi kedua peraturan daerah dilakukan dalam<br />
konteks prosedur penyusunan peraturan daerah berdasarkan Keputusan<br />
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur<br />
Penyusunan Produk Hukum Daerah.<br />
2.<br />
Metode Analisis<br />
Sebelum membuktikan adanya potensi penyimpangan substansi dalam proses<br />
legislasi, terlebih dahulu kita mengkaji prosedur penyusunan peraturan daerah<br />
yang berlaku saat itu: Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.<br />
23 tanggal 18 Juli 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.<br />
Kajian ini dilakukan untuk melihat celah-celah yang memungkinkan (atau tidak<br />
memungkinkan) adanya partisipasi masyarakat dalam prosedur tersebut. Tidak<br />
ada teknik khusus yang digunakan dalam kajian ini. Untuk membuktikan adanya<br />
potensi penyimpangan substansi dalam proses legislasi kita langsung pada kedua<br />
studi kasus.<br />
Untuk setiap studi kasus, pertama-tama kita akan membahas konteks advokasi<br />
kedua peraturan daerah tersebut. Dari pembahasan tersebut diharapkan kita akan<br />
memahami latarbelakang serta urgensi advokasinya.<br />
Kedua, kita membahas mengenai proses yang dilalui oleh INISIATIF pada saat<br />
advokasi. Seperti sebelumnya, tidak ada teknik khusus yang digunakan selain<br />
dari content analysis biasa. Dari pemahaman tentang proses yang dilalui ini kita<br />
mengetahui langkah-langkah advokasi yang dilakukan, mengerti alasan dan<br />
tujuan setiap langkah, serta menempatkannya dalam prosedur formal penyusunan<br />
peraturan daerah. Output dari analisis ini diharapkan kita akan mengetahui apa<br />
saja dampak dari proses yang terjadi pada kemungkinan partisipasi, pada substansi<br />
peraturan daerah yang diusulkan, serta mengidentifikasi potential black box dalam<br />
prosedur formal yang berlaku.<br />
Terakhir, untuk membuktikan bahwa prosedur penyusunan produk hukum daerah<br />
yang berlaku memungkinkan adanya penyimpangan substansi yang diusulkan<br />
Perkumpulan INISIATIF memang bukan stakeholder di Kabupaten Bandung. Tapi posisi INISIATIF<br />
adalah pelaku action research.<br />
125
masyarakat, dilakukan juga content analysis dengan membandingkan draft-draft<br />
yang dihasilkan dalam proses penyusunan perda tersebut. Fokus utama adalah<br />
membandingkan draft usulan, draft hasil pembahasan, serta dokumen peraturan<br />
daerah yang telah disahkan.<br />
3.<br />
Hasil Analisis<br />
Hasil analisis berikut dipaparkan sesuai urutan analisis yang telah disebutkan<br />
pada bagian sebelumnya. Yang pertama adalah hasil kajian mengenai Prosedur<br />
Penyusunan Produk Hukum Daerah. Berikutnya adalah hasil kajian kasus pertama<br />
yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 tentang Tata Cara<br />
Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah. Dan terakhir dipaparkan hasil<br />
kajian kasus kedua mengenai Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.2 Tahun<br />
2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa.<br />
126<br />
3.1 Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah<br />
Pada saat INISIATIF melakukan advokasi kedua peraturan daerah, setidaknya<br />
ada dua peraturan yang terkait dengan prosedur penyusunan peraturan daerah.<br />
Peraturan yang pertama adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2001<br />
tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah<br />
2<br />
(DPRD). <br />
Menurut peraturan tersebut DPRD dapat:<br />
1. melalui Pemandangan Umum anggota, mengajukan usul perubahan Rancangan<br />
3<br />
Peraturan Daerah (Ranperda) yang diajukan oleh Kepala Daerah; dan<br />
4<br />
2. mengajukan Ranperda yang diusulkan setidaknya oleh lima orang anggota dari<br />
lebih satu fraksi, untuk kemudian dibahas bersama dalam Rapat Paripurna<br />
DPRD dengan memberikan kesempatan kepada anggota DPRD lainnya serta<br />
Pemda untuk membahasnya.<br />
Peraturan yang kedua adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi<br />
Daerah (Kepmendagri) Nomor 23 Tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 mengatur<br />
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Kepmendagri ini mengatur secara<br />
rinci proses penyusunan produk hukum, baik yang peraturan daerah maupun yang<br />
produk hukum yang sifatnya penetapan (Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi<br />
Kepala Daerah). Kepmendagri-otda No.23 Tahun 2001 ini juga menyediakan ruang<br />
untuk hak inisiatif DPRD untuk mengajukan dan membahas Rancangan Peraturan<br />
5<br />
Daerah. <br />
2 Saat itu telah muncul Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata<br />
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai mengganti Peraturan Pemerintah No.1<br />
tahun 2001. Namun rupanya DPRD Kabupaten Bandung masih belum mengganti Tata Tertib-nya dan<br />
masih berpedoman pada PP No.1 tahun 2001.<br />
3 Pasal 12 huruf d yang dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3)<br />
4 Pasal 12 huruf f yang dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) sampai ayat (9)<br />
5 Pasal 17 dan pasal 18 Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Kepmendagri) Nomor<br />
23 tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah
Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah<br />
(Berdasarkan Kepmendagri No. 23/2001)<br />
P IMP . U NIT K E R J A<br />
(Inis iator*)<br />
S E K R E T A R IS DA E R A H K E P A L A DA E R A H B IR O /B A G HUK U M DP R D<br />
( 1 )<br />
Rencana Pengajuan<br />
Produk Hukum dan<br />
Pokok-Pokok Pikiran<br />
( 2 )<br />
( 8 )<br />
( 3 )<br />
Persetujuan untuk<br />
harm onisasi dan<br />
sinkronisasi<br />
( 7 )<br />
Persetujuan awal untuk<br />
penyusunan draft dan<br />
pem bahasan<br />
( 4 )<br />
( 6 )<br />
( 5 )<br />
Harm onisasi m ateri dan<br />
sinkronisasi pengaturan<br />
( 3 4 )<br />
Hak Inisiatif: Rencana<br />
Pengajuan Produk<br />
Hukum dan Pokok-Pokok<br />
Pikiran<br />
( 3 6 )<br />
Koordinasi<br />
( 3 7 )<br />
( 1 2 )<br />
( 1 3 )<br />
Penyusunan draft<br />
( 9 )<br />
Penyusunan draft<br />
( 1 0 )<br />
( 1 4 )<br />
( 1 1 )<br />
Pem bahasan draft<br />
( 1 5 )<br />
Paraf persetujuan hasil<br />
pem bahasan<br />
( 1 6 )<br />
( 1 9 )<br />
Persetujuan<br />
( 1 8 )<br />
( 1 7 )<br />
Koordinasi paraf<br />
( 2 0 ) ( 2 1 )<br />
Persetujuan<br />
( 2 2 )<br />
( 2 3 )<br />
Pem bahasan<br />
( 2 6 )<br />
( 2 4 )<br />
( 2 7 )<br />
Penetapan<br />
( 2 5 )<br />
Persetujuan<br />
( 2 9 )<br />
Pengesahan<br />
( 3 0 )<br />
( 3 8 )<br />
Tim Asistensi<br />
( 2 8 )<br />
( 3 9 )<br />
( 3 1 )<br />
( 3 2 )<br />
Penom oran,<br />
Penggandaan,<br />
Pendistribusian dan<br />
Pendokum entasian<br />
( 3 3 )<br />
Disem inasi<br />
(bersam a dengan<br />
pengusul/Unit Kerja)<br />
3.2 Advokasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 tahun<br />
2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan<br />
Daerah<br />
Latar belakang penyusunan raperda ini adalah munculnya Undang-Undang<br />
No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada<br />
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa perlu adanya<br />
peraturan daerah yang mengatur tentang tata cara penyusunan RPJP Daerah,<br />
RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan pelaksanaan Musrenbang<br />
6<br />
Daerah . Kemudian pada awal tahun 2005, tepatnya di bulan Januari, muncul<br />
Surat Edaran Bersama (SEB) antara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan<br />
Nasional/Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis<br />
Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2005. SEB tersebut disusun mengacu<br />
pada Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undangundang<br />
No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional<br />
dan Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang<br />
mengamanatkan adanya penyempurnaan sistem perencanaan dan penganggaran<br />
6 Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pasal 27<br />
ayat (2).<br />
127
nasional, baik pada aspek proses dan mekanisme maupun tahapan pelaksanaan<br />
musyawarah perencanaan di tingkat pusat dan daerah. Menanggapi amanat<br />
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 serta SEB tersebut, DPRD Kabupaten Bandung<br />
menggunakan hak inisiatifnya untuk menyusun rancangan peraturan daerah<br />
Kabupaten Bandung tentang tata cara penyusunan perencanaan pembangunan<br />
daerah. Raperda tersebut diharapkan dapat memberikan arahan praktek<br />
sistem perencanaan dan penganggaran di daerah dalam hal proses, mekanisme<br />
7<br />
serta tahapan-tahapannya. Keterlibatan INISIATIF pada penyusunan <strong>Perda</strong><br />
Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 ini dimulai dari permintaan asistensi dari<br />
DPRD Kabupaten Bandung. INISIATIF diminta untuk menganalisis draft Raperda<br />
yang telah disusun sebelumnya oleh panmus DPRD dan tim Asistensi dari pihak<br />
eksekutif. Draft tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.<br />
Untuk memberi masukan pada draft raperda tersebut, INISIATIF mengacu<br />
8<br />
pada hasil analisis Pokja FPPM <br />
terhadap kerangka regulasi yang terkait dengan<br />
perencanaan dan penganggaran. Hasil kajian Pokja FPPM tersebut kemudian<br />
dimasukkan dalam draft raperdan dalam bentuk beberapa tambahan, modifikasi<br />
dan pengurangan terhadap beberapa pasal-pasalnya. Selanjutnya atas permintaan<br />
panmus DPRD, INISIATIF diminta mendampingi proses legislasi, terutama dalam<br />
beberapa sesi pembahasan draft raperda. Pembahasan dalam proses legislasi<br />
ternyata tidak selancar yang diharapkan.<br />
Ada beberapa hal yang krusial yang memerlukan pembahasan yang panjang<br />
dan melelahkan. Hal-hal tersebut diantaranya terkait dengan klausul yang<br />
mensyaratkan adanya kewenangan desa dan serta klausul mengenai konsultasi<br />
publik. Setelah serial pembahasan yang melelahkan, banyak perubahan yang<br />
terjadi dan disepakati oleh panmus DPRD juga tim Asistensi dari pihak eksekutif.<br />
Versi terakhir hasil pembahasan di panmus DPRD dapat dilihat pada Lampiran 2.<br />
Setelah pembahasan di tingkat panmus DPRD, ruang partisipasi telah tertutup.<br />
Inisiatif tidak lagi dapat terlibat. Draft raperda hasil pembahasan tersebut<br />
kemudian dibahas dalam sidang paripurna DPRD.<br />
Hasil proses pembahasan di sidang paripurna dan disahkan menjadi peraturan<br />
daerah yang dokumennya dapat dilihat pada Lampiran 3. Apakah kemudian<br />
seluruh substansi hasil pembahasan pada tingkat panmus, yang didalamnya<br />
memungkinkan adanya pelibatan stakeholder terkait, diterima seluruhnya?<br />
Ataukah ada perubahan pada substansi setelah disahkan menjadi peraturan<br />
daerah? Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.<br />
7 Sebagai informasi, pada saat disusunnya peraturan daerah ini, di Kabupaten Bandung telah ada<br />
Peraturan Bupati Bandung tentang Musyawarah Perencanaan Kegiatan Tahunan (MPKT) yang<br />
mengatur proses perencanaan tahunan dimulai dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten. Dilihat dari<br />
prosedurnya, MPKT sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prosedur Musrenbang yang diamanatkan<br />
dalam UU25/2004. Sehingga tidak sulit bagi stakeholder Kabupaten Bandung untuk menerima konsep<br />
Musrenbang.<br />
8 Pokja Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) yang terdiri dari Sri Mastuti, Diding,<br />
Dedi Haryadi pada tahun 2005 membuat tulisan yang berjudul “Isu-Isu Strategis Dalam Perencanaan<br />
dan Penganggaran Partisipatif di Daerah: Suatu Analisis Terhadap Kerangka Regulasi”. Tulisan<br />
tersebut disusun sebagai bahan diskusi dalam acara Lokakarya Nasional FPPM, Lombok NTB, 28-29<br />
Januari 2005.<br />
128
Tabel 1: Perbandingan Raperda<br />
tentang Tatacara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Perubahan yang Terjadi<br />
RANCANGAN<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
TAHUN 2005<br />
TENTANG<br />
TATA CARA PENYUSUNAN<br />
PERENCANAAN<br />
PEMBANGUNAN DAERAH<br />
LEMBARAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR 8 TAHUN 2005<br />
TENTANG<br />
TATA CARA PENYUSUNAN<br />
PERENCANAAN PEMBANGUNAN<br />
DAERAH<br />
PERUBAHAN YANG TERJADI<br />
Pasal 5<br />
(3) Kegiatan dalam RKP Desa yang<br />
merupakan bagian dari kewenangan<br />
Desa akan didanai oleh Anggaran<br />
Pendapatan dan Belanja Desa.<br />
Pasal 5<br />
(3) Kegiatan dalam RKP Desa<br />
yang merupakan bagian dari<br />
kewenangnan Desa akan didanai<br />
oleh Anggaran Pendapatan dan<br />
Belanja Daerah<br />
Pada pasal 5 ayat (3) ada perubahan<br />
substansi. Pada draft hasil<br />
pembahasan pada tingkat panmus<br />
DPRD, disebutkan bahwa Kegiatan<br />
dalam RKP Desa yang merupakan<br />
bagian dari kewenangan Desa akan<br />
didanai oleh Anggaran Pendapatan<br />
dan Belanja Desa. Sementara pada<br />
draft yang disahkan, <strong>Perda</strong> 8/2005,<br />
disebutkan bahwa Kegiatan dalam<br />
RKP Desa yang merupakan bagian<br />
dari kewenangnan Desa akan<br />
didanai oleh Anggaran Pendapatan<br />
dan Belanja Daerah.<br />
Pasal 8<br />
(3) Penyusunan RKPD dilakukan<br />
melalui urutan kegiatan:<br />
1. Penyusunan dan penetapan<br />
Fungsi Pembangunan Prioritas;<br />
2. Penyusunan dan penetapan<br />
rancangan plafon anggaran<br />
indikatif untuk SKPD dan Desa;<br />
3. Penyiapan rancangan rencana<br />
4.<br />
kerja;<br />
Musyawarah perencanaan<br />
pembangunan; dan<br />
5. Penyusunan rancangan akhir<br />
rencana kerja pemerintah<br />
daerah.<br />
Pasal 8<br />
(3) Penyusunan RKPD dilakukan<br />
melalui urutan kegiatan :<br />
1. Penyusunan dan penetapan<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Fungsi Pembangunan Prioritas;<br />
Penyusunan dan penetapan<br />
rancangan plafon anggaran<br />
indikatif untuk SKPD dan Desa;<br />
Penyiapan rancangan rencana<br />
kerja;<br />
Penyusunan rancangan akhir<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
rencana kerja pemerintah<br />
daerah.<br />
4.<br />
Pada pasal 8 ayat (3) ada<br />
perubahan substansi. Pada draft<br />
hasil pembahasan pada tingkat<br />
panmus DPRD, disebutkan bahwa<br />
penyusunan RKPD dilakukan melalui<br />
urutan kegiatan:<br />
5.<br />
Penyusunan dan penetapan<br />
Fungsi Pembangunan Prioritas;<br />
Penyusunan dan penetapan<br />
rancangan plafon anggaran<br />
indikatif untuk SKPD dan Desa;<br />
Penyiapan rancangan rencana<br />
kerja;<br />
Musyawarah perencanaan<br />
pembangunan; dan<br />
Penyusunan rancangan akhir<br />
rencana kerja pemerintah<br />
daerah.<br />
Sementara pada draft yang telah<br />
disahkan, <strong>Perda</strong> 8/2005, salah<br />
satu urutan kegiatan keempat,<br />
musyawarah perencanaan<br />
pembangunan, tidak ditemukan.<br />
129
RANCANGAN<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
TAHUN 2005<br />
TENTANG<br />
TATA CARA PENYUSUNAN<br />
PERENCANAAN<br />
PEMBANGUNAN DAERAH<br />
LEMBARAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR 8 TAHUN 2005<br />
TENTANG<br />
TATA CARA PENYUSUNAN<br />
PERENCANAAN PEMBANGUNAN<br />
DAERAH<br />
PERUBAHAN YANG TERJADI<br />
Pasal 26<br />
(1) Musrenbang dalam rangka<br />
penyusunan RKPD yang akan<br />
datang diikuti oleh unsur-unsur<br />
penyelenggara pemerintahan<br />
daerah, Delegasi Masyarakat<br />
Kecamatan, dan peserta dari unsur<br />
masyarakat sebagaimana diatur<br />
dalam pasal 10 ayat 2.<br />
Pasal 26<br />
(1) Musrenbang dalam rangka<br />
penyusunan RKPD yang akan<br />
datang diikuti oleh unsur-unsur<br />
penyelenggara pemerintah daerah,<br />
delegasi masyarakat kecamatan,<br />
dan peserta dari unsur masyarakat<br />
sebagaimana diatur dalam pasal 10<br />
ayat 2;<br />
Pada pasal 26 ada juga perubahan<br />
kecil yang cukup mengganggu.<br />
Pada draft hasil pembahasan pada<br />
tingkat panmus DPRD, disebutkan<br />
bahwa musrenbang dalam rangka<br />
penyusunan RKPD yang akan<br />
datang akan diikuti oleh unsurunsur<br />
penyelenggara pemerintahan<br />
daerah..... Sementara pada perda<br />
8/2005, kata pemerintahan daerah<br />
berubah menjadi pemerintah daerah<br />
Pasal 42<br />
Hanya ada satu ayat.<br />
Pasal 42<br />
Ditambahkan ayat kedua:<br />
(2) Keputusan Musrenbang<br />
Kecamatan mengenai rekapitulasi<br />
usulan Desa di Kecamatan<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat<br />
(1) disampaikan kepada anggota<br />
DPRD dari wilayah pemilihan<br />
kecamatan.<br />
Pada pasal 42 dalam draft hasil<br />
pembahasan pada tingkat panmus<br />
DPRD, hanya ada satu ayat. Tapi<br />
kemudian pada perda 8/2005 ada<br />
tambahan satu ayat, yaitu ayat (2)<br />
Keputusan Musrenbang Kecamatan<br />
mengenai rekapitulasi usulan Desa di<br />
Kecamatan sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) disampaikan kepada<br />
anggota DPRD dari wilayah pemilihan<br />
kecamatan.<br />
Pasal 44<br />
Peserta Forum SKPD Kabupaten<br />
terdiri dari para Delegasi Masyarakat<br />
Kecamatan dan delegasi dari<br />
kelompok-kelompok masyarakat di<br />
tingkat kabupaten yang berkaitan<br />
langsung dengan fungsi SKPD atau<br />
gabungan SKPD yang bersangkutan.<br />
Pasal 44<br />
Peserta Forum Kabupaten terdiri<br />
dari para Delegasi Masyarakat<br />
Kecamatan dan delegasi dari<br />
kelompok-kelompok masyarakat di<br />
tingkat kabupaten yang berkaitan<br />
langsung dengan fungsi SKPD atau<br />
gabungan SKPD yang bersangkutan.<br />
Pasal 44 juga ada perbedaan antara<br />
draft hasil pembahasan panmus<br />
dengan perda 8/2005 yang telah<br />
disahkan. Pasal tersebut asalnya<br />
berbunyi Peserta Forum SKPD<br />
Kabupaten terdiri dari .... Sementara<br />
pada perda 8/2005 berbunyi Peserta<br />
Forum Kabupaten terdiri dari.....<br />
130
RANCANGAN<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
TAHUN 2005<br />
TENTANG<br />
TATA CARA PENYUSUNAN<br />
PERENCANAAN<br />
PEMBANGUNAN DAERAH<br />
LEMBARAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR 8 TAHUN 2005<br />
TENTANG<br />
TATA CARA PENYUSUNAN<br />
PERENCANAAN PEMBANGUNAN<br />
DAERAH<br />
PERUBAHAN YANG TERJADI<br />
Pasal 47<br />
(1) Kepala Satuan Kerja Perangkat<br />
Daerah melakukan evaluasi kinerja<br />
pelaksanaan rencana pembangunan<br />
Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />
periode sebelumnya.<br />
(2) Kepala Bapeda menyusun evaluasi<br />
rencana pembangunan berdasarkan<br />
hasil evaluasi Satuan Kerja Perangkat<br />
Daerah sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1).<br />
(3) Hasil evaluasi sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (2) menjadi<br />
bahan bagi penyusunan rencana<br />
pembangunan Daerah untuk periode<br />
berikutnya.<br />
Pasal 47<br />
(1) Kepala Satuan Perangkat Daerah<br />
(2) Kepala Bappeda<br />
(3) Hasil evaluasi<br />
Pada pasal 47, rincian isi tiga ayat<br />
hilang.<br />
Pasal 50<br />
Pasal 50<br />
(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat (3) Kepala Satuan Perangkat Daerah<br />
Daerah menyelenggarakan menyelenggarakan perencanaan<br />
perencanaan pembangunan pembangunan daerah sesuai dengan<br />
Daerah sesuai dengan tugas dan tugas dan kewenangannya;<br />
kewenangannya.<br />
Pada pasal 50 ayat 3, Kepala Satuan<br />
Kerja Perangkat Daerah menjadi<br />
Kepala Satuan Perangkat Daerah<br />
Pasal 51<br />
Hanya ada dua ayat.<br />
Pasal 51<br />
Ditambahkan ayat ketiga<br />
(3) Sebelum RPJMD menurut<br />
ketentuan dalam peraturan daerah<br />
ini ditetapkan, penyusunan RKPD<br />
Kabupaten Bandung Tahun 2006<br />
mengacu kepada Peraturan Daerah<br />
Nomor 15 Tahun 2001 tentang<br />
Rencana Strategis Daerah Kabupaten<br />
Bandung 2001 – 2005.<br />
Pada pasal 51 draft hasil pembahasan<br />
di panmus DPRD, hanya ada dua ayat.<br />
Namun setelah disahkan menjadi<br />
perda 8/2005, ada tambahan ayat<br />
(3) yaitu (3) Sebelum RPJMD menurut<br />
ketentuan dalam peraturan daerah<br />
ini ditetapkan, penyusunan RKPD<br />
Kabupaten Bandung Tahun 2006<br />
mengacu kepada Peraturan Daerah<br />
Nomor 15 Tahun 2001 tentang<br />
Rencana Strategis Daerah Kabupaten<br />
Bandung 2001 – 2005.<br />
131
132<br />
3.3 Advokasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.2 Tahun 2006<br />
tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa<br />
Agak berbeda dengan advokasi <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005, keterlibatan INISIATIF<br />
dalam advokasi <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006 dimulai dari gagasan IPGI Bandung9<br />
<br />
untuk mengembangkan otonomi desa yang diawali dengan sebuah penelitian<br />
sejak tahun 2001. Gagasan pengembangan kemandirian dan otonomi desa muncul<br />
untuk menindaklanjuti munculnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang<br />
Pemerintahan Daerah.<br />
Ini karena Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 merupakan tonggak baru bagi<br />
proses demokratisasi di Indonesia. Undang-undang ini menggantikan Undang-<br />
Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan<br />
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dianggap jauh<br />
dari semangat otonomi di masing-masing daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun<br />
1999 telah mengilhami reformasi di daerah dengan mendorong proses restorasi<br />
penyelenggaraan pemerintahan daerah “as extensive autonomy as possible”<br />
10<br />
sebagaimana dulu diamanatkan oleh para founding father negara ini. <br />
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 memberikan kesempatan bagi daerah dan desa<br />
untuk secara otonom mengelola wilayahnya sesuai dengan yang diinginkan oleh<br />
warganya. Otonomi desa dianggap sebagai cara yang ideal untuk dapat mendekatkan<br />
proses pembuatan kebijakan publik dan pelayanan publik pada masyarakat desa.<br />
Otonomi desa dianggap strategis karena desa adalah pemerintahan pada tingkatan<br />
paling rendah dan paling dekat dengan masyarakat.<br />
Untuk terwujudnya otonomi desa, desa harus mempunyai kewenangan yang lebih<br />
luas untuk menyediakan pelayanan publik. Hal ini dapat dicapai bila desa sebagai<br />
pemerintah pada tingkat paling rendah di”kembalikan” hak otonominya dengan<br />
mewujudkan pemerintahan yang lebih desentralistis. Yaitu dengan pelimpahan<br />
kewenangan urusan tertentu pada desa yang selama ini dikuasai tingkatan<br />
pemerintahan yang lebih tinggi. Implikasi dari pelimpahan kewenangan pada desa<br />
adalah beban kewajiban atau tanggung jawab desa yang bertambah.<br />
Untuk itu diperlukan adanya perimbangan keuangan (transfer fiskal) dari<br />
pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Perimbangan keuangan merupakan<br />
manifestasi dari hak yang semestinya diperoleh oleh pemerintahan desa sebagai<br />
sumber daya untuk melaksanakan penyediaan barang dan jasa publik pada<br />
9 IPGI Bandung adalah pendahulu Perkumpulan INISIATIF. Program IPGI Bandung salah satunya<br />
adalah mengembangkan otonomi desa.<br />
10 Sidang Umum yang diselenggarakan beberapa saat setelah Presiden Soekarno ditumbangkan dari<br />
kepresidenannya berhasil menetapkan beberapa ketetapan yang terkait pada penataan penyelenggaraan<br />
pemerintahan dan ketatanegaraan. Salah satunya adalah Ketetapan No. XXI/MPRS/1966 mengenai<br />
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Sejumlah pokok ketentuan yang dimuat secara<br />
ringkat memandatkan antara lain: (1) memberikan otonomi selus-luasnya kepada daerah; (2) penyerahan<br />
urusan disertai aparatur dan keuangannya; (3) pemberian tanggung jawab dan wewenang pengaturan<br />
kepegawaian di lingkungan pemerintah daerah; (4) pengaturan perimbangan keuangan; (5) peninjauan<br />
kembali UU no. 18 tahun 1965 dan UU no. 19 tahun 1965.
tingkat desa. Hasil akhir pengembangan konsep tersebut adalah sebuah naskah<br />
akademik beserta dua draft raperda yaitu raperda mengenai desentralisasi<br />
kewenangan dan raperda mengenai desentralisasi fiskal.<br />
Usaha advokasi yang dilakukan INISIATIF sendiri telah dimulai sejak tahun 2002.<br />
Saat itu INISIATIF telah mencoba melibatkan Bagian Pengembangan Otonomi<br />
Daerah (Bag. OTDA) - Kabupaten Bandung dalam proses pengembangan konsep<br />
otonomi desa. Saat itu resistensi mereka terhadap konsep otonomi desa sudah<br />
mulai terlihat. Resistensi tersebut berlanjut pada saat pengusulan konsep tersebut<br />
agar diadopsi menjadi peraturan daerah di Kabupaten Bandung. Usulan tersebut<br />
disampaikan pada Bag. OTDA. Hal ini karena menurut Kepmendagri-otda No.<br />
23 Tahun 2001, pengusul rencana produk hukum dan pokok-pokok pikirannya<br />
adalah Pimpinan Unit Kerja terkait, yang dalam hal ini tentu saja pimpinan Bag.<br />
OTDA. Hasilnya, naskah akademik beserta draft rancangan raperda desentralisasi<br />
kewenangan dan desentralisasi fiskal dari kabupaten ke desa yang diajukan oleh<br />
INISIATIF ditolak.<br />
Tidak berhenti sampai disitu, dalam usaha agar konsep yang telah dikembangkan<br />
tersebut dapat diadopsi menjadi peraturan daerah, INISIATIF kemudian mencoba<br />
meyakinkan Bappeda Kabupaten Bandung sebagai calon pengguna usulan peraturan<br />
daerah ini. Bappeda sangat terbuka menerima konsep ini. Bahkan kemudian mereka<br />
yang mengambil alih proses pengusulan dengan mencoba mengusulkan naskah<br />
akademik beserta kedua draft rancangan raperda. Pengusulan tersebut, tentu saja<br />
sesuai Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001, harus melalui instansi yang paling<br />
terkait yaitu Bag. OTDA. Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda: ditolak.<br />
Pertengahan tahun 2004, usaha advokasi dilanjutkan dengan memperkenalkan<br />
konsep otonomi desa langsung pada stakeholder di desa melalui Tiga Pilar<br />
Desa, 11 yaitu Asosiasi Kepala Desa (APDESI), Asosiasi LKMD, dan Asosiasi BPD.<br />
Hasilnya, mereka juga sangat tertarik. Bahkan mereka meminta agar proses<br />
advokasi dilanjutkan oleh mereka, dan menempatkan INISIATIF sebagai nara<br />
sumber. Tentu saja INISIATIF menyambut gembira tawaran ini. INISIATIF<br />
menggunakan kesempatan tersebut untuk memperbaiki konsep otonomi desa,<br />
dengan mengadaptasikannya dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang<br />
Pemerintahan Daerah yang muncul sebagai pengganti Undang-Undang No. 22<br />
Tahun 1999.<br />
Tiga Pilar Desa, juga, mengajukan Naskah akademik beserta kedua draft<br />
raperdanya pada Bag. OTDA. Harapan agar konsep ini diterima sangatlah besar,<br />
mengingat ketiga asosiasi tersebut adalah stakeholder sekaligus nantinya akan<br />
menjadi penerima manfaat langsung dari peraturan daerah yang muncul. Hasilnya<br />
memang tidak ada penolakan, tapi tindak lanjut yang kongkrit pun tidak ada.<br />
Tentu saja hal ini mengecewakan.<br />
11 Istilah Tiga Pilar Desa adalah istilah yang tidak resmi di Kabupaten Bandung. Istilah ini muncul<br />
dari Asosiasi Kepala Desa (APDESI), Asosiasi LKMD, dan Asosiasi BPD dengan menyebut diri mereka<br />
sebagai Tiga Pilar Desa.<br />
133
Advokasi tidak berhenti sampai disitu. INISIATIF kemudian memanfaatkan<br />
jalur DPRD sebagai pengusul. Hal ini dimungkinkan ketika ada satu kesempatan<br />
yang memungkinkan INISIATIF untuk berinteraksi dengan DPRD Kabupaten<br />
Bandung. Selama ini memang INISIATIF tidak mempunyai sedikitpun akses ke<br />
DPRD. Berhasil memperkenalkan konsep pengembangan otonomi desa melalui<br />
desentralisasi kewenangan dan fiskal dari kabupaten ke desa ini pada salah satu<br />
anggota DPRD, kemudian beliau memperjuangkannya di DPRD agar konsep tersebut<br />
diadopsi. Hasilnya, konsep tersebut diterima oleh DPRD dan diusulkan untuk<br />
dibahas dengan menggunakan hak inisiatif DPRD. Proses legislasi Rancangan<br />
Peraturan Daerah tentang Penyerahan Sebagian Kewenangan Kabupaten pada<br />
Desa (desentralisasi kewenangan) dan Rancangan Peraturan Daerah tentang<br />
Perimbangan Keuangan antara Kabupaten dan Desa (desentralisasi fiskal) pun<br />
dimulai.<br />
Pembahasan di DPRD berjalan tidak selancar yang diharapkan. Tidak sedikit<br />
hambatan yang dihadapi, mulai dari belum dikenalnya konsep otonomi desa,<br />
perbedaan persepsi diantara anggota DPRD, munculnya surat palsu yang berisi<br />
penolakan dari APDESI, bentrok dengan momen Pilkada, dan lain-lain. Hambatan<br />
terbesar adalah, seperti juga yang terjadi sebelumnya, resistensi dari Bagian<br />
Otonomi Daerah (yang juga tergabung dalam Tim Asistensi). Dari tiga kali Bagian<br />
Otonomi Daerah diundang panmus DPRD dalam pembahasan kedua raperda,<br />
mereka secara eksplisit menolak konsep otonomi desa. Selain itu, mereka juga<br />
selalu berusaha untuk menghilangkan substansi-substansi penting dari kedua<br />
raperda tersebut yang mengancam hilangnya roh otonomi desa yang diakomodasi<br />
di dalamnya.<br />
Namun apapun perubahan substansi, penghilangan atau pun penambahan, yang<br />
terjadi pada saat pembahasan, baik yang melibatkan Bagian Otonomi Daerah,<br />
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Masyarakat, Kepala Desa, atau<br />
pun Akademisi Perguruan Tinggi, selalu dapat diakhiri dengan kesepakatan tanpa<br />
menghilangkan esensi pengembalian otonomi desa dari kedua raperda tersebut.<br />
Setelah pembahasan yang panjang dan melelahkan, yang diwarnai dengan beberapa<br />
kali deadlock pada saat terakhir pembahasan dengan Tim Asistensi, akhirnya<br />
pada tanggal 14 Januari 2006 pembahasan pada tingkat panmus diakhiri. Hasil<br />
akhir pembahasan dalam kedua draft tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4 dan<br />
Lampiran 5. Setelah saat itu, INISIATIF tidak lagi terlibat karena ”bola telah<br />
bergulir ke lapangan lain”.<br />
Pada tanggal 23 Januari 2006 kedua raperda tersebut diajukan oleh Panmus<br />
DPRD dalam sidang paripurna DPRD Kabupaten Bandung untuk disahkan<br />
menjadi Peraturan Daerah. Sidang paripurna DPRD tersebut merupakan saat<br />
paling menentukan nasib kedua raperda. Seperti juga pada saat pembahasan, pada<br />
pembahasan kedua raperda dalam sidang paripurna berjalan alot. Sidang paripurna<br />
berjalan cukup alot dan melelahkan. Pada sidang tersebut, yang pertama dibahas<br />
adalah Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa. Selain masalah dasar hukum,<br />
134
tidak banyak perdebatan dalam hal substansi. Tapi hal tersebut tidak berarti<br />
proses pengesahan berjalan lancar. Sebelum pengesahan, kata mufakat tidak<br />
dicapai setelah beberapa anggota DPRD menentangnya. Akhirnya pengambilan<br />
keputusan dilakukan dengan pemungutan suara. Hasil dari pemungutan suara<br />
tersebut adalah empat fraksi mendukung pengesahan dan dua fraksi menolak.<br />
Peraturan Daerah yang telah disahkan dapat dilihat pada Lampiran 6.<br />
Pada pembahasan mengenai Raperda Penyerahan Sebagian Kewenangan Kabupaten<br />
Pada Desa, sidang paripurna kembali berjalan alot. Perdebatan yang terjadi<br />
adalah mengenai rincian kewenangan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah<br />
seluruh urusan pemerintahan yang ada dalam rincian dari Depdagri tersebut akan<br />
diadopsi atau dipilih terlebih dahulu. Sidang paripurna gagal membuat keputusan<br />
tersebut. Perdebatan lainnya adalah mengenai dasar hukum. Sampai saat sidang<br />
dilakukan, semua mengetahui bahwa secara umum dasar hukum yang mengacu<br />
pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sudah kuat. Namun yang melemahkan<br />
adalah belum adanya dasar hukum yang menyatakan secara eksplisit rincian<br />
urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan kabupaten.<br />
Hal ini menjadi krusial karena urusan pemerintahan tersebut yang nantinya<br />
sebagian akan didesentralisasikan ke desa. Sementara saat itu ada kabar beredar<br />
bahwa rincian urusan pemerintahan daerah (propinsi dan kabupaten) sedang dalam<br />
proses penyusunan peraturan perundangannya oleh Depdagri. Sidang paripurna<br />
yang membahas Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />
Kabupaten Pada Desa akhirnya buntu. Di akhir sidang, dilakukan pemungutan<br />
suara dengan pilihan pertama, menerima dan setuju mensahkan raperda tersebut<br />
menjadi perda. Dan pilihan kedua, menolak dan menunda pengesahan raperda<br />
menjadi perda untuk menunggu selesainya penyusunan peraturan perundangan<br />
dari Depdagri tentang kewenangan kabupaten. Dari hasil pemilihan, ternyata<br />
hanya satu fraksi yang memilih pilihan pertama sementara ke lima fraksi lainnya<br />
sepakat menolak pengesahan raperda, dan menunda pembahasan selanjutnya<br />
sampai adanya perundangan dari Depdagri tentang kewenangan kabupaten.<br />
Pembahasan yang panjang dalam sidang paripurna, menyerahkan pembahasan<br />
dan perdebatan hanya antara anggota DPRD, sangat mungkin akan menyebabkan<br />
adanya perubahan substansi. Hal ini karena bukan tidak mungkin, antara anggota<br />
DPRD yang pro dan kontra akan melakukan negosiasi dan kompromi berkaitan<br />
dengan pasal-pasal yang diperdebatkan. Selain itu, pihak eksekutif yang kontra,<br />
yang diwakili oleh Bagian Otonomi Daerah yang juga tergabung dalam Tim<br />
Asistensi pada proses pembahasan di tingkat panmus, bukan tidak mungkin akan<br />
terus mencoba mempengaruhi proses tersebut dengan mempengaruhi anggota<br />
dewan yang sejalan dengan mereka. Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan,<br />
dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.<br />
135
Tabel 2: Perbandingan Raperda tentang Alokasi<br />
Dana Perimbangan Desa dan Perubahan yang Terjadi<br />
REVISI KE 9 ( SABTU 14<br />
JANUARY 2006)<br />
DRAFT RANCANGAN<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
TENTANG<br />
ALOKASI DANA<br />
PERIMBANGAN DESA DI<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR 2 TAHUN 2006<br />
TENTANG<br />
ALOKASI DANA PERIMBANGAN<br />
DESA DI KABUPATEN BANDUNG<br />
PERUBAHAN YANG TERJADI<br />
Mengingat:<br />
UU 10/2004 tidak dirujuk.<br />
9. Peraturan Pemerintah Nomor 72<br />
Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran<br />
Negara Tahun 2005 Nomor......,)<br />
10. Peraturan Daerah Kabupaten<br />
Bandung Nomor.......Tahun 2006<br />
tentang Penyerahan Sebagian<br />
Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />
Kabupaten pada Desa<br />
Mengingat:<br />
Rujukan ditambah dengan<br />
UU10/2004.<br />
5. Undang-Undang Nomor 10<br />
Tahun 2004 tentang Pembantukan<br />
Peraturan Perundang-undangan<br />
(Lembaran Negara Tahun 2004<br />
Nomor 53, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 4389)<br />
rujukan PP72/2005 dihilangkan<br />
rujukan pada raperda yang satu<br />
paket, yaitu raperda Penyerahan<br />
Sebagian Urusan Pemeirntahan<br />
Kewenangan Kabupaten pada Desa<br />
Di sini terjadi perubahan substansi.<br />
Pada draft yang disepakati<br />
panmus untuk diusulkan pada<br />
sidang paripurna, UU10/2004 tidak<br />
termasuk sebagai perundangan<br />
yang dirujuk. Tapi pada draft yang<br />
telah disahkan, perda 2/2006,<br />
UU10/2004 ditambahkan sebagai<br />
suatu rujukan. Selain itu pada perda<br />
2/2006, rujukan pada PP72/2005 dan<br />
rujukan pada raperda yang satu<br />
paket, yaitu raperda Penyerahan<br />
Sebagian Urusan Pemeirntahan<br />
Kewenangan Kabupaten pada Desa<br />
dihilangkan.<br />
Pasal 1<br />
Dalam Peraturan Daerah ini yang<br />
dimaksud dengan:<br />
c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,<br />
selanjutnya disebut DPRD, adalah<br />
Badan Legislatif Daerah;<br />
Pasal 1<br />
Dalam Peraturan Daerah ini yang<br />
dimaksud dengan:<br />
c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,<br />
selanjutnya disebut DPRD, adalah<br />
Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah<br />
sebagai unsur penyelenggara<br />
Pemerintahan Daerah;<br />
Pada pasal 1 huruf c, definisi Dewan<br />
Perwakilan Rakyat Daerah dirubah<br />
dari asalnya: c. Dewan Perwakilan<br />
Rakyat Daerah, selanjutnya disebut<br />
DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah;<br />
menjadi c. Dewan Perwakilan Rakyat<br />
Daerah, selanjutnya disebut DPRD,<br />
adalah Lembaga Perwakilan Rakyat<br />
Daerah sebagai unsur penyelenggara<br />
Pemerintahan Daerah;<br />
Pasal 3<br />
(4) Prosentase yang dimaksud<br />
tersebut pada ayat (1) huruf c tidak<br />
termasuk Dana Alokasi Khusus<br />
(DAK) Desa.<br />
Pasal 3<br />
(4) Prosentase yang dimaksud<br />
tersebut pada ayat (1) huruf c tidak<br />
termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK)<br />
Desa dan belanja aparatur.<br />
Pasal 3 ayat (4) juga mengalami<br />
perubahan substansi. Pengecualian<br />
pada ayat tersebut yang asalnya<br />
hanya Dana Alokasi Khusus (DAK)<br />
Desa dirubah menjadi Dana Alokasi<br />
Khusus (DAK) Desa dan belanja<br />
aparatur.<br />
136
REVISI KE 9 ( SABTU 14<br />
JANUARY 2006)<br />
DRAFT RANCANGAN<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
TENTANG<br />
ALOKASI DANA<br />
PERIMBANGAN DESA DI<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR 2 TAHUN 2006<br />
TENTANG<br />
ALOKASI DANA PERIMBANGAN<br />
DESA DI KABUPATEN BANDUNG<br />
PERUBAHAN YANG TERJADI<br />
Pasal 14<br />
(2) Bentuk penyediaan pelayanan<br />
publik sebagaimana dimaksud ayat<br />
(1) berupa kegiatan fisik dan non<br />
fisik sebagaimana tersebut pada<br />
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Daerah<br />
Kabupaten Bandung No......tahun......<br />
tentang Penyerahan Sebagian<br />
Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />
Kabupaten pada Desa di Kabupaten<br />
Bandung.<br />
Pasal 14<br />
(2) Bentuk penyediaan pelayanan<br />
publik sebagaimana dimaksud ayat<br />
(1) berupa kegiatan fisik dan non<br />
fisik dilaksanakan sesuai dengan<br />
Ketentuan Peraturan Perundangundangan<br />
yang berlaku.<br />
Pasal 14 pada draft yang diajukan<br />
panmus juga mendapat perubahan.<br />
Rujukan pada paket perda yang<br />
dibahas bersamaan dihilangkan dan<br />
diganti.<br />
LAMPIRAN PERATURAN DAERAH<br />
KABUPATEN BANDUNG<br />
NOMOR :.................<br />
TANGGAL :.................<br />
TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN<br />
DESA<br />
DIAGRAM SUMBER PENDAPATAN DESA<br />
Pada perda 2/2006, ternyata<br />
lampirannya tidak ada. Padahal<br />
dalam pasal 3 ayat (5) disebutkan:<br />
(5) Diagram sumber pendapatan<br />
desa sebagaimana yang dimaksud<br />
pada ayat (1) tercantum dalam<br />
lampiran yang tidak terpisahkan<br />
dari peraturan daerah ini.<br />
3.4 Temuan Analisis dan Diskusi<br />
3.4.1 Tiada ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam<br />
proses penyusunan peraturan daerah<br />
Dari hasil kajian pada Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur<br />
Penyusunan Produk Hukum Daerah dapat disimpulkan bahwa prosedur yang ada<br />
sama sekali belum memberi ruang bagi adanya partisipasi masyarakat. Dalam<br />
peraturan tersebut hanya memberi ruang pada Pimpinan Unit Kerja (biasanya<br />
pimpinan SKPD) sebagai inisiator, serta pada DPRD yang menggunakan hak<br />
inisiatifnya. Apabila masyarakat hendak mengusulkan untuk penyusunan sebuah<br />
produk hukum daerah, mereka harus terlebih dahulu mengajukannya pada kedua<br />
lembaga tersebut. Disini terlihat bahwa posisi masyarakat termarjinalkan karena<br />
sistem yang ada hanya memberikan ruang yang sangat sempit untuk partisipasi.<br />
Hanya usulan-usulan yang tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah<br />
atau DPRD yang mungkin untuk diterima dan ditindaklanjuti.<br />
137
Apabila pun usulan masyarakat untuk penyusunan suatu produk hukum daerah<br />
diterima, tidak ada jaminan bahwa masyarakat dapat terlibat dalam pembahasan dan<br />
proses legislasinya. Kepmendagri-otda No.23 Tahun 2001 ini tidak mengharuskan<br />
institusi yang mengajukan usulan untuk melibatkan stakeholder dalam pembahasan<br />
usulan produk hukum daerah. Masyarakat yang awalnya mengusulkan hanya bisa<br />
berharap pada “kesadaran dan kebaikan hati” Pimpinan Unit Kerja atau DPRD<br />
untuk dapat diundang dan dilibatkan dalam proses pembahasan. Lebih jauh lagi,<br />
kalaupun masyarakat diundang dan dilibatkan dalam proses pembahasan, mereka<br />
tidak mendapat jaminan bahwa pendapat mereka akan diadopsi.<br />
Bila dilihat dari prosedur formal menurut Kepmendagri, proses penyusunan produk<br />
hukum daerah melalui jalur eksekutif (pemerintah daerah) harus melalui urutan<br />
tahapan yang sangat rumit dan panjang. Sebaliknya, bila proses penyusunan<br />
produk hukum daerah dimulai atas inisiatif legislatif (DPRD), jalurnya akan sangat<br />
pendek. Ini adalah peluang bagi masyarakat untuk mengusulkan produk hukum<br />
daerah. Tentu saja, masyarakat yang hendak mengajukan harus bisa meyakinkan<br />
Anggota DPRD untuk mengadopsi usulan mereka dan mengajukannya menjadi<br />
produk hukum daerah dengan menggunakan hak inisiatifnya.<br />
Yang mungkin menjadi kelemahan dalam pembahasan usulan produk hukum<br />
daerah melalui jalur inisiatif legislatif (DPRD) adalah keberadaan Tim Asistensi<br />
dari pemerintah daerah. Bukan tidak mungkin, Tim Asistensi yang pada awalnya<br />
dimaksudkan untuk membantu DPRD dalam menyusun produk hukum daerah,<br />
malah menjalankan “fungsi” lain. Dikhawatirkan, Tim Asistensi mengawasi dan<br />
memonitor perkembangan proses penyusunan produk hukum dengan tujuan dapat<br />
sedini mungkin mencegah adanya klausul-klausul yang merugikan pemerintah<br />
daerah pada implementasinya nanti.<br />
3.4.2 Sempitnya ruang partisipasi masyarakat dalam prosedur<br />
penyusunan produk hukum daerah dikhawatirkan akan<br />
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan<br />
Terlepas dari apakah penyimpangan tersebut disengaja ataupun tidak, dengan atau<br />
tanpa tujuan, untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan masyarakat.<br />
Yang pasti, sekecil apapun penyimpangan tersebut, sangat mungkin merubah<br />
struktur/kerangka logis atau pun substansinya. Perubahan tersebut bisa berakibat<br />
baik bisa juga berakibat buruk pada produk hukum daerah yang disusun.<br />
Bukti-bukti pertama ditemukan dari studi kasus proses advokasi dan content<br />
analysis Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 8 Tahun 2005 tentang Tata<br />
Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah.<br />
Walaupun secara prosedur tidak ada ruang untuk pelibatan masyarakat, ketika<br />
pada praktek pembahasan pada tingkatan Panmus DPRD masyarakat diundang<br />
dan dilibatkan dalam proses pembahasan, masyarakat dapat memberikan<br />
138
masukan, kritikan, perbaikan terhadap substansi usulan produk hukum daerah.<br />
Mereka dapat mengawal substansi yang terkait dengan kepentingan mereka.<br />
Tapi ketika pembahasan di Panmus DPRD selesai, dan pembahasan memasuki<br />
sidang paripurna, tidak ada lagi ruang bagi masyarakat. Padahal dalam ruang<br />
tersebut sangat mungkin ada negosiasi dan kompromi antara anggota dewan<br />
yang pro dengan yang kontra, yang menyebabkan adanya perubahan substansi.<br />
Selain itu, bukan tidak mungkin ada kesalahan yang tidak disengaja dalam proses<br />
penyaduran, penulisan dan penempatan dalam lembaran daerah.<br />
Dari analisa isi kita melihat bahwa:<br />
• Pada pasal 5 ayat (3) ada perubahan substansi. Pada draft hasil pembahasan<br />
pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa Kegiatan dalam RKP Desa yang<br />
merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan<br />
dan Belanja Desa. Sementara pada draft yang disahkan, <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun<br />
2005, disebutkan bahwa Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari<br />
kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.<br />
Di sini perubahan yang terjadi memang hanya satu kata, yaitu dari Anggaran<br />
Pendapatan dan Belanja Desa menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.<br />
Bila perubahan ini tidak mendapat perhatian serius, perbedaan kecil ini telah<br />
mengaburkan maksud awal pasal tersebut. Pada draft hasil pembahasan di Panmus<br />
DPRD, kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa<br />
akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Ayat ini menegaskan<br />
bahwa kegiatan yang menjadi bagian kewenangan desa harus dibiayai dari sumber<br />
daya desa.<br />
Ketika ternyata kalimatnya berubah menjadi kegiatan dalam RKP Desa yang<br />
merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan<br />
dan Belanja Daerah, ini berarti kegiatan dalam RKP Desa, yang merupakan bagian<br />
dari kewenangan desa dan bukan kewenangan kabupaten, yang merupakan<br />
program kerja desa, dibiayai dari sumber daya kabupaten. Pengertian kalimat<br />
ini berpotensi melanjutkan ketergantungan desa pada sumberdaya kabupaten.<br />
Sehingga bukan tidak mungkin pada akhirnya tidak akan memberdayakan desa<br />
dan menjadikan beban pada kabupaten.<br />
• Pada pasal 8 ayat (3) ada perubahan substansi. Pada draft hasil pembahasan<br />
pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa penyusunan RKPD dilakukan<br />
melalui urutan kegiatan Penyusunan dan penetapan Fungsi Pembangunan<br />
Prioritas, Penyusunan dan penetapan rancangan plafon anggaran indikatif untuk<br />
SKPD dan Desa, penyiapan rancangan rencana kerja, musyawarah perencanaan<br />
pembangunan dan penyusunan rancangan akhir rencana kerja pemerintah daerah.<br />
Sementara pada draft yang telah disahkan, <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005, kegiatan<br />
keempat, musyawarah perencanaan pembangunan, tidak ditemukan.<br />
139
Perubahan ini, baik disengaja atau pun tidak, berpotensi berakibat fatal.<br />
Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang merupakan sarana<br />
masyarakat untuk berpartisipasi telah hilang, dan tidak menjadi kewajiban bagi<br />
pemerintah untuk melaksanakannya.<br />
• Pada pasal 26 ada juga perubahan kecil yang cukup mengganggu. Pada draft<br />
hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa musrenbang<br />
dalam rangka penyusunan RKPD yang akan datang akan diikuti oleh unsur-unsur<br />
penyelenggara pemerintahan daerah..... Sementara pada <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005,<br />
kata pemerintahan daerah berubah menjadi pemerintah daerah.<br />
Perubahan yang terjadi hanya dua huruf. Namun hal ini cukup mengganggu karena<br />
pengertiannya menjadi sangat berbeda. Pada draft disepakati pada pembahasan<br />
di tingkat Panmus DPRD disebutkan bahwa unsur-unsur penyelenggara<br />
pemerintahan daerah, yaitu unsur dari pemerintah daerah dan unsur dari DPRD,<br />
hadir dan mengikuti musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD. Sementara<br />
dengan adanya perubahan menjadi hanya pemerintah daerah, berarti yang hadir<br />
dalam musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD tidak akan melibatkan unsur<br />
dari DPRD.<br />
• Pada pasal 42 dalam draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, hanya<br />
ada satu ayat. Tapi kemudian pada <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005 ada tambahan satu<br />
ayat, yaitu ayat (2) Keputusan Musrenbang Kecamatan mengenai rekapitulasi<br />
usulan Desa di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan<br />
kepada anggota DPRD dari wilayah pemilihan kecamatan.<br />
Pada pasal 42 ini terjadi penambahan. Secara substansi memang penambahan ini<br />
telah menyebabkan perubahan substansi, namun dalam arti yang positif. Hal ini<br />
karena perubahan yang terjadi, diluar pembahasan di panmus, ternyata melengkapi<br />
dan menyempurnakan draft yang ada.<br />
• Pasal 44 juga ada perbedaan antara draft hasil pembahasan panmus dengan<br />
<strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005 yang telah disahkan. Pasal tersebut asalnya berbunyi<br />
Peserta Forum SKPD Kabupaten terdiri dari .... Sementara pada <strong>Perda</strong> No. 8<br />
Tahun 2005 berbunyi Peserta Forum Kabupaten terdiri dari.....<br />
Perbedaan yang terjadi antara draft hasil pembahasan pada tingkat panmus<br />
dengan yang tertulis dalam <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005 ini sebenarnya hanya satu<br />
kata. Namun dengan tidak adanya kata SKPD mungkin membuat pengertian<br />
Forum Kabupaten sangat luas. Hal ini karena forum pada tingkat kabupaten tidak<br />
hanya forum SKPD.<br />
• Pada pasal 47, rincian isi tiga ayat hilang.<br />
Tidak diketahui mengapa isi tiga ayat pada pasal 47 hilang. Terlepas dari unsur<br />
keteledoran, hilangnya isi tiga ayat ini menyebabkan <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005<br />
140
cacat dan perlu ada perbaikan<br />
• Pada pasal 50 ayat 3, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menjadi Kepala<br />
Satuan Perangkat Daerah<br />
Pada pasal 50 ayat 3, memang terjadi perubahan dengan hilangnya satu kata.<br />
Namun sepertinya hal ini tidak akan mengganggu karena pengertian Satuan Kerja<br />
Perangkat Daerah adalah pengertian yang umum dan dapat dimengerti.<br />
• Pada pasal 51 draft hasil pembahasan di panmus DPRD, hanya ada dua ayat.<br />
Namun setelah disahkan menjadi <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005, ada tambahan ayat<br />
(3) yaitu (3) Sebelum RPJMD menurut ketentuan dalam peraturan daerah ini<br />
ditetapkan, penyusunan RKPD Kabupaten Bandung Tahun 2006 mengacu kepada<br />
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Daerah<br />
Kabupaten Bandung 2001 – 2005.<br />
Pada pasal 51 ini juga terjadi perubahan. Perubahan yang terjadi berupa perbaikan<br />
yang melengkapi. Bila dibaca dengan baik, pengertian pada ayat tambahan ini<br />
menunjukan bahwa ada proses transisi yang diwadahi dan diantisipasi dengan<br />
baik.<br />
Kemudian bukti-bukti berikutnya dapat dilihat pada hasil advokasi dan content<br />
analisis Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 2 Tahun 2006 tentang Alokasi<br />
Dana Perimbangan Desa.<br />
Agak sedikit berbeda dengan proses advokasi <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005, proses<br />
advokasi ini diusulkan oleh INISIATIF, yang kemudian diterima dan ditindaklanjuti<br />
oleh DPRD dengan diadakan pembahasan pada tingkat Panmus DPRD. Beruntung,<br />
walaupun dalam prosedur tidak mensyaratkan adanya keterlibatan pihak luar<br />
selain DPRD dan Tim Asistensi, INISIATIF dilibatkan hampir secara penuh dalam<br />
proses pembahasan. Hal ini menguntungkan dalam tujuan mempertahankan<br />
substansi. Baik pihak yang pro maupun yang kontra dapat dihadapi langsung dan<br />
argumen-argumennya bisa dipatahkan. Walaupun banyak mengalami perubahan<br />
dari draft awal yang diusulkan sampai draft akhir yang telah disepakati pada<br />
tingkatan Panmus DPRD, setidaknya secara substansi INISIATIF dapat mengawal<br />
proses pembahasannya dan mempertahankan substansinya.<br />
Yang kemudian menjadi masalah adalah pada proses setelah pembahasan di tingkat<br />
Panmus DPRD, yaitu ketika Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan<br />
Kewenangan Kabupaten Pada Desa dan Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa<br />
yang telah disepakati diangkat pada sidang paripurna. Pada sidang tersebut,<br />
INISIATIF tidak lagi dapat berperan. Disana pembahasan terjadi antara anggota<br />
dewan, baik yang pro maupun yang kontra. Hasilnya yang mengecewakan adalah<br />
ternyata Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />
Kabupaten Pada Desa gagal disahkan menjadi peraturan daerah. Sementara<br />
141
Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa berhasil disahkan menjadi Peraturan<br />
Daerah dengan Nomor. 2 Tahun 2006. Gagalnya Raperda Penyerahan Sebagian<br />
Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten Pada Desa gagal disahkan menjadi<br />
peraturan daerah telah menyebabkan usaha desentralisasi untuk mengembangkan<br />
otonomi desa yang telah lama diperjuangkan INISIATIF menjadi berjalan<br />
pincang. Hal ini karena logikanya, <strong>Perda</strong> Alokasi Dana Perimbangan Desa baru<br />
dapat diimplementasikan setelah ada kepastian mengenai apa-apa saja urusan<br />
pemerintahan kewenangan kabupaten yang diserahkan pada desa dan menjadi<br />
beban desa. Dana perimbangan desa adalah kompensasi yang diberikan atas<br />
bertambahnya beban pelayanan publik di desa dengan adanya kewenangan desa<br />
yang lebih luas.<br />
Kemudian dari analisa isi kita melihat bahwa:<br />
• Pada konsideran mengingat, terjadi perubahan substansi. Pada draft yang<br />
disepakati panmus untuk diusulkan pada sidang paripurna, Undang-Undang No.<br />
10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai perundangan yang dirujuk. Tapi pada draft<br />
yang telah disahkan, <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006, Undang-Undang No. 10 Tahun<br />
2004 ditambahkan sebagai suatu rujukan. Selain itu pada <strong>Perda</strong> No. 2 tahun 2006,<br />
rujukan pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan rujukan pada raperda<br />
yang satu paket, yaitu raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan<br />
Kewenangan Kabupaten pada Desa dihilangkan.<br />
Di sini kita melihat bahwa perubahan rujukan perundangan (pada konsideran<br />
mengingat) berimplikasi berbeda. Perubahan dengan adanya penambahan<br />
konsideran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembantukan Peraturan<br />
Perundang-undangan telah memperbaiki dokumen peraturan yang disahkan.<br />
Namun perubahan yang menghilangkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung<br />
Tahun 2006 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />
Kabupaten pada Desa sebagai konsideran, yang dibahas pada saat yang bersamaan,<br />
telah mencederai semangat desentralisasi untuk pengembangan otonomi desa.<br />
Hal ini karena perda yang dirujuk ini disusun untuk saling melengkapi dalam<br />
rangka pencapaian tujuan bersama memberdayakan desa melalui desentralisasi<br />
kewenangan dan fiskal.<br />
• Pada pasal 1 huruf c, definisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dirubah<br />
dari asalnya: c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD,<br />
adalah Badan Legislatif Daerah; menjadi c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,<br />
selanjutnya disebut DPRD, adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai<br />
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;<br />
Di sini perubahan yang terjadi juga sifatnya memperbaiki. Pada draft yang<br />
disepakati hasil pembahasan di tingkat Panmus DPRD, pengertian DPRD masih<br />
mengacu pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.<br />
Sementara perbaikannya, sebagaimana terdapat pada <strong>Perda</strong> No. 2 tahun 2006,<br />
telah sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan<br />
Daerah.<br />
142
• Pasal 3 ayat (4) juga mengalami perubahan substansi. Pengecualian pada ayat<br />
tersebut yang asalnya hanya Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dirubah menjadi<br />
Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dan belanja aparatur.<br />
Pada pasal 3 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan<br />
desa adalah “c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang<br />
diterima oleh Kabupaten untuk desa minimal 10% (sepuluh per seratus), yang<br />
pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional”. Yang kemudian dijelaskan<br />
lebih lanjut pada pasal 3 ayat 4). Penjelasan pada draft yang disepakati pada<br />
tingkatan Panmus DPRD disebutkan bahwa (4) Prosentase yang dimaksud tersebut<br />
pada ayat (1) huruf c tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa. Ini berarti<br />
pengertiannya secara matematis adalah:<br />
DPdes = (DPkab - DAKdes)x10%<br />
Yang mana:<br />
DPdes = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten yang dibagikan<br />
ke desa<br />
DPkab = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten<br />
DAKdes = Dana Alokasi Khusus dari kabupaten ke desa.<br />
Dengan adanya perubahan pada draft yang disahkan, pada <strong>Perda</strong> 2/2006, menjadi<br />
(4) Prosentase yang dimaksud tersebut pada ayat (1) huruf c tidak termasuk Dana<br />
Alokasi Khusus (DAK) Desa dan belanja aparatur, maka pengertiannya secara<br />
matematis menjadi:<br />
DPdes = (DPkab - DAKdes-Baparat)x10%<br />
Yang mana:<br />
DPdes = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten yang dibagikan<br />
ke desa<br />
DPkab = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten<br />
Baparat = Belanja aparatur<br />
DAKdes = Dana Alokasi Khusus dari kabupaten ke desa.<br />
Dari pengertian pada <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006 Pasal 3, maka bagian dana<br />
perimbangan yang diterima kabupaten dari pusat yang dibagikan pada desa<br />
jumlahnya semakin sedikit.<br />
Perubahan diatas terjadi tanpa ada stakeholder dari desa terlibat pada pembahasan<br />
karena dilakukan pada ruang yang tertutup bagi stakeholder.<br />
• Pasal 14 pada draft yang diajukan panmus juga mendapat perubahan. Rujukan<br />
pada paket perda yang dibahas bersamaan dihilangkan dan diganti. Asalnya (2)<br />
143
Bentuk penyediaan pelayanan publik sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa<br />
kegiatan fisik dan non fisik sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan<br />
Daerah Kabupaten Bandung No......tahun......tentang Penyerahan Sebagian Urusan<br />
Pemerintahan Kewenangan Kabupaten pada Desa di Kabupaten Bandung menjadi<br />
(2) Bentuk penyediaan pelayanan publik sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa<br />
kegiatan fisik dan non fisik dilaksanakan sesuai dengan Ketentuan Peraturan<br />
Perundang-undangan yang berlaku.<br />
Perubahan pada pasal 14 ayat (2) ini juga termasuk perubahan yang mengecewakan.<br />
Perubahan ini terjadi merubah klausul awal, yang secara langsung membatalkan<br />
persyaratan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan kabupaten pada<br />
desa. Perubahan ini menyebabkan skenario pengembangan otonomi desa melalui<br />
desentralisasi berjalan pincang, karena yang terjadi hanya desentralisasi fiskal<br />
saja.<br />
• Pada <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006, ternyata lampirannya tidak ada. Padahal dalam<br />
pasal 3 ayat (5) disebutkan: (5) Diagram sumber pendapatan desa sebagaimana<br />
yang dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan<br />
dari peraturan daerah ini.<br />
Baik pada draft hasil pembahasan yang disepakati pada tingkat Panmus, juga<br />
pada <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006, disebutkan pada pasal 3 ayat (5) bahwa pada bagian<br />
lampiran peraturan daerah ini dilampirkan diagram sumber pendapatan desa.<br />
Lampiran tersebut dapat ditemukan pada draft hasil pembahasan yang disepakati<br />
pada tingkat Panmus. Namun pada <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006, ternyata tidak ada<br />
bagian lampirannya. Apapun penyebab tidak adanya bagian lampiran pada <strong>Perda</strong><br />
No. 2 Tahun 2006, secara substansi tidak menjadikan perda ini cacat. Ini karena<br />
secara tertulis, gambaran sumber pendapatan desa sudah cukup jelas. Diagram<br />
gambar yang sedianya harus dilampirkan, kalaupun ternyata tidak ada, tidak<br />
mengurangi kejelasan substansi.<br />
4. Kesimpulan Dan Rekomendasi<br />
4.1 Kesimpulan<br />
1.<br />
Sampai saat ini tidak ada ruang bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan<br />
produk hukum daerah. Secara prosedural formal, seluruh proses dalam prosedur<br />
penyusunan produk hukum daerah adalah black box bagi masyarakat yang<br />
ingin mengusulkan atau berpartisipasi dalam penyusunan suatu produk hukum<br />
daerah. Masyarakat dapat memberikan usulan untuk penyusunan produk<br />
hukum daerah secara formal dengan mengusulkannya melalui Unit Kerja<br />
(SKPD) terkait di pemerintah daerah atau melalui DPRD. Dari pengalaman<br />
yang ada, mengusulkan penyusunan produk hukum daerah melalui DPRD<br />
adalah jalan yang paling pendek dan tidak rumit. Yang diperlukan adalah<br />
144
kemampuan untuk meyakinkan anggota DPRD untuk mengakomodasi mereka.<br />
Sebenarnya bila ada “kesadaran dan kebaikan hati” pihak eksekutif maupun<br />
legislatif, black box prosedural ini dapat dibuka sedikit demi sedikit. Namun<br />
black box yang sampai saat ini tidak menyediakan ruang bagi partisipasi<br />
masyarakat adalah proses setelah pembahasan di Panmus DPRD sampai<br />
menjadi <strong>Perda</strong> yang telah disahkan.<br />
2.<br />
3.<br />
Bila ada kesempatan bagi masyarakat untuk mengikuti proses pembahasan<br />
dalam proses penyusunan produk hukum daerah, sudah selayaknya kesempatan<br />
tersebut dimanfaatkan sebaik baiknya. Hal ini karena, stakeholder lain yang<br />
kontra, yang mempunyai konflik kepentingan dengan kepentingan masyarakat<br />
umum, yang ingin memanfaatkannya hanya untuk kepentingan kelompok atau<br />
pribadinya saja, mereka pun akan terus berjuang untuk memasukkan agenda<br />
atau kepentingan mereka dalam produk hukum yang sedang disusun. Bahkan<br />
perjuangan mereka tidak akan berhenti sampai saat akhir pembahasan saja,<br />
kalau memungkinkan, mereka akan berusaha mempengaruhi anggota DPRD<br />
untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Untuk itu, perjuangan masyarakat<br />
dalam proses penyusunan produk hukum daerah tidak boleh berhenti begitu<br />
saja setelah diusulkan atau setelah selesai dibahas di Panmus DPRD. Sudah<br />
seharusnya mereka pun mencoba untuk menitipkan agenda mereka pada<br />
anggota DPRD, bekerjasama dengan mereka, dan memberi mereka pengertian.<br />
Diharapkan ketika tahap penyusunan produk hukum daerah memasuki black<br />
box, masyarakat yang mengusulkan tidak perlu khawatir karena di dalam<br />
black box tersebut ada anggota DPRD yang berjuang untuk kepentingannya.<br />
Siapapun yang kontra dengan substansi yang dicoba diwujudkan dalam produk<br />
hukum daerah, akan terus berusaha untuk merubahnya demi kepentingan<br />
mereka. Dari studi kasus yang telah dibahas, ditemukan bahwa sekecil<br />
apapun perubahan yang terjadi (bahkan hanya dua huruf) sangat potensial<br />
untuk merubah substansi produk hukum. Perubahan tersebut bisa menjadikan<br />
produk hukum yang disusun menjadi yang lebih baik, atau bisa juga lebih<br />
jelek. Setidaknya, sesedikit apapun perubahan yang terjadi potensial untuk<br />
merubah struktur, logika atau substansi produk hukum. Dalam seluruh proses<br />
penyusunan produk hukum daerah, menuntut adanya kapasitas pemahaman<br />
yang cukup tentang substansi yang dicoba diatur dalam produk hukum, proses<br />
dan prosedur penyusunan produk hukum, serta pemahaman tentang tata<br />
aturan hukum. Sehingga bagi masyarakat yang mengusulkan, atau siapapun,<br />
bila berkesempatan terlibat dalam proses legislasi, dapat dengan mudah beradu<br />
argumentasi mempertahankan substansi yang diusung dalam produk hukum<br />
daerah.<br />
4.2 Rekomendasi<br />
1.<br />
Dari kesimpulan di atas disebutkan bahwa masyarakat yang mengusulkan<br />
penyusunan produk hukum daerah, masyarakat yang ingin terlibat dalam<br />
145
pembahasan, anggota DPRD yang bertanggung jawab untuk memfasilitasi<br />
penyusunan produk hukum, diharuskan mempunyai kapasitas pengetahuan<br />
yang cukup untuk menyusun, membahas, memperbaiki, dan mempertahankan<br />
substansi yang ingin diatur. Untuk itu, rekomendasi pertama adalah agar<br />
adanya capacity building bagi mereka yang potensial untuk terlibat dalam<br />
penyusunan produk hukum. Selama ini proses penyusunan produk hukum<br />
daerah selalu didominasi oleh pihak eksekutif/pemerintah daerah, baik<br />
secara langsung ataupun melalui Tim Asistensi yang diperbantukan untuk<br />
pembahasan produk hukum di DPRD.<br />
2.<br />
Prosedur formal yang ada untuk penyusunan produk hukum daerah<br />
belum memberikan ruang yang cukup bagi adanya partisipasi masyarakat<br />
didalamnya. Namun saat ini telah muncul Permendagri 16 Tahun 2006<br />
tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah sebagai pengganti<br />
Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001. Rekomendasi kedua adalah harus ada<br />
kajian lagi apakah Permendagri ini telah menyediakan ruang bagi masyarakat<br />
untuk berpartisipasi dalam penyusunan produk hukum daerah. Bila ternyata<br />
masih belum mengakomodasi adanya partisipasi masyarakat didalam prosedur<br />
penyusunan produk hukum, sudah selayaknya Permendagri yang baru ini pun<br />
direvisi dan diperbaiki.<br />
146
Referensi<br />
Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin, (2002), Otonomi dan<br />
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />
Devas, Nick, Brian Binder, Anne Booth, Keneth Davey, Roy Kelly, (1989), Keuangan<br />
Pemerintah Daerah di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,<br />
Indonesia.<br />
Kartohardikoesoemo, Soetardjo, (1984), Desa, PN. Balai Pustaka, Jakarta<br />
Nurman, Ari, Yuke Ratnawulan (2006), Jalan Panjang Pengembalian Otonomi<br />
Desa-Pengalaman Eksperimen Desentralisasi di Kabupaten Bandung, INISIATIF<br />
(ISBN: 979-25-2101-1)<br />
Parker, Andrew N., (June 1995), Decentralization – The Way Forward for Rural<br />
Development?, Policy Research Working Paper, No. 1475, The International Bank<br />
for Reconstruction and Development/THE WORLD BANK, Washington D.C.,<br />
USA.<br />
Prud’homme, Remy (1994), On the Dangers of Decentralization, Policy Research<br />
Working Papers, No. 1112, The International Bank for Reconstruction and<br />
Development/THE WORLD BANK, Washington D.C., USA.<br />
Silverman, Jerry M., (November 1992), Public Sector Decentralization: Economic<br />
Policy and Sector Investment Programs, The World Bank, Washington DC., USA.<br />
Widjaya, HAW, (2003), Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan UU No 22/1999<br />
tentang Pemerintahan Daerah: Suatu Telaah Administrasi Daerah, PT. Raja<br />
Grafindo Persada, Jakarta.<br />
Zakaria, R. Yando, (2003), Memulihkan Desa, Beberapa Catatan tentang Upaya-<br />
Upaya Pengembalian Otonomi Desa, Yogyakarta.<br />
••••<br />
Desa Miskin di Kabupaten Kaya, Harian Umum Kompas, 5 Juli 2001<br />
Hubungan Desa-Kabupaten di Era Otonomi Daerah, Ibarat Termos Berisi Air<br />
Panas, Harian Umum Kompas, 3 Agustus 2002<br />
Memposisikan Rakyat dalam Otonomi Daerah, Media Indonesia - Opini (6/9/00),<br />
Bambang P. Soeroso, Anggota DPR<br />
Otonomi dan Kemandirian Masyarakat Lokal, Media Indonesia - Opini (9/7/00),<br />
Fahruddin Salim, Anggota tim ahli di DPR RI<br />
147
Persoalan Mendasar <strong>Implementasi</strong> Otonomi Daerah, Media Indonesia - Opini<br />
(2/23/00 dan 2/24/00), Dr. Syarif Hidayat, Staf peneliti pada PEP-LIPI<br />
••••<br />
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah<br />
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan<br />
Daerah<br />
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah<br />
Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2005 tentang Desa<br />
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tanggal 22 Maret 2005, nomor 140/640/SJ,<br />
perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada<br />
Pemerintah Desa.<br />
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Kepmendagri) Nomor 23<br />
Tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 mengatur Prosedur Penyusunan Produk Hukum<br />
Daerah<br />
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor. 8 Tahun 2005 tentang Tata Cara<br />
Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah<br />
148
4. Partisipasi Instrumental, Transformatif dan Elite Capture:<br />
Analisis Structures and Meanings atas Argumen Kebijakan<br />
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah<br />
(Kasus <strong>Perda</strong> Partisipasi Kabupaten Lebak)<br />
Abstrak<br />
<strong>Implementasi</strong> desentralisasi telah membawa arah baru hubungan antara<br />
pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal. Masyarakat yang sebelumnya<br />
hanya merupakan stempel legitimasi bagi sebuah proses kebijakan, berubah<br />
menjadi komponen “vital” yang dijamin pengaruhnya agar terakomodasi dalam<br />
kebijakan dan arah pembangunan daerah. “Partisipasi”, kata yang kemudian<br />
menjadi mainstream baru dalam merepresentasikan perubahan dalam prosesproses<br />
pembangunan di daerah. Untuk itu, beberapa daerah dengan bersemangat<br />
melembagakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ke dalam perda,<br />
seperti yang dilakukan di Kabupaten Lebak dan beberapa daerah lainnya. Dengan<br />
kata lain, melalui lahirnya perda partisipasi, pemerintah daerah memberikan<br />
garansi bagi keterlibatan masyarakat secara langsung ataupun tidak dalam proses<br />
pembuatan perda, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan daerah.<br />
Studi ini menggunakan metode analisis argumen kebijakan dengan menerapkan<br />
“Scriven-Toulmin-Gasper Approach” (Gasper, 2000). Analisis structures and<br />
meanings atas argumen-argumen dalam perda-perda partisipasi masyarakat<br />
dalam pembangunan difokuskan dalam tiga hal, pertama, substansi partisipasi,<br />
yang di dalamnya juga termasuk tujuan partisipasi masyarakat dalam proses<br />
pembangunan. Kedua, metode partisipasi yang dikembangkan. Terakhir, implikasi<br />
atas kerangka partisipasi yang digunakan.<br />
Hasil kajian terhadap isi perda cukup positif bahwa, secara normatif partisipasi<br />
yang digagas di Kabupaten Lebak cukup maju, hingga dikatakan mampu<br />
menjawab keraguan akan partisipasi sebatas instrumen saja. Artinya, partisipasi<br />
bukan dipersepsi sebagai means untuk melibatkan masyarakat, melainkan sebuah<br />
proses transformasi atau perubahan dalam masyarakat sebagai hasil akhir yang<br />
menjadi tujuan partisipasi. Selain itu, metode-metode partisipasi masyarakat<br />
yang digunakan dalam pembuatan kebijakan pembangunan di Kabupaten Lebak,<br />
memiliki prospek untuk mampu menangkal kepentingan elit lokal. Selain itu,<br />
perda ini sementara bisa menjadi model atas hubungan kekuasaan (power relation)<br />
antar masyarakat, juga hubungan masyarakat-pemerintah daerah, yang sudah<br />
cukup seimbang. Terakhir, perda ini layak untuk direkomendasikan sebagai smart<br />
practices bagi perda-perda sejenis, karena substansinya yang sudah mengarah<br />
pada partisipasi yang transformatif dan cukup mampu menghindari bahaya elite<br />
capture.<br />
149
1. Latar belakang<br />
Konsep partisipasi sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru dalam praktikpraktik<br />
pembangunan di Indonesia, karena konsep ini sudah banyak digunakan<br />
terutama sejak era Orde Baru. Pada saat itu kita mengenal istilah bottom-up<br />
approach sebagai jargon utama dalam perencanaan pembangunan. Praktiknya<br />
terutama bisa ditemukan dalam rapat-rapat perencanaan pembangunan di semua<br />
level pemerintahan, yang “seolah-olah” menerapkan prinsip-prinsip partisipasi.<br />
Pada saat itu, lembaga seperti LKMD (lembaga ketahanan masyarakat desa)<br />
menjadi ikon partisipasi di tingkat bawah, meskipun dalam praktiknya lebih<br />
banyak didominasi elit desa. Contoh lain bisa pula ditemukan dalam praktik<br />
pembangunan dalam arti sempit, seperti dalam program ABRI Masuk Desa (AMD),<br />
di sini masyarakat dan anggota ABRI berkolaborasi membangun sarana-sarana<br />
fisik di tingkat desa hingga kecamatan.<br />
Perubahan politik di tahun 1998 menjadi tonggak perubahan dalam tata<br />
pemerintahan Indonesia, mulai dari perubahan regim hingga banyaknya aturanaturan<br />
baru yang pada era sebelumnya sangat sulit untuk berubah. Salah satu<br />
contoh yang paling kongkrit adalah keluarnya paket undang-undang pemerintahan<br />
daerah, yang kemudian menjadi arah baru pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.<br />
Aturan-aturan baru ini cukup berdampak luas, terutama dalam arah hubungan<br />
pusat-daerah dan pemerintah-masyarakat di tingkat lokal. Berangkat dari realitas<br />
ini, konsep partisipasi kembali mendapatkan tempat sebagai mainstream baru yang<br />
merepresentasikan perubahan dalam proses-proses perencanaan pembangunan di<br />
Daerah.<br />
Di tingkat Pusat, kita bisa menemukan setidaknya tiga kebijakan baru tentang<br />
model partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang menambah<br />
hal-hal baru atas Kepmendagri No. 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan<br />
Program dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D), yaitu Surat Edaran<br />
(SE) Mendagri No. 080/1160/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Rapat Koordinasi<br />
Pembangunan tingkat propinsi, kabupaten dan kota tahun 2002 dan penyusunan<br />
Repetada 2003, SE Mendagri No. 050/987/SJ Tahun 2003 tentang Pedoman<br />
Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif dan Surat Edaran<br />
bersama dan Meneg Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas No. 0259/<br />
M.PPN/I/2005 Mendagri No. 050/166/SJ Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis<br />
Penyelenggaraan Musrenbang tahun 2005.<br />
Sementara itu, di tingkat lokal muncul pula perda-perda partisipasi masyarakat<br />
dalam perencanan pembangunan seperti yang bisa ditemukan di Kota Probolinggo,<br />
Kabupaten Sumenep, Gowa, Lebak, dan Lampung Timur. Pada intinya, aturanaturan<br />
baru ini berusaha memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk terlibat<br />
dalam perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, ada pula<br />
<strong>Perda</strong> yang tidak secara spesifik mengarahkannya pada perencanaan pembangunan,<br />
namun tetap berkaitan langsung dengan pelaksanaan partisipasi.<br />
150
Secara empiris, perubahan arah partisipasi masyarakat di Indonesia telah diteliti dan<br />
dikaji melalui Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) yang dilakukan<br />
oleh The Asia Foundation (TAF) dan mitra-mitra lokalnya. Studi ini menjadikan<br />
partisipasi sebagai salah satu kajian dalam implementasi desentralisasi, terutama<br />
mengenai dampak desentralisasi terhadap perubahan arah partisipasi. Secara<br />
ringkas temuan-temuan studi ini dimuat dalam tabel berikut:<br />
Tabel 1. Partisipasi setelah Desentralisasi <br />
IRDA Temuan utama Pendekatan thd Citizenship Lokus/level Partisipasi<br />
1 Adanya peningkatan<br />
kesadaran dan<br />
apresiasi thd partisipasi<br />
masyarakat dalam<br />
pemerintahan daerah<br />
2 Partisipasi masyarakat<br />
semakin memperlihatkan<br />
peningkatan, meski<br />
membutuhkan perbaikan<br />
dari segi transparansi dan<br />
akuntabilitas<br />
3 Desentralisasi<br />
belum membawa<br />
perubahan terhadap<br />
proses perencanaan<br />
pembangunan di daerah<br />
Sumber: IRDA 1 (Mei, 2002), IRDA 2 (Nop., 2002), IRDA 3 (Juli, 2003)<br />
Partisipasi mulai disadari sebagai sesuatu yg<br />
penting bagi Pemda, terutama yg tumbuh dari<br />
inisiatif masyarakat<br />
Partisipasi sebagai sebuah keterlibatan<br />
masyarakat dalam perencanaan,<br />
pelaksanaan dan pemantauan program<br />
pembangunan, dan taraf keterlibatan<br />
beragam untuk setiap daerah. Mulai muncul<br />
akan kebutuhan jaminan <strong>Perda</strong> untuk<br />
melembagakan partisipasi<br />
Partisipasi masih dipahami dalam<br />
pendekatan top-down, namun pada saat yg<br />
sama memahami beberapa Pemda memahami<br />
partisipasi dengan adanya keterlibatan CSO<br />
Pemerintahan, melalui<br />
lahirnya forum warga dan<br />
keterlibatan media lokal,<br />
dengar pendapat<br />
Pemerintahan, khususnya<br />
untuk perencanaan,<br />
pelaksanaan dan<br />
pemantauan kebijakan<br />
pembangunan<br />
Pemerintahan,<br />
dalam perencanaan<br />
pembangunan di daerah<br />
Meskipun tema partisipasi yang diusung tidak seluruhnya berkaitan dengan<br />
praktik dan perencanaan pembangunan, namun pada umumnya tema-tema<br />
partisipasi di tingkat lokal sangat berkaitan erat dengan isu ini, seperti<br />
partisipasi dalam perencanaan pembangunan, pengaggaran. Secara umum<br />
studi ini mengungkap temuan menarik tentang evolusi partisipasi masyarakat<br />
setelah desentralisasi secara masif dijalankan di Indonesia. Pertama, tiga tahun<br />
implementasi desentralisasi masih jauh dari cukup bagi daerah untuk membuka<br />
ruang partisipasi bagi masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi masih<br />
bersifat incremental atau sangat berorientasi pada kebijakan masa lalu dan terlalu<br />
lamban untuk sebuah kebijakan radikal seperti Undang-Undang No. 22 Tahun<br />
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, desentralisasi ternyata belum mampu<br />
mengubah lokus partisipasi yang masih didominasi pemerintah. Belum terjadi<br />
pergeseran posisi pemerintah sebagai determinan utama dalam menentukan maju<br />
atau tidaknya partisipasi di tingkat<br />
Dua poin di kolom dua dan tiga tabel ini, diadaptasi dari Hickey dan Mohan ( 2004) yang berbicara<br />
tentang partisipasi dalam teori dan praktik pembangunan. Dalam karya mereka konsep citizenship<br />
dipahami sebagai sebuah tujuan normatif partisipasi yang secara fleksibel berubah mengikuti arah<br />
perkembangan tertentu. Sementara Lokus/level partisipasi merupakan tingkatan di mana partisipasi<br />
secara substansial dijalankan dan bermakna bagi perubahan partisipasi itu sendiri.<br />
151
lokal, kalaupun muncul lokus partisipasi di tingkat masyarakat masih sebatas<br />
pemicu (trigger) saja. Ketiga, munculnya temuan IRDA 2 tentang adanya daerah<br />
yang mulai melembagakan partisipasi masyarakat ke dalam <strong>Perda</strong>, cukup<br />
mengejutkan untuk desentralisasi yang baru berjalan dua tahun dan kenyataan<br />
bahwa belum ada kerangka nasional tentang partisipasi. Bukan itu saja, <strong>Perda</strong> No.<br />
13 Tahun 2002 tentang Sistem Dukungan (SISDUK) Kabupaten Takalar 2<br />
ternyata<br />
mampu menginspirasi daerah-daerah lain untuk melembagakan partisipasi<br />
kedalam <strong>Perda</strong>.<br />
Meskipun masih membutuhkan sebuah klarifikasi yang valid tentang snowball<br />
effect dari <strong>Perda</strong> Kabupaten Takalar terhadap <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> di daerah lain,<br />
kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa setelah itu beberapa kabupaten lain<br />
mulai mengikuti upaya yang sama. Sebagai contoh, di Jawa Timur 2 Kabupaten<br />
berhasil melembagakan partisipasi di tahun yang sama, yaitu Kota Probolinggo<br />
yang membuat <strong>Perda</strong> No. 3 Tahun 2003 tentang Partisipasi dan Kabupaten<br />
Sumenep yang mengeluarkan <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2003 tentang Peran Serta<br />
Masyarakat dalam Pembangunan.<br />
Menariknya, pada tahun yang sama pula dua Kota, yaitu Kota Kediri dan Blitar,<br />
sedang berusaha membuat perda jaminan partisipasi masyarakat. (Sobari dkk,<br />
2004:94). Setelah itu beberapa perda sejenis menyusul dikeluarkan, di antaranya<br />
<strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung Timur No.5 Tahun 2003 tentang Perencanaan<br />
Pembangunan Berbasis Masyarakat, <strong>Perda</strong> Kabupaten Lebak No. 6 Tahun 2004<br />
tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan<br />
Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak dan <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2004<br />
Kabupaten Gowa tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan<br />
Pemerintah Kabupaten Gowa.<br />
Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa perda-perda ini cukup kontroversial, namun<br />
ini merupakan bukti empiris yang menguatkan bahwa tengah terjadi arus perubahan<br />
partisipasi masyarakat, khususnya dalam praktik-praktik pembangunan di daerah.<br />
Pertanyaan yang kemudian muncul, sejauh mana perubahan partisipasi terjadi?<br />
Ke arah mana perubahan substansi partisipasi? Radikalkah?. Berkaitan dengan<br />
pertanyaan-pertanyaan tersebut, makalah ini akan mengkaji <strong>Perda</strong> bersubstansi<br />
partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Kabupaten Lebak. <strong>Perda</strong> ini<br />
dipilih karena memiliki cakupan partisipasi yang lebih luas dibanding yang<br />
lainnya, sehingga hasil kajiannya diharapkan merekomendasikan sebuah smart<br />
practices yang bisa diadopsi daerah lainnya. Sementara itu, kajian lebih diarahkan<br />
pada substansi dan argumen yang digunakan dalam <strong>Perda</strong> ini, terutama yang<br />
menyangkut partisipasi masyarakat.<br />
Setelah menyampaikan latar belakang tentang kajian, paper ini kemudian<br />
merumuskan sejumlah masalah yang akan menjadi arahan dalam pembahasan<br />
<strong>Perda</strong> ini menjadi garansi legalitas bagi keterlibatan LSM dan Masyarakat dalam pembangunan<br />
Lihat Laporan IRDA 2 (2002:38).<br />
152
erikutnya, kemudian diikuti pemaparan kerangka teoretis dan metodologis yang<br />
digunakan dalam mengkaji perda ini. Selanjutnya dalam poin keempat disajikan<br />
tentang temuan dan analisisnya, dan diakhiri dengan poin-poin kesimpulan dan<br />
rekomendasi.<br />
2. Perumusan Masalah<br />
Paper ini akan membahas tiga hal utama yang difokuskan untuk menjawab<br />
pertanyaan-pertanyaan berikut:<br />
1. Kerangka (framework) partisipasi apa yang dikembangkan dalam perda<br />
tersebut?<br />
2. Bagaimana metode partisipasi yang dikembangkan dalam perda tersebut?<br />
3. Bagaimana kemungkinan implikasi dari kerangka (framework) partisipasi<br />
yang digunakan dalam perda tersebut?<br />
3. Metode Pendekatan/Analisis<br />
Dalam bagian ini akan dibahas dua hal utama yaitu tentang pendekatan teoretis<br />
yang digunakan untuk menganalisis isi tiga perda dan kerangka teknis untuk<br />
mengkaji argumen kebijakan dalam perda.<br />
3.1 Partisipasi Instrumental, Transformatif dan Elite Capture:<br />
Sebuah Kerangka Analisis<br />
Dalam makalah ini definisi partisipasi yang digunakan tidak merujuk pada satu<br />
bidang ilmu khusus, karena definisi partisipasi memiliki arti yang berbeda-beda<br />
berdasarkan konteks dan ahli yang mendefinisikannya (Mayer, 1997:9). Namun,<br />
secara umum partisipasi bisa dipahami dalam dua pandangan utama, yaitu<br />
perspektif teori pluralisme dan demokrasi langsung. Dalam perspektif pertama,<br />
konsep partisipasi lebih difokuskan pada representasi kepentingan, terutama<br />
melalui kelompok-kelompok kepentingan dan struktur politik lainnya. Sementara<br />
untuk yang kedua, partisipasi merupakan sebuah bentuk keterlibatan dan pengaruh<br />
langsung individu atas pengambilan sebuah keputusan (Mayer, 1997:9).<br />
Sementara itu, dalam diskursus teori pembangunan, pendekatan terhadap<br />
partisipasi ternyata lebih luas lagi, yaitu sebagai kontribusi masyarakat untuk<br />
meningkatkan efiisiensi dan efektifitas pembangunan dan dalam mempromosikan<br />
proses-proses demokratisasi dan pemberdayaan (Cleaver 2002, dalam Cooke dan<br />
Kothari, 2002:36). Kedua pendekatan ini, juga banyak dikenal sebagai partisipasi<br />
dalam dikotomi instrumen (means) dan tujuan/transformasi (ends). Lebih kongkrit<br />
lagi Cleaver menambahkan, dalam argumen efisiensi, partisipasi adalah sebuah<br />
instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/proyek/kebijakan<br />
yang lebih baik. Sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan,<br />
153
partisipasi adalah sebuah proses sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas<br />
individu-individu sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi<br />
kehidupan mereka (dalam Cooke dan Kothari, 2002:37).<br />
Perbedaan cara pandang atas partisipasi dalam konteks pembangunan seperti di<br />
atas, akan memberikan implikasi yang berbeda dalam melakukan analisis terhadap,<br />
pertama, hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif. Kedua, cara<br />
bagaimana komunitas target mendapatkan manfaat dari proses pembangunan.<br />
Dalam perspektif instrumental, hubungan antara masyarakat sebagai sasaran<br />
program dan pengambil kebijakan atau lembaga pemberi bantuan relatif tidak<br />
terjadi, dengan kata lain tidak ada interaksi antar kedua pihak. Sehingga desain<br />
program/atau kebijakan pembangunan yang dibuat lebih banyak atau bahkan<br />
sepenuhnya berada di tangan para elit lokal (community leader). Sementara<br />
masyarakat penerima manfaat hanyalah terlibat seputar implementasi program/<br />
kebijakan, atau hanya menjadi tukang yang mengerjakannya (Parfitt, 2004:539).<br />
Sebaliknya, pendekatan transformatif memandang bahwa hubungan kekuasaan<br />
dalam sebuah proses yang partisipatif harus mengarah pada upaya-upaya<br />
perubahan dan pemberdayaan dari masyarakat target itu sendiri. Sehingga harus<br />
ada kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan maupun pelaksanaan<br />
program/kebijakan pembangunan. Masyarakat target harus memiliki kesempatan<br />
untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu apa yang diputuskan<br />
dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai<br />
dijalankan (Parfitt, 2004:539). Oleh karena itu, pengertian partsipasi instrumental<br />
dan transformatif dalam makalah ini, mengacu pada referensi yang telah<br />
dipaparkan di atas.<br />
Konsep ketiga dalam kerangka analisis makalah ini adalah elite capture yang<br />
dimaknai sebagai sebuah situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM,<br />
birokrasi dan aktor-aktor lain yang terlibat langsung dengan program-program<br />
melakukan praktik-praktik yang jauh dari prinsip partisipasi. Lebih jauh dari itu,<br />
terjadi pengambilan keputusan dan implementasi program sepihak dengan tujuan<br />
untuk mendapatkan manfaat individual yang tidak sejalan dengan tujuan program<br />
yang partisipatif. Dalam proses yang partisipatif, elite capture merupakan implikasi<br />
negatif dari hubungan kekuasaan dan upaya mendapatkan manfat dari proses<br />
tersebut, yang tentunya lebih pada kerugian bagi masyarakat penerima manfaat.<br />
Platteau memberikan kategori kongkrit tentang praktik elite capture berdasarkan<br />
studi kasusnya di Afrika Barat, yang dikategorikan ke dalam beberapa kondisi<br />
dan konteks hubungan antara lembaga pelaksana program dan lembaga pemberi<br />
bantuan (donor). Pertama, elite capture terjadi pada suatu konteks di mana<br />
kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak donor didominasi atau terkonsentrasi<br />
pada sekelompok kecil elit saja. Sementara daya tawar masyarakat biasa atau calon<br />
penerima manfaat sangat lemah, sehingga mereka tidak mampu berbuat banyak<br />
pada saat distribusi dari manfaat program dilakukan (2004:227).<br />
154
Berikutnya, adanya dampak situasi pertama terhadap manfaat program yang<br />
diterima masyarakat target. Karena tidak terjadinya tranparansi atau hubungan<br />
informasi yang asimetris, maka sekecil apa pun manfaat yang diterima masyarakat<br />
target, tentunya akan dimaknai dengan rasa terima kasih terhadap pelaksana<br />
program. Meskipun pada saat yang sama, pelaksana program menikmati<br />
keuntungan yang lebih besar dari program yang dieksekusinya untuk kepentingan<br />
pribadi atau <strong>org</strong>anisasinya, dan masyarakat tidak mengetahuinya.<br />
Terakhir, terjadinya upaya untuk mengubah tujuan awal program yang sudah<br />
ditetapkan dan disepakati dengan lembaga pemberi dana (domestik maupun<br />
asing). Sehingga posisi pelaksana program tidak lebih dari sekedar “makelar<br />
pembangunan” (development broker) (Platteau, 2004:227-229). Konsep ketiga<br />
akan digunakan terutama untuk mengkaji metode partisipasi yang digunakan<br />
sekaligus hubungan antara masyarakat dan pelaksana program pembangunan,<br />
juga kemungkinan-kemungkinan implikasinya.<br />
3.2 Analisis Argumen Kebijakan: Sebuah Pendekatan Praktis melalui<br />
Analisis Structures and Meanings<br />
Analisis argumen kebijakan sebenarnya lebih difokuskan pada upaya awal sebelum<br />
kebijakan dibuat, yang tujuannya adalah untuk memberikan dukungan argumen<br />
yang kuat, sehingga diharapkan sebuah kebijakan akan berdampak positif atau<br />
memberikan manfaat ketika diimplementasikan. Menurut Dunn, argumen<br />
kebijakan digunakan dalam sebuah analisis kebijakan ketika informasi-informasi<br />
yang relevan dengan kebijakan (policy-relevant information) sudah didapat.<br />
Berdasarkan informasi inilah maka proses debat dan argumentasi dimulai untuk<br />
mengkaji secara kritis dan mengkomunikasikan nilai-nilai argumentatif sebuah<br />
kebijakan publik (1994:89).<br />
Selain itu, Gasper menambahkan argumentasi kebijakan ditujukan untuk membuat<br />
klaim-klaim yang secara logika memiliki alasan kuat, khususnya dalam policy<br />
talk and writing. Maka, argumentasi dalam sebuah analisis kebijakan merupakan<br />
sebuah aktifitas yang melibatkan pengkajian dan persiapan argumen-argumen<br />
yang mana ide-ide tentang nilai, tujuan dan prioritas dikombinasikan dengan<br />
klaim-klaim tentang fakta dan hubungan sebab akibat, untuk tujuan menghasilkan<br />
penilaian tetang kebijakan (dan implementasinya) di masa lalu dan akan datang<br />
(2000:3). Dalam praktiknya, analisis argumen kebijakan sering dikaitkan dengan<br />
text-focused analysis. Oleh karena itu, makalah ini akan mengakaji perda-perda<br />
partisipasi terbatas pada teks kebijakannya, bukan pada konteks perda itu<br />
diterapkan. 2<br />
Dalam praktiknya, analisis argumen kebijakan saat ini lebih banyak menggunakan<br />
dua tehnik yang dikembangkan oleh Toulmin dan Dunn (Toulmin-Dunn model)<br />
dan Scriven (Scriven format). Metode pertama digunakan untuk menganalisis<br />
2 Fokus pada teks <strong>Perda</strong> lebih merupakan pengembangan dari metode analisis argumen kebijakan<br />
yang dilakukan oleh penulis.<br />
155
struktur logika argumen dan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan kontra<br />
argumennya, atau dalam hal ini dikenal sebagai Structures. Metode kedua atau<br />
yang disebut sebagai meanings adalah metode untuk mengkaji teks-teks argumen,<br />
atau dalam makalah ini teks kebijakan, untuk mengetahui arti/maknanya,<br />
hubungan antar teks dan secara hati-hati menarik kesimpulan dan asumsi yang<br />
tidak ternyatakan secara langsung dalam sebuah kebijakan. Kemudian, Gasper<br />
menggabungkan dua metode ini sebagai analisis structures and meanings, dengan<br />
tujuan untuk lebih mampu menangkap argumen sebuah kebijakan dan secara<br />
kritis mengkajinya. Selain itu Gasper juga mengembangkan metode yang lebih<br />
mudah dipahami dan digunakan melalui penggunaan tabel analisis untuk mengkaji<br />
meanings dan tabel sintesis untuk mengkaji structures.<br />
Dalam model Toulmin-Dunn yang sudah sedikit dimodifikasi oleh Gasper, terdapat<br />
empat komponen utama untuk menganalisis struktur logika kebijakan. Pertama,<br />
claim (klaim) sebagai konklusi yang diajukan dalam argumen/kebijakan. Untuk<br />
itu sebuah klaim dimaknai sebabai sesuatu yang bisa diperdebatkan, sehingga<br />
dibutuhkan argumen. Kedua, ground atau data, yang dipresentasikan untuk<br />
mendukung klaim, yang bisa lebih dari satu data. Ketiga, warrant, komponen<br />
ini dilihat sebagai sebuah aturan atau prinsip yang relevan dengan kasus atau<br />
argumen. Warrant akan sangat berguna terutama ketika klaim tidak secara<br />
otomatis mengikuti data, sehingga dibutuhkan warrant sebagai pernyataan yang<br />
menghubungkannya. Keempat, Rebuttal adalah sebuah kontra argumen yang<br />
digunakan untuk menguji klaim atau semua elemen, termasuk data dan warrant<br />
(2000:5-6). Sementara itu untuk mengkaji meanings dari argumen/kebijakan<br />
Scriven mengembangkan tujuh langkah untuk analisis argumen (Gasper, 2000:9),<br />
yaitu:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
Mengklarifikasi meanings dari terminilogi/teks<br />
Mengidentifikasi kesimpulan, baik yang ternyatakan maupun tidak secara<br />
langsung dalam teks<br />
Menggambarkan struktur, yaitu hubungan kesimpulan terhadap data-data<br />
dan warrants<br />
Memformulasikan asumsi-asumsi yang tidak ternyatakan, yaitu sebagai syarat<br />
untuk bergerak atau merubah dari data ke klaim<br />
Mengkritisi inferensi dan premis<br />
Mempertimbangkan argumen-argumen relevan yang lain, termasuk<br />
kemungkinan kontra-argumen<br />
Evaluasi secara keseluruhan, berdasarkan pada keseimbangan antara kekuatan<br />
dan kelemahan, dan mengkomparasikannya dengan pendapat alternatif yang<br />
mungkin juga bisa dipertimbangkan.<br />
Berdasarkan dua model inilah, analisis argumen terhadap perda partisipasi<br />
dilakukan. Namun dalam praktiknya tidak semua langkah, terutama untuk scriven<br />
format, dilakukan, karena menyesuaikan dengan teks. Untuk itu modifikasi melalui<br />
Gasper model lebih banyak diterapkan.<br />
156
4. Analisis dan Temuan Pokok<br />
4.1 Framework Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah<br />
Berikut ini adalah analisis meanings and strcutures atas kerangka partisipasi yang<br />
dikembangkan di Kabupaten Lebak berdasarkan analisis teks definisi partisipasi<br />
dan pelibatan masyarakat.<br />
Teks1:<br />
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sadar dan nyata dalam<br />
serangkaian proses pembangunan dari tingkat perencanaan, perumusan kebijakan,<br />
implementasi sampai pengawasan dan evaluasi sehingga penyelenggaraan<br />
pemerintahan dapat lebih aspiratif, transparan dan akuntabel (Bab I ketentuan<br />
umum, pasal 1 No. 7).<br />
Tabel 2: Tabel Analisis Definisi Partisipasi<br />
Step 0.<br />
Identify components<br />
Step 1.<br />
Clarify meanings of terms<br />
Step 2.<br />
Identify conclusions<br />
Step 4.<br />
Identify assumptions<br />
Partisipasi adalah keterlibatan<br />
masyarakat secara sadar dan<br />
nyata dalam serangkaian proses<br />
pembangunan dari tingkat<br />
perencanaan, perumusan<br />
kebijakan, implementasi sampai<br />
pengawasan dan evaluasi sehingga<br />
penyelenggaraan pemerintahan<br />
dapat lebih aspiratif, transparan dan<br />
akuntabel<br />
Kriteria tindakan, menolak<br />
bentuk-bentuk mobilisasi. Setiap<br />
keterlibatan masyarakat harus<br />
terbebas dari paksaan. Partisipasi<br />
juga harus kongkrit, jelas dan<br />
terukur<br />
Keterlibatan masyarakat meliputi<br />
proses pembangunan secara<br />
komprehensif, bukan sekedar<br />
perencanaan saja<br />
Tujuannya agar terjadi perubahan<br />
dalam penyelenggaraan<br />
pemerintahan sesuai prinsip/<br />
karakter tertentu. Contoh, good<br />
governance<br />
Stated conclusion: Partisipasi adalah<br />
cara masyarakat terlibat dalam<br />
proses pembangunan dengan<br />
tujuan agar terjadi perubahan<br />
jalannya pemerintahan, sesuai<br />
prinsip-prinsip tertentu. Perubahan<br />
bukan hanya untuk masyarakat<br />
Berdasarkan analisis teks dalam tabel 2 di atas, maka dilakukan analisis structure<br />
dari kerangka partisipasi yang diajukan dalam <strong>Perda</strong>.<br />
157
Tabel 3: Tabel Sintesis untuk Kerangka Partisipasi<br />
Policy Position<br />
[Claim:] I propose that<br />
Partisipasi dilakukan bukan untuk mentransformasi<br />
masyarakat saja, tetapi juga pemerintah (daerah)<br />
Rebuttal<br />
• Dalam praktiknya dominasi pemerintah (daerah) bisa<br />
lebih kuat, bila tidak terjadi penguatan kapasitas di<br />
tingkat masyarakat<br />
Given That [Data]<br />
• Tujuan Partisipasi: Meningkatkan daya tanggap<br />
Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap<br />
keterlibatan masyarakat… (pasal 3 ayat 2 a)<br />
• Tujuan Partisipasi: Juga untuk, ...Meningkatkan<br />
kesadaran peran serta dan tanggung jawab<br />
masyarakat dalam pengelolaan pembangunan<br />
di daerah (pasal 3 ayat 2 b )<br />
• Hak masyarakat untuk berpartisipasi<br />
merupakan jaminan bagi proses transformasi<br />
partisipasi masyarakat (pasal 8)<br />
• Kewajiban mengikat bagi pemerintah untuk<br />
membuka ruang partisipasi bagi masyarakat<br />
dalam seluruh proses kebijakan (pasal 9 ayat 1)<br />
• Dibentuknya komisi partisipasi daerah (Bab VIII)<br />
• Peran serta masyarakat bisa saja menjadi sumber<br />
legitimasi semata<br />
• Masyarakat wajib pula meningkatkan kapasitasnya<br />
untuk bisa tetap berpartisipasi<br />
• Hak pemerintah juga untuk meminta masyarakat<br />
terlibat dalam selurus proses kebijakan<br />
And given the rule (s)/principle(s) [warrant(s)] that<br />
• Bagian dari pelaksanaan Renstra Kabupaten<br />
Lebak 2004-2009<br />
• Adanya aturan yang mendukung keterlibatan<br />
dalam pembangunan , yaitu Peraturan<br />
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 Tentang<br />
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Peran<br />
serta Masyarakat dalam Penataan Ruang<br />
• Aturan bisa membelenggu partisipasi<br />
Berikut adalah analisis meanings and structures atas definisi pelibatan<br />
masyarakat:<br />
Teks 2: Pelibatan masyarakat adalah suatu kondisi yang mensyaratkan adanya<br />
peran serta atau kontribusi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung<br />
dalam suatu pengambilan kebijakan publik (Bab I ketentuan umum, pasal 1 No.<br />
8)<br />
158
Tabel 4: Tabel Analisis definisi Pelibatan Masyarakat<br />
Step 0.<br />
Identify components<br />
Step 1.<br />
Clarify meanings of terms<br />
Step 2.<br />
Identify conclusions<br />
Step 4.<br />
Identify assumptions<br />
Pelibatan masyarakat adalah<br />
suatu kondisi yang mensyaratkan<br />
adanya peran serta atau kontribusi<br />
masyarakat baik langsung maupun<br />
tidak langsung dalam suatu<br />
pengambilan kebijakan publik<br />
Menyaratkan, prakondisi yang<br />
harus dipenuhi untuk sebuah<br />
kegiatan partisipatoris<br />
“Maupun”, mengakui dua bentuk<br />
keterlibatan<br />
Kebijakan publik, istilah netral yang<br />
merepresentasikan suara otoritatif<br />
pemerintah untuk tujuan tertentu<br />
Stated conclusion: Partisipasi adalah<br />
cara masyarakat terlibat dalam<br />
proses pembangunan dengan<br />
tujuan agar terjadi perubahan<br />
jalannya pemerintahan, sesuai<br />
prinsip-prinsip tertentu. Perubahan<br />
bukan hanya untuk masyarakat<br />
Tabel 5: Tabel Sintesis Pelibatan Masyarakat<br />
Policy Position<br />
[Claim:] I propose that<br />
Proses pembuatan kebijakan publik (daerah) menjadi<br />
wilayah peran serta masyarakat<br />
Given That [Data]<br />
• Masyarakat sekurang-kurangnya terlibat dalam<br />
(pasal 16):<br />
a. Perumusan visi, misi dan rencana strategis<br />
daerah;<br />
b. Penyusunan program pembangunan tahunan;<br />
c. Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja<br />
daerah;<br />
d. Penyusunan maupun revisi tata ruang;<br />
e. Penyusunan setiap Peraturan Daerah;<br />
f. Pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan<br />
suatu kebijakan atau program;<br />
g. Perumusan keputusan / kebijakan publik lainnya<br />
yang berkaitan dengan kepentingan rakyat<br />
banyak;<br />
• Hak masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan,<br />
perumusan, implementasi, pengawasan, dan evaluasi<br />
kebijakan publik<br />
Rebuttal<br />
• Proses pembuatan kebijakan hanyalah salah satu dari<br />
seluruh proses kebijakan<br />
• Masyarakat juga berhak untuk bisa mempengaruhi<br />
proses pengambilan keputusan, daripada sekedar<br />
keterlibatannyadi tahap pengysusnan dan<br />
pengumpulan informasi yang relevan untuk kebijakan<br />
• Pengawasan dan evaluasi sudah berada di luar proses<br />
formulasi<br />
159
Berdasarkan hasil analisis terhadap dua definisi yang menjadi bagian utama<br />
dalam <strong>Perda</strong> Partisipasi (dan transparansi) Kabupaten Lebak, perlu dijelaskan<br />
bahwa perda ini cukup layak untuk dikatakan memiliki framework partisipasi<br />
transformatif, khususnya dari sisi substansi. Partisipasi ternyata tidak hanya<br />
diarahkan sebagai instrumen untuk menggali dan mendapatkan suara masyarakat.<br />
Lebih jauh lagi, partisipasi dan pelibatan masyarakat menjadi tujuan bagi<br />
perubahan terhadap posisi masyarakat itu sendiri, menjadi lebih berdaya. Hal<br />
ini memberikan gambaran cukup utuh tentang upaya-upaya menyeimbangkan<br />
perubahan dari sisi masyarakat.<br />
Berdasarkan data yang menjadi bagian dalam perda itu sendiri, dimuat secara<br />
kongkrit sejumlah strategi dan mekanisme agar terjadi power relations yang<br />
seimbang.<br />
Berikutnya, ketika partisipasi tidak hanya dilakukan pada saat implementasi<br />
program-program pembangunan, tetapi lebih awal lagi sejak proses formulasi<br />
kebijakan, maka telah muncul upaya mentransformasi masyarakat. Keterlibatan<br />
sejak tahap perumusan yang termuat dalam pasal 16 perda ini, mementahkan<br />
asumsi bahwa masyarakat hanyalah menjadi bagian dari eksekutor program<br />
pembangunan.<br />
Namun satu hal yang menjadi ganjalan dalam substansi dan argumen perda ini<br />
adalah, masyarakat diposisikan sudah memahami dan mampu menjalankan start<br />
untuk berpartisipasi. Tidak menonjol ditemukan, argumen tentang upaya-upaya<br />
untuk memprinsipkan kapasitas masyarakat. Di kemudian hari kekurangan ini<br />
akan menjadi ganjalan serius, tatkala terjadi perbedaan kapasitas yang menonjol<br />
antar masyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah daerah (dan DPRD).<br />
Terakhir, argumen-argumen partisipasi dalam teks dan struktur logika perda ini<br />
cukup kuat untuk menangkal bahaya elite capture. Jaminan hak masyarakat dan<br />
kewajiban pemerintah dan DPRD dalam partisipasi, merupakan modal utama<br />
untuk menangkal terjadinya situasi ini.<br />
Diperkuat lagi dengan keberadaan komisi partisipasi (dan transparansi) yang<br />
bisa menjadi mediator sekaligus wakil masyarakat yang dekat dan kredibel untuk<br />
menjalankan fungsi penyeimbang dalam partisipasi kebijakan dan program<br />
pembangunan. Juga, pendirian lembaga independen seperti ini, bisa diharapkan<br />
untuk memberikan prospek yang baik bagi masa depan partisipasi masyarakat.<br />
4.2 Metode Partisipasi<br />
Untuk bahasan metode partisipasi, analisis langsung dilakukan melalui structure,<br />
mengingat teks yang lebih kongkrit, yang justru bisa diposisikan sebagai data. Untuk<br />
bagian ini, analisis difokuskan pada bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi<br />
dalam proses kebijakan dan/atau pembangunan.<br />
160
Tabel 6: Tabel Sintesis untuk Metode Partisipasi<br />
Policy Position<br />
[Claim:] I propose that<br />
Metode partisipasi yang digunakan cukup memberikan<br />
ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi<br />
Rebuttal<br />
Semakin luas ruang yang diberikan, berdampak pada<br />
semakin tidak efisien dan mahal-nya pengambilan<br />
kebijakan bagi policy maker.<br />
Given That [Data]<br />
• Metode partisipasi (pasal 17):<br />
1. Masyarakat berhak menyampaikan pikiran dan<br />
pendapatnya secara langsung dengan lisan<br />
maupun tulisan dan secara perorangan maupun<br />
kelompok;<br />
2. Untuk terlaksananya ketentuan sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) maka dalam perumusan<br />
kebijakan publik harus disiapkan dan diumumkan<br />
mekanisme pelibatan masyarakat terlebih dahulu<br />
oleh badan publik.<br />
3. Mekanisme pelibatan masyarakat sekurangkurangya<br />
berisi tentang:<br />
a. Kebijakan publik yang akan diambil dan<br />
penyampaian konsepnya kepada masyarakat<br />
b. Jadwal perumusan kebijakan publik yang akan<br />
diambil, prosedur pelibatan masyarakat dan media<br />
penyampaian aspirasi<br />
c. Periode dan mekanisme tanggapan masyarakat<br />
terhadap prosedur pelibatan masyarakat<br />
d.<br />
e.<br />
f.<br />
Periode penyampaian aspirasi masyarakat<br />
Periode perumusan tanggapan masyarakat<br />
Penyampaian tanggapan kepada masyarakat yang<br />
memberikan pendapat/aspirasi<br />
g. Periode kesempatan pengajuan keberatan<br />
masyarakat terhadap tanggapan yang diberikan<br />
h. Periode perumusan kebijakan final dan hasilnya<br />
i. Periode kesempatan masyarakat untuk<br />
menyampaikan pengaduan karena tidak<br />
dilakukannya pelibatan masyarakat<br />
j. Periode pembahasan kebijakan publik di DPRD<br />
dengan melampirkan semua dokumen terkait<br />
termasuk aspirasi masyarakat dan tanggapan<br />
terhadap aspirasi masyarakat<br />
k. Kesempatan akhir masyarakat untuk<br />
menyampaikan aspirasi dalam pembahasan di<br />
DPRD<br />
• Standar penyampaian pendapat/pikiran masih belum<br />
terumuskan dengan baik<br />
• Mekanisme belum menjawab persoalan standar<br />
metode partisipasi<br />
• Penyusunan mekanisme tidak bisa hanya didominasi<br />
oleh badan publik, tetapi membutuhkan kolaborasi<br />
dengan masyarakat<br />
161
Policy Position<br />
l. Penepatan kebijakan publik<br />
m. Pengumuman hasil penetapan kebijakan publik<br />
Rebuttal<br />
• Pengaduan dan keberatan (pasal 20):<br />
(1) Setiap masyarakat berhak untuk mengajukan<br />
keberatan kepada Badan <strong>Publik</strong> berkenaan dengan:<br />
a.<br />
b.<br />
c.<br />
d.<br />
tidak setuju terhadap prosedur pelibatan<br />
masyarakat,<br />
tidak diberi kesempatan menyampaikan pendapat;<br />
tidak ada tanggapan terhadap pendapatpendapat<br />
yang disampaikan;<br />
atau sebab lain yang mengakibatkan<br />
tersumbatnya aspirasi yang ingin disampaikan<br />
masyarakat.<br />
(2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) tidak mendapat tanggapan dari badan publik<br />
yang bersangkutan selambat-lambatnya 14 hari<br />
sejak diajukannya keberatan secara tertulis, maka<br />
masyarakat dapat mengajukan pengaduan kepada<br />
Komisi Transparansi dan Partisipasi.<br />
• Menjawab kontra-argumen pasal 17 ayat 2 (rebuttal<br />
bullet 2)<br />
• Masih dibutuhkan standar tentang pengajuan<br />
keberatan<br />
• Seleksi terhadap keberatan-keberatan bersifat<br />
individual tetap dibutuhkan, untuk memberikan jaminan<br />
terhadap validitas dan reliabilitas sebuah keberatan<br />
And given the rule (s)/principle(s) [warrant(s)] that<br />
• pendekatan transformatif: hubungan kekuasaan<br />
dalam sebuah proses yang partisipatif harus mengarah<br />
pada upaya-upaya perubahan dan pemberdayaan dari<br />
masyarakat target itu sendiri.<br />
• Kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan<br />
maupun pelaksanaan program/kebijakan<br />
pembangunan.<br />
• Masyarakat target harus memiliki kesempatan untuk<br />
berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu<br />
apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil<br />
pada saat program diimplementasikan dan selesai<br />
dijalankan (Parfitt, 2004:539)<br />
Secara teknis metode-metode yang digunakan dalam partisipasi, cukup memberikan<br />
ruang bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya atas sebuah kebijakan.<br />
Kekhawatiran akan dominasi elit bisa dikurangi dengan adanya jaminan partisipasi<br />
baik langsung maupun tidak oleh masyarakat. Selain itu keberadaan komisi<br />
partisipasi dan transparansi sebagai <strong>org</strong>anisasi independen, bisa menjadi penengah<br />
yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan partisipasi.<br />
Berdasarkan tabel di atas, perlu juga diperhatikan bahwa semakin luas ruang<br />
partisipasi yang dibuka oleh pemerintah daerah, perlu dipertimbangkan pula<br />
162
efektifitas pengambilan kebijakannya. Semakin besar partisipasi, akan berdampak<br />
pada semakin banyak waktu dan biaya yang dibutuhkan. Meskipun bukan berupaya<br />
menegasikan arti pentingnya partisipasi, namun dalam hal waktu dan anggaran<br />
akan menjadi beban yang cukup bagi daerah untuk terus menjalankan mekanisme<br />
ini. Artinya, perlu dikembangkan mekanisme khusus agar luasnya ruang partisipasi<br />
yang dibuka tidak berkorelasi positif dengan besarnya biaya dan waktu yang harus<br />
dikeluarkan. Secara kongkrit bisa dikembangkan standar penyampaian pendapat<br />
dan tanggapan yang efisien, tanpa mengurangi makna partisipasi.<br />
Satu pertanyaan sederhana tetapi cukup penting, mengapa perda ini relatif baik<br />
mengatur ruang partisipasi masyarakat. Jawaban yang mungkin diajukan adalah<br />
karena perda ini dibuat dengan menggandeng transparansi sebagai bagiannya.<br />
Perubahan hubungan kekuasaan antara masyarakat dan pemerintah daerah<br />
tidak akan bermanfaat bagi penciptaan ruang partisipasi, tanpa ada kerelaan<br />
dari pemerintah daerah untuk membuka pintu bagi akses informasi publik yang<br />
dibutuhkan oleh masyarakat sebagai dasar (bahan) partisipasi. Karena selama ini<br />
akses terhadap dokumen publik begitu menjadi masalah bagi masyarakat yang<br />
ingin mengetahui jalannya pemerintahan dan pembangunan.<br />
4.3 Implikasi dari Framework Partisipasi<br />
Mengingat substansi perda yang mengalami perubahan cukup radikal, terutama<br />
bila dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi dan desentralisasi, maka satu<br />
hal yang mungkin dihadapi oleh pemerintah daerah dalam menjalankan perda<br />
progresif ini adalah menyangkut situasi kultur di tingkat lokal, baik di kalangan<br />
elit lokal maupun masyarakat. Di tingkat elit, munculnya benturan kepentingan<br />
antara arus perubahan yang dibawa oleh <strong>Perda</strong> ini dan kepentingan untuk<br />
mempertahankan budaya politik lama yang berakar pada patronase, merupakan<br />
hal yang mungkin terjadi. Di tingkat masyarakat, keberadaan perda ini tentunya<br />
membutuhkan setting budaya politik baru yang tidak hanya sekedar menerima,<br />
tetapi memberi kontribusi dan mempengaruhi.<br />
Oleh karena itu, implikasi teknis yang juga akan muncul adalah belum siapnya<br />
masyarakat di awal-awal implementasi <strong>Perda</strong> ini, dan sebagai jalan keluar bukan<br />
hanya sosialisasi tetapi juga perlunya peningkatan kapasitas masyarakat tentang<br />
makna, cara dan etika berpartisipasi. Implikasi prospektif lainnya berkaitan<br />
dengan pola-pola elite capture yang selama ini kental dalam proses-proses<br />
pembangunan. Substansi perda yang secara normatif berusaha menangkal polapola<br />
ini, ke depan akan berdampak positif bagi perbaikan tingkat korupsi. Secara<br />
normatif, ketika masyarakat diberi kesempatan terlibat langsung, berhubungan<br />
dengan pengambil kebijakan dan mempengaruhi serta secara detail mengetahui<br />
kebijakan pembangunan yang akan dijalankan tentunya akan mengurangi dan<br />
menghentikan praktik-praktik elite capture. Apalagi pada saat yang sama akses<br />
terhadap informasi publik juga dibuka cukup lebar.<br />
163
Berikutnya berkaitan dengan kesiapan material untuk menjalankan perda ini.<br />
Sebagaimana teori kebijakan yang menganut posisi rational decision-making,<br />
semakin rasional informasi yang relevan untuk kebijakan berusaha diperoleh baik<br />
melalui metode ilmiah maupun metode demokrasi, maka konsekuensinya adalah<br />
pada ketersediaan waktu dan biaya untuk menggalinya.<br />
Pendekatan partisipatoris yang sangat kental dalam <strong>Perda</strong> ini, menyaratkan<br />
perubahan cukup besar dalam cara-cara bagaimana input kebijakan pembangunan<br />
diperoleh dan diakomodasi untuk menjadi kebijakan yang sesuai harapan<br />
masyarakat. Implikasinya tentunya hal ini berpengaruh terhadap waktu dan<br />
biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan proses-prosesnya. Sebagai<br />
contoh, participatory budgeting yang cukup populer dikembangkan di Porto Alegre,<br />
Brasil, prosesnya memakan waktu hampir setahun penuh hingga sebuah program<br />
pembangunan benar-benar mengakomodasi suara sektoral dan kewilayahan di<br />
masyarakat. Selain itu tidak kalah pentingnya, kesiapan kapasitas pemerintah<br />
daerah dan DPRD sendiri, tentunya harus lebih dari sebelumnya, dalam hal<br />
kemampuan mengatur strategi dalam mengakomodasi keterlibatan masyarakat,<br />
dari mulai kapasitas pengumpulan informasi yang relevan buat kebijakan,<br />
kemampuan berargumen secara normatif dan empiris hingga kemampuan<br />
melakukan manajemen dan resolusi konflik yang mungkin terjadi.<br />
5. Kesimpulan dan Rekomendasi<br />
Kajian tekstual terhadap isi dan argumentasi perda ini menunjukkan bahwa secara<br />
normatif partisipasi yang digagas sudah lebih dari sekedar sebagai instrumen<br />
untuk berpartisipasi. Lebih dari itu perda ini secara progresif mengembangkan<br />
pendekatan transformatif, karena partisipasi juga merupakan bagian dari upaya<br />
untuk memberdayakan masyarakat dan menyeimbangkan power relations. Selain<br />
itu, kekhawatiran akan bahaya elite capture yang mungkin lebih menonjol, secara<br />
substansi terjawab dalam perda ini.<br />
Sebagai rekomendasi akhir, secara normatif perda ini layak dikatakan sebagai<br />
salah satu smart practices yang bisa dirujuk oleh daerah lainnya, tentunya<br />
dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang berbeda. Selain itu perlu<br />
juga dilakukan studi-studi lainnya yang lebih mengarah pada temuan-temuan<br />
empiris dari implementasi perda ini. Pada saat yang sama juga dicatat kendala<br />
dan kemudahan dalam implementasinya, untuk semakin menyempurnakan perda<br />
partisipasi ini dan dampaknya terhadap keterlibatan masyarakat dalam prosesproses<br />
pembangunan dan hasil-hasilnya.<br />
164
Referensi<br />
Cleaver, Frances., dalam Cooke, Bill dan Kothari, Uma (2002) Participation: the New<br />
Tyranny?. London: Zed Books<br />
Dunn, William N. (1994) Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall,<br />
Inc.<br />
Gasper, Des (2000) ‘Structures and Meanings: A Way to Introduce Argumentation Analysis<br />
in Policy Studies Education’, Working Paper 317. The Hague: Institute of Social Studies<br />
(ISS).<br />
Hickey, S. Dan Mohan, G (eds.) (2004) Participation: from Tyranny to Transformation:<br />
Exploring New Approaches to Participation in Development. London: Zed books<br />
Mayer, Igor S. (1997) Debating Technologies: A Methodological Contribution to the Design<br />
and Evaluation of Participatory Policy Analysis. Tilburg: Tilburg University Press.<br />
Parfitt, Trevor. (2004) ‘The Ambiguity of Participation: a Qualified Defence of Participatory<br />
Development’, Third World Quarterly 25 (3):537-556.<br />
Platteau, Jean-Philippe (2004) ‘Monitoring Elite Capture in Community-Driven Development’,<br />
Development and Change 35(2):223-246.<br />
The Asia Foundation (2002a) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan<br />
Pertama, Mei 2002. Jakarta: The Asia Foundation<br />
_______(2002b) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Kedua, Juni-<br />
November 2002. Jakarta: The Asia Foundation<br />
_______(2003) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Ketiga, Juli<br />
2003. Jakarta: The Asia Foundation<br />
Sobari, W. dkk. (2004) Referensi Baru Otonomi: Kumpulan Beragam Inovasi Pemerintah<br />
Kabupaten dan Kota di Jawa Timur dalam <strong>Implementasi</strong> Otonomi Daerah. Surabaya: Jawa<br />
Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)-Pemerintah Provinsi Jawa Timur.<br />
Peraturan Daerah:<br />
Republik Indonesia (2003) <strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung Timur No.5 tahun 2003 tentang<br />
Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat.<br />
______________(2004) <strong>Perda</strong> Kabupaten Lebak No. 6 tahun 2004 tentang Transparansi<br />
dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan di<br />
Kabupaten Lebak.<br />
_______________(2004) <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2004 Kabupaten Gowa tentang Partisipasi<br />
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten Gowa.<br />
165
5. Diskusi Sesi Paralel 1:<br />
Penyusunan dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />
Tanya Jawab<br />
◊ Pertanyaan<br />
1.<br />
Gatot (LBH Bandung)<br />
Apa yang disampaikan tadi sebenarnya cukup jelas buat kami tapi ada beberapa<br />
hal yang mungkin bisa diperjelas terutama oleh narasumber dari Tarakan<br />
dan Bpk. Walikota Gorontalo, itu hal-hal yang berkenan dengan mekanisme.<br />
Bagaimana mekanisme penuang akses informasi publik berkenan dengan beberapa<br />
informasi yang disediakan oleh institusi pemerintahan baik kota Tarakan maupun<br />
Gorontalo.<br />
Kemudian apakah di kedua wilayah ini ada juga ketentuan yang memberikan<br />
satu ruang yang cukup baik buat publik untuk melakukan komplain misalnya,<br />
mekanisme komplain, seandainya informasi tadi menurut Bapak Walikota<br />
Gorontalo diberi waktu satu minggu selambat-lambatnya informasi pada publik itu<br />
bisa diberikan, jika lebih dari satu minggu atau ternyata sama sekali informasi itu<br />
tidak bisa diberikan, kira-kira mekanisme komplain yang disediakan bagi publik<br />
ini sebenarnya terkait dengan kepentingan pemerintah untuk memberikan ruang<br />
akses bagi masyarakat yang bersangkutan seperti apa.<br />
Kemudian memang pada tataran praktis implementatif di beberapa daerah pasti<br />
terjadi perbedaan-perbedaan. Karena pada prinsipnya akses informasi, akses<br />
partisipasi dan akses pada keadilan itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa<br />
dilepaskan satu sama lain, menurut pandangan kami. Kemudian juga implementasi<br />
tiga akses ini (informasi, partisipasi dan keadilan) betul sangat membutuhkan satu<br />
sikap konsistensi dari unsur penyelenggara negara terutama karena dari aspek<br />
HAM merupakan kewajiban pemerintah untuk bisa memenuhinya dengan sebaikbaiknya.<br />
Kemudian pertanyaan yang ke-3 untuk Bapak-bapak dari Tarakan dan Gorontalo,<br />
masyarakat mengetahui bahwa usulan-usulan yang mereka berikan itu betul-betul<br />
diakomodir dalam tahapan proses pengambilan sebuah keputusan. Tadi bapak<br />
juga menjelaskan, Walikota dari Gorontalo, bahwa ada perda tentang perencanaan<br />
pelaksanaan dan pengawasan, bagaimana mekanisme pelibatan partisipasi publik<br />
dalam proses pelaksanaan implementasi dari kebijakan tadi dan pengawasannya<br />
seperti apa.<br />
Kalau yang disampaikan oleh kawan Diding saya pikir memang kondisinya di<br />
Bandung memang seperti itu, belum sebagus dengan apa yang terjadi dan diinisiasi<br />
oleh kawan-kawan dari Tarakan maupun dari Gorontalo.<br />
166
2.<br />
Ayu Pramusinto<br />
Sedikit untuk Pak Djoko, tadi digambarkan di layar tentang pembangunan SMP<br />
yang menghabiskan 15 milyar, saya kuatir ini menjadi kecenderungan di daerahdaerah<br />
juga. Dan saya memang melihat bahwa pembangunan fisik menjadi<br />
kebanggaan, bangun sekolah mewah, bangun gedung mewah, tetapi isi dari<br />
kegiatan itu sendiri terabaikan, dan tentu saja ini jangan sampai terjadi seperti<br />
itu, jadi konsentrasikan secara benar kalau ingin membangun, apa fisik memang<br />
masih perlu kita cenderung seperti itu ingin sesuatu yang kelihatan ada tinggalan<br />
monumental nanti kalau ganti Bupati bisa dibandingkan Bupati dulu bangun apa,<br />
Bupati sekarang bangun apa.<br />
Yang kedua, tadi ada masalah tahapan musrenbang sampai ketemu APBD<br />
itu banyak sekali aspirasi yang terpotong-potong, sehingga apa yang muncul<br />
dari bawah sampai akhir ketika APBD sebetulnya berapa persen yang terserap<br />
dari aspirasi masyarakat, dan ini ada berapa potongan, dipotong mulai musren<br />
kelurahan, kecamatan kemudian tim anggaran di eksekutif juga bikin potonganpotongan,<br />
kemudian masuk di legislatif di potong lagi akhirnya berapa persen yang<br />
masuk dari bawah itu.<br />
3.<br />
Restu Karlina Rahayu (Bandung Advisory Group)<br />
Saya sangat tertarik dengan pemaparan kota Tarakan dan Gorontalo. Terkait<br />
dengan keluarnya Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang pedoman penyusunan<br />
pelayanan perijinan satu pintu. Apakah di kota Bapak sudah ada unit atau kantor<br />
atau dinas tentang pelayanan perijinan satu pintu.Ini terkait dengan pertanyaan<br />
berikutnya karena seperti sekarang yang kami sedang asistensi teknis di kota<br />
Cimahi, salah satu kesulitan yang dihadapi adalah ketika ada peraturan atau<br />
perangkat hukum diatasnya sehingga daerah itu tidak mampu untuk mengeluarkan<br />
ijin.<br />
Karena untuk mengeluarkan ijin tetap harus ada ijin dari Pusat terlebih dahulu.<br />
Apakah sebelumnya Bapak pernah mengalami ketika daerah menginisiasi suatu<br />
peraturan terbentur dengan peraturan diatasnya, selama ini kalau daerah Bapak,<br />
bagaimana mengatasinya. Dalam proses penyusunan peraturan daerahnya sendiri<br />
Pak, tadi diceritaikan tampak sangat partisipatif. Sedangkan proses politiknya<br />
sendiri ketika legislatif bertemu dengan eksekutif itu seperti apa, apakah<br />
legislatifnya sangat bisa bekerja sama juga dengan eksekutif?<br />
167
◊<br />
Jawaban<br />
1.<br />
Walikota<br />
Mekanisme informasi dari publik, kami jelaskan bahwa dalam peraturan daerah<br />
tentang perencanaan pelaksanaan dan pengawasan itu sudah jelas terurai oleh<br />
karena itu maka mudah-mudahan dari Bapak moderator bisa. Mekanisme itu<br />
orientasinya atau dasarnya masyarakat bisa memanfaatkan media apa saja<br />
untuk bisa menyampaikan aspirasinya kepada pimpinan daerah, tetapi seperti<br />
perencanaan tentu ada aturan yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat,<br />
musrenbang kemudian lokakarya tingkat kecamatan kemudian tingkat kota<br />
kemudian kita bahas lagi di tingkat provinsi baru di tingkat nasional. Jadi<br />
mekanismenya seperti demikian, tetapi prinsipnya apa yang diinginkan oleh<br />
masyarakat segera salurkan jangan ditutup-tutupi.<br />
Complain yang cuma satu minggu. Kalau lebih dari 1 minggu sudah tidak ada<br />
complain, teorinya berarti sudah baik itu. Ini dimaksudkan untuk agar mereka<br />
segera mengajukan aspirasi mereka, apa yang mereka tidak inginkan. Sarananya<br />
yaitu tadi boleh melalui sms, melalui telpon langsung. Di kota Gorontalo ada<br />
posko untuk ini yang kita namakan Posko 4-CT yaitu cepat temu (masalah), cepat<br />
tanggap (begitu diketemukan permasalahan, aparat itu tanggap, diapakan ini),<br />
sehingga cepat tindak, sehingga akhirnya tuntas tidak ada masalah lagi. Tapi<br />
orang tambah 1-CT lagi supaya kita cepat temu, cepat tanggap, cepat tindak, cepat<br />
tuntas, sehingga kita cepat tidur, sebab tidak ada beban lagi jadi tidur enak tidak<br />
stress, itu 24 jam berfungsi.<br />
Baru-baru ini banjir, baru ada tanda-tanda mau banjir kita sudah warning kepada<br />
masyarakat, seperti beberapa waktu yang lalu ada gempa bumi di Gorontalo<br />
yang sengaja terlalu di blow up sehingga di media elektronik muncul seolah-olah<br />
Gorontalo sudah kiamat, padahal saya sendiri tidak merasakan gempa yang begitu<br />
besar, hanya masyarakat terpancing dengan isu dari media bahwa akan terjadi<br />
tsunami di Gorontalo, sehingga masyarakat yang ada di pesisir pantai lari. Ini<br />
segera ditangani oleh Posko 4-CT.<br />
Kemudian bagaimana masyarakat tahu bahwa usulan-usulan mereka itu<br />
tertampung, tentu saja karena melalui proses musrenbang ke tingkat kecamatan,<br />
ke tingkat kota, kita susun mana yang utama diantara unsur yang sama. Keinginan<br />
kita begitu banyak, tapi mana dari keinginan-keinginan itu yang utama, tentu<br />
keinginan pribadi saya kalau sudah dibicarakan dengan suatu lingkungan sudah<br />
turun dia punya, demikian juga. Itu harus ada sosialisasi kepada masyarakat<br />
bahwa tidak semua yang kalian sampaikan itu akan tertampung. Kita akan<br />
melihat kepentingan yang lebih besar lagi selain dari anda. Biasanya kemauan<br />
bertolak belakang dengan kemampuan, kemampuan itu menurut deret hitung,<br />
dan kemauan itu menurut deret ukur, maka dia laksanakanlah perencanaan mana<br />
yang utama diantara yang sama, tentu tidak semua tertampung.<br />
168
Kemudian di kota Gorontalo tidak melayani satu pintu, yang ada satu atap tapi<br />
banyak pintu, tapi di dalam satu kantor itu, pintunya ada pintu depan, pintu<br />
samping dan pintu belakang. Jadi pelayanan di kota Gorontalo satu atap ada unit<br />
pelayanan satu atap sebelum keluar instruksi mendagri, jauh-jauh sebelumnya<br />
sudah ada pelayanan satu atap. Prinsipnya yaitu efisiensi. Efisiensi orang yang<br />
mengurus ijin. Biasanya pengalaman rakyat mengurus ijin itu harus menghubungi<br />
beberapa instansi, pakai uang kendaraan ke instansi A, uang kendaraan ke instansi<br />
B, bolak-balik dia. Ini dia cuma satu kali mengeluarkan uang, antarkan di unit satu<br />
atap, dan unit satu atap itu yang memproses ke dinas-dinas lain, dan dia diberi<br />
waktu tiga hari kemudian kembali. Itu sudah lama berlangsung di kota Gorontalo,<br />
dan masih merupakan unit pelaksana tugas, belum dinas, belum kantor. Sebab<br />
kalau dia sudah dinas atau kantor berarti dia menghilangkan peranan dinas-dinas<br />
lain, seperti IMB, itu kan melibatkan pertanahan, melibatkan PU dan melibatkan<br />
unit-unit lain, nanti akan tersinggung yang lain-lain, jadi Unit Pelaksana Tugas.<br />
Kita rekruit petugas-petugas yang melaksanakan itu di dinas-dinas yang sekian<br />
banyak itu dan mereka itu yang memproses di satu tempat, jadi bukan rakyat lagi,<br />
jadi pelayanan satu pintu, kami tidak melakukan pelayanan satu pintu tapi satu<br />
atap dalam satu kantor.<br />
Kalau peraturan daerah itu prinsip tidak boleh bertentangan dengan peraturan<br />
dan perundang-undangan lebih tinggi. Jangan sampai daerah otonomi menjadi<br />
daerah ototomi, sudah main kuasa-kuasaan, daerah-daerah itu main kuasakuasaan.<br />
Seperti misalnya masalah kelautan, itu kan peraturan yang mengatur<br />
itu bagaimana retribusi kepada nelayan dan sebagainya. Pernah ada yang<br />
mengusulkan katanya Pak Wali perlu dibatasi nelayan dari daerah lain yang<br />
beroperasi di perairan di kota. Sebab di kota itu juga ada wilayah pantainya.<br />
Saya bilang jangan, kita usahakan supaya ikan-ikan itu ada KTP. Jadi nelayan<br />
di kota Gorontalo, kalau tangkap ikan, ditanya kepada ikan, “Hai ikan KTP-mu<br />
mana?”, “Ini Pak”, “Oh kalau dia dari kabupaten oh lepas lagi”, demikian juga<br />
kalau misalnya ikan yang dari kota Gorontalo tertangkap di kabupaten Gorontalo<br />
tanya KTP, kalau dari kota, kabupaten lepas. Jadi masalah ini harus diatur oleh<br />
daerah itu secara regional, provinsi, ada yang nasional. Jadi inilah peraturanperaturan<br />
daerah tidak bertentangan tetapi dia sebagai pelaksanaan kebijakan<br />
nasional, sebab kita dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />
Proses politiknya kita terapkan budaya lokal. Budaya lokal itu ada yang disebut<br />
Dulo Hupa, kalau disini “lobby”. Misalnya anak saya ingin dikawinkan dengan<br />
anak bapak, saya belum datang secara resmi meminang anak bapak, kita dulo<br />
hupa dulu, “Bagaimana Pak, anak saya itu saya ingin jodohkan dengan anak<br />
Bapak, kira-kira anak Bapak itu sudah ada pilihannya atau belum”, Bapak jawab<br />
“Saya katakan ada tapi tidak ada, saya katakan tidak ada tapi ada”; berarti ada<br />
stop tidak usah dilanjutkan dulo hupa itu, lobby itu, jelas-jelas anak bapak itu<br />
sudah ada pilihannya.<br />
169
Antara eksekutif, legislatif dan masyarakat itu yang kita gunakan. Jadi saya<br />
dengan ketua dewan atau ketua komisi atau ketua fraksi baku-baku telpon, aparat<br />
birokrat baku-baku telpon dengan anggota dewan, bagaimana ini, seperti hari ini<br />
saya harus ada di Gorontalo hari ini sebab besok itu pembahasan kebijaksanaan<br />
yang dulu AKU (Arah Kebijaksanaan Umum) sekarang jadi KUA (Kebijaksanaan<br />
Umum Anggaran) itu saya harus sampaikan kepada dewan, jadwalnya pagi,<br />
dengan perhitungan bahwa kalau acara ini sesuai dengan waktu maka saya akan<br />
berangkat jam 3 tadi, tiba malam, besok paginya saya bisa hadir, saya telpon tadi<br />
ketua dewan, “Saya mohon maaf kira-kira saya tidak bisa berangkat sore ini, nanti<br />
besok pagi subuh, jadi boleh ditunda acara dewannya jam 10”, “Oh boleh Pak”. Jadi<br />
tidak formal tapi dulo hupa, jadi hubungan keakraban kekeluargaan ini sehingga<br />
tidak ada hambatan-hambatan yang berarti, ada pun pembicaraan itu tinggal melegal-kan,<br />
bikin peraturan daerah tetapi diantara kita sudah ada lobby-lobby secara<br />
tidak mengikat. Itu sesuai dengan budaya Gorontalo, dulo hupa itu.<br />
2.<br />
Djoko<br />
Enaknya kalau bersama dengan Pak Walikota, saya pikir jawabannya sudah<br />
dijawab Pak Walikota. Pak Gatot barangkali nuansa yang saya presentasikan agak<br />
berbeda, artinya sudah pasti dibanding dengan yang Pak Walikota karena saya<br />
sudah langsung fokus ke masalah APBD. Kalau APBD tadi sudah disampaikan<br />
Pak Wali juga. Masalah akses publik itu sudah sangat cukup detail sebenarnya<br />
diatur oleh surat edaran Kepala Bappenas. Kalau itu saja kita kerjakan betul,<br />
sebenarnya sudah memadai. Hanya selama ini persoalannya yang saya amati<br />
tadi, sering-sering apa yang terlihat mudah di atas kertas, jadi ini teman-teman<br />
di Bappenas juga, pada waktu merumuskan SE Bappenas itu sepertinya enak saja<br />
gambar-gambar apa panah-panah setelah ini, tapi giliran diterapkan di lapangan itu<br />
susahnya setengah mati tidak mudah. Artinya kalau untuk akses informasi publik<br />
masalah perda APBD saya membaginya menjadi pramusrenbang, musrenbang,<br />
pasca musrenbang. Yang pra sama musrenbang sudah jelas. Mungkin yang<br />
menarik dipersoalan pasca-nya.<br />
Setelah musrenbang kan kita susun menjadi rencana kerja pemerintah daerah<br />
kota. Kemudian itu kita ambil, kebijakan-kebijakan itu kita rumuskan, tadi yang<br />
disampaikan pak Walikota, kebijakan umum anggaran sekarang (KUA). Pada<br />
saat kita menyampaikan KUA ke dewan saja artinya melalui suatu mekanisme<br />
sidang paripurna, publik semua tahu, diliput media masa secara luas. Setelah<br />
paripurna kita melakukan pembahasan dengan dewan, itu publik bisa ngasih<br />
input. Memang terus terang di Tarakan belum kami perdakan akses informasi ini,<br />
mudah-mudahan ini saya bisa didukung Bu Diani untuk memfasilitasi Tarakan<br />
menjadikan perda akses informasi ini. Jadi mulai dari penyampaian KUA sampai<br />
nanti KUA diterjemahkan menjadi rencana anggaran, itu publik masih openly<br />
can access, sampai tadi yang saya sampaikan. Kepala-kepala dinas itu semacam<br />
menjalani sidang sarjana itu, pertanyaannya lebih-lebih keras, lebih campur<br />
aduklah, yah situasi di dewan kita tahu, itu betul-betul kritis, dan masyarakat itu<br />
bisa ikut memberikan pendapatnya sampai akhirnya pengesahan.<br />
170
Memang kalau kita bicara masalah public participatory planning, ini memang<br />
sebenarnya isu yang sejak pemerintahan orde baru sebetulnya sudah punya<br />
namanya Permendagri No. 9/1982, tetapi karena waktu itu konteksnya adalah<br />
sangat sentralistik Permendagri ini tidak jalan. Ini sebenarnya dulu mengatur<br />
mekanisme buttom up planning juga, tapi kata orang Jawa yang seringnya<br />
kan “mboten” up, jadi tidak pernah naik. Saya klarifikasi, anggaran yang kami<br />
alokasikan 17% itu sudah kami ambil, artinya tidak termasuk aparat, kalau sama<br />
aparat itu 23%, 17% murni betul untuk bangun sekolah, untuk meningkatkan<br />
kesejahteraan guru, dsbnya, dsbnya.<br />
Kekuatiran Pak Agus, masalah yang ada SMP sampai 30 milyar, Jadi terimakasih<br />
Bapak tidak perlu kuatir karena kami sudah punya masterplan pendidikan. Di<br />
situ kami sudah petakan sekian SMP ke depan itu mau seperti apa, tidak semua<br />
SMP kita bangun seperti itu. Yang kami perlihatkan itu SMP Negeri I yang<br />
memang kami proyeksikan akan jadi SMP internasional, tentunya yang lain tidak<br />
seperti itu, cukup ada yang kita renovasi, kita cat-cat pagarnya, dsbnya, dsbnya.<br />
Itu sengaja saya perlihatkan, karena pada waktu teman saya dosen planologi ITB<br />
mengunjungi kami di Tarakan saya ajak ke situ dia bilang “Ini di Bandung aja<br />
tidak ada”.<br />
Mengenai aspirasi masyarakat terukur berapa persen yang terakomodir. Tadi sudah saya<br />
sampaikan bahwa pramusrenbang itu kami mengadakan pelatihan kepada stakeholderstakeholder<br />
di kelurahan, kami datangkan seorang pakar pemberdayaan masyarakat dari<br />
UI, kami latih bagaimana mereka bisa memformulasikan persoalan-persoalan kemudian<br />
mampu juga memprioritaskan. Sehingga yang ada di kami bukan sekedar list dari<br />
usulan tetapi mereka sudah bersepakat. Karena sudah kami latih dulu, fasilitatornya<br />
juga kami datangkan profesional, sehingga sejak di musrenbang kelurahan mereka sudah<br />
mengidentifikasi apa usulan disitu. Namun pun demikian ada hal-hal kecil memang misalnya<br />
jalan masuk di kampung, selokan, dlsbnya itu biasanya kita cover dengan block grant, kita<br />
alokasi anggaran khusus ke kelurahan. Itu kita biarkan camat dan lurah mengatur dana<br />
tadi, kita beri kebebasan untuk meng-cover yang sifatnya kecil-kecil di masyarakat.<br />
Kemudian Bu Restu, tadi sebagaimana saya sampaikan waktu saya menjawab pertanyaan<br />
Pak Gatot, sama juga Bu Restu. Kami ini memang terus terang masih ketinggalan<br />
dalam hal perda-perda, tetapi selama ini kami sudah melaksanakan, tadi Pak Moderator<br />
menggarisbawahi itu, kami belum perdakan tapi sudah laksanakan. Makanya disini ada<br />
Ibu Direktur Hukum dan HAM Bappenas saya mohon dukungan untuk memfasilitasi<br />
saya memperdakan apa-apa yang sudah kami lakukan. Masalah satu pintu yang kata<br />
Pak Walikota Gorontalo, bukan satu pintu tapi satu atap. Sebetulnya yang penting juga<br />
mengsimplifikasi mejanya ya, kalau satu atap mejanya masih banyak juga percuma.<br />
Sebagai gambaran saja kami memang belum punya satu pintu satu atap, tetapi ada satu<br />
ilustrasi kami deal dengan satu investor malaysia mau membangun cold storage di Tarakan<br />
hanya dalam waktu 3 ½ jam deal investasi 3.5 juta US$ waktu itu dan sekarang dia sudah<br />
bangun cold storage-nya dan sudah mengekspor sekian kali. Jadi memang belum ada tetapi<br />
kami sudah melakukan.<br />
171
Kemudian SOP kami terhadap investor adalah biasanya kami jemput kalau ada investor,<br />
kita dengar, kita jemput ke Bandara kita traktir makan, jadi kita tidak minta ditraktir<br />
makan, hal-hal seperti itu. Cuman memang tadi kami akui belum jadi suatu sistem yang<br />
diperdakan, ini masukan terus terang akan saya sampaikan ke pak Wali saya untuk hal-hal<br />
ini.<br />
Kemudian proses politiknya seperti apa. Tadi saya sampaikan karena fokus saya adalah<br />
APBD, kita ketahui bahwa hak budget dewan itu dijamin undang-undang, sehingga kita<br />
memang mau tidak mau dalam arti ada ruang, ruang-ruang yang memang kita dalam<br />
tanda petik negosiasikan dengan dewan. Tetapi saya punya kriteria itu sepanjang untuk<br />
kepentingan konstituen masih saya tolerir, kalau untuk kepentingan pribadi misalnya<br />
supaya tanah dia jadi harganya naik, dia minta jalan disitu, saya tolak. Karena saya punya<br />
kebijakan umum anggaran yang sudah kita sepakati. Saya pikir itu, jadi proses politik kalau<br />
khusus untuk APBD, selama ini alhamdullilah tadi saya sampaikan di kesimpulan juga<br />
bahwa situasinya memang kondusif, tadi tentunya sebagaimana Pak Wali itu ada suatu<br />
proses-proses lobby dsbnya. Ini yang saya selalu mengatakan bahwa intervensi politik<br />
didalam APBD tidak bisa kita eliminer tetapi bisa kita minimalisir, kita kunci di KUA. Pada<br />
waktu pembahasan APBD saya selalu bawa, kalau ada anggota dewan mau macam-macam,<br />
mau nitip ini-itu, ga ada disini pak (KUA), saya berani seperti itu.<br />
3.<br />
Moderator<br />
Bapak/Ibu sekalian ini baru ada 3 kajian/makalah, dan tiga-tiganya memiliki<br />
kesimpulan atau temuan-temuan yang berbeda pemaparannya, ada yang<br />
diperdakan tetapi tidak berjalan baik, ada yang tidak diperdakan tapi berjalan baik,<br />
dan kemudian ada yang diperdakan dan berjalan baik. Ini baru tiga contoh kasus<br />
dari 400 lebih kabupaten kota di Indonesia, dan kalau kita melihat dari dua kasus<br />
di Gorontalo dan Tarakan sebenarnya tergantung pada orangnya siapa di situ.<br />
Kalau orangnya di situ punya goodwill yang baik, tentu saja hasilnya akan seperti<br />
tadi yang kita lihat bersama. Persoalannya apakah 400 daerah atau kabupaten<br />
kota yang lain memiliki orang-orang yang sama seperti yang ada disamping saya<br />
ini atau tidak. Mungkin nanti kita bisa melakukan survei bersama, atau mungkin<br />
survei kasar dari 400 daerah itu mana yang sudah punya best practices yang itu<br />
bisa kita tularkan untuk daerah yang lain.<br />
Saya kira itu, saya mohon maaf karena keterbatasan waktu yang kita punyai.<br />
Terimakasih untuk partisipasinya mohon untuk memberikan applause kepada tiga<br />
pembicara kita. Selamat sore, Ass. Wr. Wb., terimakasih untuk semua pembicara.<br />
172
BAB 3<br />
<strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> : Kesehatan,<br />
Ketenagakerjaan & Sumber Daya Alam<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
Kebijakan Pemberdayaan PKL di Perkotaan dengan<br />
Pendekatan Perkotaan (Studi Kasus di Kota Surakarta)<br />
Dr. Absori, SH,MHm, Staf Pengajar Univ Muhammadiyah Surakarta<br />
JPKM Kab Purbalingga Provinsi Jawa Tengah: Studi Kasus<br />
<strong>Perda</strong>. No. 15 Tahun 2003 serta Realisasinya di Lapangan<br />
Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si, Staf Pengajar UNDIP Semarang<br />
Dapatkah <strong>Perda</strong> Menjamin Komitmen Kerjasama Antar Wilayah?<br />
Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung<br />
Ciremai Provinsi Jawa Barat<br />
Hikmat Ramdan, Staf Pengajar Univ Winaya Mukti, Sumedang dan Ahmad<br />
Dermawan, CIFOR, Bogor<br />
Meneguhkan Akses Masyarakat Miskin terhadap Sumber Daya<br />
Hutan: Kajian Atas <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> Perhutanan Sosial (Social Forestry)<br />
di Tiga Daerah<br />
Imam Subkhan<br />
Merebut Kembali Hak Perempuan atas Layanan Kesehatan<br />
(Telaah Kritis atas Alokasi Anggaran Kesehatan untuk <strong>Pelayanan</strong><br />
Kesehatan Perempuan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta)<br />
Yusnita Ike Christanti dan Tenti Novari Kurniawati<br />
Air Berkualitas Baik Bukan Untuk Warga Miskin Cilacap<br />
Zulfatun Ni’mah dan Tri Lindawati<br />
Diskusi dan Tanya Jawab<br />
173
1. Kebijakan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL)<br />
di Perkotaan Dengan Pendekatan Partisipatif<br />
(Studi Kasus di Kota Surakarta)<br />
1.<br />
Pendahuluan<br />
Para penentu kebijakan di berbagai daerah dihadapkan pada persoalan yang pelik<br />
berkaitan dengan keberadaan sektor informal, yang dikenal sebagai Pedagang<br />
Kaki Lima (PKL). Para PKL dianggap sulit diatur, mengganggu pemandangan<br />
kota, membanjiri sudut-sudut kota, bahkan jalan protokol tanpa mengindahkan<br />
lokasi yang ditempati dibolehkan atau tidak untuk berjualan.<br />
Keberadaan PKL di perkotaan tidak lepas dari adanya fenomena yang timbul<br />
sebagai akibat ekses kebijakan pembangunan yang hanya bertumpu di perkotaan<br />
dan tidak merata sampai ke perdesaan. Akibatnya menurut Loekman Sutrisno<br />
(1995 :163) terjadi apa yang dikenal dengan run away urbanization ditandai dengan<br />
terjadinya eksodus penduduk dari desa ke kota dengan harapan akan memperoleh<br />
pekerjaan di kota yang lebih baik. Akan tetapi sesampai di kota mereka kecewa,<br />
karena tidak mendapatkan pekerjaan sesuai yang diinginkan, akhirnya mereka<br />
melakukan pekerjaan apa saja, termasuk menjadi PKL untuk mempertahankan<br />
hidup sehari-hari.<br />
Keadaan pengangguran masyarakat kota yang datang dari masyarakat pendatang<br />
dan penduduk kota yang semakin bertambah yang tidak semuanya dapat terserap<br />
pada sektor formal, sehingga terjadilah pengangguran yang melimpah. Ketika<br />
masyarakat pengangguran mencari jalan sendiri dengan terjun menjadi PKL harus<br />
berhadapan kenyataan ketidakpahaman sikap pemerintah dan kelas pemilik modal<br />
dan masyarakat urban yang tidak begitu mau mengakui keberadaan mereka.<br />
Karena itu tidak heran apabila kemudian muncul kebijakan pemerintah dalam<br />
pemberdayaan PKL yang tidak menguntungkan PKL.<br />
Kebijakan Pemerintah sering tidak mencerminkan sebagai kebijakan yang aspiratif<br />
dan akomodatif terhadap keberadaan mereka, bahkan terabaikan, tidak tersentuh<br />
para penentu kebijakan untuk memikirkannya. Sebagian masyarakat menganggap<br />
sebagai sumber gangguan yang harus ditertibkan dan tindak secara tegas dengan<br />
pendekatan legal yang mengedepankan kekuatan. Dunia mereka tidak begitu saja<br />
bisa dipahami, sehingga muncul kebijakan-kebijakan yang amat mengherankan<br />
dalam pandangan PKL. Akibatnya timbul persoalan yang berkepanjangan yang<br />
tidak pernah tuntas dalam mengatur keberadaan PKL.<br />
Dalam kondisi seperti itu dibutuhkan langkah-langkah penanganan dalam bentuk<br />
kebijakan yang mempertimbangkan tidak hanya dari kaca mata pemilik modal<br />
174
dan masyarakat urban, tapi mempertimbangkan keberadaan mereka, dan mendorong<br />
untuk mematuhi peraturan yang ada. Dengan demikian keberadaan PKL tidak lagi<br />
dipandang sebagai sampah kota yang harus dibersihkan, tapi benar-benar diakui<br />
dan dibutuhkan. Sebab bagaimana pun mereka juga telah berjasa untuk melayani<br />
golongan masyarakat menengah ke bawah yang menginginkan standar harga yang<br />
lebih murah dibandingkan harga yang dijual pedagang permanen.<br />
Demikian juga, apa yang terjadi di Kota Surakarta, Pemerintah Daerah mengalami<br />
kesulitan untuk melakukan pemberdayaan melalui penataan dan pembinaan PKL.<br />
Keberadaan PKL yang mulai menjamur sejak krisis ekonomi pasca kerusuan Mei<br />
1998 dan saat sekarang tercatat lebih dari tiga ribu PKL tersebar di berbagai sudut<br />
kota.<br />
Wali Kota Surakarta dengan mendasarkan pada Peraturan Daerah No. 8 Tahun<br />
1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima dan beberapa Surat<br />
Keputusan Wali Kota berusaha melakukan pemberdayaan melalui penataan dan<br />
pembinaan PKL. Dalam praktek program pemberdayaan lebih mengarah pada<br />
upaya untuk melakukan pembinaan dan penertiban dengan memerintahkan PKL<br />
yang menempati lokasi tertentu, seperti di trotoar jalan, taman kota, tepian sungai<br />
dan tanah negara untuk pindah. Sementara para petugas di lapangan mengaku<br />
amat dilematis dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, satu sisi<br />
keberadaannya amat dibutuhkan tetapi pada sisi lain dapat menggangu keindahan<br />
kota, dan kadang kala bertindak nekad ketika diusik keberadaannya.<br />
Dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, Pemda seringkali melakukan<br />
tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Aparat gabungan melakukan operasi dan<br />
penyisiran tidak hanya siang hari tapi juga dini hari di lokasi-lokasi yang dianggap<br />
jalur yang tidak boleh ditempati PKL. Dalam melakukan operasi tidak jarang,<br />
aparat melakukan penggarukan dan merobohkan bangunan semi permanen yang<br />
menempati trotoar jalan dan tempat-tempat lain yang tidak perbolehkan untuk<br />
berjualan.<br />
Permasalahan, pertama, bagaimana keberadaan PKL, kenapa kecenderungannya<br />
selalu dimarjinalkan dalam kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah<br />
daerah? Kedua, bagaimana perumusan kebijakan pemberdayaan PKL, apakah<br />
sudah mengakomodasi aspirasi secara partisipatif ? Metode penelitian, dilakukan<br />
di Kota Surakarta, tepatnya di beberapa lokasi PKL, seperti di Manahan, dan<br />
Banjarsari. Responden berupa Pemkot dan DPRD, LSM Kompit. Data berupa data<br />
primer yang diperoleh dari wawancara, dan data sukender berupa <strong>Perda</strong> dan SK<br />
Walikota tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Analisis data, dilakukan dengan<br />
mendeskripsikan data, mendiskusikan dengan pendekatan kritis dan mendalam<br />
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan instrumen teori,<br />
sehingga akan diperoleh gambaran utuh kebijakan pemberdayaan PKL di Kota<br />
Surakarta.<br />
175
2. Hasil Penelitian Dan Pembahasan<br />
2.1 Profil Keberadaan PKL<br />
Karakteristik pedagang kaki lima di kota Surakarta berdasarkan jenis usaha<br />
yang dilakukan berupa pedagang oprokan, usaha semi permanen, permanen,<br />
menggunakan gerobak dorong, warung tenda, gerobak bongkar pasang (knock<br />
down). Berdasarkan lokasi usaha pedagang kaki lima tersebar di beberapa<br />
kawasan, seperti di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, mereka menempati trotoar,<br />
jalur hijau dan taman jalan. Di kawasan monumen perjuangan 1945, Banjarsari,<br />
para pedagang barang bekas (loak), alat olah raga, sepeda dan elektronik<br />
menempati pinggir jalan dan taman sekitar monumen. Sementara di kawasan<br />
Alun-alun Utara, para PKL menempati trotoar jalan dengan menggelar barang<br />
dagangan berupa kacamata, pakaian, sauvenir, sepatu dan lain-lain. Di sekitar<br />
Pasar Klewer, PKL berjualan dilakukan pada siang hari, disamping menempati<br />
trotoar jalan juga sebagian menempati badan jalan, sehingga mengganggu para<br />
pengguna jalan, dan menimbulkan kemacetan lalu lintas, terutama pada jam-jam<br />
sibuk antara jam 10.00-17.00 WIB.<br />
Pada waktu malam hari PKL banyak dijumpai berjualan makanan dan minuman<br />
di sekitar Kota Barat, sepanjang Stadion Manahan, dan sepanjnag jalan Adisucipto<br />
sampai Colomadu, Para PKL kebanyakan menempati trotoar dan tepi jalan dengan<br />
menggunakan warung tenda yang dapat dibongkar pasang (knockdown). Aktivitas<br />
mereka dilakukan sekitar jam 18.00-23.00 WIB. Pada waktu hari Minggu pagi<br />
aktivitas PKL di sekitar Stadion Manahan laksana pasar tiban dan menimbulkan<br />
kemacetan lalu lintas. Keberadaan PKL di Kota Sala dilihat dari struktur sosioekonomi<br />
menunjukan posisi yang marjinal dan tidak tersentuh kebijakan yang<br />
mengarah pada upaya pemberdayaan PKL yang diperhitungkan sebagai aset yang<br />
dapat menyumbangkan pendapat ekonomi daerah. Kehadirannya selalu disalahkan<br />
dan menjadi sasaran tudingan penyebab masalah di perkotaan, padahal sumbangan<br />
sektor informal terhadap sektor formal dan perekonomian daerah amat besar.<br />
Kondisi seperti itu berbeda dengan studi yang dilakukan Hernado De Soto<br />
(1992) di Peru, yang menyatakan bahwa sektor informal dapat didayagunakan<br />
dan perperan untuk mencapai keberhasilan dalam mendukung perekonomian<br />
di negara Peru. Aktivitas sektor informal telah menjadi lahan penghidupan bagi<br />
48 persen penduduk Peru, dan 61, 2 persen jam kerja diabdikan pada kegiatan<br />
sektor informal yang memberikan sumbangan sebesar 38,9 persen pada Produk<br />
Domestik Bruto (PDB) yang tercatat dalam neraca pendapatan negara. Sektor<br />
informal dan pedagang kecil yang banyak bertebaran di sudut dan pinggiran kota<br />
Surakarta, dan menjamur semenjak krisis ekonomi sebenarnya membawa harapan<br />
cerah untuk dikembangkan, karena berpotensi menyumbangkan pendapatan yang<br />
lebih besar bagi kebanyak masyarakat menengah ke bawah, bahkan dapat menjadi<br />
penopang berkembangnya sektor formal.<br />
Hernando De Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi Di Negara Dunia Ketiga, Yayasan<br />
Obor Indonesia, Jakarta, 1992, hal 14., hal 14.<br />
176
Studi yang dilakukan Diane Wolf di Sukoharjo (1986), menunjukkan banyak<br />
perusahaan besar (formal), membayar gaji lebih rendah, terutama pekerja wanita<br />
yang dianggap sebagai suplemen, karena mereka masih ditanggung keluarganya<br />
yang bekerja di sektor lain, seperti sektor informal atau pertanian. Usaha sektor<br />
informal dan gaji pekerja di perusahaan pembuatan batu bata, industri genting<br />
dan pembuatan meubel rakyat justru mampu membayar gaji yang lebih tinggi<br />
dibandingkan perusahaan besar. Sementara menurut El-Shakhs sifat dan<br />
komposisi kegiatan ekonomi cenderung berbeda menurut skala kegiatan ekonomi.<br />
Keberdayaan sektor informal di kota-kota 2 besar cenderung menunjang kegiatan<br />
ekonomi modern, yakni berfungsi melayani kebutuhan sekunder atau tersier,<br />
menggunakan pekerja upahan, dan tergantung pada pasar kerja. Sebaliknya<br />
di kota-kota sedang dan kecil kegiatan sektor informal masih berkait dengan<br />
kebutuhan dasar sektor pertanian, dan belum terpengaruh pasar kerja. <br />
Dalam hal ini, keberadaan PKL di Surakarta dalam menunjang perekonomian di<br />
Kota Surakarta menggambarkan karakteristik yang dapat memberikan kontribusi<br />
berarti terhadap kegiatan ekonomi sektor informal maupun sektor formal yang<br />
3<br />
berkait dengan pasar kerja. Lebih dari itu keberadan PKL sebenarnya juga mampu<br />
menyumbangkan pendapat, dan mampu menawarkan jalan keluar bagi persoalan<br />
yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan,<br />
yakni pengangguran, terutama pada masa krisi ekonomi karena kemampuan sektor<br />
formal hanya mampu menyerap kesempatan kerja dalam jumlah yang terbatas.<br />
2.2 Kebijakan Pemberdayaan PKL<br />
Kebijakan pemberdayaan PKL yang dilakukan Pemda Surakarta dilakukan<br />
dengan mendasarkan pada Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1995 tentang<br />
Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Melalui kebijakan tersebut Pemda<br />
Kota Surakarta mempunyai kewenangan untuk memberdayakan PKL dengan<br />
menempatkan PKL pada lokasi-lokasi tertentu yang sudah ditetapkan. Dalam<br />
menetapkan tempat usaha mempertimbangkan faktor lain seperti sosial, ekonomi,<br />
ketertiban, keamanan, kebersihan dan kesehatan serta tata ruang (Pasal 2).<br />
Dalam hal ini PKL dibebani tanggung jawab untuk menjaga ketertiban, kerapihan,<br />
kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan (Pasal 3), dengan<br />
persyaratan yang ditentukan oleh Wali Kota. Dengan kewenangan yang dimiliki<br />
Wali Kota Surakarta berupaya melakukan penempatan, penataan dan penertiban<br />
keberadaan PKL sebagai upaya untuk memberdayakan PKL di Kota Surakarta<br />
melalui mekanisme perizinan yang di keluarkan oleh Pemda Surakarta. Ketentuan<br />
perizinan secara garis besar berisi pertama perizinan diperoleh setelah melalui<br />
mekanisme pendaftaran, dengan ketentuan persyaratan yang telah ditentukan<br />
Wali Kota Surakarta. Ketentuan perizinan tidak boleh dipindahtangankan kepada<br />
siapapun tanpa persetujuan pejabat yang berwenang (Pasal 4).<br />
2 Lihat Diane Wolf dalam Hana-Dieter Evera, Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di<br />
Indonesia dan Malaysia, LP#ES, Jakarta, 1995, hal 201.<br />
3 El-Shakhhs dalam Tadjuddin Noer Effendi dkk, Struktur Pekerjaan Sektor Informal dan Kemsikinan<br />
di Kota, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1996, hal 262-263.<br />
177
Kedua, untuk kepentingan pengembangan usaha dan peningkatan kesejahteraan<br />
PKL dilakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan.(Pasal 7). Kepada<br />
para PKL yang telah memperoleh perizinan tempat usaha, dikenakan Retribusi<br />
Kebersihan Kota yang besarnya ditentukan berdasarkan Peraturan Daerah Pemda<br />
Kota Surakarta. (Pasal 8) Pengawasan pelaksanaan <strong>Perda</strong> tersebut dilakukan oleh<br />
Inspektorat wilayah, bagian Perekonomian, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas<br />
Kebersihan dan Pertamanan, Unit Pelaksana Daerah Perparkiran dan Bagian Tata<br />
Pemerintah Kota Surakarta (Pasal 9). Kebijakan pemberian perizinan atas dasar<br />
kewenangan yang dimiliki Wali Kota disertai beban kewajiban dan tangung jawab<br />
kepada PKL sebagaimana yang diatur dalam <strong>Perda</strong> No. 8 tahun 1995 tersebut<br />
terdapat kesalahan yang mendasar dalam pembuatan sebuah peraturan. Karena<br />
dalam <strong>Perda</strong> tersebut tidak mencantumkan asas dan tujuan, sehingga filosofis<br />
<strong>Perda</strong> dan capaian yang akan dijadikan tujuan tidak jelas. Kondisi seperti itu dapat<br />
mendorong munculnya kewenangan Walikota yang berlebihan yang didasarkan<br />
pada kekuasaan yang dimiliki, berakibat Walikota dapat melakukan apa saja<br />
kepada PKL, termasuk menggusur atau menyita barang dagangan PKL dengan<br />
alasan menjalankan kewenangan. Karena dalam hukum administrasi Pemda dapat<br />
saja melakukan tindakan yang salah dengan berdasar pada asas disparitas.<br />
Kondisi semacam itu, dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (5) <strong>Perda</strong> tersebut,<br />
menyebutkan bahwa Wali Kota dapat mencabut izin PKL yang menempati tempat<br />
usaha yang sudah tidak lagi ditetapkan sebagai tempat usaha PKL, tanpa ada<br />
kewajiban Pemda untuk memberikan ganti rugi. Padahal kesalahan letaknya<br />
bukan pada PKL tetapi pada kebijakan Pemda yang melakukan perubahaan lokasi<br />
yang dibolehkan untuk PKL. Demikian juga upaya untuk melakukan penegakan<br />
hukum terhadap PKL yang menjual barang dagangan tetapi belum mendapat<br />
izin hanya diperingatkan satu kali. Kalau tidak menghiraukan peringatan maka<br />
Pemda dapat melakukan penyitaan terhadap barang dagangan dan atau alat yang<br />
digunakan (Pasal 6 ayat 1 dan 2).<br />
Atas dasar alasan-alasan tersebut, dalam tataran pelaksanaan sering kali<br />
muncul karakteristik pembinaan PKL yang cenderung menggunakan pendekatan<br />
kekuasaan yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang. Hal ini dapat dilihat<br />
seringnya dilakukan operasi penertiban disertai perintah untuk melakukan<br />
pindah atau bahkan melakukan penyitaan barang-barang dan peralatan dagang<br />
milik PKL. Pelanggaran terhadap ketentuan perizinan sebagaimana diatur dalam<br />
Pasal 4 diancam dengan hukum pidana berupa kurungan 3 (tiga) bulan atau denda<br />
setinggi-tingginya Rp.50.000,- (Pasal 10). Pejabat penyidik penyidikan tindak<br />
pidana dilakukan oleh Pejabat Penyidik Umum dan Pejabat Penyidik PNS dengan<br />
mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 11).<br />
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 <strong>Perda</strong> tersebut menunjukan adanya<br />
pencampuran antara tindak pidana umum dan tindak pidana administrasi<br />
.Mestinya dalam suatu kebijakan yang sifatnya publik pejabat penyidik cukup<br />
dilakukan oleh Pejabat Penyidik PNS Pemda setempat tanpa melibatkan Pejabat<br />
178
Penyidik Umum. Demikian juga sanksinya pelanggaran cukup dengan menggunakan<br />
sanksi pidana administrasi dengan hukuman yang lebih menekankan pada aspek<br />
pembinaan atau berupa denda bukan kurungan. Kekurangan lain, <strong>Perda</strong> tersebut<br />
tidak menyebutkan ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak secara<br />
jelas, baik PKL maupun Pemerintah Daerah. Kalaupun ada, hanya mengatur<br />
kewajiban Pemda untuk melakukan pembinaan dalam bentuk bimbingan teknis<br />
dan penyuluhan (Pasal 7). Sementara PKL diwajibkan untuk membayar retribusi<br />
tanpa disebutkan hak-hak yang melekat setelah menjalankan kewajibannya. (Pasal<br />
8). Di sini, terlihat jelas bahwa keberadaan PKL kurang dihargai eksistensinya,<br />
sehingga ketika terjadi penertiban, para PKL tidak memperoleh perlindungan<br />
hukum secara jelas, karena tidak adanya rumusan secara rinci hak-hak yang<br />
mestinya dimiliki PKL setelah membayar restribusi.<br />
Upaya untuk melakukan pembelaan diri terhadap tindakan sewenang-wenang<br />
yang dilakukan aparat Pemda menempatkan PKL pada posisi yang lemah. Karena<br />
dalam <strong>Perda</strong> tersebut tidak mengatur kebaradaan <strong>org</strong>anisasi PKL, sebagai wadah<br />
untuk menghimpun aspirasi dan kekuatan para PKL terutama yang berkaitan<br />
dengan upaya untuk melindungi hak-haknya ketika terjadi penertiban. Ketentuan<br />
tentang pembolehan PKL membentuk <strong>org</strong>anisasi atau pagayuban ditemukan<br />
dalam Pasal 9 ayat (3) Keputusan Wali Kota No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman<br />
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 8 Tahun 1995 tentang Penataan<br />
dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.<br />
Secara keseluruhan isi <strong>Perda</strong> tersebut terlampau sederhana dan tidak rinci. Hal<br />
ini membuka peluang bagi pemegang kebijkan untuk menafsirkan ketentuan<br />
pasal-pasal yang diatur dalam <strong>Perda</strong> sesuai dengan kemauannya sendiri, dengan<br />
menggunakan legitimasi yang diatur melalui Surat Keputusan Walikota. Dilihat<br />
fungsinya, belum menunjukkan karakter produk peraturan yang responsif dan<br />
partisipatif. Hal ini disebabkan karena dalam pembuatan <strong>Perda</strong> tersebut masih<br />
didominasi peran Pemda dan tanpa melibatkan partisipasi publik, terutama para<br />
PKL. Produk <strong>Perda</strong> semacam itu menunjukkan suatu bentuk produk hukum yang<br />
tidak responsif dan partisipatif. Karena itu keberadaan dan fungsinya baru sebatas<br />
alat legitimasi untuk mengesahkan tindakan Pemda dalam melakukan penataan<br />
dan penertiban PKL.<br />
Disini terlihat jelas bahwa kebijakan Pemda dalam memberdayakan PKL belum<br />
mampu menjadikan hukum sebagai instrument of regulation, tapi baru bisa<br />
menjadikan hukum sebagai alat legitimasi untuk menjalankan kewenangannya<br />
(ego birokrasi), dalam penataan dan penertiban PKL di Kota Surakarta. Sikap<br />
Pemda tampak pertama, kurang mempunyai visi keberpihakan pada wong cilik.<br />
Kedua, Pemda kurang pro-aktif dalam merespon berbagai persoalan yang dihadapi<br />
PKL. Ketiga, selama ini dalam menyelesaikan masalah keberadaan PKL, Pemda<br />
lebih mengedapankan pendekatan kewenangan dalam melakukan penataan,<br />
penertiban dan relokasi PKL.<br />
179
2.3 Kebijakan Pemberdayaan PKL Partisipatif<br />
Upaya untuk melakukan pemberayaan PKL di Kota Surakarta dapat dilakukan<br />
dengan jalan mengkaji kembali keberadaan <strong>Perda</strong> sebagai landasan kebijakan<br />
Pemda Surakarta dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, agar lebih<br />
memperhatikan aspirasi PKL secara partisipatif. Sebagai upaya untuk membuat<br />
produk <strong>Perda</strong> yang partisipatif di kalangan PKL telah membentuk paguyuban<br />
“Panca Manunggal” dan “Gudang Kalimas”, yang meminta Pemda untuk<br />
meninjau kembali keberadaan <strong>Perda</strong> PKL No. 8 tahun 1995 yang dianggap tidak<br />
partisipatif.<br />
Upaya yang dilakukan dengan berinisiatif untuk membuat Rancangan <strong>Perda</strong><br />
PKL yang akan diajukan ke Pemda untuk selanjutnya diharapkan dapat dibahas<br />
di DPRD Kota Surakarta. Untuk mewujudkan keinginannya, paguyuban PKL<br />
didampingi sejumlah LSM Konsorsium Monitoring Pemberdayaan Institusi<br />
<strong>Publik</strong> (Kompip), bertugas untuk membantu pembuatan rancangan <strong>Perda</strong> PKL<br />
yang akan diajukan ke DPRD. Respon PKL terhadap <strong>Perda</strong> tidak lepas dari sikap<br />
Pemda Surakarta, yang selama ini dengan dalih menegakkan <strong>Perda</strong> PKL telah<br />
berbuat sewenang-wenang dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, yakni<br />
melakukan operasi ketertiban dengan disertai pembongkaran dan penyitaan aset<br />
property PKL, tanpa dibicarakan terlebih dahulu dengan para PKL atau paguyuban<br />
yang mewakili keberadaan PKL.<br />
Langkah yang dilakukan, pertama, dengan mengoptimalkan aspirasi dan peran<br />
serta kalangan PKL dalam melakukan perubahan <strong>Perda</strong> PKL. Model seperti itu<br />
diharapkan akan dapat dijadikan aturan main (rule of game) yang berimbang<br />
dan adil yang selama ini tidak dijumpai dalam <strong>Perda</strong> PKL yang lama. Kedua,<br />
dengan berhimpun dalam <strong>org</strong>anisasi atau paguyuban yang dibentuk para PKL dan<br />
didampingi LSM, mereka berharap akan memiliki daya tawar (bargaining position)<br />
yang lebih kuat dengan Pemda Surakarta atau pihak lain (pemilik modal besar).<br />
Ketiga, melakukan jalinan dan komunikasi yang seimbang antar berbagai pihak yang<br />
berkepentingan dengan keberadan PKL, dengan suatu harapan bisa mencairkan<br />
ketegangan yang selama ini sering memanas, sehingga kejadian-kejadian yang<br />
mengarah pada konflik sosial (anarkis) tidak akan terjadi dalam penataan dan<br />
penertiban PKL di Kota Surakarta. Keinginan seperti itu juga dikemukakan oleh<br />
para aktivis LSM pemberdayaan PKL yang memandang perlunya antara Pemkot<br />
dan PKL duduk bersama, membicarakan langkah-langkah yang lebih baik dengan<br />
mempertimbangkan berbagai kepentingan yang saling terkait, sehingga akan<br />
tercipta kesepakatan dan kesadaran perihal hak dan kewajiban masing-masing.<br />
PKL harus memahami rencana tata ruang kota dan peruntukan sarana publik<br />
sebagai public space, sedang warga masyarakat dan Pemkot Surakarta juga harus<br />
menyadari akan kesulitan yang sedang dihadapi PKL.<br />
Rancangan <strong>Perda</strong> pemberdayaan PKL yang patisipasif secara garis besar berisi<br />
dengan mendasarkan pada pertama, asas yang mengedepankan aspek ideologi<br />
180
negara dan kemanusiaan (HAM). Kedua, tujuannya adanya <strong>Perda</strong> mengarah pada<br />
apa yang akan dicapai, yakni pemberdayaan PKL, di dalamnya terdapat pembinaan<br />
yang mengarah pada adanya rasa aman dan perlindungan PKL dalam melakukan<br />
kegiatan usaha. Keberadaannya dihargai dan diakui sebagai bagian dari pelaku<br />
ekonomi yang amat dibutuhkan dan merupakan aset ekonomi daerah. Ketiga,<br />
perlu diatur rumusan keberadaan <strong>org</strong>anisasi PKL yang tergabung dalam suatu<br />
wadah atau paguyuban yang berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan<br />
aspirasi PKL, terutama dalam melakukan negosiasi dengan berbagai pihak agar<br />
mempunyai daya tawar yang lebih diperhitungkan. Keempat, terdapat rumusan hak<br />
dan kewajiban PKL secara lebih rinci, sehingga keberadaan PKL dalam melakukan<br />
aktivitasnya akan terjamin legilitasnya termasuk kalau terjadi penertiban.<br />
Hak-hak yang perlu diatur seperti hak atas memperoleh penghidupan yang layak,<br />
informasi, partisipasi dalam perumusan kebijakan yang menyangkur PKL, rasa<br />
aman dalam menjalankan usahanya, pembinaan dan pelatihan kewirausahaan,<br />
dan perlindungan hukum. Kelima, perlu adanya ketentuan lembaga penyelesaian<br />
sengketa, yang berfungsi sebagai media untuk memfasilitasi apabila terjadi<br />
konflik, baik antar PKL maupun dengan pihak lain, terutama Pemda agar dapat<br />
diselesaikan secara adil dan dalam waktu yang singkat. Keenam, pejabat penyidik<br />
cukup dilakukan oleh pejabat penyidik PNS yang dalam menjalankan tugasnya<br />
dalam rangka menjalankan kewenangan Pemda yang bersifat adminstratif.<br />
Sementara rumusan ketentuan pidana tidak perlu diarahkan pada pidana umum<br />
yang bersifat pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan, tetapi lebih<br />
menekankan pada pidana administratif yang menekankan pada tindakan prepentif<br />
dengan pendekatan kemanusiaan atau denda.<br />
Dari beberapa pemikiran secara lebih jelas dapat diperoleh argumentasi bahwa<br />
keberadaan sektor informal dalam banyak kajian dan temuan menunjukan<br />
karakteristik yang beragam dan kasuistik. Karena itu dibutuhkan upaya yang lebih<br />
besar untuk mensintesakan berbagai kajian atau temuan untuk sampai pada suatu<br />
perumusan konsep yang bersifat mendasar dan operasional. Dalam hal ini yang<br />
terpenting untuk dicari adalah pendekatan kebijakan dan pemecahan-pemecahan<br />
secara operasional yang dapat diterapkan dalam rangka memberdayakan PKL.<br />
Pendekatan partisipatif memberi harapan yang lebih baik dalam memberdayakan<br />
keberadaan PKL. 4<br />
Paul dan Dias manawarkan konsep yang disebut sebagai<br />
pendekatan partisipatif. Konsep tersebut menekankan pada otonomi masyarakat,<br />
terutama masyarakat lapisan bawah sebagai pemegang peran penting dalam<br />
proses pembentukan hukum yang berkenaan dengan kepentingan rakyat.<br />
Termasuk juga kesempatan rakyat untuk mengakses lebih besar dalam pembuatan<br />
dan penegakan hukum, dan mendirikan lembaga-lembaga baru yang berfungsi<br />
menjebatani kepentingan kelompok masyarakat dengan lembaga birokrasi,<br />
sehingga masyarakat dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan atau<br />
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. 5<br />
4 Poerbo dalam De Soto, Op Cit, hal viii.<br />
5 Paul dan Dias dalam Abdul Hakim garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta,<br />
1988, hal 44-45.<br />
181
Model partisipatoris dalam perumusan kebijakan publik, dikenal apa yang disebut<br />
human action model atau human action planning model (Poerba, 1995) . Model ini<br />
menurut Esmi Warrasih melihat masyarakat, termasuk keberadaan PKL sebagai<br />
sesuatu yang turbulent atau penuh dengan nilai sosial-budaya dan dinamis.<br />
Masyarakat bukan sub sistem yang tersubordinasi melainkan merupakan subsistem<br />
yang mandiri. Model ini bertujuan untuk menimbulkan keserasian antara sistem<br />
6<br />
mikro dan makro. Model ini amat penting karena nilai-nilai dan norma masyarakat<br />
lokal terlibat dalam proses pembangunan hukum yang menentukan tindakantindakan<br />
selanjutnya dalam pencapaian tujuan hukum. Pendekatan partisipasi<br />
dapat memberikan tempat kepada masyarakat untuk melakukan negosiasi dengan<br />
pemegang kekuasaan serta gagasan mereka merupakan bahan dalam pembentukan<br />
hukum atau perumusan kebijakan publik hingga tingkat implementasinya.<br />
3. Penutup<br />
3.1 Kesimpulan<br />
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :<br />
1. Profil keberadaan PKL di Kota Surakarta dilihat dari eksistensinya dalam<br />
struktur sosio-ekonomi menunjukkan posisi marjinal dan tak tersentuh<br />
kebijakan yang mengarah pada upaya pemberdayaan dengan memperhitungkan<br />
sebagai aset penyumbang pendapatan ekonomi daerah. Kehadirannya selalu<br />
disalahkan dan menjadi sasaran tudingan penyebab masalah perkotaan,<br />
padahal sumbangan sektor informal berupa PKL terhadap sektor formal dan<br />
perekonomian daerah amat besar .<br />
2. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan PKL lewat <strong>Perda</strong> belum<br />
mampu menunjukkan posisi sebagai instrumen administrasi yang dapat<br />
menjadi alat untuk mengatasi persoalan PKL. Kebijakan Pemda Surakarta<br />
dalam memberdayakan lewat kegiatan penataan dan penertibkan PKL lebih<br />
mengedepankan pendekatan kewenangan melalui legitimasi <strong>Perda</strong> dan Surat<br />
Keputusan Wali Kota yang sifatnya top down dan tidak partisipatif. Hal ini<br />
disebabkan karena kebijakan dengan pendekatan hukum formal lebih mudah<br />
dilakukan dan diyakini mampu membentuk tatanan masyarakat yang diingini<br />
oleh pembentuk kebijakan.<br />
3. Kebijakan dengan pendekatan partisipatif memberi harapan lebih baik<br />
dalam memberdayakan keberadaan PKL di Surakarta. Perumusan kebijakan<br />
partisipatif harus mengatur ketentuan berkaitan dengan pengakuan eksistensi<br />
dan hak PKL, <strong>org</strong>anisasi PKL, akses dan partisipasi PKL dan model penyelesaian<br />
sengketa yang menekankan kemanusiaan. Dalam hal ini model partisipatif<br />
perumusan kebijakan publik menekankan human action model, masyarakat<br />
termasuk keberadaan PKL sebagai sesuatu yang penuh nilai sosial-budaya<br />
dan dinamis, harus diakomodasi dalam pembentukan kebijakan, termasuk<br />
dalam pemberdayaan lewat penataan dan penertiban PKL.<br />
6 Esmi Warassih Pujirahayu, Pemberdaayaan Masyarakat dalam Meweujudkan Tujuan Hukum,<br />
(Proses Penegakan Hukum dan persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam<br />
Ilmu Fakultas Hukum Undip, 14 April 2001, hal 33.<br />
182
3.2 Rekomendasi<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Keberadaan PKL, hendaknya dilihat sebagai bagian dari subsektor lain dalam<br />
kegiatan ekonomi yang harus diakomodasi dalam merumuskan kebijakan<br />
pembangunan Kota Surakarta. Karena keberadan PKL sebagai sektor informal,<br />
telah mampu menjadi penopang kehidupan sektor formal. Lebih dari itu<br />
keberadaan PKL ternyata dapat mengatasi gejok sosial-ekonomi akibat krisis<br />
ekonomi yang berkepanjangan dan terbatasnya daya tampung sektor formal<br />
dalam menyerap tenaga kerja.<br />
Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan melalui<br />
penataan dan penertiban PKL, perlu memperhatikan dan mengakomodasi<br />
masukan para PKL atau paguyuaban PKL. Hal ini perlu dilakukan dalam<br />
rangka menciptakan produk kebijakan yang partisipatif dan mempunyai<br />
legitimasi kuat dalam masyarakat yang akan diaturnya, yakni para PKL;<br />
Model kebijakan partisipatif dengan pendekatan human action model, yang<br />
menekankan pada pendekatan partisipasi PKL dapat dijadikan masukan<br />
untuk Pemda dalam mengatasi problem pemberdayaan melalui penataan dan<br />
penertiban PKL yang selama ini eksistensi sering dianggap menimbulkan<br />
masalah dalam penataan dan pembangunan kota.<br />
183
Daftar Pustaka<br />
De Soto, Hernando, Pertumbuhan Ekonomi Bawah Tanah di Peru, Prisma, No. 5<br />
XX, Jakarta, Mei, 1991.<br />
Effendi, Tadjuddin Noer dkk, Struktur Pekerjaan Sektor Informal dan Kemsikinan<br />
di Kota, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1996<br />
Evera, Dieter, Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia<br />
dan Malaysia, LP#ES, Jakarta, 1995<br />
Garuda Nusantara, Abdul Hakim, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta,<br />
1988,<br />
Ronald Claphman, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara, LP3ES,<br />
Jakarta, 1991.<br />
Nonet, Philippe and Selznik, Philip, Law and Society in Transition, to Ward<br />
Responsive Law, Harper and Row Publishers, 1978, New York.<br />
Soetrisno, Loekman, Menuju Masyarakat Partisipasif, Kanisius, Yogyakarta,<br />
1995.<br />
Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijakan <strong>Publik</strong>, Yayasan Obor, Jakarta,<br />
1994.<br />
Soetomo, Masalah sosial dan Pembangunan, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.<br />
Warassih, Esmi P., Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan<br />
Hukum, (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan<br />
Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Undip, 14 April 2001<br />
Yetty Sarjono, Interelasi Antara Sektor Ekonomi Formal dan Sektor Ekonomi<br />
Informal, Studi tentang Formalisasi Pedagang Kaki Lima (Ringkasan Disertasi),<br />
Unaer, Surabaya, 2004.<br />
Wardiono, Kelik, Pedagang Kali Lima, Antara Penataan Ruang Kota dan Kegitan<br />
Usaha, Jurnal Penelitian Hukum, Fakultas Hukum, Vol 2 No. 1 Juni 2001.<br />
184
2. JPKM Kab Purbalingga Provinsi Jawa Tengah: Studi<br />
Kasus <strong>Perda</strong>. No. 15 Tahun 2003<br />
serta Realisasinya di Lapangan<br />
Abstrak<br />
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) merupakan inovasi<br />
Pemerintah Kabupaten Purbalingga dalam mengatasi keterbatasan pembiayaan<br />
pemeliharaan kesehatan terutama bagi Keluarga miskin (strata 1) dan Keluarga<br />
Pasca Keluarga Miskin (strata 2). Sementara keluarga Non Keluarga Miskin<br />
(Gakin)/mampu (strata 3) lebih banyak mensubsidi strata 1 dan 2, melalui premi<br />
oleh peserta JPKM yang akan digunakan untuk kapitasi kepada pelaku pelayanan<br />
kesehatan (polindes/PKD, PUSTU, PUSKESMAS dan Rumah Sakit). Prinsip yang<br />
dianut dalam program ini, setiap anggota keluarga merupakan anggota JPKM<br />
yang pengelolaannya menggunakan ala sistem asuransi kesehatan. Setiap anggota<br />
berhak dapat berobat dan memelihara kesehatannya di RS, Puskesmas, atau dokter<br />
yang telah ditunjuk atau bekerja sama (akreditasi) dengan pengelola, yang dalam<br />
pelaksanaannya ditangani BUMD yang dibentuk khusus untuk itu.<br />
Ketentuan premi strata 1 dibebaskan dari pembayaran (premi gratis), strata 2<br />
diwajibkan membayar 50% dari nilai premi, dan strata 3 diwajibkan membayar<br />
penuh. Kartu JPKM berlaku bagi satu keluarga inti (suami, istri dan anak<br />
kandung) selama 12 bulan pelayanan. Dengan ketentuan ini, Pemkab dapat<br />
menyiapkan secara terencana subsidi kepada peserta JPKM khususnya strata 1<br />
dan strata 2 yang besarannya semakin menurun sejalan meningkatnya jumlah<br />
peserta dan meningkatnya nilai premi keluarga non-gakin setiap tahunnya. Oleh<br />
karena itu, Pemkab Purbalingga adalah penerbit sekaligus perintis penjaminan<br />
atas kesehatan bagi warga masyarakat Purbalingga. Program ini jauh-jauh hari<br />
sebelum Pemerintah Pusat menerbitkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial<br />
Nasional (2005). Terbukti pula lebih dari 95 Kab/Kota di Indonesia tercatat pernah<br />
studi banding program ini di Purbalingga. Dengan filosofi ”Si Kaya Membantu Si<br />
Miskin dan Si Sehat Menolong Si Sakit”.<br />
1. Pendahuluan<br />
Keterpurukan sektor kesehatan memang wajib diatasi agar segera tercapai derajat<br />
kesehatan yang memungkinkan bagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.<br />
Bila sektor kesehatan ini terus dirundung keterpurukan, maka jangan harap<br />
peningkatan kualitas kehidupan dapat memadai. Hal ini karena sektor kesehatan<br />
merupakan dasar proyeksi bagi dua elementasi sekaligus. Selain proyeksi<br />
elementasi horisontal bagi gambaran Indeks Peningkatan Manusia (IPM) dan<br />
185
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), juga proyeksi elementasi vertikal bagi<br />
sektor pendidikan dan sektor pangan, sandang, dan papan, serta dunia usaha<br />
pada umumnya. Terpenuhinya kedua elementasi tersebut menjadi prasyarat<br />
minimal bagi keberhasilan sektor-sektor pembangunan berikutnya. Oleh karena<br />
itu, bila berhasil dalam mengentaskan keterpurukan kesehatan, maka dapat<br />
dikatakan berhasilnya sebuah pemerintahan bekerja. Demikian pula sebaliknya.<br />
Dalam perspektif penanggulangan kemiskinan, pembangunan kesehatan<br />
bersama pembangunan pendidikan akan meningkatkan kapasitas dasar manusia.<br />
Meningkatnya kesehatan akan meningkatkan produktifitas kerja penduduk, yang<br />
berarti meningkatnya pendapatan. Keberhasilan pembangunan kesehatan akan<br />
juga berpengaruh terhadap bidang pendidikan.<br />
Sejak tahun-tahun pertama dekade ini, Pemkab Purbalingga berjuang keras untuk<br />
mengentaskan keterpurukan kesehatan rakyatnya. Melalui kajian mendalam<br />
yang dilakukan sebelumnya, Pemkab Purbalingga berhasil mengidentifikasi<br />
4 (empat) problematika mendasar bidang kesehatan. Keempatnya dijadikan<br />
referensi kebijakan, berikut solusinya. Pertama, perilaku masyarakat yang kurang<br />
menunjang perikehidupan yang menyehatkan. Kedua, kondisi lingkungan yang<br />
kurang menunjang terhadap syarat-syarat kesehatan, seperti terlalu dekatnya<br />
tempat/jamban buang air besar dari rumah tempat tinggalnya. Ketiga, layanan<br />
kesehatan yang dinilai masih minimum bagi rakyat banyak, terutama rakyat dari<br />
keluarga miskin (Gakin). Keempat, kondisi demografis masyarakat yang kurang<br />
favourable bagi pemajuan kualitas kemandirian sehingga bisa ke luar dari belit<br />
elementasi kesehatan. Keempatnya dinilai biang kualitas kesehatan masyarakat<br />
Purbalingga kebanyakan. Satu per satu persoalan diurai. Solusi diusahakan dicari,<br />
dengan satu tujuan agar ia dapat diatasi—atau paling tidak dapat dirintis kapan<br />
suatu kala akan bisa diakhiri. Kalau sekadar karena perilaku yang kurang sehat,<br />
bisa diatasi dengan jalan himbauan yang disokong para tokoh agama dan tokoh<br />
masyarakat. Bila persoalannya adalah sekadar lingkungan yang belum mendukung,<br />
pengembangan infrastruktural merupakan jalan keluarnya.<br />
Jika karena faktor demografis yang kurang menunjang syarat perikehidupan<br />
bagi warga Purbalingga, toh dapat dicari cara lain melalui program-program<br />
Keluarga Berencana (KB). Intinya, selama bisa diatasi dengan jalan lain maka<br />
dicarikan jalan lain dimaksud. Tapi persoalannya menjadi lain bila problematika<br />
menyangkut layanan kesehatan. Ini jauh lebih rumit, karena menyangkut performa<br />
birokrasi kesehatan pula. Pemkab Purbalingga akhirnya menemukan solusi dalam<br />
seluruh jawaban merosotnya derajat kesehatan. Solusi ini berbasis pada langkah<br />
komprehensif atau paripurna, prinsip promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif.<br />
Yang jelas konsepsi ini harus sistemik, terstruktur, dan merupakan jaminan<br />
pembiayaan. Inilah program yang kemudian dikenal sebagai Program Jaminan<br />
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Purbalingga. Gagasan model JPKM<br />
Purbalingga ini jauh mendahului program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)<br />
yang diperkenalkan pusat berdasar UU No. 40 Tahun 2004. Bila JPKM mulai<br />
dirintis sejak 16 Februari 2001 ketika Bupati Purbalingga Drs. Triyono Budi<br />
186
Sasongko, M.Si. menerbitkan Surat Bupati No. 460/453/2001 yang dilanjutkannya<br />
dengan terbitnya Surat Perjanjian Penyelenggaraan JPKM dengan Puskesmas<br />
No. 145/JPKM/PBG/VII/02 tentang Pemberian <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan bagi Peserta<br />
JPKM tanggal 31 Juli 2002, maka Pemerintah Pusat baru mengundangkan UU<br />
No. 40 Tahun 2004 pada 19 Oktober 2004. Kedua surat keputusan yang diterbitkan<br />
bupati tersebut masih diikuti surat-surat sejenis hingga akhirnya terbit <strong>Perda</strong> No.<br />
15 Tahun 2003 tentang JPKM serta Keputusan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun<br />
2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan<br />
Kesehatan Masyarakat/JPKM. Langkah Pemkab Purbalingga dibilang istimewa.<br />
Selain dimensi sosialnya yang cukup kuat, pula perguliran dananya yang ternyata<br />
terjangkau bagi setiap peserta JPKM. Tak lain karena JPKM terbukti efektif dalam<br />
upaya penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang paripurna<br />
berdasarkan asas bersama dan kekeluargaan yang berkesinambungan dengan<br />
mutu yang terjamin serta pembiayaannya dilakukan secara pra upaya.<br />
Digagasnya program JPKM menjadi bukti betapa karya inovasi yang mereka<br />
implementasikan dalam 4 (empat) tahun lebih ini dapat dirasakan manfaatnya<br />
bagi masyarakat Purbalingga. Pemkab layak mendapat apresiasi karena<br />
kepeloporannya. Suatu kepeloporan dalam usahanya mengentaskan kesehatan.<br />
Disebut kepeloporan, mengingat daerah-daerah lain, instansi vertikal, kalangan<br />
luar negeri, serta kalangan peneliti dan partikelir lainnya—yang jumlahnya<br />
lebih dari 95 subjek—sudah pernah melakukan studi banding Program JPKM di<br />
Purbalingga ini. Tentu muskil didatangi untuk objek studi banding bila Program<br />
JPKM di Purbalingga dinilai tidak berhasil. Karena terbukti benar bahwa indikatorindikator<br />
kuantitatif menunjukkan ke arah keberhasilan program ini. Lambat laun<br />
beberapa indikator kesehatan menuju arah perbaikan, antara lain :<br />
1. Meningkatnya usia harapan hidup dimana tahun 2004 adalah 68,7 tahun yang<br />
meningkat dari tahun sebelumnya 68 tahun<br />
2. Menurunnya angka kematian bayi per 1000 kelahiran, tahun 2004 tercatat 7<br />
menurun dari tahun sebelumnya yakni 7,2<br />
3. Menurunya angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran dari 82 pada tahun<br />
2003 menjadi 55 pada tahun 2003; dan (4) Menurunnya jumlah balita kurang<br />
gizi yang pada tahun 2003 tercatat 4,32 persen menjadi 27,6 persen pada tahun<br />
2004.<br />
2. Perumusan Masalah<br />
Sekali lagi muskil bila Program JPKM di Purbalingga dijadikan objek kajian<br />
keberhasilan bagi banyak pihak, yang tercatat lebih 95 subjek telah pernah studi<br />
banding ke Purbalingga, bila program itu sendiri dinilai tidak berhasil. Selain<br />
kepeloporannya itu karena bahkan mendahului program sejenis di tingkat nasional,<br />
program JPKM ini memperlihatkan trend kemajuan dan perbaikan.<br />
Bertitik tolak dari deskripsi di atas, selayaknya dapat ditelusuri :<br />
1. Bagaimana profil Program JPKM versi Purbalingga ini sebenarnya?<br />
187
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Mengapa JPKM di Purbalingga dinilai memiliki kepeloporan sementara daerahdaerah<br />
lain dinilai belum berhasil sehingga lebih 95 subjek perlu-perlunya<br />
studi banding ke Purbalingga ini?<br />
Temuan apa saja yang dapat dipetik sehingga program sejenis dapat diterapkan<br />
di banyak tempat di daerah lain?<br />
Bagaimana Program JPKM versi Purbalingga ini memiliki pengaruh bagi<br />
peningkatan derajat kesehatan masyarakat?<br />
Dimensi-dimensi apa sajakah keterpengaruhan dimaksud?<br />
Sebelum jauh menjawab pertanyaan di seputar cerita sukses (success story)<br />
Program JPKM Purbalingga ini, terlebih dahulu disinggung profil Purbalingga,<br />
latar belakang JPKM, Profil JPKM, dan juga metode penyusunan kertas kerja<br />
serba singkat ini, agar kita dapat membaca konteksnya mengapa JPKM ini lahir.<br />
3. Metode Pendekatan<br />
Penyusunan kertas kerja serba singkat ini diusahakan sebagaimana layaknya<br />
sebuah penelitian dilakukan. Diusahakan agar penelitian ini berpegangan pada<br />
metoda analisis deskriptif kualitatif, dengan metoda penggalian data dari 2<br />
(dua) sumber utama. Pertama, penelusuran atas sumber-sumber data sekunder.<br />
<strong>Mengkaji</strong> hasil riset, berita-berita yang memuat persoalan penanganan kesehatan di<br />
Purbalingga, membuka situs yang dikelola baik oleh Pemerintah Kab. Purbalingga,<br />
Provinsi Jawa Tengah, maupun membandingkannya dengan situs yang dikelola<br />
Direktorat JPKM Departemen Kesehatan R.I., juga mempelajari banyak brosur<br />
yang sengaja diterbitkan Pemkab Purbalingga ihwal Program JPKM ini, serta<br />
kajian atas beberapa sumber data sekunder lainnya.<br />
Kedua, penelusuran atas sumber-sumber data primer dengan jalan melakukan<br />
wawancara dengan tokoh-tokoh kunci (key informan) di balik suksesnya program<br />
JPKM Purbalingga ini. Untuk ini saya berterima kasih kepada Bagian JPKM Sie<br />
Kesehatan Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Muslim Mahmud, SKM, atas<br />
bantuan data-datanya. Demikian pula kepada penggiat demokrasi lokal Mudrik<br />
Zamzami, penulis amat berterima kasih, yang katakanlah sebagai field research,<br />
atas bantuannya memutakhirkan beberapa data sehingga tetap relevan, selain<br />
bersedia menjadi pewawancara kepada sejumlah informan terpilih:<br />
1. Kasi Kesehatan Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kab. Purbalingga<br />
Drg. Hanung Wikanto, MPPM; dan<br />
2. Ketua Badan Pelaksana (Bapel) JPKM/Direktur P.T. Sadar Sehat Mandiri Dr.<br />
Sutanto. Berkat Bung Mudrik pula kesempatan untuk mengorek nilai manfaat<br />
JPKM bagi peserta Strata I (Keluarga Miskin) seperti Sudarti (18 tahun),<br />
Rusmini (40 tahun), dan Sayuti (53 tahun); di samping kepada Peserta JPKM<br />
Strata II Pasca Gakin Ari Kusmiran (53 tahun) dan Peserta Strata III (Non<br />
Gakin, keluarga mampu) Yuli Nikmatin (34 tahun).<br />
188
4. Temuan Pokok dan Analisis<br />
4.1 Sekilas Purbalingga<br />
4.1.1 Kondisi Objektif<br />
Kabupaten Purbalingga yang secara administratif terbagi menjadi 18 kecamatan<br />
dengan 239 desa dan kelurahan memiliki jumlah penduduk 843.814 jiwa dan 193.347<br />
Rumah Tangga, dengan kepadatan penduduk 1.274 jiwa/km2 dan pertumbuhan<br />
penduduk selama 10 tahun terakhir (1990-2000) sebesar 0,71%.<br />
Jumlah angkatan kerja sebanyak 38,911 orang dengan tingkat pendidikan :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Tidak tamat SD (termasuk yang tidak sekolah) adalah 264.669 orang<br />
Tamat SD 230.408 orang<br />
Tamat SLTP 54.992 orang<br />
Tamat SMU 29.490 orang<br />
Sarjana 2.653 orang; sementara penduduk miskin sebanyak 36.650, terdiri atas<br />
yang bermukim di kota sebanyak 15.200 dan di desa 21.450 orang.<br />
Angkatan Kerja sebanyak 381.252 orang, dengan jumlah yang bekerja 231.339,<br />
mencari pekerjaan 5.706 dan mempersiapkan usaha baru 802 orang, dan mayoritas<br />
bekerja di sektor pertanian (40%), serta 64% penduduk bekerja selama 35 jam<br />
seminggu.<br />
Penduduk yang bekerja berdasarkan lapangan pekerjaannya sebagai berikut :<br />
1. Di bidang pertanian, kehutanan dan peternakan/perikanan 148.615 orang<br />
2. Pertambangan dan penggalian 3.809<br />
3. Industri Pengolahan kesukaan 53.127<br />
4. Konstruksi 31.877<br />
5. Transportasi dan Komunikasi 14.327<br />
6. <strong>Perda</strong>gangan, Rumah Makan dan Hotel 69.999<br />
7. Lembaga Keuangan 6.570<br />
8. Jasa Kemasyarakatan 35.748.<br />
Secara geografis, Purbalingga diapit oleh Kabupaten Banyumas di sebelah Barat,<br />
pegunungan gamping Kabupaten Kebumen di sebelah Selatan, Kabupaten<br />
Banjarnegara di sebelah Timur, dan kawasan gunung Slamet Kab. Pemalang di<br />
sebelah Utara. Jalur yang membelah di antara Purbalingga di antara daerah yang<br />
lain adalah jalur transportasi jalan tengah pulau Jawa—jalur yang padat namun<br />
kurang ramai bila dibandingkan dengan jalur selatan Pulau Jawa apalagi jalur<br />
transportasi utara Pulau Jawa (Pantura). Bagi masyarakat di Jawa Tengah pada<br />
umumnya, daerah Purbalingga sebelum proses dinamikanya seperti sekarang sering<br />
dijuluki sebagai “kota pensiunan”—sesuatu yang secara anekdotal menyiratkan<br />
tidak dinamisnya daerah ini.<br />
4.1.2 Permasalahan Pembangunan di Purbalingga<br />
Proses pembangunan di Kabupaten Purbalingga yang telah dan sedang dilaksanakan<br />
selama ini di satu sisi telah menghasilkan kemajuan yang sangat berarti, tetapi di<br />
sisi lain juga menyisakan beberapa masalah, baik permasalahan yang mendasar<br />
189
yang lain juga masih menyisakan beberapa permasalahan, baik permasalahan yang<br />
mendasar maupun permasalahan yang berkembang dewasa ini sebagai akibat dari<br />
kompleksitas permasalahan dan kebutuhan pembangunan yang terus berubah.<br />
Beberapa permasalahan mendasar yang masih menuntut perhatian khusus dari<br />
pemerintah dalam perencanaan pembangunan di masa yang akan datang antara<br />
lain adalah :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
masih relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran<br />
masih relatif rendahnya kualitas hidup manusia<br />
masih adanya kesenjangan pembangunan baik kesenjangan antar wilayah,<br />
kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan, serta kesenjangan pendapatan<br />
per kapita masyarakat<br />
belum terwujudnya prinsip-prinsip good governance secara penuh dalam<br />
penyelenggaraan pemerintahan.<br />
Secara lebih rinci, permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi oleh<br />
Kabupaten Purbalingga ke depan antara lain sebagai berikut :<br />
Pertama, masih rendahnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan<br />
masalah-masalah sosial yang mendasar belum terpecahkan. Data statistik<br />
menunjukan bahwa selama lima tahun terakhir ekonomi Kabupaten Purbalingga<br />
terus mengalami pertumbuhan, akan tetapi pertumbuhan tersebut masih relatif<br />
rendah. Seiring dengan mulai pulihnya perekonomian nasional, pada pertengahan<br />
tahun 1999, ekonomi Kabupaten Purbalingga menunjukan pertumbuhan positif<br />
sebesar 1,1 persen, dimana tahun sebelumnya terjadi pertumbuhan minus 8,28<br />
persen. Tahun 2000 perekonomian purbalingga tumbuh 2,79 persen, tahun 2001 :<br />
2,98 persen, tahun 2002 : 3,14 persen dan tahun 2003 : 3,98 persen. Pertumbuhan<br />
ekonomi yang dicapai terlihat masih terlalu rendah untuk dapat membuka dan<br />
meningkatkan ketersediaan lapangan kerja baru yang cukup dalam mengatasi<br />
pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka tahun 2003 tercatat sebesar 14.796<br />
atau 3,66 persen, menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 18.564 jiwa atau<br />
4,95 persen. Apabila dibandingkan dengan tingkat pengangguran di tingkat<br />
regional, terlihat bahwa tingkat pengangguran di Purbalingga lebih rendah<br />
daripada Propinsi Jawa Tengah yang mencapai 5,66 persen. Tingkat pengangguran<br />
terdidik yang menunjukkan rasio jumlah pencari kerja berpendidikan SLTA keatas<br />
terhadap besarnya angkatan kerja pada kelompok tersebut tahun 2003 tercatat<br />
12,53 persen, menurun dari tahun 2002 yang mencapai 17,88 persen.<br />
Pendapatan per kapita penduduk dari tahun ketahun terus meningkat. Pada<br />
tahun 2003 tercatat pendapatan per kapita masyarakat sebesar Rp 2.284.873,-,<br />
meningkat sebesar Rp. 298.139,- atau sebesar 10,02% dari tahun 2002 yang baru<br />
mencapai Rp 2.076.734,-. Angka pendapatan per kapita tersebut masih rendah dan<br />
masih jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita Propinsi Jawa Tengah yang<br />
mencapai Rp 4.741.547,77. Rendahnya pendapatan per kapita penduduk diduga<br />
sangat erat kaitannya dengan struktur ekonomi Kabupaten Purbalingga yang<br />
masih didominasi oleh sektor primer. Dari data statistik terlihat bahwa kontribusi<br />
terbesar PDRB berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar 30,98 persen,<br />
190
kemudian diikuti dengan sektor industri pengolahan menyumbang 11,57 persen,<br />
perdagangan, hotel dan restoran menyumbang 17,81 persen. Adapun lapangan<br />
usaha jasa mendukung 22,8 persen total PDRB yang umumnya didominasi oleh jasa<br />
pemerintahan. Sedangkan sumbangan lapangan usaha keuangan dan persewaan,<br />
listrik, gas dan air minum, bangunan serta pertambangan dan penggalian ratarata<br />
di bawah 3 persen. Penduduk miskin di Purbalingga selama 5 tahun terakhir<br />
menunjukan penurunan baik dari segi jumlahnya maupun persentasenya. Tahun<br />
1999 tercatat penduduk miskin sebanyak 255.531 jiwa (33,29 persen) dan pada<br />
tahun 2003 tercatat menurun menjadi 173.100 jiwa atau sekitar 20,13 persen dari<br />
total penduduk. Ini merupakan kondisi yang cukup berimbang dengan persentase<br />
penduduk miskin propinsi Jawa Tengah yakni 21,93 persen. Masih besarnya jumlah<br />
penduduk miskin di Kabupaten Purbalingga tersebut menuntut perhatian yang<br />
lebih besar dari pemerintah dan semua pihak untuk terus berusaha menanggulangi<br />
sebab-sebab kemiskinan sehingga dapat mengentaskan penduduk miskin, mencegah<br />
terjadinya pewarisan kemiskinan, serta mencegah terjadinya kemiskinan baru.<br />
Dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat Purbalingga yang sebagian<br />
besar merupakan petani dan buruh tani, dengan mendorong pembangunan sektor<br />
pertanian dihadapkan pada permasalahan pokok berupa : meningkatnya alih fungsi<br />
lahan pertanian ke non pertanian, menurunnya ketersediaan air dan daya dukung<br />
prasarana irigasi, rendahnya produktivitas dan mutu komoditas pertanian, serta<br />
rendahnya kemampuan dan akses petani terhadap sumber daya produktif.<br />
Kedua, kualitas sumber daya manusia masih rendah. Pembangunan pendidikan<br />
dan kesehatan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara.<br />
Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan<br />
pendidikan di antaranya adalah indikator angka partisipasi sekolah, angka melek<br />
huruf, rata-rata lama sekolah dan angka buta huruf. Pada tahun 2003 rata-rata lama<br />
sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 6,1 tahun, sementara<br />
itu angka buta aksara sebesar 7,6 persen. Sedangkan proporsi penduduk berusia<br />
10 tahun keatas yang berpendidikan SLTP keatas baru sekitar 26,47 persen.<br />
Pada saat yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun<br />
mencapai 109,31 persen, APS penduduk usia 13-15 tahun sebesar 92,17 persen,<br />
dan APS penduduk usia 16-18 tahun sebesar 32,94 persen.<br />
Tabel 1: Indikator Derajat Kesehatan di Kabupaten Purbalingga Angka Kematian Bayi (AKB)<br />
No. Tahun Jumlah<br />
Kematian<br />
Jumlah Kelahiran<br />
Hidup<br />
1. 2001 ? ? ?<br />
2. 2002 243 15,111 16,08 0/00<br />
3. 2003 110 15,247 7,16 0/00<br />
4. 2004 150 14,511 10,33 0/00<br />
5. 2005 109 14,670 7,43 0/00<br />
Sumber : DKK Purbalingga, 2005<br />
AKB Jumlah Kematian/Jumlah<br />
kelahiran hidup x 10.000<br />
191
Hal tersebut adalah tantangan menjadi makin berat dengan adanya disparitas<br />
tingkat pendidikan antar kelompok masyarakat yang cukup tinggi, seperti disparitas<br />
pendidikan antar penduduk kaya dan miskin, antar penduduk laki-laki dan<br />
perempuan, dan antar penduduk di perkotaan dan pedesaan. Kualitas pendidikan<br />
masih relatif rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta<br />
didik. Itu terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidik, secara<br />
kuantitas maupun kualitas serta kesejahteraan pendidik yang masih rendah. Di<br />
samping itu, fasilitas belajar belum tersedia secara memadai dan masih banyak<br />
peserta didik yang tidak memiliki buku pelajaran.<br />
Ketiga, pengelolaan sumber daya alam yang kurang ramah lingkungan. Kualitas<br />
manusia dipengaruhi oleh kemampuan mengelola sumber daya alam dan lingkungan<br />
hidup. Masalah pokok dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup<br />
adalah tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan<br />
kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, hingga sering melahirkan konflik<br />
antar kepentingan ekonomi dengan lingkungan. Kebijakan ekonomi cenderung<br />
memberi insentif terlalu besar pada kegiatan eksploitasi sumber daya alam hingga<br />
mengakibatkan lemahnya kelembagaan pengelolaan dan penegakan hukum.<br />
Kualitas lingkungan terus menurun dengan meningkatnya pencemaran air, udara<br />
dan atmosfer. Umumnya pencemaran air dari kegiatan manusia disebabkan oleh<br />
kegiatan industri, rumah tangga, pertambangan dan pertanian. Perubahan kualitas<br />
udara dan atmosfer secara berkelanjutan dapat mengakibatkan akumulasi berbagai<br />
unsur dan senyawa yang membahayakan kelangsungan kehidupan ekosistem.<br />
Selain itu, degradasi tanah dan hutan yang disebabkan berbagai kegiatan<br />
penebangan dan pengolahan tanah yang tidak ramah lingkungan mengakibatkan<br />
semakin luasnya lahan kritis di kabupaten Purbalingga. Degradasi hutan dan lahan<br />
yang terus berlanjut menyebabkan daya dukung ekosistem terhadap pertanian dan<br />
pengairan makin menurun dan mengakibatkan kekeringan dan banjir.<br />
Keempat, masih terdapat kesenjangan pembangunan antarwilayah, baik antar<br />
wilayah maupun antara kota – desa. Kesenjangan antar wilayah dan antar desa<br />
dan kota disebabkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) yang<br />
cenderung terkonsentrasi di perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan<br />
lebih cepat sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal.<br />
Kelima, kesejahteraan rakyat tidak terlepas dari dukungan infrastruktur<br />
dalam pembangunan. Kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur meliputi<br />
transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika,<br />
sumber daya air, perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan,<br />
mengalami penurunan kuantitas dan kualitasnya. Pembangunan infrastruktur<br />
mendatang dihadapkan pada terbatasnya kemampuan pemerintah untuk<br />
menyediakan. Pada sebagian infrastruktur, pemerintah bertanggungjawab<br />
terhadap pembangunan dan pemeliharaannya, misalnya pembangunan jalan dan<br />
jembatan, jaringan irigasi, air bersih dan fasilitas sanitasi di perdesaan, serta<br />
listrik pedesaan.<br />
192
4.1.3 Latar Belakang Lahirnya JPKM Purbalingga<br />
Meski upaya pembangunan kesehatan menunjukan hasil yang cukup<br />
menggembirakan, upaya-upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat<br />
harus terus dilakukan agar hasil yang telah dicapai terus dipertahankan dan<br />
beberapa sisi yang masih menunjukan kelemahan ditingkatkan. Pembangunan<br />
kesehatan saat ini dihadapkan pada beberapa masalah yang perlu mendapat<br />
perhatian terutama pemenuhan, pemerataan, dan peningkatan kualitas sarana<br />
dan prasarana serta tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan jangkauan<br />
dan kualitas tenaga kesehatan masih belum mencukupi, prasarana pelayanan dan<br />
fasilitas rawat inap masih kurang dan belum menjangkau seluruh wilayah secara<br />
memadai. Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan<br />
kesehatan yang makin berkualitas maka kebutuhan prasarana, sarana dan<br />
tenaga kesehatan harus terus diupayakan dan peningkatan kualitas termasuk<br />
pembangunan Poliklinik Kesehatan Desa (Polindes).<br />
Permasalahan lain yang sangat penting, karena akan sangat penting menentukan<br />
dan menjadi salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah masalah<br />
kecukupan gizi. Masih munculnya kejadian kurang gizi dan gizi buruk terutama<br />
pada anak-anak dari tahun ke tahun menjadi perhatian. Upaya peningkatan<br />
kualitas manusia sulit diwujudkan apabila masalah kekurangan gizi pada anak<br />
belum bisa teratasi.<br />
Di samping faktor kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap<br />
gizi, hal tersebut terutama disebabkan masih rendahnya kemampuan ekonomi<br />
sebagian masyarakat yang menyebabkan kekurangmampuan ekonomi sebagian<br />
masyarakat. Intervensi pemerintah daerah secara sistematis dalam mengatasi<br />
masalah kurang gizi ini mutlak diperlukan baik dalam bentuk bantuan langsung<br />
maupun melalui upaya dalam rangka pencegahan dan penaggulangannya. Dalam<br />
rangka penanggulangan gizi buruk ini peranan posyandu harus terus didorong dan<br />
ditingkatkan melalui upaya revitalisasi. Salah satu kunci dapat mempertahankan<br />
dan meningkatkan peran posyandu adalah kader kesehatan masyarakat.<br />
Pembangunan Bidang Kesehatan dan Sosial Budaya di Kab. Purbalingga terutama<br />
diarahkan bagi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan<br />
terwujudnya keluarga yang sehat dan sejahtera, melalui :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Peningkatan akses masyarakat kepada pelayanan kesehatan yang berkualitas<br />
Penurunan angka kesakitan dan angka kematian terutama bayi dan ibu<br />
melahirkan<br />
Peningkatan status gizi masyarakat<br />
Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat serta kualitas lingkungan<br />
Penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama dalam<br />
rangka menurunkan jumlah keluarga miskin.<br />
193
Bagan I<br />
Sumber : Dinkes dan Kesejahteraan Sosial Purbalingga<br />
Pembangunan Bidang Kesehatan dilaksanakan dalam rangka meningkatkan<br />
derajat kesehatan masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan usia harapan<br />
hidup terutama diarahkan bagi peningkatan perlindungan kesehatan bagi<br />
penduduk miskin melalui pemberian fasilitas kemudahan bagi penduduk miskin<br />
untuk mengakses pelayanan kesehatan. Seiring dengan perubahan paradigma<br />
pembangunan manusia pembangunan kesehatan memiliki kedudukan yang sangat<br />
strategis karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan<br />
kualitas manusia. Dalam perspektif penanggulangan kemiskinan yang merupakan<br />
prioritas dalam pembangunan tahun 2004, pembangunan Kesehatan bersama<br />
dengan pembangunan Bidang Pendidikan akan meningkatkan kapasitas<br />
dasar manusia. Meningkatnya kapasitas dasar manusia akan meningkatkan<br />
kemampuannya dalam mengakses berbagai sumber daya baik sumber daya ekonomi<br />
maupun sumber daya sosial guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan<br />
hidupnya. Meningkatnya kesehatan akan meningkatkan produktifitas kerja<br />
penduduk, meningkatnya produktivitas kerja akan meningkatkan produksi, dan<br />
meningkatnya produksi berarti meningkatnya pendapatan. Dengan meningkatnya<br />
pendapatan berarti akan meningkatkan daya beli masyarakat, dan meningkatnya<br />
daya beli berarti akan meningkatkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan<br />
hidupnya. Keberhasilan pembangunan kesehatan juga akan berpengaruh terhadap<br />
pembangunan bidang pendidikan karena hanya orang yang sehat yang akan dapat<br />
mengikuti proses belajar dengan baik.<br />
Pembangunan bidang kesehatan terutama diarahkan bagi terwujudnya peningkatan<br />
derajat kesehatan masyarakat Purbalingga dan keluarga sehat sejahtera melalui:<br />
194
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Meningkatkan kualitas, pemerataan dan jangkauan pelayanan kesehatan :<br />
a. Penyediaan, Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Prasarana dan Sarana<br />
b.<br />
Kesehatan;<br />
Penyediaan, pemerataan dan peningkatan profesionalisme tenaga<br />
kesehatan; dan<br />
c. Pemantapan Fungsi Manajemen Kesehatan<br />
Meningkatkan upaya pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan<br />
penyakit serta keracunan<br />
a.<br />
b.<br />
c.<br />
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit.<br />
Peningkatan Kualitas Kesehatan Lingkungan<br />
Pengawasan Obat dan Makanan<br />
Meningkatkan upaya peningkatan kesehatan keluarga<br />
a.<br />
<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Ibu, Anak, Remaja dan Usila<br />
<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Perorangan<br />
b.<br />
Meningkatkan kemandirian dan peranserta masyarakat dalam bidang<br />
kesehatan<br />
Pembinaan PHBS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan<br />
Meningkatkan status gizi masyarakat<br />
Perbaikan Gizi Masyarakat<br />
b.<br />
Kebijakan pemerintah tersebut diharapkan mampu mengantarakan Purbalingga<br />
sehat 2010, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.<br />
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) merupakan evaluasi<br />
terhadap program pembangunan kesehatan yang telah berjalan yang dirasakan<br />
masih belum efektif baik ditinjau dari sisi upaya, pelayanan, pembiayaan maupun<br />
pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari indikasi praktik<br />
penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah antara lain :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
a.<br />
Belum terpadunya peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam<br />
penyelenggaraan upaya kesehatan;<br />
Belum optimalnya jangkauan kesehatan bagi masyarakat miskin;<br />
Model JPS BK khususnya kartu sehat kurang dapat membangun kemandirian<br />
masyarakat dan tidak terjamin kelestariannya;<br />
Pengalokasian dana pemerintah yang terbatas masih diutamakan untuk upaya<br />
kuratif;<br />
Pengalokasian dana masyarakat masih bersifat perorangan dan digunakan out<br />
of pocket;<br />
<strong>Pelayanan</strong> kesehatan terasa mahal bagi masyarakat karena menggunakan<br />
sistem free for service; dan<br />
Pembiayaan kesehatan belum dapat mengungkit terjadinya subsidi silang.<br />
Dengan filosofi “peserta yang sehat membantu peserta yang sakit, peserta yang<br />
kaya/mampu membantu peserta yang miskin/tidak mampu” program JPKM<br />
Purbalingga ini telah banyak membantu keluarga miskin dan meningkatkan peran<br />
serta masyarakat dalam kesehatan.<br />
195
4.2 Deskripsi JPKM Purbalingga<br />
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Purbalingga adalah suatu<br />
cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan masyarakat Purbalingga yang<br />
paripurna berdasarkan asas bersama dan kekeluargaan yang berkesinambungan<br />
dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilakukan secara praupaya.<br />
Tujuan JPKM adalah mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang<br />
optimum melalui :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Pembudayaan perilaku hidup sehat<br />
Penciptaan kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan<br />
kesehatan yang diperlukan secara mandiri<br />
Penyelenggaraan pemeliharaan yang paripurna dengan mengutamakan upaya<br />
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit<br />
Pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dengan pelayanan<br />
yang paripurna, berkesinambungan, bermutu, dan disusun dalam bentuk satu<br />
paket pemeliharaan kesehatan melalui JPKM.<br />
Sementara tujuan khusus dari kegiatan JPKM Purbalingga ini adalah :<br />
1. meningkatkan akses pelayanan kesehatan<br />
2. meningkatkan knowledge, attitude, serta practice pada masyarakat dan<br />
provider dalam program JPKM di Purbalingga ini<br />
3. menumbuhkan peran swasta dalam pengelolaan kesehatan, terutama tahap<br />
pemandirian<br />
4. masyarakat dalam menjaga dan memelihara kesehatannya.<br />
Sasaran JPKM adalah seluruh masyarakat dalam wilayah Purbalingga, yang<br />
merupakan peserta yang terbagi atas tiga kelompok :<br />
1. Strata I yang merupakan Keluarga Miskin (Gakin)<br />
2. Strata II yang merupakan Keluarga Pasca Gakin<br />
3. Strata III yang merupakan Keluarga Non Gakin atau keluarga mampu.<br />
Kepesertaan JPKM digunakan untuk Keluarga Inti, dalam mana setiap peserta<br />
membayar dalam setiap tahunnya. Namun tidak setiap peserta JPKM harus<br />
membayar. Hanya yang digolongkan sebagai Strata II dan Strata III saja yang<br />
dikenakan pembayaran preminya. Sementara keluarga dengan klasifikasi Strata<br />
I, preminya dibayarkan atau disubsidi oleh Pemerintah Daerah yang ditetapkan<br />
Keputusan Bupati Purbalingga. Betapa pun Keluarga Gakin tidak membayar<br />
premi, namun mereka berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dalam<br />
paket pemeliharaan kesehatan dasar dan pemeliharaan kesehatan tambahan sesuai<br />
dengan kesepakatan. Mereka berhak pula mengajukan keluhan dan memperoleh<br />
penyelesaian atas keluhan yang diajukannya baik yang menyangkut pelayanan<br />
oleh Badan Penyelenggara maupun oleh Pemberi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan. Mereka<br />
memiliki hak yang sama, tidak dipungut biaya tambahan, dan tidak mendapat<br />
perlakuan diskriminasi oleh para pemberi pelayan kesehatan. Inilah filosofi JPKM<br />
Purbalingga ini: “Si Sehat Menolong Si Sakit, Si Kaya Menolong Si Miskin”,<br />
196
dengan asas kebersamaan dan kegotongroyongan. Selain itu, juga kepada peserta<br />
keluarga mampu, keluarga miskin mendapatkan pemeliharaan dan pelayanan<br />
kesehatan.<br />
1.<br />
2.<br />
Pemeliharaan kesehatan dalam JPKM ini dilakukan pada sarana Pemberi<br />
<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan (PPK), antara lain :<br />
a. PPK I, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat<br />
inap bagi Puskesmas yang menyediakan fasilitas;<br />
b. PPK II, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat<br />
inap serta sebagai pusat rujukan;<br />
c. Polindes, untuk pelayanan kesehatan persalinan normal dan rawat jalan;<br />
d. Dokter keluarga, sebagai rawat jalan.<br />
<strong>Pelayanan</strong> kesehatan sebagaimana disebut di atas, terdiri atas :<br />
a. Pemeriksaan dan tindakan medis, meliputi : pemeriksaan dan tindakan<br />
yang dilakukan tenaga kesehatan yang tersedia pada sarana pelayanan<br />
Pemberi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan tersebut atau Pemberi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan<br />
yang menjadi rujukan sesuai dengan paket pemeliharaan kesehatan,<br />
pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, dan pemberian<br />
pelayanan kesehatan pencegahan termasuk imunisasi yang diberikan<br />
sesuai kebutuhan;<br />
b. Perawatan;<br />
c. <strong>Pelayanan</strong> Obat; dan<br />
d. Pemeriksaan penunjang diagnostik.<br />
Kelembagaan Badan Penyelenggara (Bapel) JPKM Purbalingga ini ditangani oleh<br />
PT Sadar Sehat Mandiri berdasarkan Keputusan Bupati Purbalingga No. 40/63<br />
Tahun 2003—yang diketuai dr. Sutanto. Fungsi dari Bapel ini adalah :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan yang paripurna, terstruktur,<br />
bermutu, dan berkesinambungan;<br />
melakukan pengelolaan keuangan secara cermat;<br />
melakukan pengelolaan kepesertaan; dan<br />
melakukan pengelolaan sistem informasi manajemen.<br />
Kepada para peserta, Bapel ini wajib memberikan kemudahan-kemudahan:<br />
1. Memberikan kartu anggota yang dapat digunakan untuk memperoleh<br />
pemeliharaan kesehatan;<br />
2. Menyediakan sarana pelayanan pemberi pelayanan kesehatan yang dapat<br />
dipilih peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan; dan<br />
3. Memberikan informasi secara jelas tentang jenis pelayanan yang dapat<br />
diperoleh peserta untuk paket pemeliharaan kesehatan.<br />
197
Dasar hukum penyelenggaraan JPKM Purbalingga didasarkan atas :<br />
1.<br />
2.<br />
<strong>Perda</strong> No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM;<br />
Keputusan Bupati No. 05 Tahun 2001 tentang Juklak Penyelenggaraan<br />
JPKM;<br />
3. Keputusan Bupati No. 440/40 Tahun 2001 tentang Pembentukan Bapim<br />
JPKM;<br />
4. Keputusan Bupati No. 40/63 Tahun 2001 tentang Penunjukan Pra Bapel “Sadar<br />
5.<br />
Sehat Mandiri” sebagai Bapel JPKM;<br />
Surat Edaran Bupati Purbalingga No. 460/453 tanggal 16 Februari 2001<br />
perihal Kriteria Gakin;<br />
6. Keputusan Bupati Purbalingga No. 29 Tahun 2003 tentang Kriteria Gakin.<br />
Program ini akan dikembangkan hingga sebagian masyarakat terjangkau (coverage)<br />
bagi program ini. Tahapan Pengembangan JPKM Purbalingga :<br />
1. Tahap Inisiasi dan Sosialisasi (2001-2005);<br />
2. Tahap Penguatan Instalasi (2006-2009);<br />
3. Tahap Pemantapan (2010-2012); dan<br />
4. Tahap Kemandirian (2012-...).<br />
Diharapkan dalam jangka waktu setelah program tahap ini mencapai Tahap<br />
Kemandirian yang dicanangkan 2012, maka di situlah visi Purbalingga yakni<br />
“Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat untuk Mencapai Purbalingga<br />
Sehat 2010” yang sudah dicanangkan dapat tercapai. Para pengelola program<br />
JPKM, dari Bupati hingga Dinas-dinas terkait dengan program ini, sama-sama<br />
optimis bahwa program ini akan mampu terealisasi dengan baik. Oleh karena itu,<br />
langkah-langkah kegiatan yang sudah ditetapkan selalu digalakkan penerapannya<br />
di lapangan. Langkah-langkah itu adalah : Promosi JPKM di tingkat kabupaten,<br />
tingkat kecamatan, penggalakan di segenap Sekolah Dasar (SD) hingga Taman<br />
Kanak-kanak (TK). Kemudian penggalakan Temu Kader yang sudah terbentuk dari<br />
tingkat kabupaten hingga tingkat desa terus digalakkan. Berkat langkah ini maka<br />
perluasan perkaderan di bidang kesehatan menemukan dukungannya. Sembari<br />
menggalakkan promosi, rekruitmen anggota baru dibuka, dan pendaftaran kepada<br />
anggota baru dapat dilaksanakan segera di tempat di mana promosi dilakukan.<br />
Dalam pemdaftaran ini pembuatan kartu bersama pembagiannya dapat dilakukan<br />
beberapa hari berikutnya. Evaluasi yang dilakukan secara rutin dalam kurun<br />
tertentu juga dijalankan.<br />
4.3 Temuan Pokok<br />
Sejak diterapkannya Program JPKM di Purbalingga ini, maka kehidupan kesehatan<br />
masyarakat Purbalingga semakin membaik. Deskripsi di bawah ini mengemukakan<br />
beberapa pokok gambaran akan kemajuan dimaksud.<br />
4.3.1 Membaiknya Indikator Kesehatan dan Indikator Sejenis<br />
Dalam lima tahun terakhir ini beberapa indikator bidang kesehatan di<br />
198
Purbalingga mengalami perkembangan yang membaik. Sebelumnya, masih<br />
cukup banyak masyarakat miskin di sana yang tidak memiliki kemampuan<br />
untuk mengakses sarana dan layanan kesehatan. Beberapa indikator kesehatan<br />
menunjukkan semakin membaiknya derajat kesehatan masyarakat, antara lain :<br />
1. Meningkatnya usia harapan hidup dimana Tahun 2004 adalah 68,7 tahun yang<br />
meningkat dari tahun sebelumnya 68 tahun;<br />
2. Menurunnya angka kematian bayi per 1000 kelahiran, dalam mana pada<br />
Tahun 2004 tercatat 7 menurun dari tahun sebelumnya yakni 7,2;<br />
3. Menurunnya angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran dari 82 pada Tahun<br />
2003 menjadi 55 pada tahun 2003; dan<br />
4. Menurunya jumlah balita kurang gizi yang pada Tahun 2003 tercatat 4,32<br />
persen menjadi 27,6 persen pada Tahun 2004.<br />
Tabel 2: Indikator Derajat Kesehatan di Purbalingga Angka Kematian Ibu (AKI)<br />
No. Tahun Jumlah<br />
Kematian<br />
Jumlah Kelahiran<br />
Hidup<br />
1. 2001 ? ? ?<br />
2. 2002 17 15,111 112,5 00/000<br />
3. 2003 15 15,347 97,73 00/000<br />
4. 2004 16 14,511 110,26 00/000<br />
5. 2005 16 14,670 109,07 00/000<br />
Sumber : Dinkes dan KK Purbalingga<br />
AKB Jumlah Kematian/Jumlah<br />
kelahiran hidup x 10.000<br />
Memang masih terdapat beberapa permasalahan yang menyangkut kualitas dan<br />
kuantitas tenaga kesehatan. Demikian pula fasilitas rawat inap baik di rumah sakit<br />
maupun puskesmas, kurangnya peralatan kesehatan di puskesmas, dan perlunya<br />
pembentukan Poliklinik Kesehatan Desa sebagai upaya meningkatkan akses<br />
masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas, namun dengan meningkatnya<br />
keempat indikator di atas setidaknya mewakili perbaikan derajat perikehidupan<br />
kesehatan bagi masyarakat Purbalingga, yang langsung maupun tidak langsung<br />
berkat diterapkannya program JPKM. Pembangunan sumberdaya manusia<br />
(human resources) Kabupaten Purbalingga yang diukur dengan parameter Indeks<br />
Pembangunan Manusia (IPM), setidaknya dapat mempresenstasikan keberhasilan<br />
pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Simak saja pada Tahun 2000,<br />
dimana IPM Kabupaten Purbalingga sebesar 64,9, yang merupakan peringkat 33<br />
di Jawa Tengah, namun pada Tahun 2003 IPM Kabupaten Purbalingga 67,9 berada<br />
pada peringkat 16 Jawa Tengah. Menurut catatan yang ada bahwa angka IPM<br />
ini pada Tahun 2002 sebesar 67,6, pada Tahun 2003 sebesar 68, dan pada Tahun<br />
2004 sebesar 68,5. Dalam hal indikator, dikenal istilah Human Development Index<br />
atau Index Pembangunan Manusia (IPM) dimana merupakan salah satu indikator<br />
tingkat pembangunan suatu daerah. IPM memiliki 4 (empat) kriteria penilaiannya,<br />
yakni :<br />
199
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Angka harapan hidup;<br />
Angka melek huruf;<br />
Rata-rata lama sekolah; dan<br />
Paritas /ketimpangan daya beli masyarakat. Kriteria ini telah diakui oleh UNDP<br />
sebagai alat analisis untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan<br />
suatu daerah atau negara.<br />
Dalam kurun waktu 4 tahun belakangan ini, setiap tahunnya Kabupaten<br />
Purbalingga menunjukkan kenaikan nilai IPM, seperti diilustrasikan berikut ini :<br />
No. Tahun Skor Rangking<br />
Se-Jateng<br />
Keterangan<br />
1. 2001 64,9 33 Skor IPM 2004 turun akibat dari<br />
2. 2002 65,61 22<br />
perubahan cara perhitungan<br />
3. 2003 67,02 19<br />
4. 2004 67,9 16<br />
5. 2005 67 15<br />
Sumber : Dinkes Jateng dan Dinkes Kesehatan & Kesejahteraan Purbalingga, 2005<br />
Sekadar diketahui bahwa kualitas manusia Indonesia dapat dinilai masih relatif<br />
rendah. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data<br />
Tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692.<br />
Secara rinci, angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan<br />
hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15<br />
tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang<br />
pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan<br />
Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya<br />
beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230; sehingga secara keseluruhan<br />
HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara. Sulit kiranya bila<br />
beberapa kemajuan dalam indikator kesehatan di Purbalingga tersebut dipisahkan<br />
dari Program JPKM tersebut, mengingat visi yang dibangun dalam mewujudkan<br />
derajat kesehatan di Purbalingga tersebut tidak dengan mengaitkannya dengan<br />
Program JPKM dimaksud. Upaya pengurangan beban pengeluaran keluarga<br />
miskin melalui pemberian bantuan kebutuhan hidup pokok yang dilakukan secara<br />
simultan bersamaan dengan berbagai upaya pengentasan dan penanggulangan<br />
kemiskinan diharapkan dapat mempercepat upaya penangggulangan kemiskinan<br />
atau setidaknya sedikit mencegah agar kondisi keluarga miskin menjadi semakin<br />
parah yang dikuatirkan akan menurunkan keturunan yang lemah sehingga akan<br />
mewarisi kemiskinannya. Pembangunan bidang Kesehatan dan Sosial Budaya<br />
terutama diarahkan bagi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat<br />
dan terwujudnya keluarga yang sehat dan sejahtera, melalui :<br />
200
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Peningkatan akses masyarakat kepada pelayanan kesehatan yang<br />
berkualitas;<br />
Penurunan angka kesakitan dan angka kematian terutama bayi dan ibu<br />
melahirkan;<br />
Peningkatan status gizi masyarakat;<br />
Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat serta Kualitas Lingkungan;<br />
dan<br />
Penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama dalam rangka<br />
menurunkan jumlah keluarga miskin.<br />
4.3.2 Membuka Akses Layanan Kesehatan Kaum Miskin<br />
Sebagaimana diketahui bahwa peserta program JPKM ini dibagi ke dalam 3 (tiga)<br />
Klasifikasi:<br />
1. STRATA I untuk Keluarga Miskin (GAKIN);<br />
2. STRATA II untuk Keluarga Paska Miskin (PASCA GAKIN); dan<br />
3. STRATA III untuk KELUARGA MAMPU. Program JPKM di Kabupaten<br />
Purbalingga untuk kali pertama dikembangkan pada Tahun 2001 dengan<br />
mengakomodasi peserta dari keluarga miskin yang preminya dibayar oleh<br />
Pemerintah Kabupaten Purbalingga melalui APBD Pembangunan.<br />
Bagan III<br />
G r a fik P e r k e m b a n g a n K e p e s e r ta a n J P K M<br />
140.000<br />
120.000<br />
1 2 3 . 3 0 3<br />
100.000<br />
80.000<br />
60.000<br />
40.000<br />
20.000<br />
0<br />
1 0 0 . 1 8 4<br />
7 3 . 4 9 4<br />
6 7 . 7 0 7<br />
5 7 . 3 6 2<br />
5 0 . 2 1 7<br />
4 2 . 9 4 4<br />
4 7 . 9 2 9<br />
3 6 . 8 7 9<br />
4 2 . 5 3 3<br />
4 0 . 2 9 9<br />
2 8 . 4 1 8<br />
2 2 . 7 0 7 2 3 . 4 0 8 2 4 . 1 2 0<br />
1 8 . 0 7 2<br />
2 8 . 1 0 2<br />
2 3 . 8 0 9<br />
8 . 1 7 1<br />
2 1 . 5 4 9<br />
1 2 . 1 9 7<br />
1 2 . 4 7 8<br />
0 0<br />
2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005<br />
2005 2006<br />
Sumber : Dinkes dan KK Purbalingga<br />
S tra ta I S tra ta II S tra ta III J u m la h<br />
201
Premi JPKM di Kabupaten Purbalingga tahun 2001/2002 sebesar Rp 25.000/KK/<br />
tahun, tahun 2002/2003 naik menjadi Rp 30.000/KK/tahun, tahun 2003/2004<br />
menjadi Rp 40.000/KK/tahun, dan pada tahun 2005 sebesar Rp 50.000/KK/tahun.<br />
Besarnya premi ditetapkan dari utilitasi pelayanan kesehatan di PPK, kecukupan<br />
biaya JPKM yang dihitung dengan tarif subsidi dan kemampuan masyarakat.<br />
Perincian subsidi yang diberikan untuk peserta JPKM adalah:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Keluarga Miskin (GAKIN) disubsidi 100% dari premi;<br />
Keluarga Paska Miskin (PASCA GAKIN) disubsidi 50% dari premi 50% dibayar<br />
oleh peserta; dan<br />
Keluarga Mampu tidak disubsidi, premi dibayar 100% oleh peserta.<br />
Tabel 4: Premi dan Subsidi Program JPKM di Purbalingga<br />
Dalam Empat Tahun Anggaran<br />
STRATA 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005<br />
Premi Subsidi Premi Subsidi Premi Subsidi Premi Subsidi<br />
I - 25.000 - 30.000 - 40.000 - 50.000<br />
II 10.000 15.000 15.000 15.000 20.000 20.000 25.000 25.000<br />
III 25.000 - 30.000 - 40.000 - 50.000 -<br />
Sumber : Bapel JPKM Purbalingga, 2006<br />
Dukungan Pemerintah Kabupaten Purbalingga pada JPKM dibuktikan dari alokasi<br />
dana APBD. Contoh: premi JPKM dari APBD Purbalingga per tahun 2001 Rp<br />
1.263.000.000,00; tahun 2002 Rp 1.268.000.000,00; tahun 2003 Rp 2.080.000.000,00;<br />
sedang pada tahun 2004 premi yang harus dibayar Pemkab Purbalingga Rp<br />
2.500.000.000,00. Hakikat penyelenggaraan JPKM adalah cara pemeliharaan<br />
kesehatan masyarakat paripurna berdasar asas bersama dan kekeluargaan<br />
berkesinambungan dengan mutu terjamin dan pembiayaan dilakukan pra-upaya.<br />
Pelaksanan program berdasarkan <strong>Perda</strong> No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM dan<br />
Keputusan Bupati Purbalingga No. 5 Tahun 2003 tentang Juklak Petunjuk<br />
Pelaksanaan Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat/<br />
JPKM telah memberi beberapa manfaat kepada masyarakat Purbalingga.<br />
B A G A N I I I<br />
I LU STR A SI G R A FI K SU B SI DI DALA M P ELA K SA N A A N JP K M<br />
5<br />
4<br />
3<br />
Ideal<br />
Realita<br />
2<br />
1<br />
Sumber : Dinkes Purbalinga<br />
03 02 04 05<br />
01 09<br />
07 08 10<br />
06 11 12<br />
Tahun K e-<br />
202
Nilai manfaat ditempuhnya program JPKM ini antara lain adalah dalam rangka :<br />
1. Memperoleh pelayanan kesehatan paripurna yang lebih bermutu dan<br />
berkelanjutan;<br />
2. Mengeluarkan biaya ringan bahkan digratiskan bagi kalangan tak mampu,<br />
atas asas kebersamaan, kekeluargaan/kegotongroyongan (subsidi silang);<br />
3. <strong>Pelayanan</strong> kesehatan dapat diselenggarakan dengan lebih merata bagi<br />
masyarakat Purbalingga, terutama masyarakat keluarga miskin.<br />
Bagan IV<br />
DA NA J P K M<br />
2006<br />
1,546,000<br />
2,099,840<br />
2005<br />
1,372,215<br />
3,348,918<br />
717,380<br />
2004<br />
2,500,000<br />
1,560,449<br />
2,233,725<br />
2003<br />
2,080,000<br />
2,583,000<br />
1,430,320<br />
2002<br />
1,268,000<br />
697,801<br />
645,420<br />
2001<br />
1,263,000<br />
2,264,666<br />
430,845<br />
Ribuan Rp<br />
Sumber : Dinkes dan Kesejahteraan Purbalingga<br />
0 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000<br />
APBD KAB APBN DANA MASY<br />
Respon masyarakat Purbalingga atas program JPKM amat bagus. Terbukti<br />
dari antusiasme anggota masyarakat untuk menjadi peserta sampai tahun 2004<br />
(Tahap Inisiasi dan Sosialisasi dalam Time Table penggalakkan program), jumlah<br />
kepesertaan JPKM Purbalingga mencapai 123.303 KK atau 65% jumlah penduduk<br />
Purbalingga (Jumlah penduduk Purbalingga per Tahun 2004 adalah 846.323 jiwa<br />
atau 193.347 KK).<br />
Tabel 5: Perkembangan Kepesertaan JPKM Purbalingga<br />
No. Tahun STRATA I STRATA II STRATA III Jumlah<br />
1. 2001 36.879 KK 22.657 KK 8.171 KK 67.707 KK<br />
2. 2002 42.944 KK 18.072 KK 12.088 KK 73.104 KK<br />
3. 2003 50.217 KK 28.418 KK 21.549 KK 100.184 KK<br />
4. 2004 57.362 KK 42.533 KK 23.408 KK 123.303 KK<br />
Jumlah 16 14,670 65.216 KK 4.298 KK<br />
Sumber : Bapel JPKM Purbalingga, 2006<br />
203
4.3.3 Menekan Risiko Dasar Kaum Miskin<br />
Sebagaimana ilustrasi di atas, bahwa keberhasilan program JPKM di Purbalingga<br />
ini adalah kemampuannya membuka akses pelayanan kesehatan kebanyakan<br />
masyarakat yang selama ini tertutup akses pelayanan kesehatan, terutama bagi<br />
kalangan keluarga miskin di Purbalingga. Berikutnya adalah permasalahan dasar<br />
dapat diurai dan dijadikan sasaran bagi pemajuan berikutnya, baik kualitas hidup<br />
masyarakat bawah, sehingga keluarga miskin semakin tertolong atau terkurangi<br />
beban hidupnya. Rute yang menjadi dasar bagi program JPKM ini tentu tidak<br />
hanya karena kenyataan pengangguran semata-mata. Latar belakang berikutnya<br />
berkait dengan persoalan pengangguran di Purbalingga. Sebagaimana diketahui,<br />
pengangguran bertali-temali dengan problem kemiskinan. Karena miskin maka<br />
derajat kesehatan masyarakat Purbalingga menjadi rendah. Derajat kesehatan<br />
yang rendah inilah yang hendak mau diangkat. Dalam fase berikutnya diharapkan<br />
produktivitas menjadi meningkat, antara lain yang pada akhirnya dapat dibuktikan<br />
pendapat per kapita masyarakatnya. Bila persoalan tersebut dapat diatasi, maka<br />
pertumbuhan ekonomi akhirnya tidak lambat. Sumber pembiayaan lain di luar<br />
kesehatan sehingga produktivitas dapat ditingkatkan serta karena kualitas SDM<br />
dan moralitas pada akhirnya dapat diangkat dari problem mendasarnya seperti<br />
selama ini.<br />
Dapat dicermati bahwa pembangunan bidang Kesehatan dan Sosial Budaya<br />
dilaksanakan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,<br />
dengan tujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup terutama diarahkan bagi<br />
peningkatan perlindungan kesehatan bagi penduduk miskin melalui pemberian<br />
fasilitas kemudahan bagi penduduk miskin untuk mengakses pelayanan<br />
kesehatan. Di samping itu, dari sisi kesejahteraan sosial, yang merupakan satu<br />
kesatuan dengan bidang kesehatan di Purbalingga, maka diarahkan dalam<br />
rangka perlindungan bagi keluarga miskin melalui penurunan beban pengeluaran<br />
keluarga miskin dengan berbagai treatment yang menyentuh langsung kebutuhan<br />
pokok keluarga miskin. Sebagaimana bidang pendidikan, pembangunan Bidang<br />
Kesehatan dan Sosial Budaya juga memiliki kedudukan yang strategis.<br />
Seiring dengan perubahan paradigma pembangunan manusia pembangunan<br />
kesehatan memiliki kedudukan yang sangat strategis karena kesehatan merupakan<br />
salah satu faktor yang ikut menentukan kualitas manusia. Dalam perspektif<br />
penanggulangan kemiskinan yang merupakan prioritas dalam pembangunan<br />
tahun 2004, pembangunan kesehatan bersama dengan pembangunan bidang<br />
Pendidikan akan meningkatkan kapasitas dasar manusia. Meningkatnya<br />
kapasitas dasar manusia akan meningkatkan kemampuannya dalam mengakses<br />
berbagai sumberdaya baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya sosial guna<br />
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Meningkatnya kesehatan<br />
akan meningkatkan produktivitas kerja penduduk, sementara meningkatnya<br />
produktivitas kerja berkorelasi dengan meningkatnya produksi, berakibat pula<br />
pada mengingkatnya pendapatan (income).<br />
204
Dengan meningkatnya pendapatan berarti meningkatkan daya beli masyarakat.<br />
Meningkatnya daya beli berarti meningkatkan kemampuan dalam memenuhi<br />
kebutuhan hidup. Keberhasilan pembangunan kesehatan akan berpengaruh pada<br />
pembangunan bidang pendidikan karena hanya orang sehat yang dapat mengikuti<br />
proses belajar dengan baik. Sedangkan melalui pembangunan kesejahteraan sosial<br />
akan memberi perlindungan dan advokasi ke penyandang masalah kesejahteraan<br />
sosial terutama keluarga miskin lewat pemenuhan kebutuhan hidup pokok karena<br />
pemenuhan kebutuhan hidup pokok tak dapat menunggu sampai keluarga miskin<br />
dapat dientaskan dan secara mandiri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.<br />
Untuk mendorong terwujudnya asas adil dan merata, peserta JPKM dibagi tiga<br />
strata. Strata I adalah keluarga yang memenuhi kriteria Gakin sesuai Surat<br />
Edaran Bupati, strata II adalah keluarga yang saat didata tidak memenuhi kriteria<br />
Gakin namun di tahun sebelumnya mereka menjadi sasaran JPS-BK, atau disebut<br />
pula sebagai Pasca Gakin. Strata III adalah keluarga yang sejak program JPS-BK<br />
diluncurkan sampai saat pendataan tidak termasuk kriteria Gakin (Non Gakin) atau<br />
masyarakat mampu. Penentuan masyarakat masuk dalam kestrataan dilakukan<br />
langsung oleh Kader Kesehatan Desa yang notabene anggota masyarakat biasa<br />
guna menjaga obyektivitas. Pembagian strata ini terkait erat dengan ketentuan<br />
pembayaran premi oleh peserta JPKM yang digunakan untuk kapitasi kepada<br />
pelaku pelayanan kesehatan (Polindes/PKD, PUSTU, PUSKESMAS dan Rumah<br />
Sakit).<br />
Tabel 6: Kapitasi JPKM<br />
K API T ASI J PK M<br />
ALOKASI PREMI<br />
2001<br />
/ 2002<br />
2002<br />
/ 2003<br />
2003<br />
/ 2004<br />
2004<br />
/ 2005<br />
2005<br />
(5 Bl)<br />
2006<br />
POLINDES/ PKD,<br />
PUSTU & PUSK<br />
9.500<br />
10.000<br />
11.75<br />
0<br />
20.000<br />
13.000<br />
30.500<br />
RAWAT INAP<br />
PUSKESMAS<br />
1.500<br />
1.000<br />
1.500<br />
2.000<br />
1.000<br />
3.500<br />
R S U D<br />
11.500<br />
14.000<br />
20.75<br />
0<br />
21.500<br />
15.000<br />
39.000<br />
BAPEL JPKM<br />
3.000<br />
5.000<br />
6.000<br />
6.500<br />
4.750<br />
7.000<br />
JUMLAH<br />
25.000<br />
30.000<br />
40.00<br />
0<br />
50.000<br />
33.750<br />
80.000<br />
Sumber : Dinkes Purbalingga 2006<br />
Ketentuan premi adalah strata I dibebaskan dari pembayaran premi/gratis, strata<br />
II diwajibkan membayar 50% dari nilai premi, dan strata III diwajibkan membayar<br />
penuh. Kartu JPKM berlaku untuk 1 keluarga inti yang terdiri dari suami, istri,<br />
dan anak kandung selama 12 bulan pelayanan. Dengan ketentuan ini, Pemkab<br />
menyiapkan subsidi terencana ke peserta JPKM khususnya strata I dan strata II<br />
yang besarnya makin menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah peserta dan<br />
meningkatnya nilai premi keluarga non gakin setiap tahunnya.<br />
205
Dengan model semacam ini pada tahun ke-7, pembiayaan pelayanan kesehatan<br />
dasar masyarakat diharapkan mengalami titik keseimbangan, dimana 50% dibiayai<br />
pemerintah dan 50% swasta/masyarakat. Sedangkan tahun-tahun selanjutnya<br />
subsidi pemerintah semakin menurun hingga titik nol pada tahun ke-12.<br />
Tabel 7: Premi JPKM<br />
P R E M I J P K M<br />
2001 / 2002<br />
2002 / 2003<br />
2003 / 2004<br />
2004 / 2005<br />
2005 (5 Bl)<br />
2006<br />
STR<br />
ATA<br />
Premi<br />
Subsi<br />
di<br />
Premi<br />
Subsi<br />
di<br />
Premi<br />
Subsi<br />
di<br />
Premi<br />
Subsi<br />
di<br />
Premi<br />
Subsi<br />
di<br />
Premi<br />
Subsi<br />
di<br />
I<br />
-<br />
25.00<br />
0<br />
-<br />
30.00<br />
0<br />
-<br />
40.00<br />
0<br />
-<br />
50.00<br />
0<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
II<br />
10.00<br />
0<br />
15.00<br />
0<br />
15.00<br />
0<br />
15.00<br />
0<br />
20.00<br />
0<br />
20.00<br />
0<br />
25.00<br />
0<br />
25.00<br />
0<br />
10.00<br />
0<br />
33.75<br />
0<br />
40.00<br />
0<br />
40.00<br />
0<br />
III<br />
25.00<br />
0<br />
-<br />
30.00<br />
0<br />
-<br />
40.00<br />
0<br />
-<br />
50.00<br />
0<br />
-<br />
20.00<br />
0<br />
-<br />
80.00<br />
0<br />
-<br />
Sumber : Dinkes Kab. Purbalingga<br />
Oleh karenanya, pelaksanaan JPKM dibagi dalam beberapa fase. Fase I adalah<br />
Tahap Sosialisasi dan Inisiasi tahun 2001-2005, Fase II Tahap Penguatan Instalasi<br />
tahun 2006-2009; dan Fase III Tahap Pemantapan tahun 2010-2012. Perkembangan<br />
kepesertaan JPKM sejak dicanangkan telah mengalami peningkatan yang<br />
signifikan. Pada tahun 2001 peserta 67.707 KK. Tahun 2002 menjadi 73.494 KK<br />
atau naik sebesar 10,8%. Tahun 2003 menjadi 100.184 KK atau naik sebesar<br />
13,6%. Tahun 2004 peserta meningkat menjadi 123.303 KK atau 65% dari total<br />
penduduk Purbalingga sejumlah 191.277 KK. Pada tahun 2005, pelaksanaan<br />
JPKM terintegrasi dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi<br />
Masyarakat Miskin (JPKMM) yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang<br />
secara keseluruhan mampu melayani sejumlah 102.002 KK atau setara dengan<br />
408.008 jiwa.<br />
4.3.4 Kepeloporan Kemajuan Daerah<br />
Dari sisi pengembangan pelayanan kesehatan, apa yang dilakukan Pemerintah<br />
Kabupaten Purbalingga, dengan program JPKM tersebut, sebagai salah satu contoh<br />
bagaimana sebuah daerah dapat merupakan pelopor bagi kemajuan dan usaha<br />
menuju kesejahteraan rakyat. Argumentasi kepeloporan bagi Purbalingga dengan<br />
program JPKM dimaksud, paling tidak dapat dikemukakannya 2 (dua) hal penting<br />
berikut ini. Pertama, kepeloporan karena paling awal serta yang secara kronologis<br />
mendahului implementasi gagasan serupa yang berasal dari Pemerintah (Pusat)<br />
sekalipun. Mungkin ini semata-mata kronologis waktu, tapi karena<br />
206
kronologi waktu ini sebenarnya membuktikan beberapa hal yang berkaitan dengan<br />
keluhuran niat menyejahterakan rakyatnya, dan risiko mengambil keputusan.<br />
Rangkuman kepeloporan atas gagasan sisi kronologis ini tentu mengundang<br />
heroikisasi—sesuatu yang tentu membedakannya dengan imitasi kebijakan yang<br />
dilakukan setelah gagasan berikutnya ditiru pihak lain. Secara kronologis, apa yang<br />
dilakukan Purbalingga dalam mengintroduksi JPKM tersebut mendahului untuk<br />
program yang sejenis dari Pemerintah Pusat. Perhatian Pemerintah Pusat atas<br />
jaminan sosial ini dapat dilacak dari keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992<br />
tentang Kesehatan. Pada pasal 66 ayat (1)-(4) secara tersurat dan tersirat adanya<br />
program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Indonesia. Pemerintah<br />
memang berhasil dalam membangun komitmen namun konkretnya komitmen<br />
tersebut baru benar-benar dijalankan ketika Pemerintah Pusat mengundangkan<br />
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional<br />
yang diterbitkan 19 Oktober 2004, yang ditandatangani oleh Presiden Megawati<br />
Soekarnoputri.<br />
Kiranya dapat dibandingkan bahwa Kabupaten Purbalingga sudah merintis program<br />
JPKM ini ketika Bupati Purbalingga menerbitkan Surat Bupati Purbalingga No.<br />
460/453/2001 yang ditujukan kepada :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Kepala Dinas/Kantor/Bagian Unit Kerja di lingkungan Pemda Purbalingga;<br />
Camat se-Kabupaten Purbalingga; dan<br />
Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Purbalingga tentang<br />
Kriteria Keluarga Miskin (GAKIN), yang diterbitkan pada 16 Februari 2001.<br />
Berikutnya, dan ini langkah konkret, bahwa Pemerintah Purbalingga mengadakan<br />
Memorandum of Understanding (MoU) pada 31 Juli 2002 (MoU) antara Dr. Sutanto<br />
sebagai Ketua Penyelenggara JPKM dengan Dr. Bambang Sidik T., Kepala<br />
Puskesmas Kutasari dalam rangka Pemberian <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Peserta<br />
JPKM Purbalingga, dengan Surat Perjanjian Penyelenggaraan JPKM Dengan<br />
PUSKESMAS No. 145/JPKM/PBG/VII/02. Dalam rangka memperjelas posisi JPKM<br />
di depan pemerintah, maka perlu kiranya bila diterangkan tentang Pembentukan<br />
Badan Pembina JPKM. Akhirnya diputuskan bahwa sesuai aturan maka pada 13<br />
Februari 2003 menerbitkan Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/40 Tahun 2003<br />
tentang Pembentukan Badan Pembina JPKM. Dilanjutkan berikutnya adalah<br />
Keputusan Bupati Purbalingga No. 40/63 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pra<br />
Badan Penyelenggara “SADAR SEHAT MANDIRI” untuk menyelenggarakan<br />
JPKM di Kab.Purbalingga, yang ditandatangani—sebagaimana keputusankeputusan<br />
yang dikemukakan di atas ditandatangani oleh Bupati Purbalingga Drs.<br />
H. Triyono Budi Sasongko, M.SI., pada 7 April 2003. Demi memantapkan posisi<br />
kebijakan Bupati tentang JPKM masih dalam lingkup wilayah kebijakan dari<br />
seorang bupati. Kala itu dia masih dianggap belum penting dan belum mendesak<br />
bila diterapkan di Purbalingga. Ini sekaligus untuk mengokohkan bahwa langkah<br />
yang dilakukan bupati akan diteruskan dan merupakan kebijakan daerah. Kalau<br />
ditempatkan sebagai kebijakan daerah maka ia memiliki kekuatan hukum kuat.<br />
Suka tidak suka program ini akan bisa<br />
207
diabadikan di Purbalingga. Karena itulah <strong>Perda</strong> No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM,<br />
yang ditandatangi 24 Juni 2003 menjadi penting. Secara berturut-turut penerbitan<br />
keempat Keputusan Bupati Purbalingga tersebut penting karena merupakan inti<br />
penyelenggaraan JPKM. Keempat Keputusan tersebut adalah :<br />
1. Bupati Purbalingga No. 29 Tahun 2003 tentang Kriteria GAKIN, 31 Juli 2004;<br />
2. Keputusan Bupati No. 33 Tahun 2003 tentang Juklak Penggunaan <strong>Pelayanan</strong><br />
Kesehatan Masyarakat, Rumah Sakit tentang Petunjuk Pelaksanaan<br />
Penggunaan Hasil Pendapatan Retribusi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Pada Pusat<br />
Kesehatan Masyarakat, Rumah Bersalin Daerah, dan Laboratorium Kesehatan<br />
Masyarakat Kab. Purbalingga Tentang Penetapan Peserta Program Jaminan<br />
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Kabupaten Purbalingga Tahun 2003-<br />
2004, yang diundangkan 23 November 2003;<br />
3. Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/108 Tahun 2003 dan Keputusan Bupati<br />
Purbalingga No. 440/190 Tahun 2003;<br />
4. Penunjukan Pra Badan Pelaksana (BAPEL) JPKM “SADAR SEHAT MANDIRI”<br />
Purbalingga Sebagai Pengelola Dana Premi JPKM dan Jaminan Pemeliharaan<br />
Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-GAKIN) Kab. Purbalingga. Purbalingga, 15<br />
November 2003.<br />
Tabel 8: Peraturan Perundang-undangan JPKM Dikutip Berdasarkan Urutan Waktu dan<br />
Perbandingan Pusat dengan Kab. Purbalingga<br />
No. Nama Peraturan Tentang Diundangkan<br />
Undang-Undang<br />
1. UU No. 23 Tahun 1992 Kesehatan Jakarta, 17 September 1992<br />
Soeharto<br />
2. UU No. 40 Tahun 2004 Sistem Jaminan Sosial Nasional Jakarta, 19 Oktober 2004<br />
Megawati Soekarnoputri<br />
1. Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />
No. 003A/MENKES/SK/I/2003<br />
Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />
Unit Desentralisasi Jakarta, 6 Januari 2003<br />
Dr. Achmad Sujudi<br />
2. Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />
No. 560/MENKES/SK/IV/2003<br />
Pola Tarif Perjan Rumah Sakit Jakarta, 25 April 2003<br />
Dr. Achmad Sujudi<br />
3. Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />
No. 639/MENKES/SK/V/2003<br />
Pedoman Umum Pengadaan Obat<br />
<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Dasar 2003<br />
Jakarta, 12 Mei 2003<br />
Dr. Achmad Sujudi<br />
4. Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />
No. 1457/MENKES/SK/X/2003<br />
Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />
Bidang Kesehatan Di Kab./Kota<br />
Jakarta, 10 Oktober 2003<br />
Dr. Achmad Sujudi<br />
208
No. Nama Peraturan Tentang Diundangkan<br />
1. Surat Bupati Purbalingga No.<br />
460/453/2001 yang ditujukan<br />
kepada : (1) Kepala Dinas/Kantor/<br />
Bagian Unit Kerja di lingkungan<br />
Pemda Purbalingga; (2) Camat<br />
se-Kabupaten Purbalingga; dan (3)<br />
Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan<br />
Sosial Kabupaten Purbalingga.<br />
2. Surat Perjanjian Penyelenggaraan<br />
JPKM Dengan PUSKESMAS No. 145/<br />
JPKM/PBG/VII/02<br />
Surat/Keputusan Bupati Purbalingga<br />
Kriteria Keluarga Miskin (Gakin)<br />
Pemberian <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan<br />
bagi Peserta JPKM Kab. Purbalingga<br />
Purbalingga,<br />
16 Februari 2001<br />
Drs. Triyono Budi Sasongko<br />
Purbalingga,<br />
31 Juli 2002<br />
- dr. Sutanto, Ketua Penyelenggara<br />
JPKM<br />
- dr. Bambang Sidik T.,<br />
Kepala Puskesmas Kutasari<br />
3. Keputusan Bupati Purbalingga<br />
No. 440/40 Tahun 2003<br />
Pembentukan Badan Pembina JPKM<br />
Purbalingga,<br />
13 Februari 2003<br />
Triyono Budi Sasongko<br />
4. Keputusan Bupati Purbalingga<br />
No. 40/63 Tahun 2003<br />
5. Peraturan Daerah Kabupaten<br />
Purbalingga<br />
No. 15 Tahun 2003<br />
Pembentukan Pra Badan<br />
Penyelenggara “SADAR SEHAT<br />
MANDIRI” untuk menyelenggarakan<br />
JPKM di Kab.Purbalingga<br />
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan<br />
Masyarakat<br />
Purbalingga, 7 April 2003<br />
Triyono Budi Sasongko<br />
Purbalingga,<br />
24 Juni 2003<br />
- Triyono Budi Sasongko, Bupati<br />
- Sutjipto, B.A., Ketua DPRD<br />
6. Keputusan Bupati Purbalingga<br />
No. 29 Tahun 2003<br />
Kriteria Keluarga Miskin<br />
Purbalingga,<br />
31 Juli 2003<br />
Triyono Budi Sasongko<br />
7. Keputusan Bupati Purbalingga<br />
No. 33 Tahun 2003<br />
Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan<br />
Hasil Pendapatan Retribusi<br />
<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Pada Pusat<br />
Kesehatan Masyarakat, Rumah<br />
Bersalin Daerah, dan Laboratorium<br />
Kesehatan Masyarakat Kab.<br />
Purbalingga<br />
Purbalingga,<br />
6 Oktober 2003<br />
Triyono Budi Sasongko<br />
209
No. Nama Peraturan Tentang Diundangkan<br />
8. Keputusan Bupati Purbalingga<br />
No. 440/108 Tahun 2003<br />
Surat/Keputusan Bupati Purbalingga<br />
Penetapan Peserta Program<br />
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan<br />
Masyarakat Kabupaten<br />
Purbalingga Tahun 2003-2004<br />
Purbalingga,<br />
23 November 2003<br />
Triyono Budi Sasongko<br />
9. Keputusan Bupati Purbalingga<br />
No. 440/190 Tahun 2003<br />
Sumber : Data Diolah dari Berbagai Sumber<br />
Penunjukan Pra Badan Pelaksana<br />
(BAPEL) JPKM “SADAR SEHAT<br />
MANDIRI” Purbalingga Sebagai<br />
Pengelola Dana Premi JPKM dan<br />
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan<br />
Keluarga Miskin (JPK-GAKIN) Kab.<br />
Purbalingga<br />
Purbalingga,<br />
15 November 2003<br />
Triyono Budi Sasongko<br />
Kedua, kepeloporan substansi gagasan dapat dibuktikan dari seringnya para pihak<br />
mengadakan kunjungan untuk kaji dan studi banding ke Purbalingga berkait<br />
dengan program JPKM. Bila menyimak tabel di bawah, pihak yang mengadakan<br />
kunjungan ke Purbalingga terdiri atas tiga pihak. Pertama, secara vertikal<br />
merupakan kunjungan instansi di atas struktur pemerintahan di atas derajat<br />
sebuah kabupaten/kota, yakni Pemda Provinsi, Staf Ahli Menkes, Depdagri, dan<br />
seterusnya, yang intinya adalah gambaran struktur pemerintahan lebih dari<br />
kabupaten/kota. Kedua, secara horisontal merupakan kunjungan dari instansi<br />
di samping/setara/sederajat dengan sebuah kabupaten/kota, yakni Pemerintah<br />
Kabupaten/Pemerintah Kota. Ketiga, pihak lain dengan latar belakang akademisi,<br />
sebagaimana Universitas Indonesia (UI) Jakarta ataupun Universitas Jendral<br />
Soedirman, Purwokerto. Berdasarkan deskripsi di atas, ketiga bentuk kaji banding<br />
yang dilakukan pihak lain dapat berbentuk pengembangan makna konotatif.<br />
Pertama, makna deordinasi. Bahwa kaji banding yang dilakukan pihak yang lebih<br />
tinggi dengan struktur pemerintahan, bisa jadi sedang melakukan supervisi atau<br />
evaluasi. Bisa pula karena benar-benar ingin belajar atas program yang sedang<br />
dirancang kemudian ingin agar daerah lain melakukan hal yang sama atau<br />
mengikuti jejak daerah lain. Kedua, makna equitas. Bahwa kaji banding dilakukan<br />
pihak yang sederajat dengan Kabupaten Purbalingga, itu artinya kunjungan<br />
mereka memiliki motivasi membandingkan, antara apa yang sedang dikerjakannya<br />
atau yang sudah dikerjakan namun belum yakin atau belum merasa sebaik yang di<br />
Purbalingga, maka dengan kaji banding diharapkan adanya perbedaan, kelebihan,<br />
dan kelemahan yang sedang dikerjakannya, dengan yang sudah dikerjakan<br />
Purbalingga. Ketiga, makna eksperimentasi. Bahwa kaji banding yang dilakukan<br />
kalangan akademis ke Purbalingga tentu motifnya berkait dengan pengembangan<br />
ilmu pengetahuan, sehingga kelak dari kajian yang dilakukannya hasilnya dapat<br />
direkomendasikan bagi kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan, umumnya disiplin ilmu<br />
sosial serta khususnya disiplin ilmu kesehatan.<br />
210
Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding<br />
Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah<br />
No. Tanggal Kunjungan Asal Tim Kaji Banding Ket.<br />
1. 29 Januari 2002 Pemda Propinsi Lampung<br />
2. 04 Februari 2002 Staf Ahli Menteri Kesehatan RI<br />
3. 28 Februari 2002 Pemkab Gunung Kidul Prop. DIY<br />
4. 29 Juni 2002 Pemkab Pati Prop. Jateng<br />
5. 06 Juli 2002 Pemkab Bulukumba Prop. Sulawesi Selatan<br />
6. 02 Oktober 2002 Pemkab Kebumen Prop. Jateng<br />
7. 30 November 2002 Pemkab Jeneponto Prop. Sulawesi Selatan<br />
8. 21 Januari 2003 Pemkab Karanganyar Prop. Jateng<br />
9. 21 Mei 2003 Pemkot Metro Prop. Lampung<br />
10. 10 Juni 2003 Pemkot Sawahlunto Prop. Sumatera Barat<br />
11. 16 Juni 2003 Tim Diklat Kepemimpinan Tk. IV Depdagri Jakarta<br />
12. 19 Juni 2003 Pemkab Pemalang Prop. Jateng<br />
13. 02 Juli 2003 Pemkot Magelang Prop. Jateng<br />
14. 5 Juli 2003 Pemkot Surakarta Prop. Jateng<br />
15. 7 Juli 2003 Pemkab Cilacap Prop. Jateng<br />
16. 9 Juli 2003 Pemkab Wonosobo Prop. Jateng<br />
17. 28 Agustus 2003 Dinkes Kab. Semarang Prop. Jateng<br />
18. 11 September 2003 Dinkes Kab. Magelang Prop. Jateng<br />
19. 15 September 2003 Pemkab Gorontalo<br />
20. 25 September 2003 Pemkab Lombok Tengah Prop. NTB<br />
21. 25 September 2003 Pemkab Temanggung Prop. Jateng<br />
22. 25 September 2003 Pemkot Salatiga Prop. Jateng<br />
23. 20 Oktober 2003 Pemkab Sleman Prop. Jateng<br />
24. 23 Oktober 2003 Pemkab Kendal Prop. Jateng<br />
25. 24 Nopember 2003 Direktorat JPKM Depkes RI<br />
26. 20 Nopember 2003 Pemkab Banjarnegara Prop. Jateng<br />
27. 7 Januari 2004 Pemkot Pekalongan Prop. Jateng<br />
28. 14 Januari 2004 Pem Prop Kal Sel<br />
29. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Banjar<br />
30. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Barito Kuala<br />
211
Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding<br />
Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah<br />
No. Tanggal Kunjungan Asal Tim Kaji Banding Ket.<br />
31. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Hulu Sungai Selatan<br />
32. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Hulu Sungai Tengah<br />
33. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Hulu Sungai Utara<br />
34. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Kota Baru<br />
35. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Tabalong<br />
36. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Tanah Laut<br />
37. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Tapin<br />
38. 14 Januari 2004 Dinkes Kota Banjar Baru<br />
39. 14 Januari 2004 Dinkes Kota Banjarmasin<br />
40. 14 Januari 2004 Dinkes Kota Tanah Bumbu<br />
41. 14 Januari 2004 Pemkab Brebes Prop. Jateng<br />
42. 26 Pebruari 2004 Universitas Indonesia Jakarta<br />
43. 26 Pebruari 2004 Dinas Kesehatan Prop. Jawa Barat<br />
44. 23 Maret 2004 Dinkes Kab Way Kanan Prop. Lampung<br />
45. 22 Mei 2004 Dinkes Kota Magelang Prop. Jateng<br />
46. 16 Juni 2004 Pemkab Kudus<br />
47. 21 Juni 2004 Pemkab Semarang<br />
48. 22 Juni 2004 Pemkab Mamuju Sulawesi Selatan<br />
49. 21 Juli 2004 Pemkab Tegal<br />
50. 21 - 22 Juli 2004 Gajahmada Medical Center Yogyakarta<br />
51. 21 - 22 Juli 2004 Dinas Kesehatan Prop. Jawa Tengah<br />
52. 21 - 22 Juli 2004 Pemda Kota Semarang Prop. Jateng<br />
53. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Klaten Prop. Jawa Tengah<br />
54. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kota Semarang Prop. Jawa Tengah<br />
55. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kota Pekalongan Prop. Jawa Tengah<br />
56. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kota Surakarta Prop. Jawa Tengah<br />
57. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kab. Banjarnegara Prop. Jawa Tengah<br />
58. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Kudus Prop. Jawa Tengah<br />
59. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Blora Prop. Jawa Tengah<br />
60. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Banyumas Prop. Jateng<br />
212
Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding<br />
Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah<br />
No. Tanggal Kunjungan Asal Tim Kaji Banding Ket.<br />
61. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Wonosobo Prop. Jateng<br />
62. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Kendal Prop. Jawa Tengah<br />
63. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Tegal Prop. Jawa Tengah<br />
64. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Sragen Prop. Jawa Tengah<br />
65. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Wonogiri Prop. Jawa Tengah<br />
66. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Pati Prop. Jawa Tengah<br />
67. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah kabupaten Rembang Prop. Jawa Tengah<br />
68. Dinkes Kab. Way Kanan Prop. Lampung<br />
69. 27 Juli 2004 Dinkes Kab. Klaten Prop. Jateng<br />
70. 27 Juli 2004 Dinkes Kab. Karo Prop. Sumut<br />
71. 5 - 7 Agustus 2004 Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto<br />
72. 15 September 2004 Pemerintah Kabupaten Cianjur Jawa Barat<br />
73. 6 Desember 2004 Pemerintah Kota Bogor Jawa Barat<br />
74. 6 Desember 2004 UI Jakarta<br />
75. 9 Desember 2004 Pemerintah Propinsi Sumatera Utara<br />
76. 22-23 Desemb 2004 Pemerintah Kota Surabaya Prop. Jawa Timur<br />
77. 31 Januari 2005 Pemerintah Kota Medan Prop. Sumatera Utara<br />
78. 31 Jan-2 Feb 2005 Pemerintah Propinsi Papua<br />
79. 31 Jan -2 Feb 2005 Dinas Kesehatan Kota Lampung<br />
80. 12 Februari 2005 Pemerintah Kabupaten Wonosobo Prop. Jateng<br />
81. 22 Februari 2005 Pemerintah Kabupaten Magelang<br />
82. Juni 2005 Pemerintah Kabupaten Tegal Prop. Jawa Tengah<br />
83. Juli 2005 Pemerintah Kota Jakarta Selatan<br />
84. Juli 2005 Pemerintah Kota Tegal<br />
85. 23 Agustus 2005 Dinas Kesehatan Kota Pekalongan<br />
86. 27 September 2005 Pemerintah Kabupaten Brebes<br />
87. 27 September 2005 Pemerintah Kabupaten Sukabumi Prop. Jabar<br />
88. 27 Oktober 2005 Pemerintah Kabupaten Banjarnegara<br />
89. 5 - 7 Desember 2005 Pemerintah Kabupaten Tanggamus Prop. Lampung<br />
90. 23 Juni 2006 Pemerintah Kabupaten Toba Sumatera Utara<br />
Sumber : Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Kab. Purbalingga, 2006<br />
213
Melalui program JPKM tersebut, sejumlah kabupaten mengakui Purbalingga<br />
pantas menjadi guru pelayanan kesehatan. Sejak program ini diluncurkan tahun<br />
2001, sudah lebih 86 kabupaten/kota dan lembaga pendidikan di Indonesia studi<br />
banding JPKM ke Purbalingga. Tidak hanya itu, menutup akhir tahun 2005 lalu,<br />
Purbalingga juga mampu meraih sebagai penghargaan Swasti Saba dari Presiden<br />
sebagai kabupaten bersih dan sehat, serta anugerah Ksatria Bhakti Husada<br />
Arutala dari menteri Kesehatan RI yang diberikan kepada Bupati dan Karya<br />
Bhakti Husada Arutala untuk Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Purbalingga.<br />
Rangkuman kepeloporan atas gagasan sisi kronologis serta gagasan sisi substantif<br />
mengundang nilai heroik bagi khalayak—sesuatu yang tentu membedakannya<br />
dengan imitasi kebijakan yang dilakukan setelah gagasan berikutnya ditiru pihak<br />
lain. Secara kronologis, apa yang dilakukan Purbalingga dalam mengintroduksi<br />
JPKM tersebut mendahului untuk program yang sejenis dari Pemerintah Pusat.<br />
Secara substansif apa yang dilakukan merupakan succes story buat Purbalingga,<br />
yang pada akhirnya mengarahkan pihak di luar Purbalingga untuk mengenang<br />
arti kepeloporan.<br />
4.4 Analisis<br />
4.4.1 Cerita Sukses Otonomi Daerah<br />
Otonomi Daerah merupakan kesempatan bagi daerah untuk mewujudkan<br />
kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Peluang untuk menyejahterakan rakyat<br />
memang lebih ideal bila konsep otonomi daerah dijalankan sungguh-sungguh.<br />
Hal ini berkait dengan problem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia<br />
kini sebenarnya dapat ditilik dari kepentingan desentralisasi administratif<br />
(administrative decentralization), yang sekadar dimaknai sebagai otonomi<br />
pelimpahan wewenang dari pusat ke pemerintah lokal (the transfer of authority<br />
from central to local government.) Bahwa otonomi daerah sekadar ditempatkan<br />
sebagai langkah administratif belaka—sesuatu yang pada akhirnya bermanfaat<br />
juga demi berdaya guna dan berhasil guna. Berikutnya bahwa otonomi dipandang<br />
sebagai pemberian ruang politik yang memadai (political decentralization) bagi<br />
daerah untuk benar-benar berkembang demi mencapai arah kemakmuran, karena<br />
otonomi tidak melulu dipahami lebih sebagai pelimpahan wewenang, daripada<br />
kekuasaan. Di sini tersurat benar bahwa otonomi merupakan instumen berharga<br />
bagi daerah untuk berkembang dan yang memungkinkan baginya berkarakter<br />
sebagai aktor berbasis korporasi dalam memajukan daerahnya. Hal ini karena<br />
otonomi yang dimaknainya adalah otonomi bukan sekadar sebagai pelimpahan<br />
wewenang melainkan penyerahan kekuasaan (the devolution of power from central<br />
to local government).<br />
Bagi pengelola daerah yang kreatif, otonomi daerah merupakan basis dasar dari<br />
tujuan yang mendorongnya untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan<br />
memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerahnya. Adalah suatu kunci<br />
keberhasilan bila penerapan pembaharuan yang dilakukan para praktisi otonomi<br />
daerah mengembangkan kapasitas dengan mengangkat gagasan-gagasan kreatif<br />
214
dan eksklusif berbasis local content sehingga pada akhirnya rakyat di daerahnya<br />
mengambil sebesar-besarnya manfaat. Pada dasarnya politik desentralisasi yang<br />
berlaku di mana pun merupakan bagian dari solusi struktural yang penting artinya<br />
bagi kemajuan daerah. Strukturalisasi ini bisa merupakan pelembagaan baru, bisa<br />
pula destrukturalisasi. Namun baik strukturalisasi maupun destrukturalisasi<br />
adalah otoritas untuk menjalankan eksperimentasi kebijakan yang sia-sia belaka<br />
bila bagi pemegangnya tidak menggunakan sebaik mungkin.<br />
Bagi kepala daerah yang mengerti betul makna otonomi daerah serta lingkup yang<br />
lebih luas dari politik desentralisasi, era sekarang ini merupakan kesempatan untuk<br />
mengukur sukses dan prestasi, mengingat otonomi daerah hakikatnya merupakan<br />
realisasi bagi daerah untuk mewujudkan prestasi. Ukuran paling telanjang dari<br />
prestasi adalah apresiasi atau penghargaan. Seorang Bupati Purbalingga Drs. H.<br />
Triyono Budi Sasongko, M.Si. beruntung sekali karena menjadi bupati pada suatu<br />
situasi yang justru berada pada posisi yang serba sulit. Daerahnya tidak begitu<br />
menguntungkan bila ditilik dari sisi geografis, demografis, dan ekonomis. Baginya<br />
kondisi semacam itu tidak dikeluhkannya, namun justru mengartikan kesempatan<br />
dalam mengembangkan daerahnya melalui siasat otonomi daerah. Dalam kata<br />
hatinya otonomi daerah merupakan kebebasan mengembangkan daerah untuk<br />
bergerak maju bersama rakyatnya.<br />
Pada galibnya pimpinan daerah mewakili pikiran dan tindakan progresivitas.<br />
Dalam kata progresif inilah inovasi menjadi pendorong bagi praktisi pemerintah<br />
di daerah untuk tidak menyerah pada keadaan—sebagaimana yang ditunjukkan<br />
elite birokrasi dengan dukungan rakyatnya di Purbalingga. Lebih tepatnya bahwa<br />
jajaran Pemda Purbalingga tidak boleh pasrah bongkokan karena seringkali<br />
banyak orang yang merasa ditutup peluangnya berkreativitas. Namun bagi yang<br />
berpikiran progresif tadi, maka aturan bukanlah halangan. Justru halangan menjadi<br />
tantangan penaklukan. Penulis sepakat bahwa inilah inovasi dalam otonomi<br />
daerah. Inovasi adalah kearifan lokal dan kejeniusan lokal yang terlembaga. Inovasi<br />
adalah gambaran sebuah kemajuan yang terupaya secara terlembagakan itu. Pada<br />
yang namanya inovasi, tersirat terobosan dan kreativitas. Pimpinan daerah yang<br />
mengerti betul akan inovasi tidak akan menyerah atas keadaan. Apalagi ratapan<br />
atas keadaan, hanya gara-gara sekadar kekakuan karena aturan. Contoh JPKM dari<br />
Pemerintah Pusat belum mengemuka. Namun itu tidak menjadikan kepala daerah<br />
yang ingin maju menghalanginya untuk mencanangkan suatu visi pembangunan<br />
Purbalingga yang “mandiri dan berdaya saing menuju masyarakat sejahtera yang<br />
berakhlakul karimah”. Untuk mewujudkan visi tersebut, telah disepakati adanya<br />
prioritas utama pada empat pilar pembangunan, yakni :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
pendidikan dan agama;<br />
kesehatan;<br />
ekonomi kerakyatan; dan<br />
pembangunan pedesaan; yang ditopang oleh pembangunan sektor-sektor<br />
lainnya secara sinergis.<br />
215
Arah pembangunan sektor kesehatan adalah terpenuhinya akses masyarakat<br />
terhadap pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas dan berkesinambungan yang<br />
diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karenanya<br />
Pemda Purbalingga berupaya memperbaiki keadaan: peningkatan sarana dan<br />
prasarana kesehatan, penambahan dan peningkatan kualitas ketenagaan<br />
kesehatan yang diimbangi dengan pembiayaan untuk operasionalisasi pelayanan<br />
kesehatan.<br />
Namun yang terpenting adalah dengan dilakukannya inovasi dalam perbaikan<br />
sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan melalui Program<br />
Jaminan <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Masyarakat /JPKM dan pengembangan Program<br />
Desa Sehat Mandiri. Program JPKM adalah sebuah jawaban dalam menjamin<br />
terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat yang berkualitas dengan<br />
filosofi “Si Kaya Membantu Si Miskin dan Si Sehat Menolong Si Sakit”, dengan<br />
topangan penuh dari pemerintah daerah. Dengan sistem tersebut didorong<br />
terjadinya subsidi silang sebagai pengejawantahan azas kekeluargaan. Hal ini<br />
perlu ditempuh karena masalah kesehatan tidak akan pernah selesai bila hanya<br />
menggantungkan kemampuan pemerintah saja.<br />
Model JPKM merupakan mengemukanya kemandirian masyarakat dan pemerintah<br />
daerah dalam mewujudkan pelayanan kesehatan dasar sesuai standar terapi dan<br />
pengobatan rasional. Manfaat JPKM antara lain masyarakat memperoleh pelayanan<br />
kesehatan paripurna yang lebih bermutu, masyarakat mengeluarkan biaya ringan<br />
karena adanya azas kekeluargaan. Terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan<br />
yang pada akhirnya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, perencanaan<br />
biaya pelayanan kesehatan lebih efisien dan efektif karena adanya pembayaran<br />
pra upaya, serta terselenggaranya pelayanan kesehatan secara komprehensif dan<br />
berkelanjutan melalui rintisan model pelayanan dokter keluarga.<br />
4.4.2 Karya Inovasi dari Pemerintah Daerah<br />
Ukuran paling konkret bagi keberhasilan otonomi daerah adalah inovasi. Menilai<br />
kemajuan otonomi dalam ukuran inovasi berarti menilai seberapa jauh kebebasan<br />
yang dimiliki daerah mampu mendorong munculnya program, kebijakan serta<br />
gagasan lokal yang cerdas, khas dan genuine dalam menyiasati setiap bentuk<br />
keterbatasan atau mengoptimalkan setiap bentuk keunggulan daerah yang<br />
dimiliki. Ini berarti, inovasi tidak sekadar inisiatif. Ia adalah sebuah terobosan. Jika<br />
inisiatif menggambarkan suatu prakarsa awal yang jeli, terobosan menggambarkan<br />
paduan kreativitas dan kecerdasan untuk ke luar dari kebuntuan; entah itu<br />
kebuntuan karena keterbatasan sarana, atau kebuntuan karena kecenderungan<br />
mengupayakan segala sesuatu secara biasa biasa saja.<br />
Berlawanan dengan komitmen yang ‘ala kadarnya’, baik inisiatif maupun terobosan,<br />
pada dasarnya, adalah gambaran komitmen kuat terhadap kemajuan. Karena<br />
itulah, selain cerdas, sebuah inovasi semestinya penuh dengan nuansa<br />
216
progresivitas. Pada gilirannya, betapa pun bagus sebuah inovasi, ia tidak akan<br />
berguna jika tidak bermakna strategis, berpotensi produktif serta berkelanjutan.<br />
Sebuah inovasi dikatakan strategis manakala ia tampil sebagai jawaban atas<br />
kebutuhan daerah yang paling krusial. Sedangkan inovasi dikatakan produktif<br />
manakala mampu beroperasi di lapangan sebaik yang diharapkan. Inovasi<br />
dikatakan berkelanjutan manakala tersusun secara skematik, bukan hasil respon<br />
reaksioner, dan bervisi jauh ke depan. Kombinasi kualitas kreatif, strategis,<br />
produktif dan keberlanjutan suatu inovasi di tingkat gagasan maupun praktik,<br />
dalam efek jangka pendek maupun jangka panjang, merupakan penentu derajat<br />
dan kualitas sebuah kemajuan.<br />
Pada saat kita bicara kreativitas dalam otonomi daerah, prinsipnya adalah<br />
terobosan demi kemajuan. Juga jangan pernah menyerah dengan keadaan. Apalagi<br />
menyerah karena aturan yang kurang mendukung kreativitas. Keadaan ini yang<br />
kami baca dapat menimbulkan bias otonomi daerah. Program JPKM Purbalingga<br />
merupakan karya inovatif yang bahkan monumental. Ini mengingat, pertama, ia<br />
adalah gagasan kreatif. Dalam karya inovasi, JPKM sudah barang pasti adalah<br />
kreatif, yang memperlihatkan implementasi-implementasi positif di lapangan,<br />
cerdas dari segi gagasannya, serta memiliki potensi yang dapat menghasilkan efek<br />
jangka panjang dan sudah melewati jangka pendek, yang semuanya dalam arti<br />
positif.<br />
Dalam karya inovasi, kiranya harus bisa lepas atau tidak sekadar strategis. Baik<br />
brilian dari segi gagasan, memiliki potensi jangka pendek dan jangka panjang yang<br />
positif namun belum dapat dibuktikan implementasinya di lapangan. Sementara<br />
dalam karya inovasi gagasan tersebut harus cerdas dan berhasil menghasilkan<br />
efek jangka pendek, karena terbukti implementatifnya di lapangan, meski dapat<br />
kita katakan bahwa strategis belum cukup meyakinkan untuk jangka panjang;<br />
sementara yang disebut berkelanjutan sudah barangpasti tidak hanya cerdas dari<br />
segi gagasan serta memiliki potensi menghasilkan efek jangka pendek dan jangka<br />
panjang yang baik namun terbukti di lapangan.<br />
Karena yang dinilai adalah loncatan kemajuannya, daerah harus mempunyai<br />
terobosan inovatif. Inovasi itu harus kreatif, strategis, produktif, dan berkelanjutan.<br />
Untuk membuat terobosan itu, daerah harus bisa membuat kebijakan atau program<br />
yang khas yang tidak dipunyai pemerintah daerah lain. Maksudnya, kebijakan/<br />
program tersebut bukan kegiatan rutin dan sekadar menjalankan instruksi dari<br />
pemerintah pusat. Membuat program “loncatan kemajuan” inilah yang dianggap<br />
berat dilakukan oleh pemerintah daerah, pengangguran terbuka, dan naik turunnya<br />
indeks pembangunan manusia (IPM). Otonomi diharapkan menjamin secara lebih<br />
baik tidak saja tumbuhnya kemandirian daerah tetapi juga prakarsa dan kearifan<br />
lokal yang lebih berbobot dalam mengupayakan kemajuan.<br />
217
5. Penutup<br />
5.1 Kesimpulan<br />
Program inovasi dan modifikasi model pelayanan kesehatan masyarakat ini<br />
dilaksanakan tahun 2001, jauh hari sebelum Pemerintah Pusat menerbitkan<br />
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kabupaten Purbalingga melaksanakan jaminan<br />
kesehatan seluruh warga masyarakat Purbalingga dengan program JPKM. Lebih<br />
dari 95 kabupaten/kota di Indonesia studi banding ke Purbalingga untuk belajar<br />
JPKM. JPKM adalah upaya pemeliharaan kesehatan paripurna, terstruktur<br />
yang dijamin kesinambungan dan mutunya, dimana pembiayaan secara praupaya.<br />
Proses pembangunan di Kabupaten Purbalingga yang telah dan sedang<br />
dilaksanakan di satu sisi menghasilkan kemajuan berarti, tetapi di sisi lain juga<br />
menyisakan beberapa masalah, yang mendasar maupun yang berkembang akibat<br />
kompleksitas masalah dan kebutuhan pembangunan yang terus berubah.<br />
5.2 Rekomendasi<br />
Di samping kelebihan Program JKPM Purbalinga, sejumlah<br />
kendala dihadapi dalam pengembangannya. Contohnya, Pemerintah<br />
Pusat menerbitkan Sistem Jaminan Sosial Nasional, namun<br />
berlaku pula konsep dan implementasi JPKM versi Purbalingga.<br />
Masalah terjadi bila tidak diadakan sinkronisasi dan sinergisitas pihak pengelola<br />
dan Pemerintah. Pemeliharaan kesehatan dalam JPKM dilakukan pada sarana<br />
Pemberi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan (PPK), antara lain :<br />
1. PPK I, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat inap<br />
bagi Puskesmas yang menyediakan fasilitas;<br />
2. PPK II, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat inap<br />
serta sebagai pusat rujukan;<br />
3.<br />
4.<br />
Polindes, untuk pelayanan kesehatan persalinan normal dan rawat jalan; dan<br />
Dokter keluarga, sebagai rawat jalan.<br />
Berikutnya, kendala yang harus dibenahi antara lain :<br />
1. Ada kesan dari masyarakat pelayanan JPKM dibedakan;<br />
2. Peserta menghendaki seluruh pelayanan ditanggung oleh JPKM;<br />
3. Keluhan dari masyarakat mengenai adanya kenaikan premi setiap tahun;<br />
4. Premi belum real cost sehingga kapitasi yang diterima oleh PPK belum<br />
mencukupi pelayanan kesehatan; dan<br />
5. Adanya SK Menkes ttg penunjukan PT ASKES sehingga Bapel JPKM tidak<br />
lagi mengelola Gakin<br />
Pada galibnya pimpinan daerah mewakili pikiran dan tindakan progresivitas.<br />
Dalam kata progresif, inovasi menjadi pendorong praktisi pemerintah di daerah<br />
untuk tidak menyerah pada keadaan—sebagaimana yang ditunjukkan elit<br />
birokrasi dengan dukungan rakyat Purbalingga. Lebih tepatnya, jajaran Pemda<br />
Purbalingga tidak boleh pasrah karena sering kali banyak orang yang merasa<br />
ditutup peluangnya berkreativitas. Namun bagi yang berpikiran progresif tadi<br />
maka aturan bukanlah halangan.<br />
218
Sumber Penulisan<br />
Wawancara dengan key informan<br />
1. Wawancara dengan Kasi Kesehatan Kabupaten Purbalingga Drg. Hanung<br />
Wikanto, MPPM, Purbalingga 29 Juni 2006;<br />
2. Wawancara dengan Ketua Badan Pelaksana/PT Sehat Sarana Mandiri JPKM<br />
Dr. Sutanto, MPPM, Purbalingga 29 Juni 2006;<br />
3. Wawancara dengan Bagian Penanganan JPKM Purbalingga, Muslim Mahmud,<br />
Semarang 28 Juni 2006;<br />
4. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I (Keluarga Miskin), Sudarti (18<br />
tahun), 28 Juni 2006; Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I Rusmini (40<br />
tahun), 29 Juni 2006;<br />
5. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I Sayuti (53 tahun), 28 Juni 2006;<br />
6. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata II Pasca Gakin Ari Kusmiran (53<br />
tahun), 29 Juni 2006;<br />
7. Wawancara dengan Peserta Strata III JPKM (Non Gakin, keluarga mampu)<br />
Yuli Nikmatin (34 tahun), 29 Januari 2006.<br />
Buku-buku<br />
1.<br />
2.<br />
Kemajuan Berkebebasan Kebebasan Berkemajuan Otonomi Award dan<br />
Otonomi Daerah di Jawa Timur. Surabaya: JPIP. 2003<br />
Inovasi Sebagai Referensi Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award.<br />
Surabaya : JPIP. 2003.<br />
Dokumen Resmi<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
8.<br />
9.<br />
10.<br />
11.<br />
Kebijakan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Purbalingga Tahun 2001-<br />
2005, 15 Januari 2006;<br />
JPKM bagi peserta RPJM Purbalingga Tahun 2005-2010;<br />
Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2003<br />
Brosur “JPKM Sebagai Salah Satu Pilar Penanggulangan Kemiskinan”<br />
Kumpulan Peraturan Bidang Kesehatan di Kaupaten Purbalingga;<br />
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;<br />
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;<br />
www.purbalingga.go.id<br />
www.jawatengah.go.id<br />
www.depkes.go.id<br />
www.jpkm.go.id<br />
219
3. Dapatkah <strong>Perda</strong> Menjamin Komitmen<br />
Kerjasama Antarwilayah?<br />
Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di<br />
Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat<br />
Abstrak<br />
Salah satu dampak penting dari desentralisasi adalah berubahnya struktur<br />
hubungan antarwilayah di Indonesia. Sebelumnya, hubungan antara dua kabupaten<br />
diselesaikan di tingkat propinsi, tetapi desentralisasi telah memungkinkan<br />
kedua kabupaten menyelesaikan sendiri urusannya. Satu tantangan dalam masa<br />
desentralisasi yang memerlukan perhatian yang serius adalah adanya potensi<br />
konflik antara kawasan hulu dan hilir dalam pemanfaatan sumber daya alam<br />
lintas wilayah. Tulisan ini menganalisis dinamika hubungan antara Kabupaten<br />
Kuningan dan Kota Cirebon di Jawa Barat dalam penyediaan air minum. Selama<br />
ini, penduduk di Kota Cirebon menikmati air minum yang mata airnya berasal dari<br />
Kabupaten Kuningan, tanpa memberikan imbalan kepada Kabupaten Kuningan<br />
atas penyediaan jasa air minum tersebut. Proses negosiasi antara kedua daerah<br />
menghasilkan kesepakatan antara lain bahwa Kota Cirebon akan memberikan<br />
kompensasi sejumlah tertentu kepada Kabupaten Kuningan atas jaminan<br />
ketersediaan air minum bagi wilayahnya. Untuk menjawab hal ini, Kabupaten<br />
Kuningan menerbitkan <strong>Perda</strong> Nomor 38/2002 tentang Rencana Tata Ruang Gunung<br />
Ciremai. <strong>Perda</strong> ini digunakan sebagai sertifikat komitmen Kabupaten Kuningan<br />
untuk melaksanakan konservasi kawasan tersebut sebagai sumber mata air.<br />
Tulisan ini juga membahas peluang dan tantangan dari penerapan <strong>Perda</strong> tersebut<br />
serta menganalisa pembelajaran bagi kemungkinan penerapan mekanisme yang<br />
serupa di wilayah lain.<br />
1. Latar Belakang<br />
Pada skala global, isu yang berkembang tentang konservasi kawasan hutan tropis<br />
sejak dekade lalu, khususnya setelah adanya Konferensi Bumi di Rio de Janeiro tahun<br />
1992, adalah bahwa tren kegiatan-kegiatan konservasi hutan lebih berorientasi<br />
kepada rakyat. Gagasan mengenai pembayaran atas jasa lingkungan (payment<br />
for environmental services – PES) merupakan salah satu gagasan terpenting.<br />
Dalam beberapa tahun terakhir PES telah mendapatkan perhatian yang begitu<br />
besar sebagai upaya untuk membiayai konservasi, terutama di Amerika Latin .<br />
Program-program PES pada umumnya dilakukan untuk mengaitkan manfaat yang<br />
disediakan oleh jasa lingkungan kepada para pengelola yang menghasilkan jasa<br />
tersebut untuk meningkatkan insentif bagi mereka untuk senantiasa melaksanakan<br />
konservasi atas jasa lingkungan yang disediakan (Pagiola et al., 2005, Wunder,<br />
220
2005). Di Indonesia, gagasan mengenai PES belum banyak berkembang. Pengelolaan<br />
hutan di Indonesia selama ini lebih menekankan kepada pengelolaan berbasis<br />
kayu yang menitikberatkan kepada perolehan nilai ekonomi melalui eksploitasi<br />
sumberdaya hutan, baik kayu maupun non kayu. Pada prakteknya, yang terjadi<br />
adalah pengelolaan hutan yang tidak lestari. Pada tingkat nasional, permintaan<br />
kayu yang jauh melebihi tingkat produksi kayu hutan alam yang lestari, ditambah<br />
dengan rendahnya produksi kayu dari hutan tanaman, telah menjadi pemicu<br />
pembalakan liar (illegal logging). Setelah lima tahun pelaksanaannya otonomi<br />
daerah masih menyisakan sederet tantangan. Salah satunya adalah mengenai<br />
kerjasama antardaerah, terutama wilayah yang mempunyai keterkaitan ekologis.<br />
Walaupun UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah menekankan pentingnya<br />
kerjasama antardaerah (Bab IX), masih belum banyak daerah yang menerapkan<br />
hal tersebut. Kerjasama antardaerah tersebut juga semakin sulit ketika hubungan<br />
tersebut terkait dengan kondisi alam, misalnya antara kawasan hulu dan hilir<br />
pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Sudah umum terjadi bahwa daerah hilir<br />
enggan memberikan imbal balik atas jasa lingkungan yang telah diberikan oleh<br />
daerah hulu.<br />
Akan tetapi, terdapat perkembangan yang menggembirakan dalam tiga<br />
tahun terakhir, ketika daerah-daerah mulai menyadari pentingnya menjaga<br />
keseimbangan antara pembangunan dan konservasi sumberdaya alam, termasuk<br />
hutan. Beberapa kabupaten di Kalimantan telah menyatakan sebagai kabupaten<br />
konservasi, yang konsepnya antara lain menjaga keseimbangan antara proses<br />
pembangunan dengan konservasi hutan, yang antara lain menerapkan konsep PES<br />
pada skala besar, yang mencakup kabupaten tetangga sampai dunia internasional.<br />
Walaupun demikian, masih banyak proses yang harus ditempuh daerah-daerah<br />
tersebut untuk secara nyata menuai hasil pemberian dana kompensasi yang<br />
mereka perlukan untuk melaksanakan konservasi hutannya. Pada skala yang lebih<br />
kecil, PES sangat potensial untuk diterapkan di Indonesia pasca otonomi daerah.<br />
Salah satu kasus yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran adalah kasus yang<br />
melibatkan hubungan bilateral antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon,<br />
Propinsi Jawa Barat. Kawasan Gunung Ciremai, yang secara administratif<br />
masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kuningan, adalah salah satu kawasan<br />
pegunungan dengan potensi sumber mata air yang cukup besar. Sebagai daerah<br />
hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan ini memiliki sejumlah mata air yang<br />
dimanfaatkan penduduk untuk berbagai kebutuhan, baik oleh penduduk di sekitar<br />
kawasan maupun oleh penduduk lainnya di sepanjang aliran air tersebut. Sumber<br />
air minum yang dimaksud adalah wilayah dimana mata air untuk memenuhi<br />
kebutuhan air minum masyarakat berada. Aliran air yang berasal dari mata airnya<br />
dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan dan sebagian lagi<br />
dimanfaatkan oleh daerah-daerah di hilirnya, antara lain Kota Cirebon. Hubungan<br />
antara keduanya menjadi penting karena adanya saling ketergantungan antara<br />
kedua daerah dalam menyediakan air minum bagi penduduknya, serta menjamin<br />
ketersediaannya dalam jangka panjang.<br />
221
2. Perumusan Masalah<br />
Hubungan antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam pengelolaan<br />
air minum sudah berjalan sejak lama. Hampir semua kebutuhan air minum di<br />
Kota Cirebon dipasok dari kawasan Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten<br />
Kuningan. Pada masa yang akan datang diperkirakan kebutuhan air minum di<br />
kawasan tersebut meningkat berkaitan dengan dijadikannya wilayah Cirebon<br />
sebagai salah satu kawasan pembangunan nasional. Kebutuhan air bersih di Kota<br />
Cirebon hingga tahun 2015 diperkirakan mencapai 1.382 l/detik atau 43,58 juta<br />
m3 per tahun (Ramdan, 2006; Wahyudin, 2000). Penyediaan air untuk keperluan<br />
minum merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain. Kebutuhan air<br />
minum akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, taraf hidup,<br />
dan perkembangan sektor industri (Sanim, 2003). Kebutuhan air minum yang lebih<br />
besar daripada ketersediaannya di suatu wilayah menciptakan kondisi kelangkaan<br />
(scarcity) yang dapat memicu terjadinya konflik diantara pengguna air minum.<br />
Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan air dan kawasan hilir dalam<br />
pemanfaatan air sangat erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air<br />
berkelanjutan menjadi tanggung jawab semua wilayah di sepanjang DAS tersebut.<br />
Kekurangpedulian pengguna air di hilir terhadap kelestarian sumber airnya di<br />
hulu dapat memicu konflik antardaerah. Dalam kasus antara Kabupaten Kuningan<br />
dan Kota Cirebon, tuntutan Pemda Kabupaten Kuningan untuk memperoleh dana<br />
kompensasi konservasi dari Kota Cirebon atas penggunaan mata airnya muncul<br />
menjadi salah satu kasus sengketa air lintas wilayah yang terungkap pasca<br />
pemberlakuan otonomi daerah (otda) di Propinsi Jawa Barat. Dua pertanyaan<br />
pokok yang mengemuka dari latar belakang tersebut yang juga sangat relevan<br />
sebagai bahan bagi proses pembelajaran adalah<br />
1. Bagaimanakah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon dapat menyelesaikan<br />
konflik sekaligus dapat mencapai kesepakatan yang bermanfaat bagi kedua<br />
belah pihak?<br />
2. Apakah kandungan <strong>Perda</strong> Tata Ruang yang dikeluarkan oleh Kabupaten<br />
Kuningan mampu menjadi bahan pengikat kerjasama khususnya dengan Kota<br />
Cirebon?<br />
3. Metode Pendekatan/Analisis<br />
Pendekatan atas studi ini meliputi dua hal. Pertama, analisis mengenai proses<br />
terjadinya konflik antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon yang terkait<br />
dengan konsumsi air minum serta upaya resolusi konfliknya. Kedua, analisis<br />
isi <strong>Perda</strong> Tata Ruang Kabupaten Kuningan yang digunakan sebagai sertifikat<br />
komitmen Kabupaten Kuningan dalam melaksanakan konservasi kawasan Gunung<br />
Ciremai yang pada akhirnya dapat memberikan jaminan pasokan air minum<br />
kepada Kota Cirebon. Analisis kandungan <strong>Perda</strong> dilakukan dengan menganalisis<br />
kandungan <strong>Perda</strong> Tata Ruang dan <strong>Perda</strong> lainnya yang terkait. Yang menjadi<br />
222
perhatian adalah klausula-klausula dalam <strong>Perda</strong> Tata Ruang tersebut yang baik<br />
secara eksplisit maupun implisit menunjukkan komitmen Kabupaten Kuningan<br />
dalam melaksanakan konservasi kawasan Gunung Ciremai sekaligus menjamin<br />
ketersediaan pasokan air minum bagi Kabupaten Cirebon, lubang-lubang yang dapat<br />
diidentifikasi dari <strong>Perda</strong>, serta saran-saran bagi perbaikan <strong>Perda</strong> di masa mendatang.<br />
4. Analisis dan Temuan Pokok<br />
Penerapan skema PES mengandung dua komponen penting, yaitu adanya proses<br />
terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak terkait mengenai kesediaan salah satu<br />
pihak untuk memberikan pembayaran atas jasa lingkungan yang disediakan oleh<br />
pihak lain, serta bentuk dari skema PES itu sendiri. Dalam kasus konflik antara<br />
Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon atas sumber daya air minum, kedua<br />
komponen tersebut adalah proses terjadinya kesepakatan antara kedua daerah<br />
mengenai adanya pembayaran oleh Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan,<br />
serta <strong>Perda</strong> Tata Ruang Gunung Ciremai yang dijadikan sertifikat komitmen<br />
oleh Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi di kawasan Gunung<br />
Ciremai. Kedua aspek tersebut menjadi inti dalam bagian pembahasan.<br />
5. Proses tercapainya kesepakatan antara Kabupaten<br />
Kuningan dan Kota Cirebon<br />
Mata air Paniis, salah satu mata air di kawasan Gunung Ciremai, berada pada<br />
ketinggian 375 m di atas permukaan laut. Air yang berasal dari mata air Paniis ini<br />
memasok air minum untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon.<br />
Pada saat ini air dialirkan melalui pipa berdiameter 700 mm dari sumur pengumpul<br />
ke instalasi pengolahan di Plangon yang berjarak sekitar 8,2 Km dari Paniis. Debit<br />
air total mata air Paniis saat ini 860 l/detik dan di musim hujan dapat meningkat di<br />
atas 1.000 l/detik. Mata air Paniis adalah sumber air minum utama untuk memenuhi<br />
kebutuhan air minum masyarakat Kota Cirebon. Alternatif sumber air minum<br />
lainnya yang berasal dari air tanah dalam di sekitar Kota Cirebon dari jumlah dan<br />
kualitasnya kurang memenuhi standar air minum bagi masyarakat (Wahyudin,<br />
2000). Oleh karena itu sumber air minum dari mata air di kawasan Gunung Ciremai<br />
merupakan prioritas pertama untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat<br />
di Kota Cirebon. Mata air Paniis dikelola oleh PDAM Kota Cirebon untuk melayani<br />
penduduk Kota Cirebon dan beberapa daerah wilayah Kabupaten Cirebon dengan<br />
51.344 pelanggan air minum sampai bulan Maret tahun 2003. Kapasitas terpasang<br />
yang dimanfaatkan oleh PDAM Kota Cirebon adalah 860 l/detik, tetapi debit yang<br />
diijinkan oleh Pemda Kabupaten Kuningan adalah sebesar 750 l/detik berdasarkan<br />
Surat Ijin Pengambilan Air (SIPA) yang dikeluarkan oleh Kantor Sumberdaya Air<br />
dan Mineral Kabupaten Kuningan Nomor 616/039/SDAM/2003. Pengambilan air<br />
yang melebihi SIPA memicu konflik antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan<br />
Kota Cirebon yang terjadi pada pertengahan sampai akhir tahun 2004.<br />
223
Peningkatan konsumsi air minum masyarakat di Kota Cirebon yang terus<br />
meningkat menjadi alasan bagi PDAM Kota Cirebon untuk mengambil air di atas<br />
tingkat yang diijinkan. Di sisi lain Pemda Kabupaten Kuningan pun merasa bahwa<br />
perhatian Pemda Kota Cirebon untuk memelihara kelestarian kawasan sumber air<br />
minumnya dianggap kurang, padahal tanpa upaya untuk melestarikan kawasan<br />
sumber air tersebut maka pasokan air minum dari wilayah Paniis akan terganggu<br />
kesinambungannya. Pemda Kabupaten Kuningan berupaya mengajak Pemda<br />
Kota Cirebon untuk bekerja sama dalam memelihara kelestarian Gunung Ciremai<br />
sebagai kawasan resapan air dari sejumlah mata air yang selama ini digunakan<br />
oleh masyarakat Kota Cirebon. Upaya rehabilitasi dan konservasi kawasan<br />
Gunung Ciremai selama ini menjadi tugas dari Pemda Kabupaten Kuningan yang<br />
berada di bagian hulunya, sedangkan manfaat hidrologis dari kegiatan konservasi<br />
dirasakan juga oleh masyarakat yang ada di hilirnya, sehingga kelestariannya<br />
menjadi tanggung-jawab bersama dari semua pengguna air.<br />
Upaya untuk membangun kesepahaman dalam pengelolaan sumber air minum<br />
lintas wilayah didukung pula oleh komitmen politik dan dukungan publik yang<br />
kuat. Komitmen politik diantara dua Pemda, yaitu Kabupaten Kuningan dan Kota<br />
Cirebon, dalam menyelesaikan permasalahan sumber air minumnya tampaknya<br />
sangat kuat. Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon langsung terlibat memimpin<br />
rapat untuk mendiskusikan penyelesaian masalah air lintas wilayah. Komitmen<br />
kedua pimpinan daerah tersebut didukung oleh pihak DPRD (Dewan Perwakilan<br />
Rakyat Daerah) sebagai lembaga legislatif dari masing-masing daerah dan juga<br />
masyarakat di dua wilayah tersebut. Sebagai badan legislatif dan wakil rakyat,<br />
DPRD merasa berkepentingan untuk ikut mendorong penyelesaian masalah sumber<br />
air minum lintas wilayah tersebut. Oleh karena itu komitmen politik dan dukungan<br />
publik yang kuat ternyata mampu mendorong penyelesaian sengketa sumber air<br />
minum lintas wilayah tersebut secara damai dan saling menguntungkan. Dalam<br />
beberapa pertemuan antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon<br />
untuk membahas penyelesaian konflik penggunaan air dari Paniis, isu utama<br />
yang menjadi pembahasan adalah kontribusi konservasi daerah resapan sumber<br />
mata air. Pertemuan antara kedua Pemda yang difasilitasi oleh Badan Koordinasi<br />
Wilayah (Bakorwil) Cirebon telah mendorong adanya kesepahaman antara kedua<br />
belah dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kesamaan visi untuk berbagi (shared<br />
vision) dalam mengalokasikan air minum di kawasan tersebut telah mendorong<br />
pemahaman dari pihak-pihak yang bersengketa akan pentingnya tanggung-jawab<br />
pengelolaan bersama sumber air tersebut. Visi untuk berbagi tersebut dibangun<br />
dengan mengintegrasikan pentingnya aspek kelestarian lingkungan dalam<br />
pengelolaan air berkelanjutan.<br />
Untuk menjamin alokasi air lintas wilayah secara berkelanjutan, maka kerjasama<br />
antar daerah diatur dalam suatu peraturan kerjasama pemanfaatan air yang<br />
disepakati oleh kedua belah pihak. Peraturan pemanfaatan air dan kontribusi dana<br />
konservasi di kawasan Gunung Ciremai telah diatur oleh suatu nota kesepakatan<br />
(memorandum of understanding) antara Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon<br />
224
yang ditandatangani tanggal 17 Desember 2004, yaitu Perjanjian Kerjasama<br />
Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon tentang<br />
Pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten<br />
Kuningan. Perjanjian kerjasama itu bertujuan mewujudkan perlindungan dan<br />
pelestarian sumber air dan untuk kesejahteraan masyarakat kedua daerah.<br />
Perjanjian mengatur kewajiban pihak pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota<br />
Cirebon. Kewajiban Pemerintah Kabupaten Kuningan diantaranya adalah:<br />
1. menjaga/melindungi sumber air mata air agar menjamin kelancaran distribusi<br />
air; dan<br />
2. menerima dan menggunakan dana konservasi pengguna air minum di Kota<br />
Cirebon untuk kepentingan konservasi yang dapat menjamin kelestarian<br />
sumber mata air, termasuk di dalamnya pemberdayaan masyarakat.<br />
Adapun kewajiban Pemerintah Kota Cirebon adalah :<br />
1. memanfaatkan sumber mata air Paniis sesuai ijin dari Pemerintah Kabupaten<br />
Kuningan; dan<br />
2. membantu kepentingan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam perlindungan<br />
dan pelestarian daerah tangkapan air (catchment area) sumber mata air.<br />
Dalam perjanjian itu disepakati besarnya dana kompensasi konservasi dihitung<br />
dengan mempertimbangkan produksi air sumber air, tarif yang berlaku sebelum<br />
diolah bagi pelanggan di Kota Cirebon, dan tingkat kebocoran air. Kesepakatan<br />
besaran dana kompensasi konservasi Gunung Ciremai dari Kota Cirebon dari<br />
rumusan tersebut adalah Rp.1,75 milyar untuk tahun 2005.<br />
Institusionalisasi pemahaman lingkungan itu didukung ketersediaan data kuantitas<br />
dan kualitas air yang tersedia, kondisi fisik dan ekonomi kawasan sumber mata air,<br />
tekanan kelestarian ekosistem kawasan sumber mata air, dan kebijakan Pemda<br />
untuk menjaga resapan air. Salah satu <strong>Perda</strong> penting adalah <strong>Perda</strong> Kabupaten<br />
Kuningan No. 38 Thn. 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Gunung<br />
Ciremai. <strong>Perda</strong> RUTR Gunung Ciremai itu selain berfungsi mengalokasikan ruang<br />
kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen<br />
wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas<br />
stabil sepanjang tahun. Karena itu RUTR Gunung Ciremai adalah sertifikat<br />
komitmen Pemda dan masyarakat Kabupaten Kuningan untuk mempertahankan<br />
wilayah Gunung Ciremai sebagai resapan air pemasok kebutuhan air minum<br />
bagi wilayah sekitar. Pelaksanaan RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen<br />
dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam<br />
kerjasama antar daerah di era otonomi daerah. Bagi bidang perencanaan wilayah,<br />
proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tak hanya<br />
bermanfaat dalam mengalokasikan ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam<br />
meningkatkan pendapatan daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir<br />
cenderung lebih aman bila wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan<br />
komitmen menjaga kawasan resapan air, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk<br />
membayar air yang digunakannya diperkirakan meningkat. Peningkatan apresiasi<br />
nilai dari wilayah hilir berkaitan dengan komitmen jelas dari wilayah hulu sebagai<br />
pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air.<br />
225
6. Kandungan <strong>Perda</strong> Rencana Umum Tata Ruang Gunung<br />
Ciremai<br />
Secara umum, ada dua bentuk keluaran yang menjadi indikator apa yang pemerintah<br />
ingin lakukan, yaitu anggaran dan peraturan-peraturan yang dikeluarkannya. Tata<br />
ruang menjadi salah satu bagian peraturan yang secara visual sering digunakan<br />
sebagai indikator preferensi pemerintah. Tata ruang dapat mengungkapkan ke<br />
mana arah pembangunan akan berlangsung, sektor apa yang menjadi prioritas<br />
pembangunan, dan secara keruangan (spasial) juga dapat menunjukkan dampak<br />
pembangunan terhadap struktur ruang. Bagi Pemda Kabupaten Kuningan, <strong>Perda</strong><br />
RUTR Gunung Ciremai disusun dengan pertimbangan antara lain bahwa Pemda<br />
Kuningan menyadari keberadaan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung,<br />
konservasi alam dan zona resapan air, yang kesemuanya mempunyai nilai<br />
ekologis, ekonomi dan sosial, dan mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat<br />
Kabupaten Kuningan. Hal lain yang menjadi pertimbangan keluarnya <strong>Perda</strong><br />
tersebut adalah bahwa semakin pesatnya pembangunan fisik disekitar kawasan<br />
Gunung Ciremai dikhawatirkan akan mempengaruhi fungsi utama Gunung<br />
Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan resapan air sehingga akan<br />
mengalami degradasi.<br />
Pada dasarnya, <strong>Perda</strong> tersebut dilakukan untuk mengatur pengelolaan kawasan<br />
Gunung Ciremai oleh Pemda Kabupaten Kuningan, masyarakat dan Pihak Ketiga,<br />
sehingga tidak secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh <strong>Perda</strong> ini bahwa<br />
kawasan Gunung Ciremai juga dapat menyediakan jasa lingkungan kepada<br />
daerah-daerah di luar Kabupaten Kuningan, khususnya Kota Cirebon. Walaupun<br />
demikian, Pemda Kabupaten Kuningan menyadari bahwa kawasan Gunung<br />
Ciremai juga memberikan jasa lingkungan kepada daerah lainnya, khususnya<br />
Kabupaten dan Kota Cirebon, sebagaimana dinyatakan dalam paragraf pertama<br />
dalam penjelasan umum <strong>Perda</strong> tersebut.RUTR Gunung Ciremai dimaksudkan<br />
sebagai dasar petunjuk bagi aparat Pemda dan masyarakat dalam melakukan<br />
pengaturan ruang dan pengendalian pembangunan di kawasan Gunung Ciremai<br />
dan sekitarnya sesuai dengan fungsinya. Sementara RUTR Gunung Ciremai<br />
bertujuan untuk mengembangkan pola pemanfaatan ruang serta meningkatkan<br />
fungsi kawasan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan<br />
zona resapan air melalui upaya-upaya konservasi, observasi, penelitian, wisata<br />
alam dan kegiatan lain sejenisnya yang dipandang tidak akan mengurangi fungsi<br />
kawasan tersebut pada saat ini dan masa akan datang di dalam Pola Pembangunan<br />
Daerah berkelanjutan. <strong>Perda</strong> tersebut menerangkan bahwa fungsi RUTR Gunung<br />
Ciremai adalah untuk memberikan bahan kebijakan pokok dalam pengelolaan<br />
Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan<br />
air sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah-wilayah yang dimiliki. Selain itu,<br />
<strong>Perda</strong> RUTR juga memberikan arahan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di<br />
kawasan Gunung Ciremai yang menjamin keterpaduan dan keseimbangan antara<br />
sistem ekologis dan hidrologis kawasan dengan sistem sosial ekonomi dan budaya<br />
masyarakat yang berkembang dinamis.<br />
226
Wilayah perencanaan RUTR Gunung Ciremai mencakup 11 kecamatan dengan<br />
luas areal 38.856,61 Ha. Rencana pemanfaatan ruang Kawasan Gunung Ciremai,<br />
dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penyangga, dan zona budidaya.<br />
Penggunaan lahan di zona inti terdiri atas hutan, perkebunan, kebun campuran<br />
dan tegalan. Penggunaan lahan di zona penyangga terdiri atas kebun campuran,<br />
tegalan, sawah dan sebagian keciI permukiman penduduk. Penggunaan lahan di<br />
zona budidaya secara umum merupakan tegalan, kebun campuran, sawah dan<br />
permukiman. RUTR Gunung Ciremai ditinjau dan dievaluasi kembali setiap lima<br />
tahun, guna mendapat bahan-bahan masukan sebagai bahan penyempurnaan<br />
selanjutnya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi maupun perkembangan<br />
yang akan terjadi dan yang akan datang. Secara umum, <strong>Perda</strong> tersebut menjelaskan<br />
bahwa pembangunan di sekitar kawasan Gunung Ciremai yang menjadi daerah<br />
penyangga Kabupaten dan Kota Cirebon, sampai saat ini berlangsung sangat<br />
pesat. Pesatnya pembangunan fisik ini diduga sebagai pengaruh perkembangan<br />
wilayah sekitarnya, terutama Kabupaten dan Kota Cirebon, serta peningkatan<br />
jumlah penduduk. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan mengingat Kawasan<br />
Gunung Ciremai secara alami memiliki karakteristik yang khas sebagai kawasan<br />
konservasi alam dan zona resapan air. Kawasan Gunung Ciremai sendiri memasok<br />
sebagian besar air bersih dan irigasi yang menjadi andalan utama masyarakat<br />
Kabupaten Kuningan, Kabupaten dan Kota Cirebon, serta daerah-daerah Iain<br />
sekitamya. Dengan demikian keberadaan kawasan tersebut sangat vital dan<br />
strategis, yang karenanya untuk mengelola dan mengendalikan kawasan Gunung<br />
Ciremai diperlukan suatu pola ruang yang mengatur peruntukan lahan dan upaya<br />
pengembangan wilayahnya sesuai dengan kemampuan dan karakteristik wilayah<br />
tersebut.<br />
Mengingat <strong>Perda</strong> itu digunakan sebagai sertifikat komitmen dalam kerjasama antar<br />
wilayah, penting untuk menyatakan secara eksplisit dalam <strong>Perda</strong> itu baik dalam<br />
batang tubuh maupun penjelasan bahwa <strong>Perda</strong> dapat digunakan sebagai sertifikat<br />
komitmen dalam kerjasama antar wilayah, misalnya dengan manambahkan 1 bab<br />
khusus tentang hal ini. Adanya klausa seperti itu akan memperkuat kedudukan<br />
<strong>Perda</strong> sebagai alat ‘menjual’ sertifikat komitmen sebagai imbalan atas pembayaran<br />
yang diterima Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi hutan di<br />
kawasan tersebut. Hal penting lain adalah penjelasan bahwa mekanisme PES yang<br />
diterapkan seandainya dilaksanakan kerjasama antar wilayah akan tergantung<br />
hasil kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam nota kesepahaman<br />
berkekuatan hukum serta mengikat kedua pihak. Termasuk dalam bagian ini adalah<br />
penentuan klausa pembayaran. Lebih jauh, mengingat yang menjadi ujung tombak<br />
pelaksanaan konservasi sumber air minum adalah masyarakat di sekitar mata air,<br />
<strong>Perda</strong> tersebut perlu menjelaskan bahwa penerimaan dari kerjasama antar wilayah<br />
yang terkait dengan konservasi sumber air minum, baik sebagian atau seluruhnya,<br />
akan diberikan ke masyarakat yang penggunaannya semata-mata untuk kegiatan<br />
konservasi dan tidak untuk kegiatan lain. Jika klausul ini dibuat, implikasinya<br />
adalah perlunya pemantauan berkesinambungan atas penggunaan dana tersebut,<br />
baik oleh masyarakat maupun bagian dana yang dikelola oleh Pemda.<br />
227
7. Pembahasan<br />
Kasus di atas menjadi contoh aktual dan menarik yang menjawab kekhawatiran<br />
bahwa pada masa otonomi daerah, setiap daerah akan cenderung mementingkan<br />
daerahnya sendiri. Hal tersebut akan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik,<br />
terutama apabila terdapat sumber daya yang bersifat mengalir lintas wilayah<br />
(Dermawan, 2004; Kliot et al., 2001). Keberhasilan Kabupaten Kuningan dan Kota<br />
Cirebon dalam mencapai resolusi atas konflik sumber air minum menunjukkan<br />
bahwa hal yang sama bisa saja dilakukan di tempat lain di Indonesia. Akan tetapi,<br />
terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar kesepakatan serupa bisa<br />
dilakukan di tempat lain. Pengelolaan air lintas wilayah akan efektif berjalan<br />
apabila didukung oleh adanya inisiatif (kebijakan) dari pemerintah daerah di<br />
bagian hulu tempat dimana sumber-sumber air berada. Peran penataan ruang<br />
dalam pengelolaan sumber daya air adalah untuk :<br />
1. menjamin ketersediaan air, baik kualitas maupun kuantitas untuk memenuhi<br />
kebutuhan masa kini dan masa mendatang melalui pengelolaan kawasan<br />
konservasi dan pengendalian kualitas air,<br />
2. koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah untuk mencapai komitmen bersama,<br />
dan<br />
3. mencegah eksternalitas yang merugikan masyarakat secara luas (Departemen<br />
Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001).<br />
Di pihak lain, daerah hilir pun mempunyai kewajiban yang sama untuk senantiasa<br />
bekerjasama dengan daerah hulu dalam pengelolaan sumber daya air, dengan peran<br />
yang jelas dan disepakati kedua belah pihak. Daerah hilir tidak dapat begitu saja<br />
melaksanakan free-riding atas manfaat yang telah disediakan oleh daerah hulu.<br />
Visi untuk berbagi merupakan kunci pertama bagi terselenggaranya pengelolaan<br />
air minum lintas wilayah yang adil dan efisien, sebaliknya tanpa adanya visi<br />
untuk berbagi manfaat air diantara dua wilayah yang bersengketa, maka air<br />
yang lintas wilayah akan tetap menjadi sumber konflik berkepanjangan antar<br />
pihak yang bersengketa. Konflik air dapat pula memicu konflik lainnya yang lebih<br />
luas, dan bahkan dapat menciptakan perang sipil antar daerah yang bersengketa.<br />
Hal tersebut mungkin terjadi karena air merupakan sumberdaya alam yang<br />
keberadaanya vital dan tidak dapat disubstitusi oleh barang lainnya. Lebih lanjut<br />
Rahaman dan Vorris (2004) menyebutkan bahwa air adalah kehidupan dan air<br />
merupakan simbol umum dari kemanusian (humanity), pemerataan sosial (social<br />
equity), dan keadilan (justice).<br />
8. Kesimpulan dan Rekomendasi<br />
Tulisan ini telah menunjukkan bahwa <strong>Perda</strong> yang dihasilkan oleh satu kabupaten<br />
tidak hanya bermanfaat di dalam kabupaten yang bersangkutan, tetapi juga<br />
bisa menjadi alat negosiasi dan jaminan kepada kabupaten lain. Dalam konteks<br />
hubungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, <strong>Perda</strong> Kabupaten<br />
228
Kuningan tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai telah menjadi<br />
sertifikat komitmen yang mempunyai kedudukan penting dalam mencapai resolusi<br />
konflik dan merekatkan hubungan antara kedua daerah. Kegiatan konservasi<br />
membutuhkan sejumlah dana yang selain berasal dari pemerintah, juga dapat<br />
diperoleh dari pengguna jasa lingkungan (environmental services-users) sebagai<br />
bentuk tanggung-jawab dan partisipasi konservasi kawasan yang telah memberikan<br />
jasa lingkungannya. Dalam paper ini sebagaimana dibahas sebelumnya terdapat<br />
beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi umum untuk menata<br />
kebijakan pengelolaan air minum lintas wilayah khususnya di Indonesia. Dalam<br />
menata kebijakan pengelolaan air (minum) lintas wilayah ada beberapa tahapan<br />
kegiatan yang perlu ditempuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan<br />
sumber daya air tersebut, yaitu :<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Melakukan inventarisasi ketersediaan dan kebutuhan air minum masyarakat<br />
dan menganalisis kemungkinan terjadinya konflik diantara penggunanya.<br />
Keterbatasan, kekurangan, dan kelangkaan air dapat memicu terjadinya<br />
konflik antar daerah. Inventarisasi ketersediaan dan kebutuhan air minum<br />
merupakan langkah pertama untuk mendeskripsikan potensi konflik antar<br />
daerah. Apabila kebutuhan air minum masyarakat melebihi ketersediaan air<br />
minum yang ada, maka potensi konflik antar daerah cenderung meningkat.<br />
Apabila kondisi tersebut terjadi maka daerah-daerah perlu segera melakukan<br />
langkah-langkah resolusi konflik melalui proses negosiasi.<br />
Daerah yang memiliki sumber air minum melakukan inisiatif kebijakan untuk<br />
melindungi kawasan sumber airnya. Potensi sumber air minum yang ada perlu<br />
dilindungi oleh daerah dimana sumber air tersebut berada. Upaya perlindungan<br />
sumber air dapat dilakukan dengan menetapkan kawasan sumber air minum<br />
termasuk daerah resapannya sebagai kawasan lindung. Kawasan sumber<br />
air minum tersebut dilindungi dengan perangkat peraturan perundangan,<br />
misalnya peraturan daerah (perda) yang secara khusus mengatur tata ruang<br />
kawasan tersebut. <strong>Perda</strong> tersebut selain mengatur alokasi ruang sesuai dengan<br />
fungsinya sebagai resapan air, juga menjadi bukti dari komitmen pemerintah<br />
dan masyarakat untuk melindungi sumber air yang ada di wilayahnya. Dalam<br />
proses negosiasi antar daerah, perda RUTR tersebut dijadikan sebagai sertifikat<br />
atau jaminan komitmen pemerintah daerah dan masyarakat di bagian hulu<br />
untuk menjamin pasokan air minum ke wilayah hilirnya, sehingga apresiasi<br />
pengguna air minum untuk memberikan dana kompensasi konservasi ke<br />
daerah hulu meningkat.<br />
Melakukan proses negosiasi diantara daerah-daerah yang memanfaatkan<br />
sumber air minum yang sama.<br />
Dalam proses negosiasi diantara daerah-daerah yang memanfaatkan sumber air<br />
minum yang lintas wilayah dilakukan pembahasan mengenai : (a) mekanisme<br />
alokasi air minum lintas wilayah yang sesuai; dan (b) menetapkan besaran nilai<br />
PES dari pengguna air minum terhadap daerah hulu yang memiliki sumber air<br />
minum. Kedua proses tersebut diajukan setelah terlebih dahulu dilakukan riset<br />
229
tentang prioritas model mekanisme alokasi air minum lintas wilayah dan besaran<br />
nilai kesediaan membayar pengguna air minum untuk membiayai kegiatan<br />
konservasi kawasan sumber air minum. Dengan disepakatinya mekanisme<br />
alokasi air minum lintas wilayah dan besaran nilai PES diantara daerah yang<br />
memanfaatkan sumber air minum, maka resolusi konflik pun tercapai. Selama<br />
proses negosiasi dilakukan, fasilitator selalu mendorong pihak-pihak yang<br />
bersengketa untuk tetap berpikir bahwa pembagian manfaat lebih berguna dari<br />
hanya pembagian air semata. Proses negosiasi yang berkaitan dengan PES dapat<br />
dilakukan apabila syarat-syarat utamanya terpenuhi dengan baik, yaitu :<br />
1. Adanya penyedia jasa lingkungan (environmental services provider) yang<br />
mampu mengelola dan menjamin kelestarian jasa lingkungan secara baik<br />
kepada pihak pengguna jasa lingkungan;<br />
2. Adanya pengguna jasa lingkungan (environmental srvices users) yang memiliki<br />
pemahaman dan apresiasi yang memadai terhadap nilai jasa lingkungan,<br />
sehingga motivasi untuk memberikan dana kompensasi konservasi akan<br />
berjalan dengan baik;<br />
3. Jasa lingkungan berupa jasa hidrologis mampu diidentifikasi dengan baik<br />
oleh penyedia jasa lingkungan, sehingga pengguna jasa lingkungan memiliki<br />
persepsi dan pemahaman yang sama tentang jasa lingkungan yang dapat<br />
disediakan oleh penyedia jasa lingkungan.<br />
Selain ketiga syarat tersebut, beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya<br />
transfer dana kompensasi konservasi di kawasan Gunung Ciremai adalah sebagai<br />
berikut :<br />
1. Kedua pemerintah daerah memiliki kesamaan visi untuk memanfaatkan<br />
sumber air yang lintas wilayah secara adil dan menghindari terjadinya konflik<br />
yang lebih luas diantara pengguna air;<br />
2. Kedua pemerintah daerah memiliki komitmen politik dan dukungan publik<br />
yang kuat dalam menciptakan sistem pembagian air yang efisien dan adil;<br />
3. Kedua pemerintah daerah mendorong proses kemitraan yang kuat untuk<br />
melindungi dan melestarikan sumber air minum melalui kesepakatan<br />
kerjasama pemanfaatan air sumber air yang lintas wilayah;<br />
4. Kedua pemerintah daerah melalui perjanjian kerjasama antar daerah<br />
menyepakati perlunya dana kompensasi konservasi yang harus diberikan oleh<br />
pengguna air di bagian hilir kepada penyedia air di bagian hulu dengan jumlah<br />
yang mencukupi untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan sumber<br />
airnya.<br />
Masyarakat dan pemerintah daerah hulu yang memiliki sumber air minum perlu<br />
menetapkan kebijakan perlindungan kawasan sumber airnya yang memiliki<br />
kekuatan hukum formal. Perlindungan kawasan sumber air minum terkait<br />
langsung dengan kebijakan penataan ruang di kawasan tersebut. Dana kompensasi<br />
konservasi yang diberikan oleh pengguna air minum, terutama yang berada di luar<br />
Kabupaten Kuningan agar difokuskan untuk mendukung kegiatan konservasi<br />
sumber resapan air di kawasan Gunung Ciremai.<br />
230
Daftar Pustaka<br />
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya<br />
Air Melalui Pendekatan Penataan Ruang. Makalah Semiloka dan Pelatihan<br />
Penataan Ruang Universitas Islam Bandung. Bandung, 2-3 Mei 2003.<br />
Dermawan, A.2004. Has the Big Bang Hit the Trees and People? The Impacts<br />
of Indonesia’s Decentralization on Forest Conservation and the Livelihood of<br />
Communities. Department of Economics and Resource Management. Aas, Norway,<br />
Agricultural University of Norway.<br />
Kliot, N., et al.2001. Institutions for Management of Transboundary Water<br />
Resources: Their Nature, Characteristics and Shortcomings. Water Policy 3: 229-<br />
255.<br />
Pagiola, S., et al.2005. Can Payments for Environmental Services Help Reduce<br />
Poverty? An Exploration of the Issues and the Evidence to Date from Latin America.<br />
World Development 33(2): 237-253.<br />
Rahaman, M.M, and O. Voris. 2004. The Ethics of Water : Some Realities and<br />
Future Challenges. Working Paper of The Water Resources Laboratory, Helsinki<br />
University. Tietotie.<br />
Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan<br />
Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana<br />
Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.<br />
Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor<br />
Air Bersih Bagi Kesejahteraan <strong>Publik</strong>. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang<br />
Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor, 27<br />
Septemeber 2003.<br />
Wahyudin, 2000, Potensi Cekungan Airtanah Cirebon, Jawa Barat. Direktorat<br />
Geologi Tata Lingkungan, Bandung.<br />
Wunder, S.2005. Payments for Environmental Services: Sume Nuts and Bolts.<br />
CIFOR Occasional Paper 42. Bogor, Indonesia; CIFOR.<br />
231
4. Meneguhkan Akses Masyarakat Miskin terhadap Sumber<br />
Daya Hutan: Kajian Atas <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> Perhutanan Sosial<br />
(Social Forestry) di Tiga Daerah<br />
1. Latar Belakang<br />
Sebutan “Rich Forest Poor People” dari Nancy Peluco (1992) untuk menggambarkan<br />
kondisi yang bertolak belakang antara kemiskinan masyarakat desa hutan di Jawa<br />
dengan kondisi hutan jati yang mendatangkan banyak pundi sangatlah relevan<br />
sampai sekarang. Bahkan bukan hanya di Jawa, namun telah menjadi fenomena<br />
umum di negara-negara yang kaya dengan hutan tropis, yang oleh kelompok<br />
Greenpeace disebut sebagai surga hutan tropis (paradise forests). Hutan tropis<br />
yang begitu kaya dan telah banyak memberikan keuntungan ekonomi bagi negara<br />
dan aparaturnya sama sekali tidak memberikan dampak bagi kesejahteraan<br />
masyarakat sekitar. Mereka tetap dimiskinkan dengan ketiadaan dan keterbatasan<br />
akses terhadap sumber daya hutan (SDH) yang diklaim sebagai milik negara.<br />
Jangankan menikmati kayu, sekedar mengambil ranting, rencek dan dedaunan<br />
yang jatuh pun selama ratusan tahun harus dilakukan dengan mengendap penuh<br />
ketakutan. Menurut catatan Perhutani (2001), pulau Jawa yang luasnya mencapai<br />
12.524.357 ha, hampir seperempatnya merupakan lahan hutan negara. Sekitar<br />
sepertiga lahan hutan negara yang luasnya mencapai 2.881.949 ha itu, sepertiganya<br />
ditumbuhi pohon jati. Pulau Jawa merupakan penghasil kayu jati terbesar di dunia,<br />
setelah Thailand dan Burma (Peluso, 1992:141). Semenjak zaman kolonial hingga<br />
saat ini, hutan jati di Jawa sepenuhnya dikuasai dan dikelola oleh negara. Nama<br />
dan bentuk pengelolanya mungkin saja berubah, namun fungsi dan ideologinya<br />
sebagai representasi kekuasaan negara dalam bidang kehutanan tidak banyak<br />
mengalami pergeseran substansial. Bahkan kontrol yang dilakukan oleh negara<br />
orde baru lebih ketat dibandingkan dengan negara kolonial Belanda (Peluso dalam<br />
Poffonberger, 1990: 27-53).<br />
Politik sumber daya hutan yang diintrodusir negara dalam kerangka menjamin<br />
kepentingan ekonominya menempatkan MSH (Masyarakat Sekitar Hutan) selalu<br />
dalam posisi marjinal. Dalam sejarah, tragedi awal dari proses marjinalisasi ini<br />
adalah dilansirnya reglemen hutan pertama yang menganggap semua hutan jati<br />
di Jawa adalah kepunyaan negara, tidak terkecuali yang ada di daerah Sunan<br />
Surakarta dan Sultan Yogyakarta . Reglemen ini semakin kokoh dengan keluarnya<br />
Staatsdomein; Staatsblad no 118 tahun 1870 dimana di dalamnya ada pasal yang<br />
memuat keterangan bahwa semua lahan yang di atasnya tidak bisa dibuktikan<br />
hak miliknya atau tanah kosong (woeste gronden), menjadi domain negara. Lahan<br />
yang dimaksud salah satunya adalah lahan yang ditumbuhi hutan jati di Jawa<br />
Gagasan tentang hutan sebagai domain negara sebenarnya sudah diintrodusir oleh Gubernur<br />
Dandeles pada tahun 1808<br />
232
yang saat itu belum serusak sekarang. Kontrol negara atas akses hutan Jawa<br />
itu mencakup tiga hal, yaitu kontol terhadap lahan atau tanah, kontrol terhadap<br />
tanaman dan kontrol terhadap tenaga kerja (Peluso, 1992: 17). Setelah Indonesia<br />
merdeka, model pengelolaan ala kolonial di atas bukannya dilakukan pembaharuan,<br />
namun justru dilestarikan. Bahkan penerapannya bukan hanya di Jawa, namun<br />
juga dioperasikan untuk mengelola hutan di luar Jawa 2. Model pengelolaan hutan<br />
di zaman Orde Baru juga tidak banyak mengalami perubahan, bahkan lebih<br />
mundur dari apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam<br />
berbagai kesempatan, Hasanu Simon 3<br />
mengkritik model pengelolaan hutan di<br />
luar Jawa yang dilakukan oleh Orde Baru dengan menyebutnya sebagai model<br />
penambangan kayu (timber extraction). Hutan dipandang sebagai sumber ekonomi<br />
yang dieksploitasi tanpa memikirkan kelestarian dan kehidupan masyarakat<br />
setempat. Sementara Belanda telah memperkenalkan model timber management<br />
dalam mengelola hutan di Jawa yang sangat disiplin memperhatikan daur dan<br />
kelestarian hasilnya dengan menerapkan ilmu teknik kehutanan, meskipun tidak<br />
pernah memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat.<br />
Negara tetap memandang masyarakat setempat yang bermukim di sekitar<br />
dan di dalam hutan sebagai ancaman. Mereka dituduh dan dicitrakan sebagai<br />
perusak hutan. Padahal keberadaan mereka jauh sudah ada sebelum perusahaanperusahaan<br />
HPH (Hak Pengusahaan Hutan) masuk dan mengeksploitasi hutan.<br />
Kebijakan negara Orde Baru dalam bidang kehutanan yang sangat tidak berpihak<br />
pada masyarakat setempat bertumpu pada Undang-Undang Pokok Kehutanan<br />
(UUPK) No.5 tahun 1967. UUPK ini memberikan mandat hukum kepada negara<br />
untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan dan penguasaan hutan<br />
serta menggunakan pengaturan sesuai wewenangnya. Dalam Pasal 17 dinyatakan<br />
bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hutan,<br />
selama hak tersebut tidak mengganggu tujuan dari UUPK, seperti yang diartikan<br />
oleh Menteri (Thiesenhuen dkk, 1997). Tafsir ”tidak mengganggu tujuan UUPK”<br />
tentu saja dimaknai oleh negara tidak mengganggu kepentingan negara dalam hal<br />
ini kepentingan perusahaan HPH.<br />
Perusahaan-perusahaan HPH mulai menyerbu hutan-hutan di luar Jawa yang<br />
masih rimbun dan perawan sejak dikeluarkannya PP no 21 tahun 1970 tentang HPH<br />
dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan PP no 33 tahun 1970 tentang Perencanaan<br />
Hutan. Secara bersama-sama UUPK dan PP tersebut memberikan kerangka<br />
bagi eksploitasi sumber daya hutan oleh perusahaan besar. Semua kebijakan<br />
ini dirumuskan berdasarkan citra masyarakat yang tinggal di dalam hutan dan<br />
masyarakat lokal yang memanfaatkan hutan yang digambarkan sebagai perusak<br />
hutan nasional dan perambah lahan milik negara atau perusahaan. Masyarakat<br />
sebagai ancaman, bukan mitra, menjadi dasar kebijakan kehutanan. Citra ini<br />
semakin dikokohkan dengan SK Menteri Pertanian No 251/1993 yang<br />
2 Istilah luar Jawa merujuk pada pulau-pulau di Indonesia selain pulau Jawa dan Bali (Geertz, 1963)<br />
3 Hasanu Simon merupakan Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Dia<br />
merupakan salah seorang yang sangat getol mengkampanyekan pengelolaan hutan bersama<br />
masyarakat.<br />
233
mengidentifikasi masyarakat dalam dan sekitar hutan sebagai ancaman potensial<br />
bagi perusahaan perkayuan; padahal SK tersebut bertujuan melindungi hak-hak<br />
masyarakat atas HHNK (hasil Hutan Non Kayu) dan pemanfaatan kayu untuk<br />
tujuan non komersial. SK bersama 3 departemen (Pertanian, Dalam Negeri,<br />
Transmigrasi dan Perambah Hutan) nomor 480/Kpts-II/1993 juga menggambarkan<br />
MSH yang melaksanakan perladangan berpindah sebagai perusak SDH.<br />
Model pembangunan kehutanan ala Orde Baru yang tidak mempedulikan dan<br />
memperhatikan kelestarian SDH dan memberangus akses MSH tidak sepi kritik.<br />
Dimulai pada tahun 1978 saat diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia di<br />
Jakarta yang mengambil tajuk ”forest for people”, hutan untuk rakyat. Salah satu<br />
rekomendasi penting konggres ini adalah perlunya pembangunan kehutanan yang<br />
lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat dengan cara melibatkan<br />
mereka dalam kegiatan kehutanan.<br />
Asumsi yang dikembangkan adalah MSH sebagian besar dalam kondisi miskin,<br />
karena itu mereka melakukan tindakan merusak hutan demi memenuhi kebutuhan<br />
ekonomi. Sejak saat itu mulai dilansir gagasan pembangunan kehutanan dengan<br />
pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), maksudnya menjadikan<br />
kesejahteraan masyarakat setempat sebagai basis dan tujuan pengelolaan<br />
hutan. Oleh Perhutani gagasan itu diterjemahkan dalam bentuk program Inmas<br />
Tumpangsari (Intensifikasi Massal Tumpangsari) di hutan Jawa. Sayangnya<br />
program ini kurang menyentuh persoalan yang hakiki, yaitu akses SDH. Alih-alih<br />
mensejahterakan masyarakat, justru yang terjadi adalah eksploitasi tenaga kerja<br />
murah demi kepentingan perhutani. Masyarakat hanya mendapatkan lahan andil<br />
untuk ditanami palawija sembari diberi kewajiban memelihara tanaman pokok<br />
(jati) hingga 2-3 tahun. Mereka sama sekali tidak diperkenankan menikmati hasil<br />
tanaman kayu yang mereka tanam. Padahal hasil dari tumpangsari itu sangat<br />
tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Setelah program Inmas Tumpangsari<br />
muncul program-program lain yang mencoba mengintegrasikan isu-isu kehutanan<br />
dan isu-isu pembangunan MSH, mulai dari MALU (Mantri dan Lurah), PMDH<br />
(Pembangunan Masyarakat Desa Hutan), PS (Perhutanan Sosial) hingga yang<br />
terbaru adalah PHMB (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).<br />
Di luar Jawa integrasi isu kesejahteraan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan<br />
hutan relatif terlambat, setelah banyak muncul protes dan konflik penduduk<br />
setempat dengan HPH. Sebagai jawaban, tahun 1992 pemerintah meluncurkan<br />
kebijakan HPH Bina Desa Hutan yang mewajibkan setiap HPH membina paling<br />
sedikit 1 desa dalam setahun. Bentuknya adalah program-program comunity<br />
development, seperti memberikan bantuan dana untuk kegiatan ekonomi rakyat,<br />
pembangunan sarana dan infrastruktur dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat<br />
sosial. Namun berbagai upaya itu sepertinya tidak banyak membawa perubahan<br />
bagi kehidupan ekonomi MSH. MSH tetap dijauhkan dari akses SDH. Program dan<br />
proyek yang berlabel “sosial” itu lebih bersifat charity, sebagaimana politik etis yang<br />
dilakukan pada zaman kolonial daripada benar-benar memberikan kesempatan<br />
dan membuka ruang kepada MSH untuk mengelola dan mengakses<br />
234
SDH. Negara sepertinya tak pernah ikhlas dalam proses pengelolaan SDH dengan<br />
MSH. Pasca reformasi 1998 terjadi perubahan dalam kebijakan kehutanan, terutama<br />
dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 41 thn 1999<br />
yang mengatur peran serta dan hak masyarakat dalam pembangunan kehutanan.<br />
Dalam UUPK ini ada beberapa peluang untuk pengembangan perhutanan sosial<br />
dalam bentuk hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan dengan<br />
tujuan khusus. Misalnya dalam Pasal 67 diakui hak masyarakat hukum adat untuk<br />
melakukan pemungutan hasil hutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan<br />
mendapatkan pemberdayaan untuk kesejahteraanya. Pasal ini juga menyatakan<br />
pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan peraturan daerah.<br />
Kebijakan dan peraturan yang mengarah ke upaya perbaikan, peran serta<br />
masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara dikembangkan dalam bentuk<br />
hutan kemasyarakatan (HKM) dimulai di awal tahun 1995 melalui Kepmen<br />
Kehutanan No. 622/1995. Keputusan ini menekankan ijin pemanfaatan hutan. Hak<br />
masyarakat dibatasi pada rehabilitasi hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan<br />
kayu. Keputusan ini kemudian diperbaiki SK Menteri No.677/Kpts-II/1998 di mana<br />
masyarakat bisa mengambil keputusan pengelolaan hutan dan pemerintah sebagai<br />
fasilitator saja dan masyarakat harus membentuk koperasi. Ijin pemanfaatan<br />
diganti menjadi ijin pengusahaan. Keputusan ini kemudian diganti lagi dengan SK<br />
No. 865/Kpts-II/1999 di mana ijin pengusahaan diganti menjadi ijin pemanfaatan<br />
dan masyarakat tidak harus membentuk koperasi tetapi bisa kelompok apa saja.<br />
Sebelum sempat beredar di masyarakat, SK ini diganti lagi dengan SK Menteri<br />
Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 yang memberi wewenang pada Bupati untuk<br />
memberi ijin dan memfasilitasi pembentukan kelembagaan masyarakat.<br />
Saat ini kebijakan di tingkat pusat yang dapat dijadikan rujukan dalam<br />
pembuatan <strong>Perda</strong> adalah Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam TAP<br />
MPR No. III Tahun 2000 bukan SK Menteri atau Keputusan Menteri (Kepmen).<br />
Berangkat dari ini, pemerintah membuat PP No. 34 thn 2002 tentang tata hutan<br />
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan<br />
kawasan hutan. PP 34 menetapkan kegiatan pemanfaatan hutan dalam berbagai<br />
bentuk pemanfaatan kawasan baik hutan lindung maupun hutan produksi dan<br />
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemanfaatan jasa lingkungan<br />
yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Berbagai peluang kebijakan di<br />
atas makin diperkuat dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu<br />
dikeluarkannya UU No. 22 thn 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 thn<br />
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan proses desentralisasi dan otonomi ini,<br />
di beberapa daerah muncul upaya membuat kebijakan pengelolaan hutan berbasis<br />
masyarakat atau perhutanan sosial. Upaya ini sudah mulai dirintis di Lampung<br />
Barat, Kutai Barat, NTB dan Wonosobo. Di Wonosobo ada <strong>Perda</strong> no. 22 thn 2001<br />
tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat yang sampai saat<br />
ini masih terkatung sejak dibatalkan Kepmendagri no. 9 thn 2005. Di Kutai Barat<br />
ada <strong>Perda</strong> no. 31 thn. 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat. Di NTB ada <strong>Perda</strong><br />
no. 6 thn. 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.<br />
235
2. Perumusan Masalah<br />
Sejak awal semangat otonomi daerah dihikmatkan pada kesejahteraan masyarakat.<br />
Asumsi yang dikembangkan sebenarnya sederhana, yaitu dengan adanya otonomi<br />
daerah, pemerintah daerah dapat mengoptimalkan segala kewenangan dan sumber<br />
daya yang dimiliki guna meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan<br />
masyarakat. Sayangnya tidak semua pemerintah daerah mampu mengambil<br />
manfaat dari kesempatan dan peluang ini. Tidak jarang kewenangan lebih yang<br />
dimiliki oleh daerah ini justru dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pejabat<br />
dan politisi lokal untuk memperkaya diri. Demikian juga bagi hasil pendapatan<br />
yang mereka peroleh dari pusat justru untuk membangun proyek mercusuar yang<br />
jauh dari manfaat publik.<br />
Tidak terkecuali dalam sektor kehutanan. Dengan adanya otonomi daerah, justru<br />
pemerintah daerah ramai-ramai mengeluarkan ijin pemanfaatan hutan dalam<br />
skala kecil. 4<br />
Keluarnya ijin-ijin usaha pemanfaatan hutan di daerah terutama<br />
sejak era otonomi, mendorong tekanan terhadap sumber daya hutan semakin<br />
meningkat. Tidak berbeda dengan pemerintah pusat, banyak pemerintah daerah<br />
hanya menganggap dan melihat hutan sebagai sumber pendapatan yang harus<br />
dieksploitasi secepat mungkin dengan mengabaikan kelestariannya.<br />
Pemerintah daerah seolah menjadi raja-raja kecil dengan kewenangan yang dimiliki<br />
mengkapling-kapling lahan hutan untuk dieksploitasi tanpa mempedulikan<br />
kelestarian dan kepentingan konservasi. Otonomi bukannya memperbaiki sistem<br />
pengelolaan hutan, namun sebaliknya semakin memperparah kondisi kerusakan<br />
hutan. Kewenangan seluas-luasnya pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola<br />
sumber daya nasional terbukti tidak berimplikasi positif. Bahkan sebaliknya,<br />
sumber daya hutan cenderung mengalami tekanan yang sangat serius berupa<br />
laju deforestasi yang lebih besar melampaui 2,5 juta hektar/tahun dari rata-rata<br />
5<br />
sebelumnya 1,6 juta hektar. Dalam rangka mendongkrak perolehan PAD, banyak<br />
daerah kaya hutan berusaha memperbesar bagian kabupaten dari iuran, provisi<br />
dan dana yang dibayarkan perusahaan kayu yang beroperasi di wilayahnya.<br />
Tidak heran bahwa banyak peraturan daerah tentang kehutanan yang diterbitkan<br />
kabupaten di masa otonomi ini lebih berorientasi pada pengaturan mekanisme<br />
perijinan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dan atau retribusi dan pajak<br />
yang dipungut atas pemanfaatan, pemungutan dan pengangkutan hasil hutan. 6<br />
4 Sebagai contoh, sejak era otonomi Di Kabupaten Malinau, misalnya, sampai bulan Februari 2004<br />
telah dikeluarkan 39 IPPK (ijin pemungutan dan pemanfaatan kayu) dengan luas keseluruhan 56,000<br />
ha, dan di Kabupaten Kutai Barat sampai Agustus 2000 telah dikeluarkan 223 ijin meliputi luas<br />
22,300 hektar. Lihat Warta Kebijakan No 7 November 2002<br />
5 Lihat Otonomi Ancam Pengelolaan Hutan, Kompas 1 Juni 2002.<br />
6 Sebagai contoh adalah <strong>Perda</strong> No 2/2000 Kabupaten Barito Selatan mengatur tentang Retribusi Hasil<br />
Hutan, Hasil Hutan Bukan Kayu dan Hasil Perkebunan, <strong>Perda</strong> No 5/2000 Kabupatan Kapuas mengatur<br />
tentang Tata Cara Pemungutan Hasil Hutan berupa Kayu, <strong>Perda</strong> No. 10/2000 Kabupaten Kapuas<br />
mengatur tentang Pungutan Daerah atas Pengangkutan dan Penjualan Kayu ke luar Kabupaten<br />
Kapuas, dan <strong>Perda</strong> No. /2001 Kabupaten Malinau mengatur Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu.<br />
Lihat “Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap Hutan dan Masyarakat Hutan” dalam<br />
Warta Kebijakan no 7 November 2002<br />
236
Lantas bagaimana dampak otonomi dan desentralisasi pengelolaan sumber daya<br />
hutan bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok miskin? Kita dapat<br />
7<br />
melihat dampak itu dari dua nalar, yaitu nalar anggaran dan nalar kebijakan. <br />
Sebagaimana diungkap di atas, pada era otonomi daerah di banyak tempat sumber<br />
daya hutan menjadi sapi perahan untuk menaikan PAD. Asumsinya jika PAD naik<br />
maka semestinya berimplikasi pada alokasi anggaran bagi peningkatan kualitas<br />
layanan publik, khususnya kelompok miskin. Namun asumsi ini hanya berlaku jika<br />
pemerintah daerah setempat memiliki komitmen yang tinggi terhadap peningkatan<br />
kesejahteraan rakyat. Inilah yang saya maksud dengan nalar anggaran. Dampaknya<br />
tidak langsung dan mensyaratkan komitmen pemerintah daerah. Sementara nalar<br />
kebijakan bentuknya lebih mudah kita raba, yaitu kebijakan-kebijakan daerah<br />
yang memberikan peluang bagi akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber<br />
daya hutan, khususnya kelompok miskin. Ada hubungan khusus antara penduduk<br />
miskin dan hutan. Hal ini disebabkan karena hutan biasanya ditemukan di<br />
wilayah yang tidak terjangkau, jauh dari pelayanan pemerintah, jalan, dan pasar<br />
(pusat kegiatan ekonomi). Maka dari itu, tidak mengherankan jika masyarakat<br />
yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam kondisi miskin. Hutan bagi mereka<br />
merupakan penyangga utama kehidupan ekonomi keluarga. Memberangus akses<br />
terhadap hutan, sama saja mematikan dapur kehidupan keluarga mereka.<br />
Berangkat dari persoalan di atas, makalah ini ingin menguji dan menganalisis<br />
sejauh mana kebijakan daerah di bidang kehutanan memberikan akses sumber<br />
daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan yang masih terbelit kemiskinan. Tiga<br />
contoh kebijakan daerah dalam bentuk perda (peraturan daerah) dihadirkan di sini<br />
sekedar untuk menunjukan bahwa di beberapa daerah ada inisiatif pengelolaan<br />
hutan yang melibatkan masyarakat yang perlu kita apresiasi dan berdampak nyata<br />
bagi peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan.<br />
Tiga perda yang dimaksud adalah <strong>Perda</strong> nomor 22 tahun 2001 tentang Pengelolaan<br />
Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Wonosobo; <strong>Perda</strong> nomor<br />
31 tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Kutai Barat. <strong>Perda</strong><br />
nomor 6 tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan<br />
di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).<br />
3. Metode Pendekatan dan Analisis<br />
Ada 2 istilah yang menjadi kata kunci dalam analisis tiga perda yang memberikan<br />
peluang peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan,<br />
yakni perhutanan sosial dan akses sumber daya hutan. Dua kata kunci ini perlu<br />
kita bedah yang nantinya akan kita jadikan pisau analisis untuk melihat sejauh<br />
mana perda-perda yang dimaksud mengandung semangat pengelolaan model<br />
perhutanan sosial (selanjutnya disebut perda perhutanan sosial) yang memberikan<br />
peluang bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengakses sumber daya hutan.<br />
7 Sebenarnya penggunaan dua nalar ini hanya sekedar simplifikasi karena terkadang nalar anggaran<br />
itu masuk dalam domain nalar kebijakan<br />
237
Sampai saat ini tidak ada definisi tunggal tentang social forestry atau perhutanan<br />
sosial dari para ahli 8.<br />
Demikian juga ada seribu macam nama bentuk pengelolaan<br />
hutan yang berpaku pada prinsip perhutanan sosial. Sehingga sering para pakar<br />
menyebut perhutanan sosial menjadi payung dari berbagai macam bentuk<br />
pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat seperti hutan kemasyarakatan<br />
(HKM) dan kehutanan masyarakat (community forestry), wanatani (agroforestry)<br />
dan upaya penanaman hutan di lahan milik pribadi seperti hutan rakyat, hutan<br />
milik atau hutan keluarga maupun hutan adat serta pengelolaan hutan kerjasama<br />
perusahaan swasta dan masyarakat. Di beberapa negara ada yang menggunakan<br />
istilah sendiri seperti kehutanan masyarakat (Community forestry) di Cina,<br />
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community based forest management<br />
atau CBFM di Filipina ) dan Pengelolaan Hutan Bersama (Joint forest management<br />
atau JFM di India).<br />
Di Indonesia digunakan berbagai istilah seperti hutan kemasyarakatan, hutan<br />
kerakyatan, kehutanan masyarakat, kehutanan sosial dan social forestry. Selain<br />
itu ada pula yang menggunakan istilah perhutanan masyarakat, pengelolaan hutan<br />
berbasis masyarakat atau pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), ada<br />
juga yang menggunakan istilah pengelolaan hutan bersama, pengelolaan hutan<br />
dalam kemitraan dan pengelolaan hutan multipihak atau pengelolaan hutan oleh<br />
masyarakat (PHOM). Belum ada istilah yang disepakati bersama dan diterima<br />
secara luas. Namun semakin meningkat kesamaan pandangan dan keinginan untuk<br />
menegaskan prinsip-prinsip tujuan dan cara pencapaiannya bukan pada namanya<br />
(CIFOR, 2003). Singkatnya perhutanan sosial dapat kita konseptualisasikan sebagai<br />
sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak<br />
lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik<br />
pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan sosial ada yang<br />
sudah dikembangkan secara tradisional di berbagai daerah seperti Repong Damar<br />
di Sumatera, Simpunk di Kalimantan, Kane atau hutan keluarga di Timor maupun<br />
yang diperkenalkan oleh pihak luar, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan<br />
Masyarakat, PHBM dan sebagainya. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan<br />
hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak<br />
atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan,<br />
kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari.<br />
Berdasarkan pada kriteria partisipasi dan derajat keterlibatan <strong>org</strong>anisasi<br />
kehutanan dan masyarakat, ada 4 hal khusus yang dapat diidentifikasi di bawah<br />
payung social forestry (Awang, 2005; Wiersum, 1984), yaitu:<br />
1. Kehutanan partisipasi, dengan karakteristik sebagai berikut:<br />
a. ada partisipasi positif dari masyarakat<br />
b. tanggung jawab pengelolaan ada pada instansi kehutanan<br />
8 Negara juga punya definisi sendiri tentang social forestry seperti yang tercantum dalam Permenhut<br />
No 1 tahun 2004 tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam<br />
rangka social forestry. Social forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan pada<br />
kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat<br />
sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan<br />
kelestarian hutan<br />
238
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Kehutanan desa, dengan karakteristik sebagai berikut:<br />
a. instansi kehutanan hanya tidak lagi sebagai pengawas, namun hanya<br />
penasehat<br />
b. perencanaan, pelaksanaan pengelolaan hutan dilakukan oleh masyarakat<br />
atau <strong>org</strong>anisasi masyarakat<br />
Kehutanan masyarakat, dengan karakteristik sebagai berikut:<br />
a. sebagai salah satu bentuk dari hutan desa<br />
b. pengelolaan hutan sepenuhnya dilaksanakan oleh <strong>org</strong>anisasi masyarakat<br />
secara komunal<br />
c. memilik aturan, norma dan nilai sosial budaya dan ekonomi masyarakat<br />
lokal<br />
Pertanian hutan, dengan karakteristik sebagai berikut:<br />
a.<br />
b.<br />
c.<br />
pengelolaan hutan pada lahan milik petani<br />
pelaksanaan dan pengelolaan hutan oleh petani<br />
instansi kehutanan tidak ambil bagian dalam pengelolaan hutan<br />
9<br />
Akses (access) , merujuk pada Merriam-Webster (1993:6) adalah ”kebebasan atau<br />
kemampuan untuk memperoleh atau mengambil manfaat atas sesuatu”. Istilah<br />
akses berhubungan erat dengan istilah kepemilikan (property) yang dicirikan oleh<br />
MacPershon (1978:3) sebagai “...suatu hak atas sebuah klaim untuk menggunakan<br />
atau mengambil manfaat dari sesuatu”. Disini perbedaan krusial antara akses dan<br />
kepemilikan adalah pada istilah ”kemampuan” dan ”hak”. Istilah ”hak” mengandung<br />
implikasi sebuah klaim yang diakui dan masyarakat mendukungnya (baik melalui<br />
hukum, norma atau konvensi). Hak merupakan konsep preskriptif, sedangkan<br />
kemampuan merupakan konsep deskriptif. Kepemilikan hanya mencakup de jure,<br />
sedangkan akses meliputi de jure dan de facto atau ekstra legal. Namun demikian,<br />
dalam kajian perda ini saya hanya memfokuskan pada akses yang legal yang<br />
termaktub dalam tiga perda yang saya kaji.<br />
Dengan demikian, mengkaji peluang akses sumber daya hutan bagi masyarakat<br />
dalam sebuah perda adalah dengan melihat akomodasi perda tersebut terhadap<br />
kebebasan dan kemampuan masyarakat untuk memperoleh atau mengambil<br />
manfaat atas sumber daya hutan. Akomodasi itu dalam 4 bentuk, yaitu<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
rekognisi negara atas hak dan bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat baik<br />
di lahan milik maupun di lahan negara;<br />
pelibatan masyarakat dalam seluruh kegiatan pengelolaan hutan;<br />
pemanfaatan hasil hutan (baik hasil kayu maupun non kayu) secara adil<br />
terutama di hutan-hutan yang status lahannya milik negara;<br />
fasilitasi negara dalam penguatan kapasitas kelembagaan lokal khususnya<br />
dalam pengelolaan lahan dan hutan secara lestari dan berkelanjutan. Empat<br />
bentuk akomodasi dalam perda inilah yang dapat menjadi indikasi kuat bahwa<br />
perda itu meneguhkan akses masyarakat sekitar hutan yang miskin terhadap<br />
sumber daya hutan.<br />
9 Kajian mendalam tentang teori akses dapat di lihat Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso, A Theory of<br />
Access, Rural Sociaology volume 68, Issue 2, 2003<br />
239
Pendekatan yang dipakai dalam analisis perda ini adalah pendekatan normatif<br />
dengan tetap memperhatikan konteks atau milieu munculnya perda tersebut.<br />
Analisis akan difokuskan pada isi perda yang mengandung muatan perhutanan<br />
sosial yang memberikan peluang akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber<br />
daya hutan. Analisis akan ditampilkan secara deskriptif dengan melakukan<br />
pembandingan tiga perda yang dikaji. Dari analisis ini, diharapkan kita akan<br />
memperoleh gambaran yang lebih kaya tentang model-model akses sumber daya<br />
hutan di tiga daerah yang diteguhkan melalui perda.<br />
4. Analisis Dan Temuan Pokok<br />
Ada tiga perda yang akan dianalisis dalam makalah ini, yaitu dua perda tingkat<br />
kabupaten masing-masing <strong>Perda</strong> nomor 22 tahun 2001 tentang Pengelolaan<br />
Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Wonosobo (selanjutnya<br />
disebut perda Wonosobo) dan <strong>Perda</strong> nomor 31 tahun 2000 tentang Pengelolaan<br />
Hutan Rakyat di Kutai Barat (selanjutnya disebut perda Kutai Barat); satu perda<br />
tingkat propinsi <strong>Perda</strong> nomor 6 tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan<br />
Hutan Kemasyarakatan di Propinsi NTB (selanjutnya disebut perda NTB). Ketiga<br />
perda di atas saya namakan perda perhutanan sosial karena di dalamnya berisi<br />
pengaturan pengelolaan hutan yang mengandung karakteristik perhutanan sosial.<br />
<strong>Perda</strong> Kutai Barat mengatur perhutanan sosial yang ada di lahan milik, yaitu<br />
hutan rakyat. Dalam pasal 2, dinyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan<br />
yang dibudidayakan berupa hutan tanaman dan dapat berupa hutan yang tumbuh<br />
secara alami di atas tanah yang dibebani hak milik dan atau hak lainnya. Dalam<br />
kategori Wiersum (1984), model pengelolaan hutan yang diatur dalam perda Kutai<br />
Barat merupakan bentuk pertanian hutan.<br />
Berbeda dengan perda Kutai Barat, model pengelolaan hutan yang diatur dalam<br />
perda Wonosobo dan perda NTB lebih tepat masuk kategori kehutanan masyarakat<br />
yang dilaksanakan pada lahan milik negara. <strong>Perda</strong> Wonosobo menyebutnya dengan<br />
istilah Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Dalam<br />
pasal 1 <strong>Perda</strong> Wonosobo disebutkan bahwa yang dimaksud dengan PSDHBM adalah<br />
sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan masyarakat setempat di<br />
kawasan hutan negara berdasarkan fungsi dan peruntukkannya. <strong>Perda</strong> NTB yang<br />
merupakan perda tingkat propinsi lebih merupakan petunjuk teknis peraturan di<br />
tingkat pusat yang berhubungan dengan hutan kemasyarakatan (HKm).<br />
Sebagaimana kita ketahui, kebijakan HKm mulai digulirkan pemerintah sejak<br />
tahun 1995 dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan nomor 622/1995.<br />
Kebijakan ini telah mengalami beberapa kali revisi terutama setelah reformasi.<br />
Revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 31/Kpts-II/2001<br />
tentang penyelenggaraan hutan kemasyarakatan. Pengertian HKm yang ada di<br />
perda NTB memiliki kemiripan dengan yang ada dalam SK 31. Dalam pasal 1 perda<br />
NTB dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan HKm adalah kawasan hutan yang<br />
dikelola oleh kelompok usaha masyarakat setempat dan bertujuan untuk<br />
240
memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutan.<br />
Selanjutnya dalam pasal 4 dipertegas bahwa status kawasan HKm adalah hutan<br />
negara. Untuk melihat bagaimana tiga perda perhutanan sosial di atas mampu<br />
meneguhkan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan, perlu<br />
dilihat akomodasi masing-masing perda terhadap persoalan akses masyarakat<br />
terhadap sumber daya hutan.<br />
4.1 <strong>Perda</strong> Wonosobo<br />
Dalam bagian menimbang dijelaskan ada 3 latar belakang munculnya perda ini:<br />
1. desakan masyarakat untuk memperoleh manfaat yang optimal dari seluruh<br />
kawasan,<br />
2. peluang desentralisasi dan otonomi pengelolaan sumber daya hutan yang<br />
ada dalam UU No. 22 thn 1999 dan juga peluang pemanfaatan hutan bagi<br />
masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU No. 41 thn 1999,<br />
3. gagalnya pengelolaan hutan negara oleh Perhutani yang bertolak belakang<br />
dengan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo<br />
sehingga pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi keniscayaan bagi<br />
kelestarian hutan. <strong>Perda</strong> Wonosobo terdiri dari IX bab, 48 pasal. Secara garis<br />
besar perda ini mengatur enam hal utama berkaitan dengan penyelenggaraan<br />
pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat di Kabupaten Wonosobo,<br />
yaitu<br />
a. penetapan lokasi,<br />
b. penyiapan dan perencanaan masyarakat,<br />
c. proses perijinan,<br />
d. pengelolaan,<br />
e. pengendalian,<br />
f. ketentuan dan prosedur pencabutan ijin.<br />
Namun demikian, pada intinya perda ini hanya mengatur dua hal pokok, yaitu<br />
1. bahwa perda ini mengatur tentang kegiatan pengelolaan hutan dengan<br />
pendekatan PSDHBM yang ada dalam kawasan hutan negara di Kabupaten<br />
Wonosobo,<br />
2. pemberian sanksi administratif berupa pencabutan ijin PSDHBM bagi<br />
pemegang ijin yang tidak mampu melaksanakan PSDHBM sesuai dengan<br />
rencana yang telah disetujui.<br />
<strong>Perda</strong> ini dapat dikatakan cukup revolusioner karena secara tegas ada pengakuan<br />
negara (pemerintah daerah) terhadap hak dan bentuk pengelolaan hutan yang<br />
dilakukan masyarakat. Bentuk pengakuan hak pengelolaan dinyatakan di pasal<br />
14, bahwa bentuk pengesahan PSDHBM diberikan oleh Bupati sebagai jaminan<br />
kepastian hukum pemegang hak PSDHBM. Menariknya, hak PSDHBM ini<br />
dialokasikan pada kawasan hutan yang selama ini diklaim negara, dalam hal ini<br />
adalah Perhutani 10<br />
.<br />
10 Menurut angka yang dikeluarkan Perhutani Unit I Jawa Tengah, Perhutani mengelola 19.695 ha<br />
lahan hutan negara di Kabupaten Wonosobo yang terbagi dalam dua kesatuan pemangkuan hutan<br />
(KPH), yaitu KPH Kedu Selatan dan KPH Kedu utara<br />
241
Dengan adanya perda ini, maka otoritas pengelolaan hutan negara di Kabupaten<br />
Wonosobo bukan lagi ditangan Perhutani. Kelompok masyarakat yang mampu<br />
memenuhi persyaratan untuk mengajukan ijin PSDHBM juga punya peluang akses<br />
yang lebar untuk mengambil manfaat dan mendapatkan hak kelola hutan negara.<br />
Ijin PSDHBM sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat 3 bukan merupakan<br />
pemilikan atas tanah dan kawasan hutan negara. Dengan demikian, ijin PSDHBM<br />
lebih merupakan ijin pemanfaatan kawasan hutan negara baik di hutan lindung<br />
maupun di hutan produksi. Jangka waktu ijin PSDHBM paling lama 30 tahun<br />
dan dapat diperpajang lagi. Selain pengakuan negara atas hak kelola masyarakat,<br />
perda ini secara eksplisit juga merupakan sebuah rekognisi atas praktek-praktek<br />
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang terbukti berhasil.<br />
Pengelolaan hutan negara oleh Perhutani Wonosobo telah terbukti gagal yang<br />
terlihat dari kerusakan hutan dan kemiskinan yang membelit kehidupan<br />
masyarakat sekitar hutan. Masyarakat dalam perda ini ditempatkan sebagai<br />
pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Istilah ”berbasis masyarakat” artinya<br />
kesejahteraan dan pelibatan masyarakat menjadi orientasi utama dalam perda<br />
Wonosobo ini. Masyarakat dilibatkan dalam penyelenggaraan PSDHBM sejak dari<br />
perencanaan, pengelolaan sampai pemungutan hasil. Misalnya dalam penetapan<br />
lokasi PSDHBM melalui kegiatan inventarisasi dan identifikasi oleh Pemda<br />
Kabupaten Wonosobo harus melibatkan warga desa setempat dan ”Forum Hutan<br />
Wonosobo” (pasal 7). Bahkan masyarakat berhak memberikan tanggapan atas hasil<br />
inventarisasi dan identifikasi kawasan hutan itu. Demikian juga dalam pengelolaan<br />
PSDHBM, masyarakat sendiri yang melakukannya mulai dari penataan areal<br />
kerja, penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan sampai perlindungannya.<br />
Di sisi lain kelompok masyarakat yang diberi ijin PSDHBM juga punya kewajiban<br />
untuk tetap menjaga kelestarian hutan, turut memelihara dan menjaga kawasan<br />
hutan di luar areal kerjanya dari gangguan dan perusakan, dan berkordinasi<br />
dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam pelaksanaan perlindungan<br />
hutan. Dalam menetapkan kriteria dan standar kelompok masyarakat yang layak<br />
mendapatkan ijin PSDHBM juga harus memperhatikan masukan dari masyarakat<br />
melalui ”Forum Hutan Wonosobo” (pasal 11). Forum ini bersifat multipihak yang<br />
mencakup semua stakeholder penyelenggaran PSDHBM.<br />
Dalam hal pemanfaatan hasil hutan, perda ini menegaskan akses masyarakat<br />
untuk melakukan kegiatan pemanfaatan baik di hutan produksi maupun di hutan<br />
lindung, seperti budidaya tanaman baik kayu maupun non kayu, usaha potensi<br />
jasa lingkungan , pengusahaan tanaman kayu (pasal 30, 31). Namun begitu semua<br />
bentuk pemanfaatan sumber daya hutan itu harus tetap memperhatikan fungsi<br />
lindung dan tutupan tajuk hutan tersebut. Oleh karena kawasan hutan yang<br />
dikelola oleh masyarakat adalah milik negara, maka tidak semua hasil pemanfaatan<br />
hutan itu diberikan kepada masyarakat penggarap. Bagi hasil dari pemanfaatan<br />
hutan ini didasarkan pada kontribusi masing-masing pihak dalam proses produksi.<br />
Proporsi yang sampai saat ini berkembang adalah 50:50 sampai 80:20, 80 persen<br />
untuk masyarakat penggarap dan 20 persen untuk pemerintah.<br />
242
Bagian dari pemerintah ini dibagi lagi untuk pemerintah kabupaten dan pemerintah<br />
desa. Pemerintah juga masih mendapatkan provisi sumber daya hutan (PSDH) dari<br />
hasil hutan kayu yang diperdagangkan yang diperoleh dari PSDHBM. Sebagian<br />
dari PSDH ini selanjutnya menjadi pendapatan asli daerah (pasal 33). Pemerintah<br />
dalam perda PSDHBM lebih berfungsi sebagai fasilitator. Dengan demikian lebih<br />
berfungsi sebagai mitra yang membantu masyarakat dalam penyelenggaraan<br />
PSDHBM. Fasilitasi pemerintah dimulai dari proses pengajuan ijin sampai<br />
dengan pengelolaan hutan itu sendiri. Dalam proses pengajuan ijin, pemerintah<br />
wajib memfasilitasi penyiapan kelompok masyarakat yang akan mengajukan ijin<br />
bersama dengan LSM pendamping (pasal 12) yaitu dalam kegiatan pemetaan<br />
partisipatif. Selain itu, pasal 20 juga ditegaskan bahwa dalam pengelolaan<br />
PSDHBM masyarakat juga berhak meminta fasilitasi pemerintah dalam rangka<br />
pengembangan kelembagaan, permodalan, sumber daya manusia, jaringan mitra<br />
kerja dan atau pengembangan pemasaran dan usaha.<br />
Sayang sekali perda revolusioner ini sudah dimentahkan oleh Mendagri melalui<br />
Kepmendagri No. 9 Tahun 2005. Alasan pembatalan <strong>Perda</strong> Wonosobo ini adalah<br />
karena dianggap bertentangan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UndangUndang Nomor<br />
41 Tahun 1999 dan Pasal 2 ayat 3) angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 25<br />
tahun 2000, karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara termasuk<br />
hutan hak dan hutan adat berikut dengan perubahan status dan fungsinya adalah<br />
Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan, bukan Bupati. Kini masyarakat<br />
petani hutan Wonosobo tengah melakukan gugatan “judical review” kepada<br />
Mahamakah Agung yang sampai sekarang belum ada keputusan.<br />
4.2 <strong>Perda</strong> Kutai Barat<br />
Sengaja perda Kutai Barat saya pilih sebagai kasus tentang perda perhutanan<br />
sosial yang memberikan akses sumber daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan<br />
yang miskin. <strong>Perda</strong> ini barangkali lebih bersifat pengaturan terhadap praktek<br />
pengelolaan hutan rakyat yang sudah dilakukan oleh masyarakat Kutai Barat<br />
selama ratusan tahun. Dalam bagian menimbang dijelaskan penetapan perda<br />
Kutai Barat ini dipandang perlu dengan melihat bahwa hutan rakyat merupakan<br />
salah satu pendapatan bagi masyarakat, maka kebijakan tentang pengelolaannya<br />
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang<br />
berkualitas dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kelestariannya. Terdapat<br />
tiga hal utama yang diatur dalam perda yang berisi XI bab dan 12 pasal ini, yaitu<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
keberadaan hutan rakyat,<br />
pengelolaan hutan rakyat,<br />
pembinaan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pengelolaan hutan<br />
rakyat.<br />
Pengakuan negara terhadap hak dan bentuk pengelolaan hutan rakyat oleh<br />
masyarakat terlihat jelas dalam pasal 2. Hutan rakyat yang dimaksud dalam perda<br />
ini adalah hutan yang dibudidayakan berupa hutan tanaman dan dapat berupa<br />
243
hutan yang tumbuh secara alami di atas tanah yang dibebani hak milik dan atau<br />
hak lainnya. Hak milik itu dibuktikan dengan sertifikat tanah dari instansi yang<br />
berwenang. Sementara yang dimaksud dengan hak lainnya mencakup hak guna<br />
usaha, hak guna bangunan, dan atau di tanah garapan yang keberadaan hutan<br />
rakyat dan kepemilikannya diakui oleh warga setempat dan oleh aparat desa dan<br />
camat.<br />
Sebagaimana diungkap dimuka, hutan rakyat dapat kita kategorikan sebagai<br />
praktek perhutanan sosial dalam jenis pertanian hutan (Awang, 2005; Wiersum,<br />
1984) dengan 3 ciri:<br />
1. pengelolaan hutan pada lahan milik petani sebagaimana tercantum dalam<br />
pasal 2,<br />
2. pelaksanaan dan pengelolaan hutan oleh petani. Ini ditegaskan dalam pasal 4<br />
ayat 2 yang berbunyi ”pengelolaan hutan rakyat yang telah ada dilaksanakan<br />
oleh penduduk setempat, tetap diperhatikan dalam rangka kelestarian dan<br />
peningkatan produktifitas hasil hutan”.<br />
3. instansi kehutanan tidak ambil bagian dalam pengelolaan hutan. Dalam perda<br />
Kutai Barat ini peran pemerintah dijelaskan dalam pasal 4 yang menyatakan<br />
bahwa pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan wajib untuk memfasilitasi<br />
pengelolaan hutan rakyat yang biayanya dibebankan pada APBD Kabupaten<br />
Kutai Barat.<br />
Pengelolaan hutan rakyat itu mencakup kegiatan penanaman, pemeliharaan,<br />
pemanenan, pengolahan, pemanfaatan, pemasaran dan pengembangan. Khusus<br />
untuk pemanfaatan, masyarakat berhak untuk mengambil semua manfaat dari<br />
hutan yang ada di lahan garapan milik mereka baik untuk kebutuhan sendiri<br />
maupun untuk diperdagangkan. (pasal 5) dengan tetap memperhatikan aspek<br />
ekonomi dan aspek kelestarian. Namun demikian, masyarakat tetap diwajibkan<br />
mengantongi ijin pemungutan kayu hutan rakyat (IPKHR) dari Bupati dan<br />
atau pejabat yang ditunjuk. Selain itu terhadap hasil hutan yang mereka pungut<br />
dikenakan pungutan iuran kehutanan untuk hutan rakyat yang berasal dari hutan<br />
tanaman dan provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) untuk<br />
hutan rakyat yang berasal dari hutan alami. Dengan melihat perda Kutai Barat ini<br />
sepertinya memang isinya lebih banyak memperkuat peran dan posisi pemerintah<br />
daerah dalam pengelolaan hutan rakyat.<br />
Peran dan posisi pemerintah sangat terlihat jelas dalam pasal 8 yang menyatakan<br />
bahwa pembinaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan rakyat<br />
dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai dan atau Cabang Kehutanan<br />
setempat. Sementara upaya untuk melakukan penguatan kelembagaan masyarakat<br />
dalam pengelolaan hutan rakyat tidak begitu tampak. Justru aroma yang sangat<br />
kuat dari perda ini adalah dalam rangka peningkatan PAD melalui berbagai<br />
pungutan yang dikenakan pada masyarakat dalam mengelola hutan rakyat.<br />
Setidaknya ada 5 pungutan dari pengelolaan hutan rakyat, yaitu IPKHR, DR,<br />
PSDH, dan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan). Dalam rangka<br />
244
memastikan pemasukan PAD ini, setiap pemilik hutan rakyat diwajibkan<br />
melaporkan realisasi produksi kayu setiap bulannya kepada Dinas Kehutanan.<br />
Berbagai bentuk pungutan dan pengawasan pemerintah terhadap pengelolaan<br />
hutan rakyat sebenarnya tidak menjadi masalah dalam konteks melakukan<br />
pengendalian hutan agar fungsi pokoknya tidak berubah. Mungkin saja The<br />
tragedy of the commons 11<br />
bisa terjadi kalau pemanfaatan hutan rakyat tidak<br />
memperhatikan aspek kelestarian. Namun argumentasi ini justru semakin<br />
memperjelas bahwa pandangan pemerintah terhadap masyarakat belum banyak<br />
berubah; bahwa rakyat tidak mampu mengelola hutan dan hanya merusak hutan.<br />
Semestinya perda hutan rakyat di Kutai Barat lebih diorientasikan bagaimana<br />
melakukan pemberdayaan masyarakat lokal dalam mengelola hutan secara lestari<br />
dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.<br />
4.3 <strong>Perda</strong> NTB<br />
<strong>Perda</strong> NTB memiliki dua spesifikasi yaitu pertama perda ini merupakan perda<br />
propinsi sehingga jangkaun dari perda ini mencakup semua kabupaten dan kota<br />
yang ada di NTB. Kedua, perda ini secara eksplisit menggunakan istilah Hutan<br />
Kemasyarakatan (HKm) yang merupakan bentuk dari perhutanan sosial di<br />
kawasan hutan negara. Istilah HKm diintroduksi pertama kali oleh negara dalam<br />
SK Menhut No.622/1995 yang awalnya lebih memfokuskan pada keterlibatan<br />
kelompok-kelompok masyarakat dalam rehabilitasi lahan hutan rusak di hutan<br />
produksi serta hutan konservasi dan dalam penanaman kayu campuran serta jenisjenis<br />
pohon multiguna. SK ini membatasi hak masyarakat hanya atas produk hutan<br />
non kayu, mereka tidak punya suara dalam pengelolaan hutan secara keseluruhan<br />
dan tidak punya hak untuk memungut kayu.<br />
Setelah mendapatkan banyak kritik, terutama menyesuaikan perubahan kebijakan<br />
pasca reformasi, SK 622 direvisi menjadi SK No 677/1998. Dalam Sk baru ini untuk<br />
pertamakalinya masyarakat diberi hak untuk mengambil manfaat di seluruh<br />
kawasan hutan yang tidak dibebani hak konsesi kayu jangka panjang. Untuk<br />
mendapatkan hak pemanfaatan dalam jangka panjang masyarakat harus terlebih<br />
dahulu membentuk koperasi. Sayangnya dalam SK ini, belum ada keikhlasan<br />
dari negara untuk memberikan ”hak pengelolaan” pada masyarakat. Hal ini<br />
disebabkan masih kuatnya pandangan keliru di kalangan birokrat kehutanan<br />
bahwa penyerahan ”hak kelola” berarti melepaskan kendali atas hutan. Baru<br />
pada revisi terakhir yaitu SK No. 31/2001, negara memberikan hak kelola kepada<br />
masyarakat dalam HKm. <strong>Perda</strong> NTB sangat tegas telah memberikan ”hak kelola”<br />
kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan HKm, bukan hanya ”hak<br />
mengambil manfaat”, kepada masyarakat.<br />
11 The tragedy of the commons adalah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena hancurnya dan<br />
punahnya sumber daya publik akibat pemanfaatan oleh manusia yang tidak terkendali. Istilah ini<br />
sebenarnya diperkenalkan pertama kali oleh William Forster Lloyd pada tahun 1833 dalam buku “On<br />
Population”dan dipopulerkan oleh Garrett Hardin dalam artikelnya di majalah Science 162, 1243-<br />
1248 (1968).<br />
245
Sebelum perda ini lahir, pengelolaan hutan dengan sistem HKm justru telah<br />
12<br />
menyebabkan meningkatnya deforestasi di NTB. Apalagi saat itu, daerah sedang<br />
merayakan ”masa otonomi daerah”. Otonomi daerah ditafsirkan sesuai selera<br />
masing-masing daerah. Daerah diberikan wewenang untuk membuka lahan<br />
hutan kemasyarakatan (skala kecil 100 hektar) dan izin pengambilan kayu kebun<br />
(IPK). Maka izin pun bertaburan. IPK lalu menjadi alasan untuk menebang kayu<br />
hutan. Akibatnya, hutan semakin cepat gundul. Contohnya di Kabupaten Dompu,<br />
Pulau Sumbawa, Dari izin itu Pemkab Dompu memungut retribusi Rp 50.000 per<br />
meter kubik untuk pendapatan asli daerah. Selama empat tahun Pemkab Dompu<br />
mendapatkan Rp 500 juta-Rp 600 juta. Akibatnya, pada 3 Februari 2005 terjadi<br />
banjir yang menghancurkan infrastruktur irigasi. Puluhan rumah hanyut, sekolah,<br />
dan rumah sakit tertimbun lumpur. Kerugian diduga mencapai miliaran rupiahtidak<br />
sebanding dengan hasil retribusi dari IPK (Kompas, 18/5/2005).<br />
<strong>Perda</strong> NTB terdiri dari XI bab dan 33 pasal. Ada lima hal utama yang diatur dalam<br />
perda ini, yaitu:<br />
1. penetapan wilayah pengelolaan,<br />
2. penyiapan masyarakat,<br />
3. perijinan,<br />
4. pengelolaan hutan,<br />
5. pembinaan dan pengendalian.<br />
Rekoginisi negara atas hak kelola masyarakat dilegalkan dalam bentuk pemberian<br />
ijin kegiatan HKm kepada kelompok masyarakat (pasal 9). Ijin kegiatan HKm yang<br />
dimaksud di sini adalah ijin yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota<br />
13<br />
kepada masyarakat setempat untuk mengelola HKm. Sedangkan penetapan<br />
14<br />
wilayah pengelolaan HKm ada pada Gubernur dan dikukuhkan oleh Menteri. Oleh<br />
karena masyarakat memiliki hak kelola dalam kegiatan HKm, maka masyarakat<br />
menjadi pemain utama dalam pengelolaan HKm. Pengelola HKm itu mencakup<br />
penataan kawasan, perencanaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan pemeliharaan<br />
hutan dan perlindungan hutan. Dalam pemanfaatan hutan, masyarakat berhak<br />
mengambil produksi hasil hutan kayu dan non-kayu, mengambil manfaat air<br />
permukaan dan air tanah, pengusahaan jasa wisata alam dan penangkaran flora<br />
dan fauna yang tidak dilindungi, dan mengambil hasil tumpangsari (pasal 14).<br />
Namun demikian semua hasil di atas tidak sepenuhnya milik masyarakat. Ada<br />
pembagian hasil antara masyarakat yang memegang ijin kegiatan HKm dengan<br />
pemerintah. Dalam perda ini tidak dijelaskan secara spesifik berapa proporsi bagi<br />
hasilnya. Pasal 23 hanya menyatakan bahwa pembagian hasil didasarkan pada<br />
kesepakatan antara pemegang ijin kegiatan HKm dengan pemberi ijin kegiatan<br />
HKm yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerja sebagai lampiran dari surat<br />
keputusan pemberian ijin HKm.<br />
12 Degradasi hutan di NTB telah melahirkan lahan kritis, dari 250.000 ha tahun 1998, meluas jadi<br />
350.000 ha tahun 2002: 100 ha di kawasan hutan dan 250.000 di luar kawasan hutan.<br />
13 Bandingkan dengan SK 31/2001 yang hanya memberikan kewenangan izin kegiatan HKm kepada<br />
Bupati/Walikota, tidak kepada Gubernur.<br />
14 Dalam SK 31/2001 yang berhak menetapkan adalah Menteri, sedangan dalam perda ini ditetapkan<br />
Gubernur dan dikukuhkan oleh Menteri<br />
246
Sementara untuk bagian pemerintah secara eksplisit sudah diatur yang dibagi<br />
masing-masing menjadi bagian pemerintah propinsi 20%; pemerintah kabupaten/<br />
kota 45%; dan bagian pemerintah desa 35%. Disamping dari bagi hasil, pemerintah<br />
juga mendapatkan hasil dari retribusi dan atau iuran dari layanan perijinan,<br />
pengesahan rencana dan tata usaha hasil hutan, PSDH dan DR. Semua penerimaan<br />
ini masuk sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Dalam penyelenggaraan HKm,<br />
pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat untuk mempersiapkan kelembagaan,<br />
pelayanan perijinan, pelayanan tata usaha hasil hutan, penyuluhan, bimbingan dan<br />
pengendalian teknis, pengawasan dan evaluasi terhadap pemegang ijin kegiatan<br />
HKm (pasal 24, ayat 2). Sementara pemerintah propinsi lebih pada pengembangan<br />
dan kajian teknologi, kebijakan, pengendalian perijinan, pemantauan dan evaluasi<br />
penyelenggaraan HKm.<br />
5. Kesimpulan Dan Rekomendasi<br />
5.1 Kesimpulan<br />
Dari analisis tiga perda di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Ketiga perda, yaitu perda Wonosobo, perda Kutai Barat dan perda NTB<br />
merupakan perda perhutanan sosial karena di dalamnya mengakomodasi<br />
keragaman bentuk dan model praktek perhutanan sosial. Bentuk perhutanan<br />
sosial yang diakomodasi dalam perda Wonosobo dan perda NTB masuk dalam<br />
kategori model kehutanan masyarakat yang bercirikan pengelolaan hutan<br />
oleh masyarakat di kawasan hutan negara yang dilakukan secara komunal<br />
atau bersama-sama. Sedangkan perda Kutai Barat masuk dalam kategori<br />
model pertanian hutan yang bercirikan pengelolaan hutan di lahan milik oleh<br />
masyarakat<br />
Peluang akses sumber daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan yang<br />
miskin yang diatur dalam perda Kutai Barat tidak menjadi persoalan, karena<br />
kawasan hutan yang diatur di sini adalah lahan milik. <strong>Perda</strong> ini lebih bersifat<br />
mempertegas dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat<br />
agar tetap lestari. Maka dari itu perlu ada kebijakan IPHKR dan pelaporan<br />
hasil produksi tahunan kepada pemerintah. Ada kesan kuat perda ini lebih<br />
diorientasikan untuk meningkatkan PAD Kutai Barat daripada memperkuat<br />
kapasitas dan kelembagaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan<br />
rakyat.<br />
<strong>Perda</strong> Wonosobo meskipun sudah dibatalkan oleh Mendagri merupakan satusatunya<br />
perda yang paling revolusioner dalam konteks perhutanan sosial yang<br />
memberikan akses bagi masyarakat untuk mengelola hutan. Di dalamnya<br />
bukan hanya mengandung muatan pengakuan akses dan pemberian hak kelola<br />
kepada masyarakat, namun juga kental dengan semangat partisipasi publik<br />
dalam setiap tahapan penyelenggaraan PSDHBM.<br />
Sementara perda NTB lebih merupakan petunjuk teknis dari program HKm<br />
yang dintroduksi oleh pusat. Semangat penyerahan hak kelola kepada<br />
247
masyarakat sudah ada, namun sayangnya tidak diimbangi dengan fasilitasi<br />
penguatan kelembagaan lokal secara eksplisit. Hampir mirip dengan perda Kutai<br />
Barat, perda ini juga kuat dengan orientasi peningkatan PAD melalui serangkaian<br />
iuran, retribusi yang dibebankan kepada masyarakat yang terlibat dalam<br />
pengelolaan HKm.<br />
5.2 Rekomendasi<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Semangat dan inisiatif daerah untuk mereproduksi kebijakan yang<br />
diorientasikan bagi peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap<br />
sumber daya hutan perlu diapresiasi. Bahkan sudah semestinya inisiatifinisitaif<br />
seperti ini dapat menjadi sebuah gerakan masif sehingga semua<br />
pemerintah daerah dapat mengadopsi dan mengembangkannya sesuai dengan<br />
kondisi sosial, politik dan budaya masing-masing daerah<br />
Keinginan untuk meningkatkan PAD melalui kebijakan berbagai retribusi,<br />
iuran yang diakomodasi dalam perda-perda perhutanan sosial semestinya<br />
diimbangi dengan penguatan kelembagaan, pengetahuan dan ketrampilan<br />
masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan. Dan perlu ada upaya lain<br />
juga untuk memastikan bahwa PAD yang meningkat itu dibelanjakan untuk<br />
peningkatan kualitas layanan publik, terutama kelompok miskin<br />
Untuk mengantisipasi terjadinya cerita sukses di Wonosobo yang tertunda<br />
dengan dibatalkannya perda Wonosobo, maka sebaiknya dalam penyusunan<br />
kebijakan daerah di bidang kehutanan tetap memperhatikan ketentuan<br />
peraturan perundangan di atasnya. Ini juga sekaligus menjadi perhatian<br />
pemerintah pusat agar konsisten dalam mengeluarkan berbagai kebijakan<br />
sehingga tidak saling tumpang tindih dan bertolak belakang. Aspirasi<br />
masyarakat dan daerah jangan sampai tersumbat oleh ketidakjelasan dan<br />
ketidakkonsistenan kebijakan yang diproduksi oleh pusat.<br />
248
Daftar Pustaka<br />
Adi, N. Juni dkk. 2005. Hutan Wonosobo: Keberpihakan Yang Tersendat, Jawa<br />
Tengah Indonesia. Yogyakarta: BP Arupa<br />
Anonim. 2002. Refleksi Empat Tahun Reformasi Mengembangkan Sosial Forestri<br />
Di Era Desentralisasi: Intisari Lokakarya Nasional Sosial Forestri Cimacan, 10<br />
– 12 September 2002. Bogor: CIFOR<br />
Awang, San Afri. 2005. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan<br />
Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf<br />
Christanty, Linda. 2004. Decentralization and the Forestry Sector: Opportunities<br />
and Challenges. The CSIS Working Paper Series. Jakarta: CSIS<br />
Fuadi, Firman dan Rahman, Zain Noor (Peny). 2004. Desentralisasi versus<br />
Deforestasi: Proseding Semiloka Pengelolaan HKm di Gunung Kidul dan Konsultasi<br />
<strong>Publik</strong> Raperda Tentang Pengelolaan HKm. Yogyakarta: KP HKm<br />
Kompas, Jumat, 16 Agustus 2002. Hutan Dikuras, “Mangkok” Dibelah<br />
_______, Rabu, 18 Mei 2005 Otda NTB, Aplikasi Sesuai “Selera”<br />
Peluso,Nancy Lee. 1992. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance<br />
in Java, Berkeley: University of California Press<br />
Resosudarmo, Ida A.P. dan Colfer, Carol J.P (peny). 2003. Kemana Harus<br />
Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta:<br />
Yayasan Obor Indonesia<br />
Raharjo, Diah Y dan Ujjwal Pradhan. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Hutan<br />
Berbasis Masyarakat : Wacana Atau Pilihan? Dalam Sekapur Sirih Studi<br />
Kolaboratif FKKM: Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Yogyakarta:<br />
Pustaka Kehutanan Masyarakat<br />
Ribot, Jesse C. dan Nancy Lee Peluso,. 2003. A Theory of Access, Rural Sociaology<br />
volume 68, Issue 2, 2003<br />
Simon, Hasanu. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi<br />
pada Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika<br />
Peraturan Perundangan<br />
Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang<br />
Pemerintahan Daerah<br />
249
_______.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang<br />
Kehutanan<br />
_______. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 31 Tahun 2000<br />
Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat<br />
_______. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000<br />
tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi Sebagai Daerah Otonom<br />
_______. 2000. TAP MPR No. III/2000 tentang Tata Urutan Peraturan<br />
Perundangan<br />
_______. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001<br />
Tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten<br />
Wonosobo<br />
_______. 2001. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 31/Kpts-Ii/2001<br />
Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan<br />
_______. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2002<br />
tentang Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,<br />
Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan<br />
_______. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-Ii/2004 Tentang<br />
Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam Dan Atau Sekitar Hutan Dalam<br />
Rangka Social Forestry<br />
_______. 2004. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 6 Tahun<br />
2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Di Provinsi<br />
Nusa Tenggara Barat<br />
_______. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang<br />
Pemerintahan Daerah<br />
_______. 2005. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005 Tentang<br />
Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 Tentang<br />
Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo<br />
250
5. Merebut Kembali Hak Perempuan atas Layanan<br />
Kesehatan (Telaah Kritis atas Alokasi Anggaran Kesehatan<br />
untuk <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Perempuan di Kabupaten<br />
Bantul, Yogyakarta)<br />
1. Pendahuluan<br />
Filosofi keberadaan negara salah satunya adalah menjalankan fungsi sebagai agen<br />
pelayan publik (public services). Negara atau pemerintah (dalam arti government),<br />
secara tradisional melalui sistem birokrasi adalah pemegang monopoli atas<br />
pelayanan publik. Fakta menunjukkan, pemerintah sebagai pemegang monopoli<br />
hingga saat ini belum mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan<br />
kebutuhan masyarakat, bahkan pada tingkat paling dasar; seperti pelayanan<br />
kesehatan, pendidikan, pemukiman dan ekonomi. Kasus gizi buruk, kelumpuhan<br />
akibat folio, penyakit demam berdarah, busung lapar, kematian ibu melahirkan<br />
dan beberapa kasus lainnya merupakan bukti bahwa pemerintah atau negara<br />
belum mampu menjalankan fungsi layanan kebutuhan dasar masyarakatnya.<br />
Dalam banyak kasus tersebut, kelompok marginal seperti perempuan dan anak<br />
adalah korban terbesar dari kasus-kasus kesehatan, terutama perempuan dan anak<br />
dari keluarga miskin baik di desa maupun kota. Padahal dalam konstitusi telah<br />
menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada kelompokkelompok<br />
marginal seperti perempuan dan anak serta masyarkat miskin. Menurut<br />
data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, saat ini angka kematian ibu<br />
melahirkan sebesar 307 per seratus ribu kelahiran hidup. Keadaan anak-anak<br />
di Indonesia juga tidak lebih baik, karena kurang terjaminnya gizi sejak dalam<br />
kandungan, 1,7 juta dari sepuluh juta balita di Indonesia menderita gizi buruk.<br />
Dari jumlah tersebut, 170.000 jiwa berada dalam tingkat parah dan terancam<br />
kematian. <br />
Keadaan yang demikian mengundang sebuah pertanyaan; bagaimana sesungguhnya<br />
pemerintah sebagai pelayanan masyarakat mengelola pelayanan kesehatan bagi<br />
perempuan dan anak? Salah satu persoalan pengelolaan yang dihadapi oleh<br />
pemerintah dalam memberikan layanan pada masyarakat adalah rendahnya sumber<br />
daya keuangan pemerintah. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk memberikan<br />
pelayanan lebih kecil dari riil kebutuhan masyarakat. Ditambah persoalan dimana<br />
dana yang kecil tersebut diperebutkan oleh masing-masing sektor selain sektor<br />
kesehatan. Dengan minimnya dana, bagaimana pemerintah penyusun anggaran<br />
layanan kesehatan agar mampu memenuhi kebutuhan perempuan dan anak<br />
semaksimal mungkin?<br />
Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2003.<br />
Dalam, Wasingatu Zakiyah ”Sehat Tak Tergapai”. Diterbitkan oleh IDEA Yogyakarta tahun 2005,.<br />
hal. 10<br />
251
2. Governance, Penganggaran Kinerja dan Anggaran<br />
Berbasis Gender untuk Sektor Kesehatan<br />
Negara atau pemerintah adalah pemegang monopoli fungsi pelayanan pada<br />
masyarakat. Melalui birokrasinya, pemerintah menjalankan fungsi tersebut.<br />
Namun hingga saat ini, banyak persoalan-persoalan muncul justru karena watak<br />
pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh birokrasi. Sifatnya yang hierarkis,<br />
kaku, stabil dan sentralistik justru menyulitkan mereka dalam melakukan<br />
pelayanan pada masyarakat dan menyesuaikan diri dengan perubahan (Kaufmann,<br />
1977). Birokrasi juga memiliki watak yang massif dan ineffisien dalam pengelolaan<br />
sumber (Pratikno, 2005). Sementara itu, dengan berkembanganya persoalan yang<br />
ada dalam masyarakat seperti adanya proses pemiskinan secara srtuktural, peran<br />
birokrasi dituntut dapat mengatasi dampak dari persoalan tersebut. Salah satu<br />
fungsi birokrasi dalam melakukan pelayanan adalah fungsi pengelolaan anggaran<br />
dimana birokrasi dituntut dapat mempertemukan antara apa yang menjadi<br />
kebutuhan masyarakat dengan besaran dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan<br />
kebutuhan tersebut. Fungsi ini adalah fungsi kunci yang diemban birokrasi karena<br />
fungsi inilah yang dijadikan ukuran untuk menilai kinerja pemerintahan dan<br />
menentukan legitimasi pemerintahan dihadapan rakyatnya.<br />
Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut, saat ini birokrasi sedang<br />
mengembangkan sistem anggaran berbasis kinerja dengan prinsip-prinsip visioner,<br />
berwawasan kedepan; responsif, sesuai dengan keadaan; berorientasi pada outcomes<br />
dan output; indikator kinerja yang jelas; efisiensi, dengan input anggaran minimum<br />
dapat melakukan output maksimum; mendukung efektivitas, dengan income<br />
minimum dapat memberikan outcomes maksimum; dan mendukung akuntabilitas,<br />
dapat digunakan stakeholder untuk melakukan monitoring dan pengawasan.<br />
Semua prinsip-prinsip ini ditekankan pada pencapaian maksimalisasi pelayanan<br />
kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, penanggulangan<br />
kemiskinan, dan peningkatan kesempatan kerja (Pratikno, 2005). Catatan penting<br />
dalam proses penyusunan kebijakan anggaran dan proses pengelolaannya adalah<br />
dengan menggunakan perspektif anggaran berbasis gender yang tercermin dengan<br />
adanya; pertama, anggaran yang spesifik dialokasinya untuk perempuan; kedua,<br />
akses yang sama antara laki-laki dan perempuan atas anggaran untuk pegawai;<br />
ketiga, memikirkan dampak alokasi dan program anggaran terhadap perempuan<br />
(Debbie Budlender, 1998).<br />
Sebagai sintesis dari kedua hal tersebut, dalam pengelolaan kebijakan anggaran,<br />
harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut; pertama, pemikiran visioner<br />
dengan menempatkan perempuan sebagai aset yang melahirkan generasi penerus<br />
bangsa; kedua, kebijakan anggaran harus mencerminta apa yang saat ini dibutuhkan<br />
oleh perempuan dan anak; ketiga, efisien untuk memenuhi kebutuhan perempuan<br />
dan anak, dimana dengan alokasi yang minim dapat memenuhi kebutuhan<br />
perempuan dan anak secara maksimal; keempat, kemanfaatan dan dampak dari<br />
kebijakan anggaran harus memperhitungkan keberadaaan dan keberlangsungan<br />
252
hidup perempuan dan anak-anak; kelima, perempuan dapat ikut melakukan<br />
pengawasan dan monitoring atas kebijakan anggaran; keenam, indikator-indikator<br />
yang diterapkan dalam penyusunan anggaran dan evaluasinya harus memasukkan<br />
keberadaan perempuan dan anak.<br />
Dalam kerangka alokasi anggaran untuk kesehatan perempuan dan anak<br />
pemerintah harus menampatkan perempuan dan anak sebagai aset kesehatan<br />
bangsa yang harus diperhatikan kondisinya baik dalam keadaan sehat maupun<br />
sakit. Paradigma ‘Perempuan dan Anak Sehat’ harus selalu menjadi dasar<br />
penetapan kebijakan kesehatan. Karena perempuan memegang peran penting<br />
dalam fungsi reproduksinya sebagai yang melahirkan generasi penerus yang<br />
berkualitas. Kesehatan anak, sangat tergantung dari kesehatan ibunya sejak dari<br />
sebelum di lahir hingga beranjak dewasa. Selain itu, hampir sepanjang hidupnya<br />
perempuan berada dalam kondisi rawan kesehatan karena proses reproduksi yang<br />
diembannya. Pada intinya perempuan dan anak yang sehat adalah modal bangsa<br />
dan negara. Untuk memenuhi hak perempuan dan anak dalam berbagai sektor,<br />
terutama sektor kesehatan, perjuangan keadilan serta kesetaraan gender terus<br />
disuarakan dan diperjuangkan oleh berbagai pihak. Pemerintah Indonesia sendiri<br />
telah mengeluarkan aturan tentang Pengarusutamaan Gender dalam Dalam<br />
Keputusan Menteri Dalam Negeri No 132 tahun 2003, tentang Pedoman Umum<br />
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender serta dalam keputusan Menteri Dalam<br />
Negeri No.109 Tahun 2000. Dalam Kepmendagri no.109 tahun 2000 tersebut, BAB<br />
111 pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa:<br />
“Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender<br />
di daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),<br />
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing masing<br />
Provinsi, Kabupaten dan Kota sekurang kurangnya minimal sebesar 5 % (lima<br />
persen) dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota.”<br />
Artinya kebutuhan perempuan harus mendapatkan alokasi anggaran berdasarkan<br />
ketentuan yang berlaku. Jika tidak, maka pemerintah dipandang tidak mampu<br />
memberikan layanan pada perempuan di negara ini.<br />
3. Kondisi Perempuan Pedesaan di Kabupaten Bantul<br />
Kabupaten Bantul, terletak di bagian selatan Propinsi DIY, dengan jarak sekitar<br />
15 km dari Kota Yogyakarta. Kecamatan di Bantul berjumlah 17, serta terdiri dari<br />
75 desa. Jumlah penduduk Kabupaten Bantul pada tahun 2004, laki-laki sebanyak<br />
390.534 jiwa (49%), dan jumlah penduduk perempuan 406.329 jiwa (51%). Sementara<br />
itu, jika melihat jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bantul pada tahun 2004<br />
adalah sebanyak 100.997 orang atau sebanyak 29.306 KK dari jumlah penduduk<br />
sebanyak 796.821 orang. Kondisi tersebut, mendorong perempuan di Bantul untuk<br />
membantu ekonomi keluarga demi memenuhi kebutuhan rumah<br />
253
tangga. Hampir di banyak negara dan berbagai strata sosial, perempuan mengontrol<br />
lebih sedikit aset produktif dibanding laki-laki, meskipun perempuan sebenarnya<br />
menghasilkan 40-100% kebutuhan dasar keluarga (Jacobson, 1989). Fenomena di<br />
Bantul, pada musim panen terlihat ibu-ibu atau perempuan desa beramai ramai<br />
dereb 3<br />
di sawah. Di saat musim tanam atau tandur, perempuan desa juga bersamasama<br />
menanam padi. Di sisi lain, bakul-bakul di pasar juga perempuan, di mana<br />
mereka berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Fenomena yang cukup<br />
unik, pagi jam 8.00 berbondong-bondong perempuan Bantul mengayuh sepeda<br />
dengan ceria menuju kota bekerja sebagai buruh pabrik atau sektor informal lain.<br />
Menjelang sore hari sekitar pukul 4 sore, fenomena “bersepeda” juga menjadi ciri<br />
kehidupan sehari-hari masyarakat terutama perempuan Bantul. Hal tersebut<br />
menunjukkan bahwa perempuan menghasilkan 40-100% kebutuhan dasar<br />
keluarga.<br />
Peran double burden (domestic dan public) lekat pada perempuan. Sesampainya<br />
di rumah, perempuan harus menjalankan pekerjaan rumah tangga, mengurus<br />
anak dan suami sampai menjelang tidur. Hal yang sering dilupakan masyarakat<br />
adalah bahwa perempuan juga mememiliki peran ketiga, yaitu peran reproduktif.<br />
Sejak lahir, perempuan memiliki kodrat untuk menstruasi, hamil, melahirkan,<br />
dan menyusui. Fungsi tersebut tak tergantikan, dan fungsi vital akan berpengaruh<br />
pada kehidupan perempuan. Sudah rahasia umum bahwa perempuan menempati<br />
posisi kelas dua, marginal, tersubordinat, dan minim terhadap akses sumber daya.<br />
Kurangnya kontrol perempuan terhadap sumber daya sangat berpengaruh pada<br />
kondisi kesehatan dan gizi keluarga terutama perempuan dan anak. Bantul, dengan<br />
wilayah yang hampir semuanya pedesaan dan jumlah penduduk perempuan lebih<br />
dari separuh, menyimpan banyak persoalan kondisi kesehatan perempuan dan<br />
anak. Indikator kesehatan secara umum adalah angka kematian ibu melahirkan<br />
(maternal mortality rate), usia harapan hidup, dan angka kematian bayi (infant<br />
mortality rate).<br />
Tahun 2000, Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) tercatat 126/100.000 kelahiran<br />
hidup dan di tahun 2004 adalah 97/100.000 kelahiran hidup. Sementara angka<br />
kesakitan ibu sebesar 0,34/1.000 penduduk. Angka kematian bayi (AKB) di tahun<br />
2000 sebesar 10,2/1.000 kelahiran hidup dan di tahun 2004 adalah 9,87/1.000<br />
kelahiran hidup. Untuk usia harapan hidup di tahun 2000 adalah 70 tahun untuk<br />
pria dan 72 tahun untuk wanita, sementara pada di 2004 mencapai 70 tahun untuk<br />
pria dan 70 tahun untuk wanita. Kondisi kesehatan balitanya juga bermasalah,<br />
kasus kekurangan gizi balita (KEP atau Kekurangan Energi Protein) adalah 23,42%<br />
di tahun 2000 dan 13,90% di tahun 2004 dengan konsentrasi terbesar di wilayah<br />
kecamatan Dlingo, Bantul, Kasihan, Sewon, Banguntapan, sedangkan konsentrasi<br />
gizi buruk Balita di wilayah Dlingo dan Sewon. Angka kesakitan diare di tahun<br />
2000 mencapai 15,25/1.000 penduduk dan di tahun 2004 mencapai 15,10/1.000<br />
penduduk. (lihat Gambar).<br />
3 dereb: istilah dalam bahasa Jawa ketika sedang memanen padi<br />
254
Gambar 1 : Status Gizi Balita<br />
S tatus G izi B alita<br />
450<br />
400<br />
350<br />
BURUK<br />
KEP<br />
300<br />
250<br />
200<br />
Jumlah<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
Srand Sanden Kretek PundongBblipuro Pandak Bantul Jetis Imogiri Dlingo Pleret PynganBgtapan Sewon Kasihan PjnganSedayu<br />
K ec amatan<br />
Usia harapan hidup penduduk Kabupaten Bantul, menempati posisi terendah<br />
Di Bantul, terdapat puskesmas sebanyak 26 unit, RSUD 1 unit, dan 2 unit umah<br />
sakit jiwa swasta. Dalam rangka menuju Bantul Sehat 2005, pemerintah Kabupaten<br />
Bantul berusaha mewujudkan 17 puskesmas berfasilitas rawat inap, 6 puskesmas<br />
unggulan/spesialis, serta rumah sakit umum menjadi rumah sakit mandiri.<br />
Melihat data kesehatan diatas, berdasarkan analisis rasio ketersediaan sarana<br />
prasarana kesehatan terhadap jumlah penduduk terlihat bahwa satu rumah sakit<br />
digunakan untuk melayani 265.607 jiwa. Sedangkan untuk layanan Puskesmas,<br />
satu puskesmas untuk melayani sekitar 200.000 lebih jiwa.<br />
Fakta-fakta yang ada di Bantul tersebut menuntut upaya serius terutama<br />
Pemerintah daerah, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas pemenuhan<br />
hak dasar masyarakat, terutama di bidang kesehatan. Angka kematian ibu<br />
melahirkan yang relatif tinggi, balita gizi buruk serta angka KEP yang juga<br />
tinggi, menjadi persoalan yang harus segera dipecahkan. Komitmen pemerintah<br />
daerah kabupaten Bantul terhadap persoalan kesehatan tersebut dapat dilihat<br />
dalam kebijakan anggaran. Anggaran adalah sebagai wujud nyata tanggungjawab<br />
pemerintah terhadap rakyatnya dalam rangka pemenuhan hak dasar masyarakat.<br />
Untuk melihat sejauh mana komitmen pemerintah tentang kebijakan anggaran<br />
yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar kesehatan, perlu ditelaah dan<br />
dianalisis kecenderungan APBD Kabupaten Bantul. Perlu dilihat apa saja sumbersumber<br />
pendapatan pemerintah untuk membiayai kegiatan setiap tahun.<br />
255
Tabel 1. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bantul tahun 2004-2006<br />
Tahun Rangking I Rangking II Rangking III<br />
2004 Retribusi. Kesehatan<br />
(Rp.10,3 Milyar)<br />
PPJU (Pajak Penerangan<br />
Jalan Umum)<br />
(Rp.6,1 Milyar)<br />
Rekreasi<br />
(Rp.2,71 Milyar)<br />
2005 Retribusi. Kesehatan<br />
(Rp.11,156 Milyar)<br />
PPJU (Pajak Penerangan<br />
Jalan Umum)<br />
(Rp.6,35 Milyar)<br />
Rekreasi<br />
(Rp.2,46 Milyar)<br />
2006* Retribusi. Kesehatan<br />
(Rp.15,68 Milyar)<br />
PPJU (Pajak Penerangan<br />
Jalan Umum)<br />
(Rp.8 Milyar)<br />
Rekreasi<br />
(Rp.2,625 Milyar)<br />
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2004 dan 2005<br />
*Sumber: Dokumen RAPBD Kabupaten Bantul tahun 2006<br />
Data pada tabel 1 menunjukkkan jika retribusi kesehatan menjadi penyumbang<br />
pendapatan tertinggi terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bantul. Hal<br />
tersebut mengindikasikan bahwa orang sakit atau orang menggunakan jasa<br />
pelayanan kesehatan justru berkontribusi terhadap pendapatan, dan akhirnya<br />
pemerintah daerah pun berlomba-lomba untuk menaikkan retribusi kesehatan<br />
demi meningkatkan pendapatan asli daerah. Di sisi yang lain, rata-rata pengguna<br />
layanan kesehatan di Kabupaten Bantul adalah perempuan (ibu hamil, lansia),<br />
serta balita yang sakit dimana mayoritas mereka adalah masyarakat miskin.<br />
Seharusnya, pendapatan yang diperoleh dari masyrakat tersebut juga dialokasikan<br />
untuk masyarakat kembali. Ironisnya, kesehatan sebagai sebuah hak dasar yang<br />
wajib dipenuhi oleh pemerintah hanya mendapatkan porsi yang sedikit.<br />
Tabel 2. Alokasi anggaran kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2004-2006<br />
Tahun Total Anggaran Kesehatan (Rp) Rasio thd.total APBD (%)<br />
2004 11.282.020.700 2,9<br />
2005 26.779.071.600 6,3<br />
2006* 33.371.457.400 6<br />
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2004 dan 2005<br />
*Sumber: Dokumen RAPBD Kabupaten Bantul tahun 2006<br />
256
Adanya fakta di atas, menunjukkan bahwa pemerintah Bantul, khususnya dinas<br />
kesehatan tidak cukup tergugah pikirannnya untuk menyusun alokasi anggaran<br />
yang sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak. Bahkan dalam tiga tahun<br />
ini, alokasi anggaran kesehatan untuk perempuan dan anak terus menurun seperti<br />
terlihat dalam tabel di bawah ini:<br />
Tabel 3 : Anggaran Kesehatan untuk Perempuan dan Anak<br />
A n g g a r a n k e s e h a ta n u n tu k p e r e m p u a n d a n a n a k<br />
d a la m A P BD b a n tu l 2 0 0 4 - 2 0 0 6<br />
800.000.000,00<br />
600.000.000,00<br />
400.000.000,00<br />
200.000.000,00<br />
-<br />
706.700.000,00<br />
581.630.000,00<br />
165.520.000,00<br />
2004 2005 2006<br />
Sebaliknya, untuk kegiatan-kegiatan yang tidak menyentuh kepentingan hak<br />
dasar kesehatan masyarakat, Pemkab Bantul mengalokasikan anggaran yang<br />
sangat besar. Tahun 2004 dan 2005, Pemkab Bantul memiliki proyek mercusuar<br />
pembangunan GOR (gedung olahraga) yang menelan biaya Rp.11 milyar lebih.<br />
Sementara itu, untuk kegiatan PERSIBA (Persatuan Sepakbola Bantul), menelan<br />
biaya Rp.4,5 milyar tahun 2005, serta Rp.6,5 milyar pada tahun 2006. Dampak<br />
dari minimnya alokasi kesehatan untuk perempuan dan anak serta pengelolaan<br />
dana yang tidak matching dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah;<br />
pertama penurunan derajat kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dalam<br />
jangka panjang; kedua, ancaman matinya pos-pos layanan kesehatan dasar<br />
masyarakat seperti Puskesmas Pembantu dan Posyandu; ketiga, dengan adanya<br />
bisnis kesehatan pada masa sekarang menyebabkan masyarakat miskin, terutama<br />
perempuan miskin tidak mendapatkan layanan kesehatan dengan baik, karena<br />
perempuan selama ini selalu menduduki posisi second line dalam rumah tangga.<br />
Banyak agenda pemerintah Bantul yang harus segera dikerjakan dan diselesaikan<br />
berkaitan dengan layanan kesehatan pada perempuan dan anak. Namum, semua tak<br />
luput dari dilema dan keterbatasan yang juga menjadi persoalan bagi pemerintah<br />
Bantul. Pertama, ketersediaan dana yang minim dan adanya praktek politik untuk<br />
memperebutkan anggaran, membuat kue (dana) untuk kesehatan lebih sedikit dari<br />
kebutuhan. Kedua, adanya paradigma berfikir lama dalam menyusunan anggaran<br />
kinerja, dimana anggaran yang berbasis kinerja masih disusun dengan pola lama<br />
yang menempatkan alokasi anggaran untuk aparatur dalam porsi yang besar.<br />
Ketiga, anggaran kesehatan masih disusun dengan paradigma upaya kuratif, belum<br />
pada aspek promotif dan preventif. Keempat, ketidaksesuaian antara kebutuhan<br />
layanan kesehatan perempuan dan anak dengan alokasi anggaran menunjukkan<br />
bahwa pemerintah belum mampu melihat apa yang menjadi kebutuhan riil<br />
257
perempuan dan anak. Kelima, selama ini kelompok perempuan tidak memiliki<br />
akses atas proses kebijakan anggaran, sehingga perempuan tak dapat memberi<br />
kontribusi informasi atas persoalan yang dihadapi perempuan dan anak. Keenam,<br />
hingga kini, pemerintah belum memberi ruang partisipasi perempuan dalam<br />
proses anggaran. Kalau pun ada belum mampu mewakili kelompok perempuan<br />
dan kebutuhan mereka. Bahkan keberadaan kelompok perempuan, seperti PKK<br />
hanya sekedar formalitas mekanisme pengambilan keputusan.<br />
5. Kesimpulan<br />
Beragamnya persoalan kesehatan perempuan, lansia dan anak menuntut upaya<br />
sistematis dan komprehensif. Kabupaten Bantul, masih belum memiliki upaya<br />
serius untuk mengatasi persoalan perempuan dan kesehatan di Bantul. Alokasi<br />
anggaran untuk kesehatan yang minim, apalagi kesehatan perempuan dan anak,<br />
adalah tolak ukur kurangnya perhatian pemerintah kabupaten Bantul terhadap<br />
persoalan kesehatan dan perempuan. Saatnya perempuan merebut hak atas<br />
anggaran melalui upaya advokasi anggaran kesehatan. Untuk merebut hak tersebut,<br />
hal yang harus dilakukan adalah; pertama, perlunya upaya peng<strong>org</strong>anisasian<br />
kelompok-kelompok perempuan terutama perempuan miskin dalam menuntut hak<br />
atas anggaran. Kesadaran atas hak dan kewajiban sebagai warga negara serta<br />
kesadaran atas hak politik seperti hak bicara dan mendapatkan kesempatan serta<br />
perlakukan adil sangat diperlukan sebagai dasar gerakan perjuangan perempuan.<br />
Kedua, penguatan <strong>org</strong>anisasi kelompok perempuan sebagai wadah dan alat<br />
perjuangan kepentingan perempuan, seperti kelompok kader posyandu, kelompok<br />
tani perempuan dan kelompok yang berdiri atas dasar kepentingan.<br />
Ketiga, adanya jaringan antar kelompok perempuan yang bersama-sama berjuang<br />
memperebutkan kepentingan bersama. Keempat, keterlibatan kelompok perempuan<br />
atau jaringan dalam pengambilan keputusan, terutama kebijakan penganggaran<br />
dalam forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) di tingkat desa,<br />
kecamatan, serta kabupaten harus mengikutsertakan perempuan.Kelima, bagi<br />
pihak pemerintah, sudah saatnya untuk tidak rezim dan memonopoli kebijakan<br />
yang ada. Mengembalikan hak dan kedaulatan rakyat kembali ke tangan rakyat<br />
sebagai wujud pemerintahan demokratis harus segera dilakukan. Melibatkan<br />
perempuan bukan hanya sekedar formalitas atas kuota pelibatan perempuan, tetapi<br />
merupakan upaya sistematis untuk membuat rumusan kebijakan yang memberikan<br />
manfaat besar bagi kemajuan masyarakat terutama perempuan. Hal yang harus<br />
dilakukan adalah membuat instrumen hukum melalui perda partisipatif yang<br />
menjamin keberadaan kelompok perempuan, bukan berdasar formalitas lembaga<br />
tetapi berdasar kebutuhan dan kepentingan perempuan. Bukan hanya PKK yang<br />
diundang, tetapi juga kelompok perempuan berdasarkan aktivitas sosial dan<br />
ekonomi mereka. Langkah selanjutnya adalah menciptakan indikator-indikator<br />
yang menciptakan instrumen kebijakan dengan perspektif gender, sebagai acuan<br />
birokrat dalam taraf penyusunan dan pengimplementasian sehingga distorsi atas<br />
kebijakan yang maskulin dapat diminimalisir.<br />
258
Bahan bacaan<br />
Cornelis Lay, Good Governance dan <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong>, , Jurnal Ilmu Pemerintahan<br />
Volumen 2 tahun 2006<br />
Dokumen APBD Bantul Tahun 2004<br />
Dokumen APBD Bantul Tahun 2005<br />
Dokumen RAPBD Bantul Tahun 2006<br />
Fatimah, Makalah Perempuan dan Anggaran, IDEA 2005.<br />
Jacobson, J., 1997, Kesehatan Wanita: Harga dari Sebuah Kemiskinan, dalam<br />
Buku Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global oleh Merge Koblinsky, dkk.<br />
(eds.), (terjemahan) Gamapress, Yogyakarta.<br />
Pratikno, Anggaran Berbasis Kinerja, Makalah Kuliah Polokda UGM.<br />
Profil Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2003<br />
Purwo Santoso, Demokrasi dan <strong>Pelayanan</strong> Public, Makalah Kuliah Polokda UGM<br />
Tenti, dkk, Korupsi Telanjang di Mata Perempuan, IDEA, Yogyakarta, 2005<br />
Zakiyah, Sehat tak Tergapai, Menyoal Kesehatan dan Anggaran, IDEA, Yogyakarta,<br />
2004<br />
259
6. Air Berkualitas Baik<br />
Bukan Untuk Warga Miskin Cilacap<br />
1. Pengantar :<br />
Air Merupakan Kebutuhan Dasar Setiap Manusia<br />
Air merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Hal ini disadari sepenuhnya oleh<br />
para pendiri negara Indonesia sehingga jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat<br />
akan air menjadi pemikiran penting pada saat penyusunan konstitusi. Dengan<br />
gemilang, gagasan ini dituangkan secara tersurat pada Pasal 33 UUD 1945: “Bumi<br />
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara<br />
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Meskipun telah<br />
empat kali UUD 1945 diamandemen, ketentuan ini tidak mengalami perubahan.<br />
Artinya bahwa secara prinsip, siapapun mengakui pentingnya air bagi kehidupan<br />
manusia dan keharusan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan air bagi<br />
rakyatnya. Pencantuman ketentuan ini, dalam tinjauan ilmu politik, merupakan<br />
kontrak sosial antara negara dan rakyat.<br />
Pada tingkat global, pemenuhan kebutuhan akan air bagi setiap manusia juga<br />
ditegaskan melalui berbagai upaya hukum, diantaranya adalah Deklarasi PBB<br />
yang dicetuskan oleh Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya<br />
pada November 2002. Deklarasi ini menyebutkan bahwa akses terhadap air<br />
merupakan sebuah hak dasar (a fundamental right) setiap manusia. Bahwa air<br />
adalah benda sosial dan budaya, bukan hanya komoditi ekonomi. Berkenaan<br />
dengan hal tersebut, Komite ini menekankan bahwa 145 negara telah meratifikasi<br />
Konvenan Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang kini telah<br />
diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses terhadap air secara setara<br />
tanpa diskriminasi. Walaupun Deklarasi PBB ini tidak menyebut secara eksplisit<br />
tentang privatisasi,-guna menghindari konflik terbuka dengan negara maju<br />
yang mendukung privatisasi-, namun tetap memiliki makna bahwa penyediaan<br />
kebutuhan dasar oleh pemerintah adalah pilihan terbaik atas sumberdaya yang<br />
terbatas serta komoditas publik yang fundamental bagi kesehatan dan kehidupan,<br />
termasuk sumber daya air. <br />
Perhatian tentang pentingnya air bagi kehidupan manusia diikuti dengan<br />
perbincangan mengenai berbagai turunan tema tentang air antara lain pengelolaan<br />
kualitas air, pengendalian pencemaran air, konservasi sumber air dan sebagainya.<br />
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dalam perkembangannya<br />
banyak diatur oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Dengan alasan<br />
otonomi daerah yang diartikan bahwa daerah berhak mengatur rumah tangganya<br />
sendiri, beberapa pemerintah daerah di Indonesia membuat Peraturan daerah yang<br />
mengatur persoalan air. Namun, belum ada jaminan bahwa substansi <strong>Perda</strong> yang<br />
(Social Watch Report, 2003).<br />
260
ada mencerminkan karakter lokal daerah yang bersangkutan, mengakomodasi<br />
kepentingan rakyat lokal serta dapat memecahkan persoalan air yang nyatanyata<br />
dialami rakyatnya. Euforia otonomi daerah dalam pelaksanaannya sering<br />
dimaknai sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam di daerah<br />
untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa lokal. Hal ini tentu tidak sejalan<br />
dengan amanat otonomi daerah itu sendiri yang pada awalnya dimaksudkan untuk<br />
meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah yang bersangkutan. Ironisnya,<br />
eksploitasi sumberdaya alam oleh pemerintah daerah itu seringkali dilegitimasi<br />
dengan peraturan-peraturan daerah sehingga secara prosedur birokrasi dan hukum<br />
2<br />
terkesan memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, kajian mendalam akan<br />
akuntabilitas suatu <strong>Perda</strong> yang mengatur tentang pengelolaan kualitas air dan<br />
pencemaran air merupakan kebutuhan penting yang mendesak untuk dilakukan.<br />
Makalah ini merupakan hasil penelitian terhadap akuntabilitas penerapan<br />
Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan<br />
Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap. Disusun sebagai salah satu<br />
upaya menjawab kebutuhan akan <strong>Perda</strong> yang berpihak pada kepentingan rakyat,<br />
bukan kepentingan pihak-pihak tertentu semata.<br />
2. Latar belakang<br />
Cilacap adalah salah satu dari 35 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah.<br />
Secara astronomis terletak pada 108 4’30”-109 30’30” BT dan 7 30’-7 45’ 20” LS.<br />
Luas wilayahnya adalah 225.360.360,840 ha termasuk Pulau Nusakambangan<br />
yang memiliki luas 11.510,55 ha 3. Batas-batas wilayah kabupaten Cilacap adalah<br />
sebagai berikut :<br />
- sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen<br />
- sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas<br />
- sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Kuningan<br />
- sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia 4<br />
Secara administratif, wilayah Cilacap dibagi menjadi 23 kecamatan, 268 desa<br />
dan 15 kelurahan. Jumlah penduduk Cilacap menurut data per Desember adalah<br />
1.707.790 jiwa 5. Dibanding kabupaten lain di Jawa Tengah, Cilacap memiliki curah<br />
hujan tertinggi yaitu hujan terbesar, yakni rata-rata 3396mm per tahun 6.<br />
Bentang<br />
alam Cilacap terdiri dari daratan, pegunungan dan rawa-rawa. Luas daerah rawarawa<br />
mencapai 239,810 ha tersebar di beberapa kecamatan yaitu, Kawunganten,<br />
2 Kasus Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau dapat dijadikan contoh <strong>Perda</strong> produk<br />
otonomi daerah yang cenderung berpihak pada kepentingan penguasa lokal. Selengkapnya baca: Rully<br />
Syumanda ,Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif Terhadap RTRWP Riau<br />
2001-2015, dalam www.walhi.or.id<br />
3 PM. Laksono dkk. 2001.Pemberdayaan Masyarakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan yang Berperspektif<br />
Lingkungan, Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, halaman: 12.<br />
4 Atlas Indonesia, 2005, PT Intan Pariwara, Klaten, halaman 10.<br />
5 Cilacap dalam Angka 2005. Biro Pusat Statistik Kabupaten Cilacap, halaman 206.<br />
6 Jawa Tengah dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, Semarang, halaman 7.<br />
261
Cilacap Tengah, Nusawungu, Kroya, Adipala, Kesugihan, Gandrungmangu,<br />
Bantarsari, Patimuan dan Kedungreja 7. Sumber air di sekitar daerah rawa-rawa ini<br />
pada umumnya payau, keruh dan lengket sehingga tidak nyaman untuk mandi dan<br />
tidak enak untuk diminum atau dimasak . Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi<br />
penduduk yang tinggal di daerah tersebut terutama apabila musim kemarau tiba 8.<br />
Setidaknya ada 44 desa setiap tahun rawan air bersih yang tersebar di kecamatankecamatan<br />
tersebut. Keseluruhan warga yang terancam kekurangan air bersih<br />
adalah 29.720 kepala keluarga atau 115.869 jiwa 9. Persoalan lain terkait dengan<br />
air di Cilacap adalah pencemaran air. Persoalan ini tidak lepas dari keberadaan<br />
industri-industri besar di Cilacap seperti pelabuhan niaga, PT Pertamina, PT<br />
Semen Cibinong, Pemintalan, Perusahaan Tepung Terigu, pengolahan ikan,<br />
pengolahan kayu dan industri lain yang membuat kota ini dijuluki kota industri.<br />
Limbah industri sangat berpeluang untuk mencemari sumber air yang berada di<br />
sekitar tempat pembuangan limbah itu berada. Kasus pencemaran yang pernah<br />
terjadi antara lain dilakukan oleh PT Juifa, sebuah industri pengolahan ikan yang<br />
terletak di kecamatan Cilacap Selatan pada tahun 2000 10<br />
.<br />
Berkenaan dengan persoalan air Bupati Cilacap dengan persetujuan Dewan<br />
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap pada tanggal 1 Agustus 2003<br />
menetapkan Peraturan daerah No 27 tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas<br />
Air dan Pengendalian Pencemaran Air. <strong>Perda</strong> ini terdiri dari 10 bab dan 36 pasal.<br />
Sesuai judulnya, perda ini pada pokoknya mengatur tentang klasifikasi dan<br />
kriteria kualitas air, pengendalian pencemaran air, pembuangan air limbah dan<br />
retribusinya dilengkapi ketentuan mengenai sanksi administrasi dan ketentuan<br />
pidana bagi pelanggarnya. Menurut <strong>Perda</strong> ini setiap orang mempunyai hak yang<br />
sama atas kualitas air yang baik dan mendapat informasi mengenai status mutu<br />
air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air (Pasal 22).<br />
Sebagai sebuah produk hukum <strong>Perda</strong> mempunyai kekuatan hukum yang mengikat<br />
11<br />
untuk lingkup daerah yang diaturnya . Artinya bahwa, jika <strong>Perda</strong> mengatur<br />
bahwa air adalah hak setiap orang untuk memanfaatkannya, maka pemerintah<br />
daerah yang bersangkutan berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Dalam<br />
ilmu hukum, apa yang tertera dalam aturan hukum adalah kondisi ideal yang<br />
diharapkan atau apa yang semestinya (das solen). Hampir genap tiga tahun <strong>Perda</strong><br />
tersebut diundangkan. Namun pengamatan dan pengalaman tim penulis yang<br />
merupakan warga Cilacap menunjukkan bahwa pada kenyataannya masyarakat<br />
Cilacap, khususnya di kecamatan-kecamatan yang jauh dari pusat pemerintahan<br />
kabupaten sampai saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan air bersih.<br />
Kesulitan ini sangat terasa terutama untuk keperluan makan, minum, mencuci<br />
7 Homepage Daerah Kabupaten Cilacap dalam www.deptan.go.id.<br />
8 Pada musim hujan penduduk dapat memanfaatkan air hujan yang ditampung di tandon besar untuk<br />
keperluan makan dan minum.<br />
9 Kekurangan Air Bersih di Cilacap Meluas. www.suaramerdeka.com. 26 Agustus 2005<br />
10 Informasi ini diperoleh dari wawancara sambil lalu dengan Rasino, seorang nelayan, pada tanggal<br />
23 Juni 2006<br />
11 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, halaman<br />
58.<br />
262
dan mandi yang adalah kebutuhan utama orang. Di Kecamatan Kawunganten<br />
misalnya, ribuan orang dari beberapa desa tidak punya pilihan selain mengkonsumsi<br />
air payau keruh untuk kebutuhan sehari-harinya dari sumber air yang tercemar<br />
oleh kotoran manusia dan binatang peliharaan. Keadaan serupa dialami<br />
warga masyarakat di Desa Cisumur, Gintungreja, dan Sidaurip di Kecamatan<br />
Gandrungmangu, serta beberapa desa di Kecamatan Patimuan, Nusawungu,<br />
Jeruklegi dan Kampunglaut yang terletak tidak begitu jauh dari pantai. Keadaan<br />
yang nyata ini dalam wacana hukum disebut das sein.<br />
3. Permasalahan<br />
Kesenjangan antara keadaan yang semestinya (das solen) dengan keadaan<br />
yang nyata terjadi (das sein) terkait dengan persoalan air yang dialami warga<br />
Cilacap menarik untuk dikaji. Berpijak pada uraian dalam latar belakang, pokok<br />
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana akuntabilitas penerapan<br />
<strong>Perda</strong> Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap?<br />
4. Tujuan Penelitian<br />
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pokok permasalahan di atas, yakni<br />
untuk mengetahui dan menguji akuntabilitas penerapan <strong>Perda</strong> Pengelolaan Air<br />
dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap?<br />
5. Metode Penelitian<br />
Jenis penelitian adalah penelitian kepustakaan (library research) didukung<br />
penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan yuridis sosiologis, mengkaji<br />
aspek hukum ketentuan <strong>Perda</strong> serta mengkonfirmasikan penerapan perda pada<br />
kenyataannya di lapangan. Penelitian lapangan dilakukan di Desa Bringkeng dan<br />
Bojong Kecamatan Kawunganten, Desa Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu<br />
dan Kelurahan Tegal Kamulyan Kecamatan Cilacap Selatan. Alasan pemilihan<br />
lokasi di desa Bringkeng dan Bojong karena pengetahuan sementara akan kondisi<br />
air di kedua desa tersebut. Pemilihan kelurahan Cilacap Selatan didasari oleh<br />
banyaknya industri di dalamnya. Bahan penelitian terdiri dari 3 macam: data<br />
primer, sekunder dan tersier. Data primer berupa informasi dari kontak langsung<br />
dengan subjek penelitian di lokasi. Studi kepustakaan dilakukan terhadap<br />
beberapa peraturan perundangan. Data sekunder berupa data dari dokumen studi<br />
kepustakaan. Data tersier diperoleh dari kamus dan internet. Metode pengumpulan<br />
data dengan wawancara, pengamatan dan studi dokumen. Informan penelitian<br />
adalah masyarakat di Kabupaten Cilacap dan pejabat yang berkompeten dalam<br />
persoalan yang dikaji. Pejabat dipilih dari kalangan DKLH (Dinas Kebersihan dan<br />
Lingkungan Hidup) Pemerintah Kabupaten Cilacap, Pegawai pada PDAM Cilacap.<br />
Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan pendekatan kualitatif.<br />
263
6. Hasil Penelitian dan Pembahasan<br />
Seiring dengan derasnya arus demokratisasi, kebijakan otonomi daerah di Indonesia<br />
digulirkan melalui Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah<br />
dan efektif mulai 1 Januari 2001. Kebijakan ini disambut dengan antusias oleh<br />
rakyat Indonesia. Antusiasme ini dapat dilihat dari maraknya diskusi publik yang<br />
diselenggarakan untuk membicarakan otonomi daerah, mulai dari soal urgensinya,<br />
harapan rakyat, peluang meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah sampai<br />
pada implikasi negatif yang mungkin ditimbulkannya. Salah satu isu yang<br />
cukup populer dalam perbincangan otonomi daerah adalah soal partisipasi, yakni<br />
pelibatan rakyat dalam perumusan kebijakan sehingga aspirasinya dapat terserap<br />
dengan baik, pelaksanaan kebijakan, pengawasan dan penerimaan manfaat dari<br />
kebijakan tersebut 12<br />
. Partisipasi dinilai sangat penting dalam konteks ini karena<br />
dengan partisipasi inilah akan terasa perbedaan otonomi dan tidak otonomi.<br />
Artinya, jika sebelum otonomi diberlakukan, kebijakan lebih banyak –untuk tidak<br />
menyebut seluruhnya- bersifat sentralistis, top down, maka di era otonomi daerah<br />
rakyat ingin gagasannya didengarkan, ruang publik diperlebar, pemerintahan<br />
lebih transparan agar rakyat dapat ikut mengawasi, akses terhadap sumber daya<br />
dipermudah dan dapat merasakan manfaat kebijakan itu lebih besar.<br />
Secara umum, masyarakat berharap dengan diberlakukannya otonomi daerah,<br />
rakyat bisa lebih sejahtera dengan asumsi bahwa pendapatan daerah akan<br />
dialokasikan lebih banyak untuk pemerintah daerah yang lebih dekat dengan<br />
rakyatnya dan lebih mengetahui kebutuhan rakyatnya dibanding Pemerintah<br />
Pusat. Dengan kata lain, akan terwujud pemerintahan yang lebih demokratis,<br />
yakni dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Di sisi lain Pemerintah Daerah,<br />
terutama yang memiliki sumber daya potensial tak mau berdiam diri menangkap<br />
wewenang mengelola daerahnya sendiri yang sebelumnya harus seijin pemerintah<br />
pusat. Ada bermacam-macam respon pemerintah daerah atas diberlakukannya<br />
kebijakan otonomi daerah ini. Secara sederhana respon ini dapat dikategorikan<br />
menjadi dua, yaitu positif dan negatif. Respon positif merujuk pada kebijakan<br />
pemerintah daerah yang memanfaatkan sebaik mungkin dengan membuat<br />
kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyatnya. Sekedar menyebutkan<br />
contoh, menyambut otonomi daerah Kabupaten Jembrana membuat kebijakan<br />
13<br />
membebaskan biaya pendidikan bagi rakyatnya untuk tingkat SD hingga SLTA .<br />
Kebijakan ini mendasarkan pada kesadaran pentingnya membangun kemampuan<br />
sumber daya manusia sebagai subjek perubahan. Adapun respon negatif merujuk<br />
pada kebijakan pemerintah daerah yang justru mengeksploitasi sumberdaya yang<br />
dimilikinya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa memberi manfaat<br />
yang seimbang pada rakyat. Satu contoh yang dapat dikemukakan adalah kebijakan<br />
Provinsi Riau yang menetapkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang eksploitatif<br />
tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis dan penerimaan manfaat.<br />
14 <br />
12 Otonomi Daerah, Antara Konsep dan Realitas. Majalah Millah, edisi Oktober 2001.<br />
13 Jembrana Gratiskan Biaya Pendidikan, Kompas 9 April 2001.<br />
14 Rully Syumanda , Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif Terhadap<br />
RTRWP Riau, dalam<br />
264
Penelitian terhadap akuntabilitas <strong>Perda</strong> No 27 tahun 2003 memperoleh beberapa<br />
temuan yang mengindikasikan bahwa <strong>Perda</strong> ini tidak mampu menjawab persoalan<br />
air yang dialami oleh rakyat Cilacap. Selengkapnya temuan-temuan tersebut<br />
adalah :<br />
1.<br />
Ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam <strong>Perda</strong> tersebut belum membuka<br />
ruang partisipasi publik dalam upaya penanggulangan pencemaran air.<br />
Pasal 24 mengatur :<br />
1. Setiap usaha dan /atau kegiatan yang memanfaatkan air limbah ke tanah<br />
untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupati<br />
2. Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan Bupati<br />
3. Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini didasarkan<br />
pada kajian analisis air limbah sesuai baku mutu yang ditetapkan.<br />
Rumusan ketentuan dalam Pasal 24 di atas memberikan kesan “bupati centris”.<br />
Ketentuan ini mengatur bahwa ijin tertulis bupati hanya diberikan atas dasar<br />
hasil kajian analisis limbah sesuai baku mutu yang ditetapkan. Tidak disebutkan<br />
bahwa persetujuan atau keberatan masyarakat di sekitar tempat pembuangan air<br />
limbah sebagai pertimbangan yang penting. Dalam pelaksanaannya, ketentuan<br />
ini membuka peluang merugikan masyarakat, yakni tidak didengarnya aspirasi<br />
masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pengalaman di berbagai tempat, ijin<br />
seringkali merupakan hasil kompromi dan negosiasi pihak birokrasi dan pengusaha<br />
tanpa melibatkan masyarakat untuk ikut memutuskan.<br />
Kemungkinan manipulasi dalam hal ini cukup besar. Ijin dalam bahasa birokrasi<br />
acapkali identik dengan penarikan retribusi. Artinya apabila pemerintah<br />
menetapkan syarat dan tata cara ijin suatu kegiatan, maka berarti pihak yang<br />
diberi ijin harus membayar uang retribusi. Demikian pula pemberian ijin dalam<br />
<strong>Perda</strong> ini tidak dapat dipisahkan dari keinginan Pemerintah Kabupaten Cilacap<br />
untuk menarik retribusi ijin dari pemrakarsa kegiatan.<br />
15 Hal ini terlihat jelas dari<br />
ditetapkannya Keputusan Bupati Cilacap No 61 tahun 2004 tentang retribusi Ijin<br />
Pembuangan dan/atau Pemanfaatan Air Limbah di Kabupaten Cilacap. Konsideran<br />
Keputusan Bupati ini menyebutkan <strong>Perda</strong> No 27 Tahun 2003 sebagai salah<br />
satu dasar penetapanya. Dalam Keputusan Bupati ini disebutkan dengan rinci<br />
jumlah uang yang harus dibayar para pemrakarsa kegiatan yang berkepentingan<br />
untuk membuang limbah di wilayah Kabupaten Cilacap. Lampiran Keputusan<br />
ini mencontohkan penghitungan besarnya retribusi yang harus dibayar Pabrik<br />
Aci dengan modal Rp. 20.000.000,00 dengan volume limbah 50m kubik perhari.<br />
Retribusi yang harus dibayarkan pabrik ini adalah Rp. 1.263.600,00 meliputi<br />
biaya pembinaan, biaya pemeriksaan lapangan, biaya pemeriksaan berkas dan<br />
biaya pengawasan. Sebagai kota industri, perihal ijin ini tentu dipandang sangat<br />
potensial untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).<br />
15 Pemrakarsa kegiatan adalah istilah yang dipakai <strong>Perda</strong> dalam tafsir otentik untuk menyebut orang<br />
atau badan hukum yang bertanggungjawab terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan.<br />
265
2.<br />
<strong>Perda</strong> ini belum cukup akomodatif terhadap kepentingan masyarakat di daerahdaerah<br />
yang sulit mendapatkan air bersih.<br />
Pasal 3 ayat (7) ketetapan MPR No. III/MPR/2000 menyebutkan, “Peraturan<br />
Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya<br />
dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan, terdiri dari<br />
Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan<br />
Desa16<br />
. Berdasarkan ketentuan Tap MPR tersebut, seharusnya <strong>Perda</strong> yang dibuat<br />
Kabupaten Cilacap tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran<br />
air di Kabupaten Cilacap mengakomodir kondisi khusus yang nyata-nyata ada di<br />
Cilacap. Bahwa beberapa bagian daerah Cilacap, karena kondisi alamnya, sangat<br />
rawan terhadap kekurangan air berkualitas baik, terutama pada musim kemarau.<br />
Bahwa kekurangan air berkualitas baik tersebut memberikan dampak terhadap<br />
timbulnya berbagai penyakit, seperti diari, disentri, muntaber, gatal-gatal dan<br />
infeksi kulit . Menyimpang dari pengertian <strong>Perda</strong> dalam Tap MPR tersebut,<br />
<strong>Perda</strong> No 27 Tahun 2003 ternyata belum cukup akomodatif terhadap kepentingan<br />
masyarakat di daerah-daerah yang sulit mendapatkan air berkualitas baik.<br />
<strong>Perda</strong> ini mengatur klasifikasi air menjadi 4 kelas, yakni:<br />
1. kelas satu, air yang peruntukkannya dapat digunakan sebagai sumber air baku<br />
untuk minum dan/peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama<br />
dalam kegunaan tersebut.<br />
2. kelas dua, yakni air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/<br />
sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk<br />
mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu<br />
air yang sama dengan kegunaan tersebut;<br />
3. kelas tiga, air yang peruntukannya untuk kegiatan pembudidayaan ikan air<br />
tawar, peternakan dan lain sebagainya;<br />
4. kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi<br />
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang<br />
sama dengan kegunaan tersebut.<br />
Selanjutnya <strong>Perda</strong> ini membagi status mutu air ke dalam dua kategori, yakni :<br />
1. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air<br />
2. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air<br />
Akan tetapi, penggolongan klasifikasi mutu air dan status mutu air yang diatur<br />
dalam Pasal 9 sampai 12 tidak diikuti oleh penegasan jaminan dari pemerintah<br />
untuk rakyat memperoleh air yang sesuai baku mutu air bagi setiap warga<br />
Cilacap dan air yang berdasarkan kelas peruntukannya. Hal ini menjadi masalah<br />
besar bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan yang keadaan alamnya tidak<br />
memungkinkan mereka memperoleh air dengan kualitas baik. Padahal ketika <strong>Perda</strong><br />
ini dibuat persoalan kesulitan mendapatkan air berkualitas baik merupakan<br />
16 821 Warga Terserang Penyakit Diare, Daerah Rawan Pangan Diwaspadai, Suara Merdeka, Kamis,<br />
28 Agustus 2003.<br />
266
persoalan nyata yang dialami warga Cilacap secara massal. Artinya bahwa<br />
<strong>Perda</strong> ini tidak dapat menjawab satu persoalan yang ada. Terbukti sampai saat<br />
ini masyarakat di beberapa desa di Kecamatan Gandrungmangu, Patimuan,<br />
Kampunglaut, Jeruklegi, Nusawungu dan Cilacap Tengah masih mengkonsumsi<br />
air dengan kualitas tidak baik. Di desa Cimrutu, Kecamatan Patimuan,<br />
masyarakat mandi bersama itik di sumber air yang tidak terjamin kebersihannya,<br />
karena suplai air bersih yang diberikan pemerintah kabupaten sangat minim,<br />
sehingga masyarakat memilih mengutamakan air bersih bantuan tersebut untuk<br />
keperluan makan dan minum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa <strong>Perda</strong><br />
ini tidak mencerminkan karakter lokal Cilacap itu sendiri. Klausul bahwa Bupati<br />
sesuai kewenangannya dapat menunjuk instansi yang bertanggungjawab untuk<br />
melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air sesuai<br />
dengan peruntukannya dan mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas<br />
air sesuai dengan peruntukannya sebagaimana tersurat dalam Pasal 12 ayat (3)<br />
tidak banyak menolong masyarakat untuk memperoleh hak atas air berkualitas<br />
baik. Penggunaan kata dapat (bukan wajib) menunjukkan bahwa kebijakan<br />
penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air hanya merupakan<br />
wewenang yang pelaksanaannya sangat tergantung kebaikan Bupati semata, bukan<br />
tuntutan kewajiban. Bagi masyarakat ini merupakan klausul yang melemahkan<br />
dalam hal penuntutan dipenuhinya hak atas air bersih yang diatur pada Pasal 22<br />
(1).<br />
Pada waktu permasalahan ini dikonfirmasikan kepada pemerintah, diperoleh<br />
keterangan bahwa untuk pengelolaan mutu air diserahkan kepada masyarakat.<br />
Pemerintah sudah berusaha mensosialisasikan tentang baku mutu air dan<br />
klasifikasi air terkait dengan peruntukannya. Jadi, apabila sudah diberitahu air<br />
di desa tertentu merupakan air kelas dua yang peruntukannya untuk peternakan<br />
dan perikanan –bukan untuk minum- maka dengan pertimbangan kesehatan,<br />
masyarakat seharusnya tidak memakai air tersebut untuk minum. Apabila masih<br />
dimanfaatkan untuk minum juga, maka itu bukan tanggungjawab pemerintah<br />
yang telah berusaha memberikan informasi yang benar. Menurutnya, air<br />
berkualitas baik memang merupakan hak setiap manusia. Oleh karena hak<br />
selalu terkait dengan kewajiban, maka pengelolaan air agar berkualitas baik<br />
adalah kewajiban manusia tersebut. Keterangan ini memberikan kesan bahwa<br />
seolah-olah Pemerintah tidak bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan<br />
air berkualitas baik untuk masyarakat. Persoalan yang timbul dari pandangan<br />
semacam ini adalah bagaimana mungkin masyarakat yang tidak berdaya secara<br />
ekonomi dan keilmuan dibebani kewajiban mengelola air agar berkualitas baik<br />
dan layak konsumsi? Untuk ukuran masyarakat desa Bringkeng di Kecamatan<br />
Kawunganten dan dusun Cihaur Desa Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu<br />
hal ini sungguh mustahil. Tiadanya infrastruktur yang dimiliki, kesibukan bekerja<br />
dengan hasil yang tidak memadai serta minimnya informasi yang bisa diakses<br />
kurang memungkinkan mereka berinisiatif mengelola air agar berkualitas baik.<br />
17 Masyarakat Biasa Mandi Bersama Bebek, Kompas, 28 Juni 2006<br />
18 Wawancara dengan Anjas Kartiko Pramono S. Si, dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup<br />
Kabupaten Cilacap, 30 Juni 2006.<br />
267
Problem lain dari perumusan pasal tentang klasifikasi air dalam <strong>Perda</strong> ini adalah<br />
tidak ada pembeda yang jelas antara air kelas dua dengan air kelas tiga baik dalam<br />
batang tubuh <strong>Perda</strong> maupun dalam penjelasannya. Dari sini dapat timbul kesan<br />
pembuatan <strong>Perda</strong> tidak cukup serius.<br />
3.<br />
Pemantauan kualitas air yang seharusnya dilakukan 6 bulan sekali sebagaimana<br />
bunyi Pasal 11 (2) tidak pernah dilakukan di daerah sulit air.<br />
Pasal 11 mengatur bahwa :<br />
1. Pemantauan kualitas air pada sumber air yang berada di wilayah Kabupaten<br />
Cilacap dilaksanakan oleh instansi yang bertanggungjawab<br />
2. Pemantauan kualitas air sebaaimana dimaksud dalam Pasal (1) dilakukan<br />
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.<br />
3. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini disampaikan<br />
secara tertulis kepada Bupati.<br />
Melalui pengamatan dan wawancara dengan beberapa warga di desa-desa yang<br />
sulit mendapatkan air bersih, sepengetahuan mereka tidak pernah dilakukan<br />
pemantauan kualitas air sebagaimana diatur dalam Pasal 11 tersebut. Bahkan<br />
informasi tentang status mutu air dan kriteria mutu air yang oleh <strong>Perda</strong> ini diatur<br />
menjadi hak setiap orang (Pasal 22) juga tidak pernah didapatkan. Seorang ibu di<br />
desa Bringkeng mengatakan tidak tahu apa itu kelas air dan perbedaan peruntukan<br />
tiap kelas. Sehari-harinya ibu tersebut, mengambil air dari sumur yang kondisinya<br />
tercemar oleh binatang peliharaan dan kotoran manusia karena letaknya berjarak<br />
tidak lebih dari 2 meter dari tempat membuang kotoran manusia dan kandang<br />
kambing serta biasa dipakai untuk berenang itik-itik peliharaannya.<br />
Keadaan memprihatinkan ini juga terjadi di beberapa desa lain di Kecamatan<br />
Kawunganten, seperti Bojong dan Rawajaya. Ribuan hektar sawah sejak 20 tahun<br />
terakhir tidak bisa difungsikan akibat kesalahan struktur saluran irigasi yang<br />
menyebabkan genangan dan banjir air sepanjang tahun di sawah-sawah mereka.<br />
Keadaan ini berakibat pada semakin buruknya kualitas air di pedesaan sekitar<br />
sawah mati itu berada. Warga yang sudah lelah berusaha meminta perbaikan<br />
pada pemerintah pada akhirnya menganggap bahwa kesulitan mendapat air<br />
bersih merupakan takdir yang harus mereka alami dan tidak bisa dirubah. Bagi<br />
kaum yang cukup berada, masalah ini bisa dipecahkan dengan membuat sanitasi<br />
sehat yang dilengkapi sistem penyaringan air. Akan tetapi bagi kalangan miskin,<br />
tidak ada yang bisa dilakukan kecuali memakai air tersebut. Jangankan untuk<br />
membangun sanitasi yang sehat secara mandiri, untuk memenuhi kebutuhan<br />
primer saja seringkali harus berhutang pada tengkulak gula merah 19<br />
.<br />
Pasal 11 ini hanya efektif berlaku bagi kalangan industri. Bahwa pemantauan<br />
terhadap kulaitas air memang dilakukan setiap 6 bulan sekali, bahkan ada yang<br />
setiap 3 bulan sekali. Perusahaan (pemrakarsa kegiatan) harus melaporkan<br />
19 Wawancara dengan ibu-ibu di desa Bringkeng, Bojong dan Rawajaya pada Mei 2006. Membuat gula<br />
merah<br />
268
keadaan air yang menjadi tanggungjawabnya secara periodik dan pemerintah<br />
akan menindaklanjuti bila ditemukan indikasi pencemaran air oleh perusahaan<br />
tersebut. Tindaklanjut yang biasa dilakukan adalah teguran dan pembinaan.<br />
Sampai hari ini belum ada pemberian sanksi, baik administratif maupun pidana<br />
terhadap perusahaan karena semua persoalan pencemaran air yang muncul selalu<br />
dapat diselesaikan melalui teguran dan pembinaan . 20<br />
4.<br />
Tidak ada kepastian bagi masyarakat miskin memperoleh air bermutu baik<br />
yang menjadi haknya.<br />
Selain dialami oleh mereka yang berada di desa-desa sulit air yang telah disebutkan<br />
di atas, ketidakpastian memperoleh air bersih juga dialami oleh penduduk miskin<br />
di kota maupun di desa yang tidak memiliki kemampuan mengakses air berkualitas<br />
baik dari PDAM. Yang dimaksud dengan ketidakpastian adalah apakah air<br />
yang mereka konsumsi tercemar atau tidak secara pasti tidak diketahui. Hal ini<br />
dikarenakan uji laboratorium yang semestinya dilakukan pada sumber air yang<br />
berada di sekitar sumber pencemaran tidak dilakukan oleh setiap warga. Upaya<br />
sosialisasi dari Pemerintah tentang pentingnya mengujikan air di laboratorium<br />
serta pemberian informasi mengenai biaya masih sangat kurang berakibat pada<br />
rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengujikan air di laboratorium.<br />
Di samping itu, warga miskin di daerah yang sebenarnya mempunyai sumber air<br />
bermutu baik, namun karena tidak mempunyai lahan yang cukup untuk membuat<br />
sumur. Dalam keadaan normal, mereka dapat menumpang pada tetangga. Akan<br />
tetapi dalam keadaan kemarau, air menjadi masalah besar. Keadaan ini tidak<br />
diatur oleh <strong>Perda</strong> ini, dalam arti bagaimana masyarakat miskin untuk mendapat<br />
jaminan memperoleh air bersih karena tidak cukup mampu untuk membeli air<br />
sebagaimana yang biasa dilakukan orang yang berkecukupan. Mereka tidak<br />
cukup berdaya untuk mengakses air bersih dari PDAM karena biaya yang mereka<br />
rasakan cukup mahal. Untuk pemasangan instalasi baru dibutuhkan biaya Rp.<br />
809.750,00 jika dibayar kontan. Apabila diangsur biayanya adalah 6x 247.250<br />
ditambah biaya tambahan bila pipa yang dibutuhkan lebih dari 6 meter atau letak<br />
21<br />
rumah di seberang jalan saluran utama PDAM. Di samping itu, belum semua desa<br />
di Kabupaten Cilacap dapat dijangkau oleh instalasi PDAM.<br />
5.<br />
Ketiadaan air berkualitas baik yang dapat dinikmati oleh masyarakat di daerah<br />
sulit air dan masyarakat miskin secara langsung membawa dampak terhadap<br />
derajat kesehatan masyarakat tersebut, terutama perempuan dan anak-anak.<br />
Aktivitas domestik rumah tangga di Cilacap mayoritas didominasi kaum perempuan,<br />
22<br />
baik yang berstatus istri maupun lajang. Artinya, pekerjaan-pekerjaan domestik<br />
20 Wawancara dengan Anjas Kartiko Pramono S. Si, dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan hidup<br />
Kabupaten Cilacap, 30<br />
Juni 2006.<br />
21 Wawancara dengan Arif, staf Bagian Langganan PDAM Cilacap pada tanggal 1 Juli 2006.<br />
22 Laporan Hasil Penelitian Jaringan Gerakan Gender PMII Jawa Tengah Tahun 2004<br />
269
seperti memasak, mencuci pakaian, mencuci perkakas rumah tangga, memandikan<br />
anak, mengepel lantai, menyetrika, menyapu halaman, adalah tanggungjawab<br />
perempuan. dalam pelaksanaannya pekerjaan-pekerjaan tersebut banyak<br />
bersentuhan dengan air. Apabila air yang dipakai dalam pekerjaan-pekerjaan<br />
tersebut adalah air berkualitas tidak baik maka kemungkinan besar mereka<br />
adalah penderita terbesar penyakit-penyakit yang ditimbulkan olehnya. Selain<br />
itu, air berkualitas tidak baik juga sangat membahayakan kesehatan reproduksi<br />
23<br />
perempuan. Selain kaum perempuan, kelompok yang rentan mengalami resiko<br />
penggunaan air berkualitas tidak baik adalah anak-anak. Mereka yang lahir dari<br />
ibu yang <strong>org</strong>an reproduksinya kurang sehat akan menerima resiko tertular penyakit<br />
yang diderita ibunya. Mereka juga terancam tumbuh tidak sebaik anak-anak<br />
pada umumnya serta rentan terserang berbagai penyakit, seperti diare, disentri,<br />
muntaber, malaria dan penyakit kulit. Dalam jangka panjang tentu keadaan ini<br />
mengancam kelangsungan kualitas generasi yang akan datang.<br />
7.<br />
Kesimpulan<br />
Temuan-temuan diatas mengantarkan pada perumusan kesimpulan bahwa<br />
penerapan <strong>Perda</strong> no 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian<br />
Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap tidak memiliki akuntabilitas terhadap<br />
pemecahan permasalahan air di Kabupaten Cilacap. Sampai saat ini hak<br />
menikmati air yang berkualitas baik bagi warga miskin dan warga di desa yang<br />
sulit air hanyalah mimpi belaka. <strong>Perda</strong> yang ada tidak cukup mengakomodir<br />
kepentingan mereka. Ditetapkannya <strong>Perda</strong> tersebut beserta Keputusan Bupati<br />
No 61 Tahun 2004 tentang Retribusi Ijin Pembuangan dan/atau Pemanfaatan Air<br />
Limbah dapat dikatakan merupakan upaya merespon peluang Otonomi Daerah<br />
dengan cara meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebanyak-banyaknya<br />
tanpa diimbangi dengan pemberian manfaat kepada rakyat.<br />
8.<br />
Rekomendasi<br />
Menindaklanjuti hasil penelitian ini, tim penulis memberikan rekomendasi<br />
kepada:<br />
1.<br />
2.<br />
Pemerintah Kabupaten Cilacap, untuk merevisi isi <strong>Perda</strong> agar dapat<br />
menampilkan kondisi lokal yang nyata-nyata ada di Cilacap terkait dengan<br />
persoalan air yang dialami warga dan menunjukkan keberpihakannya pada<br />
rakyat dengan memberikan jaminan pemenuhan air berkualitas baik bagi<br />
setiap orang di Kabupaten Cilacap.<br />
Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah, hendaknya semakin intensif dalam<br />
membantu mendorong terwujudnya pemerintahan lokal yang kuat dan<br />
memiliki keberpihakan pada rakyat. Khusus dengan Pemerintah Kabupaten<br />
Cilacap, hendaknya YIPD berinisiatif memfasilitasi perumusan <strong>Perda</strong>.<br />
23 Merawat Daerah Rahasia Kita, Kompas, 18 Juli 2003.<br />
270
Daftar Pustaka<br />
Kelompok Peraturan Perundangan<br />
Undang-undang Dasar 1945.<br />
Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan<br />
Perundangan.<br />
Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan<br />
Pengendalian Pencemaran Air.<br />
Keputusan Bupati No 61 Tahun 2004 tentang Retribusi Ijin pembuangan dan/atau<br />
Pemanfaatan air Limbah di Kabupaten Cilacap.<br />
Kelompok Buku<br />
Atlas Indonesia. 2005. PT Intan Pariwara. Klaten.<br />
Cilacap dalam Angka 2005. Biro Pusat Stastik Kabupaten Cilacap.<br />
Jawa Tengah dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Semarang.<br />
Ni’matul Huda. 2005. Negara Hukum, demokrasi dan Judicial Review. UII Press.<br />
Yogyakarta.<br />
Kelompok Laporan Penelitian<br />
PM. Laksono dkk. 2001.Pemberdayaan Masyarakat dalam Meningkatkan<br />
Kesejahteraan yang Berperspektif Lingkungan. Lembaga Penelitian Universitas<br />
Gadjah Mada, Yogyakarta.<br />
Social Watch Report, 2003<br />
Laporan Hasil Penelitian Jaringan Gerakan Gender PMII Jawa Tengah Tahun<br />
2004<br />
Kelompok Media Massa<br />
Rully Syumanda ,Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif<br />
terhadap RTRWP Riau 2001-2015. www.walhi.or.id.<br />
271
Homepage Daerah Kabupaten Cilacap dalam www.deptan.go.id<br />
Kekurangan Air Bersih di Cilacap Meluas. www.suaramerdeka.com. 26 Agustus<br />
2005 Jembrana Gratiskan Biaya Pendidikan, Kompas 9 April 2001.<br />
821 Warga Terserang Penyakit Diare,Daerah Rawan Pangan Diwaspadai. Suara<br />
Merdeka, Kamis. 28 Agustus 2003.<br />
Masyarakat Biasa Mandi Bersama Bebek, Kompas, 28 Juni 2006.<br />
Merawat Daerah Rahasia Kita, Kompas, 18 Juli 2003.<br />
272
7. Diskusi Sesi Paralel 2:<br />
<strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong>:<br />
Kesehatan, Ketenagakerjaan & Sumber Daya Alam<br />
Tanya Jawab<br />
◊ Pertanyaan<br />
1.<br />
Stanley dari LSM HUMA<br />
Langsung saja ke pertanyaan ke Bapak Absory. Sebagian besar konsep Bapak saya<br />
setuju yang menyangkut partisipatif, tapi saya agak kurang setuju kalau kemudian<br />
PKL itu disebut sebagai salah satu pihak yang diperdayakan. Karena setahu saya<br />
konsep pemberdayaan itu sendiri sudah banyak dikritisi. Jadi, saya lebih setuju kalau<br />
kemudian menggunakan konsep partner atau kerjasama. Kalau pemberdayaan itu<br />
dalam beberapa kritik dia lebih cenderung melihat sebuah wilayah sosial tertentu<br />
yang menjadi rekanan atau kerjasama sebagai objek. Kalau sebagai objek maka<br />
kira-kira dia akan terus-terus menerus diminta untuk berpartisipasi dan dalam<br />
hal itu partisipasi yang kira-kira dibicarakan disana itu adalah partisipasi yang<br />
given (diberikan). Sementara kalau soal partner/kerjasama maka PKL itu sendiri<br />
dilihat sebagai kelompok yang memiliki hak. Partisipasi disana bukan lagi given<br />
tetapi partisipasi yang utama/partisipasi sebagai hak. Saya kira UU No.10/2004<br />
itu partisipasi sebagai hak. Dalam hal itu maka saya kira konsep hukum responsif<br />
yang Bapak Absori gunakan itu menjadi sangat relevan tapi kalau kemudian<br />
partisipasi sebagai given tidak relevan menggunakan hukum responsif sebagai<br />
salah satu argumentasi hukum yang di-explore untuk menjelaskan soal PKL.<br />
Yang kedua, saya langsung ke Bapak Hikmad Ramdan. Ada 3 hal:<br />
Pertama eksplorasi bapak tidak berbicara banyak soal keterlibatan swasta dan<br />
masyarakat dalam membangun kerjasama lintas daerah di Ciremai sana. Setahu<br />
saya ada beberapa swasta yang memanfaatkan mata air Gunung Ciremai itu untuk<br />
kepentingan komersial (aqua salah satunya saya kira) di situ tidak eksplorasi<br />
secara jelas salah satu pihak yang terlibat.<br />
Yang kedua berkaitan dengan pendekatan normatif, saya kira tata ruang untuk<br />
kawasan konservasi Gunung Ciremai dalam hal itu menurut UU No.22/1999 dan<br />
juga diganti dengan UU No.32/2004 konservasi itu masih merupakan kewenangan<br />
pusat. Saya agak kuatir kalau pemberian informasi ini sampai ke tangan Pusat<br />
itu kemudian menjadi bahan eksekutif review. Pengalaman dibeberapa daerah<br />
pengolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat sudah dieksekutif review<br />
padahal itu merupakan kebijakan-kebijakan daerah untuk merespons situasisituasi<br />
lokal yang sangat-sangat mengharapkan pendekatan-pendekatan yang<br />
berbasis masyarakat.<br />
273
Yang terakhir, berkaitan dengan masyarakat tadi itu, apakah tidak ada misalnya<br />
eksplorasi lebih jauh mengenai masyarakat di wilayah hulu yang memang<br />
kemudian dinilai oleh rekan-rekan di wilayah hilir sebagai kelompok-kelompok yang<br />
memanfaatkan sebagian hutan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi mereka.<br />
Gimana konfliknya untuk antar masyarakat sendiri? Itu perlu dieksplorasi karena<br />
seringkali di tingkat daerah kelihatan clear dan jelas tetapi pada level masyarakat<br />
itu tidak clear. Konflik kemudian terjadi malah secara horizontal, terimakasih.<br />
2.<br />
Yusnita Ike Christanti dari IDEA (Yogja)<br />
Satu pertanyaan saja khususnya untuk Bapak Hikmat. Saya tertarik dengan<br />
<strong>Perda</strong> tentang mengenai Tata Ruang itu karena ini juga jadi persoalan di Yogja<br />
khususnya antara Kab. Sleman dengan kota yang mereka juga berkonflik<br />
berkenaan dengan wilayah hulu dan hilir tersebut dan sampai sekarang Pemkot<br />
pun belum mampu mengatasi konflik ini dengan baik dengan Pemerintah Kab.<br />
Sleman. Satu pertanyaan saja, sebetulnya kalau saya tadi agak melihat penjelasan<br />
Bapak Hikmat bahwa <strong>Perda</strong> ini adalah hasil dari deal-deal politik/dari komitmenkomitmen<br />
politik. Saya agak mencurigai bahwa ada kepentingan dari pihak hulu<br />
dengan adanya otonomi daerah bahwa mereka dengan cara memproduksi <strong>Perda</strong><br />
tersebut dia akan mendapatkan income untuk PADnya dengan cukup besar karena<br />
penggunaan air. Terus kemudian apakah di <strong>Perda</strong> tersebut ada memuat sangsisangsi<br />
apabila deal-deal atau komitmen-komitmen tadi dilanggar oleh pihak<br />
Pemerintah Kuningan?<br />
3.<br />
Koko dari URDI<br />
Pertanyaan ke Bapak Nur. Soal JPKM ini sifatnya klarifikasi saja. Tadi ada grafik<br />
kepesertaan JPKM tahun 2005/2006 itu jumlah kepesertaan dari Strata-1 – 0. Lalu<br />
Premi JPKM 2005/2006 dari tabel-7 Strata 1 juga 0. Apa artinya golongan-1 itu<br />
akhirnya sama sekali tidak ikut serta lagi dalam JPKM atau bagaimana?<br />
Untuk Bapak Hikmat, saya tertarik sebenarnya kerjasama antar daerah, saya<br />
juga lagi menggeluti soal itu tapi sebenarnya begini, yang menurut saya yang bisa<br />
menjadi benar-benar bisa mengikat ketika kalau ada MoU antar Pemda sebagai<br />
Badan Hukum itu harusnya bisa diperdatakan. Jadi kalau misalnya hanya MoU-<br />
MoU yang sifatnya sangat ceremonial saja yang seperti tadi disampaikan oleh Ibu<br />
Yuni tidak akan ada jaminannya. Mungkin sekarang sama-sama dari induk basis<br />
politik yang sama mungkin Kepala Daerahnya. Nanti ke depannya mungkin tidak<br />
seperti itu. Dan masalah transparasi seperti tadi dana-dana tersebut 1,65 milyar<br />
itu benar-benar masuk ke konservasi bukan buat nge-cat Rumah Bupati, segala<br />
macam itu jelas harus ada mekanisme. Menurut saya dalam hal ini benar-benar<br />
MoU itu memang harus mencakupkan klausul-klausul yang bisa diperdatakan.<br />
Mengenai PKL di Surakarta, saya agak menemukan ada sedikit missed-match dari<br />
abstrak yang saya baca di sini dengan pemberdayaan yang sebagai salah satu<br />
274
solusi bagi PKL sekarang karena problem permasalahan Bapak sampaikan di<br />
abstrak ini PKL itu karena bias kebijakan/bias urban jadi maksudnya kenapa ada<br />
penduduk desa yang dia tidak dapat lagi mendapatkan hasil yang cukup dari desa<br />
dia perlu ke kota untuk cari kerja, gagal jadi PKL. Padahal sumber permasalahannya<br />
itu bukan di kota. Tapi kalau dari Bapak tulis tadi sumber permasalahannya<br />
dari desa berarti sebenarnya mungkin pemberdayaan lebih tepat sasaran kalau<br />
dilakukan di desa, mungkin kalau dari presentasi Bapak, Bapak lebih pada analisis<br />
judicial terhadap <strong>Perda</strong> tersebut, jadi kurang relevan dalam hal ini. Terimakasih.<br />
275
1.<br />
◊<br />
Absori<br />
Jawaban<br />
Dari Bapak Stanley, saya mengucapkan terimakasih atas beberapa pemikirannya.<br />
Konsep parispatif pada intinya setuju, cuma ada beberapa yang mengganjal<br />
tentang PKL yang perlu diberdayakan karena konotasinya kalau pemberdayaan<br />
itu menempatkan PKL sebagai objek. Ini barangkali satu persoalan konsep<br />
pemberdayaan dan konsep partnership atau kemitraaan. Ini barangkali kalau<br />
dilihat dari pengalaman menggeluti lapangan dalam konteks sosiologis kita harus<br />
melihat satu realitas atau data bahwa dalam fakta memang struktur masyarakat<br />
itu beragam. Masyarakat pengambil kebijakan dan masyarakat PKL itu berada<br />
dalam satu struktur yang berbeda sehingga untuk mengangkat jadi satu mitra<br />
dalam pola partnership tidak gampang.<br />
Tapi dalam kajian-kajian normatif maka konsep partnership dan kerjasama itu<br />
merupakan satu konsep yang ideal. Konsep ini bisa disatukan dari pemberdayaan<br />
yang menjadi terkesan objek sekalipun saya tidak bermaksud ke sana tetapi saya<br />
maksud dalam pemberdayaan dalam posisi menempatkan dia sebagai subjek.<br />
Cuma dalam tataran realitas dia memang struktur sosial antara keduanya memang<br />
berbeda. Antara pihak-pihak lain memang berbeda tapi dalam tataran normatif<br />
memang ini bisa kita katakan bahwa konsep yang ideal adalah partnership. Harus<br />
kita akui bahwa proses kesana membangun satu masyarakat yang partnership yang<br />
legaltarian memang butuh waktu yang panjang dan kita harus melihat realitas<br />
bahwa struktur masyarakat kita memang belum terbentuk seperti itu. Karena itu<br />
kalau kita mencoba mendisain satu model bagaimana menempatkan PKL sebagai<br />
mitra dalam rangka kerjasama sudah barang tentu ini harus butuh waktu proses<br />
yang panjang.<br />
Tetapi, saya setuju kalau konsep partnership ini ditempatkan pada satu tataran<br />
ideal kalau memang nanti posisi <strong>Perda</strong> ditempatkan satu produk hukum yang<br />
responsif. Saya tidak keberatan karena kajian responsif dari Phillip Nonette dan<br />
Jill Need. pun menempatkan masyarakat dalam posisi subjek dalam penentuan<br />
kebijakan. Karena itu saya yakin dimasa mendatang konsep-konsep ini akan<br />
menjadi satu kebutuhan dalam pengambilan kebijakan. Dalam tanda petik sebagai<br />
bagian dari bagaimana membuat satu produk hukum. Masyarakat sendiri yang<br />
mendesain, masyarakat sendiri yang kemudian berpandangan bahwa saatnya<br />
kami yang menentukan bukan anda yaitu yang mengambil kebijakan tapi kami<br />
juga termasuk mengawasi mengimplementasinya.<br />
Gagasan-gagasan semacam ini kan dalam wacana perdebatan itu sadah menjadi<br />
menu kita sehari-hari tapi dalam tataran implementasi ini yang memang perlu<br />
harus kita dorong, karena itu keberadaan kita seperti HUMA, mungkin perguruan<br />
tinggi menjadi pilar sebagai interest group untuk mendorong supaya muncul konsep<br />
partnership dalam tataran real atau dalam realitas.<br />
276
Dan yang kedua, maksud saya tentang sumber masalah PKL di kota atau di desa<br />
saya hanya mengambil back-ground dari pemikiran Bapak Lukman Sutrisno (Alm.)<br />
Sosiolog dari Gajah Mada bahwa sebenarnya sumber masalah dari PKL itu di<br />
pedesaan iya, karena tidak tersentuh kebijakan. Karena kita beda, pembangunan<br />
kita hanya terfokus di masyarakat perkotaaan sementara desa tidak tersentuh<br />
dengan kebijakan. Di kota pun demikian problemnya sektor formal terbatas,<br />
informal mencari jalan sendiri tapi kemudian harus berhadapan dengan persepsi<br />
yang beragam. Maksud saya hanya latar belakang tapi fokus kajian kita memang<br />
review <strong>Perda</strong> itu sendiri. Jadi karena itu saya lebih mengfokus bagaimana<br />
mereview <strong>Perda</strong> PKL yang menurut saya amat sangat ketinggalan. Justru dari<br />
situlah kewenangan bermain. Kalau kewenangan bermain cenderung ini lebih<br />
banyak tergantung pada pengambil kebijakan. Kalau pengambil kebijakannya<br />
ketika sebelum tahun 2006 itu disorot amat jelek.<br />
Karena dimana-mana terjadi anarkis kalau terjadi penertiban, pasti anarkis.<br />
Dan terjadilah kemudian perusakan, kemudian-kemudianlah termasuk pressure<br />
dengan kekuatan fisik. Tapi yang 2006 ini Walikota yang baru tidak. Ini sekalipun<br />
pendekatannya budaya dan ekonomi juga sosial tapi akan lebih lengkap lagi<br />
seandainya juga hukum memainkan peran. Kalau kita percaya dengan hukum<br />
juga bisa didisain sebagai sosial engineering, sebagai perekayasa masyarakat<br />
sekalipun konteks itu tidak tepat untuk diterapkan di berbagai kesempatan di<br />
Indonesia tetapi paling tidak sebagaian besar orang Indonesia percaya bahwa<br />
hukum bisa ditampilkan pada posisi terdepan. Sekalipun dalam kajian sosiologis<br />
ternyata tidak mampu.<br />
Maksud saya begitu, jadi saya tidak permasalahkan background. Background itu<br />
barangkali itu sebagai penangkal dalam rangka mendorong atau memberikan<br />
alur pikir dalam rangka mengantarkan pokok persoalan itu pada perumusan<br />
kebijakan melalui <strong>Perda</strong>. Dan keinginan saya, bagaimana sih <strong>Perda</strong> partisipatif<br />
yang merupakan pokok pikiran itu menjadi <strong>Perda</strong> betulan setelah nanti kebijakan<br />
pemberdayaan PKL itu dimulai dari budaya, kemudian ekonomi sosial, dan<br />
kemudian hukum. Ini memang kebalik, dalam tataran formatif memang hukum<br />
dulu. Terbukti dalam berbagai kajian orang getol dengan <strong>Perda</strong> tidak begitu getol<br />
tentang implementasinya tapi di Solo terbalik yang muncul justru pendekatan<br />
budaya, kemudian sosial dan ekonomi baru hukum. Karena pendekatan hukum<br />
yang dilakukan pada waktu masa lalu, gagal. Dan pengalaman dari kegagalan<br />
ketika masyarakat PKL mau merevisi <strong>Perda</strong> ini juga menghadapi persoalan yang<br />
cukup kuat sehingga sampai sekarang ngambang tidak terealisasikan. Saya rasa<br />
itu mungkin sedikit komentar dari saya, terimakasih.<br />
2.<br />
Nur Hidayat<br />
Pak Koko, ini mulai tahun 2005 itu kan satu ada mulai diterapkannya sistem<br />
Jaminan Sosial Nasional yang agak rapi. Lalu kedua di musim-musim ini lalu ada<br />
bantuan-bantuan yang sifatnya derma dari pemerintah seperti macam<br />
277
dana-dana habis krisis dan segala macam itu mulai disini. Di Lampiran-1 realisasi<br />
dari semuanya dari Pemerintah Pusat sehingga misalnya sebenarnya cukup<br />
mengganggu proses sehatnya program ini karena kemudian ada logika-logika dana<br />
yang di drop saja dari Pusat. Menurut saya di satu sisi memberi manfaat tertentu<br />
disisi lain merusak terhadap bangunan program ini. Kira-kira begitu, nanti saya<br />
akan tunjukkan beberapa slide yang sudah ada di sini.<br />
3.<br />
Hikmat Ramdan<br />
Jadi memang dalam <strong>Perda</strong> itu dalam kajian yang 1,75 milyar kita hanya baru<br />
menghitung sebetulnya dari sumber air yang ada dari Kuningan itu digunakan<br />
untuk beberapa kegiatan baik itu domestik, pertanian, kemudian juga ada industri,<br />
air kemasan dan lain sebagainya. Ini hanya baru satu MoU yang ditandatangani<br />
oleh Pemda Kuningan dengan user/pengguna air minum dan kita kemarin akan<br />
mencoba juga dengan kegiatan-kegiatan yang lain yang seperti pabrik Aqua dan<br />
lain sebagainya. Kita ada arah kesana memang ini mungkin Pemda juga mungkin<br />
ketika<br />
membuat MoU dengan stakeholder yang menggunakan jasa air dari situ juga<br />
mungkin perlu waktu untuk melakukan negosiasi. Tapi paling tidak tata-ruang<br />
yang dibuat disini sebetulnya dalam konteks penata ruang itu dia disini dijadikan<br />
sebagai satu dasar bagaimana tata ruang ini sebagai bagian daripada pengelolaan<br />
air lintas wilayah itu menjadi satu bagian ekosistem yang mampu akan dijadikan<br />
satu jaminan bahwa pasokan air itu ada.<br />
Kemudian masalah konservasi alam atau lain sebagainya sebetulnya ini terkait<br />
dengan perlindungan ekosistem, jadi bukan hanya ini tugas Pemerintah atau lain<br />
sebagainya. Pola pikir kita kan seperti itu ada pembagian-pembagian kalau hutan<br />
itu kalau ada kawasan konservasi lindung dan produksi sebetulnya. Sebetulnya<br />
tahap implementasi tanggung jawab semua juga, tidak mungkin diatur oleh<br />
Departemen Kehutanan atau lain sebagainya. Ada inisiatif Pemda ini bagus<br />
sebetulnya. Dan saya kira Depdagri maupun Departemen Kehutanan sudah tau<br />
masalah <strong>Perda</strong> 38/2002 itu tidak ada masalah.<br />
Inisiatif <strong>Perda</strong> ini dihargai sebagai bagian, karena tadi, bahwa pengurusanpengurusan<br />
kawasan lindung, kawasan hutan dan sebagainya itu tidak hanya<br />
menjadi urusan Pemerintah Pusat. Dan aturan-aturan yang di itu kan tetap jelas.<br />
Bahkan sebagian dari kawasan ini sekarang menjadi Taman Nasional Gunung<br />
Ciremai sejak 19 Oktober 2004. Kebetulan saya menjadi salah satu Tim Penyusun<br />
Rencana Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai ini agak beda dengan Taman<br />
Nasional Gunung Merapi yang ramai. Di situ kita masih menghargai adanya<br />
partisipasi publik. Jadi sekarang ini ada yang namanya tim pengkaji, saya sebagai<br />
tenaga penyusun, kalau buat baju hanya membuat pola, ini polanya begini, baju<br />
ini mau begini, yang ngisi terserah itu orang masyarakat lokal disitu. Tapi kita<br />
berikan rambu-rambu yang harus diisi, termasuk yang ini juga, yang <strong>Perda</strong> juga,<br />
278
mereka tetap menyadari bahwa ini adalah bagian daripada itu. Departemen tidak<br />
ada masalah, semestinya. Cuman saya juga masih menemukan kalau misalnya<br />
itu ditetapkan menjadi Taman Nasional, kemudian disitu ada <strong>Perda</strong>, bagaimana<br />
posisi <strong>Perda</strong> ini secara hukum? Saya masih belum dapat jawaban, nanti saya akan<br />
diskusi dengan Bapak Suroso di belakang bagaimana kalau masalah itu.<br />
Menyangkut masalah deal, jadi begini. Tata ruang ini bukan deal-deal politik.<br />
Sebelum MoU antara Kab. Kuningan yang ditanda-tangani 17 Desember 2004.<br />
<strong>Perda</strong> tata ruang ini sudah ada. Jadi itu dibangun atas dasar kebutuhan, atas dasar<br />
keinginan dsbnya. Jadi itu prosesnya hampir 2-tahun, jadi tidak hanya langsung<br />
dibuat <strong>Perda</strong>, tidak. Kita membuat adanya satu yang disebut academic-draft. Ini di<br />
inisiasi oleh Bappeda Kab. Kuningan pada tahun 2000. Di situlah dibuat academicdraft<br />
posisi daripada sumber mata air yang ada di Kab. Kuningan itu sudah sejauh<br />
mana? Ada 2-kegiatan waktu itu zona resapan air dari disitu kemudian disusunlah<br />
kerangka-kerangka legal, kerangka-kerangka tehnis sehingga keluarlah <strong>Perda</strong><br />
38/2002. Waktu itu kita belum berpikir ini bahwa ini akan jadikan jaminan, belum.<br />
Jadi ceritanya belum. Tapi ketika 2003, 2004 mulai ramai tentang masalah air ini,<br />
disitulah baru dibangun bahwa ternyata kita punya alat untuk negosiasi dengan<br />
orang, sebetulnya kronologis seperti itu.<br />
Jadi ini bukan deal-deal yang dilakukan. MoU ini berjalan tiap tahun, jadi tiap<br />
tahun dihitung, karena ada rumusan tertentu. Jadi rumusannya itu menghitung<br />
daripada produksi air dari sumber air, kemudian tarif yang berlaku sebelum<br />
diolah ditingkat user, dan juga tingkat kebocoran disitu. Jadi ini sifatnya dinamis.<br />
Misalnya sekarang 2006, 2006 itu sudah menghitung dari data terakhir Desember<br />
2005, dibuat lagi MoU dan sebagainya. Menyangkut masalah hak dan kewajiban<br />
diantara dua daerah itu disitu jelas didalam MoU yang sudah ditandatangani antar<br />
dua wilayah. Karena saya bukan orang hukum, saya orang forestry, saya dari<br />
kehutanan, saya tidak mengerti juga. Ketika ini harus di <strong>Perda</strong>kan bentuknya<br />
<strong>Perda</strong> Propinsi atau bagaimana. Tapi yang penting disitu ada satu bagian dari<br />
komitmen. Komitmen yang masing-masing mau untuk saling menerima dan saling<br />
memberi. Sebetulnya ini adalah satu inisiatif, yang penting itu disitu. Kalau<br />
masalah legal-legalnya kan saya kira kalau dengan MoU kerjasama sudah ada<br />
gambar Garuda Pancasilanya.<br />
Diperjanjiannya kalau misalnya Kuningan tidak punya (di MoUnya bukan di<br />
<strong>Perda</strong>nya) kalau misalnya dia berselingkuh atau lain sebagainya, bisa diperkarakan.<br />
Dan mungkin ini suau pesan yang bisa dilihat, sebetulnya <strong>Perda</strong> satu daerah itu<br />
harus kita sadari tidak eksis secara tunggal tapi dia berkaitan juga dengan terkait<br />
dengan sektor yang lain. Kalau kita buat tentang satu sektor bisa terkait dengan<br />
sektor yang lain atau mungkin juga terkait dengan daerah yang lain kita harus<br />
sadari dalam pembuatan regulasi <strong>Perda</strong> jadi tidak itu. Saya kira itu yang bisa saya<br />
sampaikan.<br />
279
4.<br />
Ahmad Dermawan<br />
Yang dipresentasikan tadi studi mengenai Kab. Kuningan dan Cirebon adalah<br />
salah satu contoh yang berhasil untuk kasus pengelolaan sumber daya alam<br />
secara umum untuk sumber daya lintas wilayah. Untuk studi kasus yang gagal/<br />
yang belum berhasil itu saya melakukan banyak studi di Kalimantan terutama<br />
Kaltim, kabupaten-kabupaten yang meng-klaim sebagai kab. konservasi, Kapuas<br />
Hulu, Malinau, Pasir di Sumatera juga dan sampai saat ini setelah tiga tahun<br />
lebih prosesnya malah belum mendapatkan kompensasi itu. Saya kira satu kalimat<br />
saya, itu saja.<br />
5.<br />
Moderator<br />
Terima kasih Bapak/Bapak sekalian juga Bapak-Bapak penyaji, marilah kita<br />
berikan applause kepada para penyaji. Bapak/Ibu sekalian ini nanti masih ada<br />
demo <strong>Perda</strong> On-line di Ruang Birawa, tapi sebelumnyua jangan lupa mengisi<br />
lembar konfirmasi untuk workshop besok kita masih diskusi lagi besok panjanglebar<br />
ditempat yang sama mengenai topik yang sama. Mohon juga lembar evaluasi,<br />
mohon diisi dan dikembalikan dan sekarang kita ke Ruang Birawa untuk rehat<br />
kopi dan juga demo database <strong>Perda</strong> On-line. Terimakasih.<br />
280
BAB 4<br />
Evaluasi dan Analisis Kebijakan: Menuju <strong>Perda</strong><br />
yang Partisipatif & Komprehensif<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Menggagas Model Revitalisasi Pasar Tradisional: Studi Terhadap<br />
<strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> No.19 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Pasar di<br />
Kota Bandung<br />
Dede Mariana dan Caroline Paskarina, Puslit KP2W Lemlit UNPAD<br />
Menuju <strong>Perda</strong> yang Realistis, Partisipatif dan Progresif: Kasus Kaum<br />
Marginal (Pelacuran) yang Terpinggirkan<br />
IGPA Rhama Wijaya, Tim IR-BTN, Jakarta<br />
Diskusi dan Tanya Jawab<br />
281
1. Menggagas Model Revitalisasi Pasar Tradisional :<br />
Studi terhadap <strong>Implementasi</strong> PERDA No. 19 Tahun 2001<br />
tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung<br />
Abstrak<br />
Eksistensi pasar tradisional tengah menghadapi tantangan berat akibat<br />
keterbatasan kemampuan untuk bersaing dengan pasar-pasar modern. Padahal,<br />
pasar tradisional masih tetap diperlukan terutama oleh masyarakat kelas menengah<br />
ke bawah yang daya belinya terbatas. Di sisi lain, hilangnya pasar-pasar tradisional<br />
juga dapat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi suatu daerah karena dapat<br />
menyebabkan bertambahnya pengangguran dan meluasnya kemiskinan. Kondisi<br />
ini mendorong Pemerintah Kota Bandung untuk menerapkan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun<br />
2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung.<br />
Melalui penerapan perda ini, diharapkan dapat media untuk merevitalisasi pasar<br />
tradisional agar mampu bersaing dengan pasar modern. Kenyataannya, upaya<br />
revitalisasi yang diterapkan tidak mencapai hasil optimal karena ketiadaan<br />
konsep yang jelas dan keterbatasan dana, sehingga yang muncul kemudian adalah<br />
ketergantungan pemerintah kepada pihak pengembang serta konflik antara<br />
pedagang pasar tradisional dengan pihak pengembang. Oleh karena itu, upaya<br />
revitalisasi pasar tradisional perlu dirumuskan dalam desain kebijakan yang<br />
komprehensif, yang memuat paradigma pengelolaan pasar yang menempatkan<br />
pasar tradisional sebagai bentuk investasi sosial dan ekonomi; mengelola jalur<br />
distribusi komoditas yang diperjualbelikan di pasar; serta menjalin kemitraan<br />
lintas stakeholders untuk membangun konsensus yang legitimate.<br />
Kata-kata kunci: revitalisasi, pasar tradisional, kebijakan<br />
1.<br />
Latar Belakang<br />
Keberadaan pasar tradisional dalam beberapa tahun terakhir mulai menghadapi<br />
ancaman bahkan dikhawatirkan akan semakin banyak yang “gulung tikar”<br />
dalam waktu tidak lama lagi karena tidak mampu bersaing menghadapi semakin<br />
banyaknya pusat perbelanjaan atau pasar modern yang merambah hingga ke<br />
pelosok permukiman penduduk. Masyarakat pun tampaknya lebih memilih<br />
berbelanja di pasar-pasar modern dengan berbagai pertimbangan, seperti<br />
kenyamanan, kebersihan, kualitas barang, sampai alasan demi gengsi. Akan tetapi,<br />
keberadaan pasar tradisional tidak mungkin ditiadakan karena sebagian besar<br />
282
masyarakat masih berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah, sehingga<br />
tidak memiliki daya beli yang cukup besar untuk terus-menerus berbelanja di<br />
pasar-pasar modern. Hilangnya pasar-pasar tradisional akan berdampak pada<br />
pertumbuhan ekonomi suatu daerah, seperti bertambahnya pengangguran,<br />
menurunnya daya beli akibat tingkat pendapatan per kapita yang semakin kecil,<br />
melemahnya sektor-sektor perdagangan informal, terhambatnya arus ditribusi<br />
kebutuhan pokok, dan lain-lain yang pada akhirnya bermuara pada marginalisasi<br />
ekonomi pasar tradisional.<br />
Menghadapi kondisi persaingan yang tidak seimbang antara pasar tradisional<br />
dan pasar modern, Pemerintah Daerah sebenarnya telah berupaya memperbaiki<br />
penampilan pasar tradisional yang selama ini dicitrakan becek, kumuh, semrawut,<br />
dan tidak ada kepastian harga. Upaya renovasi pasar tradisional pun menjadi<br />
salah satu program Pemerintah Kota Bandung untuk merevitalisasi pasar-pasar<br />
tradisional yang hampir kehilangan pembeli. Dengan menjalin kerjasama bersama<br />
investor, Pemerintah Kota telah melakukan revitalisasi terhadap sejumlah pasar<br />
tradisional, seperti Pasar Kosambi, Pasar Kebon Kelapa, Pasar Baru, dan Pasar<br />
Gedebage. Namun, upaya ini ternyata berujung pada permasalahan baru karena<br />
banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru. Ada<br />
pula pedagang yang memilih berjualan di luar kompleks pasar karena di dalam tidak<br />
laku, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai. Ketidakpuasan<br />
juga muncul dari Koperasi Pasar (Koppas) yang merasa “tersingkirkan” karena<br />
tidak pernah dilibatkan lagi dalam pengelolaan pasar oleh pengelola pasar yang<br />
baru. Pengelola baru dinilai lebih berorientasi pada peningkatan laba, sehingga<br />
merugikan Koppas karena sumber-sumber pendapatan Koppas yang biasanya<br />
diperoleh melalui jasa kebersihan, pemeliharaan WC, dan listrik sekarang diambil<br />
alih oleh pengelola baru.<br />
Berbagai permasalahan tersebut menempatkan Koppas dalam posisi tidak berdaya<br />
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, apalagi untuk memperjuangkan<br />
kepentingan para pedagang tradisional yang menjadi anggotanya. Alih-alih<br />
meningkatkan daya saing para pedagang tradisional, kenyataannya program<br />
renovasi pasar tradisional justru menyebabkan para pedagang tradisional menjadi<br />
semakin termarginalkan di tengah derasnya arus kapitalisme. Kondisi inilah yang<br />
melatarbelakangi perlunya pengkajian mengenai kebijakan pengelolaan pasar<br />
yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung. Secara normatif, kebijakan pengelolaan<br />
pasar telah diwadahi dalam <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar<br />
di Kota Bandung. Namun, perda ini belum memuat konsep pengelolaan pasar<br />
secara komprehensif karena belum semua permasalahan dalam pengelolaan pasar<br />
diatur dalam perda ini, misalnya pengaturan mengenai batas radius pasar modern<br />
dengan pasar tradisional; bongkar-muat komoditi; kemitraan swasta dan pedagang<br />
tradisional; pengaturan mengenai perdagangan informal yang masih bergabung<br />
dengan pasar tradisional yang maupun ketentuan standar kualitas komoditi yang<br />
akan dijual.<br />
283
Pengelolaan pasar memerlukan desain kebijakan yang komprehensif dan multisektoral,<br />
karena itu perlu dilakukan pengkajian dengan menggunakan metode<br />
analisis kebijakan (policy analysis method), sehingga hasil studi dapat menjadi<br />
pertimbangan utama bagi perumus kebijakan dalam formulasi kebijakan. Fokus<br />
analisis adalah kebijakan apa yang perlu diambil atau dilakukan oleh pemerintah<br />
Kota Bandung agar revitalisasi pasar tradisional tidak semakin memarginalkan<br />
para pedagang tradisional, tetapi justru meningkatkan daya saing mereka.<br />
2.<br />
Perumusan Masalah<br />
Berdasarkan latarbelakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas<br />
dalam makalah ini berfokus pada evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan<br />
pasar di Kota Bandung. Secara rinci, fokus masalah tersebut dirumuskan dalam<br />
sejumlah pertanyaan kajian sebagai berikut:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Bagaimana konsep dan pemaknaan tentang pasar ?<br />
Bagaimana evaluasi terhadap pelaksanaan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 tentang<br />
Pengelolaan Pasar di Kota Bandung ?<br />
Bagaimana model revitalisasi pengelolaan pasar tradisional yang dapat<br />
meningkatkan daya saing dengan pasar modern?<br />
3.<br />
Pendekatan Kajian<br />
Kajian ini menggunakan metode analisis kebijakan (policy analysis method)<br />
yang mengarahkan hasil studi komprehensif menjadi pertimbangan utama bagi<br />
perumus kebijakan dalam formulasi kebijakan. Metode analisis kebijakan mengkaji<br />
kebijakan dan instrumen-instrumen yang digunakan oleh pemerintah, khususnya<br />
aspek jenis dan instrumen kebijakan yang bisa memecahkan masalah publik yang<br />
ada, dalam arti kebijakan apa yang perlu diambil atau dilakukan oleh pemerintah<br />
agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud secara efisien .<br />
Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kebijakan mencapai tujuan yang telah<br />
ditetapkan, maka tahap terakhir dari proses kebijakan adalah melakukan evaluasi<br />
kebijakan. Evaluasi kebijakan menekankan pada estimasi atau pengukuran dari<br />
suatu kebijakan, termasuk juga materi, implementasi, pencapaian tujuan, dan<br />
dampak dari kebijakan tersebut, bahkan evaluasi juga dapat digunakan untuk<br />
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan<br />
suatu kebijakan, sehingga hasil pengkajian tersebut dapat digunakan sebagai<br />
bahan pengambilan keputusan apakah kebijakan tersebut akan dilanjutkan,<br />
diubah, diperkuat atau diakhiri. <br />
Riswandha Imawan. 1999. Kebijakan <strong>Publik</strong>. Yogyakarta : Program Pascasarjana Magister Administrasi<br />
<strong>Publik</strong> UGM, hal. 4.<br />
James E. Anderson. 1997. Public Policy-Making. Third Edition. New York : Holt, Rinehart and Winston,<br />
hal. 272.<br />
284
Evaluasi biasanya didefinisikan sebagai kegiatan untuk mengukur keberhasilan<br />
pelaksanaan kebijakan. Secara umum, evaluasi dapat didefinisikan sebagai 3<br />
…<br />
the systematic assessment of the extent to which:<br />
1. Program inputs are used to maximise outputs (efficiency);<br />
2. Program outcomes achieve stated objectives (effectiveness);<br />
3. Program objectives match policies and community needs (appropriateness).<br />
Adapun kriteria lain dalam rangka mengevaluasi suatu kebijakan adalah :<br />
1. Efisiensi : suatu kebijakan dikatakan efisien, jika hasil (output atau outcomes)<br />
lebih besar (berarti) dari pada biaya untuk implementasi serta penegakan<br />
hukum kebijakan tersebut. Artinya, yang digunakan adalah kriteria “costeffectiveness”,<br />
dengan kata lain, suatu kebijakan bersifat efisien, maka pasti<br />
“cost-effectiveness”, tetapi tidak sebaliknya.<br />
2. Keadilan : yang dimaksud dengan keadilan adalah pembagian (penyebaran)<br />
keuntungan, yang diperoleh dari suatu kebijakan, di antara kelompok<br />
masyarakat (stakeholders).<br />
3. Insentif untuk perbaikan : kebijakan yang baik adalah kebijakan yang<br />
mendorong para “stakeholders” untuk mencari dan menerapkan pendekatan<br />
atau teknologi untuk perbaikan.<br />
4. Kemudahan untuk penegakan hukum (enforceability) : dapat atau tidaknya<br />
suatu kebijakan diimplementasikan serta ditegakkan.<br />
5. Pertimbangan moral.<br />
Data diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi<br />
kepustakaan, dengan mengumpulkan dan menganalisis bahan kepustakaan<br />
yang relevan dengan kajian, seperti artikel dan berita di surat kabar, peraturan<br />
perundang-undangan terkait, serta dokumen-dokumen perencanaan di Kota<br />
Bandung. Selain itu, data dan informasi juga dikumpulkan dan diverifikasi<br />
melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan Komisi B DPRD<br />
Kota Bandung, Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung, dan Pengurus (Ketua dan<br />
Sekretaris) Koperasi Pasar di Kota Bandung.<br />
Teknik analisis kualitatif digunakan untuk mengolah data hasil wawancara untuk<br />
menganalisis pemaknaan terhadap pasar, mengevaluasi pelaksanaan <strong>Perda</strong> No.<br />
19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung, serta merumuskan<br />
model revitalisasi pasar tradisional. Teknik analisis data ini secara operasional<br />
dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, penafsiran data, dan penarikan<br />
kesimpulan.<br />
4<br />
3 Commonwealth of Australia Department of Finance. 1989, hal. 1<br />
4 William N. Dunn. 1994. Public Policy Analysis : An Introduction. Edisi ke-2. Englewood Cliffs, New<br />
Jersey : Prentice-Hall, Inc., A Simon & Schuster Company. Terjemahan dari : Gadjah Mada University<br />
Press. Yogyakarta.<br />
285
4.<br />
Temuan dan Analisis<br />
4.1 Konsep dan Pemaknaan tentang Pasar<br />
Dikotomi antara pasar tradisional dan pasar modern sesungguhnya tidak hanya<br />
bersumber dari arsitektur bangunan atau manajemen pengelolaannya, melainkan<br />
bersumber dari pemaknaan tentang konsepsi pasar sebagai tempat berlangsungnya<br />
transaksi ekonomi. Konsep tentang pasar dapat dipahami dari berbagai perspektif,<br />
seperti perspektif ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Dalam perspektif<br />
ekonomi, konsep tentang pasar (dalam pengertian luas, sebagai tempat bertemunya<br />
permintaan dan penawaran) terbentuk sebagai salahsatu implikasi dari proses<br />
perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis. Boeke (1910) merupakan<br />
salah satu ahli ekonomi yang mencoba menerangkan fenomena terbentuknya<br />
pasar dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat prakapitalistik<br />
dengan masyarakat kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar<br />
antara masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik terletak dalam<br />
hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat dalam tingkatan prakapitalistik<br />
berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang diperolehnya,<br />
sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk<br />
5<br />
mendapatkan laba maksimum. <br />
Perbedaan orientasi ekonomi tersebut melahirkan nilai-nilai sosial dan budaya<br />
yang membentuk pemahaman terhadap keberadaan pasar dalam kedua kategori<br />
masyarakat tersebut. Dalam masyarakat kapitalistik, individu secara otonom<br />
menentukan keputusan bebas. Dalam masyarakat seperti itu, pasar merupakan<br />
6<br />
kolektivitas keputusan bebas antara produsen dan konsumen dan kultural. Jika<br />
keputusan produsen lebih ditentukan oleh harapan untuk mempertahankan posisi<br />
pendapatan yang telah dicapai, maka keputusan konsumen lebih dekat pada nilai<br />
kolektif yang dapat diraihnya.<br />
Nilai kolektivitas menjadi pembeda dalam pemahaman tentang konsepsi pasar di<br />
kalangan masyarakat prakapitalistik dan masyarakat kapitalistik. Bagi masyarakat<br />
prakapitalistik yang ciri-cirinya tampak dalam kelompok masyarakat yang masih<br />
berpatokan pada kolektivitas, kegiatan ekonomi yang berlangsung di pasar (dalam<br />
arti tempat bertemunya penjual dan pembeli) masih sangat diwarnai oleh nuansa<br />
kultural yang menekankan pentingnya tatap muka, hubungan personal antara<br />
penjual dan pembeli (yang ditandai oleh loyalitas ‘langganan’), serta kedekatan<br />
hubungan sosial (yang ditandai konsep ‘tawar-menawar harga’ dalam membeli<br />
barang atau konsep ‘berhutang’). Karakteristik semacam ini pada kenyataannya<br />
tidak hanya ditemukan dalam masyarakat perdesaan sebagaimana ditesiskan<br />
Boeke, tapi juga dalam masyarakat perkotaan, yang bermukim di kota-kota besar<br />
di Indonesia.<br />
5 J.H. Boeke. 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by Indonesia.<br />
N.V. Haarlem:HD Tjeenk Willink & Zoon.<br />
6 Komaruddin Sastradipoera. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”, dalam Ajip Rosidi, dkk (eds). 2006.<br />
Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta:Yayasan Kebudayaan Rancagé,<br />
hal. 101.<br />
286
Kondisi semacam inilah yang kemudian memunculkan dualisme sosial, yang<br />
tampak dalam bentuk pertentangan antara sistem sosial yang berasal dari luar<br />
masyarakat dengan sistem sosial pribumi yang hidup dan bertahan di wilayah<br />
yang sama. Secara sosiologis dan kultural, makna filosofis sebuah pasar tidak<br />
hanya merupakan arena jual beli barang atau jasa, namun merupakan tempat<br />
pertemuan warga untuk saling interaksi sosial atau melakukan diskusi informal<br />
7<br />
atas permasalahan kota . Pemaknaan ini merefleksikan fungsi pasar yang lebih<br />
luas, namun selama ini kurang tergarap pengelolaannya dalam berbagai kebijakan.<br />
Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pasar, seperti kebijakan<br />
perdagangan, tata ruang, dan perizinan lebih banyak berorientasi pada dimensi<br />
ekonomi dari konsep pasar. Pengabaian terhadap fungsi sosial-kultural pasar<br />
inilah yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk pasar modern yang bernuansa<br />
kapitalistik, yang lebih menonjolkan kenyamanan fisik bangunan, kemewahan,<br />
kemudahan, dan kelengkapan fasilitas namun menampilkan sisi lain yang<br />
individualistis, “dingin”, dan anonim.<br />
Masuknya nilai-nilai baru, seperti kolektivitas rasional atau otonomi individu<br />
yang menjadi karakteristik masyarakat kapitalistik ternyata tidak diimbangi<br />
oleh pelembagaan nilai-nilai ini dalam dimensi kehidupan masyarakat. Kebiasaan<br />
sosial di kalangan masyarakat perkotaan yang seyogianya menampakkan ciriciri<br />
masyarakat kapitalistik, pada kenyataannya masih menunjukkan kebiasaan<br />
masyarakat prakapitalistik. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan<br />
fenomena dualisme, seperti berkembangnya para pedagang kaki lima di sekitar<br />
mall. Dualisme sosial ini selanjutnya mengarah pada pola relasi yang timpang di<br />
mana salah satu pihak mendominasi pihak lain dan pihak lain berada dalam posisi<br />
8<br />
termarginalkan, baik dalam kerangka struktural maupun kultural. Friedma <br />
menjelaskan bahwa kesenjangan dalam pola relasi tersebut disebabkan oleh<br />
ketimpangan dalam basis kekuasaan sosial. Kemiskinan yang berkaitan dengan<br />
ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar-menawar di pasar terutama disebabkan<br />
oleh ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial<br />
tersebut. Beberapa penyebabnya adalah ketidaksamaan untuk memperoleh modal<br />
atau aktiva produktif, ketidaksamaan dalam memperoleh sumber-sumber finansial,<br />
ketidaksamaan dalam memasuki jaringan sosial untuk memperoleh peluang kerja,<br />
dan ketidaksamaan akses untuk menguasai informasi.<br />
Ketimpangan yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan dalam kekuatan<br />
tawar-menawar setidaknya memunculkan dua akibat, yakni:<br />
1. hilangnya harga diri (self-esteem) karena pembangunan sistem dan pranata<br />
sosial dan ekonomi gagal mengembangkan martabat dan wibawa kemanusiaan;<br />
dan<br />
2. lenyapnya kepercayaan pada diri sendiri (self-reliance) dari masyarakat yang<br />
berada dalam tahapan belum berkembang karena ketidakmandirian.<br />
7 Pujo Sugeng Wahyudi dan Mukhlis Ahmadi. “Kasus Pasar Wonokromo, Surabaya: Cermin Buruknya<br />
Pengelolaan Pasar”. Kompas, 24 Maret 2003.<br />
8 Dalam Sastradipoera, op.cit., hal. 112<br />
287
Kondisi ketidakseimbangan dalam hal bargaining position sebagaimana diuraikan<br />
di atas juga menjadi salah satu penyebab melemahnya kapasitas pasar tradisional<br />
dalam persaingan dengan pasar modern. Ruang bersaing pedagang pasar tradisional<br />
kini semakin terbatas. Bila selama ini pasar modern dianggap unggul dalam<br />
memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas<br />
berbelanja yang jauh lebih baik, skala ekonomis pengecer modern yang cukup luas<br />
dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok<br />
penjualan mereka sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah.<br />
Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya mempunyai skala<br />
yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli<br />
barang yang akan dijualnya. Akibatnya, keunggulan biaya rendah pedagang<br />
tradisional kini mulai terkikis. Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat<br />
dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya<br />
lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang<br />
memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi<br />
pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang.<br />
Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan bagi pasar<br />
tradisional.<br />
Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan pasar tradisional dengan pasar modern<br />
belum secara konkret dilakukan karena tidak ada kebijakan yang mendukung<br />
pasar tradisional, misalnya dalam hal pembelian produk pertanian tidak ada<br />
subsidi dari pemerintah sehingga produk yang masuk ke pasar tradisional kalah<br />
bersaing dalam hal kualitas dengan produk yang masuk ke pasar modern. Bahkan<br />
dewasa ini berkembang pengkategorian pasar yang cenderung memarginalkan<br />
masyarakat, seperti pasar tradisional untuk masyarakat berdaya beli menengah<br />
ke bawah tapi kualitas barang yang dijual tidak sesuai standar, sementara pasar<br />
modern untuk masyarakat menengah ke atas dengan kualitas produk sesuai bahkan<br />
melebihi standar minimal. Kategorisasi semacam itu memunculkan kesenjangan<br />
dan kecemburuan sosial bukan hanya antara pasar tradisional dengan pasar<br />
modern, tapi semakin meluas mengarah pada konflik horizontal di masyarakat.<br />
Pembedaan kategori pasar tradisional dan pasar modern juga menunjukkan<br />
stigmatisasi dan diskriminatif. Padahal konsep pasar modern kenyataannya lebih<br />
sarat dengan makna konsumtif dibandingkan makna sebagai ruang sosial lintas<br />
strata masyarakat.<br />
4.2 Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Kota Bandung<br />
Kota Bandung memainkan peran strategis bukan hanya sebagai salahsatu kota<br />
besar di Propinsi Jawa Barat, tetapi juga menjadi “etalase” bagi Jawa Barat. Dalam<br />
kedudukan sebagai ibukota propinsi, kondisi Kota Bandung seringkali dijadikan<br />
cerminan bagi kondisi daerah-daerah lain di Jawa Barat. Dalam hal kapasitas<br />
ekonomi, pertumbuhan ekonomi Kota Bandung banyak ditunjang oleh sektor<br />
perdagangan, sebagaimana diindikasikan dari kontribusi sektor ini terhadap PDRB<br />
Kota Bandung sebesar 31,91% pada tahun 2003, yang menempati urutan pertama<br />
288
dibandingkan sektor-sektor lainnya. Potensi inilah yang selanjutnya mendasari<br />
ditetapkannya visi Kota Bandung sebagai Kota Jasa. Dalam konsepsi ini, Kota<br />
Bandung akan dikembangkan sebagai pusat kegiatan jasa dan perdagangan<br />
dengan menekankan pada pengembangan infrastruktur, sarana, dan prasarana<br />
yang mendukung kemudahan dalam kegiatan jasa dan perdagangan. Dalam visi ini<br />
terkandung kepentingan untuk membentuk citra Kota Bandung sebagai kota jasa<br />
yang modern, sehingga perlu ada simbol-simbol modernisasi. Citra modern menjadi<br />
bagian proses pembangunan ekonomi yang dianggap dapat memacu kapasitas<br />
ekonomi daerah. Pabrik-pabrik atau perusahaan, pertokoan berkapasitas besar<br />
seperti mall (super dan hipermarket), pengembangan kawasan wisata, termasuk<br />
pengadaan perumahan elit (real estate) dan perkantoran menjadi pilihan Pemerintah<br />
Kota untuk menjadi mesin ekonomi. Pilihan terhadap sektor perdagangan dan jasa<br />
berkapital besar ini diharapkan dapat memberikan efek domino untuk merangsang<br />
tumbuhnya sektor ekonomi riil lainnya, seperti menyerap tenaga kerja, mendorong<br />
investasi, meningkatkan pendapatan per kapita, dan lain-lain.<br />
Sebagai salah satu ciri sarana perekonomian perkotaan, keberadaan pasar menjadi<br />
salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup potensial, sehingga<br />
pengaturan tentang pengelolaan pasar kemudian diwadahi dalam Peraturan<br />
Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 17 Tahun 1996 tentang<br />
Pengurusan Pasar-Pasar di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung, yang<br />
kemudian diubah dengan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di<br />
Kota Bandung. <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 dibuat dengan maksud untuk mengelola<br />
perkembangan pasar agar dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat<br />
dan sekaligus peningkatan perekonomian masyarakat. Namun, maksud ini<br />
belum sepenuhnya tercakup dalam materi muatan perda karena perda ini<br />
hanya mengatur pengklasifikasian pasar menurut golongan dan jenis; ketentuan<br />
mengenai pendirian/pembangunan pasar dan penghapusan pasar; penunjukan dan<br />
pemakaian tempat berjualan; penyelenggaraan reklame, parkir, dan kebersihan di<br />
areal pasar; retribusi; kewajiban dan larangan; sanksi; dan ketentuan penyidikan.<br />
Sekalipun penamaan perda ini adalah pengelolaan pasar, pada kenyataannya<br />
tidak tercantum konsep pengelolaan pasar yang diterapkan di Kota Bandung.<br />
Pengklasifikasian pasar tidak disertai dengan mekanisme pengelolaan bagi setiap<br />
golongan dan jenis pasar, padahal pengelolaan pasar induk tentu akan berbeda<br />
dengan pasar eceran, tapi dalam perda ini tidak dibahas mengenai perbedaan<br />
pengelolaan tersebut. Substansi perda juga tidak membahas mengenai pengelolaan<br />
pasar tradisional dan pasar modern, bahkan dalam perda sama sekali tidak termuat<br />
mengenai pasar modern, baik pengertian maupun pengelolaannya. Pendefinisian<br />
pasar yang digunakan dalam perda ini sangat limitatif, hanya bersumber dari<br />
dan pelaksanaan berbagai kebijakan. Kepentingan ini berlindung di balik jargon<br />
peningkatan PAD, yang dalam kasus pengelolaan pasar dijabarkan dan/atau<br />
ditetapkan oleh Walikota sebagai tempat berjualan umum atau sebagai tempat<br />
memperdagangkan barang dan atau jasa yang berdiri di lahan milik/dikuasai<br />
9 Bandung Dalam Angka, 2003.<br />
9<br />
289
Pemerintah Daerah”. Selanjutnya ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pasar<br />
tradisional adalah “pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta,<br />
Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios dan<br />
meja yang dimiliki/dikelola oleh pedagang dengan usaha skala kecil dan modal kecil<br />
dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar”. Kedua definisi di atas tidak<br />
menempatkan pasar dalam konsepsi dan pemaknaan yang sesungguhnya, sebagai<br />
tempat berlangsungnya interaksi lintas strata sosial dalam suatu masyarakat, tapi<br />
sebatas tempat berjualan umum. Bahkan pendefinisian pasar tradisional semakin<br />
tereduksi dengan kriteria serba “marginal”, seperti tempat usaha berskala kecil,<br />
modal kecil, dan proses transaksinya melalui tawar-menawar. Berdasarkan<br />
definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma pengelolaan pasar<br />
yang terkandung dalam perda tersebut sangat bernuansa ekonomi-kapitalistik.<br />
Paradigma inilah yang kemudian mendasari model revitalisasi pasar tradisional<br />
yang diterapkan di Kota Bandung selama ini, yakni model yang berbasis pada<br />
penguasaan kapital.<br />
Paradigma ini berkembang sebagai konsekuensi dari pemahaman yang<br />
mengidentikan otonomi daerah dengan kemandirian secara finansial, sehingga<br />
kepentingan akumulasi kapital menjadi sangat berpengaruh dalam perumusan<br />
melalui kemudahan pemberian izin bagi pasar-pasar modern. Padahal, dalam<br />
berbagai peraturan, seperti Surat Keputusan Bersama Menperindag dan Mendagri<br />
No. 145/MPP/Kep/5/1997 dan No. 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan<br />
Pasar dan Pertokoan, juga Keputusan Menperindag No. 261/MPP/Kep/7/1997 dan<br />
Keputusan Menperindag No. 420/MPP/Kep.10/1997 serta Surat Edaran Gubernur<br />
Jawa Barat sejak tahun 2004 kepada Bupati dan Walikota telah diatur mengenai<br />
pembatasan izin pasar modern berskala besar, tapi keberadaan peraturanperaturan<br />
tersebut seolah tidak dipatuhi oleh para walikota dan bupati, termasuk<br />
di Kota Bandung.<br />
Dalam kasus Kota Bandung, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis.<br />
Di satu sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang ada<br />
karena sebanyak 36 pasar tradisional di Kota Bandung merupakan sumber PAD<br />
yang sangat potensial. Namun, di sisi lain, Pemerintah Kota tidak mempunyai dana<br />
untuk merevitalisasi pasar. APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung<br />
tidak pernah membuat pos khusus untuk penataan pasar, sehingga Pemerintah<br />
Kota selalu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar. Anggaran yang<br />
disediakan pemerintah hanya biaya-biaya rehabilitasi ringan, penyediaan lahan,<br />
fasilitas umum dan sosial, seperti sarana jalan, kamar kecil atau MCK, drainase,<br />
sarana kesehatan, dan lain-lain. Pada anggaran tahun 2005, target PAD yang<br />
hendak diraih Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung adalah Rp 4.557.750.000,00.<br />
Target PAD itu berasal dari retribusi pasar, ketertiban, fasilitas mandi-cuci-kakus<br />
(MCK), Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB), dan kontribusi pasar swasta.<br />
Anggaran biaya belanja Dinas Pengelolaan Pasar sendiri pada tahun 2005 mencapai<br />
10<br />
lebih dari Rp 5 milyar. <br />
10 Hasil FGD dengan Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung, bertempat di Ruang Komisi B DPRD Kota<br />
Bandung, 22 Mei 2006.<br />
290
Kondisi keuangan ini menjadi pendorong sehingga Pemerintah Kota tampaknya<br />
lebih mempertimbangkan kepentingan investor atau para pengusaha yang<br />
menanamkan modal dibanding mempertimbangkan nilai etis pembangunan yakni<br />
mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan dari belenggu kemiskinan.<br />
Maraknya pembangunan pasar-pasar modern justru dipertanyakan kemanfaatan<br />
secara meluas, karena melahirkan ketimpangan. Mal menyodot keuntungan<br />
pedagang kecil, dan mengalir ke supermarket-supermarket itu. Berdasarkan data<br />
AC Nielsen, kontribusi penjualan pasar tradional memang terus merosot. Bila pada<br />
tahun 2002, dominasi penjualan di segmen pasar ini mencapai 75%, maka pada<br />
11<br />
tahun lalu turun menjadi hanya 70%. <br />
Dengan demikian pasar tradisional juga kian tersingkirkan. Tidak heran jika muncul<br />
sengketa dan resistensi para pedagang tradisional yang telah lama menghuni pasarpasar<br />
desa atau perkampungan. Bahkan model restrukturisasi pasar tradisional<br />
yang dibangun “atas nama kelayakan” juga melahirkan persoalan baru, karena<br />
makin mahalnya pengelolaan pasar bergaya modern itu dan akibatnya harga sewa<br />
tidak terjangkau oleh pedagang. Sejumlah upaya revitalisasi pasar tradisional yang<br />
dilakukan Pemerintah Kota c.q. Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung mengalami<br />
kegagalan, bahkan berujung dengan konflik antara pedagang pasar tradisional<br />
dengan pengelola dan Pemerintah Kota. Konflik ini muncul karena sejumlah<br />
penyebab, pertama, Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki<br />
konsep yang jelas mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat<br />
tergantung pada desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana<br />
turut memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan<br />
pengembang.<br />
Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru dirugikan ketika<br />
ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan pengembang<br />
akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada Pemerintah Kota.<br />
Kasus revitalisasi Pasar Kosambi, misalnya. Sejak masa pemerintahan Walikota<br />
Bandung, Wahyu Hamidjaja hingga Dada Rosada, pasar ini telah berulang kali<br />
direnovasi. Namun, tidak ada satupun proyek renovasi itu tuntas. Terakhir kali,<br />
setelah direnovasi oleh P.T. Tirtobumi, pengembang mengembalikan pengelolaan<br />
pasar kepada pemerintah kota lewat Memorandum of Understanding bertanggal<br />
30 November 2003. Namun renovasi pasar saat itu tidak seratus persen rampung.<br />
Padahal setahu pedagang, pihak pengembang menjanjikan pengelolaan pasar<br />
hingga tahun 2018. Setelah itu, tidak ada kejelasan mengenai kelanjutan<br />
revitalisasi Pasar Kosambi. Pemerintah kota, lewat Dinas Pengelolaan Pasar,<br />
yang seharusnya mengelola kembali Pasar Kosambi, tidak kunjung menuntaskan<br />
revitalisasi pasar. Kedua, tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk<br />
membangun kesepahaman antara pemerintah dengan para pedagang di pasar<br />
tradisional tentang model revitalisasi yang akan diterapkan. Alih-alih menjalin<br />
kemitraan, yang berkembang justru saling curiga antara pemerintah dengan<br />
pedagang dan koperasi pasar, dan antara pedagang dan koperasi pasar dengan<br />
pihak pengembang. Kasus revitalisasi Pasar Kosambi contohnya.<br />
11 Arie Sujito. “Mal dan Marginalisasi”. Artikel, dimuat dalam Flamma Edisi 24 Tahun 2005,<br />
download dari www.ireyogya.<strong>org</strong><br />
291
Ketika pihak pengembang mengembalikan tanggung jawab pengelolaan pasar<br />
pada Pemerintah Kota, sementara pemerintah tidak mempunyai cukup dana<br />
untuk meneruskan revitalisasi, yang terjadi adalah kevakuman yang berakibat<br />
pada turunnya pendapatan sekitar 250 pedagang resmi di Pasar Kosambi. Para<br />
pedagang di pasar tersebut bersama dengan Koperasi Pedagang Pasar Kosambi<br />
menyatakan sepakat menata sendiri gedung pasarnya. Dana yang diperlukan<br />
sekitar Rp 1,6 milyar untuk menata pasar mulai dari basement sampai dengan<br />
lantai dua. Koppas tidak meminta bantuan dana dari pemerintah kota karena<br />
modal akan diperoleh dari penjualan kios. Namun izin tidak kunjung turun dari<br />
pemerintah kota, padahal semua dinas terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar,<br />
Dinas Bina Marga,<br />
Dinas Perhubungan, dan Dinas Tata Kota sudah menyatakan menyambut baik<br />
rencana ini. Belum turunnya izin dari Walikota Bandung diperkirakan karena<br />
walikota ingin penataan itu diterapkan pada seluruh lantai, bukan hanya basement<br />
sampai dengan lantai dua, namun biayanya belum ada. Sementara itu, Kepala<br />
Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung meragukan bisa terlaksananya rencana<br />
pedagang Pasar Kosambi untuk menata pasar dengan biaya sendiri yang diperoleh<br />
dari penjualan kios-kios. Hal ini berarti harus mengubah IMB yang sudah ada.<br />
Selain meragukan kemampuan para pedagang dan Koppas, Dinas Pengelola<br />
Pasar justru mulai mencurigai motif para pedagang tersebut. Dalam wawancara<br />
dengan media cetak lokal, Kepala Dinas Pengelola Pasar mengatakan, “Kami juga<br />
perlu mencari tahu, siapa sebenarnya yang menginginkan penataan dengan biaya<br />
sendiri itu. Apakah memang keinginan itu murni suara bulat pedagang? Apakah<br />
ini akan dimanfaatkan pihak-pihak lain dengan mengatasnamakan pedagang.<br />
Kami harus teliti. Saya sendiri tetap lebih memilih langkah membuat variasi<br />
barang dagangan di masing-masing lantai untuk menarik konsumen. Kemudian<br />
12<br />
basement yang dijadikan lahan parkir ditata kembali.” Pernyataan ini secara<br />
eksplisit mengindikasikan adanya perbedaan persepsi dan kepentingan di antara<br />
pemerintah kota selaku pemegang otoritas dengan para pedagang. Namun, tidak<br />
ada upaya konkret yang dilakukan untuk menjembatani perbedaan kepentingan<br />
tersebut.<br />
Ketiga, ketiadaan mekanisme untuk mencapai konsensus untuk menjembatani<br />
kepentingan berbagai kelompok. Konflik kepentingan merupakan kewajaran dalam<br />
proses kebijakan, namun harus direspon dengan baik oleh pengambil keputusan.<br />
Pemerintah Kota sebagai pemegang otoritas seyogyanya dapat berperan lebih<br />
besar dalam mencari konsensus untuk mengelola kepentingan pihak terkait dalam<br />
pengelolaan pasar. Konsensus tersebut dapat diperbaharui untuk memastikan misi<br />
kebijakan tercapai dan pihak penerima dampak dapat merelakannya. Pemerintah<br />
Kota menggunakan mekanisme perizinan sebagai alat peredam konflik kepentingan,<br />
namun dalam pelaksanaannya, perizinan dalam pendirian ataupun pengelolaan<br />
pasar hanya sebatas formalitas. Kewenangan untuk memberikan izin semestinya<br />
tidak hanya dimaknai secara legal-administratif, tapi juga secara politis.<br />
12 Bujet Edisi 05/III/Juli – Agustus 2005<br />
292
Kewenangan secara legal administratif hanya dapat ditegakan manakala dianggap<br />
legitimate oleh mereka yang terkena dampak kebijakan, terutama oleh mereka<br />
yang terkena dampak negatif. Munculnya protes terhadap keputusan yang diambil<br />
pemerintah sesungguhnya mencerminkan bahwa keputusan tersebut tidak<br />
legitimate, meskipun memenuhi persyaratan administratif. Kasus revitalisasi Pasar<br />
Simpang Dago, misalnya. Dalam kasus ini, para pedagang pasar Simpang Dago yang<br />
tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), mendatangi<br />
Komisi B DPRD Kota Bandung untuk menolak revitalisasi Pasar Simpang Dago<br />
13<br />
yang direncanakan pemerintah kota. Menurut para pedagang, pembangunan mal<br />
atau plasa yang selama ini dilakukan pemerintah cenderung menyengsarakan<br />
masyarakat. Selama ini para pedagang sudah melakukan penataan Pasar Simpang<br />
secara swadaya, seperti membenahi pagar dan trotoar. Sementara itu, Kepala Dinas<br />
Pasar, mengatakan, jika pedagang tidak setuju dengan rencana pemerintah kota,<br />
otomatis nota kesepahaman antara pemerintah kota dengan pengembang tidak<br />
berlaku. Pernyataan ini terkesan terlampau menyederhanakan permasalahan<br />
sekaligus membuktikan lemahnya legitimasi konsensus yang dihasilkan. Bila nota<br />
kesepahaman dengan mudah dapat ditiadakan oleh protes kelompok lain, maka<br />
tidak ada kepastian hukum yang kuat untuk menjamin kepentingan kelompokkelompok<br />
yang terkena dampak dari revitalisasi pasar tradisional.<br />
Dalam kasus revitalisasi Pasar Cicadas, krisis kepercayaan pedagang pasar<br />
tradisional kembali muncul dalam bentuk penolakan terhadap rencana revitalisasi<br />
yang akan dilaksanakan pemerintah kota bersama pengembang. Dalam pernyataan<br />
sikapnya, Paguyuban Pedagang Pasar Cicadas Baru (P3C) mengeluhkan sikap<br />
pengembang, PT Tirta Marga Kencana (TMK), yang dianggap telah bertindak<br />
terlampau jauh dengan membuat TPPS (Tempat Penampungan Pedagang<br />
Sementara) di Jln. Cikutra, melakukan pengukuran projektif dan pelaksanaan awal<br />
14<br />
amdal. Warga pedagang juga mengaku kaget dengan adanya surat edaran pada<br />
April 2005 dari Pemkot Bandung yang ditandatangani Kepala Dinas Pasar. Edaran<br />
itu menyebutkan, para pedagang harus menyerahkan Surat Pemakaian Tempat<br />
Berjualan (SPTB) yang masih berlaku kepada kepala pasar, karena revitalisasi<br />
akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2005. Kasus ini semakin memperkuat<br />
dugaan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan para pedagang<br />
di pasar tradisional. Dugaan keberpihakan Pemerintah Kota terhadap kepentingan<br />
pengembang selaku pemilik kapital semakin diperkuat ketika Pemerintah Kota<br />
kurang tegas menegakan ketentuan pengelolaan pasar tradisional yang telah<br />
disepakati dengan pihak pengembang. Dalam kasus revitalisasi Pasar Baru,<br />
misalnya, pihak pengembang mengubah penggunaan 2 (dua) basement Pasar Baru<br />
yang semula diperuntukan bagi lahan parkir menjadi tempat berjualan. Perubahan<br />
penggunaan ini dilakukan pengembang tanpa bermusyawarah dengan Koppas<br />
15<br />
Pasar Baru, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pedagang lama. Sekalipun<br />
telah terjadi pelanggaran terhadap IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan IPPT<br />
13 Pikiran Rakyat, 19 Januari 2006<br />
14 Pikiran Rakyat, 30 Juni 2005<br />
15 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Baru, bertempat di Ruang Komisi B DPRD<br />
Kota Bandung, 22 Mei 2006<br />
293
(Izin Peruntukan Penggunaan Tanah), Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung<br />
tidak memberikan sanksi apapun terhadap pengembang Pasar Baru. Kompromi<br />
terhadap kepentingan kapital yang diwakili oleh para investor (pengembang)<br />
pasar juga diindikasikan dari inkonsistensi pelaksanaan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001<br />
dengan kebijakan lain yang terkait, misalnya sekalipun ada ketentuan bahwa<br />
16<br />
pasar modern tidak boleh dibangun dalam radius 10 meter dari pasar induk, <br />
kenyataannya dalam radius 10 meter dari Pasar Induk Gede Bage hingga sekarang<br />
17<br />
berdiri Hipermarket Makro . Dikaitkan dengan penataan kota, dalam <strong>Perda</strong> Kota<br />
Bandung Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),<br />
ditegaskan bahwa perkembangan pusat belanja dan pertokoan yang cenderung<br />
linier sepanjang jalan arteri dan kolektor harus dikendalikan.<br />
Pengembangannya didorong ke wilayah Bandung Timur. Peraturan itu secara<br />
normatif memang melindungi pedagang di pasar tradisional. Namun, ketidaktegasan<br />
dalam pelaksanaan hampir dapat dipastikan membuat pasar modern dengan<br />
segala keunggulannya menyulitkan pasar tradisional. Di Kota Bandung, pasar<br />
tradisional yang lokasinya berdekatan dengan mal/hipermarket menjadi makin<br />
sepi pembeli. Hypermart hanyalah salah satu dari hipermarket yang menyerbu<br />
Kota Bandung. Sebelumnya, di kota ini sudah masuk hipermarket lainnya, seperti<br />
Carrefour, Giant, Alfa, Makro, Bandung Electronic Center, Cihampelas Walk,<br />
ITC Kebon Kelapa, dan ITC Pasar Baru. Tahun 2006 mulai dibangun empat mal/<br />
hipermaket baru, yaitu Bandung Electronical Mal, Mal Parijs Van Java, Braga City<br />
Walk, dan Paskal Hyper Square. Semua pusat perbelanjaan modern yang sedang<br />
dibangun itu berlokasi di pusat kota, bukan di wilayah Bandung Timur seperti<br />
yang diamanatkan <strong>Perda</strong> RTRW Kota Bandung.<br />
4.3 Model Revitalisasi Pasar Tradisional<br />
Konsep revitalisasi pasar tradisional lebih luas dari sekedar perubahan pada fisik<br />
bangunannya saja, tetapi juga harus ada konsep bagaimana mendinamiskan pasar.<br />
Kasus-kasus yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa hampir setiap upaya<br />
revitalisasi pasar tradisional, yang salah satunya menyediakan pula lapak-lapak<br />
atau kios-kios baru bagi para pedagang pasar tumpah, berujung pada ketidakpuasan<br />
pedagang karena informasi mengenai rencana dan pelaksanaan revitalisasi pasar<br />
tidak menyentuh semua pedagang, hanya para perwakilannya saja. Buktinya,<br />
banyak pedagang di pasar-pasar yang direvitalisasi tidak mengetahui soal<br />
revitalisasi yang sedang atau akan dilaksanakan di pasarnya. Pedagang juga<br />
merasa harga kios atau lapak yang ditawarkan pengembang pasar dinilai terlalu<br />
tinggi, sehingga sulit dijangkau. Apalagi saat ini pedagang tradisional sangat<br />
tersaingi oleh pasar-pasar modern dari segi pendapatan. Pasar modern seperti<br />
pasar swalayan, minimarket, department store, dan sebagainya, selain dapat<br />
16 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Gede Bage, bertempat di Ruang Komisi B<br />
DPRD Kota Bandung, 22 Mei 2006<br />
17 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Gede Bage, bertempat di Ruang Komisi B<br />
DPRD Kota Bandung, 22 Mei 2006<br />
294
menjual barangnya dengan harga lebih murah, tempatnya juga lebih nyaman<br />
karena fasilitas umum dan sosialnya terpenuhi, sehingga lebih banyak menarik<br />
pembeli. Akibat tingginya harga kios hasil revitalisasi, banyak pedagang yang<br />
tadinya mempunyai beberapa kios, terpaksa menjual kios-kiosnya hingga tersisa<br />
satu, untuk menutup uang muka pembelian kios, yang besarannya minimal 30%<br />
dari total harga jual. Pengelolaan potensi pasar seyogianya tidak hanya berorientasi<br />
pada peningkatan PAD, tetapi berpihak pada kepentingan masyarakat yang lebih<br />
luas. Karena itu, dalam menggagas model pengelolaan pasar perlu melibatkan<br />
berbagai stakeholders yang terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas<br />
Bangunan, Dinas Tata Kota, Dinas Perhubungan, Koppas, asosiasi pedagang<br />
tradisional, perusahaan pengembang, dan sebagainya agar kepentingan dari setiap<br />
pihak dapat terakomodasi dengan adil. Dengan demikian, materi muatan kebijakan<br />
pengelolaan pasar nantinya akan mengatur pula bagaimana potensi pasar tersebut<br />
dikembangkan, mulai dari jenis dan kualitas komoditi yang akan diperjualbelikan,<br />
mekanisme bongkar muat komoditi sehingga jalur distribusi produk menjadi lebih<br />
efisien dan efektif, serta model kemitraan yang perlu dikembangkan agar tidak ada<br />
pihak yang dirugikan akibat renovasi pasar tradisional.<br />
Dalam melakukan pengelolaan pasar, setidaknya dibutuhkan beberapa paradigma<br />
sebagai berikut. Pertama, paradigma dalam memandang pasar harus bergeser<br />
dari tempat bertransaksi ekonomi menjadi ruang publik tempat berlangsungnya<br />
interaksi sosial. Pasar yang sukses secara inheren memiliki bermacam-macam<br />
ruang yang berfungsi sebagai ruang publik, misalnya jalan, gang, tangga, trotoar,<br />
plaza terbuka, dan lain-lain, di mana tindakan untuk mencegah masyarakat<br />
menggunakan barang publik yang milik umum tersebut akan menjadi sangat<br />
mahal atau sulit, karena hak-hak “kepemilikan” terhadap barang-barang tersebut<br />
sangat labil dan sulit dispesifikasi secara tegas. Oleh karena itu, ruang pasar lantas<br />
memiliki ciri inklusif. Kedua, model revitalisasi pasar tradisional difokukan pada<br />
upaya memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjual-belikan di pasarpasar<br />
tradisional. Distribusi di sini mengandung makna yang luas, mulai dari<br />
pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat; pengemasan; hingga penjualan<br />
komoditas di pasar. Pemerintah kota dapat merumuskan kebijakan insentif untuk<br />
mendukung perbaikan jalur distribusi ini, misalnya dengan memperbaiki ketentuan<br />
bongkar muat. Dalam <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001, bongkar muat barang dagangan<br />
dari kendaraan pengangkut dilakukan di areal pasar. Praktik semacam ini justru<br />
menimbulkan kerugian karena menyebabkan kebersihan di sekitar areal pasar<br />
menjadi terganggu dan dapat menimbulkan kemacetan. Seyogianya pengaturan<br />
tentang bongkar muat dilakukan di luar areal tempat berjualan dan komoditas<br />
yang masuk ke pasar tradisional harus benar-benar diperiksa kualitasnya ketika<br />
bongkar muat.<br />
Ketiga, pembangunan pasar jangan dihambat oleh kepentingan mencari keuntungan<br />
finansial karena pembangunan pasar selain memiliki tujuan sosial juga berperan<br />
untuk mereduksi biaya sosial, di mana revitalisasi pasar tradisional harus<br />
dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan<br />
295
properti kota (property development). Dengan kata lain, pembangunan pasar adalah<br />
proses yang bertujuan untuk meningkatkan, menangkap, dan meredistribusikan<br />
kapital bagi kesejahteraan masyarakat. Dari sudut ini, secara paradigmatik<br />
pembangunan pasar lantas menjadi sebuah instrumen untuk menciptakan<br />
keuntungan bagi masyarakat. Keempat, modernisasi pasar juga merupakan<br />
langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar<br />
disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan<br />
tuntutan kebutuhan masyarakat, sekaligus untuk menghambat beralihnya tempat<br />
belanja masyarakat. Pelebaran budaya produksi ke budaya dagang bukan saja<br />
akan memperkuat daya tahan harga (reservation price) untuk produk-produk<br />
yang dijual di pasar tradisional, tetapi juga mendorong lancarnya penjualan, dasar<br />
pertukaran yang lebih baik, dan perputaran barang dan uang yang lebih cepat.<br />
Melalui tahapan seperti itu, pasar pun akan berubah bukan hanya mempunyai<br />
fungsi ekonomis, tetapi juga menjadi identitas kebanggaan bagi daerah yang<br />
mampu mengubah citra pasar tradisional yang semula tidak menarik, jorok, busuk,<br />
dan tidak ter<strong>org</strong>anisasi menjadi salahsatu pusat komunikasi ekonomi dan simpul<br />
perdagangan, penyebaran informasi, dan pertemuan kultural antarpenduduk, bagi<br />
setiap tingkatan status masyarakat.<br />
Kelima, model kemitraan menjadi penting untuk dirumuskan bersama karena<br />
APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung tidak pernah membuat pos<br />
khusus untuk penataan pasar, sehingga mau tidak mau pemerintah kota selalu<br />
melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar. Masalahnya adalah bagaimana<br />
agar pelibatan perusahaan pengembang ini tidak kemudian menyebabkan para<br />
pedagang tradisional yang semula berjualan di sana menjadi “tergusur”. Koppas<br />
sebagai intermediaries institution sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi<br />
penghubung antara kepentingan pengembang/pengelola pasar dengan pedagang<br />
tradisional, sehingga revitalisasi pasar tradisional tidak terjebak dalam arus<br />
kepentingan kapitalisme yang semakin ekspansif. Pemberdayaan Koppas penting<br />
untuk dilakukan karena selama ini posisi Koppas melemah akibat tidak adanya<br />
sumber dana bagi kegiatan Koppas. Konsep renovasi pasar yang diterapkan<br />
Pemerintah Kota menempatkan pihak pengembang sekaligus sebagai pengelola<br />
dan mengambil alih seluruh kegiatan pengelolaan pasar, seperti jasa listrik, parkir,<br />
dan kebersihan yang semula menjadi sumber penghasilan bagi Koppas.<br />
Pemberdayaan bagi pedagang pasar tradisional dapat dilakukan antara lain<br />
dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi, permodalan,<br />
dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok). Pedagang pasar<br />
tradisional perlu mendapatkan informasi tentang masa depan, ancaman dan<br />
peluang usahanya, serta perlunya perubahan sikap dan pengelolaan usahanya<br />
sesuai dengan perubahan tuntutan konsumen. Dalam kaitannya dengan produsen<br />
pemasok, pedagang pasar tradisioanal perlu dibantu dalam mengefisienkan rantai<br />
pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah dapat berperan<br />
sebagai mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisioanal secara<br />
kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang<br />
296
lebih murah. Selain itu, pembinaan terhadap para pedagang pasar tradisional dan<br />
Koppas perlu dilakukan secara kontinyu agar nantinya Koppas dapat memenuhi<br />
syarat untuk menjadi mitra bagi pihak pengembang dalam pengelolaan pasar.<br />
Keenam, pasar tradisional harus dikelola secara kreatif untuk memecahkan<br />
persoalan ruang usaha bagi masyarakat. Pasar, tempat usaha rakyat harus<br />
diciptakan secara lebih imajinatif, kreatif, dan rekreatif untuk bisa berkompetisi<br />
dengan department stores, shopping centers, mall, dan sejenisnya yang biasa dipasok<br />
sektor swasta. Ragam pasar yang lebih transformatif seperti pasar tematik (pasar<br />
elektronik, pasar tekstil, dll.), dapat dikembangkan menjadi model pengembangan<br />
pasar modern agar pasar modern tidak memonopoli seluruh komoditas yang<br />
menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah. Pengelolaan pasar<br />
dengan demikian adalah memberdayakan pasar secara lebih kreatif, terjangkau,<br />
manusiawi, kompetitif, dan nyaman bagi masyarakat.<br />
5.<br />
Kesimpulan dan Rekomendasi<br />
5.1 Kesimpulan<br />
Hasil temuan dan analisis di atas menunjukkan sejumlah poin penting sebagai<br />
kesimpulan, yakni:<br />
1. Konsep dan pemaknaan pasar sesungguhnya sangat luas, mencakup dimensi<br />
ekonomi dan sosial-budaya. Dalam perspektif ekonomi, pasar merupakan<br />
tempat berlangsungnya transaksi barang dan jasa dalam suatu tempat<br />
tertentu. Sementara secara sosial-budaya, pasar merupakan ruang tempat<br />
berlangsungnya interaksi sosial lintas strata. Dikotomi tradisional dan<br />
modern yang dikenakan terhadap jenis pasar bersumber dari pergeseran<br />
pemaknaan terhadap pasar, yang semula menjadi ruang bagi berlangsungnya<br />
interaksi sosial, budaya, dan ekonomi kemudian tereduksi menjadi ruang bagi<br />
berlangsungnya transaksi ekonomi dan pencitraan terhadap modernisasi yang<br />
berlangsung dalam suatu masyarakat.<br />
2.<br />
Paradigma kepentingan ekonomi-kapitalistik untuk mendorong pertumbuhan<br />
ekonomi daerah melalui peningkatan PAD menjadi paradigma yang dianut<br />
dalam <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung.<br />
Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis<br />
karena di satu sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional<br />
yang ada sebagai sumber PAD yang sangat potensial. Namun, di sisi lain,<br />
Pemerintah Kota tidak mempunyai dana yang memadai dan konsep yang jelas<br />
untuk revitalisasi pasar, sehingga cenderung bersikap kompromistis dengan<br />
pengembang sebagai pemilik modal, sekalipun banyak terjadi penyimpangan<br />
dalam pelaksanaan <strong>Perda</strong> Pengelolaan Pasar, misalnya kegagalan revitalisasi<br />
pasar tradisional, ketidaksesuaian penggunaan lahan, bahkan konflik antara<br />
pedagang lama dan Koppas dengan pengembang.<br />
297
3.<br />
Model revitalisasi pasar tradisional seyogianya tidak hanya berorientasi pada<br />
peningkatan PAD, tetapi berpihak pada kepentingan masyarakat yang lebih<br />
luas. Karena itu, dalam menggagas model pengelolaan pasar perlu melibatkan<br />
berbagai stakeholders yang terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas<br />
Bangunan, Dinas Tata Kota, Dinas Perhubungan, Koppas, asosiasi pedagang<br />
tradisional, perusahaan pengembang, dan sebagainya agar kepentingan dari<br />
setiap pihak dapat terakomodasi dengan adil.<br />
5.2 Rekomendasi<br />
Berdasarkan temuan tersebut, sejumlah langkah revitalisasi pasar tradisional<br />
yang direkomendasikan adalah:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Perubahan paradigma pengelolaan pasar, di mana revitalisasi pasar tradisional<br />
ditempatkan sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan<br />
properti kota yang bertujuan untuk meningkatkan, menangkap, dan<br />
meredistribusikan kapital bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain,<br />
revitalisasi pasar menjadi sebuah instrumen untuk menciptakan keuntungan<br />
bagi masyarakat.<br />
Memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjualbelikan di pasar<br />
tradisional, mulai dari pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat;<br />
pengemasan; hingga penjualan komoditas di pasar.<br />
Menegakan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan pasar<br />
secara konsisten, misalnya yang menyangkut tata ruang, alihguna lahan,<br />
perizinan bagi pasar modern, ketentuan batas minimal jarak pasar modern<br />
dari pasar tradisional, pembatasan pembangunan pasar modern di lingkungan<br />
permukiman penduduk, pengaturan tentang bongkar musat barang, jaminan<br />
kontrol kualitas (quality control) komoditas, dll.<br />
Merumuskan model kemitraan lintas stakeholders untuk memberdayakan para<br />
pedagang di pasar tradisional serta memperkuat posisi tawar pasar tradisional<br />
dalam persaingan dengan pasar modern, misalnya dengan:<br />
a. Merumuskan kebijakan kemitraan atau corporate social responsibility dari<br />
pasar modern terhadap pasar tradisional sebagai bentuk subsidi silang;<br />
b. Menerapkan ketentuan bahwa pengelola/pengembang harus memberikan<br />
kemudahan dalam kredit pemilikan kios bagi pedagang lama;<br />
c. Dinas Pengelola Pasar dapat bekerjasama dengan Bank Daerah atau bank<br />
lain untuk memberikan kredit kepemilikan kios dengan bunga lunak bagi<br />
pedagang lama.<br />
d. Pemerintah Kota melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang<br />
terkait (misalnya Dinas Pengelola Pasar, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil<br />
Menengah, Dinas Industri dan <strong>Perda</strong>gangan) dapat melakukan pembinaan<br />
terhadap para pedagang pasar tradisional dan Koppas secara kontinyu<br />
agar nantinya Koppas dapat memenuhi syarat untuk menjadi mitra bagi<br />
pihak pengembang dalam pengelolaan pasar.<br />
298
5.<br />
6.<br />
Modernisasi pasar untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil, dengan<br />
menerapkan manajemen pasar secara rasional, berorientasi pada standarisasi<br />
kualitas komoditas, standarisasi harga penjualan (fixed price), standarisasi<br />
fisik bangunan, dan lain-lain.<br />
Mengembangkan kreativitas dalam pengelolaan pasar tradisional, misalnya<br />
dengan:<br />
a. Membangun pasar-pasar tematik bagi pengembangan pasar modern, seperti<br />
pasar yang khusus berjualan tekstil, elektronik, bahan bangunan, dan lainlain.<br />
Melalui model ini diharapkan pasar modern tidak memonopoli seluruh<br />
komoditas yang menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah.<br />
b. Pengembangan pasar secara tersebar, tidak bersifat linier mengikuti arus<br />
jalan, yang diharapkan dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru<br />
di seluruh wilayah kota sekaligus meminimalkan penumpukan kegiatan<br />
ekonomi di satu wilayah yang dapat memicu terjadinya kesenjangan,<br />
kemacetan, dan melemahnya kapasitas lingkungan.<br />
Cikapundung-Cisangkuy, Juni 2006<br />
299
Daftar Pustaka<br />
Buku<br />
Anderson, James E. 1997. Public Policy-Making. Third Edition. New York : Holt,<br />
Rinehart and Winston.<br />
Boeke, J.H. 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified<br />
by Indonesia. N.V. Haarlem:HD Tjeenk Willink & Zoon.<br />
Dunn, William N. 1994. Public Policy Analysis : An Introduction. Edisi ke-2.<br />
Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall, Inc., A Simon & Schuster Company.<br />
Terjemahan dari : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.<br />
Imawan, Riswandha. 1999. Kebijakan <strong>Publik</strong>. Yogyakarta : Program Pascasarjana<br />
Magister Administrasi <strong>Publik</strong> UGM.<br />
Sastradipoera, Komaruddin. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”, dalam Ajip Rosidi,<br />
dkk (eds). 2006.<br />
Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta:Yayasan<br />
Kebudayaan Rancagé.<br />
Wibowo, Sunaryo Hadi (ed). 2005. Republik Tanpa Ruang <strong>Publik</strong>. Yogyakarta: IRE<br />
Press bekerjasama dengan Yayasan SET Jakarta.<br />
Sumber Lainnya<br />
Bandung Dalam Angka, 2003.<br />
Bujet Edisi 05/III/Juli – Agustus 2005.<br />
Commonwealth of Australia Department of Finance. 1989.<br />
Pikiran Rakyat, berbagai edisi.<br />
Sujito, Arie. “Mal dan Marginalisasi”. Artikel, dimuat dalam Flamma Edisi 24<br />
Tahun 2005, download dari www.ireyogya.<strong>org</strong><br />
Wahyudi, Pujo Sugeng dan Mukhlis Ahmadi. “Kasus Pasar Wonokromo, Surabaya:<br />
Cermin Buruknya Pengelolaan Pasar”. Artikel dalam Kompas, 24 Maret 2003.<br />
300
2. Menuju <strong>Perda</strong> yang Realistis, Partisipasif dan Progresif<br />
Kasus: Kaum Marginal (Pelacuran) yang Terpinggirkan<br />
1.<br />
Policy Otonomi Daerah<br />
Kebijakan nasional tentang otonomi daerah dan pemerintahan daerah telah<br />
diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU<br />
No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />
Daerah. Pada dasarnya otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip<br />
demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan<br />
memperhitungkan berbagai aspek potensi dan keanekaragaman antardaerah.<br />
<strong>Implementasi</strong> otonomi daerah menjadi makin penting dengan meningkatnya<br />
dinamika sosial, ekonomi maupun budaya baik dalam lingkup daerah, nasional<br />
maupun internasional hingga menuntut otonomi daerah dijalankan secara nyata<br />
dan bertanggungjawab namun proporsional.<br />
<strong>Implementasi</strong> otonomi daerah juga diperkuat oleh Ketetapan MPR IV/MPR/2000<br />
tentang kebijakan dalam penyelenggaran otonomi daerah, dimana otonomi<br />
daerah harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan<br />
keprakarsaan daerah-daerah otonom dalam penyelenggarakan otonomi daerah<br />
tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan<br />
pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini dikukuhkan dalam materi<br />
perubahan Pasal 18 UUD 1945.<br />
Beberapa perubahan mendasar tentang otonomi daerah didalam amandemen<br />
kedua UUD 1945 pasal 18 diantaranya (sumber: APKASI, 2003),<br />
1. Adanya pembagian daerah otonom yang bersifat berjenjang (Propinsi,<br />
Kabupaten dan Kota).<br />
2. Daerah otonom mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas<br />
otonomi dan tugas pembantuan.<br />
3. Pemerintah daerah otonom memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih<br />
melalui pemilihan umum.<br />
4. Kepala daerah dipilih secara demokrasi.<br />
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan<br />
pemerintahan yang oleh Undang Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah<br />
pusat.<br />
Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah harus diupayakan melalui pengaturan,<br />
pembagian dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan<br />
keuangan antara pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran<br />
301
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman<br />
antardaerah. Otonomi daerah juga harus memberdayakan warganya agar tumbuh<br />
menjadi masyarakat madani yaitu masyarakat yang mandiri, kreatif, berdaya dan<br />
partisipatif, dengan menempatkan Pemerintah Daerah hanya sebagai fasilitator<br />
dan regulator pembangunan yang akomodatif terhadap dinamika stakeholder di<br />
daerah.<br />
2.<br />
Permasalahan Pemberdayaan dan Partisipasi Kaum<br />
Marginal<br />
Proses pembangunan daerah / kota selalu meninggalkan dampak akibat kesenjangan<br />
antara tuntutan ideal pembangunan dengan keterbatasan resources. Kompetisi dan<br />
kompetensi yang menjadi basis ekonomi pasar telah meminggirkan sebagian warga<br />
kota yang kurang bisa bersaing. Sebenarnya tidak ada warga yang mau tersisih,<br />
atau menjadi miskin, bodoh, bahkan terbelakang, hingga akhirnya menjadi kaum<br />
marginal (yaitu sebagian warga yang terpinggirkan/kurang memperoleh perhatian<br />
oleh lingkungannya akibat keterbatasan/ ketidakmampuan). Karena keadaan<br />
mereka terpaksa menerima atau terjerumus hidup sebagai pengemis, bekerja<br />
sebagai pelacur/prostitusi/tuna susila, anak-anak terlantar dan lainnya.<br />
Problematika sosial kaum marginal menimbulkan pertanyaan bagi kita,<br />
1. Apakah di era otonomi daerah saat ini Pemda menciptakan kesempatan kerja<br />
dan berusaha yang sama bagi warganya?<br />
2. Apakah bentuk pemberdayaan dan partisipasi kaum marginal?<br />
3. Apakah <strong>Perda</strong> akomodatif terhadap kepentingan kaum marginal dan apa<br />
wujudnya?<br />
4. Bentuk-bentuk jaminan sosial sebagai pra kondisi terhadap kehidupan kaum<br />
marginal?<br />
5. Perlakuan equal treatment di bidang politik terhadap kaum marginal dalam<br />
setiap keputusan daerah yang terkait dengan masa depan mereka?. Semua<br />
pertanyaan itu menjadi siklus yang belum terjawab tuntas. Realitasnya,<br />
problem kemiskinan dan ketidakberdayaan kaum marginal makin besar<br />
dan Pemda secara sadar telah ‘mendisain’ dan membiarkan pembangunan<br />
berlangsung ‘kurang manusiawi’.<br />
Otonomi daerah ditafsirkan berbeda oleh berbagai pihak di daerah, gejala yang<br />
jelas adalah munculnya berbagai friksi antara elit lokal dan kelompok/fraksi di<br />
masyarakat. Otonomi tidaklah secara otomatis memberi akses dan kontrol bagi<br />
kaum marginal untuk berpartisipasi atau memanfaatkan resources. Sehingga<br />
semangat partisipasi dan pemberdayaan mereka masih dipermainkan oleh<br />
kepentingan elit politik atau kekuatan kelompok/golongan didaerah. Pemerintah<br />
daerah menyadari bahwa dalam pengelolaan daerah perlu memberi kesejahteraan<br />
rakyatnya, tetapi belum ditemukan pendekatan dan instrumen yang tepat dan<br />
302
memadai agar pengelolaan daerah secara optimal mensejahterakan warganya<br />
serta prosesnya dapat dikontrol. Isunya adalah Pemda kurang begitu peka<br />
mendefinisikan stratifikasi sosial di wilayahnya terkait dengan prioritas dan<br />
pemberdayaan resources. Peran pendampingan oleh LSM atau Lembaga independen<br />
yang berlangsung kurang intensif dapat menimbulkan masalah yaitu berbagai<br />
kepentingan di daerah secara riil kurang mendapatkan peran di dalamnya.<br />
Persoalan sosial yang muncul akibat ketidakmampuan pemerintah daerah<br />
membangun kesempatan kerja dan kualitas SDM yang rendah membuat daerah<br />
kurang mampu memberi pilihan yang baik bagi warganya berkompetisi dan hidup<br />
dilingkungannya. Semangat otonomi daerah masih dominan pada eksploitasi<br />
optimal sumber daya alam atau pembagian dana pembangunan pusat-daerah,<br />
namun kurang memberi perhatian pada pembangunan kualitas dan kesiapan<br />
manusia, apalagi terhadap kaum marginal yang tersisih karena keterbatasan<br />
pendidikan, kemiskinan, atau korban kekerasan rumah tangga, atau akibat<br />
tindak kriminal. Untuk itu ‘memanusiakan’ kaum marginal harus didekati melalui<br />
komitmen stakeholder didaerah yang tercermin dalam sistem / peraturan Daerah<br />
yang realistis, partisipatif dan progresif.<br />
Dimensi realistis dikembangkan melalui akses yang besar bagi kaum marginal di<br />
bidang pendidikan, ketrampilan dan modal usaha sebagai jaring pengaman sosial<br />
menjamin kelangsungan hidup maupun kesempatan berusaha. Transformasi<br />
paradigma kearah itu membutuhkan penguatan partisipasi warga (termasuk kaum<br />
marginal), melalui sikap menerima realita sosial, mendorong ke arah perbaikan<br />
kondisi dan bagaimana mengelola resources dalam semangat otonomi itu sendiri.<br />
Dimensi partisipasi dan progresif dikembangkan melalui pemberdayaan warga<br />
mewujudkan hak-hak mereka untuk terlibat aktif dalam proses-proses pengambilan<br />
keputusan publik yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan mereka di<br />
masa depan. Proses tersebut terutama untuk menjamin agar pelembagaan<br />
dan peng<strong>org</strong>anisasian kelompok marginal berjalan secara bertanggungjawab<br />
dan demokratis, kepentingan dan suara mereka dapat diperhitungkan secara<br />
berimbang. Bentuk praktis partisipasi warga diantaranya di bidang:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Kependidikan dan penanggulangan masalah sosial dan kemiskinan;<br />
Advokasi dan kerjasama warga terhadap isu kesempatan kerja, lingkungan<br />
dan lain-lain;<br />
Pendidikan dan kesadaran warga terhadap hak dan tanggung jawab;<br />
Pengawasan terhadap mutu pelayanan publik seperti utilitas, perijinan, pajak,<br />
anggaran daerah, dan lain-lain;<br />
Membangun sistem pemerintahan daerah yang transparan dan responsif<br />
terhadap kepentingan dan kebutuhan warga.<br />
Lemahnya partisipasi kaum marginal dan peran LSM/lembaga independen menjadi<br />
indikasi macetnya pemberdayaan sosial. Kelompok masyarakat yang tidak memiliki<br />
akses terhadap politik menjadikan mereka marginal dalam berpartisipasi.<br />
303
Kaum marginal (khususnya pelacuran) merupakan resources daerah yang dapat<br />
diberdayakan secara positif. Mereka tidak sekedar obyek tapi menjadi bagian<br />
dari subyek yang turut menentukan keputusan. Menganggap mereka ’sampah<br />
masyarakat’ menjadi justifikasi bahwa Pemda tidak bijak dan equal treatment<br />
dalam mengelola resources daerah.<br />
Pemerintah daerah harus benar-benar menciptakan kondisi yang mendorong dan<br />
menjamin warganya untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan<br />
publik yang akan berdampak pada setiap warga. Oleh karenanya LSM dan kelompok<br />
yang mewakili kepentingan kaum marginal (pelacur, anak terlantar, pengemis,<br />
dan lain-lain) harus dilibatkan dalam merumuskan <strong>Perda</strong> dan keputusan penting<br />
di daerah. Mereka bisa menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap lembaga<br />
Eksekutif dan Legislatif di daerah / kotamadya.<br />
3.<br />
<strong>Perda</strong> Yang Realistis, Partisipatif dan Progresif<br />
Dari sejumlah + 14 (empat belas) Peraturan Daerah (<strong>Perda</strong>) yang terkait dengan<br />
kaum marginal (khususnya Pelacuran) dan yang terakhir adalah <strong>Perda</strong> No.8 Seri<br />
E Tanggal 23 November 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kodya Tangerang,<br />
secara umum belum dijumpai upaya pemberdayaan dan solusi komprehensif dalam<br />
penanganan kaum marginal (pelacuran) dan Pemda belum menempatkan diri<br />
menjadi fasilitator dan regulator yang bijak terhadap kaum marginal ini. Kaum<br />
marginal (pelacuran) secara kasat mata ada di kota/daerah, namun masih menjadi<br />
obyek hukum semata, sementara Hak hukumnya relatif diabaikan.<br />
Untuk melihat kondisi <strong>Perda</strong> yang ada, dilakukan Comparative Study terhadap<br />
5 (lima) <strong>Perda</strong> yang menjadi sampel, khususnya <strong>Perda</strong> yang terkait peran kaum<br />
marginal (Pelacuran), (sumber data: <strong>Perda</strong>online.<strong>org</strong>) yaitu:<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
<strong>Perda</strong> Kota Kupang No. 39 Tahun 1999, Tentang Penertiban Tempat Pelacuran<br />
di Daerah Kota Kupang.<br />
<strong>Perda</strong> Kodya Tangerang No. 8 E Tahun 2005, Tentang Pelarangan Pelacuran,<br />
<strong>Perda</strong> 7 Tahun 1999, Tentang Prostitusi, di Kabupaten Dati II IndRhamayu<br />
<strong>Perda</strong> 15 Tahun 2002, Tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila<br />
Dalam Wilayah Kota Bandar Lampung,<br />
<strong>Perda</strong> 3 Tahun 2002, Tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila<br />
dalam Kabupaten Lahat.<br />
Hasil comparative study menunjukkan adanya beberapa problematika mendasar<br />
terkait dengan proses maupun isi <strong>Perda</strong> khususnya dilihat dari sisi Substansi<br />
(Realitas), sisi Partisipatif dan sisi Progresif, diantaranya:<br />
304
1. Substansi (Realitas)<br />
1.1 Standarisasi dan Struktur <strong>Perda</strong><br />
a.<br />
b.<br />
c.<br />
d.<br />
Belum dijumpai adanya kesamaan persepsi mengenai subyek <strong>Perda</strong> itu<br />
sendiri. Hal ini tercermin pada penamaan <strong>Perda</strong> dan Lingkup/pengertian<br />
obyek pembahasan khususnya tentang kaum marginal (pelacuran).<br />
Pertimbangan /Latar Belakang <strong>Perda</strong> merupakan awal atau basis dari<br />
pemikiran dan substansi isi <strong>Perda</strong> selanjutnya.<br />
• Pada daerah yang tidak akomodatif terhadap kaum marginal (dalam<br />
kasus ini adalah kegiatan pelacuran) norma agama, kesusilaan, nilai<br />
luhur dan pertimbangan ketertiban umum menjadi dasar penyusunan<br />
dan substansi <strong>Perda</strong>.<br />
• Pada daerah yang akomodatif, realita sosial menjadi dasar bahwa<br />
kegiatan ini bisa ada sehingga kegiatannya perlu diarahkan,<br />
dikendalikan, diatur di <strong>Perda</strong>.<br />
Dasar / Landasan Hukum <strong>Perda</strong>, sangat variatif tergantung landasan dan<br />
keterkaitan substansi <strong>Perda</strong> terhadap UU dan <strong>Perda</strong> yang telah ada di<br />
daerahnya. Namun terdapat <strong>Perda</strong> yang relatif komprehensif dibanding<br />
lainnya<br />
Struktur isi <strong>Perda</strong>, masih beragam (variatif) terkait akomodatif/tidaknya<br />
daerah. Namun substansi upaya pembinaan dan pemberdayaan terbatas<br />
dijumpai, hanya pada 2 <strong>Perda</strong> (yaitu: <strong>Perda</strong> Kupang dan <strong>Perda</strong> Lahat).<br />
1.2 Ketentuan dan Isi<br />
a.<br />
b.<br />
c.<br />
Ketentuan Pelarangan Kaum Marginal (Pelacuran)<br />
• Pada daerah yang tidak akomodatif (Tangerang, IndRhamayu dan<br />
Bandar Lampung) terdapat unsur ‘praduga bersalah’ terutama adanya<br />
unsur mencurigai (dengan penekanan pada tingkah laku dan keberadaan<br />
di tempat umum) dan unsur penindakan berdasarkan kriteria diyakini<br />
(oleh Penyidik). Kriteria dan persepsi perlu dijelaskan dalam melakukan<br />
penegakan <strong>Perda</strong>.<br />
• Pada daerah yang akomodatif (Kupang) melihat pelarangan hanya sisi<br />
persyaratan pengunjung, sementara pada kota yang moderat (Lahat)<br />
Pelarangaan didasarkan pada perbuatan (yang nyata terjadi)<br />
Ketentuan Pidana, bervariatif masa hukumannya tergantung persepsi<br />
daerah, walaupun sama-sama menggunakan dasar hukum yang sama<br />
(ketentuan KUHAP)<br />
Penertiban dan Pengelolaan, pada kota yang tidak akomodatif lebih<br />
ditekankan pada pengendalian dan penindakan hukum. Sementara pada<br />
kota yang akomodatif diatur dengan tegas persyaratan: lokasi, jumlah,<br />
pembinaan dan persyaratan ketertiban dan lain-lain.<br />
305
2. Partisipatif Kaum Marginal<br />
a.<br />
b.<br />
Tidak ada penjelasan bagaimana dan apa dikontribusi kaum marginal<br />
dalam <strong>Perda</strong><br />
Terhadap sikap transparansi publik:<br />
• Pada daerah yang akomodatif: ada langkah pembinaan sesuai lokasi<br />
dan monitoring, yang diawasi Pemda.<br />
• Pada daerah yang tidak akomodatif: tidak ada solusi terhadap masa<br />
depan kaum marginal. Mereka hanya menjadi obyek yang harus<br />
ditertibkan /dihukum bila melanggar. tidak diatur bagaimana kondisi<br />
dan diarahkan kemana untuk keluar dari masalah yang ada.<br />
3. Substansi Progresif<br />
a.<br />
b.<br />
Tidak ada peran LSM/lembaga independen dalam membangun maupun<br />
berperan dalam mendorong pengawasan terhadap implementasi <strong>Perda</strong>.<br />
Tidak ada langkah/upaya Pemda untuk mengembalikan kaum marginal<br />
kembali pada kehidupan normal, maupun upaya pemberdayaan mereka<br />
sebagai resources.<br />
Secara lengkap Comparative Study (Perbandingan Indikator) dan hasil kajiannya<br />
disajikan dalam Lampiran-1 (Data/Indikator) dan Lampiran-2 (Hasil Kajian). Bila<br />
dicermati secara lebih dalam terdapat beberapa critical point yang bisa diperoleh<br />
dari dalamnya, diantaranya:<br />
a.<br />
b.<br />
c.<br />
Belum ada standarisasi pola penyusunan <strong>Perda</strong> dan Kesamaan persepsi<br />
mengenai kaum marginal (pelacuran). <strong>Perda</strong> terkait pelacuran sangat<br />
variatif dan ini dapat berdampak pada:<br />
• Kesulitan (kebingungan) penyidik dalam menegakkan aturan lintas<br />
daerah, akibat persepsi dan struktur PERDA yang beda antardaerah.<br />
• Tiada adanya akuntabilitas dan transfaransi dalam kaitan menilai<br />
kualitas dan substansi PERDA antardaerah, terhadap obyek yang<br />
relatif sama.<br />
Sisi partisipatif dan pemberdayaan tidak diatur dalam PERDA. Kaum<br />
marginal (pelacuran) hanya menjadi obyek hukum dan dianggap “sampah<br />
masyarakat” yang harus dibersihkan dan digusur sejauh mungkin dari<br />
kota. Aspirasi mereka, hak hukum, hak hidup dan keberadaannya tidak<br />
diberi solusi yang komprehensif. Pemda tidak memberikan solusi sebagai<br />
upaya pengalihan ke kehidupan yang tidak menyalahi hukum.<br />
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Sosial/Pembelaan Hak<br />
Perempuan, tidak mendapat tempat, sehingga <strong>Perda</strong> lebih sebagai daftar<br />
pelarangan, penindakan, Ketentuan penyidikan/pidana. Membangun<br />
otonomi daerah seharusnya memberi peran masyarakat dalam berkontribusi,<br />
dan untuk kondisi ini Pemda dan DPRD masih dominan di sisi regulator<br />
dibanding sebagai fasilitator aspirasi/dinamika daerah.<br />
306
d.<br />
e.<br />
<strong>Perda</strong> masih ‘dianggap’ menjadi media kepentingan politis lokal, sehingga<br />
kurang didukung oleh hasil penelitian yang cermat. Solusi yang ada dalam<br />
<strong>Perda</strong> kurang melihat aspek: realitas sosial (data dan fakta), partisipatif<br />
(peran serta dan tanggung jawab), dan progresif (solusi jangka panjang).<br />
Komunikasi antar kota-daerah (contoh: penyusunan <strong>Perda</strong>) masih lemah.<br />
Kerjasama antara daerah-kota di Indonesia (dalam asosiasi: APKASI,<br />
APEKSI, dan lainnya) masih terbatas, walaupun UU 22/1999 terkait<br />
otonomi daerah sudah berjalan lebih dari 7 tahun. Seharusnya dirancang<br />
pola kerjasama antara kota-daerah, dan checklist prinsip-prinsip umum,<br />
kriteria dasar, dan aspek keterkaitan antar di segala bidang pembangunan<br />
(tidak hanya <strong>Perda</strong>), sehingga dalam kegiatan antardaerah penyusunan<br />
(penyusunan <strong>Perda</strong> contohnya), terdapat standarisasi struktur bahasan<br />
yang sama, apabila ada hal khusus/nilai lokal yang perlu dicantumkan,<br />
maka hal itu bisa ditambahkan secara khusus atau dimuat dalam Ketentuan<br />
Khusus (Tambahan). Komunikasi antar kota/ daerah bisa dirancang melalui<br />
website, teleconference, atau media lain yang mudah di akses, aman dan update.<br />
Dalam membangun Paradigma <strong>Perda</strong> yang Realistis, Partisipatif dan Progresif<br />
terkandung makna bagaimana peraturan mampu menjawab dan mengakomodasi<br />
tantangan dan kebutuhan daerah dengan tujuan kemajuan, dengan meniadakan,<br />
meminimalisasi atau mengelola risiko/ konflik kepentingan. Tentu perlu<br />
dirumuskan apa kriteria dan bagaimana mekanisme mewujudkannya.<br />
Konsepnya, budaya partisipatif warga dibangun dengan memfokuskan perhatian<br />
pada keterlibatan seluruh warga. Pemda harus membangkitkan inisiatif warganya<br />
dalam kebersamaan melalui rasa tanggungjawab dan rasa memiliki dan komitmen<br />
yang tinggi terhadap kesepakatan. Rasa kepemilikan terhadap aturan (dalam<br />
hal ini <strong>Perda</strong>) dikembangkan melalui profit sharing yaitu dalam kemanfaatan dan<br />
keadilan mulai sejak proses penyusunan hingga implementasinya.<br />
307
Gambar 1. Hubungan Antara Lingkungan dan Strategi Manajemen terhadap Budaya<br />
Tak dapat dipungkiri, tidaklah semua anggota DPRD dan Pemda dalam<br />
penyusunan PERDA memilik kompetensi yang memadai karena memang sebagian<br />
besar anggota DPRD (diluar DPD) adalah wakil partai yang berasal dari beragam<br />
profesi, kepentingan, pendidikan, agama/pemahaman, kemampuan, dan PEMDA<br />
memiliki rutinitas/informasi terbatas sehingga <strong>Perda</strong> yang disusun kurang<br />
sempurna/terburu-buru. Untuk itu, dalam melihat realitas masyarakat diperlukan<br />
adanya niat dan hati nurani yang positif serta kejujuran terhadap permasalahan,<br />
informasi, data/hasil studi yang ada.<br />
Dalam membangun budaya partisipatif stakeholder terhadap <strong>Perda</strong> perlu ada<br />
keihlasan dan kepatuhan kita pada aturan, bahwa memang semua pihak yang terkait<br />
dengan <strong>Perda</strong> wajib diajak bicara, diakomodir aspirasinya agar terpenuhinya unsur<br />
keadilan. Menciptakan substansi <strong>Perda</strong> yang Progresif diperlukan kemampuan<br />
komprehensif dalam mengkaji kebutuhan dan trend masyarakat kedepan, alternatif<br />
relokasi/reposisi aktifitas, mengukur tingkat penerimaan masyarakat terhadap<br />
<strong>Perda</strong>, serta kemampuan merumuskan kriteria dan indikator kinerja (performance<br />
indicator) dari <strong>Perda</strong>.<br />
Menuju <strong>Perda</strong> yang Realistis, Partisipatif dan Progresif minimal perlu memuat<br />
unsur-unsur: Preparation (penyiapan awal) meliputi kelayakan fakta dan<br />
informasi, adanya partisipasi stakeholder, sosialisasi, dan kajian kaitannya dengan<br />
UU/Peraturan yang lebih tinggi atau <strong>Perda</strong> ialah;<br />
• Enhancement (Pengayaan materi) yaitu unsur mendidik, memberdayakan<br />
dan mendorong kemajuan/ perbaikan daerah);<br />
• Action (Penindakan) yang mendefiniskan jenis dan kriteria penindakan<br />
•<br />
jelas, transparan dan terukur;<br />
Condition (Pengendalian dan Persyaratan) meliputi aktifitas yang<br />
boleh/tidak boleh, alternatif aktifitas yang dilarang, bagaimana<br />
relokasi/reposisi aktifitas ke depan, peran LSM/ <strong>org</strong>anisasi sosial;<br />
• Addendum (unsur peralihan/ kondisional) yaitu kondisi/aturan<br />
peralihan, kriteria revisi, dll.<br />
308
Gambar 2. Konsepsi Menuju <strong>Perda</strong> yang Realistis dan Progresif dengan<br />
Memperhatikan sisi Partisipasi Warga<br />
(Suatu Bentuk Penyederhanaan Solusi)<br />
Yang perlu juga dikritisi adalah implementasi <strong>Perda</strong> dan upaya kita mengakomodasi<br />
dan mengawasi berbagai ketentuan <strong>Perda</strong> agar sesuai dengan rencana yang ada<br />
(selengkapnya Konsepsi menuju <strong>Perda</strong> yang realistis, partisipatif dan progresif<br />
ditampilkan dalam Gambar 2.) Dari comparative study terhadap 5 (lima) buah<br />
<strong>Perda</strong> diatas nampak bahwa secara umum kemampuan PEMDA dan DPRD masih<br />
belum optimal, terutama dalam substansi partisipatisi publik dan bagaimana<br />
menterjemahkan realitas yang hidup ada di masyarakat. <strong>Perda</strong> tersebut juga belum<br />
memenuhi kaidah progresif yaitu mengantisipasi kebutuhan, memberdayakan, dan<br />
memenuhi rasa keadilan di masyarakat..<br />
309
4.<br />
Penutup<br />
Otonomi daerah hakekatnya adalah otonomi pada rakyat di daerah, sehingga<br />
otonomi akan lebih bermakna pada keadilan dan kesejahteraan rakyat di daerah<br />
bila dijalankan bersama-sama dengan agenda demokratisasi didalamnya, yakni:<br />
upaya pemberdayaan rakyat di daerah, penegakan supremasi hukum, menciptakan<br />
pemerintahan yang bersih, adil, transparan dan akuntabel, dan lainnya.<br />
<strong>Perda</strong> merupakan cermin dari realitas kebutuhan dan bagaimana masyarakat<br />
dan resources daerah dikelola secara sistematis. <strong>Perda</strong> hanya salah satu bagian<br />
dari sistem yang mengatur kehidupan di daerah/kota sehingga di era otonomi<br />
daerah saat ini penguatan substansi <strong>Perda</strong> saja tidaklah cukup. Efektifitas dan<br />
keberdayaan <strong>Perda</strong> sangat bergantung pada Kualitas <strong>Perda</strong>, Komitmen stakeholder<br />
dan Dukungan lingkungannya,<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
Kualitas <strong>Perda</strong>: substansi yang jelas, akuntabel dan diterima masyarakat<br />
Kualitas Penegak Hukum: polisi/penyidik agar kompeten dan komitmen pada<br />
pengabdian pada tugas dan tanggung jawab<br />
Masyarakat & Lingkungan Bisnis: memberi kontribusi, rasa memiliki,<br />
menerima, menjalani dan memberi umpan balik (feedback).<br />
LSM / Social Watch, media cetak dan elektronika: memberi informasi/sosialisasi,<br />
permasalahan dan koreksi implementasi.<br />
Pemda & DPRD: aspiratif dan akomodatif terhadap dinamika sosial sehingga<br />
PERDA menciptakan kondisi yang mendorong kemajuan, pemberdayaan dan<br />
keadilan sosial.<br />
Pemda Tingkat I /Pemerintah Pusat: menciptakan pengawasan, harmonisasi<br />
UU/ <strong>Perda</strong> dan keterpaduan rencana dan program pembangunan antardaerah<br />
di segala bidang.<br />
310
Daftar Pustaka<br />
Andrik Purwasito DR, DEA, Peran Masyarakat Dalam Mengontrol Eksekutif dan<br />
Legislatif,<br />
Jakarta, 2005.<br />
APKASI, Policy Paper Rakernas III, Jakarta, 2003.<br />
Rhenald Kasali Ph.D. Change, PT Gramedia, 2005.<br />
Pemda Kodya Tangerang, <strong>Perda</strong> 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelacuran, 2005.<br />
Website <strong>Perda</strong>online.<strong>org</strong>, <strong>Perda</strong> Yang Terkait Kaum Marginal (Pelacuran), 2005.<br />
311
3. Diskusi Sesi Paralel 3:<br />
Menuju <strong>Perda</strong> yang Partisipasif & Komprehensif<br />
Tanya Jawab<br />
◊ Pertanyaan<br />
1. Dian Herry Sofyan, Konsultan, PT. Alam Media Kreasi, Bandung<br />
Ini mungkin langsung untuk kedua pemateri. Saya pikir sebagaimana kita<br />
ketahui sekarang itu yang masuk menjadi anggota legislatif di daerah itu sangat<br />
bervariasi, latar belakang, budaya, sosial, ekonomi dan pendidikannya. Sehingga<br />
kelihatannya semakin jauh ada kesenjangan yang pada akhirnya juga mengganggu<br />
produktifitas, salah satunya masalah perda tadi, masalah substansi. Cuma saya<br />
pikir ada satu contoh menarik di kota Bandung. Jadi ketika akan ada laporan<br />
pertanggungjawaban dari Walikota waktu itu salah satu partai mengadakan<br />
semacam kegiatan seminar lokakarya. Partai tersebut giat mengundang ahli-ahli<br />
di bidang yang bersangkutan yang dilakukan oleh Walikota. Jadi kalau masalah<br />
pendidikan yang diundang adalah pembicara dari UPI, IKIP, atau/dan dari LSM<br />
Pendidikan.<br />
2.<br />
Fernandez<br />
Pertama, saya kira juga saya setuju dikatakan bahwa harus mengenal kondisi<br />
masyarakat, saya melihat bahwa kasus kota Bandung tadi mengenai pasar karena<br />
memang tidak pernah ada kajian tentangada prinsip filosofi dasar daripada hukum<br />
itu, kedua ada pendekatan antropologis, sosiologis yang dibutuhkan. Nah, kita lupa<br />
semua itu dimakan oleh kapitalisme yang penting sekarang bangun mall besar<br />
yang bisa menghasilkan banyak uang dari kapital-kapital yang mudah ditarik<br />
uangnya dan mungkin mereka adalah orang-orang di belakang layar pembuatan<br />
perda-perda tentang pasar-pasar tradisional tadi. Jadi konversi-konversi seperti<br />
itu sangat merugikan masyarakat banyak. Saya mau mengambilkan contoh satu<br />
lagi ketika saya belajar, kebenaran di Amerika, proses peruntukan atau landuse<br />
satu daerah menjadi komersial itu membutuhkan perjuangan yang lama<br />
dan diskusi dari komunitas di situ. Karena apa? Karena punya dampak, jadi<br />
ada impact assessment. Masyarakat harus tahu punya dampak, kalau misalnya<br />
satu daerah pertanian diubah menjadi satu mall, maka ada dampak kriminal, ada<br />
dampak arus lalu-lintas, ada dampak run-off, ada dampak masalah kerusakan<br />
lingkungan karena aliran air dan sebagainya, karena pengerasan, dan sebagainya.<br />
Hal seperti itu diolah, didiskusikan antar kelompok masyarakat komunitas di balai<br />
kota, kita tidak punya mekanisme itu. Itulah sebabnya kenapa terjadi hal seperti<br />
tadi masalah pelacuran ada, di masyarakat pasar, ntah masalah-masalah lain<br />
yang semakin banyak. Saya ingin menambahkan saja mudah-mudahan panitia<br />
bisa membawa hal ini, menarik ini menjadi diskusi menjadi diskusi yang lebih jauh<br />
dengan Depdagri, Departemen Kehakiman dan HAM.<br />
312
3.<br />
Ajasi dari Yayasan Kita<br />
Saya tertarik dengan yang diungkapkan Bapak Rhama Wijaya. Masalah variasi.<br />
Ada yang sebagian bervariasi dari <strong>Perda</strong>, kemudian ada yang kelihatannya idemditto<br />
karena copy-paste. Saya kira adanya ketidak bakuan atau variasi itu bukan<br />
suatu problem. Seandainya itu memang berpijak dari kondisi spesifik lokal, karena<br />
<strong>Perda</strong> ‘kan merupakan suatu penafsiran teknis dari undang-undang diatasnya atau<br />
peraturan yang diatasnya, disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Hanya<br />
kita melihat, juga menyayangkan, adanya proses yang sangat instan yaitu dengan<br />
cara copy-paste, karena itu saya rasa memang kalau ditarik berdasarkan apa yang<br />
menjadi keyakinan sebagian besar anggota DPRD mungkin mereka ingin simpel<br />
saja mengambil dari daerah tetangga, padahal kondisinya berbeda, itu justru yang<br />
merupakan masalah bagi masyarakat daerah tersebut. Untuk Tangerang, saya juga<br />
pernah melakukan kajian, tapi di kabupaten dan mereka juga bingung?! Kenapa?<br />
Tangerang sebenarnya kota, kenapa harus menerapkan <strong>Perda</strong> yang sebenarnya<br />
budaya rural. Mungkin ini terkait dengan peta politik yang ada di DPRD-nya dan<br />
itu suatu kondisi yang mungkin berbeda dengan kondisi yang ada di masyarakat,<br />
tapi itulah real-politik yang ada. Dan masalah ini saya kira bukan hanya <strong>Perda</strong>-<br />
<strong>Perda</strong> yang terkait dengan pelacuran, tapi juga <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang lain termasuk<br />
seperti salah satunya <strong>Perda</strong> Pamungkas yang dinamakan <strong>Perda</strong> Tramtib.<br />
Saya pernah melakukan kajian antara satu daerah, Tangerang dengan daerah<br />
lain dapat dikatakan hampir sama termasuk masalah hukumannya dan apa-apa<br />
yang dihukum. Dan ini kita juga melihat hukuman yang terlalu besar untuk<br />
hal-hal yang kecil seperti merokok dengan denda sekian juta itu kan menjadikan<br />
<strong>Perda</strong> mati, yang tidak efisien dan dapat dikatakan tidak jalan, tapi kenapa itu<br />
diberlakukan. Juga saya mungkin ingin menanyakan ke Bapak Rhama Wijaya<br />
yang mungkin lebih mengerti masalah hukum, apa yang menjadi tolak ukur dari<br />
penentuan sangsi dalam penyusunan <strong>Perda</strong>, ada tidak prosedur kajian itu yang<br />
menjadi pertimbangan rekan-rekan di daerah untuk menentukan untuk jenis ini<br />
hukumannya segini. Padahal kalau yang kita pernah tahu, untuk membuang<br />
sampah hanya 150-ribu tapi sekarang 5-juta, akhirnya timbul negosiasi dagang<br />
sapi; akhirnya daripada anda bayar 5-juta, sudah 100-ribu saja buat kantong saya.<br />
Kemudian ini, yang tidak saya lihat dari sekian banyak makalah adalah tentang<br />
urgensi pembuatan <strong>Perda</strong> itu sendiri. Apakah harus semuanya diatur dengan perda?<br />
Kenapa tidak pakai Surat Keputusan Bupati? Sampai-sampai untuk rehabilitasi<br />
lahan pesisir yang merupakan hal yang seharusnya terkait dengan Renstra, itu<br />
ada <strong>Perda</strong>nya juga, padahal Renstra itu sudah merupakan keputusan DPRD,<br />
harusnya dimasukkan di Renstra atau mungkin dengan SK Bupati. Kenapa selalu<br />
harus diatur dengan <strong>Perda</strong>? Yang kedua fungsi PPNS, belum ada yang mengkaji<br />
masalah fungsi PPNS padahal itu terkait dengan implementasi dari <strong>Perda</strong>. Yang<br />
terakhir kepada YIPD, apakah tidak mencoba untuk melakukan kajian terhadap<br />
peraturan-peraturan yang ada di Pemerintah Pusat. Karena ini konsistensi yang<br />
ada di pemerintah pusat itu akan menjadi suatu faktor yang membuat perda-perda<br />
yang di daerah itu jadi tumpang tindih atau tidak beraturan.<br />
313
4.<br />
Novi, Mahasiswi dari STIFAN<br />
Pertanyaan mengenai makalah “Menggagas Model Repitalisasi Pasar Tradisional” .<br />
Di Merauke, ada pasar kemudian karena mengalami suatu musibah sehingga pasar<br />
itu dipindahkan ke suatu tempat yaitu di lapangan terbuka, sehingga masyarakat<br />
lebih cenderung ke pasar yang tradisional. Sekarang dengan adanya globalisasi<br />
dimana tingkat persaingan semakin tinggi sehingga masyarakat tradisional takut<br />
bahwa nantinya akan digeser keberadaan mereka dengan adanya pasar modern.<br />
Hal ini juga disebabkan karena masyarakat lebih terbiasa menggunakan pasar<br />
tradisional karena di Merauke cuma ada satu pasar yang sangat terkenal yaitu<br />
pasar yang kemarin mengalami musibah dimana masyarakat merasa dengan<br />
adanya pasar tradisional mereka lebih bisa mengekspresikan kegiatan jual beli<br />
mereka dimana mungkin mereka lebih mempertimbangkan karena dengan adanya<br />
pasar tradisional mudah, barang-barangnya lebih murah dan karena kenalannya<br />
lebih banyak sehingga mungkin barangnya bisa ditawar dengan harga yang lebih<br />
rendah. Yang ingin saya tanyakan disini. Jika pada akhirnya nanti pasar tradisional<br />
bergeser, apakah masyarakat untuk saat ini bisa menerima keberadaannya pasar<br />
modern karena masyarakat di Merauke kelihatannya masih sangat tradisional<br />
sekali sehingga untuk menerima kehadiran pasar modern mungkin masih agak<br />
terlalu minim. Bagaimana sikap dari pada pemerintah Kabupaten Merauke<br />
dan apa yang harus dilakukan pemerintah untuk melakukan pengenalan atau<br />
apa yang sebaiknya pemerintah lakukan agar masyarakat tradisional ini bisa<br />
menerima adanya kehadiran pasar modern ditengah-tengah kehidupan masyarakat<br />
Merauke.<br />
314
1.<br />
◊<br />
Jawaban<br />
Dede Mariana<br />
Pertama mengenai background anggota legislatif, saya kira itu bagian dari proses<br />
yang berjalan, mestinya pada institusi parpol itu sendiri ada upaya memperbaiki<br />
karena pintunya di partai. Sekarang ini kelihatannya sudah mulai ada kesadaran<br />
itu. Proses pembuatan <strong>Perda</strong> itu sendiri seperti tadi dikomentari oleh penanya<br />
kedua, saya kira memang saat ini kebiasaan perda itu lebih banyak inisiatif dari<br />
eksekutif atau birokrasi. Misalnya saja saya melihat di kota Bandung itu misalnya<br />
ada satu <strong>Perda</strong> yang sedang dipersiapkan, misalnya <strong>Perda</strong> tentang “X”, dari pihak<br />
legislatif menginginkan dibuka ruang partisipasi seluas-luasnya misalnya. Tetapi<br />
begitu bertemu dengan katakanlah sekarang ini kalau perda itu berasal dari usul<br />
prakarsa, ujung-ujungnya ada pembiayaan ditaruh di Setwan. Dan diberitahulah<br />
oleh birokrasi sekretariat dewan bahwa berdasarkan dokumen perencanaannya<br />
adalah seperti ini. Ini cukup 1-bulan, 2-bulan dengan proses administrasi.<br />
Sehingga disini kalau saya melihat justru di dalam membuat regulasi itu melalui<br />
<strong>Perda</strong> terjadi apa yang disebut proses birokratisasi.<br />
Birokratisasi bisa terjadi di eksekutifnya sendiri, bisa juga di legislatif, sehingga<br />
akan kesulitan bagaimana membuka ruang-ruang publik itu. Sehingga kalau tadi<br />
dikatakan naskah akademik dan seterusnya akhirnya tidak bisa sampai kesana,<br />
apalagi keterlibatan stakeholder. Kemudian mengenai ide revitalisasi saya kira<br />
yang kami coba tawarkan sebetulnya bukan menghadirkan sekedar penampilan<br />
fisiknya, saya sependapat kalau katakanlah sempat berkunjung ke satu tempat<br />
di Australia, misalnya ada pasar itu sudah ratusan tahun, tetapi dia bisa turuntemurun<br />
pelakunya, jadi yang jualan daging di kios itu adalah cucu-buyut yang<br />
pernah berjualan. Kalau di kota Bandung seperti Pasar Baru saya kira, wujud<br />
fisiknya saya senang sekarang tapi kalau melihat pelakunya sudah berganti<br />
kemudian kita juga tidak bisa menyalahkan pengembang, karena pengembang<br />
ujung-ujungnya dia bisa menjual kios itu supaya investasi yang ditanamkan itu<br />
kembali. Yang disayangkan pelibatan koperasi. Kalau koperasi dihadapkan kepada<br />
persoalan permodalan sebetulnya Perbankan belum didorong oleh Pemerintah<br />
untuk menjadi fungsi mediasi antara pedagang dengan <strong>org</strong>anisasi koperasinya<br />
sehingga dia bisa memiliki kiosnya lagi.<br />
Memang di Pasar Baru ini kalau saya perhatikan sebagian besar mungkin masih<br />
berlaku prinsip-prinsip jual beli yang tradisional (Pelanggannya, dst.). Tetapi<br />
di Kebon Kelapa ITC bekas Pasar Lama sekarang kebanyakan sudah pedagang<br />
baru. Bahkan di Pasar Ciroyo misalnya di kota Bandung itu sekarang pedagang<br />
lama memblokir gedung sehingga pedagang barupun tidak bisa masuk, sementara<br />
gedung yang sudah direvitalisasi (pasar yang sudah direvitalisasi) tidak bisa<br />
digunakan, ini belum selesai sampai sekarang, sampai-sampai Satpol-PP juga<br />
tidak sanggup mengamankan, dan entah sampai kapan berhentinya negosiasi itu.<br />
Sehingga, maksud saya revitalisasi yang kita pertaruhkan itu, pengelolaannya dan<br />
sejak awal perencanaannya. Kalau tadi disinggung oleh penanya kedua, bahwa<br />
315
ini jangan-jangan, dibalik itu ada siapa? Yah, para pemegang modal besar itu,<br />
sehingga di Bandung sekarang ini ada Jargon kota jasa-nya, kawasan Dago yang<br />
pemukiman dengan mudah saja berlindung di perda RT/RW yang 5-tahun bisa diadjust/disesuaikan.<br />
Jadi akhirnya bukan aturan hukum yang mengatur perilaku<br />
orang, tetapi perilaku dulu dibiarkan, setelah itu peraturan yang menyesuaikan.<br />
Jadi, misalnya kalau saya dengar kemarin diskusi dan Kadin itu biasanya triggertriggernya<br />
itu diceritakan, misalnya McDonald dulu masuk, kalau disitu sudah<br />
tercipta conditioning, keRhamaian, macam-macam dan rakyat seputarnya tidak<br />
protes, LSM juga tidak protes, baru setelah itu berdiri gedung yang tinggi. Misalnya<br />
ini untuk dipojokan Dago di kota Bandung kalau anda bisa melihat di sana sekarang<br />
sedang dibangun di sebelah MacDonald, selalu begitu motif-motifnya.<br />
Jadi, di sini sebetulnya yang tadi itu dalam beberapa kasus ketidak-mampuan<br />
anggota legislatif itu dimanfaatkan juga. Terus juga ada celah pada waktu UU<br />
No.22/1999 berlaku. Depdagri itu hanya diberi waktu 2-minggu untuk menelaah<br />
<strong>Perda</strong>, kalau 2-minggu tidak ada reaksi dari Depdagri, <strong>Perda</strong> itu berlaku. Setahu<br />
saya sekarang sebenarnya sudah diserahkan dengan UU No. 32 ini ke Propinsi.<br />
Tetapi, untuk Jawa Barat misalnya saya cek di Propinsi, Biro Hukumnya, “Ah Pak<br />
Dedek, jangankan untuk menelaah <strong>Perda</strong> dari Kabupaten Kota, ngurusi <strong>Perda</strong><br />
kami juga, kami sulit!” Terus saya katakan: “Kenapa Anda tidak hire, menghimpun<br />
LSM untuk bikin desk (sama-sama), soal duitnya belakangan”. Mereka selalu<br />
berpikiran: kalaupun menarik orang, bayarnya berapa? Dan darimana?<br />
Kemudian, saya sepakat memang itu perlu dibuka ruang-ruang untuk partisipasi,<br />
tetapi juga yaitu tadi, saat ini banyak <strong>Perda</strong> lebih deras masih dari eksekutif, dari<br />
Biro Hukum, dari bagian Hukum karena memang legislatif merasa dia itu belum<br />
berkemampuan. Padahal sebetulnya mereka kalau mengembangkan <strong>org</strong>anisasi<br />
jaringan mereka bisa join dengan beberapa LSM untuk menyiapkan itu. Hanya<br />
semangatnya tadi, apakah mau mengatur atau seperti tadi, perizinan itu kan<br />
seharusnya melindungi izin yang lain. Di Bandung yang namanya Carrefour itu<br />
sebetulnya yang dapat izin baru 1 (satu), yang baru akan didirikan di Sukajadi,<br />
tetapi yang sudah ada sekarang sudah beroperasi. Pemkot tidak berdaya, karena<br />
mengantongi izin dari Pusat langsung. Jadi ini juga ada persoalan di dalam pasarpasar<br />
modern, mereka juga bisa dapat izin dari Pusat. Waktu saya tanya ke Dinas<br />
<strong>Perda</strong>gangan maupun Dinas Pasar: “saya punya kewenangan hanya mengurus<br />
yang tradisional-tradisional”, kalau yang lainnya karena dia badan hukumnya PT<br />
bisa dapat mengantongi izin langsung dari Jakarta dan dia bisa beroperasi. Kalau<br />
dihambat oleh Pemkot dianggap menghambat investasi.<br />
2.<br />
Caroline Paskarina<br />
Menambahkan sedikit saja. Saya juga sependapat bahwa sebenarnya kita tidak<br />
mencoba menyalahkan adanya pasar modern karena itu adalah suatu kenyataan<br />
yang harus dihadapi. Dan banyak pihak yang diuntungkan dengan adanya pasar<br />
modern itu. Ketika misalnya ada toko-toko modern yang masuk lingkungan<br />
316
pemukiman ada banyak orang yang akan diuntungkan karena misalnya dia bisa<br />
punya usaha sendiri, kemudian mudah memperoleh barang dan sebagainya.<br />
Tetapi manakala kondisi persaingan itu tidak diatur, maka yang muncul pihak<br />
yang sangat kuat akan menindas yang lemah. Jadi pengaturannya harusnya<br />
bagaimana melindungi pihak yang lemah ini kemudian meningkatkan kemampuan<br />
dia bersaing sampai nanti mampu bersaing. Kalau misalkan dibiarkan saja yang<br />
kuat dibiarkan semakin kuat maka itu akan tidak adil. Ke depan seperti apa<br />
revitalisasi kongkritnya? Kongkritnya revitalisasi pasar tradisional itu harusnya<br />
perubahan manajemen pengelolaan yang lebih modern. Jadi kalau semula dikelola<br />
hanya dengan prinsip yang penting hari ini memperoleh uang cukup untuk hari<br />
ini, tapi tidak cukup misalnya untuk besok, yah harusnya diubah bagaimana agar<br />
keuntungan yang diperoleh bisa bertahan bahkan bisa berlipat. Jadi harusnya ada<br />
peningkatan kemampuan pedagang pasar tersebut.<br />
3.<br />
Rhama Wijaya<br />
Mungkin tadi banyak sekali yang sifatnya menjadi masukan buat kami. Terimakasih<br />
dari Mas Dian, Mas Fernandez dari Depok, dan juga Bapak Ajazi. Memang benar,<br />
bahwa ke depan kita harus mulai bukan revitalisasi pasar tapi juga DPRD kita<br />
juga direvitalisasi. Artinya mereka harus diberikan informasi dan keterbukaan<br />
informasi, supaya mereka bisa memberikan sesuatu secara optimal di dalam proses<br />
kebijakan publik, karena apa? Kalau proses perumusan masalahnya saja sudah<br />
tidak benar, maka kebijakannyapun tidak akan kena pada realitas masyarakat.<br />
Artinya, kita harus bisa merumuskan masalah itu dengan benar sehingga obat<br />
yang diberikan akan cocok. Khusus mengenai bagaimana sumbangan kita di<br />
dalam kelembagaan itu, dalam partisipasi untuk yang Mas Dian bilang, memang<br />
perlu adanya suatu yang namanya di halaman-3 yang saya sampaikan itu ada<br />
suatu instrumen dalam <strong>Perda</strong> yang menjamin kelembagaan partisipasi. Artinya,<br />
didalam hasil utama di illustrasi tadi, warga masyarakat secara sistem memang<br />
dilindungi dan diberikan peran menyampaikan apa yang menurut mereka didalam<br />
kebijakan publik itu harus ada, dan apa yang memang perlu diakomodasi. Terus<br />
kemudian ada akses informasi bagi masyarakat juga harus memiliki akses terhadap<br />
informasi dan dokumen-dokumen yang memang dibutuhkan sehingga mereka tahu<br />
permasalahan itu. Jadi Pemda tidak menutup-nutupi informasi, tiba-tiba saja kata<br />
yang tadi di seminar yang lebih awal tadi.<br />
Tadi ada yang bertanya mengenai perda yang tiba-tiba ada, sekonyong-konyong<br />
ada. Karena ada proses menutupi informasi jadi tidak transparant, jadi lebih baik<br />
dilibatkan dari awal. Masalah waktu bagaimana kita membuat schedule atau<br />
bagaimana rancangan desain sebuah <strong>Perda</strong> itu disusun karena kalau kita buruburu,<br />
waktu mepet-mepet, biasa kalau kita ujian mepet-mepet kan kadang-kadang,<br />
iya kalau ngerti – kalau tidak ngerti! Mengatur masyarakat satu daerah itu tidak<br />
main-main, harus ada planning. Masalahnya kita harus membenahi sistem, jadi<br />
kita tidak membicarakan case yang sudah terjadi, tetapi bagaimana ke depan<br />
supaya sistem itu menjadi lebih baik. Mengenai Bapak Fernandez, memang<br />
317
ada aspek-aspek, otoritik, income generating, mengenai suatu <strong>Perda</strong> ada unsur itu.<br />
Tetapi yang perlu kita tekankan di sini adalah bahwa prinsip-prinsip di dalam<br />
menyusun <strong>Perda</strong> itu harus melalui suatu pemahaman kondisi, realitas, terus fungsi<br />
<strong>Perda</strong> itu jelas, untuk apa <strong>Perda</strong> itu dibuat, indikatornya apa, untuk mengukur<br />
keberhasilannya. Karena kita kadang-kadang yang penting ada aturan, tetapi<br />
tidak tahu bagaimana mereview keberhasilan sebuah aturan. Justru di situ<br />
kelemahan kita. Kita tidak berani direview, kenapa? Karena kita takut, karena<br />
kita merumuskannya tidak benar. Coba kita orang yang benar, berarti kita berani<br />
direview, indikatornya apa? Berarti kalau kita berani, berarti bagus indikatorindikatornya.<br />
Karena apa? Kalau sesuatu tanpa indikator, sangat grey-area,<br />
sangat mudah dipermainkan mengenai performance dari sebuah perda. Apakah<br />
dia ada pandangan publik dalam setiap setahun sekali atau LSM memberikan<br />
suatu pendapat jadi ada satu penilaian-penilaian yang diukur. Artinya, bentuknya<br />
apapun dirumuskan nanti.<br />
Mengenai Mas Ajazi dari Yayasan Kita, memang spesifik lokal harus ada, saya<br />
setuju, tetapi di dalam makalah ini saya sebutkan ada ketentuan-ketentuan umum<br />
yang sifatnya baku dan ada yang ketentuan khusus mungkin buat teman kita<br />
misalnya yang dari Timur, ada ketentuan lokal itu menjadi ketentuan tambahan,<br />
tapi ada ketentuan dasar yang mungkin Bab 1 sampai Bab 3 itu sama, prinsipil<br />
sifatnya. Ketentuan mengarahkan bagaimana dia ke depan. Jadi, setiap undangundang<br />
berbeda-beda isinya. Ada yang menghukum saja semua isinya, dari 5<br />
(lima) itu 4 (empat) menghukum, 1 (satu) memberikan solusi. Jadi, sebenarnya<br />
pemikiran itu ada dimana? Ada kadang-kadang orang yang perduli terhadap<br />
masyarakat memberi solusi dia – kalau tidak peduli, dia sikat saja. Ini kayaknya<br />
sampah harus dipotong saja, tidak usah hidup! Dia harus dihukum! Muncul di<br />
jalanan, tangkap! Jadi, ini kita bukan militer tapi kita mengelola sumberdaya.<br />
Karena Pemkot adalah mengelola/resource (manusia itu resource). Kalau dia mau<br />
kita kelola, kita mau dia dianggap tidak baik, kita harus beri jalan, kemana, mau<br />
ngapain dia, harus diberi dia solusi, dibina, tugas Depsos, tidak ada peran Depsos<br />
maupun apa disini tidak ada didalam <strong>Perda</strong>. Bisa lihat di <strong>Perda</strong> On-line, nanti klik<br />
saja www.perda-online lihat disitu <strong>Perda</strong>nya nanti pasti tidak ketemu peran LSM.<br />
Ada Dinas Sosial yang ada cuma di Lahat sama di Kupang, yang lain itu tidak ada.<br />
Bagaimana alternatif solusi, tidak ada. Semuanya fungsi penyidik, penangkapan,<br />
ciri-ciri orang yang dicurigai sama aturan peralihan itu saja isinya sebuah <strong>Perda</strong>,<br />
tidak ada. Bagaimana memperlakukan warga secara resource. Sebagai resource<br />
itu tidak ada didalam <strong>Perda</strong>, itu yang sangat disayangkan.<br />
Kemudian mengenai bagaimana hukum didalam UU No. 22/1999 pasal-71 itu,<br />
hukuman tertinggi adalah 6-bulan denda 5-juta. Apabila kita cermati di pasal ini di<br />
indikator Lampiran-1, ini lucu lagi. Kalau di Kupang 6-bulan tapi 6-juta – berbeda.<br />
Ada yang di Tangerang 3-bulan / 15-juta, kalau dari IndRhamayu 6-bulan / 6-juta,<br />
kalau dari Lampung 6-bulan / 6-juta. Kalau yang dari Lahat < 3-bulan / > 6-bulan<br />
denda < 2,5-juta / > 5-juta, jadi pakai range kalau di Lahat. Tapi kalau di Depok<br />
Raperda yang kemarin saya baca itu 3-bulan / 30 juta. Bagaimana sih,<br />
318
nentuin hukuman? Ini sebenarnya terkait dengan definisi dari fakta faktor kriminal,<br />
kalau mereka dianggap sebagai hal kriminal, kita bisa mengklasifikasikan aktifitas.<br />
Saya bukan orang hukum, saya orang perencanaan tapi saya melihat dari proses.<br />
Kalau kita sering lihat tindak pidana ringan kalau kita sering nonton TV biasanya<br />
ada orang yang memang kalau narkoba itu ada pemakai lebih ringan daripada<br />
pengedar. Jadi, kita melihat daripada tingkat fungsi dia didalam tingkat kejahatan<br />
itu. Misalnya dia adalah action, dia yang menjual dirinya mungkin tindak pidana<br />
ringan 1-minggu misalnya. Kenyataan juga di lapangan ini tidak 6-bulan yang<br />
ditangkapin di Glodok itu yang kita tonton, paling 1-minggu di Depsos, pulangin<br />
lagi! Tindak pidana ringan istilahnya. Tapi kalau kita pakai proses, berarti kalau<br />
dia action lebih kecil daripada dia memperdagangkan dan merencanakan, lebih<br />
tinggi lagi kalau dia mengawasi dan meng<strong>org</strong>anize. Jadi, kita lihat dari klasifikasi<br />
itu saja. Mengenai klasifikasi hukum, kalau dia action berarti dia butuh masalah<br />
perut, atau masalah memang dia hobby, kita kasih hukumannya lebih. Tapi kalau<br />
dia ikut memperdagangkan, merencanakan itu mungkin substansinya lebih berat.<br />
Kalau dia meng<strong>org</strong>anize, mengawasi itu lebih orang yang mengawasi melakukan<br />
tindakan itu juga lebih berat lagi karena dia tahu tapi dia juga melakukan. Mungkin<br />
mengklasifikasikan bisa begitu ya Mas Ajazi yang dari Yayasan Kita karena saya<br />
bukan orang hukum. Karena ini pun <strong>Perda</strong> ini disusun oleh orang hukum, tidak<br />
ada yang sama, bagaimana? Orang hukum itu bisa berbeda kepala terus. Ada<br />
yang menganggap 6-bulan itu bagus, ada yang 3-bulan, cukup. Mungkin di daerah<br />
Timur, mungkin di daerah Lahat itu 2,5-bulan orang sudah cukup capek dipenjara.<br />
Kalau di Kupang mungkin 6-bulan belum cukup capek. Jadi, tergantung persepsi<br />
lokal, saya juga tidak tahu. Mohon maaf ini bukan menyinggung daerahnya, tapi<br />
ini mungkin persepsinya. Saya tidak bisa mengatakan itu, apa itu dasarnya ini<br />
6-bulan, tapi yang saya lihat mungkin ini faktor “warning” nya. Ini hanyalah: eh,<br />
kalian berbahaya lho? Bisa denda sekian, kenyataannya paling 3-hari – seminggulah<br />
menurut berita yang di TV.<br />
4.<br />
Caroline<br />
Menurut saya apabila memang masyarakatnya lebih cocok berbelanja di pasar<br />
tradisional, mereka akan memilih pasar tradisional itu walaupun nanti akan hadir<br />
pasar modern dan itu merupakan kecenderungan globalisasi tapi pada akhirnya<br />
preferensi orang berbelanja itu akan sangat ditentukan oleh orang per orang. Dia<br />
akan memilih berbelanja dimana akan sangat ditentukan oleh banyak indikator.<br />
Misalnya dia melihat disana ada orang yang saya kenal, sehingga dia lebih nyaman.<br />
Mungkin pemaknaan nyaman sendiri juga bisa berbeda-beda. Orang kota misalnya<br />
nyaman berbelanja ditempat yang bersih, harum, ber-AC, tapi kalau masyarakatmasyarakat<br />
yang tradisional mungkin akan merasa nyaman kalau misalnya<br />
berbelanja ditempat yang luas, barang-barang terlihat jelas semua, sehingga ada<br />
ikatan batin. Jadi, itu sangat tergantung pada preferensi, mereka kan memilih<br />
berbelanja dimana.<br />
319
Tetapi tentu saja untuk menghadapi nanti kehadiran pasar modern, betul bahwa<br />
pemerintah khususnya Pemda harus lebih berperan sebagai fasilitator sehingga dia<br />
bisa membantu memberdayakan, baik memberdayakan masyarakatnya maupun<br />
memberdayakan pelaku usahanya (pedagangnya). Artinya, dari sisi masyarakat<br />
pun disiapkan, dikenalkan bahwa nantinya akan ada perubahan seperti ini.<br />
Kemudian mereka juga disiapkan bagaimana mengantisipasi perubahan tersebut.<br />
Memperhitungkan misalnya daya beli dengan kecenderungan yang berkembang<br />
sekarang. Karena berbelanja di pasar modern itu sekarang bukan hanya sekedar<br />
semata-mata untuk belanja tetapi juga untuk gaya hidup. Nah ini juga adalah<br />
suatu aspek sosial, aspek budaya, yang perlu dikelola nanti oleh Pemda bahwa<br />
berbelanja itu ada aspek sosial, ada aspek ekonomi, itu perlu dikelola juga oleh<br />
Pemda. Kemudian Pemda juga perlu memberdayakan pelaku usahanya/pelaku<br />
pasar itu sendiri baik itu pasar modern atau pasar tradisional. Pasar tradisional<br />
mungkin nanti perlu diperkenalkan ini ada konsep-konsep/model-model pengelolaan<br />
yang bisa lebih meningkatkan daya saing mereka. Misalnya bagaimana membuat<br />
kemasan produk yang dijual itu sehingga lebih menarik. Bagaimana misalnya<br />
memelihara kebersihan di tempat tersebut sehingga itu akan banyak mempengaruhi<br />
daya saing sehingga orang tidak beralih.<br />
5.<br />
Moderator<br />
Terima kasih, saya kira waktu jua yang harus menghentikan diskusi kita. Semuanya<br />
akan kami rangkum dan nanti akan jadi masukan untuk lokakarya besok pagi. Jadi<br />
buat yang berminat tolong sekali lagi untuk mengembalikan lembar konfirmasi<br />
untuk besok di depan pintu. Untuk itu mari kita applause untuk pembicara berdua.<br />
Terimakasih banyak pak Rhama Wijaya, Ibu Karoline Paskarina dan Bapak Dede<br />
Mariana atas presentasinya yang cukup bagus. Semoga ini akan menjadi masukan<br />
lokakarya kita besok dan akan membuahkan satu rekomendasi apakah itu untuk<br />
Pemerintah Pusat maupun Pemda dan mungkin akan kita kumpulkan juga<br />
sebagai satu Kumpulan Best Practices yang bisa di replikasikan pada pemerintahpemerintah<br />
daerah lainnya. Untuk itu atas nama Yayasan Inovasi Pemerintah<br />
Daerah (YIPD), saya mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan sebesarbesarnya<br />
kepada para hadirin peserta diskusi sore ini. Kemudian saya persilahkan<br />
untuk rehat kopi dibawah, sambil melihat demo database <strong>Perda</strong> On-line di bawah,<br />
terima kasih, Ass. Wr. Wb., Salam Sejahtera.<br />
320
BAB 5<br />
<strong>Perda</strong> Online<br />
321
Gambar 1<br />
CD <strong>Perda</strong>Online berisi program database berbasis teknologi web. Program ini bisa<br />
dipasang di server dengan koneksi internet maupun di dalam komputer pribadi<br />
yang berdiri sendiri (PC stand-alone). Untuk kepentingan informasi di internet,<br />
program ini siap untuk di-online-kan sebagai situs yang berdiri sendiri atau<br />
sebagai bagian dari pengembangan situs lain, misalnya menambah fitur internet<br />
yang dikembangkan masing-masing pemda.<br />
Untuk penggunaan di luar internet, program ini bisa dipakai sebagai database<br />
di dalam intranet untuk kepentingan intern lembaga, atau kios informasi yang<br />
disediakan bagi masyarakat. Saat ini <strong>Perda</strong>Online diluncurkan dalam 2 (dua)<br />
versi. Versi pertama (dikemas dalam warna kuning border hitam) telah berisi<br />
2000an <strong>Perda</strong> dari 40 Kabupaten/ Kota di 15 Propinsi di Indonesia dengan <strong>Perda</strong><br />
Provinsi dari Provinsi Lampung dan Jawa Tengah, dan sedang dilakukan update<br />
terus menerus, dengan penambahan jumlah perda pemda propinsi serta beberapa<br />
kabupaten.<br />
Versi kedua (dikemas dalam warna putih) hanya berisi program tanpa isi sama<br />
sekali. Disediakan sebagai pilihan, bilamana pemda atau lembaga tertentu ingin<br />
mengembangkan secara mandiri database perda serta referensinya (tidak memuat<br />
perda dari daerah lain). Oleh karenanya, versi ini memberi keleluasaan bagi<br />
administrator pengelola program ini nanti, mulai dari penamaan wilayah sampai<br />
pada penentuan kategori-kategori database yang akan dihasilkan.<br />
Selebihnya versi kedua sama dengan versi pertama. Dokumen dalam program<br />
database <strong>Perda</strong>Online ini berformat text, sehingga sangat memudahkan pencarian,<br />
mengingat pengguna program tinggal memasukkan kata/frase apapun yang<br />
322
dikehendakinya. Bahkan untuk seri <strong>Perda</strong> Retribusi, Pajak serta Pembentukan<br />
Organisasi/Kelembagaan, program ini juga menyediakan ringkasan penting yang<br />
bisa dimunculkan dengan hanya mengklik tombol [detail] di dalam keterangan<br />
setiap perda tersebut.<br />
Fitur-fitur yang ada di <strong>Perda</strong>Online bagi pengguna:<br />
1. Mesin Pencarian (<strong>Perda</strong> Search Engine), dengan berbagai tipe:<br />
• Pencarian dengan sembarang kata<br />
• Pencarian berdasarkan kategori<br />
• Pencarian berstruktur/lebih detil<br />
• Pencarian di dalam hasil pencarian (pencarian berlanjut)<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Pengurutan hasil pencarian berdasarkan Tahun, Nomor, atau Judul <strong>Perda</strong><br />
Referensi peraturan perundangan berkenaan dengan pemerintahan daerah<br />
dan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance)<br />
Download perda<br />
Print perda<br />
Alamat akses standar: http://localhost<br />
Gambar 2<br />
Gambar 3<br />
Fitur-fitur yang ada di <strong>Perda</strong>Online bagi Administrator:<br />
1. Otomasi program dengan content management system (CMS), dan juga berbasis<br />
teknologi web, sehingga bisa dilakukan di semua komputer yang terhubung<br />
dalam jaringan (local area network/internet) dan oleh banyak orang dalam<br />
waktu bersamaan<br />
2. Berbagi akses pemasok data dengan membuat user access control, sehingga<br />
entri data menjadi lebih aman<br />
3. Input <strong>Perda</strong> atau Referensi dengan kemudahan sebagaimana pengisian satu<br />
formulir sederhana (semua field telah disediakan)<br />
323
4.<br />
5.<br />
Tanpa perlu menuliskan kata kunci pencarian (keyword)<br />
Khusus versi kedua/kosong:<br />
• Memberi nama berdasarkan wilayah (Propinsi/Kabupaten/Kota) yang<br />
bersangkutan<br />
• Bebas menentukan kategori yang ingin ditampilkan di muka sesuai<br />
kebutuhan yang bersangkutan<br />
Alamat akses standar : http://localhost/cms<br />
User Name<br />
: admin<br />
Password:<br />
admin<br />
324
BAB 6<br />
Hasil Rekomendasi<br />
Sesi lokakarya pada kegiatan ini dibagi menjadi tiga kelompok diskusi, membahas<br />
tiga tema yang berbeda, yaitu Penyusunan dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong>; <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong><br />
<strong>Publik</strong>: Kesehatan, Ketenagakerjaan dan SDA; dan Evaluasi dan Analisis Kebijakan:<br />
Menuju <strong>Perda</strong> yang Partisipatif dan Komprehensif.<br />
Tujuan lokakarya ini adalah menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada<br />
pemerintah terkait baik tingkat pusat maupun daerah serta masyarakat mengenai isu<br />
seperti yang tersebut pada tema diatas.<br />
Hasil yang diharapkan dari lokakarya ini adalah rekomendasi bagi pemerintah dalam<br />
upaya meningkatkan kualitas dan fungsi <strong>Perda</strong> dalam pencapaian tujuan otonomi<br />
daerah.<br />
325
Diskusi 1 :<br />
Penyusunan dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />
Berikut ini hasil rekomendasi pada diskusi kelompok 1 :<br />
No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />
1. Perencanaan Kesulitan dalam merencanakan produk<br />
legislasi di daerah, dalam pengertian bahwa<br />
bagaimana menentukan agenda perda yang<br />
akan dibahas dalam satu waktu tertentu<br />
dalam hal ini pada rencana kerja tahunan,<br />
kemudian juga menentukan prioritasprioritas<br />
dari isu-isu di dalam kebijakan itu<br />
Perlu adanya suatu pedoman<br />
yang bisa dipakai oleh<br />
DPRD, pemda, bahkan juga<br />
masyarakat untuk bisa<br />
memberikan masukanmasukan<br />
agenda perda apa<br />
yang akan dibahas pada satu<br />
tahun yang berjalan<br />
2. Penyusunan Metodologi penyusunan perda yang<br />
baik. Selama ini metodologi yang dipakai<br />
dikebanyakan daerah masih menggunakan<br />
metodologi yang sangat konvensional<br />
bahkan diantaranya tidak melalui naskah<br />
akademik<br />
Belum melibatkan semua stakeholder.<br />
banyak kelompok-kelompok yang<br />
termarginalkan karena tidak ikut didalam<br />
proses-proses pembahasan perda<br />
Pasal partisipasi harus<br />
dimasukan pada seluruh level<br />
peraturan perundangan, baik<br />
di tingkat nasional misalnya<br />
contoh UU 10/2004 tentang<br />
pembentukan peraturan<br />
perundang-undangan, maupun<br />
peraturan perundangan di level<br />
daerah atau mengenai pemda<br />
seperti UU 32/2004.<br />
Harus ada political will dan<br />
action dari DPRD dan Pemda<br />
untuk mengakomodir sisi<br />
partisipasi masyarakat dan<br />
kepentingan masyarakat<br />
Kapasitas masyarakatnya dalam memahami<br />
persoalan yang diperdakan.<br />
Pengembangan kapasitas<br />
masyarakat pemerintah dan<br />
DPRD itu menjadi hal yang<br />
sangat penting dalam rangka<br />
menjamin bagaimana aspirasi<br />
masyarakat pada akhirnya itu<br />
bisa dirumuskan dalam bentuk<br />
norma kebijakan<br />
326
No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />
Kapasitas DPRD dalam merumuskan<br />
kebijakan yang berpihak pada masyarakat.<br />
Karena merumuskan aspirasi masyarakat<br />
yang demikian banyak itu juga bukan<br />
persoalan mudah, bisa juga terjadi reduksi<br />
pembiasan dsbnya<br />
Harus dijamin adanya<br />
mekanisme komplain dari<br />
stakeholder, supaya masukanmasukan<br />
yang sudah diberikan<br />
pada tahap awal penyusunan<br />
perda itu tidak kemudian<br />
dihilangkan/ dipotong karena<br />
masyarakat bisa mengecek<br />
apakah masukan saya itu<br />
betul-betul diakomodasi atau<br />
tidak<br />
Kemudian juga berkaitan dengan<br />
mekanisme ini ada persoalan, secara<br />
impiris, mekanisme ini hanya dipakai<br />
sebagai hiasan saja legitimasi seolah-olah<br />
kalau secara prosedur itu sudah berjalan<br />
berarti sudah tidak ada persoalan dengan<br />
proses pembuatan perda padahal ternyata<br />
itu hanya pada tingkatan proses saja,<br />
namun secara substansi tetap saja aspirasi<br />
masyarakat itu tidak bisa diakomodir<br />
didalam kebijakan yang ada, sehingga<br />
disebut sebagai jebakan mekanisme<br />
Dalam prosedur partisipasi<br />
masyarakat harus didahului<br />
analisis stakeholder. Jadi kalau<br />
membahas suatu kebijakan<br />
stakeholder yang dilibatkan<br />
itu betul-betul stakeholder<br />
yang berkepentingan dengan<br />
kebijakan itu bukan sebaliknya<br />
yang tidak berkepentingan<br />
malah dilibatkan<br />
327
Diskusi 2 :<br />
<strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong><br />
Berikut ini hasil rekomendasi umum pada diskusi kelompok 2:<br />
1. <strong>Perda</strong> dibuat jangan hanya menjadi produk hukum, dengan melalui proses<br />
manajemen yang partisipatif dan jelas<br />
2. <strong>Perda</strong> tidak hanya berorientasi pada ekonomi tapi pada peningkatan pelayanan<br />
publik<br />
3. Pembuatan perda harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat<br />
4. <strong>Perda</strong> dibuat untuk menyelesaikan masalah publik bukan membuat/menambah<br />
masalah publik baru<br />
Sedangkan rekomendasi per sub tema terlihat pada tabel di bawah ini :<br />
No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />
1. Kesehatan Sosialisasi perda bagi keluarga miskin<br />
kurang<br />
Materi <strong>Perda</strong> lebih berorientasi pada<br />
retribusi dibanding dengan peningkatan<br />
pelayanan<br />
Alokasi anggaran kesehatan masih rendah<br />
Kebijakan daerah tidak sinkron dengan<br />
kebijakan pusat<br />
Belum ada yang mengatur system<br />
kesehatan daerah<br />
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan<br />
perda rendah<br />
Akses masyarakat terhadap layanan<br />
kesehatan minim<br />
Belum ada perda yang mangatur insentif<br />
pada swasta untuk berperan di bidang<br />
kesehatan<br />
Dalam kebijakan Pemda<br />
harus berorientasi kepada<br />
pencegahan dan bukan<br />
pengobatan<br />
Mengalokasikan anggaran di<br />
bidang kesehatan yang lebih<br />
besar<br />
<strong>Perda</strong> harus aspiratif seuai<br />
kehendak masyarakat<br />
Disusun SPM untuk pelayanan<br />
kesehatan<br />
Hak-hak masyarakat secara<br />
jelas disebutkan dalam <strong>Perda</strong><br />
<strong>Pelayanan</strong> kesehatan harus<br />
meliputi fisik dan psikis<br />
<strong>Perda</strong> jangan tumpang tindih<br />
dan selaras dengan produk<br />
hukum lainnya<br />
Fungsi simpul pelayanan<br />
kesehatan di tingkat RTRW<br />
harus ditingkatkan<br />
Perlu kebijakan mengenai<br />
asuransi kesehatan bagi<br />
seluruh warga, yang tidak<br />
mampu dibiayai pemerintah<br />
328
No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />
2. Tenaga Kerja RPJMD belum memiliki visi yang jelas dalam<br />
pembangunan sumber tenaga kerja<br />
Ada mekanisme partisipatif<br />
masyarakat dalam<br />
penyusunan perda<br />
<strong>Perda</strong> Naker yang ada masih berpihak<br />
pada pengusaha<br />
Membuat <strong>Perda</strong><br />
ketenagakerjaan yang dapat<br />
memfasilitasi kepentingan<br />
pemerintah, pengusaha dan<br />
buruh<br />
Kebijakan UMR belum mampu memberikan<br />
kehidupan yang layak bagi tenaga kerja<br />
<strong>Perda</strong> belum mengatur pembinaan sektor<br />
informal<br />
Penegakan hukum yang lebih<br />
jelas<br />
Jaminan sosial tenaga kerja<br />
harus layak<br />
Swasta memperlakukan<br />
karyawan sebagai mitra yang<br />
egaliter<br />
Ada klausa dalam <strong>Perda</strong><br />
berupa sanksi bagi pengusaha<br />
yang melanggar hak2 pekerja,<br />
disertai penegakannya<br />
Perlu dibuat kebijakan<br />
pemerintah mengenai<br />
insentif bagi pengusaha<br />
yang memberikan asuransi<br />
tunjangan dan training bagi<br />
peserta<br />
Perlu dibuat perda yang<br />
memuat perlindungan pekerja<br />
<strong>Pelayanan</strong> kesehatan harus<br />
meliputi fisik dan psikis<br />
329
No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />
3. Sumber Daya Alam <strong>Perda</strong> belum mencerminkan proses<br />
konservasi SDA yang lestari<br />
Mencantumkan kewajiban<br />
pemungut untuk<br />
melaksanakan konservasi<br />
Kebijakan pemerintah tentang<br />
SDA berorientasi laba, sehingga<br />
menguntungkan pengusaha dan<br />
merugikan masyarakat, kebijakan<br />
eksploitatif<br />
Memberikan kesempatan<br />
kepada masyarakat untuk<br />
melakukan pemantauan<br />
Aspirasi kelompok masyarakat belum<br />
terakomodasi secara memadai<br />
Swasta tidak terlalu<br />
mengutamakan kepentingan<br />
ekonomi<br />
Apresiasi stakeholder terhadap kelestarian<br />
SDA rendah<br />
Perlu sosialisasi dan<br />
penegakan <strong>Perda</strong> mengenai<br />
pengendalian dan<br />
perlindungan lingkungan<br />
Perlu peraturan tentang pengendalian<br />
pencemaran lingkungan<br />
Sosialisasi perda kurang sehingga<br />
substansi tidak banyak diketahui<br />
masyarakat<br />
<strong>Perda</strong> mengatur reklamasi pertambangan<br />
belum banyak<br />
Pengakuan hukum dalam implementasi<br />
perda tidak didukung secara politis<br />
330
Diskusi Kelompok 3 :<br />
Evaluasi & Analisis Kebijakan: Menuju <strong>Perda</strong> yang<br />
Partisipatif & Komprehensif<br />
Dalam evaluasi dan analisis kebijakan, khususnya untuk menuju <strong>Perda</strong> yang<br />
partisipatif dan komprehensif, terlibat semua stakeholder mulai dari DPRD,<br />
Pemda, LSM, Akademisi, dan Dunia Usaha. Masing-masing pihak memiliki peran<br />
berbeda, seperti yang terlihat pada tabel berikut :<br />
DPRD PEMDA LSM AKADEMISI DUNIA USAHA<br />
Mencari<br />
masukan dari<br />
berbagai media,<br />
masyarakat<br />
Meminta<br />
penjelasan ke<br />
Pemda<br />
Inisiatif menerima<br />
evaluasi <strong>Perda</strong><br />
bermasalah dan<br />
memberatkan<br />
masyarakat<br />
Membuka<br />
kesempatan ruang<br />
publik<br />
Membangun<br />
komitmen dan<br />
koordinasi dengan<br />
stakeholder<br />
Tindak lanjut dan<br />
masukan<br />
Sosialisasi dan<br />
evaluasi<br />
Fasilitasi<br />
pertemuan<br />
stakeholder<br />
Mengecek<br />
ke lapangan<br />
– klarifikasi<br />
Mewakili masyarakat<br />
tertentu<br />
– pemberdayaan<br />
masyarakat<br />
Koordinasi dan<br />
Fasilitator aspirasi<br />
Advokasi<br />
Akses masyarakat<br />
terhadap layanan<br />
kesehatan minim<br />
Belum ada perda<br />
yang mangatur<br />
insentif pada swasta<br />
untuk berperan di<br />
bidang kesehatan<br />
Naskah Akademik<br />
– sosiologis, filosofis,<br />
juridis teknis dan<br />
outcome<br />
Fungsi simpul<br />
pelayanan kesehatan<br />
di tingkat RTRW harus<br />
ditingkatkan<br />
Perlu kebijakan<br />
mengenai asuransi<br />
kesehatan bagi<br />
seluruh warga, yang<br />
tidak mampu dibiayai<br />
pemerintah<br />
Menimbang untung<br />
rugi – pajak, dll<br />
Objektif<br />
Peran pers<br />
– pengawasan dan<br />
monitoring<br />
331
Sedangkan evaluasi dan analisis kebijakan, khususnya menuju <strong>Perda</strong> yang<br />
partisipatif dan komprehensif dapat dilihat dari sisi proses, substansi dan<br />
implementasi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :<br />
No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />
1. Proses Kurang partisipatif – stakeholders Ada sistem menjamin<br />
partisipasi publik<br />
Elitis – dominasi parpol dan pemda<br />
Inisiatif dari Pemda<br />
Diskriminatif<br />
pendapatan – cepat, pelayanan publik<br />
– lambat<br />
Konsistensi terhadap waktu<br />
Kesadaran politik masyarakat – pasif<br />
Pemda – Dinas terlalu ditonjolkan<br />
Masyarakat – tidak ada sistem<br />
partisipasi<br />
Tidak ada PROLEGDA<br />
Pemberdayaan masyarakat<br />
untuk partisipatif<br />
DPRD meningkatkan<br />
kemampuan<br />
Lembaga seperti BALEG untuk<br />
menelaah perda<br />
Pemda kadang tidak realistis<br />
dalam membuat <strong>Perda</strong><br />
2. Substansi Bertentangan dengan peraturan di<br />
atasnya<br />
Definisi KETENTUAN UMUM tidak<br />
aplikatif<br />
cenderung untuk copy paste<br />
– kurangnya pengertian<br />
Tidak implementatif<br />
Substansi kadang jadi pemicu konflik<br />
Kurang visioner<br />
Tidak mengabaikan hirarki<br />
perundang-undangan<br />
Kejelasan akan kata – kata,<br />
supaya tidak salah tafsir<br />
Buat standarisasi<br />
Tidak ada standar struktur pokok<br />
Terlalu banyak <strong>Perda</strong> tentang retribusi<br />
/ pungutan<br />
Tidak lengkap<br />
Menimbulkan distorsi / biaya ekonomi<br />
tinggi<br />
332
No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />
3. <strong>Implementasi</strong> Kurang sosialisasi Tingkatkan sosialisasi<br />
Kurang pengawasan<br />
Ada mekanisme pengawasan<br />
Tidak konsisten dalam pelaksanaan<br />
– pungli<br />
Sanksi yang jelas bagi aparat<br />
Banyak SK Walikota/Bupati yang<br />
bertentangan dengan <strong>Perda</strong><br />
<strong>Perda</strong> bermasalah harus<br />
segera dicabut dan tidak<br />
dilaksanakan<br />
Gap/perbedaan antara pembuat dan<br />
pelaksanaan dan yang diatur<br />
<strong>Perda</strong> bermasalah mengganggu<br />
sistem hukum nasional<br />
333
334<br />
Biodata Penulis
Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Utama<br />
1.<br />
Stefan Nachuk, Senior Poverty Specialist Bank Dunia Jakarta<br />
Stefan Nachuk, Sarjana (B.S.) dalam bidang Hubungan Kerja (Buruh) dan Industrial<br />
dari School of Industrial and Labor Relations, Cornell University, Ithaca, New<br />
York pada tahun 1985, meraih gelar Master of Arts (M.A.) dalam bidang hubungan<br />
internasional dengan konsentrasi pada Perubahan Sosial dan Pembangunan dan<br />
Ekonomi Internasional dari The Johns Hopkins University, The Paul H. Nitze School<br />
of Advanced International Studies (SAIS), Washington D.C. pada tahun 1993.<br />
Memiliki pengalaman lebih dari 14 tahun bekerja dalam bidang kebijakan publik,<br />
pembangunan, manajemen strategis, kepemimpinan, baik sebagai peneliti,<br />
konsultan, manajemen program/proyek maupun advisor di berbagai negara seperti<br />
Indonesia, Vietnam, Thailand, Bangladesh, Senegal dan Afrika Selatan. Ahli<br />
dalam bidang governance, analisis kelembagaan, program-program pemberantasan<br />
kemiskinan, keuangan mikro, pendidikan dasar dan menengah, transportasi<br />
perdesaan, hak anak, bidang usaha off-farm, penyediaan jasa, pertanian dan<br />
kehutanan serta capacity building.<br />
Lebih dari enam tahun bekerja di Vietnam dengan Oxfam Belgique sebagai Team<br />
Leader PRA, Savings Programme Advisor, dan Acting Country Representative &<br />
Program Coordinator, serta dengan sebagai konsultan dengan berbagai lembaga<br />
internasional seperti FAO, UNDP, ADB, Novib dan Oxfam Great Britain, UNICEF,<br />
World Bank, Ford Foundation, DFID, ActionAid di Vietnam, Thailand dan Kanada.<br />
Bekerja di Indonesia sejak tahun 2003 sebagai Konsultan governance dengan DFID<br />
dan World Bank, CARE, SIDA, dan menjabat sebagai Senior Poverty Specialist di<br />
Kantor Bank Dunia Jakarta sejak Agustus 2003. Aktif menulis berbagai publikasi<br />
baik dalam bentuk buku, artikel, makalah atau publikasi terbatas di berbagai<br />
lembaga internasional sejak tahun 1991, diantaranya Making Services Work for the<br />
Poor Case Studies: Nine Case Studies on Local Best Practice, World Bank, Jakarta.<br />
Memiliki kemampuan berbahasa Indonesia, Vietnam, Perancis (intermediate) dan<br />
Pulaar (basic).<br />
Kontak:<br />
Stefan Nachuk<br />
Senior Poverty Specialist<br />
Kantor Bank Dunia Jakarta<br />
BEJ Tower 2, Lt. 12<br />
Jl. Jend Sudirman Kav 52-53 Jakarta<br />
Phone: 021-52993000<br />
e-mail: snachuk@worldbank.<strong>org</strong>, Stefan_nachuk@hotmail.com<br />
335
2.<br />
Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D., Staf Pengajar di Fakultas Ilmu<br />
Sosial dan Politik Departemen Administrasi <strong>Publik</strong> dan Direktur<br />
Program Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi di Universitas<br />
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta<br />
Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D., Sarjana dalam bidang Administrasi <strong>Publik</strong><br />
dari FISIP UGM tahun 1989, diploma dalam bidang Administrasi meraih gelar<br />
Master (MDA) dalam bidang Administrasi Pembangunan dari Australian National<br />
University (ANU), Canberra, Australia tahun 1997 dan Ph.D. dalam bidang<br />
kebijakan dan governance dari Asia Pasific School of Economics and Government,<br />
ANU, Australia tahun 2005.<br />
Direktur Program Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi sejak tahun 2006<br />
dan Peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM, Deputi Direktur<br />
Program Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi tahun 2005-2006, Staf Pengajar<br />
Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi UGM (1997-2001), Sekretaris Program<br />
Departemen Administrasi <strong>Publik</strong> UGM (1999-2000), Asisten Akademis Program<br />
Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi UGM (1993-1997), Staf Pengajar di<br />
Departemen Administrasi <strong>Publik</strong> UGM (1991-2001), Peneliti di Lembaga Studi<br />
Pembangunan, LSM, Jakarta (1990-1991), Pelatih dan peneliti di Lembaga<br />
Pendidikan, Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, LSM, Jakarta (1989-<br />
1991).<br />
Aktif menjadi pelatih dalam bidang kebijakan publik di berbagai lembaga sejak<br />
tahun 1989. Menjadi peneliti dan konsultan dalam bidang governance dan<br />
desentralisasi sejak tahun 1987. Menulis berbagai publikasi dan paper di berbagai<br />
jurnal serta artikel di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan Republika pada tahun<br />
2002 dan 2005.<br />
Kontak:<br />
Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D.<br />
Jurusan Administrasi <strong>Publik</strong><br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada<br />
Yogyakarta<br />
Telp. 0274 - 563362<br />
e-mail: agus_pramuinto@map.ugm.ac.id, guspram2001@yahoo.com<br />
e-mail: snachuk@worldbank.<strong>org</strong>, Stefan_nachuk@hotmail.com<br />
336
3.<br />
Enny Nurbaningsih, SH, MM, Staf Pengajar Universitas Gadjah Mada<br />
(UGM) Yogyakarta dan Tim Peneliti KrisiS Semarang, Unila Lampung<br />
dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor - World<br />
Bank.<br />
Enny Nurbaningsih, SH, MM, meraih gelar master dalam bidang Hukum Tata<br />
Negara dari Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, dan sarjana hukum dari<br />
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.<br />
Staf Pengajar di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta dan Tim Peneliti KrisiS<br />
Semarang, Universitas Lampung dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice<br />
for the Poor – World Bank. Memiliki pengalaman intensif penelitian dalam<br />
bidang hukum dan perundang-undangan dalam lima tahun terakhir yaitu<br />
Implikasi Legal dari Reposisi TNI dan Polri - Tim Fakultas Hukum UGM dan<br />
USAID (2001), Rekontruksi Legal Undang-undang Keadaan Darurat - Tim<br />
Fakultas Hukum UGM dan USAID (2002), Merancang perubahan undangundang<br />
dan revisi undang-undang keadaan darurat – USAID (2002), Sebuah studi<br />
mengenai Kajian Materi dan Status Hukum Keputusan MPRS dan MPR tahun<br />
1960 – 2002 Kerjasama antara Panitia Kerja PHA II MPR-RI dengan UGM (2003),<br />
Dampak <strong>Mengkaji</strong> Ketetapan MPR mengenai Reformasi Sektor Keamanan: sebuah<br />
penilaian hukum dan rekomendasi kebijakan) - Fakultas Hukum UGM dan USAID<br />
(2003), Keharmonisan Legislasi dalam bidang kehutanan - Kerjasama Departemen<br />
Kehutanan dan Program Magister Hukum UGM (2004), Tim Perencana untuk<br />
Draft Hukum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, MenPan - MAP<br />
UGM (2003-2004), Verifikasi Undang-undang Perijinan di Bidang Kehutanan<br />
- Kerjasama Departemen Kehutanan dan Program Magister Hukum UGM<br />
(2004) dan Implikasi Amendemen Konstitusi terhadap Rencana Undang-undang<br />
Pembangunan di Indonesia - Fakultas Hukum UGM dan Komisi Hukum Nasional<br />
(2005).<br />
Kontak:<br />
Enny Nurbaningsih, SH, MM<br />
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta<br />
Jl. Sosio Justitia No.1 Bulaksumur Yogyakarta<br />
08164265246<br />
enny@ugm.ac.id<br />
337
4.<br />
H.S Tisnanta, SH, MH, Tim Peneliti Krisis Semarang, Unila Lampung<br />
dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor - World<br />
Bank<br />
H.S Tisnanta, SH, MH, meraih gelar master (strata dua) dalam bidang hukum dari<br />
Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya pada tahun 1985 dan Sarjana Hukum<br />
dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang tahun 1998.<br />
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung (UNILA), dengan konsentrasi<br />
mata kuliah Hukum Administrasi, Hukum Ketenagakerjaan, Filsafat Hukum dan<br />
Etika Profesi Hukum dan Tim Peneliti KrisiS Semarang, Universitas Lampung<br />
dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor – World Bank. Aktif<br />
melakukan penelitian dalam bidang hukum dan kebijakan publik, beberapa<br />
diantaranya: Perspektif Gender dalam Pembentukan APBD Provinsi Lampung<br />
(2002), Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (The Asia Foundation 2002-<br />
2004), Kebijakan Kesehatan dalam Pelaksanaan Otda di Provinsi Lampung (PHP-<br />
Dinkes Lampung, 2002), dan Pembuatan Based Data <strong>Perda</strong> 36 Kabupaten/ Kota di<br />
15 Provinsi (The World Bank, 2004). Mengikuti berbagai pelatihan dalam bidang<br />
hukum di Surabaya. Jakarta dan Yogyakarta. Menulis karya ilmiah diantaranya:<br />
Money Politics dan kontroversi Pemilihan Gubernur Lampung 2003-2008 (Tifa<br />
2003), dan Meniti Partisipasi <strong>Publik</strong> (KBH Lampung-Ford Foundation, 2003).<br />
Anggota Lampung Parliament Watch dan Anggota Dewan Penasehat Serikat<br />
Pengacara Indonesia (SPI).<br />
Kontak:<br />
H.S Tisnanta, SH, MH<br />
Universitas Lampung<br />
Jl. Prof Sumantri Brojonegoro No. 1<br />
Gedungmeneng – Bandar Lampung<br />
08127953199<br />
338
Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 1<br />
1.<br />
HI Medi Botutihe, Walikota Gorontalo<br />
Kontak:<br />
HI Medi Botutihe<br />
Kantor Walikota Gorontalo<br />
Jl. Jend Ahmad Yani No. 3 Gorontalo,<br />
Telp. 0435-821001, Fax: 0435-830412<br />
2.<br />
Djoko Santoso Abi Suroso, Kepala Bappeda Kota Tarakan<br />
Djoko Santoso Abi Suroso, Sarjana Teknik Bidang Geologi dari Institut Teknologi<br />
Bandung tahun 1987, meraih gelar Master/Post Graduate Study in Development<br />
Studies dari University of Queensland, Australia tahun 1996 dan Ph.D. Research in<br />
Urban dan Regional Planning dari University of Queensland tahun 2000. Saat ini<br />
menjabat sebagai Kepala Bappeda Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur.<br />
Kontak:<br />
Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D<br />
Bappeda Kota Tarakan<br />
Telp/Fax: 0551 32004<br />
e-mail: dsurosobogor@yahoo.com<br />
3.<br />
Ari Nurman, Peneliti, Manajer Program dan Staf Perkumpulan<br />
INISIATIF, Bandung<br />
Ari Nurman, Sarjana Teknik (ST) dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung<br />
tahun 2001, meraih gelar Master of Science (M.Sc) dari Technische Universiteit Delft<br />
(TU Delft), Belanda, bidang Teknologi, Kebijakan dan Manajemen tahun 2004.<br />
Peneliti dan manajer program di Perkumpulan INISIATIF, sebuah LSM dalam<br />
bidang local governance, perencanaan dan kebijakan publik di Bandung, sejak<br />
tahun 2004. Menjadi staf pengajar paruh waktu di Departemen Perencanaan<br />
Wilayah dan Kota di Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung dan<br />
di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi dan Sains<br />
Bandung (ITSB) – Bandung sejak 2005. Peneliti di Indonesian Partnership on Local<br />
Governance Initiatives (IPGI) pada Februari 2001 – Agustus 2002.<br />
339
Aktif menjadi peneliti dan asisten teknis sejak masih kuliah di ITB Bandung (tahun<br />
1998) diantaranya membantu Badan Perencanaan Daerah dan DPRD Kabupaten<br />
Bandung dalam pembuatan RPJMD dan ikut serta dalam monitoring program<br />
Increasing Public Pressure to Promote Environmental Law Enforcement through<br />
Developing Coalition of Communities, di bawah EIDHR programme dari European<br />
Commission. Mendapatkan Beasiswa STUNED, Pusat Pendidikan Belanda (NEC)<br />
– Jakarta tahun 2002 – 2004 dan beasiswa supersemar tahun 1997-1999.<br />
Kontak:<br />
Ari Nurman, ST, M.Sc<br />
Perkumpulan INISIATIF<br />
Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264<br />
Telp. 08562383783<br />
e-mail: arinurman@yahoo.com<br />
4.<br />
Diding Sakri, Sarjana Teknik bidang Perencanaan Wilayah dan Kota<br />
Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung tahun 2001<br />
Direktur Eksekutif Perkumpulan INISIATIF, sebuah LSM di Bandung yang<br />
berfokus pada bidang local governance, perencanaan dan kebijakan publik sejak<br />
April 2005. Sebelumnya bekerja sebagai peneliti di IPGI (Indonesian Partnership<br />
on Local Governance Initiatives) Bandung (Januari 2001 – Maret 2005). Aktif<br />
melakukan penelitian, advokasi dan proyek-proyek konsultansi sejak tahun 2001,<br />
diantaranya untuk DPRD Kabupaten Bandung untuk membuat draft <strong>Perda</strong><br />
mengenai Perencanaan Partisipatif dan Anggaran di Kabupaten Bandung (Maret-<br />
April 2005), untuk Bapedda dan DPRD Kabupaten Bandung untuk membuat<br />
RPJMD, dan menjadi direktur proyek dari EIDHR Program Increasing Public<br />
Pressure to Promote Environmental Law Enforcement through Developing Coalition<br />
of Communities, dari European Commission (Des 2005 – Juni 2007). Menulis berbagai<br />
publikasi seperti buku dan artikel di antaranya dimuat di Harian Denpasar Pos.<br />
Meraih berbagai penghargaan (prestasi) diantaranya finalis National Policy Brief<br />
Competition in Indonesian Public Policy Forum (IPPF), join program PT Hickling<br />
dan Kedutaan Kanada (Agustus 2002), Beasiswa Depdiknas (1999/2000), Beasiswa<br />
Asosiasi alumni ITB (1998/1999), Beasiswa Supersemar (1997/1998), dan Beasiswa<br />
MPI (Indonesian Forestry Society) (1996/1997).<br />
Kontak:<br />
Diding Sakri, ST<br />
Perkumpulan INISIATIF<br />
(Institute for Innovation, Participatory Development & Governance)<br />
Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264<br />
Telp. 08156089840<br />
e-mail: diding@bdg.centrin.net.id<br />
340
5.<br />
Saeful Muluk, Staf Peneliti di Perkumpulan INISIATIF, Bandung<br />
Saeful Muluk, Sarjana Sosial dalam bidang Komunikasi dari Universitas<br />
Padjadjaran (UNPAD) Bandung tahun 2003.<br />
Staf Peneliti di Perkumpulan INISIATIF, Bandung sejak tahun 2005. Sebelumnya<br />
bekerja sebagai peneliti/konsultan untuk Water and Sanitation Program Unit Bank<br />
Dunia Jakarta (Feb – Mei 2005), Staf Asisten Teknis di Direktorat Perencanaan<br />
Ruang dan Manajemen Lahan - Bappenas, Jakarta untuk BKTRN (Mei 2004 – Feb<br />
2005), Regional Co-facilitator untuk proyek Bank Dunia ILGR (The Initiatives of<br />
Local Governance Reform Project) (Juni 2003-April 2004), Guru Bahasa Indonesia di<br />
sebuah SMU swasta di Bandung (April 2002-Mei 2003), dan staf teknis di Paramedia<br />
Komunikatama, Event Organizer (Jan – Des 2000). Melakukan penelitian sejak<br />
tahun 2003 di berbagai lembaga, diantaranya Participatory Poverty Analysis (2003)<br />
Bappenas – ILGR dan Study to Support Operationalization of Sector Policy Reform<br />
in Water Supply and Sanitation Sector through Local Government (2006).<br />
Kontak:<br />
Saeful Muluk, S.Sos<br />
Perkumpulan INISIATIF<br />
(Institute for Innovation, Participatory Development & Governance)<br />
Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264<br />
Telp. 08156028295<br />
e-mail: ipung0404@yahoo.com<br />
341
Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 2<br />
1.<br />
Absori, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah<br />
Surakarta<br />
Absori, meraih gelar Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang<br />
tahun 2006, S2 (Pascasarjana) Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro Semarang<br />
tahun 1998 dan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum UGM Yogyakarta tahun<br />
1989.<br />
Pengalaman penelitian pada tahun 2005-2006 diantaranya Kebijakan<br />
Pemberdayaan PKL di Perkotaan dengan Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus<br />
di Surakarta (2005) dan Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan dengan<br />
Pendekatan Partisipatif, Studi di Jawa Tengah (2006), Penelitian Hubah Bersaing<br />
Dirjen Dikti.<br />
Kontak:<br />
Dr. Absori, SH, Mhum<br />
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />
Telp. 0271-719483 ext 144, 42785, 08122639131<br />
e-mail: absory_06@plasa.com<br />
2.<br />
Nur Hidayat Sardini, Staf Pengajar FISIP Universitas Diponegoro<br />
(UNDIP) Semarang<br />
Nur Hidayat Sardini, meraih gelar S2 Jurusan Ilmu Politik Program Pasca Sarjana<br />
(PPS) Universitas Indonesia, Jakarta, tahun 2004 dan Sarjana Ilmu Pemerintahan<br />
FISIP UNDIP Semarang tahun 1996.<br />
Peneliti di Pusat Studi dan Pengkajian Masyarakat Eropa (PSPME) UNDIP (1998-<br />
2002), Seksi <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> pada Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan<br />
<strong>Publik</strong> (Puskodak) FISIP UNDIP (2000-2001), dan Koordinator Peneliti Sosial-<br />
Politik-Budaya pada Pusat Studi Peisisir dan Laut Tropis (PSPLT) Lemlit UNDIP<br />
(1999-2001). Aktif di berbagai kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)<br />
seperti Komite Peduli Pemilihan Gubernur (KP2G) Jawa Tengah dan Dewan Riset<br />
Daerah (DRD) Jawa Tengah tahun 2003, menjadi Direktur Institute for Social and<br />
Ethics Studies (ISES) tahun 1998-2003, Anggota Local Legislative Watch (LLW),<br />
Jawa Tengah tahun 1999-2000, Badan Pekerja Forum Kota Semarang (FKS) tahun<br />
1999-2000, dan Kadiv Komunikasi Semarang Corruption Collution and Nepotism<br />
Watch (SCCNW) tahun 2000-2001. Anggota Asosiasi Ilmu Politik (AIPI) Cabang<br />
Semarang tahun 1997-2003 dan Ketua Panel Tahunan Masyarakat Pengembangan<br />
Ilmu-ilmu Sosial (MPIS) Jawa Tengah. Menjadi tenaga ahli DPR RI tahun 2002-<br />
342
2003. Berpengalaman melakukan berbagai penelitian diantaranya Evaluasi<br />
Dampak Pelaksanaan Uji Coba Otonomi Daerah di Kabupaten Banyumas (1997)<br />
dan Kompilasi Janji Program Pemberdayaan Perempuan dan Isu-isu Gender ke-48<br />
Partai Politik pada Kampanye Pemilu 1999 (2001/2002).<br />
Kontak:<br />
Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si.<br />
Fisip UNDIP<br />
Jl Imam Bardjo SH No 1 Semarang<br />
Telp. 0818451445<br />
e-mail: fairlysardini@yahoo.com<br />
3.<br />
Hikmat Ramdan, staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas<br />
Winaya Mukti, Sumedang, Jawa Barat<br />
Hikmat Ramdan, meraih gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya<br />
Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)<br />
pada tahun 2006, Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran<br />
Sungai (DAS) Program Pascasarjana IPB tahun 1999, dan Sarjana Kehutanan<br />
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB tahun 1995.<br />
Staf Pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Sumedang, Jawa<br />
Barat sejak tahun 1995, Konsultan proyek-proyek kehutanan dan lingkungan sejak<br />
tahun 1994, Kepala Departemen Lingkungan Hidup LSN RISSAPEL Kuningan<br />
sejak tahun 1999, Wakil Ketua Yayasan Masyarakat Konservasi Tanah dan Air<br />
Indonesia di Jakarta sejak tahun 2001, Ketua Forum Pemerhati Masigit Kareumbi<br />
sejak tahun 2003, DPW Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Jawa<br />
Barat sejak tahun 2003 serta Pembantu Dekan I dan III Fakultas Kehutanan<br />
Universitas Winaya Mukti sejak tahun 2005.<br />
Menjadi Direktur Lembaga Pengkajian Pembangunan Kehutanan Universitas<br />
Winaya Mukti tahun 2002-2003. Berbagai kegiatan konsultansi yang dilakukan<br />
diantaranya adalah Penyusunan Zona Resapan Air Gunung Ciremai Kabupaten<br />
Kuningan (Bappeda Kuningan dan LSM Rissapel, 2000), Penyusunan RUTR Gunung<br />
Ciremai Kabupaten Kuningan (Bappeda Kuningan dan STIKKU Kuningan, 2002),<br />
Penyusunan RTRK Pengembangan Ekonomi Jagoibabang Kabupaten Bengkayang<br />
dan Jasa Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat (Ditjen Penataan Ruang<br />
PU dan PT Teknoplan Nusantara Consultant, 2005). Aktif menulis di berbagai jurnal<br />
dan majalah ilmiah dalam 10 tahun terakhir. Anggota Masyarakat Konservasi<br />
Tanah dan Air Indonesia (MKTI) dan Perhimpunan Profesional Pemanenan Hasil<br />
Hutan Indonesia.<br />
343
Kontak:<br />
Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si<br />
Bantarjati Bogor<br />
Telp. 0251-356763, 08122368188<br />
e-mail: hikmatrmd@yahoo.com<br />
4.<br />
Ahmad Dermawan, Asisten Peneliti Center for International Forestry<br />
Research (CIFOR) Bogor<br />
Ahmad Dermawan, meraih gelar M.Sc pada Department of Economics and Resource<br />
Management dari Agricultural University of Norway tahun 2004 dan Sarjana<br />
Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dari Insitut Pertanian Bogor tahun<br />
1999.<br />
Bekerja sebagai asisten peneliti di CIFOR sejak Mei 2001. Sebelumnya menjadi<br />
asisten peneliti di LSM Bina Swadaya (Agustus – September 1999) dan Asisten<br />
Peneliti di Institut Pertanian Bogor (Mei 1998- April 2001) serta menjadi asisten<br />
doesn dan asisten penelitian dalam masa perkuliahan di IPB. Menjadi salah satu<br />
penulis buku “Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications<br />
for Forest Sustainability, Community Livelihoods, and Economic Development”,<br />
CIFOR (terbit tahun 2006) dan “Kemana Hendak Melangkah: Masyarakat, Hutan<br />
dan Perumusan Kebijakan di Indonesia”, tahun 2002, penerbit: Yayasan Obor<br />
Indonesia.<br />
Kontak:<br />
Ahmad Dermawan, M.Sc<br />
Center for International Forestry Research (CIFOR)<br />
Jalan CIFOR, Situgede, Sindangbarang, Bogor Barat<br />
Telp/Fax. 0251 – 622 622 / 622 100<br />
e-mail: a.dermawan@cgiar.<strong>org</strong>, ahmad.dermawan@gmail.com<br />
Lembaga Penelitian UNPAD<br />
Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung<br />
Telp. 022 – 7279435, 0818219170<br />
e-mail: cpaskarina@yahoo.com<br />
344
Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 3<br />
1.<br />
Dede Mariana, Staf Pengajar FISIP Universitas Padjajaran (UNPAD),<br />
Bandung dan Kepala Pusat Penelitian Kebijakan <strong>Publik</strong> dan<br />
Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian, Universitas Padjadjaran<br />
(Puslit KP2W Lemlit UNPAD)<br />
Dede Mariana, peserta Program Doktor, Bidang Kajian Utama Sosiologi Antropologi,<br />
Program Pascasarjana, UNPAD, Bandung sejak tahun 1998, meraih gelar Master<br />
Sains pada bidang yang sama dengan spesialisasi Pengembangan Kelembagaan<br />
dan Pemberdayaan Masyarakat dari UNPAD, Bandung tahun 1998, Sarjana Ilmu<br />
Pemerintahan, FISIP tahun 1987 serta Sarjana Muda Ilmu Pemerintahan dari<br />
universitas yang sama tahun 1985.<br />
Kepala Puslit KP2W Lemlit UNPAD sejak tahun 2004, Ketua Kelompok Pengkajian<br />
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Lembaga Penelitian UNPAD, sejak tahun 2001,<br />
Ketua Pusat Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Wilayah, FISIP UNPAD<br />
sejak tahun 1995, Kepala Divisi Pengkajian dan Pengembangan Wilayah, LPM<br />
UNPAD tahun 2000-2002, menjabat sebagai sekretaris di Lembaga Pengabdian<br />
Kepada Masyarakat (LPKM), UNPAD tahun 1991-1993, Anggota Pengelola Kuliah<br />
Kerja Nyata (KKN), LPKM UNPAD tahun 1990-2002, Koordinator Program<br />
Pengembangan Wilayah dan Penerapan Teknologi, LPKM UNPAD tahun 1997-<br />
1999.<br />
Berpengalaman melakukan penelitian di bidang kebijakan publik dan pengembangan<br />
wilayah terutama di wilayah Bandung dan Jawa Barat lebih dari sepuluh tahun<br />
terakhir. Aktif menulis buku, di berbagai media massa cetak, maupun jurnal<br />
ilmiah/majalah. Selain itu aktif juga dalam Pengabdian Kepada Masyarakat di<br />
Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat.<br />
Kontak:<br />
Dede Mariana, Drs., M.Si<br />
Pusat Kebijakan <strong>Publik</strong> & Pengembangan Wilayah<br />
Lembaga Penelitian UNPAD<br />
Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung<br />
Telp. 022 – 7279435, 0818219170<br />
e-mail: dedemariana@yahoo.com, Dede.Mariana@unpad.ac.id<br />
345
2.<br />
Caroline Paskarina, Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP<br />
Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung dan Staf Peneliti di Pusat<br />
Penelitian Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Pengembangan Wilayah Lembaga<br />
Penelitian, Universitas Padjadjaran (Puslit KP2W Lemlit UNPAD)<br />
Caroline Paskarina, Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD Bandung tahun<br />
2000, dan Master bidang Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi<br />
Daerah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 2004.<br />
Aktif melakukan penelitian sejak tahun 1997 terutama dengan Lembaga Penelitian<br />
UNPAD dan bekerja sama dengan lembaga lainnya seperti Pemerintah Daerah<br />
Kabupaten Bandung, Dispenda Provinsi Jawa Barat, Bappeda Jawa Barat dan DIKS<br />
UNPAD. Beberapa penelitian yang dilakukan diantaranya: Evaluasi Kelembagaan<br />
Perangkat Daerah di Kabupaten Majalengka, Kajian Kelembagaan dan Organisasi<br />
Perangkat Daerah Kabupaten Bandung Barat, Pengkajian <strong>Perda</strong> Provinsi Jawa<br />
Barat tetang Perizinan untuk Meningkatkan PAD, Pengkajian Peraturan Daerah<br />
Provinsi Jawa Barat yang Mengandung Sanksi, dsb. Aktif menulis berbagai artikel<br />
di media massa Jawa Barat seperti Harian Umum Pikiran Rakyat, buletin, jurnal<br />
dan majalah terbatas, serta menulis makalah yang disampaikan dalam berbagai<br />
acara seminar dan lokakarya sejak tahun 2000.<br />
Kontak:<br />
Caroline Paskarina, S.IP., M.Si.<br />
Pusat Kebijakan <strong>Publik</strong> & Pengembangan Wilayah<br />
Lembaga Penelitian UNPAD<br />
Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung<br />
3.<br />
I GPA Rhama Wijaya, Tim <strong>Implementasi</strong> Restrukturisasi BTN<br />
(IR-BTN)<br />
I GPA Rhama Wijaya, Sarjana Teknik Planologi, Fakultas Teknik Sipil dan<br />
Perencanaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung.<br />
Tenaga Ahli dan Perencanaan bidang Perencanaan Wilayah dan Kota pada PT.<br />
Prima Mitranata Consultan Jakarta, Tenaga Ahli bidang struktur dan manajemen<br />
<strong>org</strong>anisasi pada PT. Prima Mitranata Consultan Jakarta, dan Tim <strong>Implementasi</strong><br />
Restrukturisasi Bank Tabungan Negara (IR-BTN). Anggota Ikatan Ahli Perencanaan<br />
(IAP). Mengikuti berbagai kursus dan seminar diantaranya Peningkatan Peran dan<br />
Kemampuan Aparat Pemerintah Daerah dalam Perencanaan dan Pengendalian<br />
Pembangunan, kerjasama Ditjen. Bangda dan INKINDO, Asset and Liability<br />
Management, Raxindo Consultan Jakarta (1998) dan Kursus Menilai dan Observasi<br />
kemampuan staf berbasis kompetensi, Hay Consultant, Jakarta (2005).<br />
346
Kontak:<br />
Ir. I GPA Rhama Wijaya<br />
Menara BTN<br />
Up. Tim IR BTN<br />
Jl. Gajah Mada No. 1 Lt. 3 Jakarta 10130<br />
Telp. 08159809284, 021-6336789 ext 8336 /8313<br />
e-mail: bagoes04@yahoo.com<br />
347