28.11.2014 Views

Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org

Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org

Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BAB 1<br />

<strong>Mengkaji</strong> <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong><br />

<strong>Publik</strong> yang Berpihak pada Kepentingan<br />

Masyarakat<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

Dinamika <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> di bidang Kesehatan,<br />

Ketenagakerjaan dan SDA yang berpihak kepada Masyarakat Miskin,<br />

Perempuan dan Anak, serta Masyarakat Tertinggal di Provinsi Lampung<br />

dan Jawa Tengah<br />

Enny Nurbaningsih, SH, MH, dan H.S. Tisnanta, SH, MH, Tim Peneliti KRISIS<br />

Semarang, Universitas Lampung dan Universitas Gadjah Mada<br />

Making Services Work for the Poor: A Synthesis of Nine Case Studies<br />

from Indonesia<br />

Stefan Nachuk dan Susannah Hopkins Leisher, Senior Poverty Specialist Bank<br />

Dunia, Indonesia. Dipresentasikan oleh Maulina Cahya Ningrum<br />

Iklim Berusaha dan Investasi Pasca Diterapkannya Kebijakan Otonomi<br />

Daerah: Studi Kasus di Beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia<br />

Agus Pramusinto, MDA, Ph.D., Staf Pengajar UGM<br />

Diskusi dan Tanya Jawab


1. Dinamika <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong><br />

di bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan dan SDA<br />

yang Berpihak kepada Masyarakat Miskin, Perempuan dan<br />

Anak, serta Masyarakat Tertinggal di<br />

Provinsi Lampung dan Jawa Tengah<br />

Abstrak<br />

Tulisan yang merupakan rangkuman penelitian “Dinamika <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />

di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Lampung,” dimaksudkan untuk memotret<br />

cerminan manifestasi otonomi dengan mengkaji koherensi isi dan implementasi<br />

<strong>Perda</strong> pelayanan publik pasca UU No. 22/1999 yang sangat desentralistik, terutama<br />

yang terkait dengan pengaturan isu kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA (Sumber<br />

Daya Alam) yang berpihak pada sasaran masyarakat miskin, perempuan, anak, serta<br />

kelompok marjinal lainnya. Temuan penelitian menunjukkan kekuasaan baru di<br />

bawah rezim desentralistik ternyata belum sepenuhnya diimplementasikan dalam<br />

regulasi daerah yang berorientasi memberikan pelayanan pada sektor isu, yang<br />

berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Semua <strong>Perda</strong> didominasi oleh<br />

pengaturan terhadap kelembagaan dan retribusi. Banjir <strong>Perda</strong> kelembagaan sebagai<br />

dampak silih berganti PP (Persatuan Pemerintah) hanya bertujuan memapankan<br />

institusi yang diberi mandat menyelenggarakan pelayanan publik terhadap isu,<br />

sedangkan muatan pelayanan yang dirumuskan dalam <strong>Perda</strong> retribusi bersifat<br />

artifisial sehingga tidak berdampak secara yuridis, kecuali pungutan yang masuk<br />

kas daerah untuk menambah APBD dari Pendapatan Asli Daerah.<br />

Sekali pun sulit mendapatkan <strong>Perda</strong> APBD, APBD di beberapa daerah<br />

memperlihatkan rendahnya pos anggaran terhadap sasaran, dengan sebaran<br />

pada program yang selalu berubah-ubah. Terkait dengan isu kesehatan setiap<br />

daerah penelitian memiliki <strong>Perda</strong> retribusi pelayanan kesehatan, tapi masalah<br />

ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan dihadapi oleh semua daerah.<br />

Adanya <strong>Perda</strong> JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) pun tidak<br />

memberi jaminan hak atas kesehatan kepada sasaran akibat kurang transparansi<br />

dalam pengelolaannya. <strong>Implementasi</strong> isu ketenagakerjaan lebih memprihatinkan<br />

karena keterbatasan akses baru untuk memperoleh perlindungan hak-haknya.<br />

<strong>Perda</strong> yang ada hanya beraksentuasi pada retribusi dan izin kerja, sehingga<br />

memberatkan investasi yang menyerap tenaga kerja. Dalam isu SDA tingkat<br />

overlapping antara satuan daerah otonom yang ingin mengelola sangat tinggi,<br />

diikuti dengan <strong>Perda</strong> SDA yang didominasi pungutan tanpa mempertimbangkan<br />

kualitas fungsi lingkungan. Dalam keseluruhan <strong>Perda</strong> retribusi yang mendominasi<br />

regulasi daerah pasca UU No. 22/1999 merupakan stereotip UU No. 5/1974.<br />

Perbedaan mendasar hanya pada rumusan dasar mengingat. Oleh karena itu


Inovasi otonomi luas yang berdampak pada masyarakat miskin tidak terumuskan<br />

dengan jelas, karena tingginya delegating provisio kepada Kepala Daerah. Akibat<br />

kurang maksimalnya fungsi kontrol DPRD terhadap implementasi muatan<br />

delegating provisio dalam <strong>Perda</strong>, sampai sekarang Keputusan/Peraturan Kepala<br />

Daerah yang memberikan kemudahan/keringanan terhadap kelompok sasaran<br />

hampir tidak diketemukan. Kepatuhan pelaporan <strong>Perda</strong> oleh Pemda di daerah<br />

penelitian kepada pusat sangat minim, sehingga menyulitkan pusat dalam<br />

menjalankan mekanisme pengawasan represif. Oleh karena itu pusat tidak dapat<br />

melakukan executive review secara maksimal bahkan terkesan diskriminatif<br />

terhadap berbagai <strong>Perda</strong> yang inkonsistensinya tinggi dalam mengelaborasi<br />

peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalam rangka mewujudkan<br />

manifestasi otonomi daerah yang mengatur isu dan keberpihakannya pada<br />

sasaran, sangat urgent dilakukan rekonstruksi muatan <strong>Perda</strong> terkait retribusi isu<br />

dengan menguatkan aspek pelayanan, sehingga <strong>Perda</strong> menjadi lebih fungsional.<br />

Penyusunan skala prioritas yang koordinatif antara satuan daerah otonom,<br />

merupakan langkah yang solutif.<br />

1.<br />

Pengantar<br />

Hadirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara formal<br />

mengubah format penyelenggaraan pemerintahan yang monolitik ke arah<br />

keberagaman (diversity). Daerah diberi kewewenangan yang luas untuk mengatur<br />

dan mengurus rumah tangganya. Dengan kewenangan luas ini daerah dapat<br />

membuat berbagai kebijakan terkait penyelenggaraan pelayanan kebutuhan<br />

dasar masyarakat tanpa perlu lagi menunggu pusat, sebagaimana yang pernah<br />

berlangsung sepanjang era orde baru. Sangat wajar jika kewenangan ini diberikan<br />

kepada daerah karena daerah yang mengetahui secara persis kondisi kebutuhan<br />

faktual (riil) masyarakat. Dengan mekanisme yang sangat desentralistik ini<br />

diharapkan Pemda memiliki kepekaan membentuk kebijakan yang mengatur<br />

berbagai masalah yang terkait dengan kebutuhan masyarakat sehingga dapat<br />

menghilangkan tuna akses masyarakat daerah yang mereka rasakan selama<br />

rezim sentralistik.<br />

Namun kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan di bawah rezim UU No.<br />

22 Tahun 1999 tidak serta-merta membawa berkah perubahan bagi kehidupan<br />

masyarakat. Kewenangan yang sangat besar yang diberikan kepada pemerintah<br />

daerah tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memperjuangkan kepentingan<br />

masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses: perempuan,<br />

anak, masyarakat miskin dan kelompok marjinal. Hal ini disebabkan oleh orientasi<br />

kebijakan pemerintah daerah yang cenderung bersifat budgeter. <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> ini<br />

yang kemudian menimbulkan masalah sehingga menuntut pusat untuk melakukan<br />

executive review, bahkan MPR pernah meminta MA untuk melakukan yudicial<br />

activism. Kebanyakan muatan <strong>Perda</strong> tersebut merupakan peraturan yang tidak<br />

terkait dengan pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat tapi justru


memberatkan kehidupan mereka karena dampak ekonomi biaya tinggi yang<br />

muncul dari <strong>Perda</strong> tersebut.<br />

Bertitik tolak pada fenomena di atas penelitian ini menitikberatkan kajian<br />

pada dinamika implementasi <strong>Perda</strong> yang terkait dengan pengaturan sektor<br />

kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA, yang dipandang memiliki korelasi positif<br />

dengan kesejahteraan masyarakat dan berdampak luas pada kelompok sasaran<br />

perempuan, anak, orang miskin dan kelompok marjinal. Masalah yang dimunculkan<br />

adalah: Apakah <strong>Perda</strong> yang ada telah mengatur aspek pelayanan publik di bidang<br />

kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA? Sejauh mana <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> tersebut memuat<br />

aturan yang memberikan akses pelayanan kepada masyarakat miskin, Perempuan,<br />

Anak, dan kelompok marginal? Apakah ada kesesuaian antara pengaturan dalam<br />

<strong>Perda</strong> di bidang kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA dengan pelaksanaannya?<br />

Dengan menggunakan metode purposive sampling penelitian ini mengambil lokasi<br />

di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Lampung dengan masing-masing 10 (sepuluh)<br />

kabupaten/kota, yang penentuannya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek<br />

demografi, geografis, geopolitik dan geososial-ekonomi, sehingga hasilnya dipandang<br />

dapat mencerminkan dinamika pengaturan terhadap sasaran perempuan, anak,<br />

orang miskin, dan kaum marjinal di kedua Provinsi. Kesepuluh kabupaten/kota yang<br />

ada di Provinsi Jawa Tengah adalah Pekalongan, Purbalingga, Sragen, Semarang,<br />

Blora, Cilacap, Kudus, Surakarta, Kebumen, dan Wonosobo. Sedangkan kesepuluh<br />

kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung meliputi Bandar Lampung, Kota<br />

Metro, Lampung Timur, Lampung Barat, Lampung Utara, Lampung Selatan,<br />

Lampung Tengah, Way Kanan, Tanggamus dan Tulang Bawang. Penelitian ini<br />

menggunakan kombinasi penelitian pustaka dan lapangan yang disusun secara<br />

kronologis dimulai dari langkah awal berupa desk study, kemudian penelitian<br />

lapangan dan penajaman serta verifikasi data dilakukan melalui FGD. Selanjutnya<br />

data dianalisis menggunakan analisis komparatif-kualitatif, content analysis, dan<br />

analisis isi media untuk mendapatkan korelasi antara isi dan tujuan <strong>Perda</strong> dengan<br />

implementasi <strong>Perda</strong> di lapangan.<br />

2.<br />

Kondisi <strong>Perda</strong><br />

2.1 Provinsi Jawa Tengah<br />

<strong>Perda</strong> yang berhasil terkoleksi sebagai data penelitian adalah <strong>Perda</strong> yang diterbitkan<br />

pasca berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. Di Provinsi Jawa Tengah <strong>Perda</strong> yang<br />

diteliti berjumlah 698 <strong>Perda</strong>, dengan sebaran: 66 <strong>Perda</strong> Provinsi, 44 <strong>Perda</strong> Kota<br />

Semarang, 59 <strong>Perda</strong> Kabupaten Kudus, 50 <strong>Perda</strong> Kabupaten Pekalongan, 33 <strong>Perda</strong><br />

Kabupaten Blora, 47 <strong>Perda</strong> Kota Surakarta, 77 <strong>Perda</strong> Kabupaten Sragen, 64 <strong>Perda</strong><br />

Kabupaten Purbalingga, 85 <strong>Perda</strong> Kabupaten Kebumen, 121 <strong>Perda</strong> Kabupaten<br />

Wonosobo, dan 52 <strong>Perda</strong> Kabupaten Cilacap.<br />

Kategorisasi isi <strong>Perda</strong> tertinggi mengatur soal retribusi 199 <strong>Perda</strong>, selanjutnya


kelembagaan 192 <strong>Perda</strong>, perizinan/perencanaan 141 <strong>Perda</strong>, keuangan/APBD<br />

121 <strong>Perda</strong> dan pajak 45 <strong>Perda</strong>. Sejumlah 698 <strong>Perda</strong> yang menjadi data penelitian<br />

ini bukan merupakan total <strong>Perda</strong> yang diterbitkan setiap daerah penelitian.<br />

Tim Peneliti menemukan hambatan untuk memperoleh seluruh <strong>Perda</strong> terutama<br />

yang mengatur soal keuangan/APBD dan lampirannya, untuk dapat mengetahui<br />

komitmen anggaran dengan regulasi 3 isu penelitian. Tidak dapat dipungkiri dalam<br />

era keterbukaan ini ternyata masih ada pandangan di kalangan birokrasi bahwa<br />

<strong>Perda</strong> “tertentu”, merupakan barang yang disakralkan, bukan sebagai bagian dari<br />

konsumsi publik, sekalipun untuk kepentingan kajian ilmiah.<br />

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 698 <strong>Perda</strong> yang diproduksi rezim<br />

desentralistik tidak memotret kondisi faktual demografi, geografi atau geo sosial<br />

ekonomi setempat, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 22 Tahun 1999<br />

melalui prinsip otonomi riil. dari 698 <strong>Perda</strong> terdapat<br />

84 <strong>Perda</strong> yang berkorelasi dengan isu, tetapi tidak sepenuhnya mengatur pelayanan<br />

kepada kelompok sasaran. Kekuasaan baru di bawah rezim desentralistik ternyata<br />

belum sepenuhnya diimplementasikan dalam regulasi daerah yang berorientasi<br />

memberikan pelayanan publik. Prioritas utama regulasi daerah baru seputar<br />

pemapanan kelembagaan.<br />

Oleh karena itu pengaturan terhadap isu sepanjang diberikannya kekuasaan baru<br />

hanya terdapat dalam <strong>Perda</strong> kelembagaan yang berbentuk uraian tugas instansi,<br />

dan <strong>Perda</strong> retribusi yang berbentuk penentuan tarif untuk setiap orang (umum)<br />

dalam wilayah berlakunya <strong>Perda</strong> tersebut, tanpa memberikan pengecualian.<br />

Rumusan normatif akses bagi sasaran yang tidak mampu dilakukan secara<br />

ritual formalistis dengan membuat pasal keringanan atau pembebasan. Sangat<br />

sulit untuk mendeteksi secara materiil sejauhmana komitmen pembentuk <strong>Perda</strong><br />

terhadap keringanan atau pembebasan yang diberikan kepada kelompok sasaran<br />

karena pengaturan tersebut bersifat delegating provisio. Materi muatan <strong>Perda</strong><br />

sektor kesehatan, tenaga kerja maupun SDA yang secara substantif mengatur<br />

soal sasaran (perempuan, anak, orang miskin dan kelompok marjinal) tidak<br />

diketemukan. Sifat pengaturan terhadap sasaran dalam <strong>Perda</strong> hanya bersifat<br />

norma komplemen atau accessories, tidak mengandung konsekuensi yuridis jika<br />

tidak dilaksanakan, kecuali <strong>Perda</strong> Irigasi tapi muatannya lebih berorientasi pada<br />

kelembagaan Petani.<br />

Untuk 66 <strong>Perda</strong> Provinsi hanya terdapat 7 <strong>Perda</strong> yang mengatur isu. Sesuai dengan<br />

kondisi kategori isi, 5 <strong>Perda</strong> mengatur retribusi dan 2 kelembagaan. Di antara<br />

5 <strong>Perda</strong> retribusi diketemukan <strong>Perda</strong> yang bersifat retribusi terselubung, karena<br />

<strong>Perda</strong> tersebut sesungguhnya tidak diberi judul <strong>Perda</strong> Retribusi, tetapi di dalamnya<br />

bermuatan penuh pungutan, dengan maksud melindungi kualitas lingkungan<br />

(<strong>Perda</strong> No. 21 Tahun 2001). Bahkan dalam era desentralisasi ini Pemprop tidak<br />

patuh dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya, sehingga<br />

penuh improvisasi dalam merumuskan <strong>Perda</strong>. Menariknya dalam perumusan<br />

<strong>Perda</strong> retribusi Pemprop ditentukan alokasi anggaran retribusi berupa


”Uang Perangsang” kepada leading sector sebesar 5% dari realisasi penerimaan<br />

yang disetor ke kas daerah. Rumusan semacam ini tidak ditemukan untuk <strong>Perda</strong><br />

retribusi serupa di kabupaten/kota. Muatan yang sama juga terdapat di Provinsi<br />

Lampung tapi diatur dalam <strong>Perda</strong> khusus tentang “Upah Pungut”.<br />

<strong>Perda</strong> Kota Semarang tidak jauh berbeda dengan kabupaten/kota lainnya. Dari 44<br />

<strong>Perda</strong> yang diteliti hanya terdapat 6 <strong>Perda</strong> terkait dengan isu. 4 <strong>Perda</strong> berkorelasi<br />

dengan pelayanan kesehatan adalah 1 <strong>Perda</strong> retribusi dan 3 <strong>Perda</strong> kelembagaan.<br />

Berdasarkan kategori isi <strong>Perda</strong> terlihat jelas bahwa Pemkot Semarang belum<br />

intens mengatur isu kesehatan. Sedangkan untuk <strong>Perda</strong> ketenagakerjaan dan isu<br />

sumber daya alam, tidak diketemukan. Dimasukkannya <strong>Perda</strong> PKL karena dampak<br />

pengaturan pekerja sektor informal yang dapat mengurangi pengangguran.<br />

Tidak berbeda dengan Kota Semarang, dari 59 <strong>Perda</strong> di Kudus hanya terdapat 8<br />

<strong>Perda</strong> yang mengatur pelayanan terhadap isu. Untuk isu kesehatan berupa 3 <strong>Perda</strong><br />

retribusi dan 1 kelembagaan. Selebihnya merupakan pengaturan tidak langsung.<br />

Untuk isu ketenagakerjaan berupa <strong>Perda</strong> PKL. <strong>Perda</strong> yang intens mengatur SDA<br />

terkait dengan kelompok sasaran petani adalah <strong>Perda</strong> Irigasi. Kedudukan Petani<br />

sebagai adresat dalam <strong>Perda</strong> Irigasi telah mendapatkan perlindungan secara<br />

memadai dan memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan pengairan<br />

melalui lembaga P3A. <strong>Perda</strong> serupa dengan muatan yang sama juga terdapat di<br />

Pekalongan, Sragen dan Cilacap.<br />

50 <strong>Perda</strong> Pekalongan yang diteliti tidak jauh berbeda dengan kondisi <strong>Perda</strong> di daerah<br />

lainnya, tidak terdapat satu <strong>Perda</strong> pun yang mengatur akses masyarakat terhadap<br />

kemudahan pelayanan isu. 7 <strong>Perda</strong> terkait, berupa 4 <strong>Perda</strong> isu kesehatan dengan<br />

titik berat 2 <strong>Perda</strong> retribusi dan 2 kelembagaan. Untuk ketenagakerjaan hanya ada<br />

1 <strong>Perda</strong> tentang kelembagaannya. 2 <strong>Perda</strong> SDA tidak sepenuhnya mengatur akses<br />

masyarakat terhadap SDA. Blora jauh lebih memprihatinkan dari 33 <strong>Perda</strong> yang<br />

diteliti tidak sepenuhnya mengatur isu. Dari 6 <strong>Perda</strong> terkait, 5 <strong>Perda</strong> kesehatan<br />

tidak sepenuhnya mengatur pelayanan kesehatan yang memberikan akses<br />

kemudahan kepada masyarakat, aksentuasi muatan retribusi dan kelembagaan.<br />

Untuk pengaturan terkait pelayanan ketenagakerjaan tidak diketemukan, kecuali<br />

yang bersifat kelembagaan. Sekalipun Blora kaya sumber minyak dan SDA lainnya,<br />

tapi pengaturan terhadap SDA yang membuka kemudahan akses pelayanan<br />

kepada masyarakat, sangat minim. Terdapat 1 <strong>Perda</strong> yaitu <strong>Perda</strong> No. 15/2001<br />

tentang Retribusi Izin Penebangan Dan Atau Pengangkutan Kayu Rakyat/Milik<br />

Dan Kayu Bongkaran Bangunan. Menariknya <strong>Perda</strong> yang sama untuk daerah<br />

Sragen telah dicabut, tapi untuk Kabupaten Blora sampai sekarang masih tetap<br />

berlaku, menunjukkan adanya diskriminasi executive review.<br />

Kondisi di Kota Surakarta sama dengan di Blora dari 47 <strong>Perda</strong> hanya terdapat 4 <strong>Perda</strong><br />

yang berkaitan dengan isu. Sepanjang era UU No. 22 Tahun 1999, tidak diterbitkan<br />

<strong>Perda</strong> yang mengatur isu kesehatan. <strong>Perda</strong> retribusi pelayanan kesehatan yang<br />

ada masih mendasarkan pada <strong>Perda</strong> lama. Untuk isu ketenagakerjaan hanya


erupa <strong>Perda</strong> kelembagaan, sedangkan untuk isu SDA terdapat 3 <strong>Perda</strong> yang<br />

terkait soal kelembagaan.<br />

77 <strong>Perda</strong> di Sragen yang diteliti, terdapat 10 <strong>Perda</strong> yang bersentuhan secara<br />

tidak langsung dengan isu. 4 <strong>Perda</strong> kesehatan berupa 3 <strong>Perda</strong> retribusi dan 1<br />

kelembagaan. 1 <strong>Perda</strong> terkait dengan retribusi ketenagakerjaan, dan 5 <strong>Perda</strong> isu<br />

SDA, yang lebih berorientasi retribusi. Di Purbalingga dari 64 <strong>Perda</strong> terdapat<br />

9 <strong>Perda</strong> berkait dengan isu. 3 <strong>Perda</strong> kesehatan hanya berupa retribusi dan<br />

kelembagaan, termasuk di dalamnya 1 <strong>Perda</strong> JPKM (Jaminan Pemeliharaan<br />

Kesehatan Masyarakat). Purbalingga merupakan satu-satunya daerah penelitian<br />

yang memiliki <strong>Perda</strong> JPKM. Di Kebumen dan Wonosobo untuk muatan yang sama<br />

diatur dalam Peraturan Bupati. 2 <strong>Perda</strong> ketenagakerjaan, dan 4 <strong>Perda</strong> SDA lebih<br />

berorientasi pada kelembagaan dan retribusi.<br />

Di Kebumen dari 85 <strong>Perda</strong> hanya ada 12 <strong>Perda</strong> terkait isu. 4 <strong>Perda</strong> mengatur<br />

soal kesehatan dengan tekanan muatan kelembagaan dan retribusi. 1 <strong>Perda</strong><br />

ketenagakerjaan dan 7 <strong>Perda</strong> SDA. Kebumen merupakan satu-satunya daerah<br />

penelitian yang mempunyai <strong>Perda</strong> partisipatif tapi tidak implementatif. Untuk<br />

Kabupaten Wonosobo kondisinya lebih memprihatinkan lagi karena dari 121 <strong>Perda</strong><br />

yang diteliti hanya ada 2 <strong>Perda</strong> terkait isu. 1 <strong>Perda</strong> kesehatan (retribusi), sedangkan<br />

soal ketenagakerjaan hanya tentang kelembagaan rutin. Sebagai daerah yang kaya<br />

SDA Pemda tidak membuat kebijakan yang memberikan kemudahan akses bagi<br />

rakyat terhadap SDA, karena tidak ada <strong>Perda</strong> soal SDA. Semula terdapat <strong>Perda</strong><br />

No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat<br />

(PSDHBM) yang dibuat untuk kepentingan mengatur akses masyarakat tapi<br />

muatannya bertentangan dengan UU Kehutanan, yang saat ini sudah dibatalkan<br />

pusat.<br />

Dari 53 <strong>Perda</strong> Cilacap yang diteliti terdapat 14 <strong>Perda</strong> terkait. 4 mengatur isu<br />

kesehatan yang seluruhnya soal retribusi. 2 <strong>Perda</strong> ketenagakerjaan juga berkait<br />

retribusi. Berbeda dengan daerah lain yang kaya SDA (Blora) di Cilacap terdapat<br />

8 <strong>Perda</strong> SDA yang berkait dengan SDA. Dua di antaranya cukup intens mengatur<br />

perlindungan ekosistem (<strong>Perda</strong> No. 17 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Hutan<br />

Mangrove Di Kawasan Segara Anakan dan <strong>Perda</strong> No. 20 Tahun 2003 Tentang<br />

Pengelolaan Lingkungan Hidup), selebihnya mengatur aspek retribusi.<br />

2.2 Provinsi Lampung<br />

Jumlah <strong>Perda</strong> Provinsi Lampung dari tahun 1999-2005 yang diteliti sebanyak<br />

647 <strong>Perda</strong>, dengan rincian kategori 94 <strong>Perda</strong> APBD, 44 <strong>Perda</strong> pajak, 220 <strong>Perda</strong><br />

retribusi, 144 <strong>Perda</strong> institusi dan 145 <strong>Perda</strong> lain-lain. Sebaran per kabupaten/kota,<br />

untuk Kota Bandar Lampung 59 <strong>Perda</strong>, Kota Metro 57 <strong>Perda</strong>, Kabupaten Lampung<br />

Timur 69, Kabupaten Lampung Barat 71 <strong>Perda</strong>, Kabupaten Lampung Utara 50<br />

<strong>Perda</strong>, Kabupaten Lampung Selatan 61 <strong>Perda</strong>, Kabupaten Lampung Tengah 65


<strong>Perda</strong>, Kabupaten Wy Kanan 60 <strong>Perda</strong>, Kabupaten Tanggamus 57 <strong>Perda</strong>, Kabupaten<br />

Tulang Bawang 58 <strong>Perda</strong>.<br />

<strong>Perda</strong> APBD merupakan <strong>Perda</strong> yang setiap tahun wajib dibuat pemda karena<br />

berkaitan dengan pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.<br />

Permasalahan mendasar dari <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> APBD ini adalah keterbukaan pemda<br />

terhadap alokasi anggaran dan keberpihakan pemda terhadap kelompok sasaran.<br />

Akses kelompok sasaran dalam penentuan program dan alokasi anggaran sangat<br />

terbatas. Secara normatif terbuka peluang kelompok sasaran untuk ikut serta<br />

dalam proses penetapan APBD melalui penjaringan aspirasi masyarakat. Namun<br />

demikian, dalam implementasinya kesempatan tersebut tidak dapat diakses oleh<br />

kelompok sasaran karena sikap tertutup dari aparat pemda. Proses advokasi<br />

anggaran banyak dilakukan oleh kalangan NGO baik di tingkat pemerintah<br />

provinsi maupun kabupaten/kota, akan tetapi hasilnya masih belum maksimal.<br />

Dalam penelitian ini <strong>Perda</strong> APBD tidak dapat dikaji secara mendalam karena<br />

sangat sulit diperoleh.<br />

Seperti halnya pemerintah Provinsi Jawa Tengah, di Lampung <strong>Perda</strong> retribusi<br />

paling banyak dibuat, sesuai dengan tuntutan terhadap kemandirian pemda<br />

untuk membiayai rumah tangganya sendiri. Daerah berlomba untuk menggali<br />

sumber pendapatan asli daerah melalui pembentukan <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> retribusi<br />

dengan melupakan filosofi dasarnya yaitu pelayanan. Aspek pelayanan yang<br />

seharusnya inheren dalam penarikan retribusi sering dilupakan karena pemda<br />

lebih mengedepankan fungsi “budgeter”. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda<br />

dengan <strong>Perda</strong> tentang pajak daerah. Akibat dari semua itu, pelaku usaha merasa<br />

dibebani dan sehubungan dengan hal tersebut ada 16 <strong>Perda</strong> kabupaten/kota yang<br />

dibatalkan oleh pemerintah pusat karena membebani pelaku usaha.<br />

Dinamika <strong>Perda</strong> tentang institusi mempunyai dampak yang sangat besar dalam<br />

penyelenggaraan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemda. Jumlah <strong>Perda</strong><br />

institusi yang cukup banyak tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan<br />

sistem otonomi yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, serta dinamika penataan<br />

institusi daerah dengan standar norma yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.<br />

Hal pertama yang dapat dicatat terhadap keberadaan institusi adalah adanya<br />

pemecahan kecamatan yang dilakukan oleh semua kabupaten kota. Pemekaran<br />

kecamatan dilakukan atas pertimbangan untuk memperpendek rentang kendali<br />

sehingga pelayanan publik dapat lebih efektif. Namun demikian, pemekaran yang<br />

dilakukan lebih mengarah pada upaya untuk memenuhi jenjang jabatan PNS yang<br />

jumlahnya telah melebihi kapasitas yang ada karena ada pelimpahan PNS pusat ke<br />

daerah. <strong>Perda</strong> tentang struktur <strong>org</strong>anisasi baik pemda provinsi dan kabupaten/kota<br />

pada umumnya tidak sesuai dengan filosofi miskin struktur dan kaya fungsi. Hal<br />

ini dapat ditunjukkan dari jumlah dinas/instansi yang dibentuk yaitu minimum 18<br />

dinas/instansi. Selain itu, perumusan tugas pokok dan fungsi masing-masing dinas<br />

seringkali tidak secara spesifik menjawab kebutuhan mendasar dari kelompok<br />

sasaran penelitian.


Selain itu, proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang<br />

berlandaskan pada UU No. 22 Tahun 1999 mendorong masyarakat dan elit politik<br />

lokal pada kesadaran terhadap karakter khas pemerintahan adat. Sehubungan<br />

dengan hal tersebut di beberapa kabupaten lahir berbagai <strong>Perda</strong> yang mengatur<br />

tentang pemerintahan desa yang muatannya sama dengan <strong>Perda</strong> sebelumnya<br />

hanya berganti format judul menjadi penyelenggaraan pemerintahan pekon.<br />

Dari 647 <strong>Perda</strong> di atas bila dikaitkan dengan bidang isu penelitian, ada 35 <strong>Perda</strong><br />

yang mengatur isu kesehatan, 21 <strong>Perda</strong> mengatur isu ketenagakerjaan, dan 42<br />

<strong>Perda</strong> mengatur isu SDA. Di tingkat provinsi, terdapat 2 <strong>Perda</strong> yang mengatur<br />

tentang retribusi pelayanan kesehatan RSAM dan RSAJ. Tidak ditemukan <strong>Perda</strong><br />

yang mengatur peran pemerintah provinsi di bidang kesehatan, terutama dalam<br />

penetapan standar norma pelayanan kesehatan. Walaupun provinsi mempunyai<br />

kewenangan di bidang ketenagakerjaan namun tidak ada <strong>Perda</strong> yang berkait<br />

dengan bidang ketenagakerjaan. Sementara itu <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan<br />

sumber daya alam hanya ditemukan 1 <strong>Perda</strong>, yang tidak mencerminkan kondisi<br />

Provinsi Lampung yang kaya SDA (hutan, tambang).<br />

Produktivitas DPRD Kota Bandar Lampung selama 5 tahun cukup tinggi dapat<br />

dilihat dari jumlah <strong>Perda</strong> terkoleksi yaitu 59 <strong>Perda</strong>. Dari 59 <strong>Perda</strong> di atas, terdapat<br />

8 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian, terdiri dari 3 <strong>Perda</strong> berkenaan<br />

dengan isu kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu tenaga kerja dan 3 <strong>Perda</strong><br />

berkenaan dengan isu SDA. <strong>Perda</strong> tersebut pada umumnya lebih mengarah pada<br />

fungsi budgeter dalam upaya menghimpun pendapatan asli daerah. Keberadaan<br />

<strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> retribusi ini tentunya menimbulkan beban bagi masyarakat. Salah<br />

satu contohnya adalah <strong>Perda</strong> nomor 10 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan yang<br />

melahirkan 6 jenis izin. Oleh karena itu dibatalkan oleh Mendagri karena dinilai<br />

membebani pelaku usaha. Selain itu terdapat satu <strong>Perda</strong> tentang pajak penerangan<br />

jalan yang juga dibatalkan oleh mendagri dengan alasan yang sama.<br />

Jumlah <strong>Perda</strong> yang terkumpul di Kota Metro adalah 57 <strong>Perda</strong>. Data di atas<br />

menunjukkan bahwa jumlah <strong>Perda</strong> retribusi adalah yang paling banyak. Hal ini<br />

dapat dimengerti karena Kota Metro baru dibentuk pada tahun 1999, sehingga<br />

mulai tahun 1999 Pemkot mulai menata <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> warisan dari Kabupaten<br />

Lampung Tengah. Penataan <strong>Perda</strong> tersebut juga dilakukan terhadap <strong>Perda</strong><br />

yang berkaitan dengan pajak, institusi maupun <strong>Perda</strong> lainnya. Dalam kebijakan<br />

pemungutan retribusi lebih mengedepankan upaya intensifikasi yang diharapkan<br />

tidak memberatkan masyarakat. terdapat 8 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu<br />

penelitian, terdiri dari 4 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> berkenaan<br />

dengan isu tenagakerja dan 2 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu SDA.<br />

Di Kabupaten Lampung Timur terdapat 69 <strong>Perda</strong> yang terdiri dari 6 <strong>Perda</strong> APBD,<br />

6 <strong>Perda</strong> Pajak, 26 <strong>Perda</strong> retribusi, 12 <strong>Perda</strong> institusi dan 19 <strong>Perda</strong> lainnya. Dari<br />

jumlah tersebut yang berkaitan dengan isu penelitian hanya 9 <strong>Perda</strong> yang terdiri<br />

dari 2 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu kesehatan, 3 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu<br />

tenaga kerja dan 4 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu SDA. Seperti daerah lain, <strong>Perda</strong>


etribusi paling banyak jumlahnya (26 <strong>Perda</strong>). Menariknya APBD Kabupaten<br />

Lampung Timur dapat dinilai sebagai APBD yang tidak ramah untuk bidang<br />

kesehatan. Alokasi dana kesehatan tahun 2002 hanya 3,41 persen dari total<br />

APBD, sedangkan pada tahun 2003 hanya 6,42 persen dari total APBD. Alokasi ini<br />

menunjukkan ketidakberpihakan pemda terhadap pembangunan kesehatan. <strong>Perda</strong><br />

yang mengatur institusi tidak ada yang secara spesifik berkaitan dengan kelompok<br />

sasaran khususnya perempuan dan anak, baik <strong>Perda</strong> Struktur Organisasi dan Tata<br />

Kerja Dinas/instansi maupun sekretariat daerah.<br />

Di Kabupaten Lampung Barat terkumpul 71 <strong>Perda</strong> yang terdiri dari 13 <strong>Perda</strong><br />

APBD, 4 <strong>Perda</strong> Pajak, 19 <strong>Perda</strong> retribusi, 14 <strong>Perda</strong> institusi dan 21 <strong>Perda</strong> lainnya.<br />

Dari jumlah tersebut terdapat 8 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian,<br />

terdiri dari 3 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan<br />

isu tenagakerja dan 3 <strong>Perda</strong> berkenaan dengan isu SDA. Seiring dengan semangat<br />

otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, upaya<br />

untuk meningkatkan PAD melalui pajak dan retribusi juga dilakukan baik melaui<br />

intensifikasi maupun ekstensifikasi. Berkenaan dengan upaya tersebut maka lahir<br />

beberapa <strong>Perda</strong> retribusi yang kemudian dibatalkan oleh Mendagri, yaitu:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

<strong>Perda</strong> tentang Pengendalian Penebangan dan Peremajaan Tanaman Kelapa<br />

<strong>Perda</strong> tentang Pajak Huller yang telah dicabut<br />

<strong>Perda</strong> tentang Retribusi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit<br />

Akan tetapi terhadap <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> dengan judul dan materi muatan yang sama di<br />

kabupaten Lampung Selatan hingga saat ini tidak dibatalkan. Hal ini menunjukkan<br />

adanya diskriminasi dalam melakukan executive review. Selain itu, ada satu<br />

<strong>Perda</strong> yang cukup khas di Kabupaten Lampung Barat yaitu <strong>Perda</strong> No 14 Tahun<br />

2000 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian Dan Pengembangan Adat Istiadat Dan<br />

Lembaga Adat. <strong>Perda</strong> ini merupakan suatu upaya untuk pemberdayaan, pelestarian<br />

dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat. Peranan nilai-nilai adat<br />

istiadat dan lembaga adat di daerah diberdayakan untuk menunjang kelancaran<br />

penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan pembangunan serta mendorong<br />

upaya mensejahterakan warga masyarakat setempat. Adat istiadat dan lembaga<br />

adat digunakan mendorong, menunjang dan menungkatkan partisipasi masyarakat<br />

guna kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan<br />

pembinaan masyarakat di daerah khususnya di Pekon.<br />

Di Kabupaten Lampung Utara terdapat 50 <strong>Perda</strong>, terdiri dari 14 <strong>Perda</strong> APBD, 2<br />

<strong>Perda</strong> Pajak, 15 <strong>Perda</strong> retribusi, 10 <strong>Perda</strong> institusi dan 9 <strong>Perda</strong> lainnya. Dari jumlah<br />

tersebut terdapat 6 <strong>Perda</strong> isu penelitian, terdiri dari 2 <strong>Perda</strong> isu kesehatan, 1 <strong>Perda</strong><br />

isu tenagakerja dan 3 <strong>Perda</strong> isu SDA. Dari jumlah <strong>Perda</strong> di atas menunjukkan<br />

bahwa <strong>Perda</strong> retribusi adalah yang paling banyak. Dengan berlandaskan pada<br />

argumentasi kemandirian daerah, terutama kemandirian di bidang keuangan,<br />

pemda mengembangkan berbagai pungutan retribusi. Upaya intensifikasi dan<br />

ekstensifikasi pajak dan retribusi dilakukan baik dari sistem pemungutan maupun<br />

dari sisi peraturan perundangannya. Penataan institusi sesuai dengan semangat<br />

10


UU Nomor 22 tahun 1999 dilakukan dengan berdasarkan pada <strong>Perda</strong> Nomor 09<br />

Tahun 2003 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Pasal 13 <strong>Perda</strong> tersebut<br />

terdapat 13 dinas teknis. Dari 13 dinas teknis tersebut tidak ada satu dinas pun<br />

yang penamaannya secara spesifik berkaitan berkaitan dengan kelompok sasaran<br />

penelitian. Pengaturan tentang kelembagaan yang mengurusi masalah perempuan<br />

dan anak terdapat pada sekretariat pemerintah daerah dibawah koordinasi<br />

Asisten sekretaris Bidang Administrasi Umum (Asisten III) yang membawahi<br />

bagian Pemberdayaan Perempuan. Bagian tersebut meliputi 3 bidang yaitu Sub<br />

Bagian Gender; Sub Bagian Kualitas Organisasi Perempuan dan Peran aktif<br />

Kemasyarakatan; Sub Bagian Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Kedudukan<br />

instansi tersebut berimplikasi pada kemampuannya untuk melakukan pelayanan<br />

yang sifatnya teknis menjadi lebih sulit atau tidak leluasa.<br />

<strong>Perda</strong> yang terkumpul di Kabupaten Lampung Selatan adalah 61 <strong>Perda</strong>, dari jumlah<br />

tersebut terdapat 24 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian yang terdiri dari<br />

6 <strong>Perda</strong> isu kesehatan, 5 <strong>Perda</strong> isu tenaga kerja dan 13 <strong>Perda</strong> isu SDA. Dari 61<br />

<strong>Perda</strong> tersebut di atas <strong>Perda</strong> retribusi yang paling banyak. Kabupaten Lampung<br />

Selatan melakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi guna mendapatkan<br />

sumber pendapatan daerah. Upaya yang dilakukan seringkali tidak mendasar baik<br />

dari segi isi maupun implementasinya. Dari segi isi <strong>Perda</strong> terjadi tumpang tindih<br />

obyek pengaturan satu dengan yang lain. Sebagai contoh <strong>Perda</strong> No. 40 Tahun 2000<br />

tentang Izin Usaha Perikanan Dan Pungutan Hasil Perikanan, <strong>Perda</strong> No. 5 Tahun<br />

2003 Tentang Retribusi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, <strong>Perda</strong> No. 39<br />

Tahun 2000 Tentang Izin Usaha Perikanan Dan Retribusi Atas Usaha Pengkapan<br />

Ikan Dengan Alat Bagan Tancap/Apung Atau Sejenisnya, <strong>Perda</strong> No. 5 Tahun 2003<br />

Tentang Retribusi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, yang mengatur obyek<br />

yang sama yaitu izin usaha perikanan.<br />

Contoh tumpang tindih pengaturan lainnya adalah antara <strong>Perda</strong> No. 14 tahun<br />

2002 tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak Atas Perusahaan Pengguna<br />

Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dengan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001<br />

Tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak Sektor Ketenagakerjaan. Ketentuan ini<br />

berakibat terjadinya pajak ganda yang harus dibayar oleh pelaku usaha karena<br />

obyek pengaturannya sama yaitu izin penggunaan tenaga kerja asing. Demikian<br />

pula dalam perumusan pengaturan <strong>Perda</strong> No. 40 Tahun 2000, dalam Pasal 4<br />

diatur Izin Usaha Perikanan yang meliputi 7 jenis perizinan. Jumlah izin yang<br />

demikian banyak ini sebenarnya dapat disederhanakan menjadi 2 izin saja yaitu<br />

izin penangkapan dan izin budidaya. Pengaturan yang demikian akan sangat<br />

memberatkan pelaku usaha yang pada akhirnya akan menjadi beban masyarakat.<br />

Dari segi implementasi, <strong>Perda</strong> terminal merupakan contoh implementasi <strong>Perda</strong><br />

yang salah. Pemungutan retribusi terminal dilakukan pada setiap kendaraan<br />

yang melewati satu wilayah tanpa adanya pelayanan terminal yang disediakan<br />

oleh Pemda. Secara substansi <strong>Perda</strong> terminal sudah benar namun pada tingkatan<br />

implementasi retribusi dilakukan tanpa adanya pelayanan terminal sebagai<br />

11


prasyarat pemungutan retribusi.<br />

Di Kabupaten Lampung Tengah terdapat 65 <strong>Perda</strong> dari jumlah tersebut terdapat<br />

3 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian, yaitu 1 <strong>Perda</strong> isu tenagakerja dan<br />

2 <strong>Perda</strong> isu SDA. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa <strong>Perda</strong> yang paling<br />

banyak adalah <strong>Perda</strong> tentang institusi. Pola pengaturan Dinas/Instansi masingmasing<br />

diatur dalam satu <strong>Perda</strong> mandiri, oleh karena itu dapat dipahami bila<br />

jumlah <strong>Perda</strong> institusi yang paling banyak. Pengaturan yang demikian sangat tidak<br />

efisien karena sebenarnya dapat diatur dengan 3 <strong>Perda</strong> saja seperti di Kota Bandar<br />

Lampung. <strong>Perda</strong> institusi yang cukup banyak antara lain meliputi juga pengaturan<br />

tentang institusi pemerintahan desa. Pengaturan tersebut mulai dari penggantian<br />

penyebutan nama desa menjadi kampung, pengaturan kelembagaannya,<br />

pengaturan tentang keuangan, dsb. Perubahan ini merupakan suatu bentuk<br />

kesadaran pemerintah daerah terhadap pola penyelenggaraan pemerintahan<br />

desa yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi lokal. Walaupun demikian bentuk<br />

dan struktur pemerintahannya tidak berubah hanya penyebutannya saja yang<br />

berubah.<br />

Dari 60 <strong>Perda</strong> di Kabupaten Way Kanan yang diteliti, terdapat 9 <strong>Perda</strong> berkait<br />

dengan isu penelitian, terdiri dari 4 <strong>Perda</strong> isu kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> isu tenagakerja<br />

dan 3 <strong>Perda</strong> isu SDA. <strong>Perda</strong> retribusi adalah <strong>Perda</strong> yang paling banyak dan semua<br />

dibentuk pada tahun 2002 termasuk juga <strong>Perda</strong> tentang pajak.<br />

Dari 57 <strong>Perda</strong> di Kabupaten Tanggamus, terdapat 9 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan<br />

isu penelitian, yaitu 6 <strong>Perda</strong> isu kesehatan, 1 <strong>Perda</strong> isu tenagakerja dan 2 <strong>Perda</strong> isu<br />

SDA. Data tersebut di atas menunjukan bahwa jumlah <strong>Perda</strong> retribusi yang paling<br />

banyak. Upaya ekstensifikasi dengan menerbitkan <strong>Perda</strong> guna mendapatkan<br />

sumber pendapatan daerah justru membebani masyarakat misalnya:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

<strong>Perda</strong> tentang Retribusi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Ternak<br />

<strong>Perda</strong> tentang Retribusi Penanganan Rabies<br />

<strong>Perda</strong> tentang Retribusi Pemeriksaan Kesehatan Anak Ayam Umur Satu Hari<br />

<strong>Perda</strong> No. 13 tahun 2000 sangat membebani masyarakat karena pungutan yang<br />

dilakukan menimbulkan beban bagi peternak. Sedangkan <strong>Perda</strong> No. 14 Tahun<br />

2000, idealnya menjadi kewajiban bagi Pemda untuk melakukan pemberantasan<br />

penyakit rabies, bukan justru menjadi lahan sumber PAD. Upaya menggali<br />

pendapatan daerah hanya difokuskan pada retribusi, tidak ada satu pun <strong>Perda</strong><br />

yang mengatur tentang pajak. Untuk pengaturan <strong>org</strong>anisasi dinas/instansi dibuat<br />

masing-masing dalam satu <strong>Perda</strong>, sehingga tidak efisien karena sebenarnya dapat<br />

diatur dalam 2 atau 3 <strong>Perda</strong> saja. Dari 58 <strong>Perda</strong> di Kabupaten Tulang Bawang,<br />

terdapat 10 <strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu penelitian, terdiri dari 2 <strong>Perda</strong> isu<br />

kesehatan, 2 <strong>Perda</strong> isu tenaga kerja dan 6 <strong>Perda</strong> isu SDA.<br />

12


2.3 Komparasi Kondisi <strong>Perda</strong><br />

Sekalipun UU No. 22/1999 menganut prinsip otonomi riil, tidak termanifestasi<br />

dalam pembentukan <strong>Perda</strong> yang diproduksi oleh Pemda. Sama halnya dengan<br />

kondisi di Provinsi Jawa Tengah, di Lampung <strong>Perda</strong> retribusi yang paling banyak<br />

diproduksi. Hal ini tidak terlepas dari semangat otonomi daerah yang memberikan<br />

kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri serta<br />

adanya tuntutan untuk kemandirian daerah dalam bidang keuangan daerah.<br />

<strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan isu umumnya hanya mengatur kelembagaan<br />

daerah (rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan) dan retribusi pelayanan<br />

kesehatan. Belum ada regulasi daerah yang secara komprehensif mengatur<br />

penyelenggaraan kesehatan (aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif),<br />

termasuk di dalamnya perizinan tenaga kesehatan, pembinaan pengawasan, sistem<br />

pelayanan, sistem pembiayaan, dan lain sebagainya, hanya terdapat di Kabupaten<br />

Purbalingga. Rumusan ketentuan dalam <strong>Perda</strong> memberikan pengaturan kepada<br />

masyarakat miskin, perempuan, anak, dan masyarakat marjinal lainnya, berupa<br />

pemberian keringanan atau pembebasan tarif rumah sakit atau puskesmas bagi<br />

masyarakat miskin.<br />

Di kedua Provinsi tidak ditemukan <strong>Perda</strong> yang mengatur pelayanan yang<br />

memberikan akses ketenagakerjaan, padahal jumlah perusahaan dan tenaga kerja<br />

di daerah ini cukup banyak. Sedangkan <strong>Perda</strong> kabupaten/ kota yang mengatur<br />

aspek ketenagakerjaan umumnya hanya mengatur aspek retribusi sebagai salah<br />

satu sumber pendapatan daerah.<br />

Regulasi daerah mengenai isu SDA baik yang dikeluarkan pemerintah provinsi<br />

maupun kabupaten/ kota secara umum lebih banyak mengatur retribusi dan pajak<br />

atas pemanfaatan SDA dibanding dengan aspek pengelolaan dan perlindungan SDA<br />

itu sendiri. Namun demikian, ada dua kabupaten yang sudah memiliki <strong>Perda</strong> yang<br />

secara khusus mengatur pengelolaan SDA. Pertama, <strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung<br />

Barat No. 18 Tahun 2004 dan <strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung Timur No. 3 Tahun 2002.<br />

<strong>Perda</strong> ini sangat penting karena wilayah pesisir dan pantai timur di daerah ini<br />

kerusakannya sudah cukup parah, dan umumnya yang hidup di daerah ini adalah<br />

kelompok miskin dan marjinal, seperti petani tambak (penggarap) dan nelayan.<br />

Jika dikaitkan dengan kondisi dan potensi daerah yang memiliki sumber daya<br />

alam cukup banyak tetapi kerusakannya juga cukup parah, maka regulasi daerah<br />

yang bertujuan melindungi (konservasi) SDA sangat dibutuhkan. Hal yang sama<br />

terdapat di kabupaten Cilacap dengan adanya <strong>Perda</strong> Pengelolaan Hutan Mangrove<br />

di Kawasan Segara Anakan, dan <strong>Perda</strong> Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />

<strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan kelompok sasaran tidak satupun yang secara<br />

spesifik mengatur tentang akses pelayanan kepada masyarakat miskin, perempuan,<br />

anak, dan masyarakat marjinal lainnya. Pengaturan yang membuka peluang<br />

akses pelayanan pada umumnya berkaitan dengan pemberian keringanan dan<br />

pembebasan tarif yang dikenakan serta pengaturan tentang prinsip pengenaan<br />

13


tarif yang berlandaskan pada kemampuan masyarakat.<br />

Selain itu juga ada pengecualian atau perlakuan khusus seperti misalnya<br />

pengaturan dalam <strong>Perda</strong> SDA, yang mengatur tentang pengecualian untuk<br />

pengambilan rumah tangga. Pengaturan tersebut sifatnya sangat abstrak dan sulit<br />

untuk dioperasionalkan, karena dirumuskan dalam suatu pengaturan yang sangat<br />

formal dan birokratis. Pengaturan seperti itu akan sangat tergantung pada good<br />

will dari pejabat yang berkuasa karena ada pada wilayah diskresi.<br />

<strong>Perda</strong> yang dihasilkan oleh kedua Provinsi memiliki muatan yang sama untuk<br />

pengaturan terhadap isu, yang ditunjukkan dengan:<br />

1. format <strong>Perda</strong> yang terkait dengan retribusi di bawah rezim UU No. 22/1999<br />

merupakan “regenerasi sentralistik”. Kedua daerah penelitian tidak berkreasi<br />

menciptakan norma baru di luar yang telah ditentukan oleh <strong>Perda</strong> produksi<br />

UU No. 5/1974.<br />

2.<br />

3.<br />

delegating provisio sangat mendominasi muatan <strong>Perda</strong>.<br />

sifat keberpihakan terhadap masyarakat miskin dirumuskan secara ritual<br />

formalistik berupa:<br />

a. Gubernur/Bupati/Walikota dapat memberikan pengurangan, keringanan<br />

dan pembebasan retribusi.<br />

b. Pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi sebagaimana<br />

dimaksud pada ayat diberikan dengan memperhatikan kemampuan Wajib<br />

Retribusi.<br />

c. Tata cara pengurangan keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan<br />

oleh Gubernur Bupati/Walikota. Namun, tidak diketemukan satu regulasi<br />

derivasi yang dimandatkan oleh <strong>Perda</strong>. Lebih menariknya lagi untuk<br />

persoalan pemberian keringanan/pembebasan ini dilakukan dengan<br />

prosedur persetujuan DPRD, yang jelas tidak efektif dibandingkan dengan<br />

nilai keringanan yang akan diberikan. selain itu terdapat formulasi<br />

yang sama mengenai dasar penetapan tarif retribusi yaitu kemampuan<br />

masyarakat, yang dalam implementasinya tidak pernah terwujud.<br />

d. executive review pusat dilakukan secara diskriminatif untuk <strong>Perda</strong> yang<br />

sama (Blora- Sragen dan Lampung Selatan – Lampung Barat).<br />

Kalaupun beberapa daerah mulai berkreasi membuat regulasi sektor-sektor terkait<br />

isu penelitian, tapi muatannya adalah perizinan. Mencermati lebih jauh muatan<br />

perizinan yang dimaksud kebanyakan hanya berimplikasi pada pungutan, karena<br />

ujung-ujungnya <strong>Perda</strong> sejenis ini sering dijadikan “payung hukum” (umbrella act)<br />

untuk membentuk <strong>Perda</strong> derivasi dengan berlindung di balik kategori Retribusi<br />

Perizinan Tertentu.<br />

3. Strategi <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />

Sebagai konsekuensi tidak ada hubungan hirarki antara satuan pemerintahan<br />

14


daerah otonom, pembentukan <strong>Perda</strong> antara Provinsi dengan Kabupaten/ Kota<br />

tidak terkoordinasi. Satu sama lain membuat sesuai dengan kekuasaan besar yang<br />

diberikan UU. Gubernur sekalipun sebagai wakil pusat tidak memiliki kewenangan<br />

mengendalikan Kabupaten/ kota dalam mengimplementasikan kewenangan<br />

mengatur, karena ketentuan 15 hari setelah <strong>Perda</strong> berlaku disampaikan ke pusat<br />

bukan norma imperatif, sehingga tidak dipatuhi. Hal ini ditunjukkan dari fenomena<br />

executive review yang diskriminatif, yang terjadi karena adanya permohonan dari<br />

pihak yang dirugikan sehingga belum mencerminkan sepenuhnya inisiatif pusat.<br />

Sebagai dampak tafsir sempit terhadap hubungan hirarki antar satuan daerah<br />

otonom, telah terjadi ketidaksinkronan antara <strong>Perda</strong> Kabupaten/ Kota dengan<br />

<strong>Perda</strong> Provinsi terutama dalam pengaturan tentang retribusi. Provinsi menerbitkan<br />

<strong>Perda</strong> Retribusi yang berlaku untuk seluruh wilayah Provinsi. <strong>Perda</strong> dengan<br />

substansi yang sama juga diterbitkan oleh Kabupaten/ Kota dengan judul yang<br />

sama atau berbeda tapi dengan maksud yang sama sehingga mengakibatkan<br />

double pungutan. Inkonsistensi <strong>Perda</strong> dengan peraturan yang lebih tinggi terjadi<br />

antara UU Pajak dan Retribusi serta PP No. 66 Tahun 2001. Baik Provinsi maupun<br />

Kabupaten/ Kota melakukan tindakan over elaboration dalam memaknai kategori<br />

retribusi perizinan tertentu, sehingga tidak sejalan dengan spirit UU Pajak dan<br />

Retribusi, yang sangat jelas menyebutkan fungsi perizinan dimaksudkan untuk<br />

mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan yang pada<br />

dasarnya tidak harus dipungut biaya. Apabila dalam pelaksanaan fungsi tersebut<br />

membutuhkan biaya yang tidak sepenuhnya ter-cover dalam sumber-sumber<br />

penerimaan daerah, maka daerah memiliki diskresi untuk memunggut sesuatu<br />

sepanjang sesuai dengan skema retribusi perizinan tertentu.<br />

Inkonsistensi terdapat pula pada <strong>Perda</strong> ketenagakerjaan dengan UU No. 13 Tahun<br />

2003 tentang Ketenagakerjaan. <strong>Perda</strong> dimaksud tidak bertujuan untuk mengatur<br />

pengurangan tingkat pengangguran tapi memberi beban kepada pencari kerja.<br />

Pembentuk <strong>Perda</strong> sesungguhnya mengetahui adanya pertentangan ini tapi karena<br />

pada era otonomi luas tidak mengatur secara jelas hubungan hirarki antara satuan<br />

otonomi daerah, yang terjadi <strong>Perda</strong> dibiarkan tetap berlaku sampai pada akhirnya<br />

dicabut oleh Pusat.<br />

4. <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> dan Keberpihakkannya<br />

4.1 Kondisi di Provinsi Jawa Tengah<br />

4.1.1 Provinsi Jawa Tengah<br />

Kesehatan<br />

Pemprop Jateng telah mengalokasikan anggaran bidang kesehatan dalam APBD<br />

yang besarannya satu lapis di bawah alokasi bidang Pendidikan. Salah satu program<br />

yang telah diluncurkan oleh Pemprop Jateng yang menunjukkan keberpihakan<br />

kepada masyarakat miskin adalah Pondok bersalin desa dan poliklinik kesehatan<br />

desa. Bagi masyarakat program yang ada dianggap masih bersifat insidentil<br />

15


-reaktif kurang preventif. Masyarakat juga masih menemui adanya praktik<br />

pelayanan yang diskriminatif dari pelayanan yang diberikan Pemprop Jateng.<br />

Selain itu RS Provinsi masih ditemukan adanya ketidaktepatan dalam penarikan<br />

biaya yang melebihi tarif sesuai <strong>Perda</strong>, ketidakramahan petugas pelayanan,<br />

ketidaktepatan waktu pelayanan dan kewajaran biaya pelayanan. Di sisi lain,<br />

Respon Pemprop Jateng seringkali terlambat dalam menangani kondisi kesehatan<br />

di masyarakat.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Sekali pun tidak ada <strong>Perda</strong> khusus ketenagakerjaan, Pemprop Jateng selalu<br />

berusaha melakukan penyelesaian konflik perburuhan dengan dialog antara<br />

pengusaha dan pemilik modal. Selama ini tuntutan buruh berkisar kepada persoalan<br />

normatif seperti upah, pesangon, keselamatan kerja serta pelayanan kesehatan<br />

pekerja dan perlindungan bagi buruh terutama bagi buruh perempuan. Meski<br />

sudah ada beberapa terobosan berkaitan dengan perlindungan bagi pekerja namun<br />

kebijakan dan upaya Pemprop ini dinilai masih terkesan hanya untuk pekerja<br />

formal. Baru Juni 2006 Pemprop bekerja sama dengan Jamsostek memfasilitasi<br />

jaminan kesehatan dan keselamatan bagi tenaga kerja informal. Buruh juga masih<br />

melihat bahwa pengusaha masih berlaku tidak konsisten dan cenderung sewenangwenang.<br />

Lebih dari itu masih terjadi kasus pelecehan seksual, kerja lembur yang<br />

tak jelas aturannya dan jaminan keselamatan kerja dan kesehatan yang tidak<br />

memadai.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Pengelolaan Sumber Daya Alam di Provinsi Jawa Tengah lebih didominasi oleh<br />

bagaimana mengakomodasi adanya kepentingan terhadap peningkatan PAD.<br />

Akibatnya muncul banyak pungutan-pungutan terhadap pengelolaan SDA ini. Salah<br />

satunya pungutan terhadap penebangan hutan rakyat yang bernuansakan”sharing”<br />

kue dari kekayaan alam. Pada akhirnya pengelolaan hutan belum bernafaskan<br />

perlindungan dan pelestarian namun lebih bernafaskan ”keuntungan” Temuantemuan<br />

illegal logging di beberapa wilayah di Jawa Tengah membuktikan bahwa<br />

”pemilik kuasa” telah diduga berkongsi dengan ”pemilik modal”. Di sektor pertanian,<br />

bagi petani biaya tanam dan produksi lebih besar daripada biaya pendapatan yang<br />

diterima dari hasil panen. Perlindungan yang nyata kepada petani dan nelayan<br />

dalam regulasi untuk mengendalikan pasar yang berpihak kepada kelompok<br />

sasaran masih belum dirasakan oleh masyarakat miskin. Adanya eksplorasi migas<br />

Blok Cepu sebelum penandatanganan MoU antara Perusahaan minyak raksasa<br />

dari AS, Exxon dengan Pertamina tidak signifikan memberikan keuntungan yang<br />

memadai kepada masyarakat miskin khususnya yang ada di Blora. Pemerintah<br />

Provinsi juga belum mampu mengatasi dan mengkoordinasikan penanganan<br />

konflik pengelolaan SDA antara pemerintah Kota/Kabupaten dengan pemerintah<br />

pusat.<br />

16


Kesehatan<br />

4.1.2 Kota Semarang<br />

<strong>Pelayanan</strong> kesehatan di kota Semarang telah didukung melalui sistem pelayanan<br />

yang dapat menjamin kepastian masyarakat dalam memperoleh pelayanan<br />

kesehatan karena ada Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan<br />

Kota Semarang. SPM mengatur semua hal yang berkaitan dengan bagaimana<br />

pelayanan dapat diakses kepada masyarakat di antaranya tentang prosedur<br />

pelayanan, persyaratan pelayanan, jadwal pelayanan, biaya pelayanan, hak dan<br />

kewajiban baik petugas pelayanan maupun pengguna layanan kesehatan itu<br />

sendiri, yaitu masyarakat. Peluncuran Pusat Penanganan Pengaduan <strong>Pelayanan</strong><br />

<strong>Publik</strong> (P5) di kantor pelayanan terpadu untuk menampung dan menindaklanjuti<br />

atas pengaduan dan temuan yang ada dari masyarakat juga menjadi bagian dari<br />

komitmen pemerintah kota dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada<br />

masyarakat. Pemkot Semarang juga mengeluarkan kebijakan “one way ticket”<br />

untuk pengguna layanan kesehatan bagi masyarakat miskin dalam mengakses<br />

pelayanan kesehatan, pendidikan dan bantuan lain yang diberikan dari pemerintah.<br />

Namun dalam tataran implementasinya masih ditemukan masyarakat miskin<br />

yang mengalami kesulitan dalam memperoleh keringanan biaya pelayanan. Sikap<br />

petugas yang kurang ramah dan sopan, ketepatan waktu dan adanya tambahan<br />

biaya diluar tarif resmi juga masih ditemukan dan diakui oleh pihak penyedia<br />

pelayanan kesehatan di kota Semarang. Kondisi yang sama juga terjadi di daerah<br />

penelitian yang lain.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Sektor informal dan PKL memberi kontribusi pendapatan daerah yang tinggi,<br />

ibarat sebagai tangan panjang sektor formal. Pemkot belum memiliki kebijakan<br />

tentang pemberdayaan PKL dan sektor informal, sebagai tindak lanjut <strong>Perda</strong> PKL.<br />

Kebijakan pengaturan dan penertiban PKL dengan relokasi tanpa penggusuran<br />

telah dilaksanakan oleh Pemkot Semarang. Disnaker telah menyiapkan terobosan<br />

program yang terdiri dari pemberlakuan sistem informasi manajemen dengan<br />

komputer, penyediaan informasi lowongan pekerjaan (bursa kerja) dengan<br />

memanfaatkan fasilitas on line melalui internet dan fasilitas SMS (Short Message<br />

Service) serta memulai pembuatan database bagi pencari kartu kuning di Disnaker<br />

Kota Semarang. Namun demikian upaya-upaya pemberdayaan pengangguran di<br />

Kota Semarang dianggap masih kurang dan pelatihan-pelatihan yang dilakukan<br />

melalui Disnakertrans Kota Semarang belum memberikan efek pemerataan dan<br />

menjangkau masyarakat luas.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Terkait pengelolaan SDA ke depan akan diupayakan pemberian ijin oleh Pemerintah<br />

Kota tanpa campur tangan Pemprop. Untuk <strong>Perda</strong> galian C dalam<br />

17


implementasinya telah berdampak pada masyarakat miskin dan kelompok<br />

marginal. Pemegang izin secara kesewenang-wenangan melakukan penambangan<br />

tanpa terkontrol efektif Pemkot, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan<br />

seperti yang terjadi pada awal tahun 2003 hingga 2005. Padahal wilayah sekitar<br />

penambangan merupakan lokasi perumahan sangat sederhana sehat (RSSS) yang<br />

notabene dihuni oleh masyarakat miskin.<br />

Kesehatan<br />

4.1.3 Kabupaten Kudus<br />

Keberadaan Puskesmas yang tersebar di setiap kecamatan di Kabupaten Kudus<br />

sebenarnya telah dapat menjangkau pelayanan kesehatan masyarakat. Namun,<br />

terpusatnya pelayanan di kecamatan menyulitkan masyarakat di pedesaan yang<br />

jauh dari kota Kabupaten maupun kecamatan karena transportasi yang ada justru<br />

lebih mahal daripada biaya pendaftaran untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas.<br />

Prosedur pengurusan Askeskin juga rumit dan cenderung bertele-tele dan sangat<br />

kaku bagi masyarakat miskin. Biaya pelayanan kesehatan juga masih dirasa<br />

mahal dan cenderung memberatkan bagi masyarakat yang tidak mampu meski<br />

sudah ada pelayanan Askeskin. Masyarakat menilai bahwa program-program yang<br />

selama ini dijalankan oleh Dinas Kesehatan cenderung tidak tepat sasaran dan<br />

hanya menjalankan proyek pemerintah pusat semata serta kurang terkoordinasi<br />

dengan instansi terkait. Diskriminasi masih terjadi dalam pelayanan kesehatan,<br />

masyarakat yang memiliki uang banyak mendapatkan pelayanan yang lebih baik,<br />

sementara masyarakat miskin terabaikan, “masyarakat miskin dilarang sakit”.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Keberadaan <strong>Perda</strong> PKL dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dan<br />

pemberdayaan pekerja sektor informal tersebut. Penanganan sektor pekerja<br />

formal di Kabupaten Kudus bagi masyarakat miskin dilakukan dalam kerangka<br />

fasilitator dan mediator antara pekerja dengan perusahaan yang menjadi tempat<br />

bekerja. Penegakan hukum kurang begitu terwujud terhadap perlindungan pekerja<br />

(khususnya buruh) di antaranya adalah masalah keselamatan dan kesehatan<br />

kerja. Masalah pemberdayaan angkatan kerja di Kudus disebabkan keterbatasan<br />

BLK, kursus-kursus/pelatihan. Di Kabupaten Kudus sekitar 80 % tenaga kerja<br />

adalah buruh perempuan tetapi ironisnya tenaga kerja perempuan selama ini<br />

belum mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah. Beberapa masalah yang<br />

dihadapi para buruh adalah masih banyak buruh perempuan yang diperlakukan<br />

secara diskriminatif dan buruh borongan yang dapat diganti secara sepihak oleh<br />

mandor karena alasan cuti hamil. Akses informasi yang tidak sampai ke buruh<br />

menyebabkan buruh tidak melakukan tuntutan akan hak-haknya sehingga<br />

menjadikan buruh perempuan tuna akses. Sistem pengawasan yang dilakukan<br />

oleh Disnakertrans selama ini juga diangap masih<br />

18


lemah terhadap tenaga kerja salah satu bukti adalah terjadinya pelecehan<br />

seksual.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Kabupaten Kudus merupakan kabupaten yang tidak memiliki sumber daya alam<br />

yang lebih, kecuali dari sektor pertaniannya. Sebagai kota industri (Rokok), banyak<br />

sekali masyarakat yang bekerja di sektor formal terutama menjadi buruh-buruh<br />

pabrik dan sebagian juga mengelola pertaniannya. Adanya <strong>Perda</strong> pengaturan<br />

tentang irigasi kurang berjalan dengan efektif karena kurang terlibatnya partisipasi<br />

aktif dari masyarakat yang ada di Kabupaten Kudus terutama yang menggeluti<br />

sektor pertanian ini. Dukungan terhadap keberadaan pertanian di Kabupaten<br />

Kudus juga masih kurang dilihat dari jumlah anggaran yang diperuntukkan bagi<br />

sektor pertanian.<br />

Kesehatan<br />

4.1.4 Kabupaten Pekalongan<br />

Meski Kabupaten Pekalongan belum memiliki beberapa program yang menjadi<br />

pendamping bagi program askeskin namun Kabupaten Pekalongan telah memberikan<br />

pembebasan biaya pelayanan kesehatan bagi semua anak TK/RA/SD/MI dan<br />

anak pondok pesantren. Masih banyaknya jumlah miskin yang ada di Kabupaten<br />

Pekalongan juga menjadi penyebab program askeskin belum menjangkau seluruh<br />

masyarakat miskin yang ada di Kabupaten Pekalongan ini. Masyarakat masih<br />

menganggap tarif pelayanan kesehatan di Kabupaten Pekalongan relatif tinggi dan<br />

mekaniskme pengaduan juga belum berjalan dengan baik. Masih ada masyarakat<br />

yang mengeluhkan pelayanan mendapatkan obat di Puskesmas, karena untuk<br />

semua penyakit mendapatkan obat yang sama. Penanganan pengaduan masih<br />

lamban dan bukan menjadi prioritas program yang dapat memberikan kepuasan<br />

pelayanan. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat miskin menilai tidak ada<br />

pengaruh yang baik dalam penanganan pengaduan di pelayanan kesehatan.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Keberadaan sektor ketenagakerjaan kerajinan batik lebih bersifat ”rumahan”<br />

atau home industry. Buruh di industri rumahan batik ini dapat berkerja karena<br />

lebih didasarkan atas kedekatan dengan pemilik industri batik ini. Oleh karena<br />

itu persoalan perburuhan yang dialami buruh batik ini cenderung lepas dari<br />

pantauan dinas tenaga kerja di Kabupaten Pekalongan ini seperti persoalan upah,<br />

perlindungan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja serta pesangon. Masyarakat<br />

miskin berada dalam posisi yang tidak berdaya dalam menghadapi kesewenangwenangan<br />

pemilik modal. Pemerintah Kabupaten seakan tidak berdaya dalam<br />

menghadapi situasi semacam ini karena ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten<br />

dalam menjangkau banyaknya sentra industri batik dan terbatasnya jumlah<br />

19


petugas dinas ketenagakerjaan. Untuk ketenagakerjaan sektor formal, Pemerintah<br />

Kabupaten lebih sering terlibat dalam penanganan konflik perburuhan yang<br />

memiliki jumlah tenaga kerja besar dan pabrik. Kegiatan pemberdayaan angkatan<br />

kerja di Kabupaten Pekalongan melalui pelatihan masih kurang karena minim<br />

sekali frekuensi pelatihan yang bisa menunjang keterampilan tenaga kerja dan<br />

juga belum memberikan manfaat pemerataan kepada potensi pekerja yang ada<br />

terutama sektor informal.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Secara geografis Kabupaten Pekalongan termasuk daerah agraris dan sebagian<br />

besar petani adalah petani buruh, bukan pemiliki lahan pertanian. Adanya<br />

<strong>Perda</strong> irigasi di Kabupaten Pekalongan pun tidak terlalu berpengaruh terhadap<br />

peningkatan kesejahteraan buruh pertanian ini. Namun bagi pemilik lahan<br />

pertanian keberadaan <strong>Perda</strong> ini sangat berpengaruh terhadap distribusi<br />

pengelolaan air irigasi. Keberadaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)<br />

menjadikan pengelolaan SDA air bagi pertanian lebih bersifat partisipatif karena<br />

menempatkan petani sebagai subjek/pengelola air irigasi yang digunakan secara<br />

bersama-sama yang dapat menguntungkan dan menyejahterakan petani. Adanya<br />

P3A juga dapat menjadi wahana bagi petani dalam menanggapi berbagai persoalanpersoalan<br />

yang muncul yang dialami oleh petani.<br />

Kesehatan<br />

4.1.5 Kabupaten Blora<br />

Ketiadaan jaminan pelayanan kesehatan di Kabupaten Blora dalam bentuk<br />

Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) atau bentuk lainnya kecuali jaminan<br />

retribusi, menyebabkan masyarakat tidak terlayani dengan baik. Hal yang sering<br />

dikeluhkan adalah prosedur dan persyaratan pelayanan yang berbelit-belit, adanya<br />

diskriminasi dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Di RSU perlakuan terhadap<br />

pemegang kartu Askeskin masih kurang baik terbukti dengan adanya persyaratan<br />

yang dianggap oleh masyarakat masih mengada-ada dan cenderung menyulitkan.<br />

Keterjangkauan akses untuk obat bagi masyarakat miskin masih belum terjangkau<br />

dikarenakan harga obat masih terlalu tinggi. Pemerintah Kabupaten Blora tidak<br />

memberikan dampingan secara khusus terhadap program Askeskin dan programprogram<br />

yang dicetuskan selama ini hanya meneruskan program dari pemerintah<br />

pusat saja.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Program yang dibuat Disnaker sebagai bentuk implementasi UU sesuai fungsi yang<br />

ada seperti Program Perlindungan Tenaga Kerja, Program hubungan Industrial dan<br />

kelembagaan, Perluasan kesempatan kerja dan usaha serta pembentukan tenaga<br />

kerja yang mandiri dan profesional, Menyelenggarakan penyebaran penduduk<br />

20


secara merata melalui transmigrasi. Namun demikian, masyarakat Blora justru<br />

hanya menjadi penonton dari “pemain-pemain yang memiliki modal besar” untuk<br />

melakukan eksploitasi di Blora. Harapan akan terserapnya tenaga kerja dalam<br />

pengelolaan kekayaan hutan dan minyak masih belum terealisasi hingga sekarang.<br />

Masyarakat masih menunggu untuk hanya sekadar menjadi “tenaga kasar” dari<br />

“kue” yang bernama pengelolaan migas Blok Cepu. Pemkab Blora juga masih<br />

lamban dalam mengantisipasi bagaimana masyarakat miskin yang ada di Blora<br />

untuk dapat merasakan kue kekayaan alamnya. Pendekatan-pendekatan yang<br />

terjadi masih bersifat formalistik dan simbolistik semata dan belum menyentuh<br />

aspek substansial dalam mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan<br />

pekerjaan.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Wilayah Blora terdiri dari 49,66 % hutan dan 25,38 % merupakan lahan pertanian.<br />

Hampir separuh wilayah kabupaten merupakan kawasan hutan (hutan negara).<br />

Blora juga telah tercatat sebagai salah satu daerah yang memiliki cadangan<br />

minyak bumi dan gas terbesar di Indonesia. Masyarakat Blora berharap bahwa<br />

dengan telah ditunjuknya pengelola migas di Cepu akan dapat meningkatkan taraf<br />

kesejahteraannya. Sebagai daerah kaya hutan dan minyak seharusnya masyarakat<br />

Blora memiliki kesejahteraan yang jauh lebih baik dan memiliki jumlah masyarakat<br />

miskin yang sedikit.<br />

Namun dalam kenyataannya masyarakat kesulitan dalam mengakses kekayaan<br />

alam dari dua sektor tersebut yaitu hutan dan minyak. Adanya community<br />

development dalam pengelolaan SDA yang ada di Blora juga tidak serta merta<br />

memberikan kesejahteraan bagi masyarakat karena dalam beberapa hal masyarakat<br />

justru kesulitan dalam mengakses adanya community development tersebut. <strong>Perda</strong><br />

yang mengatur tentang retribusi penebangan hutan rakyat lebih bersifat “sharing”<br />

pendapatan daripada pengelolaan yang lebih menjamin kelestarian alam padahal<br />

<strong>Perda</strong> yang sama di Kabupaten Sragen telah dicabut karena alasan lebih untuk<br />

melindungi kelestarian alam tersebut. Maraknya illegal logging pasca reformasi<br />

justru diduga lebih banyak dilakukan oleh individu-individu yang memiliki kuasa<br />

dan modal yang besar di Kabupaten Blora. Sekali lagi, masyarakat pun hanya<br />

menjadi penonton dalam “penjarahan” kekayaan alamnya.<br />

Kesehatan<br />

4.1.6 Kota Surakarta<br />

Berbagai upaya dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam meningkatkan pelayanan<br />

kesehatan yang ada di Surakarta salah satunya adalah Program Dasolin (Dana<br />

Sosial Ibu Bersalin) yang berbasis partisipasi masyarakat. Namun beberapa<br />

program yang ada di Kota Surakarta masih mendapat kritikan karena hanya<br />

bersifat simbolistik dan kurang menyentuh permasalahan kesehatan masyarakat.<br />

21


Apalagi masih ditemukan adanya masyarakat yang mengalami gizi buruk.<br />

Pemerintah Kota Surakarta juga masih dinilai kurang “jemput bola” dalam<br />

penanganan kesehatan yang ada. Tiadanya dampingan bagi program askeskin<br />

dari pemerintah pusat juga menyebabkan masih ditemukannya masyarakat<br />

yang tidak terlayani dengan baik dalam memperoleh pelayanan askeskin. akses<br />

pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di kota Surakarta cukup mudah<br />

terjangkau karena persebaran akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Ada<br />

kecenderungan pemerintah kota masih sering lempar tanggung jawab terhadap<br />

adanya permasalahan yang muncul di kalangan masyarakat. Masalah lain yang<br />

muncul Askeskin tidak dapat di akses oleh masyarakat yang berasal dari luar kota<br />

meski berdomisili di Surakarta<br />

Ketenagakerjaan<br />

Sama dengan beberapa kota/kabupaten yang ada di Jawa Tengah, Upaya<br />

pemberdayaan bagi pekerja sektor informal masih dirasa kurang. Pelatihanpelatihan<br />

yang ada pun juga masih diarahkan kepada sektor formal dan belum<br />

merata kepada pencari kerja dan pengangguran. Namun Pemkot Surakarta<br />

juga memberikan dukungan terhadap sektor usaha kecil dan menengah seperti<br />

pembebasan biaya retribusi terhadap keberadaannya. Dalam hal penanganan<br />

terhadap PKL yang notabene adalah pekerja informal dari masyarakat miskin,<br />

pemerintah kota Surakarta seperti kota-kota besar lainnya mengedepankan upayaupaya<br />

persuasif dan preventif.<br />

Namun demikian penggusuran PKL masih terjadi atas nama penertiban dan<br />

penataan kota. Berbagai temuan pelanggaran terhadap pekerja lebih sering<br />

berkaitan dengan hak normatif yang diperjuangkan oleh para pekerja yang meliputi<br />

upah yang belum sesuai UMK, cuti haid, cuti hamil dan pesangon.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Kota Surakarta tidak menonjol dalam isu Sumber Daya Alam. Pemerintah Kota<br />

Surakarta dalam pengelolaan SDA dilakukan dengan upaya terpadu dengan<br />

melibatkan masyarakat yaitu melalui penghijauan dan pengawasan pengendalian<br />

pencemaran lingkungan langsung pada sumbernya (misal: pabrik) dan sosialisasi<br />

langsung kepada masyarakat. Konservasi SDA yang dilakukan Pemkab lebih fokus<br />

pada hutan dengan reboisasi yang tambal sulam. Substansi aturan tentang upaya<br />

konservasi ditentukan dalam <strong>Perda</strong>.<br />

Pemkot sedang melakukan pembiakan karamba seperti aqua fanen di wadaslintang,<br />

yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar. Pemanfaatan SDA lainnya<br />

adalah pemanfaatan aliran sungai dengan pembuatan keramba yang melibatkan<br />

masyarakat secara langsung. Untuk konservasi SDA yang dilakukan Pemkab lebih<br />

fokus pada hutan dengan reboisasi, dan mencegah illegal logging.<br />

22


Kesehatan<br />

4.1.7 Kabupaten Sragen<br />

Sekalipun <strong>Perda</strong> kesehatan sangat minim, bagi masyarakat Kabupaten Sragen,<br />

peningkatan pelayanan publik yang ada juga dirasakan dalam sektor kesehatan<br />

seperti adanya pendampingan program askeskin dari pemerintah pusat. Namun<br />

demikian keluhan masyarakat masih ditemukan berkaitan dengan prosedur,<br />

persyaratan yang masih dianggap belum sederhana serta kedisiplinan petugas<br />

dalam memberikan pelayanan juga masih mendapat penilaian kurang baik di mata<br />

masyarakat. Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen telah melaksanakan beberapa<br />

program yang berpihak kepada masyarakat miskin yaitu Jaminan Pemeliharaan<br />

Kesehatan Masyarakat miskin dan stimulan sarana sanitasi bagi keluarga miskin.<br />

Kabupaten Sragen juga telah melakukan program untuk mendampingi kebijakan<br />

Askeskin pemerintah pusat berupa penerbitan kartu gakin yang dapat digunakan<br />

untuk mendapatkan bantuan tidak hanya dalam bidang kesehatan saja, juga<br />

pendidikan dan bantuan beras. Namun demikian keluhan masyarakat terhadap<br />

pelayanan kesehatan masih ditemukan salah satunya mengenai pelayanan<br />

kesehatan secara prosedural di Puskesmas terlalu rumit, sehingga perlu ada<br />

penyederhanaan prosedural atau administratif khususnya bagi kaum marjinal<br />

atau masyarakat miskin. Berkaitan dengan adanya penanganan pengaduan,<br />

masyarakat masih menilai bahwa respon pemkab masih belum optimal. Akses<br />

untuk dapat memperoleh obat bagi masyarakat miskin juga masih dirasa kurang<br />

mudah.<br />

Ketenagakerjaan<br />

<strong>Perda</strong> yang mengatur ketenagakerjaan sebenarnya dikhawatirkan dapat<br />

menimbulkan higt cost economy akibat retribusi yang muncul dalam ijin<br />

ketenagakerjaan. Hanya karena Sragen sangat konsen dalam mengimplementasikan<br />

one stop service, sehingga adanya retribusi tersebut tidak berpengaruh dalam hal<br />

pelayanan publik terhadap isu. Kabupaten Sragen juga tercatat sebagai daerah<br />

yang memberikan dukungan terhadap penciptaan iklim investasi yang baik<br />

dengan harapan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap<br />

lapangan kerja. Upaya-upaya formal dalam melindungi kepentingan tenaga kerja<br />

baik domestik maupun yang bekerja di luar negeri juga telah dilakukan oleh<br />

Pemerintah Kabupaten Sragen. Pemkab Sragen juga telah membentuk UPTD<br />

dalam hal pengawasan PJTKI dan mengawal TKI asal Sragen ke Luar Negeri. Hal<br />

ini diatur secara seksama oleh pemerintahan Kabupaten Sragen dalam retribusi<br />

ijin ketenagakerjaan.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Sebagai daerah agraris Kabupaten Sragen mencoba mengoptimalkan<br />

23


pengembangunan di bidang pertanian di antaranya dengan mengeluarkan <strong>Perda</strong><br />

Nomor 26 Tahun 2003 Tentang Irigasi dalam <strong>Perda</strong> ini petani diposisikan sebagai<br />

subyek dalam hal pengairan sawah-sawah, peran pemerintah dalam hal ini<br />

adalah dinas pengairan adalah sebagai pembina. <strong>Perda</strong> Kab. Sragen Nomor 26<br />

Tahun 2002 ini memerlukan sinergi dengan <strong>Perda</strong> kabupaten yang bersebelahan<br />

dengan Kabupaten Sragen, karena masalah Irigasi di kabupaten Sragen yang<br />

diambil dari Sungai Bengawan Solo merupakan aset yang lintas kabupaten<br />

sehingga pengaturannya memerlukan sinergi antar kabupaten yang dilalui oleh<br />

aliran irigasi dari Sungai Bengawan Solo. Di Kabupaten Sragen telah memiliki<br />

Perkumpulan Pengguna Air (P3A) yang hampir merata di semua desa yang ada<br />

di Sragen. Keberadaan P3A merupakan bentuk pelibatan secara aktif masyarakat<br />

dalam pengelolaan irigasi yang ada di Sragen dimana petani ditempatkan sebagai<br />

subjek dalam pengelolaan ini. Sebagai bentuk komitmen untuk lebih melindungi<br />

hutan dari penebangan yang mengancam kelestarian alam, Pemkab pernah<br />

mengeluarkan <strong>Perda</strong> penebangan hutan.<br />

Kesehatan<br />

4.1.8 Kabupaten Purbalingga<br />

Purbalingga merupakan satu-satunya kabupaten yang secara inovatif telah<br />

memiliki <strong>Perda</strong> yang berkorelasi langsung dengan pelayanan kesehatan kepada<br />

masyarakat, yaitu <strong>Perda</strong> No. 15 tahun 2003 tentang JPKM (Jaminan <strong>Pelayanan</strong><br />

Kesehatan Masyarakat), berikut peraturan derivasinya, Keputusan Bupati No.<br />

5 tahun 2003 tentang petunjuk pelaksanaan JPKM. Konsep di dalam <strong>Perda</strong> ini<br />

ditujukan untuk mewujudkan sistem pelayanan kesehatan yang bertumpu pada<br />

terbentuknya kemandirian masyarakat.<br />

Program JPKM merupakan salah satu model peningkatan pelayanan kesehatan<br />

yang berbasiskan kepada partisipasi masyarakat. Masyarakat terlibat secara<br />

langsung dalam pembiayaan yang menekankan kepada subsidi dari masyarakat<br />

yang mampu kepada masyarakat yang miskin. Program ini juga diharapkan<br />

menjadi sistem yang komprehensip mulai dari aspek preventif, kuratif, promotif,<br />

maupun rehabilitasi secara berkelanjutan. Namun, pelaksanaan JPKM juga<br />

masih menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan kurang transparansi<br />

pengelolaan dana yang tergalang dari masyarakat serta profesionalisme pengelola<br />

program tersebut.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Purbalingga sudah berkembang pesat dengan pertumbuhan industri termasuk<br />

juga PMA, bahkan tercatat sebagai salah satu kabupaten yang memiliki iklim<br />

investasi yang baik. Hal ini terbukti pada tahun 2006 realisasi nilai investasi yang<br />

di torehkan merupakan investasi yang paling banyak di bandingkan dengan 34<br />

kota/kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah.<br />

24


Dengan adanya realisasi investasi ini tentu akan dapat menciptakan lapangan kerja<br />

yang baru dan dapat mengurangi pengangguran yang saat ini menjadi beban bangsa.<br />

Perhatian yang diberikan oleh pemerintah kabupaten dalam mendorong investasi<br />

ini juga bagian dari komitmen terhadap peningkatan kepada potensi tenaga kerja<br />

yang masih membutuhkan lapangan pekerjaan. Namun demikian dari data yang<br />

ada bahwa sekitar 20% perusahaan di Purbalingga belum membayar upah sesuai<br />

dengan UMK yang telah di tetapkan pemerintah Kabupaten sebesar Rp. 499.500,00.<br />

Pelatihan dan pembinaan yang selama ini ada juga belum sebanding dengan total<br />

angkatan kerja yang ada. Permasalahan pemerataan bagi para pencari kerja yang<br />

masih menganggur juga masih menjadi persoalan yang belum tuntas. Adanya<br />

<strong>Perda</strong> retribusi izin ketenagakerjaan belum berkorelasi positif untuk mengurangi<br />

tingkat pengangguran.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Dalam pengelolaan SDA Pemkab telah melibatkan masyarakat terkait proses<br />

pembangunan dan perawatannya. Persoalan yang kini dihadapi Pemkab dengan<br />

adanya <strong>Perda</strong> penambangan galian C adalah kerusakan lingkungan. Jumlah<br />

pendapatan yang dihasilkan dari pemberian ijin penambangan galian C tidak<br />

sebanding dengan resiko kerusakan alam yang ditimbulkannya. Sebagai kabupaten<br />

yang memiliki daerah pertanian yang cukup luas maka sektor ini menjadi perhatian<br />

Kabupaten Purbalingga dengan mengembangkan konsep agropolitan.<br />

Kesehatan<br />

4.1.9 Kabupaten Kebumen<br />

Kondisi daerah yang luas dan masih minim infrastruktur mengakibatkan<br />

masyarakat masih kesulitan dalam menjangkau akses-akses pelayanan kesehatan<br />

dan bahkan diperparah dengan masih tingginya biaya transportasi untuk<br />

menjangkaunya. Adanya program JPKM menunjukkan komitmen kuat pemerintah<br />

Kabupaten dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana<br />

kesehatan yang dapat mensubsidi masyarakat miskin. Kebijakan Askeskin pusat<br />

terhadap masyarakat miskin secara khusus tidak ada pendampingan program<br />

secara langsung dari pemerintah Kabupaten Kebumen, sehingga menyebabkan<br />

adanya temuan tentang ketidak tepatan sasaran serta pemerataan penerima kartu<br />

Askeskin ini. Masyarakat menilai bahwa pengelolaan rumah sakit sudah semakin<br />

baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tapi pengurusan Askeskin di<br />

RSUD masih dipersulit.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Keberadaan <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang berkaitan dengan ketenagakerjaan memunculkan<br />

masalah di kemudian hari karena bertentangan dengan Undang-Undang<br />

Ketenagakerjaan. Seperti yang disampaikan oleh bagian hukum Pemkab<br />

25


Kebumen <strong>Perda</strong> ini akhirnya dicabut melalui kepmendagri lewat rekomendasi<br />

Menkeu. Disisi lain pihak LSM juga menganggap bahwa lahirnya <strong>Perda</strong> <strong>Perda</strong><br />

ketenagakerjaan di kabupaten kebumen dalam prosesnya tidak melibatkan<br />

masyarakat padahal Kebumen memiliki <strong>Perda</strong> partisipatif. Sebenarnya Kabupaten<br />

Kebumen yang merupakan daerah agraris memiliki banyak potensi yang dapat<br />

dikembangkan jika Pemkab tanggap dan peduli terhadap potensi itu.<br />

Kepedulian Pemkab akan dapat mendorong pekerja sektor informal seperti petani<br />

dan peladang dapat meningkatkan produksi dan terbantu dalam pemasaran<br />

produk-produk pertaniannya. Sayang sekali Pemkab Kebumen belum optimal<br />

mengembangkannya seperti masih kurangnya memfasilitasi akses modal dan<br />

pemasaran juga pengembangan teknologi sehingga ketergantungan menjadi<br />

perantau masih belum dapat terkurangi dengan baik. Dinas Tenaga kerja juga<br />

telah melakukan beberapa upaya untuk peningkatan kualitas kerja tenaga kerja<br />

yang ada salah satunya dengan membangun tempat BLK yang disertai dengan<br />

program-program yang dijalankan bagi masyarakat bahkan sebagian program<br />

gratis dan telah disosialisasikan di Ratih TV dan Informasi.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Persoalan pengelolaan SDA di Kabupaten Kebumen yang paling menonjol adalah<br />

persoalan penambahan galian C yang memiliki potensi dapat merusak kelestarian<br />

alam dan hampir sama dengan kota/kabupaten yang lain bahwa pendapatan dari<br />

penambangan galian C ini tidak sebanding dengan potensi kerusakan alam yang<br />

ditimbulkan. Pemerintah Kabupaten juga terus melakukan sosialisasi dalam<br />

penanganan penambangan galian C ini melihat dari potensi kerusakan alam yang<br />

ditimbulkannya.<br />

Kesehatan<br />

4.1.10 Kabupaten Wonosobo<br />

Pemerintah Kabupaten Wonosobo juga mendorong partisipasi masyarakat dalam<br />

pembiayaan pelayanan kesehatan melalui program JPKM. Dengan adanya<br />

program ini maka diharapkan adanya subsidi silang dari masyarakat yang mampu<br />

kepada masyarakat yang tidak mampu. <strong>Perda</strong> UKS juga mendorong kesadaran<br />

peningkatan derajat kesehatan melalui bangku sekolah kepada anak-anak dengan<br />

harapan dapat menjadi bekal bagi penerapan pola hidup sehat dan penanganan<br />

gangguan kesehatan yang menimpa masyarakat.<br />

Namun, upaya-upaya pemkab Wonosobo masih diwarnai dengan adanya temuantemuan<br />

masyarakat yang kurang terlayani dengan baik oleh petugas pelayanan<br />

kesehatan baik di Puskesmas maupun di RSUD. Walaupun sebagian besar<br />

masyarakat sudah memiliki persepsi yang baik terhadap pelayanan kesehatan di<br />

Kabupaten Wonosobo, namun masih ditemukan masyarakat yang mengalami<br />

26


adanya diskriminasi pelayanan antara masyarakat pengguna layanan JPKMM<br />

dengan masyarakat yang tidak menggunakannya. Begitu juga dengan pasien<br />

yang berobat tanpa menggunakan askes, mereka masih beranggapan bahwa biaya<br />

berobat mahal.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Sebagai daerah yang berbasis pengelolaan sumber daya alam agraris dan hutan,<br />

masyarakat Wonosobo lebih banyak mengandalkan mata pencahariannya dari<br />

pertanian dan pemanfaatan sumber daya alam seperti penambangan pasir<br />

dan perkebunan. Untuk mengurangi beban pengangguran Pemkab Wonosobo<br />

mendorong warganya mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan.<br />

Salah satu faktor yang mendorong kebijakan ini adalah kegagalan dalam<br />

pengelolaan pertanian dan perkebunan di Wonosobo, petani menjual hasil<br />

pertaniannya yang tidak sesuai dengan harapan petani sehingga menyebabkan biaya<br />

produksi yang dialami oleh petani menjadi semakin besar. Kondisi ini berdampak<br />

pada bertambanhnya jumlah pengangguran di Wonosobo. Memprihatinkan lagi<br />

dampingan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga kerja di Wonosobo terhadap upaya<br />

petani yang mengganggur untuk menggunakan lahan konservasi yang berpotensi<br />

menyebabkan terjadinya bencana alam dibiarkan.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Masih ditemukannya praktik illegal logging di Kabupaten Wonosobo menyebabkan<br />

menurunnya jumlah lahan konservasi. Ketika masyarakat hanya menjadi penonton<br />

dalam pengelolaan sumber daya hutan yang ada maka masyarakat melakukan<br />

inisiatif untuk melakukan pengelolaan sumber daya hutan yang telah terlanjur<br />

gundul karena terjadinya illegal logging. Bahkan dalam beberapa hal atas nama<br />

untuk meningkatkan pendapatan masyarakat masyarakat berbondong-bondong<br />

menggunakan lahan konservasi yang ada seperti dataran tinggi dieng untuk lahan<br />

pertanian kentang.<br />

Bagi petani di daerah lain di Wonosobo yang menggunakan lahan untuk perkebunan<br />

tembakau pun ternyata produksinya tidak cukup memiliki kualitas yang baik<br />

karena kalah bersaing dengan produk dari Temanggung. Pemerintah Kabupaten<br />

Wonosobo telah berbuat maskimal untuk membantu keberadaan petani tembakau<br />

ini namun tidak berdaya menghadapi mekanisme pasar yang ada. Pengelolaan<br />

sumber daya alam di Wonosobo juga terjadi dalam hal penambangan pasir karena<br />

memiliki jenis dan karakteristik yang cukup baik dan dilakukan oleh penambang<br />

pasir rakyat. Namun keberadaan penambangan pasir yang tidak terkendali juga<br />

akan menyebabkan kerusakan lingkungan di Wonosobo.<br />

27


Kesehatan<br />

4.1.11 Kabupaten Cilacap<br />

Tiadanya program pendampingan bagi kebijakan dari pemerintah pusat yaitu<br />

program askeskin menyebabkan masih ditemukannya masyarakat yang tidak<br />

terlayani dengan baik seperti diskriminasi bagi pemegang kartu askes. Temuantemuan<br />

berkaitan dengan pelayanan yang kurang berpihak kepada masyarakat<br />

miskin terjadi karena adanya prosedur yang masih berbelit dan kurang mudah.<br />

Perbedaan standar pelayanan kesehatan yang ada di RS atau Puskesmas terjadi<br />

karena adanya perbedaan kelas atau tingkatan pelayanan yang ada. Bagi<br />

masyarakat miskin akan dapat di bebaskan dari biaya kesehatan dan menikmati<br />

pelayanan di kelas yang paling rendah fasilitasnya (Kelas III).<br />

Ketenagakerjaan<br />

Pemerintah Kabupaten Cilacap selama ini telah melaksanakan program-program<br />

yang dapat mengangkat derajat kehidupan masyarakatnya melalui programprogram<br />

yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Namun program-program<br />

tersebut lebih tepat untuk mendorong kepada tenaga kerja formal. Pemberdayaan<br />

tenaga kerja informal masih sangat kurang sekali meskipun ada dan belum<br />

menyentuh aspek substansial ketenagakerjaan. Pemberdayaan berupa pelatihanpelatihan<br />

masih kurang merata bagi potensi pencari kerja. Sebagai daerah pantai<br />

sebagaian besar profesi masyarakat di Cilacap adalah nelayan. Sebagai salah satu<br />

daerah yang memiliki potensi hasil laut yang tinggi di Jawa Tengah, Cilacap tidak<br />

memiliki pelabuhan yang dapat menjadi pemasaran untuk tujuan ekspor maupun<br />

untuk kebutuhan nasional yang ada Indonesia. Potensi inilah yang pada akhirnya<br />

menyebabkan taraf kehidupan masyarakat Cilacap masih banyak yang miskin<br />

meskipun kaya akan hasil laut.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Potensi-potensi sumber daya alam yang ada di Kabupaten Cilacap belum sepenuhnya<br />

dapat dinikmati oleh masyarakat karena masih tersentralisasinya pengelolaan<br />

sumber daya alam yang ada seperti yang terjadi di pulau Nusa Kambangan. Potensi<br />

itu di antaranya adalah kawasan Segara Anakan yang tergolong sebagai kawasan<br />

penghasil ikan paling banyak di Jawa Tengah. Tanpa banyak menikmati kekayaan<br />

alam yang ada di sekitar kehidupan masyarakat. masyarakat saat ini disuguhi<br />

kondisi kerusakan alam sebagaimana terdapat di kawasan hutan mangrove<br />

Segara Anakan, yang diperparah lagi dengan adanya sedimentasi kawasan ini.<br />

salah satu faktor yang mendukung kerusakan ini adalah banyaknya pencurian<br />

kayu di hutan mangrove. Ditambah lagi dengan masih digunakannya jaring Apong<br />

dalam penangkapan ikan di Kawasan Segara Anakan sehingga terjadi pemijahan<br />

berbagai jenis ikan dan berakibat berkurangnya produktifitas di Kawasan Segara<br />

Anakan.<br />

28


4.2 Kondisi di Provinsi Lampung<br />

4.2.1 Provinsi Lampung<br />

Kesehatan<br />

Kewenangan provinsi di bidang kesehatan dibatasi oleh PP No. 25 Tahun 2000<br />

dan bila dicermati kewenangan provinsi yang bersifat pelayanan sangat terbatas.<br />

Selain itu, pelaksanaan kewenangan tersebut masih menggunakan standar norma<br />

dari pusat. Desentralisasi kesehatan belum didukung oleh instrumen peraturan<br />

di tingkat daerah yang memadai. Standar norma yang paling mendasar untuk<br />

pelayanan kesehatan, yaitu Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) hingga kini belum<br />

ada di Provinsi Lampung.<br />

Permasalahan mendasar pelayanan kesehatan di Provinsi Lampung adalah<br />

ketersediaan sumber daya kesehatan (termasuk tenaga kesehatan) serta<br />

pemerataannya. Kondisi yang demikian ini tentunya akan menghambat akses<br />

pelayanan kepada masyarakat, apalagi bila dihadapkan pada buruknya kondisi<br />

infrastruktur. Dampak yang kemudian muncul adalah rendahnya derajat kesehatan<br />

masyarakat.<br />

Paradigma pembangunan kesehatan hanya berorientasi pada upaya kuratif dan<br />

rehabilitatif yang pada akhirnya berimplikasi pada pola penyakit yang berkembang<br />

yaitu antara lain DBD, gangguan gizi, ISPA, malaria, diare, dsb. Peran pemerintah<br />

provinsi sesuai dengan sifat kewenangan yang dimilikinya lebih fokus pada upayaupaya<br />

penanggulangan penyakit yang sifatnya telah mewabah, seperti misalnya<br />

penanggulangan penyakit malaria. Provinsi Lampung merupakan daerah endemik<br />

malaria terutama di Lampung Selatan, Tanggamus, dan Tulang Bawang. Selain<br />

itu masalah angka kematian ibu dan bayi di Provinsi Lampung juga masih tinggi.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Isu ketenagakerjaan yang paling mendasar di Provinsi Lampung adalah<br />

ketersediaan lapangan kerja. Sehubungan dengan hal ini maka investasi harus<br />

lebih ditingkatkan agar dapat membuka kesempatan kerja. Kenyataan yang<br />

terjadi justru sebaliknya, investasi yang telah ada justru hengkang dari Provinsi<br />

Lampung. Selain itu tingkat ketrampilan tenaga kerja juga rendah, sementara<br />

jumlah Balai Latihan Kerja (BLK) di Provinsi Lampung hanya 8 buah. Jumlah ini<br />

masih sangat kurang, idealnya jumlah BLK di Provinsi Lampung adalah 18 buah.<br />

Daerah Lampung merupakan sumber buruh migran, baik yang sifatnya antar<br />

daerah maupun antar negara. Peran pemerintah provinsi untuk melakukan<br />

pengawasan terhadap PJTKI belum dapat dilakukan secara maksimal. Kabupaten<br />

yang menjadi sumber buruh migran antara lain adalah Kabupaten Lampung<br />

Timur, Tanggamus, Lampung Selatan.<br />

29


Salah satu bentuk keberpihakan terhadap buruh migran dari pemerintah Provinsi<br />

adalah alokasi dana APBD sebanyak 15 M sebagai dana talangan bagi buruh<br />

yang akan bekerja di luar negeri. Melalui dana tersebut calon buruh migran dapat<br />

mendapatkan pinjaman untuk membiayai keberangkatannya ke luar negeri dan<br />

mengembalikan dengan cara mengangsur melalui PJTKI yang mengirimnya.<br />

Namun demikian akses masyarakat terhadap keberadaan dana tersebut masih<br />

sangat kurang. Hal ini dapat ditunjukkan dari penyerapan dana tersebut yang<br />

masih rendah.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Kedudukan Provinsi sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai Wilayah<br />

Administratif diarahkan pada upaya memelihara hubungan yang serasi antara pusat<br />

dan daerah. Namun, pada praktiknya bupati/walikota tidak mau tunduk atau tidak<br />

mau datang memenuhi undangan gubernur untuk melakukan koordinasi program.<br />

Bahkan ada bupati yang membuka “front perlawanan” secara terbuka. Seringkali<br />

terjadi perseteruan antara kabupaten dengan provinsi dalam pengelolaan sumber<br />

daya alam. Sebagai contoh perebutan pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI)<br />

antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan Pemerintah Provinsi.<br />

Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan SDA sangat strategis karena<br />

berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya makro dan lintas kabupaten.<br />

Lemahnya peran pemerintah provinsi berakibat sangat fatal terhadap keberlanjutan<br />

SDA. Sebagai contohnya adalah keberadaan areal hutan dan kawasan lindung di<br />

Provinsi Lampung yang di atas kertas jumlahnya masih mencapai satu juta hektare<br />

lebih, dipastikan kini telah mengalami kerusakan cukup parah dan terancam<br />

hancur, tanpa diimbangi tindakan cepat dalam mengatasinya.<br />

Kesehatan<br />

4.2.2 Kota Bandar Lampung<br />

Kebijakan kesehatan belum berorientasi pada masyarakat miskin yang ditunjukkan<br />

dari alokasi APBD untuk pembiayaan kesehatan masih rendah. Kemampuan<br />

akses masyarakat miskin terhadap pelayanan puskesmas masih rendah yaitu<br />

42.5 persen. Subsidi biaya pelayanan kesehatan cukup banyak tersedia, seperti<br />

dana keluarga miskin dan dana kompensasi BBM, namun seringkali masyarakat<br />

tidak tahu bagaimana mekanisme pengurusannya. Kota Bandar Lampung belum<br />

mempunyai Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM), sehingga sulit sekali untuk<br />

mengukur efektifitas kinerja penyelenggaraan pelayanan kesehatan.<br />

Walaupun sumber daya kesehatan di kota Bandar Lampung cukup, baik dalam arti<br />

jumlah maupun sebarannya, namun angka gizi buruk dan rawan gizi masih tinggi.<br />

Berkenaan dengan hal itu, pemerintah kota lebih meningkatkan peran pelayanan<br />

di luar puskesmas (upaya preventif dan promotif).<br />

30


Permasalahan mendasar bagi masyarakat marjinal untuk bidang kesehatan<br />

berkaitan dengan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Sanitasi dan kesehatan<br />

lingkungan yang tidak baik berdampak pada pola penyakit yang berkembang di<br />

beberapa lokasi slum area seperti DBD, diare, dsb. Berkenaan dengan hal itu sudah<br />

semestinya isu kesehatan seharusnya menjadi mainstream dalam pembangunan<br />

kesehatan<br />

Ketenagakerjaan<br />

Permasalahan yang paling mendasar dalam bidang ketenagakerjaan adalah<br />

tingginya angka angkatan kerja dan pengangguran serta sempitnya kesempatan<br />

kerja. Selain itu tingkat kualitas pekerja yaitu berkaitan dengan keahlian dan<br />

keterampilan pekerja masih rendah. <strong>Pelayanan</strong> bidang ketenagakerjaan bagi<br />

masyarakat miskin tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas Tenaga Kerja<br />

tetapi juga dinas lain.<br />

Kesemrawutan dan kegagalan Kota Bandar Lampung untuk meraih Penghargaan<br />

Adipura, mendorong pemerintah kota untuk menerbitkan program ”Ayo Bersih-<br />

Bersih”. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah penertiban terhadap pedagang<br />

kaki lima dengan berlandaskan pada <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2000. Penertiban dilakukan<br />

dengan melakukan relokasi ke wilayah yang ditunjuk yaitu Plaza Bambu Kuning<br />

lantai 3. Kebijakan itu mendapat perlawanan dari para pedagang yang tergabung<br />

dalam wadah Persatuan Pedagang Kaki Lima (PPKL) karena tempat relokasi<br />

dianggap tidak strategis. PKL merasa disudutkan atau menjadi kambing hitam<br />

karena mereka dianggap sebagai penyebabnya.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Isu Sumber daya alam yang mencuat di Kota Bandar Lampung adalah bekenaan<br />

dengan isu Pengelolaan lereng, bukit dan gunung di Kota Bandar Lampung.<br />

Dalam <strong>Perda</strong> ditentukan ada 18 lereng, bukit dan gunung yang ditetapkan sebagai<br />

catchment area. Namun, karena kebijakan kebijakan Pemda yang tidak konsisten<br />

dan tidak tegas menyebabkan sulitnya berbagai pelanggaran.<br />

Kesehatan<br />

4.2.3 Kota Metro<br />

Kota Metro merupakan potret contoh pengelolaan pelayanan kesehatan yang baik.<br />

Partisipasi masyarakat dan keberpihak Pemda melalui alokasi APBD terhadap<br />

kesehatan sangat baik. Ketersediaan sumber daya kesehatan dan sebarannya pun<br />

cukup baik sehingga mudah diakses baik dari segi jarak maupun biaya. Akses<br />

masyarakat miskin dalam pembiayaan kesehatan menjadi perhatian Pemda baik<br />

melalui dana subsidi yang disediakan oleh pemerintah maupun melalui JPKM.<br />

Akses masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan<br />

31


fasilitas dana Gakin cukup bagus. Kemampuan akses yang baik tersebut sering<br />

tidak diikuti dengan kualitas pelayanan untuk itu Dinas Kesehatan cukup tanggap<br />

dengan membentuk Tim Safe Guarding sebagai antisipasi atas keluhan dan<br />

kesulitan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan.<br />

Tingkat partisipasi masyarakat Kota Metro dalam penentuan kebijakan kesehatan<br />

cukup tinggi dengan daya kritis masyarakatnya juga relatif baik. Hal ini bisa<br />

tergambar dengan adanya Majelis Kesehatan Kota di Kota Metro. Selain itu, Kota<br />

Metro juga menjadi tujuan bagi masyarakat dari kabupaten lain yang membutuhkan<br />

pelayanan kesehatan.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Salah satu permasalahan yang sangat mendasar adalah Metro merupakan kota<br />

transit bagi mereka yang akan menjadi TKI. Di Kota Metro terdapat 18 PJKTKI,<br />

namun yang terdaftar di Disnaker hanya 2 buah. Kondisi yang demikian ini<br />

menyebabkan dinas tidak mampu memonitor jumlah TKI yang berangkat ke luar<br />

negeri dan dengan demikian maka pemerintah kota tidak mampu memberikan<br />

perlidungan pada para TKI.<br />

Metro tidak hanya menjadi tempat mencari nafkah penduduknya. Penduduk<br />

kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah ini, Lampung Tengah dan<br />

Lampung Timur, mencari nafkah dengan berdagang dan menjual jasa. Karena itu,<br />

diperlukan adanya kerjasama dalam pelayanan dengan daerah tetangganya yaitu<br />

Lampung Timur, Lampung Tengah dan Lampung Selatan.<br />

Kesehatan<br />

4.2.4 Kabupaten Lampung Timur<br />

<strong>Pelayanan</strong> kesehatan kepada perempuan dan anak seharusnya menjadi prioritas<br />

Pemda, karena derajat kesehatannya yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari<br />

tingginya angka kematian ibu dan bayi serta kasus gizi buruk dan rawan gizi.<br />

Selain itu ketersediaan dan sebaran sumber daya kesehatan yang tidak merata juga<br />

menjadi permasalahan tersendiri. Namun demikian, bila melihat alokasi prosentase<br />

APBD untuk kesehatan yang rendah, maka dapat dikemukakan keberpihakkan<br />

Pemda untuk bidang kesehatan rendah. Kemampuan akses masyarakat terhadap<br />

pelayanan kesehatan baik dari segi dana maupun jarak tempuhnya masih sangat<br />

rendah. Hal ini tentunya sangat menjadi beban masyarakat miskin yang jumlahnya<br />

sangat tinggi.<br />

Ketenagakeraan<br />

Kelompok masyarakat miskin dan kelompok marjinal harus berjuang keras untuk<br />

dapat mengakses permodalan. Susahnya akses ini tentu menjadi kendala dalam<br />

32


menciptakan usaha kecil produktif yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan.<br />

Kemudian, tentang perlindungan buruh migran oleh Pemda, serta penciptaan<br />

lapangan kerja bagi kelompok perempuan juga belum medapat perhatian dari<br />

pemda secara layak.<br />

Pertanian adalah sektor yang paling dominan namun pertumbuhannya relatif<br />

rendah di banding dengan sektor lain. Meskipun sektor ini menjadi program<br />

unggulan, orientasi Pemda dalam membantu petani miskin tidak maksimal.<br />

Keluhan yang sama terus terjadi pada setiap tahunnya yaitu ketersdiaan sarana<br />

produksi tani dan stabilitas harga panen.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Salah satu bentuk upaya Pemkab Lampung Timur untuk menjaga sumber<br />

daya alamnya (laut dan pesisir) dilakukan dengan menerbitkan <strong>Perda</strong>, namun<br />

implementasi <strong>Perda</strong> tersebut masih jauh dari harapan. Selain itu, upaya konservasi<br />

juga dilakukan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan melaui<br />

partisipasi rakyat dengan menanam minimal 5 hektar dan 200 batang dengan<br />

sistem bagi hasil. Namun hal ini sampai hari ini belum dirasakan efektifitasnya.<br />

Sedangkan, pengelolaan usaha bahan galian C yang dilandaskan pada Surat Izin<br />

Penambangan Daerah (SIPD) sering tidak diikuti dengan aspek pengawasan. Hal<br />

ini menyebabkan kerusakan lingkungan diwilayah penambangan. Bekas lokasi<br />

galian yang seharusnya ditutup kembali, menjadi danau-danau buatan yang tidak<br />

produktif.<br />

Kesehatan<br />

4.2.5 Kabupaten Lampung Barat<br />

Permasalahan mendasar di bidang kesehatan adalah ketersediaan dan pemerataan<br />

tenaga kesehatan, serta keterbatasan sumber daya kesehatan. keterbatasan<br />

tersebut sangat mempengaruhi kinerja pelayanan kesehatan, dan lebih parahnya<br />

lagi tidak didukung oleh alokasi APBD yang cukup, yakni hanya berkisar antara 5<br />

– 6 persen saja. Sementara itu, <strong>Perda</strong> bidang kesehatan hanya mengatur tentang<br />

retribusi atau tarif kesehatan sedangkan fungsi pelayanan menjadi terabaikan.<br />

Akses masyarakat miskin dan marginal terhadap pelayanan kesehatan sangat<br />

rendah baik dari segi pembiayaannya maupun dari ketersediaan sumber daya<br />

kesehatannya. Beberapa daerah terpencil bahkan tidak terdapat sarana maupun<br />

tenaga kesehatan sama sekali.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Sektor pertanian adalah sektor yang cukup dominan namun orientasi Pemda dalam<br />

membantu petani miskin tidak maksimal. Keluhan yang sama terus terjadi pada<br />

33


setiap tahunnya yaitu ketersdiaan sarana produksi tani dan stabilitas harga<br />

panen. Selain itu upaya peningkatan kualitas ketenagakerjaan yang dilakukan juga<br />

tidak sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Pelatihan-pelatihan<br />

yang dilakukan tidak mengarah pada bidang pertanian yang sebenarnya sangat<br />

dibutuhkan oleh masyarakat.<br />

<strong>Pelayanan</strong> SDA<br />

Sebagian besar wilayah Kabupaten Lampung Barat adalah wilayah TNBBS<br />

yang merupakan hutan suaka. Selain itu, juga terdapat kawasan hutan damar<br />

yang dimiliki oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat.<br />

Sehubungan dengan hal itu, Pemda melakukan upaya konservasi sesuai dengan<br />

kewenangan dengan membentuk <strong>Perda</strong> pengelolaan sumberdaya yang berbasis<br />

masyarakat. Melalui <strong>Perda</strong> tersebut tebuka peluang bagi masyarakat adat untuk<br />

berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam.<br />

Kesehatan<br />

4.2.6 Kabupaten Lampung Utara<br />

Persoalan pokok yang terjadi di bidang kesehatan adalah rendahnya akses<br />

masyarakat, terutama masyarakat marjinal dan miskin dalam mengakses<br />

kesehatan baik dari segi pembiayaan kesehatan maupun dari segi jarak tempuhnya.<br />

Hal ini disebabkan karena ketesediaan dan sebaran sumber daya kesehatan yang<br />

tidak merata. Akses dana gakin juga dirasakan sangat sulit karena informasi dan<br />

panjangnya birokrasi yang harus ditempuh dan tidak dipahami dengan baik oleh<br />

mereka. Selain itu bagi masyarakat gakin dan JPK baru diurus ketika anggota<br />

keluarga ada yang sakit. Karena ada anggapan bahwa mengurus GAKIN-JPK<br />

ketika sakit. Pemda belum memiliki standar pelayanan minimum kesehatan<br />

sendiri. Artinya masih menyesuaikan dengan standar pelayanan kesehatan<br />

minimal kabupaten/kota yang ditetapkan Menteri Kesehatan RI.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Ketersediaan lapangan kerja merupakan faktor dominan yang mendorong tingginya<br />

banyaknya tenaga-tenaga kerja produktif yang mencari kerja di luar Lampung<br />

Utara. Kebanyakan mereka yang ada di desa lebih senang mencari kerja di Bandar<br />

Lampung, Jakarta, Tangerang dan daerah lain dengan bekal ketrampilan yang<br />

rendah. Namun demikian perhatian Pemda terhadap persoalan tenaga kerja<br />

melalui berbagai programnya dirasakan masih sangat kurang.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Secara umum masalah utama masyarakat miskin adalah penguasaan lahan sebagai<br />

landasan usaha pertanian mereka yang sangat terbatas. Namun, perhatian<br />

34


Pemda yang lebih ditekankan pada penarikan pajak dan retribusi, sementara<br />

pelayanan untuk masyarakat umumnya diabaikan dan tidak terurus. Dalam hal<br />

kerusakan hutan, pemerintah banyak menyalahkan masyarakat sebagai perambah<br />

hutan. Berkenaan dengan hal itu dibutuhkan kebijakan yang berorentasi pada<br />

pemberdayaan dan aspiratif. Program Hutan Kemasyarakatan juga dijadikan<br />

sebagai salah satu upaya untuk melindungi hutan dari bahaya kerusakan serikali<br />

tidak aspiratif sehingga tidak efektif.<br />

Kesehatan<br />

4.2.7 Kabupaten Lampung Selatan<br />

Sama dengan kabupaten lain, Lampung Selatan juga menghadapi permasalahan<br />

atas ketersediaan dan pemerataan tenaga kesehatan, serta keterbatasan sumber<br />

daya kesehatan. Selain itu Pemda juga kurang ramah dalam pembangunan bidang<br />

kesehata yang dapat dilihat dari prosentase alokasi APBD yang yang relatif<br />

rendah. Akses masyarakat miskin dan marginal terhadap pelayanan kesehatan<br />

sangat rendah baik dari segi pembiayaannya maupun dari ketersediaan sumber<br />

daya kesehatannya.<br />

Di daerah terpencil bahkan tidak terdapat tenaga kesehatannya walaupun Puskes/<br />

Pustu telah tersedia. Respon dari instansi kesehatan yang berwenang sendiri masih<br />

condong reaktif dalam menangani kasus-kasus tersebut. Hal ini diketahui dari<br />

informasi yang terkumpul dari para orang tua anak penderita, yang menyatakan<br />

bahwa pada mulanya hampir tidak ada perhatian dari pemda Kabupaten Lampung<br />

Selatan (khususnya instansi kesehatannya) terhadap problem gizi anak-anak<br />

mereka.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Lampung Selatan adalah basis industri, sehingga jumlah buruh di Lampung Selatan<br />

cukup tinggi. Sehubungan dengan itu aspek perlindungan lebih dikedepankan<br />

oleh Pemda melalui regulasi penentuan batas jam kerja, upah lembur, hak cuti<br />

dan jamsostek (kesehatan, hari tua dan kecelakaan). Selain itu juga dilakukan<br />

upaya pembinaan dan pelatihan yang sifatnya memberikan keterampilan praktis<br />

dan wawasan kewirausahaan, dengan sasarannya adalah kaum perempuan,<br />

penganggur dan umumnya kelompok menengah ke bawah.<br />

Terkait dengan isu perlindungan buruh migran, Disnakertrans memang memiliki<br />

concern dalam penanganan isu tersebut. Bahkan skup penanganannya cukup<br />

luas melalui program pengawasan dan penanganan antar kerja lokal, antar kerja<br />

daerah dan antar kerja negara. Antar kerja lokal dilakukan terhadap tenaga kerja<br />

dalam mobilitasnya dalam provinsi. Antar kerja daerah bersifat lintas provinsi dan<br />

antar kerja negara bersifat lintas negara.<br />

35


Sumber Daya Alam<br />

Kabupaten Lampung Selatan memiliki beberapa potensi SDA yang sangat tinggi,<br />

diantaranya bahan galian “C”, yaitu batu andesit dan marmer. Terdapat 16<br />

perusahaan yang mengantongi izin. Selain itu juga terdapat usaha penambangan<br />

batu split oleh masyarakat secara tradisional. Namun, pada perkembangannya<br />

usaha masyarakat tersebut terpinggirkan karena tidak mampu bersaing dengan<br />

perusahaan besar yang ada. Pada tataran implementasi <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang<br />

mengatur bidang perikanan menimbulkan pungutan ganda yang dibebankan<br />

kepada masyarakat sehingga menjadi pangkal terjadinya biaya tinggi pada sektor<br />

usaha perikanan. Berkenaan dengan hal itu asosiasi petambak mengajukan<br />

keberatan kepada pemda namun belum mendapat tanggapan.<br />

Kesehatan<br />

4.2.8 Kabupaten Tulang Bawang<br />

Tidak adanya <strong>Perda</strong> yang berkaitan atau mengatur tentang kesehatan bukan<br />

berarti pemda tidak menyelenggarakan pelayanan. Bidang kesehatan merupakan<br />

urusan wajib yang harus dilaksanakan. Selain itu, Pemda juga menghadapi<br />

permasalahan yang serupa dengan kabupaten lain yaitu keterbatasanya sumber<br />

daya kesehatan (sarana dan tenaga kesehatan). Kondisi tersebut berdampak pada<br />

tingginya angka kematian ibu dan bayi yang disebabkan oleh kemampuan akses<br />

terutama jarak dan infrasturktur yang buruk. Selain itu , kasus rawan gizi pun<br />

juga marak terjadi, namun upaya penanggulangan yang dilakukan masih bersifat<br />

kuratif dan rehabilitatif. Progam JPK-Gakin diperuntukkan bagi masyarakat<br />

miskin, menghadapi kendalanya minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat<br />

tentang tersebut.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Dalam hal penciptaan lapangan kerja, pemerintah Kab. Tulang Bawang memiliki<br />

program pelatihan bagi angkatan kerja baru dengan memberikan pelatihan<br />

keterampilan khusus dan memberikan motivasi kepada pengusaha kecil dan<br />

menengah untuk lebih bersemangat dalam menjalankan usahanya serta<br />

memberikan pelatihan teknik dan manajemen. Untuk mendukung berjalannya<br />

program ini juga disediakan fasilitas yang diberikan biasanya berupa alat/sarana<br />

produksi yang mereka butuhkan. Akses masyarakat di bidang pekerjaan masih<br />

sangat minim. Selain itu, pembinaan terhadap PKL belum dilakukan secara<br />

maksimal.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Kabupaten Tulang Bawang mempunyai potensi yang sangat tinggi di bidang<br />

perikanan. Namun, peran pemerintah dalam pembinaan, pengawasan dan<br />

36


pengembangan industri perikanan pada masyarakat masih belum maksimal.<br />

Bahkan dapat dikatan, telah terjadi penurunan pertumbuhan/perkembangan di<br />

bidang tersebut. Selain itu, walaupun Kabupaten Tulang Bawang mempunyai<br />

wilayah hutan namun tidak memiliki program yang khusus dalam upaya melakukan<br />

konservasi hutan. Akses masyarakat miskin terhadap sumber daya lahan yang<br />

merupakan basis ekonomi semakin terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut<br />

sering terjadi konflik yang bersumber dari penguasaan lahan. Baik konflik antar<br />

penduduk maupun antara penduduk melawan pengusaha serta antara penduduk<br />

melawan pemerintah.<br />

Kesehatan<br />

4.2.9 Kabupaten Lampung Tengah<br />

Pemda Kabupaten Lampung tengah belum memiliki SPM bidang pelayanan<br />

kesehatan. Seperti kabupaten lain, Orentasi pelayanan kesehatan lebih pada upaya<br />

yang sifatnya rehabilitatif dan kuratif. Akses masyarakat terhadap pelayanan<br />

kesehatan masih terkendala dengan keterbatasan sumber daya kesehatan.<br />

Selain itu, aspek legitimasi izin praktek pelayanan oleh bidan dan perawat sering<br />

menjadi kendala bagi mereka sehingga menimbulkan kekhawatiran dan kepastian<br />

hukum.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Kabupaten Lampung Tengah merupakan daerah agro industri yang dapat dilihat<br />

dari keberadaan perusahaan besar. Sehubungan dengan hal itu aspek perlindungan<br />

kepada buruh semestinya lebih dikedepankan oleh Pemda melalui upaya fungsi<br />

pengawasan. Berkenaan dengan hal itu dibutuhkan tenaga fungsional pengawasan<br />

ketenagakerjaan. Namun demikian, jabatan sebagai tenaga fungsional tidak<br />

menarik bagi PNS yang lebih suka menduduki jabatan struktural. Kenyataan yang<br />

terjadi tenaga fungsional pengawasa banyak yang “eksodus” ke jabatan struktural<br />

yang lebih menjanjikan.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Hampir semua <strong>Perda</strong> mengatur mengenai penarikan retribusi atas pelayanan<br />

yang diberikan. Pengelolaan potensi SDA (batu andesit dan pasir) banyak dikelola<br />

langsung oleh masyarakat yang umumnya berasal dari kelompok miskin sebagai<br />

sumber penghidupan pokok. Hal ini mereka lakukan karena kepemilikan lahan<br />

ada pada mereka. Hingga saat ini masyarakat tidak melakukan pengurusan<br />

izin dalam menjalankan aktivitas penambangan. Pemda membiarkan proses<br />

penambangan rakyat yang selama ini terjadi meski telah terdapat regulasi yang<br />

tegas. Basis ekonomi Lampung Tengah adalah pertanian sesuai dengan visinya<br />

yang akan mengembangkan agropolitan. Namun demikian, terjadi kekhawatiran<br />

dari berbagai kalangan program tersebut akan memarginalkan petani miskin.<br />

37


Sehubungan kekhawatiran itu, salah satu program Kabupaten Lampung Tengah<br />

adalah Beguai Jejama Wawai (berbuat yang baik bersama-sama) sebagai upaya<br />

untuk mengentaskan kemiskinan.<br />

Kesehatan<br />

4.2.10 Kabupaten Tanggamus<br />

Pemda kabupaten Tanggamus menghadapi masalah rendah derajat kesehatan<br />

yang dapat dilihat dari tingginya angka kematian ibu dan bayi, pola penyakit, dan<br />

kasus gizi buruk. Selain itu juga menghadapi keterbatasan sumber daya kesehatan.<br />

Sehubungan dengan hal itu Dinas Kesehatan dalam mengelola ketersediaan tenaga<br />

medik berupaya untuk menyeimbangkan distribusi dan rasio tenaga kesehatan<br />

dengan masyarakat. Hal itu antara lain dilakukan dengan Penempatan tenaga<br />

medik disesuaikan dengan tingkat pendidikannya masing-masing. Alokasi APBD<br />

Kabupaten Tanggamus untuk pos kesehatan masih kecil yang berkisar sekitar 8<br />

persen dari total APBD.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Kabupaten Tanggamus juga merupakan daerah transit bagi mereka yang akan<br />

menjadi TKI. Namun, Disnaker tidak mampu mengawasinya secara maksimal<br />

karena keterbatas tenaga fungsional dan kewenangan. Dampak dari tinggi angka<br />

buruh migran diiringi dengan meningkatnya jumlah korban traffickking Kabupaten<br />

Tanggamus. Selain itu, sebagai daerah dengan basis ekonomi pertanian, keluhan<br />

petani akan ketersediaan sarana produksi pertanian dan stabilitas harga panen<br />

terus terjadi pada setiap tahunnya.<br />

Sumber Daya Alam<br />

Orentasi pemda pealayan bidang SDA lebih ditujukan pada PAD, dengan<br />

melupakan upaya konservasi. Selaini itu juga tidak ada upaya pelibatan masyarakat<br />

dalam perumusan kebijakan di tingkat lokal. Berbagai retribusi yang dibebankan<br />

kepada masyarakat berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya alam misalnya<br />

menyangkut:<br />

a) pengambilan air mineral<br />

b) pengelolaan dan pengambilan hasil hutan<br />

c) penggunaan jaring ikan dan keramba.<br />

Kesehatan<br />

4.2.11 Kabupaten Way Kanan<br />

Permasalahan krusial yang dihadapi oleh Pemda adalah rasio ketersediaan sumber<br />

daya kesehatan, terutama tenaga kesehatan yang belum memadai (kurang). Hal<br />

38


ini sangat berpengaruh pada kemampuan akses masyarakat terhadap fasilitas<br />

dan pelayanan kesehatan terutama untuk daerah yang terpencil. Upaya untuk<br />

memenuhi kebutuhan masyarakat pedalaman pemda menyediakan puskesmas<br />

keliling dengan biaya berobat dan obat murah. Terdapat kerjasama antar dinas/<br />

instansi lainnya dengan Disnakersos dalam pelaksanaan program Kesalamatan<br />

Kesehatan Kerja (K3) dan penyediaan perawatan gratis bagi keluarga tidak mampu.<br />

Pemda sangat ramah dalam pembangunan kesehatan yang ditunjukkan dari alokasi<br />

Anggaran untuk tahun 2005 sebesar 15 persen dari total APBD, atau sekitar Rp 19<br />

milliar. Sasaran layanan yang terfokus pada kaum perempuan (ibu-ibu) ditujukan<br />

untuk menekan angka kematian kaum ibu akibat proses persalinan.<br />

Ketenagakerjaan<br />

Isu ketenagakerjaan di Kabupaten Way Kanan kurang dinamis, karena basis<br />

ekonomi yang paling dominan adalah pertanian tanaman keras. Namun Terdapat<br />

program Diskoperindag yang mendukung penciptaan kesempatan kerja seperti<br />

penyelenggaraan pelatihan bagi industri kecil (home industri). Contoh keterampilan<br />

pembuatan keramik, batu bata, genting dan keterampilan kerajinan rumah tangga<br />

lainnya. Program pembinaan Diskoperindag selama ini sasarannya bersifat umum,<br />

yakni terhadap pengusaha menengah, pengusaha kecil dan pengrajin (tanpa<br />

pembedaan laki-laki dan perempuan).<br />

Sumber Daya Alam<br />

Kabupaten Way Kanan mempunyai potensi SDA yang cukup tinggi, namun belum<br />

dimanfaatkan secara optimal. Akses masyarakat terhadap potensi SDA masih<br />

terbatas. Sebagai contoh, bentuk keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan<br />

sumberdaya hutan, diantaranya partisipasi masyarakat dalam GNRHL,<br />

pendistribusian dan penanaman bibit kayu jati, sengon, durian, karet, kelapa sawit,<br />

kakao, serta pembinaan dan pemanfaatan hutan rakyat. Walaupun sumber daya<br />

hutan di Kabupaten Way Kanan cukup tinggi, namun tidak ditemukan kebijakan<br />

khusus pemda dalam melakukan upaya konservasi atas isu SDA.<br />

5. Studi Kasus <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />

5.1 Penertiban PKL Kota Semarang<br />

Untuk menunjukkan implementasi <strong>Perda</strong> yang mengatur sasaran di Provinsi Jawa<br />

Tengah diangkat kasus <strong>Perda</strong> No. 11 Tahun 2000 tentang PKL, yang tergolong<br />

berhasil dilaksanakan. Meski relokasi PKL tahap awal mendapat kritikan<br />

karena lokasi relokasi tergolong sepi dan sulit terjangkau oleh akses angkutan<br />

umum serta termasuk lokasi yang rawan banjir. Pemerintah Kota tetap memiliki<br />

komitmen untuk memanfaatkan daerah tersebut yang selama ini terbengkalai<br />

untuk digunakan sebagai lahan PKL, dengan memberikan dukungan perbaikan<br />

infrastruktur menuju akses ke pasar Waru. <strong>Implementasi</strong> ini pada awalnya<br />

39


menimbulkan konflik, tapi karena ketekunan Pemkot Semarang menjalankan<br />

secara konsisten <strong>Perda</strong> No. 11 Tahun 2000, pada akhirnya dapat berjalan lancar.<br />

Namun demikian masih menyisakan kepedihan akibat tindakan represif Satpol PP<br />

terhadap PKL.<br />

5.2 Pengawal <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan dan Penertiban PKL di Lampung<br />

5.2.1 Regulasi Safeguarding dan Partisipasi Masyarakat:<br />

Mengawal pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin<br />

Yayasan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Kota Metro telah melakukan<br />

kegiatan advokasi yang intensif pada berbagai kelompok masyarakat, sehingga<br />

mendorong daya tawar masyarakat dalam Daya mengakses pelayanan <strong>Publik</strong>.<br />

Kelompok-kelompok masayarakt tersebut sangat berperan aktif dalam mengkritisi<br />

berbagai kebijakan Pemkot dan mampu menembus rumitnya birokrasi pelayanan.<br />

Upaya untuk membantu masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan<br />

juga dilakukan oleh <strong>org</strong>anisasi keagamaan yaitu Muhamaddiyah dengan<br />

menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi anggotanya.<br />

Muhamaddiyah dengan berdasarkan Surat Keputusan Walikota ditunjuk sebagai<br />

badan pelaksana JPK.<br />

Sekalipun tidak ada <strong>Perda</strong> partisipatif, Kepala Dinas Kesehatan atas inisiatifnya<br />

telah membentuk beleidsregel tentang Tim safe guarding, yang bertujuan untuk<br />

memberikan kemudahan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini didorong oleh<br />

faktor meningkatnya partisipasi dan daya kritis masyarakat terhadap pelayanan<br />

publik. Tim tersebut mempunyai tugas membantu masyarakat dalam kepesertaan<br />

JPK Gakin, menerima keluhan masyarakat, masalah pendanaan, dan membantu<br />

permasalahan administrasi.<br />

5.3 <strong>Perda</strong> Kota Bandar Lampung No. 8 Tahun 2000<br />

sebagai <strong>Perda</strong> Sapu Jagad untuk menggusur PKL<br />

Pemkot tidak memiliki <strong>Perda</strong> khusus tentang PKL sebagaimana yang terdapat di<br />

berbagai kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah. Dalam upaya penertiban PKL<br />

yang saat ini sangat marak digunakan <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2000 tentang Pembinaan<br />

Umum, Ketertiban, Keamanan, Kebersihan, Kesehatan dan Keapikan Dalam<br />

Wilayah Kota Bandar Lampung.<br />

Bila dicermati dengan baik maka substansi ini tidak sesuai dengan kondisi sosiologis<br />

yang ada di masyarakat kota Bandar Lampung. Sebagai contoh adalah Pasal 22 yang<br />

menentukan bahwa dilarang “menjual bensin/premium dan solar sepanjang jalan<br />

arteri selain pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan menjual gas<br />

di rumah-rumah tempat tinggal selain pada tempat-tempat yang ditentukan untuk<br />

itu”. Ketentuan ini tentu saja akan kontra produktif bagi masyarakat bila melihat<br />

realita yang ada di masyarakat yang menunjukkan bahwa banyak sekali orang<br />

berjualan bensin eceran. Selain itu perumusan tentang ketentuan larangan dalam<br />

40


dalam Bab III Pasal 15 sampai dengan Pasal 24, tidak memberikan kejelasan<br />

maksud dari pasal-pasal tersebut.<br />

<strong>Perda</strong> ini menjadi pemberitaan di mass media sehubungan dengan upaya<br />

penggusuran PKL yang dianggap menjadi sumber kesemrawutan, ketidaktertiban,<br />

ketidakindahan sehingga Kota Bandar Lampung mendapat julukan 5 kota<br />

paling kotor di Indonesia. Upaya membersihkan kota dengan jargon “ayo bersihbersih”<br />

menjadikan PKL sebagai kambing hitamnya. <strong>Perda</strong> ini hanya mengatur<br />

tentang larangan dan kewajiban bagi masyarakat saja dengan melupakan fungsi<br />

pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan kata<br />

lain perda ini merupakan instrumen untuk memarginalkan kelompok yang sudah<br />

marginal seperti PKL. Padahal dari aspek asas pembentukan peraturan perundangundangan,<br />

<strong>Perda</strong> ini tidak sesuai baik dari aspek formal maupun materiel.<br />

6. Kesimpulan<br />

Dalam era desentralisasi yang bertujuan untuk mendekatkan fungsi pelayanan<br />

kepada masyarakat, tidak terdapat implementasi <strong>Perda</strong> yang berpihak kepada<br />

sasaran. oleh karena itu sangat urgent untuk dilakukan rekonstruksi muatan<br />

<strong>Perda</strong> yang terkait retribusi isu dengan memasukkan aspek pemberian pelayanan.<br />

Untuk lebih memfungsionalkan <strong>Perda</strong> yang diproduksi sangat perlu dilakukan<br />

penyusunan skala prioritas regulasi. Hal terpenting lain yang harus dibangun<br />

kembali oleh satuan daerah otonom adalah melakukan koordinasi yang sinergis<br />

dan intensif dalam pembentukan <strong>Perda</strong> karena selama berlakunya UU No. 22<br />

Tahun 1999 mekanisme ini terabaikan.<br />

41


2. Mengefektifkan pelayanan bagi Masyarakat Miskin :<br />

Sintesis dari Sembilan Studi Kasus di Indonesia<br />

Abstrak<br />

Kesembilan Studi Kasus MSWP (Making Services Work for the Poor) atau dalam<br />

bahasa Indonesia MPMM (Mengefektifkan <strong>Pelayanan</strong> bagi Masyarakat Miskin) yang<br />

dirangkum dalam laporan ini, mengkaji inovasi di bidang penyediaan pelayanan<br />

publik tingkat kabupaten/kota di Indonesia menyusul berlakunya desentralisasi.<br />

Sintesis ini diharapkan akan bisa bermanfaat bagi pihak donor, pemerintah<br />

Indonesia, maupun pemerintah negara lain; dalam mempelajari gagasan praktis<br />

untuk memperbaiki penyediaan pelayanan publik tingkat daerah. Kurang lebih<br />

separuh dari semua kasus dalam laporan ini menyorot inovasi-inovasi yang digagas<br />

pihak luar; sementara setengah lainnya merupakan gagasan lokal; lebih jauh lagi,<br />

semua Inovasi pada kasus-kasus MPMM terbukti telah memberikan dampak positif<br />

bagi sekitar setengah juta orang yang menjadi kelompok sasarannya . Metode yang<br />

digunakan dalam proses studi kasus adalah wawancara semi terstruktur (SSI),<br />

dan diskusi kelompok terfokus (FGD); dilakukan terhadap 600 orang di 25 desa<br />

dan kota yang menjadi lokasi peneitian, selama 80 hari antara bulan Februari dan<br />

April 2005.<br />

Kajian ini menemukan bahwa desentralisasi dan kepemimpinan merupakan<br />

faktor kunci dalam penyediaan pelayanan publik yang inovatif. Sebagian besar<br />

dari inovasi yang dipelajari pada studi kasus, tidak akan berhasil tanpa adanya<br />

dukungan perundangan nasional dan kebijakan yang mengalihkan kewenangan<br />

ke tingkat daerah. Beralihnya kewenangan terutama di bidang keuangan dan<br />

administrasi, telah memungkinkan pemimpin daerah untuk mendanai reformasi<br />

internal tanpa bantuan donor. Hal ini sedikit banyak membantu terciptanya<br />

kesinambungan dibidang keuangan, sejak awal. Kewenangan kabupaten yang<br />

lebih besar juga kemudian mendorong para politisi di tingkat daerah, masyarakat<br />

umum, dan lembaga donor, untuk menjadi lebih tertarik kepada isu good<br />

governance. Namun, ternyata dampak positif inovasi-inovasi tersebut terancam<br />

ketika hukum dan peraturan daerah yang menyokong inovasi tersebut, lemah atau<br />

kurang menunjang.<br />

Ditemukan pula bahwa kendati inovasi atau pendanaannya berasal dari luar daerah,<br />

inovasi dalam penyediaan pelayanan publik lebih tergantung pada kepemimpinan<br />

daerah dibandingkan kepemimpinan luar. Gaya kepemimpinan daerah yang<br />

menekankan keterlibatan pribadi dan fleksibilitas, merupakan faktor kunci<br />

dalam mewujudkan dampak positif. Para pemimpin daerah berhasil membangun<br />

kepercayaan masyarakat dengan cara meningkatkan kesadaran akan kekurangan<br />

penyediaan pelayanan publik. upaya untuk meningkatkan kesadaran, dilakukan<br />

42


dengan menambah dukungan mereka dikalangan pegawai negeri daerah, juga<br />

memanfaatkan kerjasama dengan ormas dan pemberdayaan metode-metode lokal.<br />

Ditemukan pula bahwa kesinambungan pendanaan proyek yang bersumber dari<br />

luar masih tidak bisa dipastikan. Sementara, reformasi lokal yang diterapkan<br />

dengan mengalihkan beban biaya baru kepada penerima pelayanan (klien), ternyata<br />

juga mengalami kendala pendanaan. Peluang kesinambungan dana hanya terlihat<br />

pada dua kasus, dimana pada kedua kasus tersebut reformasi yang ada merupakan<br />

gagasan lokal, biayanya rendah dan pendanaannya bersifat swadana masyarakat.<br />

Dari proses penelitian, ditemukan bahwa sistem pengumpulan data pada semua<br />

kasus ternyata tidak efektif. Hal ini tentu saja menyulitkan upaya penyesuaian atau<br />

perbaikan pada periode pertengahan proyek yang seharusnya bisa memperkuat<br />

dampak positif reformasi tersebut. Kasus-kasus yang dipelajari juga membuktikan<br />

bahwa dampak reformasi akan dapat lebih dirasakan apabila inovasi penyediaan<br />

pelayanan publik diterapkan secara fleksibel. Kemudian ditemukan juga bahwa<br />

pada sebagian besar kasus, pemimpin daerah terbukti mampu menciptakan<br />

strategi-strategi baru, baik untuk meningkatkan dampak positif maupun untuk<br />

mengubah dampak negatif menjadi sebaliknya.<br />

Pada lima kasus dimana masyarakat miskin tidak ditargetkan sebagai kelompok<br />

sasaran utama, masyarakat miskin cenderung menjadi tidak diuntungkan oleh<br />

penerapan inovasi pelayanan publik. Sebaliknya, pada kasus dimana masyarakat<br />

miskin merupakan kelompok sasaran khusus, terlihat adanya dampak positif.<br />

Hasil temuan kesembilan studi kasus ini menggarisbawahi pentingnya pelaksanaan<br />

best practices di bawah ini bagi para penyedia layanan juga lembaga donor:<br />

1. Menargetkan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran utama reformasi<br />

pelayanan publik, agar kelompok tersebut benar-benar menerima manfaat<br />

kegiatan.<br />

2. Menggunakan mekanisme diseminasi informasi atau sosialisasi program yang<br />

efektif, untuk membangun kepercayaan masyarakat.<br />

3. Mendukung pemimpin baik di kalangan pemerintah maupun LSM lokal untuk<br />

melaksanakan reformasi kebijakan penyediaan pelayanan publik.<br />

4. Memastikan adanya kesinambungan dana proyek reformasi pelayanan publik.<br />

5. Memastikan bahwa komponen pemantauan (monitoring) yang efektif, sudah<br />

tercakup pada semua proyek penyediaan pelayanan publik .<br />

6. Mewujudkan fleksibilitas kedalam peraturan proyek, untuk memperkuat<br />

dampak positif, maupun mengatasi dampak negatif.<br />

7. Mendorong implementasi hukum dan peraturan daerah yang bersifat<br />

mendukung reformasi.<br />

43


1.<br />

Pendahuluan<br />

Pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia mulai menerapkan desentralisasi yang<br />

mengalihkan sebagian besar kewenangan pelayanan publik dari tingkat pusat ke<br />

pemerintah daerah. Titik pusat inovasi pun beralih ke tingkat daerah, dimana<br />

pemerintahnya memiliki lebih banyak kewenangan untuk membuat perubahan<br />

(baik yang positif, maupun negatif). Bagi sebuah negara dengan populasi 220 juta<br />

jiwa, yang terdiri dari 440 kabupaten dan kota, peralihan wewenang ini merupakan<br />

potensi besar untuk melakukan inovasi di bidang penyediaan pelayanan publik.<br />

Proyek “Mengefektifkan <strong>Pelayanan</strong> bagi Masyarakat Miskin,” atau “Making<br />

Services Work for the Poor” (MSWP) dari Bank Dunia, diadakan untuk memberikan<br />

dukungan analitis bagi upaya Pemerintah Indonesia dalam memperbaiki akses dan<br />

mutu pelayanan dasar untuk masyarakat miskin paska penerapan desentralisasi.<br />

Tujuan dari proyek ini selain untuk memberikan gambaran mengenai keadaan<br />

pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di Indonesia, juga mengidentifikasi dan<br />

menganalisis faktor-faktor kunci yang berdampak terhadap hasil terkini dari<br />

reformasi bidang pelayanan publik ditingkat daerah, dan memberikan usulan<br />

kerangka analisis juga langkah-langkah praktis untuk meningkatkan penyediaan<br />

pelayanan pro-poor.<br />

Analisis MSWP serupa dengan pendekatan “Pendorong Perubahan” atau “Drivers<br />

of Change “ (yang digunakan DFID pada beberapa tahun terakhir) yang bertujuan<br />

mengungkapkan faktor-faktor pendorong perubahan sosio-politis yang sistematis.<br />

Analisis “Pendorong Perubahan” terfokus pada pelaku, institusi dan struktur.<br />

Pendekatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi peluang, kendala dan insentif<br />

dasar yang berdampak pada perubahan pro-poor. Walaupun memiliki potensi<br />

manfaat yang besar, pendekatan ini masih belum disosialisasikan maupun<br />

digunakan secara luas. <br />

Hingga saat ini, tulisan-tulisan tentang desentralisasi di Indonesia, yang sebenarnya<br />

jumlahnya cukup banyak, ternyata belum memuat analisis mengenai bagaimana<br />

daerah menggunakan “ruang” baru yang dimungkinkan oleh desentralisasi, untuk<br />

merencanakan dan membuat perubahan dalam penyediaan pelayanan.<br />

Kesembilan kasus MSWP yang ada dalam laporan ini, dilaksanakan untuk mengisi<br />

beberapa lubang tersebut di atas. Kasus-kasus ini menggambarkan langkah-langkah<br />

konkrit untuk memperbaiki penyediaan pelayanan di tingkat daerah yang telah<br />

dilakukan pada masa awal desentralisasi. Laporan ini juga memberikan penilaian<br />

mengenai dampak awal, faktor-faktor yang memacu atau membatasi dampak,<br />

serta peluang-peluang replikasinya dimasa yang akan datang. Diharapkan agar<br />

sintesis yang bertujuan menarik “benang merah” dari sembilan kasus MSWP ini,<br />

akan dapat bermanfaat bagi lembaga donor, Pemerintah Indonesia, maupun<br />

Dahl-Ostergaard, Tom et al., Lessons Learned on the Use of Power and Drivers of Change Analyses<br />

in Development Cooperation, DFID: Sussex (September 2005).<br />

44


Pemerintah negara lain yang berminat mempelajari gagasan praktis untuk<br />

memperbaiki pelayanan publik.<br />

2.<br />

Rangkuman Kasus<br />

Kasus yang dijadikan obeyek studi MSWP dipilih dari berbagai kasus yang<br />

dikumpulkan oleh Bank Dunia baik yang berasal dari donor, LSM, maupun<br />

pemerintah daerah. Ada pun kriteria pemilihan meliputi: memiliki kemungkinan<br />

tinggi untuk memperbaiki penyediaan pelayanan dasar, faktor-faktor kunci<br />

keberhasilannya cenderung mudah diidentifikasi dan dianalisa, dan yang terakhir,<br />

potensi kesinambungannya tinggi. Pelaksanaan studi kasus MSWP mencakup 8<br />

dari 32 provinsi dan daerah perkotaan Indonesia; dimana lima (5) dari provinsi yang<br />

terpilih tingkat kemiskinannya lebih rendah dari tingkat kemiskinan nasional atau<br />

berada di bawah 16,7% (2004), sementara ketiga kasus lainnya memiliki tingkat<br />

kemiskinan antara 20-29%, atau jauh lebih tinggi dari tingkat rata-rata nasional.<br />

Setengah dari inovasi tingkat daerah yang disorot di dalam laporan ini diprakarsai<br />

oleh institusi luar, termasuk Bank Dunia, UNICEF, USAID dan Departemen<br />

Pemerintah, sementara setengah lainnya digagas oleh daerah itu sendiri, termasuk<br />

oleh bupati dan LSM setempat. Mayoritas kasus inovasi didanai oleh sumber<br />

eksternal dan internal, sementara tiga (3) inovasi didanai secara penuh oleh daerah,<br />

dan satu (1) didanai sepenuhnya oleh pihak luar. Penelitian kesembilan kasus<br />

dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur (SSI) dan diskusi kelompok<br />

terfokus yang diikuti sekitar 600 orang. Selain itu, hasil temuan penelitian juga<br />

memasukkan pendapat dan pandangan dari sekitar 100 orang yang didapat dari<br />

kunjungan lapangan ketiga tim peneliti; mereka melakukan studi lapangan di 25<br />

desa dan kota selama 80 hari pada periode bulan Februari hingga April 2005.<br />

Inovasi-inovasi dalam hampir semua kasus selain memberikan dampak positif<br />

dibidang penyediaan pelayanan publik, juga telah menjangkau setidaknya 500,000<br />

orang. 2<br />

Tanah Datar (Kasus 1)<br />

adalah sejumlah reformasi dibidang pendidikan, yaitu pembatasan jumlah siswa<br />

per kelas dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan. Selama pelaksanaan<br />

programdi Kabupaten Tanah Datar, sebanyak 4 persen guru dan 10 persen<br />

kepala sekolah di kabupaten tersebut telah melakukan kunjungan belajar ke<br />

luar negeri. Program ini juga memangkas hampir setengah dari jumlah siswa<br />

perkelas di sekolah menengah atas di Tanah Datar. Motivasi para pendidik yang<br />

telah melakukan kunjungan belajar juga meningkat. Metodologi dan pelayanan<br />

pendidikan di sekolah yang lebih berkualitas juga meningkat. Namun di sisi lain,<br />

akses pendidikan menengah atas bagi sekelompok siswa menjadi berkurang,<br />

terutama siswa yang tidak terlalu berprestasi. Program ini juga memperbesar<br />

2 Asumsi Kurs US$1 = Rp. 10,000.<br />

45


kesenjangan antara SMU yang berkualitas dengan SMU yang kurang berkualitas.<br />

Pemalang (Kasus 2)<br />

adalah sebuah proyek kesehatan di Jawa Tengah yang menyediakan kupon<br />

perawatan kehamilan bagi perempuan hamil yang miskin. Proyek ini telah berhasil<br />

mencapai tujuannya, meningkatkan akses pelayanan bidan bagi perempuan hamil<br />

yang miskin. Selama pelaksanaan proyek tersebut, jumlah bidan di kabupaten<br />

meningkat dan jangkauan pelayanan para bidan di desa mencapai 95%. Proyek ini<br />

dihentikan ketika pemerintah daerah menggantinya dengan sistem kontrak bidan<br />

yang didanai oleh pemerintah pusat.<br />

CLCC (Kasus 3)<br />

adalah sebuah proyek pendidikan di Sulawesi Barat yang berupaya menciptakan<br />

metode belajar mengajar yang aktif dan staf sekolah yang lebih handal. CLCC<br />

(Creative Learning Communities for Children) menciptakan metode-metode<br />

pengajaran yang lebih aktif, juga meningkatkan partisipasi orang tua dan anak.<br />

Namun, program ini hanya berhasil meningkatkan akuntabilitas pengelolaan di<br />

sekolah-sekolah yang kepala sekolahnya mendukung. Lebih lanjut lagi, nilai-nilai<br />

ujian di sekolah yang mengikuti proyek ini tidak meningkat jika dibandingkan<br />

dengan sekolah yang tidak ikut serta dalam proyek. Sebanyak 35 persen sekolah<br />

dasar yang ada di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat telah mereplikasi metode<br />

CLCC, baik secara formal maupun spontan; sekitar sepertiga dari jumlah tersebut<br />

mendanai penerapan CLCC di sekolahnya secara swadaya.<br />

BIGS (Kasus 4)<br />

adalah sebuah LSM lokal di Jawa Barat yang bergerak dibidang tata pemerintahan,<br />

dengan fokus utamanya transparansi APBD. BIGS (Bandung Institute of Governance<br />

Studies) telah berhasil mempublikasikan informasi seputar APBD maupun draft<br />

APBD Kota Bandung itu sendiri, melalui buku, poster dan buletin. BIGS juga telah<br />

menyelenggarakan pelatihan tentang bagaimana memahami dan menggunakan<br />

secara maksimal informasi anggaran; pelatihan ini diikuti kurang lebih 100 orang,<br />

termasuk wartawan, politisi dan lainnya. Program-program BIGS juga telah<br />

berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya transparansi<br />

anggaran. Salah satu dampak nyata dari programnya, BIGS telah berhasil<br />

membantu DPRD memperkuat fungsi pengawasannya terhadap lembaga eksekutif.<br />

Keberhasilan pemberdayaan DPRD berujung pada penghapusan sejumlah mata<br />

anggaran yang dinilai tidak jelas atau rentan terhadap penyalahgunaan; kemudian<br />

juga pengajuan dakwaan korupsi terhadap anggota DPRD yang menjabat pada<br />

masa bakti sebelumnya. Walaupun kegiatan BIGS masih belum bisa menghasilkan<br />

anggaran kota yang lebih pro-masyarakat miskin, sejumlah LSM di beberapa kota<br />

lain sudah mulai menerapkan program dan metode BIGS.<br />

WSLIC-2 (Kasus 5)<br />

adalah sebuah proyek pengadaan air bersih dan kesehatan di Jawa Timur, yang<br />

sangat menekankan partisipasi masyarakat pada tiap tahap proyeknya. WSLIC-2<br />

46


(Second Water and Sanitation for Low-Income Communities Project) telah berhasil<br />

meningkatkan akses air bersih bagi warga di dua puluh empat desa (lebih dari<br />

separuh jumlah desa yang ditargetkan, dan saat ini, antara 85-100% warga di<br />

dusun yang dikunjungi sudah memiliki akses ke sarana air bersih. Hasil yang<br />

sudah terlihat adalah meningkatnnya kualitas hidup warga di sejumlah besar<br />

desa, serta rasa kepemilikan terhadap sarana air bersih.<br />

Jembrana (Kasus 6)<br />

adalah sebuah skema jaminan kabupaten di Bali. Skema ini telah berhasil<br />

memperluas akses pelayanan kesehatan masyarakat miskin, karena mencakup<br />

penyedia pelayanan swasta maupun pemerintah. Persentase orang sakit yang<br />

berobat naik dari 29% ke 80% pada tahun pertama pelaksanaan proyek ini. Jumlah<br />

bidan di kabupaten yang dikunjungi juga telah bertambah, disertai juga dengan<br />

peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan tingkat kepuasan pengguna layanan.<br />

Namun demikian, karena sistem rujukan dokter diperketat, masyarakat miskin<br />

tidak lagi dapat menerima pelayanan kesehatan primer dari bidan dan petugas<br />

medis yang selama ini merupakan sumber pelayanan kesehatan utama bagi<br />

masyarakat miskin dipedesaan.<br />

Blitar (Kasus 7)<br />

adalah proyek pemerintah di Jawa Timur yang menyediakan dana block grant<br />

bagi proposal yang diajukan oleh kecamatan. Masyarakat kota Blitar sangat<br />

terlibat dalam proses pemilihan proyek senilai Rp. 3,6 – 6,1 milyar (US$360,000-<br />

610,000) yang berasal dari dana APBD; dalam pelaksanaan proyek ini masyarakat<br />

memberikan kontribusi bak berupa uang maupun in-kind. Hasil temuan ternyata<br />

mengungkapkan bahwa proyek ini tidak memberikan manfaat langsung bagi<br />

masyarakat miskin, selain adanya anggaran khusus untuk perbaikan rumah<br />

kumuh.<br />

Maros (Kasus 8)<br />

adalah proyek dibidang pemerintahan di Sulawesi Selatan, yang terfokus pada<br />

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan program dan anggaran<br />

pembangunan. Dalam proyek Maros, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan<br />

telah dilakukan di 19 persen desa yang ada di kabupaten tersebut. Hasil proyek ini<br />

dinilai tidak sepenuhnya baik: banyak orang terlibat dalam perencanaan, namun<br />

banyak juga yang tidak mengetahui keberadaan proyek tersebut atau merasa<br />

pesimitis terhadap proyek tersebut.<br />

Partisipasi perempuan juga sangat terbatas dan dampak perencanaan desa<br />

terhadap perencanaan kabupaten tidak diketahui secara jelas. Penambahan<br />

anggaran kabupaten berdasarkan usulan proyek desa pada tahun 2004 didorong<br />

oleh upaya advokasi LSM setempat yang bernama Forum Warga. Penyandang<br />

dana dari luar, USAID, telah menghentikan keterlibatannya sesuai jadwal (yang<br />

telah ditentukan sebelumnya).<br />

47


Boalemo (Kasus 9)<br />

adalah langkah-langkah reformasi pemerintahan di Gorontalo yang terfokus<br />

pada peningkatan kinerja dan akuntabilitas PNS. Dalam proyek tersebut, gaji<br />

pegawai negeri dinaikkan 80%, namun perbaikan kinerja pegawai negeri hanya<br />

terlihat pada membaiknya tingkat kehadiran (absensi). Penerapan sistem denda<br />

untuk memperbaiki kinerja juga terbukti tidak efektif karena tidak ada denda<br />

bagi pelanggaran pegawai pemda yang terkait dengan bidang pelayanan publik.<br />

Dihapuskannya tunjangan-tunjangan tertentu mengakibatkan timbulnya masalah<br />

finansial bagi sejumlah pegawai. Namun demikian, proyek ini menghasilkan<br />

transparansi dalam tender proyek skala kecil. Proyek ini juga telah meningkatkan<br />

peluang masyarakat yang tinggal di sekitar ibukota kabupaten untuk menyampaikan<br />

keluhan mengenai pelayanan pemerintah yang kurang baik.<br />

Hambatan dalam pelaksanaan studi kasus. Beberapa faktor membatasi kemampuan<br />

tim peneliti dalam menganalisis data lapangan. Studi kasus pengontrol tidak<br />

dilakukan dan ukuran sampel terlalu kecil. Data yang ditersedia pun kurang atau<br />

tidak memadai. Tim peneliti juga tidak memiliki standar pertanyaan penelitian.<br />

Secara khusus, dapat dikatakan bahwa fokus penelitian di bidang kemiskinan dan<br />

keuangan tidak seimbang. Studi kasus dilakukan secara paralel padahal komposisi<br />

dan keahlian anggota tim peneliti berbeda. Hal-hal ini merupakan faktor utama<br />

yang menyebabkan tercapainya hasil yang tidak seimbang. Namun, sejumlah<br />

besar upaya telah dilakukan setelah penelitian lapangan untuk melengkapi data<br />

yang kurang, juga untuk melakukan standarisasi hasil penelitian.<br />

48


3.<br />

Desentralisasi dan Kepemimpinan merupakan Faktor<br />

Kunci Kesuksesan Sejumlah Sistem Penyediaan<br />

<strong>Pelayanan</strong> yang Inovatif<br />

Sebagian besar reformasi-reformasi yang termasuk kedalam studi kasus tidak<br />

akan mungkin terlaksana tanpa adanya desentralisasi dari tingkat pusat yang<br />

mengalihkan sejumlah kewenangan pemerintah pusat ke tingkat daerah.<br />

Krisis ekonomi dan sosial yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998, termasuk<br />

lengsernya Presiden Soeharto, menyebabkan keluarnya UU. No. 22/1999 tentang<br />

Desentralisasi dan Otonomi Daerah. UU tersebut meletakkan dasar-dasar<br />

bagi program desentralisasi administratif, keuangan dan politik. Pada tahun<br />

2001, serangkaian kebijakan dan perundangan nasional diberlakukan sehingga<br />

desentralisasi menjadi suatu realitas.<br />

Kendati banyak keberhasilan yang telah dicapai, tidak konsistennya dukungan<br />

Pemerintah Pusat terhadap desentralisasi telah merusak reformasi-reformasi yang<br />

digagas pemerintah daerah dan dirintis lembaga donor.<br />

“Resentralisasi” jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin pada tahun 2004<br />

telah menggagalkan upaya reformasi pemerintah Jembrana untuk menjamin<br />

warganya secara langsung. Sementara itu, keputusan mendadak pemerintah pusat<br />

untuk meresentralisasi perekrutan pegawai negeri daerah telah mengakibatkan<br />

sentimen apatis terhadap reformasi dinas sipil di Boalemo. Kemudian, sebagai<br />

contoh terakhir, meskipun program kupon bidan dari bank Dunia di Pemalang<br />

(yang meningkatkan akuntabilitas bidan dan memperluas akses pelayanan bagi<br />

masyarakat miskin) telah membuahkan dampak yang positif, program tersebut<br />

dibatalkan dan digantikan oleh program penyediaan bidan yang dibiayai oleh<br />

pemerintah pusat.<br />

Kewenangan baru pemerintah daerah di bidang keuangan dan administrasi telah<br />

memberikan kekuatan bagi sejumlah pemimpin daerah untuk mendanai reformasi<br />

yang dirintis sendiri tanpa bantuan donor dari luar. Hal ini turut membantu<br />

terciptanya kesinambungan dana sejak awal proyek.<br />

Paska desentralisasi, daerah menjadi penerima dana dari Pemerintah Pusat yang<br />

jumlahnya cukup signifikan (sekitar 80-90% anggaran daerah) dan pemimpin daerah<br />

dapat mengalokasikan dana tersebut secara bebas sesuai kebutuhan daerah. Bupati<br />

Tanah Datar menggunakan kesempatan ini untuk merasionalisasi jumlah institusi<br />

kabupaten dari 22 menjadi 8, sehingga menghemat Rp. 10 milyar dana APBD<br />

yang kemudian dialihkan ke sektor pendidikan melalui kebijakan pembatasan<br />

jumlah siswa per kelas dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan. Untuk<br />

membiayai program jaminan kesehatannya, Bupati Jembrana menggunakan dana<br />

ASKES dari pemerintah pusat dan tabungan kabupaten sebanyak Rp. 2-3 milyar<br />

yang berasal dari efisiensi puskesmas, restrukturisasi pemerintah kabupaten dan<br />

mengurangi jumlah pegawai dinas kesehatan kabupaten. Di Blitar, pemimpin<br />

daerah memperoleh pendapatan lebih sebesar 20% dari anggaran sepanjang 2002-<br />

2004 melalui reformasi birokrasi, yang kemudian digunakan untuk mendanai<br />

49


dirintis oleh daerah dapat dilaksanakan tanpa adanya pengalihan kewenangan<br />

bidang keuangan dan administratif yang dimungkinkan oleh desentralisasi.<br />

Perpanjangan desentralisasi hingga tingkat kecamatan dan desa memungkinkan<br />

reformasi disesuaikan dengan kondisi setempat melalui gagasan dan kelompok<br />

baru serta partisipasi warga yang lebih tinggi.<br />

Pada kasus CLCC, kebijakan Manajemen berbasis Sekolah dan Kurikulum berbasis<br />

Kompetensi (School-Based Management and Competency-Based Curriculum<br />

Policies) memungkinkan staf pengajar untuk menyesuaikan kurikulum dengan<br />

kebutuhan setempat juga untuk merancang, mengembangkan dan mengelola<br />

penyediaan pelayanan. Para guru mulai menghasilkan banyak ide yang disesuaikan<br />

dengan kondisi setempat dan pengawas sekolah menyusun rencana di mana para<br />

kepala sekolah dan guru dapat saling mengevaluasi masing-masing sekolah melalui<br />

mekanisme pertemuan kelompok kerja kepala sekolah.<br />

Kebijakan nasional mengenai<br />

pengelolaan air bersih berbasis<br />

masyarakat memungkinkan<br />

adanya pengelolaan sarana<br />

air bersih oleh warga desa<br />

di bawah naungan proyek<br />

WSLIC-2. Warga desa dapat<br />

menentukan sendiri jumlah<br />

dan lokasi tangki air yang<br />

harus dibangun, untuk<br />

menjamin jangkauan dan<br />

akses. Sementara itu, Tim<br />

Kerja Proyek dan Unit Pengelola Sarana yang dipilih secara langsung, menjamin<br />

keterlibatan warga desa dalam pelaksanaan proyek.<br />

Pada banyak kasus, kelompok<br />

baru yang dibentuk terbukti<br />

sangat penting dan bahkan<br />

sangat menentukan dampak<br />

positif dari reformasi yang<br />

terjadi. Contohnya, BIGS<br />

yang didirikan oleh seorang<br />

individu dengan semangat dan<br />

idealisme tinggi, pada saat<br />

ruang gerak politik terbuka<br />

lebar sehingga individu<br />

tersebut dapat “membuat<br />

perubahan” terhadap kualitas pemerintahan yang rendah di kota Bandung. Dimana<br />

LSM daerah seperti BIGS sudah pasti akan mendapat masalah politik yang besar<br />

pada sebelum desentralisasi.<br />

50


Keterlibatan masyarakat merupakan faktor utama dalam WSLIC-2, selain membantu<br />

terciptanya kesinambungan sarana air bersih, juga memberdayakan sejumlah<br />

kelompok masyarakat, selain itu proyek ini juga telah membantu masyarakat<br />

memperbaiki aspek kehidupannya yang lain. Proyek Maros mengutamakan<br />

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan – termasuk kehadiran warga<br />

dalam proses musrenbang dimana warga wajib menyampaikan pendapatnya. Di<br />

Boalemo, warga yang tinggal dekat ibukota kabupaten memiliki lebih banyak<br />

peluang untuk menyampaikan keluhan, dan ternyata memang menjadi lebih sering<br />

melakukan hal tersebut. Bahkan, salah satu laporan masyarakat mengakibatkan<br />

pemecatan seorang pejabat yang terbukti korup.<br />

Kewenangan daerah yang<br />

besar mendorong politisi<br />

daerah, warga dan lembaga<br />

donor untuk menjadi lebih<br />

memperhatikan isu Good<br />

Governance.<br />

Keterbukaan baru memberikan<br />

keberanian bagi BIGS untuk<br />

mengungkap kasus korupsi<br />

yang dilakukan oleh anggota<br />

DPRD kota Bandung. Bupati<br />

Blitar melihat program<br />

CBG sebagai peluang bagi<br />

pemerintah daerah untuk<br />

memberdayakan kewenangan barunya dan memungkinkan para pegawai untuk<br />

mengembangkan kapasitas <strong>org</strong>anisasi dan administratif. Di Maros, adanya<br />

keterbukaan sejak awal mengakibatkan perubahan hubungan tradisional hierarkis<br />

antara pemerintah dan masyarakat.<br />

Dampak reformasi<br />

terancam oleh<br />

peraturan dan<br />

ketentuan daerah<br />

yang lemah atau<br />

kurang efektif.<br />

Tanpa adanya<br />

dokumen resmi<br />

m e n g e n a i<br />

kebijakan inovatif<br />

bidang pendidikan<br />

di Tanah Datar,<br />

tenaga pendidik cenderung meremehkan kebijakan tersebut, apalagi sosialisasi<br />

tidak dilakukan secara efektif. Di Maros, sebuah <strong>Perda</strong> mengenai perencanaan<br />

yang partisipatif disahkan pada 2003, namun tidak adanya petunjuk pelaksanaan<br />

51


mengakibatkan kerancuan peran dan tanggung jawab untuk melaksanakan,<br />

memantau dan membiayai reformasi tersebut.<br />

Di Boalemo, <strong>Perda</strong> No. 6/2004 tentang Transparansi <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> dalam<br />

Pemerintahan dengan peraturan progresif dan jelas disahkan pada tahun 2004,<br />

namun petunjuk pelaksaan belum dikeluarkan hingga bulan Maret 2006. Di<br />

Jembrana dan Blitar, para peserta proyek kesehatan dan CBG khawatir bahwa<br />

dasar hukum kebijakan (pada kedua kasus, dasar hukumnya hanya SK Bupati,<br />

bukan <strong>Perda</strong>) dapat dianulir oleh Bupati baru yang menggantikan.<br />

Di sisi lain, pada kasus dimana keberadaan peraturan daerah mendukung<br />

perubahan penyediaan<br />

pelayanan, dampak<br />

yang dihasilkan menjadi<br />

lebih baik. Pada kasus<br />

WSLIC-2, peraturan<br />

penggunaan air telah<br />

menurunkan potensi<br />

konflik, meningkatkan<br />

kepemilikan dan<br />

meningkatkan peluang<br />

kesinambungan. Di<br />

Blitar, sebuah peraturan<br />

daerah memberdayakan<br />

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) untuk mengambil alih<br />

kewenangan dan bertanggung jawab terhadap penggunaan dana block grant. Di<br />

Pemalang, peraturan penggunaan kupon (dan bukan uang) yang dapat digunakan<br />

perempuan hamil yang miskin untuk membayar bidan telah memberi insentif lebih<br />

bagi para bidan untuk melayani masyarakat miskin.<br />

Pelaksanaan inovasi<br />

tetap lebih bergantung<br />

pada pemimpin lokal<br />

daripada pemimpin<br />

luar, terlepas dari<br />

apakah pendanaan<br />

atau gagasan inovasi<br />

berasal dari pihak luar<br />

atau bukan.<br />

Bupati dan tokoh<br />

reformis pemerintah<br />

daerah lainnya<br />

bertanggung jawab atas pengembangan dan implementasi reformasi pendidikan<br />

Tanah Datar, skema jaminan kesehatan Jembrana, Program Block Grant<br />

masyarakat Blitar, dan reformasi dinas sipil di Boalemo. BIGS didirikan oleh<br />

52


seorang warga yang bisa dibilang merupakan tulang punggung dan penanggung<br />

jawab dari semua kegiatan BIGS di bidang transparansi anggaran. Sementara<br />

CLCC dan WSLIC-2 lebih bergantung kepada jenis pemimpin yang lain, misalnya<br />

kepala desa dan kepala sekolah.<br />

Dari kedua kasus dimana kepemimpinan luar berperan besar dalam pelaksanaan<br />

reformasi, proyek kupon pelayanan bidan di Pemalang telah dihentikan dan<br />

keberhasilan reformasi di Maros ternyata sangat terbatas. Maros mempunyai<br />

kelompok pendukung reformasi yaitu LSM Forum Warga, namun dalam<br />

kepemimpinan LSM tersebut masih belum bisa menghilangkan “jarak sosial”<br />

dengan masyarakat sebagai klien.<br />

Sistem Pilkada yang dilaksanakan langsung oleh rakyat, memungkinkan kelompok<br />

pencetus reformasi yang mempunyai semangat tinggi untuk dapat menempati<br />

posisi-posisi strategis di pemerintahan.<br />

Pada empat kasus, yaitu Tanah Datar, Jembrana, Blitar dan Boalemo, bupatilah<br />

yang menjadi tokoh pencetus reformasi. Para bupati ini juga merupakan pejabat<br />

kabupaten yang dipilih secara langsung, dan mempunyai reputasi sebagai pemimpin<br />

yang mengedepankan kepentingan publik: program-program yang dipromosikan<br />

tidak hanya menguntungkan secara pribadi tetapi sebagian besar kasus, para bupati<br />

tersebut rela untuk menanggung risiko politis dengan melakukan perampingan<br />

institusi pemda demi membiayai reformasi yang digagasnya. Lebih jauh lagi,<br />

tidak satu pun dari para bupati tersebut memiliki latar belakang dibidang politik<br />

– Bupati Jembrana adalah seorang dokter, Walikota Blitar adalah mantan dosen<br />

administrasi publik, dan Bupati Tanah Datar adalah seorang pengusaha yang<br />

kembali ke kampung asalnya dengan harapan untuk dapat membawa perubahan<br />

bagi masyarakatnya.<br />

Gaya kepemimpinan para pemimpin daerah, yang lebih menekankan keterlibatan<br />

pribadi dan fleksibilitas merupakan faktor kunci terciptanya dampak positif.<br />

Bupati kabupaten Tanah Datar memperkenalkan perubahan secara fleksibel,<br />

alih-alih mendorong perubahan melalui mekanisme legislasi yang beliau<br />

khawatirkan tidak akan efektif. Pemimpin BIGS menggunakan pendekatan<br />

trial and error untuk menentukan metode atau mekanisme mana yang dapat<br />

diterapkan. Kepemimpinan Bupati Jembrana menciptakan perubahan dengan<br />

memperjuangkan reformasi secara aktif, berbicara kepada publik, menggalang<br />

dukungan di DPRD, dan terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan.<br />

Walikota Blitar pernah mengatakan bahwa “inti dari Program community block<br />

grant adalah pembelajaran sosial, bukan kesempurnaan; masyarakat masih boleh<br />

melakukan kesalahan untuk kemudian mengambil pelajaran agar bisa bangkit dan<br />

memperbaiki diri.” Sedangkan pelaksanaan reformasi di Boalemo terbantu oleh<br />

antusiasme Bupati dalam membuka rumahnya dimana masyarakat bisa bertemu<br />

langsung dengan beliau dan kesediaannya untuk menerima masukan mereka.<br />

Sebagai catatan, beliau adalah pegawai negeri pertama yang tunjangan perjalanan<br />

dinasnya dipotong setelah adanya reformasi insentif (yang beliau rintis sendiri).<br />

53


Besarnya dampak yang dialami sekolah CLCC juga tergantung kepada<br />

kepemimpinan kepala sekolahnya. Kepala sekolah yang terbuka dan memiliki<br />

semangat partisipatif tinggi, akan lebih berhasil dibanding yang otoriter.<br />

Banyak pemimpin dengan reputasi sebagai individu yang dapat dipercaya.<br />

Bupati Boalemo membongkar pagar rumahnya dan mengundang warga untuk<br />

acara morning coffee setiap pagi. Selain itu, beliau memublikasikan nomor telepon<br />

genggam miliknya dan milik sekretarisnya agar warga dapat menghubungi secara<br />

langsung untuk melaporkan kinerja pegawai negeri.<br />

Bupati juga mengharuskan setiap pejabat tinggi untuk menempel informasi<br />

jumlah gaji di pintu kantornya masing-masing! Pemimpin BIGS terkenal karena<br />

selalu menolak sistem “komisi” yang biasanya diterdapat pada proyek Pemda. Unit<br />

Pengelola Sarana WSLIC-2 berhasil menggalang kepercayaan karena anggota<br />

<strong>org</strong>anisasi adalah warga desa itu sendiri dan dalam waktu singkat berhasil<br />

menunjukkan keahlian teknisnya.<br />

Ironisnya, peran penting pemimpin daerah justru membuat upaya yang telah<br />

dirintisnya menjadi rentan.<br />

Bupati Tanah Datar kalah dalam pemilihan berikutnya, dan pemimpin BIGS<br />

berjanji untuk mengundurkan diri pada akhir tahun 2005 (meskipun hal tersebut<br />

belum terealisir hingga bulan Mei 2006). Pada kedua kasus, tidak ada jaminan<br />

apakah penggantinya akan mempunyai komitmen atau efektifitas yang sama<br />

kuatnya untuk mendorong reformasi. Bupati Boalemo merupakan tokoh inti<br />

dalam upaya reformasinya: saluran warga untuk menyampaikan keluhan adalah<br />

rumahnya sendiri.<br />

Warga yang tinggal terlalu jauh atau yang tidak mengetahui kesibukannya<br />

dirugikan oleh kondisi tersebut. Reformasi lain di Boalemo juga sangat tergantung<br />

dimana Bupati berada: tingkat kehadiran petugas puskesmas dekat rumahnya<br />

memang meningkat, namun di puskesmas yang jaraknya satu jam dari rumah<br />

Bupati tidak demikian kondisinya.<br />

Apakah reformasi yang sepenuhnya bersifat lokal memiliki peluang keberhasilan<br />

yang lebih tinggi dibanding reformasi yang, baik pencetus maupun penyandang<br />

dana, berasal dari luar?<br />

Kasus reformasi yang digagas dan didanai secara lokal – Tanah Datar dan Blitar<br />

– relatif cukup sukses. Tanah Datar berhasil meningkatkan motivasi dan kinerja<br />

para pendidik dan meningkatkan pelayanan di beberapa sekolah. Sementara di<br />

Blitar, reformasi meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan<br />

proses seleksi proyek pembangunan. Sedangkan proyek yang digagas dan didanai<br />

pihak luar, seperti WSLIC-2, Pemalang, CLCC dan Maros, seringkali dirancang di<br />

Jakarta dan diterapkan pada tingkat kabupaten sebagai proyek utuh tanpa basis<br />

dukungan institusi setempat. Hal ini kadang membatasi terwujudnya dampak<br />

positif.<br />

54


4.<br />

Ketidakpastian Kelanjutan Pendanaan bagi Sejumlah<br />

Reformasi<br />

Kesinambungan pendanaan program-program yang didanai pihak luar tidak dapat<br />

dipastikan. Sebagai contoh, kesinambungan pendanaan reformasi di Maros tidak<br />

dapat dipastikan setelah kepergian USAID sebagai penyandang dana utama,<br />

meskipun biaya<br />

proyek relatif murah<br />

(dibutuhkan kira-kira<br />

hanya dibutuhkan<br />

sekitar 5 % dari APBD,<br />

untuk menjangkau sisa<br />

wilayah pelaksanaan<br />

program). Dana untuk<br />

m e m p e r t a h a n k a n<br />

CLCC setelah<br />

berakhirnya dukungan<br />

UNICEF juga tidak<br />

dapat dijamin.<br />

Kabupaten yang<br />

menerapkan CLCC<br />

berupaya untuk<br />

memakai sistem<br />

tersebut di 70 sekolah<br />

baru dan 30 sekolah lainnya telah mengadopsi sistem tersebut dan akan membiayai<br />

versinya sendiri. Namun demikian, di sekolah yang mempunyai dana minim atau<br />

yang mempunyai kepala sekolah yang kurang termotivasi, “replikasi spontan”<br />

sistem CLCC diperkirakan tidak akan berhasil.<br />

Sejumlah reformasi lokal yang diterapkan dengan mengalihkan biaya baru kepada<br />

klien juga menghadapi kendala keuangan.<br />

Pengeluaran di Jembrana naik sebesar 2,5 kali dari 2003 hingga 2004. Hal<br />

ini disebabkan oleh dimasukannya warga non-miskin dalam skema jaminan.<br />

Sementara, pendapatan asli daerah turun sebesar 12%. Karena ketergantungan<br />

skema terhadap pendanaan kabupaten, bupati terpaksa mengalihkan biaya kepada<br />

pemakai melalui proses pembaruan kartu kesehatan yang harus dilakukan setiap<br />

tahun.<br />

Tindakan ini selain tidak akan efektif untuk menutupi kekurangan dana, juga<br />

berakibat pada semakin tidak tercakupnya masyarakat miskin, yang justru<br />

merupakan target utama reformasi tersebut. Biaya reformasi pendidikan di Tanah<br />

Datar relatif rendah (sekitar 1,5% dari total APBD, penghematan dilakukan setelah<br />

restrukturisasi pemda) namun kabupaten tetap harus membiayai senagian besar<br />

biaya kunjungan belajar ke luar negeri bagi para praktisi pendidikan untuk dua<br />

tahun pertama. Sekolah yang ingin tetap mengirim tenaga pendidiknya ke luar<br />

55


negeri (Malaysia, Singapura dan Australia) harus membayar setengah dari biaya<br />

yang dibutuhkan, yang mana biaya tersebut kemungkinan akan dialihkan ke<br />

kepala sekolah, guru dan Komite Sekolah.<br />

Kelanjutan pendanaan lebih terjamin pada dua kasus, dimana reformasi digagas<br />

secara lokal, biayanya relatif murah dan didanai oleh daerah itu sendiri.<br />

Program community block grant Blitar biayanya tidak mencapai 2% dari total APBD<br />

setiap tahun, sementara itu reformasi birokrasi telah meningkatkan pendapatan<br />

pemkot sebesar 20% antara tahun 2002 dan 2004. Masyarakat telah memberikan<br />

kontribusi antara 13% dan 22% dari anggaran tahunan dalam bentuk tunai,<br />

dan kontribusi in-kind sebesar 5% hingga 10%. Singkatnya, biaya pelaksanaan<br />

program tersebut relatif murah, sumber pendanaan meningkat dan kontribusi<br />

masyarakatpun cukup signifikan. Reformasi Boalemo, walau hasilnya tidak<br />

terlalu sukses, biayanya tidak terlalu tinggi dan dana bersumber dari realokasi<br />

dana salah satu departemen. Namun demikian, realokasi tunjangan dinas telah<br />

membebani pegawai pemda karena diputuskan bahwa beberapa biaya dinas resmi<br />

dihapuskan.<br />

5.<br />

56<br />

Kurangnya Diseminasi Informasi menjadi Penghambat<br />

Upaya Membangun Kepercayaan Masyarakat<br />

Pemimpin membangun kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesadaran<br />

masyarakat mengenai kekurangan pemberian pelayanan.<br />

Di Tanah Datar, Blitar dan Jembrana, pemimpin reformis menyuarakan<br />

himbauan tentang kebutuhan akan reformasi dan pentingnya hal tersebut. Para<br />

bupati menyampaikan pesan ini berulang-kali, dan berhasil untuk meletakkan<br />

reformasi sebagai salah satu agenda politik teratas. Pada saat yang sama, mereka<br />

meningkatkan kesadaran warga akan kelemahan pelayanan yang ada.<br />

Pemimpin membangun kepercayaan dengan menggalang dukungan untuk<br />

mereformasi pegawai negeri.<br />

Bupati Jembrana menunjuk para pendukungnya untuk memimpin puskemaspuskesmas<br />

setempat dan melibatkan DPRD secara aktif. Walikota Blitar<br />

mengangkat birokrat muda yang berprestasi untuk menduduki posisi-posisi<br />

pemerintahan yang strategis, dan melibatkan pemimpin di setiap tingkat dalam<br />

proses proyek yang dilakukan. Di Boalemo, dimana lingkungan reformasi terasa<br />

sulit, Bupati setempat telah berupaya untuk menggalang dukungan di antara<br />

pegawai negeri untuk mengimbangi para birokrat yang resisten.<br />

Pemimpin membangun kepercayaan melalui kerjasama dengan <strong>org</strong>anisasi lokal<br />

dan dengan memanfaatkan proses lokal. Walikota Blitar menggunakan proses<br />

perencanaan lokal (Musrenbang) sebagai acuan Program Community Block<br />

Grant, dan meningkatkan partisipasi warga. Meskipun sebelumnya tidak terlalu<br />

diperhitungkan, Bupati Pemalang akhirnya menempatkan puskesmas kecamatan<br />

sebagai bagian inti dari proyek kupon pelayanan bidan. CLCC bekerja melalui


Kelompok Kerja Guru dan Kepala Sekolah, serta Komite Sekolah untuk<br />

meningkatkan pelayanan pendidikan.<br />

Proses persiapan yang lama memungkinkan tumbuhnya kepercayaan.<br />

CLCC berhasil membantu meningkatkan kesadaran akan kebutuhan reformasi<br />

dengan mewajibkan sekolah proyeknya untuk mengirimkan tenaga pendidiknya<br />

mengikuti sesi pelatihan dan lokakarya.<br />

Selama 4 tahun<br />

BIGS menjajal<br />

berbagai pendekatan<br />

untuk memperbaiki<br />

penyediaan pelayanan<br />

publik sebelum<br />

akhirnya menetapkan<br />

satu pendekatan; dan<br />

di saat yang sama<br />

BIGS membangun<br />

reputasi sebagai suatu<br />

<strong>org</strong>anisasi jujur dan<br />

teladan. Program<br />

Community Block Grant<br />

Blitar dikembangkan<br />

selama bertahun- tahun. Proyek ini dimulai dengan proses “penjaringan aspirasi<br />

masyarakat” (jaring asmara) yang membantu pemerintah daerah mengetahui<br />

serta memahami keinginan dan kebutuhan warga.<br />

Bukti anekdot menunjukkan adanya proses penerimaan dari pihak penyedia<br />

pelayanan.<br />

Guru dan kepala sekolah<br />

yang kembali dari<br />

kunjungan belajar ke luar<br />

negeri menjadi yakin<br />

bahwa tujuan bupati<br />

mereformasi bidang<br />

pendidikan merupakan<br />

tindakan yang benar,<br />

dan mereka juga<br />

mempromosikan inovasi<br />

lainnya (yang didanai<br />

sekolah) seperti pengadaan<br />

kunjungan belajar bagi guru matematika. Keberhasilan reformasi di Blitar telah<br />

mengurangi resistensi dari pihak pemerintah sendiri, dan meningkatkan kapasitas<br />

pemerintah daerah dalam menanggapi kebutuhan warga.<br />

57


Motivasi bidan di Pemalang untuk melayani masyarakat miskin meningkat dengan<br />

keikutsertaan mereka dalam program kupon, namun jumlah gaji yang lebih rendah<br />

daripada bidan non-proyek sedikit banyak mengurangi motivasi para bidan.<br />

Bukti anekdot menunjukkan adanya penerimaan dari pihak pengguna jasa.<br />

Manfaat yang jelas bagi<br />

pengguna jasa (klien)<br />

biasanya terlihat dari makin<br />

besarnya penerimaan pihak<br />

klien. Kepercayaan para ibu<br />

di Pemalang terhadap bidan<br />

yang terhimpun dalam<br />

proyek kupon meningkat<br />

berdasarkan pernyataan<br />

dari teman-teman dan<br />

t e t a n g g a - t e t a n g g a n y a<br />

bahwa pemanfaatan jasa<br />

bidan dapat “mengurangi<br />

rasa sakit dan waktu yang<br />

dihabiskan dalam proses<br />

melahirkan.” Dengan<br />

meningkatnya kepercayaan<br />

masyarakat, pemakaian<br />

pelayanan bidan juga bertambah. Di pertemuan desa di Blitar, “orang berdesakan<br />

sampai keluar pintu dan banyak yang duduk di luar.”<br />

Hal ini mencerminkan kepercayaan warga bahwa kehadiran mereka akan dapat<br />

membawa perubahan. Orangtua di Tanah Datar secara swadaya menggalang dana<br />

untuk kunjungan belajar para guru di luar negeri setelah adanya penghentian<br />

dana Pemkab. Meskipun hasil ujian CLCC tidak membaik, namun metode<br />

pengajaran baru disambut positif oleh murid dan orangtua, hal ini dibuktikan<br />

oleh penerapan CLCC secara spontan oleh berbagai sekolah. Sarana air bersih di<br />

Lumajang berdampak baik kepada desa-desa yang terhimpun dalam proyek, hal<br />

ini tercermin dari kesediaan warga untuk membayar biaya pemeliharaan secara<br />

reguler. Di Jembrana, tingkat kepuasan terhadap pelayanan kesehatan telah<br />

meningkat. Ketika diminta pendapatnya terhadap kemungkinan dibatalkannya<br />

skema jaminan, salah satu kelompok perempuan menjawab secara serentak,<br />

“Jangan, jangan dihentikan.”<br />

Para klien di Maros, sebaliknya, tidak melihat manfaat apapun dari proyek yang<br />

dilaksanakan dan mengganggap pertemuan perencanaan sebagai hal “sama saja<br />

dengan yang lama” dan merasa “tidak mempunyai harapan, dan merasa pesimis”<br />

tentang prospek perubahan. Tidak heran jika antusiasme mereka untuk menghadiri<br />

pertemuan, sangat rendah, dan pengetahuan yang mereka miliki mengenai proyek,<br />

terbatas .<br />

58


Sosialisasi yang kurang mengurangi dampak reformasi.<br />

Di Jembrana, sedikit sekali informasi tertulis mengenai program yang dibagikan<br />

kepada warga. Hal ini mengakibatkan penyebaran informasi hanya dari “mulut<br />

ke mulut atau melalui pertemuan ad hoc dengan para pemimpin desa atau tenaga<br />

kesehatan. Beberapa warga miskin juga tidak sadar bahwa mereka berhak untuk<br />

mendapatkan pelayanan kesehatan sekunder dan tersier, sehingga kelompok<br />

tersebut tidak sepenuhnya dapat menggunakan pelayanan ini. Di Blitar, terdapat<br />

banyak masalah dengan transparansi pengeluaran dana block grant; walaupun<br />

sebagian besar warga merasa puas dengan program tersebut, hanya sedikit warga<br />

yang memiliki akses informasi dana proyek. Di Boalemo tidak jelas apakah warga<br />

setempat mengetahui tentang reformasi birokrasi yang terjadi pada saat itu.<br />

Di Maros, perda baru tentang perencanaan yang partisipatif mempunyai dampak<br />

terbatas karena warga tidak sepenuhnya memahami baik perda tersebut<br />

maupun ketentuan mengenai partisipasi dalam perencanaan daerah. Kebijakan<br />

“Penguatan Insentif” di Tanah Datar untuk mengirim guru dan kepala sekolah ke<br />

luar negeri tidak disebarluaskan, hal ini merugikan transparansi dan membatasi<br />

dampak positif. Di Pemalang, bidan yang kewalahan sering tidak dapat memenuhi<br />

perannya untuk menyosialisasikan sistem kupon sehingga perempuan miskin yang<br />

seharusnya dapat menggunakan jasanya tidak mengetahui tentang adanya sistem<br />

kupon .<br />

Sebaliknya, program CLCC bisa menjangkau orangtua miskin karena banyak jalur<br />

digunakan untuk menyebarluaskan informasi, baik cara formal seperti pertemuan<br />

Komite Sekolah maupun cara informal seperti program radio dan pembicaraan<br />

murid dengan orangtuanya. BIGS, yang misi utamanya adalah diseminasi<br />

informasi, menggunakan berbagai jalur, seperti melalui lokakarya, buku, poster,<br />

jurnal, pers dan acara radio.<br />

6.<br />

Fleksibilitas Pelaksanaan Kegiatan-Kegiatan Reformasi<br />

Akan Memperkuat Dampak Kegiatan Tersebut<br />

Pada sebagian besar kasus, strategistrategi<br />

baru dikembangkan untuk<br />

meningkatkan dampak positif atau<br />

membalikkan dampak negatif.<br />

Kebijakan Pembatasan jumlah<br />

murid per kelas di Tanah Datar<br />

berdampak pada berkurangnya<br />

akses pendidikan bagi beberapa<br />

murid, karena tidak disertai dengan<br />

penambahan jumlah kelas. Untuk<br />

menanggapi hal tersebut, pemkab<br />

mendirikan tiga sekolah baru antara tahun 2003-2005. Sistem “report card”<br />

59


oleh BIGS tidak ditanggapi oleh penyedia pelayanan. Fleksibilitas BIGS dalam<br />

menjalankan misinya, memperbaiki pemerintahan, dicerminkan dari penjajalan<br />

yang dilakukan BIGS terhadap berbagai pendekatan sebelum akhirnya menetapkan<br />

transparansi anggaran sebagai fokus utamanya. BIGS mendapatkan sorotan positif<br />

ketika <strong>org</strong>anisasi tersebut tidak hanya menyebarluaskan informasi mengenai<br />

distorsi APBD tahun 2002, lebih jauh lagi, mereka melaporkan kasus korupsi<br />

ditubuh DPRD. Pejabat-pejabat di Pemalang bertekad untuk mempertahankan<br />

akses perempuan hamil miskin dalam program bidan setelah masa proyek berakhir<br />

dan memutuskan untuk melanjutkan skema kupon pada tahun berikutnya.<br />

Di Lumajang, terdapat kendala bahasa dalam komunikasi antara fasilitator<br />

dengan warga desa. Untuk menyikapi masalah ini, seorang fasilitator yang<br />

fasih dalam bahasa Madura direkrut. Revisi tahunan protap Program CBG<br />

Blitar memungkinkan adanya banyak perubahan dalam pelaksanaan, termasuk<br />

pembentukan Tim Pengawas Independen dan membatasi jumlah dana yang<br />

dipakai dalam proyek infrastruktur non-produktif. Di Jembrana, cakupan jaminan<br />

kesehatan diperkenalkan untuk kelahiran anak dan biaya pelayanan dikurangi.<br />

Bupati Boalemo, ketika menyadari bahwa keputusannya untuk menghilangkan<br />

beberapa tunjangan dinas berdampak secara negatif kepada bawahannya,<br />

memperkenalkan kembali tunjangan khusus untuk mengatasi masalah tersebut.<br />

Ketika fleksibilitas tidak berjalan dengan baik.<br />

Jumlah perempuan miskin yang mendapatkan pelayanan bidan di Pemalang<br />

tidak merata karena peraturan program selalu berubah dan pelaksanaan program<br />

tidak konsisten. Hal ini mencerminkan ketidakjelasan kelompok sasaran mana<br />

yang ingin diutamakan<br />

oleh kabupaten dan<br />

mekanisme untuk<br />

menjangkau kelompok<br />

tersebut. Dalam program<br />

WSLIC-2, karena warga<br />

desa diberikan wewenang<br />

untuk menetapkan<br />

skema pembayaran unit<br />

pengelola sarana, hal ini<br />

secara tidak langsung<br />

mengurangi motivasi unit<br />

pengelola sebagaimana<br />

tercermin dari situasi dimana para anggota hanya dibayar ketika sebuah masalah<br />

muncul. Kendala keuangan di Jembrana menjadi alasan untuk menetapkan skema<br />

pendaftaran baru. Hal ini bermanfaat dalam mengisi kekurangan anggaran namun<br />

berdampak negatif terhadap akses pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Di<br />

Maros, terjadi perubahan dalam perencanaan partisipatif setelah implementasi di 6<br />

(dari 20) desa, mengurangi proses dari 5 menjadi 2 hari per desa dan menghentikan<br />

pemberdayaan warga desa sebagai fasilitator proyek.<br />

60


7.<br />

Terbatasnya Dampak karena Data yang Kurang<br />

Tidak ada satupun kasus yang memiliki sistem pengumpulan data yang efektif,<br />

sehingga sulit untuk melakukan penyesuaian di tengah perjalanan proyek.<br />

Sebagai contoh, kendala dalam identifikasi dan kualifikasi kelompok sasaran di<br />

Pemalang (perempuan miskin) mungkin telah mengurangi akses proyek kupon<br />

pelayanan bidan bagi sekelompok warga miskin. Namun demikian, karena<br />

pengumpulan dan analisis data yang kurang, menjadi mustahil untuk mengetahui<br />

sejauh mana kelompok sasaran tersebut telah dijangkau oleh program kupon.<br />

Pengumpulan data proyek di Blitar juga lemah untuk mengetahui dampak proyek,<br />

seperti dana hibah mana yang dinilai sukses.<br />

Keberhasilan proyek di Maros tidak bisa diketahui karena data mengenai pendanaan<br />

dan dampak tidak memadai, terutama untuk mengetahui apakah ada hubungan<br />

antara upaya perencanaan daerah, kualitas upaya tersebut dan alokasi dana dari<br />

kabupaten. Indikator pada program CLCC juga nampaknya kurang, padahal tanpa<br />

adanya indikator yang sesuai atau tepat, sulit untuk melakukan penyesuaian<br />

pelaksanaan proyek agar dampak positif bisa optimal dampak positif. Dalam<br />

proyek WSLIC-2, kurangnya informasi dasar dan pengawasan mengakibatkan<br />

sulitnya membuat penilaian mengenai dampak proyek terhadap kesehatan.<br />

Pengelola proyek WSLIC-2 baru mulai untuk mengumpulkan informasi kesehatan<br />

secara terstruktur 5 (lima) tahun setelah proyek dimulai. Di Jembrana, tidak ada<br />

pengumpulan data secara reguler dan analisis topik-topik tertentu, termasuk<br />

berapa jumlah warga miskin yang terdaftar dalam skema jaminan kesehatan.<br />

8.<br />

Peningkatan Penyediaan <strong>Pelayanan</strong> akan lebih<br />

Menguntungkan Masyarakat Miskin jika sejak Awal<br />

Mereka Ditetapkan sebagai Kelompok Sasaran<br />

Dalam studi kasus dimana masyarakat miskin tidak ditargetkan dalam reformasi,<br />

mereka cenderung lebih dirugikan daripada diuntungkan.<br />

Kebijakan pembatasan jumlah siswa dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan<br />

di Tanah Datar mempunyai dampak yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu<br />

mengurangi tempat di SMU unggul serta menurunkan akses pendidikan bagi<br />

siswa miskin, juga memperluas kesenjangan antar sekolah. CLCC, meskipun<br />

tidak menargetkan masyarakat miskin, mempunyai dampak positif terhadap<br />

siswa miskin, namun mempunyai dampak yang lebih lemah terhadap siswa yang<br />

lebih berada secara ekonomi. BIGS tidak memfokuskan misi transparansinya<br />

untuk membantu masyarakat miskin, meskipun tujuan umumnya adalah untuk<br />

menjadikan APBD menjadi lebih pro-masyarakat miskin. Di Maros, beberapa<br />

warga miskin, seperti warga desa lain, sekarang lebih terlibat dalam perencanaan<br />

pembangunan daerah namun jangkauannya masih tidak merata. Di Boalemo,<br />

warga yang tinggal di daerah terpencil atau miskin tidak memiliki peluang yang<br />

besar untuk menyampaikan masukan tentang kinerja pegawai pemda.<br />

61


Dalam keempat kasus dimana masyarakat miskin dijadikan kelompok sasaran,<br />

dampak terhadap kelompok tersebut positif.<br />

Kupon pelayanan bidan di Pemalang meningkatkan akses pelayanan bidan bagi<br />

warga miskin. Sarana air bersih dalam WSLIC-2 di kabupaten miskin Lumajang<br />

jelas-jelas meningkatkan akses air bersih bagi warga desa, dan telah meningkatkan<br />

taraf hidup mereka. Jaminan kesehatan di Jembrana telah secara nyata<br />

meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program CBG<br />

Blitar mewajibkan kecamatan untuk mendukung renovasi rumah kumuh yang<br />

kemudian memberikan dampak positif kepada masyarakat miskin.<br />

Namun, dampak positif dalam kasus-kasus tersebut terbatas.<br />

Di Pemalang, kendala dalam mengidentifikasi, melakukan sosialisasi, dan<br />

pengawasan akses masyarakat miskin dinilai telah mengurangi dampak positif.<br />

Di WSLIC-2, beberapa desa miskin tidak diikutsertakan dalam proyek karena<br />

kepadatan penduduk yang rendah, jarak desa proyek yang jauh dan faktor-faktor<br />

lain karena berpotensi untuk menaikkan biaya proyek. Di Jembrana, pembengkakan<br />

biaya, yang terjadi karena masuknya klien non-miskin dalam skema, berakibat<br />

pada perubahan sistem pendaftaran yang merugikan kelompok miskin. Oleh karena<br />

itu, keanggotaan masyarakat miskin dalam skema jaminan kesehatan menurun<br />

lebih dari 50%. Di Blitar, meskipun ada bias pendanaan terhadap warga miskin di<br />

beberapa kecamatan, tidak ada data untuk membuktikan apakah ini disertai oleh<br />

dampak positif terhadap warga miskin tersebut.<br />

Kasus<br />

Menargetkan<br />

masyarakat miskin?<br />

Dampak terhadap masyarakat miskin<br />

Pemalang Ya + Meningkatkan, namun secara tidak rata, akses<br />

pelayanan bidan bagi warga miskin.<br />

WSLIC-2 Ya + Meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan<br />

akses air bersih.<br />

- Beberapa desa miskin tidak disertakan karena<br />

jarak atau pertimbangan lain.<br />

- Rasio tangki berbanding rumah tangga yang<br />

relatif tinggi dapat mengurangi akses rumah<br />

tangga miskin.<br />

3<br />

Jembrana Ya 1 + Akses pelayanan kesehatan bagi kelompok<br />

miskin meningkat, terutama penyandang<br />

jaminan kesehatan.<br />

- Sistem registrasi baru dan fleksibilitas sistem<br />

mungkin telah mengurangi akses warga miskin.<br />

3 Asuransi kesehatan Jembrana tidak dibentuk untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada<br />

semua warga. Penargetan masyarakat miskin sama dengan warga Jembrana lainnya, namun jaminan<br />

manfaat bagi masyarakat miskin bukan aspek yang terpenting dalam program tersebut.<br />

62


Blitar Ya + Meningkatkan dana untuk rumah kumuh<br />

? Bias pendanaan pro-masyarakat miskin di<br />

beberapa desa, namun implikasi terhadap<br />

masyarakat miskin tidak diketahui.<br />

CLCC Tidak + Meningkatnya jumlah metode pengajaran yang<br />

lebih aktif, meningkatnya partisipasi murid dan<br />

orangtua baik dari masyarakat miskin maupun<br />

non-miskin.<br />

Maros Tidak + Keikutsertaan masyarakat miskin dalam proses<br />

perencanaan pembangunan desa.<br />

- Tidak ikutsertanya sejumlah dusun termiskin<br />

dalam proses perencanaan pembangunan desa.<br />

Tanah Datar Tidak - Mengurangi akses terhadap SMU bagi beberapa<br />

murid miskin, terutama di daerah terpencil dan<br />

biaya naik di beberapa sekolah.<br />

Boalemo Tidak - Ketidakikutsertaan kelompok miskin dalam<br />

kesempatan untuk menyampaikan keluhan<br />

mengenai pegawai negeri.<br />

9.<br />

Kelangsungan Sebagian Besar Program Terancam oleh<br />

Adanya Permasalahan dengan Mitra, Kepemimpinan, dan<br />

Pendanaan<br />

Kesinambungan CLCC terancam oleh pilihan untuk menjalin kemitraan dengan<br />

Badan Perencanaan Kabupaten alih-alih dinas Pendidikan. CLCC juga terancam<br />

oleh pendanaan yang tidak jelas di sekolah-sekolah dimana sebagian besar orangtua<br />

siswa adalah warga miskin, juga dimana kepala sekolah yang bersangkutan<br />

tidak mendukung pelaksanaan proyek. Sedangkan BIGS terancam oleh rencana<br />

pemimpinnya untuk mengundurkan diri. Pemimpin baru dalam proyek tersebut<br />

sebaiknya mempunyai bakat yang sama dan inspirasi yang sebanding.<br />

Kesinambungan proyek Maros juga dipertanyakan, namun untuk membuktikan<br />

hal tersebut masih dibutuhkan banyak data. Meskipun biaya proyek ini rendah,<br />

keengganan kabupaten untuk menjamin dan menyediakan dana berarti bahwa<br />

kesinambungan proyek masih tidak pasti. Ketergantungan kepada satu pendorong<br />

utama yaitu LSM Forum Warga, yang selain kurang dikenal di tingkat desa, juga<br />

memiliki kelemahan institusional, dinilai telah mengancam prospek kesinambungan<br />

institusional reformasi di Maros; selain itu, keterlibatan warga desa yang terbatas<br />

(yang merupakan proyek perencaan yang terfokus pada desa) juga melemahkan<br />

potensi kesinambungan dari segi sosial.<br />

Kesinambungan proyek WSLIC-2 juga belum bisa diketahui. Meskipun rasa<br />

kepemilikan warga atas sarana air bersih telah meningkatkan potensi<br />

63


kesinambungan, sarana-sarana air bersih di desa-desa yang dikunjungi tim peneliti<br />

baru beroperasi maksimum selama dua tahun, dan dua sistem lainnya baru<br />

beroperasi selama satu tahun; sehingga sulit untuk mengatakan apakah proyek<br />

ini akan berlanjut. Lebih jauh lagi, hasil temuan di salah satu desa dalam proyek<br />

ini mengindikasikan bahwa hanya dengan perubahan besar, seperti menjamin<br />

terkumpulnya iuran pemeliharaan dan mencari pengganti fasilitator dari luar,<br />

kelanjutan proyek ini mungkin akan dapat terjadi.<br />

Reformasi di Jembrana akan sulit berlanjut. Pengeluaran Pemkab pada skema<br />

jaminan kesehatan meningkat pesat, karena masuknya warga non-miskin, akibatnya,<br />

pejabat Jembrana sedang menjajaki mekanisme pembiayaan yang kemungkinan<br />

besar justru akan merugikan masyarakat miskin. Investasi yang kurang dalam<br />

kerangka administratif dan ketidakjelasan dasar hukum juga mengurangi potensi<br />

kelangsungan proyek. Namun, terpilihnya kembali Bupati Jembrana pada tahun<br />

2005, mungkin akan meningkatkan peluang politis kelanjutan proyek untuk masa<br />

yang akan datang.<br />

Sebaliknya, reformasi di Blitar, dilihat dari berbagai sudut pandang, sepertinya<br />

akan berlanjut. Masyarakat merasa bahwa secara teknis, proyek yang didanai CBG<br />

lebih efisien dan mempunyai kualitas lebih tinggi dari proyek-proyek pemerintah<br />

sebelumnya. Selain itu, karena diintegrasikan dengan proses perencanaan<br />

pembangunan lokal yang sudah dijalankan, dan kerjasamanya dengan ormas<br />

lokal, juga adanya dukungan dari pegawai pemkab, nampaknya program ini<br />

secara institusional akan berkelanjutan. Terpilihnya kembali walikota Blitar juga<br />

mengindikasikan bahwa secara politis program ini akan berkelanjutan. Sedangkan<br />

kelanjutan di bidang sosial, nampaknya dapat terwujud dengan adanya keterlibatan<br />

pendanaan dari masyarakat, baik selama tahap perencanaan dan masa pelaksanaan,<br />

serta fleksibilitas bupati dalam menjalankan program. Rendahnya biaya program,<br />

adanya swadana masyarakat dan peningkatan pendapatan asli daerah, sepertinya<br />

akan menjamin bahwa secara finansial program ini akan berkelanjutan. Satusatunya<br />

ancaman terhadap kelanjutan program adalah dasar hukum yang kurang<br />

kuat.<br />

10. Pelaksanaan di Masa yang akan Datang: Memanfaatkan<br />

Hasil Temuan Studi Kasus MPMM untuk Memperkuat<br />

Sistem Penyediaan <strong>Pelayanan</strong> di Daerah Lain<br />

Menargetkan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran utama reformasi<br />

pelayanan publik, agar kelompok tersebut benar-benar menerima manfaat<br />

kegiatan.<br />

Kasus-kasus yang diketengahkan telah menunjukkan bahwa cara terbaik untuk<br />

memastikan masyarakat miskin menerima manfaat program, adalah dengan<br />

menjadikan kelompok tersebut sebagai kelompok sasaran khusus.<br />

64


Kendati dalam proyek-proyek yang tidak secara khusus menargetkan masyarakat<br />

miskin, penyesuaian di tengah berjalannya program masih dapat dilakukan untuk<br />

menekan dampak negatif serta meningkatkan dampak positif bagi masyarakat<br />

miskin. Contohnya, di Tanah Datar, seharusnya dapat disediakan dana untuk<br />

menambah jumlah guru dan ruang kelas agar bisa mengakomodir kelebihan<br />

siswa pada sekolah-sekolah di daerah miskin. Hal ini juga dapat mengurangi<br />

persaingan untuk mendapatkan tempat yang tidak tersedia bagi murid miskin.<br />

Dalam CLCC, metode outreach yang didesain untuk kebutuhan orangtua miskin<br />

dapat dimasukkan dalam implementasi dari satu sekolah ke sekolah lain. BIGS<br />

dapat mengimplementasikan kegiatan khusus, seperti publikasi poster informasi<br />

anggaran yang sudah teruji dapat dipahamii oleh masyarakat miskin, atau<br />

penyelenggaraan lokakarya yang dapat mengakomodir warga miskin, dengan<br />

harapan bahwa upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih promasyarakat<br />

miskin.<br />

Menggunakan mekanisme diseminasi informasi atau sosialisasi program yang<br />

efektif, untuk membangun kepercayaan masyarakat.<br />

Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa sosialisasi yang kurang mengakibatkan<br />

berkurangnya dampak reformasi karena kurangnya kesadaran maupun kemampuan<br />

kelompok sasaran memberdayakan reformasi. Hal ini terjadi di Maros, Boalemo,<br />

Tanah Datar dan Pemalang. Sebagai contoh, kurangnya informasi tertulis memaksa<br />

warga Jembrana untuk mengandalkan informasi dari mulut ke mulut atau kontak<br />

dengan pemimpin lokal, untuk mendapatkan informasi proyek. Siklus yang<br />

akan berulang terus menerus adalah ketika rendahnya penerimaan mengurangi<br />

potensi efektivitas sosialisasi (seperti yang terjadi di Boalemo) dan sosialisasi yang<br />

tidak efektif dapat berakibat pada merosotnya tingkat penerimaan. Hubungan<br />

kepercayaan dan sosialisasi yang baik merupakan perpaduan yang tepat.<br />

Ada banyak jalan untuk meningkatkan sosialisasi, antara lain membuat informasi<br />

tertulis dalam bentuk dokumen legal atau surat edaran, mengirimkan informasi<br />

melalui pemimpin setempat dan menyiarkan informasi di radio, televisi atau dalam<br />

surat kabar.<br />

Sebagai catatan, informasi mengenai CLCC menjangkau orangtua miskin karena<br />

program tersebut menggunakan banyak jalur untuk melakukan sosialisasi. BIGS,<br />

dimana misinya sendiri adalah upaya sosialisasi, juga menggunakan banyak jalur.<br />

Pelajaran yang dapat diambil adalah: gunakanlah berbagai pendekatan untuk<br />

diseminasi informasi.<br />

Kurangnya transparansi anggaran, bahkan dalam proyek yang menekankan<br />

partisipasi warga (Blitar) masih kurang transparan . Transparansi pendanaan<br />

seyogyanya juga menjadi salah satu fokus upaya sosialisasi.<br />

65


Mendukung pemimpin baik di kalangan pemerintah maupun LSM lokal untuk<br />

melaksanakan reformasi kebijakan penyediaan pelayanan publik.<br />

Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa inovasi dalam penyediaan pelayanan<br />

tergantung pada pemimpin setempat dan bukan yang dari luar, walaupun inovasi<br />

tersebut digagas secara lokal atau tidak. Sehingga sebaiknya dilakukan suatu<br />

pencarian sistematis untuk mengidentifikasi pemimpin-pemimpin yang berpotensi<br />

dalam reformasi peyediaan pelayanan, termasuk pemimpin “alternatif” seperti<br />

pengawas sekolah, guru yang sudah senior, kepala Komite Sekolah, dukun bayi,<br />

dan tokoh informal desa. Pencarian bisa dilakukan dengan bantuan beberapa<br />

instrumen, antar lain dengan kontak langsung, kuestioner yang dikirimkan kepada<br />

Kementerian terkait atau Asosiasi Bupati se-Indonesia serta survei LSM dan donor.<br />

Selain itu, perlu juga menyediakan pelatihan kepemimpinan.<br />

Berikan dukungan bagi pemimpin yang berupaya keras meningkatkan pelayanan.<br />

Sedikit bantuan sebenarnya bisa menguntungkan sebagian besar inovator studi kasus,<br />

terutama dalam untuk pelaksanaan, memublikasikan reformasi, mendapatkan<br />

feedback dan mengukur dampak. Contohnya, para pelaksana reformasi di Maros<br />

akan diuntungkan dengan adanya bantuan untuk mengintegrasikan antara proses<br />

perencanaan pembangunan desa dan kabupaten dengan anggaran. Mungkin dapat<br />

dipertimbangkan untuk memberikan apresiasi bagi inovasi yang sukses dengan<br />

menganugrahkan penghargaan, atau menunjukkan dukungan masyarakat kepada<br />

kegiatan yang reformis atau yang tidak biasa dilakukan. Hal ini akan dapat<br />

meredam resistensi dari kekuatan lama yang masih bertahan. Selain itu perlu<br />

juga diciptakan ruang legal untuk inovasi, seperti melalui “dispensasi bagi pilot<br />

project” yang memungkinkan uji coba di tingkat kabupaten, walaupun mungkin<br />

akan bertentangan dengan perundangan nasional.<br />

Proyek yang menggunakan pemimpin luar harus dipastikan memiliki rencana<br />

untuk meminimalisir ketergantungan kepada pemimpin-pemimpin tersebut,<br />

dan untuk melakukan peralihan kepada pemimpin lokal ketika dukungan luar<br />

berhenti.<br />

Memastikan adanya kesinambungan dana proyek reformasi pelayanan publik.<br />

Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa pendanaan proyek, termasuk semua<br />

proyek yang didanai dari luar, tidak dapat dipastikan kelanjutannya, padahal<br />

kelanjutan pendanaan sangat terkait erat dengan kesinambungan sosial: partisipasi<br />

akan terwujud jika keterlibatan seseorang dihargai dengan hasil yang lebih<br />

baik dimasa depan. Untuk proyek yang didanai lembaga donor, pastikan bahwa<br />

akan ada kesinambungan dana setelah donor menarik diri, antara lain dengan<br />

mengkorporasikannya kedalam struktur perencanaan proyek dan pengambilan<br />

keputusan.<br />

66


Beri dukungan kepada para reformis, untuk menjamin kesinambungan dana<br />

reformasi penyediaan pelayanan. Berikan dukungan kepada mereka dalam<br />

menjajaki opsi-opsi swadana (dan potensi dampak negatif yang mungkin terjadi),<br />

meningkatkan kemampuan perencanaan finansial, meningkatkan pendapatan<br />

daerah, dan merencanakan rasionalisasi pemda untuk menekan pengeluaran.<br />

Sediakan sumber dana yang tidak mengikat untuk jangka waktu beberapa tahun<br />

bagi Pemda dan LSM lokal, sebaiknya sumber dana lebih menekankan hasil<br />

dan bukan project-specific atau yang terikat waktu. Hal ini penting karena pada<br />

hakekatnya, reformasi pemerintahan biasanya tidak menghasilkan hasil seketika,<br />

bahkan lebih buruk lagi, reformasi pemerintahan dalam jangka waktu pendek<br />

cenderung memojokkan elit politik dengan tuntutan akan perubahan sikap dan<br />

akuntabilitas terhadap publik. Pendanaan reformasi pemerintahan seharusnya<br />

bercermin pada kenyataan bahwa dibutuhkan waktu untuk hasil yang baik.<br />

Perlu diajurkan reformasi biaya rendah: secara relatif reformasi yang tidak mahal<br />

(seperti CLCC atau Blitar) akan berpotensi menggalan dukungan politik yang lebih<br />

besar serta dapat menarik minat daerah lain untuk mereplikasi.<br />

Pertimbangkan alternatif yang mempunyai biaya rendah: Untuk Tanah Datar,<br />

tenaga pendidik bisa saja dikirim ke pusat pelatihan dan pendidikan yang baik<br />

di Indonesia untuk menekan biaya. Untuk CLCC, bisa dipertimbangkan untuk<br />

menggunakan bahan baku alternatif yang lebih murah, dan tersedia secara luas.<br />

Pertimbangkan kegiatan proyek yang dapat menjangkau pengguna layanan dengan<br />

biaya tambahan rendah atau yang tanpa biaya (“efek ombak”). “Efek ombak” Tanah<br />

Datar, sebagai contoh, dapat diperkuat dengan jaminan bahwa pelajaran yang<br />

diperoleh pada kunjungan belajar ke luar negeri dapat diteruskan kepada mereka<br />

yang tidak ikut pergi.<br />

Jangan terlalu hemat dengan kebutuhan dasar: investasi bagi administrasi dan<br />

manajemen dapat memberikan manfaat yang besar. Badan Pengelola Proyek di<br />

Jembrana sangat kewalahan, penambahan jumlah pegawai akan dapat membantu<br />

mempersingkat keterlambatan pembayaran kepada penyedia jasa, hal ini penting<br />

karena keterlambatan tersebut dapat berdampak buruk kepada kinerja penyedia<br />

jasa.<br />

Memastikan bahwa komponen pemantauan (monitoring) yang efektif, sudah<br />

tercakup pada semua proyek penyediaan pelayanan publik.<br />

Satu hal yang tidak membaik sejak diberlakukannya desentralisasi adalah sistem<br />

pengumpulan data. Sistem sebelumnya, yang dikelola pada tingkat provinsi telah<br />

dihilangkan, dan belum digantikan oleh sistem pada tingkat kabupaten. Perlu<br />

dicatat bahwa tidak ada satu pun kasus yang memiliki sistem pengumpulan<br />

67


data yang efektif, sehingga akan sulit untuk melakukan penyesuaian di tengah<br />

perjalanan proyek yang sebenarnya bermanfaat untuk memperkuat dampak.<br />

Penentuan indikator yang tepat adalah hal yang mutlak. Misalnya, apakah yang<br />

disebut pendidikan bermutu tinggi? Dapat dipertimbangkan untuk menjajaki<br />

definisi variabel kunci dari kelompok-kelompok stakeholder terkait. Variabel<br />

proses (seperti Komite Sekolah yang partisipatif) mungkin akan menjadi sama<br />

pentingnya dengan variabel keluaran (misalnya, seperti hasil ujian yang lebih<br />

tinggi) bagi dampak yang dihasilkan.<br />

Pengumpulan indikator sama pentingnya dengan penggunaan indikator.<br />

Sebagaimana dilihat di kasus-kasus lain, koleksi data di Blitar nampaknya kurang<br />

lengkap untuk menunjukkan dampak proyek, sehingga juga kurang untuk dipakai<br />

sebagai acuan perbaikan program. Jika, misalnya, salah satu tujuan program adalah<br />

untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan, lalu<br />

pengawasan program juga seharusnya menyertakan pengumpulan data mengenai<br />

klasifikasi jenis kelompok (perempuan, warga miskin, manula, anak-anak, pemilik<br />

usaha kecil, kelompok elit lokal, dan lain-lain) yang berpartisipasi; tahap partisipasi<br />

(pengusulan, perencanaan, pemilihan, pelaksanaan, pendanaan, pengawasan,<br />

pengelolaan); wilayah partisipan (dari daerah yang lebih memiliki ciri perkotaan,<br />

atau dari daerah yang lebih memiliki ciri pedesaan); cara berpartisipasi (berbicara<br />

di rapat, berbicara kepada pejabat setempat, menghadiri pertemuan); dan seberapa<br />

sering (sesekali, rutin, pada malam hari, dan lain-lain) Revisi rancangan program,<br />

untuk meningkatkan efektivitasnya, hanya akan berhasil jika data mengenai topiktopik<br />

yang relevan dengan tujuan proyek sudah cukup akurat dan bisa dianalisa<br />

dengan baik.<br />

Sistem pengawasan seharusnya dapat mengumpulkan informasi mengenai lokasi<br />

kontrol, dimana variabel-variabel sosio-ekonomi sudah serupa namun reformasi<br />

yang terkait belum dilakukan.<br />

Mewujudkan fleksibilitas kedalam peraturan proyek, untuk memperkuat dampak<br />

positif, maupun mengatasi dampak negatif.<br />

Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa strategi untuk memperkuat dampak<br />

positif dan mengatasi dampak negatif, dapat dikembangkan apabila aturan<br />

program bersifat fleksibel. Contohnya, proyek yang terdiri dari modul-modul yang<br />

dapat ditambahkan atau dikurangi tergantung pada kondisi lokal dapat menjadi<br />

lebih efektif daripada suatu model kaku, selama semua modul didesain untuk<br />

memenuhi tujuan umum proyek dimaksud. Dalam CLCC, meskipun komponen<br />

pengelolaan sekolah tidak efektif di sekolah yang mempunyai kepala sekolah yang<br />

kurang mendukung, komponen pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan<br />

(PAKEM) memberikan dampak positif bagi para siswa, guru dan orangtua. Hal<br />

ini menunjukkan kemajuan menuju sasaran CLCC untuk memperbaiki kualitas<br />

pendidikan.<br />

68


Mendorong implementasi hukum dan peraturan daerah yang bersifat mendukung<br />

reformasi.<br />

Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa dampak reformasi terancam jika<br />

peraturan dan regulasi daerah yang menjadi dasarnya cenderung lemah atau kurang<br />

menunjang. Pengesahan peraturan daerah yang progresif mungkin mempunyai<br />

dampak minim tanpa adanya petunjuk pelaksanaan. <strong>Perda</strong> di Maros mengenai<br />

partisipasi warga, misalnya, belum berdampak besar terhadap masyarakat.<br />

Peraturan transparansi Boalemo sangat progresif sebagaimana tertuang di<br />

atas kertas namun implementasinya yang akan menentukan apakah dapat<br />

meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Penyusunan atau pengesahan petunjuk<br />

pelaksanaan adalah kunci dalam penciptaan kondisi legal yang mendukung<br />

reformasi penyediaan pelayanan.<br />

Replikasikan inovasi penyediaan pelayanan yang berhasil.<br />

Inovasi di bidang penyediaan pelayanan yang telah direplikasi pada tingkat daerah<br />

adalah pilihan yang baik. Sekurang-kurangnya 4 (empat) <strong>org</strong>anisasi masyarakat<br />

telah mengambil manfaat dari pelatihan dan layanan informasi untuk menjajaki<br />

dan memfokuskan kegiatannya pada transparansi anggaran. Sementara itu, warga<br />

dari kota lain sudah mulai mendesak pemerintahnya untuk memublikasikan<br />

anggaran daerahnya. CLCC juga telah menyebar secara formal ke 70 sekolah baru<br />

pada tahun 2004 dan secara sporadis di 30 sekolah. Dengan menghitung penerapan<br />

sporadis, CLCC sekarang telah menjangkau 35% SD di kabupaten yang dikunjungi.<br />

Di Tanah Datar, 150 guru telah mendaftarkan dan mendapatkan bagian dana<br />

kinjungan belajar ke Malaysia dari Dinas Pendidikan kabupaten pada tahun 2004.<br />

Hal ini dilakukan kendatipun tahun anggaran proyek telah berakhir dan bahkan<br />

lebih banyak guru<br />

mendaftarkan diri<br />

pada tahun 2005.<br />

Inovasi penyediaan<br />

pelayanan dengan<br />

hasil sampingan<br />

yang tinggi<br />

( m e n i n g k a t k a n<br />

jumlah penerima<br />

manfaat tanpa<br />

menaikkan biaya)<br />

juga merupakan<br />

pilihan yang<br />

baik. Reformasi<br />

Tanah Datar<br />

menghasilkan<br />

69


perubahan yang tidak terencana sebelumnya di beberapa sekolah, seperti pengiriman<br />

anggota Komite Sekolah ke Jakarta untuk melakukan kegiatan pertukaran anggota<br />

serta pemberian penghargaan Komite Sekolah untuk guru yang berkinerja tinggi.<br />

Salah satu perubahan kreatif yang dihasilkan oleh CLCC adalah penyelenggaraan<br />

program radio sekolah tentang informasi PR dan penyajian prestasi teladan murid.<br />

Salah satu desa WSLIC-2 mecontoh skema iuran pemeliharaan sarana air, untuk<br />

mengumpulkan dana bagi pembuatan jalan sepanjang 2 km. Di desa yang lain, unit<br />

pengelola sarana setempat merencanakan pembuatan WC untuk setiap rumah<br />

tangga.<br />

Inovasi penyediaan pelayanan dengan peluang kelanjutan yang tinggi juga<br />

sepatutnya didukung. Dampak positif CBG di Blitar terhadap keterlibatan<br />

masyarakat dalam proses perencanaan, selain prospeknya yang baik terhadap<br />

kesinambungan teknis, institusional, sosial dan pendanaan, juga patut dianggap<br />

sebagai contoh proyek yang baik untuk dipelajari dan diadopsi.<br />

Gunakan hasil temuan MSWP untuk mengusahakan terwujudnya lingkungan<br />

kebijakan tingkat nasional yang kondusif bagi reformasi penyediaan pelayanan<br />

daerah.<br />

Kerangka peraturan yang jelas, sangat penting untuk pemimpin daerah. Meskipun<br />

ruang lingkup kebijakan nasional di Indonesia sangat mendukung secara umum,<br />

tidak konsistennya pelaksanaan kebijakan desentralisasi mengurangi dampak<br />

inovasi pemberian pelayanan. Kasus Jembrana dan Pemalang memberikan contoh<br />

dimana kebijakan kesehatan nasional dapat merugikan upaya yang potensial<br />

di daerah untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pelayanan bagi<br />

masyarakat miskin. BupatiBoalemo, yang memiliki antusiasme tinggi terhadap<br />

keputusan Pemerintah Pusat yang mengalihkan rekrutmen pegawai negeri,<br />

berupaya keras untuk memastikan bahwa proses rekrutmen PNS dilakukan<br />

setransparan mungkin. Satu tahun kemudian, Pemerintah Pusat menghentikan<br />

kebijakan tersebut. Banyak daerah memandang hal ini sebagai salah satu bentuk<br />

ketidak seriusan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan desentralisasi.<br />

70


3. Iklim Berusaha dan Investasi Pasca Diterapkannya<br />

Kebijakan Otonomi Daerah: Studi Kasus di Beberapa<br />

Kabupaten/Kota di Indonesia<br />

1.<br />

Pendahuluan<br />

Sistem pemerintahan yang sentralistis yang berjalan selama 32 tahun dianggap<br />

sebagai pemerintahan yang tidak kondusif bagi pembangunan regional. Kebijakan<br />

pembangunan pemerintah pusat telah menciptakan pola pembangunan yang<br />

seragam yang tidak memenuhi tuntutan lokal yang sangat bervariasi. Selain itu,<br />

kebijakan pembangunan selama itu telah menciptakan ketergantungan pemerintah<br />

daerah dan pejabatnya pada pola ”mohon petunjuk ke- dan menunggu instruksi<br />

dari pusat”. Pada gilirannya, pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas yang<br />

memadai untuk menciptakan kebijakan-kebijakan pembangunan yang mampu<br />

merespon kebutuhan lokal.<br />

Pemberlakukan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 1999 nampaknya<br />

mendapatkan reaksi berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lainnya.<br />

Sayangnya, banyak orang hanya melihat sisi negatif dari pemberian otonomi daerah.<br />

Pertama, otonomi dianggap melahirkan raja-raja kecil di daerah yang cenderung<br />

menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. Kewenangan yang diberikan oleh<br />

pemerintah pusat tidak berhasil diturunkan sampai ke masyarakat pada tingkat<br />

bawah (grassroot level) melainkan telah dibajak oleh elit-elit lokal (elite capture).<br />

Kedua, otonomi daerah dianggap telah membiakkan benih-benih baru yang<br />

kemudian menghasilkan pelaku-pelaku korupsi baru. Selama masa pelaksanaan<br />

otonomi daerah banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat baik eksekutif<br />

maupun legislatif daerah. Ketiga, otonomi daerah dianggap telah menghidupkan<br />

kembali semangat primordialisme antar daerah. Dalam kenyataan, memang,<br />

beberapa daerah mempraktikkan seleksi pegawai ataupun promosi jabatan atas<br />

dasar ikatan kedaerahan.<br />

Sementara itu, sisi positif otonomi tidak mendapatkan perhatian yang memadai.<br />

Memang, sisi negatif di atas banyak terjadi dalam praktik otonomi daerah yang<br />

secara efektif berlaku sejak 2001. Akan tetapi, sisi negatif selama berlangsungnya<br />

otonomi di tahap awal, semestinya harus dipahami sebagai fenomena transisi<br />

dan sebagai gejala yang wajar terjadi di negara manapun. Sebaliknya, hanya<br />

sedikit orang yang menyoroti aspek-aspek positif yang muncul bersamaan dengan<br />

pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Beberapa daerah dengan kewenangan<br />

yang ada telah melakukan banyak inovasi dengan menciptakan peraturanperaturan<br />

daerah yang diharapkan bisa memperbaiki pelayanan publik. Karena<br />

itu, tulisan ini akan menyoroti beberapa aspek positif dari pemberlakuan otonomi<br />

daerah, terutama dari sisi peningkatan inovasi oleh pemerintah daerah dalam<br />

71


memberikan pelayanan publik yang mendorong iklim berinvestasi lebih baik.<br />

Beberapa kasus akan diangkat untuk memberikan ilustrasi bagaimana perubahanperubahan<br />

positif tersebut terjadi di lapangan. Untuk mempertajam pembahasan,<br />

diskusi akan diarahkan pada kasus pembaruan yang dilakukan oleh Pemerintah<br />

Kabupaten Lebak. Proses pembentukan dan implementasi Kantor <strong>Pelayanan</strong><br />

Perijinan Terpadu dan Komisi Transparansi dan Partisipasi dikaji secara detil<br />

untuk menjadi pelajaran bagi daerah lain.<br />

2.<br />

Otonomi Daerah dan Pembangunan Lokal<br />

Ada banyak argumen positif terkait dengan penerapan desentralisasi dan otonomi<br />

daerah. Salah satu argumen penting dari pelaksanaan desentralisasi adalah bahwa<br />

desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya dan daya tanggap<br />

pemerintah. Efisiensi alokasi merupakan efisiensi ekonomi di mana pemerintah<br />

akan mampu memproduksi segala yang dibutuhkan oleh konsumen. Desentralisasi<br />

kewenangan akan membawa pemerintah lebih dekat dengan warganya. Dalam<br />

hal ini, pemerintah daerah dianggap memiliki informasi yang lebih baik mengenai<br />

preferensi dari masyarakat lokal dibandingkan dengan pemerintah pusat. Karena<br />

akses kepada konstituen lebih tinggi, pejabat lokal diharapkan bisa meningkatkan<br />

responsivitasnya.<br />

Melalui desentralisasi, pemerintah daerah tidak hanya mampu merespon<br />

kebutuhan-kebutuhan warga, tetapi juga mampu mendorong warga untuk memiliki<br />

kemauan untuk membayar (willingness to pay for services) pelayanan publik yang<br />

sesuai dengan keinginan mereka; serta mendorong warga agar memiliki kemauan<br />

untuk mempertahankan pelayanan publik yang telah diberikan (maintain services<br />

that match their demand) utamanya jika mereka telah dilibatkan dalam proses<br />

pengambilan keputusan untuk penyediaan pelayanan publik tersebut.<br />

Selain itu, desentralisasi memungkinkan bagi para pejabat lokal lebih efektif<br />

melakukan monitoring dibandingkan pejabat pemerintah pusat. Pejabat lokal<br />

lebih mudah memperoleh informasi, sementara itu pejabat pemerintah pusat<br />

perlu menyediakan investasi lebih besar untuk memperoleh informasi yang sama.<br />

Karena itu, dari sisi efektivitas pembangunan, desentralisasi memberikan peluang<br />

yang besar agar program-program yang disusun benar-benar lebih mencerminkan<br />

aspirasi masyarakat. Selanjutnya, program yang telah disusun tersebut juga akan<br />

dengan mudah dimonitor oleh pejabat daerah yang memiliki kedekatan jarak<br />

sehingga bisa mengontrol day-to-day activities.<br />

Azfar, O., Kahkonen, S., Lanyi, A., Meagher, P., and Rutherford, D., 1999. ”Decentralisation,<br />

Governance and Public Services, The Impact of Institutional Arrangements: A Review of the<br />

Literature”, IRIS Working Paper: 3<br />

Andrews, M & Schroeder, L., 2003. ”Sectoral Decentralisation and Intergovernmental Arrangements<br />

in Africa”, Public Administration and Development, 23: 29-40.<br />

72


Prinsip-prinsip efisiensi ekonomi dalam pelayanan publik akan dicapai melalui<br />

desentralisasi kewenangan apabila memenuhi beberapa syarat berikut ini:<br />

1. Tuntutan lokal akan pelayanan berbeda antar wilayah.<br />

2. Tidak ada kaitan signifikan antara pelayanan yang diberikan dan skala ekonomi<br />

untuk memproduksi pelayanan publik yang disediakan.<br />

3. Tidak ada spillovers of costs and benefits dari pelayanan publik yang diberikan<br />

oleh suatu wilayah.<br />

4. <strong>Pelayanan</strong> publik yang diberikan akan disediakan melalui sebagian dari pajak<br />

atau retribusi daerah tersebut.<br />

5. Pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai untuk memberikan<br />

(deliver) pelayanan publik yang disediakan.<br />

6. <strong>Pelayanan</strong> publik tersebut dimaksudkan untuk redistribusi pendapatan 3<br />

Desentralisasi kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat telah merubah<br />

paradigma yang selama ini berjalan. Dengan kewenangan yang dimiliki, daerah<br />

memiliki ruang yang lebih longgar untuk membuat kebijakan-kebijakan terobosan.<br />

Kerjasama antardaerah dan kerjasama dengan pihak swasta untuk pembangunan<br />

daerah lebih mudah dilaksanakan. Kalau sebelumnya kerjasama antardaerah lebih<br />

menekankan pada instruksi pemerintah pusat, sekarang inisiatif bisa muncul dari<br />

bawah. Kehadiran pemerintah pusat hanya sebagai fasilitator yang memayungi<br />

kerjasama tersebut.<br />

3.<br />

Otonomi Daerah dan Inovasi <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong><br />

Sejak digulirkannya otonomi, banyak sekali pemerintah daerah yang telah<br />

melakukan berbagai pembaruan dalam pelayanan publik. Daerah-daerah banyak<br />

yang mulai menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak semata-mata<br />

bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan bagaimana<br />

mereka menarik investor agar mau menanamkan modalnya ke daerah mereka.<br />

Pemerintah Daerah Gorontalo, misalnya, pada 12 Mei 2006 justru mengeluarkan<br />

Peraturan Gubernur No 8 Tahun 2006 untuk membebaskan pungutan retribusi<br />

daerah.<br />

Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban pungutan serta<br />

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan akhir kebijakan tersebut<br />

adalah untuk meningkatkan minat usaha masyarakat, pertumbuhan ekonomi<br />

daerah dan pengembangan usaha produktif masyarakat. Selain itu, di beberapa<br />

tempat banyak sekali kita temukan contoh pelayanan publik baru yang<br />

mendapatkan respon sangat positif baik dari masyarakat maupun dari pemerintah<br />

daerah lainnya dan pemerintah pusat.<br />

3 Centre for Development Studies, Review of One Stop Shops in Indonesia, Bogor Agricultural<br />

University, 2004<br />

73


Studi yang dilakukan oleh Centre for Development Studies IPB menunjukkan<br />

bahwa beberapa daerah telah mengadopsi kebijakan untuk memberikan pelayanan<br />

perijinan dengan bentuk yang bervariasi. Pemerintah daerah berusaha memberikan<br />

pelayanan perijinan bisa semudah, semurah dan secepat mungkin.<br />

Beberapa daerah sudah memulai membentuk pelayanan terpadu sejak awal<br />

pelaksanaan otonomi daerah. Kota Malang, Kabupaten Gianyar, Kota Pare-Pare,<br />

dan Kabupaten Sidoarjo mengeluarkan <strong>Perda</strong> yang terkait dengan pelayanan<br />

perijinan sejak tahun 2001. Sragen dan Pontianak baru mulai pada tahun 2002.<br />

Sementara itu Lebak baru memulai pada tahun 2005 melalui <strong>Perda</strong> No 3/2005.<br />

Dilihat dari waktu pembentukannya, daerah tertentu memang melakukan adopsi<br />

dari daerah yang lain. Sidoarjo dan Sragen, misalnya, termasuk kabupaten yang<br />

sering dikunjungi sebagai tempat studi banding.<br />

Dilihat dari bentuk kelembagaan <strong>org</strong>anisasi, ada variasi antar daerah. Beberapa<br />

daerah mengambil bentuk Dinas (Malang, Sidoarjo), Kantor (Sragen, Gianyar,<br />

Pontianak, dan Lebak), dan Unit (Pare-Pare). Bentuk kelembagaan <strong>org</strong>anisasi yang<br />

berbeda-beda tersebut berimplikasi pada jumlah personil yang harus ditempatkan<br />

untuk memberikan pelayanan. Untuk skala Dinas, personil yang dibutuhkan<br />

sangat besar, yakni sekitar 60an orang. Sedangkan untuk ukuran Kantor dan Unit,<br />

kebutuhan personilnya jauh lebih sedikit, yakni berkisar antara 20-30 orang.<br />

Tabel 1: Daerah yang Membentuk <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu<br />

Daerah Bentuk Status Hukum Jumlah<br />

Staf<br />

Sragen Kantor <strong>Perda</strong> No 17/2002 dan No 15/2003 29<br />

Malang Dinas SK Walikota No 19/2001 62<br />

Gianyar Kantor SK Bupati No 759/1994; <strong>Perda</strong> No 4/2001 33<br />

Pontianak Kantor SK Walikota No 16/1999; <strong>Perda</strong> No 7/2002 25<br />

Pare-Pare Unit SK Walikota No 102/2001 20<br />

Sidoarjo Dinas <strong>Perda</strong> No 2/2001; SK Bupati No 16/2001 66<br />

Lebak Kantor <strong>Perda</strong> No 3/2005 20<br />

Sumber: sebagian diambil dari Centre for Development Studies, IPB, 2004<br />

74


Selain inovasi dalam bentuk pelayanan publik terpadu yang dimaksudkan untuk<br />

menarik investor, sejumlah daerah melakukan pembaruan dengan membentuk<br />

peraturan daerah mengenai transparansi informasi dan partisipasi. Transparansi<br />

informasi telah menjadi salah satu masalah yang mengakibatkan banyak kebijakan<br />

yang tidak berpihak kepada rakyat.<br />

Dalam dokumen Kebijakan Tata Kelola Asian Development Bank disebutkan bahwa<br />

”akses terhadap informasi yang akurat dan tepat waktu tentang perekonomian dan<br />

kebijakan pemerintah dapat menjadi vital bagi perumusan kebijakan oleh sektor<br />

swasta.” Transparansi diperlukan agar masyarakat memperoleh akses informasi<br />

mengenai apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah. Perlu<br />

dipahami bahwa penguasaan informasi adalah sebagai bentuk dominasi kekuasaan<br />

oleh pihak yang memiliki informasi terhadap mereka yang kurang memiliknya.<br />

Selama ini, penguasaan informasi sangat didominasi oleh Pemerintah (executive).<br />

Pihak legislatif yang seharusnya memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol<br />

tidak memiliki kemampuan cukup karena akses terhadap informasi sangat lemah.<br />

Pada kondisi seperti ini, peran yang dimainkan oleh lembaga legislatif menjadi<br />

sangat kurang. Lebih dari itu, di tingkat masyarakat, akses terhadap informasi juga<br />

sangat lemah. Ketika legislatif tidak bisa bekerja dengan maksimal dan masyarakat<br />

tidak bisa memberikan masukan terhadap wakil rakyatnya, Pemerintah bekerja<br />

dalam kondisi yang tidak terkontrol.<br />

Sementara itu, partisipasi diperlukan agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah<br />

menjadi legitimate. Partisipasi masyarakat untuk setiap kebijakan publik adalah<br />

proses mengekspresikan gagasan sekaligus menyalurkan keluhan terhadap<br />

pelayanan pemerintah yang dianggap kurang memuaskan. Sarana partisipasi<br />

dimaksudkan agar masyarakat: bisa didengar (to be heard), bisa dipahami (to be<br />

understood), bisa dihormati (to be respected), bisa mendapatkan penjelasan (an<br />

explanation), bisa mendengarkan permintaan maaf (an apology) dari pemerintah<br />

dan bisa mendapatkan informasi mengenai perbaikan (remedial actions) atas<br />

kesalahan yang sudah dilakukan oleh pemerintah.<br />

Daerah-daerah yang telah mengeluarkan <strong>Perda</strong> tentang transparansi dan<br />

partisipasi antara lain: Kabupaten Solok (<strong>Perda</strong> No 5 Tahun 2004), Kota Gorontalo<br />

(<strong>Perda</strong> No 03 Tahun 2002), dan Kabupaten Lebak (<strong>Perda</strong> No. 6 Tahun 2004).<br />

Dalam praktik, ternyata tidak semua daerah bisa melaksanakan <strong>Perda</strong> tersebut<br />

secara konsisten. Sementara itu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan<br />

Kota Yogyakarta saat ini sedang menunggu penggodokan Raperda Transparansi<br />

Informasi dan Partisipasi yang sudah diserahkan ke DPRD. Naskah akademik<br />

sudah disusun dan disosialisasikan kepada berbagai stakeholders. Raperda yang<br />

disusun atas dasar naskah akademik juga sudah disosialisasikan baik kepada<br />

eksekutif maupun legislatif.<br />

75


4.<br />

Studi Kasus Kabupaten Lebak<br />

Lebak adalah sebuah kabupaten miskin yang ada di ujung barat Pulau Jawa.<br />

Dulu ketika masih bagian dari Provinsi Jawa Barat, Lebak menduduki ranking<br />

24 dari 24 kabupaten yang ada. Ketika 4 kabupaten dan 2 kota memisahkan diri<br />

dan membentuk Provinsi Banten, Lebak tetap berada pada urutan terakhir. PDRB<br />

per kapitanya hanya sebesar Rp 3.174.960,00 pada tahun 2002. Sebuah angka<br />

yang jauh dibandingkan dengan Kota Tangerang yang besarnya Rp. 15.260.365,00,<br />

apalagi dengan Kota Cilegon yang besarnya Rp 30.499.086,00. Menurut Drs. Robert<br />

Chandra, MPP yang menjabat Sekretaris Bappeda Kabupaten Lebak, dari 300 desa<br />

yang ada, sebanyak 148 adalah dalam kategori Desa Tertinggal .<br />

Untuk mengejar ketertinggalan karena kemiskinan yang melilit masyarakat Lebak,<br />

Pemerintah Daerah Lebak berusaha memperbaiki berbagai kebijakan pembangunan.<br />

Upaya itu akan diwujudkan melalui paradigma baru visi pembangunannya, yakni:<br />

”Kabupaten Lebak Menjadi Daerah yang Menarik untuk Berinvestasi pada tahun<br />

2009”. Visi tersebut diterjemahkan ke dalam misi: ”Mewujudkan Lebak sebagai<br />

daerah yang kondusif dalam berinvestasi untuk percepatan pembangunan dalam<br />

rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat berlandaskan iman dan taqwa”. Untuk<br />

itu, sejumlah terobosan telah dilakukan:<br />

1. pembangunan infrastruktur dasar penunjang investasi seperti jalan, air bersih,<br />

listrik dan telekomunikasi<br />

2. efektivitas sistem dan prosedur pelayanan perijinan (tepat waktu dan biaya<br />

jelas)<br />

3. penerapan kaidah-kaidah tata pemerintahan yang baik seperti transparansi,<br />

partisipasi dan akuntabilitas.<br />

Realisasi tersebut dilakukan antara lain dengan pembangunan infrastruktur jalan<br />

yang rusak agar memberikan kemudahan bagi investor. Saat ini kondisi jalan di<br />

Lebak 72,98% dalam kondisi rusak (666.06 Km) dan hanya 27,02% (912,7 Km) dalam<br />

kondisi baik. Pemerintah Lebak juga membangun Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan<br />

Terpadu untuk mempermudah proses perijinan yang selama ini dianggap sebagai<br />

penghambat utama masuknya investor. Bersamaan dengan itu, Pemerintah Lebak<br />

juga membentuk Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) agar bisa mendorong<br />

terciptanya pembuatan dan implementasi kebijakan-kebijakan daerah yang baik.<br />

5.<br />

Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu<br />

5.1 Proses Pembentukan<br />

Awalnya Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu (KPPT) dibentuk melalui Surat<br />

Keputusan Bupati pada 31 Desember 2004. Melalui <strong>Perda</strong> No 3 Tahun 2005<br />

yang disahkan pada 28 Juni 2005 Pemerintah Kabupaten Lebak mempertegas<br />

keberadaan KPPT. Sebelum dibentuk, Pemerintah Kabupaten Lebak menempatkan<br />

seorang stafnya selama 2 minggu di Kabupaten Sragen untuk belajar bagaimana<br />

menerapkan pelayanan perijinan terpadu. Setelah itu, Pemerintah Lebak kembali<br />

76


mengirim 2 stafnya untuk belajar selama 1 minggu. Beberapa anggota DPRD<br />

juga pernah melakukan studi banding ke Sragen. Dari pengalaman tersebut,<br />

Kabupaten Lebak mengadopsi pelayanan perijinan terpadu. KPPT dibentuk untuk<br />

menyederhanakan perijinan yang sebelumnya terpencar-pencar di 8 (delapan) dinas<br />

sektoral. Dengan model perijinan yang lama, seseorang harus mendatangi instansi<br />

sebanyak 3-5 untuk menyelesaikan satu perijinan. Dengan KPPT, kepastian<br />

waktu, biaya dan persyaratan lainnya yang dulunya kurang jelas, sekarang telah<br />

dipertegas melalui ketentuan yang sudah diinformasikan secara jelas kepada para<br />

pengusaha.<br />

Dengan pembentukan KPPT, visi Kabupaten Lebak diterjemahkan melalui<br />

pelayanan perijinan terpadu yang bervisikan ”Handal dan Profesional dalam<br />

<strong>Pelayanan</strong> Perijinan”. Adapun misi pelayanan perijinan terpadu tersebut adalah:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

meningkatkan kualitas pelayanan perijinan<br />

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui pelayanan<br />

perijinan<br />

meningkatkan citra aparatur pemerintah dengan memberikan pelayanan yang<br />

mudah, cepat, aman dan transparan; dan<br />

meningkatkan kompetensi dan profesionalisme SDM di bidang perijinan.<br />

5.2 Penyiapan Sumber Daya Manusia<br />

Untuk memberikan pelayanan yang baik, faktor sumber daya manusia merupakan<br />

hal yang sangat penting. Kepala KPPT yang baru adalah pegawai yang awalnya<br />

dikirim ke Sragen untuk belajar tentang pelayanan perijinan. Selanjutnya, sebagai<br />

kepala KPPT dia diberikan kewenangan yang memadai untuk menentukan SDM<br />

yang dibutuhkan untuk melayani publik. Penentuan personil yang akan melayani<br />

di KPPT dianggap sangat krusial sehingga perlu seleksi secara hati-hati dan<br />

mendapatkan yang terbaik. Karena mengintegrasikan 8 dinas secara bersamasama,<br />

personil yang ditugaskan diambil yang terbaik dari masing-masing dinas.<br />

Saat ini jumlah personil KPPT sebanyak 20 orang. Dengan jumlah personil tersebut<br />

mereka harus melayani perijinan yang jumlahnya sebanyak 14 jenis. Mereka juga<br />

harus melakukan sosialisasi ke daerah-daerah di Kabupaten Lebak.<br />

Dalam memberikan pelayanan, personil KPPT menampilkan diri secara berbeda<br />

dibandingkan dengan personil pegawai Pemda pada umumnya. Mereka tidak<br />

memakai seragam birokrasi Pemda yang berwarna coklat-coklat, melainkan<br />

berbaju putih lengan panjang dan berdasi. Dengan penampilan tersebut diharapkan<br />

merubah paradigma pelayanan yang mereka terapkan dari yang ingin dilayani<br />

menjadi yang selalu melayani. Karena mereka banyak melayani dunia swasta,<br />

maka citra sebagai pelayan publik lebih kuat daripada citra sebagai penguasa.<br />

Bagaimana dengan insentif personil? Sebelum diberlakukan KPPT dengan<br />

pelayanan yang transparan, pada umumnya para pegawai bisa mendapatkan<br />

tambahan pendapatan melalui pungutan-pungutan tidak resmi. Mereka menjadi<br />

sangat rentan terhadap godaan apabila tidak ada insentif pengganti. Menurut<br />

77


Kepala KPPT, seluruh staf di KPPT dan pimpinan memperoleh tambahan<br />

penghasilan dalam bentuk insentif pelayanan. Kepala mendapatkan Rp 450 ribu,<br />

eselon IV mendapatkan Rp 350 ribu dan pelaksana memperoleh Rp 250 ribu. Ketika<br />

saya tanyakan apakah insentif sebesar itu cukup aman dari godaan ”amplop tak<br />

resmi” yang mungkin diberikan oleh mereka yang ingin mendapatkan pelayanan,<br />

mereka mengatakan bahwa tambahan uang tersebut walaupun tidak terlalu besar<br />

sudah bagus. Karena uang itu betul-betul diperoleh secara resmi, mereka juga<br />

merasa nyaman dalam menggunakannya.<br />

5.3 <strong>Implementasi</strong> dan Hasil<br />

Mengukur dampak pelayanan memang tidak bisa langsung. Faktor yang<br />

menentukan berinvestasi bersifat multidimensional. Akan tetapi adalah sangat<br />

penting untuk melihat bagaimana kepastian pelayanan itu sendiri. Tabel 2 di<br />

bawah menunjukkan berbagai jenis ijin yang diberikan oleh KPPT beserta dengan<br />

lama waktu penyelesaian untuk masing-masing jenis ijin. Menurut Kepala<br />

KPPT, ijin-ijin yang dikeluarkan pada umumnya diputuskan di tingkat KPPT.<br />

Hanya perijinan tertentu saja yang memerlukan persetujuan dari Bupati Lebak.<br />

Misalnya, untuk pendirian SPBU maka KPPT harus meminta persetujuan dari<br />

Bupati apakah diijinkan atau tidak. Dengan demikian perijinan yang dijanjikan<br />

waktunya sebagaimana tertulis dalam brosur bisa betul-betul dilaksanakan sesuai<br />

dengan waktunya. Kalau semua perijinan bisa diproses dengan cepat, diharapkan<br />

Lebak menjadi daerah yang kondusif bagi investor dalam negeri maupun asing.<br />

Tabel 2: Jenis dan Waktu <strong>Pelayanan</strong> Perijinan di Kabupaten Lebak<br />

No. Jenis Ijin Lama Penyelesaian<br />

1. Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) 7 Hari<br />

2. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 12 Hari<br />

3. Ijin Tempat Usaha (SITU)/Ijin Gangguan (SIGA) 6 Hari<br />

4. Ijin Usaha <strong>Perda</strong>gangan (SIUP) 6 Hari<br />

5. Tanda Daftar Perusahaan 6 Hari<br />

6. Tanda Daftar Gudang 6 Hari<br />

7. Tanda Daftar Industri (TDI)/Ijin Usaha Industri (IUI) 6 Hari<br />

8. Ijin Pertambangan Umum 15 Hari<br />

9. Ijin Penebangan Kayu 7 Hari<br />

10. Ijin Pengusahaan Sarang Burung Walet 7 Hari<br />

11. Ijin Kesehatan 15 Hari<br />

12. Ijin Reklame 6 Hari<br />

13. Ijin Kepariwisataan 7 Hari<br />

14. Ijin Usaha Jasa Konstruksi 7 Hari<br />

Sumber: wawancara dan brosur KPT Kabupaten Lebak 2006<br />

78


Sebagai sebuah kabupaten kecil, Lebak memiliki potensi penanaman modal<br />

bagi investor berupa pertanian, peternakan dan perhutanan/perkebunan. Akan<br />

tetapi, sampai dengan 17 Juli, ijin yang dikeluarkan pada tahun 2006 mencapai<br />

sebanyak 4.488 buah. Dengan asumsi bahwa masih ada separuh waktu dari Juli<br />

sampai Desember, diperkirakan capaian sampai akhir tahun sekitar 9.000 buah<br />

ijin. Ini berarti bahwa jumlah pelayanan per staf dalam setahun adalah 450. Dari<br />

sisi pendapatan, sampai dengan 31 Mei 2006 KPPT telah berhasil mengumpulkan<br />

Rp 1.252.420.525 atau sebesar 75% dari total target setahun yang besarnya Rp<br />

1.668.965.000.<br />

Bukan tidak mungkin bahwa kemudahan pelayanan yang diberikan justru<br />

meningkatkan PAD jauh lebih banyak. Kontribusi KPPT atas dasar target<br />

penerimaan terhadap PAD adalah sebesar 6%. Kalau sisa 6 bulan berikutnya bisa<br />

memperoleh hasil yang sama, maka kontribusi KPPT bisa mencapai 11% (total<br />

target PAD untuk Tahun Anggaran 2006 adalah: Rp 29.278.760.000). Angka ini bisa<br />

dibandingkan dengan daerah lainnya yang juga menerapkan pelayanan perijinan<br />

terpadu: Gianyar (5,5%); Malang (13,5%), Pare-pare (7,3%), Pontianak (10,3%) dan<br />

Sragen (3,4%).<br />

Tabel 3: Laporan Realisasi Pendapatan Retribusi<br />

Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak s/d 31 Mei 2006<br />

No. Uraian Target Realisasi Persentase<br />

1. Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) 1.000.000.000 915.174.425 91,52%<br />

2. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 300.000.000 57.429.250 19,14%<br />

3. Ijin Gangguan (SIGA) dan Ijin Tempat Usaha (SITU) 95.215.000 78.018.500 81,94%<br />

4. Surat Ijin Usaha <strong>Perda</strong>gangan (SIUP) 28.900.000 30.550.000 105,71%<br />

5. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 17.800.000 11.071.400 62,20%<br />

6. Tanda Daftar Gudang (TDG) 2.300.000 450.000 19,57%<br />

7. Tanda Daftar Industri (TDI) dan Ijin Usaha Industri (IUI) 5.000.000 2.425.000 48,50%<br />

8. Ijin Pertambangan Umum<br />

Iuran Tetap Pertambangan Umum<br />

Pencadangan Wilayah Pertambangan Umum<br />

13.000.000<br />

19.000.000<br />

22.000.000<br />

16.450.000<br />

27.858.500<br />

16.500.000<br />

126,54%<br />

146,62%<br />

75,00%<br />

9. Surat Ijin Jasa Konstruksi (SIUJK) 5.000.000 4.700.000 94,00%<br />

10. Ijin Pengusahaan Sarang Burung Walet 25.750.000 29.250.000 113,59%<br />

11. Ijin Penebangan Kayu 125.000.000 59.093.450 47,27%<br />

12. Ijin Kesehatan 10.000.000 3.450.000 34,50%<br />

Jumlah Retribusi 1.668.965.000 1.252.420.525 75,00%<br />

Sumber: Pemerintah Kabupaten Lebak 2006<br />

79


6.<br />

Komisi Transparansi dan Partisipasi<br />

6.1 Proses Pembentukan<br />

Keinginan berbagai pihak di Kabupaten Lebak yang difasilitasi oleh Initiative<br />

for Local Governance Reform (ILGR) telah menghasilkan diskusi panjang<br />

untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Setelah melalui sosialisasi dan<br />

penggalangan opini melalui talkshow di radio dan publikasi di media cetak, maka<br />

terbentuk Forum Multi Stakeholder (FMS) yang diketuai oleh Drs. H. Ikhwan<br />

Hadiyyin, MM. FMS adalah gabungan dari berbagai komponen: PNS, anggota<br />

DPRD, wartawan, mahasiswa, tokoh LSM, masyarakat, aktivitas perempuan dan<br />

lain-lain, yang kesemuanya terdiri atas 17 orang yang dibagi menjadi 3 kelompok<br />

kerja (Pokja): Pokja Transparansi dan Partisipasi; Pokja Analisis Partisipasi<br />

Kemiskinan; dan Pokja Persaingan Usaha.<br />

Pokja Transparansi dan Partisipasi merupakan yang paling dinamis dan mampu<br />

melahirkan usulan kongkrit. Pada tahapan berikutnya, Pokja ini berhasil menyusun<br />

naskah akademik rancangan perda transparansi yang kemudian diajukan ke DPRD.<br />

Selanjutnya, DPRD membuat panitia khusus (Pansus) untuk membuat Raperda<br />

Transparansi yang dilanjutkan dengan diskusi publik untuk memperoleh masukan<br />

dari berbagai pihak. Pada 1 Juni 2004 DPRD berhasil mengesahkan gagasan tadi<br />

menjadi <strong>Perda</strong> Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan partisipasi dalam<br />

pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak.<br />

Dari proses tersebut nampak sekali bahwa upaya penciptaan good governance<br />

hanya mungkin kalau ada kemauan politik dari semua pihak. Dari wawancara<br />

dengan berbagai responden, awalnya memang muncul krontroversi mengenai<br />

4<br />

perlu tidaknya perda semacam itu. Berharap langsung dari birokrasi Pemda<br />

untuk memulai rasanya agak sulit karena tidak semua aparat birokrasi memiliki<br />

persepsi yang berbeda mengenai transparansi.<br />

5 <br />

Proses kebijakan publik dan penguasaan informasi seringkali masih merupakan<br />

barang mewah yang dimiliki oleh pejabat publik. Memberikan sebagian informasi<br />

dan melibatkan partisipasi kepada publik sering dipandang sebagai hilangnya<br />

privilege bagi sebagian kalangan anggota DPRD yang tidak paham. 6<br />

6.2 Struktur dan Sumber Daya<br />

Sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai pemantau, pengawas,<br />

fasilitator dan mediator berkenaan dengan penerapan <strong>Perda</strong> No. 6 Tahun 2004 dan<br />

dilantik pada 12 September 2005, KTP memiliki personalia yang berasal dari para<br />

aktivis. Mereka diseleksi dari calon sebanyak 152 orang pelamar yang kemudian<br />

4 Wawancara dengan Sekretaris Bappeda Kabupaten Lebak, 6 Juni 2006.<br />

5 Wawancara dengan Ketua Fraksi PDIP, anggota Fraksi PKS dan anggota Fraksi PKB, 7 Juni 2006.<br />

6 Lihat “Buah <strong>Perda</strong> No. 6 Tahun 2004 Seharga Rp 18 milyar”, Lebak 1928.<br />

80


disaring melalui wawancara dan pembuatan makalah. Dari 40 orang yang tersaring<br />

dipilih 10 orang nama untuk diusulkan kepada DPRD. Nama-nama tersebut<br />

kemudian dipanggil untuk menjalani fit and proper test, yang nantinya akan<br />

diambil 5 orang untuk diusulkan dan ditetapkan oleh Bupati.<br />

Personalia KTP tersebut dibagi dalam lima jabatan: Ketua, Sekretaris merangkap<br />

pejabat Bidang Hukum dan Tata Pemerintahan, Pejabat Bidang Ekonomi<br />

Pembangunan merangkap anggota, Pejabat Bidang Pendidikan dan Kesejahteraan<br />

merangkap anggota dan Pejabat Bidang Keuangan dan Perijinan merangkap<br />

anggota. Masing-masing pengurus memiliki wilayah yang menjadi tanggungjawab<br />

mereka. Para pengurus KTP tersebut juga didukung oleh 6 PNS dan 3 tenaga kerja<br />

sukarela (Sudi 2006). Untuk menunjang kegiatan operasional, KTP mendapatkan<br />

dana dari APBD sebesar Rp 250 juta per tahun. Karena KTP bukan sebuah dinas,<br />

maka anggaran yang diberikan oleh APBD masih menempel di Bagian Hukum<br />

Pemda Lebak. Anggaran tersebut disamping untuk menggaji pengurus yang terdiri<br />

atas 5 orang, juga dipergunakan untuk kegiatan operasional seperti sosialisasi<br />

baik di tingkat kecamatan maupun desa. Dengan keterbatasan anggaran serta<br />

personalia, sampai saat ini KTP baru memberikan sosialisasi ke 23 kecamatan.<br />

Sementara itu sosialisasi di tingkat yang lebih rendah baru menjangkau 10 desa.<br />

Walaupun anggaran masih kecil untuk sebuah KTP dengan beban yang sangat<br />

besar, dukungan Bupati H. Mulyadi Jayabaya maupun anggota DPRD serta<br />

masyarakat menjadi sebuah dorongan semangat bagi para pengurus KTP. Dalam<br />

berbagai wawancara dengan birokrat, anggota DPRD maupun warga masyarakat,<br />

nama KTP tidak pernah luput dalam perbincangan yang mengesankan bahwa<br />

mereka bangga dengan keberadaan lembaga tersebut. Namun demikian, bukan<br />

berarti keberadaan KTP tanpa tantangan. Sebagian anggota masyarakat masih<br />

mempertanyakan kelangsungan KTP itu sendiri. Mungkinkah KTP cukup<br />

independen ketika penganggarannya juga tergantung dari Pemda? Mereka juga<br />

khawatir KTP menjadi lembaga yang sekedar sebagai tukang back up berbagai<br />

kebijakan Pemda Lebak; atau KTP hanya bisa memilah dan memilih untuk<br />

kepentingan penguasa; atau KTP hanya menunggu laporan arus dari bawah tetapi<br />

tidak bersikap pro aktif.<br />

6.3 <strong>Implementasi</strong> dan Efektivitas<br />

Bagaimana sebetulnya efektivitas KTP? Jawaban untuk itu dapat dilihat dari 2<br />

indikator: pertama, bagaimana respon instansi Pemda terhadap isu transparansi.<br />

Selanjutnya kedua, bagaimana masyarakat memanfaatkan lembaga yang ada untuk<br />

menyampaikan keluhan mengenai persoalan pemerintahan dan pembangunan.<br />

Dalam kaitannya dengan respon Pemda, pejabat Pemda Lebak ternyata lebih<br />

welcome kepada warga yang ingin mendapatkan informasi. Secara umum, para<br />

pejabat lebih mudah ditemui dan dengan senang memberikan pelayanan kepada<br />

81


tim peneliti. Itu terjadi bukan hanya pada level birokrasi, melainkan juga para wakil<br />

rakyat yang duduk di DPRD Lebak. Beberapa kali saya mencoba bertemu dengan<br />

pejabat birokrasi. Di Bappeda saya bisa langsung bertemu dengan Sekretaris<br />

Bappeda dan melakukan wawancara selama 1,5 jam. Ketika saya masuk ke kantor<br />

Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perijinan Terpadu (KPPT) saya langsung bisa wawancara<br />

dengan Kepala Kantor tersebut. Begitu juga ketika saya bertemu dengan pejabat<br />

di Bawasda, Kepala Kantornya langsung bersedia diajak wawancara selama 1 jam<br />

lebih. Di wilayah DPRD, saya langsung bisa bertemu dengan 2 orang anggota untuk<br />

memberikan informasi seputar pelayanan publik di Lebak. Keterbukaan tersebut<br />

tentu saja tidak lepas dari pengaturan dalam <strong>Perda</strong> tersebut dimana seseorang<br />

yang dengan sengaja mempersulit pemberian informasi akan diancam hukuman<br />

maksimal 5 tahun atau denda maksimal sebesar 5 juta rupiah.<br />

Kehadiran KTP juga cukup mendapatkan respek dari pejabat lainnya. Dengan<br />

berbekal kewenangan yang mereka miliki, anggota KTP dengan mudah<br />

memperoleh data yang dibutuhkan untuk klarifikasi dan verifikasi atas keluhan<br />

yang diajukan oleh warga masyarakat. Banyak sekali contoh masalah yang muncul<br />

dan memerlukan data dari berbagai instansi yang ada di daerah. Kasus penerima<br />

CPNS merupakan isu yang paling hangat dan belum selesai. Banyak sekali CPNS<br />

yang merasa proses rekrutmen tidak terbuka. Untuk kasus ini, pengurus KTP<br />

harus memperoleh data dan jawaban dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD)<br />

untuk diinformasikan kepada pemohon. Kasus yang lain menyangkut penggunaan<br />

Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT)<br />

yang seringkali tidak sesuai dengan yang digariskan oleh Pemerintah. Selain itu,<br />

masalah-masalah pembangunan seperti sekolah, jalan dan pasar yang dianggap<br />

menyimpang dari ketentuan juga menjadi keluhan yang datang dari warga<br />

masyarakat (lihat Tabel 4 dan Tabel 5).<br />

Dari kriteria yang kedua, yakni respon masyarakat, juga sangat tinggi. Dari<br />

catatan buku tamu, pada bulan Mei terdapat sebanyak sekitar 100 tamu yang<br />

mengunjungi KTP baik hanya untuk mengenal KTP maupun mengadukan masalah<br />

mereka yang terkait dengan kebijakan Pemda. Kehadiran warga tersebut juga<br />

semakin meningkat. Untuk bulan Juni, sampai dengan 6 Juni 2006 sudah terdapat<br />

129 warga yang memanfaatkan lembaga tersebut. Anggota DPRD pun banyak<br />

yang merasa perlu untuk mengunjungi kantor KTP untuk memperoleh informasi<br />

mengenai problem yang dihadapi masyarakat. Mereka memanfaatkan aspirasi yang<br />

masuk ke KTP tetapi mungkin tidak masuk ke anggota DPRD. Kalau kita lihat<br />

respon birokrasi ataupun anggota DPRD dan juga masyarakat, keduanya sangat<br />

positip. Selain itu, keuntungan yang didapat dengan adanya <strong>Perda</strong> mengenai KTP<br />

tersebut adalah munculnya dukungan finansial dari Bank Dunia yang bersedia<br />

mengucurkan bantuan sebesar Rp 18 milyar. Kucuran dana tersebut tidak terlepas<br />

dari adanya jaminan transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan kebijakan<br />

publik.<br />

82


Tabel 4: Daftar Pengaduan dan Permohonan Informasi <strong>Publik</strong> pada Komisi Transparansi dan<br />

Partisipasi Kabupaten Lebak tahun 2005<br />

No. Permasalahan Tindakan KTP<br />

1. Kinerja Kepala Desa Dicatat sebagai bahan masukan<br />

2. Fresh Money Klarifikasi ke lapangan; klarifikasi ke Kades dan Camat Wr<br />

Gunung dan diteruskan ke Bupati<br />

3. Pembangunan SD Sindang Ratu III Kec.<br />

Panggarangan<br />

4. Stiker Penerima BLT: foto Bupati dan Ketua<br />

DPRD dan anggaran stiker<br />

Dicatat sebagai bahan masukan<br />

Diteruskan ke Bupati dan Ketua DPRD; Jawaban Bupati surat<br />

No. 463/919-Pem/2005 tanggal 22 Desember 2005 sudah<br />

diteruskan kepada pemohon<br />

5. Fresh Money Surat diteruskan ke Kabag Pemerintahan<br />

6. Keselarasan Data Gakin dari kabupaten<br />

Lebak/BPS<br />

Konsultasi dengan BPS Lebak<br />

7. Ganti Rugi Bangunan SLTP II Curugbitung Mempertemukan pihak-pihak terkait; hasil kesepakatan<br />

ditandatangani keduabelah pihak<br />

8. Ketidaktransparanan dalam pembangunan<br />

Dana BOS dan Rehabilitasi SD Muncang<br />

9. Penjualan Raskin yang dijual oleh 9 Kepala<br />

Desa kepada tengkulak beras di Pandeglang<br />

Kecamatan Cikulur Lebak<br />

10. Penjelasan mengenai Dana Fresh Money<br />

dan Perimbangan dan Raskin<br />

11. Pengaduan BLT Desa Majasari Kecamatan<br />

Sobang<br />

12. Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah<br />

Lebak<br />

Sumber: dokumen KTP 2005<br />

Dicatat sebagai bahan masukan<br />

Investigasi ke lapangan (Kecamatan, Polsek, Kelurahan);<br />

menyampaikan surat ke Bupati Lebak<br />

Investigasi ke lapangan (Kelurahan dan Warga)<br />

Mengadakan investigasi ke lapangan (Camat, Penerima BLT,<br />

Kades, Sekdes dan Warga)<br />

Diteruskan ke Bupati Lebak dan Bawasda<br />

83


Tabel 5: Daftar Pengaduan dan Permohonan Informasi <strong>Publik</strong> pada Komisi Transparansi dan<br />

Partisipasi Kabupaten Lebak tahun 2006<br />

No. Permasalahan Tindakan KTP<br />

1. Untuk mendapatkan penjelasan<br />

tentang pembangunan jalan dari<br />

dana fresh money dan PKPS BBM-IP<br />

di Desa Parakan Besi Kecamatan<br />

Bojongmanik<br />

2. Kepala Desa Gunung Kencana;<br />

realisasi dana tidak sesuai dengan<br />

pelaksanaannya<br />

3. Meminta informasi berkaitan<br />

dengan pembangunan Pasar<br />

Rangkasbitung<br />

4. Meminta informasi beras raskin<br />

karena tersendatnya distribusi<br />

beras Raskin di Curugbitung<br />

5. BLT BBM tahap I tidak tepat sasaran<br />

di Curugbitung<br />

6. Mengenai distribusi jatah susu<br />

untuk Balita<br />

7. Mengenai dana fresh money tahun<br />

2005 dan dana perimbangan tahun<br />

2005 di Wanasalam<br />

8. Permohonan RAB pembangunan<br />

SMPN II Curugbitung<br />

9. Data rencana kegiatan Gunung<br />

Kencana tahun 2005<br />

10. Mengenai pemotongan Dana BLT<br />

sebesar Rp 100.000,0 per oang<br />

dengan alasan pembuatan Komisi<br />

Transparansi dan Partisipasi dan<br />

Kartu Keluarga<br />

11. Permintaan harga ruko Pasar<br />

Rangkasbitung<br />

12. Rincian bestek untuk semua<br />

tipe bangunan pasar, RAB dan<br />

angsuran kredit<br />

Sumber: dokumen KTP 2006<br />

Meminta data PKPS BBM-IP kepada Dinas PU Cipta Karya (selaku<br />

kepala satker sementara) dan menyerahkannya ke pihak pemohon<br />

Meminta informasi ke Dinas PU Lebak dan memberikannya ke pihak<br />

pemohon<br />

Meminta informasi kepada Pemkab (Asekda II) kemudian<br />

disampaikan kepada pihak pemohon<br />

Menyarankan kepada pemohon agar mngkonfirmasi langsung<br />

ke Dolog. Apabila tidak ada apresiasi yang baik maka Komisi<br />

Transparansi dan partisipasi yang akan menindaklanjutinya<br />

Mengadakan investigasi ke lapangan, mengadakan konfirmasi ke<br />

BPS<br />

Menyarankan kepada pemohon agar mengkonfirmasi langsung<br />

ke pihak Puskesmas. Apabila tidak ada apresiasi maka Komisi<br />

Transparansi dan partisipasi yang akan menindaklanjutinya<br />

Meminta data ke bagian Pemerintahan Setda, kemudian<br />

memberikannya ke pihak pemohon<br />

Meminta RAB ke pihak komite sekolah dan memberikannya ke pihak<br />

pemohon<br />

Meminta informasi ke Dinas PU Lebak dan memberikannya ke pihak<br />

pemohon<br />

Mengadakan investigasi ke lapangan (kepada Gakin yang menerima<br />

BLT), mengkonfrontir dengan penjelasan Kepala Desa<br />

Meminta data yang terkait kepada pihak Pemkab (Asekda II)<br />

Meminta data yang terkait kepada pihak Pemkab (Asekda II)<br />

84


7.<br />

Catatan Penutup<br />

Otonomi daerah telah memberikan banyak kesempatan bagi pemerintah daerah<br />

untuk melakukan perubahan. Pembaruan yang telah dilakukan oleh beberapa<br />

daerah cukup memberikan harapan bahwa otonomi daerah menjanjikan adanya<br />

arah kecenderungan yang positif.<br />

Kasus Kabupaten Lebak menjadi pelajaran yang menarik. Sebagai sebuah<br />

daerah yang miskin, Lebak tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan<br />

PAD melalui pungutan-pungutan baik pajak daerah maupun retribusi daerah<br />

sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sebagian besar pemerintah daerah.<br />

Lebak membangun dengan melakukan banyak terobosan untuk meningkatkan<br />

pelayanan publik. Pembentukan KPPT dan KTP merupakan upaya yang pantas<br />

ditiru oleh daerah-daerah lainnya.<br />

Kemudahan, kecepatan, dan kemurahan pelayanan yang ditawarkan oleh KPPT<br />

akan menjadi daya tarik bagi dunia usaha. Di sisi lain, pengusaha juga memiliki<br />

sarana apabila dalam praktik pemberian pelayanan perijinan mengalami<br />

kelambatan. KTP sebagai lembaga penyalur aspirasi merupakan bagian penting<br />

yang bisa mendampingi proses kebijakan dan pelayanan publik yang dilakukan<br />

oleh dinas-dinas lainnya.<br />

Hasil dari KPPT maupun KTP memang belum bisa dilihat, utamanya kalau<br />

harus mengacu angka-angka kuantitatif seperti peningkatan investasi daerah,<br />

pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan pendapatan masyarakat. Yang penting<br />

untuk dipahami adalah bagaimana proses yang mengikuti inovasi pelayanan publik<br />

itu sendiri. Dalam kasus Lebak, baik KPPT maupun KTP terlihat bahwa keduanya<br />

dikelola secara serius.<br />

Perbaikan sistem pelayanan perijinan dicoba diaplikasikan dengan sungguhsungguh<br />

agar bisa memberikan kepastian pelayanan dan kepuasan masyarakat.<br />

KTP sebagai lembaga yang mengontrol proses kebijakan publik juga menunjukkan<br />

arah positif sebagaimana terlihat dari respon masyarakat untuk memanfaatkan<br />

lembaga tersebut dalam menyalurkan aspirasinya. Variasi isu dan kelompok<br />

yang menyampaikan keluhan menjadi bukti bahwa lembaga tersebut berfungsi<br />

efektif. Dengan bekerjanya lembaga-lembaga pemerintah daerah secara bersih,<br />

transparan dan akuntabel akan berujung pada terciptanya daerah yang kondusif<br />

bagi investasi.<br />

Yogyakarta, 18 Juli 2006<br />

85


4. Diskusi Sesi 1:<br />

<strong>Mengkaji</strong> <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> yang<br />

Berpihak pada Kepentingan Masyarakat<br />

Tanya Jawab<br />

◊ Pertanyaan<br />

1.<br />

Sofiati Mukadi dari Yayasan Bina Lingkungan Terpadu.<br />

Saya akan menanyakan kepada Bp. Agus Pramusinto.<br />

Dari hasil yang Bapak sampaikan mengenai problem investasi daerah apakah<br />

ini sudah merupakan urutan, yaitu kondisi sosial politik keamanan, banyaknya<br />

pungutan pajak, banyaknya pungutan liar, kualitas infrastruktur dan lamanya<br />

perijinan ini, apakah urutan-urutan itu merupakan kesulitan-kesulitan yang<br />

terbanyak?<br />

Karena sering kami ini para pekerja atau buruh menjadi korban daripada tuduhan<br />

investasi tidak masuk ke Indonesia ini, yaitu yang di tadi itu. Padahal saya kira<br />

itu adalah hasil, misalnya tadi Bapak sampaikan bahwa adanya pemogokan atau<br />

pun kerusuhan yang dilakukan oleh buruh dan pekerja, karena akibat saja. Kalau<br />

bapak bandingkan di Vietnam, saya juga pernah ke Vietnam dan ke Cina, mereka<br />

itu berbeda karena semangat kerjanya berbeda, karena jaminan sosial itu di jamin<br />

oleh pemerintah, sedangkan kalau buruh Indonesia itu dari upah itulah jaminan<br />

segala-galanya, hanya ada jamsostek sedikit dari pengusaha, tapi itupun sulitnya<br />

kewajiban membayar lebih dahulu tetapi mendapatkan fasilitas terakhir.<br />

Yang kedua adalah mengenai program pelayanan bagi masyarakat miskin. Bagi<br />

masyarakat miskin yang terbanyak adalah kaum wanita, kaum perempuan,<br />

maka untuk mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia daripada lembah<br />

kemiskinan itu adalah kita fokuskan juga kepada yang perlu menerimanya yang<br />

pada umumnya adalah perempuan, yang dimarginalisasikan baik buruh migran<br />

maupun pekerja-pekerja termasuk pedagang-pedagang di sektor informal, ini<br />

kami sangat minta perhatian, karena dalam perijinan yang kami lakukan untuk<br />

memberikan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan-perempuan ini ternyata<br />

dari pemerintah daerah itu banyak kesulitan yang kami hadapi, contohnya untuk<br />

pelatihan misalnya mereka yang drop out itu atau tidak bisa melanjutkan sekolah<br />

menjadi pekerja rumah tanggal di Indonesia saja ataupun baby-sitter ataupun<br />

nanies dsbnya, itu harus ada seperti mendirikan industri, ijin gangguan yang<br />

harganya di daerah wilayah Jakarta Selatan itu bernilai 18 s/d 25 juta.<br />

Itu lebih baik uang itu untuk mendidik mereka daripada masuk ke kantong. Dengan<br />

adanya variasi harga saja kita sudah mempertanyakan apakah ini selalu mereka<br />

itu tidak berpikir untuk jangka panjang, ya pejabat-pejabat ini, apalagi jangka<br />

86


menengah atau jangka panjang, tetapi mereka selalu berpikir untuk jangka pendek<br />

dan jangka imah. Jangka imah itu sudah bahasa kami adalah untuk rumah. Jadi<br />

tolong untuk perda-perda ini agar keperpihakan bagi yang miskin terutama bagi<br />

pendidikan jangan sampai disamakan dengan industri yang memang mengganggu<br />

lingkungan, limbahnya, ataupun suaranya, ataupun hasil debu-debunya. Tetapi<br />

kalau pendidikan kan tidak menghasilkan yang demikian, tetapi menghasilkan<br />

SDM yang berkualitas, insya Allah.<br />

Terimakasih dan Ass. Wr. Wb.<br />

2.<br />

Zulfa dari Pusat Studi Asia Pasifik, UGM.<br />

Saya mencermati beberapa perda yang keluar setelah diberlakukannya otonomi<br />

daerah. Saya menemukan banyak perda yang menurut saya berasal dari negeri<br />

antah berantah. Dikatakan demikan karena<br />

1. ketika masih menjadi rancangan masyarakat tidak tahu, tidak ada perbincangan<br />

publik yang mengarah pada hal-hal yang diatur oleh rancangan tersebut<br />

sehingga tahu-tahu ada perda itu dan soal sosialisasinya juga tidak banyak<br />

yang tahu;<br />

2. banyak perda yang tidak mencerminkan karakter lokal daerah itu sendiri,<br />

sehingga tentu saja menurut saya tidak dapat menyelesaikan problem nyata<br />

yang dialami masyarakat itu. Dua hal yang bisa dicontohkan, perda di<br />

Cilacap.<br />

a. tentang perda yang mengatur keindahan bahwa setiap orang itu diwajibkan<br />

memagar rumahnya setinggi 1.5 meter. Saya kira ini perda yang sangat tidak<br />

realistis, karena masyarakat Cilacap sendiri tidak semua mempunyai rumah<br />

ada yang tinggal numpang di pekarangan orang, ada yang bahkan tidak punya<br />

sama sekali dan kalau harus memagar rumahnya dengan pagar permanen<br />

setinggi 1.5 meter ukurannya dan beberapa teknis diatur dalam perda itu saya<br />

kira ini sangat tidak mungkin dan mencerminkan bias kelas sosial tertentu<br />

yang memang bisa melaksanakan itu dan hanya cocok untuk masyarakat kota<br />

sama sekali tidak mencerminkan karakter pedesaan.<br />

b. perda air, perda yang mengatur soal pengelolaan kualitas air dan<br />

pengendalian pencemaran air. Cilacap sebagaimana diketahui sangat rawan<br />

kekurangan air terutama pada musim kemarau, karena kondisi alamnya<br />

juga airnya banyak yang berkualitas buruk. Tapi perda itu sama sekali tidak<br />

mengatur jaminan terhadap masyarakat miskin terutama yang tidak bisa<br />

mengakses air bersih sehingga mereka nasibnya walaupun sudah ada perda<br />

itu tidak berubah soal kebutuhan air. Saya ingin bertanya kepada Ibu Maulina<br />

terkait dengan presentasi yang disampaikan bahwa inovator dari daerah-daerah<br />

yang mempunyai perda yang katakan relatif positif kebanyakan dari bupati<br />

atau pemerintah, saya ingin tanya apakah ada pengalaman yang kabupaten<br />

atau kota yang sekarang mempunyai perda yang relatif positif tetapi<br />

87


pada awalnya inovatornya bukan pemerintah, misalnya pemerintahnya<br />

sebenarnya punya inisiatif yang tidak cukup berpihak tapi karena partisipasi<br />

dan tekanan dari berbagai pihak kemudian perda itu menjadi perda yang<br />

relatif positif, saya ingin diberi pengalaman soal itu.<br />

Yang kedua soal dokumen mati. Banyak perda yang tidak bisa diimplementasikan<br />

sehingga menjadi dokumen mati. Bagaimana sebaiknya kita mensikapi ini, pertama<br />

kalau perda itu ternyata menguntungkan atau merugikan pihak-pihak tertentu<br />

semestinya dia menguntungkan pihak-pihak tertentu tetapi karena tidak bisa<br />

dilaksanakan itu menjadi tidak punya efek apa-apa, apakah ini harus dibatalkan<br />

atau dicuekin saja.<br />

Terimakasih.<br />

3.<br />

Muardi Roso Djatmiko dari LBBM Unisba Bandung.<br />

Saya terfokus pada pembicara terakhir. Tapi sebelumnya dari pembicara yang<br />

tadi mengemukakan pendapat terkesan banyak perda yang tidak berpihak pada<br />

kepentingan saya kira ini musti mendapatkan perhatian, oleh karena begini,<br />

saya kuatir mungkin 2 atau 3 perda bermasalah tetapi lalu dari 2 dan 3 tadi itu<br />

digeneralisir sehingga perda-perda banyak yang bermasalah yang tidak berpihak<br />

kepada masyarakat, ini saya pikir musti dikritisi hal tadi dan saya melihat tentang<br />

retribusi, sesungguhnya kalau itu dikemukan itu kan larinya juga ke arah PAD<br />

yang larinya juga bagaimana pengumpulan tadi itu ditujukan kepada kepentingan<br />

masyarakat setempat.<br />

Sepanjang perda itu tidak bertentangan dengan kebijakan dalam bentuk PP, ini<br />

musti dicermati betul. Saya kuatir bahwa forum besar seperti ini lalu kesimpulannya<br />

banyak perda yang tidak produktif untuk kepentingan masyarakat. Tentunya<br />

harus jeli kita menghadapi hal tadi.<br />

Tentang sumber daya alam dari pembicara terakhir. Sumber daya alam yang<br />

dimaksud itu yang mana, ini tentang hutan, pertambangan, minyak dan gas bumi,<br />

kebetulan saya tadi punya waktu banyak saya sempat baca makalah Ibu dan<br />

Bapak itu bias. Apa yang dimaksud sumber daya alam, hutan kah, minyak kah,<br />

pertambangan yang mana. Khusus tentang hutan ini ada 2 aturan. Untuk Jawa<br />

dan Madura pengaturannya berbeda dengan luar Jawa dan Madura, ini sudah<br />

ratusan tahun dan khusus Jawa dan Madura ini mempunyai peraturan khusus.<br />

Ini ada hal penting terkait sumber daya alam kiranya oleh panitia bisa dicatat<br />

sumber daya alam ini ada kontradiksi mendasar, konkrit antara Pasal 33 ayat 3<br />

dengan Pasal 18 ayat 5, terjadi atau saya sebutkan dua pasal yang tidak konsisten.<br />

Sumber daya yang satu dikuasai oleh negara, Pasal 33 ayat 3; sementara Pasal 18<br />

ayat 5, daerah mempunyai kekuasaan mengacu pada otonomi daerah yang seluasluasnya.<br />

Kalau didalam aturan dasar sudah tidak konsisten bagaimana<br />

88


akan tampil didalam PP maupun dalam bentuk peraturan daerah, pasti itu tidak<br />

konsisten. Paling tidak ini satu agenda yang kita perjuangkan bersama sehingga<br />

2 pasal ini kita bisa menjadikan konsisten demi produktivitas untuk negara kita.<br />

Saya pikir itu saja.<br />

Terimakasih.<br />

4.<br />

Eri dari Sanitasi Program.<br />

Kita bicara tema besarnya adalah public service for the poor. Pertama tadi saya<br />

setuju bahwa semua perda itu harus kena pada isu sasaran. Lalu kita tahu sasaran<br />

kita adalah the poor tapi dalam prakteknya kita tahu bahwa ada masyarakat miskin<br />

yang memiliki tanah dan ada juga yang tinggal di daerah-daerah yang ilegal.<br />

Disisi lain bahwa perda-perda itu nanti akan terkait dengan proses administrasi<br />

perencanaan dan pengelolaan.<br />

Pertanyaan saya ini sangat terkait dengan perbincangan yang sedang ada didalam<br />

program kami yaitu sanitasi, bagaimana perda-perda ini harus melayani kelompok<br />

sasaran yang ada di daerah ilegal, dari daerah-daerah yang seharusnya tidak boleh<br />

ditempati tapi ditempati, itu banyak sekali di daerah-daerah urban perkotaan.<br />

Bagaimana pelayanan publik ini harus sampai kepada sasaran yang pada daerahdaerah<br />

ilegal dalam kasus ini saya fokus kan pada pelayanan air bersih dan<br />

sanitasi.<br />

Terimakasih.<br />

5.<br />

Kurniawan dari Ombusman dan juga Peneliti, Lembaga Hukum HAM dan<br />

Demokrasi.<br />

Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kebetulan ini saya melihat dari<br />

penelitinya yang dari Jogya, saya melihat penelitiannya kenapa koq kita lebih<br />

condong kepada dampak-dampak atau inkonsistensi dari perda itu sendiri, tetapi<br />

tidak melihat bagaimana para pembuat undang-undang dalam hal ini legal drafter<br />

yang ada di daerah. Sementara padahal di tingkat Nasional pun legal drafternya<br />

juga mungkin juga masih sedikit, selama ini kita mungkin sering melihat siapa<br />

yang mengesahkan atau siapa yang membuat dan beberapa ahli tentang legal<br />

drafter disini biasanya merujuk pada ketentuan yang landasan yuridis daripada<br />

landasan filosofis ataupun landasan sosiologis dalam pembuatan legal drafting<br />

itu.<br />

<strong>Pelayanan</strong> publik di berbagai sektor, mungkin kesehatan, selama ini mungkin<br />

memang akses masyarakat kecil, masyarakat yang marginal susah untuk bisa<br />

menikmati pelayanan publik. Saya melihat adanya ketidakberpihakkan sendiri<br />

dari aparat pelayanan publik di daerah. Saya juga melihat sandaran dari pelayanan<br />

publik itu sendiri belum ada karena dalam hal ini RUU <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> yang<br />

89


kebetulan sedang hangat-hangatnya dibahas dan sudah dicanangkan oleh<br />

pemerintah tentang peningkat pelayanan publik sejak tahun 2004, tapi koq dalam<br />

seminar ini dalam hasil penelitian atau tulisan-tulisan dari para pemateri tidak<br />

melibatkan bagaimana posisi dari RUU <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> sendiri terhadap yang<br />

bisa dikaitkan dengan hasil penelitian tersebut.<br />

Demikian terimakasih<br />

1.<br />

◊ Jawaban<br />

Agus Pramusinto<br />

Memang agak sulit untuk melihat apakah ini tuntutan atau dampak sehingga<br />

pengusaha merasa bahwa kondisi sekarang ini memang harus berubah. Memang<br />

kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain jaminan sosial yang diberikan<br />

oleh pemerintah hampir kita katakan nol. Misalnya ada problem mengenai<br />

pengangguran itu harus menjadi tanggungjawab siapa, orang miskin jadi<br />

tanggungjawab siapa. Kalau pemerintah punya uang cukup untuk memberikan<br />

itu tentu saja ketika orang itu misalnya dipecat dari perusahaan tentu saja akan<br />

dengan mudah minta jaminan kepada pemerintah tetapi kita tidak memiliki itu.<br />

Jadi kalau misalnya saya bekerja kemudian perusahaan juga kira-kira mau<br />

efisiensi kemudian saya harus dipecat yaitu satu-satunya sumber hidup saya,<br />

sehingga saya mau tidak mau kemudian demonya ke perusahaan. Sebetulnya<br />

kalau pemerintah bisa mengambil alih sebagian social-security itu sendiri tentunya<br />

itu akan menjadi lebih baik. Memang banyak hal yang sudah ditarik ke pemerintah<br />

misalnya dalam bentuk PAD. Tadi ada ijin gangguan segala. Di Jawa Timur itu<br />

ijin gangguan bahkan sampai perusahaan besar itu membayar 80 juta sampai 150<br />

juta. Tetapi kalau kita melihat pak Djatmiko tadi, kenapa yang dilihat hanya yang<br />

negatif. PADkan akhirnya kembali ke masyarakat. Ini pertanyaan yang saya kira<br />

perlu dipertanyakan juga, karena memang retribusi-retribusi yang ditaruh oleh<br />

pemerintah daerah seringkali juga akhirnya hanya untuk kepentingan birokrasi.<br />

Contohnya saja, kalau dibandingkan dulu sebelum otonomi, itu anggaran yang<br />

digunakan untuk pembangunan itu masih 40%, tetapi setelah otonomi saya<br />

lihat dibeberapa daerah itu kurang dari 15%, artinya apa?, apa yang ditarik oleh<br />

pemerintah daerah itu hanya untuk kepentingan internal birokrasi, untuk gaji,<br />

untuk kesejahteraan birokrasi. Kalau kita lihat peraturan standard penggajian<br />

DPRD tahun 2001 dari situ kan gaji DPRD akan sangat tergantung dari PAD,<br />

semakin tinggi PADnya gajinya semakin tinggi. Artinya bahwa kalau kita meyakini<br />

bahwa PAD akan kembali ke masyarakat kenyataan itu masih ada bahwa artinya itu<br />

kembali untuk kepentingan birokrasi dan saya kira itu yang tidak kita inginkan.<br />

Yaitu contoh tadi misalnya kalau kita tarik uang retribusi dari rumah sakit, dari<br />

orang-orang sakit tetapi kemudian yang menikmati adalah anggota dewan dalam<br />

90


entuk kesejahteraannya meningkat, untuk beli jas, untuk beli asuransi kesehatan<br />

yang sebetulnya sudah dijamin yang lain tetapi masih menambah dengan tuntutan<br />

macam-macam. Saya kira itu saja, karena waktunya terbatas.<br />

2.<br />

Enny Nurbaningsih<br />

Pertanyaan mengenai perda yang proses tidak partisipatif. Saya kira kalau<br />

prosesnya mungkin sekali partisipatif. Karena kami dalam penelitian tidak melihat<br />

pada aspek proses pembuatan perda, tetapi yang kami lihat adalah bagaimana<br />

rumusan muatan didalam perda itu dan bagaimana pula implementasinya di<br />

lapangan apakah sesuai dengan apa yang terumuskan di dalam muatan perda.<br />

Tetapi dari beberapa FGD yang kami lakukan itu memang proses-proses yang<br />

harusnya partisipatif dan kemudian isinya aspiratif itu dalam kenyataannya<br />

memang masih jauh dari yang kita harapkan.<br />

Sebagai contoh ada salah satu perda mengenai retribusi sapi perah di salah satu<br />

daerah, itu yang sudah dibatalkan oleh pusat, itu tetap saja dijalankan oleh<br />

pemerintah daerah setempat, mereka beralasan bahwa toh masyarakat juga tidak<br />

ada yang bergejolak dengan adanya perda tersebut. Kemudian kami tanyakan<br />

kepada masyarakat, lha masyarakatnya juga tidak tahu kalau ada perda tentang<br />

hal itu. Jadi ini sebetulnya ada tidak kesinkronan antara apa yang diinginkan<br />

masyarakat kemudian apa yang dituangkan dalam regulasinya.<br />

Kemudian yang terkait dengan kondisi kemudian banyak perda-perda yang<br />

pada akhirnya menjadi dokumen mati, itulah real yang ada yang kita temukan<br />

didalam penelitian ini. Bahwa seperti tadi dikemukakan ada beberapa daerah<br />

yang kemudian perda partisipatif, kemudian ada perda yang terkait keindahan,<br />

kemudian di situ ada larangan menjemur pakaian sementara lahannya sangat<br />

sempit dan harus bikin pagar, itu ada di daerah penelitian kami juga. Dan itu<br />

kemudian tidak jalan, pemerintah ya biarkan saja. Sama dengan contoh di Yogya<br />

kalau saya bisa gambarkan ada perda PKL. Disitu ada tulisan disepanjang jalan<br />

“Dilarang berjualan <strong>Perda</strong> No.6 Tahun 2000”, dibawah itu juga ada tenda PKL.<br />

Ini menggambarkan sebetulnya buat apa bikin aturan kemudian kalau tidak<br />

ditegakan, itukan juga bagian dari pelecehan kepada pejabat publik sebetulnya yang<br />

menerbitkan aturan tersebut. Kemudian yang terkait dengan SDA. Sebetulnya<br />

didalam laporan kami cukup lengkap kami paparkan itu secara sederhana SDA itu<br />

apa saja yang terkait dengan Pasal 33 tentunya kita jabarkan disitu menyangkut air<br />

bumi dan udara sebetulnya. Kemudian kita lakukan identifikasi dari keseluruhan<br />

perda yang kita kumpul itu ternyata pengaturan terbesar memang terkait dengan<br />

pertambangan galian C, kemudian hutan. Yang terkait dengan hutan ini memang<br />

terus terang saja di daerah seperti di provinsi itu mengatur soal yang tadi saya<br />

katakan flora fauna itu isinya retribusi, kemudian ada lagi perda yang didalamnya<br />

itu sebetulnya duplikasi dari peraturan diatasnya bahkan keputusan menteri<br />

karena Tap 3/2000 tidak mengatakan ada tata urut keputusan menteri kemudian<br />

91


supaya tidak dikatakan bertentangan mereka caplok kemudian jadikan perda<br />

disitu. Inikan sebetulnya bukan itu yang dimaksudkan didalam pembentukan<br />

regulasi daerah. Apakah kemudian regulasi daerah itu masih memerlukan itu<br />

atau itu harus langsung dilaksanakan, karena keputusan menteri pun sebetulnya<br />

menjadi acuan didalam pembentukan perda sepanjang itu adalah bersifat<br />

pengaturan dan direvasi dari pengaturan yang lebih tinggi. Sehingga kalau kita<br />

mempermasalahkan aspek SDA, disini yang muncul memang didalam laporan<br />

kami, kami katakan nuansa sentralistiknya sangat tinggi karena apalagi dengan<br />

UU 32 mengatakan berbagai undang-undang sektoral itu seharusnya sudah mulai<br />

dilakukan pengharmonisasian dengan undang-undang otonomi daerah, tetapi<br />

sampai sekarang ya undang-undang kehutanan juga tetap jalan seperti ketentuan<br />

di dalam rezim yang lama sehingga sifat sentralistiknya muncul. Disinilah<br />

kemudian terjadi pertentangan didalam pembentukan-pembentukan perda yang<br />

terkait dengan SDA khususnya menyangkut hutan.<br />

Kemudian menyangkut pembentukan perda, apakah ini kesalahan pada legal<br />

drafting. Saya kira bukan semata-mata legal drafting yang menjadi fokus kesalahan,<br />

tetapi adalah karena dari awal tidak ada perencanaan. Itu kami tanyakan kepada<br />

anggota dewan ketika misalnya kami melakukan pelatihan apakah perencanaan<br />

dari bapak/ibu sekalian setelah duduk di kursinya ini ke depan didalam rangka<br />

membangun regulasi untuk otonomi daerah. Tidak ada satu pun mereka yang<br />

bisa menjelaskan kami harus melakukan apa. Demikian juga di tingkat eksekutif,<br />

kami juga pernah menanyakan, rencana seperti apa Bapak/ibu lakukan dengan<br />

adanya otonomi daerah, juga mereka masih ada kebingungan. Jadi saya kira<br />

memang menjadi suatu kemendesakan bagi kita sekarang ini mari kita rencanakan<br />

dengan baik sebenarnya kita mau melakukan apa dengan adanya kekuasaan baru<br />

ini. Kemudian bagaimana the art of drafting-nya, lha itu baru urusan berikutnya.<br />

Tetapi perencanaannya harus matang dulu, jangan sekarang bikin kemudian perda<br />

tentang retribusi pelacuran, besoknya bikin yang lain, ini kan ga nyambung. Ini<br />

gambaran juga bagian dari legislasi keseluruhan di negeri kita, bahwa di Jakarta<br />

ini undang-undang juga simpang siur, hari ini RUU APP, besok ganti lagi RUU<br />

BHP, besok lagi yang lain lagi, seakan-akan ini kacau sekali prosesnya, karena<br />

perencanaannya tidak jelas disitu.<br />

3.<br />

Maulina Cahya Ningrum<br />

Ada beberapa hal yang perlu saya luruskan, sintesis dari 9 studi kasus ini sendiri<br />

itu sebenarnya kami tidak menyoroti masalah perda tapi kami secara khusus<br />

mempelajari atau meneliti mengenai inovasi atau reformasi-reformasi yang<br />

dilakukan di tingkat daerah dan inovasi-inovasi ini memang secara langsung<br />

dipicu oleh atau diawali dengan proses desentralisasi. Jadi seperti tadi yang Bpk.<br />

Alit katakan saya perlu meluruskan mengenai masalah dampak desentralisasi<br />

terhadap timbulnya inovasi-inovasi yang bersifat lokal, itu sebenarnya mungkin<br />

bukan dampak negatif tetapi memang inovasi dan reformasi yang kami teliti itu di<br />

tingkat lokal atau di tingkat kabupaten kota.<br />

92


Dalam menjawab beberapa pertanyaan yang sekiranya berhubungan dengan apa<br />

yang saya paparkan, saya akan kembali kepada konteks inovasi atau reformasi<br />

jadi bukan kepada konteks perda, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin<br />

untuk memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan tersebut.<br />

Pertanyaan pertama dari Zulfa. Kalau Mba Zulfa itu difoldernya ada materi sintesis<br />

9 studi kasus di Indonesia, di halaman 21 akan temukan daftar lokasi berikut<br />

dengan inovator dan lengkap dengan penyandang dananya. Ada banyak sekali<br />

inovasi-inovasi dan reformasi yang bukan digagas, atau dirintis oleh pihak lokal,<br />

misalnya di Kabupaten Polman, SLCC yang disana itu merupakan program Unicef,<br />

dan di Kabupaten Pemalang sistem kupon bidan disana itu merupakan program<br />

Bank Dunia bekerjasama dengan Departemen Kesehatan, ada juga program di<br />

Kabupaten Lumajang “WSLIC-2” itu juga sebenarnya bukan program yang digagas<br />

oleh lokal, cuma yang kami teliti di sana adalah bagaimana daerah melaksanakan<br />

program-program tersebut dan peran pemimpin daerah baik di tingkat kabupaten<br />

kotanya atau bahkan hanya sampai di tingkat dusunnya itu sangat signifikan<br />

dalam pelaksanaan program ini.<br />

Dan kemudian saya akan mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lain,<br />

bahwa ketika kita melihat ada sekian banyak perda yang ternyata tidak bisa<br />

mengakomodir atau memfasilitasi kepentingan masyarakat atau lebih khususnya<br />

disini masyarakat miskin, saya ingin mencoba menunjukan dari studi-studi disini<br />

bahwa kita bisa melihat upaya alternatif atau upaya-upaya yang dilakukan<br />

masyarakat di daerah-daerah yang kalau misalnya Bapak/Ibu periksa ditingkat<br />

kemiskinannya itu sebagian besar dari lokasi studi kasus ini merupakan daerah<br />

yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional.<br />

Dan populasi masyarakat miskin di daerah tersebut itu juga otomatis tinggi.<br />

Tapi di tengah kondisi yang seperti itu mereka tetap bisa untuk memfasilitasi<br />

diri sendiri atau setidaknya berusaha, tentu saja dibutuhkan juga keterbukaan<br />

dari pihak pemerintah daerahnya seperti yang kita lihat di kasus Blitar. Ketika<br />

walikota Blitar pertama kali menerapkan program community block grant, atau<br />

ketika pertama kali beliau menjabat, itu beliau bukannya tidak menghadapi<br />

resistensi bahkan dari tubuh pemerintah daerahnya sendiri, cuma keinginan beliau<br />

atau kemampuannya untuk merubah pola pikir bahwa pemerintah itu itu harus<br />

mendengarkan masyarakat dan semua proses penerapan kebijakan itu seharusnya<br />

merupakan kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat, jadi prosesnya lebih<br />

ke menjaring aspirasi masyarakat itu sendiri. Kalau ternyata perda-perda yang<br />

ada sekarang itu masih belum bisa memfasilitasi masyarakat, solusinya apa?<br />

Masyarakat kemudian akan melakukan tindakan apa untuk mengatasi masalah<br />

itu? Itulah yang kami paparkan disini. Sembilan studi kasus ini memang<br />

bukan tentang perda, sekali lagi bukan tentang perda, ini tentang inovasi atau<br />

pembaharuan yang digagas ditingkat lokal yang ternyata bisa memberikan dampak<br />

positif dan memecahkan masalah-masalah yang timbul di lokasi tersebut.<br />

93


4.<br />

Tisnanta<br />

Saya menambahkan saja dari semuanya, kalau ada perda yang diusulkan bukan<br />

oleh DPRD maupun pemerintah daerah itu ada sebagai good practices di sini<br />

dari Lampung Barat yaitu Ka<strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung Barat No.18/2004<br />

tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan berbasis masyarakat.<br />

Ini merupakan sebuah perda yang dibuat dengan proses partisipasi publik ada<br />

mekanisme konsultasi publiknya, kemudian ada proses konsultasi publik di dalam<br />

sebuah mekanisme, kemudian proses ini melalui inisiatif DPRD menjadilah sebuah<br />

perda yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat dan beberapa kelompok<br />

masyarakat di dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Namun dari segi proses<br />

bagus, tetapi sampai hari ini saya menunggu impelementasinya belum kelihatan,<br />

itu perda.<br />

Demikian juga yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat dan beberapa<br />

kelompok masyarakat di dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Namun dari<br />

segi proses bagus, tetapi sampai hari ini saya menunggu impelementasinya belum<br />

kelihatan, itu perda. Demikian juga di Lampung Timur ada <strong>Perda</strong> No.3/2002, kalau<br />

di Lampung Barat tadi merupakan di fasilitasi atau inisiatornya itu adalah sebuah<br />

NGO yang namanya WATALA, di Lampung Timur ada juga yaitu perda No.3/2002,<br />

tentang rehabilitasi pesisir pantai dan laut dalam wilayah Lampung Timur. Pantai<br />

timur provinsi Lampung itu adalah pantai yang penuh dengan tadinya merupakan<br />

areal hutan bakau, namun ini banyak sekali rusak dan Lampung Timur itu<br />

mempunyai concern yang cukup tingggi untuk merehabilitasi areal hutan bakau<br />

yang sudah hancur tadi. Sedangkan implementasinya disini juga pada tingkatan<br />

perda ini cukup bagus, pada tingkatan implementasinya untuk Lampung Timur<br />

itu belum masif begitu, belum sebanding antara apa yang harus dikerjakan dan<br />

yang sudah dikerjakan.<br />

Kemudian dari penanya pertama Ibu yang mengemukakan bahwa perijinan tentang<br />

ketenagakerjaan. Di beberapa lokasi penelitian ada perda-perda yang mengatur<br />

tentang ijin ketenagakerjaan itu pada akhirnya dibatalkan oleh Mendagri. Seperti<br />

misalkan di Bandar Lampung ada <strong>Perda</strong> No.10/2004 tentang ketenagakerjaan,<br />

yang melahirkan enam jenis ijin, dan bahkan orang baru mau cari kerja saja sudah<br />

kena retribusi. Ini akhirnya dicabut, tetapi itu substansinya memang salah. Ada<br />

yang substansinya benar pada tingkatan implementasinya salah, yaitu perda<br />

terminal. <strong>Perda</strong> teriminal, karena setiap mobil itu lewat kecamatan, bikin talang<br />

di pinggir jalan tinggal ngasih karcis terus, tidak ada pelayanannya tetapi suruh<br />

bayar retribusi. Ketika dulu Fisal Tamin lewat sudah marah-marah, kemarin pak<br />

Hatarajasa lewat juga marah-marah, tapi sampai hari ini pun juga tidak berhenti,<br />

tetap ditarik.<br />

Ada banyak perda di provinsi Lampung khususnya yang saya tahu ada 16 perda yang<br />

dibatalkan oleh Mendagri, pemerintah pusat, tetapi itu tetap saja jalan. Karena<br />

pembatalan Mendagri itu harusnya diikuti dengan pencabutan, ada praktek yang<br />

94


aik di Kabupaten Lampung Barat itu ada 3 perda dibatalkan, yaitu perda tentang<br />

pengendalian penebangan dan peremajaan tanaman kelapa, kemudian perda<br />

tentang pajak haler, kemudian perda retribusi tandan buah segar kelapa sawit,<br />

dibatalkan dan itu pemerintah daerah langsung mencabut. Ini sebuah sikap yang<br />

responsif di Lampung Barat.<br />

Kemudian apakah semua perda jelek? Saya juga didalam penelitian ini kita juga<br />

menarik beberapa contoh-contoh yang baik. Ada beberapa contoh yang baik.<br />

Seperti di Kota Metro itu ada kepala dinasnya walaupun tidak ada peraturan<br />

bupati, tidak ada perdanya bikin safe guarding. Mekanisme keberatan yang<br />

pada umumnya konvensional sebagaimana dikemukakan oleh kawan peneliti di<br />

Jawa Tengah misalkan, di Kota Metro karena cukup responsif dan daya tawarnya<br />

masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik itu tinggi, kepala dinas<br />

membuat safe guarding membuat tim yang isinya bidan-bidan yang sudah sepuh<br />

yang sudah tua yang bisa marah pada bidan-bidan muda pada ktenaga kesehatan<br />

yang masih muda untuk menasihati membantu orang miskin ketika bagaimana<br />

sih mendapatkan kartu Gakin jadi tidak hanya sekedar kotak saran masukan<br />

disitu kemudian dibuang.<br />

Ini merupakan sebuah contoh yang baik dalam mengawal pelayanan kesehatan<br />

bagi masyarakat miskin. Dari 10 kabupaten kota di provinsi Lampung ini hanya<br />

Lampung Tengah dimasa otonomi ini yang tingkat kemiskinannya turun, dan ini<br />

juga signifikan dengan beberapa program yang dibuat di Lampung tengah antara<br />

lain ada Gerbang Beguei Jejamu Wawai, itu bahasa Lampung artinya “berbuat bagus<br />

bersama-sama”. Ini merupakan sebuah contoh yang baik, tetapi cilakanya contohcontoh<br />

yang baik ini, itu tidak muncul dari perda, ini yang menjadi problem.<br />

Kemudian untuk sumber daya alam, saya setuju dengan yang dikemukakan.<br />

Inkonsistensi aturan-aturan pemerintah pusat di daerah itu juga sering membuat<br />

agak sulit untuk pengelolaan sumber daya alam di tingkatan daerah. Kalau orang<br />

Jawa bilang di Lampung luas lawannya masih cukup banyak, tetapi ternyata tidak.<br />

Pak Joni sejak tahun 1980 sudah membela masyarakat Purwokencono untuk<br />

mendapatkan lahan dan baru saja register 47 terpaksa harus melawan dengan<br />

kekerasan untuk mempertahankan lahannya. Dan kebijakan di tingkatan perda<br />

seringkali juga tidak ramah dan bahkan ketika itu ke tingkatan internasional<br />

itu kena ecolabelling seperti perda IHH (Iuran Hasil Hutan), <strong>Perda</strong> No.16/2000<br />

Provinsi Lampung, dimana -- oke silahkan saja tanam kopi di daerah hutan, tapi<br />

boleh nanam asala ada iurannya -- akhirnya produk kopi Lampung kena ecolabelling<br />

dari negara-negara penerima atau negara-negara tujuan ekspor.<br />

Kemudian bagaimana perda itu apakah juga harus melayani orang-orang yang<br />

tinggal di daerah illegal. Subyek dari perda itu orang atau badan hukum. Walaupun<br />

kita tinggal di daerah illegal, selama saya masih orang saya harus dilayani, dan<br />

selama saya masih warga Bandar Lampung saya harus dilayani. Saya ingin<br />

menjadikan sebuah garis bawah bahwa didalam proses pelayanan publik itu<br />

95


kayaknya daya tawar masyarakat itu harus ditingkatkan dulu, harus diperkuat<br />

dulu. Untuk mendapatkan pelayanan publik kita kayaknya harus menggertak si<br />

pelayan publik itu baru mendapatkan sebuah pelayanan, oleh karena itu bagaimana<br />

merubah ini seharusnya perda harus mampu untuk memberikan jamin terhadap<br />

perda hal ini.<br />

Mungkin saya sudah dilihatin pak Alit, saya kembalikan waktunya.<br />

Terimakasih.<br />

5.<br />

Moderator (Alit)<br />

Sebetulnya masih banyak waktu yang kita perlukan untuk membahas 3 makalah<br />

yang disajikan tim panelis, namun karena waktu kita dan rasanya saya kurang<br />

bijak kalau masih terus mengambil waktu istirahat ibu/bapak sekalian, karena<br />

jam saya sudah menunjukan pukul 13:20 dan ini sudah melampaui waktu kita<br />

untuk istirahat makan siang. Namun demikian kami mohon maaf sekali lagi<br />

atas keterlambatan dimulainya sesi ini karena tadi kita sedikit mundur, tanpa<br />

mengurangi keinginan Ibu/Bapak untuk menyampaikan pikiran-pikiran, saran<br />

dan juga pengalaman mungkin mohon bisa dituliskan saja nanti panitia akan<br />

mengkonsultasikan pada panelis untuk bisa diberikan jawaban.<br />

Namun demikian Ibu dan Bapak sekalian masih bisa melakukan interaksi pada<br />

panelis melalui e-mail yang tertera pada data Beliau di makalah yang kami<br />

sediakan dan juga substansi ini bisa Ibu/Bapak akses melalui www.perdaonline<br />

maupun Clearinghouse CLGI. Atas segala perhatian Ibu dan Bapak sekalian<br />

dan sekali lagi mohon maaf bagi rekan-rekan yang tidak berkesempatan untuk<br />

memberikan masukannya melalui tanya jawab, kami mohon maaf sekali lagi, dan<br />

mari kita berikan applause kepada Beliau-beliau panelis.<br />

Ass. Wr. Wb.<br />

96


BAB 2<br />

Penyusunan dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan <strong>Perda</strong> dan<br />

<strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> tentang APBD Tahun 2006 Kota Tarakan<br />

Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D, Kepala Bappeda Kota Tarakan<br />

<strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> di Kota Gorontalo (Sebuah Kajian dan Telaahan<br />

Mengenai <strong>Perda</strong> No. 2, 3, 4 Tahun 2002)<br />

HI. Medi Botutihe, Walikota Gorontalo<br />

Potensi Penyimpangan Substansi Dalam Proses Legislasi Peraturan<br />

Daerah<br />

Ari Nurman, ST, M.Sc, Diding Sakri, ST dan Saeful Muluk, S.Sos, Perkumpulan<br />

INISIATIF, Bandung<br />

Partisipasi Intsrumental, Transformatif dan Elite Capture: Analisis<br />

Structures and Meanings atas Argumen Kebijakan Partisipasi<br />

Masyarakat dalam Pembangunan Daerah (Kasus <strong>Perda</strong> Partisipasi<br />

Kabupaten Lebak)<br />

Wawan Sobari, IFP Fellow-Ford Foundation, Indonesia - MA Student at Institute<br />

of Social Studies (ISS), The Hague, the Netherlands<br />

Diskusi dan Tanya Jawab<br />

97


1. Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan <strong>Perda</strong><br />

dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> tentang APBD Tahun 2006<br />

Kota Tarakan<br />

1.<br />

Latar Belakang<br />

Dalam kurun waktu yang relatif singkat Pasca ditetapkannya UU No. 22 Tahun<br />

1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang mendesentralisasikan berbagai kewenangan<br />

dan fiskal dari pusat ke daerah, Kota Tarakan telah tumbuh menjadi kekuatan<br />

ekonomi berbasis perdagangan dan jasa. Dengan pembenahan infrastruktur<br />

perkotaan yang relatif cepat, Kota Tarakan semakin memperkuat posisinya sebagai<br />

pusat transit perdagangan antar pulau di Kalimantan Timur bagian Utara.<br />

Berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun dasar 2000, selama<br />

periode 2001-2005, pertumbuhan ekonomi Kota Tarakan dengan migas rata-rata<br />

sebesar 8,82 persen per tahun dan tanpa migas sebesar 9,57 persen per tahun.<br />

Secara time series pertumbuhan ekonomi Kota Tarakan dapat dilihat pada Tabel<br />

1 berikut:<br />

Tabel 1: Pertumbuhan Ekonomi Kota Tarakan Berdasarkan Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan<br />

Tahun Dasar 2000 Dengan Dan Tanpa Migas Tahun 2001-2005 (Persen)<br />

Pertumbuhan<br />

Ekonomi<br />

Tahun<br />

2001 2002 2003 2004 2005<br />

(1) (2) (3) (4) (5) (6)<br />

Dengan Migas 10,87 6,91 11,49 7,18 7,63<br />

Tanpa Migas 10,72 8,65 12,71 8,33 7,46<br />

Sumber Data: BPS Kota Tarakan Juni 2006<br />

Sejalan dengan pertumbuhan sektor ekonomi, pendapatan regional per kapita<br />

penduduk juga menunjukkan peningkatan selama periode tahun 2001-2005,<br />

sebagaimana Tabel 2 berikut:<br />

98


Tabel 2 : Agregat Pendapatan Regional Perkapita (Rupiah) Dengan Migas<br />

Tahun 2001-2005<br />

Agregat<br />

Tahun<br />

Dengan Migas<br />

1. Atas Dasar Harga Berlaku<br />

2. Atas Dasar Harga Konstan 2000<br />

2001 2002 2003 2004 2005<br />

(1) (2) (3) (4) (5) (6)<br />

8.406.586<br />

7.631.181<br />

9.685.770<br />

7.858.038<br />

10.846.164<br />

8.441.825<br />

11.957.691<br />

8.806.760<br />

14.709.422<br />

9.129.293<br />

Tanpa Migas<br />

1. Atas Dasar Harga Berlaku<br />

2. Atas Dasar Harga Konstan 2000<br />

7.850.762<br />

7.077.169<br />

9.230.414<br />

7.409.146<br />

10.403.126<br />

8.048.956<br />

11.451.314.<br />

8.489.676<br />

13.749.330<br />

8.786.129<br />

Sumber Data: BPS Kota Tarakan Juni 2006<br />

Selain pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berbagai prestasi dan penghargaan<br />

dalam berbagai bidang pelayanan publik dan pembangunan lingkungan telah<br />

didapatkan Kota Tarakan melalui kepemimpinan H. Jusuf S.K (selaku Walikota)<br />

dan H. Thamrin A.D (selaku Wakil Walikota), antara lain:<br />

1. E-Government Award 2003 diberikan kepada Kota Tarakan sebagai Lembaga<br />

Pemerintah Pengaplikasi E-Government Terbaik Pertama Untuk Katagori<br />

Kabupaten/Kota diberikan oleh Majalah Warta Ekonomi Jakarta pada tanggal<br />

26 Agustus 2003,<br />

2. Otonomi Award 2005 dianugerahkan kepada Kota Tarakan sebagai Kota<br />

Terbaik 2005 diberikan oleh Majalah Media Otonomi pada tanggal 12 Juli<br />

2005,<br />

3. Habitat Award diberikan oleh Menteri Pekerjaan Umum RI atas prestasi yang<br />

diraih dalam rangka Hari Habitat Sedunia tahun 2005 untuk kategori Karya<br />

Pengelolaan Kota 2005 dengan kriteria peningkatan akses air bersih dan<br />

penanggulangan pemukiman kumuh pada tanggal 3 Oktober 2005,<br />

4. Penghargaan dari Secretary-General of ASEAN atas kepedulian yang luar<br />

biasa terhadap Generasi Muda pada 28 Oktober 2005,<br />

5. Certificate of Recognition dari Division for Social Policy and Development,<br />

United Nations atas Perhatian yang Luar Biasa pada Kegiatan Kepemudaan<br />

di Tingkat Komunitas pada tanggal 28 Oktober 2005,<br />

6. Otonomi Award Bidang Pendidikan dan <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> Terbaik Se-Propinsi<br />

Kaltim oleh Jawa Pos News Network (JPNN) pada Bulan Mei 2006,<br />

7. Anugrah Penghargaan Kalpataru dengan Kategori Pembina Lingkungan dan<br />

Piagam Adipura Tahun 2006 oleh Menteri Lingkungan Hidup RI pada tanggal<br />

12 Juni 2006.<br />

99


Sederetan penghargaan yang telah diraih Pemerintah Kota Tarakan dalam berbagai<br />

bidang pembangunan merupakan salah satu bukti nyata keberhasilannya dalam<br />

mengelola otonomi daerah. Namun demikian, dirasakan oleh berbagai stakeholders<br />

pembangunan Kota Tarakan bahwa pemihakan kepada kepentingan rakyat perlu<br />

ditingkatkan secara lebih signifikan (Hasil Observasi Penulis).<br />

Salah satu persoalan yang menyebabkan kurang terakomodirnya kepentingan rakyat<br />

secara optimal dalam APBD adalah belum terintegrasinya proses perencanaan<br />

dan penganggaran. Pada dasarnya, proses penyusunan <strong>Perda</strong> APBD merupakan<br />

proses panjang dan berjenjang yang diawali dari (Musyawarah Perencanaan<br />

Pembangunan) Musrenbang Kelurahan sampai Musrenbang Nasional. Hasil dari<br />

proses Musrenbang yang berjenjang tersebut adalah tersusunnya Rencana Kerja<br />

Pemerintah Daerah (RKPD), yang kemudian dijadikan dasar untuk menyusun<br />

Kebijakan Umum Anggaran dan Strategi Prioritas (KUA dan SP), Plafon Anggaran<br />

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Rencana Anggaran SKPD (RASK) dan<br />

Raperda APBD. Dengan demikian, untuk menjamin terintegrasinya proses<br />

perencanaan dan penganggaran dalam konteks penyusunan Rancangan APBD<br />

2006, maka Pemerintah Kota Tarakan melakukan perbaikan proses dan mekanisme<br />

Musrenbang.<br />

Sehingga, diharapkan bahwa Musrenbang dapat menghasilkan rumusan kegiatan<br />

prioritas yang secara substansial lebih memihak pada pelayanan publik. Pasca<br />

Musrenbang, proses penganggaran yang diawali perumusan KUA dan SP sampai<br />

pembahasan Raperda APBD dengan DPRD dilakukan secara cermat, transparan<br />

dan partisipatif. Apabila keseluruhan proses perencanaan dan penganggaran<br />

dilakukan secara integratif, terbuka dan sungguh-sungguh memperhatikan<br />

aspirasi masyarakat, maka instrumen APBD akan dapat berperan secara optimal<br />

didalam peningkatan kesejahteraan masyarakat<br />

Sebagai muara dari keseluruhan proses perencanaan pembangunan yang hirarkis,<br />

komperhensif dan integratif baik yang sifatnya top down planning (RPJM<br />

dan RPJMD Propinsi, RKP dan RKPD Propinsi maupun bottom up planning<br />

(Musrenbang Kelurahan dan Kecamatan), <strong>Perda</strong> No 2 Tahun 2006 tentang APBD<br />

Kota Tarakan memainkan peranan kunci dalam mewujudkan good governance dan<br />

clean government. Dari 10 prinsip good governance, yang relevan dalam perumusan<br />

dan implementasi <strong>Perda</strong> APBD adalah prinsip-prinsip: Partisipasi Masyarakat,<br />

Transparansi, Akuntabilitas serta Efektifitas dan Efisiensi.<br />

Musrenbang Kelurahan dilaksanakan pada Bulan Februari dan dilanjutkan secara berjenjang<br />

sampai Musrenbang Nasional pada Bulan April, kemudian dilanjutkan proses penganggaran dimana<br />

APBD tahun berikutnya diharapkan sudah dapat disahkan pada Bulan Desember tahun berjalan (PP<br />

58 Tahun 2005.).<br />

Dalam rangka menjamin terjadinya integrasi perencanaan dan penganggaran, Pemerintah telah<br />

mengundangkan UU 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU 25 Tahun 2004 Tentang Sistem<br />

Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.<br />

UU 25 Tahun 2004 mengatur perencanaan berjenjang yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka<br />

Panjang (RPJP, 20 tahun), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, 5 tahun), Rencana<br />

Tahunan (RKPD).<br />

100


Telah menjadi isu nasional bahwa salah satu ekses dalam implementasi Otonomi<br />

Daerah adalah adanya sinyalemen bahwa pembelanjaan APBD Kabupaten/Kota<br />

tidak diperuntukkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,<br />

tetapi lebih difokuskan untuk belanja aparatur. Lebih jauh, terdapat stigma bahwa<br />

otonomi daerah identik dengan memindahkan kolusi, korupsi dan nepotisme<br />

(KKN) dari pusat ke daerah. Dr. Syahrir dalam Kongres ISEI 2006 mengatakan<br />

bahwa ”Desentralisasi sebagai kelanjutan dari semangat demokratisasi,<br />

ternyata menghasilkan prioritas anggaran daerah yang tidak memihak rakyat.<br />

Kecenderungan APBD I dan II adalah meningkatnya pengeluaran rutin dan<br />

berkurangnya pengeluaran pembangunan.” (Kompas, 21 Juni 2006)<br />

2.<br />

Perumusan Masalah<br />

Telah menjadi pembicaraan umum bahwa di Era Otonomi Daerah, alokasi belanja<br />

APBD dianggap kurang memihak pada pelayanan publik. Hal ini tercermin<br />

dari alokasi anggaran belanja pembangunan yang lebih kecil dibanding belanja<br />

aparatur. Lebih jauh lagi terdapat anggapan bahwa desentralisasi kewenangan<br />

dan fiskal ke daerah melalui UU 22 Tahun 1999 dan UU 25 Tahun 1999 4<br />

identik<br />

dengan desentralisasi KKN dari pusat ke daerah. Berdasarkan analisis terhadap<br />

proses penyusunan <strong>Perda</strong> No. 2 tahun 2006 Tentang APBD Kota Tarakan dan<br />

kajian terhadap komposisi anggaran belanjanya, makalah ini membantah anggapan<br />

tersebut. Sekaligus, makalah ini juga berargumen bahwa jika proses untuk<br />

menyepakati prioritas program dan kegiatan pembangunan secara partisipatif,<br />

cermat dan konsisten, dibarengi dengan proses penganggaran yang transparan<br />

dan akuntabel, maka APBD justru merupakan instrumen yang sangat penting<br />

peranannya dalam melakukan pemihakan pada kepentingan rakyat dan juga<br />

pemberantasan KKN.<br />

3.<br />

Analisis<br />

Untuk menganalisis seberapa jauh <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006 tentang APBD Kota<br />

Tarakan memihak pada kepentingan rakyat dan konservasi lingkungan hidup,<br />

maka dilakukan analisis dengan menggunakan tiga kriteria utama dimana masingmasing<br />

dijabarkan menjadi beberapa sub kriteria dan indikator sebagai berikut:<br />

3.1 Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Partisipasi Masyarakat<br />

Melalui Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan<br />

Nasional/Kepala Bappenas dan Mendagri No. 0295/M.PPN/1/2005 dan 050/166/SJ<br />

tertanggal 20 Januari 2005 diatur Petunjuk Teknis Musrenbang Tahun 2005. Namun<br />

demikian, selama ini dalam pelaksanaannya, Musrenbang sering dijalankan<br />

4 Di amandemen oleh UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004<br />

101


secara kurang sungguh-sungguh dan terkesan sekedar menjalankan formalitas<br />

rutin. Sehingga muncul perasaan skeptis di masyarakat yang mengatakan<br />

bahwa tidak ada gunanya Musrenbang karena usulan masyarakat tidak pernah<br />

diakomodir dalam APBD. Merespon tuntutan masyarakat tersebut, Pemkot<br />

Tarakan berusaha memperbaiki mekanisme musrenbang yang merupakan<br />

titik awal proses penganggaran APBD. Agar proses Musrenbang betul-betul<br />

menghasilkan output yang diharapkan yaitu menjaring aspirasi masyarakat, maka<br />

perbaikan mekanismenya dibagi menjadi Pra Musrenbang, Musrenbang dan Pasca<br />

Musrenbang.<br />

3.1.1 Pra Musrenbang<br />

Pelatihan Bagi Stakeholders Musrenbang Kelurahan Dan Kecamatan<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

Sebelum pelaksanaan Musrenbang Kelurahan, agar masyarakat dapat<br />

mengembangkan kapasitas partisipasinya secara optimal, sebagai langkah<br />

awal, dilaksanakan Training of Trainers (TOT) Pengembangan Masyarakat<br />

dan Perencanaan Partisipatoris kepada para stakeholders Musrenbang (aparat<br />

kelurahan/kecamatan dan pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat<br />

(LPM) Kelurahan/Kecamatan).<br />

Pelatihan (TOT) ini dimaksudkan:<br />

a. sebagai upaya pembekalan dan persiapan/pra-Musrenbang bagi<br />

stakeholders pelaksana Musrenbang<br />

b. tersedianya tenaga fasilitator lokal yang memiliki kompetensi dalam<br />

pengembangan masyarakat dan perencanaan partisipatoris.<br />

Tujuan akhir pelatihan antara lain:<br />

a. dipahami dan dilaksanakannya mekanisme Musrenbang, sebagaimana<br />

ketentuan yang telah diatur dalam Surat Edaran Bersama Kepala<br />

Bappenas dan Mendagri tentang Juknis Pelaksanaan Musrenbang<br />

b. dilaksanakannya pemberdayaan partisipatoris bagi segenap unsur<br />

stakeholders Musrenbang; dan<br />

c. sinkronisasi dan realisasi hasil-hasil perencanaan pembangunan yang<br />

bersifat bottom up and top down planning.<br />

Substansi materi pokok pelatihan yang diajarkan, meliputi:<br />

a. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang<br />

b. Pembangunan Sosial Dan Pengembangan Masyarakat<br />

c. Aset-aset Komunitas<br />

d. Assessment and Participatory Rural Appraisal (PRA)<br />

e. Penyiapan Instrumen PRA (Diskusi Kelompok)<br />

f. Praktek Lapangan (Pengumpulan Data Lapangan)<br />

g. Pembahasan Hasil Lapangan<br />

h. Pengembangan Rencana Program Aksi<br />

102


i.<br />

j.<br />

Presentasi Kelompok; dan<br />

Evaluasi Kegiatan.<br />

5.<br />

6.<br />

Sebagai fasilitator ahli, sengaja di datangkan Pakar Pemberdayaan Masyarakat<br />

dari Universitas Indonesia Jakarta, yang dibantu oleh beberapa praktisi<br />

community development, dan ahli regional planning dari Bappeda Kota<br />

Tarakan.<br />

Setelah mengikuti pelatihan (TOT) para stakeholders Musrenbang tersebut,<br />

berkewajiban mentransformasikan semua pengetahuan dan keterampilan<br />

tentang Musrenbang kepada masyarakat. Melakukan berbagai tindakan upayaupaya<br />

penyadaran terhadap masyarakat, agar mereka dapat terlibat secara<br />

aktif merumuskan program/ kegiatan pembangunannya dalam Musrenbang<br />

Kelurahan/ Kecamatan.<br />

3.1.2 Musrenbang<br />

1.<br />

2.<br />

Musrenbang Kelurahan<br />

Musrenbang Kelurahan merupakan titik awal dari proses perencanaan<br />

berjenjang. Oleh karena itu, Pemkot Tarakan berpendapat bahwa jika ingin<br />

mengharapkan output perencanaan yang peka terhadap aspirasi publik,<br />

Musrenbang Kelurahan harus dilakukan secara cermat dan serius. Musrenbang<br />

Kelurahan diikuti oleh segenap komponen masyarakat baik individu atau<br />

kelompok seperti: Ketua RT/RW, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Ketua<br />

Adat, Kelompok Perempuan dan Pemuda, Pengusaha, Kelompok Tani/Nelayan<br />

dan Komite Sekolah. Musrenbang Kelurahan dilaksanakan secara bergantian<br />

di 20 Kelurahan. Hasil Musrenbang Kelurahan terdiri dari:<br />

a.<br />

b.<br />

c.<br />

Daftar Prioritas Kegiatan yang akan dilaksanakan sendiri oleh Kelurahan<br />

yang bersangkutan,<br />

Daftar Prioritas Kegiatan yang akan diusulkan ke Kecamatan,<br />

Daftar nama anggota delegasi yang akan membahas hasil Musrenbang<br />

Kelurahan pada forum Musrenbang Kecamatan.<br />

Musrenbang Kecamatan<br />

Tujuan utama diselenggarakannya Forum Musyawarah Kecamatan ini adalah<br />

untuk menyepakati kegiatan lintas Kelurahan di masing-masing Kecamatan<br />

sebagai dasar untuk diusulkan pada Forum SKPD. Hasil Musrenbang<br />

Kecamatan antara lain:<br />

a. Daftar kegiatan prioritas yang diusulkan untuk dilaksanakan tahun 2006<br />

di masing-masing Kecamatan. Daftar Kegiatan tersebut diklasifikasikan<br />

sesuai SKPD dan atau gabungan SKPD yang membidangi,<br />

b. Daftar nama delegasi Kecamatan yang ditunjuk untuk mewakili<br />

Kecamatan masing -masing di Forum SKPD dan Musrenbang Kota.<br />

103


3.<br />

4.<br />

Forum SKPD<br />

Untuk memastikan diakomodirnya hasil Musrenbang Kecamatan ke dalam<br />

Program/ Kegiatan Badan/ Dinas terkait maka diselenggarakan Forum<br />

SKPD. Dalam Forum ini, masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

(SKPD) mempresentasikan Rancangan Program/ Kegiatan dihadapan utusan<br />

Musrenbang Kecamatan. Sehingga, apabila ada usulan Program/ Kegiatan hasil<br />

Musrenbang Kecamatan yang belum terakomodir dalam Program/ Kegiatan<br />

SKPD maka dapat dilakukan klarifikasi dan sinkronisasi. Hasil utama Forum<br />

SKPD adalah Rencana Kerja SKPD yang sudah disinkronkan dengan hasil<br />

Musrenbang Kecamatan<br />

Musrenbang Kota<br />

Musrenbang Kota adalah forum kesepakatan stakeholder pembangunan<br />

pada tingkat Kota Tarakan untuk mematangkan Rancangan RKPD 2006,<br />

berdasarkan hasil Forum SKPD. Hasil pokok Musrenbang Kota adalah Daftar<br />

Prioritas Kegiatan yang dipilah menurut sumber pendanaan: APBD Kota<br />

Tarakan, APBD Provinsi Kaltim dan APBN. Hasil ini dipergunakan sebagai<br />

bahan masukan untuk finalisasi Draft RKPD Kota Tarakan 2006.<br />

3.1.3 Pasca Musrenbang<br />

1.<br />

Penyusunan RKPD, Kebijakan Umum Anggaran dan Strategi Prioritas (KUA<br />

dan SP), Plafond Anggaran (PPA) dan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK)<br />

Tahun 2006<br />

Hasil Musrenbang secara berjenjang dari tingkat Kelurahan sampai Kota,<br />

setelah melalui sinkronisasi dengan Program Provinsi melalui Musrenbang<br />

Provinsi dan Program Nasional melalui Musrenbang Nasional, kemudian<br />

dirumuskan menjadi dokumen RKPD 2006. Proses berikutnya adalah<br />

perumusan Draft KUA dan SP. Masing-masing SKPD berdasarkan RKPD<br />

mengusulkan Program/ Kegiatan disertai target yang terukur. Usulan Program/<br />

Kegiatan masing-masing SKPD disertai sasaran yang rinci dan pagu anggaran<br />

indikatif, kemudian dikompilasi menjadi Draft KUA dan SP 2006.<br />

Penyerahan Draft KUA dan SP 2006 kepada Tim Anggaran Legislatif<br />

dilakukan secara terbuka melalui Sidang Paripurna DPRD yang dihadiri<br />

semua stakeholders pembangunan dan diliput oleh media cetak dan TV lokal.<br />

Hal ini dimaksudkan agar publik mengetahui secara transparan setiap tahapan<br />

proses penyusunan APBD. Setelah itu dilakukan pembahasan bersama antara<br />

Tim Anggaran Eksekutif dan Legislatif melalui forum dengar pendapat yang<br />

menghadirkan Kepala SKPD masing-masing. Pada forum ini Tim Anggaran<br />

Legislatif berkesempatan menguji konsistensi usulan Program/ Kegiatan SKPD<br />

terhadap usulan masyarakat, baik hasil Musrenbang maupun hasil kegiatan<br />

reses anggota DPRD. Program/Kegiatan yang tidak konsisten dengan usulan<br />

masyarakat akan dieliminir.<br />

104


Setelah KUA dan SP disepakati, maka dilakukan penandatanganan Nota<br />

Kesepahaman KUA dan SP antara Walikota dan Ketua DPRD dalam forum<br />

Sidang Paripurna DPRD yang diliput media cetak dan TV secara luas. Inti<br />

dari KUA dan SP adalah memberikan arah kebijakan serta prioritas utama<br />

pembelanjaan APBD 2006, disesuaikan dengan aspirasi masyarakat. Dokumen<br />

ini menjadi dasar penentuan plafond anggaran tiap Satuan Kerja Perangkat<br />

Daerah (SKPD) Kota Tarakan. Setelah Plafond Anggaran ditetapkan, masingmasing<br />

SKPD yang kemudian menjabarkannya menjadi Rencana Anggaran<br />

SKPD (RASK).<br />

2.<br />

Dengar Pendapat seluruh SKPD dalam Pembahasan Raperda APBD di Panggar<br />

legislatif<br />

Proses berikutnya adalah penysunan Draft APBD Kota Tarakan Tahun 2006.<br />

Kemudian dilanjutkan dengan Penyampaian Nota Keuangan APBD 2006 dalam<br />

Sidang Paripurna DPRD. Setelah itu dilakukan pembahasan secara detail,<br />

yang menghadirkan setiap Kepala Dinas/ Badan dalam rapat kerja dengan<br />

Tim Anggaran Legislatif. Pembahasan ini sangat transparan, dimana masingmasing<br />

pengusul anggaran dalam hal ini masing-masing Kepala Dinas/ Badan<br />

menjalani semacam ujian oleh Tim Anggaran Legislatif dan Eksekutif terhadap<br />

semua usulan proram masing-masing Dinas/ Badan. Kriteria utama untuk<br />

menguji apakah suatu usulan dapat disetujui atau dibatalkan adalah seberapa<br />

jauh usulan anggaran masing-masing SKPD menerapkan prinsip efektif dan<br />

efisien serta bagaimana konsistensinya terhadap aspirasi masyarakat. Proses<br />

ini memakan waktu cukup panjang sekitar 50 hari kalender. Setelah verifikasi<br />

akhir bersama antara Tim Anggaran Eksekutif dan Legislatif, maka Final<br />

Draft APBD dikirim ke Provinsi Kaltim untuk mendapatkan evaluasi. Proses<br />

evaluasi di Provinsi menghabiskan waktu lebih kurang 10 hari. Akhirnya,<br />

APBD Kota Tarakan Tahun 2006 disahkan menjadi <strong>Perda</strong> melalui Sidang<br />

Paripurna DPRD pada tanggal 21 Februari 2006.<br />

3.2 Komposisi Anggaran Belanja yang Berpihak pada Kepentingan<br />

Rakyat dan Konservasi Lingkungan<br />

Total Anggaran Belanja Kota Tarakan Tahun 2006 sebesar 494 Milyar Rupiah.<br />

Komposisi Belanja Aparatur adalah 37 % dan Belanja <strong>Publik</strong> mencapai 63 %.<br />

Rincian lebih detail dapat dilihat sebagai berikut:<br />

3.2.1 Pemihakan pada Kepentingan Rakyat<br />

Anggaran yang dikategorikan memihak pada kepentingan rakyat adalah yang<br />

mengemban fungsi pelayanan dasar meliputi pendidikan dasar, kesehatan,<br />

infrastruktur dan dukungan kegiatan ekonomi masyarakat. Anggaran yang<br />

masuk dalam kategori ini mencapai 49,5 % yang meliputi anggaran belanja Dinas<br />

Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan dan Tanaman Pangan, Dinas<br />

105


Perikanan dan Kelautan, Dinas <strong>Perda</strong>gangan dan Koperasi dan Dinas Pekerjaan<br />

Umum.<br />

Perlu dicatat bahwa untuk pertama kalinya pada APBD 2006, dialokasikan<br />

secara khusus anggaran Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan sebesar 0,5 %<br />

dari APBD sebagai pilot project. Telah disepakati bersama dengan Tim Anggaran<br />

Legislatif bahwa jika pilot project ini berhasil, maka anggarannya akan dinaikkan<br />

secara signifikan. Berbagai program proritas yang dapat dikategorikan ke dalam<br />

pemihakan pada kepentingan rakyat antara lain adalah sebagai berikut:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

8.<br />

9.<br />

10.<br />

11.<br />

12.<br />

13.<br />

14.<br />

15.<br />

16.<br />

Program Pengembangan Usaha Koperasi, Usaha Mikro dan Usaha Kecil<br />

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun<br />

Program Upaya Kesehatan Masyarakat<br />

Program Perbaikan Gizi Masyarakat<br />

Program <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Penduduk Miskin<br />

Program Lingkungan Sehat Perumahan<br />

Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan<br />

Program Pemberdayaan Komunitas Perumahan<br />

Program Pengembangan Usaha Perikanan<br />

Program Peningkatan Produksi Tanaman Pangan dan Peternakan<br />

Program Pembangunan Prasarana Jaringan Utilitas<br />

Program Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai<br />

Program Pengembangan Sarana Prasarana Transportasi Darat, Laut dan<br />

Udara<br />

Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan<br />

Program Pembangunan Jalan, Jembatan dan Drainase<br />

Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan<br />

3.2.2 Konservasi Lingkungan Hidup<br />

Alokasi anggaran ini diasumsikan untuk mengukur komitmen dan kepedulian<br />

Pemerintah Kota Tarakan terhadap isu lingkungan hidup. Anggaran Urusan<br />

Lingkungan Hidup secara total mencakup 7.5%, meliputi anggaran Dinas<br />

Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Mineral, Dinas Kehutanan, Dinas Kebersihan<br />

dan Pertamanan, Dinas Kependudukan dan Dinas Tata Kota. Anggaran tersebut<br />

untuk membiayai berbagai Program Prioritas sebagai berikut:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

Program Rehabilitasi dan Perlindungan Hutan<br />

Program Pengendalian Pemanfaatan Ruang<br />

Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup<br />

Program Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau<br />

Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut<br />

Program Pengendalian Penduduk<br />

Program Peningkatan Kinerja Pengelolaan Sampah dan Drainase<br />

106


3.3 Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas Anggaran<br />

Pada tahap implementasi <strong>Perda</strong> No.2 Tahun 2006 Tentang APBD Kota Tarakan,<br />

secara rutin setiap bulan dilaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap<br />

semua pelaksanaan kegiatan pembangunan Kota Tarakan. Rekapitulasi hasil<br />

monev untuk keseluruhan kegiatan pembangunan dalam setiap kuartal, kemudian<br />

dirangkum dalam satu agenda Rapat Koordinasi Pengendalian (Rakordal)<br />

Pembangunan. Hal ini untuk memastikan bahwa implementasi APBD tersebut<br />

dapat berjalan dengan konsisten sesuai rencana dan mampu meminimalisir<br />

terjadinya inefisiensi atau kebocoran anggaran.<br />

Sebagai ilustrasi, pada pelaksanaan APBD 2005, tidak dilakukan kegiatan monev<br />

secara rutin, sehingga kendala-kendala yang bersifat birokrasi administrasi yang<br />

menghambat pencairan anggaran tidak dapat di deteksi secara dini. Pada akhirnya,<br />

terjadi keterlambatan penyerapan anggaran yang berakibat pada pencairan<br />

anggaran secara besar-besaran menjelang akhir tahun. Hal ini berdampak pada<br />

penurunan kualitas output kegiatan karena pelaksanaannya dilakukan secara<br />

terburu-buru pada akhir tahun. Dengan cara melakukan monev secara rutin, dapat<br />

dideteksi secara dini, apabila ada kendala-kendala pelaksanaan pembangunan dan<br />

dapat segera dicarikan solusinya, sehingga pelaksanaan kegiatan dapat berjalan<br />

secara tepat sasaran, tepat mutu dan tepat waktu.<br />

Oleh karenanya, dengan monev dapat dicapai:<br />

1. peningkatan efektifitas koordinasi baik internal maupun eksternal dalam<br />

rangka memantapkan akuntabilitas kinerja sistem pelaksanaan kegiatan<br />

pembangunan, dan<br />

2. pelaksanaan kegiatan pembangunan dapat dilaksanakan secara tepat waktu,<br />

transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.<br />

4.<br />

Kesimpulan/ Temuan Pokok<br />

4.1 Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Partisipasi Masyarakat<br />

Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa berbagai perangkat<br />

peraturan dan planning tools yang tersedia untuk melakukan bottom up planning<br />

sesungguhnya bukan hal baru bahkan sudah ada Permendagri No. 9 Tahun 1982<br />

yang mengatur tentang perencanaan berjenjang dari bawah. Namun demikian,<br />

akibat kuatnya pengaruh centralised planning di Era Orde Baru, mekanisme<br />

perencanaan dari bawah tersebut tidak berjalan. UU 25 Tahun 2004 yang ditindak<br />

lanjuti dengan SE Bersama Meneg PPN/Kepala Bappenas dan Mendagri No 0295/<br />

M.PPN/1/2005 telah memberikan payung regulasi yang kuat bagi pelaksanaan<br />

participatory planning process.<br />

Namun demikian, substansi perencanaan yang dihasilkan masih belum banyak<br />

berubah dimana masyarakat tetap merasa dipinggirkan dan usulannya tidak<br />

107


terakomodir dalam APBD. Melalui perbaikan mekanisme pada semua alur proses<br />

dari Musrenbang sampai pembahasan Raperda APBD, Pemerintah Kota Tarakan<br />

membuktikan bahwa telah terjadi pemihakan kepada kepentingan rakyat dan juga<br />

perlindungan lingkungan hidup pada komposisi APBD 2006. Hal ini dikarenakan,<br />

Pemkot Tarakan mengimplementasikan berbagai perangkat regulasi tersebut<br />

secara cermat dan sungguh-sungguh dan tidak sekedar menjalankan Musrenbang<br />

secara formal prosedural belaka. Demikian halnya pada saat Penetapan KUA dan<br />

SP serta pembahasan Raperda APBD, keterlibatan Tim Anggaran Legislatif serta<br />

masyarakat luas sangat intensif.<br />

4.2 Komposisi Anggaran Belanja<br />

Proses penyusunan <strong>Perda</strong> APBD Tahun 2006 Kota Tarakan dilaksanakan dengan<br />

sangat partisipatif, transparan serta dengan sangat cermat menempatkan asas<br />

efektif dan efisien dalam menilai setiap usulan program/ kegiatan pembangunan.<br />

Dari total pembelanjaan 494 Milyar Rupiah, secara umum komposisi belanja<br />

aparatur dialokasikan sebesar 37 persen dan belanja publik mencapai 63 persen.<br />

Penting untuk dicatat juga bahwa anggaran bidang pendidikan telah mencapai<br />

angka 23 %. Secara keseluruhan Anggaran yang dipergunakan untuk melakukan<br />

pemihakan pada pelayanan publik mencapai 49,5 % dan untuk konservasi<br />

lingkungan mencapai 7,5 %.<br />

4.3 Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas<br />

Melalui kegiatan monev rutin setiap bulan dan Rakordal tiap kuartal dapat<br />

dipastikan bahwa implementasi APBD tersebut dapat berjalan dengan konsisten<br />

sesuai rencana dan mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran.<br />

Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa makalah ini membantah<br />

anggapan umum bahwa prirotas anggaran daerah tidak dipergunakan bagi<br />

pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena terdapat kombinasi yang cukup ideal<br />

antara kepemimpinan Walikota yang komit pada pelayanan publik, dukungan<br />

politik DPRD yang kondusif, partisipasi masyarakat yang kritis konstruktif dan<br />

perencana Pemkot yang profesional.<br />

5.<br />

Rekomendasi<br />

Integrasi Perencanaan dan Penganggaran dalam proses penetapan suatu <strong>Perda</strong><br />

APBD merupakan intrumen yang potensial untuk mendorong tercapainya good<br />

governance dan clean government, jika prosesnya dilakukan secara cermat dan<br />

sungguh-sungguh dan tidak sekedar melaksanakan prosedur formal.<br />

Dalam pelaksanaan Musrenbang berjenjang dari tingkat Kelurahan sampai<br />

Nasional, dirasakan waktunya terlalu pendek, sehingga seringkali dalam<br />

108


merumuskan prioritas kegiatan dilakukan secara terburu-buru. Dalam rangka<br />

meningkatkan efisiensi dan efektifitas APBD, perlu dirancang suatu system monev<br />

dan pengawasan legislative yang efektif.<br />

6.<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

8.<br />

Referensi<br />

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah<br />

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara<br />

Pemerintah Pusat dan Daerah<br />

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara<br />

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan<br />

Pembangunan Nasional<br />

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah<br />

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan<br />

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah<br />

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan<br />

Daerah<br />

Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/<br />

Kepala Bappenas dan Mendagri No 0295/M.PPN/1/2005 dan 050/166/SJ tentang<br />

Petunjuk Teknis Musrenbang Tahun 2005<br />

109


2. <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> di Kota Gorontalo<br />

(Sebuah Kajian dan Telaahan Mengenai<br />

<strong>Perda</strong> No. 2, 3, 4 Tahun 2002)<br />

1.<br />

Pendahuluan<br />

1.1 Latar Belakang<br />

Sejalan dengan otonomi daerah yang dijiwai semangat Undang-Undang Nomor<br />

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun<br />

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,<br />

mendorong terjadinya perubahan paradigma pelayanan Pemerintah Daerah baik<br />

di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mekanisme dan<br />

sistem pelayanan pemerintah di hampir semua aspek dan bidang pembangunan<br />

yang dulunya bersifat sentralistik, kini telah berubah dan dilandasi oleh asas<br />

desentralisasi dimana daerah-daerah diberikan porsi secara lebih luas mengatur dan<br />

menata sendiri daerahnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />

Dalam rangka pemberian kewenangan sesuai azas desentralisasi tersebut, maka<br />

Pemerintah Kota Gorontalo dalam menyikapi kondisi realitas terutama yang<br />

berkaitan dengan penataan dan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan<br />

sekaligus sebagai upaya mewujudkan kondisi pemerintahan yang bersih dan<br />

berwibawa (Good Governance) telah melahirkan beberapa produk Peraturan<br />

Daerah (PERDA), yaitu:<br />

1. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perencanaan Pembangunan<br />

Berbasis Masyarakat;<br />

2. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan<br />

Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo; dan<br />

3. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pengawasan Penyelenggaran<br />

Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo.<br />

Ketiga PERDA tersebut diatas secara umum dalam kehidupan masyarakat Kota<br />

Gorontalo dikenal dengan nama PERDA “Dji Sam Soe”. Manifestasi dari ketiga<br />

peraturan daerah ini pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan sebuah tata<br />

pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance).<br />

1.2 Sistimatika Peraturan Daerah<br />

Sistimatika Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002, dapat diuraikan<br />

sebagai berikut:<br />

110


1.<br />

2.<br />

3.<br />

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002<br />

Peraturan daerah ini terdiri dari 9 bab 32 pasal dan ruang lingkup materinya<br />

mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Azas dan Tujuan, Bab III Hak/<br />

Kewajiban Masyarakat dan Kewajiban Badan <strong>Publik</strong>, Bab IV Pendekatan dan<br />

Proses P2BM, Bab V Tahapan Pelaksanaan P2BM, Bab VI Badan Pengawas<br />

Konsistensi P2BM, Bab VII Badan Koordinasi P2BM, Bab VIII Sanksi, Bab IX<br />

Ketentuan Penutup<br />

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002<br />

Peraturan daerah ini terdiri dari 11 bab 40 pasal dan ruang lingkup<br />

materinya mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Kewajiban dan Hak,<br />

Bab III Hak Masyarakat Terhadap Badan <strong>Publik</strong> Informasi, Bab IV Informasi<br />

Yang Dikecualikan, Bab V Komisi Transparansi, Bab VI Tugas, Fungsi dan<br />

Kewenangan, Bab VII Keberatan, Bab VIII Anggaran dan Biaya, Bab IX Sanksi<br />

Pidana, Bab X Ketentuan Peralihan, dan Bab XI Ketentuan Penutup.<br />

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002<br />

Peraturan daerah ini terdiri dari 13 bab 23 pasal dan ruang lingkup materinya<br />

mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Ruang Lingkup Pengawasan,<br />

Bab III Pelaksanaan Pengawasan, Bab IV Sasaran Pengawasan, Bab V Cara<br />

Pengawasan, Bab VI Tenggang Waktu Pengawasan, Bab VII Koordinasi<br />

Pengawasan, Bab VIII Pelaporan, Bab IX Tindak Lanjut Hasil Pengawasan,<br />

Bab X Sanksi, Bab XI Ketentuan Lain-Lain, Bab XII Ketentuan Peralihan, dan<br />

Bab XIII Ketentuan Penutup.<br />

2.<br />

Gambaran Umum Kota Gorontalo<br />

Kota Gorontalo terletak diantara wilayah Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone<br />

Bolango dan Teluk Tomini. Luas wilayah Kota adalah 64,79 Km2. Wilayah Kota<br />

ini terbagi atas 6 Kecamatan dan 46 Kelurahan. Kota Gorontalo sejak tahun 2001<br />

berubah fungsi dan peran menjadi Ibukota Propinsi Gorontalo, seiring dengan<br />

ditetapkannya Gorontalo sebagai Propinsi. Melalui fungsi ini, Kota Gorontalo<br />

menjadi bagian dari jaringan sistem kota, baik secara Regional maupun Nasional.<br />

Topografi wilayah relatif datar dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0<br />

– 5 meter. Wilayah kota Gorontalo dilalui 3 (tiga) buah sungai besar yaitu sungai<br />

Bone, sungai Bolango dan sungai Tamalate. Ketiga sungai ini bermuara diTeluk<br />

Tomini Gorontalo. Perkembangan penduduk Kota Gorontalo dalam kurun waktu<br />

dari Tahun 2000-2004 rata–rata 2,44 % pertahun, yaitu dari jumlah 134.931 Jiwa<br />

pada Tahun 2000 manjadi 148.080 Jiwa pada Tahun 2004.<br />

Data populasi dan kepadatan penduduk Tahun 2004 seperti terlihat pada tabel<br />

berikut.<br />

111


No. Kecamatan Luas (Km2) Populasi 2004 Kepadatan<br />

(Jiwa) %<br />

1. Kota Barat 11,68 17,257 11,65 1,138<br />

2. Dungingi 5,03 15.500 10,30 3,780<br />

3. Kota Selatan 14.39 33,073 22,33 2,298<br />

4. Kota Timur 14.43 38,182 25,78 2,551<br />

5. Kota Utara 12,58 24,552 16,58 1,710<br />

6. Kota Tengah 4,13 20.886 14,10 4,211<br />

TOTAL 64.79 148.080 100,00 2,201<br />

Sumber: BPS Kota Gorontalo, 2005<br />

Sarana dan prasarana yang tersedia relatif diperhadapkan dengan kebutuhan<br />

masyarakat. Namun jika dikaitkan dengan peran dan fungsi kota sebagai pusat<br />

pelayanan multi jasa di Provinsi Gorontalo dan sekitarnya, terlebih lagi bila<br />

dikaitkan keberadaannya sebagai ibukota Provinsi, maka ketersediaan sarana dan<br />

prasarana ini sesungguhnya masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Pertumbuhan<br />

ekonomi mengalami pasang surut karena munculnya krisis moneter dan krisis<br />

ekonomi. Pada Tahun 1998 pertumbuhan minus sebesar 2,29%, dan pada Tahun<br />

1999 mulai tumbuh lagi menjadi sebesar 5,76%, kemudian naik menjadi 5,85% pada<br />

Tahun 2000. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 6,41 %, Tahun 2003 meningkat<br />

menjadi 6,59%, Tahun 2004 sebesar 6,61%, dan pada Tahun 2005 menjadi 6,81%.<br />

No. Lapangan Usaha Pertumbuhan<br />

2002 2003 2004*) 2005**)<br />

1. Pertanian 2.29 1,11 2,27<br />

2. Pertambangan 1.74 1,03 8,53<br />

3. Industri 2.63 3,63 5,59<br />

4. Listrik/gas/air 5.18 6,46 10,54<br />

5. Konstruksi 5.35 5,01 12,41<br />

6. <strong>Perda</strong>gangan 9.84 7,55 6,13<br />

7. Angkutan 6.68 8,05 1,59<br />

8. Keuangan 6.22 12,23 27,94<br />

9. Jasa 3.80 5,43 8,52<br />

PDRB 6.41 6,59 6,61<br />

Sumber: BPS Kota Gorontalo – PDRB Kota Gorontalo, 2005<br />

Catatan: *) merupakan angka sangat sementara.<br />

112


Kondisi sosial budaya Kota Gorontalo didominasi oleh pola kehidupan keseharian<br />

masyarakat yang bernafaskan Islami, karena mayoritas penduduk kota beragama<br />

Islam (98 %) dan selebihnya penduduk beragama Kristen Protestan, Katholik,<br />

Budha dan Hindu. Walau didominasi masyarakat beragama Islam, namun aktifitas<br />

kehidupan antar dan inter umat beragama cukup harmonis. Hal ini merupakan<br />

modal utama daerah dalam menjaga keamanan dan kestabilan pembangunan.<br />

Gorontalo termasuk salah satu dari 19 Daerah Adat di Indonesia, dimana daerah<br />

ini terkenal pula dengan falsafah adat budayanya yaitu ”Adat Bersendikan Syara<br />

dan Syara Bersendikan Kitabullah”.<br />

Penerapan hidup bersih dan sehat masyarakat Kota Gorontalo tercermin dalam<br />

peningkatan derajat kesehatan, antara lain dapat dilihat pada tabel perkembangan<br />

Usia Harapan Hidup, AKB, AKI, Status Gizi Kurang, Status Gizi Baik, Gizi Buruk,<br />

dan KEP Tahun 2003-2005 berikut:<br />

No. URAIAN TAHUN<br />

1. Usia Harapan Hidup<br />

a. Laki-laki<br />

b. Perempuan<br />

2. Angka Kematian Bayi (AKB)<br />

(per 1000 kelahiran hidup)<br />

3. Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan<br />

(per 100.000 kelahiran hidup)<br />

2003 2004 2005<br />

64 Thn<br />

65 Thn<br />

65 Thn<br />

65 Thn<br />

65 Thn<br />

65 Thn<br />

2,52 Orang 4,22 Orang 3,24 Orang<br />

144,04 Orang 76,78 Orang 161,81 Orang<br />

4. Kurang Energi Protein (KEP) 8,8 % 5,9 % 6,39 %<br />

5. Gizi Buruk (%) 0,5 % 0,5 % 1,3 %<br />

6. Gizi Kurang (%) 8,4 % 5,4 % 5,1 %<br />

7. Gizi Baik (%) 90,0 % 93,5 % 91 %<br />

8. Gizi Lebih (%) 0,6 % 0,7 % 2,2 %<br />

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Gorontalo, 2006.<br />

113


3.<br />

Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Kota Gorontalo<br />

3.1 Visi, Misi Kota Periode 2003 - 2008<br />

Visi harus dirumuskan dan ditetapkan dalam batas waktu yang jelas, sebagai<br />

implementasi dan tindak lanjut dari pasal 37 ayat 2 Undang-undang Nomor 22<br />

Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor<br />

108 Tahun 2000.<br />

Visi itu adalah ”Terwujudnya Masyarakat Kota Gorontalo yang Sejahtera dan<br />

Berkualitas”, dengan Misi diemban adalah:<br />

1. Peningkatan profesionalitas SDM melalui peningkatan kualitas pendidikan<br />

disemua sektor kehidupan.<br />

2. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, baik jasmani maupun rohani.<br />

3. Meningkatkan pendapatan masyarakat.<br />

3.2 Strategi Pembangunan Kota Gorontalo<br />

Strategi pembangunan Kota Gorontalo dilakukan melalui pendekatan:<br />

1. Mengopimalkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan<br />

Kota Gorontalo, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan<br />

pengawasan pembangunan.<br />

2. Mengoptimalkan potensi sumber daya dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat,<br />

dalam mengakselerasi pwembangunan.<br />

3. Mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, sebagai salah satu modal<br />

utama dalam mengakslerasikan pembangunan daerah.<br />

4. Menjadikan supremasi Hukum, Etika Moral dan HAM sebagai pilar utama<br />

pembangunan Kota Gorontalo.<br />

4.<br />

<strong>Implementasi</strong> Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun<br />

2002 di Kota Gorontalo<br />

4.1 Gambaran Pelaksanaan <strong>Perda</strong> Nomor 2, 3, 4 Tahun 2002<br />

Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 di Kota Gorontalo<br />

antara lain didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu:<br />

1. Memenuhi tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan yang<br />

baik disemua bidang pembangunan<br />

2. Mewujudkan kondisi penyelenggaraan pemerintahan yang menjunjung tinggi<br />

supremasi hukum, hak azasi manusia dan etika moral<br />

3. Menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan,<br />

pelaksanaan dan pengasan pembangunan<br />

114


Dengan pertimbangan pelaksanaan ketiga Peraturan Daerah tersebut diatas, maka<br />

tujuan akhir yang ingin dicapai dalam proses penyelenggaraan pemerintahan<br />

di Kota Gorontalo adalah terwujudnya kondisi pemerintahan yang bersih dan<br />

berwibawa (Good Governance).<br />

Guna mewujudkan Good Governance ini maka syarat utama yang dikedepankan<br />

adalah terciptanya Pemerintah (eksekutif), Legislatif dan Yudikatif yang baik.<br />

Oleh karena itu Pemerintah Kota Gorontalo memiliki komitmen yang kuat<br />

telah menetapkan bahwa strategi pembangunan berbasis pada masyarakat.<br />

Dengan demikian Inti dari pembangunan berbasis pada masyarakat adalah<br />

pelibatan masyarakat sebagai stakeholders dalam perencanaan, pelaksanaan dan<br />

pengawasan/evaluasi pembangunan.<br />

Penerapan <strong>Perda</strong> No. 2, 3, 4 Tahun 2002 dalam mengiringi proses penyelenggaraan<br />

pemerintahan di Kota Gorontalo, pada hakekatnya adalah:<br />

1. Adanya kewajiban Pemerintah Daerah melibatkan masyarakat dalam proses<br />

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasanb pembangunan<br />

2. Pemerintah Daerah memiliki kewajiban memenuhi hak-hak fundamental<br />

masyarakat baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan<br />

pembangunan<br />

3. Pemerintah Daerah memberikan jaminan dan kepastian kepada masyarakat<br />

baik dalam hal pelayanan, maupun dalam upaya mengetahui secara pasti<br />

proses, pelaksanaan dan hasil-hasil pembangunan di daerah<br />

4. Mewujudkan sinergitas antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat sebagai<br />

stakeholders mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan<br />

pengawasan pembangunan di daerah.<br />

4.1.1 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002<br />

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perencanaan Pembangunan<br />

Berbasis Masyarakat pada gilirannya merupakan proses penjabaran yang lebih<br />

bersifat operasional serta dijiwai semangat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999<br />

tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.<br />

Di dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, paradigma perencanaan<br />

pembangunan yang dulunya bersifat topdown telah diubah dan prosesnya<br />

berlangsung secara bottom up. Kondisi ini telah ditegaskan secara lebih operasional<br />

dalam <strong>Perda</strong> Nomor 2 Tahun 2002 dimana mekanisme perencanaan pembangunan<br />

melibatkan masyarakat sebagai Stakeholders mulai dari penyusunan rencana<br />

sampai dengan proses pengambilan keptusan strategis. Keterlibatan masyarakat<br />

dalam proses perencanaan tidak semata-mata bersifat obyek tetapi juga lebih<br />

bersifat subjek perencana yang turut menentukan prioritas kegiatan pembangunan<br />

baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan dan tingkat Kota Gorontalo.<br />

Oleh karena dengan adanya <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2002 ini masyarakat memperoleh<br />

115


jaminan dan kepastian atas hak-haknya dalam proses pertencanaan, maka tujuan<br />

yang dicapai dalam penerapan <strong>Perda</strong> ini, yaitu:<br />

1. Terwujudnya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk<br />

mengetahui rencana dan proses pengambilan keputusan publik.<br />

2. Tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk mengefektifkan fungsi-fungsi<br />

perencanaan yang ada pada masyarakat ke dalam proses perencanaan<br />

pembangunan Kota Gorontalo.<br />

3. Terwujudnya peningkatan kualitas aspirasi masyarakat dalam memberikan<br />

input bagi pengambilan kebijakan publik.<br />

4. Adanya kepastian dan jaminan bahwa setiap orang (masyarakat) mengetahui<br />

alasan dan pertimbangan bahwa suatu agenda pembangunan menjadi prioritas<br />

bersama.<br />

Meskipun pada kondisi awalnya upaya mencapai tujuan tersebut di atas belum<br />

berjalan secara optimal, namun dalam perkembangan selanjutnya warga<br />

masyarakat di Kota Gorontalo telah menyadari bahwa melalui forum Musrenbang<br />

mereka telah dilibatkan secara langsung dalam proses penyusunan rencana di<br />

tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kota. Keputusan-keputusan yang diambil<br />

dalam rangka penentuan prioritas kegiatan di tingkat Kelurahan melibatkan<br />

segenap potensi masyarakat sehingga keputusan itu telah menggambarkan adanya<br />

keputusan partisipatif. Dengan demikian disinilah substansi dari <strong>Perda</strong> Nomor 2<br />

Tahun 2002 yaitu untuk memberikan dan menjamin hak setiap orang baik secara<br />

individu maupun kelompok untuk terlibat dan melibatkan diri dalam proses<br />

perencanaan baik ditingkat Kelurahan, Kecamatan dan Tingkat Kota Gorontalo.<br />

4.1.2 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002<br />

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 pada hakekatnya mengatur tentang<br />

Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo. Salah satu<br />

pertimbangan diwujudkannya <strong>Perda</strong> tersebut adalah dalam rangka memenuhi<br />

berbagai tuntutan masyarakat atas Penyelenggaraan Pemerintahan diberbagai<br />

bidang pembangunan di wilayah Kota Gorontalo.<br />

Lahirnya <strong>Perda</strong> Nomor 3 Tahun 2002 ini merupakan wujud sikap dari Pemerintah<br />

Kota Gorontalo bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)<br />

Kota Gorontalo, untuk mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat yang dalam<br />

kehidupannya diliputi oleh semangat keterbukaan dan kebebasan mengemukakan<br />

pendapat. Karakteristik masyarakat yang ditempah dan telah melalui proses arus<br />

reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, mendorong Pemerintah Kota Gorontalo<br />

untuk menyikapi secara sungguh-sungguh dinamika perubahan yang terjadi<br />

di tengah-tengah masyarakat. Karena itu <strong>Perda</strong> Transparansi ini lahir sebagai<br />

jawaban atas semua kehendak warga masyarakat yang dibingkai dalam aturanaturan<br />

yang jelas dan terukur.<br />

Dengan adanya <strong>Perda</strong> No. 3 Tahun 2002 maka beberapa aspek yang wajib<br />

116


disampaikan oleh Pemerintah Kota Gorontalo kepada masyarakat, antara lain:<br />

1. Informasi seluruh proses perencanaan pembangunan (Visi, Misi dan Strategi)<br />

mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota<br />

2. Informasi pembahasan APBD mulai dari penganggaran sampai dengan<br />

pembahasan dan penetapan<br />

3. Informasi yang berkaitan dengan penataan Tata Ruang Kota Gorontalo<br />

4. Informasi proses pengawasan yang mencakup obyek yang diawasi sampai<br />

hasil-hasil audit<br />

5. Proses perjanjian dan kontrak kerja sesuai dengan kewenangan masing-masing<br />

badan publik<br />

Untuk keperluan perolehan informasi tersebut diatas, maka masyarakat Kota<br />

Gorontalo memiliki hak untuk mendapat informasi selambat-lambatnya 1 (satu)<br />

minggu setelah adanya permintaan informasi dari masyarakat.<br />

Di dalam <strong>Perda</strong> No. 3 Tahun 2002 diatur pula ketentuan informasi yang dikecualikan<br />

untuk diketahui oleh masyarakat. Pengecualian informasi ini didasarkan pada<br />

pertimbangan penegakan hukum, stabilitas keamanan dan hak-hak warga negara.<br />

Beberapa informasi yang dikecualikan itu apabila dibuka dan diberikan kepada<br />

masyarakat akan berdampak pada hal-hal sebagai berikut:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Terhambatnya proses penegakan hukum.<br />

Mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual<br />

Mengganggu perlindungan terhadap timbulnya persaingan usaha tidak sehat.<br />

Merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional.<br />

Melanggar kerahasiaan pribadi<br />

Untuk menjamin penerapan transparansi dalam pelaksanaan/ pengelolaan<br />

keuangan, maka dalam <strong>Perda</strong> Nomor 3 Tahun 2002 ini diatur mengenai<br />

pembentukan Komisi Transparansi. Oleh karenanya di Kota Gorontalo telah<br />

terbentuk sebuah Komisi Transparansi yang anggota-anggotanya dipilih oleh<br />

DPRD atas usulan warga masyarakat dan ditetapkan dengan keputusan Walikota<br />

Gorontalo. Tugas utama dari Komisi Transparansi ini yaitu melakukan pengawasan<br />

terhadap kewajiban badan publik dan mengkaji, mengembangkan kapasitas<br />

badan publik untuk melaksanakan transparansi. Sedangkan fungsi dari Komisi<br />

ini antara lain melakukan evaluasi terhadap penggunaan hak masyarakat sebagai<br />

bahan penyempurnaan kebijakan publik. Di sisi lain Komisi ini pula memiliki<br />

kewenangan seperti yang diatur dalam Pasal 24 yaitu diantaranya adalah dapat<br />

meminta informasi, catatan atau bahan-bahan dari pejabat yang bertanggung<br />

jawab tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.<br />

4.1.3 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002<br />

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 mengatur tentang Pengawasan<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo. Beberapa pertimbangan<br />

dicetuskannya <strong>Perda</strong> ini diantaranya bahwa dalam rangka penyelenggaraan<br />

117


Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab, maka dipandang perlu<br />

menekankan prinsip-prinsip demokratisasi, keadilan dan pemerataan bagi segenap<br />

warga masyarakat Kota Gorontalo. Selain itu guna mewujudkan penyelenggaraan<br />

Pemerintahaan Daerah yang baik dan bersih serta mampu menjalankan fungsi dan<br />

tugasnya dengan penuh tanggung jawab, maka diperlukan peran serta masyarakat<br />

untuk melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di<br />

daerah. Substansi hukum dari <strong>Perda</strong> dimaksud tetap saja dijiwai oleh berbagai<br />

peraturan perundangan diatasnya mengenai Sistem Pengawasan Penyelenggaraan<br />

Pemerintahan Daerah.<br />

Dengan memperhatikan pasal-pasal dalam <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2002, sangat jelas<br />

ditegaskan bahwa ruang lingkup pengawasan penyelenggaraan pemerintahan<br />

di Kota Gorontalo terdiri dari Pengawasan Fungsional, Pengawasan Legislatif<br />

dan Pengawasan Masyarakat. Dalam hal pengawasan ini, kedudukan Walikota<br />

Gorontalo dapat melakukan pengawasan fungsional kepada Unit/ Badan/ Dinas<br />

sebagai Penyelenggara Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan<br />

yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Daerah Kota Gorontalo. Kedudukan<br />

Badan Pemeriksa Daerah dalam amanat <strong>Perda</strong> ini dinyatakan secara tegas<br />

selain bertanggungjawab terhadap Walikota, juga bertanggungjawab terhadap<br />

masyarakat melalui DPRD Kota Gorontalo dalam hal melakukan pengawasan.<br />

Selanjutnya DPRD Kota Gorontalo berwenang melakukan pengawasan legislatif<br />

atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Fraksi-<br />

Fraksi, Komisi-Komisi dan alat kelengkapan Dewan lainnya yang dibentuk sesuai<br />

dengan Tata Tertib DPRD Kota Gorontalo.<br />

Suatu hal yang dinilai lebih spesifik terhadap <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2002 ini sebagai<br />

produk aturan lokal adalah diberinya ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk<br />

melakukan pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengawasan<br />

yang dilakukan oleh masyarakat meliputi pemberian informasi adanya indikasi<br />

terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan Pemerintah Daerah<br />

dan DPRD Kota Gorontalo. Selain itu masyarakat dapat menyampaikan pendapat<br />

dan saran mengenai perbaikan dan penyempurnaan baik preventif maupun represif<br />

atas masalah yang berkembang.<br />

Untuk keperluan pengawasan yang lebih maksimal, maka upaya yang dilakukan<br />

dalam rangka pemberian ruang dan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk<br />

melakukan pengawasan, diantaranya adalah:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Pembukaan Kotak Saran di semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)<br />

Pelaksanaan Hearing di tingkat badan legislatif (DPRD)<br />

Dibukanya rubrik informasi melalui SMS di media cetak<br />

Pelaksanaan dialog baik secara langsung dan terbuka maupun melalui media<br />

elektronika dengan program “Kopi Lolango”<br />

Adanya kewajiban semua Instansi/Badan <strong>Publik</strong> menerapkan sistem CT4<br />

(Cepat Temu, Cepat Tanggap, Cepat Tindak dan Cepat Tuntas)<br />

118


Dari hasil pengamatan tentang kondisi pengawasan yang berlangsung<br />

diperoleh gambaran bahwa implementasi <strong>Perda</strong> No. 4 tahun 2002 dinilai telah<br />

banyak memberikan kontribusi positif bagi setiap Unit/ Badan/ Dinas sebagai<br />

Penyelenggara Pemerintahan di Daerah untuk melakukan penataan dan perbaikan<br />

terhadap kinerja aparaturnya. Hasil-hasil temuan atas penyimpangan yang terjadi<br />

tidak sekedar menjadi bahan informasi dalam perbaikan kebijakan pengawasan,<br />

melainkan dalam proses pembenahan kinerja aparatur pemerintah hasil temuan<br />

tersebut menjadi bahan tindak lanjut dalam pemberian sangsi. Sesuai Pasal 17<br />

<strong>Perda</strong> Nomor 4 Tahun 2002 dengan tegas dinyatakan bahwa tindak lanjut hasil<br />

temuan dapat berupa;<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Tindakan administratif sesuai Peraturan Perundangan<br />

Tindakan tuntutan perbendaharaan atau ganti rugi<br />

Tindakan tututan perdata<br />

Tindakan tuntutan perbuatan pidana, dan<br />

Tindakan penyempurnaan kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan.<br />

4.2 Implikasi Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2, 3, 4 Tahun<br />

2002<br />

Bila dikaji lebih jauh implementasi Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002<br />

Kota Gorontalo, sangat jelas termuat dalam peraturan tersebut masyarakat Kota<br />

Gorontalo diberi peluang dan ruang yang lebih luas untuk terlibat dan melibatkan<br />

diri dalam proses pembangunan daerah.<br />

Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002, kedudukan warga masyarakat<br />

mulai dari tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Tingkat Kota Gorontalo memiliki<br />

peran strategis dalam penentuan prioritas kegiatan pembangunan daerah. Ruang<br />

yang demikian luas itu tampak dari keterlibatan warga masyarakat dalam proses<br />

penyusunan rencana sampai dengan pengambilan keputusan strategis mengenai<br />

penentuan prioritas kegiatan dalam pembangunan. Keterlibatan dan partisipasi<br />

aktif masyarakat mulai dari Tingkat Kelurahan, Kecamatan sampai dengan<br />

Tingkat Kota Gorontalo turut mewarnai setiap pengambilan kebijakan publik yang<br />

diakumulasi melalui hasil-hasil musyawarah perencanaan pembangunan.<br />

Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang digelar di semua tingkatan<br />

wilayah baik Kelurahan, Kecamatan dan Kota adalah sebuah representasi dari<br />

adanya kemauan dan keinginan yang kuat Pemerintah Kota Gorontalo untuk<br />

mendorong terwujudnya peningkatan partisipasi masyarakat. Kondisi ini pada<br />

hakekatnya merupakan amanat konstitusi (PERDA) yang mengandung makna<br />

agar warga masyarakat menyadari bahwa prioritas kegiatan pembangunan yang<br />

sudah ditetapkan melalui Musrenbang adalah benar-benar lahir dari sebuah<br />

kesepakatan bersama, adil dan merata.<br />

Mengingat demikian besarnya ruang yang diberikan kepada masyarakat sesuai<br />

amanah <strong>Perda</strong> tersebut diatas, maka masyarakat pun menghendaki perlunya<br />

119


transparansi dalam proses penyelenggaraan pembangunan daerah. Oleh karena itu<br />

Pemerintah Daerah bekerja sama dengan DPRD Kota Gorontalo dalam menyikapi<br />

kondisi eksternal yang berkembang di masyarakat berupaya melahirkan Peraturan<br />

Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan<br />

Kota Gorontalo. Dalam <strong>Perda</strong> Transparansi ini, peran serta warga masyarakat Kota<br />

Gorontalo tampak menjadi prioritas utama yang dikedepankan dalam mengawal<br />

Proses Penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan.<br />

Dengan terbentuknya Komisi Transparansi di Kota Gorontalo sesuai amanat <strong>Perda</strong><br />

No. 3 Tahun 2002, maka hal tersebut merupakan bukti konkrit dari sebuah keinginan<br />

kuat Penyelenggara Pemeritahan di Daerah Kota Gorontalo dalam mendorong<br />

tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat. Meskipun Komisi Transparansi ini<br />

ditetapkan oleh Walikota Gorontala atas usulan masyarakat melalui DPRD Kota<br />

Gorontalo, dalam kiprahnya Komisi tersebut menjalankan tugas dan fungsinya<br />

tetap berpijak pada prinsip independensi, terbuka dan berkeadilan.<br />

Oleh karena itu eksistensi tugas dari Komisi Transparansi ini terhindar dari<br />

adanya unsur intervensi dan tekanan dari pihak manapun. Guna memperkuat tata<br />

pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance), serta untuk mengawasi<br />

jalannya pelaksanaan pembangunan di daerah, maka Pemerintah Daerah bersamasama<br />

dengan DPRD Kota Gorontalo menetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun<br />

2002 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo.<br />

Dalam peraturan daerah ini selain diatur mengenai pengawasan fungsional dan<br />

legislatif, dinyatakan pula dengan tegas bahwa masyarakat Kota Gorontalo diberi<br />

porsi secara khusus mengawasi proses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.<br />

Masyarakat dalam melakukan pengawasan dapat secara perorangan maupun<br />

melalui sebuah <strong>org</strong>anisasi memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memberi<br />

dan menerima informasi mengenai hasil penyelenggaraan pemerintahan serta<br />

kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat<br />

itu. Ini berarti warga masyarakat Kota Gorontalo memiliki peran strategis dan<br />

ditempatkan pada posisi yang sesuai hak dan kewajibannya dalam pengawasan<br />

pembangunan di daerah. Berdasarkan kondisi realitas sebagaimana yang diuraikan<br />

diatas, maka penerapan <strong>Perda</strong> No. 2, 3, 4 Tahun 2002 berimplikasi pada:<br />

1. Tumbuhnya sinergitas antara Pemerintah Daerah dengan warga masyarakat<br />

dalam mewujudkan kondisi pemerintahan Kota Gorontalo secara lebih baik<br />

dengan mengedepankan kepentingan masyarakat<br />

2. Penyelenggara pemerintahan secara terus menerus dapat melakukan koreksi<br />

dan instrospeksi terhadap setiap permusan rencana dan kebijakan dalam<br />

proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan<br />

3. Meningkatnya partisipasi masyarakat yang dapat dilihat dari adanya kontribusi<br />

pemikiran, saran dan pendapat dalam proses pembangunan daerah mulai dari<br />

perumusan rencana, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan<br />

4. Adanya komitmen yang kuat bagi penyelenggara pemerintahan dan warga<br />

masyarakat dalam mewujudkan Good Governance<br />

120


5.<br />

Penutup<br />

Berdasarkan hasil telaahan dan kajian tentang Peraturan Daerah Nomor 2, 3<br />

dan 4 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dapat dikemukakan<br />

beberapa kesimpulan sebagai berikut:<br />

1. Bahwa Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 merupakan peraturan<br />

yang bersifat mengikat bagi keseluruhan Penyelenggara Pemerintahan<br />

Daerah dan Masyarakat Kota Gorontalo dalam mewujudkan suatu kondisi<br />

Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan yang berkeadilan dengan<br />

menjunjung tinggi prinsip-prinsip Good Governance.<br />

2. Bahwa Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 merupakan<br />

jaminan terhadap hak dan kewajiban warga masyarakat untuk secara<br />

aktif berpartisipasi dalam pembangunan daerah mulai proses perencanaan,<br />

pelaksanaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan<br />

dan kemasyarakatan.<br />

3. Bahwa dengan keberadaan Peraturan Daerah tersebut diatas, setiap<br />

Penyelenggara Pemerintahan, Pejabat <strong>Publik</strong> lainnya dan warga masyarakat<br />

dapat secara sinergis mewujudkan suatu tata Pemerintahan, Pembangunan<br />

dan Kemasyarakatan secara lebih baik dan berkeadilan.<br />

Gorontalo, Juni 2006<br />

121


3. Potensi Penyimpangan Substansi<br />

dalam Proses Legislasi Peraturan Daerah<br />

Abstrak<br />

Dalam proses penyusunan peraturan perundangan (peraturan daerah/ perda)<br />

secara partisipatif, masyarakat dapat terlibat dari mulai penelitian dan penyusunan<br />

naskah akademik, sampai dalam proses legislasi di parlemen (DPR-D). Lebih dari<br />

itu, tidak memungkinkan lagi bagi masyarakat untuk terlibat. Tahapan terakhir<br />

proses legislasi tersebut adalah sebuah black box, yaitu proses pengajuan draft<br />

raperda untuk dibahas dalam Sidang Paripurna sampai penulisannya dalam<br />

lembaran daerah. Pada tahapan ini, proses bersifat politis dan sangat menentukan<br />

nasib dari peraturan yang diajukan tersebut.<br />

Pada setiap tahapan legislasi sangat berpotensi untuk terjadinya penyimpangan<br />

substansi perda. Penyimpangan substansi ini terkait dengan kepentingan<br />

stakeholder yang berbeda terhadap peraturan yang sedang disusun, baik yang pro<br />

maupun yang kontra. Namun dengan ketelitian, argumen dan pendekatan yang<br />

baik dan rasional pada saat pembahasan, biasanya penyimpangan tersebut dapat<br />

dihalangi dan dikembalikan pada substansi yang benar.<br />

Tapi kemudian penyimpangan yang paling sulit untuk dihalangi adalah setelah<br />

draft raperda disepakati dalam pembahasan untuk diajukan pada sidang paripurna<br />

sampai perda tersebut ditempatkan dalam lembaran daerah. Pada tahapan<br />

tersebut, masyarakat tidak lagi dapat berperan. Pengawalan terhadap substansi<br />

perda hanya akan dapat dilakukan oleh mereka yang memungkinkan terlibat<br />

didalam sidang paripurna dan penempatan perda dalam lembaran daerah. Seperti<br />

diantaranya anggota DPRD dan pihak eksekutif (misalnya staf sekretariat dewan,<br />

staf sekretariat daerah, bupati).<br />

Untuk melihat ada atau tidaknya perubahan, kita melakukan analisis dengan<br />

membandingkan isi (content analysis) draft raperda sebelum dan sesudah blackbox,<br />

yaitu diantaranya setelah draft raperda disepakati dalam pembahasan untuk<br />

diajukan dalam sidang paripurna sampai perda tersebut selesai ditempatkan dalam<br />

lembaran daerah. Logikanya, bila ada penyimpangan maka akan terlihat dari<br />

adanya perubahan dalam draft (baik raperda maupun perda-nya). Sekecil apapun<br />

perubahan tersebut, sangat mungkin merubah struktur/kerangka logis atau pun<br />

substansinya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut berpotensi menjadikan<br />

perda yang disahkan menjadi sulit atau tidak operasional. Kemungkinan paling<br />

buruk adalah kemudian, perda tersebut dibatalkan karena cacat substansi.<br />

122


Sebagai studi kasus, kita menggunakan pengalaman Perkumpulan Inisiatif dalam<br />

menginisiasi peraturan daerah. Perkumpulan Inisiatif pernah menginisiasi dan<br />

terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 tahun<br />

2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta<br />

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 2 tahun 2006 tentang Alokasi Dana<br />

Perimbangan Desa. Kedua perda ini dapat dikategorikan sebagai peraturan daerah<br />

yang menyediakan suprastruktur bagi terlaksananya perda-perda pelayaan publik<br />

dasar dan implementasinya.<br />

Kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa perjuangan stakeholder dalam<br />

pembahasan rancangan peraturan daerah, baik yang pro maupun yang kontra,<br />

tidak akan berhenti sampai saat akhir pembahasan saja. Diharapkan dari kajian<br />

ini akan dapat mengidentifikasi proses dalam blackbox yang memberikan peluang<br />

untuk terjadinya penyimpangan (perubahan draft raperda) serta strategi apa yang<br />

harus dilakukan agar potensi penyimpangan dapat dihilangkan. Sehingga nanti,<br />

rekomendasi yang mungkin diajukan adalah<br />

1. usulan revisi peraturan perundangan yang mengatur mengenai prosedur<br />

penyusunan produk hukum daerah dan prosedur lainnya yang terkait (misalnya<br />

tata tertib dewan, dll) jika ternyata ada black box yang berpotensi terjadinya<br />

penyimpangan dan<br />

2. perlunya peningkatan kapasitas bagi stakehoder (terutama masyarakat<br />

marginal) sehingga mereka mampu berpartisipasi dalam penyusunan peraturan<br />

daerah dan mengawal keseluruhan prosesnya.<br />

1.<br />

Pendahuluan<br />

Secara sederhana, kebijakan publik pemerintah dapat dibagi berdasarkan bentuknya<br />

menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang bentuknya penyediaan<br />

barang dan jasa. Sementara kelompok kedua adalah yang bentuknya regulasi. Lebih<br />

jauh lagi, kebijakan publik yang bentuknya regulasi juga dikategorikan menjadi<br />

dua, yaitu regulasi yang sifatnya infrastruktur dan yang sifatnya suprastruktur.<br />

Yang termasuk kategori infrastruktur misalnya regulasi tentang pelayanan publik<br />

dasar, alokasi anggaran (APBD), pengentasan kemiskinan, standar pendidikan,<br />

dll. Sementara yang termasuk kategori suprastruktur misalnya regulasi tentang<br />

transparansi, akuntabilitas, proses perencanaan, dan lain-lain.<br />

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa partisipasi masyarakat dalam<br />

pembuatan kebijakan publik, baik penyediaan barang dan jasa maupun regulasi,<br />

sangat diperlukan. Hal ini untuk menjamin bahwa kebijakan yang disusun akan<br />

mengakomodir kepentingan masyarakat serta tidak akan merugikan. Namun<br />

sampai saat ini masyarakat belum dapat berpartisipasi secara penuh. Hasilnya<br />

dapat dilihat dari masih banyaknya kebijakan publik di daerah yang belum<br />

berpihak pada kepentingan masyarakat.<br />

123


Usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik daerah agar lebih berpihak pada<br />

masyarakat telah diusahakan oleh banyak pihak. Salah satu diantara usaha-usaha<br />

tersebut adalah melalui advokasi untuk mereformasi regulasi daerah. Dengan adanya<br />

advokasi di tingkatan regulasi daerah diharapkan adanya pelembagaan kebijakan<br />

publik yang lebih pro-rakyat. Namun usaha untuk mereformasi regulasi di daerah<br />

pun masih menghadapi banyak kendala. Seperti misalnya konflik kepentingan,<br />

lemahnya kapasitas berjejaring, pengetahuan hukum, keterbatasan pengetahuan<br />

akan substansi yang diadvokasikan, dll. Kendala terbesar yang dihadapi sampai<br />

saat ini adalah belum jelasnya ruang/prosedur yang memungkinkan adanya<br />

partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah.<br />

Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah saat ini masih<br />

harus mengandalkan “kesadaran dan kebaikan hati” para birokrat pemerintahan<br />

dan anggota DPRD. Advokasi kebijakan publik yang lebih pro-rakyat melalui<br />

penyusunan peraturan daerah saat ini baru dapat dilakukan secara tidak langsung.<br />

Partisipasi masyarakat baru dapat dilakukan sebatas mengajukan usulan<br />

penyusunan peraturan daerah (tentu saja untuk substansi tertentu) pada aparat<br />

pemerintahan atau anggota DPRD. Setelah itu sulit bagi masyarakat untuk melihat<br />

apakah usulannya diterima atau tidak. Kalau pun usulan penyusunan peraturan<br />

daerah tersebut diterima dan ditindaklanjuti oleh aparat pemerintah atau anggota<br />

DPRD, dari proses penyusunan sampai legislasi dan pengesahan peraturan daerah,<br />

masyarakat tetap tidak dapat mengontrol substansi yang diusung dalam peraturan<br />

daerah tersebut. Ketiadaan ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam<br />

proses penyusunan peraturan daerah tentu saja akan memperbesar resiko adanya<br />

penyimpangan dalam substansi yang diusulkan.<br />

Tulisan ini dibuat untuk menunjukan bahwa ketiadaan ruang yang jelas bagi<br />

partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah akan<br />

memperbesar resiko adanya penyimpangan substansi yang diusulkan. Kami<br />

berasumsi bahwa:<br />

1. Proses penyusunan kebijakan publik apapun, termasuk diantaranya peraturan<br />

daerah, akan selalu menghadapi pro dan kontra dari berbagai pihak.<br />

2. Baik pihak pro maupun kontra, akan selalu berusaha mempengaruhi proses<br />

kebijakan publik untuk memasukkan agenda dan kepentingan mereka. Mereka<br />

akan memanfaatkan berbagai celah yang mungkin dipergunakan, termasuk<br />

diantaranya adalah prosedur formal.<br />

3. Ketika ada celah yang tidak dapat dimanfaatkan salah satu pihak, maka pihak<br />

yang lain akan mengeksploitasi celah tersebut semaksimal mungkin.<br />

Disini kita mempunyai kekhawatiran bahwa bila ada penyimpangan, maka sekecil<br />

apapun penyimpangan tersebut, sangat mungkin merubah struktur/ kerangka logis<br />

atau pun substansinya. Konsekuensi yang mungkin terjadi adalah penyimpangan<br />

tersebut berpotensi menjadikan peraturan daerah yang disahkan menjadi sulit atau<br />

tidak operasional. Kemungkinan paling buruk adalah peraturan daerah tersebut<br />

cacat substansi.<br />

124


Sebagai studi kasus, kita menggunakan pengalaman Perkumpulan INISIATIF<br />

dalam menginisiasi dan mengadvokasi peraturan daerah di Kabupaten Bandung .<br />

Perkumpulan INISIATIF pernah menginisiasi dan terlibat dalam penyusunan<br />

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 tentang Tata Cara<br />

Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta Peraturan Daerah<br />

Kabupaten Bandung No.2 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa.<br />

Kedua perda ini dapat dikategorikan sebagai peraturan daerah yang menyediakan<br />

suprastruktur bagi terlaksananya perda-perda pelayaan publik dasar dan<br />

implementasinya. Proses advokasi kedua peraturan daerah dilakukan dalam<br />

konteks prosedur penyusunan peraturan daerah berdasarkan Keputusan<br />

Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur<br />

Penyusunan Produk Hukum Daerah.<br />

2.<br />

Metode Analisis<br />

Sebelum membuktikan adanya potensi penyimpangan substansi dalam proses<br />

legislasi, terlebih dahulu kita mengkaji prosedur penyusunan peraturan daerah<br />

yang berlaku saat itu: Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.<br />

23 tanggal 18 Juli 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.<br />

Kajian ini dilakukan untuk melihat celah-celah yang memungkinkan (atau tidak<br />

memungkinkan) adanya partisipasi masyarakat dalam prosedur tersebut. Tidak<br />

ada teknik khusus yang digunakan dalam kajian ini. Untuk membuktikan adanya<br />

potensi penyimpangan substansi dalam proses legislasi kita langsung pada kedua<br />

studi kasus.<br />

Untuk setiap studi kasus, pertama-tama kita akan membahas konteks advokasi<br />

kedua peraturan daerah tersebut. Dari pembahasan tersebut diharapkan kita akan<br />

memahami latarbelakang serta urgensi advokasinya.<br />

Kedua, kita membahas mengenai proses yang dilalui oleh INISIATIF pada saat<br />

advokasi. Seperti sebelumnya, tidak ada teknik khusus yang digunakan selain<br />

dari content analysis biasa. Dari pemahaman tentang proses yang dilalui ini kita<br />

mengetahui langkah-langkah advokasi yang dilakukan, mengerti alasan dan<br />

tujuan setiap langkah, serta menempatkannya dalam prosedur formal penyusunan<br />

peraturan daerah. Output dari analisis ini diharapkan kita akan mengetahui apa<br />

saja dampak dari proses yang terjadi pada kemungkinan partisipasi, pada substansi<br />

peraturan daerah yang diusulkan, serta mengidentifikasi potential black box dalam<br />

prosedur formal yang berlaku.<br />

Terakhir, untuk membuktikan bahwa prosedur penyusunan produk hukum daerah<br />

yang berlaku memungkinkan adanya penyimpangan substansi yang diusulkan<br />

Perkumpulan INISIATIF memang bukan stakeholder di Kabupaten Bandung. Tapi posisi INISIATIF<br />

adalah pelaku action research.<br />

125


masyarakat, dilakukan juga content analysis dengan membandingkan draft-draft<br />

yang dihasilkan dalam proses penyusunan perda tersebut. Fokus utama adalah<br />

membandingkan draft usulan, draft hasil pembahasan, serta dokumen peraturan<br />

daerah yang telah disahkan.<br />

3.<br />

Hasil Analisis<br />

Hasil analisis berikut dipaparkan sesuai urutan analisis yang telah disebutkan<br />

pada bagian sebelumnya. Yang pertama adalah hasil kajian mengenai Prosedur<br />

Penyusunan Produk Hukum Daerah. Berikutnya adalah hasil kajian kasus pertama<br />

yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 tentang Tata Cara<br />

Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah. Dan terakhir dipaparkan hasil<br />

kajian kasus kedua mengenai Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.2 Tahun<br />

2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa.<br />

126<br />

3.1 Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah<br />

Pada saat INISIATIF melakukan advokasi kedua peraturan daerah, setidaknya<br />

ada dua peraturan yang terkait dengan prosedur penyusunan peraturan daerah.<br />

Peraturan yang pertama adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2001<br />

tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah<br />

2<br />

(DPRD). <br />

Menurut peraturan tersebut DPRD dapat:<br />

1. melalui Pemandangan Umum anggota, mengajukan usul perubahan Rancangan<br />

3<br />

Peraturan Daerah (Ranperda) yang diajukan oleh Kepala Daerah; dan<br />

4<br />

2. mengajukan Ranperda yang diusulkan setidaknya oleh lima orang anggota dari<br />

lebih satu fraksi, untuk kemudian dibahas bersama dalam Rapat Paripurna<br />

DPRD dengan memberikan kesempatan kepada anggota DPRD lainnya serta<br />

Pemda untuk membahasnya.<br />

Peraturan yang kedua adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi<br />

Daerah (Kepmendagri) Nomor 23 Tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 mengatur<br />

Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Kepmendagri ini mengatur secara<br />

rinci proses penyusunan produk hukum, baik yang peraturan daerah maupun yang<br />

produk hukum yang sifatnya penetapan (Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi<br />

Kepala Daerah). Kepmendagri-otda No.23 Tahun 2001 ini juga menyediakan ruang<br />

untuk hak inisiatif DPRD untuk mengajukan dan membahas Rancangan Peraturan<br />

5<br />

Daerah. <br />

2 Saat itu telah muncul Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata<br />

Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai mengganti Peraturan Pemerintah No.1<br />

tahun 2001. Namun rupanya DPRD Kabupaten Bandung masih belum mengganti Tata Tertib-nya dan<br />

masih berpedoman pada PP No.1 tahun 2001.<br />

3 Pasal 12 huruf d yang dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3)<br />

4 Pasal 12 huruf f yang dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) sampai ayat (9)<br />

5 Pasal 17 dan pasal 18 Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Kepmendagri) Nomor<br />

23 tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah


Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah<br />

(Berdasarkan Kepmendagri No. 23/2001)<br />

P IMP . U NIT K E R J A<br />

(Inis iator*)<br />

S E K R E T A R IS DA E R A H K E P A L A DA E R A H B IR O /B A G HUK U M DP R D<br />

( 1 )<br />

Rencana Pengajuan<br />

Produk Hukum dan<br />

Pokok-Pokok Pikiran<br />

( 2 )<br />

( 8 )<br />

( 3 )<br />

Persetujuan untuk<br />

harm onisasi dan<br />

sinkronisasi<br />

( 7 )<br />

Persetujuan awal untuk<br />

penyusunan draft dan<br />

pem bahasan<br />

( 4 )<br />

( 6 )<br />

( 5 )<br />

Harm onisasi m ateri dan<br />

sinkronisasi pengaturan<br />

( 3 4 )<br />

Hak Inisiatif: Rencana<br />

Pengajuan Produk<br />

Hukum dan Pokok-Pokok<br />

Pikiran<br />

( 3 6 )<br />

Koordinasi<br />

( 3 7 )<br />

( 1 2 )<br />

( 1 3 )<br />

Penyusunan draft<br />

( 9 )<br />

Penyusunan draft<br />

( 1 0 )<br />

( 1 4 )<br />

( 1 1 )<br />

Pem bahasan draft<br />

( 1 5 )<br />

Paraf persetujuan hasil<br />

pem bahasan<br />

( 1 6 )<br />

( 1 9 )<br />

Persetujuan<br />

( 1 8 )<br />

( 1 7 )<br />

Koordinasi paraf<br />

( 2 0 ) ( 2 1 )<br />

Persetujuan<br />

( 2 2 )<br />

( 2 3 )<br />

Pem bahasan<br />

( 2 6 )<br />

( 2 4 )<br />

( 2 7 )<br />

Penetapan<br />

( 2 5 )<br />

Persetujuan<br />

( 2 9 )<br />

Pengesahan<br />

( 3 0 )<br />

( 3 8 )<br />

Tim Asistensi<br />

( 2 8 )<br />

( 3 9 )<br />

( 3 1 )<br />

( 3 2 )<br />

Penom oran,<br />

Penggandaan,<br />

Pendistribusian dan<br />

Pendokum entasian<br />

( 3 3 )<br />

Disem inasi<br />

(bersam a dengan<br />

pengusul/Unit Kerja)<br />

3.2 Advokasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 tahun<br />

2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan<br />

Daerah<br />

Latar belakang penyusunan raperda ini adalah munculnya Undang-Undang<br />

No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada<br />

Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa perlu adanya<br />

peraturan daerah yang mengatur tentang tata cara penyusunan RPJP Daerah,<br />

RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan pelaksanaan Musrenbang<br />

6<br />

Daerah . Kemudian pada awal tahun 2005, tepatnya di bulan Januari, muncul<br />

Surat Edaran Bersama (SEB) antara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan<br />

Nasional/Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis<br />

Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2005. SEB tersebut disusun mengacu<br />

pada Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undangundang<br />

No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional<br />

dan Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang<br />

mengamanatkan adanya penyempurnaan sistem perencanaan dan penganggaran<br />

6 Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pasal 27<br />

ayat (2).<br />

127


nasional, baik pada aspek proses dan mekanisme maupun tahapan pelaksanaan<br />

musyawarah perencanaan di tingkat pusat dan daerah. Menanggapi amanat<br />

Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 serta SEB tersebut, DPRD Kabupaten Bandung<br />

menggunakan hak inisiatifnya untuk menyusun rancangan peraturan daerah<br />

Kabupaten Bandung tentang tata cara penyusunan perencanaan pembangunan<br />

daerah. Raperda tersebut diharapkan dapat memberikan arahan praktek<br />

sistem perencanaan dan penganggaran di daerah dalam hal proses, mekanisme<br />

7<br />

serta tahapan-tahapannya. Keterlibatan INISIATIF pada penyusunan <strong>Perda</strong><br />

Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 ini dimulai dari permintaan asistensi dari<br />

DPRD Kabupaten Bandung. INISIATIF diminta untuk menganalisis draft Raperda<br />

yang telah disusun sebelumnya oleh panmus DPRD dan tim Asistensi dari pihak<br />

eksekutif. Draft tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.<br />

Untuk memberi masukan pada draft raperda tersebut, INISIATIF mengacu<br />

8<br />

pada hasil analisis Pokja FPPM <br />

terhadap kerangka regulasi yang terkait dengan<br />

perencanaan dan penganggaran. Hasil kajian Pokja FPPM tersebut kemudian<br />

dimasukkan dalam draft raperdan dalam bentuk beberapa tambahan, modifikasi<br />

dan pengurangan terhadap beberapa pasal-pasalnya. Selanjutnya atas permintaan<br />

panmus DPRD, INISIATIF diminta mendampingi proses legislasi, terutama dalam<br />

beberapa sesi pembahasan draft raperda. Pembahasan dalam proses legislasi<br />

ternyata tidak selancar yang diharapkan.<br />

Ada beberapa hal yang krusial yang memerlukan pembahasan yang panjang<br />

dan melelahkan. Hal-hal tersebut diantaranya terkait dengan klausul yang<br />

mensyaratkan adanya kewenangan desa dan serta klausul mengenai konsultasi<br />

publik. Setelah serial pembahasan yang melelahkan, banyak perubahan yang<br />

terjadi dan disepakati oleh panmus DPRD juga tim Asistensi dari pihak eksekutif.<br />

Versi terakhir hasil pembahasan di panmus DPRD dapat dilihat pada Lampiran 2.<br />

Setelah pembahasan di tingkat panmus DPRD, ruang partisipasi telah tertutup.<br />

Inisiatif tidak lagi dapat terlibat. Draft raperda hasil pembahasan tersebut<br />

kemudian dibahas dalam sidang paripurna DPRD.<br />

Hasil proses pembahasan di sidang paripurna dan disahkan menjadi peraturan<br />

daerah yang dokumennya dapat dilihat pada Lampiran 3. Apakah kemudian<br />

seluruh substansi hasil pembahasan pada tingkat panmus, yang didalamnya<br />

memungkinkan adanya pelibatan stakeholder terkait, diterima seluruhnya?<br />

Ataukah ada perubahan pada substansi setelah disahkan menjadi peraturan<br />

daerah? Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.<br />

7 Sebagai informasi, pada saat disusunnya peraturan daerah ini, di Kabupaten Bandung telah ada<br />

Peraturan Bupati Bandung tentang Musyawarah Perencanaan Kegiatan Tahunan (MPKT) yang<br />

mengatur proses perencanaan tahunan dimulai dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten. Dilihat dari<br />

prosedurnya, MPKT sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prosedur Musrenbang yang diamanatkan<br />

dalam UU25/2004. Sehingga tidak sulit bagi stakeholder Kabupaten Bandung untuk menerima konsep<br />

Musrenbang.<br />

8 Pokja Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) yang terdiri dari Sri Mastuti, Diding,<br />

Dedi Haryadi pada tahun 2005 membuat tulisan yang berjudul “Isu-Isu Strategis Dalam Perencanaan<br />

dan Penganggaran Partisipatif di Daerah: Suatu Analisis Terhadap Kerangka Regulasi”. Tulisan<br />

tersebut disusun sebagai bahan diskusi dalam acara Lokakarya Nasional FPPM, Lombok NTB, 28-29<br />

Januari 2005.<br />

128


Tabel 1: Perbandingan Raperda<br />

tentang Tatacara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Perubahan yang Terjadi<br />

RANCANGAN<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

TAHUN 2005<br />

TENTANG<br />

TATA CARA PENYUSUNAN<br />

PERENCANAAN<br />

PEMBANGUNAN DAERAH<br />

LEMBARAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR 8 TAHUN 2005<br />

TENTANG<br />

TATA CARA PENYUSUNAN<br />

PERENCANAAN PEMBANGUNAN<br />

DAERAH<br />

PERUBAHAN YANG TERJADI<br />

Pasal 5<br />

(3) Kegiatan dalam RKP Desa yang<br />

merupakan bagian dari kewenangan<br />

Desa akan didanai oleh Anggaran<br />

Pendapatan dan Belanja Desa.<br />

Pasal 5<br />

(3) Kegiatan dalam RKP Desa<br />

yang merupakan bagian dari<br />

kewenangnan Desa akan didanai<br />

oleh Anggaran Pendapatan dan<br />

Belanja Daerah<br />

Pada pasal 5 ayat (3) ada perubahan<br />

substansi. Pada draft hasil<br />

pembahasan pada tingkat panmus<br />

DPRD, disebutkan bahwa Kegiatan<br />

dalam RKP Desa yang merupakan<br />

bagian dari kewenangan Desa akan<br />

didanai oleh Anggaran Pendapatan<br />

dan Belanja Desa. Sementara pada<br />

draft yang disahkan, <strong>Perda</strong> 8/2005,<br />

disebutkan bahwa Kegiatan dalam<br />

RKP Desa yang merupakan bagian<br />

dari kewenangnan Desa akan<br />

didanai oleh Anggaran Pendapatan<br />

dan Belanja Daerah.<br />

Pasal 8<br />

(3) Penyusunan RKPD dilakukan<br />

melalui urutan kegiatan:<br />

1. Penyusunan dan penetapan<br />

Fungsi Pembangunan Prioritas;<br />

2. Penyusunan dan penetapan<br />

rancangan plafon anggaran<br />

indikatif untuk SKPD dan Desa;<br />

3. Penyiapan rancangan rencana<br />

4.<br />

kerja;<br />

Musyawarah perencanaan<br />

pembangunan; dan<br />

5. Penyusunan rancangan akhir<br />

rencana kerja pemerintah<br />

daerah.<br />

Pasal 8<br />

(3) Penyusunan RKPD dilakukan<br />

melalui urutan kegiatan :<br />

1. Penyusunan dan penetapan<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

Fungsi Pembangunan Prioritas;<br />

Penyusunan dan penetapan<br />

rancangan plafon anggaran<br />

indikatif untuk SKPD dan Desa;<br />

Penyiapan rancangan rencana<br />

kerja;<br />

Penyusunan rancangan akhir<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

rencana kerja pemerintah<br />

daerah.<br />

4.<br />

Pada pasal 8 ayat (3) ada<br />

perubahan substansi. Pada draft<br />

hasil pembahasan pada tingkat<br />

panmus DPRD, disebutkan bahwa<br />

penyusunan RKPD dilakukan melalui<br />

urutan kegiatan:<br />

5.<br />

Penyusunan dan penetapan<br />

Fungsi Pembangunan Prioritas;<br />

Penyusunan dan penetapan<br />

rancangan plafon anggaran<br />

indikatif untuk SKPD dan Desa;<br />

Penyiapan rancangan rencana<br />

kerja;<br />

Musyawarah perencanaan<br />

pembangunan; dan<br />

Penyusunan rancangan akhir<br />

rencana kerja pemerintah<br />

daerah.<br />

Sementara pada draft yang telah<br />

disahkan, <strong>Perda</strong> 8/2005, salah<br />

satu urutan kegiatan keempat,<br />

musyawarah perencanaan<br />

pembangunan, tidak ditemukan.<br />

129


RANCANGAN<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

TAHUN 2005<br />

TENTANG<br />

TATA CARA PENYUSUNAN<br />

PERENCANAAN<br />

PEMBANGUNAN DAERAH<br />

LEMBARAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR 8 TAHUN 2005<br />

TENTANG<br />

TATA CARA PENYUSUNAN<br />

PERENCANAAN PEMBANGUNAN<br />

DAERAH<br />

PERUBAHAN YANG TERJADI<br />

Pasal 26<br />

(1) Musrenbang dalam rangka<br />

penyusunan RKPD yang akan<br />

datang diikuti oleh unsur-unsur<br />

penyelenggara pemerintahan<br />

daerah, Delegasi Masyarakat<br />

Kecamatan, dan peserta dari unsur<br />

masyarakat sebagaimana diatur<br />

dalam pasal 10 ayat 2.<br />

Pasal 26<br />

(1) Musrenbang dalam rangka<br />

penyusunan RKPD yang akan<br />

datang diikuti oleh unsur-unsur<br />

penyelenggara pemerintah daerah,<br />

delegasi masyarakat kecamatan,<br />

dan peserta dari unsur masyarakat<br />

sebagaimana diatur dalam pasal 10<br />

ayat 2;<br />

Pada pasal 26 ada juga perubahan<br />

kecil yang cukup mengganggu.<br />

Pada draft hasil pembahasan pada<br />

tingkat panmus DPRD, disebutkan<br />

bahwa musrenbang dalam rangka<br />

penyusunan RKPD yang akan<br />

datang akan diikuti oleh unsurunsur<br />

penyelenggara pemerintahan<br />

daerah..... Sementara pada perda<br />

8/2005, kata pemerintahan daerah<br />

berubah menjadi pemerintah daerah<br />

Pasal 42<br />

Hanya ada satu ayat.<br />

Pasal 42<br />

Ditambahkan ayat kedua:<br />

(2) Keputusan Musrenbang<br />

Kecamatan mengenai rekapitulasi<br />

usulan Desa di Kecamatan<br />

sebagaimana dimaksud pada ayat<br />

(1) disampaikan kepada anggota<br />

DPRD dari wilayah pemilihan<br />

kecamatan.<br />

Pada pasal 42 dalam draft hasil<br />

pembahasan pada tingkat panmus<br />

DPRD, hanya ada satu ayat. Tapi<br />

kemudian pada perda 8/2005 ada<br />

tambahan satu ayat, yaitu ayat (2)<br />

Keputusan Musrenbang Kecamatan<br />

mengenai rekapitulasi usulan Desa di<br />

Kecamatan sebagaimana dimaksud<br />

pada ayat (1) disampaikan kepada<br />

anggota DPRD dari wilayah pemilihan<br />

kecamatan.<br />

Pasal 44<br />

Peserta Forum SKPD Kabupaten<br />

terdiri dari para Delegasi Masyarakat<br />

Kecamatan dan delegasi dari<br />

kelompok-kelompok masyarakat di<br />

tingkat kabupaten yang berkaitan<br />

langsung dengan fungsi SKPD atau<br />

gabungan SKPD yang bersangkutan.<br />

Pasal 44<br />

Peserta Forum Kabupaten terdiri<br />

dari para Delegasi Masyarakat<br />

Kecamatan dan delegasi dari<br />

kelompok-kelompok masyarakat di<br />

tingkat kabupaten yang berkaitan<br />

langsung dengan fungsi SKPD atau<br />

gabungan SKPD yang bersangkutan.<br />

Pasal 44 juga ada perbedaan antara<br />

draft hasil pembahasan panmus<br />

dengan perda 8/2005 yang telah<br />

disahkan. Pasal tersebut asalnya<br />

berbunyi Peserta Forum SKPD<br />

Kabupaten terdiri dari .... Sementara<br />

pada perda 8/2005 berbunyi Peserta<br />

Forum Kabupaten terdiri dari.....<br />

130


RANCANGAN<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

TAHUN 2005<br />

TENTANG<br />

TATA CARA PENYUSUNAN<br />

PERENCANAAN<br />

PEMBANGUNAN DAERAH<br />

LEMBARAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR 8 TAHUN 2005<br />

TENTANG<br />

TATA CARA PENYUSUNAN<br />

PERENCANAAN PEMBANGUNAN<br />

DAERAH<br />

PERUBAHAN YANG TERJADI<br />

Pasal 47<br />

(1) Kepala Satuan Kerja Perangkat<br />

Daerah melakukan evaluasi kinerja<br />

pelaksanaan rencana pembangunan<br />

Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

periode sebelumnya.<br />

(2) Kepala Bapeda menyusun evaluasi<br />

rencana pembangunan berdasarkan<br />

hasil evaluasi Satuan Kerja Perangkat<br />

Daerah sebagaimana dimaksud<br />

pada ayat (1).<br />

(3) Hasil evaluasi sebagaimana<br />

dimaksud pada ayat (2) menjadi<br />

bahan bagi penyusunan rencana<br />

pembangunan Daerah untuk periode<br />

berikutnya.<br />

Pasal 47<br />

(1) Kepala Satuan Perangkat Daerah<br />

(2) Kepala Bappeda<br />

(3) Hasil evaluasi<br />

Pada pasal 47, rincian isi tiga ayat<br />

hilang.<br />

Pasal 50<br />

Pasal 50<br />

(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat (3) Kepala Satuan Perangkat Daerah<br />

Daerah menyelenggarakan menyelenggarakan perencanaan<br />

perencanaan pembangunan pembangunan daerah sesuai dengan<br />

Daerah sesuai dengan tugas dan tugas dan kewenangannya;<br />

kewenangannya.<br />

Pada pasal 50 ayat 3, Kepala Satuan<br />

Kerja Perangkat Daerah menjadi<br />

Kepala Satuan Perangkat Daerah<br />

Pasal 51<br />

Hanya ada dua ayat.<br />

Pasal 51<br />

Ditambahkan ayat ketiga<br />

(3) Sebelum RPJMD menurut<br />

ketentuan dalam peraturan daerah<br />

ini ditetapkan, penyusunan RKPD<br />

Kabupaten Bandung Tahun 2006<br />

mengacu kepada Peraturan Daerah<br />

Nomor 15 Tahun 2001 tentang<br />

Rencana Strategis Daerah Kabupaten<br />

Bandung 2001 – 2005.<br />

Pada pasal 51 draft hasil pembahasan<br />

di panmus DPRD, hanya ada dua ayat.<br />

Namun setelah disahkan menjadi<br />

perda 8/2005, ada tambahan ayat<br />

(3) yaitu (3) Sebelum RPJMD menurut<br />

ketentuan dalam peraturan daerah<br />

ini ditetapkan, penyusunan RKPD<br />

Kabupaten Bandung Tahun 2006<br />

mengacu kepada Peraturan Daerah<br />

Nomor 15 Tahun 2001 tentang<br />

Rencana Strategis Daerah Kabupaten<br />

Bandung 2001 – 2005.<br />

131


132<br />

3.3 Advokasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.2 Tahun 2006<br />

tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa<br />

Agak berbeda dengan advokasi <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005, keterlibatan INISIATIF<br />

dalam advokasi <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006 dimulai dari gagasan IPGI Bandung9<br />

<br />

untuk mengembangkan otonomi desa yang diawali dengan sebuah penelitian<br />

sejak tahun 2001. Gagasan pengembangan kemandirian dan otonomi desa muncul<br />

untuk menindaklanjuti munculnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang<br />

Pemerintahan Daerah.<br />

Ini karena Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 merupakan tonggak baru bagi<br />

proses demokratisasi di Indonesia. Undang-undang ini menggantikan Undang-<br />

Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan<br />

Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dianggap jauh<br />

dari semangat otonomi di masing-masing daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun<br />

1999 telah mengilhami reformasi di daerah dengan mendorong proses restorasi<br />

penyelenggaraan pemerintahan daerah “as extensive autonomy as possible”<br />

10<br />

sebagaimana dulu diamanatkan oleh para founding father negara ini. <br />

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 memberikan kesempatan bagi daerah dan desa<br />

untuk secara otonom mengelola wilayahnya sesuai dengan yang diinginkan oleh<br />

warganya. Otonomi desa dianggap sebagai cara yang ideal untuk dapat mendekatkan<br />

proses pembuatan kebijakan publik dan pelayanan publik pada masyarakat desa.<br />

Otonomi desa dianggap strategis karena desa adalah pemerintahan pada tingkatan<br />

paling rendah dan paling dekat dengan masyarakat.<br />

Untuk terwujudnya otonomi desa, desa harus mempunyai kewenangan yang lebih<br />

luas untuk menyediakan pelayanan publik. Hal ini dapat dicapai bila desa sebagai<br />

pemerintah pada tingkat paling rendah di”kembalikan” hak otonominya dengan<br />

mewujudkan pemerintahan yang lebih desentralistis. Yaitu dengan pelimpahan<br />

kewenangan urusan tertentu pada desa yang selama ini dikuasai tingkatan<br />

pemerintahan yang lebih tinggi. Implikasi dari pelimpahan kewenangan pada desa<br />

adalah beban kewajiban atau tanggung jawab desa yang bertambah.<br />

Untuk itu diperlukan adanya perimbangan keuangan (transfer fiskal) dari<br />

pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Perimbangan keuangan merupakan<br />

manifestasi dari hak yang semestinya diperoleh oleh pemerintahan desa sebagai<br />

sumber daya untuk melaksanakan penyediaan barang dan jasa publik pada<br />

9 IPGI Bandung adalah pendahulu Perkumpulan INISIATIF. Program IPGI Bandung salah satunya<br />

adalah mengembangkan otonomi desa.<br />

10 Sidang Umum yang diselenggarakan beberapa saat setelah Presiden Soekarno ditumbangkan dari<br />

kepresidenannya berhasil menetapkan beberapa ketetapan yang terkait pada penataan penyelenggaraan<br />

pemerintahan dan ketatanegaraan. Salah satunya adalah Ketetapan No. XXI/MPRS/1966 mengenai<br />

pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Sejumlah pokok ketentuan yang dimuat secara<br />

ringkat memandatkan antara lain: (1) memberikan otonomi selus-luasnya kepada daerah; (2) penyerahan<br />

urusan disertai aparatur dan keuangannya; (3) pemberian tanggung jawab dan wewenang pengaturan<br />

kepegawaian di lingkungan pemerintah daerah; (4) pengaturan perimbangan keuangan; (5) peninjauan<br />

kembali UU no. 18 tahun 1965 dan UU no. 19 tahun 1965.


tingkat desa. Hasil akhir pengembangan konsep tersebut adalah sebuah naskah<br />

akademik beserta dua draft raperda yaitu raperda mengenai desentralisasi<br />

kewenangan dan raperda mengenai desentralisasi fiskal.<br />

Usaha advokasi yang dilakukan INISIATIF sendiri telah dimulai sejak tahun 2002.<br />

Saat itu INISIATIF telah mencoba melibatkan Bagian Pengembangan Otonomi<br />

Daerah (Bag. OTDA) - Kabupaten Bandung dalam proses pengembangan konsep<br />

otonomi desa. Saat itu resistensi mereka terhadap konsep otonomi desa sudah<br />

mulai terlihat. Resistensi tersebut berlanjut pada saat pengusulan konsep tersebut<br />

agar diadopsi menjadi peraturan daerah di Kabupaten Bandung. Usulan tersebut<br />

disampaikan pada Bag. OTDA. Hal ini karena menurut Kepmendagri-otda No.<br />

23 Tahun 2001, pengusul rencana produk hukum dan pokok-pokok pikirannya<br />

adalah Pimpinan Unit Kerja terkait, yang dalam hal ini tentu saja pimpinan Bag.<br />

OTDA. Hasilnya, naskah akademik beserta draft rancangan raperda desentralisasi<br />

kewenangan dan desentralisasi fiskal dari kabupaten ke desa yang diajukan oleh<br />

INISIATIF ditolak.<br />

Tidak berhenti sampai disitu, dalam usaha agar konsep yang telah dikembangkan<br />

tersebut dapat diadopsi menjadi peraturan daerah, INISIATIF kemudian mencoba<br />

meyakinkan Bappeda Kabupaten Bandung sebagai calon pengguna usulan peraturan<br />

daerah ini. Bappeda sangat terbuka menerima konsep ini. Bahkan kemudian mereka<br />

yang mengambil alih proses pengusulan dengan mencoba mengusulkan naskah<br />

akademik beserta kedua draft rancangan raperda. Pengusulan tersebut, tentu saja<br />

sesuai Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001, harus melalui instansi yang paling<br />

terkait yaitu Bag. OTDA. Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda: ditolak.<br />

Pertengahan tahun 2004, usaha advokasi dilanjutkan dengan memperkenalkan<br />

konsep otonomi desa langsung pada stakeholder di desa melalui Tiga Pilar<br />

Desa, 11 yaitu Asosiasi Kepala Desa (APDESI), Asosiasi LKMD, dan Asosiasi BPD.<br />

Hasilnya, mereka juga sangat tertarik. Bahkan mereka meminta agar proses<br />

advokasi dilanjutkan oleh mereka, dan menempatkan INISIATIF sebagai nara<br />

sumber. Tentu saja INISIATIF menyambut gembira tawaran ini. INISIATIF<br />

menggunakan kesempatan tersebut untuk memperbaiki konsep otonomi desa,<br />

dengan mengadaptasikannya dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang<br />

Pemerintahan Daerah yang muncul sebagai pengganti Undang-Undang No. 22<br />

Tahun 1999.<br />

Tiga Pilar Desa, juga, mengajukan Naskah akademik beserta kedua draft<br />

raperdanya pada Bag. OTDA. Harapan agar konsep ini diterima sangatlah besar,<br />

mengingat ketiga asosiasi tersebut adalah stakeholder sekaligus nantinya akan<br />

menjadi penerima manfaat langsung dari peraturan daerah yang muncul. Hasilnya<br />

memang tidak ada penolakan, tapi tindak lanjut yang kongkrit pun tidak ada.<br />

Tentu saja hal ini mengecewakan.<br />

11 Istilah Tiga Pilar Desa adalah istilah yang tidak resmi di Kabupaten Bandung. Istilah ini muncul<br />

dari Asosiasi Kepala Desa (APDESI), Asosiasi LKMD, dan Asosiasi BPD dengan menyebut diri mereka<br />

sebagai Tiga Pilar Desa.<br />

133


Advokasi tidak berhenti sampai disitu. INISIATIF kemudian memanfaatkan<br />

jalur DPRD sebagai pengusul. Hal ini dimungkinkan ketika ada satu kesempatan<br />

yang memungkinkan INISIATIF untuk berinteraksi dengan DPRD Kabupaten<br />

Bandung. Selama ini memang INISIATIF tidak mempunyai sedikitpun akses ke<br />

DPRD. Berhasil memperkenalkan konsep pengembangan otonomi desa melalui<br />

desentralisasi kewenangan dan fiskal dari kabupaten ke desa ini pada salah satu<br />

anggota DPRD, kemudian beliau memperjuangkannya di DPRD agar konsep tersebut<br />

diadopsi. Hasilnya, konsep tersebut diterima oleh DPRD dan diusulkan untuk<br />

dibahas dengan menggunakan hak inisiatif DPRD. Proses legislasi Rancangan<br />

Peraturan Daerah tentang Penyerahan Sebagian Kewenangan Kabupaten pada<br />

Desa (desentralisasi kewenangan) dan Rancangan Peraturan Daerah tentang<br />

Perimbangan Keuangan antara Kabupaten dan Desa (desentralisasi fiskal) pun<br />

dimulai.<br />

Pembahasan di DPRD berjalan tidak selancar yang diharapkan. Tidak sedikit<br />

hambatan yang dihadapi, mulai dari belum dikenalnya konsep otonomi desa,<br />

perbedaan persepsi diantara anggota DPRD, munculnya surat palsu yang berisi<br />

penolakan dari APDESI, bentrok dengan momen Pilkada, dan lain-lain. Hambatan<br />

terbesar adalah, seperti juga yang terjadi sebelumnya, resistensi dari Bagian<br />

Otonomi Daerah (yang juga tergabung dalam Tim Asistensi). Dari tiga kali Bagian<br />

Otonomi Daerah diundang panmus DPRD dalam pembahasan kedua raperda,<br />

mereka secara eksplisit menolak konsep otonomi desa. Selain itu, mereka juga<br />

selalu berusaha untuk menghilangkan substansi-substansi penting dari kedua<br />

raperda tersebut yang mengancam hilangnya roh otonomi desa yang diakomodasi<br />

di dalamnya.<br />

Namun apapun perubahan substansi, penghilangan atau pun penambahan, yang<br />

terjadi pada saat pembahasan, baik yang melibatkan Bagian Otonomi Daerah,<br />

Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Masyarakat, Kepala Desa, atau<br />

pun Akademisi Perguruan Tinggi, selalu dapat diakhiri dengan kesepakatan tanpa<br />

menghilangkan esensi pengembalian otonomi desa dari kedua raperda tersebut.<br />

Setelah pembahasan yang panjang dan melelahkan, yang diwarnai dengan beberapa<br />

kali deadlock pada saat terakhir pembahasan dengan Tim Asistensi, akhirnya<br />

pada tanggal 14 Januari 2006 pembahasan pada tingkat panmus diakhiri. Hasil<br />

akhir pembahasan dalam kedua draft tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4 dan<br />

Lampiran 5. Setelah saat itu, INISIATIF tidak lagi terlibat karena ”bola telah<br />

bergulir ke lapangan lain”.<br />

Pada tanggal 23 Januari 2006 kedua raperda tersebut diajukan oleh Panmus<br />

DPRD dalam sidang paripurna DPRD Kabupaten Bandung untuk disahkan<br />

menjadi Peraturan Daerah. Sidang paripurna DPRD tersebut merupakan saat<br />

paling menentukan nasib kedua raperda. Seperti juga pada saat pembahasan, pada<br />

pembahasan kedua raperda dalam sidang paripurna berjalan alot. Sidang paripurna<br />

berjalan cukup alot dan melelahkan. Pada sidang tersebut, yang pertama dibahas<br />

adalah Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa. Selain masalah dasar hukum,<br />

134


tidak banyak perdebatan dalam hal substansi. Tapi hal tersebut tidak berarti<br />

proses pengesahan berjalan lancar. Sebelum pengesahan, kata mufakat tidak<br />

dicapai setelah beberapa anggota DPRD menentangnya. Akhirnya pengambilan<br />

keputusan dilakukan dengan pemungutan suara. Hasil dari pemungutan suara<br />

tersebut adalah empat fraksi mendukung pengesahan dan dua fraksi menolak.<br />

Peraturan Daerah yang telah disahkan dapat dilihat pada Lampiran 6.<br />

Pada pembahasan mengenai Raperda Penyerahan Sebagian Kewenangan Kabupaten<br />

Pada Desa, sidang paripurna kembali berjalan alot. Perdebatan yang terjadi<br />

adalah mengenai rincian kewenangan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah<br />

seluruh urusan pemerintahan yang ada dalam rincian dari Depdagri tersebut akan<br />

diadopsi atau dipilih terlebih dahulu. Sidang paripurna gagal membuat keputusan<br />

tersebut. Perdebatan lainnya adalah mengenai dasar hukum. Sampai saat sidang<br />

dilakukan, semua mengetahui bahwa secara umum dasar hukum yang mengacu<br />

pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sudah kuat. Namun yang melemahkan<br />

adalah belum adanya dasar hukum yang menyatakan secara eksplisit rincian<br />

urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan kabupaten.<br />

Hal ini menjadi krusial karena urusan pemerintahan tersebut yang nantinya<br />

sebagian akan didesentralisasikan ke desa. Sementara saat itu ada kabar beredar<br />

bahwa rincian urusan pemerintahan daerah (propinsi dan kabupaten) sedang dalam<br />

proses penyusunan peraturan perundangannya oleh Depdagri. Sidang paripurna<br />

yang membahas Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />

Kabupaten Pada Desa akhirnya buntu. Di akhir sidang, dilakukan pemungutan<br />

suara dengan pilihan pertama, menerima dan setuju mensahkan raperda tersebut<br />

menjadi perda. Dan pilihan kedua, menolak dan menunda pengesahan raperda<br />

menjadi perda untuk menunggu selesainya penyusunan peraturan perundangan<br />

dari Depdagri tentang kewenangan kabupaten. Dari hasil pemilihan, ternyata<br />

hanya satu fraksi yang memilih pilihan pertama sementara ke lima fraksi lainnya<br />

sepakat menolak pengesahan raperda, dan menunda pembahasan selanjutnya<br />

sampai adanya perundangan dari Depdagri tentang kewenangan kabupaten.<br />

Pembahasan yang panjang dalam sidang paripurna, menyerahkan pembahasan<br />

dan perdebatan hanya antara anggota DPRD, sangat mungkin akan menyebabkan<br />

adanya perubahan substansi. Hal ini karena bukan tidak mungkin, antara anggota<br />

DPRD yang pro dan kontra akan melakukan negosiasi dan kompromi berkaitan<br />

dengan pasal-pasal yang diperdebatkan. Selain itu, pihak eksekutif yang kontra,<br />

yang diwakili oleh Bagian Otonomi Daerah yang juga tergabung dalam Tim<br />

Asistensi pada proses pembahasan di tingkat panmus, bukan tidak mungkin akan<br />

terus mencoba mempengaruhi proses tersebut dengan mempengaruhi anggota<br />

dewan yang sejalan dengan mereka. Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan,<br />

dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.<br />

135


Tabel 2: Perbandingan Raperda tentang Alokasi<br />

Dana Perimbangan Desa dan Perubahan yang Terjadi<br />

REVISI KE 9 ( SABTU 14<br />

JANUARY 2006)<br />

DRAFT RANCANGAN<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

TENTANG<br />

ALOKASI DANA<br />

PERIMBANGAN DESA DI<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR 2 TAHUN 2006<br />

TENTANG<br />

ALOKASI DANA PERIMBANGAN<br />

DESA DI KABUPATEN BANDUNG<br />

PERUBAHAN YANG TERJADI<br />

Mengingat:<br />

UU 10/2004 tidak dirujuk.<br />

9. Peraturan Pemerintah Nomor 72<br />

Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran<br />

Negara Tahun 2005 Nomor......,)<br />

10. Peraturan Daerah Kabupaten<br />

Bandung Nomor.......Tahun 2006<br />

tentang Penyerahan Sebagian<br />

Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />

Kabupaten pada Desa<br />

Mengingat:<br />

Rujukan ditambah dengan<br />

UU10/2004.<br />

5. Undang-Undang Nomor 10<br />

Tahun 2004 tentang Pembantukan<br />

Peraturan Perundang-undangan<br />

(Lembaran Negara Tahun 2004<br />

Nomor 53, Tambahan Lembaran<br />

Negara Nomor 4389)<br />

rujukan PP72/2005 dihilangkan<br />

rujukan pada raperda yang satu<br />

paket, yaitu raperda Penyerahan<br />

Sebagian Urusan Pemeirntahan<br />

Kewenangan Kabupaten pada Desa<br />

Di sini terjadi perubahan substansi.<br />

Pada draft yang disepakati<br />

panmus untuk diusulkan pada<br />

sidang paripurna, UU10/2004 tidak<br />

termasuk sebagai perundangan<br />

yang dirujuk. Tapi pada draft yang<br />

telah disahkan, perda 2/2006,<br />

UU10/2004 ditambahkan sebagai<br />

suatu rujukan. Selain itu pada perda<br />

2/2006, rujukan pada PP72/2005 dan<br />

rujukan pada raperda yang satu<br />

paket, yaitu raperda Penyerahan<br />

Sebagian Urusan Pemeirntahan<br />

Kewenangan Kabupaten pada Desa<br />

dihilangkan.<br />

Pasal 1<br />

Dalam Peraturan Daerah ini yang<br />

dimaksud dengan:<br />

c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,<br />

selanjutnya disebut DPRD, adalah<br />

Badan Legislatif Daerah;<br />

Pasal 1<br />

Dalam Peraturan Daerah ini yang<br />

dimaksud dengan:<br />

c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,<br />

selanjutnya disebut DPRD, adalah<br />

Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah<br />

sebagai unsur penyelenggara<br />

Pemerintahan Daerah;<br />

Pada pasal 1 huruf c, definisi Dewan<br />

Perwakilan Rakyat Daerah dirubah<br />

dari asalnya: c. Dewan Perwakilan<br />

Rakyat Daerah, selanjutnya disebut<br />

DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah;<br />

menjadi c. Dewan Perwakilan Rakyat<br />

Daerah, selanjutnya disebut DPRD,<br />

adalah Lembaga Perwakilan Rakyat<br />

Daerah sebagai unsur penyelenggara<br />

Pemerintahan Daerah;<br />

Pasal 3<br />

(4) Prosentase yang dimaksud<br />

tersebut pada ayat (1) huruf c tidak<br />

termasuk Dana Alokasi Khusus<br />

(DAK) Desa.<br />

Pasal 3<br />

(4) Prosentase yang dimaksud<br />

tersebut pada ayat (1) huruf c tidak<br />

termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK)<br />

Desa dan belanja aparatur.<br />

Pasal 3 ayat (4) juga mengalami<br />

perubahan substansi. Pengecualian<br />

pada ayat tersebut yang asalnya<br />

hanya Dana Alokasi Khusus (DAK)<br />

Desa dirubah menjadi Dana Alokasi<br />

Khusus (DAK) Desa dan belanja<br />

aparatur.<br />

136


REVISI KE 9 ( SABTU 14<br />

JANUARY 2006)<br />

DRAFT RANCANGAN<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

TENTANG<br />

ALOKASI DANA<br />

PERIMBANGAN DESA DI<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR 2 TAHUN 2006<br />

TENTANG<br />

ALOKASI DANA PERIMBANGAN<br />

DESA DI KABUPATEN BANDUNG<br />

PERUBAHAN YANG TERJADI<br />

Pasal 14<br />

(2) Bentuk penyediaan pelayanan<br />

publik sebagaimana dimaksud ayat<br />

(1) berupa kegiatan fisik dan non<br />

fisik sebagaimana tersebut pada<br />

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Daerah<br />

Kabupaten Bandung No......tahun......<br />

tentang Penyerahan Sebagian<br />

Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />

Kabupaten pada Desa di Kabupaten<br />

Bandung.<br />

Pasal 14<br />

(2) Bentuk penyediaan pelayanan<br />

publik sebagaimana dimaksud ayat<br />

(1) berupa kegiatan fisik dan non<br />

fisik dilaksanakan sesuai dengan<br />

Ketentuan Peraturan Perundangundangan<br />

yang berlaku.<br />

Pasal 14 pada draft yang diajukan<br />

panmus juga mendapat perubahan.<br />

Rujukan pada paket perda yang<br />

dibahas bersamaan dihilangkan dan<br />

diganti.<br />

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH<br />

KABUPATEN BANDUNG<br />

NOMOR :.................<br />

TANGGAL :.................<br />

TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN<br />

DESA<br />

DIAGRAM SUMBER PENDAPATAN DESA<br />

Pada perda 2/2006, ternyata<br />

lampirannya tidak ada. Padahal<br />

dalam pasal 3 ayat (5) disebutkan:<br />

(5) Diagram sumber pendapatan<br />

desa sebagaimana yang dimaksud<br />

pada ayat (1) tercantum dalam<br />

lampiran yang tidak terpisahkan<br />

dari peraturan daerah ini.<br />

3.4 Temuan Analisis dan Diskusi<br />

3.4.1 Tiada ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam<br />

proses penyusunan peraturan daerah<br />

Dari hasil kajian pada Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur<br />

Penyusunan Produk Hukum Daerah dapat disimpulkan bahwa prosedur yang ada<br />

sama sekali belum memberi ruang bagi adanya partisipasi masyarakat. Dalam<br />

peraturan tersebut hanya memberi ruang pada Pimpinan Unit Kerja (biasanya<br />

pimpinan SKPD) sebagai inisiator, serta pada DPRD yang menggunakan hak<br />

inisiatifnya. Apabila masyarakat hendak mengusulkan untuk penyusunan sebuah<br />

produk hukum daerah, mereka harus terlebih dahulu mengajukannya pada kedua<br />

lembaga tersebut. Disini terlihat bahwa posisi masyarakat termarjinalkan karena<br />

sistem yang ada hanya memberikan ruang yang sangat sempit untuk partisipasi.<br />

Hanya usulan-usulan yang tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah<br />

atau DPRD yang mungkin untuk diterima dan ditindaklanjuti.<br />

137


Apabila pun usulan masyarakat untuk penyusunan suatu produk hukum daerah<br />

diterima, tidak ada jaminan bahwa masyarakat dapat terlibat dalam pembahasan dan<br />

proses legislasinya. Kepmendagri-otda No.23 Tahun 2001 ini tidak mengharuskan<br />

institusi yang mengajukan usulan untuk melibatkan stakeholder dalam pembahasan<br />

usulan produk hukum daerah. Masyarakat yang awalnya mengusulkan hanya bisa<br />

berharap pada “kesadaran dan kebaikan hati” Pimpinan Unit Kerja atau DPRD<br />

untuk dapat diundang dan dilibatkan dalam proses pembahasan. Lebih jauh lagi,<br />

kalaupun masyarakat diundang dan dilibatkan dalam proses pembahasan, mereka<br />

tidak mendapat jaminan bahwa pendapat mereka akan diadopsi.<br />

Bila dilihat dari prosedur formal menurut Kepmendagri, proses penyusunan produk<br />

hukum daerah melalui jalur eksekutif (pemerintah daerah) harus melalui urutan<br />

tahapan yang sangat rumit dan panjang. Sebaliknya, bila proses penyusunan<br />

produk hukum daerah dimulai atas inisiatif legislatif (DPRD), jalurnya akan sangat<br />

pendek. Ini adalah peluang bagi masyarakat untuk mengusulkan produk hukum<br />

daerah. Tentu saja, masyarakat yang hendak mengajukan harus bisa meyakinkan<br />

Anggota DPRD untuk mengadopsi usulan mereka dan mengajukannya menjadi<br />

produk hukum daerah dengan menggunakan hak inisiatifnya.<br />

Yang mungkin menjadi kelemahan dalam pembahasan usulan produk hukum<br />

daerah melalui jalur inisiatif legislatif (DPRD) adalah keberadaan Tim Asistensi<br />

dari pemerintah daerah. Bukan tidak mungkin, Tim Asistensi yang pada awalnya<br />

dimaksudkan untuk membantu DPRD dalam menyusun produk hukum daerah,<br />

malah menjalankan “fungsi” lain. Dikhawatirkan, Tim Asistensi mengawasi dan<br />

memonitor perkembangan proses penyusunan produk hukum dengan tujuan dapat<br />

sedini mungkin mencegah adanya klausul-klausul yang merugikan pemerintah<br />

daerah pada implementasinya nanti.<br />

3.4.2 Sempitnya ruang partisipasi masyarakat dalam prosedur<br />

penyusunan produk hukum daerah dikhawatirkan akan<br />

menimbulkan penyimpangan-penyimpangan<br />

Terlepas dari apakah penyimpangan tersebut disengaja ataupun tidak, dengan atau<br />

tanpa tujuan, untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan masyarakat.<br />

Yang pasti, sekecil apapun penyimpangan tersebut, sangat mungkin merubah<br />

struktur/kerangka logis atau pun substansinya. Perubahan tersebut bisa berakibat<br />

baik bisa juga berakibat buruk pada produk hukum daerah yang disusun.<br />

Bukti-bukti pertama ditemukan dari studi kasus proses advokasi dan content<br />

analysis Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 8 Tahun 2005 tentang Tata<br />

Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah.<br />

Walaupun secara prosedur tidak ada ruang untuk pelibatan masyarakat, ketika<br />

pada praktek pembahasan pada tingkatan Panmus DPRD masyarakat diundang<br />

dan dilibatkan dalam proses pembahasan, masyarakat dapat memberikan<br />

138


masukan, kritikan, perbaikan terhadap substansi usulan produk hukum daerah.<br />

Mereka dapat mengawal substansi yang terkait dengan kepentingan mereka.<br />

Tapi ketika pembahasan di Panmus DPRD selesai, dan pembahasan memasuki<br />

sidang paripurna, tidak ada lagi ruang bagi masyarakat. Padahal dalam ruang<br />

tersebut sangat mungkin ada negosiasi dan kompromi antara anggota dewan<br />

yang pro dengan yang kontra, yang menyebabkan adanya perubahan substansi.<br />

Selain itu, bukan tidak mungkin ada kesalahan yang tidak disengaja dalam proses<br />

penyaduran, penulisan dan penempatan dalam lembaran daerah.<br />

Dari analisa isi kita melihat bahwa:<br />

• Pada pasal 5 ayat (3) ada perubahan substansi. Pada draft hasil pembahasan<br />

pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa Kegiatan dalam RKP Desa yang<br />

merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan<br />

dan Belanja Desa. Sementara pada draft yang disahkan, <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun<br />

2005, disebutkan bahwa Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari<br />

kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.<br />

Di sini perubahan yang terjadi memang hanya satu kata, yaitu dari Anggaran<br />

Pendapatan dan Belanja Desa menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.<br />

Bila perubahan ini tidak mendapat perhatian serius, perbedaan kecil ini telah<br />

mengaburkan maksud awal pasal tersebut. Pada draft hasil pembahasan di Panmus<br />

DPRD, kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa<br />

akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Ayat ini menegaskan<br />

bahwa kegiatan yang menjadi bagian kewenangan desa harus dibiayai dari sumber<br />

daya desa.<br />

Ketika ternyata kalimatnya berubah menjadi kegiatan dalam RKP Desa yang<br />

merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan<br />

dan Belanja Daerah, ini berarti kegiatan dalam RKP Desa, yang merupakan bagian<br />

dari kewenangan desa dan bukan kewenangan kabupaten, yang merupakan<br />

program kerja desa, dibiayai dari sumber daya kabupaten. Pengertian kalimat<br />

ini berpotensi melanjutkan ketergantungan desa pada sumberdaya kabupaten.<br />

Sehingga bukan tidak mungkin pada akhirnya tidak akan memberdayakan desa<br />

dan menjadikan beban pada kabupaten.<br />

• Pada pasal 8 ayat (3) ada perubahan substansi. Pada draft hasil pembahasan<br />

pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa penyusunan RKPD dilakukan<br />

melalui urutan kegiatan Penyusunan dan penetapan Fungsi Pembangunan<br />

Prioritas, Penyusunan dan penetapan rancangan plafon anggaran indikatif untuk<br />

SKPD dan Desa, penyiapan rancangan rencana kerja, musyawarah perencanaan<br />

pembangunan dan penyusunan rancangan akhir rencana kerja pemerintah daerah.<br />

Sementara pada draft yang telah disahkan, <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005, kegiatan<br />

keempat, musyawarah perencanaan pembangunan, tidak ditemukan.<br />

139


Perubahan ini, baik disengaja atau pun tidak, berpotensi berakibat fatal.<br />

Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang merupakan sarana<br />

masyarakat untuk berpartisipasi telah hilang, dan tidak menjadi kewajiban bagi<br />

pemerintah untuk melaksanakannya.<br />

• Pada pasal 26 ada juga perubahan kecil yang cukup mengganggu. Pada draft<br />

hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa musrenbang<br />

dalam rangka penyusunan RKPD yang akan datang akan diikuti oleh unsur-unsur<br />

penyelenggara pemerintahan daerah..... Sementara pada <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005,<br />

kata pemerintahan daerah berubah menjadi pemerintah daerah.<br />

Perubahan yang terjadi hanya dua huruf. Namun hal ini cukup mengganggu karena<br />

pengertiannya menjadi sangat berbeda. Pada draft disepakati pada pembahasan<br />

di tingkat Panmus DPRD disebutkan bahwa unsur-unsur penyelenggara<br />

pemerintahan daerah, yaitu unsur dari pemerintah daerah dan unsur dari DPRD,<br />

hadir dan mengikuti musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD. Sementara<br />

dengan adanya perubahan menjadi hanya pemerintah daerah, berarti yang hadir<br />

dalam musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD tidak akan melibatkan unsur<br />

dari DPRD.<br />

• Pada pasal 42 dalam draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, hanya<br />

ada satu ayat. Tapi kemudian pada <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005 ada tambahan satu<br />

ayat, yaitu ayat (2) Keputusan Musrenbang Kecamatan mengenai rekapitulasi<br />

usulan Desa di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan<br />

kepada anggota DPRD dari wilayah pemilihan kecamatan.<br />

Pada pasal 42 ini terjadi penambahan. Secara substansi memang penambahan ini<br />

telah menyebabkan perubahan substansi, namun dalam arti yang positif. Hal ini<br />

karena perubahan yang terjadi, diluar pembahasan di panmus, ternyata melengkapi<br />

dan menyempurnakan draft yang ada.<br />

• Pasal 44 juga ada perbedaan antara draft hasil pembahasan panmus dengan<br />

<strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005 yang telah disahkan. Pasal tersebut asalnya berbunyi<br />

Peserta Forum SKPD Kabupaten terdiri dari .... Sementara pada <strong>Perda</strong> No. 8<br />

Tahun 2005 berbunyi Peserta Forum Kabupaten terdiri dari.....<br />

Perbedaan yang terjadi antara draft hasil pembahasan pada tingkat panmus<br />

dengan yang tertulis dalam <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005 ini sebenarnya hanya satu<br />

kata. Namun dengan tidak adanya kata SKPD mungkin membuat pengertian<br />

Forum Kabupaten sangat luas. Hal ini karena forum pada tingkat kabupaten tidak<br />

hanya forum SKPD.<br />

• Pada pasal 47, rincian isi tiga ayat hilang.<br />

Tidak diketahui mengapa isi tiga ayat pada pasal 47 hilang. Terlepas dari unsur<br />

keteledoran, hilangnya isi tiga ayat ini menyebabkan <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005<br />

140


cacat dan perlu ada perbaikan<br />

• Pada pasal 50 ayat 3, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menjadi Kepala<br />

Satuan Perangkat Daerah<br />

Pada pasal 50 ayat 3, memang terjadi perubahan dengan hilangnya satu kata.<br />

Namun sepertinya hal ini tidak akan mengganggu karena pengertian Satuan Kerja<br />

Perangkat Daerah adalah pengertian yang umum dan dapat dimengerti.<br />

• Pada pasal 51 draft hasil pembahasan di panmus DPRD, hanya ada dua ayat.<br />

Namun setelah disahkan menjadi <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005, ada tambahan ayat<br />

(3) yaitu (3) Sebelum RPJMD menurut ketentuan dalam peraturan daerah ini<br />

ditetapkan, penyusunan RKPD Kabupaten Bandung Tahun 2006 mengacu kepada<br />

Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Daerah<br />

Kabupaten Bandung 2001 – 2005.<br />

Pada pasal 51 ini juga terjadi perubahan. Perubahan yang terjadi berupa perbaikan<br />

yang melengkapi. Bila dibaca dengan baik, pengertian pada ayat tambahan ini<br />

menunjukan bahwa ada proses transisi yang diwadahi dan diantisipasi dengan<br />

baik.<br />

Kemudian bukti-bukti berikutnya dapat dilihat pada hasil advokasi dan content<br />

analisis Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 2 Tahun 2006 tentang Alokasi<br />

Dana Perimbangan Desa.<br />

Agak sedikit berbeda dengan proses advokasi <strong>Perda</strong> No. 8 Tahun 2005, proses<br />

advokasi ini diusulkan oleh INISIATIF, yang kemudian diterima dan ditindaklanjuti<br />

oleh DPRD dengan diadakan pembahasan pada tingkat Panmus DPRD. Beruntung,<br />

walaupun dalam prosedur tidak mensyaratkan adanya keterlibatan pihak luar<br />

selain DPRD dan Tim Asistensi, INISIATIF dilibatkan hampir secara penuh dalam<br />

proses pembahasan. Hal ini menguntungkan dalam tujuan mempertahankan<br />

substansi. Baik pihak yang pro maupun yang kontra dapat dihadapi langsung dan<br />

argumen-argumennya bisa dipatahkan. Walaupun banyak mengalami perubahan<br />

dari draft awal yang diusulkan sampai draft akhir yang telah disepakati pada<br />

tingkatan Panmus DPRD, setidaknya secara substansi INISIATIF dapat mengawal<br />

proses pembahasannya dan mempertahankan substansinya.<br />

Yang kemudian menjadi masalah adalah pada proses setelah pembahasan di tingkat<br />

Panmus DPRD, yaitu ketika Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan<br />

Kewenangan Kabupaten Pada Desa dan Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa<br />

yang telah disepakati diangkat pada sidang paripurna. Pada sidang tersebut,<br />

INISIATIF tidak lagi dapat berperan. Disana pembahasan terjadi antara anggota<br />

dewan, baik yang pro maupun yang kontra. Hasilnya yang mengecewakan adalah<br />

ternyata Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />

Kabupaten Pada Desa gagal disahkan menjadi peraturan daerah. Sementara<br />

141


Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa berhasil disahkan menjadi Peraturan<br />

Daerah dengan Nomor. 2 Tahun 2006. Gagalnya Raperda Penyerahan Sebagian<br />

Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten Pada Desa gagal disahkan menjadi<br />

peraturan daerah telah menyebabkan usaha desentralisasi untuk mengembangkan<br />

otonomi desa yang telah lama diperjuangkan INISIATIF menjadi berjalan<br />

pincang. Hal ini karena logikanya, <strong>Perda</strong> Alokasi Dana Perimbangan Desa baru<br />

dapat diimplementasikan setelah ada kepastian mengenai apa-apa saja urusan<br />

pemerintahan kewenangan kabupaten yang diserahkan pada desa dan menjadi<br />

beban desa. Dana perimbangan desa adalah kompensasi yang diberikan atas<br />

bertambahnya beban pelayanan publik di desa dengan adanya kewenangan desa<br />

yang lebih luas.<br />

Kemudian dari analisa isi kita melihat bahwa:<br />

• Pada konsideran mengingat, terjadi perubahan substansi. Pada draft yang<br />

disepakati panmus untuk diusulkan pada sidang paripurna, Undang-Undang No.<br />

10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai perundangan yang dirujuk. Tapi pada draft<br />

yang telah disahkan, <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006, Undang-Undang No. 10 Tahun<br />

2004 ditambahkan sebagai suatu rujukan. Selain itu pada <strong>Perda</strong> No. 2 tahun 2006,<br />

rujukan pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan rujukan pada raperda<br />

yang satu paket, yaitu raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan<br />

Kewenangan Kabupaten pada Desa dihilangkan.<br />

Di sini kita melihat bahwa perubahan rujukan perundangan (pada konsideran<br />

mengingat) berimplikasi berbeda. Perubahan dengan adanya penambahan<br />

konsideran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembantukan Peraturan<br />

Perundang-undangan telah memperbaiki dokumen peraturan yang disahkan.<br />

Namun perubahan yang menghilangkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung<br />

Tahun 2006 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan<br />

Kabupaten pada Desa sebagai konsideran, yang dibahas pada saat yang bersamaan,<br />

telah mencederai semangat desentralisasi untuk pengembangan otonomi desa.<br />

Hal ini karena perda yang dirujuk ini disusun untuk saling melengkapi dalam<br />

rangka pencapaian tujuan bersama memberdayakan desa melalui desentralisasi<br />

kewenangan dan fiskal.<br />

• Pada pasal 1 huruf c, definisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dirubah<br />

dari asalnya: c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD,<br />

adalah Badan Legislatif Daerah; menjadi c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,<br />

selanjutnya disebut DPRD, adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai<br />

unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;<br />

Di sini perubahan yang terjadi juga sifatnya memperbaiki. Pada draft yang<br />

disepakati hasil pembahasan di tingkat Panmus DPRD, pengertian DPRD masih<br />

mengacu pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.<br />

Sementara perbaikannya, sebagaimana terdapat pada <strong>Perda</strong> No. 2 tahun 2006,<br />

telah sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan<br />

Daerah.<br />

142


• Pasal 3 ayat (4) juga mengalami perubahan substansi. Pengecualian pada ayat<br />

tersebut yang asalnya hanya Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dirubah menjadi<br />

Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dan belanja aparatur.<br />

Pada pasal 3 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan<br />

desa adalah “c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang<br />

diterima oleh Kabupaten untuk desa minimal 10% (sepuluh per seratus), yang<br />

pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional”. Yang kemudian dijelaskan<br />

lebih lanjut pada pasal 3 ayat 4). Penjelasan pada draft yang disepakati pada<br />

tingkatan Panmus DPRD disebutkan bahwa (4) Prosentase yang dimaksud tersebut<br />

pada ayat (1) huruf c tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa. Ini berarti<br />

pengertiannya secara matematis adalah:<br />

DPdes = (DPkab - DAKdes)x10%<br />

Yang mana:<br />

DPdes = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten yang dibagikan<br />

ke desa<br />

DPkab = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten<br />

DAKdes = Dana Alokasi Khusus dari kabupaten ke desa.<br />

Dengan adanya perubahan pada draft yang disahkan, pada <strong>Perda</strong> 2/2006, menjadi<br />

(4) Prosentase yang dimaksud tersebut pada ayat (1) huruf c tidak termasuk Dana<br />

Alokasi Khusus (DAK) Desa dan belanja aparatur, maka pengertiannya secara<br />

matematis menjadi:<br />

DPdes = (DPkab - DAKdes-Baparat)x10%<br />

Yang mana:<br />

DPdes = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten yang dibagikan<br />

ke desa<br />

DPkab = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten<br />

Baparat = Belanja aparatur<br />

DAKdes = Dana Alokasi Khusus dari kabupaten ke desa.<br />

Dari pengertian pada <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006 Pasal 3, maka bagian dana<br />

perimbangan yang diterima kabupaten dari pusat yang dibagikan pada desa<br />

jumlahnya semakin sedikit.<br />

Perubahan diatas terjadi tanpa ada stakeholder dari desa terlibat pada pembahasan<br />

karena dilakukan pada ruang yang tertutup bagi stakeholder.<br />

• Pasal 14 pada draft yang diajukan panmus juga mendapat perubahan. Rujukan<br />

pada paket perda yang dibahas bersamaan dihilangkan dan diganti. Asalnya (2)<br />

143


Bentuk penyediaan pelayanan publik sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa<br />

kegiatan fisik dan non fisik sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan<br />

Daerah Kabupaten Bandung No......tahun......tentang Penyerahan Sebagian Urusan<br />

Pemerintahan Kewenangan Kabupaten pada Desa di Kabupaten Bandung menjadi<br />

(2) Bentuk penyediaan pelayanan publik sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa<br />

kegiatan fisik dan non fisik dilaksanakan sesuai dengan Ketentuan Peraturan<br />

Perundang-undangan yang berlaku.<br />

Perubahan pada pasal 14 ayat (2) ini juga termasuk perubahan yang mengecewakan.<br />

Perubahan ini terjadi merubah klausul awal, yang secara langsung membatalkan<br />

persyaratan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan kabupaten pada<br />

desa. Perubahan ini menyebabkan skenario pengembangan otonomi desa melalui<br />

desentralisasi berjalan pincang, karena yang terjadi hanya desentralisasi fiskal<br />

saja.<br />

• Pada <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006, ternyata lampirannya tidak ada. Padahal dalam<br />

pasal 3 ayat (5) disebutkan: (5) Diagram sumber pendapatan desa sebagaimana<br />

yang dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan<br />

dari peraturan daerah ini.<br />

Baik pada draft hasil pembahasan yang disepakati pada tingkat Panmus, juga<br />

pada <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006, disebutkan pada pasal 3 ayat (5) bahwa pada bagian<br />

lampiran peraturan daerah ini dilampirkan diagram sumber pendapatan desa.<br />

Lampiran tersebut dapat ditemukan pada draft hasil pembahasan yang disepakati<br />

pada tingkat Panmus. Namun pada <strong>Perda</strong> No. 2 Tahun 2006, ternyata tidak ada<br />

bagian lampirannya. Apapun penyebab tidak adanya bagian lampiran pada <strong>Perda</strong><br />

No. 2 Tahun 2006, secara substansi tidak menjadikan perda ini cacat. Ini karena<br />

secara tertulis, gambaran sumber pendapatan desa sudah cukup jelas. Diagram<br />

gambar yang sedianya harus dilampirkan, kalaupun ternyata tidak ada, tidak<br />

mengurangi kejelasan substansi.<br />

4. Kesimpulan Dan Rekomendasi<br />

4.1 Kesimpulan<br />

1.<br />

Sampai saat ini tidak ada ruang bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan<br />

produk hukum daerah. Secara prosedural formal, seluruh proses dalam prosedur<br />

penyusunan produk hukum daerah adalah black box bagi masyarakat yang<br />

ingin mengusulkan atau berpartisipasi dalam penyusunan suatu produk hukum<br />

daerah. Masyarakat dapat memberikan usulan untuk penyusunan produk<br />

hukum daerah secara formal dengan mengusulkannya melalui Unit Kerja<br />

(SKPD) terkait di pemerintah daerah atau melalui DPRD. Dari pengalaman<br />

yang ada, mengusulkan penyusunan produk hukum daerah melalui DPRD<br />

adalah jalan yang paling pendek dan tidak rumit. Yang diperlukan adalah<br />

144


kemampuan untuk meyakinkan anggota DPRD untuk mengakomodasi mereka.<br />

Sebenarnya bila ada “kesadaran dan kebaikan hati” pihak eksekutif maupun<br />

legislatif, black box prosedural ini dapat dibuka sedikit demi sedikit. Namun<br />

black box yang sampai saat ini tidak menyediakan ruang bagi partisipasi<br />

masyarakat adalah proses setelah pembahasan di Panmus DPRD sampai<br />

menjadi <strong>Perda</strong> yang telah disahkan.<br />

2.<br />

3.<br />

Bila ada kesempatan bagi masyarakat untuk mengikuti proses pembahasan<br />

dalam proses penyusunan produk hukum daerah, sudah selayaknya kesempatan<br />

tersebut dimanfaatkan sebaik baiknya. Hal ini karena, stakeholder lain yang<br />

kontra, yang mempunyai konflik kepentingan dengan kepentingan masyarakat<br />

umum, yang ingin memanfaatkannya hanya untuk kepentingan kelompok atau<br />

pribadinya saja, mereka pun akan terus berjuang untuk memasukkan agenda<br />

atau kepentingan mereka dalam produk hukum yang sedang disusun. Bahkan<br />

perjuangan mereka tidak akan berhenti sampai saat akhir pembahasan saja,<br />

kalau memungkinkan, mereka akan berusaha mempengaruhi anggota DPRD<br />

untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Untuk itu, perjuangan masyarakat<br />

dalam proses penyusunan produk hukum daerah tidak boleh berhenti begitu<br />

saja setelah diusulkan atau setelah selesai dibahas di Panmus DPRD. Sudah<br />

seharusnya mereka pun mencoba untuk menitipkan agenda mereka pada<br />

anggota DPRD, bekerjasama dengan mereka, dan memberi mereka pengertian.<br />

Diharapkan ketika tahap penyusunan produk hukum daerah memasuki black<br />

box, masyarakat yang mengusulkan tidak perlu khawatir karena di dalam<br />

black box tersebut ada anggota DPRD yang berjuang untuk kepentingannya.<br />

Siapapun yang kontra dengan substansi yang dicoba diwujudkan dalam produk<br />

hukum daerah, akan terus berusaha untuk merubahnya demi kepentingan<br />

mereka. Dari studi kasus yang telah dibahas, ditemukan bahwa sekecil<br />

apapun perubahan yang terjadi (bahkan hanya dua huruf) sangat potensial<br />

untuk merubah substansi produk hukum. Perubahan tersebut bisa menjadikan<br />

produk hukum yang disusun menjadi yang lebih baik, atau bisa juga lebih<br />

jelek. Setidaknya, sesedikit apapun perubahan yang terjadi potensial untuk<br />

merubah struktur, logika atau substansi produk hukum. Dalam seluruh proses<br />

penyusunan produk hukum daerah, menuntut adanya kapasitas pemahaman<br />

yang cukup tentang substansi yang dicoba diatur dalam produk hukum, proses<br />

dan prosedur penyusunan produk hukum, serta pemahaman tentang tata<br />

aturan hukum. Sehingga bagi masyarakat yang mengusulkan, atau siapapun,<br />

bila berkesempatan terlibat dalam proses legislasi, dapat dengan mudah beradu<br />

argumentasi mempertahankan substansi yang diusung dalam produk hukum<br />

daerah.<br />

4.2 Rekomendasi<br />

1.<br />

Dari kesimpulan di atas disebutkan bahwa masyarakat yang mengusulkan<br />

penyusunan produk hukum daerah, masyarakat yang ingin terlibat dalam<br />

145


pembahasan, anggota DPRD yang bertanggung jawab untuk memfasilitasi<br />

penyusunan produk hukum, diharuskan mempunyai kapasitas pengetahuan<br />

yang cukup untuk menyusun, membahas, memperbaiki, dan mempertahankan<br />

substansi yang ingin diatur. Untuk itu, rekomendasi pertama adalah agar<br />

adanya capacity building bagi mereka yang potensial untuk terlibat dalam<br />

penyusunan produk hukum. Selama ini proses penyusunan produk hukum<br />

daerah selalu didominasi oleh pihak eksekutif/pemerintah daerah, baik<br />

secara langsung ataupun melalui Tim Asistensi yang diperbantukan untuk<br />

pembahasan produk hukum di DPRD.<br />

2.<br />

Prosedur formal yang ada untuk penyusunan produk hukum daerah<br />

belum memberikan ruang yang cukup bagi adanya partisipasi masyarakat<br />

didalamnya. Namun saat ini telah muncul Permendagri 16 Tahun 2006<br />

tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah sebagai pengganti<br />

Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001. Rekomendasi kedua adalah harus ada<br />

kajian lagi apakah Permendagri ini telah menyediakan ruang bagi masyarakat<br />

untuk berpartisipasi dalam penyusunan produk hukum daerah. Bila ternyata<br />

masih belum mengakomodasi adanya partisipasi masyarakat didalam prosedur<br />

penyusunan produk hukum, sudah selayaknya Permendagri yang baru ini pun<br />

direvisi dan diperbaiki.<br />

146


Referensi<br />

Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin, (2002), Otonomi dan<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />

Devas, Nick, Brian Binder, Anne Booth, Keneth Davey, Roy Kelly, (1989), Keuangan<br />

Pemerintah Daerah di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,<br />

Indonesia.<br />

Kartohardikoesoemo, Soetardjo, (1984), Desa, PN. Balai Pustaka, Jakarta<br />

Nurman, Ari, Yuke Ratnawulan (2006), Jalan Panjang Pengembalian Otonomi<br />

Desa-Pengalaman Eksperimen Desentralisasi di Kabupaten Bandung, INISIATIF<br />

(ISBN: 979-25-2101-1)<br />

Parker, Andrew N., (June 1995), Decentralization – The Way Forward for Rural<br />

Development?, Policy Research Working Paper, No. 1475, The International Bank<br />

for Reconstruction and Development/THE WORLD BANK, Washington D.C.,<br />

USA.<br />

Prud’homme, Remy (1994), On the Dangers of Decentralization, Policy Research<br />

Working Papers, No. 1112, The International Bank for Reconstruction and<br />

Development/THE WORLD BANK, Washington D.C., USA.<br />

Silverman, Jerry M., (November 1992), Public Sector Decentralization: Economic<br />

Policy and Sector Investment Programs, The World Bank, Washington DC., USA.<br />

Widjaya, HAW, (2003), Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan UU No 22/1999<br />

tentang Pemerintahan Daerah: Suatu Telaah Administrasi Daerah, PT. Raja<br />

Grafindo Persada, Jakarta.<br />

Zakaria, R. Yando, (2003), Memulihkan Desa, Beberapa Catatan tentang Upaya-<br />

Upaya Pengembalian Otonomi Desa, Yogyakarta.<br />

••••<br />

Desa Miskin di Kabupaten Kaya, Harian Umum Kompas, 5 Juli 2001<br />

Hubungan Desa-Kabupaten di Era Otonomi Daerah, Ibarat Termos Berisi Air<br />

Panas, Harian Umum Kompas, 3 Agustus 2002<br />

Memposisikan Rakyat dalam Otonomi Daerah, Media Indonesia - Opini (6/9/00),<br />

Bambang P. Soeroso, Anggota DPR<br />

Otonomi dan Kemandirian Masyarakat Lokal, Media Indonesia - Opini (9/7/00),<br />

Fahruddin Salim, Anggota tim ahli di DPR RI<br />

147


Persoalan Mendasar <strong>Implementasi</strong> Otonomi Daerah, Media Indonesia - Opini<br />

(2/23/00 dan 2/24/00), Dr. Syarif Hidayat, Staf peneliti pada PEP-LIPI<br />

••••<br />

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah<br />

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan<br />

Daerah<br />

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah<br />

Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2005 tentang Desa<br />

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tanggal 22 Maret 2005, nomor 140/640/SJ,<br />

perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada<br />

Pemerintah Desa.<br />

Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Kepmendagri) Nomor 23<br />

Tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 mengatur Prosedur Penyusunan Produk Hukum<br />

Daerah<br />

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor. 8 Tahun 2005 tentang Tata Cara<br />

Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah<br />

148


4. Partisipasi Instrumental, Transformatif dan Elite Capture:<br />

Analisis Structures and Meanings atas Argumen Kebijakan<br />

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah<br />

(Kasus <strong>Perda</strong> Partisipasi Kabupaten Lebak)<br />

Abstrak<br />

<strong>Implementasi</strong> desentralisasi telah membawa arah baru hubungan antara<br />

pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal. Masyarakat yang sebelumnya<br />

hanya merupakan stempel legitimasi bagi sebuah proses kebijakan, berubah<br />

menjadi komponen “vital” yang dijamin pengaruhnya agar terakomodasi dalam<br />

kebijakan dan arah pembangunan daerah. “Partisipasi”, kata yang kemudian<br />

menjadi mainstream baru dalam merepresentasikan perubahan dalam prosesproses<br />

pembangunan di daerah. Untuk itu, beberapa daerah dengan bersemangat<br />

melembagakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ke dalam perda,<br />

seperti yang dilakukan di Kabupaten Lebak dan beberapa daerah lainnya. Dengan<br />

kata lain, melalui lahirnya perda partisipasi, pemerintah daerah memberikan<br />

garansi bagi keterlibatan masyarakat secara langsung ataupun tidak dalam proses<br />

pembuatan perda, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan daerah.<br />

Studi ini menggunakan metode analisis argumen kebijakan dengan menerapkan<br />

“Scriven-Toulmin-Gasper Approach” (Gasper, 2000). Analisis structures and<br />

meanings atas argumen-argumen dalam perda-perda partisipasi masyarakat<br />

dalam pembangunan difokuskan dalam tiga hal, pertama, substansi partisipasi,<br />

yang di dalamnya juga termasuk tujuan partisipasi masyarakat dalam proses<br />

pembangunan. Kedua, metode partisipasi yang dikembangkan. Terakhir, implikasi<br />

atas kerangka partisipasi yang digunakan.<br />

Hasil kajian terhadap isi perda cukup positif bahwa, secara normatif partisipasi<br />

yang digagas di Kabupaten Lebak cukup maju, hingga dikatakan mampu<br />

menjawab keraguan akan partisipasi sebatas instrumen saja. Artinya, partisipasi<br />

bukan dipersepsi sebagai means untuk melibatkan masyarakat, melainkan sebuah<br />

proses transformasi atau perubahan dalam masyarakat sebagai hasil akhir yang<br />

menjadi tujuan partisipasi. Selain itu, metode-metode partisipasi masyarakat<br />

yang digunakan dalam pembuatan kebijakan pembangunan di Kabupaten Lebak,<br />

memiliki prospek untuk mampu menangkal kepentingan elit lokal. Selain itu,<br />

perda ini sementara bisa menjadi model atas hubungan kekuasaan (power relation)<br />

antar masyarakat, juga hubungan masyarakat-pemerintah daerah, yang sudah<br />

cukup seimbang. Terakhir, perda ini layak untuk direkomendasikan sebagai smart<br />

practices bagi perda-perda sejenis, karena substansinya yang sudah mengarah<br />

pada partisipasi yang transformatif dan cukup mampu menghindari bahaya elite<br />

capture.<br />

149


1. Latar belakang<br />

Konsep partisipasi sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru dalam praktikpraktik<br />

pembangunan di Indonesia, karena konsep ini sudah banyak digunakan<br />

terutama sejak era Orde Baru. Pada saat itu kita mengenal istilah bottom-up<br />

approach sebagai jargon utama dalam perencanaan pembangunan. Praktiknya<br />

terutama bisa ditemukan dalam rapat-rapat perencanaan pembangunan di semua<br />

level pemerintahan, yang “seolah-olah” menerapkan prinsip-prinsip partisipasi.<br />

Pada saat itu, lembaga seperti LKMD (lembaga ketahanan masyarakat desa)<br />

menjadi ikon partisipasi di tingkat bawah, meskipun dalam praktiknya lebih<br />

banyak didominasi elit desa. Contoh lain bisa pula ditemukan dalam praktik<br />

pembangunan dalam arti sempit, seperti dalam program ABRI Masuk Desa (AMD),<br />

di sini masyarakat dan anggota ABRI berkolaborasi membangun sarana-sarana<br />

fisik di tingkat desa hingga kecamatan.<br />

Perubahan politik di tahun 1998 menjadi tonggak perubahan dalam tata<br />

pemerintahan Indonesia, mulai dari perubahan regim hingga banyaknya aturanaturan<br />

baru yang pada era sebelumnya sangat sulit untuk berubah. Salah satu<br />

contoh yang paling kongkrit adalah keluarnya paket undang-undang pemerintahan<br />

daerah, yang kemudian menjadi arah baru pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.<br />

Aturan-aturan baru ini cukup berdampak luas, terutama dalam arah hubungan<br />

pusat-daerah dan pemerintah-masyarakat di tingkat lokal. Berangkat dari realitas<br />

ini, konsep partisipasi kembali mendapatkan tempat sebagai mainstream baru yang<br />

merepresentasikan perubahan dalam proses-proses perencanaan pembangunan di<br />

Daerah.<br />

Di tingkat Pusat, kita bisa menemukan setidaknya tiga kebijakan baru tentang<br />

model partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang menambah<br />

hal-hal baru atas Kepmendagri No. 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan<br />

Program dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D), yaitu Surat Edaran<br />

(SE) Mendagri No. 080/1160/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Rapat Koordinasi<br />

Pembangunan tingkat propinsi, kabupaten dan kota tahun 2002 dan penyusunan<br />

Repetada 2003, SE Mendagri No. 050/987/SJ Tahun 2003 tentang Pedoman<br />

Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif dan Surat Edaran<br />

bersama dan Meneg Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas No. 0259/<br />

M.PPN/I/2005 Mendagri No. 050/166/SJ Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis<br />

Penyelenggaraan Musrenbang tahun 2005.<br />

Sementara itu, di tingkat lokal muncul pula perda-perda partisipasi masyarakat<br />

dalam perencanan pembangunan seperti yang bisa ditemukan di Kota Probolinggo,<br />

Kabupaten Sumenep, Gowa, Lebak, dan Lampung Timur. Pada intinya, aturanaturan<br />

baru ini berusaha memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk terlibat<br />

dalam perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, ada pula<br />

<strong>Perda</strong> yang tidak secara spesifik mengarahkannya pada perencanaan pembangunan,<br />

namun tetap berkaitan langsung dengan pelaksanaan partisipasi.<br />

150


Secara empiris, perubahan arah partisipasi masyarakat di Indonesia telah diteliti dan<br />

dikaji melalui Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) yang dilakukan<br />

oleh The Asia Foundation (TAF) dan mitra-mitra lokalnya. Studi ini menjadikan<br />

partisipasi sebagai salah satu kajian dalam implementasi desentralisasi, terutama<br />

mengenai dampak desentralisasi terhadap perubahan arah partisipasi. Secara<br />

ringkas temuan-temuan studi ini dimuat dalam tabel berikut:<br />

Tabel 1. Partisipasi setelah Desentralisasi <br />

IRDA Temuan utama Pendekatan thd Citizenship Lokus/level Partisipasi<br />

1 Adanya peningkatan<br />

kesadaran dan<br />

apresiasi thd partisipasi<br />

masyarakat dalam<br />

pemerintahan daerah<br />

2 Partisipasi masyarakat<br />

semakin memperlihatkan<br />

peningkatan, meski<br />

membutuhkan perbaikan<br />

dari segi transparansi dan<br />

akuntabilitas<br />

3 Desentralisasi<br />

belum membawa<br />

perubahan terhadap<br />

proses perencanaan<br />

pembangunan di daerah<br />

Sumber: IRDA 1 (Mei, 2002), IRDA 2 (Nop., 2002), IRDA 3 (Juli, 2003)<br />

Partisipasi mulai disadari sebagai sesuatu yg<br />

penting bagi Pemda, terutama yg tumbuh dari<br />

inisiatif masyarakat<br />

Partisipasi sebagai sebuah keterlibatan<br />

masyarakat dalam perencanaan,<br />

pelaksanaan dan pemantauan program<br />

pembangunan, dan taraf keterlibatan<br />

beragam untuk setiap daerah. Mulai muncul<br />

akan kebutuhan jaminan <strong>Perda</strong> untuk<br />

melembagakan partisipasi<br />

Partisipasi masih dipahami dalam<br />

pendekatan top-down, namun pada saat yg<br />

sama memahami beberapa Pemda memahami<br />

partisipasi dengan adanya keterlibatan CSO<br />

Pemerintahan, melalui<br />

lahirnya forum warga dan<br />

keterlibatan media lokal,<br />

dengar pendapat<br />

Pemerintahan, khususnya<br />

untuk perencanaan,<br />

pelaksanaan dan<br />

pemantauan kebijakan<br />

pembangunan<br />

Pemerintahan,<br />

dalam perencanaan<br />

pembangunan di daerah<br />

Meskipun tema partisipasi yang diusung tidak seluruhnya berkaitan dengan<br />

praktik dan perencanaan pembangunan, namun pada umumnya tema-tema<br />

partisipasi di tingkat lokal sangat berkaitan erat dengan isu ini, seperti<br />

partisipasi dalam perencanaan pembangunan, pengaggaran. Secara umum<br />

studi ini mengungkap temuan menarik tentang evolusi partisipasi masyarakat<br />

setelah desentralisasi secara masif dijalankan di Indonesia. Pertama, tiga tahun<br />

implementasi desentralisasi masih jauh dari cukup bagi daerah untuk membuka<br />

ruang partisipasi bagi masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi masih<br />

bersifat incremental atau sangat berorientasi pada kebijakan masa lalu dan terlalu<br />

lamban untuk sebuah kebijakan radikal seperti Undang-Undang No. 22 Tahun<br />

1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, desentralisasi ternyata belum mampu<br />

mengubah lokus partisipasi yang masih didominasi pemerintah. Belum terjadi<br />

pergeseran posisi pemerintah sebagai determinan utama dalam menentukan maju<br />

atau tidaknya partisipasi di tingkat<br />

Dua poin di kolom dua dan tiga tabel ini, diadaptasi dari Hickey dan Mohan ( 2004) yang berbicara<br />

tentang partisipasi dalam teori dan praktik pembangunan. Dalam karya mereka konsep citizenship<br />

dipahami sebagai sebuah tujuan normatif partisipasi yang secara fleksibel berubah mengikuti arah<br />

perkembangan tertentu. Sementara Lokus/level partisipasi merupakan tingkatan di mana partisipasi<br />

secara substansial dijalankan dan bermakna bagi perubahan partisipasi itu sendiri.<br />

151


lokal, kalaupun muncul lokus partisipasi di tingkat masyarakat masih sebatas<br />

pemicu (trigger) saja. Ketiga, munculnya temuan IRDA 2 tentang adanya daerah<br />

yang mulai melembagakan partisipasi masyarakat ke dalam <strong>Perda</strong>, cukup<br />

mengejutkan untuk desentralisasi yang baru berjalan dua tahun dan kenyataan<br />

bahwa belum ada kerangka nasional tentang partisipasi. Bukan itu saja, <strong>Perda</strong> No.<br />

13 Tahun 2002 tentang Sistem Dukungan (SISDUK) Kabupaten Takalar 2<br />

ternyata<br />

mampu menginspirasi daerah-daerah lain untuk melembagakan partisipasi<br />

kedalam <strong>Perda</strong>.<br />

Meskipun masih membutuhkan sebuah klarifikasi yang valid tentang snowball<br />

effect dari <strong>Perda</strong> Kabupaten Takalar terhadap <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> di daerah lain,<br />

kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa setelah itu beberapa kabupaten lain<br />

mulai mengikuti upaya yang sama. Sebagai contoh, di Jawa Timur 2 Kabupaten<br />

berhasil melembagakan partisipasi di tahun yang sama, yaitu Kota Probolinggo<br />

yang membuat <strong>Perda</strong> No. 3 Tahun 2003 tentang Partisipasi dan Kabupaten<br />

Sumenep yang mengeluarkan <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2003 tentang Peran Serta<br />

Masyarakat dalam Pembangunan.<br />

Menariknya, pada tahun yang sama pula dua Kota, yaitu Kota Kediri dan Blitar,<br />

sedang berusaha membuat perda jaminan partisipasi masyarakat. (Sobari dkk,<br />

2004:94). Setelah itu beberapa perda sejenis menyusul dikeluarkan, di antaranya<br />

<strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung Timur No.5 Tahun 2003 tentang Perencanaan<br />

Pembangunan Berbasis Masyarakat, <strong>Perda</strong> Kabupaten Lebak No. 6 Tahun 2004<br />

tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan<br />

Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak dan <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2004<br />

Kabupaten Gowa tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan<br />

Pemerintah Kabupaten Gowa.<br />

Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa perda-perda ini cukup kontroversial, namun<br />

ini merupakan bukti empiris yang menguatkan bahwa tengah terjadi arus perubahan<br />

partisipasi masyarakat, khususnya dalam praktik-praktik pembangunan di daerah.<br />

Pertanyaan yang kemudian muncul, sejauh mana perubahan partisipasi terjadi?<br />

Ke arah mana perubahan substansi partisipasi? Radikalkah?. Berkaitan dengan<br />

pertanyaan-pertanyaan tersebut, makalah ini akan mengkaji <strong>Perda</strong> bersubstansi<br />

partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Kabupaten Lebak. <strong>Perda</strong> ini<br />

dipilih karena memiliki cakupan partisipasi yang lebih luas dibanding yang<br />

lainnya, sehingga hasil kajiannya diharapkan merekomendasikan sebuah smart<br />

practices yang bisa diadopsi daerah lainnya. Sementara itu, kajian lebih diarahkan<br />

pada substansi dan argumen yang digunakan dalam <strong>Perda</strong> ini, terutama yang<br />

menyangkut partisipasi masyarakat.<br />

Setelah menyampaikan latar belakang tentang kajian, paper ini kemudian<br />

merumuskan sejumlah masalah yang akan menjadi arahan dalam pembahasan<br />

<strong>Perda</strong> ini menjadi garansi legalitas bagi keterlibatan LSM dan Masyarakat dalam pembangunan<br />

Lihat Laporan IRDA 2 (2002:38).<br />

152


erikutnya, kemudian diikuti pemaparan kerangka teoretis dan metodologis yang<br />

digunakan dalam mengkaji perda ini. Selanjutnya dalam poin keempat disajikan<br />

tentang temuan dan analisisnya, dan diakhiri dengan poin-poin kesimpulan dan<br />

rekomendasi.<br />

2. Perumusan Masalah<br />

Paper ini akan membahas tiga hal utama yang difokuskan untuk menjawab<br />

pertanyaan-pertanyaan berikut:<br />

1. Kerangka (framework) partisipasi apa yang dikembangkan dalam perda<br />

tersebut?<br />

2. Bagaimana metode partisipasi yang dikembangkan dalam perda tersebut?<br />

3. Bagaimana kemungkinan implikasi dari kerangka (framework) partisipasi<br />

yang digunakan dalam perda tersebut?<br />

3. Metode Pendekatan/Analisis<br />

Dalam bagian ini akan dibahas dua hal utama yaitu tentang pendekatan teoretis<br />

yang digunakan untuk menganalisis isi tiga perda dan kerangka teknis untuk<br />

mengkaji argumen kebijakan dalam perda.<br />

3.1 Partisipasi Instrumental, Transformatif dan Elite Capture:<br />

Sebuah Kerangka Analisis<br />

Dalam makalah ini definisi partisipasi yang digunakan tidak merujuk pada satu<br />

bidang ilmu khusus, karena definisi partisipasi memiliki arti yang berbeda-beda<br />

berdasarkan konteks dan ahli yang mendefinisikannya (Mayer, 1997:9). Namun,<br />

secara umum partisipasi bisa dipahami dalam dua pandangan utama, yaitu<br />

perspektif teori pluralisme dan demokrasi langsung. Dalam perspektif pertama,<br />

konsep partisipasi lebih difokuskan pada representasi kepentingan, terutama<br />

melalui kelompok-kelompok kepentingan dan struktur politik lainnya. Sementara<br />

untuk yang kedua, partisipasi merupakan sebuah bentuk keterlibatan dan pengaruh<br />

langsung individu atas pengambilan sebuah keputusan (Mayer, 1997:9).<br />

Sementara itu, dalam diskursus teori pembangunan, pendekatan terhadap<br />

partisipasi ternyata lebih luas lagi, yaitu sebagai kontribusi masyarakat untuk<br />

meningkatkan efiisiensi dan efektifitas pembangunan dan dalam mempromosikan<br />

proses-proses demokratisasi dan pemberdayaan (Cleaver 2002, dalam Cooke dan<br />

Kothari, 2002:36). Kedua pendekatan ini, juga banyak dikenal sebagai partisipasi<br />

dalam dikotomi instrumen (means) dan tujuan/transformasi (ends). Lebih kongkrit<br />

lagi Cleaver menambahkan, dalam argumen efisiensi, partisipasi adalah sebuah<br />

instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/proyek/kebijakan<br />

yang lebih baik. Sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan,<br />

153


partisipasi adalah sebuah proses sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas<br />

individu-individu sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi<br />

kehidupan mereka (dalam Cooke dan Kothari, 2002:37).<br />

Perbedaan cara pandang atas partisipasi dalam konteks pembangunan seperti di<br />

atas, akan memberikan implikasi yang berbeda dalam melakukan analisis terhadap,<br />

pertama, hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif. Kedua, cara<br />

bagaimana komunitas target mendapatkan manfaat dari proses pembangunan.<br />

Dalam perspektif instrumental, hubungan antara masyarakat sebagai sasaran<br />

program dan pengambil kebijakan atau lembaga pemberi bantuan relatif tidak<br />

terjadi, dengan kata lain tidak ada interaksi antar kedua pihak. Sehingga desain<br />

program/atau kebijakan pembangunan yang dibuat lebih banyak atau bahkan<br />

sepenuhnya berada di tangan para elit lokal (community leader). Sementara<br />

masyarakat penerima manfaat hanyalah terlibat seputar implementasi program/<br />

kebijakan, atau hanya menjadi tukang yang mengerjakannya (Parfitt, 2004:539).<br />

Sebaliknya, pendekatan transformatif memandang bahwa hubungan kekuasaan<br />

dalam sebuah proses yang partisipatif harus mengarah pada upaya-upaya<br />

perubahan dan pemberdayaan dari masyarakat target itu sendiri. Sehingga harus<br />

ada kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan maupun pelaksanaan<br />

program/kebijakan pembangunan. Masyarakat target harus memiliki kesempatan<br />

untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu apa yang diputuskan<br />

dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai<br />

dijalankan (Parfitt, 2004:539). Oleh karena itu, pengertian partsipasi instrumental<br />

dan transformatif dalam makalah ini, mengacu pada referensi yang telah<br />

dipaparkan di atas.<br />

Konsep ketiga dalam kerangka analisis makalah ini adalah elite capture yang<br />

dimaknai sebagai sebuah situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM,<br />

birokrasi dan aktor-aktor lain yang terlibat langsung dengan program-program<br />

melakukan praktik-praktik yang jauh dari prinsip partisipasi. Lebih jauh dari itu,<br />

terjadi pengambilan keputusan dan implementasi program sepihak dengan tujuan<br />

untuk mendapatkan manfaat individual yang tidak sejalan dengan tujuan program<br />

yang partisipatif. Dalam proses yang partisipatif, elite capture merupakan implikasi<br />

negatif dari hubungan kekuasaan dan upaya mendapatkan manfat dari proses<br />

tersebut, yang tentunya lebih pada kerugian bagi masyarakat penerima manfaat.<br />

Platteau memberikan kategori kongkrit tentang praktik elite capture berdasarkan<br />

studi kasusnya di Afrika Barat, yang dikategorikan ke dalam beberapa kondisi<br />

dan konteks hubungan antara lembaga pelaksana program dan lembaga pemberi<br />

bantuan (donor). Pertama, elite capture terjadi pada suatu konteks di mana<br />

kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak donor didominasi atau terkonsentrasi<br />

pada sekelompok kecil elit saja. Sementara daya tawar masyarakat biasa atau calon<br />

penerima manfaat sangat lemah, sehingga mereka tidak mampu berbuat banyak<br />

pada saat distribusi dari manfaat program dilakukan (2004:227).<br />

154


Berikutnya, adanya dampak situasi pertama terhadap manfaat program yang<br />

diterima masyarakat target. Karena tidak terjadinya tranparansi atau hubungan<br />

informasi yang asimetris, maka sekecil apa pun manfaat yang diterima masyarakat<br />

target, tentunya akan dimaknai dengan rasa terima kasih terhadap pelaksana<br />

program. Meskipun pada saat yang sama, pelaksana program menikmati<br />

keuntungan yang lebih besar dari program yang dieksekusinya untuk kepentingan<br />

pribadi atau <strong>org</strong>anisasinya, dan masyarakat tidak mengetahuinya.<br />

Terakhir, terjadinya upaya untuk mengubah tujuan awal program yang sudah<br />

ditetapkan dan disepakati dengan lembaga pemberi dana (domestik maupun<br />

asing). Sehingga posisi pelaksana program tidak lebih dari sekedar “makelar<br />

pembangunan” (development broker) (Platteau, 2004:227-229). Konsep ketiga<br />

akan digunakan terutama untuk mengkaji metode partisipasi yang digunakan<br />

sekaligus hubungan antara masyarakat dan pelaksana program pembangunan,<br />

juga kemungkinan-kemungkinan implikasinya.<br />

3.2 Analisis Argumen Kebijakan: Sebuah Pendekatan Praktis melalui<br />

Analisis Structures and Meanings<br />

Analisis argumen kebijakan sebenarnya lebih difokuskan pada upaya awal sebelum<br />

kebijakan dibuat, yang tujuannya adalah untuk memberikan dukungan argumen<br />

yang kuat, sehingga diharapkan sebuah kebijakan akan berdampak positif atau<br />

memberikan manfaat ketika diimplementasikan. Menurut Dunn, argumen<br />

kebijakan digunakan dalam sebuah analisis kebijakan ketika informasi-informasi<br />

yang relevan dengan kebijakan (policy-relevant information) sudah didapat.<br />

Berdasarkan informasi inilah maka proses debat dan argumentasi dimulai untuk<br />

mengkaji secara kritis dan mengkomunikasikan nilai-nilai argumentatif sebuah<br />

kebijakan publik (1994:89).<br />

Selain itu, Gasper menambahkan argumentasi kebijakan ditujukan untuk membuat<br />

klaim-klaim yang secara logika memiliki alasan kuat, khususnya dalam policy<br />

talk and writing. Maka, argumentasi dalam sebuah analisis kebijakan merupakan<br />

sebuah aktifitas yang melibatkan pengkajian dan persiapan argumen-argumen<br />

yang mana ide-ide tentang nilai, tujuan dan prioritas dikombinasikan dengan<br />

klaim-klaim tentang fakta dan hubungan sebab akibat, untuk tujuan menghasilkan<br />

penilaian tetang kebijakan (dan implementasinya) di masa lalu dan akan datang<br />

(2000:3). Dalam praktiknya, analisis argumen kebijakan sering dikaitkan dengan<br />

text-focused analysis. Oleh karena itu, makalah ini akan mengakaji perda-perda<br />

partisipasi terbatas pada teks kebijakannya, bukan pada konteks perda itu<br />

diterapkan. 2<br />

Dalam praktiknya, analisis argumen kebijakan saat ini lebih banyak menggunakan<br />

dua tehnik yang dikembangkan oleh Toulmin dan Dunn (Toulmin-Dunn model)<br />

dan Scriven (Scriven format). Metode pertama digunakan untuk menganalisis<br />

2 Fokus pada teks <strong>Perda</strong> lebih merupakan pengembangan dari metode analisis argumen kebijakan<br />

yang dilakukan oleh penulis.<br />

155


struktur logika argumen dan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan kontra<br />

argumennya, atau dalam hal ini dikenal sebagai Structures. Metode kedua atau<br />

yang disebut sebagai meanings adalah metode untuk mengkaji teks-teks argumen,<br />

atau dalam makalah ini teks kebijakan, untuk mengetahui arti/maknanya,<br />

hubungan antar teks dan secara hati-hati menarik kesimpulan dan asumsi yang<br />

tidak ternyatakan secara langsung dalam sebuah kebijakan. Kemudian, Gasper<br />

menggabungkan dua metode ini sebagai analisis structures and meanings, dengan<br />

tujuan untuk lebih mampu menangkap argumen sebuah kebijakan dan secara<br />

kritis mengkajinya. Selain itu Gasper juga mengembangkan metode yang lebih<br />

mudah dipahami dan digunakan melalui penggunaan tabel analisis untuk mengkaji<br />

meanings dan tabel sintesis untuk mengkaji structures.<br />

Dalam model Toulmin-Dunn yang sudah sedikit dimodifikasi oleh Gasper, terdapat<br />

empat komponen utama untuk menganalisis struktur logika kebijakan. Pertama,<br />

claim (klaim) sebagai konklusi yang diajukan dalam argumen/kebijakan. Untuk<br />

itu sebuah klaim dimaknai sebabai sesuatu yang bisa diperdebatkan, sehingga<br />

dibutuhkan argumen. Kedua, ground atau data, yang dipresentasikan untuk<br />

mendukung klaim, yang bisa lebih dari satu data. Ketiga, warrant, komponen<br />

ini dilihat sebagai sebuah aturan atau prinsip yang relevan dengan kasus atau<br />

argumen. Warrant akan sangat berguna terutama ketika klaim tidak secara<br />

otomatis mengikuti data, sehingga dibutuhkan warrant sebagai pernyataan yang<br />

menghubungkannya. Keempat, Rebuttal adalah sebuah kontra argumen yang<br />

digunakan untuk menguji klaim atau semua elemen, termasuk data dan warrant<br />

(2000:5-6). Sementara itu untuk mengkaji meanings dari argumen/kebijakan<br />

Scriven mengembangkan tujuh langkah untuk analisis argumen (Gasper, 2000:9),<br />

yaitu:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

Mengklarifikasi meanings dari terminilogi/teks<br />

Mengidentifikasi kesimpulan, baik yang ternyatakan maupun tidak secara<br />

langsung dalam teks<br />

Menggambarkan struktur, yaitu hubungan kesimpulan terhadap data-data<br />

dan warrants<br />

Memformulasikan asumsi-asumsi yang tidak ternyatakan, yaitu sebagai syarat<br />

untuk bergerak atau merubah dari data ke klaim<br />

Mengkritisi inferensi dan premis<br />

Mempertimbangkan argumen-argumen relevan yang lain, termasuk<br />

kemungkinan kontra-argumen<br />

Evaluasi secara keseluruhan, berdasarkan pada keseimbangan antara kekuatan<br />

dan kelemahan, dan mengkomparasikannya dengan pendapat alternatif yang<br />

mungkin juga bisa dipertimbangkan.<br />

Berdasarkan dua model inilah, analisis argumen terhadap perda partisipasi<br />

dilakukan. Namun dalam praktiknya tidak semua langkah, terutama untuk scriven<br />

format, dilakukan, karena menyesuaikan dengan teks. Untuk itu modifikasi melalui<br />

Gasper model lebih banyak diterapkan.<br />

156


4. Analisis dan Temuan Pokok<br />

4.1 Framework Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah<br />

Berikut ini adalah analisis meanings and strcutures atas kerangka partisipasi yang<br />

dikembangkan di Kabupaten Lebak berdasarkan analisis teks definisi partisipasi<br />

dan pelibatan masyarakat.<br />

Teks1:<br />

Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sadar dan nyata dalam<br />

serangkaian proses pembangunan dari tingkat perencanaan, perumusan kebijakan,<br />

implementasi sampai pengawasan dan evaluasi sehingga penyelenggaraan<br />

pemerintahan dapat lebih aspiratif, transparan dan akuntabel (Bab I ketentuan<br />

umum, pasal 1 No. 7).<br />

Tabel 2: Tabel Analisis Definisi Partisipasi<br />

Step 0.<br />

Identify components<br />

Step 1.<br />

Clarify meanings of terms<br />

Step 2.<br />

Identify conclusions<br />

Step 4.<br />

Identify assumptions<br />

Partisipasi adalah keterlibatan<br />

masyarakat secara sadar dan<br />

nyata dalam serangkaian proses<br />

pembangunan dari tingkat<br />

perencanaan, perumusan<br />

kebijakan, implementasi sampai<br />

pengawasan dan evaluasi sehingga<br />

penyelenggaraan pemerintahan<br />

dapat lebih aspiratif, transparan dan<br />

akuntabel<br />

Kriteria tindakan, menolak<br />

bentuk-bentuk mobilisasi. Setiap<br />

keterlibatan masyarakat harus<br />

terbebas dari paksaan. Partisipasi<br />

juga harus kongkrit, jelas dan<br />

terukur<br />

Keterlibatan masyarakat meliputi<br />

proses pembangunan secara<br />

komprehensif, bukan sekedar<br />

perencanaan saja<br />

Tujuannya agar terjadi perubahan<br />

dalam penyelenggaraan<br />

pemerintahan sesuai prinsip/<br />

karakter tertentu. Contoh, good<br />

governance<br />

Stated conclusion: Partisipasi adalah<br />

cara masyarakat terlibat dalam<br />

proses pembangunan dengan<br />

tujuan agar terjadi perubahan<br />

jalannya pemerintahan, sesuai<br />

prinsip-prinsip tertentu. Perubahan<br />

bukan hanya untuk masyarakat<br />

Berdasarkan analisis teks dalam tabel 2 di atas, maka dilakukan analisis structure<br />

dari kerangka partisipasi yang diajukan dalam <strong>Perda</strong>.<br />

157


Tabel 3: Tabel Sintesis untuk Kerangka Partisipasi<br />

Policy Position<br />

[Claim:] I propose that<br />

Partisipasi dilakukan bukan untuk mentransformasi<br />

masyarakat saja, tetapi juga pemerintah (daerah)<br />

Rebuttal<br />

• Dalam praktiknya dominasi pemerintah (daerah) bisa<br />

lebih kuat, bila tidak terjadi penguatan kapasitas di<br />

tingkat masyarakat<br />

Given That [Data]<br />

• Tujuan Partisipasi: Meningkatkan daya tanggap<br />

Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap<br />

keterlibatan masyarakat… (pasal 3 ayat 2 a)<br />

• Tujuan Partisipasi: Juga untuk, ...Meningkatkan<br />

kesadaran peran serta dan tanggung jawab<br />

masyarakat dalam pengelolaan pembangunan<br />

di daerah (pasal 3 ayat 2 b )<br />

• Hak masyarakat untuk berpartisipasi<br />

merupakan jaminan bagi proses transformasi<br />

partisipasi masyarakat (pasal 8)<br />

• Kewajiban mengikat bagi pemerintah untuk<br />

membuka ruang partisipasi bagi masyarakat<br />

dalam seluruh proses kebijakan (pasal 9 ayat 1)<br />

• Dibentuknya komisi partisipasi daerah (Bab VIII)<br />

• Peran serta masyarakat bisa saja menjadi sumber<br />

legitimasi semata<br />

• Masyarakat wajib pula meningkatkan kapasitasnya<br />

untuk bisa tetap berpartisipasi<br />

• Hak pemerintah juga untuk meminta masyarakat<br />

terlibat dalam selurus proses kebijakan<br />

And given the rule (s)/principle(s) [warrant(s)] that<br />

• Bagian dari pelaksanaan Renstra Kabupaten<br />

Lebak 2004-2009<br />

• Adanya aturan yang mendukung keterlibatan<br />

dalam pembangunan , yaitu Peraturan<br />

Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 Tentang<br />

Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Peran<br />

serta Masyarakat dalam Penataan Ruang<br />

• Aturan bisa membelenggu partisipasi<br />

Berikut adalah analisis meanings and structures atas definisi pelibatan<br />

masyarakat:<br />

Teks 2: Pelibatan masyarakat adalah suatu kondisi yang mensyaratkan adanya<br />

peran serta atau kontribusi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung<br />

dalam suatu pengambilan kebijakan publik (Bab I ketentuan umum, pasal 1 No.<br />

8)<br />

158


Tabel 4: Tabel Analisis definisi Pelibatan Masyarakat<br />

Step 0.<br />

Identify components<br />

Step 1.<br />

Clarify meanings of terms<br />

Step 2.<br />

Identify conclusions<br />

Step 4.<br />

Identify assumptions<br />

Pelibatan masyarakat adalah<br />

suatu kondisi yang mensyaratkan<br />

adanya peran serta atau kontribusi<br />

masyarakat baik langsung maupun<br />

tidak langsung dalam suatu<br />

pengambilan kebijakan publik<br />

Menyaratkan, prakondisi yang<br />

harus dipenuhi untuk sebuah<br />

kegiatan partisipatoris<br />

“Maupun”, mengakui dua bentuk<br />

keterlibatan<br />

Kebijakan publik, istilah netral yang<br />

merepresentasikan suara otoritatif<br />

pemerintah untuk tujuan tertentu<br />

Stated conclusion: Partisipasi adalah<br />

cara masyarakat terlibat dalam<br />

proses pembangunan dengan<br />

tujuan agar terjadi perubahan<br />

jalannya pemerintahan, sesuai<br />

prinsip-prinsip tertentu. Perubahan<br />

bukan hanya untuk masyarakat<br />

Tabel 5: Tabel Sintesis Pelibatan Masyarakat<br />

Policy Position<br />

[Claim:] I propose that<br />

Proses pembuatan kebijakan publik (daerah) menjadi<br />

wilayah peran serta masyarakat<br />

Given That [Data]<br />

• Masyarakat sekurang-kurangnya terlibat dalam<br />

(pasal 16):<br />

a. Perumusan visi, misi dan rencana strategis<br />

daerah;<br />

b. Penyusunan program pembangunan tahunan;<br />

c. Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja<br />

daerah;<br />

d. Penyusunan maupun revisi tata ruang;<br />

e. Penyusunan setiap Peraturan Daerah;<br />

f. Pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan<br />

suatu kebijakan atau program;<br />

g. Perumusan keputusan / kebijakan publik lainnya<br />

yang berkaitan dengan kepentingan rakyat<br />

banyak;<br />

• Hak masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan,<br />

perumusan, implementasi, pengawasan, dan evaluasi<br />

kebijakan publik<br />

Rebuttal<br />

• Proses pembuatan kebijakan hanyalah salah satu dari<br />

seluruh proses kebijakan<br />

• Masyarakat juga berhak untuk bisa mempengaruhi<br />

proses pengambilan keputusan, daripada sekedar<br />

keterlibatannyadi tahap pengysusnan dan<br />

pengumpulan informasi yang relevan untuk kebijakan<br />

• Pengawasan dan evaluasi sudah berada di luar proses<br />

formulasi<br />

159


Berdasarkan hasil analisis terhadap dua definisi yang menjadi bagian utama<br />

dalam <strong>Perda</strong> Partisipasi (dan transparansi) Kabupaten Lebak, perlu dijelaskan<br />

bahwa perda ini cukup layak untuk dikatakan memiliki framework partisipasi<br />

transformatif, khususnya dari sisi substansi. Partisipasi ternyata tidak hanya<br />

diarahkan sebagai instrumen untuk menggali dan mendapatkan suara masyarakat.<br />

Lebih jauh lagi, partisipasi dan pelibatan masyarakat menjadi tujuan bagi<br />

perubahan terhadap posisi masyarakat itu sendiri, menjadi lebih berdaya. Hal<br />

ini memberikan gambaran cukup utuh tentang upaya-upaya menyeimbangkan<br />

perubahan dari sisi masyarakat.<br />

Berdasarkan data yang menjadi bagian dalam perda itu sendiri, dimuat secara<br />

kongkrit sejumlah strategi dan mekanisme agar terjadi power relations yang<br />

seimbang.<br />

Berikutnya, ketika partisipasi tidak hanya dilakukan pada saat implementasi<br />

program-program pembangunan, tetapi lebih awal lagi sejak proses formulasi<br />

kebijakan, maka telah muncul upaya mentransformasi masyarakat. Keterlibatan<br />

sejak tahap perumusan yang termuat dalam pasal 16 perda ini, mementahkan<br />

asumsi bahwa masyarakat hanyalah menjadi bagian dari eksekutor program<br />

pembangunan.<br />

Namun satu hal yang menjadi ganjalan dalam substansi dan argumen perda ini<br />

adalah, masyarakat diposisikan sudah memahami dan mampu menjalankan start<br />

untuk berpartisipasi. Tidak menonjol ditemukan, argumen tentang upaya-upaya<br />

untuk memprinsipkan kapasitas masyarakat. Di kemudian hari kekurangan ini<br />

akan menjadi ganjalan serius, tatkala terjadi perbedaan kapasitas yang menonjol<br />

antar masyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah daerah (dan DPRD).<br />

Terakhir, argumen-argumen partisipasi dalam teks dan struktur logika perda ini<br />

cukup kuat untuk menangkal bahaya elite capture. Jaminan hak masyarakat dan<br />

kewajiban pemerintah dan DPRD dalam partisipasi, merupakan modal utama<br />

untuk menangkal terjadinya situasi ini.<br />

Diperkuat lagi dengan keberadaan komisi partisipasi (dan transparansi) yang<br />

bisa menjadi mediator sekaligus wakil masyarakat yang dekat dan kredibel untuk<br />

menjalankan fungsi penyeimbang dalam partisipasi kebijakan dan program<br />

pembangunan. Juga, pendirian lembaga independen seperti ini, bisa diharapkan<br />

untuk memberikan prospek yang baik bagi masa depan partisipasi masyarakat.<br />

4.2 Metode Partisipasi<br />

Untuk bahasan metode partisipasi, analisis langsung dilakukan melalui structure,<br />

mengingat teks yang lebih kongkrit, yang justru bisa diposisikan sebagai data. Untuk<br />

bagian ini, analisis difokuskan pada bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi<br />

dalam proses kebijakan dan/atau pembangunan.<br />

160


Tabel 6: Tabel Sintesis untuk Metode Partisipasi<br />

Policy Position<br />

[Claim:] I propose that<br />

Metode partisipasi yang digunakan cukup memberikan<br />

ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi<br />

Rebuttal<br />

Semakin luas ruang yang diberikan, berdampak pada<br />

semakin tidak efisien dan mahal-nya pengambilan<br />

kebijakan bagi policy maker.<br />

Given That [Data]<br />

• Metode partisipasi (pasal 17):<br />

1. Masyarakat berhak menyampaikan pikiran dan<br />

pendapatnya secara langsung dengan lisan<br />

maupun tulisan dan secara perorangan maupun<br />

kelompok;<br />

2. Untuk terlaksananya ketentuan sebagaimana<br />

dimaksud pada ayat (1) maka dalam perumusan<br />

kebijakan publik harus disiapkan dan diumumkan<br />

mekanisme pelibatan masyarakat terlebih dahulu<br />

oleh badan publik.<br />

3. Mekanisme pelibatan masyarakat sekurangkurangya<br />

berisi tentang:<br />

a. Kebijakan publik yang akan diambil dan<br />

penyampaian konsepnya kepada masyarakat<br />

b. Jadwal perumusan kebijakan publik yang akan<br />

diambil, prosedur pelibatan masyarakat dan media<br />

penyampaian aspirasi<br />

c. Periode dan mekanisme tanggapan masyarakat<br />

terhadap prosedur pelibatan masyarakat<br />

d.<br />

e.<br />

f.<br />

Periode penyampaian aspirasi masyarakat<br />

Periode perumusan tanggapan masyarakat<br />

Penyampaian tanggapan kepada masyarakat yang<br />

memberikan pendapat/aspirasi<br />

g. Periode kesempatan pengajuan keberatan<br />

masyarakat terhadap tanggapan yang diberikan<br />

h. Periode perumusan kebijakan final dan hasilnya<br />

i. Periode kesempatan masyarakat untuk<br />

menyampaikan pengaduan karena tidak<br />

dilakukannya pelibatan masyarakat<br />

j. Periode pembahasan kebijakan publik di DPRD<br />

dengan melampirkan semua dokumen terkait<br />

termasuk aspirasi masyarakat dan tanggapan<br />

terhadap aspirasi masyarakat<br />

k. Kesempatan akhir masyarakat untuk<br />

menyampaikan aspirasi dalam pembahasan di<br />

DPRD<br />

• Standar penyampaian pendapat/pikiran masih belum<br />

terumuskan dengan baik<br />

• Mekanisme belum menjawab persoalan standar<br />

metode partisipasi<br />

• Penyusunan mekanisme tidak bisa hanya didominasi<br />

oleh badan publik, tetapi membutuhkan kolaborasi<br />

dengan masyarakat<br />

161


Policy Position<br />

l. Penepatan kebijakan publik<br />

m. Pengumuman hasil penetapan kebijakan publik<br />

Rebuttal<br />

• Pengaduan dan keberatan (pasal 20):<br />

(1) Setiap masyarakat berhak untuk mengajukan<br />

keberatan kepada Badan <strong>Publik</strong> berkenaan dengan:<br />

a.<br />

b.<br />

c.<br />

d.<br />

tidak setuju terhadap prosedur pelibatan<br />

masyarakat,<br />

tidak diberi kesempatan menyampaikan pendapat;<br />

tidak ada tanggapan terhadap pendapatpendapat<br />

yang disampaikan;<br />

atau sebab lain yang mengakibatkan<br />

tersumbatnya aspirasi yang ingin disampaikan<br />

masyarakat.<br />

(2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada<br />

ayat (1) tidak mendapat tanggapan dari badan publik<br />

yang bersangkutan selambat-lambatnya 14 hari<br />

sejak diajukannya keberatan secara tertulis, maka<br />

masyarakat dapat mengajukan pengaduan kepada<br />

Komisi Transparansi dan Partisipasi.<br />

• Menjawab kontra-argumen pasal 17 ayat 2 (rebuttal<br />

bullet 2)<br />

• Masih dibutuhkan standar tentang pengajuan<br />

keberatan<br />

• Seleksi terhadap keberatan-keberatan bersifat<br />

individual tetap dibutuhkan, untuk memberikan jaminan<br />

terhadap validitas dan reliabilitas sebuah keberatan<br />

And given the rule (s)/principle(s) [warrant(s)] that<br />

• pendekatan transformatif: hubungan kekuasaan<br />

dalam sebuah proses yang partisipatif harus mengarah<br />

pada upaya-upaya perubahan dan pemberdayaan dari<br />

masyarakat target itu sendiri.<br />

• Kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan<br />

maupun pelaksanaan program/kebijakan<br />

pembangunan.<br />

• Masyarakat target harus memiliki kesempatan untuk<br />

berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu<br />

apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil<br />

pada saat program diimplementasikan dan selesai<br />

dijalankan (Parfitt, 2004:539)<br />

Secara teknis metode-metode yang digunakan dalam partisipasi, cukup memberikan<br />

ruang bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya atas sebuah kebijakan.<br />

Kekhawatiran akan dominasi elit bisa dikurangi dengan adanya jaminan partisipasi<br />

baik langsung maupun tidak oleh masyarakat. Selain itu keberadaan komisi<br />

partisipasi dan transparansi sebagai <strong>org</strong>anisasi independen, bisa menjadi penengah<br />

yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan partisipasi.<br />

Berdasarkan tabel di atas, perlu juga diperhatikan bahwa semakin luas ruang<br />

partisipasi yang dibuka oleh pemerintah daerah, perlu dipertimbangkan pula<br />

162


efektifitas pengambilan kebijakannya. Semakin besar partisipasi, akan berdampak<br />

pada semakin banyak waktu dan biaya yang dibutuhkan. Meskipun bukan berupaya<br />

menegasikan arti pentingnya partisipasi, namun dalam hal waktu dan anggaran<br />

akan menjadi beban yang cukup bagi daerah untuk terus menjalankan mekanisme<br />

ini. Artinya, perlu dikembangkan mekanisme khusus agar luasnya ruang partisipasi<br />

yang dibuka tidak berkorelasi positif dengan besarnya biaya dan waktu yang harus<br />

dikeluarkan. Secara kongkrit bisa dikembangkan standar penyampaian pendapat<br />

dan tanggapan yang efisien, tanpa mengurangi makna partisipasi.<br />

Satu pertanyaan sederhana tetapi cukup penting, mengapa perda ini relatif baik<br />

mengatur ruang partisipasi masyarakat. Jawaban yang mungkin diajukan adalah<br />

karena perda ini dibuat dengan menggandeng transparansi sebagai bagiannya.<br />

Perubahan hubungan kekuasaan antara masyarakat dan pemerintah daerah<br />

tidak akan bermanfaat bagi penciptaan ruang partisipasi, tanpa ada kerelaan<br />

dari pemerintah daerah untuk membuka pintu bagi akses informasi publik yang<br />

dibutuhkan oleh masyarakat sebagai dasar (bahan) partisipasi. Karena selama ini<br />

akses terhadap dokumen publik begitu menjadi masalah bagi masyarakat yang<br />

ingin mengetahui jalannya pemerintahan dan pembangunan.<br />

4.3 Implikasi dari Framework Partisipasi<br />

Mengingat substansi perda yang mengalami perubahan cukup radikal, terutama<br />

bila dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi dan desentralisasi, maka satu<br />

hal yang mungkin dihadapi oleh pemerintah daerah dalam menjalankan perda<br />

progresif ini adalah menyangkut situasi kultur di tingkat lokal, baik di kalangan<br />

elit lokal maupun masyarakat. Di tingkat elit, munculnya benturan kepentingan<br />

antara arus perubahan yang dibawa oleh <strong>Perda</strong> ini dan kepentingan untuk<br />

mempertahankan budaya politik lama yang berakar pada patronase, merupakan<br />

hal yang mungkin terjadi. Di tingkat masyarakat, keberadaan perda ini tentunya<br />

membutuhkan setting budaya politik baru yang tidak hanya sekedar menerima,<br />

tetapi memberi kontribusi dan mempengaruhi.<br />

Oleh karena itu, implikasi teknis yang juga akan muncul adalah belum siapnya<br />

masyarakat di awal-awal implementasi <strong>Perda</strong> ini, dan sebagai jalan keluar bukan<br />

hanya sosialisasi tetapi juga perlunya peningkatan kapasitas masyarakat tentang<br />

makna, cara dan etika berpartisipasi. Implikasi prospektif lainnya berkaitan<br />

dengan pola-pola elite capture yang selama ini kental dalam proses-proses<br />

pembangunan. Substansi perda yang secara normatif berusaha menangkal polapola<br />

ini, ke depan akan berdampak positif bagi perbaikan tingkat korupsi. Secara<br />

normatif, ketika masyarakat diberi kesempatan terlibat langsung, berhubungan<br />

dengan pengambil kebijakan dan mempengaruhi serta secara detail mengetahui<br />

kebijakan pembangunan yang akan dijalankan tentunya akan mengurangi dan<br />

menghentikan praktik-praktik elite capture. Apalagi pada saat yang sama akses<br />

terhadap informasi publik juga dibuka cukup lebar.<br />

163


Berikutnya berkaitan dengan kesiapan material untuk menjalankan perda ini.<br />

Sebagaimana teori kebijakan yang menganut posisi rational decision-making,<br />

semakin rasional informasi yang relevan untuk kebijakan berusaha diperoleh baik<br />

melalui metode ilmiah maupun metode demokrasi, maka konsekuensinya adalah<br />

pada ketersediaan waktu dan biaya untuk menggalinya.<br />

Pendekatan partisipatoris yang sangat kental dalam <strong>Perda</strong> ini, menyaratkan<br />

perubahan cukup besar dalam cara-cara bagaimana input kebijakan pembangunan<br />

diperoleh dan diakomodasi untuk menjadi kebijakan yang sesuai harapan<br />

masyarakat. Implikasinya tentunya hal ini berpengaruh terhadap waktu dan<br />

biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan proses-prosesnya. Sebagai<br />

contoh, participatory budgeting yang cukup populer dikembangkan di Porto Alegre,<br />

Brasil, prosesnya memakan waktu hampir setahun penuh hingga sebuah program<br />

pembangunan benar-benar mengakomodasi suara sektoral dan kewilayahan di<br />

masyarakat. Selain itu tidak kalah pentingnya, kesiapan kapasitas pemerintah<br />

daerah dan DPRD sendiri, tentunya harus lebih dari sebelumnya, dalam hal<br />

kemampuan mengatur strategi dalam mengakomodasi keterlibatan masyarakat,<br />

dari mulai kapasitas pengumpulan informasi yang relevan buat kebijakan,<br />

kemampuan berargumen secara normatif dan empiris hingga kemampuan<br />

melakukan manajemen dan resolusi konflik yang mungkin terjadi.<br />

5. Kesimpulan dan Rekomendasi<br />

Kajian tekstual terhadap isi dan argumentasi perda ini menunjukkan bahwa secara<br />

normatif partisipasi yang digagas sudah lebih dari sekedar sebagai instrumen<br />

untuk berpartisipasi. Lebih dari itu perda ini secara progresif mengembangkan<br />

pendekatan transformatif, karena partisipasi juga merupakan bagian dari upaya<br />

untuk memberdayakan masyarakat dan menyeimbangkan power relations. Selain<br />

itu, kekhawatiran akan bahaya elite capture yang mungkin lebih menonjol, secara<br />

substansi terjawab dalam perda ini.<br />

Sebagai rekomendasi akhir, secara normatif perda ini layak dikatakan sebagai<br />

salah satu smart practices yang bisa dirujuk oleh daerah lainnya, tentunya<br />

dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang berbeda. Selain itu perlu<br />

juga dilakukan studi-studi lainnya yang lebih mengarah pada temuan-temuan<br />

empiris dari implementasi perda ini. Pada saat yang sama juga dicatat kendala<br />

dan kemudahan dalam implementasinya, untuk semakin menyempurnakan perda<br />

partisipasi ini dan dampaknya terhadap keterlibatan masyarakat dalam prosesproses<br />

pembangunan dan hasil-hasilnya.<br />

164


Referensi<br />

Cleaver, Frances., dalam Cooke, Bill dan Kothari, Uma (2002) Participation: the New<br />

Tyranny?. London: Zed Books<br />

Dunn, William N. (1994) Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall,<br />

Inc.<br />

Gasper, Des (2000) ‘Structures and Meanings: A Way to Introduce Argumentation Analysis<br />

in Policy Studies Education’, Working Paper 317. The Hague: Institute of Social Studies<br />

(ISS).<br />

Hickey, S. Dan Mohan, G (eds.) (2004) Participation: from Tyranny to Transformation:<br />

Exploring New Approaches to Participation in Development. London: Zed books<br />

Mayer, Igor S. (1997) Debating Technologies: A Methodological Contribution to the Design<br />

and Evaluation of Participatory Policy Analysis. Tilburg: Tilburg University Press.<br />

Parfitt, Trevor. (2004) ‘The Ambiguity of Participation: a Qualified Defence of Participatory<br />

Development’, Third World Quarterly 25 (3):537-556.<br />

Platteau, Jean-Philippe (2004) ‘Monitoring Elite Capture in Community-Driven Development’,<br />

Development and Change 35(2):223-246.<br />

The Asia Foundation (2002a) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan<br />

Pertama, Mei 2002. Jakarta: The Asia Foundation<br />

_______(2002b) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Kedua, Juni-<br />

November 2002. Jakarta: The Asia Foundation<br />

_______(2003) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Ketiga, Juli<br />

2003. Jakarta: The Asia Foundation<br />

Sobari, W. dkk. (2004) Referensi Baru Otonomi: Kumpulan Beragam Inovasi Pemerintah<br />

Kabupaten dan Kota di Jawa Timur dalam <strong>Implementasi</strong> Otonomi Daerah. Surabaya: Jawa<br />

Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)-Pemerintah Provinsi Jawa Timur.<br />

Peraturan Daerah:<br />

Republik Indonesia (2003) <strong>Perda</strong> Kabupaten Lampung Timur No.5 tahun 2003 tentang<br />

Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat.<br />

______________(2004) <strong>Perda</strong> Kabupaten Lebak No. 6 tahun 2004 tentang Transparansi<br />

dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan di<br />

Kabupaten Lebak.<br />

_______________(2004) <strong>Perda</strong> No. 4 Tahun 2004 Kabupaten Gowa tentang Partisipasi<br />

Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten Gowa.<br />

165


5. Diskusi Sesi Paralel 1:<br />

Penyusunan dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />

Tanya Jawab<br />

◊ Pertanyaan<br />

1.<br />

Gatot (LBH Bandung)<br />

Apa yang disampaikan tadi sebenarnya cukup jelas buat kami tapi ada beberapa<br />

hal yang mungkin bisa diperjelas terutama oleh narasumber dari Tarakan<br />

dan Bpk. Walikota Gorontalo, itu hal-hal yang berkenan dengan mekanisme.<br />

Bagaimana mekanisme penuang akses informasi publik berkenan dengan beberapa<br />

informasi yang disediakan oleh institusi pemerintahan baik kota Tarakan maupun<br />

Gorontalo.<br />

Kemudian apakah di kedua wilayah ini ada juga ketentuan yang memberikan<br />

satu ruang yang cukup baik buat publik untuk melakukan komplain misalnya,<br />

mekanisme komplain, seandainya informasi tadi menurut Bapak Walikota<br />

Gorontalo diberi waktu satu minggu selambat-lambatnya informasi pada publik itu<br />

bisa diberikan, jika lebih dari satu minggu atau ternyata sama sekali informasi itu<br />

tidak bisa diberikan, kira-kira mekanisme komplain yang disediakan bagi publik<br />

ini sebenarnya terkait dengan kepentingan pemerintah untuk memberikan ruang<br />

akses bagi masyarakat yang bersangkutan seperti apa.<br />

Kemudian memang pada tataran praktis implementatif di beberapa daerah pasti<br />

terjadi perbedaan-perbedaan. Karena pada prinsipnya akses informasi, akses<br />

partisipasi dan akses pada keadilan itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa<br />

dilepaskan satu sama lain, menurut pandangan kami. Kemudian juga implementasi<br />

tiga akses ini (informasi, partisipasi dan keadilan) betul sangat membutuhkan satu<br />

sikap konsistensi dari unsur penyelenggara negara terutama karena dari aspek<br />

HAM merupakan kewajiban pemerintah untuk bisa memenuhinya dengan sebaikbaiknya.<br />

Kemudian pertanyaan yang ke-3 untuk Bapak-bapak dari Tarakan dan Gorontalo,<br />

masyarakat mengetahui bahwa usulan-usulan yang mereka berikan itu betul-betul<br />

diakomodir dalam tahapan proses pengambilan sebuah keputusan. Tadi bapak<br />

juga menjelaskan, Walikota dari Gorontalo, bahwa ada perda tentang perencanaan<br />

pelaksanaan dan pengawasan, bagaimana mekanisme pelibatan partisipasi publik<br />

dalam proses pelaksanaan implementasi dari kebijakan tadi dan pengawasannya<br />

seperti apa.<br />

Kalau yang disampaikan oleh kawan Diding saya pikir memang kondisinya di<br />

Bandung memang seperti itu, belum sebagus dengan apa yang terjadi dan diinisiasi<br />

oleh kawan-kawan dari Tarakan maupun dari Gorontalo.<br />

166


2.<br />

Ayu Pramusinto<br />

Sedikit untuk Pak Djoko, tadi digambarkan di layar tentang pembangunan SMP<br />

yang menghabiskan 15 milyar, saya kuatir ini menjadi kecenderungan di daerahdaerah<br />

juga. Dan saya memang melihat bahwa pembangunan fisik menjadi<br />

kebanggaan, bangun sekolah mewah, bangun gedung mewah, tetapi isi dari<br />

kegiatan itu sendiri terabaikan, dan tentu saja ini jangan sampai terjadi seperti<br />

itu, jadi konsentrasikan secara benar kalau ingin membangun, apa fisik memang<br />

masih perlu kita cenderung seperti itu ingin sesuatu yang kelihatan ada tinggalan<br />

monumental nanti kalau ganti Bupati bisa dibandingkan Bupati dulu bangun apa,<br />

Bupati sekarang bangun apa.<br />

Yang kedua, tadi ada masalah tahapan musrenbang sampai ketemu APBD<br />

itu banyak sekali aspirasi yang terpotong-potong, sehingga apa yang muncul<br />

dari bawah sampai akhir ketika APBD sebetulnya berapa persen yang terserap<br />

dari aspirasi masyarakat, dan ini ada berapa potongan, dipotong mulai musren<br />

kelurahan, kecamatan kemudian tim anggaran di eksekutif juga bikin potonganpotongan,<br />

kemudian masuk di legislatif di potong lagi akhirnya berapa persen yang<br />

masuk dari bawah itu.<br />

3.<br />

Restu Karlina Rahayu (Bandung Advisory Group)<br />

Saya sangat tertarik dengan pemaparan kota Tarakan dan Gorontalo. Terkait<br />

dengan keluarnya Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang pedoman penyusunan<br />

pelayanan perijinan satu pintu. Apakah di kota Bapak sudah ada unit atau kantor<br />

atau dinas tentang pelayanan perijinan satu pintu.Ini terkait dengan pertanyaan<br />

berikutnya karena seperti sekarang yang kami sedang asistensi teknis di kota<br />

Cimahi, salah satu kesulitan yang dihadapi adalah ketika ada peraturan atau<br />

perangkat hukum diatasnya sehingga daerah itu tidak mampu untuk mengeluarkan<br />

ijin.<br />

Karena untuk mengeluarkan ijin tetap harus ada ijin dari Pusat terlebih dahulu.<br />

Apakah sebelumnya Bapak pernah mengalami ketika daerah menginisiasi suatu<br />

peraturan terbentur dengan peraturan diatasnya, selama ini kalau daerah Bapak,<br />

bagaimana mengatasinya. Dalam proses penyusunan peraturan daerahnya sendiri<br />

Pak, tadi diceritaikan tampak sangat partisipatif. Sedangkan proses politiknya<br />

sendiri ketika legislatif bertemu dengan eksekutif itu seperti apa, apakah<br />

legislatifnya sangat bisa bekerja sama juga dengan eksekutif?<br />

167


◊<br />

Jawaban<br />

1.<br />

Walikota<br />

Mekanisme informasi dari publik, kami jelaskan bahwa dalam peraturan daerah<br />

tentang perencanaan pelaksanaan dan pengawasan itu sudah jelas terurai oleh<br />

karena itu maka mudah-mudahan dari Bapak moderator bisa. Mekanisme itu<br />

orientasinya atau dasarnya masyarakat bisa memanfaatkan media apa saja<br />

untuk bisa menyampaikan aspirasinya kepada pimpinan daerah, tetapi seperti<br />

perencanaan tentu ada aturan yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat,<br />

musrenbang kemudian lokakarya tingkat kecamatan kemudian tingkat kota<br />

kemudian kita bahas lagi di tingkat provinsi baru di tingkat nasional. Jadi<br />

mekanismenya seperti demikian, tetapi prinsipnya apa yang diinginkan oleh<br />

masyarakat segera salurkan jangan ditutup-tutupi.<br />

Complain yang cuma satu minggu. Kalau lebih dari 1 minggu sudah tidak ada<br />

complain, teorinya berarti sudah baik itu. Ini dimaksudkan untuk agar mereka<br />

segera mengajukan aspirasi mereka, apa yang mereka tidak inginkan. Sarananya<br />

yaitu tadi boleh melalui sms, melalui telpon langsung. Di kota Gorontalo ada<br />

posko untuk ini yang kita namakan Posko 4-CT yaitu cepat temu (masalah), cepat<br />

tanggap (begitu diketemukan permasalahan, aparat itu tanggap, diapakan ini),<br />

sehingga cepat tindak, sehingga akhirnya tuntas tidak ada masalah lagi. Tapi<br />

orang tambah 1-CT lagi supaya kita cepat temu, cepat tanggap, cepat tindak, cepat<br />

tuntas, sehingga kita cepat tidur, sebab tidak ada beban lagi jadi tidur enak tidak<br />

stress, itu 24 jam berfungsi.<br />

Baru-baru ini banjir, baru ada tanda-tanda mau banjir kita sudah warning kepada<br />

masyarakat, seperti beberapa waktu yang lalu ada gempa bumi di Gorontalo<br />

yang sengaja terlalu di blow up sehingga di media elektronik muncul seolah-olah<br />

Gorontalo sudah kiamat, padahal saya sendiri tidak merasakan gempa yang begitu<br />

besar, hanya masyarakat terpancing dengan isu dari media bahwa akan terjadi<br />

tsunami di Gorontalo, sehingga masyarakat yang ada di pesisir pantai lari. Ini<br />

segera ditangani oleh Posko 4-CT.<br />

Kemudian bagaimana masyarakat tahu bahwa usulan-usulan mereka itu<br />

tertampung, tentu saja karena melalui proses musrenbang ke tingkat kecamatan,<br />

ke tingkat kota, kita susun mana yang utama diantara unsur yang sama. Keinginan<br />

kita begitu banyak, tapi mana dari keinginan-keinginan itu yang utama, tentu<br />

keinginan pribadi saya kalau sudah dibicarakan dengan suatu lingkungan sudah<br />

turun dia punya, demikian juga. Itu harus ada sosialisasi kepada masyarakat<br />

bahwa tidak semua yang kalian sampaikan itu akan tertampung. Kita akan<br />

melihat kepentingan yang lebih besar lagi selain dari anda. Biasanya kemauan<br />

bertolak belakang dengan kemampuan, kemampuan itu menurut deret hitung,<br />

dan kemauan itu menurut deret ukur, maka dia laksanakanlah perencanaan mana<br />

yang utama diantara yang sama, tentu tidak semua tertampung.<br />

168


Kemudian di kota Gorontalo tidak melayani satu pintu, yang ada satu atap tapi<br />

banyak pintu, tapi di dalam satu kantor itu, pintunya ada pintu depan, pintu<br />

samping dan pintu belakang. Jadi pelayanan di kota Gorontalo satu atap ada unit<br />

pelayanan satu atap sebelum keluar instruksi mendagri, jauh-jauh sebelumnya<br />

sudah ada pelayanan satu atap. Prinsipnya yaitu efisiensi. Efisiensi orang yang<br />

mengurus ijin. Biasanya pengalaman rakyat mengurus ijin itu harus menghubungi<br />

beberapa instansi, pakai uang kendaraan ke instansi A, uang kendaraan ke instansi<br />

B, bolak-balik dia. Ini dia cuma satu kali mengeluarkan uang, antarkan di unit satu<br />

atap, dan unit satu atap itu yang memproses ke dinas-dinas lain, dan dia diberi<br />

waktu tiga hari kemudian kembali. Itu sudah lama berlangsung di kota Gorontalo,<br />

dan masih merupakan unit pelaksana tugas, belum dinas, belum kantor. Sebab<br />

kalau dia sudah dinas atau kantor berarti dia menghilangkan peranan dinas-dinas<br />

lain, seperti IMB, itu kan melibatkan pertanahan, melibatkan PU dan melibatkan<br />

unit-unit lain, nanti akan tersinggung yang lain-lain, jadi Unit Pelaksana Tugas.<br />

Kita rekruit petugas-petugas yang melaksanakan itu di dinas-dinas yang sekian<br />

banyak itu dan mereka itu yang memproses di satu tempat, jadi bukan rakyat lagi,<br />

jadi pelayanan satu pintu, kami tidak melakukan pelayanan satu pintu tapi satu<br />

atap dalam satu kantor.<br />

Kalau peraturan daerah itu prinsip tidak boleh bertentangan dengan peraturan<br />

dan perundang-undangan lebih tinggi. Jangan sampai daerah otonomi menjadi<br />

daerah ototomi, sudah main kuasa-kuasaan, daerah-daerah itu main kuasakuasaan.<br />

Seperti misalnya masalah kelautan, itu kan peraturan yang mengatur<br />

itu bagaimana retribusi kepada nelayan dan sebagainya. Pernah ada yang<br />

mengusulkan katanya Pak Wali perlu dibatasi nelayan dari daerah lain yang<br />

beroperasi di perairan di kota. Sebab di kota itu juga ada wilayah pantainya.<br />

Saya bilang jangan, kita usahakan supaya ikan-ikan itu ada KTP. Jadi nelayan<br />

di kota Gorontalo, kalau tangkap ikan, ditanya kepada ikan, “Hai ikan KTP-mu<br />

mana?”, “Ini Pak”, “Oh kalau dia dari kabupaten oh lepas lagi”, demikian juga<br />

kalau misalnya ikan yang dari kota Gorontalo tertangkap di kabupaten Gorontalo<br />

tanya KTP, kalau dari kota, kabupaten lepas. Jadi masalah ini harus diatur oleh<br />

daerah itu secara regional, provinsi, ada yang nasional. Jadi inilah peraturanperaturan<br />

daerah tidak bertentangan tetapi dia sebagai pelaksanaan kebijakan<br />

nasional, sebab kita dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />

Proses politiknya kita terapkan budaya lokal. Budaya lokal itu ada yang disebut<br />

Dulo Hupa, kalau disini “lobby”. Misalnya anak saya ingin dikawinkan dengan<br />

anak bapak, saya belum datang secara resmi meminang anak bapak, kita dulo<br />

hupa dulu, “Bagaimana Pak, anak saya itu saya ingin jodohkan dengan anak<br />

Bapak, kira-kira anak Bapak itu sudah ada pilihannya atau belum”, Bapak jawab<br />

“Saya katakan ada tapi tidak ada, saya katakan tidak ada tapi ada”; berarti ada<br />

stop tidak usah dilanjutkan dulo hupa itu, lobby itu, jelas-jelas anak bapak itu<br />

sudah ada pilihannya.<br />

169


Antara eksekutif, legislatif dan masyarakat itu yang kita gunakan. Jadi saya<br />

dengan ketua dewan atau ketua komisi atau ketua fraksi baku-baku telpon, aparat<br />

birokrat baku-baku telpon dengan anggota dewan, bagaimana ini, seperti hari ini<br />

saya harus ada di Gorontalo hari ini sebab besok itu pembahasan kebijaksanaan<br />

yang dulu AKU (Arah Kebijaksanaan Umum) sekarang jadi KUA (Kebijaksanaan<br />

Umum Anggaran) itu saya harus sampaikan kepada dewan, jadwalnya pagi,<br />

dengan perhitungan bahwa kalau acara ini sesuai dengan waktu maka saya akan<br />

berangkat jam 3 tadi, tiba malam, besok paginya saya bisa hadir, saya telpon tadi<br />

ketua dewan, “Saya mohon maaf kira-kira saya tidak bisa berangkat sore ini, nanti<br />

besok pagi subuh, jadi boleh ditunda acara dewannya jam 10”, “Oh boleh Pak”. Jadi<br />

tidak formal tapi dulo hupa, jadi hubungan keakraban kekeluargaan ini sehingga<br />

tidak ada hambatan-hambatan yang berarti, ada pun pembicaraan itu tinggal melegal-kan,<br />

bikin peraturan daerah tetapi diantara kita sudah ada lobby-lobby secara<br />

tidak mengikat. Itu sesuai dengan budaya Gorontalo, dulo hupa itu.<br />

2.<br />

Djoko<br />

Enaknya kalau bersama dengan Pak Walikota, saya pikir jawabannya sudah<br />

dijawab Pak Walikota. Pak Gatot barangkali nuansa yang saya presentasikan agak<br />

berbeda, artinya sudah pasti dibanding dengan yang Pak Walikota karena saya<br />

sudah langsung fokus ke masalah APBD. Kalau APBD tadi sudah disampaikan<br />

Pak Wali juga. Masalah akses publik itu sudah sangat cukup detail sebenarnya<br />

diatur oleh surat edaran Kepala Bappenas. Kalau itu saja kita kerjakan betul,<br />

sebenarnya sudah memadai. Hanya selama ini persoalannya yang saya amati<br />

tadi, sering-sering apa yang terlihat mudah di atas kertas, jadi ini teman-teman<br />

di Bappenas juga, pada waktu merumuskan SE Bappenas itu sepertinya enak saja<br />

gambar-gambar apa panah-panah setelah ini, tapi giliran diterapkan di lapangan itu<br />

susahnya setengah mati tidak mudah. Artinya kalau untuk akses informasi publik<br />

masalah perda APBD saya membaginya menjadi pramusrenbang, musrenbang,<br />

pasca musrenbang. Yang pra sama musrenbang sudah jelas. Mungkin yang<br />

menarik dipersoalan pasca-nya.<br />

Setelah musrenbang kan kita susun menjadi rencana kerja pemerintah daerah<br />

kota. Kemudian itu kita ambil, kebijakan-kebijakan itu kita rumuskan, tadi yang<br />

disampaikan pak Walikota, kebijakan umum anggaran sekarang (KUA). Pada<br />

saat kita menyampaikan KUA ke dewan saja artinya melalui suatu mekanisme<br />

sidang paripurna, publik semua tahu, diliput media masa secara luas. Setelah<br />

paripurna kita melakukan pembahasan dengan dewan, itu publik bisa ngasih<br />

input. Memang terus terang di Tarakan belum kami perdakan akses informasi ini,<br />

mudah-mudahan ini saya bisa didukung Bu Diani untuk memfasilitasi Tarakan<br />

menjadikan perda akses informasi ini. Jadi mulai dari penyampaian KUA sampai<br />

nanti KUA diterjemahkan menjadi rencana anggaran, itu publik masih openly<br />

can access, sampai tadi yang saya sampaikan. Kepala-kepala dinas itu semacam<br />

menjalani sidang sarjana itu, pertanyaannya lebih-lebih keras, lebih campur<br />

aduklah, yah situasi di dewan kita tahu, itu betul-betul kritis, dan masyarakat itu<br />

bisa ikut memberikan pendapatnya sampai akhirnya pengesahan.<br />

170


Memang kalau kita bicara masalah public participatory planning, ini memang<br />

sebenarnya isu yang sejak pemerintahan orde baru sebetulnya sudah punya<br />

namanya Permendagri No. 9/1982, tetapi karena waktu itu konteksnya adalah<br />

sangat sentralistik Permendagri ini tidak jalan. Ini sebenarnya dulu mengatur<br />

mekanisme buttom up planning juga, tapi kata orang Jawa yang seringnya<br />

kan “mboten” up, jadi tidak pernah naik. Saya klarifikasi, anggaran yang kami<br />

alokasikan 17% itu sudah kami ambil, artinya tidak termasuk aparat, kalau sama<br />

aparat itu 23%, 17% murni betul untuk bangun sekolah, untuk meningkatkan<br />

kesejahteraan guru, dsbnya, dsbnya.<br />

Kekuatiran Pak Agus, masalah yang ada SMP sampai 30 milyar, Jadi terimakasih<br />

Bapak tidak perlu kuatir karena kami sudah punya masterplan pendidikan. Di<br />

situ kami sudah petakan sekian SMP ke depan itu mau seperti apa, tidak semua<br />

SMP kita bangun seperti itu. Yang kami perlihatkan itu SMP Negeri I yang<br />

memang kami proyeksikan akan jadi SMP internasional, tentunya yang lain tidak<br />

seperti itu, cukup ada yang kita renovasi, kita cat-cat pagarnya, dsbnya, dsbnya.<br />

Itu sengaja saya perlihatkan, karena pada waktu teman saya dosen planologi ITB<br />

mengunjungi kami di Tarakan saya ajak ke situ dia bilang “Ini di Bandung aja<br />

tidak ada”.<br />

Mengenai aspirasi masyarakat terukur berapa persen yang terakomodir. Tadi sudah saya<br />

sampaikan bahwa pramusrenbang itu kami mengadakan pelatihan kepada stakeholderstakeholder<br />

di kelurahan, kami datangkan seorang pakar pemberdayaan masyarakat dari<br />

UI, kami latih bagaimana mereka bisa memformulasikan persoalan-persoalan kemudian<br />

mampu juga memprioritaskan. Sehingga yang ada di kami bukan sekedar list dari<br />

usulan tetapi mereka sudah bersepakat. Karena sudah kami latih dulu, fasilitatornya<br />

juga kami datangkan profesional, sehingga sejak di musrenbang kelurahan mereka sudah<br />

mengidentifikasi apa usulan disitu. Namun pun demikian ada hal-hal kecil memang misalnya<br />

jalan masuk di kampung, selokan, dlsbnya itu biasanya kita cover dengan block grant, kita<br />

alokasi anggaran khusus ke kelurahan. Itu kita biarkan camat dan lurah mengatur dana<br />

tadi, kita beri kebebasan untuk meng-cover yang sifatnya kecil-kecil di masyarakat.<br />

Kemudian Bu Restu, tadi sebagaimana saya sampaikan waktu saya menjawab pertanyaan<br />

Pak Gatot, sama juga Bu Restu. Kami ini memang terus terang masih ketinggalan<br />

dalam hal perda-perda, tetapi selama ini kami sudah melaksanakan, tadi Pak Moderator<br />

menggarisbawahi itu, kami belum perdakan tapi sudah laksanakan. Makanya disini ada<br />

Ibu Direktur Hukum dan HAM Bappenas saya mohon dukungan untuk memfasilitasi<br />

saya memperdakan apa-apa yang sudah kami lakukan. Masalah satu pintu yang kata<br />

Pak Walikota Gorontalo, bukan satu pintu tapi satu atap. Sebetulnya yang penting juga<br />

mengsimplifikasi mejanya ya, kalau satu atap mejanya masih banyak juga percuma.<br />

Sebagai gambaran saja kami memang belum punya satu pintu satu atap, tetapi ada satu<br />

ilustrasi kami deal dengan satu investor malaysia mau membangun cold storage di Tarakan<br />

hanya dalam waktu 3 ½ jam deal investasi 3.5 juta US$ waktu itu dan sekarang dia sudah<br />

bangun cold storage-nya dan sudah mengekspor sekian kali. Jadi memang belum ada tetapi<br />

kami sudah melakukan.<br />

171


Kemudian SOP kami terhadap investor adalah biasanya kami jemput kalau ada investor,<br />

kita dengar, kita jemput ke Bandara kita traktir makan, jadi kita tidak minta ditraktir<br />

makan, hal-hal seperti itu. Cuman memang tadi kami akui belum jadi suatu sistem yang<br />

diperdakan, ini masukan terus terang akan saya sampaikan ke pak Wali saya untuk hal-hal<br />

ini.<br />

Kemudian proses politiknya seperti apa. Tadi saya sampaikan karena fokus saya adalah<br />

APBD, kita ketahui bahwa hak budget dewan itu dijamin undang-undang, sehingga kita<br />

memang mau tidak mau dalam arti ada ruang, ruang-ruang yang memang kita dalam<br />

tanda petik negosiasikan dengan dewan. Tetapi saya punya kriteria itu sepanjang untuk<br />

kepentingan konstituen masih saya tolerir, kalau untuk kepentingan pribadi misalnya<br />

supaya tanah dia jadi harganya naik, dia minta jalan disitu, saya tolak. Karena saya punya<br />

kebijakan umum anggaran yang sudah kita sepakati. Saya pikir itu, jadi proses politik kalau<br />

khusus untuk APBD, selama ini alhamdullilah tadi saya sampaikan di kesimpulan juga<br />

bahwa situasinya memang kondusif, tadi tentunya sebagaimana Pak Wali itu ada suatu<br />

proses-proses lobby dsbnya. Ini yang saya selalu mengatakan bahwa intervensi politik<br />

didalam APBD tidak bisa kita eliminer tetapi bisa kita minimalisir, kita kunci di KUA. Pada<br />

waktu pembahasan APBD saya selalu bawa, kalau ada anggota dewan mau macam-macam,<br />

mau nitip ini-itu, ga ada disini pak (KUA), saya berani seperti itu.<br />

3.<br />

Moderator<br />

Bapak/Ibu sekalian ini baru ada 3 kajian/makalah, dan tiga-tiganya memiliki<br />

kesimpulan atau temuan-temuan yang berbeda pemaparannya, ada yang<br />

diperdakan tetapi tidak berjalan baik, ada yang tidak diperdakan tapi berjalan baik,<br />

dan kemudian ada yang diperdakan dan berjalan baik. Ini baru tiga contoh kasus<br />

dari 400 lebih kabupaten kota di Indonesia, dan kalau kita melihat dari dua kasus<br />

di Gorontalo dan Tarakan sebenarnya tergantung pada orangnya siapa di situ.<br />

Kalau orangnya di situ punya goodwill yang baik, tentu saja hasilnya akan seperti<br />

tadi yang kita lihat bersama. Persoalannya apakah 400 daerah atau kabupaten<br />

kota yang lain memiliki orang-orang yang sama seperti yang ada disamping saya<br />

ini atau tidak. Mungkin nanti kita bisa melakukan survei bersama, atau mungkin<br />

survei kasar dari 400 daerah itu mana yang sudah punya best practices yang itu<br />

bisa kita tularkan untuk daerah yang lain.<br />

Saya kira itu, saya mohon maaf karena keterbatasan waktu yang kita punyai.<br />

Terimakasih untuk partisipasinya mohon untuk memberikan applause kepada tiga<br />

pembicara kita. Selamat sore, Ass. Wr. Wb., terimakasih untuk semua pembicara.<br />

172


BAB 3<br />

<strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> : Kesehatan,<br />

Ketenagakerjaan & Sumber Daya Alam<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

Kebijakan Pemberdayaan PKL di Perkotaan dengan<br />

Pendekatan Perkotaan (Studi Kasus di Kota Surakarta)<br />

Dr. Absori, SH,MHm, Staf Pengajar Univ Muhammadiyah Surakarta<br />

JPKM Kab Purbalingga Provinsi Jawa Tengah: Studi Kasus<br />

<strong>Perda</strong>. No. 15 Tahun 2003 serta Realisasinya di Lapangan<br />

Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si, Staf Pengajar UNDIP Semarang<br />

Dapatkah <strong>Perda</strong> Menjamin Komitmen Kerjasama Antar Wilayah?<br />

Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung<br />

Ciremai Provinsi Jawa Barat<br />

Hikmat Ramdan, Staf Pengajar Univ Winaya Mukti, Sumedang dan Ahmad<br />

Dermawan, CIFOR, Bogor<br />

Meneguhkan Akses Masyarakat Miskin terhadap Sumber Daya<br />

Hutan: Kajian Atas <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> Perhutanan Sosial (Social Forestry)<br />

di Tiga Daerah<br />

Imam Subkhan<br />

Merebut Kembali Hak Perempuan atas Layanan Kesehatan<br />

(Telaah Kritis atas Alokasi Anggaran Kesehatan untuk <strong>Pelayanan</strong><br />

Kesehatan Perempuan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta)<br />

Yusnita Ike Christanti dan Tenti Novari Kurniawati<br />

Air Berkualitas Baik Bukan Untuk Warga Miskin Cilacap<br />

Zulfatun Ni’mah dan Tri Lindawati<br />

Diskusi dan Tanya Jawab<br />

173


1. Kebijakan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL)<br />

di Perkotaan Dengan Pendekatan Partisipatif<br />

(Studi Kasus di Kota Surakarta)<br />

1.<br />

Pendahuluan<br />

Para penentu kebijakan di berbagai daerah dihadapkan pada persoalan yang pelik<br />

berkaitan dengan keberadaan sektor informal, yang dikenal sebagai Pedagang<br />

Kaki Lima (PKL). Para PKL dianggap sulit diatur, mengganggu pemandangan<br />

kota, membanjiri sudut-sudut kota, bahkan jalan protokol tanpa mengindahkan<br />

lokasi yang ditempati dibolehkan atau tidak untuk berjualan.<br />

Keberadaan PKL di perkotaan tidak lepas dari adanya fenomena yang timbul<br />

sebagai akibat ekses kebijakan pembangunan yang hanya bertumpu di perkotaan<br />

dan tidak merata sampai ke perdesaan. Akibatnya menurut Loekman Sutrisno<br />

(1995 :163) terjadi apa yang dikenal dengan run away urbanization ditandai dengan<br />

terjadinya eksodus penduduk dari desa ke kota dengan harapan akan memperoleh<br />

pekerjaan di kota yang lebih baik. Akan tetapi sesampai di kota mereka kecewa,<br />

karena tidak mendapatkan pekerjaan sesuai yang diinginkan, akhirnya mereka<br />

melakukan pekerjaan apa saja, termasuk menjadi PKL untuk mempertahankan<br />

hidup sehari-hari.<br />

Keadaan pengangguran masyarakat kota yang datang dari masyarakat pendatang<br />

dan penduduk kota yang semakin bertambah yang tidak semuanya dapat terserap<br />

pada sektor formal, sehingga terjadilah pengangguran yang melimpah. Ketika<br />

masyarakat pengangguran mencari jalan sendiri dengan terjun menjadi PKL harus<br />

berhadapan kenyataan ketidakpahaman sikap pemerintah dan kelas pemilik modal<br />

dan masyarakat urban yang tidak begitu mau mengakui keberadaan mereka.<br />

Karena itu tidak heran apabila kemudian muncul kebijakan pemerintah dalam<br />

pemberdayaan PKL yang tidak menguntungkan PKL.<br />

Kebijakan Pemerintah sering tidak mencerminkan sebagai kebijakan yang aspiratif<br />

dan akomodatif terhadap keberadaan mereka, bahkan terabaikan, tidak tersentuh<br />

para penentu kebijakan untuk memikirkannya. Sebagian masyarakat menganggap<br />

sebagai sumber gangguan yang harus ditertibkan dan tindak secara tegas dengan<br />

pendekatan legal yang mengedepankan kekuatan. Dunia mereka tidak begitu saja<br />

bisa dipahami, sehingga muncul kebijakan-kebijakan yang amat mengherankan<br />

dalam pandangan PKL. Akibatnya timbul persoalan yang berkepanjangan yang<br />

tidak pernah tuntas dalam mengatur keberadaan PKL.<br />

Dalam kondisi seperti itu dibutuhkan langkah-langkah penanganan dalam bentuk<br />

kebijakan yang mempertimbangkan tidak hanya dari kaca mata pemilik modal<br />

174


dan masyarakat urban, tapi mempertimbangkan keberadaan mereka, dan mendorong<br />

untuk mematuhi peraturan yang ada. Dengan demikian keberadaan PKL tidak lagi<br />

dipandang sebagai sampah kota yang harus dibersihkan, tapi benar-benar diakui<br />

dan dibutuhkan. Sebab bagaimana pun mereka juga telah berjasa untuk melayani<br />

golongan masyarakat menengah ke bawah yang menginginkan standar harga yang<br />

lebih murah dibandingkan harga yang dijual pedagang permanen.<br />

Demikian juga, apa yang terjadi di Kota Surakarta, Pemerintah Daerah mengalami<br />

kesulitan untuk melakukan pemberdayaan melalui penataan dan pembinaan PKL.<br />

Keberadaan PKL yang mulai menjamur sejak krisis ekonomi pasca kerusuan Mei<br />

1998 dan saat sekarang tercatat lebih dari tiga ribu PKL tersebar di berbagai sudut<br />

kota.<br />

Wali Kota Surakarta dengan mendasarkan pada Peraturan Daerah No. 8 Tahun<br />

1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima dan beberapa Surat<br />

Keputusan Wali Kota berusaha melakukan pemberdayaan melalui penataan dan<br />

pembinaan PKL. Dalam praktek program pemberdayaan lebih mengarah pada<br />

upaya untuk melakukan pembinaan dan penertiban dengan memerintahkan PKL<br />

yang menempati lokasi tertentu, seperti di trotoar jalan, taman kota, tepian sungai<br />

dan tanah negara untuk pindah. Sementara para petugas di lapangan mengaku<br />

amat dilematis dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, satu sisi<br />

keberadaannya amat dibutuhkan tetapi pada sisi lain dapat menggangu keindahan<br />

kota, dan kadang kala bertindak nekad ketika diusik keberadaannya.<br />

Dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, Pemda seringkali melakukan<br />

tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Aparat gabungan melakukan operasi dan<br />

penyisiran tidak hanya siang hari tapi juga dini hari di lokasi-lokasi yang dianggap<br />

jalur yang tidak boleh ditempati PKL. Dalam melakukan operasi tidak jarang,<br />

aparat melakukan penggarukan dan merobohkan bangunan semi permanen yang<br />

menempati trotoar jalan dan tempat-tempat lain yang tidak perbolehkan untuk<br />

berjualan.<br />

Permasalahan, pertama, bagaimana keberadaan PKL, kenapa kecenderungannya<br />

selalu dimarjinalkan dalam kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah<br />

daerah? Kedua, bagaimana perumusan kebijakan pemberdayaan PKL, apakah<br />

sudah mengakomodasi aspirasi secara partisipatif ? Metode penelitian, dilakukan<br />

di Kota Surakarta, tepatnya di beberapa lokasi PKL, seperti di Manahan, dan<br />

Banjarsari. Responden berupa Pemkot dan DPRD, LSM Kompit. Data berupa data<br />

primer yang diperoleh dari wawancara, dan data sukender berupa <strong>Perda</strong> dan SK<br />

Walikota tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Analisis data, dilakukan dengan<br />

mendeskripsikan data, mendiskusikan dengan pendekatan kritis dan mendalam<br />

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan instrumen teori,<br />

sehingga akan diperoleh gambaran utuh kebijakan pemberdayaan PKL di Kota<br />

Surakarta.<br />

175


2. Hasil Penelitian Dan Pembahasan<br />

2.1 Profil Keberadaan PKL<br />

Karakteristik pedagang kaki lima di kota Surakarta berdasarkan jenis usaha<br />

yang dilakukan berupa pedagang oprokan, usaha semi permanen, permanen,<br />

menggunakan gerobak dorong, warung tenda, gerobak bongkar pasang (knock<br />

down). Berdasarkan lokasi usaha pedagang kaki lima tersebar di beberapa<br />

kawasan, seperti di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, mereka menempati trotoar,<br />

jalur hijau dan taman jalan. Di kawasan monumen perjuangan 1945, Banjarsari,<br />

para pedagang barang bekas (loak), alat olah raga, sepeda dan elektronik<br />

menempati pinggir jalan dan taman sekitar monumen. Sementara di kawasan<br />

Alun-alun Utara, para PKL menempati trotoar jalan dengan menggelar barang<br />

dagangan berupa kacamata, pakaian, sauvenir, sepatu dan lain-lain. Di sekitar<br />

Pasar Klewer, PKL berjualan dilakukan pada siang hari, disamping menempati<br />

trotoar jalan juga sebagian menempati badan jalan, sehingga mengganggu para<br />

pengguna jalan, dan menimbulkan kemacetan lalu lintas, terutama pada jam-jam<br />

sibuk antara jam 10.00-17.00 WIB.<br />

Pada waktu malam hari PKL banyak dijumpai berjualan makanan dan minuman<br />

di sekitar Kota Barat, sepanjang Stadion Manahan, dan sepanjnag jalan Adisucipto<br />

sampai Colomadu, Para PKL kebanyakan menempati trotoar dan tepi jalan dengan<br />

menggunakan warung tenda yang dapat dibongkar pasang (knockdown). Aktivitas<br />

mereka dilakukan sekitar jam 18.00-23.00 WIB. Pada waktu hari Minggu pagi<br />

aktivitas PKL di sekitar Stadion Manahan laksana pasar tiban dan menimbulkan<br />

kemacetan lalu lintas. Keberadaan PKL di Kota Sala dilihat dari struktur sosioekonomi<br />

menunjukan posisi yang marjinal dan tidak tersentuh kebijakan yang<br />

mengarah pada upaya pemberdayaan PKL yang diperhitungkan sebagai aset yang<br />

dapat menyumbangkan pendapat ekonomi daerah. Kehadirannya selalu disalahkan<br />

dan menjadi sasaran tudingan penyebab masalah di perkotaan, padahal sumbangan<br />

sektor informal terhadap sektor formal dan perekonomian daerah amat besar.<br />

Kondisi seperti itu berbeda dengan studi yang dilakukan Hernado De Soto<br />

(1992) di Peru, yang menyatakan bahwa sektor informal dapat didayagunakan<br />

dan perperan untuk mencapai keberhasilan dalam mendukung perekonomian<br />

di negara Peru. Aktivitas sektor informal telah menjadi lahan penghidupan bagi<br />

48 persen penduduk Peru, dan 61, 2 persen jam kerja diabdikan pada kegiatan<br />

sektor informal yang memberikan sumbangan sebesar 38,9 persen pada Produk<br />

Domestik Bruto (PDB) yang tercatat dalam neraca pendapatan negara. Sektor<br />

informal dan pedagang kecil yang banyak bertebaran di sudut dan pinggiran kota<br />

Surakarta, dan menjamur semenjak krisis ekonomi sebenarnya membawa harapan<br />

cerah untuk dikembangkan, karena berpotensi menyumbangkan pendapatan yang<br />

lebih besar bagi kebanyak masyarakat menengah ke bawah, bahkan dapat menjadi<br />

penopang berkembangnya sektor formal.<br />

Hernando De Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi Di Negara Dunia Ketiga, Yayasan<br />

Obor Indonesia, Jakarta, 1992, hal 14., hal 14.<br />

176


Studi yang dilakukan Diane Wolf di Sukoharjo (1986), menunjukkan banyak<br />

perusahaan besar (formal), membayar gaji lebih rendah, terutama pekerja wanita<br />

yang dianggap sebagai suplemen, karena mereka masih ditanggung keluarganya<br />

yang bekerja di sektor lain, seperti sektor informal atau pertanian. Usaha sektor<br />

informal dan gaji pekerja di perusahaan pembuatan batu bata, industri genting<br />

dan pembuatan meubel rakyat justru mampu membayar gaji yang lebih tinggi<br />

dibandingkan perusahaan besar. Sementara menurut El-Shakhs sifat dan<br />

komposisi kegiatan ekonomi cenderung berbeda menurut skala kegiatan ekonomi.<br />

Keberdayaan sektor informal di kota-kota 2 besar cenderung menunjang kegiatan<br />

ekonomi modern, yakni berfungsi melayani kebutuhan sekunder atau tersier,<br />

menggunakan pekerja upahan, dan tergantung pada pasar kerja. Sebaliknya<br />

di kota-kota sedang dan kecil kegiatan sektor informal masih berkait dengan<br />

kebutuhan dasar sektor pertanian, dan belum terpengaruh pasar kerja. <br />

Dalam hal ini, keberadaan PKL di Surakarta dalam menunjang perekonomian di<br />

Kota Surakarta menggambarkan karakteristik yang dapat memberikan kontribusi<br />

berarti terhadap kegiatan ekonomi sektor informal maupun sektor formal yang<br />

3<br />

berkait dengan pasar kerja. Lebih dari itu keberadan PKL sebenarnya juga mampu<br />

menyumbangkan pendapat, dan mampu menawarkan jalan keluar bagi persoalan<br />

yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan,<br />

yakni pengangguran, terutama pada masa krisi ekonomi karena kemampuan sektor<br />

formal hanya mampu menyerap kesempatan kerja dalam jumlah yang terbatas.<br />

2.2 Kebijakan Pemberdayaan PKL<br />

Kebijakan pemberdayaan PKL yang dilakukan Pemda Surakarta dilakukan<br />

dengan mendasarkan pada Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1995 tentang<br />

Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Melalui kebijakan tersebut Pemda<br />

Kota Surakarta mempunyai kewenangan untuk memberdayakan PKL dengan<br />

menempatkan PKL pada lokasi-lokasi tertentu yang sudah ditetapkan. Dalam<br />

menetapkan tempat usaha mempertimbangkan faktor lain seperti sosial, ekonomi,<br />

ketertiban, keamanan, kebersihan dan kesehatan serta tata ruang (Pasal 2).<br />

Dalam hal ini PKL dibebani tanggung jawab untuk menjaga ketertiban, kerapihan,<br />

kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan (Pasal 3), dengan<br />

persyaratan yang ditentukan oleh Wali Kota. Dengan kewenangan yang dimiliki<br />

Wali Kota Surakarta berupaya melakukan penempatan, penataan dan penertiban<br />

keberadaan PKL sebagai upaya untuk memberdayakan PKL di Kota Surakarta<br />

melalui mekanisme perizinan yang di keluarkan oleh Pemda Surakarta. Ketentuan<br />

perizinan secara garis besar berisi pertama perizinan diperoleh setelah melalui<br />

mekanisme pendaftaran, dengan ketentuan persyaratan yang telah ditentukan<br />

Wali Kota Surakarta. Ketentuan perizinan tidak boleh dipindahtangankan kepada<br />

siapapun tanpa persetujuan pejabat yang berwenang (Pasal 4).<br />

2 Lihat Diane Wolf dalam Hana-Dieter Evera, Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di<br />

Indonesia dan Malaysia, LP#ES, Jakarta, 1995, hal 201.<br />

3 El-Shakhhs dalam Tadjuddin Noer Effendi dkk, Struktur Pekerjaan Sektor Informal dan Kemsikinan<br />

di Kota, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1996, hal 262-263.<br />

177


Kedua, untuk kepentingan pengembangan usaha dan peningkatan kesejahteraan<br />

PKL dilakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan.(Pasal 7). Kepada<br />

para PKL yang telah memperoleh perizinan tempat usaha, dikenakan Retribusi<br />

Kebersihan Kota yang besarnya ditentukan berdasarkan Peraturan Daerah Pemda<br />

Kota Surakarta. (Pasal 8) Pengawasan pelaksanaan <strong>Perda</strong> tersebut dilakukan oleh<br />

Inspektorat wilayah, bagian Perekonomian, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas<br />

Kebersihan dan Pertamanan, Unit Pelaksana Daerah Perparkiran dan Bagian Tata<br />

Pemerintah Kota Surakarta (Pasal 9). Kebijakan pemberian perizinan atas dasar<br />

kewenangan yang dimiliki Wali Kota disertai beban kewajiban dan tangung jawab<br />

kepada PKL sebagaimana yang diatur dalam <strong>Perda</strong> No. 8 tahun 1995 tersebut<br />

terdapat kesalahan yang mendasar dalam pembuatan sebuah peraturan. Karena<br />

dalam <strong>Perda</strong> tersebut tidak mencantumkan asas dan tujuan, sehingga filosofis<br />

<strong>Perda</strong> dan capaian yang akan dijadikan tujuan tidak jelas. Kondisi seperti itu dapat<br />

mendorong munculnya kewenangan Walikota yang berlebihan yang didasarkan<br />

pada kekuasaan yang dimiliki, berakibat Walikota dapat melakukan apa saja<br />

kepada PKL, termasuk menggusur atau menyita barang dagangan PKL dengan<br />

alasan menjalankan kewenangan. Karena dalam hukum administrasi Pemda dapat<br />

saja melakukan tindakan yang salah dengan berdasar pada asas disparitas.<br />

Kondisi semacam itu, dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (5) <strong>Perda</strong> tersebut,<br />

menyebutkan bahwa Wali Kota dapat mencabut izin PKL yang menempati tempat<br />

usaha yang sudah tidak lagi ditetapkan sebagai tempat usaha PKL, tanpa ada<br />

kewajiban Pemda untuk memberikan ganti rugi. Padahal kesalahan letaknya<br />

bukan pada PKL tetapi pada kebijakan Pemda yang melakukan perubahaan lokasi<br />

yang dibolehkan untuk PKL. Demikian juga upaya untuk melakukan penegakan<br />

hukum terhadap PKL yang menjual barang dagangan tetapi belum mendapat<br />

izin hanya diperingatkan satu kali. Kalau tidak menghiraukan peringatan maka<br />

Pemda dapat melakukan penyitaan terhadap barang dagangan dan atau alat yang<br />

digunakan (Pasal 6 ayat 1 dan 2).<br />

Atas dasar alasan-alasan tersebut, dalam tataran pelaksanaan sering kali<br />

muncul karakteristik pembinaan PKL yang cenderung menggunakan pendekatan<br />

kekuasaan yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang. Hal ini dapat dilihat<br />

seringnya dilakukan operasi penertiban disertai perintah untuk melakukan<br />

pindah atau bahkan melakukan penyitaan barang-barang dan peralatan dagang<br />

milik PKL. Pelanggaran terhadap ketentuan perizinan sebagaimana diatur dalam<br />

Pasal 4 diancam dengan hukum pidana berupa kurungan 3 (tiga) bulan atau denda<br />

setinggi-tingginya Rp.50.000,- (Pasal 10). Pejabat penyidik penyidikan tindak<br />

pidana dilakukan oleh Pejabat Penyidik Umum dan Pejabat Penyidik PNS dengan<br />

mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 11).<br />

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 <strong>Perda</strong> tersebut menunjukan adanya<br />

pencampuran antara tindak pidana umum dan tindak pidana administrasi<br />

.Mestinya dalam suatu kebijakan yang sifatnya publik pejabat penyidik cukup<br />

dilakukan oleh Pejabat Penyidik PNS Pemda setempat tanpa melibatkan Pejabat<br />

178


Penyidik Umum. Demikian juga sanksinya pelanggaran cukup dengan menggunakan<br />

sanksi pidana administrasi dengan hukuman yang lebih menekankan pada aspek<br />

pembinaan atau berupa denda bukan kurungan. Kekurangan lain, <strong>Perda</strong> tersebut<br />

tidak menyebutkan ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak secara<br />

jelas, baik PKL maupun Pemerintah Daerah. Kalaupun ada, hanya mengatur<br />

kewajiban Pemda untuk melakukan pembinaan dalam bentuk bimbingan teknis<br />

dan penyuluhan (Pasal 7). Sementara PKL diwajibkan untuk membayar retribusi<br />

tanpa disebutkan hak-hak yang melekat setelah menjalankan kewajibannya. (Pasal<br />

8). Di sini, terlihat jelas bahwa keberadaan PKL kurang dihargai eksistensinya,<br />

sehingga ketika terjadi penertiban, para PKL tidak memperoleh perlindungan<br />

hukum secara jelas, karena tidak adanya rumusan secara rinci hak-hak yang<br />

mestinya dimiliki PKL setelah membayar restribusi.<br />

Upaya untuk melakukan pembelaan diri terhadap tindakan sewenang-wenang<br />

yang dilakukan aparat Pemda menempatkan PKL pada posisi yang lemah. Karena<br />

dalam <strong>Perda</strong> tersebut tidak mengatur kebaradaan <strong>org</strong>anisasi PKL, sebagai wadah<br />

untuk menghimpun aspirasi dan kekuatan para PKL terutama yang berkaitan<br />

dengan upaya untuk melindungi hak-haknya ketika terjadi penertiban. Ketentuan<br />

tentang pembolehan PKL membentuk <strong>org</strong>anisasi atau pagayuban ditemukan<br />

dalam Pasal 9 ayat (3) Keputusan Wali Kota No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman<br />

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 8 Tahun 1995 tentang Penataan<br />

dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.<br />

Secara keseluruhan isi <strong>Perda</strong> tersebut terlampau sederhana dan tidak rinci. Hal<br />

ini membuka peluang bagi pemegang kebijkan untuk menafsirkan ketentuan<br />

pasal-pasal yang diatur dalam <strong>Perda</strong> sesuai dengan kemauannya sendiri, dengan<br />

menggunakan legitimasi yang diatur melalui Surat Keputusan Walikota. Dilihat<br />

fungsinya, belum menunjukkan karakter produk peraturan yang responsif dan<br />

partisipatif. Hal ini disebabkan karena dalam pembuatan <strong>Perda</strong> tersebut masih<br />

didominasi peran Pemda dan tanpa melibatkan partisipasi publik, terutama para<br />

PKL. Produk <strong>Perda</strong> semacam itu menunjukkan suatu bentuk produk hukum yang<br />

tidak responsif dan partisipatif. Karena itu keberadaan dan fungsinya baru sebatas<br />

alat legitimasi untuk mengesahkan tindakan Pemda dalam melakukan penataan<br />

dan penertiban PKL.<br />

Disini terlihat jelas bahwa kebijakan Pemda dalam memberdayakan PKL belum<br />

mampu menjadikan hukum sebagai instrument of regulation, tapi baru bisa<br />

menjadikan hukum sebagai alat legitimasi untuk menjalankan kewenangannya<br />

(ego birokrasi), dalam penataan dan penertiban PKL di Kota Surakarta. Sikap<br />

Pemda tampak pertama, kurang mempunyai visi keberpihakan pada wong cilik.<br />

Kedua, Pemda kurang pro-aktif dalam merespon berbagai persoalan yang dihadapi<br />

PKL. Ketiga, selama ini dalam menyelesaikan masalah keberadaan PKL, Pemda<br />

lebih mengedapankan pendekatan kewenangan dalam melakukan penataan,<br />

penertiban dan relokasi PKL.<br />

179


2.3 Kebijakan Pemberdayaan PKL Partisipatif<br />

Upaya untuk melakukan pemberayaan PKL di Kota Surakarta dapat dilakukan<br />

dengan jalan mengkaji kembali keberadaan <strong>Perda</strong> sebagai landasan kebijakan<br />

Pemda Surakarta dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, agar lebih<br />

memperhatikan aspirasi PKL secara partisipatif. Sebagai upaya untuk membuat<br />

produk <strong>Perda</strong> yang partisipatif di kalangan PKL telah membentuk paguyuban<br />

“Panca Manunggal” dan “Gudang Kalimas”, yang meminta Pemda untuk<br />

meninjau kembali keberadaan <strong>Perda</strong> PKL No. 8 tahun 1995 yang dianggap tidak<br />

partisipatif.<br />

Upaya yang dilakukan dengan berinisiatif untuk membuat Rancangan <strong>Perda</strong><br />

PKL yang akan diajukan ke Pemda untuk selanjutnya diharapkan dapat dibahas<br />

di DPRD Kota Surakarta. Untuk mewujudkan keinginannya, paguyuban PKL<br />

didampingi sejumlah LSM Konsorsium Monitoring Pemberdayaan Institusi<br />

<strong>Publik</strong> (Kompip), bertugas untuk membantu pembuatan rancangan <strong>Perda</strong> PKL<br />

yang akan diajukan ke DPRD. Respon PKL terhadap <strong>Perda</strong> tidak lepas dari sikap<br />

Pemda Surakarta, yang selama ini dengan dalih menegakkan <strong>Perda</strong> PKL telah<br />

berbuat sewenang-wenang dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, yakni<br />

melakukan operasi ketertiban dengan disertai pembongkaran dan penyitaan aset<br />

property PKL, tanpa dibicarakan terlebih dahulu dengan para PKL atau paguyuban<br />

yang mewakili keberadaan PKL.<br />

Langkah yang dilakukan, pertama, dengan mengoptimalkan aspirasi dan peran<br />

serta kalangan PKL dalam melakukan perubahan <strong>Perda</strong> PKL. Model seperti itu<br />

diharapkan akan dapat dijadikan aturan main (rule of game) yang berimbang<br />

dan adil yang selama ini tidak dijumpai dalam <strong>Perda</strong> PKL yang lama. Kedua,<br />

dengan berhimpun dalam <strong>org</strong>anisasi atau paguyuban yang dibentuk para PKL dan<br />

didampingi LSM, mereka berharap akan memiliki daya tawar (bargaining position)<br />

yang lebih kuat dengan Pemda Surakarta atau pihak lain (pemilik modal besar).<br />

Ketiga, melakukan jalinan dan komunikasi yang seimbang antar berbagai pihak yang<br />

berkepentingan dengan keberadan PKL, dengan suatu harapan bisa mencairkan<br />

ketegangan yang selama ini sering memanas, sehingga kejadian-kejadian yang<br />

mengarah pada konflik sosial (anarkis) tidak akan terjadi dalam penataan dan<br />

penertiban PKL di Kota Surakarta. Keinginan seperti itu juga dikemukakan oleh<br />

para aktivis LSM pemberdayaan PKL yang memandang perlunya antara Pemkot<br />

dan PKL duduk bersama, membicarakan langkah-langkah yang lebih baik dengan<br />

mempertimbangkan berbagai kepentingan yang saling terkait, sehingga akan<br />

tercipta kesepakatan dan kesadaran perihal hak dan kewajiban masing-masing.<br />

PKL harus memahami rencana tata ruang kota dan peruntukan sarana publik<br />

sebagai public space, sedang warga masyarakat dan Pemkot Surakarta juga harus<br />

menyadari akan kesulitan yang sedang dihadapi PKL.<br />

Rancangan <strong>Perda</strong> pemberdayaan PKL yang patisipasif secara garis besar berisi<br />

dengan mendasarkan pada pertama, asas yang mengedepankan aspek ideologi<br />

180


negara dan kemanusiaan (HAM). Kedua, tujuannya adanya <strong>Perda</strong> mengarah pada<br />

apa yang akan dicapai, yakni pemberdayaan PKL, di dalamnya terdapat pembinaan<br />

yang mengarah pada adanya rasa aman dan perlindungan PKL dalam melakukan<br />

kegiatan usaha. Keberadaannya dihargai dan diakui sebagai bagian dari pelaku<br />

ekonomi yang amat dibutuhkan dan merupakan aset ekonomi daerah. Ketiga,<br />

perlu diatur rumusan keberadaan <strong>org</strong>anisasi PKL yang tergabung dalam suatu<br />

wadah atau paguyuban yang berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan<br />

aspirasi PKL, terutama dalam melakukan negosiasi dengan berbagai pihak agar<br />

mempunyai daya tawar yang lebih diperhitungkan. Keempat, terdapat rumusan hak<br />

dan kewajiban PKL secara lebih rinci, sehingga keberadaan PKL dalam melakukan<br />

aktivitasnya akan terjamin legilitasnya termasuk kalau terjadi penertiban.<br />

Hak-hak yang perlu diatur seperti hak atas memperoleh penghidupan yang layak,<br />

informasi, partisipasi dalam perumusan kebijakan yang menyangkur PKL, rasa<br />

aman dalam menjalankan usahanya, pembinaan dan pelatihan kewirausahaan,<br />

dan perlindungan hukum. Kelima, perlu adanya ketentuan lembaga penyelesaian<br />

sengketa, yang berfungsi sebagai media untuk memfasilitasi apabila terjadi<br />

konflik, baik antar PKL maupun dengan pihak lain, terutama Pemda agar dapat<br />

diselesaikan secara adil dan dalam waktu yang singkat. Keenam, pejabat penyidik<br />

cukup dilakukan oleh pejabat penyidik PNS yang dalam menjalankan tugasnya<br />

dalam rangka menjalankan kewenangan Pemda yang bersifat adminstratif.<br />

Sementara rumusan ketentuan pidana tidak perlu diarahkan pada pidana umum<br />

yang bersifat pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan, tetapi lebih<br />

menekankan pada pidana administratif yang menekankan pada tindakan prepentif<br />

dengan pendekatan kemanusiaan atau denda.<br />

Dari beberapa pemikiran secara lebih jelas dapat diperoleh argumentasi bahwa<br />

keberadaan sektor informal dalam banyak kajian dan temuan menunjukan<br />

karakteristik yang beragam dan kasuistik. Karena itu dibutuhkan upaya yang lebih<br />

besar untuk mensintesakan berbagai kajian atau temuan untuk sampai pada suatu<br />

perumusan konsep yang bersifat mendasar dan operasional. Dalam hal ini yang<br />

terpenting untuk dicari adalah pendekatan kebijakan dan pemecahan-pemecahan<br />

secara operasional yang dapat diterapkan dalam rangka memberdayakan PKL.<br />

Pendekatan partisipatif memberi harapan yang lebih baik dalam memberdayakan<br />

keberadaan PKL. 4<br />

Paul dan Dias manawarkan konsep yang disebut sebagai<br />

pendekatan partisipatif. Konsep tersebut menekankan pada otonomi masyarakat,<br />

terutama masyarakat lapisan bawah sebagai pemegang peran penting dalam<br />

proses pembentukan hukum yang berkenaan dengan kepentingan rakyat.<br />

Termasuk juga kesempatan rakyat untuk mengakses lebih besar dalam pembuatan<br />

dan penegakan hukum, dan mendirikan lembaga-lembaga baru yang berfungsi<br />

menjebatani kepentingan kelompok masyarakat dengan lembaga birokrasi,<br />

sehingga masyarakat dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan atau<br />

kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. 5<br />

4 Poerbo dalam De Soto, Op Cit, hal viii.<br />

5 Paul dan Dias dalam Abdul Hakim garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta,<br />

1988, hal 44-45.<br />

181


Model partisipatoris dalam perumusan kebijakan publik, dikenal apa yang disebut<br />

human action model atau human action planning model (Poerba, 1995) . Model ini<br />

menurut Esmi Warrasih melihat masyarakat, termasuk keberadaan PKL sebagai<br />

sesuatu yang turbulent atau penuh dengan nilai sosial-budaya dan dinamis.<br />

Masyarakat bukan sub sistem yang tersubordinasi melainkan merupakan subsistem<br />

yang mandiri. Model ini bertujuan untuk menimbulkan keserasian antara sistem<br />

6<br />

mikro dan makro. Model ini amat penting karena nilai-nilai dan norma masyarakat<br />

lokal terlibat dalam proses pembangunan hukum yang menentukan tindakantindakan<br />

selanjutnya dalam pencapaian tujuan hukum. Pendekatan partisipasi<br />

dapat memberikan tempat kepada masyarakat untuk melakukan negosiasi dengan<br />

pemegang kekuasaan serta gagasan mereka merupakan bahan dalam pembentukan<br />

hukum atau perumusan kebijakan publik hingga tingkat implementasinya.<br />

3. Penutup<br />

3.1 Kesimpulan<br />

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :<br />

1. Profil keberadaan PKL di Kota Surakarta dilihat dari eksistensinya dalam<br />

struktur sosio-ekonomi menunjukkan posisi marjinal dan tak tersentuh<br />

kebijakan yang mengarah pada upaya pemberdayaan dengan memperhitungkan<br />

sebagai aset penyumbang pendapatan ekonomi daerah. Kehadirannya selalu<br />

disalahkan dan menjadi sasaran tudingan penyebab masalah perkotaan,<br />

padahal sumbangan sektor informal berupa PKL terhadap sektor formal dan<br />

perekonomian daerah amat besar .<br />

2. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan PKL lewat <strong>Perda</strong> belum<br />

mampu menunjukkan posisi sebagai instrumen administrasi yang dapat<br />

menjadi alat untuk mengatasi persoalan PKL. Kebijakan Pemda Surakarta<br />

dalam memberdayakan lewat kegiatan penataan dan penertibkan PKL lebih<br />

mengedepankan pendekatan kewenangan melalui legitimasi <strong>Perda</strong> dan Surat<br />

Keputusan Wali Kota yang sifatnya top down dan tidak partisipatif. Hal ini<br />

disebabkan karena kebijakan dengan pendekatan hukum formal lebih mudah<br />

dilakukan dan diyakini mampu membentuk tatanan masyarakat yang diingini<br />

oleh pembentuk kebijakan.<br />

3. Kebijakan dengan pendekatan partisipatif memberi harapan lebih baik<br />

dalam memberdayakan keberadaan PKL di Surakarta. Perumusan kebijakan<br />

partisipatif harus mengatur ketentuan berkaitan dengan pengakuan eksistensi<br />

dan hak PKL, <strong>org</strong>anisasi PKL, akses dan partisipasi PKL dan model penyelesaian<br />

sengketa yang menekankan kemanusiaan. Dalam hal ini model partisipatif<br />

perumusan kebijakan publik menekankan human action model, masyarakat<br />

termasuk keberadaan PKL sebagai sesuatu yang penuh nilai sosial-budaya<br />

dan dinamis, harus diakomodasi dalam pembentukan kebijakan, termasuk<br />

dalam pemberdayaan lewat penataan dan penertiban PKL.<br />

6 Esmi Warassih Pujirahayu, Pemberdaayaan Masyarakat dalam Meweujudkan Tujuan Hukum,<br />

(Proses Penegakan Hukum dan persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam<br />

Ilmu Fakultas Hukum Undip, 14 April 2001, hal 33.<br />

182


3.2 Rekomendasi<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Keberadaan PKL, hendaknya dilihat sebagai bagian dari subsektor lain dalam<br />

kegiatan ekonomi yang harus diakomodasi dalam merumuskan kebijakan<br />

pembangunan Kota Surakarta. Karena keberadan PKL sebagai sektor informal,<br />

telah mampu menjadi penopang kehidupan sektor formal. Lebih dari itu<br />

keberadaan PKL ternyata dapat mengatasi gejok sosial-ekonomi akibat krisis<br />

ekonomi yang berkepanjangan dan terbatasnya daya tampung sektor formal<br />

dalam menyerap tenaga kerja.<br />

Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan melalui<br />

penataan dan penertiban PKL, perlu memperhatikan dan mengakomodasi<br />

masukan para PKL atau paguyuaban PKL. Hal ini perlu dilakukan dalam<br />

rangka menciptakan produk kebijakan yang partisipatif dan mempunyai<br />

legitimasi kuat dalam masyarakat yang akan diaturnya, yakni para PKL;<br />

Model kebijakan partisipatif dengan pendekatan human action model, yang<br />

menekankan pada pendekatan partisipasi PKL dapat dijadikan masukan<br />

untuk Pemda dalam mengatasi problem pemberdayaan melalui penataan dan<br />

penertiban PKL yang selama ini eksistensi sering dianggap menimbulkan<br />

masalah dalam penataan dan pembangunan kota.<br />

183


Daftar Pustaka<br />

De Soto, Hernando, Pertumbuhan Ekonomi Bawah Tanah di Peru, Prisma, No. 5<br />

XX, Jakarta, Mei, 1991.<br />

Effendi, Tadjuddin Noer dkk, Struktur Pekerjaan Sektor Informal dan Kemsikinan<br />

di Kota, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1996<br />

Evera, Dieter, Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia<br />

dan Malaysia, LP#ES, Jakarta, 1995<br />

Garuda Nusantara, Abdul Hakim, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta,<br />

1988,<br />

Ronald Claphman, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara, LP3ES,<br />

Jakarta, 1991.<br />

Nonet, Philippe and Selznik, Philip, Law and Society in Transition, to Ward<br />

Responsive Law, Harper and Row Publishers, 1978, New York.<br />

Soetrisno, Loekman, Menuju Masyarakat Partisipasif, Kanisius, Yogyakarta,<br />

1995.<br />

Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijakan <strong>Publik</strong>, Yayasan Obor, Jakarta,<br />

1994.<br />

Soetomo, Masalah sosial dan Pembangunan, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.<br />

Warassih, Esmi P., Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan<br />

Hukum, (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan<br />

Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Undip, 14 April 2001<br />

Yetty Sarjono, Interelasi Antara Sektor Ekonomi Formal dan Sektor Ekonomi<br />

Informal, Studi tentang Formalisasi Pedagang Kaki Lima (Ringkasan Disertasi),<br />

Unaer, Surabaya, 2004.<br />

Wardiono, Kelik, Pedagang Kali Lima, Antara Penataan Ruang Kota dan Kegitan<br />

Usaha, Jurnal Penelitian Hukum, Fakultas Hukum, Vol 2 No. 1 Juni 2001.<br />

184


2. JPKM Kab Purbalingga Provinsi Jawa Tengah: Studi<br />

Kasus <strong>Perda</strong>. No. 15 Tahun 2003<br />

serta Realisasinya di Lapangan<br />

Abstrak<br />

Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) merupakan inovasi<br />

Pemerintah Kabupaten Purbalingga dalam mengatasi keterbatasan pembiayaan<br />

pemeliharaan kesehatan terutama bagi Keluarga miskin (strata 1) dan Keluarga<br />

Pasca Keluarga Miskin (strata 2). Sementara keluarga Non Keluarga Miskin<br />

(Gakin)/mampu (strata 3) lebih banyak mensubsidi strata 1 dan 2, melalui premi<br />

oleh peserta JPKM yang akan digunakan untuk kapitasi kepada pelaku pelayanan<br />

kesehatan (polindes/PKD, PUSTU, PUSKESMAS dan Rumah Sakit). Prinsip yang<br />

dianut dalam program ini, setiap anggota keluarga merupakan anggota JPKM<br />

yang pengelolaannya menggunakan ala sistem asuransi kesehatan. Setiap anggota<br />

berhak dapat berobat dan memelihara kesehatannya di RS, Puskesmas, atau dokter<br />

yang telah ditunjuk atau bekerja sama (akreditasi) dengan pengelola, yang dalam<br />

pelaksanaannya ditangani BUMD yang dibentuk khusus untuk itu.<br />

Ketentuan premi strata 1 dibebaskan dari pembayaran (premi gratis), strata 2<br />

diwajibkan membayar 50% dari nilai premi, dan strata 3 diwajibkan membayar<br />

penuh. Kartu JPKM berlaku bagi satu keluarga inti (suami, istri dan anak<br />

kandung) selama 12 bulan pelayanan. Dengan ketentuan ini, Pemkab dapat<br />

menyiapkan secara terencana subsidi kepada peserta JPKM khususnya strata 1<br />

dan strata 2 yang besarannya semakin menurun sejalan meningkatnya jumlah<br />

peserta dan meningkatnya nilai premi keluarga non-gakin setiap tahunnya. Oleh<br />

karena itu, Pemkab Purbalingga adalah penerbit sekaligus perintis penjaminan<br />

atas kesehatan bagi warga masyarakat Purbalingga. Program ini jauh-jauh hari<br />

sebelum Pemerintah Pusat menerbitkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial<br />

Nasional (2005). Terbukti pula lebih dari 95 Kab/Kota di Indonesia tercatat pernah<br />

studi banding program ini di Purbalingga. Dengan filosofi ”Si Kaya Membantu Si<br />

Miskin dan Si Sehat Menolong Si Sakit”.<br />

1. Pendahuluan<br />

Keterpurukan sektor kesehatan memang wajib diatasi agar segera tercapai derajat<br />

kesehatan yang memungkinkan bagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.<br />

Bila sektor kesehatan ini terus dirundung keterpurukan, maka jangan harap<br />

peningkatan kualitas kehidupan dapat memadai. Hal ini karena sektor kesehatan<br />

merupakan dasar proyeksi bagi dua elementasi sekaligus. Selain proyeksi<br />

elementasi horisontal bagi gambaran Indeks Peningkatan Manusia (IPM) dan<br />

185


kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), juga proyeksi elementasi vertikal bagi<br />

sektor pendidikan dan sektor pangan, sandang, dan papan, serta dunia usaha<br />

pada umumnya. Terpenuhinya kedua elementasi tersebut menjadi prasyarat<br />

minimal bagi keberhasilan sektor-sektor pembangunan berikutnya. Oleh karena<br />

itu, bila berhasil dalam mengentaskan keterpurukan kesehatan, maka dapat<br />

dikatakan berhasilnya sebuah pemerintahan bekerja. Demikian pula sebaliknya.<br />

Dalam perspektif penanggulangan kemiskinan, pembangunan kesehatan<br />

bersama pembangunan pendidikan akan meningkatkan kapasitas dasar manusia.<br />

Meningkatnya kesehatan akan meningkatkan produktifitas kerja penduduk, yang<br />

berarti meningkatnya pendapatan. Keberhasilan pembangunan kesehatan akan<br />

juga berpengaruh terhadap bidang pendidikan.<br />

Sejak tahun-tahun pertama dekade ini, Pemkab Purbalingga berjuang keras untuk<br />

mengentaskan keterpurukan kesehatan rakyatnya. Melalui kajian mendalam<br />

yang dilakukan sebelumnya, Pemkab Purbalingga berhasil mengidentifikasi<br />

4 (empat) problematika mendasar bidang kesehatan. Keempatnya dijadikan<br />

referensi kebijakan, berikut solusinya. Pertama, perilaku masyarakat yang kurang<br />

menunjang perikehidupan yang menyehatkan. Kedua, kondisi lingkungan yang<br />

kurang menunjang terhadap syarat-syarat kesehatan, seperti terlalu dekatnya<br />

tempat/jamban buang air besar dari rumah tempat tinggalnya. Ketiga, layanan<br />

kesehatan yang dinilai masih minimum bagi rakyat banyak, terutama rakyat dari<br />

keluarga miskin (Gakin). Keempat, kondisi demografis masyarakat yang kurang<br />

favourable bagi pemajuan kualitas kemandirian sehingga bisa ke luar dari belit<br />

elementasi kesehatan. Keempatnya dinilai biang kualitas kesehatan masyarakat<br />

Purbalingga kebanyakan. Satu per satu persoalan diurai. Solusi diusahakan dicari,<br />

dengan satu tujuan agar ia dapat diatasi—atau paling tidak dapat dirintis kapan<br />

suatu kala akan bisa diakhiri. Kalau sekadar karena perilaku yang kurang sehat,<br />

bisa diatasi dengan jalan himbauan yang disokong para tokoh agama dan tokoh<br />

masyarakat. Bila persoalannya adalah sekadar lingkungan yang belum mendukung,<br />

pengembangan infrastruktural merupakan jalan keluarnya.<br />

Jika karena faktor demografis yang kurang menunjang syarat perikehidupan<br />

bagi warga Purbalingga, toh dapat dicari cara lain melalui program-program<br />

Keluarga Berencana (KB). Intinya, selama bisa diatasi dengan jalan lain maka<br />

dicarikan jalan lain dimaksud. Tapi persoalannya menjadi lain bila problematika<br />

menyangkut layanan kesehatan. Ini jauh lebih rumit, karena menyangkut performa<br />

birokrasi kesehatan pula. Pemkab Purbalingga akhirnya menemukan solusi dalam<br />

seluruh jawaban merosotnya derajat kesehatan. Solusi ini berbasis pada langkah<br />

komprehensif atau paripurna, prinsip promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif.<br />

Yang jelas konsepsi ini harus sistemik, terstruktur, dan merupakan jaminan<br />

pembiayaan. Inilah program yang kemudian dikenal sebagai Program Jaminan<br />

Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Purbalingga. Gagasan model JPKM<br />

Purbalingga ini jauh mendahului program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)<br />

yang diperkenalkan pusat berdasar UU No. 40 Tahun 2004. Bila JPKM mulai<br />

dirintis sejak 16 Februari 2001 ketika Bupati Purbalingga Drs. Triyono Budi<br />

186


Sasongko, M.Si. menerbitkan Surat Bupati No. 460/453/2001 yang dilanjutkannya<br />

dengan terbitnya Surat Perjanjian Penyelenggaraan JPKM dengan Puskesmas<br />

No. 145/JPKM/PBG/VII/02 tentang Pemberian <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan bagi Peserta<br />

JPKM tanggal 31 Juli 2002, maka Pemerintah Pusat baru mengundangkan UU<br />

No. 40 Tahun 2004 pada 19 Oktober 2004. Kedua surat keputusan yang diterbitkan<br />

bupati tersebut masih diikuti surat-surat sejenis hingga akhirnya terbit <strong>Perda</strong> No.<br />

15 Tahun 2003 tentang JPKM serta Keputusan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun<br />

2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan<br />

Kesehatan Masyarakat/JPKM. Langkah Pemkab Purbalingga dibilang istimewa.<br />

Selain dimensi sosialnya yang cukup kuat, pula perguliran dananya yang ternyata<br />

terjangkau bagi setiap peserta JPKM. Tak lain karena JPKM terbukti efektif dalam<br />

upaya penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang paripurna<br />

berdasarkan asas bersama dan kekeluargaan yang berkesinambungan dengan<br />

mutu yang terjamin serta pembiayaannya dilakukan secara pra upaya.<br />

Digagasnya program JPKM menjadi bukti betapa karya inovasi yang mereka<br />

implementasikan dalam 4 (empat) tahun lebih ini dapat dirasakan manfaatnya<br />

bagi masyarakat Purbalingga. Pemkab layak mendapat apresiasi karena<br />

kepeloporannya. Suatu kepeloporan dalam usahanya mengentaskan kesehatan.<br />

Disebut kepeloporan, mengingat daerah-daerah lain, instansi vertikal, kalangan<br />

luar negeri, serta kalangan peneliti dan partikelir lainnya—yang jumlahnya<br />

lebih dari 95 subjek—sudah pernah melakukan studi banding Program JPKM di<br />

Purbalingga ini. Tentu muskil didatangi untuk objek studi banding bila Program<br />

JPKM di Purbalingga dinilai tidak berhasil. Karena terbukti benar bahwa indikatorindikator<br />

kuantitatif menunjukkan ke arah keberhasilan program ini. Lambat laun<br />

beberapa indikator kesehatan menuju arah perbaikan, antara lain :<br />

1. Meningkatnya usia harapan hidup dimana tahun 2004 adalah 68,7 tahun yang<br />

meningkat dari tahun sebelumnya 68 tahun<br />

2. Menurunnya angka kematian bayi per 1000 kelahiran, tahun 2004 tercatat 7<br />

menurun dari tahun sebelumnya yakni 7,2<br />

3. Menurunya angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran dari 82 pada tahun<br />

2003 menjadi 55 pada tahun 2003; dan (4) Menurunnya jumlah balita kurang<br />

gizi yang pada tahun 2003 tercatat 4,32 persen menjadi 27,6 persen pada tahun<br />

2004.<br />

2. Perumusan Masalah<br />

Sekali lagi muskil bila Program JPKM di Purbalingga dijadikan objek kajian<br />

keberhasilan bagi banyak pihak, yang tercatat lebih 95 subjek telah pernah studi<br />

banding ke Purbalingga, bila program itu sendiri dinilai tidak berhasil. Selain<br />

kepeloporannya itu karena bahkan mendahului program sejenis di tingkat nasional,<br />

program JPKM ini memperlihatkan trend kemajuan dan perbaikan.<br />

Bertitik tolak dari deskripsi di atas, selayaknya dapat ditelusuri :<br />

1. Bagaimana profil Program JPKM versi Purbalingga ini sebenarnya?<br />

187


2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Mengapa JPKM di Purbalingga dinilai memiliki kepeloporan sementara daerahdaerah<br />

lain dinilai belum berhasil sehingga lebih 95 subjek perlu-perlunya<br />

studi banding ke Purbalingga ini?<br />

Temuan apa saja yang dapat dipetik sehingga program sejenis dapat diterapkan<br />

di banyak tempat di daerah lain?<br />

Bagaimana Program JPKM versi Purbalingga ini memiliki pengaruh bagi<br />

peningkatan derajat kesehatan masyarakat?<br />

Dimensi-dimensi apa sajakah keterpengaruhan dimaksud?<br />

Sebelum jauh menjawab pertanyaan di seputar cerita sukses (success story)<br />

Program JPKM Purbalingga ini, terlebih dahulu disinggung profil Purbalingga,<br />

latar belakang JPKM, Profil JPKM, dan juga metode penyusunan kertas kerja<br />

serba singkat ini, agar kita dapat membaca konteksnya mengapa JPKM ini lahir.<br />

3. Metode Pendekatan<br />

Penyusunan kertas kerja serba singkat ini diusahakan sebagaimana layaknya<br />

sebuah penelitian dilakukan. Diusahakan agar penelitian ini berpegangan pada<br />

metoda analisis deskriptif kualitatif, dengan metoda penggalian data dari 2<br />

(dua) sumber utama. Pertama, penelusuran atas sumber-sumber data sekunder.<br />

<strong>Mengkaji</strong> hasil riset, berita-berita yang memuat persoalan penanganan kesehatan di<br />

Purbalingga, membuka situs yang dikelola baik oleh Pemerintah Kab. Purbalingga,<br />

Provinsi Jawa Tengah, maupun membandingkannya dengan situs yang dikelola<br />

Direktorat JPKM Departemen Kesehatan R.I., juga mempelajari banyak brosur<br />

yang sengaja diterbitkan Pemkab Purbalingga ihwal Program JPKM ini, serta<br />

kajian atas beberapa sumber data sekunder lainnya.<br />

Kedua, penelusuran atas sumber-sumber data primer dengan jalan melakukan<br />

wawancara dengan tokoh-tokoh kunci (key informan) di balik suksesnya program<br />

JPKM Purbalingga ini. Untuk ini saya berterima kasih kepada Bagian JPKM Sie<br />

Kesehatan Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Muslim Mahmud, SKM, atas<br />

bantuan data-datanya. Demikian pula kepada penggiat demokrasi lokal Mudrik<br />

Zamzami, penulis amat berterima kasih, yang katakanlah sebagai field research,<br />

atas bantuannya memutakhirkan beberapa data sehingga tetap relevan, selain<br />

bersedia menjadi pewawancara kepada sejumlah informan terpilih:<br />

1. Kasi Kesehatan Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kab. Purbalingga<br />

Drg. Hanung Wikanto, MPPM; dan<br />

2. Ketua Badan Pelaksana (Bapel) JPKM/Direktur P.T. Sadar Sehat Mandiri Dr.<br />

Sutanto. Berkat Bung Mudrik pula kesempatan untuk mengorek nilai manfaat<br />

JPKM bagi peserta Strata I (Keluarga Miskin) seperti Sudarti (18 tahun),<br />

Rusmini (40 tahun), dan Sayuti (53 tahun); di samping kepada Peserta JPKM<br />

Strata II Pasca Gakin Ari Kusmiran (53 tahun) dan Peserta Strata III (Non<br />

Gakin, keluarga mampu) Yuli Nikmatin (34 tahun).<br />

188


4. Temuan Pokok dan Analisis<br />

4.1 Sekilas Purbalingga<br />

4.1.1 Kondisi Objektif<br />

Kabupaten Purbalingga yang secara administratif terbagi menjadi 18 kecamatan<br />

dengan 239 desa dan kelurahan memiliki jumlah penduduk 843.814 jiwa dan 193.347<br />

Rumah Tangga, dengan kepadatan penduduk 1.274 jiwa/km2 dan pertumbuhan<br />

penduduk selama 10 tahun terakhir (1990-2000) sebesar 0,71%.<br />

Jumlah angkatan kerja sebanyak 38,911 orang dengan tingkat pendidikan :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Tidak tamat SD (termasuk yang tidak sekolah) adalah 264.669 orang<br />

Tamat SD 230.408 orang<br />

Tamat SLTP 54.992 orang<br />

Tamat SMU 29.490 orang<br />

Sarjana 2.653 orang; sementara penduduk miskin sebanyak 36.650, terdiri atas<br />

yang bermukim di kota sebanyak 15.200 dan di desa 21.450 orang.<br />

Angkatan Kerja sebanyak 381.252 orang, dengan jumlah yang bekerja 231.339,<br />

mencari pekerjaan 5.706 dan mempersiapkan usaha baru 802 orang, dan mayoritas<br />

bekerja di sektor pertanian (40%), serta 64% penduduk bekerja selama 35 jam<br />

seminggu.<br />

Penduduk yang bekerja berdasarkan lapangan pekerjaannya sebagai berikut :<br />

1. Di bidang pertanian, kehutanan dan peternakan/perikanan 148.615 orang<br />

2. Pertambangan dan penggalian 3.809<br />

3. Industri Pengolahan kesukaan 53.127<br />

4. Konstruksi 31.877<br />

5. Transportasi dan Komunikasi 14.327<br />

6. <strong>Perda</strong>gangan, Rumah Makan dan Hotel 69.999<br />

7. Lembaga Keuangan 6.570<br />

8. Jasa Kemasyarakatan 35.748.<br />

Secara geografis, Purbalingga diapit oleh Kabupaten Banyumas di sebelah Barat,<br />

pegunungan gamping Kabupaten Kebumen di sebelah Selatan, Kabupaten<br />

Banjarnegara di sebelah Timur, dan kawasan gunung Slamet Kab. Pemalang di<br />

sebelah Utara. Jalur yang membelah di antara Purbalingga di antara daerah yang<br />

lain adalah jalur transportasi jalan tengah pulau Jawa—jalur yang padat namun<br />

kurang ramai bila dibandingkan dengan jalur selatan Pulau Jawa apalagi jalur<br />

transportasi utara Pulau Jawa (Pantura). Bagi masyarakat di Jawa Tengah pada<br />

umumnya, daerah Purbalingga sebelum proses dinamikanya seperti sekarang sering<br />

dijuluki sebagai “kota pensiunan”—sesuatu yang secara anekdotal menyiratkan<br />

tidak dinamisnya daerah ini.<br />

4.1.2 Permasalahan Pembangunan di Purbalingga<br />

Proses pembangunan di Kabupaten Purbalingga yang telah dan sedang dilaksanakan<br />

selama ini di satu sisi telah menghasilkan kemajuan yang sangat berarti, tetapi di<br />

sisi lain juga menyisakan beberapa masalah, baik permasalahan yang mendasar<br />

189


yang lain juga masih menyisakan beberapa permasalahan, baik permasalahan yang<br />

mendasar maupun permasalahan yang berkembang dewasa ini sebagai akibat dari<br />

kompleksitas permasalahan dan kebutuhan pembangunan yang terus berubah.<br />

Beberapa permasalahan mendasar yang masih menuntut perhatian khusus dari<br />

pemerintah dalam perencanaan pembangunan di masa yang akan datang antara<br />

lain adalah :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

masih relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran<br />

masih relatif rendahnya kualitas hidup manusia<br />

masih adanya kesenjangan pembangunan baik kesenjangan antar wilayah,<br />

kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan, serta kesenjangan pendapatan<br />

per kapita masyarakat<br />

belum terwujudnya prinsip-prinsip good governance secara penuh dalam<br />

penyelenggaraan pemerintahan.<br />

Secara lebih rinci, permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi oleh<br />

Kabupaten Purbalingga ke depan antara lain sebagai berikut :<br />

Pertama, masih rendahnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan<br />

masalah-masalah sosial yang mendasar belum terpecahkan. Data statistik<br />

menunjukan bahwa selama lima tahun terakhir ekonomi Kabupaten Purbalingga<br />

terus mengalami pertumbuhan, akan tetapi pertumbuhan tersebut masih relatif<br />

rendah. Seiring dengan mulai pulihnya perekonomian nasional, pada pertengahan<br />

tahun 1999, ekonomi Kabupaten Purbalingga menunjukan pertumbuhan positif<br />

sebesar 1,1 persen, dimana tahun sebelumnya terjadi pertumbuhan minus 8,28<br />

persen. Tahun 2000 perekonomian purbalingga tumbuh 2,79 persen, tahun 2001 :<br />

2,98 persen, tahun 2002 : 3,14 persen dan tahun 2003 : 3,98 persen. Pertumbuhan<br />

ekonomi yang dicapai terlihat masih terlalu rendah untuk dapat membuka dan<br />

meningkatkan ketersediaan lapangan kerja baru yang cukup dalam mengatasi<br />

pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka tahun 2003 tercatat sebesar 14.796<br />

atau 3,66 persen, menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 18.564 jiwa atau<br />

4,95 persen. Apabila dibandingkan dengan tingkat pengangguran di tingkat<br />

regional, terlihat bahwa tingkat pengangguran di Purbalingga lebih rendah<br />

daripada Propinsi Jawa Tengah yang mencapai 5,66 persen. Tingkat pengangguran<br />

terdidik yang menunjukkan rasio jumlah pencari kerja berpendidikan SLTA keatas<br />

terhadap besarnya angkatan kerja pada kelompok tersebut tahun 2003 tercatat<br />

12,53 persen, menurun dari tahun 2002 yang mencapai 17,88 persen.<br />

Pendapatan per kapita penduduk dari tahun ketahun terus meningkat. Pada<br />

tahun 2003 tercatat pendapatan per kapita masyarakat sebesar Rp 2.284.873,-,<br />

meningkat sebesar Rp. 298.139,- atau sebesar 10,02% dari tahun 2002 yang baru<br />

mencapai Rp 2.076.734,-. Angka pendapatan per kapita tersebut masih rendah dan<br />

masih jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita Propinsi Jawa Tengah yang<br />

mencapai Rp 4.741.547,77. Rendahnya pendapatan per kapita penduduk diduga<br />

sangat erat kaitannya dengan struktur ekonomi Kabupaten Purbalingga yang<br />

masih didominasi oleh sektor primer. Dari data statistik terlihat bahwa kontribusi<br />

terbesar PDRB berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar 30,98 persen,<br />

190


kemudian diikuti dengan sektor industri pengolahan menyumbang 11,57 persen,<br />

perdagangan, hotel dan restoran menyumbang 17,81 persen. Adapun lapangan<br />

usaha jasa mendukung 22,8 persen total PDRB yang umumnya didominasi oleh jasa<br />

pemerintahan. Sedangkan sumbangan lapangan usaha keuangan dan persewaan,<br />

listrik, gas dan air minum, bangunan serta pertambangan dan penggalian ratarata<br />

di bawah 3 persen. Penduduk miskin di Purbalingga selama 5 tahun terakhir<br />

menunjukan penurunan baik dari segi jumlahnya maupun persentasenya. Tahun<br />

1999 tercatat penduduk miskin sebanyak 255.531 jiwa (33,29 persen) dan pada<br />

tahun 2003 tercatat menurun menjadi 173.100 jiwa atau sekitar 20,13 persen dari<br />

total penduduk. Ini merupakan kondisi yang cukup berimbang dengan persentase<br />

penduduk miskin propinsi Jawa Tengah yakni 21,93 persen. Masih besarnya jumlah<br />

penduduk miskin di Kabupaten Purbalingga tersebut menuntut perhatian yang<br />

lebih besar dari pemerintah dan semua pihak untuk terus berusaha menanggulangi<br />

sebab-sebab kemiskinan sehingga dapat mengentaskan penduduk miskin, mencegah<br />

terjadinya pewarisan kemiskinan, serta mencegah terjadinya kemiskinan baru.<br />

Dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat Purbalingga yang sebagian<br />

besar merupakan petani dan buruh tani, dengan mendorong pembangunan sektor<br />

pertanian dihadapkan pada permasalahan pokok berupa : meningkatnya alih fungsi<br />

lahan pertanian ke non pertanian, menurunnya ketersediaan air dan daya dukung<br />

prasarana irigasi, rendahnya produktivitas dan mutu komoditas pertanian, serta<br />

rendahnya kemampuan dan akses petani terhadap sumber daya produktif.<br />

Kedua, kualitas sumber daya manusia masih rendah. Pembangunan pendidikan<br />

dan kesehatan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara.<br />

Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan<br />

pendidikan di antaranya adalah indikator angka partisipasi sekolah, angka melek<br />

huruf, rata-rata lama sekolah dan angka buta huruf. Pada tahun 2003 rata-rata lama<br />

sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 6,1 tahun, sementara<br />

itu angka buta aksara sebesar 7,6 persen. Sedangkan proporsi penduduk berusia<br />

10 tahun keatas yang berpendidikan SLTP keatas baru sekitar 26,47 persen.<br />

Pada saat yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun<br />

mencapai 109,31 persen, APS penduduk usia 13-15 tahun sebesar 92,17 persen,<br />

dan APS penduduk usia 16-18 tahun sebesar 32,94 persen.<br />

Tabel 1: Indikator Derajat Kesehatan di Kabupaten Purbalingga Angka Kematian Bayi (AKB)<br />

No. Tahun Jumlah<br />

Kematian<br />

Jumlah Kelahiran<br />

Hidup<br />

1. 2001 ? ? ?<br />

2. 2002 243 15,111 16,08 0/00<br />

3. 2003 110 15,247 7,16 0/00<br />

4. 2004 150 14,511 10,33 0/00<br />

5. 2005 109 14,670 7,43 0/00<br />

Sumber : DKK Purbalingga, 2005<br />

AKB Jumlah Kematian/Jumlah<br />

kelahiran hidup x 10.000<br />

191


Hal tersebut adalah tantangan menjadi makin berat dengan adanya disparitas<br />

tingkat pendidikan antar kelompok masyarakat yang cukup tinggi, seperti disparitas<br />

pendidikan antar penduduk kaya dan miskin, antar penduduk laki-laki dan<br />

perempuan, dan antar penduduk di perkotaan dan pedesaan. Kualitas pendidikan<br />

masih relatif rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta<br />

didik. Itu terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidik, secara<br />

kuantitas maupun kualitas serta kesejahteraan pendidik yang masih rendah. Di<br />

samping itu, fasilitas belajar belum tersedia secara memadai dan masih banyak<br />

peserta didik yang tidak memiliki buku pelajaran.<br />

Ketiga, pengelolaan sumber daya alam yang kurang ramah lingkungan. Kualitas<br />

manusia dipengaruhi oleh kemampuan mengelola sumber daya alam dan lingkungan<br />

hidup. Masalah pokok dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup<br />

adalah tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan<br />

kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, hingga sering melahirkan konflik<br />

antar kepentingan ekonomi dengan lingkungan. Kebijakan ekonomi cenderung<br />

memberi insentif terlalu besar pada kegiatan eksploitasi sumber daya alam hingga<br />

mengakibatkan lemahnya kelembagaan pengelolaan dan penegakan hukum.<br />

Kualitas lingkungan terus menurun dengan meningkatnya pencemaran air, udara<br />

dan atmosfer. Umumnya pencemaran air dari kegiatan manusia disebabkan oleh<br />

kegiatan industri, rumah tangga, pertambangan dan pertanian. Perubahan kualitas<br />

udara dan atmosfer secara berkelanjutan dapat mengakibatkan akumulasi berbagai<br />

unsur dan senyawa yang membahayakan kelangsungan kehidupan ekosistem.<br />

Selain itu, degradasi tanah dan hutan yang disebabkan berbagai kegiatan<br />

penebangan dan pengolahan tanah yang tidak ramah lingkungan mengakibatkan<br />

semakin luasnya lahan kritis di kabupaten Purbalingga. Degradasi hutan dan lahan<br />

yang terus berlanjut menyebabkan daya dukung ekosistem terhadap pertanian dan<br />

pengairan makin menurun dan mengakibatkan kekeringan dan banjir.<br />

Keempat, masih terdapat kesenjangan pembangunan antarwilayah, baik antar<br />

wilayah maupun antara kota – desa. Kesenjangan antar wilayah dan antar desa<br />

dan kota disebabkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) yang<br />

cenderung terkonsentrasi di perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan<br />

lebih cepat sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal.<br />

Kelima, kesejahteraan rakyat tidak terlepas dari dukungan infrastruktur<br />

dalam pembangunan. Kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur meliputi<br />

transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika,<br />

sumber daya air, perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan,<br />

mengalami penurunan kuantitas dan kualitasnya. Pembangunan infrastruktur<br />

mendatang dihadapkan pada terbatasnya kemampuan pemerintah untuk<br />

menyediakan. Pada sebagian infrastruktur, pemerintah bertanggungjawab<br />

terhadap pembangunan dan pemeliharaannya, misalnya pembangunan jalan dan<br />

jembatan, jaringan irigasi, air bersih dan fasilitas sanitasi di perdesaan, serta<br />

listrik pedesaan.<br />

192


4.1.3 Latar Belakang Lahirnya JPKM Purbalingga<br />

Meski upaya pembangunan kesehatan menunjukan hasil yang cukup<br />

menggembirakan, upaya-upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat<br />

harus terus dilakukan agar hasil yang telah dicapai terus dipertahankan dan<br />

beberapa sisi yang masih menunjukan kelemahan ditingkatkan. Pembangunan<br />

kesehatan saat ini dihadapkan pada beberapa masalah yang perlu mendapat<br />

perhatian terutama pemenuhan, pemerataan, dan peningkatan kualitas sarana<br />

dan prasarana serta tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan jangkauan<br />

dan kualitas tenaga kesehatan masih belum mencukupi, prasarana pelayanan dan<br />

fasilitas rawat inap masih kurang dan belum menjangkau seluruh wilayah secara<br />

memadai. Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan<br />

kesehatan yang makin berkualitas maka kebutuhan prasarana, sarana dan<br />

tenaga kesehatan harus terus diupayakan dan peningkatan kualitas termasuk<br />

pembangunan Poliklinik Kesehatan Desa (Polindes).<br />

Permasalahan lain yang sangat penting, karena akan sangat penting menentukan<br />

dan menjadi salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah masalah<br />

kecukupan gizi. Masih munculnya kejadian kurang gizi dan gizi buruk terutama<br />

pada anak-anak dari tahun ke tahun menjadi perhatian. Upaya peningkatan<br />

kualitas manusia sulit diwujudkan apabila masalah kekurangan gizi pada anak<br />

belum bisa teratasi.<br />

Di samping faktor kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap<br />

gizi, hal tersebut terutama disebabkan masih rendahnya kemampuan ekonomi<br />

sebagian masyarakat yang menyebabkan kekurangmampuan ekonomi sebagian<br />

masyarakat. Intervensi pemerintah daerah secara sistematis dalam mengatasi<br />

masalah kurang gizi ini mutlak diperlukan baik dalam bentuk bantuan langsung<br />

maupun melalui upaya dalam rangka pencegahan dan penaggulangannya. Dalam<br />

rangka penanggulangan gizi buruk ini peranan posyandu harus terus didorong dan<br />

ditingkatkan melalui upaya revitalisasi. Salah satu kunci dapat mempertahankan<br />

dan meningkatkan peran posyandu adalah kader kesehatan masyarakat.<br />

Pembangunan Bidang Kesehatan dan Sosial Budaya di Kab. Purbalingga terutama<br />

diarahkan bagi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan<br />

terwujudnya keluarga yang sehat dan sejahtera, melalui :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Peningkatan akses masyarakat kepada pelayanan kesehatan yang berkualitas<br />

Penurunan angka kesakitan dan angka kematian terutama bayi dan ibu<br />

melahirkan<br />

Peningkatan status gizi masyarakat<br />

Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat serta kualitas lingkungan<br />

Penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama dalam<br />

rangka menurunkan jumlah keluarga miskin.<br />

193


Bagan I<br />

Sumber : Dinkes dan Kesejahteraan Sosial Purbalingga<br />

Pembangunan Bidang Kesehatan dilaksanakan dalam rangka meningkatkan<br />

derajat kesehatan masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan usia harapan<br />

hidup terutama diarahkan bagi peningkatan perlindungan kesehatan bagi<br />

penduduk miskin melalui pemberian fasilitas kemudahan bagi penduduk miskin<br />

untuk mengakses pelayanan kesehatan. Seiring dengan perubahan paradigma<br />

pembangunan manusia pembangunan kesehatan memiliki kedudukan yang sangat<br />

strategis karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan<br />

kualitas manusia. Dalam perspektif penanggulangan kemiskinan yang merupakan<br />

prioritas dalam pembangunan tahun 2004, pembangunan Kesehatan bersama<br />

dengan pembangunan Bidang Pendidikan akan meningkatkan kapasitas<br />

dasar manusia. Meningkatnya kapasitas dasar manusia akan meningkatkan<br />

kemampuannya dalam mengakses berbagai sumber daya baik sumber daya ekonomi<br />

maupun sumber daya sosial guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan<br />

hidupnya. Meningkatnya kesehatan akan meningkatkan produktifitas kerja<br />

penduduk, meningkatnya produktivitas kerja akan meningkatkan produksi, dan<br />

meningkatnya produksi berarti meningkatnya pendapatan. Dengan meningkatnya<br />

pendapatan berarti akan meningkatkan daya beli masyarakat, dan meningkatnya<br />

daya beli berarti akan meningkatkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan<br />

hidupnya. Keberhasilan pembangunan kesehatan juga akan berpengaruh terhadap<br />

pembangunan bidang pendidikan karena hanya orang yang sehat yang akan dapat<br />

mengikuti proses belajar dengan baik.<br />

Pembangunan bidang kesehatan terutama diarahkan bagi terwujudnya peningkatan<br />

derajat kesehatan masyarakat Purbalingga dan keluarga sehat sejahtera melalui:<br />

194


1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Meningkatkan kualitas, pemerataan dan jangkauan pelayanan kesehatan :<br />

a. Penyediaan, Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Prasarana dan Sarana<br />

b.<br />

Kesehatan;<br />

Penyediaan, pemerataan dan peningkatan profesionalisme tenaga<br />

kesehatan; dan<br />

c. Pemantapan Fungsi Manajemen Kesehatan<br />

Meningkatkan upaya pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan<br />

penyakit serta keracunan<br />

a.<br />

b.<br />

c.<br />

Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit.<br />

Peningkatan Kualitas Kesehatan Lingkungan<br />

Pengawasan Obat dan Makanan<br />

Meningkatkan upaya peningkatan kesehatan keluarga<br />

a.<br />

<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Ibu, Anak, Remaja dan Usila<br />

<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Perorangan<br />

b.<br />

Meningkatkan kemandirian dan peranserta masyarakat dalam bidang<br />

kesehatan<br />

Pembinaan PHBS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan<br />

Meningkatkan status gizi masyarakat<br />

Perbaikan Gizi Masyarakat<br />

b.<br />

Kebijakan pemerintah tersebut diharapkan mampu mengantarakan Purbalingga<br />

sehat 2010, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.<br />

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) merupakan evaluasi<br />

terhadap program pembangunan kesehatan yang telah berjalan yang dirasakan<br />

masih belum efektif baik ditinjau dari sisi upaya, pelayanan, pembiayaan maupun<br />

pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari indikasi praktik<br />

penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah antara lain :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

a.<br />

Belum terpadunya peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam<br />

penyelenggaraan upaya kesehatan;<br />

Belum optimalnya jangkauan kesehatan bagi masyarakat miskin;<br />

Model JPS BK khususnya kartu sehat kurang dapat membangun kemandirian<br />

masyarakat dan tidak terjamin kelestariannya;<br />

Pengalokasian dana pemerintah yang terbatas masih diutamakan untuk upaya<br />

kuratif;<br />

Pengalokasian dana masyarakat masih bersifat perorangan dan digunakan out<br />

of pocket;<br />

<strong>Pelayanan</strong> kesehatan terasa mahal bagi masyarakat karena menggunakan<br />

sistem free for service; dan<br />

Pembiayaan kesehatan belum dapat mengungkit terjadinya subsidi silang.<br />

Dengan filosofi “peserta yang sehat membantu peserta yang sakit, peserta yang<br />

kaya/mampu membantu peserta yang miskin/tidak mampu” program JPKM<br />

Purbalingga ini telah banyak membantu keluarga miskin dan meningkatkan peran<br />

serta masyarakat dalam kesehatan.<br />

195


4.2 Deskripsi JPKM Purbalingga<br />

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Purbalingga adalah suatu<br />

cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan masyarakat Purbalingga yang<br />

paripurna berdasarkan asas bersama dan kekeluargaan yang berkesinambungan<br />

dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilakukan secara praupaya.<br />

Tujuan JPKM adalah mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang<br />

optimum melalui :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

Pembudayaan perilaku hidup sehat<br />

Penciptaan kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan<br />

kesehatan yang diperlukan secara mandiri<br />

Penyelenggaraan pemeliharaan yang paripurna dengan mengutamakan upaya<br />

peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit<br />

Pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dengan pelayanan<br />

yang paripurna, berkesinambungan, bermutu, dan disusun dalam bentuk satu<br />

paket pemeliharaan kesehatan melalui JPKM.<br />

Sementara tujuan khusus dari kegiatan JPKM Purbalingga ini adalah :<br />

1. meningkatkan akses pelayanan kesehatan<br />

2. meningkatkan knowledge, attitude, serta practice pada masyarakat dan<br />

provider dalam program JPKM di Purbalingga ini<br />

3. menumbuhkan peran swasta dalam pengelolaan kesehatan, terutama tahap<br />

pemandirian<br />

4. masyarakat dalam menjaga dan memelihara kesehatannya.<br />

Sasaran JPKM adalah seluruh masyarakat dalam wilayah Purbalingga, yang<br />

merupakan peserta yang terbagi atas tiga kelompok :<br />

1. Strata I yang merupakan Keluarga Miskin (Gakin)<br />

2. Strata II yang merupakan Keluarga Pasca Gakin<br />

3. Strata III yang merupakan Keluarga Non Gakin atau keluarga mampu.<br />

Kepesertaan JPKM digunakan untuk Keluarga Inti, dalam mana setiap peserta<br />

membayar dalam setiap tahunnya. Namun tidak setiap peserta JPKM harus<br />

membayar. Hanya yang digolongkan sebagai Strata II dan Strata III saja yang<br />

dikenakan pembayaran preminya. Sementara keluarga dengan klasifikasi Strata<br />

I, preminya dibayarkan atau disubsidi oleh Pemerintah Daerah yang ditetapkan<br />

Keputusan Bupati Purbalingga. Betapa pun Keluarga Gakin tidak membayar<br />

premi, namun mereka berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dalam<br />

paket pemeliharaan kesehatan dasar dan pemeliharaan kesehatan tambahan sesuai<br />

dengan kesepakatan. Mereka berhak pula mengajukan keluhan dan memperoleh<br />

penyelesaian atas keluhan yang diajukannya baik yang menyangkut pelayanan<br />

oleh Badan Penyelenggara maupun oleh Pemberi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan. Mereka<br />

memiliki hak yang sama, tidak dipungut biaya tambahan, dan tidak mendapat<br />

perlakuan diskriminasi oleh para pemberi pelayan kesehatan. Inilah filosofi JPKM<br />

Purbalingga ini: “Si Sehat Menolong Si Sakit, Si Kaya Menolong Si Miskin”,<br />

196


dengan asas kebersamaan dan kegotongroyongan. Selain itu, juga kepada peserta<br />

keluarga mampu, keluarga miskin mendapatkan pemeliharaan dan pelayanan<br />

kesehatan.<br />

1.<br />

2.<br />

Pemeliharaan kesehatan dalam JPKM ini dilakukan pada sarana Pemberi<br />

<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan (PPK), antara lain :<br />

a. PPK I, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat<br />

inap bagi Puskesmas yang menyediakan fasilitas;<br />

b. PPK II, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat<br />

inap serta sebagai pusat rujukan;<br />

c. Polindes, untuk pelayanan kesehatan persalinan normal dan rawat jalan;<br />

d. Dokter keluarga, sebagai rawat jalan.<br />

<strong>Pelayanan</strong> kesehatan sebagaimana disebut di atas, terdiri atas :<br />

a. Pemeriksaan dan tindakan medis, meliputi : pemeriksaan dan tindakan<br />

yang dilakukan tenaga kesehatan yang tersedia pada sarana pelayanan<br />

Pemberi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan tersebut atau Pemberi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan<br />

yang menjadi rujukan sesuai dengan paket pemeliharaan kesehatan,<br />

pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, dan pemberian<br />

pelayanan kesehatan pencegahan termasuk imunisasi yang diberikan<br />

sesuai kebutuhan;<br />

b. Perawatan;<br />

c. <strong>Pelayanan</strong> Obat; dan<br />

d. Pemeriksaan penunjang diagnostik.<br />

Kelembagaan Badan Penyelenggara (Bapel) JPKM Purbalingga ini ditangani oleh<br />

PT Sadar Sehat Mandiri berdasarkan Keputusan Bupati Purbalingga No. 40/63<br />

Tahun 2003—yang diketuai dr. Sutanto. Fungsi dari Bapel ini adalah :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan yang paripurna, terstruktur,<br />

bermutu, dan berkesinambungan;<br />

melakukan pengelolaan keuangan secara cermat;<br />

melakukan pengelolaan kepesertaan; dan<br />

melakukan pengelolaan sistem informasi manajemen.<br />

Kepada para peserta, Bapel ini wajib memberikan kemudahan-kemudahan:<br />

1. Memberikan kartu anggota yang dapat digunakan untuk memperoleh<br />

pemeliharaan kesehatan;<br />

2. Menyediakan sarana pelayanan pemberi pelayanan kesehatan yang dapat<br />

dipilih peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan; dan<br />

3. Memberikan informasi secara jelas tentang jenis pelayanan yang dapat<br />

diperoleh peserta untuk paket pemeliharaan kesehatan.<br />

197


Dasar hukum penyelenggaraan JPKM Purbalingga didasarkan atas :<br />

1.<br />

2.<br />

<strong>Perda</strong> No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM;<br />

Keputusan Bupati No. 05 Tahun 2001 tentang Juklak Penyelenggaraan<br />

JPKM;<br />

3. Keputusan Bupati No. 440/40 Tahun 2001 tentang Pembentukan Bapim<br />

JPKM;<br />

4. Keputusan Bupati No. 40/63 Tahun 2001 tentang Penunjukan Pra Bapel “Sadar<br />

5.<br />

Sehat Mandiri” sebagai Bapel JPKM;<br />

Surat Edaran Bupati Purbalingga No. 460/453 tanggal 16 Februari 2001<br />

perihal Kriteria Gakin;<br />

6. Keputusan Bupati Purbalingga No. 29 Tahun 2003 tentang Kriteria Gakin.<br />

Program ini akan dikembangkan hingga sebagian masyarakat terjangkau (coverage)<br />

bagi program ini. Tahapan Pengembangan JPKM Purbalingga :<br />

1. Tahap Inisiasi dan Sosialisasi (2001-2005);<br />

2. Tahap Penguatan Instalasi (2006-2009);<br />

3. Tahap Pemantapan (2010-2012); dan<br />

4. Tahap Kemandirian (2012-...).<br />

Diharapkan dalam jangka waktu setelah program tahap ini mencapai Tahap<br />

Kemandirian yang dicanangkan 2012, maka di situlah visi Purbalingga yakni<br />

“Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat untuk Mencapai Purbalingga<br />

Sehat 2010” yang sudah dicanangkan dapat tercapai. Para pengelola program<br />

JPKM, dari Bupati hingga Dinas-dinas terkait dengan program ini, sama-sama<br />

optimis bahwa program ini akan mampu terealisasi dengan baik. Oleh karena itu,<br />

langkah-langkah kegiatan yang sudah ditetapkan selalu digalakkan penerapannya<br />

di lapangan. Langkah-langkah itu adalah : Promosi JPKM di tingkat kabupaten,<br />

tingkat kecamatan, penggalakan di segenap Sekolah Dasar (SD) hingga Taman<br />

Kanak-kanak (TK). Kemudian penggalakan Temu Kader yang sudah terbentuk dari<br />

tingkat kabupaten hingga tingkat desa terus digalakkan. Berkat langkah ini maka<br />

perluasan perkaderan di bidang kesehatan menemukan dukungannya. Sembari<br />

menggalakkan promosi, rekruitmen anggota baru dibuka, dan pendaftaran kepada<br />

anggota baru dapat dilaksanakan segera di tempat di mana promosi dilakukan.<br />

Dalam pemdaftaran ini pembuatan kartu bersama pembagiannya dapat dilakukan<br />

beberapa hari berikutnya. Evaluasi yang dilakukan secara rutin dalam kurun<br />

tertentu juga dijalankan.<br />

4.3 Temuan Pokok<br />

Sejak diterapkannya Program JPKM di Purbalingga ini, maka kehidupan kesehatan<br />

masyarakat Purbalingga semakin membaik. Deskripsi di bawah ini mengemukakan<br />

beberapa pokok gambaran akan kemajuan dimaksud.<br />

4.3.1 Membaiknya Indikator Kesehatan dan Indikator Sejenis<br />

Dalam lima tahun terakhir ini beberapa indikator bidang kesehatan di<br />

198


Purbalingga mengalami perkembangan yang membaik. Sebelumnya, masih<br />

cukup banyak masyarakat miskin di sana yang tidak memiliki kemampuan<br />

untuk mengakses sarana dan layanan kesehatan. Beberapa indikator kesehatan<br />

menunjukkan semakin membaiknya derajat kesehatan masyarakat, antara lain :<br />

1. Meningkatnya usia harapan hidup dimana Tahun 2004 adalah 68,7 tahun yang<br />

meningkat dari tahun sebelumnya 68 tahun;<br />

2. Menurunnya angka kematian bayi per 1000 kelahiran, dalam mana pada<br />

Tahun 2004 tercatat 7 menurun dari tahun sebelumnya yakni 7,2;<br />

3. Menurunnya angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran dari 82 pada Tahun<br />

2003 menjadi 55 pada tahun 2003; dan<br />

4. Menurunya jumlah balita kurang gizi yang pada Tahun 2003 tercatat 4,32<br />

persen menjadi 27,6 persen pada Tahun 2004.<br />

Tabel 2: Indikator Derajat Kesehatan di Purbalingga Angka Kematian Ibu (AKI)<br />

No. Tahun Jumlah<br />

Kematian<br />

Jumlah Kelahiran<br />

Hidup<br />

1. 2001 ? ? ?<br />

2. 2002 17 15,111 112,5 00/000<br />

3. 2003 15 15,347 97,73 00/000<br />

4. 2004 16 14,511 110,26 00/000<br />

5. 2005 16 14,670 109,07 00/000<br />

Sumber : Dinkes dan KK Purbalingga<br />

AKB Jumlah Kematian/Jumlah<br />

kelahiran hidup x 10.000<br />

Memang masih terdapat beberapa permasalahan yang menyangkut kualitas dan<br />

kuantitas tenaga kesehatan. Demikian pula fasilitas rawat inap baik di rumah sakit<br />

maupun puskesmas, kurangnya peralatan kesehatan di puskesmas, dan perlunya<br />

pembentukan Poliklinik Kesehatan Desa sebagai upaya meningkatkan akses<br />

masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas, namun dengan meningkatnya<br />

keempat indikator di atas setidaknya mewakili perbaikan derajat perikehidupan<br />

kesehatan bagi masyarakat Purbalingga, yang langsung maupun tidak langsung<br />

berkat diterapkannya program JPKM. Pembangunan sumberdaya manusia<br />

(human resources) Kabupaten Purbalingga yang diukur dengan parameter Indeks<br />

Pembangunan Manusia (IPM), setidaknya dapat mempresenstasikan keberhasilan<br />

pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Simak saja pada Tahun 2000,<br />

dimana IPM Kabupaten Purbalingga sebesar 64,9, yang merupakan peringkat 33<br />

di Jawa Tengah, namun pada Tahun 2003 IPM Kabupaten Purbalingga 67,9 berada<br />

pada peringkat 16 Jawa Tengah. Menurut catatan yang ada bahwa angka IPM<br />

ini pada Tahun 2002 sebesar 67,6, pada Tahun 2003 sebesar 68, dan pada Tahun<br />

2004 sebesar 68,5. Dalam hal indikator, dikenal istilah Human Development Index<br />

atau Index Pembangunan Manusia (IPM) dimana merupakan salah satu indikator<br />

tingkat pembangunan suatu daerah. IPM memiliki 4 (empat) kriteria penilaiannya,<br />

yakni :<br />

199


1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

Angka harapan hidup;<br />

Angka melek huruf;<br />

Rata-rata lama sekolah; dan<br />

Paritas /ketimpangan daya beli masyarakat. Kriteria ini telah diakui oleh UNDP<br />

sebagai alat analisis untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan<br />

suatu daerah atau negara.<br />

Dalam kurun waktu 4 tahun belakangan ini, setiap tahunnya Kabupaten<br />

Purbalingga menunjukkan kenaikan nilai IPM, seperti diilustrasikan berikut ini :<br />

No. Tahun Skor Rangking<br />

Se-Jateng<br />

Keterangan<br />

1. 2001 64,9 33 Skor IPM 2004 turun akibat dari<br />

2. 2002 65,61 22<br />

perubahan cara perhitungan<br />

3. 2003 67,02 19<br />

4. 2004 67,9 16<br />

5. 2005 67 15<br />

Sumber : Dinkes Jateng dan Dinkes Kesehatan & Kesejahteraan Purbalingga, 2005<br />

Sekadar diketahui bahwa kualitas manusia Indonesia dapat dinilai masih relatif<br />

rendah. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data<br />

Tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692.<br />

Secara rinci, angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan<br />

hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15<br />

tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang<br />

pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan<br />

Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya<br />

beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230; sehingga secara keseluruhan<br />

HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara. Sulit kiranya bila<br />

beberapa kemajuan dalam indikator kesehatan di Purbalingga tersebut dipisahkan<br />

dari Program JPKM tersebut, mengingat visi yang dibangun dalam mewujudkan<br />

derajat kesehatan di Purbalingga tersebut tidak dengan mengaitkannya dengan<br />

Program JPKM dimaksud. Upaya pengurangan beban pengeluaran keluarga<br />

miskin melalui pemberian bantuan kebutuhan hidup pokok yang dilakukan secara<br />

simultan bersamaan dengan berbagai upaya pengentasan dan penanggulangan<br />

kemiskinan diharapkan dapat mempercepat upaya penangggulangan kemiskinan<br />

atau setidaknya sedikit mencegah agar kondisi keluarga miskin menjadi semakin<br />

parah yang dikuatirkan akan menurunkan keturunan yang lemah sehingga akan<br />

mewarisi kemiskinannya. Pembangunan bidang Kesehatan dan Sosial Budaya<br />

terutama diarahkan bagi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat<br />

dan terwujudnya keluarga yang sehat dan sejahtera, melalui :<br />

200


1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Peningkatan akses masyarakat kepada pelayanan kesehatan yang<br />

berkualitas;<br />

Penurunan angka kesakitan dan angka kematian terutama bayi dan ibu<br />

melahirkan;<br />

Peningkatan status gizi masyarakat;<br />

Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat serta Kualitas Lingkungan;<br />

dan<br />

Penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama dalam rangka<br />

menurunkan jumlah keluarga miskin.<br />

4.3.2 Membuka Akses Layanan Kesehatan Kaum Miskin<br />

Sebagaimana diketahui bahwa peserta program JPKM ini dibagi ke dalam 3 (tiga)<br />

Klasifikasi:<br />

1. STRATA I untuk Keluarga Miskin (GAKIN);<br />

2. STRATA II untuk Keluarga Paska Miskin (PASCA GAKIN); dan<br />

3. STRATA III untuk KELUARGA MAMPU. Program JPKM di Kabupaten<br />

Purbalingga untuk kali pertama dikembangkan pada Tahun 2001 dengan<br />

mengakomodasi peserta dari keluarga miskin yang preminya dibayar oleh<br />

Pemerintah Kabupaten Purbalingga melalui APBD Pembangunan.<br />

Bagan III<br />

G r a fik P e r k e m b a n g a n K e p e s e r ta a n J P K M<br />

140.000<br />

120.000<br />

1 2 3 . 3 0 3<br />

100.000<br />

80.000<br />

60.000<br />

40.000<br />

20.000<br />

0<br />

1 0 0 . 1 8 4<br />

7 3 . 4 9 4<br />

6 7 . 7 0 7<br />

5 7 . 3 6 2<br />

5 0 . 2 1 7<br />

4 2 . 9 4 4<br />

4 7 . 9 2 9<br />

3 6 . 8 7 9<br />

4 2 . 5 3 3<br />

4 0 . 2 9 9<br />

2 8 . 4 1 8<br />

2 2 . 7 0 7 2 3 . 4 0 8 2 4 . 1 2 0<br />

1 8 . 0 7 2<br />

2 8 . 1 0 2<br />

2 3 . 8 0 9<br />

8 . 1 7 1<br />

2 1 . 5 4 9<br />

1 2 . 1 9 7<br />

1 2 . 4 7 8<br />

0 0<br />

2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005<br />

2005 2006<br />

Sumber : Dinkes dan KK Purbalingga<br />

S tra ta I S tra ta II S tra ta III J u m la h<br />

201


Premi JPKM di Kabupaten Purbalingga tahun 2001/2002 sebesar Rp 25.000/KK/<br />

tahun, tahun 2002/2003 naik menjadi Rp 30.000/KK/tahun, tahun 2003/2004<br />

menjadi Rp 40.000/KK/tahun, dan pada tahun 2005 sebesar Rp 50.000/KK/tahun.<br />

Besarnya premi ditetapkan dari utilitasi pelayanan kesehatan di PPK, kecukupan<br />

biaya JPKM yang dihitung dengan tarif subsidi dan kemampuan masyarakat.<br />

Perincian subsidi yang diberikan untuk peserta JPKM adalah:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Keluarga Miskin (GAKIN) disubsidi 100% dari premi;<br />

Keluarga Paska Miskin (PASCA GAKIN) disubsidi 50% dari premi 50% dibayar<br />

oleh peserta; dan<br />

Keluarga Mampu tidak disubsidi, premi dibayar 100% oleh peserta.<br />

Tabel 4: Premi dan Subsidi Program JPKM di Purbalingga<br />

Dalam Empat Tahun Anggaran<br />

STRATA 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005<br />

Premi Subsidi Premi Subsidi Premi Subsidi Premi Subsidi<br />

I - 25.000 - 30.000 - 40.000 - 50.000<br />

II 10.000 15.000 15.000 15.000 20.000 20.000 25.000 25.000<br />

III 25.000 - 30.000 - 40.000 - 50.000 -<br />

Sumber : Bapel JPKM Purbalingga, 2006<br />

Dukungan Pemerintah Kabupaten Purbalingga pada JPKM dibuktikan dari alokasi<br />

dana APBD. Contoh: premi JPKM dari APBD Purbalingga per tahun 2001 Rp<br />

1.263.000.000,00; tahun 2002 Rp 1.268.000.000,00; tahun 2003 Rp 2.080.000.000,00;<br />

sedang pada tahun 2004 premi yang harus dibayar Pemkab Purbalingga Rp<br />

2.500.000.000,00. Hakikat penyelenggaraan JPKM adalah cara pemeliharaan<br />

kesehatan masyarakat paripurna berdasar asas bersama dan kekeluargaan<br />

berkesinambungan dengan mutu terjamin dan pembiayaan dilakukan pra-upaya.<br />

Pelaksanan program berdasarkan <strong>Perda</strong> No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM dan<br />

Keputusan Bupati Purbalingga No. 5 Tahun 2003 tentang Juklak Petunjuk<br />

Pelaksanaan Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat/<br />

JPKM telah memberi beberapa manfaat kepada masyarakat Purbalingga.<br />

B A G A N I I I<br />

I LU STR A SI G R A FI K SU B SI DI DALA M P ELA K SA N A A N JP K M<br />

5<br />

4<br />

3<br />

Ideal<br />

Realita<br />

2<br />

1<br />

Sumber : Dinkes Purbalinga<br />

03 02 04 05<br />

01 09<br />

07 08 10<br />

06 11 12<br />

Tahun K e-<br />

202


Nilai manfaat ditempuhnya program JPKM ini antara lain adalah dalam rangka :<br />

1. Memperoleh pelayanan kesehatan paripurna yang lebih bermutu dan<br />

berkelanjutan;<br />

2. Mengeluarkan biaya ringan bahkan digratiskan bagi kalangan tak mampu,<br />

atas asas kebersamaan, kekeluargaan/kegotongroyongan (subsidi silang);<br />

3. <strong>Pelayanan</strong> kesehatan dapat diselenggarakan dengan lebih merata bagi<br />

masyarakat Purbalingga, terutama masyarakat keluarga miskin.<br />

Bagan IV<br />

DA NA J P K M<br />

2006<br />

1,546,000<br />

2,099,840<br />

2005<br />

1,372,215<br />

3,348,918<br />

717,380<br />

2004<br />

2,500,000<br />

1,560,449<br />

2,233,725<br />

2003<br />

2,080,000<br />

2,583,000<br />

1,430,320<br />

2002<br />

1,268,000<br />

697,801<br />

645,420<br />

2001<br />

1,263,000<br />

2,264,666<br />

430,845<br />

Ribuan Rp<br />

Sumber : Dinkes dan Kesejahteraan Purbalingga<br />

0 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000<br />

APBD KAB APBN DANA MASY<br />

Respon masyarakat Purbalingga atas program JPKM amat bagus. Terbukti<br />

dari antusiasme anggota masyarakat untuk menjadi peserta sampai tahun 2004<br />

(Tahap Inisiasi dan Sosialisasi dalam Time Table penggalakkan program), jumlah<br />

kepesertaan JPKM Purbalingga mencapai 123.303 KK atau 65% jumlah penduduk<br />

Purbalingga (Jumlah penduduk Purbalingga per Tahun 2004 adalah 846.323 jiwa<br />

atau 193.347 KK).<br />

Tabel 5: Perkembangan Kepesertaan JPKM Purbalingga<br />

No. Tahun STRATA I STRATA II STRATA III Jumlah<br />

1. 2001 36.879 KK 22.657 KK 8.171 KK 67.707 KK<br />

2. 2002 42.944 KK 18.072 KK 12.088 KK 73.104 KK<br />

3. 2003 50.217 KK 28.418 KK 21.549 KK 100.184 KK<br />

4. 2004 57.362 KK 42.533 KK 23.408 KK 123.303 KK<br />

Jumlah 16 14,670 65.216 KK 4.298 KK<br />

Sumber : Bapel JPKM Purbalingga, 2006<br />

203


4.3.3 Menekan Risiko Dasar Kaum Miskin<br />

Sebagaimana ilustrasi di atas, bahwa keberhasilan program JPKM di Purbalingga<br />

ini adalah kemampuannya membuka akses pelayanan kesehatan kebanyakan<br />

masyarakat yang selama ini tertutup akses pelayanan kesehatan, terutama bagi<br />

kalangan keluarga miskin di Purbalingga. Berikutnya adalah permasalahan dasar<br />

dapat diurai dan dijadikan sasaran bagi pemajuan berikutnya, baik kualitas hidup<br />

masyarakat bawah, sehingga keluarga miskin semakin tertolong atau terkurangi<br />

beban hidupnya. Rute yang menjadi dasar bagi program JPKM ini tentu tidak<br />

hanya karena kenyataan pengangguran semata-mata. Latar belakang berikutnya<br />

berkait dengan persoalan pengangguran di Purbalingga. Sebagaimana diketahui,<br />

pengangguran bertali-temali dengan problem kemiskinan. Karena miskin maka<br />

derajat kesehatan masyarakat Purbalingga menjadi rendah. Derajat kesehatan<br />

yang rendah inilah yang hendak mau diangkat. Dalam fase berikutnya diharapkan<br />

produktivitas menjadi meningkat, antara lain yang pada akhirnya dapat dibuktikan<br />

pendapat per kapita masyarakatnya. Bila persoalan tersebut dapat diatasi, maka<br />

pertumbuhan ekonomi akhirnya tidak lambat. Sumber pembiayaan lain di luar<br />

kesehatan sehingga produktivitas dapat ditingkatkan serta karena kualitas SDM<br />

dan moralitas pada akhirnya dapat diangkat dari problem mendasarnya seperti<br />

selama ini.<br />

Dapat dicermati bahwa pembangunan bidang Kesehatan dan Sosial Budaya<br />

dilaksanakan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,<br />

dengan tujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup terutama diarahkan bagi<br />

peningkatan perlindungan kesehatan bagi penduduk miskin melalui pemberian<br />

fasilitas kemudahan bagi penduduk miskin untuk mengakses pelayanan<br />

kesehatan. Di samping itu, dari sisi kesejahteraan sosial, yang merupakan satu<br />

kesatuan dengan bidang kesehatan di Purbalingga, maka diarahkan dalam<br />

rangka perlindungan bagi keluarga miskin melalui penurunan beban pengeluaran<br />

keluarga miskin dengan berbagai treatment yang menyentuh langsung kebutuhan<br />

pokok keluarga miskin. Sebagaimana bidang pendidikan, pembangunan Bidang<br />

Kesehatan dan Sosial Budaya juga memiliki kedudukan yang strategis.<br />

Seiring dengan perubahan paradigma pembangunan manusia pembangunan<br />

kesehatan memiliki kedudukan yang sangat strategis karena kesehatan merupakan<br />

salah satu faktor yang ikut menentukan kualitas manusia. Dalam perspektif<br />

penanggulangan kemiskinan yang merupakan prioritas dalam pembangunan<br />

tahun 2004, pembangunan kesehatan bersama dengan pembangunan bidang<br />

Pendidikan akan meningkatkan kapasitas dasar manusia. Meningkatnya<br />

kapasitas dasar manusia akan meningkatkan kemampuannya dalam mengakses<br />

berbagai sumberdaya baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya sosial guna<br />

meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Meningkatnya kesehatan<br />

akan meningkatkan produktivitas kerja penduduk, sementara meningkatnya<br />

produktivitas kerja berkorelasi dengan meningkatnya produksi, berakibat pula<br />

pada mengingkatnya pendapatan (income).<br />

204


Dengan meningkatnya pendapatan berarti meningkatkan daya beli masyarakat.<br />

Meningkatnya daya beli berarti meningkatkan kemampuan dalam memenuhi<br />

kebutuhan hidup. Keberhasilan pembangunan kesehatan akan berpengaruh pada<br />

pembangunan bidang pendidikan karena hanya orang sehat yang dapat mengikuti<br />

proses belajar dengan baik. Sedangkan melalui pembangunan kesejahteraan sosial<br />

akan memberi perlindungan dan advokasi ke penyandang masalah kesejahteraan<br />

sosial terutama keluarga miskin lewat pemenuhan kebutuhan hidup pokok karena<br />

pemenuhan kebutuhan hidup pokok tak dapat menunggu sampai keluarga miskin<br />

dapat dientaskan dan secara mandiri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.<br />

Untuk mendorong terwujudnya asas adil dan merata, peserta JPKM dibagi tiga<br />

strata. Strata I adalah keluarga yang memenuhi kriteria Gakin sesuai Surat<br />

Edaran Bupati, strata II adalah keluarga yang saat didata tidak memenuhi kriteria<br />

Gakin namun di tahun sebelumnya mereka menjadi sasaran JPS-BK, atau disebut<br />

pula sebagai Pasca Gakin. Strata III adalah keluarga yang sejak program JPS-BK<br />

diluncurkan sampai saat pendataan tidak termasuk kriteria Gakin (Non Gakin) atau<br />

masyarakat mampu. Penentuan masyarakat masuk dalam kestrataan dilakukan<br />

langsung oleh Kader Kesehatan Desa yang notabene anggota masyarakat biasa<br />

guna menjaga obyektivitas. Pembagian strata ini terkait erat dengan ketentuan<br />

pembayaran premi oleh peserta JPKM yang digunakan untuk kapitasi kepada<br />

pelaku pelayanan kesehatan (Polindes/PKD, PUSTU, PUSKESMAS dan Rumah<br />

Sakit).<br />

Tabel 6: Kapitasi JPKM<br />

K API T ASI J PK M<br />

ALOKASI PREMI<br />

2001<br />

/ 2002<br />

2002<br />

/ 2003<br />

2003<br />

/ 2004<br />

2004<br />

/ 2005<br />

2005<br />

(5 Bl)<br />

2006<br />

POLINDES/ PKD,<br />

PUSTU & PUSK<br />

9.500<br />

10.000<br />

11.75<br />

0<br />

20.000<br />

13.000<br />

30.500<br />

RAWAT INAP<br />

PUSKESMAS<br />

1.500<br />

1.000<br />

1.500<br />

2.000<br />

1.000<br />

3.500<br />

R S U D<br />

11.500<br />

14.000<br />

20.75<br />

0<br />

21.500<br />

15.000<br />

39.000<br />

BAPEL JPKM<br />

3.000<br />

5.000<br />

6.000<br />

6.500<br />

4.750<br />

7.000<br />

JUMLAH<br />

25.000<br />

30.000<br />

40.00<br />

0<br />

50.000<br />

33.750<br />

80.000<br />

Sumber : Dinkes Purbalingga 2006<br />

Ketentuan premi adalah strata I dibebaskan dari pembayaran premi/gratis, strata<br />

II diwajibkan membayar 50% dari nilai premi, dan strata III diwajibkan membayar<br />

penuh. Kartu JPKM berlaku untuk 1 keluarga inti yang terdiri dari suami, istri,<br />

dan anak kandung selama 12 bulan pelayanan. Dengan ketentuan ini, Pemkab<br />

menyiapkan subsidi terencana ke peserta JPKM khususnya strata I dan strata II<br />

yang besarnya makin menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah peserta dan<br />

meningkatnya nilai premi keluarga non gakin setiap tahunnya.<br />

205


Dengan model semacam ini pada tahun ke-7, pembiayaan pelayanan kesehatan<br />

dasar masyarakat diharapkan mengalami titik keseimbangan, dimana 50% dibiayai<br />

pemerintah dan 50% swasta/masyarakat. Sedangkan tahun-tahun selanjutnya<br />

subsidi pemerintah semakin menurun hingga titik nol pada tahun ke-12.<br />

Tabel 7: Premi JPKM<br />

P R E M I J P K M<br />

2001 / 2002<br />

2002 / 2003<br />

2003 / 2004<br />

2004 / 2005<br />

2005 (5 Bl)<br />

2006<br />

STR<br />

ATA<br />

Premi<br />

Subsi<br />

di<br />

Premi<br />

Subsi<br />

di<br />

Premi<br />

Subsi<br />

di<br />

Premi<br />

Subsi<br />

di<br />

Premi<br />

Subsi<br />

di<br />

Premi<br />

Subsi<br />

di<br />

I<br />

-<br />

25.00<br />

0<br />

-<br />

30.00<br />

0<br />

-<br />

40.00<br />

0<br />

-<br />

50.00<br />

0<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

II<br />

10.00<br />

0<br />

15.00<br />

0<br />

15.00<br />

0<br />

15.00<br />

0<br />

20.00<br />

0<br />

20.00<br />

0<br />

25.00<br />

0<br />

25.00<br />

0<br />

10.00<br />

0<br />

33.75<br />

0<br />

40.00<br />

0<br />

40.00<br />

0<br />

III<br />

25.00<br />

0<br />

-<br />

30.00<br />

0<br />

-<br />

40.00<br />

0<br />

-<br />

50.00<br />

0<br />

-<br />

20.00<br />

0<br />

-<br />

80.00<br />

0<br />

-<br />

Sumber : Dinkes Kab. Purbalingga<br />

Oleh karenanya, pelaksanaan JPKM dibagi dalam beberapa fase. Fase I adalah<br />

Tahap Sosialisasi dan Inisiasi tahun 2001-2005, Fase II Tahap Penguatan Instalasi<br />

tahun 2006-2009; dan Fase III Tahap Pemantapan tahun 2010-2012. Perkembangan<br />

kepesertaan JPKM sejak dicanangkan telah mengalami peningkatan yang<br />

signifikan. Pada tahun 2001 peserta 67.707 KK. Tahun 2002 menjadi 73.494 KK<br />

atau naik sebesar 10,8%. Tahun 2003 menjadi 100.184 KK atau naik sebesar<br />

13,6%. Tahun 2004 peserta meningkat menjadi 123.303 KK atau 65% dari total<br />

penduduk Purbalingga sejumlah 191.277 KK. Pada tahun 2005, pelaksanaan<br />

JPKM terintegrasi dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi<br />

Masyarakat Miskin (JPKMM) yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang<br />

secara keseluruhan mampu melayani sejumlah 102.002 KK atau setara dengan<br />

408.008 jiwa.<br />

4.3.4 Kepeloporan Kemajuan Daerah<br />

Dari sisi pengembangan pelayanan kesehatan, apa yang dilakukan Pemerintah<br />

Kabupaten Purbalingga, dengan program JPKM tersebut, sebagai salah satu contoh<br />

bagaimana sebuah daerah dapat merupakan pelopor bagi kemajuan dan usaha<br />

menuju kesejahteraan rakyat. Argumentasi kepeloporan bagi Purbalingga dengan<br />

program JPKM dimaksud, paling tidak dapat dikemukakannya 2 (dua) hal penting<br />

berikut ini. Pertama, kepeloporan karena paling awal serta yang secara kronologis<br />

mendahului implementasi gagasan serupa yang berasal dari Pemerintah (Pusat)<br />

sekalipun. Mungkin ini semata-mata kronologis waktu, tapi karena<br />

206


kronologi waktu ini sebenarnya membuktikan beberapa hal yang berkaitan dengan<br />

keluhuran niat menyejahterakan rakyatnya, dan risiko mengambil keputusan.<br />

Rangkuman kepeloporan atas gagasan sisi kronologis ini tentu mengundang<br />

heroikisasi—sesuatu yang tentu membedakannya dengan imitasi kebijakan yang<br />

dilakukan setelah gagasan berikutnya ditiru pihak lain. Secara kronologis, apa yang<br />

dilakukan Purbalingga dalam mengintroduksi JPKM tersebut mendahului untuk<br />

program yang sejenis dari Pemerintah Pusat. Perhatian Pemerintah Pusat atas<br />

jaminan sosial ini dapat dilacak dari keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992<br />

tentang Kesehatan. Pada pasal 66 ayat (1)-(4) secara tersurat dan tersirat adanya<br />

program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Indonesia. Pemerintah<br />

memang berhasil dalam membangun komitmen namun konkretnya komitmen<br />

tersebut baru benar-benar dijalankan ketika Pemerintah Pusat mengundangkan<br />

Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional<br />

yang diterbitkan 19 Oktober 2004, yang ditandatangani oleh Presiden Megawati<br />

Soekarnoputri.<br />

Kiranya dapat dibandingkan bahwa Kabupaten Purbalingga sudah merintis program<br />

JPKM ini ketika Bupati Purbalingga menerbitkan Surat Bupati Purbalingga No.<br />

460/453/2001 yang ditujukan kepada :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Kepala Dinas/Kantor/Bagian Unit Kerja di lingkungan Pemda Purbalingga;<br />

Camat se-Kabupaten Purbalingga; dan<br />

Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Purbalingga tentang<br />

Kriteria Keluarga Miskin (GAKIN), yang diterbitkan pada 16 Februari 2001.<br />

Berikutnya, dan ini langkah konkret, bahwa Pemerintah Purbalingga mengadakan<br />

Memorandum of Understanding (MoU) pada 31 Juli 2002 (MoU) antara Dr. Sutanto<br />

sebagai Ketua Penyelenggara JPKM dengan Dr. Bambang Sidik T., Kepala<br />

Puskesmas Kutasari dalam rangka Pemberian <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Peserta<br />

JPKM Purbalingga, dengan Surat Perjanjian Penyelenggaraan JPKM Dengan<br />

PUSKESMAS No. 145/JPKM/PBG/VII/02. Dalam rangka memperjelas posisi JPKM<br />

di depan pemerintah, maka perlu kiranya bila diterangkan tentang Pembentukan<br />

Badan Pembina JPKM. Akhirnya diputuskan bahwa sesuai aturan maka pada 13<br />

Februari 2003 menerbitkan Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/40 Tahun 2003<br />

tentang Pembentukan Badan Pembina JPKM. Dilanjutkan berikutnya adalah<br />

Keputusan Bupati Purbalingga No. 40/63 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pra<br />

Badan Penyelenggara “SADAR SEHAT MANDIRI” untuk menyelenggarakan<br />

JPKM di Kab.Purbalingga, yang ditandatangani—sebagaimana keputusankeputusan<br />

yang dikemukakan di atas ditandatangani oleh Bupati Purbalingga Drs.<br />

H. Triyono Budi Sasongko, M.SI., pada 7 April 2003. Demi memantapkan posisi<br />

kebijakan Bupati tentang JPKM masih dalam lingkup wilayah kebijakan dari<br />

seorang bupati. Kala itu dia masih dianggap belum penting dan belum mendesak<br />

bila diterapkan di Purbalingga. Ini sekaligus untuk mengokohkan bahwa langkah<br />

yang dilakukan bupati akan diteruskan dan merupakan kebijakan daerah. Kalau<br />

ditempatkan sebagai kebijakan daerah maka ia memiliki kekuatan hukum kuat.<br />

Suka tidak suka program ini akan bisa<br />

207


diabadikan di Purbalingga. Karena itulah <strong>Perda</strong> No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM,<br />

yang ditandatangi 24 Juni 2003 menjadi penting. Secara berturut-turut penerbitan<br />

keempat Keputusan Bupati Purbalingga tersebut penting karena merupakan inti<br />

penyelenggaraan JPKM. Keempat Keputusan tersebut adalah :<br />

1. Bupati Purbalingga No. 29 Tahun 2003 tentang Kriteria GAKIN, 31 Juli 2004;<br />

2. Keputusan Bupati No. 33 Tahun 2003 tentang Juklak Penggunaan <strong>Pelayanan</strong><br />

Kesehatan Masyarakat, Rumah Sakit tentang Petunjuk Pelaksanaan<br />

Penggunaan Hasil Pendapatan Retribusi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Pada Pusat<br />

Kesehatan Masyarakat, Rumah Bersalin Daerah, dan Laboratorium Kesehatan<br />

Masyarakat Kab. Purbalingga Tentang Penetapan Peserta Program Jaminan<br />

Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Kabupaten Purbalingga Tahun 2003-<br />

2004, yang diundangkan 23 November 2003;<br />

3. Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/108 Tahun 2003 dan Keputusan Bupati<br />

Purbalingga No. 440/190 Tahun 2003;<br />

4. Penunjukan Pra Badan Pelaksana (BAPEL) JPKM “SADAR SEHAT MANDIRI”<br />

Purbalingga Sebagai Pengelola Dana Premi JPKM dan Jaminan Pemeliharaan<br />

Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-GAKIN) Kab. Purbalingga. Purbalingga, 15<br />

November 2003.<br />

Tabel 8: Peraturan Perundang-undangan JPKM Dikutip Berdasarkan Urutan Waktu dan<br />

Perbandingan Pusat dengan Kab. Purbalingga<br />

No. Nama Peraturan Tentang Diundangkan<br />

Undang-Undang<br />

1. UU No. 23 Tahun 1992 Kesehatan Jakarta, 17 September 1992<br />

Soeharto<br />

2. UU No. 40 Tahun 2004 Sistem Jaminan Sosial Nasional Jakarta, 19 Oktober 2004<br />

Megawati Soekarnoputri<br />

1. Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />

No. 003A/MENKES/SK/I/2003<br />

Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />

Unit Desentralisasi Jakarta, 6 Januari 2003<br />

Dr. Achmad Sujudi<br />

2. Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />

No. 560/MENKES/SK/IV/2003<br />

Pola Tarif Perjan Rumah Sakit Jakarta, 25 April 2003<br />

Dr. Achmad Sujudi<br />

3. Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />

No. 639/MENKES/SK/V/2003<br />

Pedoman Umum Pengadaan Obat<br />

<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Dasar 2003<br />

Jakarta, 12 Mei 2003<br />

Dr. Achmad Sujudi<br />

4. Keputusan Menteri Kesehatan R.I.<br />

No. 1457/MENKES/SK/X/2003<br />

Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

Bidang Kesehatan Di Kab./Kota<br />

Jakarta, 10 Oktober 2003<br />

Dr. Achmad Sujudi<br />

208


No. Nama Peraturan Tentang Diundangkan<br />

1. Surat Bupati Purbalingga No.<br />

460/453/2001 yang ditujukan<br />

kepada : (1) Kepala Dinas/Kantor/<br />

Bagian Unit Kerja di lingkungan<br />

Pemda Purbalingga; (2) Camat<br />

se-Kabupaten Purbalingga; dan (3)<br />

Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan<br />

Sosial Kabupaten Purbalingga.<br />

2. Surat Perjanjian Penyelenggaraan<br />

JPKM Dengan PUSKESMAS No. 145/<br />

JPKM/PBG/VII/02<br />

Surat/Keputusan Bupati Purbalingga<br />

Kriteria Keluarga Miskin (Gakin)<br />

Pemberian <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan<br />

bagi Peserta JPKM Kab. Purbalingga<br />

Purbalingga,<br />

16 Februari 2001<br />

Drs. Triyono Budi Sasongko<br />

Purbalingga,<br />

31 Juli 2002<br />

- dr. Sutanto, Ketua Penyelenggara<br />

JPKM<br />

- dr. Bambang Sidik T.,<br />

Kepala Puskesmas Kutasari<br />

3. Keputusan Bupati Purbalingga<br />

No. 440/40 Tahun 2003<br />

Pembentukan Badan Pembina JPKM<br />

Purbalingga,<br />

13 Februari 2003<br />

Triyono Budi Sasongko<br />

4. Keputusan Bupati Purbalingga<br />

No. 40/63 Tahun 2003<br />

5. Peraturan Daerah Kabupaten<br />

Purbalingga<br />

No. 15 Tahun 2003<br />

Pembentukan Pra Badan<br />

Penyelenggara “SADAR SEHAT<br />

MANDIRI” untuk menyelenggarakan<br />

JPKM di Kab.Purbalingga<br />

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan<br />

Masyarakat<br />

Purbalingga, 7 April 2003<br />

Triyono Budi Sasongko<br />

Purbalingga,<br />

24 Juni 2003<br />

- Triyono Budi Sasongko, Bupati<br />

- Sutjipto, B.A., Ketua DPRD<br />

6. Keputusan Bupati Purbalingga<br />

No. 29 Tahun 2003<br />

Kriteria Keluarga Miskin<br />

Purbalingga,<br />

31 Juli 2003<br />

Triyono Budi Sasongko<br />

7. Keputusan Bupati Purbalingga<br />

No. 33 Tahun 2003<br />

Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan<br />

Hasil Pendapatan Retribusi<br />

<strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Pada Pusat<br />

Kesehatan Masyarakat, Rumah<br />

Bersalin Daerah, dan Laboratorium<br />

Kesehatan Masyarakat Kab.<br />

Purbalingga<br />

Purbalingga,<br />

6 Oktober 2003<br />

Triyono Budi Sasongko<br />

209


No. Nama Peraturan Tentang Diundangkan<br />

8. Keputusan Bupati Purbalingga<br />

No. 440/108 Tahun 2003<br />

Surat/Keputusan Bupati Purbalingga<br />

Penetapan Peserta Program<br />

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan<br />

Masyarakat Kabupaten<br />

Purbalingga Tahun 2003-2004<br />

Purbalingga,<br />

23 November 2003<br />

Triyono Budi Sasongko<br />

9. Keputusan Bupati Purbalingga<br />

No. 440/190 Tahun 2003<br />

Sumber : Data Diolah dari Berbagai Sumber<br />

Penunjukan Pra Badan Pelaksana<br />

(BAPEL) JPKM “SADAR SEHAT<br />

MANDIRI” Purbalingga Sebagai<br />

Pengelola Dana Premi JPKM dan<br />

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan<br />

Keluarga Miskin (JPK-GAKIN) Kab.<br />

Purbalingga<br />

Purbalingga,<br />

15 November 2003<br />

Triyono Budi Sasongko<br />

Kedua, kepeloporan substansi gagasan dapat dibuktikan dari seringnya para pihak<br />

mengadakan kunjungan untuk kaji dan studi banding ke Purbalingga berkait<br />

dengan program JPKM. Bila menyimak tabel di bawah, pihak yang mengadakan<br />

kunjungan ke Purbalingga terdiri atas tiga pihak. Pertama, secara vertikal<br />

merupakan kunjungan instansi di atas struktur pemerintahan di atas derajat<br />

sebuah kabupaten/kota, yakni Pemda Provinsi, Staf Ahli Menkes, Depdagri, dan<br />

seterusnya, yang intinya adalah gambaran struktur pemerintahan lebih dari<br />

kabupaten/kota. Kedua, secara horisontal merupakan kunjungan dari instansi<br />

di samping/setara/sederajat dengan sebuah kabupaten/kota, yakni Pemerintah<br />

Kabupaten/Pemerintah Kota. Ketiga, pihak lain dengan latar belakang akademisi,<br />

sebagaimana Universitas Indonesia (UI) Jakarta ataupun Universitas Jendral<br />

Soedirman, Purwokerto. Berdasarkan deskripsi di atas, ketiga bentuk kaji banding<br />

yang dilakukan pihak lain dapat berbentuk pengembangan makna konotatif.<br />

Pertama, makna deordinasi. Bahwa kaji banding yang dilakukan pihak yang lebih<br />

tinggi dengan struktur pemerintahan, bisa jadi sedang melakukan supervisi atau<br />

evaluasi. Bisa pula karena benar-benar ingin belajar atas program yang sedang<br />

dirancang kemudian ingin agar daerah lain melakukan hal yang sama atau<br />

mengikuti jejak daerah lain. Kedua, makna equitas. Bahwa kaji banding dilakukan<br />

pihak yang sederajat dengan Kabupaten Purbalingga, itu artinya kunjungan<br />

mereka memiliki motivasi membandingkan, antara apa yang sedang dikerjakannya<br />

atau yang sudah dikerjakan namun belum yakin atau belum merasa sebaik yang di<br />

Purbalingga, maka dengan kaji banding diharapkan adanya perbedaan, kelebihan,<br />

dan kelemahan yang sedang dikerjakannya, dengan yang sudah dikerjakan<br />

Purbalingga. Ketiga, makna eksperimentasi. Bahwa kaji banding yang dilakukan<br />

kalangan akademis ke Purbalingga tentu motifnya berkait dengan pengembangan<br />

ilmu pengetahuan, sehingga kelak dari kajian yang dilakukannya hasilnya dapat<br />

direkomendasikan bagi kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan, umumnya disiplin ilmu<br />

sosial serta khususnya disiplin ilmu kesehatan.<br />

210


Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding<br />

Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah<br />

No. Tanggal Kunjungan Asal Tim Kaji Banding Ket.<br />

1. 29 Januari 2002 Pemda Propinsi Lampung<br />

2. 04 Februari 2002 Staf Ahli Menteri Kesehatan RI<br />

3. 28 Februari 2002 Pemkab Gunung Kidul Prop. DIY<br />

4. 29 Juni 2002 Pemkab Pati Prop. Jateng<br />

5. 06 Juli 2002 Pemkab Bulukumba Prop. Sulawesi Selatan<br />

6. 02 Oktober 2002 Pemkab Kebumen Prop. Jateng<br />

7. 30 November 2002 Pemkab Jeneponto Prop. Sulawesi Selatan<br />

8. 21 Januari 2003 Pemkab Karanganyar Prop. Jateng<br />

9. 21 Mei 2003 Pemkot Metro Prop. Lampung<br />

10. 10 Juni 2003 Pemkot Sawahlunto Prop. Sumatera Barat<br />

11. 16 Juni 2003 Tim Diklat Kepemimpinan Tk. IV Depdagri Jakarta<br />

12. 19 Juni 2003 Pemkab Pemalang Prop. Jateng<br />

13. 02 Juli 2003 Pemkot Magelang Prop. Jateng<br />

14. 5 Juli 2003 Pemkot Surakarta Prop. Jateng<br />

15. 7 Juli 2003 Pemkab Cilacap Prop. Jateng<br />

16. 9 Juli 2003 Pemkab Wonosobo Prop. Jateng<br />

17. 28 Agustus 2003 Dinkes Kab. Semarang Prop. Jateng<br />

18. 11 September 2003 Dinkes Kab. Magelang Prop. Jateng<br />

19. 15 September 2003 Pemkab Gorontalo<br />

20. 25 September 2003 Pemkab Lombok Tengah Prop. NTB<br />

21. 25 September 2003 Pemkab Temanggung Prop. Jateng<br />

22. 25 September 2003 Pemkot Salatiga Prop. Jateng<br />

23. 20 Oktober 2003 Pemkab Sleman Prop. Jateng<br />

24. 23 Oktober 2003 Pemkab Kendal Prop. Jateng<br />

25. 24 Nopember 2003 Direktorat JPKM Depkes RI<br />

26. 20 Nopember 2003 Pemkab Banjarnegara Prop. Jateng<br />

27. 7 Januari 2004 Pemkot Pekalongan Prop. Jateng<br />

28. 14 Januari 2004 Pem Prop Kal Sel<br />

29. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Banjar<br />

30. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Barito Kuala<br />

211


Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding<br />

Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah<br />

No. Tanggal Kunjungan Asal Tim Kaji Banding Ket.<br />

31. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Hulu Sungai Selatan<br />

32. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Hulu Sungai Tengah<br />

33. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Hulu Sungai Utara<br />

34. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Kota Baru<br />

35. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Tabalong<br />

36. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Tanah Laut<br />

37. 14 Januari 2004 Dinkes Kab. Tapin<br />

38. 14 Januari 2004 Dinkes Kota Banjar Baru<br />

39. 14 Januari 2004 Dinkes Kota Banjarmasin<br />

40. 14 Januari 2004 Dinkes Kota Tanah Bumbu<br />

41. 14 Januari 2004 Pemkab Brebes Prop. Jateng<br />

42. 26 Pebruari 2004 Universitas Indonesia Jakarta<br />

43. 26 Pebruari 2004 Dinas Kesehatan Prop. Jawa Barat<br />

44. 23 Maret 2004 Dinkes Kab Way Kanan Prop. Lampung<br />

45. 22 Mei 2004 Dinkes Kota Magelang Prop. Jateng<br />

46. 16 Juni 2004 Pemkab Kudus<br />

47. 21 Juni 2004 Pemkab Semarang<br />

48. 22 Juni 2004 Pemkab Mamuju Sulawesi Selatan<br />

49. 21 Juli 2004 Pemkab Tegal<br />

50. 21 - 22 Juli 2004 Gajahmada Medical Center Yogyakarta<br />

51. 21 - 22 Juli 2004 Dinas Kesehatan Prop. Jawa Tengah<br />

52. 21 - 22 Juli 2004 Pemda Kota Semarang Prop. Jateng<br />

53. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Klaten Prop. Jawa Tengah<br />

54. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kota Semarang Prop. Jawa Tengah<br />

55. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kota Pekalongan Prop. Jawa Tengah<br />

56. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kota Surakarta Prop. Jawa Tengah<br />

57. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kab. Banjarnegara Prop. Jawa Tengah<br />

58. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Kudus Prop. Jawa Tengah<br />

59. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Blora Prop. Jawa Tengah<br />

60. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Banyumas Prop. Jateng<br />

212


Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding<br />

Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah<br />

No. Tanggal Kunjungan Asal Tim Kaji Banding Ket.<br />

61. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Wonosobo Prop. Jateng<br />

62. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Kendal Prop. Jawa Tengah<br />

63. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Tegal Prop. Jawa Tengah<br />

64. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Sragen Prop. Jawa Tengah<br />

65. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Wonogiri Prop. Jawa Tengah<br />

66. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah Kabupaten Pati Prop. Jawa Tengah<br />

67. 21 - 22 Juli 2004 Pemerintah kabupaten Rembang Prop. Jawa Tengah<br />

68. Dinkes Kab. Way Kanan Prop. Lampung<br />

69. 27 Juli 2004 Dinkes Kab. Klaten Prop. Jateng<br />

70. 27 Juli 2004 Dinkes Kab. Karo Prop. Sumut<br />

71. 5 - 7 Agustus 2004 Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto<br />

72. 15 September 2004 Pemerintah Kabupaten Cianjur Jawa Barat<br />

73. 6 Desember 2004 Pemerintah Kota Bogor Jawa Barat<br />

74. 6 Desember 2004 UI Jakarta<br />

75. 9 Desember 2004 Pemerintah Propinsi Sumatera Utara<br />

76. 22-23 Desemb 2004 Pemerintah Kota Surabaya Prop. Jawa Timur<br />

77. 31 Januari 2005 Pemerintah Kota Medan Prop. Sumatera Utara<br />

78. 31 Jan-2 Feb 2005 Pemerintah Propinsi Papua<br />

79. 31 Jan -2 Feb 2005 Dinas Kesehatan Kota Lampung<br />

80. 12 Februari 2005 Pemerintah Kabupaten Wonosobo Prop. Jateng<br />

81. 22 Februari 2005 Pemerintah Kabupaten Magelang<br />

82. Juni 2005 Pemerintah Kabupaten Tegal Prop. Jawa Tengah<br />

83. Juli 2005 Pemerintah Kota Jakarta Selatan<br />

84. Juli 2005 Pemerintah Kota Tegal<br />

85. 23 Agustus 2005 Dinas Kesehatan Kota Pekalongan<br />

86. 27 September 2005 Pemerintah Kabupaten Brebes<br />

87. 27 September 2005 Pemerintah Kabupaten Sukabumi Prop. Jabar<br />

88. 27 Oktober 2005 Pemerintah Kabupaten Banjarnegara<br />

89. 5 - 7 Desember 2005 Pemerintah Kabupaten Tanggamus Prop. Lampung<br />

90. 23 Juni 2006 Pemerintah Kabupaten Toba Sumatera Utara<br />

Sumber : Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Kab. Purbalingga, 2006<br />

213


Melalui program JPKM tersebut, sejumlah kabupaten mengakui Purbalingga<br />

pantas menjadi guru pelayanan kesehatan. Sejak program ini diluncurkan tahun<br />

2001, sudah lebih 86 kabupaten/kota dan lembaga pendidikan di Indonesia studi<br />

banding JPKM ke Purbalingga. Tidak hanya itu, menutup akhir tahun 2005 lalu,<br />

Purbalingga juga mampu meraih sebagai penghargaan Swasti Saba dari Presiden<br />

sebagai kabupaten bersih dan sehat, serta anugerah Ksatria Bhakti Husada<br />

Arutala dari menteri Kesehatan RI yang diberikan kepada Bupati dan Karya<br />

Bhakti Husada Arutala untuk Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Purbalingga.<br />

Rangkuman kepeloporan atas gagasan sisi kronologis serta gagasan sisi substantif<br />

mengundang nilai heroik bagi khalayak—sesuatu yang tentu membedakannya<br />

dengan imitasi kebijakan yang dilakukan setelah gagasan berikutnya ditiru pihak<br />

lain. Secara kronologis, apa yang dilakukan Purbalingga dalam mengintroduksi<br />

JPKM tersebut mendahului untuk program yang sejenis dari Pemerintah Pusat.<br />

Secara substansif apa yang dilakukan merupakan succes story buat Purbalingga,<br />

yang pada akhirnya mengarahkan pihak di luar Purbalingga untuk mengenang<br />

arti kepeloporan.<br />

4.4 Analisis<br />

4.4.1 Cerita Sukses Otonomi Daerah<br />

Otonomi Daerah merupakan kesempatan bagi daerah untuk mewujudkan<br />

kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Peluang untuk menyejahterakan rakyat<br />

memang lebih ideal bila konsep otonomi daerah dijalankan sungguh-sungguh.<br />

Hal ini berkait dengan problem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia<br />

kini sebenarnya dapat ditilik dari kepentingan desentralisasi administratif<br />

(administrative decentralization), yang sekadar dimaknai sebagai otonomi<br />

pelimpahan wewenang dari pusat ke pemerintah lokal (the transfer of authority<br />

from central to local government.) Bahwa otonomi daerah sekadar ditempatkan<br />

sebagai langkah administratif belaka—sesuatu yang pada akhirnya bermanfaat<br />

juga demi berdaya guna dan berhasil guna. Berikutnya bahwa otonomi dipandang<br />

sebagai pemberian ruang politik yang memadai (political decentralization) bagi<br />

daerah untuk benar-benar berkembang demi mencapai arah kemakmuran, karena<br />

otonomi tidak melulu dipahami lebih sebagai pelimpahan wewenang, daripada<br />

kekuasaan. Di sini tersurat benar bahwa otonomi merupakan instumen berharga<br />

bagi daerah untuk berkembang dan yang memungkinkan baginya berkarakter<br />

sebagai aktor berbasis korporasi dalam memajukan daerahnya. Hal ini karena<br />

otonomi yang dimaknainya adalah otonomi bukan sekadar sebagai pelimpahan<br />

wewenang melainkan penyerahan kekuasaan (the devolution of power from central<br />

to local government).<br />

Bagi pengelola daerah yang kreatif, otonomi daerah merupakan basis dasar dari<br />

tujuan yang mendorongnya untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan<br />

memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerahnya. Adalah suatu kunci<br />

keberhasilan bila penerapan pembaharuan yang dilakukan para praktisi otonomi<br />

daerah mengembangkan kapasitas dengan mengangkat gagasan-gagasan kreatif<br />

214


dan eksklusif berbasis local content sehingga pada akhirnya rakyat di daerahnya<br />

mengambil sebesar-besarnya manfaat. Pada dasarnya politik desentralisasi yang<br />

berlaku di mana pun merupakan bagian dari solusi struktural yang penting artinya<br />

bagi kemajuan daerah. Strukturalisasi ini bisa merupakan pelembagaan baru, bisa<br />

pula destrukturalisasi. Namun baik strukturalisasi maupun destrukturalisasi<br />

adalah otoritas untuk menjalankan eksperimentasi kebijakan yang sia-sia belaka<br />

bila bagi pemegangnya tidak menggunakan sebaik mungkin.<br />

Bagi kepala daerah yang mengerti betul makna otonomi daerah serta lingkup yang<br />

lebih luas dari politik desentralisasi, era sekarang ini merupakan kesempatan untuk<br />

mengukur sukses dan prestasi, mengingat otonomi daerah hakikatnya merupakan<br />

realisasi bagi daerah untuk mewujudkan prestasi. Ukuran paling telanjang dari<br />

prestasi adalah apresiasi atau penghargaan. Seorang Bupati Purbalingga Drs. H.<br />

Triyono Budi Sasongko, M.Si. beruntung sekali karena menjadi bupati pada suatu<br />

situasi yang justru berada pada posisi yang serba sulit. Daerahnya tidak begitu<br />

menguntungkan bila ditilik dari sisi geografis, demografis, dan ekonomis. Baginya<br />

kondisi semacam itu tidak dikeluhkannya, namun justru mengartikan kesempatan<br />

dalam mengembangkan daerahnya melalui siasat otonomi daerah. Dalam kata<br />

hatinya otonomi daerah merupakan kebebasan mengembangkan daerah untuk<br />

bergerak maju bersama rakyatnya.<br />

Pada galibnya pimpinan daerah mewakili pikiran dan tindakan progresivitas.<br />

Dalam kata progresif inilah inovasi menjadi pendorong bagi praktisi pemerintah<br />

di daerah untuk tidak menyerah pada keadaan—sebagaimana yang ditunjukkan<br />

elite birokrasi dengan dukungan rakyatnya di Purbalingga. Lebih tepatnya bahwa<br />

jajaran Pemda Purbalingga tidak boleh pasrah bongkokan karena seringkali<br />

banyak orang yang merasa ditutup peluangnya berkreativitas. Namun bagi yang<br />

berpikiran progresif tadi, maka aturan bukanlah halangan. Justru halangan menjadi<br />

tantangan penaklukan. Penulis sepakat bahwa inilah inovasi dalam otonomi<br />

daerah. Inovasi adalah kearifan lokal dan kejeniusan lokal yang terlembaga. Inovasi<br />

adalah gambaran sebuah kemajuan yang terupaya secara terlembagakan itu. Pada<br />

yang namanya inovasi, tersirat terobosan dan kreativitas. Pimpinan daerah yang<br />

mengerti betul akan inovasi tidak akan menyerah atas keadaan. Apalagi ratapan<br />

atas keadaan, hanya gara-gara sekadar kekakuan karena aturan. Contoh JPKM dari<br />

Pemerintah Pusat belum mengemuka. Namun itu tidak menjadikan kepala daerah<br />

yang ingin maju menghalanginya untuk mencanangkan suatu visi pembangunan<br />

Purbalingga yang “mandiri dan berdaya saing menuju masyarakat sejahtera yang<br />

berakhlakul karimah”. Untuk mewujudkan visi tersebut, telah disepakati adanya<br />

prioritas utama pada empat pilar pembangunan, yakni :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

pendidikan dan agama;<br />

kesehatan;<br />

ekonomi kerakyatan; dan<br />

pembangunan pedesaan; yang ditopang oleh pembangunan sektor-sektor<br />

lainnya secara sinergis.<br />

215


Arah pembangunan sektor kesehatan adalah terpenuhinya akses masyarakat<br />

terhadap pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas dan berkesinambungan yang<br />

diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karenanya<br />

Pemda Purbalingga berupaya memperbaiki keadaan: peningkatan sarana dan<br />

prasarana kesehatan, penambahan dan peningkatan kualitas ketenagaan<br />

kesehatan yang diimbangi dengan pembiayaan untuk operasionalisasi pelayanan<br />

kesehatan.<br />

Namun yang terpenting adalah dengan dilakukannya inovasi dalam perbaikan<br />

sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan melalui Program<br />

Jaminan <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Masyarakat /JPKM dan pengembangan Program<br />

Desa Sehat Mandiri. Program JPKM adalah sebuah jawaban dalam menjamin<br />

terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat yang berkualitas dengan<br />

filosofi “Si Kaya Membantu Si Miskin dan Si Sehat Menolong Si Sakit”, dengan<br />

topangan penuh dari pemerintah daerah. Dengan sistem tersebut didorong<br />

terjadinya subsidi silang sebagai pengejawantahan azas kekeluargaan. Hal ini<br />

perlu ditempuh karena masalah kesehatan tidak akan pernah selesai bila hanya<br />

menggantungkan kemampuan pemerintah saja.<br />

Model JPKM merupakan mengemukanya kemandirian masyarakat dan pemerintah<br />

daerah dalam mewujudkan pelayanan kesehatan dasar sesuai standar terapi dan<br />

pengobatan rasional. Manfaat JPKM antara lain masyarakat memperoleh pelayanan<br />

kesehatan paripurna yang lebih bermutu, masyarakat mengeluarkan biaya ringan<br />

karena adanya azas kekeluargaan. Terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan<br />

yang pada akhirnya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, perencanaan<br />

biaya pelayanan kesehatan lebih efisien dan efektif karena adanya pembayaran<br />

pra upaya, serta terselenggaranya pelayanan kesehatan secara komprehensif dan<br />

berkelanjutan melalui rintisan model pelayanan dokter keluarga.<br />

4.4.2 Karya Inovasi dari Pemerintah Daerah<br />

Ukuran paling konkret bagi keberhasilan otonomi daerah adalah inovasi. Menilai<br />

kemajuan otonomi dalam ukuran inovasi berarti menilai seberapa jauh kebebasan<br />

yang dimiliki daerah mampu mendorong munculnya program, kebijakan serta<br />

gagasan lokal yang cerdas, khas dan genuine dalam menyiasati setiap bentuk<br />

keterbatasan atau mengoptimalkan setiap bentuk keunggulan daerah yang<br />

dimiliki. Ini berarti, inovasi tidak sekadar inisiatif. Ia adalah sebuah terobosan. Jika<br />

inisiatif menggambarkan suatu prakarsa awal yang jeli, terobosan menggambarkan<br />

paduan kreativitas dan kecerdasan untuk ke luar dari kebuntuan; entah itu<br />

kebuntuan karena keterbatasan sarana, atau kebuntuan karena kecenderungan<br />

mengupayakan segala sesuatu secara biasa biasa saja.<br />

Berlawanan dengan komitmen yang ‘ala kadarnya’, baik inisiatif maupun terobosan,<br />

pada dasarnya, adalah gambaran komitmen kuat terhadap kemajuan. Karena<br />

itulah, selain cerdas, sebuah inovasi semestinya penuh dengan nuansa<br />

216


progresivitas. Pada gilirannya, betapa pun bagus sebuah inovasi, ia tidak akan<br />

berguna jika tidak bermakna strategis, berpotensi produktif serta berkelanjutan.<br />

Sebuah inovasi dikatakan strategis manakala ia tampil sebagai jawaban atas<br />

kebutuhan daerah yang paling krusial. Sedangkan inovasi dikatakan produktif<br />

manakala mampu beroperasi di lapangan sebaik yang diharapkan. Inovasi<br />

dikatakan berkelanjutan manakala tersusun secara skematik, bukan hasil respon<br />

reaksioner, dan bervisi jauh ke depan. Kombinasi kualitas kreatif, strategis,<br />

produktif dan keberlanjutan suatu inovasi di tingkat gagasan maupun praktik,<br />

dalam efek jangka pendek maupun jangka panjang, merupakan penentu derajat<br />

dan kualitas sebuah kemajuan.<br />

Pada saat kita bicara kreativitas dalam otonomi daerah, prinsipnya adalah<br />

terobosan demi kemajuan. Juga jangan pernah menyerah dengan keadaan. Apalagi<br />

menyerah karena aturan yang kurang mendukung kreativitas. Keadaan ini yang<br />

kami baca dapat menimbulkan bias otonomi daerah. Program JPKM Purbalingga<br />

merupakan karya inovatif yang bahkan monumental. Ini mengingat, pertama, ia<br />

adalah gagasan kreatif. Dalam karya inovasi, JPKM sudah barang pasti adalah<br />

kreatif, yang memperlihatkan implementasi-implementasi positif di lapangan,<br />

cerdas dari segi gagasannya, serta memiliki potensi yang dapat menghasilkan efek<br />

jangka panjang dan sudah melewati jangka pendek, yang semuanya dalam arti<br />

positif.<br />

Dalam karya inovasi, kiranya harus bisa lepas atau tidak sekadar strategis. Baik<br />

brilian dari segi gagasan, memiliki potensi jangka pendek dan jangka panjang yang<br />

positif namun belum dapat dibuktikan implementasinya di lapangan. Sementara<br />

dalam karya inovasi gagasan tersebut harus cerdas dan berhasil menghasilkan<br />

efek jangka pendek, karena terbukti implementatifnya di lapangan, meski dapat<br />

kita katakan bahwa strategis belum cukup meyakinkan untuk jangka panjang;<br />

sementara yang disebut berkelanjutan sudah barangpasti tidak hanya cerdas dari<br />

segi gagasan serta memiliki potensi menghasilkan efek jangka pendek dan jangka<br />

panjang yang baik namun terbukti di lapangan.<br />

Karena yang dinilai adalah loncatan kemajuannya, daerah harus mempunyai<br />

terobosan inovatif. Inovasi itu harus kreatif, strategis, produktif, dan berkelanjutan.<br />

Untuk membuat terobosan itu, daerah harus bisa membuat kebijakan atau program<br />

yang khas yang tidak dipunyai pemerintah daerah lain. Maksudnya, kebijakan/<br />

program tersebut bukan kegiatan rutin dan sekadar menjalankan instruksi dari<br />

pemerintah pusat. Membuat program “loncatan kemajuan” inilah yang dianggap<br />

berat dilakukan oleh pemerintah daerah, pengangguran terbuka, dan naik turunnya<br />

indeks pembangunan manusia (IPM). Otonomi diharapkan menjamin secara lebih<br />

baik tidak saja tumbuhnya kemandirian daerah tetapi juga prakarsa dan kearifan<br />

lokal yang lebih berbobot dalam mengupayakan kemajuan.<br />

217


5. Penutup<br />

5.1 Kesimpulan<br />

Program inovasi dan modifikasi model pelayanan kesehatan masyarakat ini<br />

dilaksanakan tahun 2001, jauh hari sebelum Pemerintah Pusat menerbitkan<br />

Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kabupaten Purbalingga melaksanakan jaminan<br />

kesehatan seluruh warga masyarakat Purbalingga dengan program JPKM. Lebih<br />

dari 95 kabupaten/kota di Indonesia studi banding ke Purbalingga untuk belajar<br />

JPKM. JPKM adalah upaya pemeliharaan kesehatan paripurna, terstruktur<br />

yang dijamin kesinambungan dan mutunya, dimana pembiayaan secara praupaya.<br />

Proses pembangunan di Kabupaten Purbalingga yang telah dan sedang<br />

dilaksanakan di satu sisi menghasilkan kemajuan berarti, tetapi di sisi lain juga<br />

menyisakan beberapa masalah, yang mendasar maupun yang berkembang akibat<br />

kompleksitas masalah dan kebutuhan pembangunan yang terus berubah.<br />

5.2 Rekomendasi<br />

Di samping kelebihan Program JKPM Purbalinga, sejumlah<br />

kendala dihadapi dalam pengembangannya. Contohnya, Pemerintah<br />

Pusat menerbitkan Sistem Jaminan Sosial Nasional, namun<br />

berlaku pula konsep dan implementasi JPKM versi Purbalingga.<br />

Masalah terjadi bila tidak diadakan sinkronisasi dan sinergisitas pihak pengelola<br />

dan Pemerintah. Pemeliharaan kesehatan dalam JPKM dilakukan pada sarana<br />

Pemberi <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan (PPK), antara lain :<br />

1. PPK I, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat inap<br />

bagi Puskesmas yang menyediakan fasilitas;<br />

2. PPK II, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat inap<br />

serta sebagai pusat rujukan;<br />

3.<br />

4.<br />

Polindes, untuk pelayanan kesehatan persalinan normal dan rawat jalan; dan<br />

Dokter keluarga, sebagai rawat jalan.<br />

Berikutnya, kendala yang harus dibenahi antara lain :<br />

1. Ada kesan dari masyarakat pelayanan JPKM dibedakan;<br />

2. Peserta menghendaki seluruh pelayanan ditanggung oleh JPKM;<br />

3. Keluhan dari masyarakat mengenai adanya kenaikan premi setiap tahun;<br />

4. Premi belum real cost sehingga kapitasi yang diterima oleh PPK belum<br />

mencukupi pelayanan kesehatan; dan<br />

5. Adanya SK Menkes ttg penunjukan PT ASKES sehingga Bapel JPKM tidak<br />

lagi mengelola Gakin<br />

Pada galibnya pimpinan daerah mewakili pikiran dan tindakan progresivitas.<br />

Dalam kata progresif, inovasi menjadi pendorong praktisi pemerintah di daerah<br />

untuk tidak menyerah pada keadaan—sebagaimana yang ditunjukkan elit<br />

birokrasi dengan dukungan rakyat Purbalingga. Lebih tepatnya, jajaran Pemda<br />

Purbalingga tidak boleh pasrah karena sering kali banyak orang yang merasa<br />

ditutup peluangnya berkreativitas. Namun bagi yang berpikiran progresif tadi<br />

maka aturan bukanlah halangan.<br />

218


Sumber Penulisan<br />

Wawancara dengan key informan<br />

1. Wawancara dengan Kasi Kesehatan Kabupaten Purbalingga Drg. Hanung<br />

Wikanto, MPPM, Purbalingga 29 Juni 2006;<br />

2. Wawancara dengan Ketua Badan Pelaksana/PT Sehat Sarana Mandiri JPKM<br />

Dr. Sutanto, MPPM, Purbalingga 29 Juni 2006;<br />

3. Wawancara dengan Bagian Penanganan JPKM Purbalingga, Muslim Mahmud,<br />

Semarang 28 Juni 2006;<br />

4. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I (Keluarga Miskin), Sudarti (18<br />

tahun), 28 Juni 2006; Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I Rusmini (40<br />

tahun), 29 Juni 2006;<br />

5. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I Sayuti (53 tahun), 28 Juni 2006;<br />

6. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata II Pasca Gakin Ari Kusmiran (53<br />

tahun), 29 Juni 2006;<br />

7. Wawancara dengan Peserta Strata III JPKM (Non Gakin, keluarga mampu)<br />

Yuli Nikmatin (34 tahun), 29 Januari 2006.<br />

Buku-buku<br />

1.<br />

2.<br />

Kemajuan Berkebebasan Kebebasan Berkemajuan Otonomi Award dan<br />

Otonomi Daerah di Jawa Timur. Surabaya: JPIP. 2003<br />

Inovasi Sebagai Referensi Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award.<br />

Surabaya : JPIP. 2003.<br />

Dokumen Resmi<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

8.<br />

9.<br />

10.<br />

11.<br />

Kebijakan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Purbalingga Tahun 2001-<br />

2005, 15 Januari 2006;<br />

JPKM bagi peserta RPJM Purbalingga Tahun 2005-2010;<br />

Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2003<br />

Brosur “JPKM Sebagai Salah Satu Pilar Penanggulangan Kemiskinan”<br />

Kumpulan Peraturan Bidang Kesehatan di Kaupaten Purbalingga;<br />

UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;<br />

UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;<br />

www.purbalingga.go.id<br />

www.jawatengah.go.id<br />

www.depkes.go.id<br />

www.jpkm.go.id<br />

219


3. Dapatkah <strong>Perda</strong> Menjamin Komitmen<br />

Kerjasama Antarwilayah?<br />

Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di<br />

Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat<br />

Abstrak<br />

Salah satu dampak penting dari desentralisasi adalah berubahnya struktur<br />

hubungan antarwilayah di Indonesia. Sebelumnya, hubungan antara dua kabupaten<br />

diselesaikan di tingkat propinsi, tetapi desentralisasi telah memungkinkan<br />

kedua kabupaten menyelesaikan sendiri urusannya. Satu tantangan dalam masa<br />

desentralisasi yang memerlukan perhatian yang serius adalah adanya potensi<br />

konflik antara kawasan hulu dan hilir dalam pemanfaatan sumber daya alam<br />

lintas wilayah. Tulisan ini menganalisis dinamika hubungan antara Kabupaten<br />

Kuningan dan Kota Cirebon di Jawa Barat dalam penyediaan air minum. Selama<br />

ini, penduduk di Kota Cirebon menikmati air minum yang mata airnya berasal dari<br />

Kabupaten Kuningan, tanpa memberikan imbalan kepada Kabupaten Kuningan<br />

atas penyediaan jasa air minum tersebut. Proses negosiasi antara kedua daerah<br />

menghasilkan kesepakatan antara lain bahwa Kota Cirebon akan memberikan<br />

kompensasi sejumlah tertentu kepada Kabupaten Kuningan atas jaminan<br />

ketersediaan air minum bagi wilayahnya. Untuk menjawab hal ini, Kabupaten<br />

Kuningan menerbitkan <strong>Perda</strong> Nomor 38/2002 tentang Rencana Tata Ruang Gunung<br />

Ciremai. <strong>Perda</strong> ini digunakan sebagai sertifikat komitmen Kabupaten Kuningan<br />

untuk melaksanakan konservasi kawasan tersebut sebagai sumber mata air.<br />

Tulisan ini juga membahas peluang dan tantangan dari penerapan <strong>Perda</strong> tersebut<br />

serta menganalisa pembelajaran bagi kemungkinan penerapan mekanisme yang<br />

serupa di wilayah lain.<br />

1. Latar Belakang<br />

Pada skala global, isu yang berkembang tentang konservasi kawasan hutan tropis<br />

sejak dekade lalu, khususnya setelah adanya Konferensi Bumi di Rio de Janeiro tahun<br />

1992, adalah bahwa tren kegiatan-kegiatan konservasi hutan lebih berorientasi<br />

kepada rakyat. Gagasan mengenai pembayaran atas jasa lingkungan (payment<br />

for environmental services – PES) merupakan salah satu gagasan terpenting.<br />

Dalam beberapa tahun terakhir PES telah mendapatkan perhatian yang begitu<br />

besar sebagai upaya untuk membiayai konservasi, terutama di Amerika Latin .<br />

Program-program PES pada umumnya dilakukan untuk mengaitkan manfaat yang<br />

disediakan oleh jasa lingkungan kepada para pengelola yang menghasilkan jasa<br />

tersebut untuk meningkatkan insentif bagi mereka untuk senantiasa melaksanakan<br />

konservasi atas jasa lingkungan yang disediakan (Pagiola et al., 2005, Wunder,<br />

220


2005). Di Indonesia, gagasan mengenai PES belum banyak berkembang. Pengelolaan<br />

hutan di Indonesia selama ini lebih menekankan kepada pengelolaan berbasis<br />

kayu yang menitikberatkan kepada perolehan nilai ekonomi melalui eksploitasi<br />

sumberdaya hutan, baik kayu maupun non kayu. Pada prakteknya, yang terjadi<br />

adalah pengelolaan hutan yang tidak lestari. Pada tingkat nasional, permintaan<br />

kayu yang jauh melebihi tingkat produksi kayu hutan alam yang lestari, ditambah<br />

dengan rendahnya produksi kayu dari hutan tanaman, telah menjadi pemicu<br />

pembalakan liar (illegal logging). Setelah lima tahun pelaksanaannya otonomi<br />

daerah masih menyisakan sederet tantangan. Salah satunya adalah mengenai<br />

kerjasama antardaerah, terutama wilayah yang mempunyai keterkaitan ekologis.<br />

Walaupun UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah menekankan pentingnya<br />

kerjasama antardaerah (Bab IX), masih belum banyak daerah yang menerapkan<br />

hal tersebut. Kerjasama antardaerah tersebut juga semakin sulit ketika hubungan<br />

tersebut terkait dengan kondisi alam, misalnya antara kawasan hulu dan hilir<br />

pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Sudah umum terjadi bahwa daerah hilir<br />

enggan memberikan imbal balik atas jasa lingkungan yang telah diberikan oleh<br />

daerah hulu.<br />

Akan tetapi, terdapat perkembangan yang menggembirakan dalam tiga<br />

tahun terakhir, ketika daerah-daerah mulai menyadari pentingnya menjaga<br />

keseimbangan antara pembangunan dan konservasi sumberdaya alam, termasuk<br />

hutan. Beberapa kabupaten di Kalimantan telah menyatakan sebagai kabupaten<br />

konservasi, yang konsepnya antara lain menjaga keseimbangan antara proses<br />

pembangunan dengan konservasi hutan, yang antara lain menerapkan konsep PES<br />

pada skala besar, yang mencakup kabupaten tetangga sampai dunia internasional.<br />

Walaupun demikian, masih banyak proses yang harus ditempuh daerah-daerah<br />

tersebut untuk secara nyata menuai hasil pemberian dana kompensasi yang<br />

mereka perlukan untuk melaksanakan konservasi hutannya. Pada skala yang lebih<br />

kecil, PES sangat potensial untuk diterapkan di Indonesia pasca otonomi daerah.<br />

Salah satu kasus yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran adalah kasus yang<br />

melibatkan hubungan bilateral antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon,<br />

Propinsi Jawa Barat. Kawasan Gunung Ciremai, yang secara administratif<br />

masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kuningan, adalah salah satu kawasan<br />

pegunungan dengan potensi sumber mata air yang cukup besar. Sebagai daerah<br />

hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan ini memiliki sejumlah mata air yang<br />

dimanfaatkan penduduk untuk berbagai kebutuhan, baik oleh penduduk di sekitar<br />

kawasan maupun oleh penduduk lainnya di sepanjang aliran air tersebut. Sumber<br />

air minum yang dimaksud adalah wilayah dimana mata air untuk memenuhi<br />

kebutuhan air minum masyarakat berada. Aliran air yang berasal dari mata airnya<br />

dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan dan sebagian lagi<br />

dimanfaatkan oleh daerah-daerah di hilirnya, antara lain Kota Cirebon. Hubungan<br />

antara keduanya menjadi penting karena adanya saling ketergantungan antara<br />

kedua daerah dalam menyediakan air minum bagi penduduknya, serta menjamin<br />

ketersediaannya dalam jangka panjang.<br />

221


2. Perumusan Masalah<br />

Hubungan antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam pengelolaan<br />

air minum sudah berjalan sejak lama. Hampir semua kebutuhan air minum di<br />

Kota Cirebon dipasok dari kawasan Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten<br />

Kuningan. Pada masa yang akan datang diperkirakan kebutuhan air minum di<br />

kawasan tersebut meningkat berkaitan dengan dijadikannya wilayah Cirebon<br />

sebagai salah satu kawasan pembangunan nasional. Kebutuhan air bersih di Kota<br />

Cirebon hingga tahun 2015 diperkirakan mencapai 1.382 l/detik atau 43,58 juta<br />

m3 per tahun (Ramdan, 2006; Wahyudin, 2000). Penyediaan air untuk keperluan<br />

minum merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain. Kebutuhan air<br />

minum akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, taraf hidup,<br />

dan perkembangan sektor industri (Sanim, 2003). Kebutuhan air minum yang lebih<br />

besar daripada ketersediaannya di suatu wilayah menciptakan kondisi kelangkaan<br />

(scarcity) yang dapat memicu terjadinya konflik diantara pengguna air minum.<br />

Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan air dan kawasan hilir dalam<br />

pemanfaatan air sangat erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air<br />

berkelanjutan menjadi tanggung jawab semua wilayah di sepanjang DAS tersebut.<br />

Kekurangpedulian pengguna air di hilir terhadap kelestarian sumber airnya di<br />

hulu dapat memicu konflik antardaerah. Dalam kasus antara Kabupaten Kuningan<br />

dan Kota Cirebon, tuntutan Pemda Kabupaten Kuningan untuk memperoleh dana<br />

kompensasi konservasi dari Kota Cirebon atas penggunaan mata airnya muncul<br />

menjadi salah satu kasus sengketa air lintas wilayah yang terungkap pasca<br />

pemberlakuan otonomi daerah (otda) di Propinsi Jawa Barat. Dua pertanyaan<br />

pokok yang mengemuka dari latar belakang tersebut yang juga sangat relevan<br />

sebagai bahan bagi proses pembelajaran adalah<br />

1. Bagaimanakah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon dapat menyelesaikan<br />

konflik sekaligus dapat mencapai kesepakatan yang bermanfaat bagi kedua<br />

belah pihak?<br />

2. Apakah kandungan <strong>Perda</strong> Tata Ruang yang dikeluarkan oleh Kabupaten<br />

Kuningan mampu menjadi bahan pengikat kerjasama khususnya dengan Kota<br />

Cirebon?<br />

3. Metode Pendekatan/Analisis<br />

Pendekatan atas studi ini meliputi dua hal. Pertama, analisis mengenai proses<br />

terjadinya konflik antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon yang terkait<br />

dengan konsumsi air minum serta upaya resolusi konfliknya. Kedua, analisis<br />

isi <strong>Perda</strong> Tata Ruang Kabupaten Kuningan yang digunakan sebagai sertifikat<br />

komitmen Kabupaten Kuningan dalam melaksanakan konservasi kawasan Gunung<br />

Ciremai yang pada akhirnya dapat memberikan jaminan pasokan air minum<br />

kepada Kota Cirebon. Analisis kandungan <strong>Perda</strong> dilakukan dengan menganalisis<br />

kandungan <strong>Perda</strong> Tata Ruang dan <strong>Perda</strong> lainnya yang terkait. Yang menjadi<br />

222


perhatian adalah klausula-klausula dalam <strong>Perda</strong> Tata Ruang tersebut yang baik<br />

secara eksplisit maupun implisit menunjukkan komitmen Kabupaten Kuningan<br />

dalam melaksanakan konservasi kawasan Gunung Ciremai sekaligus menjamin<br />

ketersediaan pasokan air minum bagi Kabupaten Cirebon, lubang-lubang yang dapat<br />

diidentifikasi dari <strong>Perda</strong>, serta saran-saran bagi perbaikan <strong>Perda</strong> di masa mendatang.<br />

4. Analisis dan Temuan Pokok<br />

Penerapan skema PES mengandung dua komponen penting, yaitu adanya proses<br />

terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak terkait mengenai kesediaan salah satu<br />

pihak untuk memberikan pembayaran atas jasa lingkungan yang disediakan oleh<br />

pihak lain, serta bentuk dari skema PES itu sendiri. Dalam kasus konflik antara<br />

Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon atas sumber daya air minum, kedua<br />

komponen tersebut adalah proses terjadinya kesepakatan antara kedua daerah<br />

mengenai adanya pembayaran oleh Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan,<br />

serta <strong>Perda</strong> Tata Ruang Gunung Ciremai yang dijadikan sertifikat komitmen<br />

oleh Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi di kawasan Gunung<br />

Ciremai. Kedua aspek tersebut menjadi inti dalam bagian pembahasan.<br />

5. Proses tercapainya kesepakatan antara Kabupaten<br />

Kuningan dan Kota Cirebon<br />

Mata air Paniis, salah satu mata air di kawasan Gunung Ciremai, berada pada<br />

ketinggian 375 m di atas permukaan laut. Air yang berasal dari mata air Paniis ini<br />

memasok air minum untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon.<br />

Pada saat ini air dialirkan melalui pipa berdiameter 700 mm dari sumur pengumpul<br />

ke instalasi pengolahan di Plangon yang berjarak sekitar 8,2 Km dari Paniis. Debit<br />

air total mata air Paniis saat ini 860 l/detik dan di musim hujan dapat meningkat di<br />

atas 1.000 l/detik. Mata air Paniis adalah sumber air minum utama untuk memenuhi<br />

kebutuhan air minum masyarakat Kota Cirebon. Alternatif sumber air minum<br />

lainnya yang berasal dari air tanah dalam di sekitar Kota Cirebon dari jumlah dan<br />

kualitasnya kurang memenuhi standar air minum bagi masyarakat (Wahyudin,<br />

2000). Oleh karena itu sumber air minum dari mata air di kawasan Gunung Ciremai<br />

merupakan prioritas pertama untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat<br />

di Kota Cirebon. Mata air Paniis dikelola oleh PDAM Kota Cirebon untuk melayani<br />

penduduk Kota Cirebon dan beberapa daerah wilayah Kabupaten Cirebon dengan<br />

51.344 pelanggan air minum sampai bulan Maret tahun 2003. Kapasitas terpasang<br />

yang dimanfaatkan oleh PDAM Kota Cirebon adalah 860 l/detik, tetapi debit yang<br />

diijinkan oleh Pemda Kabupaten Kuningan adalah sebesar 750 l/detik berdasarkan<br />

Surat Ijin Pengambilan Air (SIPA) yang dikeluarkan oleh Kantor Sumberdaya Air<br />

dan Mineral Kabupaten Kuningan Nomor 616/039/SDAM/2003. Pengambilan air<br />

yang melebihi SIPA memicu konflik antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan<br />

Kota Cirebon yang terjadi pada pertengahan sampai akhir tahun 2004.<br />

223


Peningkatan konsumsi air minum masyarakat di Kota Cirebon yang terus<br />

meningkat menjadi alasan bagi PDAM Kota Cirebon untuk mengambil air di atas<br />

tingkat yang diijinkan. Di sisi lain Pemda Kabupaten Kuningan pun merasa bahwa<br />

perhatian Pemda Kota Cirebon untuk memelihara kelestarian kawasan sumber air<br />

minumnya dianggap kurang, padahal tanpa upaya untuk melestarikan kawasan<br />

sumber air tersebut maka pasokan air minum dari wilayah Paniis akan terganggu<br />

kesinambungannya. Pemda Kabupaten Kuningan berupaya mengajak Pemda<br />

Kota Cirebon untuk bekerja sama dalam memelihara kelestarian Gunung Ciremai<br />

sebagai kawasan resapan air dari sejumlah mata air yang selama ini digunakan<br />

oleh masyarakat Kota Cirebon. Upaya rehabilitasi dan konservasi kawasan<br />

Gunung Ciremai selama ini menjadi tugas dari Pemda Kabupaten Kuningan yang<br />

berada di bagian hulunya, sedangkan manfaat hidrologis dari kegiatan konservasi<br />

dirasakan juga oleh masyarakat yang ada di hilirnya, sehingga kelestariannya<br />

menjadi tanggung-jawab bersama dari semua pengguna air.<br />

Upaya untuk membangun kesepahaman dalam pengelolaan sumber air minum<br />

lintas wilayah didukung pula oleh komitmen politik dan dukungan publik yang<br />

kuat. Komitmen politik diantara dua Pemda, yaitu Kabupaten Kuningan dan Kota<br />

Cirebon, dalam menyelesaikan permasalahan sumber air minumnya tampaknya<br />

sangat kuat. Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon langsung terlibat memimpin<br />

rapat untuk mendiskusikan penyelesaian masalah air lintas wilayah. Komitmen<br />

kedua pimpinan daerah tersebut didukung oleh pihak DPRD (Dewan Perwakilan<br />

Rakyat Daerah) sebagai lembaga legislatif dari masing-masing daerah dan juga<br />

masyarakat di dua wilayah tersebut. Sebagai badan legislatif dan wakil rakyat,<br />

DPRD merasa berkepentingan untuk ikut mendorong penyelesaian masalah sumber<br />

air minum lintas wilayah tersebut. Oleh karena itu komitmen politik dan dukungan<br />

publik yang kuat ternyata mampu mendorong penyelesaian sengketa sumber air<br />

minum lintas wilayah tersebut secara damai dan saling menguntungkan. Dalam<br />

beberapa pertemuan antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon<br />

untuk membahas penyelesaian konflik penggunaan air dari Paniis, isu utama<br />

yang menjadi pembahasan adalah kontribusi konservasi daerah resapan sumber<br />

mata air. Pertemuan antara kedua Pemda yang difasilitasi oleh Badan Koordinasi<br />

Wilayah (Bakorwil) Cirebon telah mendorong adanya kesepahaman antara kedua<br />

belah dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kesamaan visi untuk berbagi (shared<br />

vision) dalam mengalokasikan air minum di kawasan tersebut telah mendorong<br />

pemahaman dari pihak-pihak yang bersengketa akan pentingnya tanggung-jawab<br />

pengelolaan bersama sumber air tersebut. Visi untuk berbagi tersebut dibangun<br />

dengan mengintegrasikan pentingnya aspek kelestarian lingkungan dalam<br />

pengelolaan air berkelanjutan.<br />

Untuk menjamin alokasi air lintas wilayah secara berkelanjutan, maka kerjasama<br />

antar daerah diatur dalam suatu peraturan kerjasama pemanfaatan air yang<br />

disepakati oleh kedua belah pihak. Peraturan pemanfaatan air dan kontribusi dana<br />

konservasi di kawasan Gunung Ciremai telah diatur oleh suatu nota kesepakatan<br />

(memorandum of understanding) antara Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon<br />

224


yang ditandatangani tanggal 17 Desember 2004, yaitu Perjanjian Kerjasama<br />

Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon tentang<br />

Pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten<br />

Kuningan. Perjanjian kerjasama itu bertujuan mewujudkan perlindungan dan<br />

pelestarian sumber air dan untuk kesejahteraan masyarakat kedua daerah.<br />

Perjanjian mengatur kewajiban pihak pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota<br />

Cirebon. Kewajiban Pemerintah Kabupaten Kuningan diantaranya adalah:<br />

1. menjaga/melindungi sumber air mata air agar menjamin kelancaran distribusi<br />

air; dan<br />

2. menerima dan menggunakan dana konservasi pengguna air minum di Kota<br />

Cirebon untuk kepentingan konservasi yang dapat menjamin kelestarian<br />

sumber mata air, termasuk di dalamnya pemberdayaan masyarakat.<br />

Adapun kewajiban Pemerintah Kota Cirebon adalah :<br />

1. memanfaatkan sumber mata air Paniis sesuai ijin dari Pemerintah Kabupaten<br />

Kuningan; dan<br />

2. membantu kepentingan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam perlindungan<br />

dan pelestarian daerah tangkapan air (catchment area) sumber mata air.<br />

Dalam perjanjian itu disepakati besarnya dana kompensasi konservasi dihitung<br />

dengan mempertimbangkan produksi air sumber air, tarif yang berlaku sebelum<br />

diolah bagi pelanggan di Kota Cirebon, dan tingkat kebocoran air. Kesepakatan<br />

besaran dana kompensasi konservasi Gunung Ciremai dari Kota Cirebon dari<br />

rumusan tersebut adalah Rp.1,75 milyar untuk tahun 2005.<br />

Institusionalisasi pemahaman lingkungan itu didukung ketersediaan data kuantitas<br />

dan kualitas air yang tersedia, kondisi fisik dan ekonomi kawasan sumber mata air,<br />

tekanan kelestarian ekosistem kawasan sumber mata air, dan kebijakan Pemda<br />

untuk menjaga resapan air. Salah satu <strong>Perda</strong> penting adalah <strong>Perda</strong> Kabupaten<br />

Kuningan No. 38 Thn. 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Gunung<br />

Ciremai. <strong>Perda</strong> RUTR Gunung Ciremai itu selain berfungsi mengalokasikan ruang<br />

kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen<br />

wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas<br />

stabil sepanjang tahun. Karena itu RUTR Gunung Ciremai adalah sertifikat<br />

komitmen Pemda dan masyarakat Kabupaten Kuningan untuk mempertahankan<br />

wilayah Gunung Ciremai sebagai resapan air pemasok kebutuhan air minum<br />

bagi wilayah sekitar. Pelaksanaan RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen<br />

dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam<br />

kerjasama antar daerah di era otonomi daerah. Bagi bidang perencanaan wilayah,<br />

proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tak hanya<br />

bermanfaat dalam mengalokasikan ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam<br />

meningkatkan pendapatan daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir<br />

cenderung lebih aman bila wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan<br />

komitmen menjaga kawasan resapan air, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk<br />

membayar air yang digunakannya diperkirakan meningkat. Peningkatan apresiasi<br />

nilai dari wilayah hilir berkaitan dengan komitmen jelas dari wilayah hulu sebagai<br />

pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air.<br />

225


6. Kandungan <strong>Perda</strong> Rencana Umum Tata Ruang Gunung<br />

Ciremai<br />

Secara umum, ada dua bentuk keluaran yang menjadi indikator apa yang pemerintah<br />

ingin lakukan, yaitu anggaran dan peraturan-peraturan yang dikeluarkannya. Tata<br />

ruang menjadi salah satu bagian peraturan yang secara visual sering digunakan<br />

sebagai indikator preferensi pemerintah. Tata ruang dapat mengungkapkan ke<br />

mana arah pembangunan akan berlangsung, sektor apa yang menjadi prioritas<br />

pembangunan, dan secara keruangan (spasial) juga dapat menunjukkan dampak<br />

pembangunan terhadap struktur ruang. Bagi Pemda Kabupaten Kuningan, <strong>Perda</strong><br />

RUTR Gunung Ciremai disusun dengan pertimbangan antara lain bahwa Pemda<br />

Kuningan menyadari keberadaan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung,<br />

konservasi alam dan zona resapan air, yang kesemuanya mempunyai nilai<br />

ekologis, ekonomi dan sosial, dan mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat<br />

Kabupaten Kuningan. Hal lain yang menjadi pertimbangan keluarnya <strong>Perda</strong><br />

tersebut adalah bahwa semakin pesatnya pembangunan fisik disekitar kawasan<br />

Gunung Ciremai dikhawatirkan akan mempengaruhi fungsi utama Gunung<br />

Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan resapan air sehingga akan<br />

mengalami degradasi.<br />

Pada dasarnya, <strong>Perda</strong> tersebut dilakukan untuk mengatur pengelolaan kawasan<br />

Gunung Ciremai oleh Pemda Kabupaten Kuningan, masyarakat dan Pihak Ketiga,<br />

sehingga tidak secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh <strong>Perda</strong> ini bahwa<br />

kawasan Gunung Ciremai juga dapat menyediakan jasa lingkungan kepada<br />

daerah-daerah di luar Kabupaten Kuningan, khususnya Kota Cirebon. Walaupun<br />

demikian, Pemda Kabupaten Kuningan menyadari bahwa kawasan Gunung<br />

Ciremai juga memberikan jasa lingkungan kepada daerah lainnya, khususnya<br />

Kabupaten dan Kota Cirebon, sebagaimana dinyatakan dalam paragraf pertama<br />

dalam penjelasan umum <strong>Perda</strong> tersebut.RUTR Gunung Ciremai dimaksudkan<br />

sebagai dasar petunjuk bagi aparat Pemda dan masyarakat dalam melakukan<br />

pengaturan ruang dan pengendalian pembangunan di kawasan Gunung Ciremai<br />

dan sekitarnya sesuai dengan fungsinya. Sementara RUTR Gunung Ciremai<br />

bertujuan untuk mengembangkan pola pemanfaatan ruang serta meningkatkan<br />

fungsi kawasan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan<br />

zona resapan air melalui upaya-upaya konservasi, observasi, penelitian, wisata<br />

alam dan kegiatan lain sejenisnya yang dipandang tidak akan mengurangi fungsi<br />

kawasan tersebut pada saat ini dan masa akan datang di dalam Pola Pembangunan<br />

Daerah berkelanjutan. <strong>Perda</strong> tersebut menerangkan bahwa fungsi RUTR Gunung<br />

Ciremai adalah untuk memberikan bahan kebijakan pokok dalam pengelolaan<br />

Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan<br />

air sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah-wilayah yang dimiliki. Selain itu,<br />

<strong>Perda</strong> RUTR juga memberikan arahan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di<br />

kawasan Gunung Ciremai yang menjamin keterpaduan dan keseimbangan antara<br />

sistem ekologis dan hidrologis kawasan dengan sistem sosial ekonomi dan budaya<br />

masyarakat yang berkembang dinamis.<br />

226


Wilayah perencanaan RUTR Gunung Ciremai mencakup 11 kecamatan dengan<br />

luas areal 38.856,61 Ha. Rencana pemanfaatan ruang Kawasan Gunung Ciremai,<br />

dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penyangga, dan zona budidaya.<br />

Penggunaan lahan di zona inti terdiri atas hutan, perkebunan, kebun campuran<br />

dan tegalan. Penggunaan lahan di zona penyangga terdiri atas kebun campuran,<br />

tegalan, sawah dan sebagian keciI permukiman penduduk. Penggunaan lahan di<br />

zona budidaya secara umum merupakan tegalan, kebun campuran, sawah dan<br />

permukiman. RUTR Gunung Ciremai ditinjau dan dievaluasi kembali setiap lima<br />

tahun, guna mendapat bahan-bahan masukan sebagai bahan penyempurnaan<br />

selanjutnya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi maupun perkembangan<br />

yang akan terjadi dan yang akan datang. Secara umum, <strong>Perda</strong> tersebut menjelaskan<br />

bahwa pembangunan di sekitar kawasan Gunung Ciremai yang menjadi daerah<br />

penyangga Kabupaten dan Kota Cirebon, sampai saat ini berlangsung sangat<br />

pesat. Pesatnya pembangunan fisik ini diduga sebagai pengaruh perkembangan<br />

wilayah sekitarnya, terutama Kabupaten dan Kota Cirebon, serta peningkatan<br />

jumlah penduduk. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan mengingat Kawasan<br />

Gunung Ciremai secara alami memiliki karakteristik yang khas sebagai kawasan<br />

konservasi alam dan zona resapan air. Kawasan Gunung Ciremai sendiri memasok<br />

sebagian besar air bersih dan irigasi yang menjadi andalan utama masyarakat<br />

Kabupaten Kuningan, Kabupaten dan Kota Cirebon, serta daerah-daerah Iain<br />

sekitamya. Dengan demikian keberadaan kawasan tersebut sangat vital dan<br />

strategis, yang karenanya untuk mengelola dan mengendalikan kawasan Gunung<br />

Ciremai diperlukan suatu pola ruang yang mengatur peruntukan lahan dan upaya<br />

pengembangan wilayahnya sesuai dengan kemampuan dan karakteristik wilayah<br />

tersebut.<br />

Mengingat <strong>Perda</strong> itu digunakan sebagai sertifikat komitmen dalam kerjasama antar<br />

wilayah, penting untuk menyatakan secara eksplisit dalam <strong>Perda</strong> itu baik dalam<br />

batang tubuh maupun penjelasan bahwa <strong>Perda</strong> dapat digunakan sebagai sertifikat<br />

komitmen dalam kerjasama antar wilayah, misalnya dengan manambahkan 1 bab<br />

khusus tentang hal ini. Adanya klausa seperti itu akan memperkuat kedudukan<br />

<strong>Perda</strong> sebagai alat ‘menjual’ sertifikat komitmen sebagai imbalan atas pembayaran<br />

yang diterima Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi hutan di<br />

kawasan tersebut. Hal penting lain adalah penjelasan bahwa mekanisme PES yang<br />

diterapkan seandainya dilaksanakan kerjasama antar wilayah akan tergantung<br />

hasil kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam nota kesepahaman<br />

berkekuatan hukum serta mengikat kedua pihak. Termasuk dalam bagian ini adalah<br />

penentuan klausa pembayaran. Lebih jauh, mengingat yang menjadi ujung tombak<br />

pelaksanaan konservasi sumber air minum adalah masyarakat di sekitar mata air,<br />

<strong>Perda</strong> tersebut perlu menjelaskan bahwa penerimaan dari kerjasama antar wilayah<br />

yang terkait dengan konservasi sumber air minum, baik sebagian atau seluruhnya,<br />

akan diberikan ke masyarakat yang penggunaannya semata-mata untuk kegiatan<br />

konservasi dan tidak untuk kegiatan lain. Jika klausul ini dibuat, implikasinya<br />

adalah perlunya pemantauan berkesinambungan atas penggunaan dana tersebut,<br />

baik oleh masyarakat maupun bagian dana yang dikelola oleh Pemda.<br />

227


7. Pembahasan<br />

Kasus di atas menjadi contoh aktual dan menarik yang menjawab kekhawatiran<br />

bahwa pada masa otonomi daerah, setiap daerah akan cenderung mementingkan<br />

daerahnya sendiri. Hal tersebut akan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik,<br />

terutama apabila terdapat sumber daya yang bersifat mengalir lintas wilayah<br />

(Dermawan, 2004; Kliot et al., 2001). Keberhasilan Kabupaten Kuningan dan Kota<br />

Cirebon dalam mencapai resolusi atas konflik sumber air minum menunjukkan<br />

bahwa hal yang sama bisa saja dilakukan di tempat lain di Indonesia. Akan tetapi,<br />

terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar kesepakatan serupa bisa<br />

dilakukan di tempat lain. Pengelolaan air lintas wilayah akan efektif berjalan<br />

apabila didukung oleh adanya inisiatif (kebijakan) dari pemerintah daerah di<br />

bagian hulu tempat dimana sumber-sumber air berada. Peran penataan ruang<br />

dalam pengelolaan sumber daya air adalah untuk :<br />

1. menjamin ketersediaan air, baik kualitas maupun kuantitas untuk memenuhi<br />

kebutuhan masa kini dan masa mendatang melalui pengelolaan kawasan<br />

konservasi dan pengendalian kualitas air,<br />

2. koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah untuk mencapai komitmen bersama,<br />

dan<br />

3. mencegah eksternalitas yang merugikan masyarakat secara luas (Departemen<br />

Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001).<br />

Di pihak lain, daerah hilir pun mempunyai kewajiban yang sama untuk senantiasa<br />

bekerjasama dengan daerah hulu dalam pengelolaan sumber daya air, dengan peran<br />

yang jelas dan disepakati kedua belah pihak. Daerah hilir tidak dapat begitu saja<br />

melaksanakan free-riding atas manfaat yang telah disediakan oleh daerah hulu.<br />

Visi untuk berbagi merupakan kunci pertama bagi terselenggaranya pengelolaan<br />

air minum lintas wilayah yang adil dan efisien, sebaliknya tanpa adanya visi<br />

untuk berbagi manfaat air diantara dua wilayah yang bersengketa, maka air<br />

yang lintas wilayah akan tetap menjadi sumber konflik berkepanjangan antar<br />

pihak yang bersengketa. Konflik air dapat pula memicu konflik lainnya yang lebih<br />

luas, dan bahkan dapat menciptakan perang sipil antar daerah yang bersengketa.<br />

Hal tersebut mungkin terjadi karena air merupakan sumberdaya alam yang<br />

keberadaanya vital dan tidak dapat disubstitusi oleh barang lainnya. Lebih lanjut<br />

Rahaman dan Vorris (2004) menyebutkan bahwa air adalah kehidupan dan air<br />

merupakan simbol umum dari kemanusian (humanity), pemerataan sosial (social<br />

equity), dan keadilan (justice).<br />

8. Kesimpulan dan Rekomendasi<br />

Tulisan ini telah menunjukkan bahwa <strong>Perda</strong> yang dihasilkan oleh satu kabupaten<br />

tidak hanya bermanfaat di dalam kabupaten yang bersangkutan, tetapi juga<br />

bisa menjadi alat negosiasi dan jaminan kepada kabupaten lain. Dalam konteks<br />

hubungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, <strong>Perda</strong> Kabupaten<br />

228


Kuningan tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai telah menjadi<br />

sertifikat komitmen yang mempunyai kedudukan penting dalam mencapai resolusi<br />

konflik dan merekatkan hubungan antara kedua daerah. Kegiatan konservasi<br />

membutuhkan sejumlah dana yang selain berasal dari pemerintah, juga dapat<br />

diperoleh dari pengguna jasa lingkungan (environmental services-users) sebagai<br />

bentuk tanggung-jawab dan partisipasi konservasi kawasan yang telah memberikan<br />

jasa lingkungannya. Dalam paper ini sebagaimana dibahas sebelumnya terdapat<br />

beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi umum untuk menata<br />

kebijakan pengelolaan air minum lintas wilayah khususnya di Indonesia. Dalam<br />

menata kebijakan pengelolaan air (minum) lintas wilayah ada beberapa tahapan<br />

kegiatan yang perlu ditempuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan<br />

sumber daya air tersebut, yaitu :<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Melakukan inventarisasi ketersediaan dan kebutuhan air minum masyarakat<br />

dan menganalisis kemungkinan terjadinya konflik diantara penggunanya.<br />

Keterbatasan, kekurangan, dan kelangkaan air dapat memicu terjadinya<br />

konflik antar daerah. Inventarisasi ketersediaan dan kebutuhan air minum<br />

merupakan langkah pertama untuk mendeskripsikan potensi konflik antar<br />

daerah. Apabila kebutuhan air minum masyarakat melebihi ketersediaan air<br />

minum yang ada, maka potensi konflik antar daerah cenderung meningkat.<br />

Apabila kondisi tersebut terjadi maka daerah-daerah perlu segera melakukan<br />

langkah-langkah resolusi konflik melalui proses negosiasi.<br />

Daerah yang memiliki sumber air minum melakukan inisiatif kebijakan untuk<br />

melindungi kawasan sumber airnya. Potensi sumber air minum yang ada perlu<br />

dilindungi oleh daerah dimana sumber air tersebut berada. Upaya perlindungan<br />

sumber air dapat dilakukan dengan menetapkan kawasan sumber air minum<br />

termasuk daerah resapannya sebagai kawasan lindung. Kawasan sumber<br />

air minum tersebut dilindungi dengan perangkat peraturan perundangan,<br />

misalnya peraturan daerah (perda) yang secara khusus mengatur tata ruang<br />

kawasan tersebut. <strong>Perda</strong> tersebut selain mengatur alokasi ruang sesuai dengan<br />

fungsinya sebagai resapan air, juga menjadi bukti dari komitmen pemerintah<br />

dan masyarakat untuk melindungi sumber air yang ada di wilayahnya. Dalam<br />

proses negosiasi antar daerah, perda RUTR tersebut dijadikan sebagai sertifikat<br />

atau jaminan komitmen pemerintah daerah dan masyarakat di bagian hulu<br />

untuk menjamin pasokan air minum ke wilayah hilirnya, sehingga apresiasi<br />

pengguna air minum untuk memberikan dana kompensasi konservasi ke<br />

daerah hulu meningkat.<br />

Melakukan proses negosiasi diantara daerah-daerah yang memanfaatkan<br />

sumber air minum yang sama.<br />

Dalam proses negosiasi diantara daerah-daerah yang memanfaatkan sumber air<br />

minum yang lintas wilayah dilakukan pembahasan mengenai : (a) mekanisme<br />

alokasi air minum lintas wilayah yang sesuai; dan (b) menetapkan besaran nilai<br />

PES dari pengguna air minum terhadap daerah hulu yang memiliki sumber air<br />

minum. Kedua proses tersebut diajukan setelah terlebih dahulu dilakukan riset<br />

229


tentang prioritas model mekanisme alokasi air minum lintas wilayah dan besaran<br />

nilai kesediaan membayar pengguna air minum untuk membiayai kegiatan<br />

konservasi kawasan sumber air minum. Dengan disepakatinya mekanisme<br />

alokasi air minum lintas wilayah dan besaran nilai PES diantara daerah yang<br />

memanfaatkan sumber air minum, maka resolusi konflik pun tercapai. Selama<br />

proses negosiasi dilakukan, fasilitator selalu mendorong pihak-pihak yang<br />

bersengketa untuk tetap berpikir bahwa pembagian manfaat lebih berguna dari<br />

hanya pembagian air semata. Proses negosiasi yang berkaitan dengan PES dapat<br />

dilakukan apabila syarat-syarat utamanya terpenuhi dengan baik, yaitu :<br />

1. Adanya penyedia jasa lingkungan (environmental services provider) yang<br />

mampu mengelola dan menjamin kelestarian jasa lingkungan secara baik<br />

kepada pihak pengguna jasa lingkungan;<br />

2. Adanya pengguna jasa lingkungan (environmental srvices users) yang memiliki<br />

pemahaman dan apresiasi yang memadai terhadap nilai jasa lingkungan,<br />

sehingga motivasi untuk memberikan dana kompensasi konservasi akan<br />

berjalan dengan baik;<br />

3. Jasa lingkungan berupa jasa hidrologis mampu diidentifikasi dengan baik<br />

oleh penyedia jasa lingkungan, sehingga pengguna jasa lingkungan memiliki<br />

persepsi dan pemahaman yang sama tentang jasa lingkungan yang dapat<br />

disediakan oleh penyedia jasa lingkungan.<br />

Selain ketiga syarat tersebut, beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya<br />

transfer dana kompensasi konservasi di kawasan Gunung Ciremai adalah sebagai<br />

berikut :<br />

1. Kedua pemerintah daerah memiliki kesamaan visi untuk memanfaatkan<br />

sumber air yang lintas wilayah secara adil dan menghindari terjadinya konflik<br />

yang lebih luas diantara pengguna air;<br />

2. Kedua pemerintah daerah memiliki komitmen politik dan dukungan publik<br />

yang kuat dalam menciptakan sistem pembagian air yang efisien dan adil;<br />

3. Kedua pemerintah daerah mendorong proses kemitraan yang kuat untuk<br />

melindungi dan melestarikan sumber air minum melalui kesepakatan<br />

kerjasama pemanfaatan air sumber air yang lintas wilayah;<br />

4. Kedua pemerintah daerah melalui perjanjian kerjasama antar daerah<br />

menyepakati perlunya dana kompensasi konservasi yang harus diberikan oleh<br />

pengguna air di bagian hilir kepada penyedia air di bagian hulu dengan jumlah<br />

yang mencukupi untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan sumber<br />

airnya.<br />

Masyarakat dan pemerintah daerah hulu yang memiliki sumber air minum perlu<br />

menetapkan kebijakan perlindungan kawasan sumber airnya yang memiliki<br />

kekuatan hukum formal. Perlindungan kawasan sumber air minum terkait<br />

langsung dengan kebijakan penataan ruang di kawasan tersebut. Dana kompensasi<br />

konservasi yang diberikan oleh pengguna air minum, terutama yang berada di luar<br />

Kabupaten Kuningan agar difokuskan untuk mendukung kegiatan konservasi<br />

sumber resapan air di kawasan Gunung Ciremai.<br />

230


Daftar Pustaka<br />

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya<br />

Air Melalui Pendekatan Penataan Ruang. Makalah Semiloka dan Pelatihan<br />

Penataan Ruang Universitas Islam Bandung. Bandung, 2-3 Mei 2003.<br />

Dermawan, A.2004. Has the Big Bang Hit the Trees and People? The Impacts<br />

of Indonesia’s Decentralization on Forest Conservation and the Livelihood of<br />

Communities. Department of Economics and Resource Management. Aas, Norway,<br />

Agricultural University of Norway.<br />

Kliot, N., et al.2001. Institutions for Management of Transboundary Water<br />

Resources: Their Nature, Characteristics and Shortcomings. Water Policy 3: 229-<br />

255.<br />

Pagiola, S., et al.2005. Can Payments for Environmental Services Help Reduce<br />

Poverty? An Exploration of the Issues and the Evidence to Date from Latin America.<br />

World Development 33(2): 237-253.<br />

Rahaman, M.M, and O. Voris. 2004. The Ethics of Water : Some Realities and<br />

Future Challenges. Working Paper of The Water Resources Laboratory, Helsinki<br />

University. Tietotie.<br />

Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan<br />

Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana<br />

Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.<br />

Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor<br />

Air Bersih Bagi Kesejahteraan <strong>Publik</strong>. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang<br />

Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor, 27<br />

Septemeber 2003.<br />

Wahyudin, 2000, Potensi Cekungan Airtanah Cirebon, Jawa Barat. Direktorat<br />

Geologi Tata Lingkungan, Bandung.<br />

Wunder, S.2005. Payments for Environmental Services: Sume Nuts and Bolts.<br />

CIFOR Occasional Paper 42. Bogor, Indonesia; CIFOR.<br />

231


4. Meneguhkan Akses Masyarakat Miskin terhadap Sumber<br />

Daya Hutan: Kajian Atas <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> Perhutanan Sosial<br />

(Social Forestry) di Tiga Daerah<br />

1. Latar Belakang<br />

Sebutan “Rich Forest Poor People” dari Nancy Peluco (1992) untuk menggambarkan<br />

kondisi yang bertolak belakang antara kemiskinan masyarakat desa hutan di Jawa<br />

dengan kondisi hutan jati yang mendatangkan banyak pundi sangatlah relevan<br />

sampai sekarang. Bahkan bukan hanya di Jawa, namun telah menjadi fenomena<br />

umum di negara-negara yang kaya dengan hutan tropis, yang oleh kelompok<br />

Greenpeace disebut sebagai surga hutan tropis (paradise forests). Hutan tropis<br />

yang begitu kaya dan telah banyak memberikan keuntungan ekonomi bagi negara<br />

dan aparaturnya sama sekali tidak memberikan dampak bagi kesejahteraan<br />

masyarakat sekitar. Mereka tetap dimiskinkan dengan ketiadaan dan keterbatasan<br />

akses terhadap sumber daya hutan (SDH) yang diklaim sebagai milik negara.<br />

Jangankan menikmati kayu, sekedar mengambil ranting, rencek dan dedaunan<br />

yang jatuh pun selama ratusan tahun harus dilakukan dengan mengendap penuh<br />

ketakutan. Menurut catatan Perhutani (2001), pulau Jawa yang luasnya mencapai<br />

12.524.357 ha, hampir seperempatnya merupakan lahan hutan negara. Sekitar<br />

sepertiga lahan hutan negara yang luasnya mencapai 2.881.949 ha itu, sepertiganya<br />

ditumbuhi pohon jati. Pulau Jawa merupakan penghasil kayu jati terbesar di dunia,<br />

setelah Thailand dan Burma (Peluso, 1992:141). Semenjak zaman kolonial hingga<br />

saat ini, hutan jati di Jawa sepenuhnya dikuasai dan dikelola oleh negara. Nama<br />

dan bentuk pengelolanya mungkin saja berubah, namun fungsi dan ideologinya<br />

sebagai representasi kekuasaan negara dalam bidang kehutanan tidak banyak<br />

mengalami pergeseran substansial. Bahkan kontrol yang dilakukan oleh negara<br />

orde baru lebih ketat dibandingkan dengan negara kolonial Belanda (Peluso dalam<br />

Poffonberger, 1990: 27-53).<br />

Politik sumber daya hutan yang diintrodusir negara dalam kerangka menjamin<br />

kepentingan ekonominya menempatkan MSH (Masyarakat Sekitar Hutan) selalu<br />

dalam posisi marjinal. Dalam sejarah, tragedi awal dari proses marjinalisasi ini<br />

adalah dilansirnya reglemen hutan pertama yang menganggap semua hutan jati<br />

di Jawa adalah kepunyaan negara, tidak terkecuali yang ada di daerah Sunan<br />

Surakarta dan Sultan Yogyakarta . Reglemen ini semakin kokoh dengan keluarnya<br />

Staatsdomein; Staatsblad no 118 tahun 1870 dimana di dalamnya ada pasal yang<br />

memuat keterangan bahwa semua lahan yang di atasnya tidak bisa dibuktikan<br />

hak miliknya atau tanah kosong (woeste gronden), menjadi domain negara. Lahan<br />

yang dimaksud salah satunya adalah lahan yang ditumbuhi hutan jati di Jawa<br />

Gagasan tentang hutan sebagai domain negara sebenarnya sudah diintrodusir oleh Gubernur<br />

Dandeles pada tahun 1808<br />

232


yang saat itu belum serusak sekarang. Kontrol negara atas akses hutan Jawa<br />

itu mencakup tiga hal, yaitu kontol terhadap lahan atau tanah, kontrol terhadap<br />

tanaman dan kontrol terhadap tenaga kerja (Peluso, 1992: 17). Setelah Indonesia<br />

merdeka, model pengelolaan ala kolonial di atas bukannya dilakukan pembaharuan,<br />

namun justru dilestarikan. Bahkan penerapannya bukan hanya di Jawa, namun<br />

juga dioperasikan untuk mengelola hutan di luar Jawa 2. Model pengelolaan hutan<br />

di zaman Orde Baru juga tidak banyak mengalami perubahan, bahkan lebih<br />

mundur dari apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam<br />

berbagai kesempatan, Hasanu Simon 3<br />

mengkritik model pengelolaan hutan di<br />

luar Jawa yang dilakukan oleh Orde Baru dengan menyebutnya sebagai model<br />

penambangan kayu (timber extraction). Hutan dipandang sebagai sumber ekonomi<br />

yang dieksploitasi tanpa memikirkan kelestarian dan kehidupan masyarakat<br />

setempat. Sementara Belanda telah memperkenalkan model timber management<br />

dalam mengelola hutan di Jawa yang sangat disiplin memperhatikan daur dan<br />

kelestarian hasilnya dengan menerapkan ilmu teknik kehutanan, meskipun tidak<br />

pernah memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat.<br />

Negara tetap memandang masyarakat setempat yang bermukim di sekitar<br />

dan di dalam hutan sebagai ancaman. Mereka dituduh dan dicitrakan sebagai<br />

perusak hutan. Padahal keberadaan mereka jauh sudah ada sebelum perusahaanperusahaan<br />

HPH (Hak Pengusahaan Hutan) masuk dan mengeksploitasi hutan.<br />

Kebijakan negara Orde Baru dalam bidang kehutanan yang sangat tidak berpihak<br />

pada masyarakat setempat bertumpu pada Undang-Undang Pokok Kehutanan<br />

(UUPK) No.5 tahun 1967. UUPK ini memberikan mandat hukum kepada negara<br />

untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan dan penguasaan hutan<br />

serta menggunakan pengaturan sesuai wewenangnya. Dalam Pasal 17 dinyatakan<br />

bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hutan,<br />

selama hak tersebut tidak mengganggu tujuan dari UUPK, seperti yang diartikan<br />

oleh Menteri (Thiesenhuen dkk, 1997). Tafsir ”tidak mengganggu tujuan UUPK”<br />

tentu saja dimaknai oleh negara tidak mengganggu kepentingan negara dalam hal<br />

ini kepentingan perusahaan HPH.<br />

Perusahaan-perusahaan HPH mulai menyerbu hutan-hutan di luar Jawa yang<br />

masih rimbun dan perawan sejak dikeluarkannya PP no 21 tahun 1970 tentang HPH<br />

dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan PP no 33 tahun 1970 tentang Perencanaan<br />

Hutan. Secara bersama-sama UUPK dan PP tersebut memberikan kerangka<br />

bagi eksploitasi sumber daya hutan oleh perusahaan besar. Semua kebijakan<br />

ini dirumuskan berdasarkan citra masyarakat yang tinggal di dalam hutan dan<br />

masyarakat lokal yang memanfaatkan hutan yang digambarkan sebagai perusak<br />

hutan nasional dan perambah lahan milik negara atau perusahaan. Masyarakat<br />

sebagai ancaman, bukan mitra, menjadi dasar kebijakan kehutanan. Citra ini<br />

semakin dikokohkan dengan SK Menteri Pertanian No 251/1993 yang<br />

2 Istilah luar Jawa merujuk pada pulau-pulau di Indonesia selain pulau Jawa dan Bali (Geertz, 1963)<br />

3 Hasanu Simon merupakan Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Dia<br />

merupakan salah seorang yang sangat getol mengkampanyekan pengelolaan hutan bersama<br />

masyarakat.<br />

233


mengidentifikasi masyarakat dalam dan sekitar hutan sebagai ancaman potensial<br />

bagi perusahaan perkayuan; padahal SK tersebut bertujuan melindungi hak-hak<br />

masyarakat atas HHNK (hasil Hutan Non Kayu) dan pemanfaatan kayu untuk<br />

tujuan non komersial. SK bersama 3 departemen (Pertanian, Dalam Negeri,<br />

Transmigrasi dan Perambah Hutan) nomor 480/Kpts-II/1993 juga menggambarkan<br />

MSH yang melaksanakan perladangan berpindah sebagai perusak SDH.<br />

Model pembangunan kehutanan ala Orde Baru yang tidak mempedulikan dan<br />

memperhatikan kelestarian SDH dan memberangus akses MSH tidak sepi kritik.<br />

Dimulai pada tahun 1978 saat diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia di<br />

Jakarta yang mengambil tajuk ”forest for people”, hutan untuk rakyat. Salah satu<br />

rekomendasi penting konggres ini adalah perlunya pembangunan kehutanan yang<br />

lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat dengan cara melibatkan<br />

mereka dalam kegiatan kehutanan.<br />

Asumsi yang dikembangkan adalah MSH sebagian besar dalam kondisi miskin,<br />

karena itu mereka melakukan tindakan merusak hutan demi memenuhi kebutuhan<br />

ekonomi. Sejak saat itu mulai dilansir gagasan pembangunan kehutanan dengan<br />

pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), maksudnya menjadikan<br />

kesejahteraan masyarakat setempat sebagai basis dan tujuan pengelolaan<br />

hutan. Oleh Perhutani gagasan itu diterjemahkan dalam bentuk program Inmas<br />

Tumpangsari (Intensifikasi Massal Tumpangsari) di hutan Jawa. Sayangnya<br />

program ini kurang menyentuh persoalan yang hakiki, yaitu akses SDH. Alih-alih<br />

mensejahterakan masyarakat, justru yang terjadi adalah eksploitasi tenaga kerja<br />

murah demi kepentingan perhutani. Masyarakat hanya mendapatkan lahan andil<br />

untuk ditanami palawija sembari diberi kewajiban memelihara tanaman pokok<br />

(jati) hingga 2-3 tahun. Mereka sama sekali tidak diperkenankan menikmati hasil<br />

tanaman kayu yang mereka tanam. Padahal hasil dari tumpangsari itu sangat<br />

tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Setelah program Inmas Tumpangsari<br />

muncul program-program lain yang mencoba mengintegrasikan isu-isu kehutanan<br />

dan isu-isu pembangunan MSH, mulai dari MALU (Mantri dan Lurah), PMDH<br />

(Pembangunan Masyarakat Desa Hutan), PS (Perhutanan Sosial) hingga yang<br />

terbaru adalah PHMB (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).<br />

Di luar Jawa integrasi isu kesejahteraan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan<br />

hutan relatif terlambat, setelah banyak muncul protes dan konflik penduduk<br />

setempat dengan HPH. Sebagai jawaban, tahun 1992 pemerintah meluncurkan<br />

kebijakan HPH Bina Desa Hutan yang mewajibkan setiap HPH membina paling<br />

sedikit 1 desa dalam setahun. Bentuknya adalah program-program comunity<br />

development, seperti memberikan bantuan dana untuk kegiatan ekonomi rakyat,<br />

pembangunan sarana dan infrastruktur dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat<br />

sosial. Namun berbagai upaya itu sepertinya tidak banyak membawa perubahan<br />

bagi kehidupan ekonomi MSH. MSH tetap dijauhkan dari akses SDH. Program dan<br />

proyek yang berlabel “sosial” itu lebih bersifat charity, sebagaimana politik etis yang<br />

dilakukan pada zaman kolonial daripada benar-benar memberikan kesempatan<br />

dan membuka ruang kepada MSH untuk mengelola dan mengakses<br />

234


SDH. Negara sepertinya tak pernah ikhlas dalam proses pengelolaan SDH dengan<br />

MSH. Pasca reformasi 1998 terjadi perubahan dalam kebijakan kehutanan, terutama<br />

dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 41 thn 1999<br />

yang mengatur peran serta dan hak masyarakat dalam pembangunan kehutanan.<br />

Dalam UUPK ini ada beberapa peluang untuk pengembangan perhutanan sosial<br />

dalam bentuk hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan dengan<br />

tujuan khusus. Misalnya dalam Pasal 67 diakui hak masyarakat hukum adat untuk<br />

melakukan pemungutan hasil hutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan<br />

mendapatkan pemberdayaan untuk kesejahteraanya. Pasal ini juga menyatakan<br />

pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan peraturan daerah.<br />

Kebijakan dan peraturan yang mengarah ke upaya perbaikan, peran serta<br />

masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara dikembangkan dalam bentuk<br />

hutan kemasyarakatan (HKM) dimulai di awal tahun 1995 melalui Kepmen<br />

Kehutanan No. 622/1995. Keputusan ini menekankan ijin pemanfaatan hutan. Hak<br />

masyarakat dibatasi pada rehabilitasi hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan<br />

kayu. Keputusan ini kemudian diperbaiki SK Menteri No.677/Kpts-II/1998 di mana<br />

masyarakat bisa mengambil keputusan pengelolaan hutan dan pemerintah sebagai<br />

fasilitator saja dan masyarakat harus membentuk koperasi. Ijin pemanfaatan<br />

diganti menjadi ijin pengusahaan. Keputusan ini kemudian diganti lagi dengan SK<br />

No. 865/Kpts-II/1999 di mana ijin pengusahaan diganti menjadi ijin pemanfaatan<br />

dan masyarakat tidak harus membentuk koperasi tetapi bisa kelompok apa saja.<br />

Sebelum sempat beredar di masyarakat, SK ini diganti lagi dengan SK Menteri<br />

Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 yang memberi wewenang pada Bupati untuk<br />

memberi ijin dan memfasilitasi pembentukan kelembagaan masyarakat.<br />

Saat ini kebijakan di tingkat pusat yang dapat dijadikan rujukan dalam<br />

pembuatan <strong>Perda</strong> adalah Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam TAP<br />

MPR No. III Tahun 2000 bukan SK Menteri atau Keputusan Menteri (Kepmen).<br />

Berangkat dari ini, pemerintah membuat PP No. 34 thn 2002 tentang tata hutan<br />

dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan<br />

kawasan hutan. PP 34 menetapkan kegiatan pemanfaatan hutan dalam berbagai<br />

bentuk pemanfaatan kawasan baik hutan lindung maupun hutan produksi dan<br />

pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemanfaatan jasa lingkungan<br />

yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Berbagai peluang kebijakan di<br />

atas makin diperkuat dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu<br />

dikeluarkannya UU No. 22 thn 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 thn<br />

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan proses desentralisasi dan otonomi ini,<br />

di beberapa daerah muncul upaya membuat kebijakan pengelolaan hutan berbasis<br />

masyarakat atau perhutanan sosial. Upaya ini sudah mulai dirintis di Lampung<br />

Barat, Kutai Barat, NTB dan Wonosobo. Di Wonosobo ada <strong>Perda</strong> no. 22 thn 2001<br />

tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat yang sampai saat<br />

ini masih terkatung sejak dibatalkan Kepmendagri no. 9 thn 2005. Di Kutai Barat<br />

ada <strong>Perda</strong> no. 31 thn. 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat. Di NTB ada <strong>Perda</strong><br />

no. 6 thn. 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.<br />

235


2. Perumusan Masalah<br />

Sejak awal semangat otonomi daerah dihikmatkan pada kesejahteraan masyarakat.<br />

Asumsi yang dikembangkan sebenarnya sederhana, yaitu dengan adanya otonomi<br />

daerah, pemerintah daerah dapat mengoptimalkan segala kewenangan dan sumber<br />

daya yang dimiliki guna meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan<br />

masyarakat. Sayangnya tidak semua pemerintah daerah mampu mengambil<br />

manfaat dari kesempatan dan peluang ini. Tidak jarang kewenangan lebih yang<br />

dimiliki oleh daerah ini justru dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pejabat<br />

dan politisi lokal untuk memperkaya diri. Demikian juga bagi hasil pendapatan<br />

yang mereka peroleh dari pusat justru untuk membangun proyek mercusuar yang<br />

jauh dari manfaat publik.<br />

Tidak terkecuali dalam sektor kehutanan. Dengan adanya otonomi daerah, justru<br />

pemerintah daerah ramai-ramai mengeluarkan ijin pemanfaatan hutan dalam<br />

skala kecil. 4<br />

Keluarnya ijin-ijin usaha pemanfaatan hutan di daerah terutama<br />

sejak era otonomi, mendorong tekanan terhadap sumber daya hutan semakin<br />

meningkat. Tidak berbeda dengan pemerintah pusat, banyak pemerintah daerah<br />

hanya menganggap dan melihat hutan sebagai sumber pendapatan yang harus<br />

dieksploitasi secepat mungkin dengan mengabaikan kelestariannya.<br />

Pemerintah daerah seolah menjadi raja-raja kecil dengan kewenangan yang dimiliki<br />

mengkapling-kapling lahan hutan untuk dieksploitasi tanpa mempedulikan<br />

kelestarian dan kepentingan konservasi. Otonomi bukannya memperbaiki sistem<br />

pengelolaan hutan, namun sebaliknya semakin memperparah kondisi kerusakan<br />

hutan. Kewenangan seluas-luasnya pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola<br />

sumber daya nasional terbukti tidak berimplikasi positif. Bahkan sebaliknya,<br />

sumber daya hutan cenderung mengalami tekanan yang sangat serius berupa<br />

laju deforestasi yang lebih besar melampaui 2,5 juta hektar/tahun dari rata-rata<br />

5<br />

sebelumnya 1,6 juta hektar. Dalam rangka mendongkrak perolehan PAD, banyak<br />

daerah kaya hutan berusaha memperbesar bagian kabupaten dari iuran, provisi<br />

dan dana yang dibayarkan perusahaan kayu yang beroperasi di wilayahnya.<br />

Tidak heran bahwa banyak peraturan daerah tentang kehutanan yang diterbitkan<br />

kabupaten di masa otonomi ini lebih berorientasi pada pengaturan mekanisme<br />

perijinan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dan atau retribusi dan pajak<br />

yang dipungut atas pemanfaatan, pemungutan dan pengangkutan hasil hutan. 6<br />

4 Sebagai contoh, sejak era otonomi Di Kabupaten Malinau, misalnya, sampai bulan Februari 2004<br />

telah dikeluarkan 39 IPPK (ijin pemungutan dan pemanfaatan kayu) dengan luas keseluruhan 56,000<br />

ha, dan di Kabupaten Kutai Barat sampai Agustus 2000 telah dikeluarkan 223 ijin meliputi luas<br />

22,300 hektar. Lihat Warta Kebijakan No 7 November 2002<br />

5 Lihat Otonomi Ancam Pengelolaan Hutan, Kompas 1 Juni 2002.<br />

6 Sebagai contoh adalah <strong>Perda</strong> No 2/2000 Kabupaten Barito Selatan mengatur tentang Retribusi Hasil<br />

Hutan, Hasil Hutan Bukan Kayu dan Hasil Perkebunan, <strong>Perda</strong> No 5/2000 Kabupatan Kapuas mengatur<br />

tentang Tata Cara Pemungutan Hasil Hutan berupa Kayu, <strong>Perda</strong> No. 10/2000 Kabupaten Kapuas<br />

mengatur tentang Pungutan Daerah atas Pengangkutan dan Penjualan Kayu ke luar Kabupaten<br />

Kapuas, dan <strong>Perda</strong> No. /2001 Kabupaten Malinau mengatur Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu.<br />

Lihat “Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap Hutan dan Masyarakat Hutan” dalam<br />

Warta Kebijakan no 7 November 2002<br />

236


Lantas bagaimana dampak otonomi dan desentralisasi pengelolaan sumber daya<br />

hutan bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok miskin? Kita dapat<br />

7<br />

melihat dampak itu dari dua nalar, yaitu nalar anggaran dan nalar kebijakan. <br />

Sebagaimana diungkap di atas, pada era otonomi daerah di banyak tempat sumber<br />

daya hutan menjadi sapi perahan untuk menaikan PAD. Asumsinya jika PAD naik<br />

maka semestinya berimplikasi pada alokasi anggaran bagi peningkatan kualitas<br />

layanan publik, khususnya kelompok miskin. Namun asumsi ini hanya berlaku jika<br />

pemerintah daerah setempat memiliki komitmen yang tinggi terhadap peningkatan<br />

kesejahteraan rakyat. Inilah yang saya maksud dengan nalar anggaran. Dampaknya<br />

tidak langsung dan mensyaratkan komitmen pemerintah daerah. Sementara nalar<br />

kebijakan bentuknya lebih mudah kita raba, yaitu kebijakan-kebijakan daerah<br />

yang memberikan peluang bagi akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber<br />

daya hutan, khususnya kelompok miskin. Ada hubungan khusus antara penduduk<br />

miskin dan hutan. Hal ini disebabkan karena hutan biasanya ditemukan di<br />

wilayah yang tidak terjangkau, jauh dari pelayanan pemerintah, jalan, dan pasar<br />

(pusat kegiatan ekonomi). Maka dari itu, tidak mengherankan jika masyarakat<br />

yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam kondisi miskin. Hutan bagi mereka<br />

merupakan penyangga utama kehidupan ekonomi keluarga. Memberangus akses<br />

terhadap hutan, sama saja mematikan dapur kehidupan keluarga mereka.<br />

Berangkat dari persoalan di atas, makalah ini ingin menguji dan menganalisis<br />

sejauh mana kebijakan daerah di bidang kehutanan memberikan akses sumber<br />

daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan yang masih terbelit kemiskinan. Tiga<br />

contoh kebijakan daerah dalam bentuk perda (peraturan daerah) dihadirkan di sini<br />

sekedar untuk menunjukan bahwa di beberapa daerah ada inisiatif pengelolaan<br />

hutan yang melibatkan masyarakat yang perlu kita apresiasi dan berdampak nyata<br />

bagi peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan.<br />

Tiga perda yang dimaksud adalah <strong>Perda</strong> nomor 22 tahun 2001 tentang Pengelolaan<br />

Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Wonosobo; <strong>Perda</strong> nomor<br />

31 tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Kutai Barat. <strong>Perda</strong><br />

nomor 6 tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan<br />

di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).<br />

3. Metode Pendekatan dan Analisis<br />

Ada 2 istilah yang menjadi kata kunci dalam analisis tiga perda yang memberikan<br />

peluang peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan,<br />

yakni perhutanan sosial dan akses sumber daya hutan. Dua kata kunci ini perlu<br />

kita bedah yang nantinya akan kita jadikan pisau analisis untuk melihat sejauh<br />

mana perda-perda yang dimaksud mengandung semangat pengelolaan model<br />

perhutanan sosial (selanjutnya disebut perda perhutanan sosial) yang memberikan<br />

peluang bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengakses sumber daya hutan.<br />

7 Sebenarnya penggunaan dua nalar ini hanya sekedar simplifikasi karena terkadang nalar anggaran<br />

itu masuk dalam domain nalar kebijakan<br />

237


Sampai saat ini tidak ada definisi tunggal tentang social forestry atau perhutanan<br />

sosial dari para ahli 8.<br />

Demikian juga ada seribu macam nama bentuk pengelolaan<br />

hutan yang berpaku pada prinsip perhutanan sosial. Sehingga sering para pakar<br />

menyebut perhutanan sosial menjadi payung dari berbagai macam bentuk<br />

pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat seperti hutan kemasyarakatan<br />

(HKM) dan kehutanan masyarakat (community forestry), wanatani (agroforestry)<br />

dan upaya penanaman hutan di lahan milik pribadi seperti hutan rakyat, hutan<br />

milik atau hutan keluarga maupun hutan adat serta pengelolaan hutan kerjasama<br />

perusahaan swasta dan masyarakat. Di beberapa negara ada yang menggunakan<br />

istilah sendiri seperti kehutanan masyarakat (Community forestry) di Cina,<br />

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community based forest management<br />

atau CBFM di Filipina ) dan Pengelolaan Hutan Bersama (Joint forest management<br />

atau JFM di India).<br />

Di Indonesia digunakan berbagai istilah seperti hutan kemasyarakatan, hutan<br />

kerakyatan, kehutanan masyarakat, kehutanan sosial dan social forestry. Selain<br />

itu ada pula yang menggunakan istilah perhutanan masyarakat, pengelolaan hutan<br />

berbasis masyarakat atau pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), ada<br />

juga yang menggunakan istilah pengelolaan hutan bersama, pengelolaan hutan<br />

dalam kemitraan dan pengelolaan hutan multipihak atau pengelolaan hutan oleh<br />

masyarakat (PHOM). Belum ada istilah yang disepakati bersama dan diterima<br />

secara luas. Namun semakin meningkat kesamaan pandangan dan keinginan untuk<br />

menegaskan prinsip-prinsip tujuan dan cara pencapaiannya bukan pada namanya<br />

(CIFOR, 2003). Singkatnya perhutanan sosial dapat kita konseptualisasikan sebagai<br />

sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak<br />

lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik<br />

pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan sosial ada yang<br />

sudah dikembangkan secara tradisional di berbagai daerah seperti Repong Damar<br />

di Sumatera, Simpunk di Kalimantan, Kane atau hutan keluarga di Timor maupun<br />

yang diperkenalkan oleh pihak luar, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan<br />

Masyarakat, PHBM dan sebagainya. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan<br />

hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak<br />

atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan,<br />

kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari.<br />

Berdasarkan pada kriteria partisipasi dan derajat keterlibatan <strong>org</strong>anisasi<br />

kehutanan dan masyarakat, ada 4 hal khusus yang dapat diidentifikasi di bawah<br />

payung social forestry (Awang, 2005; Wiersum, 1984), yaitu:<br />

1. Kehutanan partisipasi, dengan karakteristik sebagai berikut:<br />

a. ada partisipasi positif dari masyarakat<br />

b. tanggung jawab pengelolaan ada pada instansi kehutanan<br />

8 Negara juga punya definisi sendiri tentang social forestry seperti yang tercantum dalam Permenhut<br />

No 1 tahun 2004 tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam<br />

rangka social forestry. Social forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan pada<br />

kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat<br />

sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan<br />

kelestarian hutan<br />

238


2.<br />

3.<br />

4.<br />

Kehutanan desa, dengan karakteristik sebagai berikut:<br />

a. instansi kehutanan hanya tidak lagi sebagai pengawas, namun hanya<br />

penasehat<br />

b. perencanaan, pelaksanaan pengelolaan hutan dilakukan oleh masyarakat<br />

atau <strong>org</strong>anisasi masyarakat<br />

Kehutanan masyarakat, dengan karakteristik sebagai berikut:<br />

a. sebagai salah satu bentuk dari hutan desa<br />

b. pengelolaan hutan sepenuhnya dilaksanakan oleh <strong>org</strong>anisasi masyarakat<br />

secara komunal<br />

c. memilik aturan, norma dan nilai sosial budaya dan ekonomi masyarakat<br />

lokal<br />

Pertanian hutan, dengan karakteristik sebagai berikut:<br />

a.<br />

b.<br />

c.<br />

pengelolaan hutan pada lahan milik petani<br />

pelaksanaan dan pengelolaan hutan oleh petani<br />

instansi kehutanan tidak ambil bagian dalam pengelolaan hutan<br />

9<br />

Akses (access) , merujuk pada Merriam-Webster (1993:6) adalah ”kebebasan atau<br />

kemampuan untuk memperoleh atau mengambil manfaat atas sesuatu”. Istilah<br />

akses berhubungan erat dengan istilah kepemilikan (property) yang dicirikan oleh<br />

MacPershon (1978:3) sebagai “...suatu hak atas sebuah klaim untuk menggunakan<br />

atau mengambil manfaat dari sesuatu”. Disini perbedaan krusial antara akses dan<br />

kepemilikan adalah pada istilah ”kemampuan” dan ”hak”. Istilah ”hak” mengandung<br />

implikasi sebuah klaim yang diakui dan masyarakat mendukungnya (baik melalui<br />

hukum, norma atau konvensi). Hak merupakan konsep preskriptif, sedangkan<br />

kemampuan merupakan konsep deskriptif. Kepemilikan hanya mencakup de jure,<br />

sedangkan akses meliputi de jure dan de facto atau ekstra legal. Namun demikian,<br />

dalam kajian perda ini saya hanya memfokuskan pada akses yang legal yang<br />

termaktub dalam tiga perda yang saya kaji.<br />

Dengan demikian, mengkaji peluang akses sumber daya hutan bagi masyarakat<br />

dalam sebuah perda adalah dengan melihat akomodasi perda tersebut terhadap<br />

kebebasan dan kemampuan masyarakat untuk memperoleh atau mengambil<br />

manfaat atas sumber daya hutan. Akomodasi itu dalam 4 bentuk, yaitu<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

rekognisi negara atas hak dan bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat baik<br />

di lahan milik maupun di lahan negara;<br />

pelibatan masyarakat dalam seluruh kegiatan pengelolaan hutan;<br />

pemanfaatan hasil hutan (baik hasil kayu maupun non kayu) secara adil<br />

terutama di hutan-hutan yang status lahannya milik negara;<br />

fasilitasi negara dalam penguatan kapasitas kelembagaan lokal khususnya<br />

dalam pengelolaan lahan dan hutan secara lestari dan berkelanjutan. Empat<br />

bentuk akomodasi dalam perda inilah yang dapat menjadi indikasi kuat bahwa<br />

perda itu meneguhkan akses masyarakat sekitar hutan yang miskin terhadap<br />

sumber daya hutan.<br />

9 Kajian mendalam tentang teori akses dapat di lihat Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso, A Theory of<br />

Access, Rural Sociaology volume 68, Issue 2, 2003<br />

239


Pendekatan yang dipakai dalam analisis perda ini adalah pendekatan normatif<br />

dengan tetap memperhatikan konteks atau milieu munculnya perda tersebut.<br />

Analisis akan difokuskan pada isi perda yang mengandung muatan perhutanan<br />

sosial yang memberikan peluang akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber<br />

daya hutan. Analisis akan ditampilkan secara deskriptif dengan melakukan<br />

pembandingan tiga perda yang dikaji. Dari analisis ini, diharapkan kita akan<br />

memperoleh gambaran yang lebih kaya tentang model-model akses sumber daya<br />

hutan di tiga daerah yang diteguhkan melalui perda.<br />

4. Analisis Dan Temuan Pokok<br />

Ada tiga perda yang akan dianalisis dalam makalah ini, yaitu dua perda tingkat<br />

kabupaten masing-masing <strong>Perda</strong> nomor 22 tahun 2001 tentang Pengelolaan<br />

Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Wonosobo (selanjutnya<br />

disebut perda Wonosobo) dan <strong>Perda</strong> nomor 31 tahun 2000 tentang Pengelolaan<br />

Hutan Rakyat di Kutai Barat (selanjutnya disebut perda Kutai Barat); satu perda<br />

tingkat propinsi <strong>Perda</strong> nomor 6 tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan<br />

Hutan Kemasyarakatan di Propinsi NTB (selanjutnya disebut perda NTB). Ketiga<br />

perda di atas saya namakan perda perhutanan sosial karena di dalamnya berisi<br />

pengaturan pengelolaan hutan yang mengandung karakteristik perhutanan sosial.<br />

<strong>Perda</strong> Kutai Barat mengatur perhutanan sosial yang ada di lahan milik, yaitu<br />

hutan rakyat. Dalam pasal 2, dinyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan<br />

yang dibudidayakan berupa hutan tanaman dan dapat berupa hutan yang tumbuh<br />

secara alami di atas tanah yang dibebani hak milik dan atau hak lainnya. Dalam<br />

kategori Wiersum (1984), model pengelolaan hutan yang diatur dalam perda Kutai<br />

Barat merupakan bentuk pertanian hutan.<br />

Berbeda dengan perda Kutai Barat, model pengelolaan hutan yang diatur dalam<br />

perda Wonosobo dan perda NTB lebih tepat masuk kategori kehutanan masyarakat<br />

yang dilaksanakan pada lahan milik negara. <strong>Perda</strong> Wonosobo menyebutnya dengan<br />

istilah Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Dalam<br />

pasal 1 <strong>Perda</strong> Wonosobo disebutkan bahwa yang dimaksud dengan PSDHBM adalah<br />

sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan masyarakat setempat di<br />

kawasan hutan negara berdasarkan fungsi dan peruntukkannya. <strong>Perda</strong> NTB yang<br />

merupakan perda tingkat propinsi lebih merupakan petunjuk teknis peraturan di<br />

tingkat pusat yang berhubungan dengan hutan kemasyarakatan (HKm).<br />

Sebagaimana kita ketahui, kebijakan HKm mulai digulirkan pemerintah sejak<br />

tahun 1995 dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan nomor 622/1995.<br />

Kebijakan ini telah mengalami beberapa kali revisi terutama setelah reformasi.<br />

Revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 31/Kpts-II/2001<br />

tentang penyelenggaraan hutan kemasyarakatan. Pengertian HKm yang ada di<br />

perda NTB memiliki kemiripan dengan yang ada dalam SK 31. Dalam pasal 1 perda<br />

NTB dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan HKm adalah kawasan hutan yang<br />

dikelola oleh kelompok usaha masyarakat setempat dan bertujuan untuk<br />

240


memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutan.<br />

Selanjutnya dalam pasal 4 dipertegas bahwa status kawasan HKm adalah hutan<br />

negara. Untuk melihat bagaimana tiga perda perhutanan sosial di atas mampu<br />

meneguhkan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan, perlu<br />

dilihat akomodasi masing-masing perda terhadap persoalan akses masyarakat<br />

terhadap sumber daya hutan.<br />

4.1 <strong>Perda</strong> Wonosobo<br />

Dalam bagian menimbang dijelaskan ada 3 latar belakang munculnya perda ini:<br />

1. desakan masyarakat untuk memperoleh manfaat yang optimal dari seluruh<br />

kawasan,<br />

2. peluang desentralisasi dan otonomi pengelolaan sumber daya hutan yang<br />

ada dalam UU No. 22 thn 1999 dan juga peluang pemanfaatan hutan bagi<br />

masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU No. 41 thn 1999,<br />

3. gagalnya pengelolaan hutan negara oleh Perhutani yang bertolak belakang<br />

dengan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo<br />

sehingga pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi keniscayaan bagi<br />

kelestarian hutan. <strong>Perda</strong> Wonosobo terdiri dari IX bab, 48 pasal. Secara garis<br />

besar perda ini mengatur enam hal utama berkaitan dengan penyelenggaraan<br />

pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat di Kabupaten Wonosobo,<br />

yaitu<br />

a. penetapan lokasi,<br />

b. penyiapan dan perencanaan masyarakat,<br />

c. proses perijinan,<br />

d. pengelolaan,<br />

e. pengendalian,<br />

f. ketentuan dan prosedur pencabutan ijin.<br />

Namun demikian, pada intinya perda ini hanya mengatur dua hal pokok, yaitu<br />

1. bahwa perda ini mengatur tentang kegiatan pengelolaan hutan dengan<br />

pendekatan PSDHBM yang ada dalam kawasan hutan negara di Kabupaten<br />

Wonosobo,<br />

2. pemberian sanksi administratif berupa pencabutan ijin PSDHBM bagi<br />

pemegang ijin yang tidak mampu melaksanakan PSDHBM sesuai dengan<br />

rencana yang telah disetujui.<br />

<strong>Perda</strong> ini dapat dikatakan cukup revolusioner karena secara tegas ada pengakuan<br />

negara (pemerintah daerah) terhadap hak dan bentuk pengelolaan hutan yang<br />

dilakukan masyarakat. Bentuk pengakuan hak pengelolaan dinyatakan di pasal<br />

14, bahwa bentuk pengesahan PSDHBM diberikan oleh Bupati sebagai jaminan<br />

kepastian hukum pemegang hak PSDHBM. Menariknya, hak PSDHBM ini<br />

dialokasikan pada kawasan hutan yang selama ini diklaim negara, dalam hal ini<br />

adalah Perhutani 10<br />

.<br />

10 Menurut angka yang dikeluarkan Perhutani Unit I Jawa Tengah, Perhutani mengelola 19.695 ha<br />

lahan hutan negara di Kabupaten Wonosobo yang terbagi dalam dua kesatuan pemangkuan hutan<br />

(KPH), yaitu KPH Kedu Selatan dan KPH Kedu utara<br />

241


Dengan adanya perda ini, maka otoritas pengelolaan hutan negara di Kabupaten<br />

Wonosobo bukan lagi ditangan Perhutani. Kelompok masyarakat yang mampu<br />

memenuhi persyaratan untuk mengajukan ijin PSDHBM juga punya peluang akses<br />

yang lebar untuk mengambil manfaat dan mendapatkan hak kelola hutan negara.<br />

Ijin PSDHBM sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat 3 bukan merupakan<br />

pemilikan atas tanah dan kawasan hutan negara. Dengan demikian, ijin PSDHBM<br />

lebih merupakan ijin pemanfaatan kawasan hutan negara baik di hutan lindung<br />

maupun di hutan produksi. Jangka waktu ijin PSDHBM paling lama 30 tahun<br />

dan dapat diperpajang lagi. Selain pengakuan negara atas hak kelola masyarakat,<br />

perda ini secara eksplisit juga merupakan sebuah rekognisi atas praktek-praktek<br />

pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang terbukti berhasil.<br />

Pengelolaan hutan negara oleh Perhutani Wonosobo telah terbukti gagal yang<br />

terlihat dari kerusakan hutan dan kemiskinan yang membelit kehidupan<br />

masyarakat sekitar hutan. Masyarakat dalam perda ini ditempatkan sebagai<br />

pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Istilah ”berbasis masyarakat” artinya<br />

kesejahteraan dan pelibatan masyarakat menjadi orientasi utama dalam perda<br />

Wonosobo ini. Masyarakat dilibatkan dalam penyelenggaraan PSDHBM sejak dari<br />

perencanaan, pengelolaan sampai pemungutan hasil. Misalnya dalam penetapan<br />

lokasi PSDHBM melalui kegiatan inventarisasi dan identifikasi oleh Pemda<br />

Kabupaten Wonosobo harus melibatkan warga desa setempat dan ”Forum Hutan<br />

Wonosobo” (pasal 7). Bahkan masyarakat berhak memberikan tanggapan atas hasil<br />

inventarisasi dan identifikasi kawasan hutan itu. Demikian juga dalam pengelolaan<br />

PSDHBM, masyarakat sendiri yang melakukannya mulai dari penataan areal<br />

kerja, penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan sampai perlindungannya.<br />

Di sisi lain kelompok masyarakat yang diberi ijin PSDHBM juga punya kewajiban<br />

untuk tetap menjaga kelestarian hutan, turut memelihara dan menjaga kawasan<br />

hutan di luar areal kerjanya dari gangguan dan perusakan, dan berkordinasi<br />

dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam pelaksanaan perlindungan<br />

hutan. Dalam menetapkan kriteria dan standar kelompok masyarakat yang layak<br />

mendapatkan ijin PSDHBM juga harus memperhatikan masukan dari masyarakat<br />

melalui ”Forum Hutan Wonosobo” (pasal 11). Forum ini bersifat multipihak yang<br />

mencakup semua stakeholder penyelenggaran PSDHBM.<br />

Dalam hal pemanfaatan hasil hutan, perda ini menegaskan akses masyarakat<br />

untuk melakukan kegiatan pemanfaatan baik di hutan produksi maupun di hutan<br />

lindung, seperti budidaya tanaman baik kayu maupun non kayu, usaha potensi<br />

jasa lingkungan , pengusahaan tanaman kayu (pasal 30, 31). Namun begitu semua<br />

bentuk pemanfaatan sumber daya hutan itu harus tetap memperhatikan fungsi<br />

lindung dan tutupan tajuk hutan tersebut. Oleh karena kawasan hutan yang<br />

dikelola oleh masyarakat adalah milik negara, maka tidak semua hasil pemanfaatan<br />

hutan itu diberikan kepada masyarakat penggarap. Bagi hasil dari pemanfaatan<br />

hutan ini didasarkan pada kontribusi masing-masing pihak dalam proses produksi.<br />

Proporsi yang sampai saat ini berkembang adalah 50:50 sampai 80:20, 80 persen<br />

untuk masyarakat penggarap dan 20 persen untuk pemerintah.<br />

242


Bagian dari pemerintah ini dibagi lagi untuk pemerintah kabupaten dan pemerintah<br />

desa. Pemerintah juga masih mendapatkan provisi sumber daya hutan (PSDH) dari<br />

hasil hutan kayu yang diperdagangkan yang diperoleh dari PSDHBM. Sebagian<br />

dari PSDH ini selanjutnya menjadi pendapatan asli daerah (pasal 33). Pemerintah<br />

dalam perda PSDHBM lebih berfungsi sebagai fasilitator. Dengan demikian lebih<br />

berfungsi sebagai mitra yang membantu masyarakat dalam penyelenggaraan<br />

PSDHBM. Fasilitasi pemerintah dimulai dari proses pengajuan ijin sampai<br />

dengan pengelolaan hutan itu sendiri. Dalam proses pengajuan ijin, pemerintah<br />

wajib memfasilitasi penyiapan kelompok masyarakat yang akan mengajukan ijin<br />

bersama dengan LSM pendamping (pasal 12) yaitu dalam kegiatan pemetaan<br />

partisipatif. Selain itu, pasal 20 juga ditegaskan bahwa dalam pengelolaan<br />

PSDHBM masyarakat juga berhak meminta fasilitasi pemerintah dalam rangka<br />

pengembangan kelembagaan, permodalan, sumber daya manusia, jaringan mitra<br />

kerja dan atau pengembangan pemasaran dan usaha.<br />

Sayang sekali perda revolusioner ini sudah dimentahkan oleh Mendagri melalui<br />

Kepmendagri No. 9 Tahun 2005. Alasan pembatalan <strong>Perda</strong> Wonosobo ini adalah<br />

karena dianggap bertentangan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UndangUndang Nomor<br />

41 Tahun 1999 dan Pasal 2 ayat 3) angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 25<br />

tahun 2000, karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara termasuk<br />

hutan hak dan hutan adat berikut dengan perubahan status dan fungsinya adalah<br />

Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan, bukan Bupati. Kini masyarakat<br />

petani hutan Wonosobo tengah melakukan gugatan “judical review” kepada<br />

Mahamakah Agung yang sampai sekarang belum ada keputusan.<br />

4.2 <strong>Perda</strong> Kutai Barat<br />

Sengaja perda Kutai Barat saya pilih sebagai kasus tentang perda perhutanan<br />

sosial yang memberikan akses sumber daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan<br />

yang miskin. <strong>Perda</strong> ini barangkali lebih bersifat pengaturan terhadap praktek<br />

pengelolaan hutan rakyat yang sudah dilakukan oleh masyarakat Kutai Barat<br />

selama ratusan tahun. Dalam bagian menimbang dijelaskan penetapan perda<br />

Kutai Barat ini dipandang perlu dengan melihat bahwa hutan rakyat merupakan<br />

salah satu pendapatan bagi masyarakat, maka kebijakan tentang pengelolaannya<br />

bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang<br />

berkualitas dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kelestariannya. Terdapat<br />

tiga hal utama yang diatur dalam perda yang berisi XI bab dan 12 pasal ini, yaitu<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

keberadaan hutan rakyat,<br />

pengelolaan hutan rakyat,<br />

pembinaan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pengelolaan hutan<br />

rakyat.<br />

Pengakuan negara terhadap hak dan bentuk pengelolaan hutan rakyat oleh<br />

masyarakat terlihat jelas dalam pasal 2. Hutan rakyat yang dimaksud dalam perda<br />

ini adalah hutan yang dibudidayakan berupa hutan tanaman dan dapat berupa<br />

243


hutan yang tumbuh secara alami di atas tanah yang dibebani hak milik dan atau<br />

hak lainnya. Hak milik itu dibuktikan dengan sertifikat tanah dari instansi yang<br />

berwenang. Sementara yang dimaksud dengan hak lainnya mencakup hak guna<br />

usaha, hak guna bangunan, dan atau di tanah garapan yang keberadaan hutan<br />

rakyat dan kepemilikannya diakui oleh warga setempat dan oleh aparat desa dan<br />

camat.<br />

Sebagaimana diungkap dimuka, hutan rakyat dapat kita kategorikan sebagai<br />

praktek perhutanan sosial dalam jenis pertanian hutan (Awang, 2005; Wiersum,<br />

1984) dengan 3 ciri:<br />

1. pengelolaan hutan pada lahan milik petani sebagaimana tercantum dalam<br />

pasal 2,<br />

2. pelaksanaan dan pengelolaan hutan oleh petani. Ini ditegaskan dalam pasal 4<br />

ayat 2 yang berbunyi ”pengelolaan hutan rakyat yang telah ada dilaksanakan<br />

oleh penduduk setempat, tetap diperhatikan dalam rangka kelestarian dan<br />

peningkatan produktifitas hasil hutan”.<br />

3. instansi kehutanan tidak ambil bagian dalam pengelolaan hutan. Dalam perda<br />

Kutai Barat ini peran pemerintah dijelaskan dalam pasal 4 yang menyatakan<br />

bahwa pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan wajib untuk memfasilitasi<br />

pengelolaan hutan rakyat yang biayanya dibebankan pada APBD Kabupaten<br />

Kutai Barat.<br />

Pengelolaan hutan rakyat itu mencakup kegiatan penanaman, pemeliharaan,<br />

pemanenan, pengolahan, pemanfaatan, pemasaran dan pengembangan. Khusus<br />

untuk pemanfaatan, masyarakat berhak untuk mengambil semua manfaat dari<br />

hutan yang ada di lahan garapan milik mereka baik untuk kebutuhan sendiri<br />

maupun untuk diperdagangkan. (pasal 5) dengan tetap memperhatikan aspek<br />

ekonomi dan aspek kelestarian. Namun demikian, masyarakat tetap diwajibkan<br />

mengantongi ijin pemungutan kayu hutan rakyat (IPKHR) dari Bupati dan<br />

atau pejabat yang ditunjuk. Selain itu terhadap hasil hutan yang mereka pungut<br />

dikenakan pungutan iuran kehutanan untuk hutan rakyat yang berasal dari hutan<br />

tanaman dan provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) untuk<br />

hutan rakyat yang berasal dari hutan alami. Dengan melihat perda Kutai Barat ini<br />

sepertinya memang isinya lebih banyak memperkuat peran dan posisi pemerintah<br />

daerah dalam pengelolaan hutan rakyat.<br />

Peran dan posisi pemerintah sangat terlihat jelas dalam pasal 8 yang menyatakan<br />

bahwa pembinaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan rakyat<br />

dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai dan atau Cabang Kehutanan<br />

setempat. Sementara upaya untuk melakukan penguatan kelembagaan masyarakat<br />

dalam pengelolaan hutan rakyat tidak begitu tampak. Justru aroma yang sangat<br />

kuat dari perda ini adalah dalam rangka peningkatan PAD melalui berbagai<br />

pungutan yang dikenakan pada masyarakat dalam mengelola hutan rakyat.<br />

Setidaknya ada 5 pungutan dari pengelolaan hutan rakyat, yaitu IPKHR, DR,<br />

PSDH, dan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan). Dalam rangka<br />

244


memastikan pemasukan PAD ini, setiap pemilik hutan rakyat diwajibkan<br />

melaporkan realisasi produksi kayu setiap bulannya kepada Dinas Kehutanan.<br />

Berbagai bentuk pungutan dan pengawasan pemerintah terhadap pengelolaan<br />

hutan rakyat sebenarnya tidak menjadi masalah dalam konteks melakukan<br />

pengendalian hutan agar fungsi pokoknya tidak berubah. Mungkin saja The<br />

tragedy of the commons 11<br />

bisa terjadi kalau pemanfaatan hutan rakyat tidak<br />

memperhatikan aspek kelestarian. Namun argumentasi ini justru semakin<br />

memperjelas bahwa pandangan pemerintah terhadap masyarakat belum banyak<br />

berubah; bahwa rakyat tidak mampu mengelola hutan dan hanya merusak hutan.<br />

Semestinya perda hutan rakyat di Kutai Barat lebih diorientasikan bagaimana<br />

melakukan pemberdayaan masyarakat lokal dalam mengelola hutan secara lestari<br />

dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.<br />

4.3 <strong>Perda</strong> NTB<br />

<strong>Perda</strong> NTB memiliki dua spesifikasi yaitu pertama perda ini merupakan perda<br />

propinsi sehingga jangkaun dari perda ini mencakup semua kabupaten dan kota<br />

yang ada di NTB. Kedua, perda ini secara eksplisit menggunakan istilah Hutan<br />

Kemasyarakatan (HKm) yang merupakan bentuk dari perhutanan sosial di<br />

kawasan hutan negara. Istilah HKm diintroduksi pertama kali oleh negara dalam<br />

SK Menhut No.622/1995 yang awalnya lebih memfokuskan pada keterlibatan<br />

kelompok-kelompok masyarakat dalam rehabilitasi lahan hutan rusak di hutan<br />

produksi serta hutan konservasi dan dalam penanaman kayu campuran serta jenisjenis<br />

pohon multiguna. SK ini membatasi hak masyarakat hanya atas produk hutan<br />

non kayu, mereka tidak punya suara dalam pengelolaan hutan secara keseluruhan<br />

dan tidak punya hak untuk memungut kayu.<br />

Setelah mendapatkan banyak kritik, terutama menyesuaikan perubahan kebijakan<br />

pasca reformasi, SK 622 direvisi menjadi SK No 677/1998. Dalam Sk baru ini untuk<br />

pertamakalinya masyarakat diberi hak untuk mengambil manfaat di seluruh<br />

kawasan hutan yang tidak dibebani hak konsesi kayu jangka panjang. Untuk<br />

mendapatkan hak pemanfaatan dalam jangka panjang masyarakat harus terlebih<br />

dahulu membentuk koperasi. Sayangnya dalam SK ini, belum ada keikhlasan<br />

dari negara untuk memberikan ”hak pengelolaan” pada masyarakat. Hal ini<br />

disebabkan masih kuatnya pandangan keliru di kalangan birokrat kehutanan<br />

bahwa penyerahan ”hak kelola” berarti melepaskan kendali atas hutan. Baru<br />

pada revisi terakhir yaitu SK No. 31/2001, negara memberikan hak kelola kepada<br />

masyarakat dalam HKm. <strong>Perda</strong> NTB sangat tegas telah memberikan ”hak kelola”<br />

kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan HKm, bukan hanya ”hak<br />

mengambil manfaat”, kepada masyarakat.<br />

11 The tragedy of the commons adalah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena hancurnya dan<br />

punahnya sumber daya publik akibat pemanfaatan oleh manusia yang tidak terkendali. Istilah ini<br />

sebenarnya diperkenalkan pertama kali oleh William Forster Lloyd pada tahun 1833 dalam buku “On<br />

Population”dan dipopulerkan oleh Garrett Hardin dalam artikelnya di majalah Science 162, 1243-<br />

1248 (1968).<br />

245


Sebelum perda ini lahir, pengelolaan hutan dengan sistem HKm justru telah<br />

12<br />

menyebabkan meningkatnya deforestasi di NTB. Apalagi saat itu, daerah sedang<br />

merayakan ”masa otonomi daerah”. Otonomi daerah ditafsirkan sesuai selera<br />

masing-masing daerah. Daerah diberikan wewenang untuk membuka lahan<br />

hutan kemasyarakatan (skala kecil 100 hektar) dan izin pengambilan kayu kebun<br />

(IPK). Maka izin pun bertaburan. IPK lalu menjadi alasan untuk menebang kayu<br />

hutan. Akibatnya, hutan semakin cepat gundul. Contohnya di Kabupaten Dompu,<br />

Pulau Sumbawa, Dari izin itu Pemkab Dompu memungut retribusi Rp 50.000 per<br />

meter kubik untuk pendapatan asli daerah. Selama empat tahun Pemkab Dompu<br />

mendapatkan Rp 500 juta-Rp 600 juta. Akibatnya, pada 3 Februari 2005 terjadi<br />

banjir yang menghancurkan infrastruktur irigasi. Puluhan rumah hanyut, sekolah,<br />

dan rumah sakit tertimbun lumpur. Kerugian diduga mencapai miliaran rupiahtidak<br />

sebanding dengan hasil retribusi dari IPK (Kompas, 18/5/2005).<br />

<strong>Perda</strong> NTB terdiri dari XI bab dan 33 pasal. Ada lima hal utama yang diatur dalam<br />

perda ini, yaitu:<br />

1. penetapan wilayah pengelolaan,<br />

2. penyiapan masyarakat,<br />

3. perijinan,<br />

4. pengelolaan hutan,<br />

5. pembinaan dan pengendalian.<br />

Rekoginisi negara atas hak kelola masyarakat dilegalkan dalam bentuk pemberian<br />

ijin kegiatan HKm kepada kelompok masyarakat (pasal 9). Ijin kegiatan HKm yang<br />

dimaksud di sini adalah ijin yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota<br />

13<br />

kepada masyarakat setempat untuk mengelola HKm. Sedangkan penetapan<br />

14<br />

wilayah pengelolaan HKm ada pada Gubernur dan dikukuhkan oleh Menteri. Oleh<br />

karena masyarakat memiliki hak kelola dalam kegiatan HKm, maka masyarakat<br />

menjadi pemain utama dalam pengelolaan HKm. Pengelola HKm itu mencakup<br />

penataan kawasan, perencanaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan pemeliharaan<br />

hutan dan perlindungan hutan. Dalam pemanfaatan hutan, masyarakat berhak<br />

mengambil produksi hasil hutan kayu dan non-kayu, mengambil manfaat air<br />

permukaan dan air tanah, pengusahaan jasa wisata alam dan penangkaran flora<br />

dan fauna yang tidak dilindungi, dan mengambil hasil tumpangsari (pasal 14).<br />

Namun demikian semua hasil di atas tidak sepenuhnya milik masyarakat. Ada<br />

pembagian hasil antara masyarakat yang memegang ijin kegiatan HKm dengan<br />

pemerintah. Dalam perda ini tidak dijelaskan secara spesifik berapa proporsi bagi<br />

hasilnya. Pasal 23 hanya menyatakan bahwa pembagian hasil didasarkan pada<br />

kesepakatan antara pemegang ijin kegiatan HKm dengan pemberi ijin kegiatan<br />

HKm yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerja sebagai lampiran dari surat<br />

keputusan pemberian ijin HKm.<br />

12 Degradasi hutan di NTB telah melahirkan lahan kritis, dari 250.000 ha tahun 1998, meluas jadi<br />

350.000 ha tahun 2002: 100 ha di kawasan hutan dan 250.000 di luar kawasan hutan.<br />

13 Bandingkan dengan SK 31/2001 yang hanya memberikan kewenangan izin kegiatan HKm kepada<br />

Bupati/Walikota, tidak kepada Gubernur.<br />

14 Dalam SK 31/2001 yang berhak menetapkan adalah Menteri, sedangan dalam perda ini ditetapkan<br />

Gubernur dan dikukuhkan oleh Menteri<br />

246


Sementara untuk bagian pemerintah secara eksplisit sudah diatur yang dibagi<br />

masing-masing menjadi bagian pemerintah propinsi 20%; pemerintah kabupaten/<br />

kota 45%; dan bagian pemerintah desa 35%. Disamping dari bagi hasil, pemerintah<br />

juga mendapatkan hasil dari retribusi dan atau iuran dari layanan perijinan,<br />

pengesahan rencana dan tata usaha hasil hutan, PSDH dan DR. Semua penerimaan<br />

ini masuk sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Dalam penyelenggaraan HKm,<br />

pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat untuk mempersiapkan kelembagaan,<br />

pelayanan perijinan, pelayanan tata usaha hasil hutan, penyuluhan, bimbingan dan<br />

pengendalian teknis, pengawasan dan evaluasi terhadap pemegang ijin kegiatan<br />

HKm (pasal 24, ayat 2). Sementara pemerintah propinsi lebih pada pengembangan<br />

dan kajian teknologi, kebijakan, pengendalian perijinan, pemantauan dan evaluasi<br />

penyelenggaraan HKm.<br />

5. Kesimpulan Dan Rekomendasi<br />

5.1 Kesimpulan<br />

Dari analisis tiga perda di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

Ketiga perda, yaitu perda Wonosobo, perda Kutai Barat dan perda NTB<br />

merupakan perda perhutanan sosial karena di dalamnya mengakomodasi<br />

keragaman bentuk dan model praktek perhutanan sosial. Bentuk perhutanan<br />

sosial yang diakomodasi dalam perda Wonosobo dan perda NTB masuk dalam<br />

kategori model kehutanan masyarakat yang bercirikan pengelolaan hutan<br />

oleh masyarakat di kawasan hutan negara yang dilakukan secara komunal<br />

atau bersama-sama. Sedangkan perda Kutai Barat masuk dalam kategori<br />

model pertanian hutan yang bercirikan pengelolaan hutan di lahan milik oleh<br />

masyarakat<br />

Peluang akses sumber daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan yang<br />

miskin yang diatur dalam perda Kutai Barat tidak menjadi persoalan, karena<br />

kawasan hutan yang diatur di sini adalah lahan milik. <strong>Perda</strong> ini lebih bersifat<br />

mempertegas dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat<br />

agar tetap lestari. Maka dari itu perlu ada kebijakan IPHKR dan pelaporan<br />

hasil produksi tahunan kepada pemerintah. Ada kesan kuat perda ini lebih<br />

diorientasikan untuk meningkatkan PAD Kutai Barat daripada memperkuat<br />

kapasitas dan kelembagaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan<br />

rakyat.<br />

<strong>Perda</strong> Wonosobo meskipun sudah dibatalkan oleh Mendagri merupakan satusatunya<br />

perda yang paling revolusioner dalam konteks perhutanan sosial yang<br />

memberikan akses bagi masyarakat untuk mengelola hutan. Di dalamnya<br />

bukan hanya mengandung muatan pengakuan akses dan pemberian hak kelola<br />

kepada masyarakat, namun juga kental dengan semangat partisipasi publik<br />

dalam setiap tahapan penyelenggaraan PSDHBM.<br />

Sementara perda NTB lebih merupakan petunjuk teknis dari program HKm<br />

yang dintroduksi oleh pusat. Semangat penyerahan hak kelola kepada<br />

247


masyarakat sudah ada, namun sayangnya tidak diimbangi dengan fasilitasi<br />

penguatan kelembagaan lokal secara eksplisit. Hampir mirip dengan perda Kutai<br />

Barat, perda ini juga kuat dengan orientasi peningkatan PAD melalui serangkaian<br />

iuran, retribusi yang dibebankan kepada masyarakat yang terlibat dalam<br />

pengelolaan HKm.<br />

5.2 Rekomendasi<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Semangat dan inisiatif daerah untuk mereproduksi kebijakan yang<br />

diorientasikan bagi peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap<br />

sumber daya hutan perlu diapresiasi. Bahkan sudah semestinya inisiatifinisitaif<br />

seperti ini dapat menjadi sebuah gerakan masif sehingga semua<br />

pemerintah daerah dapat mengadopsi dan mengembangkannya sesuai dengan<br />

kondisi sosial, politik dan budaya masing-masing daerah<br />

Keinginan untuk meningkatkan PAD melalui kebijakan berbagai retribusi,<br />

iuran yang diakomodasi dalam perda-perda perhutanan sosial semestinya<br />

diimbangi dengan penguatan kelembagaan, pengetahuan dan ketrampilan<br />

masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan. Dan perlu ada upaya lain<br />

juga untuk memastikan bahwa PAD yang meningkat itu dibelanjakan untuk<br />

peningkatan kualitas layanan publik, terutama kelompok miskin<br />

Untuk mengantisipasi terjadinya cerita sukses di Wonosobo yang tertunda<br />

dengan dibatalkannya perda Wonosobo, maka sebaiknya dalam penyusunan<br />

kebijakan daerah di bidang kehutanan tetap memperhatikan ketentuan<br />

peraturan perundangan di atasnya. Ini juga sekaligus menjadi perhatian<br />

pemerintah pusat agar konsisten dalam mengeluarkan berbagai kebijakan<br />

sehingga tidak saling tumpang tindih dan bertolak belakang. Aspirasi<br />

masyarakat dan daerah jangan sampai tersumbat oleh ketidakjelasan dan<br />

ketidakkonsistenan kebijakan yang diproduksi oleh pusat.<br />

248


Daftar Pustaka<br />

Adi, N. Juni dkk. 2005. Hutan Wonosobo: Keberpihakan Yang Tersendat, Jawa<br />

Tengah Indonesia. Yogyakarta: BP Arupa<br />

Anonim. 2002. Refleksi Empat Tahun Reformasi Mengembangkan Sosial Forestri<br />

Di Era Desentralisasi: Intisari Lokakarya Nasional Sosial Forestri Cimacan, 10<br />

– 12 September 2002. Bogor: CIFOR<br />

Awang, San Afri. 2005. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan<br />

Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf<br />

Christanty, Linda. 2004. Decentralization and the Forestry Sector: Opportunities<br />

and Challenges. The CSIS Working Paper Series. Jakarta: CSIS<br />

Fuadi, Firman dan Rahman, Zain Noor (Peny). 2004. Desentralisasi versus<br />

Deforestasi: Proseding Semiloka Pengelolaan HKm di Gunung Kidul dan Konsultasi<br />

<strong>Publik</strong> Raperda Tentang Pengelolaan HKm. Yogyakarta: KP HKm<br />

Kompas, Jumat, 16 Agustus 2002. Hutan Dikuras, “Mangkok” Dibelah<br />

_______, Rabu, 18 Mei 2005 Otda NTB, Aplikasi Sesuai “Selera”<br />

Peluso,Nancy Lee. 1992. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance<br />

in Java, Berkeley: University of California Press<br />

Resosudarmo, Ida A.P. dan Colfer, Carol J.P (peny). 2003. Kemana Harus<br />

Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta:<br />

Yayasan Obor Indonesia<br />

Raharjo, Diah Y dan Ujjwal Pradhan. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Hutan<br />

Berbasis Masyarakat : Wacana Atau Pilihan? Dalam Sekapur Sirih Studi<br />

Kolaboratif FKKM: Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Yogyakarta:<br />

Pustaka Kehutanan Masyarakat<br />

Ribot, Jesse C. dan Nancy Lee Peluso,. 2003. A Theory of Access, Rural Sociaology<br />

volume 68, Issue 2, 2003<br />

Simon, Hasanu. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi<br />

pada Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika<br />

Peraturan Perundangan<br />

Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang<br />

Pemerintahan Daerah<br />

249


_______.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang<br />

Kehutanan<br />

_______. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 31 Tahun 2000<br />

Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat<br />

_______. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000<br />

tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi Sebagai Daerah Otonom<br />

_______. 2000. TAP MPR No. III/2000 tentang Tata Urutan Peraturan<br />

Perundangan<br />

_______. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001<br />

Tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten<br />

Wonosobo<br />

_______. 2001. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 31/Kpts-Ii/2001<br />

Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan<br />

_______. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2002<br />

tentang Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,<br />

Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan<br />

_______. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-Ii/2004 Tentang<br />

Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam Dan Atau Sekitar Hutan Dalam<br />

Rangka Social Forestry<br />

_______. 2004. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 6 Tahun<br />

2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Di Provinsi<br />

Nusa Tenggara Barat<br />

_______. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang<br />

Pemerintahan Daerah<br />

_______. 2005. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005 Tentang<br />

Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 Tentang<br />

Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo<br />

250


5. Merebut Kembali Hak Perempuan atas Layanan<br />

Kesehatan (Telaah Kritis atas Alokasi Anggaran Kesehatan<br />

untuk <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Perempuan di Kabupaten<br />

Bantul, Yogyakarta)<br />

1. Pendahuluan<br />

Filosofi keberadaan negara salah satunya adalah menjalankan fungsi sebagai agen<br />

pelayan publik (public services). Negara atau pemerintah (dalam arti government),<br />

secara tradisional melalui sistem birokrasi adalah pemegang monopoli atas<br />

pelayanan publik. Fakta menunjukkan, pemerintah sebagai pemegang monopoli<br />

hingga saat ini belum mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan<br />

kebutuhan masyarakat, bahkan pada tingkat paling dasar; seperti pelayanan<br />

kesehatan, pendidikan, pemukiman dan ekonomi. Kasus gizi buruk, kelumpuhan<br />

akibat folio, penyakit demam berdarah, busung lapar, kematian ibu melahirkan<br />

dan beberapa kasus lainnya merupakan bukti bahwa pemerintah atau negara<br />

belum mampu menjalankan fungsi layanan kebutuhan dasar masyarakatnya.<br />

Dalam banyak kasus tersebut, kelompok marginal seperti perempuan dan anak<br />

adalah korban terbesar dari kasus-kasus kesehatan, terutama perempuan dan anak<br />

dari keluarga miskin baik di desa maupun kota. Padahal dalam konstitusi telah<br />

menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada kelompokkelompok<br />

marginal seperti perempuan dan anak serta masyarkat miskin. Menurut<br />

data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, saat ini angka kematian ibu<br />

melahirkan sebesar 307 per seratus ribu kelahiran hidup. Keadaan anak-anak<br />

di Indonesia juga tidak lebih baik, karena kurang terjaminnya gizi sejak dalam<br />

kandungan, 1,7 juta dari sepuluh juta balita di Indonesia menderita gizi buruk.<br />

Dari jumlah tersebut, 170.000 jiwa berada dalam tingkat parah dan terancam<br />

kematian. <br />

Keadaan yang demikian mengundang sebuah pertanyaan; bagaimana sesungguhnya<br />

pemerintah sebagai pelayanan masyarakat mengelola pelayanan kesehatan bagi<br />

perempuan dan anak? Salah satu persoalan pengelolaan yang dihadapi oleh<br />

pemerintah dalam memberikan layanan pada masyarakat adalah rendahnya sumber<br />

daya keuangan pemerintah. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk memberikan<br />

pelayanan lebih kecil dari riil kebutuhan masyarakat. Ditambah persoalan dimana<br />

dana yang kecil tersebut diperebutkan oleh masing-masing sektor selain sektor<br />

kesehatan. Dengan minimnya dana, bagaimana pemerintah penyusun anggaran<br />

layanan kesehatan agar mampu memenuhi kebutuhan perempuan dan anak<br />

semaksimal mungkin?<br />

Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2003.<br />

Dalam, Wasingatu Zakiyah ”Sehat Tak Tergapai”. Diterbitkan oleh IDEA Yogyakarta tahun 2005,.<br />

hal. 10<br />

251


2. Governance, Penganggaran Kinerja dan Anggaran<br />

Berbasis Gender untuk Sektor Kesehatan<br />

Negara atau pemerintah adalah pemegang monopoli fungsi pelayanan pada<br />

masyarakat. Melalui birokrasinya, pemerintah menjalankan fungsi tersebut.<br />

Namun hingga saat ini, banyak persoalan-persoalan muncul justru karena watak<br />

pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh birokrasi. Sifatnya yang hierarkis,<br />

kaku, stabil dan sentralistik justru menyulitkan mereka dalam melakukan<br />

pelayanan pada masyarakat dan menyesuaikan diri dengan perubahan (Kaufmann,<br />

1977). Birokrasi juga memiliki watak yang massif dan ineffisien dalam pengelolaan<br />

sumber (Pratikno, 2005). Sementara itu, dengan berkembanganya persoalan yang<br />

ada dalam masyarakat seperti adanya proses pemiskinan secara srtuktural, peran<br />

birokrasi dituntut dapat mengatasi dampak dari persoalan tersebut. Salah satu<br />

fungsi birokrasi dalam melakukan pelayanan adalah fungsi pengelolaan anggaran<br />

dimana birokrasi dituntut dapat mempertemukan antara apa yang menjadi<br />

kebutuhan masyarakat dengan besaran dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan<br />

kebutuhan tersebut. Fungsi ini adalah fungsi kunci yang diemban birokrasi karena<br />

fungsi inilah yang dijadikan ukuran untuk menilai kinerja pemerintahan dan<br />

menentukan legitimasi pemerintahan dihadapan rakyatnya.<br />

Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut, saat ini birokrasi sedang<br />

mengembangkan sistem anggaran berbasis kinerja dengan prinsip-prinsip visioner,<br />

berwawasan kedepan; responsif, sesuai dengan keadaan; berorientasi pada outcomes<br />

dan output; indikator kinerja yang jelas; efisiensi, dengan input anggaran minimum<br />

dapat melakukan output maksimum; mendukung efektivitas, dengan income<br />

minimum dapat memberikan outcomes maksimum; dan mendukung akuntabilitas,<br />

dapat digunakan stakeholder untuk melakukan monitoring dan pengawasan.<br />

Semua prinsip-prinsip ini ditekankan pada pencapaian maksimalisasi pelayanan<br />

kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, penanggulangan<br />

kemiskinan, dan peningkatan kesempatan kerja (Pratikno, 2005). Catatan penting<br />

dalam proses penyusunan kebijakan anggaran dan proses pengelolaannya adalah<br />

dengan menggunakan perspektif anggaran berbasis gender yang tercermin dengan<br />

adanya; pertama, anggaran yang spesifik dialokasinya untuk perempuan; kedua,<br />

akses yang sama antara laki-laki dan perempuan atas anggaran untuk pegawai;<br />

ketiga, memikirkan dampak alokasi dan program anggaran terhadap perempuan<br />

(Debbie Budlender, 1998).<br />

Sebagai sintesis dari kedua hal tersebut, dalam pengelolaan kebijakan anggaran,<br />

harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut; pertama, pemikiran visioner<br />

dengan menempatkan perempuan sebagai aset yang melahirkan generasi penerus<br />

bangsa; kedua, kebijakan anggaran harus mencerminta apa yang saat ini dibutuhkan<br />

oleh perempuan dan anak; ketiga, efisien untuk memenuhi kebutuhan perempuan<br />

dan anak, dimana dengan alokasi yang minim dapat memenuhi kebutuhan<br />

perempuan dan anak secara maksimal; keempat, kemanfaatan dan dampak dari<br />

kebijakan anggaran harus memperhitungkan keberadaaan dan keberlangsungan<br />

252


hidup perempuan dan anak-anak; kelima, perempuan dapat ikut melakukan<br />

pengawasan dan monitoring atas kebijakan anggaran; keenam, indikator-indikator<br />

yang diterapkan dalam penyusunan anggaran dan evaluasinya harus memasukkan<br />

keberadaan perempuan dan anak.<br />

Dalam kerangka alokasi anggaran untuk kesehatan perempuan dan anak<br />

pemerintah harus menampatkan perempuan dan anak sebagai aset kesehatan<br />

bangsa yang harus diperhatikan kondisinya baik dalam keadaan sehat maupun<br />

sakit. Paradigma ‘Perempuan dan Anak Sehat’ harus selalu menjadi dasar<br />

penetapan kebijakan kesehatan. Karena perempuan memegang peran penting<br />

dalam fungsi reproduksinya sebagai yang melahirkan generasi penerus yang<br />

berkualitas. Kesehatan anak, sangat tergantung dari kesehatan ibunya sejak dari<br />

sebelum di lahir hingga beranjak dewasa. Selain itu, hampir sepanjang hidupnya<br />

perempuan berada dalam kondisi rawan kesehatan karena proses reproduksi yang<br />

diembannya. Pada intinya perempuan dan anak yang sehat adalah modal bangsa<br />

dan negara. Untuk memenuhi hak perempuan dan anak dalam berbagai sektor,<br />

terutama sektor kesehatan, perjuangan keadilan serta kesetaraan gender terus<br />

disuarakan dan diperjuangkan oleh berbagai pihak. Pemerintah Indonesia sendiri<br />

telah mengeluarkan aturan tentang Pengarusutamaan Gender dalam Dalam<br />

Keputusan Menteri Dalam Negeri No 132 tahun 2003, tentang Pedoman Umum<br />

Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender serta dalam keputusan Menteri Dalam<br />

Negeri No.109 Tahun 2000. Dalam Kepmendagri no.109 tahun 2000 tersebut, BAB<br />

111 pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa:<br />

“Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender<br />

di daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),<br />

dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing masing<br />

Provinsi, Kabupaten dan Kota sekurang kurangnya minimal sebesar 5 % (lima<br />

persen) dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota.”<br />

Artinya kebutuhan perempuan harus mendapatkan alokasi anggaran berdasarkan<br />

ketentuan yang berlaku. Jika tidak, maka pemerintah dipandang tidak mampu<br />

memberikan layanan pada perempuan di negara ini.<br />

3. Kondisi Perempuan Pedesaan di Kabupaten Bantul<br />

Kabupaten Bantul, terletak di bagian selatan Propinsi DIY, dengan jarak sekitar<br />

15 km dari Kota Yogyakarta. Kecamatan di Bantul berjumlah 17, serta terdiri dari<br />

75 desa. Jumlah penduduk Kabupaten Bantul pada tahun 2004, laki-laki sebanyak<br />

390.534 jiwa (49%), dan jumlah penduduk perempuan 406.329 jiwa (51%). Sementara<br />

itu, jika melihat jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bantul pada tahun 2004<br />

adalah sebanyak 100.997 orang atau sebanyak 29.306 KK dari jumlah penduduk<br />

sebanyak 796.821 orang. Kondisi tersebut, mendorong perempuan di Bantul untuk<br />

membantu ekonomi keluarga demi memenuhi kebutuhan rumah<br />

253


tangga. Hampir di banyak negara dan berbagai strata sosial, perempuan mengontrol<br />

lebih sedikit aset produktif dibanding laki-laki, meskipun perempuan sebenarnya<br />

menghasilkan 40-100% kebutuhan dasar keluarga (Jacobson, 1989). Fenomena di<br />

Bantul, pada musim panen terlihat ibu-ibu atau perempuan desa beramai ramai<br />

dereb 3<br />

di sawah. Di saat musim tanam atau tandur, perempuan desa juga bersamasama<br />

menanam padi. Di sisi lain, bakul-bakul di pasar juga perempuan, di mana<br />

mereka berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Fenomena yang cukup<br />

unik, pagi jam 8.00 berbondong-bondong perempuan Bantul mengayuh sepeda<br />

dengan ceria menuju kota bekerja sebagai buruh pabrik atau sektor informal lain.<br />

Menjelang sore hari sekitar pukul 4 sore, fenomena “bersepeda” juga menjadi ciri<br />

kehidupan sehari-hari masyarakat terutama perempuan Bantul. Hal tersebut<br />

menunjukkan bahwa perempuan menghasilkan 40-100% kebutuhan dasar<br />

keluarga.<br />

Peran double burden (domestic dan public) lekat pada perempuan. Sesampainya<br />

di rumah, perempuan harus menjalankan pekerjaan rumah tangga, mengurus<br />

anak dan suami sampai menjelang tidur. Hal yang sering dilupakan masyarakat<br />

adalah bahwa perempuan juga mememiliki peran ketiga, yaitu peran reproduktif.<br />

Sejak lahir, perempuan memiliki kodrat untuk menstruasi, hamil, melahirkan,<br />

dan menyusui. Fungsi tersebut tak tergantikan, dan fungsi vital akan berpengaruh<br />

pada kehidupan perempuan. Sudah rahasia umum bahwa perempuan menempati<br />

posisi kelas dua, marginal, tersubordinat, dan minim terhadap akses sumber daya.<br />

Kurangnya kontrol perempuan terhadap sumber daya sangat berpengaruh pada<br />

kondisi kesehatan dan gizi keluarga terutama perempuan dan anak. Bantul, dengan<br />

wilayah yang hampir semuanya pedesaan dan jumlah penduduk perempuan lebih<br />

dari separuh, menyimpan banyak persoalan kondisi kesehatan perempuan dan<br />

anak. Indikator kesehatan secara umum adalah angka kematian ibu melahirkan<br />

(maternal mortality rate), usia harapan hidup, dan angka kematian bayi (infant<br />

mortality rate).<br />

Tahun 2000, Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) tercatat 126/100.000 kelahiran<br />

hidup dan di tahun 2004 adalah 97/100.000 kelahiran hidup. Sementara angka<br />

kesakitan ibu sebesar 0,34/1.000 penduduk. Angka kematian bayi (AKB) di tahun<br />

2000 sebesar 10,2/1.000 kelahiran hidup dan di tahun 2004 adalah 9,87/1.000<br />

kelahiran hidup. Untuk usia harapan hidup di tahun 2000 adalah 70 tahun untuk<br />

pria dan 72 tahun untuk wanita, sementara pada di 2004 mencapai 70 tahun untuk<br />

pria dan 70 tahun untuk wanita. Kondisi kesehatan balitanya juga bermasalah,<br />

kasus kekurangan gizi balita (KEP atau Kekurangan Energi Protein) adalah 23,42%<br />

di tahun 2000 dan 13,90% di tahun 2004 dengan konsentrasi terbesar di wilayah<br />

kecamatan Dlingo, Bantul, Kasihan, Sewon, Banguntapan, sedangkan konsentrasi<br />

gizi buruk Balita di wilayah Dlingo dan Sewon. Angka kesakitan diare di tahun<br />

2000 mencapai 15,25/1.000 penduduk dan di tahun 2004 mencapai 15,10/1.000<br />

penduduk. (lihat Gambar).<br />

3 dereb: istilah dalam bahasa Jawa ketika sedang memanen padi<br />

254


Gambar 1 : Status Gizi Balita<br />

S tatus G izi B alita<br />

450<br />

400<br />

350<br />

BURUK<br />

KEP<br />

300<br />

250<br />

200<br />

Jumlah<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

Srand Sanden Kretek PundongBblipuro Pandak Bantul Jetis Imogiri Dlingo Pleret PynganBgtapan Sewon Kasihan PjnganSedayu<br />

K ec amatan<br />

Usia harapan hidup penduduk Kabupaten Bantul, menempati posisi terendah<br />

Di Bantul, terdapat puskesmas sebanyak 26 unit, RSUD 1 unit, dan 2 unit umah<br />

sakit jiwa swasta. Dalam rangka menuju Bantul Sehat 2005, pemerintah Kabupaten<br />

Bantul berusaha mewujudkan 17 puskesmas berfasilitas rawat inap, 6 puskesmas<br />

unggulan/spesialis, serta rumah sakit umum menjadi rumah sakit mandiri.<br />

Melihat data kesehatan diatas, berdasarkan analisis rasio ketersediaan sarana<br />

prasarana kesehatan terhadap jumlah penduduk terlihat bahwa satu rumah sakit<br />

digunakan untuk melayani 265.607 jiwa. Sedangkan untuk layanan Puskesmas,<br />

satu puskesmas untuk melayani sekitar 200.000 lebih jiwa.<br />

Fakta-fakta yang ada di Bantul tersebut menuntut upaya serius terutama<br />

Pemerintah daerah, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas pemenuhan<br />

hak dasar masyarakat, terutama di bidang kesehatan. Angka kematian ibu<br />

melahirkan yang relatif tinggi, balita gizi buruk serta angka KEP yang juga<br />

tinggi, menjadi persoalan yang harus segera dipecahkan. Komitmen pemerintah<br />

daerah kabupaten Bantul terhadap persoalan kesehatan tersebut dapat dilihat<br />

dalam kebijakan anggaran. Anggaran adalah sebagai wujud nyata tanggungjawab<br />

pemerintah terhadap rakyatnya dalam rangka pemenuhan hak dasar masyarakat.<br />

Untuk melihat sejauh mana komitmen pemerintah tentang kebijakan anggaran<br />

yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar kesehatan, perlu ditelaah dan<br />

dianalisis kecenderungan APBD Kabupaten Bantul. Perlu dilihat apa saja sumbersumber<br />

pendapatan pemerintah untuk membiayai kegiatan setiap tahun.<br />

255


Tabel 1. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bantul tahun 2004-2006<br />

Tahun Rangking I Rangking II Rangking III<br />

2004 Retribusi. Kesehatan<br />

(Rp.10,3 Milyar)<br />

PPJU (Pajak Penerangan<br />

Jalan Umum)<br />

(Rp.6,1 Milyar)<br />

Rekreasi<br />

(Rp.2,71 Milyar)<br />

2005 Retribusi. Kesehatan<br />

(Rp.11,156 Milyar)<br />

PPJU (Pajak Penerangan<br />

Jalan Umum)<br />

(Rp.6,35 Milyar)<br />

Rekreasi<br />

(Rp.2,46 Milyar)<br />

2006* Retribusi. Kesehatan<br />

(Rp.15,68 Milyar)<br />

PPJU (Pajak Penerangan<br />

Jalan Umum)<br />

(Rp.8 Milyar)<br />

Rekreasi<br />

(Rp.2,625 Milyar)<br />

Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2004 dan 2005<br />

*Sumber: Dokumen RAPBD Kabupaten Bantul tahun 2006<br />

Data pada tabel 1 menunjukkkan jika retribusi kesehatan menjadi penyumbang<br />

pendapatan tertinggi terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bantul. Hal<br />

tersebut mengindikasikan bahwa orang sakit atau orang menggunakan jasa<br />

pelayanan kesehatan justru berkontribusi terhadap pendapatan, dan akhirnya<br />

pemerintah daerah pun berlomba-lomba untuk menaikkan retribusi kesehatan<br />

demi meningkatkan pendapatan asli daerah. Di sisi yang lain, rata-rata pengguna<br />

layanan kesehatan di Kabupaten Bantul adalah perempuan (ibu hamil, lansia),<br />

serta balita yang sakit dimana mayoritas mereka adalah masyarakat miskin.<br />

Seharusnya, pendapatan yang diperoleh dari masyrakat tersebut juga dialokasikan<br />

untuk masyarakat kembali. Ironisnya, kesehatan sebagai sebuah hak dasar yang<br />

wajib dipenuhi oleh pemerintah hanya mendapatkan porsi yang sedikit.<br />

Tabel 2. Alokasi anggaran kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2004-2006<br />

Tahun Total Anggaran Kesehatan (Rp) Rasio thd.total APBD (%)<br />

2004 11.282.020.700 2,9<br />

2005 26.779.071.600 6,3<br />

2006* 33.371.457.400 6<br />

Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2004 dan 2005<br />

*Sumber: Dokumen RAPBD Kabupaten Bantul tahun 2006<br />

256


Adanya fakta di atas, menunjukkan bahwa pemerintah Bantul, khususnya dinas<br />

kesehatan tidak cukup tergugah pikirannnya untuk menyusun alokasi anggaran<br />

yang sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak. Bahkan dalam tiga tahun<br />

ini, alokasi anggaran kesehatan untuk perempuan dan anak terus menurun seperti<br />

terlihat dalam tabel di bawah ini:<br />

Tabel 3 : Anggaran Kesehatan untuk Perempuan dan Anak<br />

A n g g a r a n k e s e h a ta n u n tu k p e r e m p u a n d a n a n a k<br />

d a la m A P BD b a n tu l 2 0 0 4 - 2 0 0 6<br />

800.000.000,00<br />

600.000.000,00<br />

400.000.000,00<br />

200.000.000,00<br />

-<br />

706.700.000,00<br />

581.630.000,00<br />

165.520.000,00<br />

2004 2005 2006<br />

Sebaliknya, untuk kegiatan-kegiatan yang tidak menyentuh kepentingan hak<br />

dasar kesehatan masyarakat, Pemkab Bantul mengalokasikan anggaran yang<br />

sangat besar. Tahun 2004 dan 2005, Pemkab Bantul memiliki proyek mercusuar<br />

pembangunan GOR (gedung olahraga) yang menelan biaya Rp.11 milyar lebih.<br />

Sementara itu, untuk kegiatan PERSIBA (Persatuan Sepakbola Bantul), menelan<br />

biaya Rp.4,5 milyar tahun 2005, serta Rp.6,5 milyar pada tahun 2006. Dampak<br />

dari minimnya alokasi kesehatan untuk perempuan dan anak serta pengelolaan<br />

dana yang tidak matching dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah;<br />

pertama penurunan derajat kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dalam<br />

jangka panjang; kedua, ancaman matinya pos-pos layanan kesehatan dasar<br />

masyarakat seperti Puskesmas Pembantu dan Posyandu; ketiga, dengan adanya<br />

bisnis kesehatan pada masa sekarang menyebabkan masyarakat miskin, terutama<br />

perempuan miskin tidak mendapatkan layanan kesehatan dengan baik, karena<br />

perempuan selama ini selalu menduduki posisi second line dalam rumah tangga.<br />

Banyak agenda pemerintah Bantul yang harus segera dikerjakan dan diselesaikan<br />

berkaitan dengan layanan kesehatan pada perempuan dan anak. Namum, semua tak<br />

luput dari dilema dan keterbatasan yang juga menjadi persoalan bagi pemerintah<br />

Bantul. Pertama, ketersediaan dana yang minim dan adanya praktek politik untuk<br />

memperebutkan anggaran, membuat kue (dana) untuk kesehatan lebih sedikit dari<br />

kebutuhan. Kedua, adanya paradigma berfikir lama dalam menyusunan anggaran<br />

kinerja, dimana anggaran yang berbasis kinerja masih disusun dengan pola lama<br />

yang menempatkan alokasi anggaran untuk aparatur dalam porsi yang besar.<br />

Ketiga, anggaran kesehatan masih disusun dengan paradigma upaya kuratif, belum<br />

pada aspek promotif dan preventif. Keempat, ketidaksesuaian antara kebutuhan<br />

layanan kesehatan perempuan dan anak dengan alokasi anggaran menunjukkan<br />

bahwa pemerintah belum mampu melihat apa yang menjadi kebutuhan riil<br />

257


perempuan dan anak. Kelima, selama ini kelompok perempuan tidak memiliki<br />

akses atas proses kebijakan anggaran, sehingga perempuan tak dapat memberi<br />

kontribusi informasi atas persoalan yang dihadapi perempuan dan anak. Keenam,<br />

hingga kini, pemerintah belum memberi ruang partisipasi perempuan dalam<br />

proses anggaran. Kalau pun ada belum mampu mewakili kelompok perempuan<br />

dan kebutuhan mereka. Bahkan keberadaan kelompok perempuan, seperti PKK<br />

hanya sekedar formalitas mekanisme pengambilan keputusan.<br />

5. Kesimpulan<br />

Beragamnya persoalan kesehatan perempuan, lansia dan anak menuntut upaya<br />

sistematis dan komprehensif. Kabupaten Bantul, masih belum memiliki upaya<br />

serius untuk mengatasi persoalan perempuan dan kesehatan di Bantul. Alokasi<br />

anggaran untuk kesehatan yang minim, apalagi kesehatan perempuan dan anak,<br />

adalah tolak ukur kurangnya perhatian pemerintah kabupaten Bantul terhadap<br />

persoalan kesehatan dan perempuan. Saatnya perempuan merebut hak atas<br />

anggaran melalui upaya advokasi anggaran kesehatan. Untuk merebut hak tersebut,<br />

hal yang harus dilakukan adalah; pertama, perlunya upaya peng<strong>org</strong>anisasian<br />

kelompok-kelompok perempuan terutama perempuan miskin dalam menuntut hak<br />

atas anggaran. Kesadaran atas hak dan kewajiban sebagai warga negara serta<br />

kesadaran atas hak politik seperti hak bicara dan mendapatkan kesempatan serta<br />

perlakukan adil sangat diperlukan sebagai dasar gerakan perjuangan perempuan.<br />

Kedua, penguatan <strong>org</strong>anisasi kelompok perempuan sebagai wadah dan alat<br />

perjuangan kepentingan perempuan, seperti kelompok kader posyandu, kelompok<br />

tani perempuan dan kelompok yang berdiri atas dasar kepentingan.<br />

Ketiga, adanya jaringan antar kelompok perempuan yang bersama-sama berjuang<br />

memperebutkan kepentingan bersama. Keempat, keterlibatan kelompok perempuan<br />

atau jaringan dalam pengambilan keputusan, terutama kebijakan penganggaran<br />

dalam forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) di tingkat desa,<br />

kecamatan, serta kabupaten harus mengikutsertakan perempuan.Kelima, bagi<br />

pihak pemerintah, sudah saatnya untuk tidak rezim dan memonopoli kebijakan<br />

yang ada. Mengembalikan hak dan kedaulatan rakyat kembali ke tangan rakyat<br />

sebagai wujud pemerintahan demokratis harus segera dilakukan. Melibatkan<br />

perempuan bukan hanya sekedar formalitas atas kuota pelibatan perempuan, tetapi<br />

merupakan upaya sistematis untuk membuat rumusan kebijakan yang memberikan<br />

manfaat besar bagi kemajuan masyarakat terutama perempuan. Hal yang harus<br />

dilakukan adalah membuat instrumen hukum melalui perda partisipatif yang<br />

menjamin keberadaan kelompok perempuan, bukan berdasar formalitas lembaga<br />

tetapi berdasar kebutuhan dan kepentingan perempuan. Bukan hanya PKK yang<br />

diundang, tetapi juga kelompok perempuan berdasarkan aktivitas sosial dan<br />

ekonomi mereka. Langkah selanjutnya adalah menciptakan indikator-indikator<br />

yang menciptakan instrumen kebijakan dengan perspektif gender, sebagai acuan<br />

birokrat dalam taraf penyusunan dan pengimplementasian sehingga distorsi atas<br />

kebijakan yang maskulin dapat diminimalisir.<br />

258


Bahan bacaan<br />

Cornelis Lay, Good Governance dan <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong>, , Jurnal Ilmu Pemerintahan<br />

Volumen 2 tahun 2006<br />

Dokumen APBD Bantul Tahun 2004<br />

Dokumen APBD Bantul Tahun 2005<br />

Dokumen RAPBD Bantul Tahun 2006<br />

Fatimah, Makalah Perempuan dan Anggaran, IDEA 2005.<br />

Jacobson, J., 1997, Kesehatan Wanita: Harga dari Sebuah Kemiskinan, dalam<br />

Buku Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global oleh Merge Koblinsky, dkk.<br />

(eds.), (terjemahan) Gamapress, Yogyakarta.<br />

Pratikno, Anggaran Berbasis Kinerja, Makalah Kuliah Polokda UGM.<br />

Profil Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2003<br />

Purwo Santoso, Demokrasi dan <strong>Pelayanan</strong> Public, Makalah Kuliah Polokda UGM<br />

Tenti, dkk, Korupsi Telanjang di Mata Perempuan, IDEA, Yogyakarta, 2005<br />

Zakiyah, Sehat tak Tergapai, Menyoal Kesehatan dan Anggaran, IDEA, Yogyakarta,<br />

2004<br />

259


6. Air Berkualitas Baik<br />

Bukan Untuk Warga Miskin Cilacap<br />

1. Pengantar :<br />

Air Merupakan Kebutuhan Dasar Setiap Manusia<br />

Air merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Hal ini disadari sepenuhnya oleh<br />

para pendiri negara Indonesia sehingga jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat<br />

akan air menjadi pemikiran penting pada saat penyusunan konstitusi. Dengan<br />

gemilang, gagasan ini dituangkan secara tersurat pada Pasal 33 UUD 1945: “Bumi<br />

dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara<br />

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Meskipun telah<br />

empat kali UUD 1945 diamandemen, ketentuan ini tidak mengalami perubahan.<br />

Artinya bahwa secara prinsip, siapapun mengakui pentingnya air bagi kehidupan<br />

manusia dan keharusan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan air bagi<br />

rakyatnya. Pencantuman ketentuan ini, dalam tinjauan ilmu politik, merupakan<br />

kontrak sosial antara negara dan rakyat.<br />

Pada tingkat global, pemenuhan kebutuhan akan air bagi setiap manusia juga<br />

ditegaskan melalui berbagai upaya hukum, diantaranya adalah Deklarasi PBB<br />

yang dicetuskan oleh Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya<br />

pada November 2002. Deklarasi ini menyebutkan bahwa akses terhadap air<br />

merupakan sebuah hak dasar (a fundamental right) setiap manusia. Bahwa air<br />

adalah benda sosial dan budaya, bukan hanya komoditi ekonomi. Berkenaan<br />

dengan hal tersebut, Komite ini menekankan bahwa 145 negara telah meratifikasi<br />

Konvenan Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang kini telah<br />

diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses terhadap air secara setara<br />

tanpa diskriminasi. Walaupun Deklarasi PBB ini tidak menyebut secara eksplisit<br />

tentang privatisasi,-guna menghindari konflik terbuka dengan negara maju<br />

yang mendukung privatisasi-, namun tetap memiliki makna bahwa penyediaan<br />

kebutuhan dasar oleh pemerintah adalah pilihan terbaik atas sumberdaya yang<br />

terbatas serta komoditas publik yang fundamental bagi kesehatan dan kehidupan,<br />

termasuk sumber daya air. <br />

Perhatian tentang pentingnya air bagi kehidupan manusia diikuti dengan<br />

perbincangan mengenai berbagai turunan tema tentang air antara lain pengelolaan<br />

kualitas air, pengendalian pencemaran air, konservasi sumber air dan sebagainya.<br />

Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dalam perkembangannya<br />

banyak diatur oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Dengan alasan<br />

otonomi daerah yang diartikan bahwa daerah berhak mengatur rumah tangganya<br />

sendiri, beberapa pemerintah daerah di Indonesia membuat Peraturan daerah yang<br />

mengatur persoalan air. Namun, belum ada jaminan bahwa substansi <strong>Perda</strong> yang<br />

(Social Watch Report, 2003).<br />

260


ada mencerminkan karakter lokal daerah yang bersangkutan, mengakomodasi<br />

kepentingan rakyat lokal serta dapat memecahkan persoalan air yang nyatanyata<br />

dialami rakyatnya. Euforia otonomi daerah dalam pelaksanaannya sering<br />

dimaknai sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam di daerah<br />

untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa lokal. Hal ini tentu tidak sejalan<br />

dengan amanat otonomi daerah itu sendiri yang pada awalnya dimaksudkan untuk<br />

meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah yang bersangkutan. Ironisnya,<br />

eksploitasi sumberdaya alam oleh pemerintah daerah itu seringkali dilegitimasi<br />

dengan peraturan-peraturan daerah sehingga secara prosedur birokrasi dan hukum<br />

2<br />

terkesan memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, kajian mendalam akan<br />

akuntabilitas suatu <strong>Perda</strong> yang mengatur tentang pengelolaan kualitas air dan<br />

pencemaran air merupakan kebutuhan penting yang mendesak untuk dilakukan.<br />

Makalah ini merupakan hasil penelitian terhadap akuntabilitas penerapan<br />

Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan<br />

Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap. Disusun sebagai salah satu<br />

upaya menjawab kebutuhan akan <strong>Perda</strong> yang berpihak pada kepentingan rakyat,<br />

bukan kepentingan pihak-pihak tertentu semata.<br />

2. Latar belakang<br />

Cilacap adalah salah satu dari 35 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah.<br />

Secara astronomis terletak pada 108 4’30”-109 30’30” BT dan 7 30’-7 45’ 20” LS.<br />

Luas wilayahnya adalah 225.360.360,840 ha termasuk Pulau Nusakambangan<br />

yang memiliki luas 11.510,55 ha 3. Batas-batas wilayah kabupaten Cilacap adalah<br />

sebagai berikut :<br />

- sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen<br />

- sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas<br />

- sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Kuningan<br />

- sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia 4<br />

Secara administratif, wilayah Cilacap dibagi menjadi 23 kecamatan, 268 desa<br />

dan 15 kelurahan. Jumlah penduduk Cilacap menurut data per Desember adalah<br />

1.707.790 jiwa 5. Dibanding kabupaten lain di Jawa Tengah, Cilacap memiliki curah<br />

hujan tertinggi yaitu hujan terbesar, yakni rata-rata 3396mm per tahun 6.<br />

Bentang<br />

alam Cilacap terdiri dari daratan, pegunungan dan rawa-rawa. Luas daerah rawarawa<br />

mencapai 239,810 ha tersebar di beberapa kecamatan yaitu, Kawunganten,<br />

2 Kasus Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau dapat dijadikan contoh <strong>Perda</strong> produk<br />

otonomi daerah yang cenderung berpihak pada kepentingan penguasa lokal. Selengkapnya baca: Rully<br />

Syumanda ,Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif Terhadap RTRWP Riau<br />

2001-2015, dalam www.walhi.or.id<br />

3 PM. Laksono dkk. 2001.Pemberdayaan Masyarakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan yang Berperspektif<br />

Lingkungan, Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, halaman: 12.<br />

4 Atlas Indonesia, 2005, PT Intan Pariwara, Klaten, halaman 10.<br />

5 Cilacap dalam Angka 2005. Biro Pusat Statistik Kabupaten Cilacap, halaman 206.<br />

6 Jawa Tengah dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, Semarang, halaman 7.<br />

261


Cilacap Tengah, Nusawungu, Kroya, Adipala, Kesugihan, Gandrungmangu,<br />

Bantarsari, Patimuan dan Kedungreja 7. Sumber air di sekitar daerah rawa-rawa ini<br />

pada umumnya payau, keruh dan lengket sehingga tidak nyaman untuk mandi dan<br />

tidak enak untuk diminum atau dimasak . Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi<br />

penduduk yang tinggal di daerah tersebut terutama apabila musim kemarau tiba 8.<br />

Setidaknya ada 44 desa setiap tahun rawan air bersih yang tersebar di kecamatankecamatan<br />

tersebut. Keseluruhan warga yang terancam kekurangan air bersih<br />

adalah 29.720 kepala keluarga atau 115.869 jiwa 9. Persoalan lain terkait dengan<br />

air di Cilacap adalah pencemaran air. Persoalan ini tidak lepas dari keberadaan<br />

industri-industri besar di Cilacap seperti pelabuhan niaga, PT Pertamina, PT<br />

Semen Cibinong, Pemintalan, Perusahaan Tepung Terigu, pengolahan ikan,<br />

pengolahan kayu dan industri lain yang membuat kota ini dijuluki kota industri.<br />

Limbah industri sangat berpeluang untuk mencemari sumber air yang berada di<br />

sekitar tempat pembuangan limbah itu berada. Kasus pencemaran yang pernah<br />

terjadi antara lain dilakukan oleh PT Juifa, sebuah industri pengolahan ikan yang<br />

terletak di kecamatan Cilacap Selatan pada tahun 2000 10<br />

.<br />

Berkenaan dengan persoalan air Bupati Cilacap dengan persetujuan Dewan<br />

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap pada tanggal 1 Agustus 2003<br />

menetapkan Peraturan daerah No 27 tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas<br />

Air dan Pengendalian Pencemaran Air. <strong>Perda</strong> ini terdiri dari 10 bab dan 36 pasal.<br />

Sesuai judulnya, perda ini pada pokoknya mengatur tentang klasifikasi dan<br />

kriteria kualitas air, pengendalian pencemaran air, pembuangan air limbah dan<br />

retribusinya dilengkapi ketentuan mengenai sanksi administrasi dan ketentuan<br />

pidana bagi pelanggarnya. Menurut <strong>Perda</strong> ini setiap orang mempunyai hak yang<br />

sama atas kualitas air yang baik dan mendapat informasi mengenai status mutu<br />

air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air (Pasal 22).<br />

Sebagai sebuah produk hukum <strong>Perda</strong> mempunyai kekuatan hukum yang mengikat<br />

11<br />

untuk lingkup daerah yang diaturnya . Artinya bahwa, jika <strong>Perda</strong> mengatur<br />

bahwa air adalah hak setiap orang untuk memanfaatkannya, maka pemerintah<br />

daerah yang bersangkutan berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Dalam<br />

ilmu hukum, apa yang tertera dalam aturan hukum adalah kondisi ideal yang<br />

diharapkan atau apa yang semestinya (das solen). Hampir genap tiga tahun <strong>Perda</strong><br />

tersebut diundangkan. Namun pengamatan dan pengalaman tim penulis yang<br />

merupakan warga Cilacap menunjukkan bahwa pada kenyataannya masyarakat<br />

Cilacap, khususnya di kecamatan-kecamatan yang jauh dari pusat pemerintahan<br />

kabupaten sampai saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan air bersih.<br />

Kesulitan ini sangat terasa terutama untuk keperluan makan, minum, mencuci<br />

7 Homepage Daerah Kabupaten Cilacap dalam www.deptan.go.id.<br />

8 Pada musim hujan penduduk dapat memanfaatkan air hujan yang ditampung di tandon besar untuk<br />

keperluan makan dan minum.<br />

9 Kekurangan Air Bersih di Cilacap Meluas. www.suaramerdeka.com. 26 Agustus 2005<br />

10 Informasi ini diperoleh dari wawancara sambil lalu dengan Rasino, seorang nelayan, pada tanggal<br />

23 Juni 2006<br />

11 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, halaman<br />

58.<br />

262


dan mandi yang adalah kebutuhan utama orang. Di Kecamatan Kawunganten<br />

misalnya, ribuan orang dari beberapa desa tidak punya pilihan selain mengkonsumsi<br />

air payau keruh untuk kebutuhan sehari-harinya dari sumber air yang tercemar<br />

oleh kotoran manusia dan binatang peliharaan. Keadaan serupa dialami<br />

warga masyarakat di Desa Cisumur, Gintungreja, dan Sidaurip di Kecamatan<br />

Gandrungmangu, serta beberapa desa di Kecamatan Patimuan, Nusawungu,<br />

Jeruklegi dan Kampunglaut yang terletak tidak begitu jauh dari pantai. Keadaan<br />

yang nyata ini dalam wacana hukum disebut das sein.<br />

3. Permasalahan<br />

Kesenjangan antara keadaan yang semestinya (das solen) dengan keadaan<br />

yang nyata terjadi (das sein) terkait dengan persoalan air yang dialami warga<br />

Cilacap menarik untuk dikaji. Berpijak pada uraian dalam latar belakang, pokok<br />

permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana akuntabilitas penerapan<br />

<strong>Perda</strong> Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap?<br />

4. Tujuan Penelitian<br />

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pokok permasalahan di atas, yakni<br />

untuk mengetahui dan menguji akuntabilitas penerapan <strong>Perda</strong> Pengelolaan Air<br />

dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap?<br />

5. Metode Penelitian<br />

Jenis penelitian adalah penelitian kepustakaan (library research) didukung<br />

penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan yuridis sosiologis, mengkaji<br />

aspek hukum ketentuan <strong>Perda</strong> serta mengkonfirmasikan penerapan perda pada<br />

kenyataannya di lapangan. Penelitian lapangan dilakukan di Desa Bringkeng dan<br />

Bojong Kecamatan Kawunganten, Desa Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu<br />

dan Kelurahan Tegal Kamulyan Kecamatan Cilacap Selatan. Alasan pemilihan<br />

lokasi di desa Bringkeng dan Bojong karena pengetahuan sementara akan kondisi<br />

air di kedua desa tersebut. Pemilihan kelurahan Cilacap Selatan didasari oleh<br />

banyaknya industri di dalamnya. Bahan penelitian terdiri dari 3 macam: data<br />

primer, sekunder dan tersier. Data primer berupa informasi dari kontak langsung<br />

dengan subjek penelitian di lokasi. Studi kepustakaan dilakukan terhadap<br />

beberapa peraturan perundangan. Data sekunder berupa data dari dokumen studi<br />

kepustakaan. Data tersier diperoleh dari kamus dan internet. Metode pengumpulan<br />

data dengan wawancara, pengamatan dan studi dokumen. Informan penelitian<br />

adalah masyarakat di Kabupaten Cilacap dan pejabat yang berkompeten dalam<br />

persoalan yang dikaji. Pejabat dipilih dari kalangan DKLH (Dinas Kebersihan dan<br />

Lingkungan Hidup) Pemerintah Kabupaten Cilacap, Pegawai pada PDAM Cilacap.<br />

Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan pendekatan kualitatif.<br />

263


6. Hasil Penelitian dan Pembahasan<br />

Seiring dengan derasnya arus demokratisasi, kebijakan otonomi daerah di Indonesia<br />

digulirkan melalui Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah<br />

dan efektif mulai 1 Januari 2001. Kebijakan ini disambut dengan antusias oleh<br />

rakyat Indonesia. Antusiasme ini dapat dilihat dari maraknya diskusi publik yang<br />

diselenggarakan untuk membicarakan otonomi daerah, mulai dari soal urgensinya,<br />

harapan rakyat, peluang meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah sampai<br />

pada implikasi negatif yang mungkin ditimbulkannya. Salah satu isu yang<br />

cukup populer dalam perbincangan otonomi daerah adalah soal partisipasi, yakni<br />

pelibatan rakyat dalam perumusan kebijakan sehingga aspirasinya dapat terserap<br />

dengan baik, pelaksanaan kebijakan, pengawasan dan penerimaan manfaat dari<br />

kebijakan tersebut 12<br />

. Partisipasi dinilai sangat penting dalam konteks ini karena<br />

dengan partisipasi inilah akan terasa perbedaan otonomi dan tidak otonomi.<br />

Artinya, jika sebelum otonomi diberlakukan, kebijakan lebih banyak –untuk tidak<br />

menyebut seluruhnya- bersifat sentralistis, top down, maka di era otonomi daerah<br />

rakyat ingin gagasannya didengarkan, ruang publik diperlebar, pemerintahan<br />

lebih transparan agar rakyat dapat ikut mengawasi, akses terhadap sumber daya<br />

dipermudah dan dapat merasakan manfaat kebijakan itu lebih besar.<br />

Secara umum, masyarakat berharap dengan diberlakukannya otonomi daerah,<br />

rakyat bisa lebih sejahtera dengan asumsi bahwa pendapatan daerah akan<br />

dialokasikan lebih banyak untuk pemerintah daerah yang lebih dekat dengan<br />

rakyatnya dan lebih mengetahui kebutuhan rakyatnya dibanding Pemerintah<br />

Pusat. Dengan kata lain, akan terwujud pemerintahan yang lebih demokratis,<br />

yakni dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Di sisi lain Pemerintah Daerah,<br />

terutama yang memiliki sumber daya potensial tak mau berdiam diri menangkap<br />

wewenang mengelola daerahnya sendiri yang sebelumnya harus seijin pemerintah<br />

pusat. Ada bermacam-macam respon pemerintah daerah atas diberlakukannya<br />

kebijakan otonomi daerah ini. Secara sederhana respon ini dapat dikategorikan<br />

menjadi dua, yaitu positif dan negatif. Respon positif merujuk pada kebijakan<br />

pemerintah daerah yang memanfaatkan sebaik mungkin dengan membuat<br />

kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyatnya. Sekedar menyebutkan<br />

contoh, menyambut otonomi daerah Kabupaten Jembrana membuat kebijakan<br />

13<br />

membebaskan biaya pendidikan bagi rakyatnya untuk tingkat SD hingga SLTA .<br />

Kebijakan ini mendasarkan pada kesadaran pentingnya membangun kemampuan<br />

sumber daya manusia sebagai subjek perubahan. Adapun respon negatif merujuk<br />

pada kebijakan pemerintah daerah yang justru mengeksploitasi sumberdaya yang<br />

dimilikinya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa memberi manfaat<br />

yang seimbang pada rakyat. Satu contoh yang dapat dikemukakan adalah kebijakan<br />

Provinsi Riau yang menetapkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang eksploitatif<br />

tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis dan penerimaan manfaat.<br />

14 <br />

12 Otonomi Daerah, Antara Konsep dan Realitas. Majalah Millah, edisi Oktober 2001.<br />

13 Jembrana Gratiskan Biaya Pendidikan, Kompas 9 April 2001.<br />

14 Rully Syumanda , Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif Terhadap<br />

RTRWP Riau, dalam<br />

264


Penelitian terhadap akuntabilitas <strong>Perda</strong> No 27 tahun 2003 memperoleh beberapa<br />

temuan yang mengindikasikan bahwa <strong>Perda</strong> ini tidak mampu menjawab persoalan<br />

air yang dialami oleh rakyat Cilacap. Selengkapnya temuan-temuan tersebut<br />

adalah :<br />

1.<br />

Ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam <strong>Perda</strong> tersebut belum membuka<br />

ruang partisipasi publik dalam upaya penanggulangan pencemaran air.<br />

Pasal 24 mengatur :<br />

1. Setiap usaha dan /atau kegiatan yang memanfaatkan air limbah ke tanah<br />

untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupati<br />

2. Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan Bupati<br />

3. Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini didasarkan<br />

pada kajian analisis air limbah sesuai baku mutu yang ditetapkan.<br />

Rumusan ketentuan dalam Pasal 24 di atas memberikan kesan “bupati centris”.<br />

Ketentuan ini mengatur bahwa ijin tertulis bupati hanya diberikan atas dasar<br />

hasil kajian analisis limbah sesuai baku mutu yang ditetapkan. Tidak disebutkan<br />

bahwa persetujuan atau keberatan masyarakat di sekitar tempat pembuangan air<br />

limbah sebagai pertimbangan yang penting. Dalam pelaksanaannya, ketentuan<br />

ini membuka peluang merugikan masyarakat, yakni tidak didengarnya aspirasi<br />

masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pengalaman di berbagai tempat, ijin<br />

seringkali merupakan hasil kompromi dan negosiasi pihak birokrasi dan pengusaha<br />

tanpa melibatkan masyarakat untuk ikut memutuskan.<br />

Kemungkinan manipulasi dalam hal ini cukup besar. Ijin dalam bahasa birokrasi<br />

acapkali identik dengan penarikan retribusi. Artinya apabila pemerintah<br />

menetapkan syarat dan tata cara ijin suatu kegiatan, maka berarti pihak yang<br />

diberi ijin harus membayar uang retribusi. Demikian pula pemberian ijin dalam<br />

<strong>Perda</strong> ini tidak dapat dipisahkan dari keinginan Pemerintah Kabupaten Cilacap<br />

untuk menarik retribusi ijin dari pemrakarsa kegiatan.<br />

15 Hal ini terlihat jelas dari<br />

ditetapkannya Keputusan Bupati Cilacap No 61 tahun 2004 tentang retribusi Ijin<br />

Pembuangan dan/atau Pemanfaatan Air Limbah di Kabupaten Cilacap. Konsideran<br />

Keputusan Bupati ini menyebutkan <strong>Perda</strong> No 27 Tahun 2003 sebagai salah<br />

satu dasar penetapanya. Dalam Keputusan Bupati ini disebutkan dengan rinci<br />

jumlah uang yang harus dibayar para pemrakarsa kegiatan yang berkepentingan<br />

untuk membuang limbah di wilayah Kabupaten Cilacap. Lampiran Keputusan<br />

ini mencontohkan penghitungan besarnya retribusi yang harus dibayar Pabrik<br />

Aci dengan modal Rp. 20.000.000,00 dengan volume limbah 50m kubik perhari.<br />

Retribusi yang harus dibayarkan pabrik ini adalah Rp. 1.263.600,00 meliputi<br />

biaya pembinaan, biaya pemeriksaan lapangan, biaya pemeriksaan berkas dan<br />

biaya pengawasan. Sebagai kota industri, perihal ijin ini tentu dipandang sangat<br />

potensial untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).<br />

15 Pemrakarsa kegiatan adalah istilah yang dipakai <strong>Perda</strong> dalam tafsir otentik untuk menyebut orang<br />

atau badan hukum yang bertanggungjawab terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan.<br />

265


2.<br />

<strong>Perda</strong> ini belum cukup akomodatif terhadap kepentingan masyarakat di daerahdaerah<br />

yang sulit mendapatkan air bersih.<br />

Pasal 3 ayat (7) ketetapan MPR No. III/MPR/2000 menyebutkan, “Peraturan<br />

Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya<br />

dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan, terdiri dari<br />

Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan<br />

Desa16<br />

. Berdasarkan ketentuan Tap MPR tersebut, seharusnya <strong>Perda</strong> yang dibuat<br />

Kabupaten Cilacap tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran<br />

air di Kabupaten Cilacap mengakomodir kondisi khusus yang nyata-nyata ada di<br />

Cilacap. Bahwa beberapa bagian daerah Cilacap, karena kondisi alamnya, sangat<br />

rawan terhadap kekurangan air berkualitas baik, terutama pada musim kemarau.<br />

Bahwa kekurangan air berkualitas baik tersebut memberikan dampak terhadap<br />

timbulnya berbagai penyakit, seperti diari, disentri, muntaber, gatal-gatal dan<br />

infeksi kulit . Menyimpang dari pengertian <strong>Perda</strong> dalam Tap MPR tersebut,<br />

<strong>Perda</strong> No 27 Tahun 2003 ternyata belum cukup akomodatif terhadap kepentingan<br />

masyarakat di daerah-daerah yang sulit mendapatkan air berkualitas baik.<br />

<strong>Perda</strong> ini mengatur klasifikasi air menjadi 4 kelas, yakni:<br />

1. kelas satu, air yang peruntukkannya dapat digunakan sebagai sumber air baku<br />

untuk minum dan/peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama<br />

dalam kegunaan tersebut.<br />

2. kelas dua, yakni air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/<br />

sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk<br />

mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu<br />

air yang sama dengan kegunaan tersebut;<br />

3. kelas tiga, air yang peruntukannya untuk kegiatan pembudidayaan ikan air<br />

tawar, peternakan dan lain sebagainya;<br />

4. kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi<br />

pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang<br />

sama dengan kegunaan tersebut.<br />

Selanjutnya <strong>Perda</strong> ini membagi status mutu air ke dalam dua kategori, yakni :<br />

1. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air<br />

2. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air<br />

Akan tetapi, penggolongan klasifikasi mutu air dan status mutu air yang diatur<br />

dalam Pasal 9 sampai 12 tidak diikuti oleh penegasan jaminan dari pemerintah<br />

untuk rakyat memperoleh air yang sesuai baku mutu air bagi setiap warga<br />

Cilacap dan air yang berdasarkan kelas peruntukannya. Hal ini menjadi masalah<br />

besar bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan yang keadaan alamnya tidak<br />

memungkinkan mereka memperoleh air dengan kualitas baik. Padahal ketika <strong>Perda</strong><br />

ini dibuat persoalan kesulitan mendapatkan air berkualitas baik merupakan<br />

16 821 Warga Terserang Penyakit Diare, Daerah Rawan Pangan Diwaspadai, Suara Merdeka, Kamis,<br />

28 Agustus 2003.<br />

266


persoalan nyata yang dialami warga Cilacap secara massal. Artinya bahwa<br />

<strong>Perda</strong> ini tidak dapat menjawab satu persoalan yang ada. Terbukti sampai saat<br />

ini masyarakat di beberapa desa di Kecamatan Gandrungmangu, Patimuan,<br />

Kampunglaut, Jeruklegi, Nusawungu dan Cilacap Tengah masih mengkonsumsi<br />

air dengan kualitas tidak baik. Di desa Cimrutu, Kecamatan Patimuan,<br />

masyarakat mandi bersama itik di sumber air yang tidak terjamin kebersihannya,<br />

karena suplai air bersih yang diberikan pemerintah kabupaten sangat minim,<br />

sehingga masyarakat memilih mengutamakan air bersih bantuan tersebut untuk<br />

keperluan makan dan minum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa <strong>Perda</strong><br />

ini tidak mencerminkan karakter lokal Cilacap itu sendiri. Klausul bahwa Bupati<br />

sesuai kewenangannya dapat menunjuk instansi yang bertanggungjawab untuk<br />

melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air sesuai<br />

dengan peruntukannya dan mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas<br />

air sesuai dengan peruntukannya sebagaimana tersurat dalam Pasal 12 ayat (3)<br />

tidak banyak menolong masyarakat untuk memperoleh hak atas air berkualitas<br />

baik. Penggunaan kata dapat (bukan wajib) menunjukkan bahwa kebijakan<br />

penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air hanya merupakan<br />

wewenang yang pelaksanaannya sangat tergantung kebaikan Bupati semata, bukan<br />

tuntutan kewajiban. Bagi masyarakat ini merupakan klausul yang melemahkan<br />

dalam hal penuntutan dipenuhinya hak atas air bersih yang diatur pada Pasal 22<br />

(1).<br />

Pada waktu permasalahan ini dikonfirmasikan kepada pemerintah, diperoleh<br />

keterangan bahwa untuk pengelolaan mutu air diserahkan kepada masyarakat.<br />

Pemerintah sudah berusaha mensosialisasikan tentang baku mutu air dan<br />

klasifikasi air terkait dengan peruntukannya. Jadi, apabila sudah diberitahu air<br />

di desa tertentu merupakan air kelas dua yang peruntukannya untuk peternakan<br />

dan perikanan –bukan untuk minum- maka dengan pertimbangan kesehatan,<br />

masyarakat seharusnya tidak memakai air tersebut untuk minum. Apabila masih<br />

dimanfaatkan untuk minum juga, maka itu bukan tanggungjawab pemerintah<br />

yang telah berusaha memberikan informasi yang benar. Menurutnya, air<br />

berkualitas baik memang merupakan hak setiap manusia. Oleh karena hak<br />

selalu terkait dengan kewajiban, maka pengelolaan air agar berkualitas baik<br />

adalah kewajiban manusia tersebut. Keterangan ini memberikan kesan bahwa<br />

seolah-olah Pemerintah tidak bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan<br />

air berkualitas baik untuk masyarakat. Persoalan yang timbul dari pandangan<br />

semacam ini adalah bagaimana mungkin masyarakat yang tidak berdaya secara<br />

ekonomi dan keilmuan dibebani kewajiban mengelola air agar berkualitas baik<br />

dan layak konsumsi? Untuk ukuran masyarakat desa Bringkeng di Kecamatan<br />

Kawunganten dan dusun Cihaur Desa Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu<br />

hal ini sungguh mustahil. Tiadanya infrastruktur yang dimiliki, kesibukan bekerja<br />

dengan hasil yang tidak memadai serta minimnya informasi yang bisa diakses<br />

kurang memungkinkan mereka berinisiatif mengelola air agar berkualitas baik.<br />

17 Masyarakat Biasa Mandi Bersama Bebek, Kompas, 28 Juni 2006<br />

18 Wawancara dengan Anjas Kartiko Pramono S. Si, dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup<br />

Kabupaten Cilacap, 30 Juni 2006.<br />

267


Problem lain dari perumusan pasal tentang klasifikasi air dalam <strong>Perda</strong> ini adalah<br />

tidak ada pembeda yang jelas antara air kelas dua dengan air kelas tiga baik dalam<br />

batang tubuh <strong>Perda</strong> maupun dalam penjelasannya. Dari sini dapat timbul kesan<br />

pembuatan <strong>Perda</strong> tidak cukup serius.<br />

3.<br />

Pemantauan kualitas air yang seharusnya dilakukan 6 bulan sekali sebagaimana<br />

bunyi Pasal 11 (2) tidak pernah dilakukan di daerah sulit air.<br />

Pasal 11 mengatur bahwa :<br />

1. Pemantauan kualitas air pada sumber air yang berada di wilayah Kabupaten<br />

Cilacap dilaksanakan oleh instansi yang bertanggungjawab<br />

2. Pemantauan kualitas air sebaaimana dimaksud dalam Pasal (1) dilakukan<br />

sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.<br />

3. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini disampaikan<br />

secara tertulis kepada Bupati.<br />

Melalui pengamatan dan wawancara dengan beberapa warga di desa-desa yang<br />

sulit mendapatkan air bersih, sepengetahuan mereka tidak pernah dilakukan<br />

pemantauan kualitas air sebagaimana diatur dalam Pasal 11 tersebut. Bahkan<br />

informasi tentang status mutu air dan kriteria mutu air yang oleh <strong>Perda</strong> ini diatur<br />

menjadi hak setiap orang (Pasal 22) juga tidak pernah didapatkan. Seorang ibu di<br />

desa Bringkeng mengatakan tidak tahu apa itu kelas air dan perbedaan peruntukan<br />

tiap kelas. Sehari-harinya ibu tersebut, mengambil air dari sumur yang kondisinya<br />

tercemar oleh binatang peliharaan dan kotoran manusia karena letaknya berjarak<br />

tidak lebih dari 2 meter dari tempat membuang kotoran manusia dan kandang<br />

kambing serta biasa dipakai untuk berenang itik-itik peliharaannya.<br />

Keadaan memprihatinkan ini juga terjadi di beberapa desa lain di Kecamatan<br />

Kawunganten, seperti Bojong dan Rawajaya. Ribuan hektar sawah sejak 20 tahun<br />

terakhir tidak bisa difungsikan akibat kesalahan struktur saluran irigasi yang<br />

menyebabkan genangan dan banjir air sepanjang tahun di sawah-sawah mereka.<br />

Keadaan ini berakibat pada semakin buruknya kualitas air di pedesaan sekitar<br />

sawah mati itu berada. Warga yang sudah lelah berusaha meminta perbaikan<br />

pada pemerintah pada akhirnya menganggap bahwa kesulitan mendapat air<br />

bersih merupakan takdir yang harus mereka alami dan tidak bisa dirubah. Bagi<br />

kaum yang cukup berada, masalah ini bisa dipecahkan dengan membuat sanitasi<br />

sehat yang dilengkapi sistem penyaringan air. Akan tetapi bagi kalangan miskin,<br />

tidak ada yang bisa dilakukan kecuali memakai air tersebut. Jangankan untuk<br />

membangun sanitasi yang sehat secara mandiri, untuk memenuhi kebutuhan<br />

primer saja seringkali harus berhutang pada tengkulak gula merah 19<br />

.<br />

Pasal 11 ini hanya efektif berlaku bagi kalangan industri. Bahwa pemantauan<br />

terhadap kulaitas air memang dilakukan setiap 6 bulan sekali, bahkan ada yang<br />

setiap 3 bulan sekali. Perusahaan (pemrakarsa kegiatan) harus melaporkan<br />

19 Wawancara dengan ibu-ibu di desa Bringkeng, Bojong dan Rawajaya pada Mei 2006. Membuat gula<br />

merah<br />

268


keadaan air yang menjadi tanggungjawabnya secara periodik dan pemerintah<br />

akan menindaklanjuti bila ditemukan indikasi pencemaran air oleh perusahaan<br />

tersebut. Tindaklanjut yang biasa dilakukan adalah teguran dan pembinaan.<br />

Sampai hari ini belum ada pemberian sanksi, baik administratif maupun pidana<br />

terhadap perusahaan karena semua persoalan pencemaran air yang muncul selalu<br />

dapat diselesaikan melalui teguran dan pembinaan . 20<br />

4.<br />

Tidak ada kepastian bagi masyarakat miskin memperoleh air bermutu baik<br />

yang menjadi haknya.<br />

Selain dialami oleh mereka yang berada di desa-desa sulit air yang telah disebutkan<br />

di atas, ketidakpastian memperoleh air bersih juga dialami oleh penduduk miskin<br />

di kota maupun di desa yang tidak memiliki kemampuan mengakses air berkualitas<br />

baik dari PDAM. Yang dimaksud dengan ketidakpastian adalah apakah air<br />

yang mereka konsumsi tercemar atau tidak secara pasti tidak diketahui. Hal ini<br />

dikarenakan uji laboratorium yang semestinya dilakukan pada sumber air yang<br />

berada di sekitar sumber pencemaran tidak dilakukan oleh setiap warga. Upaya<br />

sosialisasi dari Pemerintah tentang pentingnya mengujikan air di laboratorium<br />

serta pemberian informasi mengenai biaya masih sangat kurang berakibat pada<br />

rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengujikan air di laboratorium.<br />

Di samping itu, warga miskin di daerah yang sebenarnya mempunyai sumber air<br />

bermutu baik, namun karena tidak mempunyai lahan yang cukup untuk membuat<br />

sumur. Dalam keadaan normal, mereka dapat menumpang pada tetangga. Akan<br />

tetapi dalam keadaan kemarau, air menjadi masalah besar. Keadaan ini tidak<br />

diatur oleh <strong>Perda</strong> ini, dalam arti bagaimana masyarakat miskin untuk mendapat<br />

jaminan memperoleh air bersih karena tidak cukup mampu untuk membeli air<br />

sebagaimana yang biasa dilakukan orang yang berkecukupan. Mereka tidak<br />

cukup berdaya untuk mengakses air bersih dari PDAM karena biaya yang mereka<br />

rasakan cukup mahal. Untuk pemasangan instalasi baru dibutuhkan biaya Rp.<br />

809.750,00 jika dibayar kontan. Apabila diangsur biayanya adalah 6x 247.250<br />

ditambah biaya tambahan bila pipa yang dibutuhkan lebih dari 6 meter atau letak<br />

21<br />

rumah di seberang jalan saluran utama PDAM. Di samping itu, belum semua desa<br />

di Kabupaten Cilacap dapat dijangkau oleh instalasi PDAM.<br />

5.<br />

Ketiadaan air berkualitas baik yang dapat dinikmati oleh masyarakat di daerah<br />

sulit air dan masyarakat miskin secara langsung membawa dampak terhadap<br />

derajat kesehatan masyarakat tersebut, terutama perempuan dan anak-anak.<br />

Aktivitas domestik rumah tangga di Cilacap mayoritas didominasi kaum perempuan,<br />

22<br />

baik yang berstatus istri maupun lajang. Artinya, pekerjaan-pekerjaan domestik<br />

20 Wawancara dengan Anjas Kartiko Pramono S. Si, dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan hidup<br />

Kabupaten Cilacap, 30<br />

Juni 2006.<br />

21 Wawancara dengan Arif, staf Bagian Langganan PDAM Cilacap pada tanggal 1 Juli 2006.<br />

22 Laporan Hasil Penelitian Jaringan Gerakan Gender PMII Jawa Tengah Tahun 2004<br />

269


seperti memasak, mencuci pakaian, mencuci perkakas rumah tangga, memandikan<br />

anak, mengepel lantai, menyetrika, menyapu halaman, adalah tanggungjawab<br />

perempuan. dalam pelaksanaannya pekerjaan-pekerjaan tersebut banyak<br />

bersentuhan dengan air. Apabila air yang dipakai dalam pekerjaan-pekerjaan<br />

tersebut adalah air berkualitas tidak baik maka kemungkinan besar mereka<br />

adalah penderita terbesar penyakit-penyakit yang ditimbulkan olehnya. Selain<br />

itu, air berkualitas tidak baik juga sangat membahayakan kesehatan reproduksi<br />

23<br />

perempuan. Selain kaum perempuan, kelompok yang rentan mengalami resiko<br />

penggunaan air berkualitas tidak baik adalah anak-anak. Mereka yang lahir dari<br />

ibu yang <strong>org</strong>an reproduksinya kurang sehat akan menerima resiko tertular penyakit<br />

yang diderita ibunya. Mereka juga terancam tumbuh tidak sebaik anak-anak<br />

pada umumnya serta rentan terserang berbagai penyakit, seperti diare, disentri,<br />

muntaber, malaria dan penyakit kulit. Dalam jangka panjang tentu keadaan ini<br />

mengancam kelangsungan kualitas generasi yang akan datang.<br />

7.<br />

Kesimpulan<br />

Temuan-temuan diatas mengantarkan pada perumusan kesimpulan bahwa<br />

penerapan <strong>Perda</strong> no 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian<br />

Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap tidak memiliki akuntabilitas terhadap<br />

pemecahan permasalahan air di Kabupaten Cilacap. Sampai saat ini hak<br />

menikmati air yang berkualitas baik bagi warga miskin dan warga di desa yang<br />

sulit air hanyalah mimpi belaka. <strong>Perda</strong> yang ada tidak cukup mengakomodir<br />

kepentingan mereka. Ditetapkannya <strong>Perda</strong> tersebut beserta Keputusan Bupati<br />

No 61 Tahun 2004 tentang Retribusi Ijin Pembuangan dan/atau Pemanfaatan Air<br />

Limbah dapat dikatakan merupakan upaya merespon peluang Otonomi Daerah<br />

dengan cara meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebanyak-banyaknya<br />

tanpa diimbangi dengan pemberian manfaat kepada rakyat.<br />

8.<br />

Rekomendasi<br />

Menindaklanjuti hasil penelitian ini, tim penulis memberikan rekomendasi<br />

kepada:<br />

1.<br />

2.<br />

Pemerintah Kabupaten Cilacap, untuk merevisi isi <strong>Perda</strong> agar dapat<br />

menampilkan kondisi lokal yang nyata-nyata ada di Cilacap terkait dengan<br />

persoalan air yang dialami warga dan menunjukkan keberpihakannya pada<br />

rakyat dengan memberikan jaminan pemenuhan air berkualitas baik bagi<br />

setiap orang di Kabupaten Cilacap.<br />

Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah, hendaknya semakin intensif dalam<br />

membantu mendorong terwujudnya pemerintahan lokal yang kuat dan<br />

memiliki keberpihakan pada rakyat. Khusus dengan Pemerintah Kabupaten<br />

Cilacap, hendaknya YIPD berinisiatif memfasilitasi perumusan <strong>Perda</strong>.<br />

23 Merawat Daerah Rahasia Kita, Kompas, 18 Juli 2003.<br />

270


Daftar Pustaka<br />

Kelompok Peraturan Perundangan<br />

Undang-undang Dasar 1945.<br />

Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan<br />

Perundangan.<br />

Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan<br />

Pengendalian Pencemaran Air.<br />

Keputusan Bupati No 61 Tahun 2004 tentang Retribusi Ijin pembuangan dan/atau<br />

Pemanfaatan air Limbah di Kabupaten Cilacap.<br />

Kelompok Buku<br />

Atlas Indonesia. 2005. PT Intan Pariwara. Klaten.<br />

Cilacap dalam Angka 2005. Biro Pusat Stastik Kabupaten Cilacap.<br />

Jawa Tengah dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Semarang.<br />

Ni’matul Huda. 2005. Negara Hukum, demokrasi dan Judicial Review. UII Press.<br />

Yogyakarta.<br />

Kelompok Laporan Penelitian<br />

PM. Laksono dkk. 2001.Pemberdayaan Masyarakat dalam Meningkatkan<br />

Kesejahteraan yang Berperspektif Lingkungan. Lembaga Penelitian Universitas<br />

Gadjah Mada, Yogyakarta.<br />

Social Watch Report, 2003<br />

Laporan Hasil Penelitian Jaringan Gerakan Gender PMII Jawa Tengah Tahun<br />

2004<br />

Kelompok Media Massa<br />

Rully Syumanda ,Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif<br />

terhadap RTRWP Riau 2001-2015. www.walhi.or.id.<br />

271


Homepage Daerah Kabupaten Cilacap dalam www.deptan.go.id<br />

Kekurangan Air Bersih di Cilacap Meluas. www.suaramerdeka.com. 26 Agustus<br />

2005 Jembrana Gratiskan Biaya Pendidikan, Kompas 9 April 2001.<br />

821 Warga Terserang Penyakit Diare,Daerah Rawan Pangan Diwaspadai. Suara<br />

Merdeka, Kamis. 28 Agustus 2003.<br />

Masyarakat Biasa Mandi Bersama Bebek, Kompas, 28 Juni 2006.<br />

Merawat Daerah Rahasia Kita, Kompas, 18 Juli 2003.<br />

272


7. Diskusi Sesi Paralel 2:<br />

<strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong>:<br />

Kesehatan, Ketenagakerjaan & Sumber Daya Alam<br />

Tanya Jawab<br />

◊ Pertanyaan<br />

1.<br />

Stanley dari LSM HUMA<br />

Langsung saja ke pertanyaan ke Bapak Absory. Sebagian besar konsep Bapak saya<br />

setuju yang menyangkut partisipatif, tapi saya agak kurang setuju kalau kemudian<br />

PKL itu disebut sebagai salah satu pihak yang diperdayakan. Karena setahu saya<br />

konsep pemberdayaan itu sendiri sudah banyak dikritisi. Jadi, saya lebih setuju kalau<br />

kemudian menggunakan konsep partner atau kerjasama. Kalau pemberdayaan itu<br />

dalam beberapa kritik dia lebih cenderung melihat sebuah wilayah sosial tertentu<br />

yang menjadi rekanan atau kerjasama sebagai objek. Kalau sebagai objek maka<br />

kira-kira dia akan terus-terus menerus diminta untuk berpartisipasi dan dalam<br />

hal itu partisipasi yang kira-kira dibicarakan disana itu adalah partisipasi yang<br />

given (diberikan). Sementara kalau soal partner/kerjasama maka PKL itu sendiri<br />

dilihat sebagai kelompok yang memiliki hak. Partisipasi disana bukan lagi given<br />

tetapi partisipasi yang utama/partisipasi sebagai hak. Saya kira UU No.10/2004<br />

itu partisipasi sebagai hak. Dalam hal itu maka saya kira konsep hukum responsif<br />

yang Bapak Absori gunakan itu menjadi sangat relevan tapi kalau kemudian<br />

partisipasi sebagai given tidak relevan menggunakan hukum responsif sebagai<br />

salah satu argumentasi hukum yang di-explore untuk menjelaskan soal PKL.<br />

Yang kedua, saya langsung ke Bapak Hikmad Ramdan. Ada 3 hal:<br />

Pertama eksplorasi bapak tidak berbicara banyak soal keterlibatan swasta dan<br />

masyarakat dalam membangun kerjasama lintas daerah di Ciremai sana. Setahu<br />

saya ada beberapa swasta yang memanfaatkan mata air Gunung Ciremai itu untuk<br />

kepentingan komersial (aqua salah satunya saya kira) di situ tidak eksplorasi<br />

secara jelas salah satu pihak yang terlibat.<br />

Yang kedua berkaitan dengan pendekatan normatif, saya kira tata ruang untuk<br />

kawasan konservasi Gunung Ciremai dalam hal itu menurut UU No.22/1999 dan<br />

juga diganti dengan UU No.32/2004 konservasi itu masih merupakan kewenangan<br />

pusat. Saya agak kuatir kalau pemberian informasi ini sampai ke tangan Pusat<br />

itu kemudian menjadi bahan eksekutif review. Pengalaman dibeberapa daerah<br />

pengolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat sudah dieksekutif review<br />

padahal itu merupakan kebijakan-kebijakan daerah untuk merespons situasisituasi<br />

lokal yang sangat-sangat mengharapkan pendekatan-pendekatan yang<br />

berbasis masyarakat.<br />

273


Yang terakhir, berkaitan dengan masyarakat tadi itu, apakah tidak ada misalnya<br />

eksplorasi lebih jauh mengenai masyarakat di wilayah hulu yang memang<br />

kemudian dinilai oleh rekan-rekan di wilayah hilir sebagai kelompok-kelompok yang<br />

memanfaatkan sebagian hutan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi mereka.<br />

Gimana konfliknya untuk antar masyarakat sendiri? Itu perlu dieksplorasi karena<br />

seringkali di tingkat daerah kelihatan clear dan jelas tetapi pada level masyarakat<br />

itu tidak clear. Konflik kemudian terjadi malah secara horizontal, terimakasih.<br />

2.<br />

Yusnita Ike Christanti dari IDEA (Yogja)<br />

Satu pertanyaan saja khususnya untuk Bapak Hikmat. Saya tertarik dengan<br />

<strong>Perda</strong> tentang mengenai Tata Ruang itu karena ini juga jadi persoalan di Yogja<br />

khususnya antara Kab. Sleman dengan kota yang mereka juga berkonflik<br />

berkenaan dengan wilayah hulu dan hilir tersebut dan sampai sekarang Pemkot<br />

pun belum mampu mengatasi konflik ini dengan baik dengan Pemerintah Kab.<br />

Sleman. Satu pertanyaan saja, sebetulnya kalau saya tadi agak melihat penjelasan<br />

Bapak Hikmat bahwa <strong>Perda</strong> ini adalah hasil dari deal-deal politik/dari komitmenkomitmen<br />

politik. Saya agak mencurigai bahwa ada kepentingan dari pihak hulu<br />

dengan adanya otonomi daerah bahwa mereka dengan cara memproduksi <strong>Perda</strong><br />

tersebut dia akan mendapatkan income untuk PADnya dengan cukup besar karena<br />

penggunaan air. Terus kemudian apakah di <strong>Perda</strong> tersebut ada memuat sangsisangsi<br />

apabila deal-deal atau komitmen-komitmen tadi dilanggar oleh pihak<br />

Pemerintah Kuningan?<br />

3.<br />

Koko dari URDI<br />

Pertanyaan ke Bapak Nur. Soal JPKM ini sifatnya klarifikasi saja. Tadi ada grafik<br />

kepesertaan JPKM tahun 2005/2006 itu jumlah kepesertaan dari Strata-1 – 0. Lalu<br />

Premi JPKM 2005/2006 dari tabel-7 Strata 1 juga 0. Apa artinya golongan-1 itu<br />

akhirnya sama sekali tidak ikut serta lagi dalam JPKM atau bagaimana?<br />

Untuk Bapak Hikmat, saya tertarik sebenarnya kerjasama antar daerah, saya<br />

juga lagi menggeluti soal itu tapi sebenarnya begini, yang menurut saya yang bisa<br />

menjadi benar-benar bisa mengikat ketika kalau ada MoU antar Pemda sebagai<br />

Badan Hukum itu harusnya bisa diperdatakan. Jadi kalau misalnya hanya MoU-<br />

MoU yang sifatnya sangat ceremonial saja yang seperti tadi disampaikan oleh Ibu<br />

Yuni tidak akan ada jaminannya. Mungkin sekarang sama-sama dari induk basis<br />

politik yang sama mungkin Kepala Daerahnya. Nanti ke depannya mungkin tidak<br />

seperti itu. Dan masalah transparasi seperti tadi dana-dana tersebut 1,65 milyar<br />

itu benar-benar masuk ke konservasi bukan buat nge-cat Rumah Bupati, segala<br />

macam itu jelas harus ada mekanisme. Menurut saya dalam hal ini benar-benar<br />

MoU itu memang harus mencakupkan klausul-klausul yang bisa diperdatakan.<br />

Mengenai PKL di Surakarta, saya agak menemukan ada sedikit missed-match dari<br />

abstrak yang saya baca di sini dengan pemberdayaan yang sebagai salah satu<br />

274


solusi bagi PKL sekarang karena problem permasalahan Bapak sampaikan di<br />

abstrak ini PKL itu karena bias kebijakan/bias urban jadi maksudnya kenapa ada<br />

penduduk desa yang dia tidak dapat lagi mendapatkan hasil yang cukup dari desa<br />

dia perlu ke kota untuk cari kerja, gagal jadi PKL. Padahal sumber permasalahannya<br />

itu bukan di kota. Tapi kalau dari Bapak tulis tadi sumber permasalahannya<br />

dari desa berarti sebenarnya mungkin pemberdayaan lebih tepat sasaran kalau<br />

dilakukan di desa, mungkin kalau dari presentasi Bapak, Bapak lebih pada analisis<br />

judicial terhadap <strong>Perda</strong> tersebut, jadi kurang relevan dalam hal ini. Terimakasih.<br />

275


1.<br />

◊<br />

Absori<br />

Jawaban<br />

Dari Bapak Stanley, saya mengucapkan terimakasih atas beberapa pemikirannya.<br />

Konsep parispatif pada intinya setuju, cuma ada beberapa yang mengganjal<br />

tentang PKL yang perlu diberdayakan karena konotasinya kalau pemberdayaan<br />

itu menempatkan PKL sebagai objek. Ini barangkali satu persoalan konsep<br />

pemberdayaan dan konsep partnership atau kemitraaan. Ini barangkali kalau<br />

dilihat dari pengalaman menggeluti lapangan dalam konteks sosiologis kita harus<br />

melihat satu realitas atau data bahwa dalam fakta memang struktur masyarakat<br />

itu beragam. Masyarakat pengambil kebijakan dan masyarakat PKL itu berada<br />

dalam satu struktur yang berbeda sehingga untuk mengangkat jadi satu mitra<br />

dalam pola partnership tidak gampang.<br />

Tapi dalam kajian-kajian normatif maka konsep partnership dan kerjasama itu<br />

merupakan satu konsep yang ideal. Konsep ini bisa disatukan dari pemberdayaan<br />

yang menjadi terkesan objek sekalipun saya tidak bermaksud ke sana tetapi saya<br />

maksud dalam pemberdayaan dalam posisi menempatkan dia sebagai subjek.<br />

Cuma dalam tataran realitas dia memang struktur sosial antara keduanya memang<br />

berbeda. Antara pihak-pihak lain memang berbeda tapi dalam tataran normatif<br />

memang ini bisa kita katakan bahwa konsep yang ideal adalah partnership. Harus<br />

kita akui bahwa proses kesana membangun satu masyarakat yang partnership yang<br />

legaltarian memang butuh waktu yang panjang dan kita harus melihat realitas<br />

bahwa struktur masyarakat kita memang belum terbentuk seperti itu. Karena itu<br />

kalau kita mencoba mendisain satu model bagaimana menempatkan PKL sebagai<br />

mitra dalam rangka kerjasama sudah barang tentu ini harus butuh waktu proses<br />

yang panjang.<br />

Tetapi, saya setuju kalau konsep partnership ini ditempatkan pada satu tataran<br />

ideal kalau memang nanti posisi <strong>Perda</strong> ditempatkan satu produk hukum yang<br />

responsif. Saya tidak keberatan karena kajian responsif dari Phillip Nonette dan<br />

Jill Need. pun menempatkan masyarakat dalam posisi subjek dalam penentuan<br />

kebijakan. Karena itu saya yakin dimasa mendatang konsep-konsep ini akan<br />

menjadi satu kebutuhan dalam pengambilan kebijakan. Dalam tanda petik sebagai<br />

bagian dari bagaimana membuat satu produk hukum. Masyarakat sendiri yang<br />

mendesain, masyarakat sendiri yang kemudian berpandangan bahwa saatnya<br />

kami yang menentukan bukan anda yaitu yang mengambil kebijakan tapi kami<br />

juga termasuk mengawasi mengimplementasinya.<br />

Gagasan-gagasan semacam ini kan dalam wacana perdebatan itu sadah menjadi<br />

menu kita sehari-hari tapi dalam tataran implementasi ini yang memang perlu<br />

harus kita dorong, karena itu keberadaan kita seperti HUMA, mungkin perguruan<br />

tinggi menjadi pilar sebagai interest group untuk mendorong supaya muncul konsep<br />

partnership dalam tataran real atau dalam realitas.<br />

276


Dan yang kedua, maksud saya tentang sumber masalah PKL di kota atau di desa<br />

saya hanya mengambil back-ground dari pemikiran Bapak Lukman Sutrisno (Alm.)<br />

Sosiolog dari Gajah Mada bahwa sebenarnya sumber masalah dari PKL itu di<br />

pedesaan iya, karena tidak tersentuh kebijakan. Karena kita beda, pembangunan<br />

kita hanya terfokus di masyarakat perkotaaan sementara desa tidak tersentuh<br />

dengan kebijakan. Di kota pun demikian problemnya sektor formal terbatas,<br />

informal mencari jalan sendiri tapi kemudian harus berhadapan dengan persepsi<br />

yang beragam. Maksud saya hanya latar belakang tapi fokus kajian kita memang<br />

review <strong>Perda</strong> itu sendiri. Jadi karena itu saya lebih mengfokus bagaimana<br />

mereview <strong>Perda</strong> PKL yang menurut saya amat sangat ketinggalan. Justru dari<br />

situlah kewenangan bermain. Kalau kewenangan bermain cenderung ini lebih<br />

banyak tergantung pada pengambil kebijakan. Kalau pengambil kebijakannya<br />

ketika sebelum tahun 2006 itu disorot amat jelek.<br />

Karena dimana-mana terjadi anarkis kalau terjadi penertiban, pasti anarkis.<br />

Dan terjadilah kemudian perusakan, kemudian-kemudianlah termasuk pressure<br />

dengan kekuatan fisik. Tapi yang 2006 ini Walikota yang baru tidak. Ini sekalipun<br />

pendekatannya budaya dan ekonomi juga sosial tapi akan lebih lengkap lagi<br />

seandainya juga hukum memainkan peran. Kalau kita percaya dengan hukum<br />

juga bisa didisain sebagai sosial engineering, sebagai perekayasa masyarakat<br />

sekalipun konteks itu tidak tepat untuk diterapkan di berbagai kesempatan di<br />

Indonesia tetapi paling tidak sebagaian besar orang Indonesia percaya bahwa<br />

hukum bisa ditampilkan pada posisi terdepan. Sekalipun dalam kajian sosiologis<br />

ternyata tidak mampu.<br />

Maksud saya begitu, jadi saya tidak permasalahkan background. Background itu<br />

barangkali itu sebagai penangkal dalam rangka mendorong atau memberikan<br />

alur pikir dalam rangka mengantarkan pokok persoalan itu pada perumusan<br />

kebijakan melalui <strong>Perda</strong>. Dan keinginan saya, bagaimana sih <strong>Perda</strong> partisipatif<br />

yang merupakan pokok pikiran itu menjadi <strong>Perda</strong> betulan setelah nanti kebijakan<br />

pemberdayaan PKL itu dimulai dari budaya, kemudian ekonomi sosial, dan<br />

kemudian hukum. Ini memang kebalik, dalam tataran formatif memang hukum<br />

dulu. Terbukti dalam berbagai kajian orang getol dengan <strong>Perda</strong> tidak begitu getol<br />

tentang implementasinya tapi di Solo terbalik yang muncul justru pendekatan<br />

budaya, kemudian sosial dan ekonomi baru hukum. Karena pendekatan hukum<br />

yang dilakukan pada waktu masa lalu, gagal. Dan pengalaman dari kegagalan<br />

ketika masyarakat PKL mau merevisi <strong>Perda</strong> ini juga menghadapi persoalan yang<br />

cukup kuat sehingga sampai sekarang ngambang tidak terealisasikan. Saya rasa<br />

itu mungkin sedikit komentar dari saya, terimakasih.<br />

2.<br />

Nur Hidayat<br />

Pak Koko, ini mulai tahun 2005 itu kan satu ada mulai diterapkannya sistem<br />

Jaminan Sosial Nasional yang agak rapi. Lalu kedua di musim-musim ini lalu ada<br />

bantuan-bantuan yang sifatnya derma dari pemerintah seperti macam<br />

277


dana-dana habis krisis dan segala macam itu mulai disini. Di Lampiran-1 realisasi<br />

dari semuanya dari Pemerintah Pusat sehingga misalnya sebenarnya cukup<br />

mengganggu proses sehatnya program ini karena kemudian ada logika-logika dana<br />

yang di drop saja dari Pusat. Menurut saya di satu sisi memberi manfaat tertentu<br />

disisi lain merusak terhadap bangunan program ini. Kira-kira begitu, nanti saya<br />

akan tunjukkan beberapa slide yang sudah ada di sini.<br />

3.<br />

Hikmat Ramdan<br />

Jadi memang dalam <strong>Perda</strong> itu dalam kajian yang 1,75 milyar kita hanya baru<br />

menghitung sebetulnya dari sumber air yang ada dari Kuningan itu digunakan<br />

untuk beberapa kegiatan baik itu domestik, pertanian, kemudian juga ada industri,<br />

air kemasan dan lain sebagainya. Ini hanya baru satu MoU yang ditandatangani<br />

oleh Pemda Kuningan dengan user/pengguna air minum dan kita kemarin akan<br />

mencoba juga dengan kegiatan-kegiatan yang lain yang seperti pabrik Aqua dan<br />

lain sebagainya. Kita ada arah kesana memang ini mungkin Pemda juga mungkin<br />

ketika<br />

membuat MoU dengan stakeholder yang menggunakan jasa air dari situ juga<br />

mungkin perlu waktu untuk melakukan negosiasi. Tapi paling tidak tata-ruang<br />

yang dibuat disini sebetulnya dalam konteks penata ruang itu dia disini dijadikan<br />

sebagai satu dasar bagaimana tata ruang ini sebagai bagian daripada pengelolaan<br />

air lintas wilayah itu menjadi satu bagian ekosistem yang mampu akan dijadikan<br />

satu jaminan bahwa pasokan air itu ada.<br />

Kemudian masalah konservasi alam atau lain sebagainya sebetulnya ini terkait<br />

dengan perlindungan ekosistem, jadi bukan hanya ini tugas Pemerintah atau lain<br />

sebagainya. Pola pikir kita kan seperti itu ada pembagian-pembagian kalau hutan<br />

itu kalau ada kawasan konservasi lindung dan produksi sebetulnya. Sebetulnya<br />

tahap implementasi tanggung jawab semua juga, tidak mungkin diatur oleh<br />

Departemen Kehutanan atau lain sebagainya. Ada inisiatif Pemda ini bagus<br />

sebetulnya. Dan saya kira Depdagri maupun Departemen Kehutanan sudah tau<br />

masalah <strong>Perda</strong> 38/2002 itu tidak ada masalah.<br />

Inisiatif <strong>Perda</strong> ini dihargai sebagai bagian, karena tadi, bahwa pengurusanpengurusan<br />

kawasan lindung, kawasan hutan dan sebagainya itu tidak hanya<br />

menjadi urusan Pemerintah Pusat. Dan aturan-aturan yang di itu kan tetap jelas.<br />

Bahkan sebagian dari kawasan ini sekarang menjadi Taman Nasional Gunung<br />

Ciremai sejak 19 Oktober 2004. Kebetulan saya menjadi salah satu Tim Penyusun<br />

Rencana Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai ini agak beda dengan Taman<br />

Nasional Gunung Merapi yang ramai. Di situ kita masih menghargai adanya<br />

partisipasi publik. Jadi sekarang ini ada yang namanya tim pengkaji, saya sebagai<br />

tenaga penyusun, kalau buat baju hanya membuat pola, ini polanya begini, baju<br />

ini mau begini, yang ngisi terserah itu orang masyarakat lokal disitu. Tapi kita<br />

berikan rambu-rambu yang harus diisi, termasuk yang ini juga, yang <strong>Perda</strong> juga,<br />

278


mereka tetap menyadari bahwa ini adalah bagian daripada itu. Departemen tidak<br />

ada masalah, semestinya. Cuman saya juga masih menemukan kalau misalnya<br />

itu ditetapkan menjadi Taman Nasional, kemudian disitu ada <strong>Perda</strong>, bagaimana<br />

posisi <strong>Perda</strong> ini secara hukum? Saya masih belum dapat jawaban, nanti saya akan<br />

diskusi dengan Bapak Suroso di belakang bagaimana kalau masalah itu.<br />

Menyangkut masalah deal, jadi begini. Tata ruang ini bukan deal-deal politik.<br />

Sebelum MoU antara Kab. Kuningan yang ditanda-tangani 17 Desember 2004.<br />

<strong>Perda</strong> tata ruang ini sudah ada. Jadi itu dibangun atas dasar kebutuhan, atas dasar<br />

keinginan dsbnya. Jadi itu prosesnya hampir 2-tahun, jadi tidak hanya langsung<br />

dibuat <strong>Perda</strong>, tidak. Kita membuat adanya satu yang disebut academic-draft. Ini di<br />

inisiasi oleh Bappeda Kab. Kuningan pada tahun 2000. Di situlah dibuat academicdraft<br />

posisi daripada sumber mata air yang ada di Kab. Kuningan itu sudah sejauh<br />

mana? Ada 2-kegiatan waktu itu zona resapan air dari disitu kemudian disusunlah<br />

kerangka-kerangka legal, kerangka-kerangka tehnis sehingga keluarlah <strong>Perda</strong><br />

38/2002. Waktu itu kita belum berpikir ini bahwa ini akan jadikan jaminan, belum.<br />

Jadi ceritanya belum. Tapi ketika 2003, 2004 mulai ramai tentang masalah air ini,<br />

disitulah baru dibangun bahwa ternyata kita punya alat untuk negosiasi dengan<br />

orang, sebetulnya kronologis seperti itu.<br />

Jadi ini bukan deal-deal yang dilakukan. MoU ini berjalan tiap tahun, jadi tiap<br />

tahun dihitung, karena ada rumusan tertentu. Jadi rumusannya itu menghitung<br />

daripada produksi air dari sumber air, kemudian tarif yang berlaku sebelum<br />

diolah ditingkat user, dan juga tingkat kebocoran disitu. Jadi ini sifatnya dinamis.<br />

Misalnya sekarang 2006, 2006 itu sudah menghitung dari data terakhir Desember<br />

2005, dibuat lagi MoU dan sebagainya. Menyangkut masalah hak dan kewajiban<br />

diantara dua daerah itu disitu jelas didalam MoU yang sudah ditandatangani antar<br />

dua wilayah. Karena saya bukan orang hukum, saya orang forestry, saya dari<br />

kehutanan, saya tidak mengerti juga. Ketika ini harus di <strong>Perda</strong>kan bentuknya<br />

<strong>Perda</strong> Propinsi atau bagaimana. Tapi yang penting disitu ada satu bagian dari<br />

komitmen. Komitmen yang masing-masing mau untuk saling menerima dan saling<br />

memberi. Sebetulnya ini adalah satu inisiatif, yang penting itu disitu. Kalau<br />

masalah legal-legalnya kan saya kira kalau dengan MoU kerjasama sudah ada<br />

gambar Garuda Pancasilanya.<br />

Diperjanjiannya kalau misalnya Kuningan tidak punya (di MoUnya bukan di<br />

<strong>Perda</strong>nya) kalau misalnya dia berselingkuh atau lain sebagainya, bisa diperkarakan.<br />

Dan mungkin ini suau pesan yang bisa dilihat, sebetulnya <strong>Perda</strong> satu daerah itu<br />

harus kita sadari tidak eksis secara tunggal tapi dia berkaitan juga dengan terkait<br />

dengan sektor yang lain. Kalau kita buat tentang satu sektor bisa terkait dengan<br />

sektor yang lain atau mungkin juga terkait dengan daerah yang lain kita harus<br />

sadari dalam pembuatan regulasi <strong>Perda</strong> jadi tidak itu. Saya kira itu yang bisa saya<br />

sampaikan.<br />

279


4.<br />

Ahmad Dermawan<br />

Yang dipresentasikan tadi studi mengenai Kab. Kuningan dan Cirebon adalah<br />

salah satu contoh yang berhasil untuk kasus pengelolaan sumber daya alam<br />

secara umum untuk sumber daya lintas wilayah. Untuk studi kasus yang gagal/<br />

yang belum berhasil itu saya melakukan banyak studi di Kalimantan terutama<br />

Kaltim, kabupaten-kabupaten yang meng-klaim sebagai kab. konservasi, Kapuas<br />

Hulu, Malinau, Pasir di Sumatera juga dan sampai saat ini setelah tiga tahun<br />

lebih prosesnya malah belum mendapatkan kompensasi itu. Saya kira satu kalimat<br />

saya, itu saja.<br />

5.<br />

Moderator<br />

Terima kasih Bapak/Bapak sekalian juga Bapak-Bapak penyaji, marilah kita<br />

berikan applause kepada para penyaji. Bapak/Ibu sekalian ini nanti masih ada<br />

demo <strong>Perda</strong> On-line di Ruang Birawa, tapi sebelumnyua jangan lupa mengisi<br />

lembar konfirmasi untuk workshop besok kita masih diskusi lagi besok panjanglebar<br />

ditempat yang sama mengenai topik yang sama. Mohon juga lembar evaluasi,<br />

mohon diisi dan dikembalikan dan sekarang kita ke Ruang Birawa untuk rehat<br />

kopi dan juga demo database <strong>Perda</strong> On-line. Terimakasih.<br />

280


BAB 4<br />

Evaluasi dan Analisis Kebijakan: Menuju <strong>Perda</strong><br />

yang Partisipatif & Komprehensif<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Menggagas Model Revitalisasi Pasar Tradisional: Studi Terhadap<br />

<strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong> No.19 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Pasar di<br />

Kota Bandung<br />

Dede Mariana dan Caroline Paskarina, Puslit KP2W Lemlit UNPAD<br />

Menuju <strong>Perda</strong> yang Realistis, Partisipatif dan Progresif: Kasus Kaum<br />

Marginal (Pelacuran) yang Terpinggirkan<br />

IGPA Rhama Wijaya, Tim IR-BTN, Jakarta<br />

Diskusi dan Tanya Jawab<br />

281


1. Menggagas Model Revitalisasi Pasar Tradisional :<br />

Studi terhadap <strong>Implementasi</strong> PERDA No. 19 Tahun 2001<br />

tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung<br />

Abstrak<br />

Eksistensi pasar tradisional tengah menghadapi tantangan berat akibat<br />

keterbatasan kemampuan untuk bersaing dengan pasar-pasar modern. Padahal,<br />

pasar tradisional masih tetap diperlukan terutama oleh masyarakat kelas menengah<br />

ke bawah yang daya belinya terbatas. Di sisi lain, hilangnya pasar-pasar tradisional<br />

juga dapat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi suatu daerah karena dapat<br />

menyebabkan bertambahnya pengangguran dan meluasnya kemiskinan. Kondisi<br />

ini mendorong Pemerintah Kota Bandung untuk menerapkan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun<br />

2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung.<br />

Melalui penerapan perda ini, diharapkan dapat media untuk merevitalisasi pasar<br />

tradisional agar mampu bersaing dengan pasar modern. Kenyataannya, upaya<br />

revitalisasi yang diterapkan tidak mencapai hasil optimal karena ketiadaan<br />

konsep yang jelas dan keterbatasan dana, sehingga yang muncul kemudian adalah<br />

ketergantungan pemerintah kepada pihak pengembang serta konflik antara<br />

pedagang pasar tradisional dengan pihak pengembang. Oleh karena itu, upaya<br />

revitalisasi pasar tradisional perlu dirumuskan dalam desain kebijakan yang<br />

komprehensif, yang memuat paradigma pengelolaan pasar yang menempatkan<br />

pasar tradisional sebagai bentuk investasi sosial dan ekonomi; mengelola jalur<br />

distribusi komoditas yang diperjualbelikan di pasar; serta menjalin kemitraan<br />

lintas stakeholders untuk membangun konsensus yang legitimate.<br />

Kata-kata kunci: revitalisasi, pasar tradisional, kebijakan<br />

1.<br />

Latar Belakang<br />

Keberadaan pasar tradisional dalam beberapa tahun terakhir mulai menghadapi<br />

ancaman bahkan dikhawatirkan akan semakin banyak yang “gulung tikar”<br />

dalam waktu tidak lama lagi karena tidak mampu bersaing menghadapi semakin<br />

banyaknya pusat perbelanjaan atau pasar modern yang merambah hingga ke<br />

pelosok permukiman penduduk. Masyarakat pun tampaknya lebih memilih<br />

berbelanja di pasar-pasar modern dengan berbagai pertimbangan, seperti<br />

kenyamanan, kebersihan, kualitas barang, sampai alasan demi gengsi. Akan tetapi,<br />

keberadaan pasar tradisional tidak mungkin ditiadakan karena sebagian besar<br />

282


masyarakat masih berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah, sehingga<br />

tidak memiliki daya beli yang cukup besar untuk terus-menerus berbelanja di<br />

pasar-pasar modern. Hilangnya pasar-pasar tradisional akan berdampak pada<br />

pertumbuhan ekonomi suatu daerah, seperti bertambahnya pengangguran,<br />

menurunnya daya beli akibat tingkat pendapatan per kapita yang semakin kecil,<br />

melemahnya sektor-sektor perdagangan informal, terhambatnya arus ditribusi<br />

kebutuhan pokok, dan lain-lain yang pada akhirnya bermuara pada marginalisasi<br />

ekonomi pasar tradisional.<br />

Menghadapi kondisi persaingan yang tidak seimbang antara pasar tradisional<br />

dan pasar modern, Pemerintah Daerah sebenarnya telah berupaya memperbaiki<br />

penampilan pasar tradisional yang selama ini dicitrakan becek, kumuh, semrawut,<br />

dan tidak ada kepastian harga. Upaya renovasi pasar tradisional pun menjadi<br />

salah satu program Pemerintah Kota Bandung untuk merevitalisasi pasar-pasar<br />

tradisional yang hampir kehilangan pembeli. Dengan menjalin kerjasama bersama<br />

investor, Pemerintah Kota telah melakukan revitalisasi terhadap sejumlah pasar<br />

tradisional, seperti Pasar Kosambi, Pasar Kebon Kelapa, Pasar Baru, dan Pasar<br />

Gedebage. Namun, upaya ini ternyata berujung pada permasalahan baru karena<br />

banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru. Ada<br />

pula pedagang yang memilih berjualan di luar kompleks pasar karena di dalam tidak<br />

laku, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai. Ketidakpuasan<br />

juga muncul dari Koperasi Pasar (Koppas) yang merasa “tersingkirkan” karena<br />

tidak pernah dilibatkan lagi dalam pengelolaan pasar oleh pengelola pasar yang<br />

baru. Pengelola baru dinilai lebih berorientasi pada peningkatan laba, sehingga<br />

merugikan Koppas karena sumber-sumber pendapatan Koppas yang biasanya<br />

diperoleh melalui jasa kebersihan, pemeliharaan WC, dan listrik sekarang diambil<br />

alih oleh pengelola baru.<br />

Berbagai permasalahan tersebut menempatkan Koppas dalam posisi tidak berdaya<br />

untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, apalagi untuk memperjuangkan<br />

kepentingan para pedagang tradisional yang menjadi anggotanya. Alih-alih<br />

meningkatkan daya saing para pedagang tradisional, kenyataannya program<br />

renovasi pasar tradisional justru menyebabkan para pedagang tradisional menjadi<br />

semakin termarginalkan di tengah derasnya arus kapitalisme. Kondisi inilah yang<br />

melatarbelakangi perlunya pengkajian mengenai kebijakan pengelolaan pasar<br />

yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung. Secara normatif, kebijakan pengelolaan<br />

pasar telah diwadahi dalam <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar<br />

di Kota Bandung. Namun, perda ini belum memuat konsep pengelolaan pasar<br />

secara komprehensif karena belum semua permasalahan dalam pengelolaan pasar<br />

diatur dalam perda ini, misalnya pengaturan mengenai batas radius pasar modern<br />

dengan pasar tradisional; bongkar-muat komoditi; kemitraan swasta dan pedagang<br />

tradisional; pengaturan mengenai perdagangan informal yang masih bergabung<br />

dengan pasar tradisional yang maupun ketentuan standar kualitas komoditi yang<br />

akan dijual.<br />

283


Pengelolaan pasar memerlukan desain kebijakan yang komprehensif dan multisektoral,<br />

karena itu perlu dilakukan pengkajian dengan menggunakan metode<br />

analisis kebijakan (policy analysis method), sehingga hasil studi dapat menjadi<br />

pertimbangan utama bagi perumus kebijakan dalam formulasi kebijakan. Fokus<br />

analisis adalah kebijakan apa yang perlu diambil atau dilakukan oleh pemerintah<br />

Kota Bandung agar revitalisasi pasar tradisional tidak semakin memarginalkan<br />

para pedagang tradisional, tetapi justru meningkatkan daya saing mereka.<br />

2.<br />

Perumusan Masalah<br />

Berdasarkan latarbelakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas<br />

dalam makalah ini berfokus pada evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan<br />

pasar di Kota Bandung. Secara rinci, fokus masalah tersebut dirumuskan dalam<br />

sejumlah pertanyaan kajian sebagai berikut:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Bagaimana konsep dan pemaknaan tentang pasar ?<br />

Bagaimana evaluasi terhadap pelaksanaan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 tentang<br />

Pengelolaan Pasar di Kota Bandung ?<br />

Bagaimana model revitalisasi pengelolaan pasar tradisional yang dapat<br />

meningkatkan daya saing dengan pasar modern?<br />

3.<br />

Pendekatan Kajian<br />

Kajian ini menggunakan metode analisis kebijakan (policy analysis method)<br />

yang mengarahkan hasil studi komprehensif menjadi pertimbangan utama bagi<br />

perumus kebijakan dalam formulasi kebijakan. Metode analisis kebijakan mengkaji<br />

kebijakan dan instrumen-instrumen yang digunakan oleh pemerintah, khususnya<br />

aspek jenis dan instrumen kebijakan yang bisa memecahkan masalah publik yang<br />

ada, dalam arti kebijakan apa yang perlu diambil atau dilakukan oleh pemerintah<br />

agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud secara efisien .<br />

Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kebijakan mencapai tujuan yang telah<br />

ditetapkan, maka tahap terakhir dari proses kebijakan adalah melakukan evaluasi<br />

kebijakan. Evaluasi kebijakan menekankan pada estimasi atau pengukuran dari<br />

suatu kebijakan, termasuk juga materi, implementasi, pencapaian tujuan, dan<br />

dampak dari kebijakan tersebut, bahkan evaluasi juga dapat digunakan untuk<br />

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan<br />

suatu kebijakan, sehingga hasil pengkajian tersebut dapat digunakan sebagai<br />

bahan pengambilan keputusan apakah kebijakan tersebut akan dilanjutkan,<br />

diubah, diperkuat atau diakhiri. <br />

Riswandha Imawan. 1999. Kebijakan <strong>Publik</strong>. Yogyakarta : Program Pascasarjana Magister Administrasi<br />

<strong>Publik</strong> UGM, hal. 4.<br />

James E. Anderson. 1997. Public Policy-Making. Third Edition. New York : Holt, Rinehart and Winston,<br />

hal. 272.<br />

284


Evaluasi biasanya didefinisikan sebagai kegiatan untuk mengukur keberhasilan<br />

pelaksanaan kebijakan. Secara umum, evaluasi dapat didefinisikan sebagai 3<br />

…<br />

the systematic assessment of the extent to which:<br />

1. Program inputs are used to maximise outputs (efficiency);<br />

2. Program outcomes achieve stated objectives (effectiveness);<br />

3. Program objectives match policies and community needs (appropriateness).<br />

Adapun kriteria lain dalam rangka mengevaluasi suatu kebijakan adalah :<br />

1. Efisiensi : suatu kebijakan dikatakan efisien, jika hasil (output atau outcomes)<br />

lebih besar (berarti) dari pada biaya untuk implementasi serta penegakan<br />

hukum kebijakan tersebut. Artinya, yang digunakan adalah kriteria “costeffectiveness”,<br />

dengan kata lain, suatu kebijakan bersifat efisien, maka pasti<br />

“cost-effectiveness”, tetapi tidak sebaliknya.<br />

2. Keadilan : yang dimaksud dengan keadilan adalah pembagian (penyebaran)<br />

keuntungan, yang diperoleh dari suatu kebijakan, di antara kelompok<br />

masyarakat (stakeholders).<br />

3. Insentif untuk perbaikan : kebijakan yang baik adalah kebijakan yang<br />

mendorong para “stakeholders” untuk mencari dan menerapkan pendekatan<br />

atau teknologi untuk perbaikan.<br />

4. Kemudahan untuk penegakan hukum (enforceability) : dapat atau tidaknya<br />

suatu kebijakan diimplementasikan serta ditegakkan.<br />

5. Pertimbangan moral.<br />

Data diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi<br />

kepustakaan, dengan mengumpulkan dan menganalisis bahan kepustakaan<br />

yang relevan dengan kajian, seperti artikel dan berita di surat kabar, peraturan<br />

perundang-undangan terkait, serta dokumen-dokumen perencanaan di Kota<br />

Bandung. Selain itu, data dan informasi juga dikumpulkan dan diverifikasi<br />

melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan Komisi B DPRD<br />

Kota Bandung, Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung, dan Pengurus (Ketua dan<br />

Sekretaris) Koperasi Pasar di Kota Bandung.<br />

Teknik analisis kualitatif digunakan untuk mengolah data hasil wawancara untuk<br />

menganalisis pemaknaan terhadap pasar, mengevaluasi pelaksanaan <strong>Perda</strong> No.<br />

19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung, serta merumuskan<br />

model revitalisasi pasar tradisional. Teknik analisis data ini secara operasional<br />

dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, penafsiran data, dan penarikan<br />

kesimpulan.<br />

4<br />

3 Commonwealth of Australia Department of Finance. 1989, hal. 1<br />

4 William N. Dunn. 1994. Public Policy Analysis : An Introduction. Edisi ke-2. Englewood Cliffs, New<br />

Jersey : Prentice-Hall, Inc., A Simon & Schuster Company. Terjemahan dari : Gadjah Mada University<br />

Press. Yogyakarta.<br />

285


4.<br />

Temuan dan Analisis<br />

4.1 Konsep dan Pemaknaan tentang Pasar<br />

Dikotomi antara pasar tradisional dan pasar modern sesungguhnya tidak hanya<br />

bersumber dari arsitektur bangunan atau manajemen pengelolaannya, melainkan<br />

bersumber dari pemaknaan tentang konsepsi pasar sebagai tempat berlangsungnya<br />

transaksi ekonomi. Konsep tentang pasar dapat dipahami dari berbagai perspektif,<br />

seperti perspektif ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Dalam perspektif<br />

ekonomi, konsep tentang pasar (dalam pengertian luas, sebagai tempat bertemunya<br />

permintaan dan penawaran) terbentuk sebagai salahsatu implikasi dari proses<br />

perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis. Boeke (1910) merupakan<br />

salah satu ahli ekonomi yang mencoba menerangkan fenomena terbentuknya<br />

pasar dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat prakapitalistik<br />

dengan masyarakat kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar<br />

antara masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik terletak dalam<br />

hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat dalam tingkatan prakapitalistik<br />

berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang diperolehnya,<br />

sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk<br />

5<br />

mendapatkan laba maksimum. <br />

Perbedaan orientasi ekonomi tersebut melahirkan nilai-nilai sosial dan budaya<br />

yang membentuk pemahaman terhadap keberadaan pasar dalam kedua kategori<br />

masyarakat tersebut. Dalam masyarakat kapitalistik, individu secara otonom<br />

menentukan keputusan bebas. Dalam masyarakat seperti itu, pasar merupakan<br />

6<br />

kolektivitas keputusan bebas antara produsen dan konsumen dan kultural. Jika<br />

keputusan produsen lebih ditentukan oleh harapan untuk mempertahankan posisi<br />

pendapatan yang telah dicapai, maka keputusan konsumen lebih dekat pada nilai<br />

kolektif yang dapat diraihnya.<br />

Nilai kolektivitas menjadi pembeda dalam pemahaman tentang konsepsi pasar di<br />

kalangan masyarakat prakapitalistik dan masyarakat kapitalistik. Bagi masyarakat<br />

prakapitalistik yang ciri-cirinya tampak dalam kelompok masyarakat yang masih<br />

berpatokan pada kolektivitas, kegiatan ekonomi yang berlangsung di pasar (dalam<br />

arti tempat bertemunya penjual dan pembeli) masih sangat diwarnai oleh nuansa<br />

kultural yang menekankan pentingnya tatap muka, hubungan personal antara<br />

penjual dan pembeli (yang ditandai oleh loyalitas ‘langganan’), serta kedekatan<br />

hubungan sosial (yang ditandai konsep ‘tawar-menawar harga’ dalam membeli<br />

barang atau konsep ‘berhutang’). Karakteristik semacam ini pada kenyataannya<br />

tidak hanya ditemukan dalam masyarakat perdesaan sebagaimana ditesiskan<br />

Boeke, tapi juga dalam masyarakat perkotaan, yang bermukim di kota-kota besar<br />

di Indonesia.<br />

5 J.H. Boeke. 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by Indonesia.<br />

N.V. Haarlem:HD Tjeenk Willink & Zoon.<br />

6 Komaruddin Sastradipoera. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”, dalam Ajip Rosidi, dkk (eds). 2006.<br />

Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta:Yayasan Kebudayaan Rancagé,<br />

hal. 101.<br />

286


Kondisi semacam inilah yang kemudian memunculkan dualisme sosial, yang<br />

tampak dalam bentuk pertentangan antara sistem sosial yang berasal dari luar<br />

masyarakat dengan sistem sosial pribumi yang hidup dan bertahan di wilayah<br />

yang sama. Secara sosiologis dan kultural, makna filosofis sebuah pasar tidak<br />

hanya merupakan arena jual beli barang atau jasa, namun merupakan tempat<br />

pertemuan warga untuk saling interaksi sosial atau melakukan diskusi informal<br />

7<br />

atas permasalahan kota . Pemaknaan ini merefleksikan fungsi pasar yang lebih<br />

luas, namun selama ini kurang tergarap pengelolaannya dalam berbagai kebijakan.<br />

Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pasar, seperti kebijakan<br />

perdagangan, tata ruang, dan perizinan lebih banyak berorientasi pada dimensi<br />

ekonomi dari konsep pasar. Pengabaian terhadap fungsi sosial-kultural pasar<br />

inilah yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk pasar modern yang bernuansa<br />

kapitalistik, yang lebih menonjolkan kenyamanan fisik bangunan, kemewahan,<br />

kemudahan, dan kelengkapan fasilitas namun menampilkan sisi lain yang<br />

individualistis, “dingin”, dan anonim.<br />

Masuknya nilai-nilai baru, seperti kolektivitas rasional atau otonomi individu<br />

yang menjadi karakteristik masyarakat kapitalistik ternyata tidak diimbangi<br />

oleh pelembagaan nilai-nilai ini dalam dimensi kehidupan masyarakat. Kebiasaan<br />

sosial di kalangan masyarakat perkotaan yang seyogianya menampakkan ciriciri<br />

masyarakat kapitalistik, pada kenyataannya masih menunjukkan kebiasaan<br />

masyarakat prakapitalistik. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan<br />

fenomena dualisme, seperti berkembangnya para pedagang kaki lima di sekitar<br />

mall. Dualisme sosial ini selanjutnya mengarah pada pola relasi yang timpang di<br />

mana salah satu pihak mendominasi pihak lain dan pihak lain berada dalam posisi<br />

8<br />

termarginalkan, baik dalam kerangka struktural maupun kultural. Friedma <br />

menjelaskan bahwa kesenjangan dalam pola relasi tersebut disebabkan oleh<br />

ketimpangan dalam basis kekuasaan sosial. Kemiskinan yang berkaitan dengan<br />

ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar-menawar di pasar terutama disebabkan<br />

oleh ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial<br />

tersebut. Beberapa penyebabnya adalah ketidaksamaan untuk memperoleh modal<br />

atau aktiva produktif, ketidaksamaan dalam memperoleh sumber-sumber finansial,<br />

ketidaksamaan dalam memasuki jaringan sosial untuk memperoleh peluang kerja,<br />

dan ketidaksamaan akses untuk menguasai informasi.<br />

Ketimpangan yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan dalam kekuatan<br />

tawar-menawar setidaknya memunculkan dua akibat, yakni:<br />

1. hilangnya harga diri (self-esteem) karena pembangunan sistem dan pranata<br />

sosial dan ekonomi gagal mengembangkan martabat dan wibawa kemanusiaan;<br />

dan<br />

2. lenyapnya kepercayaan pada diri sendiri (self-reliance) dari masyarakat yang<br />

berada dalam tahapan belum berkembang karena ketidakmandirian.<br />

7 Pujo Sugeng Wahyudi dan Mukhlis Ahmadi. “Kasus Pasar Wonokromo, Surabaya: Cermin Buruknya<br />

Pengelolaan Pasar”. Kompas, 24 Maret 2003.<br />

8 Dalam Sastradipoera, op.cit., hal. 112<br />

287


Kondisi ketidakseimbangan dalam hal bargaining position sebagaimana diuraikan<br />

di atas juga menjadi salah satu penyebab melemahnya kapasitas pasar tradisional<br />

dalam persaingan dengan pasar modern. Ruang bersaing pedagang pasar tradisional<br />

kini semakin terbatas. Bila selama ini pasar modern dianggap unggul dalam<br />

memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas<br />

berbelanja yang jauh lebih baik, skala ekonomis pengecer modern yang cukup luas<br />

dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok<br />

penjualan mereka sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah.<br />

Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya mempunyai skala<br />

yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli<br />

barang yang akan dijualnya. Akibatnya, keunggulan biaya rendah pedagang<br />

tradisional kini mulai terkikis. Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat<br />

dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya<br />

lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang<br />

memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi<br />

pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang.<br />

Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan bagi pasar<br />

tradisional.<br />

Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan pasar tradisional dengan pasar modern<br />

belum secara konkret dilakukan karena tidak ada kebijakan yang mendukung<br />

pasar tradisional, misalnya dalam hal pembelian produk pertanian tidak ada<br />

subsidi dari pemerintah sehingga produk yang masuk ke pasar tradisional kalah<br />

bersaing dalam hal kualitas dengan produk yang masuk ke pasar modern. Bahkan<br />

dewasa ini berkembang pengkategorian pasar yang cenderung memarginalkan<br />

masyarakat, seperti pasar tradisional untuk masyarakat berdaya beli menengah<br />

ke bawah tapi kualitas barang yang dijual tidak sesuai standar, sementara pasar<br />

modern untuk masyarakat menengah ke atas dengan kualitas produk sesuai bahkan<br />

melebihi standar minimal. Kategorisasi semacam itu memunculkan kesenjangan<br />

dan kecemburuan sosial bukan hanya antara pasar tradisional dengan pasar<br />

modern, tapi semakin meluas mengarah pada konflik horizontal di masyarakat.<br />

Pembedaan kategori pasar tradisional dan pasar modern juga menunjukkan<br />

stigmatisasi dan diskriminatif. Padahal konsep pasar modern kenyataannya lebih<br />

sarat dengan makna konsumtif dibandingkan makna sebagai ruang sosial lintas<br />

strata masyarakat.<br />

4.2 Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Kota Bandung<br />

Kota Bandung memainkan peran strategis bukan hanya sebagai salahsatu kota<br />

besar di Propinsi Jawa Barat, tetapi juga menjadi “etalase” bagi Jawa Barat. Dalam<br />

kedudukan sebagai ibukota propinsi, kondisi Kota Bandung seringkali dijadikan<br />

cerminan bagi kondisi daerah-daerah lain di Jawa Barat. Dalam hal kapasitas<br />

ekonomi, pertumbuhan ekonomi Kota Bandung banyak ditunjang oleh sektor<br />

perdagangan, sebagaimana diindikasikan dari kontribusi sektor ini terhadap PDRB<br />

Kota Bandung sebesar 31,91% pada tahun 2003, yang menempati urutan pertama<br />

288


dibandingkan sektor-sektor lainnya. Potensi inilah yang selanjutnya mendasari<br />

ditetapkannya visi Kota Bandung sebagai Kota Jasa. Dalam konsepsi ini, Kota<br />

Bandung akan dikembangkan sebagai pusat kegiatan jasa dan perdagangan<br />

dengan menekankan pada pengembangan infrastruktur, sarana, dan prasarana<br />

yang mendukung kemudahan dalam kegiatan jasa dan perdagangan. Dalam visi ini<br />

terkandung kepentingan untuk membentuk citra Kota Bandung sebagai kota jasa<br />

yang modern, sehingga perlu ada simbol-simbol modernisasi. Citra modern menjadi<br />

bagian proses pembangunan ekonomi yang dianggap dapat memacu kapasitas<br />

ekonomi daerah. Pabrik-pabrik atau perusahaan, pertokoan berkapasitas besar<br />

seperti mall (super dan hipermarket), pengembangan kawasan wisata, termasuk<br />

pengadaan perumahan elit (real estate) dan perkantoran menjadi pilihan Pemerintah<br />

Kota untuk menjadi mesin ekonomi. Pilihan terhadap sektor perdagangan dan jasa<br />

berkapital besar ini diharapkan dapat memberikan efek domino untuk merangsang<br />

tumbuhnya sektor ekonomi riil lainnya, seperti menyerap tenaga kerja, mendorong<br />

investasi, meningkatkan pendapatan per kapita, dan lain-lain.<br />

Sebagai salah satu ciri sarana perekonomian perkotaan, keberadaan pasar menjadi<br />

salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup potensial, sehingga<br />

pengaturan tentang pengelolaan pasar kemudian diwadahi dalam Peraturan<br />

Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 17 Tahun 1996 tentang<br />

Pengurusan Pasar-Pasar di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung, yang<br />

kemudian diubah dengan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di<br />

Kota Bandung. <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 dibuat dengan maksud untuk mengelola<br />

perkembangan pasar agar dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat<br />

dan sekaligus peningkatan perekonomian masyarakat. Namun, maksud ini<br />

belum sepenuhnya tercakup dalam materi muatan perda karena perda ini<br />

hanya mengatur pengklasifikasian pasar menurut golongan dan jenis; ketentuan<br />

mengenai pendirian/pembangunan pasar dan penghapusan pasar; penunjukan dan<br />

pemakaian tempat berjualan; penyelenggaraan reklame, parkir, dan kebersihan di<br />

areal pasar; retribusi; kewajiban dan larangan; sanksi; dan ketentuan penyidikan.<br />

Sekalipun penamaan perda ini adalah pengelolaan pasar, pada kenyataannya<br />

tidak tercantum konsep pengelolaan pasar yang diterapkan di Kota Bandung.<br />

Pengklasifikasian pasar tidak disertai dengan mekanisme pengelolaan bagi setiap<br />

golongan dan jenis pasar, padahal pengelolaan pasar induk tentu akan berbeda<br />

dengan pasar eceran, tapi dalam perda ini tidak dibahas mengenai perbedaan<br />

pengelolaan tersebut. Substansi perda juga tidak membahas mengenai pengelolaan<br />

pasar tradisional dan pasar modern, bahkan dalam perda sama sekali tidak termuat<br />

mengenai pasar modern, baik pengertian maupun pengelolaannya. Pendefinisian<br />

pasar yang digunakan dalam perda ini sangat limitatif, hanya bersumber dari<br />

dan pelaksanaan berbagai kebijakan. Kepentingan ini berlindung di balik jargon<br />

peningkatan PAD, yang dalam kasus pengelolaan pasar dijabarkan dan/atau<br />

ditetapkan oleh Walikota sebagai tempat berjualan umum atau sebagai tempat<br />

memperdagangkan barang dan atau jasa yang berdiri di lahan milik/dikuasai<br />

9 Bandung Dalam Angka, 2003.<br />

9<br />

289


Pemerintah Daerah”. Selanjutnya ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pasar<br />

tradisional adalah “pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta,<br />

Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios dan<br />

meja yang dimiliki/dikelola oleh pedagang dengan usaha skala kecil dan modal kecil<br />

dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar”. Kedua definisi di atas tidak<br />

menempatkan pasar dalam konsepsi dan pemaknaan yang sesungguhnya, sebagai<br />

tempat berlangsungnya interaksi lintas strata sosial dalam suatu masyarakat, tapi<br />

sebatas tempat berjualan umum. Bahkan pendefinisian pasar tradisional semakin<br />

tereduksi dengan kriteria serba “marginal”, seperti tempat usaha berskala kecil,<br />

modal kecil, dan proses transaksinya melalui tawar-menawar. Berdasarkan<br />

definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma pengelolaan pasar<br />

yang terkandung dalam perda tersebut sangat bernuansa ekonomi-kapitalistik.<br />

Paradigma inilah yang kemudian mendasari model revitalisasi pasar tradisional<br />

yang diterapkan di Kota Bandung selama ini, yakni model yang berbasis pada<br />

penguasaan kapital.<br />

Paradigma ini berkembang sebagai konsekuensi dari pemahaman yang<br />

mengidentikan otonomi daerah dengan kemandirian secara finansial, sehingga<br />

kepentingan akumulasi kapital menjadi sangat berpengaruh dalam perumusan<br />

melalui kemudahan pemberian izin bagi pasar-pasar modern. Padahal, dalam<br />

berbagai peraturan, seperti Surat Keputusan Bersama Menperindag dan Mendagri<br />

No. 145/MPP/Kep/5/1997 dan No. 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan<br />

Pasar dan Pertokoan, juga Keputusan Menperindag No. 261/MPP/Kep/7/1997 dan<br />

Keputusan Menperindag No. 420/MPP/Kep.10/1997 serta Surat Edaran Gubernur<br />

Jawa Barat sejak tahun 2004 kepada Bupati dan Walikota telah diatur mengenai<br />

pembatasan izin pasar modern berskala besar, tapi keberadaan peraturanperaturan<br />

tersebut seolah tidak dipatuhi oleh para walikota dan bupati, termasuk<br />

di Kota Bandung.<br />

Dalam kasus Kota Bandung, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis.<br />

Di satu sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang ada<br />

karena sebanyak 36 pasar tradisional di Kota Bandung merupakan sumber PAD<br />

yang sangat potensial. Namun, di sisi lain, Pemerintah Kota tidak mempunyai dana<br />

untuk merevitalisasi pasar. APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung<br />

tidak pernah membuat pos khusus untuk penataan pasar, sehingga Pemerintah<br />

Kota selalu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar. Anggaran yang<br />

disediakan pemerintah hanya biaya-biaya rehabilitasi ringan, penyediaan lahan,<br />

fasilitas umum dan sosial, seperti sarana jalan, kamar kecil atau MCK, drainase,<br />

sarana kesehatan, dan lain-lain. Pada anggaran tahun 2005, target PAD yang<br />

hendak diraih Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung adalah Rp 4.557.750.000,00.<br />

Target PAD itu berasal dari retribusi pasar, ketertiban, fasilitas mandi-cuci-kakus<br />

(MCK), Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB), dan kontribusi pasar swasta.<br />

Anggaran biaya belanja Dinas Pengelolaan Pasar sendiri pada tahun 2005 mencapai<br />

10<br />

lebih dari Rp 5 milyar. <br />

10 Hasil FGD dengan Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung, bertempat di Ruang Komisi B DPRD Kota<br />

Bandung, 22 Mei 2006.<br />

290


Kondisi keuangan ini menjadi pendorong sehingga Pemerintah Kota tampaknya<br />

lebih mempertimbangkan kepentingan investor atau para pengusaha yang<br />

menanamkan modal dibanding mempertimbangkan nilai etis pembangunan yakni<br />

mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan dari belenggu kemiskinan.<br />

Maraknya pembangunan pasar-pasar modern justru dipertanyakan kemanfaatan<br />

secara meluas, karena melahirkan ketimpangan. Mal menyodot keuntungan<br />

pedagang kecil, dan mengalir ke supermarket-supermarket itu. Berdasarkan data<br />

AC Nielsen, kontribusi penjualan pasar tradional memang terus merosot. Bila pada<br />

tahun 2002, dominasi penjualan di segmen pasar ini mencapai 75%, maka pada<br />

11<br />

tahun lalu turun menjadi hanya 70%. <br />

Dengan demikian pasar tradisional juga kian tersingkirkan. Tidak heran jika muncul<br />

sengketa dan resistensi para pedagang tradisional yang telah lama menghuni pasarpasar<br />

desa atau perkampungan. Bahkan model restrukturisasi pasar tradisional<br />

yang dibangun “atas nama kelayakan” juga melahirkan persoalan baru, karena<br />

makin mahalnya pengelolaan pasar bergaya modern itu dan akibatnya harga sewa<br />

tidak terjangkau oleh pedagang. Sejumlah upaya revitalisasi pasar tradisional yang<br />

dilakukan Pemerintah Kota c.q. Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung mengalami<br />

kegagalan, bahkan berujung dengan konflik antara pedagang pasar tradisional<br />

dengan pengelola dan Pemerintah Kota. Konflik ini muncul karena sejumlah<br />

penyebab, pertama, Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki<br />

konsep yang jelas mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat<br />

tergantung pada desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana<br />

turut memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan<br />

pengembang.<br />

Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru dirugikan ketika<br />

ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan pengembang<br />

akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada Pemerintah Kota.<br />

Kasus revitalisasi Pasar Kosambi, misalnya. Sejak masa pemerintahan Walikota<br />

Bandung, Wahyu Hamidjaja hingga Dada Rosada, pasar ini telah berulang kali<br />

direnovasi. Namun, tidak ada satupun proyek renovasi itu tuntas. Terakhir kali,<br />

setelah direnovasi oleh P.T. Tirtobumi, pengembang mengembalikan pengelolaan<br />

pasar kepada pemerintah kota lewat Memorandum of Understanding bertanggal<br />

30 November 2003. Namun renovasi pasar saat itu tidak seratus persen rampung.<br />

Padahal setahu pedagang, pihak pengembang menjanjikan pengelolaan pasar<br />

hingga tahun 2018. Setelah itu, tidak ada kejelasan mengenai kelanjutan<br />

revitalisasi Pasar Kosambi. Pemerintah kota, lewat Dinas Pengelolaan Pasar,<br />

yang seharusnya mengelola kembali Pasar Kosambi, tidak kunjung menuntaskan<br />

revitalisasi pasar. Kedua, tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk<br />

membangun kesepahaman antara pemerintah dengan para pedagang di pasar<br />

tradisional tentang model revitalisasi yang akan diterapkan. Alih-alih menjalin<br />

kemitraan, yang berkembang justru saling curiga antara pemerintah dengan<br />

pedagang dan koperasi pasar, dan antara pedagang dan koperasi pasar dengan<br />

pihak pengembang. Kasus revitalisasi Pasar Kosambi contohnya.<br />

11 Arie Sujito. “Mal dan Marginalisasi”. Artikel, dimuat dalam Flamma Edisi 24 Tahun 2005,<br />

download dari www.ireyogya.<strong>org</strong><br />

291


Ketika pihak pengembang mengembalikan tanggung jawab pengelolaan pasar<br />

pada Pemerintah Kota, sementara pemerintah tidak mempunyai cukup dana<br />

untuk meneruskan revitalisasi, yang terjadi adalah kevakuman yang berakibat<br />

pada turunnya pendapatan sekitar 250 pedagang resmi di Pasar Kosambi. Para<br />

pedagang di pasar tersebut bersama dengan Koperasi Pedagang Pasar Kosambi<br />

menyatakan sepakat menata sendiri gedung pasarnya. Dana yang diperlukan<br />

sekitar Rp 1,6 milyar untuk menata pasar mulai dari basement sampai dengan<br />

lantai dua. Koppas tidak meminta bantuan dana dari pemerintah kota karena<br />

modal akan diperoleh dari penjualan kios. Namun izin tidak kunjung turun dari<br />

pemerintah kota, padahal semua dinas terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar,<br />

Dinas Bina Marga,<br />

Dinas Perhubungan, dan Dinas Tata Kota sudah menyatakan menyambut baik<br />

rencana ini. Belum turunnya izin dari Walikota Bandung diperkirakan karena<br />

walikota ingin penataan itu diterapkan pada seluruh lantai, bukan hanya basement<br />

sampai dengan lantai dua, namun biayanya belum ada. Sementara itu, Kepala<br />

Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung meragukan bisa terlaksananya rencana<br />

pedagang Pasar Kosambi untuk menata pasar dengan biaya sendiri yang diperoleh<br />

dari penjualan kios-kios. Hal ini berarti harus mengubah IMB yang sudah ada.<br />

Selain meragukan kemampuan para pedagang dan Koppas, Dinas Pengelola<br />

Pasar justru mulai mencurigai motif para pedagang tersebut. Dalam wawancara<br />

dengan media cetak lokal, Kepala Dinas Pengelola Pasar mengatakan, “Kami juga<br />

perlu mencari tahu, siapa sebenarnya yang menginginkan penataan dengan biaya<br />

sendiri itu. Apakah memang keinginan itu murni suara bulat pedagang? Apakah<br />

ini akan dimanfaatkan pihak-pihak lain dengan mengatasnamakan pedagang.<br />

Kami harus teliti. Saya sendiri tetap lebih memilih langkah membuat variasi<br />

barang dagangan di masing-masing lantai untuk menarik konsumen. Kemudian<br />

12<br />

basement yang dijadikan lahan parkir ditata kembali.” Pernyataan ini secara<br />

eksplisit mengindikasikan adanya perbedaan persepsi dan kepentingan di antara<br />

pemerintah kota selaku pemegang otoritas dengan para pedagang. Namun, tidak<br />

ada upaya konkret yang dilakukan untuk menjembatani perbedaan kepentingan<br />

tersebut.<br />

Ketiga, ketiadaan mekanisme untuk mencapai konsensus untuk menjembatani<br />

kepentingan berbagai kelompok. Konflik kepentingan merupakan kewajaran dalam<br />

proses kebijakan, namun harus direspon dengan baik oleh pengambil keputusan.<br />

Pemerintah Kota sebagai pemegang otoritas seyogyanya dapat berperan lebih<br />

besar dalam mencari konsensus untuk mengelola kepentingan pihak terkait dalam<br />

pengelolaan pasar. Konsensus tersebut dapat diperbaharui untuk memastikan misi<br />

kebijakan tercapai dan pihak penerima dampak dapat merelakannya. Pemerintah<br />

Kota menggunakan mekanisme perizinan sebagai alat peredam konflik kepentingan,<br />

namun dalam pelaksanaannya, perizinan dalam pendirian ataupun pengelolaan<br />

pasar hanya sebatas formalitas. Kewenangan untuk memberikan izin semestinya<br />

tidak hanya dimaknai secara legal-administratif, tapi juga secara politis.<br />

12 Bujet Edisi 05/III/Juli – Agustus 2005<br />

292


Kewenangan secara legal administratif hanya dapat ditegakan manakala dianggap<br />

legitimate oleh mereka yang terkena dampak kebijakan, terutama oleh mereka<br />

yang terkena dampak negatif. Munculnya protes terhadap keputusan yang diambil<br />

pemerintah sesungguhnya mencerminkan bahwa keputusan tersebut tidak<br />

legitimate, meskipun memenuhi persyaratan administratif. Kasus revitalisasi Pasar<br />

Simpang Dago, misalnya. Dalam kasus ini, para pedagang pasar Simpang Dago yang<br />

tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), mendatangi<br />

Komisi B DPRD Kota Bandung untuk menolak revitalisasi Pasar Simpang Dago<br />

13<br />

yang direncanakan pemerintah kota. Menurut para pedagang, pembangunan mal<br />

atau plasa yang selama ini dilakukan pemerintah cenderung menyengsarakan<br />

masyarakat. Selama ini para pedagang sudah melakukan penataan Pasar Simpang<br />

secara swadaya, seperti membenahi pagar dan trotoar. Sementara itu, Kepala Dinas<br />

Pasar, mengatakan, jika pedagang tidak setuju dengan rencana pemerintah kota,<br />

otomatis nota kesepahaman antara pemerintah kota dengan pengembang tidak<br />

berlaku. Pernyataan ini terkesan terlampau menyederhanakan permasalahan<br />

sekaligus membuktikan lemahnya legitimasi konsensus yang dihasilkan. Bila nota<br />

kesepahaman dengan mudah dapat ditiadakan oleh protes kelompok lain, maka<br />

tidak ada kepastian hukum yang kuat untuk menjamin kepentingan kelompokkelompok<br />

yang terkena dampak dari revitalisasi pasar tradisional.<br />

Dalam kasus revitalisasi Pasar Cicadas, krisis kepercayaan pedagang pasar<br />

tradisional kembali muncul dalam bentuk penolakan terhadap rencana revitalisasi<br />

yang akan dilaksanakan pemerintah kota bersama pengembang. Dalam pernyataan<br />

sikapnya, Paguyuban Pedagang Pasar Cicadas Baru (P3C) mengeluhkan sikap<br />

pengembang, PT Tirta Marga Kencana (TMK), yang dianggap telah bertindak<br />

terlampau jauh dengan membuat TPPS (Tempat Penampungan Pedagang<br />

Sementara) di Jln. Cikutra, melakukan pengukuran projektif dan pelaksanaan awal<br />

14<br />

amdal. Warga pedagang juga mengaku kaget dengan adanya surat edaran pada<br />

April 2005 dari Pemkot Bandung yang ditandatangani Kepala Dinas Pasar. Edaran<br />

itu menyebutkan, para pedagang harus menyerahkan Surat Pemakaian Tempat<br />

Berjualan (SPTB) yang masih berlaku kepada kepala pasar, karena revitalisasi<br />

akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2005. Kasus ini semakin memperkuat<br />

dugaan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan para pedagang<br />

di pasar tradisional. Dugaan keberpihakan Pemerintah Kota terhadap kepentingan<br />

pengembang selaku pemilik kapital semakin diperkuat ketika Pemerintah Kota<br />

kurang tegas menegakan ketentuan pengelolaan pasar tradisional yang telah<br />

disepakati dengan pihak pengembang. Dalam kasus revitalisasi Pasar Baru,<br />

misalnya, pihak pengembang mengubah penggunaan 2 (dua) basement Pasar Baru<br />

yang semula diperuntukan bagi lahan parkir menjadi tempat berjualan. Perubahan<br />

penggunaan ini dilakukan pengembang tanpa bermusyawarah dengan Koppas<br />

15<br />

Pasar Baru, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pedagang lama. Sekalipun<br />

telah terjadi pelanggaran terhadap IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan IPPT<br />

13 Pikiran Rakyat, 19 Januari 2006<br />

14 Pikiran Rakyat, 30 Juni 2005<br />

15 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Baru, bertempat di Ruang Komisi B DPRD<br />

Kota Bandung, 22 Mei 2006<br />

293


(Izin Peruntukan Penggunaan Tanah), Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung<br />

tidak memberikan sanksi apapun terhadap pengembang Pasar Baru. Kompromi<br />

terhadap kepentingan kapital yang diwakili oleh para investor (pengembang)<br />

pasar juga diindikasikan dari inkonsistensi pelaksanaan <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001<br />

dengan kebijakan lain yang terkait, misalnya sekalipun ada ketentuan bahwa<br />

16<br />

pasar modern tidak boleh dibangun dalam radius 10 meter dari pasar induk, <br />

kenyataannya dalam radius 10 meter dari Pasar Induk Gede Bage hingga sekarang<br />

17<br />

berdiri Hipermarket Makro . Dikaitkan dengan penataan kota, dalam <strong>Perda</strong> Kota<br />

Bandung Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),<br />

ditegaskan bahwa perkembangan pusat belanja dan pertokoan yang cenderung<br />

linier sepanjang jalan arteri dan kolektor harus dikendalikan.<br />

Pengembangannya didorong ke wilayah Bandung Timur. Peraturan itu secara<br />

normatif memang melindungi pedagang di pasar tradisional. Namun, ketidaktegasan<br />

dalam pelaksanaan hampir dapat dipastikan membuat pasar modern dengan<br />

segala keunggulannya menyulitkan pasar tradisional. Di Kota Bandung, pasar<br />

tradisional yang lokasinya berdekatan dengan mal/hipermarket menjadi makin<br />

sepi pembeli. Hypermart hanyalah salah satu dari hipermarket yang menyerbu<br />

Kota Bandung. Sebelumnya, di kota ini sudah masuk hipermarket lainnya, seperti<br />

Carrefour, Giant, Alfa, Makro, Bandung Electronic Center, Cihampelas Walk,<br />

ITC Kebon Kelapa, dan ITC Pasar Baru. Tahun 2006 mulai dibangun empat mal/<br />

hipermaket baru, yaitu Bandung Electronical Mal, Mal Parijs Van Java, Braga City<br />

Walk, dan Paskal Hyper Square. Semua pusat perbelanjaan modern yang sedang<br />

dibangun itu berlokasi di pusat kota, bukan di wilayah Bandung Timur seperti<br />

yang diamanatkan <strong>Perda</strong> RTRW Kota Bandung.<br />

4.3 Model Revitalisasi Pasar Tradisional<br />

Konsep revitalisasi pasar tradisional lebih luas dari sekedar perubahan pada fisik<br />

bangunannya saja, tetapi juga harus ada konsep bagaimana mendinamiskan pasar.<br />

Kasus-kasus yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa hampir setiap upaya<br />

revitalisasi pasar tradisional, yang salah satunya menyediakan pula lapak-lapak<br />

atau kios-kios baru bagi para pedagang pasar tumpah, berujung pada ketidakpuasan<br />

pedagang karena informasi mengenai rencana dan pelaksanaan revitalisasi pasar<br />

tidak menyentuh semua pedagang, hanya para perwakilannya saja. Buktinya,<br />

banyak pedagang di pasar-pasar yang direvitalisasi tidak mengetahui soal<br />

revitalisasi yang sedang atau akan dilaksanakan di pasarnya. Pedagang juga<br />

merasa harga kios atau lapak yang ditawarkan pengembang pasar dinilai terlalu<br />

tinggi, sehingga sulit dijangkau. Apalagi saat ini pedagang tradisional sangat<br />

tersaingi oleh pasar-pasar modern dari segi pendapatan. Pasar modern seperti<br />

pasar swalayan, minimarket, department store, dan sebagainya, selain dapat<br />

16 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Gede Bage, bertempat di Ruang Komisi B<br />

DPRD Kota Bandung, 22 Mei 2006<br />

17 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Gede Bage, bertempat di Ruang Komisi B<br />

DPRD Kota Bandung, 22 Mei 2006<br />

294


menjual barangnya dengan harga lebih murah, tempatnya juga lebih nyaman<br />

karena fasilitas umum dan sosialnya terpenuhi, sehingga lebih banyak menarik<br />

pembeli. Akibat tingginya harga kios hasil revitalisasi, banyak pedagang yang<br />

tadinya mempunyai beberapa kios, terpaksa menjual kios-kiosnya hingga tersisa<br />

satu, untuk menutup uang muka pembelian kios, yang besarannya minimal 30%<br />

dari total harga jual. Pengelolaan potensi pasar seyogianya tidak hanya berorientasi<br />

pada peningkatan PAD, tetapi berpihak pada kepentingan masyarakat yang lebih<br />

luas. Karena itu, dalam menggagas model pengelolaan pasar perlu melibatkan<br />

berbagai stakeholders yang terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas<br />

Bangunan, Dinas Tata Kota, Dinas Perhubungan, Koppas, asosiasi pedagang<br />

tradisional, perusahaan pengembang, dan sebagainya agar kepentingan dari setiap<br />

pihak dapat terakomodasi dengan adil. Dengan demikian, materi muatan kebijakan<br />

pengelolaan pasar nantinya akan mengatur pula bagaimana potensi pasar tersebut<br />

dikembangkan, mulai dari jenis dan kualitas komoditi yang akan diperjualbelikan,<br />

mekanisme bongkar muat komoditi sehingga jalur distribusi produk menjadi lebih<br />

efisien dan efektif, serta model kemitraan yang perlu dikembangkan agar tidak ada<br />

pihak yang dirugikan akibat renovasi pasar tradisional.<br />

Dalam melakukan pengelolaan pasar, setidaknya dibutuhkan beberapa paradigma<br />

sebagai berikut. Pertama, paradigma dalam memandang pasar harus bergeser<br />

dari tempat bertransaksi ekonomi menjadi ruang publik tempat berlangsungnya<br />

interaksi sosial. Pasar yang sukses secara inheren memiliki bermacam-macam<br />

ruang yang berfungsi sebagai ruang publik, misalnya jalan, gang, tangga, trotoar,<br />

plaza terbuka, dan lain-lain, di mana tindakan untuk mencegah masyarakat<br />

menggunakan barang publik yang milik umum tersebut akan menjadi sangat<br />

mahal atau sulit, karena hak-hak “kepemilikan” terhadap barang-barang tersebut<br />

sangat labil dan sulit dispesifikasi secara tegas. Oleh karena itu, ruang pasar lantas<br />

memiliki ciri inklusif. Kedua, model revitalisasi pasar tradisional difokukan pada<br />

upaya memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjual-belikan di pasarpasar<br />

tradisional. Distribusi di sini mengandung makna yang luas, mulai dari<br />

pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat; pengemasan; hingga penjualan<br />

komoditas di pasar. Pemerintah kota dapat merumuskan kebijakan insentif untuk<br />

mendukung perbaikan jalur distribusi ini, misalnya dengan memperbaiki ketentuan<br />

bongkar muat. Dalam <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001, bongkar muat barang dagangan<br />

dari kendaraan pengangkut dilakukan di areal pasar. Praktik semacam ini justru<br />

menimbulkan kerugian karena menyebabkan kebersihan di sekitar areal pasar<br />

menjadi terganggu dan dapat menimbulkan kemacetan. Seyogianya pengaturan<br />

tentang bongkar muat dilakukan di luar areal tempat berjualan dan komoditas<br />

yang masuk ke pasar tradisional harus benar-benar diperiksa kualitasnya ketika<br />

bongkar muat.<br />

Ketiga, pembangunan pasar jangan dihambat oleh kepentingan mencari keuntungan<br />

finansial karena pembangunan pasar selain memiliki tujuan sosial juga berperan<br />

untuk mereduksi biaya sosial, di mana revitalisasi pasar tradisional harus<br />

dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan<br />

295


properti kota (property development). Dengan kata lain, pembangunan pasar adalah<br />

proses yang bertujuan untuk meningkatkan, menangkap, dan meredistribusikan<br />

kapital bagi kesejahteraan masyarakat. Dari sudut ini, secara paradigmatik<br />

pembangunan pasar lantas menjadi sebuah instrumen untuk menciptakan<br />

keuntungan bagi masyarakat. Keempat, modernisasi pasar juga merupakan<br />

langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar<br />

disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan<br />

tuntutan kebutuhan masyarakat, sekaligus untuk menghambat beralihnya tempat<br />

belanja masyarakat. Pelebaran budaya produksi ke budaya dagang bukan saja<br />

akan memperkuat daya tahan harga (reservation price) untuk produk-produk<br />

yang dijual di pasar tradisional, tetapi juga mendorong lancarnya penjualan, dasar<br />

pertukaran yang lebih baik, dan perputaran barang dan uang yang lebih cepat.<br />

Melalui tahapan seperti itu, pasar pun akan berubah bukan hanya mempunyai<br />

fungsi ekonomis, tetapi juga menjadi identitas kebanggaan bagi daerah yang<br />

mampu mengubah citra pasar tradisional yang semula tidak menarik, jorok, busuk,<br />

dan tidak ter<strong>org</strong>anisasi menjadi salahsatu pusat komunikasi ekonomi dan simpul<br />

perdagangan, penyebaran informasi, dan pertemuan kultural antarpenduduk, bagi<br />

setiap tingkatan status masyarakat.<br />

Kelima, model kemitraan menjadi penting untuk dirumuskan bersama karena<br />

APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung tidak pernah membuat pos<br />

khusus untuk penataan pasar, sehingga mau tidak mau pemerintah kota selalu<br />

melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar. Masalahnya adalah bagaimana<br />

agar pelibatan perusahaan pengembang ini tidak kemudian menyebabkan para<br />

pedagang tradisional yang semula berjualan di sana menjadi “tergusur”. Koppas<br />

sebagai intermediaries institution sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi<br />

penghubung antara kepentingan pengembang/pengelola pasar dengan pedagang<br />

tradisional, sehingga revitalisasi pasar tradisional tidak terjebak dalam arus<br />

kepentingan kapitalisme yang semakin ekspansif. Pemberdayaan Koppas penting<br />

untuk dilakukan karena selama ini posisi Koppas melemah akibat tidak adanya<br />

sumber dana bagi kegiatan Koppas. Konsep renovasi pasar yang diterapkan<br />

Pemerintah Kota menempatkan pihak pengembang sekaligus sebagai pengelola<br />

dan mengambil alih seluruh kegiatan pengelolaan pasar, seperti jasa listrik, parkir,<br />

dan kebersihan yang semula menjadi sumber penghasilan bagi Koppas.<br />

Pemberdayaan bagi pedagang pasar tradisional dapat dilakukan antara lain<br />

dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi, permodalan,<br />

dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok). Pedagang pasar<br />

tradisional perlu mendapatkan informasi tentang masa depan, ancaman dan<br />

peluang usahanya, serta perlunya perubahan sikap dan pengelolaan usahanya<br />

sesuai dengan perubahan tuntutan konsumen. Dalam kaitannya dengan produsen<br />

pemasok, pedagang pasar tradisioanal perlu dibantu dalam mengefisienkan rantai<br />

pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah dapat berperan<br />

sebagai mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisioanal secara<br />

kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang<br />

296


lebih murah. Selain itu, pembinaan terhadap para pedagang pasar tradisional dan<br />

Koppas perlu dilakukan secara kontinyu agar nantinya Koppas dapat memenuhi<br />

syarat untuk menjadi mitra bagi pihak pengembang dalam pengelolaan pasar.<br />

Keenam, pasar tradisional harus dikelola secara kreatif untuk memecahkan<br />

persoalan ruang usaha bagi masyarakat. Pasar, tempat usaha rakyat harus<br />

diciptakan secara lebih imajinatif, kreatif, dan rekreatif untuk bisa berkompetisi<br />

dengan department stores, shopping centers, mall, dan sejenisnya yang biasa dipasok<br />

sektor swasta. Ragam pasar yang lebih transformatif seperti pasar tematik (pasar<br />

elektronik, pasar tekstil, dll.), dapat dikembangkan menjadi model pengembangan<br />

pasar modern agar pasar modern tidak memonopoli seluruh komoditas yang<br />

menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah. Pengelolaan pasar<br />

dengan demikian adalah memberdayakan pasar secara lebih kreatif, terjangkau,<br />

manusiawi, kompetitif, dan nyaman bagi masyarakat.<br />

5.<br />

Kesimpulan dan Rekomendasi<br />

5.1 Kesimpulan<br />

Hasil temuan dan analisis di atas menunjukkan sejumlah poin penting sebagai<br />

kesimpulan, yakni:<br />

1. Konsep dan pemaknaan pasar sesungguhnya sangat luas, mencakup dimensi<br />

ekonomi dan sosial-budaya. Dalam perspektif ekonomi, pasar merupakan<br />

tempat berlangsungnya transaksi barang dan jasa dalam suatu tempat<br />

tertentu. Sementara secara sosial-budaya, pasar merupakan ruang tempat<br />

berlangsungnya interaksi sosial lintas strata. Dikotomi tradisional dan<br />

modern yang dikenakan terhadap jenis pasar bersumber dari pergeseran<br />

pemaknaan terhadap pasar, yang semula menjadi ruang bagi berlangsungnya<br />

interaksi sosial, budaya, dan ekonomi kemudian tereduksi menjadi ruang bagi<br />

berlangsungnya transaksi ekonomi dan pencitraan terhadap modernisasi yang<br />

berlangsung dalam suatu masyarakat.<br />

2.<br />

Paradigma kepentingan ekonomi-kapitalistik untuk mendorong pertumbuhan<br />

ekonomi daerah melalui peningkatan PAD menjadi paradigma yang dianut<br />

dalam <strong>Perda</strong> No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung.<br />

Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis<br />

karena di satu sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional<br />

yang ada sebagai sumber PAD yang sangat potensial. Namun, di sisi lain,<br />

Pemerintah Kota tidak mempunyai dana yang memadai dan konsep yang jelas<br />

untuk revitalisasi pasar, sehingga cenderung bersikap kompromistis dengan<br />

pengembang sebagai pemilik modal, sekalipun banyak terjadi penyimpangan<br />

dalam pelaksanaan <strong>Perda</strong> Pengelolaan Pasar, misalnya kegagalan revitalisasi<br />

pasar tradisional, ketidaksesuaian penggunaan lahan, bahkan konflik antara<br />

pedagang lama dan Koppas dengan pengembang.<br />

297


3.<br />

Model revitalisasi pasar tradisional seyogianya tidak hanya berorientasi pada<br />

peningkatan PAD, tetapi berpihak pada kepentingan masyarakat yang lebih<br />

luas. Karena itu, dalam menggagas model pengelolaan pasar perlu melibatkan<br />

berbagai stakeholders yang terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas<br />

Bangunan, Dinas Tata Kota, Dinas Perhubungan, Koppas, asosiasi pedagang<br />

tradisional, perusahaan pengembang, dan sebagainya agar kepentingan dari<br />

setiap pihak dapat terakomodasi dengan adil.<br />

5.2 Rekomendasi<br />

Berdasarkan temuan tersebut, sejumlah langkah revitalisasi pasar tradisional<br />

yang direkomendasikan adalah:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

Perubahan paradigma pengelolaan pasar, di mana revitalisasi pasar tradisional<br />

ditempatkan sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan<br />

properti kota yang bertujuan untuk meningkatkan, menangkap, dan<br />

meredistribusikan kapital bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain,<br />

revitalisasi pasar menjadi sebuah instrumen untuk menciptakan keuntungan<br />

bagi masyarakat.<br />

Memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjualbelikan di pasar<br />

tradisional, mulai dari pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat;<br />

pengemasan; hingga penjualan komoditas di pasar.<br />

Menegakan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan pasar<br />

secara konsisten, misalnya yang menyangkut tata ruang, alihguna lahan,<br />

perizinan bagi pasar modern, ketentuan batas minimal jarak pasar modern<br />

dari pasar tradisional, pembatasan pembangunan pasar modern di lingkungan<br />

permukiman penduduk, pengaturan tentang bongkar musat barang, jaminan<br />

kontrol kualitas (quality control) komoditas, dll.<br />

Merumuskan model kemitraan lintas stakeholders untuk memberdayakan para<br />

pedagang di pasar tradisional serta memperkuat posisi tawar pasar tradisional<br />

dalam persaingan dengan pasar modern, misalnya dengan:<br />

a. Merumuskan kebijakan kemitraan atau corporate social responsibility dari<br />

pasar modern terhadap pasar tradisional sebagai bentuk subsidi silang;<br />

b. Menerapkan ketentuan bahwa pengelola/pengembang harus memberikan<br />

kemudahan dalam kredit pemilikan kios bagi pedagang lama;<br />

c. Dinas Pengelola Pasar dapat bekerjasama dengan Bank Daerah atau bank<br />

lain untuk memberikan kredit kepemilikan kios dengan bunga lunak bagi<br />

pedagang lama.<br />

d. Pemerintah Kota melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang<br />

terkait (misalnya Dinas Pengelola Pasar, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil<br />

Menengah, Dinas Industri dan <strong>Perda</strong>gangan) dapat melakukan pembinaan<br />

terhadap para pedagang pasar tradisional dan Koppas secara kontinyu<br />

agar nantinya Koppas dapat memenuhi syarat untuk menjadi mitra bagi<br />

pihak pengembang dalam pengelolaan pasar.<br />

298


5.<br />

6.<br />

Modernisasi pasar untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil, dengan<br />

menerapkan manajemen pasar secara rasional, berorientasi pada standarisasi<br />

kualitas komoditas, standarisasi harga penjualan (fixed price), standarisasi<br />

fisik bangunan, dan lain-lain.<br />

Mengembangkan kreativitas dalam pengelolaan pasar tradisional, misalnya<br />

dengan:<br />

a. Membangun pasar-pasar tematik bagi pengembangan pasar modern, seperti<br />

pasar yang khusus berjualan tekstil, elektronik, bahan bangunan, dan lainlain.<br />

Melalui model ini diharapkan pasar modern tidak memonopoli seluruh<br />

komoditas yang menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah.<br />

b. Pengembangan pasar secara tersebar, tidak bersifat linier mengikuti arus<br />

jalan, yang diharapkan dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru<br />

di seluruh wilayah kota sekaligus meminimalkan penumpukan kegiatan<br />

ekonomi di satu wilayah yang dapat memicu terjadinya kesenjangan,<br />

kemacetan, dan melemahnya kapasitas lingkungan.<br />

Cikapundung-Cisangkuy, Juni 2006<br />

299


Daftar Pustaka<br />

Buku<br />

Anderson, James E. 1997. Public Policy-Making. Third Edition. New York : Holt,<br />

Rinehart and Winston.<br />

Boeke, J.H. 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified<br />

by Indonesia. N.V. Haarlem:HD Tjeenk Willink & Zoon.<br />

Dunn, William N. 1994. Public Policy Analysis : An Introduction. Edisi ke-2.<br />

Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall, Inc., A Simon & Schuster Company.<br />

Terjemahan dari : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.<br />

Imawan, Riswandha. 1999. Kebijakan <strong>Publik</strong>. Yogyakarta : Program Pascasarjana<br />

Magister Administrasi <strong>Publik</strong> UGM.<br />

Sastradipoera, Komaruddin. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”, dalam Ajip Rosidi,<br />

dkk (eds). 2006.<br />

Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta:Yayasan<br />

Kebudayaan Rancagé.<br />

Wibowo, Sunaryo Hadi (ed). 2005. Republik Tanpa Ruang <strong>Publik</strong>. Yogyakarta: IRE<br />

Press bekerjasama dengan Yayasan SET Jakarta.<br />

Sumber Lainnya<br />

Bandung Dalam Angka, 2003.<br />

Bujet Edisi 05/III/Juli – Agustus 2005.<br />

Commonwealth of Australia Department of Finance. 1989.<br />

Pikiran Rakyat, berbagai edisi.<br />

Sujito, Arie. “Mal dan Marginalisasi”. Artikel, dimuat dalam Flamma Edisi 24<br />

Tahun 2005, download dari www.ireyogya.<strong>org</strong><br />

Wahyudi, Pujo Sugeng dan Mukhlis Ahmadi. “Kasus Pasar Wonokromo, Surabaya:<br />

Cermin Buruknya Pengelolaan Pasar”. Artikel dalam Kompas, 24 Maret 2003.<br />

300


2. Menuju <strong>Perda</strong> yang Realistis, Partisipasif dan Progresif<br />

Kasus: Kaum Marginal (Pelacuran) yang Terpinggirkan<br />

1.<br />

Policy Otonomi Daerah<br />

Kebijakan nasional tentang otonomi daerah dan pemerintahan daerah telah<br />

diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU<br />

No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />

Daerah. Pada dasarnya otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip<br />

demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan<br />

memperhitungkan berbagai aspek potensi dan keanekaragaman antardaerah.<br />

<strong>Implementasi</strong> otonomi daerah menjadi makin penting dengan meningkatnya<br />

dinamika sosial, ekonomi maupun budaya baik dalam lingkup daerah, nasional<br />

maupun internasional hingga menuntut otonomi daerah dijalankan secara nyata<br />

dan bertanggungjawab namun proporsional.<br />

<strong>Implementasi</strong> otonomi daerah juga diperkuat oleh Ketetapan MPR IV/MPR/2000<br />

tentang kebijakan dalam penyelenggaran otonomi daerah, dimana otonomi<br />

daerah harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan<br />

keprakarsaan daerah-daerah otonom dalam penyelenggarakan otonomi daerah<br />

tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan<br />

pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini dikukuhkan dalam materi<br />

perubahan Pasal 18 UUD 1945.<br />

Beberapa perubahan mendasar tentang otonomi daerah didalam amandemen<br />

kedua UUD 1945 pasal 18 diantaranya (sumber: APKASI, 2003),<br />

1. Adanya pembagian daerah otonom yang bersifat berjenjang (Propinsi,<br />

Kabupaten dan Kota).<br />

2. Daerah otonom mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas<br />

otonomi dan tugas pembantuan.<br />

3. Pemerintah daerah otonom memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih<br />

melalui pemilihan umum.<br />

4. Kepala daerah dipilih secara demokrasi.<br />

5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan<br />

pemerintahan yang oleh Undang Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah<br />

pusat.<br />

Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah harus diupayakan melalui pengaturan,<br />

pembagian dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan<br />

keuangan antara pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran<br />

301


serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman<br />

antardaerah. Otonomi daerah juga harus memberdayakan warganya agar tumbuh<br />

menjadi masyarakat madani yaitu masyarakat yang mandiri, kreatif, berdaya dan<br />

partisipatif, dengan menempatkan Pemerintah Daerah hanya sebagai fasilitator<br />

dan regulator pembangunan yang akomodatif terhadap dinamika stakeholder di<br />

daerah.<br />

2.<br />

Permasalahan Pemberdayaan dan Partisipasi Kaum<br />

Marginal<br />

Proses pembangunan daerah / kota selalu meninggalkan dampak akibat kesenjangan<br />

antara tuntutan ideal pembangunan dengan keterbatasan resources. Kompetisi dan<br />

kompetensi yang menjadi basis ekonomi pasar telah meminggirkan sebagian warga<br />

kota yang kurang bisa bersaing. Sebenarnya tidak ada warga yang mau tersisih,<br />

atau menjadi miskin, bodoh, bahkan terbelakang, hingga akhirnya menjadi kaum<br />

marginal (yaitu sebagian warga yang terpinggirkan/kurang memperoleh perhatian<br />

oleh lingkungannya akibat keterbatasan/ ketidakmampuan). Karena keadaan<br />

mereka terpaksa menerima atau terjerumus hidup sebagai pengemis, bekerja<br />

sebagai pelacur/prostitusi/tuna susila, anak-anak terlantar dan lainnya.<br />

Problematika sosial kaum marginal menimbulkan pertanyaan bagi kita,<br />

1. Apakah di era otonomi daerah saat ini Pemda menciptakan kesempatan kerja<br />

dan berusaha yang sama bagi warganya?<br />

2. Apakah bentuk pemberdayaan dan partisipasi kaum marginal?<br />

3. Apakah <strong>Perda</strong> akomodatif terhadap kepentingan kaum marginal dan apa<br />

wujudnya?<br />

4. Bentuk-bentuk jaminan sosial sebagai pra kondisi terhadap kehidupan kaum<br />

marginal?<br />

5. Perlakuan equal treatment di bidang politik terhadap kaum marginal dalam<br />

setiap keputusan daerah yang terkait dengan masa depan mereka?. Semua<br />

pertanyaan itu menjadi siklus yang belum terjawab tuntas. Realitasnya,<br />

problem kemiskinan dan ketidakberdayaan kaum marginal makin besar<br />

dan Pemda secara sadar telah ‘mendisain’ dan membiarkan pembangunan<br />

berlangsung ‘kurang manusiawi’.<br />

Otonomi daerah ditafsirkan berbeda oleh berbagai pihak di daerah, gejala yang<br />

jelas adalah munculnya berbagai friksi antara elit lokal dan kelompok/fraksi di<br />

masyarakat. Otonomi tidaklah secara otomatis memberi akses dan kontrol bagi<br />

kaum marginal untuk berpartisipasi atau memanfaatkan resources. Sehingga<br />

semangat partisipasi dan pemberdayaan mereka masih dipermainkan oleh<br />

kepentingan elit politik atau kekuatan kelompok/golongan didaerah. Pemerintah<br />

daerah menyadari bahwa dalam pengelolaan daerah perlu memberi kesejahteraan<br />

rakyatnya, tetapi belum ditemukan pendekatan dan instrumen yang tepat dan<br />

302


memadai agar pengelolaan daerah secara optimal mensejahterakan warganya<br />

serta prosesnya dapat dikontrol. Isunya adalah Pemda kurang begitu peka<br />

mendefinisikan stratifikasi sosial di wilayahnya terkait dengan prioritas dan<br />

pemberdayaan resources. Peran pendampingan oleh LSM atau Lembaga independen<br />

yang berlangsung kurang intensif dapat menimbulkan masalah yaitu berbagai<br />

kepentingan di daerah secara riil kurang mendapatkan peran di dalamnya.<br />

Persoalan sosial yang muncul akibat ketidakmampuan pemerintah daerah<br />

membangun kesempatan kerja dan kualitas SDM yang rendah membuat daerah<br />

kurang mampu memberi pilihan yang baik bagi warganya berkompetisi dan hidup<br />

dilingkungannya. Semangat otonomi daerah masih dominan pada eksploitasi<br />

optimal sumber daya alam atau pembagian dana pembangunan pusat-daerah,<br />

namun kurang memberi perhatian pada pembangunan kualitas dan kesiapan<br />

manusia, apalagi terhadap kaum marginal yang tersisih karena keterbatasan<br />

pendidikan, kemiskinan, atau korban kekerasan rumah tangga, atau akibat<br />

tindak kriminal. Untuk itu ‘memanusiakan’ kaum marginal harus didekati melalui<br />

komitmen stakeholder didaerah yang tercermin dalam sistem / peraturan Daerah<br />

yang realistis, partisipatif dan progresif.<br />

Dimensi realistis dikembangkan melalui akses yang besar bagi kaum marginal di<br />

bidang pendidikan, ketrampilan dan modal usaha sebagai jaring pengaman sosial<br />

menjamin kelangsungan hidup maupun kesempatan berusaha. Transformasi<br />

paradigma kearah itu membutuhkan penguatan partisipasi warga (termasuk kaum<br />

marginal), melalui sikap menerima realita sosial, mendorong ke arah perbaikan<br />

kondisi dan bagaimana mengelola resources dalam semangat otonomi itu sendiri.<br />

Dimensi partisipasi dan progresif dikembangkan melalui pemberdayaan warga<br />

mewujudkan hak-hak mereka untuk terlibat aktif dalam proses-proses pengambilan<br />

keputusan publik yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan mereka di<br />

masa depan. Proses tersebut terutama untuk menjamin agar pelembagaan<br />

dan peng<strong>org</strong>anisasian kelompok marginal berjalan secara bertanggungjawab<br />

dan demokratis, kepentingan dan suara mereka dapat diperhitungkan secara<br />

berimbang. Bentuk praktis partisipasi warga diantaranya di bidang:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Kependidikan dan penanggulangan masalah sosial dan kemiskinan;<br />

Advokasi dan kerjasama warga terhadap isu kesempatan kerja, lingkungan<br />

dan lain-lain;<br />

Pendidikan dan kesadaran warga terhadap hak dan tanggung jawab;<br />

Pengawasan terhadap mutu pelayanan publik seperti utilitas, perijinan, pajak,<br />

anggaran daerah, dan lain-lain;<br />

Membangun sistem pemerintahan daerah yang transparan dan responsif<br />

terhadap kepentingan dan kebutuhan warga.<br />

Lemahnya partisipasi kaum marginal dan peran LSM/lembaga independen menjadi<br />

indikasi macetnya pemberdayaan sosial. Kelompok masyarakat yang tidak memiliki<br />

akses terhadap politik menjadikan mereka marginal dalam berpartisipasi.<br />

303


Kaum marginal (khususnya pelacuran) merupakan resources daerah yang dapat<br />

diberdayakan secara positif. Mereka tidak sekedar obyek tapi menjadi bagian<br />

dari subyek yang turut menentukan keputusan. Menganggap mereka ’sampah<br />

masyarakat’ menjadi justifikasi bahwa Pemda tidak bijak dan equal treatment<br />

dalam mengelola resources daerah.<br />

Pemerintah daerah harus benar-benar menciptakan kondisi yang mendorong dan<br />

menjamin warganya untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan<br />

publik yang akan berdampak pada setiap warga. Oleh karenanya LSM dan kelompok<br />

yang mewakili kepentingan kaum marginal (pelacur, anak terlantar, pengemis,<br />

dan lain-lain) harus dilibatkan dalam merumuskan <strong>Perda</strong> dan keputusan penting<br />

di daerah. Mereka bisa menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap lembaga<br />

Eksekutif dan Legislatif di daerah / kotamadya.<br />

3.<br />

<strong>Perda</strong> Yang Realistis, Partisipatif dan Progresif<br />

Dari sejumlah + 14 (empat belas) Peraturan Daerah (<strong>Perda</strong>) yang terkait dengan<br />

kaum marginal (khususnya Pelacuran) dan yang terakhir adalah <strong>Perda</strong> No.8 Seri<br />

E Tanggal 23 November 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kodya Tangerang,<br />

secara umum belum dijumpai upaya pemberdayaan dan solusi komprehensif dalam<br />

penanganan kaum marginal (pelacuran) dan Pemda belum menempatkan diri<br />

menjadi fasilitator dan regulator yang bijak terhadap kaum marginal ini. Kaum<br />

marginal (pelacuran) secara kasat mata ada di kota/daerah, namun masih menjadi<br />

obyek hukum semata, sementara Hak hukumnya relatif diabaikan.<br />

Untuk melihat kondisi <strong>Perda</strong> yang ada, dilakukan Comparative Study terhadap<br />

5 (lima) <strong>Perda</strong> yang menjadi sampel, khususnya <strong>Perda</strong> yang terkait peran kaum<br />

marginal (Pelacuran), (sumber data: <strong>Perda</strong>online.<strong>org</strong>) yaitu:<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

<strong>Perda</strong> Kota Kupang No. 39 Tahun 1999, Tentang Penertiban Tempat Pelacuran<br />

di Daerah Kota Kupang.<br />

<strong>Perda</strong> Kodya Tangerang No. 8 E Tahun 2005, Tentang Pelarangan Pelacuran,<br />

<strong>Perda</strong> 7 Tahun 1999, Tentang Prostitusi, di Kabupaten Dati II IndRhamayu<br />

<strong>Perda</strong> 15 Tahun 2002, Tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila<br />

Dalam Wilayah Kota Bandar Lampung,<br />

<strong>Perda</strong> 3 Tahun 2002, Tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila<br />

dalam Kabupaten Lahat.<br />

Hasil comparative study menunjukkan adanya beberapa problematika mendasar<br />

terkait dengan proses maupun isi <strong>Perda</strong> khususnya dilihat dari sisi Substansi<br />

(Realitas), sisi Partisipatif dan sisi Progresif, diantaranya:<br />

304


1. Substansi (Realitas)<br />

1.1 Standarisasi dan Struktur <strong>Perda</strong><br />

a.<br />

b.<br />

c.<br />

d.<br />

Belum dijumpai adanya kesamaan persepsi mengenai subyek <strong>Perda</strong> itu<br />

sendiri. Hal ini tercermin pada penamaan <strong>Perda</strong> dan Lingkup/pengertian<br />

obyek pembahasan khususnya tentang kaum marginal (pelacuran).<br />

Pertimbangan /Latar Belakang <strong>Perda</strong> merupakan awal atau basis dari<br />

pemikiran dan substansi isi <strong>Perda</strong> selanjutnya.<br />

• Pada daerah yang tidak akomodatif terhadap kaum marginal (dalam<br />

kasus ini adalah kegiatan pelacuran) norma agama, kesusilaan, nilai<br />

luhur dan pertimbangan ketertiban umum menjadi dasar penyusunan<br />

dan substansi <strong>Perda</strong>.<br />

• Pada daerah yang akomodatif, realita sosial menjadi dasar bahwa<br />

kegiatan ini bisa ada sehingga kegiatannya perlu diarahkan,<br />

dikendalikan, diatur di <strong>Perda</strong>.<br />

Dasar / Landasan Hukum <strong>Perda</strong>, sangat variatif tergantung landasan dan<br />

keterkaitan substansi <strong>Perda</strong> terhadap UU dan <strong>Perda</strong> yang telah ada di<br />

daerahnya. Namun terdapat <strong>Perda</strong> yang relatif komprehensif dibanding<br />

lainnya<br />

Struktur isi <strong>Perda</strong>, masih beragam (variatif) terkait akomodatif/tidaknya<br />

daerah. Namun substansi upaya pembinaan dan pemberdayaan terbatas<br />

dijumpai, hanya pada 2 <strong>Perda</strong> (yaitu: <strong>Perda</strong> Kupang dan <strong>Perda</strong> Lahat).<br />

1.2 Ketentuan dan Isi<br />

a.<br />

b.<br />

c.<br />

Ketentuan Pelarangan Kaum Marginal (Pelacuran)<br />

• Pada daerah yang tidak akomodatif (Tangerang, IndRhamayu dan<br />

Bandar Lampung) terdapat unsur ‘praduga bersalah’ terutama adanya<br />

unsur mencurigai (dengan penekanan pada tingkah laku dan keberadaan<br />

di tempat umum) dan unsur penindakan berdasarkan kriteria diyakini<br />

(oleh Penyidik). Kriteria dan persepsi perlu dijelaskan dalam melakukan<br />

penegakan <strong>Perda</strong>.<br />

• Pada daerah yang akomodatif (Kupang) melihat pelarangan hanya sisi<br />

persyaratan pengunjung, sementara pada kota yang moderat (Lahat)<br />

Pelarangaan didasarkan pada perbuatan (yang nyata terjadi)<br />

Ketentuan Pidana, bervariatif masa hukumannya tergantung persepsi<br />

daerah, walaupun sama-sama menggunakan dasar hukum yang sama<br />

(ketentuan KUHAP)<br />

Penertiban dan Pengelolaan, pada kota yang tidak akomodatif lebih<br />

ditekankan pada pengendalian dan penindakan hukum. Sementara pada<br />

kota yang akomodatif diatur dengan tegas persyaratan: lokasi, jumlah,<br />

pembinaan dan persyaratan ketertiban dan lain-lain.<br />

305


2. Partisipatif Kaum Marginal<br />

a.<br />

b.<br />

Tidak ada penjelasan bagaimana dan apa dikontribusi kaum marginal<br />

dalam <strong>Perda</strong><br />

Terhadap sikap transparansi publik:<br />

• Pada daerah yang akomodatif: ada langkah pembinaan sesuai lokasi<br />

dan monitoring, yang diawasi Pemda.<br />

• Pada daerah yang tidak akomodatif: tidak ada solusi terhadap masa<br />

depan kaum marginal. Mereka hanya menjadi obyek yang harus<br />

ditertibkan /dihukum bila melanggar. tidak diatur bagaimana kondisi<br />

dan diarahkan kemana untuk keluar dari masalah yang ada.<br />

3. Substansi Progresif<br />

a.<br />

b.<br />

Tidak ada peran LSM/lembaga independen dalam membangun maupun<br />

berperan dalam mendorong pengawasan terhadap implementasi <strong>Perda</strong>.<br />

Tidak ada langkah/upaya Pemda untuk mengembalikan kaum marginal<br />

kembali pada kehidupan normal, maupun upaya pemberdayaan mereka<br />

sebagai resources.<br />

Secara lengkap Comparative Study (Perbandingan Indikator) dan hasil kajiannya<br />

disajikan dalam Lampiran-1 (Data/Indikator) dan Lampiran-2 (Hasil Kajian). Bila<br />

dicermati secara lebih dalam terdapat beberapa critical point yang bisa diperoleh<br />

dari dalamnya, diantaranya:<br />

a.<br />

b.<br />

c.<br />

Belum ada standarisasi pola penyusunan <strong>Perda</strong> dan Kesamaan persepsi<br />

mengenai kaum marginal (pelacuran). <strong>Perda</strong> terkait pelacuran sangat<br />

variatif dan ini dapat berdampak pada:<br />

• Kesulitan (kebingungan) penyidik dalam menegakkan aturan lintas<br />

daerah, akibat persepsi dan struktur PERDA yang beda antardaerah.<br />

• Tiada adanya akuntabilitas dan transfaransi dalam kaitan menilai<br />

kualitas dan substansi PERDA antardaerah, terhadap obyek yang<br />

relatif sama.<br />

Sisi partisipatif dan pemberdayaan tidak diatur dalam PERDA. Kaum<br />

marginal (pelacuran) hanya menjadi obyek hukum dan dianggap “sampah<br />

masyarakat” yang harus dibersihkan dan digusur sejauh mungkin dari<br />

kota. Aspirasi mereka, hak hukum, hak hidup dan keberadaannya tidak<br />

diberi solusi yang komprehensif. Pemda tidak memberikan solusi sebagai<br />

upaya pengalihan ke kehidupan yang tidak menyalahi hukum.<br />

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Sosial/Pembelaan Hak<br />

Perempuan, tidak mendapat tempat, sehingga <strong>Perda</strong> lebih sebagai daftar<br />

pelarangan, penindakan, Ketentuan penyidikan/pidana. Membangun<br />

otonomi daerah seharusnya memberi peran masyarakat dalam berkontribusi,<br />

dan untuk kondisi ini Pemda dan DPRD masih dominan di sisi regulator<br />

dibanding sebagai fasilitator aspirasi/dinamika daerah.<br />

306


d.<br />

e.<br />

<strong>Perda</strong> masih ‘dianggap’ menjadi media kepentingan politis lokal, sehingga<br />

kurang didukung oleh hasil penelitian yang cermat. Solusi yang ada dalam<br />

<strong>Perda</strong> kurang melihat aspek: realitas sosial (data dan fakta), partisipatif<br />

(peran serta dan tanggung jawab), dan progresif (solusi jangka panjang).<br />

Komunikasi antar kota-daerah (contoh: penyusunan <strong>Perda</strong>) masih lemah.<br />

Kerjasama antara daerah-kota di Indonesia (dalam asosiasi: APKASI,<br />

APEKSI, dan lainnya) masih terbatas, walaupun UU 22/1999 terkait<br />

otonomi daerah sudah berjalan lebih dari 7 tahun. Seharusnya dirancang<br />

pola kerjasama antara kota-daerah, dan checklist prinsip-prinsip umum,<br />

kriteria dasar, dan aspek keterkaitan antar di segala bidang pembangunan<br />

(tidak hanya <strong>Perda</strong>), sehingga dalam kegiatan antardaerah penyusunan<br />

(penyusunan <strong>Perda</strong> contohnya), terdapat standarisasi struktur bahasan<br />

yang sama, apabila ada hal khusus/nilai lokal yang perlu dicantumkan,<br />

maka hal itu bisa ditambahkan secara khusus atau dimuat dalam Ketentuan<br />

Khusus (Tambahan). Komunikasi antar kota/ daerah bisa dirancang melalui<br />

website, teleconference, atau media lain yang mudah di akses, aman dan update.<br />

Dalam membangun Paradigma <strong>Perda</strong> yang Realistis, Partisipatif dan Progresif<br />

terkandung makna bagaimana peraturan mampu menjawab dan mengakomodasi<br />

tantangan dan kebutuhan daerah dengan tujuan kemajuan, dengan meniadakan,<br />

meminimalisasi atau mengelola risiko/ konflik kepentingan. Tentu perlu<br />

dirumuskan apa kriteria dan bagaimana mekanisme mewujudkannya.<br />

Konsepnya, budaya partisipatif warga dibangun dengan memfokuskan perhatian<br />

pada keterlibatan seluruh warga. Pemda harus membangkitkan inisiatif warganya<br />

dalam kebersamaan melalui rasa tanggungjawab dan rasa memiliki dan komitmen<br />

yang tinggi terhadap kesepakatan. Rasa kepemilikan terhadap aturan (dalam<br />

hal ini <strong>Perda</strong>) dikembangkan melalui profit sharing yaitu dalam kemanfaatan dan<br />

keadilan mulai sejak proses penyusunan hingga implementasinya.<br />

307


Gambar 1. Hubungan Antara Lingkungan dan Strategi Manajemen terhadap Budaya<br />

Tak dapat dipungkiri, tidaklah semua anggota DPRD dan Pemda dalam<br />

penyusunan PERDA memilik kompetensi yang memadai karena memang sebagian<br />

besar anggota DPRD (diluar DPD) adalah wakil partai yang berasal dari beragam<br />

profesi, kepentingan, pendidikan, agama/pemahaman, kemampuan, dan PEMDA<br />

memiliki rutinitas/informasi terbatas sehingga <strong>Perda</strong> yang disusun kurang<br />

sempurna/terburu-buru. Untuk itu, dalam melihat realitas masyarakat diperlukan<br />

adanya niat dan hati nurani yang positif serta kejujuran terhadap permasalahan,<br />

informasi, data/hasil studi yang ada.<br />

Dalam membangun budaya partisipatif stakeholder terhadap <strong>Perda</strong> perlu ada<br />

keihlasan dan kepatuhan kita pada aturan, bahwa memang semua pihak yang terkait<br />

dengan <strong>Perda</strong> wajib diajak bicara, diakomodir aspirasinya agar terpenuhinya unsur<br />

keadilan. Menciptakan substansi <strong>Perda</strong> yang Progresif diperlukan kemampuan<br />

komprehensif dalam mengkaji kebutuhan dan trend masyarakat kedepan, alternatif<br />

relokasi/reposisi aktifitas, mengukur tingkat penerimaan masyarakat terhadap<br />

<strong>Perda</strong>, serta kemampuan merumuskan kriteria dan indikator kinerja (performance<br />

indicator) dari <strong>Perda</strong>.<br />

Menuju <strong>Perda</strong> yang Realistis, Partisipatif dan Progresif minimal perlu memuat<br />

unsur-unsur: Preparation (penyiapan awal) meliputi kelayakan fakta dan<br />

informasi, adanya partisipasi stakeholder, sosialisasi, dan kajian kaitannya dengan<br />

UU/Peraturan yang lebih tinggi atau <strong>Perda</strong> ialah;<br />

• Enhancement (Pengayaan materi) yaitu unsur mendidik, memberdayakan<br />

dan mendorong kemajuan/ perbaikan daerah);<br />

• Action (Penindakan) yang mendefiniskan jenis dan kriteria penindakan<br />

•<br />

jelas, transparan dan terukur;<br />

Condition (Pengendalian dan Persyaratan) meliputi aktifitas yang<br />

boleh/tidak boleh, alternatif aktifitas yang dilarang, bagaimana<br />

relokasi/reposisi aktifitas ke depan, peran LSM/ <strong>org</strong>anisasi sosial;<br />

• Addendum (unsur peralihan/ kondisional) yaitu kondisi/aturan<br />

peralihan, kriteria revisi, dll.<br />

308


Gambar 2. Konsepsi Menuju <strong>Perda</strong> yang Realistis dan Progresif dengan<br />

Memperhatikan sisi Partisipasi Warga<br />

(Suatu Bentuk Penyederhanaan Solusi)<br />

Yang perlu juga dikritisi adalah implementasi <strong>Perda</strong> dan upaya kita mengakomodasi<br />

dan mengawasi berbagai ketentuan <strong>Perda</strong> agar sesuai dengan rencana yang ada<br />

(selengkapnya Konsepsi menuju <strong>Perda</strong> yang realistis, partisipatif dan progresif<br />

ditampilkan dalam Gambar 2.) Dari comparative study terhadap 5 (lima) buah<br />

<strong>Perda</strong> diatas nampak bahwa secara umum kemampuan PEMDA dan DPRD masih<br />

belum optimal, terutama dalam substansi partisipatisi publik dan bagaimana<br />

menterjemahkan realitas yang hidup ada di masyarakat. <strong>Perda</strong> tersebut juga belum<br />

memenuhi kaidah progresif yaitu mengantisipasi kebutuhan, memberdayakan, dan<br />

memenuhi rasa keadilan di masyarakat..<br />

309


4.<br />

Penutup<br />

Otonomi daerah hakekatnya adalah otonomi pada rakyat di daerah, sehingga<br />

otonomi akan lebih bermakna pada keadilan dan kesejahteraan rakyat di daerah<br />

bila dijalankan bersama-sama dengan agenda demokratisasi didalamnya, yakni:<br />

upaya pemberdayaan rakyat di daerah, penegakan supremasi hukum, menciptakan<br />

pemerintahan yang bersih, adil, transparan dan akuntabel, dan lainnya.<br />

<strong>Perda</strong> merupakan cermin dari realitas kebutuhan dan bagaimana masyarakat<br />

dan resources daerah dikelola secara sistematis. <strong>Perda</strong> hanya salah satu bagian<br />

dari sistem yang mengatur kehidupan di daerah/kota sehingga di era otonomi<br />

daerah saat ini penguatan substansi <strong>Perda</strong> saja tidaklah cukup. Efektifitas dan<br />

keberdayaan <strong>Perda</strong> sangat bergantung pada Kualitas <strong>Perda</strong>, Komitmen stakeholder<br />

dan Dukungan lingkungannya,<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

Kualitas <strong>Perda</strong>: substansi yang jelas, akuntabel dan diterima masyarakat<br />

Kualitas Penegak Hukum: polisi/penyidik agar kompeten dan komitmen pada<br />

pengabdian pada tugas dan tanggung jawab<br />

Masyarakat & Lingkungan Bisnis: memberi kontribusi, rasa memiliki,<br />

menerima, menjalani dan memberi umpan balik (feedback).<br />

LSM / Social Watch, media cetak dan elektronika: memberi informasi/sosialisasi,<br />

permasalahan dan koreksi implementasi.<br />

Pemda & DPRD: aspiratif dan akomodatif terhadap dinamika sosial sehingga<br />

PERDA menciptakan kondisi yang mendorong kemajuan, pemberdayaan dan<br />

keadilan sosial.<br />

Pemda Tingkat I /Pemerintah Pusat: menciptakan pengawasan, harmonisasi<br />

UU/ <strong>Perda</strong> dan keterpaduan rencana dan program pembangunan antardaerah<br />

di segala bidang.<br />

310


Daftar Pustaka<br />

Andrik Purwasito DR, DEA, Peran Masyarakat Dalam Mengontrol Eksekutif dan<br />

Legislatif,<br />

Jakarta, 2005.<br />

APKASI, Policy Paper Rakernas III, Jakarta, 2003.<br />

Rhenald Kasali Ph.D. Change, PT Gramedia, 2005.<br />

Pemda Kodya Tangerang, <strong>Perda</strong> 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelacuran, 2005.<br />

Website <strong>Perda</strong>online.<strong>org</strong>, <strong>Perda</strong> Yang Terkait Kaum Marginal (Pelacuran), 2005.<br />

311


3. Diskusi Sesi Paralel 3:<br />

Menuju <strong>Perda</strong> yang Partisipasif & Komprehensif<br />

Tanya Jawab<br />

◊ Pertanyaan<br />

1. Dian Herry Sofyan, Konsultan, PT. Alam Media Kreasi, Bandung<br />

Ini mungkin langsung untuk kedua pemateri. Saya pikir sebagaimana kita<br />

ketahui sekarang itu yang masuk menjadi anggota legislatif di daerah itu sangat<br />

bervariasi, latar belakang, budaya, sosial, ekonomi dan pendidikannya. Sehingga<br />

kelihatannya semakin jauh ada kesenjangan yang pada akhirnya juga mengganggu<br />

produktifitas, salah satunya masalah perda tadi, masalah substansi. Cuma saya<br />

pikir ada satu contoh menarik di kota Bandung. Jadi ketika akan ada laporan<br />

pertanggungjawaban dari Walikota waktu itu salah satu partai mengadakan<br />

semacam kegiatan seminar lokakarya. Partai tersebut giat mengundang ahli-ahli<br />

di bidang yang bersangkutan yang dilakukan oleh Walikota. Jadi kalau masalah<br />

pendidikan yang diundang adalah pembicara dari UPI, IKIP, atau/dan dari LSM<br />

Pendidikan.<br />

2.<br />

Fernandez<br />

Pertama, saya kira juga saya setuju dikatakan bahwa harus mengenal kondisi<br />

masyarakat, saya melihat bahwa kasus kota Bandung tadi mengenai pasar karena<br />

memang tidak pernah ada kajian tentangada prinsip filosofi dasar daripada hukum<br />

itu, kedua ada pendekatan antropologis, sosiologis yang dibutuhkan. Nah, kita lupa<br />

semua itu dimakan oleh kapitalisme yang penting sekarang bangun mall besar<br />

yang bisa menghasilkan banyak uang dari kapital-kapital yang mudah ditarik<br />

uangnya dan mungkin mereka adalah orang-orang di belakang layar pembuatan<br />

perda-perda tentang pasar-pasar tradisional tadi. Jadi konversi-konversi seperti<br />

itu sangat merugikan masyarakat banyak. Saya mau mengambilkan contoh satu<br />

lagi ketika saya belajar, kebenaran di Amerika, proses peruntukan atau landuse<br />

satu daerah menjadi komersial itu membutuhkan perjuangan yang lama<br />

dan diskusi dari komunitas di situ. Karena apa? Karena punya dampak, jadi<br />

ada impact assessment. Masyarakat harus tahu punya dampak, kalau misalnya<br />

satu daerah pertanian diubah menjadi satu mall, maka ada dampak kriminal, ada<br />

dampak arus lalu-lintas, ada dampak run-off, ada dampak masalah kerusakan<br />

lingkungan karena aliran air dan sebagainya, karena pengerasan, dan sebagainya.<br />

Hal seperti itu diolah, didiskusikan antar kelompok masyarakat komunitas di balai<br />

kota, kita tidak punya mekanisme itu. Itulah sebabnya kenapa terjadi hal seperti<br />

tadi masalah pelacuran ada, di masyarakat pasar, ntah masalah-masalah lain<br />

yang semakin banyak. Saya ingin menambahkan saja mudah-mudahan panitia<br />

bisa membawa hal ini, menarik ini menjadi diskusi menjadi diskusi yang lebih jauh<br />

dengan Depdagri, Departemen Kehakiman dan HAM.<br />

312


3.<br />

Ajasi dari Yayasan Kita<br />

Saya tertarik dengan yang diungkapkan Bapak Rhama Wijaya. Masalah variasi.<br />

Ada yang sebagian bervariasi dari <strong>Perda</strong>, kemudian ada yang kelihatannya idemditto<br />

karena copy-paste. Saya kira adanya ketidak bakuan atau variasi itu bukan<br />

suatu problem. Seandainya itu memang berpijak dari kondisi spesifik lokal, karena<br />

<strong>Perda</strong> ‘kan merupakan suatu penafsiran teknis dari undang-undang diatasnya atau<br />

peraturan yang diatasnya, disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Hanya<br />

kita melihat, juga menyayangkan, adanya proses yang sangat instan yaitu dengan<br />

cara copy-paste, karena itu saya rasa memang kalau ditarik berdasarkan apa yang<br />

menjadi keyakinan sebagian besar anggota DPRD mungkin mereka ingin simpel<br />

saja mengambil dari daerah tetangga, padahal kondisinya berbeda, itu justru yang<br />

merupakan masalah bagi masyarakat daerah tersebut. Untuk Tangerang, saya juga<br />

pernah melakukan kajian, tapi di kabupaten dan mereka juga bingung?! Kenapa?<br />

Tangerang sebenarnya kota, kenapa harus menerapkan <strong>Perda</strong> yang sebenarnya<br />

budaya rural. Mungkin ini terkait dengan peta politik yang ada di DPRD-nya dan<br />

itu suatu kondisi yang mungkin berbeda dengan kondisi yang ada di masyarakat,<br />

tapi itulah real-politik yang ada. Dan masalah ini saya kira bukan hanya <strong>Perda</strong>-<br />

<strong>Perda</strong> yang terkait dengan pelacuran, tapi juga <strong>Perda</strong>-<strong>Perda</strong> yang lain termasuk<br />

seperti salah satunya <strong>Perda</strong> Pamungkas yang dinamakan <strong>Perda</strong> Tramtib.<br />

Saya pernah melakukan kajian antara satu daerah, Tangerang dengan daerah<br />

lain dapat dikatakan hampir sama termasuk masalah hukumannya dan apa-apa<br />

yang dihukum. Dan ini kita juga melihat hukuman yang terlalu besar untuk<br />

hal-hal yang kecil seperti merokok dengan denda sekian juta itu kan menjadikan<br />

<strong>Perda</strong> mati, yang tidak efisien dan dapat dikatakan tidak jalan, tapi kenapa itu<br />

diberlakukan. Juga saya mungkin ingin menanyakan ke Bapak Rhama Wijaya<br />

yang mungkin lebih mengerti masalah hukum, apa yang menjadi tolak ukur dari<br />

penentuan sangsi dalam penyusunan <strong>Perda</strong>, ada tidak prosedur kajian itu yang<br />

menjadi pertimbangan rekan-rekan di daerah untuk menentukan untuk jenis ini<br />

hukumannya segini. Padahal kalau yang kita pernah tahu, untuk membuang<br />

sampah hanya 150-ribu tapi sekarang 5-juta, akhirnya timbul negosiasi dagang<br />

sapi; akhirnya daripada anda bayar 5-juta, sudah 100-ribu saja buat kantong saya.<br />

Kemudian ini, yang tidak saya lihat dari sekian banyak makalah adalah tentang<br />

urgensi pembuatan <strong>Perda</strong> itu sendiri. Apakah harus semuanya diatur dengan perda?<br />

Kenapa tidak pakai Surat Keputusan Bupati? Sampai-sampai untuk rehabilitasi<br />

lahan pesisir yang merupakan hal yang seharusnya terkait dengan Renstra, itu<br />

ada <strong>Perda</strong>nya juga, padahal Renstra itu sudah merupakan keputusan DPRD,<br />

harusnya dimasukkan di Renstra atau mungkin dengan SK Bupati. Kenapa selalu<br />

harus diatur dengan <strong>Perda</strong>? Yang kedua fungsi PPNS, belum ada yang mengkaji<br />

masalah fungsi PPNS padahal itu terkait dengan implementasi dari <strong>Perda</strong>. Yang<br />

terakhir kepada YIPD, apakah tidak mencoba untuk melakukan kajian terhadap<br />

peraturan-peraturan yang ada di Pemerintah Pusat. Karena ini konsistensi yang<br />

ada di pemerintah pusat itu akan menjadi suatu faktor yang membuat perda-perda<br />

yang di daerah itu jadi tumpang tindih atau tidak beraturan.<br />

313


4.<br />

Novi, Mahasiswi dari STIFAN<br />

Pertanyaan mengenai makalah “Menggagas Model Repitalisasi Pasar Tradisional” .<br />

Di Merauke, ada pasar kemudian karena mengalami suatu musibah sehingga pasar<br />

itu dipindahkan ke suatu tempat yaitu di lapangan terbuka, sehingga masyarakat<br />

lebih cenderung ke pasar yang tradisional. Sekarang dengan adanya globalisasi<br />

dimana tingkat persaingan semakin tinggi sehingga masyarakat tradisional takut<br />

bahwa nantinya akan digeser keberadaan mereka dengan adanya pasar modern.<br />

Hal ini juga disebabkan karena masyarakat lebih terbiasa menggunakan pasar<br />

tradisional karena di Merauke cuma ada satu pasar yang sangat terkenal yaitu<br />

pasar yang kemarin mengalami musibah dimana masyarakat merasa dengan<br />

adanya pasar tradisional mereka lebih bisa mengekspresikan kegiatan jual beli<br />

mereka dimana mungkin mereka lebih mempertimbangkan karena dengan adanya<br />

pasar tradisional mudah, barang-barangnya lebih murah dan karena kenalannya<br />

lebih banyak sehingga mungkin barangnya bisa ditawar dengan harga yang lebih<br />

rendah. Yang ingin saya tanyakan disini. Jika pada akhirnya nanti pasar tradisional<br />

bergeser, apakah masyarakat untuk saat ini bisa menerima keberadaannya pasar<br />

modern karena masyarakat di Merauke kelihatannya masih sangat tradisional<br />

sekali sehingga untuk menerima kehadiran pasar modern mungkin masih agak<br />

terlalu minim. Bagaimana sikap dari pada pemerintah Kabupaten Merauke<br />

dan apa yang harus dilakukan pemerintah untuk melakukan pengenalan atau<br />

apa yang sebaiknya pemerintah lakukan agar masyarakat tradisional ini bisa<br />

menerima adanya kehadiran pasar modern ditengah-tengah kehidupan masyarakat<br />

Merauke.<br />

314


1.<br />

◊<br />

Jawaban<br />

Dede Mariana<br />

Pertama mengenai background anggota legislatif, saya kira itu bagian dari proses<br />

yang berjalan, mestinya pada institusi parpol itu sendiri ada upaya memperbaiki<br />

karena pintunya di partai. Sekarang ini kelihatannya sudah mulai ada kesadaran<br />

itu. Proses pembuatan <strong>Perda</strong> itu sendiri seperti tadi dikomentari oleh penanya<br />

kedua, saya kira memang saat ini kebiasaan perda itu lebih banyak inisiatif dari<br />

eksekutif atau birokrasi. Misalnya saja saya melihat di kota Bandung itu misalnya<br />

ada satu <strong>Perda</strong> yang sedang dipersiapkan, misalnya <strong>Perda</strong> tentang “X”, dari pihak<br />

legislatif menginginkan dibuka ruang partisipasi seluas-luasnya misalnya. Tetapi<br />

begitu bertemu dengan katakanlah sekarang ini kalau perda itu berasal dari usul<br />

prakarsa, ujung-ujungnya ada pembiayaan ditaruh di Setwan. Dan diberitahulah<br />

oleh birokrasi sekretariat dewan bahwa berdasarkan dokumen perencanaannya<br />

adalah seperti ini. Ini cukup 1-bulan, 2-bulan dengan proses administrasi.<br />

Sehingga disini kalau saya melihat justru di dalam membuat regulasi itu melalui<br />

<strong>Perda</strong> terjadi apa yang disebut proses birokratisasi.<br />

Birokratisasi bisa terjadi di eksekutifnya sendiri, bisa juga di legislatif, sehingga<br />

akan kesulitan bagaimana membuka ruang-ruang publik itu. Sehingga kalau tadi<br />

dikatakan naskah akademik dan seterusnya akhirnya tidak bisa sampai kesana,<br />

apalagi keterlibatan stakeholder. Kemudian mengenai ide revitalisasi saya kira<br />

yang kami coba tawarkan sebetulnya bukan menghadirkan sekedar penampilan<br />

fisiknya, saya sependapat kalau katakanlah sempat berkunjung ke satu tempat<br />

di Australia, misalnya ada pasar itu sudah ratusan tahun, tetapi dia bisa turuntemurun<br />

pelakunya, jadi yang jualan daging di kios itu adalah cucu-buyut yang<br />

pernah berjualan. Kalau di kota Bandung seperti Pasar Baru saya kira, wujud<br />

fisiknya saya senang sekarang tapi kalau melihat pelakunya sudah berganti<br />

kemudian kita juga tidak bisa menyalahkan pengembang, karena pengembang<br />

ujung-ujungnya dia bisa menjual kios itu supaya investasi yang ditanamkan itu<br />

kembali. Yang disayangkan pelibatan koperasi. Kalau koperasi dihadapkan kepada<br />

persoalan permodalan sebetulnya Perbankan belum didorong oleh Pemerintah<br />

untuk menjadi fungsi mediasi antara pedagang dengan <strong>org</strong>anisasi koperasinya<br />

sehingga dia bisa memiliki kiosnya lagi.<br />

Memang di Pasar Baru ini kalau saya perhatikan sebagian besar mungkin masih<br />

berlaku prinsip-prinsip jual beli yang tradisional (Pelanggannya, dst.). Tetapi<br />

di Kebon Kelapa ITC bekas Pasar Lama sekarang kebanyakan sudah pedagang<br />

baru. Bahkan di Pasar Ciroyo misalnya di kota Bandung itu sekarang pedagang<br />

lama memblokir gedung sehingga pedagang barupun tidak bisa masuk, sementara<br />

gedung yang sudah direvitalisasi (pasar yang sudah direvitalisasi) tidak bisa<br />

digunakan, ini belum selesai sampai sekarang, sampai-sampai Satpol-PP juga<br />

tidak sanggup mengamankan, dan entah sampai kapan berhentinya negosiasi itu.<br />

Sehingga, maksud saya revitalisasi yang kita pertaruhkan itu, pengelolaannya dan<br />

sejak awal perencanaannya. Kalau tadi disinggung oleh penanya kedua, bahwa<br />

315


ini jangan-jangan, dibalik itu ada siapa? Yah, para pemegang modal besar itu,<br />

sehingga di Bandung sekarang ini ada Jargon kota jasa-nya, kawasan Dago yang<br />

pemukiman dengan mudah saja berlindung di perda RT/RW yang 5-tahun bisa diadjust/disesuaikan.<br />

Jadi akhirnya bukan aturan hukum yang mengatur perilaku<br />

orang, tetapi perilaku dulu dibiarkan, setelah itu peraturan yang menyesuaikan.<br />

Jadi, misalnya kalau saya dengar kemarin diskusi dan Kadin itu biasanya triggertriggernya<br />

itu diceritakan, misalnya McDonald dulu masuk, kalau disitu sudah<br />

tercipta conditioning, keRhamaian, macam-macam dan rakyat seputarnya tidak<br />

protes, LSM juga tidak protes, baru setelah itu berdiri gedung yang tinggi. Misalnya<br />

ini untuk dipojokan Dago di kota Bandung kalau anda bisa melihat di sana sekarang<br />

sedang dibangun di sebelah MacDonald, selalu begitu motif-motifnya.<br />

Jadi, di sini sebetulnya yang tadi itu dalam beberapa kasus ketidak-mampuan<br />

anggota legislatif itu dimanfaatkan juga. Terus juga ada celah pada waktu UU<br />

No.22/1999 berlaku. Depdagri itu hanya diberi waktu 2-minggu untuk menelaah<br />

<strong>Perda</strong>, kalau 2-minggu tidak ada reaksi dari Depdagri, <strong>Perda</strong> itu berlaku. Setahu<br />

saya sekarang sebenarnya sudah diserahkan dengan UU No. 32 ini ke Propinsi.<br />

Tetapi, untuk Jawa Barat misalnya saya cek di Propinsi, Biro Hukumnya, “Ah Pak<br />

Dedek, jangankan untuk menelaah <strong>Perda</strong> dari Kabupaten Kota, ngurusi <strong>Perda</strong><br />

kami juga, kami sulit!” Terus saya katakan: “Kenapa Anda tidak hire, menghimpun<br />

LSM untuk bikin desk (sama-sama), soal duitnya belakangan”. Mereka selalu<br />

berpikiran: kalaupun menarik orang, bayarnya berapa? Dan darimana?<br />

Kemudian, saya sepakat memang itu perlu dibuka ruang-ruang untuk partisipasi,<br />

tetapi juga yaitu tadi, saat ini banyak <strong>Perda</strong> lebih deras masih dari eksekutif, dari<br />

Biro Hukum, dari bagian Hukum karena memang legislatif merasa dia itu belum<br />

berkemampuan. Padahal sebetulnya mereka kalau mengembangkan <strong>org</strong>anisasi<br />

jaringan mereka bisa join dengan beberapa LSM untuk menyiapkan itu. Hanya<br />

semangatnya tadi, apakah mau mengatur atau seperti tadi, perizinan itu kan<br />

seharusnya melindungi izin yang lain. Di Bandung yang namanya Carrefour itu<br />

sebetulnya yang dapat izin baru 1 (satu), yang baru akan didirikan di Sukajadi,<br />

tetapi yang sudah ada sekarang sudah beroperasi. Pemkot tidak berdaya, karena<br />

mengantongi izin dari Pusat langsung. Jadi ini juga ada persoalan di dalam pasarpasar<br />

modern, mereka juga bisa dapat izin dari Pusat. Waktu saya tanya ke Dinas<br />

<strong>Perda</strong>gangan maupun Dinas Pasar: “saya punya kewenangan hanya mengurus<br />

yang tradisional-tradisional”, kalau yang lainnya karena dia badan hukumnya PT<br />

bisa dapat mengantongi izin langsung dari Jakarta dan dia bisa beroperasi. Kalau<br />

dihambat oleh Pemkot dianggap menghambat investasi.<br />

2.<br />

Caroline Paskarina<br />

Menambahkan sedikit saja. Saya juga sependapat bahwa sebenarnya kita tidak<br />

mencoba menyalahkan adanya pasar modern karena itu adalah suatu kenyataan<br />

yang harus dihadapi. Dan banyak pihak yang diuntungkan dengan adanya pasar<br />

modern itu. Ketika misalnya ada toko-toko modern yang masuk lingkungan<br />

316


pemukiman ada banyak orang yang akan diuntungkan karena misalnya dia bisa<br />

punya usaha sendiri, kemudian mudah memperoleh barang dan sebagainya.<br />

Tetapi manakala kondisi persaingan itu tidak diatur, maka yang muncul pihak<br />

yang sangat kuat akan menindas yang lemah. Jadi pengaturannya harusnya<br />

bagaimana melindungi pihak yang lemah ini kemudian meningkatkan kemampuan<br />

dia bersaing sampai nanti mampu bersaing. Kalau misalkan dibiarkan saja yang<br />

kuat dibiarkan semakin kuat maka itu akan tidak adil. Ke depan seperti apa<br />

revitalisasi kongkritnya? Kongkritnya revitalisasi pasar tradisional itu harusnya<br />

perubahan manajemen pengelolaan yang lebih modern. Jadi kalau semula dikelola<br />

hanya dengan prinsip yang penting hari ini memperoleh uang cukup untuk hari<br />

ini, tapi tidak cukup misalnya untuk besok, yah harusnya diubah bagaimana agar<br />

keuntungan yang diperoleh bisa bertahan bahkan bisa berlipat. Jadi harusnya ada<br />

peningkatan kemampuan pedagang pasar tersebut.<br />

3.<br />

Rhama Wijaya<br />

Mungkin tadi banyak sekali yang sifatnya menjadi masukan buat kami. Terimakasih<br />

dari Mas Dian, Mas Fernandez dari Depok, dan juga Bapak Ajazi. Memang benar,<br />

bahwa ke depan kita harus mulai bukan revitalisasi pasar tapi juga DPRD kita<br />

juga direvitalisasi. Artinya mereka harus diberikan informasi dan keterbukaan<br />

informasi, supaya mereka bisa memberikan sesuatu secara optimal di dalam proses<br />

kebijakan publik, karena apa? Kalau proses perumusan masalahnya saja sudah<br />

tidak benar, maka kebijakannyapun tidak akan kena pada realitas masyarakat.<br />

Artinya, kita harus bisa merumuskan masalah itu dengan benar sehingga obat<br />

yang diberikan akan cocok. Khusus mengenai bagaimana sumbangan kita di<br />

dalam kelembagaan itu, dalam partisipasi untuk yang Mas Dian bilang, memang<br />

perlu adanya suatu yang namanya di halaman-3 yang saya sampaikan itu ada<br />

suatu instrumen dalam <strong>Perda</strong> yang menjamin kelembagaan partisipasi. Artinya,<br />

didalam hasil utama di illustrasi tadi, warga masyarakat secara sistem memang<br />

dilindungi dan diberikan peran menyampaikan apa yang menurut mereka didalam<br />

kebijakan publik itu harus ada, dan apa yang memang perlu diakomodasi. Terus<br />

kemudian ada akses informasi bagi masyarakat juga harus memiliki akses terhadap<br />

informasi dan dokumen-dokumen yang memang dibutuhkan sehingga mereka tahu<br />

permasalahan itu. Jadi Pemda tidak menutup-nutupi informasi, tiba-tiba saja kata<br />

yang tadi di seminar yang lebih awal tadi.<br />

Tadi ada yang bertanya mengenai perda yang tiba-tiba ada, sekonyong-konyong<br />

ada. Karena ada proses menutupi informasi jadi tidak transparant, jadi lebih baik<br />

dilibatkan dari awal. Masalah waktu bagaimana kita membuat schedule atau<br />

bagaimana rancangan desain sebuah <strong>Perda</strong> itu disusun karena kalau kita buruburu,<br />

waktu mepet-mepet, biasa kalau kita ujian mepet-mepet kan kadang-kadang,<br />

iya kalau ngerti – kalau tidak ngerti! Mengatur masyarakat satu daerah itu tidak<br />

main-main, harus ada planning. Masalahnya kita harus membenahi sistem, jadi<br />

kita tidak membicarakan case yang sudah terjadi, tetapi bagaimana ke depan<br />

supaya sistem itu menjadi lebih baik. Mengenai Bapak Fernandez, memang<br />

317


ada aspek-aspek, otoritik, income generating, mengenai suatu <strong>Perda</strong> ada unsur itu.<br />

Tetapi yang perlu kita tekankan di sini adalah bahwa prinsip-prinsip di dalam<br />

menyusun <strong>Perda</strong> itu harus melalui suatu pemahaman kondisi, realitas, terus fungsi<br />

<strong>Perda</strong> itu jelas, untuk apa <strong>Perda</strong> itu dibuat, indikatornya apa, untuk mengukur<br />

keberhasilannya. Karena kita kadang-kadang yang penting ada aturan, tetapi<br />

tidak tahu bagaimana mereview keberhasilan sebuah aturan. Justru di situ<br />

kelemahan kita. Kita tidak berani direview, kenapa? Karena kita takut, karena<br />

kita merumuskannya tidak benar. Coba kita orang yang benar, berarti kita berani<br />

direview, indikatornya apa? Berarti kalau kita berani, berarti bagus indikatorindikatornya.<br />

Karena apa? Kalau sesuatu tanpa indikator, sangat grey-area,<br />

sangat mudah dipermainkan mengenai performance dari sebuah perda. Apakah<br />

dia ada pandangan publik dalam setiap setahun sekali atau LSM memberikan<br />

suatu pendapat jadi ada satu penilaian-penilaian yang diukur. Artinya, bentuknya<br />

apapun dirumuskan nanti.<br />

Mengenai Mas Ajazi dari Yayasan Kita, memang spesifik lokal harus ada, saya<br />

setuju, tetapi di dalam makalah ini saya sebutkan ada ketentuan-ketentuan umum<br />

yang sifatnya baku dan ada yang ketentuan khusus mungkin buat teman kita<br />

misalnya yang dari Timur, ada ketentuan lokal itu menjadi ketentuan tambahan,<br />

tapi ada ketentuan dasar yang mungkin Bab 1 sampai Bab 3 itu sama, prinsipil<br />

sifatnya. Ketentuan mengarahkan bagaimana dia ke depan. Jadi, setiap undangundang<br />

berbeda-beda isinya. Ada yang menghukum saja semua isinya, dari 5<br />

(lima) itu 4 (empat) menghukum, 1 (satu) memberikan solusi. Jadi, sebenarnya<br />

pemikiran itu ada dimana? Ada kadang-kadang orang yang perduli terhadap<br />

masyarakat memberi solusi dia – kalau tidak peduli, dia sikat saja. Ini kayaknya<br />

sampah harus dipotong saja, tidak usah hidup! Dia harus dihukum! Muncul di<br />

jalanan, tangkap! Jadi, ini kita bukan militer tapi kita mengelola sumberdaya.<br />

Karena Pemkot adalah mengelola/resource (manusia itu resource). Kalau dia mau<br />

kita kelola, kita mau dia dianggap tidak baik, kita harus beri jalan, kemana, mau<br />

ngapain dia, harus diberi dia solusi, dibina, tugas Depsos, tidak ada peran Depsos<br />

maupun apa disini tidak ada didalam <strong>Perda</strong>. Bisa lihat di <strong>Perda</strong> On-line, nanti klik<br />

saja www.perda-online lihat disitu <strong>Perda</strong>nya nanti pasti tidak ketemu peran LSM.<br />

Ada Dinas Sosial yang ada cuma di Lahat sama di Kupang, yang lain itu tidak ada.<br />

Bagaimana alternatif solusi, tidak ada. Semuanya fungsi penyidik, penangkapan,<br />

ciri-ciri orang yang dicurigai sama aturan peralihan itu saja isinya sebuah <strong>Perda</strong>,<br />

tidak ada. Bagaimana memperlakukan warga secara resource. Sebagai resource<br />

itu tidak ada didalam <strong>Perda</strong>, itu yang sangat disayangkan.<br />

Kemudian mengenai bagaimana hukum didalam UU No. 22/1999 pasal-71 itu,<br />

hukuman tertinggi adalah 6-bulan denda 5-juta. Apabila kita cermati di pasal ini di<br />

indikator Lampiran-1, ini lucu lagi. Kalau di Kupang 6-bulan tapi 6-juta – berbeda.<br />

Ada yang di Tangerang 3-bulan / 15-juta, kalau dari IndRhamayu 6-bulan / 6-juta,<br />

kalau dari Lampung 6-bulan / 6-juta. Kalau yang dari Lahat < 3-bulan / > 6-bulan<br />

denda < 2,5-juta / > 5-juta, jadi pakai range kalau di Lahat. Tapi kalau di Depok<br />

Raperda yang kemarin saya baca itu 3-bulan / 30 juta. Bagaimana sih,<br />

318


nentuin hukuman? Ini sebenarnya terkait dengan definisi dari fakta faktor kriminal,<br />

kalau mereka dianggap sebagai hal kriminal, kita bisa mengklasifikasikan aktifitas.<br />

Saya bukan orang hukum, saya orang perencanaan tapi saya melihat dari proses.<br />

Kalau kita sering lihat tindak pidana ringan kalau kita sering nonton TV biasanya<br />

ada orang yang memang kalau narkoba itu ada pemakai lebih ringan daripada<br />

pengedar. Jadi, kita melihat daripada tingkat fungsi dia didalam tingkat kejahatan<br />

itu. Misalnya dia adalah action, dia yang menjual dirinya mungkin tindak pidana<br />

ringan 1-minggu misalnya. Kenyataan juga di lapangan ini tidak 6-bulan yang<br />

ditangkapin di Glodok itu yang kita tonton, paling 1-minggu di Depsos, pulangin<br />

lagi! Tindak pidana ringan istilahnya. Tapi kalau kita pakai proses, berarti kalau<br />

dia action lebih kecil daripada dia memperdagangkan dan merencanakan, lebih<br />

tinggi lagi kalau dia mengawasi dan meng<strong>org</strong>anize. Jadi, kita lihat dari klasifikasi<br />

itu saja. Mengenai klasifikasi hukum, kalau dia action berarti dia butuh masalah<br />

perut, atau masalah memang dia hobby, kita kasih hukumannya lebih. Tapi kalau<br />

dia ikut memperdagangkan, merencanakan itu mungkin substansinya lebih berat.<br />

Kalau dia meng<strong>org</strong>anize, mengawasi itu lebih orang yang mengawasi melakukan<br />

tindakan itu juga lebih berat lagi karena dia tahu tapi dia juga melakukan. Mungkin<br />

mengklasifikasikan bisa begitu ya Mas Ajazi yang dari Yayasan Kita karena saya<br />

bukan orang hukum. Karena ini pun <strong>Perda</strong> ini disusun oleh orang hukum, tidak<br />

ada yang sama, bagaimana? Orang hukum itu bisa berbeda kepala terus. Ada<br />

yang menganggap 6-bulan itu bagus, ada yang 3-bulan, cukup. Mungkin di daerah<br />

Timur, mungkin di daerah Lahat itu 2,5-bulan orang sudah cukup capek dipenjara.<br />

Kalau di Kupang mungkin 6-bulan belum cukup capek. Jadi, tergantung persepsi<br />

lokal, saya juga tidak tahu. Mohon maaf ini bukan menyinggung daerahnya, tapi<br />

ini mungkin persepsinya. Saya tidak bisa mengatakan itu, apa itu dasarnya ini<br />

6-bulan, tapi yang saya lihat mungkin ini faktor “warning” nya. Ini hanyalah: eh,<br />

kalian berbahaya lho? Bisa denda sekian, kenyataannya paling 3-hari – seminggulah<br />

menurut berita yang di TV.<br />

4.<br />

Caroline<br />

Menurut saya apabila memang masyarakatnya lebih cocok berbelanja di pasar<br />

tradisional, mereka akan memilih pasar tradisional itu walaupun nanti akan hadir<br />

pasar modern dan itu merupakan kecenderungan globalisasi tapi pada akhirnya<br />

preferensi orang berbelanja itu akan sangat ditentukan oleh orang per orang. Dia<br />

akan memilih berbelanja dimana akan sangat ditentukan oleh banyak indikator.<br />

Misalnya dia melihat disana ada orang yang saya kenal, sehingga dia lebih nyaman.<br />

Mungkin pemaknaan nyaman sendiri juga bisa berbeda-beda. Orang kota misalnya<br />

nyaman berbelanja ditempat yang bersih, harum, ber-AC, tapi kalau masyarakatmasyarakat<br />

yang tradisional mungkin akan merasa nyaman kalau misalnya<br />

berbelanja ditempat yang luas, barang-barang terlihat jelas semua, sehingga ada<br />

ikatan batin. Jadi, itu sangat tergantung pada preferensi, mereka kan memilih<br />

berbelanja dimana.<br />

319


Tetapi tentu saja untuk menghadapi nanti kehadiran pasar modern, betul bahwa<br />

pemerintah khususnya Pemda harus lebih berperan sebagai fasilitator sehingga dia<br />

bisa membantu memberdayakan, baik memberdayakan masyarakatnya maupun<br />

memberdayakan pelaku usahanya (pedagangnya). Artinya, dari sisi masyarakat<br />

pun disiapkan, dikenalkan bahwa nantinya akan ada perubahan seperti ini.<br />

Kemudian mereka juga disiapkan bagaimana mengantisipasi perubahan tersebut.<br />

Memperhitungkan misalnya daya beli dengan kecenderungan yang berkembang<br />

sekarang. Karena berbelanja di pasar modern itu sekarang bukan hanya sekedar<br />

semata-mata untuk belanja tetapi juga untuk gaya hidup. Nah ini juga adalah<br />

suatu aspek sosial, aspek budaya, yang perlu dikelola nanti oleh Pemda bahwa<br />

berbelanja itu ada aspek sosial, ada aspek ekonomi, itu perlu dikelola juga oleh<br />

Pemda. Kemudian Pemda juga perlu memberdayakan pelaku usahanya/pelaku<br />

pasar itu sendiri baik itu pasar modern atau pasar tradisional. Pasar tradisional<br />

mungkin nanti perlu diperkenalkan ini ada konsep-konsep/model-model pengelolaan<br />

yang bisa lebih meningkatkan daya saing mereka. Misalnya bagaimana membuat<br />

kemasan produk yang dijual itu sehingga lebih menarik. Bagaimana misalnya<br />

memelihara kebersihan di tempat tersebut sehingga itu akan banyak mempengaruhi<br />

daya saing sehingga orang tidak beralih.<br />

5.<br />

Moderator<br />

Terima kasih, saya kira waktu jua yang harus menghentikan diskusi kita. Semuanya<br />

akan kami rangkum dan nanti akan jadi masukan untuk lokakarya besok pagi. Jadi<br />

buat yang berminat tolong sekali lagi untuk mengembalikan lembar konfirmasi<br />

untuk besok di depan pintu. Untuk itu mari kita applause untuk pembicara berdua.<br />

Terimakasih banyak pak Rhama Wijaya, Ibu Karoline Paskarina dan Bapak Dede<br />

Mariana atas presentasinya yang cukup bagus. Semoga ini akan menjadi masukan<br />

lokakarya kita besok dan akan membuahkan satu rekomendasi apakah itu untuk<br />

Pemerintah Pusat maupun Pemda dan mungkin akan kita kumpulkan juga<br />

sebagai satu Kumpulan Best Practices yang bisa di replikasikan pada pemerintahpemerintah<br />

daerah lainnya. Untuk itu atas nama Yayasan Inovasi Pemerintah<br />

Daerah (YIPD), saya mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan sebesarbesarnya<br />

kepada para hadirin peserta diskusi sore ini. Kemudian saya persilahkan<br />

untuk rehat kopi dibawah, sambil melihat demo database <strong>Perda</strong> On-line di bawah,<br />

terima kasih, Ass. Wr. Wb., Salam Sejahtera.<br />

320


BAB 5<br />

<strong>Perda</strong> Online<br />

321


Gambar 1<br />

CD <strong>Perda</strong>Online berisi program database berbasis teknologi web. Program ini bisa<br />

dipasang di server dengan koneksi internet maupun di dalam komputer pribadi<br />

yang berdiri sendiri (PC stand-alone). Untuk kepentingan informasi di internet,<br />

program ini siap untuk di-online-kan sebagai situs yang berdiri sendiri atau<br />

sebagai bagian dari pengembangan situs lain, misalnya menambah fitur internet<br />

yang dikembangkan masing-masing pemda.<br />

Untuk penggunaan di luar internet, program ini bisa dipakai sebagai database<br />

di dalam intranet untuk kepentingan intern lembaga, atau kios informasi yang<br />

disediakan bagi masyarakat. Saat ini <strong>Perda</strong>Online diluncurkan dalam 2 (dua)<br />

versi. Versi pertama (dikemas dalam warna kuning border hitam) telah berisi<br />

2000an <strong>Perda</strong> dari 40 Kabupaten/ Kota di 15 Propinsi di Indonesia dengan <strong>Perda</strong><br />

Provinsi dari Provinsi Lampung dan Jawa Tengah, dan sedang dilakukan update<br />

terus menerus, dengan penambahan jumlah perda pemda propinsi serta beberapa<br />

kabupaten.<br />

Versi kedua (dikemas dalam warna putih) hanya berisi program tanpa isi sama<br />

sekali. Disediakan sebagai pilihan, bilamana pemda atau lembaga tertentu ingin<br />

mengembangkan secara mandiri database perda serta referensinya (tidak memuat<br />

perda dari daerah lain). Oleh karenanya, versi ini memberi keleluasaan bagi<br />

administrator pengelola program ini nanti, mulai dari penamaan wilayah sampai<br />

pada penentuan kategori-kategori database yang akan dihasilkan.<br />

Selebihnya versi kedua sama dengan versi pertama. Dokumen dalam program<br />

database <strong>Perda</strong>Online ini berformat text, sehingga sangat memudahkan pencarian,<br />

mengingat pengguna program tinggal memasukkan kata/frase apapun yang<br />

322


dikehendakinya. Bahkan untuk seri <strong>Perda</strong> Retribusi, Pajak serta Pembentukan<br />

Organisasi/Kelembagaan, program ini juga menyediakan ringkasan penting yang<br />

bisa dimunculkan dengan hanya mengklik tombol [detail] di dalam keterangan<br />

setiap perda tersebut.<br />

Fitur-fitur yang ada di <strong>Perda</strong>Online bagi pengguna:<br />

1. Mesin Pencarian (<strong>Perda</strong> Search Engine), dengan berbagai tipe:<br />

• Pencarian dengan sembarang kata<br />

• Pencarian berdasarkan kategori<br />

• Pencarian berstruktur/lebih detil<br />

• Pencarian di dalam hasil pencarian (pencarian berlanjut)<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Pengurutan hasil pencarian berdasarkan Tahun, Nomor, atau Judul <strong>Perda</strong><br />

Referensi peraturan perundangan berkenaan dengan pemerintahan daerah<br />

dan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance)<br />

Download perda<br />

Print perda<br />

Alamat akses standar: http://localhost<br />

Gambar 2<br />

Gambar 3<br />

Fitur-fitur yang ada di <strong>Perda</strong>Online bagi Administrator:<br />

1. Otomasi program dengan content management system (CMS), dan juga berbasis<br />

teknologi web, sehingga bisa dilakukan di semua komputer yang terhubung<br />

dalam jaringan (local area network/internet) dan oleh banyak orang dalam<br />

waktu bersamaan<br />

2. Berbagi akses pemasok data dengan membuat user access control, sehingga<br />

entri data menjadi lebih aman<br />

3. Input <strong>Perda</strong> atau Referensi dengan kemudahan sebagaimana pengisian satu<br />

formulir sederhana (semua field telah disediakan)<br />

323


4.<br />

5.<br />

Tanpa perlu menuliskan kata kunci pencarian (keyword)<br />

Khusus versi kedua/kosong:<br />

• Memberi nama berdasarkan wilayah (Propinsi/Kabupaten/Kota) yang<br />

bersangkutan<br />

• Bebas menentukan kategori yang ingin ditampilkan di muka sesuai<br />

kebutuhan yang bersangkutan<br />

Alamat akses standar : http://localhost/cms<br />

User Name<br />

: admin<br />

Password:<br />

admin<br />

324


BAB 6<br />

Hasil Rekomendasi<br />

Sesi lokakarya pada kegiatan ini dibagi menjadi tiga kelompok diskusi, membahas<br />

tiga tema yang berbeda, yaitu Penyusunan dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong>; <strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong><br />

<strong>Publik</strong>: Kesehatan, Ketenagakerjaan dan SDA; dan Evaluasi dan Analisis Kebijakan:<br />

Menuju <strong>Perda</strong> yang Partisipatif dan Komprehensif.<br />

Tujuan lokakarya ini adalah menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada<br />

pemerintah terkait baik tingkat pusat maupun daerah serta masyarakat mengenai isu<br />

seperti yang tersebut pada tema diatas.<br />

Hasil yang diharapkan dari lokakarya ini adalah rekomendasi bagi pemerintah dalam<br />

upaya meningkatkan kualitas dan fungsi <strong>Perda</strong> dalam pencapaian tujuan otonomi<br />

daerah.<br />

325


Diskusi 1 :<br />

Penyusunan dan <strong>Implementasi</strong> <strong>Perda</strong><br />

Berikut ini hasil rekomendasi pada diskusi kelompok 1 :<br />

No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />

1. Perencanaan Kesulitan dalam merencanakan produk<br />

legislasi di daerah, dalam pengertian bahwa<br />

bagaimana menentukan agenda perda yang<br />

akan dibahas dalam satu waktu tertentu<br />

dalam hal ini pada rencana kerja tahunan,<br />

kemudian juga menentukan prioritasprioritas<br />

dari isu-isu di dalam kebijakan itu<br />

Perlu adanya suatu pedoman<br />

yang bisa dipakai oleh<br />

DPRD, pemda, bahkan juga<br />

masyarakat untuk bisa<br />

memberikan masukanmasukan<br />

agenda perda apa<br />

yang akan dibahas pada satu<br />

tahun yang berjalan<br />

2. Penyusunan Metodologi penyusunan perda yang<br />

baik. Selama ini metodologi yang dipakai<br />

dikebanyakan daerah masih menggunakan<br />

metodologi yang sangat konvensional<br />

bahkan diantaranya tidak melalui naskah<br />

akademik<br />

Belum melibatkan semua stakeholder.<br />

banyak kelompok-kelompok yang<br />

termarginalkan karena tidak ikut didalam<br />

proses-proses pembahasan perda<br />

Pasal partisipasi harus<br />

dimasukan pada seluruh level<br />

peraturan perundangan, baik<br />

di tingkat nasional misalnya<br />

contoh UU 10/2004 tentang<br />

pembentukan peraturan<br />

perundang-undangan, maupun<br />

peraturan perundangan di level<br />

daerah atau mengenai pemda<br />

seperti UU 32/2004.<br />

Harus ada political will dan<br />

action dari DPRD dan Pemda<br />

untuk mengakomodir sisi<br />

partisipasi masyarakat dan<br />

kepentingan masyarakat<br />

Kapasitas masyarakatnya dalam memahami<br />

persoalan yang diperdakan.<br />

Pengembangan kapasitas<br />

masyarakat pemerintah dan<br />

DPRD itu menjadi hal yang<br />

sangat penting dalam rangka<br />

menjamin bagaimana aspirasi<br />

masyarakat pada akhirnya itu<br />

bisa dirumuskan dalam bentuk<br />

norma kebijakan<br />

326


No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />

Kapasitas DPRD dalam merumuskan<br />

kebijakan yang berpihak pada masyarakat.<br />

Karena merumuskan aspirasi masyarakat<br />

yang demikian banyak itu juga bukan<br />

persoalan mudah, bisa juga terjadi reduksi<br />

pembiasan dsbnya<br />

Harus dijamin adanya<br />

mekanisme komplain dari<br />

stakeholder, supaya masukanmasukan<br />

yang sudah diberikan<br />

pada tahap awal penyusunan<br />

perda itu tidak kemudian<br />

dihilangkan/ dipotong karena<br />

masyarakat bisa mengecek<br />

apakah masukan saya itu<br />

betul-betul diakomodasi atau<br />

tidak<br />

Kemudian juga berkaitan dengan<br />

mekanisme ini ada persoalan, secara<br />

impiris, mekanisme ini hanya dipakai<br />

sebagai hiasan saja legitimasi seolah-olah<br />

kalau secara prosedur itu sudah berjalan<br />

berarti sudah tidak ada persoalan dengan<br />

proses pembuatan perda padahal ternyata<br />

itu hanya pada tingkatan proses saja,<br />

namun secara substansi tetap saja aspirasi<br />

masyarakat itu tidak bisa diakomodir<br />

didalam kebijakan yang ada, sehingga<br />

disebut sebagai jebakan mekanisme<br />

Dalam prosedur partisipasi<br />

masyarakat harus didahului<br />

analisis stakeholder. Jadi kalau<br />

membahas suatu kebijakan<br />

stakeholder yang dilibatkan<br />

itu betul-betul stakeholder<br />

yang berkepentingan dengan<br />

kebijakan itu bukan sebaliknya<br />

yang tidak berkepentingan<br />

malah dilibatkan<br />

327


Diskusi 2 :<br />

<strong>Perda</strong> <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong><br />

Berikut ini hasil rekomendasi umum pada diskusi kelompok 2:<br />

1. <strong>Perda</strong> dibuat jangan hanya menjadi produk hukum, dengan melalui proses<br />

manajemen yang partisipatif dan jelas<br />

2. <strong>Perda</strong> tidak hanya berorientasi pada ekonomi tapi pada peningkatan pelayanan<br />

publik<br />

3. Pembuatan perda harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat<br />

4. <strong>Perda</strong> dibuat untuk menyelesaikan masalah publik bukan membuat/menambah<br />

masalah publik baru<br />

Sedangkan rekomendasi per sub tema terlihat pada tabel di bawah ini :<br />

No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />

1. Kesehatan Sosialisasi perda bagi keluarga miskin<br />

kurang<br />

Materi <strong>Perda</strong> lebih berorientasi pada<br />

retribusi dibanding dengan peningkatan<br />

pelayanan<br />

Alokasi anggaran kesehatan masih rendah<br />

Kebijakan daerah tidak sinkron dengan<br />

kebijakan pusat<br />

Belum ada yang mengatur system<br />

kesehatan daerah<br />

Partisipasi masyarakat dalam penyusunan<br />

perda rendah<br />

Akses masyarakat terhadap layanan<br />

kesehatan minim<br />

Belum ada perda yang mangatur insentif<br />

pada swasta untuk berperan di bidang<br />

kesehatan<br />

Dalam kebijakan Pemda<br />

harus berorientasi kepada<br />

pencegahan dan bukan<br />

pengobatan<br />

Mengalokasikan anggaran di<br />

bidang kesehatan yang lebih<br />

besar<br />

<strong>Perda</strong> harus aspiratif seuai<br />

kehendak masyarakat<br />

Disusun SPM untuk pelayanan<br />

kesehatan<br />

Hak-hak masyarakat secara<br />

jelas disebutkan dalam <strong>Perda</strong><br />

<strong>Pelayanan</strong> kesehatan harus<br />

meliputi fisik dan psikis<br />

<strong>Perda</strong> jangan tumpang tindih<br />

dan selaras dengan produk<br />

hukum lainnya<br />

Fungsi simpul pelayanan<br />

kesehatan di tingkat RTRW<br />

harus ditingkatkan<br />

Perlu kebijakan mengenai<br />

asuransi kesehatan bagi<br />

seluruh warga, yang tidak<br />

mampu dibiayai pemerintah<br />

328


No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />

2. Tenaga Kerja RPJMD belum memiliki visi yang jelas dalam<br />

pembangunan sumber tenaga kerja<br />

Ada mekanisme partisipatif<br />

masyarakat dalam<br />

penyusunan perda<br />

<strong>Perda</strong> Naker yang ada masih berpihak<br />

pada pengusaha<br />

Membuat <strong>Perda</strong><br />

ketenagakerjaan yang dapat<br />

memfasilitasi kepentingan<br />

pemerintah, pengusaha dan<br />

buruh<br />

Kebijakan UMR belum mampu memberikan<br />

kehidupan yang layak bagi tenaga kerja<br />

<strong>Perda</strong> belum mengatur pembinaan sektor<br />

informal<br />

Penegakan hukum yang lebih<br />

jelas<br />

Jaminan sosial tenaga kerja<br />

harus layak<br />

Swasta memperlakukan<br />

karyawan sebagai mitra yang<br />

egaliter<br />

Ada klausa dalam <strong>Perda</strong><br />

berupa sanksi bagi pengusaha<br />

yang melanggar hak2 pekerja,<br />

disertai penegakannya<br />

Perlu dibuat kebijakan<br />

pemerintah mengenai<br />

insentif bagi pengusaha<br />

yang memberikan asuransi<br />

tunjangan dan training bagi<br />

peserta<br />

Perlu dibuat perda yang<br />

memuat perlindungan pekerja<br />

<strong>Pelayanan</strong> kesehatan harus<br />

meliputi fisik dan psikis<br />

329


No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />

3. Sumber Daya Alam <strong>Perda</strong> belum mencerminkan proses<br />

konservasi SDA yang lestari<br />

Mencantumkan kewajiban<br />

pemungut untuk<br />

melaksanakan konservasi<br />

Kebijakan pemerintah tentang<br />

SDA berorientasi laba, sehingga<br />

menguntungkan pengusaha dan<br />

merugikan masyarakat, kebijakan<br />

eksploitatif<br />

Memberikan kesempatan<br />

kepada masyarakat untuk<br />

melakukan pemantauan<br />

Aspirasi kelompok masyarakat belum<br />

terakomodasi secara memadai<br />

Swasta tidak terlalu<br />

mengutamakan kepentingan<br />

ekonomi<br />

Apresiasi stakeholder terhadap kelestarian<br />

SDA rendah<br />

Perlu sosialisasi dan<br />

penegakan <strong>Perda</strong> mengenai<br />

pengendalian dan<br />

perlindungan lingkungan<br />

Perlu peraturan tentang pengendalian<br />

pencemaran lingkungan<br />

Sosialisasi perda kurang sehingga<br />

substansi tidak banyak diketahui<br />

masyarakat<br />

<strong>Perda</strong> mengatur reklamasi pertambangan<br />

belum banyak<br />

Pengakuan hukum dalam implementasi<br />

perda tidak didukung secara politis<br />

330


Diskusi Kelompok 3 :<br />

Evaluasi & Analisis Kebijakan: Menuju <strong>Perda</strong> yang<br />

Partisipatif & Komprehensif<br />

Dalam evaluasi dan analisis kebijakan, khususnya untuk menuju <strong>Perda</strong> yang<br />

partisipatif dan komprehensif, terlibat semua stakeholder mulai dari DPRD,<br />

Pemda, LSM, Akademisi, dan Dunia Usaha. Masing-masing pihak memiliki peran<br />

berbeda, seperti yang terlihat pada tabel berikut :<br />

DPRD PEMDA LSM AKADEMISI DUNIA USAHA<br />

Mencari<br />

masukan dari<br />

berbagai media,<br />

masyarakat<br />

Meminta<br />

penjelasan ke<br />

Pemda<br />

Inisiatif menerima<br />

evaluasi <strong>Perda</strong><br />

bermasalah dan<br />

memberatkan<br />

masyarakat<br />

Membuka<br />

kesempatan ruang<br />

publik<br />

Membangun<br />

komitmen dan<br />

koordinasi dengan<br />

stakeholder<br />

Tindak lanjut dan<br />

masukan<br />

Sosialisasi dan<br />

evaluasi<br />

Fasilitasi<br />

pertemuan<br />

stakeholder<br />

Mengecek<br />

ke lapangan<br />

– klarifikasi<br />

Mewakili masyarakat<br />

tertentu<br />

– pemberdayaan<br />

masyarakat<br />

Koordinasi dan<br />

Fasilitator aspirasi<br />

Advokasi<br />

Akses masyarakat<br />

terhadap layanan<br />

kesehatan minim<br />

Belum ada perda<br />

yang mangatur<br />

insentif pada swasta<br />

untuk berperan di<br />

bidang kesehatan<br />

Naskah Akademik<br />

– sosiologis, filosofis,<br />

juridis teknis dan<br />

outcome<br />

Fungsi simpul<br />

pelayanan kesehatan<br />

di tingkat RTRW harus<br />

ditingkatkan<br />

Perlu kebijakan<br />

mengenai asuransi<br />

kesehatan bagi<br />

seluruh warga, yang<br />

tidak mampu dibiayai<br />

pemerintah<br />

Menimbang untung<br />

rugi – pajak, dll<br />

Objektif<br />

Peran pers<br />

– pengawasan dan<br />

monitoring<br />

331


Sedangkan evaluasi dan analisis kebijakan, khususnya menuju <strong>Perda</strong> yang<br />

partisipatif dan komprehensif dapat dilihat dari sisi proses, substansi dan<br />

implementasi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :<br />

No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />

1. Proses Kurang partisipatif – stakeholders Ada sistem menjamin<br />

partisipasi publik<br />

Elitis – dominasi parpol dan pemda<br />

Inisiatif dari Pemda<br />

Diskriminatif<br />

pendapatan – cepat, pelayanan publik<br />

– lambat<br />

Konsistensi terhadap waktu<br />

Kesadaran politik masyarakat – pasif<br />

Pemda – Dinas terlalu ditonjolkan<br />

Masyarakat – tidak ada sistem<br />

partisipasi<br />

Tidak ada PROLEGDA<br />

Pemberdayaan masyarakat<br />

untuk partisipatif<br />

DPRD meningkatkan<br />

kemampuan<br />

Lembaga seperti BALEG untuk<br />

menelaah perda<br />

Pemda kadang tidak realistis<br />

dalam membuat <strong>Perda</strong><br />

2. Substansi Bertentangan dengan peraturan di<br />

atasnya<br />

Definisi KETENTUAN UMUM tidak<br />

aplikatif<br />

cenderung untuk copy paste<br />

– kurangnya pengertian<br />

Tidak implementatif<br />

Substansi kadang jadi pemicu konflik<br />

Kurang visioner<br />

Tidak mengabaikan hirarki<br />

perundang-undangan<br />

Kejelasan akan kata – kata,<br />

supaya tidak salah tafsir<br />

Buat standarisasi<br />

Tidak ada standar struktur pokok<br />

Terlalu banyak <strong>Perda</strong> tentang retribusi<br />

/ pungutan<br />

Tidak lengkap<br />

Menimbulkan distorsi / biaya ekonomi<br />

tinggi<br />

332


No. Indikator Masalah Solusi/Rekomendasi<br />

3. <strong>Implementasi</strong> Kurang sosialisasi Tingkatkan sosialisasi<br />

Kurang pengawasan<br />

Ada mekanisme pengawasan<br />

Tidak konsisten dalam pelaksanaan<br />

– pungli<br />

Sanksi yang jelas bagi aparat<br />

Banyak SK Walikota/Bupati yang<br />

bertentangan dengan <strong>Perda</strong><br />

<strong>Perda</strong> bermasalah harus<br />

segera dicabut dan tidak<br />

dilaksanakan<br />

Gap/perbedaan antara pembuat dan<br />

pelaksanaan dan yang diatur<br />

<strong>Perda</strong> bermasalah mengganggu<br />

sistem hukum nasional<br />

333


334<br />

Biodata Penulis


Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Utama<br />

1.<br />

Stefan Nachuk, Senior Poverty Specialist Bank Dunia Jakarta<br />

Stefan Nachuk, Sarjana (B.S.) dalam bidang Hubungan Kerja (Buruh) dan Industrial<br />

dari School of Industrial and Labor Relations, Cornell University, Ithaca, New<br />

York pada tahun 1985, meraih gelar Master of Arts (M.A.) dalam bidang hubungan<br />

internasional dengan konsentrasi pada Perubahan Sosial dan Pembangunan dan<br />

Ekonomi Internasional dari The Johns Hopkins University, The Paul H. Nitze School<br />

of Advanced International Studies (SAIS), Washington D.C. pada tahun 1993.<br />

Memiliki pengalaman lebih dari 14 tahun bekerja dalam bidang kebijakan publik,<br />

pembangunan, manajemen strategis, kepemimpinan, baik sebagai peneliti,<br />

konsultan, manajemen program/proyek maupun advisor di berbagai negara seperti<br />

Indonesia, Vietnam, Thailand, Bangladesh, Senegal dan Afrika Selatan. Ahli<br />

dalam bidang governance, analisis kelembagaan, program-program pemberantasan<br />

kemiskinan, keuangan mikro, pendidikan dasar dan menengah, transportasi<br />

perdesaan, hak anak, bidang usaha off-farm, penyediaan jasa, pertanian dan<br />

kehutanan serta capacity building.<br />

Lebih dari enam tahun bekerja di Vietnam dengan Oxfam Belgique sebagai Team<br />

Leader PRA, Savings Programme Advisor, dan Acting Country Representative &<br />

Program Coordinator, serta dengan sebagai konsultan dengan berbagai lembaga<br />

internasional seperti FAO, UNDP, ADB, Novib dan Oxfam Great Britain, UNICEF,<br />

World Bank, Ford Foundation, DFID, ActionAid di Vietnam, Thailand dan Kanada.<br />

Bekerja di Indonesia sejak tahun 2003 sebagai Konsultan governance dengan DFID<br />

dan World Bank, CARE, SIDA, dan menjabat sebagai Senior Poverty Specialist di<br />

Kantor Bank Dunia Jakarta sejak Agustus 2003. Aktif menulis berbagai publikasi<br />

baik dalam bentuk buku, artikel, makalah atau publikasi terbatas di berbagai<br />

lembaga internasional sejak tahun 1991, diantaranya Making Services Work for the<br />

Poor Case Studies: Nine Case Studies on Local Best Practice, World Bank, Jakarta.<br />

Memiliki kemampuan berbahasa Indonesia, Vietnam, Perancis (intermediate) dan<br />

Pulaar (basic).<br />

Kontak:<br />

Stefan Nachuk<br />

Senior Poverty Specialist<br />

Kantor Bank Dunia Jakarta<br />

BEJ Tower 2, Lt. 12<br />

Jl. Jend Sudirman Kav 52-53 Jakarta<br />

Phone: 021-52993000<br />

e-mail: snachuk@worldbank.<strong>org</strong>, Stefan_nachuk@hotmail.com<br />

335


2.<br />

Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D., Staf Pengajar di Fakultas Ilmu<br />

Sosial dan Politik Departemen Administrasi <strong>Publik</strong> dan Direktur<br />

Program Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi di Universitas<br />

Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta<br />

Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D., Sarjana dalam bidang Administrasi <strong>Publik</strong><br />

dari FISIP UGM tahun 1989, diploma dalam bidang Administrasi meraih gelar<br />

Master (MDA) dalam bidang Administrasi Pembangunan dari Australian National<br />

University (ANU), Canberra, Australia tahun 1997 dan Ph.D. dalam bidang<br />

kebijakan dan governance dari Asia Pasific School of Economics and Government,<br />

ANU, Australia tahun 2005.<br />

Direktur Program Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi sejak tahun 2006<br />

dan Peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM, Deputi Direktur<br />

Program Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi tahun 2005-2006, Staf Pengajar<br />

Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi UGM (1997-2001), Sekretaris Program<br />

Departemen Administrasi <strong>Publik</strong> UGM (1999-2000), Asisten Akademis Program<br />

Master Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Administrasi UGM (1993-1997), Staf Pengajar di<br />

Departemen Administrasi <strong>Publik</strong> UGM (1991-2001), Peneliti di Lembaga Studi<br />

Pembangunan, LSM, Jakarta (1990-1991), Pelatih dan peneliti di Lembaga<br />

Pendidikan, Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, LSM, Jakarta (1989-<br />

1991).<br />

Aktif menjadi pelatih dalam bidang kebijakan publik di berbagai lembaga sejak<br />

tahun 1989. Menjadi peneliti dan konsultan dalam bidang governance dan<br />

desentralisasi sejak tahun 1987. Menulis berbagai publikasi dan paper di berbagai<br />

jurnal serta artikel di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan Republika pada tahun<br />

2002 dan 2005.<br />

Kontak:<br />

Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D.<br />

Jurusan Administrasi <strong>Publik</strong><br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada<br />

Yogyakarta<br />

Telp. 0274 - 563362<br />

e-mail: agus_pramuinto@map.ugm.ac.id, guspram2001@yahoo.com<br />

e-mail: snachuk@worldbank.<strong>org</strong>, Stefan_nachuk@hotmail.com<br />

336


3.<br />

Enny Nurbaningsih, SH, MM, Staf Pengajar Universitas Gadjah Mada<br />

(UGM) Yogyakarta dan Tim Peneliti KrisiS Semarang, Unila Lampung<br />

dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor - World<br />

Bank.<br />

Enny Nurbaningsih, SH, MM, meraih gelar master dalam bidang Hukum Tata<br />

Negara dari Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, dan sarjana hukum dari<br />

Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.<br />

Staf Pengajar di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta dan Tim Peneliti KrisiS<br />

Semarang, Universitas Lampung dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice<br />

for the Poor – World Bank. Memiliki pengalaman intensif penelitian dalam<br />

bidang hukum dan perundang-undangan dalam lima tahun terakhir yaitu<br />

Implikasi Legal dari Reposisi TNI dan Polri - Tim Fakultas Hukum UGM dan<br />

USAID (2001), Rekontruksi Legal Undang-undang Keadaan Darurat - Tim<br />

Fakultas Hukum UGM dan USAID (2002), Merancang perubahan undangundang<br />

dan revisi undang-undang keadaan darurat – USAID (2002), Sebuah studi<br />

mengenai Kajian Materi dan Status Hukum Keputusan MPRS dan MPR tahun<br />

1960 – 2002 Kerjasama antara Panitia Kerja PHA II MPR-RI dengan UGM (2003),<br />

Dampak <strong>Mengkaji</strong> Ketetapan MPR mengenai Reformasi Sektor Keamanan: sebuah<br />

penilaian hukum dan rekomendasi kebijakan) - Fakultas Hukum UGM dan USAID<br />

(2003), Keharmonisan Legislasi dalam bidang kehutanan - Kerjasama Departemen<br />

Kehutanan dan Program Magister Hukum UGM (2004), Tim Perencana untuk<br />

Draft Hukum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, MenPan - MAP<br />

UGM (2003-2004), Verifikasi Undang-undang Perijinan di Bidang Kehutanan<br />

- Kerjasama Departemen Kehutanan dan Program Magister Hukum UGM<br />

(2004) dan Implikasi Amendemen Konstitusi terhadap Rencana Undang-undang<br />

Pembangunan di Indonesia - Fakultas Hukum UGM dan Komisi Hukum Nasional<br />

(2005).<br />

Kontak:<br />

Enny Nurbaningsih, SH, MM<br />

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta<br />

Jl. Sosio Justitia No.1 Bulaksumur Yogyakarta<br />

08164265246<br />

enny@ugm.ac.id<br />

337


4.<br />

H.S Tisnanta, SH, MH, Tim Peneliti Krisis Semarang, Unila Lampung<br />

dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor - World<br />

Bank<br />

H.S Tisnanta, SH, MH, meraih gelar master (strata dua) dalam bidang hukum dari<br />

Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya pada tahun 1985 dan Sarjana Hukum<br />

dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang tahun 1998.<br />

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung (UNILA), dengan konsentrasi<br />

mata kuliah Hukum Administrasi, Hukum Ketenagakerjaan, Filsafat Hukum dan<br />

Etika Profesi Hukum dan Tim Peneliti KrisiS Semarang, Universitas Lampung<br />

dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor – World Bank. Aktif<br />

melakukan penelitian dalam bidang hukum dan kebijakan publik, beberapa<br />

diantaranya: Perspektif Gender dalam Pembentukan APBD Provinsi Lampung<br />

(2002), Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (The Asia Foundation 2002-<br />

2004), Kebijakan Kesehatan dalam Pelaksanaan Otda di Provinsi Lampung (PHP-<br />

Dinkes Lampung, 2002), dan Pembuatan Based Data <strong>Perda</strong> 36 Kabupaten/ Kota di<br />

15 Provinsi (The World Bank, 2004). Mengikuti berbagai pelatihan dalam bidang<br />

hukum di Surabaya. Jakarta dan Yogyakarta. Menulis karya ilmiah diantaranya:<br />

Money Politics dan kontroversi Pemilihan Gubernur Lampung 2003-2008 (Tifa<br />

2003), dan Meniti Partisipasi <strong>Publik</strong> (KBH Lampung-Ford Foundation, 2003).<br />

Anggota Lampung Parliament Watch dan Anggota Dewan Penasehat Serikat<br />

Pengacara Indonesia (SPI).<br />

Kontak:<br />

H.S Tisnanta, SH, MH<br />

Universitas Lampung<br />

Jl. Prof Sumantri Brojonegoro No. 1<br />

Gedungmeneng – Bandar Lampung<br />

08127953199<br />

338


Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 1<br />

1.<br />

HI Medi Botutihe, Walikota Gorontalo<br />

Kontak:<br />

HI Medi Botutihe<br />

Kantor Walikota Gorontalo<br />

Jl. Jend Ahmad Yani No. 3 Gorontalo,<br />

Telp. 0435-821001, Fax: 0435-830412<br />

2.<br />

Djoko Santoso Abi Suroso, Kepala Bappeda Kota Tarakan<br />

Djoko Santoso Abi Suroso, Sarjana Teknik Bidang Geologi dari Institut Teknologi<br />

Bandung tahun 1987, meraih gelar Master/Post Graduate Study in Development<br />

Studies dari University of Queensland, Australia tahun 1996 dan Ph.D. Research in<br />

Urban dan Regional Planning dari University of Queensland tahun 2000. Saat ini<br />

menjabat sebagai Kepala Bappeda Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur.<br />

Kontak:<br />

Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D<br />

Bappeda Kota Tarakan<br />

Telp/Fax: 0551 32004<br />

e-mail: dsurosobogor@yahoo.com<br />

3.<br />

Ari Nurman, Peneliti, Manajer Program dan Staf Perkumpulan<br />

INISIATIF, Bandung<br />

Ari Nurman, Sarjana Teknik (ST) dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung<br />

tahun 2001, meraih gelar Master of Science (M.Sc) dari Technische Universiteit Delft<br />

(TU Delft), Belanda, bidang Teknologi, Kebijakan dan Manajemen tahun 2004.<br />

Peneliti dan manajer program di Perkumpulan INISIATIF, sebuah LSM dalam<br />

bidang local governance, perencanaan dan kebijakan publik di Bandung, sejak<br />

tahun 2004. Menjadi staf pengajar paruh waktu di Departemen Perencanaan<br />

Wilayah dan Kota di Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung dan<br />

di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi dan Sains<br />

Bandung (ITSB) – Bandung sejak 2005. Peneliti di Indonesian Partnership on Local<br />

Governance Initiatives (IPGI) pada Februari 2001 – Agustus 2002.<br />

339


Aktif menjadi peneliti dan asisten teknis sejak masih kuliah di ITB Bandung (tahun<br />

1998) diantaranya membantu Badan Perencanaan Daerah dan DPRD Kabupaten<br />

Bandung dalam pembuatan RPJMD dan ikut serta dalam monitoring program<br />

Increasing Public Pressure to Promote Environmental Law Enforcement through<br />

Developing Coalition of Communities, di bawah EIDHR programme dari European<br />

Commission. Mendapatkan Beasiswa STUNED, Pusat Pendidikan Belanda (NEC)<br />

– Jakarta tahun 2002 – 2004 dan beasiswa supersemar tahun 1997-1999.<br />

Kontak:<br />

Ari Nurman, ST, M.Sc<br />

Perkumpulan INISIATIF<br />

Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264<br />

Telp. 08562383783<br />

e-mail: arinurman@yahoo.com<br />

4.<br />

Diding Sakri, Sarjana Teknik bidang Perencanaan Wilayah dan Kota<br />

Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung tahun 2001<br />

Direktur Eksekutif Perkumpulan INISIATIF, sebuah LSM di Bandung yang<br />

berfokus pada bidang local governance, perencanaan dan kebijakan publik sejak<br />

April 2005. Sebelumnya bekerja sebagai peneliti di IPGI (Indonesian Partnership<br />

on Local Governance Initiatives) Bandung (Januari 2001 – Maret 2005). Aktif<br />

melakukan penelitian, advokasi dan proyek-proyek konsultansi sejak tahun 2001,<br />

diantaranya untuk DPRD Kabupaten Bandung untuk membuat draft <strong>Perda</strong><br />

mengenai Perencanaan Partisipatif dan Anggaran di Kabupaten Bandung (Maret-<br />

April 2005), untuk Bapedda dan DPRD Kabupaten Bandung untuk membuat<br />

RPJMD, dan menjadi direktur proyek dari EIDHR Program Increasing Public<br />

Pressure to Promote Environmental Law Enforcement through Developing Coalition<br />

of Communities, dari European Commission (Des 2005 – Juni 2007). Menulis berbagai<br />

publikasi seperti buku dan artikel di antaranya dimuat di Harian Denpasar Pos.<br />

Meraih berbagai penghargaan (prestasi) diantaranya finalis National Policy Brief<br />

Competition in Indonesian Public Policy Forum (IPPF), join program PT Hickling<br />

dan Kedutaan Kanada (Agustus 2002), Beasiswa Depdiknas (1999/2000), Beasiswa<br />

Asosiasi alumni ITB (1998/1999), Beasiswa Supersemar (1997/1998), dan Beasiswa<br />

MPI (Indonesian Forestry Society) (1996/1997).<br />

Kontak:<br />

Diding Sakri, ST<br />

Perkumpulan INISIATIF<br />

(Institute for Innovation, Participatory Development & Governance)<br />

Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264<br />

Telp. 08156089840<br />

e-mail: diding@bdg.centrin.net.id<br />

340


5.<br />

Saeful Muluk, Staf Peneliti di Perkumpulan INISIATIF, Bandung<br />

Saeful Muluk, Sarjana Sosial dalam bidang Komunikasi dari Universitas<br />

Padjadjaran (UNPAD) Bandung tahun 2003.<br />

Staf Peneliti di Perkumpulan INISIATIF, Bandung sejak tahun 2005. Sebelumnya<br />

bekerja sebagai peneliti/konsultan untuk Water and Sanitation Program Unit Bank<br />

Dunia Jakarta (Feb – Mei 2005), Staf Asisten Teknis di Direktorat Perencanaan<br />

Ruang dan Manajemen Lahan - Bappenas, Jakarta untuk BKTRN (Mei 2004 – Feb<br />

2005), Regional Co-facilitator untuk proyek Bank Dunia ILGR (The Initiatives of<br />

Local Governance Reform Project) (Juni 2003-April 2004), Guru Bahasa Indonesia di<br />

sebuah SMU swasta di Bandung (April 2002-Mei 2003), dan staf teknis di Paramedia<br />

Komunikatama, Event Organizer (Jan – Des 2000). Melakukan penelitian sejak<br />

tahun 2003 di berbagai lembaga, diantaranya Participatory Poverty Analysis (2003)<br />

Bappenas – ILGR dan Study to Support Operationalization of Sector Policy Reform<br />

in Water Supply and Sanitation Sector through Local Government (2006).<br />

Kontak:<br />

Saeful Muluk, S.Sos<br />

Perkumpulan INISIATIF<br />

(Institute for Innovation, Participatory Development & Governance)<br />

Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264<br />

Telp. 08156028295<br />

e-mail: ipung0404@yahoo.com<br />

341


Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 2<br />

1.<br />

Absori, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah<br />

Surakarta<br />

Absori, meraih gelar Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang<br />

tahun 2006, S2 (Pascasarjana) Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro Semarang<br />

tahun 1998 dan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum UGM Yogyakarta tahun<br />

1989.<br />

Pengalaman penelitian pada tahun 2005-2006 diantaranya Kebijakan<br />

Pemberdayaan PKL di Perkotaan dengan Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus<br />

di Surakarta (2005) dan Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan dengan<br />

Pendekatan Partisipatif, Studi di Jawa Tengah (2006), Penelitian Hubah Bersaing<br />

Dirjen Dikti.<br />

Kontak:<br />

Dr. Absori, SH, Mhum<br />

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />

Telp. 0271-719483 ext 144, 42785, 08122639131<br />

e-mail: absory_06@plasa.com<br />

2.<br />

Nur Hidayat Sardini, Staf Pengajar FISIP Universitas Diponegoro<br />

(UNDIP) Semarang<br />

Nur Hidayat Sardini, meraih gelar S2 Jurusan Ilmu Politik Program Pasca Sarjana<br />

(PPS) Universitas Indonesia, Jakarta, tahun 2004 dan Sarjana Ilmu Pemerintahan<br />

FISIP UNDIP Semarang tahun 1996.<br />

Peneliti di Pusat Studi dan Pengkajian Masyarakat Eropa (PSPME) UNDIP (1998-<br />

2002), Seksi <strong>Pelayanan</strong> <strong>Publik</strong> pada Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan<br />

<strong>Publik</strong> (Puskodak) FISIP UNDIP (2000-2001), dan Koordinator Peneliti Sosial-<br />

Politik-Budaya pada Pusat Studi Peisisir dan Laut Tropis (PSPLT) Lemlit UNDIP<br />

(1999-2001). Aktif di berbagai kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)<br />

seperti Komite Peduli Pemilihan Gubernur (KP2G) Jawa Tengah dan Dewan Riset<br />

Daerah (DRD) Jawa Tengah tahun 2003, menjadi Direktur Institute for Social and<br />

Ethics Studies (ISES) tahun 1998-2003, Anggota Local Legislative Watch (LLW),<br />

Jawa Tengah tahun 1999-2000, Badan Pekerja Forum Kota Semarang (FKS) tahun<br />

1999-2000, dan Kadiv Komunikasi Semarang Corruption Collution and Nepotism<br />

Watch (SCCNW) tahun 2000-2001. Anggota Asosiasi Ilmu Politik (AIPI) Cabang<br />

Semarang tahun 1997-2003 dan Ketua Panel Tahunan Masyarakat Pengembangan<br />

Ilmu-ilmu Sosial (MPIS) Jawa Tengah. Menjadi tenaga ahli DPR RI tahun 2002-<br />

342


2003. Berpengalaman melakukan berbagai penelitian diantaranya Evaluasi<br />

Dampak Pelaksanaan Uji Coba Otonomi Daerah di Kabupaten Banyumas (1997)<br />

dan Kompilasi Janji Program Pemberdayaan Perempuan dan Isu-isu Gender ke-48<br />

Partai Politik pada Kampanye Pemilu 1999 (2001/2002).<br />

Kontak:<br />

Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si.<br />

Fisip UNDIP<br />

Jl Imam Bardjo SH No 1 Semarang<br />

Telp. 0818451445<br />

e-mail: fairlysardini@yahoo.com<br />

3.<br />

Hikmat Ramdan, staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas<br />

Winaya Mukti, Sumedang, Jawa Barat<br />

Hikmat Ramdan, meraih gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya<br />

Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)<br />

pada tahun 2006, Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran<br />

Sungai (DAS) Program Pascasarjana IPB tahun 1999, dan Sarjana Kehutanan<br />

Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB tahun 1995.<br />

Staf Pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Sumedang, Jawa<br />

Barat sejak tahun 1995, Konsultan proyek-proyek kehutanan dan lingkungan sejak<br />

tahun 1994, Kepala Departemen Lingkungan Hidup LSN RISSAPEL Kuningan<br />

sejak tahun 1999, Wakil Ketua Yayasan Masyarakat Konservasi Tanah dan Air<br />

Indonesia di Jakarta sejak tahun 2001, Ketua Forum Pemerhati Masigit Kareumbi<br />

sejak tahun 2003, DPW Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Jawa<br />

Barat sejak tahun 2003 serta Pembantu Dekan I dan III Fakultas Kehutanan<br />

Universitas Winaya Mukti sejak tahun 2005.<br />

Menjadi Direktur Lembaga Pengkajian Pembangunan Kehutanan Universitas<br />

Winaya Mukti tahun 2002-2003. Berbagai kegiatan konsultansi yang dilakukan<br />

diantaranya adalah Penyusunan Zona Resapan Air Gunung Ciremai Kabupaten<br />

Kuningan (Bappeda Kuningan dan LSM Rissapel, 2000), Penyusunan RUTR Gunung<br />

Ciremai Kabupaten Kuningan (Bappeda Kuningan dan STIKKU Kuningan, 2002),<br />

Penyusunan RTRK Pengembangan Ekonomi Jagoibabang Kabupaten Bengkayang<br />

dan Jasa Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat (Ditjen Penataan Ruang<br />

PU dan PT Teknoplan Nusantara Consultant, 2005). Aktif menulis di berbagai jurnal<br />

dan majalah ilmiah dalam 10 tahun terakhir. Anggota Masyarakat Konservasi<br />

Tanah dan Air Indonesia (MKTI) dan Perhimpunan Profesional Pemanenan Hasil<br />

Hutan Indonesia.<br />

343


Kontak:<br />

Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si<br />

Bantarjati Bogor<br />

Telp. 0251-356763, 08122368188<br />

e-mail: hikmatrmd@yahoo.com<br />

4.<br />

Ahmad Dermawan, Asisten Peneliti Center for International Forestry<br />

Research (CIFOR) Bogor<br />

Ahmad Dermawan, meraih gelar M.Sc pada Department of Economics and Resource<br />

Management dari Agricultural University of Norway tahun 2004 dan Sarjana<br />

Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dari Insitut Pertanian Bogor tahun<br />

1999.<br />

Bekerja sebagai asisten peneliti di CIFOR sejak Mei 2001. Sebelumnya menjadi<br />

asisten peneliti di LSM Bina Swadaya (Agustus – September 1999) dan Asisten<br />

Peneliti di Institut Pertanian Bogor (Mei 1998- April 2001) serta menjadi asisten<br />

doesn dan asisten penelitian dalam masa perkuliahan di IPB. Menjadi salah satu<br />

penulis buku “Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications<br />

for Forest Sustainability, Community Livelihoods, and Economic Development”,<br />

CIFOR (terbit tahun 2006) dan “Kemana Hendak Melangkah: Masyarakat, Hutan<br />

dan Perumusan Kebijakan di Indonesia”, tahun 2002, penerbit: Yayasan Obor<br />

Indonesia.<br />

Kontak:<br />

Ahmad Dermawan, M.Sc<br />

Center for International Forestry Research (CIFOR)<br />

Jalan CIFOR, Situgede, Sindangbarang, Bogor Barat<br />

Telp/Fax. 0251 – 622 622 / 622 100<br />

e-mail: a.dermawan@cgiar.<strong>org</strong>, ahmad.dermawan@gmail.com<br />

Lembaga Penelitian UNPAD<br />

Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung<br />

Telp. 022 – 7279435, 0818219170<br />

e-mail: cpaskarina@yahoo.com<br />

344


Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 3<br />

1.<br />

Dede Mariana, Staf Pengajar FISIP Universitas Padjajaran (UNPAD),<br />

Bandung dan Kepala Pusat Penelitian Kebijakan <strong>Publik</strong> dan<br />

Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian, Universitas Padjadjaran<br />

(Puslit KP2W Lemlit UNPAD)<br />

Dede Mariana, peserta Program Doktor, Bidang Kajian Utama Sosiologi Antropologi,<br />

Program Pascasarjana, UNPAD, Bandung sejak tahun 1998, meraih gelar Master<br />

Sains pada bidang yang sama dengan spesialisasi Pengembangan Kelembagaan<br />

dan Pemberdayaan Masyarakat dari UNPAD, Bandung tahun 1998, Sarjana Ilmu<br />

Pemerintahan, FISIP tahun 1987 serta Sarjana Muda Ilmu Pemerintahan dari<br />

universitas yang sama tahun 1985.<br />

Kepala Puslit KP2W Lemlit UNPAD sejak tahun 2004, Ketua Kelompok Pengkajian<br />

Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Lembaga Penelitian UNPAD, sejak tahun 2001,<br />

Ketua Pusat Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Wilayah, FISIP UNPAD<br />

sejak tahun 1995, Kepala Divisi Pengkajian dan Pengembangan Wilayah, LPM<br />

UNPAD tahun 2000-2002, menjabat sebagai sekretaris di Lembaga Pengabdian<br />

Kepada Masyarakat (LPKM), UNPAD tahun 1991-1993, Anggota Pengelola Kuliah<br />

Kerja Nyata (KKN), LPKM UNPAD tahun 1990-2002, Koordinator Program<br />

Pengembangan Wilayah dan Penerapan Teknologi, LPKM UNPAD tahun 1997-<br />

1999.<br />

Berpengalaman melakukan penelitian di bidang kebijakan publik dan pengembangan<br />

wilayah terutama di wilayah Bandung dan Jawa Barat lebih dari sepuluh tahun<br />

terakhir. Aktif menulis buku, di berbagai media massa cetak, maupun jurnal<br />

ilmiah/majalah. Selain itu aktif juga dalam Pengabdian Kepada Masyarakat di<br />

Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat.<br />

Kontak:<br />

Dede Mariana, Drs., M.Si<br />

Pusat Kebijakan <strong>Publik</strong> & Pengembangan Wilayah<br />

Lembaga Penelitian UNPAD<br />

Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung<br />

Telp. 022 – 7279435, 0818219170<br />

e-mail: dedemariana@yahoo.com, Dede.Mariana@unpad.ac.id<br />

345


2.<br />

Caroline Paskarina, Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP<br />

Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung dan Staf Peneliti di Pusat<br />

Penelitian Kebijakan <strong>Publik</strong> dan Pengembangan Wilayah Lembaga<br />

Penelitian, Universitas Padjadjaran (Puslit KP2W Lemlit UNPAD)<br />

Caroline Paskarina, Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD Bandung tahun<br />

2000, dan Master bidang Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi<br />

Daerah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 2004.<br />

Aktif melakukan penelitian sejak tahun 1997 terutama dengan Lembaga Penelitian<br />

UNPAD dan bekerja sama dengan lembaga lainnya seperti Pemerintah Daerah<br />

Kabupaten Bandung, Dispenda Provinsi Jawa Barat, Bappeda Jawa Barat dan DIKS<br />

UNPAD. Beberapa penelitian yang dilakukan diantaranya: Evaluasi Kelembagaan<br />

Perangkat Daerah di Kabupaten Majalengka, Kajian Kelembagaan dan Organisasi<br />

Perangkat Daerah Kabupaten Bandung Barat, Pengkajian <strong>Perda</strong> Provinsi Jawa<br />

Barat tetang Perizinan untuk Meningkatkan PAD, Pengkajian Peraturan Daerah<br />

Provinsi Jawa Barat yang Mengandung Sanksi, dsb. Aktif menulis berbagai artikel<br />

di media massa Jawa Barat seperti Harian Umum Pikiran Rakyat, buletin, jurnal<br />

dan majalah terbatas, serta menulis makalah yang disampaikan dalam berbagai<br />

acara seminar dan lokakarya sejak tahun 2000.<br />

Kontak:<br />

Caroline Paskarina, S.IP., M.Si.<br />

Pusat Kebijakan <strong>Publik</strong> & Pengembangan Wilayah<br />

Lembaga Penelitian UNPAD<br />

Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung<br />

3.<br />

I GPA Rhama Wijaya, Tim <strong>Implementasi</strong> Restrukturisasi BTN<br />

(IR-BTN)<br />

I GPA Rhama Wijaya, Sarjana Teknik Planologi, Fakultas Teknik Sipil dan<br />

Perencanaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung.<br />

Tenaga Ahli dan Perencanaan bidang Perencanaan Wilayah dan Kota pada PT.<br />

Prima Mitranata Consultan Jakarta, Tenaga Ahli bidang struktur dan manajemen<br />

<strong>org</strong>anisasi pada PT. Prima Mitranata Consultan Jakarta, dan Tim <strong>Implementasi</strong><br />

Restrukturisasi Bank Tabungan Negara (IR-BTN). Anggota Ikatan Ahli Perencanaan<br />

(IAP). Mengikuti berbagai kursus dan seminar diantaranya Peningkatan Peran dan<br />

Kemampuan Aparat Pemerintah Daerah dalam Perencanaan dan Pengendalian<br />

Pembangunan, kerjasama Ditjen. Bangda dan INKINDO, Asset and Liability<br />

Management, Raxindo Consultan Jakarta (1998) dan Kursus Menilai dan Observasi<br />

kemampuan staf berbasis kompetensi, Hay Consultant, Jakarta (2005).<br />

346


Kontak:<br />

Ir. I GPA Rhama Wijaya<br />

Menara BTN<br />

Up. Tim IR BTN<br />

Jl. Gajah Mada No. 1 Lt. 3 Jakarta 10130<br />

Telp. 08159809284, 021-6336789 ext 8336 /8313<br />

e-mail: bagoes04@yahoo.com<br />

347

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!