05.01.2015 Views

Peran Kelembagaan Lokal pada Kegiatan Agribisnis di Pedesaan

Peran Kelembagaan Lokal pada Kegiatan Agribisnis di Pedesaan

Peran Kelembagaan Lokal pada Kegiatan Agribisnis di Pedesaan

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

ICASERD WORKING PAPER No.43<br />

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PADA<br />

KEGIATAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN<br />

Endang Lestari Hastuti dan Bambang Irawan<br />

Maret 2004<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian<br />

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)<br />

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian<br />

Departemen Pertanian


ICASERD WORKING PAPER No.43<br />

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PADA<br />

KEGIATAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN<br />

Endang Lestari Hastuti dan Bambang Irawan<br />

Maret 2004<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian<br />

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)<br />

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian<br />

Departemen Pertanian<br />

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan<br />

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini,<br />

pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan<br />

ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat<br />

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P.<br />

Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi:<br />

Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono, dan E<strong>di</strong> Ahmad Saubari.<br />

Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani<br />

No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id<br />

No. Dok.044.43.3.04


PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PADA KEGIATAN<br />

AGRIBISNIS DI PEDESAAN<br />

Endang Lestari Hastuti dan Bambang Irawan<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian<br />

Jl. A. Yani No.70 Bogor -16161<br />

ABSTRAK<br />

Kemitraan lokal merupakan salah satu bentuk kelembagaan yang sangat berperan <strong>di</strong><br />

dalam kegiatan agribisnis, yang tumbuh secara otonom <strong>di</strong> dalam masyarakat sesuai dengan<br />

kebutuhannya. <strong>Kelembagaan</strong> ini dapat berfungsi dengan baik dan berkelanjutan, karena pihakpihak<br />

yang bermitra memperoleh manfaat secara ekonomi maupun sosial. Meskipun demikian<br />

kelembagaan kemitraan yang ada <strong>pada</strong> umumnya belum mempunyai kaitan fungsional, dan<br />

masih berperan secara <strong>di</strong>spersal. Oleh karena itu <strong>di</strong>perlukan kebijakan yang dapat lebih<br />

menyempurnakan kelembagaan-kelembagaan kemitraan yang ada, tanpa harus menghilangkan<br />

kekuatan-kekuatan yang ada <strong>di</strong> dalam kelembagaan tersebut. Beberapa kebijakan yang dapat<br />

<strong>di</strong>lakukan antara lain membentuk unit-unit agribisnis <strong>di</strong> sentra produksi sayuran dengan<br />

melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani produsen, membangun<br />

sarana penyimpanan yang efektif <strong>pada</strong> setiap unit agribisnis, dan membangun kaitan produksi<br />

yang bersifat saling melengkapi antara daerah sentra produksi sayuran.<br />

Kata kunci : kelembagaan, lokal, agribisnis.<br />

PENDAHULUAN<br />

Dewasa ini kelembagaan <strong>pada</strong> tingkat lokal atau pedesaan, mengalami tantangan<br />

berat <strong>di</strong> bawah arus modernisasi dengan alih teknologi yang cepat. Desakan-desakan<br />

tersebut telah mengkikis berbagai lembaga yang mempunyai fungsi sosial. Masuknya<br />

ekonomi uang semakin merangsang hubungan komersial <strong>di</strong> daerah pedesaan,<br />

sementara ekonomi dan kelembagaan lokal belum mampu dalam menerima hubungan<br />

komersial tersebut (Tjondronegoro, 1999). <strong>Kelembagaan</strong> lokal yang ada <strong>pada</strong> umumnya<br />

tidak mempunyai keterkaitan fungsional satu dengan yang lain. Misalnya lembaga<br />

simpan pinjam <strong>di</strong> tingkat desa yang <strong>di</strong>dukung oleh petani kecil, praktis tidak dapat<br />

berkembang karena modal yang <strong>di</strong>himpun bersama tidak dapat mencukupi untuk<br />

mengikuti hubungan komersial. Organisasi yang ada tidak mampu memberikan jaminan<br />

yang cukup berharga untuk dapat menarik kre<strong>di</strong>t dari bank, karena masing-masing<br />

anggota yang sebagian besar berlahan sempit tidak cukup bermodalkan tanah untuk<br />

memperoleh jaminan dari manapun juga untuk mendapatkan pinjaman dana dari<br />

lembaga formal. Demikian juga kelembagaan arisan yang banyak menggilir dana dalam<br />

bentuk uang, relatif terbatas atau bahkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan<br />

konsumsi rumah tangga.<br />

1


Dalam banyak kasus hancurnya hubungan patron-client yang sekonyongkonyong<br />

mengakibatkan bertambahnya resiko petani kecil, yang terombang-ambing oleh<br />

kekuatan pasar bebas yang sangat sulit untuk <strong>di</strong>bendung. Demikian pula <strong>di</strong> dalam<br />

kelembagaan agribisnis, meskipun berbagai program kemitraan telah banyak<br />

<strong>di</strong>kembangkan <strong>pada</strong> berbagai komo<strong>di</strong>tas pertanian, namun sebagian besar kemitraan<br />

yang <strong>di</strong>programkan oleh pemerintah tidak dapat menunjukkan kinerja yang baik kecuali<br />

<strong>pada</strong> sebagian komo<strong>di</strong>tas perkebunan seperti PIR kelapa sawit.<br />

Kegagalan-kegagalan <strong>pada</strong> program kemitraan <strong>pada</strong> intinya terja<strong>di</strong> karena<br />

kemitraan yang <strong>di</strong>kembangkan cenderung tidak dapat memberikan manfaat finansial<br />

ke<strong>pada</strong> salah satu atau keduanya. Padahal manfaat itu merupakan pertimbangan utama<br />

bagi setiap pihak yang melakukan kemitraan.<br />

Struktur agribsinis yang bersifat <strong>di</strong>spersal atau tersekat-sekat sangat tidak<br />

kondusif untuk menciptakan sistem agribisnis berdaya saing tinggi yang mampu<br />

merespon <strong>di</strong>namika pasar secara efektif dan efisien. Hal ini karena <strong>pada</strong> struktur<br />

agribisnis demikian tidak terja<strong>di</strong> keterkaitan fungsional <strong>di</strong>antara para pelaku agribisnis<br />

(Simatupang, 1999; Pranadji, 1999; dan Irawan, 2001). Oleh karena itu <strong>di</strong>perlukan<br />

penataan struktur agribisnis dalam rangka meningkatkan daya saing komo<strong>di</strong>tas<br />

pertanian. Simatupang (1997) berpendapat bahwa penataan tersebut haruslah mengarah<br />

ke<strong>pada</strong> pembentukan Unit <strong>Agribisnis</strong> Industrial. Sebagai langkah awal pragmatis<br />

penataan struktur agribisnis tersebut dapat <strong>di</strong>lakukan dengan mengarahkan BUMN untuk<br />

bertindak sebagai pelopor (Kasryno, 1997). Sedangkan karakteristik utama yang harus<br />

ada <strong>pada</strong> setiap Unit <strong>Agribisnis</strong> adalah (Simatupang, 1997):<br />

(1) Seluruh fungsi yang <strong>di</strong>perlukan untuk memproduksi, mengolah dan memasarkan<br />

produk pertanian dapat <strong>di</strong>penuhi. Dengan kata lain, setiap unit agribisnis haruslah<br />

lengkap secara fungsional.<br />

(2) Seluruh komponen atau pelaku agribisnis melaksanakan fungsinya secara<br />

harmonis dan dalam satu kesatuan tindakan. Dengan kata lain kegiatan yang<br />

<strong>di</strong>lakukan oleh setiap pelaku agribisnis harus saling terkait secara fungsional.<br />

(3) Hubungan <strong>di</strong>antara seluruh pelaku agribisnis terjalin langsung melalui ikatan<br />

institusional.<br />

(4) Kelangsungan hidup dan perkembangan usaha <strong>pada</strong> masing-masing pelaku<br />

agribisnis saling tergantung sama lain.<br />

2


(5) Setiap pelaku agribisnis saling membantu satu sama lain demi kepentingan<br />

bersama.<br />

Penataan struktur agribisnis yang mengarah ke<strong>pada</strong> lima kon<strong>di</strong>si <strong>di</strong> atas<br />

sebenarnya sudah <strong>di</strong>upayakan pemerintah melalui pengembangan berbagai program<br />

kemitraan usaha <strong>di</strong>antara para pelaku agribisnis. Secara historis program kemitraan<br />

tersebut sudah mulai <strong>di</strong>terapkan sejak tahun 80-an <strong>pada</strong> komo<strong>di</strong>tas perkebunan melalui<br />

program Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pada program PIR tersebut petani perkebunan<br />

bekerjasama dengan perusahaan inti dalam mengembangkan komo<strong>di</strong>tas perkebunan<br />

yang <strong>di</strong>geluti. Dalam kerjasama tersebut perusahaan inti membangun pabrik pengolahan<br />

komo<strong>di</strong>tas perkebunan yang bahan bakunya <strong>di</strong>hasilkan dari kebun petani. Dengan kata<br />

lain para petani berfungsi sebagai pemasok bahan baku sedangkan perusahaan inti<br />

berfungsi sebagai pengolah dan penjual produk olahan yang <strong>di</strong>hasilkan. Dengan<br />

mekanisme tersebut maka kemitraan yang <strong>di</strong>kembangkan tidak hanya berguna untuk<br />

menciptakan kaitan fungsional antara petani dan perusahaan inti tetapi juga<br />

meningkatkan nilai tambah komo<strong>di</strong>tas perkebunan melalui proses pengolahan yang<br />

<strong>di</strong>bangun oleh perusahaan inti. Kemitraan tersebut juga merupakan me<strong>di</strong>a untuk<br />

mendorong pemerataan pendapatan (Erwidodo, et al., 1996).<br />

Berbagai program kemitraan telah <strong>di</strong>kembangkan <strong>pada</strong> berbagai komo<strong>di</strong>tas<br />

pertanian. Tetapi sebagian besar kemitraan yang <strong>di</strong>programkan pemerintah tidak<br />

menunjukkan kinerja yang baik kecuali <strong>pada</strong> sebagian komo<strong>di</strong>tas perkebunan seperti<br />

<strong>pada</strong> PIR kelapa sawit. Keberhasilan <strong>pada</strong> PIR perkebunan tersebut <strong>pada</strong> dasarnya<br />

<strong>di</strong>dorong oleh tiga faktor utama yaitu: (1) Usaha komo<strong>di</strong>tas perkebunan memiliki<br />

economic of scale sehingga pengembangan agribisnis dengan pola PIR yang mencakup<br />

areal relatif luas mampu menekan ongkos produksi, dengan kata lain meningkatkan<br />

keuntungan, (2) Pelaksanaan PIR perkebunan <strong>pada</strong> umumnya <strong>di</strong>lakukan <strong>pada</strong> lahanlahan<br />

transmigrasi yang baru <strong>di</strong>bangun sehingga dapat <strong>di</strong>rancang relatif mudah ukuran<br />

usaha yang efisien dan menguntungkan perusahaan inti yang menja<strong>di</strong> mitra petani, (3)<br />

Perusahaan inti tertarik untuk melakukan kemitraan dengan petani karena pasar bahan<br />

baku bagi industri pengolahan yang <strong>di</strong>bangunnya dapat <strong>di</strong>kuasai dan adanya pembagian<br />

resiko antara perusahaan inti, petani dan pemerintah. Sedangkan bagi petani kemitraan<br />

tersebut juga menguntungkan karena komo<strong>di</strong>tas perkebunan yang <strong>di</strong>kembangkannya<br />

menja<strong>di</strong> memiliki jangkauan pasar lebih luas akibat <strong>di</strong>kembangkannya pabrik pengolahan<br />

dan pasar produk yang <strong>di</strong>hasilkan petani lebih terjamin.<br />

3


Krisnamurthi (2001) berpendapat bahwa faktor ketiga itulah yang umumnya<br />

menja<strong>di</strong> daya tarik bagi perusahaan untuk melakukan kemitraan sehingga PIR<br />

perkebunan dapat berjalan. Sedangkan <strong>pada</strong> program kemitraan lainnya seringkali<br />

<strong>di</strong>jumpai kegagalan yang <strong>pada</strong> intinya terja<strong>di</strong> karena kemitraan yang <strong>di</strong>kembangkan<br />

cenderung merugikan atau tidak memberikan manfaat ke<strong>pada</strong> salah satu pihak, petani<br />

atau perusahaan mitranya. Padahal, manfaat yang dapat <strong>di</strong>peroleh justru merupakan<br />

daya tarik utama bagi setiap pihak untuk melakukan kemitraan. Pada umumnya,<br />

kontinyuitas pasokan petani ke<strong>pada</strong> perusahaan mitra merupakan manfaat yang<br />

<strong>di</strong>inginkan oleh perusahaan mitra sedangkan jaminan pasar baik dalam kuantitas<br />

maupun harga merupakan manfaat utama yang <strong>di</strong>inginkan petani dalam melakukan<br />

kemitraan.<br />

Pengalaman menunjukkan bahwa kedua manfaat yang <strong>di</strong>inginkan oleh<br />

perusahaan mitra dan petani seringkali semakin kecil sehingga kemitraan yang telah<br />

<strong>di</strong>bangun tidak berkelanjutan. Pada umumnya hal ini terja<strong>di</strong> karena adanya pelaku<br />

agribisnis lain <strong>di</strong> luar kemitraan (pedagang lokal) yang berani membeli produksi petani<br />

dengan harga lebih tinggi dari<strong>pada</strong> harga yang <strong>di</strong>sepakati dengan mitranya. Akibatnya<br />

adalah petani cenderung menjual produksinya bukan ke<strong>pada</strong> mitranya, melainkan<br />

ke<strong>pada</strong> pedagang lokal yang membeli dengan harga lebih tinggi. Bagi petani hal itu<br />

merupakan pilihan yang rasional walaupun cenderung merugikan mitranya akibat<br />

berkurangnya pasokan produksi petani ke<strong>pada</strong> mitranya.<br />

Fakta <strong>di</strong> atas mengungkapkan bahwa program kemitraan yang <strong>di</strong>bangun tanpa<br />

melibatkan pelaku agribisnis lokal (pedagang lokal) sulit <strong>di</strong>pertahankan secara<br />

berkelanjutan. Dalam konteks lebih luas, banyak pendapat mengungkapkan bahwa<br />

kegiatan pembangunan agribisnis yang <strong>di</strong>lakukan tanpa memperhitungkan kelembagaan<br />

yang sudah berkembang secara alami <strong>di</strong> pedesaan akan mengalami hambatan. Oleh<br />

karena itu, dalam mendorong kemitraan <strong>di</strong> sektor agribisnis pemerintah tidak harus<br />

mengubah atau memperkenalkan bentuk kelembagaan yang baru tetapi cukup dengan<br />

melakukan pembenahan <strong>pada</strong> kelembagaan yang sudah berkembang, sesuai dengan<br />

tujuan yang <strong>di</strong>inginkan (Hastuti, 1986). Hal ini karena bentuk-bentuk kerjasama usaha<br />

antara petani dengan pihak lain sebenarnya sudah banyak yang berkembang <strong>di</strong> daerah<br />

pedesaan dan dalam kerjasama tersebut secara umum sudah <strong>di</strong>perhitungkan pula<br />

masalah pemerataan dan aspek keberlanjutan usaha bagi pihak-pihak yang bermitra<br />

(Sura<strong>di</strong>sastra, 1999; Hastuti, 1986).<br />

4


Kemitraan dengan pola PIR yang <strong>di</strong>kembangkan <strong>di</strong> daerah transmigrasi <strong>pada</strong><br />

dasarnya dapat pula <strong>di</strong>terapkan <strong>pada</strong> komo<strong>di</strong>tas hortikultura walaupun tidak semudah<br />

<strong>pada</strong> komo<strong>di</strong>tas perkebunan. Hal ini karena komo<strong>di</strong>tas hortikultura terutama sayuran<br />

<strong>pada</strong> umumnya membutuh-kan kon<strong>di</strong>si agroklimat yang spesifik, kegiatan usahatani yang<br />

intensif dan keragaman jenis hama penyakit yang relatif tinggi. Sifat demikian<br />

menyebabkan komo<strong>di</strong>tas sayuran relatif sulit <strong>di</strong>kembangkan dengan pola PIR yang<br />

membutuhkan hamparan lahan relatif luas untuk mencapai ukuran usaha yang efisien<br />

bagi pabrik pengolahan, akibat terkendala oleh kon<strong>di</strong>si lahan. Kemitraan dengan pola<br />

PIR yang melibatkan lahan transmigrasi mungkin lebih sesuai untuk komo<strong>di</strong>tas buahbuahan<br />

yang relatif kurang intensif dalam penggunaan tenaga kerja dan memiliki daya<br />

adaptasi yang lebih baik terhadap kon<strong>di</strong>si agroklimat <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan komo<strong>di</strong>tas sayuran.<br />

Di daerah produksi sayuran <strong>pada</strong> umumnya sudah berkembang kerjasama usaha<br />

antara petani dengan pedagang sayuran atau dengan pedagang sarana pertanian.<br />

Hubungan kerjasama usaha tersebut <strong>pada</strong> umumnya tumbuh dan berkembang tanpa<br />

melibatkan peran pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama usaha antar pelaku<br />

agribisnis akan tumbuh dengan sen<strong>di</strong>rinya jika kedua belah pihak saling membutuhkan<br />

dan kerjasama usaha yang <strong>di</strong>lakukan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.<br />

Mengikuti pemikiran Hastuti (1986) maka kerjasama usaha semacam inilah yang perlu<br />

<strong>di</strong>benahi untuk mencapai tujuan yang <strong>di</strong>inginkan, bukan dengan mengintroduksikan pola<br />

kerjasama yang baru. Sedangkan tujuan dari kemitraan yang <strong>di</strong>kembangkan haruslah<br />

mengarah ke<strong>pada</strong> terciptanya kaitan fungsional antar pelaku agribisnis serta mengurangi<br />

permasalahan yang <strong>di</strong>hadapi dalam mendorong perkembangan komo<strong>di</strong>tas yang<br />

<strong>di</strong>usahakan. Pada agribisnis sayuran, Syukur (1995) dan Sudaryanto et al., (1992)<br />

mengungkapkan bahwa pemasaran merupakan masalah yang menonjol, oleh karena itu<br />

kemitraan yang <strong>di</strong>kembangkan seyogyanya mampu mengurangi permasalahan tersebut.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Makalah ini <strong>di</strong>tulis berdasarkan penelitian tentang agribisnis <strong>di</strong> beberapa daerah<br />

<strong>di</strong> Jawa Tengah, Medan, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Keempat lokasi memiliki<br />

karakteristik yang berbeda-beda, sebagaimana <strong>di</strong>uraikan <strong>pada</strong> Tabel.1.<br />

5


Tabel 1. Ciri-ciri Pokok Lokasi Penelitian <strong>pada</strong> <strong>Kegiatan</strong> <strong>Agribisnis</strong> Berbagai Komo<strong>di</strong>tas Pertanian<br />

Desa Kabupaten Topografi Aksesibilitas<br />

Pola tanam & komo<strong>di</strong>tas<br />

dominan<br />

1 Magelang Dataran Tinggi Jauh dari kota Pa<strong>di</strong> – Palawija (cabai)<br />

2 Karo Dataran Tinggi Jauh dari kota Palawija 3x, kentang &<br />

kol<br />

3 Bandung Dataran Tinggi Jauh dari kota Palawija 3x, kentang &<br />

sayuran<br />

4 Subang Dataran Rendah Jauh dari kota Pa<strong>di</strong> (5x) dalam 2 tahun<br />

5 Praya Barat Daya Dataran Rendah Jauh dari kota Pa<strong>di</strong> – pa<strong>di</strong><br />

6 Lombok Timur Dataran Tinggi Dekat kota Palawija (3x), cabai dan<br />

sayuran<br />

Di dalam penelitian ini <strong>di</strong>fokuskan <strong>pada</strong> aspek interaksi antar pelaku agribisnis,<br />

yaitu antar pedagang input, petani produsen, pedagang output, dan pengolah hasil<br />

produk pertanian. Selain itu juga <strong>di</strong>lakukan analisa manfaat dan kerugian petani dari<br />

kelembagaan kemitraan yang <strong>di</strong>bentuk. Wawancara <strong>di</strong>lakukan dengan menggunakan<br />

daftar pertanyaan yang terstruktur, <strong>di</strong>sertai dengan informasi kualitatif dan kuantitatif, dan<br />

pengamatan langsung <strong>di</strong> lokasi penelitian. Aspek utama penelitian adalah bagaimana<br />

hubungan antara pelaku agribisnis baik yang bersifat ekonomi maupun sosial. Antara<br />

lain bagaimana para pelaku agribisnis menjalin dan memelihara hubungan usaha, faktorfaktor<br />

yang menja<strong>di</strong> dasar pertimbangan, tingkat kontinuitas, sangsi/reward yang<br />

<strong>di</strong>berikan, dan manfaat/kerugian finansial yang <strong>di</strong>peroleh oleh masing-masing pelaku<br />

agribisnis.<br />

BENTUK KEMITRAAN DI PEDESAAN<br />

Kemitraan <strong>pada</strong> Komo<strong>di</strong>tas Cabai <strong>di</strong> Magelang<br />

Bentuk kemitraan yang terdapat <strong>di</strong> Magelang adalah kemitraan antara petani<br />

dengan pedagang sarana produksi pertanian, dan pedagang hasil produksi. Berdasarkan<br />

skala usaha dan luasnya jaringan kemitraan, terdapat tiga bentuk kemitraan yaitu:<br />

1. Kemitraan antara petani dengan pedagang kecil.<br />

2. Kemitraan antara petani dengan pedagang menengah<br />

3. Kemitraan antara petani dengan pedagang besar<br />

6


Secara rinci bentuk-bentuk hubungan kemitraan <strong>pada</strong> kegiatan agribisnis cabai<br />

dapat <strong>di</strong>lihat <strong>pada</strong> Tabel 2 berikut.<br />

Tabel 2. Bentuk-bentuk Kemitraan <strong>pada</strong> <strong>Kegiatan</strong> <strong>Agribisnis</strong> Cabai <strong>di</strong> Desa Penelitian <strong>di</strong><br />

Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Tahun 2001<br />

Level<br />

pedagang<br />

Volume<br />

usaha<br />

(kg)<br />

Jumlah<br />

pinjaman<br />

(Rp.000)<br />

Hubungan<br />

kemitraan<br />

Kecil 20 – 80 100 – 300 Petani –<br />

Pedagang<br />

Menengah 100 – 500 500 –<br />

2000<br />

Besar 2000 -<br />

8000<br />

Petani –<br />

pedagang<br />

> 2000 Petani –<br />

ped. output<br />

– ped. input<br />

Jumlah<br />

mitra<br />

(petani)<br />

Lebih<br />

kurang<br />

50<br />

Jaringan<br />

kemitraan<br />

Sedusun<br />

Lokasi<br />

pemasaran<br />

Talun,<br />

Muntilan,<br />

Yogya<br />

50 – 200 Sedesa Semarang,<br />

Ambarawa,<br />

Magelang,<br />

Temanggung,<br />

Ciamis<br />

Lebih<br />

kurang<br />

800<br />

Sekecamatan<br />

Jakarta<br />

Kramatjati<br />

Pada hubungan antara petani dengan pedagang kecil, luas jaringan usaha hanya<br />

mencakup kurang lebih antara satu pedagang output dengan 50 petani produsen, yang<br />

berasal dari petani yang tinggal dalam satu desa. Di dalam bentuk kemitraan ini terdapat<br />

tiga macam bentuk hubungan, yaitu hubungan ekonomi, perdagangan, dan sosial.<br />

Hubungan ekonomi yang terja<strong>di</strong> adalah dalam hal peminjaman uang untuk biaya<br />

usahatani dan keperluan rumahtangga petani produsen. Jumlah uang yang dapat<br />

<strong>di</strong>pinjam oleh petani mitra sekitar Rp 100.000 s/d Rp 300.000. Pada umumnya insiatif<br />

untuk menjalin kemitraan berasal dari petani produsen, dengan cara memberikan<br />

informasi mengenai kon<strong>di</strong>si usahatani, dan alamat petani. Jumlah uang yang <strong>di</strong>pinjamkan<br />

<strong>pada</strong> awal kemitraan tidak langsung dalam jumlah besar, namun berkembang sesuai<br />

dengan tingkat kepercayaan antar kedua belah pihak. Seperti <strong>di</strong>ketahui bahwa <strong>di</strong> dalam<br />

ekonomi rumahtangga petani tidak dapat <strong>di</strong>pisahkan dengan tegas antara biaya produksi<br />

dan kebutuhan ekonomi rumahtangga. Dengan demikian mitra tidak dapat langsung<br />

mengontrol penggunaan dana pinjaman tersebut. Yang terpenting bagi mitra adalah<br />

uang dapat kembali sesuai dengan ketepatan waktu yang telah <strong>di</strong>sepakati bersama.<br />

Bentuk pinjaman ini <strong>pada</strong> umumnya <strong>di</strong>kembalikan dengan hasil produk pertanian. Seperti<br />

<strong>di</strong>ketahui bahwa bu<strong>di</strong>daya cabai dapat <strong>di</strong>panen sampai 15 kali per sekali tanam. Dengan<br />

demikian besarnya pinjaman dapat <strong>di</strong>atur bersama antar kedua belah pihak yang<br />

bermitra, dan <strong>di</strong>potong sesuai dengan besar pinjaman. Selain dengan petani produsen,<br />

7


pedagang output/pedagang pengecer. Dari kasus yang <strong>di</strong>temukan, pedagang desa<br />

bermitra dengan 3 pedagang pengecer yang menjual kembali hasil dagangannya <strong>di</strong><br />

pasar Kranggan, Yogyakarta. Cara pembayaran dapat <strong>di</strong>atur pula sesuai dengan<br />

kesepakatan bersama.<br />

Pada kemitraan antara petani dengan pedagang menengah, luas jaringan usaha<br />

kemitraan dapat mencapai 200 petani, dan besarnya pinjaman yang dapat <strong>di</strong>ajukan oleh<br />

petani dapat mencapai Rp 500.000 s/d Rp 2.000.000. Sedang <strong>pada</strong> kemitraan antara<br />

petani dengan pedagang besar, luas jaringan usaha dapat mencapai dengan 800 petani,<br />

dan jumlah uang yang <strong>di</strong>pinjam oleh petani dapat mencapai lebih dari Rp 2.000.000,-<br />

Tingkat keterikatan antara pedagang dengan petani sangat tergantung <strong>pada</strong><br />

tingkat kemudahan mendapatkan modal usaha. Sebagai contoh seorang wanita tani<br />

tidak mau melanjutkan bermitra dengan pedagang yang masih sedusun, karena tidak<br />

dapat memperoleh pinjaman modal yang sesuai dengan kebutuhannya. Di lain pihak<br />

untuk dapat berperan sebagai mitra yang sukses, sebagian besar dari para pelaku<br />

kemitraan selalu <strong>di</strong>mulai dari volume usaha yang relatif kecil, dan tetap menjaga<br />

hubungan baik dengan para mitranya secara ekonomi maupun sosial. Jaringan usaha<br />

akan berkembang dengan sen<strong>di</strong>rinya apabila terbukti dapat melakukan usaha dengan<br />

baik dan benar. Yang terpenting harus dapat mempertahankan jaringan usaha yang telah<br />

terbentuk, dengan cara menepati kesepakatan bersama yang telah <strong>di</strong>buat.<br />

Kemitraan <strong>pada</strong> <strong>Agribisnis</strong> Kentang<br />

Sebagian besar bentuk kemitraan yang terdapat <strong>pada</strong> kegiatan agribisnis kentang<br />

adalah antara petani dengan pedagang output. Bentuk-bentuk kemitraan yang ada dapat<br />

<strong>di</strong>lihat <strong>pada</strong> Tabel 3.<br />

Pola kemitraan yang terdapat <strong>pada</strong> agribisnis kentang sebagian besar adalah<br />

kemitraan antara petani dengan pedagang output, yang sudah berjalan kurang lebih<br />

selama 5 tahun. Sedang kemitraan antara petani dengan pedagang sarana produksi<br />

pertanian relatif se<strong>di</strong>kit, dan baru berjalan kurang lebih selama 3 tahun terutama <strong>pada</strong><br />

musim kemarau. Para petani yang dapat menjalin kemitraan dengan pedagang output<br />

<strong>pada</strong> umumnya petani luas yang menguasai lahan lebih dari 1 ha. Hal ini merupakan<br />

salah satu syarat yang tidak tertulis, yang <strong>di</strong>tentukan oleh mitra dalam usahanya untuk<br />

menjamin kelangsungan pasokan antara mitra (agen) dengan para toke (eksportir).<br />

8


Tabel 3. Bentuk-bentuk Kemitraan <strong>di</strong> Kabupaten Karo Sumatera Utara Tahun 2001<br />

Level<br />

Pedagang<br />

Kecil//<br />

Agen<br />

Besar/<br />

Pegudang<br />

Toke/Pengeksport<br />

Volume<br />

Usaha<br />

(kg)<br />

Jumlah<br />

modal &<br />

pinjaman<br />

(Rp.000)<br />

500-2.000 10.000-<br />

15.000<br />

2.000-<br />

6.000<br />

Tipe<br />

kemitraan<br />

A (Petani –<br />

Agen –<br />

Toke)<br />

300.000 A (Petani –<br />

Pegudang –<br />

Toke<br />

>10.000 1.000.000 A (Agen –<br />

Pegudang –<br />

Toke pengimport<br />

Catatan: Data <strong>di</strong> tingkat toke masih dalam perkiraan<br />

Jumlah<br />

mitra<br />

10-20 dg<br />

lahan 1<br />

Ha<br />

10-20 dg.<br />

Lahan >2<br />

ha<br />

10-20<br />

agen/<br />

pegudang<br />

Jangkauan<br />

Mitra<br />

Antar desa<br />

Antar desa<br />

Kecamatan<br />

dan Kabupaten<br />

Brastagi<br />

Kabanjahe<br />

Brastagi<br />

Medan<br />

Singapura<br />

Malaysia<br />

Kesepakatan kemitraan antara agen/pegudang dengan petani <strong>di</strong>atur secara<br />

otonom <strong>di</strong>antara mereka. Namun kelembagaan kemitraan ini telah berkembang dengan<br />

sen<strong>di</strong>rinya <strong>di</strong> dalam masyarakat atas dasar untuk memenuhi kebutuhan bersama tanpa<br />

ada campur tangan dari pemerintah. Dengan demikian aturan yang berlakupun sesuai<br />

dengan aturan yang berlaku <strong>di</strong> dalam masyarakat, yang akan <strong>di</strong>jatuhkan sangsi bagi para<br />

pelanggarnya. Petani mitra dengan melakukan kemitraan dengan para agen/pegudang,<br />

akan memperoleh manfaat mendapat pinjaman dalam bentuk sarana produksi, yaitu<br />

pupuk, obat-obatan, dan jaminan pasar. Meskipun demikian petani mitra harus mau<br />

berkorban dengan membayar harga saprotan lebih mahal, dan menjual produk dengan<br />

harga lebih murah dari harga pasar. Untuk dapat <strong>di</strong>percaya sebagai mitra harus melalui<br />

proses seleksi yang cukup panjang, bersikap jujur, dan menepati kesepakatan yang<br />

<strong>di</strong>buat bersama. Apabila terja<strong>di</strong> pelanggaran kesepakatan/norma, maka hubungan<br />

kemitraan akan putus.<br />

Kemitraan <strong>pada</strong> <strong>Agribisnis</strong> Kol/Kubis<br />

Terdapat dua pola kemitraan <strong>pada</strong> agribisnis kol, yaitu kemitraan antara petani<br />

dengan pedagang sarana produksi pertanian, dan kemitraan antara petani dengan<br />

pedagang output. Kemitraan antara petani dengan pedagang input belum melembaga <strong>di</strong><br />

dalam masyarakat, karena baru terbentuk kurang lebih selama 2 tahun. Sedang<br />

kemitraan antara petani dengan pedagang output telah berjalan kurang lebih selama<br />

enam tahun. Bentuk-bentuk kemitraan yang terdapat <strong>pada</strong> agribisnis kol dapat <strong>di</strong>lihat<br />

<strong>pada</strong> Tabel 4 berikut.<br />

9


Tabel 4. Bentuk-bentuk Kemitraan <strong>pada</strong> <strong>Agribisnis</strong> Kol <strong>di</strong> Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Tahun 2001<br />

No. Tingkat pedagang Volume usaha<br />

1. Petani dan<br />

pedagang<br />

input<br />

Baru berjalan<br />

satu tahun<br />

Permodalan Tipe & jumlah<br />

Lokasi pemasaran<br />

(Rp.000)<br />

mitra<br />

- - -<br />

2. Renggek-renggek < 100 < 100 Tanpa mitra Pasar lokal<br />

3. Pedagang pasar/ 100 – 200 10 - 20 1 – 2 agen Pasar kabupaten<br />

pajak<br />

4. Pedagang<br />

pengumpul<br />

1 – 10 ton Tanpa modal 1 agen Pasar dalam<br />

negeri<br />

5. Agen kecil 10 – 40 ton 10.000 – 50.000 50 petani & toke Pasar dalam<br />

negeri & eksport<br />

6. Agen besar > 100 ton 100.000 – 100 petani & Eksport<br />

300.000 toke<br />

7. Toke > 500 ton > 500.000 2 – 3 agen Eksport<br />

Motivasi utama <strong>pada</strong> kelembagaan kemitraan antara pedagang sarana produksi<br />

pertanian dengan petani adalah untuk mengatasi kesulitan penye<strong>di</strong>aan input. Kemitraan<br />

ini <strong>pada</strong> umumnya terja<strong>di</strong> antara pedagang dan petani yang berlahan sempit yaitu kurang<br />

dari satu hektar. Sedang kemitraan antara petani luas (lebih dari 1 ha) dengan pedagang<br />

output <strong>di</strong>prakarsai oleh pedagang dalam upaya untuk memperoleh pasokan dagang<br />

secara kontinyu. Namun demikian dari pihak petani pun mendapat manfaat yang cukup<br />

besar, yaitu memperoleh jaminan biaya produksi dan jaminan pasar. Bagi keduanya<br />

terdapat sangsi yang cukup berat, yaitu bagi pedagang output apabila tidak dapat<br />

memberi bantuan sapro<strong>di</strong> tidak akan mendapat pasokan dagangan, sedang bagi petani<br />

yang tidak mampu memberi pasokan sesuai kesepakatan tidak akan memperoleh<br />

bantuan input. Seorang agen memberikan informasi bahwa untuk mendapat jaminan<br />

pasokan dagang yang cukup, paling tidak harus mampu menjalin kemitraan dengan 50<br />

petani produsen.<br />

Kemitraan <strong>pada</strong> <strong>Agribisnis</strong> Sayuran<br />

Pada agribisnis sayuran terdapat kemitraan antara pedagang output, pedagang<br />

input, dan petani produsen, seperti tertera <strong>pada</strong> Tabel 5 berikut.<br />

Di desa penelitian <strong>di</strong> Kabupaten Bandung terdapat beberapa pedagang sarana<br />

produksi pertanian yang bermitra dengan petani, dengan cara memberikan pinjaman<br />

dalam bentuk input seperti pupuk dan obat-obatan, dengan bunga 2 s/d 3 persen per<br />

bulan. Namun bila pinjaman tersebut <strong>di</strong>bayar dalam jangka waktu kurang dari satu bulan,<br />

tidak <strong>di</strong>kenakan bunga. Bagi petani untuk memperoleh kepercayaan sebagai mitra, harus<br />

10


Tabel 5. Pola Kemitraan <strong>pada</strong> <strong>Agribisnis</strong> Sayuran <strong>di</strong> Kabupaten Bandung dan Kabupaten<br />

Lombok Timur, Tahun 2002<br />

Jenis mitra<br />

Pedagang sarana<br />

produksi pertanian<br />

Saudagar/pedagang<br />

output<br />

Jumlah modal<br />

(Rp.000)<br />

Jumlah<br />

mitra<br />

(petani)<br />

Jumlah<br />

pinjaman<br />

(Rp.000)<br />

Tingkat bunga<br />

(%)<br />

30.000 – 300.000 11 – 40 30 – 200 27 – 36<br />

Bandung: 50.000<br />

– 100.000<br />

Lombok Timur:<br />

500 – 100.000<br />

10 - 20 250.000<br />

< Rp 50 – Rp<br />

100 dari harga<br />

pasar<br />

dapat membina hubungan kepercayaan terlebih dahulu. Bila hubungan kepercayaan<br />

<strong>di</strong>langgar, maka akan mendapat sangsi yang cukup berat, yaitu tidak akan mendapat<br />

pinjaman untuk selamanya. Di lain pihak para pedagang saprotan berusaha pula untuk<br />

membina hubungan sosial dengan para petani yang <strong>di</strong>percaya, dengan memberikan<br />

berbagai macam ha<strong>di</strong>ah seperti barang elektronik, kaos, bingkisan hari raya, dan<br />

sebagainya.<br />

Selain dengan pedagang saprotan, petani <strong>di</strong> desa penelitian <strong>di</strong> Kabupaten<br />

Bandung dan Kabupaten Lombok Timur juga bermitra dengan pedagang output/<br />

saudagar. Di satu pihak para pedagang output mendapat manfaat berupa pasokan<br />

dagang, sedang petani mendapat pinjaman dan jaminan pasar produksi. Meskipun<br />

demikian petani harus menanggung resiko membayar bunga dan menjual output dengan<br />

harga lebih rendah dari harga pasar.<br />

Kemitraan <strong>pada</strong> <strong>Agribisnis</strong> Pa<strong>di</strong><br />

Pada agribisnis pa<strong>di</strong> baik <strong>di</strong> Kabupaten Subang maupun <strong>di</strong> Kabupaten Praya<br />

Barat Daya, terdapat hubungan kemitraan antara pedagang saprotan, pelepas uang, dan<br />

penggilingan pa<strong>di</strong>. Selain itu juga kemitraan antara pedagang output dengan petani<br />

produsen, dengan pola-pola kemitraan <strong>pada</strong> Tabel 6 berikut.<br />

Di Kabupaten Praya Barat Daya para pedagang bermitra dengan petani dengan<br />

tujuan utama untuk memperoleh pelanggan. Dalam hubungan ini pedagang tidak<br />

menarik bunga, namun semata-mata supaya dagangannya laku. Di samping bermitra<br />

dengan petani, terdapat pula pedagang saprotan yang bermitra secara vertikal dengan<br />

pedagang pemasok dengan cara konsinyasi. Selain dengan pedagang saprotan,<br />

terdapat pula petani yang bermitra dengan pengolah hasil/penggilingan pa<strong>di</strong> atau dengan<br />

11


Tabel 6.<br />

Pola Kemitraan <strong>pada</strong> <strong>Agribisnis</strong> Pa<strong>di</strong> <strong>di</strong> Desa Penelitian <strong>di</strong> Kabupaten Subang dan<br />

Kabupaten Praya Barat Daya, Tahun 2002<br />

Jenis mitra<br />

Jumlah modal<br />

(Rp.000)<br />

Jumlah mitra<br />

(Petani)<br />

Jumlah<br />

pinjaman<br />

(Rp.000)<br />

Tingkat bunga<br />

(%/tahun)<br />

Pedagang<br />

100 – 200 15 – 20 30 – 10.000 -<br />

sayuran<br />

Pedagang output 2.000 – 3.000 20 100 - 250 -<br />

Pengolah hasil 3.750 25 100 – 300 24<br />

Pelepas uang 5.000 20 250 – 1.500 42<br />

pelepas uang, meskipun harus membayar bunga yang cukup tinggi. Hal ini <strong>di</strong>sebabkan<br />

karena tidak dapat menjangkau lembaga pembiayaan formal, yang mensyaratkan<br />

adanya agunan yang berupa sertifikat. Padahal sebagian besar petani, terutama petani<br />

berlahan sempit tidak mampu mengurus pembuatan sertifikat karena biaya yang cukup<br />

tinggi.<br />

FREKUENSI PETANI MENURUT POLA KEMITRAAN<br />

Di lokasi penelitian banyak <strong>di</strong>jumpai kemitraan yang <strong>di</strong>lakukan oleh pedagang dan<br />

petani dalam kegiatan agribisnis komo<strong>di</strong>tas hortikultura yang <strong>di</strong>kaji. Pedagang yang<br />

terlibat dalam kemitraan tersebut dapat merupakan pedagang sarana produksi atau<br />

pedagang sayuran. Kemitraan pedagang-petani tersebut merupakan bentuk<br />

kelembagaan produksi yang tumbuh dengan sen<strong>di</strong>rinya dan tidak ada campur tangan<br />

pemerintah, baik dalam pembentukan kerjasama tersebut maupun dalam mekanisme<br />

kerjanya. Tumbuhnya kemitraan tersebut <strong>pada</strong> dasarnya <strong>di</strong>dorong oleh adanya saling<br />

ketergantungan dan saling membutuhkan <strong>di</strong>antara pihak-pihak yang bermitra. Misalnya,<br />

pedagang sarana produksi merasa perlu bermitra dengan petani untuk memperlancar<br />

penjualan sarana produksi yang <strong>di</strong>pasarkannya. Sebaliknya, petani juga merasa perlu<br />

bermitra dengan pedagang untuk mengatasi keterbatasan modal yang <strong>di</strong>miliki dan<br />

memperoleh jaminan pemasaran sayuran yang <strong>di</strong>hasilkannya jika petani bermitra dengan<br />

pedagang sayuran.<br />

Tabel 7 memperlihatkan bahwa sekitar 35 persen petani untuk seluruh komo<strong>di</strong>tas<br />

yang <strong>di</strong>kaji melakukan kemitraan dengan pedagang sarana produksi atau pedagang<br />

sayuran. Kemitraan pedagang-petani tersebut telah berlangsung cukup lama yaitu sekitar<br />

5 tahun atau sekitar 10 kali musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan <strong>di</strong>antara<br />

mereka saling menguntungkan sehingga kemitraan tersebut dapat berlangsung dalam<br />

waktu yang cukup lama. Pada komo<strong>di</strong>tas cabai pernah <strong>di</strong>kembangkan secara formal<br />

12


kemitraan antara petani dan PT. Indofood tetapi tidak berlangsung lama karena<br />

mekanisme kerjasama yang <strong>di</strong>kembangkan cenderung merugikan petani. Pada<br />

kemitraan tra<strong>di</strong>sional yang berkembang dengan sen<strong>di</strong>rinya, hubungan kerjasama yang<br />

merugikan salah satu pihak jarang terja<strong>di</strong> karena kedua belah pihak saling memahami<br />

kebutuhan dan kesulitan masing-masing dan hubungan <strong>di</strong>antara mereka <strong>di</strong>landasi<br />

dengan kepercayaan yang kuat satu sama lain. Sebagai gambaran, jika petani<br />

mengalami kegagalan panen maka pedagang tidak menuntut pelunasan hutang petani<br />

dengan segera tetapi dapat <strong>di</strong>cicil <strong>pada</strong> musim-musim panen berikutnya. Begitu pula jika<br />

petani membutuhkan uang untuk biaya pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan anaknya maka petani dapat menunda<br />

pelunasan hutangnya <strong>pada</strong> musim panen berikutnya.<br />

Baik pedagang sarana maupun pedagang sayuran meminjamkan modalnya<br />

ke<strong>pada</strong> petani sebagai salah satu bentuk dukungan yang <strong>di</strong>berikan pedagang ke<strong>pada</strong><br />

petani dalam kerangka kemitraan <strong>di</strong>antara mereka. Berdasarkan hal tersebut banyak<br />

pendapat mengungkapkan bahwa desakan modal usahatani merupakan faktor utama<br />

yang mendorong petani melakukan kemitraan dengan pedagang. Dengan kata lain,<br />

keterbatasan modal merupakan masalah utama yang <strong>di</strong>hadapi petani sehingga petani<br />

membutuhkan dukungan modal dari pedagang atau melakukan kemitraan dengan<br />

pedagang untuk mengurangi permasalahan yang <strong>di</strong>hadapi dalam melakukan kegiatan<br />

usahataninya.<br />

Dalam kasus tertentu, pendapat <strong>di</strong> atas mungkin benar adanya. Tetapi<br />

berdasarkan Tabel 7 desakan modal tampaknya bukan masalah utama yang <strong>di</strong>hadapi<br />

petani sehingga mereka membutuhkan dukungan pedagang. Hal ini karena, jika<br />

kebutuhan modal untuk pengadaan sarana produksi merupakan masalah utama petani<br />

maka seharusnya lebih banyak petani yang bermitra dengan pedagang sarana untuk<br />

membantu petani mengurangi permasalahan tersebut. Tetapi dalam Tabel 7 dapat<br />

<strong>di</strong>simak bahwa jumlah petani yang bermitra dengan pedagang sarana justru lebih se<strong>di</strong>kit<br />

<strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan petani yang bermitra dengan pedagang sayuran. Kemitraan dengan<br />

pedagang sarana secara total <strong>di</strong>jumpai <strong>pada</strong> 10,4 persen petani atau antara 3,0 persen<br />

hingga 20,0 persen petani menurut komo<strong>di</strong>tas, sedangkan untuk kemitraan dengan<br />

pedagang sayuran nilai proporsi tersebut sebesar 25,2 persen atau antara 25,9 persen<br />

hingga 45,4 persen.<br />

13


Tabel 7. Jumlah Petani Menurut Pola Kemitraan dan Lama Pengalaman Bermitra Menurut<br />

Komo<strong>di</strong>tas<br />

Komo<strong>di</strong>tas<br />

Jumlah petani<br />

- Bawang merah<br />

- Cabai<br />

- Kentang<br />

- Kubis<br />

- Total<br />

Rata-rata penga-laman<br />

bermitra (tahun)<br />

- Bawang merah<br />

- Cabai<br />

- Kentang<br />

- Kubis<br />

- Rata-rata<br />

Kemitraan<br />

dengan<br />

pedagang<br />

sarana<br />

produksi<br />

(Pola A)<br />

5 (12,5)<br />

7 (20,0)<br />

1 (3,0)<br />

2 (7,4)<br />

14 (10,4)<br />

8,4<br />

4,9<br />

5,0<br />

2,0<br />

5,1<br />

Kemitraan<br />

dengan<br />

pedagang<br />

sayur<br />

(Pola B)<br />

-<br />

12 (34,3)<br />

15 (45,4)<br />

7 (25,9)<br />

34 (25,2)<br />

-<br />

3,2<br />

5,1<br />

6,7<br />

5,0<br />

Tanpa<br />

kemitraan<br />

(Pola D)<br />

35 (87,5)<br />

16 (45,7)<br />

17 (51,5)<br />

18 (66,7)<br />

88 (65,2)<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

Jumlah<br />

40 (100)<br />

35 (100)<br />

33 (100)<br />

27 (100)<br />

135 (100)<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

Keterangan : ( ) persentase terhadap jumlah responden untuk setiap komo<strong>di</strong>tas<br />

Fakta <strong>di</strong> atas mengungkapkan bahwa petani lebih tertarik untuk bermitra dengan<br />

pedagang sayuran dari<strong>pada</strong> pedagang sarana produksi. Hal ini menunjukkan bahwa<br />

dukungan pedagang sayuran yang <strong>di</strong>wujudkan melalui kemitraan <strong>di</strong>antara mereka lebih<br />

<strong>di</strong>butuhkan petani dari<strong>pada</strong> dukungan pedagang sarana produksi. Dengan kata lain<br />

dukungan pedagang untuk mengatasi masalah pemasaran produk yang <strong>di</strong>hasilkan petani<br />

lebih <strong>di</strong>butuhkan dari<strong>pada</strong> dukungan untuk mengatasi masalah modal usahatani. Hal ini<br />

karena melalui kemitraan dengan pedagang sayuran maka produksi petani sudah pasti<br />

terjual. Pada komo<strong>di</strong>tas sayuran yang cepat busuk dan memiliki fluktuasi harga tinggi<br />

masalah jaminan pasar tersebut memang sangat <strong>di</strong>butuhkan petani. Sedangkan dalam<br />

pengadaan modal, petani sayuran secara umum cukup mampu. Hal ini dapat <strong>di</strong>simak<br />

dalam bagian selanjutnya yang mengungkapkan bahwa modal usahatani yang <strong>di</strong>pinjam<br />

dari pedagang relatif kecil <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan total kebutuhan modal usahatani.<br />

PEMILIKAN DAN PENGUASAAN LAHAN PETANI<br />

Secara umum rumah tangga tani sayuran memiliki pendapatan lebih tinggi<br />

<strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan petani pa<strong>di</strong> dan sebagian besar dari pendapatan tersebut berasal dari<br />

kegiatan usahatani yang <strong>di</strong>lakukannya. Penelitian Adnyana et al., (2000) misalnya<br />

14


mengungkapkan hal tersebut; Pendapatan rumah tangga ekivalen pa<strong>di</strong> <strong>di</strong> daerah lahan<br />

sawah sekitar 4,1 ton dan 3,8 ton per kapita untuk daerah Jawa dan luar Jawa,<br />

sedangkan, <strong>di</strong> daerah lahan kering <strong>di</strong> luar tanaman perkebunan yang umumnya<br />

merupakan daerah sayuran besarnya pendapatan rumah tangga tersebut masing-masing<br />

4,3 ton dan 4,7 ton per kapita per tahun. Sementara, proporsi pendapatan yang berasal<br />

dari kegiatan pertanian <strong>di</strong> daerah lahan kering tersebut sekitar 73,5 persen untuk Jawa<br />

dan 66,9 persen untuk luar Jawa.<br />

Hasil penelitian yang <strong>di</strong>kutip <strong>di</strong> atas mengungkapkan bahwa petani sayuran relatif<br />

kaya <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan petani pa<strong>di</strong> dan ketergantungan pendapatan petani sayuran terhadap<br />

hasil kegiatan usahataninya sangat tinggi. Oleh karena itu dapat <strong>di</strong>pahami jika dalam<br />

penelitian tersebut <strong>di</strong>temukan pula hubungan yang positif antara besarnya pendapatan<br />

petani dengan luas lahan garapan yang <strong>di</strong>kuasai. Dengan kerangka berpikir yang sama<br />

sering <strong>di</strong>interpretasikan pula bahwa kemampuan modal petani <strong>pada</strong> akhirnya sangat<br />

tergantung ke<strong>pada</strong> luas lahan garapan yang <strong>di</strong>kuasai petani.<br />

Tabel 8 memperlihatkan luas penguasaan lahan garapan petani responden.<br />

Secara umum petani kentang dan kubis <strong>di</strong> Sumut memiliki lahan garapan lebih luas<br />

dari<strong>pada</strong> petani bawang merah dan cabai <strong>di</strong> Jateng akibat tekanan jumlah penduduk<br />

terhadap lahan yang lebih berat <strong>di</strong> daerah Jawa. Dari Tabel 8 tersebut yang menarik<br />

adalah tidak ada pola yang konsisten dalam penguasaan lahan garapan jika<br />

<strong>di</strong>perban<strong>di</strong>ngkan antara petani pelaku kemitraan dan petani non kemitraan. Rata-rata<br />

penguasaan lahan <strong>pada</strong> petani bawang dan cabai se<strong>di</strong>kit lebih tinggi untuk petani non<br />

kemitraan, sebaliknya, <strong>pada</strong> petani kentang dan kubis petani yang melakukan kemitraan<br />

menguasai lahan garapan lebih luas dari<strong>pada</strong> petani bebas.<br />

Tabel 8. Rata-rata Luas Penguasaan Lahan Garapan Petani Menurut Komo<strong>di</strong>tas <strong>pada</strong> Petani<br />

Pelaku Kemitraan dan Petani Non Kemitraan (ha)<br />

Bawang merah<br />

Cabai<br />

Kentang<br />

Kubis<br />

Komo<strong>di</strong>tas Petani kemitraan Petani non kemitraan<br />

0,58<br />

0,52<br />

1,86<br />

1,87<br />

0,73<br />

0,59<br />

1,66<br />

1,73<br />

Karena kemampuan modal petani secara umum berhubungan positif dengan luas<br />

lahan petani, temuan tersebut <strong>di</strong> atas mengungkapkan bahwa petani yang melakukan<br />

kemitraan dengan pedagang tidak selalu merupakan petani dengan kemampuan modal<br />

15


endah, terutama untuk kasus kentang dan kubis. Dengan kata lain, desakan kebutuhan<br />

modal petani tidak selalu merupakan faktor pendorong utama terja<strong>di</strong>nya kemitraan antara<br />

petani dan pedagang. Secara implisit hal ini menunjukkan pula bahwa permodalan tidak<br />

selalu merupakan masalah utama yang <strong>di</strong>hadapi petani karena dua hal yang saling<br />

terkait yaitu: (1) Pada prinsipnya, petani melakukan kemitraan dengan pedagang dengan<br />

tujuan agar mitranya tersebut (pedagang) dapat membantu petani mengatasi permasalah<br />

utama yang tidak dapat <strong>di</strong>atasi oleh petani sen<strong>di</strong>ri. Dengan kata lain, jika petani mampu<br />

mengatasi semua permasalahannya sen<strong>di</strong>ri maka petani tidak perlu melakukan<br />

kemitraan dengan pedagang karena hal itu memberikan resiko ke<strong>pada</strong> petani yang dapat<br />

berupa harga jual sayuran lebih rendah dari<strong>pada</strong> harga pasar; (2) Konsekuensi dari butir<br />

(1) adalah, jika keterbatasan modal merupakan masalah utama petani maka petani yang<br />

melakukan kemitraan seharusnya memiliki kemampuan modal (<strong>di</strong>cerminkan oleh luas<br />

penguasaan lahan) lebih rendah <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan petani non kemitraan. Namun seperti<br />

<strong>di</strong>perlihatkan dalam Tabel 9 kemampuan modal petani yang bermitra dengan pedagang<br />

justru lebih tinggi dari<strong>pada</strong> petani non mitra, khususnya untuk komo<strong>di</strong>tas kentang dan<br />

kubis. Sedangkan untuk komo<strong>di</strong>tas cabai dan bawang merah kemampuan modal petani<br />

kemitraan se<strong>di</strong>kit lebih rendah <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan petani non kemitraan.<br />

Untuk memperjelas hubungan antara kemampuan modal petani (<strong>di</strong>cerminkan<br />

oleh penguasaan lahan) dengan kemitraan yang <strong>di</strong>lakukan petani, dalam Tabel 9<br />

<strong>di</strong>perlihatkan <strong>di</strong>stribusi jumlah petani menurut kelompok luas penguasaan lahan. Dalam<br />

tabel tersebut dapat <strong>di</strong>simak bahwa proporsi petani yang berkemampuan modal tinggi<br />

(luas garapan <strong>di</strong> atas 1 hektar) cukup banyak yang melakukan kemitraan dengan<br />

pedagang, secara total sekitar 36 persen petani contoh. Proporsi kelompok petani kaya<br />

tersebut relatif sama untuk petani non pelaku kemitraan yaitu sekitar 37 persen petani<br />

contoh. Artinya, secara agregat untuk seluruh petani sayuran yang <strong>di</strong>kaji kemampuan<br />

modal petani pelaku kemitraan tidak berbeda dengan petani non kemitraan. Pada<br />

komo<strong>di</strong>tas cabai petani yang melakukan kemitraan memang cenderung merupakan<br />

petani bermodal lemah tetapi <strong>pada</strong> komo<strong>di</strong>tas kentang justru petani bermodal kuat yang<br />

lebih banyak melakukan kemitraan dengan pedagang.<br />

16


Tabel 9. Jumlah Petani Responden Menurut Luas Penguasaan Lahan dan Pola<br />

Kemitraan<br />

Komo<strong>di</strong>tas<br />

Bawang merah<br />

- Petani mitra<br />

- Petani non mitra<br />

Cabai<br />

- Petani mitra<br />

- Petani non mitra<br />

Kentang<br />

- Petani mitra<br />

- Petani non mitra<br />

Kubis<br />

- Petani mitra<br />

- Petani non mitra<br />

Luas penguasaan lahan (ha)<br />

2,00<br />

1<br />

6<br />

9<br />

4<br />

-<br />

-<br />

-<br />

1<br />

-<br />

6<br />

3<br />

4<br />

1<br />

2<br />

1<br />

5<br />

3<br />

14<br />

6<br />

5<br />

3<br />

6<br />

3<br />

-<br />

1<br />

6<br />

-<br />

3<br />

7<br />

4<br />

1<br />

5<br />

-<br />

3<br />

1<br />

-<br />

4<br />

4<br />

3<br />

6<br />

Total<br />

- Petani mitra<br />

- Petani non mitra<br />

10<br />

(21,3)<br />

11<br />

(13,1)<br />

5<br />

(10,6)<br />

17<br />

(20,2)<br />

15<br />

(31,9)<br />

25<br />

(29,8)<br />

9<br />

(19,1)<br />

18<br />

(21,4)<br />

8<br />

(17,0)<br />

13<br />

(15,5)<br />

Keterangan: (<br />

) persentase terhadap jumlah responden<br />

IMBANGAN MANFAAT DAN KERUGIAN FINANSIAL<br />

PADA PETANI PELAKU KEMITRAAN<br />

Seperti <strong>di</strong>ungkapkan <strong>pada</strong> bagian sebelumnya, petani yang melakukan kemitraan<br />

memperoleh manfaat dan kerugian secara finansial dari kemitraan yang <strong>di</strong>lakukannya<br />

dengan pedagang. Secara finansial petani memperoleh manfaat akibat dukungan modal<br />

yang <strong>di</strong>berikan oleh pedagang. Sedangkan kerugian finansial yang <strong>di</strong>peroleh petani<br />

dapat berupa harga sarana produksi yang lebih mahal bagi petani yang bermitra dengan<br />

pedagang sarana produksi atau harga sayuran yang lebih murah dari<strong>pada</strong> harga pasar<br />

bagi petani yang bermitra dengan pedagang sayur.<br />

Permasalahannya adalah, bagaimana imbangan manfaat dan kerugian secara<br />

finansial <strong>pada</strong> petani yang melakukan kemitraan dengan pedagang. Banyak pendapat<br />

mengungkapkan bahwa hubungan kemitraan yang terja<strong>di</strong> antara petani dan pedagang<br />

seringkali merugikan petani karena posisi tawar petani yang lemah sehingga pedagang<br />

dapat mengendalikan harga sesuai dengan keinginannya. Sedangkan modal yang<br />

<strong>di</strong>pinjamkan pedagang ke<strong>pada</strong> petani hanya <strong>di</strong>anggap sebagai pengikat agar petani<br />

selalu berhubungan bisnis dengan pedagang bersangkutan dan tidak <strong>di</strong>perhitungkan<br />

17


sebagai faktor produktif yang dapat membantu usaha petani. Pendapat demikian<br />

mungkin benar jika modal yang <strong>di</strong>pinjamkan pedagang sangat kecil <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan<br />

kebutuhan modal usahatani dan kemitraan tersebut terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> daerah dengan infrastruktur<br />

ekonomi yang buruk <strong>di</strong>mana alternatif pemasaran yang dapat <strong>di</strong>lakukan petani sangat<br />

terbatas.<br />

Analisis berikut ini mengkaji manfaat dan kerugian finansial petani yang<br />

melakukan kemitraan dengan pedagang. Dalam kajian tersebut modal yang <strong>di</strong>pinjamkan<br />

pedagang tidak hanya <strong>di</strong>pandang sebagai faktor pengikat antara petani dan pedagang<br />

tetapi <strong>di</strong>perhitungkan pula sebagai faktor input milik pedagang yang <strong>di</strong>gunakan oleh<br />

petani.<br />

Salah satu metoda analisis yang dapat <strong>di</strong>pakai untuk mengevaluasi manfaat<br />

finansial yang <strong>di</strong>peroleh petani dari suatu kemitraan adalah dengan pendekatan fungsi<br />

produksi. Dengan pendekatan tersebut maka petani dan pedagang <strong>di</strong>anggap<br />

memperoleh manfaat yang optimal jika masing-masing pihak memperoleh pangsa output<br />

yang seban<strong>di</strong>ng dengan kontribusi input yang <strong>di</strong>milikinya terhadap total output yang<br />

<strong>di</strong>hasilkan. Pendekatan fungsi produksi tersebut misalnya <strong>di</strong>gunakan oleh Irawan et al.,<br />

(1988) dalam mengevaluasi sistem bagi hasil yang berkembang <strong>di</strong> sektor perikanan.<br />

Namun pendekatan tersebut sulit <strong>di</strong>terapkan dalam penelitian ini karena modal yang<br />

<strong>di</strong>pinjamkan pedagang tidak dapat <strong>di</strong>telusuri dengan jelas pengalokasiannya untuk<br />

berbagai jenis input usahatani yang <strong>di</strong>gunakan oleh petani.<br />

Pada prinsipnya, petani maupun pedagang memperoleh manfaat finansial yang<br />

optimal <strong>di</strong> dalam kemitraan jika masing-masing pihak memperoleh pangsa output yang<br />

seban<strong>di</strong>ng dengan pangsa input yang <strong>di</strong>miliki terhadap total output yang <strong>di</strong>hasilkan. Jika<br />

setiap faktor input <strong>di</strong>asumsikan memiliki produktivitas marginal yang homogen terhadap<br />

total output maka kon<strong>di</strong>si tersebut tercapai manakala pangsa output yang <strong>di</strong>peroleh<br />

masing-masing pihak <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan pangsa modal yang <strong>di</strong>sertakan <strong>di</strong> dalam<br />

kemitraan.<br />

Misalkan dengan penggunaan modal usahatani sebesar Z petani akan<br />

memperoleh penerimaan sebesar R = Q.P, <strong>di</strong>mana Q adalah kuantitas output dan P<br />

adalah harga output <strong>pada</strong> harga pasar. Tetapi jika petani melakukan kemitraan dengan<br />

pedagang sayuran maka harga output yang <strong>di</strong>terima petani lebih rendah dari harga<br />

pasar. Sehingga penerimaan yang <strong>di</strong>peroleh petani kemitraan hanya sebesar R* yang<br />

lebih kecil dari R karena harga yang <strong>di</strong>terima petani kemitraan (P*) lebih kecil dari harga<br />

18


pasar (P). Dengan kata lain kerugian finansial yang <strong>di</strong>peroleh petani kemitraan adalah<br />

sebesar R – R* = Q (P-P*). Sedangkan pangsa output yang <strong>di</strong>peroleh petani terhadap<br />

total output adalah sebesar SO = R*/R <strong>di</strong>mana SO adalah pangsa output yang <strong>di</strong>peroleh<br />

petani.<br />

Meskipun petani kemitraan memperoleh kerugian finansial akibat harga output<br />

yang lebih rendah dari harga pasar tetapi mereka memperoleh manfaat dari pedagang<br />

mitranya yang berupa pinjaman modal usahatani. Jika modal pinjaman yang <strong>di</strong>peroleh<br />

petani dari pedagang adalah KK dan total modal yang <strong>di</strong>gunakan adalah KT maka<br />

pangsa total input yang <strong>di</strong>miliki petani adalah SI = (KT-KP)/KT.<br />

Dengan memban<strong>di</strong>ngkan nilai SO dan SI maka dapat <strong>di</strong>kaji apakah kemitraan<br />

yang berlangsung memberikan manfaat atau kerugian bagi petani. Jika SI lebih besar<br />

dari SO maka secara relatif petani <strong>di</strong>rugikan dalam kemitraan tersebut dan sebaliknya.<br />

Tabel 10 memperlihatkan imbangan manfaat dan kerugian finansial petani yang<br />

melakukan kemitraan dengan pedagang. Pada komo<strong>di</strong>tas bawang merah petani<br />

memperoleh manfaat lebih besar dari<strong>pada</strong> kerugian finansial dalam nilai absolut tetapi<br />

antara manfaat dan kerugian tidak berbeda signifikan dalam nilai relatif. Dengan<br />

meminjam modal ke<strong>pada</strong> pedagang sebesar 3,38 juta rupiah per hektar penerimaan<br />

petani hanya berkurang sebesar 1,16 juta rupiah per hektar. Dengan kata lain manfaat<br />

yang <strong>di</strong>peroleh petani dalam nilai absolut sekitar 65 persen dari besarnya nilai pinjaman<br />

modal petani ke<strong>pada</strong> pedagang. Begitu pula dalam nilai relatif petani bawang merah<br />

memperoleh manfaat dan kerugian finansial yang hampir sama karena dengan kontribusi<br />

modal usahatani sebesar 92,0 persen dari total kebutuhan modal usahatani, <strong>di</strong>peroleh<br />

bagian penerimaan sebesar 91,9 persen. Dengan kata lain, kontribusi modal petani <strong>di</strong><br />

dalam kemitraan seban<strong>di</strong>ng dengan kontribusi penerimaan yang <strong>di</strong>perolehnya.<br />

Pada komo<strong>di</strong>tas cabai petani yang melakukan kemitraan memperoleh<br />

manfaat lebih besar dari<strong>pada</strong> kerugian yang <strong>di</strong>peroleh, baik dalam nilai absolut maupun<br />

nilai relatif. Sedangkan <strong>pada</strong> komo<strong>di</strong>tas kentang petani <strong>di</strong>rugikan dalam nilai absolut<br />

sekitar 19 persen dari modal yang <strong>di</strong>pinjamnya tetapi dalam nilai relatif petani<br />

<strong>di</strong>untungkan karena pangsa penerimaan petani lebih besar 1,40 persen dari<strong>pada</strong> pangsa<br />

modalnya. Tetapi <strong>pada</strong> komo<strong>di</strong>tas kubis petani <strong>di</strong>rugikan secara absolut maupun secara<br />

relatif. Hal ini karena kuantitas kubis yang <strong>di</strong>hasilkan petani per hektar lahan jauh lebih<br />

tinggi <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan usahatani komo<strong>di</strong>tas lainnya sehingga kerugian petani.<br />

19


Tabel 10.<br />

Imbangan Manfaat dan Kerugian Finansial Petani yang Melakukan Kemitraan<br />

dengan Pedagang<br />

Uraian<br />

1. Pangsa modal petani<br />

(%)<br />

2. Manfaat finansial<br />

petani (Rp.000/ha)<br />

3. Pangsa penerimaan<br />

petani (%)<br />

4. Kerugian finansial<br />

petani (Rp.000/ha)<br />

5. Imbangan manfaat dan<br />

kerugian pe-tani:<br />

- Nilai absolut atau<br />

(2)-(4)/(2)<br />

- Nilai relatif atau (3)-<br />

(1)<br />

Bawang<br />

merah<br />

Cabai Kentang Kubis<br />

92,0 91,6 89,7 89,8<br />

3379 1779 2370 2020<br />

91,9 92,4 91,1 86,1<br />

1160 1481 2832 3262<br />

0,65<br />

-0,10<br />

0,17<br />

0,80<br />

-0,19<br />

1,40<br />

-0,61<br />

-3,70<br />

yang terbentuk akibat harga jual lebih murah dari<strong>pada</strong> harga pasar sangat tinggi secara<br />

total. Pada usahatani kubis kuantitas output per hektar sekitar 31 ton sedangkan <strong>pada</strong><br />

komo<strong>di</strong>tas bawang merah, cabai dan kentang masing-masing hanya sekitar 7,5 ton, 6,5<br />

ton, dan 11 ton per hektar. Disamping itu, potongan harga kubis yang <strong>di</strong>lakukan oleh<br />

pedagang terhadap petani mitranya relatif tinggi, sekitar 15 persen dari harga pasar.<br />

Meskipun secara umum petani relatif <strong>di</strong>untungkan dalam kemitraan yang berlaku<br />

tetapi tidak berarti pedagang mengalami kerugian dari kemitraan tersebut. Hal ini karena<br />

total keuntungan pedagang dalam periode tertentu lebih <strong>di</strong>tentukan oleh volume<br />

perdagangan dan perputaran modal yang <strong>di</strong>investasikan dari<strong>pada</strong> keuntungan per unit<br />

produk yang <strong>di</strong>perdagangkan. Dengan melakukan kemitraan dengan petani maka<br />

volume produk yang <strong>di</strong>pasarkan pedagang akan semakin besar. Begitu pula kontinyuitas<br />

perdagangan relatif terjamin karena petani yang bermitra akan selalu menjual<br />

produksinya atau membeli sarana produksi yang <strong>di</strong>butuhkan ke<strong>pada</strong> pedagang mitranya.<br />

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN<br />

Dari beberapa hasil penelitian <strong>di</strong>temukan kenyataan bahwa <strong>di</strong> desa-desa<br />

penelitian telah terdapat kelembagaan kemitraan lokal yang cukup berfungsi, yaitu<br />

kemitraan <strong>di</strong> antara para pelaku agribisnis setempat. <strong>Kelembagaan</strong> tersebut <strong>pada</strong><br />

umumnya tumbuh dengan sen<strong>di</strong>rinya <strong>di</strong> dalam masyarakat, karena sanggup memenuhi<br />

20


kebutuhan mereka. Di satu pihak para mitra memerlukan dukungan petani produsen<br />

untuk kelangsungan usahanya, sedang <strong>di</strong> pihak petani mendapat manfaat finansial<br />

karena memperoleh dana biaya produksi, sekaligus mendapat jaminan pasar bagi<br />

produk yang <strong>di</strong>hasilkan.<br />

Beberapa faktor yang menyebabkan kelembagaan lokal tersebut dapat berfungsi<br />

dengan baik dan berkelanjutan (sustainable), adalah unsur saling mengenal, saling<br />

percaya, saling dapat mengontrol, dan saling mendapat manfaat baik secara ekonomi<br />

maupun sosial. Sangsi yang cukup berat apabila terja<strong>di</strong> pelanggaran kesepakatan/norma<br />

agribisnis tersebut. Nilai-nilai kejujuran dan rasa malu karena masih tetangga dekat<br />

merupakan dasar terbinanya kemitraan yang berkelanjutan.<br />

Ada kecenderungan bahwa kon<strong>di</strong>si mitra yang lebih mampu dapat membina<br />

kelembagaan usaha yang lebih luas, <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan mitra yang kurang mampu. Terdapat<br />

mobilitas vertikal yang cukup besar bagi mitra yang dapat membina dan<br />

mempertahankan jaringan kemitraan, baik secara teknis, ekonomi, maupun sosial.<br />

Dengan demikian kelembagaan kemitraan ini cenderung terbentuk secara vertikal.<br />

Beberapa kegiatan yang <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> dalam kelembagaan kemitraan lokal<br />

<strong>di</strong>antara para pelaku agribisnis adalah pinjaman dalam bentuk uang atau sarana<br />

produksi pertanian, dan pemasaran output. Di beberapa lokasi penelitian seperti <strong>di</strong><br />

Magelang dengan komo<strong>di</strong>tas dominan cabai, telah terja<strong>di</strong> keterkaitan fungsional antar<br />

pelaku agribisnis, <strong>di</strong> tingkat hulu dan hilir. Namun demikian posisi petani relatif masih<br />

rendah, sehingga manfaat finansial yang <strong>di</strong>peroleh belum seimbang. Nampaknya cukup<br />

banyak para pelaku agribisnis yang tidak mampu menjangkau kelembagaan pembiayaan<br />

formal, sehingga terpaksa harus bermitra dengan para pemilik modal <strong>di</strong> tingkat lokal.<br />

Sentuhan pembangunan yang <strong>di</strong>perlukan mungkin tidak harus mengubah jaringan<br />

kelembagaan kemitraan lokal yang sudah ada, namun justru memperkuat faktor-faktor<br />

kelembagaan yang masih lemah. Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang dapat<br />

<strong>di</strong>lakukan antara lain:<br />

(1) Membentuk unit-unit agribisnis <strong>di</strong> sentra produksi sayuran yang terintegrasi secara<br />

fungsional dalam lembaga kemitraan lokal.<br />

(2) Membangun sarana penyimpanan yang efektif dalam memperlambat proses<br />

pembusukan sayuran <strong>pada</strong> setiap unit agribisnis.<br />

21


(3) Membangun kaitan produksi yang bersifat saling melengkapi antara daerah sentra<br />

produksi sayuran. Dalam kaitan ini maka perlu <strong>di</strong>bangun suatu lembaga koor<strong>di</strong>nasi<br />

antar kabupaten produsen yang melaksana-kan fungsi perencanaan tersebut.<br />

(4) Dalam rangka efisiensi pemanfaatan sumberdaya maka setiap kabupaten produsen<br />

seyogyanya memfokuskan produksinya <strong>pada</strong> beberapa jenis sayuran unggulan.<br />

Penetapan jenis sayuran unggulan <strong>di</strong> setiap kabupaten tersebut harus <strong>di</strong>lakukan<br />

dengan kriteria dan metoda baku untuk menghindari kerancuan daerah-daerah yang<br />

<strong>di</strong>utamakan untuk menghasilkan jenis sayuran yang akan <strong>di</strong>kembangkan. Pada<br />

kabupaten-kabupaten dengan gugus sayuran unggulan sejenis dan daerah<br />

konsumen yang sama, <strong>di</strong>bentuk lembaga koor<strong>di</strong>nasi yang berfungsi melakukan<br />

perencanaan produksi sesuai dengan kebutuhan permintaan <strong>di</strong> daerah konsumen<br />

sasaran. Dengan demikian akan terbentuk kawasan-kawasan pasar sayuran dengan<br />

kabupaten produsen dan kabupaten konsumen tertentu.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Bambang Irawan, Rozany Nurmanaf, Endang L. Hastuti, Chaerul Muslim, Yana Supriyatna,<br />

Valeriana Darwis. 2001. Stu<strong>di</strong> Kebijaksanaan Pengembangan <strong>Agribisnis</strong> Komo<strong>di</strong>tas<br />

Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,<br />

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.<br />

Erwidodo. 1995. Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian dalam Prosi<strong>di</strong>ng <strong>Agribisnis</strong>:<br />

Peluang dan Tantangan. <strong>Agribisnis</strong> Perkebunan, Peter-nakan dan Perikanan. P/SE,<br />

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.<br />

Hastuti Endang Lestari. 1996. Bentuk-Bentuk Kerjasama Ekonomi. Stu<strong>di</strong> Kasus <strong>di</strong> Desa<br />

Sukaambit, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Stu<strong>di</strong> Dinamika <strong>Pedesaan</strong>. Survey Agro<br />

Ekonomi.<br />

Mat Syukur. 1995. Kemitraan Usaha Sebagai Strategi Pemasaran Komo<strong>di</strong>tas Perikanan dan<br />

Hortikultura. dalam Prosi<strong>di</strong>ng <strong>Agribisnis</strong>: Peluang dan Tantangan. <strong>Agribisnis</strong> Perkebunan,<br />

Peternakan dan Perikanan. P/SE, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.<br />

Pranadji T., 1999. Desentralisasi dan Percepatan Transformasi <strong>Agribisnis</strong> Secara Berkelanjutan.<br />

Perspektif, Rangkuman Hasil Kajian dan Arah Penelitian. dalam Dinamika Inovasi<br />

Ekonomi <strong>Kelembagaan</strong> Pertanian. Buku II P/SE. Badan Penelitian dan Pengembangan<br />

Pertanian<br />

Simatupang Pantjar. 1999. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi <strong>Agribisnis</strong> dan<br />

Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. dalam Dinamika Inovasi Ekonomi dan<br />

<strong>Kelembagaan</strong> Pertanian. Buku II P/SE. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.<br />

22


Sudaryanto T,. Adreng Purwoto, A. Iswariya<strong>di</strong>, Khairina M. Noekman, Yusmichad Yusdja,<br />

Limbong. 1992. Penelitian <strong>Agribisnis</strong> Hortikultura. Hasil Penelitian P/SE, Badan Penelitian<br />

dan Pengembangan Pertanian.<br />

Sura<strong>di</strong>sastra Ke<strong>di</strong>. 1999. <strong>Peran</strong> Pemerintah Dalam Pemacuan Industrialisasi Pertanian. dalam<br />

Inovasi Ekonomi dan <strong>Kelembagaan</strong> Pertanian. P/SE, Badan Penelitian dan<br />

Pengembangan Pertanian.<br />

Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Sosiologi Agraria. Laboratorium Sosiologi, Anthropology dan<br />

Kependudukan. Faperta IPB bekerjasama dengan Yayasan AKATIGA, Bandung.<br />

Uphoff Nurman. 1986. Local Institutional Development.<br />

23

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!