BUDAYA POPc e p a t t a n p a h a r u s b e r s u s a h - s u s a h . U n t u k m e n j a d iseorang bintang, dapat ditempuh dalam waktu singkat.Setidaknya, itulah yang menjadi persepsi masyarakatmengenai fenomena ajang kontes bakat yang saat initengah diperagakan berbagai stasiun televisi di Indonesia.Budaya instan yang menjadikan seseorang menjadi bintangdadakan diserbu peminat. Entah apa motivasinya, tetapisejauh yang dapat diamati, calon bintang terpilih dalamsuatu kontes bakat tidak lagi mengandalkan kualitasnya.Bagaimana menarik simpati pemirsa atau meraup massasebanyak mungkin merupakan senjata untuk menjadipemenang. Pengalaman atau kisah hidup yang tragis atauberasal dari golongan bawah (kemiskinan) merupakan alatyang dijadikan peserta untuk mendapat simpati pemirsa.Yang lebih miris adalah, timbul sifat bangga akan kondisikemiskinan karena alasan menarik simpati tadi dan ajangini dijadikan sebagai ajang untuk meningkatkan tarafhidup. Penentuan pemenang dilakukan melalui polling smsmenjadikan tiap peserta untuk berlomba-lomba menariksimpati. Bahk an, calon- calon yang berkualitas yangsebenarnya layak untuk menang, justru tersisih karenakurang mampu menarik penonton. Hal ini sering terjadipada setiap acara pencarian bakat.Pertanyaannya adalah: Mengapa kemiskinan diumbaruntuk menarik simpati? Apakah ini jurus terjitu untukmenarik simpati masyarakat? Jika demikian, ini sungguhsangat disayangkan, karena potret kemiskinan dijadikankomoditi meraih popularitas dan propaganda untukmelanggengk an tujuannya. Kemisk inan seolah- olahdapat diselesaikan dengan cara instan, dengan mengikutiajang atau kontes bakat. Yang menjadi kekuatiran ialahadanya budaya meniru, sehingga masyarakat berlomba-Tayangan Idola Ciliklomba untuk menjadi selebritis. Akan timbul anggapan18Perempuan Bergerak | Edisi II|Mei - Agustus 2008di masyarakat, bahwa dengan menjadi populer, makadalam waktu singkat dapat memperoleh penghasilanyang banyak.Embel-embel sebagai ajang mencari bibit baru atautalent show, hal itu dimanfaatk an benar-benar olehpihak pertelevisian. Padahal, ketika tayang tak jarangcalon bintang yang tampil memiliki suara yang pas-pasan,bahkan tidak layak sama sekali. Kontes semacam ini jikatidak mengandalkan suara, maka tampang dan simpatiyang dijadik an komoditi untuk menang. Yang terjadisekarang, jauh dari sekadar mencari bibit baru. Acara inijustru dijadikan alternatif hiburan oleh sebagian penontonatau tidak punya pilihan alternatif hiburan. Karena sepertikita ketahui, acara televisi kita selain dipenuhi begitubanyak sinetron, juga dihuni oleh program-program yanglebih mengedepank an hiburan semata tanpa mak na.Belum lagi selingan-selingan iklan yang bias gender. Sisiedukasinya sangat minim. Padahal televisi merupakanmedia penyampai pesan dan juga salah satu bentukbudaya massa.Pihak televisi sendiri seper ti tidak peduli dengank o n d i s i i n i , k a rena m e n i n g k a t k a n r a t i n g d a n s h a repenonton adalah yang terpenting. Karena semakin tinggirating, maka pemasangan iklan dalam program tersebutsemakin banyak. Semakin banyak iklan yang “nampang”,maka keuntungan semakin besar. Kembali lagi, masalahkeuntungan dalam jumlah yang besar dan maksimal menjadialasan dibalik program-program pencarian atau kontesbakat, yang sebetulnya kurang mendidik. Sesungguhnyatelevisi juga memiliki tanggungjawab sosial sebagai mediayang memberik an pendidik an terhadap masyarak at.Intervensi sistem kapitalisme dalam duniapertelevisian Indonesia sangatlah jelas. Cobalihat dari periode penayangan kontes bakattersebut. Periodenya biasanya dibuat palingtidak setahun sekali, sehingga dalam jangkawaktu tersebut muncul binatang baru lagi.Sedangkan bintang yang terbentuk dalamkontes bakat sebelumnya menjadi tenggelam,b a h k a n h i l a n g s a m a s e k a l i . D a n p i h a kpenyelenggara lepas tangan setelah kontesberakhir, tanpa ada tindak lanjut. Jika bintangbaru muncul setahun sekali di sebagian besarajang kontes bakat, maka beberapa tahunke depan di Indonesia akan banyak sekalipenyanyi, ataukan memang semua orang diIndonesia mau jadi penyanyi?
Reality show tidak mendidik masyarakat apalagianak-anak. Hal itu diungkap oleh Menteri PemberdayaanPerempuan, Meuthia Hatta Swasono. Beliau mengimbauagar stasiun televisi menghentikan tayangan realitys h o w k a r e n a d a p a t m e n g g i r i n g a n a k b e r s i k a pkonsumerisme, boros, pamer, hura-hura, dan anakmenjadi terobesesi, sedangkan eksplorasi bakatnyaj u s tru sangat minim. M e l i h at a j a n g k o ntes b a k atmenyanyi anak yang ditayangkan salah satu stasiuntelevisi, justru menimbulkan keprihatinan tersendiri.Kehidupan anak-anak diplot dalam suatu skenario dimana ia harus menuruti setiap adegan dalam skenariotertentu. Belum lagi mereka menyanyikan lagu-lagudewasa yang belum pantas merek a nyanyik an danriasan tebal, sehingga anak menjadi tumbuh sebelumwaktunya. Mungkin sebagian orang tua akan banggamenyaksikan anaknya menyanyi di atas pentas danmendapat sorakan penonton, namun belum tentu halyang sama dialami oleh si anak.Hasil wawancara kalyanamitra dengan beberapao r a n g m e n u n j u k k a n b a h w a a j a n g k o n t e s b a k a tsebenarnya bagus, karena dapat menyalurkan hobi dankreatifitas. Namun, di sisi lain, mereka menyayangkankarena kreatifitas peserta kontes bakat tersebut hanyad a l a m m e nyany i k a n l a g u - l a g u o r a n g l a i n , b u k a nkreatifitas dalam mencipta lagu. Selain itu, merekamenilai bahwa peserta yang mengikuti ajang tersebutd i s a m p i n g i n gin m e n j a d i p o p u l e r j u g a m e m i l i k imotif lain, yakni mencari uang. Mereka tidak setujudengan maraknya reality show yang periodenya terlaluberdekatan, karena menjadi terlalu banyak mencetakbintang, sehingga bintang-bintang yang lama menjaditenggelam.Program reality show lain yang tidak kalah hebohdengan ajang kontes bakat, yakni yang berkonsepcharity. Sebut saja uang kaget, bedah rumah, rezekinomplok, dll. Dari konsep acara terlihat jelas, bahwayang menjadi objek sasaran adalah masyarakat kelasbawah yang dekat dengan kemiskinan, dan benar-benarperlu ditolong (lagi-lagi kemiskinan yang diekspos).Pada dasarnya tidak ada masalah dalam program acaraitu, k arena bisa mendorong penonton untuk lebihmemperhatik an lingkungan sek itar dan terdoronguntuk melakukan hal yang sama kepada orang lainyang membutuhkan. Namun dalam perkembangannya,masyarakat miskin menjadi berharap lebih agar merekam e njadi objek penerima u a n g d a d a k a n tersebut.Dampak lain yang timbul ialah munculnya persepsid i m a s y a r a k a t b a h w a p e r s o a l a n k e m i s k i n a n d a p a tdiselesaikan dengan cara memberikan uang yang banyakdalam waktu yang singkat. Kesan menjadi jutawan dadakanmelek at dalam benak masyarak at, tanpa memik irk ankehidupan jangka panjang. Belum lagi konsep acara yangmengharuskan mereka berlomba-lomba dengan waktuuntuk menghabisk an uang dalam waktu sek ian jam,sehingga menimbulkan pendapat bahwa segala sesuatuakan dilakukan untuk mendapatkan uang.Yang menarik dari program charity ialah sebagian besarpenerima uang dadakan tersebut justru perempuan tua danmiskin. Mungkin ini dampak positif acara seperti ini, karenamasyarakat menjadi tahu potret kemiskinan perempuanIndonesia. Seharusnya, ini menjadi bentuk keprihatinpemerintah dalam melihat kondisi perempuan Indonesiayang masih sangat dekat dengan kemiskinan dan secepatmungkin mencari solusi untuk menanggulanginya.Persoalan kemiskinan perempuan di Indonesia tanpaharus dibuat menjadi reality show di layar kaca, ini telahmenjadi reality show di kehidupan nyata kita. Pemiskinanperempuan terjadi dalam segala bidang kehidupan.Dalam bidang sosial ekonomi, politik, dan budaya. Danpersoalan ini tidak dapat diselesaikan dengan menjadibintang dadakan atau objek charity, namun perlu kerjak e ras p e m e r i ntah. Pe re m p u a n a d a l a h t i a n g negara.Harusnya konsep ini disadari betul oleh pemerintah,sehingga perempuan harus diprioritask an dalam halpemenuhan hak-hak dasarnya. Namun, hingga 100 tahunkebangk itan nasional Indonesia, 63 tahun IndonesiaMerdeka, 10 tahun reformasi, kaum perempuan indonesiamasih belum merdeka dalam memperoleh hak-haknya,apalagi pemenuhannya oleh negara. Demikian pula yangterjadi dalam program-program televisi Indonesia saatini tidak mengakomodasi kemerdekaan bagi perempuanindonesia untuk menyatakan aspirasi dan mengekspresikankepentingannya, melainkan makin melanggengkan budayapatriarki dalam sistemnya yang kapitalis yang menindas,membodohkan, dan membuat mereka terkebelakang. Inimemerlukan gerakan sosial politik seluruh lapisan rakyatuntuk mengubah kondisi penindasan itu. (IK)Sumber bacaan:1. Gumgum Gumilar, Reality Show.2. Harian Media Indonesia, Reality Show tidak Mendidikbagi Anak-anak, Jumat 15 Agustus 2008.BUDAYA POP19Perempuan Bergerak | Edisi II |Mei - Agustus 2008