22.02.2013 Views

LAPORAN AKHIR - Satuportal.net

LAPORAN AKHIR - Satuportal.net

LAPORAN AKHIR - Satuportal.net

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>LAPORAN</strong> <strong>AKHIR</strong><br />

Penelitian Perilaku Pencarian Bantuan<br />

Kesehatan pada Pengguna Napza Suntik di<br />

Bekasi<br />

Versi Indonesia<br />

� Bur<strong>net</strong> Institute bekerja sama dengan<br />

� Pusat Penelitian HIV/AIDS<br />

Universitas Katolik Atma Jaya<br />

Jakarta, Indonesia<br />

2010


1<br />

Pusat Penelitian HIV/AIDS, Universitas Katolik Atma Jaya<br />

Konsultan : Prof. Irwanto, Ph.D<br />

▪ Lidia Laksana Hidajat<br />

▪ Octavery Kamil<br />

▪ Raymond Asima Imanuel Tambunan<br />

▪ Emmy<br />

▪ Sari Lenggogeni<br />

▪ Plamularsih Swandari<br />

▪ Siska Natalia<br />

▪ Natalia Christiane<br />

Yayasan Mitra Sehati<br />

▪ Novan Andri P.<br />

Yayasan LKI<br />

▪ Basuki<br />

Bur<strong>net</strong> Institute<br />

▪ Elise Willersdorf<br />

▪ Titin Rejeki<br />

PENULIS


Penulis<br />

Daftar Isi<br />

Daftar Gambar dan Tabel<br />

BAB I PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang<br />

B. Tujuan Penelitian<br />

C. Acuan Teori<br />

D. Metodologi<br />

2<br />

BAB 2 HASIL PENELITIAN<br />

A. Gambaran Lembaga Kunci dan Layanan<br />

Kesehatan dalam Program Harm Reduction<br />

di Kota Bekasi<br />

A.1. KPA Kota Bekasi<br />

A.2. Lembaga Kasih Indonesia<br />

A.3. Yayasan Mitra Sehati<br />

A.4. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)<br />

Bekasi dan Pusat Kesehatan Masyarakat<br />

A.4.a. Layanan ARV<br />

A.4.b. PTRM<br />

A.4.c. Layanan Jarum Suntik Steril<br />

B. Perilaku Pencarian Bantuan Kesehatan pada<br />

Pengguna Napza Suntik<br />

B.1. Pengetahuan<br />

B.2. Belief<br />

B.3. Practice<br />

B.4. Attitude<br />

C. Dukungan dan Tantangan Pragmatik dalam<br />

Pencarian Bantuan Kesehatan dari Penyedia<br />

Layanan Terkait HIV dan AIDS di Kota<br />

Bekasi<br />

C.1. Layanan Jarum Suntik Steril<br />

C.2. Terapi Rumatan Metadon<br />

C.3. Layanan Konseling dan Tes HIV<br />

C.4. Layanan ARV<br />

C.5. Sistem Kesehatan Pendukung<br />

C.6. Keberlanjutan Program<br />

BAB 3 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN<br />

REKOMENDASI<br />

A. Kesimpulan<br />

B. Diskusi<br />

C. Rekomendasi<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

DAFTAR ISI<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

8<br />

8<br />

12<br />

17<br />

18<br />

18<br />

19<br />

20<br />

21<br />

22<br />

22<br />

23<br />

25<br />

25<br />

27<br />

29<br />

32<br />

33<br />

33<br />

34<br />

36<br />

38<br />

39<br />

40<br />

42<br />

43<br />

44<br />

50<br />

53


DAFTAR GAMBAR<br />

3<br />

DAFTAR GAMBAR & TABEL<br />

Gambar 1 : The Health Belief Model<br />

Gambar 2 : Modifikasi Socio-Behavioral Model<br />

DAFTAR TABEL<br />

Tabel 1 : Data Intervensi LKI Periode 2006-2009<br />

Tabel 2 : Data Intervensi YMS s/d akhir 2009<br />

Tabel 3 : Penggunaan Layanan Metadon PTRM<br />

Bekasi<br />

10<br />

11<br />

19<br />

21<br />

22


A. Latar Belakang<br />

B. Tujuan Penelitian<br />

C. Acuan Teori<br />

D. Metodologi<br />

4<br />

BAB 1<br />

PENDAHULUAN


5<br />

Bab ini berisi uraian latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, rumusan tujuan<br />

penelitian, uraian kerangka teoritis yang digunakan, serta metode dan prosedur yang<br />

dilakukan dalam penelitian ini.<br />

A. LATAR BELAKANG<br />

Sepanjang satu dasawarsa terakhir, peningkatan jumlah penularan HIV dan AIDS<br />

di Indonesia telah menyebabkan keprihatinan yang mendalam. Berbagai upaya sudah<br />

dilakukan untuk menekan lajunya angka penularan HIV, baik oleh lembaga kesehatan<br />

pemerintah maupun swasta, LSM, serta lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan<br />

internasional, namun seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak tercatat kasus<br />

baru yang menambah jumlah orang dengan HIV dan AIDS.<br />

Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan<br />

Kementrian Kesehatan (Ditjen PP dan PL) sampai bulan November 2009 menunjukkan,<br />

jumlah kumulatif kasus AIDS di seluruh Indonesia mencapai 18.442 kasus, dengan<br />

peringkat jumlah kasus tertinggi di Propinsi Jawa Barat (3233 kasus); Jawa Timur (3133<br />

kasus), DKI Jakarta (2811 kasus), Papua (2681 kasus) dan Bali (1506 kasus).<br />

Dari jumlah kumulatif yang mencapai 18.442 kasus tersebut, cara penularan<br />

utama adalah melalui hubungan seksual dan pertukaran jarum suntik. Survei perilaku<br />

yang dilakukan tahun 2007 oleh Depkes di 8 kota menunjukkan, kecenderungan<br />

perilaku menyuntik dengan berbagi alat suntik masih tinggi. Hal ini mengakibatkan<br />

penularan HIV tetap tinggi di kalangan pengguna napza suntik. Pada tahun 2005,<br />

prevalensi HIV pada kelompok pengguna napza suntik tercatat 14%, kemudian<br />

meningkat pada tahun 2007 menjadi 54% (BSS-Depkes, 2007).<br />

Menurut data Ditjen PP dan PL, pengguna narkoba dengan jarum suntik<br />

(pengguna napza suntik) yang dilaporkan terinfeksi HIV sampai November 2009<br />

berjumlah 7498 orang, yang berarti berkisar sekitar 41% dari seluruh jumlah kasus.<br />

Meski jika ditinjau dari perspektif yang lain meningkatnya angka kasus HIV dan<br />

AIDS dapat diartikan telah ada peningkatan kesadaran untuk melakukan VCT, namun<br />

peningkatan prevalensi HIV dan AIDS yang belum dapat ditekan menyebabkan masalah<br />

HIV dan AIDS perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang lebih maksimal.<br />

Di antara beberapa pendekatan untuk memahami terjadinya penularan HIV dan<br />

AIDS melalui jarum suntik, pemahaman terhadap perilaku manusia dianggap sebagai<br />

salah satu cara yang cukup dapat memberikan penjelasan. Ketergantungan seseorang


6<br />

kepada narkoba dan zat adiktif adalah suatu keadaan yang sifatnya multidimensional,<br />

sehingga untuk mengatasinya juga dibutuhkan keterlibatan banyak pihak. Para pakar di<br />

bidang intervensi kesehatan masyarakat dan para pemangku kebijakan di bidang<br />

kesehatan pada umumnya mengakui bahwa layanan kesehatan yang telah disediakan<br />

tidak akan mampu membantu mengatasi masalah jika tidak ada kesadaran pribadi untuk<br />

hidup sehat dari para pengguna napza suntik tersebut. Sementara di sisi lain, kesadaran<br />

pribadi dan pengetahuan pada tataran individual saja juga tidak akan cukup untuk<br />

mengubah sikap dan perilaku sehat jika tidak didukung oleh ketersediaan layanan dan<br />

lingkungan tempat seseorang hidup dan beraktivitas.<br />

Penelitian ilmiah yang dilakukan di berbagai belahan dunia untuk mendukung<br />

upaya peningkatan kesehatan para pengguna narkoba suntik maupun penularan HIV<br />

dan AIDS sejak beberapa waktu lalu banyak didasarkan pada Model Knowledge, Attitude,<br />

and Practice (Green, 2001; Hausmann-Muela, dkk., 2003; Manderson dan Aaby, 1992;<br />

Nichter, 2008). Ketiga elemen utama dalam model tersebut dianggap dapat membantu<br />

memberikan gambaran Health-seeking behavior (HSB), yang menurut sejumlah literatur<br />

dipahami sebagai: berbagai upaya yang dilakukan seseorang ketika menganggap dirinya<br />

mempunyai masalah kesehatan atau sakit dengan tujuan memperoleh pengobatan yang<br />

sesuai (Hausmann-Muela, dkk, 2003; Arulmony, 2004; Nuwaha, 2006).<br />

Health-seeking behavior secara jamak juga dipahami sebagai upaya pencarian<br />

bantuan layanan kesehatan, meski sebagian pakar ilmu perilaku dan kesehatan<br />

beranggapan bahwa health-seeking behavior tidak selalu bermuara pada pencarian<br />

bantuan layanan kesehatan tetapi juga bisa berarti upaya diri sendiri untuk menjalani<br />

pola hidup sehat.<br />

Meski tetap berakar pada elemen pengetahuan, sikap, dan pengalaman, dalam<br />

perkembangannya, berbagai penelitian ilmiah dan modifikasi model menyertakan<br />

elemen-elemen lain yang dianggap cukup penting dan berpengaruh terhadap perilaku<br />

sehat sakit dan pencarian bantuan kesehatan, misalnya belief, karakteristik psikologis,<br />

motivasi, perceived benefits atau dimensi lainnya. Penyesuaian ini pada umumnya sangat<br />

tergantung dari disiplin ilmu yang terkait. Model tertua yang masih terus digunakan<br />

sampai hari ini adalah the Health Belief Model, sebuah model yang dilatar belakangi<br />

Psikologi Sosial, begitu pula Theory of Planned Behavior. Sementara Health Care<br />

Utilization Model yang dikemukakan Andersen dan Socio-Behavioral Model yang<br />

disempurnakan oleh Kroeger (Hausmann-Muela et al., 2003) bertolak dari sudut<br />

pandang Sosiologi Kedokteran dengan penambahan pertimbangan aspek sosial ekonomi.<br />

Pengguna napza suntik yang akan menjadi perhatian utama dalam penelitian ini<br />

adalah pengguna napza suntik yang selama ini menggunakan layanan kesehatan di<br />

Kabupaten dan Kota Bekasi.


7<br />

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Kota Bekasi yang merupakan bagian<br />

dari Provinsi Jawa Barat mempunyai jumlah penduduk sebanyak 1.987.030 jiwa, dengan<br />

komposisi 985.320 laki-laki dan 1.001.710 perempuan. Jumlah penduduk berusia<br />

antara 15 – 49 tahun adalah sejumlah 1.330.320 jiwa (estimasi rata-rata). Diperkirakan<br />

sebanyak 17.120 jiwa merupakan populasi rawan HIV dan AIDS di Kota Bekasi. Estimasi<br />

ODHA sebanyak 719 orang (SA Lespra, 2007)<br />

Data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi sampai Desember 2008 menyebutkan<br />

adanya 1060 kasus yang tercatat, yaitu HIV kasus 560 dan 500 kasus AIDS 500,<br />

sementara di Kabupaten Bekasi tercatat sebanyak 386 kasus dengan rincian 351 kasus<br />

HIV dan AIDS 35 kasus AIDS. Dengan jumlah tersebut, maka Kota Bekasi menempati<br />

urutan kedua (setelah kota Bandung) untuk kasus HIV dan AIDS terbanyak di Provinsi<br />

Jawa Barat.<br />

Selain besarnya jumlah sub-populasi pengguna napza suntik di Kota Bekasi<br />

menjadi faktor resiko penularan HIV terbesar di saat ini dan di beberapa tahun<br />

mendatang, faktor pendorong lain yang menyebabkan tingginya prevalensi HIV dan<br />

AIDS pada kalangan pengguna napza suntik di Kota Bekasi adalah letak Kota Bekasi yang<br />

berbatasan dengan daerah prevalensi tinggi (DKI Jakarta). Di samping masalah geografis,<br />

sejumlah krisis multi dimensial lain yang dianggap berperan adalah tingginya angka<br />

penggangguran dan kriminalitas, tingginya mobilitas penduduk untuk berdagang,<br />

wisata, sejumlah faktor budaya, serta pengendalian infeksi yang lemah (baik dari sisi<br />

skill, budget, policy).<br />

Ancaman epidemi semakin terbuka karena secara geografis wilayah di<br />

Kabupaten dan Kota Bekasi berada pada jalur pantura, dan mengalami pembangunan<br />

sosial ekonomi yang semakin berkembang pesat. Sementara itu kegiatan penjangkauan<br />

dan pendampingan kepada kalangan pengguna napza suntik di kota Bekasi masih<br />

terbatas oleh Lembaga Kasih Indonesia (LKI) dan di Kabupaten Bekasi bahkan belum ada<br />

kegiatan pendampingan dan penjangkauan kepada para pengguna napza suntik.<br />

Mengingat bahwa kesadaran untuk hidup lebih sehat akan sangat terkait dengan<br />

pengetahuan, sikap, keyakinan, perilaku, pengalaman, informasi yang diperoleh serta<br />

perilaku dan gaya hidup seseorang, dan juga mengingat bahwa para pengguna napza<br />

suntik memiliki karakteristik psikososial yang khas, maka penelitian ini tidak akan<br />

terpaku pada satu model health-seeking behavior tertentu, tetapi lebih menekankan<br />

pada penggalian terhadap aspek-aspek dan elemen pendukung yang diasumsikan akan<br />

menentukan pencarian bantuan kesehatan.


B. TUJUAN PENELITIAN<br />

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk<br />

8<br />

1. Menggali faktor-faktor yang berperan dan menjadi dasar pencarian<br />

layanan kesehatan pada pengguna napza suntik di wilayah Kabupaten dan<br />

Kota Bekasi, Propinsi Jawa Barat.<br />

2. Memperoleh gambaran tentang aspek sosio demografis para pengguna<br />

napza suntik, keyakinan, sikap dan persepsi mereka terhadap penyediaan<br />

layanan kesehatan yang ada, bagaimana cara pandang mereka terhadap<br />

gejala yang dirasakan, serta pendapat mereka tentang layanan kesehatan<br />

primer yang tersedia.<br />

3. Mengidentifikasi hambatan dan kemudahan yang dirasakan oleh para<br />

pengguna napza suntik dalam memanfaatkan sarana layanan kesehatan<br />

dan program Harm Reduction di wilayah Kota Bekasi.<br />

4. Membantu pengembangan berbagai intervensi bagi para pengguna napza<br />

suntik, serta memberdayakan para pengguna napza suntik dalam<br />

memanfaatkan layanan kesehatan dengan sebaik-baiknya.<br />

5. Menyebarkan hasil penelitian melalui kerjasama dengan Bur<strong>net</strong> Institute<br />

Indonesia kepada para pemangku kebijakan di tingkat nasional sehingga<br />

dapat digunakan sebagai bahan masukan dan rekomendasi dalam<br />

memberikan layanan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan para<br />

pengguna napza suntik.<br />

C. ACUAN TEORI<br />

Telah banyak kajian dikemukakan untuk memahami perilaku seseorang dalam<br />

memaknai keadaan sehat dan sakit, serta upaya apa saja yang dilakukan untuk<br />

memperoleh pengobatan, menjadi sehat, ataupun menjalani pola hidup sehat.<br />

Meski terdapat perbedaan dalam sudut pandang dan titik berat dari masing-<br />

masing model, namun pada umumnya perubahan perilaku kesehatan mengacu pada<br />

aspek-aspek yang sama yaitu pengetahuan, sikap, keyakinan, harapan, perilaku dan<br />

praktik berobat yang sudah dijalani sebelumnya. Aspek-aspek ini menjadi elemen yang<br />

penting sejak pendekatan biopsikososial menyatakan bahwa keadaan sehat dan sakit<br />

seseorang tidak lagi ditinjau semata-mata dari sisi biologis dan medis, tetapi juga dengan<br />

memperhatikan aspek psikososial yang ada (Sheridan dan Radmacher, 1992). Sejak


9<br />

terjadinya pergeseran paradigma tersebut, peran potensial ilmu sosial dan perilaku<br />

dalam bidang kesehatan menjadi landasan ilmiah yang selalu dipertimbangkan dalam<br />

memahami keadaan sehat dan sakit (Berry dkk., 1999).<br />

Beberapa elemen yang ditinjau dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :<br />

1. Pengetahuan (Knowledge )<br />

Seberapa jauh seseorang atau sekumpulan orang dalam suatu komunitas<br />

memiliki pengetahuan tentang sehat dan sakit, penyakit dan pengobatannya, atau<br />

layanan kesehatan yang tersedia, dianggap sebagai salah satu faktor yang berpengaruh<br />

dalam menentukan pemilihan layanan kesehatan yang akan digunakan.<br />

2. Keyakinan atau kepercayaan (Belief )<br />

adalah anggapan atau pendapat yang diterima sebagai suatu kebenaran dan<br />

mempengaruhi seseorang dalam bertindak dan berperilaku. Dalam konteks sehat dan<br />

sakit, keyakinan memegang peranan yang cukup penting karena dapat menjadi<br />

pendorong atau justru penghambat bagi pencarian bantuan kesehatan yang akan<br />

dilakukan. Keyakinan dapat mencakup pendapat tentang diri sendiri, atau tentang<br />

layanan yang akan (atau tidak akan) digunakan. Seringkali, keyakinan terkait erat<br />

dengan citra diri, misal : “Saya tidak berani datang ke Puskesmas, karena kalau mereka<br />

tahu saya terinfeksi HIV, mereka pasti akan menolak saya”.<br />

3. Sikap (Attitude )<br />

adalah keyakinan seseorang terhadap suatu objek atau situasi tertentu, yang<br />

dapat bersifat positif ataupun negatif. Sikap, dalam kaitannya dengan pencarian bantuan<br />

kesehatan pada umumnya terkait erat dengan pemilihan tempat berobat, atau terapi<br />

tertentu. Sikap kadang-kadang juga tertuju kepada orang-orang yang memberikan<br />

pelayanan kesehatan, setelah adanya pengalaman yang menyenangkan atau tidak<br />

menyenangkan.<br />

4. Pemanfaatan layanan kesehatan dan perilaku sehat ( Practice, Behavior )<br />

yaitu praktik berobat yang biasa dilakukan seseorang, termasuk sejauh mana ia<br />

merasa perlu datang berobat atau cukup mengatasi gangguannya dengan upaya lain<br />

`


10<br />

Dalam kehidupan sehari-hari, keempat butir di atas menjadi sebuah rangkaian<br />

yang saling berkaitan dan mempengaruhi seseorang dalam memilih tindakan untuk<br />

sehat dan bentuk layanan kesehatan yang dibutuhkan. Rosenstock mempertimbangkan<br />

aspek-aspek tersebut dalam the Health Belief Model yang masih tetap digunakan sebagai<br />

acuan untuk banyak penelitian kesehatan termasuk di bidang HIV dan AIDS (Hausmann-<br />

Muela, dkk., 2003)<br />

Variabel<br />

demografis<br />

Karakteristik<br />

Psikologis<br />

Kerentanan terhadap<br />

penyakit dan faktor resiko<br />

Tingkat keparahan<br />

penyakit<br />

Motivasi untuk sehat<br />

MANFAAT<br />

Hal-hal yang dianggap<br />

sebagai HAMBATAN<br />

Gambar 1 : The Health Belief Model (sumber Sheridan dan Radmacher, 1992)<br />

Dalam konteks penggunaan napza dengan jarum suntik, maka pengetahuan<br />

antara lain akan mencakup pemahaman terhadap sehat dan sakit secara umum, apa<br />

yang dilakukan kalau sakit, bagaimana menjaga kesehatan, pengetahuan tentang resiko<br />

akibat menyuntik, pengetahuan tentang layanan (tempat, jenis dll). Pencarian bantuan<br />

dan layanan kesehatan juga akan ditentukan oleh sumber informasi, adakah keyakinan /<br />

kepercayaan tertentu yang dimiliki pengguna napza suntik tentang cara untuk sehat,<br />

pandangan pengguna napza suntik tentang akses terhadap layanan, pernah mengakses<br />

layanan kesehatan atau tidak, pengalaman dalam hal mengakses layanan. Keadaan sehat<br />

dan sakit akan banyak terkait juga dengan keadaan-keadaan yang bersifat khusus seperti<br />

ketika sakit mendapat dukungan dari siapa, dan apa saja hambatan pribadi yang mereka<br />

rasakan. Semua aspek ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana<br />

sikap pengguna napza suntik terhadap layanan kesehatan yang tersedia.<br />

TINDAKAN<br />

Hal-hal yang<br />

mempengaruhi<br />

tindakan<br />

Faktor-faktor knowledge, attitude, dan practice juga dianggap sebagai elemen<br />

yang hampir selalu melandasi pengembangan berbagai model perilaku kesehatan. Dalam


11<br />

pengembangan selanjutnya Kroeger (2003) mempertimbangkan derajat keparahan dan<br />

keadaan sakit seseorang, karena dianggap akan sangat menentukan (dan ditentukan)<br />

oleh faktor-faktor predisposisi seperti usia, pendidikan, status pernikahan, kondisi sosial<br />

ekonomi, pekerjaan dll. Selain itu bagaimana persepsi seseorang dan pengetahuannya<br />

tentang gangguan yang dialami akan menentukan upaya yang akan dilakukan.<br />

Berbeda dengan model-model yang lain, Kroeger memasukkan pentingnya<br />

karakteristik layanan kesehatan (apakah mudah dijangkau, bagaimana mutu<br />

layanannya, apakah jaraknya mudah dicapai, dsb). Semua faktor ini akan menentukan<br />

seperti apa layanan kesehatan dan pengobatan yang akan dipilih seseorang. Penjelasan<br />

Kroeger dapat dilihat dalam bagan berikut ini:<br />

Morbiditas<br />

( keadaan<br />

sakit /<br />

derajat<br />

penyakit )<br />

Faktor-faktor<br />

predisposisi ( usia,<br />

jenis kelamin, etnis,<br />

pendidikan,<br />

pekerjaan, kondisi<br />

sosial ekonomi )<br />

Persepsi terhadap<br />

penyakit dan<br />

pengetahuan<br />

tentang gangguan<br />

Karakteristik<br />

Layanan Kesehatan<br />

Gambar 2 : Modifikasi Socio-Behavioral Model (Kroeger, 2003)<br />

Pilihan Layanan<br />

Kesehatan /<br />

Pengobatan<br />

Sementara itu, para pengguna napza suntik yang sudah terinfeksi HIV dan<br />

menderita AIDS perlu memperoleh perhatian yang lebih spesifik karena orang-orang<br />

dengan HIV dan AIDS adalah orang-orang yang memiliki aspek psikologis khusus (Tsoi,<br />

1990; Farber, dkk, 2003; Watstein dan Chandler, 1998 ). Meski menunjukkan reaksi<br />

yang berbeda antara seorang ODHA dengan yang lainnya, dapat dikatakan bahwa<br />

mereka merasakan kecemasan karena mengetahui bahwa penyakit yang diderita hampir<br />

tidak mungkin disembuhkan. Mereka juga mengalami kehilangan atas kematian rekan-<br />

rekan sesama ODHA satu persatu, merasa bersalah kepada keluarganya, marah, atau<br />

tidak berdaya. Beberapa penelitian juga memperlihatkan adanya kecenderungan bunuh<br />

diri karena rasa putus asa yang kuat. Selain itu, para ODHA tidak jarang harus<br />

menghadapi masalah sosial ekonomi yang pelik, karena masih adanya stigmatisasi dalam<br />

masyarakat, serta diskriminasi terhadap hak-hak yang mestinya mereka peroleh.<br />

Pengobatan<br />

Tradisional /<br />

Alternartif<br />

Pengobatan<br />

Modern<br />

Toko Obat /<br />

Pejualan Obat<br />

Pengobatan sendiri<br />

atau tidak berobat


12<br />

Dengan kondisi khusus yang dihadapi para ODHA pengguna napza suntik, maka<br />

selain mengacu pada model Kroeger, model perilaku kesehatan dalam penelitian ini juga<br />

akan mengacu kepada The AIDS Risk Reduction Model (ARRM), yang dikembangkan<br />

oleh Catania dkk. [1990]. Tahapan-tahapan dalam ARRM adalah :<br />

1. pengetahuan ODHA tentang jenis, bentuk gangguan dan bahaya penyakit<br />

2. kesadaran ODHA/ pengguna napza suntik tentang kerentanan dirinya<br />

3. kemauan untuk melakukan upaya penurunan resiko dan mencari bantuan<br />

kesehatan<br />

Menurut Catania dkk., butir 1, 2 dan 3 adalah tahapan yang saling berkaitan.<br />

Seseorang akan memiliki kemauan untuk mencari bantuan kesehatan jika ia menyadari<br />

resiko yang ada. Dalam ARRM, faktor transmisi seksual sebagai salah satu faktor khas<br />

pada ODHA diikutsertakan sebagai elemen yang mendukung atau justru menghambat<br />

pola pencarian bantuan kesehatan dan pola hidup sehat yang mereka lakukan.<br />

Acuan teoritik yang telah dikemukakan di atas adalah landasan ilmiah yang akan<br />

digunakan dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil penelitian ini.<br />

D. METODOLOGI<br />

Dengan tujuan utama menggali faktor-faktor yang mendasari bentuk pencarian<br />

dan penggunaan layanan kesehatan pada para pengguna narkoba suntik, maka<br />

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan<br />

tujuan utama penggalian deskriptif dan eksploratif. Di samping itu, data tentang<br />

kebijakan pemerintah, peraturan, pelaksanaan program Harm Reduction dan aturan<br />

pelaksanaan terapi dan pengobatan terkait dengan HIV dan AIDS di Kota Bekasi akan<br />

menjadi data sekunder dan acuan untuk analisis dan rencana tindak lanjut yang akan<br />

diusulkan.<br />

1. Definisi Operasional<br />

Yang disebut health seeking behavior adalah pencarian bantuan kesehatan yang<br />

dalam penelitian ini dilakukan oleh para pengguna napza suntik, dengan<br />

memperhatikan sejumlah elemen seperti pengetahuan, sikap, keyakinan, dan perilaku /<br />

praktik pencarian bantuan yang pernah dilakukan.


2. Subjek Penelitian<br />

13<br />

Dari penelitian ini diharapkan adanya gambaran tentang pola perilaku<br />

pengguna napza suntik di wilayah Kabupaten dan Kota Bekasi, serta program-program<br />

intervensi yang sudah pernah diterapkan sebelumnya. Maka subjek penelitian ini adalah<br />

para pengguna napza suntik atau mantan pengguna napza suntik yang menjadi klien<br />

beberapa LSM pendukung program Harm Reduction di Kota Bekasi, pasangan dan<br />

keluarga pengguna napza suntik, serta peserta Terapi Rumatan Metadon di Bekasi.<br />

3. Kriteria Subjek Penelitian<br />

Metode penelitian kualitatif dipilih untuk menjadi metode penelitian ini karena<br />

ingin memahami pola atau fenomena sosial tertentu, yaitu pencarian bantuan layanan<br />

kesehatan pada para pengguna napza suntik.<br />

Subjek penelitian dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan metode variasi<br />

maksimum (maximum variation) dan karenanya subjek yang dipilih dalam penelitian<br />

ini adalah mereka yang memenuhi kriteria sebagai berikut:<br />

a. Pengguna napza suntik :<br />

kriteria partisipan pengguna napza suntik ditentukan berdasarkan beberapa hal<br />

dibawah ini :<br />

1. Wilayah (dipilih partisipan dari beberapa wilayah yang dianggap cukup<br />

mewakili, mulai dari Bekasi Timur, Utara, Medan Satria, dan Pondok Gede)<br />

2. Pengalaman dan lamanya di dampingi (dipilih mulai dari yang belum lama<br />

di dampingi (< 1tahun), sampai yang diatas 2 tahun, juga pengalaman<br />

pernah bersentuhan dengan hukum dan yang tidak )<br />

3. Intensitas dan lama penggunaan zat (dipilih partisipan yang intensitas<br />

penggunaan zatnya rendah, sampai yang hard core, lama penggunaan<br />

zatnya juga bervariasi, mulai dari yang baru 1 tahun sampai lebih dari 2<br />

tahun)<br />

4. Pengalaman mengakses layanan HR (dipilih partisipan yang sudah sering<br />

terhubung dengan layanan HR, juga partisipan yang pengalamannya dalam<br />

mengakses layanan HR sangat sedikit)<br />

5. Usia (usia partisipan bervariasi, mulai dari yang tergolong muda, dibawah<br />

20 tahun, sampai yang tergolong junkie tua)


. Staf LSM HR :<br />

14<br />

staf LSM yang memiliki pengetahuan memadai tentang penyediaan layanan bagi<br />

pengguna napza suntik, yang memiliki pengalaman dalam menghubungkan,<br />

merujuk pengguna napza suntik untuk mengakses layanan dalam program Harm<br />

Reduction<br />

c. Penyedia Layanan dan Pemangku Kebijakan :<br />

Staf lembaga terkait yang memahami program HR dan penyediaan layanan di<br />

dalamnya, staf yang secara langsung memiliki pengalaman melayani pengguna<br />

napza suntik<br />

4. Pengambilan Data<br />

Pengambilan data akan dilakukan melalui dua cara yaitu: a). Diskusi Kelompok<br />

Terarah (FGD / Focused Group Discussion) dan b) In-depth interview.<br />

FGD dilakukan kepada:<br />

▪ Para pemangku kebijakan (meliputi: KPA, Dinkes, Kepolisian, BNK, LSM,<br />

Depag)<br />

▪ Staf dari 8 PKM (Puskesmas/Pusat Kesehatan Masyarakat) di Bekasi<br />

▪ Staf LSM di Bekasi (YMS, LKI, Graphik)<br />

▪ 6 orang klien pengguna napza suntik LKI<br />

▪ 6 orang klien pengguna napza suntik YMS<br />

▪ 6 orang klien PTRM<br />

▪ Tokoh agama dan masyarakat<br />

▪ 6 orang koordinator Kelompok Dukungan Sebaya<br />

▪ 6 orang Pasangan dan keluarga klien pengguna napza suntik<br />

In-depth interview dilakukan secara selektif kepada:<br />

▪ 1 orang staf Kepolisian Subdit Napza<br />

▪ 1 orang staf Lapas<br />

▪ 1 orang staf KPAK Bekasi<br />

▪ 1 dokter layanan metadon<br />

▪ 2 dokter layanan ARV<br />

▪ 1 orang perawat sekaligus konselor<br />

▪ 2 orang staf LSM (LKI)<br />

▪ 2 klien pengguna napza suntik perempuan<br />

▪ 5 klien pengguna napza suntik laki-laki


5. Ethical Clearance<br />

15<br />

Sebagai penelitian deskriptif dan eksploratif yang melibatkan manusia,<br />

khususnya karena para subjek penelitian ini adalah para pengguna napza suntik yang<br />

memiliki latar belakang yang khas terkait dengan terapi yang sedang atau pernah<br />

mereka jalani, penelitian ini telah meminta ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian<br />

Unika Atma Jaya, dan memperoleh klarifikasi melalui surat No. 883/LPPM-KE/12/2009<br />

tanggal 17 Desember 2009.<br />

� Informed Consent tidak dilakukan secara tertulis namun dilakukan secara lisan,<br />

mengingat bahwa sebagian besar pengguna napza suntik merasa lebih nyaman<br />

jika namanya tidak disebutkan. Meskipun demikian tim peneliti – khususnya<br />

rekan-rekan peneliti dari LSM yang paling mengenal para calon partisipan -<br />

melakukan beberapa hal sebagai berikut:<br />

a. melakukan penjelasan di awal tentang maksud dan tujuan penelitian<br />

b. meminta kesediaan partisipan untuk mengikuti FGD atau in-depth<br />

interview, dengan catatan bahwa partisipan berhak untuk menghentikan<br />

keikut sertaannya jika merasa keberatan atau tidak merasa nyaman<br />

dengan pertanyaan yang diajukan atau didiskusikan bersama para<br />

peneliti.<br />

c. menjelaskan bahwa identitas dan seluruh jawaban yang diberikan para<br />

partisipan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk<br />

keperluan penelitian.<br />

� Kepada para pemangku kebijakan, tim peneliti mengajukan surat permohonan<br />

resmi dari Pusat Penelitian HIV dan AIDS Unika Atma Jaya untuk melakukan<br />

wawancara atau meminta mereka memberikan masukan dalam FGD yang akan<br />

dilakukan.<br />

Dengan demikian azas etika dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.<br />

6. Panduan Wawancara<br />

Panduan wawancara terbagi atas :<br />

a. panduan wawancara untuk Pengguna napza suntik<br />

b. panduan wawancara untuk pasangan dan keluarga Pengguna napza<br />

suntik<br />

c. panduan wawancara untuk Stakeholders (penyedia layanan dan<br />

pemangku kebijakan seperti KPA, Dinas Kesehatan, BNK, dsb)<br />

d. panduan wawancara untuk Tokoh Agama dan Masyarakat


7. Pelaksanaan Penelitian<br />

16<br />

Penelitian dilaksanakan pada bulan November s/d Januari 2010 dengan jumlah<br />

pertemuan sebagai berikut:<br />

a. pertemuan I (Bekasi, 22 November 2009) :<br />

Koordinasi awal antara tim peneliti dari Pusat Penelitian HIV/AIDS Atma<br />

Jaya dengan tim peneliti dari LKI dan YMS, bertempat di kantor LKI,<br />

Bekasi<br />

b. pertemuan II (Atma Jaya, 30 November 2009) :<br />

Koordinasi tim penelitian terkait teknis pengambilan data yang akan<br />

dilakukan (panduan wawancara yang digunakan, pemilihan partisipan,<br />

baik sebagai nara sumber dalam wawancara maupun FGD)<br />

c. pertemuan III (Atma Jaya, 05 November 2009) :<br />

Pertemuan ketiga ini diadakan untuk menyamakan pemahaman semua<br />

anggota dari tim penelitian mengenai Health seeking behavior, juga<br />

sedikit teori mengenai kemunculan perilaku. Pertemuan ini juga<br />

menghasilkan penentuan kriteria responden secara rinci.<br />

d. pertemuan IV (Atma Jaya, 04 Januari 2010) :<br />

Koordinasi tim penelitian untuk membahas temuan-temuan sementara<br />

dari sebagian wawancara dan FGD yang sudah dilakukan.


17<br />

BAB 2<br />

HASIL PENELITIAN<br />

A. Gambaran Lembaga Kunci dan Layanan Kesehatan dalam Program Harm<br />

Reduction di Kota Bekasi<br />

A.1. KPA Kota Bekasi<br />

A.2. Lembaga Kasih Indonesia<br />

A.3. Yayasan Mitra Sehati<br />

A.4. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bekasi dan Pusat Kesehatan<br />

Masyarakat<br />

A.4.a. Layanan ARV<br />

A.4.b. PTRM<br />

A.4.c. Layanan Jarum Suntik Steril<br />

B. Perilaku Pencarian Bantuan Kesehatan pada Pengguna Napza Suntik<br />

B.1. Pengetahuan<br />

B.2. Belief<br />

B.3. Practice<br />

B.4. Attitude<br />

C. Dukungan dan Tantangan Pragmatik dalam Pencarian Bantuan Kesehatan dari<br />

Penyedia Layanan Terkait HIV dan AIDS di Kota Bekasi<br />

C.1. Layanan Jarum Suntik Steril<br />

C.2. Terapi Rumatan Metadon<br />

C.3. Layanan Konseling dan Tes HIV<br />

C.4. Layanan ARV<br />

C.5. Sistem Kesehatan Pendukung<br />

C.6. Keberlanjutan Program


18<br />

Pada bab ini akan diuraikan temuan-temuan serta hasil analisis dari proses<br />

pengambilan data yang sudah dilakukan. Pada bagian pertama, akan disampaikan<br />

terlebih dahulu konteks di mana penelitian ini dilakukan, terutama yang terkait dengan<br />

pengguna napza suntik di Kota Bekasi. Lalu pada bagian kedua akan diuraikan inti dari<br />

tujuan penelitian ini, yaitu gambaran upaya pencarian bantuan kesehatan pengguna<br />

napza suntik, dan segera diikuti oleh faktor-faktor programatik yang dinilai mendukung<br />

maupun menghambat proses pencarian tersebut.<br />

A. Gambaran Lembaga Kunci dan Layanan Kesehatan dalam Program<br />

Harm Reduction di Kota Bekasi<br />

A.1. KPA Kota Bekasi<br />

Sejak tahun (2005) KPAK Bekasi mulai aktif dalam upaya penanggulangan HIV<br />

dan AIDS di Bekasi. Pada tahun 2006, sesuai dengan revitalisasi KPA di tingkat Nasional,<br />

KPAK Bekasi mulai mempunyai sekretariat. Sejalan dengan perkembangan waktu, pada<br />

tahun 2005 Pemerintah daerah Kota Bekasi memperkuat komitmen dalam<br />

penanggulangan AIDS dengan mendukung pembiayaan staf yang semula hanya terdiri<br />

dari 2 orang staf tetap (Administration Officer dan Program Officer yang didanai KPA<br />

Nasional), menjadi sekitar 6 orang staf yang didanai oleh anggaran APBD. Sebuah<br />

sekretariat diresmikan dan bertempat di lingkungan kantor Pemerintah Kota Bekasi.<br />

Pada tahun 2009 DPRD Kota Bekasi memperkuat komitmen dan memperlihatkan<br />

keseriusannya untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Melalui kerja<br />

sama dengan berbagai stakeholder lain, baik dari instansi pemerintah (Depkes dan<br />

KPAK) maupun non pemerintah (LSM, kelompok dukungan, kelompok masyarakat<br />

lainnya), akhirnya DPRD Kota Bekasi secara resmi mengeluarkan Perda tentang<br />

penanggulangan HIV dan AIDS yang diharapkan menjadi payung kebijakan untuk upaya<br />

penanggulangan HIV dan AIDS yang lebih kuat. Dari sekian banyak wilayah di Indonesia<br />

yang telah aktif dalam kegiatan penangggulangan HIV dan AIDS hanya ada 3 wilayah<br />

Kabupaten dan Kota lain yang berhasil mengeluarkan Perda secara khusus terkait<br />

dengan penanggulangan HIV dan AIDS.<br />

Peraturan daerah adalah bentuk komitmen politik yang nyata atas suatu<br />

kebijakan yang dianggap penting oleh suatu daerah. Dengan adanya Peraturan Daerah<br />

seharusnya upaya penanggulangan HIV dan AIDS dapat dilakukan dengan lebih<br />

sistematis dan dukungan yang memadai. Dalam prakteknya kebijakan ini belum


19<br />

dimanfaatkan secara optimal baik oleh pemerintah ataupun oleh para pelaksana<br />

program AIDS.<br />

A.2. Lembaga Kasih Indonesia<br />

Pada tahun 2002, sebuah Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dimulai di Bekasi.<br />

Kegiatan ini dimotori oleh Lembaga Kasih Indonesia (LKI). Kegiatan ini menjadi salah<br />

satu kegiatan pertama yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam<br />

penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah bekasi. Untuk kegiatan KDS ini, LKI mendapat<br />

dukungan finansial terbatas yang disalurkan oleh Yayasan Spiritia. Tujuan utama<br />

Kelompok Dukungan Sebaya adalah pemandirian orang terinfeksi HIV agar dalam<br />

menjalani kehidupannya dapat berperan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di<br />

masyarakat sesuai dengan kemampuan kesiapan dirinya.<br />

Pada tahun 2005, LKI ikut serta dalam kegiatan Rapid Situation and Response<br />

Assessment yang dilaksanakan oleh SKEPO, sebuah lembaga penelitian berbasis di<br />

Bandung, dengan dukungan dari IHPCP. Kegiatan penjajagan cepat dilakukan di 10 kota<br />

Jawa Barat, termasuk Bekasi. Temuan dari studi ini menjadi salah satu dasar<br />

dikembangkannya kegiatan intervensi yang dilaksanakan oleh LKI yang kemudian<br />

didukung melalui pendanaan oleh Levi Strauss Foundation, melalui pengelolaan Bur<strong>net</strong><br />

Institute pada tahun 2006. Dukungan pada kegiatan dengan basis penjangkauan dan<br />

pendampingan selesai pada akhir tahun 2009.<br />

Pada tahun 2006 LKI menambah komponen kegiatannya dalam bentuk<br />

pendidikan tentang infeksi menular seksual dan promosi layanan infeksi menular seksual<br />

kepada pengguna napza suntik dan kelompok dukungan sebaya yang didampinginya.<br />

Tabel 1 : Data Intervensi LKI periode 2006 - 2009<br />

Jenis intervensi Jumlah<br />

a. Pengguna napza suntik terjangkau sampai saat ini 953 orang<br />

b. Penjangkauan rata – rata per-bulan dalam satu tahun 80 orang<br />

c. Jarum terdistribusi rata – rata per-bulan setahun terakhir 380 jarum<br />

d. Jarum Kembali rata – rata per-bulan setahun terakhir 215 pcs<br />

e. Jumlah pengguna napza suntik Yang menggunakan layanan VCT 75 orang<br />

f. Jumlah pengguna napza suntik yang menggunakan layanan Kesehatan<br />

Dasar<br />

16 orang<br />

g. Support group (Kelompok Dukungan Sebaya)<br />

(catatan: Terdiri dari 14 KDS di Kota Bekasi, Kab.Bekasi 3 KDS dan<br />

Karawang 1 KDS. KDS yang sudah mendapatkan layanan distribusi<br />

dana terbatas 8 KDS (yaitu 7 KDS Kota Bekasi dan 1 KDS di Kabupaten<br />

Bekasi)<br />

18 KDS<br />

h. Rata-rata klien yang menggunakan layanan manajemen kasus 10 orang/bln<br />

i. Dampingan pensun yang mengikuti terapi ARV 81 orang<br />

j. Klien yang telah dibantu menggunakan asuransi daerah ±150 orang<br />

(Sumber: Data Intervensi LKI, 2009)


20<br />

Selain kegiatan penjangkauan, LKI juga mengembangkan beberapa kegiatan<br />

lainnya yang spesifik untuk mendukung program Harm Reduction ataupun program<br />

umum. Kegiatan tersebut meliputi antara lain kelompok bunda sebaya dan layanan care<br />

support and treatment.<br />

Dalam menjalankan kegiatan staf pelaksana LKI mendapatkan sejumlah<br />

pelatihan berkelanjutan yang disediakan baik dari Bur<strong>net</strong> maupun lembaga-lembaga<br />

mitra lainnya. Pelatihan tersebut meliputi: pelatihan dasar HIV dan AIDS dan Harm<br />

Reduction, pelatihan terkait dengan HAM, kesehatan dasar, adiksi, overdosis, metadon,<br />

pelatihan gender dan berbagai pelatihan terkait penanggulangan HIV dan AIDS.<br />

A.3. Yayasan Mitra Sehati<br />

Pada tahun 2005, Family Health International (FHI), melalui program ASA,<br />

mengembangkan program di wilayah Bekasi untuk program Harm Reduction. Pada<br />

tahun itu sampai tahun 2008, Yayasan Lespra menjadi mitra yang aktif melakukan<br />

kegiatan intervensi. Dari data FHI dilaporkan bahwa sampai Oktober 2008, telah<br />

dijangkau lebih dari 1600 pengguna napza suntik melalui proyek ini.<br />

Pada periode berikutnya, kegiatan yang telah dikembangkan oleh Lespra<br />

dilanjutkan oleh Yayasan Mitra Sehati (YMS). Yayasan Mitra Sehati didukung 6 staf<br />

lapangan full time dan 8 orang community facilitator yang bekerja part time. YMS<br />

mengembangkan berbagai kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan klien di<br />

lapangan. Kegiatan ini dilakukan dalam 2 setting utama, yaitu intervensi di komunitas<br />

dan institusi Lapas.<br />

Untuk kegiatan di komunitas, YMS mengembangkan intervensi dengan kegiatan<br />

outreach (kegiatan penjangkauan dan pendampingan) sebagai dasar kegiatan utama.<br />

Sebuah Drop-in-center disediakan di wilayah yang mudah untuk dijangkau klien<br />

pengguna napza suntik. Drop-in-center menjadi salah satu tempat pusat pelaksanaan<br />

kegiatan dan layanan.<br />

Kegiatan utama lain yang dilakukan meliputi: layanan case menagement<br />

(pengelolaan kasus), layanan konseling VCT, dan kegiatan-kegiatan insidental lainnya.<br />

Untuk kegiatan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), YMS melakukan kegiatan<br />

penjangkauan dalam bentuk: pengembangan kegiatan pendidikan HIV dan AIDS, IMS,<br />

dan pengetahuan terkait Napza bagi para warga binaaan. Untuk mendorong<br />

terbentuknya situasi yang mendukung, dilakukan juga pelatihan untuk para Staf Lapas<br />

secara berkala.<br />

Pada tahun 2009 akhir menunjukkan bahwa lebih dari 1200 orang pengguna<br />

napza suntik telah dijangkau oleh program-program YMS. Dalam periode tahun 2009


21<br />

tersebut sekitar 2500 jarum telah didstribusikan kepada para pengguna napza suntik<br />

setiap bulannya kepada lebih dari 100 orang pengguna napza suntik.<br />

Data program intervensi lebih lanjut menunjukkan bahwa 167 orang pengguna<br />

napza suntik telah mengikuti pre-test VCT, dan 160 orang mengikuti post-test, serta 126<br />

orang dinyatakan positif. Sebagian mendapat konseling melalui konselor dari staf YMS,<br />

dan sebagian lagi dirujuk langsung ke tempat pelayanan tes, yaitu RSUD Bekasi dan RS.<br />

Ananda.<br />

Capaian program yang telah dilaksanakan oleh YMS sejak menjalankan<br />

program dapat dilihat dalam ringkasan tabel berikut:<br />

Tabel 2 : Data intervensi YMS sampai akhir 2009<br />

Indikator Jumlah<br />

Jumlah pengguna napza suntik yang dijangkau 400/bln<br />

Jumlah pengguna napza suntik baru 1198 orang<br />

Jumlah kontak per pengguna napza suntik rata-rata 2,5 kali/ bln<br />

Jumlah pengguna napza suntik mengikuti IRA (penilaian risiko individu) 90/bln<br />

Jumlah pengguna napza suntik yang menerima LJSS 108/bln<br />

Jumlah jarum terdistribusi 30140=2500/bln<br />

Jumlah kondom terdistribusi<br />

Jumlah pengguna napza suntik yang menerima layanan VCT (pre-test dan<br />

post-test) :<br />

√ Pre-test<br />

√ Post test<br />

167 orang<br />

160 orang<br />

Jumlah pengguna napza suntik Positif 126 orang<br />

Jumlah pengguna napza suntik yang menerima layanan Manajemen Kasus 196 orang<br />

Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang dilayani 1407 orang<br />

(Sumber: Data Intervensi YMS, 2009)<br />

A.4. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bekasi dan Pusat Kesehatan<br />

Masyarakat<br />

RSUD Bekasi mulai terlibat dalam kegiatan AIDS di Bekasi sejak ditunjuk menjadi<br />

salah satu Rumah Sakit rujukan tempat penyediaan ARV di antara 237 Rumah Sakit di<br />

seluruh Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor<br />

832/Menkes/SK/X/2006 tentang Pe<strong>net</strong>apan Rumah Sakit Rujukan bagi ODHA,<br />

yang kemudian disempurnakan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik<br />

Indonesia Nomor 760/MENKES/SK/VI/2007 tentang Pe<strong>net</strong>apan Lanjutan Rumah Sakit<br />

Rujukan Bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA).<br />

Sejumlah tenaga kesehatan telah dilatih agar mampu melakukan pengetesan HIV<br />

dan melakukan pelayanan ARV. Sampai dengan tahun 2009, data dari RSUD Bekasi<br />

menunjukkan bahwa sejumlah klien telah mengakses layanan ARV di RSUD Bekasi. Dari


22<br />

jumlah tersebut di antaranya merupakan klien dengan latar belakang pengguna napza<br />

suntik.<br />

Kebanyakan klien ARV di Bekasi berasal dari rujukan LSM yang bekerja di<br />

wilayah Bekasi dan sekitarnya.<br />

berikut.<br />

Layanan terkait HIV dan AIDS di Rumah Sakit Bekasi dapat digambarkan sebagai<br />

A.4. a. Layanan ARV<br />

RSUD menyediakan klinik yang dikenal dengan nama Klinik Flamboyan sebagai<br />

tempat pelaksanaan tes HIV jika seseorang membutuhkan layanan tersebut. Jika seorang<br />

pasien dari layanan lain diduga terinfeksi HIV (mis: dari instalasi gawat darurat, layanan<br />

penyakit dalam) maka yang bersangkutan akan dirujuk untuk mendapatkan layanan<br />

VCT, dan dirujuk ke klinik Flamboyan. Untuk pasien yang menggunakan asuransi<br />

kesehatan, dilaksanakan prosedur sesuai peraturan Jamkesmas dan Jamkesda, sementara<br />

untuk layanan reguler dikenakan biaya sesuai peraturan dan tarif yang berlaku.<br />

Para pasien yang membutuhkan ARV juga dapat mengambil obat di Klinik<br />

Flamboyan sehingga tidak perlu khawatir atau merasa khawatir dengan status-nya atau<br />

yang terkait dengan stigma terkait HIV dan AIDS<br />

A.4.b. PTRM<br />

Pada tahun 2008, setelah melalui sejumlah proses sosialisasi, pelatihan Kota<br />

Bekasi menambahkan layanan terkait program Harm Reduction yaitu, layanan Terapi<br />

Rumatan Metadon. Pusat Terapi Rumatan Metadon (PTRM) ini bertempat di RSU Bekasi.<br />

Jumlah pengguna layanan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:<br />

Tabel 3 : penggunaan Layanan Metadon PTRM Bekasi<br />

KETERANGAN PASIEN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES<br />

JUMLAH KUNJUNGAN 860 891 985 969 1032 1041 973 870 781 938 911<br />

JUMLAH PASIEN <strong>AKHIR</strong><br />

BULAN LALU<br />

28 32 34 34 35 35 33 32 30 29 33 33<br />

JUMLAH PASIEN BARU 2 - 3 3 2 1 - 1 3 4 2 9<br />

JUMLAH PASIEN DROP OUT - - - - 1 2 1 3 4 1 2 -<br />

(sumber: laporan PTRM Bekasi, 2009)<br />

Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penggunaan layanan adalah rata-rata<br />

kira-kira 33 pasien per bulan, cukup berbeda dengan banyak PTRM lainnya yang telah<br />

dibuka, (misalnya di Jakarta), dimana kebanyakan titik-titik layanan metadon akan


23<br />

segera dipenuhi oleh tingginya minat pengguna napza suntik untuk menggunakan<br />

layanan.<br />

Dalam waktu dekat Bekasi telah merencanakan untuk membuka Pusat Terapi<br />

Rumatan Metadon dengan titik layanan puskesmas, yang rencananya akan bertempat di<br />

Puskesmas Pondok Gede.<br />

A.4.c. Layanan Jarum Suntik Steril<br />

Pengembangan layanan Harm Reduction berbasis Puskesmas mulai digencarkan<br />

pada tahun 2007 oleh IHPCP (yang kemudian berubah nama menjadi HCPI). Pada tahun<br />

2007, tiga Puskesmas di wilayah Kota Bekasi (yaitu Puskesamas Pejuang, Aren Jaya, dan<br />

Rawa Tembaga) dilatih untuk dapat memberikan layanan Harm Reduction . Layanan<br />

yang diharapkan dapat disediakan oleh ketiga puskesmas ini adalah layanan jarum<br />

suntik steril dan layanan kesehatan dasar untuk pengguna napza suntik. Pada tahun<br />

2008 tiga Puskesmas lain di Bekasi (Puskesmas Pondok Gede, Kali Abang Tengah, dan Jati<br />

Asih) mengambil inisiatif sendiri untuk mengembangkan layanan Harm Reduction. Pada<br />

tahun 2009 melalui program Global Fund, dua Puskesmas lagi telah dilatih dan mulai<br />

aktif untuk membuka layanan Harm Reduction.<br />

Terdapat delapan Puskesmas yang telah dilatih untuk dapat menyediakan<br />

layanan Harm Reduction, termasuk LJSS. Promosi tentang keberadaan layanan jarum<br />

suntik steril yang disediakan di Puskesmas dilakukan melalui para kader Puskesmas, dan<br />

petugas lapangan dari LSM. Baik LSM seperti LKI dan YMS, ataupun petugas lapangan<br />

LSM dari Yayasan Grapiks. Yayasan Grapiks didukung pendanaannya oleh HCPI yang<br />

memang ditempatkan secara khusus sebagai petugas lapangan yang mempromosikan<br />

layanan Puskesmas. Saat ini terdapat 6 petugas lapangan dari Yayasan Grapiks yang<br />

berpusat di Bandung, membantu secara aktif promosi layanan 3 Puskesmas yang<br />

didukung oleh HCPI.<br />

Model layanan LJSS yang diterapkan saat ini, mengikuti model yang disebutkan<br />

dalam Panduan Pelaksanaan Program Pencegahan HIV dan AIDS pada Pengguna Napza<br />

Suntik (Depkes, 2006) dimana penyediaan jarum dilakukan dalam 3 bentuk. Pertama,<br />

layanan me<strong>net</strong>ap yang disediakan melalui Puskesmas dan titik drop in center yang<br />

dimiliki LSM. Kedua, layanan bergerak di lapangan melalui kegiatan penjangkauan dan<br />

pendampingan yang dilaksanakan oleh petugas lapangan. Bentuk terakhir yaitu layanan<br />

melalui titik-titik satelit yang dilakukan oleh para relawan di komunitas. Para relawan<br />

bisa terdiri dari pengguna napza suntik yang telah dipercaya dan dilatih untuk<br />

berpartisipasi membagikan jarum kepada pengguna napza suntik lain yang<br />

membutuhkan, atau relawan komunitas yang bukan pengguna napza suntik namun<br />

telah dilatih dan bersedia untuk membantu proses pembagian jarum suntik steril bagi<br />

pengguna napza suntik yang membutuhkan.


24<br />

Data laporan intervensi yang tercatat pada database Yayasan Mitra Sehati,<br />

disebutkan bahwa antara Oktober 2008 sampai Desember 2009 terdapat hampir 1200<br />

orang pengguna napza suntik yang telah dijangkau. Sementara itu, data LKI<br />

menyebutkan sudah 950 orang pengguna napza suntik lebih yang dijangkau oleh<br />

lembaga tersebut. Maka diperkirakan sebagian besar dari pengguna napza suntik yang<br />

aktif di wilayah Kota Bekasi yang aktif menggunakan Napza suntik pernah dijangkau<br />

oleh salah satu atau kedua program tersebut. Namun diperkirakan pula bahwa terdapat<br />

overlap antara penjangkauan yang dilakukan oleh lembaga yang melakukan<br />

penjangkauan di Bekasi dan Kabupaten Bekasi ini.<br />

Data intervensi dari YMS menyebutkan bahwa kira-kira 108 pengguna napza<br />

suntik secara aktif menggunakan dan menerima jarum suntik dari petugas lapangan<br />

dengan jumlah rata-rata jarum di atas 30 buah per bulan. Dalam proses layanan jarum<br />

suntik steril yang dilakukan di lapangan melalui proses penjangkauan dan<br />

pendampingan (outreach) , para petugas lapangan akan mendahului dengan penjajagan<br />

cepat tentang tingkat pemakaian pengguna napza suntik. Selain menyediakan jarum<br />

suntik steril, secara bertahap petugas lapangan memberikan berbagai informasi yang<br />

dirasa penting untuk pengguna napza suntik. Beberapa informasi standar yang diberikan<br />

adalah: penjelasan tentang lembaga YMS dan layanan yang tersedia, pengetahuan dasar<br />

tentang HIV dan AIDS, IMS, dan layanan-layanan yang memungkinkan untuk di akses<br />

pengguna napza suntik di Bekasi.<br />

Ketika hubungan dengan pengguna napza suntik sudah berkembang baik,<br />

petugas lapangan akan berusaha mengembangkan kegiatan konseling penurunan risiko<br />

melalui kegiatan penilaian risiko pribadi. Kegiatan ini menjadi salah satu sarana untuk<br />

mengingatkan dan memotivasi pengguna napza suntik untuk selalu berusaha<br />

berperilaku yang lebih aman dan mempertahankan perilakunya yang sudah relatif<br />

aman. Sudah dipahami di kalangan pelaku intervensi bahwa perilaku aman tertentu<br />

yang sudah dicapai seseorang bisa saja akan berubah menjadi tidak aman dalam jangka<br />

waktu tertentu.<br />

Informasi yang diperoleh dari LKI menyebutkan bahwa jumlah jarum yang<br />

mereka distribusikan sebenarnya relatif kecil. Karena proyek yang mereka laksanakan<br />

tidak mempunyai dana untuk penyediaan jarum suntik yang dibutuhkan oleh pengguna<br />

napza suntik di lapangan. Mereka memperoleh sebagian jarum suntik melalui jarum<br />

yang diberikan oleh Puskesmas. Puskesmas memberikan jarum dengan pembatasan<br />

jumlah hanya maksimal 4 kotak (7 jarum per kotak) per petugas lapangan. Dengan 4<br />

petugas lapangan yang mereka miliki, maka jumlah jarum yang mereka distribusikan per<br />

hari adalah maksimal kira-kira seratus jarum per hari.<br />

Meskipun demikian data dari Puskesmas menunjukkan tingkat penggunaan<br />

layanan yang relatif kecil, baik dari jumlah jarum yang didistribusikan pada masing-


25<br />

masing titik puskesmas yang menyediakan layanan LJSS, jumlah pengguna napza suntik<br />

yang pernah menggunakan layanan, ataupun konsistensi penggunaan layanan tersebut.<br />

Hasil Annual Survey yang dilaksanakan YMS pada tahun 2009 menunjukkan<br />

bahwa dari 100 partisipan survei, 86% menyatakan pernah mengikuti layanan jarum<br />

suntik steril. Dari survei yang sama, 85% partisipan menyatakan bahwa sumber utama<br />

untuk mendapatkan jarum suntik steril adalah dari petugas lapangan.<br />

***<br />

Untuk berbagai layanan yang disediakan oleh Rumah Sakit ataupun Puskesmas,<br />

LKI dan YMS telah aktif mempromosikan layanan-layanan yang disediakan tersebut<br />

melalui para petugas lapangan dalam kegiatan penjangkauan di lapangan. Khususnya<br />

YMS yang mempunyai layanan Pengelolaan Kasus, secara akif mendampingi dan<br />

membantu pengguna napza suntik untuk mengakses layanan yang sudah tersedia.<br />

Sejak tahun 2007 LSM Grafiks, yang berpusat di Bandung, dengan dukungan<br />

pendanaan dari HCPI telah mengembangkan layanannya dalam bentuk penempatan<br />

pekerja outreach untuk mempromosikan layanan Puskesmas. Para petugas lapangan ini<br />

melakukan penjangkauan ke pengguna napza suntik yang berada di sekitar lingkungan<br />

Puskesmas. Layanan berupa layanan kesehatan dasar dan layanan jarum suntik steril<br />

dipromosikan oleh para petugas lapangan. Kepada pengguna napza suntik yang masih<br />

ragu untuk mencoba menggunakan layanan para petugas lapangan membantu secara<br />

aktif misalnya dengan mengantarkan klien ke tempat layanan.<br />

B. Perilaku Pencarian Bantuan Kesehatan pada Pengguna Napza Suntik<br />

Berikut adalah beberapa temuan yang didapatkan dari wawancara dan diskusi<br />

kelompok terarah (FGD) terhadap pengguna napza suntik mengenai perilaku pencarian<br />

bantuan kesehatan, atau Health Seeking Behavior.<br />

B.1. PENGETAHUAN<br />

Pemahaman mengenai sehat dan sakit<br />

Dari hasil wawancara mendalam terhadap 7 orang pengguna napza suntik dan<br />

diskusi Kelompok terarah terhadap 18 orang pengguna napza suntik, terlihat bahwa<br />

para pengguna napza suntik mempersepsikan sakit sebagai kondisi dimana mereka<br />

merasakan rasa sakit (pain). Beberapa partisipan bahkan menggolongkan gejala putus<br />

obat atau yang sering disebut sakaw sebagai kondisi sakit. Ada partisipan yang dengan<br />

jelas mengatakan bahwa lepas dari Napza adalah kondisi dimana ia merasa sakit karena<br />

badan jadi terasa lemas, tidak bertenaga, dan gelisah. Beberapa partisipan juga<br />

menjelaskan bahwa sehat itu tidak hanya merujuk pada kondisi fisik, tapi juga kondisi


26<br />

psikologis, karena saat ada sesuatu yang dirasa mengganggu pikiran, maka kondisi fisik<br />

juga akan terpengaruh. Mereka juga menyadari bahwa sebagai pengguna napza suntik<br />

mereka tidak sehat, pertama adalah karena mereka membutuhkan obat untuk membuat<br />

badan mereka terasa enak. Bertentangan dengan pendapat partisipan lain sebelumnya,<br />

ada yang menjelaskan bahwa kondisi sehat baru benar-benar bisa terwujud saat mereka<br />

benar-benar terlepas dari napza. Alasan kedua yang mendasari partisipan mengatakan<br />

bahwa pengguna napza suntik bukanlah orang sehat adalah karena mereka merasakan<br />

beberapa gejala sakit seperti gangguan pernapasan, paru, atau liver selama mereka<br />

menggunakan napza.<br />

Semua partisipan pengguna napza suntik menyadari bahwa kesehatan menjadi<br />

hal penting, kondisi sehat akan membuat mereka tetap bisa beraktivitas dan melakukan<br />

apapun. Namun dalam prakteknya sebagai pengguna napza suntik mereka tetap tidak<br />

bisa lepas dari napza, mereka tetap akan memprioritaskan napza saat mereka memiliki<br />

uang. Beberapa partisipan mengatakan bahwa mereka bisa merasakan kondisi sehat<br />

setelah mereka mengikuti terapi metadon.<br />

Pengetahuan tentang risiko akibat menyuntik<br />

Hampir semua pengguna napza suntik mengetahui risiko dari penggunaan<br />

napza suntik, yaitu bahwa menggunakan jarum suntik tidak steril berarti berhadapan<br />

dengan risiko tertular HIV yang dapat membawa mereka pada kematian. Beberapa<br />

partisipan bahkan menjelaskan bahwa mereka biasanya mensterilkan jarum suntik<br />

terlebih dahulu jika mereka tidak bisa menghindar dari berbagi jarum dengan teman-<br />

teman pengguna napza suntik lain saat menyuntik, mulai dari mencuci jarum dengan<br />

alkohol dan juga air hangat.<br />

Beberapa partisipan mengatakan bahwa setelah mereka terhubung dengan LSM<br />

mereka baru mengetahui risiko penggunaan jarum suntik tidak steril, juga program LJSS<br />

(Layanan Jarum Suntik Steril) yang merupakan bagian dari layanan yang disediakan<br />

program HR, dan sejak saat itu mereka selalu menggunakan jarum steril saat menyuntik.<br />

Pengetahuan tentang Layanan<br />

Hampir semua pengguna napza suntik tahu mengenai keberadaan dan beberapa<br />

jenis layanan, namun tidak semua partisipan tahu bahwa program HR memiliki 12<br />

program yang dapat mereka akses. Meskipun demikian beberapa layanan cukup populer<br />

di kalangan para pengguna napza suntik. Beberapa layanan yang banyak diketahui para<br />

pengguna napza suntik adalah VCT, LJSS, Pelayanan Kesehatan Dasar (Yankesdas),<br />

terapi metadon, pembagian kondom, dan terapi ARV. Salah satu partisipan memiliki<br />

pengetahuan yang lebih mengenai keberadaan layanan dalam program HR karena ia


27<br />

terlibat aktif sebagai sukarelawan dalam beberapa aktivitas program. Hampir semua<br />

partisipan juga tahu bahwa mereka dapat mengakses layanan-layanan tersebut di LSM<br />

atau pusat layanan kesehatan seperti Puskesmas. Untuk layanan seperti LJSS khususnya,<br />

mereka tahu bahwa mereka bisa mendapatkannya melalui petugas lapangan.<br />

Untuk layanan asuransi kesehatan seperti Askeskin dan Jamkesmas, kebanyakan<br />

partisipan tahu mengenai keberadaannya, tapi tidak banyak yang benar-benar<br />

memahami cara mengakses dan bagaimana layanan ini dapat bekerja membantu mereka.<br />

Beberapa partisipan menjelaskan bahwa informasi yang ia terima dari temannya<br />

mengatakan prosedur untuk mengurus layanan ini sulit, dan prosedurnya rumit.<br />

Mendengar hal ini ia memutuskan untuk tidak menggunakannya, terlebih jika nanti ia<br />

sakit dan harus dirawat, karena dari apa yang ia dengar, pelayanan yang didapat dengan<br />

menggunakan layanan ini juga kurang layak (seperti ditempatkan di ruangan yang sama<br />

dengan berbagai penderita penyakit lain, tempatnya tidak bersih) sehingga ia khawatir<br />

kondisinya malah akan bertambah parah.<br />

Sumber Informasi<br />

Hampir semua partisipan mendapatkan sumber informasi terkait HIV dan AIDS<br />

dan risiko penggunaan napza suntik melalui LSM. Beberapa adalah jangkauan LSM yang<br />

mendapat informasi dari petugas lapangan, dan beberapa mendapatkan informasi dari<br />

petugas lapangan yang juga adalah teman partisipan. Selain dari petugas lapangan<br />

langsung, mereka juga mendapatkan informasi dari media KIE, salah seorang partisipan<br />

menjelaskan bahwa ia mendapatkan informasi dari media elektronik sebelum ia<br />

terhubung dengan petugas lapangan dari LSM.<br />

B.2. BELIEF<br />

Kepercayaan tertentu yang dimiliki pengguna napza suntik mengenai cara untuk sehat<br />

Dari wawancara yang dilakukan, muncul respon yang cukup beragam terhadap<br />

topik ini. Ada partisipan yang percaya bahwa untuk menjaga dirinya tetap sehat, ia harus<br />

menjaga pikirannya agar tetap positif, karena pikiran yang terganggu akan<br />

mempengaruhi kondisi fisiknya, bahkan dapat memicu partisipan untuk kembali ke<br />

penggunaan napza (relapse). Berhenti menggunakan napza juga diyakini partisipan<br />

sebagai salah satu cara untuk menjadi sehat. Selain itu, ada partisipan yang juga<br />

menyakini bahwa untuk memperoleh informasi yang benar terkait kesehatan, dokter<br />

menjadi sumber informasi yang terpercaya. Namun salah satu partisipan juga<br />

menjelaskan bahwa ia dan keluarganya terbiasa menggunakan obat-obatan tradisional<br />

seperti jamu untuk menjaga kesehatan.


28<br />

Salah satu respon yang menarik adalah pendapat partisipan bahwa dengan<br />

memberi kepercayaan dan dukungan kepada para pengguna napza suntik dapat<br />

menumbuhkan motivasi dalam diri mereka untuk hidup sehat. Ada juga partisipan yang<br />

percaya bahwa kesehatan sangat berhubungan dengan dana, yang artinya seseorang bisa<br />

sehat jika memiliki cukup dana, bahwa untuk hidup sehat mereka memerlukan uang.<br />

Pendapat menarik lainnya adalah mengenai keyakinan salah satu partisipan pengguna<br />

napza suntik bahwa jika ia berhenti menggunakan napza maka berbagai penyakit akan<br />

bermunculan.<br />

Pandangan pengguna napza suntik mengenai akses terhadap layanan<br />

Terkait dengan akses terhadap layanan, terdapat persepsi negatif dan juga positif<br />

dari pengguna napza suntik mengenai layanan yang tersedia. Persepsi ini terbentuk baik<br />

melalui pengalaman mereka sendiri mengakses layanan, atau dari cerita teman yang<br />

memiliki pengalaman mengakses layanan. Masih terdapat banyak keluhan seputar<br />

diskriminasi yang mereka rasakan dari petugas kesehatan saat mengakses layanan, mulai<br />

dari layanan yang tidak ramah, juga para petugas kesehatan yang dirasa kurang<br />

membantu. Salah satu partisipan menjelaskan bahwa menurutnya biaya yang sangat<br />

murah di PKM yang membuat layanan yang diberikan tidak maksimal, bahkan kadang di<br />

bawah standar (“karena bayarnya murah makanya mereka seenaknya .”.) Menurut<br />

mereka uang akan sangat menentukan pelayanan yang diberikan. Bagi orang-orang<br />

yang memiliki uang, akses terhadap pelayanan yang baik akan terasa sangat mudah, tapi<br />

berlaku sebaliknya bagi mereka yang tidak memiliki uang (“ biasanya kesehatan juga<br />

berhubungan dengan dana...”). Selain karena alasan pelayanan yang buruk, partisipan<br />

juga menyatakan ketakutan mereka untuk berobat di puskesmas karena kekhawatiran<br />

mereka dikenali oleh para tetangga dan orang-orang yang mereka kenal. Keluhan lain<br />

juga datang dari partisipan mengenai ketidaknyamanannya terhadap keberadaan para<br />

dokter yang masih belajar praktek (Co-Asisten / Dokter Muda), partisipan merasa seperti<br />

kelinci percobaan jika ditangani oleh mereka. Terkait dengan asuransi kesehatan, banyak<br />

partisipan masih mempersepsikan pelayanan askeskin dan jamkesmas memiliki prosedur<br />

yang rumit sehingga mereka memilih untuk tidak mengurusnya.<br />

Selain keluhan dan pendapat negatif mengenai layanan yang tersedia, beberapa<br />

partisipan juga menyatakan beberapa pendapat positif mengenai layanan yang mereka<br />

akses. Ada yang menyatakan sangat terbantu dengan layanan yang ada di Puskesmas,<br />

partisipan merasakan banyak manfaat sejak ia memeriksakan diri ke Puskesmas. Layanan<br />

Jarum Suntik Steril juga dirasakan sangat mudah untuk diakses, baik melalui LSM<br />

maupun Puskesmas, begitu juga dengan layanan penyediaan kondom. Salah satu<br />

partisipan menjelaskan bahwa ia merasakan kemudahan dalam mengakses layanan di<br />

Puskesmas, karena tidak banyak pertanyaan yang diajukan oleh petugas PKM selama ia<br />

dilayani. Pandangan terhadap LSM penyedia layanan HR juga cenderung positif, LSM HR


29<br />

yang sudah ada dianggap sangat membantu pengguna napza suntik untuk terhubung<br />

dengan layanan kesehatan yang ada ( “Keuntungannya banyak kita bisa berhubungan<br />

dengan LSM, ada yang nuntun deh.. buat kita berubah, buat buka akses kita ke rumah<br />

sakit,...”). Keberadaan LSM HR juga dirasa membantu pengguna napza suntik untuk<br />

lebih memperhatikan kondisi kesehatannya (” Junkie yang sudah kenal LSM, rata-rata<br />

peduli dengan kesehatannya....kalo yang gak kenal LSM, itu yang gak rutin ke rumah<br />

sakit...”)<br />

Disamping itu masih ada beberapa keterbatasan yang dirasa perlu diperbaiki,<br />

seperti waktu layanan yang terbatas yang dapat menghambat pasien mengakses layanan.<br />

Hal lain yang juga dikeluhkan salah satu partisipan adalah sifat pelayanan konseling<br />

yang dirasa masih bersifat menggurui, padahal informasi yang dibutuhkan partisipan<br />

lebih bersifat faktual.<br />

B.3. PRACTICE<br />

Apa yang dilakukan saat sakit<br />

Saat sakit pengguna napza suntik melakukan beberapa hal untuk<br />

mengembalikan kondisi sehatnya, mulai dari mencoba mengobati sendiri, sampai pergi<br />

ke dokter, baik di Rumah sakit, PKM atau LSM untuk berobat. Usaha-usaha yang<br />

dilakukan untuk mengobati diri sendiri beragam, jika penyakitnya adalah penyakit yang<br />

dianggap ringan seperti flu, masuk angin, pusing, kebanyakan partisipan mengobati diri<br />

dengan obat-obat yang dibeli di warung, ada juga yang menggunakan obat-obatan<br />

tradisional seperti jamu, obat-obat tradisional china, baik untuk menyembuhkan<br />

penyakit atau menjaga stamina, atau dengan cara tradisional seperti dikerok, dipijat di<br />

bagian yang sakit, atau minum air hangat.<br />

Salah satu partisipan bahkan mengatakan bahwa ia biasanya menghubungi<br />

petugas lapangan untuk konsultasi mengenai kesehatannya jika ia merasa penyakitnya<br />

adalah penyakit ringan.<br />

Ada juga yang memilih untuk tidak ke dokter, juga tidak menggunakan obat-<br />

obatan apapun, hanya menunggu sampai penyakit atau rasa sakit hilang dengan<br />

sendirinya. Bagi salah satu partisipan yang menganggap sakaw adalah sakit, drugs atau<br />

obat anti depresan yang ia gunakan untuk mengobati rasa sakit. Setelah berbagai usaha<br />

sendiri tidak berhasil mengobati, atau ketika sakitnya bertambah parah, kebanyakan<br />

partisipan akan pergi ke dokter untuk memeriksakan diri.<br />

Hal yang cukup menarik adalah munculnya respon dari salah satu partisipan<br />

yang dengan terus terang mengatakan bahwa ia takut untuk berobat rutin ke dokter<br />

karena ia khawatir penyakit lainnya akan ketahuan, yang artinya ia memilih untuk tidak


30<br />

mengetahui jika memang ia menderita penyakit tertentu (” mending gw gak tahu<br />

apa..apa.. kalaupun emang mati, biar mati aja,.. gak mau stress mikirin penyakit..”).<br />

Yang dilakukan untuk menjaga kesehatan<br />

Beberapa hal diungkapkan partisipan sudah dilakukan untuk menjaga kondisi<br />

kesehatan mereka, mulai dari perilaku yang terkait secara langsung dengan penggunaan<br />

napza suntik, sampai ke perilaku hidup sehari-hari. Kebanyakan partisipan menyatakan<br />

usaha mereka untuk selalu menggunakan jarum suntik steril setiap kali menyuntik<br />

adalah usaha mereka untuk menjaga kesehatan. Selain itu, mengurangi penggunaan<br />

napza, alkohol dan rokok, juga kebiasaan tidur larut malam, memperbanyak asupan<br />

makanan bergizi, berolahraga, menggunakan kondom saat berhubungan seks, terutama<br />

saat “main” di luar, dan mencoba untuk selalu berpikir positif merupakan respon yang<br />

paling banyak ditemui pada topik ini (“ Pola hidup di rubah mbak,.. kaya tadinya kita<br />

begadang, sekarang tidur dah dibawah jam 23 , .. makan yang teratur mbak.. kalau dah<br />

begadang, dah gak bener…minum juga jangan…”). Penggunaan suplemen, konsultasi<br />

rutin ke dokter, minum susu setiap hari, bahkan berjemur setiap hari juga ditemui pada<br />

beberapa partisipan sebagai usaha mereka untuk menjaga kesehatan. Menarik bahwa<br />

salah satu partisipan menjelaskan bahwa dirinya selalu makan terlebih dahulu sebelum<br />

pakau atau menggunakan napza (“Buat jaga kesehatan.. saya suplemen pake,,, trus<br />

entengin pikiran.. trus sebelum pakau makan dulu… kalau orang lain sih kebanyakan<br />

kebalik… abis pakau baru makan..kalau saya nggak…harusnya makan dulu baru<br />

pakau,.. jadi perut gak kosong…”). Salah satu partisipan bahkan mengatakan bahwa ia<br />

seringkali menggunakan metode vibrant (pengaktifan otak kiri dan kanan) yang ia<br />

ketahui dari salah satu pelatihan sebagai salah satu cara untuk menjaga kondisi<br />

kesehatannya.<br />

Pernah atau tidak mengakses layanan ?<br />

Hampir semua partisipan pernah mengakses layanan HR yang tersedia, mulai<br />

dari VCT, LJSS, pemeriksaan TB, pemeriksaan CD4 rutin, terapi metadon dan penyediaan<br />

kondom. Tempat mengakses layanan juga cukup beragam, mulai dari Rumah Sakit,<br />

Puskesmas, juga LSM. Beberapa partisipan juga menyatakan pendapat mereka bahwa<br />

pengguna napza suntik yang sudah terhubung dengan LSM akan lebih sering mengakses<br />

layanan (” Junkie yang sudah kenal LSM, rata-rata perduli dengan kesehatannya....kalo<br />

yang gak kenal LSM, itu yang gak rutin ke rumah sakit...”).


31<br />

Pengalaman mengakses layanan dan harapan terhadap layanan<br />

Seperti halnya persepsi partisipan terhadap layanan, pengalaman partisipan<br />

dalam mengakses layanan juga bervariasi, mulai dari pengalaman positif, sampai<br />

pengalaman yang negatif. Terkait dengan pengalaman negatif, hal-hal yang dikeluhkan<br />

tidak jauh berbeda dengan yang sudah dipaparkan pada persepsi pengguna napza suntik<br />

mengenai layanan kesehatan. Mereka merasa masih ditemukan perilaku-perilaku<br />

diskriminatif dari petugas kesehatan, seringkali mereka dioper-oper dari satu bagian ke<br />

bagian yang lain tanpa kejelasan saat ingin mengakses layanan. Selain itu, petugas<br />

kesehatan juga dirasa kurang tanggap dan kurang membantu, fasilitas kesehatan yang<br />

ada juga dirasa kurang memadai. Salah satu partisipan pengguna napza suntik<br />

perempuan mengatakan bahwa ia merasa kurang nyaman mengakses layanan di PKM<br />

karena para petugas kesehatan yang melayaninya kebanyakan adalah Ibu-Ibu dan ia<br />

merasa dipandang berbeda karena ia pengguna napza suntik perempuan. Kebanyakan<br />

pengguna napza suntik juga menjelaskan bahwa mereka merasa lebih nyaman<br />

mengakses LJSS melalui LSM atau petugas lapangan dibandingkan ke PKM (“..enak kan<br />

kalau disini, Petugas lapangannya kan temen-temen, junkie semua, mereka ngerti..kalau<br />

di PKM kan Ibu-Ibu semua yang ngelayanin..”). Partisipan menjelaskan bahwa program<br />

LJSS dirasa sangat membantu pengguna napza suntik. Masalah lain yang juga<br />

dikeluhkan terkait akses terhadap layanan adalah mengenai biaya yang mahal untuk<br />

berobat, dan melakukan berbagai macam tes, mulai dari tes darah, viral load, CD4, dan<br />

tes-tes lain yang diperlukan. Bagi mereka yang pernah menggunakan layanan tes CD4<br />

dengan subsidi LSM, beberapa mengeluhkan penggantian biaya tes yang kadang<br />

terlambat.<br />

Selain pengalaman negatif, beberapa partisipan juga mengemukakan pendapat<br />

positif terkait pengalaman mereka mengakses layanan. Beberapa partisipan menjelaskan<br />

bahwa mereka cukup puas dengan pengalaman mengakses layanan kesehatan baik di<br />

PKM, atau juga di klinik terdekat tempat mereka biasa berobat. Salah satu partisipan<br />

bahkan membandingkan pengalamannya dalam mengakses layanan VCT dahulu dengan<br />

pengalaman terakhirnya. Menurutnya pelayanan sekarang sudah lebih baik, ia merasa<br />

diterima dengan lebih baik, dibandingkan sebelumnya ia merasa tidak diperdulikan saat<br />

ingin mengakses layanan. Ada partisipan yang juga mengatakan bahwa berdasarkan<br />

pengalamannya mengakses layanan dengan Askeskin dan Jamkesmas membuat<br />

semuanya menjadi lebih mudah.<br />

Beberapa harapan partisipan terhadap layanan adalah mengenai waktu layanan<br />

yang lebih fleksibel, tidak terbatas seperti saat ini. Mereka juga mengharapkan<br />

kenyamanan dan keamanan tempat layanan ditingkatkan. Beberapa partisipan secara<br />

spesifik menjelaskan bahwa mereka berharap akses terhadap metadon bisa dipermudah.


Dukungan yang diperoleh saat sakit<br />

32<br />

Kebanyakan partisipan menganggap keluarga adalah sumber dukungan utama<br />

dalam hidup mereka. Dalam keluarga sendiri, Ibu atau pasangan merupakan orang<br />

terdekat yang seringkali menjadi sosok yang paling membantu (“ orang tua gue..baik<br />

banget sama gue...”). Selain keluarga, teman dan para pekerja LSM juga menjadi pihak<br />

yang sangat dirasakan bantuan dan dukungannya bagi para pengguna napza suntik.<br />

Bantuan yang diberikan sangat beragam, mulai dari mendukung partisipan untuk<br />

berobat, menyemangati partisipan, memberikan motivasi, memperhatikan kebutuhan<br />

partisipan, sampai menyediakan kebutuhan partisipan seperti uang, suplemen, makanan,<br />

bahkan obat-obatan yang mereka butuhkan saat sakit.<br />

Beberapa partisipan memilih untuk tidak memberitahukan statusnya kepada<br />

keluarga sehingga mereka belum benar-benar bisa merasakan dukungan keluarga<br />

terkait dengan kondisi kesehatan mereka.<br />

B.4. ATTITUDE<br />

Sikap pengguna napza suntik terhadap layanan kesehatan yang ada<br />

Hampir semua partisipan cenderung memiliki sikap positif ke arah <strong>net</strong>ral<br />

terhadap layanan kesehatan yang tersedia, mereka merasa layanan yang ada sangat<br />

membantu mereka. Beberapa partisipan menyatakan bahwa program yang ada saat ini<br />

sudah baik dan layanan yang diberikan oleh petugas outreach dalam program HR sangat<br />

membantu. Walaupun pada beberapa partisipan kesadaran akan pentingnya mengakses<br />

layanan kesehatan masih rendah, namun mereka tidak bersikap negatif terhadap<br />

keberadaan layanan. Kalaupun mereka merasa tidak tertarik untuk mengakses atau tidak<br />

mencoba mengakses layanan kesehatan yang ada biasanya karena masalah biaya. Untuk<br />

layanan rehabilitasi khususnya, mereka mendengar bahwa biaya yang dibutuhkan cukup<br />

banyak dan tidak terlalu efektif untuk menghentikan ketergantungan napza, sehingga<br />

mereka merasa tidak tertarik untuk mencoba. Selain itu, ketakutan pengguna napza<br />

suntik terhadap kenyataan bahwa dirinya menderita penyakit-penyakit lain yang belum<br />

ia ketahui juga menjadi isu bagi mereka untuk berobat ke dokter. Menarik juga bahwa<br />

salah satu partisipan pengguna napza suntik perempuan menjelaskan bahwa sikap<br />

keluarganya tidak terlalu positif terhadap para staf LSM karena melihat penampilan<br />

mereka yang “urakan” (cara berpakaian yang tidak rapih dan badan dipenuhi tato). Tapi<br />

walaupun begitu keluarga tidak sampai melarang partisipan untuk mengakses layanan di<br />

LSM.


33<br />

C. Dukungan dan Tantangan Programatik Dalam Pencarian Bantuan<br />

Kesehatan dari Penyedia Layanan Kesehatan Terkait HIV dan AIDS di Kota<br />

Bekasi<br />

Pada bagian ini akan diuraikan apa saja capaian yang merupakan bentuk dukungan<br />

terhadap upaya pencarian bantuan kesehatan, sekaligus tantangan-tantangan, yang<br />

terkait dengan program layanan kesehatan yang ada. Di dalamnya termasuk layanan<br />

jarum suntik steril, layanan rumatan metadon, VCT, dan layanan terkait AIDS seperti<br />

penyediaan ARV. Pada bagian akhir, disampaikan pula uraian tentang layanan<br />

pendukung akses seperti asuransi dan keberlanjutan program, keduanya sebagai dua<br />

prasyarat dari adanya dukungan programatik dalam pencarian bantuan kesehatan.<br />

C.1. Layanan Jarum Suntik Steril<br />

Hasil diskusi dengan pengguna napza suntik dan staf LSM mengungkapkan<br />

bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab keengganan pengguna napza suntik<br />

menggunakan layanan di Puskesmas untuk layanan jarum suntik steril.<br />

a. Penyebab utama adalah karena faktor kenyamanan. Pada saat seorang<br />

pengguna napza suntik ingin menggunakan LJSS di Puskesmas pada kali<br />

pertama dia harus menyediakan sejumlah data personal, mulai dari<br />

nama, sampai ke alamat tempat tinggal. Hal ini menyebabkan pengguna<br />

napza suntik merasa tidak nyaman. Hal ini dapat dipahami mengingat<br />

bahwa untuk menghindari anggapan bahwa yang bersangkutan<br />

mempunyai perilaku yang tidak dapat diterima masyarakat dan bahkan<br />

dikaitkan dengan status perilaku kriminal, seorang pengguna napza<br />

suntik seringkali akan berusaha agar perilaku atau statusnya tidak<br />

diketahui orang lain.<br />

b. Alasan lain keenganan untuk menggunakan layanan ini adalah mengenai<br />

tempat dan jam layanan. Jam layanan Harm Reduction di Puskesmas<br />

relatit terbatas hanya pada sekitar pukul 10.00-14.00. Di luar jam<br />

tersebut layanan sudah tutup. Selain itu, kebanyakan Puskesmas tersebut<br />

terletak berdekatan dengan kantor-kantor polisi sektor setempat. Hal ini<br />

memperbesar keengganan pengguna napza suntik untuk menggunakan<br />

layanan secara rutin dari Puskesmas.<br />

” ... Memang bisa dimengerti juga sih kalau IDU enggan untuk sering-sering<br />

datang ke Puskesmas. Ada yang nggak enak kalo ketemu sama orang yang sudah dia<br />

kenal. Jam bukanya juga terbatas. Belum lagi kebanyakan Puskesmas letaknya kan dekat<br />

dengan polsek.Nggak tau tuh, kok kebetulan letaknya suka di dekat polsek ya... ” (Staf<br />

LSM, 32 tahun)


34<br />

Dampak dari penyediaan layanan jarum suntik steril ini diakui baik oleh staf<br />

lapangan ataupun pengguna napza suntik. Menurut pengamatan staf lapangan, mereka<br />

mengamati bahwa ada perbedaan nyata antara pengguna napza suntik yang telah<br />

dijangkau melalui program penjangkauan dan layanan dengan pengguna napza suntik<br />

yang belum atau masih jarang dijangkau. Di kalangan pengguna napza suntik yang telah<br />

dijangkau bisanya mereka terlihat lebih peduli dengan masalah penggunaan jarum yang<br />

bersih dan kotor. Sedapat mungkin mereka akan menggunakan jarum yang baru atau<br />

berusaha membersihkan terlebih dulu ketika akan menggunakan. Pada mereka yang<br />

belum dijangkau atau baru awal dijangkau, norma untuk menggunakan jarum apa<br />

adanya lebih jelas terlihat. Mereka tidak peduli apakah jarum yang mereka gunakan<br />

steril atau tidak.<br />

Dari data penelitian terlihat bahwa ada semacam kesenjangan komunikasi antara<br />

petugas Puskesmas dan LSM. Di satu sisi petugas Puskesmas ingin bisa menyediakan<br />

layanan dengan baik, sementara sebagian mengungkapkan pula perasaan tidak enaknya.<br />

Ada yang berpendapat bahwa seharusnya penyediaan layanan jarum suntik steril<br />

seharusnya diserahkan saja ke yang lebih cocok, yaitu LSM. Karena pelaksanaan jarum<br />

suntik yang dibebani ke puskesmas masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan.<br />

Hanya beberapa puskesmas yang relatif banyak dikunjungi pengguna napza suntik.<br />

Sebagian besar hanya dikunjungi dalam jumlah kurang dari 10 orang pengguna napza<br />

suntik yang menggunakan layanan jarum suntik steril per bulan.<br />

Di sisi lain, ada pula petugas Puskesmas yang mempertanyakan bagaimana<br />

sistem kerja yang digunakan oleh LSM. Bagaimana mungkin LSM yang menggunakan<br />

petugas lapangan bahkan dari para pecandu yang sudah berhenti dapat bekerja dengan<br />

hasil kinerja yang tinggi. Bahkan ada pula petugas Puskesmas yang mempertanyakan,<br />

apakah jarum tersebut benar-benar dibagikan oleh mereka atau jangan-jangan hanya<br />

disimpan atau bahkan dijual.<br />

C.2. Terapi Rumatan Metadon<br />

Layanan Terapi Rumatan Metadon saat ini di Bekasi tersedia di satu titik, yaitu<br />

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi. Pengumpulan data dilakukan oleh tim peneliti<br />

melalui wawancara dengan petugas lapangan, penerima layanan, dokter penyedia<br />

layanan dan pemimpin LSM.<br />

Hasil annual survey YMS pada mitranya menunjukkan bahwa sebagain besar<br />

Klien pengguna napza suntik yang didampinginya telah mengetahui tentang adanya<br />

layanan terapi rumatan metadon.


35<br />

Para peserta layanan Terapi Rumatan Metadon merasakan manfaat yang tinggi<br />

dari keikutsertaan mereka sebagai peserta Terapi Rumatan Metadon.<br />

” ... Setelah saya mengikuti PTRM banyak perobahan yang ada di keluarga saya.<br />

Saya ’kan satu-satunya anak laki laki di dalam keluarga.Tadinya waktu saya masih make,<br />

saya benar-benar udah nggak dipercaya lagi. Abis semua barang kan dulunya juga udah<br />

hilang ama sama saya. Nah, sekarang kepercayaan itu sudah mulai balik lagi. Saya udah<br />

mulai bisa disuruh ini itu buat keluarga ... Yah, mungkin setelah hampir setahunan<br />

ikutan metadon ... Gimana juga, bapak saya kan masih berharap saya yang bisa gantiin<br />

dia nantinya ... ” (Peserta PTRM Bekasi, 30 tahun)<br />

Para peserta PTRM juga mengungkapkan kegelisahan mereka tentang kualitas<br />

layanan-layanan yang dirasa terbatas. Sebagian dari mereka menyatakan kebutuhan<br />

untuk dapat berkonsultasi lebih jauh dengan dokter yang ada di layanan. Kebutuhan ini<br />

baik untuk konsultasi atau konseling terkait dengan adiksi, ataupun konseling hal-hal<br />

yang terkait dengan penggunaan terapi metadon yang mereka jalani. Ada kebutuhan<br />

untuk berkonsultasi misalnya tentang efek samping yang timbul ketika ada yang baru<br />

mulai terapi ARV atau pengobatan lain. Ada juga yang ingin bertanya lebih lanjut<br />

mengenai status kesehatannya yang pernah mendapatkan pemeriksaan kesehatan dasar<br />

ketika baru memulai terapi metadon.<br />

Klien metadon merasa bahwa kualitas dokter yang melayani beragam. Dua dari<br />

tiga orang dokter yang bertugas di Program Terapi Rumatan Metadon dirasa kurang<br />

berkualitas karena seolah memberikan layanan sekenanya. Hal ini muncul karena<br />

jawaban atau penjelasan yang diperoleh dari dokter berbeda. Begitu juga kesan yang<br />

timbul dari jawaban-jawaban yang diberikan. Ada seorang dokter di layanan metadon<br />

yang dianggap lebih mempunyai pengetahuan dan pengalaman, tetapi waktu prakteknya<br />

tidak jelas sehingga menimbulkan rasa frustrasi tersendiri untuk klien.<br />

Pendapat mengenai layanan yang dikemukakan antara staf LSM dan pengguna<br />

napza suntik juga terlihat berbeda. Staf LSM merasa bahwa sebenarnya kebutuhan<br />

terhadap layanan Terapi Rumatan Metadon cukup tinggi untuk wilayah Bekasi dan<br />

sekitarnya. Namun keberadaan tempat layanan yang hanya satu titik yang<br />

mengakibatkan animo untuk mengikuti layanan metadon menjadi rendah.<br />

Ada satu istilah yang kerap diucapkan oleh kalangan pengguna napza suntik di<br />

Bekasi mengenai layanan metadon, yaitu “menjadi tahanan kota”. Istilah ini<br />

diungkapkan seorang peserta FGD dan disetujui oleh pengguna napza suntik yang lain.<br />

”... Iya, kalo ikutan metadon kan harus ikutan tiap hari. Dateng juga harus tiap<br />

hari. Mau kemana-mana nggak bisa. Kan di sini susah mau THD (take home dose)...<br />

padahal sakawnya kan lebih berat dari putaw. Akhirnya jadi kayak tahanan kota... Terus,<br />

misalnya kita bekerja ’kan nggak bisa tiap hari harus ke sini minum metadon. Temen<br />

saya bilang, kalo udah ikutan metadon repot. Mau nurunin dosis susah, mau berhenti


36<br />

juga susah. ’Kan jadi kecanduan juga tuh ama metadon. ... (Pengguna napza suntik<br />

Bekasi, 28 tahun)<br />

Sulitnya mendapatkan kesempatan untuk fasilitas take home dose,<br />

mengakibatkan peserta metadon merasa dirinya terperangkap dalam layanan metadon.<br />

Mereka merasa bahwa peluang untuk bekerja misalnya, menjadi berkurang atau bahkan<br />

hilang, sebab tidak mungkin meninggalkan tempat kerja setiap hari karena harus<br />

menggunakan layanan metadon. Padahal, jam buka layanan metadon berada di tengah-<br />

tengah jam kerja. Sementara mereka juga merasa bahwa peluang untuk mendapatkan<br />

take home dose tidak ada. Keluhan ini menyebar di kalangan pengguna napza suntik<br />

sehingga turut memperkecil minat untuk mencoba layanan metadon.<br />

Selain itu, ada pertanyaan yang masih tidak terjawab mengenai prosedur<br />

tappering off atau pengurangan dosis dan berhenti dari penggunaan metadon. Banyak<br />

dari pengguna napza suntik yang sudah mengikuti ataupun yang belum ikut metadon<br />

serta staf LSM yang tahu tentang istilah ini. Tapi dalam kenyataannya mereka merasa<br />

bahwa prosedur untuk tappering off masih tidak jelas dan tidak diterapkan. Terkesan<br />

bahwa petugas kesehatan di PTRM enggan melakukan tappering off atau klien yang<br />

ingin berhenti dari penggunaan metadon merasa kesulitan untuk mengekspresikan<br />

keinginannya. Sebaliknya, mereka takut untuk berhenti langsung dari layanan karena<br />

takut mengalami gejala putus obat yang lebih keras dan lebih panjang daripada putus<br />

putaw.<br />

C.3. Layanan Konseling dan Tes HIV<br />

Ada beberapa alasan utama mengapa sesorang pengguna napza suntik<br />

memutuskan untuk mengambil tes HIV. Kebanyakan dari mereka yang mengambil tes<br />

setuju bahwa mereka telah melakukan kegiatan yang berisiko. Fakta ini dipahami baik<br />

melalui diskusi dengan sesama teman, diskusi dengan petugas penjangkauan dari LSM,<br />

ataupun dipahami melalui proses konseling pra tes. Ada pula yang menjelaskan<br />

alasannya adalah karena setelah mengetahui atau menyaksikan langsung bahwa<br />

temannya yang sering atau pernah menggunakan napza suntik bersamanya sakit atau<br />

meninggal yang diketahui atau diperkirakan terkait dengan masalah AIDS. Untuk<br />

mereka yang mengambil tes berulang, alasannya adalah karena mereka masih tetap<br />

pernah melakukan kegiatan berisiko dalam penyuntikan ataupun hubungan seksual<br />

yang tidak aman sejak tes yang terakhir. Hal ini menunjukkan pengetahuan dan<br />

kesadaran yang tinggi dari pengguna napza suntik.<br />

Selain itu, alasan lain pengambilan tes adalah karena diminta oleh petugas<br />

kesehatan ketika mereka dalam kondisi sangat sakit dan mengakses layanan di rumah<br />

sakit. Banyak dari mereka yang datang ketika sudah dalam kondisi sakit berat akhirnya


37<br />

diikuti dengan mengakses layanan kesehatan lanjutan terkait HIV, misalnya dalam<br />

bentuk mengikuti terapi ARV. Hasil annual survey 2009 yang dilaksanakan oleh YMS<br />

menunjukkan bahwa 40 % dari partisipan mengaku pernah mengikuti VCT. Hal ini<br />

menunjukkan bahwa kesadaran di kalangan pengguna napza suntik yang sudah<br />

dijangkau telah meningkat dan sampai kepada perilaku melakukan VCT.<br />

Ada beberapa hal yang dipersepsikan oleh pengguna napza suntik maupun staf<br />

LSM sebagai hambatan atau tantangan untuk membuat pengguna napza suntik<br />

mengambil tes HIV. Pertama adalah jarak tempat pengambilan hasil tes yang dirasa<br />

cukup jauh dari lokasi tempat si pengguna napza suntik tinggal. Selain itu, letak layanan<br />

konseling pra tes HIV atau layanan lain yang terpisah dari tempat tes HIV juga menjadi<br />

penyebab seorang yang sudah setuju dirujuk untuk melakukan tes HIV tidak jadi<br />

melanjutkan pemeriksaannya. Kualitas konseling pra tes HIV dirasa juga berpengaruh<br />

terhadap bagaimana sikap dan perilaku untuk mengikuti tes HIV secara penuh dari<br />

pengguna napza suntik. Beberapa pengguna napza suntik mengeluhkan kualitas<br />

konseling karena terkesan memberikan ceramah moral dan bahkan menyalahkan<br />

pengguna napza suntik atas perilaku berisiko yang telah dilakukannya dalam proses<br />

konseling pra tes HIV.<br />

Masalah terakhir adalah mengenai jarak waktu pengambilan hasil tes dengan<br />

waktu tes yang dilakukan. Hal ini mengakibatkan sebagian pengguna napza suntik,<br />

walaupun jumlahnya relatif kecil, tidak mau mengambil hasil tes HIV yang telah<br />

dijalaninya.<br />

Untuk pengguna napza suntik yang tidak bersedia mengambil tes HIV alasan<br />

utama yang diberikan adalah ketidaksiapan untuk menerima hasil tes jika hasil tes<br />

menunjukkan hasil positif. Mengetahui hasil tes yang positif dirasakan hanya akan<br />

menambah beban psikologis dan tidak memberi manfaat banyak, terutama bagi<br />

pengguna napza suntik yang masih aktif menyuntik dan merasa masih belum punya<br />

keinginan berhenti. Mengetahui status positif dan memiliki pasangan juga menjadi<br />

penambah beban pikologis yang lebih besar yang membuat keinginan melakukan tes HIV<br />

semakin berkurang.<br />

Alasan yang sama juga dikemukakan oleh pengguna napza suntik yang telah<br />

mengikuti konseling, tapi kemudian berubah pikiran untuk tidak melanjutkan tes atau<br />

tidak mengambil hasil tes ketika ada jeda waktu yang panjang antara melakukan tes dan<br />

menerima hasil tes. Jeda waktu beberapa hari tersebut telah mengakibatkan pengguna<br />

napza suntik berubah keputusan untuk tidak mengambil hasil tes yang telah<br />

dilakukannya.


C.4. Layanan ARV<br />

38<br />

Dibandingkan dengan banyak layanan lainnya di seputar wilayah Jakarta,<br />

layanan ARV di wilayah Bekasi terlihat lebih mendukung di mata pengguna napza suntik<br />

dan pelaksana program Harm Reduction. Staf LSM mengatakan bahwa terlepas dari<br />

keterbatasan yang ada, tapi mereka belum pernah mengalami penolakan oleh Rumah<br />

Sakit yang disebabkan karena ketiadaan biaya ketika seorang pengguna napza suntik<br />

sudah sakit berat dan membutuhkan perawatan rawat inap di rumah sakit. Dalam situasi<br />

darurat mereka memang harus memberikan pendampingan khusus, tapi pengalaman<br />

selama ini menunjukkan bahwa kasus-kasus yang mereka tangani secara keseluruhan<br />

akhirnya bisa menerima dan menjalani perawatan di rumah sakit. Hal ini dirasakan juga<br />

terdukung dengan adanya klinik Flamboyan yang secara khusus memberikan layanan<br />

terkait HIV di RSUD Bekasi.<br />

Seiring dengan berjalannya waktu, frekuensi berhubungan, dan komunikasi<br />

yang terjadi antara staf LSM dan staf klinik Flamboyan, proses untuk mengakses layanan<br />

yang ada di rumah sakit juga dirasa semakin mudah untuk diperoleh jika ada staf LSM<br />

yang mendampingi pengguna napza suntik ketika dia membutuhkan perawatan.<br />

Beberapa hambatan terlihat terkait dengan pelayanan ini. Staf LSM<br />

mengemukakakan bahwa biaya yang harus dikeluarkan seorang pasien sebelum dapat<br />

mengikuti terapi ARV menjadi penghambat utama yang mengakibatkan seorang<br />

pengguna napza suntik tidak melanjutkan perawatan atau pengobatannya untuk<br />

mengikuti terapi ARV. Biaya pra ARV ini meliputi, biaya konsultasi dokter, pengetesan<br />

laboratorium yang biasanya diminta petugas kesehatan sebelum seseorang dapat<br />

memulai ARV. Walaupun ARV sudah disubsidi penuh, tapi biaya-biaya yang harus<br />

dikeluarkan mencapai hampir 200 ribu rupiah dapat menjadi alasan utama sehingga<br />

akhirnya pengguna napza suntik tidak mengikuti terapi ARV.<br />

Selain alasan biaya, beberapa alasan lain yang menurunkan minat untuk<br />

mengakses layanan ARV di kalangan pengguna napza suntik antara lain adalah adanya<br />

kekhawatiran bahwa persediaan ARV dalam sistem layanan sampai saat ini dirasa masih<br />

belum adekuat. Hal ini mengakibatkan kekhawatiran dari pengguna napza suntik bahwa<br />

mereka akan beresiko mengalami hal-hal yang berakibat lebih buruk bagi dirinya dalam<br />

jangka panjang. Misalnya risiko untuk mengalami resistensi obat lini pertama dan harus<br />

pindah pada pengobatan lini ke dua. Padahal pengobatan lini ke dua belum sepenuhnya<br />

disubsidi pemerintah dan dengan konsistensi ketersediaan obat yang lebih baik dari pada<br />

persediaan obat lini pertama. Walaupun informasi tentang keamanan obat ini sebagian<br />

tidak benar, tapi hal ini sudah beredar cukup luas di kalangan pengguna napza suntik<br />

dan menjadi semacam fakta yang menghambat atau mengurangi keinginan mereka<br />

untuk berpikir tentang layanan yang tersedia dan mengakibatkan keengganan untuk<br />

mengambil tes HIV.


39<br />

Gejala efek samping seperti kulit yang menghitam, pantat menjadi kecil, dan<br />

penumpukan lemak yang dapat muncul sebagai efek samping dari penggunaan ARV juga<br />

menjadi alasan penguat lain di kalangan pengguna napza suntik untuk enggan<br />

menggunakan ARV. Hal ini diperkuat lagi dengan cerita-cerita efek samping seperti efek<br />

mual yang tidak nyaman akibat penggunaan obat tertentu, yang muncul dari<br />

pengalaman teman-teman yang sudah menggunakan ARV. Untuk sebagian pengguna<br />

napza suntik, banyaknya efek samping yang dapat muncul padahal komitmen yang<br />

dibutuhkan adalah kepatuhan untuk menggunakan obat seumur hidup akhirnya<br />

menjadi tantangan tersendiri bagi pengguna napza suntik untuk dapat melihat adanya<br />

layanan ARV sebagai salah satu harapan yang positif dari permasalahan AIDS yang ada.<br />

C.5. Sistem Kesehatan Pendukung<br />

Kesan umum dari para pelaksana program intervensi pada pengguna napza<br />

suntik di Bekasi memperlihatkan bahwa sistem layanan kesehatan cukup memadai untuk<br />

mendukung upaya intervensi yang dikembangkan. Beberapa staf LSM mengatakan<br />

bahwa dalam setahun terakhir dalam situasi-situasi kritis, ketika menemukan seorang<br />

pengguna napza suntik yang benar-benar membutuhkan layanan rumah sakit, dengan<br />

berbagai upaya yang dilakukan, seluruh kasus akhirnya dapat ditangani. Pihak Rumah<br />

Sakit Umum Bekasi tidak pernah sampai menolak pasien yang segera harus ditangani<br />

walaupun tidak mempunyai dana yang tersedia di tangan. Cerita yang berbeda dialami<br />

banyak penggiat AIDS di kota lain.<br />

Disebutkan bahwa asuransi kesehatan dalam bentuk Jaminan Kesehatan<br />

Masyarakat (Jamkesmas) digunakan oleh sebagian pengguna napza suntik yang telah<br />

terdaftar sebagai masyarakat miskin. Menurut pengalaman staf LSM lagi, fasilitas<br />

kesehatan dalam bentuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang didukung oleh<br />

APBD juga tersedia dan telah digunakan dalam membantu pengguna napza suntik yang<br />

membutuhkan.<br />

Lebih lanjut dijelaskan bahwa terkesan pihak Rumah Sakit lebih memilih untuk<br />

menggunakan fasilitas Jamkesda dari pada Jamkesmas. Diduga karena sistem<br />

penggantian dana melalui Jamkesda dapat dilakukan dengan proses lebih cepat.<br />

Sayangnya, informasi lain dari staf LSM yang biasa mengurus pengguna napza suntik<br />

dengan menggunakan fasilitas layanan di atas menyebutkan bahwa fasilitas Jamkesmas<br />

yang digunakan seorang pasien rujukan dari Rumah Sakit Umum Bekasi pernah ditolak<br />

ketika akan digunakan di sebuah Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta. Selain itu,<br />

disebutkan bahwa fasilitas Jamkesda ternyata statusnya cepat habis sehingga belum tentu<br />

dapat digunakan sepanjang waktu oleh pasien yang membutuhkan.<br />

Kendala terbesar bagi pengguna napza suntik adalah karena biasanya mereka<br />

tidak memiliki kelengkapan persyaratan administrasi yang dibutuhkan untuk dapat


40<br />

mengakses fasilitas layanan kesehatan di atas. Misalnya ketiadaan Kartu Tanda<br />

Penduduk, Kartu Keluarga, atau kesulitan dalam mengurus surat-surat keterangan yang<br />

dibutuhkan. Dalam situasi seperti ini maka staf dari LSM-lah yang selama ini<br />

memberikan pendampingan dan bantuan agar pengguna napza suntik atau pihak<br />

keluarga masih dapat ditolong.<br />

C.6. Keberlanjutan Program<br />

Dari data dan informasi yang dikumpulkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa<br />

dalam 5 tahun terakhir telah terlihat upaya yang sistematis untuk mendukung muncul<br />

dan berkembangnya program Harm Reduction di wilayah Kota Bekasi dan sekitarnya.<br />

Proyek-proyek dukungan dana melalui FHI, Bur<strong>net</strong>, dan HCPI telah mendorong<br />

berkembangnya upaya program Harm Reduction di Kota Bekasi dan sekitarnya.<br />

Namun, ketika data dikumpulkan, program Harm Reduction sedang berada<br />

dalam transisi. Program yang dijalankan oleh LSM seperti LKI dari dukungan Bur<strong>net</strong> dan<br />

YMS dengan dukungan FHI sedang berada dalam ujung masa kerja sama program.<br />

Kedua lembaga menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan komitmen dukungan<br />

program lebih jauh dari kedua lembaga pengelola program tersebut.<br />

Lebih lanjut kedua lembaga pelaksanaan pogram di atas menyebutkan bahwa<br />

program dukungan dana dari Global Fund Round 8 (GF R8) telah dimulai di Kota Bekasi.<br />

Untuk komponen program Harm Reduction, YMS telah terpilih menjadi Sub Sub<br />

recipient dari program yang dikelola oleh PKBI. YMS telah mendapatkan komitmen dari<br />

LKI untuk bertindak sebagai implementing unit atas dana yang dikelolanya. Kegiatan<br />

yang akan dilanjutkan adalah program penjangkauan hanya pada pengguna napza<br />

suntik untuk wilayah Kota Bekasi.<br />

Pihak YMS menyatakan untuk beberapa waktu ke depan, staf lembaganya telah<br />

memberikan komitmen untuk berusaha tetap menjaga lapangan yang telah mereka<br />

jangkau sebelumnya. Mereka bersedia untuk melakukan kesepakatan internal dengan<br />

memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk meminimalkan agar kondisi lapangan<br />

tidak langsung menurun drastis dengan perubahan pendanaan yang sedang terjadi. Tapi<br />

tidak diketahui berapa lama komitmen ini dapat dipertahankan atau berapa dana<br />

alternatif tersedia yang dapat digunakan.<br />

Meskipun terlihat bahwa program dukungan dari Global Fund Round 8 akan<br />

mencakup sebagian dari kegiatan penjangkauan yang telah dilaksanakan sebelumnya,<br />

tapi ada beberapa hal yang terasa sebagai ancaman untuk program ke depan. Pertama<br />

bahwa cakupan program GF R8 jauh lebih kecil dari pada program yang telah<br />

dikembangkan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena sumberdaya dan perencanaan<br />

yang telah disusun hanya tersedia untuk wilayah tertentu dengan jumlah terbatas.


41<br />

Kedua, standar pelaksanaan dan komponen program yang berbeda antara yang dulu dan<br />

sekarang dirasakan akan menjadi ancaman terhadap cakupan dan kualitas program<br />

yang akan dijalankan. Sebagai contoh, disebutkan bahwa melalui program GF R8<br />

layanan jarum suntik steril akan diutamakan pendistribusiannya melalui fasilitas<br />

Puskesmas. Petugas Lapangan dari LSM diharapkan hanya mempromosikan layanan dan<br />

merujuk para pengguna napza suntik untuk mengambil jarum suntik steril di<br />

puskesmas-puskesmas yang tersedia.<br />

Kedua LSM pelaksana menyebutkan bahwa dari sisi penyediaan jarum suntik<br />

steril jumlah yang disediakan jauh lebih kecil dari yang pernah mereka kelola<br />

sebelumnya. Prosedur pengambilan jarum di Puskesmas yang akan membuka identitas<br />

pribadi dari pengguna napza suntik juga dirasa akan menjadi hambatan untuk pengguna<br />

napza suntik mengakses layanan secara rutin dan adekuat. Selain itu, jam layanan<br />

puskesmas yang terbatas akan menjadi hambatan lain untuk akses yang lebih besar pada<br />

jarum suntik steril bagi pengguna napza suntik.<br />

Para petugas lapangan merasa bahwa saat ini pengguna napza suntik di Bekasi<br />

masih dalam tahap awal mempunyai kesadaran menggunakan jarum suntik steril.<br />

Mereka baru mulai peduli dengan isu kesehatan, mulai peduli dengan risiko penularan<br />

HIV dan penyakit terkait di dalamnya, sesuatu yang hampir tidak ada pada diri mereka<br />

sebelumnya. Dikhawatirkan dengan adanya perubahan sistem intervensi yang jauh<br />

berbeda, hal ini akan berdampak negatif terhadap upaya yang telah dibangun<br />

sebelumnya. Hal terburuk adalah jika akhirnya para pengguna napza suntik kembali<br />

dengan norma lamanya dalam masalah penggunaan jarum suntik steril. Karena jumlah<br />

jarum yang tersedia lebih kecil dan kenyamanan dalam mengakses jarum menjadi<br />

berkurang, akibatnya mereka akan kembali dengan norma menggunakan jarum bekas<br />

secara berulang. Hal ini berarti memperbesar kemungkinan meningkatnya risiko<br />

penularan HIV melalui jarum suntik tidak steril baik secara langsung ataupun tidak<br />

langsung di kalangan pengguna napza suntik.<br />

Selain itu, standar yang digunakan untuk membayar para petugas lapangan yang<br />

jauh lebih kecil dari pada program sebelumnya dikhawatirkan akan dapat<br />

mempengaruhi kualitas program. Dijelaskan lebih jauh bahwa fungsi dari petugas<br />

lapangan sesungguhnya bukan hanya sekedar menyediakan peralatan pencegahan<br />

terkait dengan penularan HIV dalam bentuk pembagian jarum dan kondom. Tapi fungsi<br />

lain yang jauh lebih besar adalah sebagai role model, menjadi pendidik, dan yang<br />

memberikan motivasi secara terus menerus kepada para pengguna napza suntik yang<br />

dijangkau. Proses pemberian motivasi ini melingkupi banyak hal. Baik terkait dengan<br />

penggunaan jarum suntik steril dan kondom bagi yang aktif secara seksual, maupun<br />

dalam promosi layanan-layanan lain yang tersedia di wilayah Kota Bekasi seperti layanan<br />

konseling tes HIV sukarela. Selain itu yang tak kalah penting adalah bantuan yang<br />

selama ini diberikan para petugas lapangan untuk mendorong dan mendukung agar


42<br />

pengguna napza suntik dapat memanfaatkan layanan-layanan lain yang tersedia ketika<br />

mereka memerlukannya.


A. Kesimpulan<br />

B. Diskusi<br />

C. Rekomendasi<br />

43<br />

BAB 3<br />

KESIMPULAN, DISKUSI<br />

DAN REKOMENDASI


A. KESIMPULAN<br />

44<br />

Secara umum, hasil penelitian ini membenarkan bahwa the Health Belief Model<br />

dan the AIDS Risk Reduction Model masih cukup efektif untuk memberikan penjelasan<br />

terhadap upaya pencarian bantuan kesehatan dan upaya untuk hidup sehat. Seseorang<br />

yang mencari bantuan kesehatan akan benar-benar melaksanakannya jika ada hal-hal<br />

yang diyakini dapat mendukung dan membawa manfaat, atau sebaliknya membatalkan<br />

hal tersebut jika dianggap tidak membawa manfaat.<br />

Dalam upaya memahami pencarian bantuan kesehatan oleh pengguna napza<br />

suntik, status psikologis pengguna napza, yaitu kondisi kecanduannya, memainkan<br />

peranan yang penting. Kondisi tidak aman, cemas, terlalu sensitif dan<br />

kekurangmampuan memecahkan masalah dengan efektif, mengarahkan upaya<br />

pencarian bantuan kesehatan melalui pola tertentu yang kadang tidak adekuat. Pada saat<br />

bersamaan, label negatif yang terlanjur dilekatkan sebagian anggota masyarakat,<br />

membuat pengguna napza suntik lebih rentan dan tidak mudah untuk percaya kepada<br />

orang lain.<br />

Di sisi lain, ketersediaan dan kemudahan akses terhadap layanan kesehatan<br />

merupakan faktor yang penting dalam upaya pencarian bantuan kesehatan oleh<br />

pengguna napza suntik. Layanan kesehatan terkait HIV dan AIDS telah tersedia lengkap<br />

di wilayah Bekasi. Layanan yang ada mempunyai kemampuan untuk memberikan<br />

layanan-layanan yang diperlukan dalam program Harm Reduction.<br />

Peran yang signifikan juga datang dari masyarakat sipil melalui Lembaga Non<br />

Pemerintah, yang selama ini melakukan penjangkauan, memberikan pendampingan,<br />

pembelajaran dan layanan kesehatan kepada pengguna napza suntik. Hasil penelitian ini<br />

juga menegaskan bahwa pengguna napza suntik yang sudah dijangkau, mengenal<br />

dan/atau pernah terlibat dalam berbagai intervensi HIV dan AIDS, menunjukkan<br />

kesadaran lebih tinggi terhadap kesehatan dirinya.<br />

Di samping itu, anggota masyarakat sipil lain seperti seperti kelompok ibu-ibu<br />

dan kelompok pemuka agama, memberikan dukungan yang berarti bagi upaya<br />

pencarian bantuan kesehatan tersebut. Kerja sama yang apik di antara berbagai pemeran<br />

dalam isu ini membawa konsekuensi yang positif terhadap upaya pencarian kesehatan<br />

pengguna napza suntik di Kota Bekasi. Ditambah lagi, Kota Bekasi telah mempunyai<br />

suprastruktur pendukung program dalam bentuk Rencana Strategi Daerah<br />

penanggulangan HIV dan AIDS yang menyebutkan secara spesifik tentang kebutuhan


45<br />

program Harm Reduction dan kebijakan daerah dalam bentuk Peraturan Daerah tentang<br />

penanggulangan HIV dan AIDS.<br />

Namun demikian, tertangkap pula sejumlah tantangan bagi penyedia layanan<br />

kesehatan di Kota Bekasi yang mempengaruhi upaya mandiri pengguna napza suntik<br />

untuk mencari bantuan kesehatan. Pertama, layanan yang ada belum sepenuhnya<br />

mengacu pada kondisi dan kebutuhan fisiologis maupun psikososial pecandu napza.<br />

Kedua, dirasakan kebutuhan oleh pengguna layanan untuk memperoleh layanan<br />

kesehatan yang lebih terintegrasi dan terkoordinasi.<br />

B. DISKUSI<br />

Dalam penelitian ini, pencarian bantuan kesehatan pada pengguna napza suntik<br />

digali sesuai dengan konteks yang mereka alami, mengingat bahwa perilaku sehat sakit<br />

dan pencarian bantuan layanan kesehatan juga harus dipahami berdasarkan kondisi<br />

psikososial, kesehatan fisik, dan sosial ekonomi yang melatarbelakangi masing-masing<br />

individu.<br />

Bentuk-bentuk pertanyaan yang diajukan kepada para pengguna napza suntik<br />

berkisar sekitar pemahaman sehat dan sakit yang mereka hayati, begitu pula dalam<br />

pertanyaan yang diajukan kepada lembaga-lembaga pelayanan kesehatan yang<br />

berinteraksi secara langsung dengan para pengguna napza suntik dan keluarganya.<br />

Terkait dengan aspek pengetahuan, sikap, keyakinan dan pengalaman mengakses<br />

layanan kesehatan, maka aspek pengetahuan dititikberatkan pada pemaknaan pengguna<br />

napza suntik tentang sehat dan sakit, pengetahuan tentang risiko akibat menyuntik,<br />

penyakit-penyakit yang dimungkinkan terjadi dan tingkat keparahan penyakit. Selain<br />

itu, dilihat juga seberapa jauh pengetahuan yang mereka miliki tentang tempat layanan<br />

program dan layanan kesehatan yang ada.<br />

Dari para pengguna napza suntik di wilayah Kota Bekasi ini diperoleh jawaban<br />

yang cukup beragam. Sebagian partisipan memaknai kesehatan dalam cakupan yang<br />

luas, bukan sekedar fisik, tetapi juga adanya kesehatan jiwa dan ketenteraman batin,<br />

namun sebagian juga ada yang terpaku pada kondisi fisik semata.<br />

Para pengguna napza suntik pada umumnya memaknai keadaan sehat dan sakit<br />

atas dasar apakah mereka masih dimungkinkan beraktivitas atau tidak. Meski ada<br />

gangguan fisik dan biologis yang terjadi dalam diri mereka, namun para pengguna<br />

napza suntik ini beranggapan bahwa mereka tidak sakit selama mereka masih dapat<br />

bekerja. Menurut Mechanic (dalam Sarwono, 1997), faktor-faktor yang menyebabkan<br />

orang bereaksi terhadap adanya penyakit dimulai ketika seseorang mengenali dan<br />

merasakan adanya gejala atau tanda-tanda yang menyimpang dari keadaan biasa,<br />

kemudian mengevaluasi tingkat keparahannya. Hal lain yang ikut berperan adalah


46<br />

seberapa sering gejala tersebut muncul, baru kemudian akan dilakukan pertimbangan<br />

tentang dampak gejala tersebut dalam hubungannya dengan keluarga, kerja atau<br />

aktivitas lainnya.<br />

Menarik untuk disimak bahwa sebagian besar partisipan masih tetap pengguna<br />

napza aktif, dan beranggapan bahwa napza justru menjadi salah satu cara yang<br />

digunakan untuk sehat. Sebagian partisipan yang adalah klien Yayasan Mitra Sehati dan<br />

Lembaga Kasih Indonesia, menyatakan bahwa mereka merasa sakit justru ketika mereka<br />

sakaw, karena pada saat itu mereka merasa bahwa badan mereka tidak enak, tidak<br />

mempunyai tenaga, gelisah dan menjadi malas, sehingga mereka membutuhkan<br />

stimulan. Pada saat ditanyakan apa yang menyebabkan seseorang sakit, dikatakan bahwa<br />

“…… sakit itu karena butuh drugs untuk membuat badan dan pikiran enak “. Hanya<br />

beberapa di antara pengguna napza suntik yang mengikuti diskusi, wawancara<br />

mendalam maupun Kelompok Dukungan Sebaya yang mempersepsikan dirinya “sakit”<br />

karena masih tetap harus bergantung pada napza. Bahkan kondisi “ngedrop”pun tidak<br />

selalu dimaknai sebagai keadaan sakit, jika pengguna napza suntik yang bersangkutan<br />

masih bisa beraktivitas.<br />

Terkait dengan para pengguna napza suntik, maka adanya faktor adiksi perlu<br />

menjadi pertimbangan dalam setiap intervensi yang diupayakan dalam rangka<br />

penanggulangan penggunaan napza maupun terkait HIV dan AIDS. Meski adiksi banyak<br />

didefinisikan berdasarkan perubahan fisiologis dan terapinya masih cenderung<br />

dilandaskan pada pendekatan farmakologis, namun adiksi juga berkaitan erat dengan<br />

masalah sosial, ekonomi dan budaya. Perilaku adiktif dapat dijelaskan sebagai setiap<br />

tingkah laku yang memberikan kenikmatan sesaat dan dilakukan untuk mengatasi<br />

ketidak nyamanan walaupun mengandung risiko dan berakibat jangka panjang.<br />

Seseorang kemudian dikatakan mengalami ketergantungan jika ia tidak dapat<br />

melepaskan diri dari zat adiktif tertentu. Langkah-langkah yang bisa dilakukan berawal<br />

dari substitusi, penghilangan dan sugesti positif.<br />

Dalam mengatasi adiksi, sangat diperlukan informasi yang tepat bagi orang-<br />

orang yang menjadi pengguna napza suntik. Kebiasaan berbagi jarum suntik sedikit<br />

banyak menunjukkan bahwa orang-orang ini merasa nyaman ketika melakukan sesuatu<br />

bersama-sama. Rasa setia kawan dengan sesama pengguna napza suntik serta kedekatan<br />

secara emosional yang biasanya mewarnai pertemanan dengan sesama pengguna napza<br />

suntik sangat mempengaruhi upaya yang mereka lakukan untuk berhenti. Karena itu<br />

Kelompok Dukungan Sebaya – sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian ini sangat kuat<br />

pengaruhnya. Perlu dipahami juga bahwa karena adanya cohessiveness yang kuat di<br />

antara para pengguna napza suntik ini, maka benar tidaknya informasi juga sangat<br />

tergantung dari apa yang mereka dengar melalui teman sebaya.<br />

Sesuai dengan keadaan adiktif mereka maka informasi yang menyesatkan dan<br />

menghalangi untuk lepas dari napza hanya bisa tergantikan jika mereka mengalami hal


47<br />

yang subtitutif untuk memberikan kebaikan, kenyamanan dan kenikmatan yang mereka<br />

butuhkan.<br />

Pada Terapi Rumatan Metadon, adanya distorsi dalam informasi seperti bahwa<br />

mengikuti TRM akan membuat para pengguna napza suntik merasa seperti “tahanan<br />

kota” misalnya, adalah ungkapan yang menunjukkan adanya kecemasan terhadap suatu<br />

rutinitas baru yang belum diyakini dapat menggantikan kenyamanan yang sudah mereka<br />

kenal sebelumnya. Dalam perilaku adiktif, konflik adalah salah satu reaksi psikologis<br />

yang banyak mewarnai kehidupan para pengguna napza suntik. Di satu sisi pengguna<br />

napza suntik dengan mudah terseret pada risk behaviors (perilaku berisiko), namun di<br />

sisi lain mereka juga tidak mudah melepaskan diri dari perilaku berisiko ini dan<br />

cenderung ragu-ragu dalam memulai sesuatu yang asing dan baru. Jika mereka sudah<br />

terinfeksi HIV maka keraguan ini seringkali terkait dengan kesadaran bahwa hidup<br />

mereka mungkin tidak akan lama lagi. Untuk itu, dialog dengan Kelompok Dukungan<br />

Sebaya sebagai mitra dukungan sosial dan emosional akan sangat berarti bagi mereka,<br />

begitu pula upaya melakukan konseling psikologis.<br />

***<br />

Kesehatan juga dimaknai sebagai sebuah elemen yang sangat terkait dengan<br />

faktor ekonomi, karena ketiadaan dana dianggap sebagai salah satu penghambat<br />

tercapainya hidup sehat. Temuan ini membenarkan pendapat Kroeger yang menyatakan<br />

pentingnya memperhitungkan faktor-faktor predisposisi, salah satunya adalah kondisi<br />

sosial ekonomi dalam mencermati layanan kesehatan yang dipilih oleh seseorang. Dalam<br />

konteks pengguna napza suntik di wilayah Kota Bekasi, hal ini menjadi relevan karena<br />

meski Pemerintah Daerah sudah memberikan sejumlah layanan cuma-cuma,<br />

pemeriksaan lanjutan yang harus dijalani pengguna napza suntik sampai mengetahui<br />

statusnya, atau sebelum ia diberikan terapi tertentu, tetap membutuhkan biaya yang<br />

tidak sedikit. Selain itu, ketakutan pengguna napza suntik terhadap kenyataan bahwa<br />

dirinya menderita penyakit-penyakit lain yang belum ia ketahui juga menjadi isu bagi<br />

mereka untuk berobat ke dokter atau mencari bantuan kesehatan lainnya. Rata-rata<br />

mereka mengaku belum siap mental untuk menerima kenyataan, di samping memang<br />

tidak memiliki biaya cukup untuk berobat.<br />

Banyaknya layanan Harm Reduction yang tersedia di Kota Bekasi tetapi belum<br />

dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengguna napza suntik, juga menunjukkan<br />

bahwa faktor psikososial para pengguna napza suntik memegang peranan yang besar.<br />

Salah satu cara yang perlu ditingkatkan adalah sosialisasi dan pemberian informasi yang<br />

lebih efektif. Para petugas layanan kesehatan perlu melakukan diskusi yang sifatnya<br />

interaktif agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh para<br />

pengguna napza suntik dan keluarganya.


48<br />

Untuk layanan rehabilitasi, hambatan yang dirasakan adalah informasi tentang<br />

besarnya biaya yang dibutuhkan dan efektivitas program untuk menghentikan<br />

ketergantungan napza. Dalam hal ini, peran LSM seperti LKI dan YMS sangat besar<br />

dalam melakukan pendampingan dan memberikan rasa nyaman kepada para pengguna<br />

napza suntik yang mulai membutuhkan terapi tertentu, melakukan VCT atau memulai<br />

rumatan Metadon.<br />

Dalam penentuan tindakan yang akan diambil, informasi yang benar<br />

memegang peranan yang sangat besar. Selain peran Kelompok Dukungan Sebaya yang<br />

sangat signifikan dalam mengatasi banyak masalah pengguna napza suntik, para<br />

pengguna napza suntik pada umumnya mengandalkan informasi dari petugas outreach<br />

yang seringkali dianggap sebagai pengganti keluarga, karena keluarga mereka sendiri<br />

sering tidak bisa menerima keadaan jika ada anggota keluarganya diketahui ada yang<br />

terjerumus dalam penggunaan napza.<br />

Dari sisi ilmu psikologi, maka perlu dipahami bahwa para pengguna napza<br />

suntik adalah orang-orang yang memiliki kecenderungan kepribadian dependen, rentan<br />

terhadap depresi dan mudah cemas, sehingga mereka membutuhkan kegiatan yang<br />

membuat mereka merasa nyaman. Dalam hal ini, upaya untuk menghilangkan<br />

kecemasan dilakukan melalui penggunaan napza suntik. Di sisi lain mereka adalah<br />

orang-orang yang membutuhkan pengertian, penerimaan, penghargaan dan pengakuan<br />

dari lingkungan (Millon, 1969; Cosmas-Diaz, 1996). Oleh sebab itu proses<br />

penjangkauan dan efektivitas program banyak ditentukan oleh Kelompok Dukungan<br />

Sebaya sebagai mediator antara layanan berbasis dana pemerintah maupun pemangku<br />

kebijakan, dengan para pengguna napza suntik. Perlu digagas banyak kegiatan rekreatif<br />

dan kekeluargaan di antara para pemangku kebijakan khususnya BNK dan Kepolisian<br />

serta penyedia layanan seperti PKM dan RSUD Bekasi dengan LSM dan pengguna napza<br />

suntik agar tercipta persepsi yang sama mengenai upaya penanggulangan<br />

penyalahgunaan zat.<br />

***<br />

Untuk memahami keadaan sehat atau sakit, keterbatasan bahasa Indonesia tidak<br />

memberikan kesempatan untuk membedakan pain, illness, disease dan sickness.<br />

Kleinman (1988) menjelaskan bahwa sakit dapat dilihat dari tiga sudut pandang: sakit<br />

sebagai illness, yaitu bagaimana orang yang menderita sakit dan lingkungannya<br />

menerima dan menanggapi gejala sakit dan gangguan yang terjadi; disease berkaitan<br />

dengan pengertian sakit sesuai teori medis, dan sickness, mencakup pengertian sakit<br />

dalam tatanan makrososial yang lebih luas.<br />

Makna yang sangat luas bagi kata “sakit” menyebabkan para pengguna napza<br />

suntik cenderung memaknai kata sakit sebagai tidak adanya rasa nyeri yang terasa pada


49<br />

suatu saat tertentu. Dengan demikian maka keberadaan mereka sebagai pengguna napza<br />

suntik, bahkan sebagian ada yang sudah terinfeksi HIV, tidak dipersepsikan sebagai sakit.<br />

Berdasarkan pemahaman seseorang terhadap keadaan sehat atau sakit, maka<br />

reaksi seseorang dalam suatu komunitas tertentu mungkin berbeda dengan individu dari<br />

komunitas yang berbeda. Suatu gangguan yang secara medis digolongkan sebagai<br />

penyakit, dapat dilihat “bukan apa-apa” bagi seseorang atau sekelompok orang. Begitu<br />

pula suatu gejala yang oleh sekelompok orang yang hidup di suatu wilayah dengan<br />

kondisi geografis tertentu dianggap sebagai “penyakit”, dapat dianggap hal biasa oleh<br />

kelompok yang lain.<br />

Meskipun demikian secara keseluruhan, para pengguna napza suntik di wilayah<br />

Kabupaten dan Kota Bekasi sudah memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai<br />

risiko yang dapat terjadi akibat penggunaan napza dengan jarum suntik.<br />

Dibanding mereka yang belum menerima rumatan Metadon, terlihat bahwa<br />

kelompok yang sudah menerima rumatan Metadon memiliki pengetahuan yang lebih<br />

komprehensif mengenai berbagai jenis penyakit, resiko, simptom dan tingkat keparahan<br />

penyakit yang dimungkinkan terjadi jika praktik pertukaran jarum suntik tetap<br />

dilakukan. Baru sebagian yang menyadari bahwa HIV dan AIDS juga ditularkan melalui<br />

hubungan seksual sehingga penggunaan kondom semestinya sudah menjadi keharusan.<br />

Meningkatnya angka ibu dan bayi yang terinfeksi HIV di Kota Bekasi sudah waktunya<br />

memperoleh perhatian lebih besar. Jika hal ini disadari sebagai bahaya yang risikonya<br />

cukup besar, diharapkan para pengguna napza suntik dapat diajak untuk mengelola diri<br />

lebih baik dalam penggunaan kondom.<br />

Sikap para pengguna napza suntik terhadap layanan kesehatan di wilayah<br />

Kabupaten dan Kota Bekasi juga cenderung bervariasi. Sebagian menyatakan cukup puas<br />

terhadap layanan yang diberikan oleh berbagai lembaga kesehatan yang tersedia di<br />

wilayah Bekasi, namun sebagian justru merasa masih diperlakukan sebagai orang-orang<br />

yang tidak layak menerima layanan, khususnya ketika mereka sudah positif terinfeksi<br />

HIV atau sudah terkena AIDS.<br />

Dari sejumlah diskusi yang dilakukan dengan para pemangku kebijakan, juga<br />

terlihat masih diperlukannya masukan-masukan dan pertimbangan dari sisi psikologis<br />

dan medis kepada para policy makers agar dapat disusun rencana strategis yang lebih<br />

terpadu dan komprehensif tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan klien/pengguna napza<br />

suntik. Misalnya perlunya pemahaman yang seragam dari pemangku kebijakan<br />

mengenai kapan seseorang membutuhkan rehabilitasi, apakah kalau seseorang relapse<br />

berkali-kali dianggap tidak membutuhkan rehabilitasi, karena sudah dianggap sebagai<br />

“pecandu”.<br />

Secara keseluruhan, pemahaman tentang bentuk-bentuk pencarian bantuan<br />

kesehatan pada pengguna napza suntik membutuhkan cara pandang yang komprehensif


50<br />

dan kontekstual. Perlu lebih dipahami aspek-aspek psikososial yang ikut berperan dalam<br />

menyebabkan perilaku penyalahgunaan napza, sehingga layanan kesehatan yang telah<br />

disediakan, baik oleh lembaga pemerintah maupun lembaga-lembaga bantuan<br />

kemanusiaan dapat termanfaatkan dengan baik. Selain itu, dalam penelitian sejenis,<br />

perlu dicermati bahwa pengguna napza suntik yang bersedia mengikuti penelitian pada<br />

umumnya adalah mereka yang sudah dijangkau oleh lembaga-lembaga kemanusiaan /<br />

kesehatan. Penelitian Hien, Hiang, Binh dan Wolfers (2000) menunjukkan bahwa<br />

pengguna napza suntik yang sudah dijangkau menunjukkan kesadaran lebih tinggi<br />

terhadap kesehatan dirinya, sudah mengenal berbagai intervensi HIV dan AIDS, serta<br />

sudah pernah terlibat dalam program intervensi.<br />

***<br />

Dari sisi metodologi, terbuka kemungkinan bahwa jawaban-jawaban yang<br />

diberikan sudah terpengaruh oleh social desirability (jawaban-jawaban yang cenderung<br />

normatif dan disesuaikan dengan harapan masyarakat tentang apa yang seharusnya baik<br />

untuk dilakukan). Hal yang sama dapat terjadi dengan para partisipan penelitian ini.<br />

Untuk mengurangi kemungkinan ini, FGD dan wawancara dilakukan secara terpisah<br />

dari pemegang otoritas, sehingga diharapkan para pengguna napza suntik merasa bebas<br />

dalam menyampaikan pendapat.<br />

Seperti pada penelitian kualitatif lainnya, kekuatan sekaligus kelemahan<br />

pendekatan ini adalah ikut terlibatnya pengalaman dan pengetahuan peneliti dalam<br />

menggali data maupun menginterpretasikannya. Sebagai sebuah kekuatan, tim peneliti<br />

yang sudah lama berkecimpung dalam isu ini, memberikan warna yang berbeda dalam<br />

meletakkan setiap data dalam konteks besar penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.<br />

Dalam hal ini, kredibilitas peneliti dapat dikatakan meningkatkan pula kredibilitas hasil<br />

penelitian ini.<br />

Namun di sisi lain, tidak dapat terhindarkan beberapa pendekatan yang subyektif<br />

terhadap nara sumber maupun data yang diperoleh. Untuk mengurangi efek semacam<br />

ini, maka triangulasi dibutuhkan. Pertemuan dengan para nara sumber setelah analisis<br />

dilakukan merupakan salah satu cara untuk melakukan triangulasi. Idealnya, triangulasi<br />

melalui memberikan kembali hasil analisis ke nara sumber dilakukan kepada setiap nara<br />

sumber dalam kesempatan yang terpisah.<br />

Secara umum, pendekatan kualititatif ini lebih berhasil memperoleh gambaran<br />

yang lebih komprehensif dan kontekstual. Jalinan dan dinamika keterkaitan antara<br />

individu-individu pengguna napza suntik dan layanan kesehatan membentuk<br />

pemahaman yang lebih utuh terkait dengan usaha pencarian bantuan kesehatan.<br />

Namun, keterbatasan jumlah partisipan sering kali dipersepsikan sebagai kekurangan<br />

dalam kemampuan generalisasinya. Dalam hal ini, maka penggunaan hasil penelitian ini<br />

perlu ditempatkan dalam konteks untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh


51<br />

tentang pencarian bantuan kesehatan oleh pengguna Napza suntik, alih-alih sebagai data<br />

statistik untuk melihat keterkaitan mekanistis antar variabel.<br />

C. REKOMENDASI<br />

Secara umum. praktik kesehatan akan lebih mudah diterapkan ketika pengguna<br />

napza suntik menyadari risiko serius dari tindakannya. Selain itu, pemahaman yang<br />

cukup mengenai aspek psikososial dan perilaku adiktif para pengguna napza suntik<br />

seharusnya dapat meningkatkan efektivitas setiap program intervensi yang dilakukan,<br />

sehingga para pengguna napza suntik memperoleh kesempatan untuk meraih kehidupan<br />

yang lebih sehat dan bermakna.<br />

Oleh karena itu, pada prinsipnya, lingkungan yang kondusif untuk terbentuknya<br />

sikap dan praktik sehat bagi para pengguna napza suntik sangat dibutuhkan.<br />

Lingkungan yang kondusif itu merupakan prasyarat dari, di satu sisi, pembentukan<br />

kepercayaan (trust) pengguna napza suntik pada diri dan lingkungan sosialnya, dan di<br />

sisi lain aksesbilitas terhadap layanan yang ada.<br />

Di pihak penyedia layanan, pelaku / pelayan masyarakat perlu membentuk<br />

paradigma bahwa pengguna napza suntik juga membutuhkan pengertian, penerimaan,<br />

penghargaan dan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Beberapa gagasan yang telah<br />

diuraikan sebelumnya, seperti kegiatan rekreatif dan kekeluargaan (bukan melulu terkait<br />

program) antar para pemangku kepentingan dan pengguna napza suntik, dapat<br />

dijadikan salah satu rekomendasi.<br />

Dari sisi layanan kesehatan, untuk mempertahankan dan meningkatkan apa<br />

yang sudah dicapai oleh berbagai elemen pemerintah dan masyarakat di Kota Bekasi,<br />

diperlukan pelaksanaan program yang komprehensif. Beberapa rekomendasi spesifik<br />

yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />

1) Kota Bekasi perlu mempertahankan program penjangkauan dan pendampingan yang<br />

terlihat efektif dalam menyediakan layanan dasar kebutuhan pengguna napza suntik<br />

berupa LJSS, pendidikan kesadaran terkait AIDS dan IMS, serta mempromosikan<br />

layanan-layanan yang sudah dikembangkan di kota Bekasi.<br />

2) Sampai saat ini kebanyakan layanan-layanan kesehatan terkait dengan program<br />

Harm Reduction dipromosikan pada pengguna napza suntik melalui para petugas<br />

kegiatan penjangkauan dan pendampingan yang dikelola oleh LSM. Staf dari<br />

beberapa instansi pemerintah mengakui hal ini dan menyebutkan bahwa<br />

ketidakjelasan mengenai identitas dan keberadaan pengguna napza suntik<br />

menyebabkan promosi tdak dapat dilakukan secara efektif oleh Dinas Kesehatan<br />

ataupun Unit Pelaksana Teknis seperti Puskesmas. Terkait dengan hal ini, pihak LSM


52<br />

menyatakan harapan bahwa untuk meningkatkan efektivitas program dan kualitas<br />

layanan diharapkan bahwa upaya promosi ini dapat dilakukan bersama baik oleh<br />

staf penjangkauan ataupun petugas dari Puskesmas. Misalnya dalam bentuk turun<br />

bersama ke lapangan sehingga para petugas Puskesmas akan bertemu langsung<br />

dengan pengguna napza suntik. Kegiatan semacam ini diharapkan juga akan<br />

memberikan kesempatan bagi pengguna napza suntik untuk mengenal petugas<br />

puskesmas yang diharapkan akan membuat mereka lebih terdorong untuk<br />

menggunakan layanan yang tersedia.<br />

3) Terkait dengan kenyamanan LJSS pengambil keputusan dan pelaksana program<br />

Harm Reduction di Bekasi perlu mempertimbangkan sungguh-sungguh aspek<br />

kenyamanan dan kesiapan dari pengguna napza suntik untuk mengakses layanan<br />

esensial ini. Perubahan yang tengah terjadi terkait dengan perubahan strategi<br />

pengelolaan program dan ketersediaan sumberdaya di Bekasi hendaknya tetap<br />

memperhatikan efektivitas layanan yang telah dicapai oleh Bekasi sampai saat ini.<br />

Jika memungkinkan perlu dipastikan monitoring dan evaluasi yang terukur untuk<br />

memastikan agar layanan LJSS dan tetap efektif dilaksanakan.<br />

4) Program Terapi Rumatan Metadon telah digunakan oleh sebagian kecil pengguna<br />

napza suntik. Layanan ini perlu dipromosikan dengan strategi yang lebih kuat<br />

melalui kerja sama yang lebih ajeg antara pengelola PTRM dan pelaksana kegiatan<br />

penjangkauan di lapangan dan forum-forum pengguna meatadon yang ada.<br />

5) Selain layanan yang telah tersedia, sudah terlihat adanya kebutuhan lanjutan untuk<br />

pengembangan layanan adiksi. Misalnya layanan konseling adiksi untuk menjawab<br />

kebutuhan bagi pengguna napza suntik yang sudah siap untuk mengurangi atau<br />

berhenti dari penggunaan Napza. Untuk Program Terapi Rumatan Metadon, layanan<br />

diharapkan dapat dikembangkan dengan kegiatan lanjutan seperti pelatihan<br />

ketrampilan atau dukungan untuk membuat pengguna napza suntik menjadi<br />

kembali produktif.<br />

6) Peningkatan kualitas Layanan Kesehatan terkait HIV. Layanan-layanan yang tersedia<br />

telah mengakomodasi kebutuhan terhadap layanan terkait HIV di Kota Bekasi. Untuk<br />

menjamin agar layanan dimanfaatkan optimal, maka dibutuhkan pelatihan-<br />

pelatihan teknis untuk meningkatkan kualitas SDM dan pelayanan yang ada.<br />

Ketrampilan dan wawasan terkait konseling adiksi menjadi kebutuhan mendesak<br />

yang perlu segera diperhatikan untuk seluruh layanan yang tersedia.<br />

7) Pendidikan masyarakat adalah faktor penting dalam upaya mengurangi atau<br />

menghilangkan stigma dan diskriminasi. Partisipasi masyarakat seperti kelompok<br />

yang telah mulai aktif baik dari kelompok peduli AIDS (seperti Kelompok Dukungan<br />

Sebaya dan Kelompok Bunda Sebaya) dan kelompok berbasis agama dapat<br />

dimanfaatkan untuk mempercepat pencapaian hasil yang diharapkan.


8) Cakupan dan kualitas program.<br />

53<br />

a) Koordinasi antar key stakeholders perlu dipastikan agar dapat dilaksanakan lebih<br />

efektif oleh KPA Kota Bekasi. Program Harm Reduction adalah sebuah program<br />

yang selalu dinamis berjalan mengikuti perkembangan epidemi dan situasi<br />

kondisi sosial. Karena upaya penanggulangan AIDS khususnya Harm Reduction<br />

merupakan upaya lintas sektoral, maka koordinasi yang efektif dibutuhkan<br />

untuk memastikan bahwa berbagai isu yang muncul dapat diakomodasi oleh<br />

para pengambil keputusan secara cepat.<br />

b) KPA Kota bekasi dan para pengambil keputusan perlu informasi secara optimal<br />

untuk perencanaan dan pengembangan kegiatan program Harm Reduction di<br />

Kota Bekasi. Data-data intervensi dari instansi pemerintah dan Non pemerintah,<br />

serta informasi berupa hasil evaluasi (mis. annual survey, laporan akhir<br />

program) adalah sejumlah informasi yang berharga. Informasi dapat dijadikan<br />

acuan untuk menentukan kapasitas dan standar pelaksanaan intervensi, dan area<br />

yang dibutuhkan untuk diperkuat atau dikembangkan untuk mencapai tujuan<br />

program HR di Bekasi.<br />

9) Pemanfaatan kebijakan secara optimal. Pemda Kota Bekasi dan masyarakat sipil perlu<br />

memanfaatkan adanya 2 kebijakan (Perda dan Perwako) yang telah diresmikan.<br />

Pemanfaatan kedua regulasi akan memungkinkan pengalokasian sumberdaya yang<br />

dibutuhkan untuk mendukung program di Bekasi. Perda dan Perwako perlu<br />

dijabarkan secara lebih rinci sehingga dapat digunakan untuk mendorong<br />

munculnya sumberdaya baru untuk mendukung upaya yang ada. KPA Kota Bekasi<br />

dapat meminta dukungan teknis dari KPA Nasional ataupun lembaga-lembaga lain<br />

untuk membuat upaya penting ini direalisasikan.


DAFTAR PUSTAKA<br />

54<br />

1. National Institutes of Health. 2002. National Institutes of Health consensus<br />

development conference statement. Management of chronic hepatitis. Diunduh dari<br />

www.hivandhepatitis.com/2002conf/nih/rqxz8xsb.pdf.<br />

2. Soriano V, Sulkowski M, Bergin C, et al. 2002. Care of patients with chronic hepatitis<br />

C and HIV coinfection: recommendations from the HIV-HCV International Panel.<br />

AIDS. 2002;16:813–828.<br />

3. Advocacy, communication and social mobilization for TB control: a guide to<br />

developing knowledge, attitude and practice surveys. WHO/HTM/STB/2008.46<br />

4. Catania J.A, Kegeles S.M, Coates T.J. 1990. Towards an understanding of risk<br />

behavior: an AIDS risk reduction model (ARRM). Health Educ Quarterly. 1990;17:53-<br />

72<br />

5. Becker M.H. 1974. The Health Belief Model and Personal Health Behavior. Thorofare,<br />

NJ: Slack<br />

6. Janz N.K, Becker M.H. 1984. The Health Belief Model: a decade later. Health Educ Q.<br />

1984;11:1–47.<br />

7. Bandura A. 1977. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.<br />

8. Rosenstock I.M, Strecher V.J, Becker M.H. 1988. Social learning theory and the health<br />

belief model. Health Educ Q. 1988;15:175–183.<br />

9. Farquhar J.W, Maccoby, N, Wood P.D. 1985. Education and communication studies.<br />

In: Holland WW, Detels R, Knox G, eds. Oxford Textbook of Public Health. Oxford,<br />

UK: Oxford University Press; 1985:207–221.<br />

10. Prochaska J.O, DiClemente C.C, Norcross J.C. 1992. In search of how people change:<br />

application to addictive behaviours. Am Psychol. 1992;47:1102–1114.<br />

11. Prochaska J.O, DiClemente C.C. 1986. Towards a comprehensive model of change. In:<br />

Miller W, Heather N, eds. Treating Addictive Behaviors: Processes of Change. New<br />

York, NY: Plenum Press; 1986:3–27.<br />

12. Green, C. E. 2001. Can qualitative research produce reliable quantitative findings?<br />

Field Methods 13(3), 3-19.<br />

13. Hausmann-Muela, S., R. J. Muela and I. Nyamongo. 2003. Health-seeking behaviour<br />

and the health system's response. DCPP Working Paper no. 14.<br />

14. Manderson, L. and P. Aaby. 1992. An epidemic in the field? Rapid assessment<br />

procedures and health research. Social Science & Medicine 35(7), 839-50.


55<br />

15. Nichter, M. 1993. Social science lessons from diarrhea research and their application<br />

to ARI. Human Organization 52(1), 53-67.<br />

16. Ingham J, Miller P. 1979. Symptom prevalence and severity in general practice.<br />

Epidemiol Community Health 1979; 33:191-8.<br />

17. Calnan M. 1997. Health and Illness: The Lay Perspective. London: Tavistock, 1987.<br />

18. Nuwaha, F. 2006. Determinants of Choosing Public or Private Health Care Among<br />

Patients With Sexually Transmitted Infections in Uganda. Sexually Transmitted<br />

Diseases, July 2006 - Volume 33 - Issue 7 - pp 422-427 DOI:<br />

10.1097/01.olq.0000204574.78135.9f<br />

19. Arulmony, T. 2004. Health seeking behaviour of women living with HIV DAN AIDS.<br />

Paper presented at the International Conference on AIDS, Bangkok, Thailand). Int<br />

Conf AIDS. 2004 Jul 11-16; 15: abstract no. D10141.<br />

20. Sarwono, S. 1997. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya.<br />

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<br />

21. Millon, T. 1969. Modern Psychopathology: A Biosocial Approach to Maladaptive<br />

Learning and Functioning. Philadelphia, USA: W.B. Saunders Company.<br />

22. Cosmas-Diaz, L. 1996. Cultural Considerations in Diagnosis. In F.W. Kaslow<br />

Handbook of Relational Diagnosis and Dysfunctional Family Patterns. New York, USA :<br />

John Wiley and Sons, Inc

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!