AGENDA: LAPORAN KHUSUS: - Badan Pemeriksa Keuangan
AGENDA: LAPORAN KHUSUS: - Badan Pemeriksa Keuangan
AGENDA: LAPORAN KHUSUS: - Badan Pemeriksa Keuangan
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
HUKUM<br />
Din Syamsudin<br />
hukum mengikat.<br />
Dengan putusan itu, keberadaan<br />
BP Migas tidak lagi diperlukan,<br />
sehingga lembaga ini harus<br />
dibubarkan. Sementara itu,<br />
fungsi dan tugas BP Migas akan<br />
dilaksanakan oleh pemerintah,<br />
dalam hal ini Kementerian Energi dan<br />
Sumber Daya Mineral hingga ada UU<br />
baru yang mengatur hal itu.<br />
Sebagaimana diungkapkan oleh<br />
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva,<br />
pelaksanaan kegiatan usaha yang<br />
sebelumnya dijalankan oleh BP Migas<br />
harus dipegang oleh badan yang<br />
dibentuk sementara menggantikan<br />
BP Migas. Hal ini untuk mencegah<br />
adanya kekacauan yang terjadi akibat<br />
dibubarkannya BP Migas.<br />
“Oleh karena itu, Mahkamah<br />
harus mempertimbangkan perlunya<br />
kepastian hukum organ negara yang<br />
melaksanakan fungsi dan tugas BP<br />
Migas sampai terbentuknya aturan<br />
yang baru,” katanya.<br />
Dia menegaskan putusan ini<br />
tidak akan membatalkan segala<br />
kontrak kerja yang dibuat oleh<br />
BP Migas dengan pihak rekanan<br />
dan tetap berlaku sesuai dengan<br />
kesepakatan. “Segala Kontrak<br />
Kerja Sama (KKS) yang telah<br />
ditandatangani antara BP Migas<br />
dan badan usaha atau bentuk usaha<br />
60<br />
Warta BPK NOVEMBER 2012<br />
berita8.com<br />
tetap,” katanya.<br />
UU Migas digugat ke MK oleh<br />
Ketua PP Muhammadiyah Din<br />
Syamsudin, bekas Ketua Umum PB<br />
Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi,<br />
Ketua Harian Majelis Ulama Indonesia<br />
Amidhan, dan sejumlah tokoh<br />
organisasi Islam lainnya. Mereka<br />
menganggap UU Migas proasing.<br />
Menanggapi putusan MK<br />
tersebut, Din Syamsuddin<br />
menegaskan bahwa putusan itu<br />
merupakan sebuah kemenangan<br />
bagi rakyat Indonesia.<br />
“Kita cukup puas dengan<br />
dinyatakannya BP Migas<br />
inkonstitusional. UU Migas ini<br />
merugikan rakyat dan ini merupakan<br />
kemenangan rakyat,” ujarnya.<br />
Dengan adanya putusan ini, Din<br />
berharap pemerintah bisa mengelola<br />
sumber daya alam. Selama ini,<br />
dengan adanya pasal tersebut<br />
dalam UU Migas, malah memberikan<br />
kerugian bagi rakyat Indonesia.<br />
“Kita harap dengan adanya putusan<br />
ini, sumber daya migas kita dapat<br />
dikelola dengan baik,” tegasnya.<br />
Pakar perminyakan Kurtubi<br />
menilai terdapat empat alasan utama<br />
mengapa UU Migas merugikan<br />
negara dan melanggar konstitusi,<br />
yaitu:<br />
1. UU Migas menghilangkan<br />
kedaulatan negara atas<br />
sumber daya migas yang<br />
ada di perut bumi negara<br />
Indonesia.<br />
2. UU Migas ini telah merugikan<br />
Ruby Rubiandini<br />
negara secara finansial.<br />
3. UU Migas ini memecah<br />
struktur perusahaan dan<br />
industri minyak nasional<br />
yang terintegrasi dipecah<br />
atas kegiatan usaha hulu<br />
dan kegiatan usaha hilir atau<br />
unbundling.<br />
4. Dengan UU Migas ini sistem<br />
pengelolaan cost recovery<br />
yang diserahkan BP Migas<br />
merugikan negara.<br />
Kurtubi menjelaskan UU Migas ini<br />
menganut pola hubungan business<br />
to government (B to G) dengan pihak<br />
investor atau perusahaan minyak.<br />
Pada UU ini menugaskan kepada<br />
BP Migas untuk melaksanakan<br />
penandatangan kontrak dengan<br />
pihak investor atau perusahaan<br />
minyak.<br />
Ketentuan dalam UU Migas<br />
menentukan yang menandatangani<br />
kontrak kerja sama dengan<br />
kontraktor atau perusahaan minyak<br />
adalah pemerintah yang diwakili oleh<br />
BP Migas. Oleh karena pemerintah<br />
yang berkontrak, kedaulatan negara<br />
menjadi hilang.<br />
“Sebab posisi pemerintah<br />
menjadi sejajar dengan kontraktor.<br />
Pemerintah menjadi bagian dari para<br />
pihak yang berkontrak. Pemerintah<br />
mendowngrade dirinya sendiri untuk<br />
sejajar dengan perusahaan minyak<br />
atau investor,” papar Kurtubi, dalam<br />
putusan sidang MK, Selasa (13/11).<br />
Pola hubungan B to G<br />
menyebabkan pemerintah sejajar.<br />
Jadi tidak bisa mengeksekusi<br />
kebijakan ataupun regulasi atas<br />
pengelolaan kekayaan migas kalau<br />
pihak kontraktornya tidak setuju.<br />
“Jika polanya B to B dan<br />
pemerintah berada di atas kontrak,<br />
dapat menjamin kedaulatan negara.<br />
Pemerintah bisa mengeksekusi<br />
regulasi UU untuk kepentingan<br />
bangsa dan negara tanpa<br />
persetujuan kontraktor, karena itu<br />
berdaulat, sedangkan B to G tidak,”<br />
tuturnya.<br />
Lantas bagaimana nasib para