executive Summary - Komunitas AIDS Indonesia
executive Summary - Komunitas AIDS Indonesia
executive Summary - Komunitas AIDS Indonesia
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI<br />
yang menduga telah melakukan sterilisasi, sehingga merasa bebas<br />
terinfeksi HIV, tapi salah mengerti tentang caranya. Sebagian besar<br />
hanya menggunakan aqua, air panas atau air biasa saja untuk<br />
sterilisasi, tanpa pemutih pakaian (bleach). Kekeliruan ini kemungkinan<br />
karena informasi tentang cara sterilisasi kebanyakan diperoleh dari<br />
teman sesama pengguna (yang memberikan informasi yang tidak<br />
lengkap atau keliru).<br />
§ Hampir 8 dari 10 penasun yang ditemui aktif secara seksual. Pasangan<br />
seksual yang banyak disebut adalah pacar, penjaja seks komersial<br />
(PSK), dan suami atau istri (sekitar seperlima responden sudah<br />
menikah). Meskipun 59% dari penasun yang aktif secara seksual hanya<br />
berhubungan seks dengan satu pasangan saja (pacar, suami/istri),<br />
tingkat penggunaan kondom masih sangat rendah. Mereka menyatakan<br />
sangat paham bahwa (pertukaran) darah, air mani, dan cairan vagina<br />
merupakan media penularan HIV (meskipun ada juga yang salah<br />
beranggapan bahwa HIV dapat ditularkan melalui air seni, tinja, udara,<br />
makanan, minuman). Namun tetap saja, bahkan ketika melakukan<br />
hubungan seks beresiko tinggi dengan PSK, waria, sesama pengguna<br />
atau cewek/cowok cabutan, para penasun jarang menggunakan<br />
kondom. Mereka (penasun dan pasangan seks) menyatakan tidak<br />
suka, tidak enak menggunakan kondom dan ingin hubungan seks yang<br />
alamiah.<br />
§ Hampir seluruh penasun mengakui adanya stigmatisasi terhadap<br />
mereka dari masyarakat sekelilingnya. Di sisi lain, masyarakat yang<br />
berada di lingkungan terdekat penasun memiliki peran penting dalam<br />
mendukung upaya-upaya penasun memulihkan diri. Hal itu menjadi<br />
harapan banyak penasun. Namun, sepanjang norma-norma sosial dan<br />
aturan hukum masih memandang penggunaan narkoba sebagai suatu<br />
yang bertentangan, proses stigmatisasi akan berlangsung terus. Sistem<br />
sosial-budaya dan hukum yang ada saat ini hanya menyediakan satu<br />
mekanisme jalan keluar bagi penghentian stigmatisasi, yakni total<br />
abstinence. Empati masyarakat yang menandai terjadinya penghentian<br />
stigmatisasi seringkali bisa kita temukan manakala seseorang<br />
melakukan semacam “pengakuan dan pertobatan”. Namun, dalam<br />
praktiknya komunitas seringkali tidak memiliki kesabaran terhadap<br />
proses atau ingin bergegas menyaksikan dan memanen hasil. Artinya,<br />
ada semacam “tuntutan” pada kalangan penasun untuk segera pulih<br />
“kini dan di sini”. Tuntutan ini bisa dibilang tidak mungkin tertunaikan.<br />
Kampanye-kampanye dari pihak lain yang memiliki tugas atau juga<br />
kepedulian tentang hal itu – LSM, swasta, dan pemerintah – terlihat<br />
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI<br />
hampir seperti “menggarami laut” dan tak jarang malah memperkuat<br />
stigma tersebut (black campaign). Dari pengamatan umum, banyak<br />
penasun sebagai pihak yang menjadi “korban” kemudian cenderung<br />
menghindar ketimbang melakukan upaya-upaya untuk mengubah<br />
secara bertahap pandangan-pandangan tersebut. Proses mengubah<br />
stigmatisasi secara bertahap tersebut perlu dilakukan melalui<br />
pembuktian terbalik. Sayangnya, pembuktian terbalik hanya bisa<br />
dilakukan oleh yang bersangkutan. Sayangnya lagi, banyak penasun<br />
tidak memiliki ruang mengekspresikan dirinya di dalam berbagai<br />
kegiatan “positif”.<br />
§ Secara umum, banyak penasun lebih memilih untuk tidak peduli<br />
(bahkan menjurus ke tidak takut) terhadap bahaya HIV yang<br />
diancamkan oleh jarum suntik tidak steril. Di benak mereka, penularan<br />
HIV lebih diasosiasikan dengan masalah hubungan seks ketimbang<br />
penggunaan jarum suntik tidak steril. Maka, perlu dipertanyakan,<br />
apakah hal itu disebabkan oleh tidak lengkapnya informasi dan tidak<br />
efektifnya media informasi yang diterima oleh penasun? Ketika<br />
ditelusuri, mayoritas responden mengaku bahwa sumber informasi<br />
tentang HIV/<strong>AIDS</strong> yang mereka terima terutama berasal dari media<br />
massa, baru kemudian dari LSM, dan teman (teman sesama penasun).<br />
§ Sembilan dari 10 penasun mengaku pernah berupaya berhenti<br />
menggunakan narkoba. Mereka mendatangi berbagai tempat<br />
rehabilitasi, detoksifikasi, masuk kelompok dukungan sampai pada<br />
‘pasang badan’ untuk menghentikan kecanduan mereka terhadap<br />
narkoba. Penasun pada dasarnya mengaku tidak lagi nyaman dengan<br />
dirinya. Mereka ingin hidup normal, tetapi kekuatan narkoba dan<br />
lingkungannya menjadi kerangkeng yang mengurung diri mereka.<br />
Namun, usaha mereka banyak yang kandas. Mereka kembali menyuntik<br />
lagi dengan berbagai alasan: rindu ritual, mengharapkan kenikmatan<br />
yang diperoleh dengan menyuntik, pengaruh lingkungan, dan sugesti.<br />
Apa yang dibutuhkan penasun agar dapat berhenti sama sekali<br />
menggunakan narkoba? Mereka menyatakan untuk sembuh dibutuhkan<br />
berbagai layanan yang bersifat penanganan medis (disediakan obat,<br />
pusat rehabilitasi), layanan informasi, dan ada pula yang mengusulkan<br />
tindakan represif (tangkapi bandar). Sebagian besar mereka<br />
menghendaki intervensi dari luar dirinya; dalam bentuk dukungan dari<br />
keluarga, kelompok dukungan, dan orang dekat di sekelilingnya; juga<br />
penyediaan (baca: diberi) bentuk-bentuk kegiatan positif termasuk<br />
pekerjaan. Dukungan dari luar (terutama keluarga) mutlak diperlukan<br />
karena pada umumnya mereka kurang menghargai diri diri mereka<br />
124 SKEPO<br />
Rapid Situations and Responses Assessment IDUs Jawa Barat, 2005<br />
SKEPO<br />
Rapid Situations and Responses Assessment IDUs Jawa Barat, 2005<br />
125