03.11.2014 Views

executive Summary - Komunitas AIDS Indonesia

executive Summary - Komunitas AIDS Indonesia

executive Summary - Komunitas AIDS Indonesia

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI<br />

sendiri (low self-esteem) dan memiliki pandangan yang amat negatif<br />

terhadap diri sendiri (negative self-concept).<br />

4.2. Kesimpulan tentang Respon<br />

§ Tujuh dari 10 responden menyatakan mengetahui adanya lembagalembaga<br />

(pemerintah dan non-pemerintah) yang bekerja menangani<br />

masalah HIV/<strong>AIDS</strong> dan narkoba. Namun hanya 2 dari 10 responden<br />

yang menyatakan pernah mendapatkan/meminta layanan dari instansi<br />

pemerintah tersebut.<br />

§ Pengetahuan penasun tentang kerja lembaga pemerintah yang paling<br />

menonjol adalah POLISI. Hampir setiap 4 dari 10 penasun pernah<br />

berurusan dengan polisi karena masalah kepemilikan/penggunaan<br />

narkoba. Namun sepertinya citra polisi di mata penasun tidaklah baik.<br />

Menurut mereka, layanan kepolisian yang pernah diberikan kepada<br />

penasun antara lain adalah: “mukulin”, “menguangkan”, “memeras”,<br />

“memproses”, “memberi tahu soal hukum”. Di kota-kota yang<br />

penasunnya lebih banyak berurusan dengan polisi ternyata lebih<br />

memilih rumah sebagai tempat mereka menyuntik. Sebagai catatan,<br />

kota-kota tersebut juga adalah kota-kota dimana program HR (oleh<br />

LSM) sedang berjalan dan kota-kota dimana sosialisasi pendekatan<br />

HR dalam pencegahan epidemi HIV/<strong>AIDS</strong> kepada polisi telah berjalan.<br />

§ Banyak penasun mengatakan bahwa layanan informasi yang mereka<br />

terima tidak jarang bersifat “black campaign”. Sosialisasi atau kampanye<br />

tentang dampak buruk sharing jarum suntik serta hubungannya dengan<br />

HIV/<strong>AIDS</strong> seringkali disajikan dengan cara yang buruk pula.<br />

Pernyataan-pernyataan tentang bahaya narkoba mengesankan bahwa<br />

penasun itu membahayakan atau merupakan ancaman bagi orang<br />

lain. Menurut mereka, pesan yang ditangkap dari kampanye-kampanye<br />

tersebut malah “bukan narkobanya yang berbahaya, melainkan<br />

penasunnya”. Kampanye seperti itu semakin menstigma penasun.<br />

§ Enam dari 10 responden pernah memasuki layanan rehabilitasi: dirawat<br />

di panti rehab, pesantren, detoks, dsb. Banyak responden mengeluhkan<br />

tentang mahalnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk menjalani<br />

pemulihan di lembaga-lembaga rehabilitasi. Sementara biaya yang<br />

besar itu bukanlah suatu jaminan atau kepastian yang besar bahwa<br />

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI<br />

mereka tidak akan ‘kembali’. Selain itu, perlu ada suatu perbaikan tentang<br />

metode-metode yang dijalankan.<br />

§ Pemahaman penasun yang lebih baik mengenai resiko penyebaran<br />

HIV di kalangan penasun banyak ditemukan di daerah di mana<br />

intervensi sudah lebih banyak atau lebih lama dilakukan (Bandung,<br />

Cimahi, Kabupaten Bandung). Pemahaman lebih baik tentang cara<br />

sterilisasi lebih banyak ditemukan di wilayah tersebut. Begitupun<br />

pemahaman mengenai sifat virus HIV. Sayangnya, pemahaman yang<br />

lebih baik ini belum mampu mendorong perubahan perilaku menyuntik<br />

aman. Merata di semua tempat jumlah penasun yang berbagi jarum<br />

suntik (tidak steril) seminggu terakhir masih tinggi. RSRA juga<br />

menemukan 91 orang responden yang menyuntikkan subutex dan 4<br />

orang yang menyuntikkan metadhone. RSRA juga menemukan kesan,<br />

walau sifatnya hanya kasus dan RSRA tidak mengatakan ini gejala<br />

umum: (1) adanya ketergantungan yang kuat penasun terhadap<br />

petugas outreach sehingga mengambil alih peran orang tua; (2)<br />

program HR direduksi sebagai pembagian jarum suntik semata; dan<br />

(3) pemahaman masyarakat dan aparat pemerintahan (termasuk<br />

aparat hukum) terhadap HR sebagai legalisasi narkoba.<br />

§ Dari proses wawancara mendalam dan FGD bersama para penyedia<br />

layanan (pemerintah dan non-pemerintah) di tiap kabupaten/kota<br />

menunjukkan kecenderungan bahwa pemerintah daerah “tidak memiliki<br />

informasi yang cukup” mengenai persoalan epidemi HIV di kalangan<br />

penasun. Akibatnya HIV/<strong>AIDS</strong> di kalangan penasun tetap menjadi<br />

masalah yang terabaikan. Meskipun pemerintah pusat, daerah dan<br />

legislatif telah meningkatkan perhatian terhadap persoalan ini pada 2<br />

tahun terakhir, respon yang diberikan tetap rendah. Ketiadaan informasi<br />

berimplikasi pada rendahnya prioritas program/kegiatan penanganan<br />

HIV (terutama kelompok PSK dan penasun) dalam rencana kerja dinas/<br />

kantor maupun dalam prioritas rencana pembangunan daerah.<br />

Implikasi lebih lanjut adalah minimnya anggaran. Dengan kata lain,<br />

pemerintah daerah memang ‘belum banyak berbuat’ untuk menangani<br />

persoalan epidemi HIV (terutama di kalangan penasun). Kondisi yang<br />

sama terlihat pada KPAD, yang memiliki mandat resmi<br />

mengkoordinasikan kerja-kerja penanggulangan HIV. Oleh karena itu,<br />

pemerintah (dan legislatif) perlu melakukan suatu usaha luar biasa<br />

untuk mencegah dan merawat para penasun dari infeksi HIV.<br />

126 SKEPO<br />

Rapid Situations and Responses Assessment IDUs Jawa Barat, 2005<br />

SKEPO<br />

Rapid Situations and Responses Assessment IDUs Jawa Barat, 2005<br />

127

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!