05.05.2015 Views

ASASI_2004_Mei-Juni - Elsam

ASASI_2004_Mei-Juni - Elsam

ASASI_2004_Mei-Juni - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

:eTi<br />

I<br />

I I<br />

lt<br />

inisiatil non-state, tulisan ini ditokuskan<br />

pada peranan penting yang harus dimainkan<br />

oleh organisasi korban dalam proses<br />

ini, dengan mulai dari melihat beberapa<br />

organisasi beserta aktifitasnya. Sebagaimana<br />

telah disebutkan di atas, organisasi<br />

korban memiliki kunci legitimasi dalam<br />

pencarian keadilan dan penyelesaian pelanggaran<br />

IIAM. Sedemikian, mereka merupakan<br />

satu sumber kekuatan politik<br />

yang potensial berkembang untuk menghadapi<br />

berbagai kekuatan politik yang<br />

tengah menghalangi rxaha pencarian keadilan.<br />

Dalam konteks inilah tulisan ini<br />

akan meninjau tantangan dan peluang<br />

yang dihadapi organisasi korban di Indonesia<br />

dewasa ini.<br />

Apa itu Organisasi Korban?<br />

Perubahan politik tahun 1998 memunculkan<br />

beberapa lembaga baru, termasuk<br />

organisasi korban dengan fokus kegiatan<br />

pada penanganan kekerasan dan pencarian<br />

keadilan. Beberapa organisasi korban berkembang<br />

atas dukungan LSM, tapi secara<br />

umum semuanya cukuP mandiri dalam<br />

pengembangan dan pelaksanaan kegiatan.<br />

Selain organisasi yang secara sadar mengiderrtifikasi<br />

diri sebagai organisasi korban,<br />

ada organisasi kemasyarakatan yang mewakili<br />

korban-korban penggusu-ran, perampasan<br />

tanah dan lain sebagainya' Mereka<br />

mengorganisir diri di tingkat komunitas<br />

untuk memperjuangkan hak-hak mereka,<br />

misalnya pengerrbalian tanah mereka' yang<br />

merupakan bagian dari perjuangan reformasi<br />

agraria. Kedua jenis organisasi ini<br />

mewakili korban dan haknya, letak perbedaannya<br />

adalah pada bagaimana organisasi<br />

mengidentifikasikan diri, yaitu<br />

sebagai'korban' atau sebagai'petani.'<br />

Sekilas sepertinya organisasi korban<br />

Iebih mengarah ke perjuangan hak sipil<br />

politik sedang organisasi petani lebih ke<br />

hak ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya,<br />

gerakan reformasi agraria lebih mencurahkan<br />

perhatian pada perjuangan pengembalian<br />

tanah daripada mengatasi soal kekerasan<br />

yang dialami petani saat tanah<br />

diduduki.s Namun begitu, kedua jenis<br />

tingkat lokal. Pada sebuah lokakarya prawattannya<br />

bahwa inisiatif tansitional iustice<br />

yang'klasik' cendenrng terfokus pada<br />

kasus kekerasan fisik dan bukan kepada<br />

hubungan antara kekerasan fisik dan<br />

beberapa jenis kekerasan yang l,ain, misalnya<br />

pengambilan tanah.<br />

Lokakarya diselenggarakan pada 3-4<br />

September dan dihadiri wakil dari ICTJ,<br />

Komnas [IAM, Komnas PeremPuan dan<br />

beberapa organisasi masyarakat sipil<br />

termasuk organisasi korban.<br />

"Ttre Stnrggle for Tluth and Justicr' " p. 16.<br />

f<br />

T\riuan dan Kegiatan<br />

Sebagaimana disebutkan di atas, fokus<br />

pemetaan tim ini adalah pada organisasiorganisasi<br />

yang bekeria dalam ruang<br />

Lingkup Iima elemen ttama transitional<br />

justice. Pemetaan ini menemukan bahwa<br />

organisasi korban pertama-tama memfokuskan<br />

perjuangannya pada usaha reparasi<br />

dan rehabilitasi, baru kemudian<br />

diikuti oleh pengungkapan kebenaran,<br />

ketiga pada peradilan dan penghukuman'<br />

keempat pada reformasi hukum dan<br />

kelembagaan dan kelima pada rekonsiliasi.<br />

Kenyataan ini sedikit berbeda dengan apa<br />

yang ditemukan pada organisasi masyarakat<br />

sipil lainnya. Organisasi ini pertamatama<br />

memfokuskan diri pada pengungkapan<br />

kebenaran, kedua kepada reformasi<br />

hukum dan kelembagaan, ketiga kepada<br />

pengadilan dan penghukuman, keempat<br />

kepada reparasi dan rehabilitasi dan kelirna<br />

kepada rekonsiliasi. Menarilorya apa<br />

dianggap isu paling penting oleh organisasi<br />

korban justru hanya menjadi prioritas keempat<br />

bagi organisasi masyarakat sipil<br />

seperti LSM dan organisasi agama. Namun,<br />

laporan ini tidak menjelaskan mengapa<br />

ada perbedaan ini, apakah ini merupakan<br />

pembagian tugas yang 'alami'<br />

atau menunjukkan kurangnya komunikasi<br />

tentang apa yang dianggap prioritas antara<br />

organisasi korban dan LSM serta lainnya.<br />

Yang cukuP mengejutkan adalah kenyataan<br />

bahwa baik organisasi korban<br />

maupun masyarakat sipil kurang memprioritaskan<br />

masalah rekonsifiasi' Sekalipun<br />

demikian kenyataan ini tergantung<br />

juga pada jenis pelanggaran dan sifat<br />

konflik. Misalnya di daerah-daerah seperti<br />

Kalimantan dimana kerap terjadi konflik<br />

horizontal antar masyarakat, upaya rekonsiliasi<br />

antara dua pihak yang bertikai<br />

memang merupakan prioritas organisasi<br />

korban. Sebaliknya penyelidikan atas<br />

kekerasan yang tedadi di masa lampau,<br />

misalnya peristiwa tahun 1965-66 di<br />

daerah tersebut (setidaknya secara de<br />

facto) kurang mmjadi prioritas. Namun, di<br />

beberapa daerah dimana tingkat kekerasan<br />

tahun 1965-66 antar warga cukup<br />

tinggi, misalnya di Jawa Tengah dan Jawa<br />

fimur, organisasi korban terlibat dalam<br />

inisiatif rekonsiliasi tingkat komunitas'<br />

Pada kasus-kasus dimana peran negara<br />

sebagai pelaku kekerasan terlihat jelas,<br />

kebanyakan organisasi korban dan masyarakat<br />

sipil menolak tawaran 'rekonsiliasi'<br />

oleh negara dan atau pelaku. Dari sisi<br />

pelaku,'rekonsiliasi' adalah pilihan transitional<br />

justice yang terbaik. Tetapi jika<br />

pilihan ini disalahgunakan dan salah<br />

interpretasi maka ini hanya memberi<br />

kesempatan pada pelaku untuk menghindari<br />

pengadilan dan memberi negara<br />

alasan unhrk 'nremaafl

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!