26.09.2015 Views

KUMPULAN KISAH-KISAH TOKOH G30S/PKI

Kitab Merah - Biar sejarah yang bicara

Kitab Merah - Biar sejarah yang bicara

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. reaksioner, yang berjudul<br />

"The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan<br />

wawancaranya dengan Soeharto, sekitar pertemuannya dengan Kolonel Latief, tokoh<br />

ketiga dalam pimpinan <strong>G30S</strong>. Isi pokoknya Latief menjenguk anak Soeharto di<br />

RSPAD yang sakit ketumpahan sup panas. Berkata Soeharto: "Lucu juga kalau<br />

diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu<br />

untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya." Lalu:<br />

"Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke<br />

rumah".<br />

Kol. Latief, tokoh terpenting <strong>G30S</strong> di samping Letkol Untung dan Brigjen<br />

Supardjo, bertemu dengan seseorang hanya empat jam sebelum gerakan dimulai,<br />

tentu bukan untuk urusan sup panas! Saya setuju dengan Prof. Wertheim,<br />

andaikata dalam kisah detektif, peristiwa pertemuan dua orang itu benar-benar<br />

sebuah the missing link, sebuah mata-rantai yang hilang, yang alhamdulillah<br />

kita temukan melalui pengakuannya sendiri! Tapi, juga menarik dipertanyakan,<br />

mengapa Soeharto menceritakan hal itu pada Brackman? Agaknya ada orang lain<br />

yang mengetahui kunjungan Latief di rumah sakit, sehingga Soeharto merasa perlu<br />

memberi alasan dan menyatakannya kepada publik.<br />

Sementara itu dalam wawancaranya yang lain, yang disiarkan mingguan Jerman<br />

Barat "Der Spiegel" 27 Juni 1970, Soeharto juga menyebut pertemuannya dengan<br />

Kolonel Latief di RSPAD. Tentu saja pertemuan yang sama seperti yang<br />

diceritakan pada Brackman. Tapi kali ini ia bercerita dengan kebohongan yang<br />

jauh berbeda. "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal<br />

yang harus dibunuh?" Tanya wartawan "der Spiegel". Jawab Soeharto: "Pada jam 11<br />

malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit<br />

untuk membunuh saya. Tetapi akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya, karena<br />

tidak berani melakukannya di tempat umum." Bukan Kolonel Latief, tapi Jenderal<br />

Soeharto, yang pamer kebodohan di sini. Empat jam sebelum gerakan dimulai ia<br />

membunuh Soeharto? Ini pasti akan berakibat seluruh rencana gerakan gagal<br />

sebelum dimulai! Dua masalah timbul pada saya: pertama, kebohongan itu sendiri;<br />

18

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!