Sinar yang memecahkan kegelapan
Menuju Madinatul Munawwarah
Menuju Madinatul Munawwarah
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
diterima atau dianut oleh pembesar-pembesar Romawi. Oleh sebab itu, berdasarkan<br />
keterangan dalam bagian ke 2 dari buku ini, menjadi jelaslah bahwa Ahmad Shalaby tidak<br />
mempunyai kemampuan untuk memahami bahwa political philosophy dari kenyataan<br />
sosial terhadap mana Muhammad diutus oleh Allah, adalah -bukan agama Kristen sebagai<br />
pokoknya- tetapi perpaduan dari peradaban Yunani, <strong>yang</strong> menjurus ke dalam dua pola,<br />
<strong>yang</strong> pertama Universalis-Naturalisme dalam bentuknya <strong>yang</strong> tertinggi Individualisme<br />
berpadu dengan Kristen, <strong>yang</strong> menjurus ke Idealisme, dan di atas pola mana tegaklah<br />
Romawi. Yang ke dua Materialisme Aristoteles, <strong>yang</strong> melalui Alexander the Great,<br />
menjalar ke Timur Tengah, dan ke dalam mana sebagai wadah diisilah Zoroaster-isme<br />
dll., sehingga di atas pola itu tampillah Persia Baru. Dan faktor <strong>yang</strong> ke tiga ialah<br />
Nasionalisme, sebagai takrif terdahulu. Tumpuan atau pola-pola <strong>yang</strong> kita kemukakan itu<br />
agaknya tidak pernah beradu dengan kesadaran Ahmad Shalaby, sehingga kelihatanlah<br />
bahwa beliau terlalu serampangan saja dalam menguraikan hal <strong>yang</strong> dimaksud.<br />
Dalam Bab II. “Pembentukan Pribadi Muslim” ia mengatakan: “Masyarakat Islam<br />
mula-mula terbentuk di Madinah.” 1<br />
“Ada satu hal <strong>yang</strong> penting <strong>yang</strong> mulai timbul sejak di Mekkah,” katanya lagi,<br />
“Yakni pembentukan pribadi muslim <strong>yang</strong> kelak merupakan unsur bagi pembentukan<br />
masyarakat Islam. Dan pembentukan pribadi muslim di Mekkah itu adalah satu proses<br />
<strong>yang</strong> sangat penting dalam sejarah.”<br />
“Dari mata pedang ke jalan damai.”<br />
“Dari kekuatan ke undang-undang.”<br />
“Dari balas dendam ke hukum pampasan (qishash).”<br />
“Dari serba halal ke kesucian.”<br />
“Dari sifat suka merampas ke kepercayaan.”<br />
“Dari sifat suka mengasingkan diri ke arah dapat menguasai negeri Persi dan<br />
Romawi.”<br />
“Dari kehidupan kesukuan berganti dengan rasa tanggung jawab pribadi.”<br />
“Dari penyembahan berhala ke ‘Akidah Tauhid’.”<br />
“Dari memandang rendah kaum wanita menjadi pemuliaannya.”<br />
“Dari sistem berkasta-kasta ke persamaan.”<br />
Apa <strong>yang</strong> dikemukakan di atas sudah merupakan kepastian sejarah dan kenyataan<br />
<strong>yang</strong> relatif, berdasarkan tebal atau tipisnya iman seseorang, menjadi tetap. Tetapi satu<br />
pertanyaan <strong>yang</strong> sangat fundamental, <strong>yang</strong> tidak pernah kita temui jawabannya di dalam<br />
buku Ahmad Shalaby ialah, ke arah pola atau tumpuan apakah proses itu tertuju?” “Ke<br />
persamaan”, kata Ahmad Shalaby. Apakah polanya “persamaan” itu? Yang di dalam<br />
bagian ke 2 dari buku ini telah kita kemukakan bahwa “susunan masyarakat Islam adalah<br />
seperti Organisme atas dasar asas pokok persamaan di Wajah Allah,” kelihatannya tidak<br />
pernah beradu dengan kesadaran Ahmad Shalaby, sehingga gaya berpikirnya pun terus<br />
menerawang tanpa mempunyai tumpuan pasti. Terlepasnya pengertian ini dari kesadaran<br />
Ahmad Shalaby menyebabkan pandangan dan tinjauannya kacau balau, <strong>yang</strong> sebenarnya<br />
menurut sistematiknya sudah teratur rapi.<br />
Sebagai anak dari zamannya Ahmad Shalaby termasuk generasi <strong>yang</strong> sepenuhnya<br />
“mengalami akibat-akibat Liberalisme di mana perkembangan Marxisme memberi daya<br />
balik bagi kebangkitan Nasionalisme, <strong>yang</strong> di bawah purnamanya sebagai sinar balik<br />
menggelorakan kesadaran kembali kepada ciri-ciri Islam,” 2 <strong>yang</strong> hampir-hampir sudah<br />
1<br />
Ibid., hal. 20 et seqq.<br />
2<br />
Perhatikanlah QS. ar-Ruum ayat 41 dan QS. al-Hujurat ayat 5-6.<br />
37