Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
gagal mengidentifikasi diri dengan kelasnya sendiri, sementara Puja mewakili<br />
sosok prajurit yang dibuang dari kastanya sendiri dan akhirnya<br />
men jadi prototipe sempurna lumpenproletarian yang serba pragmatis.<br />
Peranan Puja tidak hanya sampai di situ. Kedudukannya dalam narasi<br />
Lewat Djam Malam adalah sebagai pembanding posisi Gunawan.<br />
Singkatnya, seolah hanya ada dua macam kehidupan yang menanti<br />
seorang veteran setelah perang berakhir: kaya luar biasa atau melarat.<br />
Dua-duanya ditentukan oleh pangkat kemiliteran semasa perang serta<br />
kejelian mengail di air keruh. Tidak heran jika stigma melekat adalah<br />
“bekas pejuang jadi bandit” atau “bekas pejuang hidup enak”.<br />
Bagi Iskandar, status tersebut tentu sangat menyulitkan. Hari pertama<br />
kerjanya sudah diusik oleh cibiran “bekas pejuang” yang terlontar dari<br />
rekan-rekan sekantor. Ia merasa mirip dengan Gunawan yang cepat<br />
kaya dengan bermodalkan reputasi perang. Ia jijik ketika menyaksikan<br />
mantan komandannya itu mulai memakai retorika-retorika revolusioner<br />
untuk menjustifikasi diri sebagai “penguasa pribumi”. Sialnya lagi, dua<br />
lingkungan elit yang ditampik Iskandar pun senantiasa berkumpul di<br />
rumah kekasihnya, dalam pesta semalam suntuk yang dihadiri sosialita<br />
dan para hero revolusi pujaan para gadis. Bulan madu panjang antara<br />
militer dan birokrasi tidak pernah tergambar seintim ini.<br />
Tanpa membaca relasi kelas yang melatarbelakangi kisah tokohtokoh<br />
Lewat Djam Malam, sengketa sipil-militer hanya akan selesai pada<br />
pembacaan klise soal “dendam sejarah”, pada pertanyaan “siapa yang<br />
layak memegang kepemimpinan politik? Mereka yang berdiplomasi atau<br />
yang angkat senjata?” Tanpa membaca konteks ekonomi politik ini pula,<br />
ekspresi kekecewaan Iskandar hanya akan nampak sebagai kritik moral<br />
biasa yang lahir dari, misalnya, pilihan sutradara untuk menampilkan<br />
“pesimisme Barat limapuluhan” yang dipindahkan ke konteks lokal. Bisa<br />
juga terlihat seperti kritik legalistik-liberal yang menyerang korupsi dan<br />
ekses-ekses penyelewengan kekuasaan lainnya tanpa mempertanyakan<br />
80<br />
LEWaT DjaM MaLaM