02.07.2013 Views

Bab I

Bab I

Bab I

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Lalu kejahatan itu menghampiriku lagi. Aku benci sekali melihat<br />

mulut Zen. Kupusatkan mataku ke bibir yang tidak capai-capai<br />

bicara itu. Lalu tiba-tiba jiwaku terbakar lagi. Zen seakan-akan<br />

setumpukan kaca yang menantang untuk dipecahkan.<br />

Tanpa banyak pikir lagi, aku mendorongnya ke tengah jalan.<br />

Sebuah mobil yang melesat lalu langsung menabraknya. Zen<br />

terpental ke udara. Lalu jatuh kembali ke atas aspal diiringi oleh pekik<br />

orang-orang di sepanjang jalan.<br />

Aku sendiri merasa tubuhku sangat lunglai.<br />

Aku pingsan. Sekali ini bukan pura-pura.<br />

Demikianlah Zen mati. Seorang sahabat sejati. Seorang yang<br />

paling mencintaiku.<br />

Seorang yang nyaris gila barangkali kematian itu buruk atau<br />

baik baginya.<br />

..................................................................................................................<br />

(Dikutip dari halaman 50 sampai dengan 54)<br />

Penggalan 3<br />

..................................................................................................................<br />

Aku masuk tengah-tengah hutan cemara itu. Rumput terasa agak<br />

lembab. Aku berjalan ke depan. Pagar halaman rumah sakit itu<br />

kelihatan begitu rapat. Heran juga. Rumah sakit yang satu ini, tidak<br />

terbuka seperti rumah-rumah sakit yang pernah kukenal. Rasanya<br />

ia mengasingkan diri. Seperti sebuah penjara.<br />

Aku teringat lagi pada Laila.<br />

Jadi aku tidak benar-benar tertembak. Sudah terlalu banyak yang<br />

kuandaikan. Kasihan juga wanita itu. Ia sebagian dari orang-orang<br />

yang kukorbankan. Seakan-akan ia begitu berharga, padahal ia<br />

hanyalah seekor nyamuk di malam hari yang membuat aku berhenti<br />

tidur. Lalu melihat ada harapan. Alangkah hinanya aku<br />

memperlakukan wanita itu. Kalau ia sadar kedudukannya, kalau ia<br />

berpikir seperti aku, ia akan marah besar karena diperlakukan sebagai<br />

alat saja. Tapi memang demikianlah umumnya. Aku banyak mengenal<br />

wanita-wanita seperti itu. Ibuku sendiri misalnya. Mungkin sebenarnya<br />

ia tidak sebodoh yang kukira. Tapi ia mempunyai jalan lain untuk<br />

mendapatkan kebahagiaan rohani, yaitu menyerah. Ya, meskipun aku<br />

tidak percaya bahwa orang akan bisa tahan lama dalam penyerahan.<br />

16 Bahasa Indonesia XII Program IPA/IPS

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!