Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...
Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...
Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Allah berfirman:<br />
Dan (diharamkan juga kamu<br />
mengawi-ni) wanita yang bersuami,<br />
kecuali budak-budak yang kamu<br />
miliki (Allah telah menetapkan<br />
hukum itu) sebagai ketetapan-Nya<br />
atas kamu. Dan dihalalkan bagi<br />
kamu selain yang demikian (yaitu)<br />
mencari isteri-isteri dengan hartamu<br />
untuk dikawini bukan untuk berzina.<br />
Maka isteri-isteri yang telah kamu<br />
ni’mati (campuri) di antara mereka,<br />
berikanlah kepada mereka maharnya<br />
(dengan sempurna), sebagai suatu<br />
kewajiban; dan tiadalah mengapa<br />
bagi kamu terhadap sesuatu yang<br />
kamu telah saling merelakannya<br />
sesudah menentukan mahar<br />
itu). Sesungguhnya Allah Maha<br />
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.<br />
(Q.S. al-Nisa’ [4]: 24).<br />
Menurut Ibn Khuwayzi, ayat<br />
ini tidak bisa pahami sebagai<br />
dalil pembolehan nikah mut‘ah.<br />
Selain karena Rasulullah saw. telah<br />
melarang dan mengharamkan nikah<br />
mut‘ah, juga karena firman Allah<br />
dalam ayat berikutnya;<br />
“... maka nikahilah mereka dengan<br />
seizin keluarganya...” Oleh karena itu,<br />
hanya nikah yang berdasarkan izinlah<br />
yang dipandang sebagai nikah syar‘î,<br />
yaitu nikah yang dilakukan dengan<br />
kehadiran wali dan dua orang saksi.<br />
Sebagian ulama mendefinisikan<br />
nikah mut‘ah dengan hanya menjadikan<br />
tempo sebagai kriteria.<br />
Tafsir<br />
Nikah Mut‘ah<br />
(Penafsiran Ayat 24 Surat al-Nisa’)<br />
Oleh Jabbar Sabil, MA<br />
Sikap Khalifah ‘Umar<br />
ibn al-Khattab yang<br />
tegas memerangi mut‘ah,<br />
bukanlah didasari oleh<br />
faktor politik,<br />
Misalnya seseorang menikahkan<br />
putrinya dalam tempo sebulan atau<br />
setahun. Ibn Qudâmah (w. 620 H)<br />
menyatakan bahwa nikah seperti ini<br />
tidak sah (bâthil) baik mut‘ah yang<br />
jangka waktunya diketahui secara<br />
jelas (ma‘lûm) atau tidak diketahui<br />
(majhûl), (al-Mugnî, jld. IX, hlm. 388).<br />
Ibn Hajar mendefinisikan mut‘ah<br />
sebagai berikut: (Fath al-Bârî, jld. IX,<br />
hlm. 95).<br />
Mut‘ah adalah mengawinkan seorang<br />
wanita dalam jangka waktu<br />
tertentu, apabila waktunya habis,<br />
maka terjadilah perceraian.<br />
Al-Qurtubî mengutip riwayat<br />
Abû ‘Umar yang menyatakan bahwa<br />
para ulama salaf dan khalaf sepakat<br />
mendefinisikan nikah mut‘ah sebagai<br />
nikah yang bertempo, tidak mewarisi,<br />
dan perceraian terjadi dengan jatuhnya<br />
tempo tanpa talak. Dikemukakan pula<br />
jawaban Ibn Mas‘ûd, bahwa dalam<br />
praktek nikah mut‘ah tidak berlaku<br />
pewarisan, (al-Jâmi‘ li Ahkâm al-<br />
Qur’ân, jld. V, hlm. 114).<br />
Jika gambaran di atas sepakat<br />
dipegang sebagai definisi nikah<br />
mut‘ah, maka nikah yang di luar<br />
dua jenis ini adalah zina (tanpa<br />
wali/saksi). Bahkan ada ulama yang<br />
tegas menyatakan mut‘ah sebagai<br />
zina karena dilakukan tanpa wali/<br />
saksi. Pendapat bahwa nikah mut‘ah<br />
dilakukan tanpa wali dan saksi tidak<br />
lah ganjil dalam khazanah Islam.<br />
Al-Qurtubî mengutip pemahaman<br />
<strong>Santunan</strong> JANUARI <strong>2011</strong><br />
ini dari apa yang diungkapkan an-<br />
Nuhas; bahwa nikah mut‘ah adalah<br />
nikah yang tidak berakibat ‘iddah,<br />
tidak mewarisi, tidak berlaku talak,<br />
dan dilakukan tanpa saksi, baginya<br />
praktek seperti ini adalah zina.<br />
Dari fenomena ini dapat disimpulkan,<br />
bahwa di masa hidup Rasul,<br />
nikah mut‘ah dipraktekkan tanpa<br />
izin wali (hanya kesepakatan berdua<br />
saja), namun ciri yang umum dari<br />
berbagai praktek yang dilakukan,<br />
adalah berakhirnya nikah saat jatuh<br />
tempo yang disepakati.<br />
Meski sebagian kalangan muslim<br />
membolehkan nikah mut‘ah, namun<br />
Imam al-Syâfi‘î berpendirian akan<br />
kuatnya keharaman nikah mut‘ah<br />
berdasar dalil ayat dan qiyâs. Ayat<br />
kelima dan keenam surat al-Mu’minun<br />
menurutnya adalah dalil haramnya<br />
hubungan intim selain dengan nikah<br />
dan milk al-yamîn.<br />
Dan orang yang menjaga kemaluannya.<br />
Kecuali terhadap isteri-isteri<br />
mereka atau budak yang mereka<br />
miliki, maka sesungguhnya mereka<br />
dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. al-<br />
Mu’minun [23]: 5-6).<br />
Pendirian Imam al-Syâfi‘î ini<br />
sejalan dengan penafsiran ‘Â’isyah,<br />
bahwa nikah mut‘ah telah mansûkh<br />
oleh Alquran, (Al-Qurtubî, jld. V, hlm.<br />
112). Alquran hanya menghalalkan<br />
hubungan intim melalui nikah, dan<br />
tidak ada peluang untuk mut‘ah. Al-<br />
Syāfi‘ī mengangkat ayat berikut:<br />
Hai orang-orang yang beriman,<br />
apabila kamu menikahi perempuan-<br />
33