08.08.2013 Views

Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...

Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...

Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Opini<br />

Sertifikasi, Sebuah Catatan<br />

Bagi saya, sertifikasi adalah ‘anak<br />

kandung’ Sistem Pendidikan yang<br />

lahir melalui Undang-Undang<br />

(UU) RI Nomor 20 Tahun 2003,<br />

tentang Sistem Pendidikan Nasional<br />

(Sisdiknas). Eksistensi dan prospeknya<br />

didukung oleh UU RI Nomor 14<br />

Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen<br />

dan Peraturan Menteri Pendidikan<br />

Nasional (Permendiknas) Nomor 18<br />

Tahun 2007, tentang Sertifikasi Bagi<br />

Guru Dalam Jabatan.<br />

Idealnya, tujuan utama sertifikasi<br />

adalah meningkatkan profesionalisme<br />

guru. Untuk tujuan itu pemerintah<br />

melalui Pergururuan Tinggi (PT)<br />

yang ditunjuk, mengadakan penilaian<br />

bagi guru melalui portofolio sebagai<br />

instrumen yang meliputi 10 aspek,<br />

sebagaimana ditetapkan dalam Permendiknas<br />

nomor 18 tahun 2007,<br />

pasal 2 ayat (3).<br />

Dalam implementasinya, sertifikasi<br />

ternyata menyimpan banyak persoalan<br />

dan bertolak belakang dengan konsep<br />

idealnya. Untuk membuktikannya<br />

sangat mudah, mari kita amati di<br />

sekolah/madrasah masing-masing, dari<br />

aspek kemampuan dan skill mengajar,<br />

apakah ada bedanya guru sertifikasi<br />

dengan guru yang belum disertifikasi.<br />

Jika merujuk konsep, seharusnya<br />

guru sertifikasi lebih mapan dan<br />

matang dalam proses pembelajaran,<br />

karena mereka sudah dinobatkan<br />

menjadi guru profesional yang<br />

ditandai dengan sertifikat pendidik.<br />

Ternyata tidak begitu, pengakuan dari<br />

kalangan guru sendiri atau beberapa<br />

pengamat pendidikan, bahwa tidak ada<br />

perbedaan antara keduanya, kalaupun<br />

ada, hal tersebut bukan karena faktor<br />

dan pengaruh sertifikasi.<br />

Persoalan sertifikasi, setidaknya<br />

dapat dipetakan dalam dua sisi,<br />

yaitu guru dan pemerintah sebagai<br />

penyelenggara. Dari sisi guru, kita<br />

temukan beberapa persoalan, yaitu;<br />

pertama, banyaknya manipulasi dan<br />

rekayasa data yang dilakukan guru<br />

ketika mencari sertifikat dan makalah<br />

Oleh Johansyah, MA<br />

untuk memenuhi standar nilai yang<br />

telah ditetapkan dalam portofolio.<br />

Kedua, guru terlalu berorientasi kepada<br />

tunjangan dan materi serta melupakan<br />

profesionalisme dan peningkatan mutu<br />

pembelajaran sebagai substansinya.<br />

Pemerintah sendiri sebagai penyelenggara<br />

sertifikasi, memiliki beberapa<br />

kelemahan, Pertama, proses<br />

penjaringan terlalu mudah. Akibatnya,<br />

semua guru dapat lolos, entahkah itu<br />

guru malas, tidak kreatif, guru yang<br />

kerjanya dikte melulu, atau guru model<br />

apapun, yang penting pintar menyusun<br />

portofolio. Kedua, sertifikasi terlalu<br />

transparan dalam mengiklankan imingiming<br />

tunjangan, sehingga menggangu<br />

kondisi idealisme guru. Ketiga, tuntutan<br />

bagi guru sertifikasi terlalu<br />

berlebihan, alokasi waktu 24 jam<br />

perminggu bukanlah jam yang efektif<br />

bagi guru profesional.<br />

Melihat beberapa problema di atas,<br />

sertifikasi yang idealnya meningkatkan<br />

mutu dan profesionalisme guru, kelihatannya<br />

bergeser orientasi menjadi<br />

pembodohan guru, karena lemahnya<br />

proses penilaian dan bergesernya<br />

orientasi. Kalau tidak hati-hati, sertifikasi<br />

berpotensi dapat membunuh<br />

38 <strong>Santunan</strong> JANUARI <strong>2011</strong><br />

karakter guru sebagai pendidik,<br />

karena orientasi dan motivasi mereka<br />

bukan profesionalisme akan tetapi<br />

tunjangan.<br />

Untuk itu, sejatinya proses penilaian<br />

yang telah diformat pemerintah<br />

dalam menjaring guru sertifikasi<br />

perlu direkonstruksi. Sebagai bahan<br />

pertimbangan, saya menyarankan;<br />

pertama, sebaiknya penilaian mengutamakan<br />

kondisi riil di lapangan dari<br />

pada penilaian portofolio. Kedua, penilaian<br />

mungkin lebih berkualitas apabila<br />

dilakukan secara rahasia (hidden<br />

evaluation). Upaya ini ditempuh untuk<br />

menghindari manipulasi data sekaligus<br />

membuktikan keabsahan data.<br />

Ketiga, bagi guru yang sudah<br />

di-nyatakan lulus sertifikasi, tidak<br />

perlu dibebani dengan jam wajib<br />

mengajar 24 jam, biarkan saja mereka<br />

memenuhi jam wajib 18 jam seperti<br />

biasa. Sebab yang dituntut dari<br />

guru adalah meningkatkan kualitas<br />

pembelajaran, bukan kuantitasnya.<br />

Lebih baik mereka dilatih untuk<br />

menulis karya ilmiah melalui pelatihan<br />

yang kontinyu oleh Dinas Pendidikan<br />

(Di maupun Kantor <strong>Kementerian</strong><br />

<strong>Agama</strong> kabupaten/kota.<br />

Kita berharap, bagi para guru yang<br />

sudah sertifikasi, agar mereka tidak<br />

sekadar berpikir tunjangan, akan tetapi<br />

bagaimana meningkatkan kemampuan<br />

dengan cara memanfaatkan sebahagian<br />

tunjangan untuk membeli buku-buku<br />

agar wawasan bertambah, bukan malah<br />

menyicil perabotan rumah tangga.<br />

Sertifikasi, tentunya merupakan<br />

niat baik dan tujuan mulia pemerintah<br />

sebagai bentuk kepedulian terhadap<br />

nasib guru negeri ini. Namun<br />

demikian, niat baik tersebut boleh<br />

jadi tidak terwujud mana kala tidak<br />

dibarengi dengan metode dan teknik<br />

pelaksanaan yang tepat. n<br />

Penulis adalah Mahasiswa S3<br />

Pendidikan Islam, PPs IAIN Ar-<br />

Raniry Banda Aceh dan Ketua<br />

Jurusan Tarbiyah STAI Gajah Putih<br />

Takengon.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!