Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...
Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...
Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Konsultasi BP4<br />
Diasuh oleh Drs. H. Abdul Gani Isa, SH., M.Ag. (Ketua BP4 <strong>Prov</strong>insi Aceh)<br />
Assalamualaikum Wr. Wb.<br />
Bapak Pengasuh yang terhormat,<br />
kami dari sekelompok ibu-ibu ingin<br />
menanyakan: Mengapa ada di antara<br />
laki-laki/suami yang memiliki isteri,<br />
dan anak, tetapi juga masih menambah<br />
lagi isterinya. Memang kami tahu,<br />
bahwa perkawinan kedua, ketiga, dan<br />
keempat tidak dilarang oleh syariat,<br />
dengan syarat ia mampu berlaku adil.<br />
Tetapi yang menjadi pertanyaan kami;<br />
mengapa secara sembunyi-sembunyi?<br />
Karena bila nanti ia punya anak, tentu<br />
antara anak pada isteri pertama tidak<br />
akan mengenal dengan anak isteri<br />
kedua, atau juga suatu saat nantinya<br />
akan menimbulkan konflik di antara<br />
isteri pertama dengan isteri kedua,<br />
baik menyangkut harta bersama, mau<br />
pun hal-hal lainnya. Mohon jawaban<br />
ustadz! Wassalam.<br />
Kelompok Ibu-ibu pengajian<br />
di Banda Aceh<br />
Jawaban Pengasuh<br />
Masalah yang ditanyakan ibu-ibu di<br />
atas, seingat pengasuh sudah pernah<br />
dimuat di rubrik konsultasi sebelumnya<br />
dengan judul” Aku tak mau dimadu”,<br />
namun menurut pengasuh masalah<br />
ini penting diangkat kembali. Karena<br />
fokusnya pun lebih dititikberatkan pada<br />
dampak negatif dari pada positifnya.<br />
Seperti sudah pernah pengasuh utarakan,<br />
bahwa yang melakukan perkawinan<br />
poligami hanya diberikan kepada laki-laki<br />
(QS, al-Nisa’: 3), dan bagi perempuan<br />
peluang seperti itu tidak diberikan,<br />
bahkan haram hukumnya. Kalaupun<br />
ada di antara perempuan melakukannya<br />
(poliandri), maka perkawinan semacam<br />
itu, tidak sah dan batal demi hukum.<br />
Kepada kita dianjurkan untuk merenungkan<br />
serta mengambil hikmah mengapa<br />
Allah swt., memberi peluang tersebut<br />
kepada laki-laki?<br />
Pengasuh sama sekali dan tidak<br />
bermaksud membela laki-laki, demikian<br />
pula bukan memberi penilaian negatif<br />
kepada kaum perempuan. Pengasuh<br />
selalu berupaya pada garis netral. Untuk<br />
itu beberapa hal berikut ini dirasa perlu<br />
untuk mengklarifikasi kembali, dengan<br />
“Diam-diam Kawin Lagi”<br />
harapan setidaknya mau dimengerti oleh<br />
laki-laki/suami, sekaligus bisa dipahami<br />
bagi umumnya kaum hawa/isteri.<br />
Pertama, Amar dalam ayat 3 al-<br />
Nisa’, dipahami bukan menunjukkan<br />
kepada wajib dan tidak pula petunjuk<br />
larangan. Tetapi ayat itu menurut<br />
Mustafa al-Maraghi (1974, 4: 181-<br />
182) memberi indikasi antara lain;<br />
(1) dibolehkan berpoligami, bila isteri<br />
mandul, sedang ia mendambakan keturunan;<br />
(2) isterinya dalam keadaan<br />
sakit atau usia lanjut, sedangkan lakilaki<br />
masih menghendaki keturunan<br />
dan masih mampu untuk membiayai<br />
anak-anaknya baik nafkah hidup, pendidikan<br />
dan lainnya; (3) bisa juga suami<br />
memiliki daya seksual tinggi (hiper<br />
sex). Dalam hal ini, suami dihadapkan<br />
kepada dua alternatif; a. kawin lagi<br />
(dibenarkan agama), atau b. berbuat<br />
mesum/khalwat, Berefek negatif, baik<br />
terhadap agama, harta, keturunan dan<br />
lain sebagainya. Dalam kondisi seperti<br />
itu, jalan yang terbaik dan maslahah<br />
adalah kawin lagi (poligami).<br />
Kedua: Harus pula dipahami bahwa<br />
kata “adil”(fain lam ta‘dilu fawahidah),<br />
maka jika kamu tidak bisa berlaku adil,<br />
maka cukup satu saja. “Adil” di sini<br />
menunjukkan tidak mudah dilakukan,<br />
seperti diisyaratkan Alquran: walan<br />
tastati‘u an ta‘dilu bainan nisa’i walau<br />
harastum (QS, al-Nisa’: 129). (Dan<br />
kamu tidak akan dapat berlaku adil di<br />
antara perempuan-perempuan/isteriisterimu<br />
walaupun kamu sangat ingin<br />
berbuat demikian).<br />
Ketiga: Perkawinan tidak mengenal<br />
istilah diam-diam atau secara rahasia.<br />
Sebuah pernikahan dianjurkan dilakukan<br />
secara terang-terangan, disaksikan<br />
oleh banyak orang. Rasulullah saw.<br />
menegaskan; A’linun nikah (umumkan<br />
pernikahanmu), agar masyarakat<br />
mengetahui bahwa yang bersangkutan<br />
telah menikah, dan terhindar dari<br />
fitnah. Sedangkan dalam hal talak dianjurkan<br />
untuk merahasiakan, karena<br />
itu termasuk kategori “musibah”.<br />
Sehubungan hal itu, bila perkawinan<br />
poligami dilakukan seseorang secara<br />
rahasia, seperti ditanyakan, maka per-<br />
44 <strong>Santunan</strong> JANUARI <strong>2011</strong><br />
kawinan tersebut bisa menimbulkan<br />
banyak mudarat daripada maslahat.<br />
Di antara mudaratnya; (a) bila dari<br />
perkawinannya Allah mengaruniai kepadanya<br />
anak, mungkin antara anak<br />
pada isteri pertama tidak saling kenal<br />
dengan anak isteri keduanya. Bahkan<br />
tidak menutup kemungkinan akan<br />
terjadi perkawinan antara keduanya,<br />
karena tidak pernah diberitahukan<br />
bahwa mereka bersaudara. Untuk<br />
menghindari yang tidak diingini,<br />
maka sebaiknya suami secara terus<br />
terang menyampaikan, dengan jalan<br />
musyawarah. Itu pula sebabnya pemerintah<br />
mengaturnya di dalam peraturan<br />
negara seperti diatur dalam UU<br />
No. 1/1974 tentang Perkawinan dan<br />
KHI, sesuai Inpres No. 1/1991, dengan<br />
tujuan menertibkan perkawinan poligami,<br />
baik disyaratkan harus ada izin dari<br />
isteri pertama maupun syarat “mampu”<br />
berlaku adil, yang dinyatakan di depan<br />
sidang Mahkamah Pengadilan <strong>Agama</strong>;<br />
(b) bisa juga berdampak tidak baik<br />
menimbulkan konflik antara isteri<br />
pertama dengan isteri kedua berkaitan<br />
harta bersama, bila suatu saat antara<br />
keduanya berpisah, bahkan semakin<br />
diperburuk suasana karena sang suami<br />
menyembunyikan pernikahannya (c)<br />
bila suami meninggal dunia, masingmasing<br />
pihak meminta hak/harta<br />
pusaka, baik isteri, maupun anak-anak<br />
dari kedua isterinya. Bahkan tidak<br />
jarang terjadi di antara mereka saling<br />
mengklaim itu adalah haknya, apalagi<br />
suaminya termasuk orang berada/<br />
kaya. Seharusnya semakin diikat oleh<br />
tali persaudaraan, malah yang terjadi<br />
adalah kebencian dan permusuhan.<br />
Untuk itu, baik suami maupun isteri<br />
lebih banyak menggunakan akal sehat,<br />
dan perenungan mendalam sebelum<br />
hasrat dan keinginannya dilaksanakan.<br />
Sebaiknya berterus terang untuk menikah,<br />
kenapa harus diam-diam dan merahasiakan.<br />
Karena dari sikap seperti itu,<br />
banyak menuai fitnah bahkan konflik<br />
yang tidak mudah didamaikan, bak kata<br />
pribahasa: Pikir dahulu pendapatan<br />
sesal kemudian tidak berguna. n<br />
Wassalam.