08.08.2013 Views

Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...

Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...

Majalah Santunan edisi Januari 2011 - Kementerian Agama Prov ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

mengharamkan sesuatu yang baik<br />

yang dihalalkan Allah kepadamu, dan<br />

janganlah kamu melampaui batas,<br />

sesungguhnya Allah tidak suka kepada<br />

orang yang melampaui batas.<br />

Sayangnya Ibn Mas‘ûd tidak<br />

menjelaskan; apakah rukhsah mut‘ah<br />

ini terjadi sebelum atau setelah<br />

perang Khaibar sehingga tidak bisa<br />

diselesaikan dengan metode nâsikh<br />

mansûkh. Dalam konteks ini kepastian<br />

waktu pelarangan dan pembolehan<br />

menjadi faktor yang menentukan,<br />

dan satu-satunya hadis yang paling<br />

belakangan adalah hadis Rabî‘ ibn<br />

Sabrah yang menyatakan bahwa<br />

terakhir kali nikah mut‘ah diharamkan<br />

pada hari haji wada‘. Teks hadis<br />

ini dapat ditemukan dalam kitab al-<br />

I‘tibâr fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh<br />

min al-Âtsâr karya al-Hamdânî (w.<br />

584 H).<br />

Terlihat di sini bahwa pengharaman<br />

pada masa haji wada’ adalah yang<br />

terakhir sehingga membatasi keumuman<br />

hadis Ibn Mas‘ûd. Tapi<br />

sayang hadis ini tidak bisa dijadikan<br />

hujah karena matannya syaz. Maka<br />

satu-satunya hujah adalah hadis<br />

berikut (Al-Nawawî, Syarh Sahîh<br />

Muslim, jld. IX, hlm. 184):<br />

Dari Rabî‘ ibn Sabrah, dari ayahnya<br />

yang mengatakan bahwa Rasulullah<br />

saw. melarang nikah mut‘ah dan<br />

berkata: “Tidakkah kamu tahu bahwa<br />

nikah mut‘ah itu haram sejak hari ini<br />

sampai hari kiamat, dan barangsiapa<br />

yang telah memberi sesuatu kepada<br />

mereka (pasangan mut‘ah-nya)<br />

hendaklah jangan mengambilnya<br />

kembali”.<br />

Hadis ini juga diriwayatkan oleh<br />

Ibn Hibbân dalam turuq yang sama.<br />

Selain itu, hadis ini juga didukung<br />

oleh riwayat lain yang juga disahihkan<br />

oleh Muslim, (Al-Nawawî, Syarh Sahîh<br />

Muslim, jld. IX, hlm. 182):<br />

<strong>Santunan</strong> JANUARI <strong>2011</strong><br />

Tafsir<br />

Dari Rabī‘ ibn Sabrah, dari ayahnya yang berkata; “Saat kami bersama Rasulullah<br />

saw., beliau berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku mengizinkan kepada kalian<br />

ber-mut‘ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan mut‘ah sampai hari<br />

kiamat, maka barang siapa yang masih memiliki ikatan, hendaklah ia melepaskannya<br />

dan jangan mengambil apa yang telah diberikannya kepada pasangan mut‘ah-nya.<br />

PERAWI MASA HIDUP PENILAIAN ATAS PERAWI<br />

Sabrah w. 72 H Sahabat yg meriwayat dari Nabi<br />

Rabī‘ ibn Sabrah w. 102 H Tsiqah<br />

‘Abd al-‘Azīz ibn ‘Umar w. 187 H Hasan<br />

Abū Numayr w. 199 H Tsiqah.<br />

Muhammad ibn ‘Abdillāh ibn Numayr w. 244 H Tsiqah.<br />

Muslim 206-261 H Ulama yang membukukan hadis<br />

Dalam hadis ini dinyatakan<br />

bahwa pelarangan nikah mut‘ah<br />

berlaku sampai hari kiamat, maka<br />

dapat dipastikan bahwa penyataan<br />

Ibn Mas‘ûd yang menerangkan<br />

nikah mut‘ah pernah diharamkan<br />

dan dibolehkan lagi, tentunya<br />

terjadi sebelum hadis ini. Jika bukan<br />

demikian, tentunya ungkapan<br />

“sampai hari kiamat” menjadi tidak<br />

benar, padahal secara sanad, hadis ini<br />

sahih menurut standar Muslim.<br />

Menurut al-Albânî, hadis ini diriwayatkan<br />

oleh perawi-perawi yang<br />

terpercaya (tsiqah). Di antara perawinya<br />

hanya satu yang dipertanyakan,<br />

yaitu Ma‘qil, yakni Ibn ‘Ubaydillah al-<br />

Jazîrî. Menurut al-Zahabî, ia tergolong<br />

sebagai perawi yang benar (shadûq),<br />

namun ia dilemahkan oleh Ibn Ma‘în.<br />

Sementara itu menurut al-Hâfiz dalam<br />

kitabnya al-Taqrîb, Ma‘qil adalah<br />

perawi yang benar namun sering<br />

disalahkan (shadûq yukhti’). Meskipun<br />

demikian, menurut al-Albânî, hadis<br />

yang diriwayatkan olehnya berada<br />

pada martabat hasan li zâtih, atau<br />

sekurang-kurangnya hasan li gayrih,<br />

(Al-Albânî, Silsilah al-Ahâdîts al-<br />

Sahîhah, jld. I, bag. II, hlm. 729).<br />

Terkait dengan hadis Ma‘qil di<br />

atas, hadis itu menjadi kuat karena ia<br />

tidak sendiri, tapi didukung oleh hadis<br />

yang juga di-takhrîj oleh Muslim dari<br />

turuq yang berbeda. Hadis ini juga<br />

diriwayatkan oleh al-Dârimî (2/140),<br />

Ibn Mâjah (1962), Ibn Hibbân (4135),<br />

dan al-Tahâwî. Dengan demikian, keberadaan<br />

hadis Ma‘qil menjadi kuat<br />

sehingga dapat dijadikan hujah.<br />

Dengan sahihnya hadis yang secara<br />

tegas menggunakan kata “nikah mut‘ah<br />

diharamkan sampai hari kiamat”,<br />

maka pembolehan yang tidak jelas<br />

waktunya dalam hadis Ibn Mas‘ûd<br />

menjadi terbatas. Pembolehan nikah<br />

mut‘ah dalam hadis Ibn Mas‘ûd dapat<br />

dipastikan hanya sah berlaku sebelum<br />

fath Makkah, dan tidak lagi setelah itu.<br />

Sampai di sini dapat ditarik<br />

kesimpulan, bahwa nikah mut‘ah pernah<br />

dibolehkan oleh Rasulullah dalam<br />

kondisi mudharat (mudarat perjalanan<br />

perang), yaitu dalam safar (perjalanan<br />

panjang) pasukan perang yang<br />

memakan waktu lama. Hal ini terbukti<br />

dari tidak ditemukannya satu riwayat<br />

pun yang membolehkan nikah mut‘ah<br />

dalam kondisi bermukim. Jadi tidak<br />

pernah ada pembolehan nikah mut‘ah<br />

selain karena mudarat. Pembolehan<br />

itu pun hanya pernah terjadi selama<br />

dua kali di masa hidup Rasulullah, lalu<br />

diharamkan untuk selamanya pada saat<br />

pembebasan Makkah.<br />

Dari bahasan ini pula dapat<br />

disimpulkan, bahwa sikap ‘Umar ibn al-<br />

Khattab memerangi mut‘ah, bukanlah<br />

didasari faktor politik, tapi murni<br />

untuk memelihara kebenaran yang<br />

bersumber dari Rasulullah. Sahabat<br />

lain tidak membantah kebijakan ‘Umar<br />

bukan karena takut atas otoritas politik<br />

Umar. Sebab banyak kasus di mana<br />

sahabat menentang pendapat Umar,<br />

jadi diamnya mereka adalah sikap<br />

setuju dan bukti kebenaran ‘Umar. n<br />

Penulis adalah kandidat doktor Program<br />

Pascasarjana IAIN Ar-Raniry.<br />

35

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!