08.08.2013 Views

edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI

edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI

edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Prospek<br />

Pengawasan<br />

DI ERA PEME<strong>RI</strong>NTAHAN BARU<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4<strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004


Fokus Pengawasan<br />

Diterbitkan oleh Proyek Penyebaran<br />

Pengertian dan Kesadaran Pengawasan<br />

Melalui Jalur <strong>Agama</strong> (PPKPMJA)<br />

<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

Departemen <strong>Agama</strong> <strong>RI</strong><br />

<strong>Tahun</strong> 2004<br />

Dewan Penyunting:<br />

Pembina: Slamet Riyanto<br />

Pengarah: Masyhuri AM, S. Saidi, Ahmad<br />

Ghufron, Chamdi Pamudji, Abdul Halim<br />

Penanggung jawab: Ahmed<br />

Ketua: Muhaimin Luthfie<br />

Sekretaris: Nur Arifin<br />

Anggota: Mudjimah, Ali Hadiyanto,<br />

Abdul Malik, Ahmad Zainuddin,<br />

Arif Nurrawi<br />

Tata Usaha: Aris Krido Halim,<br />

M. Machfudz, Sugina, Jumhadi<br />

Alamat Redaksi:<br />

<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen <strong>Agama</strong>,<br />

Jalan M.H. Thamrin No.6, Jakarta 10340<br />

Telp. (021) 3192-4509, 3193-0565<br />

Telefax: (021) 314-0135, 3192-6803<br />

e-mail: ahmed@miis.alumlink.com<br />

Daftar Isi<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV<br />

Daftar Isi ....................2<br />

Surat Pembaca ...............3<br />

Editorial .....................4<br />

Fokus Utama<br />

- Prioritas program 100 hari . . . . . . 5<br />

- Pengawasan program . . . . . . . . . .8<br />

- Kiprah Departemen <strong>Agama</strong> . . . . .11<br />

- Reorientasi peran pengawasan . .14<br />

Opini<br />

- Pengukuran & Penilaian Kinerja . 19<br />

- Diklat sertifikasi JFA & Realisasi<br />

Audit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24<br />

- Integritas Auditor Dalam Melakukan<br />

BAP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .27<br />

- Membangun Paradigma Baru . . 32<br />

PPA<br />

- Peran Guru Dalam Merealisasikan<br />

PPA . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . .34<br />

Randang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .37<br />

EYD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .4<br />

Teknologi Informasi . . . . . . . . . ..47<br />

AMO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .50<br />

Hikmah<br />

- Shalat Jama’ . . . . . . . . . . . . . . . .54<br />

Renungan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59<br />

Relaksasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . .60<br />

Dewan Penyunting menerima<br />

artikel yang ditulis dengan<br />

bahasa Indonesia yang baik<br />

dan benar, diutamakan dalam<br />

bentuk soft copy.<br />

...........................................................<br />

...................................................................................................................


Menag baru<br />

Sehubungan dengan perubahan<br />

dalam jajaran kabinet, saya ingin mengetahui<br />

biodata dan perjalanan karir<br />

Menteri <strong>Agama</strong> yang baru.<br />

Agus Salim,<br />

Kanwil Depag Makassar<br />

Jawaban Redaksi :<br />

Menteri <strong>Agama</strong> yang baru adalah<br />

Muhammad Maftuh Basyuni, lahir di<br />

Rembang, 4 November 1939. Jabatan<br />

terakhir sebelum diangkat menjadi<br />

Menag adalah sebagai Duta Besar <strong>RI</strong><br />

untuk Saudi Arabia dan Oman. Beliau<br />

pernah menjadi Karo Protokol dan<br />

Karo Rumah Tangga Kepresidenan<br />

pada masa Presiden Soeharto.<br />

Reportase<br />

Redaksi terhormat,<br />

Setelah membaca FP pada beberapa<br />

<strong>edisi</strong> yang lalu, saya menyarankan<br />

agar pada <strong>edisi</strong> yang akan datang<br />

FP menyajikan reportase tentang kegiatan<br />

Itjen dan juga laporan tentang<br />

kasus-kasus penyelewengan yang berhasil<br />

diungkap.<br />

Surat Pembaca<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV<br />

In’am,Citayam<br />

Tentang Auditor<br />

Ketika membaca FP <strong>edisi</strong> III, saya<br />

begitu antusias karena FP <strong>edisi</strong> III memuat<br />

hal-hal yang saya ingin ketahui<br />

tentang “Auditor”, walau belum seluruhnya.<br />

Penulisnya kebanyakan auditor yang<br />

hanya saya ketahui namanya saja, tapi<br />

paling tidak itu membuat saya<br />

mengetahui seperti apa sebenarnya<br />

tugas dan pekerjaan auditor.<br />

Semoga FP terus maju dengan isi<br />

yang lebih baik.<br />

Siti Nurjannah, Gunung Kidul<br />

Ingin kenal petinggi Depag<br />

Sebagai pegawai Depag yang berdomisili<br />

di daerah, saya ingin mengenal<br />

para petinggi Depag khususnya<br />

pejabat eselon I karena selama ini<br />

kami hanya mengetahui jabatannya<br />

tapi orangnya tidak tahu.<br />

Untuk itu kami mohon agar FP<br />

memuat profil para pejabat eselon I di<br />

lingkungan Departemen <strong>Agama</strong>.<br />

Udin, Kanwil Depag Serang<br />

Jawaban Redaksi:<br />

Terimakasih atas tanggapan dan<br />

koreksinya semoga harapan Anda dapat<br />

kami wujudkan. Insya Allah keinginan<br />

anda menjadi bahan pertimbangan<br />

kami pada <strong>edisi</strong> yang akan datang,<br />

tentunya akan disesuaikan dengan<br />

jenis rubrik yang ada.


Jangan coba-coba korupsi. Kalimat<br />

ini sekarang menjadi akrab di telinga<br />

masyarakat Indonesia, karena<br />

setiap hari KPK (Komisi Pemberantasan<br />

Korupsi) menayangkan<br />

iklan demikian di pesawat televisi.<br />

Sebagai back ground iklannya adalah<br />

pelantikan anggota Kabinet Indonesia<br />

Bersatu (KIB) oleh Presiden Susilo<br />

Bambang Yudhoyono (SBY).<br />

Memang, pemberantasan korupsi<br />

menjadi agenda utama KIB di bawah<br />

kepemimpinan Presiden SBY. Bahkan<br />

hal ini dikokohkan lagi dalam program<br />

100 hari pemerintahan SBY, dengan<br />

agenda utama ‘pemberantasan korupsi’.<br />

Artinya tingkat keberhasilan dalam<br />

melakukan pemberantasan korupsi dijadikan<br />

‘taruhan’ sebagai ukuran tingkat<br />

keberhasilan pemerintahan SBY.<br />

Kebijakan pemerintah (presiden) ini<br />

kemudian ditindaklanjuti oleh para<br />

anggota kabinetnya. Para anggota Kabinet<br />

Indonesia Bersatu berlomba-lomba<br />

membuat berbagai program pemberantasan<br />

korupsi. Tak terkecuali Departemen<br />

<strong>Agama</strong>.<br />

Dalam acara perkenalan dan pengarahan<br />

terhadap pegawai di lingkungan<br />

<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen<br />

<strong>Agama</strong> beberapa waktu lalu, Menteri<br />

<strong>Agama</strong> Muhammad Maftuh Basyuni<br />

menyatakan komitmennya terhadap<br />

Editorial<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

pemberantasan korupsi. “Saya tidak<br />

pandang bulu dalam pemberantasan<br />

korupsi di lingkungan Departemen<br />

<strong>Agama</strong>. Kalau perlu saya tidak segansegan<br />

melakukan pemecatan. Walau<br />

saya baru beberapa hari jadi Menteri<br />

<strong>Agama</strong>, saya telah menandatangani<br />

pemecatan seorang pegawai negeri di<br />

lingkungan Departemen <strong>Agama</strong> karena<br />

perilaku korupsi.” katanya.<br />

Salah satu fokus program 100 hari<br />

Menteri <strong>Agama</strong> dalam pemberantasan<br />

korupsi adalah meniadakan kebijakan<br />

pelaksanaan ibadah haji bagi pejabat<br />

atas biaya dinas (abidin) mulai tahun<br />

ini. Menurut Menteri <strong>Agama</strong>, selama ini<br />

jamaah haji Indonesia di tanah suci<br />

sering ‘kurang terurus’ karena para<br />

petugas haji bukan melayani jemaah<br />

haji, melainkan melayani rombongan<br />

pejabat dari Jakarta. Diperkirakan tidak<br />

kurang dari 5 miliar rupiah tiap<br />

tahunnya uang jamaah haji yang disetor<br />

dalam bentuk BPIH diambil untuk<br />

membiayai haji abidin ini.<br />

Di sisi lain sebenarnya ada hal yang<br />

aneh bagi umat Islam berkaitan dengan<br />

ibadah haji. Semestinya kalau<br />

rukun Islam yang ke lima dapat gegap<br />

gempita dilaksanakan, sampai-sampai<br />

harus antre karena terbatasnya kuota,<br />

mestinya rukun Islam sebelumnya<br />

yang bernama ‘zakat’ juga lebih gegap<br />

gempita. Namun yang terjadi, pengelolaan<br />

zakat, terutama zakat mal belum<br />

maksimal dilaksanakan.Akibatnya, masih<br />

banyak umat Islam yang terlantar<br />

terjerat dalam lembah kesulitan dan<br />

kemiskinan, Demikian juga lembagalembaga<br />

dakwah Islam, masih banyak<br />

yang kesulitan dana. Kesalihan individual<br />

kelihatannya masih jauh lebih dominan<br />

diburu oleh umat Islam dibanding<br />

kesalihan sosial. Wallahu a’lam.<br />

Redaksi,


Fokus Utama<br />

P<strong>RI</strong>O<strong>RI</strong>TAS PROGRAM 100 HA<strong>RI</strong><br />

KABINET INDONESIA BERSATU<br />

Tepat 20 Oktober 2004, Kabinet<br />

Indonesia Bersatu dilantik oleh<br />

Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono. Begitu banyak harapan<br />

masyarakat ditumpukan pada jajaran<br />

kabinet tersebut. Memang menurut<br />

analisis beberapa pakar politik, ekonomi,<br />

dan hukum komposisi kabinet belum<br />

memenuhi harapan publik, namun<br />

menurut Presiden "sulit untuk memenuhi<br />

keinginan banyak pihak pada saat<br />

ini".<br />

Pernyataan Presiden tersebut sebenarnya<br />

sungguh bijaksana, karena secara<br />

riil memang sulit untuk dapat<br />

mengikuti keinginan masyarakat yang<br />

mewakili banyak kepentingan, yang<br />

mungkin lebih urgen adalah kita lihat<br />

dahulu kinerja kabinet dalam waktu<br />

100 hari ini. Masyarakat nantinya akan<br />

dapat menilai bagaimana para<br />

Menteri/Pimpinan LPND melaksanakan<br />

tugas seoptimal mungkin.<br />

Dengan memperhatikan situasi dan<br />

kondisi ekonomi makro saat ini, maka<br />

kinerja Kabinet Indonesia Bersatu<br />

harus benar-benar solid, mempunyai<br />

kebijakan dan mungkin terobosan<br />

yang sesuai dengan kebutuhan riil<br />

publik dan bersikap transparan. Namun<br />

inti dari semua kerja kabinet untuk<br />

era saat ini adalah bagaimana<br />

mensukseskan program kerja 100 hari,<br />

khususnya dalam rangka pemberantasan<br />

KKN.<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Pemberantasan KKN<br />

Masalah pemberantasan KKN terus<br />

menjadi diskursus, bahkan menjadi topik<br />

hangat dalam setiap kesempatan<br />

seminar/diskusi, baik yang diselenggarakan<br />

oleh pemerintah maupun masyarakat<br />

(LSM). Namun hasil (outcomes)<br />

dan manfaat (benefit) sampai saat ini<br />

masih saja belum memuaskan masyarakat.<br />

Adalah suatu kewajaran berharap<br />

banyak kepada jajaran kabinet<br />

mengingat masyarakat mendambakan<br />

situasi dan kondisi yang aman, tertib,<br />

damai dan sejahtera. Kondisi tersebut<br />

saat ini dapat dikatakan masih sering<br />

mengalami gangguan/hambatan di lapangan.<br />

Masyarakat sangat berharap pada<br />

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono<br />

dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu<br />

agar masalah pemberantasan KKN<br />

mendapat perhatian serius. Sudah saatnya<br />

kita semua bersama-sama untuk<br />

menyukseskan program tersebut, karena<br />

dengan adanya KKN selama ini ternyata<br />

telah melemahkan kerja birokrasi<br />

pemerintah.<br />

Masyarakat tidak saja sebatas mengidamkan<br />

pemerintah yang bersih<br />

(clean government) dan kepemerintahan<br />

yang baik (good governance). Lebih<br />

dari itu masyarakat ingin ada kesungguhan<br />

dari para penyelenggara negara<br />

dapat merealisasikannya sesegera<br />

mungkin karena memang kebutuhan<br />

mendesak. Berbagai himpitan kehidup-


an telah menyebabkan banyak warga<br />

masyarakat yang hidup di batas garis<br />

kemiskinan, bahkan angka pengangguran<br />

makin bertambah.<br />

Untuk itu harus ada i’tikad baik dari<br />

segenap anak bangsa, khususnya<br />

para pejabat pemerintah sebagai penyelenggara<br />

negara yang peduli pada<br />

pemberantasan KKN. Masyarakat lebih<br />

membutuhkan bukti ketimbang berbagai<br />

janji yang jika tidak teralisir justru<br />

akan membuat sakit hati. Niat baik dan<br />

tulus program 100 hari pemerintah<br />

harus pula disupport semaksimal<br />

mungkin oleh publik. Kontrol harus dilaksanakan<br />

secara terus menerus dengan<br />

komitmen kuat dalam rangka tercapainya<br />

tujuan utama dari program<br />

pemerintah yaitu pemberantasan KKN.<br />

Dalam kaitan itu pula, Presiden Susilo<br />

antara lain telah memberikan 9<br />

instruksi kepada para gubernur yang<br />

harus dijalankan dan dijabarkan di<br />

daerahnya masing-masing. Adapun isi<br />

dari 9 instruksi tersebut adalah agar<br />

para gubernur :<br />

Pertama, melaksanakan konsolidasi,<br />

normalisasi, dan rekonsiliasi.<br />

Kedua, merespon harapan masyarakat<br />

dengan sungguh-sungguh bekerja<br />

dan memberikan hasil nyata.<br />

Ketiga, memahami dan mengimplementasikan<br />

kebijakan dan program<br />

pemerintah 2004-2009.<br />

Keempat, mengembangkan inisiatif,<br />

inovasi dan aksi nyata sesusai kondisi<br />

daerah masing-masing.<br />

Kelima, memberi contoh sebagai<br />

pejabat yang bersih dari KKN dan menegakkan<br />

hukum di daerahnya.<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Keenam, seluruh waktu gubernur,<br />

bupati dan walikota berada di daerahnya<br />

masing-masing, dan membatasi<br />

kunjungan ke luar negeri.<br />

Ketujuh, membatasi kunjungan ke<br />

luar negeri, kecuali memberi manfaat<br />

yang tinggi bagi masyarakat.<br />

Kedelapan, meningkatkan komunikasi<br />

langsung dengan rakyat untuk<br />

memecahkan masalah dan mengukur<br />

taraf hidup masyarakat.<br />

Kesembilan, melakukan langkah-langkah<br />

antisipatif dan proaktif untuk<br />

mencegah membesarnya masalah di<br />

daerah.<br />

Instruksi Presiden tersebut sebenarnya<br />

penegasan kesungguhan pemerintah<br />

dalam rangka pemberantasan<br />

KKN. Secara formal mungkin untuk<br />

para Gubernur, namun substansinya<br />

bisa juga untuk seluruh pejabat pemerintah<br />

pusat dan daerah. Khusus untuk<br />

pemberantasan KKN, pada instruksi<br />

ke-5 jelas dinyatakan bahwa setiap<br />

pejabat harus memberi contoh sebagai<br />

pejabat yang bersih dari KKN dan menegakkan<br />

hukum di daerahnya masing-masing.<br />

Prioritas program<br />

Tentunya dalam rangka melaksanakan<br />

tugas pemberantasan KKN, semua<br />

pihak harus terlibat, begitu pula<br />

halnya dengan masyarakat. "Aktor utama"<br />

sebenarnya ada pada para penyelenggara<br />

negara (pejabat negara). Untuk<br />

itu harus ada contoh figur pejabat<br />

yang khususnya bersih dari KKN, sekaligus<br />

dapat memberi contoh riil bagi<br />

para pejabat lainnya di negeri ini.


Di era transparansi ini, kiranya figur<br />

pejabat yang bersih dari KKN merupakan<br />

kebutuhan. Eksistensi mereka<br />

sangat dibutuhkan untuk menjadi motor<br />

penggerak roda pemerintahan yang<br />

sedang mengarah pada upaya pemberantasan<br />

KKN. Memang hal tersebut<br />

memerlukan proses yang rumit dan<br />

lama, namun tetap harus diupayakan<br />

seoptimal mungkin demi kepentingan<br />

bangsa dan negara.<br />

Semuanya jelas memerlukan pengorbanan<br />

yang tidak sedikit, baik dari segi<br />

waktu, tenaga dan bahkan finansial<br />

untuk dapat turut mensukseskan<br />

program pemberantasan KKN secara<br />

utuh dan terpadu.<br />

Selain penekanan pada figur pejabat<br />

yang bersih dari KKN yang sekiranya<br />

akan dapat diikuti oleh para penyelenggara<br />

negara, para pejabat juga diharapkan<br />

dapat mengupayakan dengan<br />

seoptimal mungkin bagaimana<br />

mengupayakan penegakan hukum<br />

(law enforcement). Apa yang terjadi<br />

selama ini mungkin hanya penegakan<br />

hukum dalam artian semu, sehingga<br />

aspek hakikinya belum tertangani dengan<br />

baik.<br />

Penegakan hukum pada masa yang<br />

akan datang harus konkrit, terpadu<br />

dan komprehensif. Sudah pada waktunya<br />

para penyelenggara negara melaksanakan<br />

proses penegakan hukum<br />

secara profesional, artinya dilaksanakan<br />

oleh para ahlinya dan hasilnya<br />

juga optimal; serta harus secara proporsional,<br />

artinya hasil dari suatu proses<br />

hukum dapat memenuhi rasa ke-<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

adilan.<br />

Dalam konteks pemberantasan KKN<br />

ini, maka institusi-institusi terkait, yaitu<br />

kepolisian, kejaksaan, dan institusi-institusi<br />

pengawasan (BPK, BPKP,<br />

<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen, Satuan<br />

Pengawasan Inernal,dan Bawasda)<br />

harus lebih meningkatkan perannya<br />

sesuai dengan tujuan utama program<br />

100 hari Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono.<br />

Seluruh lapisan masyarakat sebenarnya<br />

sangat menunggu langkah konkrit<br />

dari jajaran Kabinet Indonesia Bersatu.<br />

Untuk itu jangan sampai dikecewakan<br />

dengan alasan tertentu yang sekiranya<br />

kurang dapat diterima publik. Tingkat<br />

kesolidan tim kerja dimanapun<br />

instansinya harus menjadi faktor utama<br />

dan penentu.<br />

Dalam konteks "good governance",<br />

maka peran riil masyarakat harus terus<br />

dihidupkan agar dapat juga melaksanakan<br />

fungsi kontrol terhadap jalannya<br />

tugas-tugas pemerintahan secara<br />

proporsional. Masyarakat dapat ikut<br />

mengawasi melalui kotak pos 5000<br />

atau laporan tertulis lainnya, dengan<br />

persyaratan dapat dibuktikan kebenarannya.<br />

Kita semua berharap terhadap suksesnya<br />

program pemberantasan KKN<br />

yang saat ini didengungkan pemerintah.<br />

Tugas semua dari "anak bangsa"<br />

adalah turut mensukseskan dengan<br />

niat baik untuk kebaikan negeri<br />

tercinta ini. Semoga semua terwujud<br />

dengan komitmen dan kebersamaan<br />

kita semua. 3 (Arif Nurrawi)


Fokus Utama<br />

PENGAWASAN<br />

PROGRAM 100 HA<strong>RI</strong> DEPARTEMEN AGAMA<br />

Jangan coba-coba korupsi!.<br />

Slogan ini kita dengar ketika pemerintahan<br />

baru di bentuk oleh<br />

Presiden terpilih Susilo Bambang<br />

Yudhoyono. Kontrak politik dengan<br />

para pembantunya (baca: Kabinet Indonesia<br />

Bersatu) pun salah satunya<br />

adalah bila terbukti melakukan korupsi<br />

maka bersedia untuk langsung dipecat<br />

dan diproses sesuai hukum.<br />

Hal ini bukan tanpa alasan. Karena<br />

korupsi di Indonesia memang dalam<br />

kondisi yang sangat mengkhawatirkan.<br />

Negara dengan 200 juta penduduk ini,<br />

pada tahun 2004 tercatat sebagai<br />

Negara ke-5 terkorup di dunia dari 146<br />

negara. Peringkat yang baru dikeluarkan<br />

oleh transparansi internasional<br />

tersebut menunjukkan bahwa Indonesia<br />

satu tingkat lebih buruk dari<br />

peringkat tahun lalu.<br />

Karena itu banyak pihak menaruh<br />

harapan besar pada pemerintah baru<br />

agar membawa negara ini menjadi negeri<br />

yang bersih dari koruptor. SBY diharapkan<br />

mampu menciptakan pemerintahan<br />

yang bersih dan berwibawa.<br />

Salah satunya muncul dari Indonesia<br />

Corruption Watch (ICW) yang dimuat<br />

dalam pernyataan persnya nomor:<br />

17/PR/ICW/X/2004 yaitu: …1)Menteri<br />

terpilih harus menunjukkan contoh<br />

perilaku bersih jujur, dan bersahaja<br />

bagi bawahannya. Seluruh menteri<br />

harus memiliki komitmen dalam<br />

pencegahan dan pemberantasan korupsi<br />

serta bertindak tegas terhadap<br />

segala bentuk penyimpangan yang ter-<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004<br />

jadi di lingkungannya….<br />

Dukungan nyata dari para menteri<br />

dalam melakukan upaya pemberantasan<br />

korupsi menjadi teramat penting<br />

mengingat menteri merupakan bagian<br />

dari pemerintah eksekutif. Dengan kata<br />

lain, pemberantasan korupsi bukan hanya<br />

tanggung jawab dari presiden semata,<br />

namun juga merupakan tanggung<br />

jawab dari para menteri yang telah<br />

ditunjuk oleh SBY, khususnya upaya<br />

pemberantasan korupsi di setiap<br />

instansi/departemen yang dipimpinnya.<br />

Oleh karena itu Departemen <strong>Agama</strong>,<br />

sebagai bagian dari jajaran Kabinet<br />

Indonesia Bersatu, dengan menteri<br />

barunya, dituntut pula untuk membenahi<br />

diri, membersihkan para koruptor<br />

dari departemennya. Menteri <strong>Agama</strong>,<br />

Muhammad Maftuh Basyuni, dalam<br />

satu pernyataannya mengatakan bertekad<br />

membersihkan Depag dari korupsi<br />

dan akan menyelidiki penyelewengan<br />

penyelenggaraan ibadah haji.<br />

Penyelenggaraan ibadah haji ini<br />

adalah urutan pertama dalam program<br />

100 hari Departemen <strong>Agama</strong>, karena<br />

memang penyelenggaran ibadah haji<br />

sangat disoroti dan disinyalir banyak<br />

terjadi penyelewengan dalam pelaksanaannya<br />

dari tahun ke tahun.<br />

Program 100 hari Dep. <strong>Agama</strong><br />

Adapun program 100 hari Departemen<br />

<strong>Agama</strong> dalam kabinet Indonesia<br />

Bersatu adalah sebagai berikut:<br />

Pertama, peningkatan kualitas penyelenggaraan<br />

ibadah haji. Memberi-


kan jaminan kepastian berangkat bagi<br />

calon jemaah haji yang telah melunasi<br />

BPIH, penyediaan makan bagi jemaah<br />

haji selama 9 hari di Madinah, penerbangan<br />

langsung ke Madinah sebanyak<br />

3 kali sehari bekerja sama dengan<br />

GIA dan Saudia Airlines.<br />

Kedua, pembinaan kerukunan hidup<br />

beragama. Membangun kehidupan<br />

beragama yang harmonis, dengan melakukan<br />

tindakan on the spot sehingga<br />

terselesaikan dan terkendalinya<br />

kasus-kasus yang timbul di masyarakat.<br />

Selain dari itu telah dilakukan kegiatan:<br />

(a)Pembekalan bagi guru-guru<br />

<strong>Agama</strong>, dilaksanakan di Ambon (300<br />

guru), Malang (100 guru), dan Palangkaraya<br />

(100 guru); (b)Pembekalan bagi<br />

Lembaga Keagamaan Pemuda, dilaksanakan<br />

di DKI Jakarta (100 peserta),<br />

dan Palembang (100 peserta); (c)Pembekalan<br />

bagi para tokoh agama/penyuluh<br />

agama. Dilaksanakan di Mataram<br />

(35 peserta), Padang (35 peserta),<br />

Banjarmasin (35 peserta), Ujung Pandang<br />

(35 peserta), Kendari (35 peserta),<br />

Pekanbaru (35 peserta).<br />

Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan<br />

agama. Membangun kembali<br />

madrasah yang rusak akibat konflik<br />

melalui anggran ABT (khusus provinsi<br />

NAD).<br />

Keempat, program peningkatan pelayanan<br />

kehidupan beragama: (a)Memberikan<br />

bantuan untuk merehab tempat<br />

ibadah yang rusak akibat bencana<br />

alam; (b)Meningkatkan pelayanan<br />

KUA. Telah ditandatangani MoU<br />

Depag dengan Bank BNI 46, B<strong>RI</strong> dan<br />

PT. Pos Indonesia untuk penyetoran<br />

biaya Nikah Rujuk (NR). Kemudian,<br />

telah diterbitkan Instruksi Menteri Aga-<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004<br />

ma Nomor 2/2004 tentang Peningkatan<br />

Pelayanan KUA.<br />

Kelima, Peningkatan pemahaman<br />

dan pengamalan agama. Melakukan<br />

bimbingan dan penyuluhan keagamaan<br />

bagi masyarakat. Hasil yang dicapai<br />

adalah penurunan konflik di masyarakat<br />

yang bernuansa keagamaan.<br />

Keenam, Pemberdayaan Umat.<br />

Mengoptimalkan pengelolaan zakat,<br />

wakaf, dan infak serta shadaqah. Sedang<br />

kemajuan yang sudah dicapai<br />

adalah terealisasinya pilot project pengelolaan<br />

wakaf produktif di Cirebon<br />

yang merupakan hasil kerjasama dengan<br />

Pemuda, MUI, BPN, BAZ, dan<br />

LAZ.<br />

Ketujuh, Membangun aparatur Departemen<br />

<strong>Agama</strong> yang bersih dan berwibawa.<br />

a)Sosialisasi akuntabilitas Kinerja<br />

di lingkungan Departemen <strong>Agama</strong><br />

yakni di Kanwil dan Kandepag (sosialisasi<br />

AKIP/LAKIP); b)Terselenggaranya<br />

proses penerimaan CPNS yang<br />

transparan dan akuntabel dengan<br />

melibatkan aparat pengawas.<br />

(Informasi program 100 hari Departemen<br />

<strong>Agama</strong> ini juga dapat di lihat pada<br />

situs resmi milik Departemen <strong>Agama</strong>,<br />

yaitu: http://www.depag.go.id)<br />

Khusus untuk penyelenggaran haji,<br />

Dep. <strong>Agama</strong> berupaya memperbaiki<br />

pelayanan ibadah haji tahun 2005, salah<br />

satunya dengan mewujudkan aparatur<br />

yang bersih dan berwibawa, Menteri<br />

Maftuh Basyuni beserta pejabat<br />

eselon I dan II memutuskan untuk tidak<br />

ikut beribadah haji tahun ini. Diharapkan<br />

langkah ini juga diikuti oleh menteri<br />

dan pejabat di instansi lain.


Pengawasan Internal<br />

Sebagai bagian dari Departemen,<br />

<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> (Itjen) pun dituntut<br />

untuk mengambil bagian dalam<br />

usaha mewujudkan pemerintahan<br />

yang bersih dan berwibawa. Sesuai<br />

dengan tugasnya yaitu melakukan<br />

pengawasan fungsional di lingkungan<br />

departemen, seperti tercantum dalam<br />

pasal 31 ayat (7) Keppres No. 177<br />

tahun 2000 disebutkan "<strong>Inspektorat</strong><br />

<strong>Jenderal</strong> mempunyai tugas melaksanakan<br />

pengawasan fungsional di lingkungan<br />

departemen."<br />

Begitu pula dengan Itjen Dep. <strong>Agama</strong><br />

seperti tercantum dalam Keputusan<br />

Menteri <strong>Agama</strong> No. 01 <strong>Tahun</strong> 2001<br />

pasal 618 disebutkan "<strong>Inspektorat</strong><br />

<strong>Jenderal</strong> mempunyai tugas menyelenggarakan<br />

pengawasan fungsional di<br />

lingkungan Departemen <strong>Agama</strong> berdasarkan<br />

kebijakan yang ditetapkan oleh<br />

Menteri dan peraturan perundang-undangan<br />

yang berlaku".<br />

Karena itu maka <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

(Itjen) Dep.<strong>Agama</strong> harus melakukan<br />

pengawasan terhadap segala kebijakan<br />

yang diambil oleh Menteri <strong>Agama</strong>,<br />

termasuk program 100 hari ini dan<br />

tentunya tidak berhenti di sini saja, namun<br />

tetap mengawasi kebijakan menteri<br />

agama selanjutnya seperti yang telah<br />

biasa dilaksanakan.<br />

Itjen Dep. <strong>Agama</strong> pun secara mandiri<br />

harus membenahi dirinya ke arah lebih<br />

baik dan memperkuat pengawasan<br />

internal di Dep. <strong>Agama</strong>, karena<br />

dengan memperkuat pengawasan internal<br />

di Dep. <strong>Agama</strong> dan memberikan<br />

reward kepada pegawai yang memiliki<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004<br />

prestasi kerja serta menjatuhkan punishment<br />

yang tegas kepada mereka<br />

yang terbukti melakukan penyimpangan<br />

akan mendorong terciptanya<br />

kinerja aparatur pemerintah yang bersih<br />

dan berwibawa. Kerja-kerja <strong>Inspektorat</strong><br />

atau bidang pengawasan internal<br />

harus lebih dioptimalkan dan para<br />

pengawas haruslah dijabat oleh<br />

orang-orang yang berintegritas dan berani.<br />

Diharapkan bila Itjen Dep. <strong>Agama</strong><br />

dapat melaksanakan tugasnya dengan<br />

baik maka Dep. <strong>Agama</strong> mampu tampil<br />

lebih bersih dan berwibawa dalam<br />

membawa perubahan negara yang<br />

bebas dari korupsi, sehingga apa yang<br />

dikatakan oleh Syafi’i Ma’arif “Negara<br />

kita tidak akan pernah bisa maju karena<br />

Departemen <strong>Agama</strong>, Departemen<br />

Pendidikan, dan Departemen Kesehatan–tiga<br />

departemen yang mengurusi<br />

pendidikan hati, pendidikan otak, dan<br />

pendidikan fisik–justru tiga departemen<br />

yang paling korup kinerjanya” tidak<br />

terbukti lagi.<br />

Itjen Dep. <strong>Agama</strong> harus mampu<br />

mengawal roda pemerintahan dalam<br />

menjalankan asas/prinsip penyelenggaraan<br />

negara yang baik dalam setiap<br />

tugas dan wewenangnya berdasarkan<br />

UU No. 28 <strong>Tahun</strong> 1999 tentang Penyelenggaraan<br />

pemerintahan yang<br />

bersih dan bebas dari korupsi, kolusi,<br />

dan nepotisme. Penyelenggaraan Negara<br />

haruslah berasaskan pada: Kepastian<br />

Hukum; Tertib Penyelenggaraan<br />

Negara; Kepentingan Umum; Keterbukaan;<br />

Proporsionalitas; Profesionalitas;<br />

dan Akuntabilitas.3(nugraha s)


Fokus Utama<br />

KIPRAH DEPARTEMEN AGAMA<br />

PASCA PROGRAM 100 HA<strong>RI</strong> PERTAMA<br />

Seratus menjadi angka penting di<br />

awal pemerintahan Kabinet Indonesia<br />

Bersatu (KIB). Hal ini<br />

seperti penetapan 100 hari pertama<br />

sebagai periode pencapaian target tertentu.<br />

Menurut editorial Media Indonesia<br />

(26/10/2004), ada beberapa alasan<br />

100 hari pertama menjadi amat penting.<br />

Pertama, ini adalah akibat dari<br />

publik yang semakin cerewet terhadap<br />

kinerja pemerintah. Kedua, belajar dari<br />

pengalaman masa lalu, publik menuntut<br />

janji-janji kampanye ke dalam komitmen.<br />

Dan, ketiga, masyarakat kita<br />

umumnya memiliki memori pendek sehingga<br />

lebih gampang mengingat target<br />

dan pencapaian 100 hari daripada<br />

lima tahunan.<br />

Karena itu, dalam 100 hari pertama<br />

pemerintahan KIB diharapkan terdapat<br />

titik temu. Pertemuan antara rakyat<br />

yang semakin kritis dan pemerintah<br />

yang mau tidak mau harus taat pada<br />

janji-janjinya. Presiden sendiri bersifat<br />

proaktif dalam mewujudkan titik temu<br />

tersebut. Hal ini seperti dilakukannya<br />

dengan mengadakan pertemuan beserta<br />

100 ulama pada Ramadlan yang<br />

lalu. Pertemuan tersebut diharapkan<br />

dapat menjadi langkah awal secara<br />

bersama antara pemerintah dengan<br />

masyarakat, khususnya umat Islam,<br />

dalam mengatasi permasalahan yang<br />

dihadapi bangsa Indonesia.<br />

Dalam hal ini, Departemen <strong>Agama</strong><br />

yang memiliki tugas pokok untuk menyelenggarakan<br />

sebagian tugas umum<br />

pemerintah dan pembangunan di bi-<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

dang agama, memiliki peran yang strategis<br />

dalam mengatasi permasalahan<br />

bangsa tersebut. Namun, terlebih dahulu<br />

Depag dituntut untuk melakukan<br />

perubahan internal di lingkungan Depag<br />

sendiri. Berkenaan dengan hal ini,<br />

Menteri <strong>Agama</strong> Muhammad Maftuh<br />

Basyuni mengatakan, Depag harus diubah<br />

dari citranya yang sekarang menjadi<br />

sebaliknya dan menjadi contoh<br />

bagi departemen lainnya. Sebagai<br />

departemen yang mengurusi agama,<br />

maka itu berarti mengajak orang untuk<br />

berbuat kebaikan. (Pelita, 25/10/2004).<br />

Sebagai konsekuensi dari usaha perbaikan<br />

internal tersebut, Menag pun<br />

siap melakukan tindakan tegas kepada<br />

pegawai Depag berdasarkan perbuatan<br />

yang dilakukan. "Saya ahli memecat<br />

orang. Waktu menjadi Dubes 9<br />

orang saya pecat". Tutur Menag usai<br />

serah terima jabatan. (Tempointeraktif.com,<br />

22/10/2004)<br />

Adapun dalam tugasnya sebagai<br />

penyelenggara pembangunan di bidang<br />

agama, menurut Thoifuri dosen<br />

Sekolah Tinggi <strong>Agama</strong> Islam (STAIN)<br />

Kudus, Depag dihadapkan pada problematika<br />

keagamaan dan keberagamaan<br />

yang sangat berat. Problematika<br />

keagamaan dapat dimaknai bahwa<br />

para pemeluk agama, terutama Islam,<br />

masih banyak yang belum menjalankan<br />

ajaran Islam. Sedangkan problematika<br />

keberagamaan adalah masih<br />

sedikit umat Islam yang menjalankan<br />

interaksi sosial antar sesamanya dalam<br />

mewujudkan kehidupan berbang-


sa dan bernegara yang kondusif (Rakyat<br />

Merdeka, 1/10/ 2004). Dengan demikian,<br />

Depag dituntut bersifat proaktif<br />

dan responsif terhadap kegiatan yang<br />

dilakukan masyarakat, khususnya<br />

umat Islam dalam mengatasi problematika<br />

keagamaan dan keberagamaan<br />

tersebut.<br />

Pemberlakuan Kembali Sistem Keuangan<br />

Islam<br />

Salah satu kegiatan di masyarakat<br />

yang menuntut respon dan dijadikan<br />

perhatian Depag saat ini adalah gerakan<br />

untuk memberlakukan kembali sistem<br />

keuangan Islam. Sistem keuangan<br />

yang dimaksud adalah diberlakukannya<br />

kembali dinar (uang emas) dan dirham<br />

(uang perak). 1 Dinar merupakan<br />

emas seberat 4,25 gram dan dirham<br />

adalah perak seberat 3 gram. Kedua<br />

mata uang ini, di samping sebagai alat<br />

penyimpan nilai dan alat tukar dalam<br />

jual beli, juga penentu nisab zakat,<br />

hudud (batasan pemberlakuan<br />

hukuman), ongkos naik haji, dam (denda),<br />

dan sebagainya.<br />

Sosialisasi penggunaan kedua<br />

mata uang tersebut juga berlangsung<br />

bertepatan dengan periode Program<br />

100 hari pertama KIB (sejak 20 Oktober<br />

2004). Hal ini seperti melalui acara<br />

"Ceramah Ilmiah Dinar dan Dirham"<br />

yang diadakan Majelis Ulama Indonesia<br />

(MUI) Depok, 24 Oktober 2004.<br />

Pada acara ini hadir sebagai pembicara<br />

Direktur Wakala Dinar dan Dirham<br />

"Adina", Zaim Saidi. Dua minggu kemudian<br />

(7 November 2004), dalam salah<br />

satu segmen acara Ramadhan di<br />

Metro TV "Gema Syariah", berlangsung<br />

diskusi dengan tema "Dinar Se-<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

bagai Alat Pembayaran". Nara sumber<br />

dalam acara ini mantan Menteri Koperasi<br />

dan mantan Ketua Umum Ikatan<br />

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)<br />

Adi Sasono dan Muhammad Syafi'i<br />

Antonio.<br />

Tidak ketinggalan, setelah Idul Fitri<br />

1425 H, Forum Penggerak Dinar dan<br />

Dirham Indonesia (Forindo) mengadakan<br />

acara "Silaturrahim dan Halal Bihalal"<br />

di Jakarta, 25 November 2004.<br />

Dalam acara ini hadir para tokoh penggerak<br />

dinar dan dirham dari Indonesia<br />

dan Malaysia. Acara ini juga dihadiri<br />

General Manager UBPP Logam Mulia<br />

PT Antam, Rinanti Agnes. Meskipun<br />

penganut Katolik, Rinanti mendukung<br />

diberlakukannya kembali dinar dan dirham.<br />

Pada tahun yang lalu, ia menyampaikan<br />

makalah yang berjudul<br />

"Prospek Pertukaran Dinar Dirham Secara<br />

Fisik dan Elektronik" pada Seminar<br />

Prospek dan Implementasi Pertukaran<br />

Dinar Dirham Indonesia-Malaysia"<br />

di Jakarta, 17 Desember 2003.<br />

Pada makalah tersebut ia menyatakan,<br />

perlu dilakukan usaha intensif melalui<br />

sosialisasi sistem pemasaran yang lebih<br />

giat lagi agar pertumbuhan penggunaan<br />

dinar dan dirham lebih cepat<br />

perkembangannya.<br />

Dalam hal ini, Malaysia dapat melakukan<br />

pertumbuhan penggunaan dinar<br />

dan dirham secara pesat karena<br />

kiprah mantan Perdana Menteri Malaysia<br />

Mahathir Mohamad (Republika, 26/<br />

11/2004). Mahathir sendiri pernah menyatakan,<br />

sistem keuangan dunia yang<br />

didasari uang kertas dan cek bukan<br />

sistem Islam (Ismail, 2003: 3). Sedangkan<br />

menurut Menteri Negara BUMN<br />

Sugiharto selaku Koordinator Presidi-


um Forindo, dalam tataran implementatif<br />

penggunaan dinar dan dirham<br />

mempunyai prospek yang cukup signifikan<br />

bila dilihat dari naiknya beberapa<br />

indikator ekonomi makro di Indonesia.<br />

Sosialisasi penggunaan dinar dan<br />

dirham juga dilakukan kaum Muslimin<br />

di Jerman melalui tabloid Islamische<br />

Zeitung. Pada <strong>edisi</strong> November 2004<br />

(II), tabloid ini menampilkan judul "Riba<br />

verstehen" (Memahami Riba) yang ditulis<br />

Prof. Umar Ibrahim Vadillo. Menurut<br />

Vadillo, penggunaan uang kertas<br />

merupakan riba al Fadhl (riba dalam<br />

jual beli). Di samping itu, tabloid Islam<br />

terpopuler di Jerman ini juga memberitakan<br />

wafatnya Syekh Sayyid Muhammad<br />

Alawi al-Maliki al-Hasani. Ulama<br />

Makkah yang muridnya sebagian besar<br />

dari Indonesia ini wafat pada 15<br />

Ramadhan 1425 H. Syekh Alawi juga<br />

merupakan sahabat Syekh Abdulqadir<br />

as-Sufi yang mempelopori pemberlakuan<br />

kembali dinar dan dirham sejak<br />

tahun 1992.<br />

Menurut Zaim Saidi, potensi pasar<br />

dinar dan dirham sendiri sangatlah besar.<br />

Hal ini berkenaan dengan Indonesia<br />

sebagai negara penghasil emas.<br />

Kapasitas produksi emas di Indonesia<br />

sekitar 3,8 juta ons pertahun, belum<br />

termasuk pertambangan rakyat. Ini setara<br />

dengan 30,3 juta dinar. Bila kuota<br />

jemaah haji sebesar 200 ribu orang<br />

dengan ONH senilai 350 gram emas<br />

(78 dinar), maka dinar yang akan beredar<br />

adalah 15,6 juta dinar, ditambah<br />

nilai Zakat, Infak, dan Shodaqah sekitar<br />

Rp 5 trilyun pertahun atau senilai<br />

12,5 juta dinar. Total potensi peredaran<br />

dinar pertahun adalah di atas 28<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

juta dinar. Kebutuhan ini dapat dipenuhi<br />

dari produksi emas dalam negeri.<br />

Dinar emas dan dirham perak juga dapat<br />

diperoleh dari hasil berdagang dengan<br />

bangsa lain.<br />

Sedangkan secara politis, menurut<br />

CEO Alami Vegetable Oil Malaysia<br />

Radhwan Alami, penggunaan dinar<br />

dan dirham mendesak karena dunia<br />

saat ini hanya mengenal satu alat tukar<br />

yakni dolar AS. "Mereka menyedot<br />

kekayaan negara lain dan menukarkannya<br />

hanya dengan kertas", tutur<br />

Radhwan pada acara Halal Bihalal Forindo<br />

(Republika, 26/11/ 2004). Gambaran<br />

pernyataan Radhwan ini seperti<br />

menimpa Indonesia yang dilanda berbagai<br />

bencana alam akibat sekian hektar<br />

hutan menjadi gundul setelah ditukar<br />

dengan hanya setumpuk kertas<br />

bertuliskan dolar.<br />

Dengan demikian, jika dulu penjajah<br />

Portugis, Belanda, dan Jepang mengerahkan<br />

pasukannya untuk mengambil<br />

seluruh kekayaan alam di Indonesia.<br />

Maka, para penjajah saat ini cukup<br />

dengan hanya mencetak uang kertas<br />

dolar. Kemudian, mereka menukarkannya<br />

dengan segala sesuatu yang<br />

mereka inginkan. Karena itu, di sinilah<br />

salah satu esensi pentingnya kembali<br />

kepada sistem keuangan Islam.<br />

Dowes Dekker pernah berkata, "Kalau<br />

tidak ada Islam, sudah lama<br />

kebangsaan yang sebenarnya lenyap<br />

dari Indonesia." (Alkisah, No. 23/ 8-21<br />

Nov. 2004, hal. 115).<br />

Semoga pemberlakuan kembali dinar<br />

dan dirham menjadi bagian dari<br />

kiprah Depag pasca Program 100 hari<br />

pertama. Amin...Wallahu a'lam bisshowab.<br />

3 (Nurman Kholis)


Fokus Utama<br />

REO<strong>RI</strong>ENTASI PERAN PENGAWASAN DEP. AGAMA<br />

DALAM PERSPEKTIF STRUKTUR BARU<br />

Pada era reformasi, penyelenggaraan<br />

tugas pemerintahan dan<br />

pembangunan dituntut semakin<br />

transparan sejak penyusunan kebijakan<br />

dan pelaksanaannya. Termasuk upaya<br />

menanggulangi praktik Korupsi,<br />

Kolusi dan Nepotisme (KKN), antisipasi<br />

terhadap pemborosan dan pembocoran<br />

keuangan negara, peningkatan<br />

pelayanan kepada masyarakat, dan<br />

pemberantasan pungutan liar.<br />

Untuk meningkatkan efisiensi dan<br />

efektivitas pelaksanaan tugas Dep.<br />

<strong>Agama</strong> telah mengeluarkan Keputusan<br />

Menteri <strong>Agama</strong> No. 01 <strong>Tahun</strong> 2001<br />

tentang Kedudukan, Tugas,Fungsi Kewenangan,<br />

Susunan Organisasi dan<br />

Tata Kerja Departemen <strong>Agama</strong>. <strong>Inspektorat</strong><br />

<strong>Jenderal</strong> Dep.<strong>Agama</strong>, di dalam<br />

Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> tersebut<br />

termasuk mengalami restrukturisasi,<br />

dimana para Inspektur bidang menjadi<br />

Inspektur Regional, sementara jabatan<br />

struktural eselon III (Inspektur<br />

Pembantu) dan pejabat eselon IV (pemeriksa)<br />

menjadi jabatan fungsional<br />

yaitu Auditor.<br />

Dengan struktur yang baru diperlukan<br />

reorientasi tugas agar berjalan lebih<br />

efektif dalam rangka memberikan<br />

dukungan terhadap terselenggaranya<br />

pemerintahan yang bersih, terpercaya<br />

dan bertanggungjawab di lingkungan<br />

Dep.<strong>Agama</strong>.<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Pelaksanan Pengawasan<br />

<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen<br />

<strong>Agama</strong> menyelenggarakan pengawasan<br />

fungsional berdasarkan kebijakan<br />

yang ditetapkan oleh Menteri <strong>Agama</strong><br />

dan peraturan perundang-undangan.<br />

Sedangkan pengawasan oleh atasan<br />

langsung/pengawasan melekat adalah<br />

serangkaian kegiatan yang bersifat<br />

pengendalian terus-menerus, dilakukan<br />

oleh atasan langsung terhadap bawahannya<br />

secara prefentif atau represif<br />

agar pelaksanaan tugas bawahan<br />

berjalan efisien sesuai dengan rencana<br />

kegiatan dan peraturan perundang-undangan<br />

yang berlaku. (KMA<br />

120 tahun 1995).<br />

Adapun Pengawasan ekstern dilakukan<br />

oleh BPKP dan BPK-<strong>RI</strong>. Tugas<br />

dan fungsi BPKP meliputi perumusan<br />

kebijakan pengawasan, koordinasi,<br />

dan pembinaan APFP, lain serta menyelenggarakan<br />

pengawasan keuangan<br />

dan pembangunan pada semua satuan<br />

organisasi/satuan kerja dan unit<br />

kerja yang lain yang sebagian atau seluruhnya<br />

menggunakan dana pemerintah.<br />

(Keputusan Kepala BPKP No. 80<br />

<strong>Tahun</strong> 2001). Sedangkan tugas dan<br />

fungsi BPK-<strong>RI</strong> meliputi pemeriksaan<br />

terhadap tanggungjawab pemerintah<br />

tentang keuangan negara dan pelaksanaan<br />

APBN (U.U. R.I. Nomor 5<br />

<strong>Tahun</strong> 1973).


Hasil audit dan tindaklanjutnya<br />

Pelaksanaan audit di lingkungan<br />

Departemen <strong>Agama</strong> semula didasarkan<br />

pada konsep ketaatan pada peraturan<br />

perundang-undangan, prosedur<br />

kerja, aspek administratif dan teknis<br />

serta bersifat uji petik dengan suatu<br />

asumsi bahwa setiap personil pada<br />

satuan kerja sudah memahami dan<br />

menguasai prosedur atau tata laksana<br />

kegiatan secara benar. Apabila ditemui<br />

penyimpangan saat audit berlangsung,<br />

keadaan yang demikian adalah suatu<br />

pengecualian karena ketidaktaatan<br />

dari oknum pelaksana di jajaran<br />

satuan kerja. Atas dasar konsep<br />

tersebut, maka terdapat kecenderungan<br />

hasil audit lebih banyak<br />

pengulangan temuan di berbagai<br />

tempat dan bersifat kasuistik.<br />

Kondisi demikian diperlukan upaya<br />

peningkatan pemeriksaan yang mampu<br />

menyelesaikan sebab hakiki dari<br />

berbagai temuan. Dengan struktur organisasi<br />

yang baru <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

Dep.<strong>Agama</strong> perlu menetapkan kebijakan<br />

pengawasan yang mampu<br />

mendorong terselengaranya pemerintahan<br />

yang baik (Good Gavernance).<br />

Melalui pengembangan sistem pengawasan,<br />

pelaksanaan audit secara<br />

komprehenship diharapkan dapat<br />

memberikan saran (rekomendasi) kepada<br />

Obyek terperiksa sehingga mampu<br />

menjamin terlaksananya tertib hukum,<br />

tertib administrasi sehingga dapat<br />

tugas pokok dan fungsi berjalan<br />

secara optimal.<br />

Pelaksanaan audit komprehensif<br />

yang berjalan selama ini masih ditemui<br />

berbagai kendala baik dari segi teknis<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

maupun dalam pembuatan pelaporan.<br />

Kendala yang bersifat teknis selama ini<br />

disebabkan belum adanya sistem yang<br />

baku atas audit komprehensif<br />

sehingga terjadi berbedaan persepsi<br />

antar para auditor dalam penerapan di<br />

lapangan, disamping sarana prasarana,<br />

keterbatasan dana, dan perangkat<br />

lunak lainnya. Kendala lain menyangkut<br />

struktur organisasi adalah belum<br />

adanya persamaan pemahaman dan<br />

penerapan struktur baru yang mengacu<br />

pada wilayah kerja pengawasan.<br />

Keberhasilan tugas aparat pengawasan<br />

selain terlihat dari kualitas hasil<br />

audit juga ditentukan oleh efektivitas<br />

penyelesaian tindak lanjut. Indikator<br />

keberhasilan pelaksanaan pengawasan<br />

antara lain berupa temuan hasil<br />

audit yang semakin berkurang dan<br />

tindak lanjut hasil audit yang tepat, cepat<br />

dan tuntas sehingga dapat meningkatkan<br />

konstribusi kepada manajemen<br />

obyek terperiksa dan jajarannya baik<br />

vertikal maupun horisontal. Oleh<br />

karena itu perlu penertiban sanksi bagi<br />

pimpinan obyek terperiksa yang lalai<br />

atau tidak menindaklanjuti/pelaksanaan<br />

saran tindaklanjut hasil audit Itjen<br />

Dep. <strong>Agama</strong>/aparat pengawasan<br />

fungsional pemerintah lainnya sesuai<br />

dengan KMA 203 <strong>Tahun</strong> 2002 poin I<br />

huruf C.nomor 13.<br />

Reorientasi Peran Pengawasan dalam<br />

Struktur Baru<br />

Struktur Itjen Dep. <strong>Agama</strong> yang<br />

baru perlu disikapi dengan berbagai<br />

kebijakan pengawasan dan mutu pelaporan.<br />

Beberapa hal yang perlu dilakukan<br />

sebagai upaya reorientasi peran


pengawasan dalam struktur baru, antara<br />

lain:<br />

Sebagai Pembina Pengawasan<br />

Itjen sebagai pengawas intern harus<br />

pro aktif melakukan perbaikan manajemen<br />

pengelolaan instansi/lembaga<br />

dan budaya kerja aparatur. Dalam pelaksanaan<br />

tugas pengawasan perlu<br />

kiranya diperhatikan paradigma baru<br />

yaitu: a)Pengawasan, tidak mencaricari<br />

kesalahan melainkan identifikasi<br />

kesalahan/penyimpangan untuk perbaikan;<br />

b)Pengawasan, mengandung<br />

makna pemberian bimbingan pada kinerja<br />

organisasi dan bukan hanya<br />

proses administrasi; c)Pengawasan,<br />

tidak berorientasi pada jumlah, tapi<br />

mutu temuan dan pelaporan; d)Pengawasan<br />

kurang bermakna jika tidak ditindaklanjuti.<br />

Maka pemantauan tindak<br />

lanjut merupakan sub sistem dalam<br />

siklus kegiatan pengawasan.<br />

Sebagai Pelaksana Pengawasan<br />

Dalam melakukan tugas pengawasan<br />

telah disusun kebijakan pengawasan<br />

yang diarahkan pada pelaksanaan<br />

audit yang terfokus pada pengukuran<br />

kinerja satuan organisasi bersangkutan<br />

sebagai implementasi dari<br />

akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.<br />

Substansi sasaran audit diprioritaskan<br />

pada penilaian pelaksanaan tugas<br />

pokok dan fungsi serta aspek pendukung<br />

lainnya.<br />

Disamping itu dilaksanakan pemeriksaan<br />

khusus/kasus sebagai tindaklanjut<br />

dari berbagai pengaduan masyarakat<br />

dan atau kelanjutan audit operasional/reguler<br />

karena adanya duga-<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

an tindak pidana korupsi (UU.3 <strong>Tahun</strong><br />

1971 jo. 31 <strong>Tahun</strong> 1999).<br />

Sebagai Evaluator<br />

<strong>Inspektorat</strong> Jederal dalam menyelenggarakan<br />

pengawasan fungsional<br />

harus dapat memberikan penilaian terhadap<br />

prestasi kerja pimpinan satuan<br />

organisasi; mengkaji peraturan perundang-undangan;<br />

mengevaluasi manfaat<br />

proyek-proyek yang telah selesai.<br />

Disamping itu juga dilakukan evaluasi<br />

terhadap pelaksanaan tindak lanjut<br />

hasil audit dan laporan pertanggungjawaban<br />

(akuntabilitas) pelaksanaan<br />

tugas pokok dan fungsi Departemen di<br />

lingngungan Dep. <strong>Agama</strong> (Inpres No.<br />

7 <strong>Tahun</strong> 1999/KMA 489 <strong>Tahun</strong> 2001).<br />

Untuk mendukung tugas tersebut,<br />

telah dikeluarkan Keputusan Inspektur<br />

<strong>Jenderal</strong> No.IJ/71/2002 tentang Standar<br />

Umum penilaian Indikator Kinerja<br />

pada <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Dep. <strong>Agama</strong><br />

dan Instansi Departemen <strong>Agama</strong> di<br />

Daerah.<br />

Sebagai Katalisator<br />

Dalam rangka mengembangkan<br />

mitra kesejajaran antara Pengawas<br />

dan Pelaksana maka dalam pelaksanaan<br />

tugas pengawasan <strong>Inspektorat</strong><br />

<strong>Jenderal</strong> menetapkan visinya sebagai<br />

katalisator terselengaranya pemerintahan<br />

yang bersih dan terpercaya di<br />

lingkungan Dep. <strong>Agama</strong>.<br />

Katalisator dimaksud sebagai unsur<br />

yang senantiasa melakukan peran<br />

aktif dalam menyakinkan, menimbulkan<br />

dan mempercepat proses perubahan.<br />

Sedangkan pemerintahan yang<br />

berrsih dan terpercaya dimaksudkan


sebagai pemerintahan yang bebas dari<br />

korupsi, kolusi, dan nepotisme yang<br />

dapat dipertanggungjawabkan.<br />

Pemantapan Peran Pengawasan<br />

Tercapainya penyelenggaraan pemerintahan<br />

dan pembangunan di bidang<br />

agama yang efektif, efisien, dan<br />

ekonomis sangat tergantung pada peran<br />

pengawasan.<br />

Untuk itu <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen<br />

<strong>Agama</strong> dalam struktur baru<br />

perlu melakukan langkah-langkah pemantapan<br />

peran sebagai berikut:<br />

Penataan Pola Pengawasan<br />

Penataan revalidasi pola pengawasan<br />

diupayakan melalui koordinasi<br />

yang terus-menerus baik intern pejabat<br />

eselon I pusat maupun antar aparat<br />

pengawasan fungsional terkait. Kegiatan<br />

ini dapat dilakukan dalam Penyusunan<br />

Rencana Strategik <strong>Inspektorat</strong><br />

<strong>Jenderal</strong>, Penyusunan Kebijakan<br />

Pengawasan dan Program Kerja Pengawasan<br />

<strong>Tahun</strong>an (PKPT). Kaitannya<br />

dengan penataan pola pengawasan,<br />

maka Itjen Departemen <strong>Agama</strong> saat ini<br />

perlu melakukan penajaman<br />

obyek/sasaran audit pada masingmasing<br />

Inspektur Regional dengan<br />

memperhatikan perkembangan dan<br />

permasalahan di wilayah yang sarat<br />

dengan praktik-praktik KKN, pemborosan<br />

keuangan negara, hambatan<br />

pelayanan masyarakat, dan pungutan<br />

liar.<br />

Peningkatan Mutu Aparat Pengawasan<br />

Keberhasilan tugas pengawasan<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

sebagai salah satu fungsi manajemen<br />

sangat terkait dengan kualitas aparat<br />

pengawasan. Pengalaman menunjukkan<br />

bahwa tidak semua orang mampu<br />

menjadi auditor yang handal. Maka diperlukan<br />

persyaratan yang khusus untuk<br />

menjadi auditor. Lebih-lebih dengan<br />

terbitnya KMA 1 tahun 2001 di<br />

mana auditor merupakan jabatan fungsional,<br />

maka perlu peningkatan profesionalisme<br />

karena setiap auditor harus<br />

menguasai semua bidang kegiatan.<br />

Dengan demikian untuk melakukan<br />

audit di suatu satuan organisasi tidak<br />

perlu harus 5 orang, sesuai dengan<br />

aspek/bidang yang diaudit.<br />

Untuk menjadi auditor yang handal,<br />

diperlukan kemampuan berkomunikasi<br />

dengan baik, percaya diri, dan<br />

sanggup mempertahankan temuan<br />

berdasarkan bukti-bukti yang cukup<br />

dan relevan dari pihak auditan. Di<br />

samping itu harus mampu mengungkap<br />

penyebab dari masalah yang ditemukan<br />

dalam waktu singkat, guna<br />

memberikan rekomendasi yang tepat.<br />

Oleh karena itu, rekrumen calon<br />

auditor perlu dilakukan secara cermat<br />

dan terencana sejak penerimaan calon<br />

pegawai sebagaimana penerimaan calon<br />

hakim atau calon dosen dan tenaga<br />

fungsional lainnya. Disamping itu,<br />

perlu pembinaan kepada para pemeriksa<br />

secara terus menerus melalui beberapa<br />

Pendidikan dan Pelatihan<br />

(Diklat), motivasi, iklim kerja yang kondusif,<br />

dan keteladanan dari pimpinan<br />

sehingga para pemeriksa menjadi profesional,<br />

berdedikasi, dan memiliki integritas<br />

yang tinggi.


Pengembangan Sistem Pengawasan<br />

Pengembangan sistem pengawasan<br />

merupakan program pokok dan<br />

terus diupayakan dalam rangka peningkatan<br />

kualitas pengawasan dan<br />

mutu pelaporan. Bentuk kegiatan yang<br />

telah dihasilkan yaitu KMA 101 <strong>Tahun</strong><br />

1994 tentang Pedoman Pelaksanaan<br />

Pengawasan di Lingkungan Dep. <strong>Agama</strong>,<br />

KMA 120 <strong>Tahun</strong> 1995 tentang Pedoman<br />

Pelaksanaan Pengawasan Melekat,<br />

IMA Nomor 3 <strong>Tahun</strong> 1992, KMA<br />

155 <strong>Tahun</strong> 2002 tentang Uraian Pekerjaan<br />

<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong>, KMA 203<br />

<strong>Tahun</strong> 2002 Standar Hukuman Disiplin<br />

Pegawai PNS berdasarkan PP.30<br />

<strong>Tahun</strong> 1980,KMA Nomor IJ/87/2001<br />

tentang Mekanisme Kerja <strong>Inspektorat</strong><br />

<strong>Jenderal</strong>, KMA 3 tahun 1992 tentang<br />

Koordinator Tindak Lanjut Hasil Pengawasan<br />

Fungsional di Lingkungan Departemen<br />

<strong>Agama</strong> di Daerah, IMA Nomor<br />

03 <strong>Tahun</strong> 2002 tentang Koordinator<br />

Tindak Lanjut,Petunjuk Pelaksanaan<br />

yang berhubungan dengan pelaksanaan<br />

audit terpadu sebanyak 2<br />

buah, pemeriksaan komprehensif 3<br />

buah, desk audit 5 buah dan Pelaporan<br />

1 buah. Adapun tata cara pelaksanaan<br />

pengawasan dan pelayanan administrasi<br />

pengawasan yang telah dihasilkan<br />

sebanyak 415 buah.<br />

Hal ini menunjukan perhatian dan<br />

komitmen pimpinan <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

dalam mengembangkan sistem<br />

Fokus Utama<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

pengawasan guna menjadi pedoman<br />

dalam pelaksanaan pengawasan yang<br />

berdaya guna dan berhasil guna.<br />

Peningkatan Kemampuan Waskat<br />

Pada dasarnya pengawasan yang<br />

pertama dan utama adalah pengawasan<br />

dan pengendalian atasan langsung<br />

secara berjenjang. Untuk itu Waskat<br />

perlu terus ditingkatkan dengan menerapkan<br />

Sarwaskat melalui penggarisan<br />

struktur organisasi, perincian kebijakan,<br />

pelaksanaan rencana kerja, prosedur<br />

kerja, pencatatan hasil kerja, dan<br />

pembinaan personil yang dilakukan secara<br />

terus menerus.<br />

Sebagai aparat pengawasan intern<br />

Departemen <strong>Agama</strong>, <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

dalam struktur yang baru harus<br />

senantiasa meningkatkan perannya,<br />

tidak saja sebagai pelaku pengawasan,<br />

melainkan juga sebagai pembina<br />

dan penilai laporan akuntabilitas dalam<br />

rangka peningkatan kinerja di masa<br />

yang akan datang.3(Sugina)


Sejak Sistem Akuntabilitas Kinerja<br />

Instansi Pemerintah (SAKIP) diterapkan<br />

dalam pengelolaan negara<br />

kita istilah kinerja menjadi sesuatu<br />

yang ‘utama’. Sebab tingkat keberhasilan<br />

atau kegagalan suatu instansi<br />

pemerintah diukur dari kinerjanya.<br />

Bahkan anggaranpun diberikan kepada<br />

instansi pemerintah berdasarkan<br />

rencana kinerja yang disusunnya. Hal<br />

ini karena orientasi kerja penyelenggaraan<br />

negara telah berubah. Selama ini<br />

orientasinya adalah ‘kegiatan apa’<br />

yang dilakukan instansi negara. Saat<br />

ini orientasi berubah menjadi ‘hasil<br />

apa’ yang diberikan oleh negara.<br />

Hal inilah yang menyebabkan penyusunan<br />

anggaranpun berdasarkan<br />

kinerja atau hasil kerja yang direncanakan.<br />

Sistem seperti ini kemudian akrab<br />

dikenal dengan istilah anggaran<br />

berbasis kinerja (ABK). Hal ini sebagaimana<br />

diatur dalam Undang-Undang<br />

Nomor 17 <strong>Tahun</strong> 2003 tentang Keuangan<br />

Negara. Dalam pasal 14 ayat<br />

(2) disebutkan bahwa rencana kerja<br />

dan anggaran disusun berdasarkan<br />

prestasi kerja yang akan dicapai. Dalam<br />

bahasa SAKIP "prestasi kerja" dikenal<br />

dengan istilah hasil kerja atau<br />

"kinerja".<br />

Kinerja<br />

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />

terbitan Departemen Pendidikan<br />

dan Kebudayaan - Balai Pustaka<br />

Opini<br />

PENGUKURAN<br />

DAN PENILAIAN KINERJA<br />

Oleh Nur Arifin<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

(1996), kinerja diartikan sebagai suatu<br />

yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan,<br />

atau kemampuan kerja (peralatan).<br />

Dengan menggunakan arti dasar<br />

tersebut dan dimasukkan ke dalam<br />

konteks manajemen, kinerja dapat diartikan<br />

sebagai prestasi atau perilaku<br />

yang ditunjukkan seseorang atau suatu<br />

lembaga/organisasi pada saat ia<br />

melaksanakan tugas atau fungsinya.<br />

Indra Bastian (2001) mengatakan<br />

bahwa kinerja organisasi adalah gambaran<br />

mengenai tingkat pencapaian<br />

pelaksanaan tugas suatu organisasi<br />

dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan,<br />

misi dan visi organisasi.<br />

Sedangkan menurut John<br />

Suprihanto (1998) kinerja diartikan sebagai<br />

hasil kerja selama periode tertentu<br />

dibandingkan dengan standar,<br />

target/sasaran atau kriteria yang telah<br />

ditentukan terlebih dahulu.<br />

Berdasarkan beberapa pengertian<br />

di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja<br />

adalah tingkat pencapaian atau hasil<br />

kerja suatu organisasi dalam upaya<br />

mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan<br />

visi organisasi dengan cara membandingkannya<br />

dengan standar, target/sasaran<br />

atau kriteria yang telah ditentukan<br />

terlebih dahulu.<br />

Sebagai contoh, kinerja seorang<br />

dosen pada saat melaksanakan tugasnya<br />

sebagai pengajar mahasiswa antara<br />

lain berupa perilaku atau berbagai<br />

tindakan mengajar di ruang kelas. Do-


sen tersebut mungkin menjelaskan<br />

suatu materi, menjawab pertanyaan<br />

yang diajukan mahasiswa, mengecek<br />

pemahaman, memberi tugas tertentu,<br />

atau menilai mahasiswanya.<br />

Kualitas prestasi atau perilaku<br />

yang ditunjukkan, baik dalam konteks<br />

kinerja individu ataupun lembaga/organisasi,<br />

dapat saja memenuhi sepenuhnya,<br />

sebagian, atau tidak sama sekali<br />

harapan dari para pelanggan (customer)<br />

atau mereka yang berkepentingan<br />

(stakeholders).<br />

Guna mengetahui sejauhmana kinerja<br />

seseorang atau lembaga/organisasi<br />

memenuhi harapan tertentu, perlu<br />

dilakukan proses penilaian kinerja. Penilaian<br />

kinerja merupakan kegiatan<br />

membandingkan kinerja suatu lembaga/organisasi<br />

atau seseorang dengan<br />

suatu standar atau kriteria tertentu -<br />

yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun,<br />

untuk dapat dibandingkan kinerja<br />

harus diukur lebih dulu. Pengukuran kinerja<br />

merupakan proses pengumpulan<br />

data atau informasi mengenai perilaku<br />

atau prestasi obyek yang diukur.<br />

Pengukuran dan Penilaian Kinerja<br />

Banyak orang yang menyamakan<br />

kedua kata ini dalam pengertian yang<br />

sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua<br />

kata tersebut memiliki pengertian<br />

yang berbeda. Untuk memahami apa<br />

perbedaan kedua kata tersebut, dapat<br />

digambarkan melalui contoh-contoh<br />

sebagai berikut.<br />

Seorang anak disuruh memilih satu<br />

dari dua pensil yang tidak sama<br />

panjangnya. Maka anak tersebut akan<br />

memilih pensil yang panjang, bukan<br />

yang pendek, kecuali ada alasan ter-<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

tentu.<br />

Ketika kita pergi ke toko buahbuahan,<br />

dan akan membeli buah jeruk<br />

sebagai misal, maka kita akan memilih<br />

jeruk yang besar, kuning, dan kulitnya<br />

halus. Hal tersebut dipertimbangkan<br />

berdasarkan pengalaman buah jeruk<br />

yang demikan memiliki rasa yang manis.<br />

Sedangkan jeruk yang kecil, hijau<br />

dan kulitnya kasar biasanya asam.<br />

Dari contoh-contoh di atas dapat<br />

disimpulkan bahwa sebelum menentukan<br />

pilihan, kita melakukan penilaian<br />

terhadap benda-benda yang akan kita<br />

pilih. Dari contoh pertama kita memilih<br />

mana pensil yang lebih panjang, sedangkan<br />

contoh kedua kita menentukan<br />

mana jeruk yang baik dan manis.<br />

Untuk dapat menilai sesuatu perlu<br />

dilakukan sebuah pengukuran. Untuk<br />

mengukur panjang kedua pensil di<br />

atas, seorang anak bisa menggunakan<br />

dengan sebuah penggaris misalnya.<br />

Setelah diperoleh perbandingan panjang<br />

kedua pensil tersebut dilakukanlah<br />

penilaian, ‘ini pensil panjang dan ini<br />

pensil pendek’. Mana pensil yang panjang,<br />

itulah yang diambil.<br />

Untuk menilai mana jeruk yang<br />

manis, kita tidak menggunakan ‘ukuran<br />

manis’, tetapi menggunakan ukuran<br />

besar, kuning dan kulitnya yang halus.<br />

Di sini kita membandingkan jeruk-jeruk<br />

yang ada dengan ukuran tertentu.<br />

Setelah itu kita menilai, menentukan<br />

pilihan mana jeruk yang paling memenuhi<br />

ukuran, itu yang kita ambil.<br />

Dengan demikian kita mengenal<br />

dua macam ukuran, yakni ukuran yang<br />

terstandar (meter, kilo meter, takaran,<br />

dan sebagainya), atau tidak terstandar<br />

(depa, jengkal, langkah) dan ukuran


perkiraan berdasarkan hasil pengalaman,<br />

contohnya, jeruk manis biasanya<br />

besar, kuning serta kulitnya halus.<br />

Dua langkah kegiatan yang dilalui<br />

sebelum memilih barang atau suatu<br />

benda, itulah yang disebut evaluasi,<br />

yakni mengukur dan menilai. Kita tidak<br />

dapat melakukan penilaian sebelum<br />

melakukan pengukuran. Jadi mengukur<br />

adalah membandingkan sesuatu<br />

dengan satu ukuran (pengukuran bersifat<br />

kuantitatif), menilai adalah mengambil<br />

keputusan terhadap sesuatu dengan<br />

ukuran baik buruk (penilaian bersifat<br />

kualitatif) sedangkan evaluasi merupakan<br />

kegiatan mengukur dan menilai<br />

(Suharsimi Arikunto 2002:1-3).<br />

Pengukuran Kinerja<br />

Pengukuran kinerja adalah proses<br />

mengkuantifikasikan secara akurat dan<br />

valid tingkat efisiensi dan efektivitas<br />

suatu kegiatan yang telah dilaksanakan<br />

dan membandingkannya dengan<br />

tingkat prestasi yang direncanakan.<br />

Efektivitas merupakan tingkat pencapaian<br />

tujuan, sedangkan efisiensi<br />

menunjukkan seberapa ekonomis pemanfaatan<br />

sumberdaya untuk mencapai<br />

tujuan. Tujuan dari pengukuran kinerja<br />

adalah untuk mendapatkan informasi<br />

tentang tingkat efektivitas, efisiensi<br />

dan kesesuaian terhadap standar<br />

yang ingin direalisasikan.<br />

Konsep pengukuran kinerja meliputi:<br />

apa yang diukur, apa tujuan pengukuran,<br />

siapa yang mengukur, siapa<br />

yang menggunakan hasil pengukuran,<br />

kapan pengukuran dilakukan, di mana<br />

pengukuran dilakukan, bagaimana<br />

cara pengukurannya, dan apa pemanfaatan<br />

hasil pengukuran.<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Sebagai bagian dari proses manajemen,<br />

audit kinerja yang dilakukan<br />

melalui proses pengukuran memiliki<br />

manfaat sebagai berikut. Pertama,<br />

pengecekan posisi kinerja. Mengetahui<br />

posisi kinerja organisasi sangat penting<br />

dalam rangka menetapkan langkah-langkah<br />

lanjutan menuju posisi kinerja<br />

yang akan dituju. Kedua, mengkomunikasikan<br />

posisi kinerja. Hasil<br />

pengukuran kinerja merupakan informasi<br />

berharga bagi berbagai pihak<br />

yang mempunyai kepentingan terhadap<br />

organisasi baik pihak internal<br />

maupun stakeholders.<br />

Ketiga, menetapkan prioritas tindakan.<br />

Posisi kinerja akan digunakan<br />

sebagai dasar penetapan tindak lanjut<br />

dengan mempertimbangkan aspek kinerja<br />

yang mempunyai nilai tambah<br />

paling besar agar dampak perbaikannya<br />

memberikan kontribusi signifikan.Keempat,<br />

memacu prestasi. Informasi<br />

kineja merupakan pemacu semangat<br />

berprestasi dan semangat perbaikan<br />

kinerja secara berkesinambungan.<br />

Keberhasilan pengukuran kinerja<br />

sangat ditentukan seberapa tepat sistem<br />

pengukuran telah ditetapkan. Prinsip<br />

utama dalam pengukuran kinerja<br />

adalah mengukur hal yang tepat dengan<br />

cara yang benar. Mengukur hal<br />

yang tepat berarti bahwa substansi<br />

yang diukur telah dirancang dan dipastikan<br />

kesesuaiannya dengan kontek<br />

organisasi baik dari segi tujuan, sasaran,<br />

ruang lingkup, lingkungan, program<br />

kerja dan hal-hal lain yang relevan.<br />

Sedangkan dengan cara yang benar<br />

berarti bahwa teknik pengukuran<br />

telah mengikuti kaidah-kaidah umum


cara pengukuran meliputi tersedianya<br />

standar, instrumen, petugas, penilaian<br />

yang memenuhi syarat akademik dan<br />

kewajaran.<br />

Oliver (1985) dalam Akhmad S<br />

Ruky (2002:30) memberikan gambaran<br />

penyebab umum yang sering menimbulkan<br />

kegagalan dan harus dihindarkan<br />

dalam mengembangkan sistem<br />

audit kinerja. Pertama, tidak adanya<br />

standar. Tanpa adanya standar berarti<br />

tidak terjadi pengukuran kinerja yang<br />

obyektif. Sehingga yang terjadi hanyalah<br />

penilaian yang bersifat subyektif<br />

dengan mengandalkan perkiraan dan<br />

perasaan. Kedua, standar yang tidak<br />

relevan dan bersifat subyektif. Standar<br />

seharusnya ditetapkan melalui proses<br />

analisa untuk menetapkan output atau<br />

outcome (hasil) yang diharapkan.<br />

Ketiga, standar yang tidak realistis.<br />

Standar adalah sasaran-sasaran<br />

yang berpotensi merangsang motivasi.<br />

Standar yang masuk akal dan menantang<br />

akan lebih berpotensi untuk merangsang<br />

motivasi. Keempat, ukuran<br />

kinerja yang tidak tepat. Kelima, kesalahan<br />

penilai. Termasuk dalam kesalahan<br />

penilai adalah keberpihakan, perasaan<br />

sak wasangka, halo effect (terpengaruh<br />

oleh yang dinilai), kecenderungan<br />

untuk pelit atau sebaliknya, kecenderungan<br />

untuk memilih nilai tengah<br />

dan takut untuk menghadapi responden/auditan.<br />

Keenam, pemberian umpan balik<br />

secara buruk. Pada awal proses audit<br />

kinerja, standar harus dikomunikasikan<br />

kepada pihak yang diaudit untuk diketahui<br />

dan disepakati. Demikian pula<br />

seluruh proses dan hasil penilaian harus<br />

dikomunikasikan pula kepada pi-<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

hak yang dinilai. Ketujuh, komunikasi<br />

yang negatif. Proses penilaian ternyata<br />

terganggu oleh komuniksi yang didasari<br />

dengan sikap negatif seperti arogansi<br />

dan kekakuan pada pihak penilai<br />

dan sikap membela diri dan ketertutupan<br />

pada pihak yang dinilai.<br />

Kedelapan, kegagalan untuk memanfaatkan<br />

data hasil penilaian. Kegagalan<br />

dalam menggunakan seluruh data<br />

yang diperoleh melalui proses penilaian<br />

sebagai dasar pengambilan keputusan<br />

dapat menurunkan kredibilitas<br />

program audit yang telah ditetapkan.<br />

Kondisi kritis dalam setiap audit kinerja<br />

adalah implementasi tindak lanjut hasil<br />

audit.<br />

Penilaian kinerja<br />

Penilaian kinerja merupakan kegiatan<br />

membandingkan kinerja suatu<br />

lembaga/organisasi atau seseorang<br />

dengan suatu standar atau kriteria tertentu<br />

yang telah ditetapkan sebelumnya.<br />

Namun untuk dapat dibandingkan<br />

kinerja harus ‘diukur’ lebih dulu.<br />

Larry D. Stout menyatakan bahwa<br />

penilaian kinerja sebagai proses mencatat<br />

dan mengukur pencapaian pelaksanaan<br />

kegiatan dalam arah pencapaian<br />

misi melalui hasil yang ditampilkan<br />

berupa produk, jasa, ataupun proses .<br />

Sedangkan James B. Whittaker menyatakan<br />

bahwa penilaian kinerja organisasi<br />

adalah suatu alat manajemen<br />

untuk meningkatkan kualitas pengambilan<br />

keputusan dan akuntabilitas.<br />

Mulyadi dan Johny Setyawan<br />

(2000:253) menyatakan penilaian kinerja<br />

diartikan sebagai ‘penentuan secara<br />

periodik efektivitas operasional<br />

suatu organisasi, bagian organisasi,


dan personelnya, berdasarkan sasaran,<br />

standar, dan kriteria yang telah ditetapkan<br />

sebelumnya’.<br />

Tujuan umum penilaian kinerja<br />

adalah untuk mengetahui gambaran kinerja<br />

suatu organisasi. Sedangkan tujuan<br />

khusus adalah untuk mengetahui<br />

gambaran kinerja pelaksanaan tugas,<br />

fungsi, dan wewenang organisasi, dan<br />

untuk mengetahui gambaran kinerja<br />

karyawan atau pimpinan organisasi.<br />

Manfaatnya adalah untuk memotivasi<br />

personel dalam mencapai sasaran<br />

organisasi dan dalam mematuhi standar<br />

perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya,<br />

agar membuahkan tindakan<br />

dan hasil yang diinginkan oleh organisasi.<br />

Standar perilaku dapat berupa<br />

kebijakan manajemen atau rencana<br />

formal yang dituangkan dalam rencana<br />

stratejik, program dan anggaran organisasi.<br />

Penilaian kinerja memiliki peran<br />

yang amat penting dalam rangka mengetahui<br />

apakah tujuan organisasi telah<br />

tercapai atau belum. Secara spesifik<br />

penilaian kinerja memerankan beberapa<br />

fungsi dan memberikan sejumlah<br />

manfaat. Penilaian kinerja akan<br />

memberi informasi yang sahih (valid)<br />

tentang kinerja organisasi secara menyeluruh.<br />

Baik berkaitan dengan kebijakan,<br />

strategi, program, ataupun kegiatan-kegiatan<br />

operasional organisasi.<br />

Tingkat keberhasilan masing-masing<br />

komponen organisasi tersebut dapat<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

terungkap melalui penilaian kinerja.<br />

Disamping itu penilaian kinerja dapat<br />

digunakan sebagai ‘sinyal’ tingkat<br />

kepuasan pelanggan organisasi, dapat<br />

berfungsi untuk kritik dan klarifikasi terhadap<br />

berbagai dasar pertimbangan<br />

dalam pengembangan organisasi, dan<br />

sebagai salah satu dasar pembuatan<br />

kebijakan organisasi. Penilaian kinerja<br />

juga dapat menjadi alat komunikasi antarkomponen<br />

organisasi dalam rangka<br />

perbaikan kinerja organisasi, dan atau<br />

antara organisasi dengan pihak<br />

eksternal tentang prestasi organisasi<br />

selama ini. Penilaian kinerja juga dapat<br />

digunakan sebagai petunjuk peningkatan<br />

atau perbaikan yang perlu dilakukan<br />

organisasi terhadap kinerja.<br />

Penilaian kinerja dapat dilakukan<br />

oleh pihak eksternal maupun pihak internal<br />

organisasi. Penilaian oleh pihak<br />

eksternal cenderung akan memberikan<br />

obyektivitas yang lebih tinggi daripada<br />

bila dilakukan oleh pihak internal. Penilaian<br />

oleh pihak eksternal dapat dilakukan<br />

oleh lembaga independen dan profesional<br />

atau oleh pihak supra struktur/supra<br />

sistem dari organisasi yang<br />

bersangkutan.<br />

Sementara, penilaian oleh pihak<br />

internal cenderung lebih valid, karena<br />

penilai memahami permasalahan atau<br />

kondisi organisasi dengan baik. Permasalahan<br />

penilaian kinerja oleh pihak<br />

internal umumnya berupa ‘konflik kepentingan’.3


Jabatan Fungsional<br />

Auditor merupakan<br />

salah satu dari<br />

jabatan fungsional yang ada di<br />

lingkungan pemerintahan. Setiap jenis<br />

jabatan fungsional, memiliki aturan dan<br />

kode etik tersendiri. Pejabat fungsional<br />

dituntut profesional dalam profesinya<br />

tersebut. Seorang dokter harus profesional<br />

dibidangnya, seorang guru harus<br />

profesional dibidangnya. Salah<br />

satu perbedaan jabatan fungsional dengan<br />

jabatan struktural adalah bahwa<br />

kalau jabatan fungsional harus dilakukan<br />

oleh orang yang profesional dibidangnya,<br />

sedangkan jabatan struktural<br />

bisa dikerjakan tanpa tuntutan profesionalisme<br />

tertentu.<br />

Contoh, kegiatan audit hanya bisa<br />

dilakukan oleh pejabat fungsional auditor,<br />

tidak bisa dilakukan oleh seorang<br />

pejabat struktural, begitu juga jabatan<br />

fungsional guru, tidak bisa dilakukan<br />

oleh orang yang bukan berlatar belakang<br />

guru, kalaupun ada itu hanya pengecualian<br />

saja. Seorang fungsional<br />

peneliti, hanya bisa dilakukan oleh<br />

para peneliti, tidak bisa dilakukan oleh<br />

orang bukan peneliti. Akan tetapi untuk<br />

jabatan struktural bisa dilakukan oleh<br />

siapa saja asalkan memenuhi aturan<br />

yang berlaku.<br />

Sebagai yuridis formal, jabatan<br />

fungsional auditor diatur dalam Keputusan<br />

Menpan No. 19 tahun 1996 ten-<br />

Opini<br />

DIKLAT SERTIFIKASI<br />

JABATAN FUNGSIONAL AUDITOR<br />

DAN REALISASI AUDIT<br />

Oleh Yati Nurhayati<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

tang Jabatan Fungsional Auditor, Keputusan<br />

Presiden No. 87 tahun 1999<br />

tentang Rumpun Jabatan Fungsional<br />

Pegawai Negeri Sipil, Kepmenpan No.<br />

17/KEP/M.PAN/4/2002 tanggal 9 April<br />

2002 tentang Penyesuaian Penamaan<br />

Jabatan Fungsional Auditor, dan Keputusan<br />

Presiden No. 23 tahun 2002<br />

tanggal 23 April 2002 tentang Tunjangan<br />

Jabatan Fungsional Auditor. Berdasarkan<br />

ketentuan tentang jabatan<br />

fungsional Auditor tersebut, ditetapkan<br />

jenjang jabatan fungsional auditor dan<br />

tunjangan jabatan berdasarkan jenjang<br />

jabatan tersebut. Setiap jenjang jabatan<br />

fungsional auditor, untuk kenaikan<br />

pangkatnya harus memenuhi angka<br />

kredit yang disyaratkan. Selain harus<br />

memenuhi angka kredit yang dipersyaratkan,<br />

untuk jabatan tertentu dipersyaratkan<br />

pula harus melalui sertifikasi<br />

yang ditentukan. Untuk bisa menjadi<br />

auditor, harus lulus sertifikasi jabatan<br />

auditor untuk anggota tim. Untuk bisa<br />

naik dari Jabatan Auditor Ahli Muda<br />

(III/c) menjadi Auditor Ahli Muda III/d,<br />

harus lulus sertifikasi Tk Ketua Tim.<br />

Untuk kenaikan dari Auditor Ahli Muda<br />

(III/d) menjadi Auditor Ahli Madya<br />

(IV/a) harus memiliki sertifikasi tingkat<br />

pengendali teknis (Dalnis). Dan dari<br />

Auditor Ahli Madya untuk bisa menjadi<br />

Auditor Ahli Utama harus lulus sertifikasi<br />

pengendali mutu (Daltu).<br />

Proses untuk bisa mendapatkan


sertifikasi dari masing-masing jenjang<br />

jabatan auditor tersebut, tidaklah mudah.<br />

Karena harus melalui ujian yang<br />

sulit dan tidak mudah untuk lulus. Pengalaman<br />

menunjukkan bahwa dari<br />

seluruh peserta yang mengikuti ujian<br />

utama, tidak lebih 10% dari peserta ujian<br />

yang langsung lulus semua mata<br />

ujian. Dan tidak mustahil kalau sudah<br />

mengikuti ujian ulangan sampai 3 kali<br />

pun juga masih ada yang tidak lulus<br />

dan akhirnya harus kena penalti atau<br />

tereliminasi untuk ikut diklat yang sama<br />

lagi. Suatu kenyataan bahwa dari 7<br />

mata pelajaran yang diujikan dalam<br />

diklat sertifikasi untuk tingkat ketua tim,<br />

ternyata ada peserta yang tidak lulus<br />

sama sekali satu mata ujianpun. Kondisi<br />

ini terjadi pada semua tingkat diklat.<br />

Ini adalah realita yang harus jadi<br />

pertimbangan untuk bagaimana keberadaan<br />

diklat sertifikasi untuk masa<br />

mendatang. Selain kendala sulitnya<br />

untuk lulus, untuk bisa ikut diklat juga<br />

harus berkompetisi dari auditor lainnya<br />

yang juga berebut untuk mengikutinya,<br />

karena kesempatannya yang sangat<br />

terbatas.<br />

Permasalahan lainnya adalah<br />

bahwa substansi yang diperoleh selama<br />

diklat, baik itu diklat pembentukan<br />

sebagai anggota, sebagai ketua tim,<br />

sebagai pengendali teknis dan sebagai<br />

pengendali mutu, sangat sedikit sekali<br />

yang bisa diaplikasikan dalam pelaksanaan<br />

audit dilapangan. Substansi yang<br />

diajarkan dalam diklat sertifikasi jabatan<br />

fungsional auditor menurut tingkat<br />

diklat adalah sebagai berikut:<br />

Pertama, Tingkat Trampil anggota<br />

tim, materi diklatnya adalah: a)Dasar-dasar<br />

Audit; b)SAKN 1, SAKD 1 dan<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

SAKN 2, SAKD 2; c)Pengantar SPM;<br />

d)Akuntabilitas Instansi Pemerintah;<br />

e)Teknik Komuikasasi Audit; f)Kode<br />

Etik dan Standar Audit; g)pedoman Pelaksanaan<br />

anggaran.<br />

Kedua, Tingkat pindah jalur dari<br />

trampil menjadi ahli, materi diklatnya<br />

sebagai berikut: a)Auditing; b)SAKN 1,<br />

SAKD 1 dan SAKN 2, SAKD 2; c)Pengantar<br />

SPM.<br />

Ketiga, Tingkat Ahli anggota tim,<br />

materi diklatnya sebagai berikut:<br />

a)Auditing; b SAKN 1, SAKD 1 dan<br />

b)SAKN 2, SAKD 2; c)Pengantar SPM;<br />

d)Akuntabilitas Instansi Pemerintah;<br />

e)Teknik Komuikasasi Audit; f)Kode<br />

Etik dan Standar Audit; g)Pedoman<br />

Pelaksanaan anggaran.<br />

Keempat, Tingkat Ketua tim, materi<br />

diklatnya sebagai berikut: a)Reviu<br />

Kertas Kerja Audit; b)Sistim Informasi<br />

Manajemen; c)Kepemimpinan; d)Sampling<br />

Audit; e)Fraud Auditing; f)Teknik<br />

Penilaian SPM dan penyusunan PKA;<br />

g)Penulisan Laporan Hasil Audit.<br />

Kelima, Tingkat Pengendali Tekhnis,<br />

materi diklatnya sebagai berikut:<br />

a)Interpersonal skill; b)Ekonomi Makro;<br />

c)Manajemen Pengawasan; d)Supervisi<br />

Audit; e)Perencanan penugasan<br />

audit; f)Audit berpeduli Risiko; g)Etika<br />

dan Fraud dalam Audit.<br />

Keenam, Tingkat Pengendali Mutu,<br />

materi diklatnya sebagai berikut:<br />

a)Manajemen Pengawasan Stratejik;<br />

b)Kendali Mutu; c)Filosofi Audit; d)Kebijakan<br />

Pengawasan<br />

Dari seluruh tingkatan diklat sertifikasi<br />

Jabatan fungsional auditor, dikaitkan<br />

antara materi yang diajarkan dalam<br />

diklat dengan realisasi audit di lapangan,<br />

tidak banyak memberi kontri-


usi dalam pencapaian tujuan dan<br />

fungsi audit. Hal ini karena dalam materi<br />

diklat lebih banyak bersifat teoritis<br />

yang kurang relefan untuk diaplikasikan<br />

dalam pelaksanaan audit, khususnya<br />

pada Departemen <strong>Agama</strong>. Suatu<br />

contoh, materi diklat Sistim Informasi<br />

Manajemen, materi ini boleh dibilang<br />

tidak ada yang bisa diaplikasikan dengan<br />

tugas auditor di lingkungan Dep.<br />

<strong>Agama</strong>. Untuk bisa menerapkan Sistim<br />

Informasi Manajemen, harus didukung<br />

dengan sarana komputer yang terakses<br />

di seluruh unit di lingkungan Dep.<br />

<strong>Agama</strong> mulai dari pusat sampai ke seluruh<br />

daerah, yakni akses yang bukan<br />

hanya bersifat Lokal Area Network<br />

(LAN), atau Metropolitan Areal Network<br />

(MAN), akan tetapi bersifat Wide<br />

Areal Network (WAN).<br />

Apabila dibandingkan antara hasil<br />

audit yang dilakukan oleh para auditor<br />

yang sudah mengikuti Sertifikasi Jabatan<br />

Auditor dengan yang belum<br />

mengikuti, kenyataannya tidak begitu<br />

membawa perubahan besar akan hasil<br />

audit, hal ini karena substansi materi<br />

diklat terlalu teoritis, sedangkan dalam<br />

praktek audit lebih banyak bersifat tek-<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

nis dan substansi bidang audit.<br />

Pada akhirnya diklat sertifikasi jabatan<br />

fungsional auditor hanya berfungsi<br />

sebagai upaya legalisasi profesi<br />

auditor dan persyaratan untuk kenaikan<br />

jenjang jabatan auditor. Kondisi ini<br />

kurang menguntungkan bagi auditor,<br />

karena untuk mendapatkan legalisasi<br />

melalui sertifikasi tersebut sangat sulit<br />

untuk didapatkan. Justru hanya menghambat<br />

jenjang karir auditor dengan<br />

dijadikannya sertifikat itu sebagai persyaratan<br />

dalam kenaikan jenjang jabatan<br />

dan kepangkatan auditor.<br />

Salah satu penyebab sulitnya merealisasikan<br />

materi diklat adalah alokasi<br />

waktu audit yang sangat terbatas.<br />

Sementara mekanisme dan prosedur<br />

audit menurut ilmu audit dalam sertifikasi<br />

sangat prosedural dan butuh waktu<br />

yang sangat panjang. Sementara<br />

alokasi waktu yang disediakan dalam<br />

proses audit yang dilakukan pada Itjen<br />

Dep. <strong>Agama</strong> sangat terbatas. Dan faktor<br />

lain yang menyebabkan sulitnya untuk<br />

bisa merealisasikan materi diklat<br />

sertifikasi jabatan fungsional auditor<br />

dalam segala tingkatan dengan realisasi<br />

audit. 3<br />

Menteri <strong>Agama</strong> Muhammad<br />

Maftuh Basyuni (kiri) dan<br />

Inspektur <strong>Jenderal</strong> Slamet<br />

Riyanto (kanan) saat<br />

memberikan pengarahan<br />

kepada pejabat eselon Itjen<br />

Dep. <strong>Agama</strong>. (doc.fp)


Opini<br />

INTEG<strong>RI</strong>TAS AUDITOR DALAM MELAKUKAN<br />

BE<strong>RI</strong>TA ACARA PEME<strong>RI</strong>KSAAN (BAP)<br />

Oleh Khairunnas, SH.<br />

Melakukan Berita Acara Pemeriksaan, bukanlah suatu tugas yang mudah,<br />

karena membutuhkan naluri untuk menilai orang dalam waktu yang sangat<br />

singkat, membutuhkan keberanian dan penguasaan substansi apa yang<br />

dipermasalahkan. Integritas Auditor dalam melakukan Berita Acara Pemeriksaan<br />

adalah integrasi dari berbagai unsur dalam profesi audit berkenaan dengan<br />

pekerjaan melakukan berita acara pemeriksaan.<br />

Setiap manusia dilahirkan berbeda<br />

satu dengan yang lainnya. Walaupun<br />

dilahirkan kembar sekalipun,<br />

tetap memiliki perbedaan antara<br />

keduanya. Perbedaan itu merupakan<br />

suatu hal yang pasti diciptakan Tuhan.<br />

Dari prinsip perbedaan yang dimiliki<br />

oleh setiap manusia, ada hal tertentu<br />

yang dituntut sama dalam suatu komunitas.<br />

Dari berbagai perbedaan tersebut,<br />

ada yang harus diintegrasikan<br />

menjadi suatu kesatuan untuk mencapai<br />

tujuan tertentu. Integritas adalah<br />

integrasi dari berbagai keberagaman<br />

dan unsur dalam suatu tugas dan<br />

fungsi tertentu. Auditor adalah suatu<br />

profesi yang memerlukan integritas<br />

dari berbagai unsur dalam mencapai<br />

tujuan audit. Salah satu bagian dari kegiatan<br />

audit adalah melakukan Berita<br />

Acara Pemeriksaan (BAP).<br />

Integritas auditor dimaksud di sini<br />

adalah integrasi dari berbagai unsur<br />

dalam profesi audit oleh auditor dalam<br />

melakukan BAP berkenaan dengan<br />

pembuktian suatu penyimpangan dan<br />

atau kesalahan, dalam rangka memenuhi<br />

standard audit dan pencapaian tujuan<br />

audit. Suatu jabatan profesi, dituntut<br />

profesionlisme dari pemangku<br />

jabatan profesi tersebut. Seseorang<br />

Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

bisa dikatakan profesional, apabila dia<br />

menguasai profesi tersebut. Untuk bisa<br />

mengusai profesi itu, harus mampu<br />

mengintegrasikan berbagai unsur dalam<br />

profesi itu. Unsur yang perlu dalam<br />

suatu profesi audit, kaitan dengan<br />

melakukan BAP, adalah kemampuan<br />

substansi audit, skil, kemampuan fisik,<br />

keberanian, komitmen, kejujuran,<br />

objektifitas, dan independen.<br />

Banyak hal yang mempengaruhi<br />

untuk bisa mencapai kesempurnaan<br />

integrasi auditor dalam melakukan<br />

BAP tersebut, seperti sifat/watak seseorang<br />

yang diperiksa belum kita ketahui,<br />

kemampuan auditor yang berbeda,<br />

pengaruh dan intervensi berbagai pihak.<br />

Sementara tujuan yang dicapai<br />

dari suatu kegiatan audit khususnya<br />

dalam BAP, sangat dituntut dari semua<br />

unsur tersebut bisa di integrasikan.<br />

Berita Acara Pemeriksaan (BAP)<br />

BAP adalah proses kegiatan pemeriksaan<br />

untuk mendapatkan pembuktian<br />

atas dugaan suatu kesalahan,<br />

untuk mengetahui sebab atau yang<br />

melatarbelakangi terjadinya suatu penyimpangan.<br />

Dalam aturan kepegawaian,<br />

BAP merupakan salah satu persyaratan<br />

untuk menjatuhkan hukuman<br />

kepada seseorang apabila hukuman<br />

yang dijatuhkan tingkat sedang dan


erat. Hal ini diatur dalam PP No. 30<br />

tahun 1980 pasal 9 ayat (2) huruf<br />

b;"pemeriksaan sebagaimana dimaksud<br />

dalam ayat (1) dilakukan: secara<br />

tertulis (berita acara) apabila atas pertimbangan<br />

pejabat yang berwenang<br />

menghukum, pelanggaran disiplin<br />

yang dilakukan oleh Pegawai Negeri<br />

Sipil yang bersangkutan akan dapat<br />

mengakibatkan ia dijatuhi salah satu<br />

jenis hukuman disiplin sebagaimana<br />

dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) dan<br />

ayat (4)". Apa yang tertulis disini maksudnya<br />

adalah dalam BAP secara tertulis.<br />

Adapun jenis hukuman sebagaimana<br />

yang dimaksud dalam pasal 6<br />

ayat (3) dan ayat (4) adalah tingkat hukuman<br />

disiplin sedang, yang terdiri<br />

atas: a)Penundaan kenaikan gaji berkala<br />

paling lama satu tahun. b)Penurunan<br />

gaji sebesar satu kali kenaikan<br />

gaji berkala untuk paling lama satu<br />

tahun; dan c)Penundaan kenaikan<br />

pangkat untuk paling lama satu tahun.<br />

Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana<br />

dimaksud dalam ayat (4);<br />

terdiri atas: a)Penurunan pangkat pada<br />

pangkat yang setingkat lebih rendah<br />

untuk paling lama satu tahun; b)Pembebasan<br />

dari jabatan; c)Pemberhentian<br />

dengan hormat tidak atas<br />

permintaan sendiri sebagai Pegawai<br />

Negeri Sipil; d)Pemberhentian tidak<br />

dengan hormat sebagai Pegawai Negeri<br />

Sipil.<br />

Sebagai pedoman untuk mengetahui<br />

pertimbangan dari pejabat yang<br />

berwenang disini (kaitan dengan jenis<br />

hukuman), dapat berpedoman pada<br />

KMA No. 203 tahun 2002. Dalam KMA<br />

No. 203 tahun 2002 tersebut terdapat<br />

standar tingkat kesalahan dengan tingkat<br />

hukuman atas kesalahan tersebut.<br />

Suatu contoh apabila kesalahannya<br />

berupa tindak pemalsuan yang merugikan<br />

keuangan Negara, maka hukumannya<br />

dalam KMA 203 tahun 2002, pe-<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

lakunya dapat diberhentikan. Kalau sudah<br />

tahu akan diberhentikan, maka<br />

yang bersangkutan harus di BAP sebagai<br />

prosedur dan persyaratan proses<br />

penjatuhan hukuman pemberhentian<br />

tersebut. Apabila yang bersangkutan<br />

sudah diindikasikan untuk diberhentikan,<br />

namun tidak di BAP, maka auditor<br />

sudah menyalahi prosedur audit<br />

serta penjatuhan sangsi atas pelakunya<br />

tersebut bisa dibatalkan. Apabila<br />

prosedur tersebut tidak ditempuh,<br />

maka pejabat yang menjatuhkan hukuman<br />

bisa dituntut di PTUN (Pengadilan<br />

Tata Usaha Negara).<br />

Tujuan pemeriksaan sebagaimana<br />

dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) adalah<br />

untuk mengetahui apakah PNS<br />

yang bersangkutan benar atau tidak<br />

melakukan pelanggaran disiplin serta<br />

untuk mengetahui faktor-faktor yang<br />

mendorong atau menyebabkan ia melakukan<br />

pelanggaran disiplin itu.<br />

Pemeriksaan harus dilakukan dengan<br />

objektif dan lengkap, sehingga<br />

dengan demikian pejabat yang berwenang<br />

menghukum (sebagaimana pada<br />

KMA No. 489 tahun 2003) dapat mempertimbangkan<br />

dengan seadil-adilnya<br />

tentang jenis hukuman disiplin yang<br />

akan dijatuhkan.<br />

Selain itu BAP dapat digunakan<br />

setiap saat apabila diperlukan. Proses<br />

pemeriksaan dengan BAP ini dilakukan<br />

secara tertutup, karena azas praduga<br />

tidak bersalah, PNS yang diperiksa<br />

tersebut belum tentu terbukti bersalah.<br />

BAP ini hanya dapat dikatahui oleh<br />

pejabat yang berwenang dan berkepentingan<br />

karena sifatnya rahasia.<br />

Dalama melakukan BAP, ada dua<br />

substansi pertanyaan yang harus dapat<br />

diungkap. Pertama pengakuan<br />

atas dugaan yang dituduhkan (benar<br />

atau tidak benar) telah terjadi penyimpangan.<br />

Kedua sebab terjadinya perbuatan<br />

penyimpangan tersebut. Dari


dua hal yang harus diketahui dari BAP<br />

tersebut, akan mempengaruhi berat<br />

ringannya hukuman seseorang. Apabila<br />

diakui telah melakukan perbuatan<br />

penyimpangan atau pelanggaran, kemudian<br />

terjadinya disebabkan karena<br />

bukan kesalahannya, maka ini jadi pertimbangan<br />

untuk jenis hukuman yang<br />

akan diberikan dapat ringan. Apabila<br />

terjadinya penyimpangan tersebut<br />

karena murni kesalahan dan kelalaian<br />

dari pelaku penyimpangan, maka<br />

kondisi ini bisa memperberat jenis<br />

hukuman yang akan dijatuhkan.<br />

Selain dari substansi yang harus<br />

diungkap melalui BAP tersebut, juga<br />

ada pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya<br />

wajib ditanyakan. Ini maksudnya<br />

adalah untuk mengantisipasi kemungkinan<br />

yang akan terjadi setelah dilakukan<br />

BAP. Pertanyaan-pertanyaan yang<br />

wajib ditanyakan dalam BAP tersebut<br />

terdapat pada pertanyaan pembukaan<br />

dan pertanyaan penutup, disamping<br />

pertanyaan yang menyangkut dugaan<br />

substansi penyimpangan. Jadi paling<br />

tidak ada tiga kelompok pertanyaan<br />

dalam BAP, yaitu: 1)Pertanyaan pembukaan;<br />

2)Pertanyaan substansi dugaan<br />

penyimpangan; dan 3)Pertanyaan<br />

penutup.<br />

Pada pertanyaan pembukaan ada<br />

beberapa pertanyan yang harus ditanyakan,<br />

yaitu menyangkut kesehatan<br />

dari orang yang diperiksa, kesediaan<br />

diperiksa untuk kepentingan dinas,<br />

sumpah/janji sebagai PNS. Pertanyaan<br />

mengenai sumpah/janji ini maksudnya<br />

adalah bahwa jawaban yang disampaikan<br />

berada dibawah sumpah yang<br />

bersangkutan sebagai PNS. Dengan<br />

kata lain apabila dia tidak memberikan<br />

keterangan jujur, berarti dia sudah<br />

melangar sumpah. Selain pertanyaan<br />

diatas, pertanyaan pembuka lainnya<br />

adalah tentang riwayat pekerjaan dari<br />

yang bersangkutan. Ini maksudnya<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

adalah untuk menentukan berat<br />

ringannya hukuman. Apabila yang bersangkutan<br />

sudah pernah berpengalaman<br />

disuatu bidang tugas pekerjaan,<br />

dan terjadi penyimpangan, berarti kesalahannya<br />

ada unsur sengaja.<br />

Dari masing-masing pertanyaan<br />

dalam BAP, baik pertanyaan pembuka,<br />

pertanyaan penutup dan pertanyaan<br />

menyangkut substansi, memiliki arti<br />

dan makna yang sangat besar.<br />

Integritas auditor dalam melakukan<br />

BAP<br />

Pekerjaan audit merupakan profesi<br />

yang menghasilkan perubahan dari<br />

kondisi kurang baik menjadi baik. Menyelaraskan<br />

suatu keadaan menyimpang<br />

kepada yang semestinya atau<br />

seharusnya menurut aturan yang ditetapkan.<br />

Proses dan rangkaian kegiatan<br />

yang dilakukan dalam audit tersebut,<br />

harus sesuai dengan prosedur dan<br />

standar audit yang telah ditetapkan<br />

serta kode etik audit itu sendiri. Dalam<br />

menetapkan hasil audit juga dituntut<br />

bukti dan data yang relevan, kompeten,<br />

materil serta nilai yang cukup.<br />

Salah satu rangkaian kegiatan audit<br />

dalam mendapatkan alat bukti yang<br />

sah atau kompeten adalah dituangkan<br />

dalam bentuk BAP.<br />

Dalam melakukan BAP tersebut,<br />

sangat dituntut beberapa unsur yang<br />

harus diintegrasikan guna mencapai<br />

kesempurnaan proses dan hasil audit.<br />

Unsur-unsur yang harus diintegrasikan<br />

oleh seorang auditor dalam melakukan<br />

BAP sebagaimana yang disebutkan<br />

diatas, adalah sebagai berikut:<br />

Pertama, kemampuan substansi<br />

Audit. Setiap auditor dalam melakukan<br />

BAP, harus menguasai dan mengetahui<br />

substansi tentang dugaan penyimpangan<br />

yang telah dilakukan. Adalah<br />

suatu keharusan dan modal utama<br />

bagi seorang auditor sebelum melaku-


kan BAP untuk menguasai kasus atau<br />

penyimpangan yang dilakukan. Seorang<br />

auditor akan mengatakan suatu<br />

kondisi tidak sesuai atau salah apabila<br />

dia telah mengetahui yang benar atau<br />

yang seharusnya. Dengan telah diketahui<br />

dan dipahaminya substansi penyimpangan<br />

yang dilakukan, maka dari<br />

sanalah sorang auditor akan mempertanyakan<br />

kepada orang yang akan<br />

diperiksa.<br />

Upaya yang harus dilakukan untuk<br />

mengetahui dan mendapatkan bukti<br />

dugaan penyimpangan yang dilakukan<br />

oleh seseorang adalah dengan<br />

menelusuri kepada berbagai pihak<br />

yang terkait dengan penyimpangan<br />

yang telah terjadi. Atau dengan kata<br />

lain mendapatkan data dan bukti atas<br />

perbuatan penyimpangan yang dilakukan.<br />

Setelah dimilikinya bukti penyimpangan<br />

yang dilakukan, maka baru dilakukan<br />

pemeriksaan dengan berita<br />

acara pemeiksaan.<br />

Kedua, kemampuan fisik auditor.<br />

Selain meguasai substansi audit, seorang<br />

auditor juga harus memiliki fisik<br />

yang kuat, dan tidak sakit-sakitan. Hal<br />

ini terkait dengan pencarian alat bukti<br />

di lapangan yang harus dilakukan. Tidak<br />

semua alat bukti dan data pendukung<br />

dugaan penyimpangan yang dilakukan<br />

seseorang dengan mudah didapatkan,<br />

mungkin kita harus mendatangi<br />

masyarakat yang lokasinya jauh<br />

dari pusat kota, untuk menuju lokasi<br />

yang jauh tersebut sangat dibutuhkan<br />

kondisi fisik yang kuat.<br />

Suatu contoh dalam kasus penipuan<br />

terhadap calon pelamar CPNS,<br />

dimana lokasi pelamar atau orang<br />

yang ditipu tersebut berada di pedesaan.<br />

Untuk itu kita butuh bukti dan keterangan<br />

dari orang tersebut, dan kita<br />

sebelum melakukan BAP kepada tersangka,<br />

kita harus mendatangi korban<br />

tersebut yang berada di daerah pede-<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

saan.<br />

Ketiga, keberanian. Keberanian seorang<br />

auditor sangat diperlukan dalam<br />

segala hal, baik yang menyangkut dengan<br />

resiko tugas keauditoran maupun<br />

keberanian menghadapi kondisi daerah<br />

yang berbeda satu sama lain. Keberanian<br />

dalam melaksanakan tugas<br />

keauditoran disini maksudnya berani<br />

menghadapi resiko atas pekerjaan<br />

audit, karena dari hasil audit yang dilakukan<br />

adakalanya berdampak pada<br />

pribadi seseorang, umpamanya dari<br />

hasil audit seseorang harus diberhentikan<br />

dan atau dibebaskan dari jabatan.<br />

Hasil ini pasti tidak disenangi oleh pihak<br />

yang diberhentikan atau dibebaskan<br />

dari jabatan. Kemungkinan yang<br />

timbul adalah komflik personal dan<br />

atau tuntutan melalui jalur hukum<br />

(PTUN). Seorang auditor harus berani<br />

menghadapi kemungkinan resiko seperti<br />

ini. Keberanian dalam menghadapi<br />

kondisi daerah yang asing bagi<br />

seorang auditor, resiko kemungkinan<br />

seperti ini kecil terjadi, namun tetap dituntut<br />

keberanian jika menghadapi<br />

kondisi yang membahayakan.<br />

Contoh berkenaan dengan ini<br />

adalah melaksanakan tugas pada daerah<br />

komplik seperti Ambon, Irian Jaya<br />

dan NAD. Melaksanakan tugas pada<br />

daerah-daerah tersebut butuh keberanian<br />

seorang auditor. Disamping itu keberanian<br />

menghadapi seseorang yang<br />

memiliki watak dan kepribadian yang<br />

keras. Banyak penulis temui di daerah<br />

orang yang diperiksa memiliki watak<br />

dan sikap mental yang keras. Tidak<br />

mau diperiksa dan kalau diperiksa<br />

auditornya diancam untuk dicelakai.<br />

Selain keberanian untuk menghadapi<br />

hal diatas, juga sangat dituntut keberanian<br />

dalam menghadapi orang yang<br />

akan di BAP tersebut apabila dia adalah<br />

seorang pejabat tinggi. Ini merupakan<br />

kendala atau kesulitan yang harus


dapat diatasi.<br />

Keempat, komitmen. Auditor dituntut<br />

komitmen dalam menjalankan<br />

tugas sesuai dengan fungsi dan tujuan<br />

tugasnya. Seorang auditor harus berpegang<br />

pada idealisme yang tinggi,<br />

sepanjang ada dasarnya. Tidak mudah<br />

goyah dan pengaruh oleh keadaan.<br />

Kaitan dengan melakukan BAP adalah<br />

adanya peluang dan godaan untuk<br />

bisa terpengaruh dengan orang yang<br />

diperiksa. Tidak mudah terpengaruh<br />

dengan segala hal yang mempengaruhi,<br />

harus senantiasa berpegang<br />

pada prinsip bahwa tujuan tugas adalah<br />

yang utama.<br />

Kelima, kejujuran. Selain memiliki<br />

komitmen, seorang auditor harus jujur<br />

dalam menjalankan tugasnya. Jangan<br />

melaksanakan tugas atau melakukan<br />

BAP karena adanya target yang harus<br />

dipenuhi. Dalam melakukan BAP sangat<br />

mungkin terjadi kolusi antara<br />

yang di BAP dengan yang melakukan<br />

BAP. Bisa saja dia akan memperjual<br />

belikan temuan, negosiasi dengan<br />

auditan. Seorang auditor, baik kaitan<br />

dengan melakukan BAP terhadap pelaku<br />

penyimpangan ataupun dalam kegiatan<br />

audit lainnya sangat dituntut kejujurannya<br />

dalam menjalankan tugas<br />

profesi audit.<br />

Keenam, objektivitas. Objektifitas<br />

berarti tidak memihak. Seorang auditor<br />

harus objektif dalam melaksanakan tugas.<br />

Apabila tidak objektif dalam bersikap,<br />

pasti ada pihak yang akan dirugikan.<br />

Seorang auditor harus berpedoman<br />

pada aturan dan ketentuan yang<br />

berlaku, tidak memihak, baik kepada<br />

auditan maupun pihak lain. Dengan<br />

kata lain bahwa auditor harus bersikap<br />

netral, hanya mengacu pada ketentuan<br />

yang berlaku.<br />

Ketujuh, independen. Seorang<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

auditor harus independent, artinya tidak<br />

bisa dipengaruhi oleh siapapun.<br />

Melaksanakan tugas tanpa tekanan<br />

dan misi tertentu selain tujuan audit itu<br />

sendiri. Kalau auditor melakukan BAP<br />

dibawah tekanan atau pengaruh pihak<br />

tertentu, hasilnya pasti tidak objektif.<br />

Oleh karena itu seorang auditor benar-benar<br />

harus independen dalam<br />

melaksnakan tugasnya. Bekerja tidak<br />

dibawah intervensi dan tekanan dari<br />

manapun.<br />

Kedelapan, selain 7 unsur diatas<br />

yang harus diintegrasikan dalam melakukan<br />

BAP oleh seorang auditor, yang<br />

juga penting dimiliki adalah skiil atau<br />

keterampilan untuk membaca dan menilai<br />

orang yang di BAP tersebut dalam<br />

waktu yang sangat singkat. Pada waktu<br />

awal melihat dan bertemu dengan<br />

orang yang akan di BAP, kita harus bisa<br />

membaca dan menilai bagaimana<br />

kondisi orang tersebut dan harus bagaimana<br />

kita menghadapinya. Jangan<br />

sampai seorang auditor berada di bawah<br />

kendali dan tekanan orang yang<br />

diperiksa. Secara psikologis seorang<br />

auditor harus merasa diatas orang<br />

yang diperiksa, walaupun dia seorang<br />

pejabat atau pimpinan kantor. Setelah<br />

kita mengetahui kondisi psikologis<br />

seseorang yang akan di BAP, kita<br />

harus menentukan sikap bagaimana<br />

kita harus menghadapinya, adakalanya<br />

kita harus bersikap tegas dan keras<br />

dan adakalanya kita harus dengan<br />

lemah lembut, sepanjang sesuai dengan<br />

kode etik dan norma kesopanan.<br />

Perlakuan kita terhadap orang yang di<br />

BAP tersebut, harus selalu pada prinsip<br />

praduga tidak bersalah, karena hal<br />

ini akan berpengaruh pada emosional<br />

dari orang yang diperiksa. 3


Opini<br />

Membangun<br />

Paradigma Baru Pengawasan<br />

Penyelenggaraan pemerintahan<br />

yang bersih merupakan prasyarat<br />

untuk mewujudkan aspirasi<br />

masyarakat dalam tujuan berbangsa<br />

dan bernegara. Good and Clean Goverment<br />

(GCG) merupakan sistem pengelolaan<br />

pemerintahan yang didasarkan<br />

pada prinsip transparasi, partisipasi<br />

dan akuntabel.<br />

Untuk mewujudkan hal tersebut<br />

maka setiap bagian dalam organisasi<br />

pemerintahan harus dapat menyajikan<br />

kinerja yang dapat di ukur dan di nilai<br />

oleh segenap masyarakat.<br />

Menyikapi tuntutan penyelenggaraan<br />

pemerintahan yang akuntabel,<br />

<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> sebagai fungsi<br />

pengawasan fungsional di lingkungan<br />

Departemen <strong>Agama</strong>, perlu melakukan<br />

perubahan pola pikir (mind set) dari jajarannya<br />

untuk lebih memahami dan<br />

memaknai fungsi pengawasan secara<br />

lebih luas dan modern.<br />

Berbeda dengan fungsi pengawasan<br />

tradisional, fungsi pengawasan<br />

modern tidak hanya terpaku pada<br />

bagaimana menemukan kesalahan<br />

auditan sebanyak mungkin (hanya dilihat<br />

dari aspek kuantitas temuan oleh<br />

pihak internal auditor), tetapi menurut<br />

Eddie M Gunadi, Chairman Forum for<br />

Coorporate Governance in Indonesia<br />

(FCGI) fungsi pengawasan diupayakan<br />

untuk lebih mengacu kepada kedua<br />

aspek yaitu; pertama pemeriksaan dan<br />

konsultasi. Kedua efektivitas penge-<br />

Oleh Feriantin Erlina<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

lolaan resiko melalui risk based<br />

auditing, control and governance<br />

process.<br />

Assurance dan consulting dalam<br />

konsep pengawasan modern lebih menekankan<br />

kepada bagaimana memberikan<br />

pelayanan kepada organisasi secara<br />

menyeluruh, mulai dari atas sampai<br />

yang paling bawah. Sedangkan aspek<br />

pengelolaan resiko melalui risk<br />

based auditing, control dan governance<br />

processes, lebih kepada fungsi kontrol<br />

dalam pelaksanaan Good and<br />

Clean Goverment.<br />

Pemahaman atas kedua aspek<br />

tersebut terutama dalam era yang mengedepankan<br />

transparansi, dimata penulis<br />

sangatlah essential dan saling<br />

berkaitan satu sama lain, terutama untuk<br />

menciptakan Good and Clean Goverment.<br />

Assurance and consulting dalam<br />

konsep pengawasan menunjukkan<br />

bahwa praktik yang menjadi tugas<br />

internal auditor semakin luas dan lebih<br />

luas daripada istilah “pemeriksaan” semata<br />

sebagaimana dalam konsep<br />

pengawasan tradisional, sedangkan<br />

consulting services merupakan added<br />

value.<br />

Seperti di <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

Departemen <strong>Agama</strong> yang dalam melakukan<br />

audit tidak hanya berperan sebagai<br />

pengawas jalannya roda organisasi<br />

Depag baik pusat maupun daerah<br />

(watch dog), melainkan lebih kepada<br />

peran consultant dan katalis yang me-


ngacu pada SAKIP (Sistem Akuntabilitas<br />

Kinerja Instansi)<br />

Dengan demikian, adanya penambahan<br />

aspek yang tanpa mengurangi<br />

makna dari pengawasan itu sendiri,<br />

menjadikan indikator keberhasilan internal<br />

auditor bukan semata dari jumlah<br />

temuan melainkan dari ukuran sejauh<br />

mana internal auditor dapat membantu<br />

rekan sekerjanya mengatasi permasalahan<br />

atau resiko (counselling<br />

patner) yang timbul seperti praktik<br />

suap, mark up dan korupsi.<br />

Paradigma baru pengawasan<br />

adalah konsep yang saat ini diyakini<br />

sangat tepat dan bagus untuk memberantas<br />

maraknya praktek suap dan korupsi<br />

yang merasuk di banyak birokrasi<br />

pemerintahan. Untuk membangun paradigma<br />

baru tersebut menurut hemat<br />

penulis tidaklah mudah serta merta<br />

dapat dilakukan. Dibutuhkan waktu<br />

dan komitmen bersama untuk memaknai<br />

kembali hakekat fungsi pengawasan.<br />

Apalagi untuk mendukung tugas<br />

pokok dan fungsi <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

sebagai tempat bernaungnya para<br />

auditor sehingga mencapai kinerja<br />

yang optimal, selain diperlukan komitmen<br />

bersama di antara jajaran <strong>Inspektorat</strong><br />

<strong>Jenderal</strong> Departemen <strong>Agama</strong> dalam<br />

melaksanakan tugas-tugas pengawasan,<br />

mulai dalam hal perencanaan,<br />

pelaksanaan sampai dengan<br />

monitoring, diperlukan pula sarana dan<br />

prasarana teknologi informasi (IT)<br />

yang mampu menunjang fungsi koordinasi,<br />

kolaborasi dan informasi pengawasan<br />

baik secara horisontal maupun<br />

vertikal.<br />

Namun lebih dari itu, yang terpenting<br />

dan menjadi tantangan di Inspek-<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

torat <strong>Jenderal</strong> Departemen <strong>Agama</strong><br />

adalah kesiapan dan pemantapan<br />

sumber daya manusianya, SDM dalam<br />

era informasi ini merupakan aset yang<br />

diharapkan mampu merubah sesuatu<br />

yang statis menjadi dinamis, hal tersebut<br />

menunjukkan pada semakin pentingnya<br />

peran karyawan dalam instansi<br />

pemerintahan, dimana diharapkan mereka<br />

mampu meningkatkan secara terus<br />

menerus pengetahuan dan kreatifitasnya<br />

untuk memajukan instansi tersebut.<br />

Untuk menciptakan SDM tangguh<br />

dan profesional, yang dapat menyelesaikan<br />

pekerjaannya dengan penuh<br />

tanggung jawab, Menpan Taufik<br />

Effendi dalam waktu dekat ini akan<br />

memberlakukan kontrak kerja bagi<br />

PNS, kontrak kerja ini bertujuan untuk<br />

mengembalikan kepercayaan masyarakat<br />

dan menghilangkan kesan negatif<br />

masyarakat terhadap kinerja aparat<br />

dan pegawai. Kontrak kerja nanti diharapkan<br />

mampu menampilkan performance<br />

yang baik dalam pelaksanaan<br />

tugas sehari-hari, kontrak kerja tersebut<br />

berisikan tentang kesediaan dari<br />

para pejabat dan pegawai pemerintahan<br />

untuk mentaati semua aturan kerja,<br />

serta sumpah untuk tidak melakukan<br />

tindakan yang terkait dengan praktik<br />

korupsi, kolusi dan nepotisme. Pelanggaran<br />

terhadap kontrak kerja ini akan<br />

dikenai sanksi teguran sampai dengan<br />

pemberhentian.<br />

Selamat berjuang, semoga kita<br />

dapat menjadikan Departemen <strong>Agama</strong><br />

menjadi Departemen terbaik di Indonesia.<br />

3


PPA<br />

PERAN GURU TERHADAP SISWA<br />

DALAM MEREALISASIKAN PPA<br />

Oleh Nurman Kholis<br />

“Sesungguhnya nasehat guru dan dokter tidak akan berguna bila keduanya<br />

tidak dimuliakan. Bersabarlah terhadap penyakitmu saat berobat kepada<br />

dokter, dan akuilah kebodohanmu saat belajar kepada guru"<br />

Berdasarkan kata-kata hikmah ini,<br />

peran guru kepada murid seperti<br />

peran dokter kepada pasien. Guru<br />

menjadi penyembuh penyakit ruhani<br />

(mental) sedangkan dokter untuk<br />

penyakit jasmani (fisik).<br />

Seperti dinyatakan dalam katakata<br />

hikmah tersebut, guru disebut terlebih<br />

dahulu sebelum dokter. Ini menunjukkan<br />

bahwa pendewasaan ruhani<br />

harus didahulukan sebelum pendewasaan<br />

jasmani. Karena itu, Rasulullah<br />

saw bersabda, "carilah ilmu dari mulai<br />

buaian hingga ke liang lahat". Hadits<br />

ini tentu tidak dimaksudkan agar bayi<br />

yang baru lahir harus segera mencari<br />

ilmu. Karena belum bisa berbuat apaapa,<br />

kewajiban tersebut menjadi tanggung<br />

jawab orang tuanya untuk mencarikan<br />

ilmu bagi anaknya.<br />

Menurut Syekh az-Zarnuji dalam<br />

kitab Ta'limul Muta'alim, kewajiban menuntut<br />

ilmu bagi stiap Muslim bukan<br />

mempelajari segala macam ilmu. Ilmu<br />

yang paling utama adalah ilmul hal dan<br />

amal yang paling utama adalah menjalankan<br />

amal yang diwajibkan pada<br />

saat itu. Karena itu, setiap muslim wajib<br />

menuntut ilmu sesuai kondisi yang<br />

dibutuhkannya. Bila ia telah berkewajiban<br />

menjalankan salat maka berarti ia<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

wajib mengetahui ilmu tentang salat<br />

sehingga ia benar dalam melaksanakan<br />

salatnya. Maka menjadi wajib memahami<br />

ilmu tentang puasa karena kewajban<br />

hukum puasa, wajib menguasai<br />

ilmu zakat jika dia berharta, wajib<br />

mengetahui manasik haji jika ia mampu<br />

berhaji, dan wajib menguasai ilmu<br />

perdagangan jika dia berdagang.<br />

Namun, sebelum mempelajari<br />

ilmu-ilmu yang lain, seorang guru harus<br />

mengajarkan terlebih dahulu niat<br />

yang benar dalam mencari ilmu. Syekh<br />

az-Zarnuji dalam kitab yang sama juga<br />

menyatakan, ketika menuntut ilmu<br />

hendaklah berniat mencari ridha Allah<br />

ta'ala, mengharap kebahagiaan di akhirat,<br />

menghilangkan kebodohan dalam<br />

diri dan orang lain, menghidupkan<br />

din (agama), dan melestarikan Islam.<br />

Sebab, keabadian Islam adalah dengan<br />

ilmu.<br />

Dengan demikian, ilmu yang<br />

pertama kali wajib dipelajari seorang<br />

murid adalah Ilmu Tauhid (mengenal<br />

Allah disertai dalil-dalilnya). Bila ilmu<br />

tauhid ini dipahami dengan benar oleh<br />

seorang murid, maka ia akan menyadari<br />

dirinya hanyalah sebagai makhluk<br />

(yang dicipta). Ia pun akan merasa diawasi<br />

kholik (pencipta) yang diwujud-


kan dengan akhlak (perbuatan) yang<br />

benar. Karena itu, akhlak terjadi melalui<br />

sejauhmana hubungan antara<br />

makhluk dengan khaliknya.<br />

Dalam hal ini, Abu Hanifah yang<br />

dikenal dengan sebutan Imam Hanafi<br />

merupakan salah satu sosok seorang<br />

murid yang berakhlak mulia. Hal ini seperti<br />

yang pernah dikatakannya, "Aku<br />

dapat memperoleh ilmu dengan bersyukur<br />

mengucapkan alhamdulillah.<br />

Setiap kali aku paham dan menguasai<br />

fiqih dan hikmah pastilah aku ucapkan<br />

alhamdulillah. Maka ilmuku selalu bertambah."<br />

Dengan demikian, bila seorang<br />

guru berhasil mendidik dan memberi<br />

keteladanan kepada muridnya dengan<br />

baik dan benar, maka muridnya akan<br />

mampu bersyukur baik dengan lisan,<br />

hati, perbuatan dan hartanya. Ia pun<br />

benar-benar akan menyadari, bahwa<br />

kepahaman, ilmu, dan taufik adalah<br />

dari Allah ta'ala. Si murid pun akan<br />

mengakui bahwa hanya Allah Yang<br />

Maha Kuasa. Ia pun sekali-kali tidak<br />

akan berpegang teguh kepada kemampuan<br />

diri dan akalnya saja tetapi<br />

menyerahkan segalanya kepada Allah<br />

dan memohon kebenaran dari-Nya.<br />

Berdasarkan paparan di atas, pengenalan<br />

terhadap Allah akan menentukan<br />

sejauh mana akhlak seorang<br />

manusia. Bila seseorang, sekelompok<br />

orang, atau seluruh manusia memilki<br />

akhlak yang baik dan benar, maka ia<br />

akan mengenal Allah itu adalah satusatunya<br />

rabbul 'alamin (pengatur semesta<br />

alam). Mereka pun akan diberi<br />

kemampuan oleh Allah untuk mengatur<br />

alam ini. Sebaliknya, bila manusia tidak<br />

mau mengenal Allah atau salah<br />

PPA<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

dalam mengenal-Nya, maka manusia<br />

tidak akan mampu mengatur bahkan<br />

justru akan menjadi perusak alam ini.<br />

Dalam hal ini, segelintir ulama<br />

yang datang ke Nusantara pada abad<br />

ke-7 yang silam merupakan salah satu<br />

dari sekelompok orang yang mampu<br />

mengenal Allah dengan baik dan benar.<br />

Mereka pun mewariskan ilmu tauhid<br />

yang mereka pelajari kepada generasi<br />

selanjutnya secara turun-temurun.<br />

Hingga secara bertahap, mereka dapat<br />

mewujudkan ajaran Islam yang berisi<br />

rahmat bagi semesta alam. Selanjutnya,<br />

mereka berhasil mempersatukan<br />

penduduk Nusantara yang terdiri<br />

dari sekian pulau, budaya, dan bahasa<br />

serta berbagai keanekaragamaan lainnya<br />

ke dalam satu wilayah. Mereka<br />

juga tidak memaksakan kehendaknya<br />

kepada penganut agama lain untuk<br />

memasuki agama Islam, sebagaimana<br />

perintah Allah, "Tidak ada paksaan dalam<br />

agama (Islam)." Pada akhirnya Islam<br />

menjadi agama yang dianut sebagian<br />

besar penduduk di Nusantara,<br />

meskipun letaknya sangat jauh dari<br />

Arab yang penduduknya kemudian terpecah<br />

ke dalam berbagai negara meskipun<br />

satu bahasa dan satu daratan.<br />

Para ulama berjuang selama tiga<br />

setengah abad lamanya untuk mempertahankan<br />

Nusantara ini dari penjajah<br />

Portugis, Belanda, dan Jepang<br />

yang berusaha mengambil kekayaan<br />

alam di Nusantara ini dengan cara<br />

yang bathil. Semua itu mereka lakukan<br />

demi mempertahankan ajaran Islam<br />

yang memberi rahmat, bukan hanya<br />

kepada umat Islam saja juga kepada<br />

umat lainnya, kepada binatang, dan<br />

pepohonan, khususnya yang ada di


Nusantara.<br />

Demikian gambaran jasa para ulama<br />

dan murid-muridnya yang mampu<br />

mengenal Allah dengan benar. Mereka<br />

mampu menjalankan Alquran dan as-<br />

Sunnah dengan bimbingan para ulama.<br />

Para ulama ini merupakan murid<br />

para ulama sebelumnya yang bersambung<br />

hingga Rasulullah saw. Mereka<br />

mampu berbuat adil atau meletakan<br />

sesuatu pada tempatnya. Semua itu<br />

bermula dari pengenalan mereka<br />

terhadap Allah. Ketika nama Allah disebut<br />

maka bergetarlah hati mereka.<br />

Mereka pun mampu menggetarkan<br />

hati para penduduk di Nusantara ini<br />

hingga memeluk Islam secara sukarela.<br />

Mereka juga sangat paham betul,<br />

Nusantara merupakan kepulauan.<br />

Bahkan sebagian besar adalah kepulauan<br />

yang kecil-kecil. Karena itu mereka<br />

berusaha agar populasi pepohonan<br />

di wilayah Nusantara ini terjaga. Hal<br />

ini mereka lakukan dengan memprioritaskan<br />

pertanian sebagai mata pencarian<br />

bagi penduduk Nusantara. Mereka<br />

juga memahami, keadaan alam di<br />

Nusantara berbeda dengan Arab, Afrika,<br />

dan Eropa. Ketiga kawasan ini merupakan<br />

tanah daratan sehingga bila<br />

dijadikan lahan industri tidak mengganggu<br />

keseimbangan alam di sana.<br />

Hal ini berbeda dengan Nusantara.<br />

Bila pepohonan yang ada di pulaupulau<br />

di Nusantara yang kecil-kecil ini<br />

ditebang maka pepohonan yang berfungsi<br />

sebagai pasak bagi bumi menjadi<br />

berkurang. Akibatnya, pulau-pulau<br />

Randang<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

tersebut akan rentan terhadap banjir,<br />

kemarau, gempa bumi, dan sebagainya.<br />

Karena itu mereka mengembangkan<br />

sektor pertanian. Di samping dapat<br />

menjaga kebutuhan primer penduduk<br />

Nusantara, hal ini juga dapat menjaga<br />

kelestarian alam.<br />

Lalu, bagaimana yang terjadi sejak<br />

100 tahun, 10 tahun dan 1 tahun<br />

belakangan ini? Apakah kaum muslimin<br />

di Nusantara dapat menjaga kelestarian<br />

alam atau sebaliknya selalu<br />

ditimpa bencana alam? Bagaimana<br />

niat dalam belajar para generasi mudanya?<br />

Apakah seperti dinyatakan Syekh<br />

az-Zarnuji yang mengatakan, "ketika<br />

menuntut ilmu hendaklah berniat<br />

mencari ridha Allah ta'ala, mengharap<br />

kebahagiaan di akhirat, menghilangkan<br />

kebodohan dalam diri dan orang<br />

lain, menghidupkan din (agama), dan<br />

melestarikan Islam. Sebab, keabadian<br />

Islam adalah dengan ilmu". Atau para<br />

generasi mudanya selalu dirangsang<br />

untuk memiliki niat mencari ilmu untuk<br />

"mengejar ketertinggalan dalam ilmu<br />

pengetahuan dan teknologi dari Barat"<br />

sementara yang dikejar semakin tidak<br />

terkejar? Atau para generasi kaum<br />

Muslimin selanjutnya sudah<br />

menganggap kuno, kolot atau kampungan<br />

terhadap kitab Ta'limul Muta'alim?<br />

Bukankah kitab ini merupakan salah<br />

satu kitab yang memasyarakat sekian<br />

abad lamanya di Nusantara ini?<br />

Selanjutnya, lihatlah lahan-lahan<br />

subur di Nusantara saat ini. Dimiliki<br />

siapa dan dinikmati siapa lahan-lahan<br />

tersebut? 3


Randang<br />

INSTRUKSI MENTE<strong>RI</strong> AGAMA REPUBLIK INDONESIA<br />

NOMOR 2 TAHUN 2004<br />

TENTANG<br />

PENINGKATAN PELAYAAN PERNIKAHAN<br />

PADA KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN<br />

MENTE<strong>RI</strong> AGAMA REPUBLIK INDONESIA,<br />

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah<br />

Nomor 51 <strong>Tahun</strong> 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan<br />

Negara Bukan Pajak Yang berlaku Pada Departemen <strong>Agama</strong>,<br />

dipandang perlu mengeluarkan instruksi pelaksanaannya.<br />

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 <strong>Tahun</strong> 1946 tentang<br />

Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (Lembaran Negara<br />

<strong>Tahun</strong> 1946 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara<br />

Nomor 694);<br />

2. Undang-undang Nomor 32 <strong>Tahun</strong> 1954 tentang<br />

Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor 22 <strong>Tahun</strong><br />

1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di seluruh<br />

Daerah Luar Jawa dan Madura (Tambahan Lembaran<br />

Negara Nomor 694);<br />

3. Undang-undang Nomor 1 <strong>Tahun</strong> 1974 tentang<br />

Perkawinan (Lembaran Negara <strong>Tahun</strong> 1974 Nomor 1,<br />

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);<br />

4. Undang-undang Nomor 7 <strong>Tahun</strong> 1989 tentang Peradilan<br />

<strong>Agama</strong> (Lembaran Negara <strong>Tahun</strong> 1989 Nomor 49,<br />

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400);<br />

5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 <strong>Tahun</strong> 1975 tentang<br />

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 <strong>Tahun</strong> 1974<br />

tentang Perkawinan (Lembaran Negara <strong>Tahun</strong> 1975<br />

Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250);<br />

6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 <strong>Tahun</strong> 2000 tentang<br />

Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang<br />

berlaku pada Departemen <strong>Agama</strong> (Lembaran Negara<br />

<strong>Tahun</strong> 2000 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />

3979);<br />

7. Keputusan Presiden Nomor 102 <strong>Tahun</strong> 2001 tentang<br />

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004


Randang<br />

Organisasi, dan Tata Kerja Departemen yang telah diubah<br />

dengan Keputusan Presiden Nomor 22 <strong>Tahun</strong> 2004;<br />

8. Keputusan Presiden Nomor 109 <strong>Tahun</strong> 2001 tentang Unit<br />

Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen yang telah<br />

diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 77 <strong>Tahun</strong><br />

2004;<br />

9. Keputusan Presiden Nomor 49 <strong>Tahun</strong> 2002 tentang<br />

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata<br />

Kerja Instansi Vertikal Departemen <strong>Agama</strong> yang telah<br />

diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 85 <strong>Tahun</strong><br />

2002;<br />

10. Keputusan Bersama Menteri <strong>Agama</strong> dengan Menteri Luar<br />

Negeri Nomor 589 <strong>Tahun</strong> 1999 dan Nomor<br />

182/OT/X/99/01 <strong>Tahun</strong> 1999 tentang Petunjuk<br />

Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di<br />

Luar Negeri;<br />

11. Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 1 <strong>Tahun</strong> 2001 tentang<br />

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan<br />

Organisasi dan Tata Kerja Departemen <strong>Agama</strong>;<br />

12. Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 517 <strong>Tahun</strong> 2001<br />

tentang Penetaan Organisasi Kantor Urusan <strong>Agama</strong><br />

Kecamatan;<br />

13. Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 373 <strong>Tahun</strong> 2002<br />

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah<br />

Departemen <strong>Agama</strong> Provinsi dan Kantor Departemen<br />

<strong>Agama</strong> Kabupaten/Kota, sebagaimana telah diubah<br />

dengan Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 480 <strong>Tahun</strong><br />

2003;<br />

14. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara<br />

Nomor Kep/42/M-PAN/4/2004 tentang Jabatan Fungsional<br />

Penghulu;<br />

15. Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 301 <strong>Tahun</strong> 2004<br />

tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional<br />

Penghulu.<br />

MENGINSTRUKSIKAN:<br />

Kepada : Para Kepala Kantor Wilayah Departemen <strong>Agama</strong> Provinsi<br />

seluruh Indonesia<br />

Untuk :<br />

Pertama : Memerintahkan kepada Kepala KUA Kecamatan di<br />

lingkungannya masing-masing untuk:<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004


Randang<br />

1. tidak memungut biaya tambahan terhadap pernikahan<br />

yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan<br />

sebesar Rp30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) sebagaimana<br />

ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 <strong>Tahun</strong> 2000;<br />

2. tidak memungut biaya tambahan terhadap biaya bedolan<br />

yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang disetujui<br />

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang<br />

bersangkutan;<br />

3. membebaskan biaya pencatatan nikah bagi pasangan<br />

calon pengantin yang tidak mampu dengan menunjukkan<br />

surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Lurah;<br />

4. mendorong pertumbuhan kreativitas masyarakat di bidang<br />

perkawinan dan mengoptimalkan fungsi BP-4 dalam<br />

rangka memperluas jangkauan pelayanan dan<br />

kemudahan bagi masyarakat yang kurang mampu;<br />

5. menyerahkan akta nikah kepada kedua mempelai sesaat<br />

setelah ijab dan qabul;<br />

6. memberikan duplikat akta nikah kepada pasangan<br />

pengantin yang karena sesuatu hal akta nikahnya hilang<br />

atau rusak dengan menyerahkan bukti surat keterangan<br />

kehilangan dari kepolisian;<br />

7. meningkatkan transparansi biaya pencatatan nikah<br />

dengan mencantumkan tarif biaya nikah dan standar<br />

pelayanan nikah pada tempat yang mudah diketahui oleh<br />

umum disetiap Kantor Urusan <strong>Agama</strong> Kecamatan dan<br />

sosialisasi kepada masyarakat.<br />

Kedua : Melaporkan pelaksanaan instruksi ini kepada Menteri <strong>Agama</strong><br />

dan mengambil langkah-langkah penertiban dan penerapan<br />

sanksi terhadap pelanggar sesuai dengan ketentuan dan<br />

peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />

Ketiga : Instruksi ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br />

Ditetapkan di Jakarta<br />

pada tanggal 22 Nopember 2004<br />

MENTE<strong>RI</strong> AGAMA REPUBLIK INDONESIA<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

ttd<br />

MUHAMMAD M. BASYUNI


E Y D<br />

PEMAKAIAN TANDA BACA<br />

A. Tanda Titik (.)<br />

1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat<br />

yang bukan pertanyaan atau<br />

seruan.<br />

Misalnya:<br />

Ayahku tinggal di Solo.<br />

Biarlah mereka duduk di sana.<br />

Dia menanyakan siapa yang akan<br />

datang.<br />

Hari ini tanggal 6 April 1973.<br />

Marilah kita mengheningkan<br />

cipta.<br />

2. Tanda titik dipakai di belakang<br />

angka atau huruf dalam suatu bagan,<br />

ikhtisar, atau daftar.<br />

Misalnya:<br />

a. III. Departemen Dalam Negeri<br />

A. Direktorat <strong>Jenderal</strong> Pembangunan<br />

Masyarakat<br />

Desa<br />

B. Direktorat <strong>Jenderal</strong> Agraria<br />

1. . . .<br />

b. 1. Patokan Umum<br />

1.1 Isi Karangan<br />

1.2 Ilustrasi<br />

1.2.1 Gambar tangan<br />

1.2.2 Tabel<br />

1.2.3 Grafik<br />

Catatan:<br />

Tanda titik tidak dipakai di belakang angka<br />

atau huruf dalam suatu bagan atau<br />

ikhtisar jika angka atau huruf itu merupakan<br />

yang terakhir dalam deretan angka<br />

atau huruf.<br />

3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan<br />

angka jam, menit, dan detik<br />

yang menunjukkan waktu.<br />

Misalnya:<br />

pukul 1.35.20 (pukul 1 lewat 35<br />

menit 20 detik)<br />

4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan<br />

angka jam, menit, dan detik<br />

yang menunjukkan jangka waktu.<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Misalnya:<br />

1.35.20 (1 jam, 35 menit, 20 detik)<br />

0.20.30 (20 menit, 30 detik)<br />

0.0.30 (30 detik)<br />

5. Tanda titik dipakai di antara nama<br />

penulis, judul tulisan yang tidak<br />

berakhir dengan tanda tanya dan<br />

tanda seru, dan tempat terbit dalam<br />

daftar pustaka.<br />

Misalnya:<br />

Siregar, Merari. 1920. Azab dan<br />

Sengsara. Weltevreden: Balai<br />

Poestaka.<br />

6a. Tanda titik dipakai untuk memisahkan<br />

bilangan ribuan atau kelipatannya.<br />

Misalnya:<br />

Desa itu berpenduduk 24.200<br />

orang.<br />

Gempa yang terjadi semalam<br />

menewaskan 1.231 jiwa.<br />

6b. Tanda titik tidak dipakai untuk<br />

memisahkan bilangan ribuan<br />

atau kelipatannya yang tidak menunjukkan<br />

jumlah.<br />

Misalnya:<br />

Ia lahir pada tahun 1956 di Bandung.<br />

Nomor gironya 5645678.<br />

7. Tanda titik tidak dipakai pada akhir<br />

judul yang merupakan kepala karangan<br />

atau kepala ilustrasi, tabel,<br />

dan sebagainya.<br />

Misalnya:<br />

Acara Kunjungan Adam Malik<br />

Bentuk dan Kedaulatan (Bab I<br />

UUD ‘45)<br />

Salah Asuhan<br />

8. Tanda titik tidak dipakai di belakang<br />

(1) alamat pengirim dan tanggal<br />

surat atau (2) nama dan alamat<br />

penerima surat.


Misalnya:<br />

Jalan Diponegoro 82<br />

Jakarta<br />

1 April 1985<br />

Yth. Sdr. Moh. Hasan<br />

Jalan Arif 43<br />

Palembang<br />

Atau:<br />

Kantor Penempatan Tenaga<br />

Jalan Cikini 71<br />

Jakarta<br />

B. Tanda Koma (,)<br />

1. Tanda koma dipakai di antara<br />

unsur-unsur dalam suatu perincian<br />

atau pembilangan.<br />

Misalnya:<br />

Saya membeli kertas, pena, dan<br />

tinta.<br />

Surat biasa, surat kilat, ataupun<br />

surat khusus memerlukan perangko.<br />

Satu, dua, ... tiga!<br />

2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan<br />

kalimat setara yang satu<br />

dari kalimat setara berikutnya yang<br />

didahului oleh kata seperti tetapi<br />

atau melainkan.<br />

Misalnya:<br />

Saya ingin datang, tetapi hari<br />

hujan.<br />

Didi bukan anak saya, melainkan<br />

anak Pak Kasim.<br />

3a. Tanda koma dipakai untuk memisahkan<br />

anak kalimat dari induk<br />

kalimat jika anak kalimat itu<br />

mendahului induk kalimatnya.<br />

Misalnya:<br />

Kalau hari hujan, saya tidak akan<br />

datang.<br />

Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.<br />

3b. Tanda koma tidak dipakai untuk<br />

memisahkan anak kalimat dari<br />

induk kalimat jika anak kalimat<br />

itu mengiringi induk kalimatnya.<br />

E Y D<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Misalnya:<br />

Saya tidak akan datang kalau<br />

hari hujan.<br />

Dia lupa akan janjinya karena<br />

sibuk.<br />

4. Tanda koma dipakai di belakang<br />

kata atau ungkapan penghubung<br />

antarkalimat yang terdapat pada<br />

awal kalimat. Termasuk di dalamnya<br />

oleh karena itu, jadi, lagi pula,<br />

meskipun begitu, akan tetapi.<br />

Misalnya:<br />

... Oleh karena itu, kita harus<br />

berhati-hati.<br />

... Jadi, soalnya tidak semudah itu.<br />

5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan<br />

kata seperti o, ya, wah,<br />

aduh, kasihan dari kata yang lain di<br />

dalam kalimat.<br />

Misalnya:<br />

O, begitu?<br />

Wah, bukan main!<br />

Hati-hati, ya, nanti jatuh.<br />

6. Tanda koma dipakai untk memisahkan<br />

petikan langsung dari bagian<br />

lain dalam kalimat. (Lihat juga<br />

pemakaian tanda petik)<br />

Misalnya:<br />

Kata Ibu, “Saya gembira sekali.”<br />

“Saya gembira sekali,” kata Ibu,<br />

“karena kamu lulus.”<br />

7. Tanda koma dipakai di antara (i)<br />

nama dan alamat, (ii) bagianbagian<br />

alamat, (iii) tempat dan<br />

tanggal, dan (iv) nama tempat dan<br />

wilayah atau negeri yang ditulis<br />

berurutan.<br />

Misalnya:<br />

Surat-surat ini harap dialamatkan kepada<br />

Dekan Fakultas Kedokteran,<br />

Universitas Indonesia, Jalan Salemba<br />

Raya 6, Jakarta.<br />

Surabaya, 10 Mei 1960<br />

Kuala Lumpur, Malaysia<br />

8. Tanda koma dipakai untuk menceraikan<br />

bagian nama yang dibalik


susunannya dalam daftar pustaka.<br />

Misalnya:<br />

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949.<br />

Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia.<br />

Jilid 1 dan 2. Djakarta: PT Pustaka<br />

Rakjat.<br />

9. Tanda koma dipakai di antara<br />

bagian-bagian dalam catatan kaki.<br />

Misalnya:<br />

W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa<br />

Indonesia untuk Karang-mengarang<br />

(Jogjakarta: UP Indonesia,<br />

1967), hlm. 4.<br />

10. Tanda koma dipakai di antara<br />

nama orang dan gelar akademik<br />

yang mengikutinya untuk membedakannya<br />

dari singkatan nama diri,<br />

keluarga, atau marga.<br />

Misalnya:<br />

B. Ratulangi, S.E.<br />

Ny. Khadijah, M.A.<br />

11. Tanda koma dipakai di muka angka<br />

persepuluhan atau di antara rupiah<br />

dan sen yang dinyatakan dengan<br />

angka.<br />

Misalnya:<br />

12,5 m<br />

Rp12,50<br />

12. Tanda koma dipakai untuk mengapit<br />

keterangan tambahan yang sifatnya<br />

tidak membatasi. (Lihat juga<br />

pemakaian tanda pisah)<br />

Misalnya:<br />

Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.<br />

Di daerah kami, misalnya, masih<br />

banyak orang laki-laki yang memakan<br />

sirih.<br />

Semua siswa, baik yang laki-laki<br />

maupun yang perempuan, mengikuti<br />

latihan paduan suara.<br />

Bandingkan dengan keterangan pembatas<br />

yang pemakaiannya tidak diapit<br />

tanda koma:<br />

Semua siswa yang lulus ujian mendaftarkan<br />

namanya pada panitia.<br />

E Y D<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

13. Tanda koma dapat dipakai --untuk<br />

menghindari salah baca-- di belakang<br />

keterangan yang terdapat<br />

pada awal kalimat.<br />

Misalnya:<br />

Dalam pembinaan dan pengembangan<br />

bahasa, kita memerlukan sikap yang<br />

bersungguh-sungguh.<br />

Atas bantuan Agus, Karyadi mengucapkan<br />

terima kasih.<br />

Bandingkan dengan:<br />

Kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh<br />

dalam pembinaan<br />

dan pengembangan bahasa.<br />

Karyadi mengucapkan terima kasih<br />

atas bantuan Agus.<br />

14. Tanda koma tidak dipakai untuk<br />

memisahkan petikan langsung dari<br />

bagian lain yang mengiringinya dalam<br />

kalimat jika petikan langsung<br />

itu berakhir dengan tanda tanya<br />

atau tanda seru.<br />

Misalnya:<br />

“Di mana Saudara tinggal?” tanya<br />

Karim.<br />

“Berdiri lurus-lurus!” perintahnya.<br />

C. Tanda Titik Koma (;)<br />

1. Tanda titik koma dapat dipakai untuk<br />

memisahkan bagian-bagian<br />

kalimat yang sejenis dan setara.<br />

Misalnya:<br />

Malam makin larut; pekerjaan belum<br />

selesai juga.<br />

2. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai<br />

pengganti kata penghubung<br />

untuk memisahkan kalimat yang<br />

setara di dalam kalimat majemuk.<br />

Misalnya:<br />

Ayah mengurus tanamannya di kebun<br />

itu; Ibu sibuk bekerja di dapur; Adik<br />

menghapal nama-nama pahlawan<br />

nasional; saya sendiri asyik mendengarkan<br />

siaran “Pilihan Pendengar”.<br />

D. Tanda Titik Dua (:)<br />

1a. Tanda titik dua dapat dipakai pada<br />

akhir suatu pernyataan lengkap<br />

jika diikuti rangkaian atau peme-


ian.<br />

Misalnya:<br />

Kita sekarang memerlukan perabot<br />

rumah tangga: kursi, meja, dan lemari.<br />

Hanya ada dua pilihan bagi para<br />

pejuang kemerdekaan itu: hidup atau<br />

mati.<br />

1b. Tanda titik dua tidak dipakai jika<br />

rangkaian atau perian itu merupakan<br />

pelengkap yang mengakhiri<br />

pernyataan.<br />

Misalnya:<br />

Kita memerlukan kursi, meja, dan<br />

lemari.<br />

Fakultas itu mempunyai Jurusan<br />

Ekonomi Umum dan Jurusan Ekonomi<br />

Perusahaan.<br />

2. Tanda titik dua dipakai sesudah<br />

kata atau ungkapan yang memerlukan<br />

pemerian.<br />

Misalnya:<br />

a. Ketua : Ahmad Wijaya<br />

Sekretaris : S. Handayani<br />

Bendahara : B. Hartawan<br />

b. Tempat Sidang : Ruang 104<br />

Pengantar Acara : Bambang<br />

Hari : Senin<br />

Waktu : 09.30<br />

3. Tanda titik dua dapat dipakai dalam<br />

teks drama sesudah kata yang<br />

menunjukkan pelaku dalam percakapan.<br />

Misalnya:<br />

Ibu : (meletakkan beberapa<br />

kopor) “Bawa kopor ini,<br />

Mir!”<br />

Amir : “Baik, Bu.” (mengangkat<br />

kopor dan masuk)<br />

Ibu : Jangan lupa, Letakkan<br />

baik-baik!” (duduk di kursi<br />

besar)<br />

4. Tanda titik dua dipakai (i) di antara<br />

jilid atau nomor dan halaman, (ii)<br />

di antara bab dan ayat dalam kitab<br />

suci, (iii) di antara judul dan anak<br />

judul suatu karangan, serta (iv)<br />

nama kota dan penerbit buku<br />

acuan dalam karangan.<br />

E Y D<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Misalnya:<br />

Tempo, I (1971), 34:7<br />

Surah Yasin:9<br />

Karangan Ali Hakim, Pendidikan<br />

Seumur Hidup: Sebuah Studi, sudah<br />

terbit.<br />

Tjokronegoro, Sutomo, Tjukupkah<br />

Saudara Membina Bahasa Persatuan<br />

Kita? Djakarta: Eresco, 1968.<br />

E. Tanda Hubung (-)<br />

1. Tanda hubung menyambung sukusuku<br />

kata dasar yang terpisah oleh<br />

pergantian baris.<br />

Misalnya:<br />

Di samping cara-cara lama itu juga<br />

cara yang baru.<br />

Suku kata yang berupa satu vokal<br />

tidak ditempatkan pada ujung baris<br />

atau pangkal baris.<br />

Misalnya:<br />

Beberapa pendapat menganai masalah<br />

itu telah disampaikan ....<br />

Walaupun sakit, mereka tetap tidak mau<br />

beranjak ....<br />

atau<br />

Beberapa pendapat mengenai masalah<br />

itu telah disampaikan ....<br />

walaupun sakit, mereka tetap tidak mau<br />

beranjak ....<br />

bukan<br />

Beberapa pendapat mengenai masalah itu<br />

telah disampaikan ....<br />

Walaupun sakit, mereka tetap tidak mau<br />

beranjak ....<br />

2. Tanda hubung menyambung<br />

awalan dengan bagian kata di<br />

belakangnya atau akhiran dengan<br />

kata di depannya pada pergantian<br />

baris.<br />

Misalnya:<br />

Kini ada cara yang baru untuk mengukur<br />

panas.<br />

Senjata ini merupakan alat pertahanan<br />

yang canggih.<br />

Akhiran i tidak dipenggal supaya jangan<br />

terdapat satu huruf saja pada pangkal<br />

baris.<br />

3. Tanda hubung menyambung<br />

unsur-unsur kata ulang.


Misalnya:<br />

anak-anak, berulang-ulang, kemerahmerahan<br />

Angka 2 sebagai tanda ulang hanya<br />

digunakan pada tulisan cepat dan<br />

notula, dan tidak dipakai pada teks<br />

karangan.<br />

4. Tanda hubung menyambung huruf<br />

kata yang dieja satu-satu dan<br />

bagian-bagian tanggal.<br />

Misalnya:<br />

p-a-n-i-t-i-a<br />

8-4-1973<br />

5. Tanda hubung boleh dipakai untuk<br />

memperjelas (i) hubungan bagianbagian<br />

kata atau ungkapan, dan<br />

(ii) penghilangan bagian kelompok<br />

kata.<br />

Misalnya:<br />

ber-evolusi, dua puluh lima-ribuan (20<br />

x 5000), tanggung jawab-dan<br />

kesetiakawanan-sosial<br />

Bandingkan dengan:<br />

be-revolusi, dua-puluh lima ribuan (1 x<br />

25000), tanggung jawab dan<br />

kesetiakawanan sosial<br />

6. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan<br />

(i) se- dengan kata berikutnya<br />

yang dimulai dengan huruf<br />

kapital, (ii) ke- dengan angka,<br />

(iii) angka dengan -an, (iv) singkatan<br />

berhuruf kapital dengan imbuhan<br />

atau kata, dan (v) nama jabatan<br />

rangkap.<br />

Misalnya:<br />

se-Indonesia, hadiah ke-2, tahun 50an,<br />

mem-PHK-kan, hari-H, sinar-X,<br />

Menteri-Sekretaris Negara<br />

7. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan<br />

unsur bahasa Indonesia<br />

dengan unsur bahasa asing.<br />

Misalnya:<br />

di-smash, pen-tackle-an<br />

F. Tanda Pisah (–)<br />

E Y D<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

1. Tanda pisah membatasi penyisipan<br />

kata atau kalimat yang memberi<br />

penjelasan di luar bangun kalimat.<br />

Misalnya:<br />

Kemerdekaan bangsa itu–saya yakin<br />

akan tercapai– diperjuangkan oleh<br />

bangsa itu sendiri.<br />

2. Tanda pisah menegaskan adanya<br />

keterangan yang lain sehingga kalimat<br />

menjadi lebih jelas.<br />

Misalnya:<br />

Rangkaian temuan ini–evolusi, teori<br />

kenisbian, dan kini juga pembelahan<br />

atom–telah mengubah konsepsi kita<br />

tentang alam semesta.<br />

3. Tanda pisah dipakai di antara dua<br />

bilangan, tanggal, atau nama kota<br />

dengan arti ‘sampai dengan’ atau<br />

‘sampai ke’.<br />

Misalnya:<br />

1910–1945<br />

tanggal 5–10 April 1970<br />

Jakarta–Bandung<br />

Catatan:<br />

Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan<br />

dengan dua buah tanda hubung<br />

tanpa spasi sebelum dan sesudahnya.<br />

G. Tanda Elipsis (...)<br />

1. Tanda elipsis dipakai dalam<br />

kalimat yang terputus-putus.<br />

Misalnya:<br />

Kalau begitu ... ya, marilah kita<br />

bergerak.<br />

2. Tanda elipsis menunjukkan bahwa<br />

dalam suatu kalimat atau naskah<br />

ada bagian yang dihilangkan.<br />

Misalnya:<br />

Sebab-sebab kemerosotan ... akan<br />

diteliti lebih lanjut.<br />

Catatan:<br />

jika bagian yang dihilangkan mengakhiri<br />

sebuah kalimat, perlu dipakai<br />

empat buah titik; tiga buah untuk<br />

menandai penghilangan teks dan satu<br />

untuk menandai akhir kalimat.


Misalnya:<br />

Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan<br />

dengan hati-hati....<br />

H. Tanda Tanya (?)<br />

1. Tanda tanya dipakai pada akhir<br />

kalimat tanya.<br />

Misalnya:<br />

Kapan ia berangkat?<br />

Saudara tahu, bukan?<br />

2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda<br />

kurung untuk menyatakan bagian<br />

kalimat yang disangsikan<br />

atau yang kurang dapat dibuktikan<br />

kebenarannya.<br />

Misalnya:<br />

Ia dilahirkan pada tahun 1983 (?).<br />

Uangnya sebanyak 10 juta (?) hilang.<br />

I. Tanda Seru (!)<br />

Tanda seru dipakai sesudah ungkapan<br />

atau pernyataan yang berupa seruan<br />

atau perintah yang menggambarkan<br />

kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun<br />

rasa emosi yang kuat.<br />

Misalnya:<br />

Alangkah seramnya peristiwa itu!<br />

Bersihkan kamar itu sekarang juga!<br />

Masakan! Sampai hati juga ia meninggalkan<br />

anak-istrinya!<br />

Merdeka!<br />

J. Tanda Kurung ((...))<br />

1. Tanda kurung mengapit tambahan<br />

keterangan atau penjelasan.<br />

Misalnya:<br />

Bagian Perencanaan sudah selesai<br />

menyusun DIK (Daftar Isian Kegiatan)<br />

kantor itu.<br />

2. Tanda kurung mengapit keterangan<br />

atau penjelasan yang bukan<br />

bagian integral pokok pembicaraan.<br />

Misalnya:<br />

Sajak Tranggono yang berjudul<br />

“Ubud” (nama tempat yang terkenal di<br />

Bali) ditulis pada tahun 1962.<br />

E Y D<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Keterangan itu (lihat Tabel 10) menunjukkan<br />

arus perkembangan baru<br />

dalam pasaran dalam negeri.<br />

3. Tanda kurung mengapit huruf atau<br />

kata yang kehadirannya di dalam<br />

teks bisa dihilangkan.<br />

Misalnya:<br />

Kata cocaine diserap kedalam bahasa<br />

Indonesia menjadi kokain(a).<br />

Pejalan kaki itu berasal dari (kota)<br />

Surabaya.<br />

4. Tanda kurung mengapit kata atau<br />

huruf yang memerinci satu urutan<br />

keterangan.<br />

Misalnya:<br />

Faktor produksi menyangkut masalah<br />

(a) alam, (b) tenaga kerja, dan (c) modal.<br />

K. Tanda Kurung Siku ([...])<br />

1. Tanda kurung siku mengapit huruf,<br />

kata, atau kelompok kata sebagai<br />

koreksi atau tambahan pada<br />

kalimat atau bagian kalimat yang<br />

ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan<br />

bahwa kesalahan atau<br />

kekurangan itu memang terdapat<br />

di dalam naskah asli.<br />

Misalnya:<br />

Sang Sapurba men[d]engar bunyi<br />

gemerisik.<br />

2. Tanda kurung siku mengapit keterangan<br />

dalam kalimat penjelas<br />

yang sudah bertanda kurung.<br />

Misalnya:<br />

Persamaan kedua proses ini (perbedaannya<br />

dibicarakan di dalam Bab<br />

II [lihat halaman 35–38]) perlu dibentangkan<br />

di sini.<br />

L. Tanda Petik (“...”)<br />

1. Tanda petik mengapit petikan<br />

langsung yang berasal dari pembicaraan<br />

dan naskah atau bahan<br />

tertulis lain.<br />

Misalnya:<br />

“Saya belum siap,” kata Mira, “tunggu


sebentar!”<br />

Pasal 36 UUD 1945 berbunyi,<br />

“Bahasa Negara adalah bahasa<br />

Indonesia.”<br />

2. Tanda petik mengapit judul syair,<br />

karangan, atau bab buku yang<br />

dipakai dalam kalimat.<br />

Misalnya:<br />

Bacalah “Bola Lampu” dalam buku<br />

Dari Suatu Masa, dari Suatu Tempat.<br />

Karangan Andi Nasoetion yang<br />

berjudul “Rapor dan Nilai Prestasi di<br />

SMA” diterbitkan dalam Tempo.<br />

3. Tanda petik mengapit istilah ilmiah<br />

yang kurang dikenal atau kata<br />

yang mempunyai arti khusus.<br />

Misalnya:<br />

Pekerjaan itu dilaksanakan dengan<br />

cara “coba dan ralat” saja.<br />

Ia bercelana panjang yang di kalangan<br />

remaja dikenal dengan nama “cutbrai”.<br />

4. Tanda petik penutup mengikuti<br />

tanda baca yang mengakhiri petikan<br />

langsung.<br />

Misalnya:<br />

Kata Tono, “Saya juga minta satu.”<br />

5. Tanda baca penutup kalimat atau<br />

bagian kalimat ditempatkan di belakang<br />

tanda petik yang mengapit<br />

kata atau ungkapan yang dipakai<br />

dengan arti khusus pada ujung kalimat<br />

atau bagian kalimat.<br />

Misalnya:<br />

Karena warna kulitnya, Budi mendapat<br />

julukan “si Hitam”.<br />

Bang Komar sering disebut “pahlawan”;<br />

ia sendiri tidak tahu sebabnya.<br />

Catatan:<br />

Tanda petik pembuka dan tanda petik<br />

penutup pada pasangan tanda petik itu<br />

ditulis sama tinggi di sebelah atas baris.<br />

E Y D<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

M. Tanda Petik Tunggal (‘...’)<br />

1. Tanda petik tunggal mengapit petikan<br />

yang tersusun di dalam petikan<br />

lain.<br />

Misalnya:<br />

Tanya Nurman, “Kau dengar bunyi<br />

‘kring-kring’ tadi?”<br />

“Waktu kubuka pintu depan, ku<br />

dengar anakku, ‘Ibu, Bapak pulang’,<br />

dan rasa letihku lenyap seketika,” ujar<br />

Pak Hamdan.<br />

2. Tanda petik tunggal mengapit<br />

makna, terjemahan, atau penjelasan<br />

kata atau ungkapan asing.<br />

(Lihat pemakaian tanda kurung)<br />

Misalnya:<br />

feed-bac ‘balikan’<br />

N. Tanda Garis Miring (/)<br />

1. Tanda garis miring dipakai di dalam<br />

nomor surat dan nomor pada<br />

alamat dan penandaan masa<br />

satu tahun yang terbagi dalam<br />

dua tahun takwim.<br />

Misalnya:<br />

No. 7/PK/1973<br />

Jalan Kramat III/10<br />

tahun anggaran 1985/1986<br />

2. Tanda garis miring dipakai sebagai<br />

pengganti kata atau, tiap.<br />

Misalnya:<br />

dikirimkan lewat darat/laut<br />

‘dikirimkan lewat darat atau lewat laut’<br />

harganya Rp25,00/lembar<br />

‘harganya Rp25,00 tiap lembar’<br />

O. Tanda Penyingkat (Apostrof) (‘)<br />

Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan<br />

bagian kata atau bagian angka<br />

tahun.<br />

Misalnya:<br />

Ali ‘kan kusurati. (‘kan = akan)<br />

Malam ‘lah tiba. (‘lah = telah)<br />

1 Januari ‘88 (‘88 = 1988)<br />

3(ns/nk)


Pada tahun 2003 Itjen Depag<br />

membangun sistem yang dimaksudkan<br />

untuk mempermudah<br />

dan mempercepat proses pengambilan<br />

keputusan berdasarkan hasil kinerja.<br />

Sistem yang dibangun adalah SIM-HP,<br />

yaitu Sistem Informasi Manajemen Hasil<br />

Pengawasan. SIM-HP mengolah<br />

hal-hal yang terkait dengan pengawasan<br />

di lingkungan Departemen <strong>Agama</strong><br />

sejak dari perencanaan audit, penugasan<br />

auditor/pemantau, pembuatan<br />

SPPD, pembuatan laporan, sampai pengelolaan<br />

temuan dan penyelesaiannya.<br />

Pada semester awal 2004 sistem<br />

ini telah disosialisasikan kepada semua<br />

pengguna dan telah dilakukan pelatihan<br />

untuk penggunaannya, semacam<br />

training of trainers kepada 10<br />

orang dari Sekretariat Itjen dan 10<br />

orang auditor.<br />

Pelatihan dimaksudkan agar dari<br />

mereka dapat memberikan “diklat di<br />

tempat kerja”, semacam penetrasi ilmu<br />

dan ketrampilan kepada pegawai pada<br />

Sekretariat Itjen lainnya dan kepada<br />

sesama auditor. Dengan demikian diharapkan<br />

pihak sekretariat dan auditor<br />

sebagai pengguna SIM-HP dapat memanfaatkan<br />

teknologi berbasis komputer<br />

tersebut untuk menyelesaikan tugas<br />

dengan cepat tanpa halangan ruang<br />

dan waktu, karena dapat diakses<br />

melalui internet di mana saja dan kapan<br />

saja.<br />

Pembangunan SIM-HP dimulai<br />

Teknologi Informasi<br />

Sistem Informasi Manajemen<br />

Hasil Pengawasan Itjen Depag<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Ahmed<br />

dari pembuatan dokumen perencanaan<br />

strategis sistem informasi 2003-<br />

2008. Dokumen tersebut antara lain<br />

berisi profil dan lingkup organisasi Itjen<br />

Depag, lingkup teknologi informasi<br />

yang telah ada, portofolio aplikasi, arsitektur<br />

dan infrastruktur sistem informasi,<br />

manajemen sumber daya manusia,<br />

dan jadwal pelaksanaan rencana srategis.<br />

Profil dan lingkup organisasi antara<br />

lain penjelasan tentang wawasan<br />

kegiatan Itjen Depag yang berhubungan<br />

dengan sistem informasi, yaitu:<br />

(1)membuat suatu pusat informasi<br />

yang memudahkan pemantauan dan<br />

manajemen perencanaan dan keuangan,<br />

kepegawaian, pelaporan, dan infrastruktur/perlengkapan;(2)mengkomputerisasikan<br />

proses pelaporan ke<br />

dalam suatu sistem yang mempermudah<br />

pengawasan di daerah; (3)membuat<br />

suatu sistem informasi yang dapat<br />

menampilkan informasi yang proporsional<br />

kepada masyarakat tentang<br />

hasil pengawasan dengan situs utama<br />

milik Depag www.depag.go.id sebagai<br />

bagian dari PIKDA (Pusat Informasi<br />

Keagamaan Departemen <strong>Agama</strong>);<br />

(4)seluruh komponen organisasi Itjen<br />

Depag saling terhubung dan terintegrasi<br />

dalam melaksanakan tugas rutin;<br />

dan (5)membuat sistem yang dapat<br />

memberikan gambaran tentang fungsi<br />

atau organ yang terdapat dalam Itjen<br />

Depag. Critical success facor antara


lain: (a)ketepatan pelaksanaan RKAT<br />

(Rencana Kinerja Audit <strong>Tahun</strong>an) sesuai<br />

dengan jadwal; (b)pembuatan laporan<br />

yang dapat diselesaikan dalam<br />

waktu 1 minggu, baik laporan hasil<br />

audit (LHA) maupun laporan hasil pemantauan<br />

(LHP); (c)semua tim yang<br />

diterjunkan dapat ikut berperanserta<br />

dalam pembuatan laporan; (d)temuan<br />

harus dapat diselesaikan dalam jangka<br />

waktu 2 tahu sesuai dengan jangka<br />

waktu terlama SKTM (Surat Keterangan<br />

Tanggungjawab Mutlak); dan (e)penyajian<br />

data dan laporan secara cepat,<br />

tepat, dan akurat.<br />

Lingkup teknologi informasi yang<br />

telah ada antara lain perangkat hardware<br />

dan software yang dipergunakan<br />

di Itjen Depag berikut jaringan komputer<br />

berupa LAN (Local Area Network)<br />

yang menghubungkan 13 titik tersebar<br />

di 5 lantai dan terhubung melalui 2<br />

buah hub dan sebuah switch. Jaringan<br />

ini tidak terhubung dengan internet.<br />

Kendala penerapan teknologi informasi<br />

antara lain: (1)sikap dan mental sebagian<br />

pegawai belum kondusif untuk dapat<br />

memanfaatkan teknologi informasi<br />

yang tersedia secara optimal seperti<br />

kebiasaan bermain game bukan pada<br />

waktunya, penggunaan komputer<br />

untuk keperluan di luar dinas, dan<br />

sinyalemen mengenai wawasan sebagian<br />

pegawai yang sulit diajak maju;<br />

(2)belum ada tenaga ahli yang dapat<br />

diandalkan untuk melakukan maintenance<br />

rutin terhadap aset teknologi informasi;<br />

(3)tataruang kurang mendukung<br />

penempatan komputer. Kendala<br />

tersebut menimbulkan masalah: (a)utilisasi<br />

aset teknologi informasi rendah;<br />

(b)masa pakai teknologi informasi ter-<br />

Teknologi Informasi<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

batas; (c)tataruang yang kurang mengakomodasi<br />

penambahan komputer;<br />

dan (d)data/informasi belum dapat disajikan<br />

secara cepat, tepat, dan akurat.<br />

Meskipun demikian, terlihat beberapa<br />

manfaat, antara lain: (1)dokumentasi<br />

yang lebih tertib dan teratur; (2)informasi<br />

dapat lebih cepat disiapkan;<br />

(3)potensi yang mendorong pegawai<br />

untuk belajar komputer; dan (4)pembagian<br />

tugas dan tanggung jawab<br />

yang lebih jelas karena pembagian<br />

fungsi komputer yang jelas, e.g. untuk<br />

pelaporan regional tertentu.<br />

Portofolio aplikasi antara lain<br />

membahas target aplikasi yang dikembangkan,<br />

yaitu (1)EIS (executive information<br />

system) untuk pemindaian dan<br />

pemantauan lingkungan guna memberikan<br />

gambaran secara cepat mengenai<br />

perubahan serta status aktivitas<br />

yang terjadi dalam organisasi yang<br />

berguna dalam mendukung pengambilan<br />

keputusan; (2)SIM-HP untuk membantu<br />

para personil Itjen dalam melakukan<br />

kegiatan pelaporan audit/pemantauan<br />

dan mengelola laporan hasil<br />

audit/pemantauan agar mudah dilakukan<br />

pendataan dan pelacakan yang<br />

mendukung kegiatan penyusunan dan<br />

manajemen program pengawasan,<br />

surat tugas, SPPD, dan LHA/STL; dan<br />

(3)SIMAI (sistem informasi manajemen<br />

administrasi internal yang terdiri dari<br />

susb-subsistem: (a)Sistem Informasi<br />

Perencanaan dan Keuangan;<br />

(b)Sistem Informasi Ortala dan Kepegawaian;<br />

dan (c)Sistem Informasi<br />

Umum.<br />

Bagian arsitektur dan infrastruktur<br />

sistem informasi antara lain memuat<br />

arsitektur aplikasi, arsitektur jaringan


komputer, arsitektur keamanan, dan<br />

infrastruktur sistem informasi. Arsitektur<br />

aplikasi diimplementasikan secara<br />

thin client dan berbasis web. Arsitektur<br />

thin client membagi aplikasi menjadi 2<br />

sisi, front end (aplikasi yang dioperasikan<br />

pengguna) dan back end (aplikasi<br />

yang menyimpan dan mengolah perintah<br />

atau data menjadi informasi). Aplikasi<br />

berbasis web merupakan jenis<br />

yang sedang popular dan pengoperasiannya<br />

sama dengan cara menjelajah<br />

internet. Ditinjau dari arsitektur jaringan<br />

komputer, Itjen Depag menggunakan<br />

topologi bintang (star) yang memudahkan<br />

penanggulangan densitas<br />

aliran data, peningkatan skala kemampuan,<br />

dan kapasitas jaringan. Peralatan<br />

hub diganti dengan switch untuk<br />

mengantisipasi resiko penurunan kinerja<br />

jaringan karena operasional server<br />

diakses oleh banyak komputer lain.<br />

Arsitektur keamanan menitikberatkan<br />

kepada penyimpanan komputer<br />

server pada keamanan fisik dan memenuhi<br />

syarat suhu dan kelembaban<br />

udara. Keamanan jaringan dijaga dengan<br />

firewall dan aplikasi antivirus. Infrastruktur<br />

sistem informasi yang diperlukan<br />

antara lain barisdata, perangkat<br />

server, dan perangkat jaringan berikut<br />

spesifikasi minimal.<br />

Manajemen sumber daya manusia<br />

berkaitan dengan kemampuan pegawai<br />

Itjen Depag. Karena itu rekrutmen<br />

pegawai baru mempersyaratkan kemampuan<br />

ketrampilan di bidang komputer.<br />

Untuk staf teknologi informasi<br />

minimal faham tentang konsep perangkat<br />

keras komputer, terutama server<br />

dan pengoperasiannya, serta ja-<br />

Teknologi Informasi<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

ringan komputer lulusan perguruan<br />

tinggi atau sekolah tinggi komputer.<br />

Staf ini diarahkan untuk pendayagunaan<br />

aset agar dapat melayani kebutuhan<br />

dalam mengolah informasi, sekaligus<br />

memberikan pelatihan melalui “diklat<br />

di tempat kerja”.<br />

SIM-HP yang sudah siap pakai<br />

saat ini dapat diakses oleh authorized<br />

person (auditor dan pegawai tertentu)<br />

dengan password melalui (021)<br />

2303081. Dengan demikian pekerjaan<br />

yang terkait dengan pengawasan, utamanya<br />

audit dan pemantauan dapat dikelola<br />

melalui teknologi informasi berbasis<br />

komputer yang pada gilirannya<br />

akan mempermudah, mempercepat,<br />

dan meringankan pekerjaan pengawasan<br />

di lingkungan Departemen<br />

<strong>Agama</strong>. Dokumen yang melengkapi<br />

pembangunan SIM-HP antara lain (alphabetical<br />

order) Bisnis-Client Assesment,<br />

Bisnis-Data Identification, Bisnis-<br />

Glosary, Bisnis-Rules, Bisnis-Use<br />

Case Specification (Pengaduan Masyarakat),<br />

Bisnis-Vision, System Conceptual<br />

Model, System-System Sequence,<br />

System-Use Case Specification,<br />

System-User Interface Specification,<br />

dan User Manual dan beberapa<br />

CD untuk software pendukung sistem.<br />

Ketika SIM-HP sudah siap, kini giliran<br />

pertanyaan bagi pengguna: “Siapkah<br />

mereka menggunakan SIM-HP?<br />

Ataukah biaya mahal yang telah dipakai<br />

untuk pembangunan SIM-HP perlu<br />

dibikin sia-sia?” Kita tunggu respon jawaban<br />

ini melalui kinerja dan kiat<br />

auditor serta staf sekretariat dalam memanfaatkannya.<br />

3


Organisasi terdiri dari orangorang<br />

dalam berbagai jabatan.<br />

Pada saat mereka berkomunikasi<br />

satu sama lain, berkembanglah<br />

keteraturan dan kontak siapa berbicara<br />

dengan siapa. Kedudukan setiap individu<br />

dalam pola dan jaringan yang terjadi<br />

memberi peranan pada orang tersebut.<br />

Pertukaran pesan melalui jalan<br />

tertentu itulah yang dinamakan<br />

jaringan komunikasi.<br />

Peranan individu dalam sistem komunikasi<br />

ditentukan oleh hubungan<br />

struktur antara satu individu dengan individu<br />

lainnya dalam organisasi. Hubungan<br />

ini ditentukan oleh pola hubungan<br />

interaksi individu dengan arus informasi<br />

dalam jaringan komunikasi. Untuk<br />

mengetahui jaringan komunikasi<br />

serta peranannya dapat digunakan<br />

analisis jaringan. Hasil analisis jaringan<br />

dapat diketahui bentuk hubungan<br />

antar individu dalam organisasi. Ada<br />

tujuh peranan jaringan komunikasi<br />

yaitu:<br />

Pertama, klik. Sebuah kelompok<br />

yang paling sedikit. Kebanyakan anggota<br />

klik relatif akrab satu dengan lain<br />

dalam hirarki formal organisasi. Syarat<br />

bagi anggota klik bahwa individu harus<br />

mampu melakukan kontak satu sama<br />

lain. Dalam berkomunikasi mereka<br />

cenderung bertatap muka meski harus<br />

menempuh jarak tertentu.<br />

Kedua, penyendiri (Isolate/Loners).<br />

Melakukan sedikit atau bahkan<br />

AMO<br />

ALIRAN INFORMASI<br />

DALAM ORGANISASI<br />

Oleh Ispawati Asri<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

tidak melakukan kontak sama sekali<br />

dengan anggota kelompok lainnya.<br />

Konsep diri mereka umumnya kurang<br />

termotivasi oleh cita-cita, kurang berinteraksi<br />

dengan orang lain, kurang berpengalaman<br />

dalam sistem, lebih jarang<br />

menduduki posisi yang kuat dalam<br />

organisasi, cenderung menahan daripada<br />

melancarkan aliran informasi,<br />

relatif tidak puas dengan sistem dan<br />

beranggapan sistem komunikasi tertutup<br />

bagi mereka.<br />

Ketiga, jembatan (Bridge). Sebagai<br />

pengontak langsung antara dua kelompok<br />

pegawai.<br />

Keempat, penghubung. Mengaitkan<br />

satuan-satuan organisasi bersama-sama<br />

dan menggambarkan orangorang<br />

yang bertindak sebagai penyaring<br />

informasi dalam organisasi. Pada<br />

umumnya mereka memiliki kontak komunikasi<br />

lebih besar, memiliki jumlah<br />

informasi berkenaan dimensi isi pesan,<br />

berpartisipasi dalam sistem komunikasi<br />

yang lebih terbuka dan memiliki pengaruh<br />

lebih besar.<br />

Kelima, penjaga gawang (gate<br />

keepers). Orang yang secara strategis<br />

ditempatkan dalam jaringan agar dapat<br />

melakukan pengendalian atas pesan<br />

apa yang akan disebarkan melalui sistem<br />

tersebut.<br />

Keenam, pemimpin pendapat (opinion<br />

leader). Orang tanpa jabatan formal<br />

dalam sistem sosial yang membimbing<br />

pendapat atau mempengaruhi


orang-orang dalam keputusan mereka.<br />

Mereka merupakan orang-orang yang<br />

mengikuti permasalahan dan dipercayai<br />

oleh orang lain untuk mengetahui<br />

apa yang sebenarnya terjadi.<br />

Ketujuh, kosmopolit. Individu yang<br />

melakukan kontak dengan individu di<br />

luar organisasi. Menghubungkan anggota<br />

organisasi dengan peristiwa di<br />

luar batas-batas struktur organisasi.<br />

Mereka memiliki kontak dengan sumber-sumber<br />

di luar organisasi dan bertindak<br />

sebagai saluran bagi gagasan<br />

baru yang akan diadopsi organisasi.<br />

Sifat Aliran Informasi<br />

Aliran informasi sangat berpengaruh<br />

terhadap efisiensi organisasi. Berpengaruh<br />

juga terhadap iklim dan moral<br />

organisasi. Informasi tidak mengalir<br />

dan bergerak begitu saja. Yang bergerak<br />

adalah proses penyampaian pesan,<br />

interpretasi terhadap penyampaian<br />

dan penciptaan penyampaian lainnya.<br />

Aliran informasi merupakan proses<br />

pendistribusian pesan ke seluruh<br />

organisasi yang meliputi penciptaan,<br />

penyampaian/ditampilkan, interpretasi<br />

pesan merupakan proses yang dinamik<br />

terjadi sepanjang waktu.<br />

Aliran informasi dalam suatu organisasi<br />

dapat terjadi dengan cara (1)Penyebaran<br />

pesan secara serempak,<br />

informasi yang disampaikan kepada<br />

lebih dari satu orang; anggota organisasi<br />

menerima suatu informasi dalam<br />

waktu bersamaan; misalnya penyebaran<br />

jadwal kerja, penjelasan mengenai<br />

prosedur baru, aplikasinya dapat<br />

berupa terbitan khusus, umumnya diterima<br />

dalam waktu yang sama.<br />

AMO<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

(2)Penyebaran pesan secara berurutan,<br />

penyampaian pesan berurutan<br />

merupakan bentuk komunikasi yang<br />

utama yang pasti terjadi dalam organisasi.<br />

Dalam hal ini ada pola "Siapa<br />

berbicara kepada Siapa".<br />

Penyebaran tersebut mempunyai<br />

suatu pola yang berlangsung dalam<br />

waktu yang tidak berurutan. Informasi<br />

tiba pada waktu yang berbeda pula.<br />

meliputi perluasan bentuk penyebaran<br />

diadik (A ke B ke C ke D dan ke E). Individu<br />

cenderung menyadari adanya<br />

informasi pada waktu berlainan. Karena<br />

adanya perbedaan dalam menyadari<br />

informasi, mungkin timbul masalah<br />

dalam koordinasi. Akibat keterlambatan<br />

informasi pada individu tertentu<br />

menyebabkan informasi sulit digunakan<br />

untuk membuat keputusan. Jika<br />

orang yang harus diberi informasi jumlahnya<br />

cukup banyak, maka memerlukan<br />

waktu yang lama.<br />

Pola Aliran Informasi<br />

Ada dua jenis pola aliran informasi<br />

yaitu (1)Pola Roda, pola yang mengarahkan<br />

seluruh informasi kepada individu<br />

yang menduduki posisi sentral.<br />

Orang dalam posisi sentral menerima<br />

kontak dan informasi yang disediakan<br />

oleh anggota organisasi lainnya dan<br />

memecahkan masalah dengan saran<br />

dan persetujuan anggota lainnya.<br />

(2)Pola Lingkaran, memungkinkan semua<br />

anggota berkomunikasi satu dengan<br />

yang lainnya hanya melalui sejenis<br />

sistem pengulangan pesan. Tidak<br />

seorang anggota pun yang dapat berhubungan<br />

langsung dengan semua<br />

anggota lainnya. Tidak ada anggota<br />

yang memiliki akses langsung terha-


dap seluruh informasi yang diperlukan<br />

dalam memecahkan persoalan.<br />

Hasil penelitian pada pola roda<br />

dan lingkaran menyatakan bahwa ke-<br />

AMO<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

dua pola ini menghasilkan konsekuensi<br />

yang amat berbeda ( Bavelas, 1950;<br />

Bavelas & Barrett, 1951; Burgess,<br />

1969; Leavitt, 1951; Shaw, 1958 ).<br />

Pengaruh dua pola komunikasi<br />

atas sepuluh proses komunikasi organisasi<br />

VA<strong>RI</strong>ABEL KOMUNIKASI ORGANSASI POLA RODA POLA LINGKARAN<br />

Aksesibilitas para anggota satu<br />

dengan lainnya Rendah Tinggi<br />

Pengawasan aliran pesan Tinggi Rendah<br />

Moral atau kepuasan Sangat Rendah Tinggi<br />

Kemunculan pemimpin Tinggi Sangat Rendah<br />

Kecermatan solusi Baik Buruk<br />

Kecepatan kinerja Cepat Lambat<br />

Jumlah pesan yang dikirimkan Rendah Tinggi<br />

Kemunculan organisasi yang stabil Cepat Sangat Lambat<br />

Penyesuaian dalam penyusunan kerja Lambat Cepat<br />

Kecenderungan beban berlebih Tinggi Rendah<br />

Arah Aliran Informasi<br />

Ada empat arah formal aliran komunikasi<br />

yaitu:<br />

Pertama, komunikasi ke bawah.<br />

Berarti informasi mengalir dari jabatan<br />

berotoritas lebih tinggi kepada mereka<br />

yang berotoritas lebih rendah. Jenis<br />

informasi yang biasanya dikomunikasikan<br />

dari atasan kepada bawahan<br />

yaitu: bagaimana melakukan pekerjaan,<br />

dasar pemikiran untuk melakukan<br />

pekerjaan, kebijakan dan praktek organisasi,<br />

kinerja pegawai, pengembangan<br />

rasa memiliki tugas. Kriteria<br />

yang sering digunakan dalam menyampaikan<br />

informasi kepada bawahan<br />

antara lain keahlian, respon, relevansi<br />

dan pengaruh.<br />

Kedua, komunikasi ke atas. Ber-<br />

arti informasi mengalir dari tingkat<br />

yang lebih rendah ke tingkat yang lebih<br />

tinggi. Hal-hal yang harus dikomunikasikan<br />

ke atas adalah memberitahukan<br />

apa yang dilakukan bawahan<br />

mengenai prestasi, kemajuan, dan rencana<br />

masa depan, menjelaskan persoalan<br />

kerja yang belum dipecahkan<br />

dan mungkin memerlukan bantuan,<br />

memberikan saran untuk perbaikan<br />

dalam unit-unit atau dalam keseluruhan<br />

organisasi, mengungkapkan<br />

rasa dan pikiran tentang pekerjaan mereka,<br />

rekan kerja dan organisasi.<br />

Pada kenyataannya komunikasi<br />

ke atas tidak mudah, alasannya kecenderungan<br />

pegawai menyembunyikan<br />

pikiran mereka; perasaan bahwa atasan<br />

tidak tertarik pada masalah yang di-


hadapi pegawai; kurangnya penghargaan<br />

bagi komunikasi ke atas yang<br />

dilakukan pegawai; perasaan bahwa<br />

atasan tidak dapat dihubungi dan tidak<br />

tanggap pada apa yang disampaikan.<br />

Untuk mengatasinya setiap program<br />

komuniksai organisasi harus didasarkan<br />

pada iklim kepercayaan. Bila<br />

ada kepercayaan, pegawai mungkin<br />

lebih berani mengemukaan gagasan<br />

dan perasaannya secara bebas dan atasan<br />

dapat menafsirkan lebih cermat.<br />

Ketiga, komunikasi horizontal.<br />

Berarti penyampaian informasi di antara<br />

rekan-rekan sejawat dalam unit kerja<br />

yang sama. Tujuannya adalah<br />

mengkordinasikan penugasan kerja,<br />

berbagi informasi, memecahkan masalah,<br />

memperoleh pemahaman bersama,<br />

mendamaikan, berunding dan<br />

menengahi perbedaan serta menumbuhkan<br />

dukungan antar personal.<br />

Keempat, komunikasi lintas saluran.<br />

Berarti informasi yang diberikan<br />

melewati batas-batas fungsional atau<br />

batasan unit kerja. Di antara orang<br />

satu sama lainnya tidak terjadi posisi<br />

atasan atau bawahan.<br />

Komunikasi Informal, Pribadi atau<br />

Selentingan<br />

Salah satu ciri komunikasi yang<br />

paling nyata adalah konsep hubungan<br />

yang meliputi hubungan antar personal,<br />

hubungan posisional, hubungan<br />

atasan-bawahan dan hubungan berurutan.<br />

Bila pegawai berkomunikasi tanpa<br />

mengindahkan posisinya dalam organisasi,<br />

lebih bersifat pribadi, arah ali-<br />

AMO<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

ran informasi kurang stabil mengalir<br />

dari arah yang tidak dapat diduga, maka<br />

jaringan komunikasi ini digolongkan<br />

sebagai komunikasi selentingan.<br />

Selentingan digambarkan sebagai<br />

metode penyampaian laporan rahasia<br />

dari orang ke orang. Sifat selentingan<br />

biasanya melalui interaksi mulut ke<br />

mulut; bebas dari kendala organisasi<br />

dan posisi; informasi tersebar dengan<br />

cepat; jaringan kerjanya digambarkan<br />

sebagai suatu rantai kelompok kerena<br />

setiap orang akan menyampaikan informasi<br />

kepada kelompok orang; semakin<br />

cepat seseorang mengetahui<br />

suatu peristiwa yang baru terjadi dan<br />

menyangkut masalah yang menarik<br />

perhatian, semakin besar kemungkinannya<br />

untuk menceritakan kepada<br />

orang lain.<br />

Aliran utama informasi dalam selentingan<br />

cenderung terjadi dalam kelompok<br />

fungsional dan umumnya rincian<br />

pesan tidak lengkap karena telah<br />

terjadi erosi fakta sehingga bisa menimbulkan<br />

kesalahan interpretasi meskipun<br />

rinciannya cermat dan dapat<br />

mempengaruhi organisasi (kebaikan<br />

dan keburukan).<br />

Jumlah dan akibat pesan yang<br />

mengganggu dapat dikendalikan dengan<br />

menjaga saluran komunikasi formal<br />

tetap terbuka yang memberi kesempatan<br />

berlangsungnya komunikasi<br />

ke atas, ke bawah, horizontal dan lintas<br />

saluran yang terus terang, cermat<br />

dan sensitif. 3


Hikmah<br />

Shalat Jama’<br />

Disadur dari Kitab al-Muhadzab: Syekh Imam Abi Ishaq Ibrahim<br />

bin Ali Ibnu Yusuf al-Fairuz Abadiy asy-Syairozy, Juz I hal.104-105<br />

Melakukan shalat jama’<br />

(mengumpulkan) dua waktu<br />

salat ke dalam satu waktu salat<br />

seperti antara dhuhur-ashar dan<br />

antara maghrib-isya' dalam perjalanan<br />

yang jaraknya mencapai masafatul<br />

qashri (jarak yang diperbolehkan<br />

melakukan salat qashar dapat dilihat<br />

pada FP <strong>edisi</strong> 3) hukumnya boleh.<br />

Sebagaimana telah diriwayatkan oleh<br />

Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah SAW<br />

pernah melakukan salat jama' antara<br />

maghrib dan isya' dalam perjalanan.<br />

Dan juga telah diriwayatkan oleh Anas<br />

ra, bahwa beliau pernah melakukan<br />

salat jama' antara dhuhur dan ashar<br />

dalam perjalanan yang mencapai<br />

masafatul qashri.<br />

Adapun untuk perjalanan yang tidak<br />

mencapai masafatul qashri ada<br />

dua pendapat :<br />

(1) boleh melakukan salat jama' karena<br />

statusnya dalam perjalanan<br />

(musafir)<br />

(2) tidak boleh melakukan salat jama'<br />

karena melakukan salat tidak pada<br />

waktunya tanpa syarat-syarat<br />

yang mencukupi. Pendapat kedua<br />

adalah yang lebih benar.<br />

Salat jama' boleh dilakukan pada<br />

waktu pertama (jama' taqdim) apabila<br />

keberadaan seseorang ketika akan<br />

melakukan salat jama' masih berada<br />

dalam waktu yang pertama. Juga boleh<br />

melakukannya pada waktu yang<br />

kedua (jama' takhir), apabila ketika<br />

masuk waktu yang pertama, perjalan-<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

annya tidak berhenti dan berhenti ketika<br />

sudah masuk waktu salat yang kedua.<br />

Sebagaimana telah diriwayatkan<br />

oleh Ibnu Abbas ra, bahwa ketika Rasulullah<br />

SAW ingin melakukan salat<br />

jama' antara dhuhur dan ashar masih<br />

berada dalam waktu dhuhur, maka beliau<br />

menjalankan salat asharnya di<br />

waktu salat dhuhur (jama' taqdim) dan<br />

sebaliknya ketika beliau berada di suatu<br />

tempat dan sudah melewati waktu<br />

dhuhur maka beliau melakukan salat<br />

dhuhur di waktu ashar (jama' takhir).<br />

Syarat-syarat melakukan salat<br />

jama' antara lain:<br />

(1) niat, menurut pendapat pertama,<br />

niat dilakukan ketika takbiratul ihram<br />

pada salat yang pertama karena<br />

niat hukumnya wajib dan tidak<br />

boleh mengakhirkannya, tetapi<br />

menurut pendapat kedua niat<br />

boleh dilakukan tidak di awal salat<br />

dengan syarat dilakukan sebelum<br />

salam pada salat yang pertama.<br />

(2) Tertib yaitu mendahulukan salat<br />

yang pertama dari pada yang kedua,<br />

karena pada dasarnya waktu<br />

berjalan mulai dari yang awal.<br />

(3) Tatabu' yaitu tidak memisahkan<br />

antara waktu yang satu dengan<br />

waktu yang lain dalam tempo<br />

yang lama karena keduanya seperti<br />

satu salat, sehingga apabila<br />

antara salat yang satu dengan<br />

yang lain terpisah, maka salat jama'nya<br />

menjadi batal, seperti batalnya<br />

salat ketika memisahkan


antara rakaat yang satu dengan<br />

rakaat yang lain.<br />

Melakukan salat jama' (taqdim)<br />

juga diperbolehkan apabila dalam kondisi<br />

hujan. Sebagaimana telah diriwayatkan<br />

oleh Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah<br />

SAW pernah melakukan salat<br />

jama' antara dhuhur-ashar dan maghrib-isya'<br />

tidak dalam keadaan perang<br />

maupun dalam perjalanan. Imam Malik<br />

rahimahullah menafsirkan hadist tersebut<br />

bahwa Rasullulah SAW melakukan<br />

salat jama' tidak dalam keadaan perang<br />

maupun dalam perjalanan ini<br />

adalah pada waktu turun hujan. Adapun<br />

apabila dalam kondisi tersebut seseorang<br />

juga ingin melakukan salat<br />

jama' takhir, ada dua pendapat Imam<br />

Syafi’i:<br />

(1) dalam Kitab al-Imla, beliau berpendapat<br />

bahwa boleh melakukan<br />

salat jama' takhir karena adanya<br />

udzur (halangan) yaitu hujan<br />

sebagaimana dibolehkannya melakukan<br />

salat jama' taqdim pada<br />

kasus orang musafir.<br />

(2) dalam kitab al-Umm, beliau berpendapat<br />

bahwa tidak boleh melakukan<br />

salat jama' takhir karena<br />

kemungkinan hujan akan berhenti<br />

di tengah-tengah waktu salat, dengan<br />

demikian salat jama' yang<br />

dilakukannya tanpa udzur.<br />

Apabila sudah masuk waktu dhuhur<br />

kondisi tidak hujan kemudian turun<br />

hujan, maka dalam kondisi demikian tidak<br />

dibolehkan melakukan salat jama',<br />

karena datangnya rukhsah (keringanan)<br />

setelah masuk waktu salat. Sehingga<br />

salat jama' yang dilakukan tidak<br />

didasarkan pada sebab-sebab diberikannya<br />

rukhsah. Ini sama halnya<br />

Hikmah<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

ketika sudah masuk waktu salat lalu<br />

melakukan perjalanan padahal cukup<br />

waktu untuk melakukan salat pada<br />

waktu tersebut.<br />

Apabila seseorang sedang melakukan<br />

salat jama' dan ketika takbiratul<br />

ihram pada salat yang pertama dalam<br />

kondisi hujan kemudian hujan berhenti<br />

dan di tengah-tengah salatnya hujan<br />

turun lagi sampai ketika ia melakukan<br />

takbiratul ihram pada salat yang kedua,<br />

maka hukum salat jama'nya sah,<br />

karena keberadaan udzur dalam kondisi<br />

melakukan salat jama'.<br />

Diperbolehkannya melakukan salat<br />

jama' pada waktu hujan tersebut<br />

adalah khusus dalam kondisi hujan<br />

lebat (yang membasahi) sehingga apabila<br />

hujannya tidak demikan, maka<br />

tidak diperbolehkan melakukan salat<br />

jama', demikian juga untuk hujan salju,<br />

lumpur, kondisi gelap dan kondisi ketika<br />

sakit.<br />

Apabila seseorang melakukan<br />

salat di rumahnya atau di masjid yang<br />

jalan menuju rumahnya tidak terkena<br />

hujan, Imam Syafi'i berpendapat:<br />

(1) dalam Qaul Qadim beliau berpendapat<br />

bahwa baginya tidak boleh<br />

melakukan salat jama' karena dalam<br />

kondisi yang demikian tidak<br />

ada masyaqah (kesulitan) baginya<br />

untuk melakukan salat pada waktunya.<br />

(2) dalam kitab al-Imla' beliau berpendapat<br />

bahwa baginya boleh melakukan<br />

salat jama' karena Rasulullah<br />

SAW pernah melakukan<br />

salat jama' di rumah para isterinya<br />

yang berada di dekat masjid.3<br />

(ms/ns)


Hikmah<br />

Keutamaan La Ilaha Illa Allah<br />

(Wejangan Syekh Abdulqadir Al Jailani qaddasallahu sirrahu)<br />

Nabi saw bersabda: "Payahkanlah<br />

setan-setanmu dengan ucapan<br />

La Ilaha Illa Allah Muhammad<br />

Rasulullah, sesungguhnya setan<br />

akan kepayahan dengannya, sebagaimana<br />

salah seorang kalian meletihkan<br />

tunggangannya dengan banyak menungganginya<br />

sambil mengangkutkan<br />

beban-beban bawaan di atasnya".<br />

Wahai manusia! Letihkanlah setan<br />

kalian seraya mengucap, "La ilaha illa<br />

Allah" dengan segala keikhlasan, dan<br />

bukan hanya lapal bibir saja. Kalimat<br />

tauhid akan membakar setan manusia<br />

dan jin, sebab kalimat tersebut merupakan<br />

api bagi setan dan cahaya bagi<br />

pentauhid. Bagaimana engkau dapat<br />

mengucap "La ilaha illa Allah" namun<br />

ada beberapa ilah di hatimu. Segala<br />

sesuatu selain Allah yang engkau jadikan<br />

sandaran dan pegangan adalah<br />

berhalamu. Tauhid bibir yang disertai<br />

kesyirikan hati tidak akan bermanfaat<br />

sedikit pun. Demikian pula tidak bermanfaat<br />

kebersihan fisik (qalib) bersama<br />

kenajisan hati (qalb). Pentauhid<br />

meletihkan setannya, sementara penyekutu<br />

malah diletihkan oleh setannya.<br />

Ikhlas adalah isi ucapan dan tindakan,<br />

sebab jika ucapan dan tindakan<br />

tidak mengandung keikhlasan, maka ia<br />

hanya menjadi kulit tanpa isi dan kulit<br />

tidak bisa dipakai apa-apa kecuali dimasukkan<br />

ke dalam api.<br />

Dengarkanlah ucapanku ini dan<br />

kerjakan, karena ia dapat memadamkan<br />

api ketamakanmu dan memecahkan<br />

duri nafsumu. Jangan hadir di sua-<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

tu tempat yang diterangi api tabiatmu,<br />

niscaya ia akan merobohkan rumah<br />

agama dan imanmu. Tabiat, hawa nafsu,<br />

dan setanmu akan semakin bersinar,<br />

sementara agama, iman, dan keyakinanmu<br />

akan hilang memudar. Jangan<br />

dengarkan ucapan orang-orang<br />

munafik yang berlagak dan berhias diri<br />

sebagai orang alim, sebab ketamakan<br />

akan bermukim pada ucapan manis<br />

yang dibuat-buat sebagaimana adonan<br />

roti tanpa garam yang akan menyakitkan<br />

perut pemakannya dan menghancurkan<br />

rumahnya. Ilmu harus diambil<br />

dari perkataan tokoh, bukan dari lembaran-lembaran.<br />

Termasuk di antara<br />

tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh (rijal)<br />

al-Haqq 'Azza wa Jalla yang bertakwa,<br />

meninggalkan dunia, mewarisi<br />

(para nabi), srif, mengamalkan ilmu,<br />

dan ikhlas, serta tidak berbuat hal lain<br />

selain ketakwaan.<br />

Kewalian hanya diperuntukkan bagi<br />

orang-orang yang bertakwa, di dunia<br />

dan akhirat. Pondasi dan bangunan<br />

hanya milik mereka, di dunia dan akhirat.<br />

Allah 'Azza wa Jalla pun hanya<br />

mencintai hamba-hamba-Nya yang<br />

muttaqin (bertakwa), muhsin (berbuat<br />

kebajikan), lagi penyabar. Jika engkau<br />

memang benar-benar memilki memiliki<br />

pikiran yang sehat, maka pastilah engkau<br />

akan mengenal mereka, mencintai<br />

dan berkhidmat menemani mereka.<br />

Sebuah pikiran akan menjadi sehat,<br />

jika hati disinari dengan makrifat<br />

(mengenal) Allah 'Azza wa Jalla. Jangan<br />

percaya pada pikiranmu sebelum


makrifatmu benar-benar sehat dan jelas<br />

pula bagimu kebaikan dan kesehatannya.<br />

Tundukkan pandanganmu dari<br />

hal-hal yang haram, cegah dirimu dari<br />

melampiaskan syahwat, dan biasakanlah<br />

dengan mengkonsumsi makanan<br />

yang halal. Peliharalah batinmu dengan<br />

muraqabah (sikap mengawasi<br />

dan diawasi Allah 'Azza wa Jalla) dan<br />

jagalah lahirmu dengan mengikuti sunnah.<br />

Dengan menjalankan hal ini, pikiranmu<br />

akan menjadi sehat.<br />

Wahai pemuda! Pelajarilah ilmu<br />

dan ikhlaslah, sehingga engkau akan<br />

bisa lolos dari jaring kemunafikan dan<br />

jerat-jeratnya. carilah ilmu karena Allah<br />

'Azza wa Jalla, jangan demi makhluk<br />

atau dunia-Nya. Tanda mencari ilmu<br />

karena Allah 'Azza wa Jalla adalah ketakutan<br />

dan kecemasan terhadap-Nya<br />

saat turun perintah dan larangan. Engkau<br />

terus mengawasi-Nya, menistakan<br />

dirimu di hadapan-Nya, dan merendah<br />

di hadapan makhluk tanpa maksud<br />

apa pun, bukan karena ketamakan<br />

mendapatkan kekayaan di tangan mereka,<br />

serta menjalin persahabatan dan<br />

memusuhi karena Allah 'Azza wa Jalla.<br />

Persahabatan karena selain Allah adalah<br />

permusuhan. Juga konsistensi dalam<br />

hal selain-nya adalah kesesatan.<br />

Pemberian karena selain-Nya adalah<br />

ketertolakan.<br />

Nabi saw bersabda: "Iman adalah<br />

dua bagian, setengahnya sabar dan<br />

setengahnya lagi syukur." Jadi, jika<br />

engkau tidak bisa bersabar menghadapi<br />

penderitaan dan tidak bersyukur<br />

atas kenikmatan, maka engkau bukanlah<br />

orang yang beriman. Temasuk hakikat<br />

Islam adalah penyerahan diri (istislam).<br />

Ya Allah, hidupkanlah hati<br />

Hikmah<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

kami dengan kepasrahan kepada-Mu,<br />

dengan ketaatan pada-Mu dan zikir<br />

mengingat-Mu, serta dengan menuruti<br />

dan mengesakan-Mu.<br />

Jikalau tidak ada orang-orang<br />

yang memiliki kehidupan di hati mereka,<br />

sebagai penahan bumi, niscaya kalian<br />

akan binasa, sebab al-Haqq 'Azza<br />

wa Jalla menunda siksa-Nya pada<br />

penghuni bumi karena doa permintaan<br />

mereka. Bentuk kenabian (surah annubuwwah)<br />

akan terus meningkat dan<br />

substansinya juga akan terus kekal<br />

hingga Hari Kiamat. Jika tidak karenanya,<br />

lalu atas dasar apa bumi masih bisa<br />

bertahan. Di bumi ada 40 sosok<br />

laki-laki seperti ini, di antaranya ada<br />

yang memiliki satu makna dari beberapa<br />

makna nubuat, sehingga hatinya<br />

seperti hati salah seorang nabi. Ada<br />

juga yang menjadi wakil-wakil Allah<br />

dan rasul-rasul-Nya di bumi. Allah<br />

mengangkat asisten-asisten untuk<br />

menggantikan posisi guru mereka. Karena<br />

itu Nabi SAW bersabda: "Ulama<br />

adalah pewaris para nabi."<br />

Wahai pemuda! Bangunan dirimu<br />

harus berpondasikan pada Alquran<br />

dan Sunnah, pengamalan keduanya,<br />

dan keikhlasan. Kepercayaan pada selain<br />

al-Haqq 'Azza wa Jalla adalah penyebab<br />

laknat. Nabi bersabda: "Terlaknatlah<br />

orang yang menggantungkan<br />

kepercayaannya kepada makhluk sepertinya."<br />

Celakalah! Jika engkau keluar dari<br />

(komunitas) makhluk, maka engkau<br />

akan bersama Sang Khaliq. Dia akan<br />

mengajarimu apa yang baik dan buruk<br />

bagimu, membedakan apa yang menjadi<br />

milikmu dan yang menjadi milik selainmu.<br />

Engkau harus selalu konsisten


dan terus menerus (berdiri) di pintu al-<br />

Haqq 'Azza wa Jalla serta memutus<br />

sarana-sarana (duniawi) di hatimu, niscaya<br />

cepat atau lambat engkau akan<br />

melihat kebaikan. Hal ini tidak akan<br />

terwujud sempurna selama masih ada<br />

makhluk dan riya di hatimu, juga<br />

Akhirat dan segala selain Allah 'Azza<br />

wa Jalla, meskipun seberat biji sawi.<br />

Jika engkau tak bisa bersabar,<br />

berarti engkau tidak memiliki agama<br />

dan tidak memiliki akar bagi keimananmu.<br />

Nabi SAW bersabda: "Sabar<br />

bagi iman seperti kepala bagi badan."<br />

Sabar berarti engkau tidak mengeluh<br />

pada siapa pun, tidak terkait<br />

pada sarana, tidak membenci adanya<br />

bencana dan tidak menyukai kepergiannya.<br />

Ketika seorang hamba bersimpuh<br />

merendahkan diri pada Tuhannya<br />

'Azza wa Jalla di saat fakir dan<br />

melarat, sabar bersama-Nya dalam<br />

menjalani kehendak-Nya dan tidak<br />

meremehkan sifat yang mubah, serta<br />

terus menerus menyinari kegelapan<br />

dengan ibadah dan bekerja, maka<br />

Allah akan memandangnya dengan<br />

mata kasih, mengayakan dirinya dan<br />

keluarganya dari arah yang tidak ia<br />

sangka-sangka. Allah berfirman: "Barang<br />

siapa yang bertakwa kepada<br />

Allah, niscaya Dia akan mengadakan<br />

baginya jalan keluar dan memberinya<br />

dari arah yang tidak disangka-sangkanya"<br />

(Q.S. 65:2-3).<br />

Engkau seperti tukang bekam.<br />

Engkau mengeluarkan penyakit dari<br />

diri orang lain, namun di dalam tubuhmu<br />

sendiri ada penyakit yang tidak<br />

Hikmah<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

kaukeluarkan. Kulihat pengetahuan lahirmu<br />

semakin bertambah, namun kebodohan<br />

batinmu semakin bertambah.<br />

Tertulis dalam kitab Taurat, "Barang<br />

siapa yang bertambah pengetahuannya,<br />

maka haruslah ia bertambah merana".<br />

Merana di sini berarti ketakutan<br />

pada Allah 'Azza wa Jalla, merendah<br />

di hadapan-Nya dan di hadapan hamba-hamba-Nya.<br />

Jika engkau tidak memiliki pengetahuan,<br />

maka belajarlah, dan jika engkau<br />

tidak memiliki ilmu, amal, ikhlas,<br />

sopan santun, dan prasangka baik<br />

pada para syekh (ulama yang mengamalkan<br />

Al Quran dan Sunnah dan<br />

memiliki pengajaran yang bersambung<br />

hingga Rasulullah SAW), lalu apa yang<br />

bisa diambil darimu? Jika engkau menjadikan<br />

dunia dan puing-puingnya sebagai<br />

konsentrasi pikiranmu, maka sebentar<br />

lagi engkau akan dipisahkan<br />

darinya. Apalah arti dirimu dibanding<br />

kaum (saleh) yang konsentrasi pikiran<br />

mereka hanya satu. Mereka selalu<br />

mengawasi Allah 'Azza wa Jalla dalam<br />

batin mereka sebagaimana mereka<br />

mengawasi-Nya dalam lahiriah mereka,<br />

bahkan ketika hal ini belum sempurna<br />

mereka jalankan, maka Dia<br />

mencukupkan mereka dari pikiran tentang<br />

syahwat secara total, sehingga<br />

hanya ada satu syahwat saja dalam<br />

hati mereka, yaitu mencari Allah 'Azza<br />

wa Jalla, kedekatan dengan-Nya, dan<br />

cinta-Nya. 3 (nk/ns)<br />

Sumber: Fathurrabani (Pencerahan<br />

Sufi)


Renungan<br />

Prospek Dinar dan Dirham di Indonesia<br />

Banyak orang -juga para ekonombiasanya<br />

mencurahkan perhatian<br />

pada berhentinya pasar bebas<br />

dan mata uang. Mereka menegaskan,<br />

mata uang mempunyai masalah<br />

yang berbeda karena harus disuplai<br />

dan dibuat regulasinya oleh pemerintah.<br />

Mereka tidak berfikir bahwa sebenarnya<br />

kontrol negara terhadap uang<br />

justru merupakan bentuk interfensi di<br />

dalam pasar bebas, bahkan mungkin<br />

pasar bebas mata uang itu sendiri pun<br />

tidak pernah terpikirkan oleh mereka.<br />

Dan, sekaranglah waktunya untuk<br />

kembali kepada yang sangat fundamental<br />

dalam ekonomi yakni mata<br />

uang. Mari kita tanyakan pada diri sendiri<br />

"dapatkah uang diatur berdasarkan<br />

prinsip-prinsip kebebasan? Dapatkah<br />

kita mempunyai mata uang sebagai<br />

trading currency yang bebas, seperti<br />

bebasnya pasar barang dan jasa? Lalu<br />

seperti apa bentuk mata uang tersebut?<br />

Serta efek apa yang terjadi disebabkan<br />

berbagai kontrol pemerintah?<br />

Bila kita menginginkan trading currency<br />

menuju arah yang lain, maka tugas<br />

terpenting kita adalah menggali dan<br />

menemukan mata uang sebagai alat<br />

trading currency secara bebas.<br />

Pada aspek teori August Frederick<br />

Von Hayek seorang penasehat ekonomi<br />

kenamaan Margareth Tathcher mengatakan,<br />

uang dimulai dari pertukaran-pertukaran<br />

tanpa paksaan di pasar.<br />

Tidak ada kontral sosial atau keputusan<br />

pemerintah yang membuat<br />

uang bernilai beli. Semua terjadi secara<br />

alami dikarenakan pertumbuhan individu-individu<br />

dalam pencapaian mo-<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004<br />

tif-motif ekonomi yang tentu saja lebih<br />

kompleks dari sekedar barter.<br />

Uang hanya bermanfaat melalui<br />

definisi yang fiks dan berakar pada komoditi<br />

yang paling pas untuk kepentingan<br />

moneter ditambah dengan sistem<br />

hukum yang melindungi kontrakkontrak<br />

transaksi perdagangan serta<br />

memberi hukuman terhadap pencurian<br />

dan penipuan. Hingga di dalam pasar<br />

bebas meniscayakan kecenderungan<br />

menggunakan kembali standar emas<br />

dan perak sebagai mata uang.<br />

Kedudukan Indonesia dengan potensi<br />

cadangan emas yang menjanjikan,<br />

maka program memasyarakatkan<br />

emas kepada masyarakat sebagai tanda<br />

kemakmuran suatu bangsa patut terus<br />

digalakkan antara lain dengan<br />

penggunaan uang emas dinar. Emas<br />

masih tetap dipercayai tahan terhadap<br />

inflasi dan sangat likuid. Kapan saja<br />

kita memerlukan dana segar, bisa segera<br />

dicairkan.<br />

Secara implementatif bisnis dinardirham<br />

mempunyai prospek yang signifikan<br />

bila dilihat dari naiknya beberapa<br />

indikator ekonomi makro di Indonesia.<br />

Oleh karenanya, suatu pengelolaan<br />

bisnis yang profesional mutlak diperlukan<br />

guna sustainability dari investasi<br />

dan goodwill dinar-dirham. 3 (nk)<br />

Dirangkum dari sambutan Menteri<br />

Negara BUMN Sugiharto selaku Koordinator<br />

Presidium Forum Penggerak Dinar-Dirham<br />

Indonesia (Forindo) pada "Silaturrahim<br />

dan Halal Bihalal Forindo", di Jakarta,<br />

25 November 2004.


Jangan sekali-kali kita meremehkan<br />

sesuatu perbuatan baik walaupun<br />

hanya sekadar senyuman<br />

Dunia ini umpama lautan yg luas.<br />

Kita adalah kapal belayar<br />

di lautan yang telah ramai kapal<br />

karam di dalamnya.<br />

Andai muatan kita adalah iman,<br />

dan layarnya takwa, niscaya kita<br />

akan selamat dari tersesat<br />

di lautan hidup ini.<br />

Relaksasi<br />

Kata Mutiara Anton Bukan 'Antum'<br />

Hidup tak selalunya indah<br />

tapi yang indah itu<br />

tetap hidup dalam kenangan<br />

Setiap yang kita lakukan biarlah jujur<br />

karena kejujuran itu terlalu penting<br />

dalam sebuah kehidupan.<br />

Tanpa kejujuran hidup sentiasa<br />

menjadi mainan orang.<br />

Hati yg terluka<br />

umpama besi bengkok<br />

walau diketuk sukar kembali<br />

kepada bentuk asalnya.<br />

Dalam kerendahan hati<br />

ada ketinggian budi.<br />

Dalam kemiskinan harta<br />

ada kekayaan jiwa.<br />

Dalam kesempitan hidup<br />

ada kekuasaan ilmu.<br />

Ikhlaslah menjadi diri sendiri<br />

agar hidup penuh dengan<br />

ketenangan dan keamanan<br />

Nailil F<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

Seorang atasan<br />

memberi pengarahan<br />

kepada pegawai baru.<br />

Setelah memperkenalkan<br />

diri, ia pun<br />

mempersilakan para<br />

pegawai baru untuk<br />

memperkenalkan<br />

namanya masing-masing. Salah satu<br />

dari mereka ada yang bernama<br />

Anton.<br />

Dalam pengarahannya, atasan<br />

tersebut selalu menggunakan kata<br />

'antum' meskipun sebagian dari<br />

pegawai baru ada yang tidak<br />

mengerti bahasa Arab.<br />

Secara kebetulan, saat<br />

mengucapkan kata 'antum', wajah<br />

atasan ini sering mengarah ke posisi<br />

tempat duduk si Anton. Salah<br />

seorang pegawai baru yang tidak<br />

mengerti bahasa Arab pun berfikir,<br />

atasannnya salah mendengarkan<br />

nama si Anton yang terdengar<br />

menjadi 'Antum" saat si Anton<br />

memperkenalkan diri.<br />

Saat atasannya mengucapkan<br />

kata 'antum' yang ke sekian kali, ia<br />

pun langsung mengangkat tangannya<br />

dan berkata, "Pak, maaf..., nama dia<br />

bukan Antum tapi Anton..." Atasan<br />

dan sebagian teman-temannya yang<br />

mengerti bahasa Arab langsung<br />

tersenyum. Kemudian, atasan<br />

menjelaskan, kata 'antum' yang<br />

diucapkannya merupakan kata dalam<br />

bahasa Arab yang berarti "kalian<br />

semua".<br />

Kholis, Sukabumi


Bule Item<br />

Bejo, 8 tahun, bocah kelahiran Purwokerto<br />

diajak orang tuanya berkunjung<br />

ke rumah bulenya (tantenya)<br />

di Kendari. Sebagaimana lazimnya<br />

anak lelaki seusianya, Bejo cepat beradaptasi<br />

dan dalam waktu yang singkat<br />

ia sudah kenal dengan anak-anak<br />

seusianya di sekitar rumah tantenya.<br />

Suatu hari setelah lelah bermain<br />

seharian, ia dan teman-teman barunya<br />

pulang ke rumah tantenya. Karena<br />

haus mereka hendak meminta minum<br />

pada tantenya itu.<br />

Ketika sampai di rumahnya, Bejo<br />

langsung mencari tantenya dan berkata:<br />

Bule, bule.., bejo haus nih, minta<br />

minum dong!<br />

Teman-temannya yang semua<br />

orang Kendari itu serentak kaget dan<br />

bingung, kok ada bule item yach. (kebetulan<br />

kulit tentenya Bejo berwarna<br />

hitam).<br />

Arief, Jepara<br />

Boneka Hidup<br />

Saat Key berulang tahun yang ke<br />

empat 25 April 2004 yang lalu, ia mendapat<br />

hadiah istimewa dari ayah dan<br />

bundanya. Pasalnya hari bahagia itu ia<br />

diajak ke sebuah mal. Key dibebaskan<br />

untuk bermain apa saja dan membeli<br />

mainan yang diinginkan.<br />

Meski Key tergolong anak pendiam<br />

Relaksasi<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

tapi memiliki naluri ingin tahu yang<br />

kuat. Selama di mal ia terus bertanya<br />

tentang benda-benda yang dipajang di<br />

etalase.<br />

Key juga tertarik pada penakin (boneka<br />

pajangan) yang memakai wig<br />

(rambut palsu) lengkap dengan busana<br />

yang menyerupai manusia.<br />

Key: Di kepala boneka kok bisa tumbuh<br />

rambut yah?<br />

Ayah: Itu bukan rambut asli. Pegang<br />

deh rambut ayah, lembut kan? Sekarang<br />

pegang rambut boneka itu, pasti<br />

keras (kasar red)<br />

Key: Boleh gak Key pegang-pegang<br />

rambut boneka yang lain?<br />

Ayah: Boleh.<br />

Bunda: Kita ke tempat pakaian anak<br />

yuk! Di sana bonekanya kecil-kecil<br />

kayak Key.<br />

Key pun berlari-lari menghampiri<br />

penakin. Satu demi satu wig yang melekat<br />

di kepala penakin<br />

ia pegangi.<br />

Tiba-tiba ia berteriak<br />

memanggil kedua<br />

orangtuanya. “Ayah,<br />

bunda, boneka yang<br />

ini hidup, bisa<br />

marah-marah.<br />

Ternyata yang<br />

dipegang kepalanya<br />

adalah anak perempuan<br />

berambut pirang,<br />

mirip rambut<br />

boneka.<br />

Raniah Alim, Jakarta Selatan,

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!