edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Prospek<br />
Pengawasan<br />
DI ERA PEME<strong>RI</strong>NTAHAN BARU<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4<strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004
Fokus Pengawasan<br />
Diterbitkan oleh Proyek Penyebaran<br />
Pengertian dan Kesadaran Pengawasan<br />
Melalui Jalur <strong>Agama</strong> (PPKPMJA)<br />
<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
Departemen <strong>Agama</strong> <strong>RI</strong><br />
<strong>Tahun</strong> 2004<br />
Dewan Penyunting:<br />
Pembina: Slamet Riyanto<br />
Pengarah: Masyhuri AM, S. Saidi, Ahmad<br />
Ghufron, Chamdi Pamudji, Abdul Halim<br />
Penanggung jawab: Ahmed<br />
Ketua: Muhaimin Luthfie<br />
Sekretaris: Nur Arifin<br />
Anggota: Mudjimah, Ali Hadiyanto,<br />
Abdul Malik, Ahmad Zainuddin,<br />
Arif Nurrawi<br />
Tata Usaha: Aris Krido Halim,<br />
M. Machfudz, Sugina, Jumhadi<br />
Alamat Redaksi:<br />
<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen <strong>Agama</strong>,<br />
Jalan M.H. Thamrin No.6, Jakarta 10340<br />
Telp. (021) 3192-4509, 3193-0565<br />
Telefax: (021) 314-0135, 3192-6803<br />
e-mail: ahmed@miis.alumlink.com<br />
Daftar Isi<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV<br />
Daftar Isi ....................2<br />
Surat Pembaca ...............3<br />
Editorial .....................4<br />
Fokus Utama<br />
- Prioritas program 100 hari . . . . . . 5<br />
- Pengawasan program . . . . . . . . . .8<br />
- Kiprah Departemen <strong>Agama</strong> . . . . .11<br />
- Reorientasi peran pengawasan . .14<br />
Opini<br />
- Pengukuran & Penilaian Kinerja . 19<br />
- Diklat sertifikasi JFA & Realisasi<br />
Audit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24<br />
- Integritas Auditor Dalam Melakukan<br />
BAP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .27<br />
- Membangun Paradigma Baru . . 32<br />
PPA<br />
- Peran Guru Dalam Merealisasikan<br />
PPA . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . .34<br />
Randang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .37<br />
EYD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .4<br />
Teknologi Informasi . . . . . . . . . ..47<br />
AMO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .50<br />
Hikmah<br />
- Shalat Jama’ . . . . . . . . . . . . . . . .54<br />
Renungan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59<br />
Relaksasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . .60<br />
Dewan Penyunting menerima<br />
artikel yang ditulis dengan<br />
bahasa Indonesia yang baik<br />
dan benar, diutamakan dalam<br />
bentuk soft copy.<br />
...........................................................<br />
...................................................................................................................
Menag baru<br />
Sehubungan dengan perubahan<br />
dalam jajaran kabinet, saya ingin mengetahui<br />
biodata dan perjalanan karir<br />
Menteri <strong>Agama</strong> yang baru.<br />
Agus Salim,<br />
Kanwil Depag Makassar<br />
Jawaban Redaksi :<br />
Menteri <strong>Agama</strong> yang baru adalah<br />
Muhammad Maftuh Basyuni, lahir di<br />
Rembang, 4 November 1939. Jabatan<br />
terakhir sebelum diangkat menjadi<br />
Menag adalah sebagai Duta Besar <strong>RI</strong><br />
untuk Saudi Arabia dan Oman. Beliau<br />
pernah menjadi Karo Protokol dan<br />
Karo Rumah Tangga Kepresidenan<br />
pada masa Presiden Soeharto.<br />
Reportase<br />
Redaksi terhormat,<br />
Setelah membaca FP pada beberapa<br />
<strong>edisi</strong> yang lalu, saya menyarankan<br />
agar pada <strong>edisi</strong> yang akan datang<br />
FP menyajikan reportase tentang kegiatan<br />
Itjen dan juga laporan tentang<br />
kasus-kasus penyelewengan yang berhasil<br />
diungkap.<br />
Surat Pembaca<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV<br />
In’am,Citayam<br />
Tentang Auditor<br />
Ketika membaca FP <strong>edisi</strong> III, saya<br />
begitu antusias karena FP <strong>edisi</strong> III memuat<br />
hal-hal yang saya ingin ketahui<br />
tentang “Auditor”, walau belum seluruhnya.<br />
Penulisnya kebanyakan auditor yang<br />
hanya saya ketahui namanya saja, tapi<br />
paling tidak itu membuat saya<br />
mengetahui seperti apa sebenarnya<br />
tugas dan pekerjaan auditor.<br />
Semoga FP terus maju dengan isi<br />
yang lebih baik.<br />
Siti Nurjannah, Gunung Kidul<br />
Ingin kenal petinggi Depag<br />
Sebagai pegawai Depag yang berdomisili<br />
di daerah, saya ingin mengenal<br />
para petinggi Depag khususnya<br />
pejabat eselon I karena selama ini<br />
kami hanya mengetahui jabatannya<br />
tapi orangnya tidak tahu.<br />
Untuk itu kami mohon agar FP<br />
memuat profil para pejabat eselon I di<br />
lingkungan Departemen <strong>Agama</strong>.<br />
Udin, Kanwil Depag Serang<br />
Jawaban Redaksi:<br />
Terimakasih atas tanggapan dan<br />
koreksinya semoga harapan Anda dapat<br />
kami wujudkan. Insya Allah keinginan<br />
anda menjadi bahan pertimbangan<br />
kami pada <strong>edisi</strong> yang akan datang,<br />
tentunya akan disesuaikan dengan<br />
jenis rubrik yang ada.
Jangan coba-coba korupsi. Kalimat<br />
ini sekarang menjadi akrab di telinga<br />
masyarakat Indonesia, karena<br />
setiap hari KPK (Komisi Pemberantasan<br />
Korupsi) menayangkan<br />
iklan demikian di pesawat televisi.<br />
Sebagai back ground iklannya adalah<br />
pelantikan anggota Kabinet Indonesia<br />
Bersatu (KIB) oleh Presiden Susilo<br />
Bambang Yudhoyono (SBY).<br />
Memang, pemberantasan korupsi<br />
menjadi agenda utama KIB di bawah<br />
kepemimpinan Presiden SBY. Bahkan<br />
hal ini dikokohkan lagi dalam program<br />
100 hari pemerintahan SBY, dengan<br />
agenda utama ‘pemberantasan korupsi’.<br />
Artinya tingkat keberhasilan dalam<br />
melakukan pemberantasan korupsi dijadikan<br />
‘taruhan’ sebagai ukuran tingkat<br />
keberhasilan pemerintahan SBY.<br />
Kebijakan pemerintah (presiden) ini<br />
kemudian ditindaklanjuti oleh para<br />
anggota kabinetnya. Para anggota Kabinet<br />
Indonesia Bersatu berlomba-lomba<br />
membuat berbagai program pemberantasan<br />
korupsi. Tak terkecuali Departemen<br />
<strong>Agama</strong>.<br />
Dalam acara perkenalan dan pengarahan<br />
terhadap pegawai di lingkungan<br />
<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen<br />
<strong>Agama</strong> beberapa waktu lalu, Menteri<br />
<strong>Agama</strong> Muhammad Maftuh Basyuni<br />
menyatakan komitmennya terhadap<br />
Editorial<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
pemberantasan korupsi. “Saya tidak<br />
pandang bulu dalam pemberantasan<br />
korupsi di lingkungan Departemen<br />
<strong>Agama</strong>. Kalau perlu saya tidak segansegan<br />
melakukan pemecatan. Walau<br />
saya baru beberapa hari jadi Menteri<br />
<strong>Agama</strong>, saya telah menandatangani<br />
pemecatan seorang pegawai negeri di<br />
lingkungan Departemen <strong>Agama</strong> karena<br />
perilaku korupsi.” katanya.<br />
Salah satu fokus program 100 hari<br />
Menteri <strong>Agama</strong> dalam pemberantasan<br />
korupsi adalah meniadakan kebijakan<br />
pelaksanaan ibadah haji bagi pejabat<br />
atas biaya dinas (abidin) mulai tahun<br />
ini. Menurut Menteri <strong>Agama</strong>, selama ini<br />
jamaah haji Indonesia di tanah suci<br />
sering ‘kurang terurus’ karena para<br />
petugas haji bukan melayani jemaah<br />
haji, melainkan melayani rombongan<br />
pejabat dari Jakarta. Diperkirakan tidak<br />
kurang dari 5 miliar rupiah tiap<br />
tahunnya uang jamaah haji yang disetor<br />
dalam bentuk BPIH diambil untuk<br />
membiayai haji abidin ini.<br />
Di sisi lain sebenarnya ada hal yang<br />
aneh bagi umat Islam berkaitan dengan<br />
ibadah haji. Semestinya kalau<br />
rukun Islam yang ke lima dapat gegap<br />
gempita dilaksanakan, sampai-sampai<br />
harus antre karena terbatasnya kuota,<br />
mestinya rukun Islam sebelumnya<br />
yang bernama ‘zakat’ juga lebih gegap<br />
gempita. Namun yang terjadi, pengelolaan<br />
zakat, terutama zakat mal belum<br />
maksimal dilaksanakan.Akibatnya, masih<br />
banyak umat Islam yang terlantar<br />
terjerat dalam lembah kesulitan dan<br />
kemiskinan, Demikian juga lembagalembaga<br />
dakwah Islam, masih banyak<br />
yang kesulitan dana. Kesalihan individual<br />
kelihatannya masih jauh lebih dominan<br />
diburu oleh umat Islam dibanding<br />
kesalihan sosial. Wallahu a’lam.<br />
Redaksi,
Fokus Utama<br />
P<strong>RI</strong>O<strong>RI</strong>TAS PROGRAM 100 HA<strong>RI</strong><br />
KABINET INDONESIA BERSATU<br />
Tepat 20 Oktober 2004, Kabinet<br />
Indonesia Bersatu dilantik oleh<br />
Presiden Susilo Bambang<br />
Yudhoyono. Begitu banyak harapan<br />
masyarakat ditumpukan pada jajaran<br />
kabinet tersebut. Memang menurut<br />
analisis beberapa pakar politik, ekonomi,<br />
dan hukum komposisi kabinet belum<br />
memenuhi harapan publik, namun<br />
menurut Presiden "sulit untuk memenuhi<br />
keinginan banyak pihak pada saat<br />
ini".<br />
Pernyataan Presiden tersebut sebenarnya<br />
sungguh bijaksana, karena secara<br />
riil memang sulit untuk dapat<br />
mengikuti keinginan masyarakat yang<br />
mewakili banyak kepentingan, yang<br />
mungkin lebih urgen adalah kita lihat<br />
dahulu kinerja kabinet dalam waktu<br />
100 hari ini. Masyarakat nantinya akan<br />
dapat menilai bagaimana para<br />
Menteri/Pimpinan LPND melaksanakan<br />
tugas seoptimal mungkin.<br />
Dengan memperhatikan situasi dan<br />
kondisi ekonomi makro saat ini, maka<br />
kinerja Kabinet Indonesia Bersatu<br />
harus benar-benar solid, mempunyai<br />
kebijakan dan mungkin terobosan<br />
yang sesuai dengan kebutuhan riil<br />
publik dan bersikap transparan. Namun<br />
inti dari semua kerja kabinet untuk<br />
era saat ini adalah bagaimana<br />
mensukseskan program kerja 100 hari,<br />
khususnya dalam rangka pemberantasan<br />
KKN.<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Pemberantasan KKN<br />
Masalah pemberantasan KKN terus<br />
menjadi diskursus, bahkan menjadi topik<br />
hangat dalam setiap kesempatan<br />
seminar/diskusi, baik yang diselenggarakan<br />
oleh pemerintah maupun masyarakat<br />
(LSM). Namun hasil (outcomes)<br />
dan manfaat (benefit) sampai saat ini<br />
masih saja belum memuaskan masyarakat.<br />
Adalah suatu kewajaran berharap<br />
banyak kepada jajaran kabinet<br />
mengingat masyarakat mendambakan<br />
situasi dan kondisi yang aman, tertib,<br />
damai dan sejahtera. Kondisi tersebut<br />
saat ini dapat dikatakan masih sering<br />
mengalami gangguan/hambatan di lapangan.<br />
Masyarakat sangat berharap pada<br />
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono<br />
dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu<br />
agar masalah pemberantasan KKN<br />
mendapat perhatian serius. Sudah saatnya<br />
kita semua bersama-sama untuk<br />
menyukseskan program tersebut, karena<br />
dengan adanya KKN selama ini ternyata<br />
telah melemahkan kerja birokrasi<br />
pemerintah.<br />
Masyarakat tidak saja sebatas mengidamkan<br />
pemerintah yang bersih<br />
(clean government) dan kepemerintahan<br />
yang baik (good governance). Lebih<br />
dari itu masyarakat ingin ada kesungguhan<br />
dari para penyelenggara negara<br />
dapat merealisasikannya sesegera<br />
mungkin karena memang kebutuhan<br />
mendesak. Berbagai himpitan kehidup-
an telah menyebabkan banyak warga<br />
masyarakat yang hidup di batas garis<br />
kemiskinan, bahkan angka pengangguran<br />
makin bertambah.<br />
Untuk itu harus ada i’tikad baik dari<br />
segenap anak bangsa, khususnya<br />
para pejabat pemerintah sebagai penyelenggara<br />
negara yang peduli pada<br />
pemberantasan KKN. Masyarakat lebih<br />
membutuhkan bukti ketimbang berbagai<br />
janji yang jika tidak teralisir justru<br />
akan membuat sakit hati. Niat baik dan<br />
tulus program 100 hari pemerintah<br />
harus pula disupport semaksimal<br />
mungkin oleh publik. Kontrol harus dilaksanakan<br />
secara terus menerus dengan<br />
komitmen kuat dalam rangka tercapainya<br />
tujuan utama dari program<br />
pemerintah yaitu pemberantasan KKN.<br />
Dalam kaitan itu pula, Presiden Susilo<br />
antara lain telah memberikan 9<br />
instruksi kepada para gubernur yang<br />
harus dijalankan dan dijabarkan di<br />
daerahnya masing-masing. Adapun isi<br />
dari 9 instruksi tersebut adalah agar<br />
para gubernur :<br />
Pertama, melaksanakan konsolidasi,<br />
normalisasi, dan rekonsiliasi.<br />
Kedua, merespon harapan masyarakat<br />
dengan sungguh-sungguh bekerja<br />
dan memberikan hasil nyata.<br />
Ketiga, memahami dan mengimplementasikan<br />
kebijakan dan program<br />
pemerintah 2004-2009.<br />
Keempat, mengembangkan inisiatif,<br />
inovasi dan aksi nyata sesusai kondisi<br />
daerah masing-masing.<br />
Kelima, memberi contoh sebagai<br />
pejabat yang bersih dari KKN dan menegakkan<br />
hukum di daerahnya.<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Keenam, seluruh waktu gubernur,<br />
bupati dan walikota berada di daerahnya<br />
masing-masing, dan membatasi<br />
kunjungan ke luar negeri.<br />
Ketujuh, membatasi kunjungan ke<br />
luar negeri, kecuali memberi manfaat<br />
yang tinggi bagi masyarakat.<br />
Kedelapan, meningkatkan komunikasi<br />
langsung dengan rakyat untuk<br />
memecahkan masalah dan mengukur<br />
taraf hidup masyarakat.<br />
Kesembilan, melakukan langkah-langkah<br />
antisipatif dan proaktif untuk<br />
mencegah membesarnya masalah di<br />
daerah.<br />
Instruksi Presiden tersebut sebenarnya<br />
penegasan kesungguhan pemerintah<br />
dalam rangka pemberantasan<br />
KKN. Secara formal mungkin untuk<br />
para Gubernur, namun substansinya<br />
bisa juga untuk seluruh pejabat pemerintah<br />
pusat dan daerah. Khusus untuk<br />
pemberantasan KKN, pada instruksi<br />
ke-5 jelas dinyatakan bahwa setiap<br />
pejabat harus memberi contoh sebagai<br />
pejabat yang bersih dari KKN dan menegakkan<br />
hukum di daerahnya masing-masing.<br />
Prioritas program<br />
Tentunya dalam rangka melaksanakan<br />
tugas pemberantasan KKN, semua<br />
pihak harus terlibat, begitu pula<br />
halnya dengan masyarakat. "Aktor utama"<br />
sebenarnya ada pada para penyelenggara<br />
negara (pejabat negara). Untuk<br />
itu harus ada contoh figur pejabat<br />
yang khususnya bersih dari KKN, sekaligus<br />
dapat memberi contoh riil bagi<br />
para pejabat lainnya di negeri ini.
Di era transparansi ini, kiranya figur<br />
pejabat yang bersih dari KKN merupakan<br />
kebutuhan. Eksistensi mereka<br />
sangat dibutuhkan untuk menjadi motor<br />
penggerak roda pemerintahan yang<br />
sedang mengarah pada upaya pemberantasan<br />
KKN. Memang hal tersebut<br />
memerlukan proses yang rumit dan<br />
lama, namun tetap harus diupayakan<br />
seoptimal mungkin demi kepentingan<br />
bangsa dan negara.<br />
Semuanya jelas memerlukan pengorbanan<br />
yang tidak sedikit, baik dari segi<br />
waktu, tenaga dan bahkan finansial<br />
untuk dapat turut mensukseskan<br />
program pemberantasan KKN secara<br />
utuh dan terpadu.<br />
Selain penekanan pada figur pejabat<br />
yang bersih dari KKN yang sekiranya<br />
akan dapat diikuti oleh para penyelenggara<br />
negara, para pejabat juga diharapkan<br />
dapat mengupayakan dengan<br />
seoptimal mungkin bagaimana<br />
mengupayakan penegakan hukum<br />
(law enforcement). Apa yang terjadi<br />
selama ini mungkin hanya penegakan<br />
hukum dalam artian semu, sehingga<br />
aspek hakikinya belum tertangani dengan<br />
baik.<br />
Penegakan hukum pada masa yang<br />
akan datang harus konkrit, terpadu<br />
dan komprehensif. Sudah pada waktunya<br />
para penyelenggara negara melaksanakan<br />
proses penegakan hukum<br />
secara profesional, artinya dilaksanakan<br />
oleh para ahlinya dan hasilnya<br />
juga optimal; serta harus secara proporsional,<br />
artinya hasil dari suatu proses<br />
hukum dapat memenuhi rasa ke-<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
adilan.<br />
Dalam konteks pemberantasan KKN<br />
ini, maka institusi-institusi terkait, yaitu<br />
kepolisian, kejaksaan, dan institusi-institusi<br />
pengawasan (BPK, BPKP,<br />
<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen, Satuan<br />
Pengawasan Inernal,dan Bawasda)<br />
harus lebih meningkatkan perannya<br />
sesuai dengan tujuan utama program<br />
100 hari Presiden Susilo Bambang<br />
Yudhoyono.<br />
Seluruh lapisan masyarakat sebenarnya<br />
sangat menunggu langkah konkrit<br />
dari jajaran Kabinet Indonesia Bersatu.<br />
Untuk itu jangan sampai dikecewakan<br />
dengan alasan tertentu yang sekiranya<br />
kurang dapat diterima publik. Tingkat<br />
kesolidan tim kerja dimanapun<br />
instansinya harus menjadi faktor utama<br />
dan penentu.<br />
Dalam konteks "good governance",<br />
maka peran riil masyarakat harus terus<br />
dihidupkan agar dapat juga melaksanakan<br />
fungsi kontrol terhadap jalannya<br />
tugas-tugas pemerintahan secara<br />
proporsional. Masyarakat dapat ikut<br />
mengawasi melalui kotak pos 5000<br />
atau laporan tertulis lainnya, dengan<br />
persyaratan dapat dibuktikan kebenarannya.<br />
Kita semua berharap terhadap suksesnya<br />
program pemberantasan KKN<br />
yang saat ini didengungkan pemerintah.<br />
Tugas semua dari "anak bangsa"<br />
adalah turut mensukseskan dengan<br />
niat baik untuk kebaikan negeri<br />
tercinta ini. Semoga semua terwujud<br />
dengan komitmen dan kebersamaan<br />
kita semua. 3 (Arif Nurrawi)
Fokus Utama<br />
PENGAWASAN<br />
PROGRAM 100 HA<strong>RI</strong> DEPARTEMEN AGAMA<br />
Jangan coba-coba korupsi!.<br />
Slogan ini kita dengar ketika pemerintahan<br />
baru di bentuk oleh<br />
Presiden terpilih Susilo Bambang<br />
Yudhoyono. Kontrak politik dengan<br />
para pembantunya (baca: Kabinet Indonesia<br />
Bersatu) pun salah satunya<br />
adalah bila terbukti melakukan korupsi<br />
maka bersedia untuk langsung dipecat<br />
dan diproses sesuai hukum.<br />
Hal ini bukan tanpa alasan. Karena<br />
korupsi di Indonesia memang dalam<br />
kondisi yang sangat mengkhawatirkan.<br />
Negara dengan 200 juta penduduk ini,<br />
pada tahun 2004 tercatat sebagai<br />
Negara ke-5 terkorup di dunia dari 146<br />
negara. Peringkat yang baru dikeluarkan<br />
oleh transparansi internasional<br />
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia<br />
satu tingkat lebih buruk dari<br />
peringkat tahun lalu.<br />
Karena itu banyak pihak menaruh<br />
harapan besar pada pemerintah baru<br />
agar membawa negara ini menjadi negeri<br />
yang bersih dari koruptor. SBY diharapkan<br />
mampu menciptakan pemerintahan<br />
yang bersih dan berwibawa.<br />
Salah satunya muncul dari Indonesia<br />
Corruption Watch (ICW) yang dimuat<br />
dalam pernyataan persnya nomor:<br />
17/PR/ICW/X/2004 yaitu: …1)Menteri<br />
terpilih harus menunjukkan contoh<br />
perilaku bersih jujur, dan bersahaja<br />
bagi bawahannya. Seluruh menteri<br />
harus memiliki komitmen dalam<br />
pencegahan dan pemberantasan korupsi<br />
serta bertindak tegas terhadap<br />
segala bentuk penyimpangan yang ter-<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004<br />
jadi di lingkungannya….<br />
Dukungan nyata dari para menteri<br />
dalam melakukan upaya pemberantasan<br />
korupsi menjadi teramat penting<br />
mengingat menteri merupakan bagian<br />
dari pemerintah eksekutif. Dengan kata<br />
lain, pemberantasan korupsi bukan hanya<br />
tanggung jawab dari presiden semata,<br />
namun juga merupakan tanggung<br />
jawab dari para menteri yang telah<br />
ditunjuk oleh SBY, khususnya upaya<br />
pemberantasan korupsi di setiap<br />
instansi/departemen yang dipimpinnya.<br />
Oleh karena itu Departemen <strong>Agama</strong>,<br />
sebagai bagian dari jajaran Kabinet<br />
Indonesia Bersatu, dengan menteri<br />
barunya, dituntut pula untuk membenahi<br />
diri, membersihkan para koruptor<br />
dari departemennya. Menteri <strong>Agama</strong>,<br />
Muhammad Maftuh Basyuni, dalam<br />
satu pernyataannya mengatakan bertekad<br />
membersihkan Depag dari korupsi<br />
dan akan menyelidiki penyelewengan<br />
penyelenggaraan ibadah haji.<br />
Penyelenggaraan ibadah haji ini<br />
adalah urutan pertama dalam program<br />
100 hari Departemen <strong>Agama</strong>, karena<br />
memang penyelenggaran ibadah haji<br />
sangat disoroti dan disinyalir banyak<br />
terjadi penyelewengan dalam pelaksanaannya<br />
dari tahun ke tahun.<br />
Program 100 hari Dep. <strong>Agama</strong><br />
Adapun program 100 hari Departemen<br />
<strong>Agama</strong> dalam kabinet Indonesia<br />
Bersatu adalah sebagai berikut:<br />
Pertama, peningkatan kualitas penyelenggaraan<br />
ibadah haji. Memberi-
kan jaminan kepastian berangkat bagi<br />
calon jemaah haji yang telah melunasi<br />
BPIH, penyediaan makan bagi jemaah<br />
haji selama 9 hari di Madinah, penerbangan<br />
langsung ke Madinah sebanyak<br />
3 kali sehari bekerja sama dengan<br />
GIA dan Saudia Airlines.<br />
Kedua, pembinaan kerukunan hidup<br />
beragama. Membangun kehidupan<br />
beragama yang harmonis, dengan melakukan<br />
tindakan on the spot sehingga<br />
terselesaikan dan terkendalinya<br />
kasus-kasus yang timbul di masyarakat.<br />
Selain dari itu telah dilakukan kegiatan:<br />
(a)Pembekalan bagi guru-guru<br />
<strong>Agama</strong>, dilaksanakan di Ambon (300<br />
guru), Malang (100 guru), dan Palangkaraya<br />
(100 guru); (b)Pembekalan bagi<br />
Lembaga Keagamaan Pemuda, dilaksanakan<br />
di DKI Jakarta (100 peserta),<br />
dan Palembang (100 peserta); (c)Pembekalan<br />
bagi para tokoh agama/penyuluh<br />
agama. Dilaksanakan di Mataram<br />
(35 peserta), Padang (35 peserta),<br />
Banjarmasin (35 peserta), Ujung Pandang<br />
(35 peserta), Kendari (35 peserta),<br />
Pekanbaru (35 peserta).<br />
Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan<br />
agama. Membangun kembali<br />
madrasah yang rusak akibat konflik<br />
melalui anggran ABT (khusus provinsi<br />
NAD).<br />
Keempat, program peningkatan pelayanan<br />
kehidupan beragama: (a)Memberikan<br />
bantuan untuk merehab tempat<br />
ibadah yang rusak akibat bencana<br />
alam; (b)Meningkatkan pelayanan<br />
KUA. Telah ditandatangani MoU<br />
Depag dengan Bank BNI 46, B<strong>RI</strong> dan<br />
PT. Pos Indonesia untuk penyetoran<br />
biaya Nikah Rujuk (NR). Kemudian,<br />
telah diterbitkan Instruksi Menteri Aga-<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004<br />
ma Nomor 2/2004 tentang Peningkatan<br />
Pelayanan KUA.<br />
Kelima, Peningkatan pemahaman<br />
dan pengamalan agama. Melakukan<br />
bimbingan dan penyuluhan keagamaan<br />
bagi masyarakat. Hasil yang dicapai<br />
adalah penurunan konflik di masyarakat<br />
yang bernuansa keagamaan.<br />
Keenam, Pemberdayaan Umat.<br />
Mengoptimalkan pengelolaan zakat,<br />
wakaf, dan infak serta shadaqah. Sedang<br />
kemajuan yang sudah dicapai<br />
adalah terealisasinya pilot project pengelolaan<br />
wakaf produktif di Cirebon<br />
yang merupakan hasil kerjasama dengan<br />
Pemuda, MUI, BPN, BAZ, dan<br />
LAZ.<br />
Ketujuh, Membangun aparatur Departemen<br />
<strong>Agama</strong> yang bersih dan berwibawa.<br />
a)Sosialisasi akuntabilitas Kinerja<br />
di lingkungan Departemen <strong>Agama</strong><br />
yakni di Kanwil dan Kandepag (sosialisasi<br />
AKIP/LAKIP); b)Terselenggaranya<br />
proses penerimaan CPNS yang<br />
transparan dan akuntabel dengan<br />
melibatkan aparat pengawas.<br />
(Informasi program 100 hari Departemen<br />
<strong>Agama</strong> ini juga dapat di lihat pada<br />
situs resmi milik Departemen <strong>Agama</strong>,<br />
yaitu: http://www.depag.go.id)<br />
Khusus untuk penyelenggaran haji,<br />
Dep. <strong>Agama</strong> berupaya memperbaiki<br />
pelayanan ibadah haji tahun 2005, salah<br />
satunya dengan mewujudkan aparatur<br />
yang bersih dan berwibawa, Menteri<br />
Maftuh Basyuni beserta pejabat<br />
eselon I dan II memutuskan untuk tidak<br />
ikut beribadah haji tahun ini. Diharapkan<br />
langkah ini juga diikuti oleh menteri<br />
dan pejabat di instansi lain.
Pengawasan Internal<br />
Sebagai bagian dari Departemen,<br />
<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> (Itjen) pun dituntut<br />
untuk mengambil bagian dalam<br />
usaha mewujudkan pemerintahan<br />
yang bersih dan berwibawa. Sesuai<br />
dengan tugasnya yaitu melakukan<br />
pengawasan fungsional di lingkungan<br />
departemen, seperti tercantum dalam<br />
pasal 31 ayat (7) Keppres No. 177<br />
tahun 2000 disebutkan "<strong>Inspektorat</strong><br />
<strong>Jenderal</strong> mempunyai tugas melaksanakan<br />
pengawasan fungsional di lingkungan<br />
departemen."<br />
Begitu pula dengan Itjen Dep. <strong>Agama</strong><br />
seperti tercantum dalam Keputusan<br />
Menteri <strong>Agama</strong> No. 01 <strong>Tahun</strong> 2001<br />
pasal 618 disebutkan "<strong>Inspektorat</strong><br />
<strong>Jenderal</strong> mempunyai tugas menyelenggarakan<br />
pengawasan fungsional di<br />
lingkungan Departemen <strong>Agama</strong> berdasarkan<br />
kebijakan yang ditetapkan oleh<br />
Menteri dan peraturan perundang-undangan<br />
yang berlaku".<br />
Karena itu maka <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
(Itjen) Dep.<strong>Agama</strong> harus melakukan<br />
pengawasan terhadap segala kebijakan<br />
yang diambil oleh Menteri <strong>Agama</strong>,<br />
termasuk program 100 hari ini dan<br />
tentunya tidak berhenti di sini saja, namun<br />
tetap mengawasi kebijakan menteri<br />
agama selanjutnya seperti yang telah<br />
biasa dilaksanakan.<br />
Itjen Dep. <strong>Agama</strong> pun secara mandiri<br />
harus membenahi dirinya ke arah lebih<br />
baik dan memperkuat pengawasan<br />
internal di Dep. <strong>Agama</strong>, karena<br />
dengan memperkuat pengawasan internal<br />
di Dep. <strong>Agama</strong> dan memberikan<br />
reward kepada pegawai yang memiliki<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004<br />
prestasi kerja serta menjatuhkan punishment<br />
yang tegas kepada mereka<br />
yang terbukti melakukan penyimpangan<br />
akan mendorong terciptanya<br />
kinerja aparatur pemerintah yang bersih<br />
dan berwibawa. Kerja-kerja <strong>Inspektorat</strong><br />
atau bidang pengawasan internal<br />
harus lebih dioptimalkan dan para<br />
pengawas haruslah dijabat oleh<br />
orang-orang yang berintegritas dan berani.<br />
Diharapkan bila Itjen Dep. <strong>Agama</strong><br />
dapat melaksanakan tugasnya dengan<br />
baik maka Dep. <strong>Agama</strong> mampu tampil<br />
lebih bersih dan berwibawa dalam<br />
membawa perubahan negara yang<br />
bebas dari korupsi, sehingga apa yang<br />
dikatakan oleh Syafi’i Ma’arif “Negara<br />
kita tidak akan pernah bisa maju karena<br />
Departemen <strong>Agama</strong>, Departemen<br />
Pendidikan, dan Departemen Kesehatan–tiga<br />
departemen yang mengurusi<br />
pendidikan hati, pendidikan otak, dan<br />
pendidikan fisik–justru tiga departemen<br />
yang paling korup kinerjanya” tidak<br />
terbukti lagi.<br />
Itjen Dep. <strong>Agama</strong> harus mampu<br />
mengawal roda pemerintahan dalam<br />
menjalankan asas/prinsip penyelenggaraan<br />
negara yang baik dalam setiap<br />
tugas dan wewenangnya berdasarkan<br />
UU No. 28 <strong>Tahun</strong> 1999 tentang Penyelenggaraan<br />
pemerintahan yang<br />
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi,<br />
dan nepotisme. Penyelenggaraan Negara<br />
haruslah berasaskan pada: Kepastian<br />
Hukum; Tertib Penyelenggaraan<br />
Negara; Kepentingan Umum; Keterbukaan;<br />
Proporsionalitas; Profesionalitas;<br />
dan Akuntabilitas.3(nugraha s)
Fokus Utama<br />
KIPRAH DEPARTEMEN AGAMA<br />
PASCA PROGRAM 100 HA<strong>RI</strong> PERTAMA<br />
Seratus menjadi angka penting di<br />
awal pemerintahan Kabinet Indonesia<br />
Bersatu (KIB). Hal ini<br />
seperti penetapan 100 hari pertama<br />
sebagai periode pencapaian target tertentu.<br />
Menurut editorial Media Indonesia<br />
(26/10/2004), ada beberapa alasan<br />
100 hari pertama menjadi amat penting.<br />
Pertama, ini adalah akibat dari<br />
publik yang semakin cerewet terhadap<br />
kinerja pemerintah. Kedua, belajar dari<br />
pengalaman masa lalu, publik menuntut<br />
janji-janji kampanye ke dalam komitmen.<br />
Dan, ketiga, masyarakat kita<br />
umumnya memiliki memori pendek sehingga<br />
lebih gampang mengingat target<br />
dan pencapaian 100 hari daripada<br />
lima tahunan.<br />
Karena itu, dalam 100 hari pertama<br />
pemerintahan KIB diharapkan terdapat<br />
titik temu. Pertemuan antara rakyat<br />
yang semakin kritis dan pemerintah<br />
yang mau tidak mau harus taat pada<br />
janji-janjinya. Presiden sendiri bersifat<br />
proaktif dalam mewujudkan titik temu<br />
tersebut. Hal ini seperti dilakukannya<br />
dengan mengadakan pertemuan beserta<br />
100 ulama pada Ramadlan yang<br />
lalu. Pertemuan tersebut diharapkan<br />
dapat menjadi langkah awal secara<br />
bersama antara pemerintah dengan<br />
masyarakat, khususnya umat Islam,<br />
dalam mengatasi permasalahan yang<br />
dihadapi bangsa Indonesia.<br />
Dalam hal ini, Departemen <strong>Agama</strong><br />
yang memiliki tugas pokok untuk menyelenggarakan<br />
sebagian tugas umum<br />
pemerintah dan pembangunan di bi-<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
dang agama, memiliki peran yang strategis<br />
dalam mengatasi permasalahan<br />
bangsa tersebut. Namun, terlebih dahulu<br />
Depag dituntut untuk melakukan<br />
perubahan internal di lingkungan Depag<br />
sendiri. Berkenaan dengan hal ini,<br />
Menteri <strong>Agama</strong> Muhammad Maftuh<br />
Basyuni mengatakan, Depag harus diubah<br />
dari citranya yang sekarang menjadi<br />
sebaliknya dan menjadi contoh<br />
bagi departemen lainnya. Sebagai<br />
departemen yang mengurusi agama,<br />
maka itu berarti mengajak orang untuk<br />
berbuat kebaikan. (Pelita, 25/10/2004).<br />
Sebagai konsekuensi dari usaha perbaikan<br />
internal tersebut, Menag pun<br />
siap melakukan tindakan tegas kepada<br />
pegawai Depag berdasarkan perbuatan<br />
yang dilakukan. "Saya ahli memecat<br />
orang. Waktu menjadi Dubes 9<br />
orang saya pecat". Tutur Menag usai<br />
serah terima jabatan. (Tempointeraktif.com,<br />
22/10/2004)<br />
Adapun dalam tugasnya sebagai<br />
penyelenggara pembangunan di bidang<br />
agama, menurut Thoifuri dosen<br />
Sekolah Tinggi <strong>Agama</strong> Islam (STAIN)<br />
Kudus, Depag dihadapkan pada problematika<br />
keagamaan dan keberagamaan<br />
yang sangat berat. Problematika<br />
keagamaan dapat dimaknai bahwa<br />
para pemeluk agama, terutama Islam,<br />
masih banyak yang belum menjalankan<br />
ajaran Islam. Sedangkan problematika<br />
keberagamaan adalah masih<br />
sedikit umat Islam yang menjalankan<br />
interaksi sosial antar sesamanya dalam<br />
mewujudkan kehidupan berbang-
sa dan bernegara yang kondusif (Rakyat<br />
Merdeka, 1/10/ 2004). Dengan demikian,<br />
Depag dituntut bersifat proaktif<br />
dan responsif terhadap kegiatan yang<br />
dilakukan masyarakat, khususnya<br />
umat Islam dalam mengatasi problematika<br />
keagamaan dan keberagamaan<br />
tersebut.<br />
Pemberlakuan Kembali Sistem Keuangan<br />
Islam<br />
Salah satu kegiatan di masyarakat<br />
yang menuntut respon dan dijadikan<br />
perhatian Depag saat ini adalah gerakan<br />
untuk memberlakukan kembali sistem<br />
keuangan Islam. Sistem keuangan<br />
yang dimaksud adalah diberlakukannya<br />
kembali dinar (uang emas) dan dirham<br />
(uang perak). 1 Dinar merupakan<br />
emas seberat 4,25 gram dan dirham<br />
adalah perak seberat 3 gram. Kedua<br />
mata uang ini, di samping sebagai alat<br />
penyimpan nilai dan alat tukar dalam<br />
jual beli, juga penentu nisab zakat,<br />
hudud (batasan pemberlakuan<br />
hukuman), ongkos naik haji, dam (denda),<br />
dan sebagainya.<br />
Sosialisasi penggunaan kedua<br />
mata uang tersebut juga berlangsung<br />
bertepatan dengan periode Program<br />
100 hari pertama KIB (sejak 20 Oktober<br />
2004). Hal ini seperti melalui acara<br />
"Ceramah Ilmiah Dinar dan Dirham"<br />
yang diadakan Majelis Ulama Indonesia<br />
(MUI) Depok, 24 Oktober 2004.<br />
Pada acara ini hadir sebagai pembicara<br />
Direktur Wakala Dinar dan Dirham<br />
"Adina", Zaim Saidi. Dua minggu kemudian<br />
(7 November 2004), dalam salah<br />
satu segmen acara Ramadhan di<br />
Metro TV "Gema Syariah", berlangsung<br />
diskusi dengan tema "Dinar Se-<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
bagai Alat Pembayaran". Nara sumber<br />
dalam acara ini mantan Menteri Koperasi<br />
dan mantan Ketua Umum Ikatan<br />
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)<br />
Adi Sasono dan Muhammad Syafi'i<br />
Antonio.<br />
Tidak ketinggalan, setelah Idul Fitri<br />
1425 H, Forum Penggerak Dinar dan<br />
Dirham Indonesia (Forindo) mengadakan<br />
acara "Silaturrahim dan Halal Bihalal"<br />
di Jakarta, 25 November 2004.<br />
Dalam acara ini hadir para tokoh penggerak<br />
dinar dan dirham dari Indonesia<br />
dan Malaysia. Acara ini juga dihadiri<br />
General Manager UBPP Logam Mulia<br />
PT Antam, Rinanti Agnes. Meskipun<br />
penganut Katolik, Rinanti mendukung<br />
diberlakukannya kembali dinar dan dirham.<br />
Pada tahun yang lalu, ia menyampaikan<br />
makalah yang berjudul<br />
"Prospek Pertukaran Dinar Dirham Secara<br />
Fisik dan Elektronik" pada Seminar<br />
Prospek dan Implementasi Pertukaran<br />
Dinar Dirham Indonesia-Malaysia"<br />
di Jakarta, 17 Desember 2003.<br />
Pada makalah tersebut ia menyatakan,<br />
perlu dilakukan usaha intensif melalui<br />
sosialisasi sistem pemasaran yang lebih<br />
giat lagi agar pertumbuhan penggunaan<br />
dinar dan dirham lebih cepat<br />
perkembangannya.<br />
Dalam hal ini, Malaysia dapat melakukan<br />
pertumbuhan penggunaan dinar<br />
dan dirham secara pesat karena<br />
kiprah mantan Perdana Menteri Malaysia<br />
Mahathir Mohamad (Republika, 26/<br />
11/2004). Mahathir sendiri pernah menyatakan,<br />
sistem keuangan dunia yang<br />
didasari uang kertas dan cek bukan<br />
sistem Islam (Ismail, 2003: 3). Sedangkan<br />
menurut Menteri Negara BUMN<br />
Sugiharto selaku Koordinator Presidi-
um Forindo, dalam tataran implementatif<br />
penggunaan dinar dan dirham<br />
mempunyai prospek yang cukup signifikan<br />
bila dilihat dari naiknya beberapa<br />
indikator ekonomi makro di Indonesia.<br />
Sosialisasi penggunaan dinar dan<br />
dirham juga dilakukan kaum Muslimin<br />
di Jerman melalui tabloid Islamische<br />
Zeitung. Pada <strong>edisi</strong> November 2004<br />
(II), tabloid ini menampilkan judul "Riba<br />
verstehen" (Memahami Riba) yang ditulis<br />
Prof. Umar Ibrahim Vadillo. Menurut<br />
Vadillo, penggunaan uang kertas<br />
merupakan riba al Fadhl (riba dalam<br />
jual beli). Di samping itu, tabloid Islam<br />
terpopuler di Jerman ini juga memberitakan<br />
wafatnya Syekh Sayyid Muhammad<br />
Alawi al-Maliki al-Hasani. Ulama<br />
Makkah yang muridnya sebagian besar<br />
dari Indonesia ini wafat pada 15<br />
Ramadhan 1425 H. Syekh Alawi juga<br />
merupakan sahabat Syekh Abdulqadir<br />
as-Sufi yang mempelopori pemberlakuan<br />
kembali dinar dan dirham sejak<br />
tahun 1992.<br />
Menurut Zaim Saidi, potensi pasar<br />
dinar dan dirham sendiri sangatlah besar.<br />
Hal ini berkenaan dengan Indonesia<br />
sebagai negara penghasil emas.<br />
Kapasitas produksi emas di Indonesia<br />
sekitar 3,8 juta ons pertahun, belum<br />
termasuk pertambangan rakyat. Ini setara<br />
dengan 30,3 juta dinar. Bila kuota<br />
jemaah haji sebesar 200 ribu orang<br />
dengan ONH senilai 350 gram emas<br />
(78 dinar), maka dinar yang akan beredar<br />
adalah 15,6 juta dinar, ditambah<br />
nilai Zakat, Infak, dan Shodaqah sekitar<br />
Rp 5 trilyun pertahun atau senilai<br />
12,5 juta dinar. Total potensi peredaran<br />
dinar pertahun adalah di atas 28<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
juta dinar. Kebutuhan ini dapat dipenuhi<br />
dari produksi emas dalam negeri.<br />
Dinar emas dan dirham perak juga dapat<br />
diperoleh dari hasil berdagang dengan<br />
bangsa lain.<br />
Sedangkan secara politis, menurut<br />
CEO Alami Vegetable Oil Malaysia<br />
Radhwan Alami, penggunaan dinar<br />
dan dirham mendesak karena dunia<br />
saat ini hanya mengenal satu alat tukar<br />
yakni dolar AS. "Mereka menyedot<br />
kekayaan negara lain dan menukarkannya<br />
hanya dengan kertas", tutur<br />
Radhwan pada acara Halal Bihalal Forindo<br />
(Republika, 26/11/ 2004). Gambaran<br />
pernyataan Radhwan ini seperti<br />
menimpa Indonesia yang dilanda berbagai<br />
bencana alam akibat sekian hektar<br />
hutan menjadi gundul setelah ditukar<br />
dengan hanya setumpuk kertas<br />
bertuliskan dolar.<br />
Dengan demikian, jika dulu penjajah<br />
Portugis, Belanda, dan Jepang mengerahkan<br />
pasukannya untuk mengambil<br />
seluruh kekayaan alam di Indonesia.<br />
Maka, para penjajah saat ini cukup<br />
dengan hanya mencetak uang kertas<br />
dolar. Kemudian, mereka menukarkannya<br />
dengan segala sesuatu yang<br />
mereka inginkan. Karena itu, di sinilah<br />
salah satu esensi pentingnya kembali<br />
kepada sistem keuangan Islam.<br />
Dowes Dekker pernah berkata, "Kalau<br />
tidak ada Islam, sudah lama<br />
kebangsaan yang sebenarnya lenyap<br />
dari Indonesia." (Alkisah, No. 23/ 8-21<br />
Nov. 2004, hal. 115).<br />
Semoga pemberlakuan kembali dinar<br />
dan dirham menjadi bagian dari<br />
kiprah Depag pasca Program 100 hari<br />
pertama. Amin...Wallahu a'lam bisshowab.<br />
3 (Nurman Kholis)
Fokus Utama<br />
REO<strong>RI</strong>ENTASI PERAN PENGAWASAN DEP. AGAMA<br />
DALAM PERSPEKTIF STRUKTUR BARU<br />
Pada era reformasi, penyelenggaraan<br />
tugas pemerintahan dan<br />
pembangunan dituntut semakin<br />
transparan sejak penyusunan kebijakan<br />
dan pelaksanaannya. Termasuk upaya<br />
menanggulangi praktik Korupsi,<br />
Kolusi dan Nepotisme (KKN), antisipasi<br />
terhadap pemborosan dan pembocoran<br />
keuangan negara, peningkatan<br />
pelayanan kepada masyarakat, dan<br />
pemberantasan pungutan liar.<br />
Untuk meningkatkan efisiensi dan<br />
efektivitas pelaksanaan tugas Dep.<br />
<strong>Agama</strong> telah mengeluarkan Keputusan<br />
Menteri <strong>Agama</strong> No. 01 <strong>Tahun</strong> 2001<br />
tentang Kedudukan, Tugas,Fungsi Kewenangan,<br />
Susunan Organisasi dan<br />
Tata Kerja Departemen <strong>Agama</strong>. <strong>Inspektorat</strong><br />
<strong>Jenderal</strong> Dep.<strong>Agama</strong>, di dalam<br />
Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> tersebut<br />
termasuk mengalami restrukturisasi,<br />
dimana para Inspektur bidang menjadi<br />
Inspektur Regional, sementara jabatan<br />
struktural eselon III (Inspektur<br />
Pembantu) dan pejabat eselon IV (pemeriksa)<br />
menjadi jabatan fungsional<br />
yaitu Auditor.<br />
Dengan struktur yang baru diperlukan<br />
reorientasi tugas agar berjalan lebih<br />
efektif dalam rangka memberikan<br />
dukungan terhadap terselenggaranya<br />
pemerintahan yang bersih, terpercaya<br />
dan bertanggungjawab di lingkungan<br />
Dep.<strong>Agama</strong>.<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Pelaksanan Pengawasan<br />
<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen<br />
<strong>Agama</strong> menyelenggarakan pengawasan<br />
fungsional berdasarkan kebijakan<br />
yang ditetapkan oleh Menteri <strong>Agama</strong><br />
dan peraturan perundang-undangan.<br />
Sedangkan pengawasan oleh atasan<br />
langsung/pengawasan melekat adalah<br />
serangkaian kegiatan yang bersifat<br />
pengendalian terus-menerus, dilakukan<br />
oleh atasan langsung terhadap bawahannya<br />
secara prefentif atau represif<br />
agar pelaksanaan tugas bawahan<br />
berjalan efisien sesuai dengan rencana<br />
kegiatan dan peraturan perundang-undangan<br />
yang berlaku. (KMA<br />
120 tahun 1995).<br />
Adapun Pengawasan ekstern dilakukan<br />
oleh BPKP dan BPK-<strong>RI</strong>. Tugas<br />
dan fungsi BPKP meliputi perumusan<br />
kebijakan pengawasan, koordinasi,<br />
dan pembinaan APFP, lain serta menyelenggarakan<br />
pengawasan keuangan<br />
dan pembangunan pada semua satuan<br />
organisasi/satuan kerja dan unit<br />
kerja yang lain yang sebagian atau seluruhnya<br />
menggunakan dana pemerintah.<br />
(Keputusan Kepala BPKP No. 80<br />
<strong>Tahun</strong> 2001). Sedangkan tugas dan<br />
fungsi BPK-<strong>RI</strong> meliputi pemeriksaan<br />
terhadap tanggungjawab pemerintah<br />
tentang keuangan negara dan pelaksanaan<br />
APBN (U.U. R.I. Nomor 5<br />
<strong>Tahun</strong> 1973).
Hasil audit dan tindaklanjutnya<br />
Pelaksanaan audit di lingkungan<br />
Departemen <strong>Agama</strong> semula didasarkan<br />
pada konsep ketaatan pada peraturan<br />
perundang-undangan, prosedur<br />
kerja, aspek administratif dan teknis<br />
serta bersifat uji petik dengan suatu<br />
asumsi bahwa setiap personil pada<br />
satuan kerja sudah memahami dan<br />
menguasai prosedur atau tata laksana<br />
kegiatan secara benar. Apabila ditemui<br />
penyimpangan saat audit berlangsung,<br />
keadaan yang demikian adalah suatu<br />
pengecualian karena ketidaktaatan<br />
dari oknum pelaksana di jajaran<br />
satuan kerja. Atas dasar konsep<br />
tersebut, maka terdapat kecenderungan<br />
hasil audit lebih banyak<br />
pengulangan temuan di berbagai<br />
tempat dan bersifat kasuistik.<br />
Kondisi demikian diperlukan upaya<br />
peningkatan pemeriksaan yang mampu<br />
menyelesaikan sebab hakiki dari<br />
berbagai temuan. Dengan struktur organisasi<br />
yang baru <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
Dep.<strong>Agama</strong> perlu menetapkan kebijakan<br />
pengawasan yang mampu<br />
mendorong terselengaranya pemerintahan<br />
yang baik (Good Gavernance).<br />
Melalui pengembangan sistem pengawasan,<br />
pelaksanaan audit secara<br />
komprehenship diharapkan dapat<br />
memberikan saran (rekomendasi) kepada<br />
Obyek terperiksa sehingga mampu<br />
menjamin terlaksananya tertib hukum,<br />
tertib administrasi sehingga dapat<br />
tugas pokok dan fungsi berjalan<br />
secara optimal.<br />
Pelaksanaan audit komprehensif<br />
yang berjalan selama ini masih ditemui<br />
berbagai kendala baik dari segi teknis<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
maupun dalam pembuatan pelaporan.<br />
Kendala yang bersifat teknis selama ini<br />
disebabkan belum adanya sistem yang<br />
baku atas audit komprehensif<br />
sehingga terjadi berbedaan persepsi<br />
antar para auditor dalam penerapan di<br />
lapangan, disamping sarana prasarana,<br />
keterbatasan dana, dan perangkat<br />
lunak lainnya. Kendala lain menyangkut<br />
struktur organisasi adalah belum<br />
adanya persamaan pemahaman dan<br />
penerapan struktur baru yang mengacu<br />
pada wilayah kerja pengawasan.<br />
Keberhasilan tugas aparat pengawasan<br />
selain terlihat dari kualitas hasil<br />
audit juga ditentukan oleh efektivitas<br />
penyelesaian tindak lanjut. Indikator<br />
keberhasilan pelaksanaan pengawasan<br />
antara lain berupa temuan hasil<br />
audit yang semakin berkurang dan<br />
tindak lanjut hasil audit yang tepat, cepat<br />
dan tuntas sehingga dapat meningkatkan<br />
konstribusi kepada manajemen<br />
obyek terperiksa dan jajarannya baik<br />
vertikal maupun horisontal. Oleh<br />
karena itu perlu penertiban sanksi bagi<br />
pimpinan obyek terperiksa yang lalai<br />
atau tidak menindaklanjuti/pelaksanaan<br />
saran tindaklanjut hasil audit Itjen<br />
Dep. <strong>Agama</strong>/aparat pengawasan<br />
fungsional pemerintah lainnya sesuai<br />
dengan KMA 203 <strong>Tahun</strong> 2002 poin I<br />
huruf C.nomor 13.<br />
Reorientasi Peran Pengawasan dalam<br />
Struktur Baru<br />
Struktur Itjen Dep. <strong>Agama</strong> yang<br />
baru perlu disikapi dengan berbagai<br />
kebijakan pengawasan dan mutu pelaporan.<br />
Beberapa hal yang perlu dilakukan<br />
sebagai upaya reorientasi peran
pengawasan dalam struktur baru, antara<br />
lain:<br />
Sebagai Pembina Pengawasan<br />
Itjen sebagai pengawas intern harus<br />
pro aktif melakukan perbaikan manajemen<br />
pengelolaan instansi/lembaga<br />
dan budaya kerja aparatur. Dalam pelaksanaan<br />
tugas pengawasan perlu<br />
kiranya diperhatikan paradigma baru<br />
yaitu: a)Pengawasan, tidak mencaricari<br />
kesalahan melainkan identifikasi<br />
kesalahan/penyimpangan untuk perbaikan;<br />
b)Pengawasan, mengandung<br />
makna pemberian bimbingan pada kinerja<br />
organisasi dan bukan hanya<br />
proses administrasi; c)Pengawasan,<br />
tidak berorientasi pada jumlah, tapi<br />
mutu temuan dan pelaporan; d)Pengawasan<br />
kurang bermakna jika tidak ditindaklanjuti.<br />
Maka pemantauan tindak<br />
lanjut merupakan sub sistem dalam<br />
siklus kegiatan pengawasan.<br />
Sebagai Pelaksana Pengawasan<br />
Dalam melakukan tugas pengawasan<br />
telah disusun kebijakan pengawasan<br />
yang diarahkan pada pelaksanaan<br />
audit yang terfokus pada pengukuran<br />
kinerja satuan organisasi bersangkutan<br />
sebagai implementasi dari<br />
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.<br />
Substansi sasaran audit diprioritaskan<br />
pada penilaian pelaksanaan tugas<br />
pokok dan fungsi serta aspek pendukung<br />
lainnya.<br />
Disamping itu dilaksanakan pemeriksaan<br />
khusus/kasus sebagai tindaklanjut<br />
dari berbagai pengaduan masyarakat<br />
dan atau kelanjutan audit operasional/reguler<br />
karena adanya duga-<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
an tindak pidana korupsi (UU.3 <strong>Tahun</strong><br />
1971 jo. 31 <strong>Tahun</strong> 1999).<br />
Sebagai Evaluator<br />
<strong>Inspektorat</strong> Jederal dalam menyelenggarakan<br />
pengawasan fungsional<br />
harus dapat memberikan penilaian terhadap<br />
prestasi kerja pimpinan satuan<br />
organisasi; mengkaji peraturan perundang-undangan;<br />
mengevaluasi manfaat<br />
proyek-proyek yang telah selesai.<br />
Disamping itu juga dilakukan evaluasi<br />
terhadap pelaksanaan tindak lanjut<br />
hasil audit dan laporan pertanggungjawaban<br />
(akuntabilitas) pelaksanaan<br />
tugas pokok dan fungsi Departemen di<br />
lingngungan Dep. <strong>Agama</strong> (Inpres No.<br />
7 <strong>Tahun</strong> 1999/KMA 489 <strong>Tahun</strong> 2001).<br />
Untuk mendukung tugas tersebut,<br />
telah dikeluarkan Keputusan Inspektur<br />
<strong>Jenderal</strong> No.IJ/71/2002 tentang Standar<br />
Umum penilaian Indikator Kinerja<br />
pada <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Dep. <strong>Agama</strong><br />
dan Instansi Departemen <strong>Agama</strong> di<br />
Daerah.<br />
Sebagai Katalisator<br />
Dalam rangka mengembangkan<br />
mitra kesejajaran antara Pengawas<br />
dan Pelaksana maka dalam pelaksanaan<br />
tugas pengawasan <strong>Inspektorat</strong><br />
<strong>Jenderal</strong> menetapkan visinya sebagai<br />
katalisator terselengaranya pemerintahan<br />
yang bersih dan terpercaya di<br />
lingkungan Dep. <strong>Agama</strong>.<br />
Katalisator dimaksud sebagai unsur<br />
yang senantiasa melakukan peran<br />
aktif dalam menyakinkan, menimbulkan<br />
dan mempercepat proses perubahan.<br />
Sedangkan pemerintahan yang<br />
berrsih dan terpercaya dimaksudkan
sebagai pemerintahan yang bebas dari<br />
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang<br />
dapat dipertanggungjawabkan.<br />
Pemantapan Peran Pengawasan<br />
Tercapainya penyelenggaraan pemerintahan<br />
dan pembangunan di bidang<br />
agama yang efektif, efisien, dan<br />
ekonomis sangat tergantung pada peran<br />
pengawasan.<br />
Untuk itu <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> Departemen<br />
<strong>Agama</strong> dalam struktur baru<br />
perlu melakukan langkah-langkah pemantapan<br />
peran sebagai berikut:<br />
Penataan Pola Pengawasan<br />
Penataan revalidasi pola pengawasan<br />
diupayakan melalui koordinasi<br />
yang terus-menerus baik intern pejabat<br />
eselon I pusat maupun antar aparat<br />
pengawasan fungsional terkait. Kegiatan<br />
ini dapat dilakukan dalam Penyusunan<br />
Rencana Strategik <strong>Inspektorat</strong><br />
<strong>Jenderal</strong>, Penyusunan Kebijakan<br />
Pengawasan dan Program Kerja Pengawasan<br />
<strong>Tahun</strong>an (PKPT). Kaitannya<br />
dengan penataan pola pengawasan,<br />
maka Itjen Departemen <strong>Agama</strong> saat ini<br />
perlu melakukan penajaman<br />
obyek/sasaran audit pada masingmasing<br />
Inspektur Regional dengan<br />
memperhatikan perkembangan dan<br />
permasalahan di wilayah yang sarat<br />
dengan praktik-praktik KKN, pemborosan<br />
keuangan negara, hambatan<br />
pelayanan masyarakat, dan pungutan<br />
liar.<br />
Peningkatan Mutu Aparat Pengawasan<br />
Keberhasilan tugas pengawasan<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
sebagai salah satu fungsi manajemen<br />
sangat terkait dengan kualitas aparat<br />
pengawasan. Pengalaman menunjukkan<br />
bahwa tidak semua orang mampu<br />
menjadi auditor yang handal. Maka diperlukan<br />
persyaratan yang khusus untuk<br />
menjadi auditor. Lebih-lebih dengan<br />
terbitnya KMA 1 tahun 2001 di<br />
mana auditor merupakan jabatan fungsional,<br />
maka perlu peningkatan profesionalisme<br />
karena setiap auditor harus<br />
menguasai semua bidang kegiatan.<br />
Dengan demikian untuk melakukan<br />
audit di suatu satuan organisasi tidak<br />
perlu harus 5 orang, sesuai dengan<br />
aspek/bidang yang diaudit.<br />
Untuk menjadi auditor yang handal,<br />
diperlukan kemampuan berkomunikasi<br />
dengan baik, percaya diri, dan<br />
sanggup mempertahankan temuan<br />
berdasarkan bukti-bukti yang cukup<br />
dan relevan dari pihak auditan. Di<br />
samping itu harus mampu mengungkap<br />
penyebab dari masalah yang ditemukan<br />
dalam waktu singkat, guna<br />
memberikan rekomendasi yang tepat.<br />
Oleh karena itu, rekrumen calon<br />
auditor perlu dilakukan secara cermat<br />
dan terencana sejak penerimaan calon<br />
pegawai sebagaimana penerimaan calon<br />
hakim atau calon dosen dan tenaga<br />
fungsional lainnya. Disamping itu,<br />
perlu pembinaan kepada para pemeriksa<br />
secara terus menerus melalui beberapa<br />
Pendidikan dan Pelatihan<br />
(Diklat), motivasi, iklim kerja yang kondusif,<br />
dan keteladanan dari pimpinan<br />
sehingga para pemeriksa menjadi profesional,<br />
berdedikasi, dan memiliki integritas<br />
yang tinggi.
Pengembangan Sistem Pengawasan<br />
Pengembangan sistem pengawasan<br />
merupakan program pokok dan<br />
terus diupayakan dalam rangka peningkatan<br />
kualitas pengawasan dan<br />
mutu pelaporan. Bentuk kegiatan yang<br />
telah dihasilkan yaitu KMA 101 <strong>Tahun</strong><br />
1994 tentang Pedoman Pelaksanaan<br />
Pengawasan di Lingkungan Dep. <strong>Agama</strong>,<br />
KMA 120 <strong>Tahun</strong> 1995 tentang Pedoman<br />
Pelaksanaan Pengawasan Melekat,<br />
IMA Nomor 3 <strong>Tahun</strong> 1992, KMA<br />
155 <strong>Tahun</strong> 2002 tentang Uraian Pekerjaan<br />
<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong>, KMA 203<br />
<strong>Tahun</strong> 2002 Standar Hukuman Disiplin<br />
Pegawai PNS berdasarkan PP.30<br />
<strong>Tahun</strong> 1980,KMA Nomor IJ/87/2001<br />
tentang Mekanisme Kerja <strong>Inspektorat</strong><br />
<strong>Jenderal</strong>, KMA 3 tahun 1992 tentang<br />
Koordinator Tindak Lanjut Hasil Pengawasan<br />
Fungsional di Lingkungan Departemen<br />
<strong>Agama</strong> di Daerah, IMA Nomor<br />
03 <strong>Tahun</strong> 2002 tentang Koordinator<br />
Tindak Lanjut,Petunjuk Pelaksanaan<br />
yang berhubungan dengan pelaksanaan<br />
audit terpadu sebanyak 2<br />
buah, pemeriksaan komprehensif 3<br />
buah, desk audit 5 buah dan Pelaporan<br />
1 buah. Adapun tata cara pelaksanaan<br />
pengawasan dan pelayanan administrasi<br />
pengawasan yang telah dihasilkan<br />
sebanyak 415 buah.<br />
Hal ini menunjukan perhatian dan<br />
komitmen pimpinan <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
dalam mengembangkan sistem<br />
Fokus Utama<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
pengawasan guna menjadi pedoman<br />
dalam pelaksanaan pengawasan yang<br />
berdaya guna dan berhasil guna.<br />
Peningkatan Kemampuan Waskat<br />
Pada dasarnya pengawasan yang<br />
pertama dan utama adalah pengawasan<br />
dan pengendalian atasan langsung<br />
secara berjenjang. Untuk itu Waskat<br />
perlu terus ditingkatkan dengan menerapkan<br />
Sarwaskat melalui penggarisan<br />
struktur organisasi, perincian kebijakan,<br />
pelaksanaan rencana kerja, prosedur<br />
kerja, pencatatan hasil kerja, dan<br />
pembinaan personil yang dilakukan secara<br />
terus menerus.<br />
Sebagai aparat pengawasan intern<br />
Departemen <strong>Agama</strong>, <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
dalam struktur yang baru harus<br />
senantiasa meningkatkan perannya,<br />
tidak saja sebagai pelaku pengawasan,<br />
melainkan juga sebagai pembina<br />
dan penilai laporan akuntabilitas dalam<br />
rangka peningkatan kinerja di masa<br />
yang akan datang.3(Sugina)
Sejak Sistem Akuntabilitas Kinerja<br />
Instansi Pemerintah (SAKIP) diterapkan<br />
dalam pengelolaan negara<br />
kita istilah kinerja menjadi sesuatu<br />
yang ‘utama’. Sebab tingkat keberhasilan<br />
atau kegagalan suatu instansi<br />
pemerintah diukur dari kinerjanya.<br />
Bahkan anggaranpun diberikan kepada<br />
instansi pemerintah berdasarkan<br />
rencana kinerja yang disusunnya. Hal<br />
ini karena orientasi kerja penyelenggaraan<br />
negara telah berubah. Selama ini<br />
orientasinya adalah ‘kegiatan apa’<br />
yang dilakukan instansi negara. Saat<br />
ini orientasi berubah menjadi ‘hasil<br />
apa’ yang diberikan oleh negara.<br />
Hal inilah yang menyebabkan penyusunan<br />
anggaranpun berdasarkan<br />
kinerja atau hasil kerja yang direncanakan.<br />
Sistem seperti ini kemudian akrab<br />
dikenal dengan istilah anggaran<br />
berbasis kinerja (ABK). Hal ini sebagaimana<br />
diatur dalam Undang-Undang<br />
Nomor 17 <strong>Tahun</strong> 2003 tentang Keuangan<br />
Negara. Dalam pasal 14 ayat<br />
(2) disebutkan bahwa rencana kerja<br />
dan anggaran disusun berdasarkan<br />
prestasi kerja yang akan dicapai. Dalam<br />
bahasa SAKIP "prestasi kerja" dikenal<br />
dengan istilah hasil kerja atau<br />
"kinerja".<br />
Kinerja<br />
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />
terbitan Departemen Pendidikan<br />
dan Kebudayaan - Balai Pustaka<br />
Opini<br />
PENGUKURAN<br />
DAN PENILAIAN KINERJA<br />
Oleh Nur Arifin<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
(1996), kinerja diartikan sebagai suatu<br />
yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan,<br />
atau kemampuan kerja (peralatan).<br />
Dengan menggunakan arti dasar<br />
tersebut dan dimasukkan ke dalam<br />
konteks manajemen, kinerja dapat diartikan<br />
sebagai prestasi atau perilaku<br />
yang ditunjukkan seseorang atau suatu<br />
lembaga/organisasi pada saat ia<br />
melaksanakan tugas atau fungsinya.<br />
Indra Bastian (2001) mengatakan<br />
bahwa kinerja organisasi adalah gambaran<br />
mengenai tingkat pencapaian<br />
pelaksanaan tugas suatu organisasi<br />
dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan,<br />
misi dan visi organisasi.<br />
Sedangkan menurut John<br />
Suprihanto (1998) kinerja diartikan sebagai<br />
hasil kerja selama periode tertentu<br />
dibandingkan dengan standar,<br />
target/sasaran atau kriteria yang telah<br />
ditentukan terlebih dahulu.<br />
Berdasarkan beberapa pengertian<br />
di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja<br />
adalah tingkat pencapaian atau hasil<br />
kerja suatu organisasi dalam upaya<br />
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan<br />
visi organisasi dengan cara membandingkannya<br />
dengan standar, target/sasaran<br />
atau kriteria yang telah ditentukan<br />
terlebih dahulu.<br />
Sebagai contoh, kinerja seorang<br />
dosen pada saat melaksanakan tugasnya<br />
sebagai pengajar mahasiswa antara<br />
lain berupa perilaku atau berbagai<br />
tindakan mengajar di ruang kelas. Do-
sen tersebut mungkin menjelaskan<br />
suatu materi, menjawab pertanyaan<br />
yang diajukan mahasiswa, mengecek<br />
pemahaman, memberi tugas tertentu,<br />
atau menilai mahasiswanya.<br />
Kualitas prestasi atau perilaku<br />
yang ditunjukkan, baik dalam konteks<br />
kinerja individu ataupun lembaga/organisasi,<br />
dapat saja memenuhi sepenuhnya,<br />
sebagian, atau tidak sama sekali<br />
harapan dari para pelanggan (customer)<br />
atau mereka yang berkepentingan<br />
(stakeholders).<br />
Guna mengetahui sejauhmana kinerja<br />
seseorang atau lembaga/organisasi<br />
memenuhi harapan tertentu, perlu<br />
dilakukan proses penilaian kinerja. Penilaian<br />
kinerja merupakan kegiatan<br />
membandingkan kinerja suatu lembaga/organisasi<br />
atau seseorang dengan<br />
suatu standar atau kriteria tertentu -<br />
yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun,<br />
untuk dapat dibandingkan kinerja<br />
harus diukur lebih dulu. Pengukuran kinerja<br />
merupakan proses pengumpulan<br />
data atau informasi mengenai perilaku<br />
atau prestasi obyek yang diukur.<br />
Pengukuran dan Penilaian Kinerja<br />
Banyak orang yang menyamakan<br />
kedua kata ini dalam pengertian yang<br />
sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua<br />
kata tersebut memiliki pengertian<br />
yang berbeda. Untuk memahami apa<br />
perbedaan kedua kata tersebut, dapat<br />
digambarkan melalui contoh-contoh<br />
sebagai berikut.<br />
Seorang anak disuruh memilih satu<br />
dari dua pensil yang tidak sama<br />
panjangnya. Maka anak tersebut akan<br />
memilih pensil yang panjang, bukan<br />
yang pendek, kecuali ada alasan ter-<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
tentu.<br />
Ketika kita pergi ke toko buahbuahan,<br />
dan akan membeli buah jeruk<br />
sebagai misal, maka kita akan memilih<br />
jeruk yang besar, kuning, dan kulitnya<br />
halus. Hal tersebut dipertimbangkan<br />
berdasarkan pengalaman buah jeruk<br />
yang demikan memiliki rasa yang manis.<br />
Sedangkan jeruk yang kecil, hijau<br />
dan kulitnya kasar biasanya asam.<br />
Dari contoh-contoh di atas dapat<br />
disimpulkan bahwa sebelum menentukan<br />
pilihan, kita melakukan penilaian<br />
terhadap benda-benda yang akan kita<br />
pilih. Dari contoh pertama kita memilih<br />
mana pensil yang lebih panjang, sedangkan<br />
contoh kedua kita menentukan<br />
mana jeruk yang baik dan manis.<br />
Untuk dapat menilai sesuatu perlu<br />
dilakukan sebuah pengukuran. Untuk<br />
mengukur panjang kedua pensil di<br />
atas, seorang anak bisa menggunakan<br />
dengan sebuah penggaris misalnya.<br />
Setelah diperoleh perbandingan panjang<br />
kedua pensil tersebut dilakukanlah<br />
penilaian, ‘ini pensil panjang dan ini<br />
pensil pendek’. Mana pensil yang panjang,<br />
itulah yang diambil.<br />
Untuk menilai mana jeruk yang<br />
manis, kita tidak menggunakan ‘ukuran<br />
manis’, tetapi menggunakan ukuran<br />
besar, kuning dan kulitnya yang halus.<br />
Di sini kita membandingkan jeruk-jeruk<br />
yang ada dengan ukuran tertentu.<br />
Setelah itu kita menilai, menentukan<br />
pilihan mana jeruk yang paling memenuhi<br />
ukuran, itu yang kita ambil.<br />
Dengan demikian kita mengenal<br />
dua macam ukuran, yakni ukuran yang<br />
terstandar (meter, kilo meter, takaran,<br />
dan sebagainya), atau tidak terstandar<br />
(depa, jengkal, langkah) dan ukuran
perkiraan berdasarkan hasil pengalaman,<br />
contohnya, jeruk manis biasanya<br />
besar, kuning serta kulitnya halus.<br />
Dua langkah kegiatan yang dilalui<br />
sebelum memilih barang atau suatu<br />
benda, itulah yang disebut evaluasi,<br />
yakni mengukur dan menilai. Kita tidak<br />
dapat melakukan penilaian sebelum<br />
melakukan pengukuran. Jadi mengukur<br />
adalah membandingkan sesuatu<br />
dengan satu ukuran (pengukuran bersifat<br />
kuantitatif), menilai adalah mengambil<br />
keputusan terhadap sesuatu dengan<br />
ukuran baik buruk (penilaian bersifat<br />
kualitatif) sedangkan evaluasi merupakan<br />
kegiatan mengukur dan menilai<br />
(Suharsimi Arikunto 2002:1-3).<br />
Pengukuran Kinerja<br />
Pengukuran kinerja adalah proses<br />
mengkuantifikasikan secara akurat dan<br />
valid tingkat efisiensi dan efektivitas<br />
suatu kegiatan yang telah dilaksanakan<br />
dan membandingkannya dengan<br />
tingkat prestasi yang direncanakan.<br />
Efektivitas merupakan tingkat pencapaian<br />
tujuan, sedangkan efisiensi<br />
menunjukkan seberapa ekonomis pemanfaatan<br />
sumberdaya untuk mencapai<br />
tujuan. Tujuan dari pengukuran kinerja<br />
adalah untuk mendapatkan informasi<br />
tentang tingkat efektivitas, efisiensi<br />
dan kesesuaian terhadap standar<br />
yang ingin direalisasikan.<br />
Konsep pengukuran kinerja meliputi:<br />
apa yang diukur, apa tujuan pengukuran,<br />
siapa yang mengukur, siapa<br />
yang menggunakan hasil pengukuran,<br />
kapan pengukuran dilakukan, di mana<br />
pengukuran dilakukan, bagaimana<br />
cara pengukurannya, dan apa pemanfaatan<br />
hasil pengukuran.<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Sebagai bagian dari proses manajemen,<br />
audit kinerja yang dilakukan<br />
melalui proses pengukuran memiliki<br />
manfaat sebagai berikut. Pertama,<br />
pengecekan posisi kinerja. Mengetahui<br />
posisi kinerja organisasi sangat penting<br />
dalam rangka menetapkan langkah-langkah<br />
lanjutan menuju posisi kinerja<br />
yang akan dituju. Kedua, mengkomunikasikan<br />
posisi kinerja. Hasil<br />
pengukuran kinerja merupakan informasi<br />
berharga bagi berbagai pihak<br />
yang mempunyai kepentingan terhadap<br />
organisasi baik pihak internal<br />
maupun stakeholders.<br />
Ketiga, menetapkan prioritas tindakan.<br />
Posisi kinerja akan digunakan<br />
sebagai dasar penetapan tindak lanjut<br />
dengan mempertimbangkan aspek kinerja<br />
yang mempunyai nilai tambah<br />
paling besar agar dampak perbaikannya<br />
memberikan kontribusi signifikan.Keempat,<br />
memacu prestasi. Informasi<br />
kineja merupakan pemacu semangat<br />
berprestasi dan semangat perbaikan<br />
kinerja secara berkesinambungan.<br />
Keberhasilan pengukuran kinerja<br />
sangat ditentukan seberapa tepat sistem<br />
pengukuran telah ditetapkan. Prinsip<br />
utama dalam pengukuran kinerja<br />
adalah mengukur hal yang tepat dengan<br />
cara yang benar. Mengukur hal<br />
yang tepat berarti bahwa substansi<br />
yang diukur telah dirancang dan dipastikan<br />
kesesuaiannya dengan kontek<br />
organisasi baik dari segi tujuan, sasaran,<br />
ruang lingkup, lingkungan, program<br />
kerja dan hal-hal lain yang relevan.<br />
Sedangkan dengan cara yang benar<br />
berarti bahwa teknik pengukuran<br />
telah mengikuti kaidah-kaidah umum
cara pengukuran meliputi tersedianya<br />
standar, instrumen, petugas, penilaian<br />
yang memenuhi syarat akademik dan<br />
kewajaran.<br />
Oliver (1985) dalam Akhmad S<br />
Ruky (2002:30) memberikan gambaran<br />
penyebab umum yang sering menimbulkan<br />
kegagalan dan harus dihindarkan<br />
dalam mengembangkan sistem<br />
audit kinerja. Pertama, tidak adanya<br />
standar. Tanpa adanya standar berarti<br />
tidak terjadi pengukuran kinerja yang<br />
obyektif. Sehingga yang terjadi hanyalah<br />
penilaian yang bersifat subyektif<br />
dengan mengandalkan perkiraan dan<br />
perasaan. Kedua, standar yang tidak<br />
relevan dan bersifat subyektif. Standar<br />
seharusnya ditetapkan melalui proses<br />
analisa untuk menetapkan output atau<br />
outcome (hasil) yang diharapkan.<br />
Ketiga, standar yang tidak realistis.<br />
Standar adalah sasaran-sasaran<br />
yang berpotensi merangsang motivasi.<br />
Standar yang masuk akal dan menantang<br />
akan lebih berpotensi untuk merangsang<br />
motivasi. Keempat, ukuran<br />
kinerja yang tidak tepat. Kelima, kesalahan<br />
penilai. Termasuk dalam kesalahan<br />
penilai adalah keberpihakan, perasaan<br />
sak wasangka, halo effect (terpengaruh<br />
oleh yang dinilai), kecenderungan<br />
untuk pelit atau sebaliknya, kecenderungan<br />
untuk memilih nilai tengah<br />
dan takut untuk menghadapi responden/auditan.<br />
Keenam, pemberian umpan balik<br />
secara buruk. Pada awal proses audit<br />
kinerja, standar harus dikomunikasikan<br />
kepada pihak yang diaudit untuk diketahui<br />
dan disepakati. Demikian pula<br />
seluruh proses dan hasil penilaian harus<br />
dikomunikasikan pula kepada pi-<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
hak yang dinilai. Ketujuh, komunikasi<br />
yang negatif. Proses penilaian ternyata<br />
terganggu oleh komuniksi yang didasari<br />
dengan sikap negatif seperti arogansi<br />
dan kekakuan pada pihak penilai<br />
dan sikap membela diri dan ketertutupan<br />
pada pihak yang dinilai.<br />
Kedelapan, kegagalan untuk memanfaatkan<br />
data hasil penilaian. Kegagalan<br />
dalam menggunakan seluruh data<br />
yang diperoleh melalui proses penilaian<br />
sebagai dasar pengambilan keputusan<br />
dapat menurunkan kredibilitas<br />
program audit yang telah ditetapkan.<br />
Kondisi kritis dalam setiap audit kinerja<br />
adalah implementasi tindak lanjut hasil<br />
audit.<br />
Penilaian kinerja<br />
Penilaian kinerja merupakan kegiatan<br />
membandingkan kinerja suatu<br />
lembaga/organisasi atau seseorang<br />
dengan suatu standar atau kriteria tertentu<br />
yang telah ditetapkan sebelumnya.<br />
Namun untuk dapat dibandingkan<br />
kinerja harus ‘diukur’ lebih dulu.<br />
Larry D. Stout menyatakan bahwa<br />
penilaian kinerja sebagai proses mencatat<br />
dan mengukur pencapaian pelaksanaan<br />
kegiatan dalam arah pencapaian<br />
misi melalui hasil yang ditampilkan<br />
berupa produk, jasa, ataupun proses .<br />
Sedangkan James B. Whittaker menyatakan<br />
bahwa penilaian kinerja organisasi<br />
adalah suatu alat manajemen<br />
untuk meningkatkan kualitas pengambilan<br />
keputusan dan akuntabilitas.<br />
Mulyadi dan Johny Setyawan<br />
(2000:253) menyatakan penilaian kinerja<br />
diartikan sebagai ‘penentuan secara<br />
periodik efektivitas operasional<br />
suatu organisasi, bagian organisasi,
dan personelnya, berdasarkan sasaran,<br />
standar, dan kriteria yang telah ditetapkan<br />
sebelumnya’.<br />
Tujuan umum penilaian kinerja<br />
adalah untuk mengetahui gambaran kinerja<br />
suatu organisasi. Sedangkan tujuan<br />
khusus adalah untuk mengetahui<br />
gambaran kinerja pelaksanaan tugas,<br />
fungsi, dan wewenang organisasi, dan<br />
untuk mengetahui gambaran kinerja<br />
karyawan atau pimpinan organisasi.<br />
Manfaatnya adalah untuk memotivasi<br />
personel dalam mencapai sasaran<br />
organisasi dan dalam mematuhi standar<br />
perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya,<br />
agar membuahkan tindakan<br />
dan hasil yang diinginkan oleh organisasi.<br />
Standar perilaku dapat berupa<br />
kebijakan manajemen atau rencana<br />
formal yang dituangkan dalam rencana<br />
stratejik, program dan anggaran organisasi.<br />
Penilaian kinerja memiliki peran<br />
yang amat penting dalam rangka mengetahui<br />
apakah tujuan organisasi telah<br />
tercapai atau belum. Secara spesifik<br />
penilaian kinerja memerankan beberapa<br />
fungsi dan memberikan sejumlah<br />
manfaat. Penilaian kinerja akan<br />
memberi informasi yang sahih (valid)<br />
tentang kinerja organisasi secara menyeluruh.<br />
Baik berkaitan dengan kebijakan,<br />
strategi, program, ataupun kegiatan-kegiatan<br />
operasional organisasi.<br />
Tingkat keberhasilan masing-masing<br />
komponen organisasi tersebut dapat<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
terungkap melalui penilaian kinerja.<br />
Disamping itu penilaian kinerja dapat<br />
digunakan sebagai ‘sinyal’ tingkat<br />
kepuasan pelanggan organisasi, dapat<br />
berfungsi untuk kritik dan klarifikasi terhadap<br />
berbagai dasar pertimbangan<br />
dalam pengembangan organisasi, dan<br />
sebagai salah satu dasar pembuatan<br />
kebijakan organisasi. Penilaian kinerja<br />
juga dapat menjadi alat komunikasi antarkomponen<br />
organisasi dalam rangka<br />
perbaikan kinerja organisasi, dan atau<br />
antara organisasi dengan pihak<br />
eksternal tentang prestasi organisasi<br />
selama ini. Penilaian kinerja juga dapat<br />
digunakan sebagai petunjuk peningkatan<br />
atau perbaikan yang perlu dilakukan<br />
organisasi terhadap kinerja.<br />
Penilaian kinerja dapat dilakukan<br />
oleh pihak eksternal maupun pihak internal<br />
organisasi. Penilaian oleh pihak<br />
eksternal cenderung akan memberikan<br />
obyektivitas yang lebih tinggi daripada<br />
bila dilakukan oleh pihak internal. Penilaian<br />
oleh pihak eksternal dapat dilakukan<br />
oleh lembaga independen dan profesional<br />
atau oleh pihak supra struktur/supra<br />
sistem dari organisasi yang<br />
bersangkutan.<br />
Sementara, penilaian oleh pihak<br />
internal cenderung lebih valid, karena<br />
penilai memahami permasalahan atau<br />
kondisi organisasi dengan baik. Permasalahan<br />
penilaian kinerja oleh pihak<br />
internal umumnya berupa ‘konflik kepentingan’.3
Jabatan Fungsional<br />
Auditor merupakan<br />
salah satu dari<br />
jabatan fungsional yang ada di<br />
lingkungan pemerintahan. Setiap jenis<br />
jabatan fungsional, memiliki aturan dan<br />
kode etik tersendiri. Pejabat fungsional<br />
dituntut profesional dalam profesinya<br />
tersebut. Seorang dokter harus profesional<br />
dibidangnya, seorang guru harus<br />
profesional dibidangnya. Salah<br />
satu perbedaan jabatan fungsional dengan<br />
jabatan struktural adalah bahwa<br />
kalau jabatan fungsional harus dilakukan<br />
oleh orang yang profesional dibidangnya,<br />
sedangkan jabatan struktural<br />
bisa dikerjakan tanpa tuntutan profesionalisme<br />
tertentu.<br />
Contoh, kegiatan audit hanya bisa<br />
dilakukan oleh pejabat fungsional auditor,<br />
tidak bisa dilakukan oleh seorang<br />
pejabat struktural, begitu juga jabatan<br />
fungsional guru, tidak bisa dilakukan<br />
oleh orang yang bukan berlatar belakang<br />
guru, kalaupun ada itu hanya pengecualian<br />
saja. Seorang fungsional<br />
peneliti, hanya bisa dilakukan oleh<br />
para peneliti, tidak bisa dilakukan oleh<br />
orang bukan peneliti. Akan tetapi untuk<br />
jabatan struktural bisa dilakukan oleh<br />
siapa saja asalkan memenuhi aturan<br />
yang berlaku.<br />
Sebagai yuridis formal, jabatan<br />
fungsional auditor diatur dalam Keputusan<br />
Menpan No. 19 tahun 1996 ten-<br />
Opini<br />
DIKLAT SERTIFIKASI<br />
JABATAN FUNGSIONAL AUDITOR<br />
DAN REALISASI AUDIT<br />
Oleh Yati Nurhayati<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
tang Jabatan Fungsional Auditor, Keputusan<br />
Presiden No. 87 tahun 1999<br />
tentang Rumpun Jabatan Fungsional<br />
Pegawai Negeri Sipil, Kepmenpan No.<br />
17/KEP/M.PAN/4/2002 tanggal 9 April<br />
2002 tentang Penyesuaian Penamaan<br />
Jabatan Fungsional Auditor, dan Keputusan<br />
Presiden No. 23 tahun 2002<br />
tanggal 23 April 2002 tentang Tunjangan<br />
Jabatan Fungsional Auditor. Berdasarkan<br />
ketentuan tentang jabatan<br />
fungsional Auditor tersebut, ditetapkan<br />
jenjang jabatan fungsional auditor dan<br />
tunjangan jabatan berdasarkan jenjang<br />
jabatan tersebut. Setiap jenjang jabatan<br />
fungsional auditor, untuk kenaikan<br />
pangkatnya harus memenuhi angka<br />
kredit yang disyaratkan. Selain harus<br />
memenuhi angka kredit yang dipersyaratkan,<br />
untuk jabatan tertentu dipersyaratkan<br />
pula harus melalui sertifikasi<br />
yang ditentukan. Untuk bisa menjadi<br />
auditor, harus lulus sertifikasi jabatan<br />
auditor untuk anggota tim. Untuk bisa<br />
naik dari Jabatan Auditor Ahli Muda<br />
(III/c) menjadi Auditor Ahli Muda III/d,<br />
harus lulus sertifikasi Tk Ketua Tim.<br />
Untuk kenaikan dari Auditor Ahli Muda<br />
(III/d) menjadi Auditor Ahli Madya<br />
(IV/a) harus memiliki sertifikasi tingkat<br />
pengendali teknis (Dalnis). Dan dari<br />
Auditor Ahli Madya untuk bisa menjadi<br />
Auditor Ahli Utama harus lulus sertifikasi<br />
pengendali mutu (Daltu).<br />
Proses untuk bisa mendapatkan
sertifikasi dari masing-masing jenjang<br />
jabatan auditor tersebut, tidaklah mudah.<br />
Karena harus melalui ujian yang<br />
sulit dan tidak mudah untuk lulus. Pengalaman<br />
menunjukkan bahwa dari<br />
seluruh peserta yang mengikuti ujian<br />
utama, tidak lebih 10% dari peserta ujian<br />
yang langsung lulus semua mata<br />
ujian. Dan tidak mustahil kalau sudah<br />
mengikuti ujian ulangan sampai 3 kali<br />
pun juga masih ada yang tidak lulus<br />
dan akhirnya harus kena penalti atau<br />
tereliminasi untuk ikut diklat yang sama<br />
lagi. Suatu kenyataan bahwa dari 7<br />
mata pelajaran yang diujikan dalam<br />
diklat sertifikasi untuk tingkat ketua tim,<br />
ternyata ada peserta yang tidak lulus<br />
sama sekali satu mata ujianpun. Kondisi<br />
ini terjadi pada semua tingkat diklat.<br />
Ini adalah realita yang harus jadi<br />
pertimbangan untuk bagaimana keberadaan<br />
diklat sertifikasi untuk masa<br />
mendatang. Selain kendala sulitnya<br />
untuk lulus, untuk bisa ikut diklat juga<br />
harus berkompetisi dari auditor lainnya<br />
yang juga berebut untuk mengikutinya,<br />
karena kesempatannya yang sangat<br />
terbatas.<br />
Permasalahan lainnya adalah<br />
bahwa substansi yang diperoleh selama<br />
diklat, baik itu diklat pembentukan<br />
sebagai anggota, sebagai ketua tim,<br />
sebagai pengendali teknis dan sebagai<br />
pengendali mutu, sangat sedikit sekali<br />
yang bisa diaplikasikan dalam pelaksanaan<br />
audit dilapangan. Substansi yang<br />
diajarkan dalam diklat sertifikasi jabatan<br />
fungsional auditor menurut tingkat<br />
diklat adalah sebagai berikut:<br />
Pertama, Tingkat Trampil anggota<br />
tim, materi diklatnya adalah: a)Dasar-dasar<br />
Audit; b)SAKN 1, SAKD 1 dan<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
SAKN 2, SAKD 2; c)Pengantar SPM;<br />
d)Akuntabilitas Instansi Pemerintah;<br />
e)Teknik Komuikasasi Audit; f)Kode<br />
Etik dan Standar Audit; g)pedoman Pelaksanaan<br />
anggaran.<br />
Kedua, Tingkat pindah jalur dari<br />
trampil menjadi ahli, materi diklatnya<br />
sebagai berikut: a)Auditing; b)SAKN 1,<br />
SAKD 1 dan SAKN 2, SAKD 2; c)Pengantar<br />
SPM.<br />
Ketiga, Tingkat Ahli anggota tim,<br />
materi diklatnya sebagai berikut:<br />
a)Auditing; b SAKN 1, SAKD 1 dan<br />
b)SAKN 2, SAKD 2; c)Pengantar SPM;<br />
d)Akuntabilitas Instansi Pemerintah;<br />
e)Teknik Komuikasasi Audit; f)Kode<br />
Etik dan Standar Audit; g)Pedoman<br />
Pelaksanaan anggaran.<br />
Keempat, Tingkat Ketua tim, materi<br />
diklatnya sebagai berikut: a)Reviu<br />
Kertas Kerja Audit; b)Sistim Informasi<br />
Manajemen; c)Kepemimpinan; d)Sampling<br />
Audit; e)Fraud Auditing; f)Teknik<br />
Penilaian SPM dan penyusunan PKA;<br />
g)Penulisan Laporan Hasil Audit.<br />
Kelima, Tingkat Pengendali Tekhnis,<br />
materi diklatnya sebagai berikut:<br />
a)Interpersonal skill; b)Ekonomi Makro;<br />
c)Manajemen Pengawasan; d)Supervisi<br />
Audit; e)Perencanan penugasan<br />
audit; f)Audit berpeduli Risiko; g)Etika<br />
dan Fraud dalam Audit.<br />
Keenam, Tingkat Pengendali Mutu,<br />
materi diklatnya sebagai berikut:<br />
a)Manajemen Pengawasan Stratejik;<br />
b)Kendali Mutu; c)Filosofi Audit; d)Kebijakan<br />
Pengawasan<br />
Dari seluruh tingkatan diklat sertifikasi<br />
Jabatan fungsional auditor, dikaitkan<br />
antara materi yang diajarkan dalam<br />
diklat dengan realisasi audit di lapangan,<br />
tidak banyak memberi kontri-
usi dalam pencapaian tujuan dan<br />
fungsi audit. Hal ini karena dalam materi<br />
diklat lebih banyak bersifat teoritis<br />
yang kurang relefan untuk diaplikasikan<br />
dalam pelaksanaan audit, khususnya<br />
pada Departemen <strong>Agama</strong>. Suatu<br />
contoh, materi diklat Sistim Informasi<br />
Manajemen, materi ini boleh dibilang<br />
tidak ada yang bisa diaplikasikan dengan<br />
tugas auditor di lingkungan Dep.<br />
<strong>Agama</strong>. Untuk bisa menerapkan Sistim<br />
Informasi Manajemen, harus didukung<br />
dengan sarana komputer yang terakses<br />
di seluruh unit di lingkungan Dep.<br />
<strong>Agama</strong> mulai dari pusat sampai ke seluruh<br />
daerah, yakni akses yang bukan<br />
hanya bersifat Lokal Area Network<br />
(LAN), atau Metropolitan Areal Network<br />
(MAN), akan tetapi bersifat Wide<br />
Areal Network (WAN).<br />
Apabila dibandingkan antara hasil<br />
audit yang dilakukan oleh para auditor<br />
yang sudah mengikuti Sertifikasi Jabatan<br />
Auditor dengan yang belum<br />
mengikuti, kenyataannya tidak begitu<br />
membawa perubahan besar akan hasil<br />
audit, hal ini karena substansi materi<br />
diklat terlalu teoritis, sedangkan dalam<br />
praktek audit lebih banyak bersifat tek-<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
nis dan substansi bidang audit.<br />
Pada akhirnya diklat sertifikasi jabatan<br />
fungsional auditor hanya berfungsi<br />
sebagai upaya legalisasi profesi<br />
auditor dan persyaratan untuk kenaikan<br />
jenjang jabatan auditor. Kondisi ini<br />
kurang menguntungkan bagi auditor,<br />
karena untuk mendapatkan legalisasi<br />
melalui sertifikasi tersebut sangat sulit<br />
untuk didapatkan. Justru hanya menghambat<br />
jenjang karir auditor dengan<br />
dijadikannya sertifikat itu sebagai persyaratan<br />
dalam kenaikan jenjang jabatan<br />
dan kepangkatan auditor.<br />
Salah satu penyebab sulitnya merealisasikan<br />
materi diklat adalah alokasi<br />
waktu audit yang sangat terbatas.<br />
Sementara mekanisme dan prosedur<br />
audit menurut ilmu audit dalam sertifikasi<br />
sangat prosedural dan butuh waktu<br />
yang sangat panjang. Sementara<br />
alokasi waktu yang disediakan dalam<br />
proses audit yang dilakukan pada Itjen<br />
Dep. <strong>Agama</strong> sangat terbatas. Dan faktor<br />
lain yang menyebabkan sulitnya untuk<br />
bisa merealisasikan materi diklat<br />
sertifikasi jabatan fungsional auditor<br />
dalam segala tingkatan dengan realisasi<br />
audit. 3<br />
Menteri <strong>Agama</strong> Muhammad<br />
Maftuh Basyuni (kiri) dan<br />
Inspektur <strong>Jenderal</strong> Slamet<br />
Riyanto (kanan) saat<br />
memberikan pengarahan<br />
kepada pejabat eselon Itjen<br />
Dep. <strong>Agama</strong>. (doc.fp)
Opini<br />
INTEG<strong>RI</strong>TAS AUDITOR DALAM MELAKUKAN<br />
BE<strong>RI</strong>TA ACARA PEME<strong>RI</strong>KSAAN (BAP)<br />
Oleh Khairunnas, SH.<br />
Melakukan Berita Acara Pemeriksaan, bukanlah suatu tugas yang mudah,<br />
karena membutuhkan naluri untuk menilai orang dalam waktu yang sangat<br />
singkat, membutuhkan keberanian dan penguasaan substansi apa yang<br />
dipermasalahkan. Integritas Auditor dalam melakukan Berita Acara Pemeriksaan<br />
adalah integrasi dari berbagai unsur dalam profesi audit berkenaan dengan<br />
pekerjaan melakukan berita acara pemeriksaan.<br />
Setiap manusia dilahirkan berbeda<br />
satu dengan yang lainnya. Walaupun<br />
dilahirkan kembar sekalipun,<br />
tetap memiliki perbedaan antara<br />
keduanya. Perbedaan itu merupakan<br />
suatu hal yang pasti diciptakan Tuhan.<br />
Dari prinsip perbedaan yang dimiliki<br />
oleh setiap manusia, ada hal tertentu<br />
yang dituntut sama dalam suatu komunitas.<br />
Dari berbagai perbedaan tersebut,<br />
ada yang harus diintegrasikan<br />
menjadi suatu kesatuan untuk mencapai<br />
tujuan tertentu. Integritas adalah<br />
integrasi dari berbagai keberagaman<br />
dan unsur dalam suatu tugas dan<br />
fungsi tertentu. Auditor adalah suatu<br />
profesi yang memerlukan integritas<br />
dari berbagai unsur dalam mencapai<br />
tujuan audit. Salah satu bagian dari kegiatan<br />
audit adalah melakukan Berita<br />
Acara Pemeriksaan (BAP).<br />
Integritas auditor dimaksud di sini<br />
adalah integrasi dari berbagai unsur<br />
dalam profesi audit oleh auditor dalam<br />
melakukan BAP berkenaan dengan<br />
pembuktian suatu penyimpangan dan<br />
atau kesalahan, dalam rangka memenuhi<br />
standard audit dan pencapaian tujuan<br />
audit. Suatu jabatan profesi, dituntut<br />
profesionlisme dari pemangku<br />
jabatan profesi tersebut. Seseorang<br />
Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
bisa dikatakan profesional, apabila dia<br />
menguasai profesi tersebut. Untuk bisa<br />
mengusai profesi itu, harus mampu<br />
mengintegrasikan berbagai unsur dalam<br />
profesi itu. Unsur yang perlu dalam<br />
suatu profesi audit, kaitan dengan<br />
melakukan BAP, adalah kemampuan<br />
substansi audit, skil, kemampuan fisik,<br />
keberanian, komitmen, kejujuran,<br />
objektifitas, dan independen.<br />
Banyak hal yang mempengaruhi<br />
untuk bisa mencapai kesempurnaan<br />
integrasi auditor dalam melakukan<br />
BAP tersebut, seperti sifat/watak seseorang<br />
yang diperiksa belum kita ketahui,<br />
kemampuan auditor yang berbeda,<br />
pengaruh dan intervensi berbagai pihak.<br />
Sementara tujuan yang dicapai<br />
dari suatu kegiatan audit khususnya<br />
dalam BAP, sangat dituntut dari semua<br />
unsur tersebut bisa di integrasikan.<br />
Berita Acara Pemeriksaan (BAP)<br />
BAP adalah proses kegiatan pemeriksaan<br />
untuk mendapatkan pembuktian<br />
atas dugaan suatu kesalahan,<br />
untuk mengetahui sebab atau yang<br />
melatarbelakangi terjadinya suatu penyimpangan.<br />
Dalam aturan kepegawaian,<br />
BAP merupakan salah satu persyaratan<br />
untuk menjatuhkan hukuman<br />
kepada seseorang apabila hukuman<br />
yang dijatuhkan tingkat sedang dan
erat. Hal ini diatur dalam PP No. 30<br />
tahun 1980 pasal 9 ayat (2) huruf<br />
b;"pemeriksaan sebagaimana dimaksud<br />
dalam ayat (1) dilakukan: secara<br />
tertulis (berita acara) apabila atas pertimbangan<br />
pejabat yang berwenang<br />
menghukum, pelanggaran disiplin<br />
yang dilakukan oleh Pegawai Negeri<br />
Sipil yang bersangkutan akan dapat<br />
mengakibatkan ia dijatuhi salah satu<br />
jenis hukuman disiplin sebagaimana<br />
dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) dan<br />
ayat (4)". Apa yang tertulis disini maksudnya<br />
adalah dalam BAP secara tertulis.<br />
Adapun jenis hukuman sebagaimana<br />
yang dimaksud dalam pasal 6<br />
ayat (3) dan ayat (4) adalah tingkat hukuman<br />
disiplin sedang, yang terdiri<br />
atas: a)Penundaan kenaikan gaji berkala<br />
paling lama satu tahun. b)Penurunan<br />
gaji sebesar satu kali kenaikan<br />
gaji berkala untuk paling lama satu<br />
tahun; dan c)Penundaan kenaikan<br />
pangkat untuk paling lama satu tahun.<br />
Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana<br />
dimaksud dalam ayat (4);<br />
terdiri atas: a)Penurunan pangkat pada<br />
pangkat yang setingkat lebih rendah<br />
untuk paling lama satu tahun; b)Pembebasan<br />
dari jabatan; c)Pemberhentian<br />
dengan hormat tidak atas<br />
permintaan sendiri sebagai Pegawai<br />
Negeri Sipil; d)Pemberhentian tidak<br />
dengan hormat sebagai Pegawai Negeri<br />
Sipil.<br />
Sebagai pedoman untuk mengetahui<br />
pertimbangan dari pejabat yang<br />
berwenang disini (kaitan dengan jenis<br />
hukuman), dapat berpedoman pada<br />
KMA No. 203 tahun 2002. Dalam KMA<br />
No. 203 tahun 2002 tersebut terdapat<br />
standar tingkat kesalahan dengan tingkat<br />
hukuman atas kesalahan tersebut.<br />
Suatu contoh apabila kesalahannya<br />
berupa tindak pemalsuan yang merugikan<br />
keuangan Negara, maka hukumannya<br />
dalam KMA 203 tahun 2002, pe-<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
lakunya dapat diberhentikan. Kalau sudah<br />
tahu akan diberhentikan, maka<br />
yang bersangkutan harus di BAP sebagai<br />
prosedur dan persyaratan proses<br />
penjatuhan hukuman pemberhentian<br />
tersebut. Apabila yang bersangkutan<br />
sudah diindikasikan untuk diberhentikan,<br />
namun tidak di BAP, maka auditor<br />
sudah menyalahi prosedur audit<br />
serta penjatuhan sangsi atas pelakunya<br />
tersebut bisa dibatalkan. Apabila<br />
prosedur tersebut tidak ditempuh,<br />
maka pejabat yang menjatuhkan hukuman<br />
bisa dituntut di PTUN (Pengadilan<br />
Tata Usaha Negara).<br />
Tujuan pemeriksaan sebagaimana<br />
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) adalah<br />
untuk mengetahui apakah PNS<br />
yang bersangkutan benar atau tidak<br />
melakukan pelanggaran disiplin serta<br />
untuk mengetahui faktor-faktor yang<br />
mendorong atau menyebabkan ia melakukan<br />
pelanggaran disiplin itu.<br />
Pemeriksaan harus dilakukan dengan<br />
objektif dan lengkap, sehingga<br />
dengan demikian pejabat yang berwenang<br />
menghukum (sebagaimana pada<br />
KMA No. 489 tahun 2003) dapat mempertimbangkan<br />
dengan seadil-adilnya<br />
tentang jenis hukuman disiplin yang<br />
akan dijatuhkan.<br />
Selain itu BAP dapat digunakan<br />
setiap saat apabila diperlukan. Proses<br />
pemeriksaan dengan BAP ini dilakukan<br />
secara tertutup, karena azas praduga<br />
tidak bersalah, PNS yang diperiksa<br />
tersebut belum tentu terbukti bersalah.<br />
BAP ini hanya dapat dikatahui oleh<br />
pejabat yang berwenang dan berkepentingan<br />
karena sifatnya rahasia.<br />
Dalama melakukan BAP, ada dua<br />
substansi pertanyaan yang harus dapat<br />
diungkap. Pertama pengakuan<br />
atas dugaan yang dituduhkan (benar<br />
atau tidak benar) telah terjadi penyimpangan.<br />
Kedua sebab terjadinya perbuatan<br />
penyimpangan tersebut. Dari
dua hal yang harus diketahui dari BAP<br />
tersebut, akan mempengaruhi berat<br />
ringannya hukuman seseorang. Apabila<br />
diakui telah melakukan perbuatan<br />
penyimpangan atau pelanggaran, kemudian<br />
terjadinya disebabkan karena<br />
bukan kesalahannya, maka ini jadi pertimbangan<br />
untuk jenis hukuman yang<br />
akan diberikan dapat ringan. Apabila<br />
terjadinya penyimpangan tersebut<br />
karena murni kesalahan dan kelalaian<br />
dari pelaku penyimpangan, maka<br />
kondisi ini bisa memperberat jenis<br />
hukuman yang akan dijatuhkan.<br />
Selain dari substansi yang harus<br />
diungkap melalui BAP tersebut, juga<br />
ada pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya<br />
wajib ditanyakan. Ini maksudnya<br />
adalah untuk mengantisipasi kemungkinan<br />
yang akan terjadi setelah dilakukan<br />
BAP. Pertanyaan-pertanyaan yang<br />
wajib ditanyakan dalam BAP tersebut<br />
terdapat pada pertanyaan pembukaan<br />
dan pertanyaan penutup, disamping<br />
pertanyaan yang menyangkut dugaan<br />
substansi penyimpangan. Jadi paling<br />
tidak ada tiga kelompok pertanyaan<br />
dalam BAP, yaitu: 1)Pertanyaan pembukaan;<br />
2)Pertanyaan substansi dugaan<br />
penyimpangan; dan 3)Pertanyaan<br />
penutup.<br />
Pada pertanyaan pembukaan ada<br />
beberapa pertanyan yang harus ditanyakan,<br />
yaitu menyangkut kesehatan<br />
dari orang yang diperiksa, kesediaan<br />
diperiksa untuk kepentingan dinas,<br />
sumpah/janji sebagai PNS. Pertanyaan<br />
mengenai sumpah/janji ini maksudnya<br />
adalah bahwa jawaban yang disampaikan<br />
berada dibawah sumpah yang<br />
bersangkutan sebagai PNS. Dengan<br />
kata lain apabila dia tidak memberikan<br />
keterangan jujur, berarti dia sudah<br />
melangar sumpah. Selain pertanyaan<br />
diatas, pertanyaan pembuka lainnya<br />
adalah tentang riwayat pekerjaan dari<br />
yang bersangkutan. Ini maksudnya<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
adalah untuk menentukan berat<br />
ringannya hukuman. Apabila yang bersangkutan<br />
sudah pernah berpengalaman<br />
disuatu bidang tugas pekerjaan,<br />
dan terjadi penyimpangan, berarti kesalahannya<br />
ada unsur sengaja.<br />
Dari masing-masing pertanyaan<br />
dalam BAP, baik pertanyaan pembuka,<br />
pertanyaan penutup dan pertanyaan<br />
menyangkut substansi, memiliki arti<br />
dan makna yang sangat besar.<br />
Integritas auditor dalam melakukan<br />
BAP<br />
Pekerjaan audit merupakan profesi<br />
yang menghasilkan perubahan dari<br />
kondisi kurang baik menjadi baik. Menyelaraskan<br />
suatu keadaan menyimpang<br />
kepada yang semestinya atau<br />
seharusnya menurut aturan yang ditetapkan.<br />
Proses dan rangkaian kegiatan<br />
yang dilakukan dalam audit tersebut,<br />
harus sesuai dengan prosedur dan<br />
standar audit yang telah ditetapkan<br />
serta kode etik audit itu sendiri. Dalam<br />
menetapkan hasil audit juga dituntut<br />
bukti dan data yang relevan, kompeten,<br />
materil serta nilai yang cukup.<br />
Salah satu rangkaian kegiatan audit<br />
dalam mendapatkan alat bukti yang<br />
sah atau kompeten adalah dituangkan<br />
dalam bentuk BAP.<br />
Dalam melakukan BAP tersebut,<br />
sangat dituntut beberapa unsur yang<br />
harus diintegrasikan guna mencapai<br />
kesempurnaan proses dan hasil audit.<br />
Unsur-unsur yang harus diintegrasikan<br />
oleh seorang auditor dalam melakukan<br />
BAP sebagaimana yang disebutkan<br />
diatas, adalah sebagai berikut:<br />
Pertama, kemampuan substansi<br />
Audit. Setiap auditor dalam melakukan<br />
BAP, harus menguasai dan mengetahui<br />
substansi tentang dugaan penyimpangan<br />
yang telah dilakukan. Adalah<br />
suatu keharusan dan modal utama<br />
bagi seorang auditor sebelum melaku-
kan BAP untuk menguasai kasus atau<br />
penyimpangan yang dilakukan. Seorang<br />
auditor akan mengatakan suatu<br />
kondisi tidak sesuai atau salah apabila<br />
dia telah mengetahui yang benar atau<br />
yang seharusnya. Dengan telah diketahui<br />
dan dipahaminya substansi penyimpangan<br />
yang dilakukan, maka dari<br />
sanalah sorang auditor akan mempertanyakan<br />
kepada orang yang akan<br />
diperiksa.<br />
Upaya yang harus dilakukan untuk<br />
mengetahui dan mendapatkan bukti<br />
dugaan penyimpangan yang dilakukan<br />
oleh seseorang adalah dengan<br />
menelusuri kepada berbagai pihak<br />
yang terkait dengan penyimpangan<br />
yang telah terjadi. Atau dengan kata<br />
lain mendapatkan data dan bukti atas<br />
perbuatan penyimpangan yang dilakukan.<br />
Setelah dimilikinya bukti penyimpangan<br />
yang dilakukan, maka baru dilakukan<br />
pemeriksaan dengan berita<br />
acara pemeiksaan.<br />
Kedua, kemampuan fisik auditor.<br />
Selain meguasai substansi audit, seorang<br />
auditor juga harus memiliki fisik<br />
yang kuat, dan tidak sakit-sakitan. Hal<br />
ini terkait dengan pencarian alat bukti<br />
di lapangan yang harus dilakukan. Tidak<br />
semua alat bukti dan data pendukung<br />
dugaan penyimpangan yang dilakukan<br />
seseorang dengan mudah didapatkan,<br />
mungkin kita harus mendatangi<br />
masyarakat yang lokasinya jauh<br />
dari pusat kota, untuk menuju lokasi<br />
yang jauh tersebut sangat dibutuhkan<br />
kondisi fisik yang kuat.<br />
Suatu contoh dalam kasus penipuan<br />
terhadap calon pelamar CPNS,<br />
dimana lokasi pelamar atau orang<br />
yang ditipu tersebut berada di pedesaan.<br />
Untuk itu kita butuh bukti dan keterangan<br />
dari orang tersebut, dan kita<br />
sebelum melakukan BAP kepada tersangka,<br />
kita harus mendatangi korban<br />
tersebut yang berada di daerah pede-<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
saan.<br />
Ketiga, keberanian. Keberanian seorang<br />
auditor sangat diperlukan dalam<br />
segala hal, baik yang menyangkut dengan<br />
resiko tugas keauditoran maupun<br />
keberanian menghadapi kondisi daerah<br />
yang berbeda satu sama lain. Keberanian<br />
dalam melaksanakan tugas<br />
keauditoran disini maksudnya berani<br />
menghadapi resiko atas pekerjaan<br />
audit, karena dari hasil audit yang dilakukan<br />
adakalanya berdampak pada<br />
pribadi seseorang, umpamanya dari<br />
hasil audit seseorang harus diberhentikan<br />
dan atau dibebaskan dari jabatan.<br />
Hasil ini pasti tidak disenangi oleh pihak<br />
yang diberhentikan atau dibebaskan<br />
dari jabatan. Kemungkinan yang<br />
timbul adalah komflik personal dan<br />
atau tuntutan melalui jalur hukum<br />
(PTUN). Seorang auditor harus berani<br />
menghadapi kemungkinan resiko seperti<br />
ini. Keberanian dalam menghadapi<br />
kondisi daerah yang asing bagi<br />
seorang auditor, resiko kemungkinan<br />
seperti ini kecil terjadi, namun tetap dituntut<br />
keberanian jika menghadapi<br />
kondisi yang membahayakan.<br />
Contoh berkenaan dengan ini<br />
adalah melaksanakan tugas pada daerah<br />
komplik seperti Ambon, Irian Jaya<br />
dan NAD. Melaksanakan tugas pada<br />
daerah-daerah tersebut butuh keberanian<br />
seorang auditor. Disamping itu keberanian<br />
menghadapi seseorang yang<br />
memiliki watak dan kepribadian yang<br />
keras. Banyak penulis temui di daerah<br />
orang yang diperiksa memiliki watak<br />
dan sikap mental yang keras. Tidak<br />
mau diperiksa dan kalau diperiksa<br />
auditornya diancam untuk dicelakai.<br />
Selain keberanian untuk menghadapi<br />
hal diatas, juga sangat dituntut keberanian<br />
dalam menghadapi orang yang<br />
akan di BAP tersebut apabila dia adalah<br />
seorang pejabat tinggi. Ini merupakan<br />
kendala atau kesulitan yang harus
dapat diatasi.<br />
Keempat, komitmen. Auditor dituntut<br />
komitmen dalam menjalankan<br />
tugas sesuai dengan fungsi dan tujuan<br />
tugasnya. Seorang auditor harus berpegang<br />
pada idealisme yang tinggi,<br />
sepanjang ada dasarnya. Tidak mudah<br />
goyah dan pengaruh oleh keadaan.<br />
Kaitan dengan melakukan BAP adalah<br />
adanya peluang dan godaan untuk<br />
bisa terpengaruh dengan orang yang<br />
diperiksa. Tidak mudah terpengaruh<br />
dengan segala hal yang mempengaruhi,<br />
harus senantiasa berpegang<br />
pada prinsip bahwa tujuan tugas adalah<br />
yang utama.<br />
Kelima, kejujuran. Selain memiliki<br />
komitmen, seorang auditor harus jujur<br />
dalam menjalankan tugasnya. Jangan<br />
melaksanakan tugas atau melakukan<br />
BAP karena adanya target yang harus<br />
dipenuhi. Dalam melakukan BAP sangat<br />
mungkin terjadi kolusi antara<br />
yang di BAP dengan yang melakukan<br />
BAP. Bisa saja dia akan memperjual<br />
belikan temuan, negosiasi dengan<br />
auditan. Seorang auditor, baik kaitan<br />
dengan melakukan BAP terhadap pelaku<br />
penyimpangan ataupun dalam kegiatan<br />
audit lainnya sangat dituntut kejujurannya<br />
dalam menjalankan tugas<br />
profesi audit.<br />
Keenam, objektivitas. Objektifitas<br />
berarti tidak memihak. Seorang auditor<br />
harus objektif dalam melaksanakan tugas.<br />
Apabila tidak objektif dalam bersikap,<br />
pasti ada pihak yang akan dirugikan.<br />
Seorang auditor harus berpedoman<br />
pada aturan dan ketentuan yang<br />
berlaku, tidak memihak, baik kepada<br />
auditan maupun pihak lain. Dengan<br />
kata lain bahwa auditor harus bersikap<br />
netral, hanya mengacu pada ketentuan<br />
yang berlaku.<br />
Ketujuh, independen. Seorang<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
auditor harus independent, artinya tidak<br />
bisa dipengaruhi oleh siapapun.<br />
Melaksanakan tugas tanpa tekanan<br />
dan misi tertentu selain tujuan audit itu<br />
sendiri. Kalau auditor melakukan BAP<br />
dibawah tekanan atau pengaruh pihak<br />
tertentu, hasilnya pasti tidak objektif.<br />
Oleh karena itu seorang auditor benar-benar<br />
harus independen dalam<br />
melaksnakan tugasnya. Bekerja tidak<br />
dibawah intervensi dan tekanan dari<br />
manapun.<br />
Kedelapan, selain 7 unsur diatas<br />
yang harus diintegrasikan dalam melakukan<br />
BAP oleh seorang auditor, yang<br />
juga penting dimiliki adalah skiil atau<br />
keterampilan untuk membaca dan menilai<br />
orang yang di BAP tersebut dalam<br />
waktu yang sangat singkat. Pada waktu<br />
awal melihat dan bertemu dengan<br />
orang yang akan di BAP, kita harus bisa<br />
membaca dan menilai bagaimana<br />
kondisi orang tersebut dan harus bagaimana<br />
kita menghadapinya. Jangan<br />
sampai seorang auditor berada di bawah<br />
kendali dan tekanan orang yang<br />
diperiksa. Secara psikologis seorang<br />
auditor harus merasa diatas orang<br />
yang diperiksa, walaupun dia seorang<br />
pejabat atau pimpinan kantor. Setelah<br />
kita mengetahui kondisi psikologis<br />
seseorang yang akan di BAP, kita<br />
harus menentukan sikap bagaimana<br />
kita harus menghadapinya, adakalanya<br />
kita harus bersikap tegas dan keras<br />
dan adakalanya kita harus dengan<br />
lemah lembut, sepanjang sesuai dengan<br />
kode etik dan norma kesopanan.<br />
Perlakuan kita terhadap orang yang di<br />
BAP tersebut, harus selalu pada prinsip<br />
praduga tidak bersalah, karena hal<br />
ini akan berpengaruh pada emosional<br />
dari orang yang diperiksa. 3
Opini<br />
Membangun<br />
Paradigma Baru Pengawasan<br />
Penyelenggaraan pemerintahan<br />
yang bersih merupakan prasyarat<br />
untuk mewujudkan aspirasi<br />
masyarakat dalam tujuan berbangsa<br />
dan bernegara. Good and Clean Goverment<br />
(GCG) merupakan sistem pengelolaan<br />
pemerintahan yang didasarkan<br />
pada prinsip transparasi, partisipasi<br />
dan akuntabel.<br />
Untuk mewujudkan hal tersebut<br />
maka setiap bagian dalam organisasi<br />
pemerintahan harus dapat menyajikan<br />
kinerja yang dapat di ukur dan di nilai<br />
oleh segenap masyarakat.<br />
Menyikapi tuntutan penyelenggaraan<br />
pemerintahan yang akuntabel,<br />
<strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong> sebagai fungsi<br />
pengawasan fungsional di lingkungan<br />
Departemen <strong>Agama</strong>, perlu melakukan<br />
perubahan pola pikir (mind set) dari jajarannya<br />
untuk lebih memahami dan<br />
memaknai fungsi pengawasan secara<br />
lebih luas dan modern.<br />
Berbeda dengan fungsi pengawasan<br />
tradisional, fungsi pengawasan<br />
modern tidak hanya terpaku pada<br />
bagaimana menemukan kesalahan<br />
auditan sebanyak mungkin (hanya dilihat<br />
dari aspek kuantitas temuan oleh<br />
pihak internal auditor), tetapi menurut<br />
Eddie M Gunadi, Chairman Forum for<br />
Coorporate Governance in Indonesia<br />
(FCGI) fungsi pengawasan diupayakan<br />
untuk lebih mengacu kepada kedua<br />
aspek yaitu; pertama pemeriksaan dan<br />
konsultasi. Kedua efektivitas penge-<br />
Oleh Feriantin Erlina<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
lolaan resiko melalui risk based<br />
auditing, control and governance<br />
process.<br />
Assurance dan consulting dalam<br />
konsep pengawasan modern lebih menekankan<br />
kepada bagaimana memberikan<br />
pelayanan kepada organisasi secara<br />
menyeluruh, mulai dari atas sampai<br />
yang paling bawah. Sedangkan aspek<br />
pengelolaan resiko melalui risk<br />
based auditing, control dan governance<br />
processes, lebih kepada fungsi kontrol<br />
dalam pelaksanaan Good and<br />
Clean Goverment.<br />
Pemahaman atas kedua aspek<br />
tersebut terutama dalam era yang mengedepankan<br />
transparansi, dimata penulis<br />
sangatlah essential dan saling<br />
berkaitan satu sama lain, terutama untuk<br />
menciptakan Good and Clean Goverment.<br />
Assurance and consulting dalam<br />
konsep pengawasan menunjukkan<br />
bahwa praktik yang menjadi tugas<br />
internal auditor semakin luas dan lebih<br />
luas daripada istilah “pemeriksaan” semata<br />
sebagaimana dalam konsep<br />
pengawasan tradisional, sedangkan<br />
consulting services merupakan added<br />
value.<br />
Seperti di <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
Departemen <strong>Agama</strong> yang dalam melakukan<br />
audit tidak hanya berperan sebagai<br />
pengawas jalannya roda organisasi<br />
Depag baik pusat maupun daerah<br />
(watch dog), melainkan lebih kepada<br />
peran consultant dan katalis yang me-
ngacu pada SAKIP (Sistem Akuntabilitas<br />
Kinerja Instansi)<br />
Dengan demikian, adanya penambahan<br />
aspek yang tanpa mengurangi<br />
makna dari pengawasan itu sendiri,<br />
menjadikan indikator keberhasilan internal<br />
auditor bukan semata dari jumlah<br />
temuan melainkan dari ukuran sejauh<br />
mana internal auditor dapat membantu<br />
rekan sekerjanya mengatasi permasalahan<br />
atau resiko (counselling<br />
patner) yang timbul seperti praktik<br />
suap, mark up dan korupsi.<br />
Paradigma baru pengawasan<br />
adalah konsep yang saat ini diyakini<br />
sangat tepat dan bagus untuk memberantas<br />
maraknya praktek suap dan korupsi<br />
yang merasuk di banyak birokrasi<br />
pemerintahan. Untuk membangun paradigma<br />
baru tersebut menurut hemat<br />
penulis tidaklah mudah serta merta<br />
dapat dilakukan. Dibutuhkan waktu<br />
dan komitmen bersama untuk memaknai<br />
kembali hakekat fungsi pengawasan.<br />
Apalagi untuk mendukung tugas<br />
pokok dan fungsi <strong>Inspektorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
sebagai tempat bernaungnya para<br />
auditor sehingga mencapai kinerja<br />
yang optimal, selain diperlukan komitmen<br />
bersama di antara jajaran <strong>Inspektorat</strong><br />
<strong>Jenderal</strong> Departemen <strong>Agama</strong> dalam<br />
melaksanakan tugas-tugas pengawasan,<br />
mulai dalam hal perencanaan,<br />
pelaksanaan sampai dengan<br />
monitoring, diperlukan pula sarana dan<br />
prasarana teknologi informasi (IT)<br />
yang mampu menunjang fungsi koordinasi,<br />
kolaborasi dan informasi pengawasan<br />
baik secara horisontal maupun<br />
vertikal.<br />
Namun lebih dari itu, yang terpenting<br />
dan menjadi tantangan di Inspek-<br />
Opini<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
torat <strong>Jenderal</strong> Departemen <strong>Agama</strong><br />
adalah kesiapan dan pemantapan<br />
sumber daya manusianya, SDM dalam<br />
era informasi ini merupakan aset yang<br />
diharapkan mampu merubah sesuatu<br />
yang statis menjadi dinamis, hal tersebut<br />
menunjukkan pada semakin pentingnya<br />
peran karyawan dalam instansi<br />
pemerintahan, dimana diharapkan mereka<br />
mampu meningkatkan secara terus<br />
menerus pengetahuan dan kreatifitasnya<br />
untuk memajukan instansi tersebut.<br />
Untuk menciptakan SDM tangguh<br />
dan profesional, yang dapat menyelesaikan<br />
pekerjaannya dengan penuh<br />
tanggung jawab, Menpan Taufik<br />
Effendi dalam waktu dekat ini akan<br />
memberlakukan kontrak kerja bagi<br />
PNS, kontrak kerja ini bertujuan untuk<br />
mengembalikan kepercayaan masyarakat<br />
dan menghilangkan kesan negatif<br />
masyarakat terhadap kinerja aparat<br />
dan pegawai. Kontrak kerja nanti diharapkan<br />
mampu menampilkan performance<br />
yang baik dalam pelaksanaan<br />
tugas sehari-hari, kontrak kerja tersebut<br />
berisikan tentang kesediaan dari<br />
para pejabat dan pegawai pemerintahan<br />
untuk mentaati semua aturan kerja,<br />
serta sumpah untuk tidak melakukan<br />
tindakan yang terkait dengan praktik<br />
korupsi, kolusi dan nepotisme. Pelanggaran<br />
terhadap kontrak kerja ini akan<br />
dikenai sanksi teguran sampai dengan<br />
pemberhentian.<br />
Selamat berjuang, semoga kita<br />
dapat menjadikan Departemen <strong>Agama</strong><br />
menjadi Departemen terbaik di Indonesia.<br />
3
PPA<br />
PERAN GURU TERHADAP SISWA<br />
DALAM MEREALISASIKAN PPA<br />
Oleh Nurman Kholis<br />
“Sesungguhnya nasehat guru dan dokter tidak akan berguna bila keduanya<br />
tidak dimuliakan. Bersabarlah terhadap penyakitmu saat berobat kepada<br />
dokter, dan akuilah kebodohanmu saat belajar kepada guru"<br />
Berdasarkan kata-kata hikmah ini,<br />
peran guru kepada murid seperti<br />
peran dokter kepada pasien. Guru<br />
menjadi penyembuh penyakit ruhani<br />
(mental) sedangkan dokter untuk<br />
penyakit jasmani (fisik).<br />
Seperti dinyatakan dalam katakata<br />
hikmah tersebut, guru disebut terlebih<br />
dahulu sebelum dokter. Ini menunjukkan<br />
bahwa pendewasaan ruhani<br />
harus didahulukan sebelum pendewasaan<br />
jasmani. Karena itu, Rasulullah<br />
saw bersabda, "carilah ilmu dari mulai<br />
buaian hingga ke liang lahat". Hadits<br />
ini tentu tidak dimaksudkan agar bayi<br />
yang baru lahir harus segera mencari<br />
ilmu. Karena belum bisa berbuat apaapa,<br />
kewajiban tersebut menjadi tanggung<br />
jawab orang tuanya untuk mencarikan<br />
ilmu bagi anaknya.<br />
Menurut Syekh az-Zarnuji dalam<br />
kitab Ta'limul Muta'alim, kewajiban menuntut<br />
ilmu bagi stiap Muslim bukan<br />
mempelajari segala macam ilmu. Ilmu<br />
yang paling utama adalah ilmul hal dan<br />
amal yang paling utama adalah menjalankan<br />
amal yang diwajibkan pada<br />
saat itu. Karena itu, setiap muslim wajib<br />
menuntut ilmu sesuai kondisi yang<br />
dibutuhkannya. Bila ia telah berkewajiban<br />
menjalankan salat maka berarti ia<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
wajib mengetahui ilmu tentang salat<br />
sehingga ia benar dalam melaksanakan<br />
salatnya. Maka menjadi wajib memahami<br />
ilmu tentang puasa karena kewajban<br />
hukum puasa, wajib menguasai<br />
ilmu zakat jika dia berharta, wajib<br />
mengetahui manasik haji jika ia mampu<br />
berhaji, dan wajib menguasai ilmu<br />
perdagangan jika dia berdagang.<br />
Namun, sebelum mempelajari<br />
ilmu-ilmu yang lain, seorang guru harus<br />
mengajarkan terlebih dahulu niat<br />
yang benar dalam mencari ilmu. Syekh<br />
az-Zarnuji dalam kitab yang sama juga<br />
menyatakan, ketika menuntut ilmu<br />
hendaklah berniat mencari ridha Allah<br />
ta'ala, mengharap kebahagiaan di akhirat,<br />
menghilangkan kebodohan dalam<br />
diri dan orang lain, menghidupkan<br />
din (agama), dan melestarikan Islam.<br />
Sebab, keabadian Islam adalah dengan<br />
ilmu.<br />
Dengan demikian, ilmu yang<br />
pertama kali wajib dipelajari seorang<br />
murid adalah Ilmu Tauhid (mengenal<br />
Allah disertai dalil-dalilnya). Bila ilmu<br />
tauhid ini dipahami dengan benar oleh<br />
seorang murid, maka ia akan menyadari<br />
dirinya hanyalah sebagai makhluk<br />
(yang dicipta). Ia pun akan merasa diawasi<br />
kholik (pencipta) yang diwujud-
kan dengan akhlak (perbuatan) yang<br />
benar. Karena itu, akhlak terjadi melalui<br />
sejauhmana hubungan antara<br />
makhluk dengan khaliknya.<br />
Dalam hal ini, Abu Hanifah yang<br />
dikenal dengan sebutan Imam Hanafi<br />
merupakan salah satu sosok seorang<br />
murid yang berakhlak mulia. Hal ini seperti<br />
yang pernah dikatakannya, "Aku<br />
dapat memperoleh ilmu dengan bersyukur<br />
mengucapkan alhamdulillah.<br />
Setiap kali aku paham dan menguasai<br />
fiqih dan hikmah pastilah aku ucapkan<br />
alhamdulillah. Maka ilmuku selalu bertambah."<br />
Dengan demikian, bila seorang<br />
guru berhasil mendidik dan memberi<br />
keteladanan kepada muridnya dengan<br />
baik dan benar, maka muridnya akan<br />
mampu bersyukur baik dengan lisan,<br />
hati, perbuatan dan hartanya. Ia pun<br />
benar-benar akan menyadari, bahwa<br />
kepahaman, ilmu, dan taufik adalah<br />
dari Allah ta'ala. Si murid pun akan<br />
mengakui bahwa hanya Allah Yang<br />
Maha Kuasa. Ia pun sekali-kali tidak<br />
akan berpegang teguh kepada kemampuan<br />
diri dan akalnya saja tetapi<br />
menyerahkan segalanya kepada Allah<br />
dan memohon kebenaran dari-Nya.<br />
Berdasarkan paparan di atas, pengenalan<br />
terhadap Allah akan menentukan<br />
sejauh mana akhlak seorang<br />
manusia. Bila seseorang, sekelompok<br />
orang, atau seluruh manusia memilki<br />
akhlak yang baik dan benar, maka ia<br />
akan mengenal Allah itu adalah satusatunya<br />
rabbul 'alamin (pengatur semesta<br />
alam). Mereka pun akan diberi<br />
kemampuan oleh Allah untuk mengatur<br />
alam ini. Sebaliknya, bila manusia tidak<br />
mau mengenal Allah atau salah<br />
PPA<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
dalam mengenal-Nya, maka manusia<br />
tidak akan mampu mengatur bahkan<br />
justru akan menjadi perusak alam ini.<br />
Dalam hal ini, segelintir ulama<br />
yang datang ke Nusantara pada abad<br />
ke-7 yang silam merupakan salah satu<br />
dari sekelompok orang yang mampu<br />
mengenal Allah dengan baik dan benar.<br />
Mereka pun mewariskan ilmu tauhid<br />
yang mereka pelajari kepada generasi<br />
selanjutnya secara turun-temurun.<br />
Hingga secara bertahap, mereka dapat<br />
mewujudkan ajaran Islam yang berisi<br />
rahmat bagi semesta alam. Selanjutnya,<br />
mereka berhasil mempersatukan<br />
penduduk Nusantara yang terdiri<br />
dari sekian pulau, budaya, dan bahasa<br />
serta berbagai keanekaragamaan lainnya<br />
ke dalam satu wilayah. Mereka<br />
juga tidak memaksakan kehendaknya<br />
kepada penganut agama lain untuk<br />
memasuki agama Islam, sebagaimana<br />
perintah Allah, "Tidak ada paksaan dalam<br />
agama (Islam)." Pada akhirnya Islam<br />
menjadi agama yang dianut sebagian<br />
besar penduduk di Nusantara,<br />
meskipun letaknya sangat jauh dari<br />
Arab yang penduduknya kemudian terpecah<br />
ke dalam berbagai negara meskipun<br />
satu bahasa dan satu daratan.<br />
Para ulama berjuang selama tiga<br />
setengah abad lamanya untuk mempertahankan<br />
Nusantara ini dari penjajah<br />
Portugis, Belanda, dan Jepang<br />
yang berusaha mengambil kekayaan<br />
alam di Nusantara ini dengan cara<br />
yang bathil. Semua itu mereka lakukan<br />
demi mempertahankan ajaran Islam<br />
yang memberi rahmat, bukan hanya<br />
kepada umat Islam saja juga kepada<br />
umat lainnya, kepada binatang, dan<br />
pepohonan, khususnya yang ada di
Nusantara.<br />
Demikian gambaran jasa para ulama<br />
dan murid-muridnya yang mampu<br />
mengenal Allah dengan benar. Mereka<br />
mampu menjalankan Alquran dan as-<br />
Sunnah dengan bimbingan para ulama.<br />
Para ulama ini merupakan murid<br />
para ulama sebelumnya yang bersambung<br />
hingga Rasulullah saw. Mereka<br />
mampu berbuat adil atau meletakan<br />
sesuatu pada tempatnya. Semua itu<br />
bermula dari pengenalan mereka<br />
terhadap Allah. Ketika nama Allah disebut<br />
maka bergetarlah hati mereka.<br />
Mereka pun mampu menggetarkan<br />
hati para penduduk di Nusantara ini<br />
hingga memeluk Islam secara sukarela.<br />
Mereka juga sangat paham betul,<br />
Nusantara merupakan kepulauan.<br />
Bahkan sebagian besar adalah kepulauan<br />
yang kecil-kecil. Karena itu mereka<br />
berusaha agar populasi pepohonan<br />
di wilayah Nusantara ini terjaga. Hal<br />
ini mereka lakukan dengan memprioritaskan<br />
pertanian sebagai mata pencarian<br />
bagi penduduk Nusantara. Mereka<br />
juga memahami, keadaan alam di<br />
Nusantara berbeda dengan Arab, Afrika,<br />
dan Eropa. Ketiga kawasan ini merupakan<br />
tanah daratan sehingga bila<br />
dijadikan lahan industri tidak mengganggu<br />
keseimbangan alam di sana.<br />
Hal ini berbeda dengan Nusantara.<br />
Bila pepohonan yang ada di pulaupulau<br />
di Nusantara yang kecil-kecil ini<br />
ditebang maka pepohonan yang berfungsi<br />
sebagai pasak bagi bumi menjadi<br />
berkurang. Akibatnya, pulau-pulau<br />
Randang<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
tersebut akan rentan terhadap banjir,<br />
kemarau, gempa bumi, dan sebagainya.<br />
Karena itu mereka mengembangkan<br />
sektor pertanian. Di samping dapat<br />
menjaga kebutuhan primer penduduk<br />
Nusantara, hal ini juga dapat menjaga<br />
kelestarian alam.<br />
Lalu, bagaimana yang terjadi sejak<br />
100 tahun, 10 tahun dan 1 tahun<br />
belakangan ini? Apakah kaum muslimin<br />
di Nusantara dapat menjaga kelestarian<br />
alam atau sebaliknya selalu<br />
ditimpa bencana alam? Bagaimana<br />
niat dalam belajar para generasi mudanya?<br />
Apakah seperti dinyatakan Syekh<br />
az-Zarnuji yang mengatakan, "ketika<br />
menuntut ilmu hendaklah berniat<br />
mencari ridha Allah ta'ala, mengharap<br />
kebahagiaan di akhirat, menghilangkan<br />
kebodohan dalam diri dan orang<br />
lain, menghidupkan din (agama), dan<br />
melestarikan Islam. Sebab, keabadian<br />
Islam adalah dengan ilmu". Atau para<br />
generasi mudanya selalu dirangsang<br />
untuk memiliki niat mencari ilmu untuk<br />
"mengejar ketertinggalan dalam ilmu<br />
pengetahuan dan teknologi dari Barat"<br />
sementara yang dikejar semakin tidak<br />
terkejar? Atau para generasi kaum<br />
Muslimin selanjutnya sudah<br />
menganggap kuno, kolot atau kampungan<br />
terhadap kitab Ta'limul Muta'alim?<br />
Bukankah kitab ini merupakan salah<br />
satu kitab yang memasyarakat sekian<br />
abad lamanya di Nusantara ini?<br />
Selanjutnya, lihatlah lahan-lahan<br />
subur di Nusantara saat ini. Dimiliki<br />
siapa dan dinikmati siapa lahan-lahan<br />
tersebut? 3
Randang<br />
INSTRUKSI MENTE<strong>RI</strong> AGAMA REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 2 TAHUN 2004<br />
TENTANG<br />
PENINGKATAN PELAYAAN PERNIKAHAN<br />
PADA KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN<br />
MENTE<strong>RI</strong> AGAMA REPUBLIK INDONESIA,<br />
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah<br />
Nomor 51 <strong>Tahun</strong> 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan<br />
Negara Bukan Pajak Yang berlaku Pada Departemen <strong>Agama</strong>,<br />
dipandang perlu mengeluarkan instruksi pelaksanaannya.<br />
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 <strong>Tahun</strong> 1946 tentang<br />
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (Lembaran Negara<br />
<strong>Tahun</strong> 1946 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara<br />
Nomor 694);<br />
2. Undang-undang Nomor 32 <strong>Tahun</strong> 1954 tentang<br />
Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor 22 <strong>Tahun</strong><br />
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di seluruh<br />
Daerah Luar Jawa dan Madura (Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 694);<br />
3. Undang-undang Nomor 1 <strong>Tahun</strong> 1974 tentang<br />
Perkawinan (Lembaran Negara <strong>Tahun</strong> 1974 Nomor 1,<br />
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);<br />
4. Undang-undang Nomor 7 <strong>Tahun</strong> 1989 tentang Peradilan<br />
<strong>Agama</strong> (Lembaran Negara <strong>Tahun</strong> 1989 Nomor 49,<br />
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400);<br />
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 <strong>Tahun</strong> 1975 tentang<br />
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 <strong>Tahun</strong> 1974<br />
tentang Perkawinan (Lembaran Negara <strong>Tahun</strong> 1975<br />
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250);<br />
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 <strong>Tahun</strong> 2000 tentang<br />
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang<br />
berlaku pada Departemen <strong>Agama</strong> (Lembaran Negara<br />
<strong>Tahun</strong> 2000 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />
3979);<br />
7. Keputusan Presiden Nomor 102 <strong>Tahun</strong> 2001 tentang<br />
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004
Randang<br />
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen yang telah diubah<br />
dengan Keputusan Presiden Nomor 22 <strong>Tahun</strong> 2004;<br />
8. Keputusan Presiden Nomor 109 <strong>Tahun</strong> 2001 tentang Unit<br />
Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen yang telah<br />
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 77 <strong>Tahun</strong><br />
2004;<br />
9. Keputusan Presiden Nomor 49 <strong>Tahun</strong> 2002 tentang<br />
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata<br />
Kerja Instansi Vertikal Departemen <strong>Agama</strong> yang telah<br />
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 85 <strong>Tahun</strong><br />
2002;<br />
10. Keputusan Bersama Menteri <strong>Agama</strong> dengan Menteri Luar<br />
Negeri Nomor 589 <strong>Tahun</strong> 1999 dan Nomor<br />
182/OT/X/99/01 <strong>Tahun</strong> 1999 tentang Petunjuk<br />
Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di<br />
Luar Negeri;<br />
11. Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 1 <strong>Tahun</strong> 2001 tentang<br />
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan<br />
Organisasi dan Tata Kerja Departemen <strong>Agama</strong>;<br />
12. Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 517 <strong>Tahun</strong> 2001<br />
tentang Penetaan Organisasi Kantor Urusan <strong>Agama</strong><br />
Kecamatan;<br />
13. Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 373 <strong>Tahun</strong> 2002<br />
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah<br />
Departemen <strong>Agama</strong> Provinsi dan Kantor Departemen<br />
<strong>Agama</strong> Kabupaten/Kota, sebagaimana telah diubah<br />
dengan Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 480 <strong>Tahun</strong><br />
2003;<br />
14. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara<br />
Nomor Kep/42/M-PAN/4/2004 tentang Jabatan Fungsional<br />
Penghulu;<br />
15. Keputusan Menteri <strong>Agama</strong> Nomor 301 <strong>Tahun</strong> 2004<br />
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional<br />
Penghulu.<br />
MENGINSTRUKSIKAN:<br />
Kepada : Para Kepala Kantor Wilayah Departemen <strong>Agama</strong> Provinsi<br />
seluruh Indonesia<br />
Untuk :<br />
Pertama : Memerintahkan kepada Kepala KUA Kecamatan di<br />
lingkungannya masing-masing untuk:<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004
Randang<br />
1. tidak memungut biaya tambahan terhadap pernikahan<br />
yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan<br />
sebesar Rp30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) sebagaimana<br />
ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 <strong>Tahun</strong> 2000;<br />
2. tidak memungut biaya tambahan terhadap biaya bedolan<br />
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang disetujui<br />
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang<br />
bersangkutan;<br />
3. membebaskan biaya pencatatan nikah bagi pasangan<br />
calon pengantin yang tidak mampu dengan menunjukkan<br />
surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Lurah;<br />
4. mendorong pertumbuhan kreativitas masyarakat di bidang<br />
perkawinan dan mengoptimalkan fungsi BP-4 dalam<br />
rangka memperluas jangkauan pelayanan dan<br />
kemudahan bagi masyarakat yang kurang mampu;<br />
5. menyerahkan akta nikah kepada kedua mempelai sesaat<br />
setelah ijab dan qabul;<br />
6. memberikan duplikat akta nikah kepada pasangan<br />
pengantin yang karena sesuatu hal akta nikahnya hilang<br />
atau rusak dengan menyerahkan bukti surat keterangan<br />
kehilangan dari kepolisian;<br />
7. meningkatkan transparansi biaya pencatatan nikah<br />
dengan mencantumkan tarif biaya nikah dan standar<br />
pelayanan nikah pada tempat yang mudah diketahui oleh<br />
umum disetiap Kantor Urusan <strong>Agama</strong> Kecamatan dan<br />
sosialisasi kepada masyarakat.<br />
Kedua : Melaporkan pelaksanaan instruksi ini kepada Menteri <strong>Agama</strong><br />
dan mengambil langkah-langkah penertiban dan penerapan<br />
sanksi terhadap pelanggar sesuai dengan ketentuan dan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
Ketiga : Instruksi ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br />
Ditetapkan di Jakarta<br />
pada tanggal 22 Nopember 2004<br />
MENTE<strong>RI</strong> AGAMA REPUBLIK INDONESIA<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
ttd<br />
MUHAMMAD M. BASYUNI
E Y D<br />
PEMAKAIAN TANDA BACA<br />
A. Tanda Titik (.)<br />
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat<br />
yang bukan pertanyaan atau<br />
seruan.<br />
Misalnya:<br />
Ayahku tinggal di Solo.<br />
Biarlah mereka duduk di sana.<br />
Dia menanyakan siapa yang akan<br />
datang.<br />
Hari ini tanggal 6 April 1973.<br />
Marilah kita mengheningkan<br />
cipta.<br />
2. Tanda titik dipakai di belakang<br />
angka atau huruf dalam suatu bagan,<br />
ikhtisar, atau daftar.<br />
Misalnya:<br />
a. III. Departemen Dalam Negeri<br />
A. Direktorat <strong>Jenderal</strong> Pembangunan<br />
Masyarakat<br />
Desa<br />
B. Direktorat <strong>Jenderal</strong> Agraria<br />
1. . . .<br />
b. 1. Patokan Umum<br />
1.1 Isi Karangan<br />
1.2 Ilustrasi<br />
1.2.1 Gambar tangan<br />
1.2.2 Tabel<br />
1.2.3 Grafik<br />
Catatan:<br />
Tanda titik tidak dipakai di belakang angka<br />
atau huruf dalam suatu bagan atau<br />
ikhtisar jika angka atau huruf itu merupakan<br />
yang terakhir dalam deretan angka<br />
atau huruf.<br />
3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan<br />
angka jam, menit, dan detik<br />
yang menunjukkan waktu.<br />
Misalnya:<br />
pukul 1.35.20 (pukul 1 lewat 35<br />
menit 20 detik)<br />
4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan<br />
angka jam, menit, dan detik<br />
yang menunjukkan jangka waktu.<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Misalnya:<br />
1.35.20 (1 jam, 35 menit, 20 detik)<br />
0.20.30 (20 menit, 30 detik)<br />
0.0.30 (30 detik)<br />
5. Tanda titik dipakai di antara nama<br />
penulis, judul tulisan yang tidak<br />
berakhir dengan tanda tanya dan<br />
tanda seru, dan tempat terbit dalam<br />
daftar pustaka.<br />
Misalnya:<br />
Siregar, Merari. 1920. Azab dan<br />
Sengsara. Weltevreden: Balai<br />
Poestaka.<br />
6a. Tanda titik dipakai untuk memisahkan<br />
bilangan ribuan atau kelipatannya.<br />
Misalnya:<br />
Desa itu berpenduduk 24.200<br />
orang.<br />
Gempa yang terjadi semalam<br />
menewaskan 1.231 jiwa.<br />
6b. Tanda titik tidak dipakai untuk<br />
memisahkan bilangan ribuan<br />
atau kelipatannya yang tidak menunjukkan<br />
jumlah.<br />
Misalnya:<br />
Ia lahir pada tahun 1956 di Bandung.<br />
Nomor gironya 5645678.<br />
7. Tanda titik tidak dipakai pada akhir<br />
judul yang merupakan kepala karangan<br />
atau kepala ilustrasi, tabel,<br />
dan sebagainya.<br />
Misalnya:<br />
Acara Kunjungan Adam Malik<br />
Bentuk dan Kedaulatan (Bab I<br />
UUD ‘45)<br />
Salah Asuhan<br />
8. Tanda titik tidak dipakai di belakang<br />
(1) alamat pengirim dan tanggal<br />
surat atau (2) nama dan alamat<br />
penerima surat.
Misalnya:<br />
Jalan Diponegoro 82<br />
Jakarta<br />
1 April 1985<br />
Yth. Sdr. Moh. Hasan<br />
Jalan Arif 43<br />
Palembang<br />
Atau:<br />
Kantor Penempatan Tenaga<br />
Jalan Cikini 71<br />
Jakarta<br />
B. Tanda Koma (,)<br />
1. Tanda koma dipakai di antara<br />
unsur-unsur dalam suatu perincian<br />
atau pembilangan.<br />
Misalnya:<br />
Saya membeli kertas, pena, dan<br />
tinta.<br />
Surat biasa, surat kilat, ataupun<br />
surat khusus memerlukan perangko.<br />
Satu, dua, ... tiga!<br />
2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan<br />
kalimat setara yang satu<br />
dari kalimat setara berikutnya yang<br />
didahului oleh kata seperti tetapi<br />
atau melainkan.<br />
Misalnya:<br />
Saya ingin datang, tetapi hari<br />
hujan.<br />
Didi bukan anak saya, melainkan<br />
anak Pak Kasim.<br />
3a. Tanda koma dipakai untuk memisahkan<br />
anak kalimat dari induk<br />
kalimat jika anak kalimat itu<br />
mendahului induk kalimatnya.<br />
Misalnya:<br />
Kalau hari hujan, saya tidak akan<br />
datang.<br />
Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.<br />
3b. Tanda koma tidak dipakai untuk<br />
memisahkan anak kalimat dari<br />
induk kalimat jika anak kalimat<br />
itu mengiringi induk kalimatnya.<br />
E Y D<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Misalnya:<br />
Saya tidak akan datang kalau<br />
hari hujan.<br />
Dia lupa akan janjinya karena<br />
sibuk.<br />
4. Tanda koma dipakai di belakang<br />
kata atau ungkapan penghubung<br />
antarkalimat yang terdapat pada<br />
awal kalimat. Termasuk di dalamnya<br />
oleh karena itu, jadi, lagi pula,<br />
meskipun begitu, akan tetapi.<br />
Misalnya:<br />
... Oleh karena itu, kita harus<br />
berhati-hati.<br />
... Jadi, soalnya tidak semudah itu.<br />
5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan<br />
kata seperti o, ya, wah,<br />
aduh, kasihan dari kata yang lain di<br />
dalam kalimat.<br />
Misalnya:<br />
O, begitu?<br />
Wah, bukan main!<br />
Hati-hati, ya, nanti jatuh.<br />
6. Tanda koma dipakai untk memisahkan<br />
petikan langsung dari bagian<br />
lain dalam kalimat. (Lihat juga<br />
pemakaian tanda petik)<br />
Misalnya:<br />
Kata Ibu, “Saya gembira sekali.”<br />
“Saya gembira sekali,” kata Ibu,<br />
“karena kamu lulus.”<br />
7. Tanda koma dipakai di antara (i)<br />
nama dan alamat, (ii) bagianbagian<br />
alamat, (iii) tempat dan<br />
tanggal, dan (iv) nama tempat dan<br />
wilayah atau negeri yang ditulis<br />
berurutan.<br />
Misalnya:<br />
Surat-surat ini harap dialamatkan kepada<br />
Dekan Fakultas Kedokteran,<br />
Universitas Indonesia, Jalan Salemba<br />
Raya 6, Jakarta.<br />
Surabaya, 10 Mei 1960<br />
Kuala Lumpur, Malaysia<br />
8. Tanda koma dipakai untuk menceraikan<br />
bagian nama yang dibalik
susunannya dalam daftar pustaka.<br />
Misalnya:<br />
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949.<br />
Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia.<br />
Jilid 1 dan 2. Djakarta: PT Pustaka<br />
Rakjat.<br />
9. Tanda koma dipakai di antara<br />
bagian-bagian dalam catatan kaki.<br />
Misalnya:<br />
W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa<br />
Indonesia untuk Karang-mengarang<br />
(Jogjakarta: UP Indonesia,<br />
1967), hlm. 4.<br />
10. Tanda koma dipakai di antara<br />
nama orang dan gelar akademik<br />
yang mengikutinya untuk membedakannya<br />
dari singkatan nama diri,<br />
keluarga, atau marga.<br />
Misalnya:<br />
B. Ratulangi, S.E.<br />
Ny. Khadijah, M.A.<br />
11. Tanda koma dipakai di muka angka<br />
persepuluhan atau di antara rupiah<br />
dan sen yang dinyatakan dengan<br />
angka.<br />
Misalnya:<br />
12,5 m<br />
Rp12,50<br />
12. Tanda koma dipakai untuk mengapit<br />
keterangan tambahan yang sifatnya<br />
tidak membatasi. (Lihat juga<br />
pemakaian tanda pisah)<br />
Misalnya:<br />
Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.<br />
Di daerah kami, misalnya, masih<br />
banyak orang laki-laki yang memakan<br />
sirih.<br />
Semua siswa, baik yang laki-laki<br />
maupun yang perempuan, mengikuti<br />
latihan paduan suara.<br />
Bandingkan dengan keterangan pembatas<br />
yang pemakaiannya tidak diapit<br />
tanda koma:<br />
Semua siswa yang lulus ujian mendaftarkan<br />
namanya pada panitia.<br />
E Y D<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
13. Tanda koma dapat dipakai --untuk<br />
menghindari salah baca-- di belakang<br />
keterangan yang terdapat<br />
pada awal kalimat.<br />
Misalnya:<br />
Dalam pembinaan dan pengembangan<br />
bahasa, kita memerlukan sikap yang<br />
bersungguh-sungguh.<br />
Atas bantuan Agus, Karyadi mengucapkan<br />
terima kasih.<br />
Bandingkan dengan:<br />
Kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh<br />
dalam pembinaan<br />
dan pengembangan bahasa.<br />
Karyadi mengucapkan terima kasih<br />
atas bantuan Agus.<br />
14. Tanda koma tidak dipakai untuk<br />
memisahkan petikan langsung dari<br />
bagian lain yang mengiringinya dalam<br />
kalimat jika petikan langsung<br />
itu berakhir dengan tanda tanya<br />
atau tanda seru.<br />
Misalnya:<br />
“Di mana Saudara tinggal?” tanya<br />
Karim.<br />
“Berdiri lurus-lurus!” perintahnya.<br />
C. Tanda Titik Koma (;)<br />
1. Tanda titik koma dapat dipakai untuk<br />
memisahkan bagian-bagian<br />
kalimat yang sejenis dan setara.<br />
Misalnya:<br />
Malam makin larut; pekerjaan belum<br />
selesai juga.<br />
2. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai<br />
pengganti kata penghubung<br />
untuk memisahkan kalimat yang<br />
setara di dalam kalimat majemuk.<br />
Misalnya:<br />
Ayah mengurus tanamannya di kebun<br />
itu; Ibu sibuk bekerja di dapur; Adik<br />
menghapal nama-nama pahlawan<br />
nasional; saya sendiri asyik mendengarkan<br />
siaran “Pilihan Pendengar”.<br />
D. Tanda Titik Dua (:)<br />
1a. Tanda titik dua dapat dipakai pada<br />
akhir suatu pernyataan lengkap<br />
jika diikuti rangkaian atau peme-
ian.<br />
Misalnya:<br />
Kita sekarang memerlukan perabot<br />
rumah tangga: kursi, meja, dan lemari.<br />
Hanya ada dua pilihan bagi para<br />
pejuang kemerdekaan itu: hidup atau<br />
mati.<br />
1b. Tanda titik dua tidak dipakai jika<br />
rangkaian atau perian itu merupakan<br />
pelengkap yang mengakhiri<br />
pernyataan.<br />
Misalnya:<br />
Kita memerlukan kursi, meja, dan<br />
lemari.<br />
Fakultas itu mempunyai Jurusan<br />
Ekonomi Umum dan Jurusan Ekonomi<br />
Perusahaan.<br />
2. Tanda titik dua dipakai sesudah<br />
kata atau ungkapan yang memerlukan<br />
pemerian.<br />
Misalnya:<br />
a. Ketua : Ahmad Wijaya<br />
Sekretaris : S. Handayani<br />
Bendahara : B. Hartawan<br />
b. Tempat Sidang : Ruang 104<br />
Pengantar Acara : Bambang<br />
Hari : Senin<br />
Waktu : 09.30<br />
3. Tanda titik dua dapat dipakai dalam<br />
teks drama sesudah kata yang<br />
menunjukkan pelaku dalam percakapan.<br />
Misalnya:<br />
Ibu : (meletakkan beberapa<br />
kopor) “Bawa kopor ini,<br />
Mir!”<br />
Amir : “Baik, Bu.” (mengangkat<br />
kopor dan masuk)<br />
Ibu : Jangan lupa, Letakkan<br />
baik-baik!” (duduk di kursi<br />
besar)<br />
4. Tanda titik dua dipakai (i) di antara<br />
jilid atau nomor dan halaman, (ii)<br />
di antara bab dan ayat dalam kitab<br />
suci, (iii) di antara judul dan anak<br />
judul suatu karangan, serta (iv)<br />
nama kota dan penerbit buku<br />
acuan dalam karangan.<br />
E Y D<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Misalnya:<br />
Tempo, I (1971), 34:7<br />
Surah Yasin:9<br />
Karangan Ali Hakim, Pendidikan<br />
Seumur Hidup: Sebuah Studi, sudah<br />
terbit.<br />
Tjokronegoro, Sutomo, Tjukupkah<br />
Saudara Membina Bahasa Persatuan<br />
Kita? Djakarta: Eresco, 1968.<br />
E. Tanda Hubung (-)<br />
1. Tanda hubung menyambung sukusuku<br />
kata dasar yang terpisah oleh<br />
pergantian baris.<br />
Misalnya:<br />
Di samping cara-cara lama itu juga<br />
cara yang baru.<br />
Suku kata yang berupa satu vokal<br />
tidak ditempatkan pada ujung baris<br />
atau pangkal baris.<br />
Misalnya:<br />
Beberapa pendapat menganai masalah<br />
itu telah disampaikan ....<br />
Walaupun sakit, mereka tetap tidak mau<br />
beranjak ....<br />
atau<br />
Beberapa pendapat mengenai masalah<br />
itu telah disampaikan ....<br />
walaupun sakit, mereka tetap tidak mau<br />
beranjak ....<br />
bukan<br />
Beberapa pendapat mengenai masalah itu<br />
telah disampaikan ....<br />
Walaupun sakit, mereka tetap tidak mau<br />
beranjak ....<br />
2. Tanda hubung menyambung<br />
awalan dengan bagian kata di<br />
belakangnya atau akhiran dengan<br />
kata di depannya pada pergantian<br />
baris.<br />
Misalnya:<br />
Kini ada cara yang baru untuk mengukur<br />
panas.<br />
Senjata ini merupakan alat pertahanan<br />
yang canggih.<br />
Akhiran i tidak dipenggal supaya jangan<br />
terdapat satu huruf saja pada pangkal<br />
baris.<br />
3. Tanda hubung menyambung<br />
unsur-unsur kata ulang.
Misalnya:<br />
anak-anak, berulang-ulang, kemerahmerahan<br />
Angka 2 sebagai tanda ulang hanya<br />
digunakan pada tulisan cepat dan<br />
notula, dan tidak dipakai pada teks<br />
karangan.<br />
4. Tanda hubung menyambung huruf<br />
kata yang dieja satu-satu dan<br />
bagian-bagian tanggal.<br />
Misalnya:<br />
p-a-n-i-t-i-a<br />
8-4-1973<br />
5. Tanda hubung boleh dipakai untuk<br />
memperjelas (i) hubungan bagianbagian<br />
kata atau ungkapan, dan<br />
(ii) penghilangan bagian kelompok<br />
kata.<br />
Misalnya:<br />
ber-evolusi, dua puluh lima-ribuan (20<br />
x 5000), tanggung jawab-dan<br />
kesetiakawanan-sosial<br />
Bandingkan dengan:<br />
be-revolusi, dua-puluh lima ribuan (1 x<br />
25000), tanggung jawab dan<br />
kesetiakawanan sosial<br />
6. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan<br />
(i) se- dengan kata berikutnya<br />
yang dimulai dengan huruf<br />
kapital, (ii) ke- dengan angka,<br />
(iii) angka dengan -an, (iv) singkatan<br />
berhuruf kapital dengan imbuhan<br />
atau kata, dan (v) nama jabatan<br />
rangkap.<br />
Misalnya:<br />
se-Indonesia, hadiah ke-2, tahun 50an,<br />
mem-PHK-kan, hari-H, sinar-X,<br />
Menteri-Sekretaris Negara<br />
7. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan<br />
unsur bahasa Indonesia<br />
dengan unsur bahasa asing.<br />
Misalnya:<br />
di-smash, pen-tackle-an<br />
F. Tanda Pisah (–)<br />
E Y D<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
1. Tanda pisah membatasi penyisipan<br />
kata atau kalimat yang memberi<br />
penjelasan di luar bangun kalimat.<br />
Misalnya:<br />
Kemerdekaan bangsa itu–saya yakin<br />
akan tercapai– diperjuangkan oleh<br />
bangsa itu sendiri.<br />
2. Tanda pisah menegaskan adanya<br />
keterangan yang lain sehingga kalimat<br />
menjadi lebih jelas.<br />
Misalnya:<br />
Rangkaian temuan ini–evolusi, teori<br />
kenisbian, dan kini juga pembelahan<br />
atom–telah mengubah konsepsi kita<br />
tentang alam semesta.<br />
3. Tanda pisah dipakai di antara dua<br />
bilangan, tanggal, atau nama kota<br />
dengan arti ‘sampai dengan’ atau<br />
‘sampai ke’.<br />
Misalnya:<br />
1910–1945<br />
tanggal 5–10 April 1970<br />
Jakarta–Bandung<br />
Catatan:<br />
Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan<br />
dengan dua buah tanda hubung<br />
tanpa spasi sebelum dan sesudahnya.<br />
G. Tanda Elipsis (...)<br />
1. Tanda elipsis dipakai dalam<br />
kalimat yang terputus-putus.<br />
Misalnya:<br />
Kalau begitu ... ya, marilah kita<br />
bergerak.<br />
2. Tanda elipsis menunjukkan bahwa<br />
dalam suatu kalimat atau naskah<br />
ada bagian yang dihilangkan.<br />
Misalnya:<br />
Sebab-sebab kemerosotan ... akan<br />
diteliti lebih lanjut.<br />
Catatan:<br />
jika bagian yang dihilangkan mengakhiri<br />
sebuah kalimat, perlu dipakai<br />
empat buah titik; tiga buah untuk<br />
menandai penghilangan teks dan satu<br />
untuk menandai akhir kalimat.
Misalnya:<br />
Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan<br />
dengan hati-hati....<br />
H. Tanda Tanya (?)<br />
1. Tanda tanya dipakai pada akhir<br />
kalimat tanya.<br />
Misalnya:<br />
Kapan ia berangkat?<br />
Saudara tahu, bukan?<br />
2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda<br />
kurung untuk menyatakan bagian<br />
kalimat yang disangsikan<br />
atau yang kurang dapat dibuktikan<br />
kebenarannya.<br />
Misalnya:<br />
Ia dilahirkan pada tahun 1983 (?).<br />
Uangnya sebanyak 10 juta (?) hilang.<br />
I. Tanda Seru (!)<br />
Tanda seru dipakai sesudah ungkapan<br />
atau pernyataan yang berupa seruan<br />
atau perintah yang menggambarkan<br />
kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun<br />
rasa emosi yang kuat.<br />
Misalnya:<br />
Alangkah seramnya peristiwa itu!<br />
Bersihkan kamar itu sekarang juga!<br />
Masakan! Sampai hati juga ia meninggalkan<br />
anak-istrinya!<br />
Merdeka!<br />
J. Tanda Kurung ((...))<br />
1. Tanda kurung mengapit tambahan<br />
keterangan atau penjelasan.<br />
Misalnya:<br />
Bagian Perencanaan sudah selesai<br />
menyusun DIK (Daftar Isian Kegiatan)<br />
kantor itu.<br />
2. Tanda kurung mengapit keterangan<br />
atau penjelasan yang bukan<br />
bagian integral pokok pembicaraan.<br />
Misalnya:<br />
Sajak Tranggono yang berjudul<br />
“Ubud” (nama tempat yang terkenal di<br />
Bali) ditulis pada tahun 1962.<br />
E Y D<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Keterangan itu (lihat Tabel 10) menunjukkan<br />
arus perkembangan baru<br />
dalam pasaran dalam negeri.<br />
3. Tanda kurung mengapit huruf atau<br />
kata yang kehadirannya di dalam<br />
teks bisa dihilangkan.<br />
Misalnya:<br />
Kata cocaine diserap kedalam bahasa<br />
Indonesia menjadi kokain(a).<br />
Pejalan kaki itu berasal dari (kota)<br />
Surabaya.<br />
4. Tanda kurung mengapit kata atau<br />
huruf yang memerinci satu urutan<br />
keterangan.<br />
Misalnya:<br />
Faktor produksi menyangkut masalah<br />
(a) alam, (b) tenaga kerja, dan (c) modal.<br />
K. Tanda Kurung Siku ([...])<br />
1. Tanda kurung siku mengapit huruf,<br />
kata, atau kelompok kata sebagai<br />
koreksi atau tambahan pada<br />
kalimat atau bagian kalimat yang<br />
ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan<br />
bahwa kesalahan atau<br />
kekurangan itu memang terdapat<br />
di dalam naskah asli.<br />
Misalnya:<br />
Sang Sapurba men[d]engar bunyi<br />
gemerisik.<br />
2. Tanda kurung siku mengapit keterangan<br />
dalam kalimat penjelas<br />
yang sudah bertanda kurung.<br />
Misalnya:<br />
Persamaan kedua proses ini (perbedaannya<br />
dibicarakan di dalam Bab<br />
II [lihat halaman 35–38]) perlu dibentangkan<br />
di sini.<br />
L. Tanda Petik (“...”)<br />
1. Tanda petik mengapit petikan<br />
langsung yang berasal dari pembicaraan<br />
dan naskah atau bahan<br />
tertulis lain.<br />
Misalnya:<br />
“Saya belum siap,” kata Mira, “tunggu
sebentar!”<br />
Pasal 36 UUD 1945 berbunyi,<br />
“Bahasa Negara adalah bahasa<br />
Indonesia.”<br />
2. Tanda petik mengapit judul syair,<br />
karangan, atau bab buku yang<br />
dipakai dalam kalimat.<br />
Misalnya:<br />
Bacalah “Bola Lampu” dalam buku<br />
Dari Suatu Masa, dari Suatu Tempat.<br />
Karangan Andi Nasoetion yang<br />
berjudul “Rapor dan Nilai Prestasi di<br />
SMA” diterbitkan dalam Tempo.<br />
3. Tanda petik mengapit istilah ilmiah<br />
yang kurang dikenal atau kata<br />
yang mempunyai arti khusus.<br />
Misalnya:<br />
Pekerjaan itu dilaksanakan dengan<br />
cara “coba dan ralat” saja.<br />
Ia bercelana panjang yang di kalangan<br />
remaja dikenal dengan nama “cutbrai”.<br />
4. Tanda petik penutup mengikuti<br />
tanda baca yang mengakhiri petikan<br />
langsung.<br />
Misalnya:<br />
Kata Tono, “Saya juga minta satu.”<br />
5. Tanda baca penutup kalimat atau<br />
bagian kalimat ditempatkan di belakang<br />
tanda petik yang mengapit<br />
kata atau ungkapan yang dipakai<br />
dengan arti khusus pada ujung kalimat<br />
atau bagian kalimat.<br />
Misalnya:<br />
Karena warna kulitnya, Budi mendapat<br />
julukan “si Hitam”.<br />
Bang Komar sering disebut “pahlawan”;<br />
ia sendiri tidak tahu sebabnya.<br />
Catatan:<br />
Tanda petik pembuka dan tanda petik<br />
penutup pada pasangan tanda petik itu<br />
ditulis sama tinggi di sebelah atas baris.<br />
E Y D<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
M. Tanda Petik Tunggal (‘...’)<br />
1. Tanda petik tunggal mengapit petikan<br />
yang tersusun di dalam petikan<br />
lain.<br />
Misalnya:<br />
Tanya Nurman, “Kau dengar bunyi<br />
‘kring-kring’ tadi?”<br />
“Waktu kubuka pintu depan, ku<br />
dengar anakku, ‘Ibu, Bapak pulang’,<br />
dan rasa letihku lenyap seketika,” ujar<br />
Pak Hamdan.<br />
2. Tanda petik tunggal mengapit<br />
makna, terjemahan, atau penjelasan<br />
kata atau ungkapan asing.<br />
(Lihat pemakaian tanda kurung)<br />
Misalnya:<br />
feed-bac ‘balikan’<br />
N. Tanda Garis Miring (/)<br />
1. Tanda garis miring dipakai di dalam<br />
nomor surat dan nomor pada<br />
alamat dan penandaan masa<br />
satu tahun yang terbagi dalam<br />
dua tahun takwim.<br />
Misalnya:<br />
No. 7/PK/1973<br />
Jalan Kramat III/10<br />
tahun anggaran 1985/1986<br />
2. Tanda garis miring dipakai sebagai<br />
pengganti kata atau, tiap.<br />
Misalnya:<br />
dikirimkan lewat darat/laut<br />
‘dikirimkan lewat darat atau lewat laut’<br />
harganya Rp25,00/lembar<br />
‘harganya Rp25,00 tiap lembar’<br />
O. Tanda Penyingkat (Apostrof) (‘)<br />
Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan<br />
bagian kata atau bagian angka<br />
tahun.<br />
Misalnya:<br />
Ali ‘kan kusurati. (‘kan = akan)<br />
Malam ‘lah tiba. (‘lah = telah)<br />
1 Januari ‘88 (‘88 = 1988)<br />
3(ns/nk)
Pada tahun 2003 Itjen Depag<br />
membangun sistem yang dimaksudkan<br />
untuk mempermudah<br />
dan mempercepat proses pengambilan<br />
keputusan berdasarkan hasil kinerja.<br />
Sistem yang dibangun adalah SIM-HP,<br />
yaitu Sistem Informasi Manajemen Hasil<br />
Pengawasan. SIM-HP mengolah<br />
hal-hal yang terkait dengan pengawasan<br />
di lingkungan Departemen <strong>Agama</strong><br />
sejak dari perencanaan audit, penugasan<br />
auditor/pemantau, pembuatan<br />
SPPD, pembuatan laporan, sampai pengelolaan<br />
temuan dan penyelesaiannya.<br />
Pada semester awal 2004 sistem<br />
ini telah disosialisasikan kepada semua<br />
pengguna dan telah dilakukan pelatihan<br />
untuk penggunaannya, semacam<br />
training of trainers kepada 10<br />
orang dari Sekretariat Itjen dan 10<br />
orang auditor.<br />
Pelatihan dimaksudkan agar dari<br />
mereka dapat memberikan “diklat di<br />
tempat kerja”, semacam penetrasi ilmu<br />
dan ketrampilan kepada pegawai pada<br />
Sekretariat Itjen lainnya dan kepada<br />
sesama auditor. Dengan demikian diharapkan<br />
pihak sekretariat dan auditor<br />
sebagai pengguna SIM-HP dapat memanfaatkan<br />
teknologi berbasis komputer<br />
tersebut untuk menyelesaikan tugas<br />
dengan cepat tanpa halangan ruang<br />
dan waktu, karena dapat diakses<br />
melalui internet di mana saja dan kapan<br />
saja.<br />
Pembangunan SIM-HP dimulai<br />
Teknologi Informasi<br />
Sistem Informasi Manajemen<br />
Hasil Pengawasan Itjen Depag<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Ahmed<br />
dari pembuatan dokumen perencanaan<br />
strategis sistem informasi 2003-<br />
2008. Dokumen tersebut antara lain<br />
berisi profil dan lingkup organisasi Itjen<br />
Depag, lingkup teknologi informasi<br />
yang telah ada, portofolio aplikasi, arsitektur<br />
dan infrastruktur sistem informasi,<br />
manajemen sumber daya manusia,<br />
dan jadwal pelaksanaan rencana srategis.<br />
Profil dan lingkup organisasi antara<br />
lain penjelasan tentang wawasan<br />
kegiatan Itjen Depag yang berhubungan<br />
dengan sistem informasi, yaitu:<br />
(1)membuat suatu pusat informasi<br />
yang memudahkan pemantauan dan<br />
manajemen perencanaan dan keuangan,<br />
kepegawaian, pelaporan, dan infrastruktur/perlengkapan;(2)mengkomputerisasikan<br />
proses pelaporan ke<br />
dalam suatu sistem yang mempermudah<br />
pengawasan di daerah; (3)membuat<br />
suatu sistem informasi yang dapat<br />
menampilkan informasi yang proporsional<br />
kepada masyarakat tentang<br />
hasil pengawasan dengan situs utama<br />
milik Depag www.depag.go.id sebagai<br />
bagian dari PIKDA (Pusat Informasi<br />
Keagamaan Departemen <strong>Agama</strong>);<br />
(4)seluruh komponen organisasi Itjen<br />
Depag saling terhubung dan terintegrasi<br />
dalam melaksanakan tugas rutin;<br />
dan (5)membuat sistem yang dapat<br />
memberikan gambaran tentang fungsi<br />
atau organ yang terdapat dalam Itjen<br />
Depag. Critical success facor antara
lain: (a)ketepatan pelaksanaan RKAT<br />
(Rencana Kinerja Audit <strong>Tahun</strong>an) sesuai<br />
dengan jadwal; (b)pembuatan laporan<br />
yang dapat diselesaikan dalam<br />
waktu 1 minggu, baik laporan hasil<br />
audit (LHA) maupun laporan hasil pemantauan<br />
(LHP); (c)semua tim yang<br />
diterjunkan dapat ikut berperanserta<br />
dalam pembuatan laporan; (d)temuan<br />
harus dapat diselesaikan dalam jangka<br />
waktu 2 tahu sesuai dengan jangka<br />
waktu terlama SKTM (Surat Keterangan<br />
Tanggungjawab Mutlak); dan (e)penyajian<br />
data dan laporan secara cepat,<br />
tepat, dan akurat.<br />
Lingkup teknologi informasi yang<br />
telah ada antara lain perangkat hardware<br />
dan software yang dipergunakan<br />
di Itjen Depag berikut jaringan komputer<br />
berupa LAN (Local Area Network)<br />
yang menghubungkan 13 titik tersebar<br />
di 5 lantai dan terhubung melalui 2<br />
buah hub dan sebuah switch. Jaringan<br />
ini tidak terhubung dengan internet.<br />
Kendala penerapan teknologi informasi<br />
antara lain: (1)sikap dan mental sebagian<br />
pegawai belum kondusif untuk dapat<br />
memanfaatkan teknologi informasi<br />
yang tersedia secara optimal seperti<br />
kebiasaan bermain game bukan pada<br />
waktunya, penggunaan komputer<br />
untuk keperluan di luar dinas, dan<br />
sinyalemen mengenai wawasan sebagian<br />
pegawai yang sulit diajak maju;<br />
(2)belum ada tenaga ahli yang dapat<br />
diandalkan untuk melakukan maintenance<br />
rutin terhadap aset teknologi informasi;<br />
(3)tataruang kurang mendukung<br />
penempatan komputer. Kendala<br />
tersebut menimbulkan masalah: (a)utilisasi<br />
aset teknologi informasi rendah;<br />
(b)masa pakai teknologi informasi ter-<br />
Teknologi Informasi<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
batas; (c)tataruang yang kurang mengakomodasi<br />
penambahan komputer;<br />
dan (d)data/informasi belum dapat disajikan<br />
secara cepat, tepat, dan akurat.<br />
Meskipun demikian, terlihat beberapa<br />
manfaat, antara lain: (1)dokumentasi<br />
yang lebih tertib dan teratur; (2)informasi<br />
dapat lebih cepat disiapkan;<br />
(3)potensi yang mendorong pegawai<br />
untuk belajar komputer; dan (4)pembagian<br />
tugas dan tanggung jawab<br />
yang lebih jelas karena pembagian<br />
fungsi komputer yang jelas, e.g. untuk<br />
pelaporan regional tertentu.<br />
Portofolio aplikasi antara lain<br />
membahas target aplikasi yang dikembangkan,<br />
yaitu (1)EIS (executive information<br />
system) untuk pemindaian dan<br />
pemantauan lingkungan guna memberikan<br />
gambaran secara cepat mengenai<br />
perubahan serta status aktivitas<br />
yang terjadi dalam organisasi yang<br />
berguna dalam mendukung pengambilan<br />
keputusan; (2)SIM-HP untuk membantu<br />
para personil Itjen dalam melakukan<br />
kegiatan pelaporan audit/pemantauan<br />
dan mengelola laporan hasil<br />
audit/pemantauan agar mudah dilakukan<br />
pendataan dan pelacakan yang<br />
mendukung kegiatan penyusunan dan<br />
manajemen program pengawasan,<br />
surat tugas, SPPD, dan LHA/STL; dan<br />
(3)SIMAI (sistem informasi manajemen<br />
administrasi internal yang terdiri dari<br />
susb-subsistem: (a)Sistem Informasi<br />
Perencanaan dan Keuangan;<br />
(b)Sistem Informasi Ortala dan Kepegawaian;<br />
dan (c)Sistem Informasi<br />
Umum.<br />
Bagian arsitektur dan infrastruktur<br />
sistem informasi antara lain memuat<br />
arsitektur aplikasi, arsitektur jaringan
komputer, arsitektur keamanan, dan<br />
infrastruktur sistem informasi. Arsitektur<br />
aplikasi diimplementasikan secara<br />
thin client dan berbasis web. Arsitektur<br />
thin client membagi aplikasi menjadi 2<br />
sisi, front end (aplikasi yang dioperasikan<br />
pengguna) dan back end (aplikasi<br />
yang menyimpan dan mengolah perintah<br />
atau data menjadi informasi). Aplikasi<br />
berbasis web merupakan jenis<br />
yang sedang popular dan pengoperasiannya<br />
sama dengan cara menjelajah<br />
internet. Ditinjau dari arsitektur jaringan<br />
komputer, Itjen Depag menggunakan<br />
topologi bintang (star) yang memudahkan<br />
penanggulangan densitas<br />
aliran data, peningkatan skala kemampuan,<br />
dan kapasitas jaringan. Peralatan<br />
hub diganti dengan switch untuk<br />
mengantisipasi resiko penurunan kinerja<br />
jaringan karena operasional server<br />
diakses oleh banyak komputer lain.<br />
Arsitektur keamanan menitikberatkan<br />
kepada penyimpanan komputer<br />
server pada keamanan fisik dan memenuhi<br />
syarat suhu dan kelembaban<br />
udara. Keamanan jaringan dijaga dengan<br />
firewall dan aplikasi antivirus. Infrastruktur<br />
sistem informasi yang diperlukan<br />
antara lain barisdata, perangkat<br />
server, dan perangkat jaringan berikut<br />
spesifikasi minimal.<br />
Manajemen sumber daya manusia<br />
berkaitan dengan kemampuan pegawai<br />
Itjen Depag. Karena itu rekrutmen<br />
pegawai baru mempersyaratkan kemampuan<br />
ketrampilan di bidang komputer.<br />
Untuk staf teknologi informasi<br />
minimal faham tentang konsep perangkat<br />
keras komputer, terutama server<br />
dan pengoperasiannya, serta ja-<br />
Teknologi Informasi<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
ringan komputer lulusan perguruan<br />
tinggi atau sekolah tinggi komputer.<br />
Staf ini diarahkan untuk pendayagunaan<br />
aset agar dapat melayani kebutuhan<br />
dalam mengolah informasi, sekaligus<br />
memberikan pelatihan melalui “diklat<br />
di tempat kerja”.<br />
SIM-HP yang sudah siap pakai<br />
saat ini dapat diakses oleh authorized<br />
person (auditor dan pegawai tertentu)<br />
dengan password melalui (021)<br />
2303081. Dengan demikian pekerjaan<br />
yang terkait dengan pengawasan, utamanya<br />
audit dan pemantauan dapat dikelola<br />
melalui teknologi informasi berbasis<br />
komputer yang pada gilirannya<br />
akan mempermudah, mempercepat,<br />
dan meringankan pekerjaan pengawasan<br />
di lingkungan Departemen<br />
<strong>Agama</strong>. Dokumen yang melengkapi<br />
pembangunan SIM-HP antara lain (alphabetical<br />
order) Bisnis-Client Assesment,<br />
Bisnis-Data Identification, Bisnis-<br />
Glosary, Bisnis-Rules, Bisnis-Use<br />
Case Specification (Pengaduan Masyarakat),<br />
Bisnis-Vision, System Conceptual<br />
Model, System-System Sequence,<br />
System-Use Case Specification,<br />
System-User Interface Specification,<br />
dan User Manual dan beberapa<br />
CD untuk software pendukung sistem.<br />
Ketika SIM-HP sudah siap, kini giliran<br />
pertanyaan bagi pengguna: “Siapkah<br />
mereka menggunakan SIM-HP?<br />
Ataukah biaya mahal yang telah dipakai<br />
untuk pembangunan SIM-HP perlu<br />
dibikin sia-sia?” Kita tunggu respon jawaban<br />
ini melalui kinerja dan kiat<br />
auditor serta staf sekretariat dalam memanfaatkannya.<br />
3
Organisasi terdiri dari orangorang<br />
dalam berbagai jabatan.<br />
Pada saat mereka berkomunikasi<br />
satu sama lain, berkembanglah<br />
keteraturan dan kontak siapa berbicara<br />
dengan siapa. Kedudukan setiap individu<br />
dalam pola dan jaringan yang terjadi<br />
memberi peranan pada orang tersebut.<br />
Pertukaran pesan melalui jalan<br />
tertentu itulah yang dinamakan<br />
jaringan komunikasi.<br />
Peranan individu dalam sistem komunikasi<br />
ditentukan oleh hubungan<br />
struktur antara satu individu dengan individu<br />
lainnya dalam organisasi. Hubungan<br />
ini ditentukan oleh pola hubungan<br />
interaksi individu dengan arus informasi<br />
dalam jaringan komunikasi. Untuk<br />
mengetahui jaringan komunikasi<br />
serta peranannya dapat digunakan<br />
analisis jaringan. Hasil analisis jaringan<br />
dapat diketahui bentuk hubungan<br />
antar individu dalam organisasi. Ada<br />
tujuh peranan jaringan komunikasi<br />
yaitu:<br />
Pertama, klik. Sebuah kelompok<br />
yang paling sedikit. Kebanyakan anggota<br />
klik relatif akrab satu dengan lain<br />
dalam hirarki formal organisasi. Syarat<br />
bagi anggota klik bahwa individu harus<br />
mampu melakukan kontak satu sama<br />
lain. Dalam berkomunikasi mereka<br />
cenderung bertatap muka meski harus<br />
menempuh jarak tertentu.<br />
Kedua, penyendiri (Isolate/Loners).<br />
Melakukan sedikit atau bahkan<br />
AMO<br />
ALIRAN INFORMASI<br />
DALAM ORGANISASI<br />
Oleh Ispawati Asri<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
tidak melakukan kontak sama sekali<br />
dengan anggota kelompok lainnya.<br />
Konsep diri mereka umumnya kurang<br />
termotivasi oleh cita-cita, kurang berinteraksi<br />
dengan orang lain, kurang berpengalaman<br />
dalam sistem, lebih jarang<br />
menduduki posisi yang kuat dalam<br />
organisasi, cenderung menahan daripada<br />
melancarkan aliran informasi,<br />
relatif tidak puas dengan sistem dan<br />
beranggapan sistem komunikasi tertutup<br />
bagi mereka.<br />
Ketiga, jembatan (Bridge). Sebagai<br />
pengontak langsung antara dua kelompok<br />
pegawai.<br />
Keempat, penghubung. Mengaitkan<br />
satuan-satuan organisasi bersama-sama<br />
dan menggambarkan orangorang<br />
yang bertindak sebagai penyaring<br />
informasi dalam organisasi. Pada<br />
umumnya mereka memiliki kontak komunikasi<br />
lebih besar, memiliki jumlah<br />
informasi berkenaan dimensi isi pesan,<br />
berpartisipasi dalam sistem komunikasi<br />
yang lebih terbuka dan memiliki pengaruh<br />
lebih besar.<br />
Kelima, penjaga gawang (gate<br />
keepers). Orang yang secara strategis<br />
ditempatkan dalam jaringan agar dapat<br />
melakukan pengendalian atas pesan<br />
apa yang akan disebarkan melalui sistem<br />
tersebut.<br />
Keenam, pemimpin pendapat (opinion<br />
leader). Orang tanpa jabatan formal<br />
dalam sistem sosial yang membimbing<br />
pendapat atau mempengaruhi
orang-orang dalam keputusan mereka.<br />
Mereka merupakan orang-orang yang<br />
mengikuti permasalahan dan dipercayai<br />
oleh orang lain untuk mengetahui<br />
apa yang sebenarnya terjadi.<br />
Ketujuh, kosmopolit. Individu yang<br />
melakukan kontak dengan individu di<br />
luar organisasi. Menghubungkan anggota<br />
organisasi dengan peristiwa di<br />
luar batas-batas struktur organisasi.<br />
Mereka memiliki kontak dengan sumber-sumber<br />
di luar organisasi dan bertindak<br />
sebagai saluran bagi gagasan<br />
baru yang akan diadopsi organisasi.<br />
Sifat Aliran Informasi<br />
Aliran informasi sangat berpengaruh<br />
terhadap efisiensi organisasi. Berpengaruh<br />
juga terhadap iklim dan moral<br />
organisasi. Informasi tidak mengalir<br />
dan bergerak begitu saja. Yang bergerak<br />
adalah proses penyampaian pesan,<br />
interpretasi terhadap penyampaian<br />
dan penciptaan penyampaian lainnya.<br />
Aliran informasi merupakan proses<br />
pendistribusian pesan ke seluruh<br />
organisasi yang meliputi penciptaan,<br />
penyampaian/ditampilkan, interpretasi<br />
pesan merupakan proses yang dinamik<br />
terjadi sepanjang waktu.<br />
Aliran informasi dalam suatu organisasi<br />
dapat terjadi dengan cara (1)Penyebaran<br />
pesan secara serempak,<br />
informasi yang disampaikan kepada<br />
lebih dari satu orang; anggota organisasi<br />
menerima suatu informasi dalam<br />
waktu bersamaan; misalnya penyebaran<br />
jadwal kerja, penjelasan mengenai<br />
prosedur baru, aplikasinya dapat<br />
berupa terbitan khusus, umumnya diterima<br />
dalam waktu yang sama.<br />
AMO<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
(2)Penyebaran pesan secara berurutan,<br />
penyampaian pesan berurutan<br />
merupakan bentuk komunikasi yang<br />
utama yang pasti terjadi dalam organisasi.<br />
Dalam hal ini ada pola "Siapa<br />
berbicara kepada Siapa".<br />
Penyebaran tersebut mempunyai<br />
suatu pola yang berlangsung dalam<br />
waktu yang tidak berurutan. Informasi<br />
tiba pada waktu yang berbeda pula.<br />
meliputi perluasan bentuk penyebaran<br />
diadik (A ke B ke C ke D dan ke E). Individu<br />
cenderung menyadari adanya<br />
informasi pada waktu berlainan. Karena<br />
adanya perbedaan dalam menyadari<br />
informasi, mungkin timbul masalah<br />
dalam koordinasi. Akibat keterlambatan<br />
informasi pada individu tertentu<br />
menyebabkan informasi sulit digunakan<br />
untuk membuat keputusan. Jika<br />
orang yang harus diberi informasi jumlahnya<br />
cukup banyak, maka memerlukan<br />
waktu yang lama.<br />
Pola Aliran Informasi<br />
Ada dua jenis pola aliran informasi<br />
yaitu (1)Pola Roda, pola yang mengarahkan<br />
seluruh informasi kepada individu<br />
yang menduduki posisi sentral.<br />
Orang dalam posisi sentral menerima<br />
kontak dan informasi yang disediakan<br />
oleh anggota organisasi lainnya dan<br />
memecahkan masalah dengan saran<br />
dan persetujuan anggota lainnya.<br />
(2)Pola Lingkaran, memungkinkan semua<br />
anggota berkomunikasi satu dengan<br />
yang lainnya hanya melalui sejenis<br />
sistem pengulangan pesan. Tidak<br />
seorang anggota pun yang dapat berhubungan<br />
langsung dengan semua<br />
anggota lainnya. Tidak ada anggota<br />
yang memiliki akses langsung terha-
dap seluruh informasi yang diperlukan<br />
dalam memecahkan persoalan.<br />
Hasil penelitian pada pola roda<br />
dan lingkaran menyatakan bahwa ke-<br />
AMO<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
dua pola ini menghasilkan konsekuensi<br />
yang amat berbeda ( Bavelas, 1950;<br />
Bavelas & Barrett, 1951; Burgess,<br />
1969; Leavitt, 1951; Shaw, 1958 ).<br />
Pengaruh dua pola komunikasi<br />
atas sepuluh proses komunikasi organisasi<br />
VA<strong>RI</strong>ABEL KOMUNIKASI ORGANSASI POLA RODA POLA LINGKARAN<br />
Aksesibilitas para anggota satu<br />
dengan lainnya Rendah Tinggi<br />
Pengawasan aliran pesan Tinggi Rendah<br />
Moral atau kepuasan Sangat Rendah Tinggi<br />
Kemunculan pemimpin Tinggi Sangat Rendah<br />
Kecermatan solusi Baik Buruk<br />
Kecepatan kinerja Cepat Lambat<br />
Jumlah pesan yang dikirimkan Rendah Tinggi<br />
Kemunculan organisasi yang stabil Cepat Sangat Lambat<br />
Penyesuaian dalam penyusunan kerja Lambat Cepat<br />
Kecenderungan beban berlebih Tinggi Rendah<br />
Arah Aliran Informasi<br />
Ada empat arah formal aliran komunikasi<br />
yaitu:<br />
Pertama, komunikasi ke bawah.<br />
Berarti informasi mengalir dari jabatan<br />
berotoritas lebih tinggi kepada mereka<br />
yang berotoritas lebih rendah. Jenis<br />
informasi yang biasanya dikomunikasikan<br />
dari atasan kepada bawahan<br />
yaitu: bagaimana melakukan pekerjaan,<br />
dasar pemikiran untuk melakukan<br />
pekerjaan, kebijakan dan praktek organisasi,<br />
kinerja pegawai, pengembangan<br />
rasa memiliki tugas. Kriteria<br />
yang sering digunakan dalam menyampaikan<br />
informasi kepada bawahan<br />
antara lain keahlian, respon, relevansi<br />
dan pengaruh.<br />
Kedua, komunikasi ke atas. Ber-<br />
arti informasi mengalir dari tingkat<br />
yang lebih rendah ke tingkat yang lebih<br />
tinggi. Hal-hal yang harus dikomunikasikan<br />
ke atas adalah memberitahukan<br />
apa yang dilakukan bawahan<br />
mengenai prestasi, kemajuan, dan rencana<br />
masa depan, menjelaskan persoalan<br />
kerja yang belum dipecahkan<br />
dan mungkin memerlukan bantuan,<br />
memberikan saran untuk perbaikan<br />
dalam unit-unit atau dalam keseluruhan<br />
organisasi, mengungkapkan<br />
rasa dan pikiran tentang pekerjaan mereka,<br />
rekan kerja dan organisasi.<br />
Pada kenyataannya komunikasi<br />
ke atas tidak mudah, alasannya kecenderungan<br />
pegawai menyembunyikan<br />
pikiran mereka; perasaan bahwa atasan<br />
tidak tertarik pada masalah yang di-
hadapi pegawai; kurangnya penghargaan<br />
bagi komunikasi ke atas yang<br />
dilakukan pegawai; perasaan bahwa<br />
atasan tidak dapat dihubungi dan tidak<br />
tanggap pada apa yang disampaikan.<br />
Untuk mengatasinya setiap program<br />
komuniksai organisasi harus didasarkan<br />
pada iklim kepercayaan. Bila<br />
ada kepercayaan, pegawai mungkin<br />
lebih berani mengemukaan gagasan<br />
dan perasaannya secara bebas dan atasan<br />
dapat menafsirkan lebih cermat.<br />
Ketiga, komunikasi horizontal.<br />
Berarti penyampaian informasi di antara<br />
rekan-rekan sejawat dalam unit kerja<br />
yang sama. Tujuannya adalah<br />
mengkordinasikan penugasan kerja,<br />
berbagi informasi, memecahkan masalah,<br />
memperoleh pemahaman bersama,<br />
mendamaikan, berunding dan<br />
menengahi perbedaan serta menumbuhkan<br />
dukungan antar personal.<br />
Keempat, komunikasi lintas saluran.<br />
Berarti informasi yang diberikan<br />
melewati batas-batas fungsional atau<br />
batasan unit kerja. Di antara orang<br />
satu sama lainnya tidak terjadi posisi<br />
atasan atau bawahan.<br />
Komunikasi Informal, Pribadi atau<br />
Selentingan<br />
Salah satu ciri komunikasi yang<br />
paling nyata adalah konsep hubungan<br />
yang meliputi hubungan antar personal,<br />
hubungan posisional, hubungan<br />
atasan-bawahan dan hubungan berurutan.<br />
Bila pegawai berkomunikasi tanpa<br />
mengindahkan posisinya dalam organisasi,<br />
lebih bersifat pribadi, arah ali-<br />
AMO<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
ran informasi kurang stabil mengalir<br />
dari arah yang tidak dapat diduga, maka<br />
jaringan komunikasi ini digolongkan<br />
sebagai komunikasi selentingan.<br />
Selentingan digambarkan sebagai<br />
metode penyampaian laporan rahasia<br />
dari orang ke orang. Sifat selentingan<br />
biasanya melalui interaksi mulut ke<br />
mulut; bebas dari kendala organisasi<br />
dan posisi; informasi tersebar dengan<br />
cepat; jaringan kerjanya digambarkan<br />
sebagai suatu rantai kelompok kerena<br />
setiap orang akan menyampaikan informasi<br />
kepada kelompok orang; semakin<br />
cepat seseorang mengetahui<br />
suatu peristiwa yang baru terjadi dan<br />
menyangkut masalah yang menarik<br />
perhatian, semakin besar kemungkinannya<br />
untuk menceritakan kepada<br />
orang lain.<br />
Aliran utama informasi dalam selentingan<br />
cenderung terjadi dalam kelompok<br />
fungsional dan umumnya rincian<br />
pesan tidak lengkap karena telah<br />
terjadi erosi fakta sehingga bisa menimbulkan<br />
kesalahan interpretasi meskipun<br />
rinciannya cermat dan dapat<br />
mempengaruhi organisasi (kebaikan<br />
dan keburukan).<br />
Jumlah dan akibat pesan yang<br />
mengganggu dapat dikendalikan dengan<br />
menjaga saluran komunikasi formal<br />
tetap terbuka yang memberi kesempatan<br />
berlangsungnya komunikasi<br />
ke atas, ke bawah, horizontal dan lintas<br />
saluran yang terus terang, cermat<br />
dan sensitif. 3
Hikmah<br />
Shalat Jama’<br />
Disadur dari Kitab al-Muhadzab: Syekh Imam Abi Ishaq Ibrahim<br />
bin Ali Ibnu Yusuf al-Fairuz Abadiy asy-Syairozy, Juz I hal.104-105<br />
Melakukan shalat jama’<br />
(mengumpulkan) dua waktu<br />
salat ke dalam satu waktu salat<br />
seperti antara dhuhur-ashar dan<br />
antara maghrib-isya' dalam perjalanan<br />
yang jaraknya mencapai masafatul<br />
qashri (jarak yang diperbolehkan<br />
melakukan salat qashar dapat dilihat<br />
pada FP <strong>edisi</strong> 3) hukumnya boleh.<br />
Sebagaimana telah diriwayatkan oleh<br />
Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah SAW<br />
pernah melakukan salat jama' antara<br />
maghrib dan isya' dalam perjalanan.<br />
Dan juga telah diriwayatkan oleh Anas<br />
ra, bahwa beliau pernah melakukan<br />
salat jama' antara dhuhur dan ashar<br />
dalam perjalanan yang mencapai<br />
masafatul qashri.<br />
Adapun untuk perjalanan yang tidak<br />
mencapai masafatul qashri ada<br />
dua pendapat :<br />
(1) boleh melakukan salat jama' karena<br />
statusnya dalam perjalanan<br />
(musafir)<br />
(2) tidak boleh melakukan salat jama'<br />
karena melakukan salat tidak pada<br />
waktunya tanpa syarat-syarat<br />
yang mencukupi. Pendapat kedua<br />
adalah yang lebih benar.<br />
Salat jama' boleh dilakukan pada<br />
waktu pertama (jama' taqdim) apabila<br />
keberadaan seseorang ketika akan<br />
melakukan salat jama' masih berada<br />
dalam waktu yang pertama. Juga boleh<br />
melakukannya pada waktu yang<br />
kedua (jama' takhir), apabila ketika<br />
masuk waktu yang pertama, perjalan-<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
annya tidak berhenti dan berhenti ketika<br />
sudah masuk waktu salat yang kedua.<br />
Sebagaimana telah diriwayatkan<br />
oleh Ibnu Abbas ra, bahwa ketika Rasulullah<br />
SAW ingin melakukan salat<br />
jama' antara dhuhur dan ashar masih<br />
berada dalam waktu dhuhur, maka beliau<br />
menjalankan salat asharnya di<br />
waktu salat dhuhur (jama' taqdim) dan<br />
sebaliknya ketika beliau berada di suatu<br />
tempat dan sudah melewati waktu<br />
dhuhur maka beliau melakukan salat<br />
dhuhur di waktu ashar (jama' takhir).<br />
Syarat-syarat melakukan salat<br />
jama' antara lain:<br />
(1) niat, menurut pendapat pertama,<br />
niat dilakukan ketika takbiratul ihram<br />
pada salat yang pertama karena<br />
niat hukumnya wajib dan tidak<br />
boleh mengakhirkannya, tetapi<br />
menurut pendapat kedua niat<br />
boleh dilakukan tidak di awal salat<br />
dengan syarat dilakukan sebelum<br />
salam pada salat yang pertama.<br />
(2) Tertib yaitu mendahulukan salat<br />
yang pertama dari pada yang kedua,<br />
karena pada dasarnya waktu<br />
berjalan mulai dari yang awal.<br />
(3) Tatabu' yaitu tidak memisahkan<br />
antara waktu yang satu dengan<br />
waktu yang lain dalam tempo<br />
yang lama karena keduanya seperti<br />
satu salat, sehingga apabila<br />
antara salat yang satu dengan<br />
yang lain terpisah, maka salat jama'nya<br />
menjadi batal, seperti batalnya<br />
salat ketika memisahkan
antara rakaat yang satu dengan<br />
rakaat yang lain.<br />
Melakukan salat jama' (taqdim)<br />
juga diperbolehkan apabila dalam kondisi<br />
hujan. Sebagaimana telah diriwayatkan<br />
oleh Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah<br />
SAW pernah melakukan salat<br />
jama' antara dhuhur-ashar dan maghrib-isya'<br />
tidak dalam keadaan perang<br />
maupun dalam perjalanan. Imam Malik<br />
rahimahullah menafsirkan hadist tersebut<br />
bahwa Rasullulah SAW melakukan<br />
salat jama' tidak dalam keadaan perang<br />
maupun dalam perjalanan ini<br />
adalah pada waktu turun hujan. Adapun<br />
apabila dalam kondisi tersebut seseorang<br />
juga ingin melakukan salat<br />
jama' takhir, ada dua pendapat Imam<br />
Syafi’i:<br />
(1) dalam Kitab al-Imla, beliau berpendapat<br />
bahwa boleh melakukan<br />
salat jama' takhir karena adanya<br />
udzur (halangan) yaitu hujan<br />
sebagaimana dibolehkannya melakukan<br />
salat jama' taqdim pada<br />
kasus orang musafir.<br />
(2) dalam kitab al-Umm, beliau berpendapat<br />
bahwa tidak boleh melakukan<br />
salat jama' takhir karena<br />
kemungkinan hujan akan berhenti<br />
di tengah-tengah waktu salat, dengan<br />
demikian salat jama' yang<br />
dilakukannya tanpa udzur.<br />
Apabila sudah masuk waktu dhuhur<br />
kondisi tidak hujan kemudian turun<br />
hujan, maka dalam kondisi demikian tidak<br />
dibolehkan melakukan salat jama',<br />
karena datangnya rukhsah (keringanan)<br />
setelah masuk waktu salat. Sehingga<br />
salat jama' yang dilakukan tidak<br />
didasarkan pada sebab-sebab diberikannya<br />
rukhsah. Ini sama halnya<br />
Hikmah<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
ketika sudah masuk waktu salat lalu<br />
melakukan perjalanan padahal cukup<br />
waktu untuk melakukan salat pada<br />
waktu tersebut.<br />
Apabila seseorang sedang melakukan<br />
salat jama' dan ketika takbiratul<br />
ihram pada salat yang pertama dalam<br />
kondisi hujan kemudian hujan berhenti<br />
dan di tengah-tengah salatnya hujan<br />
turun lagi sampai ketika ia melakukan<br />
takbiratul ihram pada salat yang kedua,<br />
maka hukum salat jama'nya sah,<br />
karena keberadaan udzur dalam kondisi<br />
melakukan salat jama'.<br />
Diperbolehkannya melakukan salat<br />
jama' pada waktu hujan tersebut<br />
adalah khusus dalam kondisi hujan<br />
lebat (yang membasahi) sehingga apabila<br />
hujannya tidak demikan, maka<br />
tidak diperbolehkan melakukan salat<br />
jama', demikian juga untuk hujan salju,<br />
lumpur, kondisi gelap dan kondisi ketika<br />
sakit.<br />
Apabila seseorang melakukan<br />
salat di rumahnya atau di masjid yang<br />
jalan menuju rumahnya tidak terkena<br />
hujan, Imam Syafi'i berpendapat:<br />
(1) dalam Qaul Qadim beliau berpendapat<br />
bahwa baginya tidak boleh<br />
melakukan salat jama' karena dalam<br />
kondisi yang demikian tidak<br />
ada masyaqah (kesulitan) baginya<br />
untuk melakukan salat pada waktunya.<br />
(2) dalam kitab al-Imla' beliau berpendapat<br />
bahwa baginya boleh melakukan<br />
salat jama' karena Rasulullah<br />
SAW pernah melakukan<br />
salat jama' di rumah para isterinya<br />
yang berada di dekat masjid.3<br />
(ms/ns)
Hikmah<br />
Keutamaan La Ilaha Illa Allah<br />
(Wejangan Syekh Abdulqadir Al Jailani qaddasallahu sirrahu)<br />
Nabi saw bersabda: "Payahkanlah<br />
setan-setanmu dengan ucapan<br />
La Ilaha Illa Allah Muhammad<br />
Rasulullah, sesungguhnya setan<br />
akan kepayahan dengannya, sebagaimana<br />
salah seorang kalian meletihkan<br />
tunggangannya dengan banyak menungganginya<br />
sambil mengangkutkan<br />
beban-beban bawaan di atasnya".<br />
Wahai manusia! Letihkanlah setan<br />
kalian seraya mengucap, "La ilaha illa<br />
Allah" dengan segala keikhlasan, dan<br />
bukan hanya lapal bibir saja. Kalimat<br />
tauhid akan membakar setan manusia<br />
dan jin, sebab kalimat tersebut merupakan<br />
api bagi setan dan cahaya bagi<br />
pentauhid. Bagaimana engkau dapat<br />
mengucap "La ilaha illa Allah" namun<br />
ada beberapa ilah di hatimu. Segala<br />
sesuatu selain Allah yang engkau jadikan<br />
sandaran dan pegangan adalah<br />
berhalamu. Tauhid bibir yang disertai<br />
kesyirikan hati tidak akan bermanfaat<br />
sedikit pun. Demikian pula tidak bermanfaat<br />
kebersihan fisik (qalib) bersama<br />
kenajisan hati (qalb). Pentauhid<br />
meletihkan setannya, sementara penyekutu<br />
malah diletihkan oleh setannya.<br />
Ikhlas adalah isi ucapan dan tindakan,<br />
sebab jika ucapan dan tindakan<br />
tidak mengandung keikhlasan, maka ia<br />
hanya menjadi kulit tanpa isi dan kulit<br />
tidak bisa dipakai apa-apa kecuali dimasukkan<br />
ke dalam api.<br />
Dengarkanlah ucapanku ini dan<br />
kerjakan, karena ia dapat memadamkan<br />
api ketamakanmu dan memecahkan<br />
duri nafsumu. Jangan hadir di sua-<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
tu tempat yang diterangi api tabiatmu,<br />
niscaya ia akan merobohkan rumah<br />
agama dan imanmu. Tabiat, hawa nafsu,<br />
dan setanmu akan semakin bersinar,<br />
sementara agama, iman, dan keyakinanmu<br />
akan hilang memudar. Jangan<br />
dengarkan ucapan orang-orang<br />
munafik yang berlagak dan berhias diri<br />
sebagai orang alim, sebab ketamakan<br />
akan bermukim pada ucapan manis<br />
yang dibuat-buat sebagaimana adonan<br />
roti tanpa garam yang akan menyakitkan<br />
perut pemakannya dan menghancurkan<br />
rumahnya. Ilmu harus diambil<br />
dari perkataan tokoh, bukan dari lembaran-lembaran.<br />
Termasuk di antara<br />
tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh (rijal)<br />
al-Haqq 'Azza wa Jalla yang bertakwa,<br />
meninggalkan dunia, mewarisi<br />
(para nabi), srif, mengamalkan ilmu,<br />
dan ikhlas, serta tidak berbuat hal lain<br />
selain ketakwaan.<br />
Kewalian hanya diperuntukkan bagi<br />
orang-orang yang bertakwa, di dunia<br />
dan akhirat. Pondasi dan bangunan<br />
hanya milik mereka, di dunia dan akhirat.<br />
Allah 'Azza wa Jalla pun hanya<br />
mencintai hamba-hamba-Nya yang<br />
muttaqin (bertakwa), muhsin (berbuat<br />
kebajikan), lagi penyabar. Jika engkau<br />
memang benar-benar memilki memiliki<br />
pikiran yang sehat, maka pastilah engkau<br />
akan mengenal mereka, mencintai<br />
dan berkhidmat menemani mereka.<br />
Sebuah pikiran akan menjadi sehat,<br />
jika hati disinari dengan makrifat<br />
(mengenal) Allah 'Azza wa Jalla. Jangan<br />
percaya pada pikiranmu sebelum
makrifatmu benar-benar sehat dan jelas<br />
pula bagimu kebaikan dan kesehatannya.<br />
Tundukkan pandanganmu dari<br />
hal-hal yang haram, cegah dirimu dari<br />
melampiaskan syahwat, dan biasakanlah<br />
dengan mengkonsumsi makanan<br />
yang halal. Peliharalah batinmu dengan<br />
muraqabah (sikap mengawasi<br />
dan diawasi Allah 'Azza wa Jalla) dan<br />
jagalah lahirmu dengan mengikuti sunnah.<br />
Dengan menjalankan hal ini, pikiranmu<br />
akan menjadi sehat.<br />
Wahai pemuda! Pelajarilah ilmu<br />
dan ikhlaslah, sehingga engkau akan<br />
bisa lolos dari jaring kemunafikan dan<br />
jerat-jeratnya. carilah ilmu karena Allah<br />
'Azza wa Jalla, jangan demi makhluk<br />
atau dunia-Nya. Tanda mencari ilmu<br />
karena Allah 'Azza wa Jalla adalah ketakutan<br />
dan kecemasan terhadap-Nya<br />
saat turun perintah dan larangan. Engkau<br />
terus mengawasi-Nya, menistakan<br />
dirimu di hadapan-Nya, dan merendah<br />
di hadapan makhluk tanpa maksud<br />
apa pun, bukan karena ketamakan<br />
mendapatkan kekayaan di tangan mereka,<br />
serta menjalin persahabatan dan<br />
memusuhi karena Allah 'Azza wa Jalla.<br />
Persahabatan karena selain Allah adalah<br />
permusuhan. Juga konsistensi dalam<br />
hal selain-nya adalah kesesatan.<br />
Pemberian karena selain-Nya adalah<br />
ketertolakan.<br />
Nabi saw bersabda: "Iman adalah<br />
dua bagian, setengahnya sabar dan<br />
setengahnya lagi syukur." Jadi, jika<br />
engkau tidak bisa bersabar menghadapi<br />
penderitaan dan tidak bersyukur<br />
atas kenikmatan, maka engkau bukanlah<br />
orang yang beriman. Temasuk hakikat<br />
Islam adalah penyerahan diri (istislam).<br />
Ya Allah, hidupkanlah hati<br />
Hikmah<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
kami dengan kepasrahan kepada-Mu,<br />
dengan ketaatan pada-Mu dan zikir<br />
mengingat-Mu, serta dengan menuruti<br />
dan mengesakan-Mu.<br />
Jikalau tidak ada orang-orang<br />
yang memiliki kehidupan di hati mereka,<br />
sebagai penahan bumi, niscaya kalian<br />
akan binasa, sebab al-Haqq 'Azza<br />
wa Jalla menunda siksa-Nya pada<br />
penghuni bumi karena doa permintaan<br />
mereka. Bentuk kenabian (surah annubuwwah)<br />
akan terus meningkat dan<br />
substansinya juga akan terus kekal<br />
hingga Hari Kiamat. Jika tidak karenanya,<br />
lalu atas dasar apa bumi masih bisa<br />
bertahan. Di bumi ada 40 sosok<br />
laki-laki seperti ini, di antaranya ada<br />
yang memiliki satu makna dari beberapa<br />
makna nubuat, sehingga hatinya<br />
seperti hati salah seorang nabi. Ada<br />
juga yang menjadi wakil-wakil Allah<br />
dan rasul-rasul-Nya di bumi. Allah<br />
mengangkat asisten-asisten untuk<br />
menggantikan posisi guru mereka. Karena<br />
itu Nabi SAW bersabda: "Ulama<br />
adalah pewaris para nabi."<br />
Wahai pemuda! Bangunan dirimu<br />
harus berpondasikan pada Alquran<br />
dan Sunnah, pengamalan keduanya,<br />
dan keikhlasan. Kepercayaan pada selain<br />
al-Haqq 'Azza wa Jalla adalah penyebab<br />
laknat. Nabi bersabda: "Terlaknatlah<br />
orang yang menggantungkan<br />
kepercayaannya kepada makhluk sepertinya."<br />
Celakalah! Jika engkau keluar dari<br />
(komunitas) makhluk, maka engkau<br />
akan bersama Sang Khaliq. Dia akan<br />
mengajarimu apa yang baik dan buruk<br />
bagimu, membedakan apa yang menjadi<br />
milikmu dan yang menjadi milik selainmu.<br />
Engkau harus selalu konsisten
dan terus menerus (berdiri) di pintu al-<br />
Haqq 'Azza wa Jalla serta memutus<br />
sarana-sarana (duniawi) di hatimu, niscaya<br />
cepat atau lambat engkau akan<br />
melihat kebaikan. Hal ini tidak akan<br />
terwujud sempurna selama masih ada<br />
makhluk dan riya di hatimu, juga<br />
Akhirat dan segala selain Allah 'Azza<br />
wa Jalla, meskipun seberat biji sawi.<br />
Jika engkau tak bisa bersabar,<br />
berarti engkau tidak memiliki agama<br />
dan tidak memiliki akar bagi keimananmu.<br />
Nabi SAW bersabda: "Sabar<br />
bagi iman seperti kepala bagi badan."<br />
Sabar berarti engkau tidak mengeluh<br />
pada siapa pun, tidak terkait<br />
pada sarana, tidak membenci adanya<br />
bencana dan tidak menyukai kepergiannya.<br />
Ketika seorang hamba bersimpuh<br />
merendahkan diri pada Tuhannya<br />
'Azza wa Jalla di saat fakir dan<br />
melarat, sabar bersama-Nya dalam<br />
menjalani kehendak-Nya dan tidak<br />
meremehkan sifat yang mubah, serta<br />
terus menerus menyinari kegelapan<br />
dengan ibadah dan bekerja, maka<br />
Allah akan memandangnya dengan<br />
mata kasih, mengayakan dirinya dan<br />
keluarganya dari arah yang tidak ia<br />
sangka-sangka. Allah berfirman: "Barang<br />
siapa yang bertakwa kepada<br />
Allah, niscaya Dia akan mengadakan<br />
baginya jalan keluar dan memberinya<br />
dari arah yang tidak disangka-sangkanya"<br />
(Q.S. 65:2-3).<br />
Engkau seperti tukang bekam.<br />
Engkau mengeluarkan penyakit dari<br />
diri orang lain, namun di dalam tubuhmu<br />
sendiri ada penyakit yang tidak<br />
Hikmah<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
kaukeluarkan. Kulihat pengetahuan lahirmu<br />
semakin bertambah, namun kebodohan<br />
batinmu semakin bertambah.<br />
Tertulis dalam kitab Taurat, "Barang<br />
siapa yang bertambah pengetahuannya,<br />
maka haruslah ia bertambah merana".<br />
Merana di sini berarti ketakutan<br />
pada Allah 'Azza wa Jalla, merendah<br />
di hadapan-Nya dan di hadapan hamba-hamba-Nya.<br />
Jika engkau tidak memiliki pengetahuan,<br />
maka belajarlah, dan jika engkau<br />
tidak memiliki ilmu, amal, ikhlas,<br />
sopan santun, dan prasangka baik<br />
pada para syekh (ulama yang mengamalkan<br />
Al Quran dan Sunnah dan<br />
memiliki pengajaran yang bersambung<br />
hingga Rasulullah SAW), lalu apa yang<br />
bisa diambil darimu? Jika engkau menjadikan<br />
dunia dan puing-puingnya sebagai<br />
konsentrasi pikiranmu, maka sebentar<br />
lagi engkau akan dipisahkan<br />
darinya. Apalah arti dirimu dibanding<br />
kaum (saleh) yang konsentrasi pikiran<br />
mereka hanya satu. Mereka selalu<br />
mengawasi Allah 'Azza wa Jalla dalam<br />
batin mereka sebagaimana mereka<br />
mengawasi-Nya dalam lahiriah mereka,<br />
bahkan ketika hal ini belum sempurna<br />
mereka jalankan, maka Dia<br />
mencukupkan mereka dari pikiran tentang<br />
syahwat secara total, sehingga<br />
hanya ada satu syahwat saja dalam<br />
hati mereka, yaitu mencari Allah 'Azza<br />
wa Jalla, kedekatan dengan-Nya, dan<br />
cinta-Nya. 3 (nk/ns)<br />
Sumber: Fathurrabani (Pencerahan<br />
Sufi)
Renungan<br />
Prospek Dinar dan Dirham di Indonesia<br />
Banyak orang -juga para ekonombiasanya<br />
mencurahkan perhatian<br />
pada berhentinya pasar bebas<br />
dan mata uang. Mereka menegaskan,<br />
mata uang mempunyai masalah<br />
yang berbeda karena harus disuplai<br />
dan dibuat regulasinya oleh pemerintah.<br />
Mereka tidak berfikir bahwa sebenarnya<br />
kontrol negara terhadap uang<br />
justru merupakan bentuk interfensi di<br />
dalam pasar bebas, bahkan mungkin<br />
pasar bebas mata uang itu sendiri pun<br />
tidak pernah terpikirkan oleh mereka.<br />
Dan, sekaranglah waktunya untuk<br />
kembali kepada yang sangat fundamental<br />
dalam ekonomi yakni mata<br />
uang. Mari kita tanyakan pada diri sendiri<br />
"dapatkah uang diatur berdasarkan<br />
prinsip-prinsip kebebasan? Dapatkah<br />
kita mempunyai mata uang sebagai<br />
trading currency yang bebas, seperti<br />
bebasnya pasar barang dan jasa? Lalu<br />
seperti apa bentuk mata uang tersebut?<br />
Serta efek apa yang terjadi disebabkan<br />
berbagai kontrol pemerintah?<br />
Bila kita menginginkan trading currency<br />
menuju arah yang lain, maka tugas<br />
terpenting kita adalah menggali dan<br />
menemukan mata uang sebagai alat<br />
trading currency secara bebas.<br />
Pada aspek teori August Frederick<br />
Von Hayek seorang penasehat ekonomi<br />
kenamaan Margareth Tathcher mengatakan,<br />
uang dimulai dari pertukaran-pertukaran<br />
tanpa paksaan di pasar.<br />
Tidak ada kontral sosial atau keputusan<br />
pemerintah yang membuat<br />
uang bernilai beli. Semua terjadi secara<br />
alami dikarenakan pertumbuhan individu-individu<br />
dalam pencapaian mo-<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> 1 Triwulan IV 2004<br />
tif-motif ekonomi yang tentu saja lebih<br />
kompleks dari sekedar barter.<br />
Uang hanya bermanfaat melalui<br />
definisi yang fiks dan berakar pada komoditi<br />
yang paling pas untuk kepentingan<br />
moneter ditambah dengan sistem<br />
hukum yang melindungi kontrakkontrak<br />
transaksi perdagangan serta<br />
memberi hukuman terhadap pencurian<br />
dan penipuan. Hingga di dalam pasar<br />
bebas meniscayakan kecenderungan<br />
menggunakan kembali standar emas<br />
dan perak sebagai mata uang.<br />
Kedudukan Indonesia dengan potensi<br />
cadangan emas yang menjanjikan,<br />
maka program memasyarakatkan<br />
emas kepada masyarakat sebagai tanda<br />
kemakmuran suatu bangsa patut terus<br />
digalakkan antara lain dengan<br />
penggunaan uang emas dinar. Emas<br />
masih tetap dipercayai tahan terhadap<br />
inflasi dan sangat likuid. Kapan saja<br />
kita memerlukan dana segar, bisa segera<br />
dicairkan.<br />
Secara implementatif bisnis dinardirham<br />
mempunyai prospek yang signifikan<br />
bila dilihat dari naiknya beberapa<br />
indikator ekonomi makro di Indonesia.<br />
Oleh karenanya, suatu pengelolaan<br />
bisnis yang profesional mutlak diperlukan<br />
guna sustainability dari investasi<br />
dan goodwill dinar-dirham. 3 (nk)<br />
Dirangkum dari sambutan Menteri<br />
Negara BUMN Sugiharto selaku Koordinator<br />
Presidium Forum Penggerak Dinar-Dirham<br />
Indonesia (Forindo) pada "Silaturrahim<br />
dan Halal Bihalal Forindo", di Jakarta,<br />
25 November 2004.
Jangan sekali-kali kita meremehkan<br />
sesuatu perbuatan baik walaupun<br />
hanya sekadar senyuman<br />
Dunia ini umpama lautan yg luas.<br />
Kita adalah kapal belayar<br />
di lautan yang telah ramai kapal<br />
karam di dalamnya.<br />
Andai muatan kita adalah iman,<br />
dan layarnya takwa, niscaya kita<br />
akan selamat dari tersesat<br />
di lautan hidup ini.<br />
Relaksasi<br />
Kata Mutiara Anton Bukan 'Antum'<br />
Hidup tak selalunya indah<br />
tapi yang indah itu<br />
tetap hidup dalam kenangan<br />
Setiap yang kita lakukan biarlah jujur<br />
karena kejujuran itu terlalu penting<br />
dalam sebuah kehidupan.<br />
Tanpa kejujuran hidup sentiasa<br />
menjadi mainan orang.<br />
Hati yg terluka<br />
umpama besi bengkok<br />
walau diketuk sukar kembali<br />
kepada bentuk asalnya.<br />
Dalam kerendahan hati<br />
ada ketinggian budi.<br />
Dalam kemiskinan harta<br />
ada kekayaan jiwa.<br />
Dalam kesempitan hidup<br />
ada kekuasaan ilmu.<br />
Ikhlaslah menjadi diri sendiri<br />
agar hidup penuh dengan<br />
ketenangan dan keamanan<br />
Nailil F<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
Seorang atasan<br />
memberi pengarahan<br />
kepada pegawai baru.<br />
Setelah memperkenalkan<br />
diri, ia pun<br />
mempersilakan para<br />
pegawai baru untuk<br />
memperkenalkan<br />
namanya masing-masing. Salah satu<br />
dari mereka ada yang bernama<br />
Anton.<br />
Dalam pengarahannya, atasan<br />
tersebut selalu menggunakan kata<br />
'antum' meskipun sebagian dari<br />
pegawai baru ada yang tidak<br />
mengerti bahasa Arab.<br />
Secara kebetulan, saat<br />
mengucapkan kata 'antum', wajah<br />
atasan ini sering mengarah ke posisi<br />
tempat duduk si Anton. Salah<br />
seorang pegawai baru yang tidak<br />
mengerti bahasa Arab pun berfikir,<br />
atasannnya salah mendengarkan<br />
nama si Anton yang terdengar<br />
menjadi 'Antum" saat si Anton<br />
memperkenalkan diri.<br />
Saat atasannya mengucapkan<br />
kata 'antum' yang ke sekian kali, ia<br />
pun langsung mengangkat tangannya<br />
dan berkata, "Pak, maaf..., nama dia<br />
bukan Antum tapi Anton..." Atasan<br />
dan sebagian teman-temannya yang<br />
mengerti bahasa Arab langsung<br />
tersenyum. Kemudian, atasan<br />
menjelaskan, kata 'antum' yang<br />
diucapkannya merupakan kata dalam<br />
bahasa Arab yang berarti "kalian<br />
semua".<br />
Kholis, Sukabumi
Bule Item<br />
Bejo, 8 tahun, bocah kelahiran Purwokerto<br />
diajak orang tuanya berkunjung<br />
ke rumah bulenya (tantenya)<br />
di Kendari. Sebagaimana lazimnya<br />
anak lelaki seusianya, Bejo cepat beradaptasi<br />
dan dalam waktu yang singkat<br />
ia sudah kenal dengan anak-anak<br />
seusianya di sekitar rumah tantenya.<br />
Suatu hari setelah lelah bermain<br />
seharian, ia dan teman-teman barunya<br />
pulang ke rumah tantenya. Karena<br />
haus mereka hendak meminta minum<br />
pada tantenya itu.<br />
Ketika sampai di rumahnya, Bejo<br />
langsung mencari tantenya dan berkata:<br />
Bule, bule.., bejo haus nih, minta<br />
minum dong!<br />
Teman-temannya yang semua<br />
orang Kendari itu serentak kaget dan<br />
bingung, kok ada bule item yach. (kebetulan<br />
kulit tentenya Bejo berwarna<br />
hitam).<br />
Arief, Jepara<br />
Boneka Hidup<br />
Saat Key berulang tahun yang ke<br />
empat 25 April 2004 yang lalu, ia mendapat<br />
hadiah istimewa dari ayah dan<br />
bundanya. Pasalnya hari bahagia itu ia<br />
diajak ke sebuah mal. Key dibebaskan<br />
untuk bermain apa saja dan membeli<br />
mainan yang diinginkan.<br />
Meski Key tergolong anak pendiam<br />
Relaksasi<br />
Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />
tapi memiliki naluri ingin tahu yang<br />
kuat. Selama di mal ia terus bertanya<br />
tentang benda-benda yang dipajang di<br />
etalase.<br />
Key juga tertarik pada penakin (boneka<br />
pajangan) yang memakai wig<br />
(rambut palsu) lengkap dengan busana<br />
yang menyerupai manusia.<br />
Key: Di kepala boneka kok bisa tumbuh<br />
rambut yah?<br />
Ayah: Itu bukan rambut asli. Pegang<br />
deh rambut ayah, lembut kan? Sekarang<br />
pegang rambut boneka itu, pasti<br />
keras (kasar red)<br />
Key: Boleh gak Key pegang-pegang<br />
rambut boneka yang lain?<br />
Ayah: Boleh.<br />
Bunda: Kita ke tempat pakaian anak<br />
yuk! Di sana bonekanya kecil-kecil<br />
kayak Key.<br />
Key pun berlari-lari menghampiri<br />
penakin. Satu demi satu wig yang melekat<br />
di kepala penakin<br />
ia pegangi.<br />
Tiba-tiba ia berteriak<br />
memanggil kedua<br />
orangtuanya. “Ayah,<br />
bunda, boneka yang<br />
ini hidup, bisa<br />
marah-marah.<br />
Ternyata yang<br />
dipegang kepalanya<br />
adalah anak perempuan<br />
berambut pirang,<br />
mirip rambut<br />
boneka.<br />
Raniah Alim, Jakarta Selatan,